Pencarian

Senja Merindu 2

Senja Merindu Karya Suffynurcahyati Bagian 2


"idzar" tanpa meminta izin. tanpa memberi tahu, gadis itu sudah duduk di salah satu kursi bersebelahan dengan Idzar. pria yang disebut namanya belum mau
menoleh sampai si gadis menyampaikan maksudnya.
"coba lihat ini" Idzar berpaling sejenak dari buku ditangannya. melirik sekilas apa yang disodorkan gadis itu padanya. sebuah ponsel yang menyala. Idzar
menaikan satu alisnya kepada Tsabit. gadis itu tahu bahwa pria dingin disebelahnya belum mengerti maksud dan tujuannya.
"lihat video ini" mata Tsabit mengarah pada ponselnya yang menyala. menampilkan video yang berasal dari situs ternama. didalamnya berdiri seorang anak
kecil berusia lima tahun tengah melantunkan ayat. Tsabit beranggapan bahwa itu adalah nyanyian surga. apakah seindah ini" pikirnya dalam kagum.
Amma yatashaa aluun. aninnabaa il madhim. alladzii hunfiihi mukhtalifuun...
idzar turut mengamati apa yang sudah membuat Tsabit terkagum kagum. setelah mendengar lantunan tersebut, Idzar tahu surat yang dibacakan anak itu ialah
surat An naba. sekilas pria itu tersenyum kecil.
"namanya Azza. salah satu finalis hafiz qur'an Indonesia" Idzar kembali pada bukunya. Tsabit membinarkan kedua matanya.
"kamu mengenalnya?" tanya Tsabit dengan nada sangsi. mungkin terkesima lebih tepatnya.
"ajang itu sudah berlangsung sejak dua tahun yang lalu. kenapa kamu baru mengetahuinya" bahkan sudah disiarkan di televisi swasta saat itu" jelas Idzar
tenang. meski ia sibuk pada buku, tapi pikirannya kini bercabang menjadi dua. kedatangan Tsabit sudah membuat dirinya hilang konsentrasi membaca. apakah
hanya untuk hal ini ia datang"
"benarkah" tapi ngomong ngomong aku suka sekali dengan anak ini. tidak hanya dia, tapi peserta yang lainnya. apa mereka diciptakan memiliki suara seindah
itu?" Tsabit tak henti menatap layar ponselnya. memanjakan telinganya dengan lantunan ayatNya. seperti hembusan sejuk yang memenuhi telinga. ada kehangatan
juga yang tercipta darinya.
"kamu hanya mengagumi suaranya" bukan lantunan yang mereka suarakan?"
"keduanya. aku suka keduanya. sepertinya mereka tercipta dengan daya ingat yang super atau ku pastikan mereka memiliki IQ tinggi layaknya Albert Einstein.
Issac Newton ataupun B.J Habibie" Tsabit menerka nerka. tanganya aktif mengusap layar smartphone mencari cari video lainnya. matanya bergerak gerak disana.
lalu menemukan video gadis berjilbab putih. ia siswi di salah satu madrasah. meski tidak mengenalnya, tapi Tsabit dibuat terhipnotis oleh suaranya yang
maha indah melantunkan surat Al mulk. wajahnya yang polos dan cantik. tidak ada keangkuhan disana. Tsabit tersenyum kagum. dalam hatinya berharap, agar
dipertemukan dengan si gadis pemilik suara surga itu.
"apa ini yang disebut lantunan surga" aku damai sekali mendengarnya. coba lihat!" Tsabit mendekatkan tubuhnya secara refleks. memperlihatkan sesuatu di
video tersebut "dia cantik sekali, kan. pasti ibunya tidak kalah cantik" puji Tsabit. alih alih agar Idzar turut menonton, pria itu malah menegang dengan
wajah menakutkan. matanya mengeluarkan sinyal bahaya. tapi Tsabit belum menyadari sinyal itu. ia masih terjebak dalam pesona lantunan surga di ponselnya.
"tak perlu IQ tinggi. kamu pun juga bisa seperti mereka" terdengar suatu harapan kecil dari sana. Tsabit menghentikan sejenak kegiatan menontonya lalu
menatap Idzar. pria itu berpindah tempat duduk. daripada harus menunggu Tsabit tersadar, lebih baik ia bertindak lebih dulu. semakin hari jantungnya semakin
berdetak aneh jika berdekatan dengan dia.
"ku kira tidak semudah itu. kamu lihat! mereka terlatih sejak sangat dini. kemampuan otaknya masih muat menyerap ilmu ilmu bahkan kitab kitab lainnya.
sedang aku,..." tanpa melanjutkan kalimatnya, tsabit berharap Idzar tahu. bahwa dirinya saja belum lama memeluk islam. sebagai seorang muallaf, setidaknya
ada kebanggan tersendiri dalam dirinya yang bisa membaca Alquran. meski mengajinya baru sampai surat An-nisa. itupun harus beberapa kali mengulang. karena
ia masih lemah dalam memahami tajwid tajwid.
"dalam diri mereka tertanam niat kuat untuk mempelajari Al quran. niat itu didasari ketulusan cinta kepada Tuhan. apa kamu pernah mendengar istilah, 'dimana
ada niat pasti ada jalan'" ketika hatimu sudah tertanam niat, maka sesuatu yang tidak mungkin akan menjadi mungkin. percayalah" seperti ada sesuatu yang
menarik tubuh Tsabit untuk bangkit dari umpatan pesimisnya secara perlahan.
"meski seorang pemula sepertiku" ku rasa kamu tahu bagaimana aku. tapi akan ku beri sedikit bocoran. sejak SMP, nilai hafalanku paling buruk. dalam pelajaran
matematika, aku merasa kesulitan dalam menghafal perkalian" ungkap Tsabit merendah. menundukan bahunya kemudian menaruh pasrah dagunya di atas meja. meski
matanya fokus pada ponsel, tapi pikiran gadis itu sudah beralih pada sesuatu yang lain.
Idzar menutup bukunya mantap lalu menoleh penuh kepada gadis yang kini dihadapannya.
"lakukan yang aku katakan. itupun jika kamu mau" Tsabit memasang wajah bodoh. keningnya berkerut membentuk gelombang aneh.
"awali segalanya dengan Niat dan karena Allah lah kamu ingin seperti mereka. maka, kamu akan merasakan keajaiban apa yang Dia berikan padamu" kali ini
lontaran Idzar diiringi tatapan tajam bak pisau. suaranya terdengar mantap. tidak ada keraguan apapun. kalimat itu terdengar seperti mantra yang seketika
membuat Tsabit tersadar dari putus asanya. ia terkadang bingung, bagaimana Idzar bisa begitu yakin, sedang dirinya yang menjalani merasa sulit.
"mengapa kamu bisa seyakin itu?" tanya Tsabit dengan nada sangsi. akhirnya ia mengeluarkan diri dari situs video tersebut. mengunci ponselnya lalu beralih
kepada pria yang baru baru ini menolak ajakannya menikah. jika diingat, tindakannya saat itu benar benar konyol. ia baru menyadarinya sekarang. untung
saja Idzar bukan type laki laki labil yang bisa saja menjauhi Tsabit karena tindakan konyol tersebut. dengan segala kebesaran hati, Idzar justru tidak
mempermasalahkan hal itu. mereka tetap menjalin hubungan sebagai rekan kerja. membuang kecanggungan sia sia lalu menggantinya dengan sikap biasa. anggap
saja itu tidak pernah terjadi.
"jangan tanyakan mengapa aku bisa seyakin ini. tapi tanyakan pada dirimu, mengapa kamu tidak seyakin aku, sedang kamu yang menjalaninya"
kenapa idzar suka sekali berbelit belit. kian hari ucapannya seperti benang kusut. Tsabit meng-oh apa yang ia dengar. tapi tidak mengubah tekadnya untuk
menjadi sosok hafiz seperti yang divideo.
"apa yang Allah berikan kepadaku kalau aku menjadi seperti mereka?" pertanyaan itu terdengar seperti interview karyawan yang biasa diucapkan dana pada
calon karyawannya. jika ucapan Idzar selalu terbelit belit. justru pertanyaan Tsabit seperti teka teki yang harus ia pecahkan. idzar menarik nafas panjang.
"aku pernah mendengar salah satu hadist. kalau tidak salah, bunyinya seperti ini 'siapa yang membaca Alquran, mempelajarinya dan mengamalkannya, maka dipakaikan
mahkota dari cahaya pada hari kiamat. Cahayanya seperti cahaya matahari dan kedua orang tuanya dipakaikan jubah kemuliaan yang tidak pernah didapatkan
di dunia'" mata Tsabit berbinar. menampakan sedikit cahaya yang terpancar dari sana. melupakan bahwa beberapa menit sebelumnya ia telah berputus asa lalu pesimis.
senyumnya melebar menyambut hadist yang terdengar seperti air sejuk di tengah padang pasir yang gersang. ada harapan yang menunggunya. ada masa depan yang
indah yang dijanjikan dari hadist tersebut. berulang ulang hatinya berkata 'benarkah yang ia katakan"'
tapi ia tidak tahu bagaimana jika yang mengucapkan itu bukanlah Idzar. akankah ia tetap berbahagia seperti ini" semoga saja tidak.
"benarkah seperti itu?" Tsabit mengerjap ngerjap antara kagum dan tidak percaya. Idzar mengangguk seraya mengulum senyum kecil. jujur, itu salah satu cara
Idzar menahan tawa. ekspresi bodoh Tsabit terlihat konyol menurutnya. tapi ia suka semangat gadis itu.
"setelah ini, aku akan berterimakasih padamu. karena aku tidak salah menunjukan video ini. kamu justru memberiku tantangan dengan hadiah terindah yang
dijanjikanNya" Tsabit menatap langit langit. seolah sedang membayangkan bagaimana jika dirinya bermahkotakan cahaya lalu kedua orang tuanya memakai jubah
kemuliaan yang tidak pernah didapatkan di dunia. ia semakin yakin pada keputusannya memeluk islam. islam itu indah.
"apa kamu mau mengajariku?" pertanyaan itu disambut mata Idzar yang memicing sambil menaikan satu alisnya. Tsabit segera tahu diri dari perubahan raut
itu. "maksudku-- tidak jadi. lebih baik aku menyewa guru privat saja" Tsabit memutar bola matanya lalu mengangkat tangan ke udara "diajari guru seperti kamu
hanya akan membuatku menjadi bongkahan es yang membeku di kutub utara. kemudian bermukim disana bersama ratusan pinguin. aku membutuhkan guru yang hangat
dan menyenangkan" ungkap Tsabit tersenyum senyum sendiri. ia tidak tahu sedari tadi pria yang ia sebut dingin tengah berusaha keras menahan tawa sampai
sampai bahunya bergetar kecil.
"aku suka kesadaran diri kamu"
Tsabit memberi senyum kecut. bibirnya komat kamit berucap tidak jelas. matanya menatap keki. dia pikir dia siapa" sepertinya baru saja pria itu menjadi
sosok yang hangat. tapi seketika itu pula ia berubah menjadi sedingin es. lama lama Tsabit berniat menyiram Idzar dengan air mendidih agar unsur es dalam
pria itu mencair. *** tidak biasanya jalan menuju Rumah sakit nampak sepi. padahal ini masih hari bekerja. Aufa sengaja izin setengah hari dari mengajar karena harus menjenguk
Diana. sejak semalam Syihab menghubunginya dan mengatakan bahwa Diana terus menyebut nyebut namanya. ada titik kebahagiaan yang meluap luap dalam gadis
itu. tentu saja itu suatu perkembangan yang baik. mungkin saja Diana sudah mengingat dirinya sebagai anak. bukan seorang perawat.
dalam perjalanan Aufa tersenyum senyum sendiri dibalik helm. sudah tidak sabar ingin segera bertemu ibunya yang ia rindukan.
ia menaikan kecepatan motornya lalu melesat cepat melewati jalanan yang hanya dilewati beberapa kendaraan saja.
sayangnya belum sampai ke tempat tujuan, motor yang dinaiki Aufa berhenti sejenak. ia membuka kaca helmnya lalu melihat sesuatu yang menarik perhatiannya.
dari seberang ia memberhentikan motor, terlihat dua gadis yang sedang susah payah mengangkat motornya. gadis yang lainnya berusaha bangkit dari posisi
menyedihkannya. "kalian baik baik saja?" Aufa sudah berada diantara mereka, membantunya mengangkat motor dan memposisikan motor matic itu berdiri menggunakan standard
dua. "kamu lihat saja sendiri" respon menyebalkan tercipta dari gadis yang baru saja ia bantu berdiri. gadis itu mengibas ngibaskan jilbab polkadotnya yang
terkena debu. wajahnya agak jutek.
"jalanannya licin, ka. jadi saya ga bisa kontrol rem nya. jadinya kita jatuh deh" jawab gadis yang satunya. ada yang berbeda dari dua gadis itu. apa mereka
kembar" "jalanan disini memang licin. apalagi sehabis hujan. kalian harus lebih berhati hati lagi" Aufa melihat ada luka lecet di sikut gadis jutek tadi. ia pun
merogoh sesuatu dalam tasnya. sebelumnya ia menggiring dua gadis kembar itu ke tempat yang lebih strategis dan bisa untuk duduk sejenak.
"tahan sedikit ya. ini akan sakit di awal" Aufa membasahi tissue dengan air mineral yang tidak pernah absen dari tasnya lalu membersihkan luka lecet gadis
jutek itu. tidak hanya disikut, rupanya. pada bagian telapak tangan dan pergelangan tangan juga ada sedikit lecet.
"aww" gadis itu meringis menahan sakit. gadis yang satunya menatap iba saudaranya itu. sesekali ia memerhatikan aktifitas Aufa yang begitu hati hati. wajahnya
serius mengobati luka kecil itu dengan peralatan seadanya.
"pelan pelan, ka" kejutekan gadis itu semakin memudar. wajahnya menahan rasa perih yang timbul setelah Aufa menempelkan plester ke luka lukanya.
"iya. tahan sedikit, ya" Aufa menempelkan satu plester lain yang bagian telapak tangan
"nah, selesai" sentuhan terakhir setelah semua luka tertutup plester. untungnya Aufa selalu membawa plester. takut takut dirinya mengalami hal yang sama
dalam berkendara. "terimakasih ya, ka. maafkan sikap aku tadi" gadis itu menunduk malu sambil mengusap ngusap plester pada luka disikutnya. Aufa tersenyum hangat.
