Pencarian

Alif Lam Mim 2

Alif Lam Mim Karya Primadonna Angela Bagian 2


Telepon genggam Herlam berbunyi. Ada pesan dari Gendis, bertuliskan, Liat TV sekarang!
Herlam menekan tombol datar di mejanya untuk mengeraskan volume TV. Berita di TV membuatnya terperangah.
Polisi dan pasukan khusus sudah mengepung Pondok Pesantren Al Ikhlas pimpinan KH Mukhlis, yang diduga merupakan otak dari pengeboman yang terjadi di Candi Cafe beberapa hari lalu...
Herlam bergegas meninggalkan ruangan, melupakan niatnya se"mula untuk berbenah.
Cobaan akan selalu ada. Siapkah kita menerimanya"
P INGGIRAN jalan raya di depan Pondok Pesantren Al Ikhlas
tidak seperti biasanya. Biasanya, suara jangkrik yang berderik menggema. Biasanya, suara-suara yang terdengar, berupa lantunan ayat suci. Biasanya, yang lalu-lalang adalah penghuni pesantren, dalam jubah panjang dan sorban.
Kali ini para warga memadati jalanan. Begitulah Indonesia, ka"pan pun, di mana pun sepertinya ada sesuatu yang berpotensi menimbulkan keributan, mereka berbondong-bondong untuk mencari hiburan gratis.
Herlam berusaha menembus police line untuk memasuki pondok. Seorang polisi menghentikannya, namun memberinya izin ketika melihat nametag Press yang dikenakan Herlam. Di depan pintu masuk Herlam bertemu Bono, salah satu santri kenalannya.
Bono! Mimbo mana" tanyanya.
Peretas dan yang Diretas arahkan dagunya ke mobil tahanan yang masih terbuka di seberang jalan.
Di depan gerbang, Mimbo menoleh ke arah Herlam, menatapnya tajam. Tatapan itu seolah hendak menyampaikan sesuatu, na"mun Herlam tidak tahu apa itu. Telepon genggam Herlam berde"ring, dan dia membuka layar teleponnya. Herlam mengernyit menyadari yang menelepon adalah Alif.
Bangunan itu tua, dan tidak hanya tua, keamanannya pun diragukan. Di bangku semen berdebu di atasnya duduk seseorang yang me"meluk sebuah map. Dia terus-menerus menatap bangunan berku"bah di hadapannya. Bangunan itu gelap, penuh sesak oleh barang.
Alif, ya, dia Alif, masih saja duduk di sana. Mengamati. Menan-
ti. Beberapa truk sedang membongkar muatan barang-barang di luar bangunan berkubah itu.
Dalam waktu kurang dari dua puluh tahun, 253 tempat ibadah diubah menjadi gudang.
Alif menegakkan tubuh mendengar suara itu. Dia menoleh ke bela"kang. Herlam menatap Alif sembari tersenyum, penuh ironi.
Pembela minoritas. Mereka menjual slogan kebebasan. Begitu jadi mayoritas, menginjak mereka yang sekarang menjadi minoritas. Siapa pun yang mengganggu kebebasan menindas, dianggap jadi penjahat.
Alif menyanggah, Bukan berarti hanya pemerintah yang jahat.
Jadi penjahatnya Kyai" tanya Herlam, menuduh. Alif menahan diri untuk tidak mengucapkan sesuatu yang akan dise"salinya.
Gua nggak mau Kyai dipenjara. Kyai pasang badan... dia ber"- usaha melindungi yang lain. Kalau beliau nggak nyerahin diri, mung"kin entah gua atau Mim, sudah tewas sekarang...
Herlam menatap Alif sembari berkacak pinggang. Berapa orang yang lu ciduk dari sana" Nggak sekalian aja tuh kalian bubarkan pondokannya" Lumayan kan, bisa nambah gudang, kayak gini" Herlam menunjuk ke gedung berkubah menggunakan dagunya.
Alif mendengus. Elu kenapa sih sebegitunya ngehina polisi" Apa karena kami eksekusi penyergapan ke pondok" Mau tahu lu, info terkuat apa yang bikin Polda ngasih izin penyergapan ke pondok" Nih!
Alif melempar map ke arah Herlam. Herlam menatap map itu penuh kecurigaan, namun diambilnya juga dari lantai. Herlam membuka-bukanya,
Parfum Alattar! sahut Alif.
Herlam mengerutkan kening sembari membolak-balik arsip itu. Lho... ini kan... tulisan gua"
Ya iya, lah! Itu kan tulisan yang elu SPAM ke mana-mana sejak tadi pagi" sergah Alif.
Tulisan itu seolah menantang Herlam. Herlam menggelenggeleng tak percaya membaca artikel berjudul KEJANGGALAN
PELEDAKAN BOM DI CANDI CAFE PART 1 by HERLAM .
Gua tahu suatu hari lu bakal resign dari Libernesia. Tinggal nung"gu waktu aja. Yang gua nggak tahu, lu resign agar bisa bebas memprovokasi kasus kemarin dan menyebarkannya ke semua media!
Herlam tercengang mendapati tuduhan itu. Lif... Di depan gua, lu masih aja berusaha ngebelain Mim! Tapi lu nga"rahin moncong senjata gua ke kepalanya! Kyai yang kena. Gak ngerti gua sama elu, Lam!
Hari ini gua udah dua kali dituduh nge-SPAM. Tulisan ini masih draf, Lif. Belum kelar. Gua kan nggak pernah ngelepas tulisan da"lam bentuk setengah jadi. Lu dapat ini dari mana"
Ya dari kantor. Udahlah, Lam. Nggak ngaruh sekarang. Gua nggak tau mana yang benar mana yang salah sekarang.
Herlam mencengkeram arsip itu lebih erat. Ada yang nggak beres nih.
Herlam menatap gedung Libernesia di kejauhan dengan penuh spekulasi. Alif beranjak meninggalkan Herlam.
Lif. Kemarin gua ketemu Laras.
Alif berbalik. Omongan lu makin ngaco aja!
Gua telepon lu berkali-kali kemarin, nggak nyambung-nyambung. Gua mau ceritain soal Laras.
Alif hanya menatap Herlam, jelas-jelas beranggapan Herlam su"dah kehilangan kewarasannya.
Dia masih hidup, Lif. Dia kasih ini ke gua... Herlam menun-
jukkan flashdrive dari Laras. Isinya encrypted file, tapi gua nggak tahu isinya apa. Gua belum bisa buka.
Herlam melemparkan map kepada Alif. Nih, semua data Sunyoto yang lu minta. Alif menatap map itu, tapi tidak membukanya.
Gua kasih saran ya soal Laras. Jauh-jauh dari dia. Gua, elu, gak ada yang tahu dia itu sebenarnya siapa.
Ekspresi Alif berubah-ubah. Awalnya bibirnya menipis, napasnya memburu, namun kemudian dia memejam, menggeleng-geleng.
Di sebuah restoran cepat saji Alif memegang foto Laras. Dia mena"tap foto itu lama sekali. Ditempatkannya di meja, berdampingan dengan map pemberian Herlam. Alif membuka map itu dan mem"baca isinya.
Alif terperangah dan menaikkan alis mengetahui Mr. Sunyoto nama aslinya adalah Kopral Bambang Budiono. Konon, Kopral Bambang Budiono ini terbunuh di sebuah penggerebekan 30 tahun lalu. Sepuluh tahun setelah kejadian itu, baru nama Mr. Sunyoto dikenal. Banyak juga kegiatannya, pikir Alif, sedikit sinis. Supplier senjata, distributor benda terlarang, germo, bahkan bandar narkoba...
Alif teringat percakapannya dengan Big Boss sebelum dia terbunuh. Berarti kata-katanya dulu benar" Dia dulunya seorang penegak hukum" Seberapa banyak dari kata-katanya dusta, dan mana
pula yang nyata" Alif membaca semua data itu dengan minat baru.
Herlam memasuki ruang kerjanya dan menempatkan lembaran file dari Alif di meja. Dia membuka file BOMBING CANDI CAFE dari draft artikelnya di server pribadinya menggunakan komputer kantor. Matanya bolak-balik beralih dari layar komputer dan arsip dari Alif, membandingkan.
Sama, katanya, dengan nada heran.
Herlam memeriksa logging server pribadinya sejak kejadian bombing itu. Tidak ada file yang dikopinya dari server pribadinya. Ini artinya...
Herlam mengetik nama file BOMBING CANDI CAFE di ko"lom aplikasi Tracker. Dia membuka laman lain untuk melacak SPAM dengan ID nama file yang sama. Layar komputer menampak"kan grafik file yang membuat dahi Herlam semakin berkerut. File dengan ID itu menyebar ke alamat media besar dan polisi. Herlam merunduk lemas di kursinya.
Rapi banget... ini sih kerjaan peretas.
Tiba-tiba mata Herlam tertuju pada file XXX.ENC di desktopnya. Nama file itu berubah menjadi XXX.DEC.
Decrypted! Suaranya sarat oleh ketakjuban. Herlam melihat info DECRYPTED ON 20:10. File itu terakhir kali dimodifikasi pu"kul 20:52. Herlam melirik jam di layar monitornya. Pukul
21:04. Dua belas menit lalu" Siapa..." Herlam bertanya-tanya.
Herlam memeriksa log history file XXX.DEC dari Laras. Log history menunjukkan file itu berasal dari server Candi Cafe, lalu server Polda, yang terakhir, server pribadi Herlam.
Alif keluar dari gerai cepat saji dan berjalan cepat menuju mobil"- nya. Dia menempelkan jarinya ke gagang pintu, yang membaca sidik jarinya.
Wus! Tiba-tiba dua mobil Humvee lewat. Alif mengamati iringan mobil itu berpisah di persimpangan jalan. Satu belok kanan, satu lagi lurus.
Palingan orang kaya yang kurang kerjaan, pikirnya, sedikit terganggu, sebelum memasuki mobil.
Herlam akhirnya membuka file itu. Dia segera mencondongkan tubuh dan perhatiannya sepenuhnya tertuju pada apa yang terpampang di layar komputernya. Ada banyak window baru ter"buka, menunjukkan rekaman CCTV Candi Cafe dari berbagai sudut, pada jam peledakan.
Herlam menggeleng-geleng, sulit percaya dengan semua itu. Ada satu dokumen yang terbuka, dan Herlam membacanya.
Herlam bersandar, menghela napas. Dia menelan ludah dan me"mejamkan mata, mengurut dahinya yang mendadak terasa pening. Dia baru saja membaca jadwal peristiwa teror, mulai dari tanggal yang sudah lewat sampai jadwal peristiwa yang akan datang.
Apa-apaan ini" desisnya.
Herlam mengambil telepon genggamnya, memencet nomor Alif, dan berharap agar kali ini Alif akan mengangkatnya.
Telepon Alif berdering selagi dia mengemudi. Alif menekan tombol, memunculkan display di tengah kemudi. Dia merengut membaca tulisan LAM calling.
Alif berpikir sebaiknya diabaikannya saja telepon Herlam kali ini. Dia terus berkendara dalam kesunyian. Tapi firasatnya memberitahu bahwa ada sesuatu yang genting yang hendak disampaikan Herlam. Bertahun-tahun sebagai penegak hukum, Alif belajar un"tuk tidak mengabaikan firasatnya.
Ya! kata Alif. Suara Herlam terdengar, Lif, video, Lif. Gua lagi nyetir.
Nada suara Herlam terdengar lebih mendesak. Video, Lif! Sekarang juga!
Alif menekan tombol di dasbor mobil. Dia melihat Herlam yang sedang membuka data-data di monitor display.
Tampak wajah Herlam di layar. Wajahnya tidak tampak sehat, pikir Alif, tapi, yah, dia sendiri mungkin tidak sedang berada dalam penampilan terbaiknya saat ini.
Gua buka file dari Laras, Lif. Ternyata... Alif memotongnya, Kata lu file-nya encrypted" Tadinya begitu. Tapi ada yang decrypt 12 menit lalu. Siapa" Elu"
Bukan. Ada peretas kurang ajar keluar-masuk server gua. Pasti dia juga yang nge-SPAM draft tulisan gua. Log history di sini bilang, gua orang pertama yang buka file ini. Peretas itu cuma encrypt, Lif, tapi dia gak buka.
Alif mengangguk. Oke, lihat nih. File yang dikasih Laras. Rekaman semua sudut CCTV Candi Cafe saat pengeboman.
Alis Alif bertaut. Mobilnya berhenti mendadak. CCTV" Kok bisa" Bukannya semua server kafe meledak"
Nah, kata Herlam dengan penuh kebingungan, awalnya juga gua pikir begitu.
Herlam mendekatkan telepon genggamnya ke monitor komputer.
Tuh, pukul tiga, elu baru sampai kafe. Nah, ada tiga orang yang pake gamis...
Layar komputer menampakkan rekaman itu, tiga laki-laki berga"mis yang masuk kafe dan menimbulkan keresahan.
Lu harus lihat nih. Sudut dari belakang kafe, satu menit sebelum bom meledak.
Pada rekaman itu, terlihat Laras sedang melepas seragam pramu"sajinya. Dia menjauh dari kafe, menghancurkan sesuatu yang sepertinya adalah detonator, seraya mengarahkannya ke sebuah mobil. Seseorang, tidak jelas jenis kelaminnya, berjaket hitam dan wajahnya tertutup topi keluar dari mobil dan memanggil Laras. Laras mengabaikannya dan berlari menjauh. Ada juga dokumen yang berisi jadwal peristiwa teror... Lam, lu lagi di kantor"
Iya, di PC kantor, tapi gua lagi buka server pribadi gua. Cloud system.
Ya ampun, Lam! Tutup! Jangan connect lagi ke kantor. Ke mana pun! Bahaya! Pulang sekarang. Nanti gua ke sana. Perasaan gua gak enak.
Sebentar, gua sedang ngunci posisi peretas. Harus ketemu nih sebe"lum... Aaargh!
Alif kaget melihat leher Herlam dijerat dari belakang. Laaam! serunya. Alif menerobos lampu merah, memutar mobil"nya menuju kantor Herlam.
Herlam terpelanting di lantai. Refleks, dia menendang meja, dan menggunakannya sebagai pijakan untuk mengikuti gerakan rantai yang menjeratnya di belakang. Mejanya terbalik, demikian pula kom"puternya. Herlam tidak memedulikannya. Dia memegang tangan penjeratnya, mendorong ke belakang. Gerakan itu melonggark"an cekikan rantainya, namun hanya sebentar, karena penyerang Herlam tetap bergerak mundur dan tetap berdiri.
Ruangan Herlam dipenuhi beberapa anggota BLACK ARMY, pa"sukan khusus yang sungguh terampil. Mereka tak menghabiskan waktu lagi, segera menyergap Herlam dengan keahlian yang luar biasa. Lima melawan satu, Herlam berpikir andai dia be"rada dalam kondisi fisik terbaiknya, semua orang ini bisa dili"basnya dengan gerakan minimal. Tapi ruangan kerjanya sempit, be"naknya terdistraksi oleh informasi yang baru didapatnya, dan hatinya mencelus mengingat kata-kata Alif.
Iya, kenapa dia bisa begitu bodoh. Dia yang harusnya tahu beta"pa berbahayanya membuka informasi yang begitu riskan dan rahasia di tempat yang mudah dilacak!
Percuma berandai-andai. Herlam harus mengerahkan segala ke"mam"puannya untuk bertahan, karena dia tahu pasukan itu dikirimkan untuk satu tujuan: menghabisinya! Kalau dia mau tetap hidup, dia harus melawan. Dan terus melawan, karena mere"ka pasti tidak akan segan-segan menggunakan cara kotor, terma"suk mengeroyok sekalipun.
Herlam mengelak dan menendang, meninju dan mencakar. Awalnya gerakannya begitu kasar, tidak memperhitungkan apa pun. Perasaan panik melibatnya. Begitu cekikannya terlepas, Herlam berhasil menguasai diri. Dia menggapai ketenangan di dalam diri, dan meski merasakan adanya lebam yang akan timbul, nyeri, dan sakit, Herlam memfokuskan diri pada kemampuannya membela diri. Seorang pendekar, dia pernah belajar dulu, harus bisa menguasai diri sehingga seluruh anggota tubuhnya bisa dijadikan senjata. Apa pun yang dipegangnya menjadi perpanjangan dari tubuhnya, dan berpotensi melumpuhkan lawan.
Herlam terdesak, karena meski kemampuan pasukan itu di bawahnya, jumlah mereka lebih banyak. Dengan susah payah dia berjuang menyelamatkan diri. Sampai akhirnya dia berhasil melumpuhkan mereka, satu demi satu. Mereka masih belum menyerah, berusaha menangkapnya berbarengan. Kali ini Herlam sudah siap. Dia menarik napas dalam-dalam, mengingat jelas ajaran di pondoknya dulu. Ketika mereka menyerbu, Herlam melontarkan tenaga dalamnya, sehingga mereka terpental,
menubruk tembok dan perabotan, kemudian merintih tak berdaya di lantai.
Herlam mengambil monitor yang terjatuh, mengamatinya dengan tertegun. Hasil tracking-nya menunjukkan alamat yang dia kenal betul. Alamat rumahnya sendiri. Herlam melihat server pri"- badinya, selama ini selalu tersinkronisasi dengan server di rumahnya.
Herlam berpikir. Menggumamkan, Cloud system synchronized"
Ketika pemahaman itu menghampirinya, tubuhnya gemetar. Allahu Akbar! Gilang...
Herlam bergegas ke luar, mengendarai sepeda motor Harley Davidson-nya. Dengan kecepatan tinggi, nyaris tak memedulikan kese"lamatannya sendiri, Herlam memacu motornya. Dia berpapasan dengan mobil Alif, yang langsung mengikuti Herlam.
Oh ya Allah ya Rabbi, semoga semuanya tidak apa-apa. Semoga Allah melindungi keluargaku. Semoga aku hanya khawatir berlebihan. Doanya semakin lama semakin tidak jelas, dia meracau, sehingga hanya asma Allah yang disebutnya berulang kali dalam perja"lanannya pulang.
