Pencarian

Terminal Cinta Terakhir 4

Terminal Cinta Terakhir Karya Ashadi Siregar Bagian 4


*** Persiapan perkawinan Joki dengan Meinar semakin kentara. Kesibukan orang-orang di rumah Tulang Sahala kian terasa. Tetapi, semuanya malah membuat Joki semakin tersudut dalam ketermangu-manguan. Kalau tidak termangu, dia melepaskan diri dari suasana rumah itu dengan jalan membawa Lia melihat-lihat beberapa tempat di Jakarta. Tak ada libatan emosionil dengan sua-sana menjelang perkawinan besar-besaran itu. Pada perasaan Joki hanya ada kemurungan, seperti kemurungan yang bertengger dalam hati seorang anak yang melihat persiapan pesta meriah di rumah tetangga. Dia memang akan mendapat jatah makanan dari pesta itu, tetapi di rumah sendiri tak pernah ada pesta semacam itu. Jadi, apa arti pesta itu"
Joki melarikan mobilnya dalam kecepatan sedang. Lia tak henti-hentinya bertanya. Tangannya kerap mengganggu tangan Joki yang memegang kemudi.
"Jangan ngebut, Bang!" kata Lia.
Joki tertawa kecil. Dia tak mengurangi kecepatan mobilnya.
"Pelan-pelan saja, Bang Joki!" seru Lia. "Kak Mei jadi janda sebelum kawin kalau kita mati."
Joki tak menjawab. Mobil mereka melintasi Bypass. Bannya menjerit-jerit. Kemudian mobil melaju ke arah Kebayoran Baru. Mereka turun di sebuah kafe kecil. Lia minum dengan lahap. Joki nanap menatap meja di sudut ruangan. Di meja itu dia pernah berdua dengan Widuri.
Bibir Lia berdecap-decap menjilat es krim sementara angin dari jendela mobil mengibar-ngibarkan rambut-nya.
"Sekarang kita ke TIM," kata Joki.
"Ngapain" Apa ada pertunjukan siang hari""
Joki tertawa kecil. "Tidak," katanya. "Abang cuma mau melihat satu tempat yang bagus sekali." Lantas mereka berjalan merambahi rumput di dekat Sanggar TIM. "Apa bagusnya ini" Cuma semak," kata Lia.
Joki tegak, dan katanya, "Di sini Abang pernah jalan-jalan dengan perempuan yang Abang cintai."
"Siapa"" Joki cuma mengangkat bahu. Lia berusaha menerjemahkan kemurungan di mata abangnya. Tetapi, Joki menyeretnya lagi meninggalkan tempat itu.
"Siapa yang Abang cintai"" tanya Lia.
Sekejap Joki menatap mata adiknya.
"Ah, tahu apa kau soal cinta," katanya.
Lia cemberut. "Lia juga sudah pernah jatuh cinta."
"He! Kau jatuh cinta" Umurmu baru lima belas!" Joki menonjok kepala adiknya. "Biar baru lima belas, tapi Lia pernah terima surat cinta." Joki tertawa mengakak. "Dari teman sekelas""
"Huuu!" Lia mencibir. "Buat apa teman sekelas! Masih pakai celana pendek. Nonton film tujuh belas tahun saja belum boleh."
"Lantas"" "Dari anak SMA."
Joki tertawa lagi. Lia cemberut sambil mencubit lengan abangnya.
"Waw, sakit!" "Rasain!" Mereka berjalan di sela-sela orang banyak di Taman Ria. Mereka lewat di dekat papan luncuran.
"Lia mau main luncuran"" Joki bertanya.
"Ih! Itu 'kan untuk anak-anak""
"Iya. Lia 'kan juga anak kecil."
"Ih!" Lia mencubit lengan abangnya lagi.
Lalu mereka menonton anak-anak meluncur-luncur dengan ditunggui orang tua masing-masing. Dan, tiba-tiba dada Joki berdebar. Di dekat pangkal peluncuran, Anton berdiri. Baru saja dia meluncurkan seorang anak kecil. Joki mendekatinya.
"Hei, Jok!" teriak Anton. "Ika, Ika! Ini Joki yang sering kita bicarakan." Anton memanggil istrinya.
Erika hanya menatap Joki tanpa mengulurkan tangan. Tidak juga tersenyum. Dia melirik Lia. Lia juga meliriknya. Cantik sekali, pikir Lia. Maka mata gadis remaja itu bersinar. Dia kepingin secantik nyonya itu.
"Ini Erika, istriku, Joki," kata Anton.
Joki mengangguk dan sedikit membungkuk ke arah Erika. Anton menatap Lia. "Ini Lia, adikku," kata Joki.
Anton tersenyum lebar, lalu menjentik dagu Lia. Lia tersenyum.
"Anak kalian"" tanya Joki sembari menatap anak kecil yang berpegangan pada tangan Erika.
"Bukan. Kami belum punya anak," kata Anton. Matanya menghunjam pada Joki. "Anak Widuri," lanjutnya.
Joki terpaku. Anak kecil itu menarik-narik tangan Erika. "Ini anaknya"" tanya Joki terbata-bata.
Lia menggenggam jari abangnya. Dia merasakan betapa dingin telapak tangan abangnya. Maka Lia memijit jari Joki agak keras.
"Di mana dia" Dia sudah kawin dengan orang asing itu"" tanya Joki kemudian.
Anton menggeleng lamban. Erika menggigit bibir, lalu mengangkat Tody, mendukungnya, dan menciuminya. Anak kecil itu terkekeh-kekeh.
"Kenapa tak jadi"" tanya Joki.
"Kenapa"" ulang Anton. Dia mengeluh halus sebelum membuang pandang ke arah anak-anak yang berteriak-teriak di papan peluncuran.
Jari Joki menggigil. Telapak tangan Lia basah oleh keringat telapak tangan Joki. Lia ingin mengambil sebagian keresahan abangnya. Lewat telapak tangannya, dia ingin mengalirkan sebagian dirinya kepada Joki.
"Dia tak lagi kerja," kata Anton.
"Oh! Kenapa""
Anton mengedikkan bahu. "Dia sakit," kata Erika. "Oh."
Lia merapatkan badannya pada badan abangnya. Maka dia bisa merasakan gemetar badan lelaki
itu. "Begini, Joki," kata Anton. "Aku sudah ceritakan pertemuan kita tempo hari. Dia sangat senang. Nah, barangkali rasa senang itulah yang membuatnya lebih tinggi tempat jatuhnya. Hatinya sangat rapuh."
Joki menjilat bibirnya yang terasa kering. Anak-anak kecil lari sambil berteriak-teriak di sekitar mereka. Suara musik dari restoran terdengar hingar-bingar. Warna-warni pakaian melintas berseliweran. Tetapi, semuanya baur bagi Joki.
"Aku tidak tahu apa motif kau berjanji untuk datang ke rumahnya tempo hari," kata Anton melanjutkan. "Maafkanlah. Selama ini aku sangat menyukai orang Batak atas sifat mereka yang suka berterus terang. Karena itu aku sangat percaya padakau. Aku percaya, kalau kau bilang tidak suka, itu sungguh-sungguh kau tidak suka. Kalau kau bilang cinta, itu berarti kau sungguh-sungguh cinta. Bukan lagi kepurapuraan untuk sopan-santun percakapan. Tidak menutup-nutupi keadaan untuk sopan-santun. Aku tahu betul sifat orang Batak umumnya. Kasar, tetapi mengungkapkan apa yang sesungguhnya dirasakan. Karena itu kritik orang Batak akan sangat pe-das. Mungkin akibatnya sering merugi
kan diri sendiri. Tapi, aku lebih senang sifat begitu. Sebagai orang Manado, aku merasa punya sifat yang sangat dekat dengan kalian. Tapi, dengan kenyataan yang aku hadapi pada diri kau, aku jadi agak ragu. Orang Batak macam apakah sebenarnya kau ini!"
Joki merasa jantungnya tersentak.
"Aku orang Manado. Karena itu aku kurang bisa menangkap apa yang tersirat. Aku cuma bisa mengartikan apa yang kudengar. Dan, aku percaya pada ucapan."
Ludah tersekat pada tenggorokan Joki. Segumpal keluh menghalangi jalan pernapasan.
"Widuri sangat terpukul. Dia mengira kau sengaja menghinanya," kata Anton.
"Aku tidak bermaksud begitu. Aku... aku... " Ucapan Joki tersendat.
"Kupikir juga kau tidak bermaksud menghinanya." Anton menoleh kepada istrinya. Erika sedang menyimak wajah Joki. Perempuan itu kemudian menghela napas dalam-dalam. Selapis demi selapis kemelut menyelimuti muka Joki.
"Aku tidak bermaksud menghinanya," kata Joki pelan. "Aku sendiri ada problem. Problem yang tak bisa kuatasi."
"Asalkan bukan problem yang ada dalam dirimu sendiri karena tahu keadaan Widuri sekarang." "Bukan itu, bukan itu." Joki terengah. Dia menoleh adiknya. "Ada apa, Bang"" tanya gadis remaja itu lunak. Muka Joki keruh.
"Di mana dia sekarang"" tanyanya kemudian. Mata Erika bercahaya.
"Di rumahnya," jawabnya cepat. Lalu dia menunggu reaksi Joki. "Kau mau ke rumahnya"" tanya Anton.
Joki menoleh ke arah Lia. Gadis itu menatap penuh tanda tanya.
Kemudian Joki mengangguk.
Lia membisu mengikuti langkah abangnya.
"Ke mana kita, Bang"" tanya Lia setelah pintu mobil terhempas.
Joki pura-pura sibuk mencari uang receh untuk membayar ongkos parkir. Dan, mobil berjalan terlonjak sebab kopling mendadak terlepas. Keresahan menggelepar-gelepar dalam dada Joki.
Di depan, mobil Anton mendului melaju. Joki mengendalikan stir hanya mengandalkan pada lampu merah mobil Anton. Lia menyentuh lengan abangnya, tetapi tak dipedulikan oleh Joki. Pikiran Joki sarat oleh bayangan Widuri.
Joki memarkir mobilnya di belakang mobil Anton yang berhenti di mulut gang. Lalu dia keluar dari mobil
"Lia tunggu di mobil," katanya.
Lia mengangkat kepala. Tangannya yang sudah memegang handel pintu terkulai layu. "Abang mau ke mana"" Dia bertanya. "Sebentar. Ada urusan."
Lantas Joki mengejar Anton dan Erika yang berjalan menyusuri gang. Jantung Joki berdenting-denting. Tenggorokannya tersumpal sesuatu yang mengganjal lekuk hatinya. Maka hatinya rusuh, dan risau bergalauan.
Mereka tiba di halaman rumah Widuri yang sempit. Pintu depan terbuka sebagian. Joki membayangkan, Widuri sedang duduk di ruang depan itu dengan termangu-mangu. Entah bagaimana nanti sambutan atas kehadirannya. Wajahnya yang teduh, akankah tersipu" Matanya yang indah, bersinar cerahkah nanti" Dan, dada Joki semakin berdebur.
Anton berhenti di mulut pintu, sedang Erika terpaku di sampingnya. Dada Joki masih berdebaran ketika Anton menoleh ke arahnya.
Maka Joki terperangah. Mukanya mendadak panas. Tetapi, sesungguhnya muka itu pucat. Pucat dan merah-padam bergantian menghiasi muka Joki. Napas Joki tersengal.
Akan halnya Widuri" Sesaat lagi baru dia akan tahu bahwa di depan pintu rumahnya telah berdiri tiga orang. Kemudian dia cepat-cepat menjauhkan diri dari Tuan Stephen. Tapi kepalanya tersandar di dada lelaki itu, dan lelaki itu mengelus-elus rambutnya.
Wajah Widuri pias. Pandang matanya bertemu dengan tiga pasang mata yang tak berkedip.
"Oh," keluh Erika sembari memegang tangan suaminya.
Anton melirik ke arah Joki.
Joki menggigit bibir. Gerahamnya berbunyi keriut-keriut. Dari kulit wajahnya yang pucat tiba-tiba terbersit kebencian teramat sangat. Darah Anton berdesir menerima hunjaman kebencian
itu. "Oh," keluhnya gugup. "Aku... aku... aku... " Anton tergagap. Tatapan mata lelaki itu mengingatkan Anton pada harimau luka. Matanya yang hitam memeng-kilatkan pijar-pijar dendam. Maka dada Anton berdebar-debar dan telapak kakinya dingin.
"Maaf, Joki," desah Erika.
Mata Joki beralih ke Erika.
"Maaf," desah Erika lagi. Suaranya murung. Dari matanya yang jernih mengalir kesejukan. Mata yang teduh. Mata yang bersih. Maka kepala Joki tertu
nduk. Dia berbalik langkah, dan pergi. "Joki!" panggil Erika.
Tetapi, lelaki itu terus berjalan. Lia bertanya, "Kenapa, Bang" Kenapa, Bang Joki""
Tetapi, Joki tak peduli. Mukanya yang keruh bertambah keruh. Langit pada malam itu sesungguhnya ter-amat cerah. Bulan muncul di langit yang bersih. Tetapi, apalah artinya bagi Joki yang sedang melarikan mobil-nya kencang-kencang.
Di rumah Widuri, Tuan Stephen segera menyadari suasana yang tidak nyaman melingkupi dirinya. Maka katanya, "Tadi Widuri sakit. Mau jatuh. Saya bawa duduk ke kursi ini."
Erika membisu. Widuri masih terpana. Tody Kecil tertidur dalam rangkulan Erika. Pelan-pelan Erika melangkah ke kamar Widuri, dan membaringkan Tody di situ.
Widuri menyusul Erika ke kamar.
Ketika Erika berbalik, mereka pun berhadapan. Dia menemukan pandang mata yang bingung. Dia melihat Widuri meremas-remas jari-jari tangannya.
"Kami bertemu di Taman Ria. Dia kami ajak kemari," kata Erika.
Widuri duduk di pinggir ranjang. Matanya tak berkedip, tetapi pandangannya kosong. Tak satu pun benda terlintas di matanya. Segalanya baur.
"Kami tidak menyangka Stephen ada di sini," lanjut Erika.
"Dia baru saja datang," kata Widuri pelan. Lidahnya kelu. Bibirnya berat. Dan, ludahnya pahit. Erika mengangkat kepala.
"Waktu dia mengetuk pintu, saya berjalan ke depan. Tapi, di depan pintu kepala saya pening." Erika membisu.
Widuri memandang dengan permohonan mata yang sarat. Pandangan mata yang mengingatkan siapa saja kepada anak kecil miskin yang berdiri di depan etalase toko menjelang Lebaran.
Erika tetap membisu. Widuri menekap mukanya. "Oh, kenapa dia harus datang" Kenapa dia harus datang"" keluhnya.
Erika tetap hanya memandanginya. Dari celah-celah jari tangan yang menekap muka itu, mengalir air bening. "Saya berusaha melupakannya. Saya berusaha melupakannya," kata Widuri lagi dengan suara tersekap.
Isak tangis mengguncang tubuh perempuan ini. Tubuh yang lebih kurus dari biasanya itu terlihat sengsara sekali menyekap kesedihan yang merayap-rayap di dalamnya. Kesedihan yang menggerogoti seluruh jaringan tubuh itu.
