Pencarian

Cerita Rakyat Nusantara 2

Cerita Rakyat Nusantara Karya Dian K Bagian 2


Tak terasa, Putri tumbuh menjadi gadis yang cantik. Sebentar lagi, dia akan berulang tahun ketujuh belas. Raja akan
mengadakan pesta besar-besaran dan semua rakyat diundang ke pesta itu.
Raja dan Permaisuri menyiapkan hadiah istimewa untuk Putri. Hadiah itu adalah kalung yang diuntai dari permata warna-warni. Kalung itu amat indah. Saat pesta berlangsung, Raja menyerahkan kalung itu.
Ini hadiah dari kami. Kau pasti menyukainya. Lihat, indah sekali bukan" Raja pun bersiap mengalungkan kalung itu ke leher sang putri.
Namun, di luar dugaan, Putri menolak mengenakan kalung itu.
Aku tak suka kalung ini, Ayah, tolaknya.
Raja dan Permaisuri saling berpandangan. Permaisuri lalu berusaha membujuk putrinya dengan lembut. Beliau mendekat dan hendak memakaikan kalung itu ke leher Putri.
Aku tidak mau! Aku tak suka kalung itu! teriak sang Putri sambil menepis tangan Permaisuri. Tak sengaja, kalung itu pun terjatuh. Permatanya tercerai-berai berjatuhan di lantai. Rakyat yang hadir terpana melihat kejadian ini. Permaisuri amat sedih. Beliau lalu terduduk dan menangis.
Mendengar tangisannya yang menyayat hati, beberapa wanita yang hadir di pesta itu ikut menangis. Para pria akhirnya juga turut menangis. Seluruh rakyat yang hadir menangis. Mereka sedih melihat tingkah laku Putri yang mereka sayangi.
Tak disangka, air mata yang tumpah ke lantai berubah menjadi aliran air yang cukup deras dan menghanyutkan permata-permata yang berserakan di lantai.
Air itu mengalir ke luar istana dan membentuk sebuah danau yang luas. Anehnya, air danau itu berwarna-warni seperti warna permata yang ada di kalung putri. Danau tersebut kini dikenal dengan nama Telaga Warna.
Jawa Tengah Ilustrasi: Kartika Paramita
Legenda Gunung Tidar Dulu, ada sebuah gunung bernama Mahameru. Letaknya di ujung timur Pulau Jawa.
Gunung Mahameru amat besar sehingga daerah ujung timur Pulau Jawa tak mampu menahan beratnya. Akibatnya, daerah di sekitar timur Jawa miring dan tenggelam ke laut.
Sebaliknya, daerah di ujung barat Pulau Jawa, malah terangkat naik.
Hal ini tentu membuat Pulau Jawa terlihat aneh dan tak seimbang. Karena itu, para dewa yang dipimpin oleh Batara Guru, memutuskan untuk memindahkan Gunung Mahameru ke daerah barat.
Pada hari yang ditentukan, para dewa mengangkat gunung itu. Mereka lalu terbang ke arah barat. Tanpa mereka sadari, puncak gunung itu jatuh dan menjadi Gunung Semeru.
Para dewa terus terbang ke barat. Selama perjalanan, sedikit demi sedikit bagian gunung itu jatuh, sehingga menyebabkan terbentuknya deretan gunung baru.
Saat para dewa melintas di tengah-tengah Pulau Jawa, mereka baru menyadari bahwa gunung yang mereka bawa tinggal sedikit. Mereka lalu memutuskan untuk menghentikan perjalanan.
Sisa gunung itu mereka letakkan tepat di tengah Pulau Jawa, dan disebut Gunung Tidar.
Letak Gunung Tidar yang tepat di tengah itu telah membuat Pulau Jawa menjadi seimbang, tidak miring ke timur atau miring ke barat.
Jawa Tengah Ilustrasi: Indra Bayu Timun Mas Di sebuah hutan yang sepi, Mbok Sarni tinggal seorang diri. Karena kesepian, dia ingin sekali memiliki anak. Tiap hari, dia tak bosan berdoa. Sampai suatu saat, ada raksasa yang kebetulan lewat, mendengar doanya.
Hei, Wanita Tua! Apakah kau sungguh menginginkan seorang anak" tanya Raksasa dengan suara yang mengejutkan Mbok Sarni.
Dengan gemetaran, Mbok Sarni menjawab, Be... benar. Tapi sepertinya sulit. Aku sudah tua. Raksasa itu tertawa keras, dan berkata bahwa dia akan mengabulkan keinginan Mbok Sarni.
Tapi ada syaratnya. Nanti saat dia berusia enam tahun, aku akan menjemputnya dan menyantapnya. Jadi, peliharalah dia baik-baik.
Mbok Sarni tak punya pilihan. Dia setuju. Raksasa lalu memberinya segenggam biji mentimun dan meminta Mbok Sarni untuk menanamnya.
Beberapa bulan berlalu, Mbok Sarni memanen mentimun-mentimunnya. Alangkah kagetnya dia saat menemukan seorang bayi perempuan cantik di dalam salah satu mentimun yang berwarna keemasan.
Digendongnya bayi itu, dan dinamainya Timun Mas.
Tak terasa, Timun Mas sudah berumur enam tahun.
Bum... bum... terdengarlah langkah kaki Raksasa. Dia berteriak-teriak di luar rumah Mbok Sarni, meminta agar Timun Mas diserahkan kepadanya.
Kembalilah dua tahun lagi. Dia masih kecil dan kurus, pinta Mbok Sarni dengan resah. Raksasa itu marah, tetapi dia juga tak mau menyantap anak yang kurus.
Baiklah, aku akan kembali dua tahun lagi!
Sepeninggal Raksasa, Mbok Sarni terus berdoa agar ada jalan keluar untuk menyelamatkan Timun Mas.
Hingga suatu hari Mbok Sarni dan Timun Mas bertemu dengan seorang pertapa sakti yang melintasi hutan. Mbok Sarni menceritakan masalahnya pada pertapa itu.
Sambil mengelus kepala Timun Mas, pertapa itu berkata, Jika raksasa itu datang, larilah dengan kencang. Terimalah empat bungkusan ini, dan lemparkan satu per satu saat kau lari.
Timun Mas mengangguk. Dua tahun kemudian, Raksasa benar-benar datang. Saat melihatnya,
Timun Mas pun segera melarikan diri.
Raksasa itu marah dan segera mengejarnya. Timun Mas segera melaksanakan saran sang pertapa. Dia membuka bungkusan pertama dan melemparkan isinya, yaitu biji mentimun. Ajaib, biji-biji itu berubah menjadi ladang mentimun yang amat lebat buahnya. Langkah Raksasa tertahan karena batang-batang pohon mentimun itu melilit tubuhnya.
Namun, tak lama kemudian Raksasa berhasil lolos. Dia mengejar Timun Mas lagi.
Timun Mas melemparkan isi bungkusan kedua, yaitu jarum. Jarum-jarum itu berubah menjadi pohon-pohon bambu
yang tinggi dan berdaun lebat. Raksasa harus bekerja keras menerobos pohonpohon bambu itu. Meski badannya terluka karena tergores batang-batang bambu, Raksasa tak menyerah.
Dia kembali mengejar Timun Mas.
Dengan panik, Timun Mas melempar isi bungkusan ketiga, yaitu garam. Garam itu berubah menjadi lautan yang luas. Namun, Raksasa berhasil menyeberangi lautan itu. Meski tampak kelelahan, Raksasa tak mau menyerah.
Akhirnya, Timun Mas melemparkan isi bungkusan keempat yang berisi terasi. Terasi itu lalu berubah menjadi lautan lumpur yang panas. Raksasa tak sempat menghentikan larinya. Dia pun terperosok ke dalam lumpur. Aduh, panas... panas...! teriaknya. Timun Mas terus berlari dan kembali ke rumahnya.
Sejak saat itu, Mbok Sarni pun hidup tenang bersama Timun Mas. Raksasa itu tak pernah lagi datang mengganggu mereka.
Jawa Tengah Ilustrasi: Lisa Gunawan Cindelaras Cindelaras adalah seorang pemuda yang tinggal bersama ibunya di sebuah hutan terpencil. Jika melihat perawakannya yang gagah dan parasnya yang tampan, rasanya tak pantas dia tinggal di hutan. Dia lebih cocok tinggal di istana. Sebenarnya, Cindelaras memang seorang pangeran. Ayahnya adalah Raden Putra, raja Kerajaan Jenggala. Namun, ibu Cindelaras merahasiakan hal ini kepada putranya.
Meski tinggal di hutan, Cindelaras tak kesepian. Dia bersahabat dengan semua binatang yang ada. Suatu hari, seekor burung rajawali menghadiahinya sebutir telur ayam. Cindelaras amat senang dan menghangatkan telur itu supaya bisa menetas dengan baik.
Selang beberapa minggu, telur itu pun menetas. Dengan sabar, Cindelaras memelihara anak ayamnya. Dia tak pernah lupa memberi makan dan memandikannya.
Sekarang, anak ayam itu telah menjadi ayam jantan yang besar dan kuat.
Namun, ada yang aneh pada ayam itu. Saat berkokok, ayam itu mengeluarkan suara, Kukuruyukk... tuanku Cindelaras, wajahnya tampan rupawan, rumahnya di hutan rimba, ayahnya Raden Putra.
Rupanya, ayam jantan ini adalah ayam jantan ajaib! Karena penasaran, Cindelaras bertanya pada ibunya, Benarkah Raden Putra adalah ayahku"
Ibunya akhirnya menceritakan kejadian bertahun-tahun yang lalu. Raden Putra mengusir ibu Cindelaras dari istana karena dituduh telah meracuni adik Raden Putra. Saat itu, Raden Putra tak tahu bahwa ibu Cindelaras sedang mengandung.
Mendengar cerita ibunya, Cindelaras bertekad untuk menemui Raden Putra.
Setelah menempuh perjalanan jauh, Cindelaras akhirnya sampai di Kerajaan Jenggala.
Aku ingin mengadu ayamku dengan ayam Raden Putra, kata Cindelaras pada para pengawal.
Raden Putra pun menemui Cindelaras. Saat melihat Cindelaras, Raden Putra terkesiap. Beliau merasa mengenal wajah itu.
Siapa kau" Berani sekali menantang ayamku. Apa yang akan kau berikan padaku jika ayammu kalah" tantang Raden Putra.
Cindelaras menunduk hormat, Hamba akan mengabdikan seluruh hidup hamba pada Kerajaan Jenggala.
Raden Putra setuju. Cindelaras pun mengeluarkan si ayam jantan dari keranjang yang dizinjingnya.
Begitu keluar, ayam Cindelaras langsung berkokok seperti biasanya.
Kukuruyuukk... tuanku Cindelaras, wajahnya tampan rupawan, rumahnya di hutan rimba, ayahnya Raden Putra.
Semua yang ada di situ terkejut. Wajah Raden Putra memucat.
Siapakah dirimu sebenarnya" Mengapa ayam ini berkata bahwa kau adalah putraku"
Cindelaras pun menjelaskan siapa dirinya dan Raden Putra terduduk mendengarnya.
Astaga, aku telah menyia-nyiakan anakku sendiri! sesalnya.
Raden Putra memandang Cindelaras, Anakku, maukah kau memaafkan kesalahan ayahmu ini"
Cindelaras mengangguk mantap. Raden Putra lega dan beliau memerintahkan para pengawal untuk menjemput ibu Cindelaras dari hutan.
Sebenarnya, setelah mengusir ibu Cindelaras, Raden Putra menyadari bahwa dia telah melakukan kesalahan. Namun, dia tidak dapat menemukan istrinya. Ibu Cindelaras seperti lenyap ditelan bumi.
Sekarang, berkat ayam jantan Cindelaras, mereka semua dapat berkumpul kembali dan hidup berbahagia.
DIY Ilustrasi: Pandu Sotya Asal Usul Nama Kali Gajah Wong
Suatu pagi, Ki Sapa Wira seperti biasa menuntun gajah milik Sultan Agung, raja Kerajaan Mataram. Dia akan memandikan gajah yang diberi nama Kyai Dwipangga itu.
Mereka berjalan menuju sebuah sungai di dekat Keraton Mataram.
Ki Sapa pun memandikan Kyai Dwipangga, sambil bersiulsiul riang. Nah, sekarang kau sudah bersih. Saatnya kita kembali ke kandang. Ki Sapa Wira
memandang Kyai Dwipangga dengan wajah puas. Ki Sapa Wira sudah merawat Kyai Dwipangga sejak gajah itu masih kecil. Tak heran, Kyai Dwipangga amat patuh padanya.
Beberapa hari kemudian, Ki Sapa Wira sakit. Sebenarnya, bukan sakit parah, hanya ada sebuah bisul besar di ketiaknya. Namun, bisul itu membuatnya pusing. Rasanya ngilu sekali. Badannya juga jadi demam. Karena itu, Ki Sapa Wira meminta adik iparnya, Ki Kerti Pejok, untuk memandikan Kyai Dwipangga.
Ingat, mandikan dia di sungai kecil dekat keraton ini saja. Jangan ke mana-mana, pesannya pada Ki Kerti Pejok.
Saat menuju ke sungai, hujan turun.
Anehnya, air sungai tempat Kyai Dwipangga mandi, malah surut. Ah, aku tak mungkin memandikan gajah ini di sini. Airnya tak cukup!
Ki Kerti Pejok berpikir keras. Dia lalu mengajak Kyai Dwipangga untuk pergi ke hilir sungai. Di sana, air sungai terlihat tinggi dan alirannya cukup deras.
Sambil memandikan Kyai Dwipangga, Ki Kerti Pejok berpikir. Kenapa Kakang tidak pernah memandikan gajahnya di sini, ya" Di sini, airnya lebih banyak dibandingkan sungai kecil itu. Ah... jangan-jangan Kanjeng Sultan Agung juga tidak paham. Saat dia sibuk berbicara sendiri, tiba-tiba dari arah hulu datanglah banjir bandang yang amat besar.
Banjir bandang itu datang begitu cepat. Ki Kerti Pejok dan Kyai Dwipangga bahkan tak menyadari adanya banjir bandang itu.
Dalam sekejap mata, tubuh keduanya terhempas dan terbawa arus banjir bandang itu.
Tubuh mereka terseret dan hanyut sampai ke Laut Selatan. Mereka berdua meninggal akibat keganasan banjir bandang itu.
Ki Kerti Pejok tak tahu, bahwa selama ini Sultan Agung memang melarang para abdinya untuk memandikan gajah di hilir sungai. Beliau tahu bahwa bahaya bisa datang sewaktuwaktu di sana.
Ki Sapa Wira berduka. Dia amat sedih kehilangan adik ipar dan gajah kesayangannya.
Untuk mengenang kejadian itu, Sultan Agung lalu menamai sungai itu Kali Gajah Wong. Kali berarti sungai, gajah wong berarti gajah dan orang.
Sungai ini terletak di sebelah timur Kota Yogyakarta.
DIY Ilustrasi: Selvie Djie Bawang Putih dan Bawang Merah
Di sebuah desa, ada seorang gadis piatu yang tinggal bersama ayahnya. Gadis itu bernama Bawang Putih. Saat Bawang Putih beranjak dewasa, ayahnya menikah lagi. Sekarang, Bawang Putih mempunyai ibu tiri dan juga seorang saudara tiri bernama Bawang Merah.
Awalnya, si ibu tiri amat baik pada Bawang Putih. Demikian juga dengan Bawang Merah. Namun, lama-kelamaan sifat mereka berubah, apalagi setelah ayah Bawang Putih meninggal dunia. Mereka berdua bersikap sewenangwenang terhadap Bawang Putih.
Suatu hari, Bawang Putih pergi mencuci di sungai. Saat membilas, baju kesayangan ibu tirinya hanyut terbawa arus sungai. Bawang Putih ketakutan. Ibu tirinya pasti marah. Maka, dia memberanikan diri menyusuri arus sungai yang deras untuk menemukan baju itu. Dia terus berjalan, tetapi baju itu tak juga ditemukan. Padahal, hari semakin gelap.
Bawang Putih menangis. Dia lelah dan takut. Saat itulah seorang nenek tua melintas.
Gadis cantik, apa yang kau lakukan di sini" Hari sudah malam, tegur nenek itu.
Sambil berurai air mata, Bawang Putih menceritakan masalahnya.
Nenek itu mengeluarkan sesuatu dari keranjangnya.
Apakah ini bajunya" Bawang Putih
terbelalak senang melihat baju itu. Itu memang baju ibu tirinya.
