Pencarian

Cewek Cetar Dua 5

Cewek Cetar Dua Karya Zaeemaazzahra Bagian 5


Kalau gue menyerah gitu aja hanya gara-gara presdir perusahaan ini adalah mantan gue 8 tahun lalu, itu sama saja gue adalah seorang pengecut dan tidak
pantas menyandang predikat salah satu arsitek terbaik di Indonesia.
"Raya, cepat maju ke depan dan presentasikan!" suruh Pak Bagas.
"Baik, Pak!" jawab gue masih bimbang.
Gue pun menggesser kursi gue sedikit ke belakang, kemudian berdiri. Rupanya El masih belum menyadari keberadaan gue. Dia masih melihat-lihat ipadnya. Sambil
menghela napas untuk menyiapkan mental, gue berjalan menuju podium presentasi.
"Baiklah. Sebelumnya saya ingin memperkenalkan diri dulu," kata gue sangat tegang tak seperti biasanya. Apa ini efek dari keberadaan El"
El masih fokus dengan layar ipadnya. Dia seolah nggak menghargai gue yang sedang presentasi di depan. Wajahnya terlihat lebih dingin dari El yang gue kenal
delapan tahun lalu. "Nama saya Soraya Aldric, saya adalah kepala arsitek dari PT. Bangun Mujur Sentosa," lanjut gue bertambah tegang.
El terhenti, tepat setelah gue menyebutkan nama. Ia langsung mengabaikan ipadnya dan menoleh ke arah gue yang berdiri di depan ruangan. Matanya melebar.
Ia tampak kaget dengan keberadaan gue.
Setelah berbasa-basi sebentar, gue pun mulai mempresentasikan rancangan proyek resort Bakti Jaya Indah. Selama gue presentasi tentang proyek pembangunan,
dia tampak fokus menatap wajah gue. Dia bahkan tak memperhatikan materi-materi yang gue sampaikan. Matanya tak berkedip sedikit pun. Dia tampak terpana.
"Sekian presentasi saya, terima kasih!" ucap gue ketika selesai presentasi.
Semua orang yang ada di ruangan bertepuk tangan sambil tersenyum kecuali El. Bola matanya terus saja mengikuti gerak-gerik gue. Emangnya muka gue tambah
aneh ya" Haaash! Gue jadi berpikiran yang tidak-tidak.
"Nona Soraya?" kata El tiba-tiba.
"Ya?" sahut gue kaku lalu menelan ludah.
"Setelah ini anda harus ke ruangan saya." El berdiri, memberikan ipadnya pada pria yang berada di belakangnya lalu memasukkan kedua tangannya dalam saku
celana. "Ba... baiklah!" jawab gue gugup. "Saya beserta tim saya akan segera ke ruangan anda." Gue menunjuk Anila dan Pak Bagas.
"Tidak! Saya hanya ingin anda ke ruangan saya tanpa tim."
"Ke..kenapa?" "Karena ada beberapa materi yang belum saya pahami dan ingin saya tanyakan pada anda. Bukankah anda kepala arsiteknya?"
Gue melihat ke arah Pak Bagas. Dia mendelik. Bahasa matanya seolah menyuruh gue untuk menuruti perintah El. Ya! Presiden Direktur Arvana Group memang terkenal
tegas dan mudah marah. Sedikit kesalahan saja, bisa-bisa proyek ini akan dibatalkan dan dia mungkin akan mencari kontraktor lain. Itulah sebabnya Pak Bagas
terlihat sangat takut kalau El akan membatalkan kerjasama ini.
"Baiklah, Pak," sahut gue enggan.
*** Dahi gue berkeringat dingin ketika gue memasuki sebuah ruangan yang cukup luas. Gue pun mengedarkan pandangan ke setiap sudut ruangan. Bola mata gue akhirnya
terhenti ketika melihat papan nama yang bertengger di atas meja, bertuliskan Direktur Utama Arvana Group, Elbara. Ya Tuhan, sayangnya dia cuma sekedar
mantan. "Silahkan duduk, nona Soraya!" ujar sekretaris El yang perempuan, namanya Davina. Gue tahu namanya setelah melihat name tag pegawai di jas hitamnya.
Gue berjalan menuju sebuah sofa kotak yang disusun mengelilingi sebuah meja kotak terbuat dari kaca. Kemudian gue pun duduk. El juga duduk. Dia mengambil
tempat duduk yang berhadapan sama gue.
"Davina, tolong siapkan kopi!" suruh El pada sekretarisnya.
"Baik, Pak," sahut wanita cantik berambut panjang sebahu itu.
Tak lama kemudian, Davina datang dengan membawa sebuah nampan dengan dua cangkir kopi. Dia langsung menyuguhkan secangkir kopi di hadapan gue dan secangkir
kopi di hadapan El. Sedangkan Daniel, sekretaris El yang satunya masih berdiri tegap di samping El seolah dia berperan ganda sebagai body guard sekaligus
sekretaris aja! Ya...kayak di pilem-pilem korea yang kerap gue tonton gitu.
"Davina," El melirik sebentar Davina. "Daniel," kemudian dia melihat ke arah Daniel.
"Iya, Pak!" sahut mereka bebarengan. Ciyeee ileh siapa tahu jodoh cuy tuh dua orang!
"Kalian boleh keluar. Jangan lupa tutup pintunya!"
"Baik, Pak!" What" Davina sama Daniel akan keluar meninggalkan gue sendirian" Dan membiarkan gue berdua-duan sama mantan gue satu ini" Emangnya El mau ngapain yak"
Pakek acara pintu ditutup segala lagi! Gila! Gila! Gila! Bisa-bisa hati gue melumer kena pesona pangeran korea nih! Waduuh! Gawat!
"Baik, Pak. Kita langsung saja!" ucap gue mencoba professional. "Bagian mana yang belum Bapak mengerti?" Gue memperlihatkan rancangan gue pada El.
"Semuanya," sahut El singkat tanpa tertarik melihat map rancangan yang gue sodorkan padanya.
Mulut gue menganga dengan mata membulat sejenak lalu menelan ludah. Gue pun tersenyum kecut. "Baik, Pak."
Sekitar setengah jam gue menjelaskan panjang kali lebar kali tinggi, tapi El terlihat tidak memperhatikan apa yang gue jelaskan. Ia malah fokus memandangi
muka gue. Dasar! Kalau dia bukan seorang presdir, pasti sudah gue tabok pakek highheels!
"Bapak, apa Bapak sudah mengerti?"
Dia tak menyahuti perkataan gue dan terus memandangi gue. Geram banget deh gue sama nih cogan satu! Gue pun melambai-lambaikan tangan ke matanya. Lamunannya
pun terpecah. "Maaf, saya belum mengerti semuanya. Bisa jelaskan lagi?" katanya dengan begitu enteng.
Gue menghela napas berat. Kemudian gue mengambil secankir kopi yang sudah dingin lalu meminumnya cepat. Tenggorokan gue sudah kering setelah menjelaskan
materi-materi selama setengah jam penuh tanpa henti.
Gue berdiri cepat lalu tersenyum miring. "Saya tidak mau menjelaskan lagi!"
Cukup sudah! Dia hanya mempermainkan gue saja! mentang-mentang dia seorang presdir dan gue hanya seorang arsitek yang akan dibayar olehnya, apa dia berhak
mempermainkan gue seperti ini" Dua kali gue ngomong nggak digubris. Besok-besok gue rekam aja! Biar dia bisa lihat seratus kali sampek puas. Gue pun melangkah
menuju pintu. Tapi... *****?"?"?"*****
Chapter 69 [Raya pov] Tapi... Tiba-tiba El menarik tangan gue dari belakang sebelum gue benar-benar memegang gagang pintu. Gue terhenti sejenak lalu dia membalikkan badan gue, menarik
pinggang gue hingga gue berada di pelukannya. Tentu saja gue meronta, mendorongnya sekuat tenaga agar menjauh dari gue. Tapi sia-sia saja! El malah memeluk
gue semakin erat dan menyandarkan dagunya ke bahu gue.
"Lima menit saja. Tidak bisakah kita seperti ini lima menit saja?" kata pria beraroma wangi ini.
Gue tercekat, tangan gue melemas. Rasanya ingin sekali membalas pelukan pria ini. Tapi, luka yang diberikannya delapan tahun lalu mencegah gue melakukan
itu. Ya! Masih teringat jelas dibenak gue bagaimana dia meninggalkan gue begitu saja tanpa permisi atau bahkan sekedar mengucapkan kata selamat tinggal.
"Akhirnya kau kutemukan!" tambahnya.
Gue mendorong tubuhnya menjauh, tapi dia kembali menarik pinggang gue dan membawa gue ke pelukannya lagi. Ya Tuhan, saya terperdaya.
"Aku nggak suka bau parfummu. Terlalu kuat."
Hellow! Sejak kapan lo punya hak buat mengomentari bau parfum gue, El" Gue masih terdiam di pelukannya. Pipi gue menempel di dada bidangnya yang terasa
hangat. Gue bahkan bisa mendengar degup jantungnya yang berdegup tak karuan. Ya Tuhan, apa dia masih mencintai saya"
"Kamu cantik!" Deg. Hati gue melompat seketika. Ingin rasanya gue jingkrak-jingkrak di atas kasur sambil berteriak 'YEEEY' sekeras-kerasnya. Tapi, dia hanyalah bagian
dari masa lalu gue. Dia meninggalkan gue sendirian delapan tahun lalu. Dia pergi entah ke mana. Dan sekarang" Dan sekarang dia ingin kembali" In your dream!
*** Ting Tung Ting Tung Bel apartemen gue berbunyi dengan nyaringnya. Dengan malas, gue berjalan menuju pintu dan membukanya. Betapa terkejutnya gue ketika melihat El sudah berdiri
di depan pintu. Gue dengan cepat menutup kembali pintu tapi tangan El menghentikan laju pintu yang satu centi lagi sudah berhasil gue tutup.
"Aku ke sini hanya ingin menjelaskan tentang alasan gue pergi delapan tahun yang lalu, Ray!" paparnya sambil menahan pintu.
"Nggak ada yang perlu dijelaskan! Pergi!" usir gue judes langsung menutup pintu sekuat tenaga. Yes! Gue berhasil!
"Jika kamu nggak mau mendengarnya, gue nggak akan maksa," ujar El dari balik pintu.
Gue menghela napas berat. Sulit sekali untuk memaafkannya yang telah meninggalkan gue delapan tahun yang lalu. Gue sadar kalau delapan tahun yang lalu
dia hanya selingkuhan gue. Tapi cinta gue ke dia sama besarnya dengan cinta gue ke Arsyaf. Melihatnya hilang tanpa kabar, membuat gue sakit hati. Setidaknya
itulah yang gue rasakan. *** "Apa" Lo ngusir El?" tanya Renan kaget, matanya melotot, hampir saja ludahnya muncrat ke muka gue.
Gue hanya manggut-manggut manyun.
"Gila lo! Seharusnya lo dengerin dulu penjelasannya! Jangan main usir gitu dong!" Renan duduk di sebuah ban truk yang berada di hadapan gue.
Ya! Renan kini menjadi seorang pemilik bengkel besar yang melayani service berbagai macam kendaraan, dari motor tukang gojek sampai mobil sport berharga
milyaran rupiah. Walaupun gue menghindari Arsyaf dan El, tapi gue tidak bisa menghindari Renan. Dia sahabat gue sejak TK. Setelah gue lulus dari Jepang, gue sering mampir
ke bengkelnya. Kadang untuk service mobil, kadang hanya sekedar main, kadang hanya ingin ditemenin makan. Dia itu ibarat temen tapi rasa saudara.
"Ya mau bagaimana lagi, Ren" Gue udah terlanjur sakit hati sih!" sanggah gue membela diri.
Renan menghela napas panjang lalu garuk-garuk alis. "Gimana ya, Ray" Masak harus gue yang jelasin alasan mengapa El pergi?"
Dahi gue mengernyit. "Lo tau alasannya?"
"Sebenarnya delapan tahun lalu, Pak Suryabara mengancam El, putranya sendiri," papar Renan sambil memandang gue dengan tatapan yang begitu serius. "Kalau
El tidak mau ninggalin elo, maka Pak Suryabara akan membangkrutkan perusahaan bokap lo."
Mata gue langsung mendelik kaget. Mulut gue seketika terkunci tanpa kata. Tidak direstui" Bagaimana mungkin kehidupan gue mirip dengan sinetron-sinetron
murahan yang kerap gue tonton bersama Anila"
"Itulah sebabnya El pergi ke Singapura dan belajar bisnis untuk mengikuti semua kemauan bokapnya," lanjut Renan.
Gue tertunduk dengan muka lesu. Bagaimana mungkin El melakukan semua itu demi gue" Demi gue, dia rela pacaran sama cewek menjijikkan seperti Pamela. Dan
demi gue juga, dia bahkan rela melakukan apa yang ayahnya inginkan. Dan gue" Apa yang pernah gue lakukan demi El" Gue bahkan mengusirnya saat dia datang
berkunjung. Apa wanita seperti gue pantas untuk dicintai lelaki sebaik El"Aaaaarrrrggghhhh!
"Terus gue harus bagaimana dong?" tanya gue sambil menggigit bagian bawah bibir gue, takut ucapan gue membuat Renan marah.
"Yakali elo main usir anak orang sembarangan aja. Lain kali, pikir dulu kalau bertindak, Dodol!" omel cowok yang samar-samar bau oli itu.
"Ya... elo kasih saran apa kek!"
"Ogah! Pikir aja sendiri!" bentak Renan lalu beranjak pergi menuju sebuah mobil sport dan bersiap memperbaikinya.
Gue mengikutinya dari belakang lantas mengganggu aktivitasnya. "Lo kan sahabat gue dari kecil, masa' elo nggak mau kasih gue saran?"
"Din! Ambilin Oli!" teriak Renan pada salah satu pegawainya, mengabaikan segala ucapan gue.
"Apa dia akan minta balik sama gue ya?" cerocos gue. "Terus, kalau dia benci sama gue gara-gara gue usir gimana?"
Renan masih tak bicara. Ia asyik mengutak-atik mobil yang ada di hadapannya.
"Aduh gimana dong" Pasti El sekarang benci banget sama gue. Iya kan" Gue nggak bisa bayangin rasa sakit diusir sama cewek yang ia suka," tambah gue.
Renan terhenti, meletakkan alat yang tadi ia gunakan kembali ke dalam wadahnya. "Gini, Ray. Sekarang gue tanya sama lo. Apa elo yakin sama El?"
Gue mengangguk cepat. "Terus Arsyaf?" tanya Renan lagi.
"Gue ogah ah sama Arsyaf. Masa' gue mau pacaran sama orang yang sudah punya anak sih?" celetuk gue asal.
Alis Renan terangkat, sedangkan matanya melebar kaget. "Apa" Arsyaf sudah punya anak?"
O...ow. Gue keceplosan. "Anak siapa?" tambah Renan.
Gue pun tersenyum kecut. "Anaknya Lea. Anaknya udah gede lagi!"
"Jadi selama ini, ternyata Lea sudah punya anak?"
"Iya. Kayaknya dia sengaja merahasiakan anaknya dari Arsyaf deh."
"Pasti dia sangat terpukul, Ray."
"Terpukul?" Dahi gue berkernyit. "Lo kok belain dia?"
"Ray, sekarang lo pikir. Lea membesarkan anak sendirian tanpa suami bertahun-tahun. Apa lo pikir dia nggak terpukul dengan omongan orang?"
"Itu kan salahnya sendiri!" ucap gue ketus, egois.
"Malam itu Lea juga dalam pengaruh obat, Ray. Apalagi dia sejak SMP sudah suka sama Arsyaf."
Kali ini mata gue yang melebar kaget.
"Lea juga manusia, Ray. Gue nggak tau betapa tersiksanya dia selama ini. Yang jelas, dia juga korban dari perbuatan Zen dan Teo," lanjut Renan bijak.
