Pencarian

Boulevard Revenge 8

Boulevard Revenge Karya Crimson Azzalea Bagian 8


dia baru sadar sekarang" Mungkin karena pensiun membuat otaknya menjadi tumpul, pikir Gerard.
Melihat wajah orang yang dibencinya, Irina mendelik lalu maju menghampiri. Dengan emosi membeludak, dia berujar " Katakan padaku Gerard. Kamu pelaku malpraktek
ayahku. Yang dikatakan Braga itu omong kosong, kan" Yang dia ingat itu juga hasil tipu muslihatmu, kan" Bukan sungguhan" Iya, kan?"" Suaranya sedikit bergetar.
Jarinya menunjuk ke arah Braga yang memegang kedua sisi kepalanya seperti orang yang menderita sakit kepala parah. Edel dan Renno berusaha menenangkan
di kedua sisinya. " Semua yang dikatakan dan diingat Braga-. Adalah benar, Haruna. Itu kenyataannya. Braga memang pelaku malpraktek ayahmu yang sebenarnya. Kalau kamu ragu.
Aku bisa menunjukkan bukti rekaman cctv sebelum. Waktu itu Braga memasuki ruang operasi dan belum menggunakan masker operasi lagi" jawab Gerard setuju
menyudahi skenario drama tragis yang disusunnya selama 10 tahun terakhir.
Irina tersenyum pedih. Selama ini dirinya telah salah mengira. Mendendam pada orang yang salah. Dia kena tipu selama 10 tahun. Ironis sekali. Mengesalkan!
Keluhnya. " Huh, menyebalkan. Setelah sekian tahun kamu bersandiwara menjadi orang terkejam dalam hidupku. Sekarang kamu juga yang mengatakan bahwa itu hanya pura-pura
dan pelaku sesungguhnya adalah anak sulungmu. Apa itu tidak terlalu seenaknya, tuan Gerard yang terhormat?" Ujar Irina setengah mati menahan kemarahannya.
" Maafkan aku, Haruna. Aku tidak bermaksud mempermainkan hidupmu. Aku mengakui keegoisanku yang hanya mementingkan keluargaku tanpa peduli padamu dan Ladya.
Bukan hanya kalian berdua. Aku ikut menjadikan hidup beberapa orang seperti bola pingpong yang bisa diatur sesukaku demi melindungi Bara dan Braga. Aku
tidak punya pilihan lain. Hanya itu yang terpikir olehku untuk melindungi mereka. Aku tidak ingin masa depan kedua puteraku hancur. Aku punya janji pada
istriku untuk menjamin kebahagiaan mereka berdua yang sudah dipertaruhkan habis-habisan olehnya" ujar Gerard dengan nada memohon.
" Aku pun puteri dari seorang ayah. Anda harusnya juga bisa mengerti bagaimana perasaan ayahku saat anaknya diperlakukan semena-mena oleh anda! Aku tidak
akan menuntut anda atau rumah sakit semegah Boulevard seandainya kalian tidak memperlakukanku seperti serangga pengganggu. Aku hanya ingin menuntut permintaan
maaf anda, dokter yang melakukannya dan rumah sakit ini. Aku butuh pengakuan bahwa ada kesalahan yang menyebabkan kematian ayah. Aku dan gadis bernama
Ladya itu bisa mendendam pada anda dan rumah sakit bukan hanya karena malprakteknya. Tapi karena perlakuan yang kami terima dari anda dan rumah sakit.
Kami tahu tidak akan ada gunanya menuntut. Keputusan yang anda pilihlah yang membentuk dendam di hati kami berdua!" tutur Irina. Suaranya nyaring tapi
sarat kepedihan. Matanya berlinangan air mata.
Nasihat Joanna tentang dendam cukup mempengaruhi cara berpikir Irina teradap masalah dendam. Ditambah pengakuan Braga dan penjelasan alasan Gerard. Sebagian
hati dan pikirannya menuntut pengampunan untuk ketiga pria Witchlock. Demi Bara.
Seluruh pasang mata memandang ke arah Irina. Mereka paham perasaan gadis itu. Bahkan Renno yang tidak tahu menahu tentang duduk permasalahan yang sebenarnya.
Ikut terdiam. Memandang iba dan prihatin.
Napas Braga mulai kembali beraturan. Meski terlihat seperti orang yang tidak fokus, dia mendengar dan memahami semua pembicaraan antara ayahnya dan Irina.
Dengan sedikit memaksakan, Braga menegakkan tubuhnya. Melepas berbagai alat medis yang terpasang pada tubuhnya. Untung saja tidak ada infus yang menusuk
pembuluh darah. Sehingga tidak perlu ada adegan konyol melepaskan jarum infus segala. Kancing kemejanya dalam keadaan terbuka memperlihatkan bentuk tubuh
atletis proposionalnya. Kedua kaki menyentuh lantai dingin. Melawan rasa pusingnya, Braga berjalan menghampiri Irina.
Edel dan Renno entah mengapa seperti menerima isyarat. Mereka tidak berusaha menghentikan Braga. Bahkan mundur dua langkah menjauh.
Irina terpana memperhatikan tindak-tanduk pria yang baru saja mengaku sebagai pembunuh ayahnya. Bingung harus bersikap bagaimana. Tidak mengerti perasaanya
terhadap pria ini. Begitu keduanya sudah saling berhadapan, Braga jatuh berlutut di depan Irina. Kepalanya tertunduk seperti orang yang pasrah hendak menerima hukuman. Kening
gadis itu berkerut. Bingung. Akalnya macet. Selama beberapa saat, pikirannya kosong. Sedang apa Braga" Apa yang dia lakukan" Pikirnya. Para hadirin yang
menyaksikan ikut terperangah pada perbuatan Braga.
" Aku memohon maaf padamu. Maafkan aku yang telah lalai sehingga menjadi penyebab kematian ayahmu. Maafkan aku yang telah merenggut satu-satunya orang
tua dan keluargamu. Maaf jika hidupmu berantakan karena aku dan keluargaku. Maaf atas kesengsaraan, sakit hati dan penderitaanmu. Tolong maafkan ayahku
juga. Jangan libatkan Bara karena kesalahanku. Jika kamu ingin menghukum atau menghakimi, silahkan lakukan padaku. Kamu minta nyawa sebagai tebusannya,
akan aku berikan" ujar Braga sangat merasa bersalah.
Kalimat terakhir Braga mencekik leher Irina. Kerongkongannya terasa mengering bak di padang pasir. Tangan mengepal hingga kuku jarinya memutih. Kenapa
dia tidak merasa puas atau senang" Pembunuh serta musuh besarnya telah bertekuk lutut memohon maaf padanya. Lantas apalagi yang kurang" Kenapa dia justru
merasakan sesak dan hampa" Pundaknya bagai memikul beban berat. Membuat kedua lututnya hampir menyerah.
Perlahan tapi pasti, Gerard menghampiri putera sulungnya. Mengusap punggung sang anak sepenuh hati. Kepongahan dalam diri seorang Gerard Isaac Witchlock
sirnah tak bersisa. Bara membisu ditempatnya. Kemudian tersadar dan berjalan menghampiri Irina. Namun gadis itu tidak bergeming sama sekali. Masih menatap
nanar ayah dan anak dihadapannya.
" Seenaknya. Egois. Kenapa" Kenapa begini?"" Gumam Irina berkomat-kamit sendiri tanpan melepaskan pandangannya pada Braga dan Gerard. Kepalan kedua tangannya
semakin erat. Bara tidak berusaha menghentikan atau melunakkannya sama sekali. Dia ingin kekasihnya itu melepaskan amarah dan kesedihan dalam hatinya.
Memegangi dadanya yang sesak Irina berlari keluar ruangan. Dia tak kuasa lagi menahannya. Napas tercekat. Tubuh gemetaran. Yang dia inginkan hanya satu.
Pergi dari situ. Menjauhi segala masalah dendam mendendam yang tak kunjung usai. Dia lelah. Ingin pergi kemana pun kaki membawanya melangkah. Tak mengidahkan
suara panggilan rekan-rekannya, Irina melesat secepat roket. Telinga Irina berdengung. Suara disekelilingnya hanya terdengar samar-samar.
Sebuah lengan kuat dan besar menarik tangan Irina. Menghentikan larinya. Mematri kembali kedua kakinya untuk berpijak. Wajah tampan Bara menatapnya dalam
dan seksama. Raut kesedihan terpampang nyata pada mata elang pria pujaannya itu.
Irina Mengibaskan pegangan tangan Bara sekuat-kuatnya. Namun cengkramannya lebih kuat. Tak bergeming sedikit pun. Emosi Irina meningkat. Menarik kembali
tangannya. Hasilnya justru semakin menarik untuk mendekat ke arah si penahan. Sekali sentakan, tubuh Irina tertarik hingga hanya berjarak beberapa centi
dari tubuh jangkung di depannya.
" Tatap aku!" Seru Bara mencengkram kedua lengan kekasihnya.
" Apa lagi yang mau kamu katakan" Minta maaf" Mengulang kata-kata ayahmu atau kakakmu" Menyalahkan sikap ngototku" Mengejek dendam salah sasaranku" Meminta
pengampunan untuk mereka padaku?"" Rentet Irina di sela-sela isakan tangisnya.
" Aku tidak akan menuntut satu pun dari hipotesamu itu. Jadi berhentilah merajuk seperti anak kecil begini. Dengarkan aku!" Seru Bara menghentikan aksi
tarik menarik mereka. Kaget mendengar tekanan dan volume suara Bara, Irina pun terdiam. Tangisannya tak berhenti. Mendongak menatap Bara.
" Irina. Bukan. Haruna. Aku mungkin akan mengatakan kata-kata yang paling kamu benci jika aku mengucapkannya. Maafkan aku. Maafkan ayah dan kakakku. Maafkan
kami karena menyebabkan banyak kesusahan dalam hidupmu. Kami sadar telah melakukan kekhilafan besar ditambah keegoisan kami yang menghancurkan perasaanmu.
Tidak ada kata dan perbuatan yang mampu kami lakukan untuk menebus kesalahan ini. Tidak ada yang bisa membayar rasa sakitmu. Kecuali Tuhan. Keputusan untuk
menerima permintaan maaf kami ada di hatimu. Aku tak akan memaksa dengan memanfaatkan hubungan kita. Apapun keputusanmu, perasaan dan pandanganku terhadapmu
tidak akan berubah. Tentukanlah yang terbaik. Kamu bebas memilih. Jangan lari atau menghindar. Persoalan ini harus diakhiri, Haruna. Tuntas. Adil. Baik"
ujar Bara. Air mata gadis itu semakin menjadi mendengar ucapan Bara. Seakan setiap kata menorehkan goresan sengilu irisan sembilu. Sakit. Amat sakit.
" Aku bingung. Sangat bingung. Rasanya hampa. Gelap dan dingin. Aku harus melakukan apa, Bara?"?" Irina menangis tersedu-sedu di dada Bara. Pria itu hanya
bisa memeluk erat tubuh gadis yang tengah dirundung kesedihan dalam dekapannya. Sembari ikut menanggung separuh derita yang harus dipikulnya. Bara mengecup
puncak kepala Irina lalu menyandarkan dagunya di ubun-ubun sang kekasih. Air mata Bara juga tak kuasa diblokade agar tidak ikut-ikutan tumpah. Tangisan
Irina terdengar seantero lorong rumah sakit tempat keduanya berdiri. Dua insan yang sama-sama menanggung luka masa lalu.
