Cewek Cetar Dua 2
Cewek Cetar Dua Karya Zaeemaazzahra Bagian 2
ngomel. Kenapa dia nggak tercipta jadi emak-emak aja sih"
"Makanya! Kalau naik motor lihat ke depan! Matanya jangan jelalatan! Ini nih jadinya!" Omel seorang cowok bego sambil menunjuk jahitan yang ada di tepi
janggut gue. "Percuma ngajari lo naik motor selama ini tau nggak" Lihai aja enggak!"
"Sudahlah, Syaf!" Potong El tegas. "Raya ini lagi sakit. Lo nggak perlu marahin dia sekarang!"
Arsyaf jadi kicep. Dia langsung memilih bungkam dan duduk di samping ranjang gue. Ya. Inilah sebabnya gue jatuh cinta sama El. Ada sesuatu yang Arsyaf
nggak punya dan El mempunyai itu. Kalian tau apa" Ya! Perhatian.
Gue memang suka bertengkar sama Arsyaf. Tapi kalau di saat-saat terpuruk kayak begini, gue ingin diperhatikan bukan dimarahi. Dan Arsyaf nggak tau itu.
"Icikiwiiiir! Enak bener hidup lo, Ray! Diperhatiin dua cogan. Bagooos! Bagi dikit napa?" Celetuk kak Icha.
"Dasar tante girang!" Ejek Arsyaf melucu.
"Apa lo bilang" Tante girang?" Kak Icha spontan menjewer telinga Arsyaf.
"Aduh aduh!" Arsyaf memegangi telinga tangan kak Icha yang mengapit kuat di daun telinganya. "Ampun, Kak. Ampun!"
Gue terkekeh senang melihat tingkah mereka. Tapi tak lama setelah itu, gue berpikir. Apakah selamanya akan tetap seperti ini" Apakah selamanya gue harus
menyembunyikan fakta bahwa gue mencintai dua orang dalam satu waktu"
*** Chapter 23 [Raya pov] Setelah kak Icha, Arsyaf, dan El lama mengobrol, akhirnya mama dan papa datang bersama mantan. Eh, maksud gue, datang dari Kalimantan.
"Icha, bagaimana keadaan Raya?" Tanya mama cemas.
Kak Icha mengangkat bahu. "Icha masih belum tau, Ma. Sepertinya nggak ada masalah sama otak nih anak. Tapi...."
"Tapi apa?" "Tapi sepertinya, ada yang nggak beres sama rahangnya."
"Maksud kamu apa, Icha?" Tanya papa terlihat begitu khawatir.
"Dari tadi Raya mengeluh susah mangap lebar tiga jari. Pasti ada sesuatu yang salah, Pa. Icha yakin itu! Makanya Icha masih menunggu hasil rontgen."
Mama mendekat ke arah gue. Air matanya mengalir tak henti-hentinya. Papa juga demikian. Hellow! Jangan bertingkah seolah Raya akan nyusul Dono sama Kasino
ke akhirat deh. Nih tubuh biar pun lemes tapi terasa baik-baik aja kok. Eh BTW, Dono yang ngajar kimia masih sehat wal afiat ding.
Arsyaf dan El langsung peka. Mereka berdiri dari tempat duduk mereka dan membiarkan mama sama papa duduk di samping gue.
"Kamu harus cepet sehat ya, Nak!" Ucap Mama yang masih menangis histeris.
"Iya, Sayang! Kamu harus cepet sembuh!" Tambah papa sambil memeluk gue erat.
"Adaw!" Teriak gue ketika lengan papa tak sengaja menyentuh luka bekas jahitan dokter di dagu gue.
Papa langsung melepaskan pelukannya. "Maaf!" Ucapnya kaget.
"Ma....." gue mencoba beranjak bangun dari tempat gue tidur. "Raya pengen pipis."
"Ya udah. Mama anter ya?" Kata mama lembut.
"Nggak usah, Ma. Raya bisa jalan sendiri kok!"
Tanpa menghiraukan ucapan gue, mama langsung memegangi lengan kiri gue. Mama juga menyuruh kak Icha buat memegangi lengan kanan gue. Bushet dah! Nih dua
emak-emak! Emangnya mereka pikir mereka rokib dan atit apa"
Gue pun berjalan dengan diiringi dua emak-emak tersebut menuju toilet. Di belakang kami sudah ada papa. Tadinya Arsyaf dan El mau ikut nganter gue ke toilet.
Tapi gue bersikeras melarang mereka.
Di tengah perjalanan menuju toilet, tiba-tiba kepala gue terasa pening, pandangan gue seketika menjadi kabur meskipun mata gue beberapa kali sempat mengerjap
berusaha memulihkan pandangan.
Braaaak..... Gue pun terjatuh bersama mama dan Kak Icha di lantai. Mereka berdua tak mampu menopang tubuh gue.
"Icha! Cepet panggil Arsyaf dan El kemari!" Suara papa yang terdengar panik masih bisa gue dengar.
"Baik, Pa!" Jawab kak Icha siaga.
Mama kembali menangis histeris. Mereka bertiga tampak tidak mampu menggendong gue yang begitu berat. Dengan tubuh jakung gue dengan tinggi 165 cm, berat
badan gue 54 kg. Apa itu terlalu berat" Apa gue seorang sumo"
Beberapa menit berlalu. Tapi kak Icha masih belum datang juga. Sempat punggung rapuh papa mencoba menggendong gue. Tapi baru beberapa langkah papa sudah
berjalan gontai. Ya! Ini hari Sabtu. Tak banyak orang yang ada di rumah sakit.
"Pak, sini Pak!" Teriak papa pada seseorang yang entah itu siapa. Mata gue nggak bisa dibuka tapi gue masih bisa mendengar apa pun di sekeliling gue. "Tolong
bantu saya, Pak!" Napas gue melaju tak beraturan. Tersengal sesak seolah ada yang mengganjal. Gue mencoba membuka mata gue. Dan bushet! Seorang om-om berwajah mesum berada
di hadapan gue, lebih tepatnya menggotong gue dari sisi kanan dan papa di sisi kiri. Sedangkan mama memegangi bagian kaki gue. Melayang. Ya. Saat itu gue
melayang di atas enam tangan menuju kamar UGD gue.
Di atas ranjang UGD, lagi-lagi gue terbaring. Tapi gue masih kebelet pipis.
"Raya pengen pipis," ujar gue lemas.
"Ya udah! Mama ambilin pispot ya?" Kata mama lembut.
Mata gue langsung mendelik kaget. Ha" Pispot" Apa gue ini bayi" OGAH AH!
"Nggak mau ah!" Tolak gue.
"Terus kamu mau pipis di mana, Sayang?"
"Toilet." "Kamu mau pingsan lagi?"
"Iya, Ray! Lo pipis di pispot aja. Lagi pula Arsyaf sama El nggak ada di sini kok. Mereka sedang mengambil hasil rontgen dan CT scan pala lo," jelas kak
Icha. "Pipis di sini Raya ogah!" Tolak gue ngotot.
"Ya sudah kalau kamu nggak mau pipis di pispot. Biar mama panggilin perawat agar pasangin kateter," opsi mama.
Ha" Kateter" Mama sudah gila apa" Malu coy! Malu! Entar ada selang nyambung ke itunya gue menuju kantong bening putih. Gila! Ogah dah gua!
"Ogah! Ya udah Raya mau pipis di pispot! Tapi kak Icha dan papa jagain agar Arsyaf dan El nggak masuk ke dalam korden," ucap gue marah.
"Siap!" Ucap papa dan kak Icha bebarengan.
Mereka keluar dari korden dan menutupnya rapat-rapat agar tidak ada yang mengintip. Dengan terpaksa, akhirnya gue pipis di pispot.
Chapter 24 [Raya pov] Mama masih mencemaskan keadaan gue. Pasti ada sesuatu yang terjadi pada otak gue, hingga gue pingsan seperti tadi.
"Dokter, tolong anak saya, Dok!" Kata Mama panik.
Samar-samar, gue bisa melihat seorang dokter muda memeriksa gue. Menempelkan stetoskop ke dada gue beberapa kali.
"Bagaimana, Dok" Bagaimana keadaan anak saya?" Tambah papa.
Raut wajah dokter itu terlihat tidak paham apa yang harus ia katakan. Sepertinya dia dokter muda, belum ada pengalaman. Walaupun tampan, dia terlihat tolol.
Dokter tua yang menangani gue tadi tampak sibuk menangani pasien yang lain. Sepertinya ada kecelakaan hebat. So, gue harus ditangani dokter muda ini.
"Iya, Buk. Nanti anak ibu akan dilakukan pemeriksaan lebih lanjut lagi," jawab dokter berkacamata itu.
Kak Icha tampak geram. Rasanya ia ingin mengomeli dokter dengan jas putih berlengan pendek itu.
"Adek saya belom makan, Dok dari tadi pagi. Apakah adek saya sekarang boleh makan" Mungkin saja dia pingsan gara-gara belom makan," kata kak Icha seolah
ingin mengetes kemampuan dokter itu.
"I...iya boleh."
"Tapi makan apa, Dok" Rahang adek saya kelihatannya bermasalah. Untuk membuka lebar saja susahnya minta ampun!" Kak Icha pura-pura pilon.
"Bubur boleh." Tak lama kemudian, Arsyaf dan El datang dan membawa sebuah amplop besar berwarna coklat hasil rontgen dan CT scan. Kak Icha langsung menyambar amplop itu.
"Oh iya, Dok. Ini hasil rontgen dan CT scan adek saya baru keluar. Tolong di cek apakah ada yang salah dengan rahang adek saya?" Kak Icha memberikan amplop
itu pada sang dokter. Dokter itu pun membuka isi amplop kemudian menerawang gambar-gambar tulang pada mika hitam di atas udara beberapa saat.
"Iya. Adik anda sepertinya baik-baik saja. Tidak ada keretakan," papar dokter muda itu masih tampak ragu.
Kak Icha menghela napas berat. Sepertinya ia ingin menunjukkan kemampuannya sebagai dokter di hadapan semua orang. Tapi sebelum dia angkat bicara, papa
menghentikannya. "Oh iya, Dok! Terima kasih banyak," ucap papa pada pak dokter tampan.
"Sama-sama," sahut dokter itu kemudian keluar dari dalam kamar UGD.
"Papa gimana sih"! Seharusnya papa biarin Icha ngomelin dokter bego itu!" Omel kak Icha.
"Biar bego-bego gitu kan tetep aja dokter, Cha!! Kita harus hormati," jawab papa bijak.
"Ya elah papa! Sudah jelas-jelas kalau dokter itu nggak tau kalau ada keretakan di rahang Raya. Papa masih juga belain?"
"Sudahlah, Cha."
"Coba aja kalau Icha nggak ada di sini. Pasti si Raya udah dipulangkan sama tuh dokter!"
*** Perusahaan papa sedang berada dalam krisis. Seperti yang gue bilang tadi, setengah lahan kelapa sawit papa kebakaran. Alhasil, gue harus tinggal di kamar
rumah sakit kelas dua dan tidak bisa di kamar VVIP seperti dulu pas gue sakit demam berdarah.
"Sayang, apa benar kamu nggak papa tinggal di sini?" Tanya papa sedih karena tidak bisa menyediakan kamar yang nyaman buat gue.
"Nggak apa-apa, Pa. Papa pikir Raya anak manja yang nggak ngerti kondisi keuangan orang tua?" Hibur gue.
Papa dan mama menunduk sedih seolah-olah merasa bersalah. Selain harus membayar biaya rumah sakit, papa juga harus membayar biaya kuliah Kak Icha di kedokteran
UI. Jadi, tak apa-apa bagi gue jika harus sekamar sama orang lain yang nggak gue kenal. Jangankan sekamar untuk dua orang! Sekamar 10 orang pun gue mau
asalkan papa tidak pusing mikirin biaya rumah sakit.
Gue melirik Arsyaf dan El yang masih setia nungguin gue. "Kalian cepet pulang gih!" Suruh gue lemas. Intonasi gue merendah tidak bisa ceria seperti biasa
karena memang rahang gue terasa sakit kalau terlalu lebar membuka mulut.
"Gue akan nungguin lo di sini. Titik!" Tukas Arsyaf.
"Lo sama El itu belum mandi tauk! Lama-lama bau ketek kayak Renan baru tau rasa!"
"Iya. Raya bener! Sebaiknya kalian pulang. Lagipula udah sore. Besok, kalian boleh jenguk Raya lagi," nasihat mama.
Arsyaf dan El pun akhirnya mau pulang juga. Gue pun bernapas lega. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Kak Icha dan Arsyaf masih belum tau hubungan gue
sama El. Syukurlah. *** Sial! Gue kecelakaan di hari sabtu dan di saat-saat menjelang SBMPTN" Sakit banget rasanya jika merasa diri kita mampu memasuki Universitas mana pun tapi
takdir berkata lain. Tiba-tiba seorang pemuda tak dikenal mencelakai gue. Sial! Sungguh sial!
Karena gue kecelakaan di hari sabtu, gue tidak bisa langsung operasi walaupun sudah jelas ada keretakan di rahang gue. Dokter spesialisnya mungkin cuma
kerja di hari senin sampai jumat. Haaaassshh..... gue bosan berada di tempat ini. Pengap! Nggak ada AC! Hanya ada kipas angin loyo yang berdebu. Maklum,
ini kamar kelas 2 dan bukan VVIP cuy!
"RAYA!" Teriak Renan saat memasuki kamar gue. Dia melotot. Astaga!
"Renan?" Gue bergidik takut.
Cowok berkulit sawo matang itu melipat tangan. "Jadi begithere kelakuan lo selama ini?"
"Be...begithere?" Gue keheranan mendengar kosakata baru Renan. "Maksud lo begitu" Sumpah! Jangan merusak bahasa Indonesia tercinta dong!"
"GAK PENTING!!"
Gue terdiam kicep mendengar omelannya. Dia pasti sangat marah karena gue belum memberitahunya tentang kondisi gue. Hehehe padahal gue sudah mengenalnya
sejak TK tapi gue malah memberitahu Arsyaf dan El duluan.
"Oooh... jadi sekarang lo lebih sayang ke Arsyaf dan El" Lo bahkan nggak ngasih tau gue kalau lo kecelakaan!" Omel Renan marah.
"Maap, Black!" Ucap gue manja dengan tampang sok imut seolah meminta pengampunan.
"Apa lo bilang" Black" Kenapa lo panggil gue Black?"
"Ya karena lo tambah item tauk!"
"Dasar!" Renan mendengus kesal. "Karena sekarang lo lagi sakit, gue maafin. Tapi jangan panggil gue Black lagi!"
Gue mengerucutkan bibir. "Ya.... padahal gue mau kasih lo nama lengkap Black cat dead!"
"Dasar!" Lagi-lagi Renan mendengus kesal. "Lo itu udah sakit tapi masih aja bisa ngelawak!"
"Ren?" Sapa gue manja.
"Apa"!" Sahutnya ketus.
"Boleh ya.... gue panggil lo Blacky?"
"Kurang ajar lo! Emangnya lo pikir gue anjing apa?"
"Ya elah pelit amat!"
"Situ juga item keles! Ngaca dong!"
"Gue tau kalau gue item. Tapi kan lo dua kali lebih parah!"
"Oke!" Renan melirik gue sambil meringis. "Lo boleh panggil gue Blacky one dan gue panggil lo Blacky two. Gimana?" Dia menaik turunkan alisnya.
"Ogah! Itu sama artinya derajat kita sama dong" Padahal gue ini item aja dan lo item mutlak na'uzubillah!" Tawa gue seketika pecah tapi gue menahannya
saat rahang gue terasa sakit. "Ouch! Ouch!"
Renan berlari ke arah gue lalu duduk di tepi ranjang gue. "Lo nggak apa-apa kan, Ray?" Tanyanya cemas.
Gue menggeleng. "Nggak apa-apa kok!" Jawab gue bohong sambil tersenyum palsu.
*** Chapter 25 [Raya pov] Jantung gue berdenyut begitu cepat. Beberapa kali gue menelan ludah menunggu bulatan kecil tanda loading yang masih berputar pada ipad gue. Mama dan Kak
Icha juga tampak harap-harap cemas.
"Lama banget sih loadingnya!" Omel Kak Icha. "Pengen dibanting nih ipad!"
"Huuus!" Tegur mama.
Seorang perawat laki-laki tiba-tiba memasuki kamar sambil mendorong sebuah meja dorong berisi perlengkapan medis. Ada kasa, alkohol, suntikan, dan lain
sebagainya. Gue nggak terlalu memperhatikan.
"Maaf, saya mau menyuntikkan obat ke pasien," papar perawat itu kemudian mengambil sebuah suntikan dan menancapkan suntikan tersebut pada sebuah botol
kecil lalu menarik ujung gagang suntikan ke atas hingga cairan dalam botol kecil tersebut terserap pada tabung suntikan.
Ya elah tuh perawat nggak peka atau emang dodol apa yak" Gue, mama, sama Kak Icha lagi pengen lihat pengumuman hasil SNMPTN, nih perawat bego main suntik-suntik
aja! Dasar annoying! Perawat itu menyuntikkan cairan itu ke sebuah bagian dari selang infus yang gue nggak tau namanya apa, sedikit sakit sih! Tapi nggak sakit banget. Gue
masih fokus melihat pengumuman SNMPTN undangan.
TIDAK LULUS Sepenggal kata itu membuat gue bete bukan main. Apa ini nasib sial" Bukan hanya kecelakaan saja yang menimpa gue. Tapi kemalangan! Betapa tidak" Sudah
muka bonyok kek begini, gigi depan ompong satu, ditambah lagi gue nggak lulus jalur SNMPTN lagi! Sial!
"Gimana ini bisa terjadi, Ma?" Gue mengacak rambut kesal, tak terima dengan hasil yang diumumkan dari pihak sekolah.
"Sudahlah, Sayang! Mungkin belom rejeki kamu." Mama mengelus rambut gue lembut.
Gue masih mendengus kesal, tak terima dengan hasil pengumuman SNMPTN. Kring...kring...kring.... tiba-tiba Lea menelpon gue.
"Halo, Raya?" "Ada apa, Lea?" gue masih cemberut manyun.
"Gimana" Lo lulus kan?"
"Enggak. Gue nggak lulus," jawab gue malas.
"Sumpah" Kok bisa?" Suara Lea terdengar kaget. "Padahal Dodot lulus SNMPTN lho!"
"Sumpah"!" Kali ini gue yang kaget.
Gue terhenti sambil mengakhiri panggilan dari Lea. Lemas. Gue bahkan melamun sejenak tanpa kata. Kenapa bisa begini" Bagaimana mungkin Dodot bisa lulus
SNMPTN sedangkan gue enggak" Apa ini yang disebut faktor X"
"Kenapa Dodot bisa lulus SNMPTN?" Tanya gue frustasi. "Dia itu super goblok, ranking Raya bahkan jauh lebih baik daripada dia."
"Ha" Dodot temen lo yang jomblo sejak lahir itu?" Kak Icha melotot kaget.
"Iya!" Jawab gue kesal.
"Berarti bener kata pepatah dong! Orang pintar kalah sama orang bejo!" Celetuk Kak Icha meringis tak berdosa.
"Tapi Dodot itu goblok bin stress! Otaknya sama kek Arsyaf. Mereka itu amuba kuadrat!"
"Ya mungkin alatnya rusak kali!" Terka Kak Icha asal
"Kenapa" Kenapa bisa gini" Padahal Dodot itu otaknya nggak lebih pintar dari seekor bakteri. Tapi kenapa....."
Gue tercekat ketika Kak Icha menyikut lengan gue. "Sssst! Diam lo!" Kak Icha menunjuk name tag dari perawat lelaki yang tengah membereskan peralatan medis
di atas meja dorongnya. "Apaan sih"!" Dahi gue mengerut lalu memperhatikan name tag perawat itu. Di sana tertulis 'Dodot Priyanto'
What! Gue langsung terpental kaget ketika perawat itu melirik gue sinis. Sumpah! Gue nggak sengaja nyeplos.
"Maaf pak perawat! Saya nggak bermaksud menghina bapak," papar gue sambil tersenyum kecut. "Nama temen saya sama kek nama bapak. Tapi... saya yakin kok!
Bapak tidak seperti temen saya."
Perawat itu keluar dengan meja dorongnya. Dia tampak sangat tersinggung ketika gue menghina temen gue yang bernama Dodot dan menyebutnya seperti amuba
dan tidak lebih pintar dari seekor bakteri.
"Makanya! Kalau ngomong di rem!" Tegur mama
"Ya...maap!" Bibir gue mengerucut.
*** Hari ini gue sendirian di kamar rumah sakit ini. Karena bukan kamar VVIP, gue jadi merasa bosan karena nggak ada tipi. Kak Icha lagi kuliah, Papa terpaksa
harus balik ke Kalimantan untuk mengurusi urusan kebakaran perkebunan kelapa sawit yang menjadi problem dengan kolega-kolega perusahaan. Sedangkan mama
sedang keluar mencari makan.
Gue sendirian di kamar rumah sakit ini bersama seorang nenek tua, yang gue perkirakan umurnya lebih tua 20 tahun dari bokap gue. Nenek itu juga nggak ada
yang nungguin. Anak-anaknya hanya nunggu sampai sore doang. Padahal nenek itu menderita katarak sehingga pengelihatannya tidak berfungsi dengan benar.
Nenek itu tiba-tiba turun dari ranjangnya, berjalan pelan menuju tembok, lalu meraba-raba tembok tersebut. Gue mengernyit keheranan.
"Nenek mau ke mana?" Tanya gue pada nenek itu yang merupakan roommate gue.
"Nenek mau ke toilet," jawab nenek itu, suaranya sudah goyah karena terlalu tua.
Sial! Kaki gue sakit banget. Di balik kain kasa yang melekat, sebenarnya ada bau daging bekas goresan aspal. Tapi mau bagaimana pun juga, nenek itu harus
gue tuntun menuju toilet.
Gue pun menurunkan kaki dari ranjang sambil menggigit bagian bawah bibir karena kaki gue terasa sangat sakit. Lalu gue pun mulai melangkah, sambil mendorong
gantungan infus, gue menuju ke arah nenek itu secara perlahan.
"Ke arah sini, Nek!" Gue memegangi lengan nenek itu menuju toilet.
"Terima kasih, Cu," sahut nenek tua itu.
"Nggak masalah, Nek."
Saat nenek itu masih berada di dalam toilet, mama tiba-tiba datang dan memasuki kamar.
"Raya sayang, kenapa kamu berdiri?" Mata mama tampak membulat kaget ketika mendapati gue tengah berdiri menunggui nenek tua, roommate gue. "Kaki kamu kan
lagi sakit!" "Aku hanya mau nganter Nenek ke toilet, Ma," papar gue.
Mama menghela napas lalu menuntun gue kembali ke atas ranjang. Saat nenek keluar dari toilet, mama yang menggantikan gue memapahnya.
"Terima kasih, Cu," ujar Nenek itu lagi.
"Iya, Nek," sahut Mama.
Kring....Kring.... suara HP mama berbunyi tanpa henti. Mama segera mengambil HP nya dari dalam tas dan mengangkat telepon.
"Halo?" Kata mama.
Gue nggak tau apa yang dikatakan si penelepon. Yang jelas, telepon itu terlihat sangat penting hingga membuat wajah mama berubah cemas.
"Iya, baiklah, pak. Saya akan segera ke sana." Setidaknya itulah kalimat terakhir yang diucapkan mama sebelum benar-benar menutup telepon.
"Siapa, Ma?" Tanya gue penasaran.
"Pak Agus. Katanya ada beberapa dokumen yang ia perlukan," jawab mama.
"Ooohh..." "Kamu mama tinggal bentar nggak apa-apa kan, sayang?"
"Nggak apa-apa kok, Ma!"
"Mama janji akan segera kembali." Mama membelai pipi gue lembut.
"Iya. Mama nggak usah khawatir!"
Mama tersenyum singkat lalu bergegas pergi. Gue pun akhirnya sendirian bersama nenek di dalam kamar. Tak lama setelah itu, seorang cowok tampan yang gue
cinta tiba-tiba membuka pintu kamar lalu tersenyum.
"Boleh masuk?" Tanyanya.
*** 06. Chapter 26-30 Chapter 26 [Raya pov] Mata gue membulat. Senyum pun merekah dari kedua sudut bibir gue. Gue langsung mengangguk, memperbolehkannya masuk.
"Kenapa kamu ke sini?" Tanya gue dengan senyum yang masih mengembang.
"Aku mau jenguk kamu," jawabnya sambil menggeser kursi yang ia duduki agar mendekat ke arah ranjang gue.
"Ooohh... kirain kangen!" Goda gue dengan nada nakal.
Dia terkekeh lalu mengelus poni gue lembut. "BTW, aku denger kamu nggak lolos SNMPTN ya?"
Gue manggut-manggut, menjawab pertanyaannya.
"Ini," dia tiba-tiba memberi gue sebuah flashdisk berwarna merah.
Dahi gue mengerut saat menerima flashdisk itu. "Buat apa kamu ngasih aku flashdisk" Gue udah punya kok!"
Lagi-lagi dia terkekeh. "Di dalam flashdisk itu ada satu file. Ya... mungkin aja bisa buat mengurangi rasa sedih kamu."
"Sedih?" Alis gue terangkat.
"Emangnya kamu nggak sedih" Kamu kan nggak lolos SNMPTN!"
"Ya jelas sedihlah!" tukas gue manja.
"Tapi kamu jangan ketawain aku ya, kalau kamu udah lihat file yang ada di sana."
"Emangnya file apaan sih"!"
"Rahasia." "Ih nyebelin!" Ucap gue manja.
"Ya udah. Aku pamit dulu ya?" Dia berdiri dari tempat duduknya.
"Mau ke mana?" Tangan gue memegang dengan cepat ujung seragamnya untuk menghentikannya melangkah pergi.
Cewek Cetar Dua Karya Zaeemaazzahra di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku ada urusan. Maaf ya." Dia membelai lembut pipi gue. "Besok, aku janji akan jenguk kamu lagi."
"Baiklah kalau begitu. Tapi setelah kamu pergi, aku boleh buka file yang ada di dalam flashdisk ini kan?"
"Tentu aja." Dia mengangguk. "Sudah ya. Daaaahh." Dia melambaikan tangan ke gue sambil tersenyum manis.
Gue membalas lambaian tangannya dan membalas senyumannya juga. Setelah ia benar-benar pergi, gue langsung mengambil laptop dari dalam laci.
Setelah laptop gue menyala, gue pun langsung mencolokkan flashdisk yang diberikan pacar gue tadi. Dan segera membuka satu-satunya file yang ada. Sebuah
vidio" Jangan-jangan ini vidio yang enggak-enggak. Dahi gue mengerut. Gue pun langsung mengklik dua kali untuk melihat vidio tersebut.
Dahi gue mulai mengernyit ketika melihat pacar gue mulai memetik senar gitar. Dan mulai bernyanyi bersama dengan kedua temannya. Ha" Pacar gua bisa maen
gitar" Bisa nyanyi pula! Kalau rahang gue nggak sakit, mungkin mulut gue nggak berhenti menganga. Dia menyanyikan lagu lama berjudul Ya Sudahlah, Bodan
Prakoso and F2B Ketika mimpimu yang begitu indah
Tak pernah terwujud, ya sudahlah
Saat kau berlari mengerjar anganmu
Dan tak pernah sampai, ya sudahlah
Reff Apa pun yang terjadi ku kan slalu ada untukmu
Janganlah kau bersedih. Cause everythings gonna be okay
Satu dari sekian kemungkinan
Kau jatuh tanpa ada harapan
Saat itu raga kupersembahkan
Bersama jiwa cita-cita dan harapan
Kita sambung satu persatu sebab akibat
Tapi tenanglah mata hati kita kan lihat
Menuntun ke arah mata angin bahagia
Kau dan aku tahu jalan selalu ada
Juga kutahu lagi problema kan terus menerjang
Bagai deras ombak yang menabrak karang
Namun kutahu, kutahu kau mampu tuk tetap tenang
Hadapi bersamaku hingga akhir datang
Saat kau berharap keramahan cinta
Tak pernah kau dapat, ya sudahlah
Dengar kubernyanyi lalalalala heyeyeyeyeyayaya dedum dedudedadedudidam
Semua ini belum berakhir Back to reff Satu kan langkah, langkah yang beriring
Genggam hati rangkul emosi
Genggamlah hatiku satukan langkah kita
Sama rasa tanpa pamrih Ini cinta across the sea Peluklah diriku terbanglah bersamaku
Melayang jauh Ini aku dari ujung rambut menyusur jemari
Sosok ini menerima kelemahan hati
Yeah aku cinta kau (ini cinta kita)
Cukup satu waktu (untuk satu cinta)
Satu cinta ini akan tuntun jalanku
Rapatkan jiwamu yo tenang di sisiku
Rebahkan rasamu untuk yang ditunggu
Bahagia hingga ujung waktu
Back to reff 2x Sungguh! Demi Tuhan, mata gue belum sempat mengerjap sama sekali dari pertama sampai akhir saat melihat vidio yang dibuatnya bersama kedua temannya yang
beraksi sebagai rapper. Yang bikin hati gue tambah berbunga, di akhir vidio itu, ia meletakkan gitarnya lalu mengangkat selembar kertas karton bertuliskan
"Tetap semangat! Masih ada SBMPTN. LOVE YOU?"
Senyum gue masih mengembang. Ingin rasanya berteriak senang tapi gue nggak bisa. Rahang gue selalu terasa sakit bila terbuka terlalu lebar. Apalagi nenek
roommate gue sedang tertidur pulas.
Kalian tahu, siapa yang memberi itu" Mungkin kalian tidak akan menyangka hal ini. Tapi ya! Dia adalah.....
*** Chapter 27 [Raya pov] Dia adalah El, pacar gue. Lebih tepatnya, selingkuhan gue. Dia memang jarang bicara. Tapi dia selalu bisa membuat kejutan yang nggak pernah bisa gue duga.
Misalnya saja saat dia datang melindungi gue dari dua cowok berandalan, melindungi gue dari pembullyan, dan sekarang" Dia memotivasi gue saat gue sedang
terpuruk. Drrrttt..... HP gue tiba-tiba bergetar. Apa mungkin El yang mengirim pesan" Gue pun mengambil HP gue yang terletak di nakas meja, lalu mengusap layarnya. Ternyata bukan!
Kali ini Arsyaf yang chat WA pribadi.
Arsyaf" : Sayang, km msih skit"
Raya" " " : iya nih. Atit bnget
Arsyaf" : kta mamaku, klw org sakit, hrus denger sholawatan
Raya" ?" : huuus! Emangnya aku mau naza'"
Arsyaf" : gk gitu mksud aku, sayang. Mungkin dg denger sholawatan, hti km jdi adem. Nih! Aku udah rekamin lagu sholawatan buatan aku sendiri sma tmn2.
Arsyaf : (kirim audio sholawatan)
Sumpah ngakak dah gua setelah denger audio sholawatan yang dikirim Arsyaf. Di audio tersebut, yang nyanyi jelas bukan pacar gua. Tapi Arsyaf bagian musik
latar pakek beat box. Lha itu yang buat gue ngakak. Masak beat box intronya teketek teketek bla bla em telolet. Terus langsung masuk sholawatan.
Raya" ?" : sumpah ngakak yank!
Arsyaf : gmn" Bgus kan"
Raya" " : intronya nyebelin! ?"
Arsyaf : nyebelin gpp. Yg pnting km ktawa biar gk stress mikirin kgagaln SNMPTN.
Raya" " : mkasih ya, Mann.
Arsyaf : cama2 Geet! Eh, mksud aku, cama2 Got!
Raya" " : kurang ajar! Emangnya lu pikir, gw selokan"
Arsyaf : maap maap. Mksud aku, kmu itu goat!
Raya" " : goat" Lu pikir gw kmbing" ?"
