Lovasket 4
Lovasket Karya Luna Torashyngu Bagian 4
pertandingan C-tra Arena sudah mulai dipadati penonton. Satu jam sebelum
pertandingan, hampir-hampir nggak ada tempat duduk yang tersisa. Semua penuh.
Para penonton sebagian di antaranya adalah suporter kedua tim. Bahkan di deretan
suporter SMA 31 yang kayaknya hampir satu sekolah itu (kabarnya, dengan dibantu
Amel, Vira memborong tiket masuk untuk teman-teman sekolahnya), terdapat juga
guru-guru, juga Pak Atmo, Kepsek SMA 31 yang dalam beberapa waktu terakhir ini
disebelin anak-anak didiknya sendiri karena rencananya mengurangi ekskul yang ada
di sekolah. Saat ditanya kemungkinan ekskul basket bakal dipertahankan dengan
prestasi tim ceweknya sejauh ini, Pak Atmo cuma menjawab dengan (sok) diplomatis,
"Tunjukkan dulu prestasi terbaik kalian, baru kita bicarakan itu nanti."
Dasar Kepsek! *** "Vira belum dateng juga?" tanya Rida yang baru keluar dari kamar mandi di ruang
ganti pemain. Semua anggota tim menggeleng.
"Aneh! Ke mana sih dia" Biasanya dia yang paling duluan dateng," kata Rida. Dia
melihat jam yang tergantung di tembok. Lima belas menit lagi pertandingan akan
dimulai, danmereka sebentar lagi harus masuk lapangan. Oya, untuk pertandingan
final ini tim basket cewek SMA 31 pake seragam baru. Seragam berwarna perak dengan
hiasan garis warna emas di pinggirnya. Sekarang bukan cuma tertera nomor punggung
pemain seperti seragam mereka sebelumnya, tapi juga nama pemain tersebut. Seragam
ini dipesan oleh Vira dan baru dibagikan tadi pagi oleh Niken. Selain itu, setiap pemain
juga dapat sepatu baru, sesuai ukuran kaki mereka.
"Kamu nggak punya strategi untuk pertandingan ini?" tanya Imas, mantan anggota
tim basket SMA 31 yang baru saja lulus. Dia dan dua temannya mantan anggota tim
basket cewek SMA 31 memang termasuk official tim cewek, membantu ngurusin hal-hal
nonteknis. Rida menggeleng. "Biasanya Vira yang ngatur strategi. Dia yang tahu setiap kekuatan dan kelemahan
lawan-lawan kita," katanya.
Pintu ruang ganti pemain terbuka. Ternyata seorang panitia cewek yang minta
supaya tim SMA 31 bersiap-siap masuk lapangan.
"Gimana nih?" tanya Dini.
"Berapa nomor HP Vira" Biar aku telepon," ujar Imas. Ternyata nggak ada yang
tahu nomor HP Vira. Rida yang punya HP juga cuma tahu nomor HP Vira yang lama,
bukan yang sekarang. Pintu ruang ganti kembali terbuka. Semua berharap Vira yang datang. Tapi ternyata
Niken. "Kebetulan. Ken, kamu pasti tau nomor HP Vira," kata Imas.
Niken mengangguk perlahan.
"Kalo gitu cepat telepon dia. Tanya dia ada di mana. Bilang, pertandingan udah mo
mulai," sambung Dini.
"Nih pake HP-ku?" Imas menyodorkan HP-nya.
Tapi Niken tetap diam. Dia nggak bergerak dari depan pintu. Hanya menatap ke
arah teman-temannya. "Ken?" "Tadi Vira nelepon. Dia ngasih tau strategi untuk pertandingan ini," ujar Niken
sambil nyerahin selembar kertas yang dibawanya. Kertas itu diambil Rida yang lalu
membacanya bersama Imas. "Defend, pressure. Konsentrasi di zona pertahanan. Lawan punya skill individu
tinggi, tapi lemah di three point," Rida membaca apa yang tertulis di kertas. Juga ada
susunan pemain "versi" Vira yang ditulis Niken berdasarkan telepon darinya.
"Vira ke mana?" tanya Imas.
Niken cuma menggeleng. "Vira cuman bilang ada urusan penting, dan bakal dateng kalo urusannya udah
selesai," sahut Niken.
"Urusan apa yang lebih penting dari final basket hari ini?" tanya Rida mulai emosi.
Tapi mendadak dia terdiam.
"Aku tau"," ujarnya kemudian. "Vira pasti nggak mau melawan tim dari bekas
sekolahnya sendiri. Dasar penipu! Selama ini dia bikin kita percaya, kita bisa ngalahin
SMA Altavia. Tapi saat itu tiba, dia sendiri yang lari ketakutan. Dasar brengsek!!"
Ucapan itu membuat seluruh anggota tim tersentak. Mereka sama sekali nggak
percaya dengan apa yang baru aja diucapkan Rida. Vira nggak mau bertanding
melawan SMA Altavia"
"Tapi ini nggak mungkin, Da! Vira sendiri yang selalu bilang dia pengin melawan
anak-anak SMA Altavia. Dia begitu semangat. Jadi nggak mungkin"," kata Dini.
"Iya, kamu jangan ngomong sembarangan. Vira nggak bakal kayak gitu," sangkal
Niken. "Kamu pasti bela dia, karena kamu sahabat dia," tukas Rida.
"Tapi kamu juga nggak tau kan apa bener Vira nggak mau ngelawan bekas
timnya?" Rida terdiam mendengar ucapan Niken itu.
"Coba kamu telepon Vira. Tanya di mana dia sekarang," ujar Imas.
"Aku udah coba, tapi HP-nya nggak aktif," sahut Niken.
"Kalo telepon ke rumah?"
"Mamanya bilang, Vira udah pergi dari pagi."
"Ke mana dia?" tanya Imas dan mungkin juga semua orang yang ada di situ.
Mereka semua punya pertanyaan yang sama tentang Vira. Ada urusan penting apa
sampai Vira mengorbankan final sore ini, dan di mana dia sekarang"
Seorang panitia cewek kembali muncul di balik pintu.
"Sekarang saatnya masuk ke lapangan!" katanya mengingatkan.
"Tunggu sebentar, Mbak," balas Rida.
Panitia itu kembali menghilang di balik pintu.
"Gimana nih?" tanya Dini.
"Udah tanggung. Kita udah masuk final. Apa pun yang terjadi kita harus hadapi.
Jangan bikin malu nama sekolah," ujar Rida.
"Kita akan dibantai"," kata Mia. Ekspresi wajahnya kelihatan seperti mau
menangis. "Belum tentu. Kita pake strategi dari Vira, karena bagaimanapun dia yang tau
kekuatan dan kelemahan SMA Altavia. Untuk starter, seperti saat Final Four. Posisi Vira
digantikan Tria. Kamu bareng Mia jadi guard. Aku center, Rena dan Dini forward.
Quarter pertama ini kita fokus pada pertahanan. Jangan sampe selisih angka kita dan
mereka beda jauh. Oke?"
Semua anggota tim mengangguk, walau dengan penuh keraguan.
Rida merangkul teman-temannya.
"Apa pun hasil pertandingannya nanti, kita udah melakukan yang terbaik. Aku
tetap bangga jadi bagian tim ini," Rida memberi semangat teman-temannya.
*** Nggak adanya Vira di tim SMA 31 menimbulkan pertanyaan semua orang, dari
penonton sampai supporter SMA 31, termasuk Rei.
"Vira mana?" tanya Rei pada Niken.
"Ntar aku ceritain, Rei"," jawab Niken sambil menarik tangan Rei untuk duduk.
Pandangan Niken lalu tertuju pada Amel yang kali ini duduk di deretan anak SMA
Altavia. Pandangannya bertemu dengan tatapan Niken yang juga sedang memandang
ke arahnya, seolah ada komunikasi di antara keduanya.
*** "Vira nggak ada, Stel," kata Alexa.
Stella yang lagi melakukan pemanasan di pinggir lapangan menoleh ke arah tim
SMA 31. "Kira-kira kenapa ya" Nggak mungkin Vira nggak dateng kalo nggak ada apa-apa,"
lanjut Alexa. "Mana gue tau"," balas Stella.
"Yang gue tau" Ini berarti saatnya kita berpesta! Tunjukkin ke mereka cara maen
basket yang sebenarnya. Kita juara Se-Jawa-Bali, masa kalah melawan tim kampung
kayak mereka?" lanjutnya memberi semangat sambil menatap ke arah tim SMA 31
dengan pandangan seperti harimau kelaparan melihat banyak makanan di depannya.
*** Seperti sudah diduga, tanpa Vira kekuatan SMA 31 berkurang drastis. Tapi bukan
berarti mereka jadi bulan-bulanan SMA Altavia. Rida dan teman-temannya tetap
mampu memberikan perlawanan sengit. Anak-anak SMA Altavia nggak gampang
memasukkan bola ke ring SMA 31. Penjagaan ketat SMA 31 di daerah pertahanannya
membuat tim SMA Altavia nggak bisa bergerak bebas, walau untuk itu banyak personal
foul dilakukan oleh tim SMA 31. Penonton juga memberi semangat pada Rida, Dini,
Rena, Tria, dan Mia, selain tekad mereka untuk membuktikan tim ini nggak tergantung
pada satu orang saja. Mereka lumayan juga! puji Stella dalam hati. Stella yang berposisi sebagai center
mendapat operan dari Alexa. Dia langsung berhadapan dengan Rida. Stella butuh
waktu lebih dari sepuluh detik untuk melewati Rida yang menempelnya dengan ketat.
Lolos dari Rida yang nggak berani melakukan foul, Tria menghadangnya. Kali ini Stella
nggak mau buang waktu lagi karena shot clock untuk SMA Altavia tinggal sebelas detik
lagi. Dia memberikan bola pada Dessy yang ada di pinggir garis tiga angka.
"Shot, Des!" seru Stella. Dessy melihat shot clock tinggal delapan detik, dan
memutuskan untuk menuruti seruan Stella. Dessy menembak dari sudut kiri ring.
Dengan dibayang-bayangi Dini.
Gagal! Lemparan Dessy terlalu keras hingga bola membentur board dan memantul
kembali ke tengah lapangan. Saat itu Stella tiba-tiba masuk dari tengah, dan
menyambar bola yang memantul serta melemparkannya lagi ke ring tanpa sempat
dihalangi Rida yang kalah tinggi badan. Kali ini bola meluncur mulus ke dalam ring.
Stella berhasil mencetak angka dari bola rebound"hasil pantulan dari board.
*** Quarter pertama berakhir dengan kedudukan 21-14. Skor yang nggak begitu mencolok.
Itu karena SMA Altavia nggak gampang masukin bola ke ring SMA 31. Dan lagi,
kelihatannya anak-anak SMA Altavia agak kendor permainannya. Mereka nggak
begitu bersemangat, nggak seganas di babak-babak sebelumnya. Itu terjadi terutama
pada Stella. Terus terang, Stella kecewa dengan nggak datengnya Vira. Dengan begitu,
dia masih harus memendam rasa penasarannya.
Di quarter kedua, tim SMA 31 dan SMA Altavia sama-sama mengubah strategi.
Mengetahui pertahanan SMA 31 nggak gampang ditembus, SMA Altavia memasukkan
penembak-penembak tiga angkanya. Bahkan Stella juga diganti, dan dia nggak
keberatan dengan keputusan Pak Andryan, soalnya dia juga kehilangan semangat
bertanding. Dan pikir Stella, tanpa dia SMA Altavia juga pasti menang.
Sementara itu, SMA 31 juga mengganti pemainnya. Dini diganti Irma, sedang Rena
diganti Dewi. Strategi mereka tetap bertahan, karena menurut Rida dan Rei, itu yang
terbaik. Cuma kali ini mereka mencoba mencuri serangan lewat turn over"serangan
balik. Karena itu butuh forward yang masih fresh dan lebih bertenaga.
Quarter kedua sudah berjalan sekitar enam menit, dengan skor 29-19, masih untuk
keunggulan SMA Altavia. Saat bola berada di tangan Mia setelah mereka baru saja
kemasukan, tiba-tiba terdengar suara-suara ribut dari arah penonton. Awalnya suarasuara itu terdengar kecil, tapi lama-lama membesar, dan akhirnya bergema di seluruh
gedung, diiringi tepukan tangan yang makin keras. Akhirnya semua orang tahu,
kenapa penonton bertepuk tangan.
Vira baru masuk C-tra Arena!
Dua Puluh Enam "ROBI ngomong apa ke lo?" tanya Stephanie pada Vira. Mereka berdua sedang ngobrol
di sebuah kafe terbuka di Dago Plaza.
"Dia bilang, kalo gue nggak dateng ke pertandingan final, para pengurus yayasan
akan nerima gue lagi sekolah di Altavia," jawab Vira.
"Dan lo berminat balik lagi ke Altavia?"
Vira nggak lagi menjawab pertanyaan Stephanie. Dia cuma diam sambil mengaduk
ice cappucino-nya. "Setelah apa yang udah mereka lakukan pada lo dulu?"
"Kalopun gue balik ke Altavia, itu bukan untuk diri gue, tapi untuk Amel. Gue
nggak tega ngebiarin dia sendirian di sana, di antara orang-orang yang sama sekali
nggak nganggap dirinya sebagai bagian dari mereka."
Stephanie mengisap rokok putihnya dalam-dalam, sambil menatap Vira.
"Gue nggak yakin lo ngomong jujur. Bahwa lo mo balik ke Altavia cuman demi
Amel." Lagi-lagi Vira cuma diam mendengar ucapan Stephanie.
"Tapi gue nggak peduli apa motivasi lo kalo emang lo mo balik lagi ke Altavia. Gue
nemuin lo cuman pengin tau, apa yang ditawarin Robi ke lo."
"Jadi lo udah tau soal ini?"
Stephanie mematikan sisa rokoknya yang memang sudah mau abis. Lalu dia minum
Blue Sky-nya, cairan biru langit itu terasa manis, tapi juga lamat-lamat terasa jeruk
nipisnya. "Lo mungkin belum tau, sejak Robi jadi ketua ekskul basket, nggak semua
kemenangan tim basket Altavia murni karena usaha sendiri," ujar Stephanie, memubat
Vira heran. "Maksud lo?" "Sebelum pertandingan, biasanya Robi dan temen-temennya akan menghubungi
satu atau dua orang pemain calon lawan yang dianggap paling berpengaruh dalam
permainan timnya. Dia akan membuat penawaran agar pemain lawannya itu nggak
dateng atau bermain jelek saat pertandingan. Biasanya berupa tawaran uang, atau
sesuatu yang nggak mungkin ditolak. Kalo nggak, Robi bakal ngintimidasi lawannya
itu?" Vira benar-benar nggak percaya dengan apa yang baru dikatakan Stephanie. Walau
sudah tahu sifat Robi dan sebagian anak SMA Altavia yang memang suka seenaknya
sendiri itu, dia tetap nggak nyangka Robi berani melakukan hal yang menurutnya
sangat nggak sportif dalam dunia olahraga.
"Gue nggak bilang kalo kemenangan tim basket kita selama ini bukan karena kerja
keras kita di lapangan. Saat kita juara di Jakarta, itu murni hasil kerja keras dan
kehebatan tim kita. Robi cuman bisa melakukan itu terhadap tim-tim dari Bandung. Di
luar itu, dia nggak bisa berbuat apa-apa. Dan dia biasanya juga cuman melakukan ini
untuk kemenangan tim cowok. Lo tau kan prestasi tim cowok kalah dari tim cewek"
Tim cewek Altavia emang kuat. Tanpa cara-cara kotor seperti ini mereka juga bisa
menang. Tapi di tim cowok, persaingan lebih merata. Banyak tim sekolah lain yang
juga bagus dan bisa ngalahin tim cowok Altavia. Robi nggak mau prestasi tim cowok
kalah dibandingkan tim cewek."
"Lalu, kenapa lo bisa nebak sekarang Robi ngelakuin hal yang sama untuk tim
cewek?" "Karena gue perhatiin kemaren, Robi kayaknya agak waswas ngeliat permainan tim
SMA 31, terutama permainan lo. Dia nggak yakin tim Altavia bisa menang di final.
Karena itu, Robi mungkin akan mengamankan hal ini. Dan dia pasti ngehubungin pasti
lo, terlepas dari sikapnya ke lo dulu. Gue nggak tau apa Robi juga ngehubungin tementemen lo juga, tapi yang jelas lo adalah target utamanya. Karena itulah gue langsung
nyari lo. Dan ternyata dugaan gue bener."
"Dan, kenapa lo bilang ini ke gue" Lo nggak mau kalo tim Altavia juara lagi?"
"Vira" gue tuh sama ama lo. Gue juga nggak suka hal-hal yang nggak sportif
kayak gini. Selain mencemari nilai-nilai olahraga, kalo sampe hal ini tersiar keluar, bisa
bikin malu nama sekolah. Nama SMA Altavia saat ini udah sedikit tercoreng dengan
kasus Diana, dan gue nggak mau lebih tercoreng lagi, walau gue udah lulus dari sana.
Jelek atau baiknya SMA Altavia, gue pernah sekolah dan dapet ijazah dari sana, jadi
gue bakal tetap menjaga nama baik almamater gue sampe kapan pun."
Ucapan Stephanie benar. Vira juga merasa dia dan Stephanie punya banyak
kesamaan. Mungkin itulah yang membuat dia akrab dengan kakak kelasnya ini.
Stephanie juga yang banyak ngajarin Vira saat Vira baru bergabung dengan ekskul
basket SMA Altavia. ?"dan gue nggak mau lo juga dirusak hal-hal kayak gini. Terus terang, gue sedih
waktu lo keluar dari Altavia. Lo satu-satunya harapan gue untuk menjaga kehormatan
tim basket kita. Walau sikap lo di sekolah kadang-kadang egois dan suka seenaknya,
tapi gue percaya lo masih menjunjung nilai-nilai sportivitas dalam olahraga. Gue juga
selama ini nggak bisa berbuat apa-apa untuk mencegah kelakuan Robi. Tapi kali ini,
gue nggak bisa tinggal diam. Robi udah kelewatan dan merusak kehormatan tim basket
cewek Altavia," lanjut Stephanie.
"Apa Robi ngelakuin ini karena Stella?" tanya Vira.
"Gue nggak yakin. Sebab setau gue, Stella malah pengin bertanding lagi lawan lo.
Dia udah tau kalo saat bertanding 1 on 1 dulu lo sengaja ngalah, dan itu membuatnya
penasaran. Jadi dia nggak mungkin nyuruh Robi minta lo mundur atau bermain jelek,"
sahut Stephanie. "Jadi gue harap, lo tetap bersikap sportif. Masa depan lo di basket
sangat bagus, jangan ngotorin nama lo sendiri. Gue tetep berharap lo cuekin tawaran
Robi dan tetep maen untuk tim sekolah lo. Gue lebih suka tim Altavia kalah terhormat
dari lawan yang emang lebih baik, daripada menang dengan cara curang. Dan belum
tentu apa yang dijanjiin Robi tuh bener."
"Andai bisa segampang itu. Gue emang nggak terlalu peduliin kata-kata Robi. Tapi
lalu gue inget Amel. Kalo gue nggak ikutin permintaan dia, gue takut Amel bakal jadi
sasaran di sekolah. Walau Robi udah lulus, pengaruhnya masih gede. Mungkin mereka
nggak berani ngerjain Amel terang-terangan karena takut ama bokapnya. Tapi bukan
berarti mereka nggak bisa ngerjain dia dengan cara lain. Kalo udah gitu, kasihan
Amel." "Kalo soal itu, lo nggak perlu khawatir. Asal lo tau, saat ini juga lagi ada masalah di
yayasan. Bokap Robi dan beberapa pengurus lain diperiksa dengan tuduhan
penyelewengan keuangan dan jabatan di yayasan. Kalo terbukti, udah pasti bokapnya
bakal dipecat, atau bahkan ditahan polisi. Gue tau dari bokap gue yang ikut sebagai tim
Lovasket Karya Luna Torashyngu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pemeriksa kasus ini. Dan kalo bokapnya nggak jadi ketua yayasan lagi, apalagi Robi
udah lulus, pengaruhnya di Altavia juga bakal berakhir. Selain itu, nggak semua anak
kelas 2 dan 3 juga suka ama Robi. Ada juga yang nggak seneng ama dia tapi nggak
berani terang-terangan. Kalo Rob udah nggak di situ, mereka yang nggak seneng ke dia
pasti bakal lebih terbuka."
"Termasuk lo yang nggak seneng ke Robi, padahal lo kan bekas ceweknya juga?"
Stephanie nggak menanggapi ucapan Vira.
"Cewek-cewek kelas 3 dan 2 juga ada yang masih loyal ama gue. Gue bisa minta
mereka jagain Amel di sekolah," Stephanie malah membelokkan topik bicara. "Lagi
pula bokap Robi nggak jadi ketua yayasan lagi, berarti dia nggak mungkin bisa
menuhin tawarannya ke lo, kan" Dia nggak bisa lagi masukin dan ngeluarin seseorang
dari sekolah seenaknya. Ucapan Stephanie membuat Vira jadi berpikir ulang soal keputusan yang
diambilnya tadi pagi. *** Time-out untuk SMA 31. Saat itu juga hampir seluruh anggota tim mendatangi Vira
yang ada di pinggir lapangan. Juga Niken dan Rei.
"Kamu dari mana aja sih?" bentak Rida. Semua orang yang ada di situ jadi tegang.
Mereka takut, hubungan baik antara Vira dan Rida yang baru terjalin di Final Four
bakal berantakan lagi. "Maaf, tadi aku ada keperluan penting banget, jadi terlambat. Maaf yaa"," jawab
Vira sambil menatap Rida. Tentu dia nggak mungkin ngomong yang sebenarnya. Rida
yang sudah panas bisa ngamuk beneran.