Usai sesi menangis berjamaah mereka, Bara mengantar Irina pulang ke rumahnya. Sepanjang perjalanan keduanya hanya diam membisu seribu satu bahasa. Bara
sibuk menyetir dan Irina sibuk berpikir. Bisa dikatakan melamun tak tentu arah. Begitu mobil Bara berhenti di depan gerbang rumahnya, Irina mulai buka
suara. " Sejak awal kamu tahu bahwa Braga yang membunuh ayahku?" Tanyanya lirih.
" Tidak tahu. Beberapa menit yang lalu reaksiku tidak jauh lebih baik darimu. Aku juga terkejut, Braga pelakunya. Kamu menyangka aku menyembunyikannya
darimu?" Bara balik bertanya.
" Hampir" jawab Irina singkat.
" Penyakit impulsifmu kambuh lagi. Jangan terlalu cepat menyimpulkan. Sekarang apa yang akan kamu lakukan" Baik ayahku dan Braga sudah menyampaikan rasa
bersalahnya padamu. Sebenci apapun, aku yakin kamu pasti terenyuh melihat kejadian tadi terutama kondisi Braga" tanya pria beralis tebal itu.
" Aku. . bingung, Bara" jawab Irina ragu-ragu. Tak berani memandang wajah Bara.
" Baiklah. Aku akan katakan sejujurnya. Seandainya kamu memilih untuk memelihara kebencianmu kepada ayahku ataupun beralih membenci Braga, mungkin aku
tak bisa melakukan apapun lagi. Membantu mengungkapkannya, sudah kulakukan. Menjaga perasaan saat dirimu membenci keluargaku, sudah aku janjikan. Bisakah
setidaknya kamu menahan kebencianmu sedikit saja untukku" Biarkan aku mengurus sisanya. Kamu cukup mempercayakannya padaku" pinta Bara dengan suara lembut
bernada setengah memohon.
" Apa maksudmu?" Irina otomatis mendongak. Keningnya mengernyit bingung.
" Jangan melakukan apapun lagi yang berhubungan dengan balas dendam. Ayahku dan Braga tidak akan kabur atau berdalih macam-macam. Aku jamin. Aku yang akan
mengakhirinya. Berjanjilah untuk berhenti. Coba hidup lebih baik dan sehat." ujar Bara.
" Kenapa?" Tanyanya lagi. Terbersit rasa curiga.
" Kamu tidak bahagia. Harusnya kamu sadar. Keinginanmu sudah terwujud hari ini. Aku akan membereskan sisanya. Jangan sia-siakan lebih banyak waktumu hanya
untuk berpusat pada sakit hati. Berbahagialah, Haruna" ujar Bara.
" Jangan panggil aku dengan nama Haruna! Gadis itu sudah mati dibunuh oleh ayahmu selingkuh tahun lalu. Nama itu sudah kubuang saat menceburkan diri dalam
kolam balas dendam. Mendengarmu menyebutkan nama itu, aku jadi merasa mendengar ayahmu yang mengucapkannya. Aku baru sadar betapa miripnya kamu dengan
dia." sahut Irina tidak suka dipanggil dengan namanya yang dulu.
" Baiklah. Irina. Dan jangan coba mencocokkan setiap detail diriku dengan ayah seakan-akan kami ini anak kembar dempet. Jadi apakah kamu mau mengikuti
saranku" Maksudnya, permohonanku barusan?" Bara sejak dulu tak pernah suka jika ada orang yang menyebut-nyebutkan kemiripan dirinya dengan sang ayah. Komentar
macam itu membuatnya serasa jadi barang duplikat dimana mutunya perlu diperiksa. Asli atau imitasi. Menjengkelkan.
" Aku paham kamu tidak ingin aku terlibat lagi dalam masalah malpraktekmu dan Braga. Jujur aku pun lelah dengan semua ini. Tapi kamu juga harus mengerti,
situasinya masih gamang. Aku belum bisa menerimanya secara utuh. Ini terlalu tiba-tiba. Hatiku belum siap. Ijinkan aku berpikir sejenak. Ka-. ." Kata-kata
Irina kembali dipotongnya.
" Setidaknya berjanjilah untuk tidak menciptakan kekonyolan part dua. Semisalnya melakukan perlawanan atau tindakan nekat lainnya. Satu lagi jangan melarikan
diri. Setuju?" Sahut Bara seakan meminta perjanjian.
Irina memandang Bara dengan tatapan sebal. Kenapa Bara berkata seperti ini" Memangnya dia troublemaker yang perlu diikat oleh perjanjian anti kenakalan
segala. " Please, Irina. Mundur sementara waktu" tuntut Bara lagi.
" Baiklah, aku berjanji untuk mengikuti kata-katamu. Aku akan menunggu sesuai keinginanmu itu. Asal jangan buat ayah dan kakakmu menyembah-nyembah di kakiku
seperti tadi lagi. Itu membuatku jengah. Awalnya aku merasa itu keinginanku tapi saat mengalaminya, aku justru merasa jadi pelaku kejahatan. Petuah-petuah
kalian mungkin benar. Sudah saatnya aku merenungi dan mengevaluasi hidupku. Apa yang akan kulakukan pada ayahmu dan Braga belum terbersit dalam benakku.
Perasaanku terhadap mereka kacau. Akan kucoba menggali ulang keinginan terbesarku. Jangan mengucapkan kata maaf lagi! Aku benar-benar muak mendengarnya"
jawab Irina akhirnya setuju.
" Thanks. Kamu mau menahan diri dan berjiwa besar. Oke. Aku tidak akan minta maaf lagi. Ayo kuantar kamu masuk. Sebaiknya kamu istirahat" Bara menawarkan
jasa antarnya. Di rumah sakit Boulevard. Braga dipindahkan ke ruang rawat inap kelas suite room super spesial yang bentuknya lebih mirip kamar hotel bertempat tidur rumah
sakit. Dia hanya duduk di tempat tidur dengan tatapan kosong. Diam tak bergeming. Bagai patung batu dengan pahatan sempurna. Wajahnya pucat seputih kertas.
Edel dan Renno mulai menyukai diri Braga yang mengamuk beberapa saat lalu dibanding Braga yang diam seperti itu. Renno berdoa jika sahabatnya sampai menangis
meraung-raung berguling sana sini, dia justru akan langsung sujud syukur. Keduanya hanya bisa pasrah menunggu reaksi Braga.
Bastian mendapat tugas mengurusi pria tua berstatus terguncang di ruang rawat kelas khusus bersebelahan dengan putera sulungnya. Kondisi Gerard tidak separah
Braga. Meski tanda-tanda depresi tak luput dari raut wajah keriputnya. Gerard naik ke tempat tidur dengan bantuan Bastian. Lalu duduk bersandar pada bantal
yang telah disusun membentuk sandaran. Penyesalan menghantui. Merongrong jiwa terdalamnya. Bastian jadi tidak tega melihatnya. Meski perbuatan Gerard salah,
sebagai sesama ayah yang memiliki putera, dia bisa memahami bagaimana kuatnya dorongan untuk selalu melindungi anak terkasih. Harus menyeberangi kawat
berduri pun akan dilakukannya. Tapi cara mewujudkannya saja yang harus dipilah lebih tepat. Keduanya sama-sama diam menikmati kesunyian.
Setelah mengantarkan Irina, Bara kembali ke rumah sakit dan menghampiri kamar rawat Braga. Kedatangan sang adik rupanya mampu menarik perhatian Braga.
" Maaf, Del, Renno. Bisa tinggalkan kami berdua sebentar" Ada yang perlu aku bicarakan empat mata dengan Braga" pinta Bara. Edel dan Renno menyetujui permintaan
Bara. Tanpa berkomentar lebih banyak, mereka berdua keluar meninggalkan kakak adik Witchlock dalam suasana extra serius. Kemudian menutup pintu dari luar.
" Bagaimana Irina" Apa dia memaafkanku" Apa dia mengatakan sesuatu" Atau dia ingin aku melakukan sesuatu untuk menebusnya?" Sejak terakhir berlutut memohon
pengampunan pada Irina di ruang pemeriksaan, baru itu Braga mau membuka mulut lagi
" Jangan meninggikan harapanmu. Aku juga tidak akan berkata yang manis-manis hanya untuk menghiburmu. Aku tahu bukan itu yang kamu inginkan. Dia masih
bingung. Setidaknya dia tidak berniat menggorok lehermu atau ayah. Aku bisa pastikan itu. Tinggal waktu yang akan menyembuhkan hatinya. Perlahan-lahan"
jawab Bara seterus terang mungkin.
" Begitukah" Aku sangat terhibur mendengarnya" sahut Braga sedikit asal bicara.
" Sudah kamu pertimbangkan?" Tanyanya lagi.
" Ide yang kau kirimkan via pesan tadi" Kamu tahu" Jika bukan aku penerima teks pesan berisi ajakan yang hanya terdiri dari satu baris kalimat abstrakmu
itu, sudah pasti smsmu itu dikira pesan nyasar dari orang sinting yang senang mengirim teks tanpa memastikan nomor penerimanya" canda Braga mulai kembali
ke dirinya yang seperti biasa.
" Karena kamu yang menerima makanya kuketik seaneh mungkin" sahut Bara membalas ledekan sang kakak.
Braga tergelak. Tawanya terhenti oleh beban batin yang masih terasa sangat menghimpit.
" Aku setuju dengan rencanamu. Hidup membawa dosa bukan keinginan terbesarku. Bermimpi juga tidak pernah. Kapan kamu siap?" Ujar Braga kembali muram. Sinar
keberanian samar-samar mulai terpancar kembali di kedua mata tegasnya.
" Tommorow. Are you ready" "Sahut Bara tak ada kegentaran sedikit pun.
" Lebih cepat lebih baik. Sepertinya kita akan sama-sama terjatuh lumayan keras, Bara. Bagaimana dengan Irina" Apa dia sudah tahu tentang ini?" Tanya Braga.
" Aku tidak memberitahunya. Dia akan tahu sendiri saat sudah selesai. Kalau tahu, dia bisa bertindak sembrono. Biarkan saja dia tahu belakangan" jawab
Bara menghela napas panjang.
" Maafkan aku tekah membuat posisimu jadi serba salah. Harusnya-. ."
" Sudahlah. Aku juga punya kesalahan yang sama besarnya. Kita berdua melakukan dosa yang persis sama. Tidak bisa saling menyalahkan. Bukankah kamu lebih
menderita dariku. Meski setelah esok terlewati dan akan kehilangan sangat banyak, aku tidak kehilangan Irina. Tapi kamu benar-benar kehilangan segalanya,
Braga. Irina sudah menceritakan kepergian Joanna padaku. Kamu tidak ingin mencarinya?" Ujar Bara memandang sedih sang kakak.
Braga tersenyum miris. " Aku sudah mempertimbangkan semua resiko yang akan kutanggung sebelum mengiyakan rencanamu barusan, Bara. Setelah semua peristiwa
ini terjadi, aku merasa perlu memulai hidup baru yang jauh lebih baik. Mungkin salah satu awalnya harus kehilangan segalanya dulu. Aku akan berusaha bangkit
lagi sedikit demi sedikit. Masalah Joanna. Aku tak punya niat untuk menyerah. Saat aku sudah jadi Braga yang lebih baik, aku baru punya muka untuk menemuinya.
Selama proses merangkak naik nanti, aku baru akan mencarinya. Tentu saja setelah segala urusan kita berdua selesai" jawab Braga penuh keyakinan. Matanya
berkilat tajam saat mengutarakan rencana hidupnya kedepan.