Arsyaf : maapin aku Ishita Balap.... karuuung...
Raya" " : gk akan gw maapin, Raman kuman jelek!
Arsyaf : Sungguh aku minta maap Anandhi.
Raya" " : aku tidak mau, Jagdish! Eh, btw, km kok tau pilem2 india sih! Ketularan renan y"
Arsyaf : ketularan emak gua.
Raya" ?" : ?"?"?"
Ya Tuhan, situasi apa ini" Bagaimana bisa gue mencintai dua orang sekaligus dalam satu waktu" Yang satunya romantis banget buat hati gue melayang-layang
pengen loncat-loncat. Dan yang satunya, kocak bin ajaib, selalu buat gue tertawa. Tidak mungkin hubungan kita bertiga terus seperti ini kan" Pasti suatu
saat nanti gue akan dihadapkan situasi di mana gue harus memilih salah satu di antara mereka.
Tok tok tok Terdengar suara ketukan pintu. Gue terkesiap. Seorang cewek membuka pintu kamar lalu tersenyum. Dia Murti, sahabat gue saat kelas X. Hubungan gue dan Murti
agak merenggang ketika kita mengambil jurusan yang berbeda ketika memasuki kelas XI. Dia mengambil jurusan IPS, sedangkan gue mengambil jurusan IPA.
"Boleh masuk?" Tanyanya.
Gue mengangguk cepat, memperbolehkannya masuk. Murti pun masuk ke dalam kamar lalu menutup pintu.
"Aku denger, kamu kecelakaan. Jadi, aku buru-buru ke rumah sakit," papar Murti dengan suaranya yang pelan dan terdengar malu-malu.
Ya. Murti adalah seorang yang pendiam. Dia selalu merasa minder karena wajahnya. Itulah sebabnya dia jarang bicara dengan orang lain. Satu-satunya orang
di sekolah yang mau ngomong sama dia cuma gue.
"Makasih ya, Murti," ucap gue sambil tersenyum. "Duduk gih!" Gue melirik sekilas kursi yang ada di samping ranjang gue.
Kadang, gue merasa iba sama Murti. Anak-anak di sekolah selalu mengolok-olok wajahnya. Apalagi anak-anak cowok! Jika Murti lewat, anak-anak cowok pasti
pura-pura pengen muntah. Murti memang tidak cantik. Kulitnya hitam, wajahnya penuh jerawat, dan giginya tonggos, sebelas dua belas sama Sobirin. Tapi bedanya, giginya Murti warna
putih dan nggak bau. Sepertinya, dia rajin gosok gigi.
Saat gue dan Murti tengah asyik berbincang, tiba-tiba Sobirin datang, membuka pintu secara ngotot, lalu mendelik kaget ketika mendapati gue terbaring di
atas ranjang rumah sakit dengan beberapa luka di wajah.
"NENG RAYAAA....." Teriaknya histeris.
Bushet dah! Tuh anak teriak-teriak nggak jelas di rumah sakit. Bisa-bisa obat di rumah sakit ini jadi terkontaminasi gas beracun yang keluar dari mulutnya
dah. "Ya Allah, Neng Raya kok bisa jadi gini?" Tanya Sobirin cemas.
"Sobirin, lo belum sikat gigi berapa hari?" Gue tak menghiraukan pertanyaan Sobirin dan balik bertanya.
Dia meringis malu. "Baru tiga hari, Neng."
What" Tiga hari" Sebelah pipi gue langsung berkedut ngeri. Tuh jenglot satu sepertinya perlu dibunuh sebelum gas beracun yang ia keluarkan membunuh orang
lain. "Siapa dia, Neng?" Tanya Sobirin sambil melirik Murti.
"Oh iya. Kenalkan! Dia Murti," kata gue sambil melirik Murti.
"Sobirin." Sobirin mengulurkan tangannya pada Murti.
Murti langsung menjabat tangan Sobirin. "Murti." Ia tampak malu-malu.
Bushet dah! Nih anak bedua cocok banget yak" Apalagi mereka sama-sama jomblo! Gimana kalau gue comblangin mereka aja" Tapi Eiiiittss tunggu! Kalau mereka
jadian, terus gimana dong kalau mereka pengen ciuman satu sama laen" Kan jadi ribet! Yang ada bukan ciuman bibir tapi ciuman gigi dong! Somplak banget
pikiran gue. Chapter 28 [Raya pov] Lagi-lagi gue berada sendirian di kamar ini bersama nenek yang lebih sering tidur. Mungkin karena usia rentanya. Gue nggak ada teman ngobrol. Papa masih
di Kalimantan. Mama pamit sebentar karena ada urusan pekerjaan. Sedangkan Kak Icha kuliah. Sumpah! Gue bosen banget dah! Drama Korea yang gue tonton itu
itu aja. Belum sempat download yang terbaru. Dan di kamar yang bukan VVIP ini, tidak tersedia WIFI. so lame!
"Assalamu'alaikum," Lea membuka pintu lalu berlari kecil menuju ke arah gue.
"Wa'alaikum salam," sahut gue sambil tersenyum manis.
"Maaf ya, Ray. Baru bisa jenguk elo sekarang. Soalnya gue ada acara keluarga." Lea memeluk gue dari samping.
"Iya. Nyantai aja kali!" Gue menepuk-nepuk punggungnya pelan.
"Eh, coba tebak, gue bawa apa?"
Dahi gue langsung mengernyit. "Apa?"
"Ta da!" Lea mengerluarkan sebuah hard disk dari dalam tasnya, lalu memberikannya pada gue.
"Buat apa?" Gue masih bertanya-tanya. Jangan bilang kalau Lea bikin vidio nyanyi-nyanyi kayak El.
"Di dalam situ sudah ada banyak judul pilem Korea. Lo bisa tonton sepuasnya!"
"Sumpeh lo?" Mata gue terbelalak senang. "Ada apa aja?"
"Buanyak! Ada teacher kim, fairy kim book jo, night light, scarlet heart ryeo, mask, dan masih banyak yang lainnya! Kalau gue sebutin atu-atu, bisa nyinyir
dah mulut gua!" "Woaaah! Makasih ya, Lea. Lo emang sahabat terbaik gue deh! Tau aja kalau gue lagi bosen."
"Iya dung!" Lea memang sahabat yang sangat baik. Tapi, apakah dia akan tetap mau bersahabat sama gue kalau dia tahu bahwa gue sekarang nyelingkuhi Arsyaf" Gue tertegun,
memikirkan baik-baik langkah apa yang akan gue pilih selanjutnya.
*** Mata kak Icha mendelik setelah mendengar perkataan Pak dokter. Walau dia Mahasiswa kedokteran, tetap saja ia tidak bisa menandatangani surat izin operasi
sebagai wali pasien. Dia kemudian bergegas menelpon mama.
"Halo, Mama?" Kata Kak Icha.
"Iya, Icha. Ada apa, sayang?" Suara mama dapat gue dengar. Mungkin Kak Icha lupa men-silent.
"Mama, kata dokter, Raya harus operasi, Ma."
"Apa" Operasi?" Kata mama terdengar kaget.
"Iya. Kata dokter, Raya mengalami patah rahang, fraktur mandibula."
"Gimana sih kamu, Icha"! Adek kamu itu lagi sakit! Kenapa mau kamu ajak mandi bola?" Omel mama mengamuk.
"Astogeh, Mama! Bukan mandi bola, Ma! Fraktur mandibula, istilah lain patah tulang wajah!" Papar Kak Icha ngotot.
"Ooohh.... bilang dong dari tadi!"
Plaakk... Kak Icha menggeprak keningnya sendiri. "Astogeh, Mama! Ya udah kalau begitu, mendingan mama sekarang cepetan ke rumah sakit buat tanda tangan
izin wali pasien." "Baiklah, mama akan segera ke sana."
*** Di dalam operation room, mata gue mengerjap beberapa kali. Tak berapa lama kemudian, seorang wanita datang sambil menyiapkan sebuah jarum suntik. Gue hanya
meliriknya sebentar lalu kembali menatap langit-langit operation room.
"Dik, adik nggak pengen ke toilet dulu?" Tanya wanita itu ketus.
Gue menggeleng. Memang saat itu gue nggak pengen pipis. Wanita ketus itu pun mengangguk pelan lalu bersiap menyuntikkan jarum itu ke bagian belakang gue.
Em.... ya kalian pasti taulah!
Setelah di suntik, mata gue kembali mengerjap menatap langit-langit operation room. Tak sampai lima menit, gue memanggil wanita tadi.
"Maaf, Bu, toiletnya di mana ya?" Tanya gue dengan lugunya.
"Tadi katanya nggak mau ke toilet, sekarang mau ke toilet! Gimana sih Dik?" Omel wanita bertubuh tambun itu. Untung liurnya nggak muncrat. Soalnya dia
pakek masker. Ya elah! Tadi gue emang nggak pengen pipis, lha sekarang" Tadi ya tadi. Sekarang ya sekarang. Nggak mikir apa Ibuk itu"
"Ya sudah, saya anter!" Ujarnya bertambah judes.
"Nggak usah, Buk. Saya bisa sendiri kok!" Tolak gue santun.
"Ya elah, Dik! Adik ini sudah dibius, entar kalau nuncek di kamar mandi gimana?"
Gue menghela napas, mencoba bersabar dengan ocehan Ibu Ibu rempong itu. Akhirnya, gue pun mau di anter sama Ibu itu ke toilet. Yang lebih parahnya, Ibu
itu mau masuk ke toilet bareng gua. Ah, gua mah ogah! Setelah terjadi sebuah perdebatan kecil, akhirnya tuh ibu-ibu mengalah juga.
Setelah dari toilet, gue kembali terbaring di atas ranjang sebelum benar-benar dipindahkan ke meja operasi. Tak berapa lama kemudian, mata gue terasa lengket.
Ngantuk berat!! Akhirnya gue pun tertidur.
Dan saat gue membuka mata, seluruh mulut gue terasa sakit dan tidak bisa terbuka sama sekali. Ada kawat mengait rata dari gusi atas ke gusi bagian bawah.
Dinding-dinding mulut dan lidah gue seolah ada seratus sariawan yang bertengger. Perih! Ada selang aneh yang masuk ke dalam salah satu lubang hidung gue.
Entah itu untuk apa, gue bahkan nggak tau.
"Ma..." ucap gue, tapi terdengar tidak jelas karena memang mulut gue nggak bisa terbuka.
"Ada apa, Sayang?" Samar-samar, gue bisa melihat mama menangis. Suaranya terdengar purau.
"Sakit, Ma...." ucap gue seperti orang bisu yang mencoba ngomong.
Sejak operasi itu, gue nggak mau siapa pun menjenguk gue di rumah sakit, termasuk Arsyaf, Renan, dan El. Gue malu melihat diri gue sendiri di depan cermin.
Betapa tidak" Muka gue pucat kayak gajah. Selang di hidung gue terlihat seperti belalai. Dan yang lebih parahnya, saat gue membuka mulut, ada behel aneh
yang memenuhi gusi atas dan gusi bawah gue.
Dokter bilang, tulang gue nggak perlu di kasih plat, dan cukup disatukan secara alami karena gue masih muda, pertumbuhan tulang gue masih bagus. Oleh karena
itu kawat-kawat aneh di seluruh gusi gue berfungsi untuk menyatukan rahang atas dan rahang bawah. Sejak operasi itu, gue hanya minum susu yang biasa buat
nenek nenek encok. Kata bapak Tebe, eh maksud gue, kata dokter, susu khusus lansia memang bagus untuk tulang.
Nah, gue baru tahu fungsi selang belalai ini setelah dokter menjelaskan. Selang ini untuk minum tuh susu nenek-nenek karena memang, mulut gue nggak bisa
terbuka sama sekali. Jadi, gue minum lewat hidung melalui selang.
Gue menghela napas sebal! Meratapi takdir yang menyakitkan ini. Apa ini karma" Berulang kali gue menanyakan hal itu. Tapi entahlah! Masih belum ada jawaban
pasti. Chapter 29 [Elbara pov] Gue menyandarkan kepala gue ke kursi. Beberapa kali gue memijat pelipis gue yang terasa pusing lalu menghela napas. Gue benar-benar tidak tega melihat
Raya kesakitan di rumah sakit. Kenapa nggak gue aja yang kecelakaan" Kenapa harus Raya" Beberapa pertanyaan terus membelenggu pikiran gue, membuat gue
akhir-akhir ini tidak bisa berpikir jernih.
Ddddrrrtt... Sebuah SMS masuk. Dengan malas gue menyambar HP gue yang terletak di atas meja, mengusap layarnya, lalu membaca SMS yang masuk.
Gimana keadaan pacar lo" Baik"
By : anak iblis Pesan ini akan hilang dalam 5 detik.
Rahang gue mengeras, marah bukan main. Tangan gue mengepal lalu melepar HP gue ke arah tembok. Dan braaakk... HP gue terpecah menjadi beberapa keping.
"Sialan!" Umpat gue.
Gue buru-buru mengambil jaket lalu memakainya sambil berlari menuju garasi. Ini tidak bisa dibiarkan!
"El, lo mau ke mana?" Tanya Renan sambil melepaskan helmnya.
Gue nggak mendengarkan pertanyaan Renan dan langsung mengendarai motor gue dengan kecepatan maksimum. Renan terus memanggil-manggil nama gue dari belakang.
Tapi gue nggak peduli. Walau bagaimana pun juga, gue harus menghajar Ozora Samitra.
Sesampainya di gudang usang tak terpakai, base camp Sam bersama anak buahnya, gue langsung menghampiri Sam yang saat itu tengah duduk santai sendirian
sambil membaca buku. Kerah bajunya gue angkat. Mata gue melotot sambil mendengus geram. Sam tidak terlihat takut. Dia malah tersenyum senang mendapati
gue yang datang menemuinya.
"Dasar bajingan!" Teriak gue sambil mendaratkan sebuah tinju mentah ke pipi Sam dengan sekuat tenaga.
Sam terjerembab ke atas tanah. Sudut bibirnya berdarah. Dia kembali tersenyum seolah mengolok. Gue semakin geram dan berjalan menghampirinya untuk mencengkram
kembali kerah bajunya. "Jadi, cewek itu kelemahan lo?" Sam menghempaskan tangan gue dari kerah bajunya.
"Dari mana lo tahu kalau dia cewek gue?"
Sam lagi-lagi tersenyum. "Lo lupa kalau gue ini jenius" Gue bisa menghack semua HP atau PC yang gue mau, termasuk HP dan PC yang lo punya," paparnya.
"Brengsek!" Gue mencoba melayangkan tinju lagi ke pipinya tapi dia dengan cepat menahan tangan gue yang masih melayang di udara.
"Dari menyadap HP lo, gue jadi tau kalau bukan Pamela yang lo suka. Tapi seorang cewek yang bernama Raya," imbuhnya.
"Sebenernya lo mau apa" Lo mau balas dendam" Lo mau melakukan apa yang gue lakukan dua tahun lalu" Huh?"
"Enggak." Sam menggeleng. "Gue mau kita duel. Kalau gue menang, gue mau lo jadi bawahan gue. Kalau gue kalah, gue nggak bakal ganggu cewek lo."
"Dasar pecundang! Kenapa lo harus melibatkan cewek dalam urusan kita?" Bentak gue dengan rahang yang masih mengeras. "Kalau lo mau duel sama gue, its okay!"
"Kalau gue nggak mencelakai cewek itu, mungkin lo nggak akan semarah ini. Kemarahan lo yang gue cari. Gue ingin tau seberapa ku...."
Braaakk.... Tinju gue lagi-lagi mendarat sempurna di pipinya. Dia terpental beberapa langkah ke belakang. Gue melangkah maju lalu mencoba menendang perutnya. Tapi
dia menahan kaki gue dan menghempaskannya. Dia membalas pukulan gue hingga gue terpental dan terjerembab ke atas tanah. Dia kemudian dengan cepat menindih
tubuh gue. "Jadi hanya ini kekuatan sang raja?" Sam kembali memukul muka gue beberapa kali.
Gue takjub dengan kekuatannya yang sekarang. Sungguh sangat jauh berbeda dengan kekuatannya yang dulu. Sudut bibir gue bahkan sudah mengeluarkan darah.
Tapi sial! Gue tidak bisa mengembalikan keadaan.
"Segini aja kekuatan lo" Huh"!" Tambah Sam, tangannya masih belum berhenti memukuli muka gue.
Tiba-tiba Sam terhenti dengan napas ngos-ngosan lalu dia tersenyum miring. "Gimana kalau gue perkosa aja cewek lo?" Tanyanya.
Sudah cukup! Kemarahan gue sudah di ambang batas. Gue langsung mendorongnya menjauh dari tubuh gue. Dia terpental. Kali ini gue yang menindihnya dan melayangkan
banyak tinju berantai ke mukanya. Gue bersumpah akan membunuhnya detik ini juga! Tekad gue sudah bulat. Gue nggak peduli bila harus masuk penjara sekali
pun. Dia boleh saja menghina gue. Tapi dia nggak boleh menghina Raya. Apalagi menghina kesucian Raya walau hanya dalam bentuk ucapan. Gue nggak terima!
Gue bener-bener nggak terima!
"El hentikan, El! Dia bisa mati!" Tiba-tiba Renan datang dan mencoba menghentikan gue yang masih asyik memukuli Sam.
"Lepasin gue!" Gue mencoba menghempaskan tangan Renan.
Napas gue terdengar ngos-ngosan. Rasanya belum puas tangan gue memukul muka Sam.
"Kalau lo ngapa-ngapain cewek gue lagi, lo akan mati!" Ancam gue.
Sam tidak menjawab. Dia terkulai lesu di atas tanah. Seluruh mukanya lebam. Dia hanya melirik gue sebentar lalu menghela napas berat beberapa kali kemudian
pingsan tak sadarkan diri.
*** Renan menghampiri gue yang saat itu duduk di salah satu kursi yang berada di taman. Dia membawakan gue sebotol air minuman dingin.
"Ini," dia mengulurkan sebotol air mineral itu pada gue.
Gue mendongak, melihatnya berdiri di hadapan gue. Tanpa berkata apa pun, gue menyambar botol air mineral itu dan menempelkannya ke bagian muka gue yang
terasa sakit. Renan kemudian duduk di samping gue.
"Jadi, lo selama ini pacaran sama Raya?" Tanya Renan penuh selidik.
"Hm," jawab gue singkat.
"Gimana lo bisa pacaran sama Raya" Dia itu pacarnya Arsyaf, sepupu lo sendiri!" Omelnya ngotot.
"Gue cinta banget sama dia."
"Meskipun lo cinta sama dia, lo nggak boleh macarin dia. Nggak boleh!"
"Gue tau."
Cewek Cetar Dua Karya Zaeemaazzahra di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Terus, kenapa lo masih ngajak dia selingkuh?"
"Awalnya gue mencoba menekan perasaan gue. Tapi semakin lama mengenalnya, semakin gue mencintainya. Rasanya sungguh menyesakkan melihatnya bermesraaan
bersama Arsyaf. Itulah sebabnya gue....."
"Apa lo yang maksa Raya" Atau mungkin, Raya juga suka sama lo?" Potong Renan.
"Iya. Raya juga suka sama gue."
Mata Renan mendelik kaget. Ia pasti tak menyangka kalau Raya akan mengiyakan ajakan gue untuk selingkuh. Renan pasti tak menyangka kalau Raya berani melakukan
perselingkuhan di belakang Arsyaf mengingat Raya adalah gadis yang lugu.
"Sumpah, gue masih tak percaya ini!" Renan menyibakkan rambutnya yang agak gondrong dari depan ke belakang. Ia tampak frustasi.
"Gue nggak bisa kayak lo, Ren!"
Renan menoleh, wajahnya terlihat kaget ketika gue tiba-tiba berbicara seperti itu.
"Lo bisa menyembunyikan perasaan cinta lo yang teramat besar untuk Raya," imbuh gue.
"Lo ngomong apa sih, El" Gue masih nggak ngerti."
Gue tersenyum kecil. "Gue tau kalau lo juga suka sama Raya. Iya kan" Dan gue yakin, Arsyaf juga tau akan hal itu," kata gue sambil memegang pundaknya.
Mata Renan melebar, ia berpaling muka. Ekspresinya itu menandakan kalau tebakan gue tidak salah. Dia juga sangat mencintai Raya. Itulah faktanya.
Chapter 30 [Sam pov] Di atas ranjang rumah sakit, gue terkapar lesu. Sial! Untuk kedua kalinya gue kalah sama El. Gue nggak bisa percaya ini. Padahal selama ini gue sudah banyak
latihan karate. Tapi tetap saja gue nggak bisa mengalahkannya.
"Tuan muda, tuan muda sudah bangun?" Tanya Rommy, salah satu sekretaris papa.
Gue hanya melirik sebentar ke arah Rommy tanpa menyahuti ucapannya. Sudah gue duga! Mama dan papa hanya peduli dengan pekerjaan mereka. Bahkan jika gue
mati sekali pun, mereka mungkin nggak akan peduli sama gue.
"Tuan muda, Nyonya Yumeko dan Tuan Arnold tidak bisa ke sini. Mereka ada meeting penting bersama beberapa kolega untuk proyek pembangunan hotel," papar
Rommy. Gue tidak menghiraukannya. Gue kemudian melirik sebentar tulisan "VVIP 07 RS Wisnu Medika". Itu berarti, gue berada dalam satu rumah sakit bersama Raya,
cewek yang sangat dicintai El.
"Rommy?" Kata gue tiba-tiba.
"Iya, tuan muda?" Rommy menimpali.
"Cari tau di mana kamar pasien yang bernama Soraya Aldric."
"Baik, tuan muda."
Iya. Gue tau nama lengkap ceweknya El karena hampir seminggu penuh gue menyelidikinya. Gue bahkan tahu nama ayah, ibu, dan kakak perempuannya.
*** Gue berjalan sendirian menuju taman yang berada di dekat kamar kelas 2. Sekitar jam 11 malam gue ke sana. Seluruh koridor rumah sakit tampak sepi. Hanya
ada satu atau dua perawat yang lewat. Di kamar nomor 03, gue bisa melihat mamanya si Raya membuka korden. Samar-samar gue bisa mendengar percakapan mereka.
"Nggak apa-apa, Sayang. Ini sudah malam. Mereka nggak bakal ke sini. Mama tau kalau kamu malu dengan keadaanmu yang seperti ini. Tapi walau bagaimana pun
juga, kamu harus menghirup udara segar!" Cerocos Nyonya Elly, mamanya si Raya sambil membuka sedikit bagian jendela.
Melihat wanita paruh baya itu sangat memperhatikan putrinya, gue jadi merasa iri. Sejak kecil, mama dan papa gue selalu sibuk bekerja. Mama gue adalah
presdir C.M Group, salah satu perusahaan besar yang bergerak di bidang konstruksi. Sedangkan papa gue adalah seorang pemilik beberapa hotel bintang lima.
Dalam setahun, gue hanya bisa bertemu dengan mereka berdua dua atau tiga kali saja. Itu pun tidak pernah lama. Paling satu sampai dua jam, kemudian mereka
kembali bekerja. "Eh! Infusmu mau habis! Mama panggil perawat dulu ya," kata Nyonya Elly.
Raya hanya mengangguk sambil tersenyum. Di saat dia sendirian bersama roommatenya, dia mengambil buku yang ada di atas meja lalu membacanya. Dia terlihat
tak berkonsentrasi. Pasalnya, nenek yang berada sekamar dengannya tampak tak bisa tidur dan membolak balikkan tubuhnya ke kanan dan ke samping. Sesekali
nenek itu memukul dirinya sendiri. Sepertinya, nyamuk mengganggunya.
Raya kemudian turun dari ranjangnya, mengambil lotion anti nyamuk dari dalam laci, berjalan pincang menuju nenek itu lalu mengoleskan lotion itu ke tangan
dan kaki nenek itu. Setelah selesai, ia kembali menuju ranjangnya. Tentu saja dengan langkah pincang.
Wajah Raya terlihat pucat. Ada selang aneh yang menggantung di salah satu lubang hidungnya. Dia terlihat sangat rapuh seolah untuk berjalan saja sulit.
Tapi bagaimana dia mau bersusah payah untuk memperhatikan nenek itu"
Mendapati hal itu, gue jadi mengerti alasan mengapa El sangat mencintai Raya. Dia memang tidak terlalu cantik, tidak begitu sexy, tapi dia.... baik. Mungkin
itulah yang membuat seorang El jatuh cinta padanya.
"Tuan muda?" Sapa Rommy dari belakang.
Gue menoleh. "Hm?"
"Silahkan kembali ke kamar anda. Nanti anda masuk angin."
"Baiklah!" Sesampainya di kamar, gue langsung merebahkan tubuh gue di atas ranjang. Tidak sampai lima menit, Rommy sudah menyodorkan setumpuk berkas buat gue.
"Apa itu?" Tanya gue sinis.
"Ini adalah berkas-berkas perdaftaran untuk ke Universitas Tokyo," jawab Rommy.
"Universitas Tokyo" Kenapa papa ingin mengirimku ke sana?"
"Dengan kejeniusan anda, tuan Arnold sangat yakin kalau anda bisa lolos ujian masuk di Universitas Tokyo. Sebenarnya, tuan Arnold ingin anda kuliah di
Harvard. Tapi karena tuan Ozora Takeshi ingin...."
"Ya sudah kuduga! Pasti karena kakek!" Potong gue sebelum Rommy menyelesaikan penjelasannya.
Ya. Gue keturunan Japanese. Kakek buyut gue, Ozora Shouta menikahi nenek buyut gue, Sarah Widyanigrum. Dan mempunyai anak Ozora Takeshi, alias kakek gue.
Kemudian, kakek gue menikah dengan nenek, orang asli Ciamis. Dan mempunyai anak Ozora Yumeko, alias mama gue.
Silsila keluarga gue cukup rumit memang! Dan kalian pasti heran kenapa wajah gue tidak terlihat seperti orang Jepang yang biasa bermata sipit. Itu karena
gue lebih mirip dengan bokap gue yang memiliki keturunan Jawa Rusia. Nah, oleh karena itu, nama lengkap gue sebenarnya Ozora Samitra Aldebaran. Nama tersebut
diambil dari dua keluarga yang berbeda budaya.
*** [Raya pov] Tak terasa sudah sembilan hari gue berada di rumah sakit. Akhirnya dokter memperbolehkan gue untuk pulang. Tapi walaupun demikian, gue masih tetap harus
kontrol ke rumah sakit seminggu sekali selama dua bulan sampai kawat-kawat aneh di mulut gue benar-benar di lepas.
"Sayang, apa kamu masih nggak mau menemui mereka?" Tanya mama sambil memegang tangan gue.
Gue hanya menggeleng karena memang untuk saat ini, mulut gue dibungkam oleh kawat.
"Kasihan mereka. Setiap hari mereka menjengukmu. Tapi kamu malah mengabaikan mereka," papar mama.
Gue mengalihkan pandangan, tak berani menatap mama yang tumben berbicara dengan nada serius.
"Setidaknya kamu temui mereka sekali saja. Ya?" Tambah mama.
Gue menggeleng, bertandakan tidak menyetujui usulan mama. Ah, dengan kondisi tak bisa berbicara seperti ini, gue merasa ikutan acaranya Uya Kuya yang hanya
bisa mengucapkan iya, tidak, dan bisa jadi.
"Ya sudah kalau kamu tidak mau. Mama nggak akan memaksa." Mama membelai lembut pipi gue lalu beranjak pergi menuju ruang tamu untuk menemui Arsyaf, Renan,
El, dan Lea. Hari demi hari gue lewati dengan mengurung diri di dalam kamar, menonton drama korea, main game, dan sesekali belajar. Ratusan SMS dan chat dari Arsyaf,
Renan, El, dan Lea tak pernah gue balas meskipun gue membacanya. Gue tau mereka khawatir. Tapi gue cuma butuh waktu untuk sendiri.
*** 07. Chapter 31-35 Chapter 31 [Raya pov] Drrrtt... Untuk kesekian kalinya HP gue bergetar. Apalagi yang sahabat-sahabat gue kirim kali ini untuk membuat gue tertawa" Dengan malas, gue menyambar HP gue yang
terletak di atas meja, mengusap layarnya lalu membaca chat WA yang masuk. Senyum gue mengembang ketika Renan meng-upload foto editan. Di foto itu, Renan
di apit dua cewek cantik, siapa lagi kalau bukan Tantri dan Monica.
Arsyaf" " : Undangannya mana"
Renan" ?" : telat! Udah punya ank lima!
Elbara" " : tak sbar nunggu undangan.
Arsyaf?" : anaknya rnan udah lima. Telat om!
Elbara?" : lho" Undangan apa dulu" Undangan sunatan anknya kn belom!
Renan?" : oke. Tp yg nyunat ank qw, elo ya" Kyaknya elo ahli sunat menyunat hiks hiks hiks
Arsyaf" : hati2 klw ank lo di sunat El. Entar hbis dipangkas. Trus ilang dah
Elbara?" : bner kata Arsyaf, Ren. Gw gk ada bkat motong kek begono.
Renan" : gmn klw Raya aja yg nyunat ank gw"
Gue tersenyum sambil tertawa kecil setelah membaca chat-chat di grup WA. Rasanya setengah dari kegelisahan gue memudar dan perlahan hilang. Gue harap,
chat-chat seperti ini akan terus ada. Hari ini, esok, lusa, dan seterusnya.
Arsyaf" : iya nih! Dmn si Reva"
Raya" " " : hadir mas boy! ?"
Terlarut dalam kesedihan memang tidak baik. Sudah cukup! Gue harus kembali menjadi Raya yang dulu. Raya yang selalu ceria. Meskipun mental gue masih belum
siap untuk menemui mereka secara langsung, setidaknya gue membalas chat-chat mereka di grup WA.
Renan" " : gmn" Lo brani nyunat ank gw nggak"
Raya" " " : gw yg nyunat" He to the lo HELLO...
Elbara" : hallah! Pkek acra malu2 kucing sgala!
Raya" " : El, lo sunat aja sndiri! Lanjot pangkas. Lo pinjem golok" Tuh ada satu d rmh.
Elbara : lo pikir mau belah kelapa" Lo tawari golok
Raya" " : golok lebih cepet, El
Arsyaf : haduuh... pcr gw kumat. Mana klinik KLONTANG udh tutup lagi!
Renan : ada klinik bru, Syaf. di daerah tnah abang. Namanya klinik KUTANG
Raya?" : gw out. ?"
Pembahasan Renan selalu aneh dan menjurus ke hal-hal yang seperti itu. Tapi entah mengapa dia mengemasnya menjadi sesuatu yang lucu. Makasih ya semuanya.
Berkat kalian, gue jadi bisa tertawa kembali.
***** ?"?"?"*****
Chapter 32 [Raya pov] Sudah tiga minggu berlalu sejak kecelakaan itu. Tetapi polisi masih belum menemukan si pelaku. Polisi bilang, si pelaku sulit ditemukan karena dia memakai
plat nomor palsu di kendaraannya. Selain itu, si pelaku mencelakai gue di daerah yang jauh dari CCTV.
Si pelaku memakai motor mas boy di sinetron anak jalanan. Hanya saja warnanya hijau. Ya. Sejak sinetron anak jalanan nge-hits di kalangan anak muda, penjualan
motor keren seperti itu laris manis. Banyak anak muda yang memilikinya sehingga hal itu semakin menyulitkan polisi untuk menemukan si pelaku.
Gue menghela napas saat papa menceritakan kejadian yang sebenarnya ke gue. Sepertinya sang pelaku yang mencelakai gue sudah merencanakan hal ini sejak
awal. Apa mungkin dia seorang yang jenius" Sial! Dari situ saya merasa sedih.
Drrrtt.... Renan tiba-tiba mengirim audio ke grup WA anak-anak koplak. Kali ini apalagi yang ia lakukan untuk menghibur gue. Gue pun segera memencet gambar play untuk
mendengarkan audio yang ia kirimkan. Dalam audio itu, dia menyanyikan lagu india Hamko Hamise Curalo tapi liriknya ia rubah-rubah sendiri.
