Pencarian

Cerita Rakyat Nusantara 1

Cerita Rakyat Nusantara Karya Dian K Bagian 1


?"KELOMPOK GRAMEDIA pustaka-indo.blogspot.com
pustaka-indo.blogspot.com
BHUANA ILMU POPULER Kelompok Gramedia
100 Cerita Rakyat Nusantara Oleh Dian K.
ISBN 10 :602-249-646-2 ISBN 13 : 978-602-249-646-5
Penyunting: Vassilisa Agata Desain Cover: Aluycia Suceng
"2014, PT Bhuana Ilmu Populer Jl. Kerajinan No. 3 7, Jakarta 11140
Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit PT Bhuana Ilmu Populer Kelompok Gramedia
No. Anggota IKAPI: 246/DKI/04
Hak Cipta dilindungi oleh Undang-Undang. Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.
Kutipan Pasal 72: Sanksi Pelanggaran Undang-Undang Hak Cipta (UU No. 19 Tahun 2002)
Jakarta, 2014 1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, menged arkan, atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
1. Atu Belah 8 2. Pangeran Amat Mude 13
3. Kisah Si Raja Parkit 19
4. Terjadinya Danau Toba 23
5. Putri Ular 28 6. Dayang Bandir dan Sandean Raja 33
7. Malin Kundang 39 8. Si Lebai yang Malang 44
9. Siamang Putih 48 10. Legenda Ikan Patin 54
11. Burung Tempua dan Burung Puyuh 59 12. Putri Mambang Linau 64
13. Si Kelingking 70 14. Ibu Kami Seekor Kucing 76 15. Si Pahit Lidah 80
16. Legenda Pulau Kemaro 84 17. Putri Kemarau 90
18. Legenda Ular Berkepala Tujuh 94 19. Legenda Ular N'Daung 98 20. Asal-usul Batang Aren 104 21. Buaya Perompak 108
22. Si Bungsu 112 23. Sultan Domas 118 24. Bujang Katak 123 25. Si Penyumpit 128
Daftar Isi 26. Legenda Pulau Sanua 134
27. Putri Pandan Berduri 140
28. Ayam dan Ikan Tongkol 144
29. Murtado Macan Kemayoran 148
30. Si Pitung 153 31. Monyet yang Malas 158
32. Lutung Kasarung 163 33. Sangkuriang & Dayang Sumbi 169
34. Asal Mula Kota Cianjur 174
35. Telaga Warna 179 36. Legenda Gunung Tidar 183
37. Timun Mas 186 38. Cindelaras 192 39. Asal-usul Nama Kali Gajah Wong 198
40. Bawang Putih dan Bawang Merah 202 41. Roro Jonggrang 207
42. Keong Mas 213 43. Calon Arang 218 44. Kisah Lembu Sura 224
45. Terjadinya Selat Bali 228
46. Kebo Iwa 233 47. Asal Mula Bukit Catu 239
48. Sari Bulan 243 49. Batu Golog 249 50. Suri Ikun dan Dua Ekor Burung 253 51. Kisah Si Pondik 258
52. Wewe Wula dan Asal-Usul Suku Ni'i 263
53. Batu Menangis 267 54. Semangka Emas 273 55. Asal-usul Sungai Landak 279
56. Legenda Bukit Kelam 284
57. Kutukan Raja Pulau Mintin 289
58. Legenda Sumber Garam Sepang 294
59. Sangi sang Pemburu 297
60. Dohong dan Tingang 301 61. Legenda Gunung Batu Bangkai 305
62. Lok si Naga 310 63. Putri Junjung Buih 315
64. Pangeran Biawak 321 65. Legenda Pesut Mahakam 325
66. Legenda Danau Lipan 330
67. Nyapu dan Moret 335 68. Kisah Burung Kekekow 339
69. Sigarlaki dan Limbat 344
70. Abo Mamongkuroit dan Tulap si Raksasa 349 71. Asal-usul Pohon Sagu dan Palem 353
72. Legenda Putri Duyung 358
73. Tanduk Alam 362 74. La Dana dan Kerbau 367 75. La Upe 371
76. Putri Tandampalik 376
77. Kisah Kera dan Ayam 380
78. Nini dan Putri Ikan 386
79. La Sirimbone 391 80. Keperkasaan Limonu 395 81. Asal Mula Tapa, Tuladenggi, dan Pathungo 399
82. I Tui Ting 404 83. To Dilaling 409 84. Asal Mula Pamboang 414
85. I Karate Lette 418 86. Asal Mula Tanjung Menangis 422
87. Asal Mula Telaga Biru 426
88. Terompah Sultan Gajadean 429
89. Si Rusa dan si Kelomang 434
90. Bulu Pamali 439 91. Buaya Tembaga 442
92. Buaya Sakti 446 93. Kasuari dan Dara Makota 450
94. Caadara 454 95. Asal-usul Nama Irian 459
96. Asal-usul Burung Cenderawasih 464
97. Pande Gelang 468 98. Hikayat Tanjung Lesung 473
99. Kisah Batu Kuwung 476 100. Kisah Bulu Tengon 480
Nanggroe Aceh Darussalam Ilustrasi: Syarifah Tika Atu Belah Jauh di sudut terpencil Tanah Gayo, h iduplah sebuah keluarga yang amat miskin. U ntuk makan sehari-hari, Ayah berburu ke dalam h utan. Namun, dia sering pulang dengan tangan kosong. Jika s udah begitu, dia akan menangkap belalang untuk d imasak. Dia menyimpan belalang-belalang itu di dalam lumbung padi. Suatu hari, Ayah hendak berburu lagi. Dia berpesan pada istrinya untuk memastikan pintu lumbung selalu tertutup.
Hari menjelang siang. Ayah tak kunjung datang. Kedua anaknya mulai merengek karena lapar. Ibu tak tega melihat anak-anaknya kelaparan.
Ambillah beberapa belalang. Jangan lupa, tutup kembali pintunya, perintahnya pada Sulung.
Saat membuka pintu lumbung, si Sulung langsung menangkapi belalang-belalang itu. Sayang, dia lupa menutup pintu lumbung.
Dalam sekejap, belalang-belalang itu terbang ke luar l umbung. Sulung amat menyesal. Dia telah melupakan pesan ibunya. Dengan langkah gontai, dia pulang.
Maafkan aku, Bu. Aku lupa menutup pintu lumbung. Semua belalang telah terbang, lapornya pada ibunya. Ibu hanya bisa menghela napas. Dia berharap, suaminya pulang membawa hasil buruan.
Ternyata, harapannya tak terk abul. Suaminya pulang dengan tangan kosong, wajahnya tampak lelah. Dia segera menyuruh istrinya menggoreng belalang untuk makan.
Belalangnya kabur semua. Aku lupa menutup pintu lumbung, Ibu menutupi kesalahan anaknya.
Mendengar hal itu, suaminya terduduk lemas.
Merasa iba dengan suaminya yang lelah karena seharian berburu, Ibu meminta izin u ntuk keluar mencari ikan atau b urung yang bisa dijadikan lauk.
Malang, Ibu tak menemukan apa pun. Tak ada burung, juga tak ada ikan. Karena kelelahan, dia pun duduk di sebuah batu besar yang dikenal dengan nama Atu Belah.
Ibu mulai menangis, menyesali keadaannya. Air matanya
bercucuran. Dia tak tahu, Atu Belah bisa terbelah dua dan menelan siapa pun yang mendekatinya dalam keadaan sedih.
Tiba-tiba, kraakk... batu itu terbelah menjadi dua, dan Ibu tertelan oleh Atu Belah.
Istriku, jangan tinggalkan kami! Tiba-tiba terdengar teriakan sang Ayah yang ternyata mengikutinya
bersama anak-anaknya. Ayah mengkhawatirkan istrinya yang pergi sendirian.
Namun terlambat, istrinya sudah telanjur ditelan oleh Atu Belah.
Sulung menangis, lalu menceritakan yang sebenarnya pada ayahnya.
Sudahlah, semua sudah telanjur, sahut ayahnya. Setelah Ayah menyelesaikan perkataannya, tiba-tiba muncullah beberapa helai rambut istrinya dari dalam batu. Sulung segera memetik tujuh helai rambut dan menyimpannya sebagai kenangan akan ibunya.
Nanggroe Aceh Darussalam Ilustrasi: Andri Permana Pangeran Amat Mude Suatu hari, Raja Negeri Alas tampak bersedih. Ada apa, Kanda" tanya Ratu.
Ternyata, Raja bersedih karena mereka belum dikaruniai anak yang akan meneruskan takhta kerajaan.
Sebaiknya kita terus berusaha dan berdoa. Tuhan akan mengabulkan doa kita, saran Ratu dengan bijaksana.
Ternyata benar. Tak lama kemudian, Ratu hamil dan melahirkan seorang bayi lelaki yang amat tampan. Bayi itu diberi nama Pangeran Amat Mude.
Untuk merayakan kelahiran putranya, Raja menggelar pesta besar. Tak hanya rakyat yang diundang, tetapi juga seluruh binatang dan makhluk yang ada di negeri itu.
Saat Pangeran Amat Mude berusia sepuluh tahun, Raja mangkat. Karena Pangeran masih amat kecil, Ratu menunjuk adik raja untuk menjadi raja sementara.
Namun, raja yang baru ini tidak disukai rakyat karena kekejamannya. Dia bahkan menyuruh para pengawal untuk membuang Ratu dan Pangeran ke dalam hutan. Dia ingin menguasai kerajaan selamanya.
Di hutan, Ratu dan Pangeran Amat Mude tinggal di rumah kayu yang sederhana di tepi sungai.
Suatu hari, Pangeran Amat Mude berburu ikan untuk makan malam. Ketika sedang memotong-motong ikan, Ratu menemukan sebutir emas di setiap perut ikan.
Ratu dan Pangeran amat bersyukur. Tuhan telah membantu mereka.
Sekarang, mereka tak lagi hidup kekurangan. Mereka bahkan bisa bersedekah pada orang-orang miskin di sekitar mereka.
Kekayaan dan kedermawanan Pangeran Amat Mude terdengar sampai ke telinga pamannya, yang lalu mengundangnya untuk datang ke istana.
Kau boleh menjadi raja, tetapi kau harus membawakanku sebutir kelapa gading dari pulau kecil di tengah laut. Jika kau gagal, maka takhta kerajaan ini menjadi milikku selamanya, tantang sang paman.
Dalam hati, pamannya tertawa. Kau tak mungkin selamat. Laut itu dijaga oleh tiga binatang buas yang akan segera memangsamu!
Pangeran Amat Mude setuju dan segera berangkat. Tibalah dia di tengah lautan, lalu muncullah seekor ikan besar yang didampingi seekor buaya dan seekor naga.
Hei, Anak Muda! Beraninya kau melewati wilayah kami tanpa izin! Siapa kau dan hendak ke mana" tanya Ikan dengan garang.
Dengan gemetar, Pangeran Amat Mude menjelaskan siapa dirinya dan apa tujuannya.
Kau Amat Mude sang putra raja Negeri Alas" Buaya dan Naga bertanya serempak.
B... b... benar.. dari mana kalian tahu" tanya Pangeran Amat Mude.
Mereka tertawa. Ayahmu adalah sahabat kami. Kami dulu diundang ke pesta kelahiranmu. Tak kusangka, kau sekarang sudah dewasa.
Ikan, Buaya, dan Naga pun geram mendengar kesewenang-wenangan paman Pangeran Amat Mude.
Mereka lalu bertekad untuk membantu
Pangeran Amat Mude. Dengan sigap, Naga terbang ke pucuk pohon kelapa untuk memetik sebutir kelapa gading dan menyerahkannya pada Pangeran Amat Mude.
Terima kasih, kalian sungguh baik, ucap Pangeran Amat Mude berkali-kali.
Setibanya di istana, Pangeran Amat Mude menyerahkan kelapa gading itu pada pamannya.
Sang paman sadar bahwa sudah saatnya Pangeran Amat Mude menjadi raja.
Sejak saat itu, Negeri Alas dipimpin oleh Raja Amat Mude. Maka, sang paman memilih keluar dari istana dan hidup sebagai rakyat biasa, meski Amat Mude mengizinkannya untuk terus tinggal di istana.
Nanggroe Aceh Darussalam Ilustrasi: Pandu Sotya Kisah si Raja Parkit Di sebuah hutan yang rimbun, ada sekelompok burung parkit yang dipimpin oleh seorang raja. Kehidupan mereka amatlah tenang. Mereka bisa terbang bebas dan mencari buah-buahan yang banyak tersedia di dalam hutan.
Namun, ketenangan mereka akhirnya terganggu. Ada seorang pemburu yang masuk ke hutan. Dia memasang perangkap besar untuk menangkap burung-burung parkit itu. Di dalam perangkap itu terdapat aneka buah-buahan yang menggugah selera.
Malang bagi para parkit, mereka terjebak di dalam perangkap. Mereka mulai gelisah dan ketakutan. Namun, Raja Parkit menenangkan mereka.
Sebenarnya, pemburu ini bisa saja menangkap kita dengan cara melukai kita. Namun, dia tak melakukannya. Dia pasti ingin menangkap kita dalam keadaan hidup, kata Raja Parkit mencoba berpikir.
Ah, aku punya akal. Ayo kita semua berpura-pura mati. Dia pasti akan kecewa dan melepaskan kita, usulnya kemudian.
Burung-burung parkit pun setuju. Mereka lalu berpurapura mati sampai pemburu itu datang. Alangkah kecewanya pemburu itu melihat burung tangkapannya mati semua.
Pemburu itu lalu membuka perangkapnya. Dia hendak memastikan apakah benar burung-burung itu mati. Namun, begitu perangkap terbuka, burung-burung itu segera terbang melarikan diri.
Malang bagi Raja Parkit, dia tertinggal di dalam perangkap.
Rupanya kalian membohongiku! seru Pemburu marah. Raja Parkit lalu memohon agar Pemburu tak mencelakai teman-temannya. Dia bersedia dipelihara oleh si Pemburu dan bernyanyi setiap hari. Si pemburu pun setuju. Dia membawa pulang Raja Parkit dan mengikat kakinya dengan tali yang cukup panjang pada sebilah kayu. Raja Parkit masih bisa bebas beterbangan, tetapi tak bisa melarikan diri.
Tiap hari, Raja Parkit menghibur si pemburu dengan bernyanyi.
Suara Raja Parkit yang merdu pun terdengar ke telinga Raja.
Raja lalu meminta si pemburu untuk menyerahkan Raja Parkit. Sebagai imbalan, Raja memberikan sekantong uang emas.
Sekarang, Raja Parkit tinggal di istana. Dia diletakkan di sebuah sangkar emas yang indah. Namun, Raja Parkit tak bahagia. Sangkar itu begitu sempit. Dia juga merindukan teman-temannya.
Akhirnya, Raja Parkit jatuh sakit. Suara merdunya tak lagi terdengar. Raja amat kecewa.
Dia sudah tua, sudah tak berguna lagi, gerutu Raja, lalu dia membebaskan Raja Parkit. Raja Parkit terbang ke pucuk pohon yang paling tinggi. Dia lalu bernyanyi dengan keras. Teman-temannya mendengar dan segera menjemputnya.
Sekarang Raja Parkit sudah sembuh. Hidup bebas dan berkumpul bersama teman adalah hal yang paling membahagiakan baginya.
Sumatera Utara Ilustrasi: Merri An Terjadinya Danau Toba Dahulu kala, ada seorang pemuda yang bekerja sebagai penangkap ikan. Hanya itulah yang bisa dia lakukan untuk mencari nafkah. Hasilnya tak banyak sehingga pemuda itu hidup sederhana.
Suatu hari, pemuda itu tak berhasil menangkap satu ikan pun. Saat dia bersiap untuk pulang, tiba-tiba seekor ikan besar berwarna keemasan muncul di permukaan sungai. Dengan sigap, pemuda itu menangkapnya.
Paling tidak, aku punya lauk untuk makan malam, batinnya riang.
Sesampai di rumah, pemuda itu hendak memasak ikan tangkapannya. Namun, ikan itu menatapnya dengan tatapan sedih. Pemuda itu jadi tak tega. Dia lalu memelihara ikan itu dalam sebuah tempayan.
Keesokan harinya, pemuda itu pergi lagi untuk menangkap ikan. Lagi-lagi, dia tak mendapat ikan. Dengan lesu, dia pulang.
Namun, betapa terkejutnya dia saat melihat banyak hidangan lezat di rumahnya. Karena lapar, pemuda itu tak berpikir panjang. Dia melahap semua hidangan itu sampai habis.
