Pencarian

Alif Lam Mim 1

Alif Lam Mim Karya Primadonna Angela Bagian 1


?"Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama Kompas Gramedia Building
NOVEL/FIKSI P r i m a d o n n a A n g e l a FAM PICTURES MEMPERSEMBAHKAN SEBUAH PRODUKSI DARI ARIE UNTUNG SEBUAH FILM KARYA ANGGY UMBARA DIDUKUNG OLEH MULTIVISION PLUS 3 CORNELIO SUNNY ABIMANA ARYASATYA AGUS KUNCORO PRISIA NASUTION TIKA BRAVANI DONNY ALAMSYAH ARSWENDY SWARA PIET PAGAU CECEP ARIEF RAHMAN
VERDI SOLAIMAN TEUKU RIFNU WIKANA TANTA GINTING BIMA AZRIEL PENATA MUSIK AL PENATA SUARA KHIKMAWAN SANTOSA NOVI D.R.N (B LACK ) PENATA FOTOGRAFI DICKY R. MALAND DESAIN PRODUKSI SIUTHA PENYUNTING GAMBAR BOUNTY UMBARA FAJAR UMBARA PRODUSEN LINI GITA KARMELITA INDAH DESTRIANA PRODUSER PENDAMPING ANGGY UMABARA DICKY R. MALAND PRODUSER ARIE UNTUNG IDE CERITA DAN SUTRADARA ANGGY UMBARA
Alif, Lam, dan Mim. Tiga sahabat seperguruan yang menjalani hidup berbeda sejak Indonesia menjadi negara liberal. Alif teguh sebagai
penegak hukum. Lam berkarier sebagai wartawan, memaparkan kebenaran sebagaimana yang dilihatnya. Mim tetap setia di padepokan, meski Indonesia mencurigai mereka yang beragama.
Satu demi satu konfl ik bergulir. Dalam situasi genting, garis antara kawan dan lawan mengabur, dan mereka bertiga harus terus berjuang demi negara, keluarga, dan sahabat yang mereka sayangi...
PEMBERITAHUAN Seluruh karakter, insiden dan kejadian dalam buku ini adalah produk imajinasi semata. Nama para tokoh, karakter, dan tempat telah difiksikan.
Segala kemiripan atau persamaan karakter (masih hidup atau telah meninggal), organisasi, dan properti adalah kebetulan semata dan tidak disengaja.
Buku ini tidak bermaksud memfitnah komunitas, profesi, agama, institusi, kelompok-kelompok politik, dan agama serta orang yang masih hidup atau telah meninggal.
Bagi penonton filmnya diminta melihat film sampai akhir.
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama Jakarta
3 Primadonna Angela Diadaptasi dari skenario oleh
Anggy Umbara, Bounty Umbara, dan Fajar Umbara
Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, Jakarta
3 oleh Primadonna Angela 6 15 1 72 011
" Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama Gedung Kompas Gramedia Blok I, Lt. 5 Jl. Palmerah Barat 29 37, Jakarta 10270 Desain cover: MVP/EndOneStuff & Graphz Thofva CB
Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
anggota IKAPI, Jakarta, 2015 www.gramediapustakautama.com
Hak cipta dilindungi oleh undang-undang. Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit.
ISBN 978 602 03 2094 6 232 hlm; 20 cm
Ucapan Terima Kasih Kepada Ar-Rahman Ar-Rahim yang masih mengizinkanku untuk berkarya. Syukur dan suka cita ini semua karena-Mu. Terima kasih saja tidak cukup, tapi aku akan berusaha memanfaatkan semua berkat dari-Mu ke arah kebaikan.
Terima kasih juga untuk tiga bersaudara; Anggy Umbara, Bounty Umbara, dan Fajar Umbara. The real 3 .
Juga untuk Gramedia Pustaka Utama, atas kepercayaan dan kerja sama baiknya selama ini. Terutama untuk Hetih dan Mbak Raya, terima kasih, terima kasih. Seperti mimpi rasanya bisa bekerja untuk penerbit yang buku-bukunya kubaca sejak aku kecil.
Dan terutama untuk mitra hidupku, Isman H. Suryaman, yang memberiku keberanian untuk mencoba hal-hal baru.
Primadonna Angela Bagian Pertama: Alif Menjulang ke atas, tegak, tanpa memiliki liukan sana-sini. Tegasnya tidak bisa ditawar-tawar. Kukuh dan teguh dalam menjalani hidup. Seperti huruf hijaiah pertama itu, Alif adalah pionir. Dia seorang pemimpin. Dan sebagai pemimpin, dia harus berani menegakkan kebenaran.
Ada banyak cara untuk membayangkan masa depan.
Ini salah satunya. Prolog H IDUP itu untuk dinikmati, pikir eksekutif muda itu. Dia du"-
duk di sudut ruangan, tempat yang sempurna, menurutnya, untuk meng"amati sekitar dan merencanakan langkah berikutnya. Malam be"lum larut, dan keriaan masih merajalela. Dia belum memutuskan akan berbuat apa setelah vodka di gelasnya habis. Ini gelas keti"ga atau keempat" Dia tidak benar-benar menghitung. Kepalanya terasa ringan dan dia sesekali terkekeh, padahal yang dilihatnya sebenarnya tidak lucu. Pil yang tadi ditelannya mulai bereaksi, dan dia menanti-nanti malam yang panjang dan penuh kenikmat"- an duniawi.
Dari tempatnya, dia bisa melihat cara orang mengisi waktu di ke"lab ini. Ada yang duduk-duduk dengan wajah murung dan bahu melorot. Tipe orang depresi atau patah hati, pikirnya sembari ter"senyum sinis. Menurutnya, sia-sia menghabiskan waktu bersedih-sedih untuk hal atau seseorang yang jelas tidak memedulikan
Ka"lau penampilannya lumayan dan pakaiannya berkualitas tinggi, dia akan menebak lelaki itu selebriti atau seseorang yang berkocek te"bal. Kalau wajahnya biasa-biasa saja dan cenderung lusuh, dia akan mengamati dengan kening berkerut, menduga-duka apakah dia mucikari atau bandar narkoba. Atau jangan-jangan agen yang me"nyamar. Beberapa terang-terangan melakukan transaksi narkoba. Meski yang lain menyadari, semua berpura-pura tidak tahu. Ba"nyak yang berdansa, sekadar menggoyangkan tubuh, pasal mereka sesuai dengan irama lagu atau tidak, peduli amat. Kalau tubuh se"dang on, logika boleh main-main ke galaksi Andromeda. Yang penting asyik, yang penting hepi.
Warna manyala muncul di sana-sini. Di gaun seorang perempuan yang bagian atasnya terlalu ketat dan pendek, kalau membung"kuk sedikit saja, payudaranya mengancam untuk memberontak ke luar. Di jari lelaki yang sepertinya cukup berumur namun ma"sih gagah, mengilap diterpa cahaya lampu yang berkeredep. Di gelas-gelas minuman para wanita yang beranggapan semakin berani warna cairan di gelas mereka, semakin seksi pula mereka jadi"nya.
Kelab itu penuh sesak, tapi tetap saja orang-orang berjejalan ma"suk ke ruangan pengap dan berkabut oleh asap rokok. Yah, tidak sepenuhnya asap rokok. Dia terkikik-kikik sembari menyesap vodka, dan merengut mendapati isinya tinggal es yang mencair. Dia memberi sinyal pada waitress yang kebetulan berada di dekatnya untuk minta tambah, dan mencuri-curi untuk menepuk bokong gadis sintal yang alih-alih marah, malah tersenyum dan mengerjapkan mata penuh godaan ke arahnya. Lumayan juga dia,
pikir"nya. Rok mininya menampakkan sepasang kaki jenjang berwar"na pualam, dan atasannya menampakkan lekuk yang aduhai. Mungkin bisa diajaknya jalan kapan-kapan.
Ruangan itu berbau asap rokok, minuman beralkohol, zat-zat kimiawi, dan, samar namun mengganggu, aroma keringat yang mulai mengering. Di tengah lantai dansa, dia melihat pasangan yang terang-terangan berciuman dan saling meraba-raba satu sama lain. Pemandangan itu menimbulkan inspirasi baginya. Siapa yang akan dibawanya untuk menghangatkan ranjangnya malam ini" Pramusaji yang tadi mungkin mau kalau diiming-imingi segepok kertas dengan wajah presiden pertama terpampang di sana. Bahkan mungkin, kalau gepokannya cukup tebal, dia mau mengajak temannya. Pemikiran itu menimbulkan cengiran dan kekehan yang semakin keras.
Dia menepuk-nepuk saku tempat dompetnya berada. Apa gunanya punya uang, kalau tidak dihabiskan" Apa gunanya masa muda, kalau tidak mau bersenang-senang" Dia tidak mau berakhir seperti kebanyakan eksekutif di tempat kerjanya, seolah teran"tai di meja dan menjadi budak korporat, bekerja demi uang, demi tetap hidup, tanpa bisa benar-benar hidup . Oh tidak, tak mau dia menghadapi masa depan seperti itu. Selagi bisa, dia mau me"reguk kesenangan duniawi. Masa depan" Peduli setan.
Pramusaji itu mendatanginya, pinggulnya bergoyang sementara dia membawakan gelas baru berisi cairan berwarna amber kecokelat"an. Dia menelan ludah, membayangkan dirinya melucuti rok mini dan atasan bertali spageti perempuan itu dengan sekali sentakan. Pramusaji itu membalas senyumnya, kerlingan di matanya
se"olah berkata, Wanna play" Diselipkannya selembar uang kertas di tangan pramusaji itu, selagi menjabatnya erat. Senyum pramusaji itu semakin merekah.
Dia sama sekali tidak menyadari ekspresi keras serupa kayu di wa"jah pemuda yang menyikut dan membuka jalan dengan kasar, tidak mendengar pekikan dan makian orang-orang yang kesal. Dia sama sekali tidak menoleh ketika pemuda itu menatap ke seke"lilingnya dengan muak, dan tentu tidak menyadari senyum sinis"nya.
Ketika peristiwa itu terjadi, matanya masih tertuju pada bahu pra"musaji yang nyaris telanjang, dan dia nyaris tidak merasakan ledakan itu.
Ketika kekacauan terjadi,
acap kali orang-orang mengedepankan diri sendiri.
S ETIDAKNYA 150 orang tewas dalam peristiwa itu. Keba-
nyak"an dari mereka tercabik-cabik, gosong, dan sulit diidentifi"- kasi. Pendapat publik terbagi-bagi. Ada yang berpendapat itu salah mereka sendiri, terfokus pada kenikmatan duniawi, sudah sela"yaknya mereka terpanggang sebagaimana neraka yang mereka tuju. Ada yang berpendapat apa pun yang mereka lakukan dan di mana pun tempatnya, aksi pengeboman tidak layak dipuji, dan harus diberantas sampai ke akar-akarnya.
Ini bukan yang pertama. Sebelumnya, beberapa kali kelab malam terkenal di ibukota disambangi pelaku bom bunuh diri, namun korban yang terbanyak baru terjadi saat ini, yang memicu serang"kaian kejadian yang tidak terelakkan.
Dua pihak yang dari dulu selalu bertentangan, seolah mendapat"kan semangat baru untuk kembali bertikai. Membela apa pun yang mereka anggap benar, Sorban Merah dan Sorban Hitam,
Peristiwa cauan dan keresahan di kalangan masyarakat. Keamanan menjadi barang langka. Jargon dan slogan mereka, seperti, Kemaksiatan Harus Diberantas atau Tegakkan Kedamaian di Bumi Indonesia ironisnya bertentangan dengan tindakan anarkis yang me"reka lakukan. Penduduk sipil menutup rumah rapat-rapat, tapi itu pun tidak cukup. Mereka mengungsi ke kota lain, tapi se"olah tak ada gunanya karena di mana-mana, kota besar maupun ke"cil, ibukota maupun desa, semua diresahkan masalah yang sama.
Survival of the fittest, kata mereka yang menjadikan momen ini un"tuk berjaya. Begal-begal menjarah rumah-rumah penduduk, dan peribahasa sudah jatuh tertimpa tangga itu pun dibuat nyata, karena mereka tak segan menggunakan apa pun, termasuk tangga, untuk menghajar mereka yang tidak punya kesalahan apa pun ke"cuali berada di tempat dan saat yang salah.
Di mana pemerintah" Apa yang mereka lakukan" Mana tanggung jawab mereka menjaga stabilitas dan menegakkan keamanan"
Mereka hanya bisa mengecam, meratap-ratap, sekarat de"ngan pemikiran Indonesia, tanah tumpah darah mereka, bergu"lir ke jurang bencana. Mereka tidak lagi peduli.
Mahasiswa turun ke jalanan, menggiring massa, membela war"- ga sipil, tapi mereka bisa apa melawan kebrutalan orang-orang yang merasa mengusung kebenaran" Warga setempat ikut melawan, dengan perlengkapan apa pun yang mereka bisa temukan. Kalau ada bambu runcing, itulah yang dipakai. Pacul. Palu. Garu. Bah"kan ada pula yang membawa panci dan barang pecah belah. Alat-alat yang lebih bermanfaat digunakan untuk hal lain,
dialihfung"si"kan sebagai senjata untuk menghabisi pihak lain yang berse"berangan.
Ketika keadaan semakin runyam, militer pun akhirnya turun ta"ngan. Namun kehadiran mereka tidak menimbulkan rasa lega. Keberadaan mereka bagi masyarakat dirasa sama meresahkannya dengan kehadiran Sorban Hitam dan Sorban Merah. Polisi dan pasukan khusus mendatangi jalanan dan pusat kota, melontarkan peluru untuk menghabisi kerumunan massa yang menurut mereka tak bisa lagi dikendalikan. Media sosial dan portal berita membeludak oleh laporan kekerasan yang semena-mena. Polisi dan militer mengeksekusi pasukan Sorban Hitam dan Sorban Merah, yang kebetulan tertangkap kamera video.
Rekaman itu tersebar dan menimbulkan gelombang hujatan luar biasa pada pihak berwenang.
Biadab! Lebih buas daripada binatang! Bagaimana mungkin ini bisa terjadi" Begitukah kalau golongan tertentu dibiarkan memegang kuasa" Apa nyawa pun sekarang berada di tangan mereka"
Negara mulai terburai. Ketika kekacauan terjadi, acap kali orangorang mengedepankan diri sendiri. Siapa yang peduli kalau tetangga digebuki, siapa yang mau menolong ketika melihat seseorang dihajar di muka umum" Cara teraman, apalagi kalau tidak punya ke"mampuan untuk menolong atau membela diri, ya, lari.
Beberapa orang merasa tak berdaya, dia ingin melakukan sesuatu. Namun sekarang, yang bisa mereka lakukan hanyalah berusaha bertahan hidup...
TV di ruang tamu disetel dengan suara menggelegar. Tak ada yang benar-benar peduli, karena suara di luar sana jauh lebih memekakkan telinga. Penghuni rumah memilih bersembu"nyi selagi bunyi sirene dan pekikan di luar membahana. Bukan"kah mereka sudah lama belajar, TV isinya hanya propaganda serta me"rupakan corong bagi golongan dan orang-orang tertentu" Bu"kankah dari dulu mereka tahu TV belum tentu memaparkan ke"nyataan sebagaimana adanya"
Namun, mendengarkan acara TV, omong kosong politisi yang hanya tahu cara menjual janji tanpa merasa harus benar-benar mene"pati, lebih baik daripada terfokus pada suara erangan, tangisan, dan tembakan, bukan"
...Para peserta aksi damai memberikan bunga pada para pejalan kaki dan pelukan pada siapa pun yang mau menerimanya..
Penghuni rumah yang mendengarkan sekilas, hanya mendengus.
...Mereka berharap cinta dan kasih sayang selalu hadir dalam kehi"dupan kita semua...
Penghuni rumah mendengar suara berondongan tembakan di suatu tempat di luar sana dan jeritan melolong yang menyayat hati terbeku sekalipun. Mimpi saja terus, pikir mereka, karena pe"kikan dan lolongan yang mereka dengar terasa lebih nyata daripada komentar pembaca berita di TV yang mengawang-awang.
...Mereka mengecam penggunaan senjata api yang kian melewati batas, baik dari para kriminal maupun dari para aparat negara...
Hahaha, mengecam sih, semua orang juga bisa, pikir mereka.
...mengecam penggunaan senjata pembunuh dalam bentuk apa pun. Kami percaya bahwa manusia berhak mendapatkan kesempat"an kedua...
Kali ini, para penghuni rumah menajamkan telinga. Meredam suara riuh-rendah di luar, dan mencoba memfokuskan perhatian pada dunia di dalam televisi. Mereka beringsut sepelan mungkin, sehingga tatapan mereka tertuju ke layar.
Kamera TV menayangkan pemandangan di berbagai kantor polisi dan markas militer. Mulai saat ini, peluru karet akan digunakan, demikian reporter melaporkan dari markas besar kepolisian.
Mereka saling bertatapan, menaikkan alis, dan bertanya-tanya apa ini akan ada pengaruhnya" Apa ini akan menjadikan keadaan semakin aman, atau malah memperparahnya"
...melarang penggunaan peluru besi...
...menggantinya dengan penggunaan peluru karet yang hanya akan melumpuhkan...
Suara berganti, menjadi lebih dalam. Suara seseorang yang ber"- usaha menenangkan diri meskipun dilanda kepanikan. Suara sese"orang yang terbiasa mematuhi atasan, oleh karena itu pendapat"nya pribadi kali ini dikemukakannya dengan berat hati.
...Saya pribadi berpendapat peraturan ini kurang tepat. Akan merugikan pihak kepolisian. Tidak adil bagi para petugas kepolisian, karena akan membahayakan keselamatan kami ketika bertugas, sementara kami harus melawan pihak yang tidak akan segan menggunakan peluru tajam...
Penghuni rumah mulai kehilangan minat. Salah satu memencet
tombol remote, dan stasiun TV kali ini menayangkan wawancara se"orang politisi.
Jangan sampai bangsa kita terperosok ke lubang yang sama, yaitu tirani yang mengekang! Jangan sampai negara kita kembali kacau, dipenuhi kekerasan dan paksaan. Kita harus berubah, dan itu harus dilakukan secara menyeluruh! Indonesia harus menjadi negara yang lebih baik! Negara yang damai dan sejahtera, yang tidak dipenuhi kekerasan! Indonesia harus diliputi cinta dan kasih sa"yang, penduduknya harus bebas menentukan pilihannya! Mereka bebas mau memilih untuk beragama atau tidak, bebas mau berkarya dalam bidang yang mereka inginkan, bebas berperilaku, berpendapat, berbicara. Saat itulah kita benar-benar merdeka! Ketika kita mendapatkan kebebasan itu. Hidup kebebasan!
