Pencarian

Boulevard Revenge 7

Boulevard Revenge Karya Crimson Azzalea Bagian 7


wanita yang mengalung lembut pada lengan kokoh sang pria mempererat kontak fisik mereka. Serabun apapun mata orang yang memandang pasti akan segera tahu.
Ada kedekatan khusus diantara si pria dan wanita.
Keenam dokter divisi jantung itu terpana. Dari jendela kaca bening gedung, mereka menatap pemandangan 'ganjil' dari area parkir. Seakan-akan melihat kemunculan
alien dari luar angkasa di film-film NASA. Kenapa dua musuh bebuyutan itu bisa berubah drastis seinstant mie rebus" Pikir mereka.
Bara dan Irina sadar menjadi pusat perhatian. Hanya saling bertukar pandang dan tersenyum penuh arti. Paham betul akan terjadi kehebohan massal. Berjalan
menghampiri kelima rekan mereka yang saat ini bertampang seperti orang idiot.
" Pagi" sapa Irina singkat.
" Pagi. Ada apa dengan wajah kalian" Seperti sedang melihat makhluk gaib saja" ujar Bara tenang seperti tidak merasa melakukan sesuatu yang 'luar biasa'.
" Kalian berdua datang bersama-sama?" Tanya Atthar dengan tampang dungu.
" Iya. Memang kenapa?" Jawab Irina sok tidak paham arah pertanyaannya.
" Tumben sekali. Apa terjadi sesuatu" Maksudku, biasanya dokter Irina datang sendirian" sahut Azka penuh rasa ingin tahu.
" Kenapa aneh kalau kami datang berbarengan" Itu yang seharusnya dilakukan sepasang kekasih, kan?" Bara menjawab santai. Tidak berusaha menutupi atau melebih-lebihkan
fakta yang ada. " APAAAA?"?" Sahut kekagetan keenamnya begitu mendengar kabar yang lebih menghebohkan dari perceraian selebritis paling romantis di dunia perfilman Hollywood.
" Kami duluan, ya. Sampai ketemu nanti" pamit Irina terkikik geli melihat wajah terkejut mereka. Terutama Atthar dan Azka yang menganga paling lebar.
" Dastan, kamu bisa menemui Braga untuk jadwal team 3. Sesuai yang sudah kita bicarakan semalam, formasimu dan Irina dikembalikan ke semula. Azka, satu
jam lagi kita ada operasi CABG. Segera bersiap-siap. Dan jangan pasang tampang bodoh itu saat briefing nanti. Aku dan Irina duluan. Bye" instruksi singkat
Bara untuk Dastan dan Azka. Dengan cuek Bara menggandeng tangan Irina dihadapan para 'kambing congek' bergelar dokter itu.
" Kami duluan ya. Bye semua" sambung Irina melambaikan tangan. Tertawa melihat ekspresi keenam kolega kerjanya.
Mereka butuh waktu beberapa detik untuk tercengang menatap pasangan paling kontroversial serumah sakit Boulevard. Lalu menoleh ke arah Dastan. Menuntut
penjelasan atas pernyataan Bara soal pengembalian formasi team.
" Dastan. Kamu sudah tahu" Tadi kata dokter Bara kalian sudah membicarakan perubahan formasi lagi semalam" tanya Azka penasaran.
" Malam tadi dokter Bara menginfokan bahwa aku kembali menjadi anggota team 3 ditukar dengan dokter Irina. Tapi aku juga tidak tahu kalau alasannya karena
mereka ada ikatan khusus. Aku sama kagetnya dengan kalian. Sungguh" Jawab Dastan jujur.
" Tak disangka-sangka, ya" Mereka akhirnya jadi juga. Aku kira hanya akan berakhir garing. Beberapa hari belakangan ada ketegangan antara mereka berdua.
Dokter Irina sempat pindah team, kan?" Ujar Bumi menyampaikan pendapatnya.
" Setuju, Bum. Aku juga berpikiran begitu. Bahkan aku berpikir ada cinta segitiga antara dokter Bara, dokter Irina dan dokter Braga. Tebakkanku dokter
Irina lebih memilih dokter Braga ketimbang dokter Bara makanya dia minta pindah" sahut Takhrit berasumsi tentang lika-liku cinta Bara dan Irina.
" Entah kenapa, aku lebih suka melihat mereka bersama. Kedekatannya dengan dokter Braga terlihat sedikit janggal buatku. Memang ada kesan pendekatan dari
pihak dokter Irina. Namun interaksinya pada dokter Bara jauh lebih natural dan tulus. Sebagai sesama perempuan, aku bisa merasakan itu" ujar Cecillia menduga-duga.
" Oh. Kamu juga merasa begitu" Sama. Aku juga merasa aneh dengan sikap intens antara dokter Irina dan dokter Braga saat di team 3. Aku sempat memergoki
sikap dingin dokter Bara saat berpapasan dengan mereka. Dokter Braga sempat frustasi karena sikap berjarak adiknya" sahut Atthar membenarkan ucapan Cecillia.
" Wah. Kita ketinggalan berita paling hot serumah sakit. Kenapa baru cerita sekarang, Atthar?" Sahut Azka.
" Aku pikir itu hanya prasangkaku saja. Makanya aku bungkam. Aku takut salah bicara. Nanti nasibku berakhir sial seperti terakhir kali denganmu. Bulu kudukku
masih meremang setiap mengingat interogasi dokter Bara. Kamu lupa?" Jawab Atthar bergidik ngeri mengingat pengalaman seramnya bersama Azka.
" Kamu benar. Aku juga tidak mau lagi mengalaminya. No, thank you " sahut Azka ikut takut.
Braga berjalan menuju ruang kepala divisi jantung yang berada di lantai 5. Dengan mengetuk pintu sebanyak 2 kali, dia pun mendapat ijin untuk memasuki
ruangan. Begitu melihat siapa yang datang, raut wajah profesor Ilyas seketika berubah serius. Ada kesan waspada tersirat di garis wajahnya. Tak ada lagi sinar ramah
yang biasa menghiasi. Pancaran mata sang profesor, menjadi dalam penuh perhitungan. Seakan setiap gerak geriknya sedang dinilai dan dibacanya.
Braga luar biasa sadar bahwa keputusan untuk datang menemui lelaki paruh baya dihadapannya merupakan keputusan ekstrem. Bisa saja begitu menginjakkan kaki
keluar dari ruangan, segala akses terkait kasus malpraktek 10 tahun lalu akan dikunci rapat-rapat menggunakan keamanan tingkat dewa. Dia tahu betul cara
berpikir sang ayah. " Selamat pagi, profesor. Ada beberapa hal yang perlu saya bicarakan dengan anda. Bisa luangkan waktu sebentar?" Sapanya.
" Tentu saja, anakku. Mari kita bicara di sofa. Silahkan duduk. Ada apa pagi-pagi kamu sudah mengunjungi orang tua ini, Braga?" Jawab profesor Ilyas beramah-tamah
mempersilahkan Braga duduk. Dengan posisi saling berhadapan, keduanya memulai pembicaraan setegang senar gitar.
" Maaf sebelumnya jika apa yang akan saya tanya ini menyinggung atau menekan anda. Saya tidak ada maksud menyudutkan posisi anda, profesor. Langsung saja
ke pokok pembicaraan. Apa yang anda ketahui tentang malpraktek Bara dan ayah 10 tahun lalu?" Tanyanya to the point.
Alis profesor Ilyas berkedut. Sudah sampai ke telinga Braga" Situasi semakin memanas, pikirnya. Tak ada jalan lain selain memberitahukan kebenaran. Dia
pun tidak ingin menutupi masalah ini. Sudah waktunya Braga tahu.
" Aku tahu segalanya tentang kejadian itu. Apa yang ingin kamu ketahui?" ujar sang profesor memberikan penawaran secara tidak langsung.
" Sebagian sudah saya selidiki sendiri. Yang masih samar dan membingungkan adalah, kenapa saya tidak mengingat apapun tentang kejadian tersebut" Kemana
saya saat itu" Pasien yang ditangani ayah, adalah pasien yang saya tangani di ruang UGD. Saya tidak ingat pernah mengirimnya ke meja operasi. Lalu ada
kejanggalan pada mutasi dokter Hana. Dia yang membantu saya menangani pasien ayah di UGD" rentet Braga menanyakan semua pertanyaan yang bersarang dalam
kepalanya. Sang profesor paham kebingungan dan kesukaran yang dirasakan Braga. Tidak ingat tapi bisa merasakan. Lebih sengsara dibanding mengingat dan merasakan.
Ia iba pada kondisi si sulung. Begitu semua terbongkar. Badai besar akan datang dan menghantam Braga hidup-hidup. Bisakah ia bertahan" Dirinya takut membayangkan
reaksi Braga nanti. Teringat kondisi mengerikan 10 tahun lalu sebelum ingatan itu ditekan.
" Akan aku ceritakan yang sebenarnya padamu secara singkat. Bara dan ayahmu memang melakukan malpraktek pada dua pasien bernama Arya Wiguna. Operasi transplantasi
yang dilakukan secara bersamaan mengalami kesalahan prosedur karena donornya tertukar. Setelah 6 hari pasien mengalami komplikasi akibat perbedaan golongan
darah antara donor dan penerima. Pasien Bara yang pertama menunjukkan tanda-tanda kerusakan otak karena sejak awal sudah mengidap tumor jantung stadium
akhir. Di hari ke 6 itu juga pasien Bara meninggal dunia. Disusul dengan pasien kedua yang ditangani oleh ayahmu. Setelah kejadian itu. Anak perempuan
korban Bara menuntut balas dengan menculik ibumu. Ia mengancam agar ayahmu dan Bara membuka kasus malpraktek itu ke media beserta permintaan maaf langsung
di hadapan banyak orang. Nyawa ibumu yang menjadi taruhan" tutur Profesor Ilyas.
" Lalu, apakah ayah dan Bara bersikeras tidak mau menurutinya" Mereka lebih memilih mengorbankan ibu, begitu?" Kenapa?"" Tuntut Braga mulai emosi.
" Tenang dulu, nak. Bara nyaris saja melakukannya. Tapi ayahmu, bersikeras bertahan. Bara kalah cepat. Semua bukti dan saksi sudah disingkirkan. Banyak
mutasi mendadak dan penguncian data. Kemudian ayahmu meminta bantuan pihak kepolisian untuk meringkus si penculik. Sayang, nyawa ibumu tidak tertolong.
Dihadapan ayahmu dan Bara, anak korban pertama yang bernama Ladya menembaknya hingga tewas. Sejak saat itu Bara menyalahkan dirinya atas kematian ibu kalian
dan membenci ayahmu karena menghalanginya untuk penyelamatan" sambung sang profesor. Braga mengerti sekarang. Alasan Bara tidak sudi lagi menginjakkan
kaki di rumah mereka. Ayahnya sudah sangat keterlaluan. Bagaimana bisa dia memilih harga diri dan reputasi baik dibanding istrinya sendiri" How ridiculous"
Pikir Braga. " Ayah benar-benar keterlaluan! Buat apa membela harga diri dan reputasi segala dibanding nyawa ibu?" Reputasi bisa dibangun kembali tapi nyawa tidak ada
gantinya. Aku tidak habis pikir! Kemana jalan pikiran ayah?"" Serunya mulai menyalahkan keputusan sang ayah. Tentu saja. Meski di satu sisi tidak suka
langsung memvonis. Braga mungkin tidak seemosional sang adik. Tapi kalau tahu itu alasannya, ia juga pasti akan semurka Bara.
" Sebaiknya kamu jangan langsung berasumsi buruk tentang ayahmu. Dia punya alasan kuat mengapa melakukannya" saran profesor Ilyas menenangkan si sulung.
" Alasan" Alasan apa yang mendasarinya untuk membiarkan nyawa ibu terenggut" Dan kenapa aku tidak terlibat atau mengingat apapun tentang kejadian 10 tahun
lalu itu" Anda belum menjawab" tuntut Braga masih belum puas.
" Kamu sebenarnya terlibat di dalam. Ada hal yang membuatmu lupa, Braga. Ingatanmu terkunci. Trauma parah penyebabnya. Ayahmu tidak menceritakan kejadian
10 tahun lalu karena takut mengembalikan kondisimu ke titik parah. Kami melakukan tindakan yang cukup berbahaya untuk menyembuhkanmu hingga bisa kembali
menjalani kehidupan normal" jawaban tidak terduga meluncur juga dari mulut profesor Ilyas.
Mendengar penjelasan mengejutkan barusan, membuat ia tercengang. Sempat mengalami trauma parah" Ingatannya terkunci" Ini sungguhan atau bualan" Pikir Braga.
Sambil memegangi kepalanya yang mulai berdenyut-denyut, mencoba mengingat-ingat.Why" Yang bisa diingatnya hanya gambaran saat di ruang UGD bersama dokter
Hana. " Apa yang membuat saya depresi hingga harus dihapus ingatannya, profesor?" Tanya Braga penasaran.
" Rasa bersalah yang teramat dalam berhasil memukulmu hingga jatuh terpuruk, Braga. Oleh karena itu ayahmu tidak punya pilihan lain selain mengunci ingatan
buruk itu" tambah profesor Ilyas. Sangat hati-hati memilah kata demi kata untuk disampaikan.
" Rasa bersalah pada apa" Pada siapa" Kenapa hanya saya yang depresi" Apakah Bara tidak mengalami seperti yang saya alami" Anda menyembunyikan sesuatu,
kan" Pasti ada alasan kenapa saya bisa merasa bersalah sedalam yang anda bicarakan. Beritahu saya, profesor. Saya berhak tahu. Kenapa ingatan itu direnggut
dari saya!" Ada fakta yang di skip oleh profesor Ilyas. Braga menangkap keganjilan dalam penuturannya.
" Aku tidak bisa cerita. Ini akan memancing perselisihan panas tidak diinginkan. Ada baiknya kamu memulai dengan mengembalikan ingatanmu sedikit demi sedikit.
Dari sana, kamu pasti bisa mengetahui segalanya secara natural. Jika dipaksa aku takut jiwamu tidak siap, Braga" profesor Ilyas menolak buka mulut.