"kamu sih, udah suudzan aja" gerutu gadis satunya.
sedari tadi Aufa terus menegaskan sekaligus membedakan dua gadis kembar dihadapannya ini. ini pertama kalinya ia melihat manusia kembar secara langsung.
ternyata seperti yang ia lihat di televisi. sangat sulit dibedakan.
"musibah itu datangnya kapan saja. lain kali lebih berhati hati ya" Aufa menatap mereka bergantian. aha! akhirnya Aufa menemukan satu titik yang membedakan
kedua gadis kembar itu. gadis yang terkena luka memiliki pipi yang agak tirus sehingga terlihat kurus. sedang gadis yang mengendarai motor, pipinya nampak
berisi. jadi terkesan chubby.
"iya ka. terimakasih banyak. maaf sudah merepotkan" ujar gadis berpipi chubby. mereka bersiap siap untuk kembali melanjutkan perjalanan. ada ketakutan
dalam diri Aufa. dua gadis itu masih terlalu muda untuk membawa motor. pikirnya.
"sebaiknya tunggu sampai kalian benar benar kuat. baru melanjutkan perjalanan. kalau perlu aku akan menemani kalian disini" saran Aufa khawatir. bagaimana
pun juga. mereka sudah menjadi tanggung jawabnya. bagaimana kalau mereka terjatuh lagi" kedua gadis itu malah tersenyum menenangkan.
"insya Allah kami akan baik baik saja. kami akan menemui kakak kami yang juga seorang dokter. kakak tidak perlu khawatir" jawab salah satu dari mereka
secara halus. keduanya menampakan senyum yang manis. melihatnya, Aufa seperti berada di negara Arab. garis wajah mereka seperti gadis keturunan Arab. sangat
sedap dipandang. "syukurlah kalau begitu, kalian hati hati ya. teruslah berdzikir agar Allah selalu mengiringi setiap langkah kalian" Aufa pun turut bersiap mengenakan
masker juga helmnya. dan ketiganya bersiap melanjutkan perjalanan.
setibanya dirumah sakit, Aufa langsung menemui suster penjaga untuk meminta izin menjenguk Diana. setelah mendapat izin, ia langsung menuju kamar dimana
Diana dirawat. setibanya disana, sudah ada dokter Syihab yang sedang memberinya terapy. dari ambang pintu ia mengamati bagaimana kesabaran Syihab memberi
instruksi Diana agar menarik hembuskan nafas. sesekali Diana menurut, sesekali pula Diana membangkang. tak jarang Syihab mendapat umpatan umpatan kasar
yang dilontarkan Diana. Aufa sendiri miris mendengarnya. tapi jika melihat bagaimana Syihab menyikapi perlakuan itu, Aufa berpikir tentang stock kesabaran
Syihab yang amat banyak. pria itu seperti tidak punya ekspresi marah yang tersimpan dalam wajahnya. tapi biasanya, manusia sabar seperti Syihab, akan sangat
menyeramkan jika marah. pernah mendengar kalimat, 'dunia tidak akan hancur karena orang orang jahat. tapi karena marahnya orang sabar' kurang lebih seperti itu.
"nah! itu dia yang aku tunggu! hei, kamu cepat kesini" Diana menunjuk nunjuk girang Aufa yang sedang berjalan menghampirinya. ia melompat lompat di atas
ranjang dalam posisi duduk bersila.
"ibu mencari saya?" tanya Aufa hati hati.
"tentu saja. cepat suapi aku! hari ini aku ingin makan disuapi olehmu" meski terdengar aneh. tapi Aufa senang mendengar permintaan itu. Syihab menyodorkan
sepiring nasi beserta lauk dan sayuran kepada Aufa. pria itu tersenyum.
"sejak kemarin, dia meminta kamu menyuapinya. ini perkembangan yang bagus" kebahagiaan Aufa bertambah ratusan kali lipat mendengar pernyataan terucap dari
bibir Syihab. senyum pria itu juga menambah bagian dari kebahagiannya.
Aufa segera menyendok nasi dan potongan lauk lalu mengarahkan satu suapan itu ke mulut diana. bersama sebuah senyum terukir, Aufa menatap bahagia ketika
Diana begitu lahap menikmati suapan demi suapan yang ia berikan.
"apa kamu sibuk akhir akhir ini" ku kira kamu lupa dengan keadaanku disini" tanya Diana di sela kunyahannya. Aufa menipiskan bibirnya seraya berkata "maaf
ya bu. menjelang ujian semester aku jadi terlalu sibuk. anak anak butuh bimbingan khusus. bahkan mereka memintaku untuk memberinya les tambahan. tapi ibu
tidak usah khawatir. aku tidak pernah lupa untuk menjenguk ibu disini dan menyuapi ibu" hiburnya di akhir penjelasan.
"pikirkan kesehatanmu juga. kalau kamu sakit, siapa yang akan merawat ibu nanti" itu adalah ucapan terindah Diana kepadanya. ada gelanyar kasih sayang
yang tersirat. kepedulian yang abadi. perhatian yang luar biasa terucap dari bibir pucatnya.
"iya ibu. fida akan ingat pesan ibu. ibu juga ya, jangan buat fida khawatir"
raut diana berubah aneh. ada kerutan bertumpuk diantara kedua alisnya yang bertemu
"fida itu siapa" bukankah namamu Aufa?"
Diana belum pulih betul rupanya. Aufa saja yang terlalu berharap ibunya sembuh total. ia menoleh sebentar ke arah Syihab. dokter itu mengangguk lalu menarik
sudut bibirnya. "jadi, ibu belum tahu nama lengkapku" namaku Mufida Aufa. dulu ibu memanggilku dengan sebutan Fida" Aufa membersihkan sisa nasi terakhir di piring lalu
memberi satu suapan terakhir kepada Diana.
"begitu?" Diana mengunyah suapan itu "ah, tapi aku lebih suka menyebutmu Aufa. jangan paksa aku untuk mengingat. karena itu akan menyiksaku" Diana mengangkat
kedua tangannya ke udara dengan wajah memohon. jika disuruh untuk mengingat akan terasa menyakitkan baginya.
"kemampuan otaknya masih sulit untuk mengingat. biarlah waktu yang perlahan membawanya kembali pada memorinya yang terdahulu. bersabarlah" pesan Syihab
lembut. lalu mendapat tatapan tajam dari Diana. tersadar diperhatikan, Syihab membalas dengan senyumnya yang menawan.
"kenapa kamu masih disini, dokter muda" apa kamu tidak punya kerjaan lain selain menjadi nyamuk diantara kami, heum?" wajah diana nampak menyeramkan. ditambah
kondisi rambutnya yang sudah memanjang sebatas punggung. nampak kusut tak terurus. sudah terlihat rambut putih di salah satu bagian. semakin terlihat seperti
seorang nenek sihir. "baiklah kalau begitu saya permisi" pamit Syihab setelah diserbu kalimat kalimat kasar dari Diana. ia berjalan keluar setelah berpamitan kepada Aufa.
"abangg...?""
seru girang dua gadis cantik yang berhasil menemukan sosok syihab berjalan menuju pintu keluar. mereka tak sengaja melewati kamar dimana Diana dirawat,
salah satu dari mereka menoleh dan akhirnya pria yang dicari mereka pun ditemukan.
"kalian sedang apa disini?" syihab berdiri di ambang pintu, membuat penghuni kamar yang baru saja ditinggalkan memerhatikan dokter yang membelakangi mereka.
"bicara dengan siapa dia?" Diana mencondongkan tubuhnya penasaran untuk melihat kepada siapa dokter itu berbicara.
"entahlah, bu" jawab Aufa menoleh sekilas.
"coba lihat! dokter itu punya dua kekasih" seru Diana sok tahu setelah mengetahui dua sosok yang sedang asyik berbicara dengan syihab meski harus berbolak
balik mencondongkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri.
"habisnya kita cari abang ga ketemu ketemu juga. rupanya disini. apa abang sedang sibuk?" Acha menengok sekilas dua orang di dalam kamar dimana abangnya
berdiri. "abang baru saja memeriksa pasien. kalian ada perlu apa jauh jauh kemari?"
"apa pasien abang wanita yang berjilbab itu?" tak menjawab pertanyaan Syihab, Icha yang juga memerhatikan dua sosok di dalam kamar penasaran dengan mereka.
"bukan. dia anaknya"
Syihab mendapati kedua adiknya dalam keadaan aneh. mereka saling berbisik satu sama lain. seperti ada yang mereka sembunyikan.
"kalian membisikan apa sih?" tanya Syihab risih. kedatangan dua adiknya benar benar membuatnya pusing.
"bang, abang tahu nama anak dari pasien abang itu?" kini giliran Acha yang kepo. wajahnya penasaran sambil menunjuk nunjuk sosok wanita berjilbab biru
tua di dalam sana. "tahu" jawab Syihab singkat.
"siapa namanya?" tanya mereka bersamaan. sontak Syihab berjengit heran. ada apa dengan kedua adiknya itu" mengapa mereka begitu penasaran dengan Aufa"
"hei, dokter muda! suruh dua pacar mu itu pergi. aku merasa terganggu dengan obrolan kalian! bisa bisanya kalian berpacaran disini" teriak diana sewot
dari dalam kamar. Aufa mengelus ngelus pundak Diana agar bersabar. di sisi lain ia pun juga penasaran dengan seseorang yang sedang berbicara dengan Syihab.
"kita disangka pacar abang" sinting kali ya" celetuk Acha lebih sewot agak berbisik. lalu mendapat tepukan ringan di bahunya "ga boleh ngomong gitu. istighfar!"
Icha memperingatkan saudaranya.
"maaf nyonya Diana sudah mengganggu istirahat anda. kami akan segera pergi. selamat beristirahat" Syihab berbalik memohon maaf kepada Diana lalu berbalik
lagi bersiap untuk pergi.
Syihab berjalan pergi bersama kedua adiknya yang super rese. Aufa menggelengkan kepalanya sambil tersenyum menatap kepergian Syihab. tapi sedetik kemudian
wajahnya terlihat menimang sesuatu. seperti ada yang aneh dari dua gadis yang dituduh sebagai pacar dokter itu.
*** "masih lama ga sih, cha" kalau masih lama kita pulang aja ah" Acha menggerutu sebal bersandar pada motor. wajahnya ditekuk. bibirnya mengerucut.
"sabar apa sih, kamu ga penasaran apa sama kakak misterius itu?" Icha mondar mandir didepan gerbang rumah sakit. matanya tak henti berpetualang ke dalam.
seperti seorang FBI yang sedang mengincar targetnya.
Acha berdecak sebal sambil bersendekap menatap sekitar. sambil komat kamit berucap tidak jelas. sudah hampir empat puluh lima menit mereka menunggu disana.
sampai sampai orang yang melewati mereka menatapnya aneh. belum lagi satpam rumah sakit yang bolak balik menghampiri mereka menanyakan apa orang ditunggu
sudah tiba. jelas saja belum, kalau sudah, mereka tidak mungkin berada disini dalam waktu lama.
"kita pulang aja yuk, cha! kayaknya dia masih lam,--"
"dia datang!" potong Icha sambil melompat girang bersiap pasang badan menyambut Aufa. dengan sikap siaga, dia berdiri di depan gerbang ditemani Acha yang
sudah menaiki motornya. ketika motor yang dikendarai Aufa melaju menuju gerbang otomatis berhenti seketika.
"kalian" sedang apa disini?" Aufa membuka helmnya lalu mengamati dua gadis kembar dihadapannya.
"kami menunggu kaka"
Aufa meminggirkan motornya. disusul Acha dan Icha. keduanya sedari tadi senyum senyum. entah apa yang membuatnya bahagia.
"baiklah. sekarang katakan apa keperluan kalian" Aufa menatap mantap dan tegas. tapi tidak ada kesan galak. matanya menuntut sesuatu.
"siapa nama kaka?" pertanyaan singkat terlontar dari Acha.
"namaku Mufida Aufa. cukup panggil aku Aufa. selanjutnya?" jawabannya terdengar singkat padat jelas. Acha dan Icha terperangah mendengarnya. keduanya saling
menatap satu sama lain sambil tersenyum lalu kembali menatap Aufa.
"tapi, tunggu! apa pentingnya namaku bagi kalian?"
"penting banget ka. karena percuma kita bujuk abang. rayu rayu abang. dia tetep ga mau kasih tahu nama kaka. abang mah emang manusia batu" ungkap Icha
geregetan mengambil minuman bersodanya dari tas kecil yang mengantung di motor.
"abang siapa ya yang kalian maksud?" Aufa masih belum mengerti ocehan duo kembar menggemaskan ini. meski terkadang menyebalkan.
"abang Syihab, ka. yang tadi diusir sama ibu kaka. disangkanya kita pacar abang" mereka tertawa kecil mengingat insiden memalukan tadi. sungguh kasihan
sekali abang tersayangnya itu. menjadi korban amukan pasiennya.
Aufa meng-oh jawaban mereka. sekarang ia tahu, dua gadis tadi adalah adik Syihab sekaligus gadis yang ia temui saat kecelakaan tadi pagi. berarti tidak
ada hubungan pacaran diantara mereka. Aufa tersenyum kecil.
"jadi kalian adik dari dokter muda itu?" senyum itu melebar. membuat matanya membentuk garis lurus. seperti tenggelam diantara pipi. "siapa nama kalian?"
"aku hafsah. panggil aja Acha" jawab gadis yang ditebak aufa memiliki pipi yang tirus. agak kurus.
"aku Annisa. biasa dipanggil Icha" jawab kembar satunya yang memiliki pipi agak berisi.
"tadi kaka bilang apa" dokter muda" asal kaka tahu ya, bagi kita abang itu udah tua. udah waktunya kewong" yang berbeda dari mereka yakni karakter Acha
yang hobby sekali berceletuk. kadang celetukannya adalah kata kata absurd. malah terdengar alay.
"kewong?" "kawin ka, maksudnya. kosa kata acha mah absurd absurd semua" Aufa tertawa kecil. disusul keduanya. ada ada saja tingkah mereka. berbeda dengan abangnya
yang cenderung wibawa, tidak konyol, meski sama sama menyebalkan. nilai Aufa dalam hatinya.