Yang menonton menggeleng-geleng dan bertanya-tanya apa mereka sempat melihat semua hal utopis itu terjadi dalam kehidup"an mereka.
Zaman berganti. Ideologi bisa berubah dengan mudah sekali. Semua memiliki untung dan rugi.
P ERISTIWA itu, pengeboman yang memakan banyak korban
jiwa, kejadian yang menggulirkan revolusi, mungkin terlupakan de"tailnya di benak banyak orang. Apa pun pemicunya, mungkin karena lelah dengan kekacauan dan kekerasan, atau memang sudah saatnya, Indonesia mengalami revolusi yang berlangsung lama. Revolusi selama apa pun, tetap memiliki ujung.
Revolusi berakhir pada tahun 2026. Tidak instan, tentu. Proses"nya terasa lamban, karena sungguh sulit mencapai kata mufakat. Ada beberapa aturan tertentu yang ditegakkan. Yang dianggap tak berguna, disisihkan. Yang dianggap penting demi masa depan bangsa, dipertahankan. Pihak yang saling bertentangan akhirnya mencapai kesepakatan.
Kekacauan di seluruh bagian Indonesia mulai reda. Kota-kota baru dibangun, beberapa diciptakan ulang karena luluh lantak. Tek"nologi diimplementasikan semaksimal mungkin untuk men-
Akhir dari Revolusi di"jalin kembali. Komunitas kembali dibangun, orang asing menjadi teman, dan dari teman mereka semakin dekat selayaknya saudara.
Sebagaimana yang terjadi di masa-masa sulit, banyak cerita kemanusiaan yang menyentuh hati beredar. Kejahatan mungkin akan meninggalkan bekas mendalam, namun kebaikan, meski setitik, akan melekatkan jejak selama bergenerasi-generasi. Kebaikan di kala kesulitan lebih mudah diingat dan dipaparkan. Mungkin juga semua kisah ini, pengorbanan mereka yang ikhlas menjadi pagar dan pengalihan perhatian agar tetangga, saudara, bahkan orang asing bisa melanjutkan hidup. Kisah-kisah kemanusiaan seperti itu menimbulkan hasrat mendalam akan datangnya perda"- maian. Begitu banyak pengorbanan, begitu banyak pula pil pahit yang harus ditelan karena jiwa terbuang sia-sia, jiwa yang barang"- kali, andai dunia berbeda, andai damai menerpa, bisa lebih ba"- nyak menyebarkan kebaikan.
Perang keyakinan, perang ideologi, perang pencitraan, dan perang saudara yang memakan banyak korban berakhir. Setidaknya, itulah harapan banyak orang. Kebanyakan orang sudah muak dengan perselisihan dan pertelingkahan, mereka ingin hidup dan beraktivitas tanpa harus mengkhawatirkan peluru nyasar atau adu jotos yang berakhir maut. Sehingga ketika tatanan baru disusun, saat Indonesia mulai mengikuti liberalisme seperti yang terjadi di selu"ruh dunia, bisa dikatakan nyaris semua bernapas lega, menyam"butnya dengan suka cita.
Agama mulai ditinggalkan. Kuno, mengekang, itulah yang dilekat"kan pada agama. Agama dianggap memicu kekerasan dan
meng"halangi kebebasan. Agama dianggap membatasi ideologi dan men"jadikan penganutnya fanatik dan hanya menganggap diri mereka yang benar. Indonesia menjadi negara yang liberal dan memandang tindakan kekerasan sebagai hal yang patut dibenci.
Aparat negara hanya diizinkan menggunakan peluru karet. Kalaupun ada kekerasan atau kriminalitas yang terjadi, mereka harus memberantasnya dengan kekerasan seminimal mungkin. Pada saat inilah kemampuan bela diri menjadi hal yang dibutuhkan. Para pene"gak hukum maupun pelanggar hukum, mempelajari seni ini untuk bertahan hidup.
Dan di saat inilah, di Jakarta, pada tahun 2034, kisah Alif, Lam, Mim dimulai...
Seseorang yang memiliki misi akan cenderung lebih berani.
M ALAM ini akan terasa panjang, menegangkan, dan barang-
kali mengesalkan. Itu pendapat Alif ketika melangkah mendekati Kapten Rama. Gang tempat mereka berada terasa pengap dan berbau pesing. Grafiti muncul di sana-sini, usaha setengah hati untuk me"rias wilayah itu agar lebih ceria, barangkali, namun Alif nyaris tidak merasa terganggu. Ketika berkonsentrasi yang ada dalam benaknya hanya satu: bagaimana menyelesaikan misi seefisien dan seefektif mungkin.
Alif menatap bangunan berlantai empat yang dijaga orangorang bersenjata. Bangunan itu tidaklah megah, meski cukup kokoh. Bisa bertahan bertahun-tahun lagi, diasumsikan gedung itu bertahan dari apa pun yang akan terjadi malam ini.
Pasukan khusus berpakaian hitam-hitam memegang senjatanya dengan gelisah. Mereka menyembunyikannya, tentu, tapi Alif bisa menghidu aroma kengerian mereka dengan jelas. Kalau Alif saja
Misi bisa melakukannya, apalagi para keparat yang bercokol di dalam gedung itu"
Kapten Rama sibuk mengganti peluru-peluru karet di senjatanya dengan peluru besi. Tangan dan jemarinya gemetar, dan mulutnya komat-kamit. Entah membaca doa atau memaki-maki, Alif tidak benar-benar ingin tahu.
Kapten. Anda sadar apa yang Anda lakukan" Alif bersedekap.
Rama berjengit ketika Alif berada dalam jarak beberapa lang"kah darinya. Dia tersenyum, dan senyum itu tidak enak dipan"dang. Saya masih mau hidup, Alif. Kita ditugaskan menghadapi markas kriminal... dan mereka semua menggunakan peluru sung"guhan. Mana bisa kita bertahan hanya menggunakan peluru karet"
Alif menggeleng-geleng tak percaya. Peluru-peluru besi itu ilegal, Kapten! Mereka memang melanggar hukum. Tapi kita tidak boleh melakukannya!
Rama terkekeh. Bahunya terguncang, matanya tampak kosong. Kita ini berada di atas hukum, Lif! Kita adalah hukum itu sendi"ri! Apa pun yang kita lakukan, tujuannya kan menumpas kejahat"an. Boleh-boleh saja.
Kita ini penegak hukum! Dan itu artinya kita harus mematuhi hukum! Hukum yang dibangun negara dan disepakati rakyat! Apa bedanya kita dengan para penjahat kalau kita menganggap hukum itu tidak penting" Kalau kita menganggap hukum bisa dikesampingkan demi alasan-alasan sepele"
Hukum tidak akan artinya kalau kita mati konyol ditembaki di dalam sana, Alif!
Dengan segala hormat, Kapten! Kalau Anda masih takut mati, mungkin sebaiknya Anda tidak bergabung dalam pasukan ini!
Kapten Rama hanya bisa melongo ketika Alif mengambil kedua senjata di tangannya.
Hei, Alif! Alif! serunya, berusaha merebut senjatanya kembali. Alif menjauhkannya, sembari mendelik ke arah Rama.
Kapten Rama merutuk-rutuk. Alif seolah tidak mendengarnya. Dia berbicara pada Bima yang berada di ujung gang dan pada pasukannya yang terdiri dari belasan orang. Kapten Rama dilanda dilema. Dia tahu harus melakukan sesuatu. Tapi apa" Dan memangnya ada pengaruhnya"
Silakan tangkap dan lumpuhkan siapa pun yang keluar dari gedung itu! kata Alif.
Copy& sahut Bima. Apa memang ada nada penuh antusiasme di suara Bima, atau itu hanya perasaan Rama saja"
Seolah hendak berjalan ke luar untuk berbelanja atau malah berkencan, Alif melenggang ke luar gang. Sama sekali tidak ada beban. Bisa dikatakan Alif malah menanti-nantikan bentrokan yang akan terjadi.
Rama menggeleng-geleng seraya mendekati Bima. Kayaknya ada yang udah bosen hidup nih!
Bima menyeringai. Kayak baru kenal Alif aja, Kapten! Alif tidak membuang-buang waktu. Gerakannya refleks. Ada gerakan, tangan yang bergerak mengacungkan senjata, langsung dika"tegorikannya sebagai musuh. Tanpa ekspresi, Alif menembaki para penjaga. Dor! Dor! Dor! Tentu saja, para penjaga tidak ting-
gal diam mendapati diri mereka diserang. Mereka pun balas menembak.
Dor! Alif luput terkena peluru itu. Dor! Alif terus maju.
Dor! Kali ini peluru itu mengenai Alif, tapi, tanpa meringis atau mengerang sedikit pun, Alif tetap maju.
Dor! Alif kembali terkena tembakan, tapi dia tidak goyah. Dia maju dengan konsisten, sampai berhasil mencapai gerbang. Dia se"perti buldoser yang tidak terbendung. Di sana, dia membuka pintu gerbang seolah hendak memasuki kediamannya sendiri, lalu masuk, tanpa diganggu, sendirian.
Alif tidak menghitung berapa peluru yang dihabiskannya untuk menghajar para begundal yang bersarang di sana.
Tubuhnya yang terlatih menjadikan setiap gerakannya efekif. Tidak ada gerakan yang tidak perlu, semua diperhitungkan sedemi"kian rupa sehingga dia bisa menghabisi lawan dengan secepat mungkin. Alif tidak sudi menghabiskan waktu melayani para ce"- cunguk itu lama-lama. Pandangannya yang kritis menyapu ruangan. Penjaga di lantai ini lumayan juga, pikirnya, tapi butuh lebih dari sekadar lumayan untuk bisa menghentikan Alif. Alif melihat beberapa orang memegang senjata api. Ada pula yang memegang tongkat kayu, juga besi. Mereka menghampiri Alif dengan mata mengobarkan dua hal: benci dan takut. Semua tahu reputasi Alif. Siapa pun hanya bisa menduga-duga sejauh apa kemampuan Alif, se"gencar apa upayanya untuk melawan musuh. Sejauh ini, tidak ada yang tahu batasnya.
Alif menarik napas dalam-dalam. Dalam kondisi sekacau dan
se"mengerikan apa pun, dia selalu berhasil mencapai posisi itu: keti"ka dia merasa damai dan terpusat, ketika seluruh tubuhnya berse"dia melakukan apa pun yang diperintahkan otak tanpa jeda, ketika bahkan sehelai rambutnya pun bisa dijadikan senjata. Alif me"raih jauh ke dalam dirinya dan menggapainya: kekuatan berupa tenaga dalam.
Peluru diarahkan kepadanya, namun Alif hanya tersenyum dan menggerakkan jemarinya ke arah musuh, gerakan menantang dan meremehkan, mempersilakan mereka menghajarnya. Alif berdansa ke kiri dan kanan, berputar, sehingga semua peluru itu terlontar de"ngan sia-sia, hanya merusak dinding dan perabotan ala kadarnya. Alif berada cukup dekat dengan seseorang yang menodongkan senjatanya kepadanya. Tanpa mengeluarkan keringat setetes pun, bahkan tanpa berpikir panjang, Alif mematahkan senjata itu menjadi dua, melemparkannya ke sang musuh yang lari terbiritbirit.
Alif mendengus pelan ketika merasakan seseorang berlari ke arah"nya. Bodoh sekali orang-orang ini, pikirnya. Kalau hendak menyerang, lakukan dengan diam-diam, jangan memberitahukan keberadaanmu dari jarak beratus-ratus meter! Orang itu menyeru"kan yel-yel entah apa sembari mengacungkan batang besi. Alif menangkisnya dengan tangan kosong, dan besi itu terlontar, berkelontang& tang& tang& di lantai, sebelum bergulir dan bertahan di sudut ruangan. Seseorang yang merasa dirinya cukup tangguh mendekati Alif dengan sebatang tongkat. Senjata itu terpental ke udara ketika Alif dengan sigap meremukkan sendinya. Orang itu terhuyung dan jatuh, bergelimpangan menimpa yang lain. Bebe-
rapa berusaha menjebak Alif ke dinding. Alif meninju dinding yang segera menciptakan lubang menganga, sembari mengenai wajah seseorang. Orang itu mengaduh-aduh sembari memegangi hidungnya yang berdarah.
Begitu terus. Mereka menyerang, Alif bertahan. Alif menyerang balik, mereka kelimpungan. Jumlah mereka berkurang sementara Alif menangkis, memukul, dan menendang. Alif mengabaikan rintihan dan lolongan para korban yang bergulingan di lantai. Ketika tidak ada lagi yang menyerangnya, Alif bergerak ke lantai dua.
Mereka yang berada di lantai dua lebih siap menghadapi Alif. Bukan berarti mereka sanggup melumpuhkannya. Alif berdecak menyaksikan puluhan orang serempak berusaha menghajarnya. Machine gun yang mereka gunakan dihancurkan Alif dengan beberapa kali pu"kulan. Pedang yang mereka pegang erat-erat berkelontangan terkena hantaman atau tendangan Alif. Dia mengabaikan pekikan dan tangisan di dalam kerangkeng, dan baru mendekatinya ketika semua musuh di lantai dua berhasil dibuatnya tidak berdaya.
Ayo, lari! kata Alif ketika kandang berisi perempuan-perempuan itu terbuka. Alif tidak punya waktu untuk mengamati mereka semua dan menolong mereka satu demi satu. Dia berharap mere"ka semua cukup cerdas untuk melarikan diri dan tidak kembali terjerat perangkap yang sama.
Ketika naik ke lantai tiga, Alif menghadapi musuh dengan senja"ta yang berbeda pula. Puluhan orang berderap mendekatinya. Beberapa membawa palu, ada pula yang membawa clurit. Kemampuan bela diri mereka lebih tinggi, dan Alif mulai berkeringat
menghadapi mereka. Mereka mengeroyoknya tanpa kenal ampun, dan Alif terpaksa menghabisi orang yang menghambat gerakannya. Tak hanya satu-dua, ada beberapa yang terpaksa dia hilangkan nyawanya. Alif menatap mereka satu per satu, seolah ingin menghafal semua wajah mereka.
Akhirnya, ketika semua orang itu berhasil Alif lumpuhkan, dia mendengar bunyi tepuk tangan yang membahana. Hebat juga nyali orang satu itu, pikir Alif sembari merenggangkan tubuh dan mencoba menggerakkan sendi satu demi satu, atau jangan-jangan dia memang psikopat" Alif rasa beberapa bagian anggota tubuhnya cedera, tapi sepertinya tidak ada yang parah.
Sang Big Boss yang bertepuk tangan, tentu. Dia didampingi pe"ngawal-pengawal khususnya, semua memegang senjata, semua menatap Alif tanpa berkedip. Level mereka tentu jauh di atas keroco yang baru dikalahkan Alif, namun prospek melawan musuh yang benar-benar tangguh malah membuat Alif bersemangat, bukannya menggentarkan nyalinya.
Alif diam saja ketika Big Boss bertepuk tangan. Menanti. Ini pasti Letnan Alif! Suara Big Boss itu agak cempreng, en"- tah karena ketakutan, atau memang sudah dari sananya. Sang Idealis! Ambisius! Reputasimu benar-benar hebat. Oke& jadi apa yang bisa kami lakukan untukmu, Alif"
Tanpa berkata-kata, Alif melemparkan borgol ke depan Big Boss Mafia.
Anda bisa membantu saya dengan memakai benda itu! Lalu, ikut saya ke markas kepolisian.
Big Boss menatap borgol itu seolah sewaktu-waktu benda itu
bisa bergerak dan mencekiknya sampai mampus. Mengingat reputasi Alif, apa pun bisa saja terjadi.
Hehe& Big Boss terkekeh, namun kekehannya terdengar tidak meyakinkan. Saya ralat pertanyaannya. Kami harus bayar berapa" Untukmu dan pasukanmu. Jangan segan-segan. How much do I owe you"
Alif menyipit. Tidak semua bisa dibayar dengan uang! Big Boss tidak gentar dengan tatapan Alif. Ah, semua orang pasti ada harganya. Everybody is for sale! Everything is for sale. Even our lives! Nyawa mereka semua& Big Boss menunjuk tubuh bergeming di lantai. Nyawa mereka yang kamu habisi itu, kan kamu beli untuk pangkat dan jabatanmu! Untuk nama baikmu. Gajimu! Kelayakan hidupmu!
Alif tidak mengucapkan apa pun sementara Big Boss itu terus mencerocos. Dia merasa tidak perlu menyanggah ataupun menimpali. Dia hanya menatap dan menatap.
Big Boss mencoba taktik lain. Atau barangkali, ini semua untuk ke"puasan kamu" To feed your soul, your anger! See, I m a businessman. I serve my clients. Mereka mau apa, tinggal datang ke saya. Semua pasti bisa saya berikan! Mau apa, coba" Senjata" Saya berikan! Mau wanita" Atau... anak-anak" Mudah saja. Nanti saya siapkan. Mau bom" Bikin kekacauan" Apa saja, bisa saya sediakan... as long as it will bring happiness to them. Ini pekerjaan mulia, lho! Kita hidup sebenarnya untuk melayani, kan" And me" I am happy to serve! I can see it in you... the desire to kill. Kamu menyu"kai ini semua, kan"
Alif menggeleng-geleng. Sakit, lu!
Big Boss menatapnya penuh arti. Really" Look who s talking. Kamu yang sadomasokhis mengatai orang lain sakit" Sendirinya suka membunuh dan menyakiti orang. Akui saja! Kamu menunggu saat-saat dirimu disakiti. Momen kamu bisa terbunuh! Untuk membalas dosa-dosamu di masa lalu, mungkin" Ha, siapa tahu" Big Boss terus saja menatap Alif, seolah berusaha memecahkan sebuah misteri. I can see that in you! You desperate little fuck! Since you love pain so much, I will give you some!
Tanpa perlu diberi aba-aba, mereka merubungi Alif. Tanpa me"ngenal giliran, mereka mengacungkan senjata, melontarkan pu"kulan ataupun tendangan. Tekad di wajah mereka seolah menunjukkan hal yang sama: Alif harus mati, namun sebelum dia tewas, mereka akan menghajarnya sedahsyat mungkin.
