Victory 3
Victory Karya Luna Torashyngu Bagian 3
Oti dan Raka tiba di rumah menjelang tengah malam. Suasana dalam rumah tampak gelap, seperti biasanya. Pasti Ai udah tidur! batin Raka. Sementara Raka mengunci motornya, Oti membuka pintu depan dengan kunci yang dibawanya.
"Ssstt... " Oti menempelkan jari telunjuknya di mulut, saat Raka gak sengaja menabrak kursi di ruang tengah. Ruang tengah emang gelap, karena lampu dimatiin semuanya.
"Ai, lampu meja kok gak dinyalain sih" Jadi gelap gini," gerutu Raka. Biasanya emang setiap malam lampu meja di ruang tengah dinyalain. Walau cahayanya cuma remang-remang, lumayan daripada gelap sama sekali.
"Gue ke atas, ya"" kata Oti. Raka memandang Oti sejenak, kemudian mencium kening cewek itu, tiba-tiba lampu ruang tengah menyala, dan... "Ayah!!" seru Raka terkejut.
"Papa!!" Di dekat sakelar lampu, berdiri ayah mereka berd
ua. Nggak lama kemudian dari arah tangga atas, turun seorang wanita setengah baya yang memakai baju tidur. "Mama!!" jerit Oti tertahan.
Ayah Raka dan Oti memandang tajam pada kedua anaknya yang sedang berpelukan. Seolah-olah mengerti arti tatapan tersebut,Raka melepaskan pelukannya. Wajahnya keliatan pucat. Sama kayak Oti.
"Papa, Mama, kapan datang" Kok tumben" Ada apa""tanya Oti dengan suara bergetar dan terbata-bata. Sekilas dia dapat melihat wajah mamanya yang memendam perasaan duka. Entah apa. Mamanya gak menjawab pertanyaan Oti. Wanita itu hanya mematung di anak tangga.
"Raka!" sebagai jawaban terdengar suara ayahnya. Kemudian pria setengah baya itu mendekati Raka, dan tanpa diduga, tangan kanannya bergerak, menampar wajah anak laki-lakinya itu. Begitu kerasnya tamparan tersebut, hingga Raka hampir terlempar. Darah segar mengalir dari bibirnya.
"Pa!" jerit Oti dan Ibunya hampir berbarengan.
"Ini belum seberapa dibandingkan aib yang kamu timbulkan di rumah ini!" kata Ayah Raka dengan suara keras. Raka mengusap darah yang keluar dari bibirnya sambil memandang heran ke arah ayahnya, walaupun sebenarnya dia udah dapat menduga maksud perkataan ayahnya.
"Maksud ayah"" tanya Raka.
"Jangan pura-pura! Ayah udah tau perbuatan kalian berdua!" ayahnya kini memandang tajam ke arah Oti.
"Pa... tenang, Pa, udah malam," ibu Oti memperingatkan.
"Apa maksud Ayah dengan perbuatan yang kami lakukan"" tanya Raka kembali, sementara Oti hanya tertunduk, gak berani membalas tatapan ayahnya.
"Kamu masih mengelak" Kami tau kalian pacaran. Sungguh memalukan!" bentak ayahnya. Raka membalas tatapan ayahnya. Beberapa saat keduanya saling menatap dengan tajam. "Kamu masih mengelaknya"" tanya ayahnya.
Raka menghela napas sebentar. Dia mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk menjawab pertanyaan ayahnya.
"Baiklah. Karena Ayah dan Tante Heni udah mengetahui hal ini, kami gak akan menyangkal.
Kami emang pacaran. Apakah itu salah"" kata Raka mencoba tenang.
"Tentu saja itu salah! Kalian gak boleh pacaran!" kata ayahnya.
"Kenapa" Karena kami kakak-beradik" Bukankah kami hanya saudara tiri" Gak punya hubungan darah" Kenapa kami gak boleh berpacaran"" tanya Raka keras.
Tiba-tiba terdengar suara tangus dari atas. Tante Heni menangis terisak-isak di tangga. Oti memandang heran ke arah mamanya.
"Mama, ada apa"" tanya Oti lirih.
"Kalian gak boleh berpacaran! Mulai detik ini, putuskan hubungan kalian!!" kata ayahnya tegas.
"Kenapa gak boleh"" tanya Raka. "Iya, Papa, kenapa!!""
"Pokoknya gak boleh! Ini keputusan Ayah! Titik! Dan Oti! Kamu ikut Papa dan Mama ke London! Sekolahmu akan dilanjutkan di sana!!" kata Papa murka.
"Apa" Gak! Oti gak mau pindah! Kalo Papa gak bilang alasannya, kami gak akan nurutin kata-kata Papa!!" kali ini Oti yang ngomong. Ayahnya memandang tajam ke arah Oti.
"Kamu mau melawan Papa""tanyanya ayahnya marah.
"Oti ingin tau alasannya!" kata Oti tegas.
PLAK! Tamparan mendarat di pipi Oti. Nggak sekeras tamparan pada Raka, tapi cukup membuat pipi kiri cewek itu memerah. "Ayah!" seru Raka.
"Papa bukan Papa kandung Oti! Papa gak berhak nampar Oti!" kata Oti. Matanya berkaca-kaca, kemudian dia berlari ke tangga.
"Oti!" kata ibunya saat berpapasan dengan anak gadisnya. Oti memandang ibunya sejenak, kemudian meneruskan langkahnya , menuju kamarnya di lantai atas.
"Oti benar. Harus ad alasan kenapa Ayah melarang hubungan kami," kata Raka.
"Kita bicarakan ini besok. Sekarang sudah malam," kata Ayah Raka. Nada bicaranya agak mereda. Kemudian ia berbalik meninggalkan putranya.
"Ayah...," panggil Raka. Tapi ayahnya tetap meneruskan langkahnya. Tinggalah Raka sendiri ada di ruang tengah. Dia masih belum mengerti kenapa ayahnya melarang hubungannya dengan Oti.
*** "Oti boleh Mama masuk""
Nggak ada jawaban. Mama Oti membuka kamar Oti yang ternyata tidak terkunci. Tampak anaknya sedang tertelungkup di tempat tidurnya sambil menangis. "Oti..." Wanita setengah baya itu mengusap rambut anaknya.
"Kenapa, Ma" Kenapa Papa begitu marah" Papa belum pernah mu
kul Oti, sebesar apapun kesalahan Oti," kata Oti di sela-sela isak tangisnya.
"Mungkin Papa begitu shock mendengar kamu pacaran dengan Raka. Kamu tahu kan sifat Papamu yang gampang marah," jawab mamanya menghibur.
"Iya, tapi kenapa Papa marah" Padahal kali ini Oti gak ngelakuin kesalahan apa-apa. Juga Raka. Bukankah wajar kalo pria dan wanita saling mencintai"" "Iya, tapi..."
"Tapi apa" Karena kami saudara" Bukankah kami gak punya hubungan darah" Itu gak dilarang agama, kan"" cecar Oti.
Nggak ada jawaban dari mamanya. Wanita setengah baya itu hanya memandang Oti dengan tatapan kosong.
"Ma"" Oti heran karena gak ada respon dari mamanya. Dia segera membalikkan badan, menghadap mamanya.
"Kami gak punya hubungan darah, kan"" tanya Oti kembali. Tapi pandangan mata mamanya gak berubah, seolah ada sesuatu yang berkecamuk dalam pikirannya.
"Ma!" kali ini dengan suara agak keras Oti memanggil mamanya. Suaranya ternyata cukup membuat mamanya tersadar dari lamunannya.
"Iya... ada apa, Sayang"" tanya mamanya.
"Mama kenapa" Mama mikirin sesuatu"" desak Oti.
"Nggak. Mama gak mikirin apa-apa. Kamu tanya apa tadi""
"Oti gak punya hubungan darah dengan Raka, kan""
Sebagai jawaban mama Oti memeluk anaknya. "Tentu aja gak, Sayang. Kamu anak kandung Mama dan Papa Ardi..." jawab wanita itu lirih. Tanpa sepengetahuan Oti, air mata mamanya menetes.
"Mama nangis"" tanya Oti.
"Nggak apa-apa. Mama hanya teringat almarhum papamu." Papa kandung Oti meninggal saat Oti masih bayi, karena sakit.
"Dengar Oti... mungkin Papa kamu tidak bisa menerima hubungan cinta antar-anggota keluarga. Walau kalian tidak punya hubungan darah, tapi kalian telah jadi satu keluarga. Bagi kita, orang timur, hubungan seperti itu sangat tidak lazim. Kau harus mengerti. Selain itu, walaupun tidak dilarang agama, tapi hubungan seperti kalian juga sebaiknya tidak dilakukan," lanjut mamanya. Oti hanya terdiam mendengar kata-kata mamanya. "Oti, besok temani Mama ziarah ke makam Papa Ardi di Jakarta, ya" Sejak dari London Mama belum sempat, karena langsung kesini. Mau, kan" Sesudah itu kita mengunjungi nenek di Bogor. Mungkin kita akan menginep di rumah nenek. Senin kamu gak ada ulangan, kan"" tanya mamanya. "Dengan Papa"" tanya Oti.
"Papa kayaknya akan di sini dulu. Menurut Mama, sebaiknya kamu menghindar dulu dari Papa, agar suasana mendingin. Biar Papa bicara dengan Raka," kata mamanya. "Tapi Oti gak mau berpisah dengan Raka," kata Oti. "Kamu sangat mencintai dia"" tanya mamanya. Oti mengangguk.
"Oti gak bisa berpisah dari dia, begitu juga Raka. Kami saling mencintai. Sudah banyak halangan dan rintangan yang kami lalui agar cinta kami bisa bersatu. Gak mungkin itu bisa dihancurkan dalam sekejap," kata Oti panjang lebar.
Mama Oti memandang anaknya sekilas, seperti menyimpan pertanyaan. "Oti kamu dengan Raka tidak... "
"Soal itu mama jangan khawatir. Kami masih tau mana yang boleh dilakukan mana yang gak. Oti gak akan membuat malu nama keluarga. Percayalah," kata Oti tegas.
"Mama tahu. Mama percaya padamu. Sejak kecil walau nakal, tapi kamu gak pernah melakukan hal yang membuat malu Mama."
"Kalo Mama sendiri, apakah setuju dengan hubungan kami""
Tante Heni tidak langsung menjawab pertanyaan anaknya. Dia diam sejenak. "Raka anak yang baik. Pada dasarnya Mama pun menyukai dia. Mama yakin dia bisa menjaga dan melindungi kamu." "Jadi Mama setuju""
"Saat ini bukan masalah Mama setuju atau nggak, tapi kepentingan keluarga ini yang utama. Dan Papamu bertindak berdasarkan pikiran semacam itu."
"Apa Mama bisa mengubah pikiran Papa untuk menyetujui hubungan kami" Hubungan Oti dengan Raka benar-benar tulus, atas dasar cinta. Kami telah berjanji merawat hubungan kami ini sebaik-baiknya," kata Oti.
Mama menghela napas mendengar pertanyaan anaknya.
"Ma... " "Mama gak bisa janji, tapi Mama akan bicara dengan Papa. Kamu tahu kan sifat Papa. Nggak mudah mengubah pendiriannya," kata Mama. "Makasih, Ma...," Oti memeluk mamanya.
"Oti sebetulnya sangat sayang ama Papa dan Mama. Oti udah menganggap Papa seperti Papa k
andung Oti sendiri. Oti hanya gak bisa nerima sikap Papa yang gak menyetujui hubungan kami tanpa alasan yang kuat."
Mamanya mengelus-elus punggung Oti dengan penuh kasih sayang.
"Satu lagi, Ma, Oti gak pengin pindah ke London. Bukan karena Raka, tapi karena Oti senang sekolah di sini. Di sini Oti mendapat suasana sekolah dan teman-teman baru yang menyenangkan. Oti gak bisa ninggalin semua itu," kata Oti.
"Nanti di London kamu juga akan mendapat kawan-kawan baru. Banyak juga orang Indonesia yang sekolah di sana," kata mamanya menenangkan.
"Oti gak mau. Pokoknya Oti tetap pengin sekolah di sini. Mama mau ngomong soal itu ke Papa, kan"" tanya Oti.
"Baiklah, Mama akan coba bicarakan dengan Papa."
"Thanks, Ma... "
*** Pada hari minggu pagi, Raka harus pergi siaran. Belum ada yang bangun, kecuali Ai yang emang biasa bangun pagi, dan ibu tirinya.
"Maafkan Ai ya, Kak! Ai yang ngomong ke Ayah. Pas telepon, Ayah nanyain kabar Kak Raka dan Kak Oti. Ai jadi kelepasan ngomong. Ai gak mengira Ayah begitu marah mendengar hubungan Kakak dengan Kak Oti, lalu datang kemari. Kalo Ai tahu akan begini kejadiannya... "
Mendengar suara Ai yang bergetar dan wajahnya yang tampak memelas, Raka merasa iba. Adiknya tampak merasa sangat bersalah.
"Sudahlah. Cepat atau lambat hal ini pasti akan terjadi. Kalo bukan dari kamu, pasti Ayah akan tau juga. Kamu gak perlu meeasa bersalah. Justru Kakak berterima kasih, karena Kakak gak perlu ngomong sendiri hal ini pada Ayah," jawab Raka sambil mengelus rambut adiknya. "Tapi Kakak jadi dimarahi Ayah. Hubungan Kakak dengan Kak Oti jadi berantakan..." "Siapa bilang" Kami udah memperhitungkan hal ini akan terjadi. Kakak dan Kak Oti bertekad, apa pun yang terjadi, kami harus bisa mempertahankan hubungan kami, karena apa yang kami lakukan nggak salah. Ai mendukug hubungan Kakak, kan"" Ai mengangguk.
"Bagus! Itu baru adik Kakak. Udah ya... Kakak mau pergi siaran dulu," kata Raka, kemudian melangkah keluar. Di dekat tangga, dia ketemu Oti yang baru bangun. Beberapa saat lamanya keduanya hanya saling memandang.
"Lo mau siaran"" tanya Oti. Raka mengangguk.
"Gue mau nemenin Mama ke Jakarta. Ziarah ke makam Papa, kemudian ke tempat saudara," kata Oti.
"Berapa lama"" tanya Raka.
"Gak tau. Mungkin kami akan nginep di sana. Soalnya saudara Mama kan banyak," kata Oti. "Baiklah. Hati-hati aja," kata Raka.
"Thanks... lo juga. Jangan bikin masalah dengan Papa semakin besar," pesan Oti.
Oti melangkah menuju dapur. Saat melewati Raka, tiba-tiba cowok itu memegang tangannya.
"Ot... " "Ada apa"" tanya Oti.
"Gak. Gue pergi dulu," kata Raka.
Oti mengangguk. Raka kemudian meneruskan langkahnya menuju pintu depan.
*** Dua hari kemudian, sepulangnya Oti dari Jakarta, cewek itu ingin bicara dengan Raka. Semula Raka menganggap permintaan Oti biasa aja. Tapi pas melihat wajah Oti yang serius, Raka menduga sesuatu terjadi pada Oti ketika berada di Jakarta. Mereka berbincang di sebuah perkebunan teh di Lembang. Di sana terdapat saung-saung kecil sebagai tempat istirahat. Udara sore tetasa sejuk di kaki gunung. Nggak hujan, tapi juga gak panas. Cocok buat ngobrol dengan tenang.
Raka bersandar di tepi sebuah saung, nunggu Oti ngomong. Keliatannya Oti masih bingung dari mana harus mulai.
"Ka, sebaiknya kita putus aja," kata Oti akhirnya sambil membelakangi Raka. Ucapan itu benar-benar mengejutkan Raka.
"Oti" Apa maksud lo"" tanya Raka dengan kaget.
"Udah jelas. Kita gak bisa ngelanjutin hubungan kita," jawab Oti.
Raka benar-benar gak habis pikir. Terakhir kali dia melihat Oti begitu semangat dengan hubungan mereka, bahkan sampai menentang ayahnya. Tapi sekarang, kenapa dia ingin memutuskan hubungan"
"Oti, ada apa" Kenapa lo"" tanya Raka.
Oti menggeleng. "Gak ada apa-apa. Gue cuman meras kita gak bisa pacaran kayak orang-orang biasa. Kita emang ditakdirkan untuk jadi Kakak-adik."
Raka merengkuh pundak Oti dan membalikan badannya. Dia melihat kayak ada yang aneh pada diri cewek itu. Memang sedari tadi mata Oti sembap, kayak habis nangis terus menerus
. "Oti, gue tau lo paling gak bisa boong. Gue tau pasti ada apa-apa. Selama lo di Jakarta, ada apa"" tanya Raka sambil menatap mata Oti. Raka gak memberi kesempatan Oti untuk menunduk, menghindari tatapan matanya.
"Lo mau tau apa yang sebenarnya terjadi"" tanya Oti.
"Tentu aja," sergah Raka.
"Tapi, setelah ini, lo pasti akan membenci seseorang," kata Oti.
"Siapa" Lo""
"Bukan. Lo harus janji dulu, setelah gue ceritain, lo gak bakal ngebenci siapapun. Janji"" tanya Oti.
Raka terdiam sejenak. Beberapa saat kemudian dia mengangguk pelan. "Baiklah. Gue janji."
Oti kembali membalikkan badannya, memperhatikan pemandangan di kaki gunung Tangkuban Perahu yang terbentang luas di hadapannya. "Papa dan Mama bohong sama kita," kata Oti.
"Bohong"" "Ya. Sebetulnya kita saudara sedarah." Untuk kedua kalinya Raka dibuat terkejut oleh ucapan Oti. Kali ini bahkan dia kayak disambar petir, nggak percaya mendengar apa yang dikatakan Oti.
"Oti" Lo gak bohong, kan""
"Kali ini gue ngomong yang sebenarnya. Gue sendiri baru tau pas di Bogor. Saat gue secara gak sengaja ngedenger Mama cerita tentang kita pada Nenek. Gue denger Mama bilang gue anak Mama dengan Papa Rudi. Tentu aja gue kaget dan gak percaya, sama kayak lo sekarang ini. Karena itu kemudian gue desak Mama untuk mengatakan hal yang sebenarnya pada gue. Dan akhirnya Mama ngaku." Oti menarik napas sejenak, lalu menyambung, "saat Papa Ardi masih hidup, ternyata Mama udah berhubungan dengan Papa Rudi. Mama mengaku hal itu dia lakukan karena khilaf, sebab sejak jatuh sakit, Papa Ardi hanya bisa terbaring di tempat tidur tanpa bisa berbuat apa-apa. Akibat hubungan Mama dengan Papa Rudi, akhirnya Mama hamil. Mulanya Mama panik, takut Papa Ardi tahu soal itu. Untunglah Papa Ardi gak curiga, sebab Mama mengaku yang dikandungnya anak mereka. Malah menurut Mama, Papa Ardi sangat gembira karena Mama hamil, sebab menurut keterangan dokter, penyakit yang diderita Papa Ardi dapat menyebabkan dirinya kurang subur. Artinya, sangat kecil kemungkinan Papa Ardi bisa punya anak. Karena itu setelah gue lahir, Pap Ardi memberi nama Victory, karena dia merasa udah ngalahin takdir yang sedang menimpanya.
"Setelah Papa Ardi meninggal, Mama sangat terpukul, tapi gak bisa dipungkiri dalam hati Mama juga lega. Walau Papa Rudi baru menikah dengan Mama secara resmi tiga tahun kemudian, tapi pada praktiknya, gue udah memanggil Papa pada Papa sejak gue baru bisa ngomong. Saat gue beranjak remaja, baru Mama mengatakan Papa Rudi bukan Papa kandung gue. Menurut Mama, saat itu dia mengatakan hal itu karena merasa berdosa pada Papa Ardi, dan agar semua keluarga tetap nganggap gue sebagai anak Papa Ardi."
"Lo percaya kalo lo anak kandung Ayah" Mungkin aja Mama lo salah. Mungkin lo emang benar-benar anak almarhum Papa lo"" tanya Raka rada-rada kalut.
"Waktu berumur lima tahun, gue pernah kecelakaan, ditabrak mobil. Mama bilang saat itu Papa Rudi yang menyumbang darahnya untuk transfusi. Gak mungkin kan golongan darah Papa Rudi cocok ama gue kalo bukan karena gue anaknya"" tanya Oti.
"Tapi bisa aja itu kebetulan. Kan asal golongan darahnya cocok, orang lain juga bisa." Raka tetap keras kepala.
Oti menoleh ke arah Raka. "Kenapa sih lo gak bisa nerima kenyataan" Mama yakin gue anak Papa Rudi, dan dia merasa berdosa tentang hal itu. Gue gak mau nambah beban Mama. Gue sayang ama Mama. Gue gak mau liat dia menderita." "Lo gak sayang ama gue"" tanya Raka putus asa.
"Gue juga sayang ama lo. Tapi kalo disuruh milih, saat ini gue akan milih Mama. Maafin gue. Gue tau lo gak bisa nerima semua ini. Pertama gue juga begitu. Tapi setelah berpikir, gue rasa gue harus mentingin kepentingan keluarga. Lagi pula kalo ini benar, maka kita udah melakukan kesalahan. Untung kita belum terlalu jauh untuk dapat keluar dari kesalahan ini. Gue harap lo mau ngerti kayak gue."
Raka merenung memikirkan perkataan Oti. Kalo apa yang dikatakan Oti bener, pantas aja Ayahnya begitu marah saat mengetahui hubungannya dengan Oti. Ayahnya gak bisa ngasih alasan yang tepat, karena takut membongkar aibnya di m
asa lalu. Sekarang Raka bisa ngerti. Kalo Oti dapat mengorbankan cintanya demi kepentingan keluarga mereka, kenapa dia gak bisa"
Raka memandang Oti. Walau masih berusia enam belas tahun, tapi dia gak nyangka Oti bisa bersikap dewasa, lebih dari dirinya. Dia kini melihat sosok Oti bukan sebagai cewek remaja, tapi sebagai cewek yang udah punya pemikiran matang dan rela mengorbankan kebahagiaannya sendiri demi kebahagiaan orang lain. Dan kalo Oti bisa, kenapa gue gak" batin Raka.
"Ka, lo mau terima keputusan gue, kan"" tanya Oti lagi. "Gue akan sulit ngelupain lo," ujar Raka akhirnya.
"Gue tau. Gue juga bakal sulit ngelupain cinta kita. Karena itu gue terima tawaran Papa. Gue akan ke London. Ngelanjutin sekolah di sana."
Ke London" Oti akan ke London"
"Lo gak perlu ngelakuin itu," kata Raka cepat.
"Gue juga sebenarnya gak mau. Tapi mungkin ini satu-satunya cara agar gue bisa ngelupain lo. Lagi pula kata Mama, Dio udah mulai nakal. Gue harus ngebantu ngawasin dia." Raka gak bisa berkata apa-apa. Di satu pihak dia mengakui itu jalan terbaik untuk melupakan cinta mereka. Minimal mereka gak sering ketemu. Di pihak lain, dia akan merasa kehilangan Oti, kehilangan senyumnya, sifat jailnya, dan yang terpenting, cintanya. "Lo jangan khawatir. Kita kan masih tetao saudara. Kakak-adik. Kalo udah bisa ngelupain cinta kita, gue akan nemuin lo. Lagi pula, ini kesempatan lo untuk balik ke Ajeng. Lo mencintai dia juga, kan""
"Itu... " "Gak usah lo bilang, gue udah tau." Oti mendekati Raka. "Kapan lo pergi" Atau besok"" tanya Raka.
"Gak secepai itu. Gue kan harus nguru administrasi kepindahan gue, dan pendaftaran di sana. Mungkin akhir semester ini. Berarti sekitar sebulan lagi. Sementara ini Mama tetal di sini ngedampingin gue. Kami berdua akan pindah ke rumah salah satu teman Papa yang disewa sampai kami pindah."
"Kenapa kalian gak tinggal di rumah sampai lo pindah"" tanya Raka lagi. "Gue sih penginnya begitu, tapi Papa gak setuju. Dia bersikeras gue harus pisah dari lo. Gue harap lo bisa ngerti keinginan Papa. Dan seperti janji lo, lo gak akan musuhin siapa pun, termasuk papa dan mama gue, kan""
Raka memandang Oti yang tepat berada di hadapannya. "Jangan khawatir. Gue akan tepatin janji gue."
Oti tersenyum. Senyum Oti merupakan salah satu faktor yang membuat Raka jatuh hati padanya.
"Jadi kita tetap kakak-adik"" Oti menyodorkan jari kelingkingnya ke hadapan Raka. Raka menyambut jari kelingking Oti dengan jari kelingkingnya. Jari kelingking mereka bertaut. Tiba-tiba Raka memeluk Oti. Erat sekali. "Gue akan sulit ngelupain lo," ujar Raka lirih.
"Gue tau. Gue juga. Tapi kita harus berusaha. Lo mau berusaha kayak gue, kan"" pinta Oti. "Gue akan berusaha, walau gue gak tau apa gue bisa," ujar Raka pahit. "Kalo gue bisa, lo pasti bisa. Kembalilah pada Ajeng. Dia sangat mencintai lo. Dia bisa ngebantu lo ngelupain gue."
*** Sebulan udah berlalu. Liburan udah tiba. Dan itu berarti saatnya Oti untuk pergi. Ninggalin teman-teman, rumah, sekolah, juga cintanya.
Jam empat sore, Oti dan ibunya udah ada di Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Selain mereka, ada juga Ai yang ikut nganter, juga Ticka, Laras, dan Revi! "Kak Raka belum datang juga"" tanya Ticka pada Ai.
"Kayaknya gak. Tadi Ai nelepon tapi HP-nya gak aktif," jawab Ai. Kemudian pandangannya itu beralih ke Oti. Oti hanya tersenyum kecil. Dia gak tau apakah Raka benar-benar sibuk seperti yang dikatakannya semalam, atau hanya alasan untuk menghindari dirinya.
"Kalo gak ad lagi, kita check in sekarang," kata mamanya. Oti terdiam sejenak, memandang ke arah depan bandara. Kemudian ia mengangguk, seraya memandang adik dan teman-temannya, seolah ingin mengatakan saat berpisah udah tiba. Oti mendekati Ai yang berada di dekatnya.
"Jaga Raka ya, dan ntar kalo liburan kamu harus main ke sana," kata Oti pada Ai. Ai memandang Oti dengan mata berkaca-kaca, kemudian memeluk kakaknya.
"Ai akan kesepian lagi, gak ada kakak," kata Ai dengan suara bergetar.
"Jangan begitu. Raka pasti akan menjaga kamu dengan baik. Percayalah!" Oti lalu beralih
ke Ticka yang ada di sebelah Ai.
"Gue juga akan kesepian tanpa lo, Ot. Laras sama sekali gak bisa diajak berantem. Gak seru jadinya," kata Ticka. Laras yang berada di sebelahnya tersenyum kecil mendengar ucapan Ticka.
"Jangan gitu. Lo belum tau kemampuan Laras yang tersembunyi," balas Oti. Ticka kemudian memeluk Oti.
"Sayang Raka gak datang. Gue tau lo pengen ketemu dia untuk terakhir kalinya," ujar Ticka lirih di telinga Oti.
"Mungkin dia sedang berusaha ngelupain gue. Gue bisa ngerti," balas Oti.
"Terima kasih, Ot, kamu selama ini udah nolong Laras, dan membuat Laras jadi orang yang percaya diri," kata Laras saat Oti berada di hadapannya.
"Gak, Ras, itu semua karema diri kamu sendiri. Oti hanya ngebantu. Oti juga ingin berterima kasih, karena kamu udah banyak ngebantuin Oti selama ini," kata Oti tulus.
"Jangan lupain kami ya...," kata Laras di sela-sela pelukannya pada Oti.
"Gak akan, Ras, kalian teman-teman terbaik yang Oti punya. Oti harap kalian juga gak akan melupakan Oti."
Kini giliran Revi yang mengucapkan salam perpisahan pada Oti. "Kapan-kapan gue boleh main ke tempat lo, kan"" tanya Revi.
"Tentu aja. Kalo lo liburan besok lo bisa pergi bareng Laras dan Ai. Mereka juga akan ke London," jawab Oti.
Revi memeluk Oti. "Thanks, Ot, lo udah nyadarin gue dari sikap gue selama ini."
"Gak perlu. Itu karena pada dasarnya lo orang baik. Gue tau itu dari pertama kali ketemu lo.
Jaga Bayu baik-baik. Gue akan selalu berdoa semoga kalian bahagia."
"Udah, Ot"" tanya Mamanya. Oti mengangguk.
"Ai, Mama pergi dulu." Mama Oti memeluk dan mencium kedua pipi Ai, kemudian dilanjutkan dengan yang lain.
"Selamat tinggal, semua...," seru Oti sambil melambaikan tangan. "Hati-hati di jalan, Ot," kata Laras.