Jauh di lubuk hatinya, Herlam sudah menduga apa yang menantinya. Namun kenyataan tetap menampar-namparnya, napasnya seolah direnggut darinya, demikian pula kewarasannya ketika mendapati pintu depan rumahnya menganga terbuka.
Gendis tidak pernah seceroboh itu membiarkan pintu terbuka, apalagi di malam hari seperti ini. Kalaupun dia khilaf, lalu apa
yang menyebabkan pintu itu tampak seperti seseorang yang dihajar hingga babak belur, dan bersiap-siap menghadapi ajal"
Herlam merasakan tenggorokannya seolah tersumbat, melihat jejak-jejak sepatu... sepatu bot militer... memenuhi teras depan"nya. Tangannya mengepal membentuk tinju, sementara dia mema"suki rumahnya.
Herlam menahan napas melihat bagian dalam rumahnya berantakan. Herlam menginjak sesuatu, tanpa sengaja menendangnya. Bu"nyi krak yang keras memberitahunya bahwa benda asing itu terbuat dari bahan yang keras. Herlam memungutnya, dan mulai terse"ngal menyadari benda itu selongsong peluru tajam. Herlam menatap nanar dinding rumahnya, beberapa berlubang tempat peluru memberondongnya.
Gendis! Gilang! Gendiiis! Gilaaang! Suaranya garau dan langkahnya sempoyongan sembari menaiki tangga. Dia melewati rak tempatnya menyimpan tongkat golf. Dia nyaris tak memperhatikan tas golfnya terguling, sehingga stik golfnya bergelimpangan di lantai.
Herlam membuka pintu kamar Gilang.
Untuk sesaat dia kehilangan kemampuan untuk berkata-kata dan berpikir. Reaksi awalnya adalah penyangkalan. Tidak mungkin ini terjadi, pikirnya. Bukankah baru beberapa jam lalu dia berbicara dan bercanda tertawa-tawa" Masih segar di ingatannya, suara perempuan itu, wanginya yang khas, sentuhannya yang lembut. Bukankah belum lama ini dia merengkuh tubuhnya, berpikir bah"wa kapan pun dia pulang, istrinya akan selalu ada untuknya, me"nyambutnya"
Melihat tubuh Gendis yang bergeming di lantai, Herlam nyaris jatuh terduduk. Dia menatap tubuh istrinya, mencari tanda-tanda kehi"dupan. Istrinya tidak bernapas, dan itu artinya...
Herlam memaksa kakinya melangkah. Dia melihat Gendis memegang stik golf, genggamannya masih kencang. Herlam berjongkok di sebelah tubuh Gendis. Dia berlutut, merapikan pakaian Gendis. Disentuhnya tubuh istrinya. Masih hangat...
Dia menempelkan wajahnya ke pelipis istrinya. Sumbatan di kerongkongannya terasa semakin mencekik, dan Herlam menangis. Dia masih sulit menerima kenyataan istri tercintanya telah tia"da. Dia berlama-lama menatap wajah Gendis. Dibelainya pipi Gendis, dibisikkannya nama Gendis berulang-ulang, seolah dengan demikian Gendis akan kembali bernapas. Ketika dia bisa menerima fakta itu, saat Herlam tahu bahwa Gendis takkan lagi tersenyum untuknya, tidak lagi bisa tertawa bersamanya, dengan mata basah Herlam menutup mata Gendis yang masih terbuka.
Herlam mengikuti tatapan kosong Gendis ke suatu titik, dan meli"hat Gilang terbaring di lantai, berlumuran darah, terimpit meja belajar.
Gilang... bisik Herlam. Herlam langsung mengangkat meja dan menggesernya. Dia menarik Gilang mendekati jasad Gendis, memangku anak satusatunya itu.
Gilang... bisik Herlam sembari membelai rambutnya. Herlam melihat lubang di baju Gilang yang berlumuran darah. Dipeluknya anaknya, sembari menangis tanpa suara. Menyaksikan dua orang
yang disayanginya, menderita kemudian meninggalkan dunia, nyaris menyebabkan Herlam kehilangan kewarasannya.
Ya Allah... maafin Ayah, Nak... Maafin Ayah yang suka ajak Gilang bantu Ayah kerja...
Herlam mengangkat tangan kanan Gilang, menempelkannya ke pipinya. Ayah ingin Gilang makin pinter. Tapi nggak kayak gini caranya. Ayah nggak menduga seperti ini. Maafin Ayah, Nak...
Herlam terisak, air matanya mengalir deras. Ya Allah... aku nggak sanggup... Herlam merasa sesuatu yang penting dicerabut dari jiwanya. Jiwanya, apakah masih bertahan" Bisakah seseorang te"tap hidup dengan keinginan berbuat kebaikan dan kebajikan, ketika alasannya untuk hidup sudah tiada" Bisakah seseorang berjalan mengarungi kehidupan, ketika dia merasa semua perbuatannya tidak ada gunanya"
Herlam tahu, dia harus berserah pada-Nya. Dia harus membiarkan dirinya berduka untuk sementara, kemudian melanjutkan hidupnya. Bukankah dia harus percaya pada kuasa-Nya"
Secara teori, harusnya begitu. Dulu, ketika berandai-andai, Herlam berpikir dia akan sanggup menerima semua cobaan dari- Nya. Apa pun yang diberikan-Nya, ujian seberat apa pun, pasti bisa ditanggungnya apabila memiliki iman.
Sekarang, Herlam tidak yakin. Hatinya hancur, menyaksikan dua orang yang dicintainya dalam kondisi ini, dia merasa tidak ber"daya.
Ya Allah... ini salahku. Harusnya aku yang begini... Herlam me"natap Gendis dan Gilang bergantian. Harusnya aku! Bukan mereka...
Herlam terus menangis, terus meratap. Harusnya aku... bisiknya. Harusnya aku... Berulang-ulang diucapkannya, berkali-kali dia menggeleng.
Tiba-tiba jari Gilang bergerak. Pelan, namun Herlam bisa merasakannya. Secercah harapan merekah dalam dadanya, dan dia nyaris tak berani bersuara. Menahan napas, Herlam bertanya, Gilang"
Gilang terbatuk. Lemah. Herlam berhenti menangis. Harapan itu sesuatu yang mencengangkan. Berpegangan sedikit saja pada sesuatu, seseorang merasa mampu melakukan apa pun. Seseorang men"dadak merasakan semangat untuk berjuang.
Herlam menatap Gilang, kepala bocah itu terkulai. Napasnya terse"ngal.
Herlam menatap Gendis. Berharap... ya... siapa tahu" Siapa tahu...
Tapi tidak. Gendis tidak bernapas sama sekali.
Herlam membopong Gilang, dengan panik membawanya pergi ke luar kamar. Di luar rumah, dia menuju mobilnya. Mobilnya kini tak beroda. Dia berlari ke jalan raya. Herlam menoleh ke rumah tetangganya, yang dengan sigap menutup, mengunci pintu. Herlam melihat ke rumah tetangganya yang lain. Ada mobil terparkir di sana. Herlam berlari mendekatinya.
Tolong! serunya. Pemilik kamar mengintip Herlam dari jendelanya di lantai dua, lalu buru-buru menutup jendela.
Tolong! Pak Muna, tolooong, Pak!
Tetangganya yang dipanggil Pak Muna, sudah mengenakan
pia"ma, mengunci jendela, lalu menutup tirai. Tak lama, lampu di kamarnya pun mati.
Herlam menggeram karena frustrasi, Dia menendang kaca mobil Pak Muna hingga pecah. Alarm berbunyi nyaring. Rumah Pak Muna masih bergeming.
Sebuah mobil melaju kencang ke arahnya. Mobil Alif. Berhenti di sebelah Herlam, Alif berseru, Laaam!
Alif membuka pintu belakang kiri. Herlam langsung masuk, sem"bari menggotong Gilang. Alif terkesiap melihat rumah Herlam. Dia berlari mendekati pintu rumah. Bunyi krek sesuatu yang dipijaknya menarik perhatiannya. Ketika dipungutnya, Alif sadar itu adalah selongsong peluru.
Herlam panik menyaksikan Alif masih bengong di depan pintu rumahnya.
Aliiif! teriaknya. Alif bergegas kembali ke mobil dan menjalankannya. Lam, ada apa ini" Gilang kenapa"
Herlam mengubah posisi Gilang dan menekan lukanya. Alif merogoh kantong belanja di bangku sebelahnya, memberikan handuk dan gulungan tisu pada Herlam.
Herlam tidak menjawab. Dia sibuk merawat Gilang. Herlam melirik ke depan, menyadari Alif hendak membawa mereka ke mana.
Kita ke pondok, Lif, katanya dengan tegas. Nggak ke IGD 24 jam, Lam"
Pokoknya, kita ke pondok!
Bagian Ketiga: Mim Mim, huruf hijaiah yang membentuk lingkaran. Menandakan kesempurnaan. Manusia bisa dikatakan mendekati sempurna kalau dia menerima dirinya sebagai insan yang tunduk di hadapan Tuhannya, kalau dia ikhlas hidup dan matinya hanya untuk Allah semata, kalau yang dia cari dalam hidup adalah keadaan berpulang pada-Nya dalam keadaan husnul khotimah.
Dalam berjihad, ada banyak cara.
Banyak yang bisa kita lakukan untuk menyebarkan kebaikan kepada sesama.
M ALAM itu cerah, bertaburkan banyak bintang. Di atas pon-
dokan, terlihat bulan yang separuhnya ditutup awan. Jenis malam yang mem"buat orang betah berlama-lama menatap langit, atau meng"obrol mengusir sepi. Hawa sejuk, angin berembus, melenakan, me"nenangkan.
Malam semakin larut, dan kebanyakan orang di pondokan itu sudah terlelap, termasuk KH Mukhlis. Tiba-tiba dia terjaga. Wajah"nya berkeringat, tubuhnya gemetaran, meski jendela terbuka. Dia duduk sembari mengusap wajahnya.
Astaghfirullah... Untuk sesaat ia terdiam, telungkup di samping tempat tidurnya.
La haula wa la quwwata illa billah... Pintu kamar"nya terbuka, dan mungkin mendengar gerakan-gerakan dari dalam ka"mar, seorang santri masuk.
Kyai nggak apa-apa" tanyanya.
Jihad Mim. Akan ada kunjungan dari sahabat, yang masih ada di seberang...
Baik, Kyai... Sepertinya santri itu tidak benar-benar paham, tapi toh dia ke"luar dan melakukan apa yang diminta KH Mukhlis.
Malam yang harusnya hening dinodai derap langkah kaki. Mereka bergerak sesenyap mungkin, tapi tetap, sesekali suara mereka terdengar. Pasukan hitam bergerak diterangi cahaya rem"bulan, dipimpin seseorang bernama Bima.
Mereka mengelilingi pondokan pesantren. Beberapa anggota, termasuk Bima, dengan gesit merayapi tembok.
Sebagian naik ke atap, lalu melompat turun memenuhi serambi dalam pesantren. Mereka saling bertatapan, mengangguk, bergerak dengan sigap memasuki semua pintu.
Bima dan beberapa anggota pasukan mendobrak ruang tengah. Mereka tidak menduga ada yang menanti mereka di sana. Mimbo. Dia berdiri tegak di tengah-tengah ruangan, mulutnya tertutup sor"ban.
Seorang anggota pasukan bergerak ragu, hendak menangkap Mimbo, namun dengan sedikit gerakan saja dari Mimbo, pria itu terlumpuhkan. Para anggota lain panik, kemudian me"nembakkan lusinan peluru ke arah Mimbo.
Mimbo sama sekali tidak tampak gentar. Dia menarik napas dalam-dalam, berkonsentrasi untuk memusatkan tenaga intinya. Peluru-peluru karet itu sama sekali tidak berhasil menyentuhnya.
Dia bergerak dengan indah ke sana-kemari seperti tarian yang memesona sekaligus mematikan dan semua anggota pasukan itu terkapar, mengerang-erang di lantai.
Kalian ini aparat negara. Kenapa melakukan hal nggak benar se"perti ini" Terdengar suara Mimbo, napasnya sama sekali tidak ter"engah, seolah semua gerakan bela dirinya tadi sama sekali tidak menyita tenaga.
Nggak benar gimana" Keberadaan kalian itu membahayakan keamanan rakyat dan negara!
Atas dasar apa" respons Mimbo masih tenang, meski Bima menatapnya dengan amarah meledak-ledak.
Bima tidak bisa menjawabnya, jadi dia diam saja. Dia masih saja mengacungkan senjatanya ke arah Mimbo, meski dia sudah meli"hat sendiri betapa tidak efektifnya senjata itu untuk menyerang Mimbo.
Kalian hanya disuruh atasan... begitu, kan"
Kami mendapat perintah untuk menumpas kelompok teroris di tempat ini!
Mimbo menarik napas panjang. Teroris" Siapa yang teroris sebenarnya" Siapa yang sering menyebarkan teror, yang menimbulkan ketakutan di hati rakyat" Dia mencoba beretorika, tapi dia memaklumi jika Bima barangkali tidak akan menyadarinya. Sebaiknya kalian pergi dari sini. Selagi patah tulang dan lukaluka dalam mereka belum terlalu parah.
Mimbo berbalik, dan Bima dengan pengecut menembakkan senjatanya ke arah Mimbo. Mimbo sudah menduga hal ini akan terjadi. Dengan mudah dia mengelak, peluru-peluru itu menolak
memasuki tubuhnya. Bimo menggeleng-geleng, sulit memercayai adegan di depannya. Dia melontarkan alat kejut listrik. Betapa tercengangnya dia ketika Mimbo mencabut kawat listrik di tubuhnya dan menarik Bima ke tengah ruangan.
Dari mana Anda tahu kami akan datang" Bima menyuarakan pertanyaannya dengan penuh rasa penasaran.
Mim menatapnya, begitu intens sehingga Bima berjengit. Takutilah firasat orang beriman! Karena mereka yang beriman melihat dengan cahaya Allah!
Bima mendengus. Tersenyum melecehkan. Dasar pelawak! hinanya. Dia langsung menyerang Mimbo.
Bima tentunya bukan orang sembarangan, kalau tidak, mana mungkin dia bisa dipercaya mengepalai pasukan. Pada awalnya Bima merasa kemampuan Mimbo setara dengannya. Dia terkekeh melecehkan ketika sepertinya beberapa pukulannya mengenai Mimbo. Ruangan itu dengan segera hancur berantakan. Dinding seolah luluh terkena gempuran mereka, demikian pula perabotan yang ada di sana.
Ternyata Mimbo hanya bermain-main dengan Bima. Bima menyadarinya ketika setelah semua jurus pamungkasnya dia kerahkan, Mimbo sama sekali tidak cedera. Ketika Bima menyadari se"mua jurusnya tidak mempan, Mimbo menunjukkan kepiawaiannya dengan menghantam Bima. Bima nyaris tak merasakannya... dia kaget ketika mendengar bunyi KRAK membahana, dan menyadari suara itu berasal dari dalam dirinya.
Bima masih berusaha menyerang Mimbo, dan dengan meng-
geleng-geleng, Mimbo bergerak lagi. Nyaris tak tampak mata, dia berbalik, dan... KRAK. Suara itu lagi.
Mimbo mematahkan beberapa tulang Bima, dan dengan luka dalam yang dideritanya, Bima pun tak sadarkan diri.
Sebagaimana pondokan di mana pun, yang makin langka jumlahnya di negeri ini, pondok pesantren ini pun memiliki balai pengobatan. Semua perabotannya terbuat dari kayu, sama seperti semua ruangan di pondok pesantren itu. Di rak buku dalam ruangan itu terhadap mushaf salinan tangan yang sungguh lang"ka: BULUGHUL MAROM, SUBULUS SALAM, dan NAILUL AUTHOR. Setelah rak buku, terdapat ranjang berderet-deret. Di sana, Bima dan pasukan hitamnya tergeletak. Mereka tak sadarkan diri, sementara para santri hilir-mudik merawat mereka. Be"berapa orang mendapatkan terapi akupunktur, ada yang ditotok, ada pula yang dibaluri berbagai cairan kental berbau herbal.
Bima, sebagai seseorang berkemampuan cukup tinggi, yang pertama sadar. Dia membuka matanya sedikit, melihat seorang santri berbicara kepada KH Mukhlis.
Kebanyakan mereka mengalami patah tulang dan luka dalam. Lebih baik mereka dirawat di sini, Kyai. Cuma kita yang mengerti cara menangani cedera seperti ini. Rumah sakit tidak bisa merawat mereka sebaik kita. Mereka akan membutuhkan waktu sangat lama...
Kalau begitu, rawat mereka baik-baik. Semoga sakit yang me-
re"ka alami akan mengikis dosa-dosa mereka... sahut KH Mukhlis.
Baik, Kyai. Luka terparah diderita kepala pasukan itu, Kyai. Bima merasa santri itu menunjuk ke arahnya. KH Mukhlis meng"hampirinya. Assalamu a laikum... sapanya. Bima memejam dan kembali tidak sadarkan diri.
Mim sedang memberikan tausiyah pada para santri di pondokan itu. Pakaiannya gamis sederhana, demkian pula penutup kepalanya. Gerak-geriknya lemah lembut. Namun kata-katanya tegas.
Kita adalah kesatria yang harus terus berjuang, dan apabila kita gugur sebagai seorang wira, itu adalah perbuatan mulia. Kita ad"alah simbol perlawanan. Berdiri di garda terdepan, kita harus siap menjadi tumbal bagi yang lainnya agar mereka bisa bebas dan tenang beribadah. Agar agama ini bisa terus berkembang, agar para penganutnya bisa terus mengamalkannya.
