Pencarian

Cerita Rakyat Nusantara 3

Cerita Rakyat Nusantara Karya Dian K Bagian 3


Tuan, sudah terbukti bahwa bukan aku yang mencuri daging Tuan, katanya. Namun Sigarlaki masih tak percaya. Dia meminta Limbat untuk mengulangnya.
Jika kali ini kau berhasil, aku akan benar-benar percaya padamu, kata Sigarlaki lagi.
Terpaksa, Limbat menyelam untuk kedua kalinya. Dengan penuh rasa percaya diri, Sigarlaki menancapkan tombaknya lagi. Tiba-tiba, Aduuhh... kakiku! teriak Sigarlaki.
Ternyata ada seekor kepiting yang amat besar mencapit kakinya. Sigarlaki amat kesal, lalu mencabut tombaknya. Sambil terpincang-pincang, dia menggunakan tombaknya untuk menghalau kepiting itu.
Sigarlaki akhirnya sadar.
Maafkan aku, Limbat, ternyata kau memang jujur padaku.
Limbat hanya tersenyum. Sejak itu, Sigarlaki tak pernah lagi menuduhnya sembarangan.
Sulawesi Utara Ilustrasi: Indra Bayu Abo Mamongkuroit dan Tulap si Raksasa
Pada zaman dahulu, ada sepasang suami istri yang hidupnya amat miskin. Mereka adalah Abo Mamongkuroit dan Putri Monondeaga. Meski miskin, mereka saling menyayangi dan hidup bahagia.
Suatu hari, Abo merasa bahwa mereka tak bisa terus hidup seperti itu. Dia memutuskan untuk merantau. Bagaimana denganku" tanya Putri Monondeaga kalut. Abo menenangkan istrinya dan berjanji untuk segera menjemputnya.
Jangan cemas. Aku akan segera kembali setelah memiliki cukup harta untuk bekal hidup Sepeninggal Abo, Putri Monondeaga menjalani kesehariannya seperti biasa, yaitu memberi makan ayam dan membersihkan rumput di halaman. Saat itulah, sesosok raksasa mengerikan muncul di hadapannya. Dia adalah Tulap, raksasa yang terkenal suka memangsa manusia.
Putri Monondeaga gemetar. Jangan makan aku, ratapnya. Tulap terbahak. Aku tak akan memangsamu. Aku hanya minta kau ikut denganku.
Tentu saja perkataan Tulap itu bohong. Nanti setelah Putri Monondeaga ikut dengannya, dia pasti segera
memangsanya. Putri Monondeaga mencari akal. Kembalilah esok pagi. Aku belum mencuci rambutku selama sebulan. Izinkan aku mencucinya terlebih dahulu, pintanya. Tulap pun setuju.
Namun, esok harinya, Putri Monondeaga kembali mengelak.
Aku belum mandi. Jemputlah aku esok. Lagi-lagi dia
memberi alasan, dan lagilagi Tulap tak bisa menolak. Dan, begitulah yang terjadi tiap hari. Putri Monondeaga membuat alasan agar Tulap tak bisa mengajaknya. Dia berharap, suaminya segera pulang sebelum semuanya terlambat.
Namun, suaminya tak pulang-pulang, padahal Putri Monondeaga sudah kehabisan alasan. Mau tak mau, sekarang dia ikut Tulap. Ternyata benar, Tulap memasukkannya ke dalam kurungan bersama beberapa orang lain yang siap disantap.
Beberapa hari kemudian, ternyata Abo Mamongkuroit kembali dari perantauan. Dia kebingungan melihat istrinya tak ada di rumah. Setelah mencari ke sana dan kemari, dia menemukan jejak kaki raksasa.
Ini pasti ulah Tulap, si raksasa pemangsa itu! teriaknya marah.
Abo berangkat ke rumah Tulap. Sesampainya di sana, dia segera meminta Tulap untuk melepaskan istrinya. Namun, Tulap menolak dan malah menantangnya untuk adu betis.
Abo setuju. Dia pun memasang kuda-kuda dan membiarkan Tulap menyerang betisnya.
Aneh, Abo sama sekali tak terjatuh. Sebaliknya, malah Tulap yang tersungkur kesakitan. Berkali-kali Tulap mencoba, tapi gagal terus.
Lalu Tulap menantang Abo untuk menyerang betisnya. Di luar dugaan Tulap, Abo langsung menendang betisnya dan Tulap pun tersungkur.
Sekarang Tulap menyerah. Dia melepaskan Putri Monondeaga dan juga orang-orang lain yang dikurungnya. Betapa bahagianya Putri Monondeaga bisa bertemu kembali dengan suaminya.
Sejak saat itu, Abo Mamongkuroit tak pernah lagi meninggalkan istrinya. Mereka hidup berbahagia tanpa gangguan dari
Tulap. Sulawesi Tengah Ilustrasi: Salestinus Asal Usul Pohon Sagu dan Palem
Dahulu, ada sebuah keluarga yang amat miskin. Mereka tinggal di pinggir hutan Dolo. Keluarga itu terdiri dari ayah, ibu, dan anak lakilakinya. Untuk makan sehari-hari, mereka mencari buah-buahan di hutan. Sebenarnya, beberapa kali si istri mengusulkan agar mereka mencoba bercocok tanam, namun suaminya menolak. Malas, itu alasannya.
Namun, lama-kelamaan si suami bosan juga hidup miskin. Dia setuju untuk membuka lahan dan bercocok tanam. Tentu saja istrinya amat senang.
Tapi kita harus mencari lahan terlebih dahulu, kata istrinya. Aku akan membuka lahan di hutan, jawab si suami.
Si suami benar-benar melaksanakan niatnya. Pagi-pagi dia sudah berangkat ke hutan Doho. Dia mencari tempat yang cocok baginya untuk membuka lahan. Setelah menemukannya, dia segera pulang dan mengabarkan pada istrinya.
Bagaimana" Apakah sudah ada lahan yang bisa kita tanami" tanya istrinya.
Si suami mengangguk. Aku sudah menemukan tempatnya. Besok, aku akan mulai menebangi pohon dan menanam biji-bijian.
Si istri senang sekali, karena suaminya sudah tidak malas lagi dan benar-benar ingin mengubah nasib
mereka. Esok harinya, si suami benarbenar berangkat ke hutan. Dia membawa perlengkapan untuk membuka lahan.
Tapi, setelah sampai di hutan, tiba-tiba saja sifat
malasnya muncul lagi. Dia hanya dudukduduk sambil melamun, dan akhirnya tertidur.
Saat dia bangun, hari sudah sore. Dia pulang ke rumah.
Bagaimana" Sudahkah lahan kita siap" sambut istri dan anaknya dengan riang.
Aku ingin membantu Ayah menanam biji-bijian, imbuh anaknya.
Si suami menggeleng. Belum, lahan kita belum siap. Besok baru akan kukerjakan, Meski heran, si istri diam saja.
Dan begitulah yang terjadi tiap hari. Si suami kembali bermalas-malasan. Dia tak kunjung membuka lahan. Lama-lama, istrinya penasaran karena tiap hari si suami menjawab bahwa lahannya belum siap.
Diam-diam, si istri pun mengikuti suaminya ke hutan. Dia lalu melihat bahwa suaminya sedang bermalas-malasan.
Si istri pun kecewa. Melihat kedatangan istrinya, si suami malah marah. Dia merasa, istrinya memata-matainya. Dia lalu meninggalkan istrinya sendiri di hutan.
Karena amat kecewa, si istri pun menangis. Dia lalu berjalan menyusuri hutan tanpa tujuan jelas. Dia berjalan jauh sekali, dan menemukan sebuah telaga.
Karena ingin menyegarkan diri, si istri pun berjalan ke arah telaga.
Namun malang baginya, dia terpeleset dan tercebur ke dalam telaga itu.
Sementara itu, di rumah, si suami mulai gelisah saat menyadari bahwa istrinya tak kunjung pulang. Dengan ditemani oleh anaknya, dia kembali ke hutan. Setelah lama mencari dan terus berjalan, akhirnya mereka menemukan telaga itu.
Saat itulah mereka berdua melihat bahwa tubuh si istri sedikit demi sedikit menjelma menjadi pohon sagu di tengah telaga.
Melihat keadaan ibunya, si anak jadi panik. Tanpa pikir panjang, dia menceburkan dirinya ke telaga. Dia ingin menolong ibunya. Namun, dia bernasib sama seperti ibunya. Dia juga menjelma menjadi pohon, tetapi bukan pohon sagu, melainkan pohon aren. Melihat apa yang terjadi pada istri dan anaknya, si suami hanya bisa menangis dan menyesal.
Sulawesi Tengah Ilustrasi: Lisa Gunawan Legenda Putri Duyung Sebuah keluarga sedang menikmati makan siang dengan nikmat. Lauk hari itu adalah ikan goreng. Akhir-akhir ini, mereka memang jarang makan ikan karena gelombang di lautan cukup tinggi dan angin selalu bertiup kencang. Tapi tadi, si ayah memberanikan diri melaut dan mendapat beberapa potong ikan.
Enak! seru Bungsu sambil mengelap mulutnya. Sementara itu, nasi di piring si Sulung dan si Tengah sudah licin.
Ibu mereka tersenyum, namun ayah mereka malah diam saja. Dia melihat ada satu ikan goreng yang tersisa, dan menyimpannya di lemari.
Aku mau kerja dulu. Ikan itu jangan dimakan, aku akan memakannya saat pulang nanti, pesannya pada istrinya.
Sepeninggal ayah mereka, ketiga anak itu bermain-main. Tak terasa, hari sudah menjelang malam. Mereka kelelahan.
Bu, aku lapar. Aku ingin makan nasi dan ikan, rengek si Bungsu.
Jangan, Nak. Itu untuk ayahmu. Ayo makan ubi rebus saja, rayu ibunya.
Namun, si Bungsu menolak. Dia malah menangis keras.
Sang ibu jadi gelisah. Dia ingin sekali memberikan ikan itu pada anaknya, namun dia juga tahu perangai suaminya yang pengomel.
Namun, akhirnya dia memutuskan untuk memberikan ikan itu pada anak-anaknya. Sekarang, ikan itu ludes.
Malam harinya, suaminya pulang dalam keadaan lapar dan lelah.
Tolong siapkan nasi dan ikan yang tadi, pintanya. Dengan gugup, si istri menjelaskan bahwa ikannya sudah habis dimakan anak-anaknya.
Seperti yang sudah diduga, si suami marah. Sehari-hari, dia memang pemarah. Tapi kali ini, marahnya luar biasa, karena dia benar-benar lelah dan lapar.
Dia terus mengomel dan mengomel. Meski istrinya sudah minta maaf, dia terus mengomel. Si istri jadi sedih, dan tak bisa berkata apa-apa.
Tengah malam, si istri meninggalkan rumah. Dia pergi ke tepi pantai untuk menenangkan diri. Di sana, dia menangis. Karena terus bersedih dan menangis, dia tak merasa saat gelombang tinggi menghanyutkannya ke tengah lautan. Saat itulah keajaiban terjadi. Tubuhnya menjadi penuh sisik, dan kedua kakinya berubah menjadi ekor.
Keesokan paginya, ketika ketiga anaknya bangun, mereka bingung mencari ibunya. Mereka meminta ayahnya untuk menemani mereka mencari ibu mereka ke pantai.
Ibu... di manakah Ibu" Si Bungsu lapar, dia hendak menyusu.
Lalu, terdengar sebuah suara. Ibu di sini, Nak. Kemarilah kalian.
Ketiga anak itu terkejut ketika melihat sosok ibunya. Demikian juga dengan si ayah.
Si Bungsu menangis keras melihat ibunya. Dia bahkan menolak untuk disusui. Kedua kakaknya juga tak mau mendekat.
Percayalah, Nak, aku ini benar-benar ibumu. Ibu menangis di pantai ini semalam, dan ternyata tangisan Ibu dianggap sebagai keinginan untuk tinggal di lautan ini selama-lamanya. Si ibu mulai menangis.
Ketiga anaknya ternganga, demikian juga dengan suaminya. Kini, mereka tak bisa lagi hidup bersama-sama. Konon, ibu mereka ini menjelma menjadi ikan yang dikenal dengan nama ikan duyung.
Sulawesi Tengah Ilustrasi: Tjhang Tina Tanduk Alam Tanduk Alam adalah seorang pemuda alim yang berasal dari Negeri Palembang. Dia berlayar sampai ke Negeri Banggai di Sulawesi Tengah. Di sana, dia bekerja sebagai ahli emas. Salah satu pelanggannya adalah Raja Banggai yang bernama Adi Cokro. Selain membuat perhiasan, Tanduk Alam juga sering mengajarkan agama dan memberikan nasihat baik kepada rakyat Banggai. Oleh karena itu, Raja Adi Cokro menyukai Tanduk Alam. Bagi beliau, Tanduk Alam membuat kehidupan masyarakatnya menjadi lebih baik.
Suatu hari, terjadi kegaduhan di istana. Putri raja hilang. Raja Adi Cokro lalu mengerahkan empat orang basalo atau pembantunya untuk mencari. Ternyata, putri raja diculik oleh orang-orang Tobelo dan disembunyikan di Pulau Sagu. Orangorang Tobelo melakukan itu atas perintah Raja Ternate yang ingin menguasai kerajaan Banggai.
Raja Adi Cokro pun memerintah keempat basalo tersebut untuk menyelamatkan putrinya. Dengan pasukan lengkap, keempat basalo itu berlayar ke Pulau Sagu. Namun ternyata, pasukan Tobelo jumlahnya amat banyak. Keempat basalo tadi tak mampu membebaskan Putri dan terpaksa mundur
kembali ke Negeri Banggai.
Maafkan kami Baginda, jumlah mereka jauh lebih banyak daripada kami, kata salah seorang basalo. Baginda Adi Cokro hanya duduk merenung dengan sedih.
Tiba-tiba salah seorang basalo yang bernama Tano Bonunungan berkata, Bagaimana jika kita minta pendapat Tanduk Alam" Dia adalah orang bijaksana. Mungkin dia bisa membantu kita.
Tanduk Alam bersedia membantu Raja. Dia akan pergi ke Pulau Sagu, namun tak mau membawa pasukan. Dia tak mau ada peperangan.
Kami akan menemanimu, pinta keempat basalo. Tanduk Alam setuju.
Sesampainya di Pulau Sagu, hanya Tanduk Alam yang memasuki pulau itu. Keempat basalo hanya berjaga-jaga di perahu, bersiap jika Tanduk Alam mengalami bahaya.
Tanduk Alam, apakah tidak bahaya jika kau pergi sendiri" tanya salah seorang basalo.
Dengan izin Tuhan, aku yakin Putri bisa kuselamatkan, jawab Tanduk Alam.