Sejak saat itu, setiap hari selalu tersedia hidangan lezat di rumah si pemuda. Hal ini membuat si pemuda penasaran. Dia memutuskan untuk mengintip siapa yang menyediakan semua itu untuknya.
Saat mengintip itulah, dia melihat seorang gadis cantik sedang memasak. Dalam sekejap, dia pun jatuh cinta pada gadis itu.
Pemuda itu melompati jendela dapur dan melongok tempayannya yang berisi ikan. Apakah kau ikan yang kupelihara" tanyanya.
Gadis itu terkejut, tak menyangka kalau pemuda itu memergokinya.
Eh... benar. Aku adalah jelmaan ikan. Akulah yang menyediakan makanan untukmu.
Si pemuda lalu meminta gadis itu untuk menjadi istrinya.
Aku mau, tapi kau harus menjaga rahasiaku. Jangan bilang pada siapa pun bahwa aku adalah seekor ikan. Bahkan pada anak kita nanti, sahut gadis itu.
Si pemuda setuju, lalu mereka menikah dan dikaruniai seorang anak lelaki.
Anehnya, anak lelaki mereka suka sekali makan. Sebanyak apa pun yang dilahapnya, dia masih merasa lapar.
Suatu hari, sang ibu menyuruh anak lelakinya mengantar makan siang untuk ayahnya yang sedang bekerja di sawah. Namun dalam perjalanan, dia merasa sangat lapar dan menghabiskan makan siang ayahnya.
Melihat makan siangnya habis, ayahnya amat kecewa.
Kenapa makannya banyak sekali" Apa karena dia anak seekor ikan" gumamnya.
Si anak terkejut mendengar gumaman ayahnya. Dia menangis dan melapor pada ibunya.
Kata Ayah, Ibu adalah seekor ikan. Benarkah, Bu" Sang ibu sedih karena suaminya mengingkari janjinya. Saat suaminya pulang, dia pun berpamitan, Kau telah mengingkari janjimu, maka aku akan kembali ke alamku bersama anakku.
Dia lalu mengajak anaknya keluar dari rumah dan berdiri di tanah lapang. Hujan perlahan turun, makin lama makin deras, dan tepat saat petir menyambar, keduanya menghilang.
Setelah hujan reda, dari tempat ibu dan anak tadi berdiri, muncullah mata air yang cukup deras. Airnya terus mengalir hingga membentuk danau yang luas.
Danau itulah yang sampai sekarang disebut dengan Danau Toba.
Sumatera Utara Ilustrasi: Gabriel Dias Putri Ular Alkisah, ada seorang putri yang amat cantik. Sayangnya, dia sering mengucapkan kata-kata buruk. Walau Raja dan Ratu kerap menegurnya, sang Putri tetap tak berubah. Jika ada kejadian yang tidak menyenangkan hatinya, dengan mudahnya dia berkata buruk.
Lebih baik jadi orang buta daripada harus memandangi wajahmu yang cemberut terus, katanya suatu hari pada dayang istana.
Mendengar ucapan putrinya, Ratu jadi khawatir.
Bagaimana jika kau benar-benar buta nanti" tanya Ratu cemas.
Putri tak peduli. Dari hari ke hari, Putri semakin sering berkata buruk.
Suatu hari, datanglah raja muda dari negeri seberang. Dia hendak melamar Putri untuk dijadikan permaisuri. Tentu saja Putri senang, apalagi raja muda itu juga tampan.
Pesta pernikahan akan dilaksanakan bulan depan.
Putri ingin tampil cantik pada hari pernikahannya. Untuk itu, dia rajin merawat diri. Tiap hari, dia mandi di danau kecil di belakang istana. Air mandinya dicampur dengan aneka bunga. Dengan dibantu dayang-dayangnya, Putri bisa mandi tiga kali dalam sehari.
Suatu sore, seperti biasa Putri mulai mandi. Tiba-tiba, ada seekor burung melintas cepat di atas kepalanya. Karena terkejut, Putri berteriak sambil mendongak.
Tak dinyana, burung itu malah mematuk hidungnya. Putri tak sempat menghindar. Darah pun berceceran dari hidungnya.
Aduhh... hidungku! teriak Putri. Sambil memegang hidungnya yang berdarah, Putri menangis dan kembali ke kamarnya.
Putri tersedu-sedu. Dia merasa kecewa karena tak bisa menjaga kecantikannya.
Mana mau raja muda itu menikahi wanita berhidung buruk begini" isaknya.
Ratu tersenyum mendengar ucapan Putri. Jangan khawatir. Jika sang raja muda memang mencintaimu, luka kecil ini pasti tak jadi masalah, kata Ratu. Luka kecil" Ini bukan luka kecil, Bu! Luka ini pasti membekas dan berwarna hitam! teriak Putri dengan marah.
Setelah terdiam sejenak, tiba-tiba Putri berkata, Barangkali lebih enak menjadi ular. Kulitnya tebal dan bersisik. Luka sedikit pasti tak akan kelihatan.
Sebelum Ratu sempat menjawab, tiba-tiba langit
bergemuruh. Ratu dan Putri ketakutan. Mereka saling berpelukan.
Anakku, apa yang terjadi padamu!
teriak Ratu panik. Ternyata, Putri berubah menjadi ular besar dengan kulit kasar dan bersisik, persis seperti yang diharapkan oleh Putri.
Ratu menangis. Dia menyesali perkataan putrinya yang diucapkan secara sembrono.
Anakku, bukankah sudah berulang kali Ibu mengingatkanmu agar menjaga ucapanmu" isaknya sedih.
Ular itu tak bisa menjawab. Dia hanya menggelenggelengkan kepalanya sambil mendesis.
Namun, sang ular menitikkan air mata, tanda bahwa dia amat menyesal.
Raja yang mengetahui kejadian ini juga tak mampu berbuat apa-apa.
Akhirnya, Putri yang telah menjadi ular itu tinggal di halaman belakang istana. Dia lebih senang tinggal di alam bebas. Sekarang, semua orang memanggilnya Putri Ular .
Sumatera Utara Ilustrasi: Selvie Djie Kisah Dayang Bandir dan Sandean Raja
Dayang Bandir dan Sandean Raja adalah kakak beradik dari Kerajaan Timur. Di usia mereka yang masih amat muda, mereka telah menjadi anak yatim piatu karena Raja wafat, sedangkan ibu mereka telah meninggal saat melahirkan Sandean Raja.
Dengan meninggalnya Raja, maka harus dipilih raja yang baru. Karena Sandean Raja masih kecil, takhta kerajaan dipegang oleh Paman Kareang untuk sementara. Sayangnya, Paman Kareang berniat untuk menguasai kerajaan selamanya.
Dayang Bandir mengetahui niat buruk pamannya. Karena itu, dia menyembunyikan pusaka kerajaan milik ayahnya. Dia tak mau pamannya merebut pusaka itu.
Hanya adikku yang berhak atas pusaka ini, katanya.
Paman Kareang mengetahui bahwa Dayang Bandir menyembunyikan pusaka itu. Dia memaksa keponakannya itu untuk menyerahkan pusaka kepadanya.
Jika kau tak mau, maka kau akan kuhukum, ancamnya. Namun, Dayang Bandir bergeming.
Sejak saat itu, Paman Sareang selalu marah-marah kepadanya. Dayang Bandir jadi tak betah berada di istana. Dia sering pergi meninggalkan istana dan baru pulang saat sore menjelang.
Suatu hari, Dayang Bandir tak pulang. Sandean Raja amat cemas dan melapor pada Paman Sareang, yang lalu meminta pengawalnya untuk mencari Dayang Bandir.
Ternyata, para pengawal menemukan Dayang Bandir telah meninggal karena digigit ular berbisa di dalam hutan.
Sandean Raja amat sedih, sedangkan Paman Sareang diam-diam merasa senang. Itu artinya dia bisa bebas mencari pusaka kerajaan yang selama ini disembunyikan dan dijaga oleh Dayang Bandir.
Setelah menemukan pusaka kerajaan, Paman Sareang semakin pongah. Saat Sandean Raja sudah dewasa, Paman Sareang tak mau menyerahkan takhta padanya. Akhirnya, Sandean Raja memilih untuk pergi meninggalkan istana.
Dalam perjalanan, Sandean Raja mendengar bisikan suara kakaknya, Dayang Bandir.
Pergilah ke Kerajaan Barat, temui Raja Sorma. Dia adalah kakak dari ibu kita. Dia tak culas seperti Paman Sareang.
Raja Sorma terkejut melihat kedatangan Sandean Raja. Dia bahkan tak percaya bahwa Sandean Raja benar-benar keponakannya.
Bukankah kedua keponakanku telah tewas digigit ular berbisa" ucapnya ragu. Begini saja. Semua keturunan keluarga kami, punya kemampuan untuk melakukan halhal luar biasa. Jika kau benar-benar Sandean Raja, maka turutilah perintahku, kata Raja Sorma lagi.
Raja Sorma lalu meminta Sandean Raja untuk memindahkan sebatang pohon dari hutan ke istana. Sandean Raja berhasil melakukannya dengan mudah.
Tak puas, kali ini Raja Sorma memintanya untuk menebas hutan untuk dijadikan ladang. Lagi-lagi Sandean Raja bisa melakukannya dengan mudah.
Raja Sorma penasaran. Dia lalu menyuruh Sandean Raja membangun istana megah dalam waktu tiga hari. Tak disangka, Sandean Raja mampu memenuhinya.
Raja Sorma mulai percaya. Namun, ada ujian akhir yang harus diberikan pada Sandean Raja. Di sebuah ruang gelap gulita yang berisi puluhan orang gadis, dia harus menunjuk putri Raja Sorma.


Cerita Rakyat Nusantara Karya Dian K di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sandean Raja jadi cemas. Namun, didengarnya lagi suara bisikan Dayang Bandir. Masuklah, aku akan membantumu.
Ternyata benar, Sandean Raja berhasil menunjuk putri Raja Sorma.
Sekarang Raja Sorma percaya. Beliau lalu memutuskan untuk membantu Sandean Raja dengan berbicara pada Paman Sareang mengenai takhta Kerajaan Timur.
Akhirnya, Paman Sareang mengakui kesalahannya dan menyerahkan takhta pada Sandean Raja.
Sumatera Barat Ilustrasi: Tjhang Tina Malin Kundang Alkisah di Sumatera Barat, hiduplah seorang janda beserta anak laki-lakinya yang bernama Malin Kundang. Meski hidup mereka berkekurangan, sang ibu selalu berusaha keras memberikan kehidupan yang baik bagi Malin.
Ketika Malin dewasa, dia pergi merantau bersama seorang saudagar demi mencari kehidupan yang lebih baik.
Malin akan pulang setelah berhasil. Malin akan menjemput Ibu. Doakan Malin, ya.
Bertahun-tahun kemudian, Malin Kundang menjadi pedagang yang berhasil. Dia berdagang dengan jujur dan menjadi terkenal karenanya. Dia juga sudah menikah dengan putri seorang kepala kampung. Sayangnya, Malin lupa kepada janjinya untuk menjemput ibunya. Malah, dia berbohong kepada istrinya dan mengatakan bahwa ayah ibunya sudah tiada.
Suatu hari, Malin dan istrinya pergi berlayar.
Karena cuaca di laut yang amat buruk, nakhkoda memutuskan untuk berhenti di pulau terdekat.
Ketika kapal merapat, Malin terhenyak. Bukankah ini kampung halamanku" bisiknya cemas. Malin ingin memerintahkan nakhoda untuk berbalik arah, tetapi sudah terlambat.
Suamiku... lihat! Kapal nelayan itu sedang membongkar ikan. Aku ingin sekali makan ikan segar. Ayo kita turun dan membeli ikan! ajak istri Malin.
Malin berusaha menolak, tetapi istrinya tak peduli.
Minggir... minggir... Saudagar Malin hendak lewat, teriak anak buah Malin.
Tak jauh dari situ, ibu Malin yang kebetulan sedang membantu para nelayan terkesiap. MALIN" Apakah aku tidak salah dengar" Dia lalu mendekat dan melihat. Benar, itu Malin, anaknya yang telah lama pergi.
MALIN... MALIN KUNDANG anakku! teriaknya sambil memeluk Malin erat-erat.
Malin cepat-cepat melepaskan diri dari pelukan ibunya. Hei, kau wanita tua, siapa kau hingga
berani memanggilku sebagai anakmu" teriak Malin lantang.
Ibu Malin terkesiap mendengar ucapan Malin.
Istri Malin berusaha menengahi keadaan. Wahai Ibu, apakah Ibu bisa membuktikan bahwa Malin benar-benar anak Ibu" tanyanya dengan santun.
Ibu Malin lalu berkata bahwa ada bekas luka di tangan Malin. Itu adalah luka yang didapat Malin saat kecil garagara dipatuk ayam milik tetangganya.
Istri Malin teringat, memang ada bekas luka di tangan suaminya.
Suamiku, mengapa kau mengingkari ibumu sendiri" tanyanya dengan sedih.
Malin tak peduli. Dia tetap tak mengakui ibunya dan mengajak istrinya untuk meninggalkan tempat itu.
Ibu Malin terus meratap, dan tepat pada saat itu, hujan turun deras sekali.
Petir menggelegar dan angin bertiup kencang. Tiba-tiba, duarrr... petir menyambar tepat di kaki Malin. Kaki Malin mendadak kaku dan keras seperti batu.
Malin amat ketakutan. Dia sadar bahwa dia telah berdosa pada ibunya.
Ibu, ampuni aku. Tolong selamatkan aku, teriaknya. Ibu Malin berusaha menolong, tetapi terlambat. Tubuh Malin mengeras menjadi batu.
Konon, batu yang menyerupai bentuk Malin Kundang masih dapat ditemui di sebuah pantai bernama Aia Manih, di sebelah selatan Kota Padang, Sumatera Barat.
Sumatera Barat Ilustrasi: Kartika Paramita
Si Lebai yang Malang Lebai adalah seorang guru yang lugu dan baik hatinya. Namun sayang, dia
suka bimbang. Dia selalu bimbang apakah harus begini
atau begitu. Dia bahkan tak bisa memutuskan apa yang akan
dimakannya hari ini. Akibat kebimbangannya, Si Lebai sering kali gagal mencapai tujuannya. Namun, Lebai tak berubah. Dia tetap saja menjadi orang yang suka bimbang.
Suatu hari, Lebai mendapat dua undangan pesta pernikahan. Yang satu dari kerabat jauhnya di hulu sungai, dan yang satunya lagi dari muridnya di hilir sungai. Keduanya diadakan pada hari dan jam yang sama. Si Lebai pun jadi bimbang, pesta pernikahan siapa yang harus dia datangi.
Sampai tiba harinya, Lebai masih tak bisa memutuskan. Setelah berpikir terus-menerus, akhirnya dia memutuskan untuk mendatangi kedua pesta tersebut. Dia tak mau rugi, karena tuan rumah pertama menjanjikan kepala sapi untuknya, dan tuan rumah kedua menjanjikan dua kepala kambing.
Si Lebai bersiap mendayung perahunya.
Aku ke hilir dulu atau ke hulu dulu, ya" Dia mulai bimbang. Akhirnya, dia memutuskan untuk ke hilir.
Kerabatku di hulu itu masakannya kurang enak. Sebaiknya aku ke hilir dulu karena ibu muridku kan pandai memasak. Si Lebai mulai mendayung perahunya ke arah hilir. Di tengah perjalanan, Lebai bertemu dengan teman-temannya. Mereka baru saja pulang dari hilir. Mereka mengabarkan bahwa tamu di hilir amat banyak sehingga mereka harus berdesakdesakan saat mengambil makanan.
Sepeninggal teman-temannya, Lebai mulai bimbang. Jika ke hilir, bisa jadi makanannya sudah habis. Padahal, perutnya sudah mulai keroncongan.
Ya sudah, aku ke hulu saja. Dia lalu memutar arah perahunya.
Namun, si Lebai tetaplah bimbang. Selalu ada yang membuatnya ragu untuk meneruskan perjalanannya.
Akhirnya, seharian itu dia menghabiskan waktu hanya untuk mondar-mandir di sungai saja. Dia tak juga bisa memutuskan hendak ke hulu atau ke hilir.
Dengan sisa tenaganya, Lebai memutuskan untuk pergi ke hilir. Namun, ternyata pesta telah usai. Semua makanan sudah habis. Lemaslah tubuh si Lebai. Saat berpamitan, dia mengingatkan janji muridnya untuk memberi kepala sapi kepadanya.