Ketegangan semakin mencekam. Apalagi Rida nggak langsung menanggapi ucapan
Vira, tapi malah memelototi Vira.
"Da"," ujar Dini yang ada di samping Rida dengan lirih, sambil menyenggol pelan
pundak Rida. "Aku terima permintaan maaf kamu. Sekarang kamu mo maen, kan?" ucap Rida
akhirnya, membuat ketegangan sedikit mencair. Bahkan nggak sedikit yang menarik
napas lega, termasuk Niken.
"Ya iyalah. Kalo nggak ngapain aku ke sini?"" Vira melihat ke arah papan skor.
"29-19. Bagus juga, angkanya nggak terlalu jauh," komentar Vira. Syukurlah! Gue
udah takut kalo mereka dibantai habis-habisan! kata Vira dalam hati.
"Kami pake taktik dari kamu. Defense, supaya mereka nggak terlalu banyak bikin
poin," tukas Mia. "Bagus! Lawan mereka, kita jangan terlalu terbuka."
"Sekarang, ini strategi kita untuk menang"," lanjut Vira dengan berapi-api.
*** Pertandingan kembali dilanjutkan. Kali ini SMA 31 masuk dengan formasi terbaiknya.
Mia, Rida, Dini, Rena, dan tentu aja" Vira! Masuknya Vira kembali ke lapangan diikuti
tepuk tangan sebagian besar penonton, terutama pendukung SMA 31. Harapan mereka
yang tadi sempat hilang sekarang muncul lagi. Semua yakin Vira bakal membuat
keajaiban lagi sore ini. "Tunggu sebentar"," kata Vira. Dia lalu berlari ke arah tempat duduk pemain
cadangan SMA Altavia. Di depan Pak Andryan, Vira berhenti dan mengulurkan
tangannya. "Semoga yang terbaik yang menang, Pak," ujar Vira sambil tersenyum.
Pak Andryan membalas uluran tangan Vira.
"Semoga begitu. Good luck!" balas Pak Andryan.
Pandangan Vira lalu terarah ke deretan suporter SMA Altavia yang menatapnya
dengan tatapan yang aneh. Dia melihat Robi yang menatapnya dengan sorot kesal, lalu
menatap Amel yang tersenyum padanya, dan terakhir menatap Stephanie yang
mengacungkan jempol sambil mengangguk. Setelah itu Vira kembali ke tengah
lapangan. "Udah ramah tamahnya?" tanya Stella yang ternyata juga kembali masuk dengan
sinis. Masuknya Vira ternyata juga bikin semangat Stella naik lagi. Akhirnya dia bisa
kembali berduel melawan rivalnya ini!
"Lo dulu udah ngelecehin gue dengan pura-pura kalah. Sekarang gue mo liat, apa lo
masih pura-pura," sambungnya.
"Jangan khawatir, kali ini gue nggak bakal ngecewain lo!" kata Vira sambil
membalas tajam tatapan Stella.
The real battle has began!
Dua Puluh Tujuh "SMA ALTAVIA melakukan serangan. Bola dioper bergantian antara Stella, Julia, dan Farah.
Farah mencoba menerobos pertahanan SMA 31. Dia dihadang Vira. Farah mengembalikan bola
kepada Stella. Stella mencoba masuk, tapi dihadang Rida. Stella berhasil melewati Rida, tapi
posisinya jadi gawat! Sekarang Stella berada di sisi kiri pertahanan SMA 31. Stella mencoba
menerobos lagi, tapi kali ini dihadang Mia. Waktu terus berjalan. Dua belas detik lagi pemain
SMA Altavia harus menembak atau akan terkena shot clock violation. Stella memberi bola
pada Julia. Julia bersiap-siap menembak dari luar garis tiga angka dengan dibayang-bayangi
Dini, dan". oh tidak! Ternyata dia mengoper kembali pada Stella yang berhasil masuk ke daerah
tiga angka, dan Stella lay-up". Masuk! Dua angka tambahan untuk SMA Altavia berkat
tipuan bagus dari Julia dan aksi individu yang memikat dari Stella."
Itulah suara salah seorang penyiar radio Pramita, salah satu radio swasta di
Bandung yang menyiarkan langsung pertandingan final sore ini. Suara sang penyiar
menggambarkan pertandingan berlangsung dalam tempo tinggi dan menegangkan.
Kedua tim bergantian mencetak angka.
"Sekarang bola dikuasai tim SMA 31. Mia mengoper pada Vira. Vira mendribel bola
sebentar. Dia dihadang Dessy. Ooo" Vira berhasil melewati Dessy, dan sekarang berhadapan
dengan Stella. Vira memberi bola pada Tria di belakangnya, Tria mengoper pada Rida, Rida
menuju sisi kiri daerah pertahanan SMA Altavia. Ada Alexa yang terus membayangi dia.
Dan" Rida menembak!!! Sayang! Tembakannya hanya mengenai pinggir ring, tapi bola
memantul berhasil diambil Vira, dan dia berusaha melewati Stella ke bawah ring, dan" ooo"
Vira melakukan blind pass pada Rena yang tidak terkawal, dan Rena menembak" masuk!!!
Skill Vira benar-benar tinggi, melakukan operan tanpa melihat teman yang akan diopernya.
Blind pass-nya benar-benar cantik, membuat Stella terkecoh. Jarang pemain Indonesia bisa
melakukan itu, apalagi untuk pemain putri. Butuh feeling dan kerja sama yang bagus untuk
dapat melakukannya."
*** "Sialan, kita tertipu. Katanya Vira kecapekan setelah maen di Final Four kemaren,
ternyata masih segar gitu," rutuk Alexa saat time-out di menit ke-7 quarter ketiga, di
tengah-tengah arahan Pak Andryan. Napasnya terdengar sudah satu-dua. Menjaga Vira
bagi Alexa adalah tugas yang paling berat. Vira bukan cuma punya teknik tinggi, tapi
juga kecepatan, kelincahan, dan stamina yang kuat. Ini berbeda dengan Stella, yang
walau juga punya teknik tinggi dan cepat, tapi staminanya masih di bawah Vira.
"Kita nggak ditipu. Liat aja," ujar Stella yang lagi berusaha mengatur napasnya
sambil minum. Saat itu juga pandangan Alexa tertuju pada Vira yang ada di kubu SMA
31. Vira terlihat lagi membungkuk, mulutnya terbuka, kayak ikan yang ada di luar air.
Stella membisikkan sesuatu ke Alexa.
"Ha" Lo yakin?" tanya Alexa lirih.
"Udah" lakuin aja. Lo kan yang personal foul-nya paling rendah."
"Tapi?" "Ada apa Alexa" Stella?" tanya Pak Andryan.
"Nggak" nggak ada apa-apa, Pak," jawab Stella. Pak Andryan pun meneruskan
arahannya. *** Pertandingan dilanjutkan lagi. SMA Altavia memasukkan Hanna menggantikan Julia,
sedang dari kubu SMA 31, Irma masuk menggantikan Dini. Skor sekarang adalah 5753, masih untuk keunggulan SMA Altavia.
Mia mulai membangun serangan SMA 31. Bola diberikan pada Irma yang lalu
berhadapan dengan Hanna. Dribbling sebentar, Irma mengoper pada Vira yang
mencoba masuk langsung ke tengah. Alexa mencoba menghadang, dan"
"Curang!" seru Niken dan mungkin juga ribuan penonton lain.
Vira terjatuh setelah Alexa menabraknya. Peluit wasit pun berbunyi. Defensive foul!
"Kamu nggak papa?" tanya Irma yang ada di dekatnya.
"Nggak papa kok."
Saat mencoba bangun, Vira merasa ada nyeri di kaki kanannya.
Shit! Jangan sekarang! batin Vira.
"Kenapa, Vi" Kamu nggak papa, kan?" tanya Irma lagi.
"Nggak" nggak papa."
Saat itu Vira memergoki Stella lagi menatapnya.
Baru kerasa lo! batin Stella. Vira pernah cerita pada Stella bahwa waktu SMP dia
pernah jatuh dari pohon jambu, dan karena cara jatuhnya salah, urat di betis kaki
kanannya terkilir. Walau nggak parah dan bisa sembuh dengan sendirinya, tapi
membutuhkan waktu agak lama dan cukup mengganggu juga. Apalagi sejak saat itu,
kalau Vira sudah terlalu capek dan otot-ototnya tegang, cidera di kaki kanannya itu
suka kambuh. Apalagi kalau terkena hantaman benda keras. Dokter bahkan pernah
bilang Vira nggak boleh main basket lagi, tapi cewek itu tetap nekat. Dan walau
sekarang cidera di kaki kanannya itu jarang kambuh, Stella tahu itu kelemahan Vira,
dan dia memanfaatkannya. Dua lemparan bebas dari Vira menghasilkan angka penuh. Skor berubah jadi 57-55.
SMA 31 semakin mendekati sang juara bertahan.
Serangan dari SMA Altavia. Stella mengatur serangan dari tengah lapangan,
sementara yang lainnya maju. Operan diterima Dessy, yang lalu berusaha mencari
celah. Saat sedang mendribel bola, tiba-tiba Vira yang ada di depannya maju, dan dia
berhasil mencuri bola dari Dessy. Turn over!
Vira langsung berlari menuju ke ring SMA Altavia yang kosong, dengan dibayangbayangi Dessy. Ternyata Stella lebih cepat dari Vira. Saat Stella mengira Vira akan
menembak ke ring, ternyata Vira malah melakukan blind pass ke Rida di belakangnya.
Rida langsung menembak dari jarak dekat, dan masuk! Skor sekarang imbang, 57-57.
Dan bukan hanya itu"
Saat mengira Vira akan menembak, Stella coba menghadang. Dan karena Vira lagi
lari kencang, dia menabrak Stella yang menghadangnya. Keduanya terjatuh dan
tindakan Stella itu adalah defensive foul. Lemparan bebas untuk SMA 31.
Ketika sama-sama jatuh, Stella sempat mengayunkan kakinya ke betis kanan Vira,
membuat Vira mengerang kesakitan. Karena kejadiannya begitu cepat, kejadian itu
nggak dilihat Wasit. Kalo kelihatan, Stella bisa dikeluarkan dari lapangan.
"Vi!" Rida menghampiri Vira.
Lutut Vira terasa nyeri terkena hantaman sepatu Stella. Tapi dia mencoba berdiri,
walau jalannya jadi pincang. Sementara itu Stella sudah lebih dulu berdiri dan berlari
ke tengah lapangan. "Kamu diganti, ya?" ujar Rida yang melihat cara jalan Vira.
"Nggak usah. Nggak papa kok. Tanggung nih! Ntar juga biasa lagi," sahut Vira
sambil menahan nyeri. Vira kembali mengambil lemparan bebas. Dan saat bola yang dilemparkannya
masuk, C-tra Arena terasa mau runtuh karena teriakan penonton yang mendukung
SMA 31. Itu karena perolehan skor SMA 31 mengungguli SMA Altavia. Skor sekarang
57-58 untuk keunggulan SMA 31.
Ayo, kamu bisa! kata Niken dalam hati (kayak iklan aja!). Dia melihat ke arah jam di
papan skor. Quarter ketiga tersisa dua menit lagi. dan setelah itu masih ada quarter
keempat. Apakah SMA 31 bisa mempertahankan keunggulannya"
Time-out untuk SMA Altavia!
Saat time-out, Vira berjalan ke kamar ganti pemain. Nggak lama dia keluar, dengan
kaki kanan memakai pelindung dari tengah paha sampai ke betis.
"Kaki kamu nggak papa kan, Vi?" tanya Rida untuk kesekian kalinya. Rei malah
nyaranin Vira untuk istirahat dulu, tapi Vira menolak.
"Tanggung, tinggal dua menit lagi! Dan kita belum benar-benar aman. Lagi pula
lututku nggak apa-apa kok!" tolak Vira.
*** Karena udah unggul, SMA 31 nggak lagi terlalu offensive. Mereka cenderung bermain
defensive dan hanya mengandalkan serangan balik. Kebalikan dari SMA Altavia.
Mereka menyerang habis-habisan. Dan saat quarter ketiga berakhir, kedudukan kembali
sama kuat, 61-61. "Ini saatnya! Kita habisin dia!" ujar Stella lirih pada Alexa sambil melihat lutut VIra
yang terbungkus pelindung.
"Apa ini nggak bahaya buat Vira, Stel?" tanya Alexa ragu-ragu.
"Tenang aja, dia nggak bakal mati kok!"
*** Saat quarter keempat dimulai, Vira bener-bener dijadikan sasaran tembak pemainpemain SMA Altavia. Setiap dia pegang bola, pasti langsung dihadang seorang pemain
SMA Altavia, lalu "dihantam". Puncaknya saat Vira ditabrak Alexa saat sedang berlari
membawa bola. Kontan dia terjungkal ke belakang.
Melihat itu, pemain SMA 31 lainnya nggak terima. Mereka langsung berlari ke arah
Alexa, juga anggota tim SMA Altavia. Keributan kecil pun terjadi, sementara penonton
mulai menyoraki dan mencemooh tim SMA Altavia yang dinilai sudah nggak sportif
lagi dengan menampilkan permainan kasar di lapangan. Wasit dengan dibantu official
kedua tim berusaha meredakan keributan. Bahkan beberapa guru SMA 31 juga ikut
turun ke lapangan, berusaha menenangkan emosi anak-anak didiknya.
Vira terpaksa dipapah keluar lapangan. Kakinya nggak bisa digerakin lagi. Kaku
dan sakit banget. "Sori"," kata Vira sambil menahan sakit, sementara kakinya dibalut tim medis dari
panitia. Keributan itu akhirnya berhasil diredakan. Alexa langsung dikeluarin dari
pertandingan dan nggak boleh masuk lagi karena pelanggaran yang dilakukannya,
walau dia baru mendapat empat personal foul. Masih di bawah batas seorang pemain
bisa dikeluarkan yaitu enam personal foul. Tapi karena Alexa dianggap melanggar
sportivitas, dia langsung dikeluarin.
"Mereka emang licik," balas Rida.
"Jangan terpancing provokasi mereka. Tetap fokus pada permainan," Vira memberi
arahan. "Aku tahu," kata Rida lalu menoleh ke arah Tria.
"Kamu masuk," katanya.
"Jangan Tria"," potong Vira, membuat Rida heran.
"Kalo bukan Tria, siapa lagi yang bakal gantiin kamu di posisi guard" Cuman Tria
yang bisa." "Bukannya kita masih punya satu guard lagi?"
"Siapa?" "Debi. Suruh dia masuk."
"Debi" Tapi kamu bilang Debi nggak boleh maen lagi."
"Kalo aku pengin Debi nggak maen lagi, aku nggak akan tetap pertahanin dia di
bangku cadangan. Aku cuman bilang Debi baru maen di saat yang tepat. Dan kurasa
ini saat yang tepat. Berapa waktu yang tersisa dan skor saat ini?"
"Tujuh menit lagi, kita ketinggalan enam angka," jawab Niken yang juga ada di situ,
setelah melihat papan skor. Saat itu skor 76-70 untuk SMA Altavia. Sejak kakinya sakit,
permainan Vira memang nggak maksimal lagi. Gerakannya nggak cepat dan licah,
karena tenaganya juga mulai habis. SMA Altavia kembali unggul serta menguasai
permainan. "Mana Debi?" tanya Vira.
Niken memanggil Debi yang duduk di bangku cadangan.
"Kita ketinggalan, sementara waktu udah nggak banyak. Percuma maen defense.
Sekarang kalian maen habis-habisan aja, berusaha cetak angka sebanyak mungkin,
lebih banyak dari mereka. Untuk itu, lebih baik kita ngandelin tembakan-tembakan tiga
angka, sebab sulit menembus pertahanan mereka. Kamu masih latihan three point
seperti yang pernah aku bilang ke kamu, kan?" tanya Vira ke Debi. Debi mengangguk.
"Nah, sekarang saatnya nunjukin kemampuan kamu."
Rida menatap Vira. "Bagaimana dengan asma Debi?" tanya Rida.
Sebagai jawaban, Vira malah kembali bertanya ke Debi.
"Kamu bisa maen, kan?"
Debi mengangguk pelan. "Waktu tinggal tujuh menit lagi, jadi aku rasa nggak masalah bagi kesehatan Debi.
Malah suatu keuntungan bagi kita karena SMA Altavia belum pernah liat permainan
Debi, jadi mereka nggak tau gaya maennya."
"Kamu yakin kita bisa menang dengan cara ini?" tanya Rida.
"Yakin banget. SMA Altavia juga takut pada kalian. Mereka mulai maen kasar, itu
bukti mereka takut kalah. Jadi manfaatin itu. Manfaatin emosi mereka untuk
keuntungan tim kita. Tapi tetap fokus pada permainan dan jangan terbawa emosi serta
permainan kasar mereka."
"Oke" ayo kita selesaikan ini!" Rida menggenggam tangan Vira, diikuti Debi.
Dua Puluh Delapan DUGAAN semua orang termasuk tim SMA Altavia bahwa SMA 31 yang nggak
diperkuat Vira bakal menyerah ternyata keliru. Anak-anak dari SMA negeri di
Bandung Timur itu ternyata tetap memberikan perlawanan sengit, nggak berkurang
sedikit pun. Bahkan, masuknya Debi membuat tim SMA Altavia jadi sedikit kocarkacir. Mereka nggak pernah melihat permainan Debi. Padahal skill Debi nggak kalah
sama Rida. Debi juga jago tembakan tiga angka, apalagi setelah Vira minta Debi melatih
tembakan tiga angkanya lebih intens lagi, kemampuannya jadi meningkat. Itu bikin
pemain-pemain SMA Altavia kaget. Apalagi stamina Debi masih segar, sedang stamina
para pemain SMA Altavia rata-rata sudah berkurang. Bahkan ada yang sudah
kecapekan banget seperti Julia dan Hanna.
"Suatu saat, latihan kamu ini akan berguna," ujar Vira pada Debi dulu.
Ucapan Vira terbukti. Tembakan-tembakan tiga angka Debi membuat SMA 31
mengejar ketinggalannya dari SMA Altavia, bahkan sempat unggul, walau akhirnya
disusul lagi. Kejar-kejaran angka berlangsung seru. Sesuai saran Vira, SMA 31 sekarang
main sangat terbuka. Mereka nggak terlalu memerhatikan pertahanan lagi. Soalnya
Lovasket Karya Luna Torashyngu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kalah dengan selisih angka jauh atau deket sama saja. Sama-sama nggak jadi juara. Jadi
mending berusaha mencetak angka sebanyak-banyaknya. Minimal membuat tim lawan
merasa tertekan dan nggak bisa bebas menyerang.
"Blok!" seru Stella pada Julia, saat melihat Debi kembali akan melakukan tembakan
tiga angka. Julia yang ada di dekat Debi berusaha melompat untuk memblok tembakan
Debi. Tapi terlambat. Bola lebih dulu meluncur dari tangan Debi menuju ke ring, dan
masuk! Debi kembali membuat SMA 31 unggul satu angka.
Shit! rutuk Stella dalam hati. Kalau begini terus, apa yang dia takutkan bakal terjadi
juga. Tanpa Vira, ternyata SMA 31 tetap nggak gampang dikalahkan.
Waktu pertandingan hanya tersisa sekitar satu menit lagi. Sebuah serangan dari
SMA Altavia membuat mereka kembali unggul dua angka. Serangan balasan pun
dibangun SMA 31. Mia membawa bola sendiri hingga melewati garis tengah, sebelum
mengoper pada Debi. "Tenang! Tenang!" seru Rei. Rei yang kalem rupanya ikut terbawa suasana yang
tegang saat ini. Vira dan Niken yang ada di sebelahnya cuma diam. Semuanya tegang.
Vira melihat ke jam pertandingan. Empat puluh detik lagi! batinnya.
Debi langsung dihadang Dessy yang nggak mau melepasnya. Debi berputar
sebentar, lalu memberikan operan pada Rida, yang segera ditempel Stella.
"Da?" Tiba-tiba Dini muncul dari samping. Rida langsung mengoper pada Dini
yang segera masuk ke bawah ring. Melihat itu, Hanna dan Stella segera mendekati Dini.
Dengan diapit dua pemain lawan, Dini mencoba melakukan lay-up. Posisinya cukup
bagus walau diapit oleh dua orang pemain lawan. Dengan jarak sedekat ini, bola pasti
masuk, apalagi lay-up Dini selama ini nggak pernah gagal, dan dia sekarang unggul
lompatan dari Stella dan Hanna.
"Curang!!" Teriakan itu terdengar saat Dini bertabrakan (atau sengaja ditabrak) dengan Hanna
ketika hendak melompat untuk melakukan lay-up. Tapi kali ini, Wasit nggak melihat
pelanggaran itu karena pandangan kedua wasit tertutup badan Stella dan Hanna.
Kedua wasit juga nggak melihat bahwa pada saat bertabrakan, Hanna sempat
mengayunkan siku kirinya ke dada Dini, membuatnya jatuh sambil mengerang
kesakitan. Bola dipegang oleh Stella.
"Kenapa nggak foul!?" teriak Imas yang melihat jelas kejadian itu, juga yang lainnya.
Tapi permainan tetap berjalan. Teriakan-teriakan nggak puas dan mencemooh Wasit
pun keluar dari penonton.
Bola dikuasai Stella yang mengopernya pada Dessy. Dessy memainkan bola, dengan
santai sambil jalan. Gawat! Mereka mengulur waktu! batin Vira. Dia melihat ke jam pertandingan.
Waktu tersisa tinggal dua belas detik. Pemain SMA 31 harus berusaha merebut bola,
atau mereka akan kehabisan waktu.