" Anda tidak bisa menyembunyikan bangkai yang jelas-jelas sudah tercium, profesor! Apa yang kita lakukan ini adalah kesalahan besar! Bukan hanya pelaku
malprakteknya saja yang salah. Kita yang menutup-nutupi lebih salah lagi! Bukan hanya malpraktek, bahkan ingatan saya sendiri juga disembunyikan. Apa itu
adil buat saya?" Tahu saja tidak. Bagaimana cara mengembalikannya?" Seru Braga. Api amarah mulai naik seperti garis pengukuran termometer pada pasien demam
tinggi. Kebimbangan. Rasa marah. Ketakutan dan kecewa menguasai jiwa Braga. Ia merasa dipermainkan bagai pion-pion pada papan catur. Ingatan adalah hak prerogatif
setiap manusia. Tidak bisa dirampas seenaknya begini! Ia tidak takut pada rasa sakit yang mungkin akan ditanggungnya. Ia lebih takut mengidap amnesia berkepanjangan
seperti sekarang. " Aku paham. Kamu perlu mengendalikan emosimu. Maafkan kami, Braga. Kami telah mengambil sesuatu yang penting darimu. Aku pun tidak suka cara ini. Sebagai
gantinya akan kuberikan satu petunjuk menuju ingatanmu. Sebentar".
Profesor Ilyas beranjak menuju meja kerja. Mengambil seberkas map berwarna merah tua lalu memberikannya pada Braga.
" Apa ini?" Tanya si sulung tidak paham. Membuka dan membaca isinya.
" Ini adalah petunjuk tentang kondisi aslimu. Bawa ini pada dokter Edel. Dan perlu bantuan dari spesialis syaraf. Bukankah sahabat dekatmu berasal dari divisi
syaraf" Minta bantuannya untuk terapi lanjutan. Setelah dirimu siap. Ingatan itu bisa kembali. Aku akan bawa kunci utamanya kehadapanmu. Tapi aku minta
persiapkan mental dan jiwamu terlebih dahulu" ujar sang profesor.
" Tapi saya ingin tahu sekarang. Anda bisa langsung memberitahu saya!" Tuntutnya tidak mau menunggu.
" Kamu harus sabar, Braga. Semua butuh proses tidak bisa terburu-buru tanpa perhitungan. Aku pasti membuatmu ingat tapi pelan-pelan dan ada aturannya.
Pergilah ke tempat dokter Edel dan temanmu. Minta bantuan mereka. Aku akan urus kunci utama ingatan dan masalah yang disembunyikan ayahmu" timpal profesor
Ilyas lagi. Dia ingin Braga siap begitu mengetahuinya nanti. Fakta yang akan dikembalikan begitu serius. Bak badai perasaan maha dahsyat.
" Baiklah. Aku akan konsultasikan pada Edel dan Renno. Oh, ya. Satu lagi. Siapa nama ayah dokter Irina?" Melihat sang profesor tidak bisa dipaksa lagi
mengenai ingatan dan alasan, Braga mengalihkan sasaran tembak pada identitas Irina.
" Ayah dokter Irina" Buat apa kamu menanyakannya?" profesor Ilyas setengah terkejut.
" Anda pasti sudah mengetahui maksud pertanyaan saya. Ada yang ingin saya pastikan tentang Irina" dalih Braga. Dia tahu bahwa sang profesor sudah bisa
menebak arah peluru yang ditembakkannya.
" Tahu hingga ke masalah dokter Irina" Kamu cukup lihai dalam usaha pencarian informasi. Kalau jadi pak Gerard, mungkin aku akan lebih berhati-hati padamu
ketimbang Bara. Benar dugaanmu. Nama ayah dokter Irina adalah Arya Wiguna. Korban malpraktek ayahmu 10 tahun lalu" jawaban profesor Ilyas menjadi pukulan
kedua. Braga tercengang. Ia langsung bisa membaca polanya. Benang merah keterikatan Irina pada masalah 10 tahun lalu sampai sekarang. Kompilasi antara motif dan
kejadian-kejadian beberapa bulan belakangan menjadi alibi penguat dugaan. Begitu rupanya, pikir Braga.
Dia tatap profesor Ilyas. " Dengan kata lain, Irina memiliki maksud tersembunyi. Dia ingin balas dendam pada ayah. Iya, kan?".
" Aku tidak tahu pasti tapi kemungkinan untuk ke arah sana sangat besar. Jika anak perempuan pasien Bara bisa sampai membunuh ibumu, maka anak korban ayahmu
pun bisa sama sakit hatinya" jawab kepala divisi jantung itu memaparkan hipotesa express.
Braga terdiam sejenak. Berusaha mencerna potong demi potong informasi. Memerlukan stock kebijakan yang cukup banyak dalam menyikapi persoalan ini. Tidak
bisa gegabah. Ia tidak mau jadi pihak yang menghakimi Irina. Biar bagaimana juga, mereka memang bersalah. Siapapun dalam posisi Irina pasti akan sangat
terluka. Dia yakin, wanita secerdas Irina tidak akan menggunakan pembunuhan sebagai opsi balas dendam. Tapi mungkin juga bisa. Dendam lebih hebat dari
yang bisa dibayangkan. Ah, memusingkan. Banyak tanda tanya yang belum terjawab meletup-letup memenuhi kepalanya.
" Lebih baik kamu fokus pada ingatanmu dulu. Tidak usah memikirkan dokter Irina. Bara dan dokter Edel sudah tahu. Biar itu jadi urusan mereka" tambah sang
profesor membaca kekalutan pada ekspresi wajah Braga.
" Mereka tahu" Tampaknya memang saya yang paling belakangan sadar. Anda benar. Saya akan fokus pada ingatan yang telah dicuri paksa dari saya. Kalau begitu
saya permisi. Terima kasih atas kejujuran anda, profesor. Selamat pagi" Braga menutup sesi tanya jawabnya dan beranjak tanpa bertanya lagi.
Profesor Ilyas menatap kepergian putera sulung Gerard yang malang. Situasi semakin genting. Badai besar akan segera menghajar mereka. Medan perang semakin
melebar. Ingatan Braga akan menjadi genderang tanda mulai.
" Sudah tidak ada lagi yang bisa ditutupi. Braga tidak akan berhenti. Begitu pun Bara. Aku lelah bersandiwara. Aku punya hutang besar pada kedua kakak
adik itu. Juga pada dokter Irina. Aku ikut andil dalam penyulaman dendamnya. Aku harus terima resiko terburuk. Bara perlu tahu soal alasan ingatan Braga
dihilangkan. Nasi sudah menjadi bubur. Setelah ini, sekalipun aku harus terkubur bersama bangkai rumah sakit Boulevard masih belum bisa menebus semua kesalahanku"
rutuknya dalam hati. Berbalik dan menyambar telepon di meja kerja lalu menghubungi seseorang.
" Halo. Tolong beritahu aku kabar terbaru tentang Joanna" ujarnya di telepon.
Bara dan Irina selesai melakukan operasi pertama mereka pasca kembalinya formasi awal team 1. Hubungan yang telah membaik memberikan warna tersendiri.
Anggota team lega melihat keadaan menjadi kondusif seperti sedia kala.
Tidak terkecuali Villan. Dia ikut senang melihat pasangan itu rukun. Meski butuh usaha keras menekan perasaan sakit agar tidak tampak dipermukaan. Irina
dan Bara juga menahan diri agar tidak terlalu memamerkan hubungan mereka di depan Villan. Mereka menghargai perasaan wanita yang cukup berjasa bagi kelangsungan
hubungannya. Villan lebih banyak menghindari mereka. Bukan karena tidak suka. Dia butuh waktu menyembuhkan sakit dan mengikis cinta pada pria yang mengisi hatinya selama
kurang lebih 4 tahun. Mendoakan yang terbaik untuk kebahagiaan Bara dan Irina.
Sebelum istirahat makan siang Bara kembali ke ruang pribadinya karena membaca pesan teks dari profesor Ilyas. Mengarang alasan yang cukup meyakinkan Irina
agar bersedia pergi makan duluan ke kantin.
Profesor Ilyas sudah menunggu di dalam ruangan. Wajah ramah berbalut bijak khas yang amat disegani tampak lebih serius dari biasa. Bara langsung tahu ada
kabar buruk yang siap menamparnya.
" Ada apa, profesor" Sepertinya ada hal penting sampai anda menghampiri saya di jam istirahat" tanya Bara.
" Braga amnesia sebagian. Ingatannya kacau dan ada bagian yang hilang" ujar profesor Ilyas mulai bicara.
" Saya tahu. Ayah menggunakan metode Post Hypnotic Amnesia untuk menidurkan ingatan Braga terkait kasus malpraktek 10 tahun lalu. Itukah yang ingin anda
bicarakan?" Sahutnya tak mau kalah.
" Good. Very good. Tapi bukan cuma itu yang ingin kubicarakan. Ingatan yang hilang bukan sekedar tentang malptaktek. Ada latar belakang lain dibalik kematian
ibu kalian yang ikut terkubur" ujar profesor Ilyas membuka babak baru.
Bara terbelalak kaget mendengar sang ibu dibawa-bawa. " Kejadian apa lagi?" Tanyanya.
" Aku tidak akan membahasnya secara gamblang. Ayahmu membuatku bersumpah untuk tidak mengatakan ini pada siapapun. Bagiku sumpah yang sudah kuikrarkan
harus ditepati. Aku beri data yang bisa kamu analisa sendiri. Bantu Braga memulihkan ingatannya. Dengan begitu semua rahasia akan terbongkar" ujar profesor
Ilyas memberikan flashdisk berisi data yang dimaksud.
Bara menerima flashdisk dari sang profesor dengan dahi mengernyit. Perasaannya jadi tidak enak. " Terima kasih, profesor. Aku memang sedang berusaha mengembalikan
ingatan Braga namun bagaimana caranya kalau kami bahkan tidak tahu ingatan apa yang hilang. Bisakah anda memberitahukan inti penting dari ingatan Braga
yang tertidur?". " Pergilah ke alamat ini. Disana ada kunci utama ingatan kakakmu. Temui wanita bernama Joanna. Bicaralah padanya. Dia tahu something tentang Braga dan
ibu kalian" kata sang profesor melempar umpan lain.
" Joanna" Siapa dia" Kenapa dia bisa tahu tentang ibu dan Braga?" Tanya Bara bingung mendengar nama asing ikut tersangkut dalam rantai permasalahan mereka.
" Joanna adalah wanita yang sangat dicintai oleh kakakmu. Wanita yang mengubah hidupnya 180 derajat" jawab profesor Ilyas membeberkan identitas Joanna.
Bara terperanjat. Wanita yang dicintai kakaknya" Kenapa ia baru tahu" Pikir Bara.
" Sebelum kamu pergi menemui Joanna. Baca dulu data yang barusan aku berikan. Selebihnya kamu dan dokter Irina bisa menelusuri sendiri melalui memory Braga.
Maaf aku tidak bisa membantu lebih. Mulutku terkunci rapat oleh sumpah konyol itu" tambahnya.
" Tak apa, profesor. Ini sudah sangat membantu. Terima kasih banyak. Kalau boleh saya bertanya. Kenapa anda memilih membantu saya melawan ayah?" Tanya
Bara mempertanyakan motif dibalik bantuan yang diterimanya. Dia bukan ingin bersikap kurang ajar atau tidak tahu terima kasih. Just make sure tidak ada
penipuan terselubung. " Aku merasa bersalah padamu, pada Braga, terutama pada keluarga pasien. Begitu mengetahui dan melihat sendiri hasil perbuatanku telah membentuk gadis lugu
menjadi wanita penuh dendam seperti dokter Irina, rasa bersalah merongrongku. Hidupku tidak tenang. Setiap kali melihat dokter Irina, aku iba. Ingin meminta
maaf. Meski mungkin tidak pantas untuk dimaafkan. Aku salah satu oknum yang menciptakan banyak penderitaan kalian. Tolong bantu orang tua ini untuk menebus
kesalahan tak termaafkannya, Bara. Supaya aku punya muka untuk bertemu Tuhan kelak" tutur profesor Ilyas penuh penyesalan.
Muncul rasa simpatik mendengar ungkapan rasa bersalah profesor Ilyas. Bara paham betapa berat menanggung penyesalan karena menjadi penyebab rusaknya hidup
seseorang. Dirinya pun sampai detik itu belum bisa menghapus rasa bersalah pada keluarga korban malpraktek. Ada keinginan besar untuk mencari anak perempuan
bernama Ladya. Niatan itu berbenturan dengan amarah atas kematian sang ibu yang disebabkan oleh Ladya. Jika ingin egois, dia bisa saja beranggapan bahwa
mereka impas. Ia menjadi pembunuh ayahnya dan si gadis merenggut nyawa ibu mereka.
Tapi hukum perasaan tidak berlaku sejalan dengan logika. Hidup bukan hitung-hitungan matematika. Dimana segala penjumlahan, pengurangan, perkalian dan
pembagian yang berakhir dengan angka nol merupakan akhir dari proses. Hasilnya mutlak. Hidup lebih kompleks dari rumus matematika atau hukum fisika.
" Don't worry, profesor. I will be" Bara berjanji akan mengungkap segalanya.
Divisi syaraf. Renno tengah berkonsentrasi menganalisa sejumlah data rekam medis pasien. Sambil bersenandung ringan.
" Tok. Tok. Tok" suara ketukan pintu terdengar.
" Masuk" jawabnya tanpa menoleh.
Sang tamu memasuki ruangan. Renno menoleh dan terkejut begitu melihat sahabatnya, Braga muncul dengan ekspresi kalut.
" Hai. Bro. What's up" Ada apa dengan wajah aneh itu" Ekspresimu persis itik buruk rupa saja" sahutnya heran. Meski Braga bukan tipe pesolek, ia adalah
orang yang percaya diri. Wajah tampannya yang ramah selalu jadi pusat perhatian disetiap kesempatan. Kali ini tidak ada pancaran percaya diri atau ramah.
Guratan nestapa jelas sekali mencuat pada interface ketampanan Braga.
" I need your help " ujarnya singkat dengan suara husky.
" Akhirnya, tiba juga hari dimana seorang Braga Dereck Witchlock yang serba bisa membutuhkan pertolonganku. Besok kiamat, ya?" Canda Renno belum sadar
pada ketegangan sang sahabat.
" I am serious. I am go crazy! Aku pasti akan jadi gila jika ini tidak diperjelas. Help me! Help me to remember everything! " seru Braga dengan emosi meluap-luap.
Matanya seperti orang depresi. Kebingungan dan kekalutan mengguncang jiwa yang rapuh bagai gelas kristal.
Renno terhenyak. Sadar ekspresi sahabatnya yang hampir mendekati level orang gila. " What" " hanya satu kata itu yang bisa meluncur dari mulutnya. Bak
skateboard pada lintasan turunan terjal yang menukik tajam.
Di saat sang kakak tengah diguncang kekalutan. Sang adik tidak jauh lebih baik. Bara sama parahnya usai membaca data yang diberikan oleh profesor Ilyas.
Mata elang itu membelalak lebar. Lidah kelu. Napas memburu. Degup jantung berpacu kencang seperti drum yang dipukul mengikuti irama musik rock. Sistem
otaknya macet persis jalanan senin pagi kota Jakarta. Rahang kokohnya mengeras sekeras batu karang.