Jihad! seru Mim, berapi-api. Jihad tidak selalu menggunakan ini... Mim mengepalkan tinjunya. Jihad bisa juga dilakukan dengan menggunakan ini... Mimbo menunjuk kepala, ...dan ini! Dia menunjuk dadanya. Jihad bisa dilakukan dengan menyebar"- kan kebaikan. Tetap berperilaku baik pada sesama. Menjadi pela"- yan Allah. Melayani kebutuhan orang banyak. Itulah jihad yang sebenarnya! Menjadikan diri kita bermanfaat, bagi alam semesta. Ayo berjihad!
Di dalam ruangan itu menggema imaji yang sungguh kuat. Mereka teringat ketika mereka melakukan berbagai kegiatan so-
sial. Tanpa meminta pujian apalagi bayaran, dengan sukarela mereka membantu penduduk di sekitar dengan ramuan herbal dan terapi. Mereka membagikan hasil kebun mereka kepada sesama.
Yang mereka lakukan, yang para tetangga mereka lihat, berbeda de"ngan yang diberitakan di media massa. Mereka bukan teroris yang senang menimbulkan kegemparan dan ketakutan.
Mereka manusia biasa. Yang menjadikan upaya membantu meringan"kan beban orang lain di sekitarnya sebagai hal yang biasa. Mereka manusia biasa. Yang kadang khilaf dalam berkatakata. Mereka manusia biasa, yang kadang terbawa emosi.
Tapi mereka sama sekali bukan orang yang diliputi benci dan getir, yang dengan sukarela menyakiti.
Mimbo memberikan pengarahan pada para pasien yang mengitari ko"lam pancuran di serambi padepokan. Wudu... wudu adalah terapi yang menggunakan air. Wudu dapat merangsang irama alami tubuh, khususnya di titik-titik saraf. Sewaktu berwudu, 61 dari 66 titik refleksi kita tersentuh. Seperti yang kita ketahui bersama, ada 700 titik istimewa di tubuh kita, yang terhubung dengan organ dalam...
Di halaman pondok yang berfungsi sebagai dojo padepokan, seorang santri murid Mimbo sedang mempraktikkan gerakan salat. Para warga di sekitar berjubelan. Sebagian karena penasaran, seba-
gian skeptis, sebagian pula ingin tahu sebenarnya apa sih pentingnya gerakan ini.
Semua penyakit bisa disembuhkan dengan cara ini. Kalau sudah sembuh, agar tetap terjaga kesehatannya, biasakan lakukan ge"rak"an-gerakan ini. Darah tidak bisa memasuki urat saraf ke otak, kecuali ketika seseorang melakukan gerakan sujud seperti ini...
Mereka semua menyaksikan murid Mimbo mempraktikkan gerakan sujud.
Urat saraf membutuhkan darah untuk asupan otak. Kalau tidak rutin mengerjakannya minimal lima kali sehari, pasokan darah ke otak kurang memadai sehingga tidak bisa berfungsi secara normal...
Para warga mengikuti gerakan yang dicontohkan. Beberapa masih kelihatan kaku. Lama-lama mereka semakin fasih, seiring berlalunya waktu dan banyaknya mereka latihan.
Adakah negara yang sempurna" Kita, manusia,
mungkin hanya bisa mengupayakannya.
M IMBO sedang merapikan beberapa wayang kulit yang berada
di perpustakaan. Tiap memegang sebuah wayang, Mim tersenyum sendiri, seolah punya kenangan khusus.
Semua karakter... dan ilmu kanuragannya, punya arti. Semua ada ilmunya.
Bukannya ini haram ya, Ustaz" Kan menyerupai manusia... sanggah salah seorang santri yang berada di sana.
Memangnya manusia bentuknya seperti ini" Mimbo mengangkat salah satu wayang. Dia tersenyum. Halal dan haram kita kembalikan ke mazhab masing-masing, ke keyakinan masingmasing. Kyai Mukhlis, guru saya, tidak pernah melarang hal ini...
Tiba-tiba Ustaz Samir muncul di dekat sana. Dia mendengarkan kata-kata Mimbo, dan berkomentar, Memangnya wayang-wayang ini ada manfaatnya"
Keyakinan Dikenal juga dengan nama Sunan Kalijaga. Tentu kalian pernah dengar nama ini" Beliau menggunakan wayang-wayang ini sebagai media penyebaran Islam di tanah Jawa. Banyak orang di tanah Jawa yang menganut agama Islam, dikarenakan wayang-wayang ini... mereka pun dijauhkan dari kemusyrikan.
Jauh dari kemusyrikan, tapi apakah semakin dekat dengan ke"mungkaran" Ustaz Samir terdengar sangsi.
Mimbo menjawab dengan sabar. Barang siapa yang melihat kemungkaran, hendaklah dia mengubah dengan tangannya. Kalau dia tidak mampu, ubahlah dengan lisannya. Kalau dia tidak mampu juga, dengan hatinya. Yang demikian itu selemah-lemahnya keimanan.
Ustaz Samir berbicara pada para santri lainnya. Yang paling utama ya, dengan tangan! Karena itulah Ustaz Mim jago bela diri!
Ini kan juga dengan tangan... kata Mimbo, memain-mainkan wayang. Kata-kata yang santun, indah didengar, dan doa yang terus dipanjatkan dari hati nurani.
Marwan dan beberapa santri lainnya mendekati Mimbo. Assalamu a laikum, Ustaz...
Wa a laikumsalam. Kami mau bertanya, Ustaz, bolehkah"
Ketika Mimbo menyilakan, Marwan berkata, Kami semua bi"ngung. Begini, orang-orang di ruang medis. Mereka kan hendak menghabisi kita, Taz. Mereka bahkan menembaki Ustaz! Kenapa kita malah merawat mereka" Harusnya kan kita menghukum mereka!
Mimbo berkata, Apa hak kita menghukum mereka" Ini kan wilayah kita. Kita berhak menegakkan hukum syariat di wilayah kita sendiri, kan"
Mimbo menatap Marwan lekat-lekat. Ini wilayah NKRI. Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Bukan negara kita itu, Ustaz! Itu negara tak bertuhan! Mimbo berusaha menenangkan Marwan. Sabar... Istighfar. Marwan menunjuk pada sesuatu yang dipajang di dinding. Dulunya bernama Pancasila, sekarang silanya tinggal empat.
Siapa pun yang belajar sejarah pasti tahu, dulu namanya Pancasila. Panca, artinya lima! Tapi sekarang satu sila sudah dimusnahkan. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa . Ke mana sila itu sekarang" Dulu semua warga negara wajib memiliki agama. Sekarang" Nada sua"ra Marwan meninggi. Pemerintah Setan sudah membuang sila itu! Negara ini berubah menjadi negara liberal dan sekuler... sama sekali tidak mengenal Tuhan! Sekarang banyak orang tidak memi"liki Tuhan. Negara apa ini coba, Ustaz" Apa lagi namanya kalau bukan negara setan" Marwan mengepalkan tinju.
Astaghfirullah al adzim, Wan. Istighfar! Jangan biarkan nafsu me"ngendalikanmu. Jangan biarkan nafsu menjadi dasar bagimu melakukan hal-hal yang benar! Nanti akan menjadi pembenaran!
Marwan dan para santri terdiam.
Ustaz... saya ingin Ustaz mengingatnya. Ayah dan kakak saya me"ninggal... dieksekusi pasukan pembunuh yang mereka kirim! Tanpa ada pengadilan. Tanpa pembelaan. Tanpa ada siapa pun yang bisa mempertanggungjawabkannya!
p u s t k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
Marwan... dan para santri lainnya. Saya tidak pernah membenarkan apa yang Negara ini sudah dan akan lakukan. Saya tahu catursila ini tidaklah ideal bagi kita. Sama sekali tidak sempurna. Mereka semua merenung, teringat sila-sila Indonesia yang tidak lagi lima. Sila yang harusnya menjadi pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, barangkali sudah dilupakan generasi muda. Sila itu sege"ra dicabut sejak negara ini memutuskan agama tidak lagi dianggap perlu. Tapi coba pikirkan. Adakah negara yang sempurna" Semua memiliki cacat. Semua memiliki kekurangannya. Sama seperti kita. Iya, kita, manusia... Kita dilahirkan di sini, mungkin karena Allah ingin kita memperbaikinya. Membawanya ke arah yang lebih baik, menuju kesempurnaan. Saat itulah negara bisa menjadi surga bagi rakyatnya. Dan kelak, memiliki harapan untuk mendapatkan surga yang hakiki.
Tapi, Ustaz, Marwan masih ingin menyanggah, bagaimana mung"kin rakyat bisa masuk surga-Nya, kalau mereka tidak percaya akan keberadaan Tuhan" Mana mungkin mereka bisa masuk surga, kalau tidak meyakini keberadaan neraka"
Tiga kata yang harus kita amalkan. Sabar... taat... ikhlas! kata Mimbo.
Marwan terdiam mendengar kata itu. Hatinya masih tidak puas, dan dia masih diliputi amarah, ketika meninggalkan ruangan Ustaz Mimbo.
Kita semua punya sesuatu yang akan kita bela sampai titik darah penghabisan.
B IMA terbaring. Bernapas. Hanya itu sepertinya yang mampu
dia lakukan, itu pun dia kepayahan. KH Mukhlis dan para santri mengamati Bima dengan saksama.
Dokter Ali ke mana" tanya KH Mukhlis.
Sedang ke Farmasi, Kyai. Membeli peralatan dan obat, jawab seorang santri.
Yang satu ini membutuhkan penanganan segera. Maksud Pak Kyai, operasi"
KH Mukhlis mengangguk. Luka dalamnya serius. Harus segera kita tangani.
Mimbo memasuki ruangan. Dia menatap Bima dan menggeleng-geleng. Menyesal tidak ada gunanya, pikirnya. Menyesal hanya akan menghambat segalanya. Tetap saja, dia manusia, punya nurani, dan Mimbo menyesal karena harus menyakiti Bima separah itu. Maaf... bisiknya, sembari menitikkan air mata.
Konflik Batin kejadian ini. Kamu sudah selesai membimbing, hari ini" tanya KH Mukhlis.
Sudah, Kyai... Kalau begitu, bantu saya!
KH Mukhlis juga merupakan seorang dokter. Dia berusaha me"nyelamatkan Bima, dibantu Bimo dan beberapa santri.


Alif Lam Mim Karya Primadonna Angela di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bunyi sirene yang nyaring di luar sana memecahkan konsentrasi mereka. Mobil-mobil polisi dan pasukan khusus mengepung pondok pesantren itu.
Seorang santri memasuki ruangan. Matanya liar, menatap ke sana-sini, napasnya terengah.
Polisi... ada banyak polisi, Kyai! Di depan gerbang!
Kapten Rama, di luar pondokan, membawa pengeras suara. Tak lama setelah kedatangan polisi, bermunculan pula mobil dari ber"- bagai stasiun TV. Berbagai reporter dan cameraman berhamburan ke luar, mengerubungi pondokan di belakang polisi. Mereka memenuhi bagian garis kuning dan andai bisa menembusnya, pasti mereka akan melakukannya.
Kalian sudah dikepung! Silakan menyerah! Serahkan pimpinan kalian sekarang juga! kata Kapten Rama, suaranya lantang dan tegas, dan terdengar jelas di berbagai penjuru.
Ah, pekerjaan kali ini mudah saja, pikir Rama. Seolah mereka sudah ada di tangan. Kapten Rama menyeringai, membayangkan peng"hargaan yang akan diterimanya begitu semua ini selesai.
* * * Semua orang di ruangan ini bergerak-gerak gelisah, kecuali Mimbo dan KH Mukhlis.
Tahan mereka dulu, Mim! Jangan biarkan mereka masuk dan melihat ini semua! instruksinya pada Mimbo.
Maaf, Kyai. Bukankah lebih baik mereka tahu apa yang sebenarnya kita lakukan" Biar mereka bisa melihat dan menilai sendiri"
Mereka belum siap, Mim. Para pasukan yang kita rawat ini, di mata mereka, statusnya sudah berubah. Copromised. Kalau mereka kembali ke markas, mereka akan diinterogasi. Mungkin saja akan disiksa. Sejak saat ini, mereka tidak akan bisa dipercaya lagi...
Bima mendengar semua percakapan ini. Dia mengambang antara sadar dan tidak, jadi dia tidak terlalu yakin yang didengarnya itu sungguh terjadi atau hanya ada dalam mimpi. Dia jadi bertanya-tanya. Dia ingin tahu, mana kebenarannya" Seolah ada kon"- flik batin dalam tubuhnya yang tidak bisa disuarakan. Mungkin dari dulu sebenarnya dia sudah bertanya-tanya, tapi masih ragu. Sekarang dia semakin bimbang. Berada di sini, Bima merasa pondokan ini jauh sekali dari gambaran yang ada dalam benaknya dulu.
Saat ini, semua pasukan ini sudah dianggap mati oleh para pemimpinnya. Kamu paham maksud saya, Mim"
Mim mengangguk. Paham, Kyai. Dia meninggalkan ruangan menuju pintu gerbang. Ketika ada yang hendak diperjuangkan,
langkah pun terasa ringan. Mim menguatkan tekad untuk melindungi padepokan. Seiring langkah yang digerakkan Mim, tercurah hujan dari langit, mengiringi kepergiannya.
Kapten Rama memberi isyarat, dan anak buahnya langsung siaga. Mereka bersiap-siap menyerbu. Belasan pasukan khusus berdiri lebih tegak, sadar bahwa mereka sedang disorot. Dalam benak mereka, mereka membayangkan tajuk berita yang akan dituliskan, kata-kata yang akan diucapkan para reporter kepada para pemirsa. Mereka akan menjadi pahlawan, itu jelas, ketika membasmi teroris sampai ke akar-akarnya.
Akan tetapi, kepongahan dan kepercayaan diri mereka terkoyak keti"ka mendapati diri mereka tidak bisa masuk. Tubuh-tubuh mereka terpental ke belakang, ekspresi wajah mereka menyiratkan ketakjuban. Tim penyelamat menarik tubuh-tubuh itu, wajah mereka sama bingungnya.
Seluruh mata yang ada di sana tertuju pada sesuatu yang bergerak ke luar pintu gerbang. Dia adalah Mimbo. Jubah petarungnya berkibar. Sorbannya menutupi hidung dan mulut, menambah kegarangan penampilannya.
Ada kalanya kita tidak bisa percaya begitu saja.
T OKOH yang kami cari selama ini, telah ditemukan. Akhir-
nya, untuk pertama kalinya setelah perburuan panjang, kita semua bisa beraktivitas seperti biasa kembali. Kita bisa tidur nyenyak... berekreasi... kita tidak perlu takut dengan adanya teror bom lagi. Pejabat itu berkata dengan wajah semringah.
Wartawan yang mewawancarainya berkata, Kami dapat bocoran, ada banyak pasukan khusus pemerintah yang masih disandera kaum agamawan. Apakah hal ini benar, Pak"
Ah, dengar dari mana" Berita bohong itu! Hoax! Reza, wartawan dari Libernesia, memotong. Apa publik boleh ber"interaksi dengan tersangka"
Pejabat itu menatap Reza, tajam. Lho. Untuk kepentingan apa" Tersangka kan bukan objek wisata! Kalian lihat mereka dari ru"mah saja, via televisi atau internet.
Para jurnalis saling bertatapan.
Konferensi Pers Jurnalis kan mata dan telinga masyarakat. Harusnya kami diberi akses untuk mewawancarai mereka...
Pejabat merenungkan kata-kata Reza. Hmmm. Yah, kenapa nggak" Kalian boleh interaksi langsung nanti, tanya-jawab dengan ter"dakwa... eh, maksud saya, tersangka. Besok... Pejabat itu menoleh ke belakang, ke para jenderal yang berdiri di sana. Ya, besok bo"leh. Oke, terima kasih semuanya! Para wartawan terus mencecar, namun sang pejabat bergegas turun podium dan meninggalkan tempat konferensi pers itu.
Reza menyipit. Ada yang tidak beres, pikirnya. Naluri wartawannya terusik.
Bantuan kadang datang dari tempat tak terduga
M OBIL Alif berhenti tepat di depan pintu masuk pondok pe-
santren Al-Ikhlas. Herlam keluar dari pintu belakang sembari mem"bopong Gilang. Alif menyusul di belakangnya.
Beberapa santri masih berjaga di sana. Mereka masih berjagajaga sejak KH Mukhlis diamankan oleh polisi. Bono menatap sinis Alif dan Herlam, namun ekspresinya berubah begitu melihat Gilang.
Bon! Tolong, Bon. Gilang!
Bono bergegas membuka jalan. Minggir! Ayo kasih jalan! Herlam membopong Gilang memasuki pondok pesantren. Kedatangan Gilang menyebabkan kegemparan di sana. Semua mem"perhatikan Gilang, ada yang beristighfar melihat darah yang mengucur dari tubuh Gilang. Beberapa berlari mendahului mereka, ada yang awalnya membaca Alquran terkesiap dan mengambil brankar. Beberapa mendadak lari ke mesjid.
Pertolongan pondok di sekitarnya. Semua ini tidak seperti yang dibayangkannya. Di mana senjata yang dipikirnya akan mereka gunakan untuk membuat kekacauan" Mana para laskar yang sedang berlatih, yang bersiap-siap menggunakan kekuatan mereka untuk menghancurkan perdamaian" Alif hanya menyaksikan beberapa santri yang ber"doa, menelaah Alquran dan membaca, dan berdiskusi. Ke mana para santri berangasan yang ada di dalam benaknya"
Melalui pengeras suara, pengelola mesjid berkata, Assalamu- a laikum warahmatullahi wa barakaatuh. Panggilan kepada Dokter Ali, saudara Lutfi, dan timnya ke IGD sekarang juga. Sekali lagi kepada Dokter Angga, Dokter Ali, Saudara Lutfi dan timnya, harap segera menuju IGD...
Gilang dibaringkan di atas brankar, didorong langsung ke IGD. Mereka semua masuk ke ruangan IGD.