"Di sana lo belajar ya, jangan ikut kontes-kontesan lagi. Dan jangan lupa salam buat Pangeran William...," sambung Ticka.
Oti tersenyum, kemudian, sambil mendorong kereta berisi koper-kopernya, ia dan mamanya melangkah masuk.untuk check in. Selanjutnya mereka akan menunggu keberangkatan di ruang duduk yang memang khusus untuk penumpang. Dari balik kaca yang memisahkan ruang keberangkatan, Oti masih sempat melambaikan tangan kepada teman-temannya. Mereka gak perlu nunggu lama dalam ruang tunggu duduk itu. Pengumuman boarding pesawat mereka segera terdengar.
"Kamu gak mau nelepon Raka untuk terakhir kalinya"" tanya Mama saat mereka bangkit dari duduk dan bersiap akan masuk pesawat.
"Gak, Ma. Kata Ai HP-nya gak aktif," jawab Oti.
Baru aja Oti menyelesaikan kalimatnya, sebuah suara yang amat dikenalnya memanggil dari arah belakang.
"Otiii!!!" Oti menoleh. Raka berdiri beberapa meter darinya. Napasnya ngos-ngosan. Oti memandang mamanya penuh harap. Mamanya mengangguk.
"Jangan lama-lama. Pesawat akan segera berangkat," kata Mama.
Oti segera berlari ke arah Raka.
"Kenapa lo bisa masuk ke sini"" tanya Oti setelah mereka berdua berhadapan.
"Itu gak penting....," jawab Raka di sela-sela napasnya yang terengah-engah. Raka tiba di Bandara beberapa saat setelah Oti masuk untuk check in. Dan atas bantuan Revi yang kebetulan kenal dengan salah satu petugas bandara, Raka bisa masuk ke ruang yang sebetulnya khusus bagi penumpang yang akan berangkat. Revi sendiri yang masuk bareng Raka hanya melihat kejadian itu dari jauh. Dia gak pengin mengganggu mereka.
"Jadi, ini saatnya kita berpisah"" tanya Raka.
"Kita gak akan berpisah. Kita pasti akan ketemu lagi. Dan ketika saat itu tiba, Oti harap kita dapat bertemu sebagai adik-kakak."
Raka menatap mata Oti. Tangannya merogoh sesuatu dari saku jaket.
"Ini...," Raka memberikan benda yang digenggamnya. Ternyata seuntai kalung kuning keemasan, yang matanya membentuk ukiran huruf "VR".
"Gue pesen kalung ini ke temen gue. Sebetulnya buat hadiah ulang tahun lo. Tapi kemudian keadaan berubah. Tadinya akan gambar hati di belakang huruf itu. Walau begitu gue tetap ingin memberikan kalung ini ke lo..." Raka mengatur napasnya sejenak sebelum melanjutkan, "Kalo ketemu nanti kalung ini udah gak tergantung lagi di leher lo, ata
u udah gak ada ama lo, berarti lo emang udah benar-benar ngelupain cinta kita. Saat itu, barulah gue bisa tenang."
Oti menerima kalung pemberian Raka, dan memasangnya di leher, menggantikan kalung yang dipakainya. Kalungnya sendir diserahin ke Raka. "Sama. Gue harap lo mau nerima kalung gue. Kalo gue liat lo gak pake, berarti lo udah ngelupain cinta lo ke gue," balas Oti. Raka menerima kalung Oti. Gak seperti kalung lainnya, kalung Oti ini bermatakan proyektil peluru yang pernah menembus perutnya. Katanya sebagai kenang-kenangan dia pernah tertembak.
"Boleh gue nyium lo"" pinta Raka.
Oti membelalakkan matanya, seolah-olah mengingatkan Raka akan janjinya. "Hanya ciuman kakak pada adiknya yang akan pergi jauh," lanjut Raka. Oti terdiam sejenak, kemudian mengangguk. Raka membungkuk sedikit, mencium kening Oti dengan lembut. Oti pun memejamkan mata, seakan menikmati ciuman tersebut.
Ulangan panggilan untuk boarding bagi para penumpang yang akan ke London menyadarkan mereka. Oti menoleh ke arah mamanya, yang memberi tanda untuk segera masuk pesawat. "Gue pergi dulu. Jaga diri lo, jaga Ai." "Lo juga. Jaga diri lo di sana."
Oti melangkah mundur meninggalkan Raka sambil melambaikan tangan, kemudian berbalik, dan berjalan ke arah mamanya.
"Ma...," kata Oti sambil memandang mamanya. Dia takut mamanya akan menceritakan kejadian saat Raka mencium dirinya pada ayahnya.
"Mama mengerti. Jangan takut, Mama gak akan cerita pada Papa," kata Mamanya, seolah mengerti kekhawatiran Oti.
Kampus Jurusan Geologi Unuversitas Padjajaran, Jatinangor.
Jarum jam menunjukkan pukul satu siang. Kampus kelihatan sepi. Tentu aja sekarang masa liburan. Kalaupun ad beberapa orang di sekitar kampus, itu gak lain para calon.mahasiswa yang sedang sibuk melakukan pendaftaran ulang. Itu bisa dilihat dari dandanan mereka yang rata-rata rapi dan bawa map.
Sebetulny tadi pagi kampus Geologi sempat ramai penuh calon mahasiswa yang.lolos SPMB yang baru diumumin minggu lalu. Menjelang siang, jumlah calon.mahasiswa itu semakin berkurang, walau pendaftaran buka sampe jam tiga sore. Dan menjelang siang, jumlahnya semakin didominasi panitia MABIM yang merupakan panitia pendaftaran yang merupakan mahasiswa tingkat dua dan tiga. Entah sial entah beruntung, anak-anak yang berhasil tembus masuk kuliah di jurusan Geologi UNPAD ini, soalnya kalo di kampus lain mahasiswa baru hanya digojlok pas masa MABIM yang resmi, di kampus ini masa penggojloka dimulai begitu pendaftaran ulang!
Di salah satu sudut ruang kuliah, keliatan Raka sedang duduk bareng dua temannya. Mereka semua memakai jaet almamater, dengan syal hitam dan bertuliskan "TATIB" melingkar di lengan kanan masing-masing. Di hadapn mereka berdiri seorang calon mahasiswa baru, cewek. Calon mahasiswa baru ini hanya tertunduk diam mendengar apa yang dikatakan Raka dan yang lainnya.
"Jadi kamu udah tau apa kesalahan kamu" Saya gak mau kamu masuk lagi ke ruangan ini karena kesalahan yang sama. Ngerti"" kata Irma, salah satu teman Raka dengan suara agak membentak. Yang dibentak cuma diam dengan wajah masih tertunduk.
"Jawab! Kamu ngerti gak!"" Kali ini Irma agak meninggikan suaranya, membuat si anak baru agak kaget.
"Mengerti... Kak...," jawab calon mahasiswa agak gemetar.
Raka bangkit dari tempat duduknya dn menghampiri si calon mahasiswa.
"Ya sudah. Sekarang kamu boleh pulang. Sampe ketemu tanggal delapan belas. Kamu pulang naek apa"" tanya Raka sambil menepuk pundak cewek berambut sebahu itu.
"Sama temen, Kak. Sudah ditunggu di depan."
"Baik. Kamu boleh keluar."
Sepeninggal calon mahasiswa itu, kedua teman Raka menatap dirinya. "What"" tanya Raka heran.
"Kok tumben tadi lo baek banget, Ka" Biasanya lo justru yang paling galak di antara kita," tanya Irma.
"Baek apanya" Gue biasa-biasa aja kok. Mungkin karena udah siang dan gur udah agak laper, jadi gue udah gak mood buat ngebentak-bentak," jawab Raka membela diri.
"Ooo.. gitu, kirain karena lo ada feeling ama dia. Tapi dia lumayan manis juga kok. Pepet terus aja, Ka...," timpal Adi-yang biasanya dipanggil Adun
ama temen-temennya. "Pepet, emangnya bus"" sahut Raka, kemudian mereka semua tertawa.
Sebetulnya tadi ada sebab lain kenapa Raka bersikap baik. Wajah calon mahasiswa baru itu mirip sekali dengan wajah seseorang yang pernah dikenalnya. Orang yang udah lama gak diliatnya. Ya, wajahnya mirip sekali Oti. Sejak perpisahanny dengan Oti di bandara dua tahun lalu, Raka emang belum pernah lagi melihat cewek yang pernah mengisi relung hatinya.
Bahkan berkomunikasi juga gak. Mungkin karena Oti dilarang ayahnya berhubungan dengan Raka. Raka cuma tau kabar Oti dari Ai yang sering menelepon kakak tirinya itu.
Ya, dua tahun serasa berlalu dengan cepat. Raka sekarang udah jadi mahasiswa di Jurusan Geologi UNPAD. Sesuai janjinya pada Oti, Raka berusaha keras melupakab bayangan cewek itu. Kata Ai, Oti gak pernah nanyain kabar Raka kalo nelepon. Oti jyga gak pernah berusaha menghubungi dirinya. Raka pernah terpikir buat nelepon Oti, sekadar say hello. Tapi niat itu kemudian diurungkannya. Dia gak pengin menimbulkan masalah baru kalo ayahnya tau dia berusaha menghubungi Oti. Dan apa kata Oti pada Raka ntar" Bisa-bisa dia dianggap gak nepatin janji.
Kegiatan kuliah yang padat membuat Raka sedikit demi sedikit bisa melupakan Oti. Apalagi dia bertemu teman-teman baru, dan gak sedikit sebenarnya teman ceweknya yang naksir dia. Tapi sejauh ini Raka belum mau pacaran lagi. Gak tau kenapa. Yang jelas bukan karna melupakan Oti, tapi karena Raka lagi malas aja.
Tapi setelah melihat mahasiswa baru itu, Raka seakan melihat sosok Oti kembali hadir di hadapannya. Karena itu gak heran kalo dia seakan-akan jadi paung di depan Yusi, sementara kedua temannya sibuk "mengiterogasi" anak baru itu.
"Ka...kok bengong sih"" suara Irma membuyarkan lamunan Raka.
"Eh... gak kok."
"Hayoo... mikirin siapa" Masih mikirin Yusi"" goda Adun. "Gak. Gue cuman capek aja," kata Raka. "Mo makan" Kita mo makan nih... Laper," tawar Irma. "Lo mo nraktir"" tanya Raka.
"Boleh aja, tapi ntar lo anterin gue pulang. Gimana"" kata Irma.
"Gak masalah," sambut Raka.
"Gue gak, Ma"" protes Adun.
"Gak ada jatah buat lo...," balas Irma.
"Yeeee.... " Raka hanya tersenyum sambil memandang Irma yang juga membalas memandangnya. Irma, selalu ceria dan berwajah manis. Udah lama terdengar gosip diem-diem Irma naksir Raka. Bahkan dia bela-belain jadi TATIB di kepanitiaan MABIM biar bisa dekat dengan Raka. Raka sih gak terlalu menanggapi gosip itu. Yang jelas dia emang suka berteman dengan Irma, suka ngobrol dengannya. Selain cantik, Irma memang juga enak diajak ngobrol, dan selalu ceria. Irma juga agak-agak tomboi, sama seperti Oti. Dan gak cuman Irma, tapi hampir seluruh cewek yang kuliah di jurusan geologi rata-rata emang punya bakat tomboi. Mungkin suasana perkuliahan yang sering ngadain kegiatan kuliah lapangan di alam terbuka seperti gunung atau di pinggiran sungai di daerah-daerah pedesaan, membuat cewek-ceweknya berpenampilan kayak pecinta alam aja. Tapi hubungan Raka dan Irma hanya sebatas teman, gak lebih. "Kok bengong lagi" Mau gak"" tanya Irma.
Raka mengangguk pelan, kemudian mereka bertiga melangkah ke luar ruangan, berjalan ke arah kantin terdekat yang berjarak sekitar seratus meter dari gedung kuliah.
*** "Raka!!" Suara yang memanggil Raka seperti pernah dikenalnya. Suara yang gak pernah didengarnya selama dua tahun terakhir. Raka menoleh, dan...
"Oti"" Raka seperti gak percaya dengan pandangannya sendiri. Tapi bener, yang berdiri beberapa meter di hadapannya adalah Oti. Ya, bener-bener Oti!
Raka masih bisa mengenalin Oti, walau penampilan cewek yang berdiri di hadapannya beda dengan Oti yang terakhir kali dilihat Raka di bandara. Rambut Oti sekarang panjang sebahu, dan tergerai bebas. Dan yang bikin beda adalah kacamata tipis yang sekarang dipake Oti. "Haiii..." Oti melambaikan tangan dan menghampiri Raka.
"Kok bengong" Kaget ya ketemu gue"" tanya Oti pada Raka yang masih melongo di tempatnya. Suara Oti keliatan biasa-biasa aja, seolah gak ada beban sama sekali. "Eh.. Gak." Raka baru tersadar. "Lo berdua duluan deh.
Ntar gue nyusul..," lanjutnya kemudian pada Irma dan Adun.
"Tapi jangan lama-lama ya" Yuk, Dun!" kata Irma lalu menarik tangan Adun menjauhi Raka.
"Cewek kamu"" tanya Oti setelah mereka tinggal berdua.
"Temen kuliah," jawab Raka.
"Emang mo kemana"" tanya Oti.
"Mo ke kantin. Makan. Lo udah makan"" tanya Raka.
"Udah tadi." Raka kembali memandang Oti. Sampai saat ini dia belum percaya yang berdiri di hadapannya ini bener-bener Oti. Dan kacamata itu... Raka sebetulnya gak kaget melihat Oti pake kacamata. Ai pernah cerita padanya.
"Kok bengong lagi" Lo gak seneng ketemu ma gue"" tanya Oti lagi dengan nada menggoda. "Kenapa lo bisa ada disini"" tanya Raka akhirnya.
"Nah gitu dong. Gue kira lo gak pernah nanya kenapa gue ada di sini," kata Oti. Tanpa sepengetahuan mereka, Irma dan Adun rupanya masih mengamati dari jauh. "Siapa sih"" tanya Irma.
Adun cuman mengangkat bahu. "Mana gue tau. Mungkin adiknya, temennya, atau bisa aja
ceweknya Raka. Kenapa" Cemburu""
"Yeee.... Kenapa gue harus cemburu"" tanya Irma.
*** "Gue gak bisa lama di sini karena udah ditunggu Laras," kata Oti.
"Laras"" "Ya. Lo gak tau dia maksud UNPAD juga" Di Fikom" Gue tadi ngantarin dia daftar ulang, terus mampir aja ke sini, siapa tau ketemu lo. Soalnya Ai bilang dari pagi lo udah ngejogrok di sini," kata Oti. "Lo tadi ke rumah"" tanya Raka."
"Iya lah! Gue sebetulnya pengin ngobrol banyak ama lo. Karena itu ntar malem lo jemput gue di tempat neneknya Laras, ya" Lo masih inget rumahnya, kan"" tanya Oti. Raka mengangguk.
"Jangan lupa pake pakaian yang rapi! Jangan pake kaos oblong ama jins! Minimal lo harus make kemeja," kata Oti.
"Emang kita mo ke mana"" tanya Raka.
Oti mengedipkan mata. "Ntar lo juga tau. Gue tunggu loh! Inget! Jam tujuh pas, jangan telat!" Setelah ngomong gitu Oti meninggalkan Raka, setengah berlari menuju mobil yang terparkir gak jauh dari situ.
Sepeninggal Oti, Raka masih tetap terpaku di tempat. Dia emang kaget ngeliat kemunculan Oti yang tiba-tiba. Tapi terkejut lagi ngeliat sikap Oti. Sikap Oti tadi sama sekali gak nunjukkin sikap orang yang pernah mencintainya. Sama sekali gak nunjukkin sikap kekasih yang terpaksa pisah selama dua tahun. Sikap Oti keliatan santai, seperti saat pertama kali datang dan ketemu Raka dua tahun lalu.
***
Victory Karya Luna Torashyngu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Jam tujuh kurang, Raka memarkir motornya di halaman rumah nenek Laras. Ketika berada di depan pintu rumah, dia sempat diam sejenak, kemudian menekan bel yang berada di dekat pintu. Beberapa saat menunggu, pintu terbuka. Seorang cewek yang berambut panjang yang membuka pintu. Bukan Oti! Cewek itu tersenyum pada Raka.
"Hai, Kak Raka. On Time nih" Masuk yuk!"
Raka masuk ke rumah. Dia seperti mengenal cewek yang membuka pintu tadi. Siapa ya" "Laras"" tanya Raka memastikan.
Yang ditanya hanya tersenyum lebar dan mengangguk. "Sebentar, Kak! Oti baru aja selesai mandi. Duduk aja dulu," katanya mempersilahkan, kemudian dia masuk, ke arah ruang tidur.
Raka duduk di sofa yang berada di ruang tamu.
Nggak berapa lama kemudian Laras muncul kembali ke ruang tamu. "Tunggu sebentar ya, Kak! Oti sedang dandan, khusus buat Kakak," godanya.
Dandan" Sejak kapan Oti bisa dandan" Raka hanya tersenyum mendengar godaan Laras. "Kak Raka juga udah rapi nih. Pas dong kalo gitu..." "Emang kamu tau Oti mo pergi ke mana"" tanya Raka. Laras cuman mengangkat bahu.
Raka kemudian mengobrol dengan Laras, menunggu Oti selesai berdandan. Obrolan terutama berkisar soal keadaan masing-masing selama dua tahun terakhir ini. Sempat juga menyinggung Ticka yang sekarang kuliah di Semarang, dan Revi yang lebih memilih jadi model selepas lukus SMA.
Suara Oti memanggil Laras memutuskan pembicaraan mereka. Laras pun kembali masuk ke ruang tidur. Gak lama kemudian...
"Sambutlah Cinderelka yang akan menemui sang pangeran...," kata Laras bagaikan MC, ucapannya itu langsung disambut jitakan kecil dari belakang.
Raka memalingkan pandangannya ke arah Laras. Laras bergeser sedikit ke kiri, dan di belakangnya tampak Oti yang mengenakan gaun hitam, dengan rambut ter
gelung ke belakang. Kacamata tipis yang dipakainya menambah kecantikannya. Melihat dandanan Oti kayak gitu, Raka jadi ingat saat Oti menang di Pemilihan Putri SMA dua tahun lalu. Aura kecantikan yang pernah muncul dua tahun lalu terpancar kembali dari wajah Oti. Hanya aja saat ini wajah Oti terlihat lebih bercahaya dan dewasa. "Kok bengong, Kak" Oti jadi lebih cantik, ya"" goda Laras lagi.
Oti segera mendorong Laras, sehingga hampir aja cewek itu terjatuh jika gak cepat-ceoat menyeimbangkan dirinya.
"Sori, Ka! Ini ide Laras. Gaun ini juga pinjeman dari dia. Kalo lo gak suka, gue ganti aja ya"" kata Oti yang terlihat kikuk dan sedikit salah tingkah.
Nggak suka" Cuman orang gila atau yang gak normal yang gak suka melihat Oti kayak ini! batin Raka.
"Kok diganti" Kan Laras udah capek ngeriasin kamu..." protes Laras. Wajahnya sengaja dibuat kecewa. Oti memandang Raka, meminta pendapat.
"Gak papa kok. Tadi gue sedikit kaget aja. Abis ini pertama kalinya gue liat lo make gaun setelah terakhir di Pemilihan Putri SMA dulu," kata Raka. Ucapan Raka itu membuat Oti sedikit lega.
"Kalo gitu gue ganti, ya" Pake yang biasa aja," kata Oti.
"Jangan!" Raka melihat jam tangannya. "Ntar keburu malem," lanjutnya. Oti terpaksa mengurungkan niatnya.
"Kalo gitu berangkat yuk!" ajak Oti. "Kita pake mobil Laras aja, ya" Masa pake baju gini naek motor" SIM A lo masih ada, kan"
**** Oti ternyata ngajak Raka makan malam di sebuah rumah makan di daerah Lembang. Kata Oti, Laras yang merekomendasikan tempat ini, karena selain makanannya enak, tempatnya juga cukup tenang untuk mengobrol, dengan diiringi alunan musik yang lembut. Sungguh romantis. Raka sam sekali gak habis pikir kenapa tau-tau Oti pengin makan di tempat kayak gini. Ini bukan tempat favorit Oti yang sebelumnya lebih suka makan di pinggir jalan atau warung-warung sederhana.
Pertamanya mereka cerita banyak hal. Sebetulnya Oti yang banyak cerita sih. Dia cerita soal dirinya selama dua tahun ini, soal sekolahnya di London. Oti bahkan cerita soal tulisannya yang sebentar lagi akan diterbitin.
"Tadinya gue iseng aja, daripada bete gak ada kerjaan. Tapi pas gue kasih liat ke Laras, eh, tuh anak malah ngirimin ke penerbit. Untung lolos buat diterbitin. Kalo gak kan gue bisa malu," cerita Oti dengan semangat '45. "Emang lo bikin cerita tentang apa"" tanya Raka.
"Ada deh... Ntar lo juga tau. Pokoknya kalo buku gue terbit, lo harus beli. Awas kalo gak!" kata Oti tegas.
Raka hanya tersenyum mendengar "ancaman" Oti. Untuk beberapa saat lamanya Oti diam. Juga Raka.
"Sekarang lo jawab pertanyaan gue, kenapa lo bisa ada di sini" Apa Ayah ama Tante Heni tau lo pergi ke Bandung"" tanya Raka kemudian.
Oti terdiam sejenak mendengar pertanyaan Raka. Kemudian dia menjawab, "Boleh dibilang ini kebetulan." "Maksud lo"" tanya Raka.
"Lima hari yang lalu Mama dapat telepon bahwa Nenek sakit keras. Mama berkeras pergi menengok Nenek. Tadinya Mama mo pergi bareng Dio, tapi Dio gak mau, jadi Mama minta gue temenin."
"Dan Ayah setuju"" tanya Raka.
"Tadinya Papa keberatan. Papa takut gue bakal ketemu lo. Tapi Papa gak tega juga ngebiarin Mama pergi sendiri, sedang Papa juga gak bisa ninggalin pekerjaannya. Akhirnya Papa ngizinin gue nemenin Mama. Kebetulan juga gue lagi gak ada kerjaan. High School gue lagi libur. Tapi Papa wanti-wanti supaya gue jangan ke Bandung atau ketemu lo," kata Oti. "Dan lo ngelanggar larangan Ayah. Jadi lo kabur dari Tante Heni"" tanya Raka. "Kok lo nuduh gitu"" tanya Oti.
"Soalnya... " "Mama gak kayak Papa. Mama masih bisa diajak ngomong. Walau tadinya keberatan, tapi Mama akhirnya ngizinin gue ke Bandung. Itu juga setelah keadaan Nenek membaik. Gue bilang aja kangen teman-teman lama. Kangen ama Laras, Ticka, dan Ai." "Nekat lo. Gimana kalo Papa tau"" tanya Raka.
"Kata Mama, Papa jangan sampe tau. Karena itu gue gak boleh lama-lama di Bandung. Besok gue harus udah balik ke Jakarta. Rencananya lusa gue ama Mama balik ke London."
"Besok"" "Iya. Kenapa"" tanya Oti. "Gak. Gak papa," kata Raka.
Suasana jadi hening. Raka masi
h bertanya-tanya, kenapa Oti sampe nyuri-nyuri waktu untuk ketemu dengannya. Apa sebenarnya yang ada di benak cewek itu"
"Lo udah punya pacar lagi, Ka"" tanya Oti memecah keheningan.
Mendengar pertanyaan itu, Raka gak langsung menjawab. Dia malah menatap Oti.
"Jangan salah sangka. Gue cuman nanya. Kalo lo gak mau jawab, juga gak papa," lanjut Oti setelah melihat tatapan Raka.
Raka sedikit menunduk. Dia jadi ingat Irma yang punya sifay hampir sama dengan Oti. Agak tomboi dan cuek. Tapi tetap aja Irma bukanlah Oti. "Gak. Belum," jawab Raka akhirnya.
"Gimana dengan Ajeng" Lo gak berhubungan lagi dengan dia"" tanya Oti. "Setelah lo pergi, kami mencoba berhubungan lagi. Tapi dasar gak jodoh, hubungan kami cuma bertahan beberapa bulan. Ajeng masih nganggap dirinya sebagai pelarian cinta gue ke lo. Akhirnya kami sering ribut, dan putus. Sekarang katanya Ajeng udah punya cowok lagi. Temen.kuliahnya," kata Raka.
"Sayang banget. Padahal kan Ajeng cantik. Gue rasa kalian bisa jadi pasangan serasi," kata Oti menyesali.
"Kalo udah takdir, mau diapain lagi. Gimana dengan lo" Katanya mo ngegaet pangeran William"" goda Raka.
"Yah, dia sih naksir gue, tapi guenya gak betah hidup di istana. Banyak aturannya," jawab Oti sambil cengengesan.
"Terus" Kenapa gak cari lagi"" tanya Raka.
"Males. Gue gak suka orang bule. Gue masih suka produk lokal," jawab Oti. "Kan banyak orang Indo yang sekolah di sana""
"Iya sih. Tapi kebayakan orang Indo yang kuliah di sana cuma karen ortunya tajir. Jadi sekolahnya gak serius. Kebanyakan hura-huranya. Gue gak seneng cowok kayak gitu. Emang ada sih beberapa orang indo yang bener-bener niat sekolah, atau yang dapet beasiswa karena otak mereka. Tapi terus terang, gue belum nemuin tipe yang gue suka," cerita Oti. "Emang tipe cowok yang kayak gimana yang lo suka"" tanya Raka. "Yang kayak lo!" ucapan Oti membuat Raka sesikit terperanjat. Dia hampir tesedak steak yang sedang dikunyahnya.
"He...he...he... bercanda kok.! Lagian tipe kayak lo kan langka banget. Di dunia ini mungkin hanya satu banding seribu, atau bahkan satu dibanding sejuta," kata Oti. Sialan! Emang gue makhluk langka!" batin Raka.
"Tapi terus terang kalo ada yang sifatnya kayak lo, gak akan gue lepasin tuh cowok. Lo tau kenapa dulu gue bisa suka ama lo"" tanya Oti. "Karena gue tampan, baik, dan pengertian...," jawab Raka sekenanya. "Yeee.. ge-er. Kecuali tampan, semua yang lo sebutin ada benernya. Tapi ada satu hal yang gue suka dari lo, yang membuat lo beda dari cowok-cowok lain yang gue kenal selama ini... " Oti berhenti sejenak. Tampaknya ia ingin melihat reaksi Raka. Wajah Raka terlihat sedikit memerah. Sambil tersenyum Oti melanjutkan ucapannya, "...lo sangat mandiri. Walau lo tau Papa bisa membiayai sekolah lo sampai selesai dan segala kehidupan lo di atas rata-rata, tapi lo gak ngandelin biaya dari Papa. Lo lebih seneng mencari biaya sendiri untuk kebutuhan lo. Bahkan setelah lulus, lo nolak pas Papa tawarin lo kuliah di luar negeri. Lo lebih milih kuliah di sini dengan usaha lo sendiri. Gue tau, mungkin ini karena hubungan lo dengan Papa di masa lalu. Tapi biar bagaimana pun, gue kagum ama lo."
Wajah Raka terlihat tambah memerah. Wajahnya niscaya akan bertambah merah kalau saja dia tau Oti udah mengaguminya sejak lama. Sejak SMP, saat dia mendengar pembicaraan papa-mamanya yang membahas putra sulung papanya yang menolak pindah bersama mereka, saat ibu mereka meninggal, dan memilih tinggal berdua dengan adiknya. Sikap kakak tiri yang belum pernah diliatnya itu menimbulkan kekaguman pada diri Oti, dan sedikit demi sedikit mengikis sifat hura-hura dalam diri cewek itu. Oti bahkan memutuskan sendiri untuk ngelanjutin sekolahnya di Bandung dan tinggal serumah dengan saudara-saudara tirinya, walaupun semula papanya keberatan. Kekaguman itu berubah menjadi rasa cinta, setelah dekat dengan Raka dan mengalami berbagai perjalanan hidup berdua. Sayangnya, perjalanan cinta mereka harus kandas setelah diketahui ternyata Raka dan Oti merupakan saudara seayah.
"Lo sendiri kenapa gak cari pengganti Ajeng" Masa gak
ada cewek yang naksir lo"" tanya Oti.
"Gue... gue belum bisa ngelupain lo," jawab Raka. Gak tau, keberanian apa yang membuat Raka mengatakan hal itu. Dia sendiri udah gak berharap hubungannya dengan Oti terjalin kembali. Lagi pula mungkib aja Oti udah dapat melupakan hubungan mereka. Terbukti sekarang Oti gak lagi make kalung yang diberikan Raka di bandara dulu. Mendengar jawaban Raka, Oti hanya menghela napas.