Bara tersenyum. Lega mendengar sang kakak telah menemukan kembali tujuan hidupnya. Ketakutannya sirnah. Kekuatan untuk menebus dosa-dosanya semakin memacu
adrenalinnya. Tampaknya semua akan baik-baik saja, pikir Bara.
" Kamu lebih tabah dari yang aku duga. Apapun keputusanmun, aku pasti dukung. Tentang Joanna, akan kubantu sebisaku. Oia. Irina bilang, Joanna pergi ke
daerah Bandung. Setelah masalah terkutuk ini selesai, kita bisa mengobrak-abrik seantero Bandung" ujar Bara membesarkan harapan Braga.
" Benarkah?" Untung saja hanya sebatas Bandung. Kukira sampai harus terbang dengan roket ke luar angkasa. Siapkan dirimu juga. Terutama reaksi Irina nanti"
sahut Braga mengingatkan Bara.
" Aku tahu. Aku sudah terbiasa menangani kekeras kepalaannya. Untuk itulah aku tidak memberitahukannya sebelum rencana terlaksana. Aku akan pulang ke apartemenku
dulu. Setelah itu ke rumah untuk membereskan beberapa berkas yang disembunyikan ayah. Barusan ayah sudah memberitahukan letaknya. Kamu ingin kubawakan
apa?" Tanya Bara. " Good. Tolong bawakan aku setelan baju untuk besok saja. Dan satu tangkai mawar putih milik ibu" pinta Braga.
" Baik. Sampai bertemu besok pagi. Sisanya aku yang urus. Kamu istirahat saja dan nikmati masa-masa sebelum perang esok. Bye " Bara pamit dan melangkah
pergi meninggalkan ruangan.
Di kursi tunggu depan lorong kamar, Edel dan Renno menunggu dengan sabar. Melihat Bara keluar, keduanya langsung berdiri dan menghampiri.
" Braga sudah lebih tenang dan baik. Aku akan pulang untuk mengurus beberapa hal. Tolong titip Braga. Aku pergi dulu" ucapan mohon pamit Bara menggelitik
rasa curiga Edel dan Renno. Mereka merasakan ada yang tidak beres pada nada bicaranya. Dibanding berpamitan, kalimat barusan lebih mirip salam perpisahan.
Bastian muncul dan menghampiri kedua orang yang tengah asik menebak-nebak isi pikiran Bara. Merangkul bahu sang istri, membuyarkan lamunan Edel. Setengah
terkejut menoleh ke arah sang suami.
" Kamu mengagetkan saja. Bagaimana kondisi pak Gerard?" Tanya Edel mengelus dada akibat terkejut.
" Sudah lebih tenang dan masih muram. Dia akan baik-baik saja setelah beristirahat. Yang penting dia sudah menyerah. Semua bukti sudah dikatakannya pada
Bara. Masalah malpraktek ini akan segera selesai" ujar Bastian menyampaikan analisanya.
" Syukurlah. Meski baru tahu beberapa jam lalu, aku sudah stress dibuatnya! Apalagi menyaksikan sahabatku yang so perfect like a prince charming itu berubah
jadi orang setengah tidak waras. Mengerikan!" Sahut Renno dengan gaya melebih-lebihkan.
Bastian memutar bola matanya. Penyakit hiperbola playboy kabel yang satu ini belum sembuh juga ternyata, keluhnya.
" Jangan berlebihan. Braga masih sangat waras" sahut Bastian.
" Ya benar sekali. Braga sangat waras, benar. Aku yang hampir jadi sinting berada di lokasi terjadinya moment klimaks konflik rumit berumur 10 tahun lebih!"
Sahutnya. " Tutup mulut beo mu itu. Kita masih sibuk memastikan kondisi Braga. Jangan komentar macam-macam. Awas sampai masalah ini kamu bocorkan sehingga jadi gosip
kemana-mana, ya?" Ancam Edel. Ngeri jika Renno sampai keceplosan bicara.
" I keep my mouth shut " jawab Renno memperagakan menutup resleting mulutnya. Lalu masuk ke kamar rawat Braga.
Sepeninggalan Renno, Bastian tampak sedang berpikir dalam.
" Apa yang mengusik pikiranmu?" Tanya Edel yang heran melihat wajah merengut sang suami.
" Aku merasa ada yang aneh pada sikap Bara. Dia sepertinya merencanakan sesuatu" ujar Bastian mencurigai Bara.
" Persis. Aku juga merasakan hal yang sama. Bara seperti berpamitan. Tadi dia juga ijin berbicara berdua saja dengan Braga. Pembicaraan mereka tampaknya
serius" ujar Edel Bastian memicingkan kedua matanya. Tingkat kecurigaannya mencapai puncak.
Setelah mengambil beberapa barang dari apartemen, Bara tiba di rumahnya. Rumah yang telah beberapa tahun ia tinggalkan. Rumah yang menjadi saksi bisu kebahagiaan
keluarganya. Sebelum satu persatu permasalahan muncul memecahkannya menjadi kepingan-kepingan kecil lalu menguap di udara. Sambil menekan perasaan sakit
di relung hatinya, Bara mengambil langkah lebar menuju ruang kerja di kamar sang ayah yang berada di lantai dua.
Selama hampir 2 jam dirinya berkutat mempersiapkan segala barang bukti yang disembunyikan sang ayah. Surat asli bertanda tangan Irina dan gadis bernama
Ladya. Surat mutasi beberapa orang yang kemungkinan berkaitan pada kasus ini. Rekaman cctv saat kejadian malpraktek dirinya dan Braga. Diberanikannya diri
untuk menonton ulang rekaman tersebut. Tangan Bara gemetaran saking menyesalnya. Ingin berteriak pada dirinya di video itu agar memeriksa ulang donor jantungnya.
Hampir. Dia sadar betapa bodohnya pikiran itu.
Pada video kejadian Braga, dia bisa menangkap sosok Irina yang masih berumur 17 tahun. Gadis polos bermata besar. Begitu melihat tangisan Irina remaja
pecah sejadi-jadinya, rasa ingin melindunginya timbul. Degupan jantung Bara berdentum-dentum dalam dadanya usai menonton habis rekaman kejadian naas yang
kemudian merubah hidup banyak orang. Melihat ekspresi penuh derita Irina di video, membulatkan tekad Bara untuk menutup lembaran terakhir buku perjalanan
hidupnya sebagai dokter. Bara memegangi dadanya yang perih sambil menutup kedua mata. Seakan menahan sakit yang tak tertahankan.
Bukti-bukti telah terkumpul semua. Bara bergegas meninggalkan ruangan siap menjalankan misi bunuh dirinya. Melangkah dengan langkah berat. Menikmati setiap
detik, menit serta jam. Memandang sekeliling rumah yang amat dirindukannya. Sekelebat bayangan kebahagiaan di setiap sudutnya, membelai hangat indera penglihatan
Bara. Dia sampai di halaman belakang. Matanya terpatri pada hamparan bunga mawar putih. Dihampirinya bunga indah kesayangan sang ibu. Bara menatap rindu bunga
berbau lembut itu. Dipetiknya dua tangkai. Yang satu akan diberikannya pada Braga sesuai permintaan. Yang satunya, untuk dirinya. Srbagai pengingat dan
penguatnya menghadapi hari esok.
" Mother. Give us your strenght. Yang akan kami lakukan hal benar, kan mom" Kami benar-benar minta maaf, ibu. Maafkan kedua putera useless mu ini" Gumam
Bara dalam hati meminta restu sang ibu. Air matanya tumpah ruah. Lututnya menekuk hingga jatuh berlutut di depan hamparan bunga berarti cinta suci itu.
Isak tangis Bara terdengar lirih sekeliling taman bernuansa country.
Pagi hari di Boulevard International Hospital. Bara dan Braga terlihat sudah rapi menggunakan jas hitam dipadu kemeja putih dan celana panjang hitam. Dasi
hitam bergaris silver menambah kesan formal pada penampilan keduanya. Mereka tampak terlalu amazing untuk ukuran orang yang akan melakukan tindakan 'bunuh
diri'. " Kamu sudah siap?" Tanya Braga dengan rambut tertata rapi kebelakang. Membuat wajah tampan aristokratnya semakin menonjol. Bida viih
" Sudah. Ayo" sahut Bara. Tatanan rambutnya serupa dengan sang kakak. Hanya saja mata tajamnya berkilat.
Dua pria jangkung bermarga Witchlock berjalan tegap menuju ruang konferensi khusus bertema Auditorium. Di dalam ruangan telah penuh oleh wartawan surat
kabar dan media informasi lainnya. Suara kasak kusuk membahana sekeliling ruangan luas berwarna cokelat. Begitu kedua tokoh utama memasuki ruangan, keadaan
langsung sunyi senyap. Semua pasang mata mengikuti gerak gerik Bara dan Braga yang telah duduk di podium utama.
" Selamat pagi para hadirin. Saya Bara Darren Witchlock dan disebelah saya, Braga Dereck Witchlock akan menyampaikan beberapa hal terkait kejadian kurang
menyenangkan yang telah terjadi di dalam rumah sakit kami. Mari kita mulai acara konferensi pers ini. Penuturan awal akan disampaikan oleh kakak saya,
Braga. Silahkan" Bara membuka jalannya konferensi. Usai memberikan kata sambutan singkat, memberikan microphone pada Braga sebagai pembicara pertama.
Di waktu yang sama, Irina belum mengetahui tentang tindakan nekat yang dilakukan Bara bersama Braga. Dia bangun dan mandi seperti biasa di rumahnya. Berhubung
hari itu adalah hari minggu, dirinya tidak perlu terburu-buru untuk pergi kerja. Menikmati waktu santainya di meja makan. Sandwich tuna dan jus jeruk menjadi
menu sarapan pagi pilihan Irina. Baru satu gigitan sedang pada roti berlapis tuna, telepon genggamnya berbunyi. Dengan mulut yang masih mengunyah, Irina
mengangkat telepon masuk dari Edel.
" Ya, Del. Ada apa?" Sahutnya.
" Apa?" Televisi" Sebentar, aku nyalakan dulu" ujar Irina berjalan ke arah ruang tengah dan menyalakan televisi sesuai perintah Edel. Mengganti channel
ke stasiun televisi yang diberitahu sahabatnya.
Mata Irina terbelalak saat melihat sang kekasih dan Braga muncul di siaran langsung. Ada apa ini" Gumamnya tercengang kaget.
" Jangan berani-beran, Bara" gumam Irina. Tanpa pikir panjang, dia melesat mengganti pakaian seadanya kemudian melesat keluar memacu mobil secepat mungkin
menuju rumah sakit. " Praaankkkk!!!" Suara vas bunga kaca terjatuh dilantai sebuah rumah sederhana yang minimalis.
Joanna menatap televisi dengan wajah tercengang. Braga sedang mengumumkan kasus malpraktrek yang telah dilakukannya dihadapan publik. Cedric yang sedang
duduk di sofa depan televisi ikut terperanjat dan menoleh menatap sang ibu dengan tatapan bingung.
" Kenapa, ma" Mama?"" Sahut Cedric menanyai ibunya.
Joanna terlalu shock untuk mendengar pertanyaan anaknya. Matanya tak bisa lepas dari layar televisi dimana Braga mengakui kesalahannya. Meski tidak mengerti
hukum, dia tahu usai pengakuan ini, Braga akan menjalani proses hukum yang cukup pelik. Terutama untuk ijin prakteknya sebagai dokter juga akan terancam
dicabut. Bagaimana keadaannya" Apakah dia akan baik-baik saja disana" Bisakah semuanya berjalan lancar" Berbagai pertanyaan meletup-letup di kepala Joanna.