"Tapi itu kan hanya obat. Bukankah seharusnya dia bisa menahan diri malam itu" Akalnya masih berfungsi dengan baik."
"Nggak semudah itu menahan nafsu, Raya. Apalagi yang meminta adalah orang yang dicintai."
"Terus aja belain Lea. Lama-lama gue jadi enek sama lo, Ren," kata gue ketus lalu beranjak pergi.
"Pikirkan apa yang gue bilang, Ray!" teriak Renan dari belakang. "Lea nggak sepenuhnya salah di sini. Elo harus belajar memaafkan."
*** Ting Tung Ting Tung Gue sudah mendapati El berdiri di depan pintu apartemen. Wajahnya tampak kaget ketika gue mempersilahkannya untuk masuk dan duduk. Gue bahkan membuatkannya
secangkir teh hangat. "Kenapa kamu tiba-tiba..." El tercekat.
"Maafkan aku, El. Maafkan aku karena telah mengusirmu tempo hari. Maafkan aku karena tidak mau mendengarkan penjelasanmu." Gue tertunduk.
Mata El sedikit melebar lalu dia mengangguk seolah mengerti. "Baiklah. Kalau begitu, apa sekarang aku bisa menjadi pacarmu lagi?"
Gue langsung mengangkat kepala, menatap El dengan penuh tanya. "Apa maksudmu, El?"
"Bukankah kita tidak pernah putus?"
"Jangan konyol kamu! Itu kan sudah delapan tahun yang lalu! Sudah basi!"
"Kalau begitu, ayo kita mulai dari awal lagi!"
"OGAH!" Tolak gue di mulut. Tapi di hati ingin dia memohon lagi.
El kemudian berpindah tempat duduk ke samping gue. Jantung gue tambah berdegup lebih kencang. Lalu dia mengelus-elus rambut gue sambil tersenyum. Waah!
Nih anak napa" Stress, Pak"
*****?"?"?"******
Chapter 70 [Elbara pov] Akhirnya Raya memaafkan gue setelah Renan menjelaskan kepadanya alasan mengapa gue pergi darinya delapan tahun lalu. Sebelumnya, Renan sudah menelpon gue
agar gue datang ke apartemen Raya. Dia seolah merestui hubungan kita berdua. Terima kasih, Ren! Gue janji nggak akan membuat Renan menyesal dengan keputusannya
untuk mendukung gue bersama Raya.
"Iiiih! Apaan sih!" Raya menampik tangan gue yang mengelus rambut halusnya.
Gue tersenyum senang ketika melihat pipinya memerah. Agar percakapan ini tidak terasa canggung, gue harus mencari topik lain. Gue pun mengedarkan pandangan.
Lalu mata gue tertuju pada sebuah laptop yang masih menyala di atas meja makan. Ya! Ruangan dapur, ruang tamu, dan ruang makan tidak ada sekat. Semuanya
dalam satu ruangan kecuali kamar tidur.
"Kamu ngerjain apa" Laptop kamu masih menyala!" Gue menunjuk ke arah laptop.
Dia menoleh ke arah meja makan. "Ooooh... Aku tadi mau ngerjain proyek bersama Arvana Group!"
"Benarkah?" Raya berjalan menuju meja makan, mengambil laptopnya, lalu kembali duduk di sebelah gue. Kemudian dia menunjukkan hasil rancangannya pada gue.
"Gimana menurutmu?" tanyanya penuh semangat.
Gue melirik sebentar layar laptopnya lalu mengangguk pelan. "Bagus!"
"Baguslah kalau kamu suka!" Dia tersenyum manis.
"Tapi, bisakah kamu menjelaskan konsep rancanganmu lagi?"
Mata Raya terbelalak. "Apa?" mulutnya menganga.
"Ya maaf. Kemarin aku nggak mendengarkan penjelasanmu."
"Kenapa?" tanyanya melotot.
"Ya wajar dong! Aku memperhatikan orangnya bukan materi presentasinya. Aku nggak melihat kamu selama delapan tahun lho!"
Dia mendengus kesal. "Baiklah kalau begitu. Aku akan menjelaskannya satu kali lagi. Tapi kali ini kamu harus mendengarkannya baik-baik. Awas kalau kamu
masih belum paham!" "Siap, Bos!" gue meringis senang.
Tak terasa sudah setengah jam dia menjelaskan panjang lebar pada gue. Rancangannya benar-benar bagus! Wajar saja kalau dia menyandang predikat arsitek
terbaik di perusahaannya.
"Raya, aku laper nih." Gue memegang perut gue sendiri.
"Laper" Aku juga laper sih." Raya memegang perutnya juga. "Ya udah! Kita pesan pizza aja."
"Nggak mau ah!" Tolak gue spontan. "Aku mau makan masakan kamu," kata gue manja.
"Ha?" Dia terpental kaget.
*** "Masak apa nih?" Raya tampak kebingungan ketika dia melihat-lihat isi kulkasnya. "Di sini cuma ada ayam, daging, dan sayur-sayuran."
Gue berdiri di belakang Raya sambil melipat tangan. "Ya itu bisa dimasak."
"Tapi aku nggak bisa masak." Dia menggelengkan kepalanya. Kemudian berbalik ke arah gue. "Gimana kalau kamu aja yang masak" Kamu kan pinter masak."
"Tapi aku kan tamu. Emangnya ada tamu disuruh masak sendiri?" omel gue mengulum tawa.
"Emangnya ada ya, tamu minta makan duluan" Dasar tamu rewel!"
"Dasar tuan rumah nggak peka!"
"Terus gimana" Aku hanya bisa masak mie instan doang. Itu pun kadang jadi kadang nggak jadi." Raya mengerucutkan bibir.
"Ya udah masak aja! Nanti aku beri instruksi kapan harus mengangkat mienya."
Dia pun menghentak-hentakkan kakinya kesal, mengambil dua bungkus mie kuah dari dalam laci, menyiapkan air ke panci, lalu menaruh panci tersebut ke atas
kompor. Kemudian ia membuka bungkus mie instannya dan hendak memasukkan mie instan tersebut ke dalam panci.
"Eh eh!" gue menghentikannya. "Nyalakan dulu kompornya!"
Dia meringis malu. "Maap, Pak! Lupa, Pak!" Dia gelagapan menyalakan kompor.
Gue hanya bisa geleng-geleng kepala sambil tertawa kecil. Apa wanita ini yang akan menjadi istri gue kelak" Masak mie instan saja ia tidak bisa. Dan harus
ada yang memberikan instruksi. Hehehe dasar Tong Sam Cong lucu! Gue pun tiba-tiba memeluknya dari belakang karena merasa gemas. Dia sontak terlonjak kaget
dan mencoba melepaskan tangan gue yang melingkar di pinggang langsingnya.
"Lima menit. Lima menit saja, please!" pinta gue sambil menyandarkan dagu gue di pundak kanannya.
Dia kemudian berhenti memberontak. "Kalau kamu kayak gini, bagaimana bisa aku memasak, El?"
Gue nggak menghiraukan pertanyaannya. Gue malah membau pundak kanannya dengan mata terpejam. Inilah aroma yang gue cari-cari selama ini! Aroma tubuh Raya
delapan tahun yang lalu. Aroma yang sama persis dengan aroma mama gue. Tidak bau dan tidak wangi! Tapi sedap. Baunya seperti bau pakaian kering yang baru
saja diangkat dari jemuran.
"Raya ayo kita maka bersama-sa...." Seorang perempuan mematung di dekat pintu dengan mata terbelalak lebar.
Raya langsung melepaskan tangan gue dari pinggangnya. "Anila?" sapanya kaget.
"Pak Bara?" perempuan yang bernama Anila itu menunjuk ke arah gue. Dia adalah rekan Raya dalam proyek pembangunan resort Bakti Jaya Indah di Bali.
"Anila, gue bisa jelasin semua ini," papar Raya panik. "Ini semua nggak seperti yang elo lihat barusan. Emmm...."
"Gue ngerti kok, Ray!" Anila meletakkan sekotak pizza di atas meja. "Ini pizzanya! Lo bisa makan bareng sama Pak Bara! Good job! Good job!" ujarnya sambil
mengedipkan sebelah matanya pada Raya.
"Gila lo!" tukas Raya. "Lo mau ke mana?"
"Ke mana saja asal nggak ganggu kalian berdua!" Anila bergegas memakai sepatunya dan keluar pintu apartemen.
Raya langsung mematikan kompor dan berlari mengejar Anila. Gue mengikutinya dari belakang.
"ANILA! ANILA! BALIK NGGAK?" teriak Raya sekuat tenaga.
Anila sama sekali tak menghiraukan teriakan Raya. Ia malah berlari senang menuju lift. Syukurlah kalau Raya mempunyai roommate peka seperti Anila. Jadi,
gue bisa lebih lama dan leluasa berdua-duaan bersama Raya.
*** Gue menatap horor mie instan lembek yang ada di hadapan gue. Lalu gue tertawa ringan. Raya hanya cemberut sambil melipat tangan.
"Jangan ketawa gitu dong!" larangnya.
"Tenang aja! Apa pun masakan kamu, pasti aku makan kok." Gue mulai menyendok kuah mie instan yang ada di hadapan gue.
Raya tiba-tiba menghentikan gue. "Jangan! Nanti kamu keracunan! Mendingan, kita makan pizza aja."
"Nggak mau. Aku mau makan masakan kamu. Titik!" sanggah gue lalu menyeruput sesendok kuah mie instan buatan Raya.
Tak Tak Tak. Tiba-tiba terdengar suara aneh dari arah pintu. Gue dan Raya pun beranjak menuju pintu. Raya kemudian mencoba membuka pintu apartemennya tapi
tidak bisa. "Ha" Kenapa tidak bisa dibuka?" tanya Raya sembari terus menaik turunkan gagang pintu.
"Biar kucoba." Gue menggantikan Raya menaik turunkan gagang pintu tapi tetap saja tidak bisa.
"SELAMAT BERMALAM BERSAMA." Terdengar suara teriakan Anila dari luar pintu. "TOLONG BUATIN DEDEK BAYI YANG LUCU YA HAHAHAHA"
"ANILA! KURANG AJAR LO! BUKAIN NGGAK?" Teriak Raya marah.
"OGAH! GUA MAU NYABUT KUTUKAN JOMBLO YANG ADA PADA DIRI LO, RAY!"
"GUE PECAT LO ENTAR! LO LUPA KALAU GUE ATASAN LO?"
"BIARIN GUE DIPECAT! YANG PENTING SAHABAT GUE CEPET NIKAH HAHAHA....."
"BUKAIN NGGAK" MASIH BELOM MUHRIM OY! KAGAK BOLEH BEDUAN!"
"UDAH YA...BYEE.....HAHAHA" Suara tawa Anila terdengar semakin menjauh pergi.
Raya mendengus kesal. "Gimana ini, El?" tanyanya tampak kebingungan.
Gue mengangkat bahu berpura-pura bodoh seolah tidak tahu apa yang harus gue lakukan. Padahal gue bisa saja menelpon Davina atau Daniel agar mencari tukang
kunci untuk membereskan masalah ini.
"Anila itu punya keahlian mengutak-atik kunci. Kalau pintu apartemen ini nggak bisa dibuka, terus kamu gimana" Kamu nggak bisa pulang dong"!" Raya menggaruk-garuk
rambutnya. Gue kembali mengangkat bahu. Ya! Inilah yang gue inginkan. Berdua bersama Raya dalam satu atap.
"Pikirkan sesuatu dong, El!" kata Raya panik sambil mengoyak lengan gue. "Kamu kenal tukang kunci nggak?"
Gue hanya menggeleng sambil mengulum tawa.
"Terus, kamu tidur di mana?" tanya Raya panik.
Gue hanya mengangkat bahu.
"El, kamu kan bisa ngomong. Pakek mulut dong! Jangan gestur doang! Nggak ada perubahannya ya... Nih orang," tegur Raya bawel.
"Ya udah deh. Aku tidur di sofa," ucap gue. "Dan kamu tidur di kamar."
"Nggak apa-apa nih?"
Gue mengangguk.

Cewek Cetar Dua Karya Zaeemaazzahra di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tuh kan! Nggak pakek ngomong lagi!" tegurnya lagi. "Mending aku ngomong sama orang gila walaupun nggak nyambung tapi tetep jawab. Lha daripada sama kamu?"
omelnya manja. Gue terkekeh sambil mencubit gemas pipi Raya. "Ya udah. Aku janji akan jadi lebih cerewet asalkan kita balikan."
"Balikan?" Alis Raya terangkat.
Gue mengangguk. "Iya. Balikan."
"Terus, papa kamu?"
"Papaku nggak merestui hubungan kita karena dia masih belum mengenal dirimu, Raya. Kapan-kapan... Aku akan mengenalkannya padamu."
"Ha?" Mulut gue menganga. "Tapi aku kan cuma rekan bisnis di perusahaanmu."
"Ya ampun!" Gue kembali mencubit gemas pipi Raya. "Aku kan sudah bilang kalau kita nggak pernah putus."
"Iiih apaan sih?" kata Raya manja sambil menyingkirkan tangan gue dari pipinya.
"Sekarang aku tanya, apa di antara kita ada yang pernah mengatakan putus?"
Raya menggeleng malu. "Ya udah. Mulai sekarang kita pacaran."
"Kamu aneh deh! Masa' ada orang yang delapan tahun nggak ada kabar tiba-tiba datang dan langsung ingin pacaran"! Setidaknya PDKT dulu kek atau apa... gitu."
"Kita ini sudah berumur 26 tahun. Sudah nggak ada waktu untuk PDKT. Jadi kita langsung pacaran aja terus nikah. Apa kita langsung nikah aja?" papar gue
sedikit ngotot. "Nggak mau ah! Aku maunya kita temenan dulu."
"Ya udah kalau kamu nggak mau pacaran sama aku, aku bakalan kasih tau ke semua orang yang ada di perusahaan kalau kamu itu mantan aku. Mau?"
"Kok kamu ngancam gitu sih?"
"Habisnya..." "Ya udah. Kita pacaran. Tapi pacaran sehat dan back street," potong Raya cepat.
"What?" ucap gue kaget. "Kalau pacaran sehat sih, it's okay. Tapi kalau backstreet, aku nggak mau."
"Aku tuh mau menjaga profesionalitas kita di depan karyawan yang lain. Setelah proyek pembangunan resort selesai, kita boleh tuh nggak back street."
Gue mengangguk mengiyakan sambil tersenyum gemas. "Ditinggal delapan tahun, ternyata kamu tambah pinter ya." Gue terkekeh.
Raya ikut terkekeh. Kemudian kami memakan mie instan dan pizza bersama sambil sesekali membahas proyek pembangunan resort. Gue rasanya semakin cinta sama
dia. Pengetahuannya begitu luas. Apa pun yang ia katakannya, tidak pernah membuat gue bosan. Gue akan pastikan kalau dia akan menjadi milik gue seorang.
*****?"?"?"******
"OGAH! GUA MAU NYABUT KUTUKAN JOMBLO YANG ADA PADA DIRI LO, RAY!"
"GUE PECAT LO ENTAR! LO LUPA KALAU GUE ATASAN LO?"
"BIARIN GUE DIPECAT! YANG PENTING SAHABAT GUE CEPET NIKAH HAHAHA....."
"BUKAIN NGGAK" MASIH BELOM MUHRIM OY! KAGAK BOLEH BEDUAN!"
"UDAH YA...BYEE.....HAHAHA" Suara tawa Anila terdengar semakin menjauh pergi.
Raya mendengus kesal. "Gimana ini, El?" tanyanya tampak kebingungan.
Gue mengangkat bahu berpura-pura bodoh seolah tidak tahu apa yang harus gue lakukan. Padahal gue bisa saja menelpon Davina atau Daniel agar mencari tukang
kunci untuk membereskan masalah ini.