"oh iya aku hampir lupa sesuatu" Aufa menyunggingkan seringai aneh. matanya menatap misterius. acha dan icha memicing curiga tapi juga siaga ketika Aufa
mendekat ke arah mereka. tangannya terulur.
"ka.. kaka mau apa?" tanya acha kaku memasang wajah takut. menebak nebak apa yang akan dilakukan kepada mereka.
Aufa mencubit lembut kedua pipi Icha. menggerak gerakannya. meraba tiap inchi permukaan wajah gadis itu. hal yang sama dilakukan kepada kembarannya Acha
hingga keduanya saling mengerutkan dahi.
"ya Allah.. jadi kalian ini benar benar kembar" masya Allah sungguh maha besar Engkau" gumam Aufa menatap kagum Acha dan Icha. sebenarnya sejak bertemu
mereka tadi, Aufa sudah sangat ingin mencubit pipi mereka. hanya untuk memastikan bahwa manusia kembar itu benar benar ada.
"kaka sehat?" Aufa mengangguk cepat dan semangat. kesadarannya masih belum kembali. ia masih sibuk mengagumi keindahan ciptaan Tuhan dihadapannya. selain kembar, mereka
juga cantik. "kalian itu mengaggumkan. apa kalian punya sifat yang sama" lalu bagaimana jika salah satu diantara kalian sakit" apa kalian pernah menyukai orang yang
sama" apa selera kalian sama" dan untuk pakaian, pasti orangtua kalian sudah menyiapkan pakaian khusus tentunya ya" pertanyaan itu terucap tanpa jeda tanpa
koma tanpa titik. membuat Icha berulang kali menggaruk kepalanya yang tidak gatal. ia berpikir, Aufa memiliki karakter unik. ia bisa bersikap anggun tapi
satu detik kemudian dia bisa bersikap memalukan.
"coba istighfar deh ka. meski wajah kita sama. sifat kami beda. selera kami beda. makanan kesukaan kami pun berbeda" jelas Acha agak gemas. ia mencubit
cubit pipinya sendiri sambil mengerucut.
Aufa beristighfar dalam hati. menormalkan kembali ketidaksadarannya dalam memuja. "mungkin di lain waktu kita bisa bertemu lagi. dan akan banyak pertanyaan
lainnya yang ingin aku tujukan kepada kalian"
"aku mendengar sebuah ancaman. sebaiknya kita harus waspada, Cha" Icha melirik kembarannya. lalu terkekeh geli. awalnya Aufa keki tapi ia turut tertawa
pula. mereka sama sama memiliki garis wajah yang indah. sama seperti Syihab. dilain waktu ketika mata Aufa bertemu dengan wajah itu. ia seperti melihat sosok
pangeran yang pernah ia lihat di buku buku cerita. tidak ada cacat sedikitpun. dan itu menurun ke kedua adiknya. lihatlah betapa cantiknya mereka. bak
pinang dibelah dua. jika mereka berhadapan, seperti sedang bercermin.
*** TBC... 7. 1 dalam 2 imaginasi jika ada yang bertanya apa itu waktu" waktu adalah sesuatu yang pasti tapi tidak stabil perjalanannya. ia akan tiba suatu saat nanti. tapi perjalanannya
yang berbeda. ada yang merasakan lambatnya perjalanan waktu. ada juga yang merasa terlalu cepat waktu itu berlalu.
sama seperti hari ini. waktu berjalan begitu cepat. seperti derasnya air di sungai. seperti hembusan angin topan. seperti kepulan asap. mereka berarak
tanpa ingin kembali. menuju kemana mereka suka tanpa mau berbalik arah. bahkan kau tidak bisa menyentuh mereka yang sama untuk kedua kalinya. mereka seperti
masa lalu. jangan harap pernah kembali kesana. masa lalu adalah sesuatu yang jauh. sangat jauh.
kini sang waktu itu membawa mereka ke tempat ini. menggiring mereka ke kembali ke kediaman dimana masa lalu mereka pernah terjadi. pernah terjalin, dan
hanya meninggalkan sisa sisa luka berbumbu kenangan.
wanita berusia hampir setengah abad itu menatap jauh rumah mewah dihadapannya. sambil duduk manis di kursi roda, mengabsen penjuru rumahnya. mata coklatnya
bergerak perlahan menyapu bagian bagian rumah tersebut. pintu berukir itu masih sama. kursi kursi dan meja di teras belum berubah posisinya. taman kecil


Senja Merindu Karya Suffynurcahyati di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

buatannya masih nampak sama. hanya saja untuk ukuran sebuah rumah yang ditinggal lama penghuninya, terbilang rapi dan terawat. tidak ada rumput liar ataupun
sampah dedaunan yang berserakan. pandangannya beralih ke arah tenggara. wanita itu tersenyum kecil, mengamati aktifitas burung kakak tua kesayangannya
tengah melompat lompat dari batang dimana dia bertengger. seolah ia bersorak bahagia menyambut kedatangan majikannya.
jika diingat tepatnya 5 tahun 10 bulan 15 hari rumah itu terabaikan penghuninya. terbiarkan kosong meski menurut sepengetahuannya, ada seseorang yang sengaja
di sewa untuk merawat rumah itu. rumah dengan kesan jawa yang kental. kini ia kembali menyapa rumah mewah miliknya. memandang jauh seraya tersenyum. senyum
yang menyimpan banyak makna. menyimpan sedikit kenangan yang ia ingat semampu otaknya.
"rumah ini tidak berubah" suaranya agak serak. nadanya sangat datar. meski di dalam hati ia menyimpan kerinduan akut yang menyakitkan.
"biyung merawatnya dengan baik, bu" sahut gadis yang memegangi handle kursi rodanya. ia tersenyum lembut setelah wanita--yang ia panggil ibu--itu menoleh
ke belakang. bermaksud agar ia segera membawa dirinya masuk kesana.
Diana menatap luas setelah kursi rodanya memasuki undakan menuju ruang tamu. ruangan pertama yang menyambutnya. ruangan itu masih sama. luasnya masih sama.
detail detail pajangan maupun" ukirannya juga. hanya auranya saja yang berbeda. aura kesepian yang ia rasakan. mengingat salah satu penghuni rumah itu
tidak akan pernah dan selamanya menginjak rumah itu lagi. berkurang satu kebahagiaannya.
"rumah yang indah" gumam kagum pria yang menyertai Diana.
"sugeng rawu Bu Diana, senang sekali akhirnya bu Diana kembali ke rumah ini" sambut wanita tua berjalan tergopoh gopoh mendekati Diana. tubuhnya agak bungkuk.
rambutnya didominasi dengan uban. ia pasti wanita yang di pekerjakan Aufa untuk merawat rumah ini. tebak Diana.
"terimakasih" Diana tersenyum "anda pasti, bu sundari ya?" tanya Diana dengan wajah tenang dan ramah. sosok Diana yang dahulu seperti lenyap ditelan bumi.
"betul, bu. tapi ibu cukup memanggil saya biyung saja. orang orang disini termasuk mbak Aufa memanggil saya begitu" jawab wanita yang disebut biyung itu
dengan nada mendayu khas keraton. Diana mengangguk pelan.
"terimakasih, biyung sudah merawat rumah saya"
"sama sama bu. itu sudah menjadi tugas saya. ternyata bu Diana ini cantik sekali ya. ramah pula" puji biyung tulus dan mendapat respon senyuman kecil.
tak lama mata Diana mendarat pada dinding bercat putih gading. pada dinding itu terpajang sebuah pigura besar menampakan wajah seorang wanita muda yang
cantik. sedetik setelah melihat keberadaan foto itu, dadanya mendadak sesak. pasokan oksigen dalam tubuhnya menyurut perlahan. membuatnya lemas lalu tertunduk
seraya menahan tangis. "ibu, baik baik saja?" Aufa duduk berlutut dihadapan Diana. mendongak menatap khawatir sang ibu lalu menggenggam tangan kurus itu.
"tolong singkirkan foto itu" suaranya terisak sendu sambil menunjuk foto yang dimaksud. Aufa bisa merasakan tangan ibunya bergetar. tak lama tetesan kecil
mendarat di tautan antara mereka. ada sesuatu yang Aufa sesali, jika foto almarhum Sarah hanya akan membuatnya sedih, seharusnya ia menyingkirkan foto
itu terlebih dahulu. semoga saja ibunya baik baik saja setelah ini.
"sekarang kita ke kamar yuk, bu. ibu pasti kangen sama kamar ibu" Aufa merusak suasana haru itu sambil menggiring diana menuju kamar. meninggalkan Syihab
dan biyung sundari yang tengah menurunkan pigura besar itu. sekaligus menghilangkan kesedihan Diana terhadap masa lalunya.
*** setelah memasuki masa pemulihan selama kurang lebih 32 hari, Diana dinyatakan sembuh. suatu nikmat Allah yang tak akan Aufa dustakan. nikmat luar biasa
dariNya setelah berjuang bertahun tahun merawat tulus Diana selagi menanti kesembuhannya. menanti kebahagiaan utama baginya. kebahagiaan yang tidak tergantikan
apapun. saking bahagianya, ia ingat setelah Syihab mengizinkan bahwa Diana diperbolehkan pulang, gadis itu refleks melakukan sujud syukur. sebagai tanda rasa syukurnya
yang menggebu gebu atas penantiannya selama ini.
"katamu, ayahmu akan kesini. mana?" Diana menatap lurus ke luar jendela. tatapannya kosong. terduduk di tepi ranjang. membiarkan Aufa menyisir rambut panjangnnya
sedari tadi. sesekali gadis itu menciumi rambut ibunya dengan lembut. menghirup aroma urang aring yang alami disana.
"sedang dalam perjalanan sepertinya. setibanya kita disini, mereka baru saja jalan" jelas Aufa. gadis itu masih asik bermain main dengan rambut ibunya.
setelah disisir kemudian ke gelung agak ke atas. agal sulit di awal, karena rambut diana sedikit kaku.
"dengan siapa dia kesini"
Aufa menatap langit langit seraya memanyunkan bibirnya.
"mungkin dengan Idzar. ibu tahu ga" akhir akhir ini pria itu sudah membuatku iri. karena ia sudah berhasil merebut perhatian ayah"
"sungguh?" Diana menoleh. merasa tertarik dengan pembahasan ini
"mereka sedekat apa?"
"sedekat seorang ayah kepada anaknya. aku sempat berpikir, anak ayah itu aku atau Idzar sih?" Aufa mendengus sebal. bibirnya yang mengerucut itu belum
mau berubah posisi. diana tertawa kecil. Aufa langsung tersenyum mendengar tawa kecil itu. terdengar renyah.
"anak ayah satu satunya ya hanya kamu, nak" itu bukan sahutan dari Diana. melainkan dari sosok bertubuh tegap tinggi berdiri di ambang pintu kamar. ia
berjalan pelan namun pasti. langkahnya yang mantap terdengar dari ketukan bunyi sepatu hitamnya.
"ayah kapan datang" kok aku ga tahu?" Aufa berdiri. mencium punggung tangan Cokro lalu memeluknya sebentar. Diana melihat perlakuan itu sekilas. begitu
banyaknya kasih sayang dan cinta yang tertuang kepada mereka satu sama lain. bahkan ketika anaknya itu tahu bahwa dirinya bukan anak hasil perbuatan Cokro
sekalipun. bolehkah Diana mengucap ribuan rasa syukur" dibalik penderitaannya yang teramat perih, terdapat hikmah sekaligus kado terindah untuknya. kado
yang berwujud manusia seperti yang berada di dekatnya saat ini.
"sudah lima belas menit yang lalu. ayah mengobrol dulu dengan dokter yang duduk di ruang tamu. lalu ayah tinggalkan dia mengobrol dengan Idzar" dugaan
Aufa benar. sekarang pria bernama idzar itu sudah bisa mengambil hati ayah. apakah aufa harus menemui kedua pria disana" sebaiknya jangan dulu. ia tidak
ingin melewati masa masa dimana ayah dan ibunya kini berada dalam satu atap saling menuang luapan rindu yang tertahan.
"bagaimana kabarmu, Diana?" Cokro membuka obrolan kepada diana. terdengar kikuk dan hati hati. mungkin masih di awal, selanjutnya pasti akan lebih santai.
harap maklum, sudah lima tahun berlalu mereka tidak saling bertegur sapa.
"seperti yang kamu lihat sekarang" jawaban itu terdengar dingin. Diana belum mau menatap Cokro yang berada disampingnya. pria itu terdiam sejenak. menyerap
energi energi positif dari sekitar. membuang ego dan dendamnya kepada Diana. bagaimanapun juga, wanita itu pernah singgah di hatinya.
"terimakasih sudah merawat putriku dengan sangat baik. aku berhutang budi padamu" beruntung Diana memberinya umpan agar Cokro bisa berbincang lama dengan
mantan istrinya itu. Cokro tersenyum matang. sebelum menjawab ucapan terimakasih itu, ia menatap Aufa terlebih dahulu. agak lama untuk Aufa bisa mengerti,
bahwa cokro meminta ia untuk meninggalkan mereka sebentar. Aufa mengangguk.
"fida tinggal ke dapur dulu, ya bu. kasihan dokter syihab sama Idzar belum dibuatkan minuman. kalau ayah jahatin ibu, lapor fida ya" Aufa melirik Cokro
dengan jail. lalu terkekeh." ia pun berjalan meninggalkan keduanya.
"biar saja dia mendengar percakapan kita. bukankah kamu sudah mendidiknya agar lebih dewasa. dia pasti mengerti" protes Diana setelah memastikan keberadaan
Aufa sudah tidak ada disana. Cokro menarik nafas panjang.
"terkadang ada hal yang tidak harus semua orang tahu. seperti aib, contohnya. dan menanggapi hal tadi, kamu tidak perlu berterimakasih. Fida sudah menjadi
tanggung jawabku. aku menyayanginya melebihi aku menyanyangi diri sendiri"
"kamu tidak berubah ya daridulu" wanita itu menoleh sekilas lalu kembali menatap jendela besar di kamarnya. mengamati pergerakan bung anggrek kesayangannya
dimainkan angin. "apa yang kamu ingat tentangku?" Cokro menunggu.
"kebodohanmu" jawaban itu terlontar dari mulut Diana sambil dirinya menahan tawa. itu bukan suatu hujatan, tapi memang sejak mereka menikah Diana memakai
kata bodoh sebagai bahan ejekan. Cokro tertawa kecil, wanita itu sedang mengajaknya bercanda, rupanya.
ketika Cokro hendak membalas ejekannya, Diana mengatakan sesuatu lagi. pria itu mengalah.
