Cewek Cetar Dua 6
Cewek Cetar Dua Karya Zaeemaazzahra Bagian 6
orang yang menghina Resya lagi.
"Tapi ... aku masih kangen sama Papa," ungkap Resya.
"Papa juga kangen sama kamu. Besok Papa akan ke sini lagi dan akan ajak kamu jalan-jalan," ucap Arsyaf.
"Beneran?" kata Resya penuh semangat.
"Iya. Papa janji."
*** [Author pov] El berjalan ke sudut ruangan lalu mengambil gitar yang tadi di taruh Daniel. Kemudian ia kembali duduk di samping Raya, membuat Raya terkesiap. Setelah
hening beberapa saat, El memangku gitarnya lalu mulai memetik jajaran senar secara bergantian sehingga mengalun nada.
"El, kamu mau ngapain?" Raya bertanya-tanya, membuat El berhenti memainkan senar gitarnya.
"Aku mau nyanyi buat kamu. Judulnya surat cinta untuk Raya," jawab El.
"Surat cinta untuk Starla keles."
"Kan aku yang nyanyi. Suka-suka aku dong."
"Ya udah deh. Nyanyi gih."
El kembali memainkan senar gitarnya dan mulai bernyanyi untuk Raya
Kutuliskan kenangan tentang caraku menemukan dirimu.
Tentang apa yang membuatku mudah berikan hatiku padamu.
Tak kan habis sejuta lagu untuk menceritakan cantikmu.
Kan teramat panjang puisi tuk menyuratkan cinta ini
Telah habis sudah cinta ini
Tak lagi tersisa untuk dunia
Karena telah kuhabiskan sisa cintaku hanya untukmu
Aku pernah bermimpi tentang hidupku tanpa ada dirimu
Dapatkah lebih indah dari yang kujalani sampai kini
Aku selalu bermimpi tentang indah hari tua bersamamu
Tetap cantik rambut panjangmu meskipun nanti tak hitam lagi
Bila habis sudah waktu ini
Tak lagi berpijak pada dunia
Telah aku habiskan sisa hidupku hanya untukmu
Dan telah habis sudah cinta ini
Tak lagi tersisa untuk dunia
Karena telah kuhabiskan Sisa cintaku hanya untukmu
Hidup dan matiku.... Bila musim berganti. Sampai waktu terhenti. Walau dunia membenci. Ku kan tetap di sini.
Back to reff Jantung Raya berdegup semakin kencang ketika El mulai mengakhiri lagunya dan menatapnya tajam. Setelah El bernyanyi, ia meletakkan gitarnya ke ranjang,
lalu mengambil sebuah kotak kecil dari dalam kantong celananya.
"Raya, will you marry me?" tanya El penuh harap.
Mulut Raya menganga lalu tanpa sadar ia mengeluarkan air mata bahagia ketika El membuka kotak kecil" yang berisi sebuah cincin berlian. Tanpa berpikir
panjang lagi, Raya mengangguk mengiyakan, membuat El tersenyum senang dan bergegas menyematkan cincin tersebut ke jari manis Raya.
"Aku sayang kamu, El," ucap Raya manja sembari memeluk El begitu erat.
"Aku juga," sahut El.
*** Di dalam diskotik, Renan duduk di depan sebuah meja yang sudah tersedia sebotol bir dan gelas bening yang berisi es batu. Apa yang dipikirkannya saat ini,
hanya dia dan Tuhan yang tahu.
"Dua puluh dua tahun gue suka sama elo, Raya. Tapi pada akhirnya, elo dimiliki sama orang lain," kata Renan lalu meneguk bir yang ada di hadapannya, berharap
ia bisa melupakan Raya. Sudah ia putuskan sejak awal kalau ia akan melepas Raya untuk El. Tapi setelah delapan tahun Raya bergantung padanya, ia merasa bahwa dirinya sudah cukup
pantas menjadi pendamping hidup Raya. Namun sudah tak ada gunanya lagi. Nasi sudah menjadi bubur. El sudah kembali dan menaklukkan hati Raya dengan mudah.
Sementara Renan" Mungkin Renan akan selamanya menjadi sahabat dan tak akan pernah bisa lebih dari itu.
"Raya, gue cinta sama elo," gumam Renan yang sudah kehilangan akal sehatnya karena pengaruh alkohol. "Gue yang selama ini temenin elo. Tapi kenapa elo
nggak cinta sama gue?"
Renan menyesal karena dia terlambat. Tapi, demi kebahagiaan Raya, ia rela melapaskannya untuk bahagia bersama lelaki lain. Senyuman Raya sudah lebih dari
sekedar cukup untuknya. "Raya ... Raya ..." panggil Renan sambil meneguk birnya lagi. Dan tak lama setelah itu, Renan kehilangan kesadarannya.
Dddrrrtt... HP Renan terus bergetar. Tapi sang pemilik tertidur lelap gara-gara pengaruh alkohol. Seorang pelayan bar menggeleng kasihan melihat Renan lalu ia pun
mengangkat HP Renan, berharap orang yang menelpon Renan bisa datang ke bar dan mengantar Renan pulang.
Tak lama kemudian, Anila datang dengan muka cemas. Ia bergegas memapah Renan dan memasukkan pemuda itu ke dalam mobilnya.
"Ya ampun Ren, kenapa elo jadi berantakan kayak gini sih?" gumam Anila sambil merapikan rambut gondrong Renan yang acak-acakan.
"Raya ... gue cinta sama elo," ucap Renan mengigau.
Mata Anila terbelalak. Tak ia sangka bahwa Renan juga mencintai Raya. Ia pikir, Renan hanya menganggap Raya sebagai sahabat. Tapi nyatanya, Renan memiliki
perasaan yang lebih dari rasa sayang terhadap sahabat.
*****?"?"?"*****
Chapter 80 [Author pov] Sepanjang perjalanan menuju toko boneka, Resya terus menggandeng tangan Arsyaf. Ia sangat bahagia sekali hari ini karena baru pertama kali ia jalan-jalan
bersama Papanya. "Wuuuah, boneka yang itu lucu sekali!" ujar Resya sambil menunjuk sebuah boneka beruang berwarna pink dengan ukuran yang lebih besar daripada dirinya.
Dia kemudian berlari menuju boneka tersebut lalu memeluknya erat.
"Kamu suka?" tanya Arsyaf.
Resya melepaskan pelukannya dari boneka tersebut lalu menggeleng sambil tersenyum kecut.
"Kenapa kamu nggak suka, sayang?" tanya Arsyaf lagi.
"Boneka ini pasti harganya sangat mahal. Mama selalu melarangku menjadi anak yang boros," papar Resya.
Arsyaf terkekeh lalu duduk untuk menyamai tinggi badan anaknya. "Apa" Mama melarangmu untuk menjadi anak yang boros?"
Resya hanya mengangguk. Arsyaf tersenyum lalu membelai lembut pipi Resya. "Bagaimana kalau Papa mengizinkanmu menjadi anak yang boros dalam sehari setiap bulannya?"
"Maksud Papa?" "Ya, sayang. Hari ini, kamu boleh beli boneka apa saja yang kamu mau. Kamu juga boleh beli semua pakaian yang kamu suka."
"Beneran?" tanya Resya penuh semangat.
"Iya, sayang. Papa serius."
"Tapi ..." Resya tampak berpikir. "Apa Papa punya uang banyak untuk membeli boneka ini?"
Lagi, Arsyaf terkekeh. "Jangankan membeli boneka ini! Membeli toko ini beserta isinya pun Papa bisa bayar."
"Papa serius?" tanya Resya begitu antusias.
"Iya, Sayang. Papa serius. Dan sekarang, pilih aja boneka yang kamu suka."
"Aku pengen boneka yang ini." Resya menunjuk boneka yang dipeluknya tadi. "Dan boneka yang itu!" Kali ini Resya menunjuk boneka panda yang tersimpan di
dalam etalase toko. Setelah puas membeli boneka, Resya membeli banyak aksesoris seperti jepit rambut, bandana, kalung, gelang, dan ikat rambut. Seharian berkencan berdua bersama
Papanya tak membuatnya lelah. Ia bahkan membeli gelang kembar sebagai tanda persahabatan lalu memakaikannya ke tangan Arsyaf.
"Buat apa ini, sayang?" tanya Arsyaf heran.
"Buat kasih tau ke dunia kalau Papa adalah Papaku," jawab Resya dengan lugunya.
Arsyaf tersenyum. Perlahan, Resya telah membuat hatinya luluh dan membuatnya mengerti arti penting tugas seorang ayah.
*** Brian, anak kecil berumur hampir 4 tahun dan bertubuh tambun sudah berdiri di Lobby menunggu Raya sembari sesekali mondar-mandir. Kadang, ia mengomel sendiri
dengan bibir mengerucut. "Brian?" sapa Raya yang berdiri di dekat pintu.
Brian menoleh lalu berlari menghampiri Raya. "Tante jemputnya kok lama banget?"
"Maafin tante ya, Brian."
"Ini siapa?" tanya Brian saat melihat El yang berdiri di samping Raya.
"Ini calon om kamu, Brian."
Brian kembali mengerucutkan bibirnya. "Aku suka om Renan!" ucap Brian sambil melipat tangan.
El tergelak. "Brian, kenapa kamu suka om Renan?" tanyanya hati-hati.
"Om Renan itu baik, suka beliin aku mainan yang banyak," jawab Brian ketus.
"Oooh ... jadi karena itu kamu suka sama Om Renan?"
Brian mengangguk. "Bagaimana kalau sekarang Om Bara beliin kamu mainan" Kamu boleh pilih sesukamu."
"Beneran?" tanya Brian antusias.
El mengangguk sambil tersenyum.
"El, itu namanya sogokan," bisik Raya pelan ke telinga El.
"Biarin. Yang penting nih anak suka sama aku." El menimpali.
Setelah El dan Brian membuat kesepakatan, mereka pun segera bergegas ke mall dan membeli banyak mainan kesukaan Brian. Dan setelah puas berbelanja, seperti
biasa, Brian minta makan pizza dan burger.
Raya melirik El sebentar lalu terkikik. "Kamu jangan heran lihat si tuyul makan," bisik Raya.
"Kamu nggak takut kalau dia kena obesitas?" tanya El pelan.
"Nih anak kalau dicegah makan, entar nangis gulung-gulung di lantai. Kamu nggak malu?"
"Oooh...." El mengangguk paham.
"Om Bara, biasanya aku, tante Raya, sama Om Renan main keluarga-keluargaan lho," ucap Brian tiba-tiba dengan mulut yang masih penuh dengan kunyahan pizza.
"Bagaimana cara mainnya?" tanya El.
"Jadi, tante Raya jadi Mamaku. Dan Om Renan jadi Papaku kalau hari sabtu atau minggu."
Alis El terangkat lalu dia menoleh ke arah Raya yang menatapnya penuh tanya. Cemburu sudah pasti.
"Cuma main, Om Bara," jelas Raya setengah bercanda.
"Sekarang, karena Om Renan nggak ada. Gimana kalau Om Bara aja yang jadi Papaku?" tanya Brian.
"Oke. Boleh. Tapi sekali kamu bikin Om Bara main keluarga-keluargaan sama tante Raya, kamu nggak boleh ajak Om Renan main lagi."
"Oke deh. Tapi syaratnya, Om Bara harus beliin aku mainan."
"Oke. Nggak masalah."
Raya hanya menggeleng heran melihat El dan Brian membuat kesepakatan lagi. Ternyata El bisa kekanak-kanakan juga kalau cemburu, batinnya.
"Brian, kalau makan yang bener," ucap Raya sambil mengusapi pipi Brian yang berlumuran saus.
"Iya, Ma," kata Brian menurut.
"Mbak, boleh ikut duduk di sini?" tanya seorang wanita paruh baya sambil menunjuk kursi kosong yang berada di samping Brian.
Raya menoleh ke kanan, ke kiri, lalu ke belakang. Ia melihat semua kursi yang ada di restoran sudah penuh. "Boleh. Silahkan," ujarnya kemudian.
"Ya ampun. Anaknya lucu banget," puji wanita paruh baya itu sambil mencolek pipi Brian.
Raya hanya tersenyum malu. Rasanya dia sudah bosan mengelak kalau Brian bukan anaknya.
"Mama, pesenin pizza lagi dong," pinta Brian manja.
"Brian, kamu nggak takut gendut kayak bolanya Lala teletubies?" tegur Raya.
Brian berpikir sejenak. "Ya udah deh. Nggak jadi pesen. Entar kalau aku kegendutan, nanti gak bisa jalan tapi menggelinding."
Raya, El, dan wanita paruh baya yang ikut duduk dalam satu meja bersama Brian spontan terkekeh.
"Anaknya pinter banget ya," puji wanita itu lagi.
Lagi, Raya hanya bisa tersenyum malu.
"Sudah nikah berapa tahun" Kok anaknya sudah gede?" tanya si wanita paruh baya pada Raya.
"Mama dan Papaku belum menikah," jawab Brian, mendahului Raya yang hendak angkat bicara.
Mata El melebar lalu mengulum tawa setelah mendengar jawaban Brian.
"Ha?" Mulut si wanita paruh baya menganga dengan mata melotot kaget. "Mama Papa kamu belum menikah?"
"Iya. Mama dan Papa belum menikah. Mungkin tahun depan." Lagi-lagi Brian menyahuti ucapan si wanita paruh baya itu sebelum Raya angkat bicara.
Si wanita paruh baya tersenyum getir lalu berdecak miris. "Aturan jaman sekarang memang suka dibolak-balik ya. Dulu, menikah dulu baru punya anak. Sekarang,
punya anak dulu baru menikah."
"Kayaknya Ibu sudah salah paham deh," papar Raya salah tingkah.
"Sudah, Mbak. Nggak usah malu."
"Buk, ini nggak seperti yang ibu pikirkan. Saya memang belum menikah dan anak ini bukan anak saya," jelas Raya.
"Ma, tolong ambilin tisu dong," pinta Brian tiba-tiba, membuat si wanita paruh baya menggeleng heran dan berdecak miris.
"Mbak, kalau sudah punya anak, nggak usah ditutup-tutupin. Kasihan anaknya," tegur wanita itu.
El hanya terkekeh mendapati semua kesalah pahaman ini.
"Masnya juga!" Kali ini si wanita paruh baya mengomel pada El. "Sudah berani bikin anak sejak dulu tapi baru sekarang mau tanggung jawab."
El kembali terkekeh. Ia sama sekali tidak berniat menjelaskan semua kebenaran pada wanita paruh baya itu karena ia yakin kalau wanita paruh baya itu tak
akan percaya dengan penjelasannya atau penjelasan dari Raya. Wanita paruh baya itu hanya yakin dengan ucapan Brian. Anak kecil tak mungkin berbohong, pikirnya.
"Sudah ah. Saya mau pergi aja. Permisi," ujar si wanita paruh baya. "Heran sama anak muda jaman sekarang."
Raya hanya bisa tersenyum kecut. Sementara El terkekeh riuh. Sedangkan Brian masih asyik memakan pizza kesukaannya, ia masih tak mengerti dengan kesalah
pahaman yang terjadi. *****?"?"?"******
17. Chapter 81-Extra Capter
Chapter 81 [Author pov] Dalam suasana canggung, Renan dan Anila duduk berhadapan. Hening sejenak tanpa kata. Anila menyeruput secangkir kopi arabika. Sedangkan Renan masih bungkam.
"Jadi, elo mau ngomong apa, Ren?" tanya Anila mendahului.
Renan menggaruk tengkuknya yang tidak terasa gatal. "Gue ...." ucapnya enggan.
Anila masih berusaha untuk menyimak, menunggu apa yang akan dikatakan Renan.
"Gue mau ngucapin terima kasih sama elo karena elo nolongin gue pas mabuk kemarin," sambung Renan.
"Nggak masalah. Nyantai aja, Ren." Anila menimpali.
"Oh iya. Gue harap, elo nggak ngomong ke Raya kalau gue sebut-sebut namanya pas mabuk."
"Jadi lo ingat apa yang lo omongin" Lo ingat kalau lo manggil-manggil nama Raya?"
Renan mengangguk. "Kenapa Raya nggak boleh tahu kalau elo suka sama dia?" tanya Anila penasaran.
"Karena gue nggak mau persahabatan antara kita hancur. Dia sudah menganggap gue seperti saudara. Dan nggak akan pernah bisa lebih dari itu."
"Kenapa lo suka sama Raya?" tambah Anila penuh selidik.
Renan berdiri dari tempat duduknya dan menatap Anila marah. "Sepertinya ... lo terlalu ikut campur dalam urusan pribadi gue deh."
Anila mendongak, menatap Renan yang berdiri di hadapannya. "Bukan begitu maksud gue, Ren. Gue hanya ingin tahu alasan lo suka sama Raya," ucapnya lalu
berdiri. "Gue nggak butuh alasan untuk mencintai seseorang," kata Renan tegas lalu mencoba beranjak pergi.
"Gue suka sama lo!" teriak Anila dari belakang, membuat langkah Renan terhenti lalu berbalik.
Dahi Renan mengerut, melihat Anila yang menunduk. Ia belum berkata apa pun.
"Sejak pertama kali gue kenal sama elo, gue sudah suka sama lo. Gue juga nggak punya alasan mengapa gue suka sama elo," papar Anila sambil menitihkan air
mata. Mata Renan sedikit melebar mendengar pernyataan yang diungkapkan oleh Anila. Tapi ia masih berdiri di tempatnya dan tak menghampiri Anila yang menangis.
"Sejak awal gue sudah tahu kalau elo suka sama Raya. Dari tatapan elo ke dia, dari perhatian elo ke dia, gue sudah bisa menebaknya. Tapi nggak tahu kenapa,
gue tetap suka sama elo," lanjut Anila dengan langkah kaki yang mulai melangkah ke depan, menghampiri Renan yang mematung.
"Anila, gue minta maaf. Gue ...." ucapan Renan terpotong ketika Anila tiba-tiba memeluknya.
"Gue nggak butuh permintaan maaf dari elo. Yang gue butuhkan hanya cinta lo, Ren."
"Anila, gue ...."
"Gue mau lo jadi pacar gue, Ren," potong Anila. "Gue janji akan buat lo ngelupain Raya. Biarkan dia bahagia sama Pak Bara."
Hati Renan melunak mendengar kata-kata Anila. "Apa lo bisa buat gue ngelupain Raya" Apa lo bisa buat gue menghapus rasa yang sudah tumbuh selama dua puluh
dua tahun?" Anila melepaskan pelukannya lalu mendongak, menatap Renan yang memang postur tubuhnya lebih tinggi daripada dia. Kemudian ia mengangguk.
"Baiklah. Ayo kita coba pacaran," ucap Renan kemudian.
Anila tersenyum bahagia meskipun ia tahu bahwa Renan ingin pacaran dengannya hanya untuk melupakan Raya. Tak apa, pikirnya. Asalkan Renan di sisinya, itu
sudah lebih dari sekedar cukup.
*** "Apa" Menikah?" tanya Lea kaget.
Arsyaf mengangguk. "Gue...." ucap Arsyaf. "Em ... aku ..." ulangnya. Rasanya aneh ketika mengucapkan kata gue dan elo ketika melamar seorang wanita. "Aku
ingin kita menikah."
Lea terdiam, ia berpikir mimpi apa dia tadi malam. Hatinya berbunga-bunga. Senyuman lebar mengembang indah di kedua sudut bibirnya.
"Meskipun aku mengajakmu menikah, aku harap kamu tidak salah paham," papar Arsyaf kemudian, membuat senyuman Lea mengempis.
"Maksudmu?" "Aku menikahimu karena aku sangat menyayangi Resya. Aku ingin dia hidup seperti teman-temannya yang lain. Punya orang tua yang lengkap," jelas Arsyaf.
"Jangan harapkan apa-apa dariku. Karena aku nggak bisa menyayangi perempuan lain selain Raya. Kamu ngerti kan?"
Lea tersenyum getir lalu mengangguk paham.
"Aku ingin cepat-cepat menikah. Agar aku bisa tinggal bersama Resya. Sekarang, ikut aku!" Arsyaf menggandeng tangan Lea menuju tempat parkir dan membawa
perempuan itu ke toko baju pengantin.
Di toko baju, Lea lagi-lagi tersenyum getir memandangi gaun putih yang sangat indah yang kini ia pakai di dalam ruang ganti.
"Wuuuah! Anda cantik sekali. Sangat cocok mengenakan gaun ini," puji penjaga toko.
Lea tersenyum kecut pada penjaga toko tersebut. "Benarkah?" tanyanya memastikan.
"Iya. Pasti pasangan anda sangat mencintai anda karena anda sangat cantik. Kalau boleh jujur, anda adalah perempuan tercantik yang memesan gaun pengantin
di toko ini. Calon suami anda juga sangat tampan," cerocos si penjaga toko sambil membuka tirai ruang ganti dan menuntun Lea menuju tempat Arsyaf duduk.
"Bagaimana" Cocok tidak?" tanya Lea malu-malu pada Arsyaf.
Arsyaf menatap Lea datar lalu mengangguk seadanya. "Kalau kamu suka langsung bungkus aja."
Lea tersenyum kecewa. Dia sempat berpikir, Arsyaf akan terpukau melihatnya memakai gaun pengantin yang sangat indah itu. Tapi nyatanya Arsyaf hanya bersikap
datar dan tidak terlihat tertarik padanya. Ia sadar bahwa cinta Arsyaf hanya untuk Raya. Tapi ia yakin suatu hari nanti Arsyaf akan memandangnya sebagai
seorang wanita, bukan hanya sebagai ibu dari Resya.
*** Ting tung ting tung Suara bel apartemen Raya bergema, membuat Raya beranjak dari sofa dan meninggalkan televisi yang masih menyala untuk membuka pintu. Matanya melebar ketika
melihat Arsyaf berdiri di hadapannya sambil tersenyum paksa.
"Hai," sapa Arsyaf canggung.
"Hai juga," sahut Raya tak kalah canggung.
"Aku ke sini cuma mau ngasih undangan," papar Arsyaf sambil menyodorkan sebuah kartu undangan berwarna coklat susu pada Raya. "Minggu depan aku akan menikah
dengan Lea." Raya menyambar undangan itu lalu membacanya sejenak. "Selamat ya, Syaf. Gue turut bahagia atas pernikahan elo," ucap Raya dengan senyuman manisnya.
"Kamu akan datang kan?"
"Ya. Tentu saja."
Arsyaf memanglingkan mukanya. Rasanya mengundang mantan di acara pernikahan adalah hal yang sedikit tabu. Tapi mau bagaimana lagi" Raya memang mantan pacarnya.
Tapi Raya juga merupakan sahabatnya. Dan di dunia ini, tidak ada yang namanya mantan sahabat bukan"
Arsyaf kembali menatap Raya. Sudah delapan tahun dia kehilangan gadis itu. Dan yang lebih menyakitkan lagi, setelah delapan tahun tidak bertemu, Raya kembali
hadir di kehidupannya tapi memilih lelaki lain. Jangan tanya rasanya bagaimana. Karena sudah pasti sangat perih.
Hening sejenak, mereka berdua kikuk dalam suasana hingga akhirnya Arsyaf lepas kendali. Tiba-tiba Arsyaf menyambar pinggang Raya dan membuat gadis itu
berada di" pelukannya.
"Arsyaf lepasin!" Raya meronta. "Arsyaf!"
"Hanya untuk terakhir kali, Raya. Aku mohon," pinta Arsyaf. "Izinkan aku memelukmu untuk yang terakhir kalinya. Dan setelah itu, aku tidak akan mengganggumu
lagi." Raya berhenti meronta. Tubuhnya melemas, membiarkan Arsyaf memeluknya erat. Ia sadar bahwa ia adalah antagonis di kisah cintanya sendiri, ia pernah mencintai
Arsyaf dan El dalam satu waktu dan menyakiti mereka berdua dalam satu waktu juga.