"Kalung yang gue kasih dulu, masih lo pake"" tanya Oti. Sebagai jawaban, Raka mengeluarkan kalung yang tersembunyi di balik bajunya. Kalung bermata proyektil peluru. "Kenapa"" tanya Oti singkat.
"Gue udah berusaha ngelupain lo. Ngelupain cinta kita. Tapi gak bisa. Mungkin karena gue bener-bener mencintai lo," kata Raka.
"Tapi lo tau itu gak bener! Biar bagaimana pun kita gak akan bisa pacaran. Lo tau itu. Lagipula gue gak nyuruh lo ngelupain gue secara pribadi. Gue hanya minta li ngelupain cinta yang pernah kita bina. Hubungan kita gak akan bisa terputus sama sekali, karena kita kakak-beradik."
"Justru itu yang membuat gue susah ngelupain cinta kita. Karena gue masih berhubungan dengan lo," kata Raka.
"Mungkin jika gue menghilang dari hadapan lo untuk selamanya, lama-lama lo akan ngelupain gue," kata Oti.
"Jangan bicara yang gak gak," sergah Raka.
Suasana kemudian hening. Hanya terdengar alunan musik berirama slow di seluruh penjuru kafe.
"Jadi, lo udah bisa ngelupain cinta kita. Karena itu lo gak pake lagi kalung yang gue kasih di bandara. Lo gak lagi nyimpen kalung itu"" tanya Raka.
"Seperti pernah gue bilang, gue akan nemuin lo kalo gue udah bisa ngelupain cinta kita. Sekarang gue ada di sini. Di depan lo. Lo udah tau kan apa artinya"" tanya Oti.
"Oti, lo... " "Raka, gue gak mau ngebahas itu lagi. Tujuan gue ke Bandung cuman buat ketemu lo, Ai, dan temen-temen gue. Gue pengin liat keadaan lo, sebagai kakak gue. Gak lebih. Lo bisa ngerti kan"" suara Oti bergetar saat mengucapkan kalimat terakhir.
Raka memandang Oti, kemudian mengangguk pelan.
"Sori. Gue ke toilet sebentar," kata Oti, kemudian bangkit dari kursinya.
Sepeninggal Oti, Raka mengempaskan diri pada kursi. Dia menyesali kebodohan dirinya yang gak bisa menahan perasaan. Sekarang Raka gak tau bagaimana pandangan Oti terhadap dirinya.
Cukup lama Oti berada di toilet, sebelum kembali di.kursinya. Raka sempat melihat wajah Oti. Wajah dengan tanda-tanda kayak habis nangis, walau agak tertutup kacamata. "Lo gak papa kan, Ot"" tanya Raka.
"Mungkin ini terakhir kalinya gue bisa ketemu ama lo," kata Oti.
"Terakhir kali" Kenapa" Apa karena ucapan gue tadi"" tanya Raka panik.
"Gue rasa, sebaiknya gue jangan ketemu lo lagi sampai lo bener-bener udah ngehapus cinta lo ke gue. Gak tau sampe kapan. Mungkin sampe gue atau lo udah nikah ama orang lain, atau mungkin juga untuk selamanya. Itu semua tergantung lo," kata Oti.
"Tapi gue cuman ngomong sejujurnya. Gue..."
"... gue bisa ngerti. Justru itu salah satu yang gue suka dari lo. Lo selalu bicara terhs terang dan apa adanya. Tapi sori, lo juga tau sifat gue. Gue gak akan mentingin diri gue sendiri," kata Oti.
"Walau harus ngorbanin kebahagiaan lo"" tanya Raka. Oti memandang tajam pada Raka.
"Kata siapa" Gue gak ngerasa berkorban. Gue udah gak ada perasaan apa-apa ke lo. Gue ketemu cuman mo mastiin lo juga udah gak punya perasaan apa-apa gue. Dan gue kecewa karena lo belum berubah," kata Oti.
"Maafin gue. Gue gak bermaksud membuat lo kecewa. Lo pasti membenci gue. Iya kan"" tanya Raka.
"Gue gak bisa membenci lo. Gue hanya melakukan apa yang gue rasa harus gue lakukan. Ini semua untuk kebaikan gue, lo, dan keluarga kita," kata Oti.
*** Setelah itu suasana mendadak berubah jadi kaku. Oti dan Raka gak banyak ngomong. Mereka pun keluar dari kafe dengan menyimpan perasan masing-masing.
Tanpa diketahui Raka dan Oti, ada yang memerhatikan mereka dari sebuah mobil kijang yang diparkir di sudut lain tempat parkir.
"Itu orangnya...," ujar seseorang yang berada di balik kemudi. "Lo yakin"" tanya temannya yang duduk di sampingnya.
"Gue gak ba kal lupa ama cewek sialan itu. Cewek yang udah bikin gue ngedekem di penjara selama setahun lebih. Dan saatnya sekarang dia membayar apa yang udah pernah dia lakukan pada diri gue!"
Cowok yang memegang kemudi itu menghidupkan mesin mobilnya, lalu menekan pedal gas dalam-dalam. Dengan kecepatan tinggi, mobil kijang biru tua itu pun melesat dari tempat parkir, menuju ke arah Oti dan Raka yang sedang berjalan ke mobil mereka. Suara mobil yang kian mendekat mengalihkan perhatian Oti dan Raka.
"Raka! Awas..!!"
Refleks Oti yang terlatih mendorong tubuh Raka untuk menghindari mobil yang melaju ke arah mereka. Raka terjerembab ke sisi lain. Dia selamat dari mobil yang akan menabraknya, Oti gak. Walau setelah mendorong Raka Oti masih mencoba menghindar, tapi udah terlambat. Tubuhnya terkena bagian samping mobil. Kontan Oti terlempar beberapa meter, dan bagian belakang tubuhnya menghantam mobil lain yang sedang diparkir. Benturan yang terjadi sangat keras, hingga akibatnya alarm mobil yang dipasang pada mobil yang dihantam tubuh Oti sampai berbunyi.
"Cepat kabur!" Mobil kijang yang menabrak Oti segera tancap gas, mencoba kabur. Beberapa orang dan petugas keamanan yang melihat kejadian itu mencoba menghalangi, tapi gak berdaya menghadapi mobil yang dipacu dengan kecepatan tinngi.
"Oti!!" Raka menghampiri tubuh Oti yang tergeletak di tanah. Darah mengalir dari mulut, dan beberapa bagian tubuh cewek itu. Oti diam gak bergerak. "Otiiii!!!!" jerit Raka sambil memeluk tubuh Oti.
**** Hingga jam dua dini hari, Raka masih ada di Rumah Sakit Hasan Sadikin, tempat Oti dirawat.
Saat ini Oti sedang menjalani operasi darurat untuk menyelamatkan jiwanya. Beberapa tulang cewek itu diketahui patah, disertai pendalaman hebat dalam tubuhnya. Operasi telah berlangsung lebih dari dua jam dan belum ada tanda-tanda akan selesai.
Raka ingat ucapan Oti saat makan malam.
Mungkin ini terakhir kalinya gue bisa ketemu ama lo.
Apakah ini pertanda" tanya Raka dalam hati. Dia gak pengin sesuatu yang terburuk menimpa Oti.
Tuhan! Jangan ambil nyawa gadis yang sangat ku cintai! batin Raka. Jika ini hukuman atas perbuatan kami, aku memohon ampun pada-Mu! Tolonglah dia, Tuhan!
Raka melihat bangku yang ada di koridor rumah sakit. Di situ ada Ai yang tertidur dalam pelukan Laras. Mata Ai sembap, sehabis menangis. Ai, seperti juga Laras ingin tetap menunggu operasi Oti selesai walau Raka udah nyaranin adiknya pulang aja. Besok Ai harus sekolah.
"Gak mau! Ai gak bakal bisa tenang kalo gak tau kondisi Kak Oti!" alasan Ai.
*** Satu hal yang Raka baru tau, Oti ternyata bohong. Dia gak pergi ke Jakarta ama mamanya. Raka baru tau setelah mengabari apa yang menimpa Oti pada ayahnya di London. Ternyata Tante Heni ada di London, dan gak pergi ke mana-mana.
Mendengar kabar itu, tentu aja ayahnya marah besar. Raka sendiri bisa membayangkan diriny akan jadi sasaran amarah ayahnya ketika tiba di sini. Begitu mendengar kabar tentang Oti, ayanya dan Tante Heni langsung terbang ke Jakarta.
"Oti emang boong ma Kak Raka. Dia pergi ke Bandung sendirian, tanpa sepengetahuan mama-papanya,"kata Laras yang matanya juga sembap sehabis menangis.
"Tapi kenapa Oti ngelakuin hal itu"" tanya Raka.
"Kalo Kakak pengin tau, Kakak bisa liat tas tangan Oti," kata Laras.
Tas tangan Oti" Penasaran dengan ucapan Laras, Raka mengambil tas tangan Oti yang disimpan di mobil lalau membukanya. Gak ada yang istimewa. Cuman ada dompet, make-up sederhana kayan bedak dan lipstik, tisu, serta beberapa lipatan kertas. Sama seperti layaknya tas wanita-wanita lain. Raka lalu membuka dompet Oti. Ada kartu pengenal, beberapa lembar uang dalam mata uang rupiah, poundsterling, dan euro, juga dua kartu kredit. Raka meraba sesuatu dalam dompet Oti. Sesuatu yang tersembunyi pada salah satu saku dompet. Dia segera merogoh benda tersebut. Dan betapa terperanjatnya Raka melihat apa yang didapatnya. Di tangannya kini tergenggam seuntai kalung keemasan, dengan huruf "VR" di matanya. Itu kalung yang dia berikan pada Oti di bandara dulu. Berarti Oti bohong saat
bilang dia hak nyimpen kalung itu lagi. Kenapa Oti melakukan itu" Apa maksudnya" Apa Oti udah benar-benar melupakan cintanya"
Raka memerhatikan foto Oti pada salah satu kartu pengenalnya. Saat diperhatikan baik-baik, barulah terlihat, Oti memmngenakan kalung pemberiannya. Walaupun gak pada semua foto pada beberapa kartu pengenal yang ada dalam tas Oti terlihat cewek itu mengenakan kalung atau gak, tapi pada foto yang terlihat, semua mengenakan kalung yang sama, bukan kalung yang dipakainya saat ini. Bahkan di foto kartu anggota perputakaan di London yang dibuat hanya dua minggu sebelum Oti datang ke Jakarta, rantai kalung tersebut terlihat sekali.
*** "Oti, sebenarnya masih mencintai Kakak," kata Laras setelah Raka kembali ke ruang tunggu di depan ruang operasi. Walaupun Raka udah dapat menduga, tapi ucapan Laras tak urung membuat hatinya terkejut.
"Tapi, dia bilang dia udah menganggap Kakak sebagai kakak tirinya," kata Raka. "Oti bohong. Kak Raka tahu, alasan sebenarnya dia datang kemari, cuman pengin ketemu Kakak. Selama dua tahun dia gak bisa ngelupain Kakak. Dia rindu, dan pengin ketemu Kakak. Tapi dia gak mungkin pergi tanpa sepengetahuan ayah dan ibunya, yang selalu mengawasinya dengan ketat. Dengan uang saku yang dikumpulkannya diam-diam, Oti lalu nekat pergi ke Indonesia. Pada mama-papanya Oti bilang akan nginep di rumah temannya di Liverpool. Sebetulnya Oti udah berusaha keras buat ngelupain Kakak. Dengan belajar keras dan konsentrasi pada studinya, dia berharap dapat melupakan cintanya. Kakak tau kalo Oti jadi salah satu murid terbaik di SMA-nya di sana" Dia bahkan dapet tawaran beasiswa jurusan Sastra di Oxford. Tapi semua itu gak bisa menghapus kerinduannya pada Kak Raka. Gak bisa menghapus cintanya." "Jadi, itulah kenapa dia nyimpen kalung..."
"Kalung pemberian Kak Raka" Kalung itu baru dilepas saat mo ketemu Kakak. Dia gak ingin Kakak tahu dia masih mencintai Kakak. Dia ingin tahu apakah Kakak juga masih mencintainya, karena menurutnya waktu dua tahun dapat mengubah segalanya," Laras menerangkan.
"Kenapa Oti gak teris terang" Kakak juga masih mencintai dia...," sesal Raka. "Itulah Oti. Dia gak ingin menambah masalah, terutama antara Kakak dengan papanya. Oti gak ingin mengecewakan papa dan mamanya, walaupun untuk itu dia harus mengubur perasaan cinta yang dimilikinya. Cinta sejatinya. Oti rela berkorban apa pun, untuk keutuhan dan kebahagiaan keluarganya."
Oti" Kenapa lo bisa berkorban sebesar itu" Diam-diam Raka malu pada Oti yang bisa mengorbankan segalanya untuk kebahagiaan orangtuanya. Sedang dia terus memaksakan cintanya pada Oti, tanpa memikirkan perasaan ayahnya juga Tante Heni. Raka sebetulnya gak pernah berusaha melupakan cintanya pada Oti. Selama dua tahun dia berharap Oti kembali padanya suatu saat. Sesuatu yang sangat mustahil, selama mereka masih punya hubungan darah.
"Kenapa kamu tau semuanya"" tanya Raka sambil memandang Laras.
"Oti selalu cerita semuanya pada Laras. Sewaktu Oti di London, kami sering saling mengirim e-mail. Oti sering curhat pada Laras, terutama kalo lagi inget ama Kak Raka," jawab Laras. Raka tau, di antara semua temannya, Oti emang paling dekat dengan Laras. Selain itu Laras juga dianggap bisa menyimpan rahasia. Mungkin karena sifat Laras yang pendiam. "Ide ngajak Kak Raka makan malam dan memakai gaun juga dari Oti. Setelah ketemu Kak Raka di kampus, Oti ngajak Laras beli gaun untuk makan malam nanti. Dia juga nyuruh Laras mengatakan gaun itu milik Laras yang dipinjamkan pada Oti. Mungkin bagi Kak Raka, apa yang dilakukan Oti sangat aneh, dan gak seperti sifat Oti yang sebenarnya. Tapi kali ini, Oti ingin tampil senmbagai wanita yang sempurna dihadapan Kakak, tanpa mau mengakui perasaannya. Oti sadar, bisa jadi malam ini adalah perjumpaannya yang terakhir dengan Kak Raka. Kalo sampe papanya tau, kemungkinan dia gak bakal lagi bisa ketemu Kak Raka untuk waktu lama.
Raka berpikir, perkataan Laras ada benarnya. Kalo dipikir-pikir, tubuh Laras lebih pendek dan kecil dari Oti. Kenapa gaunnya bisa oas dipakai Oti" Waktu itu Raka emang gak sampai be
rpikir ke sana. "Lalu, kenapa kamu ceritain ini ke Kakak" Bukankah Oti nyuruh kamu merahasiakannya"" tanya Raka.
"Laras sebetulnya gak tega melihat Oti begitu menderita memendam perasaannya. Laras juga gak tau apakah setelah ini Oti akan marah pada Laras, atau malah membenci Laras. Yang penting laras udah mengatakan apa yang sebenarnya terpendam di hati Oti. Laras tahu hubungan Kakak dan Oti gak dibenarkan menurut agama. Hanya aja Laras berpikir, jika hubungan Kakak dan Oti gak dibenarkan agama, kenapa Tuhan membuat Kakak dan Oti saling jatuh cinta"" tanya Laras.
Ucapan Laras benar. Jika Raka dan Oti saudara sedarah, mengapa Tuhan membuat mereka saling jatuh cinta" Mengapa Tuhan gak membuat dia jatuh cinta pada Ai" Padahal secara fisik Ai lebih cantik dari Oti. Ai juga bertahun-tahun tinggal bersama Raka, dibandingkan Oti yang hanya beberapa bulan. Juga mengapa Tuhan gak membuat Raka dapat mencintai Ajeng yang bukan aja secara fisik jauh di atas Oti, tapi juga baik dan penuh perhatian" Berbagai pertanyaan itu semakin memenuhi benak Raka.
*** Oti masih dalam ruang operasi. Raka sudah gak betah menunggunya. Ia gak sabar ingin tau keadaan Oti. Barusan ia juga mendapat kabar dari polisi kalo orang yang menabrak Oti udah tertangkap. Orang itu ternyata Riki, salah seorang anggota gerombolan preman yang pernah berkelahi dengan Oti di Fame dulu.
Tiba-tiba, bak menjawab kegelisahan Raka, pintu ruang operasi terbuka. Dokter Satrio yang menangani Oti keluar. Raka, Ai, dan Laras langsung memburu mendekat. "Bagaimana, Dok"" tanya Raka gugup.
"Luka-luka Victory sudah ditangani. Hanya aja...," dr. Satrio menggantung kata-katanya. "Hanya apa, Dok"" tanya Raka penasaran.
"Kedua orangtua Anda telah diberitahu"" tanya dr. Satrio.
"Sudah. Mereka sedang menuju kemari. Paling cepat nanti malam baru sampai. Ada apa, Dok""
Dr. Satrio terdiam, seakan sedang berpikir sambil memandang Raka. "Sebaiknya kita tunggu kedua orangtua Anda, terutama Ayah Anda...," kata dokter senior itu. "Dok" Ada apa" Kenapa harus nunggu Ayah" Saya kan kakaknya...," Raka merasa ada sesuatu yang disembunyikan dr. Satrio.
Dr. Satrio menatapnya dengan ragu, tapi akhirnya berkata, "Baiklah, saya rasa Anda berhak tau. Sementara ini, kondisi yang paling parah adalah ginjal kanan Victory pecah."
Ai dan Laras sama-sama menarik napas cepat, terkesiap. Seolah dikomando, air mata mereka yang sempat kering tadi kembali mengalir berbarengan. Wajah Raka sudah pias semakin pucat.
"Dok...," kata Raka memohon.
"Maaf, saya tidak bisa membicarakan kondisi lain sebelum orangtua Anda datang. Saya harus kembali ke dalam. Kalau terjadi apa-apa, suster akan menghubungi Anda. Saya tinggal dulu." Raka hanya tercengang ketika dr. Satrio berbalik meninggalkan mereka. Apa sebenarnya yang akan dikatakan dr. Satrio" Kenapa harus menunggu Ayah" Bagaimana kondisi Oti sebenarnya" Berbagai pertanyaan berkecamuk di benak Raka.
*** Akhirnya Oti keluar dari ruang operasi. Raka memandangi Oti dari luar ruang ICU. Tubuh gadis itu dipasangi beberapa alat penyokong kehidupan. Tampak tubuhnya tergeletak, diam gak bergerak. Matanya terpejam, seolah-olah sedang tidur lelap.
Seperti dugaan Raka; begitu tiba di rumah sakit, ayah Raka langsung memarahinya. Raka bahkan dituding udah mempunyai rencana ketemu Oti sebelumnya. Suasana hampir aja panas, kalo aja Tante Heni gak menengahi, dan menenangkan suaminya. Kedatangan dr. Satrio juga ikut mendinginkan suasana. Sementara itu, Ai cuma bisa menangis sesunggukan dalam pelukan Dio, adik bungsunya.
Begitu situasi menjadi tenang, dr. Satrio mengajak Raka dan ayah Raka ke ruang kerjanya, untuk membicarakan kondisi Oti. Raka yang penasaran dan khawatir bersyukur diajak masuk. Ia memang tidak bersedia menunggu di luar.
"Secara fisik, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Tulang-tulangnya yang patah akan membaik. Yang perlu diperhatikan hanya kondisi kejiwaannya saat dia sadar nanti," kata dr. Satrio.
"Kenapa, Dok" Kenapa dengan Oti"" tanya Raka dengan nada mendesak.
Dr. Satrio gak langsung menjawab pertanyaan Raka. D
okter senior itu membuka lembaran berkas berisi data-data kondisi Oti.
"Victory mengalami benturan yang cukup keras, terutama di bagian punggungnya. Benturan itu mengakibatkan beberapa ruas tulang belakangnya hancur. Anda tahu, dalam tulang belakang terdapat saraf-saraf penting untuk mengatur gerak motorik tubuh... Hancurnya sebagian tulang belakang Victory, mengakibatkan kelumpuhan bagian pinggang ke bawah," kata dr. Satrio dengan suara pelan, tapi cukup membuat Raka dan ayahnya terkejut. "Lumpuh!!""" tanya mereka hampir serempak.
"Ya. Hal itu mengakibatkan semua fungsi tubuhnya mulai dari bawah pinggang lumpuh, termasuk kedua kakinya," kata dr. Satrio.
Ayah Raka mengempaskan diri ke kursi yang didudukinya dengan lemas, seolah gak percaya dengan apa yang baru didengarnya. Sedang Raka yang duduk di samping ayahnya hanya memandang kosong ke depan. Dia gak bisa membayangkan, bagaimana kaget dan shock-nya Oti ketika sadar dan mendapati dirinya gak bisa berjalan. Oti yang lincah harus menghabiskan sisa hidupnya di kursi roda.
"Selain itu, ada hal lebih penting yang perlu saya sampaikan menyangkut kondisi Victory," kata dr. Satrio lagi.
"Apa lagi, Dok"" tanya ayah Raka. Baginya berita kelumpuhan Oti udah merupakan berita terburuk. Masih ada lagi"
"Tabrakan itu telah menghancurkan salah satu ginjal Victory. Saat operasi kemarin, kami terpaksa mengangkat ginjal yang pecah itu tanpa meminta persetujuan pihak keluarganya terlebih dahulu, karena bila itu tidak dilakukan, jiwa Victory terancam. Untuk itu kami mohon maaf, tapi kami saat itu tidak punya waktu untuk menjalani prosedur perizinan seperti biasa. Saya yang bertanggung jawab soal ini," dr. Satrio menjelaskan. Raka dan ayahnya tercenung mendengar penjelasan dr. Satrio. Satu ginjal Oti diangkat" Berarti Oti hanya akan hidup dengan satu ginjal.
"Saya mengerti, Dok. Anda telah melakukan segala cara untuk menyelamatkan nyawa anak saya. Saya sangat berterima kasih," sahut ayah Raka.
"Jadi, Oti hanya hidup dengan satu ginjal" Bagaimana bisa"" tanya Raka.
"Bisa saja. Banyak orang yang bisa hidul dengan satu ginjal, dan tidak ada masalah. Hanya saja mereka hidup dengan cara yang berbeda dengan orang yang mempunyai dua ginjal.
Tubuhnya tidak boleh terlalu lelah, dan mungkin kesehatannya tidak sebagus keadaan sebelumnya. Walau begitu banyak dari mereka yang hidup hingga tua.
"Tapi sebetulnya sekarang kekhawatiran saya adalah ginjal kiri yang tersisa tidak kuat menanggung beban yang biasa ditanggung dua ginjal. Apalagi saat ini tubuh Victory dimasuki banyak obat yang penting bagi kemajuan kondisinya. Saya khawatir ginjal yang tersisa akan kolaps, dan akhirnya tubuh Victory akan mengalami shock, yang membahayakan jiwanya. Untuk itu, saya minta kerja sama Bapak, dan mungkin juga Raka sebagai kakaknya...," kata dr. Satrio lagi. Raka dan ayahnya sama-sama memandang dokter itu.
"Maksud dokter"" tanya Raka.
"Saya ingin minta kesediaan kalian untuk menyiapkan diri sebagai donor, kalau-kalau yang terburuk terjadi," kata dr. Satrio.
"Jadi donor ginjal"" tanya Raka menegaskan. Dia pernah membaca soal cangkok ginjal. Dr. Satrio mengangguk.
"Kalau begitu kami siap jadi donor, Dokter!" sahut ayah Raka.
Kali ini Raka setuju dengan ucapan ayahnya. Dia juga rela mengorbankan apa aja yang dimilikinya, agar Oti dapat kembali menjadi Oti yang dulu, walau mungkin gak bisa berjalan lagi.
"Baiklah, terima kasih. Memang untuk menjalani pencangkokan, harus ada donor yang tepat. Jika tidak malah akan membahayakan jiwa si resipien. Donor yang paling tepat adalah yang memiliki hubungan darah paling dekat dengan resipien, seperti ayah, ibu, atau saudaranya. Tapi tidak selalu donor yang berasal dari keluarga itu sendiri bisa cocok, sebab selain donor tersebut harus diperiksa kecocokannya melalui tes dan sebagainya, juga harus dilihat kondisi dari donor itu sendiri. Jika si donor tidak dalam keadaan fisik yang prima, maka hal itu dapat membahayakan jiwa si donor itu sendiri. Kami tidak ingin mengambil risiko itu. Karena itu mengapa tadi kami langsung mengadakan te
s pendahuluan bagi seluruh anggota keluarga Bapak, kecuali kedua anak Bapak yang masih di bawah umur. Dan melihat hasil tes, tampaknya hanya Bapak dan Raka yang cocok dijadikan donor."
Kecuali Ai dan Dio, Raka, ayahnya, dan Tante Heni memang menjalani tes kesehatan, walau saat itu gak dijelaskan untuk apa.
"Mengapa ibunya dan saudaranya yang lain gak bisa, Dok"" tanya ayah Raka.
"Kedua saudara Victory jelas masih dibawa umur, belum memenuhi syarat sebagai donor.
Sedang Ibu Heni, menurut hasi tes menderita darah tinggi dan gejala diabetes. Tidak mungkin menjadi donor. Jadi hanya Bapak dan Raka yang memenuhi syarat."
Raka dan ayahnya terdiam sejenak. Mereka sibuk dengan pikirannya masing-masing.
"Kalo begitu, segera saja laksanakan, Dok! Jangan ditunda lagi," desak ayah Raka.
"Baiklah. Kami akan persiapkan segala sesuatunya. Saya harap anda berdua siap melakukan serangkaian tes berikutnya."
Oti udah sadar. Tapi karena kondisinya belum benar-benar stabil, ia masih berada di ICU. Beberaoa bagian tubuhnya seperti kepala, kaki, dan tangannya emang masih dibalut perban. Keliatannya gak ada luka serius di tubuh Oti. Hanya patah tulang pada tangan kirinya, dan beberapa tulang rusuknya. Saat Oti sadar, semua yang menunggunya berharap-harap cemas, menanti apa yang terjadi. Oti cuman diam begitu tau bagian bawah tubuhnya kayak mati rasa. Tapi di luar dugaan, gak ada ekspresi shock atau terkejut pada wajahnya. Justru mamanya yang terus-terusan nangis tersedu-sedu sambil memeluk Oti, diikuti pandangan haru papanya dan Raka, yang ikut masuk ke ICU. Oti juga keliatan tabah ketika ayahnya memberitahukan tentang kelumpuhannya.
"Gak papa. Yang penting Oti selamet," ujar Oti lemah saat diberitahu papanya. Papanya mengangguk pelan sambil menjelaskan juga mengenai ginjalnya yang terpaksa diangkat. "Itung-itung Oti istirahat. Oti udah tau kok bakal kayak gini. Ada yang memberitahukan lewat mimpi. Mungkin Papa Ardi," ujar Oti tenang, membuat semua yang melihatnya merasa terharu.
"Oti, mungkin kamu akan mendapatkan ginjalmu kembali," kata Papanya. "Cangkok ginjal ya, Pa" Oti pernah dengar soal itu. Trus... siapa yang jadi donornya"" "Belum ditentukan. Antara gue ama ayah, tergantung hasil tes nanti," Raka yang menjawab. "Lo" Tapi ntar lo atau Papa bakal hidup dengan satu ginjal. Ini gak fair! Oti gak mau kalo ntar nyisahin orang lain..." gumam Oti yang biarpun lemah tapi tetap protes dan gak mau menyusahkan orang lain.
"Gak papa, Sayang. Kalo nanti hasil tesnya menunjukkan kami berdua bisa jadi donor buat kamu, biar Papa yang jadi donor..." jawab Papanya.
"Tapi... " "Papa udah tua. Udah gak banyak aktifitas. Sedangkan kamu masih muda. Masa depan kamu masih panjang... "
"Pa... " "Udah, jangan dipikirkan dulu soal ini. Yang penting kamu istirahat aka dulu, supaya cepat sembuh..." kata ayahnya sambil membelai rambut Oti. Oti gak bisa membantah ucapan ayahnya lagi.
Raka dan ayahnya berpandang-pandangan, tidak berani mengatakan alasan cangkok ginjal itu perlu dilakukan.