Pertarungan itu jelas tidak seimbang. Apalagi adil. Master fighters yang disewa Big Boss memiliki kemampuan tingkat tinggi, tubuh mereka menunjukkan itu. Tenaga mereka rata-rata setara dan mereka cukup membuat Alif kewalahan. Satu tendang"an di sana, satu pukulan di sini, Alif sempoyongan ketika keseim"bangannya terganggu. Mereka bekerja bagaikan satu tim, menge"ro"yok Alif dengan sistematis. Alif, meski demikian, bukanlah orang sembarangan. Pengalamannya bertahun-tahun membuatnya bisa berada di sini, bertahan meski digempur habis-habisan. Dan satu demi satu, Alif berhasil menjatuhkan para petarung pilihan itu. Sehingga tinggal dirinya dan Big Boss yang berdiri di sana, saling berhadapan.
Andai saja kamu mau bekerja untuk saya. Oke deh, sebelum kamu menangkap saya, saya mau kasih tahu sebuah rahasia. Ha-
nya sedikit orang yang tahu ini. Ready" Saya ini... dulu seperti kamu. Exactly like you. Betul, itu betul.
You are nothing like me! sahut Alif penuh emosi. Tunggu, dengar dulu. Saya ini dulu idealis. Saya menjalankan tugas untuk bangsa dan...
Kata-katanya tidak pernah selesai, karena Big Boss terlontar ke lantai. Alif menatap tidak percaya, menyadari sebulir peluru me"- nembus kepalanya. Peluru yang berasal dari luar jendela. Big Boss tidak bergerak maupun bersuara. Dari tempat peluru itu menembus tubuhnya, mengalir darah, membentuk genangan di lantai.
Alif segera melihat ke luar jendela. Dia tidak bisa mendeteksi siapa pun di sana, siapa saja yang kira-kira menghabisi Big Boss. Gedung dan bangunan di luar sana tidak menunjukkan gejalagejala sempat diisi seorang penembak jarak jauh. Keheningan menyambutnya, dan bukan untuk pertama kalinya, Alif berharap benda-benda mati bisa bersaksi dan bersuara ketika ditanya.
Semua tak selalu berjalan sesuai keinginan. Begitulah kehidupan.
S EKUJUR tubuh Alif terasa nyeri. Selalu begitu ketika adre-
nalin mulai lesap dan situasi yang tidak mengharuskannya bertarung sudah usai. Alif menutup lokernya tanpa mengamati isinya lagi, benaknya masih tersita ke peristiwa tadi. Dia duduk di kursi de"pan loker. Berhati-hati agar tidak mengenai perban dan sayatan di berbagai tempat di tubuhnya. Di sana-sini di kulitnya terbentuk lebam yang besok pasti akan berubah warna menjadi ungubiru mengenaskan. Alif menggunakan kantong es untuk mengompres kepalanya, sembari berusaha mendinginkan emosinya.
Seseorang menghampirinya, kemudian memberinya hormat. Dia seorang tamtama, ajudan Kolonel Mason.
Malam, Pak. Bapak ditunggu Kolonel Mason di ruangannya.
Alif merespons dengan anggukan dingin. Terima kasih, Pak. Dia meninggalkan ruangan.
Tuduhan dan Jebakan * * * Alif dan Kolonel Mason duduk berhadapan. Kalau orang lain mengamati mereka, mungkin akan menyadari bahasa tubuh mereka yang rileks. Namun topik yang mereka bicarakan sungguh serius. Di belakang Kolonel Mason, berdiri dua prajurit, salah satunya tamtama yang tadi diutus untuk menemui Alif. Di atas mereka, dengan angkuh seolah merajai dinding, dipajang lambang negara yang sudah direvisi. Catursila. Bukan untuk kali pertama, Alif meliriknya sembari berpikir, apa empat jauh lebih baik daripa"da lima. Dia ingat dulu sekali bersama dua sahabatnya sempat memperdebatkan hal itu. Lebih dari sekali mereka tergoda menambahkan bintang di tengah catursila itu, sehingga sama seperti zaman dahulu.
Kolonel Mason adalah pria paruh baya yang kelihatannya tidak tidur selama beberapa hari. Meski demikian, sorot matanya masih tajam, dan nada suaranya masih tegas.
Kamu punya bakat dan kemampuan luar biasa dalam bertempur. Nggak ada duanya, itu saya akui! Tapi kamu nggak bisa begini terus. Kita ini tim, Alif, dan tim harus bekerja sama, bukan bergerak sendiri-sendiri! Tim itu ada aturannya sendiri! Chain of command! Order!
Alif masih menatap Catursila itu, dan bertanya-tanya apa Kolonel akan menghajarnya kalau dia meraihnya dan menambahkan bintang di tengah empat sila itu. Atau Kolonel akan mengedikkan bahu, karena dia lupa apa makna sila pertama yang sudah dihapus itu"
Ketika pandangannya beralih pada Kolonel, ekspresi Alif tegas dan keras.
Yang pertama kali melanggar aturan adalah atasan saya, Pak! Kamu punya bukti" Yang melihat dia pakai peluru tajam, hanya kamu! Kenapa personil lain nggak ada yang menyadarinya"
Alif tidak mengucapkan apa pun. Keheningannya seolah menyatakan segalanya. Dia bisa saja menjawab pertanyaan itu, oh, ada banyak spekulasi dan kemungkinan yang bisa ditelusuri. Tapi saat ini, dia memutuskan terlalu dini untuk berbicara.
Kolonel Mason menarik napas dalam-dalam. Alif pun tahu apa yang hendak disampaikannya pasti tidak akan disukainya. Dan memang benar. Badan pengawas akan mendakwamu akan pembunuhan Mr. Sunyoto...
Kolonel Mason menempatkan foto-foto Big Boss di meja. Dia menunjuk-nunjuk foto itu.
Saya tidak membunuhnya, Pak... Alif merasa harus menjelas"- kan hal itu, lagi dan lagi.
Kolonel Mason berkata, Saya tahu itu. Nah, masalahnya kamu tahu nggak, siapa yang membunuhnya"
Alif diam saja. Kalau matinya karena benturan, perkelahian, patah tulang, mere"ka bisa menoleransinya. Tapi ini, Lif, kepalanya! Tertembus peluru tajam. Fatal, ini! Pelanggaran hak asasi tingkat tinggi!
Pelurunya kaliber berapa" Memangnya mereka bisa mendakwa tanpa barang bukti"
Kolonel Mason mendesah panjang. Senapannya sudah ditemu-
kan! Ada di ruangan itu. Ruangan yang sudah kamu hancurkan habis-habisan itu!
Alif bisa bilang apa" Spekulasi semakin menyubur dalam benaknya. Pasti ada yang berusaha menjebaknya. Tapi siapa" Dan atas dasar apa" Untuk saat ini, benak Alif mandek. Mungkin ada orang dalam yang terlibat, tapi kembali ke pertanyaan awal: siapa dan buat apa"
Kamu sudah ikut pasukan ini dari usia muda, Lif. Kamu su"- dah saya anggap seperti anak sendiri, dan saya mengenalmu luardalam. Harusnya kamu sudah jadi mayor sekarang, Lif... Ini kamu jadi kapten, balik lagi jadi letnan satu! Mandek di sana terus! Lif... Nada suara Kolonel Mason melembut. Kamu harus bisa kompromi. Kali ini, berbeda. Bukan hanya turun pangkat, bisabisa kamu diberi hukuman penjara.
Alif tersenyum, jenis senyum seseorang yang menerima kenyataan dan tidak berusaha melawannya, Pangkat nggak penting bagi saya, Pak. Kan Bapak sudah tahu hal itu.
Jadi yang penting bagi kamu apa, Lif"
Menumpas kejahatan, Pak. Itulah yang terpenting! Kolonel Mason berusaha mengubah taktik. Dia sadar cara kasar tidak akan bisa mengubah Alif. Tapi kamu sadar, kan, sebesar apa pun kejahatan yang kamu hancurkan... sebanyak apa pun penjahat yang kamu habisi atau tangkap... semua itu nggak akan bisa mengembalikan orangtuamu. Mereka tidak akan hidup kembali...
Paras Alif berubah dingin. Kita sudah selesai, Pak" Kolonel Mason menarik napas dalam-dalam. Dia dilanda ke-
inginan untuk memijat kepalanya yang mendadak pusing. Dengan terpaksa, kamu harus saya skors. Selama dua minggu! Kolonel Mason mengamati Alif dengan ekspresi iba sekaligus cemas. Dia khawatir bagaimana Alif akan menyikapinya.
Baik, Pak. Kalau tidak ada lagi yang ingin dibicarakan, saya mo"hon pamit.
Alif berdiri, memberi hormat. Dia berbalik, kemudian meninggalkan ruangan. Pandangan Kolonel Mason masih tertuju pada Alif.
Di ujung koridor markas, Alif bertemu orang yang sungguh ti"dak ingin dilihatnya dalam waktu dekat: Kapten Rama. Mereka sa"ling bertatapan tanpa berkata-kata. Alif tidak bisa menebak apa yang dirasakan Kapten Rama. Takut, karena Alif menyadari perbuatannya" Atau malah jemawa, karena Alif tidak punya bukti" Alif tidak mau tahu dan dia tidak punya waktu untuk adu tatap dengan Rama. Dia mengalihkan pandangan, malas berlama-lama menerima tatapan dingin Rama, kemudian meninggalkan markas.
Kata orang, waktu bisa menyembuhkan luka. Waktu bisa menumpulkan duka.
H ARI berlalu, minggu berganti, dan tanpa disadari tahun-tahun
pun terlewat begitu saja. Kata orang, waktu bisa menyem"buhkan luka. Waktu bisa menumpulkan duka. Waktu bisa mem"buat kita menerima bahwa kehilangan adalah bagian dari kehidupan, dan kehidupan akan terus berjalan, menolak untuk terpaku di satu titik, tidak peduli berapa banyak orang yang ingin waktu berhenti.
Semua itu salah. Waktu tidak bisa mengobati rasa sakit, kadang malah mempertajamnya.
Alif mendekati dua makam di taman pemakaman umum. Di sini, waktu seolah berhenti. Di sini, dia kembali ke masa lalu, sese"orang yang larut dalam kesedihan, yang berharap andai dunia tidak terlalu kejam. Andai orangtuanya masih hidup, apa Alif akan berubah jadi pribadi yang lebih tenang" Apa dia akan berhenti berusaha menumpas kejahatan"
2034 Alif tidak akan pernah tahu, tapi dia tidak kuasa menahan diri untuk tidak bertanya-tanya.
Kedua makam itu sama saja seperti kali terakhir Alif meninggal"kannya. Makam ya makam, mau dihiasi seperti apa pun, tetap merupakan tempat bermukimnya tubuh mereka yang telah tiada. Senja berlalu, malam menjelang, dan Alif merasa di ambang antara siang dan malam, di waktu antara ini, dia merasa dekat dengan kedua orangtuanya.
Alif berlutut di hadapan kedua makam itu. Di sini, topeng yang dipasangnya ketika harus berurusan dengan orang lain dilepaskan. Gurat-gurat kelelahan tampak jelas di wajahnya, juga ekspresi murung yang takkan sudi dia tampakkan di hadapan orang lain.
Perlahan Alif mengambili bunga kering dari atas makam. Dicabutinya semak dan rumput liar yang tumbuh di sana. Setelah puas melihat hasilnya, Alif menempatkan mawar dan melati di makam kedua orangtuanya. Wanginya menyeruak, dan Alif berpikir bahwa orang yang masih hidup pun diuntungkan dengan ritual mengunjungi mereka yang telah tiada. Dengan membawa bu"nga yang wangi, kita memanjakan indra penciuman sehingga tubuh menjadi tenang. Dengan mengunjungi makam, membersih"- kan"nya, menata bebungaan agar makam tampak terawat, membuat jiwa tenang. Kita merasa telah melakukan sesuatu, ritual untuk menenteramkan batin, meyakinkan diri bahwa tidak peduli selama apa waktu berlalu kita akan selalu berduka. Dan yang sudah berpulang mendapatkan manfaat dari doa yang dipanjatkan,
Alif yakin akan hal itu. Dia memperbanyak doa, dan bertekad lebih sering mengunjungi makam orangtuanya.
Hanya di depan makam orangtuanya, Alif bisa menjadi dirinya sendiri. Dia menekuri kedua makam itu, lama, angin berembus mengacak-acak rambutnya, namun semua tidak dirasakannya.
Langkah Alif berderap menuju gedung apartemen yang agak kumuh. Dari jauh, orang sudah mengenali gaya berjalannya dan perawakannya. Anak-anak muda yang berkerumun di berbagai tempat, otomatis ka"bur begitu Alif mendekat. Padahal Alif sama sekali tidak meng"hiraukan keberadaan mereka.
Alif menghentikan langkah ketika menyadari ada yang salah. Dia berjingkat-jingkat dan mempersiapkan mental. Segera, Alif mengambil hand-gun dari belakang pinggangnya, berusaha menebak-nebak siapa yang hendak mengerjainya kali ini. Di hadapannya, pintu unit apartemennya terbuka. Alif masuk sembari mengacungkan senjata. Apartemennya ge"- lap, dan matanya belum benar-benar menyesuaikan diri. Alif hanya mengandalkan naluri dan pendengarannya.
Tiba-tiba ada yang menyerangnya dari belakang. Alif dan orang itu bergulat dan saling menghantam. Mengelak, mengunci, melepas"kan diri. Begitu terus, sampai Alif menempatkan pistol di kepala lawannya, yang tak lain adalah Herlam, sahabatnya sendiri. Mereka berdua mengatur napas agar kembali teratur, tersenyum, dan tertawa kecil.
Lu tahu kan, gue berhak menembak orang yang masuk ke rumah gue tanpa izin"
Herlam terkekeh. Alah. Peluru karet aja pake sok mau nembak-nembak lu, Lif!
Mereka saling melepaskan diri. Alif memasukkan kembali pistolnya ke dalam holster.
Alif menyergah, Elu kurang latihan, Lam! Masa baru beberapa ju"rus gue udah berhasil ngejatuhin elu" Berantem macam apa itu"
Zaman sekarang berantem beneran itu ya pake internet! Perang ya, lewat media! Yang jaringannya kuat, itulah yang menang. Peluru" Otot" So last century, Lif!
Herlam duduk di sofa apartemen Alif. Di hadapannya, terbentang jendela luas yang menampakkan pemandangan kota Jakarta pada tahun 2034. Alif mengambil amplop berukuran A4 dari sebelah sahabatnya.
Ini" Iya. Alif mengangguk. Alif bergerak ke arah dapur, menyiapkan minuman. Jadi, Lif. Berapa orang yang lu bunuh hari ini" Alif mendengus. Nyawa orang jangan dijadiin bercandaan, Lam!
Ah, bukannya kalian yang biasanya ngejadiin nyawa orang sebagai bahan candaan"
Kalian" Siapa yang lu maksud dengan kata kalian itu" Kalian... ya kalian! Aparat berwenang. Kalian yang punya license to kill... asal jangan pakai senjata api, kan"
Heh. Sekarang sinis dan skeptis ke aparat negara udah balik jadi tren, ya" Gue pikir tren itu berlakunya sepuluh, dua puluh tahun lalu!
Alif membuka amplop yang dibawa Herlam. Lam bangkit dan mendekati Alif, yang menyodorkan sari buah kepadanya.
Setiap ada penggerebekan, penumpasan kejahatan, pasti ada kor"ban, kan" Anehnya, banyak yang mati karena peluru tajam! Padahal peluru tajam udah dilarang, kan" Ada yang bilang itu punya para kriminal, tapi kok korbannya mereka-mereka juga...
Lam, setahu gue, elu itu jurnalis. Bukan detektif. Tulis berita apa adanya aja, jangan ditambah asumsi yang bakal menjadi fitnah! Ntar rame lagi, kacau, lagi. Apa itu yang lu cari buat bahan jualan di kantor lu" Dunia kriminal itu gak sederhana seperti yang ada di film dan koran!
Pastinya! Semua yang kita lakukan, yang gue lakukan selama ini, itu un"tuk keamanan bangsa! Semua yang mengancam rakyat dan negara, harus dihancurkan!
Whatever it takes" tanya Lam, memastikan. Whatever it takes!
Walaupun nurani lu jadi korbannya"
Alif terdiam. Dia membuka amplop dan mengambil foto-foto dan data dari sana. Dia membanting foto-foto itu di meja. Tatapan"nya terarah ke dinding. Ke foto-foto yang tertempel di sana. Foto-foto keluarga orang-orang yang menjadi korban misinya selama ini.
Ini, Lam! Alif menggenggam foto-foto itu sampai terancam
remuk. Ini yang bikin gue tetap waras! Ini yang ngejaga gua supaya tetap punya ini...! Alif menunjuk-nunjuk dadanya.
Herlam mengangguk-angguk. Perkara dia paham atau tidak, urusan belakangan.
Ngasih duit ke istri dan keluarga korban yang tewas dalam misi-misi lu" Mau sampai kapan, Lif" Sampai kapan lu melakukan ini semua" Elu sendiri nggak suka melakukannya, nggak setuju pula... sampai kapan otak lu terus berantem ama hati lu"
Alif tersenyum getir sembari menempelkan beberapa foto yang dipegangnya.


Alif Lam Mim Karya Primadonna Angela di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kapan sih otak dan hati kita berhenti berantem, Lam" Itu kan pertempuran sesungguhnya dalam hidup kita! Herlam tersenyum, seolah menyemangati.
Kalau otak dan hati lu nggak pernah berantem, ada dua kemungkinan. Mungkin elu udah jadi Nabi, atau salah satu dari kedua ini... Alif menunjuk kepala dan dadanya. ...udah mati! Point taken!
Alif memberikan amplop baru berisi foto-foto Mr. Sunyoto, Big Boss yang baru tewas. Tolong bantuin gue lagi, Lam. Gue harus tahu siapa dia, dan keluarganya.
Ini tahun 2034, Lif! Udah ada yang namanya komputer. Akses lu ke restricted files kan lebih gampang dibandingkan gue!
Lam. Alif terdengar lelah. Kita udah bahas hal ini ratusan kali.
Iya, iya. Keahlian gue, nyari informasi. Keahlian elu, bunuh orang. Gitu, kan"
Gue nggak bisa manfaatin fasilitas kantor untuk melakukan ini...
Walaupun kantor lu yang bikin lu kayak gini" Alif tidak merespons. Herlam beranjak pergi. Alif terus saja menempel foto dan mengecek data-data yang diberikan Herlam. Langkah Herlam berhenti di belakang sofa.