"Kenapa dia harus melihat itu," keluh Widuri pada dirinya sendiri.
Maka Widuri yang sakit-sakitan itu tambah ketat dililit nestapa. Sejak kecil dia yang tak merasakan kasih sayang seorang ibu telah mengandung penyakit yang sangat ramah pada badannya yang rapuh. Dia ingat waktu masa perpeloncoan dulu di Kampus Gadjah Mada. Dia pingsan dan diejek oleh para senioren sebagail ayam kampung sakitan. Lantas sengsara jenis lain bergantian datang menyerbunya. Dan, sekarang, di saat tubuhnya sedang dihantam kesedihan, masih juga duka menyergapnya.
Beberapa saat yang lalu, dia berbaring di kamarnya. Kepalanya dirasa pening. Lantas terdengar ketukan di pintu. Dia bangun dan berjalan ke arah pintu. Di situ te-gak Tuan Stephen. Kepala Widuri yang pening bertambah kalut. Maka malam menjadi semakin kelam dalam pandangan mata Widuri. Malahan segalanya berputaran. Lalu, Widuri terjatuh. Rupanya Tuan Stephen kemudian membawanya ke kursi itu. Lalu, lalu, lalu.... ah! Kenapa Joki harus muncul"
Widuri menekan tangis yang meledak-ledak dari dalam dadanya. Di sampingnya, Tody terbaring pulas. Wajahnya yang mungil membisu dengan senyum samar. Bibirnya yang merah menggoretkan sisa-sisa keriangan sore tadi.
Erika menarik napas dalam-dalam.
Sementara, itu, di ruangan depan, Tuan Stephen berpamitan kepada Anton. Dia bisa merasakan kemelut yang ada di bawah atap rumah itu atas kehadirannya di situ. Maka dia hanya minta tolong agar salamnya disampai-kan kepada Widuri.
Lalu Anton termangu-mangu sendirian di ruangan itu.
"Kok jadi se-absurdini"" keluhnya berkali-kali.
Sayup-sayup dia mendengar isak tangis Widuri. Anton menggeleng sambil menghela napas. "Widuri yang selamanya menjadi korban situasi," kata Anton kepada diri sendiri.
Erika duduk di samping Widuri. Dia mengelus-elus bahu perempuan malang itu. Widuri menjatuhkan kepalanya di bahu Erika, dan membasahi bahu itu dengan air mata. Maka mata Erika pun akhirnya berlinangan.
"Kenapa dia harus datang lagi"" kata Widuri tersendat-sendat.
"Dia tetap mencintaimu, Mbak Wik,
" kata Erika lunak. "Saya tak berharga untuk dicintainya," ucap Widuri tersekap.
"Tapi, bagaimanapun dia mencintaimu. Itu sebabnya dia mau datang ke sini."
"Dia melihat Stephen. Dia melihat Stephen. Ah!"
Dan, isak Widuri berderaian sehingga napasnya terse-ngal. "Saya sudah bilang pada Stephen agar dia tidak lagi datang kemari. Saya tidak lagi kerja di kantornya. Saya sudah berhenti kerja, tapi dia masih juga datang. Oh!"
Widuri menghempaskan badannya ke bantal, dan mencoba membenamkan tangisnya di situ. Tubuhnya terguncang-guncang bagai dihantam badai. Sesungguhnya, badailah yang sedang menggulung perempuan itu. Maka tubuhnya yang rapuh itu terhempas-hempas.
"Dia akan menganggap saya perempuan hina. Dia akan menganggap penolakan saya karena adanya orang asing itu. Oh, Joki... Joki... Joki... " Bibir Widuri gemetar.
Erika mengusap mata. Tody Kecil menggeliat. Cepat-cepat Erika menepuk-nepuk pantat anak kecil itu. Dan, Tody pun tak jadi bangun.
"Saya mencintainya," kata Widuri hampir tak terdengar. "Tapi, kenapa harus mengalami begini" Kenapa dia melihat Stephen di sini" Kenapa dia tidak melihat saya menolak kedatangan Stephen" Kenapa dia tak tahu bahwa saya lebih suka hidup sendiri jika tanpa dia" Kenapa"" Setumpuk keluhan menggumpal dalam dada Wi-duri.
"Kenapa kau tak berusaha menemuinya, Mbak Wik"" tanya Erika lembut.
"Oh, dia akan menghinakan saya sebab saya hanya seorang janda, sebab saya miskin, sebab saya... Oh!" Widuri menekapkan mukanya dalam-dalam ke bantal un-tuk menyembunyikan tangisnya.
"Tapi, Mbak belum mencoba."
"Saya tak berani. Saya tak berani."
"Kalau Mbak Wik benar-benar mencintainya..."
Widuri tak menjawab. "Temuilah dia, Mbak Wik. Jelaskan segalanya. Jelaskan padanya. Biar kita lihat apakah dia sungguh-sungguh mencintaimu, Mbak Wik. Cinta hanya bisa diukur dengan kepercayaan. Jika dia mempercayai Mbak Wik dan Mbak Wik mempercayai dia, di situ kita baru pasti apakah memang cinta ada dalam hubungan kalian."
Widuri membisu. Kemudian pelan-pelan dia bangkit. Rambutnya berberaian. "Saya takut, Ika. Saya takut terbanting lagi," katanya kemudian.
"Kau tak pernah terbanting, Mbak Wik. Kau belum pernah terbanting. Sebab, kau belum pernah benar-benar bangkit berdiri."
Widuri terpana. "Kau tak pernah mengusahakan peluang bagi dirimu sendiri. Kau hanya meratapi nasib. Apakah kaupikir cinta akan datang begitu saja seperti jatuh dari langit" Kita harus mengusahakan peluang untuk tumbuhnya cinta itu, Mbak Wik. Seperti hubunganku dengan Mas Anton, mi-salnya. Apakah akan terjadi perkawinan kami kalau aku tidak berusaha menciptakan peluang""
Widuri menatap lantai. Kemudian dia bertanya ragu-ragu, "Jadi, saya harus menemuinya"" "Ya!" kata Erika getas. "Kau harus menjelaskan segalanya, Mbak Wik." "Di mana dia bisa saya jumpai""
"Mas Anton akan mencari alamatnya. Kaupakai mobil kami. Besok akan kami suruh sopir mengantarmu. Ya""
Widuri mengangkat kepala sebelum kemudian memeluk Erika. Kembali Widuri menangis. Erika menge-lus bahu perempuan itu.
"Kau harus mengusahakan peluang agar hidup yang kaupilih bisa menjadi kenyatan, Mbak Wik." Widuri mengangguk.
*** Lia melipat selimut di tempat tidur abangnya. Joki masih di kamar mandi. Ketika Lia datang tadi, Joki masih tidur. Lia sengaja mengganggunya dengan mengkili-kili telinganya. Dan, Joki pun bangun.
Sinar matahari telah masuk lewat jendela kamar pondokan Joki. Sejak beberapa hari ini dia pulang ke rumah itu. Dia tidak kerasan kalau harus menginap di rumah tulang-nya. Rumah itu memang besar, tetapi keriuhan yang ada memusingkan kepala. Berbeda dengan rumah pondokan ini. Kendati tetangga-tetangga bising, namun Joki tidak merasa terganggu.
Di kamar mandi, Joki menyanyi. Dia senang Lia datang.
sprei tempat tidur abangnya. Di rumah Tulang Sahala, pembantu yang mengerjakan tugas ini, pikir gadis remaja itu. Dan, dia menatap buku-buku yang berserakan di meja Joki. Meja itu kelewat sederhana. Terbuat dari papan kasar. Buku-buku itu pun perlu dirapikan nanti, pikir Lia. Lantas dia ingat kamar yang ditempatinya di rumah Tulang Sahala. Kamar yang sejuk. Ada toiletnya. Toilet vang bagu
s pula. Tetapi, bagi Lia, rumah itu sepi sejak Joki kembali ke rumah pondok-annya. Memang ada Kak Meinar. Dia pun baik sekali. Tetapi, bagaimanapun juga Meinar hanya seorang ga-dis, yang tidak bisa membawa Lia jalan-jalan ke mana saja. Lain dengan Joki. Bang Joki bisa membawa Lia ke mana saja. Lia ingin ke Ragunan, berangkat. Lia ingin melihat Oceanarium, pergi. Lia ingin bermain ke Ice Skating, Bang Joki pun senang mengantarnya. Nah, bukankah menyenangkan sekali punya abang sebaik Joki"
Maka Lia memikir-mikir hendak mengajak abangnya ke mana hari ini.
Pagi itu matahari sangat cerah. Tentunya siang nanti bukan main terik. Karena itu harus dicari tempat yang teduh. Pokoknya jalan-jalan sepuas mungkin. Nanti ka-lau pulang ke Medan biar bisa cerita sama teman-teman. Cerita bahwa Lia telah mengunjungi semua tempat yang bagus di Jakarta. Nah!
Lia tersenyum-senyum. Tetapi, senyum itu kemu-dian berangsur lenyap. Matanya terpaku ke luar jende-la. Di halaman, melangkah seorang perempuan. Lang-kahnya ragu-ragu. Lalu terdengar ketukan di pintu.
Lia berlari dan membuka pintu. Di depannya, tegak Widuri. Muka perempuan itu pucat. Dan, dada Lia berdebar. Mata perempuan itu, alangkah sedih.
"Saya ingin ketemu Joki," kata Widuri.
"Dia sedang mandi," kata Lia. "Silakan, silakan ma-suk."
Widuri melangkah pelahan. Matanya mengingatkan Lia pada anak kecil yang ketakutan.
"Silakan duduk," kata Lia. Pandang matanya tak lekang dari wajah Widuri. Dia memperhatikan kulit wajah Widuri yang halus, hidungnya yang bangir, bibirnya yang tipis tapi pucat. Tak pakai make-up, tetapi cantik sekali, pikir Lia.
Sekilas Widuri memperhatikan gadis remaja yang duduk di depannya. Dari profil mukanya, gadis ini bisa di-duga siapa. Karena itu Widuri cepat-cepat mengangguk ketika Lia berkata, "Saya adik Bang Joki. Nama saya Lia. Nurlia."
"Saya Widuri," kata Widuri pelahan.
Bibirnya bagus sekali, pikir Lia.
"Sebentar saya lihat, apa Bang Joki sudah selesai mandi."
Joki sedang menyisir rambutnya di kamar. Alisnya terangkat ketika Lia masuk berjingkat-jingkat.
"Ada tamu," bisik Lia. Alis Joki terangkat lagi. "Gadis cantik," lanjut gadis itu. "Hm"" Joki merapikan bajunya. "Namanya Widuri."
"Uf!" Joki mengangkat kepala cepat dan menoleh ke arah Lia. Mata Lia mengerjap.
"Cantik," katanya. "Hm, diam-diam Abang rupanya punya pacar cantik." Joki mematung di depan cermin. Ayolah," kata Lia. "Dia menunggu."
Joki membisu mengikuti langkah adiknya. Dan, di ruang depan itu napas Joki terhenti. Ada rambatan nyeri menyusup ke lekuk hatinya.
Widuri pun merasakan hal serupa. Malahan lebih getir lagi. Kenyerian menyeruak dengan ganas karena beradon pekat dengan resah.
Mereka bertatapan. Badan Widuri menggigil. O, alangkah dingin tatapan lelaki itu. Lalu Widuri menekuri lantai. Setumpuk kalimat yang disiapkan sejak dari rumah lenyap bagai embun pagi ditimpa sinar matahari.
Joki tetap membisu. Ruangan itu sepi. Lia mempelahan tarikan napasnya. Matanya tak lepas dari perempuan yang duduk tertunduk itu. Siapa dia" Bagaimana hubungannya dengan Bang Joki" Kenapa dia seperti ketakutan" Kenapa pula Bang Joki sekaku ini" Apa yang pernah terjadi di antara mereka"
Lalu sepi itu dipecah oleh suara Widuri, "Saya mau bicara. Saya ingin menjelaskan.... "
Kelopak mata Joki berkedip sedikit.
"Saya.... saya.... saya.... " Suara Widuri terputus-putus, dan bagai butiran kaca, air mata
berderaian. Maka rambatan nyeri terasa lagi di dada Joki. Melintaslah bayangan ketika perempuan itu bersandar ke bahunya di dalam planetarium. Atau, bayangan mata teduh di sebuah bus kota ketika hujan mengguyur Jakar-ta. Atau, kelembutan jarinya ketika menyusuri Pantai Cilincing.
Atau ketika matahari bersinar cerah.... oh, bukan cerah. Terik! Terik! Terik! Sengit! Ketika
perempuan ini keluar dari Kartika Plaza dengan orang asing. Dan, di dada lelaki asing itu pula perempuan ini kemarin ber-sandar. Bah!
Joki menghembuskan napas kuat-kuat.
Widuri mengangkat kepala sekejap, kemudian menunduk lagi.
"Ada perlu apa sebenarnya"" Joki bertanya dengan nada suara dingin.
Suara itu menghunjam ke relung hati Widuri. Giris.
"Tidak. Oh , maafkan saya, maafkan saya," kata Widuri. Lalu dia berdiri dan menoleh ke arah Lia. "Maafkan saya," katanya gemeteran. Dan, dia pun melangkah ke luar.
Lia terpana. Dia mengejar ke pintu, tetapi Widuri separo berlari menuju mobil yang menunggunya di mulut gang. Lalu Lia berbalik menghadap abangnya.
"Siapa dia"" tanyanya.
Joki cuma menghela napas berat sembari duduk. Dia menyusut-nyusut rambutnya. Pandangannya nanap ke luar pintu.
"Dia yang pernah Abang bilang Abang cintai"" tanya Lia lagi. Joki mengeluh dalam dada. "Kelihatannya dia sangat sedih," kata Lia. Joki membisu.
"Kenapa" Kenapa, Bang Joki"" Joki tak bereaksi.
"Barangkali karena dia tahu kalau Abang mau kawin dengan Kak Mei"" Joki menggeleng.
"Jadi, kenapa" Hati Lia sedih melihat matanya."
Separo mengeluh Joki menjawab, "Di antara kami banyak persoalan, Lia."
"Dia kelihatan sedih. Kelihatan sedang sakit."
Joki memijit-mijit pelipis.
"Kenapa Abang kasar sekali terhadapnya""
Joki tersentak. Lia pindah duduk di samping abangnya.
"Lia merasa dia orang baik. Kasihan kalau hatinya disakiti, Bang." Joki menelan ludahnya yang terasa seret di kerongkongan. Matahari kian meninggi. "Abang memang mencintainya," kata Joki. "Tapi, banyak persoalan di antara kami." "Persoalan apa""
"Lia tak perlu tahu."
"Lia kepingin tahu."
Joki mengedikkan bahu. "Tak usah memikirkan itu. Ayo, kita berangkat." "Ke mana"" Lia kehilangan semangat.
"Ancol." "Ah, kita sudah pernah ke sana." "Sekarang Abang yang kepingin ke sana."
"Ngapain"" "Melihat laut."
Beberapa saat kemudian mereka telah berjalan di antara payung-payung peneduh. Warna-warni payung itu tidak lagi semarak bagi Lia. Pasir putih mulai terasa pa-nas di telapak kaki.