Kau boleh mengambilnya kembali, tapi ada syaratnya. Kau harus membantuku membawakan keranjangku ini. Bahuku terasa pegal memanggulnya, keluh nenek itu.
Bawang Putih setuju. Dia merasa iba melihat tubuh renta si nenek. Meski keranjang itu cukup berat, tetapi Bawang Putih tak mengeluh sedikit pun.
Setiba di rumah Nenek, Bawang Putih berpamitan. Sesuai janjinya, nenek tua itu mengembalikan baju ibu tirinya. Selain itu, dia juga memberi sebuah labu pada Bawang Putih. Pilihlah, kau mau yang besar atau yang kecil" tanyanya. Karena tak mau serakah, Bawang Putih memilih labu yang kecil. Kami hanya tinggal bertiga. Labu ini cukup untuk kami semua. Tak perlu labu yang besar.
Bawang Putih pulang dengan hati senang. Sesampainya di rumah, dia menceritakan semua pengalamannya pada ibu tirinya, yang terus mengomel.
Untuk menghentikan omelan ibu tirinya, Bawang Putih pun menunjukkan labunya. Dia lalu mengambil pisau dan membelah labu itu.
Tak disangka, dari dalam labu itu keluar emas dan berlian yang amat banyak.
Di mana tempat tinggal nenek itu" Aku juga mau labu seperti ini! teriak Bawang Merah. Bawang Putih lalu menjelaskan tempat dia bertemu dengan nenek itu. Dan, Bawang Merah pun pergi ke sana.
Bawang Merah pura-pura menghanyutkan bajunya, lalu menangis seperti yang dilakukan Bawang Putih. Ternyata, nenek itu muncul lagi. Nenek itu lalu mengajukan syarat yang sama. Teringat akan cerita Bawang Putih, Bawang Merah pun setuju.
Namun, berbeda dengan Bawang Putih, Bawang Merah terus mengomel. Sebentar-sebentar dia berhenti dan mengeluh kelelahan. Bahkan, saat perjalanan masih jauh, dia sudah tak mau lagi membawakan keranjang nenek itu.
Bawa saja sendiri, aku mau pulang saja. Tapi, sebelum aku pulang, aku minta labu! ujarnya ketus.
Nenek itu menghela napas dan mengeluarkan dua buah labu dari keranjangnya.
Ini. Mana yang kau pilih" Yang besar atau yang kecil" Tanpa menjawab, Bawang Merah merebut labu yang besar dan segera berlari pulang.
Di rumah, ibunya menyambut gembira. Mereka berdua lalu membelah labu itu. Namun, labu itu tak mengeluarkan emas dan berlian. Labu itu malah mengeluarkan binatang-binatang yang mengerikan seperti ular dan kalajengking. Mereka berdua berteriak ketakutan dan membuang labu itu jauh-jauh.
Mereka berdua akhirnya menyadari bahwa mereka terlalu serakah. Sejak saat itu, mereka pun bersikap baik pada Bawang Putih.
DIY Ilustrasi: Merri An Roro Jonggrang Roro Jonggrang gundah. Ayahnya, Raja Prambanan, baru saja gugur saat berperang melawan Bandung Bondowoso dari Kerajaan Pengging.
Sekarang, Bandung Bondowoso menguasai Kerajaan Prambanan. Dia bahkan hendak menjadikan Roro Jonggrang sebagai permaisurinya. Tentu saja Roro Jonggrang menolak.
Rupanya, penolakan Roro Jonggrang membuat Bandung Bondowoso marah. Dia lalu mengurung Roro Jonggrang dalam istana, bersama Bi Sumi dan
dayang-dayang lain. Tiap hari, Bandung Bondowoso terus mendesak Roro Jonggrang untuk menikah dengannya. Lama kelamaan, Roro Jonggrang bosan mendengarnya.
Akhirnya, Roro Jonggrang punya akal. Aku bersedia menjadi permaisurimu, tapi ada syaratnya. Jika kau berhasil memenuhinya, maka aku akan menikah denganmu. Tapi jika kau gagal, izinkanlah aku pergi dari sini.
Bandung Bondowoso menjawab dengan angkuh. Apa pun yang kau minta, pasti akan kuberikan. Jika sampai aku gagal, kau tak usah pergi dari sini. Aku akan mengembalikan kerajaan ini padamu.
Roro Jonggrang tersenyum, Jika begitu, buatkan aku seribu buah candi dalam semalam. Semuanya harus jadi sebelum matahari terbit, pintanya mantap.
Bandung Bondowoso terhenyak. Seribu candi dalam semalam"
Namun, tak berapa lama kemudian, dia kembali tertawa pongah, Aku pasti berhasil memenuhi permintaanmu. Bandung Bondowoso lalu meminta tolong pada pasukan jin. Tentu saja seribu candi dalam semalam bukan hal yang sulit bagi mereka. Dalam waktu singkat, bangunan candi mulai tampak. Roro Jonggrang yang mengintip dari kamarnya mulai gelisah.
Bi, kita harus melakukan sesuatu! Lihatlah, candinya hampir siap, kata Roro Jonggrang panik. Bi Sumi pun ikut panik saat mengintip.
Hamba punya akal. Ayo, ikuti hamba, seru Bi Sumi tiba-tiba. Mereka berdua lalu menyelinap ke luar kamar dan menuju ke kamar dayang-dayang lain yang letaknya tak jauh dari kamar mereka.
Bi Sumi memerintahkan para dayang dan pengawal istana yang setia untuk mengumpulkan jerami.
Untuk apa, Bi" bisik Roro Jonggrang.
Bi Sumi menempelkan telunjuknya di bibir. Kita akan membakar jerami ini, sehingga langit terkesan merah, pertanda matahari sudah terbit.
Setelah jeraminya terkumpul cukup banyak, Bi Sumi membakarnya. Dia juga memerintahkan para dayang untuk menumbuk lesung.
Suara lesung yang bertalu-talu, ditambah semburat api yang memerah di langit, membuat suasananya mirip pagi hari. Ayam jantan pun tertipu dan berkokok keras-keras. Kukuruyukk... kukuruyukkk...
Mendengar kokok ayam jantan, Bandung Bondowoso dan pasukan jin terkejut. Mereka melihat ke langit.
Wah, ternyata hari sudah pagi. Kami harus pergi! teriak para jin sambil meninggalkan tempat itu.
Bandung Bondowoso memandang candi-candi di hadapannya. Dia yakin, jumlahnya sudah seribu buah. Roro Jonggrang tak akan bisa mengelak, Bandung Bondowoso mencari Roro Jonggrang.
Roro Jonggrang menghitung candi-candi yang sudah selesai. 997, 998, 999, dan... jumlahnya kurang satu! pekik Roro Jonggrang
Bandung Bondowoso tak percaya. Dia lalu menghitung sendiri jumlah candinya. Ternyata memang benar, hanya 999 buah.
Bandung Bondowoso amat kecewa dan marah. Aku tak pernah kalah! Apa pun yang kuinginkan, pasti kudapatkan. Jika aku mau seribu candi, maka aku akan mendapatkannya.
Tapi, jumlahnya memang kurang satu. Kau harus menepati janjimu, Roro Jonggrang ketakutan melihat amarah Bandung Bondowoso.
Bandung Bondowoso menyeringai. Jika begitu, kau saja yang melengkapi jumlah candi ini. Jadilah kau candi keseribu!
Dengan kesaktiannya, Bandung Bondowoso berhasil mengubah Roro Jonggrang menjadi patung batu. Patung itulah yang melengkapi jumlah candi menjadi
seribu buah. Sampai sekarang, candi-candi tersebut masih berdiri dengan megah di wilayah Prambanan, dan disebut dengan Candi Sewu.
Jawa Timur Ilustrasi: Pandu Sotya Keong Mas Dahulu kala, hiduplah kakak beradik yang bernama Dewi Galuh dan Candra Kirana. Dewi Galuh adalah seorang gadis yang pendengki. Dia tak suka saat Pangeran Inu Kertapati hendak menikahi adiknya. Dia ingin Pangeran menikah dengannya. Karena itu, dia menemui nenek sihir untuk membatalkan pernikahan itu.
Jangan khawatir. Besok, adikmu akan menghilang. Setelah itu, kau bisa menikahi Pangeran Inu Kertapati, janji nenek sihir itu kepadanya.
Nenek sihir membuktikan janjinya. Dia menyihir Candra Kirana menjadi seekor keong mas, dan melemparnya ke tengah lautan.
Kau bisa kembali ke wujud semula, jika Pangeran Inu Kertapati menemukanmu. Tapi, hal itu tak mungkin terjadi!
Sejak saat itu, Keong Mas alias Candra Kirana hidup terombang-ambing di lautan. Namun, Tuhan sayang padanya. Seorang nenek nelayan menemukannya dan membawanya pulang.
Nenek itu menyimpan Keong Mas dalam tempayan. Kemudian, dia tertidur pulas karena lelah seharian melaut. Saat dia bangun, dia melihat meja dapurnya telah penuh dengan hidangan lezat. Meski heran, nenek itu tetap saja memakannya karena lapar.
Nenek itu bertekad untuk menyelidiki, siapa yang menyediakan makanan untuknya.
Ternyata, yang menyediakan adalah Keong Mas. Keong itu keluar dari tempayan dan menjelma kembali menjadi Candra Kirana.
Candra Kirana lalu menceritakan semua kisahnya. Nenek itu pun merasa iba.
Kau boleh tinggal di sini. Yakinlah, suatu saat Pangeran Inu Kertapati akan menemukanmu. Nenek benar. Selama ini, Pangeran Inu Kertapati tak henti-hentinya mencari Candra Kirana. Namun, seekor burung gagak yang dikirim oleh nenek sihir, selalu menyesatkan Pangeran. Burung gagak itu selalu menunjukkan arah yang salah.
Untunglah, ada seorang kakek sakti yang menolong Pangeran. Kakek itu mengetahui niat si burung gagak untuk menyesatkan Pangeran. Dalam sekejap, diubahnya si burung gagak menjadi asap.
Jika kau mencari Candra Kirana, dia ada di sebuah rumah di Desa Dadapan, kata kakek itu pada Pangeran. Mendengar hal itu, Pangeran Inu Kertapati tak membuang waktu. Dia segera menuju desa itu.
Ternyata, kakek sakti itu benar. Pangeran Inu Kertapati menemukan rumah si nenek di Desa Dadapan. Nenek itu lalu menunjukkan Keong Mas yang ada di tempayannya.
Itu Candra Kirana" tanya Pangeran bingung.
Saat itulah, kutukan dari si nenek sihir lenyap. Keong Mas berubah wujud menjadi Candra Kirana.
Pangeran Inu Kertapati lalu mengajak Candra Kirana pulang. Di sana, mereka disambut gembira oleh seluruh rakyat.
Dewi Galuh pun malu. Dia memeluk Candra Kirana dan meminta maaf.
Dia mengakui bahwa dialah yang meminta nenek sihir untuk melakukan semuanya.
Candra Kirana memaafkan kakaknya.
Berkat kegigihan Pangeran Inu Kertapati, kini Candra Kirana kembali seperti semula. Mereka berdua lalu menikah dan hidup berbahagia.
Jawa Timur Ilustrasi: Gege Orange Calon Arang Suatu hari, Kerajaan Kahuripan diserang wabah penyakit aneh. Penduduknya banyak yang meninggal. Raja Erlangga dan Patih Narottama pun kebingungan. Setelah diselidiki, penyakit aneh itu ternyata disebarkan oleh seorang wanita penyihir bernama Serat Asih alias Calon Arang.
Raja Erlangga lalu menugaskan Patih Narottama untuk menangkap Calon Arang. Bersama pasukannya, Patih Narottama pun berangkat ke Desa Girah, tempat tinggal Calon Arang.
Sayangnya, Calon Arang tak mudah dikalahkan. Bersama empat muridnya yang bernama Supila, Guritna, Datyeng, dan Pitrah, dia melawan Patih Narottama dan anak buahnya habis-habisan.
Patih Narottama mengerahkan seluruh kemampuannya. Berkalikali pedangnya berhasil menyabet Calon Arang, tetapi Calon Arang tak pernah terluka.
Lama-kelamaan, Patih Narottama pun kelelahan. Dia menarik mundur pasukannya dan kembali ke istana. Wanita itu pasti punya rahasia. Kita harus mencari tahu agar bisa mengalahkannya, lapor Patih Narottama pada Raja Erlangga.
Raja Erlangga berpikir sejenak. Beliau lalu teringat pada Empu Bharada, adik ipar Calon Arang.
Barangkali dia bisa membantu kita. Empu Bharada bersedia membantu. Meski dia adalah adik ipar Calon Arang, tetapi dia tak pernah setuju dengan kelakuan kakak iparnya itu. Dia lalu mengutus Bahula, muridnya, untuk mencari tahu rahasia Calon Arang. Menurut Empu Bharada, semua rahasia Calon Arang tertulis di kitab pusakanya.
Kau harus menikahi Ratna Manggali, putri dari Calon Arang. Jika kau sudah jadi menantunya, maka kau tak sulit melaksanakan tugas ini. Semua rahasia Calon Arang, ada di kitab pusakanya. Carilah kitab itu dan berikan padaku, pesan Empu Bharada pada Bahula.
Tak sulit bagi Bahula untuk menikahi Ratna Manggali. Calon Arang suka melihat Bahula yang sopan dan tampan. Pesta pernikahan pun diselenggarakan. Sejak saat itu, Bahula tinggal di rumah Calon Arang.
Suatu malam, Bahula mulai melaksanakan tugasnya. Setelah yakin keadaan aman, dia mengendap-endap memasuki kamar Calon Arang. Di sana, dia menemukan kotak kayu berwarna cokelat. Ternyata benar, kitab pusaka Calon Arang ada di dalam kotak itu.
Malam itu juga, Bahula meninggalkan rumah, dan menuju ke rumah Empu Bharada untuk menyerahkan kitab pusaka itu.
Empu Bharada mempelajari isi kitab pusaka dengan teliti. Menurut kitab itu, Calon Arang hanya dapat dikalahkan dengan senjata keris Weling Putih.
Itu kan keris milik Empu sendiri" tanya Bahula bingung.
Empu Bharada mengangguk. Sekarang, dia bisa
mengalahkan Calon Arang dengan mudah. Dia
mengambil kerisnya dan menuju ke Desa Girah ditemani Bahula.
Sesampai di Desa Girah, rupanya Calon Arang telah siap. Bahula, berani sekali kau menipuku dan putriku, rasakan pembalasanku! kata Calon Arang sambil menyerang Bahula. Namun, Empu Bharada menghadangnya.
Mereka berdua bertarung dengan seru.
Empu Bharada mengeluarkan kerisnya. Calon Arang terkejut. Dia amat ketakutan.
Ampun Dimas, jangan kau bunuh aku dengan keris itu, teriaknya beriba.
Empu Bharada menjawab, Kang Ayu, jika kau mau selamat, segera pulihkan keadaan rakyat seperti semula. Hancurkan segala penyakit yang sudah kau sebarkan pada mereka. Setelah itu, kau juga harus pergi jauh-jauh meninggalkan negeri ini.
Calon Arang setuju. Sejak saat itu, segala penyakit yang menyerang rakyat Kerajaan Kahuripan lenyap. Rakyat kembali hidup berbahagia dan aman sentosa.
Jawa Timur Ilustrasi: Tjhang Tina Kisah Lembu Sura Raja Brawijaya dari Majapahit mengadakan sayembara untuk semua pemuda. Barang siapa yang bisa merentang busur sakti Kyai Garadoksa dan mengangkat gong Kyai Sekardelima, dia akan dijadikan penerus takhta Majapahit dan menikah dengan putrinya yang bernama Dyah Ayu Pusparani.
Ternyata, tak ada yang mampu memenangkan sayembara itu. Namun, menjelang berakhirnya pertandingan, muncullah seorang pemuda berkepala lembu. Namanya Lembu Sura. Dia sanggup menyelesaikan sayembara.
Putri Pusparani terpekik. Dia tak mau menikah dengan pemuda berkepala lembu. Dia mencari akal untuk membatalkan pernikahannya.
Kau sungguh hebat. Tapi, bolehkah aku meminta mas kawin berupa sumur di puncak Gunung Kelud" Air dari sumur itu akan kita pergunakan untuk kehidupan kita kelak setelah menikah, pinta Putri Pusparani. Dalam hatinya, dia membatin, Lembu Sura tak mungkin mampu melakukannya. Gunung Kelud adalah gunung berapi. Tak mungkin ada mata air di dalamnya.