Dengan emosi membeludak, Bara berdiri melepas jas putih dan menggantinya dengan jas hitam yang tersampir di kursi kerja. Disambarnya kunci mobil di laci
meja lalu berlari meninggalkan ruangan. Kertas berisi alamat Joanna digenggam erat dalam kepalan tangan kirinya.
Tanpa peduli pada segala tetek bengek absen dan waktu kerja, Range rover hitam kesayangan milik Bara melaju kencang meninggalkan rumah sakit Boulevard.
Bastian menyaksikan kepergian Bara dari lantai atas. Penuh curiga.
Mengambil telepon genggam dari saku jas praktek, Bastian mengangkat panggilan telepon dari sang istri. " Halo. Apa?" Braga ada di ruanganmu" Bara juga
baru saja pergi meninggalkan rumah sakit. Aku rasa ada masalah baru. Kepergian mendadak ini tidak biasa. Akan coba aku tanyakan pada Irina. Oke. Kutunggu
kabar darimu tentang Braga. Bye". Bastian bergegas mencari Irina.
Di tempat lain wanita bernama belakang Yasmine tengah diserang perasaan cemas sama dengan Bastian. Terus berusaha menghubungi Bara. Berkali-kali teleponnya
tidak diangkat. Disusul ke ruangan juga tidak ada.
" Kamu kemana, sih" Menghilang tiba-tiba begini. Dia juga belum makan siang. Untung tidak ada jadwal operasi sampai sore hari. Aneh sekali" keluh Irina
kesal teleponnya tidak dihiraukan Bara. Duduk dengan sebal di sofa nightblue ruang pribadi sang kekasih. Wajahnya merengut. Bibirnya mengerucut.
" Irina" panggil seseorang dari arah pintu.
" Oh, hai. Bastian. Kamu kesini mencari Bara?" tanya Irina pada Bastian yang baru tiba.
" Bukan. Aku mau bertanya. Apa kamu tahu kemana Bara pergi?" Bastian balik bertanya.
" Aku tidak tahu. Dia tidak bilang padaku. Teleponku juga tidak diangkatnya. Kenapa kamu menanyakan itu?" Jawab Irina.
" Aku melihat mobil Bara meninggalkan rumah sakit sekitar 15 menit lalu. Kupikir kamu tahu dia pergi kemana" sahut Bastian menceritakan apa yang dia lihat.
" Bara meninggalkan rumah sakit" Kenapa dia tidak bilang apa-apa" Kemana dia?" Irina kaget mendengar kabar perginya Bara.
" Entah. Aku juga heran. Tampaknya sangat tergesa-gesa. Seakan ada urgent matter yang tidak bisa ditunda. Sampai dia kembali, kamu harus membackup tugas
Bara di team 1. Kalau ada kesulitan, kamu bisa menghubungiku" Bastian menawarkan bantuan.
" Oke. Thanks. Kalau ada kabar dari Bara. Tolong beritahu aku" pinta Irina sebelum Bastian meninggalkan ruangan.
" Kamu kemana Bara" Apa yang membuatmu pergi tanpa kabar" Perasaanku jadi tidak enak" gumam Irina. Cemas bercampur ingin tahu.
Sepanjang perjalanan, Bara mengulang-ulang isi data yang baru saja dibacanya. Bagian paling mengejutkan adalah catatan donor ginjal pada history medis
Braga, transplantasi ginjal di rekam medis pasien bernama Joanna dan diagnosa chronic kidney disease (*) sang ibunda.
(*) (chronic kidney disease disingkat CKD atau disebut juga gagal ginjal kronis adalah penyakit rusaknya fungsi ginjal untuk mengeksresikan materi limbah
atau racun dalam tubuh. Biasanya kondisi ini bisa berkaitan erat dengan penyakit kardiovaskular, hipertensi dan diabetes. Penyebabnya bisa efek samping
dari penyakit kronis lain, kebiasaan mengkonsumsi minuman berenergi, es teh dan konsumsi kopi yang berlebihan. Penderita harus melakukan cuci darah rutin
untuk bisa bertahan karena penurunan fungsi ginjal. Pada kasus kronis dimana ginjal sudah rusak parah, hanya bisa ditangani dengan pergantian atau transplantasi
ginjal). " Braga hanya punya satu ginjal?" Ibu butuh ginjal?" Tapi catatan transplantasinya ada pada pasien bernama Joanna?" Apa lagi ini?" Masalah tidak henti-hentinya
datang silih berganti!! " Umpat Bara dalam hati menggenggam kuat-kuat setir mobilnya. Pedal gas diinjak lebih dalam. Menambah kecepatan kendaraan roda
empat membelah udara panas siang itu.
Divisi kejiwaan rumah sakit Boulevard pukul 14:05. Braga dan Renno mengunjungi ruang kerja Edel untuk minta bantuan. Sebagai ahli kejiwaan yang expert,
kondisi Braga bisa langsung dibacanya.
" Apa yang bisa aku bantu" You look terrible, Braga" tanya Edel memancing secara halus.
" Bantu aku mengembalikan ingatan yang hilang karena hipnotis. Kamu bisa, kan?" Ujar Braga dengan suara parau.
" Kamu beruntung karena aku sudah tahu kondisimu lebih dulu. Aku tidak akan melakukan hipnotis ulang padamu. Itu terlalu beresiko. Kita coba mengorek informasi
dengan terapi lain yang lebih safety. Kamu harus bisa berlaku kooperatif selama prosesnya. Bagaimana?" Edel mengajukan penawaran aman.
" Aku juga tidak mau dihipnotis lagi. Method yang satu itu terasa mengganggu buatku. Lagipula profesor Ilyas sudah janji akan membawakan kunci utama untuk
membuka ingatanku. Dengan syarat, aku mempersiapkan mental dan fisikku terlebih dulu bersama kalian berdua" Braga pun tidak setuju melakukan hipnotis lagi.
Dia alergi pada kata berawalan H berakhiran S dalam dunia terapi kejiwaan.
" Oke. Ayo kita mulai. Dokter Renno tolong bantu untuk syaraf dan gelombang otaknya" mereka sepakat dan memulai terapi penyembuhan Braga.
Banteng besi milik Bara memasuki wilayah asri penuh pepohonan rindang. Dedaunan berguguran dan berserakan di tanah berumput hijau. Dia menghentikan mobilnya
tidak jauh dari rumah tempo dulu bernomor 18A. Lalu memarkirkannya dengan lancar tanpa kendala berarti.
Bara turun dari mobil dan berjalan menghampiri rumah berhalaman paling luas. Mencocokkan ulang alamat dengan yang tertera pada kertas pemberian profesor


Boulevard Revenge Karya Crimson Azzalea di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ilyas. Ia masukkan kertas itu ke saku jas lalu berjalan memasuki pekarangan rumah.
Saat akan mengetuk pintu, sosok misterius tertangkap oleh sudut matanya. Dia pun menoleh dan berjalan menuju ke arah halaman samping. Seorang wanita berumur
kira-kira 28 atau 29 tengah asik mengurus kebun kecil miliknya. Rambut berombak panjang sepunggung warna cokelat terang. Tubuh langsing dengan tinggi semampai
mencapai kurang lebih 169 atau 170 centi. Berkulit putih bersih.
Dia pasti yang bernama Joanna, tebak Bara sambil berjalan menghampiri. " Permisi. Apa kamu yang bernama Joanna?" Tanyanya tanpa repot berbasa basi.
Wanita itu berbalik lalu berdiri. Terhenyak kaget menatap si pengunjung. Dia bisa mengenali kemiripan raut wajah Bara dengan Braga.
" Iya. Aku Joanna. Kamu siapa?" Tanya wanita bermata cokelat itu hendak mengkonfirmasi dugaannya.
" Namaku Bara Darren Witchlock. Adik kandung Braga. Kamu tentu mengenal kakakku, kan Joanna?" Bara memperkenalkan diri beserta garis identitasnya dengan
sang kakak. Joanna membelalak. Terkejut pada kedatangan adik dari pria yang dicintainya 10 tahun lalu. Lembaran sedih yang telah ia tutup rapat sejak lama.
" Kamu mungkin terkejut melihat kedatanganku. Aku juga terkejut saat mendengar siapa dirimu. Aku kesini ingin menanyakan masalah Braga dan keterikatanmu
dengan kematian ibuku" cetus Bara terus terang.
" A-aku tidak ada hubungan dengan kakak atau ibumu. Hubunganku dengan Braga sudah lama berakhir. Kami tidak pernah berkomunikasi sejak berpisah. Kamu salah
orang jika ingin mendapatkan informasi yang kamu butuhkan. Maaf permisi" ujar Joanna tergagap menghindari Bara dan bergegas menuju rumahnya.
Bara menarik lengan Joanna dan menahannya ditempat. " Kamu tidak bisa membohongiku! Rekam medis kalian bertiga sudah kubaca. Kamu, Braga dan ibuku. Jelaskan
tentang ini semua! Please !" Pinta Bara sedikit memaksa. Wanita bisa jadi makhluk yang sangat merepotkan, pikirnya.
Joanna menghempaskan cengkraman Bara dari lengannya. Namun tenaga pria yang lebih tinggi hampir 16 centi itu lebih kuat. " Berhenti melawan! Itu akan menyakiti
dirimu sendiri. Aku benci menyakiti perempuan! Terutama perempuan kecintaan kakakku" Ujar Bara memperingati.
Wanita berwajah unique itu berhenti melawan. Napasnya terengah-engah. Bara benar, tenaga mereka tidak sebanding. Percuma melawan. Kesenjangan gender yang
sangat menyebalkan, keluh Joanna.
" Kita bicara di sana" ajak Joanna menunjuk bangku kayu di tengah pekarangan.
Bara dan Joanna duduk. Wanita bewajah kecil itu memulai cerita.
Flashback Story (Joanna POV).
Aku dan Braga bertemu secara tidak sengaja di rumah sakit Boulevard 11 tahun lalu. Aku masuk ke tempat kalian sebagai pasien gagal ginjal stadium akhir.
Penyakit ini kuterima akibat efek samping pengobatan penyakit jantung yang kuidap 3 tahun sebelumnya. Karena memiliki sejarah penyakit jantung aku pun
dirujuk berkonsultasi ke dokter spesialis jantung bernama dokter Hana. Konsultasi itu menjadi awal pertemuanku dan Braga yang merupakan rekan seteam dokter
Hana. Kamu percaya pertemuan karena berjodoh" Itulah yang kami berdua alami. Hari demi hari kebersamaan itu semakin intens. Perasaan cinta tumbuh tanpa bisa
kami tolak atau tawar. Namun kondisi kesehatanku memburuk. Kami takut maut akan segera menjemputku. Donor ginjal tidak ada yang cocok. Hingga Braga mengambil
keputusan sepihak. Diam-diam dia melakukan tes kecocokan ginjal. Hasilnya sangat mengejutkan. Ginjal Braga cocok. Golongan darah kami juga sama. Ia senang
dan bersedia mendonorkannya untukku.
Aku sempat menolak karena takut akan menyebabkan efek samping lanjutan yang buruk untuk kelangsungan hidup Braga di kemudian hari. Tapi dia meyakinkanku
bahwa seorang manusia bisa hidup normal dengan satu ginjal. Asal kondisi ginjal yang satu itu sehat dan dijaga baik-baik. Aku percaya padanya. Terlepas
dari ketakutanku jika harus pergi meninggalkan Braga.
Operasi transplantasi itu dilakukan secara tertutup. Braga mengatur semuanya agar masalah siapa yang berperan sebagai pendonor dirahasiakan. Usai menerima
ginjal Braga, kesehatanku mulai pulih dan berangsur membaik. Selang waktu 6 bulan, aku bisa hidup normal kembali. Hubungan kami berubah serius. Aku meminta
hubungan ini disembunyikan. Terutama dari pak Gerard. Aku takut dia tidak setuju.
Braga adalah putera sulung pemilik rumah sakit ternama. Calon direktur utama rumah sakit. Sedangkan aku hanya wanita sakit-sakitan yang tidak punya kelebihan
apa-apa. Dia tidak akan setuju jika kami menikah. Aku sempat mendengar pembicaraan ayahmu dengan salah satu pemilik rumah sakit luar negeri tentang niat
menjodohkan puterinya dengan Braga.
Braga bersikeras ingin membawaku menemui ayahnya agar bisa mendapat ijin menikah. Hubungan kami tercium juga. Ayahmu tahu. Dia marah besar terutama saat
tahu Braga mendonorkan satu ginjalnya untukku. Karena takut, aku pun menjauhi Braga. Tapi kakakmu tidak mau melepaskan aku. Dia menyewa sebuah apartemen
untukku. Demi dia aku bertahan dari hinaan dan segala upaya ayahmu untuk memisahkan kami.
Sampai kejadian malpraktek yang naas itu terjadi. Braga tampak sangat terpukul saat mengunjungiku di apartemen. Karena khawatir, besoknya aku datang ke
rumah sakit untuk menengok sekaligus membawakan makanan. Tuhan punya rencana lain. Kedatanganku disambut dengan berita tewasnya ibu kalian ditangan anak
perempuan pasienmu, Bara.
Cemas pada keadaan Braga, aku mendatangi kantor pribadinya. Disana aku melihat sosok pria yang kucintai berubah drastis. Dia depresi berat. Matanya kosong
seperti orang tidak sadar.Yang dilakukannya hanya menangis saat kupeluk. Seperti anak kecil. Berkali-kali mengucapkan kata maaf dan menyesal.
Ayahmu muncul. Membawa beberapa dokter dan petugas untuk membawa paksa Braga. Aku panik. Bingung pada apa yang tengah terjadi. Braga berusaha melawan tapi
tidak mampu. Dengan kondisi terguncang akal sehatnya tidak bekerja. Para orang suruhan ayahmu berhasil membawa pergi Braga. Entah apa yang mereka hendak
lakukan. Aku tidak bisa membiarkan mereka melakukan hal buruk pada pria yang kucintai. Tapi ayahmu lagi-lagi menahanku. Mengataiku sebagai pembunuh dan pembawa
sial. Aku memang tidak berguna tapi aku bukan pembunuh apalagi pembawa sial seperti yang ayahmu tuduhkan. Aku tidak terima dihina seperti itu sedangkan
dia sendiri memperlakukan puteranya dengan tidak manusiawi.
" Andai saja kamu tidak muncul dalam hidup Braga, maka keadaannya tidak akan jadi seperti sekarang! Kamu menjadi salah satu penyebab kematian istriku"
umpatnya. " Apa maksud anda" Saya tidak melakukan apa-apa pada istri anda" aku membela diri.
" Kamu tidak tahu" Akan aku beritahu dimana letak kesalahanmu. Istriku Delilah mengidap penyakit gagal ginjal kronis dan membutuhkan donor ginjal sesegera
mungkin. Dari hasil tes kami bertiga, Braga adalah satu-satunya donor yang cocok karena golongan darah mereka sama. Kamu mengerti, kan" Apa kesalahanmu?"