Mia mendekati Dessy, berusaha mengganggunya. Dessy memutar tubuh,
memunggungi Mia, sambil mendribel bola, hingga akhirnya"
Yes! Seluruh supporter SMA 31 bersorak saat Mia berhasil merebut bola dari Dessy.
"Fast break!" seru Stella. Fast break adalah istilah untuk serangan yang cepat,
biasanya agar lawan belum siap menyusun pertahanan. Dan itu yang akan dilakukan
oleh SMA 31, karena waktu tinggal tersisa lima detik lagi, dan mereka masih tertinggal
dua angka. Mia segera mengoper bola pada Rida, yang segera melakukan sprint ke arah ring
SMA Altavia dengan dibayang-bayangi Stella. Mendekati ring, tiba-tiba Rida mengoper
bola pada Debi yang berdiri di dekat garis tiga angka dan nggak terjaga.
"Shot, Deb!" seru Rida.
Debi menatap ring sebentar. Dia tahu tembakannya kali ini adalah kesempatan
terakhir bagi SMA 31 untuk memenangkan pertandingan dan jadi juara. Waktu hanya
tersisa dua detik lagi, dan semua harapan sekarang ada padanya. Rida sebetulnya bisa
aja tadi melakukan lay-up, tapi dengan dibayang-bayngi Stella, peluangnya cuman 50%.
Karena itu dia memilih mengoper pada Debi yang menurutnya punya peluang lebih
besar untuk mencetak angka. Apalagi Debi nggak terjaga dan tembakannya selama ini
jarang gagal. Sesaat Debi sempat berpikir, akan menembak dari luar garis angka, atau masuk
mendekati ring. Kalo masuk, dia bisa menghasilkan dua angka, hingga skor bakal sama,
dan akan ada babak perpanjangan waktu. Tapi kalo dia menembak dari luar garis tiga
angka. SMA 31 bisa langsung memenangkan pertandingan tanpa perpanjangan waktu.
Dan Debi ragu kalo ada babak perpanjangan waktu, apa mereka bakal bisa bertahan,
mengingat stamina teman-temannya sudah habis.
"SHOT!!" seru Rida lagi. Sementara itu, Hanna mendekati Debi. Akhirnya Debi
membuat keputusan langsung menembak dari luar garis tiga angka. Toh selama tujuh
menit dia bermain, dari enam tembakan tiga angka yang dilakukannya, hanya satu
yang gagal. Jadi peluangnya lebih gede.
Semua orang yang ada di dalam C-tra Arena menahan napas saat Debi melepaskan
bola dari tangannya. Bola meluncur ke arah ring tanpa sempat dicegah siapa pun.
Sementara waktu tinggal kurang dari satu detik. Detik terakhir menuju kemenangan
yang dirasakan sangat lama dan menegangkan, nggak cuma bagi pemain dan supporter
tim SMA 31, tapi juga pemain dan supporter tim SMA Altavia. Waktu pun terasa
berhenti. Bola sampe ke ring tepat saat bel tanda pertandingan berakhir berbunyi. Bola
berwarna merah itu menyentuh tepian ring, berputar-putar sebentar di atas lubang ring
sebelum akhirnya membuat keputusan sendiri.
*** Sorakan riuh terdengar di kubu pemain dan supporter SMA Altavia, saat bola tembakan
terakhir dari Debi gagal masuk ring. Itu berarti, SMA Altavia menang dan
mempertahankan predikat sebagai tim basket cewek terbaik di Bandung. Skor akhir 8987 untuk kemenangan SMA Altavia.
Suasana di kubu SMA Altavia itu kontras dengan suasana di kubu pemain dan
supporter SMA 31 yang kelihatan lemas, juga nggak percaya. Apalagi Debi. Dia sama
sekali nggak percaya tembakannya bisa gagal. Bagaimana mungkin" Ini tembakan
terbaiknya, saat posisinya sangat bagus dan dia yakin 100% bakal masuk. Dan kalau
masuk, itu tembakan yang mungkin nggak bakal dilupakan seumur hidup oleh Debi.
Debi cuma bisa terduduk di lapangan sambil menutup wajahnya. Dia nggak bisa
lagi menahan tangisnya. Tangis penyesalan karena nggak bisa memberikan
kemenangan bagi tim sekolahnya. Cukup lama Debi ada di tengah lapangan, sampai
Rida dan Dini menghampirinya, membantunya berdiri.
"Maafin aku" kalo aja tadi aku nggak maksain nembak tiga angka"," ujar Debi
terbata-bata di sela-sela isak tangisnya. Rida segera memeluk Debi.
"Ini bukan salah kamu kok. Kamu udah maen bagus. Kalo nggak ada kamu, kita
udah kalah telak dari tadi," kata Rida menghibur sahabatnya. Walau dia juga kecewa
dengan kegagalan timnya jadi juara, Rida masih bisa menahan diri. Dia lalu memapah
Debi ke bangku cadangan. Di sana udah menunggu Rendy yang juga segera menghibur
ceweknya itu. Debi lalu mendatangi Vira yang berdiri di bangku cadangan dengan dibantu Niken.
Sakit di kaki kanan Vira sudah mendingan, walau masih terasa kalau dipake jalan.
"Maafin aku" aku nggak bisa membalaskan dendam kamu ke mereka," ujar Debi.
"Nggak papa kok. Aku juga udah senang liat perjuangan kalian. Ternyata usahaku
selama ini nggak sia-sia. Sekarang tim basket cewek SMA 31 jadi salah satu yang
terkuat di Bandung. SMA-SMA lain pasti sekarang nggak bakal lagi menganggap
remeh kalian." NIken heran mendengar ucapan Vira yang seakan-akan menyiratkan Vira bukanlah
bagian dari tim SMA 31. Apa maksudnya"
"Bantu aku," kata Vira pada Niken untuk membantunya jalan. Vira ternyata
mendekati bangku cadangan SMA Altavia, tepatnya ke arah Pak Andryan.
"Selamat, Pak," ujar Vira sportif.
"Terima kasih. Tim kamu juga maen bagus. Kami hampir saja kalah," jawab Pak
Andryan. Iyalah, kalo aja mereka nggak maen curang dengan mencederai gue dan melanggar
Dini di menit-menit terakhir, ending-nya bakal lain! batin Vira.
"Kaki kamu bagaimana?" tanya Pak Andryan.
"Nggak papa kok, Pak. Nanti juga baek sendiri," jawab Vira. Dia melihat ke arah
pemain-pemain SMA Altavia yang lagi meluapkan kegembiraan mereka. Nggak ada
yang memerhatikannya. Stella sempat meliriknya sekilas dengan senyum penuh
kemenangan. Senyum yang sama dengan saat Vira meninggalkan SMA Altavia.
*** Sebelum penyerahan piala dan medali untuk tim yang jadi juara dan runner-up, akan
ada penyerahan hadiah untuk Top Scorer dan MVP selama berlangsungnya turnamen.
Hadiahnya lumayan juga. Selain piala, Top Scorer dan MVP masing-masing juga akan
mendapatkan uang sebesar lima juta. Lumayan banget buat nraktir teman-teman
setimnya. Gelar Top Scorer untuk basket putri jatuh ke tangan Stella. Posisinya sebagai center
memang memungkinkan dia mencetak angka sebanyak-banyaknya untuk timnya. Kali
ini Stella seperti nggak ada saingan, karena Vira lebih banyak main di posisi guard yang
lebih fokus ke pertahanan atau mengoordinasi serangan daripada mencetak angka.
Apalagi Vira harus berhenti main di tujuh menit terakhir, sedang Stella terus mencetak
angka. Stella menerima piala dan hadiah uang di tengah lapangan, lalu mengangkatnya
tinggi-tinggi, di tengah jepretan kamera para wartawan dan fans-nya. Gayanya kayak
baru menerima piala Oscar saja!
Siapa yang jadi Top Scorer memang bisa diketahui sebelum pengumuman.
Bagaimana dengan MVP" Belum ada yang tahu sebelum diumumkan, selain tim penilai
yang memang ditugaskan untuk memilih siapa MVP tahun ini. Tapi kandidat kuat
MVP memang bisa ditebak. Hanya ada dua pemain yang pantas menerimanya. Vira
atau Stella. Stephanie yang duduk di belakang Amel menggamit pundaknya hingga Amel
menoleh ke belakang. "Taruhan yuk" siapa MVP-nya?" tanyanya sambil tersenyum.
*** "The Most Valuable Player Turnamen Bola Basket Antar-SMA Se-Bandung Raya untuk
putri tahun ini jatuh pada" Savira Priskila dari SMA 31!!"
Tepuk tangan terdengar bergemuruh dari penonton yang masih bertahan di C-tra
Arena, kecuali dari mereka yang mendukung SMA Altavia. Vira memang dirasa pantas
jadi MVP karena perannya dalam tim dan permainannya yang konsisten serta memikat,
walau perolehan angkanya masih kalah dengan Stella yang sebetulnya juga bermain
bagus sepanjang turnamen.
Dengan masih dipapah Niken, Vira menerima piala berbentuk bola emas dan
hadiah uang. Vira sempat menatap ke arah tempat duduk Robi, tapi ternyata dia sudah
nggak ada. Setelah bergaya sebentar di depan wartawan dan juru foto, Vira berbisik pada
Niken. "Kamu yakin?" tanya Niken. Vira mengangguk.
Niken kembali memapah Vira ke pinggir lapangan, tapi kali ini bukan ke kubu tim
SMA 31 tapi menuju ke kubu tim SMA Altavia. Tapi Vira nggak menghampiri pemain
SMA Altavia melainkan terus naik ke tribun di belakangnya tempat anak-anak SMA
Altavia berkumpul. Tindakan Vira mendatangi supporter lawan yang terbilang "berani
dan nekat" tentu menarik perhatian penonton dan semua yang ada di C-tra Arena.
"Mo ngapain dia?" tanya Stella pada Julia. Julia cuman menggeleng.
Vira ternyata mendekati Amel yang duduk di deretan kedua dari depan, tepat di
belakang bangku pemain cadangan tim SMA Altavia.
"Tolong kasih piala ini ke keluarga Diana. Dia yang lebih pantas menerimanya,"
kata Vira sambil memberikan piala MVP yang baru diterimanya pada Amel. Amel
cuma tertegun nggak percaya dengan apa yang didengarnya.
"Vi?" "Ini semua karena Diana. Tanpa dia, aku nggak akan pernah tau apa artinya
persahabatan sejati, dan aku juga nggak akan pernah kembali bermain basket lagi. Dia
juga mengajarkan aku untuk lebih menghargai hidup," ujar Vira. Kebetulan saat itu ada
beberapa wartawan yang mengikutinya karena penasaran. Salah satunya penyiar Radio
Pramita yang harusnya bertugas mewawancarai Vira sebagai MVP. Karena itu, ucapan
Vira tadi bisa disiarkan langsung oleh radio tersebut. Ucapan Vira juga didengar jelas
oleh sebagian besar pemain SMA Altavia, dan sebagian supporter-nya.
Mata Amel jadi berkaca-kaca. Dia berdiri, menerima piala dari Vira, lalu memeluk
sahabatnya itu. "Diana pasti bangga punya sahabat seperti kamu," ujar Amel dengan suara
bergetar. "Dia bangga punya sahabat seperti kita," balas Vira.
Saat Vira kembali ke kubu SMA 31, suasana di kubu SMA Altavia masih hening.
Kelihatannya mereka masih terpukau karena ucapan Vira tadi dan nggak percaya
ucapan itu keluar dari seseorang yang mereka anggap musuh, orang yang dikeluarkan
dari sekolah mereka secara nggak terhormat dan yang mereka rendahkan selama ini.
"Emang tadi Vira ngomong apa sih ke Amel" Kok sampe ngasih pialanya?" tanya
Dessy pada Stella. Yang ditanya sama sekali nggak menjawab, diam saja kayak patung.
*** Sekarang tiba saatnya penyerahan piala untuk tim pemenang. Juara ketiga diraih tim
SMA 2 yang mengalahkan SMA 3 di pertandingan sebelumnya. Mereka mendapat
medali perunggu dan piala sebagai juara ketiga.
"Runner-up tahun ini adalah" tim basket putri SMA 31!"
Dengan dipimpin Rida sebagai kapten, pemain-pemain SMA 31 memasuki
lapangan dan menerima medali perak dan piala sebagai runner-up. Baru saja Rida
menerima piala dan mengangkatnya, terdengar suara tepuk tangan yang aneh. Aneh,
karena tepuk tangan itu bukan terdengar dari kubu SMA 31, tapi dari kubu SMA
Altavia. Semua pandangan pun terarah ke sana.
Stephanie terlihat melakukan standing ovation sebagai penghormatan untuk tim
SMA 31. Nggak lama kemudian, beberapa anak kelas 3 yang baru aja lulus yang duduk
di dekatnya juga berdiri dan melakukan hal yang sama. Dan seterusnya, makin banyak
supporter SMA Altavia yang melakukan standing ovation termasuk Amel.
"Apa-apaan nih?" tanya Stella dengan perasaan nggak mengerti. Kenapa temantemannya malah memberikan standing ovation untuk tim lawan, bukan untuk timnya
sendiri yang jadi juara. "Jujur aja, Stel"," ujar Julia. "Gue juga ngerasa sebetulnya mereka yang pantes jadi
juara. Kalo aja tadi Hanna nggak nyiku forward mereka di menit-menit terakhir, kita
pasti udah kalah. Gue salut ama perjuangan mereka."
Mendengar itu, Stella melotot pada Julia. Tapi Julia malah berdiri dan di luar
dugaan, dia malah ikut-ikutan bertepuk tangan. Tindakan Julia segera diikuti pemain
SMA Altavia lainnya, kecuali Stella.
"Dasar aneh! Malah tepuk tangan buat lawan!" geram Stella.
"Kamu belum sadar juga?" Pak Andryan tiba-tiba sudah berdiri di samping Stella.
"Tujuan pertandingan olahraga bukan mencari kemenangan semata atau mencari
musuh, tapi mencari kawan, mempererat persahabatan. Pertandingan olahraga bukan
sekadar soal menang atau kalah, tapi memahami jiwa dan semangat olahraga itu
sendiri, yaitu semangat kebersamaan dan sportivitas. Terus terang, walau tim kita
menang, Bapak sangat kecewa dan malu dengan cara main kalian yang udah
mengabaikan nilai-nilai sportivitas dan kebersamaan serta menghalalkan segala cara
untuk meraih kemenangan. Vira dan SMA 31 lebih memahami nilai-nilai olahraga itu,
dan mereka pantas mendapatkan semua ini." Pak Andryan memberi "ceramah" pada
Stella. Stella menoleh sebentar ke arah Pak Andryan lalu tanpa ngomong sepatah kata pun,
dia pergi meninggalkan pelatihnya dengan perasaan bete. Pak Andryan hanya bisa
geleng-geleng kepala melihat ulah Stella.
Stephanie dan temen-temennya lalu turun dari tribun penonton ke lapangan.
Mereka lalu menyalami pemain-pemain SMA 31, termasuk Vira.
"Selamat ya" Seharusnya kalian yang menang. Gue menganggap kalian yang juara,
bukan SMA Altavia," kata Stephanie pada Vira.
"Makasih" ini semua berkat lo juga."
Tindakan Stephanie dan teman-temannya ini lalu disusul beberapa anak SMA
Altavia lain, termasuk pemain-pemainnya. Jadi suasananya kayak lebaran saja, saling
salam-salaman. Anak-anak SMA Altavia saat ini seperti melupakan "doktrin" mereka
yang menganggap diri dan sekolah mereka punya status sosial yang lebih tinggi dari
anak-anak SMA lain. Anak-anak SMA 31 juga nggak lagi merasa sebagai anak-anak
SMA "pinggiran" yang nggak mungkin bersaing dengan SMA-SMA lain yang ada di
pusat kota. Mereka semua sekarang merasa "sederajat". Nggak ada perbedaan.
"Maafin gue ya" gue baru sadar sekarang. Ternyata lo emang hebat. Dan maaf soal
kaki lo. Lo nggak dendam ke gue, kan?" kata Alexa pada Vira.
"Laen kali kalo kita bertanding lagi, giliran gue yang patahin kaki lo."
Ucapan Vira itu membuat raut wajah Alexa berubah, jadi agak pucat.
"He" he" he" bercanda. Jangan takut, gue nggak bakal sesadis itu kok. Gue
nggak dendam ama lo. Jangan pucet gitu dong"," kata Vira sambil tersenyum,
membuat wajah Alexa kembali ceria.
I don"t wanna talk About the things we"ve gone through
Though it"s hurting me
Now it"s history I"ve played all my cards
And that"s what you"ve done too
Nothing more to say No more ace to play The winner takes it all The loser standing small
Lovasket Karya Luna Torashyngu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Beside the victory That"s her destiny I was in your arms Thinking I belonged there
I figured it made sense Building me a fence Building me a home Thinking I"d be strong here
But I was a fool Playing by the rules The gods may throw a dice
Their minds as cold as ice
And someone way down here
Loses someone dear The winner takes it all The loser has to fall It"s simple and it"s plain
Why should I complain The judges will decide The likes of me abide Spectators of the show Always staying low The game is on again A lover or a friend A big thing or a small The winner takes it all (ABBA " The Winner Takes It All)
"Selamat yaa" walau kalah, kalian maennya bagus," kata Pak Atmo yang ikut turun ke
pinggir lapangan didampingi guru-guru SMA 31 lainnya.
"Makasih, Pak! Jadi kalo begitu ekskul basket tahun depan nggak bakal dihapus
dong"," ujar Dini penuh harap.
"Enggg.. soal itu" tergantung keputusan rapat nanti," jawab Pak Atmo.
Yeee" jawabannya masih sama aja!
Dua Puluh Sembilan DUA hari kemudian, malam-malam Vira datang ke rumah Niken. Niken memang ada
di rumah. Liburan semester ini dia memang nggak ke mana-mana. Dia di rumah saja
membantu ibunya di warung. Memangnya dia orang kaya yang pergi ke tempattempat wisata atau ke tempat lain untuk mengisi liburan"! Lagi pula liburan kali ini
juga nggak sepenuhnya dinikmati Niken. Dia sibuk menyiapkan panitia untuk acara
penerimaan siswa baru dan Masa Orientasi Siswa (MOS) tahun ajaran besok. Niken
kembali sibuk karena dia memang menjabat Ketua OSIS lagi. Pengunduran dirinya
ditolak Pak Danang, dan sebagian besar anak SMA 31 yang tetap minta dia jadi ketua
OSIS dengan memberikan tanda tangan dukungan, sehingga Niken akhirnya
mengurungkan niatnya. Orang-orang dari ekskul yang tadinya mengajukan mosi
nggak percaya pada dirinya juga nggak terdengar lagi suaranya. Mereka nggak protes
karena Niken nggak jadi mengundurkan diri.
Tumben Vira juga nggak pergi liburan. Padahal, walau papanya belum kerja lagi,
simpanan uang keluarga mereka masih cukuplah untuk ngebiayain liburan Vira ke
mana saja. Saat ditanya soal itu oleh Niken, Vira nggak menjawab. Kaki Vira sendiri
sudah membaik, sudah bisa dipakai jalan walau rasa nyerinya belum sepenuhnya
hilang. Wajah Vira kelihatan mendung banget malam ini. Nggak ceria. Yang jelas
penyebabnya bukan karena kekalahan tim SMA 31 di final dua hari yang lalu, karena
setelah pertandingan Vira masih ketawa-ketawa, bahkan kemarin saat ngobrol di
telepon dengan Niken, suaranya masih terdengar biasa-biasa saja. Bahkan Vira lebih
banyak ngomongnya daripada Niken.
"Aku mo ngomong sesuatu ke kamu," kata Vira dengan ekspresi datar. Niken jadi
kaget. Nggak biasanya Vira ngomong kayak gini. Biasanya kalau mau ngomong atau
cerita sesuatu dia langsung saja, nggak pakai kata pengantar kayak tadi.
"Ngomong apa?" "Nggak di sini."
*** Akhirnya Vira ngajak Niken keluar. Sebetulnya Niken sudah ngantuk, tapi dia nggak
bisa menolak ajakan Vira.
Vira ngajak Niken jalan-jalan di Parijs van Java, mal yang dibangun menyerupain
"kota mini" bergaya Eropa. Vira membeli dua gelas kopi dan roti di salah satu kafe di
sana, lalu mereka berdua duduk di salah satu bangku yang terdapat di sepanjang
koridor mal. Malam ini Parijs van Java nggak begitu ramai, bahkan boleh dibilang sepi.
Hanya ada satu atau dua pengunjung yang ada di sekitar Vira dan Niken. Mungkin
karena bukan malam Minggu.
"Mau?" Vira menawarkan croissant yang dibelinya. Niken mengambil satu.
"Ken, aku mo nanya ke kamu, tapi kali ini kamu harus jawab dengan jujur," ujar
Vira setelah menghabiskan sepotong roti dan minum kopinya. Dia mulai serius.
"Mo nanya apa?"
"Kamu sebetulnya suka ama Rei nggak sih?"
Hah" Itu pertanyaan yang kesekian kalinya untuk Niken. Dia jadi heran, kenapa
tiba-tiba Vira nanya lagi soal itu"
"Kamu jangan bilang lagi kalo hubungan kamu dengan Rei cuman temen. Udah
basi!" lanjut Vira. "Abis aku harus ngomong apa lagi" Emang kenyataannya begitu"," balas Niken.
"Tapi dalam hati kamu, apa kamu emang bener-bener nganggap dia cuman temen"
Apa bener itu kata hati kamu yang paling dalam?"