Maafkan aku, Guru. Aku kira Guru tak akan datang, jadi kepala sapinya sudah kuberikan kepada orang lain, kata muridnya.
Dengan gontai, Lebai pun meninggalkan hilir.
Sekarang Lebai mendayung ke hulu. Namun, sama dengan pesta di hilir, semua makanan juga telah habis. Pesta telah usai dan semua tamu undangan sudah pulang.
Kerabatnya menyambut Lebai dan meminta maaf, Maafkan kami, Lebai. Kukira kau tak datang. Kami juga sudah memberikan kepala kambingnya pada orang lain.
Sekarang, si Lebai benar-benar lemas. Begitulah si Lebai. Akibat sikapnya yang mudah bimbang, dia tak mendapatkan apa-apa.
Sumatera Barat Ilustrasi: Gege Orange Siamang Putih Puti Juilan adalah cucu dari Tuanku Raja Kecik, raja di Kerajaan Pagaruyung.
Parasnya amat cantik, tingkah lakunya pun sopan dan lembut. Begitu cantiknya dia hingga tak ada pemuda yang berani melamarnya, apalagi Puti Juilan adalah keturunan bangsawan.
Semakin lama, usia Puti Juilan semakin bertambah. Kakeknya mulai gelisah karena cucunya tak kunjung menikah. Beliau lalu berunding dengan orangtua Puti Juilan, dan mereka
sepakat untuk mencarikan jodoh bagi Puti Juilan. Sebelum usaha mencari jodoh dimulai, Puti Juilan bercerita tentang mimpinya yang aneh.
Aku bermimpi menikah dengan seorang pemuda keturunan bangsawan bernama Sutan Rumandang.
Mendengar ucapan cucunya, Tuanku Raja Kecik segera mengerahkan para pengawalnya untuk mencari pemuda yang bernama Sutan Rumandang ke pelosok negeri.
Sayangnya, usahanya itu tak berhasil. Sutan Rumandang tak juga ditemukan.
Tuanku Raja Kecik putus asa. Menikahlah dengan orang lain. Namun, Puti Juilan tak mau.
Hari berganti hari, mimpi Puti Juilan pun menjadi kenyataan. Sebuah kapal besar yang dinakhodai oleh seorang pemuda berlabuh di Pantai Tiku.
Nama hamba Sutan Rumandang, anak seorang bangsawan dari negeri seberang. Hamba sedang berlayar ke banyak negeri untuk berdagang. Bolehkah hamba beristirahat sejenak di sini" tanya pemuda itu dengan sopan saat menghadap Tuanku Raja Kecik.
Puti Juilan terkejut melihat wajah pemuda yang sama persis dengan pemuda dalam mimpinya. Dalam sekejap, dia pun jatuh cinta. Demikian juga dengan Sutan Rumandang.
Tuanku Raja Kecik lalu memutuskan untuk menikahkan mereka berdua. Sayang, Sutan Rumandang menolak.
Izinkan hamba mencari kekayaan terlebih dahulu. Hamba akan segera kembali begitu hamba sudah pantas menikahi Puti Juilan.
Puti Juilan setuju. Sebelum Sutan Rumandang melanjutkan perjalanannya, mereka berdua pun mengucap janji untuk saling setia dengan disaksikan Tuanku Raja Kecik.
Aku akan menunggumu. Jika aku sampai menikah dengan pria lain, maka aku akan berubah menjadi siamang putih, janji Puti Juilan.
Sutan Rumandang melambaikan tangannya. Aku berjanji akan selalu setia padamu. Jika tidak, biarlah kapalku ini tenggelam di laut, janjinya.
Kapal Sutan Rumandang pun mulai meninggalkan Pantai Tiku.
Bertahun-tahun telah berlalu. Sutan Rumandang tak kunjung datang. Tuanku Raja Kecik mulai mendesak Puti Juilan untuk melupakan Sutan Rumandang dan menikah dengan pemuda lain. Dalam hati, Puti Juilan membenarkan saran kakeknya. Sepertinya, Sutan Rumandang sudah melupakannya.
Kebetulan, saat itu ada seorang pemuda dari tanah seberang yang sedang merapatkan kapalnya di Pantai Tiku. Pemuda itu merupakan anak seorang bangsawan yang kaya raya. Saat bertemu dengan Puti Juilan, pemuda itu jatuh cinta padanya. Dia lalu menyatakan niatnya kepada Tuanku Raja Kecik untuk menikahi Puti Juilan.
Pada hari pernikahannya, Puti Juilan duduk berdampingan dengan pemuda itu di singgasana pengantin.
Tiba-tiba, Aduh& , teriaknya. Puti Juilan mulai bertingkah aneh. Dia berdiri sambil melompat-lompat. Dia bahkan melompat sampai ke langit-langit istana.
Semua tamu yang hadir terpekik. Mereka melihat, tubuh Puti Juilan mendadak ditumbuhi bulu berwarna putih.
Tuanku Raja Kecik terhenyak karena dia teringat akan janji Puti Juilan pada Sutan Rumandang. Puti Juilan berubah menjadi siamang putih!
Tuanku Raja Kecik berusaha membatalkan pernikahan, tetapi sudah terlambat. Puti Juilan tak bisa kembali ke wujud asalnya.
Sejak saat itu, Puti Juilan yang sekarang berwujud siamang putih, selalu duduk di tepi Pantai Tilu. Dia berharap, Suran Rumandang akan kembali. Namun, sampai akhir hayatnya, Sutan Rumandang tak pernah kembali.
Riau Ilustrasi: Lisa Gunawan Legenda Ikan Patin Suatu hari, Awang Gading menemukan seorang bayi perempuan yang tergeletak di dalam sebuah keranjang. Saat itu, dia hendak pulang usai memancing.
Awang Gading memutuskan untuk mengambil bayi itu. Lagi pula, dia hidup sebatang kara. Dia berharap, dia tak kesepian lagi dengan adanya bayi itu.
Dia menamakan bayinya Dayang Kumunah.
Bertahun-tahun kemudian, Dayang Kumunah tumbuh menjadi gadis cantik dan baik hati. Dia disukai banyak orang. Awang Gading sungguh bahagia. Namun sayangnya, Dayang Kumunah tak pernah tertawa. Awang Gading tak tahu apa sebabnya.
Suatu hari, seorang pemuda bernama Awangku Usop datang menemui Awang Gading. Rupanya, dia telah mendengar kecantikan Dayang Kumunah. Dia datang untuk melamar Dayang Kumunah.
Awang Gading menyerahkan keputusan pada Dayang Kumunah.
Sebelum menikahiku, ketahuilah bahwa aku adalah penghuni sungai. Dunia kita berbeda, tetapi jika Kanda mau menerimaku apa adanya, aku bersedia menjadi istri Kanda, jawab Dayang Kumunah.
Awangku Usop tak mempermasalahkan asal-usul Dayang Kumunah.
Satu lagi, jangan pernah memintaku untuk tertawa. Aku tak bisa dan tak boleh melakukannya, kata Dayang Kumunah lagi.
Awangku Usop menyetujui semua permintaan Dayang Kumunah dan mereka pun menikah.
Rumah tangga Dayang Kumunah dan Awangku Usop amat bahagia. Apalagi, mereka dikaruniai lima orang anak yang lucu dan sehat.
Awangku Usop sangat menyayangi Dayang Kumunah. Baginya, istrinya adalah wanita dan ibu yang hebat.
Suatu hari, anak mereka yang bungsu mulai berjalan. Bagi Awangku Usop, cara berjalannya lucu sekali. Sesekali, anak itu terjatuh. Awang Usop dan anak-anaknya menggoda si bungsu sambil tertawa-tawa.
Lihat istriku, anak kita mulai berjalan. Mengapa kau tak ikut bergembira bersama kami" Tertawalah, apakah kau tak bahagia melihat kelucuan si bungsu" tanya Awangku Usop pada Dayang Kumunah.
Dayang Kumunah terdiam. Sebenarnya, dia ingin sekali tertawa. Namun, dia tak boleh melakukannya.
Awangku Usop terus memaksanya untuk tertawa. Bahkan, suaminya itu menggelitik dan menggodanya terus-menerus.
Dayang Kumunah menyerah. Dia tertawa terbahak-bahak. Bahunya sampai terguncang-guncang.
Saat itulah, Awangku Usop dan anak-anaknya melihat ada insang di dalam mulut Dayang Kumunah, pertanda bahwa istrinya adalah keturunan ikan.
Melihat suami dan anak-anaknya memandangnya dengan aneh, Dayang Kumunah menghentikan tawanya. Dia menyadari kesalahannya, lalu berlari meninggalkan suami dan anak-anaknya.
Istriku, kau mau ke mana" teriak Awangku Usop mengejarnya.
Kelima anaknya juga mengikuti dari belakang.
Dayang Kumunah berlari ke arah sungai. Sesampai di pinggir sungai, dia menoleh pada suaminya.
Maafkan aku, aku sudah berjanji pada raja penghuni sungai untuk tidak tertawa. Aku tidak diizinkan untuk memamerkan insangku pada siapa pun. Jika aku melanggarnya, maka aku harus kembali ke sungai.
Usai berkata demikian, Dayang Kumunah menceburkan diri ke sungai. Tubuhnya lalu berubah menjadi ikan yang cantik.
Awangku Usop menyesali perbuatannya. Dia tak menyangka bahwa dia harus kehilangan
istrinya. Namun, semuanya sudah terlambat.
Ikan jelmaan Dayang Kumunah itulah yang
sampai sekarang dipercaya oleh masyarakat Riau sebagai ikan patin.
Riau Ilustrasi: I Made Dwi S. Burung Tempua dan Burung Puyuh
Burung tempua dan burung puyuh adalah sepasang
sahabat. Selama ini, mereka selalu hidup rukun. Namun, suatu saat mereka sedikit berselisih. Masing-masing menyatakan memiliki sarang yang paling bagus dan nyaman.
Tentu saja sarangku yang lebih hebat. Aku membuatnya selama berminggu-minggu dengan cara menjalin rumput kering dan alang-alang. Sarangku amat kuat! Tempua memulai pembicaraan.
Puyuh tergelak. Untuk apa menghabiskan waktu bermingguminggu untuk membuat sarang" Lihatlah sarangku. Aku bahkan tak perlu membuatnya. Puyuh menunjukkan sarangnya, pohon tumbang yang dijadikan Puyuh sebagai
tempat berlindung. Tempua mencibir. Itu bukan sarang. Lagi pula, jika hanya seperti itu, musuh mudah menangkapmu. Puyuh menggeleng. Tidak. Mereka tak tahu keberadaanku. Aku akan sering berpindah sarang.
Tempua terdiam sejenak. Dia merasa bahwa sarangnya masih jauh lebih baik daripada sarang Puyuh. Untuk membuktikannya, dia mengajak Puyuh menginap di sarangnya. Dia yakin, Puyuh akan mengakui bahwa sarangnya jauh lebih baik. Puyuh setuju dan mengikuti Tempua pulang. Saat menuju ke sarang Tempua, Puyuh cukup kelelahan. Maklum saja, selama ini dia tak perlu terbang tinggi untuk kembali ke sarangnya sendiri.
Tak lama kemudian, mereka berdua tidur. Namun, Puyuh gelisah. Dia kehausan. Dia lalu membangunkan Tempua untuk meminta minum.
Namun, Tempua tak punya air. Puyuh tak mungkin terbang ke luar untuk mencari air. Suasana di luar gelap gulita, lagi pula sarang itu tinggi sekali.
Akhirnya, Puyuh tidur sambil menahan haus.
Beberapa saat kemudian, ada angin kencang bertiup. Pohon tempat sarang Tempua bergoyang-goyang hebat. Puyuh ketakutan.
Tenang saja. Sarangku kuat, kita tak mungkin jatuh, hibur Tempua.
Tempua benar. Tak lama kemudian, angin berhenti bertiup. Mereka berdua masih aman di dalam sarang. Namun, Puyuh masih ketakutan. Malam itu dia tak bisa tidur nyenyak.
Keesokan harinya, Puyuh berpamitan pada Tempua. Dia tak mau tinggal di sarang Tempua lagi.
Lalu Puyuh menawarkan pada Tempua, Bagaimana kalau kau juga
mencoba tidur di sarangku"
Tempua pun setuju. Hari sudah malam saat Puyuh dan Tempua menemukan pohon tumbang di dekat sungai.
Pohon ini amat cocok bagi kita, seru Puyuh senang. Tempua bingung. Kita mau tidur di mana" Puyuh menunjuk kolong pohon itu. Meski merasa enggan, Tempua pun menuruti ajakan Puyuh.
Tengah malam, hujan turun deras. Tempua kedinginan. Tak apa-apa. Sebentar lagi hujan reda, hibur Puyuh. Tempua berusaha tidur. Meski menggigil, dia tak berkata apa-apa lagi.
Keesokan harinya, Tempua mengeluh pada Puyuh. Badannya demam.
Aku tak cocok tinggal di sarangmu, keluhnya. Akhirnya, baik Tempua maupun Puyuh menyadari bahwa mereka tak bisa memaksakan pendapat mereka tentang kehebatan sarangnya. Mereka pun tak jadi berselisih.
Riau Ilustrasi: Hutami Putri Mambang Linau Bujang Enok sedang mencari kayu di hutan saat tiba-tiba seekor ular berbisa muncul di hadapannya. Untunglah Bujang Enok sigap. Dia membunuh ular itu sebelum terpatuk.
Dalam perjalanan pulang, Bujang Enok melihat sekelompok wanita sedang bercakap-cakap.
Berkat pemuda itu, kita aman. Tak ada lagi ular berbisa yang membahayakan, ucap salah satu dari wanita itu.
Bujang Enok pun paham bahwa selama ini ular tersebut sudah meresahkan banyak orang.
Sesampainya di rumah, seperti biasa Bujang Enok menuju ke dapur dan makan. Namun, dia terkejut melihat dapurnya penuh dengan makanan lezat.
Meski heran, Bujang Enok makan dengan lahap. Dalam hati dia berjanji akan menyelidiki siapa yang menyiapkan semua makanan itu.
Keesokan harinya, Bujang Enok mengintip dapurnya. Ternyata, yang menyediakan makanan adalah tujuh wanita cantik. Mereka menyediakan makanan sebagai ucapan terima kasih karena Bujang Enok berhasil membunuh ular berbisa itu.
Bujang Enok terkesima melihat kecantikan mereka. Dia pun jatuh cinta pada salah satu wanita yang berselendang jingga.
Ketujuh wanita itu lalu meninggalkan rumah Bujang Enok. Mereka terbang satu per satu ke langit. Rupanya, mereka bukan manusia, melainkan bidadari yang tinggal di kayangan.
Malang bagi wanita berselendang jingga, selendangnya hilang. Dia tak dapat ikut terbang. Dia tak tahu bahwa selendangnya terkait di pintu rumah Bujang Enok. Dia pun menangis ketakutan karena ditinggal sendiri.
Bujang Enok menghampiri wanita itu dan mengembalikan selendangnya.
Maukah kau tinggal di sini saja" Menikahlah denganku. Bujang Enok melamar wanita itu.
Setelah terdiam sesaat, wanita itu setuju. Dia menyebutkan bahwa dirinya bernama Putri Mambang Linau.
Aku mau menikahi Kanda, tetapi ada syaratnya. Kanda tak boleh menyuruhku untuk menari. Jika aku menari, maka aku akan kembali ke kayangan, tempat aku berasal, kata wanita itu.
Bujang Enok menyetujui syarat itu. Mereka pun menikah.
Hari demi hari berlalu. Bujang Enok dan Putri Mambang Linau hidup berbahagia. Mereka amat dermawan dan suka menyantuni orang miskin. Lama-kelamaan, sifat baik hati Bujang Enok terdengar sampai ke telinga Raja.
Raja senang bahwa Bujang Enok telah membantunya menyejahterakan rakyat.
Untuk membalas jasa Bujang Enok, Raja mengangkatnya menjadi kepala kampung.
Suatu hari, semua kepala kampung diundang menghadiri pesta yang diadakan oleh Raja. Raja juga meminta agar semua istri kepala kampung menari di pestanya.
Bujang Enok gundah. Dia tak ingin membangkang Raja, tetapi dia juga sudah berjanji pada istrinya.
Istriku, tolonglah aku. Sekali ini saja, pintanya pada istrinya.