"Aku mencintaimu, Raya," ungkap Arsyaf.
Raya tidak menjawab. Ia hanya bisa menerima pelukan Arsyaf sebagai permintaan terakhir dan sebagai tanda ungkapan selamat tinggal.
Seorang lelaki mematung sejenak di ujung koridor, melihat Raya dan Arsyaf berpelukan mesra di depan salah satu pintu apartemen. Tangannya mengepal marah
lalu ia berjalan cepat menuju Arsyaf, menarik kerah baju Arsyaf, dan....Braaak....
Raya menjerit kaget. Sementara Arsyaf terjerembab ke atas lantai sambil memegangi pipinya yang memar karena pukulan. Sudut bibirnya bahkan berdarah, matanya
melebar ketika ia melihat siapa lelaki yang memukulnya barusan.
"El?" sapa Arsyaf.
******?"?"?"*****
Chapter 82 [Author pov]
Cewek Cetar Dua Karya Zaeemaazzahra di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mulut Raya menganga, matanya terbelalak lebar, lalu tangannya dengan sigap mencegah El yang hendak memukul Arsyaf lagi.
"El, hentikan!" cegah Raya panik.
El terhenti lalu dengan tatapan penuh emosi, dia menatap Raya. "Kenapa kamu mencegahku?" bentak El.
"El, aku mohon tenang dulu. Aku akan jelasin semuanya."
"Semuanya sudah jelas!"
"El, kamu jangan marah kayak gini. Aku mohon. Aku akan jelasin semuanya tapi kamu tenang dulu," pinta Raya memohon sambil memegang lengan El yang masih
mengepal marah. El menarik napasnya dalam-dalam lalu mengembuskannya, mencoba meredam amarahnya yang masih memuncak.
"El, kamu mau dengerin penjelasanku kan?" tambah Raya.
El mengangguk pelan. Lalu Raya meminta El dan Arsyaf untuk masuk ke dalam apartemennya. Sesampainya di ruang tamu, Arsyaf dan El duduk berjauhan. Sementara
Raya ada di dapur untuk menyiapkan 3 cangkir teh hangat.
"Raya nggak salah," ucap Arsyaf setelah beberapa lama tidak ada percakapan di antara mereka berdua.
El menaikkan satu alisnya lalu tersenyum miring. Seperti biasa, dia tidak berkata apa-apa.
"Tadi gue maksa dia buat diam saat gue peluk. Gue memohon padanya agar tidak meronta," jelas Arsyaf gamblang.
"Gue tau kok," kata El singkat, membuat Arsyaf sedikit kaget.
"Lo tau" Tapi kenapa lo masih marah sekarang?"
"Gue marah ke elo bukan ke Raya."
"Syukurlah kalau lo hanya marah ke gue." Arsyaf tersenyum lega. "BTW, gue minta maaf ya."
Alis El terangkat mendapati Arsyaf meminta maaf.
"Gue minta maaf karena gue telah lancang meluk calon istri orang. Apalagi calon istri sepupu sendiri," papar Arsyaf lalu terkekeh kecil.
"Oke gue maafin. Tapi ingat! Ini untuk yang terakhir kalinya. Jika terjadi lagi, gue nggak akan segan-segan habisin elo. Ngerti?" ancam El tegas, membuat
Arsyaf meneguk ludah takut.
"Oke. Lagipula, gue sudah janji ke Raya kalau pelukan tadi adalah pelukan terakhir untuk perpisahan. Gue akan menikah dengan Lea."
Bagi El, Raya adalah miliknya. Tidak ada lelaki lain yang boleh menyentuhnya selain dirinya. Berbeda dengan Papanya, El sangat setia pada pasangannya.
Sekali ia jatuh cinta, ia tidak bisa mencintai perempuan lain.
"Tehnya sudah siap," kata Raya sambil membawa 3 cangkir teh di atas nampan lalu menyuguhkannya ke El lalu Arsyaf. "Maaf ya ... tehnya terlalu manis soalnya
aku tadi kebanyakan masukin gula," papar Raya lalu tersenyum malu pada El.
El tersenyum kecil lalu mengelus rambut Raya. "Nggak apa-apa kok."
Alis Raya terangkat. Dia pikir El masih marah karena insiden pelukan tadi. "Kamu sudah nggak marah?"
"Aku nggak marah ke kamu. Aku marah ke Arsyaf."
"El?" "Hm?" sahut El setelah menyeruput tehnya.
"Sampai kapan kita akan kayak gini?"
Kening El mengerut. "Maksud kamu?"
"Sampai kapan hati kita berlima akan berjauhan seperti sekarang?" tangan Raya mulai merambat memegang tangan El.
"Kita berlima?" El masih tidak mengerti.
Raya mengangguk. "Iya kita berlima. Aku, kamu, Arsyaf, Renan, dan Lea. Aku ingin kita berlima sahabatan kayak dulu lagi."
"Apa bisa kita semua seperti dulu lagi?" tanya Arsyaf sambil meniup secangkir tehnya.
"Kita bisa kalau kita mau kok!" tukas Raya yakin.
"Caranya?" tanya Arsyaf lagi.
"Caranya ... elo sama El baikan dulu." Raya menyambar tangan Arsyaf lalu menghubungkannya ke tangan El.
Arsyaf spontan menarik tangannya lalu mengibaskannya seolah ia mengalami alergi setelah memegang tangan El. "Kekanak-kanakan tau nggak?" kata Arsyaf dengan
pipi bersemu merah. "Kita sudah baikan kok," papar El kemudian.
"Beneran?" tanya Raya memastikan.
El hanya mengangguk. "Kalau begitu, bagaimana kalau kita berlima mendirikan grup WA anak-anak koplak lagi?" usul Raya antusias.
"Berlima?" Dahi Arsyaf berkernyit. "Jangan bilang kalau kamu mau masukin Lea ke grup?" tebaknya benar.
"Ya iyalah!" tukas Raya ketus. "Lagian Lea itu seminggu lagi sudah jadi istri elo. Dia perlu tau kalau suaminya rada gesrek otaknya."
"Apa lo bilang" Otak gue rada gesrek?" tanya Arsyaf marah, tangannya bersiap menjewer telinga Raya untuk memberi gadis itu pelajaran.
Raya bergegas berpindah posisi lalu bersembunyi di belakang punggung El. "Takuuuut," ucapnya manja.
El tersenyum kecil lalu menurunkan tangan Arsyaf yang masih bersiap menjewer telinga Raya.
"Awas ya kamu! Mentang-mentang punya calon suami mantan ketua geng," kata Arsyaf melucu.
Sebenarnya hati Arsyaf perih mengatakan sebuah kenyataan bahwa Raya adalah milik orang lain. Tapi mau bagaimana lagi" Mau tidak mau, ia dituntut keadaan
untuk menerima Lea dan Resya. Seandainya saja Raya memilihnya, ia juga tidak bisa mengabaikan bahwa Resya adalah anak kandungnya. Itulah sebabnya Arsyaf
mencoba berlapang dada melepas Raya untuk El. Dia memilih menyerah mengejar cinta Raya dan bertanggung jawab atas keberadaan Resya.
Raya terkikik. "Bisa aja lo, Syaf."
Arsyaf berpura-pura terkekeh. "Ouch!" ringkihnya ketika pipinya yang bengkak terasa sakit untuk dipakai tertawa.
"Sakit ya?" tanya Raya cemas. "Gue akan ambilin es batu dan kain."
Raya pun bergegas kembali ke dapur, membuka kulkas, mengambil es batu, lalu memasukkan es batu tersebut ke dalam kain. Kemudian dia berlari kecil ke ruang
tamu dan mengompres pipi Arsyaf.
"Karena gue yang nonjok muka elo, berarti gue yang harus mengompres muka elo kan, Syaf?" tanya El sambil menyambar kain kompres dari tangan Raya lalu menempelkan
asal ke pipi Arsyaf dengan sedikit kasar, membuat Arsyaf kesakitan lalu mengerang.
"Efek cemburu nih!" celetuk Arsyaf kesal.
Raya terkekeh. "Wah calon suamiku cemburuan nih. Nanti nggak bisa SMS-an dengan brondong-brondong cakep di kantor dong," godanya.
El langsung menoleh cepat ke arah Raya lalu menatap gadis itu dengan tatapan marah.
Raya meringis lucu. "Ampun, Bang. Lagian aku nggak suka brondong, Bang. Mereka nggak punya duit," katanya lalu terkekeh.
"Oooh jadi kamu suka sama aku karena aku punya banyak uang?" tanya El dengan salah satu alis yang terangkat.
"Ya iyalah, Bang. Hari gini masa' ada cewek cantik yang nggak doyan duit" Cewek jelek aja doyan duit apalagi cewek cantik."
"Dasar cewek matre!" celetuk Arsyaf.
"Biar jadi cewek matre, gini-gini banyak yang suka lho." Raya menaik turunkan alisnya.
Arsyaf bergidik ngeri. "Idiiih... kepedean!"
Raya mengerucutkan bibirnya lalu mengoyak pundak El dengan manja. "El..."
"Iya deh. Yang suka kamu banyak. Tapi yang berkualitas itu cuma aku," sahut El.
"Idiiih kepedean!" cibir Arsyaf tak terima.
El mendelik. "Mau gue tonjok lagi?" tanyanya bergurau.
"Enggak, Bang. Ampun, Bang."
*** Renan" : buset. Ini grup apaan cobak"
Raya" ?" : heran dah gua sama lo, ren. Lo gk bisa baca apa" baca judulnya dodol!
Renan" : anak2 koplak reborn"
Raya" ?" : ya udah yuk main.
Renan" : anggotanya sama kek pas SMA nambah Lea.
Raya" ?" : ayok maen!?" biar yg lain ikutan nimbrung!
Renan?" : ya udah ayok. Main apa"
Raya" " " : main family 200 wkwkwk
Renan?" : adanya family gopek. Gimana"
Raya" " " : family capek aja.
Renan?" : cepek, sambel goreng kecoak!
Raya" ?" : terserah elu dah, pepes bunglon.
Elbara" : ?"?"?"
Arsyaf" : ?"?"?"
Lea" " " " : up
Raya" " " : oke. Pertinyiinnyi, apa yang dilakukan seseorang di kamar mandi selain mandi dan gosok gigi"
Arsyaf" : buang hajat
Raya" ?" : 5 poin buat elo, Syaf. ?"?"?"
Renan" : cuci baju sambil obok2 aer
Raya" ?" : wah ngawur lo jadi orang. Cuci baju di kamar mandi" Deng dong. Poin elo enol (typo : nol)
Elbara : Nyanyi Raya" " : ya elah. Malah jawab nyanyi
Elbara : yakin, km gk pernah nyanyi di kamar mandi"
Raya?" : yakin. Aku kan cuma baca puisi yang ada nadanya.
Arsyaf" : pokoknya buang hajat nomor satu, Yap.
Renan?" : kencing nomor dua.
Lea" " " " : renang nomor tiga
Arsyaf" : makan odol nomor empat.
Renan?" : minum aer nomor lima.
Arsyaf" : goreng camilan nomor enam.
Elbara" : salah. Nomor satu itu seharusnya ganti popok buat yang cewek
Lea" " " : wkwkwk ada ada aja lo, El
Raya?" : ganti popok" ?" kisruh kamu, El.
Elbara : jujur aja. Aku ngomong kayak gitu ada referensinya. Dulu saat aku masih sekolah, tiap kamar mandi, kecuali kamar mandi yg deket musholla, pasti
ada popok berserakan di pojok dan bahkan sampai ada di dalam closet. Jijiknya... hihihi. Terus dulu aku pernah memergoki siswi dari kelas IPS, sebut saja
bunga, kayaknya dia habis ganti popok deh.
Renan" : ceritamu jadikan novel aja, El.
Raya" " : berarti kamu pernah masuk ke toilet cewek dong.
Elbara : iya. Habisnya toilet cowok sering penuh sih. Jadi terpaksa kencing di toilet cewek. Daripada kencing di pohon.
Arsyaf" : iya nih. Gue juga pernah kencing di toilet cewek. Terus nemu tisu merah. Gue pikir tisunya orang eropa.
Raya" : untung kalian gak ketahuan sama anak cewek.
Renan : iya nih. Kalau gue, el atau arsyaf ketahuan kencing di toilet cewek, bisa-bisa kita diperkosa sama cewek2 ganjen.
Raya" : idiiih yg ada cowok merkosa cewek.
Renan : aduh Raya! Ini kan jamannya emansipasi wanita. Lo lupa"
Arsyaf" : cewek jaman sekarang emang buas woy. Kita bertiga selaku cogan terhormat kudu ati2 gengs.
Raya" : huweeeh emmot muntah ada nggak" ?"?"
Lea" " : sumpah gue ngakak baca chat2 ini. Wkwkwkwk
Raya sudah memaafkan Lea sejak ia mengerti bagaimana penderitaan Lea menjadi single parent selama bertahun-tahun. Itulah sebabnya ia berlapang dada menerima
Lea sebagai sahabatnya kembali. Memang kita bukan Tuhan yang Maha pemaaf. Tapi Tuhan sangat menyukai hamba-Nya yang berbesar hati dan mau memaafkan kesalahan
orang lain. *****?"?"?"*****
Chapter 83 [Raya pov] Gue mengulurkan tangan ke Lea lalu dia dengan cepat menjabat tangan gue sambil tersenyum.
"Lea, selamat ya. Gue harap lo sama Arsyaf hidup bahagia selamanya," ucap gue lalu memeluk Lea dengan erat.
"Makasih, Raya. Makasih doanya. Dan makasih karena sudah mau memaafkan gue," papar Lea tulus.
"Pelukannya lama banget?" Dahi Arsyaf mengernyit. "Kamu nggak mau peluk pengantin prianya juga nih?" godanya nakal.
"Huuus!" tegur gue sembari memukul lengannya. "Mau kena tonjok Pak ketua geng?"
Arsyaf terkekeh. "Oh iya. Gue lupa."
"Ngomong-ngomong di mana El?" tanya Lea sambil celingukan mencari sosok El.
"Dia balik ke rumahnya tadi. Katanya sih HP-nya ketinggalan," jelas gue.
"Terus kalau Renan?" tanya Lea lagi.
Gue mengedikkan bahu. "Tuh anak paling-paling lupa bawa kado pernikahan. Atau kalau enggak ... dia lupa beli amplop buat salaman tempel."
"Eh itu El." Tunjuk Arsyaf dengan dagunya.
Gue menoleh ke belakang. Mata gue melebar ketika mendapati El berjalan ke arah kami dengan membawa anak kecil.
Dahi gue mengernyit. "El, ngapain lo bawa Brian ke sini?" tanya gue heran.
El menggaruk salah satu alisnya lalu tersenyum kecut. "Kak Icha tadi menelponku dan dia menitipkan anak ini," paparnya.
"Terus, kenapa kamu mau?"
"Ya ... mau gimana" Katanya dia ada pasien mendadak."
"Itu tuh cuma alasan Kak Icha agar dia bisa kencan sama suaminya. Tadi sebelum berangkat ke sini, dia juga mohon-mohon ke aku buat titip Brian."
"Mama!" Brian menarik-narik gaun pesta gue.
Gue melihat ke bawah, mendapati tuyul gendut yang berdiri di samping gue. "Ada apa Brian?"
"Aku mau makan itu." Brian menunjuk udang krispi yang ada di atas meja untuk hidangan para tamu.
"Tunggu tunggu!" potong Arsyaf heran. "Kalau dia anak Kak Icha, kenapa dia panggil kamu Mama, Ray?"
Gue menyeringai. "Ni anak emang suka main keluarga-keluargaan sama gue."
"Kalau kamu jadi Mamanya, berarti El...."
"Yups. El sekarang jadi Papanya."
Arsyaf tersenyum kecut. "Ooohh..."
"Eh BTW, di mana anak elo, Syaf?"
"Itu." Arsyaf menunjuk seorang gadis cilik cantik yang duduk bersama Mamanya. "Mamaku seneng banget sama Resya soalnya dia anak yang pintar."
"Benarkah?" Mata gue melebar senang mendapati kenyataan bahwa Mamanya Arsyaf bisa menerima Resya meskipun Resya adalah anak di luar nikah. "Eh, gue sama
El mau nyapa Mama lo dulu ya."
Arsyaf mengangguk lalu tersenyum. Gue, El, bersama Brian pun berjalan menuju tempat Mama Arsyaf duduk bersama Resya.
"Halo, tante," sapa gue sopan.
Alis Mama Arsyaf terangkat, ia tampak kaget menjumpai gue di pesta pernikahan anak tunggalnya. "Eh Raya. Apa kabar?" Mama Arsyaf berdiri lalu cipika cipiki
sama gue. "Baik tante. Tante sendiri?" Gue pun duduk di sebelah Mama Arsyaf sedangkan El duduk di sebelah Resya sembari memangku bola gulung alias Brian.
"Tante mah kurang baik. Soalnya tante pengen kamu yang jadi mantu tante, Ray," papar Mama Arsyaf gamblang.
El berdehem, seolah menegur Mama Arsyaf yang nyerocos tanpa memperhatikan perasaan Resya. Resya memang anak berumur 7 tahun. Tapi dia adalah anak yang
cerdas, dia bahkan sudah memahami bahwa pernikahan Mama dan Papanya terasa ganjil tak seperti Mama Papa teman-temannya.
"Eh ngomong-ngomong kenapa kamu memilih El daripada anak tante?" imbuh Mama Arsyaf.
Gue tersenyum kecut. Buset ni emak-emak mulutnya lagi blong kali yak"
"Meskipun Arsyaf nggak pintar-pintar amat, tapi kan dia lebih ganteng daripada El," cerocos Mama Arsyaf lagi.
"Em... Resya, tolong ajak Brian main ke sana ya." El menunjuk beberapa anak kecil yang sedang asyik bermain di tepi ruangan.
"Baik, Om," ujar Resya mengangguk, menggenggam tangan Brian, lalu berlari-lari kecil menuju kumpulan teman sebayanya yang merupakan anak dari para tamu
undangan. Gue tersenyum tipis. Gue tahu kenapa El menyuruh Resya bermain bersama Brian. Itu karena dia tidak ingin Resya mendengar ocehan Mamanya Arsyaf yang sudah
jelas tidak menyukai Lea dan masih berharap kalau gue yang menjadi menantunya.
"Tante, Raya itu calon istri aku. Bulan depan kami menikah," jelas El.
"Iya, El. Tante tau. Beruntung kamu dapetin calon istri seperti Raya. Udah cantik, pinter, lucu, lulusan Jepang pula!" Mama Arsyaf beropini.
"Ah tante bisa ajah," ujar gue tersipu malu.
"El, awas ya kalau kamu sakitin Raya! Ingat, Arsyaf masih boleh menikah tiga kali lagi lho," ancam Mama Arsyaf lalu terkikik senang. "Kan jatah nikah laki-laki
empat kali." "Waduh," ucap gue spontan.
El terkekeh. "Iya, tante. Tante tenang aja. Aku nggak bakal sakitin dia. Kalau Arsyaf jadiin Raya istri kedua, aku akan menjadikan Raya istri pertama dan
terakhir." Pipi gue berdesir malu, mungkin sudah memerah. "Ih bisa aja gombalnya!" tegur gue sambil menepuk bahu El.
"Woi! Raya!" Tampak Renan melambai dari arah kejauhan.
Dahi gue mengernyit. "Ada apa, Ren?" tanya gue dengan menaikkan oktaf suara.
"Ayo kita foto bareng berlima," kata Renan sembari berjalan menuju ke arah gue. "Gue ada urusan mendadak. Jadi gue nggak bisa lama-lama di acara ini."
"Ya udah ayo!" Gue, El, Renan, Arsyaf, dan Lea pun berfoto bersama dengan berbagai macam gaya. Senang sekali rasanya bisa menjalin persahabatan ini seperti sedia kala.
Gue harap, Arsyaf dan Lea hidup bahagia selamanya. Selamat tinggal Mas mantan. Dan selamat datang sahabat.
*** Setelah pulang dari pesta pernikahan Arsyaf dan Lea, gue langsung merebahkan tubuh gue di atas kasur sesampainya di apartemen. Rasanya capek sekali setelah
mengantar si gentong pulang.
"Gimana?" tanya Anila.
Mata gue yang tadinya terpejam langsung membuka dan leher gue memutar untuk melihat Anila yang duduk di tepi kasur.
"Gimana Renan?" imbuhnya.
"Dia nggak kenapa-napa. Tapi kenapa lo tanya Renan ke gue" Kan elo pacarnya," ungkap gue keheranan.
Anila menghela napas lesu. "Gue nggak tau, gue ini siapa baginya."
Gue terduduk di samping Anila. "Maksud lo?"
"Gue sering merasa kalau cinta gue ke dia hanya bertepuk sebelah tangan."
"Ah nggak mungkin!"
"Tapi itu benar, Ray. Renan nggak sayang sama gue."
"Em..." Mata gue memutar ke atas, mencoba memikirkan sesuatu. "Gimana kalau lo tes aja si Renan?" celetuk gue asal.
Dahi Anila berkerut. "Tes?"
Gue mengangguk semangat. "Kalau dia beneran cinta sama lo, dia bakalan melakukan apa pun yang elo mau sekali pun hal itu membuatnya malu."
"Maksud elo?" "Cowok itu paling malu kalau disuruh beli pembalut. Jika dia mau beliin elo pembalut, itu berarti dia sayang sama elo."
"Jangan bilang kalau lo pernah nyuruh Pak Bara beli pembalut buat elo," tebak Anila benar.
"Ya iyalah!" sahut gue bangga. "Bukan hanya pernah! Sering malah!"
"What?" ujar Anila kaget.
"Sekarang, lo bisa menggunakan metode yang sama buat ngetes si Renan."
"Tunggu tunggu!" potong Anila. "Lo tau dari mana jenis tes kayak begitu?"
Gue meringis malu. "Gue baca dari novel hehehe."
"Jadi, lo meraktekin apa yang lo baca dari novel?"
Gue mengangguk malu. "Sontoloyo lo jadi orang!"
*** [Author pov] Sepanjang perjalanan, Anila menggandeng mesra tangan Renan sembari melihat-lihat pakaian. Dia sangat senang bisa berkencan bersama orang yang ia cintai
walaupun ia tidak yakin kalau Renan juga mencintainya. Apa tes yang Raya katakan tempo hari perlu dicoba, pikirnya.
"Aduuuh." Anila mulai melancarkan aksinya. Tiba-tiba ia memegang perutnya, berakting sakit.
"Kamu kenapa?" tanya Renan cemas.
"Nggak tau nih. Perut aku sakit banget."
"Ya udah. Aku antar ke dokter ya?"
Anila menggeleng. "Enggak. Aku ke toilet aja."
Hampir 15 menit Renan berdiri di dekat pintu toilet wanita. Tapi Anila tak kunjung keluar juga. Ia mulai merasa semakin cemas, takut terjadi apa-apa pada
Anila di dalam. Tanpa berpikir panjang, ia menelpon Anila, mengecek apakah Anila baik-baik saja atau tidak.
"Halo, Anila" Kamu nggak kenapa-napa kan?" tanya Renan khawatir setelah Anila lama mengangkat panggilan.
"Sayang, gimana ini?" tanya Anila manja.
"Gimana apanya?"
"Aku nggak bisa keluar dari toilet, Sayang."
Alis Renan terangkat kaget. "Kenapa nggak bisa keluar" Kamu terkunci?"
"Enggak." "Terus kenapa?" Renan mulai bertambah panik.
"Aku datang bulan nih. Aku nggak bisa keluar toilet tanpa memakai pembalut. Kamu bisa beliin aku pembalut nggak?"
"Apa" Pembalut?" ujar Renan kaget.