"Lia kok jadi teringat terus pada kakak yang datang tadi pagi," kata Lia.
Joki berdecak. "Ah, jangan mengingat-ingatkannya lagi."
"Mukanya kelihatan sedih."
Joki berdecak lebih keras.
Ujung sepatu Lia menyerpih-nyerpih pasir.
"Muka Mama juga sering begitu kalau Papa marah-marah di rumah," kata Lia.
Joki menatap permukaan laut yang mengkilat. Angin yang kencang membawa uap air.
"Kalau Abang memang mencintainya, kenapa Abang kawin dengan Kak Mei""
Joki tersentak. Kemudian pelan-pelan kepalanya tertunduk. Dia mengawasi pasir yang dipijaknya.
"'Kan Mama yang menentukan," katanya lemah. Lia terdiam.
"Nah, sekarang kau tahu, Lia, kenapa Abang membantah kemauan Mama, dulu." "Tapi, Abang tak pernah bilang itu pada Mama."
"Ya, sebab dulu Abang tak pasti apakah perempuan itu mencintai Abang."
Lia memegang jari tangan abangnya. Angin menampar-nampar wajah gadis remaja itu, membuat rambutnya yang hitam itu berkibaran.
"Selain itu, masih ada penghalang yang lain. Mama pasti takkan setuju." "Kenapa" Mama 'kan belum pernah ketemu dengan dia"" "Ya," jawab Joki. Lantas melintas wajah Widuri di matanya.
*** Di rumahnya, Widuri membenamkan tangisnya ke bantal. Siang yang terik membuat kamarnya terasa pengap. Dari luar terdengar suara Tody yang gembira dicandai pemomongnya. Dan, tangis Widuri semakin tersekap.
Sempurnalah nestapa ini. Sempurnalah sudah. Widuri mengeluh diam-diam. Ibarat terjerumus ke dalam jurang, seperti itulah rasa sakit yang diderita Widuri. Se-telah disadarinya betapa jauhnya langit, disadarinyalah pula bahwa jurang itu teramat dalam. Lantas, terasa be-tapa sepi sendirian menanggung hempasan ke dalam jurang yang tak menyimpan harapan baik. Langit cerah begitu jauh sementara dasar jurang begitu tajam. Inilah kehidupan yang paling lengkap buatku, keluh Widuri tak henti-hentinya.
Jika nestapa inilah kelengkapan hidupku, lantas bagaimana lagi cara menghirup napas di sela-sela himpitan ini" Udara terasa pengap dan matahari lebih sengit dar matahari neraka mana pun. Aku terlontar ke dunia ini hanya untuk dilibat jaring-jaring nestapa. Lalu, untuk ini semuakah aku harus mempertahankan kehidupan yang getir ini" Untuk nestapa yang berkepanjangan maka aku harus hidup" Ah!
Widuri menatap pergelangan tangannya. Lengannya yang mungil dan lunglai itu gemetaran. Dia meraba-raba nadi pergelangan tangan itu, dan membayang-bayangkan wajah mendiang ayahnya. Dia ingin membayangkan wajah i
bunya, tetapi tak berhasil menampilkan wajah yang jelas. Hanya bayangan baur yang ada. Dia tak bisa membayangkan wajah ibunya. Sebab, dia tak pernah mengenal wajah itu. Yang terbayang jelas justru seraut wajah seorang suster Katholik. Suster pengasuh di asrama ketika dia masih kuliah di Kampus Gadjah Mada. Lalu terbayang wajah-wajah yang lain. Semuanya cepat melintas, seperti wajah-wajah yang terpandang dari dalam kendaraan yang melaju cepat. Segalanya baur sebab air matanya membalut kornea mata.
Widuri mengelus pergelangan tangannya. Kulitnya yang halus terasa menggigil. Hanya dengan satu sayatan maka seluruh nestapa akan berakhir, pikirnya. Ya, seluruh nestapa akan berakhir. Seluruh n-e-s-t-a-p-a! Ya, akan berakhir dengan sayatan kecil di pergelangan tangan ini.
Maka Widuri melangkah ke meja riasnya. Dia ingat di situ ada silet. Tetapi, tawa Tody terdengar lagi. Tawa nyaring itu melayang hingga kamar Widuri. Maka langkah Widuri terhenti. Dan, dia terduduk di lantai.
Suara tawa itu terdengar lagi. Alangkah jelas dan murni. Tak ada nestapa terkandung dalam tawa itu. Anak yang lahir dalam kepahitan hidup orang tua! Tetapi, janganlah nestapa melilitnya.
Jika aku mati, anak itu harus berdiri sendiri. Di du-nia yang kejam ini dia akan hidup seorang diri. Aku yang pernah diasuh seorang ayah, merasa betapa kejam dunia ini. Apalagi dia tanpa asuhan ayah dan ibu. Sendiri menghirup udara dunia yang pengap dan apak ini"
Sejak kecil ahu tidak mengenal ibuku. Jika dia kutinggalkan pula, dia akan sendirian. Sendirian. Oh! Se-orang ayah pun tak bisa mengeluarkan aku dari kemelut yang menerpa diriku dari tahun ke tahun. Apalagi tanpa ayah dan ibu!
Lantas Widuri bangkit dan menatap mukanya di cermin. Hampir dia tak mengenali dirinya sendiri. Alang-kah asing. Wajah yang membalas menatapnya itu tanpa ekspresi sama sekali. Dingin.
*** "Jadi, kau sudah ke rumahnya"" tanya Anton.
Widuri cuma mengangguk. Dia mengelus-elus kepala Tody.
"Apa dia bilang, Mbak Wik"" tanya Erika.
Widuri menggeleng-geleng.
"Lho, bagaimana sih"" kata Anton.
Widuri tak bereaksi. "Sudah kau jelaskan semuanya, Mbak Wik"" Widuri mengangkat kepala, menoleh kepada Erika. Lantas dia menggeleng lagi. "Kenapa tak dijelaskan""
"Saya tak bisa."
"Ah!" Erika dan Anton serempak mengeluh.
"Saya merasa dia tak mau mendengarkan penjelasan dari saya."
"Ah! Bagaimana kau tahu"" kata Anton.
"Saya merasa. Saya rasa."
"Jangan cuma pakai rasa saja, Wiwik."
"Saya lebih percaya pada rasa saya."
"Tapi, itu belum tentu benar."
"Barangkali memang belum tentu benar. Cuma, saya merasa, rasa itu lebih kuat dari pertimbangan apa pun juga."
Anton mengangkat bahu seraya menoleh kepada istrinya. "Seharusnya kau menjelaskan itu, Mbak Wik," kata Erika lembut. "Saya ingin melupakannya. Saya ingin dia tak ada dalam hidup saya." "Tetapi, itu tak mungkin." "Saya akan berusaha agar itu menjadi mungkin."


Terminal Cinta Terakhir Karya Ashadi Siregar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Daripada berusaha melupakannya, lebih baik kau berusaha mendekatinya dan memberinya penjelasan."
"Tidak!" kata Widuri keras. "Tidak, tidak, tidak," lanjutnya dalam desah. "Lebih sulit melupakan dari pada mengenangkan, Wiwik," kata Anton. Widuri tak menjawab.
"Lebih sulit mengikis kenangan daripada membuat kenangan." Widuri tetap diam.
"Mengusahakan tumbuhnya cinta lebih gampang daripada melupakan cinta." Tody menggeliat dari rangkulan ibunya, lalu turun ke lantai.
"Saya hanya akan hidup untuk anak ini," kata Widuri. "Hidup saya hanya untuk dia. Saya tak ingin memikirkan apa-apa lagi tentang diri saya."
Tody melangkah tertatih-tatih menuju pintu keluar.
"Andainya, Mbak Wik. Andainya Joki mau menerima penjelasanmu, mau mengerti, bagaimana sikapmu"" tanya Erika.
Sejenak Widuri mengangkat kepala. Mereka bertatapan. Erika menangkap kilasan sinar dalam mata Wi-duri. Tetapi, sinar itu cepat padam lagi. Dan, Widuri menggeleng.
"Saya tak punya sikap apa-apa lagi."
Suara panci beradu terdengar dari dapur. Pembantu rumah tangga Widuri sedang menyiapkan masakan untuk makan malam. Widuri mengelus-elus lengan kursi. Cahaya matahari mencorong lewat ventilasi. Warnanya merah. Di luar, langit telah lembayung. Senja begitu c
e-pat menyelinap. "Sesuatu masih bisa diraih kalau diusahakan, Wiwik," kata Anton.
Widuri diam. Erika juga membisu. Dan, tiba-tiba, suara jeritan Tody dari luar mengagetkan mereka. Ketiganya terlompat dari duduk mereka.
"Oh, Tody! Tody! Tody!" pekik Widuri. Ketiganya berlan ke halaman. Tody tak kelihatan. Oh, di mana dia"
Ketiganya ke luar halaman. Di gang, ada kerumunan orang. Sementara itu, suara derum mesin motor meninggi dan lenyap di mulut gang.
Kerumunan itu tersibak oleh tangan Anton. Maka jantung Anton menggelepar. Di tanah yang berdebu, terbaring Tody. Berlumuran darah. Ludah Anton terasa pahit.
"Tody!" jerit Widuri berbarengan dengan jerit Erika.
Lalu, entah berapa kali Widuri mendesahkan nama anaknya. Lalu dia pingsan. Beberapa orang yang mengerumun menolong Widuri, mendukung masuk ke rumah Widuri.
Anton mengangkat Tody. Tubuh Tody yang kecil itu terasa lunak. Dari kerumunan orang itu Anton menang-kap keterangan: Tadi ada pemuda naik motor dan tidak melihat Tody keluar dari halaman rumah. Tody terta-brak, dan pengemudi motor itu terus melarikan motornya.
"Seharusnya dilarang naik motor di gang ini," gumam seorang bapak-bapak tua.
Anton membisu. Dia menggendong Tody ke mulut gang. Tanpa suara dia membuka pintu mobilnya. Beberapa orang mengikuti langkahnya sembari menceritakan apa yang telah mereka lihat, tetapi suara-suara itu melintas begitu saja di telinga Anton.
Anton men-start mobilnya. Tergesa-gesa dia memasukkan persneling. Tody terbaring di sampingnya. Darah masih terus menetes dari tubuh anak itu.
Tiga tonggak listrik, Anton menjumpai rumah seorang dokter, persis yang diceritakan orang-orang tadi. Maka cepat-cepat Anton melompat keluar sambil meng-gendong Tody yang pingsan.
Anton menggedor pintu rumah dokter itu. Pintu terbuka. Dokter tua yang membuka pintu itu dapat menang-kap kegalauan yang ada di mata Anton. Maka dia mem-buka pintu lebih lebar
lagi. "Masuk, masuk, masuk," kata dokter tua itu.
Anton meletakkan Tody di divan pemeriksaan. Dokter itu memeriksa luka Tody di bahu. Dia hanya memberikan pertolongan darurat.
"Harus dibawa ke rumah sakit. Perlu dijahit," kata-nya.
Anton memeluk Tody. Dia melarikan mobilnya bagai kesetanan. Tiba di rumah sakit pemerintah, napas Anton tersengal menghadapi cara kerja para perawat di situ. Kerja yang ayal-ayalan. Dokter juga belum datang. Anton mendesak perawat itu agar disegerakan, tetapi ma-sih juga perawat itu ayal-ayalan. Darah Anton mendidih. Tangannya yang menggigil tanpa disadarinya melayang ke wajah perawat itu sambil katanya, "Cuma pakaianmu yang putih bersih! Tapi, jiwamu kotor! Bangsat!"
Perawat itu menekap mukanya yang bengap.
Anton menunggu reaksi perawat lelaki yang ditamparnya itu. Tetapi, ternyata perawat itu diam saja. Maka Anton menggendong Tody lagi. Lalu dia melarikan mobilnya lagi menuju rumah sakit swasta.
Hatinya yang panik berangsur lega melihat atensi yang diberikan para perawat terhadap Tody. Tody langsung dibawa ke kamar operasi.
Anton menyadari bahwa pakaiannya berlumuran darah. Sepatunya berdetak-detak di samping pintu operasi itu.
"Cuma operasi kecil," kata seorang perawat yang keluar dari kamar operasi. Senyum gadis berpakaian serba putih itu menyejukkan dada Anton. Lalu gadis berpakaian putih-putih itu melangkah tanpa suara di sepan-jang gang rumah sakit itu.
Anton tetap mondar-mandir. Kendati panik telah mulai surut, tetapi suasana rumah sakit berbau formalin itu membuatnya resah. Apalagi jika dia ingat wajah Tody yang dialiri darah dengan mata terpejam. Oh! Lalu Anton ingat Widuri yang pingsan. Siapa yang menolongnya" Erika tak pernah kuliah di kedokteran. Dia cuma kuliah di farmasi beberapa tahun.
Pintu kamar operasi terbuka. Seorang dokter keluar dengan senyum terkuak ramah.
"Anda orang tua anak yang terluka itu"" Dokter bertanya.
Tanpa berpikir panjang, Anton mengangguk.
"Apakah dia pernah disuntik antitetanus""
"Oh, itu saya tak tahu," kata Anton terbata-bata.
"Kalau sudah, itu baik sekali. Tapi, kalau belum, dia perlu mendapat suntikan untuk menjaga dari bahaya te-tanus."
"Ya," desah Anton.
"Anda tentunya tahu, bahwa serum an
titetanus tidak boleh dobel penggunaannya selama masa berlakunya dalam tubuh."
"Ya," kata Anton dalam gumaman.
"Karena itu sebaiknya Anda mencek ke rumah, apakah anak itu sudah pernah mendapat ATS atau belum. Kami menunggu."
Anton melangkah tergesa-gesa meninggalkan tempat itu. Dokter itu menggeleng-geleng. Pikirnya, masakan seorang ayah tidak tahu apakah anaknya sudah mendapat suntikan antitetanus atau belum. Ah, orang tua yang ceroboh!
Lalu-lintas seret bergerak di Salemba. Keringat mem-basahi kuduk dan punggung Anton.
Di rumahnya, Widuri telah sadar. Kini hanya isak yang membelitnya. Erika tak kuasa lagi menghiburnya.
Bagi Widuri, sinar lampu menjadi redup. Bahkan tembok putih pun menjadi kelabu. Sejuta keluh menyeruak-nyeruak dalam dadanya. Tak terucapkan lagi. Maka air matanya tak mau kering.
"Belum," jawab Widuri tatkala Anton bertanya.
Anton bergumam, lalu melangkah ke pintu. Widuri mengikutinya.
"Kau istirahat di sini saja," kata Anton.
Widuri menggeleng. "Saya harus ikut," katanya.
Erika bertatapan dengan suaminya.
Erika mengambil tasnya di meja, lalu menyusul langkah suaminya.
Napas Widuri terengah selama melangkah di yang Rumah Sakit St. Carolus. Erika melangkah dengan kepala tertunduk, dan tanpa suara. Rumah sakit itu hening. Mereka berpapasan dengan gadis-gadis bermata bening, berpakaian serba putih. Salah seorang gadis itu tadi membantu dokter yang merawat Tody. Dia tersenyum ke arah tiga orang yang dipapasinya. Dia mencoba menduga siapa ibu anak kecil yang terluka itu. Dia agak bingung sebab kedua perempuan itu sama-sama berwajah rusuh. Maka dia mengarahkan ucapannya kepada Anton, "Ada yang berdarah golongan O""
Anton menggeleng. "Saya golongan B," katanya seraya menoleh ke arah dua perempuan di sampingnya. Widuri dan Erika pun menggeleng.