Khawatir akan keselamatan Braga.
Cedric sedikit cemberut karena tidak dihiraukan ibundanya. Perpaling menatap televisi dan menyimak isi pengakuan Braga. Dia ingat betul itu adalah pria
yang pernah dilihatnya berpelukan dengan sang ibu. Sejak awal melihat pria ini di depan rumahnya, Cedric merasakan sensasi rasa hangat dan rindu yang tidak
dimenyenangkan merebak memenuhi hatinya. Kenapa bisa begitu, ya" Pikir Cedric.
Sekilas matanya melirik ke arah cermin berukuran sedang tidak jauh dari televisi. Pantulan wajahnya sendiri hampir bersebelahan dengan wajah Braga yang
sedang tersiar di televisi. Kok mirip" Pikir Cedric. Dia baru sadar alasan dirinya merasa tak asing pada pria itu terletak pada kemiripan wajah mereka
berdua. Sebuah ide mencuat di otak encernya.
" Mungkinkah?" pikirnya. Menoleh kembali pada sang ibu yang masih terpana menatap televisi.
" Ma, apa pria itu adalah ayahku?" Sahut Cedric sembarangan berbicara.
Pertanyaan Cedric kali ini tidak bisa diacuhkan oleh Joanna. Dengan mata tak percaya dia menatap ke arah sang anak.
Irina sampai di rumah sakit Boulevard. Melesat lurus menuju ruang konferensi utama. Di depan pintu ramai staff divisi jantung termasuk profesor Ilyas,


Boulevard Revenge Karya Crimson Azzalea di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Renno, Bastian dan Edel. Gerard tiba-tiba muncul dari arah berlawanan. Ekspresi wajahnya seperti orang panik. Napasnya terengah-engah. Profesor Ilyas menghalangi
Gerard untuk masuk. Mereka takut para awak media akan menodongnya dengan ribuan pertanyaan, atau bisa sampai menghakimi jika keadaan menjadi tidak terkendali.
Saat Irina berusaha memasuki ruangan, sudah tiba giliran Bara yang memberikan pernyataan. Sayang pernyataannya hampir mencapai penghujung kata. Bastian
dan Edel menahan Irina agar tidak nekat menerjang naik ke atas podium dan membuat kerusuhan. Menariknya ke balik pintu agar tidak menarik perhatian.
" Jangan, Rin. Aku rasa ini sudah keputusan Bara dan Braga. Sebaiknya kita hargai itu" ujar Edel menenangkan sahabatnya yang hampir kena serangan jantung
mendadak. " Tapi ini keputusan gila, Del! Mereka tidak akan bisa jadi dokter lagi!" Seru Irina ngotot.
" Setidaknya dengan melakukan ini, kemungkinan hukumannya bisa saja diperingan. Bara dan Braga pasti sudah memikirkan tentang resikonya. Percayakan saja
pada mereka" sahut Bastian coba berlogika dengan Irina.
" Bara melakukan ini disaat aku sudah memutuskan untuk membuang dendamku demi dia" ujar Irina dengan mata berkaca-kaca. Seketika tenaganya bagai menguap
terbang bersamaan dengan pengakuan demi pengakuan yang terlontar dari mulut sang kekasih.
" Semua peristiwa yang sebenarnya sudah kami berdua ceritakan. Kami mohon maaf atas tersembunyinya masalah ini hingga 10 tahun lamanya. Tidak ada maksud
disengaja ataupun ingin lari dari tanggung jawab. Banyak faktor dan situasi yang membuat masalah ini jadi berlarut-larut. Kami akan mundur dari posisi
dokter bedah jantung rumah sakit Boulevard agar tidak memberikan image buruk bagi keseluruhan bagian rumah sakit. Besar harapan kami dengan keputusan gantung
jas ini bisa membuat pandangan buruk terhadap rumah sakit sedikit terobati. Sekali lagi kami berdua mohon maaf yang sebesar-besarnya kepada keluarga pasien
bapak Arya Wiguna beserta keluarga. Terutama kedua anak korban, yaitu Nona Ladya Sakila Wardhani dan nona Irina Aruna Yasmine" Bara dan Braga meletakkan
jas putih mereka yang terlipat rapi di depan lututnya lalu memberi tanda permintaan maaf dengan gaya khas negeri sakura. Duduk bersimpuh di lantai podium
lalu menurunkan kepala hingga dahi mereka menyentuh lantai. Kedua tangan menekuk seperti posisi sujud dalam sembahyang agama Islam.
Suasana hening. Senyap. Irina, Edel, Bastian dan Renno menyaksikan dengan hikmat. Keempatnya membeku di tempat. Waktu seakan berhenti berputar untuk sejenak.
Selama sepersekian detik para awak media seperti melupakan tugas mereka disana. Terhipnotis oleh kesungguhan kedua narasumber mereka. Satu persatu mulai
tersadar dan mengambil foto serta rekaman gambar moment spektakuler sepanjang sejarah medis belakangan ini. Bunyi kasak kusuk beredar seantero ruangan.
Selesai memberikan sujud permintaan maafnya, Bara dan Braga berdiri tegap kembali. Dengan tatapan tegar, Bara siap menutup acara jumpa pers suram mereka.
" Saya dokter Bara Darren Witchlock dan dokter Braga Dereck Witchlock bersedia mengikuti semua proses hukum yang seharusnya dan menerima hukum kedokteran
yang berlaku. Terima kasih untuk kesediaan anda semua. Mau meliput dan mendengarkan pengakuan serta penyesalan dua orang dokter yang telah lalai dalam
tugasnya. Selamat siang semuanya" ujar Bara. Keduanya menuruni podium dengan wajah tertunduk. Dikawal beberapa polisi dan team keamanan rumah sakit menuju
area yang aman di belakang ruang konferensi. Suara berisik membahana. Berasal dari para wartawan yang mulai bertanya-tanya.
Di dalam ruang kosong tidak jauh dari latar belakang auditorium, Bara dan Braga disembunyikan menunggu jemputan mereka selanjutnya. Edel, Irina, Bastian
dan Renno sudah berada disana duluan. Ekspresi keempat orang itu sangat mengerikan. Benar-benar tidak jelas karena berbagai perasaan yang berperang dalam
diri mereka. Lain hal dengan Bara dan Braga. Untuk ukuran orang yang akan segera menjalani proses hukum, dua pria bermarga Witchlock ini seperti tidak
punya beban. Mereka berdua terlihat jauh lebih tenang dan lega.
Irina langsung menghampiri Bara dan mencengkram kedua lengannya. Menatap pedih dan panik sang kekasih. " Kenapa kamu melakukan ini?" Kenapa, Bara?"" Ujarnya.
" Ini keputusan terbaik yang bisa aku lakukan, Irina. Kamu benar soal pengakuan dan permintaan maaf langsung untuk keluarga korban. Hal itulah yang sekarang
sedang aku dan Braga lakukan. Kami bersalah. Jadi biarkan kami menebusnya dengan cara yang benar" jawab Bara memegang kedua tangan Irina.
Gerard menerobos masuk ingin menemui kedua puteranya yang baru saja melakukan pengakuan dosa besar-besaran. Sebelum sang ayah menuding mereka sekuat-kuatnya,
Braga memeluk sang ayah. " Maafkan kami berdua, ayah. Mengambil keputusan tanpa meminta ijin dan pertimbanganmu. Padahal begitu banyak yang telah ayah dan ibu lakukan demi menyelamatkan
kami. Kali ini saja. Biarkan kami menghadapi masalah sendiri. Menanggung resiko sendiri. Dan bangkit dengan kekuatan sendiri. Ayah cukup melihat serta
mendukung kami sambil tersenyum. Tak perlu mengotori tangan lagi hanya demi menyelamatkan kepalaku dan Bara. Saat ini, hanya itu yang kami butuhkan, yah"
ujar Braga dengan suara dalam yang sedikit serak oleh air mata tertahan.
Gerard tak bisa berkata apa-apa. Hanya menangis sedih memeluk anak sulungnya. Selepas pelukan Braga, Gerard beralih menghampiri si bungsu. Memeluknya sambil
menangis. Bara menyambut pelukan sang ayah dengan senang hati. Hubungan mereka kembali membaik di saat semuanya berakhir setengah ricuh.
Profesor Ilyas disusul dengan seluruh anggota team bedah jantung memasuki ruangan menyaksikan pemandangan mengharukan keluarga Witchlock. Mereka semua
paham, salah satu alasan Bara dan Braga melakukan ini sekaligus membuat pengumuman resmi tentang pengunduran diri mereka adalah untuk menyelamatkan nasib
rumah sakit Boulevard. Demi kelangsungan karir mereka semua disana.
Tak lama acara berpelukan yang mengharu biru, empat orang polisi memasuki ruangan. Bersiap membawa Bara dan Braga ke kantor polisi untuk memulai proses
hukum mereka. Bastian memapah dan menarik Gerard yang mulai lemas melihat kedua putera kebanggaannya dijemput oleh pihak berwajib. Profesor Ilyas dibantu
oleh Bumi dan Takhrit mengangkat tubuh pingsan sang direktur rumah sakit Boulevard keluar ruangan. Renno memeluk Braga sebagai tanda dukungan sebagai seorang
sahabat. Edel memberi isyarat mata tanda simpati dan dukungannya meski sedikit terisak-isak.
" Sebentar, pak! Saya perlu bicara sebentar saja!" Seru Irina menghalau polisi yang akan memborgol kedua tangan Bara.
Bara meminta ijin untuk bicara dengan sang polisi. Polisi tersebut mengerti dan memberikan ijinnya. Lalu mundur beberapa langkah
Irina menghambur memeluk leher Bara. Membuat pria jangkung itu menunduk. Menelungkupkan wajahnya ke bahu Irina. " Kenapa jadi begini?" Kenapa kamu memilih
jalan ini disaat aku sudah bisa membuang dendamku demi kamu" Aku tidak mau begini. Lagi-lagi keadaan berubah berlawanan dengan harapanku. Karena masalah
yang sama aku ditinggalkan lagi oleh laki-laki yang penting untukku. Bagaimana selanjutnya nanti" Bagaimana kita nanti, Bara?" Isak tangis Irina menempelkan
hidung dan dahi mereka. Memegang kedua sisi wajah Bara.
" Semua akan berubah jadi lebih baik setelah jalan penuh duri ini terlewati. Percayalah pada takdir Tuhan. Percaya juga padaku. Aku akan baik-baik saja.
Jaga dirimu untukku. Tunggu aku kembali, Irina" ujar Bara dengan suara lirih. Kemudian mengecup dahi Irina sepenuh perasaan sebagai tanda perpisahan.
" Always. ." Jawab Irina berjanji akan menunggu kepulangan Bara.
Bara dan Braga kemudian menghampiri Edel, Bastian dan Renno.
" Aku titip ayah dan rumah sakit, Bas. Tolong pandu dan arahkan teamku dan Braga selama kami belum tahu bisa kembali atau tidak." Pinta Bara.
" Jangan khawatir. I Will be. Keputusan yang kalian ambil sangat berani. Sangat tepat. Good luck. Semoga Tuhan menyertai setiap langkah kalian" ujar Bastian
menepuk Bahu Bara dan Braga. Tersungging senyum kekaguman di bibirnya.
" Renno. Aku minta tolong carikan informasi tentang alamat Joanna di Bandung. Jika ada info tolong kabari aku" pinta Braga pada sang playboy.