Gue punya satu pertanyaan lagi... Alif menoleh ke arah Herlam.
Biasanya yang ditaro di depan sofa itu TV. Kenapa jendela" Alif dan Herlam otomatis melihat ke luar jendela. Jakarta dengan segala kemegahan dan kebobrokannya terpampang di sana. Gemerlap lampu membentuk siluet indah serupa rasi bintang. Namun, ada pula bagian-bagian kota yang tak tersentuh cahaya, yang sepertinya sarat oleh kekumuhan.
Paras Alif berubah serius. Katanya TV itu jendela untuk melihat dunia. Tapi isinya palsu! Gue udah trauma dibohongin TV! Jadi gue milih langsung melihat jendela. Problem solved!
Hm. Sekarang sinis dan skeptis ama media jurnalistik kembali jadi tren, ya" Gue pikir udah abis sepuluh, dua puluh tahun lalu...
Alif tersenyum mendengar kata-kata Herlam. Herlam pun melangkah mendekati pintu apartemen Alif yang lebih mirip gudang itu.
Thanks datanya, Lam. Jangan kaget ya lihatnya. Semoga berguna. Assalamu- a laikum!
Alif tidak menjawab, Dia terus menekuri map berisi data. Herlam pun pergi.
Pelan-pelan, sehingga nyaris tak terdengar, Alif berkata, Wa a laikumsalam.
Kadang hanya dibutuhkan satu pertemuan untuk menyadari bahwa rasa itu masih bertahan...
A LIF bisa membaur bila menginginkannya. Dan kali ini itulah
yang dia mau, bergerak tanpa diperhatikan. Kalaupun ada yang mengamatinya, mereka hanya akan melihat lelaki berpakaian tidak men"colok yang kebetulan berada di sana. Tidak akan ada yang mempertanyakan keberadaannya, atau memperkirakan tindakannya selanjutnya.
Alif sedang mengintai seorang perempuan. Istri dari salah satu penjahat yang dibunuhnya. Dibandingkannya foto yang dia pegang dengan wajah perempuan itu. Perempuan itu sedang berjual"- an nasi rames di salah satu pasar tradisional di Jakarta.
Perempuan itu bernama Ratih. Dia pulang ke rumahnya, disambut tiga anaknya. Anak-anaknya berusia balita sampai belasan tahun. Alif mengamati ketika perempuan itu memberikan jajanan pasar murahan pada ketiga anaknya. Mereka tampak girang sekali melahap penganan itu. Dalam hati Alif bertanya-tanya, kapan
Pertemuan, Setelah Sekian Lama terakhir kali dia merasa seperti itu" Yang jelas, tidak dalam waktu akhir-akhir ini.
Begitu pintu ditutup, Alif mendekati pintu, lalu meletakkan amplop kecil di depannya. Dia mengetuk pintu, kemudian cepatcepat pergi tanpa menoleh kembali.
Perempuan itu membuka pintu, melongok ke sana-sini, tidak me"nemukan siapa pun yang kira-kira mengetuk pintunya. Tatapannya tertuju pada amplop di depan pintunya. Bersama anakanaknya, mereka membuka amplop itu, dan tercengang melihat segepok uang yang berada di dalamnya.
Malam menjelang. Alif masih berkutat di hadapan data dan fotofoto lainnya pemberian Herlam. Dindingnya sudah penuh, namun Alif terus saja menempel dan menempelkan foto.
Salah satu foto di antara tumpukan foto itu membuatnya tertegun. Dia istri salah satu kriminal yang menjadi korban misinya.
Alif mengenal wanita itu. Laras namanya. Dulu, dulu sekali, ketika Alif jauh lebih muda, Laras sempat menjadi kekasihnya.
Alif membuka-buka laci dan mencari-cari, sampai akhirnya mene"mukan foto lamanya dan Laras ketika mereka masih bersa"ma. Dia memandangi fotonya bersama Laras lama sekali. Alif membongkar-bongkar laci dan menemukan foto lawas lainnya, fotonya bersama dua sahabatnya, Herlam dan Mimbo, ketika me"reka sedang berlatih silat. Ia bangkit membawa foto itu dan ber"diri di hadapan jendela. Tatapannya tertuju pada pemandangan kota Jakarta dari lantai 27, tapi benaknya melayang ke masa si"lam.
* * * Alif, mengenakan jaket dan tudung, mengawasi pintu sebuah aparte"men kecil. Tak lama, keluar seorang perempuan berpakaian seder"hana. Laras. Alif menatap foto Laras di tangannya, lalu sosok Laras yang berjalan cepat-cepat di hadapannya, menyusuri trotoar. Tanpa berpikir panjang, Alif mengikuti Laras.
Alif tidak punya gambaran Laras hendak pergi ke mana. Dia te"- tap berjalan dengan hati-hati agar tidak ketahuan, dan entah Laras memang terbiasa berjalan tanpa memperhatikan sekitar atau memang Alif benar-benar jago membuntuti, Laras sepertinya tidak menyadari bahwa dia dibayangi. Akhirnya, Laras masuk ke lor"ong jalanan yang sepi.
Masalah, pikir Alif. Di sana, segerombol anak muda dengan gaya sengak mengawasi Laras. Mereka mendekati Laras, dan dari cengiran serta tatapan yang mereka bagi satu sama lain, Alif menduga mereka punya niat buruk terhadap Laras. Dia mempercepat langkah, bersiap-siap membantu Laras.
Terlambat. Sekelompok orang itu mengepung Laras, kata-kata yang mereka lontarkan tidak enak didengar, demikian pula gesturges"tur yang mereka lakukan. Alif tahu, dari pengalamannya berurusan dengan para begundal, mereka berniat merampok Laras, mungkin melecehkannya juga.
Alif tercengang melihat Laras sama sekali tidak gentar. Bahkan, dengan sigap dan lincah Laras menghajar para preman itu. Teknik
bela dirinya tinggi, gerakannya efisien sampai Alif saja kagum dibuatnya.
Salah satu preman berhasil bangkit dan berlari ke tempat lain memanggil teman-temannya. Tak lama, muncullah segerombol preman yang lebih senior. Laras tampak bimbang. Rom"bongan itu mengeluarkan berbagai senjata dan segera menyerbu ke arah Laras.
Dari tempatnya berdiri, Alif berlari, menghajar mereka dengan ge"rakan yang sama sekali tidak mereka duga. Hanya dengan satudua gerakan, Alif berhasil melumpuhkan mereka. Selama bergerak, Alif menjaga agar kepalanya tetap tertunduk. Tudung itu menyembunyikan identitasnya.
Jumlah para preman bertambah, Laras pun kembali ikut bertarung. Tak butuh waktu lama, mereka berdua berhasil mengalahkan para preman itu.
Semua preman bergelimpangan di tanah. Ada yang mengerangerang kesakitan, ada yang terdiam dan gemetaran, ada pula yang berusaha melarikan diri dengan susah payah. Alif berbalik dan bersiap-siap untuk pergi.
Hei! Langkah Alif berhenti. Mau ke mana"
Alif melanjutkan langkahnya. Heiii! Tunggu!
Kembali Alif menghentikan langkah.
Gue cuma mau bilang terima kasih... Alif tetap diam, maka
Laras melanjutkan. Seenggak-enggaknya, balikin badan, please. Gue pengin lihat muka orang yang nyelamatin gue...
Alif bimbang. Dia ingin terus bergerak, tapi sesuatu menahannya di tempat. Mungkin Laras mendeteksi hal ini, karena itulah dia memohon, Please...
Laras melangkah mendekati Alif.
Gue cuma nggak pengin susah tidur, mikirin kayak apa wajah cowok misterius yang nyelamatin gue. Laras berusaha mencairkan suasana. Um, kalau nggak ganteng, nggak apa-apa kok...
Alif tersenyum mendengarnya. Senyum itu hanya bertahan sebentar. Perlahan-lahan, dia berbalik.
Alif dan Laras berdiri berhadapan. Laras belum bisa melihat wa"jah Alif, karena Alif masih merunduk dan menggunakan tudungnya.
Sekaranglah saatnya, pikir Alif, sementara dia membuka tudungnya perlahan. Kernyitan di dahi Laras segera menghilang. Alisnya naik, mulutnya terbuka, dan dia menekapnya dengan tangan. Tubuhnya limbung. Dia mendadak kehilangan kata.
Laras berdeham. Emm. Oke. Cukup ganteng ternyata... Tubuhnya bergerak-gerak gelisah, bibirnya gemetar.
Laras kelihatan berusaha menguasai diri. Dia membelakangi Alif, mengambil tasnya, mengumpulkan isinya yang berceceran. Alif berjalan mendekatinya.
Udah" Gitu aja"
Kata-kata Alif tidak diucapkan dengan nada tinggi. Pelan saja. Itu sudah cukup untuk membuat Laras tersentak. Matanya berkaca-kaca, dan dia menelan ludah beberapa kali.
Dua belas tahun ngilang... nggak pernah kasih kabar. Tahutahu... yah. Gitu aja"
Laras memasukkan barang-barangnya ke tas, berusaha mengabaikan pertanyaan Alif. Kelihatan bahwa sebenarnya perta"nyaan Alif mengusiknya, karena tangannya masih gemetar, dan be"berapa kali Laras harus memasukkan kembali barang yang di"ambilnya, karena berjatuhan.
Alif beranjak pergi. Langkahnya semakin lama terdengar samar.
Baru pada saat itulah Laras membiarkan air mata membasahi pipinya. Dia mengabaikan tas dan isinya, berlari mengejar Alif. Dipeluknya Alif dari belakang. Laras membasahi punggung Alif dengan air mata, dan Alif membiarkannya.
Bisakah masa depan ditata dari masa lalu yang dipenuhi derita"
W ARUNG makan itu kecil saja, dan sepertinya hanya diisi
mereka berdua. Alif dan Laras duduk berhadapan. Orang-orang datang dan pergi, sementara Alif dan Laras bertahan, meski makanan dan minuman yang mereka pesan sudah lama habis.
Dua belas tahun... kata Alif, membiarkan kalimatnya mengambang di udara.
Dua belas tahun, empat bulan, dua puluh satu hari. Kamu pikir aku nggak menghitungnya"
Udah berapa lama kamu balik ke Jakarta"
Laras mengalihkan pandangan sebelum kembali menatap Alif. Empat tahun...
Alif berjengit. Empat tahun. Em. Pat. Ta. Hun. Dia mengeja kata-kata itu, untuk memberi penekanan. Selama itu, kenapa kamu nggak pernah ngontak aku"
Aku... aku malu, Lif. Laras menggigit bibirnya.
Setelah Dua Belas Tahun Banyak yang berubah. I m... I m broke. Nggak kayak dulu lagi. Sekarang aku benar-benar miskin. Aku harus kerja. Aku harus melakukan apa pun agar bisa bertahan hidup.
Apa karena itu kamu jadi belajar beladiri"
Dari kecil Papa mengajariku beladiri. Bayangkan aja... hidup sendirian di Amerika Serikat, negara peringkat empat belas sedunia dalam bidang kekerasan. Ya harus bisa beladiri untuk jagajaga. Kalau nggak, bisa-bisa sekarang... yah, tahu sendirilah.
Alif mengamati Laras. Mencoba menebak kira-kira bagaimana reaksinya. Tapi dia harus bertanya. Suami kamu bagaimana"
Kamu tahu dari mana aku punya suami" Laras menatap Alif pe"nuh kecurigaan.
Alif menunjuk ke jari manis Laras. Di sana, ada bekas lingkar"an dengan warna yang lebih muda. Laras menggosok-gosok jari"nya.
Suamiku udah mati, katanya. Dan mungkin aku terdengar kejam. Tapi aku lega dia mati.
Alif berusaha menahan gelombang emosi yang berkecamuk dalam dirinya. Dia bertanya dengan nada senetral mungkin. Separah itu" Boleh tahu kenapa"
Yah... dia satu-satunya orang yang baik padaku waktu aku di US. Hanya dia yang memedulikanku. Dia menerimaku apa adanya, mau menikahiku... Tapi mana kutahu dia ternyata suka memukuli perempuan. Dan siapa yang menduga pekerjaan utamanya supplier senjata ilegal... ke para pelaku kriminal di negara ini... Laras semakin gencar menggosok-gosok jari manisnya, seolah de"- ngan melakukan hal itu semua pengalaman buruknya di masa silam bisa sirna.
Alif memejam, masih segar di ingatannnya ketika dia menghabisi suami Laras dalam salah satu misinya. Dia menelan ludah, mera"sakan asam di tenggorokannya. Biar bagaimanapun, sejahat apa pun, dia pernah menjadi suami Laras...
...untunglah aku sudah pisah dengan dia saat dia mati digerebek polisi. Tiga bulan sebelumnya, aku memutuskan... enough is enough. Aku meninggalkannya... But hey, enough about me. Kamu sendiri gimana"
Kenapa dengan aku" Ya, kabarmu selama ini gimana" Aku tahu kamu jadi polisi, pa"sukan khusus, kan" Pasti banyak cewek yang naksir kamu. Polisi muda, ganteng, gagah, jago beladiri... Laras memiringkan kepala. What more can a girl ask"
Nggak ada cewek dalam hidupku, Ras. Aku udah nggak punya rasa itu. Udah hilang, dibawa pergi seseorang dua belas tahun lalu... Alif tersenyum, menatap Laras penuh arti.
Laras mengalihkan pandangan, tidak tahu harus berkomentar apa. Diam-diam dia merasa bersalah. Perlahan, awalnya ragu, dia mengulurkan tangan. Dia khawatir Alif akan menampiknya, namun tetap dilakukannya. Ketika Laras menyentuh tangan Alif, Alif membalas genggamannya. Air mata berkumpul di mata Laras, sewaktu-waktu bisa jatuh.
Lif... I m so sorry. I wish we could turn back the time. Andai kita bisa kembali ke masa lalu, saat aku masih mengenal kebahagiaan. Saat semuanya masih sederhana. Andai aku nggak pernah pergi meninggalkanmu... andai ayahku... Laras tersedu-sedu, menahan emosi.
Penyesalan nggak ada gunanya... kita nggak bisa mengubah masa lalu. Tapi, masih ada hari esok, Ras. Kita masih bisa mengubah masa depan...
Laras mendengus, menggeleng-geleng. Nggak ada hari esok bagi"ku, Lif. Aku udah nggak punya masa depan! Alif mengernyit. Kamu ini ngomong apa sih, Ras" Laras menatap Alif. Air matanya membasahi pipi. Ekspresi wajahnya begitu muram. Look at me, Lif! Take a good look at me. I m broke. I m 34. I have nothing to offer. I only have problems and more problems! It s over for me... semua sudah terlambat.
Alif menggenggam tangan Laras lebih erat, seolah dengan demikian bisa menyapu awan kelabu itu dari hidup Laras. Jangan be"gitu. Belum terlambat. Kita masih bisa berubah kalau mau. Fight! Make changes for better future! Dulu kamu selalu bilang gini ke aku, kan" Kata-kata itulah yang kupegang sampai aku bisa masuk ke pasukan khusus ini. Itu yang bikin aku selalu ber"juang! Dan bikin aku nggak putus asa! Sekarang kubalikin kata-kata itu ke kamu...
Laras menyusut air matanya perlahan. Senyum samar terbentuk di bibirnya.
I wish everything were that simple. You don t know me, Lif. You don t know anything about my life, my problems...
Tapi aku tahu kamu seperti apa! Aku mengenalmu dengan baik. Kamu orang yang dulu membakar api di sini... Alif menunjuk dadanya. Nggak ada yang bisa memadamkan api itu. Apa pun masalahmu, kita akan selesaikan bareng. I promise. I ll always be there.
Air mata Laras kembali berderai. Alif... you... you re just too good for me.
Laras melepaskan tangannya dari genggaman Alif. Dia berdiri, beranjak pergi. Dia berjalan meninggalkan Alif. Alif menatap sesuatu yang tidak kasatmata: hantu-hantu masa lalu. Memangnya semudah itu mengubah masa depan" Dia sendiri tidak tahu. Namun, menyaksikan kegetiran di mata Laras membuatnya ingin mela"kukan sesuatu. Dan dia akan menghapus semua kesedihan itu. Bisakah" Apa seseorang yang selalu dikejar hantu-hantu masa lalu seperti Alif, bisa memberikan kebahagiaan pada orang lain. Alif sungguh tidak tahu... tapi dia ingin mencobanya. Demi Laras. Dan demi dirinya sendiri.
Dia mengamati Laras bergerak menjauh. Laras berbalik, dan mereka bertatapan untuk beberapa lama. Dari jarak se"-jauh itu, Alif tidak yakin apakah kilau yang dilihatnya di wajah Laras itu air mata atau cuma pantulan cahaya. Oh, andai dia pu"nya keberanian untuk menghapusnya dan menggantinya dengan suka cita. Oh, andai Alif berani menyusul Laras dan meyakinkannya bahwa masih ada kesempatan bagi mereka berdua. Tapi dia tahu, dia tidak bisa memaksa Laras. Dia harus memberi Laras kesempatan untuk memutuskan masa depannya... entah sendirian atau bersamanya.
Laras menghilang dalam kegelapan malam. Namun, ekspresi menderita itu masih melekat erat di benak Alif.
Siapa pun bersedia berjuang dan berusaha, demi sesuatu bernama harapan...
R UANGAN itu berbau keringat, terasa sumpek, dan catnya
me"ngelupas di sana-sini. Alif menghajar samsak terus-menerus, mes"ki napasnya tersengal, meski keringat mengucur deras di tubuhnya. Dunianya terfokus pada satu benda itu dan niatnya hanya satu: menghancurkannya kalau bisa. Ketika samsak itu akhir"- nya tak mampu menerima beban pukulan Alif dan terburai beran"takan, barulah Alif berhenti meninju. Dia menatap samsak itu dan berpikir, sialan, kenapa samsak di sini hanya ada satu" Dia sebenarnya masih belum puas, tapi apa boleh buat.
Di area loker, Alif bertemu Letnan Bima dan beberapa prajurit lainnya. Alif hanya mengangguk ke arah mereka, kemudian berjalan menuju lokernya.
Eh, Lif. Bukannya lagi diskors" tanya Letnan Bima. Alif tersenyum. Iya. Cuma mau ambil beberapa barang di sini.
No Religious Talks, No Rerligious Outfits
Alif mengambil HP dari loker. Di layarnya, dia mengerjap mendapati ada satu pesan di sana.