"Anak Tuan perlu infus darah. Kami memang punya persediaan, tetapi terbatas. Akan lebih baik kalau Tuan menyediakan donor."
"Parah keadaannya"" tanya Widuri terbata-bata.
Perawat itu tersenyum lunak.
"Dia perlu banyak tambahan darah," katanya.
Erika meremas jarinya hingga berbunyi gemeretak. Widuri mengeluh dalam dada. Dia nampak sempoyongan berdiri. Perawat itu sigap memegangi tubuh Widuri dan membawanya ke ruang tunggu.
"Aku akan cari donor. Teman-teman tentunya ada yang golongan darahnya O. Kau temani Widuri, aku akan menelepon sebentar," kata Anton kepada Erika.
Erika membisu. Anton berjalan bergegas. Hampir bertabrakan dengan seorang perawat yang membawa botol obat. Anton menggumamkan kata maaf berulang-ulang. Dia menuju kantor rumah sakit itu.
Dia membelok di pojok koridor, dan bertabrakan dengan seorang lelaki. Gadis yang di samping lelaki itu menjerit kaget.
"Eh, Anton," kata Joki sambil mengusap kepalanya yang terkantuk.
"Hei, kau!" kata Anton.
Lia menarik napas panjang sambil melirik kening abangnya. Anton sedang mengusap jidatnya. "Kok terburu-buru" Ada apa"" tanya Joki. "Ada yang sakit," kata Anton.
"Siapa"" Anton menatap lekat-lekat mata Joki. Kemudian katanya, "Kau menjenguk siapa""
"Ibu. Sudah beberapa minggu dirawat di sini. Tapi, sekarang keadaannya sudah agak baik."
Anton mengangguk. "Mudah-mudahan cepat sembuh," katanya. "Aku pergi dulu." "Mau ke mana""
"Pinjam telepon. Cari donor." "Siapa yang sakit"" tanya Lia.
Anton menatap muka Lia seperti yang dilakukannya terhadap Joki. "Darah apa yang dibutuhkan"" tanya Joki.
"O" kata Anton.
"Eh, aku golongan O!" kata Joki. Anton tak menanggapi. "Aku juga," kata Lia.
"Pakai darahku saja," ujar Joki bersemangat.
Anton menggosok-gosok dagu. Dia ragu. Tetapi, dia pun menimbang-nimbang. Untuk menelepon, memerlukan waktu. Apalagi orang yang ditelepon belum tentu bergolongan darah seperti yang diharapkan.
"Ayo, pakai darahku saja, Anton."
"Kalau masih kurang, darahku juga," kata Lia sambil memegang tangan abangnya. Sesaat Anton mengawasi kedua orang di depannya itu. Kemudian dia mengangguk. "Ayo," katanya.
Joki menyeret adiknya berjalan bergegas mengikuti langkah Anton.
Joki menjalani tes darah. Tes berlangsung cepat. Lantas dia berbaring sementara jarum tranfusi menem-bus lengannya. Dia menatap langit-langit ruangan
yang bersih. Lalu pindah ke wajah perawat yang berdiri di dekat kepalanya. Bibir gadis itu merah delima. Topinya yang
putih bertengger rapi. Secantik bintang film, pikir Joki. Senyumnya yang ramah menyejukkan hati sehing-ga Joki lupa pada rasa pegal di lengannya yang terbalut.
Jarum telah dicabut. Joki melirik botol berisi darah-nya yang tengah dibawa seorang perawat lelaki keluar dari ruangan itu. Perawat cantik itu membantu Joki - yang menolak istirahat -bangun.
"Agak pening"" tanya perawat itu.
Telapak tangan gadis itu halus dan hangat. Maka Joki menggeleng sekalipun berdiri pun agak sempoyongan.
Sejenak dia membiasakan diri dari denyutan di kepalanya. Setelah denyutan itu reda, dia pun tersenyum ke arah gadis itu. Perawat itu pun tersenyum.
Di pintu, menunggu Anton dan Lia. Lia cepat-cepat memegang jari tangan abangnya. Gadis remaja itu tersenyum. Joki tersenyum. "Mari," kata Anton mendahului berjalan.
Anton membuka pintu ruang tunggu. Dan, dada Joki berdebaran. Kepalanya berdenyut kembali. Telapak kakinya terasa dingin. Peluh mengalir di sekujur tubuh.
Di ruangan itu, duduk Widuri tersandar lemah di kursi. Di dekatnya, Erika mengipasinya dengan saputangan.
Kelopak mata Widuri terangkat. Oh, darahnya yang tadi malas mengalir mendadak menggejolak.
"Siapa yang sakit"" tanya Joki tersendat-sendat. Sejuta rasa bergulatan dalam dadanya manakala dia melihat betapa pucat wajah perempuan yang lunglai itu.
"Anak Widuri. Kecelakaan," jawab Anton.
Mereka duduk di depan Widuri. Mata Erika tak lekang memandangi wajah Joki. "Wiwik," kata Anton, "Joki jadi donor untuk anakmu."
"Oh." Jantung Widuri meronta lagi. Matanya yang letih terbelalak. Pandang mata itu berpindah-pindah dari Joki ke Anton, lalu ke Erika, lalu ke Lia. Lalu pindah lagi ke Joki, Anton, Joki, dinding kosong, Joki, Joki, Joki, dan Widuri melarikan wajahnya ke bahu Erika. Dan, menangis sesenggukan di situ.
"Kenapa, kenapa begini"" keluhnya.
Erika mengusap rambut Widuri.
"Sudahlah, Mbak Wik. Tody akan selamat. Tody akan selamat," kata Erika lunak. "Kenapa harus dia" Kenapa harus dia"" Suara Widuri terbenam dalam bahu Erika. Erika dan Anton saling menatap.
Joki bingung. O, alangkah sengsaranya perempuan ini. Tubuhnya yang menggeletar bagai tak tahan menerima hantaman yang diterimanya.
Joki tidak tahu harus bagaimana mengatur letak kakinya. Dia merasakan ada jalaran-jalaran halus di telapak kakinya. Dia bingung harus diapakan kaki itu.
Kebingungan itu tertolong oleh keluarnya seorang dokter dari ruang operasi.
"Siapa orang tua anak yang luka itu"" tanya dokter itu.
"Ya"" Anton bangkit.
Dokter itu memberikan isyarat agar Anton mengikuti-nya. Widuri hanya mengangkat kepala sedikit. Joki gugup sebab pandang matanya bersamplokan dengan pandang mata Widuri. Maka dia pun berdiri dan mengikuti langkah Anton.
Pintu tertutup pelahan. Lia memperhatikan perempuan yang berurai air mata di depannya. Gadis remaja itu gampang sekali tergugah perasaannya. Lebih-lebih menghadapi orang sakit. Baginya, perempuan yang bernama Widuri ini sedang menderita sakit. Muka perempuan itu pucat bagai kertas, bibirnya menggeletar, dan tubuhnya lunglai, menandakan dia sedang sakit. Tetapi, kenapa darah yang disumbangkan Bang Joki tadi bukan untuk dia"
"Anak Kakak yang sakit"" tanya Lia.
Widuri mengangkat kepala, lalu dia mengangguk.
Di koridor, langkah dokter itu beraturan dalam gerak, diikuti langkah Anton dan Joki yang ragu. Mereka bertiga semakin jauh dari ruang tunggu.
"Kami telah memberikan infus darah," kata dokter itu.
Mereka berdiri di dekat kamar tempat Tody berbaring.
"Luka-lukanya telah kami rapatkan," lanjut dokter itu. "Tetapi, dalam kecelakaan itu rupa-rupanya kepala anak itu terbanting ke benda keras."
Anton dan Joki menahan napas.
"Kami sudah berusaha," kata dokter itu lunak. "Cuma, sembilan dari sepuluh orang yang mengalami kondisi serupa kondisi anak itu belum dapat dibantu oleh ilmu kedokteran modern
kita." Anton dan Joki saling tatap.
"Maksud Dokter"" keduanya bertanya hampir dalam satu napas.
"Perawat mengatakan, ibu anak itu agak lemah. Karena itu kita harus bijaksana untuk memb
eritahukan kenyataan ini padanya. Kami masih berusaha sebisa mungkin. Tapi, perlu diingat bahwa andaipun bisa diselamatkan, persentase yang cacat akibat kondisi semacam ini cukup tinggi. Maksud saya, cacat mental."
"Oh..." Anton dan Joki terperangah.
"Jadi, ada baiknya Tuan harus memberikan penjelasan-penjelasan agar istri Tuan tidak terlalu shock menerima hasil rawatan kami."
Anton tercenung. Dia tidak ingat lagi bahwa istrinya belum mempunyai anak. Dia lupa bahwa anak yang menderita itu anak Widuri. Tetapi, kasihnya kepada anak itu memang sedang tumbuh berbunga pada masa belakangan ini. Karena itu, dia lebih dulu mengalami pukulan batin sebelum kabar kelabu ini disampaikan kepada Widuri.
Joki termangu-manqu. Dokter telah meninggalkan mereka berdua. Koridor itu kembali sepi. Keduanya tertegak bagai tonggak lampu traffic. Di dekat mereka, ber-desir roda brankar yang didorong seorang perawat. Bran-kar itu kosong.
Anton menghela napas berat.
"Kau saja yang menyampaikan, Joki," katanya.
"Oh, jangan aku. Jangan aku!" kata Joki gagap.
Keduanya terdiam lagi. Joki menatap ke ujung koridor. Sepi. Perawat-perawat melangkah tanpa menimbulkan suara.
"Aku tak bisa," kata Joki tersendat.
"Bagaimana cara menyampaikannya"" keluh Anton.
"Kaucobalah," kata Joki.
"Aku tak sanggup," kata Anton. Matanya yang biasanya bersinar kini kosong. "Cuma anak itu penahan terakhir untuk bertahan hidup di dunia ini dengan penderitaan yang dialaminya selama ini," kata Anton kepada dirinya sendiri. "Cuma anak itu penghibur hidupnya," lanjutnya.
Joki membisu. "Kalau itu pun lenyap, apa jadinya dia"" keluh Anton.
Joki mematung. Bayangan Widuri memintas. Perempuan lemah yang meringkuk di dekat istri Anton itu, betapa hampa wajahnya. Tak menyimpan harapan yang paling secuil sekalipun.
Entah berapa lama Joki dan Anton termangu-mangu di depan pintu ruang tunggu itu.
"Aku tak berani masuk," kata Anton dalam desah.
Suara langkah dari arah belakang mereka mendekat. Dokter mendekati mereka dengan muka muram.
"Sudah disampaikan"" tanyanya kepada Anton. Anton menggeleng malu. Dia bertatapan dengan Joki.
"Biar saya saja yang menyampaikan. Kami telah gagal," kata dokter itu dalam satu hembusan napas.
Joki merasakan darahnya dingin. Jaringan tubuhnya menggigil.
Dokter itu memberikan isyarat kepada Anton dan Joki agar mereka berdua masuk ruang tunggu terlebih dahulu.
Seperti kucing kedinginan, kedua lelaki itu memasuki ruang tunggu. Takut-takut mereka melangkah. Kendati Anton telah berusaha untuk mewajarkan ekspresi mukanya, tetapi langkahnya yang ragu-ragu membuat Erika mengawasinya dengan pandangan tajam.
Joki kembali duduk di dekat adiknya. Hanya tangan adiknya yang bisa dipakai untuk mengurangi resah yang melecut-lecut jantungnya. Dia menggenggam tangan Lia. Telapak tangan Lia basah oleh keringat abangnya.
Suara dokter itu lunak, tetapi petir bagi Widuri. Dia hanya bisa mengeluh, "Oh.... "
Lantas gelap, kelam, dalam pingsannya.
Sejuta kutuk boleh berlontaran kini. Kutuk untuk pengendara sepeda motor di gang sempit. Kutuk kepada Jepang yang telah memproduksi motor-motor bersuara halus dan berlari kencang. Kutuk kepada lampu lalu-lintas yang lambat hijaunya. Kutuk kepada seorang perawat yang berlalai-lalai menjalankan tugasnya cuma lantaran menginginkan uang semir. Kutuk kepada siapa saja. Kutuk! Kutuk! Kutuk!
Maka Anton, Erika, Joki, dan Lia merenungi kursi yang tadi diduduki Widuri. Perempuan itu, Widuri, telah terbaring di salah satu ranjang di rumah sakit itu.
Sepanjang koridor Rumah Sakit St. Carolus hening adanya. Sementara itu, sepanjang Jalan Salemba hiruk-pikuk oleh lalu-lintas yang macet.
*** Musuh-Musuh Kelahiran Joki merenungi jalan yang membentang di depannya. Tatapan matanya kosong. Dan, tiba-tiba klakson mobil-mobil di belakang menjadi hingar-bingar.
Lia memukul bahu abangnya.
"Sudah ijo!" katanya mengingatkan.
Joki gelagapan memasukkan persneling satu. Mobil terlonjak maju.
"Perempuan tadi yang pernah datang ke rumah dulu, Bang Joki"" tanya Lia pelahan. Suaranya bernada hati-hati.
Joki menggumamkan keluhan dalam dada. "Dia perempuan yang pernah Abang c
eritakan"" "Hm, hm," jawab Joki.
"Dia sudah punya anak," kata Lia bagai kepada diri sendiri. "Ya. Dia sudah punya anak." "Kelihatannya dia susah sekali."
"Ya, susah sekali."
"Abang masih mencintainya""
"Hm, hm," gumam Joki.
"Dibanding dengan kak Meinar, siapa yang lebih Abang cintai""
Joki menoleh adiknya. "Ei, awas, Bang Joki!" pekik Lia.
Joki membanting stir untuk mengelakkan tabrakan. Lia menarik napas panjang. "Abang tidak mencintai Meinar," kata Joki. "Tapi, kenapa Abang mau kawin sama dia"" "Karena Mama." Lia terdiam.
Joki menyipitkan mata. Sinar lampu mobil yang memapasinya menyilaukan mata.
"Karena Abang takut Mama mati," kata Joki datar.
"Sekarang Mama sudah sehat," kata Lia pelan.
Joki menoleh sekejap sebelum kemudian meminggirkan mobil.
"Kita minum dulu," katanya.
Lia tidak menjawab. Dia menutup jendela mobil, lantas keluar. Joki mengunci pintu mobil dan kemudian menarik tangan Lia masuk ke restoran.
"Jangan minum es krim lagi malam ini," kata Joki. "Nanti Lia tambah gembrot. Pacarmu pasti tak suka kalau kau terlalu gemuk."
"O, iya, Lia kepingin langsing kayak istri Abang yang ganteng tadi. Siapa namanya""
"Erika." "Kalau Kakak yang satu lagi"" "Widuri."
"Oh, ya. Lia sudah ingat. Mereka cantik. Langsing."