" Siap bos! Detektif Renno segera beraksi! Kamu dan Bara baik-baiklah disana. Kutunggu kabar baik dari kalian" sahur Renno. Tersenyum tulus.
" Aku juga akan bantu mencari Joanna. Kamu tenang saja" sahut Irina mulai bisa menguasai dirinya.
" Pikirkan saja diri kalian. Kami-kami tidak perlu dikhawatirkan" sahut Edel menyeka air matanya.
" Terima kasih semua. Kami pamit. Sampai jumpa lagi" jawab Bara dan Braga hampir berbarengan melambaikan sebelah tangannya pada kerumunan anggota team
mereka yang tak sanggup mengucapkan apa-apa. Mereka membalas dengan mengacungkan jempol, anggukan, senyuman, tangisan serta ucapan selamat tinggal, semoga
sukses yang tak beraturan akibat diucapkan berbarengan.
Menghampiri si polisi. Kedua tangan Bara dan Braga diborgol lalu diboyong menuju kantor peradilan. Jas putih keduanya terlipat rapi di dekapan Irina. Air
mata belum usai turun membasahi tiap langkahnya. Dimulai dari kesalahan 10 tahun lalu di rumah sakit bernama Boulevard.
17. Epilog 1 setengah tahun kemudian.
Selama 1 tahun semua proses hukum dan administrasi kasus malpraktek Bara dan Braga berjalan dengan tertutup dan lancar. 1 tahun setelah keputusan hakim
di ketuk, ijin praktek Bara dan Braga ditahan sementara waktu. Berkat jasa pengacara handal ditambah perilaku baik serta jasa Bara dan Braga selama menjadi
dokter merupakan bahan pertimbangan yang cukup baik dalam prosesnya.
Badan yang mengurus masalah ijin kedokteran, memberikan kesempatan kedua bagi Bara dan Braga untuk bisa membuktikan diri kembali. Jika keduanya mampu,
maka ijin prakteknya pun akan dikembalikan. Meski harus melalui masa percobaan dan evaluasi yang ketat. Dalam proses tersebut mereka dilarang melakukan
prakteknya di rumah sakit Boulevard.
Bara melakukan masa percobaannya di rumah sakit daerah Surabaya. Sedangkan Braga memiliki nasib baik dengan melakukannya di rumah sakit daerah Bandung.
Ditengah kesibukkannya menjalani aktifitas yang padat, Braga masih berusaha mencari keberadaan Joanna. Ingat pada pesan Irina yang disampaikan oleh Bara
tentang Joanna yang berada di wilayah Bandung.
Selama hampir 1 tahun juga rumah sakit Boulevard menjalani proses audit dari badan pengawasan khusus. Beberapa dokter mengalami sedikit kesulitan tetapi
sebagian besar lulus dengan memuaskan. Termasuk team bedah jantungnya yang lulus seratus persen oustanding. Edel dan Renno juga lulus dengan peringkat
teratas untuk bidang kejiwaan dan syaraf.
Gerard menjalani pemeriksaan tapi atas keterangan Bara dan Braga, dirinya bisa selamat. Kedua puteranya telah membentenginya. Dia terharu dan berjanji
akan jadi pribadi dan ayah yang lebih baik. Bara bahkan dengan berani meminta sang ayah untuk mengubah cara berpikirnya yang mengutamakan nama baik rumah
sakit. Sebagai petugas medis, mereka harusnya lebih menitikberatkan pada keselamatan dan kebaikan pasien dibanding segalanya.
Kepala keluarga Witchlock itu setuju. Dia juga memberikan restu untuk hubungan Bara dan Irina. Tidak lagi mempermasalahkan cinta Braga dan Joanna. Diam-diam
dia menyewa orang untuk mencari keberadaan Joanna demi Braga.
Profesor Ilyas mengajukan pensiun dini. Bastian didaulat untuk menggantikan posisinya sebagai kepala divisi jantung. Edel juga diangkat menjadi kepala
divisi kejiwaan untuk prestasinya selama ini. Irina telah naik menjadi dokter bedah utama team 1. Disusul Takhrit dan Dastan di posisi dokter utama team
2 dan 3 menggantikan Bastian dan Braga. Tak ada junior yang direkrut untuk menutup tempat kosong Bara dan Braga. Entah kenapa Irina bersikap strick seperti
Bara saat di awal pertemuan mereka. Menurut Edel itu merupakan wujud penggambaran rasa rindu Irina selama Bara terpisah jauh darinya. Jas putih Bara selalu
tergantung di ruangannya.
Ruang pribadi bernama Dr.Bara Darren Witchlock di lantai 2 dan ruangan bernama Dr.Braga Dereck Witchlock dibiarkan sama seperti saat terakhir ditinggalkan
oleh pemiliknya. Gerard dan Irina secara rutin mengunjungi kedua ruangan tersebut. Merapikan dan membersihkannya. Kadang Irina kesana untuk melepas rasa
kangennya pada sang kekasih. Setiap hari mengganti bunga mawar putih agar tetap segar. Seakan menunggu kedatangan sang pemilik untuk segera pulang. Irina
bisa menangis sendiri diruangan bernuansa biru itu sambil memeluk jas putih milik Bara.
Edel dan Bastian tahu kebiasaan Irina. Tapi tak mau mengusiknya. Takut menambah sulit situasi yang sedang dihadapi kedua sahabat mereka. Untuk bertahan
dari kasak kusuk kabar miring yang beredar disekitar saja sudah cukup membuat telinga panas. Mulai dari gosip dokter-dokter wanita Surabaya yang cantik-cantik
sampai isu kepala rumah sakit tempat Bara uji coba memiliki ketertarikam untuk mengangkatnya sebagai menantu.
Rupanya yang paling kesal dari kabar angin tersebut adalah Villan. Dia berkali-kali membentak para suster dan dokter yang bergunjing membicarakan hal itu
dengan sengaja menggunakan volume yang bisa didengar oleh Irina. Villan benci sekali kenapa para penggosip senang sekali mencampuri urusan orang lain.
Memangnya enak jika kekasih kita dipisahkan sejauh itu" Dijadikan bahan pembicaraan yang tidak berdasar lagi.
Irina sangat berterima kasih pada Villan yang selalu mendukung dan melindunginya dari para penggunjing. Villan mengancaman melaporkan siapa pun yang menyebarkan
gosip bohong tentang Bara pada Bastian. Setelah Bastian naik menjadi kepala divisi jantung, sosoknya menjadi bagian tertinggi yang dihormati. Hampir setiap
lapisan di rumah sakit Boulevard takut pada otoritasnya. Padahal Bastian bukan orang bertipe keras seperti Bara. Tapi karena posisi pentingnya membuat
staff rumah sakit tunduk pada mandat si kepala divisi jantung.
Terutama Renno. Dia semakin ngeri membuat ulah disekitar Edel. Lawannya kepala divisi jantung. Bisa tamat riwayatnya kalau si raja baru mengamuk. Interaksi
konyol Renno dihadapan Bastian menjadi bahan tertawaan Takhrit, Bumi, Atthar dan Azka. Mereka senang memanas-manasi Bastian untuk membuat hidup Renno miserable.
Setidaknya ada yang tidak pernah berubah ditengah kondisi yang tidak lagi sama, pikir Irina tersenyum geli melihat kehebohan kelima dokter pria yang kekanak-kanakan
itu. " Kamu bisa tersenyum lagi akhirnya" seru Edel muncul menghampiri Irina yang duduk sendirian di bangku kantin rumah sakit.
" Hai, Del. Tentu saja aku bisa tersenyum. Memangnya aku robot. Lihat saja tingkah mereka berlima. Siapa yang tidak tertawa" ujar Irina menunjuk ke arah
kegaduhan di salah satu meja kantin.
" Azka, Atthar, Takhrit dan Bumi kalau bertemu Renno, berantakan semuanya. Ulah mereka sering membuat Bastian darah tinggi. Tapi ada bagusnya kalau kamu
bisa dibuat tertawa oleh para artis ketoprak abal-abal itu. Jangan murung terus dengan kepergian Bara, dong. Kami kehilangan sosok kuat penuh energi bernama
Irina Aruna Yasmine. Kuatkan hatimu. Bara pasti tak lama lagi akan kembali" ujar Edel menasihati sang sahabat.
" Aku tahu. Setelah banyaknya kejadian menggemparkan dalam hidupku. Aku hanya ingin bersikap dan hidup sejujur mungkin. Saat aku sedih, biar saja kesedihan
itu tampak. Jika senang, aku akan menunjukkannya. Aku sudah cukup muak dengan kepura-puraan. Maaf kalau aku membuatmu khawatir. Aku cuma ingin bersikap
apa adanya. Tak mau orang berpikir aku sok tegar. Orang beranggapan aku sedang sengsara. Padahal tidak. Aku memang tidak bahagia tanpa kehadiran Bara.
Tapi aku menikmati masa-masa penantianku. Aku rindu padanya, Del. Ingin bertemu dengannya. Hanya itu yang tak tertahankan" ujar Irina berusaha tersenyum
dalam tangisnya. Edel menyeka air mata Irina dengan telapak tangannya. Menenangkan sang sahabat. Merangkul bahunya dan mengusapnya. Tak mengatakan sepatah kata pun lagi.
Dia tahu saat seperti ini, Irina tidak butuh ucapan sebijak apapun. Dia hanya butuh support dan ditemani.
Bastian yang baru memasuki kantin melihat sang istri sedang menemani Irina yang menangis tersedu-sedu. Menghela napas panjang lalu berbalik tak jadi meneruskan
masuk. Berjalan ke taman dan menelepon seseorang.
" Halo. Bara. Tiket kepulanganmu sudah siap" Surat keputusan pemindahanmu kembali kesini sudah beres. Yang belum beres itu kejelasan waktu kepulangan yang
kamu sembunyikan dari kekasihmu sendiri. Buat apa kamu main rahasia-rahasiaan segala?" Ujar Bastian tanpa tendeng aling-aling menyerbu Bara dengan pertanyaan
via telepon. " Sudah lama tidak bertemu, setidaknya menanyakan kabar dulu menurut kamus tata krama ketimuran, bukan" Ini malah rentetan pertanyaan yang kamu semburkan"
jawaban Bara dari seberang telepon.
" Kamu tidak perlu ditanyakan kabarnya. Yang perlu itu ditanya tingkat kewarasannya. Apa tidak keterlaluan kamu membohongi Irina tentang waktu kepulanganmu"
Dia tidak tahu besok kamu kembali ke rumah sakit Boulevard. Aku tidak tanggung ya kalau saat melihatmu dia langsung mencekik lehermu karena marah" ujar
Bastian menakut-nakuti Bara.
" Jangan coba menakutiku, Bas. Aku hanya ingin membuat kejutan sedikit. Ada yang sudah kusiapkan. Kamu juga tahu itu" jawab Bara lagi.
" Ya terserah. Tapi pokoknya aku tidak mau mengangkutmu ke ruang UGD kalau Irina sampai menghajarmu. Kita lihat mana yang lebih terkejut kamu atau Irina"
sahut Bastian menyeringai jahil membayangkan reaksi Irina saat melihat kepulangan Bara yang tiba-tiba.
" Kamu terlalu berlebihan, pak kepala divisi. Pesawatku pagi. Mungkin sekitar jam sepuluhan aku sudah sampai disana. See you soon" ujar Bara.