Hamster aposhe curanmor. Udel bodong tum pak Dono. Hamster ketek, Ono jahe, colek aje, enggak pape, ketek lo jangan pernah basah lagi.
Gue tertawa lepas walaupun gue masih belum bisa membuka mulut lebar-lebar karena masih ada kawat yang menempel. Sumpah! Sahabat gue yang satu ini memang
konyolnya nggak ketulungan.
Raya" " : ini baru kreatip, Ndong! Gw ngakak sumpah!?"
Renan : gmn" Lo mau gw nyanyi lgi nggak"
Raya" " : boleh ?"
Renan" : lo mau lagu apa"
Raya" ?" : bolle chudiyan
Renan" : oke. Entar ya...
Tak lama menunggu, Renan sudah mengirim audio lagu India Bolle Chudiyan tapi sama seperti tadi, liriknya dia rubah-rubah sendiri.
Bolle pacaran, bolle ciuman, asalkan jangan di sekolahan. Nanti ketahuan sama Dono yang kumisan.... cinta cinta oh Dono... cinta cinta
Arsyaf" : gw udh download audio lo. Entar gw setorin ke pak dono. Mampus lo!
Renan" : jgn pe'ak! Gw gk jdi diwisuda dong!
Elbara" : derita lo, Ren.
Raya" " " : Jgn bully Kevin Julio, gengs!
Arsyaf" : lo bilang kevin Julio" Lo pikir Renan pemain GGS apa"
Elbara" : Kevin Julio emang main GGS, Ganteng-Ganteng Srigala. Tapi klw Renan, Goblok-Goblok Stupid
Arsyaf" : hahaha dia emang pemain GGS, gila-gila stess
Raya" ?" : jgn bully dia gengs! Apa kalian nggak takut dihardik bau keteknya"
Renan" : Ray, gw udh rjin mndi kok! #jgn main fitnah ?"
Raya" ?" : ampun dah gerandong!
Ya. Seperti ini saja, Tuhan. Jangan pernah berubah. Persahabatan ini terasa begitu manis. Sampai-sampai terkadang gue ingin waktu berhenti saat kita berempat
bercanda tawa bersama seperti ini.
"Lalu kita harus bagaimana dong, Mas?" Kata Mama dengan suara agak tinggi.
Gue terkesiap, tercekat sejenak di atas kasur. Rasa penasaran pun menuntun gue melangkah keluar kamar menuju kamar Mama dan Papa. Di ambang pintu yang
sedikit terbuka, gue bisa melihat Mama berdiri di depan Papa yang saat itu duduk di atas kasur.
"Aku juga nggak tahu, Sayang. Aku sudah bekerja semaksimal mungkin tapi...." kalimat Papa terhenti.
"Bagaimana pun juga, kamu harus memiliki penerus perusahaan yang dapat dipercaya. Dengan begitu, para pemegang saham akan membantu kita menghadapi krisis
ini." "Siapa" Siapa yang akan kita jadikan penerus?" Tukas Papa.
"Tentu saja Raya!"
Mata gue mendelik kaget ketika Mama menyebut-nyebut nama gue sebagai penerus perusahaan. Jujur, selama ini gue tidak pernah memiliki niatan untuk menjadi
seorang pembisnis. Cita-cita gue sejak kecil adalah menjadi seorang arsitek.
"Tidak bisa, Sayang! Raya akan kuliah di jurusan arsitektur. Aku nggak mungkin maksa dia untuk...." Lagi, kalimat Papa belum rampung.
"Lalu, apa Mas Bram akan membiarkan perusahaan kita bangkrut?" Potong Mama.
Gue mematung dengan mata membulat. Bangkrut" Apa maksudnya" Jujur, gue masih belum mengerti dengan percakapan antara Mama dan Papa.
"Sayang, apa kamu tega memaksa Raya untuk mengambil jurusan Ekonomi" Dia baru saja mengalami kecelakaan. Dan dia masih stress hingga tidak mau menemui
teman-temannya. Apa kamu tega" Huh"!" Omel Papa sambil berdiri. Matanya melotot ke arah Mama.
Mama menangis. Air matanya terjatuh di pipinya yang sudah mulai berkerut karena usia. Hati gue teriris melihat Mama menangis. Ingin sekali rasanya melangkah
mendekat lalu memeluk wanita paruh baya itu. Tapi langkah kaki gue entah mengapa menolak berjalan maju.
"Maaf kan aku, Mas. Seharusnya aku juga memikirkan perasaan Raya," ujar Mama yang masih menangis.
Papa langsung mengusap air mata Mama. "Sudahlah. Jangan menangis! Aku akan memikirkan cara lain agar bisa menyelamatkan perusahaan."
Setelah mendengar percakapan itu, otak gue pun berproses. Apa hubungannya gue masuk jurusan Ekonomi atau tidak" Lantas kenapa para pemegang saham ingin
Papa memiliki seorang penerus" Apa mereka sudah tidak mempercayai Papa dalam mengelola perusahaan" Banyak sekali pertanyaan yang lalu lalang di kepala
gue. Haaassh Entahlah! Gue nggak tahu apa yang terjadi. Gue bingung bukan main.
Gue menghela napas berat, berjalan dengan langkah sedikit pincang kembali ke kamar lalu merebahkan tubuh gue di atas kasur. Gue harus bagaimana" Harus
bagaimana gue" Gue sangat ingin menjadi seorang arsitek. Tapi Mama dan Papa butuh gue sebagai penerus perusahaan.
Lama sekali gue berpikir sekitar tiga jam. Gue akhirnya memutuskan untuk memilih jurusan Ekonomi demi Mama dan Papa. Mulai sekarang, gue akan membuang
jauh-jauh impian gue menjadi seorang arsitek.
Oke, tekad gue sudah bulat! Gue akan memilih jurusan Ekonomi saat ujian SBMPTN kelak. Dan hal pertama yang perlu gue lakukan adalah mempelajari kumpulan
soal tes IPS karena untuk bisa menembus jurusan Ekonomi, gue harus melalui serangkaian soal-soal yang berhubungan dengan Ilmu Pengetahuan Sosial. Sedangkan
gue" Jangan tanya gue! Gue anak IPA. Daripada menghafal, gue jauh lebih suka menghitung. Itulah sebabnya saat SMA, gue memilih jurusan IPA walaupun konon
katanya jurusan IPS jauh lebih mudah.
*****?"?"?"*****
Chapter 33 [Elbara pov] Tidak bosan gue mengirim SMS atau chat di WA. Gue kangen banget sama Raya. Sudah beberapa minggu gue nggak melihat wajahnya sejak ia menjalani operasi.
"El, ke ruangan papa sekarang!" Perintah papa dengan wajah yang tampak serius.
Dahi gue mengernyit. Tak biasanya papa pulang sore seperti ini. Apalagi kali ini dia tak membawa pelacur ke rumah. Sebenarnya, apa yang sedang terjadi"
Gue pun berjalan malas ke ruang kerja papa.
"Apa ini, El?" Tanya papa sambil menyodorkan beberapa foto gue bersama Raya.
Mata gue melebar. Bagaimana mungkin papa mengetahui aktivitas gue selama ini" Apa papa mengirim mata-mata"
"Kenapa kamu pacaran sama anak pengusaha yang hampir bangkrut?" Tambah papa.
"Itu bukan urusan papa," sahut gue singkat.
"Putuskan dia sekarang dan pergilah ke Singapura untuk belajar bisnis."
"Aku tidak mau." Gue memanglingkan muka, merasa muak melihat lelaki paruh baya yang suka mengatur kehidupan gue.
"Kalau kamu tidak mau, papa akan mempercepat kebangkrutan keluarga gadis ini."
Mata gue mendelik kaget sambil menatap papa yang masih duduk santai di belakang meja kerjanya. Papa adalah seseorang yang berwatak keras. Apa pun yang
dia inginkan harus terpenuhi walau dengan cara kotor sekali pun. Ancaman seperti ini bukan ancaman kosong.
Gue tercekat, memikirkan ancaman papa. Di saat seperti ini, gue harus berpikir cepat. Sebelumnya, Sam sudah membahayakan hidup Raya. Dan sekarang" Sekarang
papa ingin mempercepat kebangkrutan keluarga Raya. Gue sadar, ini semua gara-gara gue yang egois ingin menjadi kekasihnya. Gue nggak mau Raya terluka lagi
gara-gara gue. "Baiklah, Pa. Aku akan pergi ke Singapura dan belajar bisnis sesuai keinginan Papa. Tapi beri aku waktu seminggu untuk menemui gadis itu." Gue mencoba
bernegosiasi. Papa tersenyum miring. "Seminggu" Jangan bercanda kamu, El!" Tukasnya.
"Aku sangat menyayanginya, Pa. Jika papa mengizinkanku menemuinya, aku berjanji akan belajar bisnis dengan baik di sana."
"Tiga hari. Papa beri kamu waktu tiga hari dari sekarang."
"Tapi, Pa...." "Tidak ada tapi-tapian!" Potong papa tegas.
Mulut gue pun terlipat. Tidak ada pilihan lain bagi gue selain menuruti perintah papa. Gue harus secepatnya meninggalkan Raya. Atau kalau tidak, Raya akan
terluka lagi. *** [Raya pov] Jujur, sebenarnya gue kangen banget sama sahabat-sahabat gue. Mulut gue sudah bisa digunakan buat ngomong, soalnya karet pengait antara gusi atas dan bawah
sebagian sudah dilepas. Tapi kawat-kawat aneh masih akan dilepas beberapa minggu lagi. Ah, tidak apa-apa. Setidaknya gue bisa ngomong buat bercanda bersama
teman-teman. Masalah kawat aneh ini, bisa gue tutupin masker.
Gue sudah nge-chat mereka di grup WA anak-anak koplak. Gue pengen ketemu mereka. Rasanya sudah lama sekali. Selain Arsyaf, Renan, dan El, gue juga mengajak
Lea agar ikutan nimbrung bareng kita berempat.
"Gue nggak nyangka lo mau ketemu sama kita semua, Ray," kata Renan yang saat itu duduk di hadapan gue. Di sampingnya sudah ada Arsyaf dan El.
Gue tertawa kecil di balik masker yang gue kenakan. "Iya. Maap ya, semuanya. Gue cuma mau sendiri dulu."
"Nggak apa-apa kok, Ray! Gue ngerti kok." Lea memeluk gue dari samping sambil tersenyum manis.
"Kamu tega, Ani! Kamu tega! Terlalu!" Cerca Arsyaf dengan nada bicara khas Roma Irama.
"Aku tak bermaksud seperti itu, Roma. Kenapa kamu mempertanyakan cintaku padamu" Dasar lelaki biadap!" Cerca gue balik dengan intonasi ala sinetron.
Renan dan Lea tertawa lepas melihat kekocakan kami. Mereka hanya geleng-geleng dan tak berhenti tertawa. Barang kali mereka berpikir, kami adalah pasangan
paling somplak di seluruh dunia.
"Eh! Pesanannya sudah datang!" El menunjuk seorang pelayan cantik yang berjalan ke arah kami.
"Ceweknya kok cuma dua" Satunya mana?" Tanya pelayan cantik itu kepo.
"Kok kepo sih?" Tanya gue judes.
"Apa mungkin mas mas nya ini ada yang jomblo satu?" Tanyanya lagi sambil menata makanan dan minuman yang kami pesan di atas meja.
"Maap, Mbak. Stok cogan udah abis. Adanya colek atu ketinggalan di rumah," jawab gue ketus.
"Colek apaan sih?" Tanya Renan.
"Cowok jelek!" Sahut gue asal.
Hahaha tawa kami berlima riuh melesat ke seluruh restoran. Beberapa pengunjung restoran sempat menoleh ke arah meja kami.
"Gimana mbak" Mau nggak sama colek" Namanya Sobirin. Dia nggak pernah pacaran, jomblo saat masih dalam kandungan," papar gue pada pelayan itu.
"Kalau colek mah saya juga ogah, mbak!" Tukas pelayan itu bete. "Saya maunya sama mas mas cogan kek begini." Pelayan itu melihat Arsyaf, Renan, dan El
secara bergantian. "Ya elah, Mbak! Mana ada cogan hidup tragis dengan menjomblo" Di mana-mana, hidup jomblo tragis hanya dialami oleh para colek doang."
"Bener juga sih." Pelayan itu tampak berpikir.
Tak berapa lama berpikir, pelayan itu menulis sesuatu di kertas kecil lalu memberikannya ke gue. Astogeh! Dia ngasih gue nomor togel, eh maksud gue nomor
telepon. Dahi gue mengernyit.
"Itu nomor telepon saya, Mbak. Kalau semisal ada temen Mbak yang putus, Mbak bisa telepon saya," papar pelayan itu.
Ya elah nih pelayan ngotot amat yak cari jodoh" Daripada ngotot cari jodoh, mending cari pesugihan! Apa mungkin nih pelayan nggak laku-laku"
"Oh iya. Kenalkan! Nama saya Rodiyah," sambung pelayan itu.
Kami berlima sempat melongo sebentar sebelum tawa kami membuncah hebat dan lagi-lagi memenuhi seluruh ruangan restoran. Betapa tidak" Cewek cantik seperti
dia ternyata memiliki nama bekas zaman pra sejarah. Mungkin emak bapaknya males mikir kali yak" Bushet dah!
****?"?"?"*****
Chapter 34 [Raya pov] "Eh BTW, bercanda yuk!" Ajak gue manja.
"Lo mau bercanda?" Alis Renan terangkat sejenak. "Ya udah. Gue punya pertanyaan buat kalian semua."
"Pertanyaan apa?"
"Hal apa yang paling kocak yang pernah lo lakuin di sekolah?"
"Emmm...." gue masih berpikir.
"Makan gorengan Bik Sum," celetuk Arsyaf.
Cewek Cetar Dua Karya Zaeemaazzahra di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Deng dong! Dasar otak amuba! Emangnya lo pikir makan gorengan Bik Sum itu hal yang kocak apa?" Omel Renan.
Arsyaf jadi kicep. Mungkin daya kreativitasnya masih di bawah suhu nol derajat celcius. Atau mungkin IQ nya menurun lagi dari 0,4 menjadi 0,3.
"Kalau lo sendiri, Ren" Hal apa yang paling kocak yang pernah lo lakuin di sekolah?" Tanya El sambil melihat wajah Renan dari samping.
"Dulu guweh pernah tuh pas jam belajar," curhat Renan dengan intonasi gaya bicara anak alay. "Guweh izin ke belakang sama guru kimia guweh getoh."
"Eh, ada kresek nggak gengs?" Tanya gue tiba-tiba, memotong cerita Renan.
"Buat apa, Ray?" Tanya Lea keheranan.
"Buat bungkus mukanya Renan. Nyebelin banget intonasinya tau nggak?"
"Lanjutin aja, Ren! Jangan hiraukan Rayap!" Pinta Arsyaf sambil melihat Renan dari samping.
"Okeh, guweh lanjutin!" Sambung Renan dengan intonasi menyebalkan seperti tadi. "Guweh izin ke toilet getoh. Tapi guweh belok ke kantin. Eh, pas masuk
kelas, guweh ditonjokin sama guru guweh."
"Ah, lebay lu!" Cerca Arsyaf. "Nggak mungkin Dono sampek nonjok. Hukuman paling berat aja dikebiri."
Ya dewa... pacar gua dodol amat yak" Panci mana panci" Buat nimpuk tuh kelapa. Eh, kepala maksudnya. Lama-lama gue kasihan sama si Dono. Udah namanya nggak
bagus-bagus amat, difitnah suka nonjokin, difitnah suka mengkebiri, terus apa lagi cobak" Untung saja kumisnya imut dan ngangenin buat dijambak. Mungkin
hanya itu poin plus dari seorang Dono.
"Kalau lo, El?" Tanya gue.
El tampak berpikir sejenak tanpa bernapas sekedar satu alif. Gue masih menunggu. Dia tak pandai membuat lelucon. Tapi gue harap, leluconnya nggak garing.
"Gue pernah boncengin Bu Rukmini. Panggil aja BuRuk. Eh, malah dikira boncengin buldoser," papar El.
Tawa kami berlima lagi-lagi pecah untuk yang kesekian kalinya. Alhamdulillah, lawakannya nggak garing. Padahal jantung gue tadi sempat menegang, khawatir
dia nggak lucu. "Sekarang giliran elo, Ray!" Celetuk Renan.
"Dulu guweh pernah telat masuk sekolah," papar gue dengan memakai gaya bicara anak alay, mencoba meniru Renan.
"Stop! Stop! Kalian punya karung goni nggak gengs?" Potong Renan ngotot.
"Buat apa, Ren?" Tanya Arsyaf.
"Buat buntel nih anak!" Renan menjambak pelan poni gue. "Mau gue titipin sungai Nil. Siapa tau diadopsi Fir'aun."
Lagi, tawa kami berlima membuncah ke seluruh ruangan. Entah sudah berapa kali.
"Oke, guweh lanjutin ceritanya. Waktu pas guweh telat, kebetulan guru piket hari itu adalah Pak Kepleset," sambung gue bercerita.
"KEPSEK!!" Tegur Arsyaf, Renan, El, dan Lea bebarengan.
"Guweh mulanya takut, tapi guweh beraniin untuk masuk. Guweh kira dimarahi. Eh, malah dikasih permen kiss. Pak Kepret guweh emang gokil, men!"
"KEPSEK!!" Lagi, keempat sahabat gue menegur tegas.
*****?"?"?"*****
Chapter 35 [Raya pov] Setelah puas tertawa, kami pun melanjutkan kekonyolan kami. Dan, Arsyaf mau nggak mau harus buat cerita konyol. Kalau tidak, heeemmm..... ya tidak apa-apa
sih. "Ayo, Syaf! Sekarang giliran elo. Tadi elo enggak lucu," hina gue jujur. "Sekarang lo harus lucu."
"Kalau guweh dulu pernah duduk satu bangku sama temen guweh namanya Slamet." Sekarang Arsyaf ikut-ikutan meniru gaya bicara anak alay.
"Ooohh Slamet yang rambutnya nge-jos kayak Naruto?" Celetuk Renan. "Terus" Terus?"
"Pas waktu serius-seriusnya pelajaran agama, kan ceritanya lagi bahas Ustadz Yusuf Mansur. Eh dia malah teriak, MENDING BAHAS MANSUR S."
Koplak koplak! Pacar gua emang koplak dah! Tawa kembali riuh di antara kami berlima. Pengunjung restoran yang lainnya tampak agak kesal dengan kegaduhan
yang kami buat. "Terus" Terus?" Kata gue ngotot.
"Terus, si Slamet langsung kena hukum sama guru agama. Guweh juga kena hukum getoh gara-gara tertawa paling keras," papar Arsyaf.
"Emangnya apa hukumannya?" Renan tampak semakin penasaran.
"Guweh dan Slamet disuruh ngerangkum ceramahnya Ustadz Yusuf Mansur yang biasa tayang pagi-pagi. Pas ditagih ama guru agama guweh, guweh bilang aja nggak
punya tipi. Dan yang lebih konyolnya, Slamet bilang kalau tipi yang channelnya Ustadz Yusuf Mansur lagi eror, buram, dan gak jelas getoh," jelas Arsyaf
panjang kali lebar kali tinggi, udah kayak rumus volume balok aja.
"Sekarang giliran Lea!" Celetuk gue sambil menatap Lea penuh semangat.
"Ah, gue nggak ada pengalaman lucu," kilah Lea.
Arsyaf mengacak rambut gue lembut. "Udahlah, Rayap! Lea itu otaknya masih normal nggak kayak elo, gesrek-gesrek abnormal!" Katanya lalu terkekeh.
"Ih nyebelin!" Ucap gue manja sambil menghempaskan tangan Arsyaf dari puncak kepala gue.
*** [Lea pov] Sudah hampir setahun gue berada di antara mereka berempat. Tapi gue masih merasa belum benar-benar membaur dengan mereka. Seolah ada sekat perbedaan sifat
di antara kami. Kalau boleh jujur, gue masih suka sama Arsyaf. Semakin gue mengenalnya, semakin gue menyukainya. Betapa tidak" Dia tampan, baik, dan humoris. Terlebih
lagi dia begitu setia. Perempuan mana yang tak terperdaya oleh semua itu"
Gue tercekat melihat kemesraan Raya dan Arsyaf. Sesak bukan main. Sampai saat ini masih belum ada yang tau kalau gue menyimpan rasa yang teramat sangat
terhadap Arsyaf. Tidak apa-apa jika Arsyaf bukan milik gue. Asalkan gue bisa melihatnya setiap hari, itu lebih dari sekedar cukup.
Mungkin gue egois, mencintai cowok sahabat gue sendiri. Tapi seberapa sering gue menangkisnya, perasaan gue masih sama terhadap Arsyaf. Dan anehnya, perasaan
terlarang itu kian menggunung seiring berjalannya waktu. Sempat gue berpikir, kenapa dia menyukai Raya" Kenapa dia tidak menyukai gue" Padahal gue jauh
lebih cantik daripada Raya. Sempat juga gue mencoba mengikhlaskan Arsyaf untuk Raya. Tapi nyatanya nggak bisa. Hati gue masih terasa sesak setiap kali
melihat kemesraan mereka.
"Eh, Lea! Entar lo dijemput?" Tanya Raya.
Gue terkesiap. "Emm... gue naik taksi, Ray. Soalnya pas dateng ke sini, gue naik taksi," jawab gue sambil mengembangnya senyum tipis untuk Raya.
"Jangan! Jangan naik taksi!"
"Kenapa?" Alis gue sedikit terangkat.
"Ini ada tiga cowok bego yang siap nganterin elo." Raya menunjuk El, Renan, dan Arsyaf secara bergantian.
"Enggak usah, Ray! Gue nggak mau ngerepotin."
"Nggak apa-apa, Lea. Biar Renan atau El yang nganterin elo," ujar Arsyaf setelah menyuruput es moccacino miliknya.
"Betul betul betul." Raya hanya manggut-manggut.
08. Chapter 36-40 Chapter 36 [Lea pov] "Ya udah, biar gue yang anterin Lea pulang," ujar Renan.
Gue terlonjak. Cowok yang sangat jarang sekali ngomong sama gue tiba-tiba menawarkan diri untuk mengantar gue pulang. Apa gue nggak salah dengar"
"Bagus, Black! Itu baru namanya cowok sejati. Iya nggak?" Raya menaik turunkan alisnya sambil menatap Renan usil.
Renan terkekeh sambil menjambak pelan poni Raya. Tak lama kemudian, HP Renan bergetar. Ia pun mengambil HP nya lalu menerima panggilan.
"Apa, Ma" Mama mau aku jemput Mama di bandara sekarang?" Kata Renan dengan suara yang terdengar agak kaget. Ia melirik gue sebentar. "Tapi Renan udah janji
mau nganter temen Renan pulang, Ma," sambungnya.
"Ada apa, Ren?" Tanya Raya setengah berbisik.
"Ya udah deh, Ma. Ya udah. Renan akan jemput Mama sekarang," imbuh Renan pada seseorang yang meneleponnya. Lalu ia pun mengakhiri panggilan.
"Ada apa, Ren?" Ulang Raya.
Renan menggaruk kepalanya yang tak terasa gatal. "Gini, Ray. Sepertinya, gue nggak bisa anterin Lea pulang. Soalnya nyokap gue minta jemput di bandara,"
paparnya. "Ya udah, nggak apa-apa. Lo jemput nyokap lo aja, Ren."
"Beneran nggak apa-apa nih?"
"Iya, bener!" Sahut Raya.
"Lea, maaf ya!" Kata Renan sambil memasukkan HP dan dompetnya ke dalam tas.
"Nyantai aja kali, Ren!" Sahut gue sambil tersenyum tipis.
"Gengs! Gue duluan ya!" Pamit Renan sambil mengedarkan pandangan ke arah kami berempat secara bergantian. Lalu melambaikan tangan sekilas.
"Iye. Hati-hati di jalan ye," sahut Raya sambil membalas lambaian tangan Renan.
"Ya udah, El! Berarti elo yang harus mengantar Lea pulang." Arsyaf menepuk pundak El dua kali.
Dahi El mengerut. Ia menatap Arsyaf heran. "Kenapa harus gue?"
"Ya karena gue akan anterin Raya pulang."
"Tapi rumah lo kan nggak searah sama rumahnya Raya. Rumah lo itu searah sama rumahnya Lea."
"Oh iya ding!" Arsyaf menggeprak jidatnya sendiri.
"Gini aja, lo anterin Lea pulang. Dan gue anterin Raya pulang," usul El.
"Enak aja! Gue masih pengen berbencong-bencong sama Raya di jalan tauk!"
"BERBINCANG-BINCANG!!" Tegur Raya sambil mengulum tawa.
"Sudah nggak apa-apa. Gue naik taksi aja," tolak gue miris.
Semuanya ingin mengantar Raya pulang. Tidak ada seorang pun yang mau mengantarkan gue pulang. Jujur, gue terkadang merasa iri dengan kehidupan Raya. Dia
di kelilingi oleh tiga cowok tampan idola sekolah yang sangat memperhatikannya. Kehidupannya tampak sangat berwarna. Dia memiliki segalanya. Mulai dari
keluarga yang harmonis, pacar yang setia, dan sahabat-sahabat yang menyayanginya. Sementara gue" Keluarga gue nggak lengkap. Ayah gue meninggal sejak gue
berumur 8 tahun. Mama sempat menikah lagi dengan seorang pengusaha kaya. Tapi sekitar 2 tahun berumah tangga, mama bercerai. Sejak saat itu, gue hidup
berdua bersama mama. Sebagai seorang single parent, mama bekerja banting tulang untuk memenuhi kebutuhan kami berdua. Dia bekerja sebagai manager marketing di salah satu perusahaan
ternama. Hampir setiap hari mama berangkat pagi dan pulang sore. Setelah itu, ia juga masih berkutat di depan laptop dan setumpuk berkas-berkas. Tidak
ada waktu buat gue untuk curhat seperti layaknya anak dan ibu pada umumnya.
Selain tak mempunyai seorang ayah, gue juga tak mempunyai sahabat. Semuanya hanya sekedar teman. Tak ada yang benar-benar dekat dengan gue karena gue memang
tipe anak yang sulit bergaul terutama sama anak cowok. Itulah sebabnya gue mendaftar sebagai anggota OSIS. Semua itu gue lakukan agar mengasah kemampuan
gue dalam berinteraksi dengan yang lain.
Berbeda dengan gue, Raya juga jarang memiliki teman. Setahu gue, saat kelas X, dia hanya berteman dengan Murti dan Tantri. Dia bahkan tak mempunyai teman
sama sekali ketika Tantri menghianatinya saat kelas XI. Tapi anehnya, dia tampak biasa-biasa saja. Dan sejak saat itu pula, dia bersahabat dengan Arsyaf
dan Renan. "El bener, Syaf. Rumah lo sama rumah Lea searah. Sedangkan rumah gue searah sama rumah El." Raya membenarkan usulan El.
Di tempat parkir, Raya sudah duduk di jok belakang motornya El. Mereka sepertinya sudah siap pergi. Sementara gue masih bingung memakai helm. Slotnya tak
berfungsi. Arsyaf yang tadinya sudah bersiap menstater motornya jadi terhenti. Ia turun dari motornya lalu membantu gue memakai helm.
"Patkay, kita duluan ya," kata Raya.
"Iya, Syaf, gue sama Raya duluan ya," tambah El lalu menstater motornya dan berlalu pergi.
"INGAT! JANGAN NGEBUT DAN JANGAN NGEREM MENDADAK!" Teriak Arsyaf geram.
El tidak menyahuti ucapannya. Cowok pendiam itu hanya mengacungkan jempol kirinya sekilas, bertanda kalau ia mengiyakan larangan Arsyaf.
Di tengah keramaian kota Jakarta, jantung gue meronta. Bagaimana tidak" Ini pertama kalinya gue dibonceng sama orang yang gue cintai selama 6 tahun. Punggungnya
begitu lebar. Ah, rasanya ingin sekali wajah gue menempel di punggung itu. Tapi nggak boleh! Nggak boleh! Sadar, Lea! Dia itu pacar sahabat lo sendiri.
Hari ini gue merasa seperti menang undian berhadiah. Tidak apa-apa jika seperti ini. Asalkan bisa melihatnya, asalkan bisa berada di dekatnya, itu sudah
lebih dari sekedar cukup. Meskipun tak dapat dipungkiri kalau gue masih menginginkan menjadi lebih dari sekedar teman.
*****?"?"?"*****
Chapter 37 [Raya pov] Kami pun melesat menuju keramaian kota Jakarta. Entah mengapa gue ingin bersama El daripada bersama Arsyaf untuk saat ini. Apa karena gue bosan" Ah, entahlah.
Yang penting sekarang gue bersama El.
"El, ini bukan jalan menuju rumahku," kata gue keheranan ketika motor El melaju lurus. Padahal rumah gue belok ke kiri.
"Ayo kita kencan!" Ajaknya.
Mata gue melebar sesaat mendengar kata kencan keluar dari mulutnya. Ya. Semenjak kita jadian, kita belum pernah kencan sama sekali.
"Kencan ke mana?" Tanya gue sambil menaikkan oktaf suara, mencoba mengalahkan suara deru knalpot kendaraan lain.
"Gimana kalau ke pantai?"
"Pantai" Mending kita ke kali Ciliwung," kata gue melucu.
"Kali Ciliwung" Kamu mau lihat kuman?"
Gue terkekeh. "Tumben kamu bisa melawak!" Ucap gue manja sambil menepuk punggungnya.
Sesampainya di pantai, gue dan El melepaskan sepatu kami, membiarkan kaki kami tanpa alas kaki untuk menikmati butiran-butiran pasir putih yang menggelitik.
Kami pun berjalan beriringan sepanjang pantai, menghayati angin sepoi yang dengan lancang menggoda kami.
Hening. Sejenak tidak ada percakapan di antara kami. Tangan El merambat, lalu menggenggam tangan gue erat. Gue terlonjak. Degupan jantung gue mulai tak
karuan. Mungkin pipi gue sudah memerah. Ah, gue senang!
"El, gimana kalau kita main tebak-tebakkan?" Tanya gue sambil mengayun-ayunkan tangan El.
"Tebak-tebakkan?" Dahi El mengerut.
"Em...." sejenak gue berpikir. "Apa bahasa Inggrisnya kapal hantu?"
El terkekeh. "Gosip," jawabnya.
Gue ikutan tertawa kecil. "Oke, sekarang, apa bahasa Inggrisnya lagu hantu?" Lanjut gue melawak.
"Gosong." Tawa El seketika membucah. Kemudian dia mengacak puncak kepala gue.
Setelah puas berjalan di pantai, akhirnya kami pun duduk di sebuah kayu usang bersama, menunggu sunset datang.
"Eh, ngomong-ngomong, kita nggak pernah selfie berdua nih," ujar El sambil mengeluarkan HP dari jaketnya. "Ayo kita selfie!" Dia merangkul bahu gue dengan
mesra. Dan.... ckrik ckrik Gue merebut HP El untuk melihat hasilnya. Kemudian dari balik masker yang gue pakai, gue cemberut manyun. Bagaimana tidak" Wajah El terlihat sangat tampan.
Sedangkan gue terlihat seperti suster ngesot pakek masker hijau kayak mau operasi.
"Iihhh! Fotonya jelek! Aku hapus aja!" Ujar gue manja sambil berusaha menekan gambar tong sampah pada layar HP El.
"Eh jangan!" El dengan cepat mengambil HP nya sebelum gue berhasil menghapus foto selfie kami. "Mending kita foto lagi aja."
"Ya udah deh." "Kamu nggak usah pakek masker segala." El tiba-tiba melepaskan masker yang gue kenakan.