Putri Mambang Linau tak ingin
menyulitkan suaminya. Dia pun menurut dan mempersembahkan tariannya yang terindah.
Namun, saat dia sedang menari, tiba-tiba kakinya terangkat dari tanah. Tak lama kemudian, tubuhnya melayang-layang ke udara. Suasana pun jadi gempar.
Bujang Enok memandangi istrinya dengan sedih. Rupanya, istrinya harus kembali ke kayangan.
Putri Mambang Linau terbang semakin jauh ke langit. Dia melambaikan tangan tanda perpisahan pada suaminya.
Bujang Enok menyesal telah memaksa istrinya. Namun, dia juga tak mau membantah perintah Raja.
Atas kesetiaannya, Raja menjadikan Bujang Enok sebagai penghulu istana. Sampai akhir hayatnya, Bujang Enok mengabdikan diri pada rakyat dan rajanya.
Jambi Ilustrasi: Yon Rifa i Si Kelingking Kelingking adalah seorang pemuda yang tubuhnya seukuran jari kelingking orang dewasa. Meski demikian, dia seorang pemberani. Dia tak takut pada apa pun! Bahkan, dia berani pada Nenek Gergasi, raksasa pemakan manusia yang menyerang negerinya.
Saat semua orang sudah mengungsi, Kelingking malah bertahan. Meski bertubuh mungil, Kelingking adalah pemuda yang cerdas dan pemberani.
Buum... buum... suara langkah Nenek Gergasi terdengar jelas oleh Kelingking yang bersembunyi di antara ranting pohon.
Kelingking mengintip dan melihat sosok Nenek Gergasi yang besar dan menyeramkan.
Kenapa sepi sekali" Ke mana semua manusia" Aku lapar! teriak Nenek Gergasi. Berulang kali dia berteriak, tetapi tak ada yang muncul. Dia pun mulai marah.
Tiba-tiba, terdengarlah sebuah suara.
Hahaha...! Kau terlambat! Semua manusia di negeri ini sudah aku makan. Sekarang, giliranmu tiba. Kudengar, dagingmu amat lezat!
Nenek Gergasi memandang sekitarnya. Tak ada siapa pun. Nenek Gergasi jadi ketakutan dan lari sekencang-kencangnya.
Hei, jangan lari! Aku mau memakanmu! teriak suara itu lagi.
Ampun, ampun, jangan makan aku, Nenek Gergasi terus berlari.
Ditemani ibunya, Kelingking menghadap Raja dan menyampaikan keinginannya. Raja pun
marah dan mengusir Kelingking dari istana.
Tunggu, Ayah. Aku mau menikah dengannya. Bukankah dia yang sudah menyelamatkan negeri kita" cegah Putri Raja.
Akhirnya, dengan berat hati, Raja pun mengizinkan Kelingking menikahi putrinya.
Kelingking keluar dari tempat persembunyiannya. Rupanya, dialah yang menakut-nakuti Nenek Gergasi. Semua penduduk negeri dipanggilnya kembali. Mereka semua lega karena Nenek Gergasi sudah pergi.
Raja berterima kasih pada Kelingking. Beliau lalu mengajak Kelingking dan ibunya untuk tinggal di istana. Kelingking pun diangkat sebagai panglima perang. Suatu hari, Kelingking terlihat gelisah.
Aku ingin menikahi putri raja, Bu. Aku mencintainya, ungkap Kelingking.
Benarkah" Jika begitu, Ibu akan menemanimu bicara pada Raja, kata ibunya.
Setelah menikah, Kelingking dan Putri tinggal di istana mereka sendiri. Namun, ada yang aneh pada diri Kelingking. Tiap malam, dia selalu pergi ke luar istana dan baru pulang menjelang pagi.
Karena penasaran, Putri pun menguntitnya. Ternyata, Kelingking pergi ke sebuah telaga dan mandi di sana. Putri lega, ternyata suaminya hanya mandi. Meski demikian, dia merasa heran, mengapa suaminya harus mandi di telaga tiap malam.
Suatu malam, Putri yang sedang tidur mendengar pintu kamarnya terbuka. Saat membuka mata, betapa terkejutnya putri melihat seorang pria gagah perkasa ada di kamarnya.
Putri nyaris berteriak, tetapi dia melihat wajah pria itu persis dengan Kelingking.
Suamiku" tanyanya ragu.
Ya! sahut Kelingking gembira. Aku suamimu! katanya lagi sambil menunjukkan baju Kelingking yang mungil.
Kelingking lalu menceritakan apa yang terjadi. Rupanya, dulu saat Nenek Gergasi lari terbirit-birit, ada selembar kertas yang jatuh dari kantong bajunya.
Di kertas itu ada denah sebuah telaga yang dikatakan bisa memperbesar tubuh siapa pun. Kelingking pun mencari telaga tersebut dan mencoba semua petunjuk yang dituliskan di denah tersebut. Dan, dia berhasil!
Sekarang, tubuh Kelingking berukuran seperti manusia biasa. Kelingking pun menjadi raja, menggantikan
mertuanya yang sudah tua.
Jambi Ilustrasi: Salestinus Ibu Kami Seekor Kucing Di sebuah dusun di Jambi, ada dua gadis cantik bernama Mimi dan Mini. Melihat kecantikan mereka, tak ada yang menyangka bahwa ibu mereka adalah seekor kucing. Ya, ibu Mimi dan Mini adalah seekor kucing. Meski demikian, Mimi dan Mini menyayangi ibunya.
Namun, suatu hari rasa sayang mereka berubah menjadi kekecewaan. Semua itu gara-gara ucapan dua orang pemuda yang batal menikahi mereka setelah mengetahui bahwa ibu mereka seekor kucing.
Kami tak mau punya mertua seekor kucing, kata pemuda-pemuda itu. Mimi dan Mini sedih, lalu berpikir untuk mencari ibu baru.
Mendengar keinginan anak-anaknya, sang ibu tak dapat berbuat apa-apa. Maka, dibiarkannya Mimi dan Mini pergi mencari ibu baru.
Mimi dan Mini meninggalkan ibunya. Dalam perjalanan, mereka bertemu Matahari. Mereka merasa, Matahari pantas menjadi ibu mereka. Selain besar, Matahari juga mampu menerangi dunia.
Matahari terkekeh. Aku tak ada apa-apanya dibandingkan Awan. Jika Awan menutupiku, maka sinarku hilang Mengapa kalian tak meminta Awan untuk menjadi ibu kalian"
Mimi dan Mini menurut. Mereka menemui Awan.
Aku tak hebat. Jika aku tertiup angin, maka tubuhku akan membentur Gunung. Rasanya sakit sekali. Gunung amat kuat. Dia layak menjadi ibu kalian, kata Awan.
Mimi dan Mini pun menemui Gunung.
Hahaha, aku memang kelihatan kuat. Tapi lihatlah, tubuhku berlubang-lubang. Aku tak bisa mencegah Tikus untuk menggerogoti tubuhku. Mintalah Tikus untuk menjadi ibu kalian.
Akhirnya, Mimi dan Mini bertemu Tikus. Mereka melihat Tikus sedang menggerogoti kayu yang besar.
Kamu hebat dan kuat, maukah kau menjadi ibu kami" pinta mereka.
Tikus memandang ragu. Aku" Aku tidaklah hebat. Masih ada yang lebih hebat dariku. Dia adalah Kucing! Aku pasti lari terbirit-birit jika melihatnya, sahut Tikus.
Mimi dan Mini berpandang-pandangan. Mereka telah berjalan jauh untuk mencari ibu baru. Namun ternyata, yang terbaik dan paling pantas untuk menjadi ibu mereka adalah seekor kucing.
Mereka lalu menyadari kesalahannya dan segera pulang menemui ibunya.
Sang ibu amat berbahagia melihat kedua anaknya kembali. Sejak saat itu, Mimi dan Mini tak pernah ingin punya ibu baru.
Sumatera Selatan Ilustrasi: Martha Parman Si Pahit Lidah Serunting iri pada Aria Tebing, adik istrinya. Ladang milik Aria Tebing selalu subur, sedangkan ladangnya sendiri kering kerontang. Padahal, letak ladang mereka bersebelahan.
Serunting curiga, Aria Tebing berbuat curang padanya. Maka, dia pun mengajak Aria Tebing berduel.
Sayangnya, Serunting kalah. Karena malu, dia pun pergi meninggalkan desanya dan menuju ke Gunung Siguntang.
Di gunung itu, Serunting rajin bertapa dan berlatih ilmu bela diri. Suatu hari, ada bisikan gaib di telinganya.
Maukah kau memiliki kesaktianku" Jika ya, bertapalah di bawah pohon bambu sampai seluruh
tubuhmu tertutup oleh daunnya.
Serunting pun menurut, dan setelah dua tahun, tubuhnya pun tertutup oleh daun bambu.
Serunting mendapatkan kesaktian yang dijanjikan, yaitu mampu mengutuk apa pun yang ditemuinya.
Karena kesaktiannya itu, dia amat ditakuti. Orang-orang menjulukinya si Pahit Lidah .
Serunting pun menjadi orang yang sombong dan semena-mena. Jika dia tak menyukai seseorang, dia tak segan mengutuknya menjadi batu!
Tahun demi tahun berlalu, Serunting rindu pada istrinya. Dia berkemas dan berjalan pulang.


Cerita Rakyat Nusantara Karya Dian K di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sepanjang perjalanan, Serunting masih semena-mena. Orang-orang yang bertemu dengannya segera menyingkir. Mereka takut terkena kutukan si Pahit Lidah.
Karena lelah berjalan, Serunting pun beristirahat. Namun, dia melihat di sekitarnya amat tandus. Tak ada sebatang pohon pun yang bisa dijadikannya tempat berteduh.
Serunting tak sengaja berkata, Aku mau tempat ini penuh dengan pepohonan.
Dalam sekejap, suasana di sekitar Serunting menjadi teduh. Banyak pohon besar yang rindang. Orangorang pun mengikuti Serunting beristirahat di bawah pepohonan. Diam-diam, Serunting merasa senang.
Setelah cukup beristirahat, Serunting melanjutkan perjalanannya lagi. Lalu dia bertemu dengan sepasang kakek nenek renta yang sedang menebang pohon.
Mengapa mereka masih harus bekerja keras di usia setua itu" batinnya.
Serunting lalu menghampiri mereka. Ternyata mereka tak punya anak. Serunting pun iba. Dia lalu menawarkan apakah mereka mau memiliki anak.
Kakek dan nenek itu pun tak menolak. Serunting lalu berucap, Aku mau kakek dan nenek ini memiliki dua anak.
Sesudah berkata demikian, terdengarlah suara bayi menangis dari dalam rumah. Lalu, muncullah seorang anak laki-laki dari rumah dengan menggendong seorang bayi perempuan. Kakek dan nenek itu amat bahagia. Mereka tak henti-hentinya mengucapkan terima kasih pada Serunting.
Serunting sangat bahagia. Dia menyadari betapa
menyenangkan melihat orangorang berbahagia daripada melihat mereka ketakutan. Serunting kemudian bertekad menggunakan kesaktiannya untuk hal-hal yang baik, bukan untuk mencelakai orang.
Sumatera Selatan Ilustrasi: Indra Bayu Legenda Pulau Kemaro Dahulu kala, ada sebuah kerajaan bernama Kerajaan Sriwijaya. Rajanya memiliki seorang putri yang amat cantik, bernama Siti Fatimah.
Suatu hari, Tan Boen An, seorang putra mahkota dari Negeri China datang untuk berdagang. Raja Sriwijaya senang melihat Tan Boen An yang rajin, dan berharap agar Tan Boen An bisa menjadi menantunya.
Raja menjamu Tan Boen An di istana. Saat itulah, Siti Fatimah muncul. Tan Boen An terkesiap. Dia terpesona melihat kecantikan Siti Fatimah.
Raja pun memperkenalkan Tan Boen An pada putrinya. Sejak saat itu, Tan Boen An dan Siti Fatimah jatuh cinta, lalu memutuskan untuk menikah.
Sebelum menikah, Raja Sriwijaya meminta Tan Boen An untuk menyediakan mas kawin.
Sediakan sembilan buah guci berisi emas, pinta Raja. Tan Boen An menyetujui permintaan Raja. Dia lalu mengutus seorang anak buahnya untuk pulang dan memberikan surat pada orangtuanya. Dalam surat itu, Tan Boen An memohon restu dan juga meminta agar orangtuanya menyediakan sembilan guci berisi emas.
Beberapa bulan kemudian, utusannya kembali dengan membawa sembilan buah guci di kapalnya. Tan Boen An mengajak Siti Fatimah dan Raja Sriwijaya untuk melihat isi guci-guci tersebut. Dia yakin guci-guci tersebut berisi emas.
Namun, tanpa sepengetahuan Tan Boen An dan juga utusannya, orangtuanya telah menutupi emas-emas itu dengan sayuran. Mereka berjaga-jaga, kalau-kalau ada perompak yang menyerang kapal. Dengan menyembunyikannya di balik sayuran, emas itu aman. Sayang, mereka lupa memberitahukan hal itu pada Tan Boen An, juga pada utusannya.
Saat melihat tumpukan sayur yang sudah membusuk, Raja marah besar. Tan Boen An pun jadi malu dan gusar. Dia lalu membuang guci-guci itu ke sungai dengan penuh amarah.
Saat dia membuang guci terakhir, tak sengaja gucinya membentur pagar kapal. Guci itu pecah, dan betapa terkejutnya semua orang yang ada di atas kapal itu. Di antara sayuran busuk, ada berbatang-batang emas!
Tan Boen An langsung tersadar bahwa guci-guci yang sudah dibuangnya tadi, semuanya berisi emas. Tanpa pikir panjang, dia terjun dan berenang menyusuri Sungai Musi. Sekuat tenaga dia mencari guci-gucinya yang telah
hanyut. Dia terus berenang jauh meninggalkan kapal sampai tubuhnya tak terlihat.
Sudah berhari-hari, Tan Boen An
tak juga kembali. Siti Fatimah jadi gelisah. Dia
meminta izin pada ayahnya untuk mencari Tan Boen An.
Siti Fatimah berangkat dengan ditemani sejumlah prajurit kerajaan. Mereka menyusuri Sungai Musi.
Saat itulah, Siti Fatimah seolah mendengar suara Tan Boen An memanggilnya. Namun, tak ada prajurit yang mendengar suara itu.
Itu suara Tan Boen An, aku harus menolongnya! Siti Fatimah pun bergegas menceburkan dirinya ke sungai.
Para prajurit tak sempat mencegah sang putri. Tubuh Siti Fatimah pun hanyut oleh aliran Sungai Musi yang deras.
Para prajurit panik dan melapor pada Raja. Raja pun bergegas menuju Sungai Musi. Namun, Siti Fatimah tak ditemukannya. Beliau hanya melihat gundukan tanah di tepi sungai. Raja meyakini, gundukan tanah itu adalah kuburan putrinya.
Gundukan tanah itu semakin lama semakin besar. Orang-orang lalu menamainya dengan Pulau Kemaro.
Sumatera Selatan Ilustrasi: Hutami Putri Kemarau Alkisah, hiduplah seorang raja bijaksana dan dicintai rakyatnya. Dia memiliki seorang putri bernama Putri Jelitani. Karena dilahirkan di musim kemarau, dia juga sering dipanggil dengan sebutan Putri Kemarau.
Raja amat menyayangi putri satu-satunya itu. Apalagi, permaisuri telah meninggal. Meski tak lagi memiliki ibu, Putri Jelitani hidup bahagia.
Namun, suatu hari kebahagiaan mereka terusik. Musim kemarau yang panjang melanda negeri mereka. Sungai mengering, pepohonan meranggas, dan panen pun gagal. Selain itu, banyak binatang ternak yang mati. Rakyat benarbenar menderita. Melihat keadaan rakyatnya, Raja tak tinggal diam. Beliau mencari cara agar negerinya terselamatkan dari musim kemarau yang berkepanjangan.
Didampingi oleh Putri Jelitani, Raja memanggil penasihat kerajaan untuk membicarakan masalah tersebut.
Namun, mereka tak menemukan jalan keluarnya, sampai akhirnya Putri Jelitani berkata, Sebaiknya kita berdoa memohon kepada Tuhan agar hujan segera datang.
Raja dan penasihat istana setuju. Rakyat diminta untuk berdoa agar musim kemarau segera berlalu.
Setelah beberapa hari terus berdoa, Putri Jelitani bermimpi. Dalam mimpinya, dia bertemu dengan ibunya.
