Pencarian

Kisah Kino 1

Kisah Kino Karya Crazy Guy Bagian 1


e-book by Crazy Guy (www.cgboy.co.cc) 08/06/2000 1
Kisah Kino Pertama-tama, ini adalah serial tentang kehidupan di kota kecil, walau tak terlalu jauh dari kota besar. Ini juga cerita
tentang Kino, seorang pria yang menjalani masa remaja, dan akhirnya tumbuh sebagai lelaki matang. Pada babak awal
cerita, Pembaca dapat menyimak kisah-kisah pubertasnya. Pada masa awal inilah, seksualitas dan sensualitas terbentuk.
Dengan begitu, ini pula kisah tentang the coming of age yang kadang-kadang melodramatik.
Kino tergolong pemuda biasa seperti kita-kita semua. Apa yang dialaminya merupakan kejadian biasa, dan bisa terjadi
pada siapa saja, karena merupakan kelumrahan belaka. Tetapi, kita tahu ada banyak kelumrahan yang kita sembunyikan
dengan seksama. Kita letakkan di lipatan-lipatan yang tak mudah ditemukan, agar tak menjadi keseronokan yang tidak
sopan. Halaman-halaman berikut ini bermaksud mengungkap kelumrahan itu tanpa tergelincir menjadi keseronokan.
Entah apakah maksud itu tercapai, Pembaca jua lah yang menjadi jurinya.
Nama dan tempat dalam cerita ini -tentu saja- adalah hayal belaka. Tetapi jika ada kesamaan dengan apa yang Anda
temui dalam hidup nyata, penulis hanya bisa mengatakan bahwa itu adalah sebuah kebetulan. Sambil mengucap
terimakasih, karena kisah ini bisa mengungkap kenyataan.
Judul-judul dari Kisah Kino :
1. Awal Perjumpaan 2. Musim Berderap Berlalu
3. Seorang Bidadari dan Sebuah Mimpi
4. Musim Badai Tiba 5. The Twilight Zone 6. Kembang Semusim 7. Suara Kesunyian 8. Sang Troubador 9. Menguntai Masa Lalu Extra : Binar Bintang di Bentang Malam Aneka Kisah Wanita di Sekitar Kino
e-book by Crazy Guy (www.cgboy.co.cc) 08/06/2002 0
BINAR BINTANG DI BENTANG MALAM
Beberapa kisah semi-erotik maupun erotik-sepenuhnya tentang Rien, Alma, Rima dan Indi.
Mereka adalah para kejora yang berkerejap indah di kehidupan Kino... para kupu semarak
yang berterbangan di sekitarnya ... para kelopak harum yang menyeruak di sekelilingnya.
Mereka memang bukan Sang Bidadari, Tris... yang dipuja-puji Kino. Tetapi mereka tak bisa
lekang dari kisah-kasih pemuda itu, bukan"
1. Rien: Tarian Sepenuh Jiwa
2. Alma : The Way We Were....
3. Indi: Ensiklopedia Penuh Warna (1)
4. Indi: Ensiklopedia Penuh Warna (2)
5. Rima: Pendakian Tiada Henti
e-book by Crazy Guy (www.cgboy.co.cc) 08/06/2000 3
Rien: Tarian Sepenuh Jiwa
Dengan rambut yang kini meriap menyentuh bahu, hidung bangir yang tegak di antar dua mata bak telaga bening, dan
bibir basah yang selalu siap menyungging senyum, Rien adalah Dang Hyang Tari: seorang queen of the dance terkenal
di ibukota. Apalagi ia adalah juga pencipta, seorang koreografer ulung yang mencampurkan tradisi dan modernisasi.
Satu tariannya, The Cocoon mengundang pujian setinggi langit dari para kritikus dalam dan luarnegeri. Itulah tarian
sepenuh jiwa tentang kempompong yang berubah menjadi kupu-kupu.
Di bawah sorot tunggal lampu panggung yang kosong (kecuali oleh sebuah pohon hidup setinggi satu setengah meter di
tengahnya), Rien meliukkan tubuhnya yang terbungkus kain putih sekujur badan, dari ujung kaki sampai ujung kepala.
Gerakannya aneh, sekaligus magis karena ada warna tarian wilayah Indonesia Timur, sedikit Bali, ditambah sedikit
gerakan Serampang Duabelas, juga penuh lentingan-lentingan yang sulit ditiru. Seperti tari-tari balet modern. Kadangkadang
ia meliuk ke belakang sampai punggungnya hampir menyentuh lantai panggung; lalu memutar sambil menjulur
ke atas dalam gerakan lembut; lalu tangannya terentang menerobos keluar dari balutan kain; lalu kelima jarinya
merentang dan bergerak cepat seperti digetarkan oleh motor listrik. Satu cincin yang dipakai di jari tengahnya,
berkerejap-berkilau bagai pemantik laser.
Penonton kerap bertepuk tangan. Kritikus tari duduk terpana di baris depan. Media massa segera meliput kemana pun ia
pergi. Namanya pun melejit: Rienduwati, Ratu Baru Dunia Tari. Sebuah stasiun televisi mewawancarainya di belakang
panggung. Wajahnya sumringah masih berpeluh. Tubuhnya yang agak kurus tetapi padat-berisi, terbungkus ketat oleh
baju kaos dan celana panjang hitam. Matanya itu..... Ya, mata
nya terus berbinar sepanjang wawancara. Dan ia bercerita
tentang kegairahan mencipta tarian-tarian modern yang tak sepenuhnya melupakan tradisi lokal. Bercerita tentang karya
monumentalnya, The Cocoon itu. Konon itulah pula ekspresi jiwanya.
"Mengapa harus kepompong, Mbak Rien"" tanya si pewawancara, seorang gadis muda yang tampak sekali mengagumi
tokoh yang diwawancarainya.
"Ya, dia itu, kan, menjelma dari tidur panjang penuh penantian, ke kemerdekaan yang bisa membuatnya terbang. Aku
menyimpulkan metamorfosa itu sebagai suatu yang megah, sekaligus rumit. Bayangkan saja, betapa bedanya antara ulat
yang uget-uget, lalu kepompong yang patuh dan diam, lalu kupu-kupu yang indah!" kata Rien bersemangat, dalam satu
tarikan nafas yang panjang.
Si pewawancara agak menganga, dan sempat dua atau tiga detik lupa mengajukan pertanyaan berikutnya. Untunglah
Rien sangat santai, dan malah bercanda menepuk lengan pewawancaranya sambil berucap, "Begitulah kira-kira, jeng!"
Demikianlah nama Rien semakin mencuat. Apalagi kemudian ia sering menari di pusat-pusat kebudayaan asing di
ibukota. Tak lama setelah debut-nya di Gedung Kesenian, Rien pun berkeliling Eropah selama satu bulan penuh; menari
di beberapa festival di Jerman, Perancis, Inggris dan Italia. Usianya masih sangat muda untuk ukuran koreografer
sekaliber itu. Ia sedang menapak angka 30. Tetapi kalau melihat penampilannya yang ceria, segar, dan enerjik, orang
pasti menyangka ia baru berusia 20-an. Dan ia masih melajang walau sudah tinggal di apartemen mewah dan punya
sebuah BMW hadiah sepasang suami-istri pengusaha Jerman yang terkagum kepadanya.
Beberapa kali pria mencoba mendekatinya, tetapi ditampik dengan halus. Alasan terkuat yang diajukan Rien adalah: ia
terlalu sibuk dengan sanggar dan tariannya. Dan memang ia sangat sibuk di tahun-tahun pertama karirnya. Setelah The
Cocoon, ia menciptakan dua karya cemerlang lagi. Satu diberi judul Padi - Kapas, ditarikan berpasangan dengan seorang
penari pria asal Riau. Satu lagi bernama Serambi Para Gadis yang dinarikannya bersama 6 penari pengiring wanita.
Kalau The Cocoon mengesankan kecanggihan Rien sebagai penari tunggal, maka dua karya lainnya ini memastikan Rien
sebagai koreografer yang telah matang.
Tetapi setelah beberapa saat menjadi lajang paling populer seantero ibukota, Rien akhirnya luluh juga. Ada seorang pria
yang mendekat kepadanya, dan koran atau majalah mulai bergosip tentang mereka. Namanya Tiyar, seorang gitaris
kelompok jazz yang berjumpa-pandang dengan ratu tari itu pada sebuah acara kesenian yang diadakan Pusat
Kebudayaan Jepang. Tiyar adalah pemuda berdarah campuran. Ibunya orang Jepang. Ayahnya seorang Indo-Belanda.
Oleh sebab itu ia bertampang unik, dengan mata Eropa yang kebiruan tetapi rambut Asia yang hitam legam. Semua
orang bilang ia cute. Maka ia pun punya rasa percaya-diri yang cukup melimpah. Maka ia pun dengan gagah menegur
lebih dahulu sambil memandang takjum sekaligus takjim.
"Halo, tarian Anda sungguh mengagumkan...," katanya sambil mengacungkan tangan untuk bersalaman.
Rien memandang pemuda bercelana jeans dan berkaos putih di depannya, dari ujung rambut sampai ujung kaki. Lalu ia
tersenyum, tetapi tidak menyambut tangan yang telah tersodor.
"Saya Tiyar, gitaris yang sebentar lagi manggung..," kata Tiyar tetap gagah berani, walau tangannya terpaksa ditarik
kembali. "Saya Rien, penari yang baru turun dari panggung," jawab Rien ringan sambil melap lehernya dengan sapu tangan.
Harum semerbak menyebar dari setangan tipis itu.
e-book by Crazy Guy (www.cgboy.co.cc) 08/06/2004 0
"Riendu. Saya sudah tahu nama Anda. Semua orang sudah tahu," kata Tiyar masih dengan gaya penuh percaya diri.