Alif tercengang menyaksikan interior bagian Medical. Sungguh tidak diduganya, pondok pesantren memiliki fasilitas seperti ini. Mes"ki sederhana, pondok pesantren bisa membantu banyak pasien. Peralatannya banyak yang kuno, bahkan seadanya, namun dari atmosfer di sana, Alif merasa tempat itu jauh lebih menenangkan dan menyenangkan daripada rumah sakit kebanyakan.
Iringan brankar Gilang hampir mencapai IGD ketika mereka ber"papasan dengan Dokter Ali. Dokter Ali menanyakan kondisi Gilang sembari terus berjalan, mengenakan jas dokter.
Herlam mengucapkan salam, yang dibalas dr. Ali. Dokter Ali bertanya apa Herlam adalah keluarganya.
Saya ayahnya, Dok... Ini... Dokter Ali menatap Gilang lekat-lekat. Dia sulit me"- ngenali jenis luka yang diderita Gilang.
Luka tembak, Dok. Menggunakan peluru tajam. Alif dan kedua dokter itu kaget. Bono menahan Lam dan Alif di luar pintu IGD. Sementara itu, perawat yang mengenakan hijab berbicara kepada Herlam.
Maaf, Pak, bisa saya minta data...
Bono segera memotong ucapan suster itu. Nanti saja, Nin. Nanti. Bono berbicara pada Herlam, Tunggu di sini dulu ya. Duduk di sini dulu aja.
Herlam dan Alif duduk di bangku plastik yang ditunjuk Bono. Samar, mereka bisa mendengar suara Bono yang berbicara pada perawat.
Yang luka itu keponakan Ustaz Mimbo. Perawat mengucapkan asma Allah, kaget.
Alif terlalu sibuk dengan benaknya sehingga tidak menyadari keberadaan dua santri muda di hadapannya. Mereka mungkin berusia 7 tahun, paras mereka yang polos menyejukkan hati Alif, entah mengapa. Mereka menyodorkan air mineral pada Herlam dan Alif, yang mengucapkan terima kasih pada mereka. Dua bocah itu merapikan kotak air mineral di sana, lalu membawa beberapa kotak menyusuri koridor.
Lam menunduk, sesekali memijat pelipisnya. Alif merasa tak berdaya karena tidak bisa berbuat apa-apa. Maka dia menyusuri koridor, mengikuti kedua santri muda tapi. Ketika menyaksikan Bima dan belasan pasukannya terbaring di sana, jelas-jelas mene-
ri"ma perawatan, Alif sampai mengambil langkah mundur dua sampai tiga kali, karena sulit memercayainya.
Malam itu, Alif merasa mendapatkan kejutan bertubi-tubi. Dia pi"kir Bima telah berpulang. Dia pikir Bima telah... tewas, di tangan para teroris, dan dia malu sempat berpikir seperti itu. Bima memang tidak berada dalam kondisi terbaiknya, tapi jelas-jelas dia masih hidup.
Alif mengamati perban yang membalut tubuh Bima, bertanyatanya cedera apa yang dideritanya sampai tak sadarkan diri seperti itu. Alif menghela napas, dan seolah mendengar suara lembut itu, mata Bima terbuka. Mata Bima mengerjap, pandangannya berusa"- ha difokuskan pada Alif.
Lif... selama ini gua salah, ternyata. Kita semua salah... Mata Alif memerah. Berkaca-kaca menahan emosi. Udah... elu istirahat aja, Bim. Cepat sembuh... Kalau penyesalan adalah tali, benda itu membebat sekujur tu"- buh Alif, membuatnya sesak, kesulitan bernapas. Dia teringat pernah berada dalam situasi serupa dulu. Dirawat di ruangan yang sama... Alif hanya bisa menyesal, karena selama ini dia be"- gitu dibutakan emosi dan barangkali ambisi.
Makam itu sederhana saja. Sepetak tanah yang baru digali, dengan penanda dari kayu. Makam terbaru di area pondok pesantren Al Ikhlas.
Lam menolak beranjak dari sana, meski timbunan tanah terakhir telah diletakkan, bunga terakhir sudah ditaburkan. Sulit per"caya tempat ini memuat jasad istrinya. Dia ingin berlama-lama di sana, entah mendoakan, atau mengenang tahun-tahun yang mereka lewati bersama. Berat sekali bagi Lam untuk meninggalkan pusara istrinya. Di dekatnya, Alif menemani dalam diamnya. Dia tak punya kata-kata untuk menghibur Lam.
Mim menghampiri Lam dan Alif, mengucapkan salam. Lam dan Alif menjawabnya. Mim tersenyum karena Alif tidak biasanya mau menjawab, tapi tidak berkomentar apa-apa.
Insya Allah adik sepupuku meninggal dalam keadaan syahid... Meski kata-katanya terdengar tegar, mata Mim tetap membasah. Dia mengusapnya dengan tangan.
Gilang bagaimana, Mim" tanya Herlam.
Alhamdulilllah. Keadaannya stabil. Pelurunya sudah dikeluarkan. Sudah diberi ramuan buatan Kyai juga. Insya Allah semoga besok kondisinya membaik...
Lam manggut-manggut mendengar penjelasan Mim. Mim berjalan perlahan ke tebing. Dia melihat hamparan tanaman hijau yang melimpah. Namun semua itu seolah dikerumuni gedung-gedung pencakar langit yang merajalela di kejauhan.
Di sini, di tempat asri seperti ini, dunia modern dan hedonis"me seolah terasa jauh. Pemukiman di sekitar pondokan bentuknya bermacam-macam, sesuai kepribadian pemiliknya, namun mereka hidup bahu-membahu. Mim bisa melihat para tetangga sering bertegur sapa, tolong-menolong, komunitas yang ideal di matanya. Dia melihat masjid, perkebunan. Semua rapi dan dijaga dengan baik.
Ini semua... Pandangan Mim kini tertuju pada Ruang Medis dan perpustakaan, di antara pepohonan dan tumbuhan menghijau. Ini merupakan perwujudan mimpi Gendis sewaktu kecil.
Lam mendengar kata-kata Mim, dan mulai memperhatikannya.
Keharmonisan. Semua berkumpul untuk satu tujuan... Rahmatan lil alamiin. Semua aliran dan mazhab yang berbedabeda, dalam satu ruang! Tidak ada yang namanya pertengkaran... semua bersatu, meski memiliki perbedaan. Toleransi kata kuncinya. Meski berbeda, semua berpegang teguh pada akidah.
Mereka bersatu di sini kan karena di luar sana nggak ada ruang untuk mereka! Mereka nggak punya pilihan. Satu per satu tempat beribadah dihancurkan... pondokan ini pun pasti sudah dijadikan target. Benar kan, Lif" Herlam kesulitan mengekang emosinya.
Alif menggeleng-geleng. Dia masih tak mampu berkata-kata. Lam, apa ini semua nggak cukup" Apa semua ini nggak cukup untuk membuat kita bersyukur"
Lam mendengus. Siapa yang bertanggung jawab atas semua ini, Mim" Pak Kyai, kan" Sekarang dia dipenjara karena tuduhan mengada-ada! Masa kita berdiam saja di sini, dan mensyukurinya" Masa kita diam saja, sementara... sementara orang yang melakukan ini... Lam menunjuk makam Gendis. ...masih berkeliaran be"bas di luar sana. Dia pasti akan tetap menyakiti orang lain. Kita hanya diam-diam saja di sini, bersyukur" Air mata Lam menetes semakin deras.
Alif diam saja, memain-mainkan selongsong peluru tajam yang ditemukannya di rumah Lam. Pencerahan menghampirinya.
Pasti Rama! Kapten Rama yang melakukannya. Selongsong peluru tajam ini milik dia!
Yang masuk ke badan Gilang memang peluru tajam, Lif. Bukan karena itu Gendis meninggal! Gendis meninggal karena organ-organ tubuh dalamnya hancur... terkena pukulan tenaga inti. Elu yakin Rama daya tempurnya sehebat itu"
Alif terperangah mendengarnya.
Ya, tetap saja, kita harus mencarinya! Memangnya lu tahu tempat tinggalnya"
Mim berdeham. Kalian mau apa" Main hakim sendiri" Daripada diam saja" sergah Lam.
Dendam hanya akan menghancurkan diri kita, Lam... Bukan soal dendam ini, Mim! Insya Allah gua ikhlas kalau ini akhir perjuangan Gendis. Tapi ini bukan akhir dari perjuangan gua!
Kita harus menangkapnya! Dan serahkan pada pihak berwajib.
Pihak berwajib" kata Alif, bernada sinis. Kapten Rama itu termasuk pihak berwajib. Gua juga termasuk!
Setelah ini semua, elu masih percaya pada pihak berwajib, Lif" tanya Herlam.
Islam tidak pernah mengajarkan makar! Kita tidak dididik untuk menjadi pemberontak! kata Mim.
Begini ya, Mim. Guru elu... dokter dan ahli botani yang ber-
jasa banyak bagi sekitarnya, ditangkap mereka. Elu yakin mau diam aja" tanya Lam.
Kita menyiapkan pengacara yang bagus utnuk mengatasi hal ini. Biar pengadilan yang menentukan.
Kyai tidak akan sampai ke pengadilan! potong Alif. Herlam dan Mimbo menatap Alif. Tatapan mereka seolah bertanya-tanya, apa maksud Alif.
Mim. Semua ada polanya. Gua ngerti maksud Alif. Gua yakin, Pak Kyai akan meninggal. Entah dalam penjara, atau ada kece"lakaan saat tahanan dipindahkan. Sama seperti para kyai dan ula"ma di masa silam. Selalu begitu. Sekarang elu ngerti kan kenapa kita nggak bisa diam saja!
Mim terdiam, mencerna informasi ini. Tiba-tiba telepon genggam Alif berbunyi. Dia membaca pesan di telepon itu dengan dahi berkerut.
Kolonel Mason. Atasan gua. Kepala pasukan khusus Divisi 5. Dan dia mau ketemu gua!
Mereka semua bertukar pandang. Ekspresi mereka semua penuh tekad. Mereka tahu, harus mencari siasat, harus mengatasi segala kerumitan ini.
Tapi dengan cara apa"
Ketika penyesalan tiba, kadang kita berharap andai bisa mengulang kembali segalanya...
K ANTOR Pasukan Khusus malam itu tampak sibuk. Mobil-
mobil silih berganti menghampiri. Ketika satu mobil berhenti di parkiran, suasana mendadak menjadi lebih tegang. Selalu begitu, ketika komandan kembali ke markas.
Kolonel Mason keluar dari mobil, bersama para ajudannya. Mereka menuju ruangan yang jarang dikunjungi. Ruangan khusus tempat mereka menginterogasi. Biasanya tugas seperti ini dilakukan oleh anak buahnya, tidak oleh Mason.
Rahang Kolonel Mason terkatup erat ketika memasuki ruangan. Ekspresinya semakin kaku menghadapi seorang perempuan yang sedang menatapnya dengan intens.
Tinggalkan kami berdua, kata Kolonel Mason pada para aju"- dan"nya.
Kolonel Mason menarik kursi, Duduk di sana. Dia berhadapan langsung dengan perempuan bermata sembap itu.
Family Matters Lebih penting jabatan ya, di mata Papa" Kenapa Papa memilih untuk memanggilku begitu" Kenapa tidak memanggilku Nayla, se"perti panggilan bapak lain kepada anaknya" Kenapa nggak bertingkah laku seperti ayah dan anak yang normal" Perempuan itu, yang juga dikenal dengan nama Laras, bersedekap, menuntut penjelasan.
Kolonel Mason membalasnya dengan nada tinggi. You know that we are not normal! We are the chosen ones. Kita ini berbeda. Kita istimewa.
Laras memalingkan wajah, menahan tangis. Setelah semua yang terjadi... Papa masih memercayai hal ini" I can t believe it, Dad. Really"
Kolonel Mason menampilkan ekspresi yang lebih garang. Kapten... kuasai dirimu! You don t realize what you have done, do you" Karena perbuatanmu itu, satu keluarga tewas! Semua itu salahmu, tahu! Salahmu!
Laras menatap ayahnya, air mata berjatuhan di pipinya. Dia tidak berkata apa-apa.
Entah karena ekspresi di wajah Laras, atau air matanya, Kolonel Mason semakin gencar mencecar Laras.
Sadar sekarang" Renungkanlah perbuatanmu itu. Gara-gara pikir"anmu yang pendek itu, coba lihat apa yang sudah terjadi! Kamu menyebabkan orang lain mengalami celaka! Keluarga Herlam... tewas karena kamu! Secara nggak langsung, kamulah pembunuh istri dan anak Herlam. Sadar, kamu"
Laras menelan isak tangisnya, tapi air matanya terus mengalir.
Kenapa kamu melakukannya"
Laras tetap bungkam. Mungkin ini membuat Kolonel Mason semakin berang.
Kamu dengan sengaja memberikan data-data itu pada Herlam. Apa alasanmu, Kapten" Kenapa kamu melakukannya" Apa kamu memang ingin mengacaukan semua misi kita"
Baru pada saat itu Laras bersuara. Di antara isakannya yang me"milukan hati, dia berkata, Aku ingin keluar... I don t want to be in this situation anymore. I want to get out!
Kolonel Mason menggeleng-geleng. Mana bisa. Nggak ada yang bisa keluar. Dan itu tidak akan terjadi. Kolonel Mason menyi"pit menatap Laras. Don t tell me. Pasti ini karena Alif. Begitu ya"
Laras tidak mengucapkan apa pun, tapi Kolonel Mason yakin tebakannya benar. Dia menatap Laras, sinis sekali.
Alif penyebabnya" Karena kamu cinta padanya" Cinta. Huh. Virus yang mematikan.
Laras mengalihkan pandangan. Hatinya terluka, matanya perih, dan dia ingin sekali meneriakkan sesuatu.
Tapi apakah ada gunanya" Apakah itu akan membantunya ke luar dari situasi pelik saat ini"
Laras ingin mengulang kembali masa lalu, ingin sekali bisa memilih dengan bijak. Sekarang, semuanya sudah terlambat. Kenapa dia menjerumuskan diri dalam hal ini" Kenapa ketika nuraninya memberitahunya untuk melakukan sesuatu, kendali itu diambil darinya" Laras merasa terperangkap dan tidak berdaya. Alif, oh Alif, pikirnya, tersedu-sedu. Kalau kamu tahu kebe-
narannya, masihkah kamu bersedia mendampingiku" Kalau kamu tahu seberapa banyak dosaku, seberapa dalam aku terlibat dalam se"mua kekacauan ini, bersediakah kamu tetap menjaga janjimu"
Laras ingin sekali percaya, bahwa apa pun yang terjadi, Alif akan tetap berada di pihaknya. Laras ingin meyakini ikatan di anta"ra mereka tetap kuat. Namun logikanya berkata, tidak, mungkin tidak akan mungkin terjadi. Dia dan Alif berada di sisi berseberangan.
Apakah akan terus begitu" Tidak adakah kesempatan kedua baginya dan Alif"
Laras menangis... sebagian menangisi kesempatannya dan Alif yang mungkin telah tiada. Sebagian lagi menangisi dirinya yang malang, yang terjebak dan tidak punya tempat untuk melarikan diri.
Masa lalu dan masa kini. Selalu ada kaitannya, selalu ada benang merahnya.
S UATU hari di masa silam...
Padepokan itu ramai. Oleh murid-murid yang memenuhi hari dengan beragam aktivitas. Kali ini, mereka mempelajari pencak silat. Para murid dibagi berdasarkan kemampuan, dikelompokkan dalam panggung-panggung yang bertingkat-tingkat. Panggung paling rendah diisi para pemula, kebanyakan anak-anak dan mereka yang baru mengenal teknik bela diri ini. Gerakan mereka canggung, keringat mereka mengucur deras. Beberapa melakukannya sembari bermain-main. Namun, semakin tinggi panggungnya, semakin lentur dan lihai gerakannya.
Panggung paling atas diisi para pendekar yang mahir. Mereka memperagakan jurus lebih rumit dengan kemampuan yang menakjubkan. Gerakan mereka sedap dipandang, meski yang menyaksikan tahu gerakan itu tak semata tarian saja. Tarian yang berbahaya bagi musuh mereka. Di panggung paling tinggi, terdapat tiga
Alif, Lam, Mim pemuda. Masih remaja, namun kemampuan mereka luar biasa, tak kalah dengan mereka yang sudah dewasa.
Mereka semua mempelajari teknik bela diri dan pernapasan. Dengan tenaga inti, mereka bisa melakukan banyak hal. Tak hanya melukai. Tenaga itu bisa digunakan untuk kebaikan, untuk menyembuhkan. Mereka yang berada di panggung tertinggi berhasil mencapai tingkatan itu... ketika tenaga inti mereka bisa digunakan untuk menghancurkan, melindungi, atau malah mengobati. Mereka telah melalui tahapan ketika berbagai hal dilontarkan ke mereka, dan mereka tetap bertahan. Pipa besi... kayu... batu bata... semua hancur kalau dilemparkan ke arah mereka.
Guru silat bernama Astaroth berjalan ke sana-sini, sesekali mene"riakkan perintah agar para muridnya melakukan repetisi gerakan. Drill. Latihan yang sama diulang agar murid-murid semakin mahir.
Alif, Lam, dan Mim berdiri di bagian paling depan. Mereka murid-murid terbaik di sana.
Latih terus tenaga inti kalian! Latih pernapasan dan kemam"- puan kalian dengan kekuatan alam. Beberapa dari kalian sudah kebal bila terkena senjata tumpul. Nanti kalian juga bisa menahan sen"jata tajam, bahkan api, hanya dengan menggunakan tenaga inti! seru Astaroth.
Para murid menatap lurus kepadanya, menanti instruksi berikutnya. Lam! Dimas! Fight!
Lam remaja bertubuh lentur dan tinggi, Dimas, lawannya, lebih gem"pal dan tampak lebih tangguh. Penampilan bisa menipu. Tak butuh waktu lama bagi Lam untuk mengalahkan Dimas.