Negeri ini bisa selamat jika ada seorang gadis yang mau berkorban dengan menceburkan diri ke laut, kata ibunya dalam mimpi.
Putri Jelitani tergeragap. Dia lalu mencari ayahnya dan menceritakan mimpinya.
Raja tercenung. Aneh sekali. Semalam, aku juga bermimpi hal yang sama, gumamnya.
Akhirnya, Raja memanggil penasihat istana, yang lalu menyarankan agar Raja melaksanakan mimpi tersebut.
Tapi, siapakah gadis yang mau berkorban seperti itu" Aku yakin, tak ada yang mau, kata Raja.
Tiba-tiba Putri Jelitani menyela, Aku mau, Ayah. Aku rela mengorbankan diri, asalkan rakyat kita kembali makmur. Aku tak tega melihat keadaan mereka sekarang.
Raja dan penasihat istana terkejut. Raja menolak keinginan putrinya. Beliau tak mau kehilangan putri satu-satunya.
Namun Putri Jelitani bersikeras. Disaksikan oleh rakyatnya, dia menuju ke ujung tebing laut, dan bersiap untuk terjun. Di bawahnya, air laut bergolak dahsyat.
Raja menutup matanya, Beliau tak tega menyaksikan tubuh putrinya ditelan ombak.
Selamat tinggal, Ayah. Selamat tinggal semuanya! ucap Putri Jelitani.
Tiba-tiba terdengar petir menyambar-nyambar. Langit menjadi gelap dan hujan turun deras sekali. Dalam waktu singkat, seluruh wilayah kerajaan digenangi air. Sungai-sungai pun meluap. Raja amat bersuka cita.
Sambil memeluk putrinya, beliau berkata, Tuhan sayang pada kita semua. Lihat, air ada di mana-mana. Negeri kita tak lagi kekeringan.
Raja amat bersyukur karena tak jadi kehilangan putri yang dicintainya.
Bengkulu Ilustrasi: Indra Bayu Legenda Ular Berkepala Tujuh
Suatu hari, terjadi kegaduhan di istana Raja Bikao Bermano. Putra mahkotanya, yaitu Gajah Meram, hilang di Danau Tes. Tak hanya itu, istri Gajah Meram juga hilang.
Walaupun semua pengawal istana sudah dikerahkan untuk mencari, mereka tetap tak ditemukan.
Danau Tes dihuni oleh ular berkepala tujuh. Jangan-jangan, pangeran dan istrinya diculik oleh ular tersebut, kata seorang panglima.
Yang kudengar, ular itu licik dan sulit ditaklukkan, kata panglima yang lain. Raja semakin gundah. Semua panglima tak ada
yang berani mencari ular berkepala tujuh itu.
Tiba-tiba, Gajah Merik, putra bungsu beliau berkata, Jika ayah mengizinkan, aku akan menghadapi ular itu!
Raja dan semua panglima terkejut. Mereka tak percaya anak sekecil itu berani menghadapi ular berkepala tujuh. Tidak, kau tak boleh pergi, sahut Raja tegas. Namun Gajah Merik bersikeras. Dia lalu bercerita bahwa tiap malam dia bermimpi didatangi oleh seorang kakek. Kakek itu telah memberinya ilmu untuk mengalahkan ular berkepala tujuh itu.
Akhirnya, Raja pun luluh hatinya. Beliau mengizinkan Gajah Merik pergi.
Dalam perjalanan, Gajah Merik mampir di Tepat Topes. Di sana, dia bertapa selama tujuh hari untuk mendapatkan senjata pusaka yang dijanjikan oleh kakek dalam mimpinya.
Tepat di hari ketujuh, Gajah Merik mendapatkan senjata pusakanya. Sebuah keris dan sehelai selendang.
Keris ini dapat membuatmu berjalan di dalam air, dan selendang ini dapat berubah menjadi pedang yang tajam. kata kakek itu.
Gajah Merik segera menuju ke Danau Tes. Setelah menusukkan kerisnya ke danau, dia dapat berjalan di atasnya, dan sampai ke sebuah gua di ujung danau.
Di gua itu, Gajah Merik bertemu dengan ular berkepala tujuh yang memandangnya dengan ganas.
Namaku Gajah Merik! Bebaskan Gajah Meram dan istrinya! teriaknya lantang.
Ular berkepala tujuh tertawa. Lawan aku dulu, Anak Kecil!
Dengan berani, Gajah Merik maju dan mengibaskan selendangnya yang segera berubah menjadi pedang. Namun, ular berkepala tujuh tak mudah ditaklukkan. Dengan mudah, dia mengelak dari sabetan pedang Gajah Merik.
Tak terasa, pertarungan telah berlangsung selama tiga hari tiga malam. Mereka kelelahan.
Ular berkepala tujuh berkata pada Gajah Merik, Anak Muda, aku mengakui kehebatanmu. Belum pernah ada orang yang mampu melawanku sedemikian hebatnya.
Sambil terengah-engah, Gajah Merik menjawab, Jika begitu, bebaskan saja kakakku. Kita tak perlu melanjutkan pertarungan ini.
Ular berkepala tujuh pun setuju. Dia membebaskan Gajah Meram dan istrinya.
Gajah Merik, Gajah Meram, dan istrinya pun pulang ke istana. Raja menyambut mereka dengan gembira.
Sebagai hadiah atas keberaniannya, Raja mempersilakan Gajah Merik untuk meminta apa saja.
Aku hanya ingin agar ular berkepala tujuh tinggal di istana. Aku ingin menjadikan mereka pengawal khususku. Dengan begitu, mereka juga tak akan mengganggu orang di Danau Tes lagi, katanya.
Raja pun setuju. Sejak saat itu, ular berkepala tujuh menjabat di istana, mendampingi Gajah Merik. Danau Tes pun tak lagi menyeramkan.
Bengkulu Ilustrasi: Gabriel Dias Legenda Ular N Daung Di sebuah desa di Bengkulu, ada seorang ibu yang tinggal bersama ketiga putrinya. Ibu itu sedang sakit dan tak ada obat yang mampu menyembuhkannya. Namun, tabib yang mengobatinya memberi harapan.
Ibu kalian bisa disembuhkan dengan ramuan yang dimasak di atas bara ajaib. Aku bisa membuat ramuannya, tapi kalian harus mencari bara ajaibnya.
Putri bungsu langsung bertanya, Di mana kami bisa mendapatkan bara ajaib itu"
Bara ajaib itu hanya ada di puncak gunung di sebelah utara desa kita. Namun, tempat itu dijaga oleh seekor ular yang besar dan kejam. Namanya ular N'Daung. Rasanya, kalian tak mungkin selamat dari ular itu, desah tabib cemas.
Ketiga gadis itu saling berpandangan. Putri sulung dan tengah menggelengkan kepalanya, menolak untuk pergi mencari bara ajaib. Akhirnya, putri bungsu dengan tegas berkata, Biar aku saja yang pergi ke gunung itu dan mengambil bara api untuk Ibu.
Setelah berjalan berhari-hari, akhirnya si Bungsu sampai di puncak gunung itu. Karena kelelahan, dia pun tertidur. Tanpa dia sadari, Ular N'Daung muncul di hadapannya. Saat membuka mata, si Bungsu menjerit ketakutan.
Jangan makan aku! teriaknya. Ular N'Daung memandangnya heran. Memakanmu" Aku tak akan memakanmu. Mengapa kau ada di sini"
Si Bungsu terkesima melihat ular N'Daung bisa berbicara. Dia lalu menjelaskan bahwa dia hendak meminta bara api untuk memasak ramuan bagi ibunya yang sedang sakit.
Ular N'Daung mau memberi bara api itu. Namun ada syaratnya, katanya.
Syarat" Apa itu" Katakan saja, aku akan melakukan apa saja demi kesembuhan ibuku, jawab si Bungsu.
Setelah ibumu sembuh, kau harus kembali ke sini dan tinggal bersamaku selamanya. Aku ingin punya seorang teman, kata Ular N'Daung.
Tanpa pikir panjang, si Bungsu mengiyakan permintaan itu. Demi ibunya, syarat Ular N'Daung itu terasa mudah.
Sekarang, sang ibu sudah sembuh. Si Bungsu pun kembali ke puncak gunung untuk memenuhi janjinya. Kakak-kakaknya penasaran. Mereka membuntuti si Bungsu. Mereka ingin tahu bagaimana adiknya bisa selamat dari ular yang terkenal kejam itu.
Si Bungsu tak sadar jika kakak-kakaknya membuntutinya. Saat tiba di puncak gunung, hari sudah malam. Suasana sepi. Ular N'Daung tak tampak.
Tiba-tiba, si Bungsu melihat seorang pemuda. Siapa kau" Di mana Ular N'Daung" tanyanya cemas. Dia berpikir, jangan-jangan pemuda itu melukai Ular
Namun di luar dugaannya, pemuda itu menjawab dengan tegas, Akulah si Ular N'Daung. Namaku yang sebenarnya adalah Pangeran Abdul Rahman Alamsyah. Pamanku menyihirku menjadi ular karena dia ingin menguasai takhta kerajaan.
Oh, pantas saja dia selamat. Ternyata ular itu manusia! kata si Sulung yang mengintip dari balik batu. Jangan-jangan, pangeran itu mau menikahi si Bungsu" timpal si Tengah.
Si Sulung dan si Tengah tak suka melihat adiknya berteman akrab dengan pangeran itu. Mereka iri. Mereka menyesal telah membiarkan si Bungsu mencari bara api sendiri.
Andai saja aku yang ke sini, gumam si Sulung.
Tiba-tiba, mata si Sulung tertuju pada seonggok kulit ular di ujung gua. Dia lalu membakar kulit tersebut. Dia berharap, pangeran marah dan menuduh si Bungsulah yang membakarnya.
Ternyata, dugaannya salah.
Ketika mengetahui bahwa yang terbakar adalah kulit ular, Pangeran tertawa gembira.
Horee... akhirnya aku terbebas dari pengaruh sihir pamanku! Sihir itu akan hilang jika ada orang yang tak sengaja memusnahkan kulit ularku! kata Pangeran.
Si Sulung dan si Tengah terkejut setengah mati mendengar perkataan Pangeran Abdul Rahman Alamsyah. Mereka berdua kemudian saling menyalahkan.
Akhirnya, seperti yang sudah diduga oleh si Sulung dan si Tengah, Pangeran memboyong si Bungsu ke istananya. Dia mengambil alih takhta yang selama ini dikuasai oleh sang paman, dan menikah dengan si Bungsu. Ibu dan kedua kakaknya pun turut serta tinggal di istana.
Bengkulu Ilustrasi: Selvie Djie Asal Usul Batang Aren Dulu, di sebuah desa di Bengkulu Selatan, hiduplah tujuh bersaudara yang sudah yatim piatu. Mereka terdiri dari enam kakak laki-laki dan seorang adik perempuan bernama Putri Sedoro Putih. Sebagai satu-satunya perempuan, Putri Sedoro Putih amat disayang oleh kakak-kakaknya. Sebaliknya, dia juga menyayangi kakakkakaknya.
Suatu malam, Putri Sedoro putih bermimpi. Dalam mimpinya, seorang kakek mendatanginya dan berkata, Sebenarnya, kau adalah nenek dari saudara-saudaramu. Sebentar lagi kau akan meninggal. Dari makammu, akan tumbuh sebatang pohon yang belum pernah kau lihat sebelumnya. Pohon itu amat bermanfaat bagi kehidupan manusia.
Putri Sedoro Putih bangun dengan dada berdebar. Dia lalu menceritakan mimpinya pada kakak-kakaknya.
Tak usah kau pikirkan. Bukankah mimpi itu hanya bunga tidur" hibur kakak-kakaknya.
Putri Sedoro Putih menurut. Dia melupakan mimpi itu.
Hari berganti hari, tak terasa sudah lebih dari setahun sejak Putri Sedoro Putih bermimpi. Suatu pagi, kakak-kakaknya menemukan tubuh Putri Sedoro Putih terbujur kaku di tempat tidurnya. Putri Sedoro Putih telah meninggal dunia.
Keenam kakaknya amat sedih. Meski demikian, mereka berusaha tabah dan memakamkan adiknya tak jauh dari rumah mereka.
Ajaib, beberapa bulan kemudian, di tengah makam Putri Sedoro Putih, tumbuh sebatang pohon. Pohon itu persis dengan yang diceritakan dalam mimpinya. Keenam kakaknya lalu merawat pohon itu dengan baik.
Beberapa tahun kemudian, pohon itu mulai berbunga dan berbuah.
Suatu hari, kakak Putri Sedoro Putih mengamati seekor tupai yang menggigit buah pohon itu sampai terlepas dari tangkainya. Dari tangkai buah yang terlepas itu, keluarlah cairan berwarna kuning jernih. Tupai itu menjilati air tersebut.
Kakak Putri Sedoro Putih penasaran. Dia mendekati pohon itu dan mencicipi cairan tersebut. Ternyata, rasanya amat manis" Dia lalu menceritakan temuannya pada semua saudaranya. Mereka sepakat untuk menyadap air tangkai buah pohon itu dan menampungnya di dalam tabung bambu.
Sayang, air pohon yang disimpan terlalu lama menjadi masam. Mereka lalu mencoba memasak air tersebut dan mengaduknya sampai kental. Air yang mengental itu didiamkan sampai mengeras. Warnanya berubah menjadi cokelat kekuningan. Inilah yang sekarang kita kenal sebagai gula aren.
Lampung Ilustrasi: Riska Puspita Sari
Buaya Perompak Dulu, di Sungai Tulang Bawang, ada buaya yang suka menculik penduduk desa. Namanya Buaya Perompak. Banyak manusia yang hilang begitu saja saat mandi atau mencuci di sungai itu.
Suatu hari, Aminah mencuci baju di sungai itu. Dia
sendirian saja. Sepertinya, dia lupa bahwa Buaya Perompak selalu siap menyergap.
Dan, ternyata benar. Tiba-tiba, Buaya Perompak muncul. Aminah menjerit, lalu pingsan karena ketakutan.
Saat dia sadar, dia melihat ke sekelilingnya. Di mana aku" Ibu& Ibu... panggil Aminah lemah. Ah... rupanya kau sudah sadar. Buaya Perompak ada di hadapannya. Meski ketakutan, Aminah berusaha tenang.
Sekarang, kau berada di dasar sungai, di gua kediamanku. Tak ada seorang pun yang bisa menolongmu, kata Buaya Perompak sambil menyeringai lebar.
Aminah menggigil. Kau akan memakanku" Buaya Perompak menggeleng.
Aku hanya butuh teman. Sebagai imbalannya, aku akan memberimu emas berlian itu, kata Buaya Perompak menunjuk sekotak peti di ujung gua.
Aminah tak bisa menolak. Selain itu, dia tak tahu bagaimana caranya untuk pulang. Maka, dia pun berusaha menjadi teman Buaya Perompak.
Namun, diam-diam Aminah mencari akal untuk keluar dari gua itu. Dia tak mau selamanya terkurung di sana. Dia rindu pada ibu dan keluarganya. Aminah berusaha mengorek keterangan dari Buaya Perompak.
Dari mana kau mendapat semua perhiasan ini" Semuanya bagus. Aminah berpura-pura mengagumi sebuah kalung mutiara.
Aku merampoknya dari orang-orang kaya. Dulu, aku berwujud manusia biasa. Namun, sejak aku terkena kutukan, aku berubah menjadi seperti ini.
Pantas saja kau bisa bicara. Lalu, dari mana kau mendapatkan makanan" Tiap hari kau menyediakan makanan lezat untukku, tanya Aminah lagi.
Ah, itu gampang. Tiap bulan purnama tiba, aku berubah wujud kembali menjadi manusia. Aku akan menjual sedikit perhiasanku untuk kutukar dengan bahan makanan, Buaya Perompak menyeringai bangga.
Lalu, tanpa curiga, Buaya Perompak melanjutkan bicaranya.
Aku keluar melalui terowongan di balik gua ini. Terowongan itu langsung tembus ke pasar. Sekarang, Aminah tahu jalan keluar dari gua itu. Dia lalu menunggu Buaya Perompak lengah.
Saat yang ditunggu Aminah tiba. Buaya Perompak tidur pulas. Dia lupa menutup pintu gua. Aminah segera lari ke balik gua, dan benar, ada terowongan di sana.
Aminah berlari menyusuri terowongan. Tak lama kemudian, dia melihat seberkas cahaya. Ternyata, dia sudah sampai di ujung terowongan. Aminah berhasil menyelamatkan diri!