"apa kedekatanmu dengan idzar adalah sinyal bahwa kamu menginginkannya sebagai calon menantu?" Diana bertanya.
"kami sama sama penggila Ummar bin Khatab. hanya itu" diana menatap Sangsi. akhirnya ia menolehkan penuh kepalanya terhadap Cokro.
"kenapa aku tidak yakin, ya" tapi aku tahu sekali anak kita pernah menyukainya" ada sekelibat memory melintas di otak Diana. tragedi penculikan yang dilakukan
olehnya yang semata mata ia lakukan karena ingin membahagiakan kedua putrinya saat itu. termasuk membuat Aufa menikah dengan Idzar. harapan itu masih ada.
"aku tahu itu. kalau kamu berniat menjodohkan fida dengan pria manapun, ku mohon jangan" Cokro memperingatkan dengan tegas "Fida sudah ku ajarkan bagaimana
memilih jodoh yang terbaik. bagaimana membedakan mana yang baik dan buruk. bagaimana membedakan pria yang berakhlak mulia dan pria berperingai busuk" matanya
menyala memberi sorot berbahaya. tersimpan kekhawatiran mendalam dari pria itu. ia hanya tidak ingin nasib Sarah terulang kepada Aufa. alih alih biasanya
Diana tidak menyukai penolakan, wanita itu malah memejamkan matanya lalu menunduk.
"ya. kamu benar. dia sudah cukup dewasa untuk memilih" Diana tersenyum, meski matanya berkata lain "kata katamu malah membuatku terpojok" lanjutnya agak
miris. "aku hanya menyampaikan yang menurutku benar. dan kamu juga membenarkan, kan" Cokro membela diri.
"tapi kata katamu mengingatkan aku dengan kebodohanku di masa lalu. bermain dengan pria pria berotak kotor dan busuk. menjodohkan Aufa dengan pria tua
kaya raya. lalu membunuh anak sendiri" lirih Diana. wanita itu hampir terisak. mengapa yang ada di dalam otaknya hanya rangkaian dosa dosa di masa lalunya
itu" sedangkan sesuatu yang positif dalam dirinya menghilang dari peredaran otak. sungguh, ia ingin sekali mencopot kepalanya lalu membongkar dan memfilter
isi otak tersebut. membuang segala kenangan pahit yang dialaminya.
"beristighfarlah diana, kamu bisa menghapus masa lalumu karena masa depanmu masih suci" ada tetesan bening mengalir di permukaan wajah keriput Diana. Cokro
menatapnya iba. "Ummar bin Khatab adalah manusia yang membenci Rasulullah. tapi setelah beliau memeluk islam dan bertaubat. beliau begitu mencintai Rasulullah hingga makamnya
pun bersebelahan dengan makam Rasulullah. dan kamu tahu masa lalu beliau seperti apa" ia menyembah berhala. mengubur hidup hidup putrinya. tapi yang harus
kamu tahu, ketika seseorang memiliki masa lalu terburuk, ia punya masa depan yang suci. percayalah" Cokro mengusap wajahnya. memberi sedikit ketenangan
kepada Diana melalui tatapan hangat khas nya. "aku pernah mendengar sebuah filosofi, kadang kehidupan itu seperti sebuah kalender China. kamu tahu kalender
china" setelah kamu menyobek lembar hari kemarin, kamu akan dihadapkan pada hari ini. tapi kamu tidak bisa kembali melihat hari yang telah kamu sobek.
kamu tidak bisa kembali ke masa lalu. begitulah seterusnya. begitulah kehidupan itu berjalan" diana menelaah dua hal dari sana. pemaparan Cokro dan sorot
mata pria itu. ada harapan disana. keyakinan yang menohok hatinya bahwa selalu ada ampunan dari Allah kepada hambaNya yang mau bertaubat. bukankah sebaik
baiknya manusia adalah yang selalu bertobat. selalu meminta ridho dan ampunanNya. merasa dirinya penuh dosa sehingga tak henti membenahi akhlaknya.
*** Syihab menggulung lengan kemeja putihnya hingga sebatas siku. memperlihatkan kulit putih susunya. duduk bersandar di atas sofa empuk. setelah menyeruput
segelas air putih hangat ia menoleh kepada pria disebelahnya.
"bagaimana kabar eksekutif muda satu ini?" Syihab mendaratkan tangannya di lutut Idzar sambil mengulum senyum.
"selalu dalam lindunganNya" balas Idzar menarik sudut bibirnya membentuk cekungan bulan sabit "lalu bagaimana kabar dokter muda tampan dihadapanku sekarang"
heum?" tambahnya sambil membungkus dagu dengan tangan kanannya.
Syihab tertawa kecil "bisa kamu lihat. semenjak nyonya Diana dinyatakan sembuh. aku orang kedua setelah Aufa yang merasa sangat lebih baik dari sebelumnya"
ungkap Syihab jujur. "wah, berhasil membangun chemistry dengan pasien, rupanya" idzar menepuk nepuk pundak Syihab sambil menambah volume lebar senyumannya.
"kamu ini bisa saja" Syihab menghela nafas pendek "tak hanya membangun chemistry, menghadapi pasien yang terganggu jiwanya juga membutuhkan kesabaran dan
kedekatan lebih terhadap mereka. buatlah agar kita menjadi satu satunya orang yang mengerti keadaan mereka. itu langkah awal. setelah itu kita akan lebih
mudah berinteraksi. kemudian kita masuk ke dunianya. mengontrol emosi dan nafsunya lalu memulihkan ingatannya yang terdahulu"
"sesederhana itu ya. tapi tidak akan sederhana jika aku yang menangani, pastinya" Idzar menggoyangkan telunjuk di hadapan Syihab "kamu tahu" aku manusia
tidak sabaran. tidak mudah bersahabat dengan orang baru"
"jangan terlalu merendah. kamu juga harus tahu. aku orang yang mudah grogi jika berbicara dihadapan banyak orang. bahkan siapapun yang berada didekatku
nanti akan jadi korban cubitan karena ulahku menahan grogi"
keduanya tertawa kecil. tidak ada jarak yang mencanggungkan mereka. seperti sepasang adik kakak yang sudah lama tak jumpa. terakhir mereka bertemu sekitar
dua bulan yang lalu. ketika idzar menemani Aufa menjenguk Diana kala itu. dan ini pertemuannya yang ketiga kalinya.
"dari situ aku menyimpulkan, masing masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Allah sudah mengatur porsi dan waktu rezeki manusia. Dia menaruh setiap hambaNya
dalam kehidupan yang Dia tahu manusia itu sanggup menjalaninya. tinggal manusia itu sendiri bagaimana mengolah dan mensyukuri apa yang diberikanNya"
"kamu benar. kadang manusia memiliki rasa tidak puas yang akut. iri pada kehidupan orang lain. iri pada rezeki orang lain. iri pada apa apa yang orang
lain dapatkan. padahal yang ia punya saat ini, bisa jadi diinginkan banyak orang. porsi rezeki yang mereka terima sebenarnya sama. cara bersyukurnya saja
yang berbeda" "membicarakan ini denganmu, membuatku rindu dengan kakak laki lakiku. kami sering sekedar berdebat atau saling bertukar pikiran tentang apapun. baik itu
visi dan misi. pekerjaan. tentang makna hidup dalam sudut pandang islam. dan jika aku sebutkan semua, kita bisa menginap disini. haha" tawa idzar terdengar
aneh. tawa yang mengandung unsur rindu didalamnya.
"wah, bisa ku bayangkan kalian adalah sosok yang kritis pasti, ya. pasti seru jika berada diantara kalian yang sedang berdebat. aku berada ditengah, lalu
mengambil kesimpulan. anggap saja sebagai moderator ulung, mungkin"
"oh ya, ngomong ngomong, apa dokter sudah menikah?" otak Idzar mendadak error. saraf pengendalinya mulai tidak berfungsi. pertanyaan itu justru membuat
syihab menarik ujung matanya hingga menyipit kecil.
"belum. tapi secepatnya akan segera menikah" ada keyakinan dalam diri pria itu.
"wah, selamat kalau begitu. aku akan segera menyusul" Idzar tak kalah yakin. meski keduanya sadar diri dengan status jomblonya, tapi nalurinya sebagai
pria enggan untuk mengaku bahwa mereka adalah jomblo. apalagi sosok pria sukses seperti mereka itu. istilah gengsi sangat berlaku jika membahas pernikahan.
"bagaimana kalau kita menikah di waktu yang sama" anggaplah sebagai double date" saran yang konyol terlontar dari mulut seorang dokter tampan. rupanya
ia memiliki selera humor yang bagus. pikir Idzar
"kalau untuk ide itu, maaf aku menolak halus. aku tidak ingin kamu jatuh cinta dengan calon istri ku nanti kalau melihatnya. karena calon istriku adalah
golongan bidadari surga" idzar mulai melebih lebihkan imaginasinya. calon istri darimana, hey" ayolah ingat dengan status singlemu. batin Idzar mengejek
dirinya. "ah, tidak juga. kamu belum lihat saja calon istriku. aku memang belum pernah melihat sosok Khadijah, Aisyah, Maryam ataupun Asiyah. tapi aku yakin calon
istriku memiliki kecantikan wajah dan akhlak seperti mereka" Syihab pun tertular berimaginasi yang diluar jalan pikirannya. anggap saja semua bualannya
itu sebagai do'a . tentu saja ia menginginkan sosok istri seperti itu. semoga malaikat meng-aamiin-kan bualan bercover Do'a mereka.
"baiklah. aku menunggu" ucap Idzar dengan nada aneh. seperti berirama tapi irama mengejek.
"aku pun begitu" sahut Syihab dengan irama yang sama. bedanya Syihab agak fals.
"menunggu apa?" suara itu berasal dari arah pintu masuk. keduanya menoleh. Idzar kenal wanita yang kini berjalan masuk menghampiri dirinya dan Syihab.
"assalamualaikum" salam terucap dari mulut Idzar seketika menyadarkan Tsabit. gadis itu merapatkan bibirnya karena malu lalu membalas salam
"waalaikumsalam, maaf" Idzar mendesis sebal. setelah diingat ingat, kedatangan Tsabit kesini pasti untuk menjenguk ibu sahabatnya--Aufa.
gadis itu menunduk sejenak lalu memberi senyum kepada Syihab. ia mengenali pria itu pada pertemuannya pertama kali bersama Aufa di rumah sakit. Syihab
membalas senyum itu. hingga akhirnya Aufa datang dan membawa gadis itu menemui Diana.
selepas kepergian Tsabit, Syihab menoleh menatap Idzar. memberi tatapan tanya dalam hatinya.
*** siang mulai jenuh dengan aktifitasnya. meminta bulan untuk berganti menerangi semesta alam. bersiap memberi cahaya rembulannya yang damai." di kelilingi
bintang yang setia menebar di penjuru angkasa. cahaya yang ditampilkan berwujud titik titik indah membentuk garis tertentu.
angin malam itu berhembus pelan. bersama hawa dingin yang menyebar. rintik rintik sisa gerimis satu jam yang lalu masih menyisa di permukaan bumi. rintikannya
masih menetesi penghuni bumi. tak terkecuali dua penghuni bumi yang sedang berjalan menyusuri pekarangan menuju mobil salah satu dari mereka diparkir.
"sayang banget kamu ga jadi menginap disini" Aufa bertengger sambil berpegangan pintu mobil yang terbuka. ada tsabit didalamnya sedang duduk di kursi kemudi.
"next time ya, aku lupa kalau papa ku sendirian di rumah"
Aufa mendesah pasrah seraya mengangguk "tapi ibuku ngotot banget pengen kamu menginap disini"
"sampein salam maaf aku ya ke tante Diana. aku janji aku pasti bakal nginap di istananya" Tsabit menjulurkan jari kelingkingnya disertai cengiran polos.
Aufa menipiskan bibirnya dan membalas ulurkan tersebut hingga membuat tautan perjanjian antara mereka. perjanjian khas anak kecil zaman dulu.
"apa kamu juga ngerasain hal yang sama, tante Diana menatapku secara berbeda. aku merasa saat melihatku, tante Diana seperti melihat sosok lain di dalam
diri aku. tapi, entahlah aku tidak mau suudzan" Tsabit mengganti posisi duduknya. menghadap ke pintu mobil dimana Aufa berdiri.
"aku kira aku doang yang ngerasain itu. rupanya kamu pun menyadarinya. mungkin mata kamu memancarkan sorot berbeda. atau mungkin terpesona melihat mata
coklat kamu" tebak Aufa mengikuti perintah otaknya. meski dalam dirinya ada keingin tahuan yang banyak tentang kejadian tadi siang. Diana menatap Tsabit
dengan berbeda. malah sempat menyentuh wajah Tsabit begitu lama.
"siapa namamu, nak?" tanya Diana lirih. matanya menatap nanar.
"Tsabit, tante"
Diana belum mau melepas tautan tangannya di wajah Tsabit. tangan itu masih betah bertengger di wajah unik milik Tsabit. gadis itu menurut saja. membiarkan
wanita tua dihadapannya memanjakan diri atau mungkin mengingat sesuatu yang terpancar di wajahnya. ia sempat melihat kaca kaca memenuhi bola matanya. bak
bendungan berisi air mata. apa tante Diana menangis" diri Tsabit bertanya dalam hati.
"mata kamu mengingatkan aku pada seseorang"
Aufa mengerjap sekali berusaha mengambalikan diri dari memory nya satu jam lalu. menghela nafas panjang.
"kayaknya aku butuh kepastian deh, kapan kamu kesini lagi" heum" ia menaikan dagu dengan kilat mata bahaya. menantang Tsabit akan janjinya.
"insya allah secepatnya, fa" Tsabit tersenyum kecil seraya menggelengkan kepalanya. ia menganggap kelakuan sahabatnya itu nampak lucu. mungkin maksudnya
ingin memasang wajah seram, tapi malah aneh.
"insya Allah kamu, harus dipertanggung jawabkan ya, berani?"
"ya beranilah. Tsabit gitu loh" gadis itu terkekeh geli "udah ah, aku pulang ya. nanti dimarahin bapak Negara dirumah. haha"
"yowis sana. salam ya buat om James sama Barbie"
"eh, tunggu!" pergerakan pintu mobil yang akan menutup berhenti dipertengahan
"apa lagi, bit?" Aufa menipiskan bibirnya, bersendekap matang.