Gue langsung menutup mulut supaya El tidak pingsan karena melihat kawat aneh yang masih menempel di gusi gue. Entah mengapa suasana menghening. Mata kami
saling bertatap. Dia mengelus-elus pipi gue dengan belaian lembut lalu jemarinya menyentuh bibir gue bagian bawah. Jantung gue berdegup kencang, ritmenya
tak beraturan. Apa jantung El juga demikian"
Perlahan El memejamkan mata, mencondongkan wajahnya ke arah gue, tepat saat matahari ingin berpulang ke belahan dunia yang lain. Sunset indah seolah terdiam.
Gue pun mematung. Apa El akan meminta sebuah ciuman"
Mata gue yang tadinya terbelalak perlahan juga terpejam, bersiap menerima ciumannya. Apa gue sudah gila" Gue mau dicium El" Kalau saat ini gue mau, maka
itu berarti gue akan melanggar semua prinsip yang telah gue buat sendiri. Prinsip no kiss no secret affair. Sudahlah sudah! Lagipula, gue sudah melanggar
salah satunya. Tidak ada salahnya melanggar prinsip yang lainnya, bukan" Ya. Pikiran setan seperti itu mulai meracuni otak gue hingga gue melupakan nilai-nilai
yang gue pegang selama ini.
*****?"?"?"*****
Chapter 38 [Raya pov] Sunset di ujung lautan seolah menjadi saksi cinta kami. Mata gue masih terpejam. Jantung gue berdegup semakin kencang tiap detiknya. Sekujur tubuh gue
menegang. Gue pun menelan ludah, gugup bukan main. Tapi sebelum bibir kami benar-benar bertemu, seekor keong beracun tiba-tiba merambat di kaki gue.
Aaarrrrghh Gue terlonjak kaget. El terkesiap. Ia membuka matanya lalu terkekeh. Gue lagi-lagi menelan ludah dan langsung berpaling muka dari El. Napas gue tak beraturan.
Mungkin pipi gue sudah memerah sedari tadi. Setelah itu, gue langsung buru-buru memasang masker agar El tak tahu betapa malunya gue. Sumpah! Gue salah
tingkah! "Kenapa kamu menjerit?" tanya El sambil mengulum tawa.
"Tuh ada keong!" jawab gue sambil melirik sekilas keong kecil yang berjalan lambat di sekitar kaki gue.
El lagi-lagi terkekeh. Ia mengambil keong itu, memandanginya sejenak, lalu membuangnya jauh-jauh.
"Sudah. Keongnya sudah nggak ada. Apa bisa kita lanjutkan aktivitas kita tadi?" godanya.
"Aktivitas yang mana ya?" Gue belagak pilon.
"Ya ... yang tadi itu."
"Ah, kayaknya udah malem deh. Aku mau pulang," kata gue mengalihkan pembicaraan.
El mengelus rambut gue lembut. "Ya udah. Ayo kita pulang!" katanya sambil mengembangkan senyuman tipis.
*** Gue berdiri di depan cermin. Dengan senyuman kecil, gue membolak-balikkan tubuh gue. Mungkin ini akan jadi hari terakhir gue memakai seragam putih abu-abu
yang biasa gue pakek hampir setiap hari.
Ya! Waktunya corat-coret sadis ala anak SMA yang merasa gaul. Hello... hay bye bye.
Setelah memakai masker, gue pun berangkat ke sekolah. Di sana sudah ada Arsyaf yang menunggu gue di depan gerbang sekolah. Dia tersenyum jahat dan langsung
menyemprotkan cat ke seragam gue. Gue berteriak sambil berlari menjauh. Tapi dia dengan langkah panjangnya terus mengejar dari belakang. Dan akhirnya,
dia berhasil menyemprotkan cat ke seragam gue lagi.
"Arsyaf!" tegur gue sambil melipat tangan.
Dia menyeringai khas. "Selamat hari kelulusan, sayangku."
"Selamat hari kelulusan juga, babiku," sahut gue manja.
Dia kemudian mengeluarkan spidol dari dalam saku celananya. "Sini! Aku ingin jadi orang yang pertama nulis di seragammu," paparnya.
Gue mengangguk. "Baiklah," gue pun menyiapkan punggung gue buat Arsyaf, agar dia bisa leluasa menulis di seragam putih gue.
Cukup lama ia menulis. Apa IQ nya semakin menurun" Atau... apa dia lupa cara menulis" Sebenarnya apa yang ia tulis" Ah, gue jadi penasaran.
"Udah belom?" tanya gue tak sabaran.
"Iya bentar!" sahutnya.
"Aku penasaran nih!"
"Iya. Bentar." "Kamu nulis apa sih?"
"Nulis kata-kata yang bisa buat kamu klepek-klepek."
"Klepek-klepek?" Dahi gue berkerut. "Kata klepek-klepek membuatku teringat ikan mujair yang papaku
tangkap tempo hari."
"Kenapa emang?" tanya Arsyaf yang masih asyik menulis di seragam gue.
"Ikan mujairnya goyang dualima pas di angkat dari air. Mulutnya mangap-mangap gitu. Klepek-klepek."
"Nah! Udah!" Arsyaf menutup spidolnya lalu membalikkan badan gue. "Kamu bisa baca pas sudah pulang nanti. Oke?"
"Oke, bos!" Gue langsung hormat pada Arsyaf sambil memberikan senyuman termanis.
Arsyaf tertawa kecil sambil mencubit gemas pipi gue. "Lucu banget sih pacarku ini. Pengen langsung kupinang dengan Bismillah deh."
Alis gue terangkat. "Aku mah ogah kalau cuma dipinang dengan Bismillah doang! Semua cowok juga bisa ngomong Bismillah."
"Ish ish ish!" Arsyaf geleng-geleng. "Terus, kamu ingin aku pinang dengan apa?"
"Ya dengan duit lah!" tukas gue ngotot.
"Ya ampun, pacarku kok matre banget yak?"
"Di dunia ini, nggak ada cewek yang nggak matre. Kalau ada cewek yang ngaku nggak matre, berarti dia menyebarkan berita hoax."
"Emang kamu nggak merasa kalau dipinang dengan Bismillah itu sesuatu yang romantis apa?"
"Enggak!" tukas gue cepat.
"Kan sudah ada lagunya tuh! Yang nyanyi Pasha Ungu lagi!"
"Mau yang nyanyi Pasha Ungu, mau yang nyanyi Dewi Sancai, gue tetep ogah kalau dipinang dengan Bismillah doang!"
"DEWI SANCA!" tegur Arsyaf ngotot. "Kalau Sancai, pacarnya Tomingse, Tomas Ingin Sendiri."
"Maap Pak bos." Gue memasang wajah imut.
"Baiklah kalau itu maumu, Kushi."
"Terima kasih Arsyaf Sing Raizada."
Kami kemudian tertawa bersama. Pertengkaran manis seperti ini yang membuat gue enggan melepaskan Arsyaf demi El. Gue tahu kalau gue egois. Tapi itulah
kenyataannya. Gue masih tidak bisa memilih di antara keduanya. Yang satunya membuat hidup gue menjadi lebih berwarna, yang satunya membuat gue merasa aman
dan nyaman. Sampai kapan akan seperti ini" Kelak, gue harus memilih. Tidak bisa selamanya akan seperti ini.
"Eh, BTW, di mana Renan dan El?" tanya gue celingukan dengan mata yang menyisir seluruh halaman sekolah.
"Itu Renan!" Arsyaf menunjuk balkon lantai dua.
Di sana gue bisa melihat Renan di kejar dua kuntilanak, Tantri dan Monica. Istri tua dan istri muda lagi merajuk. Melihat hal itu, gue hanya bisa tetawa
geli. "Kak Arsyaf! Kak Arsyaf!" Tiba-tiba segerombol adik-adik kelas berlari menghampiri Arsyaf hingga membuat gue terpental menjauh.
Di antara adik-adik kelas itu, terdiri dari beberapa spesies yang berbeda. Ada yang cantik, ada yang biasa-biasa aja, ada pula yang jelek. Ada yang tinggi,
ada yang sedang-sedang saja, ada pula yang cebol. Ada yang berkulit putih, kuning langsat, coklat, hitam, ada pula yang berkulit hijau toska. Eh"
Gue menghela napas. Tidak mungkin bagi gue untuk menerobos masuk kerumunan cewek-cewek centil itu. Bisa-bisa sepulang sekolah gue kena santet. Wuuuah!
Bisa berabe nih. Gue pun memutuskan untuk mencari El. Siapa tahu dia sendirian dan tak bersama Pamela atau para fans fanatiknya. Gue berjalan menuju kelas, dan gue tak
menjumpainya di sana. Kemudian gue mencarinya di gudang, base camp anak-anak geng di sekolah. Nihil. Dia juga tidak ada di sana. Hampir putus asa gue mencarinya
hingga gue ingat satu tempat yang belum gue periksa.
*****?"?"?"*****
Chapter 39 [Raya pov] Kaki gue melangkah menuju bukit belakang sekolah. Napas gue terasa ngos-ngosan setelah mencari El ke mana-mana. Tapi, di sana nihil. El tidak ada. Sebenarnya
di mana dia" Aaarrrgghh Teriak gue ketika seorang cowok tiba-tiba melompat dari atas pohon. Untung bukan monyet. Ya. Dia El. Sambil menepuk-nepuk dada pelan, gue mencoba meredam
kekagetan. "El! Kamu ngagetin aku tau nggak?" bentak gue marah.
Dia malah meringis senang. "Maaf ya guru Tong." Dia mengacak rambut gue.
Sumpah! Gue jadi tersipu malu. Pipi gue memerah. "Apaan sih!" Gue menepis tangannya.
Gue bisa melihat seragam yang ia kenakan masih putih bersih. Itu tandanya masih belum ada orang yang mencorat-coret seragamnya. Apa dia menunggu gue"
Cewek Cetar Dua Karya Zaeemaazzahra di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ini!" Dia tiba-tiba menyodorkan sebuah spidol merah pada gue. "Tulis sesuatu di seragamku!"
Alis gue terangkat. Benar dugaan gue. Mungkin dia ingin gue menjadi orang pertama yang mencorat coret seragam putihnya. Gue pun menyambar spidol itu, membalikkan
badannya, lalu mulai menulis.
Love you more, El jelek! "Kamu nulis apa?" tanya El penasaran.
"Aku nulis, awas ini ketua geng!" jawab gue asal.
Dia terkekeh lalu membalikkan badannya kemudian menatap gue lekat. "Sekarang, mana punggungmu" Aku mau nulis sesuatu," paparnya.
Kini giliran gue yang membalikkan badan dan menyiapkan punggung untuknya. Apa dia menulis sesuatu" Kenapa tidak terasa" Pikiran gue melayang-layang, menerka-nerka
apa yang ia tulis. "Kamu nulis apa sih, El" Kok nggak terasa?" Pertanyaan yang sedari tadi gue simpan akhirnya terlontar juga.
"Entar kamu cari aja. Kalau kamu nggak nemu, berarti ..." El tercekat.
"Berarti apa?" Alis gue terangkat sejenak.
"Lupakan," katanya.
Aneh, kenapa gue merasa kalau El menyembunyikan sesuatu dari gue" Sebenarnya, apa yang El sembunyikan" Apa itu hanya perasaan gue saja"
*** [Elbara pov] Mungkin hari ini akan menjadi hari terakhir gue bertemu Raya. Sedih rasanya. Dialah satu-satunya orang yang gue sayang di dunia ini. Dan karena gue terlalu
menyayanginya, gue harus meninggalkannya secepat mungkin, sebelum Papa mencelakai keluarganya.
Gue nggak boleh egois. Bagi gue, lebih baik melihat dia bahagia bersama orang lain daripada harus menderita hidup bersama gue. Awalnya gue sangat menginginkannya
berada di samping gue. Tapi jika itu membuatnya terluka, maka tidak perlu. Lebih baik gue yang pergi.
Apa kalian tahu gue nulis apa di seragam Raya" Gue nulis, Aku akan kembali di balik kerah bajunya. Mungkin dia bisa saja tidak menemukan tulisan itu. Karena
memang gue menulisnya di tempat yang sulit untuk ditemukan, sekali lagi, di balik kerah baju bagian belakang.
Di tepi pantai gue merenung. Ini adalah hari terakhit gue bersama Raya. Sedih rasanya. Tapi mau bagaimana lagi" Karena jika tetap bersamanya, gue akan
semakin sedih jika melihatnya terluka.
Gue menghela napas panjang sambil menikmati sunset indah di ufuk sana. Tenggelamnya bola orange itu akan selalu mengingatkan gue pada sosok Raya, satu-satunya
gadis yang pernah menemani gue melihat mega merah di ujung sore yang hangat.
Gue pun mengambil ponsel dari saku celana gue, lalu bersiap membuangnya jauh-jauh ke laut. Tapi gue tercekat, ingat kalau di dalam ponsel ini masih menyimpan
banyak foto gue bersama Raya. Gue pun melepaskan kartu kecil dari wadahnya, lalu melemparnya ke air agar Raya tidak bisa menghubungi gue lagi. Jika papa
tahu kalau gue dan Raya masih berhubungan, maka papa nggak akan segan-segan mempercepat kebangkrutan perusahaan papanya Raya.
*** [Raya pov] Setelah selesai mandi, gue buru-buru menyisir tulisan-tulisan yang bertebaran di seragam gue yang tadinya putih bersih. Pertama, gue membaca tulisan Arsyaf.
Gue jadi tersenyum sendiri.
Love love love Cewek cetar, item, dekil, cerewet, but I love her.
Bagaimana bisa gue nggak tertawa" Tulisannya jelek banget kayak cacing kremi, sulit dibaca. Apa mungkin dia baru belajar menulis" Gue terkekeh.
Gue pun bergegas mencari tulisan El. Dahi gue mengernyit. Sudah sekitar lima belas menit gue mencari tulisannya, tapi tetap tidak ketemu. Gue hanya nemu
tulisan Arsyaf, Renan, Lea, dan Murti. Tapi di mana tulisan El" Apa dia tidak menulis sesuatu di punggung gue" Apa itu sebabnya gue tak merasakan guratan
pena yang ia ayunkan" Gue pun mendengus kesal. Lalu gue memutuskan untuk menanyakan pada orangnya langsung.
Raya" " : km nulis dmn, El"
Rasanya dag dig dug menunggu balasan SMS dari El. Lama banget gue menunggu. Tapi tetap saja tidak ada balasan darinya. Gue pun mencoba menelponnya. Tapi
hanya ada suara embek embek customer service yang mengatakan kalau nomer El sedang tidak aktif. Apa mungkin El lupa menge-cash ponselnya"
Tak sabar rasanya gue mendengar suara El. Lagi, gue menelponnya. Tapi sama seperti tadi, hanya ada jawaban dari embek-embek customer service. Eh, maksud
gue embak-embak. Gue pun mendengus kesal, membanting diri di atas kasur sambil memandangi langit-langit kamar. Sebenarnya, ada apa dengan El"
*** Dooorr dooorr dooorr Suara ketukan pintu terus menderu keras-keras. Sambil membuka mata yang masih terasa lengket, gue menutup telinga gue dengan bantal. Suara salah satu cowok
yang gue kenal terus memanggil-manggil nama gue. Mau apa sih dia" Ini kan masih pagi!! Apa dia lupa kalau gue alergi bangun pagi kalau lagi musim libur
kayak gini" "Raya! Raya bangun!" teriak cowok sontoloyo itu sambil terus menggedor-gedor pintu kamar gue.
"Apaan sih! Pergi sana ke tong sampah! Gue masih ngantuk nih!" sahut gue sambil membenamkan sekujur tubuh di balik selimut.
Dia masih belum jera. Ia terus mengetuk pintu kamar gue. Emangnya dia pikir pintu kamar gue itu bedug apa" Ditabuh bolak-balik udah kayak orang mau bangunin
sholat aja. "Raya! Raya! Pokoknya lo harus bangun!" teriak cowok itu berulang kali.
Aawrrrhhh Gue sudah tak tahan dengan teriakannya. Akhirnya gue pun terbangun lalu berjalan menuju pintu sambil menghentak-hentakkan kaki kesal. Sambil mengucek mata,
gue memasang muka cemberut. Dan dia malah mengoyak-ngoyak tubuh gue sambil marah-marah nggak jelas.
"Raya! Bangun!" tegurnya lagi. "Bangun woi! Lo pikir, lo ini sleeping beauty apa?"
"Bushet dah!" teriak gue sambil mengusap muka. "Liur lo muncrat tauk!"
*****?"?"?"*****
Chapter 40 [Raya pov] Renan. Dia Renan. Sedari tadi mukanya terlihat panik. Ia berusaha menyadarkan gue dari rasa kantuk yang terus melengket.
"Raya, sekarang cepetan lo cuci muka dan ganti baju! Ayo kita ke bandara!" papar Renan ngotot, dan gue masih belum mengerti apa yang ia maksud.
"Ngapain kita ke bandar" Gue kagak suka narkoba, Ren!" kata gue masih setengah mengantuk.
"BANDARA!" tukas Renan bertambah ngotot.
Mata gue langsung mendelik kaget. "Bandara" Ngapain kita ke sana" Emangnya lo mau ngajakin gue syuting adegan pilem AADC apa!"
Renan menggeprak keningnya. "Ya Dewaaaa!" ucapnya kesal.
"Makanya ngomong yang jelas, Ren. Biar gue paham apa yang lo maksud."
"Oke, gue jelasin. Jadi ceritanya, lo yang mau syuting AADC."
"Ha" Gue?" Mulut gue menganga, sedangkan telunjuk gue mengarah ke diri gue sendiri.
"Iya. Elo, sapi mencret!"
Gue langsung mendorong kepala Renan. "Ih jorok banget sih lo, Kebo guling!"
"Jadi ceritanya, lo berperan jadi Cinta, dan El berperan jadi Rangga. Tapi masalahnya, lo apal puisi AADC nggak?"
"Kalau ngomong yang jelas napa?"
"Oke, kalau Rangga mau pergi ke Amerika buat kuliah, El mau pergi ke Singapura. Bedanya itu doang, puas?"
Lagi, mulut gue menganga. "Apa?" tanya gue kaget bukan main. "El mau pergi ke Singapura?" Mata gue masih terbelalak lebar.
Renan langsung mengangguk cepat. Sementara gue mematung. Apa" El mau pergi ke Singapura" Bukankah dia bilang akan tetap tinggal di Indonesia jika gue mau
pacaran sama dia" Kenapa tiba-tiba dia ingin pergi" Gue menggeleng tak percaya. Dada gue terasa sesak.
"Raya, cepetan lo siap-siap!" tegur Renan sembari mengoyak tubuh gue.
Gue pun langsung bergegas mencuci muka dan ganti pakaian. Dengan kecepatan maksimum, Renan membawa gue menuju bandara untuk menemui El. Tapi sayangnya,
di tengah perjalanan, kami terjebak macet.
"Renan, cepetan, Ren!" ucap gue panik sambil memaju mundurkan punggung Renan.
"Mata lo katarak apa" Lo nggak lihat jalanan kota Jakarta jam segini suka macet!" omel Renan.
Gue jadi kicep. Jujur, gue masih nggak ngerti apa yang dipikirkan El. Pokoknya, walau bagaimana pun juga, gue harus tahu alasan dia pergi ke Singapura
dan meninggalkan gue. Sesampainya di bandara, gue dan Renan berlari mencari El. Untung satpam bandara tidak menghadang kami seperti di adegan film AADC, Ada Apa Dengan Cintrong.
Eh, maksud gue Ada Apa Dengan Cinta ding!
Napas gue dan Renan sudah ngos-ngosan. Kami berdua sudah mencari El ke seluruh tempat tapi tak ada. Kami terlambat! Pesawat yang dinaiki El sudah lepas
landas. Gue pun tercekat, mematung di tengah keramaian umat manusia.
"Kenapa" Kenapa El pergi?" tanya gue frustasi.
Renan memegang pundak gue dari samping. "Sudahlah, Ray! Dia kan pergi buat kuliah," hiburnya.
"Enggak! Ini nggak benar!" tukas gue. "Dia janji sama gue kalau dia bakalan stay di Indonesia, Ren!" Suara gue mulai goyah.
"Mendingan kita duduk dulu deh." Renan menuntun gue menuju rentetan kursi tunggu yang ada di bandara.
Gue pun terduduk di salah satu kursi itu, merenung. Gue masih tak percaya dengan apa yang terjadi hari ini. Betapa beruntungnya Cinta yang bertemu Rangga
di bandara lalu ciuman. Dan gue sadar, hidup gue tak seindah cerita cinta AADC. Gue terlambat! Rangga ... Eh, maksud gue, El ... sudah pergi. Dan entah
kapan kita akan berjumpa kembali.
"Gue masih nggak ngerti kenapa dia pergi ke Singapura. Dan lebih parahnya, dia pergi tanpa pamit ke gue," curhat gue ke Renan. Mata gue sudah berkaca-kaca.
"Jangankan elo. Dia bahkan juga" nggak ngasih tau gue dan Arsyaf, Ray." Renan menimpali.
"Terus, lo tau dari mana kalau El akan pergi ke Singapura?"
"Saat gue pengen maen ke rumahnya, gue nggak sengaja mendengar percakapan El dengan papanya. Itulah sebabnya gue bergegas menjemput elo buat ke bandara."
"Dia tega banget, Ren! Dia tega!" Mata gue sudah menitihkan air mata.
Renan menghadapkan tubuh gue ke arahnya. Lalu ia memeluk gue sambil menepuk-nepuk ringan punggung gue. Gue pun menangis di dada Renan.
*** [Renan pov] Gue bisa merasakan air mata Raya membasahi baju gue. Nggak ada yang bisa gue lakukan kecuali memeluknya. Tadinya gue nggak setuju Raya pacaran sama El.
Karena El adalah ketuanya para ketua geng dari beberapa sekolah. Walaupun gue adalah temannya, tetap saja gue merasa kalau El itu tidak pantas untuk Raya.
Dia adalah cowok yang berbahaya menurut gue. Hingga akhirnya pendapat gue berubah ketika gue nggak sengaja mendengar percakapan antara El dengan papanya
sebelum berangkat ke bandara.
Saat itu gue tertegun. El dengan muka murung menyeret kopernya menuju mobil lalu membuka pintu. Ia terhenti ketika papanya memanggilnya. Ia pun menoleh.
"El, jangan lupa janjimu!" kata Pak Suryabara, papanya El. "Kamu harus belajar dengan baik di Singapura kelak."
El mengangguk. "Iya, Pa. El nggak akan mengingkari janji asalkan papa tidak mengusik keluarganya Raya."
"Kamu tenang saja! Tanpa papa usik sekali pun, cepat atau lambat keluarga pacarmu itu akan mengalami kebangkrutan."
Alis gue terangkat saat mendengar percakapan itu. Mata gue terbelalak. Apa" El akan ke Singapura" Dan dia pergi demi Raya" Pikiran gue teraduk jadi satu,
kacau. Tapi... gue harus bertindak cepat. Dan gue pun akhirnya bergegas pergi menuju rumah Raya untuk memberitahunya tentang kepergian El.
Sayangnya ... Kami terlambat. El sudah terlanjur pergi. Pesawat yang dinaikinya sudah lepas landas. Dan kini, Raya pun menangis dalam pelukan gue. Bagaimana pun juga,
gue nggak boleh ngasih tahu dia kalau El pergi untuk melindunginya dari kekejaman Pak Suryabara. Jika Raya tahu, dia pasti akan merasa bersalah sama El.
Gara-gara dia, El tidak bisa kuliah di Indonesia. Ya. Pasti Raya akan berpikiran seperti itu.
*****?"?"?"*****
09. Chapter 41-45 Chapter 41 [Raya pov] Tiga hari pertama gue terus menangis di dalam kamar sejak kepergian El ke Singapura. Setengah hati yang gue miliki sudah hancur menjadi serpihan kenangan.
Beberapa hari berikutnya gue sudah nggak nangis tapi gue masih sering mengurung diri di dalam kamar. Gue keluar dari kamar paling-paling cuma buat makan
sama shalat doang. Selebihnya gue hanya melamun. Gue bahkan nggak belajar untuk persiapan ujian masuk PTN.
"Apa" Bapak tidak bisa memberi saya pinjaman?" kata Papa dari dalam kamarnya.
Gue terlonjak ketika tak sengaja mendengar hal itu. Gue pun terhenti di depan pintu kamar Papa, menyimak percakapan papa selanjutnya.
"Tapi Pak. Saya mohon kali ini saja, Pak. Saya membutuhkan pinjaman dari Bapak," lanjut papa.
Gue tercengang, mematung dengan pikiran kacau. Bagaimana gue bisa seperti ini" Bagaimana gue melupakan papa dan hanya terlarut dalam kesedihan karena terus
memikirkan El" Gue bahkan nggak belajar. Kalau seperti ini terus, bisa-bisa gue nggak lulus ujian SBMPTN jurusan ekonomi.
"Halo" Halo" Pak Darma?" kata papa panik. Sepertinya orang yang ia telepon telah memutuskan sambungannya.
Gue nggak bisa seperti ini terus. Terlarut dalam kesedihan membuat gue melupakan papa dan yang lainnya. Ya! Orang yang gue sayang bukan El seorang. Ada
papa, mama, kak Icha, Arsyaf, dan Lea. Gue nggak bisa mengabaikan mereka hanya karena El meninggalkan gue. Pokoknya gue harus move on!! Titik.
Gue pun menarik napas lalu menghembuskannya. Kemudian gue berlari menuju kamar dan membuka beberapa buku kumpulan soal SBMPTN. Bagaimana pun juga, gue
harus masuk jurusan ekonomi di salah satu Universitas negeri. Dan untuk mencapai itu, gue harus belajar mati-matian.
*** Beberapa bulan kemudian...
Dengan usaha keras gue, akhirnya gue bisa masuk" jurusan ekonomi di salah satu Universitas negeri di Surabaya, yang tentunya bukan di ITS, kampus impian
gue sejak jaman masih dalam kandungan emak. Ya sudahlah. Impian hanya menjadi angin yang berlalu. Keinginan gue untuk menjadi seorang arsitek harus gue
tekan demi papa dan mama. Apa boleh buat"
Tepat pukul 20.30 WIB, gue tiba di kamar kos gue yang berukuran 4m x 3m. Gue langsung merebahkan tubuh gue di atas kasur. Penat rasanya setelah seharian
beraktivitas. Ya! Diam-diam, tanpa sepengetahuan mama dan papa, gue kerja paruh waktu jadi guru privat. Setelah pulang kuliah jam 3 sore, gue mengajar
seorang siswi SMA yang tinggal di salah satu kompleks perumahan mewah yang tak jauh dari area kampus sampai jam 5 sore. Kemudian setelah menunaikan shalat
maghrib, gue langsung bergegas menuju kompleks perumahan mewah yang lainnya untuk mengajar privat lagi.
Mungkin kalian sudah tahu kenapa gue bekerja keras seperti itu. Ya... karena memang gue nggak pengen mama papa tahu kalau gue di Surabaya kekurangan uang
saku. Gue tahu keadaan keuangan mereka sekarang. Perusahaan papa sudah di ambang kehancuran. Bahkan rumah kami terancam di sita. Kak Icha masih belum lulus
kuliah kedokteran. Mama dan papa masih harus memikirkan biaya kuliahnya. Kalau gue nggak kerja, mungkin mama dan papa akan semakin kesulitan.
Gaji seorang guru privat lumayan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Tanpa meminta uang saku dari mama dan papa, gue bisa membiayai diri gue di
Surabaya. Gue bilang pada mereka kalau gue mendapatkan beasiswa dari kampus padahal tidak.
Memang benar di kampus gue mengadakan beberapa program beasiswa tapi yang boleh daftar hanya Mahasiswa semester 3 ke atas. Untuk Mahasiswa baru semester
1 kayak gue masih belum dibuka. Ada sih satu program beasiswa dari pemerintah untuk Mahasiswa baru, tapi gue nggak bisa memenuhi satu dari sekian banyak
syarat yang ada, yakni Surat Keterangan Tidak Mampu dari Kepala Desa.
Yakali gue minta Surat Keterangan Tidak Mampu dari Kepala Desa. Lha gue tinggalnya di kompleks perumahan mewah gitu. Masa' mau ngambil beasiswa buat Mahasiswa
miskin sih! Bisa-bisa papa dan mama malu dong!
"Hei pencari dollar!" sapa Mbak Widya, teman sekamar gue.
Gue menoleh malas. "Hm?"
"Nggak capek apa lo?"
"Ya capek lah!"
"Mendingan, lo kurangin jadwal ngajar lo," sarannya.
"Nggak bisa, Mbak. Terus kalau aku melepas salah satu kerjaan, siapa yang mau bayar uang kos?"
"Lo nggak punya pacar?" tanyanya setelah terdiam beberapa saat.
"Ada. Ada satu di Jakarta."
"Emang pacar lo ada berapa?" tanya Mbak Widya kaget.
Bushet. Gue keceplosan. Tenang, tenang Raya! Lo harus menanggapinya dengan tenang. Kalau tidak, masa lalu perselingkuhan elo bisa terbongkar. Apalagi bacot
Mbak Widya itu kayak klarkson telolet. Dapet lambaian tangan dikit dari orang-orang pinggir jalan aja langsung nyeplos telolet.
"Ya satu," jawab gue mencoba tenang.
"Ya udah. Sekarang gue tanya, pacar lo tajir nggak?" tanyanya penuh selidik.
Gue mengangguk. Memang benar Arsyaf anak orang kaya. Saat duduk di bangku SMA saja, dia gonta ganti motor dan mobil seenak jidatnya.
"Ya udah. Porotin aja. Itulah salah satu fungsi punya cowok tajir," kata Mbak Widya dengan entengnya.
"MasyaAllah, Mbak. Keluargaku memang lagi krisis keuangan. Tapi nggak sampek gitu juga kali!" tukas gue ketus.
Mbak Widya beralih dari meja riasnya menuju kasur lalu duduk di samping gue. "Ya ampun Raya. Hal itu sudah biasa dalam landasan perpacaran Indonesia. Di
mana hal tersebut termaktub dalam undang-undang percintaan pasal satu ayat satu," paparnya ngotot.
"Apaan isinya?" Dahi gue mengernyit.
"Uang pacar adalah uang gue. Uang gue ya uang gue."
"Bushet! Mana bisa gitu?" Gue mengubah posisi yang tadi terbaring menjadi terduduk di samping Mbak Widya.
"Ya bisa-bisa aja. Tanpa kita sadari, memang ada aturan yang seperti itu."
"Tapi..." Kalimat gue terhenti ketika HP gue berbunyi nyaring, pertanda ada sebuah panggilan masuk. Panggilan tersebut dari Arsyaf.
Ya. Arsyaf sekarang tidak diterima di ITS, kampus tujuannya. Itulah sebabnya ia terpaksa kuliah di salah satu Universitas Swasta di Jakarta. Orang tua
Arsyaf hanya memperbolehkan Arsyaf kuliah di luar Jakarta apabila Arsyaf berhasil masuk di Universitas Negeri. Namun nyatanya dia tidak bisa. Otaknya memang
tidak terlalu encer untuk bisa menembus dinding ITS.
"Halo" Ada apa, sayang?" tanya gue malas. Mungkin karena gue sudah kecapekan.
"Kangen kamu, sayang."
"Raya! Load speaker dong!" pinta Mbak Widya setengah berbisik.
Gue melirik cewek cantik itu sejenak lalu menuruti keinginannya. Karena jika tidak, dia akan merengek seperti bayi habis disunat. Entar sampek malem dia
ngomel-ngomel, ngedumel nggak jelas gitu. Daripada gue nggak bisa tidur, mending gue menuruti cewek cantik yang super montok itu.
"Ha" Kangen" Ih gombal!" ucap gue manja.