Di luar dugaan, Lembu Sura menyanggupi permintaan itu. Baginya, itu bukanlah hal yang sulit. Dia segera menuju ke puncak Gunung Kelud dan mulai menggali. Putri dan Raden Brawijaya pun ikut untuk menyaksikan.
Saat galiannya mulai dalam, air pun muncul. Putri Pusparani jadi cemas. Raja Brawijaya mengetahui kecemasan putrinya itu. Sebenarnya, Raja Brawijaya juga tak mau jika putrinya menikah dengan manusia berkepala lembu.
Raden Brawijaya mencari akal. Akhirnya, dia memerintahkan para prajurit untuk menimbun galian itu dengan batu dan tanah. Mata air yang tadinya muncul, kembali tertutup. Tak ada air yang mengalir.
Lembu Sura amat marah. Sekarang dia mengerti bahwa Putri Pusparani memang tak mau menikah dengannya. Dengan kesaktiannya, dia mengeluarkan sumpah.
Setiap dua windu sekali, aku akan datang dan merusak kehidupanmu! lalu Lembu Sura pun menghilang.
Raja Brawijaya dan Putri Pusparani tak bisa berkata apa-apa.
Hingga sekarang, rakyat percaya jika Gunung Kelud meletus, tandanya Lembu
Sura sedang membalaskan dendamnya.
Bali Ilustrasi: Merri An Terjadinya Selat Bali Manik Angkeran adalah putra seorang Brahmana bernama Sidhimantra.
Mereka tinggal di Kerajaan Daha, Bali. Waktu itu, Pulau Bali belum terpisah dengan Pulau Jawa.
Manik Angkeran adalah anak yang cerdas. Sayangnya, dia mudah dipengaruhi oleh teman-temannya. Dia suka sekali menyabung ayam. Padahal, sudah berulang kali Sidhimantra menasihatinya.
Semakin lama, ayamnya semakin sering kalah. Uang Manik Angkeran pun ludes. Dia bahkan harus berhutang untuk membayar kekalahannya. Namun, dia tak pernah kapok. Dia masih ingin terus menyabung ayam.
Anakku, kau tak akan pernah bisa kaya dari menyabung ayam. Berhentilah selagi belum terlambat, nasihat Sidhimantra.
Namun, Manik Angkeran tak peduli. Lama kelamaan, harta ayahnya juga ludes dipakainya untuk membayar hutang. Sekarang, Sidhimantra tak punya uang lagi.
Suatu hari, Manik dikejar-kejar orang yang menagih hutangnya.
Ayah, tolonglah aku! Mereka akan mencelakaiku jika aku tak membayar hutangku!
Sidhimantra gelisah. Dia sudah tak memiliki harta, tetapi dia juga tak mau anaknya celaka.
Sidhimantra lalu mendapat petunjuk lewat mimpinya, untuk meminta pertolongan pada Naga Besukih di Gunung Agung.
Sesampainya di Gunung Agung, Sidhimantra membunyikan genta seperti petunjuk dalam mimpinya. Naga Besukih yang mendengarnya pun keluar. Sidhimantra memandang takjub! Ekor Naga Besukih penuh dengan emas dan permata!
Siapakah kau" Apa maksudmu datang kemari" tanya Naga Besukih.
Sidhimantra lalu menjelaskan maksud kedatangannya. Dia hendak meminta sedikit harta Naga Besukih untuk membayar hutang Manik Angkeran.
Naga Besukih setuju, lalu dia mulai menggoyangkan ekornya. Beberapa emas dan permata pun rontok dari ekornya itu. Dia lalu memberikannya pada Sidhimantra.
Sayangnya, Manik Angkeran tidak membayar hutangnya. Dia malah menggunakan harta itu untuk kembali menyabung ayam. Akhirnya, harta itu ludes lagi dan dia berhutang lagi.
Karena tak bisa lagi meminta pada ayahnya, dia lalu mencari tahu dari mana ayahnya mendapat harta.
Ayahmu telah menemui Naga Besukih untuk meminta harta, kata seseorang.
Manik Angkeran meniru tindakan ayahnya. Naga Besukih pun muncul di hadapannya. Mendengar penuturan Manik, Naga Besukih sedikit kesal. Namun, dia tetap bersedia memberikan hartanya.
Saat dia menggoyangkan ekornya, Manik Angkeran silau melihat betapa banyaknya emas dan permata yang menempel di sana. Dia lalu mengambil pedang dan berusaha memotong ekor Naga Besukih. Namun, Naga Besukih berhasil melawannya dan membalas serangan itu dengan api dari mulutnya.
Manik Angkeran tak bisa mengelak, dia tersambar api dan tubuhnya menjadi abu. Saat itulah Sidhimantra muncul.
Wahai Naga Besukih, sudikah kau menghidupkan putraku lagi" Berilah dia kesempatan untuk memperbaiki dirinya, mohon Sidhimantra.
Naga Besukih menghela napas.
Baiklah. Aku akan menghidupkannya, tapi dia tak boleh pulang denganmu. Dia harus tinggal di sini dan menjadi muridku. Aku akan mendidiknya menjadi orang yang baik dan berilmu.
Sidhimantra setuju. Manik Angkeran pun hidup kembali. Untuk mencegah Manik Angkeran pulang bersamanya, Sidhimantra mengeluarkan tongkatnya dan membuat garis yang memisahkan dirinya dengan anaknya. Dari garis itu tiba-tiba keluar air yang tambah lama bertambah deras. Gunung Agung pun terpisah dari sekitarnya.
Genangan air itulah yang kemudian dikenal dengan Selat Bali yang memisahkan Pulau Bali dan Pulau Jawa.
Bali

Cerita Rakyat Nusantara Karya Dian K di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ilustrasi: Salestinus Kebo Iwa Dahulu, hiduplah seorang anak laki-laki yang memiliki nafsu makan sangat besar. Namanya Kebo Iwa, artinya Paman Kerbau. Dia dinamai seperti itu, karena dia terus makan seperti kerbau.
Begitu banyak makannya, badannya pun menjadi besar dan kuat. Sekarang, Kebo Iwa menjadi pemuda yang tangguh.
Dia bekerja sebagai penjaga keamanan di desanya. Dengan badannya yang besar, dia mudah mengalahkan siapa saja yang hendak mengganggu desanya.
Karena kehebatannya, Raja Bedahulu mengangkatnya menjadi patih kerajaan. Kebo Iwa amat tersanjung. Lalu, dia pun mengucap sumpah.
Selama Hamba masih bernapas, Pulau Bali tak akan pernah dikuasai oleh siapa pun.
Ucapannya terbukti. Sejak Kebo Iwa menjadi patih, Kerajaan Majapahit yang selalu menyerang Bali, tak berani lagi mengganggu.
Patih Kerajaan Majapahit yang bernama Gajah Mada menjadi gelisah. Dari dulu, dia memiliki tekad untuk menyatukan seluruh nusantara. Dia bahkan bersumpah untuk tidak memakan buah palapa jika tekadnya itu belum tercapai. Sumpah itu dikenal dengan Sumpah Palapa. Dengan adanya Kebo Iwa, dia tak bisa menyerang Bali. Dia mencari akal. Dia mengundang Kebo Iwa untuk datang ke jamuan makan di Kerajaan Majapahit.
Di Majapahit, Kebo Iwa disambut dengan meriah. Patih Gajah Mada sendiri yang menyambutnya. Setelah makan, Patih Gajah Mada bertanya pada Kebo Iwa.
Sebagai tanda perdamaian di antara kita, maukah kau membantu kami"
Patih Gajah Mada lalu menjelaskan bahwa Majapahit kekurangan air. Dia meminta bantuan Kebo Iwa untuk menggali sumur raksasa.
Kebo Iwa dengan senang hati mengiyakan permintaan itu.
Ternyata itu hanya jebakan! Saat Kebo Iwa berada di dalam tanah dan menggali, tiba-tiba saja pasukan Majapahit menutup lubang itu dengan tanah dan batu. Tentu saja Kebo Iwa marah. Sekuat tenaga, dia melempar balik batu-batu itu dan melesat keluar dari lubang sumur.
Kebo Iwa lalu bertarung melawan Patih Gajah Mada. Menyerahlah, Patih Kebo Iwa. Niat kami hanya ingin mempersatukan nusantara! teriak Patih Gajah Mada.
Kebo Iwa tak peduli. Mereka terus bertarung, sampai akhirnya mereka kelelahan.
Pertempuran ini sia-sia. Aku akan terus berusaha menguasai Bali. Niatku bukan untuk menjajah, tapi untuk mempersatukan nusantara ini! kata Patih Gajah Mada.
Melihat kegigihan Patih Gajah Mada, Kebo Iwa pun bimbang.
Aku tak bisa menyerah. Aku sudah bersumpah menjaga Bali selama aku masih bernapas, jawab Kebo Iwa. Kebo Iwa lalu menunjuk gunung kapur di seberang pulau. Kau tak akan bisa membunuhku. Aku punya kesaktian. Namun, jika kau bisa menghancurkan gunung kapur itu, dan mengoleskan sedikit ke kepalaku, maka kesaktianku akan hilang.
Meski heran dengan pernyataan Kebo Iwa, Patih Gajah Mada melesat menuju gunung itu. Dia kembali membawa segenggam kapur dan mengoleskannya ke kepala Kebo Iwa.
Kebo Iwa langsung lemas tak bertenaga. Dengan mudah, Patih Gajah Mada mengalahkannya.
Tidak apa-apa, kematianku membawa kebaikan bagi kita semua, ucap Kebo Iwa sebelum meninggal.
Patih Gajah Mada memeluk jasad Kebo Iwa. Dia kagum dengan jiwa kesatria Kebo Iwa yang rela berkorban demi tujuan mulia.
Akhirnya, Kerajaan Majapahit dengan mudah menaklukkan Pulau Bali. Sesuai janji Patih Gajah Mada kepada Kebo Iwa, niatnya memang murni untuk menyatukan nusantara, bukan untuk menjajah maupun menyengsarakan rakyat Bali.
Bali Ilustrasi: Andri Permana Asal Mula Bukit Catu Pada zaman dahulu, ada sepasang suami istri yang bekerja sebagai petani. Menjelang musim panen, Suami berkata pada istrinya.
Jika nanti hasil panen kita berlimpah, buatlah tumpeng nasi yang besar. Lalu, undanglah semua orang untuk makan bersama.
Istrinya setuju. Mereka berharap hasil panen mereka benar-benar melimpah.
Ternyata, harapan mereka terkabul!
Dengan penuh sukacita, Istri menyiapkan tumpeng nasi dan menyilakan penduduk desa untuk makan sepuasnya.
Menjelang musim panen berikutnya, si Suami berkata lagi pada istrinya.
Semoga saja panen kita nanti lebih banyak lagi! Kalau bisa, tiga kali lipat dari sebelumnya. Nanti, jika harapanku ini terkabul, buatlah tiga tumpeng nasi yang lebih besar. Lagi-lagi, istrinya setuju. Dia juga ingin agar hasil panennya banyak
Wah, kita bisa mengadakan pesta yang jauh lebih meriah, gumamnya.
Musim panen tiba. Harapan mereka terkabul lagi. Hasil panennya tiga kali lipat dari jumlah panen sebelumnya!
Ini benar-benar anugerah. Apa yang kita harapkan selalu berhasil, seru Suami.
Lalu, seluruh penduduk desa kembali diundang. Mereka berpesta dengan tiga tumpeng nasi dan aneka hidangan lainnya.
Beberapa hari kemudian, Suami pergi ke sawah. Di sana, dia melihat seonggok tanah yang bentuknya mirip catu, alat penakar beras dari tempurung kelapa.
Hmm, aneh sekali. Kemarin, gundukan tanah ini tidak ada, batinnya.
Dia lalu menceritakan temuannya pada istrinya. Bagaimana jika kita membuat beberapa catu nasi" Siapa tahu, kalau kita membuatnya, hasil panen kita jauh lebih banyak, usulnya.
Sejak saat itu, Istri rajin membuat catu nasi. Setiap catu nasi yang dia buat, dia niatkan untuk menambah hasil panennya.
Namun, ada keanehan yang terjadi. Saat Suami pergi ke sawah, onggokan tanah yang berbentuk seperti catu nasi itu semakin besar.
Rupanya, tiap kali sang istri membuat catu nasi, saat itu pula onggokan tanah membesar.
Si petani tidak menyadari hal itu. Dia malah membuat catu yang lebih besar dan lebih besar lagi. Seolah mengikutinya, onggokan tanah itu juga semakin besar dan lebih besar.
Lama-kelamaan, onggokan tanah itu berubah menjadi bukit. Saat si petani dan istrinya berhenti membuat catu nasi, onggokan tanah itu juga berhenti membesar.
Sejak saat itulah, onggokan tanah itu disebut dengan Bukit Catu.
Nusa Tenggara Barat Ilustrasi: Syarifah Tika Sari Bulan Datu Panda'i adalah putra mahkota sebuah kerajaan di Sumbawa.
Suatu hari, dia bermimpi menikahi seorang gadis yang bernama Sari Bulan. Saat terbangun, dia
bertekad untuk menemukan gadis dalam mimpinya itu. Dia lalu berpamitan pada ayahnya.
Meski berat hati, ayahnya mengizinkan Datu Panda'i pergi.
Dengan menaiki kapal, Datu Panda'i meninggalkan kerajaan ditemani beberapa pengawal.
Setelah lama berlayar, kapal mereka berlabuh di sebuah pulau kecil. Datu Panda'i dan para pengawalnya pun turun, mencari air minum dan menyegarkan diri.
Saat itulah, mereka melihat sekelompok wanita cantik sedang bersenda gurau di pinggir sebuah sungai. Salah satu di antara mereka memanggil temannya, Sari Bulan, kemarilah!
Datu Panda'i terkesiap. Wanita yang dipanggil Sari Bulan itu benar-benar persis seperti wanita dalam mimpinya.
Datu Panda'i kemudian memberanikan diri untuk menemui orangtua Sari Bulan dan mengutarakan niatnya menikahi Sari Bulan.
Setelah menikah, Datu Panda'i dan Sari Bulan hidup rukun. Bahkan, mereka sedang menantikan kelahiran anak pertama mereka. Sekarang, Datu Panda'i berniat mengajak istrinya pulang ke kerajaannya.
Sebelum mereka naik kapal, ayah Sari Bulan berpesan agar Datu Panda'i menjaga Sari Bulan yang sedang hamil tua.
Jangan singgah ke Pulau Dewa. Di sana banyak makhluk yang bisa mencelakakan istrimu.
Saat kapal sudah jauh berlayar, tiba-tiba saja Sari Bulan mengidam makan daging menjangan.
Datu Panda'i pun tak tega mendengar rengekan istrinya. Dia memutuskan untuk singgah di pulau terdekat dan berburu menjangan. Sayangnya, tanpa dia sadari, pulau itu adalah Pulau Dewa.
Saat Datu Panda'i dan para pengawal pergi berburu menjangan, para makhluk jahat yang ada di Pulau Dewa mulai gelisah. Salah satunya adalah Kunti, makhluk jahat yang berwajah mengerikan. Kunti naik ke kapal dan menyerang Sari Bulan. Sari Bulan pun tercebur ke lautan. Untunglah, Tuhan masih melindunginya. Bajunya tersangkut pada kemudi di dalam air, sehingga dia tidak tenggelam.
Sementara itu, Datu Panda'i terkejut melihat keadaan kapal yang porak poranda. Saat melihat Kunti yang berwajah mengerikan, dia berteriak,
Oh, pasti istriku terkena kutukan. Ya Tuhan, aku tak sadar, pulau ini adalah Pulau Dewa!
Saat tiba di kerajaan, Datu Panda'i dinobatkan menjadi raja dan Kunti pun menjadi permaisuri. Sebagai permaisuri, tingkahnya amat sombong dan gila hormat.
Sementara itu, Sari Bulan yang tersangkut di kemudi kapal diselamatkan oleh kerang raksasa. Kerang itulah yang membawanya ke daratan, ke kerajaan Datu Panda'i. Sayangnya, mata Sari Bulan buta. Terlalu lama di laut menyebabkan biji matanya dimangsa oleh ikan.
Setibanya di daratan, Sari Bulan langsung melahirkan bayi laki-laki yang diberi nama Aipad. Mereka berdua hidup menumpang pada pasangan suami istri bernama Tangko.