"diantara dokter muda itu sama Idzar, kamu pilih mana?" sontak saja pertanyaan itu menimbulkan kerutan berlapis di kening Aufa. tsabit itu selalu punya
pertanyaan aneh, diluar topik dan bersifat tiba tiba. seperti ini contohnya.
"aku pilih sama"
"ya?" Tsabit menyipit, tanda tak paham.
"ya aku pilih sama. pilihannya kan Dokter Syihab sama Idzar, pilih mana, kan. ya aku pilih sama" bibir aufa berkedut setelah melihat ekspresi Tsabit.
"ga lucu banget, sih. udah nanya serius juga" wajah Tsabit ditekuk hampir menjorok ke dalam. alisnya bertaut sebal. Aufa cekikikan.
"lagian, pertanyaan kamu tuh, diluar topik pembicaraan. tiba tiba nanyain mereka"
"loh, emang salah" engga kan" Tsabit agak ngotot. pintu mobil yang tadinya hampir menutup, kembali terbuka lebar.
"trus kenapa harus aku yang milih?"
Tsabit menatap langit langit mobil. menyilang kakinya dihadapan Aufa. kelopak matanya berkedip kedip aneh.
"karena.... karena aku butuh pendapat kamu juga" Tsabit memakai aksi ngelesnya. Aufa memutar bola matanya. ia menganggap kalau perdebatan ini hanya membuang
waktu. jujur, ia enggan membahas sesuatu yang menurutnya berada di urutan nomer sekian setelah keluarganya." apalagi mengenai dua pria yang sudah pulang
sejak maghrib tadi. "bit, udah malem. pulang sana. kasihan papa kamu nungguin" suara itu mendadak dingin. raut yang ditampilkan sangat datar. raut langka yang terpancar dari
sosok Aufa. "oke.. oke" Tsabit menurut. mengembalikan posisinya "aku mengerti kenapa kamu tidak mau jawab. tapi its oke. gak apa apa kok"
"apa alasan aku untuk menjawabnya" Aufa masih penasaran, rupanya.
Tsabit bergeming. kedua matanya menimang sesuatu.
"karena suatu saat nanti, kamu akan dibawa pada situasi, dimana kamu harus memilih diantara mereka. pikirkan dari sekarang" Tsabit menyalakan mesin mobilnya.
mengakhiri teka teki misteriusnya.
"aku permisi. assalamualaikum"
pintu mobil tertutup disertai jawaban salam dari gadis yang tetap bertahan pada posisinya, menatap kepergian mobil tersebut pergi dengan tatapan kosong.
apa yang dikatakan Tsabit itu benar" dia tahu apa tentang masa depan" dia bukan peramal. mengapa dia bisa sesantai itu mengatakannya. lalu, apa maksudnya
memilih diantara mereka" batin Aufa berisik dipenuhi pertanyaan pertanyaan janggal. ruang kecil hatinya mengatakan lain. Tsabit hanya mengada ada saja.
dia kan memang pelawak ulung. itu hanya bagian dari leluconnya saja.
*** TBC... 8. jawaban Abu-abu siang ini begitu panas. sama seperti kemarin. panas nya yang terik menimbulkan cahaya tajam menusuk melewat celah celah yang tercipta dari rumah sederhana
Cokro. rumah sederhana yang jauh dari unsur keangkuhan.
rumah yang menjadi lebih baik setelah mengalami dua kali renovasi. pintu dan kusen diperbarui dan di cat warna hijau daun. terasnya dibuat lebih luas.
dindingnya dicat dengan warna hijau muda. dan perubahan yang lebih mencolok ialah pada pekarangan disulap menjadi taman luas yang indah untuk menyambut
tamu maupun penghuni rumah tersebut.
untung saja hari ini Cokro sedang libur bekerja selama dua hari. kalau tidak, mungkin tamu yang sudah 10 menit yang lalu datang ke rumahnya itu, berbalik
untuk pulang. dari arah dapur, Cokro datang membawa nampan berisi dua cangkir kopi pahit dan kopi susu. ia menaruhnya di meja sambil duduk di sofa sederhana bermotif
bunga sakura. "karena terlalu asyik mengobrol, aku sampai lupa membuat minuman" Cokro tertawa berat. agak terbatuk batuk.
"wah, saya jadi merepotkan bapak, ya" balas Syihab ramah
"repot darimana. hanya kopi kok" Pria itu menarik nafas lalu menghembuskannya seraya duduk bersandar. "sampai dimana pembicaraan kita tadi?"
"sampai di...." ada yang menghambat tenggorokan Syihab sehingga sulit melanjutkan ucapannya. meski itu bukan alasan utamanya.
"ah, iya aku ingat" Syihab bernafas lega. Cokro sudah ingat lebih dulu. "jadi kamu serius dengan permintaan kamu itu" sudah dipikirkan masak masak?" suasana
berubah serius. tidak ada gurauan gurauan lagi diantara mereka. sebisa mungkin Syihab menatap yakin pria dihadapannya.
"serius pak. semuanya sudah saya pikirkan secara matang" mata ia menyorot tajam. mampu menghipnotis lawan bicaranya. menembus keraguan yang hadir dalam
diri cokro. "aku ingin bertanya padamu satu hal"
"silakan, pak" Syihab mengangguk sopan.
"apa arti pernikahan menurut kamu?"
pertanyaan yang sederhana tapi tidak sesederhana jawabannya. banyak makna lain yang dibutuhkan Cokro atas pertanyaan tersebut. Syihab menunduk seraya menarik
nafas. lalu dihembuskannya perlahan bebarengan dengan dongakan kepala.
"pernikahan adalah perjanjian Suci" Syihab memberi jeda sejenak. "didalamnya ada persekutuan dua hati yang menyatu. ada kebersamaan dan persahabatan. ada
pengertian atas dua hal seperti, waktu dan perasaan. ada perhatian. ada kebajikan yang murni. dan yang sangat penting, ada Ridho Tuhan yang menjadi landasan
utama pernikahan tersebut" jawaban itu terlontar begitu saja dari mulut Syihab. seperti ada yang mensetting ulang program lidahnya. sehingga pria itu nampak
lancar memberi jawaban lugas. Cokro hampir terperangah atas jawaban itu. belum sempat ia menanggapi, Syihab keburu melanjutkan pemaparannya.
"seperti sepasang sumpit. mereka tidak bisa hidup sendiri. mereka saling membutuhkan dan melengkapi. mereka memiliki panjang yang sama. mereka memiliki
tujuan yang sama. meski ada perbedaan diantaranya. yakni, ketika sumpit yang satu bergerak, sumpit satunya diam. itu cara mereka bekerja. sama hal nya
seperti pernikahan. kedua insan sama sama menyatukan tujuan. menyatukan perbedaan sehingga membuatnya indah"
Cokro bergeming. mengangguk kecil. wajahnya memancarkan ketenangan. memejamkan matanya sekali lalu membukanya. setelah itu ia tersenyum.
"saya mencintai putri bapak. Mufida Aufa. meski saya tidak bisa mencintainya seperti saya mencintai Allah. saya ingin membahagiakannya lewat ikatan suci
pernikahan. membimbingnya menuju surga yang telah dijanjikan olehNya"
Syihab merunduk sedikit. menatap Cokro seperti tatapan elang yang hendak menikam mangsanya. meski berbahaya, mata itu tidak bisa berbohong. ada ketulusan
yang timbul dari sana. persengkongkolan antara hati, mata dan bibir. ketiganya bersatu mengkuliti keraguan yang sampai saat ini terus bersemayam di hati
Cokro. Cokro belum menjawab. ia terdiam sejenak. menggiring memorinya pada perbincangan seminggu yang lalu dengan Aufa.
"kamu yakin dengan keputusan mu, nak?" kala itu Cokro menemui Aufa setelah ia menunaikan sholat maghrib.
"Fida yakin yah. maafin fida belum bisa mengamalkan ilmu yang ayah berikan tentang bagaimana mencari imam yang baik. dan jujur, fida ingin mengakhiri masa
lajang fida. tapi fida tidak mampu membaca isyarat Tuhan tentang siapa lelaki yang berhak memiliki Fida atas ridhoNya"
Cokro mengelus lembut puncak kepala Aufa. memandangnya bijak.
"maka dari itu. Allah menjadi saksi bahwa Fida memberi ayah hak sepenuhnya atas jodoh fida kelak. siapapun dia, Fida menerima dengan ikhlas. selama menurut
ayah, dia baik untuk dunia dan akhirat Fida. yang terpenting, cinta dia kepada Fida tidak melebihi cintanya kepada Allah" kalimat itu terdengar tulus.
gadis itu menunduk memeluk Cokro. menyembunyikan wajahnya berhimpit pada dada ayahnya.
semuanya gelap. ada sentuhan mengenai kulit tangan Cokro. pria itu tersadar sembari kerkedip. keadaan kembali. Syihab tengah memegang tangan pria itu.


Senja Merindu Karya Suffynurcahyati di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menatapanya khawatir. "pak Cokro, baik baik saja?"
"ya. aku baik baik saja. maaf sudah membuatmu menunggu" Cokro menyeruput kopi pahitnya.
"semoga jawaban yang aku berikan tidak membuatmu kecewa. aku berharap, jawaban ini adalah jawaban terbaik untuk kamu, aku. terutama putriku, Fida"
Syihab mengangguk. meski rasa was was sedang menari nari di dadanya. pria itu menunduk sejenak. membuang ketakutan. mengusir emosi yang berkecamuk jika
jawaban yang ia dapat tidak sesuai harapannya. membunuh ego serta meluaskan ruang hati sebagai wadah ujian hidupnya.
"aku....." *** Brrugh! "astaghfirullah"
buku buku berjatuhan dari rak besar. berawal ketika seseorang mengambil satu buku, tapi entah karena apa seseorang itu terkejut hingga mengakibatkan buku
buku yang lainnya terjatuh berhamburan. pria itu segera membereskan buku buku tersebut. menumpuknya di pangkuan lengan kanan, tak lama buku yang menumpuk
di lengan itu kembali rubuh. ia menumpuknya terlalu tinggi. terlebih buku buku sangat tebal. pria itu berdecak gusar seraya menggelengkan kepala. ada yang
aneh dari dia. hingga tak lama, ada tangan lain turut hadir membantu merapikan buku buku itu. Idzar mendongak.
"ada apa dengan kamu?" tanya Tsabit tanpa menoleh ke lawan bicaranya. tangannya disibukan mengambil buku satu persatu di lantai.
"memang salah kalau buku buku ini jatuh" ini hanya kecelakaan kecil" Idzar mengambil buku terakhir lalu berdiri.
"bukan buku buku itu. tapi kamu. aku tidak pernah melihat kecerobohan seorang Idzar. tapi yang aku lihat barusan, tidak hanya ceroboh. kamu juga mudah
panik hari ini" terka Tsabit dengan wajah sok tahu. melihat Idzar yang hanya bisa diam sambil menggaruk garuk tengkuknya.
"aku juga tidak pernah melihat kamu bersikap menggaruk garuk seperti itu. bagiku, itu bukan perilaku sosok seorang eksekutif muda. dimataku, kali ini kamu
terlihat seperti orang bodoh yang sedang jatuh cinta" entah mendapat stock kosa kata darimana, semua itu terlontar begitu cepat. tidak ada kecanggungan
yang terlintas. nyatanya semua yang gadis itu ucapkan adalah benar. ada yang aneh dari Idzar hari ini.
"gaya bicaramu sudah seperti orang paling hebat sedunia saja" Idzar mengambil buku buku di tangan Tsabit. "terimakasih" lanjutnya. kemudian menaruh buku
buku itu ke rak besar satu persatu.
"begitulah manusia. satu satunya makhluk yang pandai mencari kesalahan orang lain, lalu menjudge mereka sesuka hati. mau orang lain berbuat baik atau buruk.
tetap saja dimata mereka jelek, tidak ada secuil pun niat untuk tidak berkata negatif"
"kalau tidak niat membantu, tidak usah saja. pamrih sekali" Idzar mendesis. membuang wajah ke sembarang arah.
"bukan tentang itu, dzar. tapi tentang penilaianku barusan. kamu mengejekku orang paling hebat, karena kamu tidak mampu menerima kenyataan bahwa saat ini
kamu sedang tidak baik baik saja, kan?" ada kilat di mata gadis itu. lewat ketegasan dari setiap lontarannya yang melesat tepat sasaran. bak anak panah
yang menancap tepat pada target.
"selain tidak disiplin, kamu juga sok tahu ya"
Tsabit mendengus pendek. matanya menyipit aneh. ia mencium kedustaan dari lontaran pedas itu.
"tapi, mata kamu tidak bisa berbohong tahu"
"terserah kamu dan bukan urusan kamu" tak mau Tsabit menerka nerka dirinya lebih lanjut, Idzar berjalan pergi meninggalkan gadis itu. sedang gadis yang
ditinggalinya hanya menggeleng seraya menarik simetris bibirnya.
"kamu manusia paling jujur. tapi ini pertama kalinya aku melihat kamu berbohong" gumam Tsabit sambil berdiri bertolak pinggang. menatap kepergian Idzar.
bahkan dari cara pria itu berjalan saja sudah janggal. kenapa sulit sekali untuk jujur, sih" dasar keras kepala. gerutu Tsabit dalam hati.
dugh! dalam jarak empat meter dari tempat ia berdiri. Tsabit melihat Idzar terjatuh menabrak tembok pembatas yang jelas jelas ada didepan matanya. tembok itu
mengenai bahunya hingga ia jatuh dalam posisi duduk.
Tsabit memutar bola matanya. benar kan" pria itu memang sedang berbohong. kamu itu pembohong amatir, Idzar. diri Tsabit mengejek.
"masih mau bilang kalau aku ini sok tahu?" Tsabit sudah berada disampingnya. memegangi lengan idzar yang berbalut jas hitam.
Idzar menoleh. tersuguh bola mata coklat khas gadis yang berusaha membantunya berdiri.
"Aufa...." tanpa sadar nama itu terucap secara refleks dari mulut Idzar. membuat Tsabit mengernyit kebingungan.
"ada apa dengan Aufa?"
kenapa bisa bisanya ia menyebut Aufa disaat seperti ini" ada apa dengan fungsi otaknya" jujur, sejak insiden buku jatuh itu, firasatnya sudah tidak enak.
dan itu mengenai Aufa. Idzar menggeleng cepat menormalkan keadaannya. matanya berkedip beberapa kali.