Seumur hidup, Renan sudah mengencani berbagai macam wanita. Semuanya cantik, sexy, dan terpelajar. Total wanita yang pernah dikencani Renan kurang lebih
23 wanita, tak ada seorang pun waria. Kalaupun ada, sudah pasti Renan memutuskannya kurang dari 0,5 detik. Dan dari 23 wanita yang pernah ia kencani, tak
seorang pun berani menyuruhnya untuk membeli pembalut.
"Gimana ini, Sayang?" tanya Anila manja, terdengar suara tangis yang dibuat-buat dari mulutnya.
Renan menggaruk rambutnya, bingung harus berbuat apa. Dia adalah laki-laki dan pembalut adalah benda yang hanya dipakai oleh wanita. Entah waria mengenakannya
atau tidak, ia sungguh tidak tahu.
"Sayang?" panggil Anila.
"I... iya deh. Aku belikan. Bentar ya."
"Eh eh!" "Ada apa lagi?"
"Jangan lupa belikan aku minuman pereda nyeri datang bulan juga ya. Sakit banget nih."
"Iya iya." Tit....
Cewek Cetar Dua Karya Zaeemaazzahra di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Renan langsung mengakhiri panggilan, takut kalau Anila titip barang-barang yang tak lazim lainnya misalnya saja celana dalam wanita. Sesampainya di tempat
perbelanjaan, Renan bergegas cepat mencari pembalut dan minuman pereda nyeri, kemudian berlari menuju kasir sebelum orang-orang di sekitar memperhatikannya.
"Buat pacarnya ya, Mas?" tanya si kasir kepo.
Renan tersenyum malu lalu mengangguk. Kemudian ia mengeluarkan dompet dari dalam saku celananya.
"Biasanya, cewek itu suka yang sayap," tambah si kasir cantik.
"Sayap?" tanya Renan tak mengerti. Ia hanya tahu sayap ayam saja. Kalau sayap pembalut, ia baru tahu kali ini.
"Iya, yang sayap. Soalnya nggak mudah bocor, Mas."
"Terus, yang aku beli itu...." Renan menunjuk sebungkus pembalut yang dimasukkan si kasir ke dalam kresek putih. "Itu sayap atau bukan?"
Si kasir terkekeh. "Bukan, Mas. Ini yang biasa."
"Ah au ah!" Renan mengacak rambutnya kesal.
*** "RAYA.... I LOVE YOU!" teriak Anila ketika membuka pintu apartemen.
"Kenapa lo" Senyum-senyum girang kek ondel-ondel monas?" tanya Raya heran mendapati Anila berlari ke arahnya kemudian memeluknya erat.
"Coba tebak apa yang baru gue alami hari ini?"
"Apa?" "Renan mau beliin gue pembalut!" ujar Anila begitu bangga, hal itu pertamda kalau Renan sudah mulai peduli, pikirnya.
Mata Raya melebar senang. "Beneran?"
Anila mengangguk penuh semangat.
"Tuh kan! Apa gue bilang! Renan mah emang gitu orangnya."
"Makasih ya buat sarannya."
Raya tertawa lepas. "Oke deh," ucapnya lalu memeluk Anila erat.
*****?"?"?"******
Chapter 84 [Author pov] Anila menatap wajah Renan, membuat pria berambut gondrong itu sedikit risih. Setelah menyesap seputung rokok dan mengeluarkan kepulan asap, Renan terhenti.
Ia mengapit sepuntung rokok di antara jari telunjuk dan jari tengahnya lalu menatap balik Anila.
"Kenapa kamu ngelihatin aku kayak gitu?" tanya Renan sinis.
"Habisnya kamu ganteng banget sih," jawab Anila blak-blakan dengan suara manjanya.
Jujur saja, Renan suka perempuan manja tapi penurut seperti Anila. Di antara 23 wanita yang pernah ia kencani, hampir separuh memiliki sifat manja. Menurutnya,
perempuan manja dan penurut itu perlu untuk dilindungi. Mereka terlihat rapuh.
Memang benar selama ini Renan mencari seorang perempuan yang memiliki kepribadian seperti Raya. Baik, pintar, tegar, lucu, manja, walaupun tidak penurut.
Dan jujur saja, Anila memiliki semua kriteria yang yang ia inginkan. Apalagi Anila adalah gadis penurut. Hal itu menambah poin plus baginya.
"Sayang, bentar lagi Raya dan Pak Bara menikah. Kita kapan ya?" tanya Anila memberanikan diri. Ia menggigit bagian bawah bibirnya.
Renan menghela napas jengah. Ia paling tidak suka dituntut untuk membuat komitmen yang lebih serius.
"Usiaku dua bulan lagi sudah 27 lho," imbuh Anila.
"Aku kan sudah bilang ke kamu kalau aku belum ingin menikah," ucap Renan sinis lalu ia kembali menghisap puntung rokoknya.
"Ya udah," kata Anila sambil memegang tangan Renan. "Kalau kamu masih belum siap, aku nggak akan maksa kok. Aku bakalan nungguin kamu."
"Bagus kalau kamu ngerti!" ujar Renan ketus setengah membentak.
Anila menelan ludah. Hatinya teriris mendengar Renan berkata ketus terhadapnya. Tak apa jika Renan tidak ingin menikah. Tapi bukankah Renan bisa menolaknya
secara halus" "Anila?" sapa seorang lelaki tampan yang kebetulan lewat.
"Jordan?" kata Anila dengan mata sedikit membulat, melihat sesosok lelaki tampan yang sudah lama tak ia lihat.
"Anila, apa kabar?" tanya Jordan sumringah.
"Baik. Gue baik. Lo sendiri?" jawab Anila bersemangat lalu berdiri, memeluk Jordan, kemudian cipika cipiki dengan entengnya, membuat hati Renan memanas.
"Gue baik," sahut Jordan. "Em... dia siapa?" tanyanya sambil melirik ke arah Renan.
"Dia pacar gue. Namanya Renan Atala. Lo bisa panggil dia Renan."
"Hai. Aku Jordan," kata Jordan sembari mengulurkan tangannya pada Renan.
"Renan," sahut Renan malas sambil menjabat singkat tangan Jordan.
"Eh ngomong-ngomong, lo sekarang kerja di mana?" tanya Anila sambil mempersilahkan Jordan untuk duduk di sampingnya.
"Gue sekarang kerja di sini. Gue pemilik restoran ini," jelas Jordan.
"Benarkah?" Anila terperangah.
Entah kenapa Renan semakin kesal melihat keakraban Anila dengan Jordan. Ia bersikap cuek sambil terus merokok dan sesekali SMS-an dengan beberapa mantan
pacarnya, mencoba mengabaikan percakapan antara Anila dan Jordan.
"Eh, ngomong-ngomong kapan kalian menikah?" tanya Jordan sambil menatap Renan tajam.
Renan terhenti, ia menatap balik Jordan dengan tatapan tak kalah tajam. "Itu bukan urusan elo," kata Renan sinis sambil membanting rokoknya ke dalam asbak.
"Sayang, kenapa kamu sinis gitu sih ke Jordan?" tanya Anila setengah berbisik, ia merasa sedikit tidak enak hati pada Jordan.
Jordan tersenyum miring. Ia menyadari kalau Renan cemburu terhadapnya. Tapi ia juga sadar bahwa Renan masih belum memahami perasaannya sendiri terhadap
Anila. "Anila, sepertinya lo harus mencari pria yang lebih baik lagi." Jordan beropini.
"Maksud lo apa?" Renan semakin melunjak marah, tangannya spontan mencengkram kerah baju Jordan.
Jordan malah terkekeh. "Anila, lo yakin mau terus berhubungan dengan pria tempramental seperti ini?" kata Jordan semakin memanas-manasi.
"Sayang, tolong lepasin Jordan. Aku mohon," pinta Anila sambil memegangi tangan Renan.
Mata Renan yang tadinya mendelik marah kemudian kembali normal setelah mendengar permintaan Anila yang memohon. Ia pun melepaskan tangannya dari kerah
baju Jordan. Sementara salah satu sudut bibir Jordan terangkat sambil merapikan kerah bajunya.
"Kalau lo berani jelek-jelekin gue ke Anila, gue bakalan buat perhitungan sama lo. Ngerti?" ancam Renan serius.
Jordan terkekeh. "Anila terlalu baik buat elo."
Kali ini Renan yang tersenyum miring. "Maksud lo apa" Maksud lo, gue nggak pantas buat Anila?"
"Jika lo nggak ngehargai Anila, gue nggak bakal rela Anila jadi milik elo."
"Lo nggak pantas berpendapat seperti itu."
"Lo pikir, cowok yang merokok di depan ceweknya itu pantas dibilang care?"
"....." "Setiap cowok boleh merokok. Tapi jangan di depan cewek. Itu namanya nggak ngehargai."
Renan tertegun, ia masih mencerna setiap kalimat yang dilontarkan Jordan. Ya! Jordan benar. Nggak sepantasnya seorang cowok merokok di depan pacarnya,
bukan" *** Anila mendengus kesal. Sedari tadi Renan tak kunjung menjawab panggilannya. Berulang kali ia hanya mendengar suara customer service yang mengoceh dengan
kalimat yang sama. Kring.... Renan tiba-tiba menelpon balik Anila, membuat perempuan berusia 26 tahun itu tersenyum gembira. Betapa tidak" Akhirnya ia dapat mendengar suara lelaki
yang dicintainya walau hanya lewat telepon.
"Halo, Sayang" Kenapa dari tadi kamu nggak jawab telepon dari aku?" tanya Anila manja, ia mengerucutkan bibir mungilnya.
"Aku lagi nggak enak badan nih. Kamu jangan ganggu aku ya. Aku mau istirahat. Bye."
"Eh eh," cegah Anila sebelum Renan menutup telepon. "Jangan tutup teleponnya dulu."
"Ada apa lagi sih?" tanya Renan sedikit kesal.
"Kamu sakit apa?"
"Aku sakit flu biasa kok. Udah ya. Bye."
Tit.... Renan mengakhiri panggilannya dan bergegas tidur, menutupi sekujur tubuhnya dengan selimut hangat. Sudah 2 hari ia demam tapi ia malas pergi ke dokter.
Ia percaya, demam yang dideritanya akan sembuh sendiri.
Ting tung ting tung Tak sampai 15 menit Renan menikmati tidur siangnya, suara bel apartemennya berdering bertubi-tubi tak henti-henti. Renan terduduk, menghela napas jengah,
lalu mengacak rambut gondrongnya.
"Siapa sih?" gumamnya kesal sembari berjalan menuju pintu.
"Sayang" Kamu nggak kenapa-napa kan?" tanya Anila panik ketika Renan membukakan pintu untuknya.
Renan memutar bola mata malas. "Aku kan sudah bilang kalau aku nggak kenapa-napa. Aku cuma butuh istirahat. Kenapa kamu pakek acara ke sini segala sih?"
omelnya geram. "Aku tuh khawatir banget sama kamu."
"Kamu nggak usah khawatirin aku. Aku cuma demam biasa kok."
Pleeekk Telapak tangan Anila langsung mendarat ke jidat Renan lalu matanya mendelik kaget. "Astaga buah naga! Kamu panas banget!"
"Apaan sih!" Renan menyingkirkan tangan Anila dari jidatnya.
"Pokoknya kamu harus istirahat total." Anila membalikkan badan Renan, mendorong punggung Renan hingga membuat langkah kaki Renan terus maju menuju kamar.
"Aku akan panggilin dokter."
"Kamu apa-apaan sih, Nil?"
"Udah diem!" Anila mendudukkan Renan di tepi ranjang. "Pokoknya aku mau kamu istirahat," ucapnya setengah galak lalu mendorong bahu Renan hingga Renan
terbaring di atas ranjang.
Renan malas berdebat dengan Anila. Apalagi dengan kondisinya yang kurang fit. Ia lebih memilih menuruti apa kata kekasihnya itu. Daripada ia harus mendengar
ocehan Anila yang sudah pasti semakin banyak dibantah malah semakin panjang.
Setelah membaringkan Renan, Anila bergegas menuju dapur, mengambil baskom dari rak, mengambil es batu dari dalam kulkas, lalu menyiapkan handuk. Ia pun
bergegas memasukkan es batu ke dalam baskom lalu mencampurkan sedikit air kran di dalamnya. Kemudian, ia kembali menemui Renan yang terbaring lemas di
atas ranjang. "Ngapain kamu bawa baskom?" tanya Renan heran.
"Aku tuh mau ngompres jidat kamu," jawab Anila dengan suara lirih seolah menahan tangis.
Alis Renan terangkat mendengar suara Anila. "Aku salah ngomong ya" Kalau aku salah ngomong, aku minta maaf. Please jangan nangis," papar Renan setengah
merasa bersalah, sejak ditelepon ia sadar berkata sinis pada Anila.
Anila menggeleng pelan. "Enggak kok. Aku cuma sedih ngelihat kamu sakit kayak gini," paparnya dengan mata berkaca-kaca.
Renan tersenyum kecil sembari menyingkap selimutnya lalu duduk. Ia menarik tangan Anila hingga Anila terduduk di sampingnya.
"Kamu apa-apaan sih" Hampir aja baskomnya jatoh tadi," omel Anila sambil menaruh baskom yang ia bawa di nakas meja.
"Kamu nangis hanya karena aku demam ringan?" tanya Renan memastikan.
"Aku nggak nangis!" sanggah Anila dengan suara goyah.
"Kalau kamu nggak nangis, kenapa ada air mata di sini?" Jemari Renan mengusap air mata di salah satu sudut mata Anila.
Tangis Anila pecah, ia langsung merebahkan kepalanya di atas dada Renan. "Kamu jangan sakit. Aku sangat mencemaskanmu tau nggak?"
"Udah jangan nangis lagi." Renan mengelus lembut rambut Anila. "Maafin aku ya. Tadi aku sempat ngomelin kamu."
Anila melepaskan pelukannya lalu membaringkan Renan. Ia mengusap air matanya lalu bergegas mencelupkan handuk kering ke dalam air es lalu memerasnya. Tak
lupa juga ia melipat handuk tersebut lalu meletakkannya di atas jidat Renan.
"Kamu tunggu di sini. Aku akan masakin bubur buat kamu," kata Anila.
"Tapi... kamu bisa masak kan?" tanya Renan.
"Ya jelas bisalah! Selain lebih cantik, aku tuh jauh lebih jago masak dibanding Raya tau nggak?"
Renan terkekeh. "Kamu masih cemburu sama Raya?" godanya.
"Ya iyalah! Secara kamu kan udah suka dia sejak kecil."
Lagi, Renan terkekeh. "Kamu tuh lucu banget kalau cemburu."
"Habisnya... kamu tuh kelihatan masih care banget sama dia. Wajar dong kalau aku cemburu?"
"Dia itu sahabat aku sejak masih dalam kandungan. Wajar kalau aku care banget sama dia."
Anila terdiam dengan wajah muram dan bibir manyun sebal.
"Kamu tau nggak, seumur hidupku, aku nggak pernah begitu care sama wanita mana pun selain Mama dan Raya. Bagiku, Mamaku nomor satu dan Raya nomor dua."
"Ya... ya... ya... udah ah aku mau masak dulu," ucap Anila kesal lalu berdiri sambil menghentak-hentakkan kakinya.
"Eh tunggu! Aku belom selesai cerita." Tangan Renan dengan sigap meraih pergelangan tangan Anila lalu membuat gadis itu kembali terduduk di sampingnya.
"Apa lagi?" tanya Anila malas, hatinya cemburu bukan main.
"Bagiku, Mama nomor satu dan Raya nomor dua. Tapi sekarang, Raya jadi nomor tiga."
Alis Anila terangkat. Rupanya ia mulai tertarik dengan cerita Renan.
"Soalnya...." Renan sengaja memperlambat sambungan kalimatnya. Ia ingin membuat Anila penasaran.
"Soalnya kenapa?" tanya Anila begitu penasaran.
"Soalnya, sekarang kamu yang ada diurutan nomor dua."
Mata Anila melebar senang. "Beneran?" tanyanya memastikan.
Renan mengangguk. "Aku nggak tau sejak kapan aku care sama kamu. Mungkin sejak aku ketemu Jordan."
Mata Anila tiba-tiba basah, ia menangis bahagia mendengar pengakuan Renan.
"Aku nggak suka lihat kamu deket-deket sama Jordan. Pokoknya, aku nggak suka lihat kamu deket-deket sama cowok lain selain aku," tambah Renan.
"Renan?" Anila langsung memeluk erat Renan dan tangisnya pecah seketika hingga air matanya membasahi kaos yang dikenakan Renan.
"Aku janji akan melupakan Raya sepenuhnya. Dan aku janji akan lebih menghargai kamu seperti aku menghargai Mamaku," sambung Renan tulus sembari mengelus
lembut rambut panjang Anila.
*****?"?"?"******
Chapter 85 [Author pov] Arsyaf sudah bersiap tidur di sofa. Sementara Lea masih berdiri di dekat ranjang. Arsyaf sudah 3 minggu hidup bersama Lea. Tapi tak sedikit pun ia menyentuh
wanita cantik itu. Apakah dia akan terus bersikap dingin seperti itu" Entahlah.
"Arsyaf, aku aja yang tidur di sofa. Lagipula, besok kamu harus berangkat kerja kan" Aku takut tidurmu kurang nyenyak," ucap Lea memberanikan diri. Ia
sadar bahwa ia tidak memiliki arti bagi Arsyaf.
Arsyaf tak mendengarkan Lea. Ia malah menata bantal lalu menarik selimut dan bergegas tidur membuat Lea menghela napas kecewa.
Tok tok tok Arsyaf dan Lea terkesiap. Keduanya spontan menoleh ke arah pintu. Arsyaf gelagapan membereskan bantal dan selimutnya dari sofa. Sementara Lea berjalan
menuju pintu. "Resya" Kenapa kamu kemari, sayang?" tanya Lea.
"Aku barusan mimpi buruk," jawab Resya sesenggukan seperti baru saja menangis.
Lea langsung memeluk Resya dan membelai lembut rambut panjang Resya. "Nggak apa-apa. Nggak usah takut. Kan itu cuma mimpi, Sayang."
Hati Arsyaf melunak, melihat sikap Lea terhadap Resya. Ia pun berjalan menuju pintu dan duduk berjongkok untuk menyamai tinggi badan Resya.
"Kalau kamu takut, malam ini kamu boleh tidur sama Mama," ujar Arsyaf mencoba menenangkan Resya.
"Sama Papa juga?" tanya Resya antusias. Ia sangat menyukai Papanya bahkan ia sangat manja pada Papanya.
Arsyaf mengangguk mengiyakan. Mereka bertiga pun akhirnya tidur bersama.
*** Hari ini El tidak pergi ke kantor untuk bekerja. Dia tidak fokus mengerjakan pekerjaan kantornya. Ia lebih memilih nge-gym, berolah raga untuk menenangkan
pikiran sebelum hari H pernikahannya dengan Raya.
Sementara itu, Raya juga demikian. Sama seperti El, ia juga tidak bisa fokus bekerja. Ia lebih memilih berpura-pura sakit dan bermalas-malasan di kamar
tidur. Raya : lagi apa, Mas Bara" Hehehe ?"
Elbara : Mas Bara" Ya udah. Mulai sekarang, km harus panggil aku dg sebutan itu. Soalnya aku suka.
Raya : iya nih. Selama kita pacaran, kita gk pernah bikin nama kesayangan.
Elbara : oooh ya udah deh. Nanti aku panggil kamu Tong Sam Cong kayak dulu. ?"
Raya : Ih kamu mah ?"
Hanya keisengan dua sejoli yang akan menikah minggu depan. Sekedar berkirim pesan tapi itulah kebahagiaan sejati yang jarang orang-orang sadari.
**** Jantung El berdegup kencang ketika menjabat tangan Pak penghulu. "Saya terima nikahnya Soraya Aldric binti Abdul Hakim dengan Mas kawin tersebut dibayar
tunai," ucap El cepat.
"Bagaimana saudara saudara?" tanya Pak penghulu pada para saksi yang hadir.
"Sah! Sah! Sah!" Sorak semua orang sambil tersenyum bahagia.
Setelah akad nikah, mereka bergegas menuju sebuah hotel bintang lima karena resepsi pernikahan diadakan di sana. Banyak tamu undangan yang hadir dari kedua
belah pihak. Meskipun tamu undangan El jauh lebih banyak karena dia mengundang semua kolega perusahaan. Beribu ucapan selamat terucapkan untuk mereka.
"Wuaah sahabat gue paling kece habis ini nggak perawan lagi," kata Renan diselingi dengan suara tangis yang terdengar dibuat-buat.
"Huuuus!" tegur Raya sambil gebukin punggung Renan dengan geram. "Lidah lo perlu disunat. Soalnya kalo ngomong suka bener."
Tawa pun membuncah di antara keduanya. Namun tawa itu meredup ketika Renan tiba-tiba memeluk Raya erat.
"Selamat ya. Semoga kalian langgeng sampai kakek nenek," ucap Renan tulus.
"Ya nggak cuma langgeng sampai kakek nenek dong. Sampai mati sampai di kehidupan selanjutnya di akhirat harus tetep langgeng," ujar Raya.
Melihat Renan memeluk Raya, El langsung berjalan ke arah mereka berdua lalu memisahkan pelukan antara Raya dan Renan.
"Kalian bukan muhrim. Jadi nggak usah peluk-peluk," tegur El.
"Yaelah El. Gue sama Raya mah sudah sahabatan sejak masih jadi zigot. Lagian, selama delapan tahun lo ngilang, gue yang jagain dia. Masa' peluk dikit aja
kagak boleh?" gumam Renan.
"NGGAK BOLEH!" Raya terkikik melihat suaminya cemburu seperti itu. Memang suaminya itu sangat mudah cemburu dan entah mengapa Raya suka itu.
Setelah Renan mengucapkan selamat pada Raya dan El, kini giliran Arsyaf, Lea, lalu Anila. Sedangkan Icha lah yang menjadi orang pertama mengucapkan selamat
karena Icha adalah satu-satunya keluarga inti yang Raya miliki.
*** Jadwal penerbangan diundur besok pagi karena cuaca tiba-tiba buruk. El dan Raya memutuskan untuk pulang ke rumah Icha karena rumah Icha dekat dengan bandara.
Ting tung ting tung Raya memencet bel rumah. Matanya membulat ketika mendapati Anila yang membukakan pintu untuknya. Sementara El seperti biasa, memasang muka datar tanpa
ekspresi. "Anila, ngapain lo di rumah gue?" tanya Raya heran.
Anila meringis malu. "Lo kan tau sendiri kalau gue takut tinggal sendirian. Kan nggak mungkin kalau gue minta temenin Renan. Jadi, gue nginep di sini."
Raya menggeleng sambil berdecak. "Ya elah. Tinggal di apartemen sendirian aja takut. Cemen lo jadi orang."
"Terus, ngapain lo kemari?"
"Jadwal penerbangan diundur jadi besok pagi. Jadi gue sama suami mau nginep di sini semalam."
"Ciyeee.... sekarang panggilnya suami," goda Anila.
Raya menjitak kepala Anila hingga membuat Anila mengerang kesakitan. Sedangkan El hanya terkekeh melihat tingkah lucu istrinya.
"Siapa yang datang, Nil?" suara Icha terdengar dari ruang keluarga.
"Raya sama suaminya, Kak," sahut Anila sedikit menaikkan oktaf suaranya.
Alis Icha terangkat lalu ia segera mengabaikan televisi yang ia tonton dan bergegas menuju ruang tamu untuk menemui Raya dan El yang asyik berbincang-bincang
dengan Anila. "Raya" Kenapa lo nggak jadi bulan madu ke Eropa?" tanya Icha ngotot.
"Cuaca lagi ngambek, Kak. Jadi, aku berangkat besok," jelas Raya.
"Oooh..." Icha mengangguk mengerti.