"Anila itu punya keahlian mengutak-atik kunci. Kalau pintu apartemen ini nggak bisa dibuka, terus kamu gimana" Kamu nggak bisa pulang dong"!" Raya menggaruk-garuk
rambutnya. Gue kembali mengangkat bahu. Ya! Inilah yang gue inginkan. Berdua bersama Raya dalam satu atap.
"Pikirkan sesuatu dong, El!" kata Raya panik sambil mengoyak lengan gue. "Kamu kenal tukang kunci nggak?"
Gue hanya menggeleng sambil mengulum tawa.
"Terus, kamu tidur di mana?" tanya Raya panik.
Gue hanya mengangkat bahu.
"El, kamu kan bisa ngomong. Pakek mulut dong! Jangan gestur doang! Nggak ada perubahannya ya... Nih orang," tegur Raya bawel.
"Ya udah deh. Aku tidur di sofa," ucap gue. "Dan kamu tidur di kamar."
"Nggak apa-apa nih?"
Gue mengangguk. "Tuh kan! Nggak pakek ngomong lagi!" tegurnya lagi. "Mending aku ngomong sama orang gila walaupun nggak nyambung tapi tetep jawab. Lha daripada sama kamu?"
omelnya manja. Gue terkekeh sambil mencubit gemas pipi Raya. "Ya udah. Aku janji akan jadi lebih cerewet asalkan kita balikan."
"Balikan?" Alis Raya terangkat.
Gue mengangguk. "Iya. Balikan."
"Terus, papa kamu?"
"Papaku nggak merestui hubungan kita karena dia masih belum mengenal dirimu, Raya. Kapan-kapan... Aku akan mengenalkannya padamu."
"Ha?" Mulut gue menganga. "Tapi aku kan cuma rekan bisnis di perusahaanmu."
"Ya ampun!" Gue kembali mencubit gemas pipi Raya. "Aku kan sudah bilang kalau kita nggak pernah putus."
"Iiih apaan sih?" kata Raya manja sambil menyingkirkan tangan gue dari pipinya.
"Sekarang aku tanya, apa di antara kita ada yang pernah mengatakan putus?"
Raya menggeleng malu. "Ya udah. Mulai sekarang kita pacaran."
"Kamu aneh deh! Masa' ada orang yang delapan tahun nggak ada kabar tiba-tiba datang dan langsung ingin pacaran"! Setidaknya PDKT dulu kek atau apa... gitu."
"Kita ini sudah berumur 26 tahun. Sudah nggak ada waktu untuk PDKT. Jadi kita langsung pacaran aja terus nikah. Apa kita langsung nikah aja?" papar gue
sedikit ngotot. "Nggak mau ah! Aku maunya kita temenan dulu."
"Ya udah kalau kamu nggak mau pacaran sama aku, aku bakalan kasih tau ke semua orang yang ada di perusahaan kalau kamu itu mantan aku. Mau?"
"Kok kamu ngancam gitu sih?"
"Habisnya..." "Ya udah. Kita pacaran. Tapi pacaran sehat dan back street," potong Raya cepat.
"What?" ucap gue kaget. "Kalau pacaran sehat sih, it's okay. Tapi kalau backstreet, aku nggak mau."
"Aku tuh mau menjaga profesionalitas kita di depan karyawan yang lain. Setelah proyek pembangunan resort selesai, kita boleh tuh nggak back street."
Gue mengangguk mengiyakan sambil tersenyum gemas. "Ditinggal delapan tahun, ternyata kamu tambah pinter ya." Gue terkekeh.
Raya ikut terkekeh. Kemudian kami memakan mie instan dan pizza bersama sambil sesekali membahas proyek pembangunan resort. Gue rasanya semakin cinta sama
dia. Pengetahuannya begitu luas. Apa pun yang ia katakannya, tidak pernah membuat gue bosan. Gue akan pastikan kalau dia akan menjadi milik gue seorang.
*****?"?" ?"****** 15. Chapter 71-75 Chapter 71 [Author pov] Lama sekali Raya dan El berbincang-bincang. Mulai dari membahas proyek pembangunan resort, masa-masa kuliah, sampai mengenang masa-sama SMA. Tak terasa
sudah jam 12 malam lebih. Raya mulai mengantuk. Ia sudah menguap beberapa kali sedari tadi.
"Udah. Kamu tidur aja di kamar. Jangan sampai, besok kamu terlambat kerja," kata El sambil mengelus-elus rambut Raya.
"Ya udah. Aku mau tidur dulu ya," pamit Raya sambil berdiri lalu berjalan menuju kamar.
El tersenyum gemas melihat pacarnya yang berjalan gontai menuju kamar karena mengantuk. Setelah Raya benar-benar menutup pintu, dia pun bergegas membaringkan
tubuhnya di atas sofa. Sayup-sayup ia melihat langit-langit ruangan tengah lalu matanya terpejam, tidur.
Diam-diam, dengan langkah pelan, Raya keluar dari kamarnya sambil membawa selimut dan bantal. Perlahan ia mendekati El, meletakkan selimut di atas meja,
lalu dengan hati-hati menaruh bantal di bawah kepala El. Raya sempat kaget ketika El menggeliat memposisikan diri. Tapi ia dapat menghela napas lega saat
melihat mata El masih terpejam. Untung saja ia tidak membangunkan El. Raya pun melanjutkan aktivitasnya. Ia kemudian menata selimut di atas sekujur tubuh
El sampai dada, tidak sampai kepala, nanti dikira orang mati, pikirnya.
Setelah selesai, Raya kembali ke kamarnya dan menutup pintu. Tak lupa juga ia mengunci pintunya rapat-rapat. Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi
selanjutnya, pikirnya hati-hati. Sementara itu, di atas sofa, El hanya bisa tersenyum senang mendapati Raya yang begitu perhatian terhadapnya. Rupanya
dia sedari tadi hanya berpura-pura tertidur.
*** Sambil mengucek mata, Raya keluar dari kamar. Samar-samar ia sudah melihat El berkutat di dapur. Matanya melebar, dengan setengah berlari ia menghampiri
El. "Buat apa, Beb?" tanya Raya sambil membau aroma sedap yang semerbak memenuhi apartemennya.
"Beb?" Dahi El berkernyit heran. Seingatnya, Raya tidak pernah memanggilnya sayang, beb, atau yang semacamnya.
"Ooo ... kamu nggak mau aku panggil beb?"
"Mau kok." Entah mengapa tiba-tiba El merasa terganggu dengan keberadaan Raya yang berdiri di sampingnya sambil memperhatikan gerak-geriknya. Ia salah tingkah hingga
ia sempat salah mengambil garam. Ia pun segera mematikan kompornya, berbalik dan menatap Raya tajam, lalu mengangkat tubuh Raya kemudian mendudukkannya
di atas meja dapur bersih yang tentu saja hal itu membuat Raya terkejut.
"Jangan memperhatikanku seperti tadi!" kata El sambil meletakkan kedua tangannya di atas meja, di samping paha Raya.
"Ke ... kenapa?" tanya Raya sedikit gugup. Ia tak pernah sedekat ini dengan El sebelumnya.
"Karena kamu mengganggu konsentrasiku."
"Ganggu?" Kening Raya berkernyit. "Ganggu itu kayak gini." Raya tiba-tiba mengalungkan kedua tangannya di leher El.
Mata El melebar. Jantungnya beritme semakin cepat. Matanya tertuju pada bibir Raya yang saat ini tengah mengembangkan senyuman manis. Rasanya ingin sekali
ia mendaratkan sebuah ciuman di bibir manis itu. Perlahan ia mendekatkan wajahnya, matanya mulai terpejam mengikuti suasana. Tapi ... matanya kembali terbuka
ketika Raya menghentikan laju bibirnya dengan jari telunjuk sebelum benar-benar mendarat ke bibir gadis berambut panjang itu.
"Ciumnya setelah nikah ajah," bisik Raya ke telinga El lalu meringis lucu.
El terkekeh malu, ciumannya ditolak mentah-mentah. Kesal memang. Tapi ia bisa memakluminya. Ia tidak ingin memaksakan keinginannya pada Raya. Jika Raya
tidak mau, ya sudah, tak jadi masalah baginya.
"Ya udah. Aku akan suruh Daniel memanggil tukang kunci dan penghulu sekalian. Biar kita bisa langsung nikah," goda El.
"Iiihh ... apaan cobak?" ucap Raya manja sembari mencubit pinggang El.
"Ouch!" El meringis kesakitan.
"Sekarang, turunin aku!"
El tersenyum lalu meletakkan kedua tangannya di pinggang Raya dan bersiap menurunkan gadis itu dari atas meja. Sudah delapan tahun Raya menjomblo. Ia ingin
memegang prinsipnya kembali, yaitu no kiss no secret affair. Dia sekarang bukan ABG labil yang mencintai dua orang dalam satu waktu. Dia sekarang menjelma
menjadi seorang wanita dewasa yang siap untuk berkomitmen dan menjaga prinsip yang telah ia buat sendiri.
*** [Author pov] Olivia menyiapkan beberapa jenis makanan di meja makan. Sementara Sam masih asyik sendiri dengan koran yang ia baca. Dengan senyum kecut, Olivia duduk
di samping Sam sambil memandangi lelaki itu dengan tatapan lesu.
"Kenapa kamu memandangiku seperti itu?" tanya Sam tiba-tiba, membuat Olivia terpental kaget.
"Aku hanya ingin tanya, kapan kamu menikahiku, Sam?" kata Olivia sedikit takut.
Sam menurunkan koran yang ia baca, melipatnya rapi, lalu ia taruh di tepi meja. "Aku tidak ingin membahas pernikahan, Olivia."
"Kenapa?" "Entahlah. Aku masih belum siap menikahimu."
Olivia menelan ludah, matanya berkaca-kaca menahan tangis, kemudian ia menghela napas kecewa. "Ya sudah. Ayo kita makan!" kata gadis itu seraya mulai menyiapkan
piring di hadapan Sam. Sam tertegun. Sejak Raya kembali ke Indonesia dan lost contact dengannya, ia merasa ada yang kosong. Dengan keahliannya di bidang IT, ia bisa menemukan
nomor telepon Raya dengan mudah. Sesekali ia menelpon Raya tanpa sepengetahuan Olivia. Entah mengapa mendengar suara Raya seolah menjadi candu baginya.
Dalam hatinya, ia sangat mencintai Olivia. Tapi ia juga tidak ingin kehilangan Raya. Ia bahkan meminta Rommy untuk memata-matai Raya di Indonesia. Seluruh
seluk beluk kehidupan Raya, ia tahu. Hatinya bahkan kadang-kadang terasa nyeri ketika Rommy mengirim foto Raya bersama dengan Renan. Lantas, pertanda apakah
itu" Apa dia mencintai Raya"
*** Sore itu, Olivia mengemasi barang-barangnya dari dalam lemari dan memasukkannya ke dalam koper. Sebelum Sam datang, ia harus pergi secepatnya. Ia merasa
sudah tidak kuat lagi hidup bersama Sam. Tanpa ikatan yang jelas, hubungannya dengan Sam hanya sebatas bualan semata.
"Kamu mau ke mana?" tanya Sam yang tiba-tiba membuka pintu kamar.
Olivia terpental kaget. Tidak biasanya Sam pulang jam segini, batinnya. Sam selalu pulang malam, kadang-kadang juga tidak pulang. Sam adalah sosok lelaki
penggila kerja, seakan-akan otaknya tercipta untuk selalu difungsikan.
Olivia menelan ludah, takut. "Aku mau pergi, Sam."
"Pergi ke mana?" tanya Sam lagi.
"Pergi ke suatu tempat yang jauh hingga kamu tidak bisa menemukanku seperti dulu."
"Kenapa kamu pergi?" Sam mulai berjalan mendekati Olivia.
"Aku sudah muak denganmu." Olivia melanjutkan mengemasi barang-barangnya.
"Hentikan!" bentak Sam sembari mencengkram tangan Olivia agar berhenti. "Kenapa" Kenapa kamu tiba-tiba ingin pergi?"
"Karena aku rasa, kamu tidak mencintaiku sepenuhnya, Sam."
Sam tersenyum miring. "Terserah kamu mau ngomong apa. Yang penting, kamu nggak boleh pergi dari sini." Sam mengetatkan cengkraman tangannya.
"Lepasin!" Olivia berusaha melepaskan tangan Sam.
"Nggak akan aku lepasin."
"Sekarang aku tanya, kamu cinta sama aku atau tidak?"
"Tentu saja, Olivia. Kenapa kamu masih menanyakan tentang hal itu?"
"Kalau kamu beneran cinta sama aku, kamu harus nikahin aku."
"Iya. Aku akan nikahin kamu. Tapi nanti. Setelah aku benar-benar yakin."
"Sam, aku hamil."
Mata Sam terbelalak lebar, cengkraman tangannya melonggar, ia menelan ludah dan tak mampu berkata apa-apa lagi. Olivia hamil. Dan jelas, janin yang ada
di rahim Olivia adalah anaknya karena selama tiga bulan terakhir, ia tidak pernah membiarkan Olivia keluar dari apartemen.
"Hamil" Bagaimana mungkin?" tanya Sam kaget.
"Aku sudah tidak menstruasi selama tiga bulan. Aku yakin kalau aku hamil, Sam," papar Olivia.
Sam tertegun sejenak, membuat ruangan sunyi sementara waktu hingga akhirnya ia tersenyum lebar lalu mengamati perut Olivia yang memang agak sedikit membuncit.
"Kamu selalu melarangku keluar apartemen. Jadi, aku tidak bisa membeli test pack," sambung Olivia.
"Apa di dalam sini ada bayiku?" tanya Sam seraya mengelus-elus perut Olivia.
Olivia tersenyum lalu mengangguk, mengiyakan.
"Baiklah. Ayo kita menikah," kata Sam kemudian.
Mata Olivia melebar lalu berkaca-kaca. Rupanya penantiannya selama bertahun-tahun akhirnya akan menjadi sebuah kenyataan. Sam akan menikahinya dan akan
menjadi miliknya seorang. Tidak ada lagi yang perlu ia cemaskan sekarang.
*** [Author pov] Sudah tiga hari sejak Raya dan El terkurung di dalam apartemen. Kini Raya kembali menghabiskan malam-malam panjangnya bersama Anila, sahabatnya paling
gesrek. Cewek gila satu itu selalu saja mempunyai ide aneh yang bahkan tidak pernah bisa Raya tebak.
Mata Anila tiba-tiba terbuka di kegelapan malam. Ia pun terbangun tanpa menyalakan lampu, sengaja agar Raya tidak terganggu. Dengan mengendap-endap, ia
berjalan menuju lemari pakaian dan mengambil celana kerja yang Raya miliki lalu tersenyum jail. Kemudian ia mengambil gunting dan tanpa segan-segan, ia
menggunting celana kerja milik Raya.
Setelah puas melancarkan aksinya, ia melipat kembali celana kerja milik Raya dan menaruhnya ke tempat semula, kemudian ia lagi-lagi tersenyum jail penuh
kemenangan. "Gue akan membuat Pak Bara semakin klepek-klepek sama elo," ucap Anila sambil berjalan pelan menuju ranjang, membaringkan tubuh di samping Raya, lalu kembali
tertawa kecil. "Gue selalu punya cara untuk membuat kalian berdua lebih dekat," bisik Anila ke telinga Raya.
Tentu saja Raya tidak mendengarnya. Raya bahkan masih tertidur nyenyak lalu memeluk Anila dari samping seolah-olah menjadikan Anila sebagai pengganti guling.
"Gue pastikan Pak Bara akan menjadi gulingmu tahun depan," lanjut Anila lalu terkikik puas.
*****?"?"?"******
Chapter 72 [Raya pov] Gue menggaruk rambut frustrasi pagi ini. Bagaimana tidak" Dua celana kerja gue bagian itunya bisa robek. Tapi ... kenapa bisa robek ya" Perasaan, kemarin
nih celana baik-baik aja.
