Pencarian

The Bridesmaids Story 1

The Bridesmaids Story Karya Irena Tjiunata Bagian 1


The Bridesmaid's Story IRENA TJIUNATA Ucapan Terima Kasih Hai!!! Ketemu lagi di novel saya yang kedua ini. Senang sekali akhirnya novel ini bisa terbit.
Saya mulai menulis novel ini tahun 2006. Rencananya, The Bridesmaid's Story adalah sebuah kisah yang dapat mengenang kerepotan yang terjadi menjelang pesta pernikahan saya pada tahun itu. Akan tetapi, karena saat itu saya sedang sibuk menyelesaikan kuliah S2, ribet mengurus suami dan anak yang ketika itu masih bayi, jadilah penyelesaiannya tertunda sampai tahun 2009 kemarin. Bab-bab terakhir novel ini juga saya selesaikan di rumah sakit sambil menjaga anak saya yang sedang diopname. Pokoknya, novel ini benar-benar penuh kenangan!
Saya mengucapkan banyak terima kasih kepada Tuhan Yesus Kristus yang selalu menyertai saya dalam setiap proses penulisan. Terima kasih atas bakat yang Kaulimpahkan ini.
Saya juga mengucapkan terima kasih kepada keluarga saya, terutama kepada:
- Mama tercinta Sialy Maria (yang telah banyak membantu dalam merawat dan mengasuh Oscar, terutama saat saya sedang sibuk berat)
- Suami tersayang Ronal Octavianus (yang telah memberikan pernikahan terindah untuk saya)
- Anak terganteng Oscar Asairo Hogan (yang telah mencerahkan hari-hari saya dengan senyum gantengnya).
Mereka adalah pusat semesta saya, pusat eksistensi saya, dan pusat seluruh hidup saya. Love you all so much!
Terima kasih juga buat editor saya Mbak Vera yang sangat sabar menghadapi saya. Mungkin saya penulis paling cerewet yang pernah ditemui Mbak Vera ya. Hehehe... Thanks ya, Mbak!
Terima kasih juga buat Mbak Maryna, yang sudah menggambar ilustrasi cover novel ini. Akhirnya, kesampaian juga cita-cita saya punya novel yang covernya digambar Mbak Maryna. Thanks ya, Mbak Ryna!
Tak terlupa, terima kasih banyak buat GPU yang telah menerbitkan novel kedua ini. Setelah ini, tolong terbitkan novel ketiga, keempat, kelima, keenam, ketujuh, ke..., ke..., ke... berikutnya ya!
Juga, terima kasih banyak untuk kalian yang sudah membaca novel saya ini. Saya sangat bersyukur akan apresiasi dari kalian, baik yang nitip salam untuk tokoh-tokoh novel saya, yang memberikan pujian, yang memberikan komentar, bahkan yang mengkritik. Terima kasih semuanya! Saya akan selalu berusaha memberikan hanya yang terbaik bagi kalian. Janji!
Irena 1 KRRIING... Krriingg...! "Haahh"!" Kesya Artyadevi, pemilik suara serak tadi, belum sadar sepenuhnya. Jiwanya masih sibuk berkelana di dunia mimpi.
"Kesya, ini Cecil! Kamu udah bangun belum"!"
Tentu saya Kesya sudah bangun. Memangnya siapa yang mengangkat telepon kalau bukan Kesya" Lagi pula, diteriaki dengan suara kencang seperti itu, Kesya jadi sadar seratus persen dari tidur panjangnya.
"Iya iya, Cil. Aku udah bangun. Ngapain sih pagi-pagi begini telepon" Aku masih capek nih!" protes Kesya, masih dengan suara serak. Dia baru tidur jam dua pagi karena harus menyelesaikan pesanan perhiasan dari seorang pelanggan.
"Kesh, temani aku sarapan ya! Sekalian ada pengumuman penting yang mau aku kasih tau!" Cecilia Almira Saraswati, sahabat Kesya sejak TK, tidak memedulikan protes Kesya.
Dahi Kesya mengernyit bingung. Tumben Cecil semangat amat. Dia sendiri masih ingin meringkuk di dalam selimutnya.
Kesya menghela napas. "Iya, tapi aku mandi dulu ya... "
"Oke! Tapi nggak pake lama. Lima menit lagi aku akan jemput kamu!"
"iya." Kesya meletakkan teleponnya. Dia bangun dari ranjang, menggeliat sebentar, lalu melepas baju tidur. Dia berjlana ke kamar mandi yang juga terletak di dalam kamarnya.
Setelah semuanya selesai, dia duduk di depan meja rias. Bersiap untuk mempercantik wajahnya. Kriingg...
Kesya menghela napas. Pasti si Cecil lagi. Heran juga sama gadis yang satu ini. Kesya sudah menjadi sahabat Cecil sejak mereka sama-sama duduk di bangku TK, tapi sampai sekarang, ketika mereka sama-sama telah menginjak usia 26 tahun, sifat nggak sabaran Cecil bukannya sembuh malah betah bermukim di pribadi gadis itu.
Kesya mengangkat telepon dan langsung menyambar, "Iya, Cil. Aku udah siap-siap kok... "
"Ehm, hhaa... llooo... Kesya..."
Jantung Kesya berdetak dua kali lebih cepat daripada sebelu
mnya saat ia mendengar suara yang sama sekali berbeda dengan suara Cecil yang meledak-ledak. Suara ini terdengar gugup, suara gugup yang disukai Kesya.
"Ehm... Jansen... tumben telepon pagi-pagi. Ada apa""
"Oohh... ehm... nggak apa-apa sih. Cuma... cuma pengin denger suara kamu...," sahut laki-laki gugup yang dipanggil Jansen itu. Walau cuma begitu, Kesya sudah senang banget. "Kamu... kamu lagi ngapain"" Jansen bertanya. "Lagi siap-siap. Cecil minta ditemenin sarapan."
"Ooh gitu... " Kesya terdiam. Kehabisan bahan pembicaraan.
"Oh ya... foto kamu sudah jadi. Kapan kamu mau ambil""
Kesya tersenyum. Jansen seorang fotografer. Fotografer pribadi Kesya, tepatnya. Hehehe... Entah mengapa, kalau Jansen yang mengabadikan gambar Kesya, pasti jadinya akan bagus sekali. "Oh... yang waktu itu ya" Gimana" Bagus""
"Ya... ya pasti bagus lah. Kamu... Kamu kan ayu..." Suara Jansen terdengar berdeguk. Seperti suara seorang yang sedang menelan ludah.
Kesya tersenyum kecil. Diam-diam menikmati kegugupan Jansen.
"Oke deh. Nanti kalau keburu, pulang dari ketemu Cecil aku ambil deh."
"Oke kalau... kalau begitu. Udahan dulu deh... Sampai... sampai nanti ya..."
Ting tong... Masih sambil tersenyum kecil, Kesya membuka pintu.
"Morning, Kesya... " Cecil langsung memeluk Kesya dengan hangat. Kesya tersenyum lebih lebar lagi. Cecil selalu begitu. "Kamu sudah siap, kan"" tukas Cecil, tanpa memperhatikan senyum Kesya yang masih lebar banget. Tampaknya Cecil benar-benar punya pengumuman penting pagi ini.
Kesya mengangguk. Dia mengambil tasnya kemudian keluar mengikuti Cecil.
Jalanan Minggu pagi masih lenggang. Sudah jelas! Siapa sih yang mau bangun pagi-pagi di hari Minggu" Setelah satu minggu bekerja gila-gilaan, hari Minggu adalah hari "balas dendam" untuk tidur sampai puas!
Kesya duduk di samping Cecil. Sebenarnya dia masih ngantuk banget. Kemarin malam dia terpaksa menyelesaikan rancangan kalung dari seorang anak konglomerat. Pesanan itu bisa dibilang dadakan juga, tapi bayarannya lumayan. Makanya Kesya mati-matian menyelesaikan rancangan kalung itu sampai larut malam.
Mereka sarapan di kafe dekat apartemen Kesya. Seporsi nasi goreng dan secangkir kopi latte cukup menyegarkan mata Kesya. Cecil hanya memesan
semangkuk bubur ayam. Kesya melirik mangkuk bubur ayam Cecil, lalu matanya beralih ke tubuh langsing Cecil. Kesya menggeleng, dirinya tidak mungkin akan kenyang kalau cuma makan bubur ayam seperti itu.
"So" Pengumuman penting apa" Kamu dapat promosi di kantor" Kamu menang undian satu miliar" Kamu dapat hadiah undian jalan-jalan keliling dunia" Atau malah jalan-jalan keliling Planet Mars"" tanya Kesya sambil menyuap nasi gorengnya. Rambutnya terlepas dari selipan telinganya. Jatuh terjuntai lemas menutupi pipinya. Kesya kembali menyelipkan rambutnya ke balik telinga.
Cecil tersenyum. Tangannya juga ikut terangkat dan menyibak rambut keritingnya. Mata Kesya menyipit. Apa itu di jari manis Cecil"
Cincin" Cincin berlian"! Kesya melotot. Napasnya tertahan, matanya berbinar-binar, menangkap kebahagiaan di wajah Cecil. "Cecil... "
Cecil mengangguk penuh semangat. Tawanya lebar sekali. Kesya sampai silau melihat cerahnya senyum itu.
"Iya! Aku dilamar Arlo kemarin!!!" ujarnya penuh semangat.
Mata Kesya berkedip-kedip haru. Akhirnya! Akhirnya!!! Setelah sepuluh tahun pacaran. Setelah sepuluh tahun yang penuh badai topan (mengingat Cecil adalah drama queen yang sangat emosional). Setelah sepuluh tahun putus-sambung. Akhirnya mereka akan menikah juga!
"Selamat!" Kesya merangkul Cecil. "Aku senang sekali! Gimana ceritanya""
Cecil masih tersenyum lebar. "Aku udah cerita kan, kemarin kami ikut tur keliling kota tua... "
Kesya mengangguk. Hari Sabtu kemarin, Alvaro Nicholai Andersen, biasa dipanggil Alo -yang karena kesibukannya mengurusi perusahaan keluarga di Singapura lebih banyak berada di negeri Singa itu - pulang ke Jakarta dan mengajak Cecil tur keliling kota tua Jakarta.
"Waktu lagi liat-liat di dalam museum, Alo bilang dia mau ke toilet. Lalu, tiba-tiba, aku dengar ada yang manggil-manggil namaku dari pengeras suara. Ternyata itu Alo. Dia pake megaphon
e punya si tour guide. Aku kaget banget. Dia bilang, 'Cecil, will you marry me"' Kemudian, dia berlutut di hadapanku dan membuka kotak cincin ini." Cecil memperlihatkan sebentuk cincin berlian yang indah sekali.
Sebagai seorang perancang perhiasan, Kesya tahu benar kualitas cincin itu. Buatannya benar-benar halus dan sempurna. Alo benar-benar tahu cara mengambil hati Cecil. Apalagi acara lamarannya yang menarik perhatian banyak orang seperti itu. Seorang drama queen seperti Cecil pasti akan sangat senang mendapat perlakuan seperti itu.
"Jelas aku nggak bisa nolak. Aku juga nggak bisa bilang apa-apa. Aku speechless saking kagetnya. Aku cuma bisa ngangguk. Terus Alo memasang cincin ini dan
mengangkat tangan aku, terus... dia cium aku..." Cecil melanjutkan ceritanya sambil tersipu-sipu. Tangannya kembali terangkat, menyentuh rambut keritingnya, sekaligus memperlihatkan cincin pertunangannya.
Kesya tertawa. Walaupun tersipu malu begitu, dia tahu banget Cecil pasti sangat menikmati perhatian orang-orang.
"Semua orang ngeliatin kami begitu. Semua orang tepuk tangan dan kasih selamat ke kami. Aku senang sekali... "
Kesya tersenyum. Dia ikut bahagia melihat binar di wajah Cecil. Sahabatnya ini benar-benar sedang bersinar bahagia. Kesya dapat merasakan aura kebahagiaan yang terpancar kuat dari seluruh pori-pori tubuh Cecil.
"Lalu, kapan big day-nya""
"April tahun depan!" desah Cecil bahagia.
Kesya menghitung dalam hati. Sekarang bulan Oktober, berarti hanya tersisa enam bulan.
"Udah mulai ngurusin segala pernak-perniknya" Katanya repot banget tuh..." Kesya mengutip artikel-artikel yang pernah dia baca di majalah pernikahan. Menurut artikel itu, setidaknya satu tahun sebelum hari pernikahan, semua persiapan harus sudah mulai dilakukan. Mulai dari pemesanan gedung, gaun, gereja, katering, ini, itu... banyak banget deh!
Cecil menggeleng. "Belum lah. Baru juga dilamar. Makanya aku butuh bantuan kamu... "
Alis Kesya terangkat. Dia menangkap maksud tertentu dalam nada suara Cecil.
"Aku mau kamu jadi bridesmaid-ku," ujar Cecil sambil menggenggam tangan Kesya. "Kamu sudah jadi temanku sejak kita masih TK, masih sama-sama ingusan, dan masih sama-sama suka nangis kalau ditinggal mama-mama kita. Selama ini, kamu sahabatku yang terbaik. Kamu yang paling ngerti aku. Kamu juga yang paling tahu perjalanan pacaranku sama Alo. Kamu yang paling pantas jadi bridesmaid-ku. Mau ya, Kesh... "
Kesya menghela napas. Mendengar pernyataan Cecil seperti itu, ditambah tatapan memohon dan mata yang bersinar sayu, siapa yang bisa menolaknya" Lagi pula, dia memang akan dengan senang hati ikut ambil bagian dalam hari besar sahabatnya. Tanpa diminta menjadi bridesmaid pun, dia pasti akan membantu Cecil.
Kesya mengangguk dan tersenyum.
Cecil tersenyum lebih lebar dan merangkul Kesya erat.
Saat Kesya kembali ke apartemennya, waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Biasa deh, kalau sudah pergi dengan Cecil, Kesya pasti tidak bisa pulang cepat. Ada aja alasan Cecil untuk menahannya berlama-lama di jalan. Cecil juga
ikut. Dia akan menginap di apartemen Kesya. Rencananya mereka akan membicarakan konsep pernikahan Cecil yang tinggal enam bulan lagi.
"Eh, apa tuh"" Cecil memungut sebuah amplop cokelat besar dari lantai.
Kesya mengambil amplop itu dari tangan Cecil. Belum sempat dia membukanya, lagu Love of My Life mengalun lembut dari ponsel Kesya. Itu nada dering pribadi untuk Jansen.
"Halo... " "Ha... halo, Kesh... " Suara gugup Jansen terdengar dari ujung sambungan. "Siapa"" tanya Cecil tanpa suara. "Jansen," jawab Kesya juga tanpa suara. "Ka... kamu lagi ada di mana""
"Nyalain speaker phone-nya," kata Cecil pada Kesya, tentu tanpa suara. Kesya terpaksa memecah konsentrasinya antara menjawab pertanyaan Jansen dan menjawab pertanyaan Cecil.
"Aku baru pulang nih sama Cecil."
"Kok... kok lama banget""
Cecil bergerak-gerak di hadapan Kesya. Wajahnya tampak tidak sabar.
"Mau ngapain sih"" Kesya menggerakkan bibirnya tanpa suara sambil melotot sebal. Sahabatnya memang agak antipati dengan Jansen. Menurut Cecil, Jansen sama sekali bukan tipe pacar yang cocok untuk Kes
ya, tapi... tahu apa sih dia"
"Aku pengin denger dia ngomong apa," jawab Cecil tanpa suara, sambil tersenyum jail.