Bisa ketemu di Candi Cafe sore ini" Laras
Alif membaca pesan itu dua, kemudian tiga kali. Baru di kali ke"empat, dia yakin pesan itu sungguhan, dan senyum mengembang di wajahnya.
Bima mengamati Alif dan terheran-heran dengan perubahan eks"presinya. Ini sesuatu yang baru baginya.
Eh! Beneran, nih" Bima menoleh ke teman-temannya. Alif se"nyum! Guys! Take a look! Alif senyum! Wow! Alif tersenyum!
Alif bergerak-gerak gelisah karena diperhatikan sebegitunya. Dia buru-buru menutup loker dan tak menghiraukan sorakan Bima dan rekan-rekan prajuritnya.
Berani sumpah. Baru pertama kali aku lihat kamu tersenyum!
Alif merengut. Ya nggak usah jadi bahan ledekan dong... Bima terbahak. Serius banget! Hei, siapa pun yang bisa bikin Alif tersenyum, pasti spesial banget! Dia pahlawan bagi kita semua!
Alif diam saja sementara Bima dan yang lainnya tertawatawa.
Serius lho, Lif. Kamu semua ada di belakangmu. Kamu udah mela"kukan hal yang luar biasa kemarin... keberanian dan daya tempurmu bikin kita semua tambah semangat! Dan yang paling
penting, mereka masih bisa pulang ke keluarganya dengan selamat. Tanpa luka sedikit pun! Semua karena kamu. Coba kalau kita semua langsung nyerbu ke sarang pasukan yang berpeluru tajam itu" Wih! Pasti banyak korban berjatuhan di sisi kita. Kami semua berterima kasih padamu, Lif!
Alif mengangguk, merasa risih. Dia tidak merasa melakukan se"suatu yang istimewa.
Alif... you re The Man! Alif merasa pujian itu terlalu berlebihan, namun dia hanya mem"balas dengan anggukan.
Bima selesai mengenakan rompi antipeluru dan memberi komando ke para anak buahnya. Semua siap"
Para anak buahnya serempak menjawab, Siap! Eh, mau ke mana" tanya Alif.
Ada yang harus ditumpas di Distrik 9. Biasalah, grup orangorang fasis! Capek juga ya melawan orang-orang kayak gini. Teroris berjubah agama. Dipotong satu, tumbuh sepuluh. Orang-orang fanatik sadis kayak gini memang harus dihancurkan sampai ke akar-akarnya. Dibunuh pemimpinnya, keluarganya, mungkin semua anaknya juga sekalian, biar habis teroris agamais di negara kita ini! Agama cuma bikin runyam!
Alif tampak hendak membantah, tapi dia diam saja. Hati-hati, Bim, katanya.
Siap, Kapten! Bima memberi hormat.
Alif mengibaskan tangan. Aku ini Letnan satu! Sama kayak kamu!
Ah, tahun lalu kan masih Kapten, sanggah Bima.
Bima dan Alif bersalaman, kemudian berpelukan singkat. Ketika Bima dan pasukannya pergi, Alif kembali membaca pesan di HP-nya.
NO RELIGIOUS TALKS, NO RELIGIOUS OUTFITS. Itu hal pertama yang dibaca Alif ketika hendak memasuki Candi Cafe. Seperti yang biasa dilakukan Alif ketika memasuki tempat baru, dia menyusuri segala sudut dengan matanya. Cafe itu didomi"nasi pekerja kantoran dan anak-anak muda yang berdandan gaul.
Alif langsung menemukan sosok Laras. Berlawanan dengan dugaan"nya, Laras tidak menunggunya sembari duduk. Laras bahkan tidak menyeruput minuman atau menekuri HP, merintang waktu menunggu kedatangannya.
Laras mengenakan pakaian pramusaji, wajahnya keruh. Dia se"dang berkeliling mengantarkan makanan, dan hati Alif mencelus melihat se"nyum terpaksa yang terpampang di wajah Laras ketika melaku"kan pekerjaannya.
Dia menghampiri Laras. Ras, sapanya.
Laras berjengit, matanya membelalak. Dia gelagapan, berusaha menarik-narik seragamnya, jelas merasa tidak nyaman. Alif! Ngapain kamu ke sini"
Lho, kan kamu yang minta aku ke sini"
Laras menatap Alif seolah hal itu berita baru baginya. Aku" tanyanya, bingung.
Iya. Kan kamu kirim message"
Laras terhuyung, nyaris terjatuh. Ia tertegun, lalu menunduk. Alif mengernyit menyadari Laras menggigiti bibirnya yang kering. Ada yang salah di sini, pikir Alif, tapi apa"
Ras" Kamu nggak apa-apa"
Sorry, Lif, aku harus kembali kerja...
Nggak apa-apa. Aku tunggu di sana ya. Alif menunjuk salah satu meja.
Eh... um. Shift break aku masih lama banget, Lif. Gimana kalau kamu...
Alif memotong kata-kata Laras. Nggak apa-apa. Bener. Kamu kerja aja kayak biasa. Udah 12 tahun kita hilang kontak, Ras. Nge"liatin kamu dari jauh aja, aku udah senang kok! Alif tersenyum untuk menenangkan Laras.
Laras membalas senyuman Alif.
Dari kejauhan, seseorang yang Alif duga adalah manajer, mendesis dengan nada tidak senang, Laras!
Laras mengangguk ke arah orang itu, kemudian berkata pada Alif, Um, Lif, I have to go back to...
Nggak apa-apa. Bener. Aku nunggu di sana, ya. Laras meninggalkan Alif, wajahnya diliputi tanda tanya. Alif pun duduk sembari bertanya-tanya. Apa maksud kejadian janggal ini" Laras sepertinya heran melihatnya di sini, padahal kan dia mengi"rimi pesan itu ke Alif. Ada apa sebenarnya" Kembali Alif meng"amati sekelilingnya. Sudah menjadi kebiasaan baginya.
Laras masuk ke ruangan pegawai. Di saat yang sama, tiga orang yang mengenakan gamis dan kopiah memasuki kafe. Mereka membawa tas jinjing yang sepertinya berisi laptop.
Pemandangan itu menimbulkan kehebohan di kalangan pe"- ngun"jung kafe. Mereka kasak-kusuk gelisah, melirik para pe"-ngunjung itu, berspekulasi. Salah satu pengunjung memanggil pramusaji sembari menunjuk-nunjuk ketiga orang itu, sepertinya dia mem"protes sesuatu. Beberapa orang yang gelisah buru-buru membayar dan meninggalkan kafe, berjalan mengitari ketiga orang itu seolah mereka adalah wabah.
Pramusaji itu mendatangi ketiga orang yang menempati sebuah meja, siap memesan, tampaknya tidak menyadari kehadiran mereka membuat orang lain curiga.
Permisi... maaf ya, Bapak-Bapak. Di papan itu ada tulisan... nggak boleh ada obrolan dan kostum yang berbau religi di sini. Ini peraturan dari manajemen. Pramusaji mengambil menu dari ta"ngan mereka dan berkacak pinggang. Semua orang di sana mengamati kejadian itu, termasuk Alif.
Salah seorang pemuda itu berkata, Kami hanya mau makan hidangan halal, Mbak. Kami lapar dan haus, pasti kami akan bayar semua makanan dan minuman yang kami pesan...
Ya, maaf, Mas, gimana kalau ganti baju dulu, baru ke sini lagi" Oke"
Pemuda kedua mengambil menu dengan paksa dari tangan sang pra"musaji. Peraturan macam apa itu. Konyol sekali! Mau pake baju kok diatur-atur.
Pramusaji itu memprotes, Hei!
Pramusaji itu kembali menyambar menu, namun pemuda itu ti"dak mau melepaskannya. Terjadi tarik-tarikan antara mereka
ber"dua. Menyadari kekacauan yang mungkin akan terjadi, Alif bangkit dan menghampiri mereka.
Alif mengambil menu yang sedang diperebutkan itu. Permisi... maaf ya, Mas-Mas sekalian, saya tahu kalian tidak bermaksud jahat. Tapi kita harus menghormati peraturan di tempat ini. Alif menunjuk ke tulisan di dekat pintu. Gerakan itu menunjukkan lencana dan senjata yang ada di balik jaketnya. Jadi untuk menja"ga agar situasi tetap kondusif, sebaiknya Mas-Mas sekalian mencari makan dan minum di tempat lain saja. Boleh ya, Mas... Alif tersenyum ramah kepada mereka.
Ketiga pemuda saling bertatapan. Santri pertama memberi kode pada teman-temannya. Mereka beranjak pergi. Alif mengikuti mereka.
Dari dalam kafe, Laras menatap kejadian itu, bibir bawahnya digigit-gigit seolah dia sedang berpikir keras. Dia berusaha memecahkan suatu misteri, tapi tidak mampu melakukannya.
Di luar kafe, Alif mengantar mereka bertiga ke mobil mereka.
Mohon maaf ya, Mas. Nggak ada maksud apa-apa, saya hanya mau yang terbaik untuk semua, dan agar kita menghormati peraturan yang ada.
Pemuda ketiga menggeleng-geleng. Aneh ya, Mas. Katanya ne"gara ini negara liberal. Memberi kebebasan dan kemerdekaan pada rakyatnya. Tapi mau bicara agama atau berpakaian gamis kayak gini, dilarang...
Pemuda pertama menimpali dengan nada pahit, Mungkin hak
dan kebebasan itu tidak berlaku untuk orang-orang yang masih beragama...
Alif tidak tahu harus merespons apa. Mereka bertiga masuk mobil, kemudian melaju.
Alif menatap kaca di kafe, menyipit ketika menyadari tas milik para santri itu masih tertinggal di dalam, tepat di bawah meja yang ditempati para santri itu.
Alif segera menatap ke arah mobil yang barusan melaju, hendak mem"beritahu mereka bahwa barang mereka yang ketinggalan. Bela"kangan, Alif bertanya-tanya apa dia mampu mencegah peristiwa itu. Andai dia bisa bergerak lebih cepat... andai dia lebih sigap... semua kata andai itu terus menghantuinya.
Jantungnya seolah berhenti berdetak, napasnya seolah dicuri, ketika ledakan itu terjadi. Alif terpental, tubuhnya tergu"ling, tapi dia tidak menyadarinya. Dia tidak menyadari para pemuda itu di kejauhan menghentikan mobil, keluar sebentar, kemudian kem"bali melaju, entah ke mana. Dia tidak menyadari lecet dan luka di tubuhnya, tidak merasakan nyeri apa pun. Alif bangkit sece"pat mungkin dan mencoba memasuki kafe untuk menyelamat"kan siapa pun yang bisa diselamatkan Laras, terutama tapi kobaran api menggelora, menyurutkan niatnya. Alif hanya bisa berteriak melampiaskan kekecewaannya, berlari ke sana-kemari mencoba mencari pertolongan, mencari sesuatu yang bisa memadamkan api, mencoba melakukan apa saja... tapi apa"
Setitik harapan yang mungkin membuatnya bahagia, yang mampu merekahkan senyum di wajahnya, kembali direnggut dari kehidupannya...
Masa lalu dan masa depan. Antara kawan dan lawan.
Kadang keduanya berkesinambungan.
A LIF dan Laras berbaring di rumput hijau. Posisi mereka mirip
dengan logo yin dan yang, dengan kepala bersisian. Wajah mereka pe"nuh harapan, penuh cinta. Mereka sungguh muda dan percaya bisa meraih apa saja. Mereka masih belia, dan percaya cinta mereka bisa menaklukkan dunia.
Tahu nggak, arti nama aku" tanya Laras. Nggak. Memang artinya apa" tanya Alif. Kata ibuku, Laras itu artinya lurus...
Hehehe... Alif terkekeh. Selurus namaku dong. Alif. Laras tertawa kecil. Kok bisa sama ya artinya. Alif kan juga lu"rus. Vertikal. Eh... Nada suara Laras berubah. Jangan-jangan kita berjodoh"
Kok jangan-jangan, sergah Alif, ya udah pasti lah! Laras tertawa riang. Pede banget sih kamu! Minta izin dulu sama teman kamu, tuh...
Kenangan Masa Silam Kok Herlam, sih" Ya Mimbo, lah!
Alif tercengang. Lho. Kok kamu kenal mereka" Siapa sih yang nggak kenal ama mereka" Tuh dia orangnya... Laras menunjuk ke suatu arah. Mereka bangkit dari posisi tidur, sembari duduk, mereka menatap sosok berjubah gamis yang berjalan mendekati mereka. Bagian mulut orang itu tertutup sorban. Ketika jaraknya semakin dekat, sorbannya terbuka dan terlihat jelas orang itu adalah Mimbo.
Mimbo" Ngapain dia ke sini"
Mimbo berhenti melangkah. Wajahnya berkerut-kerut tidak se"dap dipandang. Bibirnya menipis, rahangnya digemeretakkan dan dia menunjuk ke arah Laras. Di samping Alif, Laras menggigil, sepertinya merasa ngeri.
Alif merasakan tubuh Laras berguncang. Dia menoleh ke arah Laras, dan memekik tertahan menyadari Laras tampak kesakitan. Laras terbatuk-batuk. Batuknya semakin lama semakin hebat, sampai darah muncrat membasahi tangannya.
Laras! Kamu kenapa! Hei, Laras! sahut Alif, panik. Wajah Laras memerah dan jeritan yang keluar darinya begitu me"nyayat hati, ketika api tersulut entah dari mana, membakar tubuhnya hingga menyisakan tulang.
Alif pun berteriak... ...dan terjaga dari tidurnya.
Alif terengah-engah dalam posisi duduk. Dia mengelap peluh di wajahnya, berusaha mengatur napas. Semua itu nyata. Laras terbakar dalam ledakan di kafe. Laras telah tiada.
Ketika telepon genggamnya berbunyi, Alif nyaris terlonjak. Dia meng"angkatnya.
Halo... Terdengar suara tamtama ajudan Kolonel Mason. Siang, Pak. Kehadiran Bapak ditunggu di markas oleh Kolonel Mason. Sekarang juga, Pak.
Ke markas" Alif mengerjap berkali-kali, berusaha menenangkan emosinya. Bukannya saya lagi diskors"
Skors Bapak Alif sudah dicabut Kolonel...
Alif ingin bertanya mengapa bisa begitu, tapi dia pikir lebih baik mengajukan pertanyaan itu langsung pada Kolonel Mason. Oke, jawabnya. Dia menutup telepon.
Ruangan itu seolah penuh sesak. Alif merasa terimpit secara psiko"logis juga fisik. Selain Kolonel Mason dan Alif, di sana juga ada beberapa perwira tinggi beserta ajudan dan tamtama. Alif ber"usaha mengabaikan keberadaan mereka dan memfokuskan diri pada kata-kata Kolonel, meski sulit.
Saya tahu kamu dulu bersahabat dekat dengan orang ini. Perta"nyaannya adalah, bisakah kamu berlaku profesional, tidak men"- cam"puradukkan masalah pribadimu dengan misi ini" Alif balas bertanya. Apa semua buktinya solid" Sangat solid!
Kolonel Mason membanting foto-foto pondok pesantren Al Ikhlas di malam hari, menumpuknya di atas berbagai foto Mimbo dan data-data yang sudah lebih dahulu memenuhi meja. Alif men-
condongkan tubuh untuk mengamati dengan lebih saksama. Di sana dia melihat beberapa orang sedang mengumpulkan senjata dan bahan peledak ke dalam gudang.
Dia menatap beberapa foto lebih lama daripada yang lainnya. Foto-foto Ustaz Mimbo ketika melatih murid-muridnya bela diri.
Mereka sedang membangun pasukan, kata Kolonel Mason. Te"man kamu itu panglima perangnya! Tokoh Muslim KH Mukhlis sebagai imam besarnya! Bahan peledak yang ada di foto itu sama dengan yang digunakan dalam pengeboman Candi Cafe. Ada bukti lain juga. Parfum dari komunitas mereka, tas yang sengaja mereka tinggalkan di sana...
Alif meraih foto-foto itu. Menatapnya dengan serius. Kapan foto-foto ini diambil"
Minggu lalu... Alif mengempaskan foto-foto itu di meja. Matanya menyalanyala. Kenapa nggak ditumpas langsung" Kenapa harus nunggu ada korban dulu"
Tenang, Lif, tenang! Kolonel Mason mengangkat kedua tangan dan menggerakkannya untuk menenangkan Alif. Bima dan pasukannya melakukan misi penumpasan beberapa hari lalu. Misi itu gagal total. Mereka jauh lebih siap! Pasukan yang berhasil kabur terluka parah. Cedera mereka macam-macam. Patah tulang. Gegar otak. Yang lain" Belum ada kabarnya. Termasuk Bima! Besar kemungkinannya dia tidak selamat!
Kenapa saya tidak diikutsertakan" Alif semakin meradang.
Kamu kan sedang diskors! Dan kamu berteman dengan Mimbo. Dikhawatirkan ini akan menjadi conflict of interest!
Siapa pun orangnya, siapa pun, Alif memberi penekanan pada dua kata terakhir itu, kalau dia pelaku kriminal, entah pembunuh, teroris, apa saja, yang mengancam rakyat dan negara, pasti akan saya hancurkan! Siapa pun mereka! Alif menggebrak meja, se"olah hendak menekankan maksudnya.
Oke, oke, saya paham. Lif, satu jam lalu, Kapten Rama dan se"mua pasukan yang ada mengepung pesantren itu. Tapi mereka nggak bisa masuk! Satu-satunya pintu masuk dijaga oleh orang ini.
Kenapa sampai kesulitan begitu" Dia kan hanya sendirian! Kamu tahu sendiri kan, kemampuan bela dirinya hebat sekali. Saat kamu berada di sana nanti, kamu akan tahu sendiri kenapa begitu. Lif, di sana ada banyak wartawan dari berbagai media. Mere"ka menunggu kita melakukan kesalahan pelanggaran HAM atau sejenisnya. Ini darurat, Lif! Keadaan genting. Nama baik kepo"lisian dan pasukan kita jadi taruhannya!
Alif menatap Kolonel Mason seolah hendak berkata, terus kenapa"
Kalau kamu berhasil menangkapnya... kalau kamu berhasil me"nuntaskan misi ini... Dakwaan terhadap pembunuhan Mr. Sunyoto, akan didrop oleh Dewan Pengawas.
Alif berdiri. Dia meninggalkan ruangan itu tanpa mengucapkan apa pun.
Kalau dibutakan emosi, kawan dengan mudah bisa menjadi lawan.