Setelah berkata begitu, Tanduk Alam pun berdoa, dan tiba-tiba keajaiban terjadi. Tubuh Tanduk Alam menghilang. Dengan mudah, dia berjalan melewati orang-orang Tobelo yang menjaga rumah tempat Putri disembunyikan.
Tanduk Alam mendekati jendela kamar Putri. Pelan-pelan, dia membuka jendela dan melempar Putri dengan ranting kecil yang tadi dibawanya.
Putri terbangun. Ssst... Putri, dengarkan aku. Aku adalah Tanduk Alam, utusan ayahmu. Kau tak bisa melihat tubuhku, tapi aku akan membebaskanmu. Kemarilah, ke jendela ini, bisik Tanduk Alam.
Putri menurut. Saat dia mendekati jendela, dia merasakan tangannya dipegang oleh seseorang.
Pejamkanlah matamu, bisik Tanduk Alam lagi.
Dalam sekejap, tubuh Putri ikut menghilang. Saat Putri membuka matanya, dia sudah berada di atas perahu bersama keempat basalo ayahnya, dan juga Tanduk Alam.
Keempat basalo pun tak kalah terkejutnya saat melihat Tanduk Alam dan Putri tiba-tiba muncul di samping mereka.
Dengan tergesa-gesa, mereka segera mendayung perahu dan meninggalkan Pulau Sagu.
Raja Adi Cokro menyambut kedatangan putrinya dengan bahagia. Sebagai ucapan terima kasihnya, beliau menawarkan hadiah pada Tanduk Alam.
Jika Baginda berkenan, hamba hanya mau sebidang tanah untuk hamba tanami buah-buahan, pinta Tanduk Alam.
Permintaannya yang sederhana itu langsung dikabulkan oleh Raja Adi Cokro.
Beberapa tahun kemudian, Tanduk Alam telah berhasil mengubah lahan itu menjadi kebun buah-buahan yang subur. Kebun itu tidak hanya membawa manfaat bagi Tanduk Alam sendiri, tapi juga pada orang-orang di sekitarnya. Sampai akhir hayatnya, Tanduk Alam tetap tinggal di Negeri Banggai.
Sulawesi Selatan Ilustrasi: Martha Parman La Dana dan Kerbau La Dana, cepatlah pergi ke desa sebelah. Aku diundang untuk menghadiri acara kematian di sana, tapi aku tak bisa. Datanglah kesana untuk mewakiliku, perintah Ayah pada La Dana yang segera bergegas menuju desa sebelah.
La Dana dan ayahnya tinggal di sebuah desa di tanah Toraja. Di daerah mereka, sudah menjadi kebiasaan jika mereka datang ke acara kematian, tuan rumah akan memberi mereka daging kerbau.
Begitu juga yang dialami La Dana saat ini. Setelah acara selesai, tuan rumah memberinya kaki belakang kerbau. La Dana heran, kenapa jatahnya sedikit sekali" Temannya yang datang bersamanya, mendapat hampir seluruh tubuh kerbau kecuali kaki belakangnya.
La Dana berpikir keras. Dia ingin mendapat bagian yang lebih banyak. Dia lalu mengusulkan sesuatu pada temannya.
Lebih baik kita tukarkan daging jatah kita ini dengan seekor kerbau utuh saja. Kalau kita mendapat kerbau yang masih hidup, kita bisa memeliharanya sampai gemuk. Nantinya jatah daging kita bisa lebih besar. Lihat jatahmu, ini kerbau yang kurus kan" usul La Dana.
Temannya setuju dan tuan rumah pun setuju. Akhirnya La Dana dan sahabatnya membawa pulang seekor kerbau.
Kau yang pelihara kerbau ini, ya" Nanti jika sudah gemuk, kita sembelih dan kau bisa memberiku kaki belakangnya saja, kata La Dana.
Seminggu telah berlalu. La Dana mendatangi rumah temannya. Dia bertanya apakah kerbau mereka sudah bisa disembelih. Temannya bilang, kerbaunya masih terlalu kurus.
Tapi aku sudah ingin memakannya sekarang, La Dana terus menggerutu.
Begini, aku potong saja bagianku, yaitu kaki belakangnya. Setelah itu kau bisa terus memelihara kerbau itu sampai gemuk. Adil, bukan" usul La Dana sambil menyeringai.
Temannya menggeleng kuat-kuat.
Kerbau itu bisa mati! Begini saja, kita tunggu saja sampai kerbau ini gemuk. Nanti kau akan kuberi tambahan kaki depannya. La Dana pun akhirnya setuju.
Seminggu kemudian, lagi-lagi La Dana menengok kerbaunya. Dia mulai merengek lagi agar kerbau itu disembelih.
Jika kau tak mau, berikan saja jatahku. Aku potong saja kaki belakang dan kaki depannya, lalu kau bisa terus
memeliharanya, pintanya lagi. Temannya pun mulai kesal.
Kau ini main-main, ya" Bagaimana kerbau ini bisa tetap hidup jika kau potong kaki-kakinya" teriaknya.
La Dana hanya mengangkat bahunya, Pokoknya aku ingin mengambil jatahku hari ini, jawabnya tegas.
Temannya hanya bisa menghela napas.
Sudahlah, La Dana. Kerbau ini masih kurus. Jika kau mau menunggu, aku akan memberikan kepala kerbau itu padamu,
La Dana tersenyum. Benarkah" Berarti sekarang dua kaki depan, dua kaki belakang dan kepala kerbau itu adalah jatahku, katanya senang, lalu dia pulang.
Tak sampai seminggu, lagi-lagi La Dana datang. Sekarang sudah saatnya. Jika kau tak mau menyembelihnya, aku potong saja bagianku. Kaki depan, kaki belakang dan kepala, sisanya boleh terus kau pelihara sampai gemuk.
Kali ini termannya benar-benar marah.
Kau benar-benar memusingkan aku, La Dana! Sudah, aku tak tahan lagi! Ambil dan bawalah kerbau ini pulang bersamamu, kata sahabatnya sambil menyerahkan kerbau itu pada La Dana.
La Dana tersenyum gembira. Benarkah" Wah, terima kasih sekali. Kalau begitu, aku akan memelihara kerbau ini sampai gemuk dan besar, jawabnya.
Temannya sudah tak peduli lagi apa kata La Dana. Baginya lebih baik kerbau itu diambil saja daripada dia harus pusing menghadapi rengekan La Dana.
Sulawesi Selatan Ilustrasi: Merri An La Upe La Upe... di mana kau" teriak seorang wanita bernama I Ruga. Mendengar teriakan ibu tirinya, La Upe yang sedang bermain segera berlari pulang.
Hari sudah siang, ayo cepat ke sungai, carilah ikan untuk makan siangmu! perintah I Ruga.
La Upe heran. Daging buruan ayahnya masih ada. Namun, dia tak berani membantah. I Ruga amatlah galak.
Di sungai, La Upe duduk dan memancing ikan. Namun sampai siang, dia tak mendapatkan satu ikan pun. La Upe bingung, karena I Ruga pasti marah.
La Upe pasrah, dia tak punya pilihan.
Saat dia beranjak, tiba-tiba dia merasakan kailnya bergerak-gerak. Ternyata seekor ikan besar sudah tersangkut di kailnya.
Hati La Upe girang. Dia melepaskan ikan itu dan menaruhnya di wadah.
Anak baik, aku adalah raja ikan. Jika kau mau melepaskanku, aku akan menuruti semua keinginanmu. Kau hanya perlu berkata 'berkat ilmu raja ikan', maka semua permintaanmu akan terkabul.
La Upe terkejut, ternyata ikan itu bisa bicara. Tanpa membantah, La Upe melepaskan ikan itu.
Sesampainya di rumah, La Upe menceritakan kejadian di sungai pada ibu tirinya. Seperti biasa, I Ruga malah
marah-marah. Dia bahkan mengambil sapu, dan hendak memukul La Upe. Untunglah, La Upe ingat perkataan raja ikan tadi.
Cepat-cepat dia berkata, Lekatkan ibu tiriku ke pintu, berkat ilmu raja ikan.
Ternyata benar! Tubuh I Ruga menempel erat di pintu rumahnya.
I Ruga jadi ketakutan, dan dia memohon agar La Upe membebaskannya. Dia juga berjanji akan menjadi ibu yang baik bagi La Upe.
La Upe menuruti permintaan I Ruga. Sejak saat itu, I Ruga tak pernah marah-marah lagi padanya.
Bertahun-tahun kemudian, La Upe tumbuh menjadi pria dewasa. Suatu hari, ia mengantarkan I Ruga ke kota untuk berbelanja kebutuhan seharihari mereka. Saat melewati istana kerajaan, mata La Upe tertumpu pada seorang gadis yang amat cantik jelita. Gadis itu tampak sedang berbincang dengan inangnya. Rupanya gadis itu adalah Putri kerajaan. La Upe jatuh cinta pada Putri raja, dan mengajaknya berkenalan. Ternyata Putri raja juga menyukai La Upe. La Upe lalu berjanji, akan segera melamar Putri Raja.
Ternyata, Raja dan Permaisuri menolak lamaran itu. Menurut mereka, yang pantas jadi suami Putri mereka hanyalah pangeran atau bangsawan.
La Upe tak mau berputus asa. Tiap hari dia berpikir dan mencari cara supaya ia bisa menikahi sang Putri. Akhirnya dia menemukan ide. Dia akan melekatkan sang Putri ke pintu, persis seperti yang dulu pernah dilakukannya terhadap I Ruga. Ia yakin, Raja dan Permaisuri akan kebingungan.
La Upe memberitahukan rencananya pada Putri, melalui sang inang. Malam-malam, La Upe menyusup masuk ke istana. Sang Putri sudah menunggu di jendela bersama inangnya.
La Upe mengucapkan mantranya. Tubuh Putri langsung lekat ke pintu. Setelah itu, La Upe segera pulang.
Keesokan harinya, istana gempar. Raja dan Permaisuri melakukan segala cara untuk melepaskan tubuh putrinya. Namun, semuanya gagal.
Raja putus asa. Beliau lalu mengadakan sayembara. Siapa yang bisa melepaskan tubuh Putri akan dijadikan menantu.
Banyak orang mencoba, namun semuanya gagal. Sekarang tiba giliran La Upe.
Dengan tenang, La Upe mengucapkan mantra saktinya, Lepaskanlah tubuh Putri dari pintu itu, berkat ilmu raja ikan.
Tepat saat La Upe menyelesaikan mantranya, tubuh sang putri lepas dari pintu kamarnya. Semua yang hadir, termasuk Raja dan Permaisuri, terbelalak melihat keajaiban yang telah dilakukan La Upe.
Setelah kejadian itu, La Upe dan Putri menikah. Beberapa tahun kemudian, La Upe pun diangkat menjadi raja, menggantikan ayah mertuanya.
Sulawesi Selatan Ilustrasi: Selvie Djie Putri Tandampalik Suatu hari, Putri Tandampalik dari Kerajaan Luwu terserang penyakit aneh. Tubuhnya terserang penyakit kulit yang mengerikan. Setelah diperiksa oleh tabib istana, Putri Tandampalik harus diungsikan.
Ini penyakit menular, kata Tabib.
Dengan berat hari, Raja Luwu pun mengungsikan putrinya itu. Apalagi, tabib istana juga menyerah, tak mampu mengobati penyakit itu.
Putriku, bawalah keris ini. Ini adalah tanda bahwa Ayah tak pernah melupakanmu, apalagi bermaksud membuangmu. Kau adalah anak Ayah, selama-lamanya. Semoga Tuhan menyembuhkan penyakitmu segera.
Putri Tandampalik pergi ditemani oleh beberapa pengawal setia Raja. Mereka mengungsi ke sebuah pulau yang subur.
Ah, aku namakan pulau ini Pulau Wajo, seru Putri Tandampalik riang saat dia menemukan banyak buah wajao di sana.
Di pulau ini, Putri Tandampalik memulai kehidupan baru, dan berusaha melupakan kesedihannya karena berpisah dari ayahnya.
Suatu hari, Putri Tandampalik sedang mencuci di danau. Tiba-tiba, ada seekor kerbau putih berjalan mendekat. Kerbau itu lalu asyik minum, kemudian mendekati Putri Tandampalik.
Kerbau itu menjulurkan lidahnya, seolah meminta Putri Tandampalik untuk menyentuhnya.
Meski bingung, Putri Tandampalik pun menyentuh lidah Kerbau Putih.
Ajaib, saat tangannya terkena ludah kerbau itu, penyakit kulitnya langsung sembuh. Putri Tandampalik pun bersukacita dan mengabarkan kesembuhannya
pada para pengawalnya. Mulai saat ini, kalian jangan
memburu kerbau putih di hutan ini, perintahnya pada para pengawal.
Sebenarnya, Putri Tandampalik hendak kembali ke istana. Namun sayang, kapalnya lapuk di beberapa bagian. Para pengawalnya membutuhkan waktu untuk memperbaiki kapal itu.
Suatu pagi, Putri Tandampalik berjalan-jalan di hutan. Sekonyong-konyong, muncul seorang pemuda tampan di hadapannya.
Maafkan aku jika mengejutkanmu. Aku putra mahkota Kerajaan Bone. Aku tersesat dan terpisah dari rombonganku. Tapi aku senang bisa bertemu denganmu, sapa pemuda itu ramah.
Putri Tandampalik menyambut perkenalan itu. Namun, belum sampai mereka mengobrol lebih lama, para pengawal putra mahkota itu sudah menemukan mereka.
Ayo Pangeran, kita harus pulang, ajak mereka.
Sejak pertemuannya dengan Putri Tandampalik, Pangeran tak bisa tidur.
Ia lalu meminta ayahnya untuk melamar Putri Tandampalik. Ayahnya setuju, dan mengirim utusan ke Hutan Wajo.
Di Hutan Wajo, Putri Tandampalik menerima rombongan Kerajaan Bone. Setelah mengetahui maksud kedatangan rombongan tersebut, Putri Tandampalik menyerahkan keris pemberian ayahnya. Berikan keris ini pada Raja Luwu. Jika beliau menerimanya dengan baik, maka lamaran ini aku terima.
Para utusan pun kembali ke Bone untuk menjemput putra mahkota. Mereka lalu berangkat ke Kerajaan Luwu.
Di hadapan Raja Luwu, Putra Mahkota Raja Bone menceritakan pertemuannya dengan Putri Tandampalik di Pulau Wajo. Dia juga menyerahkan keris pada Raja Luwu.
Raja Luwu dan permaisurinya amat gembira mendengar cerita putra mahkota itu. Tanpa pikir panjang, mereka berangkat ke Pulau Wajo untuk menjemput putrinya.