"Lia juga cantik, asal tak terlalu banyak makan coklat sama minum es krim." "Sekarang Lia mau minum sari tomat. Bagus, 'kan"" "Yah," kata Joki seraya menjentik ujung hidung adiknya.
"Hidung Kak Widuri bagus sekali. Mancung, kecil. Harmonis dengan mulutnya. Kasihan sekali Lia melihat dia menangis. Menangisnya nggak bersuara. Kalau Lia nggak bisa nangis begitu. Mesti bersuara."
Joki merenungi gelas minumannya.
"Dia cantik sekali," kata Lia. "Tapi, mukanya sedih sekali. Cuma satu itu anaknya, Bang Joki""
"Ya." "Suaminya di mana sekarang"" "Entahlah, mungkin sudah mati." Lia menyedot sari tomatnya.
"Kenapa Abang harus kawin sama Kak Meinar kalau Abang lebih mencintai Kak Widuri"" Joki tersentak.
"Lia rasa, Kak Widuri itu baiiik sekali," kata gadis remaja itu. "Dia punya mama, Bang Joki"" lanjutnya.
Joki menggeleng. "Saudara-saudaranya""
Joki menggeleng lagi. "Papanya""
Joki tetap menggeleng. "Ah, siapa yang membezuknya nanti"" Joki mengangkat bahu dan mengeluh halus. "Kasihan sekali," ucap Lia tersendat.
Joki menghirup minumannya untuk meredakan gejolak dalam dadanya.
"Kita bezuk dia besok ya, Bang" Sambil bezuk Mama. Ya" Ya, Bang Joki""
Joki menoleh. Mata Lia yang jernih menerkamkan pandangan ke mata abangnya. Bibirnya yang mungil menguakkan sari bunga mawar.
Maka Joki memegang jari-jari tangan adiknya dan kemudian mengangguk.
Maka suatu sore berwarna lembayung. Langit Kota Jakarta yang cerah menimpakan sisa-sisa panas matahari. Angin yang bertiup dari selatan membelai kulit orang-orang yang berlalu-lalang. Maka lembayung itu pun seindah warna laut dalam lukisan Rusli. Sejuk, namun menyimpan kehangatan.
Tetapi, Widuri memejamkan mata manakala wajah Joki tersembul di pintu.
Hati lelaki itu trenyuh. Rasanya, ada tangan berduri meremasnya. Ah, alangkah sengsaranya perempuan ini. Tubuhnya tak mampu lagi bangkit sebab kemauan untuk hidup telah padam. Bahkan pemakaman anaknya pun tak dapat disaksikannya. Tubuhnya yang lunglai hanya bisa terkapar di ranjang Rumah Sakit St. Carolus yang resik.
"Widuri," sapa Joki pelahan.
Cuma bulu mata perempuan itu yang bergerak, sedikit. Beliung tajam menghunjam-hunjam ke lekuk dadanya yang paling rapuh. Matanya terasa panas. Lalu, mengalirlah air mata samar-samar.
Dia membuka mata, tetapi tatapannya hampa ke langit-langit kamar. Bahkan bingkai eternit pun sesungguhnya tak terlihat lagi olehnya. Kosong dan kosong. Hanya ada tetes air mata membasahi bantal.
Lia melangkah hati-hati tanpa menimbulkan suara, mendekati Widuri.
Widuri merasa ada tangan yang menggenggam telapak tangannya. Dia ingin merentakkan tangannya dari genggaman itu, tetapi jaringan tubuhnya telanjur tak mau lagi bergerak. Sesungguhnya, dia ingin meronta untuk melepaskan diri dari genggaman itu.
Tetapi, lambat-laun dia menyadari bahwa tangan yang menggenggam itu bukan milik seorang lelaki. Jari-jari tangan itu halus d
an mungil. Maka Widuri menoleh. Dalam bayangan kabut, dia melihat Lia. Bayangan yang bergoyang-goyang itu lambat-laun memperoleh bentuknya yang jelas. Wajah dengan mata yang menyorotkan simpati yang tulus. Maka kemudian Widuri membalas genggaman itu, membiarkan kehangatan tangan gadis remaja itu menyusup ke tangannya.
Dan, tak pernah lagi Widuri melintaskan pandangan pada Joki yang duduk di dekat kakinya. Matanya terus memandang bibir Lia yang berbicara lunak. Gadis remaja itu menceritakan perihal ibunya yang juga dirawat di rumah sakit itu. Juga bercerita tentang ibunya yang peramah sekaligus gampang pingsan. Lalu cerita tentang ayahnya yang pemarahnya bukan main. Tetapi, untung ayahnya itu jarang berada di rumah. Kemudian Lia bercerita tentang guru Aljabarnya yang kebetulan masih familinya sehingga Lia bisa memperoleh nilai bagus kendatipun dia bodoh dalam mata pelajaran Aljabar. Dan, bercerita tentang apa saja. Yang jelas, Lia berusaha memancing senyum Widuri sebanyak mungkin sore itu. Senyum yang paling samar pun jadilah.
Dan, senyum itu menguak ketika Lia berpamitan, setelah giring-giring tanda berakhirnya waktu bezuk terdengar.
Begitulah dari sore ke sore. Lia dan abangnya selalu mempersingkat kunjungan kepada ibu mereka, demi sisa waktu untuk kunjungan bagi Widuri. Tetapi, berhari-hari Joki tetap menjadi tunggul mati. Tidak digubris oleh Widuri. Bahkan sekadar lintasan mata pun tak pernah singgah ke sosok Joki. Lia selalu melibatkan abangnya dalam pembicaraan. Tetapi, jika pembicaraan menyangkut diri Joki, maka Widuri akan langsung membisu. Lalu pembicaraan pun menjadi dingin.
Sore itu kamar tempat Widuri dirawat lebih ramai dari biasanya. Lia, Joki, Anton, dan Erika datang bersamaan. Anton yang memang berpembawaan pandai bercanda berhasil membuat ruangan itu lebih meriah. Derai tawa Lia dan Erika bertebaran. Joki hanya dapat menyeringai diam-diam. Mata Widuri bersinar-sinar mengikuti canda Anton dan Lia yang tak berkeputusan. Tetapi, sinar mata itu cepat padam manakala pandangannya singgah pada Joki. Maka Joki merasa seharusnya dia tidak terlibat dalam canda-ria itu.
Erika cepat menyadari kenyataan itu. Maka, ketika mereka sudah meninggalkan ruangan itu, dia berkata kepada Joki, "Lama-lama dia akan lunak."
Joki diam saja. "Dia keras, tapi rapuh," Anton menyambung ucapan istrinya. "Sudah tujuh kali kami datang," kata Joki datar. "Tapi, dia senang pada Lia," kata Erika.
Joki melirik adiknya. Lia mengerjapkan mata dan tersenyum. Joki mau menjentik hidungnya, tetapi Lia berlari menjauh dan berlindung di balik punggung Anton.
Mereka membelok di ujung koridor. Di dekat rimbunan bunga dalam pot besar, seorang dokter menghentikan langkah mereka.
"Sebentar. Anda-Anda baru saja mengunjungi Widuri""
Keempat orang itu mengangguk serempak.
"Nama saya Darmanto. Saya dokter bagian psikiatri di sini."
Joki mengawasi wajah dokter tua itu. Mata dokter itu mirip mata Anton. Mata yang suka berseloroh.
"Saya ingin bicara kalau Anda-Anda punya waktu," lanjut Dokter Darmanto. Lalu dia mendahului melang-kah. "Begini," kata dokter itu begitu sampai tempat yang dituju. "Penyakit Widuri sebenranya bukan pada fisiknya. Kelemahan fisiknya hanyalah merupakan akibat dari psikis, dari jiwanya. Dia tidak lagi memiliki kemauan untuk hidup, begitu ringkasnya. Akibatnya, fisiknya lemah."
Joki mengetuk-ngetukkan pangkal rokoknya ke kotak korek api. Kamar kerja dokter itu sejuk karena AC bekerja dengan sempurna. Kursi tamu di ruangan itu empuk, tetapi tajam mata dokter tua itu mengawasi orang-orang yang duduk di depannya.
"Seperti kita ketahui bahwa kemauanlah merupakan motor dari kehidupan. Jika kemauan itu mati, walau-pun napas masih ada, sebenarnya kehidupan sudah tidak ada lagi."
Sesaat dokter itu diam. Anton mengangguk-angguk. Dia studi di bidang psikologi. Karena itu hal tersebut tak asing lagi baginya.
"Dan, kemauan untuk hidup hanya akan ada jika di dalam diri seseorang ada perasaan bahwa dia masih dibutuhkan oleh lingkungannya. Artinya, dia merasa bahwa eksistensinya punya arti. Secara populer, kita dapat mengatakan bahwa perasaan semacam in
i sensitif sekali jika disentuh oleh soal-soal cinta. Cinta, dapat meng-akibatkan secara positif menumbuhkan dan memperbesar kemauan untuk hidup, untuk eksistensiil. Tetapi, secara negatif, dapat mematikan kemauan itu. Jadi, cinta yang sering disebut-sebut itu punya potensi penting se-kali dalam kehidupan manusia. Anda mengerti""
"Ya, saya mengerti," kata Anton.
Mata Dokter Darmanto mengerjap.
"Bagus. Karena itu lebih gampang jika saya minta bantuan Anda-Anda semua. Secara medis, kami tak dapat menyembuhkan dia. Hanya dengan psikoterapi saja kiranya kita dapat mengeluarkan dia dan keadaan sekarang. Terapinya adalah cinta."
"Jadi, Kak Widuri harus jatuh cinta"" tanya Lia polos.
Dokter Darmanto tertawa. "Jatuh cinta, atau dicintai. Pokoknya asal dia merasa bahwa dirinya punya arti di dunia ini. Mencintai atau dicintai akan membuat manusia merasa punya arti. Merasa ada harga. Kalau itu terputus, atau buntu, atau gagal mencapai tujuan, atau secara populer dibilang patah hati, frustrated, dan dia tak mampu mengatasi problem kejiwaannya, di situlah matinya kemauan untuk hidup. Ika dia berani nekat, dia akan bunuh diri."
"Ih!" Lia tersentak.
Dokter Darmanto menatap keempat orang di hadapannya.
"Kami sangat mengharap bantuan Anda-Anda," katanya.
Sesaat dia diam. Cuma matanya yang memandang berpindah-pindah.
Joki gelisah, dan keringat mengalir di keningnya.
Penyejuk ruangan itu tak mampu meredakan badai yang bergolak dalam dirinya.
Dan, mata Dokter Darmanto menancapkan pandang kepada Joki. Hal ini membuat Joki menjadi risi.
"Bang Joki mencintainya," kata Lia tiba-tiba. Tawa Anton meledak.
"Oh, ya. Belum saya perkenalkan. Ini Saudara Joki," kata Anton kepada Dokter Darmanto. "Dan, saya sendiri Anton."
Dokter Darmanto mengangguk-angguk, dan kemudian berkata kepada Joki, "Kalau Anda dapat mengeluarkan dia dari keadaannya sekarang, kami akan sangat berterima kasih. Bagi kami, kebahagiaan tertinggi yang dapat kami rasakan adalah apabila pasien kami sembuh."
"Kami juga menginginkan dia sembuh," kata Joki terbata-bata.
"Saya tak dapat memberikan nasihat bagaimana cara menumbuhkan cinta. Saya hanya dapat mengulangi lagi, bahwa hanya cinta yang dapat membuat dia kuat. Sebab, ketiadaan cinta yang membuat dia lemah."
Joki tertunduk. Kembali telapak tangan Lia menghangati perasaannya.


Terminal Cinta Terakhir Karya Ashadi Siregar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lantas untuk hari berikutnya, sesuai dengan anjuran Anton, hanya Lia sendiri yang mengunjungi Widuri.
"Hai, Kak Wiwik!" sapa Lia di mulut pintu. "Hai." Bibir Widuri terkuak lemah.
Sepatu Lia berdetuk-detuk. Dia meletakkan buah segar di meja dekat kepala Widuri sembari bernyanyi-nyanyi.
"Suaramu bagus, Dik Lia. Kamu pintar nyanyi," kata Widuri.
"Maklum, orang Batak," kata Lia polos.
"Semua orang Batak pandai menyanyi""
"Ah, enggak. Ada yang suaranya kayak gagak batuk."
Widuri tersenyum. Tetapi, senyum itu hanya sekejap terkuak. Kemudian matanya menyimpan tanda tanya. Baru dia sadar bahwa Joki tidak ada di ruangan itu. Baru dia sadari bahwa Lia datang sendirian.
Lantas ada jalaran halus di dadanya. Jalaran itu menyusup ke relung hatinya. Inilah yang namanya sepi.
"Banyak yang suaranya jelek. Kayak Bang Joki misalnya," kata Lia menyambung.
Jalaran di dada Widuri tiba-tiba terasa kacau-balau. Matanya tiba-tiba liar. Dia khawatir ada yang mengetahui bahwa dia sedang memikirkan lelaki itu.
Lia memegang jari-jari tangan Widuri.
"Lia kupaskan jeruk ya, Kak Wiwik""
Widuri menggeleng. "Kenapa orang Batak banyak yang pintar menyanyi, Dik Lia""
"Barangkali karena di mana saja, kapan saja, mereka suka menyanyi. Terutama orang Kristen. Waktu sembahyang, menyanyi. Pesta perkawinan, menyanyi. Waktu berkabung kematian, juga ada upacara menyanyi. Ini yang namanya mengandung. Kalau di daerah pedalaman, orang yang bercintaan juga menyanyi-nyanyi untuk menyampaikan isi hati."
"Kamu sudah punya pacar, Dik Lia""
Lia tersenyum. "Ada. Bang Joki!" katanya.
"Eh"" Mata Widuri terbelalak.
"Iya. Habis, di Jakarta ini Lia nggak punya pacar. Kalau di Medan, ada dua orang." "Wow, dua orang""
"Ya. Keduanya bilang cinta sama Lia." "Lantas, Lia sendiri bagaimana""
"Lumayan, ada teman nonton. Bisa
ganti-ganti." Widuri tergelak pelahan.
"Kalau Kakak""
Widuri tersentak. Matanya kembali liar. Gelisah. Dia tidak berani menatap Lia. Dia hanya memandang langit-langit kamar.
"Bang Joki bilang, dia mencintai Kakak," kata Lia tuntas.
Jantung Widuri terguncang. Matanya tambah liar. Tangannya kejang dan mencengkeram ranjang.
"Tidak, tidak, tidak!" katanya terengah.
"Iya!" kata Lia lebih tegas lagi. "Bang Joki mencintai Kakak."
Napas Widuri tersengal. Lia mengupas jeruk. Lalu dia meninggikan bantal di kepala Widuri sehingga perempuan itu separo duduk menyandar.
"Makan ini, Kak Wiwik," kata Lia.
Widuri terpaksa mengangakan mulut sebab Lia menyodorkan seulas jeruk. "Lia senang kalau Kakak sama Bang Joki," kata Lia.
Widuri terbatuk. Air jeruk menggelitik tenggorokannya. Setelah batuknya reda, dia berkata, "Saya senang padamu, Dik Lia. Saya tak punya adik. Saya senang padamu, tapi jangan sebut-sebut soal tadi lagi ya"" Terengah napas Widuri.