*** Hampir seminggu Oti berada di rumah sakit. Kecuali kakinya yang lumpuh, kesehatannya udah mulai membaik. Kemajuannya begitu pesat, sampai akhirnya dr. Satrio memutuskan memindahkannya dari ICU ke ruang rawat biasa. Oti pun keliatan ceria. Tampaknya ia udah bisa menerima keadaan tubuhnya. Apalagi hampir setiap hari Laras menjenguknya, sepulang dari kegiatan MABIM. Selain Laras, Ticka juga pernah datang pas hari minggu. Dan seperti Laras saat pertama kali mengetahui kondisi Oti, Ticka pun menangis sambil memeluk sahabatnya itu. Justru Oti yang sibuk ngehibur Ticka biar gak terlalu bersedih. Sore itu, seperti biasa sepulang jadi panitia MABIM, Raka langsung pergi menjenguk Oti. Di dekat lift, dia ketemu dr. Satrio. Raka pun menanyakan tentang hasil tes DNA dia dan ayahnya.
"Hasilnya belum keluar. Selain di sini, kami melakukan tes sampel ke RSCM Jakarta, agar hasilnya lebih akurat," jawab dr. Satrio.
"Lalu, kapan kira-kira hasilnya bisa keluar, Dok""
"Mungkin satu atau dua hari ini keluar hasilnya. Selain itu melihat kema
juan Victory, mungkin satu ginjalnya yang tersisa bisa menerima beban yang ditanggungnya," sahut dr. Satrio sambil menepuk pundak Raka. Tubuh Raka serasa disiram air dingin karena rasa lega luar biasa.
"Tapi tentu semua harus kita tes lagi. Sabar ya..." lanjut dr. Satrio. Raka mengangguk penuh semangat. Ia bergegas ke kamar Oti.
Mendekati kamar Oti, kamar keliatan sepi. Gak terlihat seorang pun disana. Raka membuka pintu kamar Oti. Juga gak ada seorang pun, selain Oti yang keliatannya sedang tertidu lelap. Kemana yang lain" tanya Raka dalam hati.
Pandangan Raka kemudian beralih pada Oti. Raka mendekati adik tirinya itu. Kedua mata Oti terpejam. Sekilas Raka melihat ada bekas air mata di kedua pipi cewek itu. Kayaknya Oti habis nangis. Ada apa dengan Oti" Kenapa dia sampe nangis" Bukannya selama ini Oti gak pernah mengeluarkan air mata kesedihan" Bahkan ketika mengetahui dirinya lumpuh, cewek itu tetap tabah dan tidak mengeluarkan air mata sedikit pun. Melihat itu Raka jadi inget Ayu, adik Ajeng yang lumpuh. Ayu juga keliatan tegar menghadapi apa yang menimpa dirinya.
Gak ingin mengganggu tidur Oti, Raka memilih untuk keluar kamar. Tapi baru beberapa langkah dia mendekati pintu, Oti terbangun.
"Lo udah dateng"" tanya Oti lirih.
Raka menoleh. "Sori, gue gak mau ngebangunin lo."
Oti tersenyum kecil. "Gak papa. Ini emang saatnya gue bangun kok."
Raka menolong Oti meninggikan bantalnya, sehingga tubuh cewek itu lebih tegak ke posisi duduk. Dia sempat melihat mata Oti yang merah. Itu pasti bukan karena tidur, tapi karena habis menangis.
"Ayah dan Tante Heni"" tanya Raka.
"Mereka pulang. Gue yang minta. Kasian kan, terutama Papa. Istirahatnya kurang karena nungguin gue."
"Oh, gitu... Lo abis nangis" Kenapa"" tanya Raka langsung.
"Kata siapa" Gosip tuh! Gue gak papa kok," Oti berusaha ngelak sambil tersenyum. Senyum yang dipaksakan.
"Ot, gue kan udah pernah bilang lo yuh gak bakat boong. Jangan bilang gak ada apa-apa. Baru sekali gue liat lo ngeluarin air mata, yaitu saat mutusin pergi ke London. Dan sekarang, kenapa""
Oti diam sejenak. Gak langsung menjawab pertanyaan Raka. "Lo udah tau soal kalung itu dari Laras, kan" Soal gue"" Oti balik bertanya.
"Ot, jangan ngalihin masalah," kata Raka. "Atau.... ini ada hubungannya""
Oti memalingkan wajahnya ke jendela. Pandangan matanya mendadak jadi kosong.
"Jangan salahin Laras. Dia gak tega ngeliat lo menderita," kata Raka.
"Gue gak nyalahin Laras, dia sahabat terbaik yang pernah gue punya. Gue tau dia sangat perhatian ke gue," kata Oti.
"Kenapa lo begitu, Ot""
"Gue kan udah pernah bilang... "
"Gue tau. Tapi kan lo gak perlu nutupin perasaan lo, apalagi boong ma gue," sergah Raka.
"Gue gak ada pilihan lain," kata Oti.
Suasana hening sejenak. Masing-masing berdiam diri.
"Ka, apa lo akan tetap mencintai gue" Apa pun yang terjadi""
Raka tertegun sejenak mendengar pertanyaan Oti. "Tentu aja," jawabnya.
"Walaupun gue lumpuh dan gak bisa jalan lagi" Dan lebih buruk lagi, kalo aja ginjal lo ama ginjal Papa gak bisa dicangkok ke gue, gue bakal jadi orang lumpuh yang sakit-sakitan... " tanya Oti.
"Lo ngomong apa sih" Operasi pencangkokan itu pasti sukses. Lo bisa kembali seperti semula, walau gak bisa jalan," kata Raka tegas. Sebenarnya ia tak sabar ingin memberitahu kata-kata dr. Satrio tadi, tapi takut salah, jadi informasi itu disimpannya sendiri. "Andai gak bisa, dan gue tetap seorang yang lumpuh dan sakit-sakitan seumur hidup gue, apa lo tetap mencintai gue"" tanya Oti.
Mendengar pertanyaan itu Raka menghela napas sejenak. "Ot, biarpun seluruh badan lo lumpuh dan sakit-sakitan, cinta gue pada lo gak akan berubah. Gue mencintai lo bukan karena fisik lo, tapi karena sifat dan hati lo. Apa pun yang terjadi, gue akan selalu berada di sisi lo. Mendampingi lo."
Ucapan Raka gak terasa membuat Oti yang sedang memalingkan wajah kembali meneteskan air mata.
"Ot" Lo nangis" Jadi ini yang buat lo nangis"" tanya Raka. Tangannya menyentuh lembut wajah Oti, memalingkannya sehingga menghadap ke arahnya. "Biasanya lo
selalu tabah..." "Ka, boong kalo gue tabah menghadapi semua ini. Manusia mana pun pasti akan hancur hatinya pas tau dirinya cacat, dan kondisi fisik yang udah gak seperti dulu lagi. Gue berpura-pura bersikap tabah di hadapan Papa, Mama, dan yang lainnya, biar mereka gak terlalu bersedih. Tapi saat sendirian, gue sering mikirin hal ini. Dalam hati, gue juga takut menjadi cacat, takut segala impian gue seketika terenggut, dan takut gak ada seorang pun yang mau berada dekat gue. Gue gak mau hal itu terjadi," ratap Oti.
Raka mendekatkan badannya ke arah Oti dan menarik kepala Oti hingga bersandar di dadanya.
"Hati lo bener-bener mulia, Ot. Dalam keadaan begini, lo masih sempat mikirin perasaan orang lain. Jangan khawatir. Gak akan ada yang berubah. Gue gak akan ninggalin lo. Gue akan tetap berada di sisi lo, kapan pun lo butuh gue," kata Raka. Tangannya mengelus rambut Oti.
"Jangan tinggalin gue, Ka. Gue takut. Gue bener-bener butuh lo," ujar Oti di sela-sela isak tangisnya.
"Gak akan. Walau gue sekarang sadar kita gak akan pernah bisa bersatu selamanya. Tapi gue akan selalu mendampingi lo, ada di sisi lo sampai lo punya seseorang yang bener-bener mencintai lo seperti halnya gue, dan mau mendampingi lo selamanya," janji Raka.
*** Esok siangnya, saat Raka baru aja tiba dari kampus, Tante Heni menyambutnya. "Kebetulan kamu datang. Ayahmu baru saja masuk ke ruangan dr. Satrio. Katanya hasil tes kalian udah keluar," kata Tante Heni. Mendengar itu, Raka bergegas menuju ruang kerja dr. Satrio yang terletak satu lantai di bawah.
"Selamat siang, Dok," sapa Raka setelah mengetuk pintu ruan kerja dr. Satrio. Setelah dipersilahkan masuk, Raka mengambil kursi yang ada dan duduk di samping ayahnya. "Ada apa, Dok" Bagaimana hasil tes kami"" tanya Raka.
Dr. Satrio menggaruk kepalanya yang sebetulnya gak gatal, sambil membaca beberapa kertas di hadapannya.
"Pertama-tama saya ingin menyampaikan selamat. Ternyata Victory tidak butuh donor, karena ginjalnya yang tersisa bisa menerima bebannya. Tapi ada yang harus saya bicarakan mengenai hasil tes kalian. Saya tidak tahu ada apa, tapi hasil tes ini menyatakan kamu dan ayahmu bukan donor yang cocok bagi Victory," kata dr. Satrio dengan sikap tenang "Tidak cocok" Apa maksud Dokter" Apakah kami kurang memenuhi syarat kesehatan"" tanya Raka penasaran.
"Bukan itu. Secara fisik Anda berdua dapat menjadi donor, jika saja cocok." "Cocok" Maksud Dokter""
"Hasil tes menunjukkan gen Anda berdua berbeda dengan gen Victory. Hak itu membuat kemungkinan ginjal anda berdua dapat menjadi donor bagi Victory semakin kecil," kata dr. Satrio.
"Berbeda" Bagaimana mungkin" Bukankah kami memiliki hubungan darah dengan Oti"" tanya Raka lalu memandang ayahnya.
"Itulah yang sedang saya tanyakan pada ayah kamu. Pak Rudi, Anda yakin Victory anak kandung Anda" Maaf, bukannya saya ingin mencampuri urusan pribadi atau urusan keluarga Anda. Tapi saya perlu memastikan hal ini dari segi medis, karena meskipun keadaan Victory semakin membaik, tapi kita tetap harus berjaga-jaga," kata dr. Satrio.
Raka memandang tajam ayahnya. Seperti halnya dr. Satrio, dia pun menunggu jawaban yang keluar dari mulut ayahnya.
"Mungkin hasil tes itu salah. Dokter bisa melakukan tes sekali lagi"" tanya Rudi. "Kami telah melakukan cross check dengan hasil tes di RSCM. Dan ternyata hasilnya sama. Dari segi medis, Victory bukanlah darah daging Anda," jawab dr. Satrio tegas. Jawaban yang membuat berbagai perasaan berkecamuk di benak Raka.
*** Mendengar hasil tes Oti, Tante Heni gak bosan menahan isak tangisnya. Apalagi setelah tahu Oti bukanlah darah daging suaminya.
"Sungguh, Pa... Mama gak bermaksud membohongi Papa. Mama juga merasa yakin Oti anak Papa, bukannya anak Mas Ardi...," kata Tante Heni sambil menangis terisak-isak di dalam pelukan suaminya. Ayah Raka hanya mengusap rambut Tante Heni.
"Papa tahu Mama gak akan membohongi Papa. Sudahlah. Walaupun Oti bukan anak kandung Papa, tapi Papa tetap menganggapnya darah daging Papa. Kita telah membesarkannya sebagai anak kita sendiri," ujar ayah Ra
ka berusaha menenangkan istrinya.
"Lalu hasil tes darah dulu saat Papa mendonorkan darahnya pada Oti"" tanya Tante Heni.
"Menurut Dokter Satrio, tes darah saat ini tidak dapat dijadikan patokan mengenai hubungan darah seseorang. Di dunia ini sekitar satu banding lima kemungkinan dua orang punya golongan darah yang persis sama. Taoi tidak ada dua orang yang mempunyai susunan gen hampir sama, kecuali mereka memiliki hubungan darah. Jadi mungkin aja kebetulan Papa punya golongan darah yang sama dengan Oti," jawab ayah Raka.
"Apa ini hukuman atas perbuatan kita dulu atas Mas Ardi"" tanya Tante Heni.
"Jangan katakan itu. Dulu kita melakukan hal itu karena keadaan. Tidak ada niat sedikitpun untuk menyakiti suamimu. Papa kira Ardi akan mengerti. Dia juga tidak mungkin membuat anaknya sendiri menderita," hibur ayah Raka.
"Kalo begitu, biar Mama saja yang menjadi donor," kata Tante Heni mantap.
"Tidak bisa. Mama dengar sendiri kata dr. Satrio. Akan sangat berbahaya kalo Mama jadi donor," larang Papa tegas.
Tante Heni kembali menangis di pelukan suaminya.
"Mama harus tabah. Mungkin ini takdir Yang Maha Kuasa. Kita sebagai manusia hanya bisa menerimanya," kata Papa lirih.
"Kak, jadi Kak Oti bakak hidup dengan satu ginjal"" tanya Ai yang duduk dekat Raka, beberapa meter dari ayah-ibunya.
"Kecuali mendapatkan donor pengganti. Menurut dr. Satrio, walaupun kemungkinannya kecil, bisa aja Oti mendapatkan donor ginjal dari orang yang gak punya hubungan darah sama sekali. Walau gak sesempurna dibandingkan dengan yang mempunyai hubungan darah, tapi asal si penerima dapat segera beradaptasi, maka biasanya gak ada masalah. Hanya aja kemungkinannya emang sangat kecil. "Sangat kecil"" tanya Ai kaget. Raka mengangguk.
"Mungkin nanti setelah usia Ai dan Dio cukup, bisa jadi donor ginjal bagi Kak Oti, ya"" tanya Ai lagi.
"Bisa aja. Tapi apa Kak Oti mau menerima donor dari Ai atau Dio" Kak Oti sangat sayang pada kalian. Dia pasti gak mau kalian berkorban untuk dia, lagi pula kondisinya semakin baik."
"Kasihan Kak Oti," gumam Ai.
"Ya. Tapi paling gak, ada hikmah yang dapat dipetik dari kejadian ini," kata Raka sambil menerawang ke depan, seperti ada sesuatu yang dipikirkannya.
*** Sekarang, siapa yang akan menyampaikan kabar tersebut pada Oti" Raka mengajukan diri untuk menyampaikan kabar mengenai gagalnya operasi. Mulanya ayahnya menolak. Tapi setelah Ai dan ibu tirinya mendukungnya, akhirnya ayahnya mengalah. Alasannya, Raka-lah orang yang paling dekat dengan Oti dan mengerti sifat gadis itu. Raka pun janji akan melihat kondisi Oti dahulu sebelum menyampaikan berita tersebut.
Victory Karya Luna Torashyngu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Raka masuk ke kamar Oti, sementara yang lainnya menunggu di luar. Oti asyik baca manga yang baru dibelikan Ai.
"Hei... Lo udah dateng"" sapa Oti saat melihat kedatangan Raka. Oti meletakkan manga yang sedang dibacanya dan melepaskan kacamatanya.
"Yang lain mana" Kok gak pada masuk" Tadi Ai juga keluar. Ada apa"" tanya Oti sambil pandangannya terarah ke pintu.
"Lagi pada cari makan. Makanya gue disuruh ngejagain lo," jawab Raka berbohong. Ia lalu duduk di sisi tempat tidur Oti. Melihat wajah Oti yang polos, Raka gak tega mengatakan yang sebenarnya, walaupun sebagian hatinya mengatakan sebaliknya. Ternyata Oti dapat membaca ap yang tersirat di wajah Raka.
"Ada apa, Ka" Lo kok kayaknya bingung banget...," tanya Oti. "Gak. Gak papa," gagap Raka.
Mendengar jawaban Raka, tangan kanan Oti memegang tangan kiri Raka. "Lo tau persamaan gue ama lo"" tanya Oti. "Apa"" tanya Raka.
"Sama-sama gak bisa boong. Makanya sebaiknya lo terus terang. Ada apa sih"" desak Oti. Raka menarik napas sebentar. Mencoba mengumpulkan kata demi kata untuk memberi tahu Oti.
"Ada kabar baik dan kabar buruk," kata Raka lirih. "Yang buruk dulu," kata Oti tegas. "Hasil tes untuk donor ginjal udah keluar," kata Raka. "Trus" Siapa yang cocok" Lo atau Papa"" tanya Oti.
Kembali Raka mencoba menyusun kalimat yang tepat supaya Oti gak terlalu terkejut. Tapi rupanya dia gak perlu mengatakan kelanjutan kalimatnya, karena Oti terlalu pintar untuk m
enebak aoa yang hendak dikatakan kakaknya.
"Hasilnya pasti jelek, kan" Gue gak bisa dioperasi"" tanya Oti memastikan.
"Ot... " "Kalo hasilnya bagus, gak mungkin lo bingung kayak gini. Mama pasti udah masuk ke kamar dan ngomong langsung ke gue. Iya kan""
Raka mengangguk perlahan. Oti melirik ke arah jendela kamarnya yang menghadap ke koridor. Sekilas dia melihat ada bayangan di sana.
"Papa, Mama, Ai, dan Dio, mereka semua gak pergi. Mereka semua di lur kamar. Lo yang disuruh ngomong ke gue," tebak Oti. Raka hanya diam sambil menggenggam tangan kanan Oti dengan kedua tangannya.
Oti menghela napas. Dia udah siap jika hal ini terjadi. Manusia hanya bisa berencana, namun Tuhan juga yang menentukan. Walaupun begitu, perasaan sedih, kecewa, dan putusnya harapan juga menghinggapi benaknya, walaupun Oti gak ingin memperlihatkannya. Sejenak Oti memejamkan kedua matanya, mencoba menenangkan hatinya yang bergejolak. "Gue tau perasaan lo, Ot! Walaupun lo berusaha nyembunyiin. Gue tau lo kecewa mendengar berita ini. Begitu juga gue. Tapi ini kenyataan yang harus kita terima," kata Raka berusaha menghibur Oti.
Setelah beberapa saat, Oti membuka kedua matanya, kemudian tersenyum kecil. Tampaknya dia udah bisa menerima kabar itu.
"Ya udah, sekarang kalo gue boleh tau, apa kabar gembiranya"" tanyanya. Raka tersenyum lemas. "Ternyata kata dr. Satrio, lo bisa hidup dengan satu ginjal. Ginjal lo yang tersisa sanggup menopang fungsi tubuh lo. Selain itu... Gue gak tau apa berita ini bisa mengurangi kesedihan lo..." Raka berhenti sejenak. "Hasil tes DNA gue dan Ayah berbeda dengan hasil tes DNA lo. Dengan kata lain, ternyata lo bukanah anak kandung Ayah." Walau gak terlihat jelas, tapi ucapan Raka membuat raut wajah Oti sedikit berubah. "Yang bener" Lo gak boong, kan""
Raka menggeleng. Kemudian dia menceritakan perbincangannya dengan dr. Satrio. Juga kemungkinan Oti mendapat donor lain, walaupun kemungkinan itu sangat kecil. "Berarti gue masih mungkin punya ginjal baru... Sekecil apa pun harapan, tetap aja harapan," ujar Oti lirih. Kemudian dia menatap Raka, "Ka, bilang terus terang, lo sebenarnya seneng mendengar hasil tes itu, kan" Seneng setelah tau kalo gue gak punya hubungan darah dengan lo"" tanya Oti.
"Bagaimana gue bisa seneng" Itu berarti lo gak jadi dioperasi. Dan lo mungkin gak akan kembali seperti semula dalam waktu lama. Lo kehilangan semuanya. Terutama dalam kesempatan kuliah lo."
"Kata siapa" Gue gak merasa kehilanga semuanya kok! Soal kuliah gue, gue kan masih kuliah walau gak bisa jalan. Sejujurnya, lepas dari kelumpuhan dan kesehatan gue, bagaimana perasaan lo mendengar hasil tes itu"" desak Oti.
Raka terdiam sejenak. "Gue akuin sebagian hati gue emang seneng begitu tau lo bukan anak kandung Ayah. Tapi kalo boleh milih, gue lebih milih hasi tes DNA itu cocok, jadi lo bisa dioperasi. Asal lo bisa sehat lagi, gue rela ngorbanin apa aja, termasuk diri dan perasaan gue." "Emang sekarang gue gak bahagia"" Ucapan Oti membuat Raka terperanjat. Oti tersenyum padanya. Senyum manis yang keluar kalo dia sedang gembira.
"Lo ingat ucapan lo kemaren" Lo bilang akan selalu ngedampingi gue, dan berada di sisi gue kapan pun gue membutuhkan lo" Sekarang gue tanya, lo sungguh-sungguh kan dengan ucapan gue"" tegas Oti.
"Tentu aja. Gue sungguh-sungguh...," kata Raka. "Bener" Lo gak akan berubah pikiran"" tanya Oti lagi. "Bener. Emang lo gak percaya"" Raka balas bertanya.
"Gue percaya kok." Senyum Oti kian melebar. Raka kembali melihat aura kecantikan dari dalam diri Oti. Membuat duka pada cewek itu seakan-akan hilang dibawa angin. "Sekarang saatnya lo membuktikan ucapan lo...," kata Oti.
"Maksud lo"" tanya Raka.
Pandangan Oti beralih menatap langit-langit di atasnya. "Kalo gue tau hassilnya begini, gue rela jadi lumpuh. Bahkan andaikata waktu dapat berputar lagi dan gue bisa milih, gue tetap milih keadaan kayak gini, asalkan gue bisa mendaptkan cinta gue lagi." "Ot, maksud lo...," tanya Raka ragu.
"Ini mungkin cara Tuhan mengatakan kebenaran. Cara Tuhan bilang pada semua orang, kalo kita salin
g mencintai, dan kita gak melakukan kesalahan apa pun. Juga cara Tuhan menguji kekuatan cinta kita." Oti kembali menoleh ke arah Raka.
"Sekarang beban gue udah hilang. Gue udah gak punya perasaan bersalah ama Papa, ataupun Mama. Sekarang terserah lo. Apa pun yang akan lo lakuin, gue gak akan nyalahin lo, termasuk kalo lo berubah pikiran, dan akan ninggalin gue. Gue tau, sekarang gue cewek lumpuh yang gak bisa jalan. Tentu gak sebanding dengan lo. Gue pasti akan selalu ngerepotin lo, jadi beban bagi lo, apalagi dengan kondisi tubuh gue yang gak kayak dulu. Mungkin aja lo malu kalo jalan atau berduaan ama gue." Saat mengucapkan kalimat tersebut, tampak mata Oti berkaca-kaca. Raka sejenak terperangah mendengar ucapan Oti. Kemudian kedua tangannya menggengam erat tangan Oti.
"Gue gak akan berubah pikiran, sampai kapan pun. Lo sama sekali gak jadi beban buat gue. Malah, lo lah sumber kebahagiaan gue. Gue gak bisa bayangin hidup gue kalo gak bersama lo." Seusai bicara Raka mendekatkan wajahnya, dan mencium kening Oti yang masih dibalut perban. Tiba-tiba Oti memeluk tubih Raka. Dia gak peduli dengan badannya yang masih dalam proses penyembuhan.
"Kita akan lalui ini bersama. Kalo Ayah masih gak setuju hubungan kita, kita akan hadapi bersama," ujar Raka lirih di dekat telinga Oti. Oti gak bisa lagi membendung air mata yang mengalir membasahi kedua pipinya. Air mata itu air mata kebahagiaan dari cewek yang kembali mendapatkan cint sejatinya. "Gue sayang lo, Ka...," bisiknya.
"Gue juga sayang lo, Ot. Kata-kata lo bener. Kalo ini cara Tuhan untuk menguji kekuatan cinta kita, kita udah melaluinya. Kita udah menang. Ini kemenangan lo, Victory," kata Raka balas berbisik.
*** Tanpa diketahui mereka berdua, Ai bersama Dio, serta ayah dan ibunya menyaksikan kejadian tersebut dari balik jendela, dengan perasaan terharu. Tante Heni bahkan sampai menitikkan air mata. Sedangkan Ai menoleh, menatap ayahnya yang berdiri di sampingnya. "Yah, Ai mohon, jangan pisahkan mereka lagi. Kak Raka adalah sumber kebahagiaan Kak Oti, juga sebaliknya," Ai memohon pada ayahnya sambil berlinang air mata. Sebagai jawaban, ayahnya menoleh pada Tante Heni yang hanya mengangguk pelan, seolah mendukung permohonan Ai. Ayah Ai kemudian menoleh pada Ai, lalu merengkuh pundak anak gadisnya itu.
Enam bulan kemudian.... Seorang cewek berambut panjang dan berbaju putih dengan celana panjang hitam turun dari angkot, di depan gedung Sabuga, ITB, tempat sedang diadakan pameran buku berskala nasional.
"Yah... udah telat," gumam Ai sambil melihat jam tangannya. Suasana saat itu lagi ramai-ramainya. Ai baru aja latihan PMR di SMA-nya dan langsung ke tempat pameran karena ada janji dengan seseorang.
Setelah nitipin tasnya di counter penitipan, Ai segera masuk ke ruang pameran. Sesampainya di dalam, ia celingukan. Pameran ini sangat ramai oleh pengunjung, maklum hari minggu. Pandangan Ai tertuju pada panggung mini yang berada di bagian depan ruang pameran. Di latar belakang panggung itu terdapat spanduk dengan tulisan besar-besar:
JUMPA PENGARANG NOVEL BEST SELLER:
LOVE DESTINY VICTORY FEBRIANI Ai tersenyum. Novel perdana Oti itu udah berulang kali dibacanya. Dia tau kenapa novel itu laris dan disukai banyak orang. Oti menulis novelnya dengan hati, dengan seluruh jiwa dan perasaannya. Seolah-olah ingin memberitahukan pada semua orang apa yang ia rasakan saat menulis novelnya. Bahkan saking larisnya, kabarnya novelnya mo difilmkan, walau menurut Oti itu baru pembicaraan awal. Ai menoleh karena ada yang menepuk pundaknya.
"Baru dateng, ya" Kok ngos-ngosan"" tanya Raka yang tiba-tiba sudah ada di belakang Ai. "Iih, Kakak. Kak Oti dimana"" tanya Ai. "Ngerasa bersalah nih""
Suara itu datang dari belakang Raka. Dan ketika Raka menyingkir, Ai melihat cewek berkacamata tipis berambut panjang sebahu duduk di kursi roda.
"Sori deh, Kak... soalnya Ai baru selesai latihan jam setengah satu. Mana jalan macet lagi. Kakak tau kan, gimana lalu lintas di Bandung kalo hari minggu," kata Ai minta maaf. "Yq udah gak papa. Acranya juga belum dimulai k
ok!" kata Oti. "Kenapa belum dimulai"" tanya Ai. "Kan nungguin kamu he...he..he... "
Ai cuman tersenyum mendengar ucapan Oti yang bernada bercanda itu.
Seorang panitia acara mendekat ke arah Oti dan memberitahu acara akan dimulai.
"Ke sana yuk!" ajak Oti ke Ai. Mereka bertiga pun berjalan ke panggung.
Sesampainya di depan panggung, masalah kecil pun timbul. Panggung yang lumayan tinggi itu membawa masalah tersendiri untuk Oti. Dia gak mungkin naik sendiri ke panggung menggunakan kursi rodanya. Oti menoleh ke arah Raka. Tanpa ngomong sepatah kata pun, Raka seolah tau apa yang diinginkannya. Raka memanggil seorang panitia cowok di dekatnya.
"Tolong ya..," pinta Raka. Lalu dia mengambil tas yang ada di pangkuan Oti dan memberikannya pada Ai. "Kamu pegangin tas Kak Oti."
Setelah mengatakan itu, Raka menyelipkan kedua tangannya ke punggung dan kaki Oti. Oti pun merangkulkan kedua tangannya ke leher Raka. Dengan satu gerakan, Raka mengangkat Oti dan membopongnya. Apa yang dilakukan Raka menarik perhatian orang-orang yang ada di situ. Tapi Raka gak peduli.
Raka membopong Oti sampai ke panggung diikuti Ai dan panitia yang membawa kursi roda. Sesampainya di tengah panggung, Oti kembali duduk di kursi rodanya. "Makasih ya...," ujar Oti yang dibalas senyuman Raka.
Ai melihat kebahagiaan Oti dan Raka. Kebahagiaan yang berlandaskan cinta. Kelumpuhan Oti sama sekali gak memudarkan rasa cinta di hati mereka, malah semakin merekatkannya. Cincin tunangan yang melingkar di jari Oti dan Raka membuktikan hal itu. Ada sedikit perasaan iri di hati Ai melihat kebahagiaan keduanya. Dia gak tau apakah dirinya nanti juga mendapat kebahagiaan yang didapat kedua kakaknya itu. Tapi walau begitu, dalam hatinya Ai juga ikut merasakan kebahagiaan tersebut. Dia bersyukur dapat melihat dan merasakan langsung kemenangan kekuatan cinta yang suci, yang dapat mengalahkan segala macam rintangan dan waktu. Sesuatu yang udah langka di dunia ini, dunia yang penuh kepalsuan dan kemunafikan.