"ya" memang aku bicara apa?" kelit Idzar berusaha bangun dari posisinya. Tsabit sudah mual dengan aksi ngeles pria itu. beruntung dia kepala HRD, kalau
bukan, ia bisa habis habisan memaki maki Idzar karena ketidak jujurannya.
"kamu tidak bakat berbohong. kamu pikir aku tuli"
"tidak juga. aku hanya merasa kamu mulai kepo dengan semua urusanku" Idzar mendelik curiga.
"hei, menolong seseorang yang sedang kesusahan itu manusiawi. kamu saja yang berpikir diluar batas. jangan kebanyakan baper makanya" sungut Tsabit hampir
berada di puncak emosi. entah manusia seperti apa Idzar ini. mengapa dulu bahkan sampai sekarang ia masih menyukainya. mengapa saat itu ia nekat mengajaknya
menikah. apa kekhawatirannya terlihat berlebihan" bukankah wajar jika menolong seseorang yang sedang terjatuh" please, dzar.. jangan kebanyakan mengkonsumsi
mechin. begitu seterusnya Tsabit mengumpat kekesalannya kepada Idzar.
"aku baik baik saja"
"maaf?" Tsabit memasang wajah bodoh.
"aku bilang, aku baik baik saja" ulang idzar dengan nada meyakinkan. Tsabit memicing. menatap sangsi sekaligus mencari celah kebohongan yang dilakukan
Idzar. aktingmu buruk sekali, Idzar. umpat Tsabit.
"tidak percaya?" kini pria itu sudah berdiri tegap. merapikan jas lalu mengibas ngibas noda pada permukaannya. Tsabit hanya mengamati hati hati. kenapa
lama lama pria ini menyebalkan" bukannya berterimakasih.
"kamu ini... benar benar..." nafasnya tercekat. menahan luapan yang meletup letup di kepalanya.
"benar benar apa?" Idzar berbalik menantang. menaikan dagunya dengan mimik sombong nan menyebalkan stadium akut. Tsabit menaikan bibir kanannya. berdoa
dalam hati agar tiba tiba idzar berubah menjadi potongan kecil lalu memakannya dicampur dengan nasi. aish! imaginasinya mulai diluar batas.
"ngomong ngomong, bisa kamu singkirkan ini dari tubuhku?" kedua mata mereka mengarah pada genggaman erat di lengan Idzar. ada sinyal kuat menguing nguing
di kepala Tsabit. mengingatkan gadis itu bahwa ini posisi berbahaya.
"sorry!" Tsabit melepas tangannya dari lengan idzar dengan gerak super cepat.
"its okay" pria itu berjalan santai meninggalkan Tsabit tanpa mengucapkan kalimat lain. bersikap seolah dirinya baik baik saja. seolah tak ada yang harus dikhawatirkan.
meski jauh dalam lubuk hatinya merasakan was was yang tak berujung. idzar memegangi bahunya. mulai terasa ngilu dari sana. ia meringis kecil sambil terus
berjalan. sedang dari ujung sana, Tsabit memandang punggung indah sosok yang dikhawatirkannya. manatapnya cemas. kalau boleh ia menebak, apakah semua itu karena
perasaannya terhadap Aufa" ah, mengapa ada titik perih disini. Tsabit mengelus dadanya. menunduk dalam diam.
*** sekolah agak sepi. hanya tersisa beberapa guru dan petugas kebersihan. setelah menyelesaikan koreksi tugas siswa lainnya. Aufa bersiap untuk pulang. merapikan
buku bimbingan dan isi tas nya.
hari yang cukup melelahkan. beberapa hari ini disibukan dengan bimbingan tambahan untuk siswa kelas tiga. meski sejak seharian tadi pikiran Aufa agak terganggu
entah karena apa. yang jelas, pikiran itu masih mengawang awang di otaknya.
"assalamualaikum"
Aufa terhenti dari langkahnya menyusuri koridor. mendapati sosok pria dihadapannya. tersenyum simpul. nampak rapi dengan baju koko hijau mudanya.
"waalaikumsalam, menjemput sybil?" balas gadis itu tersenyum hangat. memeluk map dan buku di dada.
"iya. apa kabar?" tanya Abbas kaku. meski kini senyumnya agak dibuat buat karena effek grogi yang ditimbulkan.
"alhamdulillah, baik" setelah itu mata Aufa berkeliling. mencari cari seseorang. kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri. Abbas tahu maksud pergerakan itu.
"Sybil sedang ke toilet sebentar. aku disuruh menunggunya disini" gadis itu meng-oh penjelasan Abbas. "boleh kutemani menuju gerbang?" tawaran yang membuat
Aufa menautkan alis. "terimakasih sebelumnya. tidak usah repot repot. kasihan sybil nanti mencarimu" Aufa berjalan pergi meninggalkan Abbas setelah sebelumnya mengucap salam
dan pamit padanya. sekitar beberapa langkah ia berjalan, muncul lah sybil dari arah gerbang sekolah menghampirinya.
"ibu, lihat ka Abbas?"
Aufa menarik nafas. menggeleng tak pasti. Abbas mengerjainya lagi. sebagai jawaban, ia arahkan matanya menuju Abbas berjalan menghampiri mereka dengan
wajah malu. Aufa menarik bibirnya membentuk satu garis simetris.
"kaka, ngapain sih disana. Sybil bosen nunggu diluar" sungut Sybil mengerucutkan bibirnya sebal.
"kaka ke toilet dulu sebentar" jawab Abbas berbohong. dari wajahnya nampak sekali kalau pria itu malu karena ketahuan berbohong. dilihatnya Abbas berulang
kali mengusap wajah. "yasudah, kita ke gerbang sama sama, yuk!" tawar Aufa semangat. melupakan aksi berbohong Abbas padanya. ia menoleh melihat abbas sebentar. pria itu sedang
mengulum senyum aneh. menangkap tatapan lain dari Aufa. seolah tatapan itu mengatakan 'jangan lagi lagi, bas'. Abbas mengangguk.
"setelah lama tak jumpa, sekalinya kita bertemu, aku malah membohongimu. maaf" aku Abbas di sela perjalanan mereka. melintasi taman taman sekolah yang
luas. meski suaranya dibuat pelan, Aufa mendengarnya. gadis itu menoleh.
"selalu ada maaf untuk seseorang yang menyesali perbuatannya" pandangannya beralih melihat ke depan. melihat Sybil berjalan lebih dulu. "saranku, jangan
coba coba membohongi Sybil. meski dia tidak tahu. tapi jika sosok kakak yang disayanginya saja sudah membohonginya, itu akan memberi sugesti negatif yang
tertanam dalam dirinya. anak seusia dia masih sangat aktif meniru perilaku orang lain. meski ia tahu itu salah. tapi kakaknya saja melakukannya. kenapa
dia tidak" dia akan berpikir seperti itu"
"insya Allah. ini terakhir kalinya aku berbohong" janji Abbas pada diriny sendiri. "lagi lagi, kamu menyadarkanku. setelah kamu menyadarkanku tentang makna
Hijrah. sebelumnya kamu mengingatkan aku tentang apa itu pengorbanan seorang muslim. tak lama kamu memberi ku arti keikhlasan. dan sekarang, kamu membuat
ku berjanji untuk tidak berbohong meski sepele sekalipun"
"aku melakukan itu sebagai sarana untuk mengingatkan diriku sendiri juga" Aufa merendah. membenarkan posisi tali tas nya di atas bahu. Abbas tersenyum.
banyak keistimewaan yang terpancar dari gadis yang sempat menolak ajakan ta'arufnya tersebut. perkenalan pertamanya kala itu ketika Abbas tidak sengaja
menguping pembicaraan Aufa dengan temannya. awalnya ia tidak tertarik dengan obrolan mereka yang melulu membahas soal agama. tapi yang menarik perhatiaannya
adalah ketika Aufa menerangkan kandungan surat al isra ayat 32 yang membahas Zina. saat itu ia tengah menjalin hubungan dengan Sina.
Abbas memperkenalkan dirinya. belajar banyak mengenai Hijrah dari wanita istimewa itu. pertemanan mereka sempat renggang karena kasus Sarah saat itu. sebagai
sahabat sekaligus pria yang menaruh hati pada Sarah, ia merelakan dirinya menikahi Sarah. meski bayi yang dikandung Sarah bukan darah dagingnya. dan masih
banyak kisah kelam pria itu.
sesampainya di parkiran, Abbas dan Sybil bersiap untuk pulang. menaiki motor besarnya membonceng Sybil. gadis kecil itu memeluk pinggang kakaknya. kemudian
mereka pamit untuk pergi meninggalkan Aufa sendiri di lapangan parkir. ia tersenyum menatap kepergian kakak beradik itu. kini tinggal dirinya sendiri.
mungkin hanya ada beberapa orang disana. termasuk satpam sekolah dan penjaga.
*** siapa yang tahu takdir Tuhan" bahkan malaikat pun tidak tahu kapan kiamat datang. siapa yang tahu ajal seseorang" tentunya tidak ada kecuali Sang Maha
pemilik semesta alam ini. berbicara mengenai takdir atau sesuatu yang datang secara tiba tiba. itu terjadi pada Aufa.
siapa yang sangka bahwa setelah ia bersiap untuk pulang bahkan sudah menaiki motornya. kini ia harus berada di warung sederhana yang letaknya tak jauh
dari sekolah. bukan karena lapar mendadak. bukan juga karena ingin sekedar nongkrong disana. tapi karena kehadiran dua tamu unik yang memaksanya. mereka
datang bersamaan tepat ketika motor Aufa sudah melewati gerbang. mereka memberhentikan Aufa dan berakhirlah mereka disini.
"ka Aufa yakin pesan minuman doang?" Icha menyuap satu bulatan bakso sekaligus. Aufa mengedikan bahu ngeri. malah memerhatikan icha yang seperti orang
kelaparan itu. "aku masih kenyang" Aufa menerima segelas air jeruk hangat dari ibu pelayan warung. "terimakasih, nyak" begitulah panggilan akrab Aufa pada ibu pemilik
warung langganannya kala istirahat tiba. wanita itu mengangguk sambil tersenyum ramah.
"tapi kaka tungguin kita selesai makan, yah?" kali ini Acha yang berbicara seenaknya. sambil mengunyah mie ayam pesanannya. mereka berdua menganggap Aufa
sudah seperti Syihab versi wanita. anggap saja sosok kakak selain syihab. ya, kalau boleh dibilang ada tujuan lain dibalik aksi mereka.
"insya Allah" segelas air jeruk hangat dinikmatinya. lalu beralih menatap Icha dan Acha bergantian. "kok kalian bisa tahu tempat aku mengajar" pasti dokter
muda itu yang memberi tahu kalian" tebak Aufa curiga.
keduanya mengangguk kompak dengan wajah tanpa dosa.
"kita mau ikut kakak pulang. boleh kan kalau kita mampir?" gadis pemilik pipi tirus bernama Acha mengusulkan ide briliiantnya. menikmati mie ayam dengan
nikmat. "kalian mau ngapain" rumah kakak jauh" Aufa melebih lebihkan. siapa tahu si kembar srikandi itu mengurungkan niatnya. kembar srikandi" ya, mereka penyanyi
dangdut kembar yang Aufa tahu dari televisi.
"kita punya SIM kok, ka" Icha menimpali. justru membuat Aufa semakin bingung.
"memang kalian sudah 17tahun?" Aufa menunjuk mereka satu satu. rautnya aneh jika sedang bingung. matanya bergerak absurd.
"sudah" jawabnya dengan kecepatan super. "SIM, ada. STNK, bawa. helm, kita berdua pakai" Icha terhenti sejenak. matanya memicing. "jadi, kak Aufa mau alasan
apa lagi?" Aufa meniup jilbabnya ke atas. tidak hanya rese, duo srigala ini memang cerdik. selalu punya alibi yang sempurna. ia menimang sejenak. memikirkan sesuatu
sambil menatap wajah polos mereka. meski terkadang menyebalkan, tak jarang mereka membuat Aufa geli. sekarang, satu satunya jalan ialah menyambut permintaan
itu. "ayolah, ka. memuliakan tamu itu pahalanya berlipat"
"kita janji ga bakal ngerusuh. ya, palingan ngabisin stock makanan kakak di kulkas" keduanya menyengir kemudian melakukan aksi tos.
"oke, deh. tapi aku mau nya sekarang" Aufa menopang dagu dengan kedua tangannya.
"itu artinyaa....." ia sengaja menghentikan kalimatnya. dilanjutkan dengan seringai jahil. matanya mengarah pada dua porsi makanan mereka yang bahkan belum
ada setengahnya habis. baik Icha maupun Acha menangkap seringai jahil itu. mereka mendengus panjang nan pasrah. daripada rencana mereka batal, mereka memilih
menghabiskan makanannya dengan kecepatan extra. melahapnya tanpa jeda. Aufa yang melihatnya terkekeh geli. padahal bisa saja ia menunggu kembar srikandi
itu menghabiskan makanannya. tapi, ah! anggap saja ini kejailan pertamanya terhadap mereka.
"ka Aufa jahat banget, sumpah! kamu ngerasain melilit ga Cha di perut kamu" perut aku ga terbiasa makan cepet cepet kaya tadi" sungut Acha sesampainya
mereka di pekarangan rumah Aufa. menunggu Icha memarkirkan motornya.
"pas awal awal sih iya. tapi lama lama ilang. karena aku bawa motor kali ya?" Icha merapikan jilbabnya. menarik kunci dan menggandeng tangan Acha. "ayo!"
"apa hubungannya perut melilit sama bawa motor?" Acha berjengit. membiarkan lengannya dikalungi saudaranya itu.
"ada lah. kamu kan duduk diem. jadi wajar masih melilit. lah aku, kan gerak gerak gitu bawa motornya. jadi ga bertahan lama"
"tetep aja ga sinkron. susah ngomong sama kamu mah, Cha" Acha semakin sebal dibuatnya. gadis itu tak henti henti komat kamit tidak jelas. kini mereka berjalan
menyusuri pekarangan rumah Aufa yang nampak begitu asri. tak bosan menengok ke kanan ke kiri. selalu ada pemandangan memanjakan kedua matanya.