"Iya nih, biasa deh Cecil. Kalau udah keluar pasti lama," Kesya kembali berbicara dengan Jansen.
Cecil merebut ponsel Kesya dan menekan tombol speaker phone. Suara Jansen terdengar dengan jelas oleh Cecil.
"Aku... aku tadi ke tempat kamu... " Jansen terdiam, tampak kesulitan mengatur napas. Cecil terkikik geli mendengar napas Jansen yang Senin-Kamis.
"Cecil!" bisik Kesya sambil melotot tajam ke arah Cecil.
"Aku... aku tunggu-tunggu, udah... udah hampir dua jam, tapi... tapi kamu nggak pulang-pulang."
"Dua jam" Selama itu"" Kesya terkejut."Kenapa kamu nggak telepon aku aja""
"Oh, iya ya... tadi nggak kepikiran telepon kamu... Hehe... " Tawa Jansen terdengar serbasalah.
"Memang kamu mau ngapain ke rumahku""
"Aku... aku mau nganterin foto kamu. Tadi pagi kan aku udah bilang foto kamu sudah jadi... "
"Terus, sekarang fotonya di mana""
"Aku... aku tadi udah selipin di bawah pintu apartemen kamu. Masih ada satu lagi sih, tapi... tapi tadi aku lupa bawa... "
Cecil masih terus cekikikan. Sekarang ditambah lagi dia meniru-niru tingkah Jansen kalau lagi gugup, mengedip-ngedipkan matanya dengan cepat.
"Oh, aku udah terima fotonya. Yang amplop cokelat, kan"" Kesya mengambar amplop cokelat yang masih berada dalam genggaman Cecil.
"Eh... iya. Betul. Yang amplop cokelat," Jansen membeo.
Cecil tetap cekikikan geli.
Kesya mencubit paha Cecil. Lumayan keras juga sampai gadis itu menjerit. "Lho... itu suara siapa""
"Ooh... ehm... itu Cecil. Matanya lagi kelilipan... " "Kelilipan" Kelilipan apa""
"Kelilipan gajah!" sahut Cecil sebal. Kelilipan apa kok masih ditanyain" Ya kelilipan kan biasanya kelilipan debu. Mana pernah ada orang kelilipan yang lain-lain"
"Sekarang gajahnya udah keluar"" tanya Jansen.
Haah"! Cecil cekikikan lagi. Parah banget si Jansen ini! Masa dia percaya begitu saja omongan ngawur Cecil"
"Nggaklah...," ujar Kesya, berusaha menyelamatkan Jansen. "Cecil kalo bercanda emang suka keterlaluan," tambahnya sambil melirik sebal ke arah Cecil. "Oke deh, kapan-kapan aku ambil fotok uyang lainnya ya."
"O... oke deh. Good night, Kesya yang ayu...," ujar Jansen dengan lembut.
Okay, that's it! Tanpa bisa ditahan-tahan lagi, meledaklah tawa Cecil. Kesya melotot ke arha Cecil sambil buru-buru mematikan ponselnya.
"Cecil! Kamu nih apa-apaan sih" Kenapa kamu ngetawain Jansen gitu"!" geramnya.
Cecil masih terus tertawa. "Kesya... Kesya... Kamu nemu di mana sih cowok ajaib kayak gitu" Gugupan, badan kurus kerempeng, sama sekali nggak seksi. Terus tadi" Kesya yang ayu"! Well, that's so sweet... tapi pada tahun empat puluhan!" Cecil tertawa lagi.
"Oh, come on, Kesh...," ujar Cecil saat melihat keruh di wajah Kesya. "Mana ada sih cowok zaman sekarang yang ngerayu cewek dengan kata-kata seperti itu" Heran aku, kok kamu masih betah aja sama dia"" Cecil mengernyit geli. "Kesya yang ayu...," dengusnya.
Kesya terdiam. Memang Jansen agak unik. Yah, bisa dibilang agak ketinggalan zaman. Tapi, memangnya kenapa" Kesya suka sama Jansen. Jansen bisa membuat Kesya tampak cantik dari balik lensa kameranya.
Kesya bertemu Jansen pertam akali dua tahun yang lalu. Saat itu ada pameran perhiasan emas di universitas tempat dia belajar dulu. Kesya mendapat undangan plus tiket ke Jepang. Tidak mau menyia-nyiakan kesempatan itu, Kesya pun menghadiri pergelaran itu. Di sana dia bertemu Jansen, fotografer kikuk yang
kebetulan diundang untuk meliput acara itu. Tanpa sengaja, Jansen membidik Kesya dengan kameranya.
Keesokan harinya, Jansen mati-matian mencari Kesya untuk memberikan hasil bidikannya. Bagi Kesya, itu pengalaman yang sangat romantis. Walaupun Jansen waktu itu amat sangat gugup (dia bahkan menjatuhkan kamera mahalnya!), hasil bidikannya amat sangat indah. Dalam foto itu Kesya tampak sedang serius memperhatikan salah satu perhiasan yang dipajang di sana. Kecantikannya yang natural terpancar dengan kuat dalam bidikan itu. Sejak saat itu mereka berhubungan, dan sejak saat itu Kesya merasa jatuh cinta pada Jansen.
Kesya tersenyum kecil mengingat
pertemuannya dengan Jansen. Saat tersadar, dia melirik amplop cokelat yang masih berada dalam genggamannya. Perlahan dibukanya amplop cokelat itu.
Kesya menahan napas. Foto itu diambil Jansen ketika cowok itu tiba-tiba datang ke apartemennya pada suatu pagi. Saat itu Kesya sedang sibuk membuat sarapan untuk dirinya sendiri. Di foto itu Kesya sedang memegang panci; sebuah sendok dimasukkan ke dalam mulutnya yang tersenyum. Kesya ingat, waktu itu dia sedang mencicipi bubur ayam yang dia buat.
Kesya tersenyum. Dia tampak sangat cantik di foto itu...
Kesya memperhatikan daftar yang telah mereka- dia dan Cecil- buat. Hari sudah larut malam, Cecil sudah tidur kelelahan setelah mendiskusikan ide-ide pesta pernikahannya. Kesya menyalakan laptop dan mengecek e-mail. Rutinitasnya sebelum tidur. Iseng-iseng dia juga browsing situs bridesmaid101.com. Dia telah dipercaya Ceci luntuk menjadi bridesmaid-nya, maka dia harus menjalankan tugasnya sebaik mungkin.
Dari situs itu Kesya baru tahu bahwa tugas seorang bridesmaid bukan hanya membantu pengantin pad ahari pernikahan. Jauh sebelum itu, seorang bridesmaid bertugas membantu pengantin dalam mempersiapkan pestanya. Well, oke. Itu sudah dilakukannya saat ini. Dia memperhatikan corat-coret rancangan pesta pernikahan Cecil. Dia mulai merasa menyukai tugas ini.
Seorang bridesmaid juga harus menjadi sahabat yang paling baik di saat-saat yan gmungkin akan menjadi momen yang paling emosional dalam kehidupan seorang wanita. Kesya mengernyit. Dia melirik Cecil yang tertidur pulas di sofa. Hmmm... tampaknya ini akan menjadi salah satu tugas yang cukup sulit.
Pada hari-hari biasa, Cecil sudah menjadi seorang yang emosional. Menjelang pernikahannya, dia pasti akan menjadi amat sangat emosional, double emosional. Dan berada di dekat Cecil yang emosional akan menjadi sangat sulit.
Kesya menghela napas. Cecil sahabatnya sejak kecil. Dia akan menjadi sahabat yang baik dengan berada di saat-saat tersulit Cecil.
Kesya kembali membaca tulisan dalam situs itu. Oh ya, dia juga harus mempersiapkan dirinya sendiri. Bridesmaid juga harus tampil cantik pada acara pernikahan. Hei... dia baru tahu bahwa seorang bridesmaid dipakaikan baju yang mirip dengan si pengantin untuk mengecoh roh jahat yang mungkin akan mengusik si pengantin.
What"! Jadi maksudnya, kalau ada roh jahat yang akan mengusik si pengantin, maka yang akan kena tulah adalah bridesmaid-nya"!
Kesya bergidik ngeri. Diusirnya pikiran itu dari dalam benaknya. Dia sudah menerima tugas ini. Tugas terhormat bagi seorang sahabat sejati. Dan dia akan melaksanakan tugasnya sebaik mungkin.
"Ayo dong, Kesh! Cepetan!" Cecil setengah menarik Kesya.
"Sabar sebentar, Cecil..." Kesya pasrah saja tangannya ditarik Cecil. Sebenarnya dia sudah berjalan di atas kecepatan normalnya, tapi tetap saja bagi Cecil itu masih kurang cepat.
Yang pertama kali harus mereka lakukan, menurut Cecil, adalah hunting gaun pengantin. Oleh karena itu, hari ini Kesya menemani Cecil melihat-lihat gaun pengantin. Ini sudah menjadi salah satu tugasnya sebagai seorang bridesmaid. Cecil mengajaknya ke Bride's World, bridal yang paling lengkap di Jakarta. Katanya, Cecil mendapat rekomendasi dari seorang temannya yang baru saja menikah. Kesya agak berdebar-debar juga. Dia belum pernah masuk ke bridal mana pun. Dia menerka-nerka seperti apa bentuk bridal.
"Selamat pagi, Mbak Cecil. Selamat datang di Bride's World. Apa kabar" Nama saya Anita. Saya yang akan membantu Mbak Cecil di sini," sapa seorang gadis cantik yang mengenakan seragam Bride's World.
Cecil langsung mencium pipi kiri dan pipi kanan Anita. Satu kebiasaan yang tidak terlalu disukai Kesya. Padahal Cecil, sama juga seperti Kesya, baru pertama kali bertemu Anita di sini. Ngapain juga pake cium pipi kiri dan kanan" Kesannya kok sok akrab. Kalau memang sudah akrab, Kesya lebih memilih sebuah pelukan yang hangat daripada acara cium pipi basa-basi seperti itu.
"Baik, baik...," jawab Cecil sambil tersenyum lebar. "Eh, ini kenalin. Kesya. Dia nanti yang bakal jadi bridesmaid. Dia sahabat aku... "
"Selamat pagi, Mbak Kesya... " Anita sudah
mencondongkan tubuhnya, siap untuk bercipika-cipiki dengan Kesya. Namun, Kesya segera mengulurkan
tangannya. Anita tampak sedikit terkejut, tapi sambil menebar senyum manis, dia membalas uluran tangan Kesya dengan profesional.
"Hari ini saya mau lihat-lihat baju pengantin ya...," ujar Cecil.
"Oohh... mari silakan. Madame Daphne sudah menunggu di atas..."
"Madame" " bisik Kesya pelan, merasa terganggu dengan julukan yang diberikan di depan nama perancang busana itu. "Kok kayak panggilan untuk peramal sih""
"Sst... " Cecil menatap tajam ke arah Kesya. "Orangnya memang rada unik."
Kesya mengangguk-angguk. Sambil menapaki tangga, dia berusaha mereka-reka seperti apa rupa Madame Daphne yang menurut Cecil unik itu.
Anita mengajak mereka ke lantai dua gedung itu. Pintu diketuk, dan seorang wanita paruh baya membuka pintu dari dalam.
"Hai, Cecil...," sapa wanita itu dengan suara berbisik.
"Halo, Madame Daphne...," balas Cecil tak kalah ramah.
Kesya melongo. Ini yang namanya Madame Daphne"! Wanita paruh baya ini mengenakan pakaian ala gadis-gadis Gipsi, lengkap dengan bandana yang menutupi rambutnya. Di lehernya tergantung berlapis-lapis kalung. Bukan kalung lapis yang sedang ngetop belakangan ini. Kalung-kalung itu tampak menyeramkan. Ada kalung yang menyerupai taring ular, duri-duri mawar yang tajam, sampai motif tengkorak. Belum lagi riasan wajahnya, Madame Daphne membingkai matanya dengan celak yang sangat hitam. Bibirnya tertutupi listrik yang juga berwarna hitam. Dengan dandanan seperti ini, rasanya Madame Daphne tidak cocok berprofesi sebagai desainer baju pengantin yang berpengalaman. Madame Daphne, hmmm... Madame Daphne mungkin lebih tepat, lebih cocok berprofesi sebagai cenayang! Hmm... mungkin itu sebabnya dia dipanggil Madame Daphne...
Cecil menyikut rusuk Kesya. Kesya pun tersadar, lalu menutup mulutnya yang sedari tadi masih terbuka lebar.
"Kenalkan... ini Kesya, bridesmaid saya... " Cecil mendorong tubuh Kesya maju ke depan. Madame Daphne tersenyum sangat lebar. Pipinya yang diberi blush-on merah terang tampak bergerak-gerak.
"Hmmm... bridesmaid-nya juga cantik ya... Kalian berdua memang sama-sama
cantik... " Kesya tersenyum dan mengulurkan tangan. Madame Daphne membalas uluran tangan Kesya dengan jabatan yang erat. Kalungnya bergemetaran ketika Madame Daphne bergerak.
"Hari ini saya mau liaht-lihat baju pengantin, Madame...," ujar Cecil sambil tetap tersenyum cerah. Keinginan untuk melihat-lihat gaun pengantin rancangan Madame Daphne telah membuatnya berseri-seri sepanjang hari. Cecil sangat mengagumi Madame Daphne. Perancang busana yang satu ini kepiawaiannya telah diakui dalam skala internasional. Madame Daphne sering memenangkan berbagai
lomba perancang busana tingkat internasional. Prestasinya yang terakhir adalah merancang gaun pengantin dari kulit jagung.
"Ooh... silakan... Ini desain-desain terbaru saya. Kamu boleh lihat-lihat sampai puas... " Madame Daphne menggandeng tangan Cecil, membawanya ke ruang koleksi baju pengantin rancangannya. Cara jalannya sangat misterius. Rok panjang lipit yang dikenakannya menutupi kakinya. Kesya mengikuti kedua perempuan itu sambil memandang ke arah rok lebar Madame Daphne, berusaha mencari sepasang kaki dari balik rok itu. Apa jangan-jangan dia memang nggak punya kaki ya" Kesya bergidik ngeri.
Suara tawa tertahan di sebelahnya membuat Kesya tersadar. Rupanya Anita. Gadis itu masih berdiri di sana dan sekarang sedang memperhatikan Kesya sambil terkikik geli. Wajah Kesya memerah, pasti dia kelihatan konyol banget tadi! Atau malah bodoh banget! Waah... lebih parah dong.
Kesya buru-buru memperbaiki sikapnya, tidak mau kelihatan konyol lagi. Dia memandang ke sekeliling ruangan dan baru menyadari betapa megahnya ruang pengepasan gaun pengantin ini. Ruangannya sangat besar. Di kanan-kiri terpasang kaca yang sekaligus berfungsi sebagai dinding. Siraman lampu kuning membuat ruangan ini terasa nyaman.
Madame Daphne membuka salah satu kaca besar di sisi ruangan.
Oohhh... rupanya kaca itu bukan kaca biasa. Terdapat lemari besar di baliknya. Di dalam lemari itu tersimpan banyak sekali
gaun pengantin. "Hmmm... what kind of wedding gown do you like, dear""
Cecil duduk di salah satu bangku panjang yang memang diletakkan di tengah-tengah ruangan. Kaki jenjangnya disilangkah dengan anggun.
"Hmmm..." Dia memuntir-muntir rambut keriting pendeknya. "I want to look sexy, but gorgeous!"
Madame Daphne tersenyum misterius.
Kesya bergidik lagi melihat senyum itu.
"Bagaimana kalau yang ini"" tanyanya sambil mengeluarkan sebuah gaun pengantin dari plastik penutupnya.