"Kenapa tidak" Lia tahu semua rahasia Bang Joki. Dia ceritakan semuanya kepada Lia. Sejak Bang Joki bertemu dengan Kak Wiwik di bus kota waktu hujan sore-sore itu."
"Jangan bicarakan itu!"
"Tapi, ini kenyataan. Masak Lia harus menyembunyikan" Bang Joki tak mungkin membohongi
Lia." "Lia! Jangan!" Suara Widuri meninggi. Matanya menyala.
"Bang Joki mencintai Kakak. Apa karena dia tak gagah makanya Kakak tak suka""
"Lia!" Suara Widuri hampir menyerupai jeritan. "Jangan sebut-sebut soal itu. Jangan bicarakan soal itu. Saya tak mau! Saya tak mau! Tak mau!"
"Tapi, Lia tak bisa menyimpan ini. Lia kasihan pada Bang Joki kalau ini tidak Lia sampaikan." "Keluar kamu, Lia! Keluar! Keluar!" jerit Widuri dengan mata menyala-nyala. Lia ketakutan. Dia melangkah mundur seraya berdesis, "Maaf, maaf, maaf." Lia berlari keluar.
Widuri menelungkup, membenamkan tangisnya ke bantal.
Lia berlari terus. Berlari terus. Sepatunya berdetak-detak di sepanjang koridor Rumah Sakit St. Carolus. Dan, dia berhenti setelah sampai di mulut koridor. Di situ telah menanti Anton, Erika, Joki, dan Dokter Dar-manto.
"Bagaimana"" sambut Dokter Darmanto sembari merangkul bahu Lia.
"Wah, ngeri, Oom," kata Lia.
"Dia marah"" tanya dokter tua itu antusias.
"Iya, marah sekali."
"Good," kata Dokter Darmanto seraya menghela napas panjang. "Terima kasih, Lia. Kamu banyak membantu," lanjutnya.
Joki terheran-heran memandangi Anton. Maka Anton berkata, "Kemarahan menandakan ada sikap perlawanan. Dan, ini merupakan sumber yang baik bagi kemauan."
"Lantas"" tanya Joki.
"Setapak-setapak kita akan mengeluarkan dia dari libatan putus asanya. Jalan akan semakin terang," kata Dokter Darmanto.
Akan halnya Widuri" Dia menguras air matanya di bantal. Ketika sesenggukannya mereda, pelahan membayang wajah Lia di matanya. Wajah yang ketakutan ketika mundur-mundur mendekati pintu dengan suara gugup meminta maaf.
Maka kesadaran semakin mengelupas di kepala Widuri.
Ah, kenapa aku sekasar itu kepadanya" Dia sangat baik kepadaku. Kenapa aku sekasar itu" Kenapa aku marah seperti itu hanya lantaran Lia membicarakan Joki.
Maka bayangan Joki menggantikan bayangan Lia. Tak sulit menukarkan gambaran bayangan itu. Sebab wajah abang-adik itu mirip. Kenapa aku semarah itu hanya karena Lia mengatakan bahwa Joki mencintaiku" Kenapa aku marah hanya karena Joki mencintaiku" Hanya karena, hanya karena, hanya karena"
Widuri menelentang. Dia menatap langit-langit kamar. Dan, kesadarannya hinggap lagi.
Kenapa sekarang segampang ini aku membalikkan tubuh" Padahal, hari-hari yang lalu tubuhku terasa lunglai sekali.
Maka sepanjang sore dan malam harinya Widuri menekan-nekan pertanyaan demi pertanyaan yang meluap di kepalanya. Dia ingin hari cepat berganti. Ingin sore cepat datang. Dia berharap Lia muncul di ambang pintu. Seperti biasanya, gadis remaja itu akan mengucapkan 'hai' yang bebas lepas. Rambutnya yang terjurai akan bergoyangan.
Tetapi, sore berikutnya Lia tak muncul. Lia yang ceria tak muncul. Sore itu hanya Anton dan istrinya yang berkunjung. Ingin sekali Widuri menanyakan perihal Lia, kenapa gadis itu tidak mau datang lagi. Tetapi, dia khawatir pembicaraan akan merembet
ke perihal Joki. Maka Widuri mengisi pembicaraan dengan mengungkap-ungkap pengalaman-pengalaman mereka ketika sama-sama kuliah di Kampus Gadjah Mada.
Cuma, sepi tetap meroyak dada Widuri. Lebih-lebih setelah Erika dan suaminya meninggalkannya seorang diri.
Esok harinya, mata Widuri menatap ke pintu. Tetapi, gadis berkulit kuning kemerahan di pipi itu tak kun-jung muncul. Mulut pintu tetap kosong dari sosok Lia. Kosong dan sepi.
Sepi dan lengang. Padahal hari ini Erika dan Anton sudah minta izin tidak datang. Mereka sudah bilang sedang ada urusan penting. Maka sepi bertambah lengang bagi Widuri.
Giring-giring tanda akhir bezuk sudah terdengar, tetapi itu merupakan tanda pasti bahwa Lia tidak datang.
Maka penyesalan menampar-nampar Widuri. Kenapa aku sekasar itu pada gadis sebaik dia" Tentunya dia punya perasaan yang peka. Sepeka perasaan abangnya yang gampang tersinggung. Pastilah dia tidak mau menemuiku lagi sampai kapan pun. Dia akan kembali ke kotanya, ke Medan yang jauh. Dia pergi tanpa mengucapkan kata perpisahan. Oh, aku telah kehilangan seorang sahabat. Seorang adik. Aku kehilangan hal yang paling berharga untuk hidupku hanya karena aku menuruti kemarahan yang tak jelas dasarnya. Ya, apa sesungguhnya dasar kemarahanku pada gadis remaja yang baik hati itu" Karena dia mengatakan bahwa abangnya mencintaiku" Apa salahnya dia mengatakan itu" Sekalipun aku membenci Joki, apa hubungannya dengan Lia yang manis itu" Ah!
Sore itu gerimis. Dari jendela paviliunnya, Widuri bisa melihat tetes-tetes hujan membasahi halaman Rumah Sakit St. Carolus. Dia hanya menatap jendela sebab tak punya harapan lagi menunggu Lia di ambang pintu.
Tiba-tiba dia tersentak oleh suara pintu terbuka.
"Hello, Widuri."
Suara itu berat, dan tidak jelas mengucapkan 'r'. Di ambang pintu itu tegak Tuan Stephen. Matanya yang biru menatap tajam. Menghunjam ke dada Widuri dan membuat keresahan menggeliat di dada perempuan itu.
"Saya baru tahu kamu ada dirawat di sini," kata Tuan Stephen sembari duduk di kursi di samping pembaringan Widuri.
Widuri membisu. "Anton beri tahu saya," lanjut lelaki itu.
Jantung Widuri tersentak. Oh, kenapa dia memberi tahu lelaki ini" Kenapa Anton jadi sebodoh
itu" Ah! "Menyesal saya baru tahu sekarang," kata Tuan Stephen lagi. Widuri tetap membisu. Resah di dadanya membuatnya sulit bernapas. "Anton tidak sebut sakit kamu. Apa sakit kamu, Widuri"" Widuri menggeleng-geleng lemah.
"Kasihan," ujar lelaki itu sembari mengusap kening Widuri. Pelan Widuri menolak tangan lelaki itu.
Gerimis masih turun dari langit sore hari. Gemerciknya menempias di kaca jendela.
Tuan Stephen berusaha meraba tangan Widuri, dan perempuan itu berusaha menggeliatkan tangannya. Tetapi, telapak tangan Tuan Stephen teramat lebar untuk dielakkan oleh tangan Widuri yang kurus kecil itu. Lebih-lebih lagi karena perempuan itu merasa badannya sa-ngat lelah. Maka dia terpaksa membiarkan telapak tangan lebar itu menindih tangannya. Tetapi, kali ini sa-ma sekali tak ada kehangatan dari tangan lelaki itu.
Sejak semula, Widuri merasa dirinya jatuh ke pelukan lelaki itu hanya sebagai akibat dari suatu pelarian. Tetapi, sekarang dia tidak ingin lari lagi. Lari dari apa dan karena apa, Widuri sendiri tidak jelas. Badan dan pikirannya terlalu letih. Dia tak ingin lari lagi. Tak ada pelarian lagi. Dia lumpuh, tak akan mempedulikan apa pun yang terjadi.
Cuma satu hal yang mengganjal di hati Widuri saat ini, yaitu kenapa dia tidak bisa bertemu Lia lagi. Entah di mana gadis itu sekarang. Ah, gadis remaja yang meledak-ledak dalam kegembiraan, gadis polos yang menatap dunia dan sorot mata simpati. Widuri ingin mempunyai adik semacam gadis itu. Adik yang dapat mengurangi bahkan menghilangkan kekosongan hati. Tody Kecil telah hilang. Lalu, Lia yang lincah bagai kelinci pun telah lenyap. Tody yang mungil bagai kupu-kupu telah tiada, dan Lia yang grapyak bagai burung gereja sudah pergi. Murung menyungkup diri Widuri.
Tuan Stephen mengelus telapak tangan Widuri.
Widuri tak bereaksi. "Sayang sekali kamu tiba-tiba sakit. Saya mau pergi ke Tokyo. Saya ingin ajak kamu beserta saya," kata
Tuan Stephen. Widuri masih juga membisu.
"Kalau kita ke Tokyo, sekarang di sana musim dingin. Salju turun. Di atap rumah-rumah, salju seperti kapas. Putih. Senang lihat salju""
Widuri menggeleng. "Atau ke Manila" Saya juga singgah di Manila satu minggu. Yah, satu minggu bisa lihat banyak. Ya""
Widuri tak menjawab. Suara pintu terbuka. Widuri menoleh. Joki berdiri di situ. Darah Widuri berdesir. Beberapa saat Joki tegak membisu. Matanya nyalang mengedari seluruh ruangan.
Tuan Stephen menoleh. Widuri menggeliatkan tangannya hingga terlepas dari tindihan tangan lelaki itu.
Setapak demi setapak Joki memasuki kamar itu, lalu berdiri di samping pembaringan Widuri. Matanya menghunjam tajam ke wajah Widuri. Resah di dada perempuan itu menyusup ke segenap penjuru tubuhnya.
"Lia di mana"" tanya Widuri kemudian, terbata-bata. "Di rumah," jawab Joki tanpa nada.
"Jadi, masih di Jakarta ini" Kenapa dia tak pernah datang lagi" Suruhlah dia kemari."
"Untuk apa"" Suara Joki dingin.
Widuri terbungkam. Pelan-pelan kelopak matanya terpejam. Hati Joki sesungguhnya teramat giris. Dia melirik Tuan Stephen.
Widuri terisak. Dari celah bulu matanya mengalir air hangat. Pipinya pun basah. Joki bergerak mendekati Widuri. "Maaf," katanya kepada Tuan Stephen.
Pelan-pelan tangan Joki terangkat, dan mengusap pipi Widuri yang cekung. Jaringan tubuh Widuri kejang. Tangan yang mengusap itu lembut, tetapi jelas bukan tangan Tuan Stephen. Bukan tangan dia. Lantas, tangan siapa" Oh!
Widuri membuka mata. Wajah Joki begitu dekat dengan kepalanya.
"Maafkan aku, Wid," kata Joki separo berbisik di dekat telinga perempuan itu.
Widuri menangkap tangan lelaki itu dan menciuminya, membasahinya dengan air mata yang tambah deras.
"Joki... Joki... Joki..." rintihnya. Dia menciumi telapak tangan Joki, melumuri jari-jari tangan lelaki itu dengan air matanya yang hangat.
"Maafkan aku, Widuri," ulang Joki.
Widuri tetap terisak. Joki menoleh kepada Tuan Stephen.
"Maafkan kami," katanya. "Saya dan tunangan saya agak kurang sopan pada Anda," lanjutnya.
"Saya dan tunangan saya"" desis Widuri. Lalu isak tangisnya pecah lagi. Dia merentak bangun, dan memeluk Joki erat-erat. Dia menciumi muka lelaki itu sehingga wajah Joki basah oleh air mata. Bibir Joki serta-merta menjilati air mata perempuan itu.
"Oh, saya yang harus minta maaf," kata Tuan Stephen pelahan. Dia pun pelahan berdiri. "Sangat minta maaf. Saya pergi. Oh, ya, saya harap bahagia," lanjutnya sembari menepuk bahu Joki.
Joki tak mempedulikannya. Tangis Widuri menyayat-nyayat kerinduannya selama ini. "Saya tak tahu Widuri ada tunangan," kata Tuan Stephen lagi. Joki cuma melirik.
Tuan Stephen merasa bergidik menerima siriknya tatapan mata lelaki itu. Maka dia berbalik dan terburu-buru melangkah meninggalkan tempat itu. Saking tergesa-gesa, dia tidak melihat tukang sapu yang berjalan di depannya. Dia menabrak tukang sapu itu. Ember yang dibawa tukang sapu itu jatuh berkerontangan. Suaranya mengejutkan. Beberapa orang perawat menjulurkan kepalanya dari dalam kamar jaga. Tatapan mereka sengit.
"Jangan berisik, Pak Atmo!" kata seorang perawat.
"Tuan ini yang nabrak saya, Non," kata tukang sapu itu ketakutan.
"I'm sorry," kata Tuan Stephen berulang-ulang sambil meneruskan langkahnya yang lebih terburu-buru.
"Ayam sore! Ayam sore!" gerundel tukang sapu itu.
Gerimis telah reda. Bunga-bunga di halaman mekar dalam kesegaran yang nyaman.
*** Penutup Widuri telah keluar dari rumah sakit. Tubuhnya masih kurus. Tetapi, kebahagiaan yang menyungkupnya membuatnya lega menghirup udara. Kota Jakarta yang pengap dan sengit memberinya angin segar manakala tangan Joki ketat menggenggam jari-jarinya. Karena Widuri telah di rumah kembali, Joki tak pernah lagi pergi ke rumah sakit, sekalipun di sana masih dirawat ibunya. Seolah-olah ingin menebus kekurangan yang dialaminya pada masa lalu, maka Joki mengisi hari-harinya dengan keceriaan cinta bersama Widuri.
Siang itu Joki berada di rumah pondokannya. Nanti sore dia akan ke rumah Widuri. Joki mengepul-ngepulkan asap rokoknya sembari membayangkan wajah Widuri yang teduh dalam asap yang buyar itu.
" Bang Joki! Bang Joki!" Terdengar panggilan dari luar rumah.
Joki cuma bergumam. Dia tahu yang datang Lia. Seperti biasanya, gadis remaja itu menghambur ke dalam rumah dan meninju abangnya.
"Jangan, ah!" kata Joki. "Kau sudah gede, tetapi masih jugaaleman ."
"Alemanitu apa" Bahasa Jawa ya""
"Alemanitu, ya kayak tingkah Lia."
"Bagaimana tingkah Lia""
"Aleman," kata Joki.
"Ah, brengsek. Bang Joki brengsek!"
"Ya, brengsek. Tapi, abangmu, 'kan""
Lia tak menanggapi. Dia duduk di kursi, di hadapan abangnya. Sesaat wajahnya serius.
"Mama sudah keluar dari rumah sakit tadi pagi," katanya.
"Oh." Joki menarik napas berat.