"rumah ka Aufa bagus ya. sederhana. adem lagi" puji Icha di sela langkahnya menapaki tanah pekarangan.
"aku kira kalian nyasar" Aufa sudah menunggu mereka di undakan teras. perasaan was was nya keburu mereda setelah kedua saudara kembar itu akhirnya tiba
dengan selamat. "ka Aufa nyebelin deh. masa kami ditinggal. untung aku tahu daerah sekitar sini" raut kagumnya berubah seketika. bagaimana tidak, dipertengahan jalan menuju
rumah Aufa. dia tiba tiba menghilang dari peredaran jalan raya. padahal menurut kesepakatan, Aufa berjalan pelan agar dia bisa mengikutinya dari belakang.
"justru aku menunggu kalian dipersimpangan jalan. tapi kalian tidak muncul juga. lalu aku memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. dan ternyata, dugaan
ku benar. kalian salah ambil arah alias keterusan" ia menggiring Acha dan Icha menuju masuk ke dalam rumah. Aufa sempat membawa helm mereka lalu menaruhnya
di meja teras. "tapi aku salut loh sama kamu....?" gadis itu mencoba mengingat. mengetuk ngetuk keningnya dengan telunjuk.
"Icha ka, Icha"
"ah, iya Icha maksudku. aku salut loh sama kamu. aku kira kamu tidak tahu daerah sini" puji Aufa. dan orang yang dipuji hanya mesem mesem sombong.
"dulu waktu aku bandel, tempat nongkrongnya disini, ka" sedetik kemudian, Icha merapatkan bibirnya dilanjut menutup bibir itu dengan tangan yang menangkup.
"ketahuan kan, kamu cha. dulu kalau kabur kesini. aku bilangin papa, loh!" ancam Acha sambil memicing.
"itu dulu ya. sekarang udah engga. aduin aja sana. papa juga udah tahu keleus"
"aku aduin mama kalau gitu"
"gih sana! aku ga bakal boncengin kamu pulang nanti. pulang sendiri ya" Icha balik mengancam. nadanya dibuat menakutkan. Aufa menggeleng geleng melihat
tingkah duo srigala dihadapannya sambil menahan tawa.
"kan ada ka Aufa yang anter aku pulang"
"ka Aufa mana mau nganter. rumah kita kan jauh. ngerepotin orang aja"
"kita" kamu aj,---"
"kalau masih ingin bertengkar. aku tinggal ke dalam, ya" akhirnya perdebatan itu berakhir. mereka terdiam lalu menoleh. "ayo lanjutkan perangnya. sepertinya
seru menonton pertengkaran kalian di dalam rumah sambil menikmati combro buatanku" tambahnya lagi. dengan gerakan mengiming iming yang aneh. ia menatap
langit langit seolah membayangkan bagaimana nikmatnya menonton pertengkaran sengit mereka ditemani combro hangat.
"ka Aufa mau usir kami?" pertanyaan bernada polos terlontar dari mulut Acha. gadis itu menautkan ujung alisnya dengan ekspresi memelas.
"ada tamu, rupanya. pantas ayah dengar ada berisik berisik gitu" tuan rumah satunya--Cokro--berjalan keluar menuju sumber kericuhan yang terjadi. "tamunya
suruh masuk, ndhuk" "assalamualaikum, om" Acha dan icha berubah cepat menjadi dua gadis manis dan menyenangkan. pupus sudah harapan Aufa menonton perang sengit mereka.
"waalaikumsalam, wah ayah kedatangan dua tamu cantik, nak" tangan Cokro menangkup. menyambut kedatangan mereka. "kalian kembar ya?"
"iya om. namaku Acha" Si Acha itu tersenyum sumringah. melupakan perdebatannya barusan.
"aku Icha, om" senyum Icha tak kalah sumringah.
"oalah, kenapa kamu tidak cerita kalau punya murid kembar, nak?" tanya Cokro kepada Aufa. meski pandangannya enggan berpaling dari dua saudara kembar tersebut.
"mereka adiknya dokter Syihab, yah. ingin mampir kesini, katanya" jawab Aufa dibelakang mereka.
"kita boleh main kesini, kan om. rumah om enak banget. belum masuk aja udah bikin betah" celetuk Icha mendapat respon baik dari Cokro. pria itu tertawa
kecil. melihat mereka, jadi teringat Aufa sewaktu masih sekolah dulu.
"tentu saja boleh. pintu ini selalu terbuka buat kalian. malah tadi dokter Syihab hampir seharian disini"
sambutan itu malah membuat suasana mendadak hening. tidak hanya Acha dan Icha. tapi juga Aufa terhenyak beberapa detik mendengar pengakuan ayahnya.
"abang kesini?" bisik Acha kepada Icha seolah tak percaya.
"maksud om, bang Syihab?" Icha memastikan bahwa yang diucapkan Cokro tidak keliru.
Cokro mengangguk "ada keperluan apa dokter Syihab kesini, yah?"
tiba tiba Aufa merasakan sesuatu menghimpit saluran pernapasannya. ada yang aneh dengan pergerakan pompa jantungnya kali ini. ia berdegup lebih cepat dari
biasanya. sinyal otaknya memberi firasat aneh. perasaan apa ini" mengapa tiba tiba ia merasa khawatir tentang kedatangan Syihab tanpa sepengetahuannya"
semenjak Diana dinyatakan sembuh, Aufa memang jarang berkomunikasi dengan Syihab. paling hanya menanyakan hal hal yang penting. itu pun sudah seminggu
yang lalu. alih alih menjawab, Cokro malah mengajak si kembar Acha dan Icha masuk ke dalam. meninggalkan aufa bersama kecemasannya.
kecurigaannya semakin tercium. ada yang Cokro tutupi.
*** TBC... 9. mendamba cinta ruangan itu tidak begitu luas, tapi jangan salah. jika sedikit mendongak ke atas, akan tersuguh dinding dinding besar menjulang tinggi. dipermukaannya
terpasang rak rak buku besar dibuat menyatu dengan tembok. rak itu melingkar seisi ruangan. dan segala macam buku mengisi setiap ruang disana.
di setiap penjuru, terpasang lampu tempel bercahaya redup kekuningan. mereka bertengger pada ukiran jawa yang sengaja dibuat untuk benda penerang itu agar
berdiri kokoh. anggap saja lampu tersebut sebagai hiasan. karena cahaya yang terpancar, tidak cukup untuk dijadikan penerang membaca. maka dari itu pada
meja utama tersuguh lampu dengan cahaya cukup. sudah hampir satu setengah jam lampu itu menerangi lembaran lembaran kertas yang berserakan di meja. mengamati
si pemilik lembaran tersebut berkutat dengan segala macam tulisan yang tertera disana.
wajahnya nampak serius. banyak guratan memenuhi dahi. tanda bahwa otaknya sedang terkuras. bibirnya komat kamit membaca detail laporan yang tersuguh dimeja.
tak jarang ia beberapa kali mengulang detail laporan tersebut. dan itu cukup menguras otak dan tenaganya. terbukti dengan bertenggernya tiga gelas kosong
disana. menandakan kegiatan itu hampir membuatnya dilanda dehidrasi. padahal ruangan ini sudah cukup dingin dengan energi dari AC. pandangannya beralih
pada ponsel yang nampak menganggur seharian belum tersentuh pemiliknya. pria itu menggeleng tidak percaya. akhirnya pertahanannya runtuh. ia butuh seseorang
untuk membantu mengatasi kesulitannya ini.
"waalaikumsalam. bang, sibuk ga?"
"engga juga sih, lagi santai di jalan. kenapa?" jawab Dana dari seberang sana.
"mau kemana lu, bang di jalan?"
"baru pulang dari masjid"
Idzar menengok jam dinding. pria itu menarik nafas panjang sambil beristighfar. tangan satunya refleks menepuk jidat. tak terasa sudah waktu Isya. betapa
lihainya syeitan menyibukan manusia hingga melupakan kewajiban Idzar sebagai seorang Hamba.
"lu ada perlu apa nelpon gue?" pria itu segera tersadar.
"gue nanya deh, aslinya, perusahaan punya rekapan karyawan tahunan, ya?" Idzar membolak balik tebaran kertas dihadapannya.
"punya lah" "tuh, kan! pantesan gue bingung daritadi" gumaman itu terdengar samar di telinga Dana. dia menarik satu alisnya.
"jangan bilang, lu baru tahu kalau rekapan tahunan itu ada" Dana mendelik curiga. mencium bau bau kecerobohan dari sana.
Idzar sibuk mengumpat dirinya sendiri. tangannya mengepal di atas meja. tangan satunya mengetuk ngetuk dagu.
"dzar, lu denger gue ngomong ga, sih?" merasa terabaikan, Dana menaikan volume suaranya. Idzar menyahut kaget.
"lu tahu ga sih, bang. daritadi gue pusing. ngecheck laporan dua tahun terakhir ini. lu bayangin aja gue periksain satu satu gini" ungkap Idzar frustasi.
"si dodol. lu kerja berapa tahun sih di Prams?" Dana jadi ikut ikutan frustasi sendiri. istrinya--Sina--menatap suaminya terheran heran. "memang pak Sastra
ga ngasih tahu sebelumnya" ish! Idzar kok lu dodol banget sih, Subhanallah" Dana mengusap wajahnya.
"kayaknya engga deh"
"ga mungkin pak Sastra ga ngasih tahu. dia udah puluhan tahun kerja di Prams. emang lu nya aja sableng" timpal Dana. sukses memaki adiknya. untungnya obrolan
mereka via telpon. kalau tidak, Idzar sudah habis dijitak Dana sampai benjol.
"yasallam..." Idzar mendesah pasrah membiarkan dirinya jadi bahan bullyan Dana. pria itu duduk bersandar pada kursi empuk yang menopang tubuhnya. berulang
ulang menghela nafas sambil memegang ponsel di telinganya. ocehan ocehan itu masih berkumul disana. bak irama yang dihasilkan sayap nyamuk ketika melintas
ditelinga. idzar cuma bisa komat kamit menirukan Dana berbicara. toh, dia tidak tahu ini.
"mana besok ada audit lagi. mau kelar kapan tuh, laporan sebanyak itu" alih alih menenangkan atau memberi solusi, Dana malah menambah stress Idzar dengan
memberi tahu tentang pelaksanaan audit besok. abang durhaka, memang. umpat idzar.
"terus gue harus gimana, abangku Azka Syandana Prama?" ada penekanan pada tiap kata. menjelaskan dana bahwa semua lontaran dia sama sekali tidak membantu.
malah semakin membuatnya frustasi tingkat dewa.
giliran Dana yang menguras otaknya. "besok, sebelum berangkat kerja, lu ke rumah gue dulu. kita berangkat bareng. pagi pagi buta kalau perlu. laporannya
masih di ruangan lu, kan?" Dana menjeda sebentar seraya menimang. "kita kerjain laporan itu berdua. sebelum Audit datang"
"memangnya jam berapa Audit datang?"
"setelah apel pagi"
"gue nginep di rumah lu aja deh, bang. biar sekalian. nanti gue bawa berkas berkas terus begadang buat kelarin disana. gimana?" usul Idzar. sambil menyelam
minum air,pikirnya. mengerjakan laporan sekaligus membayar kerinduannya pada Shabiya.
"yaudah. tapi ga usah pake begadang lah. besok gue bantu kok. insya Allah kelar sebelum Audit dateng" seketika itu muka muka frustasi Idzar berubah menjadi


Senja Merindu Karya Suffynurcahyati di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cekungan melebar dibibirnya. senyum itu tersungging bak pelangi setelah hujan.
"alhamdulillah.. daritadi kek, bang lu kaya gitu. gue cuma butuh bantuan lu doang sebenarnya" Idzar bernafas lega. setidaknya ada tempat untuk menuang
kefrustasiannya. kali ini bang Dana bukan abang yang durhaka, deh. puji Idzar dalam hati.
"oke, gue tunggu ya"
"mau kemana, dzar?" wanita paruh baya berwajah belia muncul dari arah dapur mendapati putra bungsunya keluar dari kamar dalam keadaan rapi sehabis menunaikan
sholat Isya. meski rambutnya agak berantakan dan hanya memakai kaos dan celana jeans dipadu jaket levis. tidak membuat ketampanannya pudar.
"eh, mama" idzar berjalan mendekati mamanya. "idzar mau ke rumah bang Dana sekalian nginap disana. boleh ya, ma" Andita--wanita yang dipanggil mama itu--memerhatikan
idzar sejenak. melihat sesuatu yang dibawa anaknya itu. tas laptop hitam berada dalam jinjingannya.
"kenapa harus nginap segala" mama sendirian dong" ungkap Andita agak memelas. memohon kasihan dari Idzar. setelah Dana berumah tangga. satu satunya brondong
kesayangan dia yang menemani dirumah ya hanya idzar.
"ada kerjaan penting yang harus diselesaikan, ma. besok pagi pagi sekali idzar harus udah ada di kantor" idzar merangkul Andita dengan lembut. menatapnya
hangat seperti cahaya matahari di seperempat pagi.
"sudah sholat Isya?"
Idzar mengangguk sambil mengulum senyum.
"pagi pagi sekalinya jam berapa?"
"habis subuh mungkin" Idzar menaikan bahunya mengucapkannya hati hati.
"yasudah, hati hati ya. jangan merepotkan abangmu. salam buat Sina dan Biya, ya" dalam hati Idzar terkekeh geli. jangan merepotkan bagaimana, jelas jelas
kedatangannya kesana untuk membuat Dana repot setengah mati. maafin gue ya, bang.
"siap, nyonya besar" jawabnya lantang sambil bergaya hormat ala prajurit keamanan negara. sebagai seorang eksekutif muda, postur tubuh Idzar sangat mendukung
untuk menjadi anggota TNI. dan jangan lupakan suara berat khas nya. itu semua sudah cukup untuk mewakili.
"oh ya, tunggu sebentar, nak" baru berjalan dua langkah, kaki Idzar terhenti. kepalanya menoleh. "ya, ma?"
Andita menyodorkan amplop coklat kepada Idzar. pria itu menerimanya. memerhatikan kondisi amplop itu dengan kening yang mengkerut.