Niken nggak menjawab. "Ken?" "Kamu kenapa sih nanya soal itu" Apa pun perasaan aku ke Rei, nggak ada
pengaruhnya, karena sekarang kamu pacar Rei, dan Rei sangat sayang sama kamu. Jadi
buat apa kamu nanya soal perasaanku ke Rei" Apa itu bukannya akan nyakitin hati
kamu?" "Jadi kamu emang bener-bener suka ama Rei, kan" Kamu nggak sekadar
menganggap dia sebagai temen kamu. Iya, kan?"
Lagi-lagi Niken cuma bisa diam.
"Jawab dong, Ken" aku butuh kejujuran kamu?"
Dibantu penerangan lampu-lampu jalan di dekat mereka, Vira melihat keringat
membasahi wajah Niken. Padahal malem ini udara Bandung begitu dingin, bahkan
angin bertiup cukup kencang hingga membuat rambut Vira dan Niken sedikit berkibar.
Bahkan saking dinginnya udara malam ini, Vira tetap menggigil walau sudah pakai
sweter tebal. Vira yakin Niken juga masih kedinginan walau dia pakai jaket parasut.
Tapi udara dingin ternyata belum cukup untuk mencegah keringat keluar dari wajah
Niken. Keringat karena gugup.
"Kenapa sih kamu maksa aku?"
"Aku cuman pengin tau isi hati kamu yang sebenarnya."
"Tapi buat apa" Apa untungnya buat kamu kalo aku emang suka ama Rei?"
"Kamu emang suka ama dia. Kamu mencintai Rei."
"Kamu?" Tiba-tiba Vira tersenyum sambil menatap Niken.
"Kamu emang beruntung, sekaligus bodoh. Sama dengan Rei," kata Vira, lagi-lagi
bikin Niken heran. "Maksud kamu?" Vira meminum lagi kopinya. Tegukan yang terakhir.
"Apa kamu tau kalo Rei juga suka ama kamu?"
Nah" mungkin ini puncak keheranan Niken. Dalam pikirannya, dia mengira otak
Vira lagi "error". Rei kan cowok Vira. Mereka pacaran. Tapi kenapa dia tiba-tiba
ngomong gitu" Apalagi sambil tersenyum, seolah Vira nggak ada perasaan apa-apa
saat ngomong. "Aku bener-bener nggak ngerti apa yang kamu omongin?"
"Rei suka ama kamu. Apa kamu nggak ngerti juga?"
"Iya, tapi dia kan cowok kamu, dan kenapa kamu?"
"Kami nggak pernah pacaran kok."
Kata-kata Vira yang terakhir bikin Niken seolah membeku di tempat duduknya. Ini
melewati puncak keheranannya. Dia sama sekali nggak percaya dengan ucapan Vira.
Dia nggak pernah pacaran dengan Rei" Lalu apa arti kebersamaan mereka selama ini"
Arti kemesraan yang ditunjukkan Vira dan Rei di depannya, di depan anak-anak
lainnya" Apa mereka cuma main-main"
"Ken"," Vira memanggil Niken yang lagi bengong. "Helloo" Earth calling Niken"
Anybody there?" Vira menggoyangkan tangannya di depan wajah Niken, yang akhirnya
bikin Niken kembali ke "alamnya".
"Aku tau kamu pasti heran, dan mungkin nggak percaya. Tapi bener, aku nggak
punya hubungan apa-apa dengan Rei selain temen. Kami nggak pernah jadian kok."
"Tapi, kamu bilang waktu itu kalian udah jadian. Dan kalian keliatan mesra banget
di sekolah. Trus, kamu setiap malem minggu selalu pergi ama dia?"
"Ooo, itu?" Vira lalu cerita soal dia dan Rei yang ikut streetball setiap malam
minggu dan malam libur. "Dan soal sikapku dan Rei yang kelihatan seolah kayak pacaran di depan kamu dan
anak-anak lain, juga soal ucapanku dulu, itu emang ideku. Ide untuk bikin kamu
cemburu." Ide untuk bikin Niken cemburu"
"Rei udah cerita semuanya ke aku," ujar Vira lagi.
"Cerita" Cerita apa?"
*** Rei baru saja bilang "Aku suka kamu" pada Vira, dan itu bikin Vira nggak bisa ngomong apaapa. Dia cuma diam sambil menatap cowok di depannya yang juga lagi memandanginya.
"Shit!" Tiba-tiba Rei seperti mengumpat pada dirinya sendiri. Pandangannya sekarang agak
tertunduk. Tentu aja ucapan Rei yang terakhir itu bikin Vira heran. Baru saja cowok itu
mengucapkan tiga kata paling manis yang ditunggu setiap cewek yang dekat dengannya, tapi
nggak sampai sepuluh detik kemudian, dia melontarkan kata yang nggak disukai kebanyakan
cewek. Apa sih maunya"
"Aku bisa ngucapin tiga kata itu ke cewek lain, bisa ngucapin ke kamu, tpai nggak bisa
ngucapin ke satu orang."
Vira masih menatap Rei. "Niken?" tanya Vira. Rei menengadahkan kepalanya.
"Kamu nggak bisa ngucapin tiga kata itu ke Niken, kan?"
"Sori, aku nggak bermaksud bikin kamu?"
"Nggak papa kok." Vira tersenyum. "Aku juga ngerasa, saat tadi kamu ngucapin kata itu,
bukan keluar dari hati kamu. Kamu nggak sungguh-sungguh ngucapinnya. Itulah sebabnya
kamu bisa ngomong di depan aku atau cewek lain, tapi nggak bisa di depan Niken. Itu karena
kamu nggak bisa ngeluarin isi hati kamu yang sebenarnya di depan dia. Kamu suka Niken,
kan?" lanjut Vira. Rei menatap Vira, lalu mengangguk perlahan.
"Aku kenal Niken sejak SMP, saat kami sekelas. Dan sejak saat itu aku berteman dengan
seorang cewek yang perfeksionis, cerewet, dan seolah nggak pernah butuh bantuan orang lain
kalo ngerjain sesuatu. Awalnya aku sering kesal dengan sifatnya itu, apalagi kalo kita berdua
satu kelompok untuk ngerjain tugas. Niken selalu pengin semuanya serbasempurna, kalo nggak,
dia bakal marah-marah, lalu semua tugas kelompok dikerjain dia sendiri. Tapi nggak tau kenapa,
aku sama sekali nggak pernah berusaha menjauh dari dia, malah semakin dekat. Mungkin karena
walaupun bawel, Niken penuh perhatian. Kalo ada PR, setiap pagi dia selalu dateng lebih pagi
dari biasa. Bukan karena mo nyontek PR dari yang lain, tapi nungguin aku, kalo-kalo aku lupa
ngerjain, dan dia akan ngasih sontekan PR-nya. Dia juga perhatian ke semua orang, terutama
teman-temannya. Itu yang bikin dia disukai semua orang"," cerita Rei kemudian.
"Termasuk kamu, kan" Dan kamu nggak cuman suka dengan Niken, tapi akhirnya jatuh
cinta ke dia?" tebak Vira. Tebakannya benar. Rei mengangguk.
"Terus, kenapa kamu nggak bisa bilang langsung ke Niken" Kayaknya dia juga suka ama
kamu?" "Aku nggak yakin. Selama aku bersama dia, kami nggak pernah ngomongin soal-soal kayak
gini. Aku dan Niken selalu bicara banyak hal, tpai nggak pernah sekali pun bicara soal
hubungan kami, apalagi soal cinta. Aku jadi nggak tau perasaan dia yang sebenarnya tentang
hubungan kami." Ya ampun! Vira cuma bisa geleng-geleng. Ternyata cowok keren dan cool kayak Rei yang
bisa bikin cewek-cewek nggak tidur, bisa nggak pede juga soal cinta.
"Kamu nggak pernah coba sama sekali untuk tau perasaan Niken ke kamu?"
"Beberapa kali aku cerita ke Niken tentang hubunganku dengan cewek lain, tentang cewekcewek yang deketin aku. Itu untuk mancing perasaan dia, walau aku sebenarnya belum pernah
pacaran sama sekali. Aku lakukan itu cuman untuk tau reaksi Niken. Tapi ternyata dia biasabiasa aja, sama sekali nggak terpengaruh. Itu yang bikin aku ragu-ragu."
Terus terang, tadinya Vira sempat ge-er dan mikir yang nggak-nggak saat Rei ngajak dia
makan malam di kafe dan kelihatan salah tingkah malam ini. Biasanya itu tanda-tanda cowok
mau nembak cewek untuk jadi pacarnya. Vira tadi sempet kaku juga saat Rei bener-bener bilang
"aku suka kamu" ke dia. Vira pikir, Rei benar-benar nembak dia.
Untungnya Rei nggak benar-benar nembak Vira, karena ucapan tadi sebetulnya ditujukan ke
Niken, dan kegugupan Rei sebelumnya karena dia nggak tahu harus mulai cerita dari mana. Itu
sedikit melegakan Vira. Coba seandainya tadi Rei benar-benar nembak Vira, kan belum tentu dia
nolak! He" he" he"
"Kamu kenapa sih nggak bisa ngomong terus terang ke dia" Kamu kan cowok. Harusnya
punya inisiatif. Bagaimana kamu bisa tau perasaan Niken ke kamu kalo nggak ngomong
langsung ke dia?" tanya Vira.
"Itulah. Aku nggak bisa ngomong langsung ke Niken, tanpa tau perasaan dia yang
sebenarnya. Aku nggak bisa nerima penolakan langsung dari mulut Niken, yang mungkin akan
memengaruhi hubungan persahabatan kami. Aku bisa terima kalo Niken nggak ada perasaan
apa-apa ke aku dan cuman menganggap aku sebagai teman, asal jangan langsung dari
mulutnya. Untuk itu aku mo minta bantuan kamu?"
"Kamu mo suruh aku ngorek keterangan dari Niken" Suruh cari tau perasaan dia ke kamu?"
"Kamu sekarang temen deketnya. Dia pasti mo terbuka soal perasaannya ke kamu."
Vira memandang Rei dengan perasaan kasihan campur geli. Kasihan karena dia baru tahu
bahwa Rei adalah model cowok yang setia. Dia cuma cinta pada satu orang, tetap
mempertahankannya. Walau sebetulnya gampang bagi Rei untuk pindah ke lain hati, tapi itu
nggak dilakukannya. Vira juga geli karena dia baru tahu Rei belum pernah pacaran sama sekali.
Padahal kalo di SMA Altavia, cowok-cowok model Rei pasti udah punya cewek plus "selir" di
setiap kelas. Contohnya ya kayak Robi.
Eh" kok malah bawa-bawa nama Robi" Rei jelas beda dengan Robi. Bagi Vira, Rei jelas
seribu kali lebih baik dari mantan cowoknya itu. Niken beruntung banget kalau punya cowok
sebaik Rei. "Gimana, Vi" Kamu mau kan bantu aku?" tanya Rei harap-harap cemas.
"Hmmm" aku rasa, aku punya ide yang lebih baik"," jawab Vira sambil tersenyum.
"Ide apa?" "Kamu tadi udah "nembak" aku, kan?" lanjut Vira sambil tersenyum penuh arti, bikin Rei
menatapnya dengan heran. *** Tentu aja Vira nggak cerita semua obrolannya dengan Rei di kafe. Dia cuma cerita halhal yang perlu diketahui Niken saja.
"Teman yang menghibur kamu dan berusaha membangkitkan semangat kamu saat
ayah kamu meninggal itu Rei, kan" Dia berusaha supaya kamu kembali jadi Niken
yang dulu"," tukas Vira.
"Dan patung kristal yang katanya kamu pesen untuk kenang-kenangan Kak Aji, itu
sebenarnya untuk hadiah ulang tahun Rei. Kamu sengaja pengin ngasih hadiah spesial
untuk dia, tapi nggak pengin ada yang tau. Makanya kamu bilang ke semua orang,
termasuk ke Amalia itu kenang-kenangan untuk Kak Aji. Kebetulan wajah Rei dan Kak
Aji hampir mirip, jadi sekilas patung itu mirip Kak Aji. Dan ketika pecah, orang lain
nggak bisa membedakan lagi itu patung wajah Rei atau Kak Aji. Jadi saat Kak Aji nanya
ketika melihat kamu nangis dan pecahan patung itu, kamu bilang kalo itu patung
wajahnya," lanjut Vira.
"Kamu tau dari mana?"
"Nggak penting aku tau dari mana. Yang jelas, usahaku dan Rei membuat kamu
cemburu gagal. Aku sama sekali nggak bisa tau perasaan kamu ke dia."
Kamu salah! kata Niken dalam hati. Vira dan Rei sukses membuatnya beberapa kali
merasa cemburu dan kesal, apalagi saat Vira bilang dia jadian dengan Rei. Itu sempat
bikin Niken patah hati dan merasa seolah dia "cewek paling nggak laku di dunia ini".
Untungnya Niken masih bisa menahan emosinya dan kembali berpikir logis.
"Jadi aku dan Rei sepakat mengakhiri sandiwara kami, karena nggak ada gunanya.
Rei udah nyerah. Dia nggak tau perasaan kamu ke dia, dan bermaksud ngelupain rasa
cintanya ke kamu. Mungkin kamu emang cuman nganggap dia teman biasa, dia bakal
terima itu. Paling nggak, itu kata-kata dia waktu terakhir ketemu aku.
"Makanya sekarang aku tanya untuk yang terakhir kalinya ke kamu. Apa kamu
mencintai Rei, atau cuman menganggap Rei sebagai teman?" tanya Vira lagi.
Niken menatap Vira. Dia masih ragu-ragu untuk mengatakan hal yang sebenarnya.
"Apa kamu ntar akan bilang ke Rei?" tanya Niken.
"Tergantung?" "Jangan. Jangan bilang apa-apa ke dia. Aku mohon."
"Kenapa?" tanya Vira.
"Aku" nggak tau kenapa, aku masih ragu. Aku ngerasa nggak pede aja kalo jadi
ceweknya Rei. Rei orangnya cakep, baek, dan jadi favorit cewek-cewek. Sedang aku"
dandan aja aku nggak pernah. Ke mana-mana nggak pernah pake rok, kecuali ke
sekolah. Bahkan aku kalah cantik dari Rida, Debi, atau Rena yang jelas-jelas naksir Rei.
Aku cuman heran dan nggak percaya Rei malah suka ama aku."
"Ya ampuun" Kamu kok jadi minder gini sih! Ini bukan Niken yang aku kenal.
Mana Niken yang selalu percaya diri dan penuh semangat" Kamu kan ketua OSIS","
kata Vira. Apa hubungannya"
Lovasket Karya Luna Torashyngu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tapi?" "Oke" aku nggak akan bilang ke Rei kalo itu mau kamu. Soal ini biar kalian aja deh
yang selesaiin sendiri. Aku sekarang cuma mau tau, kamu suka ama Rei nggak?"
Niken menghela napas, masih mikir-mikir lagi.
"Bener kamu nggak bakal bilang ke Rei atau siapa pun?"
"Iya" sumpah deh. Masa kamu nggak percaya?"
Niken kembali menatap Vira. Kali ini agak lama.
"Aku emang suka ama Rei. Aku mencintai dia"," kata Niken akhirnya.
Vira berdiri dari tempat duduknya.
"Mo ke mana?" tanya Niken.
"Pulang. Tugasku udah selesai," jawab Vira. Niken pun segera berdiri.
"Kamu mo ke mana?" Vira balik nanya.
"Lho" Katanya mo pulang?"
"Siapa bilang aku mo pulang bareng kamu?"
Hah" Niken melongo mendengar ucapan Vira.
"Kamu udah denger kan, Rei?" kata Vira, seakan bicara dengan orang lain, bikin
Niken tambah melongo. Rei"
Keheranan Niken segera terjawab setelah Vira menunjuk ke belakangnya. Niken
menoleh dan melihat yang nggak disangka-sangka. Rei berdiri sekitar lima meter di
belakangnya. "Rei" Kenapa kamu ada di sini?" tanya Niken. Lalu dia kembali menatap Vira.
"Kalian?" "Kamu udah denger, Rei?" Vira mengulangi pertanyaannya. Rei mendekat, lalu
mengangguk. "Denger" Denger apa?" Niken jadi curiga, kalau-kalau Rei mendengar ucapannya
barusan. Tapi rasanya nggak mungkin karena tadi Niken bicara dengan pelan dan
cuma Vira yang bisa dengar. Jarak Rei saat itu mungkin lebih dari lima meter. Nggak
mungkin Rei bisa mendengar ucapannya dari jarak segitu, dan Vira udah janji nggak
bakal bilang ke cowok itu, kecuali"
Vira merogoh sweternya, dan mengeluarkan benda kecil dengan kabel pendek dari
balik sweter. "Aku emang udah janji nggak bilang ke Rei, tapi bukan berarti dia nggak boleh tau,
kan?" tandas Vira. "Sori, aku terpaksa melakukan ini. Untuk kamu dan Rei juga,"
lanjutnya sambil menunjukkan benda yang ternyata microphone wireless mini pada
Niken. Kalau Vira punya microphone mini yang tanpa kabel, berarti penerima
microphone itu ada pada"
"Sini, Rei, itu barang pinjeman. Kamu udah nggak butuh, kan?" kata Vira lagi. Rei
menyerahkan earphone dan penerimanya pada Vira.
"Ya udah" aku pulang dulu ya. Ntar kamu pulang bareng Rei aja. Kamu mo
nganterin kan, Rei?" lanjut Vira. Rei nggak menjawab, dan Vira juga nggak butuh
jawaban Rei. "Tapi, Vi"," potong Niken. Nggak tahu kenapa, dia jadi kagok ada di dekat Rei.
Mungkin karena Rei sudah mendengar pengakuan dia, dan Niken nggak tahu harus
berbuat apa. "Apa lagi" Kamu tega banget! Masa aku suruh jadi obat nyamuk di sini" Udah ah"
see you! Jaga Niken baik-baik, Rei."
Tanpa menunggu jawaban Niken, Vira setengah berlari meninggalkan mereka.
"Vi?" Niken mau menyusul Vira, tapi tiba-tiba ada yang memegang tangannya kirinya.
"Rei?" Dan tanpa diduga Niken, Rei langsung memeluknya. Niken kaget, tapi juga nggak
berusaha menolak. Dia malah membalas pelukan cowok yang diam-diam dicintainya
itu. "Rei?" "Mulai sekarang, kamu harus cemburu kalo aku deket ama cewek lain," ujar Rei
lirih. "Mulai sekarang kamu nggak boleh deket-deket ama cewek lain, kecuali ibu dan
saudara kamu," balas Niken sambil mempererat pelukannya. Matanya berkaca-kaca
karena bahagia. Life is full of lots of up and downs,
And the distance feels further when you"re headed for the ground,
And there is nothing more painful than to let your feelings take you down,
It"s so hard to know the way you feel inside,
When there"s many thoughts and feelings that you hide,
But you might feel better if you let me walk with you by your side.
And when you need a shoulder to cry on,
When you need a friend to rely on,
When the whole world is gone,
You won"t be alone, cause I"ll be there,
I"ll be your shoulder to cry on,
I"ll be there, I"ll be a friend to rely on,
When the whole world is gone,
you won"t be alone, cause I"ll be there.
All of the times when everything is wrong,
And you"re feeling like,
There"s no use going on,
You can"t give it up,
I hope you work it out and carry on,
Side by side, With you till the end, I"ll always be the one to firmly hold your hand,
No matter what is said or done,
Our love will always continue on.
(Tommy Page " A Shoulder To Cry On)
Nggak jauh dari sana, Vira melihat pasangan yang sedang berpelukan itu dengan
perasaan campur aduk. Selamat, Ken! Kamu emang pantes ngedapetin ini semua. Rei emang cowok baik,
dan aku nggak pantes bersaing dengan kamu untuk ngedapetin dia! batin Vira. Dia
sama sekali nggak menyesal belum sempat mengungkapkan isi hatinya ke Rei dan
memilih untuk mundur serta membantu Rei untuk mendapatkan Niken.
Nggak lama kemudian, Vira pun meninggalkan tempat itu, menuju mobilnya.
Tugasnya udah selesai! Tiga Puluh LIBURAN semester sudah selesai, dan tahun ajaran baru sudah berlangsung selama
seminggu. Setelah kegiatan Masa Orientasi Siswa (MOS) untuk anak-anak kelas 1 di
minggu pertama, hari ini kegiatan belajar-mengajar kembali seperti biasanya.
Pagi ini, setelah selesai upacara bendera setiap Senin pagi, semua siswa kembali ke
kandang" eh kelas mereka.
"Vira nggak masuk juga?" tanya Amalia saat mereka baru masuk kelas. Mendengar
itu, Niken mengarahkan pandangannya ke seluruh kelas. Penghuni lain sudah
menempati tempat duduk masing-masing. Sekarang Niken udah kelas 3, tepatnya kelas
3IPA-1, dan tentu aja kelas mereka juga pindah, juga posisi tempat duduk masingmasing anak. Walau begitu Niken tetap duduk bareng Amalia di tengah kelas.
Sudah seminggu sekolah dimulai, tapi Vira belum sekali pun masuk. Untung
selama seminggu ini kehadiran siswa belum diabsen, karena kabarnya daftar
absensinya belum jadi (maklum, namanya aja sekolah negeri). Padahal peraturannya,
tiga kali nggak masuk tanpa alasan jelas dalam satu semester, murid bersangkutan
bakal berhadapan dengan Guru BP.
Kamu ke mana sih" tanya Niken dalam hati. Apa Vira sakit" Niken sudah beberapa
kali menghubungi HP Vira, tapi nggak aktif terus. Ditelepon ke rumahnya juga nggak
pernah ada yang ngangkat. Bahkan saat Niken ke rumah Vira bareng Rei, rumah itu
terkunci pagarnya, kayak nggak ada penghuninya. Vira seakan hilang ditelan bumi.