Suatu hari, Tangko pulang membawa seekor ikan. Saat membantu membersihkan perut ikan, Aipad menemukan kedua biji mata ibunya. Kini, Sari Bulan bisa melihat kembali.
Sari Bulan lalu mengajak Aipad untuk pergi ke kerajaan, menemui Datu Panda'i.
Alangkah terkejutnya Datu Panda'i ketika melihat Sari Bulan.
Istriku" Lalu siapakah permaisuriku selama ini" Apakah Aipad adalah anakku" tanyanya beruntun.
Sari Bulan lalu menceritakan kejadian yang dialaminya. Alangkah gusarnya Datu Panda'i. Dia lalu memerintahkan pengawalnya untuk menangkap Kunti dan mengirimkannya kembali ke Pulau Dewa. Sejak saat itu, mereka bertiga hidup bahagia.
Nusa Tenggara Barat Ilustrasi: Merri An Batu Golog Di daerah Padamara, Nusa Tenggara Barat, ada sepasang suami istri yang amat miskin. Nama mereka adalah Amaq Lembain dan Inaq Lembain.
Mereka memiliki dua orang anak. Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, mereka berjalan berdua mengelilingi desa, menawarkan tenaga pada orang yang membutuhkan bantuan.
Suatu hari, seperti biasa Amaq Lembain dan Inaq Lembain pergi berkeliling. Kedua anaknya pun diajak ikut serta. Setelah seharian berkeliling, akhirnya Amaq Lembain mendapat pekerjaan. Seseorang memintanya untuk membantu mendirikan tembok rumah. Sekarang, tinggallah Inaq Lembain yang masih harus mencari pekerjaan. Sambil menggandeng kedua anaknya, dia mendatangi tiap rumah.
Syukurlah, tak lama kemudian Inaq Lembain mendapat pekerjaan sebagai penumbuk padi. Nanti, dia akan mendapat upah berupa sekantong beras. Inaq Lembain bekerja dengan penuh semangat. Sekantong beras amat berharga baginya.
Sebelum mulai bekerja, Inaq Lembain berkata pada kedua anaknya.
Duduklah dengan tenang. Ibu hendak bekerja dulu. Kalian jangan ke mana-mana, ya"
Lalu, dia mendudukkan kedua anaknya pada sebuah batu ceper, tak jauh dari tempatnya menumbuk padi. Batu ceper itu biasa disebut dengan batu golog.
Saat sedang sibuk menumbuk padi, terdengar suara kedua anaknya riuh memanggil. Ibu... ibu... lihatlah kami!
Inaq Lembain tak memedulikan panggilan anak-anaknya. Dia terus menumbuk.
Dia tak tahu, bahwa kedua anaknya memanggilnya karena telah terjadi keanehan pada batu yang mereka duduki. Batu itu diam-diam bergerak naik ke atas, makin lama makin tinggi. Ibu, ibu... lihatlah kami! teriak anak-anak itu lagi. Sssttt... diamlah, jangan ganggu ibu! sahut Inaq Lembain tanpa menoleh sedikit pun pada anak-anaknya.
Lama-kelamaan, batu itu semakin tinggi.
Kedua anak itu pun ketakutan. Mereka kembali berteriak, Ibu... ibu... batu ini bergerak naik. Kami takut, Bu!
Kedua anak itu terus berteriak-teriak, tetapi Inaq Lembain terus menumbuk sampai akhirnya suara anak-anak itu semakin kecil dan jauh.
Saat itulah Inaq Lembain menoleh. Alangkah paniknya dia ke melihat anak-anaknya sudah tinggi di langit. Inaq Lembain kebingungan, dia lalu menangis dan memohon pada Tuhan agar anak-anaknya selamat.
Inaq Lembain lalu melempar selendang yang dia kenakan. Ajaib, selendang itu mampu memecah batu golog tersebut menjadi tiga bagian. Sayangnya, kedua anaknya telah berubah menjadi dua ekor burung. Yang sulung menjadi burung kekuwo, dan yang bungsu menjadi burung kelik.
Inaq Lembain amat menyesal. Meski demikian, dia tetap membawa kedua burung itu pulang dan merawatnya.
Konon, ketiga bagian batu golog yang terbelah itu terlempar ke tiga daerah. Daerah-daerah tersebut sekarang bernama Desa Gembong, Dasan Batu, dan Montong Teker.
Nusa Tenggara Timur Ilustrasi: Martha Parman Suri Ikun dan Dua Ekor Burung
Suri Ikun adalah anak bungsu dari tujuh bersaudara. Suatu malam, bersama enam orang kakaknya, dia menjaga kebun ayahnya dari serangan babi hutan.
Sebenarnya, kakak-kakaknya tak suka dengan tugas itu. Mereka adalah anak-anak pemalas. Namun, karena tak mau membantah ayahnya, mereka berangkat juga.
Kau saja yang menjaga kebun. Aku tak mau, kata Kakak Pertama pada Suri Ikun.
Iya, tapi awas ya, jangan bilang pada Ayah, timpal Kakak Kedua.
Suri Ikun tak keberatan. Dia rela dan ikhlas membantu ayahnya.
Malam itu, Suri Ikun mulai berjaga. Meski mengantuk, dia berusaha keras untuk tetap terjaga. Akhirnya yang ditunggu-tunggu datang juga. Seekor babi hutan yang gemuk datang.
Dengan sigap, Suri Ikun mengambil anak panahnya dan membidik babi hutan itu. Bidikannya tepat mengenai sasaran. Babi hutan itu pun mati.
Wah, kau hebat sekali, Suri Ikun! kata ayahnya ketika Suri Ikun melaporkan keberhasilannya.
Mendengar pujian ayahnya, keenam kakak Suri Ikun pun jadi iri. Mereka semakin tak suka pada adik bungsunya itu.
Suatu hari, mereka bertujuh berjalan-jalan di hutan. Di sana, mereka asyik makan buah-buahan yang jatuh dari pohonnya.
Sementara itu, Suri Ikun asyik mengejar-ngejar hewan buruan. Dia terus berlari, hingga tak sadar kakak-kakaknya meninggalkannya.
Hari semakin sore dan gelap. Suri Ikun bermaksud untuk pulang. Saat itulah dia sadar bahwa dia sendirian.
Kakak... kakak... di mana kalian" teriaknya. Namun, tak ada jawaban.
Tiba-tiba, terdengar suara tawa yang mengerikan. Suri Ikun menoleh. Ternyata, suara itu berasal dari hantu-hantu yang bertengger di atas pohon.
Ayo teman-teman, kita tangkap anak muda ini! kata salah satu hantu.
Tapi dia terlalu kurus, jawab hantu yang lain. Jika begitu, kita kurung saja dulu dia dalam gua. Kita beri makanan yang banyak supaya dia cepat gemuk, kata hantu yang lain lagi.
Tanpa kesulitan, hantu-hantu itu menangkap Suri Ikun.
Sekarang, Suri Ikun dikurung di dalam gua yang gelap. Hanya ada sedikit celah untuk mengintip, tetapi Suri Ikun tak mungkin melarikan diri. Hantu-hantu itu bergantian menjaganya.
Suatu siang, ada dua ekor burung yang masuk melalui celah di gua itu. Rupanya, sayap keduanya patah. Mereka tak dapat terbang jauh.
Suri Ikun pun merawat kedua burung tadi. Tak lupa, dia juga menyembunyikan mereka jika hantu-hantu itu datang untuk memberinya makan.
Berkat Suri Ikun, kedua burung itu sembuh. Anak Muda, kami tahu bahwa
kau ingin sekali lolos dari gua ini. Percayalah, kami akan membantumu, kata mereka sebelum berpamitan.
Setelah itu, mereka terbang ke luar gua.
Tak lama kemudian, terdengar suara gaduh. Rupanya kedua burung tadi datang mengajak teman-temannya. Mereka menyerang para hantu yang mengurung Suri Ikun. Hantu-hantu itu dipatuk dan dicakar sehingga tak bisa bergerak.
Suri Ikun akhirnya bebas. Burung-burung itu bahu-membahu menyingkirkan batu besar yang menutup gua.
Sekarang, kau sudah bebas. Kami akan mengajakmu ke suatu tempat yang bisa kau tinggali selamanya, kata kedua ekor burung kecil.
Suri Ikun kemudian diajak terbang dengan menaiki salah satu burung yang besar.
Mereka melewati hutan, gunung, dan bahkan menyeberang lautan.
Ternyata, Suri Ikun dibawa ke sebuah kerajaan. Sebuah istana mungil yang cantik telah disediakan untuk tempat tinggalnya.
Suri Ikun lalu memimpin kerajaan kecilnya dengan adil dengan bijaksana.
Sampai akhir hayatnya, Suri Ikun dikenal sebagai raja yang baik hati.
Nusa Tenggara Barat Ilustrasi: Lisa Gunawan Kisah Si Pondik Pondik adalah pemuda pemalas dan licik. Dia sering menipu orang untuk mendapatkan uang. Suatu hari, dia dihukum oleh warga desa karena telah menipu mereka.
Ya, Pondik menjual sebuah periuk tanah berisi lebah. Dia berkata pada para warga, bahwa periuk itu adalah gong antik. Saat digoyang-goyang, periuk itu akan mengeluarkan suara nguuung...
Warga yang percaya pun membeli periuk itu. Pondik mendapat banyak uang. Namun, karena penasaran, si pembeli membuka periuk itu. Dan, lebah-lebah pun menyerang semua warga.
Tentu saja warga marah. Dengan badan bengkak karena disengat lebah, mereka mencari Pondik dan menggiringnya ke balai desa untuk diadili.
Pondik lalu dihukum. Tangannya diikat ke sebuah pohon sampai dia menyesali perbuatannya dan berjanji tak mengulanginya. Namun, Pondik tetaplah Pondik yang licik. Bukannya menyesal, dia malah berulah lagi.
Setelah beberapa jam terikat, lewatlah teman Pondik yang bernama Mtembong.
Apa yang sedang kau lakukan" tanya Mtembong. Mtembong baru saja pulang dari desa tetangga sehingga tak tahu apa yang telah terjadi di desanya.
Oh, aku sedang berolahraga, jawab Si Pondik sambil berayun-ayun di batang pohon.
Wah, rajin sekali. Pantas saja tanganmu kekar, jawab Mtembong.
Pondik lalu menawarkan Mtembong untuk mencoba olah raga seperti yang dilakukannya. Mtembong setuju, dia melepas ikatan tangan Pondik, dan sekarang Pondik mengikat dan menggantung tangan Mtembong ke pohon itu. Setelah itu, Pondik buru-buru meninggalkan Mtembong.
Mtembong mencoba berayunayun, tetapi tangannya malah sakit. Dia berteriak-teriak memanggil Pondik, tetapi Pondik sudah jauh meninggalkannya.
Untunglah ada seorang warga yang lewat.
Bukankah seharusnya Si Pondik yang menjalani hukuman itu" tanya warga.
Hukuman" tanya Mtembong tak mengerti.
Akhirnya, Mtembong sadar bahwa Pondik telah menipunya. Mtembong dan warga yang lain pun amat marah. Mereka lalu mencari dan menangkap Pondik.
Kepala desa lalu menghukum Pondik dengan memintanya untuk menyerahkan seekor kerbau yang besar dan gemuk.
Si Pondik bingung, dia tak tahu bagaimana caranya mendapat seekor kerbau.
Saat sedang bingung, dia berjalan ke desa tetangga dan melewati sebuah rumah yang sedang mengadakan pesta. Pondik beruntung. Saat itu, tuan rumah sedang membagi-bagikan daging kerbau pada para tamunya.
Pondik lalu memohon agar bagian kepala dan leher kerbau diberikan kepadanya. Tuan rumah pun setuju.
Pondik pulang dengan hati riang. Dengan licik, dia menanam kepala kerbau itu di sebuah kubangan yang berlumpur. Seutas tali diikatkannya pada leher kerbau itu, lalu diikatkan pada sebatang pohon.
Aku sudah menyiapkan kerbau untuk kalian. Kerbaunya kutaruh di kubangan di sebelah timur sana, katanya pada kepala desa dan seluruh warga. Setelah berkata demikian, Si Pondik cepat-cepat mengemasi barang-barangnya dan diamdiam pergi meninggalkan desanya.
Para warga mendatangi kubangan yang dimaksud Pondik. Ah, kali ini dia jujur. Lihat kerbau itu! teriak kepala desa. Dibantu warga, dia melepas ikatan di pohon dan menarik kerbau itu. Namun, apa yang
terjadi" Ternyata yang mereka dapatkan hanyalah
kepala kerbau beserta lehernya.
Sudah terlambat bagi warga desa untuk mencari Pondik. Dia telah pergi jauh dari desanya.
Nusa Tenggara Barat Ilustrasi: Kartika Paramita
Wewe Wula dan Asal usul Suku Ni i
Pada zaman dahulu, ada seorang ibu yang memiliki seorang putri yang cantik. Namanya Wewe Wula. Wanita itu selalu berharap agar Wewe Wula menjadi wanita yang sopan, rajin, dan baik hati. Agar harapannya terpenuhi, ibu itu rajin menasihati Wewe Wula dan mengajarinya sikap-sikap yang baik. Sayang, Wewe Wula tak suka pada ibunya. Menurutnya, ibunya menjengkelkan dan membosankan.
Suatu sore, sang ibu mengajak Wewe Wula ke hutan untuk
mencari buahbuahan. Setelah buah-buahan yang mereka dapatkan
cukup, sang ibu mengajak Wewe Wula pulang. Namun, Wewe Wula tak mau. Dia masih ingin bermain-main. Dia memanjat pohon, memetik dua helai daun, dan mengepitkannya pada dua belah ketiaknya. Tak hanya
itu, dia juga mengambil sebatang kayu dan menjepitnya dengan kaki.
Wewe Wula anakku, apa yang kau lakukan" Ayo, turunlah. Kita harus segera pulang. Hari sudah gelap, ajak ibunya. Wewe Wula menggeleng.
Ibu pulang saja sendiri. Aku mau tinggal di atas pohon ini saja. Aku tak suka menjadi anak Ibu. Ibu hanya menyusahkanku, melarangku melakukan ini dan itu, omelnya.
Wewe Wula lalu mengepak-ngepakkan kedua daun di ketiaknya.
Aku bukan manusia! Ibu pulang saja, biarkan aku di sini dan makan buah-buahan yang lezat.
Sang ibu memandang dengan cemas. Dia amat khawatir jika putri kesayangannya itu jatuh.
Diam-diam, Wewe Wula berharap sang ibu akan berjanji memberinya kebebasan dan mengurangi nasihatnasihatnya.
Ayolah, Nak. Mari kita pulang, bujuk sang ibu. Wewe Wula bergeming.
Aku tak mau pulang. Aku akan tinggal di sini! Berulang kali ibunya membujuk, berulang kali pula Wewe Wula menolak. Dia terus berkata bahwa dirinya bukan manusia dan ingin tinggal di atas pohon itu.
Aku ini bukan manusia, aku& tiba-tiba terdengar bunyi letupan kecil, dan mendadak tubuh Wewe Wula berubah menjadi seekor kelelawar!
Wewe Wula terkejut dan menangis saat mendapati dirinya telah berubah. Dia tak menyangka bahwa ucapannya akan menjadi kenyataan.
Sang ibu pun tak kalah terkejut. Dia terus menangis meratapi nasib putrinya.
Namun, semuanya sudah telanjur. Sang ibu berjalan pulang dan meninggalkan Wewe Wula sendiri di hutan.
Sejak saat itu, sang ibu tinggal bersama saudara-saudaranya. Mereka semua bertekad tidak akan membunuh kelelawar. Akhirnya, keturunan mereka disebut dengan Suku Ni'i yang artinya kelelawar. Semua orang yang termasuk dalam Suku Ni'i tidak diperbolehkan untuk mengganggu, melukai, atau membunuh kelelawar.
Kalimantan Barat Ilustrasi: Merri An Batu Menangis Darmi adalah seorang gadis yang amat suka bersolek. Wajahnya memang cantik. Tiap hari, dia menghabiskan waktu untuk berdandan dan mematut diri di depan cermin.
Ibunya sering menasihati agar Darmi juga meluangkan waktu untuk membantunya.
Bantulah Ibu. Ibu kan harus pergi ke ladang. Nah, tolong goreng ikan ini, ya" pinta ibunya.
Darmi menolak. Nanti tanganku tepercik minyak, wajahku kusam, begitulah alasannya.
Karena Darmi terus berkukuh, ibunya pun mengalah. Selalu saja begitu.