"Apakah orang juga tahu nama Tiyar"" ucap Rien yang tiba-tiba ingin mencandai pemuda cakep yang ... ah, kenapa ia
tiba-tiba ingat seorang pemuda secakep ini di masa lampaunya, di kampung sana"
Tiyar tersipu, "Wah, pasti belum banyak yang tahu saya," katanya sambil melangkah merendengi Rien yang menuju
kamar ganti pakaian. "Ini jalan menuju kamar ganti, lho..," kata Rien santai, "Kalau panggung, ke arah yang berlawanan."
T iyar menggaruk kepalanya yang tidak gatal, "Saya mau menanyakan sesuatu kepada Anda," katanya sambil terus
merendengi Rien. Beberapa kru band melihat ke arah mereka, dan salah seorang bersuit-suit menggoda.
"Oh! .. saya kira mau minta tandatangan," kata Rien lagi sambil tertawa kecil. Boleh, dong, sekali-kali menggoda
pemain band, ucapnya dalam hati.
"Berapa nomor telepon rumah Anda"" tanya Tiyar sebelum keberaniannya hilang.
Mereka sudah sampai di depan kamar ganti khusus untuk Rien, dan wanita itu membalikkan badan menghadapi Tiyar
yang kini terdiam menunggu jawaban bagai seorang terdakwa menunggu keputusan hakim.
"Mau mengajak makan malam"" tanya Rien dengan ringan, seakan-akan bertanya kepada seorang yang sudah
dikenalnya lama. Tetapi justru pertanyaan seperti ini yang tidak diduga oleh Tiyar.
"Eh.. ah, bukan begitu," ucap pemuda itu gugup, "Saya cuma ingin tahu nomor telepon..."
Rien tersenyum manis dan penuh godaan. Rasain! sergahnya dalam hati sambil berbalik dan masuk ke ruang ganti. Lalu
sambil tetap tersenyum ia melirik sekali lagi ke Tiyar yang terpaku di depan pintu. Lalu ia tutup pintu kamar gantinya.
Tiyar pun hilang dari pandangan mata. Kalau memang ia memerlukan nomor teleponku, pikir Rien, biarlah ia berusaha
sedikit lebih keras. ***** Dan berusahalah Tiyar lebih keras. Agak sulit mulanya, karena Rien memang tidak mengumbar nomor telepon pribadi.
Dia biasa dihubungi di sanggarnya. Karena itulah Tiyar ke sana. Berkali-kali ke sana, hanya untuk menunggu Rien
berhenti melatih atau berlatih. Sudah dua kali ia datang, tetapi Rien masih harus melatih anak buahnya. Tiyar pulang
dengan tangan hampa. Pada suatu hari ia menunggu tak kurang dari 1 jam, hanya untuk kecewa karena sebuah stasiun televisi Jerman ternyata
punya janji wawancara. "Tetapi saya sudah di sini sejak 1 jam yang lalu, Rien!" protes Tiyar ketika Rien dengan ringannya melambaikan tangan
sebelum menuju kolam ikan di bawah pohon perdu, tempat ia menerima kru televisi Jerman itu.
"Aku tahu," ujar Rien sambil menembakkan lirik matanya yang bisa menumbangkan beringin itu.
"Lalu, musti menunggu berapa lama lagi"" kejar Tiyar.
"Dua, ..... mungkin tiga, mungkin empat jam," jawab Rien ringan. Langkahnya gemulai tetapi cukup cepat untuk
membuat Tiyar tergopoh-gopoh di belakangnya.
Tiyar menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Sial, umpatnya dalam hati, dua jam lagi aku janji latihan band.
Kru televisi kemudian mengatur berdiri Rien, dekat sebuah patung batu di pinggir kolam. Suara gemercik air terdengar
lamat-lamat. Sinar mentari tak terlalu banyak, tetapi ada beberapa lampu sorot dan reflector yang dibawa khusus untuk
memberi efek cahaya sempurna. Seorang juru rias dengan sigap memupuri muka Rien yang berdiri patuh. Sementara
Tiyar berdiri di kejauhan, masih bimbang apakah akan menunggu atau mengulang usahanya besok.
Rien memandang pemuda itu berdiri di bawah sebuah pohon. Ketika itulah, ketika melihat pohon itu, .... melihat seorang
pemuda berdiri di bawahnya dengan wajah penuh harap.... Rien tiba-tiba teringat lagi seseorang dari masa lalunya.
Suasananya mirip: latihan menari, dan seseorang yang menunggu! Ingatan itu seperti menyelinap dan muncul tiba-tiba di
depan mata-hatinya. Ingatan itu juga seperti sebuah cubitan; tidak sakit, tetapi cukup menyengat. Sebuah perasaan
hangat yang sulit dicerna tiba-tiba memenuhi dadanya. Di manakah dia sekarang" bisik Rien dalam hati.
Tiyar melihat Rien memandang ke arahnya. Pemuda itu menoleh ke belakang. Ia ragu-ragu, benarkah wanita
mempesona itu sedang memandangnya, atau pohon di belakangnya" Ketika pasti bahwa tidak ada siapa-siapa di
belakangnya, kecuali sebuah pohon yang tak begitu menarik, Tiyar menoleh kembali ke Rien. Dan Rien tersenyum.
Jantung Tiyar berdegup setengah kali lebih cepat dari sebelumnya. Cepat-cepat ia membalas senyum itu. Dan Rien
tersenyum lebih lebar lagi, memperlihatkan sederet giginya yang bak mutiara itu. Wahai, Tiyar seperti disiram air sejuk
di tengah siang yang kerontang ini. Lalu bibir Rien bergerak, mengucapkan sesuatu tetapi tak terdengar.
"Apa"" tanya Tiyar dengan suara keras, memb
uat semua orang menengok ke arahnya.
"Besok!" teriak Rien membalas, dan semua orang menengok ke arah wanita itu.
e-book by Crazy Guy (www.cgboy.co.cc) 08/06/2000 5
"Apanya yang besok"" teriak Tiyar. Semua orang menengok ke pemuda itu lagi.
"Besok jam 4 sore. Aku tunggu di sini!" sahut Rien. Semua orang tidak menengok ke wanita itu lagi, melainkan
memandang pemuda itu. Menunggu reaksinya.
Tiyar berpikir cepat. Besok ada janji dengan salah satu majalah musik. Bisa ditunda! Maka cepat-cepat ia mengepalkan
tinju, lalu membuat gerakan membetot dengan tangannya sambil berteriak "Yes!"
Rien tertawa renyai melihat tingkah pemuda itu. Semua orang ikut tertawa. Pemimpin kru televisi bahkan bertepuk
tangan. Juru rias sejenak menggeleng-gelengkan kepalanya. Kameraman yang bertolak-pinggang dan berwajah angker
itu pun ikut tersenyum. Tiyar was terribly happy!
***** Begitulah akhirnya Tiyar menjadi pacar Rien setelah delapan makan malam, satu kencan di disko, dan satu kali pergi
bareng ke salah satu pulau di Kepulauan Seribu.
Sekarang, kemana pun Rien manggung, pasti ada Tiyar. Kemana pun band Tiyar menggelar jazz-rock-nya, ke sanalah
Rien pergi. Pasangan itu tampak serasi. Yang satu tampak gagah dengan tubuh selalu terbungkus t-shirt putih bersih.
Yang satu tampak cantik walau juga cuma dibungkus t-shirt ungu atau hitam. Keduanya selalu memakai celana jeans.
Konon, setiap membeli jeans, pasti sepasang. Media massa sibuk membuat spekulasi. Pertanyaannya satu: kapan mereka
menikah" Padahal usia mereka terpaut hampir 3 tahun. Seorang jurnalis iseng mengangkat topik ini, tetapi ia didamprat
redakturnya. Kata redakturnya yang berkaca-mata tebal dan berusia hampir 60 tahun itu, jangan memancing kemarahan
pembaca yang tidak peduli pada usia, dan yang ingin terus membaca kisah dewa-dewi. Maka sang jurnalis yang baru
berusia 25 tahun itu dengan cemberut menghapus alinea-alinea yang menyoal usia Rien dan Tiyar.
Tetapi sesungguhnyalah soal usia ini jadi topik cukup hangat di antara mereka berdua. Misalnya, pada sebuah malam
penuh bintang, ketika dengan manja Rien duduk di pangkuan Tiyar di tepi pantai, pemuda itu berbisik di telinganya,
"Kapan aku bisa menyusul usia kamu""
"Kalau kamu sudah bisa beli mesin waktu!" sergah Rien sambil mengucek-ucek rambut kekasihnya.
"Berapa harga mesin waktu"" bisik Tiyar sambil mencium leher Rien yang selalu semerbak itu.
"Tanya saja di tokonya," kata Rien sambil mendorong tubuhnya ke belakang, menyandar sepenuhnya ke dada Tiyar
yang kokoh dan bidang itu.
"Bagaimana kalau kamu saja yang mengurangi usiamu"" kata Tiyar sambil melingkarkan tangannya di pinggang Rien.
Hmm.., nyaman sekali mendekap tubuh kekasih di depan debur ombak dan di bawah sejuta bintang.
"No way!" sergah Rien sambil mencubit lengan kekasihnya gemas.
"Aduh! Kenapa harus mencubit, sih"!"
"Gemes! Kamu suka tanya-tanya yang tidak bisa dijawab!" sergah Rien mencubit lagi.
Tiyar mengaduh lagi. Juga mengaduh dalam hati, karena sesungguhnya ia agak risau dengan perbedaan usia. Seorang
rekan satu band pernah bertanya menyindir, apakah enak menjadi daun muda. Kalau itu bukan si Gatot yang ototnya
diperlukan untuk menabuh drum, pasti Tiyar sudah meninjunya!
Rien juga tahu apa yang di-aduh-kan Tiyar. Maka ia membalikkan tubuhnya, duduk di pangkuan Tiyar sambil
menghadapnya. Kedua tangannya dikaitkan ke leher pemuda itu. Pandangan mereka beradu. Rien tersenyum, lalu
mengecup bibir pemuda itu sekilas.
"Kamu risau soal usia lagi, ya!"" ucap Rien setengah berbisik.