Mim! Alif! Fight! seru Astaroth.
Alif dan Mim maju ke depan, mengambil kuda-kuda. Pertarungan Lam dan Dimas tadi, tidak ada apa-apanya. Mim dan Alif sama-sama berkemampuan tinggi. Selama mereka bertarung, beberapa senjata dihantamkan ke tubuh mereka, semua hancur berantakan.
Para penonton menahan napas ketika Alif menggerakkan tinjunya. Yang lain terperangah ketika Mim dengan sigap mengelak dan melancarkan serangannya pula. Alif lebih agresif dan gesit, namun Mim lebih sabar dan akurat dalam menyerang. Alif lebih banyak dikendalikan emosi, sehingga beberapa serangannya melenceng, sehingga Mim-lah yang menang.
Mim masih menjadi murid terbaik! seru Astaroth. Kekuatan jurus dan ilmu pernapasannya...
Kata-kata sang guru terpotong teriakan remaja yang berlari memasuki pelataran padepokan. Matanya liar melihat ke sanakemari, napasnya terengah. Dia menunjuk-nunjuk ke suatu tempat.
Lif! Alif! Rumah lu, Lif! katanya.
Lam dan Mim berlari mengikuti Alif, diikuti beberapa murid lain"nya. Adrenalin yang mengalir karena pertandingan tadi kini kembali mengucur karena cemas. Dalam perjalanan ke rumahnya, Alif, Lam, dan Mim terperangkap dalam huru-hara massa. Para pasukan bersorban merah dan hitam saling bertempur, namun mereka juga berusaha menghajar siapa pun yang berada di sekitar mereka. Alif dan teman-temannya kesal melihat perilaku mereka
yang membahayakan penduduk sekitar, sehingga dalam perjalanan mereka ikut menghajar beberapa pasukan bersorban itu.
Alif beristighfar menyaksikan rumahnya yang mulai dilalap api. Langkahnya gemetar ketika melihat semua itu, mencatatnya dalam memori.
Kenapa ini bisa terjadi" Kenapa semuanya jadi kacau begini" Bu"kankah hanya selang beberapa jam sebelumnya, semuanya baik-baik saja" Dan oh... keluarganya...
Hati Alif mencelus melihat banyak orang yang merubungi rumahnya. Bukan untuk membantu, melainkan untuk menjarah! Amarah mulai merasukinya, dan sembari memekik dia mengusir para penjarah, dibantu murid-murid padepokan lainnya.
Di dalam rumah, Alif melihat beberapa orang yang wajahnya ditutup kain sedang memukuli ayahnya. Murka, dan membiarkan emosi menguasai diri, Alif menyerang mereka semua. Beberapa berhasil dijatuhkan Alif, namun ada yang mengeluarkan pistol dan menembaki Alif, juga keluarganya.
Tembakan pertama tidak berhasil merobohkan Alif. Dia terus menerjang, sehingga dia kembali ditembaki. Peluru tajam mengenai tubuhnya, tetap saja Alif berusaha untuk bangkit.
Sang penembak menatap Alif, sulit untuk memercayainya. Dia kagum sekaligus ngeri dengan kemampuan Alif. Salah satu orang hendak menembak Alif kembali, namun pemimpin gerombolan itu melarangnya. Mereka memberi isyarat dengan tatapan mata dan tangan, kemudian meninggalkan tempat itu.
Alif, berdarah-darah, berusaha bangkit, mendekati orangtuanya. Sekali lihat saja, Alif sadar orangtuanya telah tiada. Tetap saja dia
berusaha menyentuh mereka. Tubuh mereka hangat. Mata mereka mem"belalak, menatap kosong. Alif memeluk mereka berdua, menangis dan menangis. Dia merasa tak berdaya. Dan marah karena tak mampu mencegah hal ini. Buat apa ahli bela diri kalau orangtuanya sendiri tewas ketika dia tidak ada buat melindungi"
Lam dan Mim sibuk di belakang, melindungi orang-orang dari pa"sukan bersorban. Mereka masuk rumah, mendapati Alif memeluk kedua orangtuanya. Api berderak, mendedas, dan suasana pun semakin panas. Lam dan Mim menarik Alif dengan kesulitan, karena sepertinya Alif lebih memilih berada di sisi kedua orangtuanya yang telah tiada. Alif mencengkeram jasad ayahnya begitu erat, sehingga gelang tasbih ayahnya terbawa olehnya. Di detikdetik terakhir Alif menatap wajah ayahnya, dia melihat kehampaan, keputusasaan... dan entahlah. Dia merasa ayahnya hendak meng"ucapkan sesuatu, tapi pesan terakhir ayahnya tidak akan pernah dia ketahui.
Alif terjaga dengan sebuah sentakan. Dia hendak bergerak, namun merasakan nyeri di anggota tubuhnya. Dia mengerjap dan menyadari tubuhnya dibebat perban. Kepalanya pening, dan ketika Alif berusaha menyentuhnya, dia menyadari kepalanya juga diperban.
Dia berusaha mengira-ngira di mana dia berada. Bukan di rumah sakit, putusnya. Baunya tidak seperti itu. Di sini lebih wangi rempah-rempah, bukan cairan antiseptik. Dia berusaha untuk duduk, meringis menahan nyeri. Di ruangan itu terdapat puluhan
ranjang berisi orang-orang lain yang sedang diobati. Alif melihat KH Mukhllis mengerahkan tenaganya untuk memulihkan para pa"sien, dibantu asistennya. Alif menaikkan alis menyadari mereka sepertinya adalah korban kerusuhan.
Herlam, yang duduk di dekat Alif, memanggil Mim ketika menyadari Alif telah sadar.
Abi" Umi" tanya Alif. Dia sebenarnya tahu jawabannya. Tapi dia tetap ingin berharap...
Kalau harapan adalah piring porselen, sekarang piring itu han"cur berke"ping-keping. Alif menelan isakannya. Tetap saja air mata mende"sak ke luar... Dia mengepalkan tangan dan menyadari dia ma"sih me"megang gelang tasbih milik ayahnya. Alif meluapkan kesedihannya dengan memekik sekeras-kerasnya. Lam dan Mim memegangi Alif yang meronta-ronta, tidak terima dengan kejadian yang menimpanya. Dari jauh, KH Mukhlis mengamatinya. Dia meng"ucapkan doa, berharap agar Alif segera berdamai dengan mu"sibah itu.
Hari terus berganti, karena begitulah yang dilakukan waktu. Dia terus berjalan tanpa kenal kompromi.
Padepokan siang itu ramai, tapi bukan oleh suara murid yang berlatih bela diri. Pintu depannya dikerumuni para murid yang kebingungan. Mereka tidak bisa masuk.
Mim bergabung dengan Lam dan Alif yang sudah lebih dahulu ber"ada di sana. Dia memperbaiki kopiah yang dikenakannya, mengamati Alif dengan teliti. Alif sepertinya sudah membaik, na"mun masih mengenakan perban.
Eh, kenapa padepokan disegel" tanya Mim. Dia menunjuk ker"tas-kertas yang ditempelkan di pintu padepokan.
Lam berkata, Padepokan ditutup, Mim. Seolah itu menjelaskan segalanya.
Kok bisa" Kenapa"
Kali ini Alif yang menjawab. Padepokan dianggap membahayakan keamanan...
Mim terperangah. Tidak percaya.
Kemarin, kata Lam, menghela napas, ada pendekar dari beberapa padepokan menyerang kantor polisi. Entah kenapa. Hari ini keluar peraturan, semua padepokan bela diri di seluruh Nusantara ditu"tup.
Astaroth, guru mereka bertiga, keluar dari padepokan membawa berbagai tas dan peralatan. Dia memasukkannya ke dalam mobil. Semua yang berada di sana mendekati, termasuk Alif, Lam, dan Mim.
Gunakan kemampuan kalian sebaik mungkin. Kalau ingin menggunakannya untuk membela bangsa dan negara silakan! kata Astaroth.
Guru bergabung ke tentara sipil"
Astaroth menggeleng. Dari segi usia, tidak memungkinkan. Tapi saya akan membantu sebisanya. Demi perdamaian dan keamanan negara!
Semua murid terdiam mendengar kata-kata perpisahan dari gurunya itu. Mereka sadar, ini adalah wejangan terakhir, kata-kata yang harus diingat selalu.
Ketika Astaroth memberi hormat dan dibalas murid-muridnya,
ketika dia meninggalkan padepokan, tempat itu tak lagi terasa sama. Mereka merasa hampa.
Sialan, sakit ini belum juga reda, pikir Alif selagi memegang kepalanya yang dibalut. Berdentam-dentam, menderu-deru, sesekali Alif ingin mengerang, tapi ditahannya. Ada yang lebih mendesak daripada sekadar nyeri.
Alif menyiapkan barang-barangnya yang tidak seberapa, memasukkannya ke dalam tas. Di perpustakaan pesantren itu, selain dia, ada Lam dan Mim yang sedang membaca.
Menyadari Alif mondar-mandir, Mim jadi terganggu. Mim meng"amatinya dengan dahi berkerut. Kamu mau ke mana, Lif"
Nyari para pembunuh keluarga gua! katanya. Alif menjejalkan barang-barangnya, asal-asalan. Gelang tasbih milik ayahnya masih dike"nakannya.
Nyari gimana! Jangan gegabah. Sabar dululah, Lif. Jangan menuruti emosi... nasihat Lam sembari mendekati Alif.
Justru sekaranglah saatnya, Lam. Saat kita bikin keputusan. Gimana kita mau menjalani masa depan" Buat apa kita hidup" Terus lu mau ikutan rekrutmen, apa" tanya Mim. Alif menggemeretakkan gigi. Gua mau mengabdi pada negara! Agar ilmu bela diri yang gua miliki, bisa digunakan untuk menangkapi orang jahat! Agar gua bisa nangkap semua pembunuh dan perampok! Gua mau melakukan ini semua agar... Alif mengem"buskan napas. ...agar nggak ada lagi orang yang meng-
alami hal seperti gua. Melihat orangtua dibunuh di depan matanya... Gua ingin negara ini aman, damai. Dan agar bisa mencapainya, gua harus ikut serta. Gua akan jadi penegak hukum...
Pandangan mata Alif berapi-api, matanya menyala-nyala. Lam meng"angguk, menerima pilihan hidup temannya.
Lu juga harus mikirin masa depan lu, Lam, kata Alif. Gua juga ingin masa depan yang lebih baik. Gua akan melakukan"nya dengan cara menulis... menulis tentang kebenaran. Menyebarkan kebenaran, dengan cara itu! Kalau lu gimana, Mim"
Keinginanku sederhana aja. Mati dalam keadaan husnul khatimah. Aku mau mondok saja di sekolah Pak Kyai. Aku ingin menyebarkan kebaikan, melalui agama.
Salam untuk Pak Kyai. Tolong sampaikan permintaan maaf gua karena nggak sempat pamit. Alif beranjak pergi. Dia mengucapkan salam, yang dibalas kedua temannya.
Seiring langkahnya menjauhi pondokan pesantren, semakin bu"lat juga tekad Alif untuk berjuang dengan caranya sendiri. En"- tah bagaimana, dia akan menjadikan negara ini lebih aman dan da"mai. Pasti suatu hari dia akan menemukan caranya.
Kadang kebetulan memanglah kebetulan. Waspadalah,
karena bisa jadi itu adalah rancangan.
P ONDOK pesantren itu, sebagaimana pondokan lainnya, me-
mi"liki banyak ruangan. Beberapa merupakan gudang, di tempat yang sulit dijangkau dan mungkin juga terlupakan. Di tempat itu"lah Ustaz Samir dan Marwan memilih untuk bertemu.
Dari gerak-gerik mereka yang penuh rahasia, langkah mereka yang serupa kucing, jelas bahwa mereka tidak ingin pembicaraan ini didengar umum.
Samir berbicara kepada Marwan. Meski gudang itu terpencil, te"tap saja dia memelankan suaranya. Benar katamu, Marwan! Kita sudah terlalu lama menutup mata. Kita terlalu lama bersantai-santai. Kita harus menyebarkan kembali syariat agama pada ne"gara ini... seperti pendiri negara kita dulu! Kalau pondok ini juga menjadi antek-antek negara Iblis ini, kita harus segera menghan"curkannya! Kita hancurkan kemungkaran sebisanya... Insya Allah surga menanti kita! Ayahmu... Kakakmu... Ibumu... keluar-
Makar Allahu Akbar! seru Marwan.
Allahu Akbar, seru Samir, dengan suara lebih pelan. Samir me"meluk Marwan, mencium ubun-ubunnya. Dia mengawasi keper"gian Marwan dengan perasaan haru.
Dua puluh tahun bukanlah waktu yang sebentar. Kemajuan tek"- no"logi, perubahan di sana-sini, tentu terjadi.
Alif terkenang masa lalu, mengingat bahwa segalanya dimulai dari sini. Bukankah di pondok pesantren ini juga bahkan di ruang"an ini, di perpustakaan dia memutuskan untuk menapaki masa depan dengan caranya sendiri" Oh, betapa idealis dan naif"- nya dia dulu. Dulu dia percaya bahwa dengan menjadi penegak hu"kum dia akan membantu menegakkan keadilan dan perdamaian. Sekarang dia tidak terlalu yakin.
Lam memberikan sepasang lensa kontak pada Alif. Alif mengena"kannya. Dia mengerjap, dan seringai penuh ketakjuban merekah di wajahnya. Melalui lensa itu, yang terhubung dengan komputer, Alif bisa merekam gambar dan video. Lensa kontak itu memang bu"kan lensa biasa.
Audio-nya gimana" tanya Alif.
Nano chip dalam lensa langsung menangkap audio dan visual. Langsung masuk sistem cloud, direkam di komputer ini.
Lam mengetik-ngetik di komputernya. Dia mengecek dan menyiap"kan daya rekam pada komputer di perpustakaan, mengangguk puas akan hasilnya.
Kamu dapat barang-barang kayak gini, dari mana, Lam" tanya Mim.
Ini mainan zaman dulu. Waktu wartawan bisa lebih bebas me"nuliskan berita sungguhan. Sekarang yang ginian sudah dilarang... hukumannya bisa lebih berat daripada pembunuhan.
Perhatian Alif tiba-tiba tertuju pada tiga pemuda yang dulu dite"mui"nya di Candi Cafe. Hei! serunya. Tanpa basa-basi, Alif men"cengkeram salah satu dari mereka dan mencekiknya. Elu yang ngebom kafe saat itu, kan" Ayo ngaku!
Pemuda itu tercekik sampai nyaris meluah, dia meluik sembari beristighfar. Bukan, Mas! Demi Allah, bukan!
Mim dan yang lainnya berusaha melerai. Lif, lepasin dia! Alif menatap Mim dengan sorot mata beringas. Tiga orang ini ada di TKP sebelum pengeboman! Mereka kan yang sengaja meninggalkan tas di sana!
Lepasin dulu, Lif! Biarkan dia menjelaskan. Nggak kayak gitu, kejadiannya! kata Mim, berusaha menenangkan.
Alif perlahan-lahan melonggarkan cekikannya.
Pemuda itu terbatuk-batuk, berusaha menarik napas dalam-dalam.
Saya udah cerita ke Ustaz Mim soal ini... begini kejadiannya. Calon pembeli hasil perkebunan minta ketemu di kafe itu. Saya juga awalnya nggak mau ke sana. Tapi calon pembelinya berkeras. Kami bawa sampel parfum Alatar saat itu, sekaligus untuk ditawarkan... Kami panik ketika diusir. Jadi tasnya ketinggalan. Isi tas itu hanya kertas data hasil perkebunan dan sampel parfum...
Dengar, Lif! kata Mim. Jadi, kalian hanya kebetulan ada di sana"
Lam memegang dagunya. Alisnya bertaut. Gua nggak percaya de"ngan yang namanya kebetulan . Pasti semua ini berkaitan. Harusnya elu, sebagai aparat negara, menyadari keganjilan ini, sama seperti gua yang jurnalis. Gua yakin mereka dipancing datang ke Candi Cafe... sama seperti elu!
Semua terdiam mendengarnya. Hal ini sungguh baru bagi Alif. Menurut lu, Mason yang merancang ini semua"
Lam mengambil Pocket PC, lalu memperlihatkan foto-foto CCTV Candi Cafe. Orang yang berada di dalam mobil tidak jelas identitasnya ketika dilihat mata biasa. Namun, ketika imaji itu di"perbesar berkali-kali, tak diragukan lagi. Orang itu adalah Kolonel Mason.
Elu harus ketemu dia, Lif. Kita harus ngebuktiin hal ini, bareng-bareng! kata Lam.
Seorang santri memasukin ruangan. Setelah mengucapkan salam, dia memberitahu Mim bahwa mobilnya siap digunakan.
Saya harus pergi ke konferensi pers Kyai, kata Mim, jadi saya tidak bisa menemani kalian. Saya harus mengawal Kyai. Beliau harus tetap hidup sampai pengadilan berlangsung.
KH Mukhlis keluar pintu. Meski diiringi pengawal ke tempat kon"ferensi pers, langkahnya masih tegap, matanya masih menyiratkan kepercayaan diri. Dia melangkah dengan keyakinan bahwa diri"nya tidak bersalah, dan pers bisa melihat hal ini. Beberapa
tam"pak kasak-kusuk, entah berspekulasi atau malah mulai bersimpati. Tangannya terborgol, langkahnya tidak menyiratkan dia manusia yang dikekang. Kontras dengan penampilan KH Mukhlis yang sederhana, para jenderal petinggi militer dan pasukan khusus duduk berjajar, ekspresi mereka pongah, merasa diri mereka se"bagai pahlawan karena telah berhasil menangkap tersangka utama dalam pelaku terorisme.
Mobil sedan hitam berhenti di depan gerbang. Alif melangkah melewati lorong, lalu memasuki mobil itu, duduk di kursi belakang.