Gaun berwarna putih yang terbuat dari bahan brokat itu memang terlihat sangat indah. Modelnya sederhana dan sangat bersahaja. Benar-benar indah!
"Ayo, coba yang ini dulu...," ajak Madame Daphne. Tangannya melambai kepada Anita yang langsung sigap datang. Cecil masuk ke ruang kecil di sudut ruangan, diikuti oleh Anita.
"Kesya, kamu tunggu di sini dulu ya...," pinta Cecil.
Kesya mengangguk, lalu duduk di bangku panjang yang tadi diduduki Cecil.
Cukup lama juga Cecil dan Anita berada di dalam ruang ganti itu. Malas duduk terus, Kesya bangkit dan melihat-lihat koleksi gaun pengantin rancangan Madame Daphne. Jiwa desainernya mulai bangkit melihat gaun yang indah-indah itu. Di
dalam otaknya berkelebat berbagai macam desain perhiasan. Semuanya saling sikut, saling dorong memenuhi rongga kepalanya. Semuanya terinspirasi dari gaun pengantin yang indah-indah ini.
Suara gemeresik gaun menyadarkan Kesya dari baku hantam ide di kepalanya. Cecil telah keluar dari balik ruang pengepasan. Tampak sangat cantik dengan gaun pengantin indah itu!
"Gimana"" tanya Cecil pelan.
Kesya tersenyum lebar. "Bagus banget, Cil!" pujinya.
Wajah Cecil tidak tersenyum. "Aku nggak suka bahannya. Kelihatannya berat. Aku jadi kelihatan gendut deh!"
Dahi Kesya mengernyit. "Gendut"!" Kesya memperhatikan tubuh Cecil dari atas sampai bawah. Hmm... tidak tampak sedikit pun timbunan lemak. "Kamu kerempeng gitu kok dibilang gendut"! Gimana bisa gendut sih, Cil"!"
Cecil tambah cemberut lagi. "Aku nggak suka deh. Nggak cocok di badanku."
Kesya mengangkat bahu. Dia masih tetap merasa gaun itu sangat indah dipakai Cecil. "You're the bride. Ya terserah kamu aja..."
"Ya udah, kita lihat yang lain aja ya...," ajak Madame Daphne sambil mengambil gaun yang lain lagi. Kali ini, menyesuaikan pilihannya dengan komentar Cecil barusan, gaun pengantinnya terbuat dari bahan sutra yang ringan dan lembut.
Beberapa menit kembali dihabiskan Cecil dan Anita di balik ruang ganti. Ketika keluar, lagi-lagi Kesya merasa gaun yang dipakai sangat cocok dengan lekuk tubuh Cecil.
"Bagus...," puji Kesya.
Namun, lagi-lagi tidak ada senyum di wajah Cecil. Dia menatap pantulan bayangannya di cermin raksasa dengan dahi mengernyit dan mulut memberengut. Lalu dia berbalik menatap Kesya dan Madame Daphne.
"Gaun ini terlalu simpel. Aku nggak merasa kayak putri!" keluh Cecil sambil menatap pantulan dirinya di cermin.
Kesya menghela napas. It's gonna be a long day..., desahnya dalam hati.
Benar, kan"! Waktu Cecil bilang terima kasih kepada Madame Daphne, waktu sudah menunjukkan pukul enam sore. Dan selama itu Cecil sudah mencoba 27 gaun pengantin rancangan Madame Daphne. Selama itu juga Kesya sudah beberapa kali mengganti posisi duduknya. Dari duduk manis ala putri bangsawan Inggris: duduk dengan kaki dirapatkan, posisi menyamping ke kanan. Duduk gaya sekretaris seksi: duduk tegak, posisi menyamping, dengan satu kaki menopang kaki lainnnya. Duduk ala cowok macho: kaki membuka lebar, badan condong ke depan dengan kedua siku menumpu pada masing-masing lutut-oh ya, tidak lupa jemari tangan saling ditautkan. Sampai duduk kelelahan: duduk dengan punggung direbahkan ke sandaran kursi, kepala terkulai lemas di atas sandaran kursi, satu tangan tergeletak lemah hampir menyentuh lantai, dan tangan lainnya ditaruh di atas perut, kaki
diselonjorkan ke depan, tidak peduli orang yang mau lewat di depannya tersengkat jatuh!
Dan... setelah mencoba begitu banyak gaun, Cecil belum dapat memutuskan gaun mana yang akan dipilihnya. Benar-benar deh Cecil! Untung Madame Daphne wanita yang sabar. Katanya, calon pengantin memang tidak pernah langsung menetapkan
gaun pilihannya. Perlu beberapa kali melihat-lihat, baru kemudian dapat yang cocok. Madame Daphne sepertinya sudah berpengalaman menghadapi calon pengantin yang terkadang tidak dapat ditebak kemauannya.
Kesya hampir tidak mendengar ketika Cecil mengajaknya keluar dari Bride's World. Pikirannya sudah setengah melayang. Dia menyesal sekali kenapa buku sketsanya ketinggalan di apartemen. Biasanya kalau menunggu lama begini, Kesya suka mengisi waktu dengan menggambar apa saja di buku sketsanya. Lumayan, siapa tahu hasil coretan isengnya itu bisa membuahkan perhiasan yang dapat dijual di toko perhiasannya, Kesya's Collection.
"Hah"" tanyanya setengah tidak sadar pada Cecil yang sudah berdiri di depannya. Penampilan Cecil masih tampak anggun tidak bercela. Lipstiknya masih tetap menempel dengan sempurna. Rambut keritingnya tetap rapi. Wajahnya tetap segar dan berseri-seri. Padahal mereka sudah berada di sana selama, Kesya mengejek jam yang melingkar di pergelangan tangannya, ya ampun... sudah hampir tujuh jam!!!
Dengan lesu Kesya mengikuti Cecil keluar dari Bride's World. Benar-benar tanpa semangat, dia mengikuti Cecil berjalan ke Peugeot 307 merah milik sahabatnya itu. Komentar Cecil tentang ke-27 gaun pengantin yang dicobanya tadi hanya ditanggapi Kesya dengan hah, huh, he-eh, dan sesekali oh ya...
Kesya benar-benar tidak ada tenaga sekarang....
2 JAM sudah menunjukkan pukul 17.30. Kesya masih berada di ruang kerjanya. Dia masih menyelesaikan sketsa rancangan barunya. Sketsa itu terinspirasi dari gaun-gaun pengantin yang dilihatnya saat menemani Cecil mengepas gaun pengantin. Untung sekali Kesya dianugerahi daya ingat yang luar biasa sehingga walaupun stres dan kelelahan berat saat menghabiskan waktu tujuh jam untuk menunggu Cecil mengepas baju pengantin, otaknya masih dapat berkarya secara kreatif.
Hasil karya terbarunya kali ini adalah sebuah bros berbentuk lima buah berlian indah yang tersusun rapi vertikal. Tepinya dihiasi emas putih yang berbentuk ranting-ranting kering. Kesya memperhatikan sketsa rancangannya, kemudian menambahkan sedikit detail untuk mempermanisnya.
"Bu Kesya..." Sebuah suara centil terdengar dari pintu ruang kerjanya. Itu Mona, salah seorang penjaga tokonya. "Ada telepon di line tiga," ujar Mona sambil tersenyum manis.
"Thanks, Mona," ujar Kesya juga sambil tersenyu. "Halo..."
"Kesya, can you please do me a favor""
Kesya menghela napas. "Ya, Cecil... "
"Alo rencana mau ngepas jas hari ini. Dia minta aku temenin, tapi aku nggak bisa. Ada rapat dengan Pak Anto, pemilik hotel. Nggak bisa ditinggal sama sekali... Dan kamu tau sendiri, biasanya meeting sama pemilik hotel bisa alot banget!"
Dahi Kesya mengernyit. "Bukannya memang seharusnya kamu yang nemenin Alo ngepas jas""
"Aduh, tolong deh. You are my bridesmaid..."
"Tapi..." "Aduh, meeting-nya udah mau mulai. Thanks before ya, Kesh... " Dan telepon pun diputus.
Sekali lagi Kesya menghela napas. Dia menyimpan sketsa rancangannya di brankas ide, untuk disempurnakan nantinya. Kemudian dia mengambil tas tangannya dan beranjak keluar dari toko.
Groom's Bestfriend terletak di salah satu pusat pertokoan di tengah kota Jakarta. Alo, tunangan Cecil, sudah tiba di sana. Dia kini sedang melihat-lihat model jas pengantin dalam buku.
"Hai, Alo...," sapa Kesya.
Alo mendongak, tampak terkejut dengan kehadiran Kesya. "Hai, Kesh..." Alo memeluk hangat Kesya. "How are you""
"Fine... Selamat ya, untuk pertunangan kamu dan Cecil. I'm so happy for both of you." Kesya balas memeluk Alo. Sudah cukup lama dia tidak bertemu dengan Alo, teman semasa SMA-nya ini. Kesya tahu dari Cecil bahwa Alo baru kemarin tiba di Jakarta. Beristirahat beberapa minggu dari kesibukannya memimpin medan perang di perusahaannya. Itu istilah Cecil. Menurut Kesya sih istilah itu terlalu berlebihan. Biasa deh Cecil.
"Thanks. Mana Cecil"" tanya Alo sambil melihat ke belakang Kesya. Mencari sosok Cecil.
"Lho" Cecil nggak bilang, ya"" tanya Kesya. "Bilang apa"" giliran Alo yang bertanya.
"Dia nggak bisa datang. Ada meeting dadakan dengan pemilik hotel, makanya dia suruh aku ke sini untuk temenin kamu.
.. " Kepala Alo terangguk-angguk. Agak risi juga Kesya melihat penjaga toko mencuri pandang ke arahnya. Mungkin dia berpikiran bahwa Kesya adalah calon pengantin Alo.
"Saya bridesmaid-nya...," ujar Kesya menjawab pertanyaan tersirat si penjaga toko.
Alo tersenyum melihat ulah Kesya. "I'm so glad that you can be with me. Aku suka bingung kalau disuruh milih-milih begini. Jadi bingung sendiri!" ujarnya sambil melihat-lihat katalog bahan.
"Emangnya kamu mau model jas yang seperti apa"" Kesya berusaha membantu.
"Hmm... yang biasa aja. Yang nyaman dipakainya."
Kesya tersenyum. Khas Alo banget. Alo memang orangnya nggak suka yang ribet-ribet. Yang penting dia harus merasa nyaman.
"Hmm... gimana kalo model yang ini"" tanya Kesya.
Alo memperhatikan gambar jas yang ditunjuk Kesya. "Boleh deh," ujarnya. Setelah menentukan model dan bahannya, Alo langsung diukur oleh penjahit. Hanya butuh waktu sekitar dua puluh menit untuk menyelesaikan tugasnya. Alo laki-laki yang sangat kooperatif.
"Apa kabar orangtua kamu"" tanya Alo. Tubuhnya masih diukur oleh penjahit. "Thanks for asking. Mereka baik-baik aja."
Alo tersenyum. "Gimana dengan kamu" Kapan kamu nyusul aku dan Cecil""
Wajah Kesya sedikit berubah mendengar pertanyaan Alo. Sebuah pertanyaan yang sebenarnya biasa saja, tapi bagi Kesya, pertanyaan itu supersensitif. Dia memaksakan seulas senyum.
"Kamu gimana sih" Calon aja aku belum punya," jawab Kesya.
"Lho, yang namanya Jansen itu siapa" Cecil sering nyebut-nyebut nama dia
lho... " Kurang ajar Cecil! Pasti dia cerita yang jelek-jelek tentang Jansen! maki Kesya dalam
hati. "Apa pun yang kamu dengar dari Cecil, jangan percaya deh. Pasti nggak bener!" Alo tersenyum.
"Hmmm, by the way, siapa yang jadi bestman-nya"" tanya Kesya. Daripada Alo terus membicarakan topik sensitif itu, lebih baik Kesya mengubah topik pembicaraan.
"My best friend. Namanya Marco. Seharusnya dia juga bikin jas hari ini, tapi aku belum berhasil mengontak dia. Dia orang sibuk," Alo menjawab sambil tersenyum. Kesya mengangguk-angguk. Marco... namanya bagus juga, pikirnya.
"Ayo, lihat ke arah kanan... Ya, begitu. Satu... dua... tiga... "
Jepret! Dan lampu flash pun menyala terang.
Kesya memperhatikan Jansen sambil bersandar di dekat pintu. Lagu This Love-nya Maroon 5 mengalun cukup keras dari CD player. Jansen sedang bersemangat sekarang. Setiap kali bekerja, cowok itu harus ditemani musik. Jenis musik yang didengarkan mengindikasikan perasaan hatinya.
"Mbak Kesya..." Lindi, pengarah gaya yang sering bekerja sama dengan Jansen-lah yang pertama kali menyadari kehadiran Kesya. Jansen terlalu sibuk membidik modelnya sehingga tidak menyadari kehadiran Kesya.
Kesya mengangguk singkat sambil menempelkan telunjuk di bibir. Tanda agar kehadirannya jangan sampai mengganggu kerja Jansen.


The Bridesmaids Story Karya Irena Tjiunata di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lindi mengangguk pelan, lalu kembali pada kesibukannya membantu Jansen.
Dua puluh menit kemudian, sesi pemotretan itu akhirnya selesai.
"Terima kasih ya...," ujar model cantik itu sambil mengecup pipi Jansen. Jansen terkejut mendapat perlakuan seperti itu. Meja plastik yang menjadi salah satu alat peraganya tanpa sengaja tersenggol dan jatuh dengan bunyi keras.
Catherine, model cantik itu, tersenyum melihat kekikukan Jansen. Tapi dia sudah terbiasa menghadapi fotografer itu. Dengan santai dia melenggang ke kamar ganti.
"Eh, Mbak Kesya... apa kabar"" Catherine tampak baru menyadari kehadiran Kesya. Dia langsung membenturkan pipinya ke pipi Kesya. Lagi-lagi tindakan sok akrab yang sangat dibenci Kesya.
"Baik. Kamu sendiri gimana"" Kesya berusaha menjawab basa-basi Catherine.
"Naik dua kilo...," desahnya pelan.
Haah"! Kesya melongo heran. Sepertinya tadi dia menanyakan bagaimana kabar Catherine. Kenapa jawabannya malah naik dua kilo"
"Yah... gara-gara belakangan ini banyak party-party yang harus aku host-in, jadinya badanku melar dua kilo... Lihat deh perutku, tambah gendut, kan"" ujarnya sambil menunjuk ke arah perutnya.
Kesya tambah melongo. Perut yang ditunjuk Catherine tampak rata. Aneh! Orang udah kayak penderita anoreksia gitu kok masih dibilang kegendutan! Apa sih maunya para model ini"
T anpa memedulikan kebingungan Kesya, Catherine melenggang pergi.
Kesya menghampiri Jansen, masih dengan tatapan heran. Jansen tersenyum gugup melihat mimik bingung Kesya.
"Begitulah model-model itu... selalu... selalu yang dipedulikan hanyalah berat badan mereka...," komentarnya sambil membereskan peralatannya. Salah satu lensa kamera tergelincir dari tangan Jansen. Hampir saja jatuh. Untung Lindi sigap menangkap lensa itu sebelum mencium lantai.
Jansen tersenyum lebih gugup lagi. Kini dia menggosok lensa itu berulang-ulang.
Kesya ikut tersenyum. "Kasihan juga ya mereka...," ujarnya, berusaha menetralisir suasana canggung itu.
"Siapa"" tanya Jansen. Wajahnya terlihat bingung. Kacamatanya melorot di hidungnya yang berminyak.