Neraka Pulau Biru 3 Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono Anak Rajawali 7
Oti dan Raka tiba di rumah menjelang tengah malam. Suasana dalam rumah tampak gelap, seperti biasanya. Pasti Ai udah tidur! batin Raka. Sementara Raka mengunci motornya, Oti membuka pintu depan dengan kunci yang dibawanya.
"Ssstt... " Oti menempelkan jari telunjuknya di mulut, saat Raka gak sengaja menabrak kursi di ruang tengah. Ruang tengah emang gelap, karena lampu dimatiin semuanya.
"Ai, lampu meja kok gak dinyalain sih" Jadi gelap gini," gerutu Raka. Biasanya emang setiap malam lampu meja di ruang tengah dinyalain. Walau cahayanya cuma remang-remang, lumayan daripada gelap sama sekali.
"Gue ke atas, ya"" kata Oti. Raka memandang Oti sejenak, kemudian mencium kening cewek itu, tiba-tiba lampu ruang tengah menyala, dan... "Ayah!!" seru Raka terkejut.
"Papa!!" Di dekat sakelar lampu, berdiri ayah mereka berd
ua. Nggak lama kemudian dari arah tangga atas, turun seorang wanita setengah baya yang memakai baju tidur. "Mama!!" jerit Oti tertahan.
Ayah Raka dan Oti memandang tajam pada kedua anaknya yang sedang berpelukan. Seolah-olah mengerti arti tatapan tersebut,Raka melepaskan pelukannya. Wajahnya keliatan pucat. Sama kayak Oti.
"Papa, Mama, kapan datang" Kok tumben" Ada apa""tanya Oti dengan suara bergetar dan terbata-bata. Sekilas dia dapat melihat wajah mamanya yang memendam perasaan duka. Entah apa. Mamanya gak menjawab pertanyaan Oti. Wanita itu hanya mematung di anak tangga.
"Raka!" sebagai jawaban terdengar suara ayahnya. Kemudian pria setengah baya itu mendekati Raka, dan tanpa diduga, tangan kanannya bergerak, menampar wajah anak laki-lakinya itu. Begitu kerasnya tamparan tersebut, hingga Raka hampir terlempar. Darah segar mengalir dari bibirnya.
"Pa!" jerit Oti dan Ibunya hampir berbarengan.
"Ini belum seberapa dibandingkan aib yang kamu timbulkan di rumah ini!" kata Ayah Raka dengan suara keras. Raka mengusap darah yang keluar dari bibirnya sambil memandang heran ke arah ayahnya, walaupun sebenarnya dia udah dapat menduga maksud perkataan ayahnya.
"Maksud ayah"" tanya Raka.
"Jangan pura-pura! Ayah udah tau perbuatan kalian berdua!" ayahnya kini memandang tajam ke arah Oti.
"Pa... tenang, Pa, udah malam," ibu Oti memperingatkan.
"Apa maksud Ayah dengan perbuatan yang kami lakukan"" tanya Raka kembali, sementara Oti hanya tertunduk, gak berani membalas tatapan ayahnya.
"Kamu masih mengelak" Kami tau kalian pacaran. Sungguh memalukan!" bentak ayahnya. Raka membalas tatapan ayahnya. Beberapa saat keduanya saling menatap dengan tajam. "Kamu masih mengelaknya"" tanya ayahnya.
Raka menghela napas sebentar. Dia mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk menjawab pertanyaan ayahnya.
"Baiklah. Karena Ayah dan Tante Heni udah mengetahui hal ini, kami gak akan menyangkal.
Kami emang pacaran. Apakah itu salah"" kata Raka mencoba tenang.
"Tentu saja itu salah! Kalian gak boleh pacaran!" kata ayahnya.
"Kenapa" Karena kami kakak-beradik" Bukankah kami hanya saudara tiri" Gak punya hubungan darah" Kenapa kami gak boleh berpacaran"" tanya Raka keras.
Tiba-tiba terdengar suara tangus dari atas. Tante Heni menangis terisak-isak di tangga. Oti memandang heran ke arah mamanya.
"Mama, ada apa"" tanya Oti lirih.
"Kalian gak boleh berpacaran! Mulai detik ini, putuskan hubungan kalian!!" kata ayahnya tegas.
"Kenapa gak boleh"" tanya Raka. "Iya, Papa, kenapa!!""
"Pokoknya gak boleh! Ini keputusan Ayah! Titik! Dan Oti! Kamu ikut Papa dan Mama ke London! Sekolahmu akan dilanjutkan di sana!!" kata Papa murka.
"Apa" Gak! Oti gak mau pindah! Kalo Papa gak bilang alasannya, kami gak akan nurutin kata-kata Papa!!" kali ini Oti yang ngomong. Ayahnya memandang tajam ke arah Oti.
"Kamu mau melawan Papa""tanyanya ayahnya marah.
"Oti ingin tau alasannya!" kata Oti tegas.
PLAK! Tamparan mendarat di pipi Oti. Nggak sekeras tamparan pada Raka, tapi cukup membuat pipi kiri cewek itu memerah. "Ayah!" seru Raka.
"Papa bukan Papa kandung Oti! Papa gak berhak nampar Oti!" kata Oti. Matanya berkaca-kaca, kemudian dia berlari ke tangga.
"Oti!" kata ibunya saat berpapasan dengan anak gadisnya. Oti memandang ibunya sejenak, kemudian meneruskan langkahnya , menuju kamarnya di lantai atas.
"Oti benar. Harus ad alasan kenapa Ayah melarang hubungan kami," kata Raka.
"Kita bicarakan ini besok. Sekarang sudah malam," kata Ayah Raka. Nada bicaranya agak mereda. Kemudian ia berbalik meninggalkan putranya.
"Ayah...," panggil Raka. Tapi ayahnya tetap meneruskan langkahnya. Tinggalah Raka sendiri ada di ruang tengah. Dia masih belum mengerti kenapa ayahnya melarang hubungannya dengan Oti.
*** "Oti boleh Mama masuk""
Nggak ada jawaban. Mama Oti membuka kamar Oti yang ternyata tidak terkunci. Tampak anaknya sedang tertelungkup di tempat tidurnya sambil menangis. "Oti..." Wanita setengah baya itu mengusap rambut anaknya.
"Kenapa, Ma" Kenapa Papa begitu marah" Papa belum pernah mu
kul Oti, sebesar apapun kesalahan Oti," kata Oti di sela-sela isak tangisnya.
"Mungkin Papa begitu shock mendengar kamu pacaran dengan Raka. Kamu tahu kan sifat Papamu yang gampang marah," jawab mamanya menghibur.
"Iya, tapi kenapa Papa marah" Padahal kali ini Oti gak ngelakuin kesalahan apa-apa. Juga Raka. Bukankah wajar kalo pria dan wanita saling mencintai"" "Iya, tapi..."
"Tapi apa" Karena kami saudara" Bukankah kami gak punya hubungan darah" Itu gak dilarang agama, kan"" cecar Oti.
Nggak ada jawaban dari mamanya. Wanita setengah baya itu hanya memandang Oti dengan tatapan kosong.
"Ma"" Oti heran karena gak ada respon dari mamanya. Dia segera membalikkan badan, menghadap mamanya.
"Kami gak punya hubungan darah, kan"" tanya Oti kembali. Tapi pandangan mata mamanya gak berubah, seolah ada sesuatu yang berkecamuk dalam pikirannya.
"Ma!" kali ini dengan suara agak keras Oti memanggil mamanya. Suaranya ternyata cukup membuat mamanya tersadar dari lamunannya.
"Iya... ada apa, Sayang"" tanya mamanya.
"Mama kenapa" Mama mikirin sesuatu"" desak Oti.
"Nggak. Mama gak mikirin apa-apa. Kamu tanya apa tadi""
"Oti gak punya hubungan darah dengan Raka, kan""
Sebagai jawaban mama Oti memeluk anaknya. "Tentu aja gak, Sayang. Kamu anak kandung Mama dan Papa Ardi..." jawab wanita itu lirih. Tanpa sepengetahuan Oti, air mata mamanya menetes.
"Mama nangis"" tanya Oti.
"Nggak apa-apa. Mama hanya teringat almarhum papamu." Papa kandung Oti meninggal saat Oti masih bayi, karena sakit.
"Dengar Oti... mungkin Papa kamu tidak bisa menerima hubungan cinta antar-anggota keluarga. Walau kalian tidak punya hubungan darah, tapi kalian telah jadi satu keluarga. Bagi kita, orang timur, hubungan seperti itu sangat tidak lazim. Kau harus mengerti. Selain itu, walaupun tidak dilarang agama, tapi hubungan seperti kalian juga sebaiknya tidak dilakukan," lanjut mamanya. Oti hanya terdiam mendengar kata-kata mamanya. "Oti, besok temani Mama ziarah ke makam Papa Ardi di Jakarta, ya" Sejak dari London Mama belum sempat, karena langsung kesini. Mau, kan" Sesudah itu kita mengunjungi nenek di Bogor. Mungkin kita akan menginep di rumah nenek. Senin kamu gak ada ulangan, kan"" tanya mamanya. "Dengan Papa"" tanya Oti.
"Papa kayaknya akan di sini dulu. Menurut Mama, sebaiknya kamu menghindar dulu dari Papa, agar suasana mendingin. Biar Papa bicara dengan Raka," kata mamanya. "Tapi Oti gak mau berpisah dengan Raka," kata Oti. "Kamu sangat mencintai dia"" tanya mamanya. Oti mengangguk.
"Oti gak bisa berpisah dari dia, begitu juga Raka. Kami saling mencintai. Sudah banyak halangan dan rintangan yang kami lalui agar cinta kami bisa bersatu. Gak mungkin itu bisa dihancurkan dalam sekejap," kata Oti panjang lebar.
Mama Oti memandang anaknya sekilas, seperti menyimpan pertanyaan. "Oti kamu dengan Raka tidak... "
"Soal itu mama jangan khawatir. Kami masih tau mana yang boleh dilakukan mana yang gak. Oti gak akan membuat malu nama keluarga. Percayalah," kata Oti tegas.
"Mama tahu. Mama percaya padamu. Sejak kecil walau nakal, tapi kamu gak pernah melakukan hal yang membuat malu Mama."
"Kalo Mama sendiri, apakah setuju dengan hubungan kami""
Tante Heni tidak langsung menjawab pertanyaan anaknya. Dia diam sejenak. "Raka anak yang baik. Pada dasarnya Mama pun menyukai dia. Mama yakin dia bisa menjaga dan melindungi kamu." "Jadi Mama setuju""
"Saat ini bukan masalah Mama setuju atau nggak, tapi kepentingan keluarga ini yang utama. Dan Papamu bertindak berdasarkan pikiran semacam itu."
"Apa Mama bisa mengubah pikiran Papa untuk menyetujui hubungan kami" Hubungan Oti dengan Raka benar-benar tulus, atas dasar cinta. Kami telah berjanji merawat hubungan kami ini sebaik-baiknya," kata Oti.
Mama menghela napas mendengar pertanyaan anaknya.
"Ma... " "Mama gak bisa janji, tapi Mama akan bicara dengan Papa. Kamu tahu kan sifat Papa. Nggak mudah mengubah pendiriannya," kata Mama. "Makasih, Ma...," Oti memeluk mamanya.
"Oti sebetulnya sangat sayang ama Papa dan Mama. Oti udah menganggap Papa seperti Papa k
andung Oti sendiri. Oti hanya gak bisa nerima sikap Papa yang gak menyetujui hubungan kami tanpa alasan yang kuat."
Mamanya mengelus-elus punggung Oti dengan penuh kasih sayang.
"Satu lagi, Ma, Oti gak pengin pindah ke London. Bukan karena Raka, tapi karena Oti senang sekolah di sini. Di sini Oti mendapat suasana sekolah dan teman-teman baru yang menyenangkan. Oti gak bisa ninggalin semua itu," kata Oti.
"Nanti di London kamu juga akan mendapat kawan-kawan baru. Banyak juga orang Indonesia yang sekolah di sana," kata mamanya menenangkan.
"Oti gak mau. Pokoknya Oti tetap pengin sekolah di sini. Mama mau ngomong soal itu ke Papa, kan"" tanya Oti.
"Baiklah, Mama akan coba bicarakan dengan Papa."
"Thanks, Ma... "
*** Pada hari minggu pagi, Raka harus pergi siaran. Belum ada yang bangun, kecuali Ai yang emang biasa bangun pagi, dan ibu tirinya.
"Maafkan Ai ya, Kak! Ai yang ngomong ke Ayah. Pas telepon, Ayah nanyain kabar Kak Raka dan Kak Oti. Ai jadi kelepasan ngomong. Ai gak mengira Ayah begitu marah mendengar hubungan Kakak dengan Kak Oti, lalu datang kemari. Kalo Ai tahu akan begini kejadiannya... "
Mendengar suara Ai yang bergetar dan wajahnya yang tampak memelas, Raka merasa iba. Adiknya tampak merasa sangat bersalah.
"Sudahlah. Cepat atau lambat hal ini pasti akan terjadi. Kalo bukan dari kamu, pasti Ayah akan tau juga. Kamu gak perlu meeasa bersalah. Justru Kakak berterima kasih, karena Kakak gak perlu ngomong sendiri hal ini pada Ayah," jawab Raka sambil mengelus rambut adiknya. "Tapi Kakak jadi dimarahi Ayah. Hubungan Kakak dengan Kak Oti jadi berantakan..." "Siapa bilang" Kami udah memperhitungkan hal ini akan terjadi. Kakak dan Kak Oti bertekad, apa pun yang terjadi, kami harus bisa mempertahankan hubungan kami, karena apa yang kami lakukan nggak salah. Ai mendukug hubungan Kakak, kan"" Ai mengangguk.
"Bagus! Itu baru adik Kakak. Udah ya... Kakak mau pergi siaran dulu," kata Raka, kemudian melangkah keluar. Di dekat tangga, dia ketemu Oti yang baru bangun. Beberapa saat lamanya keduanya hanya saling memandang.
"Lo mau siaran"" tanya Oti. Raka mengangguk.
"Gue mau nemenin Mama ke Jakarta. Ziarah ke makam Papa, kemudian ke tempat saudara," kata Oti.
"Berapa lama"" tanya Raka.
"Gak tau. Mungkin kami akan nginep di sana. Soalnya saudara Mama kan banyak," kata Oti. "Baiklah. Hati-hati aja," kata Raka.
"Thanks... lo juga. Jangan bikin masalah dengan Papa semakin besar," pesan Oti.
Oti melangkah menuju dapur. Saat melewati Raka, tiba-tiba cowok itu memegang tangannya.
"Ot... " "Ada apa"" tanya Oti.
"Gak. Gue pergi dulu," kata Raka.
Oti mengangguk. Raka kemudian meneruskan langkahnya menuju pintu depan.
*** Dua hari kemudian, sepulangnya Oti dari Jakarta, cewek itu ingin bicara dengan Raka. Semula Raka menganggap permintaan Oti biasa aja. Tapi pas melihat wajah Oti yang serius, Raka menduga sesuatu terjadi pada Oti ketika berada di Jakarta. Mereka berbincang di sebuah perkebunan teh di Lembang. Di sana terdapat saung-saung kecil sebagai tempat istirahat. Udara sore tetasa sejuk di kaki gunung. Nggak hujan, tapi juga gak panas. Cocok buat ngobrol dengan tenang.
Raka bersandar di tepi sebuah saung, nunggu Oti ngomong. Keliatannya Oti masih bingung dari mana harus mulai.
"Ka, sebaiknya kita putus aja," kata Oti akhirnya sambil membelakangi Raka. Ucapan itu benar-benar mengejutkan Raka.
"Oti" Apa maksud lo"" tanya Raka dengan kaget.
"Udah jelas. Kita gak bisa ngelanjutin hubungan kita," jawab Oti.
Raka benar-benar gak habis pikir. Terakhir kali dia melihat Oti begitu semangat dengan hubungan mereka, bahkan sampai menentang ayahnya. Tapi sekarang, kenapa dia ingin memutuskan hubungan"
"Oti, ada apa" Kenapa lo"" tanya Raka.
Oti menggeleng. "Gak ada apa-apa. Gue cuman meras kita gak bisa pacaran kayak orang-orang biasa. Kita emang ditakdirkan untuk jadi Kakak-adik."
Raka merengkuh pundak Oti dan membalikan badannya. Dia melihat kayak ada yang aneh pada diri cewek itu. Memang sedari tadi mata Oti sembap, kayak habis nangis terus menerus
. "Oti, gue tau lo paling gak bisa boong. Gue tau pasti ada apa-apa. Selama lo di Jakarta, ada apa"" tanya Raka sambil menatap mata Oti. Raka gak memberi kesempatan Oti untuk menunduk, menghindari tatapan matanya.
"Lo mau tau apa yang sebenarnya terjadi"" tanya Oti.
"Tentu aja," sergah Raka.
"Tapi, setelah ini, lo pasti akan membenci seseorang," kata Oti.
"Siapa" Lo""
"Bukan. Lo harus janji dulu, setelah gue ceritain, lo gak bakal ngebenci siapapun. Janji"" tanya Oti.
Raka terdiam sejenak. Beberapa saat kemudian dia mengangguk pelan. "Baiklah. Gue janji."
Oti kembali membalikkan badannya, memperhatikan pemandangan di kaki gunung Tangkuban Perahu yang terbentang luas di hadapannya. "Papa dan Mama bohong sama kita," kata Oti.
"Bohong"" "Ya. Sebetulnya kita saudara sedarah." Untuk kedua kalinya Raka dibuat terkejut oleh ucapan Oti. Kali ini bahkan dia kayak disambar petir, nggak percaya mendengar apa yang dikatakan Oti.
"Oti" Lo gak bohong, kan""
"Kali ini gue ngomong yang sebenarnya. Gue sendiri baru tau pas di Bogor. Saat gue secara gak sengaja ngedenger Mama cerita tentang kita pada Nenek. Gue denger Mama bilang gue anak Mama dengan Papa Rudi. Tentu aja gue kaget dan gak percaya, sama kayak lo sekarang ini. Karena itu kemudian gue desak Mama untuk mengatakan hal yang sebenarnya pada gue. Dan akhirnya Mama ngaku." Oti menarik napas sejenak, lalu menyambung, "saat Papa Ardi masih hidup, ternyata Mama udah berhubungan dengan Papa Rudi. Mama mengaku hal itu dia lakukan karena khilaf, sebab sejak jatuh sakit, Papa Ardi hanya bisa terbaring di tempat tidur tanpa bisa berbuat apa-apa. Akibat hubungan Mama dengan Papa Rudi, akhirnya Mama hamil. Mulanya Mama panik, takut Papa Ardi tahu soal itu. Untunglah Papa Ardi gak curiga, sebab Mama mengaku yang dikandungnya anak mereka. Malah menurut Mama, Papa Ardi sangat gembira karena Mama hamil, sebab menurut keterangan dokter, penyakit yang diderita Papa Ardi dapat menyebabkan dirinya kurang subur. Artinya, sangat kecil kemungkinan Papa Ardi bisa punya anak. Karena itu setelah gue lahir, Pap Ardi memberi nama Victory, karena dia merasa udah ngalahin takdir yang sedang menimpanya.
"Setelah Papa Ardi meninggal, Mama sangat terpukul, tapi gak bisa dipungkiri dalam hati Mama juga lega. Walau Papa Rudi baru menikah dengan Mama secara resmi tiga tahun kemudian, tapi pada praktiknya, gue udah memanggil Papa pada Papa sejak gue baru bisa ngomong. Saat gue beranjak remaja, baru Mama mengatakan Papa Rudi bukan Papa kandung gue. Menurut Mama, saat itu dia mengatakan hal itu karena merasa berdosa pada Papa Ardi, dan agar semua keluarga tetap nganggap gue sebagai anak Papa Ardi."
"Lo percaya kalo lo anak kandung Ayah" Mungkin aja Mama lo salah. Mungkin lo emang benar-benar anak almarhum Papa lo"" tanya Raka rada-rada kalut.
"Waktu berumur lima tahun, gue pernah kecelakaan, ditabrak mobil. Mama bilang saat itu Papa Rudi yang menyumbang darahnya untuk transfusi. Gak mungkin kan golongan darah Papa Rudi cocok ama gue kalo bukan karena gue anaknya"" tanya Oti.
"Tapi bisa aja itu kebetulan. Kan asal golongan darahnya cocok, orang lain juga bisa." Raka tetap keras kepala.
Oti menoleh ke arah Raka. "Kenapa sih lo gak bisa nerima kenyataan" Mama yakin gue anak Papa Rudi, dan dia merasa berdosa tentang hal itu. Gue gak mau nambah beban Mama. Gue sayang ama Mama. Gue gak mau liat dia menderita." "Lo gak sayang ama gue"" tanya Raka putus asa.
"Gue juga sayang ama lo. Tapi kalo disuruh milih, saat ini gue akan milih Mama. Maafin gue. Gue tau lo gak bisa nerima semua ini. Pertama gue juga begitu. Tapi setelah berpikir, gue rasa gue harus mentingin kepentingan keluarga. Lagi pula kalo ini benar, maka kita udah melakukan kesalahan. Untung kita belum terlalu jauh untuk dapat keluar dari kesalahan ini. Gue harap lo mau ngerti kayak gue."
Raka merenung memikirkan perkataan Oti. Kalo apa yang dikatakan Oti bener, pantas aja Ayahnya begitu marah saat mengetahui hubungannya dengan Oti. Ayahnya gak bisa ngasih alasan yang tepat, karena takut membongkar aibnya di m
asa lalu. Sekarang Raka bisa ngerti. Kalo Oti dapat mengorbankan cintanya demi kepentingan keluarga mereka, kenapa dia gak bisa"
Raka memandang Oti. Walau masih berusia enam belas tahun, tapi dia gak nyangka Oti bisa bersikap dewasa, lebih dari dirinya. Dia kini melihat sosok Oti bukan sebagai cewek remaja, tapi sebagai cewek yang udah punya pemikiran matang dan rela mengorbankan kebahagiaannya sendiri demi kebahagiaan orang lain. Dan kalo Oti bisa, kenapa gue gak" batin Raka.
"Ka, lo mau terima keputusan gue, kan"" tanya Oti lagi. "Gue akan sulit ngelupain lo," ujar Raka akhirnya.
"Gue tau. Gue juga bakal sulit ngelupain cinta kita. Karena itu gue terima tawaran Papa. Gue akan ke London. Ngelanjutin sekolah di sana."
Ke London" Oti akan ke London"
"Lo gak perlu ngelakuin itu," kata Raka cepat.
"Gue juga sebenarnya gak mau. Tapi mungkin ini satu-satunya cara agar gue bisa ngelupain lo. Lagi pula kata Mama, Dio udah mulai nakal. Gue harus ngebantu ngawasin dia." Raka gak bisa berkata apa-apa. Di satu pihak dia mengakui itu jalan terbaik untuk melupakan cinta mereka. Minimal mereka gak sering ketemu. Di pihak lain, dia akan merasa kehilangan Oti, kehilangan senyumnya, sifat jailnya, dan yang terpenting, cintanya. "Lo jangan khawatir. Kita kan masih tetao saudara. Kakak-adik. Kalo udah bisa ngelupain cinta kita, gue akan nemuin lo. Lagi pula, ini kesempatan lo untuk balik ke Ajeng. Lo mencintai dia juga, kan""
"Itu... " "Gak usah lo bilang, gue udah tau." Oti mendekati Raka. "Kapan lo pergi" Atau besok"" tanya Raka.
"Gak secepai itu. Gue kan harus nguru administrasi kepindahan gue, dan pendaftaran di sana. Mungkin akhir semester ini. Berarti sekitar sebulan lagi. Sementara ini Mama tetal di sini ngedampingin gue. Kami berdua akan pindah ke rumah salah satu teman Papa yang disewa sampai kami pindah."
"Kenapa kalian gak tinggal di rumah sampai lo pindah"" tanya Raka lagi. "Gue sih penginnya begitu, tapi Papa gak setuju. Dia bersikeras gue harus pisah dari lo. Gue harap lo bisa ngerti keinginan Papa. Dan seperti janji lo, lo gak akan musuhin siapa pun, termasuk papa dan mama gue, kan""
Raka memandang Oti yang tepat berada di hadapannya. "Jangan khawatir. Gue akan tepatin janji gue."
Oti tersenyum. Senyum Oti merupakan salah satu faktor yang membuat Raka jatuh hati padanya.
"Jadi kita tetap kakak-adik"" Oti menyodorkan jari kelingkingnya ke hadapan Raka. Raka menyambut jari kelingking Oti dengan jari kelingkingnya. Jari kelingking mereka bertaut. Tiba-tiba Raka memeluk Oti. Erat sekali. "Gue akan sulit ngelupain lo," ujar Raka lirih.
"Gue tau. Gue juga. Tapi kita harus berusaha. Lo mau berusaha kayak gue, kan"" pinta Oti. "Gue akan berusaha, walau gue gak tau apa gue bisa," ujar Raka pahit. "Kalo gue bisa, lo pasti bisa. Kembalilah pada Ajeng. Dia sangat mencintai lo. Dia bisa ngebantu lo ngelupain gue."
*** Sebulan udah berlalu. Liburan udah tiba. Dan itu berarti saatnya Oti untuk pergi. Ninggalin teman-teman, rumah, sekolah, juga cintanya.
Jam empat sore, Oti dan ibunya udah ada di Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Selain mereka, ada juga Ai yang ikut nganter, juga Ticka, Laras, dan Revi! "Kak Raka belum datang juga"" tanya Ticka pada Ai.
"Kayaknya gak. Tadi Ai nelepon tapi HP-nya gak aktif," jawab Ai. Kemudian pandangannya itu beralih ke Oti. Oti hanya tersenyum kecil. Dia gak tau apakah Raka benar-benar sibuk seperti yang dikatakannya semalam, atau hanya alasan untuk menghindari dirinya.
"Kalo gak ad lagi, kita check in sekarang," kata mamanya. Oti terdiam sejenak, memandang ke arah depan bandara. Kemudian ia mengangguk, seraya memandang adik dan teman-temannya, seolah ingin mengatakan saat berpisah udah tiba. Oti mendekati Ai yang berada di dekatnya.
"Jaga Raka ya, dan ntar kalo liburan kamu harus main ke sana," kata Oti pada Ai. Ai memandang Oti dengan mata berkaca-kaca, kemudian memeluk kakaknya.
"Ai akan kesepian lagi, gak ada kakak," kata Ai dengan suara bergetar.
"Jangan begitu. Raka pasti akan menjaga kamu dengan baik. Percayalah!" Oti lalu beralih
ke Ticka yang ada di sebelah Ai.
"Gue juga akan kesepian tanpa lo, Ot. Laras sama sekali gak bisa diajak berantem. Gak seru jadinya," kata Ticka. Laras yang berada di sebelahnya tersenyum kecil mendengar ucapan Ticka.
"Jangan gitu. Lo belum tau kemampuan Laras yang tersembunyi," balas Oti. Ticka kemudian memeluk Oti.
"Sayang Raka gak datang. Gue tau lo pengen ketemu dia untuk terakhir kalinya," ujar Ticka lirih di telinga Oti.
"Mungkin dia sedang berusaha ngelupain gue. Gue bisa ngerti," balas Oti.
"Terima kasih, Ot, kamu selama ini udah nolong Laras, dan membuat Laras jadi orang yang percaya diri," kata Laras saat Oti berada di hadapannya.
"Gak, Ras, itu semua karema diri kamu sendiri. Oti hanya ngebantu. Oti juga ingin berterima kasih, karena kamu udah banyak ngebantuin Oti selama ini," kata Oti tulus.
"Jangan lupain kami ya...," kata Laras di sela-sela pelukannya pada Oti.
"Gak akan, Ras, kalian teman-teman terbaik yang Oti punya. Oti harap kalian juga gak akan melupakan Oti."
Kini giliran Revi yang mengucapkan salam perpisahan pada Oti. "Kapan-kapan gue boleh main ke tempat lo, kan"" tanya Revi.
"Tentu aja. Kalo lo liburan besok lo bisa pergi bareng Laras dan Ai. Mereka juga akan ke London," jawab Oti.
Revi memeluk Oti. "Thanks, Ot, lo udah nyadarin gue dari sikap gue selama ini."
"Gak perlu. Itu karena pada dasarnya lo orang baik. Gue tau itu dari pertama kali ketemu lo.
Jaga Bayu baik-baik. Gue akan selalu berdoa semoga kalian bahagia."
"Udah, Ot"" tanya Mamanya. Oti mengangguk.
"Ai, Mama pergi dulu." Mama Oti memeluk dan mencium kedua pipi Ai, kemudian dilanjutkan dengan yang lain.
"Selamat tinggal, semua...," seru Oti sambil melambaikan tangan. "Hati-hati di jalan, Ot," kata Laras.