Setibanya di rumah, Aminah disambut oleh ayah dan ibunya.
Mereka tak menyangka bahwa Aminah masih hidup. Kisah Aminah semakin mengingatkan penduduk desa agar berhatihati jika mencuci di Sungai Tulang Bawang.
Lampung Ilustrasi: Martha Parman Si Bungsu Ada tujuh orang gadis yang tersesat di dalam hutan. Saat itu, mereka hendak mencari buah-buahan untuk makan. Biasanya, orangtua mereka yang melakukannya, tetapi sejak orangtua mereka meninggal, ketujuh bersaudara itu harus hidup mandiri. Sekarang, mereka menangis ketakutan.
Aku tak tahu apa yang harus kita lakukan, kata si Sulung. Sebaiknya kita terus berjalan saja, Kak, siapa tahu kita bisa menemukan jalan keluar dari hutan ini, jawab si Bungsu.
Ketujuh gadis itu lalu melangkah tak tentu arah.
Setelah lama berjalan, akhirnya mereka berhasil keluar dari hutan itu. Mereka menemukan sebuah rumah yang amat besar. Namun, mereka mendengar suara-suara aneh dari balik rumah.
Ternyata, ini rumah raksasa! teriak si Sulung saat melihat dua raksasa sedang mandi di balik rumah itu.
Ketujuh gadis itu khawatir jika raksasa itu memangsa mereka. Lalu, mereka meminta bantuan pada seekor burung kenui untuk memasukkan kolang-kaling ke dalam sungai tempat raksasa itu mandi.
Cuit... cuit... cuit... kalian harus segera pergi. Kalian terkena wabah penyakit gatal. Sebentar lagi tubuh kalian akan hangus. Pergilah ke puncak gunung, di sana ada penawarnya, kata Burung Kenui.
Tubuhku gatal! teriak raksasa laki-laki.
Aku juga! raksasa perempuan ikut menggarukgaruk tubuhnya.
Setelah raksasa-raksasa tadi pergi, ketujuh gadis membagi rumahnya menjadi tujuh bagian. Mereka juga membagi halaman rumah menjadi tujuh kebun yang bisa ditanami jagung. Jagung di kebun mereka tumbuh subur. Namun, di antara mereka, hanya si Bungsu yang bersedia menampung burung kenui di kebunnya.
Kakak-kakaknya tak mau. Mereka takut burung kenui memakan jagung mereka.
Suatu hari, burung kenui pergi meninggalkan ladang si Bungsu dan meninggalkan sebutir telur di sana. Meski sedih, si Bungsu tak tahu harus mencari ke mana sahabatnya itu.
Beberapa hari kemudian, saat si Bungsu pulang dari ladang, dia melihat ada seorang pemuda tampan berada di depan rumahnya.
Jangan takut, aku adalah anak burung kenui. Aku berasal dari telur itu, kata si pemuda sambil menunjuk cangkang telur yang sudah pecah.
Pemuda itu lalu mengajak si Bungsu untuk menikah. Mereka lalu hidup rukun dan berbahagia.
Mengetahui hal itu, kakak-kakak si Bungsu merasa iri. Suatu hari, ketika si Bungsu terpeleset dan terbawa arus saat mencuci
di sungai, mereka tak menolongnya. Mereka berharap si Bungsu hanyut ke tempat yang amat jauh dan tak kembali lagi. Namun, si Bungsu selamat. Tubuhnya ditelan ikan besar yang kemudian tersangkut di jaring seorang nenek. Saat nenek itu hendak memasak ikan, pisaunya tak mampu memotong-motong tubuh ikan itu.
Nenek itu hampir putus asa, lalu dia mendengar ada burung bernyanyi Bolidang bolidangi pabeli iwa balak.
Mendengar nyanyian burung itu, si nenek mengerti bahwa dia harus menggunakan daun belidang untuk memotongmotong tubuh ikan.
Saat nenek itu berhasil memotong tubuh ikan, si Bungsu keluar. Dia lalu menceritakan asal usulnya dan mengapa dia bisa berada di perut ikan.
Nenek itu lalu membantunya untuk pulang. Mereka berdua menyusuri sungai dan akhirnya tiba di rumah si Bungsu.
Suami si Bungsu amat girang melihat kedatangan istrinya, sedangkan kakakkakaknya merasa malu dan bersalah karena telah membiarkan adiknya menderita.
Mereka lalu meminta maaf pada si Bungsu. Dia tentu saja memaafkan kakak-kakaknya.
Akhirnya, mereka kembali hidup rukun bersama-sama.
Lampung Ilustrasi: Salestinus Sultan Domas Di sebuah desa di daerah Lampung Selatan, hiduplah seorang pemuda sebatang kara bernama Domas. Meski amat miskin, Domas tetap bersabar. Dia tekun bekerja dan berharap suatu saat nasibnya akan berubah.
Namun, dia malah mendapat musibah. Gubuknya ludes terbakar saat dia pergi mencari ikan. Sekarang, Domas tak punya tempat tinggal. Dia amat sedih dan menyesali keadaannya, hingga dia tertidur dan bermimpi.
Pergilah ke selatan. Tinggallah di sana, di sebuah desa di dekat sungai yang jernih, kata seorang laki-laki tua dalam mimpinya.
Domas pun menuruti mimpinya. Tak ada ruginya untuk pergi karena dia tak punya apa-apa lagi di desanya.
Setelah berjalan berharihari, dia menemukan tempat yang persis dengan apa yang dikatakan oleh lelaki tua dalam mimpinya. Domas pun membangun rumah sederhana di pinggir sungai itu.
Tak hanya itu, Domas berusaha menanam sayuran dan buah-buahan. Ternyata, tanah yang ditempatinya amat subur. Domas pun bisa menjual hasilnya ke pasar. Sekarang, dia tak lagi hidup kekurangan.
Suatu hari, Domas bermimpi lagi. Kali ini, lelaki tua itu menyuruhnya untuk bertapa di sebuah gua kecil di pinggir hutan. Domas menurut, meski dia tak tahu mengapa dia harus melakukannya.
Setelah beberapa hari bertapa, dia menemukan sebuah pedang dan tongkat kayu berbentuk ular. Domas pun membawa benda-benda itu pulang. Dia lalu melanjutkan kehidupannya seperti sedia kala.
Hari berganti hari, tahun berganti tahun. Sekarang, tempat tinggal Domas semakin ramai. Domas tak lagi tinggal sendirian di desa itu. Banyak orang dari daerah lain yang datang dan menetap di sana. Domas dengan senang hati menyambut mereka sehingga mereka pun menghormati Domas. Mereka bahkan menyebutnya sebagai Sultan Domas.
Diam-diam, tak semua orang suka jika Domas menjadi sultan. Ada lima orang yang merasa iri. Mereka hendak mencuri pedang dan tongkat kayu milik Domas. Mereka beranggapan, itulah benda-benda sakti yang menjadi jimat Domas.
Kelima orang tersebut berusaha mencuri pedang dan tongkat kayu Domas. Ketika sudah berhasil mendapatkan benda-benda itu, mereka tak bisa keluar dari rumah karena dihadang oleh ular yang amat besar.
Ketika mereka mundur, di belakang mereka juga ada buaya yang menghadang.
Mereka begitu ketakutan, tak bisa bergerak, hingga akhirnya Domas datang.
Melihat kedatangan Domas, kelima orang tadi bermaksud menyerangnya. Lagi-lagi usaha mereka gagal. Kaki mereka membeku di lantai, tak bisa bergerak. Mereka akhirnya sadar bahwa mereka tak bisa melawan Domas. Mereka lalu menceritakan dengan jujur maksud kedatangan mereka dan meminta maaf pada Domas.
Domas memaafkan mereka. Sejak saat itu, dia semakin terkenal sebagai orang yang baik hati. Orang-orang pun setuju untuk mengangkat Domas sebagai pemimpin yang mereka sebut sebagai Sultan Domas.
Kepulauan Bangka Belitung
Ilustrasi: Lisa Gunawan Bujang Katak Bujang Katak, begitulah dia biasa dipanggil. Dia memang mirip katak dengan kulit licin dan berwarna
kehijauan. Dulu, ibunya berdoa agar bisa mempunyai anak, dan tanpa sengaja ibunya berkata, Meski anakku nanti seperti katak, aku akan tetap menyayanginya.
Ternyata doanya dikabulkan, sehingga lahirlah
si Bujang Katak. Meski perawakannya aneh, Bujang Katak disukai semua orang. Dia ramah dan rajin bekerja. Namun, akhir-akhir ini Bujang Katak sering murung.
Ternyata, Bujang Katak ingin meminang salah seorang putri raja.
Aku dengar Raja memiliki tujuh orang putri yang cantik. Maukah Ibu melamarkan salah satu dari mereka untukku" tanya Bujang Katak.
Ibunya pun setuju dan berangkat ke istana. Ampun, Baginda. Maafkan hamba jika lancang. Maksud kedatangan hamba adalah untuk melamar salah satu putri Baginda untuk putra hamba si Bujang
Katak, kata Ibu Bujang Katak pada Raja.
Raja lalu mempersilakan para putrinya untuk menjawab lamaran itu.
Ternyata, tak ada yang mau. Tiba-tiba, putri bungsu menjawab. Pulanglah. Katakan pada putramu untuk datang sendiri melamarku.
Raja amat terkejut. Namun, Raja bisa mengerti alasan putrinya. Bujang Katak memang terkenal sebagai pria yang baik.
Keesokan harinya, Bujang Katak pergi ke istana untuk melamar putri bungsu. Raja lalu memberinya satu syarat.
Bujang Katak harus membangun jembatan emas untuk menghubungkan istana dengan desa Bujang Katak.
Bujang Katak kembali ke rumahnya. Dia menceritakan permintaan Raja kepada ibunya.
Tapi, Anakku... kita ini hanya orang miskin. Mana bisa kita membeli emas untuk membangun jembatan itu" tanya ibunya khawatir.
Namun Bujang Katak yakin, dengan pertolongan Tuhan, dia mampu melakukannya.
Malam itu, Bujang Katak terus berdoa dan berdoa.
Ternyata doa Bujang Katak dikabulkan. Saat mandi pagi, tiba-tiba saja kulitnya yang tebal dan licin terkelupas. Saat bercermin, betapa terkejut dirinya melihat penampilannya. Sekarang, dia telah menjadi pria dengan kulit seperti manusia biasa.
Bujang Katak lalu berlari kembali ke sumur. Di sana, dia menemukan tumpukan kulitnya telah berubah menjadi emas!
Bujang Katak mengucap syukur, lalu menunjukkan emasemas itu pada ibunya. Betapa senang hati ibunya melihat putranya kini telah berubah menjadi manusia.
Bujang Katak lalu mulai bekerja, siang dan malam, tiada henti membangun jembatan emas.
Akhirnya, jembatan itu selesai. Bujang Katak dan ibunya menghadap Raja.
Hei, mana putramu yang seperti katak" Siapa pemuda ini" tanya Raja pada Ibu Bujang Katak.
Ampun, Baginda, pemuda ini adalah Bujang Katak. Tuhan telah mengubah wujudnya menjadi pria yang tampan.
Bujang Katak lalu mengajak Raja dan putri bungsu untuk melihat jembatan emas yang telah dibuatnya.
Raja pun senang melihat kesungguhan Bujang Katak untuk menikahi putri bungsunya.
Baiklah, Bujang Katak. Mari kita kembali ke istana dan membicarakan pesta pernikahanmu dengan putri bungsuku, ajak Raja.
Akhirnya, Bujang Katak menikah dengan putri bungsu dan mereka hidup berbahagia.
Kepulauan Bangka Belitung
Ilustrasi: Pandu Sotya Si Penyumpit Si Penyumpit adalah seorang pemuda yang pandai menyumpit hewan buruan. Selain itu, dia juga dikenal mampu meramu obat-obatan.
Suatu hari, Pak Raje, kepala desa yang kikir, meminta Si Penyumpit untuk menjaga sawahnya dari serangan babi hutan. Dia selalu meminta si Penyumpit untuk melakukannya, karena dulu almarhum ayah si Penyumpit pernah
berhutang padanya. Awas ya, kalau sampai babi hutan itu merusak padiku. Kau harus membayar ganti rugi! kata Pak Raje.
Malam itu, Si Penyumpit berjaga di sawah Pak Raje. Tak lama kemudian, segerombolan babi hutan datang. si Penyumpit mengeluarkan alat sumpitnya, dan huuppp... melayanglah anak sumpitnya ke gerombolan babi hutan itu.
Ngoiikkk..., anak sumpit itu mengenai seekor babi hutan yang segera melarikan diri bersama teman-temannya. Mereka masuk kembali ke dalam hutan.
Si Penyumpit keheranan. Aneh, seharusnya babi itu mati terkena sumpitanku. Tapi, ke mana dia"
Karena penasaran, si Penyumpit mengikuti jejak darah yang ditinggalkan oleh babi hutan yang terluka itu. Jejak itu berhenti pada sebuah rumah kecil di hutan.
Si Penyumpit mengetuk pintu.
Siapa kau dan ada apa datang tengah malam begini" tanya wanita yang membuka pintu.
Namaku si Penyumpit. Tadi aku menyumpit seekor babi hutan. Tapi aneh, babi hutan itu hilang. Setelah aku ikuti jejak darahnya, ternyata berhenti di rumah ini.
Oh, jadi kau yang menyumpit adik kami" Lihat, sekarang dia kesakitan! kata wanita itu marah.
Ternyata, wanita itu dan adik-adiknya adalah jelmaan babi hutan. Salah satu adiknya sekarang terluka parah. si Penyumpit pun berniat menolongnya. Dengan keahliannya, dia menempelkan tumbukan daun kemunting ke luka gadis itu. Darah dari luka gadis itu pun berhenti mengucur. Sekarang, gadis itu sudah tak kesakitan.


Cerita Rakyat Nusantara Karya Dian K di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sebagai ucapan terima kasih, wanita jelmaan babi hutan tadi memberikan empat bungkus hadiah. Ternyata, bungkusan itu berisi emas dan berlian.
Si Penyumpit gembira sekali. Aku bisa melunasi hutang ayahku pada Pak Raje, gumamnya.
Saat melunasi hutangnya, si Penyumpit bercerita asal usul emas itu. Diam-diam, Pak
Raje ingin meniru keberuntungan si Penyumpit.
Malam harinya, Pak Raje pergi ke sawah dan meniru persis apa yang telah dilakukan si Penyumpit.
Seekor babi hutan juga terkena sumpitannya. Pak Raje mengikuti ceceran darahnya sampai ke rumah kecil di hutan.
Siapa kau" Ada apa datang tengah malam begini" tanya wanita yang membuka pintu.
Namaku Pak Raje. Tadi aku menyumpit seekor babi hutan. Dan, jejaknya berhenti di rumah ini, jawab Pak Raje.
Oh, jadi kau yang menyumpit adik kami" Sekarang, sembuhkan dia. Dulu, orang yang menyumpit adik kami yang lain, bisa menyembuhkannya, wanita itu meminta Pak Raje masuk.
Pak Raje jadi gugup. Dia tak bisa membuat ramuan obat. Dia tak mampu menghentikan darah yang terus mengucur dari luka salah satu jelmaan babi hutan itu.
Karena Pak Raje gagal, para wanita itu marah. Mereka lalu mengusir Pak Raje jauh-jauh. Pak Raje amat malu dan pulang tanpa membawa apa-apa.
Kepulauan Riau Ilustrasi: Kartika Paramita
Legenda Pulau Sanua Baitusen dan Mai Lamah adalah sepasang suami istri miskin yang tinggal di Natuna, Kepulauan Riau. Karena bosan hidup miskin, mereka merantau ke Pulau Bunguran yang terkenal kaya isi lautnya. Di sana, Baitusen bekerja sebagai nelayan, Sedangkan Mai Lamah membantu suaminya mencari uang, dengan cara membuat kalung dan gelang dari kulit kerang.
Suatu hari, Baitusen menemukan lubuk dengan ribuan teripang di dalamnya.
Wah, aku sungguh beruntung! Para saudagar dari Singapura dan China mau membeli teripang dengan harga mahal, katanya senang.
Sejak itu, Baitusen menjual teripang kering dibantu Mai Lamah.
Ternyata benar. Banyak saudagar dari Singapura dan China yang datang ke Pulau Bunguran untuk membeli teripang Baitusen. Para saudagar itu lalu memanggil Mai Lamah dengan Nyonya May Lam , sedangkan Baitusen dijuluki Saudagar Teripang .