" Oke. See you " sahut Bastian menutup teleponnya. Menggelengkan kepalanya. Tak habis pikir keinginan sang sahabat untuk merahasiakan waktu kepulangan
dari kekasihnya sendiri. Kemudian berjalan memasuki gedung rumah sakit lagi.
Keesokan harinya aktifitas berlangsung normal senormal matahari pagi yang terbit dari ufuk timur. Para dokter divisi jantung datang sekitar pukul delapan.
Senda gurau diselingi canda penuh tawa memberi warna tersendiri pada anggota divisi andalan rumah sakit Boulevard.
Irina berada diantara wajah cerah gerombolan yang dikepalai oleh Bastian. Menjadi satu-satunya yang berwajah setengah mendung. Kecantikan melankolisnya
semakin terpancar dengan ekspresi sedih yang tersirat selama satu setengah tahun terakhir. Semenjak Bara dan Braga diboyong pihak kepolisian tepat di depan
mereka semua. Kepergian Bara seakan ikut membawa kebahagiaannya. Jiwanya seperti terbagi dua bersamaan dengan borgol yang menglingkar dikedua tangan sang
kekasih. Kalau bukan karena Villan atau Edel yang sering mengingatkan untuk makan, Irina mungkin hampir selalu lupa untuk makan siang. Dia lebih suka menenggelamkan
diri dalam pekerjaan atau berdiam diri di ruang kerja Bara. Meditasi, istilah yang diberikan oleh Azka.
" Pak bos ganteng tidak datang hari ini?" Tanya Azka begitu melihat Edel datang sendiri dari arah parkiran.
Irina, Bumi, Takhrit dan Villan menoleh ke arah yang ditunjuk Azka. Edel berjalan menghampiri mereka dengan wajah sumringah.
" Hai. Morning all " sapa Edel tak memedulikan tatapan penasaran dari kelima rekannya.
" Kamu berangkat sendiri bu bos" Pak bos kemana?" Sahut Bumi ingin tahu.
" Ooh. Bastian sedang ada keperluan mendadak. Nanti siang dia baru kesini. Pesan darinya,tolong jangan membuat ledakan di divisi jantung, ya. Begitu" ujar
Edel menyampaikan pesan sang suami.
" Kalau itu pesan khusus untukmu berarti, Bum" sahut Takhrit.
" Enak saja! Yang suka merusakkan defibrilator itu kamu, Kiet!" Sahut Bumi tidak terima.
" Sudah. Sudah. Itu pesan untuk kalian bertiga ditambah Atthar dan Renno" ujar Villan menunjuk ke arah ketiga pria di depannya.
" Kami tidak begitu!!" Protes ketiganya serentak.
Edel dan Irina tergelak. Jelas sudah siapa yang dimaksud dalam pesan Bastian tadi. Villan menghela napas panjang. Lelah menasihati ketiga rekan yang tingkahnya
masih seperti anak abg. Ketiga dokter wanita berparas cantik itu berjalan memasuki gedung rumah sakit meninggalkan ketiga pria yang tengah berdebat tentang siapa yang paling berisik.
Villan dan Irina berbelok ke kanan menuju divisi jantung sedangkan Edel berbelok ke kiri menuju divisi kejiwaan.
Bandara Internasional Soekarno Hatta. Terminal 2F.
Bastian berdiri di dekat pintu keluar untuk penerbangan domestik salah satu maskapai penerbangan. Kacamata hitam bertengger di hidung mancungnya. Jas hitam
onyx membalut sempurna tubuh jangkung proposional. Berkali-kali melihat jam tangan elegan yang melingkar di pergelangan tangan.
Tak satu dua kali orang disekitarnya yang sama-sama menunggu, melirik dan menatapnya dengan penuh minat. Terutama dari kaum hawa. Diumurnya yang sudah
kepala tiga, penampilan dan ketampanan Bastian tidak bisa dipungkiri pesonanya. Dia berusaha untuk tidak menghiraukan bisik-bisik serta tatapan disekeliling.
Namun salah satu obrolan tiga orang wanita muda yang sejak tadi terus memperhatikannya dari ujung kaki hingga ujung kepala membuat dia sedikit jengah.
Mereka menyangka dirinya adalah salah satu artis ibukota. Pandangan wanita-wanita ini membuatnya seperti ingin diterkam oleh serigala betina. Menggelikan
sekali, pikir Bastian. Ini salah satu alasan kenapa dia benci sekali pergi tanpa sang istri tercinta. Kalau bukan harus kembali ke rumah sakit, dia akan
mengajak Vino tadi. Setidaknya mereka semua akan tahu dia adalah seorang ayah beranak satu. Ingat candaan Edel tadi pagi tentang dia yang sebaiknya memasang
tulisan 'married' di dahi agar tidak jadi pusat perhatian. Rasanya ide itu jadi terasa masuk akal sekarang.
Pintu keluar terbuka. Para penumpang pesawat telah keluar satu persatu. Bastian tak perlu membawa karton bertuliskan nama orang yang sedang ditunggunya.
Orang ini akan sangat berbeda diantara para penumpang yang turun. Dia jamin pria ini juga pasti mengalami kesulitan yang sama dengannya saat berada di
pesawat. Dugaan Bastian tepat. Seorang pria berjalan keluar dengan posturnya yang jangkung dan tegap. Berbobot proposional. Wajah tampannya tak bisa ditutupi oleh
kacamata hitam yang menghiasi tampilan kharismatiknya. Rambut kecokelatan tersisir rapi kebelakang. Mengenakan kemeja putih dan celana panjang hitam legam.
Mendorong dua koper hitam menggunakan troly bandara tanpa kesulitan yanh berarti.
Pria berkemeja putih menghampiri Bastian. Membuka kacamata hitamnya lalu tersenyum dan memberikan pelukan ala manly pada sahabatnya. Bastian menyambut
pelukan persahabatan Bara.
" Kamu terlihat lebih bahagia setelah masa hukumanmu selesai" sahut Bastian melepas kacamata hitamnya.
" Kamu justru terlihat lebih stres semenjak jadi kepala divisi kita. Aku tebak. Pasti kuartet tukang onar itu membuat tensimu naik. Belum your funny bussiness
dengan si playboy Renno" ledek Bara tersenyum jahil.
" Jangan mulai membicarakan tentang mereka berlima. Aku seperti mengurusi segerombolan anak nakal kalau mereka sudah bikin ulah. Alasan Profesor Ilyas
pensiun mungkin salah satunya karena capek oleh tingkah polah mereka" ujar Bastian berdecak kesal.
" Hahaha. .sesukamu sajalah pak bos" sahut Bara tertawa melihat wajah frustasi Bastian.
" Not funny! Ayo kita segera ke rumah sakit. Punggungku hampir terbakar karena ditatap intens terus menerus disini." cetus Bastian mengajak Bara meninggalkan
'sarang penyamun betina'.
Bara melirik sekeliling mereka. Benar juga, pikirnya. Setuju. Kedua pria tampan blasteran itu bergegas ke mobil Bastian yang terparkir di halaman bandara.
Dengan kecepatan sedang melaju menuju rumah sakit Boulevard.
Rumah sakit Boulevard pukul 16:00. Divisi jantung. Team 1 usai menangani sebuah operasi. Irina memastikan kondisi pasien stabil di ruang pemulihan. Setelah
memberikan instruksi tambahan pada Villan dan Azka, dia keluar dan berjalan ke kantin untuk duduk dan istirahat sebentar.
Irina mengambil sebotol air putih dingin lalu duduk di salah satu kursi. Meneguk habis airnya hingga tandas. Dia menghela napas panjang dan memijat-mijat
belakang lehernya yang terasa kaku. Merenggangkan tangan lalu berdiri dan berjalan meninggalkan kantin.
Di ruangan pribadinya, Irina melepaskan jas putihnya lalu menggantungnya di sebelah jas putih Bertuliskan nama Dr.Bara.D.W pada sakunya. Dia sentuh lembut
sulaman nama sang kekasih dengan ekspresi sedih.
" Kapan kamu kembali, Bara?" Gumamnya lirih.
Melawan air mata yang hampir tumpah lagi, dia berjalan keluar ruangan tanpa mengenakan jas prakteknya. Irina tiba di taman gedung divisi jantung. Ia duduk
di salah satu kursi. Melipat lengan kemeja putihnya hingga ke siku. Rasa lelah jelas terlihat pada wajah cantiknya. Duduk bersandar pada kursi taman. Kepalanya
mendongak menatap langit sore yang cerah.
"Langit masih terlihat indah. Tapi perasaanku hampa dan perih. Sampai kapan keadaan akan seperti ini" Sulit bagiku untuk tidak merasa sedih dan sendirian.
Satu-satunya alasan untuk membuang ambisi terbesarku pergi disaat aku sudah sangat bergantung padanya. Apa ini balasan untuk kesombongan dan rasa dendamku,
wahai Tuhan?" Dalam hati Irina. Lalu menutup kedua matanya. Menikmati siraman cahaya matahari sore.
Handphonenya berbunyi. Terkejut, dirinya langsung merogoh saku celana dan mengangkat panggilan telepon.
" Halo. Kenapa, Bas" Oke aku ke ruanganmu" jawab Irina menutup sambungan. Lalu beranjak memasuki gedung khusus dokter divisi jantung.
Begitu memasuki lift, dia mencium aroma parfum yang sangat familiar. Alis Irina bertautan. Menajamkan penciumannya untuk mengendus harum wanginya.
" Ini seperti bau parfum Bara. Otakku mulai bermasalah saking ingin bertemu dengannya. Gawat!" Pikir Irina menekan pikirannya.
" Ting!!" Pintu lift terbuka di lantai 2. Namun tidak ada siapa-siapa yang menunggu.
Dahi Irina mengernyit. Sampai pintu lift tertutup kembali tak juga ada yang naik. Perasaan ganjil mulai menyergap perasaannya. Dia sampai di lantai lima
kemudian turun menuju ruang kepala divisi jantung yang sekarang tertulis nama Dr.Bastian Archard Denfort Sp.BTKV.
Irina mengetuk pintunya dua kali. Setelah mendapat ijin, dia pun masuk. Di dalam Bastian sedang duduk di meja kerjanya. Tampak sedang menunggunya.
" Hai, Bas. Ada apa kamu memanggilku" Ada hal penting apa?" Tanya Irina tanpa basa basi.
" Tampaknya bagaimana tabiat pasangan kita bisa mempengaruhi, ya" Lama-lama cara bicaramu jadi mirip Bara. Oke. Aku akan langsung pada pokok pembicaraan.
Ada pasien khusus yang baru tiba dari luar kota. Penyakitnya agak sedikit kompleks. Aku minta kamu yang menanganinya langsung" ujar Bastian tersenyum hangat.
Namun tatapan matanya dalam tidak bisa ditebak.
" Tumben kamu memperlakukan pasien secara istimewa. Biasanya kamu paling anti dengan cara seperti ini. Apa diagnosanya?" Ujar Irina heran sang dokter kepala
yang dikenalnya sangat netral melakukan hal diluar kebiasaan.
" Kamu bisa lihat dan pelajari sendiri saat melihatnya langsung. Dia berada di kamar rawat kelas suite room nomor 2014. Chartnya juga sudah aku taruh disana"
ujar Bastian. " Pasiennya laki-laki atau perempuan" Umurnya" Namanya?" Rentet Irina semakin merasa aneh.
" Laki-laki berumur 38 tahun. Namanya Darren. Tolong kamu urus, ya" jawab Bastian menatap tajam Irina dengan ekspresi serius.
'Deg'. Mendengar nama itu membuat jantung Irina mencelos seketika. Darren" Pikirnya.