"Di sana lo belajar ya, jangan ikut kontes-kontesan lagi. Dan jangan lupa salam buat Pangeran William...," sambung Ticka.
Oti tersenyum, kemudian, sambil mendorong kereta berisi koper-kopernya, ia dan mamanya melangkah masuk.untuk check in. Selanjutnya mereka akan menunggu keberangkatan di ruang duduk yang memang khusus untuk penumpang. Dari balik kaca yang memisahkan ruang keberangkatan, Oti masih sempat melambaikan tangan kepada teman-temannya. Mereka gak perlu nunggu lama dalam ruang tunggu duduk itu. Pengumuman boarding pesawat mereka segera terdengar.
"Kamu gak mau nelepon Raka untuk terakhir kalinya"" tanya Mama saat mereka bangkit dari duduk dan bersiap akan masuk pesawat.
"Gak, Ma. Kata Ai HP-nya gak aktif," jawab Oti.
Baru aja Oti menyelesaikan kalimatnya, sebuah suara yang amat dikenalnya memanggil dari arah belakang.
"Otiii!!!" Oti menoleh. Raka berdiri beberapa meter darinya. Napasnya ngos-ngosan. Oti memandang mamanya penuh harap. Mamanya mengangguk.
"Jangan lama-lama. Pesawat akan segera berangkat," kata Mama.
Oti segera berlari ke arah Raka.
"Kenapa lo bisa masuk ke sini"" tanya Oti setelah mereka berdua berhadapan.
"Itu gak penting....," jawab Raka di sela-sela napasnya yang terengah-engah. Raka tiba di Bandara beberapa saat setelah Oti masuk untuk check in. Dan atas bantuan Revi yang kebetulan kenal dengan salah satu petugas bandara, Raka bisa masuk ke ruang yang sebetulnya khusus bagi penumpang yang akan berangkat. Revi sendiri yang masuk bareng Raka hanya melihat kejadian itu dari jauh. Dia gak pengin mengganggu mereka.
"Jadi, ini saatnya kita berpisah"" tanya Raka.
"Kita gak akan berpisah. Kita pasti akan ketemu lagi. Dan ketika saat itu tiba, Oti harap kita dapat bertemu sebagai adik-kakak."
Raka menatap mata Oti. Tangannya merogoh sesuatu dari saku jaket.
"Ini...," Raka memberikan benda yang digenggamnya. Ternyata seuntai kalung kuning keemasan, yang matanya membentuk ukiran huruf "VR".
"Gue pesen kalung ini ke temen gue. Sebetulnya buat hadiah ulang tahun lo. Tapi kemudian keadaan berubah. Tadinya akan gambar hati di belakang huruf itu. Walau begitu gue tetap ingin memberikan kalung ini ke lo..." Raka mengatur napasnya sejenak sebelum melanjutkan, "Kalo ketemu nanti kalung ini udah gak tergantung lagi di leher lo, ata
u udah gak ada ama lo, berarti lo emang udah benar-benar ngelupain cinta kita. Saat itu, barulah gue bisa tenang."
Oti menerima kalung pemberian Raka, dan memasangnya di leher, menggantikan kalung yang dipakainya. Kalungnya sendir diserahin ke Raka. "Sama. Gue harap lo mau nerima kalung gue. Kalo gue liat lo gak pake, berarti lo udah ngelupain cinta lo ke gue," balas Oti. Raka menerima kalung Oti. Gak seperti kalung lainnya, kalung Oti ini bermatakan proyektil peluru yang pernah menembus perutnya. Katanya sebagai kenang-kenangan dia pernah tertembak.
"Boleh gue nyium lo"" pinta Raka.
Oti membelalakkan matanya, seolah-olah mengingatkan Raka akan janjinya. "Hanya ciuman kakak pada adiknya yang akan pergi jauh," lanjut Raka. Oti terdiam sejenak, kemudian mengangguk. Raka membungkuk sedikit, mencium kening Oti dengan lembut. Oti pun memejamkan mata, seakan menikmati ciuman tersebut.
Ulangan panggilan untuk boarding bagi para penumpang yang akan ke London menyadarkan mereka. Oti menoleh ke arah mamanya, yang memberi tanda untuk segera masuk pesawat. "Gue pergi dulu. Jaga diri lo, jaga Ai." "Lo juga. Jaga diri lo di sana."
Oti melangkah mundur meninggalkan Raka sambil melambaikan tangan, kemudian berbalik, dan berjalan ke arah mamanya.
"Ma...," kata Oti sambil memandang mamanya. Dia takut mamanya akan menceritakan kejadian saat Raka mencium dirinya pada ayahnya.
"Mama mengerti. Jangan takut, Mama gak akan cerita pada Papa," kata Mamanya, seolah mengerti kekhawatiran Oti.
Kampus Jurusan Geologi Unuversitas Padjajaran, Jatinangor.
Jarum jam menunjukkan pukul satu siang. Kampus kelihatan sepi. Tentu aja sekarang masa liburan. Kalaupun ad beberapa orang di sekitar kampus, itu gak lain para calon.mahasiswa yang sedang sibuk melakukan pendaftaran ulang. Itu bisa dilihat dari dandanan mereka yang rata-rata rapi dan bawa map.
Sebetulny tadi pagi kampus Geologi sempat ramai penuh calon mahasiswa yang.lolos SPMB yang baru diumumin minggu lalu. Menjelang siang, jumlah calon.mahasiswa itu semakin berkurang, walau pendaftaran buka sampe jam tiga sore. Dan menjelang siang, jumlahnya semakin didominasi panitia MABIM yang merupakan panitia pendaftaran yang merupakan mahasiswa tingkat dua dan tiga. Entah sial entah beruntung, anak-anak yang berhasil tembus masuk kuliah di jurusan Geologi UNPAD ini, soalnya kalo di kampus lain mahasiswa baru hanya digojlok pas masa MABIM yang resmi, di kampus ini masa penggojloka dimulai begitu pendaftaran ulang!
Di salah satu sudut ruang kuliah, keliatan Raka sedang duduk bareng dua temannya. Mereka semua memakai jaet almamater, dengan syal hitam dan bertuliskan "TATIB" melingkar di lengan kanan masing-masing. Di hadapn mereka berdiri seorang calon mahasiswa baru, cewek. Calon mahasiswa baru ini hanya tertunduk diam mendengar apa yang dikatakan Raka dan yang lainnya.
"Jadi kamu udah tau apa kesalahan kamu" Saya gak mau kamu masuk lagi ke ruangan ini karena kesalahan yang sama. Ngerti"" kata Irma, salah satu teman Raka dengan suara agak membentak. Yang dibentak cuma diam dengan wajah masih tertunduk.
"Jawab! Kamu ngerti gak!"" Kali ini Irma agak meninggikan suaranya, membuat si anak baru agak kaget.
"Mengerti... Kak...," jawab calon mahasiswa agak gemetar.
Raka bangkit dari tempat duduknya dn menghampiri si calon mahasiswa.
"Ya sudah. Sekarang kamu boleh pulang. Sampe ketemu tanggal delapan belas. Kamu pulang naek apa"" tanya Raka sambil menepuk pundak cewek berambut sebahu itu.
"Sama temen, Kak. Sudah ditunggu di depan."
"Baik. Kamu boleh keluar."
Sepeninggal calon mahasiswa itu, kedua teman Raka menatap dirinya. "What"" tanya Raka heran.
"Kok tumben tadi lo baek banget, Ka" Biasanya lo justru yang paling galak di antara kita," tanya Irma.
"Baek apanya" Gue biasa-biasa aja kok. Mungkin karena udah siang dan gur udah agak laper, jadi gue udah gak mood buat ngebentak-bentak," jawab Raka membela diri.
"Ooo.. gitu, kirain karena lo ada feeling ama dia. Tapi dia lumayan manis juga kok. Pepet terus aja, Ka...," timpal Adi-yang biasanya dipanggil Adun
ama temen-temennya. "Pepet, emangnya bus"" sahut Raka, kemudian mereka semua tertawa.
Sebetulnya tadi ada sebab lain kenapa Raka bersikap baik. Wajah calon mahasiswa baru itu mirip sekali dengan wajah seseorang yang pernah dikenalnya. Orang yang udah lama gak diliatnya. Ya, wajahnya mirip sekali Oti. Sejak perpisahanny dengan Oti di bandara dua tahun lalu, Raka emang belum pernah lagi melihat cewek yang pernah mengisi relung hatinya.
Bahkan berkomunikasi juga gak. Mungkin karena Oti dilarang ayahnya berhubungan dengan Raka. Raka cuma tau kabar Oti dari Ai yang sering menelepon kakak tirinya itu.
Ya, dua tahun serasa berlalu dengan cepat. Raka sekarang udah jadi mahasiswa di Jurusan Geologi UNPAD. Sesuai janjinya pada Oti, Raka berusaha keras melupakab bayangan cewek itu. Kata Ai, Oti gak pernah nanyain kabar Raka kalo nelepon. Oti jyga gak pernah berusaha menghubungi dirinya. Raka pernah terpikir buat nelepon Oti, sekadar say hello. Tapi niat itu kemudian diurungkannya. Dia gak pengin menimbulkan masalah baru kalo ayahnya tau dia berusaha menghubungi Oti. Dan apa kata Oti pada Raka ntar" Bisa-bisa dia dianggap gak nepatin janji.
Kegiatan kuliah yang padat membuat Raka sedikit demi sedikit bisa melupakan Oti. Apalagi dia bertemu teman-teman baru, dan gak sedikit sebenarnya teman ceweknya yang naksir dia. Tapi sejauh ini Raka belum mau pacaran lagi. Gak tau kenapa. Yang jelas bukan karna melupakan Oti, tapi karena Raka lagi malas aja.
Tapi setelah melihat mahasiswa baru itu, Raka seakan melihat sosok Oti kembali hadir di hadapannya. Karena itu gak heran kalo dia seakan-akan jadi paung di depan Yusi, sementara kedua temannya sibuk "mengiterogasi" anak baru itu.
"Ka...kok bengong sih"" suara Irma membuyarkan lamunan Raka.
"Eh... gak kok."
"Hayoo... mikirin siapa" Masih mikirin Yusi"" goda Adun. "Gak. Gue cuman capek aja," kata Raka. "Mo makan" Kita mo makan nih... Laper," tawar Irma. "Lo mo nraktir"" tanya Raka.
"Boleh aja, tapi ntar lo anterin gue pulang. Gimana"" kata Irma.
"Gak masalah," sambut Raka.
"Gue gak, Ma"" protes Adun.
"Gak ada jatah buat lo...," balas Irma.
"Yeeee.... " Raka hanya tersenyum sambil memandang Irma yang juga membalas memandangnya. Irma, selalu ceria dan berwajah manis. Udah lama terdengar gosip diem-diem Irma naksir Raka. Bahkan dia bela-belain jadi TATIB di kepanitiaan MABIM biar bisa dekat dengan Raka. Raka sih gak terlalu menanggapi gosip itu. Yang jelas dia emang suka berteman dengan Irma, suka ngobrol dengannya. Selain cantik, Irma memang juga enak diajak ngobrol, dan selalu ceria. Irma juga agak-agak tomboi, sama seperti Oti. Dan gak cuman Irma, tapi hampir seluruh cewek yang kuliah di jurusan geologi rata-rata emang punya bakat tomboi. Mungkin suasana perkuliahan yang sering ngadain kegiatan kuliah lapangan di alam terbuka seperti gunung atau di pinggiran sungai di daerah-daerah pedesaan, membuat cewek-ceweknya berpenampilan kayak pecinta alam aja. Tapi hubungan Raka dan Irma hanya sebatas teman, gak lebih. "Kok bengong lagi" Mau gak"" tanya Irma.
Raka mengangguk pelan, kemudian mereka bertiga melangkah ke luar ruangan, berjalan ke arah kantin terdekat yang berjarak sekitar seratus meter dari gedung kuliah.
*** "Raka!!" Suara yang memanggil Raka seperti pernah dikenalnya. Suara yang gak pernah didengarnya selama dua tahun terakhir. Raka menoleh, dan...
"Oti"" Raka seperti gak percaya dengan pandangannya sendiri. Tapi bener, yang berdiri beberapa meter di hadapannya adalah Oti. Ya, bener-bener Oti!
Raka masih bisa mengenalin Oti, walau penampilan cewek yang berdiri di hadapannya beda dengan Oti yang terakhir kali dilihat Raka di bandara. Rambut Oti sekarang panjang sebahu, dan tergerai bebas. Dan yang bikin beda adalah kacamata tipis yang sekarang dipake Oti. "Haiii..." Oti melambaikan tangan dan menghampiri Raka.
"Kok bengong" Kaget ya ketemu gue"" tanya Oti pada Raka yang masih melongo di tempatnya. Suara Oti keliatan biasa-biasa aja, seolah gak ada beban sama sekali. "Eh.. Gak." Raka baru tersadar. "Lo berdua duluan deh.
Ntar gue nyusul..," lanjutnya kemudian pada Irma dan Adun.
"Tapi jangan lama-lama ya" Yuk, Dun!" kata Irma lalu menarik tangan Adun menjauhi Raka.
"Cewek kamu"" tanya Oti setelah mereka tinggal berdua.
"Temen kuliah," jawab Raka.
"Emang mo kemana"" tanya Oti.
"Mo ke kantin. Makan. Lo udah makan"" tanya Raka.
"Udah tadi." Raka kembali memandang Oti. Sampai saat ini dia belum percaya yang berdiri di hadapannya ini bener-bener Oti. Dan kacamata itu... Raka sebetulnya gak kaget melihat Oti pake kacamata. Ai pernah cerita padanya.
"Kok bengong lagi" Lo gak seneng ketemu ma gue"" tanya Oti lagi dengan nada menggoda. "Kenapa lo bisa ada disini"" tanya Raka akhirnya.
"Nah gitu dong. Gue kira lo gak pernah nanya kenapa gue ada di sini," kata Oti. Tanpa sepengetahuan mereka, Irma dan Adun rupanya masih mengamati dari jauh. "Siapa sih"" tanya Irma.
Adun cuman mengangkat bahu. "Mana gue tau. Mungkin adiknya, temennya, atau bisa aja
ceweknya Raka. Kenapa" Cemburu""
"Yeee.... Kenapa gue harus cemburu"" tanya Irma.
*** "Gue gak bisa lama di sini karena udah ditunggu Laras," kata Oti.
"Laras"" "Ya. Lo gak tau dia maksud UNPAD juga" Di Fikom" Gue tadi ngantarin dia daftar ulang, terus mampir aja ke sini, siapa tau ketemu lo. Soalnya Ai bilang dari pagi lo udah ngejogrok di sini," kata Oti. "Lo tadi ke rumah"" tanya Raka."
"Iya lah! Gue sebetulnya pengin ngobrol banyak ama lo. Karena itu ntar malem lo jemput gue di tempat neneknya Laras, ya" Lo masih inget rumahnya, kan"" tanya Oti. Raka mengangguk.
"Jangan lupa pake pakaian yang rapi! Jangan pake kaos oblong ama jins! Minimal lo harus make kemeja," kata Oti.
"Emang kita mo ke mana"" tanya Raka.
Oti mengedipkan mata. "Ntar lo juga tau. Gue tunggu loh! Inget! Jam tujuh pas, jangan telat!" Setelah ngomong gitu Oti meninggalkan Raka, setengah berlari menuju mobil yang terparkir gak jauh dari situ.
Sepeninggal Oti, Raka masih tetap terpaku di tempat. Dia emang kaget ngeliat kemunculan Oti yang tiba-tiba. Tapi terkejut lagi ngeliat sikap Oti. Sikap Oti tadi sama sekali gak nunjukkin sikap orang yang pernah mencintainya. Sama sekali gak nunjukkin sikap kekasih yang terpaksa pisah selama dua tahun. Sikap Oti keliatan santai, seperti saat pertama kali datang dan ketemu Raka dua tahun lalu.
***
Victory Karya Luna Torashyngu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Jam tujuh kurang, Raka memarkir motornya di halaman rumah nenek Laras. Ketika berada di depan pintu rumah, dia sempat diam sejenak, kemudian menekan bel yang berada di dekat pintu. Beberapa saat menunggu, pintu terbuka. Seorang cewek yang berambut panjang yang membuka pintu. Bukan Oti! Cewek itu tersenyum pada Raka.
"Hai, Kak Raka. On Time nih" Masuk yuk!"
Raka masuk ke rumah. Dia seperti mengenal cewek yang membuka pintu tadi. Siapa ya" "Laras"" tanya Raka memastikan.
Yang ditanya hanya tersenyum lebar dan mengangguk. "Sebentar, Kak! Oti baru aja selesai mandi. Duduk aja dulu," katanya mempersilahkan, kemudian dia masuk, ke arah ruang tidur.
Raka duduk di sofa yang berada di ruang tamu.
Nggak berapa lama kemudian Laras muncul kembali ke ruang tamu. "Tunggu sebentar ya, Kak! Oti sedang dandan, khusus buat Kakak," godanya.
Dandan" Sejak kapan Oti bisa dandan" Raka hanya tersenyum mendengar godaan Laras. "Kak Raka juga udah rapi nih. Pas dong kalo gitu..." "Emang kamu tau Oti mo pergi ke mana"" tanya Raka. Laras cuman mengangkat bahu.
Raka kemudian mengobrol dengan Laras, menunggu Oti selesai berdandan. Obrolan terutama berkisar soal keadaan masing-masing selama dua tahun terakhir ini. Sempat juga menyinggung Ticka yang sekarang kuliah di Semarang, dan Revi yang lebih memilih jadi model selepas lukus SMA.
Suara Oti memanggil Laras memutuskan pembicaraan mereka. Laras pun kembali masuk ke ruang tidur. Gak lama kemudian...
"Sambutlah Cinderelka yang akan menemui sang pangeran...," kata Laras bagaikan MC, ucapannya itu langsung disambut jitakan kecil dari belakang.
Raka memalingkan pandangannya ke arah Laras. Laras bergeser sedikit ke kiri, dan di belakangnya tampak Oti yang mengenakan gaun hitam, dengan rambut ter
gelung ke belakang. Kacamata tipis yang dipakainya menambah kecantikannya. Melihat dandanan Oti kayak gitu, Raka jadi ingat saat Oti menang di Pemilihan Putri SMA dua tahun lalu. Aura kecantikan yang pernah muncul dua tahun lalu terpancar kembali dari wajah Oti. Hanya aja saat ini wajah Oti terlihat lebih bercahaya dan dewasa. "Kok bengong, Kak" Oti jadi lebih cantik, ya"" goda Laras lagi.
Oti segera mendorong Laras, sehingga hampir aja cewek itu terjatuh jika gak cepat-ceoat menyeimbangkan dirinya.
"Sori, Ka! Ini ide Laras. Gaun ini juga pinjeman dari dia. Kalo lo gak suka, gue ganti aja ya"" kata Oti yang terlihat kikuk dan sedikit salah tingkah.
Nggak suka" Cuman orang gila atau yang gak normal yang gak suka melihat Oti kayak ini! batin Raka.
"Kok diganti" Kan Laras udah capek ngeriasin kamu..." protes Laras. Wajahnya sengaja dibuat kecewa. Oti memandang Raka, meminta pendapat.
"Gak papa kok. Tadi gue sedikit kaget aja. Abis ini pertama kalinya gue liat lo make gaun setelah terakhir di Pemilihan Putri SMA dulu," kata Raka. Ucapan Raka itu membuat Oti sedikit lega.
"Kalo gitu gue ganti, ya" Pake yang biasa aja," kata Oti.
"Jangan!" Raka melihat jam tangannya. "Ntar keburu malem," lanjutnya. Oti terpaksa mengurungkan niatnya.
"Kalo gitu berangkat yuk!" ajak Oti. "Kita pake mobil Laras aja, ya" Masa pake baju gini naek motor" SIM A lo masih ada, kan"
**** Oti ternyata ngajak Raka makan malam di sebuah rumah makan di daerah Lembang. Kata Oti, Laras yang merekomendasikan tempat ini, karena selain makanannya enak, tempatnya juga cukup tenang untuk mengobrol, dengan diiringi alunan musik yang lembut. Sungguh romantis. Raka sam sekali gak habis pikir kenapa tau-tau Oti pengin makan di tempat kayak gini. Ini bukan tempat favorit Oti yang sebelumnya lebih suka makan di pinggir jalan atau warung-warung sederhana.
Pertamanya mereka cerita banyak hal. Sebetulnya Oti yang banyak cerita sih. Dia cerita soal dirinya selama dua tahun ini, soal sekolahnya di London. Oti bahkan cerita soal tulisannya yang sebentar lagi akan diterbitin.
"Tadinya gue iseng aja, daripada bete gak ada kerjaan. Tapi pas gue kasih liat ke Laras, eh, tuh anak malah ngirimin ke penerbit. Untung lolos buat diterbitin. Kalo gak kan gue bisa malu," cerita Oti dengan semangat '45. "Emang lo bikin cerita tentang apa"" tanya Raka.
"Ada deh... Ntar lo juga tau. Pokoknya kalo buku gue terbit, lo harus beli. Awas kalo gak!" kata Oti tegas.
Raka hanya tersenyum mendengar "ancaman" Oti. Untuk beberapa saat lamanya Oti diam. Juga Raka.
"Sekarang lo jawab pertanyaan gue, kenapa lo bisa ada di sini" Apa Ayah ama Tante Heni tau lo pergi ke Bandung"" tanya Raka kemudian.
Oti terdiam sejenak mendengar pertanyaan Raka. Kemudian dia menjawab, "Boleh dibilang ini kebetulan." "Maksud lo"" tanya Raka.
"Lima hari yang lalu Mama dapat telepon bahwa Nenek sakit keras. Mama berkeras pergi menengok Nenek. Tadinya Mama mo pergi bareng Dio, tapi Dio gak mau, jadi Mama minta gue temenin."
"Dan Ayah setuju"" tanya Raka.
"Tadinya Papa keberatan. Papa takut gue bakal ketemu lo. Tapi Papa gak tega juga ngebiarin Mama pergi sendiri, sedang Papa juga gak bisa ninggalin pekerjaannya. Akhirnya Papa ngizinin gue nemenin Mama. Kebetulan juga gue lagi gak ada kerjaan. High School gue lagi libur. Tapi Papa wanti-wanti supaya gue jangan ke Bandung atau ketemu lo," kata Oti. "Dan lo ngelanggar larangan Ayah. Jadi lo kabur dari Tante Heni"" tanya Raka. "Kok lo nuduh gitu"" tanya Oti.
"Soalnya... " "Mama gak kayak Papa. Mama masih bisa diajak ngomong. Walau tadinya keberatan, tapi Mama akhirnya ngizinin gue ke Bandung. Itu juga setelah keadaan Nenek membaik. Gue bilang aja kangen teman-teman lama. Kangen ama Laras, Ticka, dan Ai." "Nekat lo. Gimana kalo Papa tau"" tanya Raka.
"Kata Mama, Papa jangan sampe tau. Karena itu gue gak boleh lama-lama di Bandung. Besok gue harus udah balik ke Jakarta. Rencananya lusa gue ama Mama balik ke London."
"Besok"" "Iya. Kenapa"" tanya Oti. "Gak. Gak papa," kata Raka.
Suasana jadi hening. Raka masi
h bertanya-tanya, kenapa Oti sampe nyuri-nyuri waktu untuk ketemu dengannya. Apa sebenarnya yang ada di benak cewek itu"
"Lo udah punya pacar lagi, Ka"" tanya Oti memecah keheningan.
Mendengar pertanyaan itu, Raka gak langsung menjawab. Dia malah menatap Oti.
"Jangan salah sangka. Gue cuman nanya. Kalo lo gak mau jawab, juga gak papa," lanjut Oti setelah melihat tatapan Raka.
Raka sedikit menunduk. Dia jadi ingat Irma yang punya sifay hampir sama dengan Oti. Agak tomboi dan cuek. Tapi tetap aja Irma bukanlah Oti. "Gak. Belum," jawab Raka akhirnya.
"Gimana dengan Ajeng" Lo gak berhubungan lagi dengan dia"" tanya Oti. "Setelah lo pergi, kami mencoba berhubungan lagi. Tapi dasar gak jodoh, hubungan kami cuma bertahan beberapa bulan. Ajeng masih nganggap dirinya sebagai pelarian cinta gue ke lo. Akhirnya kami sering ribut, dan putus. Sekarang katanya Ajeng udah punya cowok lagi. Temen.kuliahnya," kata Raka.
"Sayang banget. Padahal kan Ajeng cantik. Gue rasa kalian bisa jadi pasangan serasi," kata Oti menyesali.
"Kalo udah takdir, mau diapain lagi. Gimana dengan lo" Katanya mo ngegaet pangeran William"" goda Raka.
"Yah, dia sih naksir gue, tapi guenya gak betah hidup di istana. Banyak aturannya," jawab Oti sambil cengengesan.
"Terus" Kenapa gak cari lagi"" tanya Raka.
"Males. Gue gak suka orang bule. Gue masih suka produk lokal," jawab Oti. "Kan banyak orang Indo yang sekolah di sana""
"Iya sih. Tapi kebayakan orang Indo yang kuliah di sana cuma karen ortunya tajir. Jadi sekolahnya gak serius. Kebanyakan hura-huranya. Gue gak seneng cowok kayak gitu. Emang ada sih beberapa orang indo yang bener-bener niat sekolah, atau yang dapet beasiswa karena otak mereka. Tapi terus terang, gue belum nemuin tipe yang gue suka," cerita Oti. "Emang tipe cowok yang kayak gimana yang lo suka"" tanya Raka. "Yang kayak lo!" ucapan Oti membuat Raka sesikit terperanjat. Dia hampir tesedak steak yang sedang dikunyahnya.
"He...he...he... bercanda kok.! Lagian tipe kayak lo kan langka banget. Di dunia ini mungkin hanya satu banding seribu, atau bahkan satu dibanding sejuta," kata Oti. Sialan! Emang gue makhluk langka!" batin Raka.
"Tapi terus terang kalo ada yang sifatnya kayak lo, gak akan gue lepasin tuh cowok. Lo tau kenapa dulu gue bisa suka ama lo"" tanya Oti. "Karena gue tampan, baik, dan pengertian...," jawab Raka sekenanya. "Yeee.. ge-er. Kecuali tampan, semua yang lo sebutin ada benernya. Tapi ada satu hal yang gue suka dari lo, yang membuat lo beda dari cowok-cowok lain yang gue kenal selama ini... " Oti berhenti sejenak. Tampaknya ia ingin melihat reaksi Raka. Wajah Raka terlihat sedikit memerah. Sambil tersenyum Oti melanjutkan ucapannya, "...lo sangat mandiri. Walau lo tau Papa bisa membiayai sekolah lo sampai selesai dan segala kehidupan lo di atas rata-rata, tapi lo gak ngandelin biaya dari Papa. Lo lebih seneng mencari biaya sendiri untuk kebutuhan lo. Bahkan setelah lulus, lo nolak pas Papa tawarin lo kuliah di luar negeri. Lo lebih milih kuliah di sini dengan usaha lo sendiri. Gue tau, mungkin ini karena hubungan lo dengan Papa di masa lalu. Tapi biar bagaimana pun, gue kagum ama lo."
Wajah Raka terlihat tambah memerah. Wajahnya niscaya akan bertambah merah kalau saja dia tau Oti udah mengaguminya sejak lama. Sejak SMP, saat dia mendengar pembicaraan papa-mamanya yang membahas putra sulung papanya yang menolak pindah bersama mereka, saat ibu mereka meninggal, dan memilih tinggal berdua dengan adiknya. Sikap kakak tiri yang belum pernah diliatnya itu menimbulkan kekaguman pada diri Oti, dan sedikit demi sedikit mengikis sifat hura-hura dalam diri cewek itu. Oti bahkan memutuskan sendiri untuk ngelanjutin sekolahnya di Bandung dan tinggal serumah dengan saudara-saudara tirinya, walaupun semula papanya keberatan. Kekaguman itu berubah menjadi rasa cinta, setelah dekat dengan Raka dan mengalami berbagai perjalanan hidup berdua. Sayangnya, perjalanan cinta mereka harus kandas setelah diketahui ternyata Raka dan Oti merupakan saudara seayah.
"Lo sendiri kenapa gak cari pengganti Ajeng" Masa gak
ada cewek yang naksir lo"" tanya Oti.
"Gue... gue belum bisa ngelupain lo," jawab Raka. Gak tau, keberanian apa yang membuat Raka mengatakan hal itu. Dia sendiri udah gak berharap hubungannya dengan Oti terjalin kembali. Lagi pula mungkib aja Oti udah dapat melupakan hubungan mereka. Terbukti sekarang Oti gak lagi make kalung yang diberikan Raka di bandara dulu. Mendengar jawaban Raka, Oti hanya menghela napas.