Sekarang, Baitusen dan Mai Lamah pun jadi orang kaya. Namun, kekayaannya membuat Mai Lamah menjadi sombong. Dia tak mau lagi bergaul dengan tetangganya. Pergaulannya dengan para saudagar telah membuatnya lupa diri. Tak jarang, Mai Lamah menghina para tetangganya yang dianggapnya tidak sederajat dengannya. Meski Baitusen sering menegurnya, Mai Lamah tak peduli. Lama-kelamaan, para tetangga malas bergaul dengan Mai Lamah.
Beberapa bulan kemudian, Mai Lamah hamil. Semenjak hamil, dia malah bertambah sombong. Ketika Mak Semah, tetangganya yang seorang bidan, menawarkan diri untuk memeriksa kehamilannya, Mai Lamah malah mencemoohnya. Aku hanya akan memeriksakan kehamilanku pada tabib dari China. Mereka jauh lebih hebat darimu, katanya.
Ketika tiba saatnya Mai Lamah melahirkan, ternyata tabib dari China itu tak ada. Kapalnya sudah pulang ke negerinya. Baitusen jadi bingung. Dia lalu teringat pada Mak Semah.
Maaf, Baitusen, istrimu sudah menghinaku. Dia bahkan tak mau aku menolongnya, jawab Mak Semah.
Baitusen panik. Dia pulang ke rumah dan menyuruh Mai Lamah untuk meminta maaf pada Mak Semah. Hanya Mak Semah-lah satu-satunya orang yang bisa menolongnya saat ini. Apa" Minta maaf pada bidan kampung itu" Aku tak
mau! Lebih baik antarkan aku ke pulau seberang. Di sana ada bidan terkenal, kata Mai Lamah.
Akhirnya, Baitusen membopong istrinya ke perahu. Mereka harus segera menuju ke pulau seberang. Namun, di tengah perjalanan, Mai Lamah berteriak-teriak minta pulang. Dia takut peti emas yang ditinggalkannya di rumah, dicuri orang.
Tapi peti itu berat sekali. Isinya emas batangan, kan" tanya Baitusen.
Iya, isinya emas kita! Jika peti itu sampai hilang, kita jadi miskin! kata Mai Lamah lagi. Baitusen pun kembali menuruti perintah istrinya.
Setelah memasukkan peti ke dalam perahu, Baitusen kembali mendayung. Namun, perahunya terasa berat, apalagi gelombang laut juga tinggi. Perahu mulai oleng dan akhirnya tenggelam.
Baitusen buru-buru menyelamatkan istrinya, tetapi Mai Lamah malah marah.
Cepat, selamatkan peti harta kita! Jangan sampai tenggelam! teriaknya.
Baitusen jadi bingung. Dia tak mau meninggalkan istrinya. Dia tetap menarik tubuh Mai Lamah ke pinggir laut. Namun, Mai Lamah terus memberontak.
Tiba-tiba, petir menyambarnyambar. Langit menjadi gelap.
Mai Lamah yang melepaskan diri dari suaminya tersambar petir. Namun aneh, tubuhnya berubah menjadi batu yang berbadan dua. Baitusen hanya bisa meratapi nasib istrinya.
Batu itu lama-kelamaan semakin besar, dan akhirnya menjadi sebuah pulau. Pulau itu sekarang dikenal dengan nama Pulau Sanua yang berarti satu tubuh berbadan dua .
Kepulauan Riau Ilustrasi: Merri An Putri Pandan Berduri Di suatu pagi yang cerah, Batin Lagoi, pemimpin Suku Laut di Pulau Bintan, menemukan seorang bayi perempuan. Bayi itu diletakkan di dalam sebuah keranjang yang dialasi dedaunan, di dekat semak-semak pandan yang berduri.
Batin Lagoi membawa bayi itu pulang dan mengumumkannya ke seluruh Pulau Bintan. Namun, tak seorang pun mengakui bayi itu sebagai anaknya.
Akhirnya, Batin Lagoi mengangkat bayi itu sebagai anaknya dan menamainya Putri Pandan Berduri.
Batin Lagoi membesarkan Putri Pandan Berduri dengan penuh kasih sayang, sehingga Putri Pandan Berduri tumbuh menjadi gadis yang baik hati dan ramah.
Sementara itu, tak jauh dari Pulau Bintan, yaitu di Pulau Galang, hiduplah seorang bangsawan yang mempunyai dua anak laki-laki bernama Julela dan Jenang Perkasa.
Meskipun kakak beradik, keduanya memiliki sifat yang bertolak belakang. Julela adalah seorang yang angkuh, suka dihormati, dan keras hatinya, sedangkan Jenang Perkasa adalah pemuda yang santun dan bijaksana.
Suatu hari, si bangsawan yang sudah tua memutuskan untuk mengangkat Julela menjadi Batin atau pemimpin di Pulau Galang. Sayangnya, Julela menjadi Batin yang sombong dan semena-mena. Setelah ayahnya meninggal, dia tega mengusir Jenang Perkasa dari Pulau Galang.
Setelah diusir kakaknya, Jenang Perkasa pun berlayar dan tiba di Pulau Bintan. Di sana, dia memulai hidup baru. Karena tindak tanduknya yang sopan, Jenang Perkasa disukai penduduk Pulau Bintan, termasuk Batin Lagoi.
Apakah dia keturunan seorang bangsawan" Tutur katanya begitu halus seperti keturunan raja-raja, kata Batin Lagoi dalam hati.
Jenang Perkasa memang tak pernah mengakui asal usul dirinya. Tak seorang pun tahu bahwa dia adalah keturunan bangsawan Pulau Galang.
Batin Lagoi akhirnya mengundang Jenang Perkasa ke rumahnya dan mengenalkannya pada Putri Pandan Berduri. Ternyata, Jenang Perkasa dan Putri Pandan Berduri saling jatuh cinta. Batin Lagoi pun segera menikahkan mereka. Mereka lalu memiliki tiga orang putra, yang bernama Mantang, Mapoi, dan Kelong.
Jenang Perkasa mendidik ketiga anaknya dengan sangat baik sehingga ketiganya pun tumbuh menjadi orang yang bijaksana seperti ayahnya. Setelah beranjak dewasa, ketiga anaknya tersebut meninggalkan rumah dan merantau ke seluruh penjuru Pulau Bintan. Mereka kemudian memiliki suku mereka sendiri-sendiri dan menjadi Batin bagi suku mereka.
Batin Mantang memimpin bagian utara Pulau Bintan, Batin Mapoi memimpin bagian barat Pulau Bintan, dan Batin Kelong memimpin bagian timur Pulau Bintan. Itulah asal mula persukuan di Pulau Bintan.
Kepulauan Riau Ilustrasi: Syarifah Tika Ayam dan Ikan Tongkol Dahulu kala, kerajaan ayam bersahabat dengan kerajaan ikan tongkol.
Suatu hari, Raja Ayam memberi tahu Raja Ikan Tongkol bahwa ada seorang nelayan yang akan mengadakan pesta besar-besaran. Pesta itu untuk merayakan pernikahan putrinya.
Mari, datanglah, ajak Raja Ayam.
Raja Ikan Tongkol setuju, Tapi kami hanya bisa bertahan sampai sebelum fajar menyingsing. Beri tahu kami jika fajar akan datang, ya"
Raja Ayam menyanggupi permintaan itu. Sehari-harinya, para ayam jantan memang bangun sebelum fajar menjelang untuk berkokok dan membangunkan semua makhluk.
Seharusnya, tak sulit untuk menyanggupi permintaan Raja Ikan Tongkol.
Malam pesta pun tiba. Air laut yang naik tinggi memudahkan para ikan tongkol menuju ke rumah nelayan.
Di sana, mereka ikut berpesta meski hanya di kolong balaibalai rumah sang nelayan. Mereka menikmati suara gendang dan rebana yang dimainkan. Apalagi, suasana malam itu cerah. Bulan bersinar amat terang.
Para ikan tongkol juga menikmati aneka pantun yang dibacakan oleh tamutamu si nelayan. Sesekali, mereka tertawa mendengar pantun yang lucu. Semakin malam, pesta terasa semakin meriah bagi mereka. Sampai akhirnya mereka semua kelelahan dan tertidur pulas.
Ternyata, tak hanya para ikan tongkol yang kelelahan. Para ayam jantan juga terlelap. Mereka lupa berkokok. Hari semakin siang dan air laut pun mulai surut.
Saat merasakan tubuhnya perih, para ikan tongkol terbangun. Betapa terkejutnya mereka saat mendapati hari sudah siang. Air laut sudah surut. Mereka tak bisa kembali ke laut dan hanya bisa menggelepar-gelepar.
Raja Ayam terbangun karena mendengar keriuhan. Dia amat terkejut saat menyadari apa yang terjadi. Namun, semuanya sudah terlambat. Dia tak bisa berbuat apa-apa lagi.
Raja Ikan Tongkol amat kecewa dengan kelalaian sahabatnya itu.
Dia berteriak dari ujung karang sambil menggelepargelepar.
Gara-gara kelalaianmu, kami semua menderita. Mulai hari ini, semua ikan tongkol memusuhi kalian. Kami akan memangsa kalian semua, terutama ayam
jantan! Bahkan, bulu-bulu kalian pun akan kami makan!
Sejak saat itu, para nelayan di Pulau Natuna selalu menggunakan bulu ayam jantan untuk
menangkap ikan tongkol. DKI Jakarta Ilustrasi: Gege Orange Murtado Macan Kemayoran Murtado adalah seorang pemuda yang tinggal di daerah Kemayoran.
Sejak kecil, Murtado dididik dengan baik oleh ayahnya. Ayahnya juga mengajarkan ilmu bela diri padanya. Meski menguasai ilmu bela diri, Murtado tak pernah sekali pun menyalahgunakan kemampuannya itu.
Pada masa itu, daerah Kemayoran adalah daerah yang tidak aman. Penguasa Belanda merajalela, merampasi hasil bumi milik penduduk sebagai pajak. Selain itu, ada juga kawanan perampok yang dipimpin oleh Warsa.
Ulah Warsa semakin hari semakin menjadi. Belanda jadi kewalahan. Belanda lalu meminta Bek Lihun, seorang pribumi yang menjadi kaki tangan mereka, untuk menghalau Warsa.
Dibantu oleh Mandor Bacan, Bek Lihun berusaha menangkap Warsa. Namun, Warsa selalu lolos.
Akhirnya Bek Lihun meminta tolong pada Murtado.
Murtado, Belanda sudah menegurku berkali-kali. Aku dianggap tak mampu menjaga keamanan
daerah kita ini. Gara-gara Warsa, penduduk kampung kita semakin miskin dan tak mampu membayar pajak. Kau mau kan membantuku" pinta Bek Lihun.
Murtado berpikir sejenak. Dia bimbang, membantu Bek Lihun berarti membantu Belanda.
Bek Lihun, aku mau membantumu mengusir Warsa dari sini. Tapi bukan untuk kepentingan Belanda. Aku hanya ingin melindungi penduduk kampung kita dari kekejian Warsa dan anak buahnya, kata Murtado.
Terima kasih, Murtado. Aku tahu, hatimu pun tak tega melihat penderitaan teman-teman kita ini, jawab Bek Lihun.
Murtado mulai menyusun strategi. Bersama teman-temannya yang bernama Saomin dan Sarpin, dia pergi ke markas Warsa dan anak buahnya. Di sana, pertarungan tak terelakkan.
Ternyata, Warsa juga memiliki ilmu bela diri yang hebat. Tak heran jika orang-orang takut padanya.
HAHAHA... kau tak mungkin mengalahkanku! teriak Warsa sambil meloncat ke arah Murtado.
Namun, Murtado tak kalah hebat. Dia melawan Warsa sekuat tenaga. Sementara itu, Saomin dan Sarpin membantunya melawan anak buah Warsa.
Akhirnya kemenangan berpihak pada Murtado. Warsa menyerah dan bersedia untuk meninggalkan Kemayoran.
Sebelum kalian pergi, tunjukkan di mana kalian menyimpan hasil rampokan kalian! kata Murtado tegas.
Murtado dan teman-temannya membawa hasil rampokan Warsa kembali ke Kemayoran. Mereka mengembalikannya pada pemiliknya masing-masing.
Penduduk Kemayoran amat senang. Bek Lihun pun tak kalah senang. Dia bahkan melaporkan keberhasilan Murtado itu pada Belanda.
Atas usul Bek Lihun, penguasa Belanda meminta Murtado untuk menjadi pemimpin daerah Kemayoran, menggantikan Bek Lihun.
Maaf Tuan, tapi saya lebih senang menjadi rakyat biasa. Biarkan saya berjuang di jalan saya sendiri, tolak Murtado dengan halus.
Ya, Murtado tak mau menjadi kaki tangan Belanda. Dia merasa lebih baik hidup sebagai rakyat biasa dan membantu menjaga keamanan penduduk Kemayoran dengan caranya sendiri.
Karena keberaniannya, penduduk Kemayoran dan penguasa Belanda pun menjulukinya Macan Kemayoran .
DKI Jakarta Ilustrasi: Merri An Si Pitung Suatu sore, si Pitung kembali melihat kelakuan anak buah Babah Liem yang sewenang-wenang. Babah Liem adalah salah satu tuan tanah di daerah tempat tinggalnya. Dia dan anak buahnya sering merampas harta rakyat dan menarik pajak tinggi. Sebagian hasil rampasan itu lalu diberikan pada pemerintah Belanda.
Si Pitung bertekad untuk melawan anak buah Babah Liem.
Dia lalu berguru pada Haji Naipin, seorang ulama yang juga pandai ilmu bela diri. Si Pitung cepat menguasai semua ilmu yang diajarkan oleh Haji Naipin.
Pitung, gunakan ilmu yang kuberikan untuk membela orang-orang yang tertindas. Jangan sekalikali kau gunakan ilmumu ini untuk menindas orang lain, pesan Haji Naipin.
Sekarang, si Pitung sudah siap melawan anak buah Babah Liem. Dia menghentikan ulah mereka yang sedang merampas harta rakyat jelata.
Heh, Anak Muda! Siapa kau" Beraninya menghentikan kami! tanya salah satu dari mereka.
Kalian tak perlu tahu siapa aku! Yang jelas, aku akan menghentikan ulah kalian selamanya! jawab si Pitung.
Anak buah Babah Liem lalu menyerang si Pitung. Namun, si Pitung bisa mengalahkan mereka semua. Sejak saat itu, nama si Pitung terkenal di kalangan penduduk.
Si Pitung lalu memutuskan untuk mengabdikan hidupnya pada rakyat jelata. Dia bertekad untuk mengambil kembali apa yang sudah dicuri oleh tuan tanah dan mengembalikannya pada rakyat. Dia lalu mengajak beberapa temannya untuk bergabung dengannya.
Kelakuan si Pitung ini tentu tak disukai oleh para tuan tanah dan juga pemerintah Belanda. Mereka lalu mengeluarkan perintah untuk menangkap si Pitung. Namun, si Pitung amat cerdik. Dia selalu berpindah tempat sehingga pemerintah Belanda dan juga tuan tanah tidak bisa menangkapnya.
Karena kesal, pemerintah Belanda akhirnya menggunakan cara yang licik.
Mereka menangkap Pak Piun, ayah si Pitung, dan Haji Naipin.
Salah satu pejabat pemerintah Belanda yang bernama Schout Heyne lalu mengumumkan, jika si Pitung tak menyerah, maka kedua orang itu akan dihukum.
Si Pitung mendengar berita tentang penangkapan ayah dan gurunya itu. Dia lalu menghadap Schout Heyne dan menyerahkan diri. Dia tak mau ayah dan gurunya menderita.
Pitung, kau telah meresahkan banyak orang dengan kelakuanmu itu. Untuk itu, kau harus dihukum tembak! kata Schout Heyne.
Kau tidak keliru" Bukannya kau dan para tuan tanah itu yang meresahkan orang banyak" Aku tidak takut dengan ancamanmu! jawab si Pitung.
Schout Heyne amat marah mendengar jawaban si Pitung. Dia lalu memerintahkan anak buahnya untuk mengikat tangan si Pitung.
Dan, Schout Heyne benar-benar melaksanakan ancamannya. Si Pitung dihukum tembak.
Hidup si Pitung berakhir di ujung peluru, tetapi kisah kepahlawanannya tetap dikenang. Si Pitung, si pahlawan rakyat jelata!