Kenyataan yang disampaikan ayahmu menyedot habis semua keberanianku. Keselamatanku dibayar dengan kematian ibu kalian. Betapa besar rasa bersalahku saat
itu. Aku menjadi penyebab kesengsaraan Braga juga kalian berdua. Karena egoku yang ingin bertahan hidup, satu nyawa harus dikorbankan.
" Tapi, kenapa orang-orang mengatakan bahwa istri anda meninggal karena ditembak oleh seorang penculik?" Tanyaku yang bingung pada isu yang beredar seantero
rumah sakit. " Ya, benar. Istriku meninggal dalam penculikan itu. Dia melarangku menyelamatkannya dari penculikan agar dia bisa mati disana. Dia memaksa tangan si penculik
menarik pelatuk pistol dan menembaknya tepat dihadapanku dan Bara. Agar semua orang tahu penyebab kematian dirinya adalah pembunuhan. Jadi Braga tidak
akan menanggung rasa bersalah seumur hidup" kata ayahmu.
" Tidak mungkin" gumamku tak percaya.
" Sayangnya, aku lengah. Saat mendiskusikan perihal masalah itu pada salah satu kolega, Braga tidak sengaja mendengar. Jiwa Braga terguncang hebat. Rasa
bersalah merongrong batinnya. Depresi adalah istilah kedokteran untuk kondisi Braga saat ini. Aku akan menyelamatkan puteraku. Dan aku minta padamu, pergi
dari hidup Braga. Kamu adalah sumber rasa bersalahnya. Kamu membuat dia selalu teringat. Tolong jangan jadikan kematian istriku sia-sia. Pergi jauh dari
hidup putera sulungku, Joanna. Kalau kamu benar-benar peduli ini adalah satu-satunya cara untuk menyelamatkan Braga" .
Aku menyerah. Ketakutan mengingat keadaan Braga dan rasa bersalah mengalahkan segalanya. Aku setuju menghilang dari hidupnya. Hanya sekali melihat wajah
tak berdaya dia saat terbaring di tempat tidur rumah sakit, aku pergi melepaskan segala ikatanku dengan Braga
End Flashback (Joanna POV)
Bara terperanjat bukan kepalang. Penyebab kematian sang ibu bukan hanya kesalahan dia. Tapi sengaja dilakukan sang ibunda untuk menyelamatkan Braga. Sangat
ironis dan tragis. " Aku harap kamu tidak menyalahkan Braga. Dia tidak bersalah. Aku yang sepatutnya disalahkan. Aku yang seharusnya tidak muncul dikehidupan Braga. Ayahmu
benar. Aku pembawa sial dalam kehidupan kalian" ujar Joanna. Air mata penyesalan meleleh di wajah cantik itu.
" Tidak ada yang bisa membaca masa depan, Joanna. Bukankah kamu yang tadi mengatakan pertemuan karena berjodoh" Anggap saja memang begitu. Kamu dan kakakku
berjodoh makanya kalian bertemu. Soal kematian ibuku itu adalah takdir yang tidak bisa kita lawan. Sudah nasibmu menjadi pihak yang bertahan hidup. Ibuku
pasti setuju jika kamu yang hidup ketibang dirinya. Dia tahu kamu adalah wanita yang dicintai oleh anaknya. Setiap ibu di dunia pasti melakukan apapun
demi kebahagiaan sang anak. Kamu juga perempuan, tentunya kamu lebih paham soal itu" sahut Bara. Tidak mudah menerima kenyataan pahit yang baru saja diceritakan
padanya. Jika ingin mencari siapa yang salah" semuanya bisa saja disalahkan. Untuk siapa yang benar, masing-masing pihak punya pembenaran. Solusinya hanya
satu. Saling mengakui dan memperbaiki benang kusut yang simpulnya sudah terpilin tidak beraturan. Satu nama obat jiwa yang manjur untuk penyakit mereka
saat ini. Adalah keikhlasan.
" Aku mau minta bantuan. Tolong temui kakakku. Ayahku menggunakan hipnotis untuk menfilter sebagian ingatan Braga. Dia tidak ingat tentang kejadian 10
tahun lalu termasuk tentangmu. Hanya kamu yang bisa membuka ingatan itu kembali" pinta Bara.
" Braga hilang ingatan?"" Seru Joanna terkejut mendengar keadaan Braga.
" Ya. Braga mengalami amnesia sebagian. Kami perlu membuatnya ingat kembali. Dia berhak tahu apa yang terjadi. Jangan biarkan dia hidup dalam kepura-puraan.
Aku tidak mau itu, Joanna" ratap Bara.
" Aku tidak bisa muncul lagi dikehidupan Braga. Dia akan membenciku dan aku membenci diriku sendiri karena menjadi penyebab kesengsaraan malaikat penyelamat
nyawaku" ujar Joanna. Ia takut mengingat keadaan depresi Braga dulu.
" Kamu kenal kakakku seperti aku mengenalnya. Braga itu kuat. Dia pasti bisa bertahan pada rasa sakit sepedih apapun. Lebih sengsara mana" Hidup menanggung
luka sepaket rasa bersalah atau hidup dalam seperangkat kebohongan" Kalau kamu berada diposisinya, opsi mana yang menjadi pilihanmu?" Tanya Bara.
Joanna tidak menjawab. Mulutnya bungkam. Bibir mengatup rapat.
" Aku tidak memaksamu untuk bersama kakakku lagi jika perrpisahan adalah keinginanmu. Aku hanya minta kalian bertemu untuk bicara. Selesaikan baik-baik
semua persoalan kalian. Bukan pergi menghilang tanpa pamit karena paksaan ayahku. Please, Joanna. Aku perlu bantuanmu untuk membongkar malpraktek ini.
Aku juga ingin hidup tenang tanpa rongrongan rasa bersalah. Braga adalah saksi hidup malpraktek ayahku. Kami perlu memory nya sebagai bukti" bujuk Bara
setengah memohon. " Baiklah. Aku akan membantumu mengembalikan ingatan Braga. Sebagai penebus rasa bersalah pada ibumu. Setelah bertemu, aku akan pergi lagi darinya" Joanna
memutuskan untuk membantu.
" Terima kasih, Joanna" ujar Bara.
Irina semakin cemas karena belum juga ada kabar dari Bara sampai sore hari. Dia dan Bastian menunggu di ruangan Bara. Bastian lebih memikirkan kabar dari
Edel yang sedang menterapi Braga. Mengingat kata-kata Bara soal sifat impulsif, membuat Bastian enggan menceritakannya pada Irina.
Sekitar pukul 18:10, Bara muncul di rumah sakit. Rasa terguncang masih mengiang-ngiang di kepalanya. Begitu memasuki ruangan, dia disambut oleh Irina dan
Bastian yang cemas menunggunya sejak siang.
" Bara! Kamu dari mana saja?" Seru Irina langsung menghampiri begitu batang hidung mancung sang kekasih terlihat.
" Good job kamu sukses membuat kami diserang penyakit cemas. Setidaknya beri kabar, Bara" sahut Bastian complain keras.
Bara hanya diam memandang keduanya. Tidak menjawab. Dia bersandar dipintu dan merosot duduk dilantai. Irina dan Bastian terkejut pada reaksi Bara yang
tak terduga. Mereka segera menghampiri.
" Bara! Kamu kenapa?" Ujar Irina khawatir. Bersimpuh di sebelah Bara menatap wajah kekasihnya yang tampak tersiksa.
" Are you alright, Bara?" Tanya Bastian berubah cemas.
Tidak juga menjawab. Bara memeluk Irina dan menenggelamkan wajahnya di bahu kecil sang kekasih. Seakan mencari ketenangan dan perlindungan.
Irina bingung. Rasa cemasnya semakin menjadi. Belum pernah ia melihat Bara serapuh ini.
" Bara" Kamu kenapa?" Tanyanya membelai lembut kepala Bara.
" Ssst. Biarkan begini sebentar saja. Aku, lelah. Irina. Aku lelah" gumam Bara dalam pelukan wanita yang dicintainya.
Suara parau pria dalam dekapan, mengunci rapat mulut Irina. Seakan kesedihan, kegundahan, kesakitan serta kebingungan Bara bisa ditransfer sebagian padanya.
Bastian tidak mau mengganggu moment penting itu. Membiarkan mereka menumpahkan kesedihan masing-masing.
Selang 10 menit terselubung diam. Bara kembali tenang. Ketiganya duduk berhadapan. Irina dan Bastian menatap seksama ke arah Bara. Menunggu penjelasan.
Bara menghirup napas dalam-dalam. Mengatur deburan emosi yang menghantam keras sanubari.
" Jadi. Apa yang terjadi sebenarnya" Tentu ada sesuatu yang membuatmu frustasi" Bastian memulai pembicaraan.
" You right. Something happened. Something bad but better for us " sahutnya.
Bara menceritakan semua yang dialaminya. Tentang kedatangan profesor Ilyas, pertemuan dengan Joanna, sampai rencana untuk mempertemukan Braga dan Joanna.
Yang lebih shock adalah Irina. Dia baru mendengar masalah amnesia Braga.
Bastian ikut menambahkan kabar Braga yang menemui Edel dan Renno untuk berkonsultasi tentang kondisinya. Mereka sudah hampir sampai di ujung jalan. Persimpangan
telah berhasil terlewati. Arah mereka sudah benar. Hanya tinggal menyelesaikan sisa-sisa rintangan untuk sampai ke garis finish.
Keesokan hari, Bara ditemani Irina pergi ke tempat Joanna bersama Braga. Bastian dan Edel menyusul dibelakang. Profesor Ilyas sudah dikabari tentang rencana
pertemuan keduanya. Untung hari itu adalah hari sabtu. Mereka tidak perlu terbatas oleh waktu kerja.
Di rumah minimalis yang sederhana, Joanna sedang berbicara pada bocah laki-laki berumur 10 tahun. Wajahnya tampan dengan alis panjang. Garis darah blasteran
kental terlihat. Bibir tipis. Kulit bersih. Tubuh anak itu termasuk kategori bongsor untuk seusianya. Mengenakan kaos polo hitam begaris putih dan celana
pendek selutut warna hitam. Rambut kecokelatannya terpangkas rapi dengan poni sedikit jabrik.
" Ingat pesan mama. Jangan keluar atau membuat kegaduhan selama kunjungan teman-teman mama nanti. Do you understand" " nasihat Joanna pada bocah tampan
itu. " Understood, mom. Tapi kenapa aku tidak boleh bertemu dengan mereka" Mama jarang sekali dapat kunjungan teman. Siapa tahu mereka menyenangkan" protes
anak berhidung mancung itu pada sang ibu.
" Cedric. Jangan membantah mama. Oke. Kunjungan ini bukan main-main. Mama sedang membantu teman yang dalam kesusahan. Be a good boy " mandat lanjutan sang
ibu. Oow, kalau nada seperti itu sudah keluar, mau tidak mau Cedric membungkam mulut smart nya. Tak mau memancing kemarahan sang ibu. Atau selama seminggu say
goodbye untuk uang saku khusus snack mingguannya.
Deru suara mobil terdengar. Joanna mengintip keluar dari jendela kamar Cedric. Tiga mobil mewah berhenti dekat pekarangan rumah.
" Oke. Teman-teman mama sudah sampai. Kamu baik-baik di kamar, ya. Mama temui mereka dulu. Tutup jendelanya, sayang" wejangan terakhir Joanna untuk putera
sematawayangnya sebelum beranjak pergi.
Di ambang pintu, Joanna menoleh pada Cedric.
" Maafkan mama, sayang. Ayahmu sudah ada di di depan rumah. Tapi kamu tetap tidak bisa bertemu dengannya. Mama tidak bisa mempertemukan kalian. Dia bahkan
tidak tahu kamu ada di dunia. Mama terpaksa. Terpaksa oleh keadaan. Takut kamu diambil paksa dari mama. Mama bisa mati kalau kamu juga direnggut setelah
ayahmu dipisahkan dari kita" ratap Joanna dalam hati menangisi nasib malang sang anak.
Setelah memastikan kepergian sang ibu, Cedric mengintip keluar jendela. Tidak menghiraukan nasehat sang ibunda tentang menutup jendela. Memperhatikan satu
persatu orang dewasa asing berstatus 'teman mama'. Pandangannya berhenti pada sosok Braga. Muncul ketertarikan aneh. Perasaan hangat menyeruak dalam dada
Cedric. Joanna keluar dari rumah dan menghampiri kelima dokter rumah sakit Boulevard yang sudah menantinya di halaman.
Langkahnya memberat saat menangkap sosok Braga. Napasnya tercekat. Matanya tak berkedip. Rasa rindu dan cinta membakar hatinya. Mengapa perasaan ini belum
mati setelah sekian tahun tidak bertemu" Siapa yang patut ia salahkan" Bagaimana seharusnya ia bersiap" Isi pikiran Joanna kacau balau.
Braga balas memandang Joanna dengan tatapan dalam. Dia kenal wanita ini. Sangat kenal. Perasaan terpendam menghambur keluar. Bak air bah yang memancar
deras. Ingatan yang terlelap langsung terjaga dari tidur panjangnya. Pasungan yang terpasang kokoh memenjara jiwanya terbuka dengan sekali suara klik.
Wajah sempurna tak bercacat. Mata indah berwarna cokelat. Hidung mancung. Bibir tipis kemerahan. Untaian rambut kecokelatan yang bergelombang diterpa sang
angin membingkai sempurna wajah cantiknya. Harum lembut dari tubuh Joanna tercium hingga ke indera penciuman Braga. Entah wangi itu memang nyata atau berasal
dari ingatannya saja. Mata Braga turun dan singgah pada kalung berliontin teratai putih di leher Joanna. Kenangan kebersamaan mereka berkelebatan seperti film yang diputar dengan
tempo cepat. Kepala berdenyut kencang. Rasa pening menjalar hingga ke dahi. Mata Braga memicing saking sakitnya.
Braga jatuh berlutut sambil memegangi kedua sisi kepalanya. Mengerang kesakitan. Joanna terbelalak menyaksikan pemandangan itu. Tubuhnya membeku. Bara,
Irina, Bastian dan Edel berlari menghampiri. Edel bersiap menyuntikkan obat penenang, namun pria bernama tengah Dereck itu menepisnya.