Akhirnya Putri Tandampalik menikah dengan Putra Mahkota Kerajaan Bone. Pesta pernikahan pun dilangsungkan dengan sangat meriah.
Sulawesi Tenggara Ilustrasi: Martha Parman Kisah Kera dan Ayam Kera dan Ayam adalah sahabat. Mereka rukun dan saling membantu.
Ayam membangunkan Kera tiap pagi dengan kokoknya, dan Kera pun sering mencarikan makanan untuk Ayam.
Namun, suatu hari persahabatan mereka nyaris rusak. Garagaranya, Kera berniat buruk pada Ayam. Saat itu, mereka berdua sedang berjalan-jalan di dalam hutan.
Konon, di hutan ini banyak buah-buahan lezat, kata Kera. Wah, asyik. Kita bisa makan sepuasnya, Ayam melonjak Namun,
sampai jauh mereka berjalan, mereka tak menemukan buah apa pun. Yang ada hanyalah pohon-pohon yang tinggi dan berdaun lebat.
Mungkin kita harus berjalan lebih dalam lagi, kata Kera.
Ayam hanya mengangguk mengiyakan.
Kera dan Ayam masuk ke hutan lebih dalam lagi. Lamakelamaan, suasana menjadi gelap, sinar matahari tak
mampu menembus rimbunnya pepohonan.
Ayam mulai merasa takut. Kera, kita tersesat, ya" Ayo kita kembali saja, katanya.
Kera pun kebingungan. Mana jalan keluarnya, ya" Mungkin ke arah sana,
Mereka berdua lalu mencari jalan keluar dari hutan itu, tapi semakin jauh mereka berjalan, mereka malah semakin tersesat.
Akhirnya, mereka berdua kelelahan dan memutuskan untuk beristirahat.
Saat itu, perut kera mulai terasa lapar. Ayam yang juga kelaparan berusaha mematuk-matuk cacing dari dalam tanah.
Hmm, dia enak saja bisa makan cacing. Perutku lapar sekali, apa yang bisa kumakan ya" pikir Kera sambil memandang sekelilingnya.
Saat melamun itulah tiba-tiba terbersit niat jahat Kera. Mengapa repot-repot" Bukankah ayam yang gemuk adalah santapan yang lezat"
Rupanya, kelaparan dan kelelahan membuat Kera lupa diri. Dia lalu mendekap Ayam dan mencabuti bulu-bulunya.
Tentu saja Ayam marah. Dia meronta-ronta dan akhirnya berhasil melepaskan diri. Dia lalu berlari kencang, berusaha mencari jalan keluar dari hutan.
Untunglah, Ayam berhasil keluar dari hutan. Dia lalu kembali ke rumahnya dengan napas tersengal-sengal.
Kepiting yang kebetulan berpapasan dengannya, jadi heran. Ada apa" Kenapa kau lari seperti dikejar setan" Dan mengapa bulu-bulumu rontok" tanya Kepiting beruntun.
Ke... ke... kera... dia hendak mencelakaiku. Kami sedang berjalan-jalan ke hutan, lalu kami tersesat. Tiba-tiba saja ia menerkamku dan mencabuti bulu-buluku. Dia hendak memakanku! Tolonglah aku. Apa yang harus kulakukan" Aku takut bertemu lagi dengannya, cerita Ayam pada Kepiting. Kepiting pun jadi geram. Kita harus mencari cara agar Kera kapok!
Kepiting dan Ayam lalu berpikir keras, dan mereka pun mendapatkan ide.
Dengan memberanikan diri, Ayam mengunjungi Kera. Kera bersikap biasa saja, seolah tak ada apa-apa.
Ayo kita jalan-jalan lagi, ajak Kera. Ayam mengiyakan. Kita ke pulau seberang. Di sana banyak buah-buahan lezat. Aku juga mengajak Kepiting, ajak Ayam.
Kera pun bersemangat, dan mereka bertiga lalu menaiki perahu yang sudah disiapkan oleh Kepiting.
Saat perahu berlayar meninggalkan daratan, Ayam dan Kepiting berbalas pantun.
Ayam berkokok, Aku lubangi, kok...
Kepiting menjawab, Tunggu sampai dalam sekali. Saat Kepiting selesai menjawab, Ayam lalu mematuk-matuk lantai perahu. Mereka berdua melakukan itu terus dan terus, sehingga lama-kelamaan perahu itu menjadi bocor. Air mulai masuk ke dalam perahu dan semakin lama perahu itu pun Kepiting meloncat dan langsung menyelam ke dasar laut, sedangkan Ayam langsung terbang kembali ke daratan.
Sekarang, Kera sendirian, dan dia pun bingung melihat perahu yang semakin lama semakin tenggelam.
Tolong... tolong..., teriaknya.
Ayam berteriak dari daratan, Asalkan kau berjanji tidak akan memakanku, aku akan menolongmu.
Kera pun setuju dan meminta maaf atas kejadian kemarin. Akhirnya, Ayam meminta Kepiting untuk menggandeng Kera berenang ke tepian. Sejak saat itu, mereka kembali bersahabat.
Sulawesi Tenggara Ilustrasi: Gabriel Dias Nini dan Putri Ikan Ada seekor ikan kecil bernama Nini. Dia tinggal bersama ibunya di dasar lautan, di sela-sela batu karang yang cantik.
Ibunya selalu menasihati Nini, agar tak berenang terlalu jauh.
Nanti kau tersesat, apalagi jika arusnya deras. Badanmu masih terlalu kecil, pesan ibunya. Selama ini, Nini menurut. Namun, suatu hari dia lupa.
Saat itu, Nini sedang sendirian. Tak lama kemudian datanglah ikan-ikan kecil lainnya. Mereka tampak cantik dengan tubuhnya yang berwarna-warni. Ada yang kuning keemasan, ada yang biru, dan ada yang putih keperakan. Nini senang sekali melihat mereka.
Ikan-ikan kecil itu juga menyukai Nini. Setelah mereka berkenalan, mereka pun bermain bersama.
Ayo kita berenang ke permukaan, ajak si ikan kuning. Nini menggeleng. Dia masih ingat nasihat ibunya. Ayolah, di sana kita bisa melihat banyak hal menarik. Kau belum pernah berenang jauh ke sana, kan" bujuk ikan putih.
Jangan kawatir, kami akan menjagamu, imbuh ikan biru. Nini pun luluh. Dia berenang mengikuti teman-teman barunya.
Ternyata teman-temannya benar. Pemandangan di permukaan laut sungguh mengesankan. Ada kapal besar, ada nelayan, dan ada ombak yang bergulung indah.


Cerita Rakyat Nusantara Karya Dian K di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Nini berenang-renang riang. Namun, tak terasa dia berenang terlalu jauh. Saat dia sadar, dia sudah terpisah jauh dari temantemannya. Nini kebingungan, dia tersesat.
Hari sudah sore, dan Nini mulai menangis. Kenapa kau menangis" tiba-tiba suara yang lembut menegurnya.
Nini menoleh, di hadapannya ada putri ikan yang sangat cantik. Nini lalu menceritakan bahwa dia tersesat.
Aku tak tahu jalan pulang, Ibuku pasti kebingungan, ia pun menangis lagi.
Jangan khawatir, aku akan menolongmu, hibur Putri Ikan sambil terus melihat ke arah kapal besar yang sedang bersandar. Nini melihat wajah Putri Ikan muram saat memandang kapal itu.
Tanpa diduga, putri ikan itu lalu bercerita. Dulu, aku adalah seorang putri raja. Namaku Kanaya. Sayang, aku dikutuk oleh nenek jahat, sehingga aku menjadi seperti ini, keluhnya.
Nini memandangi putri ikan. Tubuh setengah manusia dan setengah ikan pasti merepotkan, batin Nini.
Apakah selamanya kau akan tetap seperti ini" tanya Nini. Putri ikan menggeleng. Konon, jika ada pangeran yang mau menikahiku dalam keadaan seperti ini, maka kutukan ini akan hilang.
Mendengar hal tersebut, Nini jadi merasa kasihan pada Putri Ikan. Nini lalu melihat ke arah kapal besar itu. Dari bentuknya yang megah dan mewah, kapal itu sepertinya milik kerajaan.
Nini pun berenang menuju kapal itu. Dengan nekat, dia melompat ke geladak dan jatuh tepat di kaki seorang pangeran tampan.
Kenapa kau bisa ada di sini, Ikan Kecil" tanya pangeran itu.
Nini lalu menceritakan kisah Putri Kanaya pada pangeran.
Kanaya" Kau bertemu Kanaya" Dia adalah calon istriku, tapi dia menghilang begitu saja, seru pangeran.
Dengan ditemani Nini, Pangeran lalu bergegas menaiki perahu kecil dan menuju ke tempat putri ikan menunggu.
Betapa senangnya hati putri ikan saat melihat pangeran.
Kita akan segera menikah, kata Pangeran dengan tulus. Saat itulah, perlahan-lahan ekor putri ikan berubah menjadi kaki manusia. Sekarang, ia kembali menjadi Putri Kanaya yang cantik.
Putri Kanaya amat berterima kasih pada Nini, dan dia tidak melupakan janjinya untuk mengantarkan Nini pulang.
Putri Kanaya meminta tolong pada temannya yaitu seekor ikan besar, untuk mengantar Nini pulang.
Lalu, Putri Kanaya menikah dengan Pangeran dan mereka hidup berbahagia.
Sulawesi Tenggara Ilustrasi: Gege Orange La Sirimbone Dahulu, ada seorang anak laki-laki bernama La Sirimbone.
Suatu hari, dia bermain-main jauh ke dalam hutan, hingga tersesat.
Di hutan itu, dia menemukan jejak kaki yang amat besar.
Diam-diam, dia merasa takut. Namun, karena penasaran, dia mengikuti jejak kaki itu. Jejak itu membawanya ke sebuah rumah yang besar sekali.
La Sirimbone tercengang, namun tiba-tiba bumi bergetar.
Buum... buum... buum... Ternyata getaran itu berasal dari seorang raksasa perempuan yang sedang menumbuk.
Hei, siapakah kau, Anak Manusia" Mengapa kau bisa ada di sini"
tanya raksasa itu saat melihat La Sirimbone.
Dengan takut-takut, La Sirimbone menceritakan asal usulnya. Ternyata raksasa itu adalah raksasa yang baik hati. Dia mengizinkan La Sirimbone tinggal bersamanya.
Oya, di sini banyak jin dan hewan buas yang bisa mencelakaimu. Sebaiknya, kau tak usah ke mana-mana. Tinggallah di dalam rumah saja, pesan raksasa itu.
La Sirimbone menurut. Namun setelah beberapa hari, dia mulai merasa bosan dan pergi menangkap ikan. Dia memasang jaringnya dan menebar umpan. Karena bosan menunggu, dia pergi berjalan-jalan.
Saat kembali, La Sirimbone terkejut melihat sesosok jin sedang asyik makan ikan yang tertangkap di jaringnya.
La Sirimbone marah, dan meminta jin itu untuk tidak memakan ikannya lagi.
Maaf, kukira ikan ini tak ada yang punya. Sebagai ganti ikan-ikan yang telah kumakan, terimalah cincin ajaib ini. Cincin ini bisa menyembuhkan orang sakit! katanya.
La Sirimbone memaafkan jin itu, dan menerima
cincin pemberiannya. Bagaimana mungkin kau bisa berjalan di atas air" tanyanya heran.
Babi hutan itu lalu menunjukkan kalung miliknya. Dengan kalung ini, kau bisa berjalan di atas air. Jika kau mau, kau boleh memilikinya. Aku tak lagi membutuhkannya. Sekarang, La Sirimbone memiliki cincin dan kalung ajaib.
Dalam perjalanan pulang, La Sirimbone melintasi sebuah sungai. Tiba-tiba dilihatnya seekor babi hutan yang bisa berjalan di atas air.
La Sirimbone melanjutkan perjalanannya. Dia lalu bertemu dengan seorang nelayan yang mendapat banyak ikan.
Wah, Bapak hebat sekali! Bagaimana caranya" La Sirimbone bertanya kagum.
Aku menggunakan keris ajaib, Nak. Keris ini bisa menikam sendiri jika diperintah, jawab nelayan itu. Nelayan itu lalu memberikan keris itu pada La Sirimbone.
Kau lebih membutuhkannya dariku, Sejak memiliki ketiga benda ajaib itu, La Sirimbone sering membantu orang lain.
Dia menyembuhkan orang sakit, dan menangkap hewan-hewan buruan untuk dibagi-bagikan pada yang membutuhkannya. Dia juga membantu penduduk desa tetangga yang diganggu naga jahat.
Akhirnya, La Sirimbone berpamitan pada Raksasa yang dulu menolongnya. Dia kembali berkelana dan dengan ketiga benda ajaib yang dimilikinya, dia menolong banyak orang di tiap tempat yang dilewatinya.
Gorontalo Ilustrasi: Indra Bayu Keperkasaan Limonu Limonu adalah seorang anak yatim yang hanya tinggal bersama ibunya. Kata ibunya, dulu Limonu mempunyai seorang kakak. Tapi, kakaknya juga sudah meninggal.
Saat Limonu dewasa, dia bertanya pada ibunya tentang penyebab kematian ayah dan kakaknya.
Dulu, ayahmu adalah penguasa di daerah ini. Kau tahu kan benteng-benteng di sekitar rumah kita ini" Benteng-benteng itu adalah warisan dari ayahmu. Suatu saat, ayahmu ingin memperluas daerah kekuasaan sampai ke dataran utara. Ibu sudah berusaha mencegahnya, namun ayahmu tetap keras kepala. Ayahmu bahkan mendidik Pahu kakakmu untuk menjadi pemimpin Pasukan Berani Mati. Mereka lalu menyerang daerah utara. Ibunya menjelaskan panjang lebar.
Lalu apa yang terjadi, Bu" tanya Limonu.
Mereka gagal. Pemimpin daerah utara ternyata lebih hebat dari ayahmu. Ayah dan kakakmu gugur dalam perebutan kekuasaan itu. Selain itu, daerah barat yang jadi kekuasaan ayahmu juga diambil alih oleh mereka. Ibu Limonu pun menangis.
Sejak saat itu, Limonu bertekad untuk membalaskan kematian ayah dan kakaknya. Dia bertanya pada ibunya, siapakah pemimpin daerah utara itu.
Dia adalah Hemuto, gurumu sendiri. Sudahlah, tak ada gunanya membalas dendam. Toh, semuanya sudah terjadi. Dan ayahmu juga bersalah, mengapa
dia menyerang daerah utara" nasihat ibunya.