Tiyar mengangguk sambil memandang dua telaga bening di depannya. Oh, sejuk sekali telaga itu. Bisakah ia berenang
di sana" "Kenapa musti risau"" tanya Rien lagi sambil mengecup ujung hidung pemuda itu dengan lembut.
"Karena aku ingin menikahimu," kata Tiyar tegas. Ini adalah kali ketiga ia mengatakan kalimat yang persis sama, kata
demi kata. Rien tertawa renyai. Ia sudah bisa menduga jawabnya. Dan ia juga sudah selalu menjawabnya dengan tak kalah tegas,
"No way, Hosey!".
"Apakah karena aku lebih muda"" desak Tiyar.
"Bukan-bukan-bukan," kata Rien sambil berdendang. Ada lagu dang-dut yang berisi lir
ik itu. Rien suka menggoda Tiyar
dengan mengatakan bahwa dang-dut lebih mudah dicerna daripada lengkingan gitar jazz.
e-book by Crazy Guy (www.cgboy.co.cc) 08/06/2006 0
"Ayolah kita menikah, Rien!" ujar Tiyar sambil merengkuh tubuh kekasihnya, lalu mencium bibirnya yang ranum itu.
Rien sejenak gelagapan. Ia melepaskan diri dengan mendorong sekuat tenaga.
"Kamu mengajak menikah seperti mau memperkosa!" sergah Rien sambil tertawa.
"Sekarang aku yang gemes. Ayo kita kawin!" kata Tiyar mencoba mencium lagi, tetapi gagal.
"Jangan di sini," kata Rien sambil tertawa nakal. Tiyar semakin gemas. Direngkuhnya kuat-kuat tubuh mungil yang
sintal-padat itu. Diciumnya bibir merekah-basah yang menggairahkan itu. Dilumatnya sepenuh hati. Dibuatnya Rien
mengerang-mendesah. Tiyar tidak peduli dan terus mencium. Panjang dan lama sekali ciuman itu. Kira-kira 12 menit 32
detik. "Pulang, yuk"" bisik Rien dengan nafas memburu ketika ciuman mereka usai.
"Your place or mine"" bisik Tiyar juga dengan nafas memburu.
"Ke sanggar saja!" desah Rien. Itu adalah permintaan yang tak mengherankan Tiyar. Wanita pujaannya ini punya sebuah
kamar yang mirip gua pertapaan di sanggarnya. Di sana cuma ada kasur berlaskan tikar rotan Kalimantan. Seluruh
lantainya ditutupi tikar pandan dengan corak tradisional, berwarna hijau-kuning-merah yang agak kusam. Dindingnya
dihiasi berbagai kain tenun Sumbawa. Ada pula sebuah kain tenun Sumatera Barat terselampir seenaknya. Di pojok
ruangan ada dudukan lampu setinggi satu meter, terbuat dari padas. Kalau lampu dinyalakan, cahayanya hanya temaram
saja, seperti lampu sentir minyak tanah di desa-desa. Di salah satu dinding ada cermin besar yang bisa memantulkan
seluruh isi ruang. Di kamar itulah Rien mencipta banyak tarian, termasuk tiga masterpieces-nya.
***** Di "gua pertapaan" Rien itulah mereka juga sering bercinta dan bercinta lagi.
Rien menumpahkan segala kegairahan badaniahnya di atas tubuh kokoh kekasihnya. Ia seperti tak letih-letihnya
menggumuli tubuh yang dengan sukahati melayani segala permintaannya itu. Bagi Rien, pemuda ini adalah lover boy
yang mengagumkan. Dengan pemuda inilah ia bisa mengarungi samudera sensual yang penuh dengan puncak-puncak
ombak kenikmatan itu. Ia bisa leluasa duduk di pinggul pemuda itu, merasakan dirinya bagai dipancang-tegak oleh
kekuatan yang nyaris tak pernah sirna. Ia bisa bebas bergerak, bahkan menarikan tarian erotik, di atas tubuh yang
berpeluh itu. Lagi dan lagi ia merengut puncak demi puncak kenikmatan, yang makin lama makin tinggi menggapai
langit birahi. Sejak berpacaran dengan Tiyar, ada sesuatu yang terbangkit di diri Rien. Entah betul, entah tidak. Gairah sensual Rien
selalu menggebu pada percumbuan mereka. Anehnya, setiap kali sehabis bercinta dengan pemuda itu, selalu datang
inspirasi indah untuk sebuah tari. Seringkali setelah pemuda itu pulang, setelah Rien puas tergeletak di kasur percintaan
mereka, datang ide untuk gerakan-gerakan tari. Lalu, malam-malam, atau pagi-pagi sekali, Rien bangun untuk
mematangkan ide itu. Bertelanjang dada ia menari sendirian di depan cermin, mencoba gerakan-gerakan baru dan
mencatat setiap gerak yang telah ia rasakan sempurna.
Apakah semua seniman begitu" Apakah semua seniman memakai sumberdaya seksual untuk pemicu daya cipta"
Mungkinkah ada hubungan antara orgasme dan ide yang cemerlang" Ah, pertanyaan-pertanyaan itu tak pernah terjawab
oleh Rien. Ia juga akhirnya tak peduli, dan tak pernah mau mencoba membuktikan benar-tidaknya. Ia terus saja
berkarya, dan terus pula bercinta.
Tiyar pada mulanya terkejut ketika mereka pertama-kali bercinta, kira-kira empat bulan yang silam, atau tiga bulan
setelah perkenalan mereka. Tidaklah ia menyangka bahwa wanita cantik yang cerdas dan kreatif itu ternyata adalah
seorang petualang sensual di atas ranjang. Tiyar pada awalnya berlaku sopan dalam bercinta, berusaha menunjukkan
bahwa ia tidak mengejar badan melainkan hati wanita itu. Tetapi setelah dua kali bercinta, Tiyar tak peduli lagi. Ia pun
melayani saja segala permintaan Rien, betapa pun liar dan sensualnya permintaan itu.
Seperti malam ini, di awal percumbuan, Rien berbisik serak, "Eat me, please...". Dan Tiyar pun dengan senang hati
memenuhi permintaan itu. Dan wanita itu mengerang-erang menikmati tiga kali puncak kenikmatan. Tubuh bagian
atasnya masih terbungkus lengkap. Hanya dari pinggang ke bawah yang terbuka-bebas. Sebuah kursi rotan dibawa
masuk kamar, khusus untuk itu. Dan di atas kursi itu Rien menggelepar-geleparkan orgasmenya sambil merintihmemohon
agar Tiyar melakukannya lagi dan lagi. Ia minta dikulum. Ia minta digigit-gigit kecil. Ia minta ditelusupiditelusuri.
Ia minta ini, ia minta itu. Semua diberikan oleh Tiyar.
Lalu, lama setelah itu, Rien minta digendong ke kasur yang tergeletak dingin di lantai. Di situ ia minta Tiyar melumatluluhlantakkan tubuhnya yang telah telanjang sepenuhnya. Di situ mereka bergumul kekiri-kekanan, depan-belakang,
atas-bawah. Lalu Rien minta di atas. Tiyar pun sukarela menggeletakkan tubuhnya yang memang sudah cukup letih.


Kisah Kino Karya Crazy Guy di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lalu Rien mendominasi permainan yang seperti tak pernah bisa dihentikan ini. Berkali-kali wanita itu menjerit-jerit
kecil, menggigit bibirnya sendiri, meremas bahu Tiyar di bawahnya, menjepitkan kedua pahanya yang sudah basah
kuyup oleh peluh mereka berdua. Berkali-kali!
Barulah 95 menit kemudian, ... mungkin lebih...., mungkin dua jam kemudian.... keduanya terhempas di pantai
pencapaian bersama. Tergeletaklah keduanya dengan nafas terengah-engah dan wajah letih tetapi penuh kepuasan.
e-book by Crazy Guy (www.cgboy.co.cc) 08/06/2000 7
Kasur dan seprainya sudah awut-awutan centang-perentang basah dan lengket pula di sana-sini. Rien menelungkup di
dada lover boy-nya. Ia pejamkan mata dengan nikmat. Dan saat itulah ia berpikir tentang sebuah gerakan kaki untuk
proyek tarian berikutnya, yang diberi judul Untuk Langit Untuk Laut (For the Sky, For the Sea). Ia berpikir tentang
sebuah gerakan menendang sambil meregang, seperti ketika tadi ia menikmati orgasmenya, entah yang keberapa!
***** Nama Riendu terus mencuat di dunia panggung. Setelah tariannya, orang mulai melirik kemampuan aktingnya. Sebuah
sinetron segera dibuat untuknya dan Rien mendapat banyak sekali uang untuk 12 episode. Baginya, sinetron ini juga
tidak terlalu baru karena kisahnya adalah tentang seorang penari ronggeng di sebuah dukuh terpencil. Rien sangat
menyukai peran ini karena ia juga bisa "memaksa" sutradaranya memakai beberapa gerakan ciptaannya sendiri.
Hidup Rien mulai gemerlap dan sibuk. Tiyar dengan setia berada di sampingnya, dan Rien bersyukur memiliki pacar
yang bisa disandarinya kalau sedang capai, bisa diajak bercanda kalau sedang gundah, dan bisa diajak bercinta kapan
saja! Sinetronnya belum lagi ditayangkan, ketika pada suatu malam di sela shooting seorang asistennya datang membawa
sebuah foto seorang anak dara yang minta ditandatangani. Sambil menghirup minuman dingin, dengan acuh tak acuh
Rien menerima foto itu dan bersiap-siap membubuhkan tandatangan. Ia sudah siap untuk ini: menjadi populer dan
dikejar-kejar pemburu tandatangan. Ia telah buat sebuah tandatangan sederhana yang bisa digoreskan dalam satu
gerakan. Ia hampir tak pernah mengamati benda yang ditandatangani. Kali ini pun ia siap menggores, tetapi... sebentar
dulu! "Eh"!" Rien menjerit, tidak jadi menggoreskan tandatangannya, matanya terpaku pada foto gadis di tangannya. Ia kenal
gadis itu. Nun di sebuah kota kecil, ia pernah lihat gadis ini. Ia tak pernah lupa matanya yang lembut dan wajahnya yang
manis-polos itu. "Kenapa"" Tiyar menjulurkan kepala dari sebelahnya, ikut memandangi foto itu.