Setelah melaju beberapa lamanya, Alif bertanya, Kita mau ke mana"
Tamtama yang menyetir berkata, Bapak Kolonel menyuruh saya menjemput Bapak ke tempat favoritnya untuk makan siang. Dekat kok dari kantor.
Kenapa nggak di kantor aja"
Kantornya dipakai untuk konferensi pers... Lho, Pak Mason nggak ikut" tanya Alif.
Nggak, Pak. Para jenderal yang mendampingi langsung. Jadi Pak Kolonel boleh istirahat dulu...
Ketika dia yakin tamtama itu tidak memperhatikan, Alif mema"sang alat pelacak di bawah jok mobil. Sesudahnya, dia bersede"kap, sembari menatap ke luar jendela. Tamtama yang sesekali mengecek Alif di spion sama sekali tidak menduga ada yang mencu"rigakan.
* * * Mimbo datang lebih awal ke acara konferensi pers Kyai. Ketika hendak masuk lobi, dia mengernyit melihat Marwan yang terlihat gelisah, seolah hendak mencari-cari sesuatu. Mimbo mendekatinya. Mengucapkan salam, bertanya mengapa Marwan berada di sana.
Marwan menjawab salamnya dan mencium tangannya. Saya tadi disuruh ke sini oleh Ustaz Samir. Disuruh memantau keadaan di sini, sekaligus nemenin Ustaz Mimbo, katanya.
Mim menatap Marwan. Mata Marwan mengerjap lebih sering, dia bergerak-gerak sembari menggosok-gosok tangannya, dan menelan ludah sering-sering. Dan Marwan menolak untuk membalas tatapan Mim.
Ustaz Samir nggak bilang apa-apa ke saya, katanya. Uh... eh... iya, dadakan emang, Taz... Beliau cemas, jadi ya... hm... begitulah. Permisi, Ustaz, saya ke toilet dulu ya...
Mimbo menatap Marwan yang berlalu dengan langkah-langkah cang"gung. Dia curiga, tapi tidak punya bukti. Mimbo menggeleng dan berharap semoga saja itu hanya kecemasan yang berlebihan. Mimbo naik ke ruangan tempat konferensi pers diadakan, di lantai tiga.
Mobil yang ditumpangi Alif berhenti di D Glamour Cafe. Sebelum masuk, Alif digeledah. Dia sudah bersiap-siap untuk kemungkinan ini, jadi dia tenang saja sementara mereka menepuk, merogoh, dan menyentuh semua lipatan bajunya. Di dalam restoran,
di meja paling ujung, duduklah Kolonel Mason. Alif dengan san"- tai berjalan ke sana.
Begitu Alif berjalan, dia menyadari para pengunjung yang mendadak menutup cek di meja dan meninggalkan restoran. Mata Alif menyipit dan rahangnya berkeretak menyadari keberadaan perem"puan yang berdiri di belakang Kolonel Mason. Laras. Laras menunduk, dan Alif teringat kata-kata Lam. Siapa yang benar-benar mengenal Laras" Siapakah dia sebenarnya" Di sini, berdiri di belakang Kolonel Mason dan tampak sehat-sehat saja, Alif menduga Laras tidak berada di pihaknya.
Alif memilih untuk tidak memberi hormat kali ini. Dia duduk di depan Kolonel Mason.
Baru saja Alif duduk, seorang pelayan datang membawa sepoci teh. Dia menuangkannya di dua cangkir, satu di hadapan Kolonel Mason, satu lagi di hadapan Alif. Kolonel Mason mengangkat cang"kir teh, menghidunya, kemudian menciumnya.
Ini teh putih, Lif. Langka banget! Saya jarang meminumnya. Ini minuman para kaisar dari zaman Dinasti Tang dan Song. Banyak sekali khasiatnya. Ayo minum!
Setelah Kolonel Mason meminum tehnya, Alif menyesap tehnya, benaknya masih berpacu mencari tahu ada apa sebenarnya yang terjadi.
Oh ya. Kamu sudah kenal Laras, kan" Salah satu agen terbaik bangsa ini...
Alif melirik Laras tajam. Laras membalas tatapannya sebentar, kemudian memalingkan muka.
* * * Lam mengamati semua interaksi itu dari komputernya di perpustaka"an pondokan. Matanya ikut menyipit menyadari keberadaan Laras. Dia cukup yakin Alif berada dalam bahaya, tapi dia percaya Alif pasti bisa mengatasinya.
Dengan ujung matanya, Lam menyadari hal yang aneh. Seorang santri, wajahnya ditutup sorban, melewati lorong di ujung perpustakaan. Bukan pemandangan itu yang menarik minat Lam, melainkan sepatunya.
Santri itu mengenakan sepatu bot.
Lam sering bertemu para santri, bahkan berinteraksi dengan me"reka, bukankah istrinya adalah sepupu dari seorang Ustaz" Dan selama itu, dia tidak pernah melihat seorang santri pun menge"nakan sepatu bot.
Lam teringat jejak sepatu bot di pekarangan rumahnya, di malam Gendis terbunuh dan Gilang terluka. Tanpa pikir panjang, Lam mengikuti orang itu.
KH Mukhlis duduk dalam kotak kaca antipeluru. Wartawan duduk di kursi-kursi di hadapannya. Mim berdiri di pokokan, memantau sekelilingnya, berharap tidak akan terjadi kekacauan.
Apa motif Bapak melakukan pengeboman di Candi Cafe" tanya Reza, rekan reporter Lam dari Libernesia.
KH Mukhlis menjawab, Saya tidak punya motif apa pun. Kare"na yang melakukan atau menyuruh siapa pun melakukan
pengeboman itu bukan saya. Saya masih tersangka, Mas. Belum jadi terdakwa. KH Mukhlis terus tersenyum. Senyumnya menenangkan ketegangan di antara para wartawan.
Di restoran yang dimasuki Alif, seorang serdadu membalikkan tu"lisan OPEN menjadi CLOSED. Alif menyadarinya, tapi tidak ber"ko"mentar apa-apa.


Alif Lam Mim Karya Primadonna Angela di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Okay... shoot! kata Kolonel Mason. Shoot"
Iya. Shoot. Saya beri kamu berkesempatan mengajukan tiga pertanyaan. Ajukan apa saja. Saya akan jawab sejujur mungkin. Di sana kan... Kolonel Mason mem"buat gerakan-gerakan dengan tangannya. Alif memahami maksudnya... pasti pondok pesantren. Di sana kan kamu pasti dicuci otak. Sekarang pasti bingung mana yang benar, mana yang salah. Ayo. Tanya aja. Bapak yang mengebom Candi Cafe"
Kolonel Mason tertawa. Nah! Itu Alif yang saya kenal! Tembak langsung ke sasaran! Yang melakukannya seseorang yang profesional. Bukan saya. Tapi, ya. Saya yang memerintahkan pengeboman itu!
Meski sudah menduganya, Alif tetap marah mendengarnya. Dia mengepalkan tinju.
Kenapa" tuntutnya. Yah, kenapa nggak" Kolonel Mason menempelkan ujung jemari kiri dan kanan, menatap Alif sembari tersenyum congkak. Ada 37 orang yang meninggal!
Cepat atau lambat mereka akan mati, kan" Manusia ya begitu. Pasti akan mati! Kenapa harus dipusingkan, Lif"
Mereka punya hak untuk hidup!
Masa" Yakin, kamu" Sejak kapan" Sejak lahir! Suara Alif meninggi.
Begitu ya" Kolonel Mason tertawa mengejek. Memangnya mereka minta dilahirkan di dunia yang kacau ini, hah" Kamu" Saya" Apa kita minta dilahirkan"
Alif menggeleng-geleng. Tersenyum sinis. Itu alasan Bapak un"tuk membunuhi orang-orang tak bersalah"
Tawa Kolonel Mason menjadi-jadi. Menurutmu, 37 orang di sana itu nggak bersalah" Ada 12 tikus politik di sana, sedang menyusun strategi kudeta ke pemda tingkat 1. Ada 5 mahasiswa penganut komunisme, 8 anak pejabat korup pemilik bisnis ilegal, dan harusnya ada 3 teroris yang juga mati di sana, kalau kamu tidak ikut campur!
Teroris" Alif berjengit, tidak percaya. Mereka itu santri, Pak! Mereka ke sana untuk menjual hasil perkebunan dan parfum buatan mereka!
Kolonel Mason mengibaskan tangan, sama sekali tidak tersentuh nuraninya. Mereka meresahkan masyarakat. Karena menganut agama Islam, pakai jubah, gamis, sorban... ya apa bedanya de"ngan teroris" Kan sama-sama bikin kekacauan.
Alif memejam, merasakan sesuatu menyumbat dadanya. Amarah, ketidakpercayaan, ketidakberdayaan, semua bercampur menjadi satu.
Konferensi pers itu terus berlangsung. Reza masih mengajukan pertanyaan.
Semenjak Anda ditangkap, banyak kaum agamawan yang membuka jubah dan membaur dengan masyarakat. Mereka jadi tak terlihat. Apa itu perintah dari Anda" Agar para aparat sulit mendeteksi gerakan para santri"
Dari dulu, pakaian saya tidak berubah. KH Mukhlis menyentuh kemeja dan celananya. Saya ini orang Indonesia. Kalau saya pa"kai baju luar negeri, seperti yang berasal dari Jepang atau Arab, ke"sannya saya tidak qana ah. Seolah saya menyesal jadi orang Indonesia. Alhamdulillah, saya senang dan bersyukur jadi orang Indonesia, jadi seperti inilah pakaian saya...
Seorang jurnalis lain memotong ucapan KH Mukhlis. Tapi kena"pa banyak murid Bapak yang mengenakan jubah dan gamis"
Yang tinggal di pondokan saya tidak semuanya murid saya, lho. Beberapa pengungsi. Mereka tinggal di sana karena rumahru"mah mereka dihancurkan. Atau karena mereka tertimpa bencana alam. Ada yang akhirnya mau menetap dan berkebun, beternak, meski mazhab dan ajaran yang mereka anut berbeda... Kami te"tap menerima, asalkan tujuan hidupnya masih sama... saling membantu, menghargai, menjaga semua kehidupan tetap harmonis. Kalau ada yang mengenakan jubah dan gamis, itu hak mereka... mereka bebas memilih.
Itu yang selama ini bikin resah, Pak! Tampilan agamawan itu bi"kin orang-orang nggak nyaman... kata Reza.
KH Mukhlis tersenyum mendengar komentar Reza. Penam-
pil"an yang tidak pada tempatnya itu makruh, syuhroh, istilahnya. Tapi sekarang kan sudah global. Orang-orang sudah terbiasa keliling dunia, kita bisa melihat dunia via TV dan internet. Se"mua orang tahu, ada bermacam budaya di dunia ini. Justru aneh kalau sekarang orang masih risi melihat orang mengenakan jubah dan ga"mis. Tidak sesuai dengan globalisasi. KH Mukhlis kembali menjelaskan, Beberapa santri itu meniru Pangeran Ontowiryo. Awalnya beliau mengenakan surjan dan belangkon. Yang biasa dikenakan orang Jawa. Namun begitu melawan para penjajah, dia mengenakan jubah dan sorban sebagai simbol perlawanan. Pangeran Ontowiryo pun mengubah namanya menjadi Pangeran Diponegoro. Sama seperti tampilan mohawk punk-rock yang meniru prajurit Indian di Amerika, seolah menyatakan perang melawan arogansi kulit putih dan keserakahan kapitalisme...
Para wartawan menyimak kata-kata KH Mukhlis. Beberapa se"pertinya mendapatkan pencerahan.
Lam mengikuti santri tersebut, berhati-hati agar tidak ketahuan. Santri itu menuju gudang di belakang pesantren, gudang yang be"lum pernah dimasuki Lam. Ketika dia membuka sorbannya, Lam terperangah menyadari siapa orang itu sebenarnya. Kapten Rama.
Ustaz Samir menanti Kapten Rama di sana. Kapten Rama men"cium tangan sang Ustaz, dan Ustaz mencium ubun-ubun Rama. Lam mengernyit menyadari kesamaan gestur itu dengan para pejuang garis keras.
Lam membelalak menyadari bahan peledak di gudang itu. Sama seperti foto bukti-bukti yang diberikan kepada Alif, dulu.
Lam terus mengamati, sementara Ustaz Samir dan Kapten Rama mendiskusikan sesuatu. Mereka berdiskusi sambil menunjuk-nunjuk kertas, yang Lam duga merupakan daftar.
Alif menyergah, suaranya garau karena emosi, Kyai Mukhlis bu"- kan"lah teroris!
Kolonel Mason dengan tenang menyodorkan koran kepada Alif. Baca, nih. Koran berkata begitu.
Alif menolak menerima sodoran koran itu. Selama ini penjahat"nya kita, Kolonel" Anda yang merancang semua ini" Nada suara Alif meninggi.
Kolonel Mason tergelak. Lucu juga lawakanmu, Lif! Saya belum sehebat itu. Saya hanya middleman! Pesuruh!
Siapa pun yang menyuruh Anda, apa dia begitu benci pada aga"ma" Apa alasannya"
Kolonel Mason mengetuk-ngetuk meja dengan jemarinya. Perta"nyaan yang ini dijawab langsung saja sama orangnya, ya" Alif tidak paham. Maksudnya"
Sesaat kemudian, salah satu ajudan yang berdiri di belakang Alif mendekati meja.
Alif... naif sekali kamu selama ini.
Mendengar nada penuh wibawa dari suara tamtama itu, bahasa tu"buhnya yang berubah total mengisyaratkan kekuasaan, Alif sadar, tamtama ajudan Kolonel Mason inilah otak di balik semua
ini. Pintar sekali, Alif membatin. Siapa yang memperhatikan seorang ajudan" Alif harus angkat topi untuk muslihat yang satu ini. Andai dia punya waktu lebih banyak, mungkin Alif bisa menebak"nya sendiri.
Atau mungkin juga tidak. Begitu. Jadi Anda atasannya dia" Alif menunjuk Kolonel Mason. Ingin memastikan.
Tamtama itu berdiri menjulang, ekspresinya sarat ancaman. Atasan. Bawahan. Tergantung dari sudut mana kita melihatnya, Lif. Yang jelas kita semua ini bersaudara. Brotherhood .
Tamtama itu membuka topi. Dia berusia pertengahan 30 t"ahunan. Wajahnya tercukur bersih, dan dia cukup tampan. Dari gerakannya, Alif bisa melihat tato di tangan tamtama itu dan di ta"ngan Kolonel Mason. Kenapa Alif baru menyadarinya sekarang"
Sebenarnya saya... maaf, kami, suka dengan kinerjamu. Kepriba"dianmu juga luar biasa. Sayang, ada satu cacat yang sulit dihilang"kan...
Apa, memangnya" Kamu masih percaya pada Tuhan! Dia menggeleng-geleng. Kalian masih belum menjawab pertanyaan saya. Kenapa kalian benci dengan agama"
Saya tidak membenci agama... tak ada dari kami yang benci. Ka"lau kami ingin menghancurkan agama, mudah saja. Pasti sudah kami lakukan dari dulu. Justru kami mendukung keberadaan agama, terutama para militannya! Mainan kami, itu. Bikin sekte di sana, militan di sini. Kami menciptakan sebab... dan mendapatkan
aki"bat! Itulah yang kami lakukan. Sejak ratusan lalu. Kami membutuhkan musuh dan perang! Karena perang menimbulkan kekacauan! Kami membutuhkan fanatik. Tahu untuk apa, Lif" Demi keseimbangan! Agar dunia tetap stabil. Agar semua menghargai dan menjunjung tinggi perdamaian. Mensyukuri apa yang mereka miliki! Itulah tugas kami. Harusnya ini tugas kamu juga.
Alif mendengus, jijik. Seperti yang kalian tugaskan pada Kopral Bambang" Atau... sebut saja dia Mr. Sunyoto"
Tamtama itu dan Kolonel Mason sama sekali tidak tampak he"ran Alif mengetahui informasi itu. Tamtama itu hanya berseru, Benar sekali!
Agen yang sudah lepas kendali, harus dinonaktifkan. Dibina"sakan. Dengan senang hati saya menempatkan peluru itu di kepa"lanya.
Keteraturan, Lif! Itu yang kita butuhkan, jelas tamtama itu. Dan Kyai Mukhlis itu tidak mau masuk dalam keteraturan! Ajaran"nya melenceng dari garis yang kami tetapkan. Karena bukannya men"ciptakan kekacauan, dia menginginkan perdamaian! Harusnya ti"dak boleh begitu. Harusnya KAMI yang memberikan kedamaian. Bukan mereka! Jadi ya maaf saja, karena itulah dia harus tewas. Dia bisa merusak keseimbangan yang kami bangun. Kami akan menjaga keseimbangan demi pemerintahan tertinggi di muka bumi ini... demi peradaban yang tinggi, demi kebahagiaan rakyat. Demi tercapainya surga mereka di bumi. Tamtama itu tertawa me"lecehkan. Bukan surga palsu yang ada dalam imajinasi kalian itu. Surga yang didongengkan ke anak-anak!
Alif bungkam, namun tatapan matanya seolah melontarkan jutaan sanggahan.
Lam berderap mendekati Samir dan Rama yang sedang menyu"- sun kotak berisi bahan peledak.
Tempat apa lagi yang mau kalian ledakin" tanyanya. Rama otomatis mengeluarkan pistolnya, mengarahkannya kepada Lam.
Keluarga mana lagi yang mau kalian bantai" tanyanya, suaranya meninggi.
Saya minta maaf karena meninggalnya istri Anda. Saya menyesal semua ini harus terjadi, kata Kapten Rama. Saya harap Anda bisa melihat kebenaran...
Kebenaran" tanya Lam, skeptis.
Negara ini memang sudah kacau! Semua aparat dan negarawan, apa ada yang benar" Negara ini sudah sepantasnya hancur. Syariat Islam harus ditegakkan di negara ini!