"Persiapan perkawinan Abang sudah makin selesai."
"Ah!" Joki mengeluh.
"Apa yang harus kita lakukan, Bang"" Joki mengusap-usap dagunya.
"Bagaimana Kak Meinar" Bagaimana Kak Widuri"" kata gadis remaja itu. Joki mengeluh bagai sapi di padang. Dia menaikkan kakinya ke atas meja. "Aku akan bicara dengan Mama dan Papa," katanya kemudian. "Apa yang mau Abang bilang""
"Aku tidak akan kawin dengan Meinar. Aku akan kawin dengan Widuri. Meinar harus kawin dengan pacarnya yang dulu, Burwan Wattimena."
"Ya, bagus!" Lia bertepuk tangan.
Joki mengepalkan tinjunya, membuat bunyi gemeretak.
"Ayo, sekarang kita ke rumah Tulang Sahala," kata Lia bersemangat. "Lia akan bantu Abang. Apa pun yang terjadi, Lia berdiri di pihak Abang dan Kak Widuri." Lia melompat berdiri.
Joki bangun dari duduknya, lalu memeluk adiknya dan mencium kening gadis remaja itu.
"Terima kasih, Sayang," katanya.
Dan, di rumah Tulang Sahala, mereka menemui orang tua mereka di ruang tamu. Lia duduk di tangan kursi yang diduduki abangnya. Di depan mereka, duduk ayah, ibu, tulang, dan nantulang mereka.
"Tidak mungkin!" sergah ibu Joki begitu selesai Joki mengutarakan maksudnya.
"Tidak mungkin untuk Mama, bukan berarti tertutup kemungkinan untukku," kata Joki.
"Yang kubilang tempo hari masih berlaku sampai saat ini, Joki," kata ibunya.
Joki menatap wajah ibunya. Selama dirawat di rumah sakit, rupanya kesehatan orang tua ini telah pulih kembali. Akibatnya, suara galaknya pun pulih kembali.
"Kalau begitu, tak ada yang perlu dibicarakan lagi. Kita batalkan pesta perkawinan, biar arang tercoreng di kening. Dan, jangan lagi pijak rumah orang tua dan saudara-saudaramu untuk selama-lamanya
Joki diam. Tetapi, wajahnya tak berubah. Tetap dingin.
"Jadi, betul-betul mau jadi anak durhaka"" Suara ayahnya tajam.
Joki tak bereaksi. Dia mengeluarkan rokok. Lia mengambil korek api dari tangan abangnya, lalu menyalakan rokok yang terselip di bibir abangnya. Joki tersenyum dan menjentik dagu adiknya.
"Lia sudah kenal calon istri Bang Joki. Orangnya baik," kata Lia.
"Lia!" bentak ibunya.
Lia menoleh ke arah nantulang-nya, dan mengerjapkan mata kanannya. Perempuan tua itu terpaksa tersenyum.
"Lia ngomong soal kenyataan," kata gadis remaja itu.
"Lia, jangan ikut campur urusan orang tua," kata ayahnya lunak.
"Urusan orang tua"" jengek Lia.
"Pergi masuk ke kamar!" bentak ibunya.
Lia cuma menggaruk kepalanya, tetapi tak bergerak dari tempatnya. "Ayo, masuk. Lia!" Tambah sengit suara ibunya.
"Bang Joki datang ke sini karena Lia ajak. Lia harus di sini!" kata gadis remaja itu tak kalah sengit.
Mata ibunya mendelik, tetapi tak diacuhkan oleh Lia. Maka perempuan tua itu kemudian menghela napas berat, dan menghembuskannya kuat-kuat.
Lia menjatuhkan tubuhnya ke bahu abangnya.
"Kau menolak dikawinkan dengan Meinar itu saja sudah tak bisa dimaafkan. Ditambah lagi mau kawin dengan janda. Bah, bah, bah!" Suara ibu Joki parau.
"Itu harus terjadi," kata Joki.
"Dengar, Joki. Jangan bikin malu keluarga," kata Tulang Sahala.
"Siapa yang bikin malu" Siapa yang membuat persoalan ini" Siapa pula yang memaksa aku kawin dengan Meinar"" ujar Joki.
Ruangan itu hening. Lia menggores-goreskan anak korek api ke sarangnva. Dan, dia terkaget ketika batang korek api itu tiba-tiba menyala.
"Begitu saja. Capek kita bicara," kata ayah Joki.
Joki menatap lelaki tua itu.
"Lakukan apa yang ingin kaulakukan, dan jangan jumpai lagi kami sepanjang umurmu," lanjut ayahnya.
Joki menggoreskan kesan pahit pada sudut mulutnya. "Ba
ik," katanya. Lalu dia berdiri. Lia ikut tertegak. "Pergilah," kata lelaki tua itu dingin. Joki mengawasi perut ayahnya yang gendut.
"Ya, aku akan pergi. Kita sudah hidup dengan cara yang salah selama ini. Kita dibebani pesan agar setiap anak mengabdi kepada orang tua. Anak harus berbakti kepada orang tua. Tapi, apa pernah dipertanyakan, apa yang diperbuat para orang tua terhadap anak-anaknya" Kenapa harus seorang anak yang diwajibkan berbakti padahal dia tak pernah menginginkan
kelahirannya" Kalau boleh memilih, seseorang akan lebih suka untuk tidak dilahirkan ke dunia ini. Sebab, hidup di dunia ini pahit. Orang tua melontarkan anak-anaknya ke dunia ini agar menghirup udara yang getir."
"Sudah," kata ayahnya memutus.
"Biarkan aku bicara dulu. Barangkali ini kesempatan terakhir kita bicara berhadapan begini," kata Joki. Sesaat dia mengawasi kedua orang tuanya. "Hubungan orang tua dan anak seperti yang kita kenal selama ini hanyalah hubungan pengabdian. Seorang anak laki-laki harus mengabdi kepada orang tuanya sebab dia memperoleh marga dari ayahnya. Orang-orang tua merasa dirinya layak diabdi karena secara iseng-iseng dia dapat menciptakan manusia lemah di muka bumi ini."
Orang-orang tua yang ada di ruangan itu tersentak.
"Ya, orang tua harus diabdi anaknya. Jika anak ini pun dewasa, lalu membikin anak, maka sang anak ini pun akan mengabdi pada orang tua baru itu. Karena itu, setiap hubungan hanya merupakan pengabdian dari generasi yang lebih belakangan lahir kepada penyebab ke-lahiran generasi itu. Padahal, padahal, kalau boleh me-milih, seseorang akan lebih suka tidak dilahirkan ke dunia ini." "Sudah!" Ayahnya bangkit memberangsang.
"Tunggu dulu. Silakan tenang," kata Joki dingin. "Aku ingin bertanya sekarang. Apa yang sudah Papa perbuat untuk kami, anak-anak Papa, selama ini" Apa yang Papa perbuat selain memberikan materi""
itu tegak dengan tinju terkepal. Wajahnya merah-padam.
"Apa asuhan Papa pada kami, anak Papa, selama ini" Papa cuma memberi kami materi, yang itu pun Papa peroleh dengan cara apa, kelakuan Papa sama sekali tidak mencerminkan seorang tua yang layak diabdi."
"Diam!" Suara lelaki tua itu mengguntur. "Anak durhaka! Apa gunanya engkau lahir" Apa gunanya kau lahir" Oh!" Lelaki tua itu mengepal-ngepalkan tinjunya. Gerahamnya berkeriut-keriut.
"Ya, aku pun tak tahu kenapa aku lahir. Seharusnya Papa yang bisa menjawab: untuk apa sebenarnya anak-anak Papa dilahirkan."
"Terkutuk! Lebih baik kau mati waktu kau kecil dulu! Lebih baik kau mati kena thypus waktu kau kecil!"
"Ya, kupikir itu paling baik sebenarnya. Tapi, sekarang, aku sudah terlanjur hidup. Dan, hidup yang tidak menyenangkan."
"Ah, menyesal kau lahir ke dunia ini. Aku menyesal kau jadi anakku!"
"Aku pun menyesal jadi anak Papa. Sangat menyesal!" kata Joki penuh tekanan.
Rahang ayahnya bergerak-gerak. Ini kebiasaan jika dia marah memuncak. Waktu Joki masih kecil, itu pertanda bahwa ayahnya bakal memukulnya. Maka sekarang pun Joki bersiap untuk mengelak.
Tubuhnya menggigil. Tetapi, lelaki tua itu tidak memukulnya. Dia menarik napas dalam-dalam sebelum kemudian berkata, "Sekarang kau masih hidup. Kalau kau menyesal menjadi anakku, kenapa kau tidak mati saja sekarang" Sekarang! Sekarang!"
"Barangkali itu memang jalan yang paling tepat. Silakan Papa pilih bagaimana jalan kematianku, di depan kalian, Papa dan Mama yang telah menjadi penyebab kelahiran yang kusesali."
"Baik!" Ayahnya melompat dan berlari ke kamar. Lalu, keluar laqi dengan napas terengah. Di tangannya tergenggam sepucuk Vickers. Dengan wajah merah-padam dia melemparkan pistol itu ke dekat kaki Joki. "Lakukan dengan baik. Aku pun akan melihat kematianmu dengan tenang."
Joki sempoyongan berdiri. Tubuhnya menggigil. Darahnya terasa dingin. Semua orang di ruangan itu menahan napas.
Joki melirik pistol yang menggeletak di dekat kakinya. Matanya panas. Pistol itu sangat dikenalnya. Pistol yang pernah dikantonginya ketika hidup menggerombol dengan gengnya di Medan. Pistol yang pernah ditembakkannya ke arah orang-orang yang mengejar geng-nya. Pistol yang pernah diledak-ledakkan dari dalam mobil p
ada Malam Tahun Baru di Medan.
Kelopak mata Joki sebak. Dia menatap ayahnya dengan bibir menggigil. Lalu, pelan-pelan dia membungkukkan badan dan mengambil pistol itu.
Dengan cepat dia mengokang, dan pelan-pelan mengarahkan larasnya ke pelipisnya. Dia menoleh ke arah adiknya.
"Jangan!" jerit gadis remaja itu tinggi. Dan, ternyata bersamaan dengan pekik ibunya. Maka kedua perempuan itu menubruk Joki. Ibunya merenggut tangan Joki yang memegang pistol. Tubuh Joki sangat lemah sehingga dia mudah terjatuh ke dalam pelukan kedua perempuan itu.
Lia merebut pistol dari tangan abangnya, dan melemparkannya pada ayahnya. Tetapi, lemparan itu tidak mengenai sasaran. Pistol menghantam kaca lukisan. Kaca pecah berderai.
Lia menangis tersedu-sedu. Ibunya menangis meratap.
"Sejak kecil kau keras hati. Waktu kecil, biarpun kau sakit, kau tak pernah menangis," ratap perempuan tua itu.
Tangis Joki pecah. Dia tersedu-sedu sembari melepaskan diri dari pelukan sang ibu dan sang adik.
"Kenapa kau sampai hati, Joki" Kenapa sampai hati"" keluh perempuan tua itu dengan tetap bergayut di lengan Joki.
Tulang Sahala dan istrinya masih terpana.
"Aku mau pergi. Aku mau pergi," kata Joki lemah. Dia merentakkan tangannya dari pegangan ibu dan adiknya.
"Jangan," kata kedua perempuan itu.
Tetapi, Joki dengan keras menyentakkan tangannya, kemudian melangkah sempoyongan ke pintu.
"Lia ikut Bang Joki," kata Lia dalam sedannya. "Lia!" bentak ayahnya.
Lia membalik langkah dan katanya, "Aku tak mau ikut kalian!" "Lia!" sergah ibunya.
"Kalau aku pun mati, tak ada soal buat kalian!" kata gadis remaja itu sebelum berlari mengejar Joki yang sudah sampai di halaman.
Tulang Sahala terlepas dari keterpanaannya. Dia menghela napas panjang.
"Wah, hampir saja. Tidak kusangka si Joki begitu keras hati," katanya dalam bahasa Batak.
"Aduuuh, bagaimana kalau sampai terjadi"" keluh istrinya.
Ayah Joki mengedikkan bahu sembari mengambil tempat duduk. Dia menatap kaca lukisan besar di din-ding yang pecah.
"Kenapa kau sampai hati begitu" Kenapa sampai hati begitu pada anak sendiri"" ratap ibu Joki ke arah suaminya. Mereka tetap berbicara dalam bahasa Batak.
"Siapa yang sampai hati"" kata ayah Joki lesu.
"Jadi"" "Pistol itu kosong."
"Bah!" Tulang Sahala menghembuskan napas kuat-kuat. "Tak pernah pistol itu kuisi."
"Tapi, siapa tahu ada tangan setan yang mengisinya. Oh," ratap perempuan tua itu menyesali tindakan suaminya.
"Ya. Setiap alat pembunuh ada setannya." Tulang Sahala menimpali. Dia beranjak mengambil pistol itu dan memeriksanya. Memang kosong. Tetapi, walau begitu dia tetap menggeleng-gelengkan kepala mengingat peristiwa yang baru saja berlalu. Kalau sampai peluru menembus kepala anak itu, bah! Tulang Sahala bergidik.
Ayah dan anak sama-sama keras bagai baja, pikirnya. Lalu dia ingat pada anaknya, Monang, yang lembek bagai agar-agar. Maka dia mengeluh tanpa suara. Dia tak suka anaknya memberontaknya, tetapi juga tak suka jika anaknya kelewat lemah, tak menunjukkan sikap perjuangan.
Di dalam bus kota, Lia masih juga memegangi lengan abangnya. Keduanya tak lagi menangis. Kini tinggal termangu-mangu. Manakala ingat pistol dalam genggamannya tadi, Joki menggemeretakkan gerahamnya. Masih terbayang popor pistol segi empat yang dingin di tangannya.
Sejak peristiwa itu, Lia tinggal di rumah pondokan Joki. Dari telepon umum, Lia menelepon Meinar agar menyiapkan pakaian-pakaiannya, dan menyuruh Monang mengantarkannya ke rumah Joki.
Dia merasa senang tinggal di rumah yang menjorok ke dalam gang becek itu. Pagi hari, dia masak atau mencuci. Pekerjaan yang sangat asing baginya pada mulanya. Tetapi, lama
kelamaan dia menjadi biasa. Dalam kemarahannya terhadap orang tua, pekerjaan macam mana pun tak ada yang dirasa berat bagi gadis remaja. Yang penting, orang-orang tua harus tahu bahwa seorang anak bukan untuk ditindas. Itu pikiran Lia.
Joki menjalankan taksi yang kebetulan pemiliknya sedang pulang ke Medan. Siang dan malam dia menarik. Karena itulah maka ia jarang berada di rumah. Lia yang sering merasa kesepian memanfaatkan waktu untuk mengunjungi Widuri. Di rumah Widuri, kedua perem
puan itu merasa saling membutuhkan.
Tetapi, suatu siang, ketika matahari persis di kulminasi langit, Lia tersentak bangun dari duduknya. Di pintu, tegak Tulang Sahala, Nantulang, diantar oleh Monang. Lia tegak tersipu -sipu.
"Ooo, Boru Tobing," kata nantulang-nya sembari menciumi pipi Lia.