Rahang Braga mengerutuk akibat menahan sakit. Mendongak menatap Joanna. Mengulurkan tangan kanan, berusaha berdiri seakan hendak menggapai wanita berdarah
campuran Rusia itu. Melihat Braga seperti dalam halusinasi memory lamanya. Edel mengisyaratkan ketiga dokter lain untuk mundur menjauh. Mereka membiarkan dan melihat apa yang
hendak dilakukannya. Dengan langkah terhuyun-huyun, Braga berjalan menghampiri Joanna. Wanita itu hanya bisa mematung. Tak berdaya menggerakkan setiap sendi dan tulang pada
tubuhnya. Kedua mata mereka bertautan. Berkomunikasi tanpa perlu bicara. Tanpa tedeng aling-aling, Braga memeluk erat Joanna.
" Joanna. I remember everything. I remember you and us " gumam Braga dekat telinga Joanna. Dia bisa merasakan hangatnya hembusan napas pria itu.
" Braga" panggilan lirih Joanna ikut larut dalam perasaan cinta.
Kemudian kesadaran Braga menghilang. Tubuh jangkung setinggi 185 centi ambruk dalam pelukan wanita yang baru teringat.
Cedric menyaksikan interaksi sang ibu dan pria asing yang menarik perhatiannya sejak tadi. Matanya membelalak. Mulutnya menganga lebar.
" Mom. . ." Ujarnya menatap reuni singkat sang ibu dengan ayah yang tidak dikenalinya.
16. Unlock Door and Secret Reveal
" Bragaa!!" Jerit kekagetan empat dokter Boulevard menyaksikan reuni memilukan sepasang insan yang dipisahkan secara paksa oleh nasib dan keegoisan orang
tua. Bara dan Bastian berlari menghampiri dan menopang tubuh Braga yang ambruk tak sadarkan diri lalu menariknya agar tidak membebani Joanna. Edel dan Irina
yang sama kagetnya ikut menghampiri.
Rasa khawatir menghinggapi diri Joanna. Dia tidak menyangka kondisi pria yang dicintainya bisa sampai seburuk ini. Muncul pikiran yang mempertanyakan apakah
keputusan untuk meninggalkan Braga adalah pilihan yang sudah tepat" Ia tidak tahu jawaban apa yang akan menyahut dipersimpangan jalan.
Pandangan Joanna tidak bisa lepas dari Braga yang tampak tak berdaya dalam rengkuhan Bara dan Bastian. Keadaan memaksa mereka untuk berpisah. Tak ada restu
untuk dapat bersatu. Ia takut jika keberadaan Cedric diketahui lalu jadi pusat perhatian pria yang seharusnya bisa anak itu panggil dengan sebutan kakek.
Kebencian Gerard membuat ia takut. Takut Cedric akan dirampas seperti saat Braga ditarik paksa dari sisinya.
" Aku harus menahan perasaanku. Begitu Braga dibawa pergi dari sini, selesai pula pertemuan kami. Demi mempertahankan Cedric tak ada pilihan lain. Maafkan
aku, Braga. Mungkin kita tidak ditakdirkan untuk bersatu saat ini atau pun nanti , aku tidak tahu. Suatu saat aku pasti akan mempertemukanmu dengan Cedric
tapi tidak sekarang. Kamu tidak siap begitu juga aku." Ratapan hati Joanna. Terasa sungguh menyiksa.
" Maaf, Joanna. Kami harus segera membawa Braga kembali ke rumah sakit. Braga perlu mendapatkan pemeriksaan dan tindakan cepat. Takut kondisinya serius
dan fatal." Ujar Bara memberikan penjelasan.
" Tak apa. Bawalah dia ke tempat yang seharusnya. Tidak usah memikirkanku. Keselamatan Braga lebih penting." Jawab wanita berkalung teratai putih itu dengan
senyum setengah terpaksa.
" Kamu tidak ikut dengan kami ke rumah sakit" Kamu bisa menemani Braga sampai nanti dia siuman?" Irina menawarkan.
Joanna terdiam mendengar pertanyaan Irina. Dia sangat ingin pergi menemani. Dia ingin tahu kondisi Braga. Ingin mendampingi pria yang dicintainya. Pria
yang tak terlupakan bahkan setelah melewati waktu panjang. Bagai berada di gurun pasir yang luas dan kering. Sendirian. Ditemani luka dan nestapa.
Mata Edel memicing menatap gelagat aneh pada diri Joanna. Wanita ini seperti menahan sesuatu. Ada kesan protective. Pada siapa" Braga" Ah, bukan sepertinya.
Justru setiap ingin menyentuh Braga wanita ini ragu dan takut. Bahasa tubuh dan mimik wajahnya juga menunjukkan orang yang berada di tengah keputusan sulit.
Dia menduga ada rahasia yang disembunyikan oleh Joanna.
Mata Joanna tanpa sadar melirik ke arah kamar Cedric. Bimbang antara ikut atau tinggal. Bagaimana Cedric kalau ia ikut" Pikir Joanna. Kebimbangan ganjil
itu berhasil tertangkap oleh mata laser Edel. Dia ikuti arah lirikan mata Joanna. Menajamkan pandangan ke arah kamar tempat keberadaan putera Braga. Sekilas
wajah tampan anak itu terlihat.
Terkejut dirinya diperhatikan, Cedric menutup jendela dengan tirai cokelat mocca kamarnya.
" Siapa" Barusan aku melihat ada orang dibalik gorden. Seorang anak laki-laki. Siapa dia" Kerabat Joanna" Atau anaknya?" Gumam Edel dalam hati. Menebak-nebak
identitas Cedric. Perasaan cinta yang cukup kuat menggiring Joanna kepada pilihan untuk ikut. Sambil terus menatap wajah tak berdaya Braga, Joanna mengambil keputusan sulit
namun mantap. " Baiklah. Aku akan ikut ke rumah sakit. Menemani Braga hingga siuman" Jawabnya.
" That's great. Banyak yang perlu kalian bicarakan setelah dia siuman. Right" " sahut Bastian cukup puas dengan jawaban Joanna. Dia tahu Braga membutuhkan
kehadiran Joanna saat ia sadar nanti.
Bara bersama Bastian membawa masuk tubuh Braga yang tak sadarkan diri ke dalam mobilnya. Disusul Irina yang naik di kursi penumpang depan disebelah Bara.
Joanna duduk di kursi penumpang tengah bersama Braga. Menyandarkan kepala sang pria tercinta dipangkuannya. Sedangkan Edel dan Bastian naik di mobil terpisah.
Edel membawa mobil sang suami. Dan Bastian membawa mobil Braga.
Joanna mengirimkan pesan teks pada Cedric. Mengabari dirinya yang harus pergi untuk urusan darurat. Cedric menerima pesan sang ibu. Anak itu paham bahwa
sang ibu hendak menolong temannya. Yang dia tidak bisa paham adalah pemandangan janggal saat pria berwajah hangat yang barusan ia perhatikan memeluk erat
ibunya. That's weird, pikir Cedric dengan gaya ala detektif favorit. Menempelkan jari telunjuk dan ibu jari ke dagu berbelahnya.
Setelah menempuh perjalanan gila bak pembalap formula one selama kurang lebih satu jam, mereka sampai di rumah sakit. Renno telah menunggu. Karena diberitahu
oleh Edel tentang kondisi Braga, dia melesat secepat supersonic menuju rumah sakit. Melalui pintu darurat belakang, dua orang suster pria dan satu orang
suster wanita diperbantukan oleh Renno untuk membawa Braga menuju ruang khusus di divisi syaraf menggunakan tempat tidur beroda.
Di ruang isolasi tersebut, Renno dan Edel segera bergerak memasang alat dan melakukan tindakan untuk memeriksa kondisi Braga. Melakukan tes pada syaraf
kepala beserta bagian vital lainnya. Bara, Bastian dan Irina mengamati dari posisi yang sekiranya tidak mengganggu.
Joanna berdiri tidak jauh dari mereka. Khawatir bercampur getir. Ada ketakutan jika Gerard muncul tiba-tiba lalu memergoki dirinya ada di dekat Braga.
Bukankah dulu dia juga yang setuju untuk pergi" Sudah sewajarnya begitu batang hidungnya terlihat, dia akan langsung kena maki.
Tidak! Dia kesini bukan berniat kembali. Dia hanya ingin berpamitan. Memberikan salam perpisahan yang telah lama tertunda. Tertunda selama 10 tahun. Lagipula
dia ingin memastikan keadaan pria yang ditinggalkannya akan baik-baik saja atau tidak. Meski dia sedikit meragukannya.
Renno dan Edel saling bertukar pandang begitu usai membaca hasil tes gelombang otak Braga. Senyum lega tersungging di bibir mereka. Melihat reaksi kedua
koleganya, mengipasi rasa penasaran Bara.
" Bagaimana, Del, Ren?" Tanyanya tidak sabaran.
" Kita bisa bernapas lega. Gelombang aneh di otak kakakmu sudah tidak ada lagi. Aku rasa ingatannya sudah bisa pulih. I think " jawab Renno.
" You think" Maksudmu hanya dugaan atau kepastian?" Tanya Irina ragu mendengar jawaban playboy jadi-jadian dihadapan mereka.
" Maksudnya, menurut data seharusnya Braga sudah bisa mengingat semuanya. Tapi kepastian benar atau tidaknya baru bisa kita lihat saat ia sadar" sambung
Edel mengambil alih penjelasan.
" Kira-kira berapa lama lagi sampai Braga bisa sadar?" Tanya Bastian.
" Soon " sahut Renno penuh keyakinan. Tak peduli dengan tatapan mencemooh yang dilemparkan Irina.
Bara hanya terdiam. Entah dari mana datangnya, dia merasakan firasat yang teramat buruk. Seakan datang pertanda angin ribut baru bersiap menerjang mereka.
Semoga itu hanya pikiran negatifnya saja yang berlebihan.
" Sebenarnya apa yang terjadi" Kenapa keadaan Braga bisa sampai begini" Maksudku, pasti ada sesuatu, kan?" Tanya Renno penasaran.
Irina dan Bastian menoleh ke arah Bara seolah menunggu persetujuan. Bara sebaliknya, justru menoleh ke arah sang kakak sebelum memutuskan untuk menceritakannya
pada Renno. Toh, akan ketahuan juga, pikir Bara.
" Akan kuberitahu. Ayo kita bicara di luar. Joanna aku titip Braga" ujar Bara.
" Baik" jawab Joanna menyanggupi.
Bara, Renno, Edel, Irina dan Bastian keluar ruangan. Bara menceritakan semuanya. Singkat dan padat. Renno mencerna tanpa berkomentar. Dirundung kekagetan,
dokter spesialis syaraf itu memandang satu persatu wajah mereka. Ini sungguhan" Pikirnya.
" Jadi. Braga seperti ini karena efek samping peristiwa 10 tahun lalu?" Tanya Renno mengulangi penuturan Bara.
" Yes. Bisa dikatakan begitu" jawab Bara membenarkan.
" Horrible! " seru Renno terbelalak. Melipat kedua tangan di depan dadanya.
Tiba-tiba telepon genggam Bastian berbunyi. Nama yang tertera pada layar cukup mengejutkannya. Pada screen handphone terpampang nama Gerard. Dihubungi
oleh dalang utama kekacauan saat ini membangunkan insting kewaspadaan Bastian. Sudah pasti berhubungan dengan masalah yang sama.
" Halo. Selamat siang, pak Gerard" jawab Bastian sebagai salam pembuka sambil mengatur tekanan suaranya agar terdengar senormal mungkin. Otak geniusnya
berpacu cepat. Memikirkan strategi yang harus dipersiapkan guna menghadapi si pak tua Gerard.
" Kebetulan saya sedang berada di rumah sakit, pak. Ada sedikit keadaan darurat makanya saya datang. Untuk beberapa jam ini saya belum dapat meninggalkan
rumah sakit. Baik, pak. Akan saya tunggu" sambungan telepon usai. Bastian sudah mengambil sebuah keputusan beresiko. Membiarkan Gerard hadir di saat-saat


Boulevard Revenge Karya Crimson Azzalea di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

krusial. Menurutnya, sudah tiba waktu pendeklamiran perang terbuka. Tidak ada lagi rahasia yang bisa disembunyikan Gerard. Semua bukti sudah ada ditangan mereka.
Termasuk ingatan Braga yang akan segera pulih.
Sayangnya, asumsi Bastian meleset. Rahasia terbesar masih terkunci rapat dalam kebekuan memory Braga. Kejutan terakhir siap menyambut mereka.
Bara menemani Bastian ke ruang pribadi sang ayah. Irina tadinya hendak mengikuti Bara dan Bastian tapi ditahan oleh sang kekasih. Bara memintanya mengawasi
Joanna dan Braga. Renno dan Edel masih mendiskusikan beberapa hal terkait hasil tes di ruang khusus yang terhubung langsung dengan sebuah pintu dari tempat Braga saat ini
terbaring. Menganalisa segala kemungkinan. Renno ingin memastikan tidak ada kerusakan dalam jaringan otak sang sahabat. Tentu tidak lucu jika seorang dokter
secerdas Braga sampai mengalami masalah di bagian otak. Reputasi dirinya sebagai spesialis syaraf yang menjadi taruhannya, Renno bersumpah dalam hati.
Di dalam ruang steril, Joanna duduk termenung disebelah Braga yang masih belum sadar. Dia pandangi wajah tampan berkulit kuning bersih itu. Dia telusuri
setiap jengkalnya dengan sentuhan lembut jari-jari tangan. Dahi lebar, alis panjang nan tajam, kelopak mata tegas terkatup rapat, hidungnya mancung, bibir
yang sedikit tebal pada bagian bawah, lalu turun ke dagu berbelah persis sama dengan bentuk dagu Cedric. Dipadu rahang kokoh menambah kesan maskulin pada
paras pria yang sampai detik ini belum mampu dia lupakan.
Jika menilik menggunakan cara berpikir para wanita bodoh nan naif, siapa yang bisa menolak pria seperti Braga" Fisik sempurna, karir cemerlang, keturunan
keluarga terhormat dan harta berlimpah. Masalahnya bukan ketiga kategori tersebut yang mereka berdua perlukan. Kesempatan, waktu serta restu adalah penghalang
tersulit. Menjadi obstacle terbesar pemisah cinta mereka. Segala kesempurnaan Braga membuat mereka tak dapat bersatu. Kesempurnaan merupakan sebuah beban.
Mengidap sejuta kekurangan adalah anugerah yang sesungguhnya dalam kehidupan.
Air mata Joanna meleleh tak tertahan lagi. Sambil mengusap wajah Braga, dia berucap " Braga. Mungkin cinta kita tidak mendapatkan restu dari semua pihak.
Tidak diberi kesempatan untuk bersatu. Keinginan kita tidak terwujud. Tapi aku yakin Tuhan sudah menggariskan yang terbaik untuk kamu, aku juga Cedric.