"Model-model itu...," jawab Kesya ikut bingung.
"Lho, memangnya kenapa"" Jansen masih melongo seperti anjing ompong yang dikasih tulang keras untuk makan malamnya.
Dahi Kesya mengernyit. Tadi kita sedang membicarakan model-model, kan " pikirnya bingung. Apa aku yang salah tanggap"
"Tadi kan Mbak Kesya dan Mas Jansen lagi ngomongin soal model-model yang mati-matian menjaga berat badan," Lindi berusaha mengingatkan.
"Ooh iya ya...," Jansen mengangguk-angguk. "Iya, itu kan aset terbesar mereka. Kalau sampai badan mereka melar, bisa-bisa mereka nggak laku lagi...," timpal Jansen lagi.
"Omong-omong, tadi itu sesi pemotretan buat apa sih"" "Buat majalah fashion. Gaun malam gitu deh... "
"Bagus-bagus ya bajunya," ujar Kesya sambil memegang-megang beberapa baju yang tadi diperagakan Catherine.
"Iya, Mbak Kesya. Ini baju rancangan Madame Daphne... perancang busana terkenal itu. Dia itu sebenarnya perancang gaun pengantin, tapi sekarang mau coba-coba merancang gaun malam juga," timpal Lindi.
"Ooh... Madame Daphne... " Kesya mengangguk-angguk. "Aku pernah ketemu
dia." "Yang bener, Mbak"" Mata Lindi berbinar.
Kesya mengangguk. "Sahabatku mau menikah. Dia berencana memakai rancangan gaun pengantin Madame Daphne untuk pernikahan. Rancangan dia memang bagus-bagus sih."
"Wah, saya ngefans banget sama dia. Orangnya gimana, Mbak Kesya"" tanya Lindi penuh semangat.
"Hmm... " Kesya bingung. Masa dia harus bilang idola Lindi itu orang yang unik mendekati aneh" Nggak mungkin dong. Apalagi melihat binar silau di mata Lindi. Nggka tega rasanya harus berkomentar seperti itu...
"Hmmm dia orang yang... yang kreatif, bertanggung jawab, tidak pernah terlambat membayar pajak, dan selalu membuang sampah pada tempatnya... "
Lho, lho, lho" Gitu deh jadinya kalau Kesya harus berkata tidak yang sebenarnya. Sejak kecil Kesya tidak pernah bisa berbohong. Kalaupun harus berbohong, akhirnya ya... yang keluar dari mulutnya adalah hal-hal aneh yang tidak masuk akal.
"Benar, Mbak Kesya" Wah... saya yakin Madame Daphne pasti orang yang taat pajak!" ujar Lindi. Keceriaan di wajahnya tidak berkurang sedikit pun.
Kesya jadi bingung... Masa sih Lindi percaya apa yang baru saja dikatakannya"
"Lain kali, kalau Mbak Kesya ketemu Madame Daphne lagi, saya minta titip tanda tangannya ya, sekalian fotonya," ujar Lindi bersemangat.
Kesya mengangguk, sebagian karena tidak tega melihat keceriaan di wajah Lindi, sebagian lagi takjub karena Lindi begitu saja percaya dengan apa yang dikatakannya.
Lindi berlalu pergi, masih dengan keceriaan yang terus menempel di wajahnya. Kesya memandang kepergian Lindi, masih dengan tatapan tidak percaya.
"Wah, hebat ya si Madame Daphne. Aku selalu respek pada orang-orang yang tidak membuang sampah sembarangan...," komentar Jansen.
Haah" Jadi Jansen juga percaya"!
"Smile...," ujar Jansen sambil mengarahkan kamera Polaroidnya ke arah Kesya. Kesya tidak jadi menyuarakan kebingungannya dan... jepret... !
Tidak sampai dua detik, hasil foto yang diambil Jansen itu keluar. Jansen mengibas-ngibaskan lembar foto itu, lalu memberikannya kepada Kesya.
"Ayu," ujarnya sambil menaikkan kacamatanya yang melorot di hidung.
Kesya memperhatikan ekspresi wajahnya dalam foto itu. Selalu bagus jadinya kalau Jansen yang membidiknya. Entah kenapa, tapi kalau dipotret oleh orang lain, hasilnya tidak pernah secantik ini.
Tulisan besar itu terpampang
di pintu masuk JCC. Gedung megah nan besar itu ramai oleh pengunjung yang berbondong-bondong datang menyaksikan pameran yang telah 25 kali diselenggarakan. Pameran besar yang diadakan dua tahun sekali itu memang sangat dinanti-nantikan para pencinta perhiasan. Ada yang memang berniat membeli perhiasan, ada juga yang hanya iseng-iseng cuci mata.
"Gila... rame juga ya orangnya...," ujar DeeDee sambil tersenyum penuh gairah.
Kesya tersenyum. DeeDee itu adik kelasnya saat dia menuntut ilmu sebagai desainer perhiasan di Jepang. Nama aslinya Diana Divia, tapi biasa dipanggil DeeDee. Dia baru saja menyelesaikan kuliahnya dan pulang ke Jakarta untuk menimba pengalaman sebagai asisten Kesya.
"Kamu ikutan pameran juga kan, Kesh"" tanya DeeDee.
Kesya mengangguk. Dia dan teman-temannya di Asosiasi Perancang Perhiasan Indonesia (APPI) memang diharuskan mengikutsertakan karya mereka dalam pameran. Hal ini dilakukan agar kreativitas mereka tetap terasah, sekaligus agar nama mereka dikenal masyarakat luas.
"Kamu pasti suka deh ngeliat pameran ini. Banyak perancang ngetop yang juga ikutan pameran," ujar Kesya.
DeeDee mengangguk penuh semangat. Poninya ikut bergoyang. Antusiasme terpancar dari wajahnya, membungkus seluruh tubuhnya bagai sinar aura. Berdua mereka masuk ke dalam gedung JCC. Karena ramai, Kesya terpaksa memarkir mobilnya agak jauh dari pintu masuk utama. Sekarang mereka berdua berjalan menuju pintu masuk, agar tersandung-sandung karena jalanan yang tidak rata plus sepatu high-heels yang bikin repot.
Kesya berdandan ekstra hari ini. Maklum, kalau ada pameran begini, biasanya para customer juga akan berbondong-bondong datang. Kesya harus menjaga citranya sebagai desainer muda yang profesional di hadapan para customer-nya. Salah satunya adalah dengan menjaga penampilan.
Dentingan piano mengalun lembut di dalam ruangan besar itu. Banyak sekali etalase kaca yang ditata apik. Lampu kuning membuat perhiasan-perhiasan yang dipamerkan tampak berkilauan indah.
"Waah!" DeeDee menahan napas.
"Kamu tuh nggak berubah ya," ujar Kesya sambil tersenyum. Kesya ingat, ketika dia memperlihatkan hasil karyanya yang pertama kepada DeeDee, ekspresi gadis ini juga seperti ini. Seperti anak kecil yang kegirangan dikasih balon.
"Tapi ini memang bagus banget, Kesh!" Mata DeeDee sibuk melahap apa saja yang tersaji di hadapannya. "Yang mana desain kamu""
"Itu." Kesya menunjuk ke arah stand yang memang sengaja disewa oleh APPI. DeeDee bergegas menghampiri stand yang ditunjuk Kesya.
Sepuluh buah perhiasan tertata rapi dalam etalase bermandikan sinar kuning dari lampu sorot. Tulisan Kesya Artyadevi tercantum dalam label yang diletakkan di tengah-tengah deretan perhiasan itu.
"Sebenarnya masih ada lima lagi, dua kalung dan tiga cincin, tapi belum selesai dengan sempurna. Baru sampai proses finishing, tapi sudah harus pameran," jelasnya.
"Waah! Bagus-bagus banget...," desah DeeDee, kedua tangannya menangkup pipi dengan gaya dramatis. "Kapan ya aku bisa seperti kalian"" Kali ini matanya menerawang.
"Pasti bisa asal kamu mau berusaha!" ujar seorang laki-laki yang baru keluar dari dalam stand.
"Hai, Tom." Kesya memeluk erat laki-laki itu. "Kebagian giliran jaga stand, ya"" Tom mengangguk. "Habis yang lain pada nggak bisa. Kamu juga nggak bisa, kan"" tanyanya.
Kesya tersenyum. Akhir-akhir ini waktunya memang tersita untuk membantu persiapan pesta pernikahan Cecil.
"Kesya!" Sebuah suara melengking membuat kepala mereka bertiga menoleh. Rasanya tidak hanya kepala mereka bertiga yang menoleh, melainkan hampir semua kepala yang berada di dalam ruangan itu ikut menoleh, mencari asal pemilik suara melengking seperti banshee itu.
Seorang wanita gemuk dengan dandanan yang kelewat berlebihan berjalan dengan penuh semangat ke arah mereka bertiga.
"Kesya! Saya sudah yakin kamu pasti akan ada di sini! Yakin sekali kamu pasti akan ada di sini," ujarnya sambil membenturkan pipinya yang hampir seluruhnya tertutup blush-on merah menyala itu ke pipi Kesya. Kesya langsung merasakan gatal-gatal di pipinya, tapi ditahannya keinginan untuk menggaruk atau sekadar mengusap pipi. Wani
ta gemuk ini adalah Nyonya Juliet Anggoro, salah satu customer penting Kesya.
"Hai, Nyonya Juliet...," sapa Kesya.
"No no no... Jangan panggil saya Nyonya sekarang... Jangan panggil Nyonya...," ujarnya. Dia memang terbiasa mengatakan segala sesuatunya lebih dari satu kali. Telunjuk gemuk Nyonya Juliet Anggoro bergerak ke kanan dan ke kiri. Kesya langsung teringat wiper mobilnya. Kepala Nyonya Juliet Anggoro yang ditumbuhi rambut keriting lebat tampak bertambah besar dengan hiasan rambut yang banyak. Sekarang kepala itu bergoyang-goyang mengikuti perkataannya. DeeDee menatap kepala itu dengan khawatir, takut kalau-kalau kepala itu terlepas dari lehernya.
"Apa Anda sekarang berubah menjadi nona"" tanya Kesya bingung.
Nyonya Juliet tertawa terbahka-bahak. Kalau tadi Kesya merasa bahwa hampir semua kepala yang berada di gedung pameran JCC ini menoleh memandangi mereka, sekarang Kesya yakin semua orang di JCC ini pasti sedang penasaran mencari-cari sumber tawa melengking ini.
"Aah... kamu lucu sekali, dear. Lucu sekali... Tidak, saya tidak bercerai dengan Tuan Anggoro. Tidak bercerai. Mana mungkin saya bisa bercerai dengan dia" Kalau saya bercerai, dari mana saya bisa dapat uang" Dari mana saya dapat uang""
Kesya mengangguk sambil memaksakan seulas senyum. Dia merasa risi dengan tingkah laku Nyonya Juliet sekarang.
"Panggil saya Madame Juliet. Madame Juliet Anggoro."
Madame"! Again"! Kenapa sih sekarang semua wanita menambahkan embel-embel "Madame" di depan nama mereka"! Waktu itu Madame Daphne, sekarang Madame Juliet" Who's next" Madame Kesya Artyadevi"""
Kesya menggeleng. Rasanya tidak cocok kalau dia juga menambahkan sebutan "Madame" di depan namanya!
"Ingat ya, dear... Madame... Madame Juliet Anggoro...," ujar Nyonya, eh... Madame Juliet sambil mengejap-ngejapkan bulu mata panjangnya, hasil bonding jutaan rupiah.
"Hmmmpppfffftttt..." Dari sebelah, terdengar suara seperti tersedak. Kesya yakin itu suara DeeDee dan Tom yang sedang setengah mati menahan tawa.
Kesya buru-buru menyikut mereka. Dia sendiri juga sudah tidak dapat menahan tawa. Aksi Madame Juliet memang sudah kelewat berlebihan. Tingkahnya sudah seperti kucing betina di musim kawin. Lirik sana, lirik sini. Tebar pesona ke mana-mana.
"Hmmmfffttt... maaf, Madame, saya permisi ke toilet dulu...," ujar Kesya sambil buru-buru menarik tangan DeeDee.
"Aahh... pipis memang kegiatan yang menyenangkan ya. Sangat menyenangkan! Begitu semuanya sudah keluar... hmmm... Rasanya memang sangat lega. Sangat lega!" komentar Madame Juliet dengan volume suara ekstra keras!
Wajah Kesya merah padam. Perlu nggak sih menjelaskan kegiatan buang air kecil secara begitu mendetail" Apalagi dengan suara tinggi melengking begitu! Kalau tidak ingat Madame Juliet adalah salah satu customer yang cukup penting, ingin rasanya Kesya menonjok wajah bulatnya!
"Nah, siapa laki-laki tampan ini" Siapa laki-laki ini"" Kini pandangan Madame Juliet beralih kepada Tom yang langsung pucat pasi.
Kesya dan DeeDee tidak tahan lagi. Mereka buru-buru berlari ke toilet dan tertawa terbahak-bahak di sana.
"Kamu lihat nggak mukanya si Tom begitu Nyonya, eh... Madame Juliet ngelihat ke arahnya"" komentar DeeDee masih sambil cekikikan.
Kesya mengangguk-angguk, terlalu sibuk terkikik untuk mengeluarkan sepatah kata dari mulutnya. Bahkan dia tidak dapat menegakkan tubuh lagi. Sambil terus tertawa, sebelah tangannya memegangi perut dan tangan sebelah lagi menopang tubuhnya yang terbungkuk-bungkuk menahan geli.
"Ketemu di mana sih customer seajaib dan sevulgar itu"" ujar DeeDee masih sambil tertawa heboh. Dia masih teringat betapa detail Madame Juliet menerangkan aktivitas berkemih tadi.
"Orang-orang kaya, tingkah lakunya suka aneh-aneh, hmmfffttt..." Kesya tidak berhasil menyelesaikan kalimatnya. Rasa geli kembali membuncah di dadanya, terutama mengingat wajah pasrah Tom saat didekati Madame Juliet Anggoro.
Di samping kehebohan yang ditimbulkan oleh Madame Juliet, semua acara pameran itu berjalan lancar. Kesya mengajak DeeDee berkeliling, memperlihatkan perhiasan yang memesona. Dia juga memperkenalkan DeeDee kepada bebera
pa temannya. DeeDee senang sekali. Duduk beberapa jam di pesawat dari Jepang ke Indonesia ternyata tidak menyurutkan semangatnya. DeeDee memang tidak main-main kalau sudah menyangkut topik perhiasan. Menjadi desainer perhiasan terkenal adalah impiannya, dan hal ini pasti akan dilakukannya dengan sebaik-baiknya.
"Kesh!" Kesya menoleh mendengar namanya dipanggil. Tampak Cecil dan Alo berjalan menghampirinya. Kesya tersenyum dan menghampiri mereka. Cecil dan Alo bergantian memeluk erat Kesya.
"Kami udah lihat hasil karya kamu. Bener-bener bagus!"
"Thanks." Kesya tersenyum lebar. "Oh ya, masih inget DeeDee"" Kesya menarik tangan DeeDee.
"Hai, DeeDee, apa kabar"" Cecil merangkul DeeDee. Cecil dan DeeDee sudah saling mengenal. Dua tahun lalu, ketika Kesya pulang ke Indonesia karena libur akhir tahun, DeeDee ikut dan menginap di rumah Kesya. Sejak itulah, DeeDee mengenal Cecil. Sementara dengan Alo, baru kali ini DeeDee bertemu muka. Selebihnya, dia kenal Alo lewat cerita Kesya dan Cecil.