"Aku rasanya kenal anak ini," kata Rien sambil mengernyitkan dahi.
"Itu foto anak SMA, ada sejuta yang seperti dia," kata Tiyar seenaknya.
"Justru itu. Aku kenal sewaktu anak ini masih SMA. Sekarang pasti bukan SMA lagi," kata Rien sambil terus mengamati
foto di tangannya. "Orangnya ada di luar, Mbak," kata sang asisten yang berdiri patut di sebelah Rien, memberanikan diri menyela.
"Kamu tahu namanya"" tanya Rien.
"Alma," kata asistennya.
Tentu saja! sergah Rien dalam hati sambil bangkit menarik tangan asistennya dan berkata, "Antar saya ke anak itu!"
Di luar, Alma berdiri gelisah. Ia tidak yakin tindakannya itu bijaksana. Ia memang bermaksud meminta tandatangan
sambil mencoba mengadu untung, siapa tahu Mbak Rien masih ingat. Ketika Alma melihat Mbak Rien keluar dari
sebuah tenda tempat para artis beristirahat, gadis itu hampir tak mengenalinya lagi. Maklumlah, wanita penari yang
cantik itu kini semakin jelita dengan pakaian yang "wah" dan dengan aura yang penuh kharisma. Baru setelah dekat,
Alma sadar ia berhadapan dengan Dang Hyang itu, dan lututnya lemas. Lidahnya kelu.
"Hai!" seru Rien riang melihat Alma berdiri terpaku. Ia tidak bisa lupa gadis ini, walau sekarang tampak agak kurus.
"Mbak Rien"" ucap Alma ragu-ragu.
"Ya! Apa kabar kamu, Alma!" seru Rien dengan riang. Tiyar yang melongok dari tenda sempat terheran, tetapi lalu
masuk lagi. Mereka berpelukan, walau Alma sempat kikuk menyambut rentangan tangan seorang bintang. Sedangkan Rien sendiri
tanpa canggung menempelkan pipinya ke pipi gadis itu. Kurus sekali dia, pikir Rien sambil membayangkan seorang
anak SMA dengan seragam putih abu-abu.
"Mbak tidak lupa kepada saya...," bisik Alma seperti mau menangis. Sesungguhnya ia terharu diterima seperti ini oleh
seseorang yang fotonya menghiasi sampul majalah wanita di seluruh Indonesia.
Rien tertawa sambil mencengkram erat bahu Alma, "Tidak! Mana mungkin Mbak lupa sama cah ayu seperti ini."
Pipi Alma merona merah, dan sambil tersipu berkata, "Ah, bisa aja, Mbak!"
Hmm..., logatnya sudah seperti anak metropolitan, pikir Rien. Ia lalu menarik Alma untuk ikut masuk ke tenda para
artis. Dengan canggung gadis itu mengikutinya. Ia seperti sedang bermimpi, melihat dari dekat para artis yang sedang
shooting! Lalu mereka bercakap-cakap panjang lebar. Terutama Rien yang memberondong dengan pertanyaan-pertanyaan, dan
Alma menjawab polos betapa ia kini sudah berpraktek dengan mayat-mayat di rumah sakit, sudah pandai membersihkan
e-book by Crazy Guy (www.cgboy.co.cc) 08/06/2008 0
nanah dari borok-borok di kaki pasien miskin dan para gembel, sudah pernah melihat darah tumpah ruah dari seorang
ibu yang mengalami perdarahan...
"Astaga!... Anak sehalus ini akan menjadi tukang bedah perut orang"" seru Rien sambil tertawa riang. Tiyar ikut
tertawa, dan berkomentar, "Asal jangan meninggalkan guntingnya di dalam!"
Alma ikut tertawa, agak lega karena ternyata para bintang itu manusia juga. Bisa bercanda dan tertawa seenaknya.
Pastilah mereka makan nasi, dan sekali-kali pasti juga makan tempe, pikir Alma sambil melanjutkan tawanya dalam hati.
Lalu mereka bernostalgia tentang kota kecil nun di sana. Tentang pasar yang satu-satunya, dan tentang stasiun bis kota
yang hanya ramai di akhir pekan. Kemudian juga tentang anak-anak peserta sanggar yang kata Alma sekarang sudah
berpencaran. Ada yang jadi pegawai bank, ada yang jadi pramugari, ada yang kawin dengan juragan perahu. Tak satu
pun yang jadi penari! ... Rien tertawa gelak mendengar yang terakhir ini.
"Bagaimana kabar Kino"" tiba-tiba saja keluar pertanyaan itu dari mulut Rien yang sedang tertawa. Dan begitu kata-kata
itu keluar dari mulutnya, begitu pula Rien tersadar. Tawanya berhenti. Eh, mengapa aku bertanya tentang dia" sergah
hati kecilnya. Alma ikut terkejut mendengar pertanyaan itu. Ia tidak siap menjawabnya, karena ia pun tidak tahu kabar pemuda yang
sempat mengisi relung-relung terdalam hatinya. Sekarang ia sulit sekali masuk ke relung-relung itu; sulit menemukan
apakah nama pemuda bermata lembut yang selalu gundah itu tetap tergores di dinding hatinya.
"Maaf," kata Rien melihat gadis di depannya terpana tak bisa menjawab. Ah, tetapi apa perlunya minta maaf" sergah
hati kecilnya lagi. "Saya juga tidak tahu, Mbak. Maaf juga," ucap Alma memelas, tetapi justru tampak lucu. Rien pun segera tergelak untuk
mencairkan suasana. Sudahlah, kata hati kecilnya, hentikan pertanyaan tentang pemuda itu.
"Ya, sudah! Kita ngomong yang lain saja," kata Rien ringan di antara tawanya.
Lalu celoteh mereka berdua berlanjut. Tiyar pun merasa tersingkirkan, dan sambil bersungut pemuda itu meraih sebuah
minuman dingin dan berlalu ke arah beberapa kru film yang sedang duduk-du
duk main kartu remi. Kalau saja shooting tidak segera dimulai, mungkin mereka akan bicara sampai berjam-jam lagi. Namun sutradara
akhirnya berteriak, orang-orang segera berkemas, Rien pun siap dibedaki dan di-brief untuk adegan berikutnya. Alma
tahu diri. Dia segera pamit sambil memohon untuk boleh menemui Rien lagi di lain waktu. Rien tersenyum manis sambil
mengangguk, lalu memberikan nomor telepon pribadinya. Alma segera mencatatnya, lalu segera meninggalkan wilayah
shooting. Tak sedikit pun ia ingat bahwa fotonya belum lagi ditandatangani!
***** e-book by Crazy Guy (www.cgboy.co.cc) 08/06/2000 9
Alma : The Way We Were....
Gadis kota kecil bermata lembut dan berwajah innocent itu tetap saja bermata lembut dan berwajah innocent. Kecuali
kini ia adalah mahasiswi ibukota yang terkadang terlihat sangat letih akibat kuliah yang ekstra berat di fakultas
kedokteran. Tubuhnya menjangkung sedikit. Juga menjadi agak kurus, walau justru membuatnya lebih semampai. Kalau
ia memakai baju terusan (yang belum pernah dilakukannya di kota kelahiran dulu), Alma tampak matang dan dewasa.
Rambutnya dipotong agak pendek, sehingga lehernya yang jenjang itu makin tampil indah.
Gadis itu kini juga adalah gadis ibukota. Penampilannya berubah, walau kesederhanaan masih membekas kuat. Ia kini
memakai lipstik dan minyak wangi merek terkenal, yang dulu hanya pernah ia lihat di meja rias Ibu. Ia juga memakai
berbagai asesori, walau tak mewah. Secara keseluruhan ia tetap Alma yang dulu, dengan senyum manis yang terkesan
terlalu sopan, walau kalau tertawa bisa berderai lepas renyai. Bicaranya tetap polos dan tanpa prejudis, walau kini logat
ibukotanya semakin kental. Ia tetap Alma yang dulu suka bersepeda ke pantai, walau kini ia lebih suka naik mobil ke
mana-mana. Hobi pecinta-alamnya agak terbengkalai, diganti hobi mengoleksi kaset penyanyi pop.
Dua tahun pertamanya di ibukota adalah masa yang tak enak: sebuah kemarau yang teramat panjang di hatinya. Sebuah
kegersangan yang berujung di sepucuk surat yang tak jadi dikirimkan ke seseorang nun di sana. Ironisnya, surat itu pula
yang memegat-putus dirinya dengan masa lampau. Sejak surat itu selesai, maka usai sudah sebuah babak hidup belianya.
Namun, lebih ironis lagi, sampai saat ini surat itu sebenarnya masih ada, tetapi Alma lupa di mana ia meletakkannya.
Mungkin di antara puluhan buku dan diktat yang tergeletak begitu saja di kamarnya yang agak semrawut. Mungkin di
bawah baju-bajunya. Mungkin terselip di salah satu diari usang di pojok meja. Mungkin...
Alma kini agak lupa isi surat itu, tetapi ia masih bisa mengira-ngira. Paling tidak ia ingat salah satu kalimat yang ia tulis
dengan agak gemetar itu: ... lupakan Alma, dan belajarlah lebih giat lagi.... Ia juga ingat, surat itu akhirnya selesai
setelah hampir selusin lembar kertas merahmuda tersobek-tercabik. Tetapi, setelah jadi, surat itu tidak dikirim. Surat itu
menggeletak selama seminggu di mejanya. Lalu ia membawanya ke kantor pos, tetapi di pintu masuk ia menghentikan
langkah. Tidak jadi membeli perangko dan mengirimnya. Lalu surat itu diselipkan di diarinya dan dua minggu kemudian
diari itu habis terisi. Lalu diari itu diganti.... Surat itu tak pernah terkirim.