"Ada apa, Ray?" tanya Anila saat keluar dari kamar mandi.
Gue menoleh lalu memperlihatkan celana kerja gue yang robek. "Ini nih. Celana kerja gue dua-duanya robek," papar gue bingung.
"Ya udah. Buang aja."
"Bushet! Main buang-buang aja. Emangnya lo pikir nih celana belinya pakai daun" Huh?" omel gue.
"Ya udah. Terserah lo, mau buang atau tidak." Anila berjalan menuju lemari lalu mengambil kemeja kerjanya.
"Terus sekarang gue harus bagaimana dong, Nil" Nggak mungkin kalau gue pakai celana robek ini ke kantor kan?"
"Emangnya lo cuma punya dua celana itu doang?" tanya Anila santai.
"Gue punya celana banyak sih. Tapi lagi di laundry semua. Besok baru bisa diambil."
"Lo nggak punya rok?"
"Rok gue juga ada di laundry, Nil."
"Ya udah. Pakai rok gue aja." Anila mengambil rok hitam dari dalam lemarinya lalu memberikannya ke gue.
Gue langsung melihat horor rok pendek yang diberikan Anila. "Pakai rok ini?" kata gue enggan dengan alis terangkat.
Anila mengangguk cepat. "Gue mah ogah. Terlalu pendek!" tukas gue manyun.
"Nggak mau pakek ya udah. Masalah buat gue?" ucap Anila sinis lalu merebut kembali rok mininya dari tangan gue.
"Eh eh!" Gue dengan cepat menyambar rok tersebut sebelum Anila melipatnya. "Oke deh. Gue pinjem rok elo. Daripada gue nggak ke kantor."
Setelah selesai bersiap-siap, kami pun segera berangkat ke kantor. Kali ini Anila yang menyetir soalnya gue nggak pede menyetir dengan rok yang sangat
pendek ini, takut menyingkap.
"Kayaknya elo nggak nyaman banget pakek rok gue," kata Anila setelah melirik gue sebentar yang sedari tadi terus menggeliat, mencoba menurunkan rok.
"Rok elo terlalu pendek!" tukas gue kesal.
Anila terkikik. "Gaya cewek metropolitan, Ray," opininya sambil terus fokus melihat ke depan dengan tangan yang sedari tadi berayun-ayun di kemudi bundar.
"Aduh! Pendek banget nih!" keluh gue.
"Oh iya. Pak Bagas bilang nanti siang kita harus ke Bali untuk survey tempat."
"Kok Pak Bagas nggak bilang ke gue?"
"HP elo tuh nggak bisa dihubungin!"
Gue langsung menggeprak kening gue sendiri lalu tersenyum malu pada Anila, ingat kalau HP gue dari sore sampai malam lupa nggak di-chas.
"Entar, Pak Bara ikut juga lho," lanjut Anila.
"What?" teriak gue kaget. "Pak Elbara ikut juga?"
Anila mengangguk. "Iya. Pak Bara, mantan elo yang super ganteng itu ikut." Gadis berambut panjang itu kembali terkikik.
"Waduh!" Gue terpental kaget. "Mana rok gue pendek banget lagi. Kalau dia ngiler gimana?"
"Sedia tisu oy!"
*** El melihat arlojinya sebentar lalu menatap gue, Anila, Pak Bagas, beserta anggota tim yang lainnya dengan tatapan datar. "Kalian terlambat," ucapnya dingin.
"Maaf, Pak. Tadi kami terjebak macet," sahut Anila hati-hati.
"Baiklah. Sepertinya kita harus segera berangkat ke bandara."
"Baik, Pak," sahut gue, Anila, Pak Bagas, dan anggota tim yang lainnya.
"Bushet, gebetan elo dingin banget. Kayak es kolak," bisik Anila.
"Ish!" Gue menyikut Anila sinis.
Sudah gue bilang ke El kalau hubungan kita nggak boleh ketahuan sama siapa pun sebelum proyek pembangunan resort dinyatakan selesai untuk menjaga profesionalitas
kerja. Bahkan Anila tidak tahu kalau gue kemarin malam udah jadian sama El.
"Nona Soraya?" panggil El tiba-tiba, membuat gue terhenti, urung memasuki mobil.
"Ya?" sahut gue spontan sambil menoleh ke arah tempat mobil El terparkir.
"Sepertinya anda harus ikut di mobil saya karena ada beberapa desain yang ingin saya tanyakan," papar El dengan salah satu tangan yang tersimpan di saku
celana. "Tapi...." ucap gue enggan.
Pak Bagas langsung menurunkan jendela mobilnya, melotot ke gue, lalu memberi kode mata ke gue agar menuruti perintah El.
"Ba ... baiklah." Gue pun berlari-lari kecil menuju mobil El, Daniel sudah bersiap menyetir untuk kami.
El mengedarkan pandangan dari bawah ke atas, mengamati setiap jengkal penampilan gue. Ia tampak tidak suka. Apa karena gue memakai rok yang terlalu pendek
ya" Seperti biasa, dia hemat suara, tidak berkomentar sama sekali dan langsung memasuki mobil.
"Nona Soraya, bisa jelaskan desain Lobby resort kembali?" tanya El saat mobil sudah melaju beberapa menit menuju bandara.
Di kursi bagian depan, ada Daniel yang menyupir, dan ada Davina di sebelahnya. Sesekali mereka mencuri pandang, melihat ke spion depan untuk mengamati
gue dan El yang duduk di kursi belakang.
Gue pun mulai menjelaskan desain Lobby secara detail. El tampak menyimak. Sementara Daniel dan Davina juga demikian. Dan entah mengapa Daniel dan Davina
membuat suasana terasa tegang dengan ekspresi mereka yang tampak takut terhadap El. Apa El adalah bos yang jahat"
"Parfum anda terlalu kuat. Saya tidak suka," kata El setelah gue selesai menjelaskan desain lobby. "Jika anda satu mobil lagi dengan saya, harap tidak
memakai parfum berlebihan. Mengganggu!"
Alis gue terangkat, mata gue melebar, mulut gue menganga tak percaya kalau El bisa berkata sedingin itu pada gue. Davina dan Daniel tampak menelan ludah
saat gue melirik mereka dari kaca spion. Apa memang El sedingin ini"
Elbara" : katanya mau backstreet biar profesional"
Lamunan gue terpecah ketika membaca pesan singkat dari El. Ooh... ternyata hanya akting biar nggak ketahuan pacaran"
"Mengganggu?" Gue tersenyum miring. "Apa hak anda mengomentari parfum saya?"
"Saya berhak berkomentar karena gara-gara parfum anda, udara yang ada di mobil saya jadi tercemar," sahut El dengan ekspresi dinginnya.
Gue tersenyum kesal. Walaupun hanya akting, tetap saja gue merasa kesal. Mau debat" Sama gue" It's okay! Gue ladenin!
"Baiklah. Lain kali saya tidak akan memakai parfum lagi. Tapi saya harap, Pak Bara tidak merokok. Saya tidak suka bau rokok yang menempel di kemeja anda.
Mengganggu!" ucap gue sinis.
Lagi, Davina dan Daniel tidak berkomentar. Mereka berdua hanya menelan ludah takut.


Cewek Cetar Dua Karya Zaeemaazzahra di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apa hak anda mengomentari bau saya?" tanya El sinis.
"Karena udara yang ada di sekeliling saya jadi tercemar," sahut gue nyolot.
"Berhenti!" perintah El pada Daniel.
Daniel menurut. Ia segera menepi lalu menghentikan mobil sesuai keinginan El.
"Turun!" perintah El pada gue.
Mata gue melebar dengan alis yang terangkat. Lagi, gue tersenyum sebal. Buru-buru gue mengambil ponsel lalu bergegas mengetik.
Raya" ?" : Km mau nurunin aku?""
Elbara : katanya mau akting backstreet" Km sendiri yg bilang nggak mau nerima perhatian dariku saat kerja.
Raya?" : ya nggak harus turunin aku juga!?" AWAS KAMU!! ?"?"
"Ooh ... jadi anda ingin saya turun" Oke. Fine!" Gue mendelik ke El, lalu bersiap membuka pintu mobil.
"Jalankan mobilnya!" perintah El ke Daniel sebelum gue benar-benar membuka pintu.
Gue menghela napas jengah, melotot ke arah El dengan marah. "Katanya anda ingin saya turun?"
"Nggak jadi," ucap El datar.
"Kenapa?" "Karena nanti anda akan terlambat ke bandara dan membuat saya membuang-buang waktu untuk menunggu."
Gue memutar bola mata malas. "Ya ya. Saya pastikan anda minggu depan tidak melihat saya lagi karena minggu depan saya akan mengundurkan diri dari proyek
ini. Saya akan meminta arsitek lain untuk menggantikan saya."
"Silahkan saja!" tantang El. "Tapi setelah itu, saya akan mengajukan tuntutan."
Mulut gue lagi-lagi menganga mendengar ucapan El barusan.
Raya?" : km knp sih El" Kok hri ini sinis bnget ke aku" Aku tau ini akting. Tp km lama2 keterlaluan deh.
Elbara : Ooh... Mulut gue kembali menganga setelah membaca balasan SMS dari El.
*** Gue menengok ke kanan, ke kiri, lalu ke belakang, hanya sekedar mengecek apakah ada orang selain kami.
"El, kamu kenapa sih" Dari tadi diemin aku. Tadi di mobil marahin aku. Kamu kenapa" Kesambet tuyul koreng?" tanya gue manja.
"Ya! Aku lagi marah sama kamu!" kata El dingin.
"Marah?" Alis gue terangkat. "Marah kenapa?"
El menunjuk rok pendek yang gue kenakan. "Kenapa kamu pakai rok sependek itu?" El mulai mengintrogasi.
Gue terkekeh senang, rupanya gara-gara dia tidak suka gue memakai rok pendek ini, dia jadi marah-marah nggak jelas sedari tadi.
"Aku nggak suka kalau kamu pakai rok pendek," sambung El. "Apa kamu nggak nyadar kalau bos kamu itu terus ngelihatin paha kamu?"
"Maksud kamu" Pak Bagas?"
El melihat paha gue sebentar lalu bergegas mengalihkan pandangannya ke arah lain. "Pokoknya aku nggak mau tau! Sekarang juga, kamu harus ganti rok itu
dengan celana." El menunjuk rok gue tanpa melihat.
"Aku nggak punya celana. Celanaku lagi dilaundry semua," jelas gue lalu meringis malu.
"Aku nggak mau tau. Pokoknya kamu harus ganti rok kamu dengan apa pun yang lebih tertutup."
Mata gue membulat sambil menggeprak kening gue sendiri. "Astogeh! Aku lupa bawa barang-barangku."
"Lupa" Bagaimana bisa lupa?"
"Anila baru ngasih tau gue pas sudah berangkat."
El menghela napas jengah. "Ya udah. Kalau kamu nggak bawa pakaian, kita belanja sekarang." El menarik tangan gue lalu memasukkan gue ke dalam mobil.
"El, kita mau ke mana?"
"Ke mall." "Buat apa belanja ke mall" Aku lagi nggak punya uang buat belanja. Mendingan aku pinjam rok Anila lagi daripada harus membeli kebutuhan yang nggak penting."
"Ooo ... jadi itu rok Anila?" tanya El yang mulai mengendarai mobil sewaannya.
Sekarang kita ada di Bali. Tidak mungkin El membawa mobilnya dari Jakarta. Wajar kalau sekarang dia mengendarai mobil sewaan.
"El, berhenti nggak"!" perintah gue sedikit geram.
"Tenang aja. Aku yang bayar semuanya asalkan kamu nggak pakek rok sialan itu," papar El fokus melihat jalanan.
"Kenapa" Kamu nafsu ya?" goda gue sambil menaik turunkan alis.
"Jangan menggodaku, Raya! Atau..." El terhenti.
"Atau apa?" tanya gue penasaran.
*****?"?"?"******
Chapter 73 [Raya pov] "Atau apa?" ulang gue penasaran.
El tidak menjawab, ia menepikan mobilnya, lalu tiba-tiba mendekatkan wajahnya ke muka gue, membuat gue terlonjak kaget dengan mata membulat.
"Atau aku akan menciummu." El perlahan mendekatkan bibirnya menuju bibir gue.
Gue dengan sigap menunduk ke samping, mencoba menghindari ciumannya, tapi ia malah terkekeh gemas.
"Kalau nggak mau dicium, makanya jangan suka goda," bisik El ke telinga gue. "Karena aku bisa saja lepas kendali. Ngerti?"
Gue mengangguk cepat sambil mendorong pelan tubuh El agar menjauh. Dia kembali tertawa kecil lalu melanjutkan perjalanan menuju mall.
Sesampainya di mall, memarkirkan mobil di tempat yang semestinya, kami pun bergegas menuju toko pakaian.
"Bro, cewek itu seksi banget, bro," ujar seorang cowok dari belakang dengan setengah berbisik.
"Iya, bro," sahut yang lain lalu berdecak kagum.
Tentu saja gue merasa risih dengan percakapan mereka yang kemungkinan membahas rok pendek yang gue pakek. Tapi sebelum gue berbalik dan angkat bicara,
El sudah mendahului gue. Dia terhenti sesaat lalu berbalik ke belakang, menatap sinis dua cowok yang sedari tadi mengamati rok pendek gue dari belakang.
"Kalian ngomongin siapa?" tanya El sinis.
Dua cowok itu tersenyum kecut sembari menggeleng takut. "Nggak, Mas. Kita nggak ngomongin siapa-siapa," jawab salah seorang di antara mereka.
"Iya. Kita nggak ngomongin siapa-siapa. Permisi," ucap salah seorang yang lainnya lalu bergegas pergi.
El menghela napas jengah dan membiarkan dua cowok tersebut pergi. Setelah itu dia melepaskan jasnya lalu memberikannya ke gue tanpa penjelasan. Sejak dulu,
dia memang jarang bicara, gue bisa memaklumi itu.
"Kenapa kamu kasih aku jas?" tanya gue yang masih tak mengerti dengan maksud El.
"Pakai aja. Buat nutupin itu." El menunjuk rok pendek gue dengan dagunya.
Gue pun meringis malu lalu buru-buru melilitkan jas El ke pinggang gue agar menutupi paha gue yang sedari tadi menjadi tontonan umum. Ya Tuhan! Gue malu
banget cuy. Ini semua pasti kerjaannya Anila. Siapa lagi kalau bukan dia"
Setelah gue selesai melilitkan jas ke pinggang, El buru-buru menggenggam tangan gue lalu membawa gue ke sebuah toko pakaian terdekat. Tanpa berkata apa-apa,
dia asal tunjuk baju-baju yang ia suka dan menyuruh pegawai toko untuk membungkusnya.
"El, kamu beli banyak banget. Apa nggak kebanyakan?" bisik gue.
Seperti biasa, El hemat suara, ia mengabaikan pertanyaan gue dan langsung membayar di kasir dengan kartu kredit. Gue jadi bertanya-tanya, apa seperti ini
jadinya kalau jalan-jalan ke mall bareng sama El"
"Sumpah ya, El. Seumur hidup, baru kali ini aku belanja ke mall hanya 15 menit," ucap gue ketika El memasukkan barang-barang belanjaan ke bagasi mobil.
"Buat apa lama-lama?" sahut El.
"Ya ... buat milih-milih lah!" tukas gue sedikit kesal.
El mengambil celana kerja berwarna hitam dari dalam salah satu tas yang ada di bagasi mobil lalu melemparnya ke arah gue, dengan sigap gue menangkapnya
sambil mengernyitkan dahi.
"Cepet ke toilet dan ganti rok sialan itu dengan celana!" papar El tampak kesal.
Gue mengerti alasan El marah-marah seperti itu. Mungkin karena tadi ada dua cowok yang ngelihatin gue. Mungkin karena itulah dia marah-marah. Dan gue senang!