"Baik, baik... By the way, selamat ya atas pertunangan kalian." DeeDee menyalami Cecil dan Alo.
Cecil dan Alo sama-sama mengangguk. "Kamu harus datang juga ya, di acara pernikahan kami."
Sekarang ganti DeeDee yang mengangguk.
"Tinggal di mana selama di Jakarta"" tanya Cecil.
"Aku tinggal di apartemen Kesya. Untuk sementara dulu deh..." DeeDee tersenyum jail.
"Kalian lihat-lihat doang atau niat beli"" tanya Kesya.
Cecil mengerling kepada Alo. "Rencananya sih mau liat-liat cincin kawin..." "Tapi aku dan Cecil ingin kamu yang mendesain cincin kami...," ujar Alo. Kesya mengangguk. "Oke. Silakan liat-liat dulu. Siapa tau ada model yang kalian suka. Nanti aku modifikasi dengan rancangan pribadiku sendiri... " "Thanks ya, Kesh... "
Cecil menggandeng tangan Alo lalu berjalan ke stand cincin kawin.
"Kesh, aku ke sana dulu ya..." DeeDee menunjuk ke sebuah stand yang memajang aneka bros.
Kesya mengangguk. "Aku di sini aja ya." Kakinya sudah lumayan pegal karena sedari tadi menemani DeeDee berkeliling ruang pameran yang luas ini.
"Kesya... " Kesya berpaling ketika mendengar namanya dipanggil. Jansen!!!
Kesya tersenyum lebar. Ia memang mengundang Jansen untuk datang ke pameran ini, tapi kata Jansen dia tidak bisa datang karena harus melihat lokasi pemotretan.
"Hai, Jansen...!" sapa Kesya ceria. "Katanya nggak bisa datang" Gimana dengan lokasi pemotretannya""
Jansen tersenyum gugup. "Oohh... itu... nggak jadi. Aku... aku memutuskan untuk datang ke pameran kamu aja... "
Kesya tersenyum manis. Jansen kembali tersenyum gugup. Seperti biasa, dia menenteng kamera mahal dan, seperti biasa juga, entah bagaimana saat melihat senyum Kesya, kamera itu tergelincir dari bahunya. Kesya tertawa diam-diam, menikmati kegugupan Jansen.
Kesya sedang berjalan di sisi Jansen, memperlihatkan karya-karya yang dipajang di stand APPI, ketika seorang wanita paruh baya mendekat.
Kesya memberi isyarat kepada Jansen bahwa dia harus melayani wanita itu.
"Selamat malam, Bu. Ada yang bisa saya bantu"" tanya Kesya. Tom sedang ke kamar kecil, dan minta tolong Kesya untuk menggantikannya. Kesya memperhatikan wanita ini. Gayanya classy, cantik, dan anggun sekali. Rambutnya digelung tinggi. Wanita paruh baya ini kini sedang memperhatikan dengan serius beberapa perhiasan yang dipajang di dalam etalase stand APPI.
"Boleh saya lihat yang itu...," tunjuknya.
Kesya tersenyum lebar. Perhiasannyalah yang tengah ditunjuk oleh wanita anggun ini.
"Sebentar ya, Bu." Kesya mengeluarkan perhiasan yang diinginkan wanita itu dan meletakkannya pada piring beludru warna biru.
Wanita anggun itu meraba kalung hasil rancangan Kesya dengan penuh perasaan.
"Ini harganya"" tanya wanita anggun itu sambil menunjuk bandrol harga yang tergantung.
Kesya mengangguk. Hatinya berdebar-debar. Berdoa dalam hati agar wanita anggun ini tertarik untuk memiliki kalungnya. "Ini permata asli"" tanyanya.
Kesya mengangguk lagi. "Yang terbaik dari jenisnya."
Wanita anggun itu mengangguk-angguk. Dia mengeluarkan lensa kecil dari balik tas elegannya. Memperhatikan karat, hasil potongan, dan jenis berlian itu dari balik lensanya. Tampak
sangat ahli. "Oke. Saya ambil yang ini..."
Yesss! jerit Kesya dalam hati. Perasaan bersemangat yang biasa dia rasakan saat perhiasan rancangannya berhasil terjual kembali dia rasakan. Dengan penuh semangat Kesya menyelesaikan urusan jual-beli itu.
"Ini, Bu," ujarnya sambil menyerahkan perhiasan yang telah dibungkus cantik
itu. Wanita anggun itu tersenyum. "Kamu perancangnya, ya""
Kesya mengangguk sambil tersenyum. "Bagaimana Ibu bisa tahu""
"Ekspresi bangga di wajahmu yang memberitahu saya," jawabnya sambil tersenyum. Dia mengeluarkan selembar kartu nama dari balik tasnya. "Ini kartu nama saya."
Nama "Lidya Sostronegoro" tercantum di situ. Rupanya ibu classy itu kolektor perhiasan.
"Terima kasih, Bu Lidya," ujar Kesya.
Ibu Lidya Sostronegoro mengangguk dan berlalu sambil membawa bungkusan perhiasan rancangan Kesya. "Sold out""
Kesya berpaling dan mendapati DeeDee sedang menatapnya penuh harap. "Iya dong... " Kesya menunjukkan jari telunjuk dan jari tengahnya, membentuk huruf V untuk Victory.
3 KRRRIIINGGG...! "Halo... " "Kesh!" "Ya, Cecil... "
"Can I borrow a gun ""
Mata Kesya langsung melotot. Gun"! Buat apa Cecil mau pinjam senjata" "Are you okay, Cil"" tanya Kesya hati-hati. "No! I just want to die!" "Cecil... kenapa sih"" "Inget Finna""
Dahi kesya mengernyit, dan gambaran soal wanita dengan gigi tonggos dan rambut panjang keriting tampak bergoyang dombret di pelupuk matanya. Yah, Finna nggak benar-benar bergoyang dombret sih, tapi Kesya nggak punya istilah lain untuk menggambarkan Finna. Senyum menyebalkan dan suara cemprengnya memenuhi rongga kepala Kesya.
"Kenapa dia"" tanya Kesya dengan suara penuh ketakutan.
"Dia datang hari ini...," jawab Cecil lemah.
"Then"" Kesya berdebar menunggu kelanjutan cerita Cecil.
"Dia maksa-maksa jadi panitia untuk acara wedding-ku. Can you imagine that"!" suara Cecil terdengar sudah mau menangis.
Pandangan Kesya langsung berkunang-kunang. Finna, sepupu jauh Cecil yang nyebelin banget. Selalu omdo, omong doang. Orangnya nggak pernah mau kalah. Selalu membanggakan pacarnya yang keturunan Inggris asli, dan dengan nada sinis selalu menambahkan bahwa pacarnya itu bukan Inggris campuran seperti Alo. Padahal Finna tidak pernah sekali pun membawa pacarnya ke acara keluarga. Kesya dan Cecil bahkan meragukan bahwa Finna memang sungguh-sungguh punya pacar. Abis, cuma omong doang! Nggak pernah sekali pun mereka melihat si cowok peranakan Inggris aslinya itu!
Kesya masih ingat pengalaman mengerikan yang pernah dia alami bersama Finna. Waktu itu mereka masih sama-sama SD. Ketika acara pesta perpisahan, Finna bilang dress code yang ditentukan adalah kostum halloween. Jadilah Kesya dan Cecil datang ke pesta perpisahan dengan mengenakan kostum genderuwo dan kostum suster ngesot. Dan apa yang terjadi" Ternyata mereka dikerjain habis-habisan oleh Finna. Tidak ada dress code halloween di pesta perpisahan mereka. Anak-anak perempuan lainnya tampak cantik dan menawan dalam balutan gaun ala putri kerajaan. Finna sendiri tampil lumayan, yah... tidak ada gaun yang dapat membuatnya cantik jelita dalam seketika, apalagi dengan gaun kuning gading yang dijahit mamanya. Waktu itu Kesya menangis tersedu-sedu karena cowok yang disukainya langsung terbirit-birit melihat penampilannya.
"Kesh... kamu masih dengerin aku nggak sih""
Teriakan Cecil membuat Kesya tersadar dari lamunannya.
Seolah baru saja memijakkan kaki di bumi setelah sepuluh tahun berada di bulan, panic attack langsung melanda Kesya. Bayangan mengerikan tentang segala macam aturan konyol, yang pasti akan diterapkan Finna, menari-nari di depan matanya.
Mungkin malah nanti dia akan dipaksa mengenakan gaun bridesmaid warna hitam! Atau lebih parah lagi, Finna dengan sadis memaksanya untuk menanggalkan seluruh pakaiannya baru kemudian mendampingi Cecil berjalan ke altar!
Oh no! Gila! Ini nggak bisa dibiarkan terjadi!
"Aduh, Cil. Kamu nggak bisa nolak, ya"" tanya Kesya memelas. Dia benar-benar tidak ingin bekerja sama dengan Finna. Karena sudah cukup baik mengenal Finna, dia tidak meragukan bahwa salah satu bayangan mengerikan yang dipikirkannya akan bena
r-benar terjadi! "I wish I could!" jerit Cecil. "Si nenek sihir itu langsung bilang ke mamaku dia mau jadi panitia. Katanya dia sekarang membuka jasa sebagai wedding organizer di Amerika. Mamaku juga, payahnya, langsung percaya aja. Sekarang mamaku menurunkan titah untuk menjemput Finna di bandara dan menceritakan secara detail rencana pernikahanku!" kata Cecil kesal.
"Kalo Finna jadi salah satu panitia kawinan kamu, aku nggak mau jadi bridesmaid kamu!" teriak Kesya cepat.
"Kamu udah gila ya, Kesh"" bentak Cecil. "Aku udah bete banget karena dia tiba-tiba memproklamirkan diri jadi salah satu panitia pernikahanku, sekarang kamu mau mengundurkan diri jadi bridesmaid-ku. Can you just shoot me on my head" Make it double then!" kata Cecil, sekarang terdengar frustrasi.
Kesya terdiam. "Kesya...," bisik Cecil lirih.
Wah, mulai deh! Kesya paling nggak tahan kalau Cecil sudah mengatur volume suaranya sampai lirih begini. Dia pasti tidak akan tega menolak permintaan Cecil. Tapi, tidak untuk kali ini.
Aku harus kuat! bisik Kesya dalam hati. Aku nggak mau deket-deket, apalagi berurusan dengan Finna!
"Nggak, Cil. Aku nggak bisa kalo ada Finna di deket-deket kamu," ujar Kesya dengan suara yang dibuat setegas, setegar, dan sekuat mungkin.
"Kesya... " Cecil masih belum menyerah. Kali ini bisikannya bahkan lebih lirih daripada sebelumnya.
"Nggak, Cil. Aku bener-bener nggak bisa. Kamu tahu sendiri kayak apa Finna itu... " Kesya masih terus mencoba bertahan.
"Please, Kesh... for our friendship"" Suara Cecil kini hanya berupa bisikan. Bahkan lebih lirih daripada sebelumnya.
Damn it, Cecil! Kenapa sih mesti bawa-bawa persahabatan di saat-saat seperti ini"
Kesya menarik napas panjang. Tangannya meremas rambut. Pertahan dirinya mulai runtuh, tetapi dia tetap menguatkan hati untuk terus berkata tidak.
"Kesya... kamu satu-satunya sahabat dekatku. Aku nggak akan mungkin melewati semua kerepotan ini tanpa support dari kamu. Kamu tahu betapa raphunya aku. Aku nggak akan bisa kuat kalau kamu nggak mau bantuin aku. Aku nggak akan kuat kalau kamu nggak ada di sampingku. Aku juga nggak akan bisa ngapa-ngapain kalau kamu nggak mau jadi bridesmaid-ku. Atau... "
Kesya bisa mendengar Cecil menghela napas.
Atau apa" "Atau... aku nggak jadi married aja kali ya"" sambung Cecil putus asa.
Hah"! Sudah gila kali ya si Cecil" Masa hanya karena Kesya tidak mau jadi bridesmaid-nya, lalu dia jadi batal menikah"
"Cecil! Ngaco kamu!" bentak Kesya marah. "Masa cuma gara-gara gitu doang terus kamu... "
"Ya udah, aku nggak peduli!" sambar Cecil. "Kalau kamu nggak mau jadi bridesmaid-ku, mendingan aku nggak usah married aja sama Alo! Biarin aja! Biar kita bubar jalan aja! Biar nanti semua orang... "
"Oke, oke!" potong Kesya kesal. Dia kembali meremas-remas rambutnya. "Aku tetap akan jadi bridesmaid kamu. Puas"!" ujarnya setengah berteriak.
Nada suara Cecil langsung berubah ceria.
"Banget!" Sialan Cecil! Satu jam kemudian, mereka sudah berada di bandara.
Cecil berdiri di balik pembatas besi hitam. Tubuhnya yang mungil tampak kalah tinggi dibandingkan orang=orang lainnya. Kesya berdiri di sampingnya. Mengutuk-ngutuk dalam hati kenapa dia mau-maunya menemani Cecil menjemput Finna.
"Lama banget sih"" dumel Cecil untuk yang ke-157 kalinya.
"Kita pulang aja deh ya...," balas Kesya juga untuk yang ke-157 kalinya.
Cecil mendelik ke arah Kesya. "Nggak ada ide yang lebih bagus ya"" bentaknya kesal karena itu ide yang diulang-ulangKesya selama setengah jam terakhir ini.
"Ada. Aku pulang naik taksi, biar kamu nungguin Finna di sini sendirian!" tantang Kesya sambil berkacak pinggang.
Cecil berbalik. Mata bulatnya melotot lebih besar ke arah Kesya. Tapi baru saja dia hendak membalas perkataan Kesya, tiba-tiba sepasang tangan kurus menutup kedua matanya.
"Siapa ini"" tanya Cecil. Dia paling nggak suka main tebak-tebakan gini. Kayak anak kecil saja!
Kesya melirik si empunya tangan dan mendengus pelan. "Coba tebak siapa ini"" ujar si empunya tangan kurus itu.
Nggak usah mikir pun pasti Cecil tahu siapa si empunya suara mendesah itu. Suara mendesah yang dibikin-bikin itu (maksudnya sih bi
ar kedengaran lebih seksi, tapi jadinya malah terdengar seperti suara ngeong kucing ketika musim kawin!) sudah dihakpatenkan oleh Finna!
"Hai, Finna...," sapa Cecil, masih dengna mata ditutup tangan kurus Finna.
"Hai, Cecil! My beautiful cousin! Si calon pengantin!" Finna membalik tubuh Cecil dan memeluknya erat.
Kesya mendengus melihat adegan artifisial itu. Dulu Finna tidak pernah sudi berpelukan dengan Cecil. Menurut Finna, keluarga Cecil kurang berkelas dibandingkan keluarganya. Mungkin karena sekarang diberi tempat kehormatan untuk menjadi salah satu anggota panitia dalam pernikahan Cecil, Finna sudi memberikan pelukan erat kepada Cecil.
Kesya memperhatikan penampilan Finna. Sejak empat tahun yang lalu Finna tinggal di Amerika, mengurusi usahanya yang, katanya, bergerak di bidang wedding organizer. Tidak ada yang berubah setelah empat tahun ini. Tubuh Finna tetap kurus tanpa daging, seperti orang kurang makan. Rambutnya tetap keriting panjang. Wajahnya tetap over make-up, walaupun semua make-up itu tidak akan pernah menandingi kehebohan gigi tonggosnya.
"Hai, Kesya... " Kini giliran Kesya yang dipeluk dengan erat.
Kesya memaksakan sebuah senyum di wajahnya. Susah banget! Karena memang saat ini Kesya sedang tidak ingin tersenyum. Kalau tidak memikirkan kesopanan, mungkin dia sudah muntah!