Kembalinya Sang Pendekar Rajawali 23 Dewa Arak 44 Tawanan Datuk Sesat Pedang Golok Yang Menggetarkan 21
ngomel. Kenapa dia nggak tercipta jadi emak-emak aja sih"
"Makanya! Kalau naik motor lihat ke depan! Matanya jangan jelalatan! Ini nih jadinya!" Omel seorang cowok bego sambil menunjuk jahitan yang ada di tepi
janggut gue. "Percuma ngajari lo naik motor selama ini tau nggak" Lihai aja enggak!"
"Sudahlah, Syaf!" Potong El tegas. "Raya ini lagi sakit. Lo nggak perlu marahin dia sekarang!"
Arsyaf jadi kicep. Dia langsung memilih bungkam dan duduk di samping ranjang gue. Ya. Inilah sebabnya gue jatuh cinta sama El. Ada sesuatu yang Arsyaf
nggak punya dan El mempunyai itu. Kalian tau apa" Ya! Perhatian.
Gue memang suka bertengkar sama Arsyaf. Tapi kalau di saat-saat terpuruk kayak begini, gue ingin diperhatikan bukan dimarahi. Dan Arsyaf nggak tau itu.
"Icikiwiiiir! Enak bener hidup lo, Ray! Diperhatiin dua cogan. Bagooos! Bagi dikit napa?" Celetuk kak Icha.
"Dasar tante girang!" Ejek Arsyaf melucu.
"Apa lo bilang" Tante girang?" Kak Icha spontan menjewer telinga Arsyaf.
"Aduh aduh!" Arsyaf memegangi telinga tangan kak Icha yang mengapit kuat di daun telinganya. "Ampun, Kak. Ampun!"
Gue terkekeh senang melihat tingkah mereka. Tapi tak lama setelah itu, gue berpikir. Apakah selamanya akan tetap seperti ini" Apakah selamanya gue harus
menyembunyikan fakta bahwa gue mencintai dua orang dalam satu waktu"
*** Chapter 23 [Raya pov] Setelah kak Icha, Arsyaf, dan El lama mengobrol, akhirnya mama dan papa datang bersama mantan. Eh, maksud gue, datang dari Kalimantan.
"Icha, bagaimana keadaan Raya?" Tanya mama cemas.
Kak Icha mengangkat bahu. "Icha masih belum tau, Ma. Sepertinya nggak ada masalah sama otak nih anak. Tapi...."
"Tapi apa?" "Tapi sepertinya, ada yang nggak beres sama rahangnya."
"Maksud kamu apa, Icha?" Tanya papa terlihat begitu khawatir.
"Dari tadi Raya mengeluh susah mangap lebar tiga jari. Pasti ada sesuatu yang salah, Pa. Icha yakin itu! Makanya Icha masih menunggu hasil rontgen."
Mama mendekat ke arah gue. Air matanya mengalir tak henti-hentinya. Papa juga demikian. Hellow! Jangan bertingkah seolah Raya akan nyusul Dono sama Kasino
ke akhirat deh. Nih tubuh biar pun lemes tapi terasa baik-baik aja kok. Eh BTW, Dono yang ngajar kimia masih sehat wal afiat ding.
Arsyaf dan El langsung peka. Mereka berdiri dari tempat duduk mereka dan membiarkan mama sama papa duduk di samping gue.
"Kamu harus cepet sehat ya, Nak!" Ucap Mama yang masih menangis histeris.
"Iya, Sayang! Kamu harus cepet sembuh!" Tambah papa sambil memeluk gue erat.
"Adaw!" Teriak gue ketika lengan papa tak sengaja menyentuh luka bekas jahitan dokter di dagu gue.
Papa langsung melepaskan pelukannya. "Maaf!" Ucapnya kaget.
"Ma....." gue mencoba beranjak bangun dari tempat gue tidur. "Raya pengen pipis."
"Ya udah. Mama anter ya?" Kata mama lembut.
"Nggak usah, Ma. Raya bisa jalan sendiri kok!"
Tanpa menghiraukan ucapan gue, mama langsung memegangi lengan kiri gue. Mama juga menyuruh kak Icha buat memegangi lengan kanan gue. Bushet dah! Nih dua
emak-emak! Emangnya mereka pikir mereka rokib dan atit apa"
Gue pun berjalan dengan diiringi dua emak-emak tersebut menuju toilet. Di belakang kami sudah ada papa. Tadinya Arsyaf dan El mau ikut nganter gue ke toilet.
Tapi gue bersikeras melarang mereka.
Di tengah perjalanan menuju toilet, tiba-tiba kepala gue terasa pening, pandangan gue seketika menjadi kabur meskipun mata gue beberapa kali sempat mengerjap
berusaha memulihkan pandangan.
Braaaak..... Gue pun terjatuh bersama mama dan Kak Icha di lantai. Mereka berdua tak mampu menopang tubuh gue.
"Icha! Cepet panggil Arsyaf dan El kemari!" Suara papa yang terdengar panik masih bisa gue dengar.
"Baik, Pa!" Jawab kak Icha siaga.
Mama kembali menangis histeris. Mereka bertiga tampak tidak mampu menggendong gue yang begitu berat. Dengan tubuh jakung gue dengan tinggi 165 cm, berat
badan gue 54 kg. Apa itu terlalu berat" Apa gue seorang sumo"
Beberapa menit berlalu. Tapi kak Icha masih belum datang juga. Sempat punggung rapuh papa mencoba menggendong gue. Tapi baru beberapa langkah papa sudah
berjalan gontai. Ya! Ini hari Sabtu. Tak banyak orang yang ada di rumah sakit.
"Pak, sini Pak!" Teriak papa pada seseorang yang entah itu siapa. Mata gue nggak bisa dibuka tapi gue masih bisa mendengar apa pun di sekeliling gue. "Tolong
bantu saya, Pak!" Napas gue melaju tak beraturan. Tersengal sesak seolah ada yang mengganjal. Gue mencoba membuka mata gue. Dan bushet! Seorang om-om berwajah mesum berada
di hadapan gue, lebih tepatnya menggotong gue dari sisi kanan dan papa di sisi kiri. Sedangkan mama memegangi bagian kaki gue. Melayang. Ya. Saat itu gue
melayang di atas enam tangan menuju kamar UGD gue.
Di atas ranjang UGD, lagi-lagi gue terbaring. Tapi gue masih kebelet pipis.
"Raya pengen pipis," ujar gue lemas.
"Ya udah! Mama ambilin pispot ya?" Kata mama lembut.
Mata gue langsung mendelik kaget. Ha" Pispot" Apa gue ini bayi" OGAH AH!
"Nggak mau ah!" Tolak gue.
"Terus kamu mau pipis di mana, Sayang?"
"Toilet." "Kamu mau pingsan lagi?"
"Iya, Ray! Lo pipis di pispot aja. Lagi pula Arsyaf sama El nggak ada di sini kok. Mereka sedang mengambil hasil rontgen dan CT scan pala lo," jelas kak
Icha. "Pipis di sini Raya ogah!" Tolak gue ngotot.
"Ya sudah kalau kamu nggak mau pipis di pispot. Biar mama panggilin perawat agar pasangin kateter," opsi mama.
Ha" Kateter" Mama sudah gila apa" Malu coy! Malu! Entar ada selang nyambung ke itunya gue menuju kantong bening putih. Gila! Ogah dah gua!
"Ogah! Ya udah Raya mau pipis di pispot! Tapi kak Icha dan papa jagain agar Arsyaf dan El nggak masuk ke dalam korden," ucap gue marah.
"Siap!" Ucap papa dan kak Icha bebarengan.
Mereka keluar dari korden dan menutupnya rapat-rapat agar tidak ada yang mengintip. Dengan terpaksa, akhirnya gue pipis di pispot.
Chapter 24 [Raya pov] Mama masih mencemaskan keadaan gue. Pasti ada sesuatu yang terjadi pada otak gue, hingga gue pingsan seperti tadi.
"Dokter, tolong anak saya, Dok!" Kata Mama panik.
Samar-samar, gue bisa melihat seorang dokter muda memeriksa gue. Menempelkan stetoskop ke dada gue beberapa kali.
"Bagaimana, Dok" Bagaimana keadaan anak saya?" Tambah papa.
Raut wajah dokter itu terlihat tidak paham apa yang harus ia katakan. Sepertinya dia dokter muda, belum ada pengalaman. Walaupun tampan, dia terlihat tolol.
Dokter tua yang menangani gue tadi tampak sibuk menangani pasien yang lain. Sepertinya ada kecelakaan hebat. So, gue harus ditangani dokter muda ini.
"Iya, Buk. Nanti anak ibu akan dilakukan pemeriksaan lebih lanjut lagi," jawab dokter berkacamata itu.
Kak Icha tampak geram. Rasanya ia ingin mengomeli dokter dengan jas putih berlengan pendek itu.
"Adek saya belom makan, Dok dari tadi pagi. Apakah adek saya sekarang boleh makan" Mungkin saja dia pingsan gara-gara belom makan," kata kak Icha seolah
ingin mengetes kemampuan dokter itu.
"I...iya boleh."
"Tapi makan apa, Dok" Rahang adek saya kelihatannya bermasalah. Untuk membuka lebar saja susahnya minta ampun!" Kak Icha pura-pura pilon.
"Bubur boleh." Tak lama kemudian, Arsyaf dan El datang dan membawa sebuah amplop besar berwarna coklat hasil rontgen dan CT scan. Kak Icha langsung menyambar amplop itu.
"Oh iya, Dok. Ini hasil rontgen dan CT scan adek saya baru keluar. Tolong di cek apakah ada yang salah dengan rahang adek saya?" Kak Icha memberikan amplop
itu pada sang dokter. Dokter itu pun membuka isi amplop kemudian menerawang gambar-gambar tulang pada mika hitam di atas udara beberapa saat.
"Iya. Adik anda sepertinya baik-baik saja. Tidak ada keretakan," papar dokter muda itu masih tampak ragu.
Kak Icha menghela napas berat. Sepertinya ia ingin menunjukkan kemampuannya sebagai dokter di hadapan semua orang. Tapi sebelum dia angkat bicara, papa
menghentikannya. "Oh iya, Dok! Terima kasih banyak," ucap papa pada pak dokter tampan.
"Sama-sama," sahut dokter itu kemudian keluar dari dalam kamar UGD.
"Papa gimana sih"! Seharusnya papa biarin Icha ngomelin dokter bego itu!" Omel kak Icha.
"Biar bego-bego gitu kan tetep aja dokter, Cha!! Kita harus hormati," jawab papa bijak.
"Ya elah papa! Sudah jelas-jelas kalau dokter itu nggak tau kalau ada keretakan di rahang Raya. Papa masih juga belain?"
"Sudahlah, Cha."
"Coba aja kalau Icha nggak ada di sini. Pasti si Raya udah dipulangkan sama tuh dokter!"
*** Perusahaan papa sedang berada dalam krisis. Seperti yang gue bilang tadi, setengah lahan kelapa sawit papa kebakaran. Alhasil, gue harus tinggal di kamar
rumah sakit kelas dua dan tidak bisa di kamar VVIP seperti dulu pas gue sakit demam berdarah.
"Sayang, apa benar kamu nggak papa tinggal di sini?" Tanya papa sedih karena tidak bisa menyediakan kamar yang nyaman buat gue.
"Nggak apa-apa, Pa. Papa pikir Raya anak manja yang nggak ngerti kondisi keuangan orang tua?" Hibur gue.
Papa dan mama menunduk sedih seolah-olah merasa bersalah. Selain harus membayar biaya rumah sakit, papa juga harus membayar biaya kuliah Kak Icha di kedokteran
UI. Jadi, tak apa-apa bagi gue jika harus sekamar sama orang lain yang nggak gue kenal. Jangankan sekamar untuk dua orang! Sekamar 10 orang pun gue mau
asalkan papa tidak pusing mikirin biaya rumah sakit.
Gue melirik Arsyaf dan El yang masih setia nungguin gue. "Kalian cepet pulang gih!" Suruh gue lemas. Intonasi gue merendah tidak bisa ceria seperti biasa
karena memang rahang gue terasa sakit kalau terlalu lebar membuka mulut.
"Gue akan nungguin lo di sini. Titik!" Tukas Arsyaf.
"Lo sama El itu belum mandi tauk! Lama-lama bau ketek kayak Renan baru tau rasa!"
"Iya. Raya bener! Sebaiknya kalian pulang. Lagipula udah sore. Besok, kalian boleh jenguk Raya lagi," nasihat mama.
Arsyaf dan El pun akhirnya mau pulang juga. Gue pun bernapas lega. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Kak Icha dan Arsyaf masih belum tau hubungan gue
sama El. Syukurlah. *** Sial! Gue kecelakaan di hari sabtu dan di saat-saat menjelang SBMPTN" Sakit banget rasanya jika merasa diri kita mampu memasuki Universitas mana pun tapi
takdir berkata lain. Tiba-tiba seorang pemuda tak dikenal mencelakai gue. Sial! Sungguh sial!
Karena gue kecelakaan di hari sabtu, gue tidak bisa langsung operasi walaupun sudah jelas ada keretakan di rahang gue. Dokter spesialisnya mungkin cuma
kerja di hari senin sampai jumat. Haaaassshh..... gue bosan berada di tempat ini. Pengap! Nggak ada AC! Hanya ada kipas angin loyo yang berdebu. Maklum,
ini kamar kelas 2 dan bukan VVIP cuy!
"RAYA!" Teriak Renan saat memasuki kamar gue. Dia melotot. Astaga!
"Renan?" Gue bergidik takut.
Cowok berkulit sawo matang itu melipat tangan. "Jadi begithere kelakuan lo selama ini?"
"Be...begithere?" Gue keheranan mendengar kosakata baru Renan. "Maksud lo begitu" Sumpah! Jangan merusak bahasa Indonesia tercinta dong!"
"GAK PENTING!!"
Gue terdiam kicep mendengar omelannya. Dia pasti sangat marah karena gue belum memberitahunya tentang kondisi gue. Hehehe padahal gue sudah mengenalnya
sejak TK tapi gue malah memberitahu Arsyaf dan El duluan.
"Oooh... jadi sekarang lo lebih sayang ke Arsyaf dan El" Lo bahkan nggak ngasih tau gue kalau lo kecelakaan!" Omel Renan marah.
"Maap, Black!" Ucap gue manja dengan tampang sok imut seolah meminta pengampunan.
"Apa lo bilang" Black" Kenapa lo panggil gue Black?"
"Ya karena lo tambah item tauk!"
"Dasar!" Renan mendengus kesal. "Karena sekarang lo lagi sakit, gue maafin. Tapi jangan panggil gue Black lagi!"
Gue mengerucutkan bibir. "Ya.... padahal gue mau kasih lo nama lengkap Black cat dead!"
"Dasar!" Lagi-lagi Renan mendengus kesal. "Lo itu udah sakit tapi masih aja bisa ngelawak!"
"Ren?" Sapa gue manja.
"Apa"!" Sahutnya ketus.
"Boleh ya.... gue panggil lo Blacky?"
"Kurang ajar lo! Emangnya lo pikir gue anjing apa?"
"Ya elah pelit amat!"
"Situ juga item keles! Ngaca dong!"
"Gue tau kalau gue item. Tapi kan lo dua kali lebih parah!"
"Oke!" Renan melirik gue sambil meringis. "Lo boleh panggil gue Blacky one dan gue panggil lo Blacky two. Gimana?" Dia menaik turunkan alisnya.
"Ogah! Itu sama artinya derajat kita sama dong" Padahal gue ini item aja dan lo item mutlak na'uzubillah!" Tawa gue seketika pecah tapi gue menahannya
saat rahang gue terasa sakit. "Ouch! Ouch!"
Renan berlari ke arah gue lalu duduk di tepi ranjang gue. "Lo nggak apa-apa kan, Ray?" Tanyanya cemas.
Gue menggeleng. "Nggak apa-apa kok!" Jawab gue bohong sambil tersenyum palsu.
*** Chapter 25 [Raya pov] Jantung gue berdenyut begitu cepat. Beberapa kali gue menelan ludah menunggu bulatan kecil tanda loading yang masih berputar pada ipad gue. Mama dan Kak
Icha juga tampak harap-harap cemas.
"Lama banget sih loadingnya!" Omel Kak Icha. "Pengen dibanting nih ipad!"
"Huuus!" Tegur mama.
Seorang perawat laki-laki tiba-tiba memasuki kamar sambil mendorong sebuah meja dorong berisi perlengkapan medis. Ada kasa, alkohol, suntikan, dan lain
sebagainya. Gue nggak terlalu memperhatikan.
"Maaf, saya mau menyuntikkan obat ke pasien," papar perawat itu kemudian mengambil sebuah suntikan dan menancapkan suntikan tersebut pada sebuah botol
kecil lalu menarik ujung gagang suntikan ke atas hingga cairan dalam botol kecil tersebut terserap pada tabung suntikan.
Ya elah tuh perawat nggak peka atau emang dodol apa yak" Gue, mama, sama Kak Icha lagi pengen lihat pengumuman hasil SNMPTN, nih perawat bego main suntik-suntik
aja! Dasar annoying! Perawat itu menyuntikkan cairan itu ke sebuah bagian dari selang infus yang gue nggak tau namanya apa, sedikit sakit sih! Tapi nggak sakit banget. Gue
masih fokus melihat pengumuman SNMPTN undangan.
TIDAK LULUS Sepenggal kata itu membuat gue bete bukan main. Apa ini nasib sial" Bukan hanya kecelakaan saja yang menimpa gue. Tapi kemalangan! Betapa tidak" Sudah
muka bonyok kek begini, gigi depan ompong satu, ditambah lagi gue nggak lulus jalur SNMPTN lagi! Sial!
"Gimana ini bisa terjadi, Ma?" Gue mengacak rambut kesal, tak terima dengan hasil yang diumumkan dari pihak sekolah.
"Sudahlah, Sayang! Mungkin belom rejeki kamu." Mama mengelus rambut gue lembut.
Gue masih mendengus kesal, tak terima dengan hasil pengumuman SNMPTN. Kring...kring...kring.... tiba-tiba Lea menelpon gue.
"Halo, Raya?" "Ada apa, Lea?" gue masih cemberut manyun.
"Gimana" Lo lulus kan?"
"Enggak. Gue nggak lulus," jawab gue malas.
"Sumpah" Kok bisa?" Suara Lea terdengar kaget. "Padahal Dodot lulus SNMPTN lho!"
"Sumpah"!" Kali ini gue yang kaget.
Gue terhenti sambil mengakhiri panggilan dari Lea. Lemas. Gue bahkan melamun sejenak tanpa kata. Kenapa bisa begini" Bagaimana mungkin Dodot bisa lulus
SNMPTN sedangkan gue enggak" Apa ini yang disebut faktor X"
"Kenapa Dodot bisa lulus SNMPTN?" Tanya gue frustasi. "Dia itu super goblok, ranking Raya bahkan jauh lebih baik daripada dia."
"Ha" Dodot temen lo yang jomblo sejak lahir itu?" Kak Icha melotot kaget.
"Iya!" Jawab gue kesal.
"Berarti bener kata pepatah dong! Orang pintar kalah sama orang bejo!" Celetuk Kak Icha meringis tak berdosa.
"Tapi Dodot itu goblok bin stress! Otaknya sama kek Arsyaf. Mereka itu amuba kuadrat!"
"Ya mungkin alatnya rusak kali!" Terka Kak Icha asal
"Kenapa" Kenapa bisa gini" Padahal Dodot itu otaknya nggak lebih pintar dari seekor bakteri. Tapi kenapa....."
Gue tercekat ketika Kak Icha menyikut lengan gue. "Sssst! Diam lo!" Kak Icha menunjuk name tag dari perawat lelaki yang tengah membereskan peralatan medis
di atas meja dorongnya. "Apaan sih"!" Dahi gue mengerut lalu memperhatikan name tag perawat itu. Di sana tertulis 'Dodot Priyanto'
What! Gue langsung terpental kaget ketika perawat itu melirik gue sinis. Sumpah! Gue nggak sengaja nyeplos.
"Maaf pak perawat! Saya nggak bermaksud menghina bapak," papar gue sambil tersenyum kecut. "Nama temen saya sama kek nama bapak. Tapi... saya yakin kok!
Bapak tidak seperti temen saya."
Perawat itu keluar dengan meja dorongnya. Dia tampak sangat tersinggung ketika gue menghina temen gue yang bernama Dodot dan menyebutnya seperti amuba
dan tidak lebih pintar dari seekor bakteri.
"Makanya! Kalau ngomong di rem!" Tegur mama
"Ya...maap!" Bibir gue mengerucut.
*** Hari ini gue sendirian di kamar rumah sakit ini. Karena bukan kamar VVIP, gue jadi merasa bosan karena nggak ada tipi. Kak Icha lagi kuliah, Papa terpaksa
harus balik ke Kalimantan untuk mengurusi urusan kebakaran perkebunan kelapa sawit yang menjadi problem dengan kolega-kolega perusahaan. Sedangkan mama
sedang keluar mencari makan.
Gue sendirian di kamar rumah sakit ini bersama seorang nenek tua, yang gue perkirakan umurnya lebih tua 20 tahun dari bokap gue. Nenek itu juga nggak ada
yang nungguin. Anak-anaknya hanya nunggu sampai sore doang. Padahal nenek itu menderita katarak sehingga pengelihatannya tidak berfungsi dengan benar.
Nenek itu tiba-tiba turun dari ranjangnya, berjalan pelan menuju tembok, lalu meraba-raba tembok tersebut. Gue mengernyit keheranan.
"Nenek mau ke mana?" Tanya gue pada nenek itu yang merupakan roommate gue.
"Nenek mau ke toilet," jawab nenek itu, suaranya sudah goyah karena terlalu tua.
Sial! Kaki gue sakit banget. Di balik kain kasa yang melekat, sebenarnya ada bau daging bekas goresan aspal. Tapi mau bagaimana pun juga, nenek itu harus
gue tuntun menuju toilet.
Gue pun menurunkan kaki dari ranjang sambil menggigit bagian bawah bibir karena kaki gue terasa sangat sakit. Lalu gue pun mulai melangkah, sambil mendorong
gantungan infus, gue menuju ke arah nenek itu secara perlahan.
"Ke arah sini, Nek!" Gue memegangi lengan nenek itu menuju toilet.
"Terima kasih, Cu," sahut nenek tua itu.
"Nggak masalah, Nek."
Saat nenek itu masih berada di dalam toilet, mama tiba-tiba datang dan memasuki kamar.
"Raya sayang, kenapa kamu berdiri?" Mata mama tampak membulat kaget ketika mendapati gue tengah berdiri menunggui nenek tua, roommate gue. "Kaki kamu kan
lagi sakit!" "Aku hanya mau nganter Nenek ke toilet, Ma," papar gue.
Mama menghela napas lalu menuntun gue kembali ke atas ranjang. Saat nenek keluar dari toilet, mama yang menggantikan gue memapahnya.
"Terima kasih, Cu," ujar Nenek itu lagi.
"Iya, Nek," sahut Mama.
Kring....Kring.... suara HP mama berbunyi tanpa henti. Mama segera mengambil HP nya dari dalam tas dan mengangkat telepon.
"Halo?" Kata mama.
Gue nggak tau apa yang dikatakan si penelepon. Yang jelas, telepon itu terlihat sangat penting hingga membuat wajah mama berubah cemas.
"Iya, baiklah, pak. Saya akan segera ke sana." Setidaknya itulah kalimat terakhir yang diucapkan mama sebelum benar-benar menutup telepon.
"Siapa, Ma?" Tanya gue penasaran.
"Pak Agus. Katanya ada beberapa dokumen yang ia perlukan," jawab mama.
"Ooohh..." "Kamu mama tinggal bentar nggak apa-apa kan, sayang?"
"Nggak apa-apa kok, Ma!"
"Mama janji akan segera kembali." Mama membelai pipi gue lembut.
"Iya. Mama nggak usah khawatir!"
Mama tersenyum singkat lalu bergegas pergi. Gue pun akhirnya sendirian bersama nenek di dalam kamar. Tak lama setelah itu, seorang cowok tampan yang gue
cinta tiba-tiba membuka pintu kamar lalu tersenyum.
"Boleh masuk?" Tanyanya.
*** 06. Chapter 26-30 Chapter 26 [Raya pov] Mata gue membulat. Senyum pun merekah dari kedua sudut bibir gue. Gue langsung mengangguk, memperbolehkannya masuk.
"Kenapa kamu ke sini?" Tanya gue dengan senyum yang masih mengembang.
"Aku mau jenguk kamu," jawabnya sambil menggeser kursi yang ia duduki agar mendekat ke arah ranjang gue.
"Ooohh... kirain kangen!" Goda gue dengan nada nakal.
Dia terkekeh lalu mengelus poni gue lembut. "BTW, aku denger kamu nggak lolos SNMPTN ya?"
Gue manggut-manggut, menjawab pertanyaannya.
"Ini," dia tiba-tiba memberi gue sebuah flashdisk berwarna merah.
Dahi gue mengerut saat menerima flashdisk itu. "Buat apa kamu ngasih aku flashdisk" Gue udah punya kok!"
Lagi-lagi dia terkekeh. "Di dalam flashdisk itu ada satu file. Ya... mungkin aja bisa buat mengurangi rasa sedih kamu."
"Sedih?" Alis gue terangkat.
"Emangnya kamu nggak sedih" Kamu kan nggak lolos SNMPTN!"
"Ya jelas sedihlah!" tukas gue manja.
"Tapi kamu jangan ketawain aku ya, kalau kamu udah lihat file yang ada di sana."
"Emangnya file apaan sih"!"
"Rahasia." "Ih nyebelin!" Ucap gue manja.
"Ya udah. Aku pamit dulu ya?" Dia berdiri dari tempat duduknya.
"Mau ke mana?" Tangan gue memegang dengan cepat ujung seragamnya untuk menghentikannya melangkah pergi.
Cewek Cetar Dua Karya Zaeemaazzahra di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku ada urusan. Maaf ya." Dia membelai lembut pipi gue. "Besok, aku janji akan jenguk kamu lagi."
"Baiklah kalau begitu. Tapi setelah kamu pergi, aku boleh buka file yang ada di dalam flashdisk ini kan?"
"Tentu aja." Dia mengangguk. "Sudah ya. Daaaahh." Dia melambaikan tangan ke gue sambil tersenyum manis.
Gue membalas lambaian tangannya dan membalas senyumannya juga. Setelah ia benar-benar pergi, gue langsung mengambil laptop dari dalam laci.
Setelah laptop gue menyala, gue pun langsung mencolokkan flashdisk yang diberikan pacar gue tadi. Dan segera membuka satu-satunya file yang ada. Sebuah
vidio" Jangan-jangan ini vidio yang enggak-enggak. Dahi gue mengerut. Gue pun langsung mengklik dua kali untuk melihat vidio tersebut.
Dahi gue mulai mengernyit ketika melihat pacar gue mulai memetik senar gitar. Dan mulai bernyanyi bersama dengan kedua temannya. Ha" Pacar gua bisa maen
gitar" Bisa nyanyi pula! Kalau rahang gue nggak sakit, mungkin mulut gue nggak berhenti menganga. Dia menyanyikan lagu lama berjudul Ya Sudahlah, Bodan
Prakoso and F2B Ketika mimpimu yang begitu indah
Tak pernah terwujud, ya sudahlah
Saat kau berlari mengerjar anganmu
Dan tak pernah sampai, ya sudahlah
Reff Apa pun yang terjadi ku kan slalu ada untukmu
Janganlah kau bersedih. Cause everythings gonna be okay
Satu dari sekian kemungkinan
Kau jatuh tanpa ada harapan
Saat itu raga kupersembahkan
Bersama jiwa cita-cita dan harapan
Kita sambung satu persatu sebab akibat
Tapi tenanglah mata hati kita kan lihat
Menuntun ke arah mata angin bahagia
Kau dan aku tahu jalan selalu ada
Juga kutahu lagi problema kan terus menerjang
Bagai deras ombak yang menabrak karang
Namun kutahu, kutahu kau mampu tuk tetap tenang
Hadapi bersamaku hingga akhir datang
Saat kau berharap keramahan cinta
Tak pernah kau dapat, ya sudahlah
Dengar kubernyanyi lalalalala heyeyeyeyeyayaya dedum dedudedadedudidam
Semua ini belum berakhir Back to reff Satu kan langkah, langkah yang beriring
Genggam hati rangkul emosi
Genggamlah hatiku satukan langkah kita
Sama rasa tanpa pamrih Ini cinta across the sea Peluklah diriku terbanglah bersamaku
Melayang jauh Ini aku dari ujung rambut menyusur jemari
Sosok ini menerima kelemahan hati
Yeah aku cinta kau (ini cinta kita)
Cukup satu waktu (untuk satu cinta)
Satu cinta ini akan tuntun jalanku
Rapatkan jiwamu yo tenang di sisiku
Rebahkan rasamu untuk yang ditunggu
Bahagia hingga ujung waktu
Back to reff 2x Sungguh! Demi Tuhan, mata gue belum sempat mengerjap sama sekali dari pertama sampai akhir saat melihat vidio yang dibuatnya bersama kedua temannya yang
beraksi sebagai rapper. Yang bikin hati gue tambah berbunga, di akhir vidio itu, ia meletakkan gitarnya lalu mengangkat selembar kertas karton bertuliskan
"Tetap semangat! Masih ada SBMPTN. LOVE YOU?"
Senyum gue masih mengembang. Ingin rasanya berteriak senang tapi gue nggak bisa. Rahang gue selalu terasa sakit bila terbuka terlalu lebar. Apalagi nenek
roommate gue sedang tertidur pulas.
Kalian tahu, siapa yang memberi itu" Mungkin kalian tidak akan menyangka hal ini. Tapi ya! Dia adalah.....
*** Chapter 27 [Raya pov] Dia adalah El, pacar gue. Lebih tepatnya, selingkuhan gue. Dia memang jarang bicara. Tapi dia selalu bisa membuat kejutan yang nggak pernah bisa gue duga.
Misalnya saja saat dia datang melindungi gue dari dua cowok berandalan, melindungi gue dari pembullyan, dan sekarang" Dia memotivasi gue saat gue sedang
terpuruk. Drrrttt..... HP gue tiba-tiba bergetar. Apa mungkin El yang mengirim pesan" Gue pun mengambil HP gue yang terletak di nakas meja, lalu mengusap layarnya. Ternyata bukan!
Kali ini Arsyaf yang chat WA pribadi.
Arsyaf" : Sayang, km msih skit"
Raya" " " : iya nih. Atit bnget
Arsyaf" : kta mamaku, klw org sakit, hrus denger sholawatan
Raya" ?" : huuus! Emangnya aku mau naza'"
Arsyaf" : gk gitu mksud aku, sayang. Mungkin dg denger sholawatan, hti km jdi adem. Nih! Aku udah rekamin lagu sholawatan buatan aku sendiri sma tmn2.
Arsyaf : (kirim audio sholawatan)
Sumpah ngakak dah gua setelah denger audio sholawatan yang dikirim Arsyaf. Di audio tersebut, yang nyanyi jelas bukan pacar gua. Tapi Arsyaf bagian musik
latar pakek beat box. Lha itu yang buat gue ngakak. Masak beat box intronya teketek teketek bla bla em telolet. Terus langsung masuk sholawatan.
Raya" ?" : sumpah ngakak yank!
Arsyaf : gmn" Bgus kan"
Raya" " : intronya nyebelin! ?"
Arsyaf : nyebelin gpp. Yg pnting km ktawa biar gk stress mikirin kgagaln SNMPTN.
Raya" " : mkasih ya, Mann.
Arsyaf : cama2 Geet! Eh, mksud aku, cama2 Got!
Raya" " : kurang ajar! Emangnya lu pikir, gw selokan"
Arsyaf : maap maap. Mksud aku, kmu itu goat!
Raya" " : goat" Lu pikir gw kmbing" ?"
Arsyaf : maapin aku Ishita Balap.... karuuung...