"Ken, bener kalo Vira balik lagi ke SMA lamanya?" tanya Amalia lagi.
Gosip Vira balik lagi ke SMA Altavia memang kencang berembus beberapa hari
terakhir ini. Nggak tahu siapa yang nyebarin gosip ini, tapi katanya ada bukti-bukti
yang menguatkannya. "Katanya sih pas lagi penerimaan siswa baru, Vira pernah dateng ke sekolah bareng
ibunya dan kayaknya lagi ngurus sesuatu tuh di ruang TU. Mungkin ngurus
kepindahannya," kata Rini, anak kelas 3IPS-2.
"Aku juga pernah liat Vira di IP. Dia lagi jalan ama temen-temennya. Kayaknya sih
anak-anak Altavia, soalnya pakaian mereka kelihatan mahal-mahal," kata Ani, anak
kelas 3IPA-2 di kesempatan lain.
Tapi Niken sama sekali nggak percaya dengan semua gosip itu. Dia pikir, kalau
benar-benar balik ke SMA Altavia, pasti Vira ngasih tahu dia. Lagi pula Vira pernah
bilang dia nggak bakal balik lagi ke SMA Altavia. Niken juga sudah pernah bertanya ke
Pak Ihsan, salah satu pegawai TU yang ngurusin soal administrasi siswa, dan Pak Ihsan
mengaku nggak pernah ngurus soal kepindahan Vira.
"Ada tiga orang yang pindah sekolah, dan tiga-tiganya anak kelas 1 yang naek ke
kelas 2, seingat Bapak nggak ada yang namanya Savira Priskila," ujar Pak Ihsan.
Tapi kalau Vira nggak pindah, ke mana dia" Niken sudah lama nggak ketemu Vira
sejak di Parijs van Java itu. Selain dia sibuk jadi panitia MOS bareng Rei, Vira juga
nggak pernah menelepon atau main ke rumahnya lagi.
Kalau kabar yang bilang Vira datang ke sekolah bareng mamanya itu bener, untuk
urusan apa" Urusan apa yang begitu penting sehingga harus datang bareng orangtua
selain urusan SPP atau urusan pindah sekolah" Vira nggak mungkin kan bermasalah
dengan uang SPP" Vira memang bilang nggak akan balik lagi ke SMA Altavia, tapi bisa saja dia
berubah pikiran. Siapa sih yang nggak mau sekolah di SMA Altavia, SMA terbaik di
Bandung yang walaupun akhir-akhir ini sering mendapat sorotan negatif, popularitasnya masih tetap tinggi di masyarakat. Vira memang pernah disakiti di sana
setelah kekayaan keluarganya disita, tapi sekarang dia sudah mendapatkan semua
hartanya lagi, dan pihak SMA Altavia pasti mau menerima kembali kehadiran Vira,
salah satu atlet basket cewek paling berbakat di Bandung. Vira tentu pengin mencari
yang terbaik bagi dirinya dan masa depannya, dan itu mungkin nggak bakal dia
dapetkan kalau tetap sekolah di SMA 31.
"Vira belum masuk?" tanya Rei saat lewat di depan kelas 3IPA-1. Saat itu jam
pelajaran belum mulai. Guru-guru belum masuk ke kelas.
Niken menggeleng. "Gimana ya?" Rei menggaruk-garuk kepalanya.
"Ntar sore bakal ada seleksi awal untuk anak-anak baru yang masuk ekskul basket.
Vira sangat dibutuhin untuk ikut menilai seleksi."
"Seleksi?" tanya Niken heran. Setahu dia, nggak pernah ada seleksi untuk masuk
ekskul mana pun di SMA 31, termasuk basket.
"Iya, tahun ini kita terpaksa ngadain seleksi untuk yang mo masuk ekskul basket.
Kalo nggak, kita bakal kerepotan sendiri," jawab Rei.
"Emang yang daftar banyak?"
Sebagai jawaban, Rei menunjukkan map yang dibawanya, yang berisi setumpuk
tebal kertas. "Terbanyak dalam sejarah. Ini aku cuma bawa data dari dua kelas. Mungkin jumlah
yang daftar seratus orang lebih. Makanya, kalo nggak diseleksi, mo latihan di mana
dengan jumlah orang sebanyak itu" Kita kan belum bisa nyewa lapangan di luar."
Niken memandang map di tangan Rei. Dia maklum, setelah prestasi fenomenal tim
cewek SMA 31 di turnamen basket sebulan yang lalu, ekskul basket langsung naik
daun, jadi primadona di mata anak-anak baru. Saat pengenalan ekskul di acara MOS
kemarin, ekskul basket paling banyak ditonton, hampir semua anak baru nonton saat
acara presentasi. Oya, setelah melalui rapat dan protes dari para siswanya, akhirnya pihak sekolah
membatalkan pengurangan ekskul di lingkungan SMA 31. Hanya ekskul yang bersifat
keagamaan seperti DKM dan Rokris yang dihilangkan, dan sekarang dijadikan
kegiatan wajib semua siswa SMA 31 setiap Minggu pagi sebagai bagian dari pelajaran
agama. Ada ekskul yang digabung seperti ekskul seni lukis, seni tari, kabaret, dan
angklung yang digabung dalam ekskul kesenian. Sisanya tetap seperti semula, tapi
subsidi untuk semua ekskul dipotong hingga setengahnya. SEtiap ekskul sekarang
harus membiayai dirinya sendiri, dan kalau nggak mampu, baru akan dibubarkan.
Walau begitu, ekskul-ekskul tersebut nggak boleh memungut uang iuran anggota lebih
dari sepuluh ribu perak per bulan.
"Masa iuran untuk anggota ekskul bisa lebih mahal daripada SPP SMA 31 yang
besarnya lima puluh ribu per bulan?" kata Pak Atmo saat rapat.
Karena itulah, cara lain untuk membiayai kegiatannya, setiap ekskul harus punya
sponsor dari luar. Dan satu-satunya cara mendapatkan sponsor adalah dengan
menghasilkan prestasi yang bisa membuat sponsor tertarik.
"Dan bakal terjadi seleksi alam. Ekskul yang nggak mampu bertahan akan
tersingkir dengan sendirinya. Ini lebih baik dari pada kita yang sengaja menghapus
keberadaan mereka," lanjut Pak Atmo.
*** Pelajaran pertama untuk kelas 3IPA-1 di hari Senin ini adalah pelajaran bahasa
Indonesia. Saat Bu Nani, guru bahasa Indonesia yang potongan rambutnya selalu
pendek kayak almarhum Lady Diana itu mengabsen anak-anak didiknya, pintu kelas
diketuk dari luar. "Maaf, Bu, saya terlambat?"
Semua penghuni kelas 3IPA-1 spontan menoleh ke arah pintu kelas, termasuk
Niken. Dan melihat siapa yang baru aja datang, senyum Niken mengembang lebar.
*** "Kamu ke mana aja" Gosipnya kamu balik lagi ke SMA Altavia," tanya Niken saat jam
pelajaran bahasa Indonesia selesai. Pelajaran berikutnya adalah matematika,d an Pak
Sigit yang mengajar belum datang. Jadi Niken memanfaatkan waktu itu dengan
mendekati Vira di mejanya. Untuk sementara, Yuli yang merupakan teman sebangku
Vira mengungsi dulu ke sebelah Amalia.
"Balik ke Altavia?" Vira mengernyitkan kening sebentar, lalu ketawa. "Apa mereka
mau nerima aku lagi?" dia balik bertanya.
"Kenapa nggak" Kamu kan udah jadi orang kaya lagi, dan atlet basket berbakat.
Mereka pasti nggak pengin kejadian kayak di final kemaren terulang lagi. Kalo kamu
masuk tim basket Altavia, mereka bakal jadi tambah kuat, kan?"
"Kalo pun mereka mau nerima aku pun, aku nggak bakal balik ke sana kok."
"Kenapa?" Kan SMA Altavia lebih baik daripada sini."
"Baik menurut siapa?"
"Yaa" fasilitasnya lebih lengkap. Ruang belajarnya lebih bagus, dan?"
"Bagi aku, SMA 31 lebih baik dari SMA Altavia," potong Vira.
"Hah" Masa" Bagaimana mungkin?"
"Menurutku, sekolah yang terbaik bukan sekolah yang punya fasilitas lengkap,
guru bonafid, atau yang punya reputasi bagus. Sekolah yang baik adalah sekolah yang
mampu memberikan perlindungan, kenyamanan, hingga membuat murid-muridnya
bisa belajar dengan tenang, merasa betah dan bangga sekolah di situ. Itu sekolah
terbaik menurutku, dan aku dapetin semua itu di SMA 31, bukan di SMA Altavia."
"Kamu bisa aja?"
"Dan ternyata nggak cuman aku yang merasa begitu."
"Maksud kamu?" tanya Niken heran.
"Besok SMA 31 bakal kedatangan murid baru."
"Murid baru" Siapa?"
"Amel." "Amel" Amel teman kamu di Altavia itu?"
Vira mengangguk. "Harusnya dia mulai masuk hari ini, tapi udah beberapa hari dia sakit, dan baru
sembuh. Jadi mungkin baru besok bisa masuk," lanjut Vira.
"Tapi" kenapa Amel pindah ke sini?"
"Kan tadi aku bilang, Amel juga sependapat denganku mengenai sekolah terbaik."
"Iyaa" tapi aneh juga?" Niken cuma bisa geleng-geleng. Baginya orang yang
pindah dari sekolah favorit ke sekolah yang "biasa-biasa" saja tanpa sebab yang jelas
itu benar-benar aneh. "Jadi, Amel bakal sekelas dengan kita?" tanya Niken.
"Maunya sih gitu. Tapi ternyata kelas kita udah penuh, jadi Amel masuk kelas
3IPA-3." "Sekelas dengan Rei dong?"
Vira cuma ketawa sambil menepuk pundak Niken.
"Jangan khawatir, Amel nggak bakal ngerebut Rei dari kamu. Dia bukan tipe Rei
kok, dan Rei juga bukan tipe dia."
"Yeee" aku nggak mikirin soal itu."
*** Niken masih belum puas ngobrol dengan Vira. Saat jam istirahat, dia kembali ngobrol
dengan Vira di bawah pohon beringin di halaman samping sekolah. Ada bangku di
sana, dan mereka mengobrol sambil makan tahu goreng yang dibawa Niken dari
rumahnya (kebiasaan baru Niken, bawa bekal dari rumah. Katanya biar ngirit uang
Lovasket Karya Luna Torashyngu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
jajan). "Jadi, kamu pergi ke Australia" Katanya nggak bakal ke mana-mana selama liburan
ini"," tanya Niken sambil mengunyah tahu. Vira nyengir.
"Aku berubah pikiran. Oya" Ada tuh oleh-oleh buat kamu, Panji, dan ibu kamu.
Ntar aku anterin ke rumah deh."
"Thanks. Kamu pergi ama papa dan mama kamu?"
"Nggak. Sendirian."
"Sendirian" Tapi kok waktu aku ke rumah kamu, rumah kamu kosong, nggak ada
siapa-siapa" Ditelepon juga nggak ada yang ngangkat. Juga ke HP kamu."
"Ooo" itu?" Vira menepuk keningnya. "Aku lupa ngasih tau kamu, Papa dan
Mama udah pindah ke Jakarta. Papa dapet tawaran kerja di sana, ya jelas nggak ada
orang, karena Papa dan Mama udah pergi ke Jakarta. Dan soal telepon, jelas aja nggak
bisa karena nomorku kan nggak bisa dipake di Aussie. Aku pake nomor sana dan lupa
nggak ngasih tau kamu. Sori yaaa?"
"Nggak papa. Jadi rumah kamu mo dijual" Kenapa?"
"Yee" kalo Papa ama Mama di Jakarta, aku sendirian dong di sini. Ngapain tinggal
di rumah segede itu sendirian" Papa dan Mama sebetulnya ngajak aku pindah sekolah
di Jakarta, tapi aku nggak mau. Tanggung kan, sekolahku tinggal setahun lagi, dan aku
udah betah di sini."
"Yee" Jadi kamu mo tinggal di mana kalo rumah itu dijual?" tanya Niken lagi.
"Lho" aku kan masih punya rumah satu lagi?"
"Di mana?" "Deket rumah temenku yang bawel dan dulu selalu ngerecokin aku tiap pagi, yang
dulu tempat jualan lotek, karedok, dan yang ada bunga mawar di halaman kecilnya,"
jawab Vira sambil tersenyum.
"Di situ" Kamu mo tinggal di situ lagi?"
"Kenapa nggak" Sebetulnya kontrak rumah itu kan belum abis. Dan kemaren Mama
dan Papa mutusin membeli rumah itu, serta merenovasinya supaya lebih baik. Jadi
mungkin sekitar tiga bulan lagi aku bakal pindah ke sana. Sementara ini yaa" tinggal
sendirian deh di istana yang gede itu bareng Bi Narsih dan Wati. Atau kamu nemenin
aku deh! Sekali-sekali nginep di sana. Mau, kan" Ngajak temen-temen yang lain juga
boleh. Kita bikin acara ladies night setiap malem. Gimana?"
"Boleh juga"," kata Niken sambil tersenyum-senyum sendiri, membayangkan
keasyikan ladies night di rumah Vira yang besar. "O ya" Tadi Rei nyariin kamu. Mo
bahas soal seleksi basket ntar sore," lanjutnya tiba-tiba teringat pesan cowoknya tadi
pagi. "Oya" Basket nggak jadi dihapus ya" Syukur deh. Gimana hubungan kamu ama
Rei" Baek-baek aja, kan?" tanya Vira.
"Baek?" Niken dan Vira diam sebentar, melihat ke arah lapangan dan anak-anak kelas 1
yang berseliweran di depan mereka.
"Aku mo nanya sesuatu ke kamu, tapi jangan marah ya," ujar Niken.
"Mo nanya apa?"
"Apa kamu sama sekali nggak pernah tertarik ama Rei" Kalian kan sering jalan
bareng. Apa nggak pernah ada perasaan ke dia?" tanya Niken lirih.
Vira menatap Niken begitu mendengar partanyaannya.
"Maksud kamu nanya gitu apa" Kamu masih nggak percaya ama Rei, ama aku"
Atau ini pertanyaan menjebak?" Vira balik bertanya.
"Jangan salah sangka. Aku percaya sepenuhnya ke kamu dan Rei. Aku cuman
heran, cewek kayak kamu dan cowok kayak Rei bisa nggak punya hubungan apa-apa
selain temen. Padahal kalian sering jalan bareng, punya hobi yang sama. Pasti ada
sebabnya. Aku cuman pengin tau kenapa.
"Kamu bener-bener pengin tau?"
"Kalo kamu nggak keberatan."
Vira menarik napas dalam-dalam.
"Rei emang cowok keren, baek, dan perhatian. Cewek mana yang nggak jatuh cinta
ama dia, kecuali cewek nggak normal"," ujar Vira, ?"tapi aku nggak bisa punya
hubungan dengan Rei lebih dari hubungan teman karena beberapa alasan?" Vira
berhenti sebentar, mengatur kalimat berikutnya. Niken menunggu dengan sabar (dan
penasaran). "Pertama, aku nggak mau nyakitin hati kamu. Dari awal aku udah curiga kalo
hubungan kamu dan Rei bukan sekadar hubungan teman biasa. Kalian punya perasaan
yang masih disimpan di dalam hati dan malu untuk ngeluarin perasaan kalian satu
sama lain. Dan lagi, Rei juga nggak pernah berusaha pedekate ke aku, dan aku liat dia
memberi perhatian lebih ke kamu, juga sebaliknya.
"Kamu juga udah baek ke aku, dan udah banyak nolong aku, jadi aku juga nggak
berusaha ngedeketin Rei kalo itu cuman akan nyakitin hati kamu dan bikin
persahabatan kita jadi retak."
So sweet" Niken jadi terharu mendengarnya.
"Kedua, aku udah kapok pacaran ama kapten tim basket dan cowok paling populer
di sekolah. Jadi kali ini biar kamu aja yang ngerasain gimana rasanya pacaran ama seleb
sekolah yang selalu dikejar-kejar cewek."
Ucapan Vira bikin Niken tersenyum.
"Dan terakhir?" Vira kembali berhenti. Cukup lama sampai Niken merasa Vira
berat untuk ngomong. "Apa yang terakhir?" tanya Niken, nggak sabar akhirnya.
"Aku udah suka ama cowok lain, dan aku juga ke Aussie dalam rangka pedekate
ama dia," jawab Vira sambil tersenyum, bikin Niken kaget.
"Hah" Cowok kamu di Australia" Dan kamu ke sana cuman buat pedekate?" tanya
Niken. Vira nyengir. "Kamu kok nggak bilang-bilang kalo lagi naksir cowok" Trus gimana" Udah
pedekatenya?" "Kami udah jadian kemaren, saat aku mo pulang ke sini," jawab Vira.
"Waahhh" romantis banget. Kamu pasti ntar sering-sering ke sana buat nemuin
cowok kamu. Atau dia yang ntar bakal sering ke sini?"
"Tenang aja" nanti dia juga ke sini kok kalo liburan, sekalian ke rumah ortunya."
"Ke rumah ortunya" Jadi cowok kamu bukan orang Australia asli?"
"Bukanlah! Aku masih suka barang lokal kok! Dia orang Bandung yang lagi kuliah
di Sydney. Aku pertama kali kenal dia pas dia lagi liburan di sini," jawab Vira sambil
ketawa. "Wah" jadi dia bakal sering pulang dong kalo pas liburan. Kapan-kapan kalo dia
ke Bandung, kenalin yaaa?"
"Nggak ah." "Kenapa" Aku cuman pengin tau aja kok. Pengin tau tipe cowok kamu yang kayak
gimana. Atau kalo nggak mau, liat fotonya aja deh"," kata Niken setengah memaksa.
"Bukan gitu" Aku nggak perlu ngenalin kamu ke dia, karena sebetulnya kamu
udah kenal kok, bahkan jauh sebelum aku kenal dia," tukas Vira.
"Aku udah kenal" Masa sih" Siapa?"
Bel tanda waktu istirahat selesai berbunyi. Vira berdiri dari tempat duduknya.
"Masuk yuk!" ajak Vira. Tapi Niken masih tetap duduk. Dia lagi mikirin ucapan
Vira tentang cowoknya itu.
Orang Bandung yang kuliah di Sydney, dan Vira bilang aku udah lama kenal dia"
Siapa" tanya Niken dalam hati.
Tiba-tiba mata Niken membelalak, sepertinya dia menemukan sesuatu di dalam
pikirannya. Niken menatap Vira dengan pandangan nggak percaya.
"Vi, kamu jangan bilang kalo cowok kamu itu?"
Vira cuman ngakak, lalu berjalan ke kelasnya, meninggalkan Niken. Niken berdiri
lalu mengejar Vira. "Viraa" Kamu nggak jadian ama Kak Aji, kan?"
Petir Di Mahameru Satu 1 Alexs Wish Karya Elcy Anastasia Siasat Yang Biadab 1
pertandingan C-tra Arena sudah mulai dipadati penonton. Satu jam sebelum
pertandingan, hampir-hampir nggak ada tempat duduk yang tersisa. Semua penuh.
Para penonton sebagian di antaranya adalah suporter kedua tim. Bahkan di deretan
suporter SMA 31 yang kayaknya hampir satu sekolah itu (kabarnya, dengan dibantu
Amel, Vira memborong tiket masuk untuk teman-teman sekolahnya), terdapat juga
guru-guru, juga Pak Atmo, Kepsek SMA 31 yang dalam beberapa waktu terakhir ini
disebelin anak-anak didiknya sendiri karena rencananya mengurangi ekskul yang ada
di sekolah. Saat ditanya kemungkinan ekskul basket bakal dipertahankan dengan
prestasi tim ceweknya sejauh ini, Pak Atmo cuma menjawab dengan (sok) diplomatis,
"Tunjukkan dulu prestasi terbaik kalian, baru kita bicarakan itu nanti."
Dasar Kepsek! *** "Vira belum dateng juga?" tanya Rida yang baru keluar dari kamar mandi di ruang
ganti pemain. Semua anggota tim menggeleng.
"Aneh! Ke mana sih dia" Biasanya dia yang paling duluan dateng," kata Rida. Dia
melihat jam yang tergantung di tembok. Lima belas menit lagi pertandingan akan
dimulai, danmereka sebentar lagi harus masuk lapangan. Oya, untuk pertandingan
final ini tim basket cewek SMA 31 pake seragam baru. Seragam berwarna perak dengan
hiasan garis warna emas di pinggirnya. Sekarang bukan cuma tertera nomor punggung
pemain seperti seragam mereka sebelumnya, tapi juga nama pemain tersebut. Seragam
ini dipesan oleh Vira dan baru dibagikan tadi pagi oleh Niken. Selain itu, setiap pemain
juga dapat sepatu baru, sesuai ukuran kaki mereka.
"Kamu nggak punya strategi untuk pertandingan ini?" tanya Imas, mantan anggota
tim basket SMA 31 yang baru saja lulus. Dia dan dua temannya mantan anggota tim
basket cewek SMA 31 memang termasuk official tim cewek, membantu ngurusin hal-hal
nonteknis. Rida menggeleng. "Biasanya Vira yang ngatur strategi. Dia yang tahu setiap kekuatan dan kelemahan
lawan-lawan kita," katanya.
Pintu ruang ganti pemain terbuka. Ternyata seorang panitia cewek yang minta
supaya tim SMA 31 bersiap-siap masuk lapangan.
"Gimana nih?" tanya Dini.
"Berapa nomor HP Vira" Biar aku telepon," ujar Imas. Ternyata nggak ada yang
tahu nomor HP Vira. Rida yang punya HP juga cuma tahu nomor HP Vira yang lama,
bukan yang sekarang. Pintu ruang ganti kembali terbuka. Semua berharap Vira yang datang. Tapi ternyata
Niken. "Kebetulan. Ken, kamu pasti tau nomor HP Vira," kata Imas.