Darmi tak pernah mau membantu ibunya.
Sepeninggal suaminya, kehidupan ibu Darmi memang berat. Dia harus bekerja keras untuk menghidupi Darmi. Sayang sekali, Darmi tak menyadari hal itu. Malah, wajah ibunya yang tampak tua dan kusam, membuat Darmi sering mengoloknya.
Suatu hari, Darmi merengek agar ibunya membeli bajubaju baru.
Baiklah, tapi temani Ibu. Ibu tak tahu harus beli di mana.
Dengan bersungut-sungut, Darmi pun menemani ibunya. Mereka berdua berjalan menuju kota.
Bu, jangan berjalan di sebelahku. Aku malu! desis Darmi di telinga ibunya.
Ibu Darmi tak menyangka Darmi akan bersikap seperti itu. Namun, dia mengalah.
Memang bajuku jelek dan aku juga belum mandi. Pantas saja Darmi malu, gumamnya. Dia lalu berjalan di belakang Darmi.
Saat tiba di kota, suasana begitu ramai. Banyak pedagang menjual baju dan kain yang indah.
Hai gadis cantik, silakan melihat-lihat, kata seorang pedagang.
Darmi pun mendekat. Dengan girang dia memilih-milih baju untuknya.
Ibu pasti senang punya anak secantik ini, kata pedagang pada ibu Darmi.
Darmi terkesiap, Eh, siapa yang kau maksud" Dia bukan ibuku. Dia cuma pembantuku, katanya ketus.
Ibu Darmi ternganga. Pedagang itu pun mengerenyit. Tapi, wajah kalian mirip.
Karena kesal, Darmi tak jadi membeli baju. Dia bergegas meninggalkan pedagang itu dan berjalan pulang. Dengan tergopoh-gopoh, ibunya mengikuti.
Saat perjalanan pulang, lagi-lagi ada yang menyapa mereka.
Bu, anak Ibu sungguh cantik. Andai saja aku punya anak laki-laki, pasti akan kunikahkan dengan anak Ibu, kata seorang wanita yang berpapasan dengan mereka. Lagi-lagi Darmi menjawab ketus.
Aku bukan anaknya! Dia itu cuma pembantu. Ibuku ada di rumah, dia cantik dan bersih seperti aku!
Diam-diam, ibu Darmi menangis.
Ya Tuhan, ampunilah anakku. Dia lupa bahwa aku adalah ibu yang mengandung dan membesarkannya. Sadarkan dia dari kesalahannya ini, doanya dalam hati.
Darmi, aku ini ibumu. Aku yang mengandung dan melahirkanmu, ibunya berkata lirih.
Darmi menggeleng kuat-kuat.
Aku tak pernah memintamu jadi ibuku. Tuhan pasti salah memberikan aku padamu. Aku mau ibu yang cantik! Duarrrrr... tiba-tiba petir menyambar tepat setelah Darmi menyelesaikan ucapannya. Langit tampak gelap gulita.
Ayo Darmi, cepatlah. Kita harus segera sampai di rumah. Sepertinya akan ada badai, ajak Ibu.
Namun, tubuh Darmi membeku.
Darmi, apa yang terjadi padamu, Nak" teriak ibunya. Darmi tampak ketakutan sambil memandangi kedua kakinya yang tak bisa digerakkan.
Kakiku, Bu... kakiku tak bisa digerakkan. Rasanya seperti batu. Tolong aku, Bu.
Baru saja Darmi menyelesaikan ucapannya, tubuhnya semakin kaku. Kini, seluruh tubuhnya tak dapat digerakkan. Dia berubah menjadi batu. Namun, sebelumnya dia sempat berujar, Ibu, maafkan semua kesalahanku. Ampuni aku, Bu.
Semuanya sudah terlambat. Ibu Darmi hanya bisa menangis dan memeluk batu itu. Terlihat olehnya, batu itu mengeluarkan air mata. Itu adalah air mata penyesalan Darmi.
Sampai sekarang, batu itu dikenal dengan sebutan Batu Menangis .
Kalimantan Barat Ilustrasi: I Made Dwi S Semangka Emas Muzakir dan Dermawan adalah sepasang kakak
beradik. Meski demikian, sifat keduanya amat berbeda. Muzakir, sang kakak, adalah seorang yang kikir. Sebaliknya, Dermawan adalah seorang yang murah hati.
Perbedaan sifat mereka jelas terlihat saat ayah mereka meninggal. Muzakir langsung menyimpan
harta warisan ayahnya di dalam sebuah peti bergembok, sedangkan Dermawan menggunakan harta warisan itu untuk membantu orang-orang miskin.
Kebaikan hati Dermawan terkenal hingga ke seluruh negeri, sehingga semakin banyak orang yang datang memohon bantuan padanya. Lama-kelamaan, harta Dermawan habis. Namun, Dermawan tak pernah mengeluh. Dia pun hidup sederhana.
Melihat keadaan adiknya, Muzakir menertawakannya. Dia enggan menolong adiknya.
Suatu hari, Dermawan sedang berkebun di depan rumahnya. Tiba-tiba, jatuhlah seekor burung kecil di hadapannya. Ternyata, sayap burung itu patah.
Kasihan sekali kau. Aku akan mengobatimu. Dermawan mengelus burung itu dengan sayang. Dia lalu merawat burung itu dengan baik sampai sembuh.
Setelah sembuh, burung kecil itu terbang meninggalkan Dermawan. Namun, sebelum pergi, dia memberikan sebuah biji pada Dermawan sebagai ucapan terima kasih. Setelah ditanam, ternyata itu adalah biji pohon semangka.
Dermawan berharap, jika nanti semangkanya berbuah banyak, dia bisa menjualnya ke pasar dan mendapatkan uang. Aneh, meskipun pohon semangka itu berbunga banyak, buahnya hanya satu. Ukurannya pun amat besar.
Saat semangka itu siap dipanen, Dermawan
menggotongnya ke dapur dan
membelahnya menjadi dua. Namun, daging buah semangka itu berwarna kuning keemasan, dan
berbulir seperti pasir. Apa ini" Dermawan meloncat mundur. Setelah
diamatinya lagi, ternyata
butiran-butiran itu adalah emas!
Sejak saat itu, hidup Dermawan pun berubah. Dia membeli rumah yang besar dengan kebun yang luas. Dia menyilakan orang-orang miskin untuk bekerja di kebunnya dengan upah yang layak. Tak disangka, hasil kebun Dermawan berlimpah ruah.
Muzakir yang mendengar kesuksesan adiknya menjadi iri. Dia lalu mendatangi Dermawan untuk mencari tahu rahasianya.
Dengan jujur, Dermawan menceritakan semuanya pada Muzakir.
Hebat kan Kak, seekor burung kecil saja tahu membalas budi, apalagi kita manusia ya, Kak, seharusnya lebih baik dari seekor burung, kata Dermawan.
Muzakir tak memedulikan ucapan Dermawan. Dia sibuk berpikir bagaimana caranya agar dia bisa mendapatkan burung seperti Dermawan.
Sepulang dari rumah Dermawan, Muzakir segera memerintahkan para pegawainya untuk mencari burung kecil yang sayapnya patah. Namun, usahanya itu sia-sia.
Muzakir lalu mendapat ide, Kenapa tidak kukatapel saja burung yang sedang terbang" Jika dia jatuh, pasti sayapnya akan patah.
Rencana Muzakir berhasil. Seekor burung jatuh di hadapannya.
Wahai burung kecil, apa yang terjadi padamu" Aduh, kasihan sekali dirimu. Lihat, kau tak bisa bangun, kata Muzakir sambil mengambil burung itu.
Begitulah, akhirnya Muzakir membawa pulang burung itu dan melakukan hal yang sama dengan Dermawan. Saat burung itu sembuh, dia juga memberikan sebuah biji semangka pada Muzakir. Hari yang ditunggu-tunggu telah tiba. Semangka milik Muzakir siap dipanen.
Dengan hati-hati, dibelahnya semangka itu. Namun, Aargghhh... tolong! Muzakir berteriak dan lari tunggang langgang. Semangka yang dibelahnya tidak mengeluarkan butiran emas seperti semangka milik Dermawan. Semangka itu malah mengeluarkan ular-ular besar disertai lumpur hitam berbau busuk.


Cerita Rakyat Nusantara Karya Dian K di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sejak saat itu, Muzakir sadar. Kecurangan tak mungkin
membuahkan keberhasilan. Sekarang, Muzakir telah menjadi orang yang lebih baik. Pelajaran dari si burung kecil telah membuatnya berubah.
Kalimantan Barat Ilustrasi: Pandu Sotya Asal Usul Sungai Landak Ada sepasang suami istri petani yang tinggal di sebuah gubuk sederhana.
Suatu malam, saat sedang beristirahat, petani itu melihat ada seekor kelabang putih merayap di atas kepala istrinya. Saat itu, istrinya sudah tertidur pulas.
Dia lalu berusaha mengambil kelabang putih itu. Namun terlambat, kelabang putih itu menghilang dari kepala istrinya dan berjalan meninggalkan rumahnya.
Karena penasaran, petani itu mengikuti ke mana perginya kelabang putih. Ternyata, kelabang itu berjalan sampai ke danau di dekat rumah mereka. Anehnya, kelabang putih itu menghilang begitu saja. Petani itu pun pulang dengan sedikit bingung.
Keesokan harinya, sang istri membangunkannya. Semalam, aku bermimpi aneh, ujarnya pada si petani. Istrinya lalu bercerita panjang lebar bahwa semalam dia bermimpi ada landak raksasa di dalam danau.
Landaknya besar sekali, aku ketakutan dan lari, si istri bercerita dengan penuh semangat.
Petani itu jadi penasaran. Itu danau yang sama tempat kelabang putih menghilang. Maka, dia mendatangi lagi danau itu.
Saat melongok ke dalam danau, petani itu menemukan sebuah patung landak yang terbuat dari emas. Patung itu amat indah, bahkan matanya terbuat dari berlian.
Hati si petani sungguh girang. Dia membawa pulang patung landak itu.
Malam harinya, giliran si petani yang bermimpi. Dalam mimpinya, landak raksasa berkata kepadanya, Rawatlah aku, maka aku akan mengabulkan semua permintaanmu. Sebutkan saja apa permintaanmu, aku akan mengabulkannya Jika sudah tercukupi, kau harus mengelus kepalaku dan berkata cukup.
Saat terbangun, petani itu mencoba apa yang diajarkan landak dalam mimpinya. Ternyata benar. Saat petani mengusap kepala patung landak itu, keinginannya pun terkabul.
Dalam sekejap, mereka menjadi orang kaya. Namun, mereka tidak sombong dan suka menolong orang lain.
Kabar tentang keajaiban patung landak itu pun cepat menyebar. Seorang pencuri mendengar tentang patung itu dan berhasil mencurinya dari si petani.
Kebetulan, saat itu di desa si pencuri sedang terjadi kekeringan. Pencuri itu hendak membawa patung landak ke desanya dan memintanya untuk mengeluarkan air.
Aku minta air yang berlimpah, ujar si pencuri pada patung landak.
Dalam sekejap, air mengalir dari mulut patung itu. Semua penduduk desa senang. Mereka menyambut gembira datangnya air itu.
Sekarang, penduduk desa sudah tercukupi kebutuhan airnya. Namun, patung itu terus mengeluarkan air. Si pencuri tak tahu bagaimana cara menghentikannya.
Berkali-kali dia mengatakan, Berhenti! Cukup! tetapi patung landak itu bergeming. Air terus mengalir. Pencuri itu tak tahu bahwa dia harus mengelus kepala patung landak tersebut.
Lama-kelamaan, desa itu pun kebanjiran. Para penduduk pun lari tunggang langgang. Mereka semua melarikan diri ke tempat yang lebih tinggi. Si pencuri yang kebingungan pun akhirnya ikut lari.
Dari atas bukit, mereka menyaksikan si patung landak terus mengeluarkan air hingga akhirnya desa mereka tenggelam. Air yang menenggelamkan desa inilah yang kemudian disebut dengan Sungai Landak.
Kalimantan Barat Ilustrasi: Selvie Djie Legenda Bukit Kelam Negeri Sintang dipimpin oleh dua pria yang konon merupakan keturunan dewa.
Anehnya, meski sama-sama keturunan dewa, kedua pemimpin itu memiliki sifat yang amat berbeda.
Pemimpin pertama bernama Bujang Beji. Sifatnya amat buruk. Dia suka iri hati dan serakah. Selain itu, dia juga pendendam. Itulah sebabnya, Bujang Beji tak disukai oleh rakyat Negeri Sintang.
Pemimpin kedua bernama Temenggung Marubai. Berbeda dengan Bujang Beji, Temenggung Marubai baik hati dan suka menolong. Dia juga tak segan berbagi ilmu pada orang lain.
Suatu hari, Bujang Beji merasa iri pada Temenggung Marubai. Penyebabnya, Sungai Melawi yang merupakan kekuasaan Temenggung Marubai, menghasilkan lebih banyak ikan. Jenisnya pun beraneka ragam. Namun, Sungai Kapuas yang merupakan daerah kekuasaan Bujang Beji, kurang menghasilkan ikan.
Aku harus mencari akal agar ikan-ikan itu mati, pikir Bujang Beji dengan licik.
Setelah berpikir sejenak, Bujang Beji memutuskan untuk menutup aliran Sungai Melawi dengan menggunakan batu besar.
Dia berharap, ikan-ikan di Sungai Melawi akan mati karena kekurangan air.
Dengan kesaktiannya, dia mengikat puncak Bukit Batu dengan tujuh lembar daun ilalang dan memikulnya menuju Sungai Melawi.
Dalam perjalanannya, tiba-tiba Bujang Beji mengaduh dan melompat-lompat. Ternyata, kakinya
menginjak duri. Karena sibuk memeriksa kakinya, Bujang Beji tak sadar bahwa puncak bukit batu yang dia pikul pun terjatuh dan menggelinding tak tentu arah.
Hahahaha& , para dewi kayangan tertawa mengejeknya. Bujang Beji amat marah dan malu. Dia pun mendendam pada para dewi kayangan itu.
Bujang Beji ingin membalas ejekan mereka.
Untuk mewujudkan pembalasannya, dia menanam pohon kumang mambu yang menjuntai tinggi ke awan. Dia akan memanjat pohon itu untuk menuju kayangan. Sebelumnya, Bujang Beji mengirim makanan pada seluruh binatang di sekitarnya, agar tidak ada yang menghalangi niatnya.
Sekarang, tiba saatnya Bujang Beji untuk memanjat. Namun sayang, ada beberapa binatang yang terlupakan oleh Bujang Beji. Mereka adalah rayap dan beruang. Mereka amat marah karena merasa diremehkan oleh Bujang Beji.
Ini tak bisa didiamkan. Dia memberi makan semua binatang, kecuali kita, ujar Rayap pada Raja Beruang.
Jika begitu, kita gagalkan niatnya untuk naik ke kayangan. Raja Beruang lalu mengusulkan agar pohon kumang mambu itu dirobohkan saja. Mereka bekerja sama menggerogoti akar pohon itu.
Berbondong-bondong, mereka menuju ke pohon kumang mambu. Mereka melihat, Bujang Beji sudah menaiki pohon itu. Mereka lalu mulai menggerogoti akarnya sehingga pohon yang besar dan tinggi itu mulai goyah.
Saat Bujang Beji hampir mencapai puncak pohon dan menuju kayangan, tiba-tiba& buuum& pohon kumang mambu itu roboh.
Tentu saja Bujang Beji ikut jatuh bersamanya. Niat buruk Bujang Beji pun gagal. Selain gagal membendung Sungai Melawi, dia juga gagal membalas dendam pada para dewi kayangan.
Konon, puncak bukit batu yang terlepas dari pikulan Bujang Beji menjelma menjadi Bukit Kelam.
Kalimantan Tengah Ilustrasi: Indra Bayu Kutukan Raja Pulau Mintin
Dahulu kala, ada sebuah kerajaan kecil di Pulau Mintin, Kalimantan Tengah. Kerajaan itu dipimpin oleh seorang raja yang arif bijaksana.
Suatu hari, kerajaan itu berdukacita. Permaisuri terserang penyakit aneh dan meninggal dunia.
Begitu sedihnya Raja hingga dia tidak lagi bersemangat untuk menjalankan tampuk
pemerintahan. Beliau lalu pergi berlayar untuk menghilangkan kesedihan hatinya.