Lam menempatkan jemari di dagunya. Tunggu dulu... jadi... elu yang menyusup ke badan aparat" Atau elu sekadar agen ganda" Mana yang benar nih" Absurd... Lam tertawa tak percaya.
Kami tidak selemah yang kalian kira. Kami sudah lihat sendiri per"buatan negara ini pada keluargamu. Bantu kami, Lam! Bantu agama kita! seru Ustaz Samir.
Lam mendengus. Satu-satunya cara gua bantu agama gua, mungkin dengan melumpuhkan kalian berdua!
Herlam menyerang Kapten Rama. Kapten Rama, yang me-
mang tidak memiliki dasar bela diri yang kuat, segera dikalahkan. Ketika dia berusaha menembak Herlam, Herlam mengarahkan pis"tolnya ke tempat lain...
...yang kebetulan adalah tubuhnya sendiri. Kapten Rama terhuyung jatuh terkena tembakannya sendiri.
Tiba-tiba Herlam merasakan dirinya diserang sesuatu yang dah"syat. Pukulan tenaga dalam itu membuatnya limbung. Samir mengulurkan tangan, dan Herlam menatapnya, bertanya-tanya, ketika tubuhnya terpental jauh.
Bukan kalian saja yang pernah belajar bela diri, kata Samir. Dia mengambil ancang-ancang untuk kembali menyerang.
Pemahaman menghinggapi benak Herlam. Elu! Elu yang bunuh Gendis"
Samir berkata dengan suara kalem, apa adanya, Harus diakui, istrimu cukup menguasai teknik bela diri. Kamu suami yang baik, mengajarinya bela diri, tapi itu tidak cukup...
Herlam berdiri. Dia menguasai napas dan emosi, menyadari bahwa lawannya kali ini bukan orang sembarangan.
Suasana di restoran itu semakin panas.
Pasti kamu berpendapat kami ini Iblis. Membuat perang dan kekacauan. Membunuhi orang semaunya. Tapi tahu nggak" Iblis itu makhluk yang paling dekat dengan Tuhan... dan dia pula yang pa"ling taat menjalankan perintah dari Tuhan. Kami memang Iblis, tapi kehadiran kami ini perlu! Tahu kenapa" Karena hal buruk
itu perlu untuk menciptakan kebaikan! Kamilah yang mengendalikannya! Tamtama itu semakin pongah dalam bertutur kata.
Kalian pikir bisa mengendalikan segalanya" Kalian tidak bisa mengendalikanku! protes Alif.
Tamtama itu tertawa dan suaranya tidak enak didengar. Oh, ten"tu saja kami bisa, Lif! Kami mengendalikan hidupmu! Benar, kan" Tamtama itu mengamati Alif yang mengalami kesulitan ber"napas. Awalnya Alif berpikir itu dikarenakan emosinya yang tidak stabil, tapi keringat dingin mulai menjalarinya, napasnya pun pendek-pendek.
Kenapa" ejek Tamtama itu. Susah bernapas, ya" Pusing" Saya bilang juga apa. Kami mengendalikan segalanya... hidupmu... bah"kan masa depanmu. Dalam waktu 15 menit, kamu akan mati! Karena racun yang ada di cangkirmu!
Racunnya ada di sana, kata Kolonel Mason, jelas-jelas suaranya menunjukkan kegirangannya. Bukan di tehnya!
Hebat, kan" kata Tamtama itu. Dan omong-omong, apa kamu suka kembang api" Dalam waktu beberapa menit, kita akan men"dengar ledakan yang... menakjubkan!
Pertarungan Herlam dan Samir berlangsung sengit. Sebagai dua peta"rung yang sama-sama menggunakan tenaga dalam, mereka sedi"kit-banyak bisa menerka jurus satu sama lain. Namun pengalaman memberikan keunggulan pada Herlam, ditambah lagi dia punya motivasi kuat.
Dia sudah menyaksikan Gendis yang tak bernyawa, merasakan
hati"nya hancur. Dia tidak ingin Samir dan komplotannya membuat kekacauan lebih banyak lagi.
Ketika akhirnya Lam unggul, dia bertanya pada Samir yang berte"kuk lutut di hadapannya: Apa rencana kalian selanjutnya" Bahan peledak ini... untuk apa"
Terlambat, Lam... Kamu terlambat... Samir mengambil sebuah pil, sembari menyeringai di hadapan Herlam, dia menelannya. Tu"buhnya kejang-kejang, mulutnya berbusa, dan dalam waktu beberapa detik saja, Samir pun tewas.
Herlam menggeleng-geleng, berharap dia bisa mendapatkan infor"masi lebih banyak dari Samir. Dia mengecek napas Samir, dan mendesah panjang ketika mata Samir membelalak kosong, dan jantungnya berhenti berdetak. Herlam memeriksa barang-barang di kotak-kotak peledak. Alisnya naik ketika menemukan daftar target.
Jantungnya berdegup lebih kencang menyadari target berikutnya.
Tempat konferensi pers diadakan. Artinya, di kantor polisi... Herlam berlari ke luar gudang, memacu motor Harley-nya menu"ju markas kepolisian.
Tanya-jawab wartawan dengan KH Mukhlis masih berlangsung. Segalanya berjalan dengan tertib. Kehebohan mendadak terjadi, tapi tidak berasal dari dalam ruang konferensi pers. Di pintu masuk, terjadi huru-hara. Pasukan penjinak bom heboh membawa
alat pendeteksi logam dan segala rupanya. Mim menyadari hal ini, tubuhnya langsung siaga.
Booom! Seseorang berseru.
Suasana langsung kacau. Semua berlari ke sana-sini, mencari pintu keluar. Marwan yang berada di dekat pintu dan kelihatan ke"bingungan segera disergap polisi.
Marwan pun terjatuh. Selagi jatuh, dia menatap Mim dan KH Mukhlis. Sorot wajahnya memelas, matanya seolah hendak mengeluar"kan air mata. Mungkin dia hendak meminta maaf dengan ta"tapannya itu. Dia mengucapkan takbir keras-keras, dan tas di pung"gungnya meledak.
Api, merah-kuning-biru menyala-nyala. Histeria massa menyebab"kan proses evakuasi menjadi semakin sulit. Pintu masuk lantai tiga terbakar, jendela pecah karena dahsyatnya dentuman itu...
Alif tersentak mendengar bunyi membahana itu.
Boom! seru tamtama itu sembari tertawa-tawa. Di mata Alif, orang itu tampak seperti orang gila. Psikopat. Hanya orang gila yang tidak punya nurani, mengetahui di dekatnya banyak orang meregang nyawa. Alif sungguh merasa tak berdaya. Memangnya apa yang bisa dia lakukan" Dalam keadaan sehat pun, secepatcepatnya dia berlari, dia paling hanya bisa menyelamatkan bebe"- rapa jiwa. Di saat tubuhnya seolah lumpuh seperti ini" Bisa berlari tanpa terjatuh saja sudah merupakan prestasi. Alif mendelik ke arah tamtama itu.
Hebat ya kami ini" We are good. We are too good to be true. We are GOD!
Mim berada di tempat konferensi pers. Demikian pula KH Mukhlis. Mim...! Suara Alif keluar dalam bentuk desisan. Dia ber"usaha berdiri, tapi langsung limbung, sehingga dia hanya bisa bersandar di kursinya.
Kamu mengkhawatirkan temanmu" Khawatirkan diri sendiri saja. Waktumu tinggal 12 menit. Ya... 20 menit lah maksimal, kalau kamu bisa menjaga napas dan tekanan darahmu stabil. Apa"lagi kamu kan jago bela diri... Tamtama itu tersenyum memuakkan.
Mendengar kata-kata itu, Alif seolah mendapatkan dorongan un"tuk bertahan. Dia mengatur napas. Oke, kalau memang ini kema"tiannya, kalau memang sudah saatnya, dia mungkin tidak bisa ber"buat apa-apa. Tapi Alif akan melawan sampai titik darah penghabisan. Karena itulah jati dirinya yang sejati: seorang petarung. Seorang petarung tidak akan menyerah, tidak akan pasrah saja diberitahu usianya tinggal sekian menit, bahkan sekian detik. Se"orang petarung akan berusaha mencari peluang untuk bertahan.
Laras alias Nayla menatap Alif, mulutnya ternganga, dahinya me"ngernyit.
Tamtama tak menghiraukan mereka berdua. Dia malah berbica"ra kepada Kolonel Mason. Alif sudah sekarat, pikirnya, bebas saja"lah berbicara di depannya... memangnya dia mau cerita ke sia"pa" Membayangkan hal ini, Tamtama tertawa kecil sendiri. Tim pembersih sudah siap" Saya curiga itu Kyai dan Ustaz Mim teman Alif ini nggak langsung mati...
Kolonel Mason mengangkat telepon dan memencet-mencet tom"bolnya.
Telepon itu hanya berdering dua kali sebelum diangkat. Seseorang bertubuh tinggi besar mengangkat telepon. Suara Kolonel Mason langsung terdengar.
Cek keadaan di kantor! Kalau masih ada sisa, bersihin! Terma"suk para jenderal!
Orang itu menjawab dengan tegas. Baik. Dia bangkit, keluar dari mobil. Tubuhnya lebih gempal, ekspresinya lebih keras, tapi dia masih orang yang sama.
Alif, Lam, dan Mim pasti mengenalnya dengan baik. Astaroth.
Kolonel Mason menutup telepon, senyumnya melengkungkan bibir"nya sehingga membentuk kurva maksimal.
Alif menatap Kolonel Mason. Jenderal"
Sudah waktunya aku naik pangkat, Lif. Para jenderal yang ter"lalu sombong bergabung, biarlah jadi pahlawan dengan segudang tanda jasa!
Dengan demikian, keseimbangan dunia akan terjaga! imbuh Tamtama.
Alif mendapatkan informasi baru. Jadi nggak semua petinggi kepo"lisian dan militer adalah anggota kalian.
Begitulah. Karena itulah mereka harus mati! Nah, saya harus pergi sekarang! kata Tamtama itu.
Kalian berutang tiga pertanyaan! Satu lagi... Oke... apa" tanya Kolonel Mason.
Saya termasuk target yang harusnya mati di Candi Cafe" ta"- nya Alif.
Betul! Harusnya kamu mati di sana. Kamu sudah puluhan kali melanggar protokol! Menjalin kontak dengan jurnalis itu. Kamu harusnya mati, untuk membersihkan virus di kepala... Tamtama itu membentuk tanda kutip dengan jemarinya. ...agen ter"baik yang satu itu. Dia mengedik ke arah Laras, yang hanya bisa menatap lantai. Begitulah perempuan, kan" Susah sekali bersikap pro"fesional! Lebih mementingkan perasaan!
Kolonel Mason mengernyit. Nama aslinya Nayla. Dia anak saya. Harusnya dia yang meledakkan Candi Cafe.
Alif menyipit dan menatap Laras. Benar kata Lam. Siapa sih sebe"narnya Laras atau Nayla ini" Berapa banyak kebohongan yang disuapkannya kepada Alif selama ini" Alif harus meng"ingatkan diri untuk menjaga pernapasannya. Kalau dia terpancing ma"rah karena hal ini, nyawanya akan melayang dalam waktu lebih cepat. Dia diam saja.
Seharusnya begitu! Begitulah Cinta! Merusak segalanya! dengus tamtama dengan sinis.
Alif juga ingin mendengus, karena dia tidak lagi yakin pada yang namanya Cinta.
Karena itulah... perempuan itu juga harus dimusnahkan! sa-
hut tamtama, memberi kode pada anak buahnya. Mereka me"- nangkap Nayla dan menempatkannya di kursi depan Alif. Hei! Kolonel Mason protes.
Ini sudah kali ketiga, Kolonel! Pertama, dia mengabaikan misi pengeboman Candi Cafe!
Laras menggigit bibir, teringat ketika dia membatalkan pengebom"an dengan cara membuang detonatornya, dan keluar dari pintu belakang. Menyadari tempat itu belum meledak juga, akhirnya Tamtama dan Kolonel Mason meledakkan Cafe dengan detonator cadangan.
Kedua... dia membocorkan data-data rahasia!
Laras memejam, teringat ketika dia memberikan flashdrive kepada Herlam.
Dan ketiga... Tamtama merogoh kantong Nayla, mengeluar"- kan sebuah tabung. Dia tahu kita akan meracuni Alif. Dan dia menyiapkan obat penawarnya. Ini! Maaf, Kolonel. Tamtama memberikan kode, dan anak buahnya secepat kilat menusukkan serum berisi racun ke dalam tubuh Nayla. Dia memang anak perempuanmu. Tapi apa boleh buat!
Kolonel Mason kelihatan hendak menerjang dari kursinya, namun dia menahan diri. Alif menatap semua kejadian itu, otaknya sibuk berputar mencari jalan keluar dari situasi ini. Pasti ada, pikirnya. Kalau mereka lengah sedikit saja...
Ada masalah, Kolonel" tanya Tamtama, menyadari mata Kolonel Mason yang seolah hendak mencelat ke luar. Em... Dia memejam, menelan ludah. Tidak.
Baguslah. Jadi begini saja. Karena masalahnya adalah cinta, biarkan cinta jadi pemecahannya!
Semua menatap tamtama itu, tidak paham. Dia menempatkan serum penawar di meja.
Kalian berdua, Dia menatap Alif dan Nayla bergantian. Tentukan di antara kalian, siapa yang harus selamat!
Alif dan Nayla saling berpandangan, tidak menduga perkembangan terbaru itu. Salah satu anak buah Tamtama membisikkan sesuatu.
Tamtama menatap Alif dengan tajam. Mainan di mata kamu itu... sudah kami lacak. Sebentar lagi akan dihancurkan di tempat asal"nya, termasuk semua orang yang ada di sana! Ayo pergi, Kolonel! Tamtama itu tersenyum menghina. Assalamu a laikum!
Mereka meninggalkan Alif dan Nayla. Setelah mereka pergi, detik-detik awal diisi tanpa suara. Alif dan Nayla saling berta"tapan. Kenapa ketika kematian ada di depan mata, kadang kita baru menyadari betapa berharganya hidup"
Gilang terbangun, dia beringsut duduk sembari mengamati segalanya yang terjadi di dalam PC. Di dekatnya, beberapa santri hilirmudik kebingungan.
Haduh, ini diapain... Mas Herlam ke mana sih... Sekali melihat ke PC itu, Gilang tahu apa yang harus dia la"kukan. Per"misi, Oom... biar saya aja. Dia mengambil alih komputer dan me"masukkannya ke cloud system miliknya. Para santri itu
mem"be"lalak tak percaya melihat kemahiran Gilang. Gilang sama sekali ti"dak mengindahkan mereka.
Dalam mobil, Kolonel Mason menggigit bibirnya dan berusaha tampak tegar. Salah satu ajudannya memberitahukan sesuatu, dan dia mengangkat telepon.
Telepon diangkat Kapten Rama yang baru terjaga dari pingsannya. Dia memijat kepalanya yang pening, namun melakukan apa yang diinstruksikan padanya. Dia menghancurkan kotak listrik dan server di pondok pesantren, mengabaikan denyut-denyut di seku"jur tubuhnya.
Gilang terkesiap ketika komputernya mendadak galat. Listrik pa"dam tak lama sesudahnya.
Perlahan, Mim bangkit dari reruntuhan ledakan. Matanya yang awas mencermati siapa saja korban di sekitarnya. Dia menyelamatkan siapa pun yang masih bisa diselamatkan, mendoakan jiwa ma"lang yang terenggut karena ledakan itu. Dia membantu KH Mukhlis berdiri. Kaca antipeluru yang menyelubungi KH Mukhlis membantu meredam ledakan itu.
Kyai, di sini tidak aman. Mari, Kyai. Kita pergi dari sini. Apa maksudmu, Mim" tanya Kyai Mukhlis.
Reza adalah salah satu jurnalis yang selamat. Firasatnya membe"ritahukan ada berita baik di sini, dia menyalakan kamera video-
nya dan merekam pembicaraan KH Mukhlis dan Mim. Interaksi di antara mereka langsung masuk server kantor Libernesia.
Mim, meskipun saya tidak bersalah, saya tidak mau pergi dari sini menggunakan cara yang tidak sesuai hukum. Kotoran tidak bisa disucikan dengan kotoran. Wa qul ja-al haqqu wa zahaqol bathil! Kita akan terkena hinaan dunia akhirat, jika tidak berpegang pada Tali Allah, hablum minallah, dan Tali Manusia, hab"lum minannas. Kamu ingat, Mim" Surat Ali Imran, ayat..." Seratus dua belas, Kyai.
KH Mukhlis tersenyum mendengar jawaban Mimbo. Yang meledakkan bom tadi siapa, Mim"
Mim menggeleng-geleng. Dia memegangi Kyai agar tetap tegak ber"diri. Namanya Marwan. Salah satu pengungsi, Kyai. Korban kekacauan revolusi. Mazhab dan ajarannya beda dengan yang kita anut. Ustaz Samir yang membawanya ke pondok beberapa bulan lalu.
KH Mukhlis menyapu wajahnya dengan tangan kanan. Astaghfirullah al adziim. Kita lengah, Mim. Saf-nya kurang rapat...
Mim pun ikut beristighfar.
Tiba-tiba muncul kepulan debu, dan mereka bisa melihat gerakan dan pekikan. Seseorang sedang menghajar dan sepertinya meng"habisi semua korban yang bertahan hidup, di ruangan itu, ter"utama para jenderal yang sedang sekarat. Mim secara naluriah ber"diri di depan KH Mukhlis, melindunginya.
Dia menahan napas ketika menyadari siapa orang itu.
p u s t k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
Ya Allah! Guru! seru Mim, ketika Astaroth semakin mende"- kat.