Itu tandanya dia care sama gue. Bukankah kata orang cemburu tanda cinta" Right"
*** Tak terasa sudah dua bulan gue dan El pacaran. Hampir setiap minggu kami pergi kencan. Kadang sekedar jalan-jalan di taman, nonton bioskop, belanja bareng,
sampai dinner romantis. "Hari ini kita mau ke mana, El?" tanya gue menghadap ke samping, memperhatikan El yang fokus menyetir.
"Ke rumah sakit," jawab El singkat.
Alis gue terangkat kaget. "Ke rumah sakit" Siapa yang sakit" Kamu sakit?" Gue buru-buru memegang jidat El, mungkin saja dia demam, pikir gue, yang jelas
bukan demam drama Korea. El terkekeh lalu menurunkan tangan gue dari jidatnya dengan pelan. "Enggak aku nggak sakit kok," paparnya.
"Terus, ngapain kita ke rumah sakit?"
"Aku mau ngenalin kamu ke Papaku."
Sontak gue pun terperanjat kaget. "Apa" Kamu mau ngenalin aku ke Papa kamu" Kenapa kamu nggak ngomong dulu" Tau gitu aku akan pakek baju yang lebih formal
biar kelihatan sopan," cerocos gue sambil mengerucutkan bibir.
El tak menyahuti ucapan gue. Dia hanya terkekeh kecil.
*** Di depan seorang lelaki tua yang tengah terkapar di ranjang rumah sakit, gue berdiri di sebelah El. Lelaki tua itu adalah Papanya El, Tuan Suryabara yang
sangat tersohor di Indonesia maupun di negara-negara Asia tenggara yang lainnya. Dia adalah pengusaha hebat dengan kekayaan yang tak terkira. Konon katanya,
dia pernah masuk 10 besar orang terkaya di Asia tenggara.
"Halo, Om," kata gue sedikit kikuk.
Tuan Suryabara tidak menjawab, lebih tepatnya tidak bisa menjawab. Dia seperti mayat hidup dengan berbagai macam selang terpatri di tubuhnya hanya sekedar
membantunya agar tetap mengembuskan napasnya.
"Pasti Om tau aku kan?" Gue berjalan mendekat, duduk di kursi yang terletak di samping ranjang Tuan Suryabara. Sementara El masih berdiri.
"Pa, dia Raya. Wanita yang ingin Papa jadikan menantu," kata El tiba-tiba.
Jantung gue serasa terhenti. Dengan mata membulat, perlahan gue menoleh ke arah El, seolah meminta penjelasan dari kata-kata yang ia sampaikan barusan.
Lalu, El pun menceritakan semuanya ke gue.
*** Flashback setahun sebelum Raya dan El bertemu
[Author pov] Tuan Suryabara menyodorkan foto beberapa wanita cantik di atas meja kerja El. El hanya meliriknya sebentar lalu menghela napas jengah.
"Sebaiknya kamu pilih satu di antara mereka bertiga," kata Tuan Suryabara. "Usia kamu sudah cukup matang untuk menikah."
"Aku tidak ingin menikah dengan siapa pun, Pa. Kalaupun aku harus menikah, hanya dengan Raya aku mau," sahut El tegas.
Braaak Tuan Suryabara menggebrak meja sambil melotot, tapi hal itu tidak membuat El bergeming. Tuan Suryabara bisa saja membuat El menjauhi Raya, tapi jangan
harap Tuan Suryabara bisa membuat El mencintai perempuan lain selain Raya.
"Apa hebatnya gadis itu" Dia tidak punya apa-apa selain kecerdasan!" omel Tuan Suryabara geram.
"Dia memiliki segalanya, Pa. Jika Papa mengenalnya, Papa akan tahu alasanku begitu mencintainya," jelas El tanpa takut.
Tuan Suryabara mengangguk sembari bertepuk tangan. "Ooh... jadi kamu ingin Papa mengenal gadis itu" Baiklah. Kalau begitu Papa akan memberikan tiga ujian
pada gadis itu secara diam-diam."
"Ujian?" Dahi El berkernyit.
"Ya. Ujian. Kalau gadis itu tidak lolos ujian yang Papa berikan, maka Papa tidak akan membiarkanmu menikahinya. Papa akan buktikan ke kamu bahwa gadis
itu sama saja dengan gadis lain yang hanya butuh uangmu."
"Coba saja Papa buktikan!" tantang El.
"Baiklah. Pertama-tama, Papa akan menguji dia dengan seorang pria yang lebih tampan daripada kamu. Papa yakin, cepat atau lambat, dia akan segera melepas
topengnya." "Coba saja kalau Papa bisa. Karena dia tidak pernah bertopeng. Dia adalah gadis apa adanya."
*** "Namanya Damian," jelas Anila sambil menyodorkan foto pria tampan pada Raya. "Dia pemilik perusahaan properti. Dia kuliah di Colombia University."
"Beneran?" Mata Raya terbelalak senang.
"Kalau lo bukan sahabat gue, nih cowok udah gue gebet dah. Daripada elo terus mikirin mantan elo si A dan si E, mendingan gue bantu elo move on."
"Makasih ya, Nil. BTW, kapan nih gue bisa ketemu sama nih cowok?" tanya Raya senang.
"Sekarang!" Anila menunjuk seorang cowok super tampan dengan dagunya.
Raya menoleh ke belakang. Matanya spontan melebar kagum mendapati seorang pria maskulin dengan tubuh tegap dengan brewok tipis yang bertengger manis di
sekitar dagunya, jujur saja, pria itu terlihat sexy di mata Raya.
"Nah, kenalin, ini Damian," kata Anila.
"Hai. Aku Damian Wiratmaja," pria tinggi semampai itu mengulurkan tangannya pada Raya.
Lamunan Raya terpecah, lalu ia gelagapan menjabat tangan kekar Damian. "Namaku Soraya Aldric."
"Senang bertemu denganmu," kata Damian sambil mengembangkan senyuman tipis yang membuat Raya sekaligus Anila terpesona kagum.
"Eh, Raya. Gue pulang dulu ya. Ada beberapa pekerjaan yang belum gue selesaikan soalnya," pamit Anila tiba-tiba, mencoba memberikan kesempatan untuk Raya
agar bisa lebih mengenal sosok tampan Damian. "Lo ngobrol-ngobrol aja sama Damian. Udah ya ... bye ..." Tanpa memberikan waktu untuk Raya bicara, Anila
langsung saja pergi. "Damian, aku titip Raya," teriak Anila saat berjalan menjauh pergi.
Setelah Anila pergi, suasana menjadi canggung. Raya kemudian duduk di kursi dengan mata yang sesekali mencuri pandang melihat Damian yang begitu tampan
dan sulit untuk diabaikan. Jomblo bertahun-tahun membuatnya ingin kembali pacaran.
"Kamu kerja di mana?" tanya Damian memulai pembicaraan.
"Aku kerja di perusahaan konstruksi sebagai kepala arsitek. Kamu sendiri" Kamu kerja di mana?"
"Aku kerja di perusahaan orang tuaku."
Raya mengangguk dengan mulut membentuk huruf O. Sedari tadi pandangan matanya tidak lepas melihat Damian, wajar sih, wanita mana yang tidak suka melihat
pria tampan, apalagi super tampan seperti Damian.
"Kenapa ngelihatin aku seperti itu" Aku ganteng ya?" goda Damian.
"Ih, apaan cobak?" kata Raya sambil tersenyum malu, pipinya memerah.
Setelah berbincang-bincang cukup lama, akhirnya Damian mengantar Raya pulang ke apartemen, tepat jam 10 malam.
"Terima kasih ya, udah mau repot-repot anterin aku," ucap Raya sambil mengembangkan senyuman manisnya.
"Raya?" Damian memegang pergelangan tangan Raya ketika Raya hendak membuka pintu mobil. "Aku ini lelaki dewasa, Raya," kata Damian dengan nada yang terdengar
sedikit aneh di telinga Raya.
Dahi Raya berkernyit heran mendapati tingkah Damian.
"Aku butuh tubuhmu," bisik Damian dengan suara yang sensual.
Mata Raya mendelik kaget, ia bergegas mendorong tubuh Damian yang semakin mendekat padanya. Dan...
Praaak Sebuah tamparan mendarat sempurna di pipi Damian. "Kamu pikir aku cewek apaan?" bentak Raya emosi.
Mata Damian terbelalak lebar, sementara tangannya memegangi pipinya yang terasa sakit bekas tamparan Raya. Ia tak menyangka akan ditolak mentah-mentah
seperti ini karena sebelumnya, ia tidak pernah ditolak sekali pun.
"Kalau kamu pengen tubuh seorang wanita, cari aja pelacur di luar sana!" omel Raya sambil keluar dari pintu mobil.
"Ooh tidak! Lelaki bajingan kayak kamu itu pantasnya sama kucing betina!" bentak Raya sembari membanting pintu, membuat mata Damian mengerjap karena kaget.
*** El tersenyum miring pada Tuan Suryabsra yang tidak berhasil melancarkan misinya untuk membuktikan pada El kalau Raya adalah wanita murahan. Ya! Damian
adalah orang suruhan Tuan Suryabara untuk menggoda Raya sebagai ujian yang pertama. Tapi nyatanya, rencana Tuan Suryabara itu gagal total. Raya menolak
mentah-mentah sosok pria tampan bernama Damian itu.
"Papa puas" Berapa kali pun Papa menguji Raya, Papa tidak akan mendapatkan bukti apa pun. Karena Raya adalah gadis baik-baik yang nggak ada duanya di dunia
ini," papar El. Tuan Suryabara tersenyum miring. "Kita lihat saja. Apa dia akan bisa bertahan pada ujian yang kedua."
*****?"?"?"******
Chapter 74 [Raya pov] Gue mendelik kaget saat menyimak cerita El tentang Damian. Gue benar-benar nggak nyangka kalau Tuan Suryabara yang menyuruh Damian untuk merayu gue waktu
itu. "Oke, kalau Damian adalah ujianku yang pertama. Lalu, ujian apa yang kedua?" tanya gue begitu penasaran.
El kemudian duduk di samping gue, memegang tangan gue, lalu menatap gue tajam. "Kamu ingat proyek ruko di Depok?" tanyanya.
Bola mata gue sejenak melihat ke atas, mencoba mengingat-ingat kembali proyek-proyek yang pernah gue kerjakan di Depok tahun lalu. Saat gue mengingatnya,
gue mengangguk. "Pak Santoso adalah orang suruhan Papa yang kedua," jelas El.
"Jadi, Pak Santoso adalah orang suruhan Papa kamu?" Mata gue mendelik kaget.
El mengangguk pelan. "Waktu itu, kamu nggak sengaja mengetahui rahasia Pak Santoso, bawahan Pak Bagas, mandor penyedia bahan bangunan."
"Iya, waktu itu aku memergokinya menelpon dengan seseorang. Dia bilang akan mengganti sebagian bahan yang berkualitas dengan bahan yang biasa untuk maraup
keuntungan." "Sebenarnya, Pak Santoso sengaja memberi tahumu secara tidak langsung, dengan begitu, Pak Santoso bisa menawarkan sogokan ke kamu untuk uang tutup mulut,"
jelas El menambah. "A ... apa maksudnya?" Gue menggeleng tak mengerti.
"Papa berharap kamu akan menerima uang sogokan itu. Tapi nggak berhasil. Kamu dengan tegas menolak uang itu dan melaporkan Pak Santoso ke Pak Bagas. Dan
akhirnya Pak Santoso harus mendekam di penjara."
"Tapi ... kenapa Pak Santoso mau melakukan hal yang sangat beresiko seperti itu untuk Papa kamu?"
"Sebenarnya, Pak Santoso sudah melakukan tindakan korupsi sejak lama. Papa pikir, cepat atau lambat dia akan masuk penjara. Jadi, Papa memanfaatkan dia
untuk mengujimu." "Memanfaatkan?" Dahi gue berkernyit.
"Iya. Papa telah mengancam Pak Santoso. Jika Pak Santoso tidak mau mengikuti skenario yang dirancang Papa, secara otomatis dia akan masuk penjara karena
Papa akan melaporkan tindakannya yang sudah sering menggelapkan dana di perusahaanmu."
"Tapi ... bukankah dia akhirnya masuk penjara karena skenario Papamu" Kenapa dia repot-repot mengikuti skenario Papamu?"
"Jika kamu menerima suap dari Pak Santoso dan berhasil menjebakmu, Papa sudah berjanji tidak akan membocorkan tindakan korupsinya selama ini."
Mata gue terbelalak lalu menelan ludah karena takut. Bagaimana tidak" Calon Ayah mertua gue ternyata orang yang sangat licik oy! Dia beberapa kali berusaha
menjebak gue karena dia nggak mau gue dan El bersatu.
"Lalu, bagaimana dengan ujian yang ketiga?" tanya gue setelah menenangkan diri beberapa saat.
"Karena Papa tahu kalau kamu tidak mampan digoda lelaki tampan atau pun uang, Papa mencoba cara yang lainnya."
"Memangnya, apa ujian yang ketiga?" tanya gue begitu penasaran.
"Kamu ingat Pak Rafli?"
Gue mengangguk cepat. "Pak Rafli adalah orang suruhan Papa juga. Dia datang padamu dengan penawaran yang menggiurkan," papar El.
"Iya. Waktu itu, dia datang dan menawariku beasiswa S2 dan S3 di Jepang. Dia bahkan berjanji akan memberiku dana untuk mencapai gelar profesor dengan syarat,
aku harus pindah ke perusahaannya dan menghianati Pak Bagas."
"Jujur saja, waktu itu aku sedikit takut. Karena kamu terlihat tergiur dengan penawaran itu. Tapi akhirnya, kamu menolaknya juga," ucap El lalu tersenyum.
Gue tertegun, merenungkan semua yang terjadi selama ini. Tanpa gue sadari, gue bisa melewati ujian-ujian yang diberikan oleh Tuan Suryabara. Jadi, itulah
sebabnya Tuan Suryabara mengizinkan El untuk menemui gue kembali dan memberi restu pada hubungan kami.
*** Dddrrrtt... HP gue sedari tadi terus bergetar, saat gue angkat malah orang yang menelpon mengakhiri panggilan. Siapa lagi kalau bukan Kak Icha" Seperti biasa, dia
misscall gue sebagai alarm untuk menjemput Brian pulang les. Setelah menyisir rambut, dan memakai lipstick, gue pun segera keluar dari apartemen sambil
menenteng tas branded kesayangan gue.
"Ar ... syaf?" Gue tercekat kaget ketika mendapati Arsyaf yang sudah berdiri di depan pintu apartemen gue.
"Aku sudah menyelidiki semuanya Raya. Aku salah paham. Ternyata kamu belum menikah dan belum memiliki anak," papar Arsyaf sambil memegang kedua pundak
gue dan menatap gue tajam.
"Lepasin, Syaf!" Gue menurunkam tangan Arsyaf dari pundak gue. "Memang benar gue belum menikah. Tapi gue udah milik orang lain."
"Selama kamu belum menikah, masih ada kesempatan untukku, bukan?"
"Syaf, please! Berhentilah! Gue nggak mungkin balikan sama elo lagi."
"Kenapa, Raya?"
"Sudah gue bilang karena gue sudah punya pacar."
"Nggak masalah selama itu masih sekedar pacaran, selama janur kuning belum melengkung, aku masih punya kesempatan untuk mendapatkanmu."
"NGGAK BISA, SYAF!" bentak gue frustrasi.
Gue bukan Raya yang dulu lagi. Sekarang gue sudah bersumpah akan menjaga prinsip yang gue pegang, no kiss no secret affair. Tidak ada dua pacar dalam satu
waktu. Gue sudah yakin akan menjalani hidup bersama El.
"Kenapa nggak bisa, Raya?" tanya Arsyaf tampak mengiba.