Alma tak pernah lupa mengapa ia menulis surat terakhir itu. Mengapa dengan berlinang air mata ia mengambil
keputusan pedih itu. Alma ingat, surat itu ia tulis dua malam setelah Devan menciumnya di beranda.....
****** Devan.... Alma menggigit bibirnya ketika nama pemuda ini melintas di hatinya. Kuliah anatomi lanjutan sedang
berlangsung di siang yang terik. Dosen di depan kelas sebetulnya selalu menarik untuk didengar, tetapi ini bukan jam
yang terbaik untuk duduk-diam. Hampir semua mahasiswa, 99,9%-nya lah (kecuali si Alex yang sepertinya tidak pernah
mengantuk itu!) terlihat berjuang keras melawan kantuk. Alma pun sudah 7 kali menguap, dan sudah 11 kali melirik ke
arlojinya. Lambat sekali jalannya jarum-jarum jam itu!
Devan... Alma tersenyum sendiri mengenang pemuda jangkung yang mengendarai jip CJ-7 dan selalu berkacamata pilot
itu. Dia pasti sudah menunggu dengan sabar di pelataran
parkir. Enak betul dia!.. kuliahnya selalu selesai sebelum pukul
12 siang. Apakah anak-anak ekonomi memang tidak banyak perlu mendengarkan dosen mengoceh di depan kelas"
Apakah persoalan ekonomi selalu lebih ringan daripada persoalan badan manusia yang sakit"
Sore nanti pemuda itu kembali harus memimpin regu basketnya bertanding lawan anak-anak teknik. Alma tentu saja
harus ada di pinggir lapangan, dan harus ikut berteriak-teriak sambil mengepalkan tinjunya yang kecil. Setiap kali bola
masuk oleh Devan, maka Alma berteriak paling keras sehingga sering dicubit oleh Pasya, temannya sesama anak
kedokteran yang sama-sama berpacaran dengan anak ekonomi. Bedanya, pacar Pasya tidak bisa main basket sepandai
Devan, sehingga lebih sering duduk di bangku cadangan. Lebih menyebalkan lagi bagi Pasya, pacarnya selalu main di
penghujung pertandingan, saat kesempatan menjaringkan bola sudah semakin kecil.
Alma tiba-tiba teringat sesuatu. Diambilnya tas dari kolong meja, dan dengan hati-hati ia mengintip ke dalamnya.
Hmm,.. ternyata ia tidak lupa membawa tempat minum berwarna biru tua itu. Di dalamnya ia telah membuat air jeruk
dingin yang manis dan segar untuk Devan. Tadi pagi ia sempat ribut karena jeruk yang telah disiapkannya ternyata
dipindahkan oleh Mbok Iyem. Dengan panik ia mengaduk-aduk lemari es ketika tidak menemukan jeruk-jeruk itu. Baru
setelah menjerit sana-sini, Mbok Iyem dengan tenangnya menyodorkan tas plastik penuh berisi jeruk. Huh!... hampir
saja! Alma baru saja meletakkan kembali tasnya, ketika Profesor Tasrif akhirnya kehabisan bahan pembicaraan. Dosen tua
yang selalu berkemeja putih itu akhirnya menghentikan kuliahnya lebih cepat 2 menit dari jadwal yang seharusnya.
Semua mahasiswa bernafas lega; terburu-buru Alma memasukkan buku dan alat tulisnya. Pasya di sebelahnya juga
sudah bangun (dari tadi ia tertidur dengan dagu tertumpang di tangannya!), dan sudah berberes pula. Hebat sekali
gerakan kedua gadis ini, serba cepat dan akurat. Pada saat mahasiswa lain masih merenggangkan otot-otot mereka
setelah duduk 2 jam lebih, pada saat mereka masih dengan lesu memasukkan alat-alat tulis mereka, Alma dan Pasya
e-book by Crazy Guy (www.cgboy.co.cc) 08/06/20010 0
sudah melesat keluar kelas. Hampir saja mereka menabrak Profesor Tasrif yang segera berseru, "Duh-duh-duh... tak kan
lari gunung dikejar!"
Pasya cekikikan sambil berseru, "Sorry Prof!... Gunung yang ini bisa lari!"
Profesor Tasrif pun geleng-geleng saja sambil menghela nafas, teringat masa mudanya. Mana mungkin ia bisa berteriak
begitu kepada profesornya yang orang Belanda itu!
***** Devan melihat kedua gadis itu berlari kecil keluar dari gedung kuliah. Alma menuju tempat parkir, Pasya berbelok ke
arah kantin. Senang sekali Devan melihat kekasihnya tampak riang. Baginya, Alma adalah burung lincah yang selalu
ceria. Walau kadang-kadang ia terlihat ringkih dan letih, tetapi gadis itu selalu membinarkan cahaya kasih di matanya
setiap kali mereka berjumpa. Dengan sigap Devan melompat turun dari jipnya, bersiap menyambut kekasihnya dengan
wajah penuh senyum. Cepat sekali Alma sudah berada di depannya, dengan nafas terengah-engah dan butir-butir kecil
keringat di ujung hidungnya.
"Sudah lama"" tanya Alma sambil membiarkan Devan meraih tas dari bahunya.
"Baru dua jam," kata Devan kalem sambil membuka pintu dan meletakkan tas di kursi belakang.
Alma tertawa mendengar jawaban itu. Betapa menyebalkannya menunggu dua jam.
"Sudah ma-em"" tanya Alma lagi sambil naik ke atas jip, dan sambil dengan manja membiarkan pinggangnya di rengkuh
Devan yang membantunya naik.
"Sudah," kata Devan pendek, lalu disambung, "... tadi pagi."
Alma tertawa lagi. Betapa menyebalkannya menunggu dua jam dengan perut kosong!
Devan berjalan memutar untuk menuju sisi pengemudi. Alma mengikuti langkah kekasihnya dengan pandangan. Betapa
kalemnya pemuda itu, tidak pernah mengeluh walau harus menunggu berjam-jam. He is sooooo cool! bisik hatinya.
Sejak berpacaran, belum pernah sekalipun Alma mendengar Devan mengeluh atau mengomel. Bahkan ketika
rombongan mahasiswa luarkota mengalahkan regunya dengan telak,
Devan tetap saja kalem. Bahkan ketika Alma
sedang tidak in the mood dan sedang uring-uringan, Devan tetap saja tenang. Seperti gunung, ia tegak-diam dalam
teduh. Ketika akhirnya Devan telah duduk di sisinya, Alma mengeluarkan bungkusan roti yang sudah ia siapkan dari rumah. Ia
tahu Devan suka telur dadar, maka dibuatnya dua sandwiches berisi telur dan keju. Setelah membuka bungkusnya
dengan hati-hati, Alma mengerat salah satu roti itu dengan tangannya. Lalu, ketika akhirnya mobil mulai bergerak, gadis
itu menyuapi kekasihnya dengan sabar. Alma pernah melihat ibunya menyuapi ayah seperti ini, mesra sekali. Ia ingin
seperti ibunya! ***** Bulan September ini, genap dua tahun mereka berpacaran.
Sepulang dari bertanding basket yang berakhir dengan kemenangan anak-anak ekonomi, Devan mengantar Alma.
Sebelum berpisah, Devan berjanji akan menjemput pukul 8 malam. Mereka akan pergi menonton malam ini, merayakan
pertautan cinta mereka. Dua tahun yang lalu, pada malam seperti ini pula, Devan mencium Alma di beranda yang temaram. Waktu itu bukan
malam minggu, dan mereka baru saja pulang menghadiri sebuah rapat mahasiswa. Alma sebetulnya agak risih karena
belum mandi. Tetapi sejak berteman dengan Devan yang ia kenal pada masa perploncoan itu, Alma merasa semakin
dekat kepadanya. Devan lebih tinggi setingkat darinya, dan semasa penggojlokan yang meletihkan, Alma beruntung
mendapat "dewa pelindung" yang kalem dan tidak banyak cing-cong itu. Mulanya Alma menyangka Devan akan
mencari keuntungan dari kepolosan seorang gadis kota kecil. Tetapi dugaan itu segera sirna, karena justru akhirnya
Alma yang mengambil keberuntungan darinya. Setelah perpeloncoan selesai, hubungan mereka berlanjut, dan semakin
lama semakin dekat. Nah,.. malam itu mereka berjalan diam-diam dari pintu pagar ke beranda. Rasanya jauh sekali beranda itu.... karena
mereka berjalan bergandengan dan sama-sama sedang gundah menimbang-nimbang: sekarang atau nanti" Sudah berkalikali
mereka berjalan bergandengan seperti ini, dan sudah berkali-kali mereka merasa hanya berdua saja di dunia yang
luas di bawah langit yang tak berbatas. Berkali-kali muncul pertanyaan itu di hati mereka: sekarang atau nanti"
Rupanya Devan lebih cepat mengambil keputusan. Ketika mereka tinggal dua langkah saja dari beranda, Devan
menghentikan langkahnya dan menahan langkah Alma. Gadis itu sejenak merasakan tubuhnya lemas tak berdaya.
Jantungnya berdegup keras dan hatinya masih penuh dengan pertanyaan: sekarang atau nanti" Tetapi lalu semuanya
seperti sirna -keraguan menguap, kegelisahan melenyap- ketika Devan merengkuh dan memeluknya. Lalu pemuda yang
penuh ketenangan itu mengangkat dagu Alma. Lalu pemuda itu mencium Alma. Lalu bintang-bintang seperti hilang dari
langit, dan langit itu sendiri berubah menjadi bentangan beludru hitam yang maha luas.
e-book by Crazy Guy (www.cgboy.co.cc) 08/06/2000 11
Alma menyambut ciuman itu dengan sepenuh hati. Lembut sekali Devan menciumnya, mula-mula seperti memberi
salam dengan menempelkan kedua pasang bibir mereka. Tetapi lalu berubah menjadi gairah, karena Alma membuka
bibirnya yang ranum, dan Devan mengulum bibir itu. Dan mereka saling mengulum. Dan Alma merasa tubuhnya
seringan embun di pagi hari yang melayang-layang di antara dedaunan. Indah sekali ciuman itu, memberikan getar-getar
kecil di sekujur tubuh mereka, membuat keduanya seperti dua serangga yang bertukar madu.