"mama sudah seleksi. tinggal kamu memilih lalu mengistikharahkan salah satunya" perkataan Andita sudah seperti teka teki. istikharahkan apanya"
"ini apa, ma?" "foto calon pilihan mama buat kamu" balas Andita tanpa beban, tanpa rasa bersalah dan tanpa memikirkan ekspresi bodoh Idzar setelah mengetahui isi amplop
itu dari mamanya. "mama mau jodohin idzar?" kalimat itu terlontar refleks cepat dan meninggi. tapi idzar segera sadar saat Andita memberi tatapan bahaya karena suaranya
yang menggelegar. pria itu mengangguk minta maaf.
"mama jodohin idzar sama siapa?" kali ini suaranya dalam volume normal.
"sama yang ada di amplop itu. nanti kamu lihat saja di rumah abangmu. sekalian minta pendapat dia" yang benar saja. yang ada Dana bakal semakin repot.
urusan laporan saja belum terselesaikan, sekarang sempat sempatnya memikirkan calon istri untuknya. idzar menggeleng pasrah. mengibas ngibas amplop tipis
itu ke telapak tangannya.
"abangmu aja dijodohin mama. siapa tahu pilihan mama kali ini pas buat kamu. namanya juga ikhtiar, nak" Idzar tersenyum aneh. senyum itu seolah mengatakan
'ya masa gue juga ikutan dijodohin'.
"yaudah, nanti idzar lihat ya, ma" demi mama, apa sih yang engga. begitu kata hatinya. "tapi kalau idzar ga cocok sama mereka, mama ga marah, kan?"
"insya Allah engga marah. Asal....." seringai jail nan menyebalkan Andita yang menurun ke Dana itu muncul. wanita itu senyum senyum tidak jelas. idzar
memutar bola mata. bukan mama namanya kalau engga punya segudang akal. baiklah idzar menunggu.
"asal kamu sendiri sudah menyiapkan calonnya"
tuh, kan benar! bukan mama deh pokoknya kalau ga aneh aneh kaya gini. Idzar membatin keki.
"iya mamaku sayang" Andita mendapat pelukan erat dari si bungsu kesayangannya. pelukan hangat nan nyaman. walaupun tubuh Andita proposional untuk ukuran
seorang ibu beranak dua. masih ada gumpalan empuk dibagian lengannya seperti bantal yang membuat idzar enggan melepas pelukannya.
*** Hati ini terikat suka akan indahnya seorang insan ciptaanMu..
tapi aku takut, cinta yang belum waktunya, menjadi penghalangku mencium surgaMu..
berikan aku kekuatan menjaga cinta ini sampai tiba waktunya
andaikan Engkau pun mempertemukan aku dengannya kelak, berikan aku kekuatan melupakannya sejenak.
bukan karena aku tak mencintainya, justru karena aku mencintainya..
gadis itu hanya bisa menunduk terdiam dalam posisi duduk di kursi kayu. memilin milin ujung jilbabnya sesuka hati. merasa betah dengan posisi tersebut,
sampai mengabaikan sosok pria yang juga duduk manis di sebelahnya.
ada perasaan aneh yang berbeda ketika berada didekat pria berwajah ke arab araban itu. mungkin dulu dia bisa bersikap santai. tidak kaku. sesekali berceloteh
lelucon lelucon konyol. tapi semua itu berubah. meski belum berubah sepenuhnya. yang jelas, sejak kehadiran pria itu, atmosfer sepi selalu mendominasi
keadaan mereka. Aufa melirik pria disampingnya. masih betahkah dia berlama lama disana walaupun hanya sekedar berdiam diri" apa dia tidak berniat memulai obrolan lebih
dahulu" tidak tahukah ia bahwa Aufa sedari tadi berjuang menyatukan fungsi tubuh dan sel-sel otaknya yang sedang tidak bersahabat ini"
"baiklah, akan sampai larut malam kalau kita terus berdiam seperti ini" akhirnya apa yang Aufa harapkan terwujud juga. apa Syihab bisa membaca pikirannya"
semoga saja tidak. "lusa aku ditugaskan di salah satu rumah sakit di Banjarnegara, jawa tengah. tepatnya di Desa Prendengan. ternyata disana masih membutuhkan tenaga medis"
baiklah Aufa mengangguk, menunggu penjelasan selanjutnya.
"karena itulah tadi siang aku menemui ayahmu dan bermaksud untuk...."
sial! selalu begini. rupanya, lidah ini sudah pandai memfilter kosa kata, ya. Syihab menggerutu dalam hati. padahal tinggal mengucapkan satu kata saja.
tapi sulitnya sudah seperti menaklukan ular cobra.
"wah, berarti aku belum semirip itu. aku merasa cenderung lebih mirip andrew garfield" Syihab tertawa kecil. sementara Aufa menatapnya aneh. itu tanda
bahwa ia tidak setuju dengan apa yang barusan ia dengar. andrew Garfield, katanya" oh my...
suasana kembali hening. hanya terdengar nyanyian jangkrik di sela rerumputan pekarangan. dan samar samar suara hembusan angin yang semakin menusuk.
"apa jawaban yang pak cokro berikan sama dengan jawabanmu, Aufa?" tanya Syihab dengan sangat hati hati. ia takut menyinggung perasaan gadis itu. harusnya
tanpa menanyakan itu, ia pasti tahu apa jawabanya. tapi ada segelintir perasaan aneh yang memaksanya menanyakan hal tersebut.
"apa yang Ayah jawab itulah jawabanku. kan aku sudah memberi hak penuh untuknya"
"boleh ku tahu kenapa kamu memberi hakmu kepada pak Cokro?"
mengapa Syihab berubah jadi manusia kepo sekarang"
"karena aku tidak yakin dengan kemampuanku mengolah isyarat yang Allah berikan. aku takut keputusan yang aku ambil akan salah. maka dari itu, aku meminta
Ayah yang menilai pria mana yang menurutnya pantas mendampingiku. ku pikir, penilaian ayah lebih objektif. selebihnya aku hanya bisa berdoa agar kelak
siapapun jodohku. ia sebaik baiknya jodoh yang baik untuk dunia dan akhiratku. membawaku menuju SurgaNya" kejujuran yang membuat Syihab terkesima. tak
mampu merangkai kata kata apa yang pantas menggambarkan sosok dihadapannya itu. apa ini yang disebut perhiasan dunia" bahkan melebihi dunia dan isinya.
"begitu ya," respon yang begitu sederhana. "semoga aku menjadi salah satu pria beruntung yang bisa memilikimu. denganmu, aku ingin menyempurnakan sesuatu
yang harusnya terisi disini" ia menunjukan jemarinya. tepatnya di sela sela jarinya.
"mengisi sela sela kosong jemari ini bersama seseorang yang akan berjuang bersamaku meraih SurgaNya" dan akhirnya stock oksigen Aufa menyusut perlahan.
semakin Syihab berbicara, semakin besar kemungkinan dirinya terserang diabetes. tapi jujur, ia menyukainya. ya begitulah naluri wanita. sangat anti terhadap
rayuan manis pria, tapi menikmati pada setiap katanya.
"bagaimana kalau kamu berhenti bergombal ria seperti itu" gombalan kamu itu tidak berpengaruh apapun, selama belum terucap qabiltu" Aufa memperingatkan
karena sudah tidak kuat otaknya menampung kata kata pujian yang mengandung kadar gula berlebih itu. berguru dimana sih, dia" sungut Aufa.
"yakin, tidak berpengaruh apapun?" Syihab tersenyum jahil. Aufa mengangguk cepat penuh percaya diri.
"tapi mata mu berkata lain"
"ya?" respon macam apa itu" mulut menganga. mata membulat.
"apa yang aku ucapkan, mata kamu selalu merespon. meski bibirmu terkatup diam, justru semakin mudah aku membacanya" tentu saja pernyataan itu benar adanya.
buktinya saja Aufa langsung buru buru memalingkan wajah. menyembunyikan raut bodoh yang timbul disana.
"kalau begitu, sebaiknya kamu pulang saja, bagaimana?" Aufa mengeluarkan amunisi keberaniannya lagi. Syihab mendelik ragu.
"ini sudah larut malam. lagipula, aku khawatir terserang diabetes mendadak karena tidak kuat melihat pesona dokter muda didepanku sekarang. belum lagi
rayuan rayuannya yang menurutku,.." dengan gaya sok menilai ala ala juri kontes menyanyi "cukup membuatku mual"
"begitu ya?" Syihab tertawa hambar. bisa bisanya Aufa berkata seperti itu. lagaknya sudah seperti wanita yang setiap hari terbiasa menghadapi rayuan pria
pria saja. padahal sebenarnya, ia berusaha mati matian menahan kaku di lidah. baru dipuji Syihab saja, tubuhnya sudah dibuat merinding.
"padahal aku masih punya banyak stock rayuan rayuan lain yang malah bisa membuat kamu lebih dari sekedar diabetes" pria itu menaikan matanya ke atas. "gagal
ginjal, misalnya?" "dokterrrrr...." Aufa mulai geram. suaranya menggelegar menggetarkan semesta. disusul sepasang mata melotot menyeramkan. sebuah ancaman berbahaya menyerang
syihab. pria itu tertawa terbahak bahak. merasa berhasil mengerjai Aufa.
"baiklah, aku pulang" masih dengan sisa sisa tawa yang menyebalkan. "sampaikan salamku pada pak Cokro. mungkin dia sudah tidur"
"insya Allah" dan pria bermata elang itu pergi meninggalkan sisa sisa kalimat berkadar gulanya disini. tepat di hati ini. Aufa memegang dadanya. matanya menerawang jauh
ke pekarangan luas dihadapannya. mencari cari makna yang terjadi hari ini.
kadang takdir itu suka seenaknya. ia datang tanpa memberitahu. lalu memberi kabar yang tak sesuai harapan. membiarkan hati ini bertaruh melawan apa apa
yang dibawa takdir tersebut.
jika takdir mengatakan hati ini akan berlabuh disana, maka bawalah segenap hati dan jiwa ini mendarat seutuhnya di tempat itu. jangan sampai ia tawarkan
pelabuhan lain yang lebih indah. bahkan pelabuhan yang sempat ia hancurkan untuk membawanya ke pelabuhan baru.
dalam relung hati yang menjorok ke dalam, ia hanya menyimpan satu nama. satu nama yang tidak pernah absen dalam rangkaian do'a di tiap sujudnya.
apa Allah bosan karena ia selalu menyebut nama itu" sehingga Dia malah menjatuhkan takdir ini pada sebuah nama yang bahkan namanya pun tak pernah terlintas
di narasi kehidupannya. ya Allah.. tetapkan hati ini atas agamaMu..
jagalah hati ini di atas ridhoMu..
biarkan fitrah yang Engkau beri ini berjalan mengikuti alur permainanMu. sampai tiba saatnya Kau labuhkan dua hati ini dalam ikatan yang Kau sebut pernikahan.
*** "resah jiwa bergetar penuh rindu
dan bertanya diakah bagian hidupku
tak ku temukan semua jawabnya
hanya menanti dan meminta..
pengharapanku bagaikan samudra yang terdalam
sedalam palung kalbu simpan rinduku kepadamu"
Idzar menggeleng keras. ia pikir dengan pergi ke rumah Dana akan menenangkan pikirannya. nyatanya itu salah besar. bukan malah tenang, ia semakin frustasi
dibuatnya. bagaimana tidak, tujuan awal ia kesini adalah membicarakan soal laporan laporannya besok dengan Dana. seketika tujuan itu hangus karena ulah
kakak iparnya. siapa lagi kalau bukan Sina.
ibu muda itu asyik menyanyikan lagu kesukaannya. tepat didepan Idzar sambil meniru gaya penyanyi profesional. sina menyebut dirinya rossa wanna be. dan
parahnya lagi, setiap lirik lagu yang Sina nyanyikan, tertuju kepadanya. terutama kepada nasibnya. si jomblo mulia yang tak kunjung menemukan jodohnya.
lalu menanti nanti lewat untaian doa di setiap sujud malamnya. itu kan, idzar banget.
"pengharapanku bagaikan angkasa tak berujung. Oh Tuhan kuatkan hati dan jiwaku yang mendamba cinta"
"bang, kayaknya istri lu musti dibawa ke psikiater, deh. kasihan Biya punya ibu sableng" cibir Idzar sewot. duduk santai bersandar pada bantal ukuran besar
kemudian menikmati setoples nastar.
"biarin sableng, yang penting ga jomblo" timpal Sina tidak mau kalah. ia bisa bebas seperti ini karena Biya tidur lebih cepat. dan yang menguntungkan,
putri kecilnya itu tidak akan terganggu oleh hama perusak bernama Idzar.
"eh! tolong ditambahin ya. jom-blo-mu-li-a. catet!" setelah Idzar memenggal dua kalimat andalannya itu, Sina memasang wajah ingin muntah. mengejek sambil
menjulurkan lidahnya. "sampai kapan jomblo mulia terus. suami mulia, dong" sekarang Dana tertular virus menyebalkan istrinya. keduanya senyum senyum tidak jelas. pemandangan
terakhir, Dana menggenggam erat tangan Sina, tepat dihadapan idzar.
oh! pamer ceritanya. "salah gue emang. salah gue ada disini. idzar bodoh emang" Idzar melengos begitu saja mengutuk dirinya. menoyor kepalanya sendiri sambil berbicara tidak
jelas karena kadar frustasinya bertambah. "tolong idzar ya Allah, Idzar masih polos" sekarang ia memanjatkan doa yang entah apa maksudnya. gaya berdoanya
mirip artis cilik baim. sepasang suami istri itu saling meringis geli.
"terus gimana nasib dua perempuan di foto itu" ada ketertarikan, ga?" mata Dana mengarah pada dua lembar foto yang dipegang Idzar.
"coba gue liat lagi" ketika Dana mengambil dua foto itu dari tangan Idzar, ada seseorang yang memasang wajah siaga dua. yap! wanita bernama Sina.
"hati hati kepincut" mendengar celetuk pedas istrinya. Dana menoleh disertai senyum miring menggoda. "cemburu, istriku sayang?"
"aah, tidak juga. hanya mengingatkan" Sina membalasnya dengan senyum hambar. tahu kecemburuan istrinya itu, Dana merapatkan posisi duduknya lebih dekat
dengan Sina lalu berbisik
"kecemburuan kamu itu sinyal kalau kamu menginginkan adik buat Biya. iya kan, ay?" Sina refleks berjengit menarik diri dari dekapan erat Dana. setelahnya,
Pembunuhan Di Lorong 2 Dewa Arak 82 Lorong Batas Dunia Anak Langit Pendekar Lugu 1
^