Gue tertegun sejenak untuk berpikir. Apa yang harus gue katakan" Apa gue harus mengatakan padanya kalau dia sudah punya anak" Apa gue harus mengatakan
padanya kalau selama ini gue pacaran sama El" Dan apa gue harus mengatakan padanya kalau sejak dulu, hati gue nggak 100% mencintainya"
"Arsyaf, sebaiknya elo ikut gue. Dan gue akan jelasin semuanya." Gue melangkah menuju tempat parkir dan bersiap untuk ke tempat les Brian. Arsyaf mengikuti
gue dari belakang. *** "Lo lihat anak kecil itu?" kata gue saat melihat Resya duduk sendirian di lobby.
Arsyaf mengangguk. "Anak itu butuh kasih sayang seorang ayah, Syaf," lanjut gue sambil terus menatap iba Resya dari kejauhan.
"Maksud kamu apa, Raya" Aku nggak ngerti." Arsyaf menggeleng bingung.
"Namanya Resya, gabungan dari nama Mama dan Papanya. Re, untuk dua huruf pertama Renatha, dan Sya, dari dua huruf tengah Arsyaf."
"Raya, aku masih nggak ngerti. Kenapa anak kecil itu menggunakan namaku" Aku bukan Papanya! Lagi pula, siapa wanita yang bernama Renatha itu" Aku nggak
kenal." "Renatha Azalea. Lo ingat?"
Arsyaf tercekat, matanya melebar tak percaya. "Maksud kamu" Lea?"
Gue mengangguk, membenarkan. "Ya. Lea selama ini mempunyai anak darimu."
"Apa?" tanya Arsyaf kaget.
"Please, Syaf!" Gue memegang lengan Arsyaf dengan tatapan memohon. "Elo boleh saja membenci Lea. Tapi jangan pernah membenci Resya. Dia nggak tau apa-apa.
Yang dia butuhkan hanya kasih sayang seorang ayah."


Cewek Cetar Dua Karya Zaeemaazzahra di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jangan bercanda, Raya! Aku bahkan hanya menyentuh Lea sekali dan itu pun dalam keadaan mabuk."
"Tapi nyatanya Resya terlahir di dunia ini. Dan dia adalah anak kandung lo!"
"Aku nggak bisa, Raya. Siapa tau anak itu bukan anakku. Tapi anak Lea dari lelaki lain." Arsyaf masih keukeh menyangkal.
"Resya berumur tujuh tahun, dan malam itu terjadi sekitar delapan tahun yang lalu. Jika usia anak itu ditambah sembilan bulan Lea mengandung, jumlahnya
kurang lebih delapan tahun, Syaf."
Arsyaf menggeleng. "Enggak! Nggak mungkin!"
"Terserah lo mau ngakuin Resya atau enggak. Yang penting, gue sudah ngasih tau elo kalau selama ini elo punya anak."
"Tapi...." "Nggak ada tapi-tapian, Syaf. Jika elo ingin membuktikan kalau Resya bukan anak kandung elo, elo bisa tes DNA."
Arsyaf terlihat merenung setelah mendengar apa yang gue katakan. Kenyataan bahwa Resya adalah anak kandung Arsyaf, membuat gue semakin yakin untuk melepas
Arsyaf demi Resya. Dia butuh kasih sayang seorang ayah. Lagi pula, gue sudah mencintai El sepenuhnya.
******?"?"?"*****
Chapter 75 *** [Author pov] Mata Raya menyisir penampilan El dari ujung kaki sampai ujung kepala. Seperti biasa, El terlihat tampan dan maskulin. Raya keheranan mendapati pacarnya
itu berpakaian rapi seperti mau pergi ke pesta.
"El, masuk dulu gih." Raya membuka pintu apartemennya lebih lebar agar El bisa masuk dengan leluasa. "BTW, kamu mau pergi ke mana" Kok Rafi Ahmad?"
"Rapi amat!" tukas El lalu terkekeh.
"Iya deh," ucap Raya mengalah. "Emangnya kamu mau ke mana sih?"
"Aku mau ngajak kamu ke pesta ulang tahun perusahaan." El berjalan menuju sofa lalu duduk.
Alis Raya terangkat. "Ha?" Mulutnya menganga lebar lalu berlari kecil menuju sofa dan duduk di samping El. "Kamu mau ngajak aku?"
El tidak berkata apa pun. Dia hanya menjawab pertanyaan Raya dengan anggukan, sejak dulu dia memang malas berbicara banyak.
"Tapi untuk apa" Bukannya kita backstreet sampai proyek selesai?"
El menggaruk alis kirinya yang tak terasa gatal, bingung mau menjawab apa atas pertanyaan yang Raya lontarkan.
"Pak Bara?" Mata Anila langsung terbelalak lebar ketika keluar dari kamarnya lalu mendapati El yang sudah duduk di sofa bersama Raya.
El tidak berkata apa-apa. Dia hanya menatap Anila datar tanpa ekspresi.
"Pak Bara ngapain ke sini" Pak Bara mau dating sama Raya?" sambung Anila kepo.
"Aku mau mengajak Raya ke pesta. Kamu bisa bantu dia ganti baju?" El menekuk jempolnya ke belakang, mencoba menunjuk Raya yang ada di sebelahnya.
"Pesta" Pesta apa, Pak?"
"Nggak bisa bantu Raya?" tanya El balik, mengabaikan pertanyaan Anila.
"Bisa." Anila mengangguk cepat, ia sudah memahami sifat El yang hanya hangat pada Raya seorang. "Bisa, Pak. Saya bisa bantu Raya ganti baju dan rias."
"Bagus kalau gitu," kata El datar.
Anila tersenyum lalu berlari-lari kecil menuju sofa, menarik tangan Raya, dan membawa gadis itu ke dalam kamar bersamanya.
"Tunggu sebentar ya, Pak," pamit Anila pada El sebelum benar-benar menutup pintu kamar.
Anila membuka lemari pakaian lalu mengeluarkan sebagian isinya. Lantas ia memilih gaun merah menyala yang sangat indah untuk Raya.
Lantas ia memilih gaun merah menyala yang sangat indah untuk Raya
"Pakai baju ini!" perintah Anila tegas.
Dahi Raya mengernyit, matanya memperhatikan gaun merah itu dengan seksama. "Ogah ah," ucapnya kemudian.
"Kenapa" Gaun ini nggak pernah elo pakek sejak pernikahan Kak Icha. Pekek aja lagi biar nggak mubadzir."
"Ogah dah gua. Terlalu mencolok!"
"Lo pilih pakek atau gue bilangin ke Pak Bara kalau elo minta beli baju baru?" ancam Anila dengan mata mendelik.
"Jangan!" cegah Raya ketika Anila hendak meraih gagang pintu. "Jangan bilang ke El kayak gitu. Entar dia malah berpikir kalau gue ini cewek matre."
"Makanya pakek nih gaun. Cepet! G.P.L, Nggak Pakek Lama!"
Sambil mengerucutkan bibirnya, Raya menyambar gaun merah itu dari tangan Anila lalu memakainya cepat. Kemudian Anila membantu Raya menaikkan resleting
baju bagian punggung. "Sini duduk!" Anila menarik tangan Raya hingga Raya terduduk di depan meja rias.
Anila kemudian mulai mengeluarkan alat-alat make-up nya lalu mulai merias wajah Raya. Sebagai sentuhan terakhir, Anila menorehkan lipstick merah merona
ke bibir Raya, membuat bibir perempuan yang berusia 26 tahun itu terlihat lebih sexy.
"Anila, kayaknya lipsticknya kemerahan deh," opini Raya, merasa tak percaya diri sambil terus memperhatikan mukanya yang terpantul di cermin.
Anila menggeleng. "Enggak. Elo udah cantik kok," pujinya lalu menarik tangan Raya hingga membuat Raya berdiri.
"Anila, kayaknya gue harus ganti warna lipstick deh."
"Sekarang, biar Pak Bara yang menilai," kata Anila lalu terkikik senang sambil mendorong tubuh Raya keluar pintu.
El mendongak, mengalihkan pandangannya dari layar ponsel ke arah perempuan bergaun merah yang tengah berdiri anggun di ambang pintu. Ia benar-benar terperangah
takjub. Tidak pernah sebelumnya ia melihat Raya secantik itu. Matanya bahkan tidak berkedip, enggan menyia-nyiakan kecantikan Raya yang jarang diumbar
karena memang Raya bukan tipe perempuan yang suka berdandan.
"Aku persembahkan Sorabaya Aldric jeng jeng," ucap Anila penuh semangat.
"Soraya oy!" Raya mendorong kepala Anila dengan gemas. "Bukan Sorabaya. Lu pikir gue temennya Jakarta apa?"
El terkekeh melihat pertengkaran dua sahabat itu. Sejak ia menemukan Raya, dan membuat Raya menjadi miliknya secara utuh, El semakin sering tertawa setiap
harinya. "Terima kasih karena udah bantu Raya dandan," kata sembari berjalan menuju Raya.
"Sama-sama Pak Bara. Semoga langgeng," celetuk Anila pecicilan.
"Amin," sahut El.
"Anila! Lo kalau ngomong jangan mengada-ngada deh," tegur Raya setengah emosi.
"Udah. Nggak usah lo tutup-tutupin lagi, Ray. Tanpa lo kasih tau, gue udah tau kalau elo sama Pak Bara pacaran," jelas Anila bangga.
"Lo kok bisa tau?" Dahi Raya mengerut heran.
"Yakali ada rekan bisnis tapi SMS-nya love you-love you-an!"
Mata Raya terbelalak kaget. "Lo bajak HP gue?" tanya Raya menjewer telinga Anila dengan gemas.
"Pak Bara tolong, Pak," kata Anila meringis kesakitan.
Lagi-lagi El terkekeh lalu melepaskan tangan Raya dari telinga Anila. "Udah udah. Ayo kita ke pesta daripada terlambat," cegahnya.
*** Setelah keluar dari mobil, El menyiapkan lengannya untuk dirangkul Raya. Dengan senang hati, Raya melingkarkan tangannya ke lengan El lalu mereka berdua
berjalan menuju aula pesta.
"Kamu lihat orang tua yang berdiri di dekat meja itu?" tanya El sembari menunjuk seorang lansia yang mengenakan jas hitam rapi.
Raya mengangguk. "Iya. Kenapa dengan lansia itu" Apa giginya ompong?"
El tertawa kecil lalu mengacak pelan rambut Raya. "Namanya John William, pemilik HRM Corp. Dia temennya Papa."
Raya hanya mengangguk dengan mulut yang membentuk huruf O.
"Dan yang itu." Kali ini El menunjuk seorang wanita cantik yang mengenakan gaun berwarna biru laut. "Namanya Georgina Alvaraz. Pewaris tunggal GeorgeFM
Corp." "Wow," kata Raya takjub.
"Yang itu." Kali ini El menunjuk seorang wanita paruh baya yang terlihat elegan dengan perhiasan mas putih yang bertengger di leher, pergelangan tangan,
dan jemari-jemari lentiknya. "Dia Nyonya Dewi Imas, istri Tuan Fransisco, salah satu pemegang saham terbesar di Arvana Group, perusahaan Papa."
"Tapi kenapa kamu kasih tau semua orang-orang itu ke aku?" tanya Raya heran.
"Cepat atau lambat, kamu harus tau. Karena sebentar lagi, kamu akan menjadi Nyonya Bara."
Pipi Raya berdesir malu, mungkin sudah memerah. "Ih, apaan cobak?" kata Raya manja.
El tertawa kecil sambil membelai rambut Raya dari atas ke bawah.
"Elbara" Apa kabar?" sapa Tristan, salah satu teman El saat kuliah di Singapura.
"Tristan" Gue nggak nyangka elo bakalan datang," kata El.
Tristan melihat Raya dengan tatapan heran. Tidak pernah sebelumnya El membawa seorang wanita ke acara seperti ini, batinnya.
"Kenalkan, dia calon istri gue," kata El pada Tristan tanpa malu.
"Calon istri?" tanya Tristan kaget.
"El, apaan sih?" ucap Raya sembari memukul ringan lengan El. Pipinya kembali berdesir malu.
Tak terasa sudah dua jam Raya berada di dalam aula pesta bersama El. Jujur saja dia merasa bosan karena El sedari tadi sibuk berbincang-bincang bersama
kolega-kolega perusahaan. Dan tentu saja Raya tak mengerti dengan apa yang mereka bicarakan, itulah sebabnya Raya lebih memilih untuk duduk sendirian di
sebuah meja bundar sambil meminum jus jeruk. Dia hanya menunggui El dari kejauhan.
"Raya?" sapa seorang pemuda tampan yang berdiri mematung kaget ketika melihat Raya yang sedang duduk sendirian. Sama seperti El, ia juga terperangah melihat
betapa cantiknya Raya malam itu.
*****?"?"?"******
16. Chapter 76-80 Chapter 76 [Author pov] Raya mendongak, melihat lelaki tampan yang baru saja menyapanya. Matanya melebar melihat lelaki itu. Tak ia sangka kalau ia akan bertemu dengan mantan
di sebuah pesta megah seperti ini.
"Kenapa kamu bisa ada di sini?" tanya Arsyaf heran lalu berjalan pelan menuju Raya, kemudian ia duduk dalam satu meja bersama perempuan cantik berlipstick
merah itu. "Gue datang bersama El," jawab Raya jujur.
"Bagaimana bisa kamu datang bersama El?" Arsyaf semakin keheranan.
"Syaf, sebenernya ...." Raya memberi jeda pada kalimatnya. "Gue sama El sekarang pacaran."
"Apa?" Mata Arsyaf melotot kaget. "Bagaimana mungkin kamu dan El bisa pacaran" Sejak kapan" Kenapa bisa sama El?"
Raya berpikir sejenak, diam, mencoba merangkai kata-kata yang pas agar tidak menyakiti hati Arsyaf. Ia tahu bahwa Arsyaf selama ini sudah sangat terluka
karenanya. "Kenapa harus El, Raya?" sambung Arsyaf emosional.
"Maaf, Syaf. Sebenernya, gue sudah suka sama El sejak dulu. Sejak gue sama lo masih pacaran," papar Raya jujur. Ia tidak ingin terus merasa berdosa pada
Arsyaf karena menutupi sebuah fakta bahwa dirinya pernah selingkuh dengan El.
"Lalu, dulu kamu sempat pacaran sama El, gitu?"
Raya mengangguk pelan, merasa bersalah karena dia pernah bermain cinta di belakang Arsyaf selama ini. Tapi ia tidak menyesal mencintai El karena El adalah
lelaki yang menurutnya jauh lebih baik daripada Arsyaf.
Arsyaf menghela napas emosi, dadanya terasa terbakar. Bagaimana mungkin Raya tega selingkuh di belakangnya" Padahal selama ini cintanya hanya untuk Raya
seorang. Tapi Raya malah membagi cintanya untuk El. Dan lebih parahnya, di akhir cerita Raya lebih memilih El daripada Arsyaf yang cintanya tak pernah
terbagi sedikit pun untuk perempuan lain.
"Lalu bagaimana denganku Raya" Kenapa kamu tega melakukan ini padaku?" tanya Arsyaf dengan suara goyah, seolah-olah terdengar tengah menahan tangis.
"Arsyaf, sekali gue minta maaf. Gue nggak bisa balikan sama lo. Nasi sudah menjadi bubur. Lagi pula, elo harus bertanggung jawab terhadap Resya, bukan?"
"Resya?" "Iya. Resya. Nyatanya Resya adalah anak lo dengan Lea. Apa lo sudah melakukan tes kecocokan DNA?"
Hati Arsyaf rasanya tercabik mendengar nama Resya dan hal-hal yang berhubungan dengan tes kecocokan DNA. Karena sebenarnya, dia sudah melakukan tes kecocokan
DNA itu. Beberapa hari lalu, ia membayar orang untuk mengambil beberapa helai rambut Resya. Dia kemudian membawa sample rambut Resya tersebut ke rumah
sakit untuk tes kecocokan DNA. Dan hasilnya tak bisa ia percaya. Ternyata Resya memang benar adalah anak kandungnya.