Namun Limonu bersikukuh. Meki Hemuto adalah guruku, aku tetap harus menuntut balas. Namun, karena aku menghormatinya, aku akan menawarkan padanya untuk mengembalikan wilayah kekuasaan ayah padaku. Jika dia bersedia, maka aku akan berdamai dengannya. Tapi jika tidak, aku akan berperang melawannya. Limonu lalu mulai menyiapkan Pasukan Berani Mati untuk mendukungnya. Pasukan itu dilatihnya siang dan malam. Selain itu, pasukan itu juga dikerahkan Limonu untuk membantu para penduduk wilayah barat maupun utara. Lama-kelamaan, penduduk wilayah barat dan utara mencintai Limonu dan pasukannya.
Selain itu, saat wilayah barat terserang banjir, Limonu dan pasukannya giat membantu.
Suatu malam, ada pertemuan para pendekar silat dari seluruh daerah. Pertemuan itu dipimpin oleh Hemuto. Tak disangka, di tengah-tengah pertemuan itu, Limonu menyela.
Maaf, Guru. Apa yang harus kulakukan pada seseorang yang telah membunuh ayah dan kakakku, namun dia juga seorang yang amat kuhormati" Apakah aku harus menuntut balas padanya"
Mendengar pertanyaan muridnya, Hemuto tersadar bahwa Limonu sudah mengetahui semuanya. Tanpa pikir panjang, dia pun mengajak Limonu berduel.
Benteng Otanaha menjadi saksi atas pertempuran antara Limonu dan Hemuto.
Karena Limonu adalah murid yang pandai, Hemuto pun kewalahan melawannya. Apalagi, usia Limonu jauh lebih muda daripada Hemuto. Akhirnya, Hemuto menyerah. Dia menyerahkan kembali wilayah barat kepada Limonu.
Gorontalo Ilustrasi: I Made Dwi S Asal mula nama daerah Tapa, Tuladenggi, dan Panthungo
Suatu hari, Raja Tilahunga dari Kerajaan Bolango hendak berkelana.
Sebelumnya, dia berpesan pada para menterinya. Wahai para menteri, jagalah kerajaan ini selama aku pergi. Uruslah semua keperluan rakyat dengan baik. Aku percaya bahwa kalian mampu melakukannya.
Baginda tak usah khawatir, kami akan menjaga negeri ini dengan baik meski Baginda tak berada di sini, jawab salah satu di antara mereka. Mendengar jawaban itu, hati Raja
Tilahunga lega. Raja Tilahunga ditemani oleh beberapa pengawalnya untuk melaksanakan perjalanannya. Tujuan mereka adalah dari Bolango ke arah hulu.
Mereka menyusuri bukit yang terjal, sungai yang deras, dan berbagai rintangan lainnya. Namun, semua hambatan itu tak menyurutkan niat Raja Tilahunga.
Tetapi, tak demikian dengan para pengawalnya. Mereka tampak pucat dan kelelahan.
Sebagai raja yang bijaksana, beliau pun memerintahkan mereka semua untuk beristirahat.
Para pengawal menyambut gembira. Mereka lalu duduk bergerombol di tanah sambil melepas lelah.
Melihat keakraban para pengawalnya, Raja merasa senang. Beliau lalu ikut duduk di tanah setelah sebelumnya melepaskan semua atribut kerajaan yang dikenakannya. Beliau melakukan hal itu sebagai tanda bahwa dirinya tak berbeda dengan para pengawalnya. Atribut-atribut itu diletakkannya di tanah. Apa yang Raja Tilahunga lakukan itu disebut dengan 'tapatopo' yang artinya meletakkan sesuatu untuk sementara. Itulah sebabnya, sampai sekarang
bukit tempat mereka beristirahat ini disebut Bukit Tapa.
Setelah cukup beristirahat, mereka melanjutkan perjalanan. Semakin lama, perjalanan itu terasa semakin berat, apalagi matahari bersinar terik.
Raja memerintahkan para pengawalnya berhenti untuk makan. Namun saat mereka hendak makan, ada salah satu pengawal yang bernama Denggi berbuat curang. Dia mengambil jatah makanan lebih banyak dari teman-temannya.
Mengetahui keserakahan Denggi, teman-temannya pun marah. Keributan pun tak terelakkan.
Raja Tilahunga berusaha menengahi keributan itu. Denggi, kau seharusnya malu dengan perbuatanmu. Kita semua sama-sama lapar, bahkan aku pun tak meminta makanan lebih banyak daripada yang kalian makan.
Mendengar perkataan Raja, Denggi pun merasa malu. Dia lalu mengembalikan makanan yang diambilnya dan meminta maaf pada teman-temannya.
Sejak saat itu, padang rumput tempat Raja Tilahunga dan para pengawalnya makan itu diberi nama Tuladenggi. Nama ini berasal dari kata tula yang artinya serakah.
Setelah makan dengan kenyang, perjalanan dilanjutkan. Beberapa hari mereka melakukan perjalanan sampai akhirnya mereka menemukan tanah yang tampak subur.
Tanah berbukit-bukit itu tampak asri, apalagi letaknya di pinggir Danau Limboto.
Melihat pemandangan yang indah, Raja Tilahunga mengusulkan agar mereka mencoba bercocok tanam di situ. Mendengar usul rajanya, para prajurit pun mengeluarkan peralatan berkebun mereka. Namun sayang, banyak peralatan itu yang rusak selama perjalanan. Cangkul, kapak, gergaji, semuanya patah tangkainya.
Wah, bagaimana ini" Bisakah kalian
memperbaikinya" tanya Raja.
Tak masalah, Baginda. Kami bisa memperbaikinya, jawab para pengawalnya.
Setelah alat-alat itu diperbaiki, mereka semua bergotong royong mengolah tanah itu. Ada yang mencangkul, ada yang menyebar bibit tanaman, dan ada yang menyirami.
Raja Tilahunga amat betah berada di tempat itu. Beliau kemudian memberi nama tempat itu Panthungo, yang berarti tangkai peralatan berkebun.
Raja Tilahunga dan para pengawalnya tinggal di Panthungo untuk beberapa lama. Mereka mendirikan sebuah rumah sederhana untuk tempat tinggal mereka. Sebenarnya Raja Tilahunga senang tinggal di Panthungo, namun beliau tak mungkin meninggalkan Bolango begitu saja.
Akhirnya, beliau pun memutuskan kembali ke Kerajaan Bolango. Namun beberapa pengawalnya tinggal dan menjadi penduduk Panthungo.
Demikianlah asal mula nama daerah Tapa, Tuladenggi, dan Panthungo.
Sulawesi Barat Ilustrasi: Martha Parman I Tui Ting Di sebuah desa di daerah Mandar, ada seorang anak laki-laki bernama I Tui Tuing. Dalam bahasa Mandar, tui tuing berarti ikan terbang. Ya, I Tui Tuing dinamakan seperti itu karena kulitnya bersisik seperti ikan terbang.
Konon, sebelum I Tui Tuing lahir, orang tuanya tak kunjung dikaruniai seorang anak. Mereka lalu berdoa memohon supaya memiliki seorang anak, bagaimanapun rupanya.
Dan, saat I Tui Tuing lahir dengan kulit seperti itu, kedua orangtuanya menerima dengan ikhlas. Mereka amat menyayangi I Tui Tuing.
Bertahun-tahun kemudian, I Tui Tuing yang sudah dewasa berpikir untuk menikah.
Ayah, Ibu, maukah kalian mencarikan seorang istri untukku"
Ayah dan ibu I Tui Tuing senang, meski ada sedikit kekhawatiran dalam hati mereka. Apakah ada wanita yang mau diperistri oleh I Tui Tuing"
Kekhawatiran mereka terbukti. Usaha mereka mencarikan istri untuk I Tui Tuing menemui banyak hambatan. Orang-orang malah mengolok I Tui Tuing.
Akhirnya, kedua orangtua I Tui Tuing pulang dengan putus asa.
Tapi, apakah kalian sudah benar-benar mendatangi semua anak gadis di desa ini" desak I Tui Tuing.
Ayahnya menggeleng. Belum, Nak. Ada satu yang belum kami datangi, yaitu Juragan Kaya. Ayah rasa percuma saja, karena pasti ia juga akan mengolokmu.
Kalau begitu, datangilah Juragan Kaya, pinta I Tui Tuing.
Keesokan harinya, kedua orangtua I Tui Tuing
mendatangi rumah juragan kaya.
Juragan kaya itu memiliki enam anak gadis yang cantik, namun hanya putri ketiga yang berhati baik. Namanya Siti Rukiah. Selain itu, Siti Rukiah juga amat cantik.
Sayang, kecantikannya tertutup oleh bedak arang hitam yang menutupi wajahnya.
Bedak arang itu diberikan oleh saudara-saudaranya yang iri pada kecantikannya.
Kau cantik sekali. Jika kau tak menutupi kecantikanmu dengan bedak ini, nanti ada orang jahat yang menculikmu, itu alasan mereka.
Sekarang, wajah Siti Rukiah tampak hitam dan mengerikan.
Juragan Kaya menyambut kedatangan orangtua I Tui Tuing dengan baik. Namun, putri-putrinya tak ada yang mau menikahi I Tui Tuing.
Aku bersedia, Ayah, tiba-tiba Siti Rukiah menjawab. Meski berat hati, Juragan Kaya menyetujui pernikahan ini. Siti Rukiah pun menikah dengan I Tui Tuing.
Setelah pernikahan, I Tui Tuing meminta izin pergi sejenak untuk menangkap ikan. Selama menunggu suaminya pulang, Siti Rukiah mencuci mukanya. Dia ingin membersihkan semua arang yang masih tersisa di wajahnya. Ya, bahkan saat pesta pernikahan, saudara-saudaranya masih mengoleskan bedak arang ke wajah Siti Rukiah.
Usai mencuci muka, Siti Rukiah amat terkejut melihat seorang pria tampan masuk dari pintu depan.
Siapa kau" tanya Siti Rukiah ketakutan. Pria itu tak kalah terkejut. Seharusnya aku yang bertanya padamu. Siapa kau"
Keduanya lalu saling memandang dengan heran. Setelah mereka mengamati satu sama lain, mereka berdua menyadari bahwa yang ada di hadapan mereka
adalah pasangan mereka! Ah, rupanya ketulusan hatimu untuk menikahiku, telah membuat sisik di kulitku menghilang, pekik I Tui Tuing riang.
Lalu, mengapa wajahmu tak hitam lagi" Kamu cantik sekali, tanya I Tui Tuing.
Siti Rukiah akhirnya menjelaskan, bahwa selama ini saudara-saudaranya telah mengolesi bedak arang ke wajahnya. Namun, mereka tak lagi bisa melakukannya karena Siti Rukiah sudah menjadi istri I Tui Tuing. Sejak saat itu, mereka berdua hidup berbahagia.
Sulawesi Barat Ilustrasi: Gege Orange To Dilaling Raja Balanipa ingin menjadi raja seumur hidup. Oleh karena itu, dia tak mau punya anak laki-laki.
Saat istrinya hamil, dia berharap agar bayi yang dilahirkan istrinya adalah perempuan.
Suatu hari, Raja hendak pergi berburu selama beberapa hari. Jagalah istriku yang sedang hamil tua itu.
Jika dia melahirkan sebelum aku kembali, kau tahu apa yang harus kau lakukan bukan" pesannya pada Puang Mosso, pengawalnya.
Puang Mosso mengangguk. Dia tahu jika bayi itu laki-laki, dia harus menyingkirkannya ke hutan. Sebenarnya Puang Mosso tak tega, namun dia tak berani melawan Raja Balanipa.
Tibalah saatnya permaisuri melahirkan. Ternyata bayinya laki-laki. Bayi itu sehat dan tampan, namun lidahnya berwarna hitam dan berbulu. Permaisuri dan Puang Mosso tak tega jika harus menyingkirkan bayi itu. Mereka lalu memutuskan untuk menitipkan bayi itu pada seorang pedagang yang hendak berlayar ke Pulau Salemo.
Di Pulau Salemo, putra Raja Balanipa tumbuh menjadi anak yang lincah dan sehat. Pedagang itu membesarkannya dengan baik, juga tak pernah menutupi asal-usulnya.
Suatu hari, seekor rajawali datang menyambarnya. Rajawali itu membawanya terbang ke daerah Kerajaan Gowa, lalu melepaskannya di sana dan ditemukan oleh pengawal Raja Gowa.
Raja Gowa meminta putra Raja Balanipa untuk tinggal bersamanya.
Beliau merawat dan mendidik putra Raja Balanipa dengan baik. Anak itu lalu tumbuh menjadi pemuda yang gagah perkasa dan sakti. Dia juga menguasai ilmu perang dengan baik. Raja Gowa kemudian mengangkatnya menjadi panglima perang dan memberinya gelar I Manyambungi.
Sementara itu, di Kerajaan Balanipa, raja dan permaisuri telah wafat. Kerajaan itu sekarang dikuasai oleh Raja Lego yang kejam. Kerajaan-kerajaan kecil yang berada di bawah kerajaan Balanipa menjadi resah. Mereka memikirkan bagaimana caranya untuk menyingkirkan Raja Lego.
Kita minta tolong saja pada I Manyambungi, panglima perang Kerajaan Gowa. Kabarnya, dia hebat dan sakti, usul salah satu dari mereka.
Maaf Tuan, maksud kedatangan kami adalah hendak memohon bantuan Tuan. Kami berasal dari kerajaan-kerajaan kecil daerah Polewali Mandar, hendak melawan Raja Lego yang kejam, kata mereka saat menghadap.
Raja Lego" Siapakah dia" tanya I Manyambungi. Raja Lego adalah raja Kerajaan Balanipa. Dia sangat kejam dan suka menganiaya.
I Manyambungi terkejut. Bagaimana dengan Raja Balanipa dan permaisurinya" Juga Puang Mosso"
Raja Balanipa dan permaisurinya telah wafat, sedangkan Puang Mosso berhasil menyelamatkan diri. Bagaimana Tuan bisa mengenal Puang Mosso" tanya salah satu utusan kerajaan kecil. I Manyambungi lalu menceritakan asal usulnya. Mintalah Puang Mosso untuk menemuiku. Aku ingin mendengar kejadian yang sebenarnya, pintanya pada para utusan.
Puang Mosso pun datang. I Manyambungi menyambutnya dengan hangat.
Puang Mosso yang sangsi bahwa I Manyambungi adalah benar-benar putra Raja Balanipa, meminta I Manyambungi untuk menunjukkan lidahnya.
Ternyata benar, lidahnya hitam dan berbulu. Akhirnya Puang Mosso percaya. Mereka berdua lalu membahas
rencana untuk menyerang Raja Lego.