H UJAN. Elemen alam yang kadang dinanti-nanti, kadang diben-
ci. Hujan bisa memberikan kesan romantis pada mereka yang sedang jatuh cinta. Bisa pula membuat hati yang patah menjadi se"makin galau. Namun saat ini, di mata Rama dan pasukannya, hujan seolah mengguyur bumi dengan deras, dengan maksud menertawakan mereka.
Halaman pesantren itu terawat rapi. Pintu gerbangnya pun biasa saja, tidak terlalu kokoh maupun terbuat dari baja kualitas no"mor satu. Namun di hadapannya, ada Mimbo, sahabat lama dan murid satu seperguruan silat dengan Alif. Mimbo berdiri di sana, ekspresinya tenang, berlawanan dengan paras Rama dan pa"sukannya yang merengut dan mengernyit tidak keruan. Mulut dan hidungnya ditutup sorban, pemandangan ini sepertinya membuat orang lain keder, sehingga mereka menjaga jarak. Beberapa orang prajurit bergerak mendekat. Dari gerak-gerik
Kawan yang Menjadi Lawan mereka lakukan tak ada gunanya. Namun sebagai prajurit, mereka harus tetap berusaha.
Setelah diberi aba-aba, mereka menembak. Dan terus menembak. Peluru-peluru itu, seperti yang sudah-sudah, hanya menyentuh beberapa bagian tubuh Mimbo. Mimbo bergeming, memasang kuda-kuda silat yang spektakuler. Para penembak terkapar seolah di"hajar pukulan bertubi-tubi. Mereka tercengang karena Mimbo tidak terluka sedikit pun, pakaiannya pun sama sekali tidak rusak terkena peluru.
Dari tempatnya bersiaga, Rama geleng-geleng dan menggaruki kepa"lanya yang sebenarnya tidak terasa gatal.
Nggak masuk di akal... kita dipermalukan habis-habisan! Frus"trasi, dia berbalik dan berseru pada wartawan. Lihat! Lihat tuh kalian semua! Lihat nih, begitulah akibatnya kalau kami dilarang pake peluru tajam!
Mobil hitam berdecit berhenti di dekat sana. Alif keluar mobil. Ekspresinya beku selagi dia merenggangkan tubuh dan melemaskan otot leher. Dia berada dalam mode siap tempur. Kerumunan orang terbuka memberi jalan padanya.
Dia terus berjalan, tak menyadari atau memedulikan sekitarnya. Dia baru berhenti beberapa meter di hadapan Mimbo.
Suara Alif getas dan tegas ketiga berkata, Ada 37 orang yang me"ninggal, 15 orang terluka. Ini yang kalian maksud dengan jihad"
Mimbo menelengkan kepala, tapi tidak berkata apa-apa. Alif semakin emosi. Kamu tau ada Laras dalam kafe itu" Atau me"mang kamu sengaja mau bunuh dia"
Mimbo perlahan membuka sorban di wajahnya, sehingga mulut dan hidungnya kelihatan. Dengan tenang, dia berkata, Jadi beginikah cara aparat negara bekerja" Serang dulu, tanya kemudian. Mung"kin bisa kalian lakukan di tempat lain. Tapi tidak di tempat ini, Lif.
Alif bersedekap. Oke. Gue kasih dua pilihan. Satu, borgol diri ka"lian sendiri dan masuk mobil itu. Atau kalian semua mau mati di sini"
Ini rumah saya, Lif. Saya akan menjaganya. Meski harus mengor"bankan nyawa.
Alif mendengus. Ini yang kamu maksud dengan mati husnul khoti"mah" Mati yang mulia" Mati saat mempertahankan rumah sendiri, seakan kamilah penjahatnya yang berusaha menyakiti kalian" Begitukah"
Mim menatap Alif lurus-lurus. Lakukanlah apa yang harus kamu lakukan, Lif.
Alif tertawa getir. Oh, pasti, Mim. Demi Laras, dan mungkin juga Bima. Demi semua yang udah kalian bunuh! Akan kupastikan kalian mati dengan tragis, seperti yang terjadi pada korbanko"rban kalian...
Hidup dan matiku milik Allah semata...
Alif tidak menunggu Mimbo menyelesaikan kalimatnya. Dia langsung menyerang Mimbo.
Di mata orang awam, pertempuran itu terlihat aneh. Hanya ge"rakan sana-sini, ekspresi penuh tekad dan terkadang alis yang ber"taut menandakan konsentrasi, itulah yang terlihat kalau kamera disorotkan lekat di wajah mereka. Karena, sungguh mustahil
bisa melihat aliran tenaga dalam, kecuali kalau dirimu memiliki ilmu serupa.
Mim mengibaskan tangan, Alif melakukan hal yang sama. Seolah kekuatan tak kasatmata beradu di hadapan mereka, menimbul"kan riak angin yang membuat para penonton terhuyung. Sebagai saudara seperguruan, mereka mengenal gerakan masingmasing, mereka bisa saling membaca jurus dan gerak-gerik. Akan tetapi, Mim yang bisa menguasai emosinya seolah di atas angin, dan Alif yang seolah gelap mata dibuat kewalahan dengan berbagai jurus Mim.
Ayolah Lif, you can do better than this, pikirnya, menyemangati diri sendiri. Dia meraih ke dalam diri, mengupayakan tenaganya ke"luar semaksimal mungkin. Dikesampingkannya emosi. Dia mencoba mengabaikan fakta bahwa dia sedang melawan Mimbo. Mimbo, temannya sedari dulu, berbagi suka dan duka. Mim, yang sering bersenda gurau sembari berlatih tanding bersamanya. Hanya saja, sekarang berbeda. Ini pertarungan sungguhan, hidup atau mati. Kalau Alif bertarung setengah-setengah, bisa-bisa dia yang tamat riwayatnya.
Mim semakin jago, pikir Alif, sementara berusaha menangkis tiap serangan yang dilontarkan kepadanya. Alif sedikit menyesal kare"na selama ini dia lebih sering melatih kekuatan fisik dan bukannya tenaga dalam. Yah, mau menyesal sebesar apa pun, tak ada gunanya kalau dia kalah di sini. Mim punya jurusnya sendiri, dan selama ini, sebagai perwira polisi pasukan khusus, Alif juga su"dah mengembangkan satu-dua kemampuan. Kalau memang dia kalah di sini, berarti Alif memang layak dihabisi.
Para penonton melongo ketika tiba-tiba bangunan depan pondok hancur berantakan. Peti-peti dan kardus yang diletakkan di depan pondokan juga terburai. Dari dalam sana, wangi me"nguar ke mana-mana. Wangi parfum Allatar yang pecah dari da"lam peti itu.
Sebelum kerusakan lebih dahsyat terjadi, pintu gerbang terbuka. Mereka berdua bisa mendengar suara dari dalam. Suara yang mereka kenal baik.
Berhenti! Spontan, Mim dan Alif menghentikan jurus-jurus mereka. Seorang pria berusia sekitar 60 tahunan berjalan ke luar. Jalannya santai. Tubuhnya masih tegap. Matanya masih awas. Pakaiannya sederhana, kemeja dan celana biasa. Meski demikian, auranya luar biasa. Di balik kesederhanaannya, orang paling bebal sekalipun bisa menyadari karisma yang beliau miliki. Beliau adalah KH. Mukhlis, guru besar dari pesantren Al Ikhlas.
Alif masih menunjukkan gejala bermusuhan, maka Mim menyergah, Lif, itu Pak Kyai. Kamu nggak lupa, kan" Beliau yang merawat kamu dulu! Yang ngasih kamu tempat tinggal, waktu rumahmu hancur! Dia udah kayak orangtua kita sendiri.
KH. Mukhlis mendekati Alif dan Mimbo yang masih berada da"lam posisi kuda-kuda siap menyerang. Di belakangnya, dia diikuti kedua muridnya, Samir dan Bono, mengapitnya di kiri dan kanan.
Alif. Apa kabar, Nak"
Mendengar suara penuh welas asih dan melihat wajah penuh se"nyum tulus itu, amarah Alif sirna.
Baik, Kyai... jawabnya. Mengapa kalian bertarung" Kalian berdua ini kan... sudah seperti saudara sendiri!
Persaudaraan itu berhenti saat kalian melakukan pengeboman di mana-mana! Alif meninggikan nada suaranya, tanda kembali emo"si.
Lif! Kamu... Omongan Mim dihentikan oleh kibasan tangan KH. Mukhlis.
Kamu mau menangkap saya, Alif" Apa kamu punya surat perin"tah penangkapannya"
Alif memberi isyarat pada salah satu anak buahnya, agar surat pe"nangkapan diserahkan kepadanya. Salah satu prajurit berlari men"dekat, membawakan secarik kertas yang dilapisi plastik kedap air.


Alif Lam Mim Karya Primadonna Angela di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Alif memberikan surat itu dengan hormat kepada KH. Mukhlis. Setelah membacanya dengan saksama, KH. Mukhlis berkata, Baiklah. Ayo, Alif. Silakan tangkap saya.
Mendengar kata-kata KH. Mukhlis, Mimbo dan murid-murid be"liau yang lain bergerak-gerak ingin memprotes, tidak terima. Tapi, Kyai... sahut Mimbo.
Hus. Ini surat resmi dari negara kita. Kita harus mematuhinya! kata KH. Mukhlis.
Mimbo dan murid-murid lainnya tampak kesal, tapi mereka berhenti menyanggah. Alif menatap mereka bergantian, seolah ti"dak paham apa yang sedang terjadi.
Tolong siapkan pengacara terbaik untuk membela saya dari hu"kum di negara ini, kata KH. Mukhlis. Assalamu a laikum...
Mimbo, Samir, dan Bono menjawab serentak, Wa a laikumsalam...
KH. Mukhlis mengulurkan tangan untuk diborgol. Dia berjalan mendahului Alif yang terbengong-bengong dengan perkembang"an terbaru ini.
Alif jadi bertanya-tanya, apa dia telah membuat kesalahan" Na"mun tugas adalah tugas. Dia membawa KH. Mukhlis yang dihor"matinya ke mobil tahanan. Sekilas, ditatapnya Mimbo. Mimbo ba"las menatap Alif dengan sama tajamnya.
Bagian Kedua: Lam Huruf hijaiah Lam membentuk kurva, melengkung. Dia tetap tegak, namun dia luwes. Dia fleksibel. Lam menunjukkan seseorang tetap bisa memegang prinsip sekaligus baik hati dan pemurah pada sesama.
Apa pun, kalau dilakukan sepenuh hati, hasilnya akan istimewa sekali.
G EDUNG Libernesia menjulang di antara bangunan lainnya.
Ti"dak ada yang istimewa dengan gedung itu, salah satu bangunan berdinding kelabu dan berjendela kecil-kecil yang tampak suram. Di bagian belakang gedung parkirnya, terlihat seorang anak kecil yang berlari, menyelip-nyelip di antara orang yang lalu-lalang. Sese"kali dia menoleh ke belakang, dan begitu melihat sesuatu, dia mempercepat langkah dan mengabaikan napasnya yang ngos-ngosan.
Akhirnya, pikir anak itu, sedikit lega. Dia menemukan tempat persembunyian yang menurutnya sempurna. Di sudut parkiran sebuah gang yang sepi, dia menanti, berharap orang yang mengejar"nya akan kehilangan jejaknya.
Sayang, nasib tidak berpihak padanya. Mereka yang mengejar"- nya berhasil menemukannya. Dia menggigil ketika mereka menarik tubuhnya dengan kasar. Tubuhnya yang ringkih seolah meno-
Lam, Jurnalis lak untuk bergerak, meski dia tahu, seharusnya dia berusaha unt"uk terus berlari.
Dapat juga si maling kecil! Mau lari ke mana lagi lu, hah" Pria berseragam security itu mulai memukuli si bocah. Tersengat pukulan itu, bocah itu menggeram dan menggigit pria itu, sampai berhasil melepaskan diri. Dia berlari melewati Lam yang baru memarkir motornya. Lam dengan santai menangkap anak itu dengan satu tangan, dengan cengkeraman kuat, ditariknya anak itu ke belakangnya.
Hei, hei. Ada apa ini" tanya Lam.
Seorang pria dengan nametag bertuliskan MANAJER mulai berbicara. Saking bersemangatnya, ludahnya sampai muncrat ke mana-mana. Awas digigit, Pak! Ntar kena rabies dari dia. Dia meno"leh pada security. Tempeleng saja anak itu! Biar kapok!
Security dan manajer mendekat, namun Lam menghalau mereka sehingga mereka tak bisa menjangkau anak itu. Tenang dulu, kata Lam. Memangnya ada apa" Sang manajer menuding dengan berapi-api. Maling itu, Pak! Kecil-kecil sudah berani mencuri, gedenya nanti jadi penjahat itu!
Lam berbicara dengan nada menenangkan. Sebentar... sabar. Kita obrolkan dulu baik-baik. Gimana"
Nggak usah ikut campur, Pak! kata security. Ini bukan urusan Bapak!
Urusan saya, dong. Kan saya yang nangkap anak ini. Lagi pula...
Kata-katanya terpotong karena security itu nekat hendak me-
narik anak itu. Lam menghalaunya dengan tangan kiri, namun security itu menepis tangan Lam dengan keras. Tangan kanan Lam masih menahan si anak, dan cukup dengan tangan kirinya dia mengunci gerakan sang security. Tangan security itu ditarik dan dijepit dengan kaki kiri. Dengan tangan kirinya, diangkatnya dagu sang security.
Sang security mengaduh dan mengerang.
Lam berbicara pada manajer. Gimana" Jadi mau diomongin baik-baik, nggak"
Manajer itu hanya mengangguk tanpa kata. Lam melepaskan kun"ciannya pada security itu.
Jangan sentuh saya lagi ya, Pak.
Security terhuyung menghampiri sang manajer sembari memijat-mijat tangan kanannya.
Lam menoleh pada anak kecil itu. Hei. Itu apa" Coba lihat. Anak itu perlahan memberikan bingkisan yang dicurinya kepada Lam. Lam membukanya, dan menaikkan alis mendapati isinya hanya roti.
Roti ini berapa harganya"
Manajer butuh waktu beberapa detik sebelum menjawab. Enam puluh sen.
Lam memberikan roti itu pada si anak kecil. Tolong pegangin dulu. Dan jangan lari!
Lam mengeluarkan uang dari dompetnya, lalu memberikannya ke"pada manajer. Terima kasih banyak ya, Bapak-Bapak. Lam mengangguk ke arah security. Yang tadi itu, maaf ya, Pak. Manajer dan security melangkah pergi dengan tatapan kesal
pada sang anak pencuri roti. Lam merangkul si anak kecil. Tatapannya tertuju pada kalung berliontin kayu yang unik bentuknya. Wah, keren nih. Sini, buat saya aja.
Jangaaan! Anak kecil itu menggeleng-geleng.
Lam mengambil paksa kalung itu. Anak itu meronta-ronta sambil menjerit-jerit karena tidak terima.
Kenapa" Saya butuh kalung ini. Keren nih, untuk gantungan kunci.
Anak itu bersandar pada roda mobil yang parkir di dekat mereka. Matanya berkaca-kaca, dia mengucek-nguceknya terus. Bibirnya gemetar. Lam perlahan berjongkok di hadapannya.
Nah. Gitu rasanya kalau barang kita dicuri. Mencuri itu nggak baik. Maaf, ya... Lam mengembalikan kalung itu sembari mengusap-ngusap kepala anak itu. Dikeluarkannya uang dari dompetnya.
Ini. Buat beli roti seminggu. Inget ya! Ini bukan pemberian. Ini pinjeman. Kamu harus balikin kalau udah gede nanti. Lam beranjak meninggalkan anak itu.
Om... Yaaa" Lam berhenti melangkah, menoleh ke belakang. Kalau udah gede nanti saya nggak ketemu Om, gimana" Lam terkekeh. Ya cari terus! Sampai ketemu.
Lam terus melangkah. Anak itu terus menatap punggun Lam sam"pai Lam menghilang. Punggung yang kukuh sekaligus ramah, pu"tus anak itu dalam hati. Punggung seseorang yang patut dijadikan panutan.
* * * Herlam baru saja membeli secangkir kopi. Aduh, pikirnya, melihat sosok yang ada di hadapannya, lebih baik menghindar. Dia sengaja ber"belok, memilih jalan lain, namun terlambat. Reza, jurnalis Libernesia TV yang berusia 34 tahun, berderap mendekatinya. Lam! sapanya.
Herlam meringis, terus saja berjalan dan mengabaikan Reza yang menyusulnya.
Lam, gue nemu nih bukti improbabilitas Tuhan. Dengerin, ya!
Rezaaa! sahut Herlam, jelas-jelas merasa terganggu. Masa pagi-pagi begini gue udah diajak debat tentang Tuhan.
Ya, kemarin kan lu resitasi ke Nino argumentasi yang adekuatif tentang epistemologi konversi energi ke materi, materi ke energi...
Herlam buru-buru memotong sebelum Reza sempat melontarkan lebih banyak kata. Asli kelamaan kuliah lu, man.
Lam, lu tuh maksa banget. Nino kan minta lu buktiin eksistensi Tuhan. Oke, dia speechless pas lu minta dia ngebuktiin bahwa Tuhan itu nggak ada...
Herlam terus berjalan mendekati lift. Baginya ucapan Reza bagaikan derau yang menyebalkan saja dan patut untuk diabai"kan. Nah, gue baru nemu nih di Gugel...
Herlam mendengus, bergumam, Huh. Gugel... Iya, emang kenapa"
Di depan lift, Herlam berhenti. Dia berbalik menghadap Reza,
lalu memegang ID Card yang dikalungkan di leher Reza. Semua jurnalis TV sekarang nyari sumbernya masih dari Gugel" Hei! Terima saja buktinya, dari mana pun asalnya! Bukti-bukti empiris lu tuh berdasarkan Semprulitas juga"- kah"
Hah" Apaan tuh"
Herlam melepaskan ID Card Reza. Nah, lu cari tahu dulu deh di Gugel, definisi Semprulitas. Kata klasik tuh, kata serapan dari bahasa Jawa kuno. Lam bergumam dan menggeleng-geleng sem"bari meninggalkan Reza. Cari dah sana, sampai lu ubanan.
Herlam memasuki lift, meninggalkan Reza yang mulutnya masih membentuk huruf O.
Herlam keluar lift. Dia berpapasan dengan sekretaris bosnya, Chandra.
Lam, ditunggu Pak Chandra di ruangannya ya, kata sekretaris itu.