"Kalung yang gue kasih dulu, masih lo pake"" tanya Oti. Sebagai jawaban, Raka mengeluarkan kalung yang tersembunyi di balik bajunya. Kalung bermata proyektil peluru. "Kenapa"" tanya Oti singkat.
"Gue udah berusaha ngelupain lo. Ngelupain cinta kita. Tapi gak bisa. Mungkin karena gue bener-bener mencintai lo," kata Raka.
"Tapi lo tau itu gak bener! Biar bagaimana pun kita gak akan bisa pacaran. Lo tau itu. Lagipula gue gak nyuruh lo ngelupain gue secara pribadi. Gue hanya minta li ngelupain cinta yang pernah kita bina. Hubungan kita gak akan bisa terputus sama sekali, karena kita kakak-beradik."
"Justru itu yang membuat gue susah ngelupain cinta kita. Karena gue masih berhubungan dengan lo," kata Raka.
"Mungkin jika gue menghilang dari hadapan lo untuk selamanya, lama-lama lo akan ngelupain gue," kata Oti.
"Jangan bicara yang gak gak," sergah Raka.
Suasana kemudian hening. Hanya terdengar alunan musik berirama slow di seluruh penjuru kafe.
"Jadi, lo udah bisa ngelupain cinta kita. Karena itu lo gak pake lagi kalung yang gue kasih di bandara. Lo gak lagi nyimpen kalung itu"" tanya Raka.
"Seperti pernah gue bilang, gue akan nemuin lo kalo gue udah bisa ngelupain cinta kita. Sekarang gue ada di sini. Di depan lo. Lo udah tau kan apa artinya"" tanya Oti.
"Oti, lo... " "Raka, gue gak mau ngebahas itu lagi. Tujuan gue ke Bandung cuman buat ketemu lo, Ai, dan temen-temen gue. Gue pengin liat keadaan lo, sebagai kakak gue. Gak lebih. Lo bisa ngerti kan"" suara Oti bergetar saat mengucapkan kalimat terakhir.
Raka memandang Oti, kemudian mengangguk pelan.
"Sori. Gue ke toilet sebentar," kata Oti, kemudian bangkit dari kursinya.
Sepeninggal Oti, Raka mengempaskan diri pada kursi. Dia menyesali kebodohan dirinya yang gak bisa menahan perasaan. Sekarang Raka gak tau bagaimana pandangan Oti terhadap dirinya.
Cukup lama Oti berada di toilet, sebelum kembali di.kursinya. Raka sempat melihat wajah Oti. Wajah dengan tanda-tanda kayak habis nangis, walau agak tertutup kacamata. "Lo gak papa kan, Ot"" tanya Raka.
"Mungkin ini terakhir kalinya gue bisa ketemu ama lo," kata Oti.
"Terakhir kali" Kenapa" Apa karena ucapan gue tadi"" tanya Raka panik.
"Gue rasa, sebaiknya gue jangan ketemu lo lagi sampai lo bener-bener udah ngehapus cinta lo ke gue. Gak tau sampe kapan. Mungkin sampe gue atau lo udah nikah ama orang lain, atau mungkin juga untuk selamanya. Itu semua tergantung lo," kata Oti.
"Tapi gue cuman ngomong sejujurnya. Gue..."
"... gue bisa ngerti. Justru itu salah satu yang gue suka dari lo. Lo selalu bicara terhs terang dan apa adanya. Tapi sori, lo juga tau sifat gue. Gue gak akan mentingin diri gue sendiri," kata Oti.
"Walau harus ngorbanin kebahagiaan lo"" tanya Raka. Oti memandang tajam pada Raka.
"Kata siapa" Gue gak ngerasa berkorban. Gue udah gak ada perasaan apa-apa ke lo. Gue ketemu cuman mo mastiin lo juga udah gak punya perasaan apa-apa gue. Dan gue kecewa karena lo belum berubah," kata Oti.
"Maafin gue. Gue gak bermaksud membuat lo kecewa. Lo pasti membenci gue. Iya kan"" tanya Raka.
"Gue gak bisa membenci lo. Gue hanya melakukan apa yang gue rasa harus gue lakukan. Ini semua untuk kebaikan gue, lo, dan keluarga kita," kata Oti.
*** Setelah itu suasana mendadak berubah jadi kaku. Oti dan Raka gak banyak ngomong. Mereka pun keluar dari kafe dengan menyimpan perasan masing-masing.
Tanpa diketahui Raka dan Oti, ada yang memerhatikan mereka dari sebuah mobil kijang yang diparkir di sudut lain tempat parkir.
"Itu orangnya...," ujar seseorang yang berada di balik kemudi. "Lo yakin"" tanya temannya yang duduk di sampingnya.
"Gue gak ba kal lupa ama cewek sialan itu. Cewek yang udah bikin gue ngedekem di penjara selama setahun lebih. Dan saatnya sekarang dia membayar apa yang udah pernah dia lakukan pada diri gue!"
Cowok yang memegang kemudi itu menghidupkan mesin mobilnya, lalu menekan pedal gas dalam-dalam. Dengan kecepatan tinggi, mobil kijang biru tua itu pun melesat dari tempat parkir, menuju ke arah Oti dan Raka yang sedang berjalan ke mobil mereka. Suara mobil yang kian mendekat mengalihkan perhatian Oti dan Raka.
"Raka! Awas..!!"
Refleks Oti yang terlatih mendorong tubuh Raka untuk menghindari mobil yang melaju ke arah mereka. Raka terjerembab ke sisi lain. Dia selamat dari mobil yang akan menabraknya, Oti gak. Walau setelah mendorong Raka Oti masih mencoba menghindar, tapi udah terlambat. Tubuhnya terkena bagian samping mobil. Kontan Oti terlempar beberapa meter, dan bagian belakang tubuhnya menghantam mobil lain yang sedang diparkir. Benturan yang terjadi sangat keras, hingga akibatnya alarm mobil yang dipasang pada mobil yang dihantam tubuh Oti sampai berbunyi.
"Cepat kabur!" Mobil kijang yang menabrak Oti segera tancap gas, mencoba kabur. Beberapa orang dan petugas keamanan yang melihat kejadian itu mencoba menghalangi, tapi gak berdaya menghadapi mobil yang dipacu dengan kecepatan tinngi.
"Oti!!" Raka menghampiri tubuh Oti yang tergeletak di tanah. Darah mengalir dari mulut, dan beberapa bagian tubuh cewek itu. Oti diam gak bergerak. "Otiiii!!!!" jerit Raka sambil memeluk tubuh Oti.
**** Hingga jam dua dini hari, Raka masih ada di Rumah Sakit Hasan Sadikin, tempat Oti dirawat.
Saat ini Oti sedang menjalani operasi darurat untuk menyelamatkan jiwanya. Beberapa tulang cewek itu diketahui patah, disertai pendalaman hebat dalam tubuhnya. Operasi telah berlangsung lebih dari dua jam dan belum ada tanda-tanda akan selesai.
Raka ingat ucapan Oti saat makan malam.
Mungkin ini terakhir kalinya gue bisa ketemu ama lo.
Apakah ini pertanda" tanya Raka dalam hati. Dia gak pengin sesuatu yang terburuk menimpa Oti.
Tuhan! Jangan ambil nyawa gadis yang sangat ku cintai! batin Raka. Jika ini hukuman atas perbuatan kami, aku memohon ampun pada-Mu! Tolonglah dia, Tuhan!
Raka melihat bangku yang ada di koridor rumah sakit. Di situ ada Ai yang tertidur dalam pelukan Laras. Mata Ai sembap, sehabis menangis. Ai, seperti juga Laras ingin tetap menunggu operasi Oti selesai walau Raka udah nyaranin adiknya pulang aja. Besok Ai harus sekolah.
"Gak mau! Ai gak bakal bisa tenang kalo gak tau kondisi Kak Oti!" alasan Ai.
*** Satu hal yang Raka baru tau, Oti ternyata bohong. Dia gak pergi ke Jakarta ama mamanya. Raka baru tau setelah mengabari apa yang menimpa Oti pada ayahnya di London. Ternyata Tante Heni ada di London, dan gak pergi ke mana-mana.
Mendengar kabar itu, tentu aja ayahnya marah besar. Raka sendiri bisa membayangkan diriny akan jadi sasaran amarah ayahnya ketika tiba di sini. Begitu mendengar kabar tentang Oti, ayanya dan Tante Heni langsung terbang ke Jakarta.
"Oti emang boong ma Kak Raka. Dia pergi ke Bandung sendirian, tanpa sepengetahuan mama-papanya,"kata Laras yang matanya juga sembap sehabis menangis.
"Tapi kenapa Oti ngelakuin hal itu"" tanya Raka.
"Kalo Kakak pengin tau, Kakak bisa liat tas tangan Oti," kata Laras.
Tas tangan Oti" Penasaran dengan ucapan Laras, Raka mengambil tas tangan Oti yang disimpan di mobil lalau membukanya. Gak ada yang istimewa. Cuman ada dompet, make-up sederhana kayan bedak dan lipstik, tisu, serta beberapa lipatan kertas. Sama seperti layaknya tas wanita-wanita lain. Raka lalu membuka dompet Oti. Ada kartu pengenal, beberapa lembar uang dalam mata uang rupiah, poundsterling, dan euro, juga dua kartu kredit. Raka meraba sesuatu dalam dompet Oti. Sesuatu yang tersembunyi pada salah satu saku dompet. Dia segera merogoh benda tersebut. Dan betapa terperanjatnya Raka melihat apa yang didapatnya. Di tangannya kini tergenggam seuntai kalung keemasan, dengan huruf "VR" di matanya. Itu kalung yang dia berikan pada Oti di bandara dulu. Berarti Oti bohong saat
bilang dia hak nyimpen kalung itu lagi. Kenapa Oti melakukan itu" Apa maksudnya" Apa Oti udah benar-benar melupakan cintanya"
Raka memerhatikan foto Oti pada salah satu kartu pengenalnya. Saat diperhatikan baik-baik, barulah terlihat, Oti memmngenakan kalung pemberiannya. Walaupun gak pada semua foto pada beberapa kartu pengenal yang ada dalam tas Oti terlihat cewek itu mengenakan kalung atau gak, tapi pada foto yang terlihat, semua mengenakan kalung yang sama, bukan kalung yang dipakainya saat ini. Bahkan di foto kartu anggota perputakaan di London yang dibuat hanya dua minggu sebelum Oti datang ke Jakarta, rantai kalung tersebut terlihat sekali.
*** "Oti, sebenarnya masih mencintai Kakak," kata Laras setelah Raka kembali ke ruang tunggu di depan ruang operasi. Walaupun Raka udah dapat menduga, tapi ucapan Laras tak urung membuat hatinya terkejut.
"Tapi, dia bilang dia udah menganggap Kakak sebagai kakak tirinya," kata Raka. "Oti bohong. Kak Raka tahu, alasan sebenarnya dia datang kemari, cuman pengin ketemu Kakak. Selama dua tahun dia gak bisa ngelupain Kakak. Dia rindu, dan pengin ketemu Kakak. Tapi dia gak mungkin pergi tanpa sepengetahuan ayah dan ibunya, yang selalu mengawasinya dengan ketat. Dengan uang saku yang dikumpulkannya diam-diam, Oti lalu nekat pergi ke Indonesia. Pada mama-papanya Oti bilang akan nginep di rumah temannya di Liverpool. Sebetulnya Oti udah berusaha keras buat ngelupain Kakak. Dengan belajar keras dan konsentrasi pada studinya, dia berharap dapat melupakan cintanya. Kakak tau kalo Oti jadi salah satu murid terbaik di SMA-nya di sana" Dia bahkan dapet tawaran beasiswa jurusan Sastra di Oxford. Tapi semua itu gak bisa menghapus kerinduannya pada Kak Raka. Gak bisa menghapus cintanya." "Jadi, itulah kenapa dia nyimpen kalung..."
"Kalung pemberian Kak Raka" Kalung itu baru dilepas saat mo ketemu Kakak. Dia gak ingin Kakak tahu dia masih mencintai Kakak. Dia ingin tahu apakah Kakak juga masih mencintainya, karena menurutnya waktu dua tahun dapat mengubah segalanya," Laras menerangkan.
"Kenapa Oti gak teris terang" Kakak juga masih mencintai dia...," sesal Raka. "Itulah Oti. Dia gak ingin menambah masalah, terutama antara Kakak dengan papanya. Oti gak ingin mengecewakan papa dan mamanya, walaupun untuk itu dia harus mengubur perasaan cinta yang dimilikinya. Cinta sejatinya. Oti rela berkorban apa pun, untuk keutuhan dan kebahagiaan keluarganya."
Oti" Kenapa lo bisa berkorban sebesar itu" Diam-diam Raka malu pada Oti yang bisa mengorbankan segalanya untuk kebahagiaan orangtuanya. Sedang dia terus memaksakan cintanya pada Oti, tanpa memikirkan perasaan ayahnya juga Tante Heni. Raka sebetulnya gak pernah berusaha melupakan cintanya pada Oti. Selama dua tahun dia berharap Oti kembali padanya suatu saat. Sesuatu yang sangat mustahil, selama mereka masih punya hubungan darah.
"Kenapa kamu tau semuanya"" tanya Raka sambil memandang Laras.
"Oti selalu cerita semuanya pada Laras. Sewaktu Oti di London, kami sering saling mengirim e-mail. Oti sering curhat pada Laras, terutama kalo lagi inget ama Kak Raka," jawab Laras. Raka tau, di antara semua temannya, Oti emang paling dekat dengan Laras. Selain itu Laras juga dianggap bisa menyimpan rahasia. Mungkin karena sifat Laras yang pendiam. "Ide ngajak Kak Raka makan malam dan memakai gaun juga dari Oti. Setelah ketemu Kak Raka di kampus, Oti ngajak Laras beli gaun untuk makan malam nanti. Dia juga nyuruh Laras mengatakan gaun itu milik Laras yang dipinjamkan pada Oti. Mungkin bagi Kak Raka, apa yang dilakukan Oti sangat aneh, dan gak seperti sifat Oti yang sebenarnya. Tapi kali ini, Oti ingin tampil senmbagai wanita yang sempurna dihadapan Kakak, tanpa mau mengakui perasaannya. Oti sadar, bisa jadi malam ini adalah perjumpaannya yang terakhir dengan Kak Raka. Kalo sampe papanya tau, kemungkinan dia gak bakal lagi bisa ketemu Kak Raka untuk waktu lama.
Raka berpikir, perkataan Laras ada benarnya. Kalo dipikir-pikir, tubuh Laras lebih pendek dan kecil dari Oti. Kenapa gaunnya bisa oas dipakai Oti" Waktu itu Raka emang gak sampai be
rpikir ke sana. "Lalu, kenapa kamu ceritain ini ke Kakak" Bukankah Oti nyuruh kamu merahasiakannya"" tanya Raka.
"Laras sebetulnya gak tega melihat Oti begitu menderita memendam perasaannya. Laras juga gak tau apakah setelah ini Oti akan marah pada Laras, atau malah membenci Laras. Yang penting laras udah mengatakan apa yang sebenarnya terpendam di hati Oti. Laras tahu hubungan Kakak dan Oti gak dibenarkan menurut agama. Hanya aja Laras berpikir, jika hubungan Kakak dan Oti gak dibenarkan agama, kenapa Tuhan membuat Kakak dan Oti saling jatuh cinta"" tanya Laras.
Ucapan Laras benar. Jika Raka dan Oti saudara sedarah, mengapa Tuhan membuat mereka saling jatuh cinta" Mengapa Tuhan gak membuat dia jatuh cinta pada Ai" Padahal secara fisik Ai lebih cantik dari Oti. Ai juga bertahun-tahun tinggal bersama Raka, dibandingkan Oti yang hanya beberapa bulan. Juga mengapa Tuhan gak membuat Raka dapat mencintai Ajeng yang bukan aja secara fisik jauh di atas Oti, tapi juga baik dan penuh perhatian" Berbagai pertanyaan itu semakin memenuhi benak Raka.
*** Oti masih dalam ruang operasi. Raka sudah gak betah menunggunya. Ia gak sabar ingin tau keadaan Oti. Barusan ia juga mendapat kabar dari polisi kalo orang yang menabrak Oti udah tertangkap. Orang itu ternyata Riki, salah seorang anggota gerombolan preman yang pernah berkelahi dengan Oti di Fame dulu.
Tiba-tiba, bak menjawab kegelisahan Raka, pintu ruang operasi terbuka. Dokter Satrio yang menangani Oti keluar. Raka, Ai, dan Laras langsung memburu mendekat. "Bagaimana, Dok"" tanya Raka gugup.
"Luka-luka Victory sudah ditangani. Hanya aja...," dr. Satrio menggantung kata-katanya. "Hanya apa, Dok"" tanya Raka penasaran.
"Kedua orangtua Anda telah diberitahu"" tanya dr. Satrio.
"Sudah. Mereka sedang menuju kemari. Paling cepat nanti malam baru sampai. Ada apa, Dok""
Dr. Satrio terdiam, seakan sedang berpikir sambil memandang Raka. "Sebaiknya kita tunggu kedua orangtua Anda, terutama Ayah Anda...," kata dokter senior itu. "Dok" Ada apa" Kenapa harus nunggu Ayah" Saya kan kakaknya...," Raka merasa ada sesuatu yang disembunyikan dr. Satrio.
Dr. Satrio menatapnya dengan ragu, tapi akhirnya berkata, "Baiklah, saya rasa Anda berhak tau. Sementara ini, kondisi yang paling parah adalah ginjal kanan Victory pecah."
Ai dan Laras sama-sama menarik napas cepat, terkesiap. Seolah dikomando, air mata mereka yang sempat kering tadi kembali mengalir berbarengan. Wajah Raka sudah pias semakin pucat.
"Dok...," kata Raka memohon.
"Maaf, saya tidak bisa membicarakan kondisi lain sebelum orangtua Anda datang. Saya harus kembali ke dalam. Kalau terjadi apa-apa, suster akan menghubungi Anda. Saya tinggal dulu." Raka hanya tercengang ketika dr. Satrio berbalik meninggalkan mereka. Apa sebenarnya yang akan dikatakan dr. Satrio" Kenapa harus menunggu Ayah" Bagaimana kondisi Oti sebenarnya" Berbagai pertanyaan berkecamuk di benak Raka.
*** Akhirnya Oti keluar dari ruang operasi. Raka memandangi Oti dari luar ruang ICU. Tubuh gadis itu dipasangi beberapa alat penyokong kehidupan. Tampak tubuhnya tergeletak, diam gak bergerak. Matanya terpejam, seolah-olah sedang tidur lelap.
Seperti dugaan Raka; begitu tiba di rumah sakit, ayah Raka langsung memarahinya. Raka bahkan dituding udah mempunyai rencana ketemu Oti sebelumnya. Suasana hampir aja panas, kalo aja Tante Heni gak menengahi, dan menenangkan suaminya. Kedatangan dr. Satrio juga ikut mendinginkan suasana. Sementara itu, Ai cuma bisa menangis sesunggukan dalam pelukan Dio, adik bungsunya.
Begitu situasi menjadi tenang, dr. Satrio mengajak Raka dan ayah Raka ke ruang kerjanya, untuk membicarakan kondisi Oti. Raka yang penasaran dan khawatir bersyukur diajak masuk. Ia memang tidak bersedia menunggu di luar.
"Secara fisik, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Tulang-tulangnya yang patah akan membaik. Yang perlu diperhatikan hanya kondisi kejiwaannya saat dia sadar nanti," kata dr. Satrio.
"Kenapa, Dok" Kenapa dengan Oti"" tanya Raka dengan nada mendesak.
Dr. Satrio gak langsung menjawab pertanyaan Raka. D
okter senior itu membuka lembaran berkas berisi data-data kondisi Oti.
"Victory mengalami benturan yang cukup keras, terutama di bagian punggungnya. Benturan itu mengakibatkan beberapa ruas tulang belakangnya hancur. Anda tahu, dalam tulang belakang terdapat saraf-saraf penting untuk mengatur gerak motorik tubuh... Hancurnya sebagian tulang belakang Victory, mengakibatkan kelumpuhan bagian pinggang ke bawah," kata dr. Satrio dengan suara pelan, tapi cukup membuat Raka dan ayahnya terkejut. "Lumpuh!!""" tanya mereka hampir serempak.
"Ya. Hal itu mengakibatkan semua fungsi tubuhnya mulai dari bawah pinggang lumpuh, termasuk kedua kakinya," kata dr. Satrio.
Ayah Raka mengempaskan diri ke kursi yang didudukinya dengan lemas, seolah gak percaya dengan apa yang baru didengarnya. Sedang Raka yang duduk di samping ayahnya hanya memandang kosong ke depan. Dia gak bisa membayangkan, bagaimana kaget dan shock-nya Oti ketika sadar dan mendapati dirinya gak bisa berjalan. Oti yang lincah harus menghabiskan sisa hidupnya di kursi roda.
"Selain itu, ada hal lebih penting yang perlu saya sampaikan menyangkut kondisi Victory," kata dr. Satrio lagi.
"Apa lagi, Dok"" tanya ayah Raka. Baginya berita kelumpuhan Oti udah merupakan berita terburuk. Masih ada lagi"
"Tabrakan itu telah menghancurkan salah satu ginjal Victory. Saat operasi kemarin, kami terpaksa mengangkat ginjal yang pecah itu tanpa meminta persetujuan pihak keluarganya terlebih dahulu, karena bila itu tidak dilakukan, jiwa Victory terancam. Untuk itu kami mohon maaf, tapi kami saat itu tidak punya waktu untuk menjalani prosedur perizinan seperti biasa. Saya yang bertanggung jawab soal ini," dr. Satrio menjelaskan. Raka dan ayahnya tercenung mendengar penjelasan dr. Satrio. Satu ginjal Oti diangkat" Berarti Oti hanya akan hidup dengan satu ginjal.
"Saya mengerti, Dok. Anda telah melakukan segala cara untuk menyelamatkan nyawa anak saya. Saya sangat berterima kasih," sahut ayah Raka.
"Jadi, Oti hanya hidup dengan satu ginjal" Bagaimana bisa"" tanya Raka.
"Bisa saja. Banyak orang yang bisa hidul dengan satu ginjal, dan tidak ada masalah. Hanya saja mereka hidup dengan cara yang berbeda dengan orang yang mempunyai dua ginjal.
Tubuhnya tidak boleh terlalu lelah, dan mungkin kesehatannya tidak sebagus keadaan sebelumnya. Walau begitu banyak dari mereka yang hidup hingga tua.
"Tapi sebetulnya sekarang kekhawatiran saya adalah ginjal kiri yang tersisa tidak kuat menanggung beban yang biasa ditanggung dua ginjal. Apalagi saat ini tubuh Victory dimasuki banyak obat yang penting bagi kemajuan kondisinya. Saya khawatir ginjal yang tersisa akan kolaps, dan akhirnya tubuh Victory akan mengalami shock, yang membahayakan jiwanya. Untuk itu, saya minta kerja sama Bapak, dan mungkin juga Raka sebagai kakaknya...," kata dr. Satrio lagi. Raka dan ayahnya sama-sama memandang dokter itu.
"Maksud dokter"" tanya Raka.
"Saya ingin minta kesediaan kalian untuk menyiapkan diri sebagai donor, kalau-kalau yang terburuk terjadi," kata dr. Satrio.
"Jadi donor ginjal"" tanya Raka menegaskan. Dia pernah membaca soal cangkok ginjal. Dr. Satrio mengangguk.
"Kalau begitu kami siap jadi donor, Dokter!" sahut ayah Raka.
Kali ini Raka setuju dengan ucapan ayahnya. Dia juga rela mengorbankan apa aja yang dimilikinya, agar Oti dapat kembali menjadi Oti yang dulu, walau mungkin gak bisa berjalan lagi.
"Baiklah, terima kasih. Memang untuk menjalani pencangkokan, harus ada donor yang tepat. Jika tidak malah akan membahayakan jiwa si resipien. Donor yang paling tepat adalah yang memiliki hubungan darah paling dekat dengan resipien, seperti ayah, ibu, atau saudaranya. Tapi tidak selalu donor yang berasal dari keluarga itu sendiri bisa cocok, sebab selain donor tersebut harus diperiksa kecocokannya melalui tes dan sebagainya, juga harus dilihat kondisi dari donor itu sendiri. Jika si donor tidak dalam keadaan fisik yang prima, maka hal itu dapat membahayakan jiwa si donor itu sendiri. Kami tidak ingin mengambil risiko itu. Karena itu mengapa tadi kami langsung mengadakan te
s pendahuluan bagi seluruh anggota keluarga Bapak, kecuali kedua anak Bapak yang masih di bawah umur. Dan melihat hasil tes, tampaknya hanya Bapak dan Raka yang cocok dijadikan donor."
Kecuali Ai dan Dio, Raka, ayahnya, dan Tante Heni memang menjalani tes kesehatan, walau saat itu gak dijelaskan untuk apa.
"Mengapa ibunya dan saudaranya yang lain gak bisa, Dok"" tanya ayah Raka.
"Kedua saudara Victory jelas masih dibawa umur, belum memenuhi syarat sebagai donor.
Sedang Ibu Heni, menurut hasi tes menderita darah tinggi dan gejala diabetes. Tidak mungkin menjadi donor. Jadi hanya Bapak dan Raka yang memenuhi syarat."
Raka dan ayahnya terdiam sejenak. Mereka sibuk dengan pikirannya masing-masing.
"Kalo begitu, segera saja laksanakan, Dok! Jangan ditunda lagi," desak ayah Raka.
"Baiklah. Kami akan persiapkan segala sesuatunya. Saya harap anda berdua siap melakukan serangkaian tes berikutnya."
Oti udah sadar. Tapi karena kondisinya belum benar-benar stabil, ia masih berada di ICU. Beberaoa bagian tubuhnya seperti kepala, kaki, dan tangannya emang masih dibalut perban. Keliatannya gak ada luka serius di tubuh Oti. Hanya patah tulang pada tangan kirinya, dan beberapa tulang rusuknya. Saat Oti sadar, semua yang menunggunya berharap-harap cemas, menanti apa yang terjadi. Oti cuman diam begitu tau bagian bawah tubuhnya kayak mati rasa. Tapi di luar dugaan, gak ada ekspresi shock atau terkejut pada wajahnya. Justru mamanya yang terus-terusan nangis tersedu-sedu sambil memeluk Oti, diikuti pandangan haru papanya dan Raka, yang ikut masuk ke ICU. Oti juga keliatan tabah ketika ayahnya memberitahukan tentang kelumpuhannya.
"Gak papa. Yang penting Oti selamet," ujar Oti lemah saat diberitahu papanya. Papanya mengangguk pelan sambil menjelaskan juga mengenai ginjalnya yang terpaksa diangkat. "Itung-itung Oti istirahat. Oti udah tau kok bakal kayak gini. Ada yang memberitahukan lewat mimpi. Mungkin Papa Ardi," ujar Oti tenang, membuat semua yang melihatnya merasa terharu.
"Oti, mungkin kamu akan mendapatkan ginjalmu kembali," kata Papanya. "Cangkok ginjal ya, Pa" Oti pernah dengar soal itu. Trus... siapa yang jadi donornya"" "Belum ditentukan. Antara gue ama ayah, tergantung hasil tes nanti," Raka yang menjawab. "Lo" Tapi ntar lo atau Papa bakal hidup dengan satu ginjal. Ini gak fair! Oti gak mau kalo ntar nyisahin orang lain..." gumam Oti yang biarpun lemah tapi tetap protes dan gak mau menyusahkan orang lain.
"Gak papa, Sayang. Kalo nanti hasil tesnya menunjukkan kami berdua bisa jadi donor buat kamu, biar Papa yang jadi donor..." jawab Papanya.
"Tapi... " "Papa udah tua. Udah gak banyak aktifitas. Sedangkan kamu masih muda. Masa depan kamu masih panjang... "
"Pa... " "Udah, jangan dipikirkan dulu soal ini. Yang penting kamu istirahat aka dulu, supaya cepat sembuh..." kata ayahnya sambil membelai rambut Oti. Oti gak bisa membantah ucapan ayahnya lagi.
Raka dan ayahnya berpandang-pandangan, tidak berani mengatakan alasan cangkok ginjal itu perlu dilakukan.