"Kita berdua akan jadi bridesmaid yang cantik di pesta pernikahan Cecil."
Tubuh Kesya menegang dalam pelukan lengan kurus Finna. Apa maksudnya"
"Aku juga jadi bridesmaid-nya Cecil!" ujar Finna dengan suara sengau. Dia tertawa terkikik-kikik. "Mama kamu yang bilang begitu, Ceil."
Kesya mengernyit, tidak melihat sisi lucu dari pernyataan Finna. Malah sebaliknya, dia merasa ketakutan sekali! Tatapan do-you-have-any-idea-about-this" Kesya menghunjam Cecil.
Cecil menggeleng lemah. Ya... lebih baik dia nggak tahu apa-apa. Kalo sampai dia tahu sesuatu tapi nggak ngasih tahu aku, I will kill her! pikir Kesya sadis.
"Yah... begitu deh kira-kira. Yang paling berkesan buatku itu waktu aku harus organize wedding party-nya Angelina Jolie-Brad Pitt. Mereka kan udah seleb terkenal gitu. Mereka juga bisa dibilang seleb yang agak eksentrik. Jadi mereka mau pestanya yang bener-bener berkesan banget. Extravaganza gitu! Mereka muter-muter nyariin WO yang bisa mewujudkan pernikahan impian mereka, tapi akhirnya mereka balik ke aku juga..." Finna terkikik-kikik lagi. Rambut keritingnya bergoyang-goyang heboh. Tubuhnya juga ikut heboh bergerak-gerak. Sesekali dia membalikkan tubuhnya menghadap Kesya yang duduk sendirian di kursi belakang.
Cecil melirik Kesya dari kaca spion. Yang dilirik balas melirik dengan tatapan pasrah.
"Terus ada lagi yang seru juga, waktu aku organize wedding party-nya Nicole Kidman. Bener-bener berkesan deh. Mereka cuma mau pesta sederhana yang hanya dihadiri orang-orang terdekat. It's so repot, you know" Soalnya si Nicole itu maunya banyak. Pokoknya dia mau yang terbaik untuk tamu-tamunya. Jadi semuanya nggak boleh sembarangan...
"Blah blah blah... "
Sejak naik ke mobil Cecil, Finna tidak berhenti bercerita soal kehebatannya sebagai WO sukses di Amerika. Mulai dari pestanya Britney Spears-lah, Christina Aguilera-lah, Rihanna-lah, Angelina Jolie-Brad Pitt-lah, sampai yang terakhir ini, pestanya Nicole Kidman.
"Kamu ngurusin pesta gunting kuku Tinkerbelle-nya Paris Hilton, nggak"" tanya Kesya iseng.
"Tinkerbelle"" sejenak, dahi Finna mengernyit bingung, namun kemudian senyum gigi tonggosnya terpancang di wajahnya. "Ooh... adiknya Paris Hilton yang masih baby itu, ya" Iya... waktu itu aku juga sempet... "
Dan Kesya tidak mendengar lagi. Dia harus konsentrasi menahan tawa yang seketika akan menyembur keluar. Dia melirik ke arah Cecil, dan tampaknya sobatnya itu juga sedang melakukan hal yang sama.
Siapa juga tahu bahwa Tinkerbelle itu anjing Chihuahua-nya Paris Hilton, bukan adiknya! Ketauan banget si Finna itu bohong besar!
"Sampai juga...," ujar Cecil penuh kelegaan. Entah itu kelegaan karena mereka sudah hampir dua jam duduk saja di dalam Civic metalik Cecil atau kelegaan karena berhasil keluar dari kebisingan suara serak Finna. Me
nurut Kesya, sudah pasti lega karena berhasil keluar dari kebisingan suara serak Finna.
Tante Renata dan Oom Balgi, papa dan mama Cecil, sudah menunggu mereka di sebuah restoran sea food. Tante Renata dan Oom Balgi sengaja mengundang mereka makan siang untuk menghormati kedatangan Finna. Orangtua Finna juga hadir di sana. Mama Finna adalah sepupu Tante Renata.
"Selamat siang, Tante dan Oom sayang..." Sok akrab, Finna langsung memeluk kedua orangtua Cecil.
"Hai, Mom! Hai, Pap!" sapa Finna pada kedua orangtuanya. Mama dan papa Finna juga memiliki bentuk gigi seperti gigi Finna. Bentuk gigi itu rupanya diturunkan dari orangtuanya. Mama Finna juga memiliki rambut keriting seperti Finna.
Oom Balgi berjengit melihat penampilan Finna yang sangat mencolok mata itu. Kesya tersenyum kecil. Tidak heran Oom Balgi berjengit. Penampilan Finna memang superunik, kalau tidak mau dibilang superaneh. Gadis itu mengenakan atasan tank top berwarna kuning cerah dan bawahan rok supermini berwarna merah terang. Dari jauh dia tampak seperti pisang yang berdiri di atas apel merah. Yang paling menggelikan adalah, kentara sekali usahanya untuk bisa kelihatan seksi, padahal dengan tubuh sekurus itu apa yang bisa diharapkan orang-orang selain tulang belulang yang menonjol keluar"
Kesya menggeleng, berusaha mengingatkan dirinya sendiri agar tidak berpikiran terlalu kejam terhadap Finna. Dia menghela napas dan duduk di salah satu kursi yang masih kosong.
Sementara Finna mulai mengoceh dengan suara nyaringnya, Kesya mendesah pasrah.
"Hhhh... it's gonna be another long day...."
"Kamu beneran mau jadi bridesmaid, ya"" tanya DeeDee sambil menyelonjorkan kakinya di atas sofa pink di apartemen Kesya.
Kesya mengangguk sambil memasukkan suapan besar es krim ke mulutnya. Hmmm... makan es krim sehabis menjalani hari yang melelahkan memang benar-benar nikmat. Malam itu, Kesya dan DeeDee baru saja selesai makan malam. Kesya menghadiahi dirinya sendiri satu porsi besar es krim rum raisin.
"Kamu nggak takut""
Pertanyaan DeeDee membuat dahi Kesya mengernyit.
"Takoh apoah""" tanyanya tidak jelas dengan mulut masih penuh es krim.
DeeDee geleng-geleng kepala melihat kelakuan seniornya itu. Walaupun usia mereka berbeda dua tahun, kelihatannya Kesya malah terlihat lebih kekanak-kanakan daripada dirinya.
"Pernah dengar nenek bilang, 'Sekali jadi bridesmaid, selamanya akan terus jadi bridesmaid'""
Kesya menggeleng. "At least, nenekku nggak pernah usil bilang-bilang begitu," sahutnya sambil nyengir lebar.
"Kesya!" DeeDee melempar bantal yang sedang dipeluknya ke arah Kesya. Kesya buru-buru menyelamatkan... mangkuk es krimnya. Buukkkk! Bantal itu mendarat dengan posisi tidak menyenangkan di wajahnya, tapi Kesya tetap tersenyum. Mangkuk es krimnya selamat!
"Aku serius nih!" DeeDee menyibak poni yang menutupi wajahnya. "Apalagi kamu kan sekarang belum punya cowok. Jangan-jangan nanti kamu bakalan jadi bridesmaid terus."
Kesya mendelik galak ke arah DeeDee. "Siapa bilang aku nggak punya cowok" Aku punya kok...," ujarnya tersinggung. Dia buru-buru memasukkan suapan besar es krim ke dalam mulutnya.
"Siapa" Si Jansen"" DeeDee juga menyuap es krimnya. "Itu mah bukanc owok kamu, bukan pacar. Itu baru TTM, teman tapi mesra. Lagian kamu yakin mau pacaran sama Jansen"" sembur DeeDee.
"Emangnya kenapa"" tanya Kesya.
"Jangan tersinggung ya, tapi Jansen tuh nggak banget deh! You deserve better than him!" ujar DeeDee serius.
Mata Kesya mendelik lebih lebar ke arah DeeDee. "Jangan sembarangan ya kalo ngomong! Aku sayang kok sama dia, dan... aku tahu dia juga sayang sama aku... "
"Kalau begitu, kenapa kalian berdua masih belum jadian sampe sekarang"" potong DeeDee.
Mulut Kesya terkunci rapat. Mati kutu.
Kesya tahu Jansen sangat menyukainya dan dia juga menyukai Jansen, tapi sampai detik ini belum pernah sekali pun laki-laki itu serius mengajaknya berpacaran. Belum pernah sekali pun magic words "I love you" terungkat dari mulut Jansen.
Kesya menghela napas panjang. Matanya menerawang ke jendela besar di apartemennya. Sebenarnya telah muncul sebersit rasa khawatir dalam hatinya. Apalagi kini,
perlahan-lahan satu per satu sahabatnya telah menikah, merajut hidup baru dengan pasangan pilihan. Sementara Kesya... masih saja sendiri. Kadang dia merasa kesepian juga. Bilangnya saja dia punya banyak teman, tidak perlu takut kesepian, tapi ada saat-saat semua temannya sibuk dengan urusan masing-masing.
Dan apabila saat itu tiba, mau tidak mau Kesya harus cukup puas dengan kesendiriannya.
"Kesh... udah deh, soal Jansen nggak usah dipikirin." Perkataan DeeDee membuyarkan lamunan Kesya. "Malah bagus kalo dia belum pernah nembak kamu. Aku kan udah bilang, you deserve better than him. Dia tuh nggak cocok buat kamu!"
Lalu, siapa yang cocok buat aku" Kenapa sampai sekarang belum muncul-muncul juga"
Ruang kerja Kesya yang cukup besar terasa sejuk. Kesya duduk di balik meja kerjanya, sebuah meja kayu yang dipelitur dengan halus. Lampu meja memancarkan sinar kuning lembut, cukup menenangkan hati.
Kepala Kesya menunduk di atas meja. Sudah cukup lama kepalanya menunduk dengan posisi yang sama. Sebuah lensa khusus untuk melihat berlian terpasang miring di dahinya. Dia sedang mengerjakan sebuah proyek baru. Putri Gubernur Palembang akan menikah bulan depan, dan Kesya sedang mengerjakan hadiah untuk putri gubernur itu. Hadiah dari sesama orang penting tentu saja harus dikerjakan dengan penuh kehati-hatian.
Tok tok tok...!

The Bridesmaids Story Karya Irena Tjiunata di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kesya mengembuskan napas dengan kesal. Dia sama sekali tidak ingin diganggu. Rasanya tadi dia sudah memberi instruksi cukup jelas kepada Mona.
"Ya!" sahutnya dengan suara cukup tinggi. Kalau sedang berkonsentrasi penuh, Kesya merasa sangat marah kalau diganggu.
Kepala Mona tersembul takut-takut. Dua tahun menjadi pegawai Kesya, dia sudah cukup hafal dengan perangai bosnya itu, tapi saat ini dia benar-benar tidak berdaya.
"Maaf, Bu Kesya, saya tahu Ibu nggak mau diganggu, tapi saya nggak tahu harus gimana lagi...," ujarnya memelas. "Ada apa"" tanya Kesya tidak sabar.
"Anu... itu... Aduh, gimana ngomongnya ya"" Mona garuk-garuk kepala yang, Kesya yakin seratus persen, tidak terasa gatal.
"Ada apa sih"!" bentak Kesya tidak sabar. Mood-nya tambah lenyap mendengar ucapan Mona yang muter-muter nggak jelas.
Mona makin mengerut dengan sikap Kesya, dan bicaranya jadi tambah ngelantur.
"Saya sudah bilang berkali-kali bahwa Bu Kesya nggak mau diganggu, tapi dia memaksa terus. Katanya, kalau saya nggak mau bilang ke Bu Kesya, saya akan dipecat, diadukan ke Komnas HAM, dianggap melecehkan dia... "
Lho, lho, lho" Mona ngomong apaan sih sebenarnya" Kenapa sampai bawa-bawa Komnas HAM segala"
"Mona! Kamu tuh kenapa sih" Nggak bisa ngomong langsung ya" Mood-ku jadi hilang nih! Gara-gara kamu!"
"Anu, itu, ada yang namanya Finna Salsabila telepon. Dia memaksa untuk ngomong sama Bu Kesya."
Finna" Mau ngapain dia"
"Bilang aku nggak ada di tempat!" jawab Kesya sambil mengibaskan tangan.
"Saya udah bilang itu dua puluh lima kali, Bu Kesya...," sahut Mona, setengah menangis. "Tapi yang namanya Finna itu juga udah dua puluh lima kali telepon ke sini. Ini kali kedua puluh enam dia telepon. Dan seperti yang saya bilang, kalau Bu Kesya nggak mau ngomong sama dia, dia mau ngaduin saya ke Komnas HAM!"
Kesya geleng-geleng kepala sendiri. Pegawainya ini sebenarnya tahu nggak sih apa itu Komnas HAM" Kok percaya begitu saja sama kata-kata si Finna.
"Kamu nggak akan dilaporin ke Komnas HAM!" ujar Kesya. "Kalau kamu dilaporin, saya pasti akan membela kamu, karena saya itu bos kamu. Saya bertanggung jawab atas diri kamu!"
Wajah Mona berubah riang. "Bener, Bu Kesya" Wah, Bu Kesya benar-benar bos yang baik ya!" Dan dia pun berlalu dari ruang kerja Kesya.
Kesya mengembuskan napas kesal. Konsentrasinya sudah buyar! Mood-nya sudah hilang! Dia berjalan ke jendela berukuran sedang. Dari sana dia dapat mengamati kesibukan kota Jakarta. Cukup lama Kesya berdiam di sana, berusaha mengumpulkan kembali konsentrasinya yang menguap bersamaan dengan ocehan Mona yang tidak keruan.
Ketika Kesya sudah duduk kembali di kursi kerjanya, bersiap melanjutkan pekerjaannya, pintu ruang kerjanya kembali diketuk.
Kesya menggeram marah. "Mona! Saya sudah bilang, saya nggak mau
d iganggu!" Tapi, Mona malah menerjang masuk dan buru-buru mengangkat telepon di ruang kerja Kesya. Dia menempelkan telepon itu ke telinga Kesya.
"Kalau begitu Bu Kesya ngomong sendiri sama yang namanya Finna ya...," ujarnya sambil buru-buru kabur keluar.
"HALO!" sapa Kesya. Untung saja Finna tidak berdiri di sini. Kalau Finna ada di hadapannya, dia akan melumat-lumat tubuh ceking Finna!
"Aih, Kesya..." Suara sengau Finna terdengar garing di telinga Kesya. "Galak amat sih""
"Ada apa, Finna" Aku lagi sibuk banget nih!"
"Sesibuk apa sih sampai nggak bisa diganggu"" Finna tertawa sengau, mungkin maksudnya supaya terdengar seksi, tapi di telinga Kesya terdengar seperti lenguhan orangutan jantan di Taman Safari.
"Finna! Aku benar-benar lagi sibuk! Kalau kamu nggak mau langsung bilang apa maumu, aku akan langsung tutup telepon ini!"
"Deuuu... segitu aja marah. Jangan gampang marah-marah gitu dong. Nanti kamu cepet tua lho... Kasian kan kalau kamu kelihatan tua. Nanti cowok-cowok tambah nggak mau lagi sama kamu... "
Damn it! Apa maunya si Finna, sampai ngomong seperti itu"
Finna tertawa mendengar leluconnya sendiri.
"kalau kamu telepon cuma untuk ngomong begitu doang, rasanya nggak penting banget deh!"
Finna tertawa lagi. "Nggak deh. Sebenarnya aku mau ngajak kamu pilih dekorasi pelaminan buat Cecil!"