Hari yang ditentukan telah tiba. I Manyambungi dan Puang Mosso berangkat ke Kerajaan Balanipa. Dibantu oleh bala tentara Kerajaan Gowa, mereka menyerang pasukan Raja Lego. Rakyat Balanipa juga membantu dalam pertempuran itu, karena mereka juga sudah tak tahan diperintah oleh Raja Lego.
I Manyambungi dengan mudah menaklukan Raja Lego. Rakyat menyambut gembira kemenangan itu. Sejak saat itu, I Manyambungi juga dikenal dengan nama Panglima To Dilaling, dan dia dinobatkan menjadi raja di Bukit Napo, salah satu kerajaan di daerah Polewali Mandar.
Dulu, di Kampung Benua, ada tiga pemuda yang memiliki tiga gelar.
I Lauase, menjalankan tugasnya dengan membuka hutan liar menjadi ladang dengan menggunakan wase atau kapak.
I Lauwella, mempunyai tugas untuk membersihkan wella atau rumput laut di pantai yang akan dijadikan wilayah perdagangan.
I Labuqang, memiliki tugas meratakan tanah di pantai yang berlubang karena ulah buqang atau kepiting.
Sulawesi Barat Ilustrasi: Yon Rifa i Asal Mula Nama Pamboang Tiga pemuda tersebut menjalankan tugasnya masingmasing dengan baik, sampai akhirnya mereka bertiga menjadi penguasa di wilayah yang mereka garap.
Ladang milik I Lauase menghasilkan banyak tanaman palawija, sedangkan wilayah yang digarap oleh I Lauwella dan I Labuqang pun menjadi pelabuhan sebagai pusat perdagangan.
Karena keberhasilan mereka, mereka lalu bersepakat untuk menyatukan ketiga wilayah mereka. Mereka menamai wilayah itu Pallayarang Tallu. Artinya adalah tiga tiang layar.
Suatu hari, seseorang bernama Puatta Di mendatangi mereka. Dia bermaksud mengajak Negeri Pallayarang Tallu untuk bergabung menjadi anggota Pitu Baqbana Binanga, yaitu persekutuan kerajaan-kerajaan di daerah Mandar. Namun, ketiga pemuda itu menolak.
Puatta Di tak menyerah. Beberapa hari kemudian dia datang lagi.
Lagi-lagi, ketiga pemuda itu menolak.
Masih banyak rakyat kami yang susah. Kami akan membangun negeri kami terlebih dahulu, kata I Lauwella.
Ah, jika itu permasalahannya, aku akan membayar tambo atau upah pada kalian! jawab Puatta Di.
Mendengar ucapan Puatta Di, ketiga pemuda itu akhirnya setuju.
Kapan tambo itu akan kau bayarkan" tanya I Lauase. Minggu depan, janji Puatta Di.
Akhirnya, Pallayarang Tallu pun bergabung menjadi anggota Pitu Baqbana Binanga.
Ketiga pemuda itu berharap, tambo yang akan mereka terima bisa untuk membangun wilayah mereka.
Namun, setelah lewat dari seminggu, Puatta Di tidak juga membayarkan tambonya. Ketiga pemuda itu dan rakyat Pallayarang Tallu berharap dan terus menunggu. Selama menunggu itulah, kata tambo sering diucapkan. Lama-lama, ucapan tambo berubah menjadi tamboang, dan berubah lagi menjadi pamboang.
Sejak saat itulah, rakyat Negeri Pallayarang Tallu menyebut negerinya sebagai Pamboang. Dan sampai
saat ini, Pamboang dikenal sebagai nama sebuah
kecamatan di daerah Sulawesi Barat.
Sulawesi Barat Ilustrasi: Indra Bayu I Karake Lette Pada suatu hari, Raja Balanipa gelisah. Beliau mendengar kabar bahwa Kerajaan Gowa akan menyerang kerajaannya. Padahal, selama ini mereka tak pernah bermusuhan.
Kita harus bersiap menghadang serangan mereka, perintah beliau pada para prajurit.
Tapi, jumlah mereka banyak. Dan mereka dipimpin oleh panglima perang yang tangguh, sanggah salah satu prajuritnya. Raja Balanipa pun resah. Beliau harus mencari cara agar bisa menahan dan menghalau serangan Kerajaan Gowa.
Bagaimana jika kita mengadakan sayembara tobarani" Sayembara yang memilih para pemberani untuk kita angkat sebagai prajurit kita" usul Raja.
Semua yang hadir setuju. Sayembara pun dilaksanakan dan berhasil mengumpulkan banyak prajurit baru yang tangguh.
Mereka lalu berangkat ke perbatasan untuk menghalau pasukan Kerajaan Gowa.
Namun, ternyata Kerajaan Gowa masih jauh lebih kuat. Jumlah prajuritnya berlipat banyaknya. Pasukan Kerajaan Balanipa pun kalah. Mereka lari mundur kembali ke Balanipa.
Sementara itu, pasukan Kerajaan Gowa menyiapkan rencana yang lebih besar. Mereka akan segera menyerang Kerajaan Balanipa dengan kekuatan penuh.
Raja Balanipa amat cemas. Prajuritnya banyak yang gugur. Namun, beliau tak mau menyerah begitu saja. Beliau lalu meminta para prajuritnya untuk kembali mencari tobarani ke seluruh pelosok negeri. Namun, tak ada yang
mau menjadi prajurit. Mereka semua takut menghadapi pasukan Gowa.
Namun, tiba-tiba, ada seorang pria yang mendatangi Raja Balanipa. Dia mau menjadi prajurit. Raja Balanipa memandang pria itu dengan heran. Pria itu kakinya timpang. Dia susah berjalan.
Hamba adalah I Karake Lette. Hamba ingin membantu pasukan kerajaan kita melawan Kerajaan Gowa, kata pria itu.
Meski ragu, Raja Balanipa mengizinkan. I Karake Lette berkata bahwa dia mampu mengalahkan musuhnya hanya dengan jeruk nipis.
Berbekal dua butir jeruk nipis, I Karake Lette berangkat ke dermaga Teluk Mandar untuk mencari Raja Gowa.
I Karake Lette menyusup masuk ke kapal milik Kerajaan Gowa. Dan sekarang, dia berhadapan dengan Raja Gowa yang terkejut melihat kehadiran orang asing di kapalnya.
Seluruh prajurit bersiap menyerang I Karake Lette, namun Raja Gowa mencegah. Dia ingin tahu, apa maksud kedatangan pria yang berjalan saja susah itu. Hei, orang cacat! Siapa kau ini" sang Raja bertanya.
Aku utusan Raja Balanipa untuk menantangmu. Jika aku kalah, kau boleh menguasai kerajaan kami. Tapi jika kau kalah, kau harus segera pergi dan jangan kembali lagi, tegas I Karake Lette.
Semua orang tertawa. Raja Gowa pun menerima tantangan itu. Namun sebelum Raja Gowa mengeluarkan pedangnya, I Karake Lette mencegahnya. Dia malah mengeluarkan dua butir jeruk nipis yang dibawanya.
Nasib kita bergantung pada jeruk nipis ini. Jika kau bisa menebas jeruk ini dengan pedangmu, maka begitulah nasibku nanti. Demikian pula sebaliknya. I Karake Lette lalu melemparkan sebutir jeruk nipis ke arah Raja Gowa.
Anehnya, Raja Gowa tak mampu menebas jeruk itu. Pedang di tangannya hanya melawan udara.
Sebaliknya, saat dia melemparkan jeruk nipis ke arah I Karake Lette, pria itu dengan mudah menebas jeruk nipis menjadi dua bagian.
Lihatlah, inilah bakal nasibmu hari ini! seru I Karake Lette.
Mereka berdua pun lalu berduel. Dan persis seperti yang terjadi pada jeruk nipisnya, Raja Gowa kalah. Dia lalu menarik seluruh pasukannya dan meninggalkan Teluk Mandar. I Karake Lette pun pulang ke Kerajaan Balanipa dengan hati senang.
Raja Balanipa amat berterima kasih padanya, dan juga meminta maaf karena telah meragukan kemampuan I Karake Lette.
Maluku Utara Ilustrasi: Merri An Asal Mula Tanjung Menangis
Suatu hari, terjadi kehebohan di sebuah kerajaan di Pulau Halmahera.
Raja baru saja meninggal, dan putranya yang bernama Putra Baginda Binaut sudah tak sabar ingin segera naik takhta. Padahal, dia masih memiliki dua saudara, yaitu Baginda Arif dan Putri Baginda Nuri.
Binaut terus merayu dan merengek pada ibunya agar dia segera dinobatkan menjadi raja. Dia juga memaksa patih kerajaan untuk mendukungnya.
Melihat keteguhan putranya, ratu pun menyetujui pengangkatan Binaut sebagai raja.
Sayang, Binaut menjadi raja yang angkuh. Dia juga berlaku semena-mena terhadap rakyat. Tiap kali Ratu menegurnya, dia malah marah-marah. Demikian juga jika Baginda Arif dan Nuri menegurnya, dia akan semakin marah.
Karena tak tahan melihat perlakuan putranya terhadap rakyat, Ratu mengajak Baginda Arif dan Nuri untuk pergi dari istana. Mereka lalu tinggal di sebuah hutan terpencil dan mengasingkan diri.
Sepeninggal ibu dan saudara-saudaranya, Binaut semakin menjadi-jadi. Dia merampas hasil pertanian rakyat, meminta pajak yang tinggi, memaksa rakyat untuk membangun istana megah untuknya, dan masih banyak ketamakannya yang lain. Siapa yang berani melawannya, akan segera dihukum.
Lama-kelamaan, rakyat tak tahan dengan kelakuan Binaut, termasuk salah seorang pelayan istana bernama Bijak. Diamdiam, dia melarikan diri dari istana dan mengajak orangorang membentuk pasukan untuk melawan Binaut.
Kita cari dulu Ratu dan keluarganya, setelah itu kita susun rencana kita, usul Bijak pada pasukannya.
Bijak dan pasukannya berusaha mencari Ratu dan keluarganya. Kerja keras mereka membuahkan hasil, Ratu dan putra-putrinya berhasil ditemukan. Ratu tampak senang melihat Bijak. Sebaliknya, Bijak sedih melihat kondisi Ratu dan putra putrinya yang kurus dan tak terawat.
Bijak lalu mengutarakan rencananya pada Ratu, bahwa dia akan menyerang Binaut dan menyingkirkannya dari istana. Jangan! Bagaimanapun dia adalah anakku, pinta Ratu. Demikian pula dengan Baginda Arif dan Nuri. Mereka tak mau jika Bijak mencelakai saudara mereka.
Bijak menghormati permintaan Ratu. Dia pun tak jadi menyerang Binaut.
Meski semakin hari ketamakan dan kekejaman Binaut semakin menjadi, Bijak tak berbuat apa-apa. Sampai suatu hari, terjadilah bencana itu.
Sebuah gunung meletus dengan dahsyat. Lahar panasnya mengalir deras ke arah istana. Raja Binaut berusaha melarikan diri. Namun aneh, ke mana pun dia berlari, lahar panas itu selalu mengejarnya.
Akhirnya, Binaut tak tertolong. Lahar panas menjalari dirinya. Sebelum terbawa arus lahar, Binaut sempat meminta ampun pada ibu dan saudara-saudaranya.
Ampuni aku, Bu. Juga pada kakak dan adikku, dan semua rakyatku. Maafkan aku, teriaknya. Teriakannya menghilang ditelan lahar panas yang terus mengalir.
Tubuh Binaut yang terbawa lahar pun terdampar di sebuah tanjung. Konon, sampai sekarang masih terdengar suara tangisan seseorang dari tanjung tersebut. Karena itu, tanjung tersebut dinamakan Tanjung Menangis.
Maluku Utara Ilustrasi: Pandu Sotya Asal Mula Telaga Biru Dulu, ada sepasang suami istri yang saling mencintai. Mereka adalah Majojaru dan Magohiduuru. Mereka tinggal di sebuah dusun bernama Lisawa. Meski hidup sederhana, mereka berdua bahagia.
Suatu hari, Magohiduuru mengutarakan keinginannya untuk memperbaiki kehidupannya. Dia ingin merantau, berharap mendapat pekerjaan dan penghasilan yang lebih baik. Sebelum berangkat, dia berjanji akan segera kembali dan menjemput istrinya.
Magohiduuru berangkat dengan kapalnya. Majojaru melepas kepergiannya dan berharap agar suaminya cepat kembali. Namun, harapannya tak terkabul.
Di perjalanan, kapal Magohiduuru terhempas badai. Kapalnya terbalik dan Magohiduuru tenggelam. Tubuhnya tak pernah ditemukan.
Sementara itu, Majojaru masih setia menanti suaminya. Hari demi hari berganti, tak terasa sudah enam bulan dia menunggu. Dia tak tahu kejadian yang menimpa suaminya.
Suatu hari, Kepala Dusun Lisawa menyampaikan kabar duka itu padanya. Suamimu tenggelam, kapalnya terhempas badai, kabarnya dengan raut wajah sedih.
Majojaru tersentak, dia amat sedih.
Berhari-hari dia menangis di bawah pohon beringin sambil mengenang suaminya.
Anehnya, air matanya mengalir tak terbendung. Alirannya semakin deras seperti sungai yang meluber.
Lama-kelamaan, air mata Majojaru menenggelamkan pohon beringin dan sekitarnya. Tubuh Majojaru pun ikut menghilang seiring dengan meluapnya air matanya.
Luapan air mata itu membentuk sebuah telaga kecil. Airnya bening dan berwarna biru seperti warna bola mata Majojaru.
Penduduk Desa Lisawa pun ikut bersedih. Mereka yakin, Majojaru telah menyusul suaminya. Sejak saat itu, daerah itu mereka namakan Telaga Biru. Penduduk berjanji untuk merawat telaga itu baik-baik.
Maluku Utara Ilustrasi: Martha Parman Terompah Sultan Gajadean Gajadean adalah penunggu khayangan. Suatu hari, dia turun dari khayangan untuk menengok kakak perempuannya, yaitu permaisuri dari Sultan Jafar Nuh, raja di Pulau Ternate.
Gajadean lalu tinggal di istana selama beberapa hari. Dia merasa betah tinggal di sana karena Sultan Jafar Nuh amat baik padanya. Melihat Gajadean yang senang tinggal
di bumi, Sultan Jafar Nuh menawarkan pada Gajadean untuk tinggal di bumi selamanya.
Maukah kau menjadi pemimpin atau sangaji di wilayah Tobelo" Aku melihat kau berbakat untuk menjadi pemimpin. Jika kau bersedia, akan kusiapkan acara pengangkatanmu, kata Sultan Jafar Nuh.
Gajadean menerima tawaran itu.
Sebelum acara penobatan, Sultan Jafar Nuh berpesan bahwa sebagai pemimpin wilayah Tobelo, Gajadean harus memberikan upeti pada Sultan, seperti yang dilakukan oleh wilayahwilayah lainnya.