"Mmmmh...," Alma mengerang dan melingkarkan kedua tangannya di leher pemuda jangkung itu. Kedua kakinya juga
terpaksa menjinjit untuk bisa dengan leluasa menikmati ciumannya.
Devan merengkuh gadis itu lebih erat lagi, memeluk pinggangnya dan mengangkatnya sedikit. Ringan sekali tubuh gadis
ini, pikir Devan. Mungkin aku bisa mengangkatnya dengan sekali gendong, dan lalu melompat ke bubungan atap rumah.
Cukup lama mereka berciuman, sampai akhirnya Alma melepaskan diri untuk mengambil nafas. Devan merenggangkan
pelukannya dan mereka berpandangan dengan jarak yang sangat dekat. Alma bisa melihat dua bola mata yang lembut
memandangnya. Dari kelembutan itu datang pula kehangatan yang mampu menembus
kalbu. Hidungnya yang mancung karena Devan memiliki darah asing- terlihat jelas dan memberi ketegasan pada wajahnya yang gagah. Alma terpukau
memandang wajah yang sejak lama dipujanya itu.
"Aku rasa kita sekarang sudah resmi pacaran," bisik Devan sambil tersenyum.
Alma menahan tawanya, "Kenapa baru sekarang kamu menciumku"" bisiknya.
"Lho.. seharusnya kapan"" kata Devan sambil membelalakkan matanya dengan lucu.
"Seminggu yang lalu," kata Alma sambil merapatkan pelukannya.
Devan mengernyitkan keningnya, "Seminggu lalu aku bertanding lawan anak-anak sosial-politik."
"Ya, memang. Kenapa tidak menciumku di belakang ruang ganti, sewaktu kita tinggal berdua saja""
"Eh, tapi aku belum mandi, kan"" tanya Devan ragu-ragu.
"Sudah. Kamu sudah mandi. Sudah wangi. Sudah segar," kata Alma yakin.
"Oh, ya". Tapi kamu, kan, belum mandi," kata Devan merasa terdesak.
"Sekarang malah kita berdua belum mandi!" sergah Alma sambil tertawa dan mempererat pelukannya.
Devan ikut tertawa. Lalu mereka berdua berpelukan saja, tidak melanjutkan ciuman. Mereka merapatkan saja kedua
tubuh mereka, dan Alma memejamkan matanya menikmati degup jantung Devan yang dekat sekali di telinganya. Lalu
dengan enggan mereka memisahkan diri dan akhirnya Devan pulang setelah mengucapkan selamat malam.
Tanggal delapan bulan kesembilan itulah Alma mengukir prasasti cinta keduanya di tengah galau-semarak kampus, di
belantara beton ibukota yang hiruk-pikuk. Inilah prasasti yang jauh berbeda dari gita cinta yang ia nyanyikan di tengah
keasrian-keteduhan kota kecil di lingkung bukit tempat cinta pertamanya dulu bersemi.
***** Film yang mereka tonton tidak terlalu bagus. Bahkan semakin menyebalkan di tengah-tengahnya, sehingga Alma
memaksa Devan keluar dari bioskop sebelum film usai. Sebagian penonton juga tampaknya memiliki pikiran yang sama.
Sepasang kekasih itu pun akhirnya keluar.
"Film-nya nggak seru!" sergah Alma dengan sebal sambil menggamit lengan Devan.
"Ceritanya terlalu bertele-tele, sutradaranya mungkin baru belajar" kata Devan kalem. Heran! pikir Alma, kekasihku ini
selalu berkomentar dengan tenang, walaupun isi komentarnya bisa juga pedas.
"Sutradaranya bego!" sergah Alma memancing emosi Devan. Ia ingin tahu, seberapa tegar kekasihnya ini.
"Mungkin baru lulus akademi sinematografi," jawab Devan kalem.
"Yuk, kita minta lagi duit karcis kita. Sebel betul, deh rasanya harus membayar mahal untuk film kampungan!" ucap
Alma senyinyir mungkin. "Bukan salah bioskopnya, dong," kata Devan dengan nada yang sama. Tidak sedikit pun menampakkan emosi.
"Habis, salah siapa" Salah kita"" sergah Alma sambil mengguncang-guncang lengan kekasihnya.
"Ya," jawab Devan membiarkan tangannya diguncang-guncang. Apalah artinya guncangan Alma dibandingkan
tabrakan-tabrakan full body contact di pertandingan basket!
"Ngga mau!" kata Alma seperti anak kecil kehilangan permennya, "Kamu aja yang salah. Aku ngga!"
"Ya, sudah. Maaf," kata Devan sambil mengeluarkan kunci mobil dari sakunya. Mereka sudah memasuki pelataran
parkir. e-book by Crazy Guy (www.cgboy.co.cc) 08/06/20012 0


Kisah Kino Karya Crazy Guy di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ih, sebel!" sergah Alma, lebih kepada dirinya yang gagal membangkitkan emosi Devan daripada kepada siapa-siapa.
Devan tertawa kecil mendengar dan melihat tingkah Alma. Dia tahu, gadis itu memancing emosinya. Tentu saja dia bisa
menahan emosi, karena dia tahu dirinya sedang dipancing!
"Nanti kita beli permen coklat, supaya kamu ngga sebel lagi," kata Devan kalem. Alma tertawa kecil, tahu bahwa
permainannya berakhir dengan kekalahan di pihaknya. Dengan gemas dicubitnya pinggang Devan yang cuma bergeming
sedikit. "Aku ngga mau coklat," sergah Alma manja sambil memeluk pinggang kekasihnya, "Aku mau dicium yang
lamaaaaaaaaaaaa... sekali!"
Devan cuma tersenyum mendengar permintaan itu.
***** Mereka pergi ke pinggir pantai dan Devan memarkir mobilnya menghadap laut yang berdebur-debur dalam gelap. Bulan
sedang mati dan mendung menutupi sebagian besar bintang di langit. Suasana sepi memicu romantisme pada siapa pun.
Devan mencium Alma lama sekali, sesuai permintaan gadis itu. Mereka pindah duduk ke kursi belakang, dan dengan
manja Alma menyandarkan tubuhnya di dada kekasihnya. Satu tangannya memeluk pinggang Devan, dan satu tangan
lainnya merengkuh leher pemuda itu. Devan menopang kepala gadis itu dengan tangannya yang kukuh, sementara
tangan yang lain bisa bergerak leluasa.
Mereka sering ke tempat ini untuk bercumbu, dan sering terlibat dalam heavy petting yang mengasyikkan. Alma selalu
suka dibawa ke sini, direngkuh oleh pemuda atletis ini, dicium dan dikulum selama-lama mungkin. Terlebih-lebih lagi,
Alma selalu menikmati tangan Devan yang mengelus-meraba sekujur tubuhnya. Pemuda itu dengan perlahan dan penuh
ketenangan selalu berhasil membangkitkan gairah asmaranya, membawanya ke puncak kegairahan.
"Hmmmmm...," Alma mengerang sambil menggeliatkan badannya ke kiri ketika tangan Devan menelusupi dadanya,
masuk ke bawah behanya yang telah longgar karena kaitnya telah terlepas. Sebuah serbuan kenikmatan memenuhi dada
gadis itu, membuat kedua payudaranya langsung membusung-menggembung penuh antisipasi. Apalagi dengan satu
jarinya pemuda itu mengelus-elus daerah di sekitar puncak payudaranya....... Oh, Alma mengerang dan mengerang lagi
dengan mulut yang masih dipenuhi ciuman kekasihnya.
Semakin lama elusan dan rabaan tangan Devan semakin menimbulkan nikmat luarbiasa di diri Alma. Gadis itu bergerakgerak
gelisah dalam pelukan kekasihnya, mengucapkan kata-kata yang tak jelas karena bibirnya sedang dilumat oleh
pemuda itu. Tetapi, walau tak jelas, Devan bisa menangkap permintaan kekasihnya. Ia meremas dada Alma, karena ia
tahu gadis itu ingin diremas. Ia mengurut-urut puncak payudara Alma, karena ia mengerti apa yang dimau gadis itu.
"Oooh, ...Dev.." akhirnya Alma bisa mengerang dengan cukup jelas karena mereka harus melepaskan ciuman untuk
mengambil nafas. "Kamu senang"" bisik Devan dengan nafas memburu. Ia sendiri sangat senang meraba-meremas dada Alma yang
menggairahkan itu. Tetapi ia merasa perlu bertanya, memastikan apakah kekasihnya juga menikmati permainan ini.
Bukankah ia berkewajiban memberinya kenikmatan terlebih dahulu... ladies first"
Alma tidak menjawab. Ia terlalu bergairah untuk bisa menjawab. Tetapi ia mengangkat tubuhnya, membawa dadanya ke
muka pemuda itu lebih dekat lagi. Ia lalu mengerang dan menarik kepala Devan ke dadanya. Ia meminta sesuatu yang
lebih dari sekedar remasan dan rabaan. Devan pun mengerti sepenuhnya, karena ini bukanlah yang pertama. Dengan
ujung lidahnya, ia memenuhi permintaan kekasihnya dan Alma pun mengerang keras sambil memejamkan matanya
merasakan kenikmatan yang panas memercik di puncak payudaranya. Ia meremas gemas rambut pemuda itu, meminta
lagi dan lagi. Ia terus mendaki semakin tinggi di bukit birahi yang kini tampak menerjal itu. Devan pun memberikan
dukungan bagi pendakian ini dengan mengulum dan menggigit kecil.
"Aaah!" Alma mengerang keras ketika merasakan payudaranya seperti hendak meletup oleh rasa geli-gatal yang tak
terperi. Sebentuk energi yang mendesak-desak kini terkumpul di tubuhnya, meriak-riak dari dadanya ke perutnya, ke
pinggulnya, ke pahanya, ke kakinya.