"Aku ke kamar dulu ya. Capek nih," pamit Raya ke Icha.
Icha hanya mengangguk, mempersilahkan.
Sesampainya di dalam kamar, Raya merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Rasanya sekujur tubuhnya begitu penat. Betapa tidak" Jam setengah delapan tadi pagi
akad lalu dilanjut dengan resepsi pernikahan sampai siang. Saat tiba di bandara setelah melalui kemacetan kota Jakarta, dia harus kembali pulang karena
jadwal penerbangan tiba-tiba diundur.
"Mas, kamu mandi dulu aja. Aku masih pengen malas-malasan," kata Raya.
El hanya mengangguk dan bergegas menuju kamar mandi. Ia juga sangat lelah setelah seharian penuh menjadi pengantin pria yang sejak pagi hingga siang hari
harus berdiri dan bersalaman dengan para tamu undangan.
Setelah mandi, El mengeringkan rambutnya yang basah dengan handuk kering lalu keluar kamar mandi dan menyuruh Raya untuk mandi. Sebenarnya Raya ingin demo.
Tapi mau bagaimana lagi" Kebiasaan buruknya yang jarang mandi harus segera dihilangkan karena sekarang ia memiliki suami yang super bersih, El bahkan bisa
dipanggil Mr.Clean karena ia paling tidak suka segala sesuatu yang berbau tidak sedap atau kotor.
Setelah mandi, Raya kembali merebahkan tubuhnya di atas ranjang lalu menarik selimut dan bergegas tidur. El hanya menggeleng heran dengan tingkah istrinya
itu. Apa Raya tidak tahu bagaimana perasaan El saat ini yang begitu ingin menciumnya"
El menghela napas kecewa. Tapi mau bagaimana lagi" Istrinya terlihat sangat kelelahan. Ia hanya ingin Raya beristirahat dan tidur dengan nyenyak. Ia pun
menaruh ponselnya di nakas meja lalu berbaring di sebelah Raya.
Mata Raya terbuka setelah sempat terpejam. Ia terkesiap. Jantungnya berdegup tak karuan saat El berbaring di sampingnya. Apa El juga merasakan hal yang
sama" Jujur saja, ini pertama kalinya Raya tidur di sebelah laki-laki. Biasanya ia tidur di samping Icha atau Anila. Tapi kali ini" Kali ini ia tidur di
samping El. "Mas suami," sapa Raya manja sambil mengoyak lengan El.
"Hm?" sahut El menoleh ke samping, ke arah istrinya.
"Aku nggak bisa tidur," curhat Raya manja.
"Aku juga nggak bisa tidur."
"Em..." bola mata Raya memutar ke atas, ia tampak berpikir. "Gimana kalau kita main game aja?" usulnya antusias.
"Main game?" Alis El terangkat.
Raya mengangguk semangat lalu ia bergegas turun dari ranjang dan menyalakan TV dan play station.
"Aku sudah lama nggak maen game ini. Soalnya harus dua orang maennya. Lha Kak Icha sibuk melulu. Anila mah nggak suka maen game ini. Dia itu sukanya maen
game masak-masakan atau make-up make-up-an gitu deh," papar Raya lalu memberikan stick ke El.
Setelah menunggu loading beberapa saat, mereka mulai memilih pemain. El memilih Liverpool sedangkan Raya memilih MU. Kemudian mereka memulai game tersebut.
Tapi tak lama setelah itu, mereka terhenti.
"Eh eh, kenapa game ini nggak ada suaranya?" tanya Raya heran. Ia meletakkan stick di atas ranjang lalu menepuk-nepuk televisi kemudian menepuk-nepuk play
stationnya. "Kenapa back sound nya nggak kedengeran yak?"
"Paling-paling PS kamu rusak," tebak El.
Cewek Cetar Dua Karya Zaeemaazzahra di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Yaaah." Raya menghela napas kecewa lalu kembali duduk di samping El. "Jadi gimana nih" Padahal aku pengen banget maen game ini."
"Ya udah kita tetep maen aja."
"Tanpa efek suara mah kurang seru, Mas suami."
"Masa' kalau aku yang nemenin main game tetep nggak seru sih," goda El.
Sementara itu, di ruang tamu, Icha dan Anila menonton sinetron India kesukaan mereka berdua. Pada intinya, cerita di sinetron India dan sinetron Indonesia
memiliki kesamaan. Kalau tidak hilang ingatan, penculikan, ya... muka pemainnya ganti secara tiba-tiba.
"Eh Kak Icha," kata Anila tiba-tiba.
Tangan Icha terhenti di dalam semangkuk pop corn lalu menoleh ke Anila. "Ada apa, Nil?"
"Emangnya Kakak nggak penasaran dengan apa yang dilakukan Raya dan suaminya di dalam kamar?"
"Iya juga sih. Gue penasaran banget, Nil. Apalagi Raya dan El tidak terlihat seperti pasangan romantis pada umumnya."
Ya. Gaya berpacaran Raya dan El sangat berbeda dengan gaya berpacaran Raya pada saat masih dengan Arsyaf. Jika dulu Raya dan Arsyaf sering beradu pendapat,
marahan, pacaran alay, dan sayang-sayangan. Sekarang Raya dan El lebih terlihat kalem dan terkesan hambar di hadapan orang lain. Mungkin karena El yang
tidak suka banyak bicara dan bermuka datar sering terlihat tegas. Itulah sebabnya orang lain tidak tahu kalau El sebenarnya pria yang sangat romantis dan
manja terhadap pasangan. "Gimana kalau kita nguping di depan pintu kamar Raya?" Ide gila Anila tiba-tiba keluar.
Icha mengagguk setuju karena pada dasarnya, ia juga memiliki otak gesrek sama seperti Anila. Mereka pun segera bergegas menuju kamar Raya.
"Ah ah kamu mah nyerang terus dari tadi. Iiihhh nyebelin deh." Terdengar suara manja Raya ketika Icha dan Anila sampai.
"Bushet! Mereka ngapain tuh?" tanya Anila penasaran.
"Jangan-jangan mereka..." Icha terkikik malu lalu segera mendekatkan telinganya ke dada pintu kamar Raya. Anila pun demikian.
"Tuh kan kamu nyerang lagi. Uuuh..." Suara Raya kembali terdengar, membuat Icha dan Anila jingkrak-jingkrak senang.
"Ya udah. Kalau kamu nggak pengen aku serang, makanya serang aku balik dong." Kali ini suara El yang terdengar.
Mata Icha membulat lalu ia saling bertatapan dengan Anila, tentu saja apa yang mereka pikirkan sama. Jantung mereka berdegup semakin kencang lalu kembali
menguping karena semakin lama mereka di depan kamar Raya, semakin mereka penasaran dengan apa yang dilakukan Raya dan El di dalam kamar.
"Tuh kan kamu berhasil masukin lagi." Suara Raya lagi-lagi berhasil membuat Icha dan Anila kegirangan.
"Bushet! Masukin apa tuh Kak?" tanya Anila setengah berbisik.
Icha mengangkat bahu. "Meneketehek."
"Ah udah ah maennya. Aku capek nih. Aku mau tidur aja."
"Astaga buah naga!" ucap Icha nyaris tanpa suara. "Maen apa tuh si Raya sampek kecapek'an segala?"
"Eh eh! Kamu jangan tidur dulu. Kan belum babak kedua." Kali ini perkataan El berhasil membuat mulut Icha dan Anila menganga lebar.
"Bushet si Raya belom babak kedua udah kecapek'an," kata Anila ngotot.
"Lo belom ngerasain, Nil. Gue yang udah nikah tau kalau main kek begono emang bikin capek," papar Icha.
Di dalam kamar, Raya menghentikan game yang dimainkannya. "Mas suami, kamu denger suara orang di depan pintu nggak?"
"Iya. Tadi aku sempat dengar suara Kak Icha dan Anila." El membenarkan.
Raya meletakkan sticknya lalu berjalan menuju pintu dan membukannya. Betapa terkejutnya ia ketika mendapati Kakaknya beserta sahabatnya sedari tadi menguping
di depan pintu kamarnya. "Kalian ngapain di sini?" Dahi Raya mengerut.
Icha dan Anila meringis malu lalu tersenyum kikuk seperti anak kecil yang ketahuan mencuri permen.
"Kalian nguping ya?" tebak Raya benar.
Icha dan Anila kompak meringis lagi. Dan pada akhirnya mereka menyadari kalau Raya masih berpakaian lengkap dan tidak acak-acakan seperti yang mereka pikirkan
sedari tadi. "Kok elo masih rapi gini sih?" Anila menyentuh piyama yang dikenakan Raya.
"Iya. Kok pakaian elo lengkap gitu sih?" Icha menambah.
"Salah ya kalau Raya berpakaian lengkap kayak gini?" tanya Raya dengan lugunya.
"Terus, dari tadi elo sama El main apa dong?" Icha tak menghiraukan pertanyaan Raya dan malah bertanya balik.
Raya menggaruk rambutnya yang tak terasa gatal. "Kita main PS."
"Yaelah. Kirain...." ucap Icha sengaja tidak merampungkan kalimatnya.
"Kirain apa?" "Kirain mau buatin Kak Icha keponakan unyu," celetuk Anila.
Raya terkekeh bahkan ia sampai terpingkal. Ia sangat keheranan dengan tingkah laku Kakaknya dan sahabatnya itu. Tak habis pikir mengapa mereka bisa berpikiran
seperti itu. "Ya udah. Kalian pergi sana!" usir Raya sembari mendorong Icha dan Anila lalu menutup pintu.
Setelah menutup pintu, ia kembali duduk di sebelah El. "Pikiran mereka mah emang rada gesrek. Masa' percakapan kita tadi dikira bikinin Kak Icha keponakan."
"Gimana kalau kita lakukan apa yang mereka pikirkan?" usul El setengah menggoda setengah serius.
"Maksud kamu...." Raya masih tak mengerti dengan apa yang dikatakan El.
"Maksud aku...." El mendekatkan bibirnya ke bibir Raya.
Lalu.... Cup Ciuman singkat membuat Raya terperanjat kaget bukan main. Matanya membulat bahkan ia menelan ludah salah tingkah. Pipinya berdesir malu. Ini pertama kalinya
ia ciuman. Dan yang terpenting, ciuman pertamanya diambil oleh suaminya sendiri.
"Ih kamu mah buat aku kaget," ucap Raya sedikit terbata-bata.
El tersenyum lebar lalu terkikik melihat istrinya kikuk dibuatnya. "Aku udah nggak sabar soalnya."
"Nggak sabar apa?" Lagi-lagi Raya tak mengerti.
"Nggak sabar nungguin kamu-lah!" ujar El setengah emosi karena istrinya tak kunjung peka terhadap apa yang ia inginkan sejak akad nikah dinyatakan sah
tadi pagi. "Nungguin aku?"
Tanpa bicara, El langsung menarik pinggang istrinya lalu menatap tajam Raya hingga membuat Raya mengerti apa yang diinginkannya. Mereka berdua pun sepakat
mematikan lampu. THE END ALIAS TAMAT *****?"?"?"*****
Extra Chapter [Author pov] EPILOG Mata Raya melebar ketika melihat dua garis di test pack yang baru saja ia celupkan ke air seninya. Senyumnya mengembang lalu ia jingkrak-jingkrak kegirangan
di dalam kamar mandi. Ia positif hamil setelah baru 3 minggu menikah dengan El.
"Ngapain kamu senyum-senyum kayak gitu?" El yang tiba-tiba masuk ke dalam kamar mandi membuat Raya gelagapan menyembunyikan test pack nya.
"Orang senyum emangnya nggak boleh?" tanya Raya nyolot.
"Ya ... nggak apa-apa sih," kata El santai.
Raya mengedikkan bahunya lalu menepuk-nepuk pipinya di depan cermin, hatinya sangat bahagia, tapi ia belum bisa memberitahu El tentang kabar baik kehamilannya.
"Kamu nggak lupa ulang tahunku nanti malam kan?" tanya El sambil memeluk Raya dari belakang, melingkarkan tangannya, dan menyandarkan dagunya di pundak
istrinya. "Ya nggak mungkinlah aku lupa. Kamu ingetin aku tiap hari. Mana pungkin aku lupa." Raya menimpali.
"Kamu kasih aku apa nanti?"
"Kado spesial. Kado yang nggak bisa dibeli di manapun." Raya membalikkan tubuhnya lalu melingkarkan tangannya di leher suaminya.
Dahi El berkerut, ia sungguh dibuat penasaran. "Nggak bisa dibeli di manapun" Kamu buat sendiri?" El bertanya-tanya.
Raya menggeleng. "Aku nggak bisa buat sendirian. Aku dibantu seseorang bikinnya."
"Siapa yang bantu kamu?"
"Ada deh. Entar jam duabelas, kamu pasti tau sendiri. Aku akan berikan kadonya jam duabelas malam nanti."
El tersenyum lalu ia memeluk erat istrinya. "Aku nggak sabar."
Tak terasa sudah dua jam sejak percakapan antara Raya dan El di kamar mandi. Sedari tadi El selalu melirik jam dinding dan berharap jam duabelas akan segera
tiba. Raya masih berkutat di dapur untuk menyiapkan kue tar yang tadi sore ia pesan. Tak lupa juga ia memasang lilin untuk dinyalakan nanti.
"Sayang," panggil El yang duduk di hadapan beberapa hidangan yang tersaji di atas meja makan.
"Hm?" sahut Raya sembari terus menyiapkan hidangan.
"Apa kamu nggak bisa kasih kadonya sekarang aja?"
Raya tercekat, alisnya terangkat, lalu ia melirik sekilas jam dinding yang tergantung kemudian ia terkekeh.
"Kok malah ketawa sih?" tanya El heran.
"Kamu mah kayak anak kecil aja yang nggak sabar nunggu buka puasa. Jam duabelas mah cuma tinggal 1 jam lagi, Mas Bara," jelas Raya lalu terkikik.
El menghela napas kecewa ketika Raya menolak untuk memberikan kadonya sekarang.
"Eh ngomong-ngomong, aku masih risih lho, panggil kamu dengan sebutan Mas," jelas Raya blak-blakan. "Aku ngerasa aneh aja. Apa sebaiknya aku panggil kamu
seperti saat kita pacaran dulu?"
"Nggak boleh. Aku suka panggilan Mas Bara atau sayang soalnya. Kamu ngerasa risih soalnya belum terbiasa."
"Emangnya kamu nggak risih?" Kali ini Raya duduk berhadapan dengan El.
"Aku nggak risih. Aku hanya merasa sedikit aneh."
"Itu mah sama aja!"
Mereka pun bercakap-cakap sampai larut malam, dan tak terasa, jam duabelas yang dinantikan El datang juga hingga membuatnya terperangah senang.
"Mana?" El menengadahkan tangannya ke arah Raya. "Mana kadoku?"
Raya mengeluarkan test pack yang sengaja ia bungkus dengan kertas kado, membuat dahi El berkernyit heran saat menerimanya.
"Kamu nggak mau nyalain lilin terus tiup lilin dulu?" tanya Raya ketika melihat suaminya antusias membuka kertas kado.
El tidak menghiraukan ucapan Raya. Ia tak berhenti dan dalam sekejap ia mengetahui apa yang diberikan Raya untuknya. Matanya membulat senang. Sementara
mulutnya menganga tak percaya.
"Kamu... kamu hamil?" tanya El dengan senyuman lebar.
Raya mengangguk. "Berapa bulan?" tanya El lagi. Ia lupa kalau usia pernikahannya dengan Raya masih 3 minggu.
Raya terkekeh. "Kamu mah ada-ada aja. Belom ada 1 bulan kita nikah, masa' kamu udah tanya berapa bulan sih?"
"Oh iya aku lupa."
"Mungkin usia bayi kita masih dua minggu."
El tiba-tiba bergerak, beralih duduk berjongkok di lantai lalu menempelkan telinganya ke perut Raya. "Halo" Apa kamu denger Papa?"
Raya terkekeh lalu menepuk ringan punggung suaminya. "Kamu mah alay. Bayi kita itu masih sebiji jagung. Mana bisa mendengar."
"Aku terlalu senang sih." El mendongak, menatap istrinya penuh cinta.
Raya hanya terkekeh, ia menatap suaminya juga dengan penuh cinta.
"Kita buat anak tujuh, ya?" ajak El.
"Tujuh?" kata Raya kaget.
"Tujuh atau delapan. Yang jelas jangan di bawah lima."
"Kenapa kamu pengen punya anak banyak?"
"Biar rumah kita rame."
"Aku nggak mau ah. Emangnya kamu pikir melahirkan anak itu gampang, kayak garuk upil?"
Kali ini El yang terkekeh. "Tapi kamu kan istri aku. Kamu harus nurutin apa kemauan aku."
"Ih nyebelin." *** Tengah malam Raya terbangun, memiringkan tubuhnya ke samping kanan lalu ke kiri. Ia tidak bisa tidur karena ia menginginkan sesuatu. Namun ia tak berani
membangunkan suamianya yang tertidur pulas. Tapi ia sudah tidak tahan lagi. Ia sangat menginginkan sesuatu untuk dimakan. Ya! Dia ngidam.
"Mas." Akhirnya Raya menyerah dan memutuskan untuk membangunkan El. "Mas?"
"Hm?" El setengah mengigau.
"Aku nggak bisa tidur nih." Raya mengoyak-ngoyak bahu suaminya. "Aku pengen makan kepiting."
El mencoba membuka matanya. "Makan kepiting?"
"Iya. Kayaknya aku ngidam deh."
"Ngidam?" "Ya udah. Aku akan telfonin chef Wira agar bikinin kamu kepiting."
Setelah El menelpon chef Wira, salah satu chef ternama di Jakarta, tak lama kemudian sepiring kepiting datang diantar oleh seorang kurir. Dengan lahap,
Raya tanpa malu menyantap sepiring kepiting tersebut.
"Mas?" kata Raya setelah menghabiskan sepiring kepiting di atas meja makan.
"Hm?" sahut El dengan mata setengah mengatup.
"Aku tiba-tiba pengen makan nasi goreng buatan kamu."
Mata El melebar. "Nasi goreng buatanku?"
Raya mengangguk. "Kamu masih belum kenyang setelah makan kepiting sebanyak itu?" tanya El keheranan.
"Aku masih belom kenyang." Raya meringis malu.
Apa boleh buat" El hanya bisa menuruti kemauan istrinya yang tengah mengandung anak pertama. Lagipula, ia sangat takut terjadi apa-apa dengan bayinya.
Oleh karena itu, apa pun yang diinginkan Raya, sebisa mungkin ia memberikan fasilitas yang terbaik.
*** Waktu berjalan begitu cepat. Usia kandungan Raya sudah menginjak bulan ketujuh. Tapi Raya belum sempat USG karena setiap kali ia sudah janjian dengan dokter
spesialis kandungan, El tidak bisa mengantarkannya karena banyak urusan kantor. Dan jika Raya memaksa pergi sendiri, El melarangnya karena El ingin mengantar
istrinya USG. Dan saat ini, saat usia kandungan Raya menginjak bulan kedelapan, El baru punya waktu untuk menemani Raya ke dokter.
"Kira-kira, anak kita cewek atau cowok ya?" tanya Raya iseng ketika berjalan beriringan bersama El menuju ruangan dokter.
"Cewek cowok nggak masalah. Yang penting sehat. Tapi aku sih pengennya cowok biar bisa ngelanjutin perusahaan," jawab El.
Tok tok tok "Masuk!" suruh seorang wanita dari dalam ruangan.
Raya pun segera membuka pintu lalu masuk ke dalam ruangan bersama suaminya. Kemudian, setelah berbasa-basi sedikit dengan dokter Melinda, Raya pun menjalani
beberapa macam pemeriksaan.
"Selamat, Pak," dokter melihat El lalu mengalihkan pandangannya ke Raya. "Selamat, Bu. Anak anda laki-laki kembar."
"Kembar?" Raya melirik layar USG dengan mata melebar senang. "Jadi, selama ini ada dua bayi di dalam perutku?"
"Usia kehamilan 8 bulan. Kalau boleh tahu, berapa usia pernikahan anda?"
"Delapan bulan."
"Cepet ya" Berarti anda dan suami subur sekali."
"Gimana mau nggak cepet, dok" Lha dia minta jatah tiap malem."
Dokter Melinda terkikik menahan tawa. Sementara El hanya tersenyum malu sambil menggaruk tengkuknya yang tak terasa gatal.
*** Sore itu, di depan teras, El meletakkan kepalanya di atas pangkuan Raya. Dia menikmati sore indah bersama istrinya yang tentu saja sangat ia cintai.
"Mas?" ucap Raya sambil mengelus-elus rambut suaminya.
"Hm?" sahut El.
"Ngomong-ngomong, kita belom bikin nama buat anak kita lho."
"Terserah kamu aja mau ngasih nama apa."
"Jangan terserah aku, Mas. Entar anak kita, aku namai Jono dan Lono baru tau rasa kamu!"
El terkikik gemas. Ia selalu bisa tertawa jika bersama istrinya. "Jono dan Lono?"
"Terus apa dong?"
"Cari saja di google."
"Ih kamu mah gitu!" Raya mengerucutkan bibirnya. "Entar aku kasih nama Tuyul dan Mbak Yul baru tau rasa kamu!"
Lagi, El terkikik. "Kamu jangan ketawa-ketawa aja. Mikir dong!"
El mulai mengulum tawa lalu berpikir. "Yang jelas, nama belakang anak-anak kita kelak harus Albara, gabungan Aldric dan Bara."
Raya mengangguk setuju. "Iya. Nama yang bagus tuh!"
Waktu semakin lama semakin cepat berlalu. Raya pun melahirkan dua orang putra yang sangat tampan yang ia namai Arlandinand Albara dan Ezra Albara. Hidup
mereka terasa sudah lengkap dengan kehadiran 2 orang putra.
"Bagaimana" Si kembar sudah tidur belom?" tanya El ketika Raya memasuki kamar.
Raya mengangguk. "Iya. Baru saja mereka tidur."
El menghela napas lega mendengar itu. Bagaimana tidak" Waktunya bersama Raya harus berkurang karena ada si kembar.
"Mereka sangat lucu, Mas." Raya terkekeh.
El hanya diam lalu tiba-tiba ia menarik lengan Raya hingga Raya terduduk di sampingnya. Ia pun bersiap dan mendekatkan bibirnya ke bibir istrinya. Raya
pun demikian. Ia juga bersiap dengan memejamkan kedua bola matanya. Namun, sebelum bibir mereka benar-benar bertemu, suara tangis dua anak manusia tiba-tiba
saling bersahutan, membuat Raya dan El mengurungkan aktivitasnya.
"Gimana" Masih pengen punya anak tujuh?" goda Raya.
"Enggak. Aku tarik kata-kataku. Mungkin dua anak cukup."
Raya terkekeh. Lalu El juga ikut terkekeh bersama istrinya.
"Tapi..." ucap Raya tiba-tiba.
"Tapi apa?" "Tapi kayaknya aku hamil lagi deh."
Alis El terangkat. "Hamil lagi?" tanya El terperangah senang lalu mengelus perut istrinya.
Raya mengangguk. "Tapi kamunya pengen dua anak."
"Siapa bilang dua anak" Sejak awal kan aku pengen tujuh anak."
"Ah kamu mah plin plan!"
"Sudah sudah." El mengacak gemas rambut istrinya. "Temui si kembar. Dan susui mereka."
Raya mengangguk lalu keluar kamar. Sedangkan El masih tak bisa berhenti tersenyum. Menikah dengan orang yang ia cintai, dikaruniai banyak anak, dan tentu
saja kekayaan yang berlimpah. Ia sangat bersyukur dengan apa yang diberikan Tuhan. Selamanya, akan ia jaga semua karunia itu.