Gajadean setuju. Dia dilantik dan memiliki gelar Sultan Gajadean.


Cerita Rakyat Nusantara Karya Dian K di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Gajadean memimpin wilayah Tobelo dengan baik. Dia juga memiliki dua orang
kepercayaan yang membantunya mengawasi pemerintahan, yaitu Kapitan Metalomo dan Kapitan Malimadubo. Lama-kelamaan, wilayah Tobelo menjadi wilayah yang makmur. Hasil utama wilayah itu adalah kelapa, padi, dan tebu.
Gajadean tak lupa janjinya pada Sultan Jafar Nuh. Dia selalu menyisihkan sebagian hasil panennya untuk dikirimkan ke Ternate.
Suatu hari, seperti biasa Gajadean mengirimkan upeti ke Ternate. Setelah menyerahkan upeti itu, ia pun berpamitan dan hendak pulang ke Tobelo.
Terompahku, di mana terompahku" tanyanya kebingungan. Dia mencari alas kakinya yang hilang.
Semua orang jadi ribut, termasuk permaisuri Sultan Jafar Nuh.
Terompah apa" Terompahku yang berhiaskan berlian dan permata! teriak Gajadean.
Akhirnya, Gajadean pulang tanpa terompahnya. Dalam hati, dia mencurigai Sultan Jafar Nuh yang mencuri terompahnya. Dia pasti iri melihat kemakmuran wilayahku, gumamnya.
Gajadean semakin yakin bahwa Sultan Jafar Nuh yang mencuri terompahnya. Dia lalu menyusun rencana untuk membalas kelakuan kakak iparnya itu.
Dia memerintahkan kedua kapitan kepercayaannya untuk mengumpulkan semua sampah yang paling menjijikkan di Tobelo dan memasukkannya dalam guci-guci yang biasa dia pakai untuk mengirim upeti ke Ternate.
Tahun berikutnya, Gajadean kembali mengunjungi Ternate. Dia membawa guci-guci berisi sampah busuk yang telah dikumpulkannya selama setahun.
Sultan Jafar Nuh menyambutnya dengan baik. Sedikit pun beliau tak curiga bahwa adik iparnya itu menaruh dendam padanya.
Setelah berbasa-basi, Sultan Gajadean berpamitan pulang. Saat itulah Sultan Jafar Nuh membuka guci-guci itu. Astaga, busuk sekali baunya. Apa gerangan yang ada di dalam guci itu" teriak Sultan Jafar Nuh sambil menutup hidungnya. Perutnya terasa mual mencium bau dari guci-guci itu. Para pengawal segera memeriksa isi guci-guci tersebut. Sampah yang sudah membusuk, Sultan. jawab mereka.
Sultan Jafar Nuh murka. Beliau tak terima dengan penghinaan ini. Beliau lalu memerintahkan
para prajurit terbaiknya untuk menyerang Tobelo dan menangkap Gajadean. Namun, Gajadean berhasil melarikan diri.
Akhirnya, penduduk Tobelo pun tercerai-berai. Mereka melarikan diri ke dalam hutan, termasuk dua putra Gajadean yang bernama Kobubu dan Mama Ua.
Setelah keadaan mulai aman, rakyat Tobelo mulai kembali ke wilayahnya. Kapitan Metalomo dan Kapitan Malimadubo memerintah wilayah itu untuk sementara. Mereka terus mencari keberadaan Sultan Gajadean, tetapi usaha mereka sia-sia. Akhirnya, setelah berunding dan membicarakannya dengan rakyat, Kobubu pun diangkat menjadi sultan untuk menggantikan ayahnya.
Maluku Ilustrasi: Gege Orange Si Rusa dan Si Kelomang Di sebuah hutan di Kepulauan Aru, hiduplah sekelompok hewan. Mereka hidup berdampingan dengan rukun dan damai. Namun, akhir-akhir ini mereka terusik dengan kesombongan kelompok rusa. Kelompok rusa merasa hebat karena mereka mampu berlari dengan cepat. Tak ada hewan lain yang mampu menandingi kecepatan mereka berlari. Semakin hari, kesombongan mereka semakin menjadi-jadi. Mereka juga menjadi tamak. Rusa tak hanya menantang hewan lain untuk berlomba lari, tetapi juga menyita
tempat tinggal hewan yang kalah dalam perlombaan itu.
Lama-kelamaan, hewan-hewan
yang lain tak memiliki tempat tinggal. Kelompok rusa menjadi penguasa wilayah hutan itu.
Sementara itu, tak jauh dari hutan, yaitu di tepi Pulau Aru, hiduplah sekelompok kelomang. Wilayah yang mereka tinggali adalah wilayah yang indah dan udaranya masih segar.
Kelompok rusa yang mengetahui wilayah itu, ingin menguasainya. Seperti biasa, pemimpin rusa mengajak si kelomang itu untuk berlomba lari melawannya.
Bukankah kelomang kecil dan lambat" Aku pasti bisa mengalahkan mereka dengan mudah, pikirnya. Merasa yakin akan menang, dia lalu menemui pemimpin kelomang.
Di luar dugaan, pemimpin kelomang menerima tantangannya. Rusa tak tahu, meski bertubuh kecil, mereka memiliki akal yang cerdik.
Keesokan harinya, pemimpin rusa telah siap di tempat pertandingan. Rusa-rusa yang lain ikut menonton untuk memberi semangat.
Kelomang datang sendiri, tak ada teman yang menemaninya. Hei, mana teman-temanmu" tanya Rusa dengan heran. Itu tak penting, yang penting, kalahkan aku dan wilayah ini akan jadi milikmu, jawab Kelomang santai.
Diam-diam, Kelomang telah mengatur strategi bersama temantemannya. Dia sebenarnya membawa sepuluh temannya, tetapi mereka bersembunyi untuk mendengarkan aturan pertandingan. Setelahnya, kesepuluh kelomang itu siap di setiap perhentian yang telah ditentukan.
Siap" 1... 2... 3... lari...!! teriak salah satu rusa memberi abaaba.
Rusa lari dengan santai. Tak lupa dia mengolok Kelomang.
Menyerah sajalah, kau tak mungkin menang!
Kelomang hanya tersenyum. Rusa pun berlari cepat meninggalkannya.
Tak terasa, rusa telah tiba di perhentian pertama. Dia lalu menoleh ke belakang dan tersenyum. Pasti si kelomang masih jauh di belakang.
Siapa bilang aku masih di belakang" tiba-tiba terdengar jawaban Kelomang. Sebenarnya, itu bukan si pemimpin Kelomang, melainkan temannya yang menunggu di perhentian pertama. Rusa amat terkejut. Dia heran, bagaimana lawan larinya yang kecil itu bisa ada di depannya"
Karena tak mau kalah, dia segera mempercepat larinya menuju perhentian kedua.
Namun, apa yang terjadi" Kelomang sudah berjalan di depannya dan menuju ke perhentian ketiga.
Aku ada di depanmu, Rusa, teriak Kelomang. Rusa terkejut. Dia berlari secepat mungkin, tak mau kalah dari Kelomang. Namun, setiap kali tiba di perhentian, Kelomang selalu saja selangkah lebih maju.
Akhirnya, dia pun tiba di perhentian terakhir. Kelomang sudah menantinya di sana.
Rusa pun mengaku kalah. Karena malu, dia bahkan mengembalikan semua wilayah hewan lain yang dulu pernah direbutnya.
Sejak saat itu, hutan itu kembali damai seperti dulu. Tentunya, tak seekor hewan pun membocorkan rahasia Kelomang pada para rusa.
Maluku Ilustrasi: Merri An Bulu Pamali Pada zaman dahulu, ada seorang pemuda yatim piatu bernama Yongker. Pekerjaannya sehari-hari adalah mencari kayu bakar di hutan. Yongker amat rajin bekerja. Tiap hari dia berjalan tak kenal lelah.
Suatu hari, karena kelelahan, Yongker beristirahat di sebuah hutan yang terletak di lembah menuju pantai. Saat dia hendak tidur, tiba-tiba terdengar suara yang amat keras. Suara itu mirip gemuruh halilintar di langit. Sebelum
Yongker sadar apa yang terjadi, seekor ular raksasa muncul dan menelannya, lalu memuntahkannya kembali.
Tubuh Yongker terpental. Ular itu menghilang. Hanya ada seorang kakek yang berdiri di hadapannya. Wajah kakek itu terlihat marah.
Siapa kau" Dan apa yang kau lakukan di sini" teriaknya pada Yongker.
Dengan gemetar, Yongker menjawab, Namaku Yongker. Aku ada di sini untuk mencari kayu bakar. Itulah pekerjaanku seharihari, sejak ayah dan ibuku meninggal.
Kakek itu memandangi Yongker. Sekarang, wajahnya tak terlihat marah lagi.
Tapi, ingatlah. Jangan sampai kau merusak dan menggunduli hutan ini, pintanya.
Yongker mengangguk setuju.
Kakek itu lalu mencabut sepotong bulu atau bambu dari pohon yang tiba-tiba muncul di belakang Yongker. Kakek itu mengibaskan bulu itu ke seluruh badan Yongker. Sekarang, tubuhmu telah kulindungi dari serangan hewan buas dan orang jahat, kata kakek itu.
Yongker menoleh ke pohon bulu di belakangnya. Pohon itu masih ada, tetapi tiba-tiba saja tujuh helai daunnya terbang tertiup angin. Ketujuh daun itu jatuh di tengah laut dan berubah menjadi tujuh pulau kecil, sedangkan Kakek dan pohon bulu tadi malah menghilang.
Kini, pulau-pulau itu disebut dengan Pulau Tujuh. Sejak saat itu, Yongker terkenal karena kekebalan tubuhnya. Dia menggunakannya untuk bekerja lebih giat dan membantu orang-orang yang membutuhkan. Sementara itu, tempat pohon bulu tadi tumbuh dikenal dengan nama Bulu Pamali, karena tumbuh dan menghilang secara misterius.
Hingga saat ini, masih ada yang percaya bahwa pohon bulu itu terkadang muncul kembali, tetapi hanya bisa dilihat oleh orang-orang tertentu.
Maluku Ilustrasi: Martha Parman Buaya Tembaga Dahulu kala, di daerah Baguala, ada seekor buaya yang amat besar. Tak seperti buaya lainnya, buaya ini berwarna kuning. Penduduk setempat memanggilnya Buaya Tembaga.
Buaya Tembaga tak pernah mengganggu penduduk Baguala. Mereka hidup berdampingan dengan tenang.
Buaya Tembaga bahkan tak segan membantu para penduduk jika ada hal-hal yang mengganggu mereka. Dia juga baik terhadap semua binatang, baik yang hidup di darat maupun di laut.
Suatu hari, para penghuni pantai selatan Pulau Buru gelisah. Akhir-akhir ini, ada ular besar yang bertengger di sebuah pohon mintaggor. Pohon itu menjorok ke arah pantai sehingga ular itu leluasa mencaplok dan memangsa ikan-ikan di laut.
Namun, tak ada yang berani melawan ular itu. Mereka pun meminta tolong pada Buaya Tembaga. Hanya dia yang bisa mengusir ular itu, kata salah satu ikan.
Para penghuni laut berbondongbondong menemui Buaya Tembaga. Mereka menceritakan permasalahan mereka. Untunglah, Buaya Tembaga setuju untuk membantu.
Dia segera berangkat ke pantai selatan Pulau Buru. Di sana, dia disambut para penduduk dengan meriah.
Buaya Tembaga tak mau membuang waktu terlalu lama. Dia mulai berjalan dan mengintai musuhnya. Setelah merasa yakin bisa menyerang, Buaya Tembaga langsung meloncat ke pohon mintaggor.
Ular raksasa itu tak kalah sigap. Dia melilitkan tubuh besarnya ke batang pohon, dan lidahnya menjulur-julur hendak memagut tubuh Buaya Tembaga. Buaya Tembaga mengibaskan ekornya yang tajam ke ular itu. Pertarungan yang seru pun tak terelakkan. Pertarungan itu berlangsung berhari-hari.
Akhirnya, kedua binatang itu mulai kelelahan. Ular masih terus mencoba untuk memagut Buaya Tembaga, tetapi gagal.
Sebaliknya, dengan sisa tenaganya, Buaya Tembaga mampu
mengibaskan ekornya berkali-kali ke tubuh Ular Raksasa. Tubuh Ular Raksasa pun terlepas dari pohon.
Semua yang melihat hal itu bersorak-sorai.
Ular, pergilah jauh-jauh! Jangan mengganggu mereka lagi, pinta Buaya Tembaga pada Ular yang sudah lemas.
Ular menyerah. Dengan sisa tenaganya, dia merayap meninggalkan pantai Pulau Buru.
Sejak saat itu, para penghuni laut terbebas dari serangan Ular Raksasa. Sebagai ucapan terima kasih, mereka menganugerahkan gelar pada Buaya Tembaga, yaitu Yang Dipertuan di Teluk Baguala. Tak lupa, mereka juga menghadiahkan sebuah gentong yang berisi aneka jenis ikan, seperti ikan parang, ikan papere, dan ikan salmaneti.
Setelah kembali ke Teluk Buaga, ikan-ikan tersebut berkembang biak amat banyak. Hingga saat ini, ikan-ikan jenis itu mudah ditemui di Teluk Buaga.
Papua Ilustrasi: Riska Puspita Sari
Buaya Sakti Seorang wanita yang sedang hamil mengaduh kesakitan. Rupanya, sudah saatnya bayi dalam kandungannya itu lahir. Suaminya yang bernama Towjatuwa pun panik.
Ia lalu memanggil tetangganya, yang biasa membantu orang melahirkan.
Maaf, aku memerlukan sesuatu yang tajam untuk membantu proses kelahiran. Kau tahu Sungai Tami" Pergilah ke sana, ambillah batu tajam yang bisa kugunakan, kata tetangganya itu.
Towjatuwa bertambah kalut, tetapi dia segera melaksanakan perintah tetangganya itu.
Suasana Sungai Tami sepi sekali. Towjatuwa mulai mencaricari di mana batu tajam itu bisa ditemukan.
Ketika sibuk mencari, tiba-tiba terdengar suara aneh di belakangnya. Bulu kuduk Towjatuwa berdiri.
Suara apa itu, ya" bisiknya. Dengan sedikit gemetar, dia menoleh ke belakang. Alangkah terkejutnya dia ketika melihat seekor buaya yang amat besar sedang memandangi dirinya.
Towjatuwa nyaris pingsan ketakutan .