Selama kepergiannya, Raja meminta agar kedua putra kembarnya, yaitu Naga dan Buaya, untuk memegang tampuk pemerintahan.
Buaya yang bersifat baik dan pemurah, menjawab permintaan ayahnya, Jangan khawatir, Ayah. Pergilah Ananda doakan supaya Ayah selamat dalam perjalanan dan pulang dalam keadaan yang lebih baik.
Namun, Naga yang egois merasa permintaan ayahnya itu sebagai beban.
Hmm, tapi tak apalah. Jika Ayah tak ada, aku bisa menggunakan harta kerajaan untuk bersenang-senang, pikirnya dalam hati.
Ya, Naga memang senang berfoya-foya dan tidak memikirkan kepentingan orang lain.
Sepeninggal raja, Naga mulai berulah. Dia tak pernah mau mendampingi Buaya menjalankan pemerintahan. Seharihari, kerjanya hanya tidur-tiduran dan bersenang-senang. Dia juga menghamburkan uang untuk berpesta bersama teman-temannya.
Buaya pun khawatir dan menasihati kakaknya. Namun, Naga tak mau mendengar. Sikapnya malah semakin menjadi-jadi.
Hari berganti hari, tingkah laku Naga semakin keterlaluan. Bersama para pengawalnya, dia mendatangi rumah-rumah penduduk dan memaksa mereka untuk membayar pajak yang besar. Mendengar tindak tanduk Naga, Buaya pun amat marah. Dia lalu mendatangi Naga dan menegurnya, Naga, apa yang kau lakukan" Bukankah seharusnya kau menjaga amanah yang diberikan oleh Ayah"
Sekali lagi, Naga menghiraukan teguran adiknya.
Akhirnya, Buaya tak tahan lagi. Dia lalu melawan kakaknya supaya kakaknya tidak lagi bertindak sewenang-wenang. Namun, Naga juga tak mau menyerah begitu saja. Pertempuran pun tak terelakkan. Dengan dibantu oleh pasukan masing-masing, mereka bertempur habis-habisan.
Sementara itu, dalam pelayarannya, Raja merasa gelisah. Beliau lalu memerintahkan awak kapal untuk kembali ke kerajaan. Betapa terkejutnya beliau melihat kedua putranya sedang bertempur.
Apa-apaan ini" teriaknya. Naga dan Buaya serentak menoleh ke ayahnya. Raja amat marah melihat kelakuan Naga dan Buaya, apalagi banyak pengawal yang tewas sia-sia gara-gara pertempuran itu. Diiringi dengan gelegar petir dan hujan lebat yang turun tiba-tiba, Raja meluapkan amarahnya.
Demi ibumu, Buaya, jadilah kau seekor buaya. Ayah menugaskanmu untuk tinggal di pulau ini dan menjaga rakyat kita dari serangan musuh!
Mereka menghentikan pertarungan. Buaya menghampiri Raja dan menjawab, Ampun, Ayah, Ananda hanya ingin menghentikan tindakan Naga yang semena-mena.
Bohong! Dia iri padaku, Ayah, dan dia ingin menjadi raja tunggal. Dia ingin membunuhku! teriak Naga. Mereka berdua pun kembali bertempur.
Buaya pun berubah menjadi binatang buaya. Naga ketakutan melihatnya.
Ampun, Ayah, maafkan aku.
Raja memandang Naga, lalu dengan lirih beliau berujar, Dan kau, jadilah naga yang sesungguhnya. Karena kesalahanmu, semuanya menjadi kacau. Pergilah kau dari pulau ini, tinggallah di Sungai Kapuas. Tugasmu adalah menjaga Sungai Kapuas agar tak ditumbuhi cendawan bantilung!
Demikianlah, Buaya dan Naga terkena kutukan dari ayahnya sendiri. Namun, mereka menjalankan perintah ayahnya dengan sebaik-baiknya. Buaya menjaga Pulau Mintin dari serangan musuh dan Naga tinggal di Sungai Kapuas seumur hidupnya.
Kalimantan Tengah Ilustrasi: Yon Rifa i Legenda Sumber Garam Sepang
Pada zaman dahulu, di Desa Sepang, Kalimantan Tengah, hiduplah seorang janda bernama Emas. Dia memiliki seorang putri yang cantik jelita, namanya Tumbai.
Kecantikan Tumbai terkenal sampai ke luar desa. Apalagi, Tumbai juga gadis yang ramah dan baik hatinya. Karena itu, banyak pemuda yang ingin melamarnya.
Namun aneh, Tumbai selalu menolak lamaran tiap pemuda. Hal ini membuat Emas, ibunya, merasa heran.
Tumbai anakku, bukankah mereka pemuda yang baik" Kenapa kau menolak mereka" Pasti ada satu di antara mereka yang pantas untuk menjadi suamimu, kan"
Tumbai menggeleng. Aku tidak mau sembarangan, Bu. Aku berdoa pada Tuhan, agar mengirimkan suami yang mampu memajukan desa kita ini, sahut Tumbai. Ibu Tumbai semakin tak mengerti. Apa maksudmu"
Tumbai menjelaskan, bahwa ia hanya mau menikah dengan pria yang dapat mengubah sumber air tawar Sepang menjadi air asin.
Tapi itu tak mungkin! teriak ibunya.
Dengan pertolongan Tuhan, semuanya mungkin, Bu, Tumbai tetap bersikukuh.
Hari demi hari berganti, tak ada pemuda yang sanggup memenuhi syarat dari Tumbai. Sampai akhirnya pada suatu hari, ada pemuda asing yang datang ke desa Sepang. Pemuda itu berasal dari daerah aliran Sungai Barito, dan ia adalah pemuda yang sakti.
Bolehkah aku melamar anak Ibu" tanyanya pada ibu Tumbai.
Ibu Tumbai lalu menjelaskan syarat yang diminta oleh Tumbai.
Pemuda itu tercenung sejenak. Lalu, dia memejamkan mata dan meminta bantuan pada para leluhurnya. Dia juga tak henti-hentinya berdoa pada Yang Kuasa. Sampai akhirnya, keajaiban pun terjadi. Sumber air Sepang yang tadinya berasa tawar itu akhirnya berubah menjadi asin.
Tumbai amat senang melihat keberhasilan pemuda itu. Ibunya pun tak kalah senang.
Pemuda itu akhirnya menikahi Tumbai. Mereka lalu berusaha mengolah sumber air asin itu menjadi garam. Ternyata usaha mereka berhasil, dan mereka mendapatkan banyak uang. Mereka lalu mengajak penduduk desa lainnya untuk mengolah sumber air asin itu bersama-sama. Sekarang, desa mereka jauh lebih makmur daripada sebelumnya.
Keinginan Tumbai untuk memajukan desanya pun tercapai.
Kalimantan Tengah Ilustrasi: Tjhang Tina Sangi Sang Pemburu Dahulu kala, di pinggiran Sungai Kahayan, hiduplah seorang pemuda pemburu bernama Sangi. Dia terkenal sebagai pemburu yang mahir menyumpit binatang buruannya. Sumpitnya selalu tepat sasaran.
Namun, suatu hari ia kurang beruntung. Tak ada binatang yang bisa disumpit.
Sambil mengeluh, Sangi pun pulang. Dalam perjalanannya, Sangi melihat air sungai amat keruh.
Pasti ada babi hutan yang baru saja mandi di sini, gumam Sangi. Lalu, dia memeriksa jejak kaki di sekitar sungai itu. Ternyata benar, Sangi menemukan jejak kaki babi hutan.
Dia pun mengikuti arah jejak tersebut.
Ah, itu dia! seru Sangi kegirangan. Namun, wajah Sangi berubah ngeri saat melihat apa yang ada di dekat babi hutan itu. Babi hutan itu dicengkeram oleh seekor naga yang amat besar dan berwajah mengerikan.
Hahaha& ini benar-benar mangsa yang enak! seru Naga sambil membuka mulutnya, siap menelan mangsanya.
Sangi ketakutan, dia pun bersembunyi di balik semaksemak dan berharap Naga tidak mengetahui keberadaannya.
Namun, sial bagi Sangi. Naga tak jadi memakan babi hutan itu, dan malah menoleh ke arah Sangi bersembunyi.
Naga meliuk menghampiri Sangi yang gemetar. Sementara itu, babi hutan buruannya malah dilepaskan.
Hei, kau! Berani sekali kau mengintipku" Tahukah kau, bahwa siapa pun yang mengintip kami, akan menjadi naga jadi-jadian! ternyata Naga bisa bicara.
Sangi terbata-bata, A& apa maksudnya" Aku tak mau jadi naga jadi-jadian! kepalanya menggeleng berulang kali. Naga itu tertawa.
Jangan cemas. Sebenarnya, menjadi naga jadi-jadian malah menguntungkanmu. Kau memiliki tenaga sekuat kami dan kau bisa hidup sampai ratusan tahun tanpa menjadi tua!
Sangi tertegun. Benarkah" Jika begitu, aku mau! wajah Sangi berubah girang.
Namun, ada syaratnya. Kau tidak boleh membocorkan rahasia ini pada siapa pun. Jika kau melanggarnya, maka wujudmu akan berubah menjadi naga. Seperti aku. Naga itu menggoyang-goyangkan ekornya.
Sangi setuju. Itu syarat yang mudah baginya. Sejak itu, Sangi menjadi pria yang amat kuat dan disegani orang-orang. Selain itu, wajahnya tak berubah meski usianya sekarang sudah seratus lima puluh tahun. Hal ini membuat anak dan cucunya heran. Mereka terus mendesak agar Sangi menceritakan bagaimana caranya dia tak pernah menjadi tua.
Sangi mengelak, tapi mereka terus mendesak. Tiap hari mereka selalu bertanya. Akhirnya, Sangi keceplosan. Dia membeberkan kisah pertemuannya dengan Naga.
Saat Sangi menyelesaikan ceritanya, tiba-tiba terjadi sesuatu yang mengejutkan.
Wajah Sangi berubah, matanya membesar, dan giginya meruncing. Kulit badannya dipenuhi sisik, dan di bagian belakang tubuhnya pun tumbuh ekor. Sangi benar-benar berubah menjadi naga!
Sangi amat menyesal. Namun, semuanya sudah terlambat. Dia lalu meninggalkan desanya, dan menceburkan diri ke hulu Sungai Kahayan. Di kemudian hari, anak sungai Kahayan itu disebut dengan Sungai Sangi.
Kalimantan Tengah Ilustrasi: Gabriel Dias Dohong dan Tingang Dulu, ada seekor burung tingang yang cantik dan bersuara merdu. Sebenarnya, burung itu adalah jelmaan putri raja bernama Putri Intan.
Putri Intan disihir oleh seorang nenek sihir yang sedang menguji mantranya. Saat itu, Putri Intan berjalan-jalan di hutan untuk mencari bunga-bunga liar. Tak terasa, dia masuk jauh ke hutan dan terpisah dari dayangdayangnya.
Pengaruh sihirku akan hilang, jika ada seorang pemuda yang dengan tulus mau mengantarmu pulang ke istana, kata Nenek Sihir saat Putri Intan menangis dan memohon agar wujudnya diubah kembali menjadi manusia.
Sejak saat itulah, Putri Intan tinggal di hutan sebagai seekor burung tingang.
Pada suatu hari, burung tingang itu terjebak di sebuah perangkap. Kakinya tak dapat bergerak. Berkali-kali, dia berusaha membebaskan diri, tapi jeratan perangkap itu malah semakin kuat. Akhirnya, burung tingang hanya bisa berharap agar ada orang yang menolongnya.
Sembari menunggu, burung tingang itu bernyanyi dengan merdu.
Harapannya berhasil. Seorang pemuda yang melintas di hutan itu, mendengar suara burung tingang. Pemuda itu bernama Dohong.
Dohong segera melepaskan burung tingang dari perangkap.
Wah, burung ini cantik sekali. Bulunya indah, suaranya pun amat merdu. Aku akan memeliharanya, gumam Dohong.
Akhirnya, Dohong membawa burung tingang itu pulang, dan menaruhnya di sebuah sangkar yang terbuat dari rotan.
Keesokan harinya, saat fajar belum menyingsing, Dohong terbangun dari tidurnya. Saat itu, dia melihat seorang gadis cantik sedang menyiapkan makanan di dapur.
Dohong terkejut. Dia nyaris berteriak, namun gadis itu memperkenalkan dirinya.
Aku adalah Putri Intan dari Kerajaan Kalang. Aku berubah menjadi burung tingang karena disihir oleh seorang penyihir saat aku tersesat di hutan. Jika malam tiba, aku berubah menjadi manusia, namun saat matahari muncul nanti, aku kembali menjadi burung tingang.
Mendengar cerita Putri Intan, Dohong pun merasa iba dan menawarkan bantuan.
Apa yang bisa kulakukan untuk membantumu" Jika kau tulus mau membantuku, antarlah aku pulang ke istana. Kata nenek sihir itu, pengaruh sihir ini akan hilang jika ada pemuda baik hati yang mau mengantarku pulang. Putri Intan pun berubah wujud lagi menjadi burung tingang. Saat itu, matahari sudah mulai menampakkan diri.
Dohong pun setuju. Dia membawa burung tingang dalam sangkar rotannya menuju ke istana Kerajaan Kalang.
Ternyata benar, setiba di gerbang istana, burung tingang itu kembali berubah menjadi Putri Intan.
Betapa senangnya hati Raja Kalang dan Permaisuri melihat putrinya yang hilang telah kembali.
Mereka tak henti-hentinya mengucap terima kasih pada Dohong.
Dohong yang sejak awal sudah jatuh cinta pada Putri Intan, memberanikan diri untuk melamar Putri Intan. Ternyata, Raja dan Putri Intan setuju.
Mereka berdua akhirnya menikah, dan Dohong menjadi pewaris takhta Kerajaan Kalang.
Kalimantan Selatan Ilustrasi: Martha Parman Legenda Gunung Batu Bangkai
Pada zaman dahulu, ada seorang pemuda bernama Andung Kuswara yang tinggal bersama ibunya. Mereka berdua saling rukun dan menyayangi. Sehari-hari, Andung mencari kayu bakar dan bambu ke hutan. Kadang, dia juga membantu mengobati orang-orang yang sakit. Dulu, almarhum ayahnya yang mewariskan ilmu pengobatan padanya.
Suatu hari, Andung mendapat seuntai kalung dari seorang kakek yang ditolongnya di hutan. Saat itu, kakek tersebut terperangkap jeratan yang dibuat oleh pemburu. Sebagai ucapan terima kasih. Semoga kalung ini bisa membawa keberuntungan untukmu, pesan Kakek.
Andung lalu menceritakan pertemuannnya dengan kakek itu, pada ibunya. Dia lalu meminta ibunya untuk menyimpan kalung itu.
Sepertinya ini bukan kalung biasa, ujar ibunya sambil menyimpan kalung itu di bawah bantalnya.
Hari berganti hari, Andung mulai bosan dengan kehidupannya yang sederhana. Dia ingin merantau dan menjadi tabib.
Siapa tahu, kehidupanku bisa berubah jika aku mengamalkan ilmu pengobatanku ke negeri lain, pikirnya.
Andung lalu berpamitan pada ibunya yang merestuinya meski berat hati.
Kau boleh pergi, namun kau harus tetap ingat kampung halaman kita ini. Jangan pula lupa pada Ibu, dan juga pada Tuhan, pesan ibunya sambil menyerahkan kalung pemberian Kakek yang dulu disimpannya.
Andung pun pergi. Dia berjanji, akan segera menjemput ibunya kelak jika berhasil.
Ternyata, perkiraan Andung benar. Dia sukses menjadi tabib di berbagai negeri yang disinggahinya. Dia berhasil mengobati banyak orang, termasuk seluruh warga Kerajaan Basiang yang sedang terserang penyakit kulit. Raja Basiang pun mengutus hulubalang untuk menjemput Andung. Beliau hendak meminta tolong agar Andung juga menyembuhkan putrinya yang sedang sakit.
Apakah kau bisa menyembuhkan putriku" tanya Raja.
Andung pun merendah. Pengetahuan obat-obatan yang hamba miliki pun sedikit. Ampuni hamba jika nanti gagal menyembuhkan Tuan Putri,
Ditemani Raja dan hulubalang, Andung masuk ke kamar dan
memberikan ramuan obat-obatan pada Putri. Namun, Putri tetap tergolek kaku di atas ranjang. Andung gelisah dan saat itulah dia ingat pada kalung pemberian Kakek.