*** Tiga Mutiara Mustika 2 Wiro Sableng 179 Delapan Sukma Merah Hilangnya Empu Baskara 1
orang yang menghina Resya lagi.
"Tapi ... aku masih kangen sama Papa," ungkap Resya.
"Papa juga kangen sama kamu. Besok Papa akan ke sini lagi dan akan ajak kamu jalan-jalan," ucap Arsyaf.
"Beneran?" kata Resya penuh semangat.
"Iya. Papa janji."
*** [Author pov] El berjalan ke sudut ruangan lalu mengambil gitar yang tadi di taruh Daniel. Kemudian ia kembali duduk di samping Raya, membuat Raya terkesiap. Setelah
hening beberapa saat, El memangku gitarnya lalu mulai memetik jajaran senar secara bergantian sehingga mengalun nada.
"El, kamu mau ngapain?" Raya bertanya-tanya, membuat El berhenti memainkan senar gitarnya.
"Aku mau nyanyi buat kamu. Judulnya surat cinta untuk Raya," jawab El.
"Surat cinta untuk Starla keles."
"Kan aku yang nyanyi. Suka-suka aku dong."
"Ya udah deh. Nyanyi gih."
El kembali memainkan senar gitarnya dan mulai bernyanyi untuk Raya
Kutuliskan kenangan tentang caraku menemukan dirimu.
Tentang apa yang membuatku mudah berikan hatiku padamu.
Tak kan habis sejuta lagu untuk menceritakan cantikmu.
Kan teramat panjang puisi tuk menyuratkan cinta ini
Telah habis sudah cinta ini
Tak lagi tersisa untuk dunia
Karena telah kuhabiskan sisa cintaku hanya untukmu
Aku pernah bermimpi tentang hidupku tanpa ada dirimu
Dapatkah lebih indah dari yang kujalani sampai kini
Aku selalu bermimpi tentang indah hari tua bersamamu
Tetap cantik rambut panjangmu meskipun nanti tak hitam lagi
Bila habis sudah waktu ini
Tak lagi berpijak pada dunia
Telah aku habiskan sisa hidupku hanya untukmu
Dan telah habis sudah cinta ini
Tak lagi tersisa untuk dunia
Karena telah kuhabiskan Sisa cintaku hanya untukmu
Hidup dan matiku.... Bila musim berganti. Sampai waktu terhenti. Walau dunia membenci. Ku kan tetap di sini.
Back to reff Jantung Raya berdegup semakin kencang ketika El mulai mengakhiri lagunya dan menatapnya tajam. Setelah El bernyanyi, ia meletakkan gitarnya ke ranjang,
lalu mengambil sebuah kotak kecil dari dalam kantong celananya.
"Raya, will you marry me?" tanya El penuh harap.
Mulut Raya menganga lalu tanpa sadar ia mengeluarkan air mata bahagia ketika El membuka kotak kecil" yang berisi sebuah cincin berlian. Tanpa berpikir
panjang lagi, Raya mengangguk mengiyakan, membuat El tersenyum senang dan bergegas menyematkan cincin tersebut ke jari manis Raya.
"Aku sayang kamu, El," ucap Raya manja sembari memeluk El begitu erat.
"Aku juga," sahut El.
*** Di dalam diskotik, Renan duduk di depan sebuah meja yang sudah tersedia sebotol bir dan gelas bening yang berisi es batu. Apa yang dipikirkannya saat ini,
hanya dia dan Tuhan yang tahu.
"Dua puluh dua tahun gue suka sama elo, Raya. Tapi pada akhirnya, elo dimiliki sama orang lain," kata Renan lalu meneguk bir yang ada di hadapannya, berharap
ia bisa melupakan Raya. Sudah ia putuskan sejak awal kalau ia akan melepas Raya untuk El. Tapi setelah delapan tahun Raya bergantung padanya, ia merasa bahwa dirinya sudah cukup
pantas menjadi pendamping hidup Raya. Namun sudah tak ada gunanya lagi. Nasi sudah menjadi bubur. El sudah kembali dan menaklukkan hati Raya dengan mudah.
Sementara Renan" Mungkin Renan akan selamanya menjadi sahabat dan tak akan pernah bisa lebih dari itu.
"Raya, gue cinta sama elo," gumam Renan yang sudah kehilangan akal sehatnya karena pengaruh alkohol. "Gue yang selama ini temenin elo. Tapi kenapa elo
nggak cinta sama gue?"
Renan menyesal karena dia terlambat. Tapi, demi kebahagiaan Raya, ia rela melapaskannya untuk bahagia bersama lelaki lain. Senyuman Raya sudah lebih dari
sekedar cukup untuknya. "Raya ... Raya ..." panggil Renan sambil meneguk birnya lagi. Dan tak lama setelah itu, Renan kehilangan kesadarannya.
Dddrrrtt... HP Renan terus bergetar. Tapi sang pemilik tertidur lelap gara-gara pengaruh alkohol. Seorang pelayan bar menggeleng kasihan melihat Renan lalu ia pun
mengangkat HP Renan, berharap orang yang menelpon Renan bisa datang ke bar dan mengantar Renan pulang.
Tak lama kemudian, Anila datang dengan muka cemas. Ia bergegas memapah Renan dan memasukkan pemuda itu ke dalam mobilnya.
"Ya ampun Ren, kenapa elo jadi berantakan kayak gini sih?" gumam Anila sambil merapikan rambut gondrong Renan yang acak-acakan.
"Raya ... gue cinta sama elo," ucap Renan mengigau.
Mata Anila terbelalak. Tak ia sangka bahwa Renan juga mencintai Raya. Ia pikir, Renan hanya menganggap Raya sebagai sahabat. Tapi nyatanya, Renan memiliki
perasaan yang lebih dari rasa sayang terhadap sahabat.
*****?"?"?"*****
Chapter 80 [Author pov] Sepanjang perjalanan menuju toko boneka, Resya terus menggandeng tangan Arsyaf. Ia sangat bahagia sekali hari ini karena baru pertama kali ia jalan-jalan
bersama Papanya. "Wuuuah, boneka yang itu lucu sekali!" ujar Resya sambil menunjuk sebuah boneka beruang berwarna pink dengan ukuran yang lebih besar daripada dirinya.
Dia kemudian berlari menuju boneka tersebut lalu memeluknya erat.
"Kamu suka?" tanya Arsyaf.
Resya melepaskan pelukannya dari boneka tersebut lalu menggeleng sambil tersenyum kecut.
"Kenapa kamu nggak suka, sayang?" tanya Arsyaf lagi.
"Boneka ini pasti harganya sangat mahal. Mama selalu melarangku menjadi anak yang boros," papar Resya.
Arsyaf terkekeh lalu duduk untuk menyamai tinggi badan anaknya. "Apa" Mama melarangmu untuk menjadi anak yang boros?"
Resya hanya mengangguk. Arsyaf tersenyum lalu membelai lembut pipi Resya. "Bagaimana kalau Papa mengizinkanmu menjadi anak yang boros dalam sehari setiap bulannya?"
"Maksud Papa?" "Ya, sayang. Hari ini, kamu boleh beli boneka apa saja yang kamu mau. Kamu juga boleh beli semua pakaian yang kamu suka."
"Beneran?" tanya Resya penuh semangat.
"Iya, sayang. Papa serius."
"Tapi ..." Resya tampak berpikir. "Apa Papa punya uang banyak untuk membeli boneka ini?"
Lagi, Arsyaf terkekeh. "Jangankan membeli boneka ini! Membeli toko ini beserta isinya pun Papa bisa bayar."
"Papa serius?" tanya Resya begitu antusias.
"Iya, Sayang. Papa serius. Dan sekarang, pilih aja boneka yang kamu suka."
"Aku pengen boneka yang ini." Resya menunjuk boneka yang dipeluknya tadi. "Dan boneka yang itu!" Kali ini Resya menunjuk boneka panda yang tersimpan di
dalam etalase toko. Setelah puas membeli boneka, Resya membeli banyak aksesoris seperti jepit rambut, bandana, kalung, gelang, dan ikat rambut. Seharian berkencan berdua bersama
Papanya tak membuatnya lelah. Ia bahkan membeli gelang kembar sebagai tanda persahabatan lalu memakaikannya ke tangan Arsyaf.
"Buat apa ini, sayang?" tanya Arsyaf heran.
"Buat kasih tau ke dunia kalau Papa adalah Papaku," jawab Resya dengan lugunya.
Arsyaf tersenyum. Perlahan, Resya telah membuat hatinya luluh dan membuatnya mengerti arti penting tugas seorang ayah.
*** Brian, anak kecil berumur hampir 4 tahun dan bertubuh tambun sudah berdiri di Lobby menunggu Raya sembari sesekali mondar-mandir. Kadang, ia mengomel sendiri
dengan bibir mengerucut. "Brian?" sapa Raya yang berdiri di dekat pintu.
Brian menoleh lalu berlari menghampiri Raya. "Tante jemputnya kok lama banget?"
"Maafin tante ya, Brian."
"Ini siapa?" tanya Brian saat melihat El yang berdiri di samping Raya.
"Ini calon om kamu, Brian."
Brian kembali mengerucutkan bibirnya. "Aku suka om Renan!" ucap Brian sambil melipat tangan.
El tergelak. "Brian, kenapa kamu suka om Renan?" tanyanya hati-hati.
"Om Renan itu baik, suka beliin aku mainan yang banyak," jawab Brian ketus.
"Oooh ... jadi karena itu kamu suka sama Om Renan?"
Brian mengangguk. "Bagaimana kalau sekarang Om Bara beliin kamu mainan" Kamu boleh pilih sesukamu."
"Beneran?" tanya Brian antusias.
El mengangguk sambil tersenyum.
"El, itu namanya sogokan," bisik Raya pelan ke telinga El.
"Biarin. Yang penting nih anak suka sama aku." El menimpali.
Setelah El dan Brian membuat kesepakatan, mereka pun segera bergegas ke mall dan membeli banyak mainan kesukaan Brian. Dan setelah puas berbelanja, seperti
biasa, Brian minta makan pizza dan burger.
Raya melirik El sebentar lalu terkikik. "Kamu jangan heran lihat si tuyul makan," bisik Raya.
"Kamu nggak takut kalau dia kena obesitas?" tanya El pelan.
"Nih anak kalau dicegah makan, entar nangis gulung-gulung di lantai. Kamu nggak malu?"
"Oooh...." El mengangguk paham.
"Om Bara, biasanya aku, tante Raya, sama Om Renan main keluarga-keluargaan lho," ucap Brian tiba-tiba dengan mulut yang masih penuh dengan kunyahan pizza.
"Bagaimana cara mainnya?" tanya El.
"Jadi, tante Raya jadi Mamaku. Dan Om Renan jadi Papaku kalau hari sabtu atau minggu."
Alis El terangkat lalu dia menoleh ke arah Raya yang menatapnya penuh tanya. Cemburu sudah pasti.
"Cuma main, Om Bara," jelas Raya setengah bercanda.
"Sekarang, karena Om Renan nggak ada. Gimana kalau Om Bara aja yang jadi Papaku?" tanya Brian.
"Oke. Boleh. Tapi sekali kamu bikin Om Bara main keluarga-keluargaan sama tante Raya, kamu nggak boleh ajak Om Renan main lagi."
"Oke deh. Tapi syaratnya, Om Bara harus beliin aku mainan."
"Oke. Nggak masalah."
Raya hanya menggeleng heran melihat El dan Brian membuat kesepakatan lagi. Ternyata El bisa kekanak-kanakan juga kalau cemburu, batinnya.
"Brian, kalau makan yang bener," ucap Raya sambil mengusapi pipi Brian yang berlumuran saus.
"Iya, Ma," kata Brian menurut.
"Mbak, boleh ikut duduk di sini?" tanya seorang wanita paruh baya sambil menunjuk kursi kosong yang berada di samping Brian.
Raya menoleh ke kanan, ke kiri, lalu ke belakang. Ia melihat semua kursi yang ada di restoran sudah penuh. "Boleh. Silahkan," ujarnya kemudian.
"Ya ampun. Anaknya lucu banget," puji wanita paruh baya itu sambil mencolek pipi Brian.
Raya hanya tersenyum malu. Rasanya dia sudah bosan mengelak kalau Brian bukan anaknya.
"Mama, pesenin pizza lagi dong," pinta Brian manja.
"Brian, kamu nggak takut gendut kayak bolanya Lala teletubies?" tegur Raya.
Brian berpikir sejenak. "Ya udah deh. Nggak jadi pesen. Entar kalau aku kegendutan, nanti gak bisa jalan tapi menggelinding."
Raya, El, dan wanita paruh baya yang ikut duduk dalam satu meja bersama Brian spontan terkekeh.
"Anaknya pinter banget ya," puji wanita itu lagi.
Lagi, Raya hanya bisa tersenyum malu.
"Sudah nikah berapa tahun" Kok anaknya sudah gede?" tanya si wanita paruh baya pada Raya.
"Mama dan Papaku belum menikah," jawab Brian, mendahului Raya yang hendak angkat bicara.
Mata El melebar lalu mengulum tawa setelah mendengar jawaban Brian.
"Ha?" Mulut si wanita paruh baya menganga dengan mata melotot kaget. "Mama Papa kamu belum menikah?"
"Iya. Mama dan Papa belum menikah. Mungkin tahun depan." Lagi-lagi Brian menyahuti ucapan si wanita paruh baya itu sebelum Raya angkat bicara.
Si wanita paruh baya tersenyum getir lalu berdecak miris. "Aturan jaman sekarang memang suka dibolak-balik ya. Dulu, menikah dulu baru punya anak. Sekarang,
punya anak dulu baru menikah."
"Kayaknya Ibu sudah salah paham deh," papar Raya salah tingkah.
"Sudah, Mbak. Nggak usah malu."
"Buk, ini nggak seperti yang ibu pikirkan. Saya memang belum menikah dan anak ini bukan anak saya," jelas Raya.
"Ma, tolong ambilin tisu dong," pinta Brian tiba-tiba, membuat si wanita paruh baya menggeleng heran dan berdecak miris.
"Mbak, kalau sudah punya anak, nggak usah ditutup-tutupin. Kasihan anaknya," tegur wanita itu.
El hanya terkekeh mendapati semua kesalah pahaman ini.
"Masnya juga!" Kali ini si wanita paruh baya mengomel pada El. "Sudah berani bikin anak sejak dulu tapi baru sekarang mau tanggung jawab."
El kembali terkekeh. Ia sama sekali tidak berniat menjelaskan semua kebenaran pada wanita paruh baya itu karena ia yakin kalau wanita paruh baya itu tak
akan percaya dengan penjelasannya atau penjelasan dari Raya. Wanita paruh baya itu hanya yakin dengan ucapan Brian. Anak kecil tak mungkin berbohong, pikirnya.
"Sudah ah. Saya mau pergi aja. Permisi," ujar si wanita paruh baya. "Heran sama anak muda jaman sekarang."
Raya hanya bisa tersenyum kecut. Sementara El terkekeh riuh. Sedangkan Brian masih asyik memakan pizza kesukaannya, ia masih tak mengerti dengan kesalah
pahaman yang terjadi. *****?"?"?"******
17. Chapter 81-Extra Capter
Chapter 81 [Author pov] Dalam suasana canggung, Renan dan Anila duduk berhadapan. Hening sejenak tanpa kata. Anila menyeruput secangkir kopi arabika. Sedangkan Renan masih bungkam.
"Jadi, elo mau ngomong apa, Ren?" tanya Anila mendahului.
Renan menggaruk tengkuknya yang tidak terasa gatal. "Gue ...." ucapnya enggan.
Anila masih berusaha untuk menyimak, menunggu apa yang akan dikatakan Renan.
"Gue mau ngucapin terima kasih sama elo karena elo nolongin gue pas mabuk kemarin," sambung Renan.
"Nggak masalah. Nyantai aja, Ren." Anila menimpali.
"Oh iya. Gue harap, elo nggak ngomong ke Raya kalau gue sebut-sebut namanya pas mabuk."
"Jadi lo ingat apa yang lo omongin" Lo ingat kalau lo manggil-manggil nama Raya?"
Renan mengangguk. "Kenapa Raya nggak boleh tahu kalau elo suka sama dia?" tanya Anila penasaran.
"Karena gue nggak mau persahabatan antara kita hancur. Dia sudah menganggap gue seperti saudara. Dan nggak akan pernah bisa lebih dari itu."
"Kenapa lo suka sama Raya?" tambah Anila penuh selidik.
Renan berdiri dari tempat duduknya dan menatap Anila marah. "Sepertinya ... lo terlalu ikut campur dalam urusan pribadi gue deh."
Anila mendongak, menatap Renan yang berdiri di hadapannya. "Bukan begitu maksud gue, Ren. Gue hanya ingin tahu alasan lo suka sama Raya," ucapnya lalu
berdiri. "Gue nggak butuh alasan untuk mencintai seseorang," kata Renan tegas lalu mencoba beranjak pergi.
"Gue suka sama lo!" teriak Anila dari belakang, membuat langkah Renan terhenti lalu berbalik.
Dahi Renan mengerut, melihat Anila yang menunduk. Ia belum berkata apa pun.
"Sejak pertama kali gue kenal sama elo, gue sudah suka sama lo. Gue juga nggak punya alasan mengapa gue suka sama elo," papar Anila sambil menitihkan air
mata. Mata Renan sedikit melebar mendengar pernyataan yang diungkapkan oleh Anila. Tapi ia masih berdiri di tempatnya dan tak menghampiri Anila yang menangis.
"Sejak awal gue sudah tahu kalau elo suka sama Raya. Dari tatapan elo ke dia, dari perhatian elo ke dia, gue sudah bisa menebaknya. Tapi nggak tahu kenapa,
gue tetap suka sama elo," lanjut Anila dengan langkah kaki yang mulai melangkah ke depan, menghampiri Renan yang mematung.
"Anila, gue minta maaf. Gue ...." ucapan Renan terpotong ketika Anila tiba-tiba memeluknya.
"Gue nggak butuh permintaan maaf dari elo. Yang gue butuhkan hanya cinta lo, Ren."
"Anila, gue ...."
"Gue mau lo jadi pacar gue, Ren," potong Anila. "Gue janji akan buat lo ngelupain Raya. Biarkan dia bahagia sama Pak Bara."
Hati Renan melunak mendengar kata-kata Anila. "Apa lo bisa buat gue ngelupain Raya" Apa lo bisa buat gue menghapus rasa yang sudah tumbuh selama dua puluh
dua tahun?" Anila melepaskan pelukannya lalu mendongak, menatap Renan yang memang postur tubuhnya lebih tinggi daripada dia. Kemudian ia mengangguk.
"Baiklah. Ayo kita coba pacaran," ucap Renan kemudian.
Anila tersenyum bahagia meskipun ia tahu bahwa Renan ingin pacaran dengannya hanya untuk melupakan Raya. Tak apa, pikirnya. Asalkan Renan di sisinya, itu
sudah lebih dari sekedar cukup.
*** "Apa" Menikah?" tanya Lea kaget.
Arsyaf mengangguk. "Gue...." ucap Arsyaf. "Em ... aku ..." ulangnya. Rasanya aneh ketika mengucapkan kata gue dan elo ketika melamar seorang wanita. "Aku
ingin kita menikah."
Lea terdiam, ia berpikir mimpi apa dia tadi malam. Hatinya berbunga-bunga. Senyuman lebar mengembang indah di kedua sudut bibirnya.
"Meskipun aku mengajakmu menikah, aku harap kamu tidak salah paham," papar Arsyaf kemudian, membuat senyuman Lea mengempis.
"Maksudmu?" "Aku menikahimu karena aku sangat menyayangi Resya. Aku ingin dia hidup seperti teman-temannya yang lain. Punya orang tua yang lengkap," jelas Arsyaf.
"Jangan harapkan apa-apa dariku. Karena aku nggak bisa menyayangi perempuan lain selain Raya. Kamu ngerti kan?"
Lea tersenyum getir lalu mengangguk paham.
"Aku ingin cepat-cepat menikah. Agar aku bisa tinggal bersama Resya. Sekarang, ikut aku!" Arsyaf menggandeng tangan Lea menuju tempat parkir dan membawa
perempuan itu ke toko baju pengantin.
Di toko baju, Lea lagi-lagi tersenyum getir memandangi gaun putih yang sangat indah yang kini ia pakai di dalam ruang ganti.
"Wuuuah! Anda cantik sekali. Sangat cocok mengenakan gaun ini," puji penjaga toko.
Lea tersenyum kecut pada penjaga toko tersebut. "Benarkah?" tanyanya memastikan.
"Iya. Pasti pasangan anda sangat mencintai anda karena anda sangat cantik. Kalau boleh jujur, anda adalah perempuan tercantik yang memesan gaun pengantin
di toko ini. Calon suami anda juga sangat tampan," cerocos si penjaga toko sambil membuka tirai ruang ganti dan menuntun Lea menuju tempat Arsyaf duduk.
"Bagaimana" Cocok tidak?" tanya Lea malu-malu pada Arsyaf.
Arsyaf menatap Lea datar lalu mengangguk seadanya. "Kalau kamu suka langsung bungkus aja."
Lea tersenyum kecewa. Dia sempat berpikir, Arsyaf akan terpukau melihatnya memakai gaun pengantin yang sangat indah itu. Tapi nyatanya Arsyaf hanya bersikap
datar dan tidak terlihat tertarik padanya. Ia sadar bahwa cinta Arsyaf hanya untuk Raya. Tapi ia yakin suatu hari nanti Arsyaf akan memandangnya sebagai
seorang wanita, bukan hanya sebagai ibu dari Resya.
*** Ting tung ting tung Suara bel apartemen Raya bergema, membuat Raya beranjak dari sofa dan meninggalkan televisi yang masih menyala untuk membuka pintu. Matanya melebar ketika
melihat Arsyaf berdiri di hadapannya sambil tersenyum paksa.
"Hai," sapa Arsyaf canggung.
"Hai juga," sahut Raya tak kalah canggung.
"Aku ke sini cuma mau ngasih undangan," papar Arsyaf sambil menyodorkan sebuah kartu undangan berwarna coklat susu pada Raya. "Minggu depan aku akan menikah
dengan Lea." Raya menyambar undangan itu lalu membacanya sejenak. "Selamat ya, Syaf. Gue turut bahagia atas pernikahan elo," ucap Raya dengan senyuman manisnya.
"Kamu akan datang kan?"
"Ya. Tentu saja."
Arsyaf memanglingkan mukanya. Rasanya mengundang mantan di acara pernikahan adalah hal yang sedikit tabu. Tapi mau bagaimana lagi" Raya memang mantan pacarnya.
Tapi Raya juga merupakan sahabatnya. Dan di dunia ini, tidak ada yang namanya mantan sahabat bukan"
Arsyaf kembali menatap Raya. Sudah delapan tahun dia kehilangan gadis itu. Dan yang lebih menyakitkan lagi, setelah delapan tahun tidak bertemu, Raya kembali
hadir di kehidupannya tapi memilih lelaki lain. Jangan tanya rasanya bagaimana. Karena sudah pasti sangat perih.
Hening sejenak, mereka berdua kikuk dalam suasana hingga akhirnya Arsyaf lepas kendali. Tiba-tiba Arsyaf menyambar pinggang Raya dan membuat gadis itu
berada di" pelukannya.
"Arsyaf lepasin!" Raya meronta. "Arsyaf!"
"Hanya untuk terakhir kali, Raya. Aku mohon," pinta Arsyaf. "Izinkan aku memelukmu untuk yang terakhir kalinya. Dan setelah itu, aku tidak akan mengganggumu
lagi." Raya berhenti meronta. Tubuhnya melemas, membiarkan Arsyaf memeluknya erat. Ia sadar bahwa ia adalah antagonis di kisah cintanya sendiri, ia pernah mencintai
Arsyaf dan El dalam satu waktu dan menyakiti mereka berdua dalam satu waktu juga.