Buaya besar itu berjalan mendekati Towjatuwa. Langkahnya pelan, tetapi pasti. Wajah buaya itu sungguh menyeramkan. Ditambah dengan bulu-bulu burung kasuari di punggungnya, buaya itu semakin tampak aneh dan mengerikan. Bulu-bulu itu mengembang setiap kali buaya itu melangkah.
Towjatuwa bersiap melarikan diri, tetapi tiba-tiba buaya itu menyapanya.
Suaranya ramah dan bersahabat, tidak seperti wajahnya yang menyeramkan.
Towjatuwa tertegun. Kau bisa bicara" Apakah kau sejenis buaya sakti" tanyanya.
Buaya itu tersenyum dan menjawab, Jangan takut padaku. Namaku Watuwe. Kau boleh saja menganggapku buaya sakti. Sebenarnya aku hanya ingin tahu, apa yang kau cari di sungai ini" Towjatuwa lalu menjelaskan keadaan istrinya.
Watuwe mendengarkan cerita Towjatuwa dengan saksama.
Pulanglah. Kau tak usah khawatir dengan keadaan istrimu. Aku akan menolong istrimu saat melahirkan, katanya setelah Towjatuwa menyelesaikan ceritanya.
Sesampainya di rumah, Towjatuwa menceritakan semua kejadian yang dialaminya pada istrinya.
Aku tak jadi mengambil batu tajam. Buaya itu sudah berjanji akan membantu kita.
Sambil terus memegangi perutnya, istrinya menjawab, Mungkin buaya itu dikirim Tuhan untuk menolong kita.
Dalam hati, Towjatuwa berharap ucapan istrinya benar. Akhirnya, saat melahirkan telah tiba. Malam itu, istri Towjatuwa tak tahan lagi, perutnya benar-benar terasa mulas. Dia akan melahirkan saat itu juga!
Towjatuwa kebingungan, tak tahu apa yang harus dilakukannya.
Tiba-tiba, Watuwe muncul di hadapan mereka dan membantu proses kelahiran anak Towjatuwa.
Towjatuwa dan istrinya lalu sepakat untuk menamai anak mereka Narrowa.
Menurut Watuwe, kelak Narrowa akan menjadi pemburu yang andal.
Kelak anakmu akan menjadi pemburu andal. Namun ingat, jangan izinkan dia untuk membunuh dan memakan daging buaya. Aku sudah membantumu dan aku harap kau juga membantuku untuk menjaga keturunanku.
Towjatuwa setuju. Sejak saat itu, Towjatuwa dan keturunannya berjanji untuk tidak berburu buaya. Tidak hanya itu, mereka juga mengamankan buaya-buaya di Sungai Tami dari ancaman para pemburu.
Papua Ilustrasi: Riska Puspita Sari
Kasuari dan Dara Makota Burung kasuari amat serakah. Dengan badannya yang besar dan sayapnya yang lebar, dia mampu terbang tinggi. Dia memetik banyak sekali buahbuahan yang telah masak dan menyembunyikannya di bawah sayapnya,, sehingga burungburung yang lain tak kebagian. Karena itu, tak seekor burung pun mau berteman dengannya. Namun, burung kasuari tak peduli.
Semakin lama, keserakahan Kasuari menjadi-jadi. Tak hanya buah-buahan di atas pohon yang diambilnya, tetapi juga buahbuahan yang jatuh ke tanah.
Burung-burung yang lain pun jengkel. Mereka mencari cara agar Kasuari kapok.
Bagaimana jika lomba terbang" Siapa yang mampu terbang paling tinggi dan paling jauh, dialah yang menang. Kalau dia kalah, dia tak boleh lagi mencurangi kita, usul Dara Makota.
Suasana menjadi riuh. Siapa yang bisa melawannya" Kita tak akan menang! jawab Burung Pipit pesimis.
Dara Makota tersenyum. Ingat, kita harus menggunakan akal. Serahkan semuanya padaku. Aku akan melawannya dalam perlombaan ini.
Semua yang hadir saling berpandangan. Mungkinkah burung dara makota yang bertubuh kecil bisa melawan burung kasuari yang besar"
Kasuari setuju dengan tantangan Dara Makota.
Saat pertandingan tiba, semua burung hadir untuk menyaksikan.
Kasuari dengan pongah terus menertawakan tubuh Dara Makota yang mungil.
Sudahlah, menyerah saja daripada kau malu, ejeknya.
Dara Makota bergeming. Siapa yang tertawa belakangan, dia yang menang, sahutnya.
Sekarang, saatnya bertanding. Mereka berdua melesat dengan kencang.
Kasuari terbang cepat sekali, Sesekali dia menengok ke Dara Makota. Diam-diam, dia takut jika Dara Makota menyusulnya.
Saat asyik menoleh, tiba-tiba& BRAAK& dia menabrak batang pohon.
Sebelah sayapnya pun patah.
Semua yang hadir tertegun, tetapi Kasuari tak mau menyerah. Dia berusaha bangkit dan mengepak-ngepakkan sayapnya. Berulang kali dia mencoba, tetapi dia terus terjatuh dan menggelepar di tanah.
Sementara itu, Dara Makota terus melesat jauh meninggalkan Kasuari.
Kasuari hanya bisa memandang Dara Makota dengan rasa malu. Sekarang, dia baru tahu bagaimana rasanya menjadi makhluk yang lemah. Selama ini, dia selalu merasa menjadi burung yang terhebat. Namun, dalam sekejap dia tak mampu terbang lagi.
Beberapa burung yang lain pun turun ke tanah dan membantu Kasuari.
Kasuari semakin malu, karena selama ini telah mencurangi mereka.
Sejak saat itu, burung kasuari sadar dan mengubah perilakunya. Sayangnya, sejak saat itu pula Kasuari tak bisa terbang lagi dan harus mencari makan di tanah seperti binatang-binatang yang lain.
Papua Barat Ilustrasi: Riska Puspita Sari
Caadara Panglima Wire adalah seorang panglima perang yang gagah berani. Tak heran jika dia menginginkan putranya, Caadara, untuk mengikuti jejaknya.
Kebetulan, Caadara kecil juga memiliki bakat yang luar biasa dalam ilmu bela diri dan ketangkasan. Karena itu, Panglima Wire terus melatihnya agar kelak Caadara dapat menggantikan dirinya.
Bertahun-tahun kemudian, Caadara tumbuh menjadi pemuda yang tampan dan gagah perkasa. Keterampilannya dalam ilmu bela diri dan berburu tak diragukan lagi.
Panglima Wire pun ingin menguji kemampuan Caadara. Dia merasa sudah saatnya Caadara menggantikannya sebagai panglima perang.
Caadara anakku, kau sekarang telah dewasa. Ayah yakin kau telah mewarisi semua ilmu Ayah. Ditambah keterampilan dan kepintaranmu, kau pasti lebih hebat dari Ayah. Apa maksud Ayah" tanya Caadara tak mengerti. Ayah ingin kau pergi berburu selama beberapa hari. Bawalah beberapa binatang buruan sebagai tanda bahwa kau telah menguasai semua ilmu yang Ayah ajarkan, pinta Panglima Wire.
Caadara mengangguk. Dia lalu mengajak beberapa temannya dan berangkat ke hutan.
Perjalanan Caadara dan teman-temannya sungguh berat. Mereka melewati bukit-bukit yang terjal dan hutan yang lebat. Namun, mereka tak mudah menyerah. Dalam beberapa
hari, mereka telah menemukan binatang-binatang yang bisa diburu. Saat perjalanan pulang, tiba-tiba mereka bertemu dengan seekor anjing pemburu. Caadara segera siaga. Anjing pemburu itu menandakan ada sekelompok orang asing yang bisa mencelakai mereka.
Caadara dan teman-temannya segera bersembunyi. Mereka menyusun rencana dan menyiapkan semua senjata. Busur, panah, tombak, dan pedang pun mereka siapkan. Benar saja, tak lama kemudian terdengarlah suara pekikan yang mengerikan. Pekikan itu berasal dari Suku Kuala. Itu tandanya, mereka mengajak berperang!
Caadara segera memerintahkan teman-temannya untuk lari ke bukit yang lebih tinggi. Mereka kemudian membentuk benteng pertahanan, tetapi Suku Kuala berhasil menyusul.
Pertarungan tak terelakkan. Senjata kedua belah pihak saling beradu, dan suasana sungguh mencekam. Sambil bertarung, Suku Kuala tak henti-hentinya memekik-mekik.
Caadara sama sekali tak gentar. Dia melawan pasukan Suku Kuala itu dan berhasil merobohkan sebagian besar dari mereka. Demikian juga dengan teman-temannya. Dengan mengikuti petunjuk dari Caadara, mereka juga berhasil merobohkan banyak musuh.
Akhirnya, Suku Kuala menyerah. Mereka melarikan diri dan kembali ke desanya.
Kau memang pantas menjadi panglima perang kami, Caadara, kata salah seorang teman Cadaara usai peperangan.
Ya, kami akan mengusulkan pada Panglima Wire untuk
segera menyuruhmu menggantikannya, kata temannya yang lain.
Teman-temanku, aku tak mencari jabatan. Aku hanya ingin berbuat yang terbaik untuk desa kita, jawab
Caadara. Akhirnya mereka kembali dengan selamat di desa mereka, Desa Kramuderu.
Panglima Wire menyambut Caadara dan teman-temannya. Dia merasa bangga saat teman-teman Caadara menceritakan kehebatan anaknya.
Caadara lalu diminta untuk menyusun siasat perang, untuk berjaga-jaga jika Suku Kuala membalas dendam dengan menyerang mereka. Caadara pun setuju. Siasat perang dia susun dengan
saksama. Siasat perang Caadara inilah yang kemudian dikenal dengan nama Caadara Ura.
Siasat itu meliputi cara melempar senjata, seni bela diri jarak dekat, menyerbu lawan, dan mempertahankan diri dari serangan lawan. Caadara pun lalu menggantikan ayahnya sebagai panglima perang di Desa
Papua Barat Ilustrasi: Merri An Asal Usul Nama Irian Mananamakrdi, begitulah dia biasa dipanggil. Dia merupakan anak laki-laki termuda dari sebuah keluarga yang tinggal di Kampung Sopen, Biak Barat. Mananamakrdi bernasib malang, tubuhnya dipenuhi oleh kudis dan berbau. Karenanya, saudarasaudaranya menyuruhnya tidur di luar rumah.
Lama kelamaan, Mananamakrdi tak betah. Dia memutuskan untuk merantau saja. Dia pergi meninggalkan rumah tanpa tujuan, berjalan ke arah timur. Tak terasa, dia terus berjalan jauh hingga ke pantai. Saat itulah dia bertemu dengan seorang nelayan yang kemudian memberinya tumpangan ke Pulau Miokbudi di Biak Timur. Di pulau itu, Mananamakrdi memulai hidup baru. Dia masuk ke hutan belantara dan membangun sebuah gubuk kecil untuk tempat tinggalnya.
Sekarang, Mananamakrdi sudah dewasa. Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, Mananamakrdi menanam sagu dan membuat tuak. Tiap hari Mananamakrdi menyadap pohon kelapa di sekitar tempat tinggalnya. Air nira yang disadapnya dari pohon tersebut dibuatnya menjadi tuak.
Hidup Mananamakrdi berjalan lancar hingga suatu saat dia menemui masalah. Air nira yang disadapnya selalu habis tak berbekas. Pasti ada orang yang mencurinya, pikirnya.
Dia lalu memutuskan untuk mengintai dan menangkap pencurinya. Menjelang pagi, tampak olehnya sesosok makhluk yang meminum habis semua air nira yang disadapnya. Mananamakrdi amat marah.
Siapa kau" Kenapa kau mencuri air niraku" teriaknya. Ampun, jangan tangkap aku. Aku adalah si bintang pagi. Aku biasa dipanggil dengan nama Sampan. Lepaskan aku, maka aku akan mengabulkan keinginanmu, jawab makhluk itu.
Mananamakrdi setuju. Dia melepaskan Sampan. Sebagai ucapan terima kasih, Sampan pun meminta Mananamakrdi untuk pergi ke pantai mencari pohon bitanggur. Di sana, Mananamakrdi akan bertemu dengan seorang wanita yang akan menjadi istrinya.
Lemparlah sebiji bitanggur ke arahnya, dan dia akan jatuh cinta padamu, pesan Sampan.
Mananamakrdi setuju. Dia melaksanakan nasihat Sampan. Dan benar saja, dia bertemu dengan seorang gadis cantik yang sedang berjalan di tepi pantai.
Gadis itu bernama Insoraki, anak kepala suku dari Kampung Meokbundi. Tak mau menyia-nyiakan kesempatan, Mananamakrdi melemparkan sebiji bitanggur ke gadis itu.
Insoraki menoleh, melihat seorang pria berkudis duduk di atas dahan pohon bitanggur.
Mananamakrdi tersenyum, Insoraki juga tersenyum.
Mananamakrdi akhirnya menikah dengan Insoraki. Namun, penduduk Kampung Meokbundi tak tahan dengan kudis Mananamakrdi. Mereka pun berbondong-bondong meninggalkan kampung mereka.
Melihat hal itu, Mananamakrdi amat sedih. Dia lalu mengumpulkan kayu bakar dan hendak membakar dirinya. Untung istrinya mencegah dan keajaiban pun terjadi. Kudis di tubuh Mananamakrdi hilang! Rupanya, ketulusan cinta Insoraki mampu menghilangkan kudis di tubuh suaminya.
Mananamakrdi lalu mengajak anak dan istrinya berlayar meninggalkan Kampung Meokbundi, dan sampai ke Mandori, dekat Manokwari.
Saat pagi menjelang, putra Mananamakrdi, Konori, berteriak. Irian... irian... teriaknya. Irian berarti panas.
Mananamakrdi yang mendengar teriakan anaknya bertanya, Apa maksudmu, Anakku" Ini adalah tanah nenek moyangmu.
Insoraki menjawab pertanyaan suaminya, Maksud Konori, panas matahari pagi telah menunjukkan sebuah tanah yang indah.
Sejak saat itu, wilayah tersebut disebut dengan Irian. Pemandangan di Irian memang indah. Pantai berpasir dan bukitbukit nan hijau membuat tanah Irian menjadi tanah yang indah.
Papua Barat Ilustrasi: Gege Orange Asal Usul Burung Cenderawasih
Dahulu kala, ada seorang anak laki-laki bernama Kweiya. Dia tinggal bersama ibu dan adik-adik tirinya. Malang bagi Kweiya, adik-adik tirinya membencinya.
Diam-diam, mereka menjebak Kweiya agar tersesat di hutan. Saat ibunya bertanya, mereka bilang bahwa Kweiya sengaja pergi karena tak mau hidup bersama mereka lagi.