Jangan menyalahkan siapa pun apalagi Tuhan atas kisah cinta menyakitkan kita. Maafkan aku menyembunyikan Cedric dan harus pergi meninggalkan kamu. Jangan
salah paham padaku. Aku sangat mencintai kamu. Sangat. Cedric akan kuberitahu siapa ayahnya. Ayahnya adalah pria baik yang telah menjadi penyelamat nyawa
ibunya dengan berkorban banyak hal. Pria hebat yang meski seisi bumi menyudutkan dan menolak keberadaan kami, dia pasti akan tetap mempertahankan. Sekali
lagi maafkan aku. Jika suatu saat tiba kesempatan kita untuk bertemu lagi. Aku berharap keadaan bisa membaik untukmu, untukku dan Cedric. Aku berjanji.
Akan menjaga Cedric dan mendidiknya menjadi laki-laki sehebat kamu. Dia akan datang mencari ayahnya. Kami pamit pergi, Braga. Jaga dirimu baik-baik. Semoga
kamu sehat, dilindungi Tuhan dan Tegar dalam mengahadapi apapun rintangan dalam hidupmu. Selamat tinggal kekasih tak sampaiku. I love you. Always."
Bersamaan dengan ucapan perpisahan memilukan itu Joanna mengecup dahi Braga. Butiran bening air mata Joanna menetes jatuh ke wajah pria malang yang akan
ditinggalkannya. Joanna menangis terisak-isak menempelkan dahi dan hidungnya dengan dahi dan hidung Braga. Lalu menyandarkan kepalanya memeluk dada pria
itu. Mendengarkan degupan jantungnya. Sangat berat untuk pergi. Kakinya seperti dirantai oleh jangkar kapal yang beratnya ribuan ton.
Irina sejak tadi menyaksikan perpisahan sarat duka itu. Tanpa bisa ditolak air matanya ikut tumpah. Bisa merasakan apa yang mereka rasakan dan alami. Namun
ia sadar tidak berhak ikut campur. Irina hanya bisa berdiri menonton peristiwa penting dalam hidup keduanya. Berharap dan berdoa Tuhan berbelas kasihan
pada dua insan ini. Rasa benci pada pria bernama Gerard Isaac Witchlock bertambah. Bukan hanya dia dan Bara yang menderita. Bahkan anak sulungnya sekalipun
menanggung derita lebih parah lagi akibat ulahnya. Memang tidak ada hal baik yang bisa dilakukan oleh kakek tua itu" Punya hobi kok menciptakan produk
macam-macam penderitaan, Keluh Irina.
Dengan mengerahkan segenap kekuatan dan power of will , Joanna melepaskan pelukannya. Berbalik. Berjalan menuju pintu. Air matanya meleleh. Langkahnya
terhenti saat melihat Irina berdiri dengan sorot mata prihatin.
" Kamu mau pergi?" Tanyanya iba.
" Iya. Aku tidak bisa tinggal. Sudah cukup masalah yang timbul. Braga tidak perlu disusahkan lagi oleh masalah karena aku" jawab Joanna menghapus air mata
dari wajah pucatnya. " Bukankah berada disisinya dapat memberikan kekuatan untuk menghadapi semua masalah itu" Pergi bukan solusi. Tidakkah terpikir olehmu bahwa yang kamu
lakukan ini akan semakin menyengsarakan Braga?" Tambah Irina berusaha menahan kepergian Joanna. Braga pasti butuh keberadaan wanita yang dicintainya. Seperti
dirinya yang semakin kuat karena keberadaan Bara.
" Kami tidak bisa bersama. Situasi dan keadaan tak memihak padaku dan Braga. Ini adalah satu-satunya pilihan terbaik sekarang. Aku pergi semata-mata bukan
melarikan diri atau meninggalkannya. Aku ingin mengurangi beban Braga. Menunggu waktu dan kesempatan untuk bisa kembali dan bersatu" jawaban miris wanita
berambut panjang kecokelatan itu.
Irina menatap dalam kedua iris cokelat Joanna. Alasan yang masuk akal. Tak ada keegoisan sama sekali dalam diri wanita ini. Dia kagum. Pantas Braga bisa
secinta itu pada Joanna. Sosok wanita tegar berhati mulia.
Senyum kekaguman tersungging di bibirnya. " Kamu hebat. Dalam keadaan terhina sekalipun masih bisa memikirkan orang lain. Tidak dikuasai oleh emosi. Aku
ingin seperti kamu. Hidup ikhlas tanpa memikirkan sakit hati" ujar Irina berangan-angan.
" Aku bukan hebat. Aku pasrah, Irina. Biar Tuhan mengatur hidupku. Bukan tidak egois. Seumur hidup, aku tidak memiliki hak untuk egois. Sekalinya berlaku
egois, aku menyebabkan penderitaan untuk orang yang paling kucintai. Aku jera. Saranku untukmu. Buang jauh-jauh dendam dan sakit hati demi orang yang kau
cintai. Jangan sampai kamu kehilangan lebih banyak sedangkan kamu tidak dapat apa-apa dari dendammu" nasihat Joanna menusuk langsung ke relung hatinya.
Merelakan dendam demi cinta" Demi Bara" Bisakah" Pikirnya.
" Bagaimana caranya?" Tanya Irina.
" Bandingkan antara kehilangan dendam dan kehilangan orang itu. Mana yang paling membuatmu menderita. Disitulah isi hatimu yang sebenarnya berada" jawab
Joanna. Petuah singkat wanita blasteran Rusia itu bagai air dingin yang menyiram Irina dari ujung kepala sampai ujung kaki. Menyadarkan kelima inderanya. Termasuk
indera perasa. Mana yang lebih penting" Dendam atau Bara" Gumam Irina dalam hati menimbang-nimbang.
" Buka hati jangan hanya pikiranmu. Hati lebih banyak benarnya dari pada kepala. Untuk itulah dia diciptakan. Aku pamit pergi. Aku titip Braga padamu dan
Bara. Tolong hibur dan nasihati jika dia melakukan sesuatu yang salah. Tolong hentikan juga jika dia berkeras ingin mencariku. Sampaikan permintaan maaf
dan cintaku padanya. Selamanya dia adalah laki-laki yang paling aku cinta. Sampai jumpa, Irina. Wish the best for you " ucap pamit Joanna.
" Kemana kamu akan pergi" Boleh aku tahu?" Tanyanya.
" Aku mungkin akan pergi ke daerah Bandung. Tapi maaf tidak bisa memberikan detail lokasinya" ujar Joanna.
" Aku mengerti. Terima kasih atas nasihatnya. Akan kusampaikan pesanmu. Aku dan Bara juga pasti akan menjaga dia agar tidak bertindak gegabah. Tapi aku
tidak janji mau menghentikan usahanya untuk mencari kamu. Aku tak bisa berlaku sejahat itu. Aku berdoa untuk hubunganmu dan Braga. Semoga terbuka jalan
lurus bagi kalian agar dapat bersatu kembali. Good luck, Joanna" ujar Irina mengulurkan tangannya untuk berjabatan.
Joanna menyambut uluran tangan Irina. Kedua wanita itu bersalaman selama 5 detik. Saling melemparkan senyum kemudian melepas tautan tangan masing-masing.
Joanna beranjak pergi. Berjalan selangkah demi selangkah. Menegarkan hati agar tidak menoleh lagi. Diiringi doa disetiap pijakan. Menggenggam erat kalung
berliontin teratai putih di lehernya. Pemberian terakhir Braga. Meninggalkan semua sulur ikatan dari masa lalu.
Irina termenung. Berusaha menyortir dan menyerap kata-kata Joanna. Mungkin benar. Dendam tidak memberikannya apa-apa selain rasa sakit bertabur derita.
Namun menghilangkannya juga tidak semudah membalikkan telapak tangan.
" Sebaiknya aku menguping percakapan Bara dan Bastian dengan si tua itu. Aku penasaran apa yang ingin dibicarakan mereka bertiga" gumam Irina dalam hati.
Sebelum menuju ke ruang Gerard, dia memberitahukan Edel dan Renno yang berada di ruang sebelah untuk menjaga Braga. Sekaligus menginfokan kepergian Joanna.
Awalnya mereka terkaget-kaget. Namun setelah diberi penjelasan tentang alasan kepergian Joanna, mereka mengerti. Renno bahkan sempat-sempatnya berkomentar
berlebihan. " God! Your life is freacking tragic, dude! Did you have a curse" " seru Renno menoleh jahil ke arah Braga yang belum juga sadar. Edel gemas dan langsung
mencubit lengan si drama king. Irina hanya memutar bola matanya. Merasa sebal dengan aksi heboh Renno yang membawa-bawa kata kutukan segala dalam masalah
serealistis ini. " Aku akan menyusul Bara dan Bastian dulu. Urusanku dengan si tua Gerard sudah tidak bisa menunggu lagi. Sekarang saat yang tepat untuk menyelesaikan semuanya.
Kalian tunggu disini saja, ya. Siapa tahu Braga sadar" ujar Irina.
" Jangan gegabah dan terbawa emosi, Rin. Kita semua tahu dan mengerti perasaanmu. Tapi emosi akan menumpulkan pikiranmu. Keep calm. Selesaikan baik-baik.
Bisa, kan?" Sahut Edel khawatir Irina tak akan mampu mengatur ledakan emosinya saat berhadapan dengan Gerard.
" Jangan khawatir. Di sana ada Bara dan Bastian. Apa yang bisa kulakukan untuk melawan dua pria besar seperti mereka" Aku titip Braga" jawab Irina sedikit
bercanda untuk menenangkan kegusaran sang sahabat.
Saat Irina akan berbalik pergi, terdengar suara lenguhan dari arah tempat tidur. Dua dokter wanita yang tadinya tengah terlibat percakapan serius, mengalihkan
perhatian mereka ke arah sumber suara. Renno sudah lebih dulu berdiri di sisi tempat tidur mengamati tanda-tanda kesadaran pada diri Braga.
Jari jemarinya mulai bergerak. Kelopak matanya mengerjap lemah. Perlahan-lahan kesadaran mulai menguasai. Suara erangan pelan meluncur dari bibir pria
blasteran Amerika itu. Sepasang mata hangat terbuka menatap langit-langit ruangan. Pandangannya kosong. Edel dan Irina langsung menghampiri di kedua sisi
tempat tidur. Mengamati kondisi serta grafik pada alat yang sengaja dipasang sebagai pemantau.
" Kondisinya stabil. Tidak ada tanda-tanda grafik yang aneh" lapor Renno sambil mengamati grafik kondisi Braga.
Mendengar tidak adanya kejanggalan pada laporan Renno, Edel bergeser agar dapat berdiri tepat di hadapan Braga. Menoleh menatap alat denyut jantung guna
memastikan skala ketegangan dan tekanan.
" Braga" Kamu kenal siapa aku?" Tanya Edel memberikan pertanyaan untuk mengetes kesadaran dan ingatan Braga. Memastikan pria itu tidak dalam fase disorientasi.
Braga menoleh dan menatap Edel dengan tatapan bingung. " Edel" jawabnya singkat.
Sebelum Edel mengajukan pertanyaan-pertanyaan lanjutan, ekspresi Braga berubah drastis. Ketakutan. Bingung. Dahinya berpeluh. Matanya mengernyit seperti
orang kesakitan. Kedua tangan memegangi kepalanya. Sinar kepanikan terlihat jelas dari pancaran mata berbola mata deep brown itu.
" Aku membunuhnya! Aku membunuhnya!!" Ujarnya dengan napas memburu. Merubah posisi dengan cepat ke posisi duduk, Braga bertingkah setengah histeris. Menangis.
Matanya terbelalak. Kedua tangannya mencengkeram kepala dan rambut. Mulutnya komat-kamit bak mbah dukun yang tengah membacakan mantera sakti.
Renno ternganga menyaksikan 'aksi' sahabat karibnya yang sudah seperti orang gila stadium lanjutan. Oh, no!
Irina juga tercengang. Shock. Tak menyangka reaksi Braga bisa sedahsyat ini. Apakah ini alasan Gerard menghipnotis Braga" Karena sedepresi inikah maka
ingatannya sampai perlu disembunyikan" Dipikir-pikir jadi Reasonable, celetuk Irina dalam hati.
Lain hal dengan Edel yang terbiasa menghadapi pasien-pasien gangguan jiwa. Dia sudah expert dalam penanganan jenis kegilaan paling extreme sekali pun.
Bahkan dia pernah memanjat pembatas atap rumah sakit hanya untuk meladeni pasien Anoreksia Nervosa yang hendak bunuh diri. Tentu teriakan dan tingkah histeris
Braga belum apa-apa untuk psikiater sekaliber dirinya. Dengan kehebatan ahli jiwa bernilai outstanding dipadu the power of superwoman nya, Edel mencengkeram
kedua bahu Braga dan mencondongkan tubuhnya menatap langsung kedua mata pria itu.
" Jangan panik, Braga. Apa yang ada dalam pikiranmu itu tidak benar. Kamu tidak membunuh siapa-siapa. Tenangkan dirimu. Tarik napas dalam lalu buang. Everything
is gonna be alright. Tidak ada yang menuduhmu menjadi seorang pembunuh" seru Edel berusaha membujuk dan menenangkan Braga.
Bagi Renno, arahan Edel lebih terdengar seperti perintah ibu tiri dibanding nasihat. Seram sekali, pikirnya menelan ludah. Ngeri mendengar nada bicara
Edel saat mensugesti Braga.
" Aku yang bertanggung jawab atas kematian ibu! Dia sakit tapi aku tidak tahu! Dia butuh ginjal dariku tapi aku terlambat tahu! Kenapa dia harus memilih
bunuh diri demi menutupi keadaan yang sebenarnya?" Kenapa tidak ambil saja ginjalku yang tinggal satu ini?" Aku yang harusnya mati!!" Jerit penyesalan
Braga. Matanya memerah. " Itu bukan kesalahanmu, Braga. Kamu tidak salah jika mendonorkan ginjal demi orang yang kamu anggap penting. Tapi mengorbankan nyawa demi ibumu, bukan
keinginan dia. Lihat seberapa sayangnya dia padamu dan Bara" Jangan jadi seperti ini. Jangan sia-siakan pengorbanan ibumu. Semuanya sudah terjadi menurut
ketentuan takdir Tuhan. Ibumu pasti sengaja merahasiakan kondisinya agar kamu dan Bara tidak khawatir. Semua ibu di dunia ini akan melakukan hal yang sama
seperti yang ibumu lakukan. You need to be strong for her. Tunjukkan padanya bahwa kamu bisa bangkit dan kuat menjalani hidupmu demi dia. Buatlah ibumu
bangga" bujuk Edel meyakinkan Braga.
" Bagaimana ibu bisa bangga" Aku ini seorang pembunuh yang pengecut! Pecundang yang lari dari kesalahannya! Pembunuh yang tidak punya hati! Apa yang membanggakan
dari anak seperti aku?"" Teriak Braga bertambah kacau. Mengibaskan cengkeraman Edel pada kedua bahunya.