Okay. Thanks. Lam terus berjalan sampai berada di depan ruangan Chandra. Dia mengetuk pintu kaca sebelum memasuki ruangan.
Chandra mendongak dari mejanya. Lam, good news. Pria itu ter"senyum lebar, matanya berkilat-kilat.
Hmmm. Katanya good news is bad news. Lam skeptis. Yang ini, good news is good news.
Chandra berdiri menghampiri Herlam, lalu mengajaknya bersalaman. Meski bingung, Herlam menyambut tangan itu. Selamat,
Lam! Kemarin saya dapat email dari Libernesia London. Mereka ajak saya mendiskusikan tulisanmu tentang pribumi di Atambua bulan lalu, akan dimasukkan ke nominasi award lagi tahun ini.
Chandra tersenyum, menduga Herlam akan membalasnya. Na"- mun Herlam menghela napas panjang, alih-alih bersorak kegirangan.
Kenapa" tanya Chandra.
Nggak... katanya. Menduga Chandra akan mengatakan sesuatu, yang tidak akan disukainya.
Tapi mereka ada request...
Nah. Itu dia. Lam menjentikkan jemari.
Mereka mau kamu menulis tentang perkembangan peradaban mo"dern yang berkembang cukup drastis di negara ini. Secara spesifik, tentang pernikahan sesama gender yang sudah disahkan dan semakin marak selama sepuluh tahun terakhir ini. Ditulisnya dengan caramu menulis tentang Atambua itu, ya. Gaya penulisan de"ngan sudut pandang yang dramatis...
Herlam kembali menghela napas. Bapak ingin saya berbohong"
Maksud kamu..." Tulisan saya tentang Atambua itu, sudut pandang pribadi saya. Yang sesuai dengan hati saya. Jadinya ya sangat dramatis dan menyentuh. Orang asli sana nggak ada yang peduli tentang betapa sempurnanya peradaban barat, mereka malah...
Hati-hati, Lam. Begitu kamu menyebut kata barat , kamu masuk ke area rasis. Bahkan ekstremis.
Maaf, Pak. Kalau begitu, maksud saya, peradaban modern.
Saya mau bilang... itu beban, Pak. Menulis berita yang berlawanan dengan hati saya.
Chandra menggeleng-geleng sembari kembali duduk di kursinya. Kita saat bekerja harus bisa objektif, Herlam! Kita nggak bisa kerja dengan mengutamakan perasaan dan hati. Apalagi sudut pandang keagamaan seperti yang kamu bahas itu. Ini kantor berita! Bukan departemen agama. Sudut pandangmu itu harus kamu ubah!
Maaf, Pak, kata Herlam. Barangkali Yoga atau Sekar lebih co"cok menulis berita ini.
Telepon genggam Herlam berdering. Herlam menatap nama GENDIS di layar dengan status urgent call, di layar telepon genggamnya.
Permisi Pak, gumamnya. Chandra terus saja berbicara. Saya sudah sering bilang ke kamu! Kamu ini salah satu jurnalis terbaik di kantor ini. Paham"
Herlam sudah berhenti mendengarkan. Halo" katanya kepada telepon genggam,
...kalau kamu tetap kolot dalam bekerja, suatu saat kamu harus memilih...
Hah" Apa" Sekarang" kata Herlam kepada teleponnya. Merasa diabaikan, Chandra menepuk meja dengan gemas. Lam! Ck!
Beneran, sekarang" Oke... Herlam menghentikan pembicaraannya di telepon. Sorry... gimana tadi, Pak"
Chandra memejam dan memijat-pijat pelipisnya.
Tiap keluarga, punya cara dan aturan sendiri dalam menjalani hari.
S ITUASI yang sama, di tempat berbeda. Ruangannya kali ini
dipenuhi buku dan alat tulis. Yang duduk di balik meja samasama pria paruh baya yang memegang wewenang. Kali ini, yang berbicara adalah sang kepala sekolah.
Jadi begini ya, Pak Herlam. Berbeda dengan murid lain, Gilang ini musuhnya bukan murid juga, Pak, melainkan guruguru. Lima guru dijadikannya bahan tertawaan seharian ini.
Herlam duduk di samping istrinya, Gendis, yang berusia 28 tahun. Herlam menunduk malu,
Memangnya udah terbukti ini perbuatan Gilang, Pak" Tidak perlu dibuktikan. Gilang tidak menyangkal ketika kami bertanya apa ini perbuatannya.
Pertanyaannya kan udah terbukti atau belum , Pak. Bukan apa saya ngaku atau nggak. Gilang menimpali dengan cuek. Herlam dan Gendis segera menoleh ke arah Gilang yang berusia sepuluh
Keluarga Herlam Ditatap sedemikian rupa oleh orangtuanya, Gilang hanya mengangkat alis.
Kepala sekolah berdeham untuk kembali mendapatkan perhatian mereka. Bapak dan Ibu pasti sering mendapat pujian atas kepandaian Gilang. Kami akui, dia memang cerdas. Atau janganja"ngan selama ini Gilang mendapatkan kunci jawaban ujian dari server sekolah, sehingga nilai-nilainya selalu bagus. Atau, janganjangan Gilang mengubah sendiri nilai-nilainya di server, sehingga hasil"nya selalu bagus.
Kami paham arah pembicaraan Bapak. Sekali lagi saya minta maaf atas kelancangan Gilang. Saya pastikan itu tidak akan ter"- jadi lagi.
Herlam, Gendis, dan Gilang melewati kerumunan murid SD yang ter"tawa-tawa di depan pintu kelas. Dua orang petugas IT sekolah sibuk memperbaiki layar Digital Pad yang menempel di pintu ke"las.
Ibu Putrian, salah satu guru yang berperawakan gemuk dan se"per"tinya selalu memasang ekspresi cemberut di wajahnya, berusaha menutupi layar itu.
Dimatikan sajalah, Pak! dumalnya kepada petugas IT. Petugas IT menggaruk-garuk kepala. Ini dari server-nya, Bu. Ka"lau dimatikan, semua jaringan juga mati. Sabar Bu, masih diusa"hakan.
Herlam melirik layar Digital Pad itu. Dia nyaris tersedak karena menahan tawa.
Di sana, terpampang foto Ibu Putrian dengan coretan membentuk kumis dan tanduk.
Herlam menahan tawa dan menggeleng-geleng, berjalan lebih ce"pat agar tidak tergoda memelototi layar Digital Pad itu lamalama.
Sepanjang perjalanan, teman-teman Gilang menyapa dan berba"gi tos. Seolah-olah Gilang adalah pahlawan yang berjasa besar pada sekolah itu.
Mana" tanya Herlam pada Gilang. Apanya" balas Gilang.
Mana PC-nya" Nggak pake PC kok, cuma pake handphone. Herlam mendesah, menoleh ke arah Gendis. Iya udah. Sini, mana handphone-nya"
Gilang mengeluarkan telepon genggam dari saku celana, lalu mem"berikannya kepada Herlam. Herlam mengamati telepon itu, lalu menunjukkannya kepada Gendis. Herlam menghela napas pan"jang sepertinya dia sering sekali melakukannya akhir-akhir ini sembari mengusap kepala Gilang.
Gilang... kamu itu ya, diberi ilmu bisa nembus-nembus server gitu, harusnya digunakan ke arah kebaikan. Itu amanah. Kalau dipakai untuk berbuat iseng kayak gini, nanti kamu jadi sombong. Dan ini juga perbuatan ilegal.
Ya habis mau gimana, Yah. Gilang kesal ama mereka. Mereka se"ring banget sindir-sindir Ayah di depan kelas.
Ayah" Herlam menautkan alis, tidak paham.
Mereka sebal ke Ayah, ngelampiasinnya ke Gilang, Gilang dile"dekin melulu.
Kenapa sebal ke Ayah"
Mungkin mereka begitu sejak Pak Toni mergokin kamu salat di basement sekolah, kata Gendis.
Herlam memperlambat langkahnya, tidak menduga hal itu. Dia meng"amati sekelilingnya. Setiap guru yang menyadari keberadaan mereka berbisik-bisik dengan guru lain. Tatapan mereka terasa sarat tuduhan.
Herlam berbicara pada Gilang. Bukan gitu caranya membalas orang-orang yang suka meledek kita. Kalau kita balas mengejek, ya kita sama aja dengan mereka. Menyindir itu namanya. Emangnya keren, jadi tukang sindir"
Herlam memegang bahu Gilang, berjongkok di hadapannya, menatap matanya.
Kamu harus balas ejekan dengan karya yang keren! Herlam melayangkan pandangan ke sekeliling. Dia melihat seorang guru sedang berbicara dengan orangtua murid lain sembari menatap mereka. Ekspresi mereka tidak sedap dipandang.
Iya, kan" Herlam melirik Gendis, yang merespons dengan ang"gukan. Kembali menatap Gilang, Herlam melanjutkan katakatanya. Gilang, sekarang Ayah tanya lagi ya. Kamu malu, kalau kita salat"
Gilang menggeleng-geleng.
Gak apa-apa, Gilang, bener deh. Jujur aja. Kalau Gilang malu, kita ngumpet aja tiap salat. Biar gak ada guru atau teman Gilang yang tahu.
Nggak malu, Yaaah! Gilang nggak malu. Besok Gilang salat di depan kelas, deh...
Yeee, gak harus gitu juga, kata Herlam.
Mereka berhenti berjalan. Gilang mengambil sepedanya. Assalamu a laikum, katanya.
Wa a laikumsalam, balas Herlam dan Gendis.
Mereka memandangi kepergian Gilang yang mengendarai sepedanya.
Pake handphone, lho! Seumur dia, aku baru bisa browsing internet, kayaknya!
Gendis mendecak. Kamu ini sebenarnya khawatir apa seneng sih, Gilang bisa meretas server sekolah"
Herlam tersenyum. Menyadari sorot mata Gendis yang penuh tu"duhan, dia berdeham. Ya... nggaklah. Aku hanya bingung. Aku kan gak pernah ngajarin dia soal networking...
Memang nggak. Tapi kalau Gilang liatin kamu kerja, kamu biarin aja, kan"
Lho" Memangnya itu artinya aku ngajarin dia" Herlam terdengar heran.
Ya iya, lah! Dia belajar dengan memperhatikanmu. Kamu sendiri yang bilang, jangan ngeremehin kemampuan anak! Tapi aku kan nggak pernah meretas...
Nggak pernah" Gendis meninju Herlam main-main. Nggak per"nah masuk daftar Five Most Wanted Hackers se-Asia Tenggara" Nggak pernah nyebarin spam ke mana-mana" Yang benaaar" Eh, itu kan dulu. Waktu masih jadi aktivis. Itu juga kan, yang
mempertemukan kita" Hehehe... Herlam menatap Gendis penuh kasih sayang.
Gendis mencibir. Tapi tatapannya hangat dan mesra. Aku kenal kamu kan dari Mim. Karena kamu sering main ama Mim waktu kecil!
Ya, itu sih waktu kamu masih SD sampai SMP... Waktu kamu udah jadi gadis" Beda, kaaan" Herlam mengerling sembari men"jawil pipi istrinya.
Gendis menepiskan tangan Herlam sembari pura-pura cemberut. Apaan sih! Kok jadi nostalgia gini"
Gendis mengentak-entakkan kaki, pura-pura ngambek, meninggalkan Herlam yang masih tertawa-tawa.
Memutuskan mungkin akan lebih mudah, kalau mendengarkan kata hati.
Dan kalau tahu kita akan selalu dapat dukungan dari mereka yang kita sayangi.
R UMAH itu sekilas tampak sama saja dengan rumah-rumah
lain. TV di rumah menyala, mewartakan berita.
...Terjadi pengeboman di Candi Cafe sore tadi. Pada pukul tujuh malam ini, korban jiwa tercatat mencapai 25 orang, sementara yang terluka 20 orang. Berdasarkan bukti yang ditemukan, terindikasi pelaku pengeboman dari kelompok Islam radikal. Polisi masih menyelidiki...
Herlam, Gendis, dan Gilang menyantap makan malam mereka sembari menonton TV.
Kelompok Islam Radikal mana lagi nih yang kira-kira bakal jadi kambing hitamnya"
Gendis memencet remote TV. Udahlah. Enek ah, makan sambil nonton berita kayak gitu.
Kalau sepupumu yang jadi tersangkanya, gimana" tanya Herlam pada Gendis.
Keputusan merespons. Mim bukan teroris. Kamu kan tahu itu, katanya akhirnya.
Gilang menatap kedua orangtuanya bergantian. Berita tadi bohong ya, Yah"
Jangan semudah itu bilang orang bohong sebelum bisa mem"- buktikannya sendiri.
Tapi, Yah, TV-nya bilang begitu, kan! Gampang banget nuduh orang. Pake kata terindikasi gitu.
Hm, memangnya terindikasi itu apa sih maksudnya" tanya Herlam pada Gilang.
Gilang memutar bola mata. Terindikasi... tuduhan yang udah disebar ke mana-mana, padahal belum ada bukti. Oh, gitu toh maksudnya.
Gendis menghela napas. Yah, mulai deh.
Berita tadi itu menurutmu, harusnya gimana dong" Herlam meng"abaikan protes istrinya.
Ya, beritain aja tanpa pake kata terindikasi atau kayaknya dan sejenisnya. Kayak guru-guru Gilang aja.
Kenapa sih, Ibu selalu terjebak di tengah obrolan kakek-kakek kayak gini" komentar Gendis.
Herlam setengah berbisik kepada Gilang. Pssst, ada neneknenek protes.
Mendengarnya, Gendis melemparkan serbet ke muka Herlam. Gilang dan Herlam spontan tertawa. Dalam suasana riang, mereka melanjutkan makan malam.
* * * Sulit dipercaya ini tempat yang sama. Beberapa waktu yang lalu, tem"pat ini masih ramai oleh pengunjung yang hilir-mudik. Sekarang, police line membatasi area itu dari para orang yang lewat, yang sesekali menatap wilayah itu penuh rasa ingin tahu.
Herlam berdiri di kejauhan, berusaha mengamati dan mencerna pemandangan di hadapannya. Perhatiannya tertuju terutama pada tiang penyangga kamera CCTV yang berada di tiap sudut kafe.
Gerakan yang tiba-tiba mengalihkan perhatian Herlam. Dia mengamati salah satu tim forensik mengangkat sesuatu. Herlam menyipit, berusaha mengerahkan indra penglihatannya. Benda itu botol berukuran kecil, bentuknya khas. Di mana ya dia pernah melihatnya sebelumnya" Lekukan di botol itu tampak familier.
Tim Forensik sedang mengamati botol itu, dan sepertinya sedang mendiskusikan sesuatu. Herlam tanpa sadar mengucapkan ah . Dia ingat di mana pernah melihat botol itu.
Herlam melangkah mendekati kantor di ujung koridor. Ia mendongak mendapati seorang pejabat polisi bersama ajudannya baru keluar ruangan yang hendak ia tuju. Pejabat polisi itu Kolonel Mason, atasan Alif.
Herlam mengetuk pintu kaca, tapi tatapannya tidak terarah pada ruangan yang ada di dalamnya. Pandangannya masih dilekatkan ke Kolonel Mason di koridor.
Herlam membuka pintu, langsung berkata, Pak, itu tadi..." Lam, kata Chandra, atasan Herlam. Gimana cerita soal pengeboman Candi Cafe"
Belum. Masih dalam proses, Pak. Tapi saya dapat petunjuk baru. Tadi saya ke TKP, saya lihat di sana Tim Forensik menemukan...
Chandra memotong ucapan Herlam. It s okay. Drop aja. Kita udah rilis berita itu.
Udah rilis" Herlam terdengar bingung, menatap Chandra. Yoga yang bikin summary-nya. Barusan kita rilis online. Chandra membuka data di komputer di mejanya, mengeklik sesuatu di sana. Dia memutar layar monitor sehingga Herlam bisa membaca berita mengenai pengeboman Candi Cafe. Herlam membaca berita itu dengan cepat.
Dia langsung memprotes, Tapi kan kronologisnya nggak sesederhana ini, Pak. Banyak detail yang masih jadi teka-teki. Sumber saya polisi sekaligus saksi mata di sana. Dia lebih tahu kejadian yang sebenarnya.
Berita ini sumbernya dari Polda. Nih.
Chandra memperlihatkan beberapa lembar kertas. Alis Herlam bertaut membaca press release itu.
Barusan Polda dari sini, kata Chandra, mereka mengantarkan sen"diri press release itu. Satu jam lebih mereka di sini, sampai beritanya kita rilis.
Tunggu... Herlam berusaha mencerna berita ini. Polisi meng"- an"tarkan sendiri press release-nya, dan mereka tetap di sini sampai Yoga selesai bikin summary"
Chandra diam saja. Atmosfer di kantor itu terasa menegangkan. Chandra memilih untuk membenahi berkas-berkas di meja, alihalih merespons Herlam.
Pak, saya baru dapat petunjuk baru. Sejengkal lagi, saya pasti mendapatkan motif pengeboman di Candi Cafe. Media lain, saya yakin, pasti belum ada yang kepikiran ke arah sana. Saya hanya mengejar fakta!
Jadi fakta darimu lebih benar daripada fakta dari Polda" Chandra mengeluarkan tiga tiket pesawat Visata Airlines dari laci meja, lalu mendorongnya ke seberang meja hingga mendekati Herlam.
Lusa kamu berangkat ke Bromo. No arguments, kata Chandra.
Herlam menatap ketiga kata itu. Berusaha menenangkan emosinya.
Kenapa tiap saya mengusut kasus teroris, tiba-tiba saya dikirim ke Bontang, Kaban Jahe, Atambua, dan sekarang, Bromo" Herlam memutar kembali layar monitor laptop Chandra. Kamu masih salat" tanya Chandra.
Apa hubungannya tulisan saya dengan salat"
Kamu tahu kan, media lain bisa kapan saja merundung kita begitu mereka mendapatkan fotomu yang sedang salat" Kamu tahu kan, nasib media yang dicap fanatik"
Herlam berjengit. Fanatik" Saya, fanatik"
Chandra meninggikan nada suaranya. Satu orang saja SDM inti punya ideologi kolot, seluruh investasi saham di perusahaan kita bisa ditarik! Libernesia berdiri dengan mengusung ide kemer"- dekaan! Merdeka dari dogma dan doktrin radikal! Yang salah satunya ya, doktrin agama! Kita akan hancur sepenuhnya begitu media lain menyerang kita menggunakan cara ini! Chandra me"-
nunjuk Herlam. Selama kamu masih salat, kamu nggak akan bisa objektif mengusut urus kriminal yang dilakukan s esama diri ka"- lian . Kita nggak bisa membiarkan kriminal di sini. Paham"
Herlam terdiam. Kalau memang saya dianggap kriminal, mengapa Libernesia masih mempekerjakan saya di sini"
Siapa bilang" Saya kan sering bilang ke kamu. Kalau kamu masih kolot, suatu hari kamu harus pilih. Mengundurkan diri, atau mengalami PHK.