Niken mengangguk perlahan.
"Kalo gitu cepat telepon dia. Tanya dia ada di mana. Bilang, pertandingan udah mo
mulai," sambung Dini.
"Nih pake HP-ku?" Imas menyodorkan HP-nya.
Tapi Niken tetap diam. Dia nggak bergerak dari depan pintu. Hanya menatap ke
arah teman-temannya. "Ken?" "Tadi Vira nelepon. Dia ngasih tau strategi untuk pertandingan ini," ujar Niken
sambil nyerahin selembar kertas yang dibawanya. Kertas itu diambil Rida yang lalu
membacanya bersama Imas. "Defend, pressure. Konsentrasi di zona pertahanan. Lawan punya skill individu
tinggi, tapi lemah di three point," Rida membaca apa yang tertulis di kertas. Juga ada
susunan pemain "versi" Vira yang ditulis Niken berdasarkan telepon darinya.
"Vira ke mana?" tanya Imas.
Niken cuma menggeleng. "Vira cuman bilang ada urusan penting, dan bakal dateng kalo urusannya udah
selesai," sahut Niken.
"Urusan apa yang lebih penting dari final basket hari ini?" tanya Rida mulai emosi.
Tapi mendadak dia terdiam.
"Aku tau"," ujarnya kemudian. "Vira pasti nggak mau melawan tim dari bekas
sekolahnya sendiri. Dasar penipu! Selama ini dia bikin kita percaya, kita bisa ngalahin
SMA Altavia. Tapi saat itu tiba, dia sendiri yang lari ketakutan. Dasar brengsek!!"
Ucapan itu membuat seluruh anggota tim tersentak. Mereka sama sekali nggak
percaya dengan apa yang baru aja diucapkan Rida. Vira nggak mau bertanding
melawan SMA Altavia"
"Tapi ini nggak mungkin, Da! Vira sendiri yang selalu bilang dia pengin melawan
anak-anak SMA Altavia. Dia begitu semangat. Jadi nggak mungkin"," kata Dini.
"Iya, kamu jangan ngomong sembarangan. Vira nggak bakal kayak gitu," sangkal
Niken. "Kamu pasti bela dia, karena kamu sahabat dia," tukas Rida.
"Tapi kamu juga nggak tau kan apa bener Vira nggak mau ngelawan bekas
timnya?" Rida terdiam mendengar ucapan Niken itu.
"Coba kamu telepon Vira. Tanya di mana dia sekarang," ujar Imas.
"Aku udah coba, tapi HP-nya nggak aktif," sahut Niken.
"Kalo telepon ke rumah?"
"Mamanya bilang, Vira udah pergi dari pagi."
"Ke mana dia?" tanya Imas dan mungkin juga semua orang yang ada di situ.
Mereka semua punya pertanyaan yang sama tentang Vira. Ada urusan penting apa
sampai Vira mengorbankan final sore ini, dan di mana dia sekarang"
Seorang panitia cewek kembali muncul di balik pintu.
"Sekarang saatnya masuk ke lapangan!" katanya mengingatkan.
"Tunggu sebentar, Mbak," balas Rida.
Panitia itu kembali menghilang di balik pintu.
"Gimana nih?" tanya Dini.
"Udah tanggung. Kita udah masuk final. Apa pun yang terjadi kita harus hadapi.
Jangan bikin malu nama sekolah," ujar Rida.
"Kita akan dibantai"," kata Mia. Ekspresi wajahnya kelihatan seperti mau
menangis. "Belum tentu. Kita pake strategi dari Vira, karena bagaimanapun dia yang tau
kekuatan dan kelemahan SMA Altavia. Untuk starter, seperti saat Final Four. Posisi Vira
digantikan Tria. Kamu bareng Mia jadi guard. Aku center, Rena dan Dini forward.
Quarter pertama ini kita fokus pada pertahanan. Jangan sampe selisih angka kita dan
mereka beda jauh. Oke?"
Semua anggota tim mengangguk, walau dengan penuh keraguan.
Rida merangkul teman-temannya.
"Apa pun hasil pertandingannya nanti, kita udah melakukan yang terbaik. Aku
tetap bangga jadi bagian tim ini," Rida memberi semangat teman-temannya.
*** Nggak adanya Vira di tim SMA 31 menimbulkan pertanyaan semua orang, dari
penonton sampai supporter SMA 31, termasuk Rei.
"Vira mana?" tanya Rei pada Niken.
"Ntar aku ceritain, Rei"," jawab Niken sambil menarik tangan Rei untuk duduk.
Pandangan Niken lalu tertuju pada Amel yang kali ini duduk di deretan anak SMA
Altavia. Pandangannya bertemu dengan tatapan Niken yang juga sedang memandang
ke arahnya, seolah ada komunikasi di antara keduanya.
*** "Vira nggak ada, Stel," kata Alexa.
Stella yang lagi melakukan pemanasan di pinggir lapangan menoleh ke arah tim
SMA 31. "Kira-kira kenapa ya" Nggak mungkin Vira nggak dateng kalo nggak ada apa-apa,"
lanjut Alexa. "Mana gue tau"," balas Stella.
"Yang gue tau" Ini berarti saatnya kita berpesta! Tunjukkin ke mereka cara maen
basket yang sebenarnya. Kita juara Se-Jawa-Bali, masa kalah melawan tim kampung
kayak mereka?" lanjutnya memberi semangat sambil menatap ke arah tim SMA 31
dengan pandangan seperti harimau kelaparan melihat banyak makanan di depannya.
*** Seperti sudah diduga, tanpa Vira kekuatan SMA 31 berkurang drastis. Tapi bukan
berarti mereka jadi bulan-bulanan SMA Altavia. Rida dan teman-temannya tetap
mampu memberikan perlawanan sengit. Anak-anak SMA Altavia nggak gampang
memasukkan bola ke ring SMA 31. Penjagaan ketat SMA 31 di daerah pertahanannya
membuat tim SMA Altavia nggak bisa bergerak bebas, walau untuk itu banyak personal
foul dilakukan oleh tim SMA 31. Penonton juga memberi semangat pada Rida, Dini,
Rena, Tria, dan Mia, selain tekad mereka untuk membuktikan tim ini nggak tergantung
pada satu orang saja. Mereka lumayan juga! puji Stella dalam hati. Stella yang berposisi sebagai center
mendapat operan dari Alexa. Dia langsung berhadapan dengan Rida. Stella butuh
waktu lebih dari sepuluh detik untuk melewati Rida yang menempelnya dengan ketat.
Lolos dari Rida yang nggak berani melakukan foul, Tria menghadangnya. Kali ini Stella
nggak mau buang waktu lagi karena shot clock untuk SMA Altavia tinggal sebelas detik
lagi. Dia memberikan bola pada Dessy yang ada di pinggir garis tiga angka.
"Shot, Des!" seru Stella. Dessy melihat shot clock tinggal delapan detik, dan
memutuskan untuk menuruti seruan Stella. Dessy menembak dari sudut kiri ring.
Dengan dibayang-bayangi Dini.
Gagal! Lemparan Dessy terlalu keras hingga bola membentur board dan memantul
kembali ke tengah lapangan. Saat itu Stella tiba-tiba masuk dari tengah, dan
menyambar bola yang memantul serta melemparkannya lagi ke ring tanpa sempat
dihalangi Rida yang kalah tinggi badan. Kali ini bola meluncur mulus ke dalam ring.
Stella berhasil mencetak angka dari bola rebound"hasil pantulan dari board.
*** Quarter pertama berakhir dengan kedudukan 21-14. Skor yang nggak begitu mencolok.
Itu karena SMA Altavia nggak gampang masukin bola ke ring SMA 31. Dan lagi,
kelihatannya anak-anak SMA Altavia agak kendor permainannya. Mereka nggak
begitu bersemangat, nggak seganas di babak-babak sebelumnya. Itu terjadi terutama
pada Stella. Terus terang, Stella kecewa dengan nggak datengnya Vira. Dengan begitu,
dia masih harus memendam rasa penasarannya.
Di quarter kedua, tim SMA 31 dan SMA Altavia sama-sama mengubah strategi.
Mengetahui pertahanan SMA 31 nggak gampang ditembus, SMA Altavia memasukkan
penembak-penembak tiga angkanya. Bahkan Stella juga diganti, dan dia nggak
keberatan dengan keputusan Pak Andryan, soalnya dia juga kehilangan semangat
bertanding. Dan pikir Stella, tanpa dia SMA Altavia juga pasti menang.
Sementara itu, SMA 31 juga mengganti pemainnya. Dini diganti Irma, sedang Rena
diganti Dewi. Strategi mereka tetap bertahan, karena menurut Rida dan Rei, itu yang
terbaik. Cuma kali ini mereka mencoba mencuri serangan lewat turn over"serangan
balik. Karena itu butuh forward yang masih fresh dan lebih bertenaga.
Quarter kedua sudah berjalan sekitar enam menit, dengan skor 29-19, masih untuk
keunggulan SMA Altavia. Saat bola berada di tangan Mia setelah mereka baru saja
kemasukan, tiba-tiba terdengar suara-suara ribut dari arah penonton. Awalnya suarasuara itu terdengar kecil, tapi lama-lama membesar, dan akhirnya bergema di seluruh
gedung, diiringi tepukan tangan yang makin keras. Akhirnya semua orang tahu,
kenapa penonton bertepuk tangan.
Vira baru masuk C-tra Arena!
Dua Puluh Enam "ROBI ngomong apa ke lo?" tanya Stephanie pada Vira. Mereka berdua sedang ngobrol
di sebuah kafe terbuka di Dago Plaza.
"Dia bilang, kalo gue nggak dateng ke pertandingan final, para pengurus yayasan
akan nerima gue lagi sekolah di Altavia," jawab Vira.
"Dan lo berminat balik lagi ke Altavia?"
Vira nggak lagi menjawab pertanyaan Stephanie. Dia cuma diam sambil mengaduk
ice cappucino-nya. "Setelah apa yang udah mereka lakukan pada lo dulu?"
"Kalopun gue balik ke Altavia, itu bukan untuk diri gue, tapi untuk Amel. Gue
nggak tega ngebiarin dia sendirian di sana, di antara orang-orang yang sama sekali
nggak nganggap dirinya sebagai bagian dari mereka."
Stephanie mengisap rokok putihnya dalam-dalam, sambil menatap Vira.
"Gue nggak yakin lo ngomong jujur. Bahwa lo mo balik ke Altavia cuman demi
Amel." Lagi-lagi Vira cuma diam mendengar ucapan Stephanie.
"Tapi gue nggak peduli apa motivasi lo kalo emang lo mo balik lagi ke Altavia. Gue
nemuin lo cuman pengin tau, apa yang ditawarin Robi ke lo."
"Jadi lo udah tau soal ini?"
Stephanie mematikan sisa rokoknya yang memang sudah mau abis. Lalu dia minum
Blue Sky-nya, cairan biru langit itu terasa manis, tapi juga lamat-lamat terasa jeruk
nipisnya. "Lo mungkin belum tau, sejak Robi jadi ketua ekskul basket, nggak semua
kemenangan tim basket Altavia murni karena usaha sendiri," ujar Stephanie, memubat
Vira heran. "Maksud lo?" "Sebelum pertandingan, biasanya Robi dan temen-temennya akan menghubungi
satu atau dua orang pemain calon lawan yang dianggap paling berpengaruh dalam
permainan timnya. Dia akan membuat penawaran agar pemain lawannya itu nggak
dateng atau bermain jelek saat pertandingan. Biasanya berupa tawaran uang, atau
sesuatu yang nggak mungkin ditolak. Kalo nggak, Robi bakal ngintimidasi lawannya
itu?" Vira benar-benar nggak percaya dengan apa yang baru dikatakan Stephanie. Walau
sudah tahu sifat Robi dan sebagian anak SMA Altavia yang memang suka seenaknya
sendiri itu, dia tetap nggak nyangka Robi berani melakukan hal yang menurutnya
sangat nggak sportif dalam dunia olahraga.
"Gue nggak bilang kalo kemenangan tim basket kita selama ini bukan karena kerja
keras kita di lapangan. Saat kita juara di Jakarta, itu murni hasil kerja keras dan
kehebatan tim kita. Robi cuman bisa melakukan itu terhadap tim-tim dari Bandung. Di
luar itu, dia nggak bisa berbuat apa-apa. Dan dia biasanya juga cuman melakukan ini
untuk kemenangan tim cowok. Lo tau kan prestasi tim cowok kalah dari tim cewek"
Tim cewek Altavia emang kuat. Tanpa cara-cara kotor seperti ini mereka juga bisa
menang. Tapi di tim cowok, persaingan lebih merata. Banyak tim sekolah lain yang
juga bagus dan bisa ngalahin tim cowok Altavia. Robi nggak mau prestasi tim cowok
kalah dibandingkan tim cewek."
"Lalu, kenapa lo bisa nebak sekarang Robi ngelakuin hal yang sama untuk tim
cewek?" "Karena gue perhatiin kemaren, Robi kayaknya agak waswas ngeliat permainan tim
SMA 31, terutama permainan lo. Dia nggak yakin tim Altavia bisa menang di final.
Karena itu, Robi mungkin akan mengamankan hal ini. Dan dia pasti ngehubungin pasti
lo, terlepas dari sikapnya ke lo dulu. Gue nggak tau apa Robi juga ngehubungin tementemen lo juga, tapi yang jelas lo adalah target utamanya. Karena itulah gue langsung
nyari lo. Dan ternyata dugaan gue bener."
"Dan, kenapa lo bilang ini ke gue" Lo nggak mau kalo tim Altavia juara lagi?"
"Vira" gue tuh sama ama lo. Gue juga nggak suka hal-hal yang nggak sportif
kayak gini. Selain mencemari nilai-nilai olahraga, kalo sampe hal ini tersiar keluar, bisa
bikin malu nama sekolah. Nama SMA Altavia saat ini udah sedikit tercoreng dengan
kasus Diana, dan gue nggak mau lebih tercoreng lagi, walau gue udah lulus dari sana.
Jelek atau baiknya SMA Altavia, gue pernah sekolah dan dapet ijazah dari sana, jadi
gue bakal tetap menjaga nama baik almamater gue sampe kapan pun."
Ucapan Stephanie benar. Vira juga merasa dia dan Stephanie punya banyak
kesamaan. Mungkin itulah yang membuat dia akrab dengan kakak kelasnya ini.
Stephanie juga yang banyak ngajarin Vira saat Vira baru bergabung dengan ekskul
basket SMA Altavia. ?"dan gue nggak mau lo juga dirusak hal-hal kayak gini. Terus terang, gue sedih
waktu lo keluar dari Altavia. Lo satu-satunya harapan gue untuk menjaga kehormatan
tim basket kita. Walau sikap lo di sekolah kadang-kadang egois dan suka seenaknya,
tapi gue percaya lo masih menjunjung nilai-nilai sportivitas dalam olahraga. Gue juga
selama ini nggak bisa berbuat apa-apa untuk mencegah kelakuan Robi. Tapi kali ini,
gue nggak bisa tinggal diam. Robi udah kelewatan dan merusak kehormatan tim basket
cewek Altavia," lanjut Stephanie.
"Apa Robi ngelakuin ini karena Stella?" tanya Vira.
"Gue nggak yakin. Sebab setau gue, Stella malah pengin bertanding lagi lawan lo.
Dia udah tau kalo saat bertanding 1 on 1 dulu lo sengaja ngalah, dan itu membuatnya
penasaran. Jadi dia nggak mungkin nyuruh Robi minta lo mundur atau bermain jelek,"
sahut Stephanie. "Jadi gue harap, lo tetap bersikap sportif. Masa depan lo di basket
sangat bagus, jangan ngotorin nama lo sendiri. Gue tetep berharap lo cuekin tawaran
Robi dan tetep maen untuk tim sekolah lo. Gue lebih suka tim Altavia kalah terhormat
dari lawan yang emang lebih baik, daripada menang dengan cara curang. Dan belum
tentu apa yang dijanjiin Robi tuh bener."
"Andai bisa segampang itu. Gue emang nggak terlalu peduliin kata-kata Robi. Tapi
lalu gue inget Amel. Kalo gue nggak ikutin permintaan dia, gue takut Amel bakal jadi
sasaran di sekolah. Walau Robi udah lulus, pengaruhnya masih gede. Mungkin mereka
nggak berani ngerjain Amel terang-terangan karena takut ama bokapnya. Tapi bukan
berarti mereka nggak bisa ngerjain dia dengan cara lain. Kalo udah gitu, kasihan
Amel." "Kalo soal itu, lo nggak perlu khawatir. Asal lo tau, saat ini juga lagi ada masalah di
yayasan. Bokap Robi dan beberapa pengurus lain diperiksa dengan tuduhan
penyelewengan keuangan dan jabatan di yayasan. Kalo terbukti, udah pasti bokapnya
bakal dipecat, atau bahkan ditahan polisi. Gue tau dari bokap gue yang ikut sebagai tim
Lovasket Karya Luna Torashyngu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pemeriksa kasus ini. Dan kalo bokapnya nggak jadi ketua yayasan lagi, apalagi Robi
udah lulus, pengaruhnya di Altavia juga bakal berakhir. Selain itu, nggak semua anak
kelas 2 dan 3 juga suka ama Robi. Ada juga yang nggak seneng ama dia tapi nggak
berani terang-terangan. Kalo Rob udah nggak di situ, mereka yang nggak seneng ke dia
pasti bakal lebih terbuka."
"Termasuk lo yang nggak seneng ke Robi, padahal lo kan bekas ceweknya juga?"
Stephanie nggak menanggapi ucapan Vira.
"Cewek-cewek kelas 3 dan 2 juga ada yang masih loyal ama gue. Gue bisa minta
mereka jagain Amel di sekolah," Stephanie malah membelokkan topik bicara. "Lagi
pula bokap Robi nggak jadi ketua yayasan lagi, berarti dia nggak mungkin bisa
menuhin tawarannya ke lo, kan" Dia nggak bisa lagi masukin dan ngeluarin seseorang
dari sekolah seenaknya. Ucapan Stephanie membuat Vira jadi berpikir ulang soal keputusan yang
diambilnya tadi pagi. *** Time-out untuk SMA 31. Saat itu juga hampir seluruh anggota tim mendatangi Vira
yang ada di pinggir lapangan. Juga Niken dan Rei.
"Kamu dari mana aja sih?" bentak Rida. Semua orang yang ada di situ jadi tegang.
Mereka takut, hubungan baik antara Vira dan Rida yang baru terjalin di Final Four
bakal berantakan lagi. "Maaf, tadi aku ada keperluan penting banget, jadi terlambat. Maaf yaa"," jawab
Vira sambil menatap Rida. Tentu dia nggak mungkin ngomong yang sebenarnya. Rida
yang sudah panas bisa ngamuk beneran.
Ketegangan semakin mencekam. Apalagi Rida nggak langsung menanggapi ucapan
Vira, tapi malah memelototi Vira.
"Da"," ujar Dini yang ada di samping Rida dengan lirih, sambil menyenggol pelan
pundak Rida. "Aku terima permintaan maaf kamu. Sekarang kamu mo maen, kan?" ucap Rida
akhirnya, membuat ketegangan sedikit mencair. Bahkan nggak sedikit yang menarik
napas lega, termasuk Niken.
"Ya iyalah. Kalo nggak ngapain aku ke sini?"" Vira melihat ke arah papan skor.
"29-19. Bagus juga, angkanya nggak terlalu jauh," komentar Vira. Syukurlah! Gue
udah takut kalo mereka dibantai habis-habisan! kata Vira dalam hati.
"Kami pake taktik dari kamu. Defense, supaya mereka nggak terlalu banyak bikin
poin," tukas Mia. "Bagus! Lawan mereka, kita jangan terlalu terbuka."
"Sekarang, ini strategi kita untuk menang"," lanjut Vira dengan berapi-api.
*** Pertandingan kembali dilanjutkan. Kali ini SMA 31 masuk dengan formasi terbaiknya.
Mia, Rida, Dini, Rena, dan tentu aja" Vira! Masuknya Vira kembali ke lapangan diikuti
tepuk tangan sebagian besar penonton, terutama pendukung SMA 31. Harapan mereka
yang tadi sempat hilang sekarang muncul lagi. Semua yakin Vira bakal membuat
keajaiban lagi sore ini. "Tunggu sebentar"," kata Vira. Dia lalu berlari ke arah tempat duduk pemain
cadangan SMA Altavia. Di depan Pak Andryan, Vira berhenti dan mengulurkan
tangannya. "Semoga yang terbaik yang menang, Pak," ujar Vira sambil tersenyum.
Pak Andryan membalas uluran tangan Vira.
"Semoga begitu. Good luck!" balas Pak Andryan.
Pandangan Vira lalu terarah ke deretan suporter SMA Altavia yang menatapnya
dengan tatapan yang aneh. Dia melihat Robi yang menatapnya dengan sorot kesal, lalu
menatap Amel yang tersenyum padanya, dan terakhir menatap Stephanie yang
mengacungkan jempol sambil mengangguk. Setelah itu Vira kembali ke tengah
lapangan. "Udah ramah tamahnya?" tanya Stella yang ternyata juga kembali masuk dengan
sinis. Masuknya Vira ternyata juga bikin semangat Stella naik lagi. Akhirnya dia bisa
kembali berduel melawan rivalnya ini!
"Lo dulu udah ngelecehin gue dengan pura-pura kalah. Sekarang gue mo liat, apa lo
masih pura-pura," sambungnya.
"Jangan khawatir, kali ini gue nggak bakal ngecewain lo!" kata Vira sambil
membalas tajam tatapan Stella.