Kesal melihat tingkah Braga yang mulai meracau, Renno mengambil tindakan. " Easy, dude. Jangan menuduh dirimu sebagai pembunuh untuk kejadian yang bukan
seratus persen salahmu. Ketidaktahuan tentang kondisi ibumu dan pengorbanan untuk wanitamu itu bukan kesalahan. Tidak ada pecundang yang berani mendonorkan
salah satu organ tubuhnya demi seorang wanita. Tidak ada pengecut yang mempunyai ibu setangguh tante Delilah. Berani berkorban nyawa demi kewarasan puteranya.
Tante Delilah meninggal karena pilihannya sendiri. Pembunuh apaan, sih" Kalau kamu masih merengek-rengek soal bunuh membunuh begini tanpa peduli pengorbanan
banyak orang, I will actually kill you! " seru Renno menjambret bagian depan kemeja Braga dan menyemburkan nasihat-nasihat 'maut' dari mulut kebanggaan
yang sudah blong remnya. Edel tidak berusaha menghentikan atraksi yang sedang dilakoni sang casanova. Menurutnya, ocehan frontal Renno sangat masuk akal dan bijak. Meski tetap
ada sabda khusus ala Renno di selipan kata perkatanya. Menggunakan ancaman di akhir nasihat pada orang depresi" Stupid playboy! Umpat Edel.
" Aku sebenarnya tidak ingin mengatakan ini sekarang, Braga. Joanna pergi. Dia meninggalkanmu agar kamu punya ruang bernapas menyelesaikan semua permasalahan
ini. Dia ikut merasa bersalah atas kematian ibumu. Sama seperti kamu. Merasa jadi pembunuh. Kamu tidak bisa putus asa dan terpuruk begini setelah pengorbanan
dua wanita hebat seperti mereka! Kuatkan dirimu! Hadapi kenyataan!" Seru Irina akhirnya mampu angkat bicara. Membeberkan kepergian Joanna beserta alasannya.
" Joanna pergi" Dia pergi karena aku" Dia merasa jadi penyebab ini semua?" Kenapa?"" Tanya Braga panik. Napasnya bertambah berat. Dadanya sesak bagai terhimpit
benda berat. Kepala berdengung. Seakan seisi langit runtuh menimpanya.
" Iya. Dia merasa seperti itu. Tapi dia bilang ini bukan perpisahan selamanya. Dia akan kembali jika saatnya sudah tepat. Untuk itulah kamu perlu move
on. Bangun, Braga! Mimpi burukmu pasti akan berakhir. Berganti dengan kenyataan yang indah" tambah Irina lagi terus memotivasi.
Tubuh Braga lunglai tak bertenaga. Tak bertulang. Hilang semangat. Ditatapnya Renno dengan pandangan memelas. Bak boneka tali yang putus, dia menangis.
Kalau bukan karena bagian depan bajunya masih dalam cengkraman Renno, mungkin hidung mancungnya sudah patah akibat terjun bebas ke lantai dingin bangsal
rumah sakit. Renno yang ngeri jika sang sahabat akan mengamuk atau bertingkah konyol lain, malah mengusap punggungnya. Menahan tubuh yang berbobot hampir
seimbang dengan dirinya. Memberikan dukungan moril meski dia sendiri bingung harus bagaimana mendukung situasi hopeless semacam ini.
Irina duduk di tepi tempat tidur. Mengusap bahu kanan Braga dan mengucapkan kalimat-kalimat menenangkan. Cemas jika pria itu mengambil jalan pintas untuk
mengakhiri hidup. Terlepas dari tanggung jawabnya yang diberi permintaan tolong oleh Joanna untuk menjaga Braga.
Sejak awal Braga siuman, Edel merasa ada keganjilan pada penuturan Braga. Khususnya pada larik: pecundang yang lari dari kenyataan" Maksudnya apa ya" Ada
maksud samar yang tersirat dari kalimat itu, Edel berasumsi.
" Jangan putus asa, Braga. Pasti akan ada titik terang di kegelapan sepekat apapun. Badai pasti berlalu. Di padang pasir sekalipun oasis bisa exist. Semuanya
pasti akan selesai jika saatnya sudah tiba. Termasuk saat dimana kamu akan bersatu lagi dengan Joanna. Jalani hidupmu dengan baik. Bara yang tersandung
kasus malpraktek saja tidak menyerah. Dia berusaha membongkar semuanya. Bersabarlah. Kendalikan emosi dan kekalutanmu agar nurani dan pikiran tidak hilang.
Kamu bukan pecundang. Bukan pembunuh ataupun pengecut" sahut Irina memegangi bahu lebar Braga.
" Kalian tidak tahu apa yang sudah aku perbuat!! Aku ini benar-benar sudah jadi pembunuh! Bukan hanya menjadi penyebab kematian ibu, aku juga menjadi penyebab
kematian yang lainnya!" Raung Braga dengan suara meninggi. Kalut. Tatapan mata liar menyapu sekeliling. Menatap kedua telapak tangannya dengan mata melotot.
Mengigil ketakutan. Ciri nyata orang yang tengah mengalami depresi berat.
Sementara di ruang kerja Gerard. Bastian dan Bara menunggu kedatangan lawan bicara mereka nanti. Memperkirakan apa yang akan dibicarakan. Mereka bisa menebak
topik pembicaraannya tidak akan jauh dari masalah malpraktek itu. Bara sudah siap jika harus berdebat sengit dengan sang ayah.
Bara sengaja tidak mengikutsertakan Irina karena tidak mau luka hatinya pada sang ayah bertambah dalam. Dia kenal betul bagaimana watak ayahnya dan tahu
persis bagaimana tabiat Irina. Saat emosi bisa saja dia membongkar identitasnya sendiri. Situasi akan mencapai puncak kalau itu sampai terjadi.
Selang waktu setengah jam, Gerard tiba. Cukup kaget dengan kehadiran putera bungsunya disana. Sepersekian detik keduanya bertemu pandang. Dilihat dari
sudut pandang netral, ayah dan anak ini memiliki kemiripan wajah lebih banyak dibanding si sulung. Terutama di mata. Sama-sama bertatapan kuat. Membara
bagai kobaran api. " Selamat sore, pak" sapa Bastian berbasa basi meski merasa enggan.
" Sore, Bas. Kamu juga Bara. Tumben sekali kamu mau menemuiku" Apa ada hal penting yang ingin kamu bicarakan?" Tanyanya pada Bara sambil melangkah menuju
kursi kerja. " Banyak sekali yang perlu aku bicarakan pada ayah. Terutama tentang penyakit ibu dan ingatan Braga. Kenapa ayah menyembunyikan kondisi ibu" Dan kenapa
ayah memanipulasi ingatan Braga" Jelaskan padaku!" Ujar Bara memberi tekanan pada kata 'perlu'.
Gerard yang sedang berdiri membelakangi karena sibuk menata jasnya di senderan kursi, langsung berbalik. Menatap sang anak dengan tajam. Tak menyangka
semua rahasianya bisa terkuak.
" Dari mana kamu tahu?" Seru mantan dokter bedah jantung utama yang telah pensiun.
" Tidak penting aku tahu dari mana. Aku butuh penjelasan dan jawabannya, ayah" sahut Bara.
Gerard duduk di kursi kerjanya. Wajah penuh kegelisahan. Badan menegang. Tangannya mulai dingin dan berkeringat. Matanya hilang fokus. Jika Edel ada disana,
dia pasti langsung bisa membaca tanda-tanda kegelisahan pada orang tua itu. Bastian menutup rapat mulutnya untuk sementara. Memantau progress pada percakapan
ayah dan anak yang mungkin akan berubah jadi ajang saling teriak.
" Kenapa" Ayah tidak bisa menjawab" Atau tidak mau menjawab" Braga sebentar lagi akan sadar dan mengingat segalanya. Sekalipun ayah tidak mau mengaku,
aku akan tetap tahu dari kesaksian Braga!" Ancam Bara.
Jantung Gerard berdesir. Kalimat barusan lebih mengejutkan serat mengancam baginya. Braga akan ingat" Mungkinkah" Bagaimana caranya Bara membuat ingatan
Braga kembali" Alarm tanda darurat menggaung dalam kepalanya.
" Apa" Braga akan ingat" Apa maksudmu, Bara?" Tanya sang ayah bertambah takut.
" Ya. Ingatan Braga akan kembali. Ingatan yang ayah rampas demi kepentingan ayah. Untuk menyelamatkan muka bersalah ayah! Ayah telah merampas banyak hal
berharga dalam hidup Braga! Aku akan mengembalikan semua yang dirampas darinya! Termasuk Joanna" tambah Bara meninggikan suaranya. Tak gentar sama sekali.
Sudah cukup satu persatu kemalangan menimpa sang kakak. Dia tidak menyalahkan atas kematian sang ibu. Mereka sama - sama bersalah karena tidak tahu tentang
penyakit yang menggerogoti kesehatannya. Dia marah. Sangat marah. Kenapa masalah seserius itu disembunyikan daru mereka" Pergelutan hati Bara.
" Kenapa masalah ibu disembunyikan" Ayah juga yang mengarang alasan kepindahan ibu ke Oxford, kan" Membuat aku dan Braga sempat salah paham. Menyangka
ibu sama sekali tidak peduli pada kami!! Jadi alasan ketidakhadiran ibu selama 15 tahun terakhir hidupku dan Braga, karena dia mengidap penyakit mematikan
yaitu gagal ginjal" Begitu?"" Sembur Bara mengeluarkan semua kekecewaannya.
" Bukan begitu, kami hanya-.."
" Hanya apa" Hanya karena ayah adalah orang paling hebat" Merasa sesumbar mampu menangani semua masalah tanpa melibatkan dan mendengar opini kami sebagai
anak" Jadi ayah tidak perlu repot-repot meminta bantuan kami" Sekedar memberikan kabar saja tidak. Ayah tidak memikirkan betapa aku dan Braga merasa jadi
anak paling tidak berguna di dunia?" Kami berdua dokter spesialis lulusan Harvard dengan Indeks prestasi Cumlaud tapi tidak mampu melakukan apapun untuk
menyelamatkan hidup ibu kandung yang memiliki masalah dibidang yang kami kuasai?" Ironis. Semua title dan prestasi berlogo Harvard yang aku dan Braga sandang
jadi tidak ada artinya!! Jas putih kami tak lebih berarti dari kain kafan!!" Seru Bara tak sanggup lagi menahan gelora emosi dalam dadanya. Kalau tidak
diucapkan" Dia bisa meledak saking marah dan kecewa. Matanya merah. Berkaca-kaca.
" Aku tidak menganggap atau memperlakukanmu dan Braga sebagai anak yang tidak kuperlukan opininya. Apalagi membuat kalian berpikir jadi anak yang tak berguna.
Kondisi saat itu sangat sulit. Ibu kalian tidak ingin membuat kalian khawatir di waktu harusnya fokus pada pendidikan di Harvard. Dia ingin melihat kalian
sukses dan bahagia. Untuk itulah ibu kalian meminta pindah ke Oxford agar penyakitnya tidak kalian ketahui. Kamu harus tahu Bara. Keputusan yang diambil
ibumu sangat berat. Seorang ibu tidak menemui anaknya selama bertahun-tahun bahkan tak hadir saat mereka wisuda itu sangat menyakitkan. Ibu kalian berusaha
bertahan bukan hanya karena penyakitnya tapi juga untuk menjaga kebahagiaan kalian. Aku sudah membujuknya agar melakukan tes kecocokan ginjal denganmu
atau Braga. Aku bahkan sudah memperkirakan ginjal Braga yang berpeluang besar cocok jika ditilik dari kesamaan golongan darah. Namun dia menolak ideku.
Dia tidak mau membuat anaknya cacat hanya demi menyelamatkan hidupnya sebagai wanita tua. Dia ingin melihat kamu dan Braga hidup bahagia dan sehat dengan
fisik yang sempurna. Selang beberapa tahun memantau, kondisinya semakin memburuk. Membuatku ketakutan. Tanpa sepengetahuan ibu kalian, aku mengarang alasan
bagus untuk melakukan tes kecocokan ginjal antara Braga dan ibumu. Untungnya Braga percaya dan bersedia ikut tes. Hasilnya cocok. Aku pergi memberitahukan
ibumu tapi dia berkeras menolak donor dari Braga. Segala cara kuupayakan untuk meyakinkannya bahwa donor ginjal tidak akan membuat Braga menjadi cacat
atau memiliki hambatan dalam beraktifitas. Usahaku membuahkan hasil. Ibumu akhirnya setuju. Namun sungguh di sayangkan, waktunya sudah terlambat. Braga
telah lebih dulu mendonorkan ginjalnya untuk wanita bernama Joanna. Yang aku tidak bisa mengerti, ibumu malah merasa bahagia karena mengaggap Braga telah
mengambil keputusan yang sangat gentlement " tutur Gerard memaparkan alasan dibalik kerenggangan hubungan dirinya dan Braga dengan sang ibu sebelum kematian
merenggutnya. " Makasih sekali. Semua penjelasan ayah semakin membuatku merasa jadi pecundang kelas kakap. Aku sempat beranggapan buruk tentang ibu. Mengira dia tidak
memperdulikanku dan Braga. Mengira dia adalah ibu yang egois. Mengira dia sama dengan wanita sosialita tukang gosip dan hura-hura yang tidak punya ruang
untuk memikirkan hal lain selain menghambur-hamburkan uang. Ternyata dibalik kedangkalan prasangkaku dan Braga itu, dia sedang bergulat dengan kematian
karena berusaha menjaga kelangsungan hidup kami! Hidup kami yang bisa dikatakan gagal total! Lihat apa yang bisa kuperbuat?" Melakukan kekonyolan di meja
operasi dengan salah menggunakan donor yang berbeda golongan darah! Setelah itu bersembunyi diketiak ayahku yang so awesome, can do anything to cover up
my stupid mistake" Itu yang ayah mau kami lakukan" Sedangkan di luar sana ada dua orang anak tidak bersalah menangis sepanjang sisa hidupnya. Memandang
hidung congkak para dokter berjas putih rumah sakit Boulevard!! Putera seperti kami yang mau ayah pertahankan masa depannya?" Bagaimana bisa ada masa depan
cerah sedangkan meluruskan kesalahan masa lalu saja kita tidak punya nyali?"" Umpat Bara. Wajahnya memerah. Hidungnya mendengus. Matanya berkaca-kaca.
Rahangnya mengeras. Suaranya semakin serak oleh gelombang rasa bersalah yang hampir meloncat keluar dari tenggorokannya.