"Aku sudah melakukan tes DNA seperti yang kamu suruh," ucap Arsyaf setelah terdiam beberapa saat. Ia menunduk sedih.
"Lalu" Apa hasilnya?" tanya Raya penasaran.
"Kamu benar. Resya adalah anak kandungku."
Mata Raya melebar sesaat, tapi ia tak begitu terkejut dengan kenyataan itu seolah ia sudah mengikhlaskan sosok Arsyaf untuk menjadi ayah Resya.
"Aku akan bertanggung jawab pada Resya," sambung Arsyaf miris, ia masih enggan menerima kenyataan bahwa Resya memang benar anak kandungnya.
"Lalu, bagaimana dengan Lea" Apa elo akan menikahinya demi Resya?"
Arsyaf mengangguk pilu. "Bagus kalau begitu. Selama ini, Lea sudah menderita karena menjadi single mother. Tanpa suami, ia membesarkan Resya sendirian," papar Raya iba. "Lagi
pula, gue juga kasihan sama Resya. Orang-orang di sekelilingnya sering memandang rendah dirinya karena dia dicap sebagai anak di luar nikah."
"Aku tau, Raya. Itulah sebabnya aku akan bertanggung jawab dan menafkahi mereka sebagaimana mestinya."
"Baguslah kalau begitu. Gue harap, elo bisa hidup bahagia bersama Lea dan Resya."
"Tapi ... apakah aku bisa menyayangi Resya dan menjadi ayah yang baik untuknya?"
"Bisa. Elo pasti bisa kok."
"Aku takut tidak bisa, Raya. Membayangkan kalau dia perusak hubungan kita, membuat rasa benci itu tumbuh dengan sendirinya."
"Tapi elo ayahnya. Darah elo mengalir dalam tubuh Resya."
"It's okay. Mungkin aku bisa menerima Resya. Tapi ... apakah aku bisa menerima Lea?"
"Entahlah. Jika elo menerima Resya, mau nggak mau, elo juga harus menerima Lea, Syaf."
Dari kejauhan, senyum El yang tadinya mengembang tiba-tiba mengempis saat melihat Raya duduk bersama Arsyaf dalam satu meja. Hatinya terbakar, marah, emosi,
rasanya ingin sekali ia menghajar Arsyaf detik itu juga. Tapi ia menahannya karena tidak ingin merusak pesta ulang tahun perusahaan.
El kemudian pamit pada rekan-rekan bisnisnya yang sedari tadi ia ajak berbicara, lalu ia berjalan cepat menuju Raya dan Arsyaf.
"El, kamu lama banget," kata Raya manja setelah El berdiri di sampingnya.
"Maaf ya, Sayang," ujar El sambil mengelus lembut rambut kekasihnya, membuat Raya terlonjak kaget. Tidak biasanya ia mengucapkan kata sayang saat bertemu.
Memang El sengaja mengatakan kata sayang dan bersikap mesra pada Raya untuk membuat Arsyaf mengerti bahwa Raya sekarang adalah miliknya secara utuh.
"Kamu sudah mencicipi hidangan pesta?" tanya El begitu perhatian.
"Belum." Raya menggeleng.
"Ya udah. Kamu mau aku ambilin apa?"
"Dompet orang," celetuk Raya asal, membuat El tertawa spontan. Sementara Arsyaf tidak demikian. Jangankan tertawa karena lawakan Raya! Tersenyum palsu
pun ia tak bisa. Rasanya sakit sekali melihat keakraban mereka berdua.
"Kamu pikir aku maling?" tanya El sembari mengulum tawa.
"Iya. Kamu maling! Maling hatiku."
Lagi, tawa El pecah, membuat Arsyaf semakin jengkel. Tangannya mengepal marah seolah ingin melayangkan tinju ke sepupunya itu. Tapi sudah tidak ada gunanya
lagi. Mau tidak mau, dia harus melupakan Raya dan menikahi Lea demi Resya. Tak ada gunanya bagi Arsyaf untuk marah pada El. Toh, dia tidak mempunyai kesempatan
untuk memiliki Raya kembali karena ia harus bertanggung jawab terhadap Resya.
"Gimana kabar elo, Syaf?" tanya El setelah menghentikan tawanya.
"Baik," jawab Arsyaf singkat.
Raya terhenti, jantungnya mulai bergemuruh. Betapa tidak" Mantan dan pacarnya kini duduk dalam satu meja bersama dengannya. Apalagi mereka berdua adalah
saudara sepupu. Hal itu membuat Raya semakin kikuk.
"Kapan kalian nikah?" tanya Arsyaf mencoba menahan hatinya yang telah nanar.
"Secepatnya," jawab El tegas.
Raya menoleh kaget ke arah El dengan mulut masih terkunci.
"Gue sudah memutuskan akan menikahi Lea. Jadi, elo nggak perlu khawatir. Gue nggak akan pernah kejar-kejar Raya lagi," jelas Arsyaf. Semakin lama duduk
dalam satu meja bersama Raya dan El, luka hatinya terasa semakin perih.
"Bagus kalau begitu," sahut El datar, tapi dalam hatinya ia bersorak gembira mendapati kenyataan bahwa saingan terberatnya sudah mundur.
*** "Ngelamar aja belom! Tapi tadi kamu bilang ke Arsyaf kalau kamu akan menikahiku secepatnya," ucap Raya dengan mulut manyun.
El terkekeh, ia masih fokus melihat ke depan dengan tangan yang berayun di kemudi. "Jadi, kamu mau dilamar?" godanya dengan nada nakal.
"Usiaku hampir menginjak 27 tahun. Umur segitu sudah termasuk perawan tua lho," jelas Raya basa-basi, dalam hatinya ia mengiyakan kalau dirinya memang
benar ingin dilamar. Lagi, El terkekeh. "Ya udah deh. Nanti aku beli cincin berlian yang paling mahal buat kamu."
Raya menghadap ke samping. "Beneran?" tanyanya antusias sambil memegang lengan El.
Seperti biasa, ia hanya mengangguk, sifat pendiamnya masih saja tidak hilang meskipun bersama Raya. Ia hanya berkata seperlunya saja.
Setelah mengantar Raya pulang ke apartemen, El bergegas kembali ke rumahnya, mengambil sebuah kotak kecil yang ia simpan dalam laci, kemudian ia bergegas
kembali ke apartemen Raya.
*****?"?"?"*****
Chapter 77 [Author pov] HP Raya bergetar. Raya pun segera menyambar benda kotak itu lalu menyentuh layarnya. Matanya melebar senang, tampak senyum manis mengembang dari kedua
sudut bibirnya ketika ia membaca sebuah nama yang sangat ia rindukan padahal baru saja ia berpisah beberapa menit yang lalu.
"Halo" Ada apa, El?" tanya Raya sambil senyum-senyum sendiri.
"Bisa kamu ke taman sekarang?" tanya El datar, dia memang selalu terdengar tenang. "Sebentar lagi aku ke sana."
"Ke taman?" Alis Raya terangkat. "Sekarang" Untuk apa?"
Tuuut... El sengaja mengakhiri panggilan, jantungnya berdegup begitu kencang sehingga ia tidak bisa bersikap seperti biasanya, datar, tegas, dan sedikit dingin.
Setelah itu, ia pun bergegas menuju taman yang berada tidak jauh di sekitar apartemen Raya.
Raya segera bergegas keluar apartemen dan berlari menuju taman. Di sana, ia tak menjumpai siapa pun. Sepi. Hanya ada beberapa pasangan muda-mudi yang terlihat
asyik mengobrol. Raya menghela napas kecewa. El masih belum datang juga. Ia memutuskan untuk menunggu pangerannya di kursi putih panjang, di bawah sinar
lampu yang temaram. "El" Kenapa kamu minta aku keluar malam-malam gini?" tanya Raya berbicara pada dirinya sendiri. "Sebenarnya apa yang ingin kamu katakan?"
Sementara itu, dalam perjalanan menuju taman, El mengendarai motornya begitu kencang seperti angin. Ia sudah tidak sabar lagi menemui Raya dan mengatakan
will you marry me" Saking senangnya, pikirannya melayang saat berkendara. Ia tidak sadar kalau ada truk besar yang melaju kencang ke arahnya.
Tuuuut" tuuuut tuuuuut
Suara klarkson sebuah truk tronton membuyarkan lamunan El. Matanya melebar. Motor yang dikendarainya tiba-tiba lepas kendali untuk menghindari tubrukan.
El berhasil menghindari truk itu. Tapi ia tidak berhasil menghindari goresan aspal saat ia terjatuh. Ia meringis kesakitan saat laju tubuhnya yang terpental
sudah terhenti di tepi jalan. Sementara truk yang tadi melaju ke arahnya tiba-tiba terguling lalu membuat suara ledakan gaduh yang mengagetkan warga sekitar.
Mata El mengerjap kaget saat terjadi ledakan itu. Ia melihat api yang menjulur di seluruh tubuh truk yang tadi hampir menabraknya. Napasnya terengah berat.
Ia melihat orang-orang mulai berkerumum ke sekelilingnya sambil menatapnya iba.
"Cepat panggil ambulan!" teriak salah seorang pria di antara kerumunan warga. Suaranya terdengar panik.
"Baik," sahut salah seorang yang lain lalu menyentuh beberapa gambar di ponselnya untuk menghubungi ambulan.
"Kasihan sekali dia."
"Ganteng-ganteng tapi kecelakaan."
"Kalau lihat kecelakaan gini, aku jadi ngeri deh."
"Ya ampun, kapan ambulannya datang sih?"
"Ambulannya kok lama banget ya?"
Opini warga yang berkerumun masih dapat El dengar walaupun samar-samar. Napasnya semakin sesak, sementara tubuhnya semakin lemas, pandangan matanya pun
mulai memudar. Di taman sendirian, Raya masih menunggu kedatangan El sambil mengerucutkan bibirnya kesal. Menunggu adalah salah satu hal yang sangat tidak disukainya.
Apalagi menunggu lama. Ia pun memutuskan untuk menghubungi El.
"Halo, El" Kamu di mana?" tanya Raya setengah ketus.
"Mbak" Mbak kenal pemuda ini?" tanya seseorang.
Alis Raya terangkat ketika mendapati bahwa yang mengangkat panggilan bukan El tapi orang lain. "Iya. Saya pacarnya. Maaf, anda siapa ya?"
"Pacar anda mengalami kecelakaan. Dia sekarang dilarikan ke rumah sakit Amanahmedika."
"Apa" Pacar saya mengalami kecelakaan?" Mata Raya membulat, tangannya melemas, seketika itu HP yang dipegangnya terjatuh ke atas rerumputan taman.
"Halo" Halo?"
Raya mengabaikan ponselnya yang masih menyala. Jantungnya seakan terhenti. Matanya berkaca-kaca lalu beberapa bulir air mata menetes lancang tanpa seizinnya.
Setelah linglung beberapa saat karena kabar mengerikan itu, Raya mengabaikan ponselnya lalu berlari menuju apartemennya, mengambil kunci mobil, lalu berlari
lagi menuju tempat parkir. Ia pun mengendarai mobilnya dengan kecepatan ekstra, berharap cepat sampai ke rumah sakit untuk melihat keadaan El.
Sesampainya di rumah sakit, ia bergegas menuju meja resepsionis. Seperti orang linglung, ia butuh waktu berpikir untuk melontarkan pertanyaan.
"Mbak" Di mana kamar pasien bernama Elbara" Pasien kecelakaan yang baru saja datang," ungkap Raya dengan tangan gemetar, takut menghadapi kenyataan bahwa
Tuhan mungkin akan mengambil orang yang disayanginya lagi.
"Tuan Elbara ada di kamar VVIP Cendana 009," kata si resepsionis.
Setelah tahu keberadaan El, Raya kembali berlari linglung. Mondar-mandir mencari kamar VVIP Cendana nomor 009. Dan akhirnya, ia menemukan kamar itu. Tapi
aroma kamar itu membuatnya tercekat, enggan untuk masuk.
Raya menelan ludah, air matanya mulai mengalir deras, sementara tangannya enggan untuk membuka pintu. Hatinya pilu nan perih. Tapi ia harus tahu bagaimana
keadaan El sebenarnya. Dan perlahan, pintu kamar 009 itu pun terbuka.
Mata Raya membulat sempurna. Ia menutupi mulutnya yang terbuka kaget dengan kedua tangannya. Sungguh ia masih tak percaya dengan apa yang dilihatnya saat
itu. Perlahan Raya mendekat dengan mata basah. Ia mendapati jasad yang terbujur kaku di bawah selimut rumah sakit. Hati Raya tercabik sakit. Perlahan, tangan
Raya ingin menyingkap selimut rumah sakit yang menutupi wajah jasad itu. Tapi sebelum ia sempat, ia langsung menjerit histeris ketika tiba-tiba tangan
jasad itu menjulur keluar selimut. Betapa tidak" Tangan tersebut penuh luka bakar, kulitnya sebagian besar bahkan terkelupas, membuat Raya mengurungkan
niatnya untuk melihat wajah jasad tersebut.
Kaki Raya seolah goyah, melemas. Ia pun terjerembab ke atas lantai sambil terisak dalam tangis sembari memegangi dadanya yang terasa sangat sesak dan perih.
"Kenapa" Kenapa kamu harus pergi secepat ini?" ucap Raya sambil memukul-mukul dadanya yang terasa sangat sesak. "Kamu bilang akan membelikanku cincin berlian
yang paling mahal. Dan akan segera menikahiku. Tapi kenapa kamu pergi tanpa seizinku, El?"
Raya benar-benar terpukul saat itu. Tangisnya tak bisa terhenti. Ia sungguh terlarut dalam kesedihan yang teramat sangat. Setelah delapan tahun tak melihat
El, apakah ia tidak akan melihat El untuk selamanya" Bukankah ini sungguh tidak adil" Kenapa satu per satu orang yang disayanginya menghilang"
"Dasar pria jahat!" bentak Raya frustrasi, menghujat jasad yang terkapar kaku di atas ranjang. "Sekarang aku harus bagaimana" Aku tidak bisa menikah dengan
siapa pun. Dan aku tidak mau menikah dengan siapa pun kecuali denganmu, El."
Jasad itu tak menyahut. Memang napasnya telah terhenti sejak berada di ambulan tadi. Tapi Raya tak henti-hentinya mengoceh frustrasi, seolah-olah ia hampir
gila. "Apa aku harus menikah dengan batu nisanmu" Huh?" racau Raya lagi. "Tega sekali kamu ninggalin aku kayak gini. Tega!"
Air mata Raya masih tak bisa terhenti. Ia masih menyesali takdir hidupnya. Sekarang, El sudah tiada. Hanya tinggal jasad tak berdaya yang terbujur kaku
di bawah selimut putih. *****?"?"?"*****


Cewek Cetar Dua Karya Zaeemaazzahra di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Chapter 78 [Raya pov] Gue sangat terpuruk malam itu. Menangis adalah satu-satunya hal yang bisa gue lakukan untuk mengenang kepergian El. Gue bersumpah tidak akan menikah jika
tidak dengan El. Gue sangat mencintainya lebih dari gue mencintai diri gue sendiri. Apa gue harus menyusulnya ke surga" Ya! Lagipula Mama sama Papa juga
ada di sana bersama Tuhan. Dan mungkin gue bisa menemui mereka bertiga.
"Maaf, anda siapa?" tanya seorang wanita bertubuh tambun yang berdiri di ambang pintu. Matanya juga basah, sama seperti gue. "Apa anda mengenal Mas Doni?"
"Mas ... Do ... ni?" tanya gue dengan suara terbata-bata karena bercampur isakan.
"Apa anda mengenal suami saya?" imbuh wanita bertubuh tambun itu.