The real battle has began!
Dua Puluh Tujuh "SMA ALTAVIA melakukan serangan. Bola dioper bergantian antara Stella, Julia, dan Farah.
Farah mencoba menerobos pertahanan SMA 31. Dia dihadang Vira. Farah mengembalikan bola
kepada Stella. Stella mencoba masuk, tapi dihadang Rida. Stella berhasil melewati Rida, tapi
posisinya jadi gawat! Sekarang Stella berada di sisi kiri pertahanan SMA 31. Stella mencoba
menerobos lagi, tapi kali ini dihadang Mia. Waktu terus berjalan. Dua belas detik lagi pemain
SMA Altavia harus menembak atau akan terkena shot clock violation. Stella memberi bola
pada Julia. Julia bersiap-siap menembak dari luar garis tiga angka dengan dibayang-bayangi
Dini, dan". oh tidak! Ternyata dia mengoper kembali pada Stella yang berhasil masuk ke daerah
tiga angka, dan Stella lay-up". Masuk! Dua angka tambahan untuk SMA Altavia berkat
tipuan bagus dari Julia dan aksi individu yang memikat dari Stella."
Itulah suara salah seorang penyiar radio Pramita, salah satu radio swasta di
Bandung yang menyiarkan langsung pertandingan final sore ini. Suara sang penyiar
menggambarkan pertandingan berlangsung dalam tempo tinggi dan menegangkan.
Kedua tim bergantian mencetak angka.
"Sekarang bola dikuasai tim SMA 31. Mia mengoper pada Vira. Vira mendribel bola
sebentar. Dia dihadang Dessy. Ooo" Vira berhasil melewati Dessy, dan sekarang berhadapan
dengan Stella. Vira memberi bola pada Tria di belakangnya, Tria mengoper pada Rida, Rida
menuju sisi kiri daerah pertahanan SMA Altavia. Ada Alexa yang terus membayangi dia.
Dan" Rida menembak!!! Sayang! Tembakannya hanya mengenai pinggir ring, tapi bola
memantul berhasil diambil Vira, dan dia berusaha melewati Stella ke bawah ring, dan" ooo"
Vira melakukan blind pass pada Rena yang tidak terkawal, dan Rena menembak" masuk!!!
Skill Vira benar-benar tinggi, melakukan operan tanpa melihat teman yang akan diopernya.
Blind pass-nya benar-benar cantik, membuat Stella terkecoh. Jarang pemain Indonesia bisa
melakukan itu, apalagi untuk pemain putri. Butuh feeling dan kerja sama yang bagus untuk
dapat melakukannya."
*** "Sialan, kita tertipu. Katanya Vira kecapekan setelah maen di Final Four kemaren,
ternyata masih segar gitu," rutuk Alexa saat time-out di menit ke-7 quarter ketiga, di
tengah-tengah arahan Pak Andryan. Napasnya terdengar sudah satu-dua. Menjaga Vira
bagi Alexa adalah tugas yang paling berat. Vira bukan cuma punya teknik tinggi, tapi
juga kecepatan, kelincahan, dan stamina yang kuat. Ini berbeda dengan Stella, yang
walau juga punya teknik tinggi dan cepat, tapi staminanya masih di bawah Vira.
"Kita nggak ditipu. Liat aja," ujar Stella yang lagi berusaha mengatur napasnya
sambil minum. Saat itu juga pandangan Alexa tertuju pada Vira yang ada di kubu SMA
31. Vira terlihat lagi membungkuk, mulutnya terbuka, kayak ikan yang ada di luar air.
Stella membisikkan sesuatu ke Alexa.
"Ha" Lo yakin?" tanya Alexa lirih.
"Udah" lakuin aja. Lo kan yang personal foul-nya paling rendah."
"Tapi?" "Ada apa Alexa" Stella?" tanya Pak Andryan.
"Nggak" nggak ada apa-apa, Pak," jawab Stella. Pak Andryan pun meneruskan
arahannya. *** Pertandingan dilanjutkan lagi. SMA Altavia memasukkan Hanna menggantikan Julia,
sedang dari kubu SMA 31, Irma masuk menggantikan Dini. Skor sekarang adalah 5753, masih untuk keunggulan SMA Altavia.
Mia mulai membangun serangan SMA 31. Bola diberikan pada Irma yang lalu
berhadapan dengan Hanna. Dribbling sebentar, Irma mengoper pada Vira yang
mencoba masuk langsung ke tengah. Alexa mencoba menghadang, dan"
"Curang!" seru Niken dan mungkin juga ribuan penonton lain.
Vira terjatuh setelah Alexa menabraknya. Peluit wasit pun berbunyi. Defensive foul!
"Kamu nggak papa?" tanya Irma yang ada di dekatnya.
"Nggak papa kok."
Saat mencoba bangun, Vira merasa ada nyeri di kaki kanannya.
Shit! Jangan sekarang! batin Vira.
"Kenapa, Vi" Kamu nggak papa, kan?" tanya Irma lagi.
"Nggak" nggak papa."
Saat itu Vira memergoki Stella lagi menatapnya.
Baru kerasa lo! batin Stella. Vira pernah cerita pada Stella bahwa waktu SMP dia
pernah jatuh dari pohon jambu, dan karena cara jatuhnya salah, urat di betis kaki
kanannya terkilir. Walau nggak parah dan bisa sembuh dengan sendirinya, tapi
membutuhkan waktu agak lama dan cukup mengganggu juga. Apalagi sejak saat itu,
kalau Vira sudah terlalu capek dan otot-ototnya tegang, cidera di kaki kanannya itu
suka kambuh. Apalagi kalau terkena hantaman benda keras. Dokter bahkan pernah
bilang Vira nggak boleh main basket lagi, tapi cewek itu tetap nekat. Dan walau
sekarang cidera di kaki kanannya itu jarang kambuh, Stella tahu itu kelemahan Vira,
dan dia memanfaatkannya. Dua lemparan bebas dari Vira menghasilkan angka penuh. Skor berubah jadi 57-55.
SMA 31 semakin mendekati sang juara bertahan.
Serangan dari SMA Altavia. Stella mengatur serangan dari tengah lapangan,
sementara yang lainnya maju. Operan diterima Dessy, yang lalu berusaha mencari
celah. Saat sedang mendribel bola, tiba-tiba Vira yang ada di depannya maju, dan dia
berhasil mencuri bola dari Dessy. Turn over!
Vira langsung berlari menuju ke ring SMA Altavia yang kosong, dengan dibayangbayangi Dessy. Ternyata Stella lebih cepat dari Vira. Saat Stella mengira Vira akan
menembak ke ring, ternyata Vira malah melakukan blind pass ke Rida di belakangnya.
Rida langsung menembak dari jarak dekat, dan masuk! Skor sekarang imbang, 57-57.
Dan bukan hanya itu"
Saat mengira Vira akan menembak, Stella coba menghadang. Dan karena Vira lagi
lari kencang, dia menabrak Stella yang menghadangnya. Keduanya terjatuh dan
tindakan Stella itu adalah defensive foul. Lemparan bebas untuk SMA 31.
Ketika sama-sama jatuh, Stella sempat mengayunkan kakinya ke betis kanan Vira,
membuat Vira mengerang kesakitan. Karena kejadiannya begitu cepat, kejadian itu
nggak dilihat Wasit. Kalo kelihatan, Stella bisa dikeluarkan dari lapangan.
"Vi!" Rida menghampiri Vira.
Lutut Vira terasa nyeri terkena hantaman sepatu Stella. Tapi dia mencoba berdiri,
walau jalannya jadi pincang. Sementara itu Stella sudah lebih dulu berdiri dan berlari
ke tengah lapangan. "Kamu diganti, ya?" ujar Rida yang melihat cara jalan Vira.
"Nggak usah. Nggak papa kok. Tanggung nih! Ntar juga biasa lagi," sahut Vira
sambil menahan nyeri. Vira kembali mengambil lemparan bebas. Dan saat bola yang dilemparkannya
masuk, C-tra Arena terasa mau runtuh karena teriakan penonton yang mendukung
SMA 31. Itu karena perolehan skor SMA 31 mengungguli SMA Altavia. Skor sekarang
57-58 untuk keunggulan SMA 31.
Ayo, kamu bisa! kata Niken dalam hati (kayak iklan aja!). Dia melihat ke arah jam di
papan skor. Quarter ketiga tersisa dua menit lagi. dan setelah itu masih ada quarter
keempat. Apakah SMA 31 bisa mempertahankan keunggulannya"
Time-out untuk SMA Altavia!
Saat time-out, Vira berjalan ke kamar ganti pemain. Nggak lama dia keluar, dengan
kaki kanan memakai pelindung dari tengah paha sampai ke betis.
"Kaki kamu nggak papa kan, Vi?" tanya Rida untuk kesekian kalinya. Rei malah
nyaranin Vira untuk istirahat dulu, tapi Vira menolak.
"Tanggung, tinggal dua menit lagi! Dan kita belum benar-benar aman. Lagi pula
lututku nggak apa-apa kok!" tolak Vira.
*** Karena udah unggul, SMA 31 nggak lagi terlalu offensive. Mereka cenderung bermain
defensive dan hanya mengandalkan serangan balik. Kebalikan dari SMA Altavia.
Mereka menyerang habis-habisan. Dan saat quarter ketiga berakhir, kedudukan kembali
sama kuat, 61-61. "Ini saatnya! Kita habisin dia!" ujar Stella lirih pada Alexa sambil melihat lutut VIra
yang terbungkus pelindung.
"Apa ini nggak bahaya buat Vira, Stel?" tanya Alexa ragu-ragu.
"Tenang aja, dia nggak bakal mati kok!"
*** Saat quarter keempat dimulai, Vira bener-bener dijadikan sasaran tembak pemainpemain SMA Altavia. Setiap dia pegang bola, pasti langsung dihadang seorang pemain
SMA Altavia, lalu "dihantam". Puncaknya saat Vira ditabrak Alexa saat sedang berlari
membawa bola. Kontan dia terjungkal ke belakang.
Melihat itu, pemain SMA 31 lainnya nggak terima. Mereka langsung berlari ke arah
Alexa, juga anggota tim SMA Altavia. Keributan kecil pun terjadi, sementara penonton
mulai menyoraki dan mencemooh tim SMA Altavia yang dinilai sudah nggak sportif
lagi dengan menampilkan permainan kasar di lapangan. Wasit dengan dibantu official
kedua tim berusaha meredakan keributan. Bahkan beberapa guru SMA 31 juga ikut
turun ke lapangan, berusaha menenangkan emosi anak-anak didiknya.
Vira terpaksa dipapah keluar lapangan. Kakinya nggak bisa digerakin lagi. Kaku
dan sakit banget. "Sori"," kata Vira sambil menahan sakit, sementara kakinya dibalut tim medis dari
panitia. Keributan itu akhirnya berhasil diredakan. Alexa langsung dikeluarin dari
pertandingan dan nggak boleh masuk lagi karena pelanggaran yang dilakukannya,
walau dia baru mendapat empat personal foul. Masih di bawah batas seorang pemain
bisa dikeluarkan yaitu enam personal foul. Tapi karena Alexa dianggap melanggar
sportivitas, dia langsung dikeluarin.
"Mereka emang licik," balas Rida.
"Jangan terpancing provokasi mereka. Tetap fokus pada permainan," Vira memberi
arahan. "Aku tahu," kata Rida lalu menoleh ke arah Tria.
"Kamu masuk," katanya.
"Jangan Tria"," potong Vira, membuat Rida heran.
"Kalo bukan Tria, siapa lagi yang bakal gantiin kamu di posisi guard" Cuman Tria
yang bisa." "Bukannya kita masih punya satu guard lagi?"
"Siapa?" "Debi. Suruh dia masuk."
"Debi" Tapi kamu bilang Debi nggak boleh maen lagi."
"Kalo aku pengin Debi nggak maen lagi, aku nggak akan tetap pertahanin dia di
bangku cadangan. Aku cuman bilang Debi baru maen di saat yang tepat. Dan kurasa
ini saat yang tepat. Berapa waktu yang tersisa dan skor saat ini?"
"Tujuh menit lagi, kita ketinggalan enam angka," jawab Niken yang juga ada di situ,
setelah melihat papan skor. Saat itu skor 76-70 untuk SMA Altavia. Sejak kakinya sakit,
permainan Vira memang nggak maksimal lagi. Gerakannya nggak cepat dan licah,
karena tenaganya juga mulai habis. SMA Altavia kembali unggul serta menguasai
permainan. "Mana Debi?" tanya Vira.
Niken memanggil Debi yang duduk di bangku cadangan.
"Kita ketinggalan, sementara waktu udah nggak banyak. Percuma maen defense.
Sekarang kalian maen habis-habisan aja, berusaha cetak angka sebanyak mungkin,
lebih banyak dari mereka. Untuk itu, lebih baik kita ngandelin tembakan-tembakan tiga
angka, sebab sulit menembus pertahanan mereka. Kamu masih latihan three point
seperti yang pernah aku bilang ke kamu, kan?" tanya Vira ke Debi. Debi mengangguk.
"Nah, sekarang saatnya nunjukin kemampuan kamu."
Rida menatap Vira. "Bagaimana dengan asma Debi?" tanya Rida.
Sebagai jawaban, Vira malah kembali bertanya ke Debi.
"Kamu bisa maen, kan?"
Debi mengangguk pelan. "Waktu tinggal tujuh menit lagi, jadi aku rasa nggak masalah bagi kesehatan Debi.
Malah suatu keuntungan bagi kita karena SMA Altavia belum pernah liat permainan
Debi, jadi mereka nggak tau gaya maennya."
"Kamu yakin kita bisa menang dengan cara ini?" tanya Rida.
"Yakin banget. SMA Altavia juga takut pada kalian. Mereka mulai maen kasar, itu
bukti mereka takut kalah. Jadi manfaatin itu. Manfaatin emosi mereka untuk
keuntungan tim kita. Tapi tetap fokus pada permainan dan jangan terbawa emosi serta
permainan kasar mereka."
"Oke" ayo kita selesaikan ini!" Rida menggenggam tangan Vira, diikuti Debi.
Dua Puluh Delapan DUGAAN semua orang termasuk tim SMA Altavia bahwa SMA 31 yang nggak
diperkuat Vira bakal menyerah ternyata keliru. Anak-anak dari SMA negeri di
Bandung Timur itu ternyata tetap memberikan perlawanan sengit, nggak berkurang
sedikit pun. Bahkan, masuknya Debi membuat tim SMA Altavia jadi sedikit kocarkacir. Mereka nggak pernah melihat permainan Debi. Padahal skill Debi nggak kalah
sama Rida. Debi juga jago tembakan tiga angka, apalagi setelah Vira minta Debi melatih
tembakan tiga angkanya lebih intens lagi, kemampuannya jadi meningkat. Itu bikin
pemain-pemain SMA Altavia kaget. Apalagi stamina Debi masih segar, sedang stamina
para pemain SMA Altavia rata-rata sudah berkurang. Bahkan ada yang sudah
kecapekan banget seperti Julia dan Hanna.
"Suatu saat, latihan kamu ini akan berguna," ujar Vira pada Debi dulu.
Ucapan Vira terbukti. Tembakan-tembakan tiga angka Debi membuat SMA 31
mengejar ketinggalannya dari SMA Altavia, bahkan sempat unggul, walau akhirnya
disusul lagi. Kejar-kejaran angka berlangsung seru. Sesuai saran Vira, SMA 31 sekarang
main sangat terbuka. Mereka nggak terlalu memerhatikan pertahanan lagi. Soalnya
Lovasket Karya Luna Torashyngu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kalah dengan selisih angka jauh atau deket sama saja. Sama-sama nggak jadi juara. Jadi
mending berusaha mencetak angka sebanyak-banyaknya. Minimal membuat tim lawan
merasa tertekan dan nggak bisa bebas menyerang.
"Blok!" seru Stella pada Julia, saat melihat Debi kembali akan melakukan tembakan
tiga angka. Julia yang ada di dekat Debi berusaha melompat untuk memblok tembakan
Debi. Tapi terlambat. Bola lebih dulu meluncur dari tangan Debi menuju ke ring, dan
masuk! Debi kembali membuat SMA 31 unggul satu angka.
Shit! rutuk Stella dalam hati. Kalau begini terus, apa yang dia takutkan bakal terjadi
juga. Tanpa Vira, ternyata SMA 31 tetap nggak gampang dikalahkan.
Waktu pertandingan hanya tersisa sekitar satu menit lagi. Sebuah serangan dari
SMA Altavia membuat mereka kembali unggul dua angka. Serangan balasan pun
dibangun SMA 31. Mia membawa bola sendiri hingga melewati garis tengah, sebelum
mengoper pada Debi. "Tenang! Tenang!" seru Rei. Rei yang kalem rupanya ikut terbawa suasana yang
tegang saat ini. Vira dan Niken yang ada di sebelahnya cuma diam. Semuanya tegang.
Vira melihat ke jam pertandingan. Empat puluh detik lagi! batinnya.
Debi langsung dihadang Dessy yang nggak mau melepasnya. Debi berputar
sebentar, lalu memberikan operan pada Rida, yang segera ditempel Stella.
"Da?" Tiba-tiba Dini muncul dari samping. Rida langsung mengoper pada Dini
yang segera masuk ke bawah ring. Melihat itu, Hanna dan Stella segera mendekati Dini.
Dengan diapit dua pemain lawan, Dini mencoba melakukan lay-up. Posisinya cukup
bagus walau diapit oleh dua orang pemain lawan. Dengan jarak sedekat ini, bola pasti
masuk, apalagi lay-up Dini selama ini nggak pernah gagal, dan dia sekarang unggul
lompatan dari Stella dan Hanna.
"Curang!!" Teriakan itu terdengar saat Dini bertabrakan (atau sengaja ditabrak) dengan Hanna
ketika hendak melompat untuk melakukan lay-up. Tapi kali ini, Wasit nggak melihat
pelanggaran itu karena pandangan kedua wasit tertutup badan Stella dan Hanna.
Kedua wasit juga nggak melihat bahwa pada saat bertabrakan, Hanna sempat
mengayunkan siku kirinya ke dada Dini, membuatnya jatuh sambil mengerang
kesakitan. Bola dipegang oleh Stella.
"Kenapa nggak foul!?" teriak Imas yang melihat jelas kejadian itu, juga yang lainnya.
Tapi permainan tetap berjalan. Teriakan-teriakan nggak puas dan mencemooh Wasit
pun keluar dari penonton.
Bola dikuasai Stella yang mengopernya pada Dessy. Dessy memainkan bola, dengan
santai sambil jalan. Gawat! Mereka mengulur waktu! batin Vira. Dia melihat ke jam pertandingan.
Waktu tersisa tinggal dua belas detik. Pemain SMA 31 harus berusaha merebut bola,
atau mereka akan kehabisan waktu.
Mia mendekati Dessy, berusaha mengganggunya. Dessy memutar tubuh,
memunggungi Mia, sambil mendribel bola, hingga akhirnya"
Yes! Seluruh supporter SMA 31 bersorak saat Mia berhasil merebut bola dari Dessy.
"Fast break!" seru Stella. Fast break adalah istilah untuk serangan yang cepat,
biasanya agar lawan belum siap menyusun pertahanan. Dan itu yang akan dilakukan
oleh SMA 31, karena waktu tinggal tersisa lima detik lagi, dan mereka masih tertinggal
dua angka. Mia segera mengoper bola pada Rida, yang segera melakukan sprint ke arah ring
SMA Altavia dengan dibayang-bayangi Stella. Mendekati ring, tiba-tiba Rida mengoper
bola pada Debi yang berdiri di dekat garis tiga angka dan nggak terjaga.
"Shot, Deb!" seru Rida.
Debi menatap ring sebentar. Dia tahu tembakannya kali ini adalah kesempatan
terakhir bagi SMA 31 untuk memenangkan pertandingan dan jadi juara. Waktu hanya
tersisa dua detik lagi, dan semua harapan sekarang ada padanya. Rida sebetulnya bisa
aja tadi melakukan lay-up, tapi dengan dibayang-bayngi Stella, peluangnya cuman 50%.
Karena itu dia memilih mengoper pada Debi yang menurutnya punya peluang lebih
besar untuk mencetak angka. Apalagi Debi nggak terjaga dan tembakannya selama ini
jarang gagal. Sesaat Debi sempat berpikir, akan menembak dari luar garis angka, atau masuk
mendekati ring. Kalo masuk, dia bisa menghasilkan dua angka, hingga skor bakal sama,
dan akan ada babak perpanjangan waktu. Tapi kalo dia menembak dari luar garis tiga
angka. SMA 31 bisa langsung memenangkan pertandingan tanpa perpanjangan waktu.
Dan Debi ragu kalo ada babak perpanjangan waktu, apa mereka bakal bisa bertahan,
mengingat stamina teman-temannya sudah habis.
"SHOT!!" seru Rida lagi. Sementara itu, Hanna mendekati Debi. Akhirnya Debi
membuat keputusan langsung menembak dari luar garis tiga angka. Toh selama tujuh
menit dia bermain, dari enam tembakan tiga angka yang dilakukannya, hanya satu
yang gagal. Jadi peluangnya lebih gede.
Semua orang yang ada di dalam C-tra Arena menahan napas saat Debi melepaskan
bola dari tangannya. Bola meluncur ke arah ring tanpa sempat dicegah siapa pun.
Sementara waktu tinggal kurang dari satu detik. Detik terakhir menuju kemenangan
yang dirasakan sangat lama dan menegangkan, nggak cuma bagi pemain dan supporter
tim SMA 31, tapi juga pemain dan supporter tim SMA Altavia. Waktu pun terasa
berhenti. Bola sampe ke ring tepat saat bel tanda pertandingan berakhir berbunyi. Bola
berwarna merah itu menyentuh tepian ring, berputar-putar sebentar di atas lubang ring
sebelum akhirnya membuat keputusan sendiri.