Herlam mengatur napasnya mendengar kata-kata Chandra. Dia menunduk, menghela napas panjang. Lalu mengangguk-angguk.
Oke... Dia tersenyum sinis. Saya fanatik. Saya kira Libernesia yang fanatik, karena menyembah Polda... Herlam mendorong tiga tiket dari Chandra menjauhinya, lalu melangkah ke luar meninggal"kan ruangan Chandra.
Coffee shop itu ramai, pengunjungnya datang dan pergi dan tidak meng"amati satu sama lain. Karena itulah Herlam memilih untuk beker"ja di sana. Dia duduk sendirian bersama laptop-nya, membuka arsip dokumen draf artikel tentang peledakan bom di Candi Cafe. Dia merengut membaca judulnya. Kejanggalan Peledakan Bom di Candi Cafe Part 1 oleh Herlam.
Herlam berhenti mengetik, mengetuk jari-jarinya di meja. Sesekali dia mengusap wajahnya sembari menghela napas panjang. Akhirnya dia menutup dokumen itu. Herlam menatap laptopnya,
lama, seolah berusaha mengambil keputusan. Dia menekan tombol di papan ketiknya.
ARE YOU SURE YOU WANT TO DELETE THIS FILE PERMANENTLY"
Herlam menatap tulisan itu, lama. Menimbang-nimbang. Dari ekor matanya, dia mendeteksi sebuah gerakan. Herlam melihat mo"bil yang parkir di seberang jalan bergerak mundur, kemudian pergi.
Herlam memilih NO , lalu melipat laptop-nya dan bergegas pergi meninggalkan cafe itu.
Herlam berjalan menuju tempat parkir sembari mengenakan jaket. Be"naknya masih tertuju pada berbagai peristiwa yang barusan menimpanya. Semua pasti ada kaitannya, putusnya, dan sebagai jurnalis, benaknya berusaha keras menemukan persamaan dan mencari tahu akar permasalahannya.
Sungguh ironis, pikirnya. Kalau memang kemerdekaan dijunjung tinggi, termasuk merdeka dari dogma dan segala rupanya, tentunya orang boleh-boleh saja beragama dan mempraktikannya, bukan" Ah, percuma saja mendebat pemikiran yang belum tentu sejalan yang kita percayai, pikir Herlam. Laptop dilipatnya hingga kecil, lalu dimasukkannya ke saku jaket.
Herlam separuh memperhatikan ketika seorang pejalan kaki berja"lan ke arahnya. Orang itu mengenakan tudung, dan ketika ber"pa"pasan dengan Herlam, dia memasukkan sesuatu ke saku
luar jaket Herlam. Herlam mencengkeram tangan orang itu. Dengan gesit orang itu melepaskan diri dengan melenturkan per"- gelangan tangannya. Mereka bertarung dengan tangan kosong, Herlam berusaha mencengkeram kembali tangan orang itu, sementara dia hendak meloloskan diri. Orang itu terpelanting ke belakang, lalu memanfaatkan momentumnya untuk melarikan diri. Larinya cepat sekali, namun Herlam mengira-ngira dia pasti bisa se"gera menyusulnya. Selagi menyusul orang itu, Herlam mengambil barang yang dimasukkan ke sakunya. Flashdrive. Herlam bertanya-tanya buat apa orang itu memasukkan benda ini, dan apa pula isinya"
Orang misterius itu melompati besi pembatas jalan, menuju tempat parkir basement.
Hei! seru Herlam, sembari mengejarnya. Herlam melompatlompat di berbagai titik dan menggunakan kemampuannya untuk bergerak secepat mungkin. Herlam melompat dan mendarat ke basement. Herlam berhasil meraih baju sosok misterius itu, mengunci tangan dan leher orang itu, menekankannya ke dinding tepat di bawah lampu sembari menunjukkan flashdrive yang masih dipe"gangnya.
Ini apa" Apa yang lu masukin ke...
Herlam terperangah ketika tudung itu membuka, menampakkan rambut panjang dan wajah sosok misterius itu.
Laras...! katanya dengan suara tertahan. Kamu masih hidup !
Laras berusaha menjawab, namun kelihatan jelas bahwa dia kesulitan. Aku...
Benar kamu Laras" Siapa kamu" Ini apa" Herlam kembali meng"acungkan flashdrive ke hadapan Laras.
Laras merintih dan tersengal ketika Herlam mengencangkan ceng"keramannya di leher Laras. Sadar bahwa perbuatannya cukup untuk membuat Laras berbicara, dia melonggarkan cekikannya. Laras terbatuk-batuk sembari memegangi lehernya. To... tolong saya...
Bukan begitu caranya minta tolong! sahut Herlam dengan ge"ram.
Please. Laras kembali terbatuk. Matanya tertuju pada flashdrive di tangan Herlam. Semuanya ada di situ.
Semua apa" Herlam mendesak, karena dia masih belum paham.
Nada suara Laras terdengar memohon. Aku kasih ini ke kamu, kare"na aku tahu siapa kamu. Please. Do the right thing!
Tiba-tiba sinar senter menerpa tubuh mereka, terfokus pada wajah Laras, kemudian wajah Herlam. Seorang satpam memegang senter itu dan melangkah cepat mendekati mereka. Hei! Ada apa ini"
Herlam menoleh ke arah satpam. Dia melepaskan cengkeramannya dari Laras.
Nggak ada apa-apa, Pak. Ini cuma...
Hei! Satpam segera memegang tangan Herlam, menguncinya, sementara Laras berderap ke motornya yang diparkir dekat sana, dan melesat pergi. Herlam mengamati Laras menjauh, tubuhnya otomatis melepaskan diri dari kuncian satpam. Benaknya tertuju
pada flashdrive yang diberikan Laras padanya: kira-kira apa isinya"
Kursor di layar laptop Herlam melayang di atas arsip ber"nama XXX. ENC. Papan ketik laptop ditekan, memunculkan tulisan SECOND ATTEMPT TO OPEN ENCRYPTED FILE.
Suara klik itu terdengar bersamaan dengan operator telepon geng"gam yang berkata, Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan. Silakan...
Herlam menyapu layar telepon genggamnya untuk menutup tulisan CALLING ALIF. Herlam berdecak karena masih belum bisa membuka arsip itu. Ke mana sih dia, gumamnya.
Herlam memutuskan untuk mengopi arsip tadi ke laptopnya. Dia memperbaiki posisi kacamatanya sementara masih mengetik laptop di sofa ruang keluarganya. Sekarang dia memutuskan untuk membuka window baru untuk mencari data Mr. Sunyoto.
Gendis, dalam pakaian tidurnya, mendekati Herlam. Dia menahan kuap sembari menempatkan dua gelas susu di meja Herlam. Tidur, katanya.
Herlam segera mencabut flashdrive, menggantinya dengan artikel yang ditulisnya tentang kasus pengeboman Candi Cafe. Gendis melirik layar laptop Herlam.
Kamu capek-capek bikin tulisan tentang kasus teroris, memangnya kantor mau menerimanya"
Udah ditolak, jawab Herlam pendek.
Gendis mengerutkan kening. Kok masih diutak-atik tulisannya"
Herlam menghela napas. Panjang. Dia menyeruput susu yang diba"wa Gendis, meringis mendapati susunya masih terlalu panas. Dia mengelap kacamatanya yang berembun, kemudian mengenakannya lagi.
Aku curiga bom kemarin ada hubungannya dengan pondoknya Mim.
Maksud kamu" Gendis mencondongkan tubuh menaruh perhatian.
Kemarin aku lihat mereka menemukan botol parfum Alattar di TKP.
Gendis terkesiap, menekap mulutnya.
Ndis, dari kecil kami bertiga paling nggak setuju dengan ajar"- an ngebom-ngebom orang banyak itu. Dari model Hiroshima- Nagasaki sampai jenis di Candi Cafe ini. Kyai juga nggak pernah nga"jarin yang seperti ini di pondokannya. Tapi kita harus menerima fakta. Jangan karena Mimbo sahabatku, sepupu kamu, kita lang"sung membelanya tanpa memperhatikan kebenarannya. Herlam mematikan laptop.
Kamu yakin bukan polisi yang sengaja meletakkan botol itu di sana" Untuk menjebak padepokan Mim"
Herlam menggeleng-geleng. Mereka tampaknya bingung itu bo"tol apa dan dari mana asalnya. Alif juga belum tentu tahu. Cuma kita yang tahu parfum Alattar itu produk komunitas, hanya ada di pondokan Mimbo. Nggak mungkin orang dari tempat
lain mengambilnya dari sana, pasti ada orang pondokan yang ke sini, membawanya.
Herlam melepaskan kacamata. Terlalu banyak hal janggal da"- lam pengeboman kali ini, Ndis. Belum lagi ternyata ada korban yang masih... Sadar berbicara terlalu banyak, Herlam menghentikan kalimatnya.
Aku bikin draf artikel ini masih berdasarkan dugaan. Press release dari Polda malah lebih prematur lagi. Cepat atau lambat, entah dari mana, Polda akan menyadari keberadaan botol parfum Alattar itu. Lalu mereka pasti akan ke pondoknya Mim. Alif dan Mim jangan sampai berada di posisi berlawanan... mereka samasama memegang teguh kebenaran yang mereka yakini! Kamu selalu berusaha menjaga hubungan Alif dan Mim, ya... Herlam menatap Gendis dengan serius.
Ndis, kalau kamu harus memilih antara aku atau Gilang, siapa yang akan kamu pilih"
Gendis membalas tatapan suaminya. Kamu akan pilih masa depan, kan" Gendis terdiam.
Pak Candra sudah beliin tiket untuk kita ke Bromo. Dia memintaku meliput peradaban lokal di sana. Kalau kita pergi ke Bromo, aku nggak bisa melanjutkan mengusut kasus pengeboman itu. Aku kembali dilempar ke daerah agar tidak menyelidiki kejanggalan pengeboman itu. Libernesia mau segalanya sama seperti pernyataan Polda. Mereka ingin ulama-lah yang menjadi terorisnya. Entah ada fakta apa di belakang kasus ini, mereka nggak mau tahu...
Apa hubungannya ini denganku dan Gilang"
Herlam berusaha menata kata-katanya. Dia memijat-mijat peli"- pisnya sebelum melanjutkan kata-katanya. Kali ini kantor meminta"ku untuk memilih. Pergi ke Bromo... atau mengundurkan diri.
Gendis perlahan menunduk. Menggeleng-geleng. Ia menatap ge"las susunya, dan mengaduk-aduknya meski susu di sana sudah lama mendingin.


Alif Lam Mim Karya Primadonna Angela di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku tidak mau mengalah dalam ujian ini.
DING! Tiba-tiba terdengar bunyi gelas dari arah kulkas. Gendis dan Herlam menatap ke arah sana, mendapati Gilang yang tampak canggung.
Gilang" Herlam melirik jam dinding. Pukul setengah sebelas, lho.
Iya... iya, Yah. Tadi... Gilang haus. Gilang beranjak ke kamarnya, di lantai dua.
Herlam berdiri. Merenungkan sesuatu.
Lam, kamu ingat dulu bilang apa ke Papa waktu ngelamar aku dulu"
Herlam tidak menjawab. Aku nggak akan pernah lupa... Kamu minta izin ke Papa untuk mengajakku menemanimu berjuang bareng, sepanjang sisa umur hidup kita. Kamu nggak menjaminku untuk bahagia, tapi kamu bilang ingin berjuang bareng bersamaku. Itu yang bikin Papa berhenti berharap mendapatkan menantu yang sempurna, ka"re"na dia telah bertemu dengan suami yang sempurna untukku.
Mana bisa kamu menentukan sikap sembari khawatir kehilangan pekerjaan. Kalau kamu takut nggak ada uang karena mikirin aku dan Gilang, artinya kamu sama aja nggak ngasih aku dan Gilang kesempatan untuk menemanimu berjuang...
Dia merasakan Gendis menggenggam tangannya, dan dia balas mere"masnya, tapi benaknya tersedot ke pengalamannya di masa silam. Ke masa segalanya terasa sederhana.
Justru ini kesempatanmu memberi teladan pada Gilang. Agar dia bisa melihat gimana ayahnya ketika menentukan sikap, gimana ayahnya berjuang. Dia akan melihat ayahnya memiliki mata hati yang tajam, yang selalu berusaha adil dalam menilai mana yang benar dan mana yang kelihatannya benar. Aku... aku siap ber"ada di sisimu, apa pun keputusanmu. Aku... jujur, aku takut menjadi istri yang membuat suaminya tuli, karena nggak bisa mendengar kata hati...
Lam, ajarin aku agar nggak bergantung ama uang. Ajarin aku agar nggak takut ama dunia.
Herlam menatap Gendis. Memangnya aku sekeren itu ya" Gendis sewot. Ih, najong!
Herlam tertawa mendengarnya, dan Gendis pun tertawa bersama"nya. Mereka saling bertatapan, merasa ikatan di antara mereka berdua semakin kuat.
Hanya dalam waktu satu hari, apa pun bisa terjadi.
S IANG, di ruang kerja Reza. Tidak ada siapa-siapa, hanya ter"-
de"ngar bunyi dengung mesin. Reza memasuki ruangan dengan segelas kopi. Dia menempatkan kopi di meja, menekan tombol komputer sembari menahan kuap.
DING! Bunyi itu berasal dari komputer Reza. Reza mengamati layar dengan kening berkerut. Notifikasi itu bertuliskan, SPAM DETECTED. Reza mengelik notifikasi itu.
Tanpa sadar, Reza mengeluarkan suara hah . SPAM LOCKED terbuka, memperlihatkan file dokumen dengan nama BOMBING CANDI CAFE.
Reza melongok ke arah Herlam yang masih berbenah dalam ruangannya. Reza menggeleng-geleng sembari bergumam, Lu ngapain sih, Lam. Dia menghapus SPAM di komputernya.
Fase yang modern. Betapa sering dia melewati kota tanpa benar-benar memperhatikan, ketika dia bekerja di Libernesia. Akankah dia merindukan semua ini" Atau malah lega, karena fase ini sudah berlalu"
Setiap orang mengalami fase dalam hidupnya. Kadang waktunya sebentar, tapi terasa lama. Kadang sebenarnya lama, tapi terasa sekejap mata. Herlam sulit mengategorikan fasenya di Libernesia termasuk yang mana.
Herlam membereskan barang-barangnya. Bertahun-tahun di Libernesia, banyak juga barang yang membawa kenangan tersendiri ketika dimasukkannya ke dalam kardus. Dia menguatkan hati untuk memasukkan semuanya, satu demi satu, mengabaikan kenangan berjam-jam yang dihabiskannya di sini, semua harapan, baik yang terealisasikan maupun yang kandas.
Herlam memegang piala kejuaraan pencak silat, menatapnya, lama. Herlam mendesah sembari memasukkan piala itu ke dalam kardus. Dia berhenti berbenah untuk mengamati ruangannya. Bukan lagi ruangannya. Dia telah memilih untuk berhenti. Begitu cepat sebuah tempat kehilangan makna, pikirnya. TV yang menempel di ruang kerjanya menguarkan suara, tapi Herlam tidak mendengarnya. Dia membiarkan dirinya terhanyut pada nelangsa, pada asa yang dulu sempat dibangunnya di sini. Semua tindakan ada konsekuensi, pikir Herlam.
Reza mengetuk pintu ruang kerja Herlam sebelum memasukinya.
Hebat. Karyawan lain paling cepat satu atau dua bulan pem-
beritahuan dulu, baru bisa cabut dari sini. Elu" Cuma butuh waktu seminggu, katanya.
Iya, seminggu dari hari ini! kata Herlam. Eh, Rez! Herlam membuka arsip di komputernya. Bantuin gue dong. Decrypt file ini.
Reza menggeleng-geleng. Lam, udahlah. Sekarang udah nggak kayak zaman revolusi dulu. Udah nggak zaman nge-SPAM tulisan idealis.
Herlam berjengit, jelas-jelas kebingungan. SPAM apaan" Ini bukan...
Udahlah! Reza mengibaskan tangan, memotong kata-kata Herlam. Memang gitu kan" Sebelum revolusi, kita dikatain provo"kator. Begitu kita dibutuhkan, disebutlah kita revolusioner. Seka"rang beda lagi sebutannya... bisa-bisa kita dicap ekstremis ka"lau tetap kritis. Lam, udah deh. Nikmati aja semua yang kita dapat sekarang. Udah bagus lu selama ini main aman. Eh, lu ngomongin apa sih, Za"
Lam... ginilah. Masa elu kagak ngerti. Orang-orang tuh nggak mau lu ngusut kasus pengeboman kemarin. Lu tahu kenapa" Karena artinya kita bakal berhadapan ama Polda. Gua pengin lu ber"henti ngusut karena gua peduli ama lu! Dan elu itu... malah milih nyebar SPAM ke mana-mana di hari elu resign! SPAM" Gua beneran nggak ngerti!
Reza mendekati menja Herlam. Dia memencet tombol di meja, mengeluarkan komputer Herlam dari mejanya.
Gua ini tracker, Lam. Udahlah. Makin lu gak ngaku, makin
gua merasa sia-sia aja gua peduli ama elu. Reza mengetik-ngetikkan sesuatu di komputer Herlam.
Rez... Asal lu tau aja, Lam. Beberapa teman gua di media lain langsung ngumpetin SPAM yang lu kirim ke mereka. Mereka segera hapus agar gak kebaca siapa pun, terutama Pemred mereka! Itu mereka lakukan karena peduli ama elu! Yang kayak gua dan mereka itu hanya beberapa. Please, Lam... for your own sake, just stop it! Reza meninggalkan ruangan sembari menggeleng-geleng.
Herlam membuka server pribadinya di komputer kantor. Display di desktop komputer berubah seperti laptop Herlam. Dia mengelik file bernama XXX.ENC, lalu menekan papan ketik. Sebuah tulisan pun timbul. THIRD ATTEMPT TO OPEN ENCRYPTED FILE.
Api Di Puncak Sembuang 1 Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu Seruling Sakti 17
^