" Baiklah. Akan kuusahakan sebisaku. Melihat raut wajah serius dan perlakuan istimewa darimu, tampaknya pasien ini benar-benar special case. Aku pamit
dulu, Bas." Pamitnya meninggalkan ruangan menuju kamar yang dimaksud Bastian.
Begitu Irina keluar dan pintu tertutup rapat, Bastian tersenyum misterius. Not a lie but not the truth, pikirnya.
" Gelagat Bastian aneh. Apa mungkin pasien ini orang penting" Menteri misalnya" Atau konglomerat kelas atas" Apa penyakitnya" Atau artis, ya" Sepertinya
tidak ada artis bernama Darren. Mungkin juga aku yang tidak update dunia keartisan. Kenapa namanya harus mirip dengan nama tengah Bara, sih?" Membuat pikiranku
bercabang kemana-mana. Aku harap wajahnya jelek. Supaya konsentrasiku tidak pecah karena teringat Bara terus" gumam Irina dalam hati, berjalan menuju ruangan
pribadinya untuk mengambil jas praktek lalu bergegas ke ruangan yang dimaksud.
Irina sampai di ruang rawat inap berkelas suite room dengan nomor 2014 terpampang jelas di muka pintu. Memutar knop pintu lalu masuk. Tak ada pasien yang
dikatakan oleh Bastian. Disana hanya ada suster Anya tengah merapikan kamar.
"Loh" Suster Anya. Kemana pasien di sini?" Tanyanya bingung.
" Ah, dokter Irina. Pasien barusan ijin ke taman untuk menghirup udara segar katanya" jawab suster Anya. Tak tampak kaget saat melihat kedatangan Irina.
" Ke taman?" Kenapa diijinkan?" Dia kan sedang sakit. Kenapa diperbolehkan jalan-jalan ke taman sendirian segala?" Ke taman mana perginya?" Ujar Irina
protes berat. Tidak setuju sama sekali.
" Sepertinya ke taman sebelah sana. Ah, itu dia orangnya. Yang berkemeja putih" tunjuk suster Anya ke jendela samping kamar. Ada seorang pria berkemeja
putih yang sedang duduk di bangku taman. Tak terlihat wajahnya. Tapi cukup membuat sang dokter kesal. Pasien yang banyak maunya! Pikir Irina berbalik menghampiri
si pasien ke taman. Sesampainya di taman, Irina langsung menghampiri pria berkemeja putih itu.
" Permisi pak Darren. Saya dokter Irina, yang ditugaskan untuk merawat dan memeriksa anda. Saya sangat tidak setuju jika anda berjalan-jalan sendiri tanpa
pengawasan suster. Kondisi anda bisa menurun jika terlalu lelah. Mari saya antar anda kembali ke kamar untuk melakukan pemeriksaan" ujar Irina berdiri
tidak jauh dari kursi tempat duduk si pasien.
Pria yang tengah duduk dengan posisi membelakangi, berdiri memperlihatkan postur jangkung dan bahu lebarnya. Baru melihat punggungnya saja, Irina langsung
bisa mengenali siapa pria itu. Matanya terbelalak. Terperanjat pada pemandangan di hadapannya.
Pria itu berbalik lalu menatap dalam ke arahnya. Bara Darren Witchlock melempar seulas senyuman indah. Mata Irina memanas. Tanpa aba-aba kakinya melangkah
mendekat. Bara mengambil langkah panjang mendekat lalu merengkuh erat tubuh mungil sang kekasih. Irina melingkarkan kedua tangannya di bahu Bara.
" Kamu pulang?" Gumam Irina di sela-sela tangisan bahagia.
" Iya, aku pulang, Irina. Hukumanku sudah selesai. Kita bisa bersama lagi sekarang. Terima kasih sudah menungguku. Maaf membuatmu menunggu lama" ujar Bara


Boulevard Revenge Karya Crimson Azzalea di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan suara lembut. Menenggelankan wajahnya di antara leher dan bahu Irina. Menghirup aroma harum khas dari rambut sang kekasih yang sekarang sudah panjang.
Terurai indah sampai ke bahu.
" Syukurlah. Aku hampir berpikir, kamu tidak akan pulang. Benar-benar menyebalkan! Kamu belakangan sulit dihubungi dan jarang menghubungiku juga. Mengesalkan,
Bara!" Seru Irina memukul dan mencengkram erat bahu sang kekasih.
Bara melepaskan pelukannya. Menarik tangan Irina dan mendudukkannya di bangku taman. Bara berlutut di depan Irina lalu melingkarkan kedua lengannya dari
lutut hingga pinggang sang kekasih sembari menatapnya dalam.
"Maaf. Di akhir masa hukuman kemarin, aku berusaha sekeras mungkin. Pengajuanku agar bisa kembali ke rumah sakit Boulevard akhirnya bisa disetujui. Bastian
ikut membantu. Karena itulah aku jarang punya waktu luang. Meski begitu aku tetap berusaha untuk menghubungimu. Jangan salah paham. Aku sangat ingin bertemu.
Sering muncul ide nekat untuk memesan tiket pesawat dan mengunjungimu sesekali di hari libur. Tapi aku urung melakukannya. Itu bisa membuat kamu dan aku
semakin sulit berjauhan. Bertemu kemudian berpisah lagi. Maaf juga karena tidak memberitahumu kalau hari ini aku kembali" ujar Bara.
" Sudah cukup. Aku tidak butuh penjelasan panjangmu. Yang penting kamu pulang lagi ke sisiku. Itu sudah lebih dari cukup. Aku sudah pernah bilang padamu.
Jangan minta maaf padaku. Aku benci mendengar kamu minta maaf berkali-kali seperti itu. Kamu selalu kumaafkan" ujar Irina memegang kedua sisi wajah tampan
Bara. " Terima kasih, Irina" jawab Bara memegang tangan kanan yang mengusap pipi kirinya.
" Kamu sadar dari mulai pintu lift terbuka di lantai 2, panggilan Bastian ke ruangannya di lantai 5 sampai kamu yang disuruh mengurus pasien di kamar rawat
nomor 2014 itu napak tilas pertemuan kita dulu?" Tanya Bara.
" Aku baru sadar setelah melihatmu datang. Sadar bahwa aku sedang dikerjai olehmu dan Bastian. Nomor 2014 kamu pilih sengaja, kan" Itu tahun pertemuan
kita" jawab Irina tersenyum sebal.
" Thats right " ujar Bara menyeringai jahil.
" Hmm... kamu terlihat sehat tapi sedikit kurusan. Apa makanan Surabaya tidak cocok dengan seleramu?" Tanya Irina menatap seksama wajah kekasihnya.
" Tidak. Bukan makanan yang menjadi masalah. Beban perasaan yang membuat rasa makanannya jadi tidak enak. Kamu juga turun berat badan. Lihat wajahmu jadi
tirus. Matamu sedikit cekung. Laporan Bastian dan Edel tentang keadaanmu disini membuatku tidak tenang" jawab Bara mencubit ujung hidung Irina.
" Mereka tukang ngadu!" Seru Irina.
" Mereka khawatir padamu, Irina. Lagipula memang aku yang bertanya. Secara teknikal mereka tidak mengadu" jawab Bara terkekeh geli melihat protes Irina.
" Oke mereka tidak mengadu. Tapi tetap saja terasa dilaporkan" ujat Irina sedikit cemberut.
Bara tergelak melihat bibir manyun sang kekasih. Merogoh saku celananya dan mengeluarkan kotak kecil berwarna maroon. Lalu dibukanya kotak itu, memperlihatkan
isinya. Cincin emas bertektur halus. Desain klasik eropa dengan guratan unik disekelilingnya. Butiran kecil permata menghiasi lengkungan. Bara menyodorkannya
ke hadapan Irina. Cincin indah itu berkilat terkena sinar matahati sore.
Irina terpana melihatnya. Tak sanggup berkata apa-apa. Kemudian memandang Bara. Seakan meminta penjelasan.
" Kamu tentu sudah paham maksudku apa. Aku tidak bisa merangkai kata-kata indah seperti pada scene lamaran di film. Jadi jangan menunggu aku mengatakan
kalimat kiasan yang romantis. Aku harap kamu tidak memaksaku untuk mengarang bebas saat ini juga. Karena yang mampu kurangkai hanya kalimat aneh yang membuat
telingamu gatal" sahut Bara sangat tidak romantis.
Irina tergelak mendengar kata-kata yang keluar dari mulut sang kekasih sangat jauh dari kategori romantis. Bara memiliki wajah dan perawakan seperti pangeran
impian dalam dongeng. Namun sifatnya sama sekali bukan sifat seorang pangeran. Dia lebih mirip ksatria berbaju perang. Pangeran berjiwa ksatria. Justru
itu yang membuatnya tergila-gila.
" Semua kejadian yang terjadi dari awal pertemuan kita sampai saat ini, membuatku yakin kalau pertemuan kita memang sudah di takdirkan. Ironis memang.
Tapi lebih baik dari pada berakhir miris. Kamu tak lagi menggenggam dendam dan aku tak lagi memikul beban. Ayo kita gapai kebahagiaan. Kita berhak bahagia
setelah menang melawan badai panjang selama hampir 12 tahun lamanya. Menikahlah denganku, Irina" ujar Bara menatap Irina lekat-lekat dengan tangan memegangi
kotak berisi cincin. Irina membalas tatapan Bara. Sama seperti sang pria, dia pun tidak mau bertele-tele. Tersenyum manis. Mengambil cincin dari kotaknya dan memberikan jawaban.
" Aku mau menikah denganmu, Bara. Ayo kita gapai kebahagiaan kita sendiri".
Bara tersenyum bahagia. Lalu berdiri. Duduk bersebelahan. Mengambil cincin dari tangan Irina dan menyematkan di jari manis kirinya. Pas sekali. Untunglah,
pikir Bara. Saat akan membelinya, dia berkonsultasi dengan Edel agar ukurannya tidak salah. Tapi malah kena semprot. Menurut Edel, dialah yang harusnya
lebih tahu karena sepasang kekasih pasti sering bergandengan tangan. Pada akhirnya, dia mengira-ngira sendiri.
" Terima kasih, Irina" ujar Bara.
" Sama-sama, Bara" jawab Irina.
Bara mencium bibir tipis Irina. Lembut dan dalam. Berpayung langit jingga di sore yang cerah. Dua insan yang baru merengkuh bahagia setelah cobaan tak
henti-henti terus menguji mereka. Cahaya hangat matahari petang. Semburat kemerahan yang akan segera tenggelam di ufuk barat. Jalan lurus menuju masa depan
yang indah telah terbentang luas dihadapan mereka. Kebahagiaan itu sederhana. Kesederhanaan itu indah. Sedangkan keindahan berasal dari cinta tulus. Tidak
harus romantis. Yang penting sederhana dan berarti. Tak lekang oleh waktu. Tak hilang terhapus musibah.
3 tahun kemudian. Jalan Braga, Bandung. Jalan ramai penuh wara wiri pejalan kaki yang asik menikmati suasana cerah di siang hari kota Bandung. Arsitektur tempo dulu khas jaman kolonial Belanda
menjadi daya tarik uniknya. Di samping kanan kiri jalan berdiri megah kompleks pertokoan bergaya klasik khas masa Hindia Belanda. Mulai dari toko pernak
pernik, makanan dan macam-macam toko lainnya yang tidak kalah menarik. Hotel dan perkantoran juga ada di sekitarnya.