Dia lalu meminta hulubalang untuk menyiapkan semangkuk air, lalu kalung itu direndamya. Air rendaman tersebut diminumkan pada sang putri. Ajaib, tak lama kemudian Putri pun sadar dan kembali sehat.
Andung Kuswara dan putri Raja Basiang akhirnya menikah, dan tak lama kemudian putri mengandung. Saat itulah Putri ingin memetik dan makan buah kasturi yang tumbuh di daerah Loksado.
Andung terperangah. Daerah Loksado adalah tempat tinggalnya bersama ibunya dulu. Namun, Andung tak bisa menolak permintaan istrinya. Ditemani oleh beberapa pengawal, dia mengajak istrinya ke Loksado.
Andung& Andung& Anakku! teriak ibunya saat melihat rombongan kerajaan memasuki daerah Loksado.
Andung menoleh, dia malu melihat ibunya yang kumal dan renta. Dia berjalan cepat-cepat dan tak mau menoleh lagi. Bahkan, ketika sang istri hendak menyapa ibu Andung, Andung malah marah.
Ibu Andung pun sedih. Dia terduduk dan menangis.
Ya Tuhan, mengapa anakku menjadi sombong dan lupa padaku" Aku& ,
Belum selesai dia bicara, langit menjadi gelap dan kilat menyambar-nyambar. Angin bertiup keras dan hujan pun turun lebat sekali.
Saat itulah, tiba-tiba petir menyambar Andung, dan tubuhnya berubah menjadi batu. Sejak saat itulah, tempat peristiwa itu terjadi disebut Gunung Batu Bangkai. Letaknya ada di Kecamatan Loksado,
Kalimantan Selatan. Kalimantan Selatan Ilustrasi: Merri An Lok Si Naga Pada suatu hari, sepasang suami istri pergi menangkap ikan. Seperti biasa, mereka membawa sebuah tangguk yang besar.
Sebelum pergi, mereka berpesan pada anak mereka satusatunya.
Jaga rumah baik-baik, kami tak lama. Mereka lalu berangkat.
Namun, sepanjang hari itu mereka tak mendapat apa-apa. Padahal,
biasanya lima ekor ikan besar bisa mereka
tangkap. Setiap kali si suami memeriksa tangguknya, setiap kali pula tangguk itu kosong.
Hari sudah menjelang sore. Mereka mulai putus asa, dan memutuskan untuk pulang.
Saat mengangkat tangguknya, si istri menemukan ada sebutir telur raksasa di dalam tangguk itu.
Lihat, telur ini besar sekali! seru si istri.
Si suami ketakutan. Mungkin ini telur si Naga Putih. Kita kembalikan saja ke sungai.
Namun, tiap kali mereka melempar telur itu ke sungai, telur itu selalu kembali ke dalam tangguk mereka.
Suamiku, sepertinya ini memang sudah menjadi rezeki kita. Tak mendapat ikan, tapi mendapat telur raksasa.
Akhirnya, mereka pulang dan merebus telur itu untuk lauk makan malam.
Sisakan sedikit untuk anak kita, kata si suami pada istrinya. Saat itu, anak mereka masih tidur pulas, mungkin karena kelelahan menunggu mereka.
Mereka berdua lalu makan dengan nikmat.
Saat mereka selesai makan, tiba-tiba saja terjadi hal yang aneh. Perlahan-lahan, kulit mereka mulai ditumbuhi sisik, gigi mereka berubah menjadi runcing, dan mereka mempunyai ekor. Mereka berubah menjadi naga!
Belum habis rasa bingung mereka, anak mereka menjerit. Toloong! Anak mereka ketakutan melihat dua ekor naga di hadapannya.
Suami istri itu berusaha menenangkan anak mereka. Kami orangtuamu, Nak. Gara-gara kami makan telur naga putih ini, kami dikutuk menjadi naga, kata si suami.
Jangan kau makan sisa telur itu, ya. Jika kau memakannya, maka kau juga akan berubah wujud seperti kami, tambah istrinya.
Kedua naga jelmaan suami istri itu lalu kembali ke sungai. Di sanalah mereka harus hidup. Selain itu, mereka juga bertekad untuk bertempur melawan Naga Putih yang telah mengutuk mereka.
Sebelum pergi, mereka berpesan pada si anak. Lihatlah ke sungai nanti. Jika ada darah merah yang muncul di permukaannya, berarti kami kalah. Namun, jika darah putih yang muncul, berarti Naga Putih yang kalah, pesan sang ayah sebelum meninggalkan anaknya.
Si anak menuruti pesan orangtuanya. Tiap hari dia rajin pergi ke sungai, menantikan munculnya darah merah atau darah putih yang menunjukkan hasil pertempuran.
Dia terus menunggu sampai akhirnya suatu hari air sungai berwarna putih seperti susu. Dia pun senang, berarti kedua orangtuanya telah memenangkan pertempuran. Anak itu berharap agar orangtuanya bisa kembali ke wujud manusia dan kembali ke rumah.
Namun, harapannya sia-sia. Kedua orangtuanya tak pernah kembali.
Sejak saat itu, sungai tempat kejadian itu disebut dengan Lok Si Naga atau Lok Lua, yang berarti Sungai Naga.
Kalimantan Selatan Ilustrasi: Andri Permana Putri Junjung Buih Alkisah di Kalimantan Selatan, terdapat sebuah kerajaan bernama Amuntai. Rakyat Amuntai hidup damai sejahtera di bawah pemerintahan dua raja yang bernama Raja Patmaraga dan adiknya, Raja Sukmaraga.
Kedua raja itu memerintah dengan adil. Keduanya juga saling menghargai, hidup rukun dan bahagia.
Namun, ada satu hal yang mengurangi kebahagiaan mereka, yaitu mereka belum dikaruniai anak.
Sang adik, Raja Sukmaraga dan istrinya, ingin memiliki putra kembar. Akhirnya, Tuhan mengabulkan doa mereka. Permaisuri hamil. Raja Sukmaraga amat bahagia. Tiap malam, dia selalu mengelus perut istrinya dan berkata, Semoga anak di kandunganmu ini benar-benar sepasang putra kembar yang cakap.
Sembilan bulan kemudian, lahirlah sepasang putra kembar yang tampan. Raja Sukmaraga segera memberitahukan berita gembira itu pada kakaknya dan juga pada seluruh rakyat.
Raja Patmaraga menyambut gembira kelahiran kemenakannya itu. Namun dalam hati, dia merasa sedih. Dia juga ingin dikaruniai anak. Tak harus sepasang anak laki-laki, anak perempuan pun akan ia terima dengan sukacita.
Raja Patmaraga berdoa, memohon petunjuk pada Tuhan. Akhirnya petunjuk itu datang juga melalui mimpi. Dalam mimpinya, Raja Patmaraga diminta untuk bertapa di Candi Agung yang letaknya di luar Kerajaan Amuntai.
Keesokan harinya, Raja Patmaraga segera menuju ke Candi Agung dengan ditemani oleh pengetua istana yang bernama Datuk Pujung dan beberapa pengawal.
Setelah beberapa hari bertapa, Raja Patmaraga pun pulang. Dalam perjalanan pulangnya, dia melewati sebuah sungai dan melihat seorang bayi perempuan yang terapungapung di sungai. Bayi itu terapung begitu saja, disangga oleh buih-buih air sungai.
Raja Patmaraga sadar bahwa bayi itu adalah jawaban dari doa dan mimpinya.
Datuk Pujung, bantulah aku. Angkatlah bayi itu dari sungai, pintanya pada Datuk Pujung.
Datuk Pujung dengan sigap melaksanakan perintah itu. Namun, tiba-tiba saja bayi itu berbicara, Jangan bawa aku seperti ini. Mintalah empat puluh wanita cantik untuk menjemputku. Satu lagi, aku tak bisa ikut dengan kalian dalam keadaan telanjang seperti ini. Kalian harus menyediakan sehelai selimut yang ditenun dalam waktu setengah hari saja.
Raja Patmaraga segera menyuruh Datuk Pujung untuk segera kembali ke istana. Datuk Pujung harus mengadakan sayembara untuk mendapatkan selimut yang diminta oleh bayi itu. Selain itu, dia juga harus mengumpulkan empat puluh wanita cantik.
Perhatian semua rakyatku, Raja Patmaraga menunggu kita. Barang siapa mampu menenun sebuah selimut untuk bayi dalam waktu setengah hari saja, dia akan diangkat sebagai pengasuh bayi itu, kata Datuk Pujung.
Para wanita mulai menenun. Mereka tak mau menyianyiakan waktu. Namun sampai waktu yang ditentukan, tak ada yang mampu menyelesaikannya.
Datuk Pujung nyaris putus asa ketika tiba-tiba seorang wanita maju ke hadapannya.
Tuanku, ini selimut hasil tenunan saya. Periksalah dengan cermat, apakah selimut ini cukup untuk menyelimuti bayi Raja Patmaraga" katanya sambil menyerahkan sebuah selimut yang dilipat.
Datuk Pujung memeriksa selimut itu. Ternyata, tenunan wanita itu sempurna. Wanita yang bernama Ratu Kuripan itu lalu ditetapkan sebagai pengasuh bayi Raja Patmaraga.
Datuk Pujung, Ratu Kuripan, dan empat puluh orang wanita cantik kembali ke sungai tempat Raja Patmaraga menunggu. Alangkah senangnya hati Raja Patmaraga ketika melihat Datuk Pujung berhasil membawa semua yang diminta oleh bayi itu.
Akhirnya, bayi itu dibungkus oleh selimut buatan Ratu Kuripan. Cantik sekali. Karena kau kutemukan terapung di atas buih-buih, maka kau kunamakan Putri Junjung Buih, kata Raja Patmaraga.
Sejak saat itu, kebahagiaan rakyat Kerajaan Amuntai terasa lebih lengkap. Bersama dua raja dan putraputrinya, rakyat hidup bahagia dan damai.
Kalimantan Selatan Ilustrasi: Merri An Pangeran Biawak Ada seorang raja yang mengadakan sayembara. Barang siapa membangun istana megah di seberang sungai istana, maka dia akan dinikahkan dengan putrinya.
Raja mempunyai tujuh orang putri, dan semuanya belum bersuami. Sayembara itu lalu diumumkan ke penjuru kerajaan.
Ternyata, ada enam pemuda yang berhasil menyelesaikan tugasnya dengan baik. Enam istana megah telah berdiri dalam waktu singkat.
Tapi, kita membutuhkan sebuah jembatan untuk menuju istanaistana itu, kata Raja. Jika begitu, kita adakan sayembara lagi. Barang siapa memiliki kesaktian dan bisa membangun jembatan dalam waktu semalam saja, maka dia akan kunikahkan dengan putri ketujuh, imbuhnya.
Tak ada seorang pun yang menyanggupi sayembara ini. Namun, tiba-tiba datanglah seorang nenek tua dan seekor biawak.
Biarkan putra hamba mencobanya, pinta nenek itu. Raja menyetujuinya, namun betapa terkejutnya beliau saat mengetahui bahwa biawak itulah putra si nenek.
Aku tak mengira kalau anakmu adalah biawak ini, kata Raja menyesal.
Tapi Raja sudah setuju jika putra Hamba mencobanya, Nenek itu mendebat.
Akhirnya, Raja tak bisa berbuat apa-apa.
Ternyata biawak itu berhasil membuat jembatan besar dalam waktu semalam. Raja pun jadi gelisah. Bersama Permaisuri, dia bertanya pada putri bungsunya.
Ayah adalah seorang raja dan ucapan raja pantang ditarik kembali. Tak apa-apa, Ayah. Demi kehormatan Ayah, aku bersedia menikah
dengan biawak itu, Akhirnya benar, Putri menikah dengan biawak, sedangkan kakak-kakaknya menikah dengan keenam pria yang telah berhasil membangun istana.
Beberapa hari setelah menikah, Putri terbangun dari tidurnya. Dia terkejut saat melihat seorang pemuda tampan ada di kamarnya. Pemuda itu sedang memandanginya. Tolong...! teriak Putri kencang.
Putri, jangan takut. Aku ini suamimu! Pemuda itu berusaha menenangkan Putri.
Dia lalu menunjukkan kulit biawak yang teronggok di ujung kamar.
Sebenarnya aku adalah manusia biasa, namun karena kutukan seseorang, aku berubah menjadi biawak. Kutukan itu hilang jika ada wanita yang mau menikah denganku. Setengah tak percaya, Putri melihat onggokan kulit biawak itu. Lalu, mereka memutuskan untuk menghadap Raja dan menceritakan semuanya.
Onggokan kulit biawak itu pun dibakar, agar kutukan itu tak pernah kembali.
Sekarang, Putri hidup berbahagia dengan suaminya yang tampan.
Kalimantan Timur Ilustrasi: Pandu Sotya Legenda Pesut Mahakam Dua orang kakak beradik berjalan menyusuri hutan. Mereka diperintah oleh ibu tiri mereka, untuk mencari tiga ikat kayu bakar.
Kalian tidak boleh pulang jika belum mendapatkannya, ancam ibu tiri mereka. Saat itu, ayah mereka sedang bekerja di luar desa. Ayah mereka tak pernah tahu perilaku buruk istrinya terhadap anak-anaknya.
Hari sudah malam, tapi mereka belum mendapatkan kayu bakarnya. Karena teringat pesan ibu tirinya,


Cerita Rakyat Nusantara Karya Dian K di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka pun tak berani pulang
ke rumah. Mereka memutuskan untuk menginap di hutan. Untunglah, mereka menemukan sebuah pondok yang kosong. Dengan perut lapar, mereka pun tidur.
Keesokan harinya, mereka melanjutkan pekerjaan mereka. Tanpa kenal lelah, mereka terus mengumpulkan kayu bakar. Akhirnya, kayu-kayu itu terkumpul juga.
Ayah, Ibu, kami pulang. Lihatlah kayu yang kami bawa ini, rasanya cukup untuk persediaan satu bulan, teriak sang anak laki-laki. Sementara itu, adik perempuannya sibuk menata kayu itu di dalam rumah. Namun aneh, tak ada jawaban.
Kedua anak itu lalu mencari orangtua mereka di kamar, namun tak ada. Mereka lalu menemukan bahwa lemari pakaian orangtua mereka telah kosong, dan beberapa
perabot rumah pun telah hilang.
Sadarlah mereka, bahwa ayah dan ibu tiri mereka telah pergi dari rumah. Kedua anak itu lalu berusaha mencari ayah dan ibu tirinya. Mereka berjalan ke luar masuk desa tanpa mengenal lelah. Untunglah, mereka bertemu dengan kakek yang baik hati. Selain memberikan makanan, Kakek itu juga bercerita bahwa beliau melihat ayah dan ibu tiri mereka menyeberangi sungai.
Benarkah" Jika begitu, kami harus pergi menyeberangi sungai, Kek, jawab sang anak laki-laki. Si kakek kemudian menawari kedua anak itu untuk meminjam perahunya.
Sesampai di seberang sungai, mereka berjalan kaki menyusuri dusun yang sepi. Akhirnya, mereka menemukan sebuah rumah yang sepertinya baru saja dibangun. Ayah, Ibu, teriak mereka. Namun tak ada jawaban. Kedua anak itu lalu memberanikan diri memasuki rumah itu. Ternyata benar, mereka menemukan perabot dan pakaian milik orangtuanya.
Akhirnya kita menemukan orangtua kita, Dik, kata sang anak laki-laki.
Adiknya mengangguk senang. Mereka berdua lalu menemukan sepanci bubur yang masih panas di dapur. Karena lapar, mereka pun menyantap bubur itu sampai habis.
Namun, ada keanehan yang terjadi pada diri mereka. Tibatiba saja suhu badan mereka menjadi panas, sepanas bubur yang mereka makan tadi. Karena tak tahan dengan rasa panasnya, mereka berdua lari ke luar rumah dan mencari sungai. Mereka menceburkan diri ke dalam sungai.
Pada saat yang bersamaan, ayah dan ibu tiri mereka sudah pulang ke rumah. Mereka terkejut melihat pintu rumah yang terbuka, dan dua piring kosong bekas makan bubur.
Itu pasti anak-anakku, teriak sang ayah. Selama ini, sang ayah hanya tahu bahwa anak-anaknya pergi meninggalkan rumah. Dia tak pernah tahu bahwa istrinya yang menyuruh mereka pergi ke hutan.
Sang ayah lalu berteriak-teriak mencari anak-anaknya. Sang istri mengikutinya dari belakang, dan berkata, Mereka sudah makan buburku. Mungkin mereka sekarang ada di sungai.