Lia semakin tersipu. "Mana abangmu"" tanya Tulang Sahala.
"Kerja." Kening Tulang Sahala berkerut. "Kerja apa"" tanyanya kemudian.
Sejenak Lia kebingungan, tetapi kemudian dia ingat ucapan Joki, "Jadi sopir bukan pekerjaan yang memalukan. Kalau dikerjakan dengan jujur, sama harganya dengan pekerjaan sebagai presiden, menteri, atau gubernur yang juga menjalankan pekerjaan dengan jujur!" Maka Lia berkata tegas, "Narik taksi!"
"Wah!" kata nantulang-nya.
"Taksi apa"" "Morante."
"Hm, hm," gumam Tulang Sahala. Dia mengedarkan pandangan ke segenap penjuru ruangan tamu yang sederhana itu. "Sudah jadi kawin dia"" tanyanya kemudian.
"Belum. Bang Joki masih mau mengumpulkan uang. Kak Widuri juga. Nanti, kalau uang sudah cukup, baru mereka kawin."
Nantulang-nya mengangguk-angguk. Dia kemudian tersenyum kepada Lia. "Papa dan mamamu sekarang sudah tidak marah lagi." katanya. "Huuu!" Lia mencibir. "Marah atau tidak, apa urusan Lia"" Nantulang-nya tergelak. "Ooo, Boru Tobing," katanya.
Lia menggoret-goret lengan kursi. Tulang Sahala menggaruk lengannya. Lia tertawa. "Jangan duduk di situ. Tulang pindah saja ke kursi ini. Di situ banyak kepinding."
Tulang Sahala bertatapan dengan istrinya. Lalu keduanya tergelak. Dan, Tulang Sahala pindah duduk di samping Lia.
"Agak kurus kau, Lia," katanya sembari memijit hidung gadis itu.
"Lia senang kurus," kata Lia.
"Yah, tambah cakep," kata nantulang-nya.
Lia mencibir. "Abangmu jam berapa biasanya pulang""
"Kadang-kadang nggak pulang. Tapi, biasanya di atas jam dua."
Tulang Sahala menggeleng-geleng.
"Papa dan mama kalian menyesal. Mama mengharap Lia pulang," kata nantulang-nya.


Terminal Cinta Terakhir Karya Ashadi Siregar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tidak!" jawab Lia.
"Papamu rindu sekali sama kau."
"Ah! Biarpun Lia mati, Papa tak akan peduli. Lia cuma anak perempuan, sedang sama anak lelaki saja dia sampai hati begitu."
"Papamu cuma main-main. Pistol itu kosong," kata Tulang Sahala. Kepala Lia terangkat.
"Sungguh. Pistol itu kosong. Tulang sendiri memeriksanya." "Ah, masak," kata Lia.
"Wah, masakan Tulang mau berbohong" Papamu cuma main gertak sambal." Lia termangu-mangu.
"Ayolah, Lia. Nurlia Boru Tobing, ayolah pulang. Papa dan mamamu sudah mau pulang ke Medan. Li-buranmu 'kan sudah hampir habis""
Lia menatap tulang-nya. "Ah. enggak. Lia mau tanya dulu sama Bang Joki." "Abangmu pasti setuju. Kau kembali sekolah baik-baik."
"Lia mau ikut Bang Joki. Kalau dia sudah kawin dengan Kak Widuri, baru hati Lia senang." "Nama perempuan itu Widuri"" tanya tulang-nya.
"Ya." "Di mana rumahnya""
"Jauh dari sini," jawab Lia tak acuh. Tulang Sahala menatap istrinya.
"Lia bikin minum dulu," kata Lia sembari bangkit. Tetapi, tulang-nya menekan bahunya. "Tak usah," katanya.
"Sebenarnya, Tulang dan Nantulang datang untuk bicara dengan abangmu," kata nantulang-nya.
Lia menatap curiga. "Tulang mau berunding dengan dia."
"Soal apa""
Tulang Sahala tergelak. "Wah, galak benar ini anak"" katanya.
"Habis, kalian menyakiti hati Bang Joki!" kata Lia.
"Sekarang tidak," kata nantulang-nya.
"Sungguh""
"Iya. Masak orang tua berbohong." "Orang tua juga ada yang brengsek."
"Husss!" sergah nantulang-nya. Tulang Sahala tertawa mengakak. Monang yang sejak tadi diam ikut tertawa. Lia menekap mulutnya.
"Bawa kami ke rumah calon istri abangmu itu, Lia," kata Tulang Sahala. "Nggak mau, nggak mau, nggak mau!" kata Lia cepat.
"Kenapa"" "Kalian akan menyakiti hatinya nanti." "Tidak. Kami mau omong baik-baik."
"Nggak mau, nggak mau, nggak mau," kata Lia dalam satu napas. "Tulang dan nantulang-mu mau membicarakan perkawinan mereka."
"Tidak. Bang Joki sudah bilang, 'Jangan satu orang pun famili kita ketemu dengan Kak Widuri. Orang Batak punya banyak cara untuk melaksanakan maksudnya' Nah, kalian tentu akan mengakali Kak Widuri agar sakit hati dan meninggalkan Bang Joki. Itu pernah dibilang Bang Joki pada Lia."
Tulang Sahala menghe la napas dalam-dalam. "Tidak. Tulang dan nantulang-mu tidak akan menyakiti hatinya. Sungguh. Ah, masakan Lia tak percaya pada Tulang dan Nantulang""
Lia menatap bergantian tulang dan nantulang-nya. Lalu katanya, "Lia percaya." "Nah, begitu. Ayo, kita pergi ke rumahnya."
"Sekarang""
"Ya, sekarang."
Lia menggeliat bangun. "Let's go!" katanya.
"Eh, apa-apaan itu"" kata nantulang-nya. Monang tertawa mengakak. Lia tertawa tersipu.
Widuri tercengang-cengang menerima kedatangan mereka. Apa lagi melihat tampang Tulang Sahala yang berwibawa dan bertubuh tinggi besar. Dan, istrinya memakai perhiasan mahal.
"Ini Tulang dan Nantulang yang pernah Lia ceritakan," kata Lia.
Widuri mempersilakan masuk tamunya dengan gugup. Dia meremas-remas jarinya.
"Maaf, kami mengganggu," kata Tulang Sahala.
Mata Widuri tak berkedip mengawasi.
"Kami datang karena ingin berkenalan dengan Anak. Nak Widuri ya"" Widuri mengangguk takzim.
Lia menjenquk ke ruang dalam. Nantulang-nya memalis pula ke situ. Sebab, dari ruang tamu itu terdengar semayup suara nyanyian Trio Fernando. Lagu Batak dari sebuah kaset.
Tulang Sahala mengedarkan pandangan berkeliling. Ruangan itu teratur rapi. Kendatipun perabotnya sederhana, suasananya resik.
"Nak Widuri masih punya orang tua"" tanya nantulang Lia.
Widuri menggeleng. Tanpa sengaja dia menoleh ke arah potret kedua orang tuanya di dinding. Potret ukuran besar yang dibuat belasan tahun yang lalu. Warnanya telah agak kekuning-kuningan. Wajah kedua orang tua Widuri itu masih nampak muda.
Tulang Sahala dan istrinya mengikuti arah pandangan Widuri.
"Itu orang tua Nak Widuri"" tanya nantulang Lia.
"Ya." Suara Widuri dalam desah. "Keduanya telah meninggal."
Kening Tulang Sahala berkerut ketika memperhatikan potret itu. Matanya menyipit sehingga wajahnya yang bulat seperti wajah Budha.
Kemudian dia berdiri mendekati potret itu, dan mengamatinya lebih teliti. Orang-orang di ruangan itu heran mengikuti tingkahnya. Cuma Lia orang yang tak pernah mau menyimpan keheranannya.
"Ada apa sih, Tulang" Kok kayak linglung"" "Husss!" tegur Widuri.
Lia tergelak. Lalu dia pun ikut mendekati potret di dinding itu. Tetapi, dia tidak melihat keistimewaan po-tret itu.
Tulang Sahala tiba-tiba membalik badan. Wajahnya serius. "Nak Widuri, kau masih menyimpan potret ayahmu yang lain"" Walau terheran-heran, Widuri mengangguk, lalu bangkit.
"Sebentar saya ambil," katanya sebelum masuk ke ruang dalam. Kemudian Widuri keluar lagi dengan membawa album yang kelihatannya sudah tua.
Tulang Sahala membuka-buka album itu. Matanya meneliti potret-potret di dalam album. Wajahnya semakin tegang. Lalu, pada satu halaman album, tangannya terhentak. Tulang Sahala meletakkan album itu dalam keadaan terbuka. Ada potret seseorang berpakaian tentara di halaman itu.
"Kapan potret ini dibikin""
"Saya tidak tahu," kata Widuri. "Tapi, menurut Ayah, itu foto sebelum tahun lima puluh."
Lia memperhatikan foto itu melalui bahu tulang-nya. Tulang Sahala mengawasi wajah Widuri lekat-lekat sehingga Widuri merasa canggung.
"Ayahmu pernah cerita di mana dia bergerilya ketika perang kemerdekaan"" tanya Tulang Sahala. Napasnya nampak tersengal. Semakin terheran-heran orang-orang yang berada di ruangan itu. Lebih-lebih Widuri. Namun demikian, dia tetap menjawab, "Di Jawa Timur, di bawah pimpinan Letkol Samparlin atau Parlin Siregar."
"Persis!" kata Tulang Sahala sambil memukul tangan kursi. "Siapa nama ayahmu" Siapa namanya"" Suara Tulang Sahala meninggi.
"Hermanu," kata Widuri pelahan.
"Ya, Tuhan! Persis! Tepat sekali!" kata Tulang Sahala seraya menatap istrinya. "Ada apa sih, Tulang"" tanya Lia tak sabar. Tulang Sahala merangkul bahu Lia.
"Ayah Widuri ini teman sepasukan Tulang waktu perang kemerdekaan dulu," katanya dengan napas terengah.
Monang mengangakan mulutnya.
"Dia pernah menyelamatkan nyawa Papa, Monang," lanjut Tulang Sahala kepada anaknya. "Dia setingkat dengan Papa. Kalau dia tetap dalam angkatan, dia sudah jadi jenderal juga sekarang, seperti Papa."
Lia menatap Widuri. Widuri cuma menunduk.
"Setelah keluar dari angkatan, di mana kalian ting-gal""
"Di desa. Bapak jadi pet
ani," jawab Widuri pelahan.
"Ah," kata Tulang Sahala terperangah. Matanya nanap menatap kembali potret di album. Kemudian beralih menatap wajah Widuri. Berkali-kali dia menarik napas.
"Kalau tak ada ayah Widuri ini, aku sudah terkubur di Jawa Timur sana," katanya kepada istrinya.
Perempuan tua itu lantas menatap muka Widuri yang tetap menunduk. Dari pinggir mata Widuri mengalir air bening. Lia yang duduk di tangan kursi, memeluk bahu perempuan itu.
Tulang Sahala bertatapan lagi dengan istrinya. Kemudian perempuan tua itu berkata pelan, "Molo songoni, unang be ta arsak roha na (Kalau begitu jangan lagi kita rusuhi hatinya)."
"Dang holani (Bukan hanya itu)," kata Tulang Sahala "Hupingkir, ta pasahat ma ibana donot berentai (Ku-pikir, kita jadikan saja dia dengan kemenakan kita itu)."
"Bagus!" Lia bersorak sambil bertepuk tangan.
Nantulang-nya membelalak.
"Tapi, boa ma si Mei (Tapi, bagaimana dengan si Mei)"" kata Monang.
"Aaaakh, ta urus annon (Aaakh, kita urus kelak)," kata Tulang Sahala. Kemudian dia mengalihkan pandangan ke Widuri dan katanya, "Nak Widuri, kami mendengar Joki sudah melamarmu."
Widuri menunduk. "Ya, betul." kata Lia.
"Begini, Nak Widuri. Kami berniat meresmikan perkawinan kalian. Aku berjanji akan jadi walimu."
"Kak Widuri akan diangkat ke dalam marga Tulang"" tanya Lia.
"Ya. Setelah peresmian di Jakarta ini, perkawinan kalian akan di-horja-kan di Tapanuli. Di situ nanti tua-tua marga akan meresmikan Widuri menjadi marga Tulang."
"Siiip!" kata Lia.
"Bagaimana, Widuri" Setuju""
"Saya... saya... saya..." Ucapan Widuri tersekat di tenggorokan.
Lia memeluknya kuat-kuat.
"Saya.... hanya seorang janda," kata Widuri tersendat. "Aaakh, itu tak jadi soal!" kata Tulang Sahala.
Maka air mata merembes hangat membasahi pipi Widuri. Tangis yang sesungguhnya, meletup-letup. Tetapi, sudah barang tentu tangis itu berlainan dengan tangis yang pernah melilitnya.
"Eh, Lia ingat, Tulang," kata Lia.
"Apa lagi"" Tulang Sahala menimpali dengan senyum.
"Soal Kak Meinar. 'Kan Bang Joki pernah mengusulkan supaya Kak Mei menikah dengan pacarnya""
"Pacarnya"" tanya nantulang-nya.
"Iya, pacarnya," kata Lia. "Burwan Wattimena."
"Ooo." Tulang Sahala menunduk.
"Lia pernah ketemu dia. Gagah."
"Perkawinan bukan melihat kegagahan saja, Lia," kata Nantulang-nya.
Lia menyeringai, dan katanya, "Setuju, Tulang" Nan-tulang""
Suami-istri itu saling pandang. Dan, si suami lebih dulu tertawa.
"Boru Tobing brengsek!" katanya.
Bibir Lia pun menguakkan tawa ceria.
"Nah, sekarang urusan sudah beres," kata Lia.
"Ah, sok tahu kau anak kecil!" kata Tulang Sahala.
Ketika tulang dan nantulang-nya beranjak mau pulang, Lia berkata bahwa dia masih ingin tinggal di rumah Widuri. Sebab, dia tahu, kalau Joki tidak menemukannya di rumah pondokan, tentu akan mencarinya di ru-mah Widuri. Gadis remaja itu kepingin tahu bagaimana Widuri menyampaikan kabar baik itu kepada Joki.
Aku akan diam-diam saja, pura-pura tidak tahu, pikirnya. Biar Kak Widuri sendiri yang menyampaikan kabar ini.
Kabar baik memang selamanya membuat hari menjadi lebih cerah. Maka Lia, Nurlia Tobing melirik Widuri yang betapapun sulit berusaha menahan resah yang menggelepar dalam dadanya.
*** [1] Dalam Adat Batak, ada tiga pengkategorian, yaitu dongan sabutuba (kahanggi), hula-hula (mora), dan anak boru, yang masing-masing mem-punyai peranan dan tanggung jawab berbeda-beda. Joki Tobing misalnya, mempunyai dongan sabutuha seluruh orang bermarga Tobing, berhula-hula kepada setiap marga yang menyerahkan anak perempuannya, dan beranak boru pada setiap orang yang mengawini perempuan bermarga Tobing.
Edit & Convert: inzomnia
http://inzomnia.wapka.mobi
tamat Juri Pilihan 5 Pendekar Slebor 08 Pengejaran Ke Cina Romantika Sebilah Pedang 8
^