"Aku mencintaimu, Raya," ungkap Arsyaf.
Raya tidak menjawab. Ia hanya bisa menerima pelukan Arsyaf sebagai permintaan terakhir dan sebagai tanda ungkapan selamat tinggal.
Seorang lelaki mematung sejenak di ujung koridor, melihat Raya dan Arsyaf berpelukan mesra di depan salah satu pintu apartemen. Tangannya mengepal marah
lalu ia berjalan cepat menuju Arsyaf, menarik kerah baju Arsyaf, dan....Braaak....
Raya menjerit kaget. Sementara Arsyaf terjerembab ke atas lantai sambil memegangi pipinya yang memar karena pukulan. Sudut bibirnya bahkan berdarah, matanya
melebar ketika ia melihat siapa lelaki yang memukulnya barusan.
"El?" sapa Arsyaf.
******?"?"?"*****
Chapter 82 [Author pov]
Cewek Cetar Dua Karya Zaeemaazzahra di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mulut Raya menganga, matanya terbelalak lebar, lalu tangannya dengan sigap mencegah El yang hendak memukul Arsyaf lagi.
"El, hentikan!" cegah Raya panik.
El terhenti lalu dengan tatapan penuh emosi, dia menatap Raya. "Kenapa kamu mencegahku?" bentak El.
"El, aku mohon tenang dulu. Aku akan jelasin semuanya."
"Semuanya sudah jelas!"
"El, kamu jangan marah kayak gini. Aku mohon. Aku akan jelasin semuanya tapi kamu tenang dulu," pinta Raya memohon sambil memegang lengan El yang masih
mengepal marah. El menarik napasnya dalam-dalam lalu mengembuskannya, mencoba meredam amarahnya yang masih memuncak.
"El, kamu mau dengerin penjelasanku kan?" tambah Raya.
El mengangguk pelan. Lalu Raya meminta El dan Arsyaf untuk masuk ke dalam apartemennya. Sesampainya di ruang tamu, Arsyaf dan El duduk berjauhan. Sementara
Raya ada di dapur untuk menyiapkan 3 cangkir teh hangat.
"Raya nggak salah," ucap Arsyaf setelah beberapa lama tidak ada percakapan di antara mereka berdua.
El menaikkan satu alisnya lalu tersenyum miring. Seperti biasa, dia tidak berkata apa-apa.
"Tadi gue maksa dia buat diam saat gue peluk. Gue memohon padanya agar tidak meronta," jelas Arsyaf gamblang.
"Gue tau kok," kata El singkat, membuat Arsyaf sedikit kaget.
"Lo tau" Tapi kenapa lo masih marah sekarang?"
"Gue marah ke elo bukan ke Raya."
"Syukurlah kalau lo hanya marah ke gue." Arsyaf tersenyum lega. "BTW, gue minta maaf ya."
Alis El terangkat mendapati Arsyaf meminta maaf.
"Gue minta maaf karena gue telah lancang meluk calon istri orang. Apalagi calon istri sepupu sendiri," papar Arsyaf lalu terkekeh kecil.
"Oke gue maafin. Tapi ingat! Ini untuk yang terakhir kalinya. Jika terjadi lagi, gue nggak akan segan-segan habisin elo. Ngerti?" ancam El tegas, membuat
Arsyaf meneguk ludah takut.
"Oke. Lagipula, gue sudah janji ke Raya kalau pelukan tadi adalah pelukan terakhir untuk perpisahan. Gue akan menikah dengan Lea."
Bagi El, Raya adalah miliknya. Tidak ada lelaki lain yang boleh menyentuhnya selain dirinya. Berbeda dengan Papanya, El sangat setia pada pasangannya.
Sekali ia jatuh cinta, ia tidak bisa mencintai perempuan lain.
"Tehnya sudah siap," kata Raya sambil membawa 3 cangkir teh di atas nampan lalu menyuguhkannya ke El lalu Arsyaf. "Maaf ya ... tehnya terlalu manis soalnya
aku tadi kebanyakan masukin gula," papar Raya lalu tersenyum malu pada El.
El tersenyum kecil lalu mengelus rambut Raya. "Nggak apa-apa kok."
Alis Raya terangkat. Dia pikir El masih marah karena insiden pelukan tadi. "Kamu sudah nggak marah?"
"Aku nggak marah ke kamu. Aku marah ke Arsyaf."
"El?" "Hm?" sahut El setelah menyeruput tehnya.
"Sampai kapan kita akan kayak gini?"
Kening El mengerut. "Maksud kamu?"
"Sampai kapan hati kita berlima akan berjauhan seperti sekarang?" tangan Raya mulai merambat memegang tangan El.
"Kita berlima?" El masih tidak mengerti.
Raya mengangguk. "Iya kita berlima. Aku, kamu, Arsyaf, Renan, dan Lea. Aku ingin kita berlima sahabatan kayak dulu lagi."
"Apa bisa kita semua seperti dulu lagi?" tanya Arsyaf sambil meniup secangkir tehnya.
"Kita bisa kalau kita mau kok!" tukas Raya yakin.
"Caranya?" tanya Arsyaf lagi.
"Caranya ... elo sama El baikan dulu." Raya menyambar tangan Arsyaf lalu menghubungkannya ke tangan El.
Arsyaf spontan menarik tangannya lalu mengibaskannya seolah ia mengalami alergi setelah memegang tangan El. "Kekanak-kanakan tau nggak?" kata Arsyaf dengan
pipi bersemu merah. "Kita sudah baikan kok," papar El kemudian.
"Beneran?" tanya Raya memastikan.
El hanya mengangguk. "Kalau begitu, bagaimana kalau kita berlima mendirikan grup WA anak-anak koplak lagi?" usul Raya antusias.
"Berlima?" Dahi Arsyaf berkernyit. "Jangan bilang kalau kamu mau masukin Lea ke grup?" tebaknya benar.
"Ya iyalah!" tukas Raya ketus. "Lagian Lea itu seminggu lagi sudah jadi istri elo. Dia perlu tau kalau suaminya rada gesrek otaknya."
"Apa lo bilang" Otak gue rada gesrek?" tanya Arsyaf marah, tangannya bersiap menjewer telinga Raya untuk memberi gadis itu pelajaran.
Raya bergegas berpindah posisi lalu bersembunyi di belakang punggung El. "Takuuuut," ucapnya manja.
El tersenyum kecil lalu menurunkan tangan Arsyaf yang masih bersiap menjewer telinga Raya.
"Awas ya kamu! Mentang-mentang punya calon suami mantan ketua geng," kata Arsyaf melucu.
Sebenarnya hati Arsyaf perih mengatakan sebuah kenyataan bahwa Raya adalah milik orang lain. Tapi mau bagaimana lagi" Mau tidak mau, ia dituntut keadaan
untuk menerima Lea dan Resya. Seandainya saja Raya memilihnya, ia juga tidak bisa mengabaikan bahwa Resya adalah anak kandungnya. Itulah sebabnya Arsyaf
mencoba berlapang dada melepas Raya untuk El. Dia memilih menyerah mengejar cinta Raya dan bertanggung jawab atas keberadaan Resya.
Raya terkikik. "Bisa aja lo, Syaf."
Arsyaf berpura-pura terkekeh. "Ouch!" ringkihnya ketika pipinya yang bengkak terasa sakit untuk dipakai tertawa.
"Sakit ya?" tanya Raya cemas. "Gue akan ambilin es batu dan kain."
Raya pun bergegas kembali ke dapur, membuka kulkas, mengambil es batu, lalu memasukkan es batu tersebut ke dalam kain. Kemudian dia berlari kecil ke ruang
tamu dan mengompres pipi Arsyaf.
"Karena gue yang nonjok muka elo, berarti gue yang harus mengompres muka elo kan, Syaf?" tanya El sambil menyambar kain kompres dari tangan Raya lalu menempelkan
asal ke pipi Arsyaf dengan sedikit kasar, membuat Arsyaf kesakitan lalu mengerang.
"Efek cemburu nih!" celetuk Arsyaf kesal.
Raya terkekeh. "Wah calon suamiku cemburuan nih. Nanti nggak bisa SMS-an dengan brondong-brondong cakep di kantor dong," godanya.
El langsung menoleh cepat ke arah Raya lalu menatap gadis itu dengan tatapan marah.
Raya meringis lucu. "Ampun, Bang. Lagian aku nggak suka brondong, Bang. Mereka nggak punya duit," katanya lalu terkekeh.
"Oooh jadi kamu suka sama aku karena aku punya banyak uang?" tanya El dengan salah satu alis yang terangkat.
"Ya iyalah, Bang. Hari gini masa' ada cewek cantik yang nggak doyan duit" Cewek jelek aja doyan duit apalagi cewek cantik."
"Dasar cewek matre!" celetuk Arsyaf.
"Biar jadi cewek matre, gini-gini banyak yang suka lho." Raya menaik turunkan alisnya.
Arsyaf bergidik ngeri. "Idiiih... kepedean!"
Raya mengerucutkan bibirnya lalu mengoyak pundak El dengan manja. "El..."
"Iya deh. Yang suka kamu banyak. Tapi yang berkualitas itu cuma aku," sahut El.
"Idiiih kepedean!" cibir Arsyaf tak terima.
El mendelik. "Mau gue tonjok lagi?" tanyanya bergurau.
"Enggak, Bang. Ampun, Bang."
*** Renan" : buset. Ini grup apaan cobak"
Raya" ?" : heran dah gua sama lo, ren. Lo gk bisa baca apa" baca judulnya dodol!
Renan" : anak2 koplak reborn"
Raya" ?" : ya udah yuk main.
Renan" : anggotanya sama kek pas SMA nambah Lea.
Raya" ?" : ayok maen!?" biar yg lain ikutan nimbrung!
Renan?" : ya udah ayok. Main apa"
Raya" " " : main family 200 wkwkwk
Renan?" : adanya family gopek. Gimana"
Raya" " " : family capek aja.
Renan?" : cepek, sambel goreng kecoak!
Raya" ?" : terserah elu dah, pepes bunglon.
Elbara" : ?"?"?"
Arsyaf" : ?"?"?"
Lea" " " " : up
Raya" " " : oke. Pertinyiinnyi, apa yang dilakukan seseorang di kamar mandi selain mandi dan gosok gigi"
Arsyaf" : buang hajat
Raya" ?" : 5 poin buat elo, Syaf. ?"?"?"
Renan" : cuci baju sambil obok2 aer
Raya" ?" : wah ngawur lo jadi orang. Cuci baju di kamar mandi" Deng dong. Poin elo enol (typo : nol)
Elbara : Nyanyi Raya" " : ya elah. Malah jawab nyanyi
Elbara : yakin, km gk pernah nyanyi di kamar mandi"
Raya?" : yakin. Aku kan cuma baca puisi yang ada nadanya.
Arsyaf" : pokoknya buang hajat nomor satu, Yap.
Renan?" : kencing nomor dua.
Lea" " " " : renang nomor tiga
Arsyaf" : makan odol nomor empat.
Renan?" : minum aer nomor lima.
Arsyaf" : goreng camilan nomor enam.
Elbara" : salah. Nomor satu itu seharusnya ganti popok buat yang cewek
Lea" " " : wkwkwk ada ada aja lo, El
Raya?" : ganti popok" ?" kisruh kamu, El.
Elbara : jujur aja. Aku ngomong kayak gitu ada referensinya. Dulu saat aku masih sekolah, tiap kamar mandi, kecuali kamar mandi yg deket musholla, pasti
ada popok berserakan di pojok dan bahkan sampai ada di dalam closet. Jijiknya... hihihi. Terus dulu aku pernah memergoki siswi dari kelas IPS, sebut saja
bunga, kayaknya dia habis ganti popok deh.
Renan" : ceritamu jadikan novel aja, El.
Raya" " : berarti kamu pernah masuk ke toilet cewek dong.
Elbara : iya. Habisnya toilet cowok sering penuh sih. Jadi terpaksa kencing di toilet cewek. Daripada kencing di pohon.
Arsyaf" : iya nih. Gue juga pernah kencing di toilet cewek. Terus nemu tisu merah. Gue pikir tisunya orang eropa.
Raya" : untung kalian gak ketahuan sama anak cewek.
Renan : iya nih. Kalau gue, el atau arsyaf ketahuan kencing di toilet cewek, bisa-bisa kita diperkosa sama cewek2 ganjen.
Raya" : idiiih yg ada cowok merkosa cewek.
Renan : aduh Raya! Ini kan jamannya emansipasi wanita. Lo lupa"
Arsyaf" : cewek jaman sekarang emang buas woy. Kita bertiga selaku cogan terhormat kudu ati2 gengs.
Raya" : huweeeh emmot muntah ada nggak" ?"?"
Lea" " : sumpah gue ngakak baca chat2 ini. Wkwkwkwk
Raya sudah memaafkan Lea sejak ia mengerti bagaimana penderitaan Lea menjadi single parent selama bertahun-tahun. Itulah sebabnya ia berlapang dada menerima
Lea sebagai sahabatnya kembali. Memang kita bukan Tuhan yang Maha pemaaf. Tapi Tuhan sangat menyukai hamba-Nya yang berbesar hati dan mau memaafkan kesalahan
orang lain. *****?"?"?"*****
Chapter 83 [Raya pov] Gue mengulurkan tangan ke Lea lalu dia dengan cepat menjabat tangan gue sambil tersenyum.
"Lea, selamat ya. Gue harap lo sama Arsyaf hidup bahagia selamanya," ucap gue lalu memeluk Lea dengan erat.
"Makasih, Raya. Makasih doanya. Dan makasih karena sudah mau memaafkan gue," papar Lea tulus.
"Pelukannya lama banget?" Dahi Arsyaf mengernyit. "Kamu nggak mau peluk pengantin prianya juga nih?" godanya nakal.
"Huuus!" tegur gue sembari memukul lengannya. "Mau kena tonjok Pak ketua geng?"
Arsyaf terkekeh. "Oh iya. Gue lupa."
"Ngomong-ngomong di mana El?" tanya Lea sambil celingukan mencari sosok El.
"Dia balik ke rumahnya tadi. Katanya sih HP-nya ketinggalan," jelas gue.
"Terus kalau Renan?" tanya Lea lagi.
Gue mengedikkan bahu. "Tuh anak paling-paling lupa bawa kado pernikahan. Atau kalau enggak ... dia lupa beli amplop buat salaman tempel."
"Eh itu El." Tunjuk Arsyaf dengan dagunya.
Gue menoleh ke belakang. Mata gue melebar ketika mendapati El berjalan ke arah kami dengan membawa anak kecil.
Dahi gue mengernyit. "El, ngapain lo bawa Brian ke sini?" tanya gue heran.
El menggaruk salah satu alisnya lalu tersenyum kecut. "Kak Icha tadi menelponku dan dia menitipkan anak ini," paparnya.
"Terus, kenapa kamu mau?"
"Ya ... mau gimana" Katanya dia ada pasien mendadak."
"Itu tuh cuma alasan Kak Icha agar dia bisa kencan sama suaminya. Tadi sebelum berangkat ke sini, dia juga mohon-mohon ke aku buat titip Brian."
"Mama!" Brian menarik-narik gaun pesta gue.
Gue melihat ke bawah, mendapati tuyul gendut yang berdiri di samping gue. "Ada apa Brian?"
"Aku mau makan itu." Brian menunjuk udang krispi yang ada di atas meja untuk hidangan para tamu.
"Tunggu tunggu!" potong Arsyaf heran. "Kalau dia anak Kak Icha, kenapa dia panggil kamu Mama, Ray?"
Gue menyeringai. "Ni anak emang suka main keluarga-keluargaan sama gue."
"Kalau kamu jadi Mamanya, berarti El...."
"Yups. El sekarang jadi Papanya."
Arsyaf tersenyum kecut. "Ooohh..."
"Eh BTW, di mana anak elo, Syaf?"
"Itu." Arsyaf menunjuk seorang gadis cilik cantik yang duduk bersama Mamanya. "Mamaku seneng banget sama Resya soalnya dia anak yang pintar."
"Benarkah?" Mata gue melebar senang mendapati kenyataan bahwa Mamanya Arsyaf bisa menerima Resya meskipun Resya adalah anak di luar nikah. "Eh, gue sama
El mau nyapa Mama lo dulu ya."
Arsyaf mengangguk lalu tersenyum. Gue, El, bersama Brian pun berjalan menuju tempat Mama Arsyaf duduk bersama Resya.
"Halo, tante," sapa gue sopan.
Alis Mama Arsyaf terangkat, ia tampak kaget menjumpai gue di pesta pernikahan anak tunggalnya. "Eh Raya. Apa kabar?" Mama Arsyaf berdiri lalu cipika cipiki
sama gue. "Baik tante. Tante sendiri?" Gue pun duduk di sebelah Mama Arsyaf sedangkan El duduk di sebelah Resya sembari memangku bola gulung alias Brian.
"Tante mah kurang baik. Soalnya tante pengen kamu yang jadi mantu tante, Ray," papar Mama Arsyaf gamblang.
El berdehem, seolah menegur Mama Arsyaf yang nyerocos tanpa memperhatikan perasaan Resya. Resya memang anak berumur 7 tahun. Tapi dia adalah anak yang
cerdas, dia bahkan sudah memahami bahwa pernikahan Mama dan Papanya terasa ganjil tak seperti Mama Papa teman-temannya.
"Eh ngomong-ngomong kenapa kamu memilih El daripada anak tante?" imbuh Mama Arsyaf.
Gue tersenyum kecut. Buset ni emak-emak mulutnya lagi blong kali yak"
"Meskipun Arsyaf nggak pintar-pintar amat, tapi kan dia lebih ganteng daripada El," cerocos Mama Arsyaf lagi.
"Em... Resya, tolong ajak Brian main ke sana ya." El menunjuk beberapa anak kecil yang sedang asyik bermain di tepi ruangan.
"Baik, Om," ujar Resya mengangguk, menggenggam tangan Brian, lalu berlari-lari kecil menuju kumpulan teman sebayanya yang merupakan anak dari para tamu
undangan. Gue tersenyum tipis. Gue tahu kenapa El menyuruh Resya bermain bersama Brian. Itu karena dia tidak ingin Resya mendengar ocehan Mamanya Arsyaf yang sudah
jelas tidak menyukai Lea dan masih berharap kalau gue yang menjadi menantunya.
"Tante, Raya itu calon istri aku. Bulan depan kami menikah," jelas El.
"Iya, El. Tante tau. Beruntung kamu dapetin calon istri seperti Raya. Udah cantik, pinter, lucu, lulusan Jepang pula!" Mama Arsyaf beropini.
"Ah tante bisa ajah," ujar gue tersipu malu.
"El, awas ya kalau kamu sakitin Raya! Ingat, Arsyaf masih boleh menikah tiga kali lagi lho," ancam Mama Arsyaf lalu terkikik senang. "Kan jatah nikah laki-laki
empat kali." "Waduh," ucap gue spontan.
El terkekeh. "Iya, tante. Tante tenang aja. Aku nggak bakal sakitin dia. Kalau Arsyaf jadiin Raya istri kedua, aku akan menjadikan Raya istri pertama dan
terakhir." Pipi gue berdesir malu, mungkin sudah memerah. "Ih bisa aja gombalnya!" tegur gue sambil menepuk bahu El.
"Woi! Raya!" Tampak Renan melambai dari arah kejauhan.
Dahi gue mengernyit. "Ada apa, Ren?" tanya gue dengan menaikkan oktaf suara.
"Ayo kita foto bareng berlima," kata Renan sembari berjalan menuju ke arah gue. "Gue ada urusan mendadak. Jadi gue nggak bisa lama-lama di acara ini."
"Ya udah ayo!" Gue, El, Renan, Arsyaf, dan Lea pun berfoto bersama dengan berbagai macam gaya. Senang sekali rasanya bisa menjalin persahabatan ini seperti sedia kala.
Gue harap, Arsyaf dan Lea hidup bahagia selamanya. Selamat tinggal Mas mantan. Dan selamat datang sahabat.
*** Setelah pulang dari pesta pernikahan Arsyaf dan Lea, gue langsung merebahkan tubuh gue di atas kasur sesampainya di apartemen. Rasanya capek sekali setelah
mengantar si gentong pulang.
"Gimana?" tanya Anila.
Mata gue yang tadinya terpejam langsung membuka dan leher gue memutar untuk melihat Anila yang duduk di tepi kasur.
"Gimana Renan?" imbuhnya.
"Dia nggak kenapa-napa. Tapi kenapa lo tanya Renan ke gue" Kan elo pacarnya," ungkap gue keheranan.
Anila menghela napas lesu. "Gue nggak tau, gue ini siapa baginya."
Gue terduduk di samping Anila. "Maksud lo?"
"Gue sering merasa kalau cinta gue ke dia hanya bertepuk sebelah tangan."
"Ah nggak mungkin!"
"Tapi itu benar, Ray. Renan nggak sayang sama gue."
"Em..." Mata gue memutar ke atas, mencoba memikirkan sesuatu. "Gimana kalau lo tes aja si Renan?" celetuk gue asal.
Dahi Anila berkerut. "Tes?"
Gue mengangguk semangat. "Kalau dia beneran cinta sama lo, dia bakalan melakukan apa pun yang elo mau sekali pun hal itu membuatnya malu."
"Maksud elo?" "Cowok itu paling malu kalau disuruh beli pembalut. Jika dia mau beliin elo pembalut, itu berarti dia sayang sama elo."
"Jangan bilang kalau lo pernah nyuruh Pak Bara beli pembalut buat elo," tebak Anila benar.
"Ya iyalah!" sahut gue bangga. "Bukan hanya pernah! Sering malah!"
"What?" ujar Anila kaget.
"Sekarang, lo bisa menggunakan metode yang sama buat ngetes si Renan."
"Tunggu tunggu!" potong Anila. "Lo tau dari mana jenis tes kayak begitu?"
Gue meringis malu. "Gue baca dari novel hehehe."
"Jadi, lo meraktekin apa yang lo baca dari novel?"
Gue mengangguk malu. "Sontoloyo lo jadi orang!"
*** [Author pov] Sepanjang perjalanan, Anila menggandeng mesra tangan Renan sembari melihat-lihat pakaian. Dia sangat senang bisa berkencan bersama orang yang ia cintai
walaupun ia tidak yakin kalau Renan juga mencintainya. Apa tes yang Raya katakan tempo hari perlu dicoba, pikirnya.
"Aduuuh." Anila mulai melancarkan aksinya. Tiba-tiba ia memegang perutnya, berakting sakit.
"Kamu kenapa?" tanya Renan cemas.
"Nggak tau nih. Perut aku sakit banget."
"Ya udah. Aku antar ke dokter ya?"
Anila menggeleng. "Enggak. Aku ke toilet aja."
Hampir 15 menit Renan berdiri di dekat pintu toilet wanita. Tapi Anila tak kunjung keluar juga. Ia mulai merasa semakin cemas, takut terjadi apa-apa pada
Anila di dalam. Tanpa berpikir panjang, ia menelpon Anila, mengecek apakah Anila baik-baik saja atau tidak.
"Halo, Anila" Kamu nggak kenapa-napa kan?" tanya Renan khawatir setelah Anila lama mengangkat panggilan.
"Sayang, gimana ini?" tanya Anila manja.
"Gimana apanya?"
"Aku nggak bisa keluar dari toilet, Sayang."
Alis Renan terangkat kaget. "Kenapa nggak bisa keluar" Kamu terkunci?"
"Enggak." "Terus kenapa?" Renan mulai bertambah panik.
"Aku datang bulan nih. Aku nggak bisa keluar toilet tanpa memakai pembalut. Kamu bisa beliin aku pembalut nggak?"
"Apa" Pembalut?" ujar Renan kaget.