Gerard speechless. Semua kata-kata Bara benar. Kalimat itu tepat sasaran. Saking tepatnya, menusuk langsung ke jantungnya. Mereka memang bersalah. Dengan
langkah terhuyun-huyun, dia bangkit dari kursi dan berjalan menghampiri putera bungsunya. Mencengkeram kedua lengan kokoh sang anak, dia menyandarkan bobot
tubuh rentanya. Menundukkan kepalanya berambut putih sambil menangis penuh penyesalan. Bastian menyaksikan segalanya. Tapi hanya diam seribu bahasa. Sang
raja telah menjatuhkan senjatanya tanda menyerah. Bendera putih berkibar menyudahi perang panas yang dimulai dari 10 tahun lalu.
Lutut Gerard gemetar. Tak kuat lagi menopang bobot tubuh yang terasa semakin berat oleh beban perasaanya. Perlahan-lahan tubuh tua yang semakin dimakan
usia itu jatuh berlutut tepat di hadapan sang anak bungsu. Bara berdiri tegak. Menatap lurus sang ayah. Air matanya juga mulai turun. Dia bukan tipe pria
yang mudah menangis tapi kali ini, dirinya tak kuasa lagi menahan air mata. Kolaborasi antara kemarahan, sakit hati dan kekecewaan berintegrasi jadi rasa
bersalah level parah. Mengalahkan keteguhan hatinya sebagai pria kuat. Tidak tahu lebih marah pada sang ayah atau pada dirinya sendiri.
Sebenci apapun dia, Bara tetap anak yang punya hati nurani. Emosi tidak membutakannya untuk berlaku sepantasnya kepada orang tua. Dia ikut berlutut di
depan sang ayah. Kedua pria bermarga Witchlock beda generasi itu seakan takhluk oleh takdir yang siap menghakimi mereka. Mengusap bahu renta sang ayah.
Saling berbagi duka. Sampai di batas ini, sudah bukan waktunya lagi Bastian untuk tinggal diam. Dia maju menghampiri dua orang yang tengah kacau. Bersimpuh memegang bahu keduanya.
Menarik berdiri mereka. " Jangan disesali dan menyalahkan apapun yang sudah terjadi. Jika masing-masing dari anda dan Bara merasa memiliki kesalahan. Sebaiknya saling memaafkan
dan bekerjasama untuk memperbaikinya" ujar Bastian dengan suara lembut. Tersirat rasa iba pada suaranya.
" Bagaimana memperbaiki kesalahanku yang sudah sebesar gunung ini, Bastian?" Tanya Gerard dengan suara parau dan wajah memelas.
" Kunci utama permintaan maaf anda dan Bara yang paling tepat saat ini adalah mengakui dan meminta maaf langsung, pak" jawab Bastian menyadarkan orang
tua berkepala batu dengan status atasannya itu.
" Masih bisakah hal itu dilakukan" Setelah sekian banyak hal buruk yang kulakukan?" Tanya Gerard lagi.
" Tidak ada kata terlambat jika anda benar-benar tulus mau meminta maaf dan memperbaikinya, pak. Saya yakin masih ada kesempatan untuk merubahnya jadi
lebih baik dan benar" lanjut Bastian meyakinkannya.
Bara menarik napas dalam-dalam. Menghapus sisa air mata di kedua mata dan wajahnya. Lalu berdiri dengan penuh keyakinan.
" Ayah dan aku tidak bisa memutar waktu kembali ke masa lalu. Semua yang telah terjadi anggap saja kebodohan. Sekarang saatnya keluar dari sangkar persembunyian
kita dan maju. Hancurkan topeng pelindung ayah. Buang jauh-jauh harga diri dan ego ayah yang menjadi asal muasal kesalahan kita. Mari hadapi apapun vonis
dan hukuman yang harus kita tanggung" ajak Bara mengulurkan tangan memberikan bantuan pada sang ayah untuk berdiri kembali.
Gerard pada akhirnya pasrah. Kalah oleh keberanian sang anak dalam menghadapi konflik super rumit ini. Konflik yang bersumber dari kesalahannya. Dari kesombongannya.
Dia menyerah. Pada nasib dan kebenaran. Disambutnya tangan sang anak untuk bisa berdiri. Bastian turut membantu. Sedikit. Tak mau menghancurkan moment
penting keduanya. " Ayah juga harus membiarkan Braga berhubungan dengan Joanna lagi. Wanita itu tidak bersalah atas kematian ibu. Ayah sendiri yang bilang bahwa ibu senang
akan pilihan yang diambil Braga. Ibu akan sedih jika pengorbanannya sia-sia. Braga sengsara tanpa Joanna. Dia butuh kehadiran kekasihnya. Kepercayaan diri
Braga bisa habis beranggapan bahwa kematian ibu merupakan kesalahannya. Ini jadi tanggung jawab ayah dan aku untuk mengembalikan Braga seperti sediakala"
ujar Bara menambah list pengakuan dosa yang wajib mereka laksanakan.
Gerard berkeringat dingin begitu diingatkan tentang anak sulungnya. Dengan ekspresi ngeri mencengkeram bagian depan kemeja hitam si bungsu.
" Aku bingung harus bagaimana untuk menyelamatkan kakakmu. Jangan biarkan ingatannya kembali, Bara. Tolong bantu ayah melindunginya. Aku tidak mau melihat
dia jadi gila! Kakakmu bisa frustasi berat begitu ingatannya kembali" ujar sang ayah diserang kepanikan.
" Apa maksud ayah" Braga akan jadi gila" Kenapa?" Tanya Bara bingung pada kepanikan sang ayah. Bertukar pandang dengan Bastian yang sama bingungnya.
" Braga adalah pelaku malpraktek pasien transplantasi jantung. Kesalahan teknik 10 tahun yang lalu." Jawab Gerard setengah bersungut-sungut tak berdaya.
" Apaaa?"?" Jerit kekagetan Bara dan Bastian secara serentak. Terhenyak mendengar kabar menggemparkan dari mulut Gerard.
Bersamaan dengan terkuaknya identitas asli pelaku malpraktek ayah Irina disisi Bara dan Bastian. Kondisi yang dihadapi Edel, Irina dan Renno tidak kalah


Boulevard Revenge Karya Crimson Azzalea di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

serunya. " Menjadi penyebab kematian lainnya" Apa maksudmu?" Tanya Irina. Timbul firasat buruk tentang apa yang akan dikatakan Braga selanjutnya. Semoga intuisinya
tidak benar. Degup jantung Irina tiba-tiba menjadi cepat. Renno lain lagi. Dia sama sekali tidak punya dugaan apa-apa. Hanya menatap sahabatnya dengan
bingung. Menunggu penjelasan dengan penuh minat. Edel tampak sudah punya dugaan sendiri. Hatinya mencelos. Bersiap mendengar kabar mengerikan sesuai prediksinya.
" Aku adalah pelaku dari malpraktek 10 tahun lalu, yang seharusnya jadi pasien ayah. Bernama Arya Wiguna. Akulah yang melakukan operasi itu. Bukan ayahku"
jawab Braga dengan suara parau. Panik. Takut. Sesal. Berpadu jadi satu. Menciptakan tekanan maha dahsyat dalam benak dan jiwa Braga.
Bagai disambar petir Zeus, sang raja dewa. Irina, Edel dan Renno terperanjat bukan kepalang. Mata ketiganya membelalak. Mulut menganga. Lidah berubah kaku.
Mereka tidak tahu lagi harus mengatakan apa. Pengakuan terakhir ini bisa masuk daftar kabar paling kontroversial selama sejarah rumah sakit Boulevard.
"Apaa?"" Seru kekagetan Renno membahana seantero ruangan. Edel membekap mulutnya dengan kedua tangan. Irina terguncang hebat. Menatap Braga dengan kedua
mata membuka lebar. Sekujur tubuh mendingin. Sistem syaraf otaknya berhenti bekerja.
Ruang Direktur rumah sakit Boulevard.
Bara dan Bastian butuh beberapa saat untuk meregister keterangan yang baru saja diberikan oleh Gerard. Target berubah 180 derajat ke arah yang mereka anggap
bukan sasaran lempar. Jadi selama ini, mereka semua salah paham. Salah duga. Salah tuduh. Peran Braga dan Gerard ternyata tertukar. Gerard yang dituduh
menjadi pelaku ternyata merupakan saksi hidup. Sedangkan Braga yang diduga saksi hidup ternyata adalah pelakunya. What the hell?" Umpat kedua pria berdarah
Amerika itu. " Braga pelakunya" Bagaimana bisa?" Ujar Bara. Dia tahu betul betapa bodoh tampangnya saat itu. Who care" Kakaknya baru saja dideklamirkan sebagai pembunuh
ayah kekasihnya. Apa keadaan bisa lebih tragis lagi dari ini" Pikirnya.
" Braga yang menangani pasien bernama sama dengan pasienmu saat masuk ke ruang UGD akibat tabrak lari. Dia menangani bersama dokter Hana. Setelah di tangani
ternyata pasien mengalami kerusakan jantung akibat patah tulang dada. Jalan satu-satunya adalah tranplantasi jantung. Braga mengirimnya untuk diobservasi
dan dicarikan donor jantung. Nasib baik donornya cepat ditemukan hanya butuh beberapa hari saja. Kondisinya tiba-tiba drop. Saat itu aku sedang tidak ditempat
karena mengurusi kondisi ibu kalian yang memburuk. Aku mengarang cerita tentang menangani pasien di salah satu cabang. Aku akui waktu itu aku egois. Sekali
dalam hidup, kita pasti akan berlaku egois demi orang yang kita cintai, bukan" Braga bingung dan terdesak. Kondisi pasien sudah tidak bisa menunggu lagi.
Operasi harus segera dilakukan kalau tidak nyawanya tidak dapat diselamatkan lagi. Braga mengambil keputusan darurat. Ia pun nekat melakukan operasi itu
tanpa merubah administrasi awal yang tercatat dengan namaku. Hanya para kru operasi yang mengetahui siapa yang melakukan tindakan. Operasi sukses. Para
anggota operasi senang dan tidak mengatakan apa-apa. Selang waktu sekitar 6 hari pasien itu baru menunjukkan gejala-gejala ketidakcocokan organ. Aku yang
melakukan tindakan begitu kondisinya sudah hampir mati. Mencoba menggunakan donor yang benar. Bersamaan denganmu, Bara. Dan itu masih gagal. Pasien meninggal
dunia di meja operasi. Braga menyaksikan dengan mata kepala sendiri kematian yang disebabkan olehnya. Kesalahan fatal itu telah mengguncang jiwa Braga.
Belum lagi setelah itu dia tahu kamu juga gagal. Berbanding lurus dengan dirinya. Donor kalian berdua tertukar. Ditambah fakta asli kematian ibu kalian
yang merupakan pukulan tambahan. Dia tak sanggup menanggung beban rasa bersalah yang bertubi-tubi itu." Tutur Gerard secara lengkap.
Bara membeku di tempat. Kenapa situasi tambah bercabang" Dalam hatinya.
" Berarti ada kemungkinan, saat siuman nanti hal itulah yang akan diingat oleh Braga" Sahut Bastian melakukan hipotesa ditengah kekagetannya.
" Pasti. Ingatan tentang itu yang tampaknya paling esensial. Di-..." kata-kata Bara berhenti ditengah. Dia ingat sesuatu. Braga sedang bersama Irina sekarang.
Dia bisa siuman kapan saja. Gawat!! Bagaimana dia bisa lupa"
" Irina sekarang bersama Braga. Kalau dia sadar dan mengakui kejadian yang sebenarnya, akan ada bom waktu yang meledak lebih cepat dari perkiraan" ujar
Bastian menyebutkan dugaan yang sama dengan isi pikiran Bara.
Tanpa menoleh lagi, Bara meluncur pergi menuju divisi syaraf, tempat akan terjadi peristiwa ledakan maha dahsyat. Sehebat bom nuklir. Bastian mengekor
dibelakangnya sambil membantu Gerard. Orang tua itu masih bingung tentang kaitan Irina dalam masalah Braga.
Ruang pemeriksaan khusus divisi syaraf.
Irina berdiri dan mundur beberapa langkah menjauhi Braga. Bagai disengat oleh gelombang listrik bertegangan tinggi. Tangannya gemetar. Sendi-sendi tulangnya
terasa ngilu. Jantungnya seperti mau meloncat keluar. Matanya memanas. Telinganya tidak salah, kan" Terakhir ikut pemeriksaan THT, kualitas pendengarannya
masih sangat normal. " Bisa kamu katakan sekali lagi?" Pinta Irina masih tak percaya pada indera pendengarannya.
" Aku pembunuh ayahmu, Irina. Akulah pelakunya" sahut Braga mengulangi dengan suara jauh lebih depresi.
" K-kamu berbohong, kan" Kamu tidak sedang bercanda, kan" Ini tidak lucu sama sekali! Jangan main-main, Braga!" Seru Irinai ikut histeris.
Sekonyong-konyongnya Bara, Bastian dan Gerard muncul di lokasi kejadian. Keempat dokter itu menoleh ke arah mereka. Mata Braga beradu pandang dengan Gerard.
Sorot mata asli si sulung sudah kembali bersamaan dengan ingatan juga luka hati yang terkubur selama 10 tahun.
Bara menangkap ekspresi shock pada wajah sang kekasih. Ekspresi frustasi pada wajah sang kakak. Juga ekspresi penuh kengerian pada wajah Edel dan Renno.
Mereka terlambat. Bomnya sudah meledak.
Bastian beradu pandang dengan sang istri. Dibalasnya dengan anggukan. Bagus sekali. Kerusuhan babak kedua, keluh Bastian.
Gerard menerka-nerka pemandangan di hadapannya. Dia tahu Braga sudah ingat dan mungkin telah membongkarnya pada seisi ruangan. Namun ada yang ganjil pada
cara pandang Irina. Tatapan penuh kebencian bercampur kaget terpancar pada kedua bola mata bulat besarnya.
Mata itu tidak asing. Dia seperti pernah melihatnya entah dimana. Ada seorang gadis yang menatap dirinya sebenci itu dulu. Siapa namanya, ya" Luna" Hana"
Bukan. Haruna. Ya benar. Haruna namanya. Anak perempuan pasien malpraktek Braga 10 tahun lalu. Gadis bermata besar, kulit putih dengan wajah cantik khas
gadis Sunda. Tunggu. Haruna" Irina" Nama panjang dokter Irina adalah Irina Aruna Yasmine. Hampir sama persis dengan gadis itu. Nama tengahnya berbeda satu huruf. Kalau
itu bisa saja dimanipulasi agar tidak sama persis. Dia amati secara seksama, memang ada kemiripan wajah yang cukup kontras antara keduanya. Bagaimana bisa
Pendekar Aneh Naga Langit 43 Satria Gendeng 07 Pasukan Kelelawar Pedang Kiri 8
^