"Siapa anda?" Gue malah balik bertanya.
"Saya istrinya Doni Aliansyah, korban kecelakaan truk."
"Doni Aliansyah" Siapa dia" Sa ... ya ... nggak mengenalnya."
"Kalau anda tidak mengenalnya, kenapa anda berada di sini?"
"Maaf, di sini kamar 009, kamar almarhum Tuan Elbara. Seharusnya saya yang bertanya pada anda, kenapa anda bisa berada di kamar ini?" Gue mulai berdiri
dari lantai dengan emosi.
"Maaf, Mbak. Sepertinya Mbak salah kamar. Kamar ini bukan kamar nomor 009 tapi nomor 006."
Alis gue terangkat kaget. Gue langsung berlari menuju papan pintu lalu melihat nomor yang ada di depannya. Wanita itu benar! Gue yang salah. Mungkin karena
gue terlalu linglung, jadi gue salah membaca angka enam menjadi angka sembilan. Senyum gue mengembang. Tanpa berbasa-basi, gue langsung berlari menuju
kamar 009, tempat El dirawat. Semoga saja ia tidak apa-apa, Tuhan.
Langkah gue terhenti di depan pintu 009. Jantung gue berdegup tak karuan, takut kalau kondisi El sama parahnya dengan seseorang yang bernama Doni tadi.
Tangan gue perlahan memegang gagang pintu lalu membukanya.
"Raya?" Seorang laki-laki tertubuh tegap menyapa gue, ia berdiri tepat di depan pintu seolah hendak keluar kamar.
Gue mendongak, mencoba memastikan kalau lelaki itu adalah El. Dan kali ini gue benar! Dia El. Dia belum meninggal. Langsung saja gue rebahkan tubuh gue
ke dadanya, memeluknya erat seakan nggak ada lagi hari esok.
"Kamu jangan pernah tinggalin aku lagi, El. Cukup delapan tahun saja. Esok, lusa, dan seterusnya, kamu nggak boleh pergi ke mana-mana tanpa seizinku,"
ucap gue dengan napas sesenggukan. Tangis gue lagi-lagi membuncah.
"Iya. Aku nggak akan pergi ke mana-mana tanpa seizinmu." El membalas pelukan gue dengan lembut lalu membelai rambut gue dari atas ke bawah.
"Kamu nggak boleh kecelakaan. Kamu nggak boleh terluka. Kamu harus tepatin semua janji-janji kamu ke aku."
"Aku baik-baik saja. Berhentilah menangis." El melepaskan pelukannya lalu mengusap pelan kedua pipi gue yang basah.
"El, kamu terluka," kata gue sambil menyentuh kening El yang tertutupi perban. "Kamu beneran nggak apa-apa?"
"Iya, Raya. Aku nggak apa-apa. Ini hanya luka ringan kok."
Gue kembali memeluk El lalu menempelkan pipi gue ke dadanya yang terasa hangat. "Pokoknya jangan sampai kejadian seperti ini terulang lagi. Kalau terulang
lagi, aku tidak akan memaafkanmu, El."
"Iya, aku janji akan lebih berhati-hati. Jadi sekarang, berhentilah menangis. Aku mohon."
Gue melepaskan pelukan gue lalu mengusap air mata gue yang terus berlinang. "Pak pasien, sekarang kamu berbaring saja di atas ranjang. Biar nggak kecapek'an."
Gue mendorong tubuh El ke belakang hingga ia melangkah mundur lalu terduduk di atas ranjang.
Senyum El mengembang lalu ia menarik tangan gue hingga membuat gue terduduk di sampingnya. Gue tersentak ketika ia menaruh kepalanya di pangkuan gue, membuat
jantung gue berdenyut tak karuan mendapati tingkah manjanya.
"El, kamu apa-apaan sih?" tanya gue sembari mengoyak pelan bahunya. "Cepat pindahkan kepalamu!"
"Nggak mau!" ujar El. Ia malah memejamkan matanya dan berpura-pura tertidur. "Malam ini, aku mau tidur di pangkuan Bu arsitek."
Ucapannya membuat gue tersipu, sedangkan pipi gue berdesir senang. Perlahan, gue membelai hidung mancungnya dengan jari telunjuk gue, membuat matanya terbuka
dan menatap gue penuh tanya.
"Kamu mengagumi wajahku ya?" goda El lalu terkekeh pelan.
"Iya. Aku sangat suka wajah ini. Soalnya kayak oppa oppa Korea," sahut gue sembari membelai pipinya.
El kembali terkekeh. "Emangnya kamu sangat suka Korea ya?" Dia masih belum puas bermanja-manja di pangkuan gue.
Gue mengangguk sembari terus mengelus pipinya dengan jemari-jemari gue.
El tiba-tiba memiringkan tubuhnya menghadap perut gue. "Ya udah. Nanti kita buat banyak anak yang mirip Korea di sini," katanya sambil mengelus lembut
perut gue. "Ih apaan cobak?" tukas gue dengan pipi yang memerah.
El kemudian melingkarkan tangannya ke pinggang gue, memeluk gue dengan cinta. Sementara gue mengelus rambutnya dengan pelan.
"El?" sapa gue.
"Hm?" sahutnya yang masih betah memeluk perut gue.
"Cepat sembuh ya. Aku nggak ingin kamu sakit lagi."
"Hmmm...." "Apa benar kepala kamu nggak kenapa-napa?"
"Hm." "Aku takut kalau kamu seperti Goo Jun Pyo, tiba-tiba hilang ingatan dan lupain aku."
Ucapan gue membuat El melepaskan pelukannya lalu terbaring sambil terkikik. "Kamu tuh terlalu banyak nonton drama Korea tau nggak?" ucapnya dengan tawa
yang membuncah. "Permisi, waktunya makan ma...." Seorang perawat tercekat, meja dorong yang dibawanya pun terhenti ketika ia melihat kepala si pasien berada di pangkuan
gue. "Taruh saja di meja," perintah El dengan ekspresi datar.
"Ba ... baik," ucap perawat itu gugup lalu gelagapan menaruh piring makanan ke atas meja.
"El, bangun nggak?" kata gue setengah berbisik sembari mencoba membangunkan kepala El dari pangkuan gue, merasa malu kepergok memangku pasien di hadapan
si perawat. "Nggak mau bangun," sahut El manja sembari kembali memiringkan tubuhnya lalu melingkarkan tangannya ke sekeliling pinggang gue.
Gue pun hanya bisa meringis malu saat melihat ekspresi si perawat yang sesekali melirik kami. Tak lama setelah menyiapkan makanan untuk El, si perawat"
itu pun keluar. "El, kamu nggak malu?" tanya gue sedikit ketus.
"Enggak," jawabnya singkat.
"Perawat tadi ngeliatin kita."
"Biarin." "Ih kamu mah gitu. Kamu nggak punya malu" Sumpah. Aku tadi malu banget."
"Biarin." Tak lama setelah percakapan itu, Daniel, sekretaris El masuk ke dalam kamar lalu tercekat dengan mata terbelalak kaget, sama halnya dengan perawat barusan.
"Da ... niel?" sapa gue dengan mata membulat.
El terkesiap, ia langsung bangun dari pangkuan gue. "Lain kali, bisa nggak ketuk pintu dulu?" tanyanya sinis.
Daniel mengangguk kikuk. "Iya, Pak. Saya ke sini membawakan gitar yang Bapak minta," paparnya.
"Taruh saja gitarnya di situ." El menunjuk sudut ruangan dengan dagunya.
Daniel langsung menurut dan meletakkan gitar yang dibawanya ke tempat yang tadi ditunjuk oleh El.
"Daniel, bisa kita ngomong sebentar?" tanya gue sambil memberikan kode mata ke Daniel, berharap ia mengerti kalau gue ingin mengatakan sesuatu yang penting
di luar kamar. "Bisa," jawab Daniel.
Gue pun langsung berdiri dan menyeret Daniel keluar kamar.
"Sebenarnya, Bu Soraya mau ngomong apa?" tanya Daniel.
"Begini. Em ... saya harap kamu melupakan apa yang kamu lihat barusan," ungkap gue tanpa berbasa-basi.
"Maksud Bu Soraya" Saat Pak Bara tidur di pangkuan Ibu?"
Gue mengangguk malu. "Baik, Bu. Saya nggak akan bilang ke siapa-siapa."
"Baguslah kalau kamu mengerti."
"Saya jadi penasaran. Bagaimana Bu Soraya bisa menaklukkan orang kejam seperti Pak Bara."
"Kejam?" Alis gue terangkat kaget saat mendengar opini Daniel.
Daniel tersenyum kecut lalu menggeleng, seolah ia telah salah bicara. "Lupakan perkataan saya tadi. Ya sudah. Saya pamit dulu."
Gue mengangguk dan membiarkan Daniel pergi. Lalu gue pun kembali masuk ke kamar El.
"Kamu bicara apa saja sama Daniel?" tanya El.
"Aku menyuruhnya untuk tidak mengatakan pada orang-orang kalau kita pacaran," jelas gue.
El hanya mengangguk sedangkan mulutnya membentuk huruf O.
*** [Author pov] Arsyaf berdiri di depan pintu apartemen Lea. Tangannya terasa enggan memencet bel.
Tapi mau atau tidak mau, ia harus memencet bel atau setidaknya mengetuk pintu tersebut.
Ting tung ting tung Arsyaf memencet bel itu sebanyak dua kali. Lalu tak lama kemudian, seorang wanita cantik membukakan pintu untuknya. Matanya terbelalak lebar ketika ia
melihat Arsyaf kini berdiri di hadapannya.
"Ar ... syaf?" sapanya kaget.
"Boleh aku masuk?" tanya Arsyaf sedikit kikuk. Sejak kejadian malam delapan tahun yang lalu, ia tak pernah bertemu Lea lagi. Lea menghilang tanpa kabar
bahkan pindah kampus. Lea mengangguk lalu membuka pintu apartemennya lebih lebar agar Arsyaf bisa leluasa masuk. Kemudian ia mempersilahkan Arsyaf untuk duduk.
"Bagaimana kamu tau tempat tinggalku?" Lea memulai pembicaraan yang jelas terasa canggung.
"Aku menyuruh orang untuk mencari tahu semuanya," papar Arsyaf dengan wajah yang menunduk, menatap lantai. Rasanya ia tak bisa melihat muka Lea. Rasa benci
itu masih ada walaupun kejadian naas itu sudah berlalu delapan tahun yang lalu.
"Em ... kamu mau minum apa?" Lea beranjak dari tempat duduknya tapi Arsyaf tiba-tiba memegang pergelangan tangannya dan membuatnya terhenti.
"Aku ingin bertemu anakku," ucap Arsyaf, membuat mata Lea melebar.
"Dari mana kamu tau kalau Resya adalah anakmu?"
"Aku sudah bilang kalau aku sudah menyelidiki semuanya," jelas Arsyaf tegas. "Sekarang di mana Resya?"
Lea tertegun sejenak. Ia bahkan tak percaya kalau Arsyaf mengakui Resya adalah anak kandungnya. Ternyata penantiannya selama delapan tahun tidak sia-sia.
Setiap hari ia berdoa agar Resya bisa bertemu dengan ayahnya. Dan sekarang" Sekarang mimpinya akan segera terkabul.
"Dia ada di kamar sedang shalat," kata Lea dengan suara lirih, terharu atas kedatangan Arsyaf.
Arsyaf berdiri dari tempatnya lalu ia berjalan mengikuti Lea dari belakang menuju sebuah kamar yang berada di sudut ruangan.
"Ya Allah, semoga papaku di surga baik-baik saja," ucap seorang anak kecil di atas sebuah sajadah hijau sembari menengadahkan tangan. "Ya Allah, apakah
aku bisa bertemu dengan Papa?"
Arsyaf menoleh penuh curiga ke arah Lea. "Kenapa ... kenapa Resya mengira kalau aku sudah meninggal?"
"Selama ini, aku membesarkan Resya sendirian. Aku benar-benar tak menyangka kalau kamu akan mengakuinya."
"Ya Allah, aku ingin bertemu Papa, ya Allah," lanjut Resya berdoa.
Hati Arsyaf terasa perih mendengar doa Resya. Ia tak tahu kalau keberadaannya begitu berarti bagi Resya. Matanya mulai berkaca-kaca, merasa iba pada anak
kecil di dalam kamar yang masih mengenakan mukena.
******?"?"?"******
Chapter 79 [Author pov] "Papa di sini, Nak," ucap Arsyaf sambil melangkah perlahan menuju Resya yang masih duduk di atas sajadah hijau.
Resya menoleh. Dahinya berkerut. Lalu kemudian matanya melebar kaget saat melihat Arsyaf berdiri di ambang pintu kamarnya yang kini mulai melangkah ke
arahnya. Ia tak menyangka kalau doanya akan terkabul begitu cepat. Selama ini, ia hanya tahu wajah Arsyaf melalui selembar foto.
"Pa ... pa?" tanya Resya masih tak percaya.
"Iya. Ini Papa, Sayang." Arsyaf membentangkan tangannya.
Resya tersenyum lebar lalu berlari ke pelukan Arsyaf. Sementara Lea hanya bisa menangis karena terharu.
"Papa, selama ini Papa ke mana saja" Aku sangat ingin bertemu sama Papa," ungkap Resya sambil menangis bahagia.
"Maafkan Papa, Sayang. Papa berjanji tidak akan meninggalkanmu lagi. Papa berjanji akan selalu menjagamu." Arsyaf memeluk Resya erat sambil mengelus rambut
gadis kecil itu. "Mama bilang, Papa meninggal saat aku masih bayi. Tapi kenapa sekarang Papa bisa hidup lagi?"
"Papa bukan meninggal. Papa hanya pergi untuk bekerja, Sayang," sahut Arsyaf berbohong.
"Papa, Papa nggak akan pergi lagi kan?"
"Iya, Sayang. Papa nggak akan pergi ke mana-mana."
"Papa, aku sayang Papa."
"Papa juga sayang sama kamu."
Setelah melepas rindu, Resya meminta Arsyaf untuk membacakan dongeng sebelum ia tidur. Ia bahkan meminta Arsyaf untuk tetap tinggal di apartemennya seolah
ia takut Arsyaf akan pergi dan tak kembali lagi.
"Akhirnya, Cinderella menikah dengan sang pangeran. Dan hidup bahagia selamanya," ucap Arsyaf lalu mengelus lembut rambut Resya.
Resya tampak masih belum mengantuk. Di atas ranjang, ia masih memeluk Arsyaf erat. Entah perasaan apa yang Arsyaf rasakan. Tapi sungguh! Arsyaf merasa
sayang pada gadis kecil yang kini terbaring di sampingnya. Apa karena dia adalah anak kandungnya" Apakah itu sebabnya Arsyaf merasa memiliki ikatan batin
dengan Resya" "Papa, aku ingin bobok sama Papa dan Mama," pinta Resya.
Mata Arsyaf terbelalak lebar lalu ia berdehem. "Maaf ya, Sayang. Papa nggak bisa. Papa harus pulang sekarang," tolak Arsyaf.
"Tapi ... kenapa Papa harus pulang?" Resya mendongak, melihat Arsyaf yang masih berbaring di sampingnya. Ia mengeratkab pelukannya.
"Karena Papa ada beberapa kerjaan yang harus Papa urus, Sayang," jelas Arsyaf berbohong.
Sebenarnya, Arsyaf tidak ingin tetangga Lea menggunjing Resya karena Lea memasukkannya ke dalam apartemen. Dia bukan kekasih Lea. Dia juga bukan suami
Lea. Dia hanya seorang ayah secara biologis namun bukan ayah secara hukum bagi Resya. Itulah sebabnya, sebelum ia menikahi Lea, Arsyaf tidak ingin ada
Pedang Pelangi 25 Pendekar Rajawali Sakti 4 Kitab Tapak Geni Hilangnya Pusaka Kerajaan 3
^