Seumur hidup, Renan sudah mengencani berbagai macam wanita. Semuanya cantik, sexy, dan terpelajar. Total wanita yang pernah dikencani Renan kurang lebih
23 wanita, tak ada seorang pun waria. Kalaupun ada, sudah pasti Renan memutuskannya kurang dari 0,5 detik. Dan dari 23 wanita yang pernah ia kencani, tak
seorang pun berani menyuruhnya untuk membeli pembalut.
"Gimana ini, Sayang?" tanya Anila manja, terdengar suara tangis yang dibuat-buat dari mulutnya.
Renan menggaruk rambutnya, bingung harus berbuat apa. Dia adalah laki-laki dan pembalut adalah benda yang hanya dipakai oleh wanita. Entah waria mengenakannya
atau tidak, ia sungguh tidak tahu.
"Sayang?" panggil Anila.
"I... iya deh. Aku belikan. Bentar ya."
"Eh eh!" "Ada apa lagi?"
"Jangan lupa belikan aku minuman pereda nyeri datang bulan juga ya. Sakit banget nih."
"Iya iya." Tit....
Cewek Cetar Dua Karya Zaeemaazzahra di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Renan langsung mengakhiri panggilan, takut kalau Anila titip barang-barang yang tak lazim lainnya misalnya saja celana dalam wanita. Sesampainya di tempat
perbelanjaan, Renan bergegas cepat mencari pembalut dan minuman pereda nyeri, kemudian berlari menuju kasir sebelum orang-orang di sekitar memperhatikannya.
"Buat pacarnya ya, Mas?" tanya si kasir kepo.
Renan tersenyum malu lalu mengangguk. Kemudian ia mengeluarkan dompet dari dalam saku celananya.
"Biasanya, cewek itu suka yang sayap," tambah si kasir cantik.
"Sayap?" tanya Renan tak mengerti. Ia hanya tahu sayap ayam saja. Kalau sayap pembalut, ia baru tahu kali ini.
"Iya, yang sayap. Soalnya nggak mudah bocor, Mas."
"Terus, yang aku beli itu...." Renan menunjuk sebungkus pembalut yang dimasukkan si kasir ke dalam kresek putih. "Itu sayap atau bukan?"
Si kasir terkekeh. "Bukan, Mas. Ini yang biasa."
"Ah au ah!" Renan mengacak rambutnya kesal.
*** "RAYA.... I LOVE YOU!" teriak Anila ketika membuka pintu apartemen.
"Kenapa lo" Senyum-senyum girang kek ondel-ondel monas?" tanya Raya heran mendapati Anila berlari ke arahnya kemudian memeluknya erat.
"Coba tebak apa yang baru gue alami hari ini?"
"Apa?" "Renan mau beliin gue pembalut!" ujar Anila begitu bangga, hal itu pertamda kalau Renan sudah mulai peduli, pikirnya.
Mata Raya melebar senang. "Beneran?"
Anila mengangguk penuh semangat.
"Tuh kan! Apa gue bilang! Renan mah emang gitu orangnya."
"Makasih ya buat sarannya."
Raya tertawa lepas. "Oke deh," ucapnya lalu memeluk Anila erat.
*****?"?"?"******
Chapter 84 [Author pov] Anila menatap wajah Renan, membuat pria berambut gondrong itu sedikit risih. Setelah menyesap seputung rokok dan mengeluarkan kepulan asap, Renan terhenti.
Ia mengapit sepuntung rokok di antara jari telunjuk dan jari tengahnya lalu menatap balik Anila.
"Kenapa kamu ngelihatin aku kayak gitu?" tanya Renan sinis.
"Habisnya kamu ganteng banget sih," jawab Anila blak-blakan dengan suara manjanya.
Jujur saja, Renan suka perempuan manja tapi penurut seperti Anila. Di antara 23 wanita yang pernah ia kencani, hampir separuh memiliki sifat manja. Menurutnya,
perempuan manja dan penurut itu perlu untuk dilindungi. Mereka terlihat rapuh.
Memang benar selama ini Renan mencari seorang perempuan yang memiliki kepribadian seperti Raya. Baik, pintar, tegar, lucu, manja, walaupun tidak penurut.
Dan jujur saja, Anila memiliki semua kriteria yang yang ia inginkan. Apalagi Anila adalah gadis penurut. Hal itu menambah poin plus baginya.
"Sayang, bentar lagi Raya dan Pak Bara menikah. Kita kapan ya?" tanya Anila memberanikan diri. Ia menggigit bagian bawah bibirnya.
Renan menghela napas jengah. Ia paling tidak suka dituntut untuk membuat komitmen yang lebih serius.
"Usiaku dua bulan lagi sudah 27 lho," imbuh Anila.
"Aku kan sudah bilang ke kamu kalau aku belum ingin menikah," ucap Renan sinis lalu ia kembali menghisap puntung rokoknya.
"Ya udah," kata Anila sambil memegang tangan Renan. "Kalau kamu masih belum siap, aku nggak akan maksa kok. Aku bakalan nungguin kamu."
"Bagus kalau kamu ngerti!" ujar Renan ketus setengah membentak.
Anila menelan ludah. Hatinya teriris mendengar Renan berkata ketus terhadapnya. Tak apa jika Renan tidak ingin menikah. Tapi bukankah Renan bisa menolaknya
secara halus" "Anila?" sapa seorang lelaki tampan yang kebetulan lewat.
"Jordan?" kata Anila dengan mata sedikit membulat, melihat sesosok lelaki tampan yang sudah lama tak ia lihat.
"Anila, apa kabar?" tanya Jordan sumringah.
"Baik. Gue baik. Lo sendiri?" jawab Anila bersemangat lalu berdiri, memeluk Jordan, kemudian cipika cipiki dengan entengnya, membuat hati Renan memanas.
"Gue baik," sahut Jordan. "Em... dia siapa?" tanyanya sambil melirik ke arah Renan.
"Dia pacar gue. Namanya Renan Atala. Lo bisa panggil dia Renan."
"Hai. Aku Jordan," kata Jordan sembari mengulurkan tangannya pada Renan.
"Renan," sahut Renan malas sambil menjabat singkat tangan Jordan.
"Eh ngomong-ngomong, lo sekarang kerja di mana?" tanya Anila sambil mempersilahkan Jordan untuk duduk di sampingnya.
"Gue sekarang kerja di sini. Gue pemilik restoran ini," jelas Jordan.
"Benarkah?" Anila terperangah.
Entah kenapa Renan semakin kesal melihat keakraban Anila dengan Jordan. Ia bersikap cuek sambil terus merokok dan sesekali SMS-an dengan beberapa mantan
pacarnya, mencoba mengabaikan percakapan antara Anila dan Jordan.
"Eh, ngomong-ngomong kapan kalian menikah?" tanya Jordan sambil menatap Renan tajam.
Renan terhenti, ia menatap balik Jordan dengan tatapan tak kalah tajam. "Itu bukan urusan elo," kata Renan sinis sambil membanting rokoknya ke dalam asbak.
"Sayang, kenapa kamu sinis gitu sih ke Jordan?" tanya Anila setengah berbisik, ia merasa sedikit tidak enak hati pada Jordan.
Jordan tersenyum miring. Ia menyadari kalau Renan cemburu terhadapnya. Tapi ia juga sadar bahwa Renan masih belum memahami perasaannya sendiri terhadap
Anila. "Anila, sepertinya lo harus mencari pria yang lebih baik lagi." Jordan beropini.
"Maksud lo apa?" Renan semakin melunjak marah, tangannya spontan mencengkram kerah baju Jordan.
Jordan malah terkekeh. "Anila, lo yakin mau terus berhubungan dengan pria tempramental seperti ini?" kata Jordan semakin memanas-manasi.
"Sayang, tolong lepasin Jordan. Aku mohon," pinta Anila sambil memegangi tangan Renan.
Mata Renan yang tadinya mendelik marah kemudian kembali normal setelah mendengar permintaan Anila yang memohon. Ia pun melepaskan tangannya dari kerah
baju Jordan. Sementara salah satu sudut bibir Jordan terangkat sambil merapikan kerah bajunya.
"Kalau lo berani jelek-jelekin gue ke Anila, gue bakalan buat perhitungan sama lo. Ngerti?" ancam Renan serius.
Jordan terkekeh. "Anila terlalu baik buat elo."
Kali ini Renan yang tersenyum miring. "Maksud lo apa" Maksud lo, gue nggak pantas buat Anila?"
"Jika lo nggak ngehargai Anila, gue nggak bakal rela Anila jadi milik elo."
"Lo nggak pantas berpendapat seperti itu."
"Lo pikir, cowok yang merokok di depan ceweknya itu pantas dibilang care?"
"....." "Setiap cowok boleh merokok. Tapi jangan di depan cewek. Itu namanya nggak ngehargai."
Renan tertegun, ia masih mencerna setiap kalimat yang dilontarkan Jordan. Ya! Jordan benar. Nggak sepantasnya seorang cowok merokok di depan pacarnya,
bukan" *** Anila mendengus kesal. Sedari tadi Renan tak kunjung menjawab panggilannya. Berulang kali ia hanya mendengar suara customer service yang mengoceh dengan
kalimat yang sama. Kring.... Renan tiba-tiba menelpon balik Anila, membuat perempuan berusia 26 tahun itu tersenyum gembira. Betapa tidak" Akhirnya ia dapat mendengar suara lelaki
yang dicintainya walau hanya lewat telepon.
"Halo, Sayang" Kenapa dari tadi kamu nggak jawab telepon dari aku?" tanya Anila manja, ia mengerucutkan bibir mungilnya.
"Aku lagi nggak enak badan nih. Kamu jangan ganggu aku ya. Aku mau istirahat. Bye."
"Eh eh," cegah Anila sebelum Renan menutup telepon. "Jangan tutup teleponnya dulu."
"Ada apa lagi sih?" tanya Renan sedikit kesal.
"Kamu sakit apa?"
"Aku sakit flu biasa kok. Udah ya. Bye."
Tit.... Renan mengakhiri panggilannya dan bergegas tidur, menutupi sekujur tubuhnya dengan selimut hangat. Sudah 2 hari ia demam tapi ia malas pergi ke dokter.
Ia percaya, demam yang dideritanya akan sembuh sendiri.
Ting tung ting tung Tak sampai 15 menit Renan menikmati tidur siangnya, suara bel apartemennya berdering bertubi-tubi tak henti-henti. Renan terduduk, menghela napas jengah,
lalu mengacak rambut gondrongnya.
"Siapa sih?" gumamnya kesal sembari berjalan menuju pintu.
"Sayang" Kamu nggak kenapa-napa kan?" tanya Anila panik ketika Renan membukakan pintu untuknya.
Renan memutar bola mata malas. "Aku kan sudah bilang kalau aku nggak kenapa-napa. Aku cuma butuh istirahat. Kenapa kamu pakek acara ke sini segala sih?"
omelnya geram. "Aku tuh khawatir banget sama kamu."
"Kamu nggak usah khawatirin aku. Aku cuma demam biasa kok."
Pleeekk Telapak tangan Anila langsung mendarat ke jidat Renan lalu matanya mendelik kaget. "Astaga buah naga! Kamu panas banget!"
"Apaan sih!" Renan menyingkirkan tangan Anila dari jidatnya.
"Pokoknya kamu harus istirahat total." Anila membalikkan badan Renan, mendorong punggung Renan hingga membuat langkah kaki Renan terus maju menuju kamar.
"Aku akan panggilin dokter."
"Kamu apa-apaan sih, Nil?"
"Udah diem!" Anila mendudukkan Renan di tepi ranjang. "Pokoknya aku mau kamu istirahat," ucapnya setengah galak lalu mendorong bahu Renan hingga Renan
terbaring di atas ranjang.
Renan malas berdebat dengan Anila. Apalagi dengan kondisinya yang kurang fit. Ia lebih memilih menuruti apa kata kekasihnya itu. Daripada ia harus mendengar
ocehan Anila yang sudah pasti semakin banyak dibantah malah semakin panjang.
Setelah membaringkan Renan, Anila bergegas menuju dapur, mengambil baskom dari rak, mengambil es batu dari dalam kulkas, lalu menyiapkan handuk. Ia pun
bergegas memasukkan es batu ke dalam baskom lalu mencampurkan sedikit air kran di dalamnya. Kemudian, ia kembali menemui Renan yang terbaring lemas di
atas ranjang. "Ngapain kamu bawa baskom?" tanya Renan heran.
"Aku tuh mau ngompres jidat kamu," jawab Anila dengan suara lirih seolah menahan tangis.
Alis Renan terangkat mendengar suara Anila. "Aku salah ngomong ya" Kalau aku salah ngomong, aku minta maaf. Please jangan nangis," papar Renan setengah
merasa bersalah, sejak ditelepon ia sadar berkata sinis pada Anila.
Anila menggeleng pelan. "Enggak kok. Aku cuma sedih ngelihat kamu sakit kayak gini," paparnya dengan mata berkaca-kaca.
Renan tersenyum kecil sembari menyingkap selimutnya lalu duduk. Ia menarik tangan Anila hingga Anila terduduk di sampingnya.
"Kamu apa-apaan sih" Hampir aja baskomnya jatoh tadi," omel Anila sambil menaruh baskom yang ia bawa di nakas meja.
"Kamu nangis hanya karena aku demam ringan?" tanya Renan memastikan.
"Aku nggak nangis!" sanggah Anila dengan suara goyah.
"Kalau kamu nggak nangis, kenapa ada air mata di sini?" Jemari Renan mengusap air mata di salah satu sudut mata Anila.
Tangis Anila pecah, ia langsung merebahkan kepalanya di atas dada Renan. "Kamu jangan sakit. Aku sangat mencemaskanmu tau nggak?"
"Udah jangan nangis lagi." Renan mengelus lembut rambut Anila. "Maafin aku ya. Tadi aku sempat ngomelin kamu."
Anila melepaskan pelukannya lalu membaringkan Renan. Ia mengusap air matanya lalu bergegas mencelupkan handuk kering ke dalam air es lalu memerasnya. Tak
lupa juga ia melipat handuk tersebut lalu meletakkannya di atas jidat Renan.
"Kamu tunggu di sini. Aku akan masakin bubur buat kamu," kata Anila.
"Tapi... kamu bisa masak kan?" tanya Renan.
"Ya jelas bisalah! Selain lebih cantik, aku tuh jauh lebih jago masak dibanding Raya tau nggak?"
Renan terkekeh. "Kamu masih cemburu sama Raya?" godanya.
"Ya iyalah! Secara kamu kan udah suka dia sejak kecil."
Lagi, Renan terkekeh. "Kamu tuh lucu banget kalau cemburu."
"Habisnya... kamu tuh kelihatan masih care banget sama dia. Wajar dong kalau aku cemburu?"
"Dia itu sahabat aku sejak masih dalam kandungan. Wajar kalau aku care banget sama dia."
Anila terdiam dengan wajah muram dan bibir manyun sebal.
"Kamu tau nggak, seumur hidupku, aku nggak pernah begitu care sama wanita mana pun selain Mama dan Raya. Bagiku, Mamaku nomor satu dan Raya nomor dua."
"Ya... ya... ya... udah ah aku mau masak dulu," ucap Anila kesal lalu berdiri sambil menghentak-hentakkan kakinya.
"Eh tunggu! Aku belom selesai cerita." Tangan Renan dengan sigap meraih pergelangan tangan Anila lalu membuat gadis itu kembali terduduk di sampingnya.
"Apa lagi?" tanya Anila malas, hatinya cemburu bukan main.
"Bagiku, Mama nomor satu dan Raya nomor dua. Tapi sekarang, Raya jadi nomor tiga."
Alis Anila terangkat. Rupanya ia mulai tertarik dengan cerita Renan.
"Soalnya...." Renan sengaja memperlambat sambungan kalimatnya. Ia ingin membuat Anila penasaran.
"Soalnya kenapa?" tanya Anila begitu penasaran.
"Soalnya, sekarang kamu yang ada diurutan nomor dua."
Mata Anila melebar senang. "Beneran?" tanyanya memastikan.
Renan mengangguk. "Aku nggak tau sejak kapan aku care sama kamu. Mungkin sejak aku ketemu Jordan."
Mata Anila tiba-tiba basah, ia menangis bahagia mendengar pengakuan Renan.
"Aku nggak suka lihat kamu deket-deket sama Jordan. Pokoknya, aku nggak suka lihat kamu deket-deket sama cowok lain selain aku," tambah Renan.
"Renan?" Anila langsung memeluk erat Renan dan tangisnya pecah seketika hingga air matanya membasahi kaos yang dikenakan Renan.
"Aku janji akan melupakan Raya sepenuhnya. Dan aku janji akan lebih menghargai kamu seperti aku menghargai Mamaku," sambung Renan tulus sembari mengelus
lembut rambut panjang Anila.
*****?"?"?"******
Chapter 85 [Author pov] Arsyaf sudah bersiap tidur di sofa. Sementara Lea masih berdiri di dekat ranjang. Arsyaf sudah 3 minggu hidup bersama Lea. Tapi tak sedikit pun ia menyentuh
wanita cantik itu. Apakah dia akan terus bersikap dingin seperti itu" Entahlah.
"Arsyaf, aku aja yang tidur di sofa. Lagipula, besok kamu harus berangkat kerja kan" Aku takut tidurmu kurang nyenyak," ucap Lea memberanikan diri. Ia
sadar bahwa ia tidak memiliki arti bagi Arsyaf.
Arsyaf tak mendengarkan Lea. Ia malah menata bantal lalu menarik selimut dan bergegas tidur membuat Lea menghela napas kecewa.
Tok tok tok Arsyaf dan Lea terkesiap. Keduanya spontan menoleh ke arah pintu. Arsyaf gelagapan membereskan bantal dan selimutnya dari sofa. Sementara Lea berjalan
menuju pintu. "Resya" Kenapa kamu kemari, sayang?" tanya Lea.
"Aku barusan mimpi buruk," jawab Resya sesenggukan seperti baru saja menangis.
Lea langsung memeluk Resya dan membelai lembut rambut panjang Resya. "Nggak apa-apa. Nggak usah takut. Kan itu cuma mimpi, Sayang."
Hati Arsyaf melunak, melihat sikap Lea terhadap Resya. Ia pun berjalan menuju pintu dan duduk berjongkok untuk menyamai tinggi badan Resya.
"Kalau kamu takut, malam ini kamu boleh tidur sama Mama," ujar Arsyaf mencoba menenangkan Resya.
"Sama Papa juga?" tanya Resya antusias. Ia sangat menyukai Papanya bahkan ia sangat manja pada Papanya.
Arsyaf mengangguk mengiyakan. Mereka bertiga pun akhirnya tidur bersama.
*** Hari ini El tidak pergi ke kantor untuk bekerja. Dia tidak fokus mengerjakan pekerjaan kantornya. Ia lebih memilih nge-gym, berolah raga untuk menenangkan
pikiran sebelum hari H pernikahannya dengan Raya.
Sementara itu, Raya juga demikian. Sama seperti El, ia juga tidak bisa fokus bekerja. Ia lebih memilih berpura-pura sakit dan bermalas-malasan di kamar
tidur. Raya : lagi apa, Mas Bara" Hehehe ?"
Elbara : Mas Bara" Ya udah. Mulai sekarang, km harus panggil aku dg sebutan itu. Soalnya aku suka.
Raya : iya nih. Selama kita pacaran, kita gk pernah bikin nama kesayangan.
Elbara : oooh ya udah deh. Nanti aku panggil kamu Tong Sam Cong kayak dulu. ?"
Raya : Ih kamu mah ?"
Hanya keisengan dua sejoli yang akan menikah minggu depan. Sekedar berkirim pesan tapi itulah kebahagiaan sejati yang jarang orang-orang sadari.
**** Jantung El berdegup kencang ketika menjabat tangan Pak penghulu. "Saya terima nikahnya Soraya Aldric binti Abdul Hakim dengan Mas kawin tersebut dibayar
tunai," ucap El cepat.
"Bagaimana saudara saudara?" tanya Pak penghulu pada para saksi yang hadir.
"Sah! Sah! Sah!" Sorak semua orang sambil tersenyum bahagia.
Setelah akad nikah, mereka bergegas menuju sebuah hotel bintang lima karena resepsi pernikahan diadakan di sana. Banyak tamu undangan yang hadir dari kedua
belah pihak. Meskipun tamu undangan El jauh lebih banyak karena dia mengundang semua kolega perusahaan. Beribu ucapan selamat terucapkan untuk mereka.
"Wuaah sahabat gue paling kece habis ini nggak perawan lagi," kata Renan diselingi dengan suara tangis yang terdengar dibuat-buat.
"Huuuus!" tegur Raya sambil gebukin punggung Renan dengan geram. "Lidah lo perlu disunat. Soalnya kalo ngomong suka bener."
Tawa pun membuncah di antara keduanya. Namun tawa itu meredup ketika Renan tiba-tiba memeluk Raya erat.
"Selamat ya. Semoga kalian langgeng sampai kakek nenek," ucap Renan tulus.
"Ya nggak cuma langgeng sampai kakek nenek dong. Sampai mati sampai di kehidupan selanjutnya di akhirat harus tetep langgeng," ujar Raya.
Melihat Renan memeluk Raya, El langsung berjalan ke arah mereka berdua lalu memisahkan pelukan antara Raya dan Renan.
"Kalian bukan muhrim. Jadi nggak usah peluk-peluk," tegur El.
"Yaelah El. Gue sama Raya mah sudah sahabatan sejak masih jadi zigot. Lagian, selama delapan tahun lo ngilang, gue yang jagain dia. Masa' peluk dikit aja
kagak boleh?" gumam Renan.
"NGGAK BOLEH!" Raya terkikik melihat suaminya cemburu seperti itu. Memang suaminya itu sangat mudah cemburu dan entah mengapa Raya suka itu.
Setelah Renan mengucapkan selamat pada Raya dan El, kini giliran Arsyaf, Lea, lalu Anila. Sedangkan Icha lah yang menjadi orang pertama mengucapkan selamat
karena Icha adalah satu-satunya keluarga inti yang Raya miliki.
*** Jadwal penerbangan diundur besok pagi karena cuaca tiba-tiba buruk. El dan Raya memutuskan untuk pulang ke rumah Icha karena rumah Icha dekat dengan bandara.
Ting tung ting tung Raya memencet bel rumah. Matanya membulat ketika mendapati Anila yang membukakan pintu untuknya. Sementara El seperti biasa, memasang muka datar tanpa
ekspresi. "Anila, ngapain lo di rumah gue?" tanya Raya heran.
Anila meringis malu. "Lo kan tau sendiri kalau gue takut tinggal sendirian. Kan nggak mungkin kalau gue minta temenin Renan. Jadi, gue nginep di sini."
Raya menggeleng sambil berdecak. "Ya elah. Tinggal di apartemen sendirian aja takut. Cemen lo jadi orang."
"Terus, ngapain lo kemari?"
"Jadwal penerbangan diundur jadi besok pagi. Jadi gue sama suami mau nginep di sini semalam."
"Ciyeee.... sekarang panggilnya suami," goda Anila.
Raya menjitak kepala Anila hingga membuat Anila mengerang kesakitan. Sedangkan El hanya terkekeh melihat tingkah lucu istrinya.
"Siapa yang datang, Nil?" suara Icha terdengar dari ruang keluarga.
"Raya sama suaminya, Kak," sahut Anila sedikit menaikkan oktaf suaranya.
Alis Icha terangkat lalu ia segera mengabaikan televisi yang ia tonton dan bergegas menuju ruang tamu untuk menemui Raya dan El yang asyik berbincang-bincang
dengan Anila. "Raya" Kenapa lo nggak jadi bulan madu ke Eropa?" tanya Icha ngotot.
"Cuaca lagi ngambek, Kak. Jadi, aku berangkat besok," jelas Raya.
"Oooh..." Icha mengangguk mengerti.
"Aku ke kamar dulu ya. Capek nih," pamit Raya ke Icha.