Sambil menahan amarahnya, Kesya menjawab lagi, "Buat apa" Itu kan urusan
Cecil dan Alo!" "Lho lho lho, nggak bisa begitu, Kesya sayang... Kita berdua kan bridesmaid-nya, jadi kita juga harus bertanggung jawab dalam pemilihan dekorasi pelaminannya... "
Dahi Kesya mengernyit. Rasanya Cecil tidak pernah memberitahukan bahwa salah satu tugas bridesmaid adalah membantumu memilih dekorasi pelaminan!
"Cecil nggak pernah bilang begitu!"
"Sekarang Finna yang bilang! Sama aja, kan""
Kesya menggeram marah. Tuuttt... tuuuttt... tuuuttt... Terdengar nada sela.
"Tunggu sebentar!" Kesya menekan line 2. "Halo!" bentak Kesya. Kesabarannya kini sudah benar-benar berada di ambang batas. Seenaknya saja Mona menghubungkan line teleponnya. Kesya sudah memberikan perintah yang sangat jelas bahwa hanya segelintir orang penting yang boleh langsung terhubung dengan line teleponnya. Selebihnya harus disortir dulu oleh Mona.
"Kesya! Begitu ya cara kamu ngomong sama Mama"" terdengar suara ibunya.
Kesya mendengus kesal. Oke, Mama termasuk salah satu orang penting yang dimaksud tadi, tapi kali ini Kesya benar-benar tidak ada tenaga lebih untuk berargumen.
"Kenapa kamu udah beberapa minggu ini nggak pernah telepon ke rumah" Kamu sudah lupa ya, kamu punya seorang ibu tua dan seorang ayah tua yang selalu menanti-nantikan kabar dari anak gadisnya yang tinggal sendirian di Jakarta" Jauh terpisah dari orangtuanya""
Kesya mengerang pelan, "Aduh, Mama, nggak usah berlebihan gitu deh... "
"Kamu yang berlebihan! Berminggu-minggu nggak ngasih kabar ke orangtua kamu! Mama nggak tahu apa muka kamu udah berubah jadi kotak atau persegi, atau masih tetap lonjong seperti dulu!"
"Oke! Mukaku masih tetep lonjong seperti dulu, cuma sekarang kupingku rada kegedean karena harus dengerin omelan Mama."
"Mama bukannya ngomel! Mama cuma mau ngingetin kamu! Kamu tuh seharusnya sering-sering telepon ke rumah. Ceritain kabar kamu, nanyain kabar papa dan mamamu! Mama dan Papa punya anak, tapi serasa nggak punya anak!"
"Iya, Ma, iya!" jawab Kesya tidak sabar.
"Mama dengar kamu jadi bridesmaid-nya Cecil, ya"" Suara Mama kini terdengar melunak.
Kesya menghela napas. Kali ini lebih panjang.
"Iya." Dia sudah tahu ke mana ujung pembicaraan ini akan bermuara.
"Cecil saja sudah mau menikah. Kapan kamu mau serius cari pacar""
Nah kan, benar! Itu lagi, itu lagi! Selalu saja itu yang ditanyakan Mama. Memangnya salah Kesya kalau tidak ada cowok yang bilang cinta kepadanya" Masa dia harus mengemis cinta kepada cowok-cowok untuk menunjukkan kepada Mama bahwa dia serius cari pacar" Kesya serius cari pacar! Serius banget malah. Tapi, cowok-cowok aja yang nggak tahu pada ngumpet ke mana!
"Hei! Kamu denger omongan Mama nggak sih"" Suara Mama kembali meninggi.
"Denger, Ma. Aku bahkan sudah hafal banget sama omo
ngan Mama." "Jadi begitu ya"" Suara mamanya terdengar bergetar.
Wah, repot deh! pikir Kesya. Kalau sudah mengeluarkan getaran, berarti Mama sudah tersinggung dan siap-siap meledak.
"Kalau dibilangin Mama, kamu selalu nggak senang! Padahal Mama kan cuma khawatir sama kamu. Kalau nggak senang ya sudah, nggak usah jadi anak Mama
saja!" Klik! "Aaarggghhh!" Kesya berteriak kesal. "Kesya! Halo... Halo..."
Itu suara Finna. Dia masih setia menunggu Kesya di line 1! "Ya, Finna!"
"Kamu kenapa sih teriak-teriak kayak Tarzan gitu" Kayaknya kamu punya masalah kepribadian, ya" Tadi kamu marah-marah, sekarang kamu teriak-teriak. Mungkin kamu butuh bantuan psikolog""
Praaaakkkk! Kesya membanting gagang telepon kembali ke tempatnya.
Finna sialan! Sekarang dia bilang aku gila!
Kkrrriiinnnggggg! Kesya menutup telinganya. No more telephone!
Krrriiiinnnngg! Krrrriiiinnnngggg! Kkkrrrriiinnngggg!
Tapi, rupanya telepon itu tidak menyerah begitu saja. Telepon itu dengan gigih terus berbunyi. Memanggil-manggil Kesya. Usahanya bahkan lebih gigih dibandingkan pendemo yang biasanya suka mangkal di Bundarah HI.
Kkkkkkkkkkkrrrrrrrrriiiiiiiiiinnnnggggggggg!!!
Tuh kan, telepon itu masih bunyi.
"Aku nggak mau terima telepon!" teriak Kesya. Dia membanting teleponnya, tapi tanpa sadar tangannya menekan tombol speaker phone. Segera sebuah suara berat laki-laki memenuhi ruangan itu.
"Halo" Kesya""
Kesya segera memandang telepon itu. Suara siapa itu" Rasanya dia tidak pernah mengenal laki-laki dengan suara seperti ini" Suaranya berat dan enak sekali didengar.
Ragu-ragu, Kesya menjawab sapaan suara berat itu, "Ya, ini Kesya. Kamu siapa
ya"" "Saya Marco, bestman-nya Alo." Marco" Bestman-nya Alo"
"Ya, ada apa""
"Saya baru datang dari Singapura. Pesawat saya baru saja tiba, tapi tidak ada yang bisa menjemput saya. Kamu bisa tolong jemput saya""
"Enak saja! Memangnya saya sopir kamu"!" bentak Kesya marah.
"Waaah... suara kamu keras sekali ya." Terdengar tawa kecil dari seberang.
Kesya tidak suka ditertawakan, apalagi saat dia sedang merasa marah. Dia jadi tambah marha.
"Jangan ngetawain saya!"
"Ehm, sori. Tapi saya benar-benar tidak tahu jalan. Saya juga tidak ingin naik taksi sendirian. Jadi please, jemput saya sekarang." "Enak aja! Ka..." Tuut tuut tuut tuut.
Lho" Lho" Lho"
"Kurang ajar!" maki Kesya lalu membanting teleponnya. Laki-laki ini harus diberi pelajaran! Kesya menggerutu dalam hati. Dia segera menyambar kunci mobil dan dengan langkah lebar keluar dari kantornya.
Kesya menghampiri meja Mona. Mona langsung mengerut ketakutan melihat Kesya datang mendekat.
"Kalau lain kali kamu tidak meng-cut telepon untuk saya, kamu akan saya pecat!"
4 KESYA mendengus kesal. Sudah dua jam dia keliling-keliling mencari alamat yang secara tidak jelas diucapkan oleh bestman Alo ini.
Dua jam lalu, ketika Kesya sampai di bandara, bestman Alo yang bernama Marco Raphael Eagan ini langsung melemparkan travel bag-nya ke dalam bagasi mobil Kesya.
"Jalan Disco, Kelapa Gading...," begitu dia bergumam tidak jelas lalu mengempaskan tubuhnya di samping Kesya.
Kesya sungkan untuk bertanya lagi. Nanti disangkanya dia gadis kampungan yang tidak tahu jalan di kota Jakarta ini. Dengar-dengar dari cerita Alo, sejak kecil Marco tinggal di Singapura. Orangtuanya orang Indonesia, tapi mereka sudah lama bermukim di Singapura. Marco sendiri lahir di Singapura. Sekarang dia juga bekerja di sana. Kali ini dia ke Jakarta untuk menyelesaikan sebuah proyek, sekaligus menjadi bestman dalam pernikahan Alo.
Namun, putar sana putar sini, Kesya akhirnya menyerah juga. Dia berpaling, merasa kesal karena Marco sejak tadi tidak membantu menunjukkan jalan sedikit pun. Dan saat melihat kedua kelopak mata Marco yang terpejam rapat, hati Kesya tambah kesal.
Cowok kurang ajar! makinya dalam hati. Emangnya aku sopirnya" Aku capek-capek nyetir, muter-muter cari alamat yang nggak jelas. Mana jalanan macet, lagi! Eh, dia malah enak-enakan tidur! makiannya bertambah dahsyat.
Jengkel, Kesya terus memperhatikan Marco yang masih tetap tertidur pulas. Berpikir untuk menjitak kepala Marco.
Jalan di depannya agak tersendat
, jadi Kesya agak leluasa untuk memperhatikan pendampingnya dalam acara pernikahan Cecil. Kesya tertawa dalam hati. Pendamping yang mendampingi pendamping pengantin. Hihi... lucu juga.
Dddiiinnnn...! Kesya tersentak kaget. Buru-buru dimajukannya mobilnya. Berhenti lagi. Pelan-pelan, Kesya melirik ke arah Marco lagi. Laki-laki itu masih tidur. Gila! Pulas sekali tidurnya. Dasar kebo!
Ehm... tapi... kalau diperhatikan, Marco keren juga. Alisnya tebal. Rahang perseginya tampak kebiru-biruan, kentara habis dicukur. Bibir penuhnya tampak merah. Kata orang, laki-laki yang berbibir penuh adalah laki-laki yang tidak pernah bohong. Mereka juga sering memberi pujian kepada wanita pujaannya.
Ups, sudah maju lagi. Kesya melirik Marco lagi. Napas teratur laki-laki itu menandakan dia masih tertidur pulas.
Kira-kira, dia udah punya pacar belum ya"
Kesya terkejut. Lalu menggeleng kuat-kuat. Pikiran dari mana itu"
Kesya kembali berpaling memperhatikan Marco. Kali ini cukup serius sampai dahinya berkerut-kerut. Kaus polo kuning yang Marco kenakan tampak menonjolkan maskulinitas tubuhnya. Di tangannya tampak urat-urat yang menonjol.
Hmmm... tipe pekerja keras. Kesya suka laki-laki pekerja keras.
Ups, buru-buru diralatnya lagi pikiran itu. Dihapusnya sampai tidak tersisa lagi. Kalau melihat kesan pertama saat bertemu tadi, Marco tampaknya laki-laki yang suka tebar pesona. Yang sangat mengagung-agungkan maskulinitasnya. Yang gila olahraga, gila film-film action yang hanya menampilkan adegan berantem terus, gila nonton pertandingan tinju atau WWF yang penuh dengan sadisme.
Hiiyyy...! Kesya bergidik. Dia tidak akan pernah mau berurusan dengan laki-laki semacam itu.
Kesya jadi ingat Jansen. Laki-laki bertubuh kecil yang tidak pernah sok-sok tebar pesona itu menyukai musik dan teater, sama seperti dirinya. Jansen juga tidak suka film action. Dia lebih memilih film drama daripada action.
Tapi, Jansen tidak segagah Marco...
Kesya terkejut. Dari mana lagi datangnya pikiran itu"
Diiinnn! Dddiiinnnn! Dddiiinnn!
Aduh! Jalan di depannya sudah lengang lagi. Buru-buru Kesya memajukan mobilnya lagi. Suara tawa kecil di sebelahnya membuatnya menoleh kaget.
Kelopak mata Marco masih terpejam rapat, tapi sudut-sudut bibirnya tertarik ke atas dengan seksi, membentuk seulas senyum kecil.
Dada Kesya berdebar-debar. Marco tampak lebih macho lagi!
"Dari sepuluh menit yang lalu, kamu sudah lima kali menoleh untuk memperhatikan aku. Berarti tiap dua menit sekali, kamu ingin melihatku." Tiba-tiba Marco berbicara!
Dada Kesya berdebar lebih kencang. Sialan! Rupanya sejak tadi laki-laki ini pura-pura tidur. Kini hawa panas terasa mengalir naik ke wajah Kesya. Dia ketahuan sedang memperhatikan Marco. Aduh malu banget deh! Jangan-jangan Marco pikir, aku gadis kesepian yang sangat mendambakan laki-laki.
Aduh, pikiran dari mana lagi itu" Kok jadi kayak iklan-iklan kontak jodoh di tabloid sih"
"Kenapa" Kamu suka ya, ngeliatin aku"" Kini mata Marco sepenuhnya terbuka, tapi Kesya malah tidak berani memalingkan wajah. Hawa panas yang lebih panas daripada terik matahari di Gurun Sahara kini menyerbu wajahnya. Wajahnya pasti merah seperti lobster matang.
Marco tertawa kecil lagi. Kali ini dia menertawakan wajah Kesya yang memang merah seperti lobster matang.
Kesya mengutuk dalam hati. Memaki-maki dirinya sendiri kenapa dia harus satu mobil dengan laki-laki brengsek ini. Dan lebih memaki-maki dirinya sendiri kenapa dia harus memperhatikan laki-laki brengsek ini lima kali dalam sepuluh menit terakhir!
"A... aku nggak tau Jalan Disco ada di mana. Aku mau tanya, tapi aku lihat kamu tidurnya nyenyak banget. Jadi aku nggak enak banguninnya...," ujarnya mencari-cari alasan.
Marco masih tersenyum. Senyum seksi yang menggoda.
Dug! Dug! Dug! Dug dug dug dug dug dug!!!
Sialan! Siapa sih yang mukul beduk dalam hatiku! maki Kesya pelan.
"Belok sini," ujar Marco.
"Hah sini"" Kesya buru-buru membelokkan setir mobilnya. "Lurus saja sampai ujung sana...," ujar Marco lagi.
Kesya mematuhi petunjuk Marco sambil tetap memandang lurus ke depan. Dia masih tidak berani menatap Marco. Masih mengutuki ora
ng yang memukuli beduk dalam hatinya.
"Stop depan saja..."
Kesya melongo. Ini toh yang namanya Jalan Disco" Yang dilihat Kesya hanya sebidang tanah kosong yang cukup luas. Mau ngapain Marco ke sini" Tadi, pikir Kesya, Marco minta diantarkan ke tempat menginapnya di Jakarta. Tapi ini...
"Eh, tunggu...," seru Kesya saat Marco membuka pintu di sampingnya.
"Tolong buka bagasinya."
Kesya membuka bagasinya lalu mengikuti Marco.
Dari travel bag-nya, laki-laki itu mengeluarkan sebuah kamera digital. Dia lalu berjalan mendekati tanah kosong itu. Memotret dari berbagai sudut. Berhenti. Melihat-lihat. Berjalan ke tengah. Lalu memotret lagi. Berhenti. Melihat-lihat ke atas, lalu memotret lagi.
Kesya bersandar pada mobilnya. Masih bingung akan apa yang dilakukan Marco. Tapi dia memutuskan untuk diam saja. Tidak mau banyak bicara kepada laki-laki ini, terutama setelah kejadian memalukan tadi.
Marco tampaknya telah menyelesaikan urusannya. Dia memasukkan kamera digitalnya ke dalam travel bag. Setelah menutup bagasi, dia masuk ke mobil Kesya
lagi. Dengan hati dongkol, Kesya juga ikut masuk ke mobil. Mobil-nya!
"Ke Apartemen Magenta...," ujar Marco tanpa sempat Kesya bertanya.
Kesya mendengus kecil. Mereka bermobil dalam diam. Dari Jalan Disco sampai ke Apartemen Magenta makan waktu dua jam.