Raya" " : gk akan gw maapin, Raman kuman jelek!
Arsyaf : Sungguh aku minta maap Anandhi.
Raya" " : aku tidak mau, Jagdish! Eh, btw, km kok tau pilem2 india sih! Ketularan renan y"
Arsyaf : ketularan emak gua.
Raya" ?" : ?"?"?"
Ya Tuhan, situasi apa ini" Bagaimana bisa gue mencintai dua orang sekaligus dalam satu waktu" Yang satunya romantis banget buat hati gue melayang-layang
pengen loncat-loncat. Dan yang satunya, kocak bin ajaib, selalu buat gue tertawa. Tidak mungkin hubungan kita bertiga terus seperti ini kan" Pasti suatu
saat nanti gue akan dihadapkan situasi di mana gue harus memilih salah satu di antara mereka.
Tok tok tok Terdengar suara ketukan pintu. Gue terkesiap. Seorang cewek membuka pintu kamar lalu tersenyum. Dia Murti, sahabat gue saat kelas X. Hubungan gue dan Murti
agak merenggang ketika kita mengambil jurusan yang berbeda ketika memasuki kelas XI. Dia mengambil jurusan IPS, sedangkan gue mengambil jurusan IPA.
"Boleh masuk?" Tanyanya.
Gue mengangguk cepat, memperbolehkannya masuk. Murti pun masuk ke dalam kamar lalu menutup pintu.
"Aku denger, kamu kecelakaan. Jadi, aku buru-buru ke rumah sakit," papar Murti dengan suaranya yang pelan dan terdengar malu-malu.
Ya. Murti adalah seorang yang pendiam. Dia selalu merasa minder karena wajahnya. Itulah sebabnya dia jarang bicara dengan orang lain. Satu-satunya orang
di sekolah yang mau ngomong sama dia cuma gue.
"Makasih ya, Murti," ucap gue sambil tersenyum. "Duduk gih!" Gue melirik sekilas kursi yang ada di samping ranjang gue.
Kadang, gue merasa iba sama Murti. Anak-anak di sekolah selalu mengolok-olok wajahnya. Apalagi anak-anak cowok! Jika Murti lewat, anak-anak cowok pasti
pura-pura pengen muntah. Murti memang tidak cantik. Kulitnya hitam, wajahnya penuh jerawat, dan giginya tonggos, sebelas dua belas sama Sobirin. Tapi bedanya, giginya Murti warna
putih dan nggak bau. Sepertinya, dia rajin gosok gigi.
Saat gue dan Murti tengah asyik berbincang, tiba-tiba Sobirin datang, membuka pintu secara ngotot, lalu mendelik kaget ketika mendapati gue terbaring di
atas ranjang rumah sakit dengan beberapa luka di wajah.
"NENG RAYAAA....." Teriaknya histeris.
Bushet dah! Tuh anak teriak-teriak nggak jelas di rumah sakit. Bisa-bisa obat di rumah sakit ini jadi terkontaminasi gas beracun yang keluar dari mulutnya
dah. "Ya Allah, Neng Raya kok bisa jadi gini?" Tanya Sobirin cemas.
"Sobirin, lo belum sikat gigi berapa hari?" Gue tak menghiraukan pertanyaan Sobirin dan balik bertanya.
Dia meringis malu. "Baru tiga hari, Neng."
What" Tiga hari" Sebelah pipi gue langsung berkedut ngeri. Tuh jenglot satu sepertinya perlu dibunuh sebelum gas beracun yang ia keluarkan membunuh orang
lain. "Siapa dia, Neng?" Tanya Sobirin sambil melirik Murti.
"Oh iya. Kenalkan! Dia Murti," kata gue sambil melirik Murti.
"Sobirin." Sobirin mengulurkan tangannya pada Murti.
Murti langsung menjabat tangan Sobirin. "Murti." Ia tampak malu-malu.
Bushet dah! Nih anak bedua cocok banget yak" Apalagi mereka sama-sama jomblo! Gimana kalau gue comblangin mereka aja" Tapi Eiiiittss tunggu! Kalau mereka
jadian, terus gimana dong kalau mereka pengen ciuman satu sama laen" Kan jadi ribet! Yang ada bukan ciuman bibir tapi ciuman gigi dong! Somplak banget
pikiran gue. Chapter 28 [Raya pov] Lagi-lagi gue berada sendirian di kamar ini bersama nenek yang lebih sering tidur. Mungkin karena usia rentanya. Gue nggak ada teman ngobrol. Papa masih
di Kalimantan. Mama pamit sebentar karena ada urusan pekerjaan. Sedangkan Kak Icha kuliah. Sumpah! Gue bosen banget dah! Drama Korea yang gue tonton itu
itu aja. Belum sempat download yang terbaru. Dan di kamar yang bukan VVIP ini, tidak tersedia WIFI. so lame!
"Assalamu'alaikum," Lea membuka pintu lalu berlari kecil menuju ke arah gue.
"Wa'alaikum salam," sahut gue sambil tersenyum manis.
"Maaf ya, Ray. Baru bisa jenguk elo sekarang. Soalnya gue ada acara keluarga." Lea memeluk gue dari samping.
"Iya. Nyantai aja kali!" Gue menepuk-nepuk punggungnya pelan.
"Eh, coba tebak, gue bawa apa?"
Dahi gue langsung mengernyit. "Apa?"
"Ta da!" Lea mengerluarkan sebuah hard disk dari dalam tasnya, lalu memberikannya pada gue.
"Buat apa?" Gue masih bertanya-tanya. Jangan bilang kalau Lea bikin vidio nyanyi-nyanyi kayak El.
"Di dalam situ sudah ada banyak judul pilem Korea. Lo bisa tonton sepuasnya!"
"Sumpeh lo?" Mata gue terbelalak senang. "Ada apa aja?"
"Buanyak! Ada teacher kim, fairy kim book jo, night light, scarlet heart ryeo, mask, dan masih banyak yang lainnya! Kalau gue sebutin atu-atu, bisa nyinyir
dah mulut gua!" "Woaaah! Makasih ya, Lea. Lo emang sahabat terbaik gue deh! Tau aja kalau gue lagi bosen."
"Iya dung!" Lea memang sahabat yang sangat baik. Tapi, apakah dia akan tetap mau bersahabat sama gue kalau dia tahu bahwa gue sekarang nyelingkuhi Arsyaf" Gue tertegun,
memikirkan baik-baik langkah apa yang akan gue pilih selanjutnya.
*** Mata kak Icha mendelik setelah mendengar perkataan Pak dokter. Walau dia Mahasiswa kedokteran, tetap saja ia tidak bisa menandatangani surat izin operasi
sebagai wali pasien. Dia kemudian bergegas menelpon mama.
"Halo, Mama?" Kata Kak Icha.
"Iya, Icha. Ada apa, sayang?" Suara mama dapat gue dengar. Mungkin Kak Icha lupa men-silent.
"Mama, kata dokter, Raya harus operasi, Ma."
"Apa" Operasi?" Kata mama terdengar kaget.
"Iya. Kata dokter, Raya mengalami patah rahang, fraktur mandibula."
"Gimana sih kamu, Icha"! Adek kamu itu lagi sakit! Kenapa mau kamu ajak mandi bola?" Omel mama mengamuk.
"Astogeh, Mama! Bukan mandi bola, Ma! Fraktur mandibula, istilah lain patah tulang wajah!" Papar Kak Icha ngotot.
"Ooohh.... bilang dong dari tadi!"
Plaakk... Kak Icha menggeprak keningnya sendiri. "Astogeh, Mama! Ya udah kalau begitu, mendingan mama sekarang cepetan ke rumah sakit buat tanda tangan
izin wali pasien." "Baiklah, mama akan segera ke sana."
*** Di dalam operation room, mata gue mengerjap beberapa kali. Tak berapa lama kemudian, seorang wanita datang sambil menyiapkan sebuah jarum suntik. Gue hanya
meliriknya sebentar lalu kembali menatap langit-langit operation room.
"Dik, adik nggak pengen ke toilet dulu?" Tanya wanita itu ketus.
Gue menggeleng. Memang saat itu gue nggak pengen pipis. Wanita ketus itu pun mengangguk pelan lalu bersiap menyuntikkan jarum itu ke bagian belakang gue.
Em.... ya kalian pasti taulah!
Setelah di suntik, mata gue kembali mengerjap menatap langit-langit operation room. Tak sampai lima menit, gue memanggil wanita tadi.
"Maaf, Bu, toiletnya di mana ya?" Tanya gue dengan lugunya.
"Tadi katanya nggak mau ke toilet, sekarang mau ke toilet! Gimana sih Dik?" Omel wanita bertubuh tambun itu. Untung liurnya nggak muncrat. Soalnya dia
pakek masker. Ya elah! Tadi gue emang nggak pengen pipis, lha sekarang" Tadi ya tadi. Sekarang ya sekarang. Nggak mikir apa Ibuk itu"
"Ya sudah, saya anter!" Ujarnya bertambah judes.
"Nggak usah, Buk. Saya bisa sendiri kok!" Tolak gue santun.
"Ya elah, Dik! Adik ini sudah dibius, entar kalau nuncek di kamar mandi gimana?"
Gue menghela napas, mencoba bersabar dengan ocehan Ibu Ibu rempong itu. Akhirnya, gue pun mau di anter sama Ibu itu ke toilet. Yang lebih parahnya, Ibu
itu mau masuk ke toilet bareng gua. Ah, gua mah ogah! Setelah terjadi sebuah perdebatan kecil, akhirnya tuh ibu-ibu mengalah juga.
Setelah dari toilet, gue kembali terbaring di atas ranjang sebelum benar-benar dipindahkan ke meja operasi. Tak berapa lama kemudian, mata gue terasa lengket.
Ngantuk berat!! Akhirnya gue pun tertidur.
Dan saat gue membuka mata, seluruh mulut gue terasa sakit dan tidak bisa terbuka sama sekali. Ada kawat mengait rata dari gusi atas ke gusi bagian bawah.
Dinding-dinding mulut dan lidah gue seolah ada seratus sariawan yang bertengger. Perih! Ada selang aneh yang masuk ke dalam salah satu lubang hidung gue.
Entah itu untuk apa, gue bahkan nggak tau.
"Ma..." ucap gue, tapi terdengar tidak jelas karena memang mulut gue nggak bisa terbuka.
"Ada apa, Sayang?" Samar-samar, gue bisa melihat mama menangis. Suaranya terdengar purau.
"Sakit, Ma...." ucap gue seperti orang bisu yang mencoba ngomong.
Sejak operasi itu, gue nggak mau siapa pun menjenguk gue di rumah sakit, termasuk Arsyaf, Renan, dan El. Gue malu melihat diri gue sendiri di depan cermin.
Betapa tidak" Muka gue pucat kayak gajah. Selang di hidung gue terlihat seperti belalai. Dan yang lebih parahnya, saat gue membuka mulut, ada behel aneh
yang memenuhi gusi atas dan gusi bawah gue.
Dokter bilang, tulang gue nggak perlu di kasih plat, dan cukup disatukan secara alami karena gue masih muda, pertumbuhan tulang gue masih bagus. Oleh karena
itu kawat-kawat aneh di seluruh gusi gue berfungsi untuk menyatukan rahang atas dan rahang bawah. Sejak operasi itu, gue hanya minum susu yang biasa buat
nenek nenek encok. Kata bapak Tebe, eh maksud gue, kata dokter, susu khusus lansia memang bagus untuk tulang.
Nah, gue baru tahu fungsi selang belalai ini setelah dokter menjelaskan. Selang ini untuk minum tuh susu nenek-nenek karena memang, mulut gue nggak bisa
terbuka sama sekali. Jadi, gue minum lewat hidung melalui selang.
Gue menghela napas sebal! Meratapi takdir yang menyakitkan ini. Apa ini karma" Berulang kali gue menanyakan hal itu. Tapi entahlah! Masih belum ada jawaban
pasti. Chapter 29 [Elbara pov] Gue menyandarkan kepala gue ke kursi. Beberapa kali gue memijat pelipis gue yang terasa pusing lalu menghela napas. Gue benar-benar tidak tega melihat
Raya kesakitan di rumah sakit. Kenapa nggak gue aja yang kecelakaan" Kenapa harus Raya" Beberapa pertanyaan terus membelenggu pikiran gue, membuat gue
akhir-akhir ini tidak bisa berpikir jernih.
Ddddrrrtt... Sebuah SMS masuk. Dengan malas gue menyambar HP gue yang terletak di atas meja, mengusap layarnya, lalu membaca SMS yang masuk.
Gimana keadaan pacar lo" Baik"
By : anak iblis Pesan ini akan hilang dalam 5 detik.
Rahang gue mengeras, marah bukan main. Tangan gue mengepal lalu melepar HP gue ke arah tembok. Dan braaakk... HP gue terpecah menjadi beberapa keping.
"Sialan!" Umpat gue.
Gue buru-buru mengambil jaket lalu memakainya sambil berlari menuju garasi. Ini tidak bisa dibiarkan!
"El, lo mau ke mana?" Tanya Renan sambil melepaskan helmnya.
Gue nggak mendengarkan pertanyaan Renan dan langsung mengendarai motor gue dengan kecepatan maksimum. Renan terus memanggil-manggil nama gue dari belakang.
Tapi gue nggak peduli. Walau bagaimana pun juga, gue harus menghajar Ozora Samitra.
Sesampainya di gudang usang tak terpakai, base camp Sam bersama anak buahnya, gue langsung menghampiri Sam yang saat itu tengah duduk santai sendirian
sambil membaca buku. Kerah bajunya gue angkat. Mata gue melotot sambil mendengus geram. Sam tidak terlihat takut. Dia malah tersenyum senang mendapati
gue yang datang menemuinya.
"Dasar bajingan!" Teriak gue sambil mendaratkan sebuah tinju mentah ke pipi Sam dengan sekuat tenaga.
Sam terjerembab ke atas tanah. Sudut bibirnya berdarah. Dia kembali tersenyum seolah mengolok. Gue semakin geram dan berjalan menghampirinya untuk mencengkram
kembali kerah bajunya. "Jadi, cewek itu kelemahan lo?" Sam menghempaskan tangan gue dari kerah bajunya.
"Dari mana lo tahu kalau dia cewek gue?"
Sam lagi-lagi tersenyum. "Lo lupa kalau gue ini jenius" Gue bisa menghack semua HP atau PC yang gue mau, termasuk HP dan PC yang lo punya," paparnya.
"Brengsek!" Gue mencoba melayangkan tinju lagi ke pipinya tapi dia dengan cepat menahan tangan gue yang masih melayang di udara.
"Dari menyadap HP lo, gue jadi tau kalau bukan Pamela yang lo suka. Tapi seorang cewek yang bernama Raya," imbuhnya.
"Sebenernya lo mau apa" Lo mau balas dendam" Lo mau melakukan apa yang gue lakukan dua tahun lalu" Huh?"
"Enggak." Sam menggeleng. "Gue mau kita duel. Kalau gue menang, gue mau lo jadi bawahan gue. Kalau gue kalah, gue nggak bakal ganggu cewek lo."
"Dasar pecundang! Kenapa lo harus melibatkan cewek dalam urusan kita?" Bentak gue dengan rahang yang masih mengeras. "Kalau lo mau duel sama gue, its okay!"
"Kalau gue nggak mencelakai cewek itu, mungkin lo nggak akan semarah ini. Kemarahan lo yang gue cari. Gue ingin tau seberapa ku...."
Braaakk.... Tinju gue lagi-lagi mendarat sempurna di pipinya. Dia terpental beberapa langkah ke belakang. Gue melangkah maju lalu mencoba menendang perutnya. Tapi
dia menahan kaki gue dan menghempaskannya. Dia membalas pukulan gue hingga gue terpental dan terjerembab ke atas tanah. Dia kemudian dengan cepat menindih
tubuh gue. "Jadi hanya ini kekuatan sang raja?" Sam kembali memukul muka gue beberapa kali.
Gue takjub dengan kekuatannya yang sekarang. Sungguh sangat jauh berbeda dengan kekuatannya yang dulu. Sudut bibir gue bahkan sudah mengeluarkan darah.
Tapi sial! Gue tidak bisa mengembalikan keadaan.
"Segini aja kekuatan lo" Huh"!" Tambah Sam, tangannya masih belum berhenti memukuli muka gue.
Tiba-tiba Sam terhenti dengan napas ngos-ngosan lalu dia tersenyum miring. "Gimana kalau gue perkosa aja cewek lo?" Tanyanya.
Sudah cukup! Kemarahan gue sudah di ambang batas. Gue langsung mendorongnya menjauh dari tubuh gue. Dia terpental. Kali ini gue yang menindihnya dan melayangkan
banyak tinju berantai ke mukanya. Gue bersumpah akan membunuhnya detik ini juga! Tekad gue sudah bulat. Gue nggak peduli bila harus masuk penjara sekali
pun. Dia boleh saja menghina gue. Tapi dia nggak boleh menghina Raya. Apalagi menghina kesucian Raya walau hanya dalam bentuk ucapan. Gue nggak terima!
Gue bener-bener nggak terima!
"El hentikan, El! Dia bisa mati!" Tiba-tiba Renan datang dan mencoba menghentikan gue yang masih asyik memukuli Sam.
"Lepasin gue!" Gue mencoba menghempaskan tangan Renan.
Napas gue terdengar ngos-ngosan. Rasanya belum puas tangan gue memukul muka Sam.
"Kalau lo ngapa-ngapain cewek gue lagi, lo akan mati!" Ancam gue.
Sam tidak menjawab. Dia terkulai lesu di atas tanah. Seluruh mukanya lebam. Dia hanya melirik gue sebentar lalu menghela napas berat beberapa kali kemudian
pingsan tak sadarkan diri.
*** Renan menghampiri gue yang saat itu duduk di salah satu kursi yang berada di taman. Dia membawakan gue sebotol air minuman dingin.
"Ini," dia mengulurkan sebotol air mineral itu pada gue.
Gue mendongak, melihatnya berdiri di hadapan gue. Tanpa berkata apa pun, gue menyambar botol air mineral itu dan menempelkannya ke bagian muka gue yang
terasa sakit. Renan kemudian duduk di samping gue.
"Jadi, lo selama ini pacaran sama Raya?" Tanya Renan penuh selidik.
"Hm," jawab gue singkat.
"Gimana lo bisa pacaran sama Raya" Dia itu pacarnya Arsyaf, sepupu lo sendiri!" Omelnya ngotot.
"Gue cinta banget sama dia."
"Meskipun lo cinta sama dia, lo nggak boleh macarin dia. Nggak boleh!"
"Gue tau."
Cewek Cetar Dua Karya Zaeemaazzahra di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Terus, kenapa lo masih ngajak dia selingkuh?"
"Awalnya gue mencoba menekan perasaan gue. Tapi semakin lama mengenalnya, semakin gue mencintainya. Rasanya sungguh menyesakkan melihatnya bermesraaan
bersama Arsyaf. Itulah sebabnya gue....."
"Apa lo yang maksa Raya" Atau mungkin, Raya juga suka sama lo?" Potong Renan.
"Iya. Raya juga suka sama gue."
Mata Renan mendelik kaget. Ia pasti tak menyangka kalau Raya akan mengiyakan ajakan gue untuk selingkuh. Renan pasti tak menyangka kalau Raya berani melakukan
perselingkuhan di belakang Arsyaf mengingat Raya adalah gadis yang lugu.
"Sumpah, gue masih tak percaya ini!" Renan menyibakkan rambutnya yang agak gondrong dari depan ke belakang. Ia tampak frustasi.
"Gue nggak bisa kayak lo, Ren!"
Renan menoleh, wajahnya terlihat kaget ketika gue tiba-tiba berbicara seperti itu.
"Lo bisa menyembunyikan perasaan cinta lo yang teramat besar untuk Raya," imbuh gue.
"Lo ngomong apa sih, El" Gue masih nggak ngerti."
Gue tersenyum kecil. "Gue tau kalau lo juga suka sama Raya. Iya kan" Dan gue yakin, Arsyaf juga tau akan hal itu," kata gue sambil memegang pundaknya.
Mata Renan melebar, ia berpaling muka. Ekspresinya itu menandakan kalau tebakan gue tidak salah. Dia juga sangat mencintai Raya. Itulah faktanya.
Chapter 30 [Sam pov] Di atas ranjang rumah sakit, gue terkapar lesu. Sial! Untuk kedua kalinya gue kalah sama El. Gue nggak bisa percaya ini. Padahal selama ini gue sudah banyak
latihan karate. Tapi tetap saja gue nggak bisa mengalahkannya.
"Tuan muda, tuan muda sudah bangun?" Tanya Rommy, salah satu sekretaris papa.
Gue hanya melirik sebentar ke arah Rommy tanpa menyahuti ucapannya. Sudah gue duga! Mama dan papa hanya peduli dengan pekerjaan mereka. Bahkan jika gue
mati sekali pun, mereka mungkin nggak akan peduli sama gue.
"Tuan muda, Nyonya Yumeko dan Tuan Arnold tidak bisa ke sini. Mereka ada meeting penting bersama beberapa kolega untuk proyek pembangunan hotel," papar
Rommy. Gue tidak menghiraukannya. Gue kemudian melirik sebentar tulisan "VVIP 07 RS Wisnu Medika". Itu berarti, gue berada dalam satu rumah sakit bersama Raya,
cewek yang sangat dicintai El.
"Rommy?" Kata gue tiba-tiba.
"Iya, tuan muda?" Rommy menimpali.
"Cari tau di mana kamar pasien yang bernama Soraya Aldric."
"Baik, tuan muda."
Iya. Gue tau nama lengkap ceweknya El karena hampir seminggu penuh gue menyelidikinya. Gue bahkan tahu nama ayah, ibu, dan kakak perempuannya.
*** Gue berjalan sendirian menuju taman yang berada di dekat kamar kelas 2. Sekitar jam 11 malam gue ke sana. Seluruh koridor rumah sakit tampak sepi. Hanya
ada satu atau dua perawat yang lewat. Di kamar nomor 03, gue bisa melihat mamanya si Raya membuka korden. Samar-samar gue bisa mendengar percakapan mereka.
"Nggak apa-apa, Sayang. Ini sudah malam. Mereka nggak bakal ke sini. Mama tau kalau kamu malu dengan keadaanmu yang seperti ini. Tapi walau bagaimana pun
juga, kamu harus menghirup udara segar!" Cerocos Nyonya Elly, mamanya si Raya sambil membuka sedikit bagian jendela.
Melihat wanita paruh baya itu sangat memperhatikan putrinya, gue jadi merasa iri. Sejak kecil, mama dan papa gue selalu sibuk bekerja. Mama gue adalah
presdir C.M Group, salah satu perusahaan besar yang bergerak di bidang konstruksi. Sedangkan papa gue adalah seorang pemilik beberapa hotel bintang lima.
Dalam setahun, gue hanya bisa bertemu dengan mereka berdua dua atau tiga kali saja. Itu pun tidak pernah lama. Paling satu sampai dua jam, kemudian mereka
kembali bekerja. "Eh! Infusmu mau habis! Mama panggil perawat dulu ya," kata Nyonya Elly.
Raya hanya mengangguk sambil tersenyum. Di saat dia sendirian bersama roommatenya, dia mengambil buku yang ada di atas meja lalu membacanya. Dia terlihat
tak berkonsentrasi. Pasalnya, nenek yang berada sekamar dengannya tampak tak bisa tidur dan membolak balikkan tubuhnya ke kanan dan ke samping. Sesekali
nenek itu memukul dirinya sendiri. Sepertinya, nyamuk mengganggunya.
Raya kemudian turun dari ranjangnya, mengambil lotion anti nyamuk dari dalam laci, berjalan pincang menuju nenek itu lalu mengoleskan lotion itu ke tangan
dan kaki nenek itu. Setelah selesai, ia kembali menuju ranjangnya. Tentu saja dengan langkah pincang.
Wajah Raya terlihat pucat. Ada selang aneh yang menggantung di salah satu lubang hidungnya. Dia terlihat sangat rapuh seolah untuk berjalan saja sulit.
Tapi bagaimana dia mau bersusah payah untuk memperhatikan nenek itu"
Mendapati hal itu, gue jadi mengerti alasan mengapa El sangat mencintai Raya. Dia memang tidak terlalu cantik, tidak begitu sexy, tapi dia.... baik. Mungkin
itulah yang membuat seorang El jatuh cinta padanya.
"Tuan muda?" Sapa Rommy dari belakang.
Gue menoleh. "Hm?"
"Silahkan kembali ke kamar anda. Nanti anda masuk angin."
"Baiklah!" Sesampainya di kamar, gue langsung merebahkan tubuh gue di atas ranjang. Tidak sampai lima menit, Rommy sudah menyodorkan setumpuk berkas buat gue.
"Apa itu?" Tanya gue sinis.
"Ini adalah berkas-berkas perdaftaran untuk ke Universitas Tokyo," jawab Rommy.
"Universitas Tokyo" Kenapa papa ingin mengirimku ke sana?"
"Dengan kejeniusan anda, tuan Arnold sangat yakin kalau anda bisa lolos ujian masuk di Universitas Tokyo. Sebenarnya, tuan Arnold ingin anda kuliah di
Harvard. Tapi karena tuan Ozora Takeshi ingin...."
"Ya sudah kuduga! Pasti karena kakek!" Potong gue sebelum Rommy menyelesaikan penjelasannya.
Ya. Gue keturunan Japanese. Kakek buyut gue, Ozora Shouta menikahi nenek buyut gue, Sarah Widyanigrum. Dan mempunyai anak Ozora Takeshi, alias kakek gue.
Kemudian, kakek gue menikah dengan nenek, orang asli Ciamis. Dan mempunyai anak Ozora Yumeko, alias mama gue.
Silsila keluarga gue cukup rumit memang! Dan kalian pasti heran kenapa wajah gue tidak terlihat seperti orang Jepang yang biasa bermata sipit. Itu karena
gue lebih mirip dengan bokap gue yang memiliki keturunan Jawa Rusia. Nah, oleh karena itu, nama lengkap gue sebenarnya Ozora Samitra Aldebaran. Nama tersebut
diambil dari dua keluarga yang berbeda budaya.
*** [Raya pov] Tak terasa sudah sembilan hari gue berada di rumah sakit. Akhirnya dokter memperbolehkan gue untuk pulang. Tapi walaupun demikian, gue masih tetap harus
kontrol ke rumah sakit seminggu sekali selama dua bulan sampai kawat-kawat aneh di mulut gue benar-benar di lepas.
"Sayang, apa kamu masih nggak mau menemui mereka?" Tanya mama sambil memegang tangan gue.
Gue hanya menggeleng karena memang untuk saat ini, mulut gue dibungkam oleh kawat.
"Kasihan mereka. Setiap hari mereka menjengukmu. Tapi kamu malah mengabaikan mereka," papar mama.
Gue mengalihkan pandangan, tak berani menatap mama yang tumben berbicara dengan nada serius.
"Setidaknya kamu temui mereka sekali saja. Ya?" Tambah mama.
Gue menggeleng, bertandakan tidak menyetujui usulan mama. Ah, dengan kondisi tak bisa berbicara seperti ini, gue merasa ikutan acaranya Uya Kuya yang hanya
bisa mengucapkan iya, tidak, dan bisa jadi.
"Ya sudah kalau kamu tidak mau. Mama nggak akan memaksa." Mama membelai lembut pipi gue lalu beranjak pergi menuju ruang tamu untuk menemui Arsyaf, Renan,
El, dan Lea. Hari demi hari gue lewati dengan mengurung diri di dalam kamar, menonton drama korea, main game, dan sesekali belajar. Ratusan SMS dan chat dari Arsyaf,
Renan, El, dan Lea tak pernah gue balas meskipun gue membacanya. Gue tau mereka khawatir. Tapi gue cuma butuh waktu untuk sendiri.
*** 07. Chapter 31-35 Chapter 31 [Raya pov] Drrrtt... Untuk kesekian kalinya HP gue bergetar. Apalagi yang sahabat-sahabat gue kirim kali ini untuk membuat gue tertawa" Dengan malas, gue menyambar HP gue yang
terletak di atas meja, mengusap layarnya lalu membaca chat WA yang masuk. Senyum gue mengembang ketika Renan meng-upload foto editan. Di foto itu, Renan
di apit dua cewek cantik, siapa lagi kalau bukan Tantri dan Monica.
Arsyaf" " : Undangannya mana"
Renan" ?" : telat! Udah punya ank lima!
Elbara" " : tak sbar nunggu undangan.
Arsyaf?" : anaknya rnan udah lima. Telat om!
Elbara?" : lho" Undangan apa dulu" Undangan sunatan anknya kn belom!
Renan?" : oke. Tp yg nyunat ank qw, elo ya" Kyaknya elo ahli sunat menyunat hiks hiks hiks
Arsyaf" : hati2 klw ank lo di sunat El. Entar hbis dipangkas. Trus ilang dah
Elbara?" : bner kata Arsyaf, Ren. Gw gk ada bkat motong kek begono.
Renan" : gmn klw Raya aja yg nyunat ank gw"
Gue tersenyum sambil tertawa kecil setelah membaca chat-chat di grup WA. Rasanya setengah dari kegelisahan gue memudar dan perlahan hilang. Gue harap,
chat-chat seperti ini akan terus ada. Hari ini, esok, lusa, dan seterusnya.
Arsyaf" : iya nih! Dmn si Reva"
Raya" " " : hadir mas boy! ?"
Terlarut dalam kesedihan memang tidak baik. Sudah cukup! Gue harus kembali menjadi Raya yang dulu. Raya yang selalu ceria. Meskipun mental gue masih belum
siap untuk menemui mereka secara langsung, setidaknya gue membalas chat-chat mereka di grup WA.
Renan" " : gmn" Lo brani nyunat ank gw nggak"
Raya" " " : gw yg nyunat" He to the lo HELLO...
Elbara" : hallah! Pkek acra malu2 kucing sgala!
Raya" " : El, lo sunat aja sndiri! Lanjot pangkas. Lo pinjem golok" Tuh ada satu d rmh.
Elbara : lo pikir mau belah kelapa" Lo tawari golok
Raya" " : golok lebih cepet, El
Arsyaf : haduuh... pcr gw kumat. Mana klinik KLONTANG udh tutup lagi!
Renan : ada klinik bru, Syaf. di daerah tnah abang. Namanya klinik KUTANG
Raya?" : gw out. ?"
Pembahasan Renan selalu aneh dan menjurus ke hal-hal yang seperti itu. Tapi entah mengapa dia mengemasnya menjadi sesuatu yang lucu. Makasih ya semuanya.
Berkat kalian, gue jadi bisa tertawa kembali.
***** ?"?"?"*****
Chapter 32 [Raya pov] Sudah tiga minggu berlalu sejak kecelakaan itu. Tetapi polisi masih belum menemukan si pelaku. Polisi bilang, si pelaku sulit ditemukan karena dia memakai
plat nomor palsu di kendaraannya. Selain itu, si pelaku mencelakai gue di daerah yang jauh dari CCTV.
Si pelaku memakai motor mas boy di sinetron anak jalanan. Hanya saja warnanya hijau. Ya. Sejak sinetron anak jalanan nge-hits di kalangan anak muda, penjualan
motor keren seperti itu laris manis. Banyak anak muda yang memilikinya sehingga hal itu semakin menyulitkan polisi untuk menemukan si pelaku.
Gue menghela napas saat papa menceritakan kejadian yang sebenarnya ke gue. Sepertinya sang pelaku yang mencelakai gue sudah merencanakan hal ini sejak
awal. Apa mungkin dia seorang yang jenius" Sial! Dari situ saya merasa sedih.
Drrrtt.... Renan tiba-tiba mengirim audio ke grup WA anak-anak koplak. Kali ini apalagi yang ia lakukan untuk menghibur gue. Gue pun segera memencet gambar play untuk
mendengarkan audio yang ia kirimkan. Dalam audio itu, dia menyanyikan lagu india Hamko Hamise Curalo tapi liriknya ia rubah-rubah sendiri.