Icha hanya mengangguk, mempersilahkan.
Sesampainya di dalam kamar, Raya merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Rasanya sekujur tubuhnya begitu penat. Betapa tidak" Jam setengah delapan tadi pagi
akad lalu dilanjut dengan resepsi pernikahan sampai siang. Saat tiba di bandara setelah melalui kemacetan kota Jakarta, dia harus kembali pulang karena
jadwal penerbangan tiba-tiba diundur.
"Mas, kamu mandi dulu aja. Aku masih pengen malas-malasan," kata Raya.
El hanya mengangguk dan bergegas menuju kamar mandi. Ia juga sangat lelah setelah seharian penuh menjadi pengantin pria yang sejak pagi hingga siang hari
harus berdiri dan bersalaman dengan para tamu undangan.
Setelah mandi, El mengeringkan rambutnya yang basah dengan handuk kering lalu keluar kamar mandi dan menyuruh Raya untuk mandi. Sebenarnya Raya ingin demo.
Tapi mau bagaimana lagi" Kebiasaan buruknya yang jarang mandi harus segera dihilangkan karena sekarang ia memiliki suami yang super bersih, El bahkan bisa
dipanggil Mr.Clean karena ia paling tidak suka segala sesuatu yang berbau tidak sedap atau kotor.
Setelah mandi, Raya kembali merebahkan tubuhnya di atas ranjang lalu menarik selimut dan bergegas tidur. El hanya menggeleng heran dengan tingkah istrinya
itu. Apa Raya tidak tahu bagaimana perasaan El saat ini yang begitu ingin menciumnya"
El menghela napas kecewa. Tapi mau bagaimana lagi" Istrinya terlihat sangat kelelahan. Ia hanya ingin Raya beristirahat dan tidur dengan nyenyak. Ia pun
menaruh ponselnya di nakas meja lalu berbaring di sebelah Raya.
Mata Raya terbuka setelah sempat terpejam. Ia terkesiap. Jantungnya berdegup tak karuan saat El berbaring di sampingnya. Apa El juga merasakan hal yang
sama" Jujur saja, ini pertama kalinya Raya tidur di sebelah laki-laki. Biasanya ia tidur di samping Icha atau Anila. Tapi kali ini" Kali ini ia tidur di
samping El. "Mas suami," sapa Raya manja sambil mengoyak lengan El.
"Hm?" sahut El menoleh ke samping, ke arah istrinya.
"Aku nggak bisa tidur," curhat Raya manja.
"Aku juga nggak bisa tidur."
"Em..." bola mata Raya memutar ke atas, ia tampak berpikir. "Gimana kalau kita main game aja?" usulnya antusias.
"Main game?" Alis El terangkat.
Raya mengangguk semangat lalu ia bergegas turun dari ranjang dan menyalakan TV dan play station.
"Aku sudah lama nggak maen game ini. Soalnya harus dua orang maennya. Lha Kak Icha sibuk melulu. Anila mah nggak suka maen game ini. Dia itu sukanya maen
game masak-masakan atau make-up make-up-an gitu deh," papar Raya lalu memberikan stick ke El.
Setelah menunggu loading beberapa saat, mereka mulai memilih pemain. El memilih Liverpool sedangkan Raya memilih MU. Kemudian mereka memulai game tersebut.
Tapi tak lama setelah itu, mereka terhenti.
"Eh eh, kenapa game ini nggak ada suaranya?" tanya Raya heran. Ia meletakkan stick di atas ranjang lalu menepuk-nepuk televisi kemudian menepuk-nepuk play
stationnya. "Kenapa back sound nya nggak kedengeran yak?"
"Paling-paling PS kamu rusak," tebak El.
Cewek Cetar Dua Karya Zaeemaazzahra di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Yaaah." Raya menghela napas kecewa lalu kembali duduk di samping El. "Jadi gimana nih" Padahal aku pengen banget maen game ini."
"Ya udah kita tetep maen aja."
"Tanpa efek suara mah kurang seru, Mas suami."
"Masa' kalau aku yang nemenin main game tetep nggak seru sih," goda El.
Sementara itu, di ruang tamu, Icha dan Anila menonton sinetron India kesukaan mereka berdua. Pada intinya, cerita di sinetron India dan sinetron Indonesia
memiliki kesamaan. Kalau tidak hilang ingatan, penculikan, ya... muka pemainnya ganti secara tiba-tiba.
"Eh Kak Icha," kata Anila tiba-tiba.
Tangan Icha terhenti di dalam semangkuk pop corn lalu menoleh ke Anila. "Ada apa, Nil?"
"Emangnya Kakak nggak penasaran dengan apa yang dilakukan Raya dan suaminya di dalam kamar?"
"Iya juga sih. Gue penasaran banget, Nil. Apalagi Raya dan El tidak terlihat seperti pasangan romantis pada umumnya."
Ya. Gaya berpacaran Raya dan El sangat berbeda dengan gaya berpacaran Raya pada saat masih dengan Arsyaf. Jika dulu Raya dan Arsyaf sering beradu pendapat,
marahan, pacaran alay, dan sayang-sayangan. Sekarang Raya dan El lebih terlihat kalem dan terkesan hambar di hadapan orang lain. Mungkin karena El yang
tidak suka banyak bicara dan bermuka datar sering terlihat tegas. Itulah sebabnya orang lain tidak tahu kalau El sebenarnya pria yang sangat romantis dan
manja terhadap pasangan. "Gimana kalau kita nguping di depan pintu kamar Raya?" Ide gila Anila tiba-tiba keluar.
Icha mengagguk setuju karena pada dasarnya, ia juga memiliki otak gesrek sama seperti Anila. Mereka pun segera bergegas menuju kamar Raya.
"Ah ah kamu mah nyerang terus dari tadi. Iiihhh nyebelin deh." Terdengar suara manja Raya ketika Icha dan Anila sampai.
"Bushet! Mereka ngapain tuh?" tanya Anila penasaran.
"Jangan-jangan mereka..." Icha terkikik malu lalu segera mendekatkan telinganya ke dada pintu kamar Raya. Anila pun demikian.
"Tuh kan kamu nyerang lagi. Uuuh..." Suara Raya kembali terdengar, membuat Icha dan Anila jingkrak-jingkrak senang.
"Ya udah. Kalau kamu nggak pengen aku serang, makanya serang aku balik dong." Kali ini suara El yang terdengar.
Mata Icha membulat lalu ia saling bertatapan dengan Anila, tentu saja apa yang mereka pikirkan sama. Jantung mereka berdegup semakin kencang lalu kembali
menguping karena semakin lama mereka di depan kamar Raya, semakin mereka penasaran dengan apa yang dilakukan Raya dan El di dalam kamar.
"Tuh kan kamu berhasil masukin lagi." Suara Raya lagi-lagi berhasil membuat Icha dan Anila kegirangan.
"Bushet! Masukin apa tuh Kak?" tanya Anila setengah berbisik.
Icha mengangkat bahu. "Meneketehek."
"Ah udah ah maennya. Aku capek nih. Aku mau tidur aja."
"Astaga buah naga!" ucap Icha nyaris tanpa suara. "Maen apa tuh si Raya sampek kecapek'an segala?"
"Eh eh! Kamu jangan tidur dulu. Kan belum babak kedua." Kali ini perkataan El berhasil membuat mulut Icha dan Anila menganga lebar.
"Bushet si Raya belom babak kedua udah kecapek'an," kata Anila ngotot.
"Lo belom ngerasain, Nil. Gue yang udah nikah tau kalau main kek begono emang bikin capek," papar Icha.
Di dalam kamar, Raya menghentikan game yang dimainkannya. "Mas suami, kamu denger suara orang di depan pintu nggak?"
"Iya. Tadi aku sempat dengar suara Kak Icha dan Anila." El membenarkan.
Raya meletakkan sticknya lalu berjalan menuju pintu dan membukannya. Betapa terkejutnya ia ketika mendapati Kakaknya beserta sahabatnya sedari tadi menguping
di depan pintu kamarnya. "Kalian ngapain di sini?" Dahi Raya mengerut.
Icha dan Anila meringis malu lalu tersenyum kikuk seperti anak kecil yang ketahuan mencuri permen.
"Kalian nguping ya?" tebak Raya benar.
Icha dan Anila kompak meringis lagi. Dan pada akhirnya mereka menyadari kalau Raya masih berpakaian lengkap dan tidak acak-acakan seperti yang mereka pikirkan
sedari tadi. "Kok elo masih rapi gini sih?" Anila menyentuh piyama yang dikenakan Raya.
"Iya. Kok pakaian elo lengkap gitu sih?" Icha menambah.
"Salah ya kalau Raya berpakaian lengkap kayak gini?" tanya Raya dengan lugunya.
"Terus, dari tadi elo sama El main apa dong?" Icha tak menghiraukan pertanyaan Raya dan malah bertanya balik.
Raya menggaruk rambutnya yang tak terasa gatal. "Kita main PS."
"Yaelah. Kirain...." ucap Icha sengaja tidak merampungkan kalimatnya.
"Kirain apa?" "Kirain mau buatin Kak Icha keponakan unyu," celetuk Anila.
Raya terkekeh bahkan ia sampai terpingkal. Ia sangat keheranan dengan tingkah laku Kakaknya dan sahabatnya itu. Tak habis pikir mengapa mereka bisa berpikiran
seperti itu. "Ya udah. Kalian pergi sana!" usir Raya sembari mendorong Icha dan Anila lalu menutup pintu.
Setelah menutup pintu, ia kembali duduk di sebelah El. "Pikiran mereka mah emang rada gesrek. Masa' percakapan kita tadi dikira bikinin Kak Icha keponakan."
"Gimana kalau kita lakukan apa yang mereka pikirkan?" usul El setengah menggoda setengah serius.
"Maksud kamu...." Raya masih tak mengerti dengan apa yang dikatakan El.
"Maksud aku...." El mendekatkan bibirnya ke bibir Raya.
Lalu.... Cup Ciuman singkat membuat Raya terperanjat kaget bukan main. Matanya membulat bahkan ia menelan ludah salah tingkah. Pipinya berdesir malu. Ini pertama kalinya
ia ciuman. Dan yang terpenting, ciuman pertamanya diambil oleh suaminya sendiri.
"Ih kamu mah buat aku kaget," ucap Raya sedikit terbata-bata.
El tersenyum lebar lalu terkikik melihat istrinya kikuk dibuatnya. "Aku udah nggak sabar soalnya."
"Nggak sabar apa?" Lagi-lagi Raya tak mengerti.
"Nggak sabar nungguin kamu-lah!" ujar El setengah emosi karena istrinya tak kunjung peka terhadap apa yang ia inginkan sejak akad nikah dinyatakan sah
tadi pagi. "Nungguin aku?"
Tanpa bicara, El langsung menarik pinggang istrinya lalu menatap tajam Raya hingga membuat Raya mengerti apa yang diinginkannya. Mereka berdua pun sepakat
mematikan lampu. THE END ALIAS TAMAT *****?"?"?"*****
Extra Chapter [Author pov] EPILOG Mata Raya melebar ketika melihat dua garis di test pack yang baru saja ia celupkan ke air seninya. Senyumnya mengembang lalu ia jingkrak-jingkrak kegirangan
di dalam kamar mandi. Ia positif hamil setelah baru 3 minggu menikah dengan El.
"Ngapain kamu senyum-senyum kayak gitu?" El yang tiba-tiba masuk ke dalam kamar mandi membuat Raya gelagapan menyembunyikan test pack nya.
"Orang senyum emangnya nggak boleh?" tanya Raya nyolot.
"Ya ... nggak apa-apa sih," kata El santai.
Raya mengedikkan bahunya lalu menepuk-nepuk pipinya di depan cermin, hatinya sangat bahagia, tapi ia belum bisa memberitahu El tentang kabar baik kehamilannya.
"Kamu nggak lupa ulang tahunku nanti malam kan?" tanya El sambil memeluk Raya dari belakang, melingkarkan tangannya, dan menyandarkan dagunya di pundak
istrinya. "Ya nggak mungkinlah aku lupa. Kamu ingetin aku tiap hari. Mana pungkin aku lupa." Raya menimpali.
"Kamu kasih aku apa nanti?"
"Kado spesial. Kado yang nggak bisa dibeli di manapun." Raya membalikkan tubuhnya lalu melingkarkan tangannya di leher suaminya.
Dahi El berkerut, ia sungguh dibuat penasaran. "Nggak bisa dibeli di manapun" Kamu buat sendiri?" El bertanya-tanya.
Raya menggeleng. "Aku nggak bisa buat sendirian. Aku dibantu seseorang bikinnya."
"Siapa yang bantu kamu?"
"Ada deh. Entar jam duabelas, kamu pasti tau sendiri. Aku akan berikan kadonya jam duabelas malam nanti."
El tersenyum lalu ia memeluk erat istrinya. "Aku nggak sabar."
Tak terasa sudah dua jam sejak percakapan antara Raya dan El di kamar mandi. Sedari tadi El selalu melirik jam dinding dan berharap jam duabelas akan segera
tiba. Raya masih berkutat di dapur untuk menyiapkan kue tar yang tadi sore ia pesan. Tak lupa juga ia memasang lilin untuk dinyalakan nanti.
"Sayang," panggil El yang duduk di hadapan beberapa hidangan yang tersaji di atas meja makan.
"Hm?" sahut Raya sembari terus menyiapkan hidangan.
"Apa kamu nggak bisa kasih kadonya sekarang aja?"
Raya tercekat, alisnya terangkat, lalu ia melirik sekilas jam dinding yang tergantung kemudian ia terkekeh.
"Kok malah ketawa sih?" tanya El heran.
"Kamu mah kayak anak kecil aja yang nggak sabar nunggu buka puasa. Jam duabelas mah cuma tinggal 1 jam lagi, Mas Bara," jelas Raya lalu terkikik.
El menghela napas kecewa ketika Raya menolak untuk memberikan kadonya sekarang.
"Eh ngomong-ngomong, aku masih risih lho, panggil kamu dengan sebutan Mas," jelas Raya blak-blakan. "Aku ngerasa aneh aja. Apa sebaiknya aku panggil kamu
seperti saat kita pacaran dulu?"
"Nggak boleh. Aku suka panggilan Mas Bara atau sayang soalnya. Kamu ngerasa risih soalnya belum terbiasa."
"Emangnya kamu nggak risih?" Kali ini Raya duduk berhadapan dengan El.
"Aku nggak risih. Aku hanya merasa sedikit aneh."
"Itu mah sama aja!"
Mereka pun bercakap-cakap sampai larut malam, dan tak terasa, jam duabelas yang dinantikan El datang juga hingga membuatnya terperangah senang.
"Mana?" El menengadahkan tangannya ke arah Raya. "Mana kadoku?"
Raya mengeluarkan test pack yang sengaja ia bungkus dengan kertas kado, membuat dahi El berkernyit heran saat menerimanya.
"Kamu nggak mau nyalain lilin terus tiup lilin dulu?" tanya Raya ketika melihat suaminya antusias membuka kertas kado.
El tidak menghiraukan ucapan Raya. Ia tak berhenti dan dalam sekejap ia mengetahui apa yang diberikan Raya untuknya. Matanya membulat senang. Sementara
mulutnya menganga tak percaya.
"Kamu... kamu hamil?" tanya El dengan senyuman lebar.
Raya mengangguk. "Berapa bulan?" tanya El lagi. Ia lupa kalau usia pernikahannya dengan Raya masih 3 minggu.
Raya terkekeh. "Kamu mah ada-ada aja. Belom ada 1 bulan kita nikah, masa' kamu udah tanya berapa bulan sih?"
"Oh iya aku lupa."
"Mungkin usia bayi kita masih dua minggu."
El tiba-tiba bergerak, beralih duduk berjongkok di lantai lalu menempelkan telinganya ke perut Raya. "Halo" Apa kamu denger Papa?"
Raya terkekeh lalu menepuk ringan punggung suaminya. "Kamu mah alay. Bayi kita itu masih sebiji jagung. Mana bisa mendengar."
"Aku terlalu senang sih." El mendongak, menatap istrinya penuh cinta.
Raya hanya terkekeh, ia menatap suaminya juga dengan penuh cinta.
"Kita buat anak tujuh, ya?" ajak El.
"Tujuh?" kata Raya kaget.
"Tujuh atau delapan. Yang jelas jangan di bawah lima."
"Kenapa kamu pengen punya anak banyak?"
"Biar rumah kita rame."
"Aku nggak mau ah. Emangnya kamu pikir melahirkan anak itu gampang, kayak garuk upil?"
Kali ini El yang terkekeh. "Tapi kamu kan istri aku. Kamu harus nurutin apa kemauan aku."
"Ih nyebelin." *** Tengah malam Raya terbangun, memiringkan tubuhnya ke samping kanan lalu ke kiri. Ia tidak bisa tidur karena ia menginginkan sesuatu. Namun ia tak berani
membangunkan suamianya yang tertidur pulas. Tapi ia sudah tidak tahan lagi. Ia sangat menginginkan sesuatu untuk dimakan. Ya! Dia ngidam.
"Mas." Akhirnya Raya menyerah dan memutuskan untuk membangunkan El. "Mas?"
"Hm?" El setengah mengigau.
"Aku nggak bisa tidur nih." Raya mengoyak-ngoyak bahu suaminya. "Aku pengen makan kepiting."
El mencoba membuka matanya. "Makan kepiting?"
"Iya. Kayaknya aku ngidam deh."
"Ngidam?" "Ya udah. Aku akan telfonin chef Wira agar bikinin kamu kepiting."
Setelah El menelpon chef Wira, salah satu chef ternama di Jakarta, tak lama kemudian sepiring kepiting datang diantar oleh seorang kurir. Dengan lahap,
Raya tanpa malu menyantap sepiring kepiting tersebut.
"Mas?" kata Raya setelah menghabiskan sepiring kepiting di atas meja makan.
"Hm?" sahut El dengan mata setengah mengatup.
"Aku tiba-tiba pengen makan nasi goreng buatan kamu."
Mata El melebar. "Nasi goreng buatanku?"
Raya mengangguk. "Kamu masih belum kenyang setelah makan kepiting sebanyak itu?" tanya El keheranan.
"Aku masih belom kenyang." Raya meringis malu.
Apa boleh buat" El hanya bisa menuruti kemauan istrinya yang tengah mengandung anak pertama. Lagipula, ia sangat takut terjadi apa-apa dengan bayinya.
Oleh karena itu, apa pun yang diinginkan Raya, sebisa mungkin ia memberikan fasilitas yang terbaik.
*** Waktu berjalan begitu cepat. Usia kandungan Raya sudah menginjak bulan ketujuh. Tapi Raya belum sempat USG karena setiap kali ia sudah janjian dengan dokter
spesialis kandungan, El tidak bisa mengantarkannya karena banyak urusan kantor. Dan jika Raya memaksa pergi sendiri, El melarangnya karena El ingin mengantar
istrinya USG. Dan saat ini, saat usia kandungan Raya menginjak bulan kedelapan, El baru punya waktu untuk menemani Raya ke dokter.
"Kira-kira, anak kita cewek atau cowok ya?" tanya Raya iseng ketika berjalan beriringan bersama El menuju ruangan dokter.
"Cewek cowok nggak masalah. Yang penting sehat. Tapi aku sih pengennya cowok biar bisa ngelanjutin perusahaan," jawab El.
Tok tok tok "Masuk!" suruh seorang wanita dari dalam ruangan.
Raya pun segera membuka pintu lalu masuk ke dalam ruangan bersama suaminya. Kemudian, setelah berbasa-basi sedikit dengan dokter Melinda, Raya pun menjalani
beberapa macam pemeriksaan.
"Selamat, Pak," dokter melihat El lalu mengalihkan pandangannya ke Raya. "Selamat, Bu. Anak anda laki-laki kembar."
"Kembar?" Raya melirik layar USG dengan mata melebar senang. "Jadi, selama ini ada dua bayi di dalam perutku?"
"Usia kehamilan 8 bulan. Kalau boleh tahu, berapa usia pernikahan anda?"
"Delapan bulan."
"Cepet ya" Berarti anda dan suami subur sekali."
"Gimana mau nggak cepet, dok" Lha dia minta jatah tiap malem."
Dokter Melinda terkikik menahan tawa. Sementara El hanya tersenyum malu sambil menggaruk tengkuknya yang tak terasa gatal.
*** Sore itu, di depan teras, El meletakkan kepalanya di atas pangkuan Raya. Dia menikmati sore indah bersama istrinya yang tentu saja sangat ia cintai.
"Mas?" ucap Raya sambil mengelus-elus rambut suaminya.
"Hm?" sahut El.
"Ngomong-ngomong, kita belom bikin nama buat anak kita lho."
"Terserah kamu aja mau ngasih nama apa."
"Jangan terserah aku, Mas. Entar anak kita, aku namai Jono dan Lono baru tau rasa kamu!"
El terkikik gemas. Ia selalu bisa tertawa jika bersama istrinya. "Jono dan Lono?"
"Terus apa dong?"
"Cari saja di google."
"Ih kamu mah gitu!" Raya mengerucutkan bibirnya. "Entar aku kasih nama Tuyul dan Mbak Yul baru tau rasa kamu!"
Lagi, El terkikik. "Kamu jangan ketawa-ketawa aja. Mikir dong!"
El mulai mengulum tawa lalu berpikir. "Yang jelas, nama belakang anak-anak kita kelak harus Albara, gabungan Aldric dan Bara."
Raya mengangguk setuju. "Iya. Nama yang bagus tuh!"
Waktu semakin lama semakin cepat berlalu. Raya pun melahirkan dua orang putra yang sangat tampan yang ia namai Arlandinand Albara dan Ezra Albara. Hidup
mereka terasa sudah lengkap dengan kehadiran 2 orang putra.
"Bagaimana" Si kembar sudah tidur belom?" tanya El ketika Raya memasuki kamar.
Raya mengangguk. "Iya. Baru saja mereka tidur."
El menghela napas lega mendengar itu. Bagaimana tidak" Waktunya bersama Raya harus berkurang karena ada si kembar.
"Mereka sangat lucu, Mas." Raya terkekeh.
El hanya diam lalu tiba-tiba ia menarik lengan Raya hingga Raya terduduk di sampingnya. Ia pun bersiap dan mendekatkan bibirnya ke bibir istrinya. Raya
pun demikian. Ia juga bersiap dengan memejamkan kedua bola matanya. Namun, sebelum bibir mereka benar-benar bertemu, suara tangis dua anak manusia tiba-tiba
saling bersahutan, membuat Raya dan El mengurungkan aktivitasnya.
"Gimana" Masih pengen punya anak tujuh?" goda Raya.
"Enggak. Aku tarik kata-kataku. Mungkin dua anak cukup."
Raya terkekeh. Lalu El juga ikut terkekeh bersama istrinya.
"Tapi..." ucap Raya tiba-tiba.
"Tapi apa?" "Tapi kayaknya aku hamil lagi deh."
Alis El terangkat. "Hamil lagi?" tanya El terperangah senang lalu mengelus perut istrinya.
Raya mengangguk. "Tapi kamunya pengen dua anak."
"Siapa bilang dua anak" Sejak awal kan aku pengen tujuh anak."
"Ah kamu mah plin plan!"
"Sudah sudah." El mengacak gemas rambut istrinya. "Temui si kembar. Dan susui mereka."
Raya mengangguk lalu keluar kamar. Sedangkan El masih tak bisa berhenti tersenyum. Menikah dengan orang yang ia cintai, dikaruniai banyak anak, dan tentu
saja kekayaan yang berlimpah. Ia sangat bersyukur dengan apa yang diberikan Tuhan. Selamanya, akan ia jaga semua karunia itu.
*** Tiga Mutiara Mustika 2 Wiro Sableng 179 Delapan Sukma Merah Hilangnya Empu Baskara 1