Lalu secara instingtif Alma meraih tangan kekasihnya yang masih bebas, mendorong tangan itu ke bawah sambil
membuka kedua pahanya. Devan pun mengerti permintaan yang satu ini. Ia pun menyingkap rok kekasihnya,
menelusupkan tangannya untuk meraba paha yang mulus dan halus itu. Telapak tangannya bagai meluncur di atas pentas
sutra yang licin, lancar sekali merayap dari lutut ke pangkal paha, lalu ke celah yang terbalut oleh kain tipis menerawang
itu. "Mmmmhhh ....," Alma mendesah gelisah, "Aku pengin Dev.......,"
Devan mengangkat mukanya dari dada Alma. Gadis itu memandangnya dengan mata berbinar penuh birahi dan
permohonan. Devan mengecup pipinya sambil berbisik, "Buka""
e-book by Crazy Guy (www.cgboy.co.cc) 08/06/2000 13
Alma mengangguk dan mendesahkan "ya" yang nyaris tak terdengar. Gadis itu membuka pahanya lebih lebar,
membiarkan kekasihnya menarik celana dalamnya dan meloloskannya dari kedua kakinya. Kini tubuhnya di bagian
bawah terbebas sudah dari segala kukungan. Kini ia membuka dirinya untuk sebuah kenikmatan yang sudah beber
apa kali ini diberikan oleh Devan pada malam-malam seperti ini.
"Kamu juga mau, kan"" desah Alma sambil merapatkan pelukannya.
"Kamu saja dulu," bisik Devan sambil mulai mengusap-usap lembut di bawah sana. Alma bagai tersentak ketika telapak
tangan yang hangat itu menekan-mengusap bagian paling pribadinya.
Lalu mulailah permainan-permainan kecil yang mengasikkan itu. Alma membiarkan tubuhnya rileks tersandar di tangan
Devan yang kokoh, menelentang bebas di sepanjang jok belakang itu, membiarkan kekasihnya membangkitkan sebuah
crescendo musik sensual di tubuhnya. Matanya setengah terpejam. Mulutnya setengah terbuka karena hidungnya tak
cukup leluasa menampung nafasnya yang memburu. Wajahnya tampak bersinar indah ketika ia mulai mendaki puncak
asmara. Dadanya yang telanjang tampak turun-naik dengan bergairah.
Dengan sabar Devan menggunakan jemarinya untuk membawa Alma ke lautan birahi yang bergelora-bergelombang.
Pertama ia hanya mengusap-usap saja di bagian atas dan permukaan, menyebarkan kehangatan sambil mengendurkan
otot-otot Alma yang tegang. Setelah gadis itu benar-benar rileks terbuai usapannya, barulah Devan menelusupmenelusur
dengan jari-jarinya. Mudah sekali melakukan hal itu, karena lembah sempit di bawah sana telah basah-licin
oleh cairan-cairan cinta yang mengalir lamat-lamat dari sumbernya.
Alma mengerang lagi, semakin lama semakin keras. Devan menciumnya, mengulum bibirnya yang basah dan menghirup
nafasnya yang hangat itu. Seakan-akan, dengan mencium Devan ingin memberi bantuan pernafasan agar kekasihnya bisa
mencapai puncak kenikmatan. Sementara tangannya kini tak lagi cuma mengusap atau menelusup-menelusur.
Melainkan, tangan itu kini bergerak menggosok-mengurut dengan cepat. Semakin lama semakin cepat. Semakin
bergelinjang-bergeletar pula lah tubuh Alma. Suara erangannya memang terbungkam oleh ciuman Devan, tetapi tetap
keluar dalam bentuk jeritan-jeritan terputus.
Lalu Alma tiba di puncak asmara yang tinggi itu. Ia mengerang panjang sebelum sejenak berhenti bergerak karena ia
meregang dan tangannya mencengkram jok mobil. Devan mengurut-menggosok lebih kuat. Alma mengejang dan
melentingkan tubuhnya, lalu...
"Dev!" gadis itu menjerit kecil, "Aaaaaaaaaaah!"
Tubuhnya bergetar hebat, menggelepar kuat di bawah pelukan kekasihnya yang dengan sekuat tenaga menjaga
keseimbangan. Lama sekali Alma menggelepar dan meregang menikmati orgasme yang panjang bertalu-talu itu. Puas
sekali Alma menjejak puncak tinggi yang kini menjanjikan puncak-puncak berikutnya. Dikepitkannya kedua kakinya,
seakan dengan begitu ia bisa mencegah tangan kekasihnya meninggalkan lembah kewanitaannya. Karena ia ingin
mendaki lagi, kali ini bersama-sama Devan. Ia ingin juga ikut meremas dan mengurut, memberikan kenikmatan setelah
menerimanya. Dan malam pun semakin pekat dengan gelora asmara, mendung semakin menebal, lalu hujan mulai turun. Mobil mereka
terkurung air yang bagai dicurahkan dari langit. Tentu saja mereka tak peduli, karena kini mereka bersama-sama
mendaki. Bersama-sama memberikan dan menerima. Erangan mereka lenyap ditelan gemuruh hujan dan debur ombak.
****** Hubungan keduanya semakin mengarah ke penyatuan yang sepenuhnya setelah Devan membawa Alma menemui kedua
orang tua dan kakak-kakaknya. Seperti yang telah pemuda itu duga sebelumnya, Alma pasti dengan mudah bisa diterima
di keluarganya. Gadis itu punya kharisma khusus yang membuat keluarga Devan langsung menyukainya. Salah seorang
kakak perempuan Devan -yang minta dipanggil Kak Nana- bahkan mengusulkan sebuah pertunangan sebagai langkah
menuju perkawinan. Alma tersipu saja dengan pipi merah. Devan duduk tenang seperti tak mendengar apa-apa. Orang
tua Devan mengusulkan agar mereka berdua belajar dulu yang rajin sampai merasa cukup untuk melanjutkan hubungan.
Justru pada saat seperti itulah, ketika pertungangan dibicarakan dan pernikahan dicanangkan, Alma menemukan
sekeping masa lalunya di diri Mba Rien. Ia membaca sebuah majalah yang sampulnya berhiaskan wajah wanita itu.
Cantik sekali ia, sergah Alma dalam hati. Sejenak ia ragu, apakah bijaksana jika ia mencoba menemui wanita
yang kini sangat terkenal itu. Tetapi entah kenapa ia merasa harus menemui wanita itu. Entah kenapa ia tiba-tiba dipenuhi
nostalgia tentang kota kelahirannya. Maka dengan nekad ia datang ke tempat shooting tanpa diantar Devan. Dengan
nekad pula ia membujuk seorang asisten Mba Rien untuk membawa fotonya sewaktu di SMA untuk ditandatangani. Ia
berharap, foto itu bisa mengingatkannya pada sebuah kota kecil nun di sana. Dan ia berhasil.... (lihat cerita Rien: Tarian
Sepenuh Jiwa). Tetapi keberhasilan itu musti dibayar mahal.
Di kamarnya, sepulang dari bertemu dengan Mba Rien, Alma tercenung. Nama Kino muncul kembali di hatinya, dan
dengan gelisah ia mulai membongkar buku-bukunya. Ia ingin menemukan surat yang tak pernah sempat ia kirimkan
dulu. Lama sekali ia membongkar dan mencari, sampai akhirnya, menjelang tengah malam, ia menemukan surat itu
masih tersampul rapi. Dengan agak gemetar, Alma merobek sampul itu dan membaca isinya...
e-book by Crazy Guy (www.cgboy.co.cc) 08/06/20014 0
Kino sayang..., Lama sekali Alma tidak berkirim surat, dan lama pula suratmu tidak datang. Sudah hampir empat bulan ini
kita tak saling berkabar. Alma sendiri tak tahu, mengapa jarak yang memisahkan kita kini semakin jauh
rasanya. Kita semakin jauh melangkah ke tujuan yang tak berpapasan. Suratmu yang terakhir pun sangat
pendek, seakan ada keengganan di dalamnya. Alma pun tak bergairah membacanya, dan tak punya keinginan
menjawabnya. Berbeda sekali dengan dulu.
Sebentuk pedih tiba-tiba menyekat di kerongkongan Alma. Ia berhenti membaca untuk menghela nafas dalam-dalam. Ia
mencoba mengisi dadanya dengan keteduhan, tetapi gagal. Setitik air menggeliat keluar dari sudut matanya. Dengan
segala daya, Alma mencoba terus membaca...
Alma harus mengakui, Alma kini sudah berbeda, walaupun tidak bisa menjelaskan mengapa orang bisa
berubah setelah terpisah. Mungkin alam memang penuh kuasa, dan ibukota telah mengubah Alma, membuat
Alma tak lagi gundah memikirkan kamu. Tak lagi bersemangat mencari tahu tentang keadaanmu. Alma sudah
bukan yang dulu lagi, Kino sayang.
Pandangan Alma mengabur oleh air yang menggenang di kedua matanya. Ia berhenti membaca, meraih tisu dari meja,
dan menghapus airmatanya. Tak urung, setetes air sempat jatuh di atas kertas surat, tepat di atas kata "sayang", membuat
kata itu tak terbaca lagi. Dengan gundah, Alma lalu melanjutkan membaca...
Alma juga merasa ada yang berubah pada dirimu, walaupun tidak tertulis di surat. Alma merasakan
hubungan kita semakin dingin. Kata-katamu tidak lagi mesra dan ceritamu tidak lagi menarik untuk dibaca.
Terakhir kamu berkirim surat, malah ada nama-nama gadis yang tidak Alma kenal. Ada Rima, ada Indi. Siapa
mereka" Betulkah mereka cuma teman-teman biasa"
Alma menarik nafas panjang dan melepaskannya dalam hempasan. Ia ingat, surat Kino yang terakhir itu membuatnya
marah, tetapi tak tahu kenapa musti marah. Saat itu ia sudah mulai erat berhubungan dengan Devan dan sudah mulai
tertarik oleh pemuda itu. Justru ia sendiri yang tidak pernah menyebut nama teman-temannya, karena toh tampaknya
Kino tidak begitu peduli.