Hamster aposhe curanmor. Udel bodong tum pak Dono. Hamster ketek, Ono jahe, colek aje, enggak pape, ketek lo jangan pernah basah lagi.
Gue tertawa lepas walaupun gue masih belum bisa membuka mulut lebar-lebar karena masih ada kawat yang menempel. Sumpah! Sahabat gue yang satu ini memang
konyolnya nggak ketulungan.
Raya" " : ini baru kreatip, Ndong! Gw ngakak sumpah!?"
Renan : gmn" Lo mau gw nyanyi lgi nggak"
Raya" " : boleh ?"
Renan" : lo mau lagu apa"
Raya" ?" : bolle chudiyan
Renan" : oke. Entar ya...
Tak lama menunggu, Renan sudah mengirim audio lagu India Bolle Chudiyan tapi sama seperti tadi, liriknya dia rubah-rubah sendiri.
Bolle pacaran, bolle ciuman, asalkan jangan di sekolahan. Nanti ketahuan sama Dono yang kumisan.... cinta cinta oh Dono... cinta cinta
Arsyaf" : gw udh download audio lo. Entar gw setorin ke pak dono. Mampus lo!
Renan" : jgn pe'ak! Gw gk jdi diwisuda dong!
Elbara" : derita lo, Ren.
Raya" " " : Jgn bully Kevin Julio, gengs!
Arsyaf" : lo bilang kevin Julio" Lo pikir Renan pemain GGS apa"
Elbara" : Kevin Julio emang main GGS, Ganteng-Ganteng Srigala. Tapi klw Renan, Goblok-Goblok Stupid
Arsyaf" : hahaha dia emang pemain GGS, gila-gila stess
Raya" ?" : jgn bully dia gengs! Apa kalian nggak takut dihardik bau keteknya"
Renan" : Ray, gw udh rjin mndi kok! #jgn main fitnah ?"
Raya" ?" : ampun dah gerandong!
Ya. Seperti ini saja, Tuhan. Jangan pernah berubah. Persahabatan ini terasa begitu manis. Sampai-sampai terkadang gue ingin waktu berhenti saat kita berempat
bercanda tawa bersama seperti ini.
"Lalu kita harus bagaimana dong, Mas?" Kata Mama dengan suara agak tinggi.
Gue terkesiap, tercekat sejenak di atas kasur. Rasa penasaran pun menuntun gue melangkah keluar kamar menuju kamar Mama dan Papa. Di ambang pintu yang
sedikit terbuka, gue bisa melihat Mama berdiri di depan Papa yang saat itu duduk di atas kasur.
"Aku juga nggak tahu, Sayang. Aku sudah bekerja semaksimal mungkin tapi...." kalimat Papa terhenti.
"Bagaimana pun juga, kamu harus memiliki penerus perusahaan yang dapat dipercaya. Dengan begitu, para pemegang saham akan membantu kita menghadapi krisis
ini." "Siapa" Siapa yang akan kita jadikan penerus?" Tukas Papa.
"Tentu saja Raya!"
Mata gue mendelik kaget ketika Mama menyebut-nyebut nama gue sebagai penerus perusahaan. Jujur, selama ini gue tidak pernah memiliki niatan untuk menjadi
seorang pembisnis. Cita-cita gue sejak kecil adalah menjadi seorang arsitek.
"Tidak bisa, Sayang! Raya akan kuliah di jurusan arsitektur. Aku nggak mungkin maksa dia untuk...." Lagi, kalimat Papa belum rampung.
"Lalu, apa Mas Bram akan membiarkan perusahaan kita bangkrut?" Potong Mama.
Gue mematung dengan mata membulat. Bangkrut" Apa maksudnya" Jujur, gue masih belum mengerti dengan percakapan antara Mama dan Papa.
"Sayang, apa kamu tega memaksa Raya untuk mengambil jurusan Ekonomi" Dia baru saja mengalami kecelakaan. Dan dia masih stress hingga tidak mau menemui
teman-temannya. Apa kamu tega" Huh"!" Omel Papa sambil berdiri. Matanya melotot ke arah Mama.
Mama menangis. Air matanya terjatuh di pipinya yang sudah mulai berkerut karena usia. Hati gue teriris melihat Mama menangis. Ingin sekali rasanya melangkah
mendekat lalu memeluk wanita paruh baya itu. Tapi langkah kaki gue entah mengapa menolak berjalan maju.
"Maaf kan aku, Mas. Seharusnya aku juga memikirkan perasaan Raya," ujar Mama yang masih menangis.
Papa langsung mengusap air mata Mama. "Sudahlah. Jangan menangis! Aku akan memikirkan cara lain agar bisa menyelamatkan perusahaan."
Setelah mendengar percakapan itu, otak gue pun berproses. Apa hubungannya gue masuk jurusan Ekonomi atau tidak" Lantas kenapa para pemegang saham ingin
Papa memiliki seorang penerus" Apa mereka sudah tidak mempercayai Papa dalam mengelola perusahaan" Banyak sekali pertanyaan yang lalu lalang di kepala
gue. Haaassh Entahlah! Gue nggak tahu apa yang terjadi. Gue bingung bukan main.
Gue menghela napas berat, berjalan dengan langkah sedikit pincang kembali ke kamar lalu merebahkan tubuh gue di atas kasur. Gue harus bagaimana" Harus
bagaimana gue" Gue sangat ingin menjadi seorang arsitek. Tapi Mama dan Papa butuh gue sebagai penerus perusahaan.
Lama sekali gue berpikir sekitar tiga jam. Gue akhirnya memutuskan untuk memilih jurusan Ekonomi demi Mama dan Papa. Mulai sekarang, gue akan membuang
jauh-jauh impian gue menjadi seorang arsitek.
Oke, tekad gue sudah bulat! Gue akan memilih jurusan Ekonomi saat ujian SBMPTN kelak. Dan hal pertama yang perlu gue lakukan adalah mempelajari kumpulan
soal tes IPS karena untuk bisa menembus jurusan Ekonomi, gue harus melalui serangkaian soal-soal yang berhubungan dengan Ilmu Pengetahuan Sosial. Sedangkan
gue" Jangan tanya gue! Gue anak IPA. Daripada menghafal, gue jauh lebih suka menghitung. Itulah sebabnya saat SMA, gue memilih jurusan IPA walaupun konon
katanya jurusan IPS jauh lebih mudah.
*****?"?"?"*****
Chapter 33 [Elbara pov] Tidak bosan gue mengirim SMS atau chat di WA. Gue kangen banget sama Raya. Sudah beberapa minggu gue nggak melihat wajahnya sejak ia menjalani operasi.
"El, ke ruangan papa sekarang!" Perintah papa dengan wajah yang tampak serius.
Dahi gue mengernyit. Tak biasanya papa pulang sore seperti ini. Apalagi kali ini dia tak membawa pelacur ke rumah. Sebenarnya, apa yang sedang terjadi"
Gue pun berjalan malas ke ruang kerja papa.
"Apa ini, El?" Tanya papa sambil menyodorkan beberapa foto gue bersama Raya.
Mata gue melebar. Bagaimana mungkin papa mengetahui aktivitas gue selama ini" Apa papa mengirim mata-mata"
"Kenapa kamu pacaran sama anak pengusaha yang hampir bangkrut?" Tambah papa.
"Itu bukan urusan papa," sahut gue singkat.
"Putuskan dia sekarang dan pergilah ke Singapura untuk belajar bisnis."
"Aku tidak mau." Gue memanglingkan muka, merasa muak melihat lelaki paruh baya yang suka mengatur kehidupan gue.
"Kalau kamu tidak mau, papa akan mempercepat kebangkrutan keluarga gadis ini."
Mata gue mendelik kaget sambil menatap papa yang masih duduk santai di belakang meja kerjanya. Papa adalah seseorang yang berwatak keras. Apa pun yang
dia inginkan harus terpenuhi walau dengan cara kotor sekali pun. Ancaman seperti ini bukan ancaman kosong.
Gue tercekat, memikirkan ancaman papa. Di saat seperti ini, gue harus berpikir cepat. Sebelumnya, Sam sudah membahayakan hidup Raya. Dan sekarang" Sekarang
papa ingin mempercepat kebangkrutan keluarga Raya. Gue sadar, ini semua gara-gara gue yang egois ingin menjadi kekasihnya. Gue nggak mau Raya terluka lagi
gara-gara gue. "Baiklah, Pa. Aku akan pergi ke Singapura dan belajar bisnis sesuai keinginan Papa. Tapi beri aku waktu seminggu untuk menemui gadis itu." Gue mencoba
bernegosiasi. Papa tersenyum miring. "Seminggu" Jangan bercanda kamu, El!" Tukasnya.
"Aku sangat menyayanginya, Pa. Jika papa mengizinkanku menemuinya, aku berjanji akan belajar bisnis dengan baik di sana."
"Tiga hari. Papa beri kamu waktu tiga hari dari sekarang."
"Tapi, Pa...." "Tidak ada tapi-tapian!" Potong papa tegas.
Mulut gue pun terlipat. Tidak ada pilihan lain bagi gue selain menuruti perintah papa. Gue harus secepatnya meninggalkan Raya. Atau kalau tidak, Raya akan
terluka lagi. *** [Raya pov] Jujur, sebenarnya gue kangen banget sama sahabat-sahabat gue. Mulut gue sudah bisa digunakan buat ngomong, soalnya karet pengait antara gusi atas dan bawah
sebagian sudah dilepas. Tapi kawat-kawat aneh masih akan dilepas beberapa minggu lagi. Ah, tidak apa-apa. Setidaknya gue bisa ngomong buat bercanda bersama
teman-teman. Masalah kawat aneh ini, bisa gue tutupin masker.
Gue sudah nge-chat mereka di grup WA anak-anak koplak. Gue pengen ketemu mereka. Rasanya sudah lama sekali. Selain Arsyaf, Renan, dan El, gue juga mengajak
Lea agar ikutan nimbrung bareng kita berempat.
"Gue nggak nyangka lo mau ketemu sama kita semua, Ray," kata Renan yang saat itu duduk di hadapan gue. Di sampingnya sudah ada Arsyaf dan El.
Gue tertawa kecil di balik masker yang gue kenakan. "Iya. Maap ya, semuanya. Gue cuma mau sendiri dulu."
"Nggak apa-apa kok, Ray! Gue ngerti kok." Lea memeluk gue dari samping sambil tersenyum manis.
"Kamu tega, Ani! Kamu tega! Terlalu!" Cerca Arsyaf dengan nada bicara khas Roma Irama.
"Aku tak bermaksud seperti itu, Roma. Kenapa kamu mempertanyakan cintaku padamu" Dasar lelaki biadap!" Cerca gue balik dengan intonasi ala sinetron.
Renan dan Lea tertawa lepas melihat kekocakan kami. Mereka hanya geleng-geleng dan tak berhenti tertawa. Barang kali mereka berpikir, kami adalah pasangan
paling somplak di seluruh dunia.
"Eh! Pesanannya sudah datang!" El menunjuk seorang pelayan cantik yang berjalan ke arah kami.
"Ceweknya kok cuma dua" Satunya mana?" Tanya pelayan cantik itu kepo.
"Kok kepo sih?" Tanya gue judes.
"Apa mungkin mas mas nya ini ada yang jomblo satu?" Tanyanya lagi sambil menata makanan dan minuman yang kami pesan di atas meja.
"Maap, Mbak. Stok cogan udah abis. Adanya colek atu ketinggalan di rumah," jawab gue ketus.
"Colek apaan sih?" Tanya Renan.
"Cowok jelek!" Sahut gue asal.
Hahaha tawa kami berlima riuh melesat ke seluruh restoran. Beberapa pengunjung restoran sempat menoleh ke arah meja kami.
"Gimana mbak" Mau nggak sama colek" Namanya Sobirin. Dia nggak pernah pacaran, jomblo saat masih dalam kandungan," papar gue pada pelayan itu.
"Kalau colek mah saya juga ogah, mbak!" Tukas pelayan itu bete. "Saya maunya sama mas mas cogan kek begini." Pelayan itu melihat Arsyaf, Renan, dan El
secara bergantian. "Ya elah, Mbak! Mana ada cogan hidup tragis dengan menjomblo" Di mana-mana, hidup jomblo tragis hanya dialami oleh para colek doang."
"Bener juga sih." Pelayan itu tampak berpikir.
Tak berapa lama berpikir, pelayan itu menulis sesuatu di kertas kecil lalu memberikannya ke gue. Astogeh! Dia ngasih gue nomor togel, eh maksud gue nomor
telepon. Dahi gue mengernyit.
"Itu nomor telepon saya, Mbak. Kalau semisal ada temen Mbak yang putus, Mbak bisa telepon saya," papar pelayan itu.
Ya elah nih pelayan ngotot amat yak cari jodoh" Daripada ngotot cari jodoh, mending cari pesugihan! Apa mungkin nih pelayan nggak laku-laku"
"Oh iya. Kenalkan! Nama saya Rodiyah," sambung pelayan itu.
Kami berlima sempat melongo sebentar sebelum tawa kami membuncah hebat dan lagi-lagi memenuhi seluruh ruangan restoran. Betapa tidak" Cewek cantik seperti
dia ternyata memiliki nama bekas zaman pra sejarah. Mungkin emak bapaknya males mikir kali yak" Bushet dah!
****?"?"?"*****
Chapter 34 [Raya pov] "Eh BTW, bercanda yuk!" Ajak gue manja.
"Lo mau bercanda?" Alis Renan terangkat sejenak. "Ya udah. Gue punya pertanyaan buat kalian semua."
"Pertanyaan apa?"
"Hal apa yang paling kocak yang pernah lo lakuin di sekolah?"
"Emmm...." gue masih berpikir.
"Makan gorengan Bik Sum," celetuk Arsyaf.
Cewek Cetar Dua Karya Zaeemaazzahra di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Deng dong! Dasar otak amuba! Emangnya lo pikir makan gorengan Bik Sum itu hal yang kocak apa?" Omel Renan.
Arsyaf jadi kicep. Mungkin daya kreativitasnya masih di bawah suhu nol derajat celcius. Atau mungkin IQ nya menurun lagi dari 0,4 menjadi 0,3.
"Kalau lo sendiri, Ren" Hal apa yang paling kocak yang pernah lo lakuin di sekolah?" Tanya El sambil melihat wajah Renan dari samping.
"Dulu guweh pernah tuh pas jam belajar," curhat Renan dengan intonasi gaya bicara anak alay. "Guweh izin ke belakang sama guru kimia guweh getoh."
"Eh, ada kresek nggak gengs?" Tanya gue tiba-tiba, memotong cerita Renan.
"Buat apa, Ray?" Tanya Lea keheranan.
"Buat bungkus mukanya Renan. Nyebelin banget intonasinya tau nggak?"
"Lanjutin aja, Ren! Jangan hiraukan Rayap!" Pinta Arsyaf sambil melihat Renan dari samping.
"Okeh, guweh lanjutin!" Sambung Renan dengan intonasi menyebalkan seperti tadi. "Guweh izin ke toilet getoh. Tapi guweh belok ke kantin. Eh, pas masuk
kelas, guweh ditonjokin sama guru guweh."
"Ah, lebay lu!" Cerca Arsyaf. "Nggak mungkin Dono sampek nonjok. Hukuman paling berat aja dikebiri."
Ya dewa... pacar gua dodol amat yak" Panci mana panci" Buat nimpuk tuh kelapa. Eh, kepala maksudnya. Lama-lama gue kasihan sama si Dono. Udah namanya nggak
bagus-bagus amat, difitnah suka nonjokin, difitnah suka mengkebiri, terus apa lagi cobak" Untung saja kumisnya imut dan ngangenin buat dijambak. Mungkin
hanya itu poin plus dari seorang Dono.
"Kalau lo, El?" Tanya gue.
El tampak berpikir sejenak tanpa bernapas sekedar satu alif. Gue masih menunggu. Dia tak pandai membuat lelucon. Tapi gue harap, leluconnya nggak garing.
"Gue pernah boncengin Bu Rukmini. Panggil aja BuRuk. Eh, malah dikira boncengin buldoser," papar El.
Tawa kami berlima lagi-lagi pecah untuk yang kesekian kalinya. Alhamdulillah, lawakannya nggak garing. Padahal jantung gue tadi sempat menegang, khawatir
dia nggak lucu. "Sekarang giliran elo, Ray!" Celetuk Renan.
"Dulu guweh pernah telat masuk sekolah," papar gue dengan memakai gaya bicara anak alay, mencoba meniru Renan.
"Stop! Stop! Kalian punya karung goni nggak gengs?" Potong Renan ngotot.
"Buat apa, Ren?" Tanya Arsyaf.
"Buat buntel nih anak!" Renan menjambak pelan poni gue. "Mau gue titipin sungai Nil. Siapa tau diadopsi Fir'aun."
Lagi, tawa kami berlima membuncah ke seluruh ruangan. Entah sudah berapa kali.
"Oke, guweh lanjutin ceritanya. Waktu pas guweh telat, kebetulan guru piket hari itu adalah Pak Kepleset," sambung gue bercerita.
"KEPSEK!!" Tegur Arsyaf, Renan, El, dan Lea bebarengan.
"Guweh mulanya takut, tapi guweh beraniin untuk masuk. Guweh kira dimarahi. Eh, malah dikasih permen kiss. Pak Kepret guweh emang gokil, men!"
"KEPSEK!!" Lagi, keempat sahabat gue menegur tegas.
*****?"?"?"*****
Chapter 35 [Raya pov] Setelah puas tertawa, kami pun melanjutkan kekonyolan kami. Dan, Arsyaf mau nggak mau harus buat cerita konyol. Kalau tidak, heeemmm..... ya tidak apa-apa
sih. "Ayo, Syaf! Sekarang giliran elo. Tadi elo enggak lucu," hina gue jujur. "Sekarang lo harus lucu."
"Kalau guweh dulu pernah duduk satu bangku sama temen guweh namanya Slamet." Sekarang Arsyaf ikut-ikutan meniru gaya bicara anak alay.
"Ooohh Slamet yang rambutnya nge-jos kayak Naruto?" Celetuk Renan. "Terus" Terus?"
"Pas waktu serius-seriusnya pelajaran agama, kan ceritanya lagi bahas Ustadz Yusuf Mansur. Eh dia malah teriak, MENDING BAHAS MANSUR S."
Koplak koplak! Pacar gua emang koplak dah! Tawa kembali riuh di antara kami berlima. Pengunjung restoran yang lainnya tampak agak kesal dengan kegaduhan
yang kami buat. "Terus" Terus?" Kata gue ngotot.
"Terus, si Slamet langsung kena hukum sama guru agama. Guweh juga kena hukum getoh gara-gara tertawa paling keras," papar Arsyaf.
"Emangnya apa hukumannya?" Renan tampak semakin penasaran.
"Guweh dan Slamet disuruh ngerangkum ceramahnya Ustadz Yusuf Mansur yang biasa tayang pagi-pagi. Pas ditagih ama guru agama guweh, guweh bilang aja nggak
punya tipi. Dan yang lebih konyolnya, Slamet bilang kalau tipi yang channelnya Ustadz Yusuf Mansur lagi eror, buram, dan gak jelas getoh," jelas Arsyaf
panjang kali lebar kali tinggi, udah kayak rumus volume balok aja.
"Sekarang giliran Lea!" Celetuk gue sambil menatap Lea penuh semangat.
"Ah, gue nggak ada pengalaman lucu," kilah Lea.
Arsyaf mengacak rambut gue lembut. "Udahlah, Rayap! Lea itu otaknya masih normal nggak kayak elo, gesrek-gesrek abnormal!" Katanya lalu terkekeh.
"Ih nyebelin!" Ucap gue manja sambil menghempaskan tangan Arsyaf dari puncak kepala gue.
*** [Lea pov] Sudah hampir setahun gue berada di antara mereka berempat. Tapi gue masih merasa belum benar-benar membaur dengan mereka. Seolah ada sekat perbedaan sifat
di antara kami. Kalau boleh jujur, gue masih suka sama Arsyaf. Semakin gue mengenalnya, semakin gue menyukainya. Betapa tidak" Dia tampan, baik, dan humoris. Terlebih
lagi dia begitu setia. Perempuan mana yang tak terperdaya oleh semua itu"
Gue tercekat melihat kemesraan Raya dan Arsyaf. Sesak bukan main. Sampai saat ini masih belum ada yang tau kalau gue menyimpan rasa yang teramat sangat
terhadap Arsyaf. Tidak apa-apa jika Arsyaf bukan milik gue. Asalkan gue bisa melihatnya setiap hari, itu lebih dari sekedar cukup.
Mungkin gue egois, mencintai cowok sahabat gue sendiri. Tapi seberapa sering gue menangkisnya, perasaan gue masih sama terhadap Arsyaf. Dan anehnya, perasaan
terlarang itu kian menggunung seiring berjalannya waktu. Sempat gue berpikir, kenapa dia menyukai Raya" Kenapa dia tidak menyukai gue" Padahal gue jauh
lebih cantik daripada Raya. Sempat juga gue mencoba mengikhlaskan Arsyaf untuk Raya. Tapi nyatanya nggak bisa. Hati gue masih terasa sesak setiap kali
melihat kemesraan mereka.
"Eh, Lea! Entar lo dijemput?" Tanya Raya.
Gue terkesiap. "Emm... gue naik taksi, Ray. Soalnya pas dateng ke sini, gue naik taksi," jawab gue sambil mengembangnya senyum tipis untuk Raya.
"Jangan! Jangan naik taksi!"
"Kenapa?" Alis gue sedikit terangkat.
"Ini ada tiga cowok bego yang siap nganterin elo." Raya menunjuk El, Renan, dan Arsyaf secara bergantian.
"Enggak usah, Ray! Gue nggak mau ngerepotin."
"Nggak apa-apa, Lea. Biar Renan atau El yang nganterin elo," ujar Arsyaf setelah menyuruput es moccacino miliknya.
"Betul betul betul." Raya hanya manggut-manggut.
08. Chapter 36-40 Chapter 36 [Lea pov] "Ya udah, biar gue yang anterin Lea pulang," ujar Renan.
Gue terlonjak. Cowok yang sangat jarang sekali ngomong sama gue tiba-tiba menawarkan diri untuk mengantar gue pulang. Apa gue nggak salah dengar"
"Bagus, Black! Itu baru namanya cowok sejati. Iya nggak?" Raya menaik turunkan alisnya sambil menatap Renan usil.
Renan terkekeh sambil menjambak pelan poni Raya. Tak lama kemudian, HP Renan bergetar. Ia pun mengambil HP nya lalu menerima panggilan.
"Apa, Ma" Mama mau aku jemput Mama di bandara sekarang?" Kata Renan dengan suara yang terdengar agak kaget. Ia melirik gue sebentar. "Tapi Renan udah janji
mau nganter temen Renan pulang, Ma," sambungnya.
"Ada apa, Ren?" Tanya Raya setengah berbisik.
"Ya udah deh, Ma. Ya udah. Renan akan jemput Mama sekarang," imbuh Renan pada seseorang yang meneleponnya. Lalu ia pun mengakhiri panggilan.
"Ada apa, Ren?" Ulang Raya.
Renan menggaruk kepalanya yang tak terasa gatal. "Gini, Ray. Sepertinya, gue nggak bisa anterin Lea pulang. Soalnya nyokap gue minta jemput di bandara,"
paparnya. "Ya udah, nggak apa-apa. Lo jemput nyokap lo aja, Ren."
"Beneran nggak apa-apa nih?"
"Iya, bener!" Sahut Raya.
"Lea, maaf ya!" Kata Renan sambil memasukkan HP dan dompetnya ke dalam tas.
"Nyantai aja kali, Ren!" Sahut gue sambil tersenyum tipis.
"Gengs! Gue duluan ya!" Pamit Renan sambil mengedarkan pandangan ke arah kami berempat secara bergantian. Lalu melambaikan tangan sekilas.
"Iye. Hati-hati di jalan ye," sahut Raya sambil membalas lambaian tangan Renan.
"Ya udah, El! Berarti elo yang harus mengantar Lea pulang." Arsyaf menepuk pundak El dua kali.
Dahi El mengerut. Ia menatap Arsyaf heran. "Kenapa harus gue?"
"Ya karena gue akan anterin Raya pulang."
"Tapi rumah lo kan nggak searah sama rumahnya Raya. Rumah lo itu searah sama rumahnya Lea."
"Oh iya ding!" Arsyaf menggeprak jidatnya sendiri.
"Gini aja, lo anterin Lea pulang. Dan gue anterin Raya pulang," usul El.
"Enak aja! Gue masih pengen berbencong-bencong sama Raya di jalan tauk!"
"BERBINCANG-BINCANG!!" Tegur Raya sambil mengulum tawa.
"Sudah nggak apa-apa. Gue naik taksi aja," tolak gue miris.
Semuanya ingin mengantar Raya pulang. Tidak ada seorang pun yang mau mengantarkan gue pulang. Jujur, gue terkadang merasa iri dengan kehidupan Raya. Dia
di kelilingi oleh tiga cowok tampan idola sekolah yang sangat memperhatikannya. Kehidupannya tampak sangat berwarna. Dia memiliki segalanya. Mulai dari
keluarga yang harmonis, pacar yang setia, dan sahabat-sahabat yang menyayanginya. Sementara gue" Keluarga gue nggak lengkap. Ayah gue meninggal sejak gue
berumur 8 tahun. Mama sempat menikah lagi dengan seorang pengusaha kaya. Tapi sekitar 2 tahun berumah tangga, mama bercerai. Sejak saat itu, gue hidup
berdua bersama mama. Sebagai seorang single parent, mama bekerja banting tulang untuk memenuhi kebutuhan kami berdua. Dia bekerja sebagai manager marketing di salah satu perusahaan
ternama. Hampir setiap hari mama berangkat pagi dan pulang sore. Setelah itu, ia juga masih berkutat di depan laptop dan setumpuk berkas-berkas. Tidak
ada waktu buat gue untuk curhat seperti layaknya anak dan ibu pada umumnya.
Selain tak mempunyai seorang ayah, gue juga tak mempunyai sahabat. Semuanya hanya sekedar teman. Tak ada yang benar-benar dekat dengan gue karena gue memang
tipe anak yang sulit bergaul terutama sama anak cowok. Itulah sebabnya gue mendaftar sebagai anggota OSIS. Semua itu gue lakukan agar mengasah kemampuan
gue dalam berinteraksi dengan yang lain.
Berbeda dengan gue, Raya juga jarang memiliki teman. Setahu gue, saat kelas X, dia hanya berteman dengan Murti dan Tantri. Dia bahkan tak mempunyai teman
sama sekali ketika Tantri menghianatinya saat kelas XI. Tapi anehnya, dia tampak biasa-biasa saja. Dan sejak saat itu pula, dia bersahabat dengan Arsyaf
dan Renan. "El bener, Syaf. Rumah lo sama rumah Lea searah. Sedangkan rumah gue searah sama rumah El." Raya membenarkan usulan El.
Di tempat parkir, Raya sudah duduk di jok belakang motornya El. Mereka sepertinya sudah siap pergi. Sementara gue masih bingung memakai helm. Slotnya tak
berfungsi. Arsyaf yang tadinya sudah bersiap menstater motornya jadi terhenti. Ia turun dari motornya lalu membantu gue memakai helm.
"Patkay, kita duluan ya," kata Raya.
"Iya, Syaf, gue sama Raya duluan ya," tambah El lalu menstater motornya dan berlalu pergi.
"INGAT! JANGAN NGEBUT DAN JANGAN NGEREM MENDADAK!" Teriak Arsyaf geram.
El tidak menyahuti ucapannya. Cowok pendiam itu hanya mengacungkan jempol kirinya sekilas, bertanda kalau ia mengiyakan larangan Arsyaf.
Di tengah keramaian kota Jakarta, jantung gue meronta. Bagaimana tidak" Ini pertama kalinya gue dibonceng sama orang yang gue cintai selama 6 tahun. Punggungnya
begitu lebar. Ah, rasanya ingin sekali wajah gue menempel di punggung itu. Tapi nggak boleh! Nggak boleh! Sadar, Lea! Dia itu pacar sahabat lo sendiri.
Hari ini gue merasa seperti menang undian berhadiah. Tidak apa-apa jika seperti ini. Asalkan bisa melihatnya, asalkan bisa berada di dekatnya, itu sudah
lebih dari sekedar cukup. Meskipun tak dapat dipungkiri kalau gue masih menginginkan menjadi lebih dari sekedar teman.
*****?"?"?"*****
Chapter 37 [Raya pov] Kami pun melesat menuju keramaian kota Jakarta. Entah mengapa gue ingin bersama El daripada bersama Arsyaf untuk saat ini. Apa karena gue bosan" Ah, entahlah.
Yang penting sekarang gue bersama El.
"El, ini bukan jalan menuju rumahku," kata gue keheranan ketika motor El melaju lurus. Padahal rumah gue belok ke kiri.
"Ayo kita kencan!" Ajaknya.
Mata gue melebar sesaat mendengar kata kencan keluar dari mulutnya. Ya. Semenjak kita jadian, kita belum pernah kencan sama sekali.
"Kencan ke mana?" Tanya gue sambil menaikkan oktaf suara, mencoba mengalahkan suara deru knalpot kendaraan lain.
"Gimana kalau ke pantai?"
"Pantai" Mending kita ke kali Ciliwung," kata gue melucu.
"Kali Ciliwung" Kamu mau lihat kuman?"
Gue terkekeh. "Tumben kamu bisa melawak!" Ucap gue manja sambil menepuk punggungnya.
Sesampainya di pantai, gue dan El melepaskan sepatu kami, membiarkan kaki kami tanpa alas kaki untuk menikmati butiran-butiran pasir putih yang menggelitik.
Kami pun berjalan beriringan sepanjang pantai, menghayati angin sepoi yang dengan lancang menggoda kami.
Hening. Sejenak tidak ada percakapan di antara kami. Tangan El merambat, lalu menggenggam tangan gue erat. Gue terlonjak. Degupan jantung gue mulai tak
karuan. Mungkin pipi gue sudah memerah. Ah, gue senang!
"El, gimana kalau kita main tebak-tebakkan?" Tanya gue sambil mengayun-ayunkan tangan El.
"Tebak-tebakkan?" Dahi El mengerut.
"Em...." sejenak gue berpikir. "Apa bahasa Inggrisnya kapal hantu?"
El terkekeh. "Gosip," jawabnya.
Gue ikutan tertawa kecil. "Oke, sekarang, apa bahasa Inggrisnya lagu hantu?" Lanjut gue melawak.
"Gosong." Tawa El seketika membucah. Kemudian dia mengacak puncak kepala gue.
Setelah puas berjalan di pantai, akhirnya kami pun duduk di sebuah kayu usang bersama, menunggu sunset datang.
"Eh, ngomong-ngomong, kita nggak pernah selfie berdua nih," ujar El sambil mengeluarkan HP dari jaketnya. "Ayo kita selfie!" Dia merangkul bahu gue dengan
mesra. Dan.... ckrik ckrik Gue merebut HP El untuk melihat hasilnya. Kemudian dari balik masker yang gue pakai, gue cemberut manyun. Bagaimana tidak" Wajah El terlihat sangat tampan.
Sedangkan gue terlihat seperti suster ngesot pakek masker hijau kayak mau operasi.
"Iihhh! Fotonya jelek! Aku hapus aja!" Ujar gue manja sambil berusaha menekan gambar tong sampah pada layar HP El.
"Eh jangan!" El dengan cepat mengambil HP nya sebelum gue berhasil menghapus foto selfie kami. "Mending kita foto lagi aja."
"Ya udah deh." "Kamu nggak usah pakek masker segala." El tiba-tiba melepaskan masker yang gue kenakan.