Meski keheranan, sang ayah pun berjalan ke sungai. Ternyata benar, di sana dia menemukan dua ekor ikan yang melompat-lompat sambil menyemburkan air dari kepalanya.
Apakah itu anak-anakku" Namun, saat dia menoleh ke arah istrinya, istrinya lenyap.
Sekarang sadarlah sang ayah bahwa istrinya bukanlah manusia biasa. Dia hanya bisa menyesal kenapa dulu dia menikahi istrinya tanpa menanyakan asal usulnya.
Sejak saat itu, oleh masyarakat setempat, ikan yang menyembur-nyemburkan air itu disebut dengan ikan pesut.
Kalimantan Timur Ilustrasi: Indra Bayu Legenda Danau Lipan Negeri Muara Kaman dipimpin oleh seorang ratu yang cantik dan berkulit amat putih, namanya Ratu Aji Bidara Putih. Dia suka sekali menyirih. Konon kabarnya, jika dia sedang menyirih dan meminum air sepahannya yang berwarna merah, orang dapat melihatnya mengalir dari kerongkongannya.
Banyak pangeran, raja, bangsawan, dan bahkan rakyat biasa yang hendak meminangnya, namun Ratu Aji Bidara Putih belum menentukan pilihannya.
Suatu hari, datanglah sebuah kapal dari Negeri China. Kapal itu membawa rombongan Raja China yang hendak meminang Ratu Aji Bidara Putih.
Mendengar kedatangan mereka, Ratu Aji Bidara Putih pun menyiapkan pesta penyambutan.
Ternyata, Raja China tak ikut menghadiri pesta. Dia hanya mengirim utusannya untuk menyampaikan lamarannya. Ratu Aji Bidara Putih pun tak langsung memutuskan. Dia meminta waktu untuk berpikir.
Silahkan, Ratu, namun terimalah hadiah dari raja kami ini, jawab utusan itu sambil menyerahkan barang-barang antik dari emas dan beberapa keramik China.
Seusai pesta, Ratu memanggil salah seorang menteri kepercayaannya. Paman, aku tak bisa sembarangan menerima lamaran. Maukah Paman menyelidiki Raja China ini untukku"
Sang menteri setuju. Beliau menyelinap masuk ke dalam kapal rombongan kerajaan China itu dan mencari celah untuk mengintip. Namun, ternyata semua pintu-pintu di kapal itu tertutup rapat. Sang menteri hanya bisa mendengar suara-suara dari balik dinding bilik kapal.
Silakan, Baginda, kata seseorang dari balik dinding.
Sang menteri menyeringai. Aha! Ini pasti kamar Raja. Dia pun terus menguping.
Tak lama kemudian, dia mendengar suara-suara aneh. Dia tak tahu bahwa sebenarnya saat itu Raja China sedang bersantap sambil menyeruput teh panas.
Karena sang menteri tak bisa melihat, dia hanya bisa mendengar suara decapan dan seruputan yang keras.
Suara apa itu, ya" Rasanya mengingatkanku pada sesuatu, gumam sang menteri.
Sedetik kemudian, wajahnya memucat. Dia lalu terburuburu kembali ke istananya.
Ratu, jangan menikah dengan raja itu. Dia bukan manusia! Aku mendengar suara mirip babi hutan dan anjing dari biliknya. Mungkin dia adalah jelmaan babi hutan atau anjing! Pokoknya, Ratu jangan menerima pinangannya.
Ratu terkejut. Benarkah" Jika begitu, besok aku akan mengembalikan barang-barang pemberiannya.
Keesokan harinya, Ratu mengirimkan utusan ke kapal Raja China itu. Melalui utusannya, Ratu dengan tegas menolak pinangan Raja China.
Raja China amat murka dan tersinggung mendengar penolakan itu.
Beliau lalu memerintahkan pasukannya untuk segera menyerang Negeri Muara Kaman.
Dalam sekejap mata, Negeri Muara Kaman berhasil dikuasai oleh pasukan negeri China. Jumlah pasukan Negeri Muara Kaman kalah banyak dibandingkan pasukan Negeri China.
Ratu Aji Bidara Putih berpikir keras, ia harus menyelamatkan istananya. Sebentar lagi pasukan Negeri China itu akan memasuki istananya dan pasti mereka akan memaksanya menikahi Raja China.
Ratu berusaha menenangkan pikirannya. Dia lalu berdiam diri, lalu mengunyah sirih sebanyak yang ia mampu. Kemudian kunyahan sirih itu digenggamnya erat-erat.
Jika benar aku ini keturunan raja-raja yang sakti, maka sirih ini akan mampu
mengusir musuh-musuh yang sedang menuju ke sini! teriaknya sambil melempar genggaman sirih di tangannya.
Ajaib, kunyahan sirih tadi berubah menjadi lipanlipan raksasa yang amat banyak jumlahnya.
Lipan-lipan tersebut menghadang serbuan para prajurit Negeri China dan bahkan mengejar mereka sampai ke kapalnya.
Prajurit-prajurit itu lari ketakutan, namun lipan-lipan raksasa itu terus mengejar mereka.
Lipan-lipan raksasa itu lalu membalikkan kapal Raja China itu hingga tenggelam. Tempat bekas tenggelamnya kapal itulah yang kini disebut dengan Danau Lipan.
Kalimantan Timur Ilustrasi: Lisa Gunawan Nyapu dan Moret Alkisah, ada sebuah desa di muara Sungai Sian. Desa itu amat makmur dan tenteram. Penduduknya pun hidup rukun dan damai.
Namun, suatu hari, ketenteraman desa itu terganggu. Segerombolan perampok menyerang mereka. Banyak penduduk yang meninggal, dan rumah-rumah mereka pun berantakan.
Setelah kejadian itu, para penduduk berkumpul dan berunding. Mereka mencari cara agar perampok tidak kembali ke desa mereka.
Saat itulah, seorang pria bernama Nyapu mengusulkan agar mereka pindah saja ke daerah lain. Namun, penduduk yang lain tidak setuju. Mereka tetap bertahan untuk tinggal di sana.
Untuk mencegah perampok, mereka membangun pagar yang tinggi. Selain itu, kaum pria diminta untuk berjagajaga setiap malam.
Namun, lagi-lagi perampok datang menyerang saat mereka lengah. Perampok kembali memorakporandakan desa mereka. Banyak wanita yang kehilangan suami mereka karena meninggal saat melawan perampok itu.
Setelah kejadian itu, Nyapu kembali mengajak penduduk desa untuk pindah. Namun, tetap saja penduduk menolak.
Akhirnya, Nyapu dan istrinya memutuskan untuk pindah sendiri. Mereka pindah ke daerah di dekat Sungai Bolo dan membuka ladang di sana.
Selain Nyapu dan istrinya, ada beberapa wanita
yang juga ikut bersama mereka. Mereka semua lalu bergotong royong mendirikan perkampungan baru. Nyapu pun diangkat menjadi ketua kampung. Mereka hidup berkecukupan dan damai.
Lama-kelamaan, kampung mereka pun semakin ramai. Penduduk desa mereka sebelumnya, akhirnya banyak yang mengikuti Nyapu. Ternyata, para perampok masih saja mendatangi desa mereka. Sekarang, mereka lebih nyaman tinggal di kampung baru bersama Nyapu dan keluarganya.
Beberapa tahun kemudian, Nyapu dan istrinya dikaruniai anak perempuan bernama Moret. Moret tumbuh menjadi gadis yang cantik. Banyak pria ingin menikahinya, tapi Moret menetapkan syarat yang cukup berat.
Aku ingin calon suamiku mampu mengisi lumbung kampung ini dengan biji buah-buahan, dalam waktu sehari saja. Biji-biji itu akan kita tanam saat pesta pernikahanku nanti, demikian ujar Moret.
Tak ada seorang pemuda pun yang mampu melakukan permintaan Moret. Hingga suatu hari, datanglah seorang pemuda tampan dari kampung lain. Pemuda bernama Karang itu memiliki kesaktian yang membuatnya mampu
memenuhi permintaan Moret.
Sekarang, lumbung di Kampung Nyapu penuh dengan biji buah-buahan. Moret pun setuju menikah dengan Karang. Pesta pernikahan diadakan secara meriah.
Saat pesta berlangsung, Nyapu sebagai ayah pengantin wanita, meminta seluruh tamu untuk menanam biji buah-buahan yang telah disediakan Karang.
Moret sangat bahagia melihat impiannya terwujud. Dan, beberapa tahun kemudian, biji-bijian yang ditanam telah tumbuh menjadi pohon yang menghasilkan aneka buah. Kampung Nyapu pun bertambah makmur.
Sulawesi Utara Ilustrasi: Yon Rifa i Kisah Burung Kekekow Di sebuah desa di daerah Sulawesi Utara, ada seorang ibu yang tinggal bersama dua anak gadisnya. Mereka amat miskin, sehingga untuk makan sehari-hari mereka hanya mengambil buah-buahan yang tumbuh di hutan sekitar rumah mereka. Meski demikian, kehidupan mereka tenang dan bahagia.
Suatu hari, musim kemarau melanda berkepanjangan. Buahbuahan tak lagi tumbuh. Pohon-pohon kering dan layu.
Kak, aku lelah. Kita sudah berjalan jauh, tapi tak juga menemukan buah-buahan, keluh Bungsu.
Sabar. Ayo kita berjalan lebih jauh lagi ke dalam hutan, ajak Sulung.
Tak terasa, mereka masuk jauh sekali ke dalam hutan. Karena kelelahan, mereka pun tertidur di bawah sebuah pohon yang meski berdaun lebat, tak ada buah yang tumbuh di sana.
Tiba-tiba, terdengarlah suara, Keke... kow& keke... kow..
Bersamaan dengan suara itu, jatuhlah beberapa buah mangga yang masak. Salah satu diantaranya mengenai kaki si Bungsu. Bungsu terkejut dan terbangun.
Buah mangga" Dari mana datangnya"
Dia lalu membangunkan kakaknya dan menceritakan apa yang terjadi.
Sementara itu, suara Keke... kow... keke... kow, terus terdengar. Kedua gadis itu berusaha mencari dari mana datangnya suara itu, namun tak berhasil.
Demikianlah yang terjadi tiap hari. Setiap kali mereka berdua masuk ke hutan, mereka akan dijatuhi bermacam buahbuahan. Dan, suara misterius itu terus terdengar.
Akhirnya Sulung berteriak Siapakah kau" Ayo keluarlah. Kami ingin berterima kasih padamu,
Keke... kow... keke... kow.. tiba-tiba di hadapan mereka telah muncul seekor burung.
Hai gadis miskin, tak usah berterima kasih padaku. Anggaplah ini hadiah dariku karena kalian berdua begitu rajin dan tak pernah mengeluh, kata burung yang ternyata bisa berbicara itu.
Kedua gadis itu lalu menamai burung itu burung kekekow. Sejak hari itu, mereka bersahabat. Burung itu selalu memenuhi kebutuhan mereka. Bahkan, kadang dia membawakan kain yang indah dan perhiasan emas untuk kedua gadis itu dan ibunya.
Sekarang, kehidupan mereka berubah sejak burung kekekow membantu mereka.
Tak lama kemudian, kabar tentang burung kekekow ini tersebar ke seantero desa. Banyak yang merasa iri pada keluarga itu. Diam-diam, mereka melapor pada kepala desa. Mereka bilang bahwa jika penduduk bisa menangkap burung itu, maka seluruh penduduk akan hidup makmur.
Kepala desa memerintahkan semua warga untuk mencari burung kekekow. Setelah berhasil menangkapnya, para warga berkumpul di balai desa dan mulai mengajukan bermacam-macam permintaan, termasuk kepala desa.
Berikan aku sebuah gelang emas untuk istriku, kata kepala desa.
Aku ingin kain sutra yang indah, kata seorang warga. Aku ingin peralatan makan dari perak, kata warga yang lain. Suasana menjadi gaduh. Setiap warga mengajukan permintaan mereka masing-masing.
Namun burung kekekow bergeming. Dia hanya terus berteriak, Keke... kow... keke... kow.
Warga pun jadi marah. Mereka menganggap burung kekekow sengaja mengejek
mereka. Mereka lalu mengurung burung itu sampai mau
mengabulkan keinginan mereka.
Lama kelamaan, burung kekekow jadi lemah. Tak lama kemudian, dia pun mati.
Sulung dan Bungsu menangis. Mereka lalu menguburkan burung kekekow itu di halaman rumah mereka dan menanam bunga yang indah di atasnya.
Namun ajaib, tanaman bunga itu tak bertumbuh. Di atas kuburan itu malah tumbuh sebuah pohon besar yang selalu mengeluarkan buah sepanjang tahun. Anehnya, buah yang tumbuh selalu berganti jenisnya.
Karena jumlah buahnya yang banyak, Sulung dan Bungsu bisa menjual buahbuahan itu ke pasar. Dari uang hasil menjual buah, mereka bisa hidup dengan layak. Rupanya burung kekekow tetap senantiasa menolong mereka meskipun dia sudah mati.
Sulawesi Utara Ilustrasi: Syarifah Tika Sigarlaki dan Limbat Ada seorang pemuda yang amat pintar menombak. Namanya Sigarlaki. Berkat kepandaiannya itu, hidupnya tak pernah kekurangan. Dia selalu mudah mendapatkan binatang buruan.
Sehari-hari, Sigarlaki hidup bersama pembantunya,
seorang pemuda yatim piatu bernama Limbat.
Limbat-lah yang selalu menyiapkan tombak dan
keperluan berburunya. Bahkan, Limbat juga tak canggung memasak daging hasil buruan, juga mengurus rumah.
Hari ini, Sigarlaki akan berburu lagi. Limbat sudah siap dengan seperangkat alat berburu.
Aku pergi dulu. Jangan lupa, daging buruan sore kemarin kau jual ke pasar, ya. Sisanya, masaklah untuk makan siang kita hari ini, pesan Sigarlaki sambil bergegas meninggalkan rumahnya.
Sepeninggal tuannya, Limbat mulai menimbang daging yang akan dibawanya ke pasar. Kemarin, Sigarlaki mendapatkan seekor rusa yang gemuk.
Nah, semuanya sudah siap. Sekarang aku mandi dulu, pikir Limbat. Dia tak sadar, pintu rumah terbuka lebar.
Saat Limbat mandi, seorang pencuri masuk dan mengambil semua daging rusa itu. Tentu saja, seusai mandi, Limbat terkejut.
Astaga, dagingku dicuri! teriaknya panik. Dia ketakutan, Sigarlaki pasti marah besar.
Menjelang sore, Sigarlaki pun pulang. Wajahnya terlihat masam dan dia tak membawa seekor hewan buruan pun.
Selamat sore, Tuan, hewan apa yang berhasil Tuan tangkap kali ini" tanya Limbat dengan cemas.
Sambil mendengus kesal, Sigarlaki menjawab, Ternyata aku tak sehebat yang aku pikirkan. Hari ini hewan buruanku berhasil lolos semua.
Limbat pun semakin cemas.
Tiba-tiba Sigarlaki bertanya, Bagaimana daging kita" Kau sudah menjualnya kan"
Limbat pun mendadak gagap.
Eh... anu... eh... maaf Tuan. Seseorang telah mencuri daging itu saat aku mandi.
Sigarlaki marah dan malah menuduh Limbat yang mencuri daging itu.
Kau harus membuktikan bahwa memang bukan kau pencurinya. Sekarang, kau ikut denganku ke sungai, perintahnya pada Limbat yang menurut.
Menyelamlah kau dalam sungai ini. Aku akan menancapkan tombakku ke dasar sungai. Jika tombak ini keluar lebih dahulu daripada dirimu, maka kau benar-benar tak bersalah. Namun, jika kepalamu yang keluar lebih dulu, berarti memang kau pencurinya, kata Sigarlaki.
Limbat jadi ketakutan. Tak mungkin dia bisa menyelam begitu lama. Dan, mana mungkin tombak itu bisa keluar sendiri dari sungai" Namun dia tak bisa mengelak, dan melaksanakan perintah Sigarlaki.
Namun, baru beberapa detik berjalan, Sigarlaki melihat seekor babi hutan melintas. Dia segera mencabut tombaknya dan mengejar babi hutan itu. Sayangnya, babi hutan itu lari dengan cepat dan Sigarlaki kehilangan jejaknya.
Limbat pun keluar dari sungai dengan lega.
Sepasang Pendekar Kembar 2 Husband Karya Phoebe Maryand Rajawali Lembah Huai 4
^