Mim, Astaroth mengangguk kepadanya. Kenapa kamu jadi teroris begini"
Saya bukan teroris. Malah saya jadi bertanya-tanya... kenapa Anda membunuhi mereka"
Ini tugas saya selama ini, Mim. Demi menjaga perdamaian Indonesia... dan dunia. Percayalah, Mim. Ini yang terbaik. Mim menggeleng-geleng. Yang teroris itu, Anda! Maaf, Mim. Saya tidak punya waktu untuk berbasa-basi. Astaroth langsung menyerang Mim.
Dua puluh tahun berlalu. Murid dan guru dulu, musuh di sisi ber"seberangan, sekarang. Dari tempatnya mengamati, Reza hanya bisa terlongong-longong menyaksikan pertempuran dahsyat di antara mereka.
Saking lengangnya, Alif dan Nayla seolah bisa mendengar detak jan"tung dan napas satu sama lain. Anak buah Tamtama mengelilingi mereka, wajah mereka kaku, sama sekali tidak tersentuh. Alif menatap Nayla, lama. Nayla balas menatapnya.
Dari dua belas tahun lalu... berarti... kamu sudah bersama mereka. Kenapa kamu menggunakan nama Laras"
Nayla memalingkan wajah sambil menggigit bibir bawahnya. Ko"lonel minta aku jagain kamu. Dia merasa kamu akan jadi aset yang berharga. Dia dulu melihat kehebatanmu ketika ditembaki dan masih bisa bertahan...
Alif terkesiap. Mungkin harusnya dia bisa menduganya, tapi tetap saja. Orang itu... Kolonel"
Ya. Kamu tadinya dipersiapkan untuk bergabung... untuk tujuan yang lebih besar.
Apa yang ingin kaubicarakan dengan seseorang yang mengisi hati dan jiwamu selama bertahun-tahun" Di menit-menit terakhir hi"dupnya, Alif sama sekali tidak ingin membicarakan jenjang karier. Apalagi Kolonel.
Yang tadi mereka bicarakan. Apa benar"
Nayla tetap menunduk. Ya. Aku benar-benar sayang pada"mu, Lif. Aku jatuh cinta padamu. Tapi itu seharusnya nggak terjadi...
Mereka bertatapan. Menyadari ada pilihan pelik yang harus diam"bil. Tapi, untuk saat ini, mereka hanya ingin saling merekam eks"presi dan raut wajah dalam ingatan.
Pakailah serum itu, Lif, kata Nayla, memohon mengguna"kan matanya.
Memangnya aku tega melihatmu mati, untuk kedua kalinya"
Fight! Make changes for a better future! seru Nayla. Never lose hope!
Keduanya tersenyum, saling bertatapan. Tanpa kata, mereka tahu apa yang harus mereka lakukan. Mereka berdua serempak me"nyerang pengawal di sana. Tak butuh waktu lama, meski tubuh mereka digerogoti racun, mereka berhasil mengalahkan musuh mereka. Alif masih bisa mengendalikan napasnya, namun Nayla terse"ngal-sengal, terjatuh. Alif segera merengkuhnya.
Sabar, ya... aku ambil serum penawarnya!
Alif melirik ke meja, tapi penawarnya sudah tidak ada. Dia meme"kik kecil ketika menyadari tubuhnya ditusuk sesuatu. Dia meli"hat Nayla berlinang air mata, menusukkan serum penawar ke tubuh Alif.
Tidaaak! Alif merengkuh Nayla lebih erat.
Fight, Lif... never lose hope... Suaranya samar sekarang, begitu le"mah...
Laras... Alif menangis. Baginya, siapa pun nama perempuan itu, dia tetaplah Laras. Laras-nya.
Maaf, Lif... aku... Sudahlah, Laras. Jangan meminta maaf!
Apa Tuhan mau memaafkan aku, Lif" Atas semua perbuatan jahat"ku selama ini..."
Mereka saling bertatapan, mata mereka basah, tenggorokan me"reka seolah disumbat.
Insya Allah... sahut Alif. Nayla tersenyum samar, lalu me"-mejam. Tubuhnya terkulai. Alif memeluknya semakin erat, tangis"nya semakin menjadi-jadi.
Sebagai anak Herlam dan Gendis, Gilang tidak mudah dibuat bi"ngung. Otaknya yang cerdas menganalisis berbagai kemungkinan dan dia segera tahu apa yang harus dilakukannya. Dia mengambil hand PC-nya, masuk ke dalam sistem cloud-nya. Dia juga masuk ke server milik ayahnya, yang berada di rumah, dan yang berada di kantor.
* * * Rama menghajar dan memembaki beberapa santri. Dia tidak pan"- dang bulu. Siapa pun, asalkan bergerak, pasti akan dihajarnya. Akhir"nya dia mencapai perpustakaan, tempat Gilang dan santrisantri lainnya berada.
Dia mengacungkan senjata, namun Bima dengan sigap memukul Kapten Rama dari belakang. Rama terhuyung, bola matanya berputar.
Teruskan pekerjaanmu! kata Bima kepada Gilang. Gilang mengangguk. Dia menemukan video yang diambil Reza dan mengambil datanya, menggabungkannya dengan data pembi"- ca"raan Alif dan Mason dan Tamtama di restoran tadi.
Herlam memberhentikan Harley-nya dengan bunyi menderu. Dia ber"lari sembari berdoa semoga semuanya belum terlambat. Otaknya butuh waktu ekstra untuk memproses kejadian di lantai tiga. Astaroth... guru mereka yang sudah bertahun-tahun tak pernah keta"huan kabarnya, sedang bertarung dengan Mim.
Ada perbedaan signifikan antara Astaroth dan Mim. Astaroth terbiasa bertarung untuk membunuh, hal itu langsung kelihatan jelas. Mim bergerak dengan hati-hati, pukulannya dilakukan untuk melumpuhkan, bukan untuk membunuh. Namun dalam pertarungan tak kenal aturan seperti ini, Lam tahu Mim terdesak. Dia pun ikut bertarung bersama Mim, gerakan mereka berdua bersatu padu dengan ciamik, tapi Astaroth masih lebih unggul.
Dia sudah tidak punya nurani, dan tubuhnya berfungsi sebagai me"sin pembantai.
Lam dan Mim mulai terdesak... apalagi Mim, yang tubuhnya masih terluka karena ledakan tadi.
KH Mukhlis segera mengambil keputusan. Dia mengerahkan tenaga dalamnya untuk menyerang Astaroth. Namun, ketika Astaroth terhuyung menerima gempuran itu, dia sempat melontarkan serangan yang mengakibatkan KH Mukhlis mengalami luka dalam. Kyai terhuyung sembari memuntahkan darah.
Cepat, cepat, cepat... Di suatu tempat, entah di mana, Gilang yakin ayahnya sedang ber"juang membela kebenaran dan keadilan. Dia masih terlalu kecil untuk membantu ayahnya, lagi pula kemampuan bela dirinya tidak setinggi ayahnya. Namun Gilang masih bisa membantu... dengan melakukan ini.
Dengan sigap jemari Gilang menari-nari, dan tak butuh waktu lama untuk melakukan tujuannya.
Gilang mengumpulkan semua video dan meretas city screen di Jakarta. Semua video, data yang dimilikinya, ditayangkan di semua kanal yang diretasnya itu.
Semua ucapan Kolonel Mason dan Tamtama, wawancara dan per"cakapan dengan KH Mukhlis, tampil di semua Big Screen dan tele"pon genggam dan PC semua orang.
* * * Bapak yang mengebom Candi Cafe" Pertanyaan dari Alif.
Bukan saya. Tapi, ya. Saya yang memerintahkan pengeboman itu!
Kolonel Mason yang berkata.
Cepat atau lambat mereka akan mati, kan" Manusia ya begitu. Pasti akan mati! Kenapa harus dipusingkan, Lif"
Masih kata-kata Kolonel Mason.
Saya tidak membenci agama... tak ada dari kami yang benci. Ka"lau kami ingin menghancurkan agama, mudah saja. Pasti sudah kami lakukan dari dulu. Justru kami mendukung keberadaan agama, terutama para militannya! Mainan kami, itu. Bikin sekte di sana, militan di sini. Kami menciptakan sebab... dan mendapatkan akibat! Itulah yang kami lakukan. Sejak ratusan lalu. Kami membutuhkan musuh dan perang! Karena perang menimbulkan kekacauan! Kami membutuhkan fanatik.
Kata-kata tamtama itu berkumandang.
Mim, meskipun saya tidak bersalah, saya tidak mau pergi dari sini menggunakan cara yang tidak sesuai hukum. Kotoran tidak bisa disu"cikan dengan kotoran. Wa qul ja-al haqqu wa zahaqol bathil! Kita akan terkena hinaan dunia akhirat, jika tidak berpegang pada Tali Allah, hablum minallah, dan Tali Manusia, hablum minannas.
Suara KH Mukhlis. Tamtama menghentikan mobil. Mereka berdua mengerjap mena"tap
layar yang berkeredep di seluruh kota. Lagi dan lagi, potongan yang itu-itu saja diulang. Tak ada keraguan lagi, tak mungkin segala itu direkayasa. Semua perbuatan mereka, sudah ketahu"an.
Tugasmu sudah selesai, Kolonel. Kamu tahu apa yang harus dila"kukan. Tamtama memberikan kotak pada Kolonel. Kolonel membukanya. Isinya pistol berwarna emas. Merupakan sebuah kehormatan, tahu kan. Menghabisi nyawa sendiri dengan senjata itu...
Kolonel Mason mendesah. Saya yang banyak berkorban demi ke"seimbangan dunia. Demi putri saya...
Kolonel, meskipun akhirnya putri Anda yang memakai penawar racun itu, saya sudah memerintahkan agar dia dihabisi. Dia sung"guh mengecewakan, Kolonel. Anda kan tahu itu. Tamtama berjalan keluar mobil.
Mason menatap pistol itu, lama. Dia mengarahkan senjata itu ke mulutnya. Mendadak dia berubah pikiran. Dia keluar mobil dan mengarahkan senjatanya ke arah Tamtama.
Tamtama berbalik ketika Mason berseru memanggilnya. Senyum tersungging di wajahnya. Senyum itu tidak memudar ketika Mason menekan pemicu dan menembak.
Peluru itu meledak, mengeluarkan peluru ke arah belakang. Kolo"nel Mason terkapar, kepalanya bolong karena peluru. Orangorang panik berlarian, khawatir akan adanya kekacauan dan serangan lain. Tamtama terus saja berjalan, tak mengindahkan semua itu.
Ketika dia mencapai sebuah gang, dia mengambil telepon genggamn"ya.
The Colonel is dead. District 9 has been compromised at last, Sir. We need to...
Tamtama itu menjatuhkan telepon genggamnya ketika sese"orang menarik dan mencekiknya, memiting tubuhnya ke tembok.
Dari segi kemampuan, jelas Alif unggul. Namun dia masih terke"na dampak racun, dan tenaganya belum pulih, sehingga si tamtama masih di atas angin.
Wah, wah, kamu ini memang mengejutkan! Ayo! Mari kita berta"rung, Serdadu!
Alif menarik napas dalam-dalam. Sekali lagi, kemampuannya diuji. Dia dan tamtama itu bertarung, sampai akhirnya Alif berhasil mencengkeram tamtama itu.
You think you re the necessary evil" Then I ll be your necessary reaper!
Tangan Alif menekan leher si tamtama. Dia mengerahkan tenaga dalam sehingga tangannya menembus leher, menarik tulang leher dan kerongkongan tamtama itu sehingga tak ada lagi napas yang tersisa dari orang itu.
Alif menyadari telepon genggam tamtama itu masih menyala. Dia mengambilnya. Terdengar suara kekehan dari sana, kekehan yang entah mengapa terasa familier.
Letnan Alif. Kamu pikir sudah menang, ya" Barangkali kamu me"nang kali ini... tapi perang baru saja dimulai!
Alif menyipit, tangannya membentuk tinju. I will find you. And I will defeat you... The Devil! Alif tidak menunggu orang itu mem"balas ucapannya. Dia mematikan telepon, dan mulai menyusun rencana.
* * * Reaksi orang ketika menonton tayangan yang diulang-ulang itu nyaris sama. Awalnya mereka menyangkal dan memilih untuk tidak percaya, berkata bahwa semua ini pastilah berita bohong, hoax yang dirancang untuk mendiskreditkan suatu pihak. Begitulah reaksi standar kebanyakan orang jika dihadapkan pada sesuatu yang mencengangkan: menolak dulu, baru lama-lama semua dicerna sampai mereka bisa menerimanya. Kemudian, semua kepingan teka-teki seolah melekat di tempatnya, dan mereka mengangguk-angguk seolah semua tayangan itu mengonfirmasi dugaan selama ini. Setelah menyaksikan tayangan itu, ada juga yang segera pulang, mengepak barang, dan memutuskan untuk mengungsi entah ke mana.
Bagaimanapun reaksi orang, ataupun pemerintah, Gilang ter"- se"nyum puas mendapati hasil kerjanya itu. Sekarang semua bisa melihat data itu, terserah mereka mau berbuat apa, putusnya.
KH Mukhlis masih memuntahkan darah, terbatuk-batuk. Lam dan Mim bergegas ke sisinya.
Islam muncul dalam keadaan asing, dan ia akan kembali dalam keadaan asing, maka beruntunglah orang-orang yang terasingkan itu... kata KH Mukhlis, ditopang Lam dan Mim.
Lam dan Mim segera mengarahkan pandangan ke arah pintu. Mere"ka tidak lagi sendirian. Puluhan serdadu memasuki gedung dan lantai itu, senjata mereka semua diarahkan kepada mereka.
Puluhan laser point tampak di tubuh Lam, Mim, dan KH Mukhlis.
Mim dan Lam perlahan mendudukkan Kyai. Mereka berdiri, meng"ambil posisi kuda-kuda.
Lam dan Mim bertukar pandangan. Kapan terakhir kali mereka bertarung mati-matian" Sebelum hari ini, mereka lebih banyak menggunakan kemampuannya sekadar berlatih atau dalam kasus Mim, menyembuhkan orang lain.
Tubuh Lam dan Mim babak belur, tapi semangat mereka membu"bung tinggi. Menyaksikan ketenangan dan kedamaian di wajah Lam dan Mim, para serdadu itu gentar. Mereka bersiap untuk me"nembak, untuk menyerang.
Senyum tak disangka-sangka muncul di wajah Lam dan Mim. Me"reka berdua menggerakkan tangan ke arah lawan, gerakan yang seolah berkata, Ayo, tunggu apa lagi"
Profil Penulis Primadonna Angela tinggal di Bandung bersama seorang komika (stand up comedian) sekaligus penulis, Isman H. Suryaman, dua buah hati mereka, dan kucing-kucing yang menyambangi rumah mereka silih-berganti.
3 Alif Lam Mim adalah novelisasi pertamanya berdasarkan film, sekaligus buku ke-29-nya.
https://facebook.com/primadonnaangela Twitter ID: @cinnamoncherry
Tentang 3 Alif Lam Mim Novel dan Film 3 Alif Lam Mim merupakan mix tiga genre (action, drama dan religi) menjadi sebuah suguhan utuh yang disajikan secara kekinian kepada penikmat novel dan film remaja dan dewasa. Tiga karakter dalam cerita mengekspresikan tiga watak yang merupakan cerminan filosofis dari tampilan huruf Alif yang tegak lurus, huruf Lam yang melengkung dan huruf Mim yang melingkar. Para penulis dan sineas mencoba untuk lugas merefleksikan makna simbolis di baliknya.
Dengan balutan kisah fiksi dari perspektif psikologi sosial di masa depan, tahun 2036.
Duet Anggy Umbara dan Bounty Umbara sebagai sutradara film 3 Alif Lam Mim juga menulis skenarionya bersama Fajar Umbara, yang kemudian diadaptasi menjadi sebuah novel oleh Primadona Angela.
Anggy Umbara Bounty Umbara Fajar Umbara
Pindai QR code ini untuk mengunduh soundtrack novel 3 Alif Lam Mim
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama Kompas Gramedia Building
NOVEL/FIKSI P r i m a

Alif Lam Mim Karya Primadonna Angela di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

d o n n a A n g e l a FAM PICTURES MEMPERSEMBAHKAN SEBUAH PRODUKSI DARI ARIE UNTUNG SEBUAH FILM KARYA ANGGY UMBARA DIDUKUNG OLEH MULTIVISION PLUS 3 CORNELIO SUNNY ABIMANA ARYASATYA AGUS KUNCORO PRISIA NASUTION TIKA BRAVANI DONNY ALAMSYAH ARSWENDY SWARA PIET PAGAU CECEP ARIEF RAHMAN
VERDI SOLAIMAN TEUKU RIFNU WIKANA TANTA GINTING BIMA AZRIEL PENATA MUSIK AL PENATA SUARA KHIKMAWAN SANTOSA NOVI D.R.N (B LACK ) PENATA FOTOGRAFI DICKY R. MALAND DESAIN PRODUKSI SIUTHA PENYUNTING GAMBAR BOUNTY UMBARA FAJAR UMBARA PRODUSEN LINI GITA KARMELITA INDAH DESTRIANA PRODUSER PENDAMPING ANGGY UMABARA DICKY R. MALAND PRODUSER ARIE UNTUNG IDE CERITA DAN SUTRADARA ANGGY UMBARA
Alif, Lam, dan Mim. Tiga sahabat seperguruan yang menjalani hidup berbeda sejak Indonesia menjadi negara liberal. Alif teguh sebagai
penegak hukum. Lam berkarier sebagai wartawan, memaparkan kebenaran sebagaimana yang dilihatnya. Mim tetap setia di padepokan, meski Indonesia mencurigai mereka yang beragama.
Satu demi satu konfl ik bergulir. Dalam situasi genting, garis antara kawan dan lawan mengabur, dan mereka bertiga harus terus berjuang demi negara, keluarga, dan sahabat yang mereka sayangi...
Pengabdian Dokter Perempuan 5 Dewi Sri Tanjung Mencari Ayah Kandung Kasih Diantara Remaja 4
^