Gue langsung menutup mulut supaya El tidak pingsan karena melihat kawat aneh yang masih menempel di gusi gue. Entah mengapa suasana menghening. Mata kami
saling bertatap. Dia mengelus-elus pipi gue dengan belaian lembut lalu jemarinya menyentuh bibir gue bagian bawah. Jantung gue berdegup kencang, ritmenya
tak beraturan. Apa jantung El juga demikian"
Perlahan El memejamkan mata, mencondongkan wajahnya ke arah gue, tepat saat matahari ingin berpulang ke belahan dunia yang lain. Sunset indah seolah terdiam.
Gue pun mematung. Apa El akan meminta sebuah ciuman"
Mata gue yang tadinya terbelalak perlahan juga terpejam, bersiap menerima ciumannya. Apa gue sudah gila" Gue mau dicium El" Kalau saat ini gue mau, maka
itu berarti gue akan melanggar semua prinsip yang telah gue buat sendiri. Prinsip no kiss no secret affair. Sudahlah sudah! Lagipula, gue sudah melanggar
salah satunya. Tidak ada salahnya melanggar prinsip yang lainnya, bukan" Ya. Pikiran setan seperti itu mulai meracuni otak gue hingga gue melupakan nilai-nilai
yang gue pegang selama ini.
*****?"?"?"*****
Chapter 38 [Raya pov] Sunset di ujung lautan seolah menjadi saksi cinta kami. Mata gue masih terpejam. Jantung gue berdegup semakin kencang tiap detiknya. Sekujur tubuh gue
menegang. Gue pun menelan ludah, gugup bukan main. Tapi sebelum bibir kami benar-benar bertemu, seekor keong beracun tiba-tiba merambat di kaki gue.
Aaarrrrghh Gue terlonjak kaget. El terkesiap. Ia membuka matanya lalu terkekeh. Gue lagi-lagi menelan ludah dan langsung berpaling muka dari El. Napas gue tak beraturan.
Mungkin pipi gue sudah memerah sedari tadi. Setelah itu, gue langsung buru-buru memasang masker agar El tak tahu betapa malunya gue. Sumpah! Gue salah
tingkah! "Kenapa kamu menjerit?" tanya El sambil mengulum tawa.
"Tuh ada keong!" jawab gue sambil melirik sekilas keong kecil yang berjalan lambat di sekitar kaki gue.
El lagi-lagi terkekeh. Ia mengambil keong itu, memandanginya sejenak, lalu membuangnya jauh-jauh.
"Sudah. Keongnya sudah nggak ada. Apa bisa kita lanjutkan aktivitas kita tadi?" godanya.
"Aktivitas yang mana ya?" Gue belagak pilon.
"Ya ... yang tadi itu."
"Ah, kayaknya udah malem deh. Aku mau pulang," kata gue mengalihkan pembicaraan.
El mengelus rambut gue lembut. "Ya udah. Ayo kita pulang!" katanya sambil mengembangkan senyuman tipis.
*** Gue berdiri di depan cermin. Dengan senyuman kecil, gue membolak-balikkan tubuh gue. Mungkin ini akan jadi hari terakhir gue memakai seragam putih abu-abu
yang biasa gue pakek hampir setiap hari.
Ya! Waktunya corat-coret sadis ala anak SMA yang merasa gaul. Hello... hay bye bye.
Setelah memakai masker, gue pun berangkat ke sekolah. Di sana sudah ada Arsyaf yang menunggu gue di depan gerbang sekolah. Dia tersenyum jahat dan langsung
menyemprotkan cat ke seragam gue. Gue berteriak sambil berlari menjauh. Tapi dia dengan langkah panjangnya terus mengejar dari belakang. Dan akhirnya,
dia berhasil menyemprotkan cat ke seragam gue lagi.
"Arsyaf!" tegur gue sambil melipat tangan.
Dia menyeringai khas. "Selamat hari kelulusan, sayangku."
"Selamat hari kelulusan juga, babiku," sahut gue manja.
Dia kemudian mengeluarkan spidol dari dalam saku celananya. "Sini! Aku ingin jadi orang yang pertama nulis di seragammu," paparnya.
Gue mengangguk. "Baiklah," gue pun menyiapkan punggung gue buat Arsyaf, agar dia bisa leluasa menulis di seragam putih gue.
Cukup lama ia menulis. Apa IQ nya semakin menurun" Atau... apa dia lupa cara menulis" Sebenarnya apa yang ia tulis" Ah, gue jadi penasaran.
"Udah belom?" tanya gue tak sabaran.
"Iya bentar!" sahutnya.
"Aku penasaran nih!"
"Iya. Bentar." "Kamu nulis apa sih?"
"Nulis kata-kata yang bisa buat kamu klepek-klepek."
"Klepek-klepek?" Dahi gue berkerut. "Kata klepek-klepek membuatku teringat ikan mujair yang papaku
tangkap tempo hari."
"Kenapa emang?" tanya Arsyaf yang masih asyik menulis di seragam gue.
"Ikan mujairnya goyang dualima pas di angkat dari air. Mulutnya mangap-mangap gitu. Klepek-klepek."
"Nah! Udah!" Arsyaf menutup spidolnya lalu membalikkan badan gue. "Kamu bisa baca pas sudah pulang nanti. Oke?"
"Oke, bos!" Gue langsung hormat pada Arsyaf sambil memberikan senyuman termanis.
Arsyaf tertawa kecil sambil mencubit gemas pipi gue. "Lucu banget sih pacarku ini. Pengen langsung kupinang dengan Bismillah deh."
Alis gue terangkat. "Aku mah ogah kalau cuma dipinang dengan Bismillah doang! Semua cowok juga bisa ngomong Bismillah."
"Ish ish ish!" Arsyaf geleng-geleng. "Terus, kamu ingin aku pinang dengan apa?"
"Ya dengan duit lah!" tukas gue ngotot.
"Ya ampun, pacarku kok matre banget yak?"
"Di dunia ini, nggak ada cewek yang nggak matre. Kalau ada cewek yang ngaku nggak matre, berarti dia menyebarkan berita hoax."
"Emang kamu nggak merasa kalau dipinang dengan Bismillah itu sesuatu yang romantis apa?"
"Enggak!" tukas gue cepat.
"Kan sudah ada lagunya tuh! Yang nyanyi Pasha Ungu lagi!"
"Mau yang nyanyi Pasha Ungu, mau yang nyanyi Dewi Sancai, gue tetep ogah kalau dipinang dengan Bismillah doang!"
"DEWI SANCA!" tegur Arsyaf ngotot. "Kalau Sancai, pacarnya Tomingse, Tomas Ingin Sendiri."
"Maap Pak bos." Gue memasang wajah imut.
"Baiklah kalau itu maumu, Kushi."
"Terima kasih Arsyaf Sing Raizada."
Kami kemudian tertawa bersama. Pertengkaran manis seperti ini yang membuat gue enggan melepaskan Arsyaf demi El. Gue tahu kalau gue egois. Tapi itulah
kenyataannya. Gue masih tidak bisa memilih di antara keduanya. Yang satunya membuat hidup gue menjadi lebih berwarna, yang satunya membuat gue merasa aman
dan nyaman. Sampai kapan akan seperti ini" Kelak, gue harus memilih. Tidak bisa selamanya akan seperti ini.
"Eh, BTW, di mana Renan dan El?" tanya gue celingukan dengan mata yang menyisir seluruh halaman sekolah.
"Itu Renan!" Arsyaf menunjuk balkon lantai dua.
Di sana gue bisa melihat Renan di kejar dua kuntilanak, Tantri dan Monica. Istri tua dan istri muda lagi merajuk. Melihat hal itu, gue hanya bisa tetawa
geli. "Kak Arsyaf! Kak Arsyaf!" Tiba-tiba segerombol adik-adik kelas berlari menghampiri Arsyaf hingga membuat gue terpental menjauh.
Di antara adik-adik kelas itu, terdiri dari beberapa spesies yang berbeda. Ada yang cantik, ada yang biasa-biasa aja, ada pula yang jelek. Ada yang tinggi,
ada yang sedang-sedang saja, ada pula yang cebol. Ada yang berkulit putih, kuning langsat, coklat, hitam, ada pula yang berkulit hijau toska. Eh"
Gue menghela napas. Tidak mungkin bagi gue untuk menerobos masuk kerumunan cewek-cewek centil itu. Bisa-bisa sepulang sekolah gue kena santet. Wuuuah!
Bisa berabe nih. Gue pun memutuskan untuk mencari El. Siapa tahu dia sendirian dan tak bersama Pamela atau para fans fanatiknya. Gue berjalan menuju kelas, dan gue tak
menjumpainya di sana. Kemudian gue mencarinya di gudang, base camp anak-anak geng di sekolah. Nihil. Dia juga tidak ada di sana. Hampir putus asa gue mencarinya
hingga gue ingat satu tempat yang belum gue periksa.
*****?"?"?"*****
Chapter 39 [Raya pov] Kaki gue melangkah menuju bukit belakang sekolah. Napas gue terasa ngos-ngosan setelah mencari El ke mana-mana. Tapi, di sana nihil. El tidak ada. Sebenarnya
di mana dia" Aaarrrgghh Teriak gue ketika seorang cowok tiba-tiba melompat dari atas pohon. Untung bukan monyet. Ya. Dia El. Sambil menepuk-nepuk dada pelan, gue mencoba meredam
kekagetan. "El! Kamu ngagetin aku tau nggak?" bentak gue marah.
Dia malah meringis senang. "Maaf ya guru Tong." Dia mengacak rambut gue.
Sumpah! Gue jadi tersipu malu. Pipi gue memerah. "Apaan sih!" Gue menepis tangannya.
Gue bisa melihat seragam yang ia kenakan masih putih bersih. Itu tandanya masih belum ada orang yang mencorat-coret seragamnya. Apa dia menunggu gue"
Cewek Cetar Dua Karya Zaeemaazzahra di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ini!" Dia tiba-tiba menyodorkan sebuah spidol merah pada gue. "Tulis sesuatu di seragamku!"
Alis gue terangkat. Benar dugaan gue. Mungkin dia ingin gue menjadi orang pertama yang mencorat coret seragam putihnya. Gue pun menyambar spidol itu, membalikkan
badannya, lalu mulai menulis.
Love you more, El jelek! "Kamu nulis apa?" tanya El penasaran.
"Aku nulis, awas ini ketua geng!" jawab gue asal.
Dia terkekeh lalu membalikkan badannya kemudian menatap gue lekat. "Sekarang, mana punggungmu" Aku mau nulis sesuatu," paparnya.
Kini giliran gue yang membalikkan badan dan menyiapkan punggung untuknya. Apa dia menulis sesuatu" Kenapa tidak terasa" Pikiran gue melayang-layang, menerka-nerka
apa yang ia tulis. "Kamu nulis apa sih, El" Kok nggak terasa?" Pertanyaan yang sedari tadi gue simpan akhirnya terlontar juga.
"Entar kamu cari aja. Kalau kamu nggak nemu, berarti ..." El tercekat.
"Berarti apa?" Alis gue terangkat sejenak.
"Lupakan," katanya.
Aneh, kenapa gue merasa kalau El menyembunyikan sesuatu dari gue" Sebenarnya, apa yang El sembunyikan" Apa itu hanya perasaan gue saja"
*** [Elbara pov] Mungkin hari ini akan menjadi hari terakhir gue bertemu Raya. Sedih rasanya. Dialah satu-satunya orang yang gue sayang di dunia ini. Dan karena gue terlalu
menyayanginya, gue harus meninggalkannya secepat mungkin, sebelum Papa mencelakai keluarganya.
Gue nggak boleh egois. Bagi gue, lebih baik melihat dia bahagia bersama orang lain daripada harus menderita hidup bersama gue. Awalnya gue sangat menginginkannya
berada di samping gue. Tapi jika itu membuatnya terluka, maka tidak perlu. Lebih baik gue yang pergi.
Apa kalian tahu gue nulis apa di seragam Raya" Gue nulis, Aku akan kembali di balik kerah bajunya. Mungkin dia bisa saja tidak menemukan tulisan itu. Karena
memang gue menulisnya di tempat yang sulit untuk ditemukan, sekali lagi, di balik kerah baju bagian belakang.
Di tepi pantai gue merenung. Ini adalah hari terakhit gue bersama Raya. Sedih rasanya. Tapi mau bagaimana lagi" Karena jika tetap bersamanya, gue akan
semakin sedih jika melihatnya terluka.
Gue menghela napas panjang sambil menikmati sunset indah di ufuk sana. Tenggelamnya bola orange itu akan selalu mengingatkan gue pada sosok Raya, satu-satunya
gadis yang pernah menemani gue melihat mega merah di ujung sore yang hangat.
Gue pun mengambil ponsel dari saku celana gue, lalu bersiap membuangnya jauh-jauh ke laut. Tapi gue tercekat, ingat kalau di dalam ponsel ini masih menyimpan
banyak foto gue bersama Raya. Gue pun melepaskan kartu kecil dari wadahnya, lalu melemparnya ke air agar Raya tidak bisa menghubungi gue lagi. Jika papa
tahu kalau gue dan Raya masih berhubungan, maka papa nggak akan segan-segan mempercepat kebangkrutan perusahaan papanya Raya.
*** [Raya pov] Setelah selesai mandi, gue buru-buru menyisir tulisan-tulisan yang bertebaran di seragam gue yang tadinya putih bersih. Pertama, gue membaca tulisan Arsyaf.
Gue jadi tersenyum sendiri.
Love love love Cewek cetar, item, dekil, cerewet, but I love her.
Bagaimana bisa gue nggak tertawa" Tulisannya jelek banget kayak cacing kremi, sulit dibaca. Apa mungkin dia baru belajar menulis" Gue terkekeh.
Gue pun bergegas mencari tulisan El. Dahi gue mengernyit. Sudah sekitar lima belas menit gue mencari tulisannya, tapi tetap tidak ketemu. Gue hanya nemu
tulisan Arsyaf, Renan, Lea, dan Murti. Tapi di mana tulisan El" Apa dia tidak menulis sesuatu di punggung gue" Apa itu sebabnya gue tak merasakan guratan
pena yang ia ayunkan" Gue pun mendengus kesal. Lalu gue memutuskan untuk menanyakan pada orangnya langsung.
Raya" " : km nulis dmn, El"
Rasanya dag dig dug menunggu balasan SMS dari El. Lama banget gue menunggu. Tapi tetap saja tidak ada balasan darinya. Gue pun mencoba menelponnya. Tapi
hanya ada suara embek embek customer service yang mengatakan kalau nomer El sedang tidak aktif. Apa mungkin El lupa menge-cash ponselnya"
Tak sabar rasanya gue mendengar suara El. Lagi, gue menelponnya. Tapi sama seperti tadi, hanya ada jawaban dari embek-embek customer service. Eh, maksud
gue embak-embak. Gue pun mendengus kesal, membanting diri di atas kasur sambil memandangi langit-langit kamar. Sebenarnya, ada apa dengan El"
*** Dooorr dooorr dooorr Suara ketukan pintu terus menderu keras-keras. Sambil membuka mata yang masih terasa lengket, gue menutup telinga gue dengan bantal. Suara salah satu cowok
yang gue kenal terus memanggil-manggil nama gue. Mau apa sih dia" Ini kan masih pagi!! Apa dia lupa kalau gue alergi bangun pagi kalau lagi musim libur
kayak gini" "Raya! Raya bangun!" teriak cowok sontoloyo itu sambil terus menggedor-gedor pintu kamar gue.
"Apaan sih! Pergi sana ke tong sampah! Gue masih ngantuk nih!" sahut gue sambil membenamkan sekujur tubuh di balik selimut.
Dia masih belum jera. Ia terus mengetuk pintu kamar gue. Emangnya dia pikir pintu kamar gue itu bedug apa" Ditabuh bolak-balik udah kayak orang mau bangunin
sholat aja. "Raya! Raya! Pokoknya lo harus bangun!" teriak cowok itu berulang kali.
Aawrrrhhh Gue sudah tak tahan dengan teriakannya. Akhirnya gue pun terbangun lalu berjalan menuju pintu sambil menghentak-hentakkan kaki kesal. Sambil mengucek mata,
gue memasang muka cemberut. Dan dia malah mengoyak-ngoyak tubuh gue sambil marah-marah nggak jelas.
"Raya! Bangun!" tegurnya lagi. "Bangun woi! Lo pikir, lo ini sleeping beauty apa?"
"Bushet dah!" teriak gue sambil mengusap muka. "Liur lo muncrat tauk!"
*****?"?"?"*****
Chapter 40 [Raya pov] Renan. Dia Renan. Sedari tadi mukanya terlihat panik. Ia berusaha menyadarkan gue dari rasa kantuk yang terus melengket.
"Raya, sekarang cepetan lo cuci muka dan ganti baju! Ayo kita ke bandara!" papar Renan ngotot, dan gue masih belum mengerti apa yang ia maksud.
"Ngapain kita ke bandar" Gue kagak suka narkoba, Ren!" kata gue masih setengah mengantuk.
"BANDARA!" tukas Renan bertambah ngotot.
Mata gue langsung mendelik kaget. "Bandara" Ngapain kita ke sana" Emangnya lo mau ngajakin gue syuting adegan pilem AADC apa!"
Renan menggeprak keningnya. "Ya Dewaaaa!" ucapnya kesal.
"Makanya ngomong yang jelas, Ren. Biar gue paham apa yang lo maksud."
"Oke, gue jelasin. Jadi ceritanya, lo yang mau syuting AADC."
"Ha" Gue?" Mulut gue menganga, sedangkan telunjuk gue mengarah ke diri gue sendiri.
"Iya. Elo, sapi mencret!"
Gue langsung mendorong kepala Renan. "Ih jorok banget sih lo, Kebo guling!"
"Jadi ceritanya, lo berperan jadi Cinta, dan El berperan jadi Rangga. Tapi masalahnya, lo apal puisi AADC nggak?"
"Kalau ngomong yang jelas napa?"
"Oke, kalau Rangga mau pergi ke Amerika buat kuliah, El mau pergi ke Singapura. Bedanya itu doang, puas?"
Lagi, mulut gue menganga. "Apa?" tanya gue kaget bukan main. "El mau pergi ke Singapura?" Mata gue masih terbelalak lebar.
Renan langsung mengangguk cepat. Sementara gue mematung. Apa" El mau pergi ke Singapura" Bukankah dia bilang akan tetap tinggal di Indonesia jika gue mau
pacaran sama dia" Kenapa tiba-tiba dia ingin pergi" Gue menggeleng tak percaya. Dada gue terasa sesak.
"Raya, cepetan lo siap-siap!" tegur Renan sembari mengoyak tubuh gue.
Gue pun langsung bergegas mencuci muka dan ganti pakaian. Dengan kecepatan maksimum, Renan membawa gue menuju bandara untuk menemui El. Tapi sayangnya,
di tengah perjalanan, kami terjebak macet.
"Renan, cepetan, Ren!" ucap gue panik sambil memaju mundurkan punggung Renan.
"Mata lo katarak apa" Lo nggak lihat jalanan kota Jakarta jam segini suka macet!" omel Renan.
Gue jadi kicep. Jujur, gue masih nggak ngerti apa yang dipikirkan El. Pokoknya, walau bagaimana pun juga, gue harus tahu alasan dia pergi ke Singapura
dan meninggalkan gue. Sesampainya di bandara, gue dan Renan berlari mencari El. Untung satpam bandara tidak menghadang kami seperti di adegan film AADC, Ada Apa Dengan Cintrong.
Eh, maksud gue Ada Apa Dengan Cinta ding!
Napas gue dan Renan sudah ngos-ngosan. Kami berdua sudah mencari El ke seluruh tempat tapi tak ada. Kami terlambat! Pesawat yang dinaiki El sudah lepas
landas. Gue pun tercekat, mematung di tengah keramaian umat manusia.
"Kenapa" Kenapa El pergi?" tanya gue frustasi.
Renan memegang pundak gue dari samping. "Sudahlah, Ray! Dia kan pergi buat kuliah," hiburnya.
"Enggak! Ini nggak benar!" tukas gue. "Dia janji sama gue kalau dia bakalan stay di Indonesia, Ren!" Suara gue mulai goyah.
"Mendingan kita duduk dulu deh." Renan menuntun gue menuju rentetan kursi tunggu yang ada di bandara.
Gue pun terduduk di salah satu kursi itu, merenung. Gue masih tak percaya dengan apa yang terjadi hari ini. Betapa beruntungnya Cinta yang bertemu Rangga
di bandara lalu ciuman. Dan gue sadar, hidup gue tak seindah cerita cinta AADC. Gue terlambat! Rangga ... Eh, maksud gue, El ... sudah pergi. Dan entah
kapan kita akan berjumpa kembali.
"Gue masih nggak ngerti kenapa dia pergi ke Singapura. Dan lebih parahnya, dia pergi tanpa pamit ke gue," curhat gue ke Renan. Mata gue sudah berkaca-kaca.
"Jangankan elo. Dia bahkan juga" nggak ngasih tau gue dan Arsyaf, Ray." Renan menimpali.
"Terus, lo tau dari mana kalau El akan pergi ke Singapura?"
"Saat gue pengen maen ke rumahnya, gue nggak sengaja mendengar percakapan El dengan papanya. Itulah sebabnya gue bergegas menjemput elo buat ke bandara."
"Dia tega banget, Ren! Dia tega!" Mata gue sudah menitihkan air mata.
Renan menghadapkan tubuh gue ke arahnya. Lalu ia memeluk gue sambil menepuk-nepuk ringan punggung gue. Gue pun menangis di dada Renan.
*** [Renan pov] Gue bisa merasakan air mata Raya membasahi baju gue. Nggak ada yang bisa gue lakukan kecuali memeluknya. Tadinya gue nggak setuju Raya pacaran sama El.
Karena El adalah ketuanya para ketua geng dari beberapa sekolah. Walaupun gue adalah temannya, tetap saja gue merasa kalau El itu tidak pantas untuk Raya.
Dia adalah cowok yang berbahaya menurut gue. Hingga akhirnya pendapat gue berubah ketika gue nggak sengaja mendengar percakapan antara El dengan papanya
sebelum berangkat ke bandara.
Saat itu gue tertegun. El dengan muka murung menyeret kopernya menuju mobil lalu membuka pintu. Ia terhenti ketika papanya memanggilnya. Ia pun menoleh.
"El, jangan lupa janjimu!" kata Pak Suryabara, papanya El. "Kamu harus belajar dengan baik di Singapura kelak."
El mengangguk. "Iya, Pa. El nggak akan mengingkari janji asalkan papa tidak mengusik keluarganya Raya."
"Kamu tenang saja! Tanpa papa usik sekali pun, cepat atau lambat keluarga pacarmu itu akan mengalami kebangkrutan."
Alis gue terangkat saat mendengar percakapan itu. Mata gue terbelalak. Apa" El akan ke Singapura" Dan dia pergi demi Raya" Pikiran gue teraduk jadi satu,
kacau. Tapi... gue harus bertindak cepat. Dan gue pun akhirnya bergegas pergi menuju rumah Raya untuk memberitahunya tentang kepergian El.
Sayangnya ... Kami terlambat. El sudah terlanjur pergi. Pesawat yang dinaikinya sudah lepas landas. Dan kini, Raya pun menangis dalam pelukan gue. Bagaimana pun juga,
gue nggak boleh ngasih tahu dia kalau El pergi untuk melindunginya dari kekejaman Pak Suryabara. Jika Raya tahu, dia pasti akan merasa bersalah sama El.
Gara-gara dia, El tidak bisa kuliah di Indonesia. Ya. Pasti Raya akan berpikiran seperti itu.
*****?"?"?"*****
09. Chapter 41-45 Chapter 41 [Raya pov] Tiga hari pertama gue terus menangis di dalam kamar sejak kepergian El ke Singapura. Setengah hati yang gue miliki sudah hancur menjadi serpihan kenangan.
Beberapa hari berikutnya gue sudah nggak nangis tapi gue masih sering mengurung diri di dalam kamar. Gue keluar dari kamar paling-paling cuma buat makan
sama shalat doang. Selebihnya gue hanya melamun. Gue bahkan nggak belajar untuk persiapan ujian masuk PTN.
"Apa" Bapak tidak bisa memberi saya pinjaman?" kata Papa dari dalam kamarnya.
Gue terlonjak ketika tak sengaja mendengar hal itu. Gue pun terhenti di depan pintu kamar Papa, menyimak percakapan papa selanjutnya.
"Tapi Pak. Saya mohon kali ini saja, Pak. Saya membutuhkan pinjaman dari Bapak," lanjut papa.
Gue tercengang, mematung dengan pikiran kacau. Bagaimana gue bisa seperti ini" Bagaimana gue melupakan papa dan hanya terlarut dalam kesedihan karena terus
memikirkan El" Gue bahkan nggak belajar. Kalau seperti ini terus, bisa-bisa gue nggak lulus ujian SBMPTN jurusan ekonomi.
"Halo" Halo" Pak Darma?" kata papa panik. Sepertinya orang yang ia telepon telah memutuskan sambungannya.
Gue nggak bisa seperti ini terus. Terlarut dalam kesedihan membuat gue melupakan papa dan yang lainnya. Ya! Orang yang gue sayang bukan El seorang. Ada
papa, mama, kak Icha, Arsyaf, dan Lea. Gue nggak bisa mengabaikan mereka hanya karena El meninggalkan gue. Pokoknya gue harus move on!! Titik.
Gue pun menarik napas lalu menghembuskannya. Kemudian gue berlari menuju kamar dan membuka beberapa buku kumpulan soal SBMPTN. Bagaimana pun juga, gue
harus masuk jurusan ekonomi di salah satu Universitas negeri. Dan untuk mencapai itu, gue harus belajar mati-matian.
*** Beberapa bulan kemudian...
Dengan usaha keras gue, akhirnya gue bisa masuk" jurusan ekonomi di salah satu Universitas negeri di Surabaya, yang tentunya bukan di ITS, kampus impian
gue sejak jaman masih dalam kandungan emak. Ya sudahlah. Impian hanya menjadi angin yang berlalu. Keinginan gue untuk menjadi seorang arsitek harus gue
tekan demi papa dan mama. Apa boleh buat"
Tepat pukul 20.30 WIB, gue tiba di kamar kos gue yang berukuran 4m x 3m. Gue langsung merebahkan tubuh gue di atas kasur. Penat rasanya setelah seharian
beraktivitas. Ya! Diam-diam, tanpa sepengetahuan mama dan papa, gue kerja paruh waktu jadi guru privat. Setelah pulang kuliah jam 3 sore, gue mengajar
seorang siswi SMA yang tinggal di salah satu kompleks perumahan mewah yang tak jauh dari area kampus sampai jam 5 sore. Kemudian setelah menunaikan shalat
maghrib, gue langsung bergegas menuju kompleks perumahan mewah yang lainnya untuk mengajar privat lagi.
Mungkin kalian sudah tahu kenapa gue bekerja keras seperti itu. Ya... karena memang gue nggak pengen mama papa tahu kalau gue di Surabaya kekurangan uang
saku. Gue tahu keadaan keuangan mereka sekarang. Perusahaan papa sudah di ambang kehancuran. Bahkan rumah kami terancam di sita. Kak Icha masih belum lulus
kuliah kedokteran. Mama dan papa masih harus memikirkan biaya kuliahnya. Kalau gue nggak kerja, mungkin mama dan papa akan semakin kesulitan.
Gaji seorang guru privat lumayan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Tanpa meminta uang saku dari mama dan papa, gue bisa membiayai diri gue di
Surabaya. Gue bilang pada mereka kalau gue mendapatkan beasiswa dari kampus padahal tidak.
Memang benar di kampus gue mengadakan beberapa program beasiswa tapi yang boleh daftar hanya Mahasiswa semester 3 ke atas. Untuk Mahasiswa baru semester
1 kayak gue masih belum dibuka. Ada sih satu program beasiswa dari pemerintah untuk Mahasiswa baru, tapi gue nggak bisa memenuhi satu dari sekian banyak
syarat yang ada, yakni Surat Keterangan Tidak Mampu dari Kepala Desa.
Yakali gue minta Surat Keterangan Tidak Mampu dari Kepala Desa. Lha gue tinggalnya di kompleks perumahan mewah gitu. Masa' mau ngambil beasiswa buat Mahasiswa
miskin sih! Bisa-bisa papa dan mama malu dong!
"Hei pencari dollar!" sapa Mbak Widya, teman sekamar gue.
Gue menoleh malas. "Hm?"
"Nggak capek apa lo?"
"Ya capek lah!"
"Mendingan, lo kurangin jadwal ngajar lo," sarannya.
"Nggak bisa, Mbak. Terus kalau aku melepas salah satu kerjaan, siapa yang mau bayar uang kos?"
"Lo nggak punya pacar?" tanyanya setelah terdiam beberapa saat.
"Ada. Ada satu di Jakarta."
"Emang pacar lo ada berapa?" tanya Mbak Widya kaget.
Bushet. Gue keceplosan. Tenang, tenang Raya! Lo harus menanggapinya dengan tenang. Kalau tidak, masa lalu perselingkuhan elo bisa terbongkar. Apalagi bacot
Mbak Widya itu kayak klarkson telolet. Dapet lambaian tangan dikit dari orang-orang pinggir jalan aja langsung nyeplos telolet.
"Ya satu," jawab gue mencoba tenang.
"Ya udah. Sekarang gue tanya, pacar lo tajir nggak?" tanyanya penuh selidik.
Gue mengangguk. Memang benar Arsyaf anak orang kaya. Saat duduk di bangku SMA saja, dia gonta ganti motor dan mobil seenak jidatnya.
"Ya udah. Porotin aja. Itulah salah satu fungsi punya cowok tajir," kata Mbak Widya dengan entengnya.
"MasyaAllah, Mbak. Keluargaku memang lagi krisis keuangan. Tapi nggak sampek gitu juga kali!" tukas gue ketus.
Mbak Widya beralih dari meja riasnya menuju kasur lalu duduk di samping gue. "Ya ampun Raya. Hal itu sudah biasa dalam landasan perpacaran Indonesia. Di
mana hal tersebut termaktub dalam undang-undang percintaan pasal satu ayat satu," paparnya ngotot.
"Apaan isinya?" Dahi gue mengernyit.
"Uang pacar adalah uang gue. Uang gue ya uang gue."
"Bushet! Mana bisa gitu?" Gue mengubah posisi yang tadi terbaring menjadi terduduk di samping Mbak Widya.
"Ya bisa-bisa aja. Tanpa kita sadari, memang ada aturan yang seperti itu."
"Tapi..." Kalimat gue terhenti ketika HP gue berbunyi nyaring, pertanda ada sebuah panggilan masuk. Panggilan tersebut dari Arsyaf.
Ya. Arsyaf sekarang tidak diterima di ITS, kampus tujuannya. Itulah sebabnya ia terpaksa kuliah di salah satu Universitas Swasta di Jakarta. Orang tua
Arsyaf hanya memperbolehkan Arsyaf kuliah di luar Jakarta apabila Arsyaf berhasil masuk di Universitas Negeri. Namun nyatanya dia tidak bisa. Otaknya memang
tidak terlalu encer untuk bisa menembus dinding ITS.
"Halo" Ada apa, sayang?" tanya gue malas. Mungkin karena gue sudah kecapekan.
"Kangen kamu, sayang."
"Raya! Load speaker dong!" pinta Mbak Widya setengah berbisik.
Gue melirik cewek cantik itu sejenak lalu menuruti keinginannya. Karena jika tidak, dia akan merengek seperti bayi habis disunat. Entar sampek malem dia
ngomel-ngomel, ngedumel nggak jelas gitu. Daripada gue nggak bisa tidur, mending gue menuruti cewek cantik yang super montok itu.
"Ha" Kangen" Ih gombal!" ucap gue manja.
Kembalinya Sang Pendekar Rajawali 23 Dewa Arak 44 Tawanan Datuk Sesat Pedang Golok Yang Menggetarkan 21