*** Hampir seminggu Oti berada di rumah sakit. Kecuali kakinya yang lumpuh, kesehatannya udah mulai membaik. Kemajuannya begitu pesat, sampai akhirnya dr. Satrio memutuskan memindahkannya dari ICU ke ruang rawat biasa. Oti pun keliatan ceria. Tampaknya ia udah bisa menerima keadaan tubuhnya. Apalagi hampir setiap hari Laras menjenguknya, sepulang dari kegiatan MABIM. Selain Laras, Ticka juga pernah datang pas hari minggu. Dan seperti Laras saat pertama kali mengetahui kondisi Oti, Ticka pun menangis sambil memeluk sahabatnya itu. Justru Oti yang sibuk ngehibur Ticka biar gak terlalu bersedih. Sore itu, seperti biasa sepulang jadi panitia MABIM, Raka langsung pergi menjenguk Oti. Di dekat lift, dia ketemu dr. Satrio. Raka pun menanyakan tentang hasil tes DNA dia dan ayahnya.
"Hasilnya belum keluar. Selain di sini, kami melakukan tes sampel ke RSCM Jakarta, agar hasilnya lebih akurat," jawab dr. Satrio.
"Lalu, kapan kira-kira hasilnya bisa keluar, Dok""
"Mungkin satu atau dua hari ini keluar hasilnya. Selain itu melihat kema
juan Victory, mungkin satu ginjalnya yang tersisa bisa menerima beban yang ditanggungnya," sahut dr. Satrio sambil menepuk pundak Raka. Tubuh Raka serasa disiram air dingin karena rasa lega luar biasa.
"Tapi tentu semua harus kita tes lagi. Sabar ya..." lanjut dr. Satrio. Raka mengangguk penuh semangat. Ia bergegas ke kamar Oti.
Mendekati kamar Oti, kamar keliatan sepi. Gak terlihat seorang pun disana. Raka membuka pintu kamar Oti. Juga gak ada seorang pun, selain Oti yang keliatannya sedang tertidu lelap. Kemana yang lain" tanya Raka dalam hati.
Pandangan Raka kemudian beralih pada Oti. Raka mendekati adik tirinya itu. Kedua mata Oti terpejam. Sekilas Raka melihat ada bekas air mata di kedua pipi cewek itu. Kayaknya Oti habis nangis. Ada apa dengan Oti" Kenapa dia sampe nangis" Bukannya selama ini Oti gak pernah mengeluarkan air mata kesedihan" Bahkan ketika mengetahui dirinya lumpuh, cewek itu tetap tabah dan tidak mengeluarkan air mata sedikit pun. Melihat itu Raka jadi inget Ayu, adik Ajeng yang lumpuh. Ayu juga keliatan tegar menghadapi apa yang menimpa dirinya.
Gak ingin mengganggu tidur Oti, Raka memilih untuk keluar kamar. Tapi baru beberapa langkah dia mendekati pintu, Oti terbangun.
"Lo udah dateng"" tanya Oti lirih.
Raka menoleh. "Sori, gue gak mau ngebangunin lo."
Oti tersenyum kecil. "Gak papa. Ini emang saatnya gue bangun kok."
Raka menolong Oti meninggikan bantalnya, sehingga tubuh cewek itu lebih tegak ke posisi duduk. Dia sempat melihat mata Oti yang merah. Itu pasti bukan karena tidur, tapi karena habis menangis.
"Ayah dan Tante Heni"" tanya Raka.
"Mereka pulang. Gue yang minta. Kasian kan, terutama Papa. Istirahatnya kurang karena nungguin gue."
"Oh, gitu... Lo abis nangis" Kenapa"" tanya Raka langsung.
"Kata siapa" Gosip tuh! Gue gak papa kok," Oti berusaha ngelak sambil tersenyum. Senyum yang dipaksakan.
"Ot, gue kan udah pernah bilang lo yuh gak bakat boong. Jangan bilang gak ada apa-apa. Baru sekali gue liat lo ngeluarin air mata, yaitu saat mutusin pergi ke London. Dan sekarang, kenapa""
Oti diam sejenak. Gak langsung menjawab pertanyaan Raka. "Lo udah tau soal kalung itu dari Laras, kan" Soal gue"" Oti balik bertanya.
"Ot, jangan ngalihin masalah," kata Raka. "Atau.... ini ada hubungannya""
Oti memalingkan wajahnya ke jendela. Pandangan matanya mendadak jadi kosong.
"Jangan salahin Laras. Dia gak tega ngeliat lo menderita," kata Raka.
"Gue gak nyalahin Laras, dia sahabat terbaik yang pernah gue punya. Gue tau dia sangat perhatian ke gue," kata Oti.
"Kenapa lo begitu, Ot""
"Gue kan udah pernah bilang... "
"Gue tau. Tapi kan lo gak perlu nutupin perasaan lo, apalagi boong ma gue," sergah Raka.
"Gue gak ada pilihan lain," kata Oti.
Suasana hening sejenak. Masing-masing berdiam diri.
"Ka, apa lo akan tetap mencintai gue" Apa pun yang terjadi""
Raka tertegun sejenak mendengar pertanyaan Oti. "Tentu aja," jawabnya.
"Walaupun gue lumpuh dan gak bisa jalan lagi" Dan lebih buruk lagi, kalo aja ginjal lo ama ginjal Papa gak bisa dicangkok ke gue, gue bakal jadi orang lumpuh yang sakit-sakitan... " tanya Oti.
"Lo ngomong apa sih" Operasi pencangkokan itu pasti sukses. Lo bisa kembali seperti semula, walau gak bisa jalan," kata Raka tegas. Sebenarnya ia tak sabar ingin memberitahu kata-kata dr. Satrio tadi, tapi takut salah, jadi informasi itu disimpannya sendiri. "Andai gak bisa, dan gue tetap seorang yang lumpuh dan sakit-sakitan seumur hidup gue, apa lo tetap mencintai gue"" tanya Oti.
Mendengar pertanyaan itu Raka menghela napas sejenak. "Ot, biarpun seluruh badan lo lumpuh dan sakit-sakitan, cinta gue pada lo gak akan berubah. Gue mencintai lo bukan karena fisik lo, tapi karena sifat dan hati lo. Apa pun yang terjadi, gue akan selalu berada di sisi lo. Mendampingi lo."
Ucapan Raka gak terasa membuat Oti yang sedang memalingkan wajah kembali meneteskan air mata.
"Ot" Lo nangis" Jadi ini yang buat lo nangis"" tanya Raka. Tangannya menyentuh lembut wajah Oti, memalingkannya sehingga menghadap ke arahnya. "Biasanya lo
selalu tabah..." "Ka, boong kalo gue tabah menghadapi semua ini. Manusia mana pun pasti akan hancur hatinya pas tau dirinya cacat, dan kondisi fisik yang udah gak seperti dulu lagi. Gue berpura-pura bersikap tabah di hadapan Papa, Mama, dan yang lainnya, biar mereka gak terlalu bersedih. Tapi saat sendirian, gue sering mikirin hal ini. Dalam hati, gue juga takut menjadi cacat, takut segala impian gue seketika terenggut, dan takut gak ada seorang pun yang mau berada dekat gue. Gue gak mau hal itu terjadi," ratap Oti.
Raka mendekatkan badannya ke arah Oti dan menarik kepala Oti hingga bersandar di dadanya.
"Hati lo bener-bener mulia, Ot. Dalam keadaan begini, lo masih sempat mikirin perasaan orang lain. Jangan khawatir. Gak akan ada yang berubah. Gue gak akan ninggalin lo. Gue akan tetap berada di sisi lo, kapan pun lo butuh gue," kata Raka. Tangannya mengelus rambut Oti.
"Jangan tinggalin gue, Ka. Gue takut. Gue bener-bener butuh lo," ujar Oti di sela-sela isak tangisnya.
"Gak akan. Walau gue sekarang sadar kita gak akan pernah bisa bersatu selamanya. Tapi gue akan selalu mendampingi lo, ada di sisi lo sampai lo punya seseorang yang bener-bener mencintai lo seperti halnya gue, dan mau mendampingi lo selamanya," janji Raka.
*** Esok siangnya, saat Raka baru aja tiba dari kampus, Tante Heni menyambutnya. "Kebetulan kamu datang. Ayahmu baru saja masuk ke ruangan dr. Satrio. Katanya hasil tes kalian udah keluar," kata Tante Heni. Mendengar itu, Raka bergegas menuju ruang kerja dr. Satrio yang terletak satu lantai di bawah.
"Selamat siang, Dok," sapa Raka setelah mengetuk pintu ruan kerja dr. Satrio. Setelah dipersilahkan masuk, Raka mengambil kursi yang ada dan duduk di samping ayahnya. "Ada apa, Dok" Bagaimana hasil tes kami"" tanya Raka.
Dr. Satrio menggaruk kepalanya yang sebetulnya gak gatal, sambil membaca beberapa kertas di hadapannya.
"Pertama-tama saya ingin menyampaikan selamat. Ternyata Victory tidak butuh donor, karena ginjalnya yang tersisa bisa menerima bebannya. Tapi ada yang harus saya bicarakan mengenai hasil tes kalian. Saya tidak tahu ada apa, tapi hasil tes ini menyatakan kamu dan ayahmu bukan donor yang cocok bagi Victory," kata dr. Satrio dengan sikap tenang "Tidak cocok" Apa maksud Dokter" Apakah kami kurang memenuhi syarat kesehatan"" tanya Raka penasaran.
"Bukan itu. Secara fisik Anda berdua dapat menjadi donor, jika saja cocok." "Cocok" Maksud Dokter""
"Hasil tes menunjukkan gen Anda berdua berbeda dengan gen Victory. Hak itu membuat kemungkinan ginjal anda berdua dapat menjadi donor bagi Victory semakin kecil," kata dr. Satrio.
"Berbeda" Bagaimana mungkin" Bukankah kami memiliki hubungan darah dengan Oti"" tanya Raka lalu memandang ayahnya.
"Itulah yang sedang saya tanyakan pada ayah kamu. Pak Rudi, Anda yakin Victory anak kandung Anda" Maaf, bukannya saya ingin mencampuri urusan pribadi atau urusan keluarga Anda. Tapi saya perlu memastikan hal ini dari segi medis, karena meskipun keadaan Victory semakin membaik, tapi kita tetap harus berjaga-jaga," kata dr. Satrio.
Raka memandang tajam ayahnya. Seperti halnya dr. Satrio, dia pun menunggu jawaban yang keluar dari mulut ayahnya.
"Mungkin hasil tes itu salah. Dokter bisa melakukan tes sekali lagi"" tanya Rudi. "Kami telah melakukan cross check dengan hasil tes di RSCM. Dan ternyata hasilnya sama. Dari segi medis, Victory bukanlah darah daging Anda," jawab dr. Satrio tegas. Jawaban yang membuat berbagai perasaan berkecamuk di benak Raka.
*** Mendengar hasil tes Oti, Tante Heni gak bosan menahan isak tangisnya. Apalagi setelah tahu Oti bukanlah darah daging suaminya.
"Sungguh, Pa... Mama gak bermaksud membohongi Papa. Mama juga merasa yakin Oti anak Papa, bukannya anak Mas Ardi...," kata Tante Heni sambil menangis terisak-isak di dalam pelukan suaminya. Ayah Raka hanya mengusap rambut Tante Heni.
"Papa tahu Mama gak akan membohongi Papa. Sudahlah. Walaupun Oti bukan anak kandung Papa, tapi Papa tetap menganggapnya darah daging Papa. Kita telah membesarkannya sebagai anak kita sendiri," ujar ayah Ra
ka berusaha menenangkan istrinya.
"Lalu hasil tes darah dulu saat Papa mendonorkan darahnya pada Oti"" tanya Tante Heni.
"Menurut Dokter Satrio, tes darah saat ini tidak dapat dijadikan patokan mengenai hubungan darah seseorang. Di dunia ini sekitar satu banding lima kemungkinan dua orang punya golongan darah yang persis sama. Taoi tidak ada dua orang yang mempunyai susunan gen hampir sama, kecuali mereka memiliki hubungan darah. Jadi mungkin aja kebetulan Papa punya golongan darah yang sama dengan Oti," jawab ayah Raka.
"Apa ini hukuman atas perbuatan kita dulu atas Mas Ardi"" tanya Tante Heni.
"Jangan katakan itu. Dulu kita melakukan hal itu karena keadaan. Tidak ada niat sedikitpun untuk menyakiti suamimu. Papa kira Ardi akan mengerti. Dia juga tidak mungkin membuat anaknya sendiri menderita," hibur ayah Raka.
"Kalo begitu, biar Mama saja yang menjadi donor," kata Tante Heni mantap.
"Tidak bisa. Mama dengar sendiri kata dr. Satrio. Akan sangat berbahaya kalo Mama jadi donor," larang Papa tegas.
Tante Heni kembali menangis di pelukan suaminya.
"Mama harus tabah. Mungkin ini takdir Yang Maha Kuasa. Kita sebagai manusia hanya bisa menerimanya," kata Papa lirih.
"Kak, jadi Kak Oti bakak hidup dengan satu ginjal"" tanya Ai yang duduk dekat Raka, beberapa meter dari ayah-ibunya.
"Kecuali mendapatkan donor pengganti. Menurut dr. Satrio, walaupun kemungkinannya kecil, bisa aja Oti mendapatkan donor ginjal dari orang yang gak punya hubungan darah sama sekali. Walau gak sesempurna dibandingkan dengan yang mempunyai hubungan darah, tapi asal si penerima dapat segera beradaptasi, maka biasanya gak ada masalah. Hanya aja kemungkinannya emang sangat kecil. "Sangat kecil"" tanya Ai kaget. Raka mengangguk.
"Mungkin nanti setelah usia Ai dan Dio cukup, bisa jadi donor ginjal bagi Kak Oti, ya"" tanya Ai lagi.
"Bisa aja. Tapi apa Kak Oti mau menerima donor dari Ai atau Dio" Kak Oti sangat sayang pada kalian. Dia pasti gak mau kalian berkorban untuk dia, lagi pula kondisinya semakin baik."
"Kasihan Kak Oti," gumam Ai.
"Ya. Tapi paling gak, ada hikmah yang dapat dipetik dari kejadian ini," kata Raka sambil menerawang ke depan, seperti ada sesuatu yang dipikirkannya.
*** Sekarang, siapa yang akan menyampaikan kabar tersebut pada Oti" Raka mengajukan diri untuk menyampaikan kabar mengenai gagalnya operasi. Mulanya ayahnya menolak. Tapi setelah Ai dan ibu tirinya mendukungnya, akhirnya ayahnya mengalah. Alasannya, Raka-lah orang yang paling dekat dengan Oti dan mengerti sifat gadis itu. Raka pun janji akan melihat kondisi Oti dahulu sebelum menyampaikan berita tersebut.
Victory Karya Luna Torashyngu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Raka masuk ke kamar Oti, sementara yang lainnya menunggu di luar. Oti asyik baca manga yang baru dibelikan Ai.
"Hei... Lo udah dateng"" sapa Oti saat melihat kedatangan Raka. Oti meletakkan manga yang sedang dibacanya dan melepaskan kacamatanya.
"Yang lain mana" Kok gak pada masuk" Tadi Ai juga keluar. Ada apa"" tanya Oti sambil pandangannya terarah ke pintu.
"Lagi pada cari makan. Makanya gue disuruh ngejagain lo," jawab Raka berbohong. Ia lalu duduk di sisi tempat tidur Oti. Melihat wajah Oti yang polos, Raka gak tega mengatakan yang sebenarnya, walaupun sebagian hatinya mengatakan sebaliknya. Ternyata Oti dapat membaca ap yang tersirat di wajah Raka.
"Ada apa, Ka" Lo kok kayaknya bingung banget...," tanya Oti. "Gak. Gak papa," gagap Raka.
Mendengar jawaban Raka, tangan kanan Oti memegang tangan kiri Raka. "Lo tau persamaan gue ama lo"" tanya Oti. "Apa"" tanya Raka.
"Sama-sama gak bisa boong. Makanya sebaiknya lo terus terang. Ada apa sih"" desak Oti. Raka menarik napas sebentar. Mencoba mengumpulkan kata demi kata untuk memberi tahu Oti.
"Ada kabar baik dan kabar buruk," kata Raka lirih. "Yang buruk dulu," kata Oti tegas. "Hasil tes untuk donor ginjal udah keluar," kata Raka. "Trus" Siapa yang cocok" Lo atau Papa"" tanya Oti.
Kembali Raka mencoba menyusun kalimat yang tepat supaya Oti gak terlalu terkejut. Tapi rupanya dia gak perlu mengatakan kelanjutan kalimatnya, karena Oti terlalu pintar untuk m
enebak aoa yang hendak dikatakan kakaknya.
"Hasilnya pasti jelek, kan" Gue gak bisa dioperasi"" tanya Oti memastikan.
"Ot... " "Kalo hasilnya bagus, gak mungkin lo bingung kayak gini. Mama pasti udah masuk ke kamar dan ngomong langsung ke gue. Iya kan""
Raka mengangguk perlahan. Oti melirik ke arah jendela kamarnya yang menghadap ke koridor. Sekilas dia melihat ada bayangan di sana.
"Papa, Mama, Ai, dan Dio, mereka semua gak pergi. Mereka semua di lur kamar. Lo yang disuruh ngomong ke gue," tebak Oti. Raka hanya diam sambil menggenggam tangan kanan Oti dengan kedua tangannya.
Oti menghela napas. Dia udah siap jika hal ini terjadi. Manusia hanya bisa berencana, namun Tuhan juga yang menentukan. Walaupun begitu, perasaan sedih, kecewa, dan putusnya harapan juga menghinggapi benaknya, walaupun Oti gak ingin memperlihatkannya. Sejenak Oti memejamkan kedua matanya, mencoba menenangkan hatinya yang bergejolak. "Gue tau perasaan lo, Ot! Walaupun lo berusaha nyembunyiin. Gue tau lo kecewa mendengar berita ini. Begitu juga gue. Tapi ini kenyataan yang harus kita terima," kata Raka berusaha menghibur Oti.
Setelah beberapa saat, Oti membuka kedua matanya, kemudian tersenyum kecil. Tampaknya dia udah bisa menerima kabar itu.
"Ya udah, sekarang kalo gue boleh tau, apa kabar gembiranya"" tanyanya. Raka tersenyum lemas. "Ternyata kata dr. Satrio, lo bisa hidup dengan satu ginjal. Ginjal lo yang tersisa sanggup menopang fungsi tubuh lo. Selain itu... Gue gak tau apa berita ini bisa mengurangi kesedihan lo..." Raka berhenti sejenak. "Hasil tes DNA gue dan Ayah berbeda dengan hasil tes DNA lo. Dengan kata lain, ternyata lo bukanah anak kandung Ayah." Walau gak terlihat jelas, tapi ucapan Raka membuat raut wajah Oti sedikit berubah. "Yang bener" Lo gak boong, kan""
Raka menggeleng. Kemudian dia menceritakan perbincangannya dengan dr. Satrio. Juga kemungkinan Oti mendapat donor lain, walaupun kemungkinan itu sangat kecil. "Berarti gue masih mungkin punya ginjal baru... Sekecil apa pun harapan, tetap aja harapan," ujar Oti lirih. Kemudian dia menatap Raka, "Ka, bilang terus terang, lo sebenarnya seneng mendengar hasil tes itu, kan" Seneng setelah tau kalo gue gak punya hubungan darah dengan lo"" tanya Oti.
"Bagaimana gue bisa seneng" Itu berarti lo gak jadi dioperasi. Dan lo mungkin gak akan kembali seperti semula dalam waktu lama. Lo kehilangan semuanya. Terutama dalam kesempatan kuliah lo."
"Kata siapa" Gue gak merasa kehilanga semuanya kok! Soal kuliah gue, gue kan masih kuliah walau gak bisa jalan. Sejujurnya, lepas dari kelumpuhan dan kesehatan gue, bagaimana perasaan lo mendengar hasil tes itu"" desak Oti.
Raka terdiam sejenak. "Gue akuin sebagian hati gue emang seneng begitu tau lo bukan anak kandung Ayah. Tapi kalo boleh milih, gue lebih milih hasi tes DNA itu cocok, jadi lo bisa dioperasi. Asal lo bisa sehat lagi, gue rela ngorbanin apa aja, termasuk diri dan perasaan gue." "Emang sekarang gue gak bahagia"" Ucapan Oti membuat Raka terperanjat. Oti tersenyum padanya. Senyum manis yang keluar kalo dia sedang gembira.
"Lo ingat ucapan lo kemaren" Lo bilang akan selalu ngedampingi gue, dan berada di sisi gue kapan pun gue membutuhkan lo" Sekarang gue tanya, lo sungguh-sungguh kan dengan ucapan gue"" tegas Oti.
"Tentu aja. Gue sungguh-sungguh...," kata Raka. "Bener" Lo gak akan berubah pikiran"" tanya Oti lagi. "Bener. Emang lo gak percaya"" Raka balas bertanya.
"Gue percaya kok." Senyum Oti kian melebar. Raka kembali melihat aura kecantikan dari dalam diri Oti. Membuat duka pada cewek itu seakan-akan hilang dibawa angin. "Sekarang saatnya lo membuktikan ucapan lo...," kata Oti.
"Maksud lo"" tanya Raka.
Pandangan Oti beralih menatap langit-langit di atasnya. "Kalo gue tau hassilnya begini, gue rela jadi lumpuh. Bahkan andaikata waktu dapat berputar lagi dan gue bisa milih, gue tetap milih keadaan kayak gini, asalkan gue bisa mendaptkan cinta gue lagi." "Ot, maksud lo...," tanya Raka ragu.
"Ini mungkin cara Tuhan mengatakan kebenaran. Cara Tuhan bilang pada semua orang, kalo kita salin
g mencintai, dan kita gak melakukan kesalahan apa pun. Juga cara Tuhan menguji kekuatan cinta kita." Oti kembali menoleh ke arah Raka.
"Sekarang beban gue udah hilang. Gue udah gak punya perasaan bersalah ama Papa, ataupun Mama. Sekarang terserah lo. Apa pun yang akan lo lakuin, gue gak akan nyalahin lo, termasuk kalo lo berubah pikiran, dan akan ninggalin gue. Gue tau, sekarang gue cewek lumpuh yang gak bisa jalan. Tentu gak sebanding dengan lo. Gue pasti akan selalu ngerepotin lo, jadi beban bagi lo, apalagi dengan kondisi tubuh gue yang gak kayak dulu. Mungkin aja lo malu kalo jalan atau berduaan ama gue." Saat mengucapkan kalimat tersebut, tampak mata Oti berkaca-kaca. Raka sejenak terperangah mendengar ucapan Oti. Kemudian kedua tangannya menggengam erat tangan Oti.
"Gue gak akan berubah pikiran, sampai kapan pun. Lo sama sekali gak jadi beban buat gue. Malah, lo lah sumber kebahagiaan gue. Gue gak bisa bayangin hidup gue kalo gak bersama lo." Seusai bicara Raka mendekatkan wajahnya, dan mencium kening Oti yang masih dibalut perban. Tiba-tiba Oti memeluk tubih Raka. Dia gak peduli dengan badannya yang masih dalam proses penyembuhan.
"Kita akan lalui ini bersama. Kalo Ayah masih gak setuju hubungan kita, kita akan hadapi bersama," ujar Raka lirih di dekat telinga Oti. Oti gak bisa lagi membendung air mata yang mengalir membasahi kedua pipinya. Air mata itu air mata kebahagiaan dari cewek yang kembali mendapatkan cint sejatinya. "Gue sayang lo, Ka...," bisiknya.
"Gue juga sayang lo, Ot. Kata-kata lo bener. Kalo ini cara Tuhan untuk menguji kekuatan cinta kita, kita udah melaluinya. Kita udah menang. Ini kemenangan lo, Victory," kata Raka balas berbisik.
*** Tanpa diketahui mereka berdua, Ai bersama Dio, serta ayah dan ibunya menyaksikan kejadian tersebut dari balik jendela, dengan perasaan terharu. Tante Heni bahkan sampai menitikkan air mata. Sedangkan Ai menoleh, menatap ayahnya yang berdiri di sampingnya. "Yah, Ai mohon, jangan pisahkan mereka lagi. Kak Raka adalah sumber kebahagiaan Kak Oti, juga sebaliknya," Ai memohon pada ayahnya sambil berlinang air mata. Sebagai jawaban, ayahnya menoleh pada Tante Heni yang hanya mengangguk pelan, seolah mendukung permohonan Ai. Ayah Ai kemudian menoleh pada Ai, lalu merengkuh pundak anak gadisnya itu.
Enam bulan kemudian.... Seorang cewek berambut panjang dan berbaju putih dengan celana panjang hitam turun dari angkot, di depan gedung Sabuga, ITB, tempat sedang diadakan pameran buku berskala nasional.
"Yah... udah telat," gumam Ai sambil melihat jam tangannya. Suasana saat itu lagi ramai-ramainya. Ai baru aja latihan PMR di SMA-nya dan langsung ke tempat pameran karena ada janji dengan seseorang.
Setelah nitipin tasnya di counter penitipan, Ai segera masuk ke ruang pameran. Sesampainya di dalam, ia celingukan. Pameran ini sangat ramai oleh pengunjung, maklum hari minggu. Pandangan Ai tertuju pada panggung mini yang berada di bagian depan ruang pameran. Di latar belakang panggung itu terdapat spanduk dengan tulisan besar-besar:
JUMPA PENGARANG NOVEL BEST SELLER:
LOVE DESTINY VICTORY FEBRIANI Ai tersenyum. Novel perdana Oti itu udah berulang kali dibacanya. Dia tau kenapa novel itu laris dan disukai banyak orang. Oti menulis novelnya dengan hati, dengan seluruh jiwa dan perasaannya. Seolah-olah ingin memberitahukan pada semua orang apa yang ia rasakan saat menulis novelnya. Bahkan saking larisnya, kabarnya novelnya mo difilmkan, walau menurut Oti itu baru pembicaraan awal. Ai menoleh karena ada yang menepuk pundaknya.
"Baru dateng, ya" Kok ngos-ngosan"" tanya Raka yang tiba-tiba sudah ada di belakang Ai. "Iih, Kakak. Kak Oti dimana"" tanya Ai. "Ngerasa bersalah nih""
Suara itu datang dari belakang Raka. Dan ketika Raka menyingkir, Ai melihat cewek berkacamata tipis berambut panjang sebahu duduk di kursi roda.
"Sori deh, Kak... soalnya Ai baru selesai latihan jam setengah satu. Mana jalan macet lagi. Kakak tau kan, gimana lalu lintas di Bandung kalo hari minggu," kata Ai minta maaf. "Yq udah gak papa. Acranya juga belum dimulai k
ok!" kata Oti. "Kenapa belum dimulai"" tanya Ai. "Kan nungguin kamu he...he..he... "
Ai cuman tersenyum mendengar ucapan Oti yang bernada bercanda itu.
Seorang panitia acara mendekat ke arah Oti dan memberitahu acara akan dimulai.
"Ke sana yuk!" ajak Oti ke Ai. Mereka bertiga pun berjalan ke panggung.
Sesampainya di depan panggung, masalah kecil pun timbul. Panggung yang lumayan tinggi itu membawa masalah tersendiri untuk Oti. Dia gak mungkin naik sendiri ke panggung menggunakan kursi rodanya. Oti menoleh ke arah Raka. Tanpa ngomong sepatah kata pun, Raka seolah tau apa yang diinginkannya. Raka memanggil seorang panitia cowok di dekatnya.
"Tolong ya..," pinta Raka. Lalu dia mengambil tas yang ada di pangkuan Oti dan memberikannya pada Ai. "Kamu pegangin tas Kak Oti."
Setelah mengatakan itu, Raka menyelipkan kedua tangannya ke punggung dan kaki Oti. Oti pun merangkulkan kedua tangannya ke leher Raka. Dengan satu gerakan, Raka mengangkat Oti dan membopongnya. Apa yang dilakukan Raka menarik perhatian orang-orang yang ada di situ. Tapi Raka gak peduli.
Raka membopong Oti sampai ke panggung diikuti Ai dan panitia yang membawa kursi roda. Sesampainya di tengah panggung, Oti kembali duduk di kursi rodanya. "Makasih ya...," ujar Oti yang dibalas senyuman Raka.
Ai melihat kebahagiaan Oti dan Raka. Kebahagiaan yang berlandaskan cinta. Kelumpuhan Oti sama sekali gak memudarkan rasa cinta di hati mereka, malah semakin merekatkannya. Cincin tunangan yang melingkar di jari Oti dan Raka membuktikan hal itu. Ada sedikit perasaan iri di hati Ai melihat kebahagiaan keduanya. Dia gak tau apakah dirinya nanti juga mendapat kebahagiaan yang didapat kedua kakaknya itu. Tapi walau begitu, dalam hatinya Ai juga ikut merasakan kebahagiaan tersebut. Dia bersyukur dapat melihat dan merasakan langsung kemenangan kekuatan cinta yang suci, yang dapat mengalahkan segala macam rintangan dan waktu. Sesuatu yang udah langka di dunia ini, dunia yang penuh kepalsuan dan kemunafikan.
Neraka Pulau Biru 3 Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono Anak Rajawali 7