Seorang gadis kecil blasteran berambut panjang kecokelatan berjalan sendirian. Sepertinya terpisah dari orang tuanya lalu tersesat. Dress warna merah mudanya
menunjukkan kelas ekonomi keluarga yang mapan. Berkeliaran kesana kemari mencari wajah familiar yang dikenalinya. Air mata berjatuhan di pipi chubbynya
yang mulus. Kulit putih bersih dan mata bundar beriris cokelatnya membuat gadis cilik berumur sekitar 3 tahunan ini tampak seperti boneka barbie. Memeluk
boneka kucing berwarna putih, ia terduduk di jalan karena kelelahan. Lalu menangis sesenggukan.
Tangisan anak perempuan blasteran itu menarik perhatian pengunjung jalan. Namun tak satu pun yang berusaha membantunya. Merasa dirinya jadi tontonan, membuat
tangisan si kecil semakin kencang. Selayaknya anak-anak yang minta diperhatikan.
Seorang remaja laki-laki merunduk menghampiri si anak perempuan. Rambutnya terpangkas rapi. Wajahnya tampan campuran dengan ras kaukasoid. Hidungnya mancung
berdahi lebar. Dagu berbelah. Bibir tipis. Alis panjang tajam. Mata kecokelatan berpandangan tegas untuk ukuran anak seusia itu. Dari seragam putih biru
yang dikenakannya, tampak sekali si anak laki-laki masih duduk di bangku sekolah menengah petama. Meski siapapun yang melihatnya akan beranggapan dia lebih
cocok jadi anak SMA dengan tubuh jangkung.
" Adik kecil kenapa menangis?" Ujar remaja laki-laki mengelus kepala si gadis kecil.
" Ma. .hiks. .mama. .papa. .hiks. .hiks!" Isak tangisnya. Bibir tipis nan mungil berwarna kemerahannya bergelombang menahan rintihan sedih. Menatap lurus
remaja laki-laki yang tidak dikenalinya dengan tatapan memelas tapi takut.
" Hai nama kakak Cedric. Nama kamu siapa anak cantik?" Tanya remaja laki-laki berumur hampir 15 tahun itu.
" S-Sofia. ." Jawab gadis kecil bersepatu merah itu sedikit terbata.
"Oke Sofia. Salam kenal. Mau kakak temani mencari mama papamu?" Ajak Cedric. Ingin memastikan dulu agar Sofia tidak merasa takut padanya.
Sofia memandang Cedric sedikit takut. Ekspresinya langsung berubah setelah menatap kanan kirinya yang terasa asing. Dia takut. Ingat pesan sang ibu untuk
jangan menuruti ajakan orang asing. Tapi dia lebih merasa asing pada sekeliling dari pada kakak baik hati di hadapannya. Jadi dia memutuskan untuk setuju.
Dia menganggukkan kepala. Tanda setuju.
Cedric tersenyum hangat dan menggandeng tangan mungil Sofia. " Ayo kita cari mama papa kamu, Sofia" ujarnya lalu menggendong tubuh kecil Sofia agar lebih
efisien. Entah kenapa Sofia tidak merasa takut pada Cedric. Dia merasa mengenalnya. Setelah 15 menit berkeliling, Sofia kesal dan mulai menangis lagi.
" Sshh. .jangan menangis Sofia. Kita pasti ketemu mama papa kamu. Mama papa seperti apa, sih?" Tanya Cedric berusaha menenangkan si kecil.
" Papa is bery hansome. Mama is pwetty " sahut Sofia sedikit cadel karena tersedak air mata.
Cedric ingin memukul dahi. Bodohnya dia! Bertanya ciri-ciri orang pada anak kecil berumur 3 tahun. Mana bisa?" Mencari pria dewasa berwajah tampan dan
wanita dewasa cantik di jalan selebar dan seramai ini sama seperti mencari jarum dalam jerami. Bagaimana caranya" Keluh Cedric.
Dia perhatikan gadis kecil dalam gendongannya lekat-lekat.
" Sofia berwajah blasteran. Sudah jelas dari warna rambut dan matanya. Tapi matanya bulat sekali. Pasti itu darah indonesia. Kulitnya tidak Albino sepertiku.
Berarti orang tuanya blasteran bukan albino tulen yang kemungkinan menikah dengan orang indonesia sehingga percampurannya sudah bagus di sisi struktur
kulit. Ah, apa yang kupikirkan?" Penyakit sok pintarku mulai kambuh nih. Yang penting cari laki-laki atau perempuan blasteran yang kira-kira mirip dengan
Sofia" Cedric menganalisan rupa orang tua Sofia.
Baru beberapa melangkah lagi usai istirahat sebentar-.
" Sofia!!" Suara teriakan seorang anak laki-laki berumur 6 tahun memanggil. Lalu berlari sprint ke arah mereka. Bocah itu mengenakan kaus merah dan celana
jeans pendek selutut. Rambutnya cokelat. Wajah ganteng khas blasteran. Mata cokelat. Berlesung pipi.
"Vinoo!!" Panggil Sofia girang melihat orang yang dikenalnya.
Cedric menduga bocah laki-laki bule itu adalah kakak Sofia. Meski tidak terlalu mirip kecuali sama-sama blasteran. Bocah bernama Vino itu berhidung bangir
dan bermuka sedikit kotak. Sedangkan Sofia berhidung lancip dan wajahnya bertipe bulat.
" Tante Irinaaa!!" Panggil Vino.
Sekonyong-konyongnya seorang wanita muncul dari arah lain. Matanya merah seperti habis menangis.
Cedric menoleh. Wanita cantik berparas indonesia yang matanya persis dengan Sofia, berlari menghampiri mereka.
" Mammaa!!" Panggil Sofia begitu melihatnya.
Cedric memberikan Sofia pada wanita yang dipanggil mama oleh si kecil.
" Baraaa!!" Panggil wanita itu. Memanggil suaminya mungkin, tebak Cedric.
Tak lama seorang pria jangkung berwajah campuran berlari mendekat dan mencium kepala sang anak. Tampak sangat lega. Waw, Sofia mirip sekali dengan ayahnya,
pikir Cedric takjub melihat kemiripan ayah dan putrinya.
Bastian dan Edel muncul. Disusul Braga dibelakangnya. Jantung Cedric mencelos saat melihat sosok Braga. Matanya terpana. Ketiga orang dewasa itu menghampiri
Bara, Irina dan Sofia. Merasa aman karena dikelilingi keluarganya, Sofia mulai tenang. Lalu tersadar tidak melihat Vino. Dia mencari-cari sahabat dekatnya.
Vino menatap Cedric tatapan tajam. Penasaran. Keduanya terlibat adu tatap. Cedric merasa geli ditatap seintens itu oleh seorang bocah.
" Kecil-kecil sudah bisa mengintimidasi. Cikal bakal anak sok pintar berikutnya. Sama sepertiku" pikir Cedric tersenyum jahil pada Vino.
" Vinoo!" Panggil Sofia.
Tapi tak digubris. Merasa tak diperhatikan Vino, ia pun merengut.
" Mamma. .pappa. .Sofi ditolong kakak handsome " Sofia mengadu sambil menunjuk ke arah Cedric.
" Terima kasih sudah menolong Sofia" ujar Irina berterima kasih padanya.
" Terima kasih sudah menjaga puteriku dan membawanya kembali pada kami. Maaf merepotkan" ujar Bara tersenyum padanya.
" Bukan masalah om, tante. Sofia anak yang penurut jadi tidak merepotkan" jawab Cedric tersenyum ramah.
Braga menatap seksama Cedric. Timbul perasaan aneh pada anak itu. Cedric membalas tatapan sang ayah. Edel mengernyitkan dahinya. Dia pernah melihat anak
itu entah dimana. " Terima kasih sekali lagi. Maaf namamu siapa?" Tanya Bara.
" Cedric" jawab Cedric.
" Baiklah Cedric. Kamu mau ikut dengan kami untuk makan siang di kafe sebelah sana" Jangan sungkan. Sebagai rasa terima kasih kami atas pertolonganmu pada
Sofia" ajak Bara. " Tidak usah om. Saya ditunggu ibu dirumah. Takut dia khawatir. Terima kasih sebelumnya" tolak Cedric.
" Sayang sekali ya. Baiklah kalau begitu sampaikan salam kami untuk ibumu. Terima kasih banyak. Maaf kami tidak bisa mengantarmu pulang karena ada keperluan
setelah ini" kata Bara menyayangkan.
" Tidak apa-apa om. Rumah saya dekat kok. Jangan repot-repot" jawab Cedric lagi. Tak melepaskan pandangannya dari Braga.
" Kami pamit dulu ya. Hati-hati di jalan" ujar Bara dan Irina.
" Ya om tante. Sama-sama. Hati-hati juga" jawabnya.
" Daa. .kak Cedric!!" Seru Sofia melambaikan tangannya digendongan Bara.
" Daa Sofia! Bye Vino!" Ujar Cedric melambaikan tangannya sekaligus mengedipkan sebelah matanya ke arah Vino. Berniat menggoda anak itu.
Bibir Vino mengerucut kesal karena sadar sedang dijahili oleh Cedric. Tapi membalas lambaian tangan Cedric sebagai sopan santun yang diajarkan padanya.
Edel dan Bastian sadar cara menatap Cedric ke arah Braga. Begitupun sebaliknya. Hanya bisa memicingkan mata dengan heran.
Para dokter bersama anak mereka berjalan pergi. Hanya Braga yang masih setengah terpana menatap Cedric. Dia tersenyum hangat. Membuat Cedric terpancing
untuk memanggilnya ayah. Dia tahu itu adalah ayah kandungnya. Sang ibu sudah menceritakan semuanya pada dia. Cedric tak membenci ayahnya. Menurut dia,
sang ayah tidak bersalah. Dia hanya belum tahu. Yang membuatnya gemas adalah keraguan sang ibu untuk menemuinya dan memberitahukan keberadaan mereka. Pikiran
orang tua sulit ditebak dan rumit! Tinggal bilang apa susahnya sih?" Keluh Cedric.
" Hati-hati di jalan, ya. Jaga kesehatan. Kalau kamu dan ibumu bermasalah kesehatan, datanglah ke rumah sakit ini. Aku salah satu dokter disana. Namaku
dokter Braga" ujar Braga memberikan kartu namanya pada Cedric.
Cedric menatap sang ayah dari dekat. Memegang erat kartu nama bertuliskan Dr.Braga Dereck Witchlock. Nama belakang yang ia sandang diam-diam. Teman-teman
sekolahnya sering mengolok-olok tentang nama belakang yang mereka sebut imitasi. Dia ingin semua orang tahu pria ini adalah ayahnya. Supaya mereka tahu
nama belakangnya asli. Haknya sejak lahir.
" Aku pamit ya. Bye Cedric" ujar Braga pamit. Melemparkan senyuman hangat pada sang anak lalu berbalik hendak pergi.
Cedric menatap punggung lebar Braga dengan sedih. Dia senang mendengar namanya dipanggil oleh sang ayah. Dengan tangan mengepal penuh tekad. Dia memutuskan.
" Ayah tunggu!" Panggilnya ke arah Braga.
Braga terkejut dan berbalik mendengar dirinya dipanggil ayah. Menatap heran ke sumber panggilan. Cedric membuka jaket putih yang dikenakannya. Mata Braga
terbelalak membaca nama yang tersulam tebal pada kemeja Cedric.
Cedric.A.Witchlock _The End_ Riwayat Lie Bouw Pek 10 Wiro Sableng 067 Halilintar Di Singosari Sastrawan Cantik Dari Lembah Merak 2
^