Kweiya yang tersesat di hutan tak menyerah. Dia membangun rumah kayu yang sederhana. Sehari-hari, dia berburu. Kulit binatang hasil buruannya, dia pintal menjadi benang.
Aku akan membuat sayap dari benang ini, gumamnya.
Sepeninggal Kweiya, ibunya amat sedih. Dia tak percaya jika Kweiya meninggalkannya begitu saja. Namun, dua adik Kweiya meyakinkannya bahwa Kweiya benar-benar sudah tak
betah di rumah. Untunglah, adik bungsu Kweiya berkata jujur. Saat kedua kakaknya pergi, dia bercerita pada ibunya bahwa Kweiya tersesat di hutan karena dijebak.
Mendengar hal itu, ibu Kweiya segera pergi ke hutan. Tanpa kenal lelah, dia berjalan dan terus memanggil nama Kweiya.
Kweiya, ini Ibu, Nak! Kau ada di mana" Ayo kita pulang! teriaknya.
Tiba-tiba saja pohon di sekitarnya bergerisik. Ibu Kweiya menoleh, berharap Kweiya muncul di hadapannya. Namun, itu bukan Kweiya. Itu seekor burung! Eee& eee& eee& teriak burung itu.
Ibunya terkesiap. Dia mengamati burung itu. Ternyata, itu Kweiya yang menyisipkan pintalan benang di bawah lengannya.
Kweiya melompat dari satu dahan ke dahan yang lain. Dia telah berubah menjadi seekor burung yang indah.
Ibu Kweiya menangis. Dia lalu mengejar Kweiya dan mengambil sedikit pintalan benang itu.
Ibu Kweiya pun ikut menyisipkan benang di bawah lengannya. Ajaib! Dia juga berubah menjadi burung dan bisa terbang menyusul Kweiya.
Tanpa mereka sadari, adik-adik tiri Kweiya menyusul ke hutan. Ketika menyaksikan ibu dan kakaknya menjadi burung, mereka pun tak bisa berbuat apa-apa. Diamdiam, mereka menyesal. Namun, tak ada yang bisa mereka lakukan. Semuanya sudah terlambat.
Kweiya dan ibunya menjadi burung yang sekarang dikenal sebagai burung cenderawasih.
Banten Ilustrasi: I Made Dwi S Pande Gelang Dulu, ada seorang pria tua bernama Ki Pande. Nama sebenarnya adalah Pande Gelang karena dia adalah seorang pembuat gelang.
Suatu hari, Ki Pande melihat seorang putri cantik menangis sedih. Dia lalu bertanya, mengapa putri itu menangis.
Namaku Putri Arum. Aku menangis karena hendak dinikahi oleh Pangeran Cunihin dari negeri seberang. Dia adalah orang yang culas dan licik. Jika aku menolak, pasti dia akan menyerang negeriku, Putri Arum kembali terisak.
Saya akan menolongmu. Terima saja lamarannya. Namun mintalah dia untuk melubangi sebuah batu keramat. Lubang itu harus cukup besar untuk bisa dilewati manusia. Batu itu harus dia letakkan di pesisir pantai. Berilah
waktu tiga hari padanya untuk
menyelesaikan pekerjaan ini. Nanti, dia harus melangkah melewati lubang yang dibuatnya itu, tambah Ki Pande.
Meski heran, Putri Arum menuruti saran Ki Pande.
Pangeran Cunihin tergelak ketika mendengar syarat yang diajukan oleh Putri Arum.
Tenang saja, aku bisa melubangi batu keramat hanya dalam waktu satu hari saja. Namun, sebenarnya untuk apa kau menyuruhku melakukan hal itu" tanyanya.
Dengan cepat, Putri Arum menjawab, Aku ingin duduk-duduk di pantai bersamamu. Melihat matahari terbenam pasti mengasyikkan.
Pangeran Cunihin senang dengan jawaban itu. Dia segera berangkat mencari batu keramat dan melubanginya.
Sementara itu, di rumahnya, Ki Pande membuat sebuah gelang raksasa. Ukurannya cukup untuk dilalui manusia. Gelang itu nantinya akan dia pasang pada lubang yang dibuat oleh Pangeran Cunihin di batu keramat itu.
Pangeran Cunihin membuktikan ucapannya. Dalam sehari saja, lubang di batu keramat telah siap. Dia lalu membawa batu itu ke pesisir pantai seperti yang diminta oleh Putri Arum. Tanpa dia sadari, diam-diam Ki Pande mengikutinya. Tak lupa Ki Pande membawa gelang raksasa yang telah disiapkannya.
Hahaha! Syarat yang begitu mudah! tawa Pangeran Cunihin. Dia lalu pergi untuk mencari Putri Arum.
Sepeninggal Pangeran Cunihin, Ki Pande berlari menuju ke batu keramat dan memasangkan gelang raksasanya pada lubang yang telah dibuat oleh Pangeran Cunihin. Ukurannya pas, sehingga gelang itu terpasang dengan sempurna.
Sial bagi Ki Pande, Pangeran Cunihin telah kembali bersama Putri Arum.
Hei, rupanya kau! Mau apa kau di sini"! bentak Pangeran Cunihin pada Ki Pande. Putri Arum terkejut, sepertinya Pangeran Cunihin dan Ki Pande telah saling mengenal.
Ki Pande menyingkir. Pangeran Cunihin tak memedulikannya. Dia sibuk memamerkan batu keramat berlubang itu pada Putri Arum.
Ah, lubang itu terlalu kecil untuk dilewati. Coba, bisakah kau melewatinya" pancing Putri Arum.
Pangeran Cunihin pun tersinggung. Dia melangkah memasuki lubang di batu itu untuk membuktikan bahwa
lubang itu cukup besar. Namun...
Aduh, tolong! Apa yang terjadi padaku"
teriaknya. Bersamaan dengan itu, tubuh Pangeran Cunihin
mendadak lemas. Dia berubah
menjadi seorang kakek tua yang tanpa daya.
Pada saat yang bersamaan, Ki Pande berubah. Sekarang, Ki Pande menjadi pemuda yang gagah dan tampan.
Putri Arum jadi bingung. Namun, Ki Pande segera menjelaskan.
Pangeran Cunihin adalah saudara seperguruanku. Setelah dia menguasai semua ilmu dari guru kami, dia mencuri semua ilmu dan kesaktianku juga. Dia lalu mengutukku menjadi pria tua!
Kutukan itu hanya bisa dihilangkan jika Pangeran Cunihin melewati gelang buatan Ki Pande.
Pangeran Cunihin batal menikahi Putri Arum. Putri Arum dan Ki Pande pun saling jatuh cinta. Mereka menikah dan hidup berbahagia.
Banten Ilustrasi: Martha Parman Hikayat Tanjung Lesung Suatu hari, seorang pengembara bernama Raden Budog bermimpi. Dia bertemu dengan seorang gadis cantik dan menikahinya.
Saat terbangun, Raden Budog langsung melanjutkan pengembaraannya. Dia ingin mencari gadis cantik itu. Dia yakin, gadis itu ada di suatu tempat.
Dengan ditemani oleh anjing dan kudanya, Raden Budog melanjutkan pengembaraannya. Mereka berjalan, naik turun bukit dan gunung, hingga akhirnya mereka tiba di Pantai Cawar.
Di pantai itu, Raden Budog mandi dan beristirahat. Setelah dirasa cukup, dia bersiap melanjutkan perjalanannya.
Ayo kita berangkat! seru Raden Budog pada anjing dan kudanya.
Namun, kedua binatang itu diam saja. Akhirnya, Raden Budog meninggalkan mereka.


Cerita Rakyat Nusantara Karya Dian K di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Setelah lama berjalan dan melewati berbagai tempat, Raden Budog tiba di sebuah sungai yang saat itu sedang meluap. Raden Budog menyeberangi sungai itu. Dia yakin, gadis impiannya ada di kampung di seberang sungai.
Setelah berhasil menyeberang, Raden Budog berjalan menyusuri kampung.
Dia mendengar suara lesung yang ditumbuk, bertalu-talu.
Karena penasaran, dia berjalan menuju arah suara itu.
Ternyata, suara itu berasal dari rumah seorang wanita tua bernama Nyi Siti.
Di rumahnya, banyak gadis menumbuk lesung. Namun, hanya satu yang menarik perhatian Raden Budog. Dia adalah Sri Poh Haci, putri Nyi Siti.
Sri Poh Haci menyadari Raden
Budog memerhatikannya. Dia
lalu bergegas masuk ke rumah dan melapor
pada ibunya. Baru saja ibunya hendak keluar, Raden Budog sudah mengetuk pintu dan memberi salam.
Raden Budog memperkenalkan dirinya, sekaligus mengutarakan niatnya untuk menikahi
Sri Poh Haci. Sri Poh Haci setuju. Mereka berdua akhirnya menikah.
Setelah menikah, kegiatan menumbuk lesung di rumah Nyi Siti terus berjalan. Sri Poh Haci tetap menjalankan tugasnya memimpin para gadis untuk menumbuk bersama-sama. Karena itulah, kampung itu kemudian dinamakan Kampung Lesung, dan karena letaknya di sebuah tanjung, orang-orang kemudian menyebutnya Tanjung Lesung.
f Banten Ilustrasi: Pandu Sotya Kisah Batu Kuwung Ada seorang saudagar yang amat kaya. Namanya Ki Sarmin. Meski kaya, dia tidak sombong. Dia bahkan sering membantu orang lain yang sedang kesusahan. Karena itu, orang-orang menyukainya.
Namun malang bagi Ki Sarmin. Suatu hari, dia tertimpa musibah. Dia terserang penyakit aneh dan kakinya menjadi lumpuh. Dia sudah berusaha berobat ke sana ke mari, tetapi tak ada hasilnya. Meski demikian, Ki Sarmin tak putus asa. Dia terus berdoa dan yakin suatu saat kakinya akan sembuh.
Suatu malam, Ki Sarmin bermimpi bertemu dengan seorang kakek yang menasihatinya,
Pergilah ke kaki Gunung Karang. Di sana, kau akan menemukan sebuah batu cekung. Duduk dan bertapalah di atas batu cekung itu selama empat puluh hari empat puluh malam. Tepat di akhir pertapaanmu, air panas akan memancar dari batu itu. Mandilah dengan air panas itu dan kau akan sembuh.
Ki Sarmin tergeragap bangun. Semula, dia tak memedulikan mimpinya. Namun, mimpi itu terus berulang tiap malam.
Akhirnya, Ki Sarmin melaksanakan nasihat kakek di mimpinya itu.
Dengan susah payah, dia mencari kuda tunggangan dan pergi ke kaki Gunung Karang. Ternyata benar, ada batu cekung di sana. Ki Sarmin lalu melaksanakan pertapaannya di atas batu itu.
Akhirnya, Ki Sarmin berhasil menyelesaikan pertapaannya selama empat puluh hari empat puluh malam. Saat hendak turun dari batu cekung itu, tiba-tiba air panas memancar dari batu itu.
Ki Sarmin teringat nasihat kakek di mimpinya. Dia lalu membasuh kakinya dan mandi dengan air panas itu.
Ajaib, Ki Sarmin bisa berdiri lagi! Kakinya bisa digerak-gerakkan. Dia tak lagi lumpuh.
Ki Sarmin mengucap syukur pada Yang Maha Kuasa atas kesembuhannya itu. Dengan girang, dia pulang ke rumahnya.
Saat ini, batu cekung itu dikenal dengan Batu Kuwung, yang artinya batu cekung. Banyak orang yang datang untuk merasakan khasiat air panas yang memancar dari batu tersebut.
Kalimantan Utara Ilustrasi: Selvie Djie Kisah Bulu Tengon Dulu sekali, ada seorang pria yang amat dihormati di desanya. Namanya Ku Anyi. Sayang, Ku Anyi dan istrinya tidak memiliki keturunan.
Meski usia mereka sudah tua, mereka tetap berharap agar Yang Maha Kuasa memberikan anak kepada mereka. Tiap hari mereka berdoa,
berharap suatu saat Yang Maha Kuasa mengabulkan doa mereka.
Suatu hari, Ku Anyi pergi berburu. Seperti biasa, dia mengajak anjingnya yang setia. Saat tiba di hutan belantara, Ku Anyi mendengar suara-suara aneh. Dia merinding. Selain itu, anjingnya juga terus menyalak ke arah sebuah bambu betung.
Ku Anyi memberanikan diri untuk mendekati bambu itu. Dia melihat sebutir telur terletak di atas daun jemelai.
Ku Anyi penasaran. Dia lalu membawa pulang telur dan juga bambu betung itu.
Sesampainya di rumah, dia menyerahkan hasil temuannya pada istrinya. Kita masak besok saja, kata istrinya sambil meletakkan telur dan bambu betung itu di meja dapur. Mereka berdua lalu beristirahat.
Keesokan harinya, Ku Anyi terbangun karena mendengar suara tangisan bayi. Tangisan itu berasal dari dapurnya. Bergegas dia membangunkan istrinya. Mereka berdua lalu segera menuju ke dapur.
Alangkah terkejutnya mereka saat melihat ada dua bayi di atas meja dapur. Anehnya, telur dan bambu betung yang semalam mereka letakkan di situ, lenyap.
Mereka berdua lalu sadar, bahwa telur dan bambu betung itu telah menjelma menjadi satu bayi laki-laki dan satu bayi perempuan.
Ku Anyi dan istrinya amat gembira. Bayi laki-laki itu mereka namai Jau Iru yang artinya guntur besar, sedangkan bayi perempuannya mereka namai Lamlai Suri.
Setelah Ku Anyi meninggal, Jau Iru menggantikan posisinya sebagai ketua suku bangsa Dayak. Dia juga merupakan cikal bakal kesultanan Bulungan.
Bulungan sendiri berasal dari kata Bulu Tengon yang artinya bambu yang sesungguhnya.
Anak-Anak/Cerita ISBN 10 :602-249-646-2 ISBN 13 : 978-602-249-646-5 100027
Inilah 100 kisah abadi di beragam kota tanah air. Kisah romantis tentang cinta sejati, kisah sedih dalam keluarga, dan beragam
kisah seru menghadapi para raksasa. Setiap kisah akan mengajarkan kita untuk berani berjuang, cerdik menghadapi masalah,
dan selalu jujur kepada siapa pun. Mari bertualang dalam 100 cerita nusantara!
Bhuana Ilmu Populer (Kelompok Gramedia) Jl. Kerajinan No. 3 7, Jakarta 11140
T: (021) 2601616, F: (021) 63853111~ 63873999 E: redaksi_bip@gramediabooks.com
www.bhuanailmupopuler.com
pustaka-indo.blogspot.com
Pendekar Baja 12 Pendekar Naga Putih 42 Terjebak Di Perut Bumi Mawar Berbisa 1
^