Alma juga punya sahabat-sahabat baru di sini. Ada Devan, ada Pasya, Abimanyu, Ollie, Tami, dan Kris.
Salah seorang di antara mereka, Devan, sangat baik dan Alma menyukainya. Alma minta maaf karena baru
menyatakannya sekarang. Tetapi entah kenapa, sulit sekali Alma menulis surat akhir-akhir ini. Alma selalu
harus memaksa diri untuk menulis. Kali ini Alma merasa harus menyampaikannya.
Alma tersenyum kecut membaca baris ini. Surat tak pernah sampai, bagaimana mungkin Kino mengetahui segalanya
yang kini sudah berlangsung dua tahun" Tetapi, apa pula reaksinya" Ia bahkan berhenti menulis surat sama sekali. Tidak
ada selembar pun kabar darinya, atau permintaan kepada aku untuk menulis. Ia tidak peduli, bukan"
Kino sayang,... agaknya kita memang harus berpisah. Lupakan Alma, dan belajarlah lebih giat lagi supaya
semua cita-citamu tercapai. Alma yakin, kamu pasti akan menjadi arsitek terkenal di masa depan. Alma
berdoa semoga kamu selalu berhasil dalam hidup. Maafkan Alma, dan maafkan pula semua yang
pernah Alma lakukan terhadapmu. Alma tercenung kelu setelah membaca surat itu. Betapa tragisnya akhir cinta pertamanya yang berujung pada
kebimbangan. Semua pesan yang telah ditulisnya dengan berderai airmata (ia ingat sekali saat itu hatinya hancur
berkeping-keping!) tak pernah sampai ke tujuan. Semua keputusan dan permintaan maafnya tak pernah tiba di tangan
Kino. Apa yang ada di benak pemuda itu pun ia tak pernah tahu. Apakah ia sudah tahu" Apakah ia punya mata-mata di
sini yang memberinya informasi rahasia"
Terlebih-lebih lagi, Alma kini bertanya dalam hati: apakah Kino masih mencintaiku" Atau apakah benar selama ini ia
mencintaiku" Apakah aku sendiri mencintainya"
Pada pertanyaan yang terakhir ini, Alma tak sanggup menahan tangisnya. Karena ia tahu persis jawaban dari pertanyaan
itu. Ia tahu persis bahwa cinta pertamanya adalah kepada seorang pemuda bermata lembut yang selalu gundah dan penuh
kebimbangan itu. Ia tahu setahu-tahunya, mengerti semengerti-mengertinya bahwa cinta pertama itu sangat indah dan
menawan. Ia mengenang dengan pedih lambaian tangan pemuda itu dan senyumnya yang manis tetapi penuh
kepasrahan. Ia mengenang perlakuan pemuda itu kepadanya, cara pemuda itu melindunginya, menggandeng tangannya
meniti tepian sungai.... "He's my hero...," bisik Alma sambil menahan sedu.
Tetapi, sebagaimana layaknya semua pahlawan, Kino akan menjadi monumen di bentang kehidupan Alma. Ia akan
menjadi kenangan manis yang tak terlupakan, namun ia adalah semata kenangan. Sebuah noktah yang berbinar paling
terang di antara noktah yang lain, tetapi ia tetaplah noktah.
e-book by Crazy Guy (www.cgboy.co.cc) 08/06/2000 15
Sampai menjelang pukul dua pagi, Alma masih tersedu. Lamat-lamat ia mendengar sebuah nyanyian di hatinya. Sebuah
lagu yang dulu sering mereka senandungkan bersama di tengah suasana perkemahan...
Mem'ries.... light the corners of my mind.... Misty water color memories, of the way we were
Scattered pictures..., of the smiles we left behind... Smiles we gave to one another, for the wa y
we were Can it be that it was so simple then.... Or has time rewritten ev'ry line.... If we had the chance
to dot it all again... Tell me would we... Could we......
Mem'ries....... may be beautiful and yet.... what's too painful too remember, we simply choose
to forget... So it's the laughter we will remember... Whenever we remember... The way we were
Lalu kantuk datang menyergapnya, memberi kedamaian yang meletihkan. Memberikan pengampunan kepada kepedihan
dan ketakberdayaan. Bagai payung raksasa, ufuk memerah di langit di luar kamar. Alma tertidur di atas bantalnya yang
basah.... e-book by Crazy Guy (www.cgboy.co.cc) 08/06/20016 0
Indi: Ensiklopedia Penuh Warna (1)
"Indi Tantina!" suara mengguntur dari Pak Robertus menyentak seluruh kelas.
Semua orang menengok ke arah tempat duduk Indi, ke arah seorang gadis berambut pendek yang tersenyum-senyum
sambil sesekali menggigit bibirnya. Wajahnya yang manis tetapi galak itu kini berubah penuh penyesalan, tetapi tetap
saja nakal!. Apa lagi yang diperbuatnya kali ini"
"Maju ke depan!" sentak Pak Robertus, guru matematika nomor wahid dalam soal teriak-teriak di depan kelas.
Dengan tenang Indi bangkit dari duduknya, berjalan cepat ke depan kelas, masih dengan senyumnya yang ditahan.
Seluruh kelas sudah tahu kebiasaan guru matematika yang galak ini, yaitu kalau ada murid yang bersalah, maka dia
harus melakukan semacam "pengakuan dosa" di depan kelas.
"Hayo. Mulailah mengaku di depan kelas!" ujar Pak Robertus sambil duduk di kursinya, menghadap seluruh kelas
dengan matanya yang galak itu. Di tangannya ada sebuah buku bersampul coklat, dan bertuliskan nama Indi. Apa yang
terjadi dengan buku itu"
Indi mendehem sejenak, sebelum mulai bicara dengan suaranya yang lantang. Gayanya berdiri tegak seperti orang
membaca Sumpah Pemuda. Matanya masih berbinar nakal dan wajahnya masih menahan senyum.
"Saya,.... Indi Tantina,... dengan ini mengaku belum menyelesaikan PR dan telah mengisi buku PR Matematika dengan
lukisan..." Seluruh kelas tertawa terbahak-bahak mendengar pengakuan gadis yang terkenal pali
ng nakal di kelas ini. Bebarapa
waktu yang lalu, dia juga membuat ulah dengan menempelkan poster Pak Dodo -guru olahraga- dalam bentuk karikatur
di dinding kantin. Kali ini Indi menggambarkan seseorang dalam bentuk yang berlebihan, dan Indi sungguh menyesal
lupa menyobek halaman itu ketika menyerahkan buku PR Matematika-nya.
Pak Robertus memukul meja, meminta kelas berhenti tertawa, lalu berseru kembali ke Indi, "Hayo, mengaku yang
lengkap!" "Saya mengisinya dengan lukisan ...... nggg,... Lukisan wajah seorang cowok!" kata Indi sambil menggigit bibirnya.
Lukisan itu sebenarnya lucu, gabungan dari lukisan wajah gorila dan wajah cowok itu. Makanya dari tadi Indi menahan
senyum. Kelas tertawa lagi. Beberapa orang bersuit-suit dan bertepuk tangan. Pak Robertus memukul meja lagi, dan berseru,
"Siapa namanya!"
Indi menoleh dan membelalakkan matanya yang indah tetapi nakal itu, "Lho, Pak... Apa perlu disebut namanya""
"Ya! Kamu harus mengaku dengan lengkap!" ujar Pak Robertus, tetapi ia melengos tidak mau menatap balik ke
muridnya. Sebetulnya dalam hati ia juga ragu, apakah perlu menyebut nama"
"Tapi....," Indi mengalihkan lagi pandangan ke depan kelas, menatap nanar ke teman-temannya. Ada yang mengedipkan
mata memberi dukungan moril, ada yang mencibir menyatakan ketaksetujuan, ada yang meniupkan ciuman menggoda.
"Tapi apa"" sergah sang guru, sebetulnya tidak lagi segalak tadi karena ia pun mulai ragu, apakah perlu membongkar
sesuatu yang tampaknya urusan pribadi. Diam-diam ia kagum pada gambar hitam putih yang dibuat dengan pensil itu.
Bagus dan sangat detil. Tetapi ia guru matematik, dan wibawanya dipertaruhkan di depan kelas.
"Nggak enak sama orangnya, Pak...," kata Indi memelas, memohon ampunan dan memandang gurunya dengan gaya
merayu. Kelas tertawa lagi, dan beberapa anak laki-laki bersuit-suit lagi.
"Saya tidak melihat wajahnya di sini!" kata sang guru sambil mengedarkan pandangan ke seluruh kelas. Anak itu
memang tidak ada di kelas ini.
"Tetapi temen-temen-nya banyak di sini..," kata Indi kembali memelas. Seluruh kelas tertawa lagi terbahak-bahak.
Pak Robertus bangkit dan menuju samping Indi yang meringkuk takut dijewer. Tetapi sang guru tidak menjewer,
melainkan berkata tegas sambil menuding-nuding Indi dengan bukunya sendiri, "Kamu meremehkan pelajaran saya.
Kamu harus minta maaf dengan menyelesaikan PR khusus yang sudah saya siapkan. Mengerti!""
Indi mengangguk-anguk cepat sambil menggigit bibirnya. Matik aku!, siapa yang bisa membantu membuatkan PR yang
pasti banyak itu" Cepat-cepat pikirannya melayang ke Mas Kino-nya. Tetapi cepat-cepat pula pikiran itu dibuang.
"Satu lagi!" kata Pak Robertus sambil kali ini beralih memandang seluruh kelas, "Kamu harus menyatakan nama cowok
itu, supaya temen-temen-nya tahu dan kamu kapok. Mengerti!""
Indi mengangguk-angguk lagi, tetapi masih mencoba menawar, "Boleh nggak menyebut inisialnya saja, Pak!"
Kisah Si Pedang Terbang 1 Lupus Bangun Dong Lupus Istana Yang Suram 15
^