Saat tiba di Apartemen Magenta, Kesya lelah luar biasa. Tubuhnya penat. Matanya mengantuk. Dia menghela napas panjang, teringat perjalanan yang masih harus dia tempuh untuk pulang ke apartemennya sendiri. Tapi... Aneh! Kok sepertinya Kesya mengenali pemandangan di sini...
Kesya, setengah linglung, memajukan mobilnya ke parking booth. Dia menurunkan kaca jendela mobilnya.
"Selamat malam, Bu Kesya...," sapa petugas parkir dengan akrab. "Kok malam baru pulang, Bu""
Kesya tersenyum bingung. "Iya nih, tadi ada urusan..." Kesya setengah bingung setengah tidak percaya, karena dia juga merasa mengenali wajah petugas parkir Apartemen Magenta dan dikenali oleh si petugas parkir itu.
Celingak-celinguk, dia melihat ke sekeliling lagi. Rasanya dia benar-benar familier dengan lingkungan apartemen ini.
Tiba-tiba Kesya tersentak. Seolah mendapat pencerahan, matanya bersinar tajam. Ini kan... Apartemen Magenta" Apartemen Magenta kan apartemennya!
"Kamu akan tinggal di sini"" seru Kesya terkejut.
Marco mengangguk pelan. "Selama di Jakarta, sampai selesai pesta pernikahan, Alo dan Cecil menyarankan agar aku tinggal di Apartemen Magenta." "Apartemen nomor berapa"" buru Kesya cepat. "1525."
1525! Itu kan terletak di sebelah apartemennya!
"Itu tepat di sebelah apartemenku!" jerit Kesya.
Alis Marco terangkat. "Oh, bagus kalau begitu," ujarnya santai.
Bagus" Apanya yang bagus" Kesya kesal sekali dengan ulah Alo dan Cecil yang mencarikan bestman mereka apartemen tepat di sebelah apartemen Kesya, tanpa dia sendiri tahu apa-apa soal itu.
"Kamu nggak bisa tinggal di sana!"
"Kenapa nggak bisa"" Marco balik bertanya.
"Karena... karena..." Kesya kebingungan. Tidak tahu alasan apa yang harus diutarakan. Benar juga ya, kenapa Marco tidak boleh tinggal di apartemen sebelah Kesya" Tidak ada alsan yang jelas untuk melarang. Kesya hanya tahu, dia tidak suka berdekatan dengan Marco, laki-laki tukang tebar pesona ini.
Marco tersenyum lagi. Senyum seksi yang, lagi-lagi, membuat dada Kesya bergemuruh kencang.
"Karena kamu takut jatuh cinta sama aku, ya"" tanya Marco enteng.
Deg! Wajah Kesya berubah merah lagi. Kali ini warnanya seperti warna tomat matang.
"Kenapa aku bisa jatuh cinta sama kamu"" tantang Kesya. Matanya membulat, menatap berani ke arah Marco. Padahal, kalau menuruti kata hatinya, Kesya sudah mau menghilang saja ditelan bumi saking malunya.
Marco tersenyum lebih lebar. "Karena aku seksi," jawabnya sambil mengedipkan sebelah mata. "Dan... karena kamu telah memperhatikan aku setiap dua menit...," tambahnya dengan senyum menggoda.
"Gila!" maki Kesya.
Mobil Kesya telah terparkir sempurna. Marco turun tanpa berkata lagi. Dia mengambil tas dari bagasi yang telah dibuka Kesya, lalu berjalan menuju lift. Kesya mengikuti tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.
Tiinggg... Mereka berdua mas uk lift. Jemari Marco menekan tombol 15. Kesya merasakan lift bergerak naik. Dia masih merasa kesal. Sebenarnya bukan kesal karena Marco tinggal di sebelah apartemennya. Dia kesal lebih karena Cecil dan Alo, tapi Kesya percaya ini semua adalah ide Cecil, tidak memberitahunya apa-apa mengenai pengaturan ini. Dalam hati dia berjanji akan mencabik-cabik Cecil besok pagi, segera setelah fajar mulai menyingsing!
Tiiinnngg... Mereka berbelok, berjalan sedikit, lalu berhenti. Eh" Lho, kok berhenti di apartemen nomor 1523" Marco menekan bel pintu.
"Eh... " Kesya tidak jadi berkomentar karena DeeDee telanjur membuka pintu. "Siapa"" Itu suara DeeDee.
Pintu terbuka dan kepala DeeDee menyembul dari dalam apartemen. Gadis itu memegang sumpit. Dari pintu yang terbuka, tampak semangkuk mi yang mengepulkan asap diletakkan di atas meja pendek, di ruang tamu, di depan televisi. Kebiasaan jelek DeeDee, makan selalu sambil nonton televisi!
"Mau cari Kesya, ya" Kesya-nya belum pu..." Kalimat DeeDee tidak selesai. Berhenti menggantung seakan menguap di udara. DeeDee sendiri berdiri mematung memperhatikan sosok Marco yang menjulang, dua kepala lebih tinggi daripada dirinya. Matanya berbinar-binar tanpa berkedip. Sumpit yang tadi dipegangnya terjatuh satu, sementara yang satu lagi masih menempel di mulutnya. Tadi, DeeDee berbicara sambil memasukkan sumpit ke dalam mulutnya.
"Halo...," sapa Marco sambil tersenyum.
DeeDee, seolah terhipnotis, memandangi Marco tanpa berkedip. Dia tidak membalas sapaan Marco, hanya terpukau memandang sosok pria itu.
"Saya Marco, bestman-nya Alo. Saya akan tinggal di apartemen sebelah selama berada di Jakarta. Hmm... sampai acara pernikahan Alo dan Cecil selesai." Marco menyelesaikan monolog perkenalannya.
"Good night, Kesya." Marco mengangguk sopan ke arah Kesya. "Good night, DeeDee." Kini Marco mengangguk ke arah DeeDee. Kemudian dia melenggang
masuk ke apartemn nomor 1525. Begitu pintu apartemen 1525 menutup, DeeDee langsung bereaksi.
"Dia tahu namaku!" pekiknya senang.
"Then what"" Kesya mencibir sambil masuk ke apartemennya.
"Kenapa dia nggak tinggal di sini aja"" DeeDee masih memekik.
"Sssst!" Kesya menegurnya. Takut pekikan DeeDee terdengar sampai ke sebelah dan membuat Marco kege-eran. "Apa-apaan sih kamu" Dia nggak mungkin tinggal di sini!"
"Kenapa"" "Aku nggak akan mengizinkan!" "Kenapa nggak""
"DeeDee!" bentak Kesya. "Kamu ngaco ya. Masa kamu membiarkan orang asing seperti dia tinggal sama-sama kita!"
"Orang asing yang seksi." DeeDee tersenyum lebar. "Sinting!" maki Kesya lalu masuk ke kamarnya.
DeeDee menyusul langkah Kesya. Makan malamnya segera terlupakan.
"Kamu yang sinting kalau menolak cowok seseksi itu menginap di apartemen ini!" balas DeeDee tak kalah sengitnya.
"Gila!" Kesya memperkaya kosakata makiannya sambil menggeleng-geleng.
"Di mana sih, Alo ketemu cowok seksi kaya gitu"" DeeDee mengempaskan tubuh di ranjang.
Kesya lagi-lagi geleng-geleng kepala.
"Marco sahabatnya Alo, makanya bisa jadi bestman-nya Alo." "Dia seksi banget lho, Kesh...," desah DeeDee.
Kesya mencebikkan bibir. "Apaan"" cibirnya. "Cowok tukang tebar pesona! Cowok model begitu sangat mengagungkan maskulinitasnya! Nggak banget! Itu bukan tipeku sama sekali!"
DeeDee terdiam memandang Kesya. Tidak memedulikan makian Kesya.
"Aku punya feeling dia bakal jadian sama kamu deh..."
Kesya melotot, menampilkan ekspresi terhina mendengar ucapan DeeDee barusan, tapi hatinya berdebar juga.
"Feeling kamu salah banget kalau begitu! Aku nggak mau!" bantahnya. "Mendingan Jansen...," tambahnya pelan.
DeeDee menggeleng-geleng. Gayanya persis nenek Kesya waktu Kesya kecil menolak makan nasi.
"Kesya, Kesya... Dibandingin Jansen, Marco jelas jauh ke mana-mana. Dia seratus ribu kali lebih baik daripada Jansen."
"Sinting!" Kesya melemparkan guling ke arah DeeDee. Dia lalu keluar dari kamar tamu, berjalan menuju kamar mandi yang terletak di sebelah dapur. Saat
tangannya terulur hendak memegang hendel pintu, tiba-tiba terdengar suara bel pintu.
Kesya berjalan ke pintu dan melihat dari lubang siapa orang yang berkunjung malam-malam begini.
Ternyata Marco! Mau apa dia" Kesya membuka pintu. Alisnya terangkat saat melihat Marco menyodorkan sebuah bungkusan. "Apa ini"" tanyanya. Harum makanan menguar dari bungkusan
itu. "Aku pesan makanan untuk kamu. Dari tadi kamu belum makan malam, kan"" Kesya tertegun. Tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. "Good night." Marco mengangguk sopan, lalu berlalu. "Siapa"" kepala DeeDee menyembul dari dalam kamar Kesya. "Marco," jawab Kesya pelan. "Dia bawain makan malam untukku. Katanya aku belum makan malam."
"Wuaahh! Perhatian banget dia!" DeeDee melonjak kegirangan. Dug! Dug! Dug! Pemukul beduk dalam hati kesya beraksi lagi!
Krriingggg! Kesya meraih gagang telepon yang terletak tepat di sebelahnya. "Halo... "
"Ha... halo... "
Suara Jansen! Kesya mengecilkan volume televisi. Butuh usaha cukup keras untuk mendengarkan percakapan terpatah-patah Jansen. Biar begitu, Kesya sangat menikmatinya.
"Hai... Udah malem kok belum tidur"" Kesya melirik jam yang terpasang di dinding. Jarum pendeknya sudah menunjuk ke angka sepuluh. "Ka... kamu sendiri kok belum tidur""
"Aku"" Kesya memperhatikan sketsa perhiasan di pangkuannya. "Aku habis makan malam, tiba-tiba dapet ide, jadi buru-buru digambar. Kalau nggak, nanti keburu lupa."
Jansen tertawa kecil. Praannggg...! "Lho, suara apa tuh"" tanya Kesya terkejut.
"Ooh... itu... itu piring makanku pecah."
Ya ampun Jansen! Di telepon pun masih bisa gugup begitu!
Kesya tersenyum kecil. "Kamu juga baru selesai makan""
"I... iya nih. Ba... baru aja se... selesai kerja." Jansen tertawa lemah.
"Oh gitu... " Hening. Baik Kesya maupun Jansen tampaknya kesulitan menemukan topik pembicaraan yang bagus.
Akhirnya Jansen yang pertama kali memecahkan keheningan di antara mereka. "Kesya... besok sore kamu ada kerjaan nggak"" Jansen terdengar berusaha mengatur napasnya.
Kesya berpikir sebentar. "Kayaknya nggak deh. Emangnya kenapa"" "Besok aku disuruh motret di konser grup musik jazz La Rouge yang dari Prancis itu. Terus aku dapat tiket dua. Kamu mau ikut""
Wah... ada kemajuan. Jansen sudah berani mengajaknya nge-date!
Kesya tersenyum senang. "Boleh. Kamu mau jemput aku jam berapa""
"Aku... aku jemput kamu dari tempat kerja kamu jam lima aja, ya..."
"Oke... Sampai besok ya..."
"Hmm... I... iya. Good night, Kesya yang ayu..."
Kesya meletakkan gagang telepon sambil tersenyum-senyum.
Kriingg! Telepon berbunyi lagi.
"Kesya..." Kali ini suara Marco yang terdengar.
Kesya tersentak. Dari mana Marco tahu nomor teleponnya"
"Kok kamu tahu nomorku""
"Nomor teleponmu, nomor ponselmu, alamat kantormu, alamat e-mail-mu, hobi kamu, makanan kesukaanmu, warna kesukaanmu. Pokoknya apa yang kamu suka dan kamu nggak suka, aku tahu semuanya." Marco terdengar tertawa kecil. "Kamu pikir aku nggak akan menyelidiki dulu siapa pendampingku dalam acara pernikahan Alo dan Cecil nanti""
Menyelidiki" Apa maksudnya tuh" Memangnya aku ini psikopat yang harus diwaspadai" pikir Kesya meradang.
"Oke," potong Kesya kesal. Dia tidak ingin berdebat lagi dengan Marco. "Jadi kamu mau apa sekarang""
"Cuma mau tanya apa kamu sudah makan," suara Marco melembut.
Kesya tertegun. Menatap piring kosong di hadapannya yang belum sempat dibereskannya. Makanannya enak. Chinese food kesukaannya.
"Halo"" "Udah," Kesya buru-buru menjawab. "Aku udah makan. Thanks ya makanannya. Aku suka."
Terdengar suara tawa Marco. "Besok sekitar jam lima, temani aku pergi ya," pinta Marco.
"Nggak bisa!" Begitu seriusnya Kesya menolak ajakan Marco, kepalanya sampai ikut menggeleng. Padahal tentu saja Marco tidak dapat melihat apa yang dilakukannya.
"Kenapa nggak bisa"" Marco masih berkeras.
"Aku... aku ada janji." Mengingat ajakan Jansen tadi, hati Kesya jadi membesar dua kali lipat. Dia bahagia sekali.
"Sama siapa" Pacar" Mau nge-date, ya"" Marco masih belum menyerah.
Apa-apaan sih laki-laki ini" Bukannya mereka baru kenal" Kok Marco kesannya sudah akrab sekali dengan Kesya. Lagi pula, kenapa juga dari tadi dia selalu mau tahu urusan Kesya"


The Bridesmaids Story Karya Irena Tjiunata di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Halo, Kesya" Kok kamu nggak jawab" Berarti benar ya sama pacar" Nge-date ke mana" Aku ikut dong... "
Kesya tidak percaya dengan apa yang barus
an didengarnya. "Kamu mau ikut" Nggak salah nih"" sergah Kesya.
"Emang kenapa" Aku mau tau gimana sih pacar kamu." Suara Marco terdengar penuh percaya diri.
Huh! Terlalu percaya diri. Rasa simpati yang sejenak memenuhi hati Kesya langsung menguap tidak berbekas.
"Jangan aneh-aneh deh!" tukas Kesya.
"Galak amat...," komentar Marco usil. Kembali terdengar suara tawa. "Udah ah, aku mau tidur!"
"Night, Kesya!" seru Marco, masih sambil tertawa. Kesya mencibir, lalu menutup telepon.
Laki-laki yang aneh! Tapi tak urung hati Kesya berdesit juga mengingat percakapannya dengan Marco. Ada sesuatu yang berbeda pada laki-laki itu. Entah apa...
Mungkin kepercayaan dirinya saat berhadapan dengan Kesya" Cara bicaranya yang santai dan penuh canda sangat berbeda jauh dengan Jansen. Kesya tidak pernah sekali pun mendengarkan nada bicara yang penuh percaya diri saat berbicara dengan Jansen. Tetapi Marco" Seolah dia sangat yakin akan apa yang dibicarakannya. Seolah dia yakin bahwa dia dapat menaklukkan dunia. Begitu yakin, begitu tegas. Berbeda jauh dengan Jansen yang selalu gugup dan hati-hati.
Bloon Cari Jodoh 27 Tiga Dalam Satu 06 Dosa Yang Tersembunyi Kisah Para Naga Di Pusaran Badai 11
^