DKI Jakarta Ilustrasi: Andri Permana Monyet yang Malas Suatu pagi, Monyet masih tidur saat dia mendengar suara ribut di pepohonan sekitarnya.
Aduh, dia lagi& dia lagi! Berisik! omelnya saat melihat Tupai yang merontokkan kenari dari pohonnya. Tupai lalu mondar-mandir mengangkuti kenarikenari itu pulang ke sarangnya, di sebuah pohon tua yang besar.
Kau mengganggu tidurku saja! Pagi-pagi sudah berisik! teriaknya pada Tupai.
Tupai hanya tersenyum, Kita harus rajin. Jika tidak, kita bisa kelaparan. Kerena merasa kesal, Monyet pun turun dari pohonnya.
Kelaparan" Siapa bilang" Lihatlah diriku, tak perlu susah payah mencari makan, sahut Monyet sambil memungut sebutir mangga yang ditemukannya di atas tanah.
Tupai mengangkat bahunya, Terserah kau saja.
Monyet menyeringai. Baginya, tak perlu susah payah menyimpan makanan. Dia mudah menemukan buahbuahan yang jatuh di sekitar tempat tinggalnya.
Keesokan harinya, lagi-lagi Tupai mengganggu tidurnya. Monyet pun marah.
Aduh, aku kan masih mau tidur. Kenapa kau berisik terus" Bukankah kemarin kau sudah mengumpulkan banyak kenari" Kau mengganggu istirahatku! teriaknya.
Tupai ketakutan. Maafkan aku, tapi aku harus membawa kenarikenari ini pulang. Aku harus punya persediaan makanan. Monyet bertambah kesal. Dia lalu menunjuk buah-buahan yang tergeletak di tanah.
Kau tak perlu punya persediaan makanan. Bukankah banyak buah-buahan yang terjatuh di tanah" Kita bisa memakannya kapan saja. Tak perlu susah payah mencari.
Tupai hanya diam. Dia lalu meninggalkan Monyet yang masih saja terus mengomel. Meski demikian, Tupai tetap rajin mengumpulkan kenari.
Hari berganti hari, musim kemarau telah tiba. Pohonpohon meranggas, daun-daun pun kering. Tak ada buah yang bisa dipetik, apalagi jatuh ke tanah.
Tidak hanya itu, air sungai juga surut. Tanah-tanah di sekitarnya meretak, tak bisa ditanami.
Saat Monyet lapar, dia kebingungan. Dia berjalan kesana kemari, tapi tak menemukan buah-buahan. Monyet pun lemas dan duduk di bawah pohon. Saat itulah, dia melihat Tupai asyik makan kenari di rumahnya, sebuah lubang besar di pohon tua.
Sambil menelan air liur, Monyet berkata pada dirinya sendiri, Ternyata Tupai benar. Karena dia rajin, dia jadi punya persediaan makanan di musim kemarau. Sedangkan aku" Aku terlalu malas sehingga aku tak punya makanan sedikit pun.
Rasanya, Monyet ingin naik ke rumah Tupai dan meminta sedikit kenari. Namun, Monyet malu. Dia masih ingat saat dia memarahi Tupai karena telah mengganggu tidurnya.
Untunglah, Tupai melihatnya. Tupai lalu memanggil Monyet untuk naik dan makan kenari bersamanya.
Sejak saat itu, Monyet berjanji pada dirinya sendiri bahwa dia tak akan bermalas-malasan lagi!
Jawa Barat Ilustrasi: Merri An Lutung Kasarung Suatu hari, di sebuah kerajaan di Jawa Barat, Prabu Tapa Agung menyerahkan takhta pada putri bungsunya, Purbasari.
Purbararang, putri sulungnya, terkejut dan kecewa pada ayahnya.
Dia bahkan enggan datang saat adiknya diangkat menjadi Ratu.
Purbasari memerintah kerajaan dengan bijaksana. Keadaan berjalan dengan baik, hingga suatu saat Purbasari terkena penyakit aneh.
Toloong... toloong... ada apa denganku" teriaknya di suatu pagi.
Kulit tubuh Purbasari berbintikbintik hitam, sebagian di
antaranya mengeluarkan darah.
Prabu Tapa Agung terkejut melihat keadaan putrinya itu. Demikian juga Purbararang.
Ayah, jangan-jangan ini wabah penyakit menular" Ayah harus cepat-cepat mengasingkannya, kata Purbararang pada ayahnya.
Ayah, jangan asingkan aku. Izinkan aku tetap tinggal di sini, ratap Purbasari.
Prabu Tapa Agung mulai bimbang. Beliau tak tega pada Purbasari, tetapi juga khawatir jika penyakit itu benarbenar menular.
Akhirnya, beliau meminta Purbasari untuk mengasingkan diri di hutan sampai penyakitnya sembuh.
Di hutan, Purbasari tinggal di sebuah rumah yang dibangun oleh paman patih untuknya. Purbasari amat kesepian. Untung saja, ada seekor kera hitam yang sering datang menemaninya. Kera itu bernama Lutung Kasarung.
Lutung Kasarung adalah kera yang sakti. Karenanya, dia bisa membantu Purbasari untuk menyembuhkan penyakitnya. Dia mengajak Purbasari ke sebuah danau yang jernih dan meminta Purbasari untuk membasuh kulitnya di sana.
Ternyata air danau itu ajaib! Purbasari sembuh. Wajah dan kulitnya kembali bersih. Tak ada lagi bintik hitam yang tersisa.
Beberapa hari kemudian, Purbararang datang ke hutan ditemani oleh Indrajaya, calon suaminya. Alangkah terkejutnya dia ketika melihat Purbasari kembali cantik.
Aku sudah sembuh, Kak. Kakak ke sini untuk menjemputku bukan" tanya Purbasari riang. Tentu saja Purbararang mengelak.
Aku sudah jadi Ratu. Jika kau ingin kembali ke istana, kau harus mengalahkanku, kata Purbararang. Purbararang lalu mengurai rambutnya.
Jika rambutmu lebih panjang daripada rambutku, kau boleh kembali ke istana, tantangnya.
Ternyata, rambut Purbasari lebih panjang.
Purbararang tak mau menyerah.
Jika kau punya calon suami yang lebih tampan daripada Indrajaya, kau menang! Purbararang yakin bahwa kali ini dia akan menang. Di dalam hutan seperti ini, siapa yang bisa menjadi calon suami Purbasari"
Purbasari hampir menyerah. Namun, Lutung Kasarung menarik-narik bajunya dan meloncat-loncat. Sepertinya dia hendak mengatakan, Akuilah aku sebagai calon suamimu.
Meski bingung, Purbasari menurut. Dia berkata pada Purbararang bahwa Lutung Kasarung adalah calon suaminya.
Tentu saja Purbararang menertawakannya. Namun belum habis tawa Purbararang, muncul sinar putih di sekitar tubuh Lutung Kasarung. Sinar putih itu lamalama pudar seiring dengan hilangnya sosok Lutung Kasarung. Berdirilah sesosok pemuda yang jauh lebih tampan daripada Indrajaya.
Ternyata, Lutung Kasarung adalah seorang pangeran yang terkena kutukan jahat dari pamannya.
Kutukan itu hanya bisa hilang, jika ada seorang gadis yang mau mengakuinya sebagai calon suaminya.
Purbararang kalah telak. Akhirnya, Purbasari kembali ke istana dan menikah dengan Lutung Kasarung.
Jawa Barat Ilustrasi: Tjhang Tina Sangkuriang & Dayang Sumbi
Dayang Sumbi adalah seorang putri yang mengasingkan diri di hutan. Di sana, dia hanya ditemani oleh anjing jantannya yang bernama Tumang. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, Dayang Sumbi menenun kain yang kemudian dijualnya ke pasar.
Suatu hari, alat tenunnya terjatuh dan menggelinding ke bawah bukit.
Karena panik, Dayang Sumbi mengucap sumpah, Siapa yang bisa mengambilkan alat tenunku, jika perempuan akan kujadikan saudaraku, dan jika lelaki akan kujadikan suamiku.
Tak diduga, Tumang berlari kencang menuruni bukit dan mengambil alat tenun Dayang Sumbi.
Dayang Sumbi akhirnya menikah dengan Tumang. Aku adalah jelmaan manusia. Tiap malam, aku berubah menjadi manusia. Namun, jangan sampai ada yang mengetahui rahasiaku ini, termasuk anak kita nanti, kata Tumang di hari pernikahan mereka. Mereka lalu dikaruniai anak yang bernama Sangkuriang.
Suatu hari, Sangkuriang kecil marah pada Tumang. Dia mengusir Tumang karena Tumang telah gagal membantunya menangkap rusa.
Sangkuriang lalu bercerita pada ibunya, Tumang sudah tua. Dia tak berguna lagi. Aku sudah mengusirnya.
Dayang Sumbi yang sedang mengaduk nasi, terkejut. Dia melemparkan sendoknya begitu saja dan berlari ke halaman. Sendoknya mengenai kepala Sangkuriang yang langsung terluka.
Sangkuriang pun marah. Dia mengira ibunya sengaja memukulnya. Dia lalu pergi meninggalkan rumah, padahal ibunya sudah mencegahnya.
Tak terasa, Sangkuriang sudah dewasa. Dia telah menjelajah banyak desa. Suatu hari, tanpa sadar dia telah kembali ke hutan tempat dia dulu tinggal bersama Dayang Sumbi. Hutan itu sudah berubah menjadi perkampungan penduduk. Di sana, Sangkuriang bertemu dengan Dayang Sumbi dan jatuh cinta. Demikian juga dengan Dayang Sumbi, dia tak tahu bahwa itu Sangkuriang. Mereka memutuskan untuk menikah.
Untunglah, saat Sangkuriang melepas tutup kepalanya, Dayang Sumbi melihat ada bekas luka di kepala Sangkuriang. Saat mendengar cerita Sangkuriang tentang asal luka itu, sadarlah Dayang Sumbi bahwa pemuda yang hendak dinikahinya adalah Sangkuriang.
Dayang Sumbi langsung membatalkan pernikahan mereka dan menjelaskan bahwa dia adalah ibu Sangkuriang. Namun Sangkuriang tak percaya, apalagi Dayang Sumbi terlihat masih muda. Sangkuriang tetap ingin menikahi
Dayang Sumbi. Dayang Sumbi mencari akal. Dia meminta Sangkuriang untuk membendung Sungai Citarum. Selain itu, Sangkuriang juga harus membuat perahu besar untuk menyeberangi sungai itu. Keduanya harus selesai sebelum fajar menyingsing.
Ternyata Sangkuriang menyanggupi kedua syarat tersebut. Sebelum pekerjaannya selesai, Dayang Sumbi mengajak penduduk untuk menggelar kain sutra merah di sebelah timur Sungai Citarum. Sebagian penduduk membuat suara gaduh seolah-olah kegiatan pagi telah dilakukan.
Sangkuriang mengira, pagi telah tiba. Dia marah dan kecewa. Dengan segala kekuatan yang dimilikinya, dia menjebol bendungan yang sudah dibuatnya. Air pun meluber ke manamana.
Dia juga menendang perahu besar yang terbuat dari kayu, sampai terlempar jauh ke utara
dan jatuh tertelungkup. Konon, perahu yang jatuh tertelungkup itulah yang kemudian menjadi Gunung Tangkuban Perahu. Tangkuban Perahu sendiri berarti perahu yang menelungkup .
Jawa Barat Ilustrasi: Martha Parman Asal Mula Kota Cianjur Dulu, ada seorang lelaki tua yang amat kaya. Sayangnya, dia kikir. Walau hampir menguasai seluruh sawah dan ladang di seantero desa, dia tetap saja kikir. Tak heran jika orangorang memanggilnya Pak Kikir.
Berbeda dengan ayahnya, putra Pak Kikir adalah pemuda yang baik. Dia suka menolong orang-orang yang membutuhkan bantuan.
Suatu hari, di desa itu akan diadakan pesta menyambut panen raya. Konon, jika ingin mendapatkan hasil panen yang melimpah, maka pemilik sawah dan
ladang harus mengadakan pesta dan mengundang orangorang untuk diberi makan.
Mau tak mau, Pak Kikir harus melakukannya. Dia mengundang seluruh penduduk desa untuk datang ke
pestanya. Namun, karena dia kikir, dia hanya menyediakan sedikit makanan.
Tentu saja tamu-tamu yang datang mengomel.
Bukankah membagi makanan itu sama dengan sedekah" Jika bersedekah saja pelit, bagaimana mau meminta hasil panen yang baik" gerutu salah seorang penduduk.
Iya ya, untuk apa punya harta sebanyak itu jika tidak mau berbagi" omel penduduk yang lain.
Permisi, Tuan. Bolehkah aku meminta sedikit makanan" Aku lapar sekali, tiba-tiba ada seorang nenek tua berpakaian kumal meminta
makanan. Nenek tua itu bukan penduduk desa. Semua orang tak ada yang mengenalnya.
Pak Kikir memicingkan matanya, Minta makan" Enak saja! Sana! Minta saja ke tempat lain. Makanan di tempat ini sudah pas jumlahnya.
Nenek tua itu terkejut mendengar perkataan Pak Kikir. Air matanya menetes perlahan.
Hanya sepiring nasi, Tuan, ratapnya.
TIDAK! seru Pak Kikir tegas dan membalikkan badan untuk masuk ke dalam rumah.
Saat ayahnya sudah masuk ke rumah, putra Pak Kikir memberi sepiring nasi pada nenek tua itu.
Makanlah bagianku, Nek, ujarnya sopan.
Nenek tua itu mengucapkan terima kasih berulang-ulang. Kelak, kau akan jadi seorang pemimpin yang bijaksana, Suatu pagi, hujan turun dengan deras. Air seperti ditumpahkan dari langit. Sungai-sungai meluap dan airnya mengalir deras ke desa Pak Kikir.
Banjir, banjir! teriak penduduk desa saat melihat air yang semakin meninggi.
Anak Pak Kikir segera memberi tahu ayahnya untuk mengungsi ke atas bukit.
Tidak! Aku tak mau mengungsi. Ini hanya banjir biasa. Kalau aku meninggalkan rumah, bagaimana dengan hartaku" Bisabisa dicuri orang!
teriak Pak Kikir. Anak Pak Kikir tak berhasil membujuk ayahnya. Dia pun terpaksa
meninggalkan ayahnya sendiri di rumah. Dia mengikuti penduduk desa yang lari ke atas bukit.
Saat tiba di atas bukit, para penduduk desa melihat air bah yang tiba-tiba datang. Desa mereka tersapu bersih dalam sekejap.
Anak Pak Kikir menangis, meratapi keputusan ayahnya yang tak mau menyelamatkan diri.
Apa gunanya harta jika akhirnya begini" Melihat desa yang sudah hancur berantakan, penduduk desa memutuskan untuk mencari daerah baru. Mereka lalu mengangkat anak Pak Kikir sebagai pemimpin mereka.
Seperti kata nenek tua dulu, anak Pak Kikir menjadi pemimpin yang bijaksana. Dia mengajari penduduk untuk menanam padinya sendiri dan bagaimana mengairi sawah dengan baik. Dia juga membagi tanah dengan rata. Semua penduduk mendapat bagian sawahnya masing-masing.
Desa baru tersebut dinamai Desa Anjuran, karena para penduduknya selalu mematuhi anjuran pemimpinnya. Lamakelamaan, desa itu berubah nama menjadi Cianjur, yang berarti daerah yang cukup mengandung air. Saat ini, Cianjur terkenal sebagai daerah penghasil beras yang empuk dan wangi.
Jawa Barat Ilustrasi: Gabriel Dias Telaga Warna Dahulu kala di Jawa Barat, ada Raja dan Permaisuri yang belum juga dikaruniai keturunan. Padahal, mereka sudah bertahun-tahun menunggu.
Raja akhirnya memutuskan untuk pergi bertapa ke hutan. Di sana, beliau juga terus berdoa pada Yang Maha Kuasa agar memberikan seorang anak pada mereka.
Doa mereka akhirnya terkabul, Raja dan Permaisuri dikaruniai seorang putri yang elok. Tak hanya mereka berdua yang gembira, seluruh rakyat juga bersuka cita menyambut kelahiran Putri.
Raja dan Permaisuri menyayangi dan
memanjakan putrinya. Segala keinginannya pasti dituruti.
Dendam Iblis Seribu Wajah 14 Pendekar Rajawali Sakti 86 Dendam Membara Pertarungan Di Planet Iskoort 3
^