*** Sorakan riuh terdengar di kubu pemain dan supporter SMA Altavia, saat bola tembakan
terakhir dari Debi gagal masuk ring. Itu berarti, SMA Altavia menang dan
mempertahankan predikat sebagai tim basket cewek terbaik di Bandung. Skor akhir 8987 untuk kemenangan SMA Altavia.
Suasana di kubu SMA Altavia itu kontras dengan suasana di kubu pemain dan
supporter SMA 31 yang kelihatan lemas, juga nggak percaya. Apalagi Debi. Dia sama
sekali nggak percaya tembakannya bisa gagal. Bagaimana mungkin" Ini tembakan
terbaiknya, saat posisinya sangat bagus dan dia yakin 100% bakal masuk. Dan kalau
masuk, itu tembakan yang mungkin nggak bakal dilupakan seumur hidup oleh Debi.
Debi cuma bisa terduduk di lapangan sambil menutup wajahnya. Dia nggak bisa
lagi menahan tangisnya. Tangis penyesalan karena nggak bisa memberikan
kemenangan bagi tim sekolahnya. Cukup lama Debi ada di tengah lapangan, sampai
Rida dan Dini menghampirinya, membantunya berdiri.
"Maafin aku" kalo aja tadi aku nggak maksain nembak tiga angka"," ujar Debi
terbata-bata di sela-sela isak tangisnya. Rida segera memeluk Debi.
"Ini bukan salah kamu kok. Kamu udah maen bagus. Kalo nggak ada kamu, kita
udah kalah telak dari tadi," kata Rida menghibur sahabatnya. Walau dia juga kecewa
dengan kegagalan timnya jadi juara, Rida masih bisa menahan diri. Dia lalu memapah
Debi ke bangku cadangan. Di sana udah menunggu Rendy yang juga segera menghibur
ceweknya itu. Debi lalu mendatangi Vira yang berdiri di bangku cadangan dengan dibantu Niken.
Sakit di kaki kanan Vira sudah mendingan, walau masih terasa kalau dipake jalan.
"Maafin aku" aku nggak bisa membalaskan dendam kamu ke mereka," ujar Debi.
"Nggak papa kok. Aku juga udah senang liat perjuangan kalian. Ternyata usahaku
selama ini nggak sia-sia. Sekarang tim basket cewek SMA 31 jadi salah satu yang
terkuat di Bandung. SMA-SMA lain pasti sekarang nggak bakal lagi menganggap
remeh kalian." NIken heran mendengar ucapan Vira yang seakan-akan menyiratkan Vira bukanlah
bagian dari tim SMA 31. Apa maksudnya"
"Bantu aku," kata Vira pada Niken untuk membantunya jalan. Vira ternyata
mendekati bangku cadangan SMA Altavia, tepatnya ke arah Pak Andryan.
"Selamat, Pak," ujar Vira sportif.
"Terima kasih. Tim kamu juga maen bagus. Kami hampir saja kalah," jawab Pak
Andryan. Iyalah, kalo aja mereka nggak maen curang dengan mencederai gue dan melanggar
Dini di menit-menit terakhir, ending-nya bakal lain! batin Vira.
"Kaki kamu bagaimana?" tanya Pak Andryan.
"Nggak papa kok, Pak. Nanti juga baek sendiri," jawab Vira. Dia melihat ke arah
pemain-pemain SMA Altavia yang lagi meluapkan kegembiraan mereka. Nggak ada
yang memerhatikannya. Stella sempat meliriknya sekilas dengan senyum penuh
kemenangan. Senyum yang sama dengan saat Vira meninggalkan SMA Altavia.
*** Sebelum penyerahan piala dan medali untuk tim yang jadi juara dan runner-up, akan
ada penyerahan hadiah untuk Top Scorer dan MVP selama berlangsungnya turnamen.
Hadiahnya lumayan juga. Selain piala, Top Scorer dan MVP masing-masing juga akan
mendapatkan uang sebesar lima juta. Lumayan banget buat nraktir teman-teman
setimnya. Gelar Top Scorer untuk basket putri jatuh ke tangan Stella. Posisinya sebagai center
memang memungkinkan dia mencetak angka sebanyak-banyaknya untuk timnya. Kali
ini Stella seperti nggak ada saingan, karena Vira lebih banyak main di posisi guard yang
lebih fokus ke pertahanan atau mengoordinasi serangan daripada mencetak angka.
Apalagi Vira harus berhenti main di tujuh menit terakhir, sedang Stella terus mencetak
angka. Stella menerima piala dan hadiah uang di tengah lapangan, lalu mengangkatnya
tinggi-tinggi, di tengah jepretan kamera para wartawan dan fans-nya. Gayanya kayak
baru menerima piala Oscar saja!
Siapa yang jadi Top Scorer memang bisa diketahui sebelum pengumuman.
Bagaimana dengan MVP" Belum ada yang tahu sebelum diumumkan, selain tim penilai
yang memang ditugaskan untuk memilih siapa MVP tahun ini. Tapi kandidat kuat
MVP memang bisa ditebak. Hanya ada dua pemain yang pantas menerimanya. Vira
atau Stella. Stephanie yang duduk di belakang Amel menggamit pundaknya hingga Amel
menoleh ke belakang. "Taruhan yuk" siapa MVP-nya?" tanyanya sambil tersenyum.
*** "The Most Valuable Player Turnamen Bola Basket Antar-SMA Se-Bandung Raya untuk
putri tahun ini jatuh pada" Savira Priskila dari SMA 31!!"
Tepuk tangan terdengar bergemuruh dari penonton yang masih bertahan di C-tra
Arena, kecuali dari mereka yang mendukung SMA Altavia. Vira memang dirasa pantas
jadi MVP karena perannya dalam tim dan permainannya yang konsisten serta memikat,
walau perolehan angkanya masih kalah dengan Stella yang sebetulnya juga bermain
bagus sepanjang turnamen.
Dengan masih dipapah Niken, Vira menerima piala berbentuk bola emas dan
hadiah uang. Vira sempat menatap ke arah tempat duduk Robi, tapi ternyata dia sudah
nggak ada. Setelah bergaya sebentar di depan wartawan dan juru foto, Vira berbisik pada
Niken. "Kamu yakin?" tanya Niken. Vira mengangguk.
Niken kembali memapah Vira ke pinggir lapangan, tapi kali ini bukan ke kubu tim
SMA 31 tapi menuju ke kubu tim SMA Altavia. Tapi Vira nggak menghampiri pemain
SMA Altavia melainkan terus naik ke tribun di belakangnya tempat anak-anak SMA
Altavia berkumpul. Tindakan Vira mendatangi supporter lawan yang terbilang "berani
dan nekat" tentu menarik perhatian penonton dan semua yang ada di C-tra Arena.
"Mo ngapain dia?" tanya Stella pada Julia. Julia cuman menggeleng.
Vira ternyata mendekati Amel yang duduk di deretan kedua dari depan, tepat di
belakang bangku pemain cadangan tim SMA Altavia.
"Tolong kasih piala ini ke keluarga Diana. Dia yang lebih pantas menerimanya,"
kata Vira sambil memberikan piala MVP yang baru diterimanya pada Amel. Amel
cuma tertegun nggak percaya dengan apa yang didengarnya.
"Vi?" "Ini semua karena Diana. Tanpa dia, aku nggak akan pernah tau apa artinya
persahabatan sejati, dan aku juga nggak akan pernah kembali bermain basket lagi. Dia
juga mengajarkan aku untuk lebih menghargai hidup," ujar Vira. Kebetulan saat itu ada
beberapa wartawan yang mengikutinya karena penasaran. Salah satunya penyiar Radio
Pramita yang harusnya bertugas mewawancarai Vira sebagai MVP. Karena itu, ucapan
Vira tadi bisa disiarkan langsung oleh radio tersebut. Ucapan Vira juga didengar jelas
oleh sebagian besar pemain SMA Altavia, dan sebagian supporter-nya.
Mata Amel jadi berkaca-kaca. Dia berdiri, menerima piala dari Vira, lalu memeluk
sahabatnya itu. "Diana pasti bangga punya sahabat seperti kamu," ujar Amel dengan suara
bergetar. "Dia bangga punya sahabat seperti kita," balas Vira.
Saat Vira kembali ke kubu SMA 31, suasana di kubu SMA Altavia masih hening.
Kelihatannya mereka masih terpukau karena ucapan Vira tadi dan nggak percaya
ucapan itu keluar dari seseorang yang mereka anggap musuh, orang yang dikeluarkan
dari sekolah mereka secara nggak terhormat dan yang mereka rendahkan selama ini.
"Emang tadi Vira ngomong apa sih ke Amel" Kok sampe ngasih pialanya?" tanya
Dessy pada Stella. Yang ditanya sama sekali nggak menjawab, diam saja kayak patung.
*** Sekarang tiba saatnya penyerahan piala untuk tim pemenang. Juara ketiga diraih tim
SMA 2 yang mengalahkan SMA 3 di pertandingan sebelumnya. Mereka mendapat
medali perunggu dan piala sebagai juara ketiga.
"Runner-up tahun ini adalah" tim basket putri SMA 31!"
Dengan dipimpin Rida sebagai kapten, pemain-pemain SMA 31 memasuki
lapangan dan menerima medali perak dan piala sebagai runner-up. Baru saja Rida
menerima piala dan mengangkatnya, terdengar suara tepuk tangan yang aneh. Aneh,
karena tepuk tangan itu bukan terdengar dari kubu SMA 31, tapi dari kubu SMA
Altavia. Semua pandangan pun terarah ke sana.
Stephanie terlihat melakukan standing ovation sebagai penghormatan untuk tim
SMA 31. Nggak lama kemudian, beberapa anak kelas 3 yang baru aja lulus yang duduk
di dekatnya juga berdiri dan melakukan hal yang sama. Dan seterusnya, makin banyak
supporter SMA Altavia yang melakukan standing ovation termasuk Amel.
"Apa-apaan nih?" tanya Stella dengan perasaan nggak mengerti. Kenapa temantemannya malah memberikan standing ovation untuk tim lawan, bukan untuk timnya
sendiri yang jadi juara. "Jujur aja, Stel"," ujar Julia. "Gue juga ngerasa sebetulnya mereka yang pantes jadi
juara. Kalo aja tadi Hanna nggak nyiku forward mereka di menit-menit terakhir, kita
pasti udah kalah. Gue salut ama perjuangan mereka."
Mendengar itu, Stella melotot pada Julia. Tapi Julia malah berdiri dan di luar
dugaan, dia malah ikut-ikutan bertepuk tangan. Tindakan Julia segera diikuti pemain
SMA Altavia lainnya, kecuali Stella.
"Dasar aneh! Malah tepuk tangan buat lawan!" geram Stella.
"Kamu belum sadar juga?" Pak Andryan tiba-tiba sudah berdiri di samping Stella.
"Tujuan pertandingan olahraga bukan mencari kemenangan semata atau mencari
musuh, tapi mencari kawan, mempererat persahabatan. Pertandingan olahraga bukan
sekadar soal menang atau kalah, tapi memahami jiwa dan semangat olahraga itu
sendiri, yaitu semangat kebersamaan dan sportivitas. Terus terang, walau tim kita
menang, Bapak sangat kecewa dan malu dengan cara main kalian yang udah
mengabaikan nilai-nilai sportivitas dan kebersamaan serta menghalalkan segala cara
untuk meraih kemenangan. Vira dan SMA 31 lebih memahami nilai-nilai olahraga itu,
dan mereka pantas mendapatkan semua ini." Pak Andryan memberi "ceramah" pada
Stella. Stella menoleh sebentar ke arah Pak Andryan lalu tanpa ngomong sepatah kata pun,
dia pergi meninggalkan pelatihnya dengan perasaan bete. Pak Andryan hanya bisa
geleng-geleng kepala melihat ulah Stella.
Stephanie dan temen-temennya lalu turun dari tribun penonton ke lapangan.
Mereka lalu menyalami pemain-pemain SMA 31, termasuk Vira.
"Selamat ya" Seharusnya kalian yang menang. Gue menganggap kalian yang juara,
bukan SMA Altavia," kata Stephanie pada Vira.
"Makasih" ini semua berkat lo juga."
Tindakan Stephanie dan teman-temannya ini lalu disusul beberapa anak SMA
Altavia lain, termasuk pemain-pemainnya. Jadi suasananya kayak lebaran saja, saling
salam-salaman. Anak-anak SMA Altavia saat ini seperti melupakan "doktrin" mereka
yang menganggap diri dan sekolah mereka punya status sosial yang lebih tinggi dari
anak-anak SMA lain. Anak-anak SMA 31 juga nggak lagi merasa sebagai anak-anak
SMA "pinggiran" yang nggak mungkin bersaing dengan SMA-SMA lain yang ada di
pusat kota. Mereka semua sekarang merasa "sederajat". Nggak ada perbedaan.
"Maafin gue ya" gue baru sadar sekarang. Ternyata lo emang hebat. Dan maaf soal
kaki lo. Lo nggak dendam ke gue, kan?" kata Alexa pada Vira.
"Laen kali kalo kita bertanding lagi, giliran gue yang patahin kaki lo."
Ucapan Vira itu membuat raut wajah Alexa berubah, jadi agak pucat.
"He" he" he" bercanda. Jangan takut, gue nggak bakal sesadis itu kok. Gue
nggak dendam ama lo. Jangan pucet gitu dong"," kata Vira sambil tersenyum,
membuat wajah Alexa kembali ceria.
I don"t wanna talk About the things we"ve gone through
Though it"s hurting me
Now it"s history I"ve played all my cards
And that"s what you"ve done too
Nothing more to say No more ace to play The winner takes it all The loser standing small
Lovasket Karya Luna Torashyngu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Beside the victory That"s her destiny I was in your arms Thinking I belonged there
I figured it made sense Building me a fence Building me a home Thinking I"d be strong here
But I was a fool Playing by the rules The gods may throw a dice
Their minds as cold as ice
And someone way down here
Loses someone dear The winner takes it all The loser has to fall It"s simple and it"s plain
Why should I complain The judges will decide The likes of me abide Spectators of the show Always staying low The game is on again A lover or a friend A big thing or a small The winner takes it all (ABBA " The Winner Takes It All)
"Selamat yaa" walau kalah, kalian maennya bagus," kata Pak Atmo yang ikut turun ke
pinggir lapangan didampingi guru-guru SMA 31 lainnya.
"Makasih, Pak! Jadi kalo begitu ekskul basket tahun depan nggak bakal dihapus
dong"," ujar Dini penuh harap.
"Enggg.. soal itu" tergantung keputusan rapat nanti," jawab Pak Atmo.
Yeee" jawabannya masih sama aja!
Dua Puluh Sembilan DUA hari kemudian, malam-malam Vira datang ke rumah Niken. Niken memang ada
di rumah. Liburan semester ini dia memang nggak ke mana-mana. Dia di rumah saja
membantu ibunya di warung. Memangnya dia orang kaya yang pergi ke tempattempat wisata atau ke tempat lain untuk mengisi liburan"! Lagi pula liburan kali ini
juga nggak sepenuhnya dinikmati Niken. Dia sibuk menyiapkan panitia untuk acara
penerimaan siswa baru dan Masa Orientasi Siswa (MOS) tahun ajaran besok. Niken
kembali sibuk karena dia memang menjabat Ketua OSIS lagi. Pengunduran dirinya
ditolak Pak Danang, dan sebagian besar anak SMA 31 yang tetap minta dia jadi ketua
OSIS dengan memberikan tanda tangan dukungan, sehingga Niken akhirnya
mengurungkan niatnya. Orang-orang dari ekskul yang tadinya mengajukan mosi
nggak percaya pada dirinya juga nggak terdengar lagi suaranya. Mereka nggak protes
karena Niken nggak jadi mengundurkan diri.
Tumben Vira juga nggak pergi liburan. Padahal, walau papanya belum kerja lagi,
simpanan uang keluarga mereka masih cukuplah untuk ngebiayain liburan Vira ke
mana saja. Saat ditanya soal itu oleh Niken, Vira nggak menjawab. Kaki Vira sendiri
sudah membaik, sudah bisa dipakai jalan walau rasa nyerinya belum sepenuhnya
hilang. Wajah Vira kelihatan mendung banget malam ini. Nggak ceria. Yang jelas
penyebabnya bukan karena kekalahan tim SMA 31 di final dua hari yang lalu, karena
setelah pertandingan Vira masih ketawa-ketawa, bahkan kemarin saat ngobrol di
telepon dengan Niken, suaranya masih terdengar biasa-biasa saja. Bahkan Vira lebih
banyak ngomongnya daripada Niken.
"Aku mo ngomong sesuatu ke kamu," kata Vira dengan ekspresi datar. Niken jadi
kaget. Nggak biasanya Vira ngomong kayak gini. Biasanya kalau mau ngomong atau
cerita sesuatu dia langsung saja, nggak pakai kata pengantar kayak tadi.
"Ngomong apa?" "Nggak di sini."
*** Akhirnya Vira ngajak Niken keluar. Sebetulnya Niken sudah ngantuk, tapi dia nggak
bisa menolak ajakan Vira.
Vira ngajak Niken jalan-jalan di Parijs van Java, mal yang dibangun menyerupain
"kota mini" bergaya Eropa. Vira membeli dua gelas kopi dan roti di salah satu kafe di
sana, lalu mereka berdua duduk di salah satu bangku yang terdapat di sepanjang
koridor mal. Malam ini Parijs van Java nggak begitu ramai, bahkan boleh dibilang sepi.
Hanya ada satu atau dua pengunjung yang ada di sekitar Vira dan Niken. Mungkin
karena bukan malam Minggu.
"Mau?" Vira menawarkan croissant yang dibelinya. Niken mengambil satu.
"Ken, aku mo nanya ke kamu, tapi kali ini kamu harus jawab dengan jujur," ujar
Vira setelah menghabiskan sepotong roti dan minum kopinya. Dia mulai serius.
"Mo nanya apa?"
"Kamu sebetulnya suka ama Rei nggak sih?"
Hah" Itu pertanyaan yang kesekian kalinya untuk Niken. Dia jadi heran, kenapa
tiba-tiba Vira nanya lagi soal itu"
"Kamu jangan bilang lagi kalo hubungan kamu dengan Rei cuman temen. Udah
basi!" lanjut Vira. "Abis aku harus ngomong apa lagi" Emang kenyataannya begitu"," balas Niken.
"Tapi dalam hati kamu, apa kamu emang bener-bener nganggap dia cuman temen"
Apa bener itu kata hati kamu yang paling dalam?"
Niken nggak menjawab. "Ken?" "Kamu kenapa sih nanya soal itu" Apa pun perasaan aku ke Rei, nggak ada
pengaruhnya, karena sekarang kamu pacar Rei, dan Rei sangat sayang sama kamu. Jadi
buat apa kamu nanya soal perasaanku ke Rei" Apa itu bukannya akan nyakitin hati
kamu?" "Jadi kamu emang bener-bener suka ama Rei, kan" Kamu nggak sekadar
menganggap dia sebagai temen kamu. Iya, kan?"
Lagi-lagi Niken cuma bisa diam.
"Jawab dong, Ken" aku butuh kejujuran kamu?"
Dibantu penerangan lampu-lampu jalan di dekat mereka, Vira melihat keringat
membasahi wajah Niken. Padahal malem ini udara Bandung begitu dingin, bahkan
angin bertiup cukup kencang hingga membuat rambut Vira dan Niken sedikit berkibar.
Bahkan saking dinginnya udara malam ini, Vira tetap menggigil walau sudah pakai
sweter tebal. Vira yakin Niken juga masih kedinginan walau dia pakai jaket parasut.
Tapi udara dingin ternyata belum cukup untuk mencegah keringat keluar dari wajah
Niken. Keringat karena gugup.
"Kenapa sih kamu maksa aku?"
"Aku cuman pengin tau isi hati kamu yang sebenarnya."
"Tapi buat apa" Apa untungnya buat kamu kalo aku emang suka ama Rei?"
"Kamu emang suka ama dia. Kamu mencintai Rei."
"Kamu?" Tiba-tiba Vira tersenyum sambil menatap Niken.
"Kamu emang beruntung, sekaligus bodoh. Sama dengan Rei," kata Vira, lagi-lagi
bikin Niken heran. "Maksud kamu?" Vira meminum lagi kopinya. Tegukan yang terakhir.
"Apa kamu tau kalo Rei juga suka ama kamu?"
Nah" mungkin ini puncak keheranan Niken. Dalam pikirannya, dia mengira otak
Vira lagi "error". Rei kan cowok Vira. Mereka pacaran. Tapi kenapa dia tiba-tiba
ngomong gitu" Apalagi sambil tersenyum, seolah Vira nggak ada perasaan apa-apa
saat ngomong. "Aku bener-bener nggak ngerti apa yang kamu omongin?"
"Rei suka ama kamu. Apa kamu nggak ngerti juga?"
"Iya, tapi dia kan cowok kamu, dan kenapa kamu?"
"Kami nggak pernah pacaran kok."
Kata-kata Vira yang terakhir bikin Niken seolah membeku di tempat duduknya. Ini
melewati puncak keheranannya. Dia sama sekali nggak percaya dengan ucapan Vira.
Dia nggak pernah pacaran dengan Rei" Lalu apa arti kebersamaan mereka selama ini"
Arti kemesraan yang ditunjukkan Vira dan Rei di depannya, di depan anak-anak
lainnya" Apa mereka cuma main-main"
"Ken"," Vira memanggil Niken yang lagi bengong. "Helloo" Earth calling Niken"
Anybody there?" Vira menggoyangkan tangannya di depan wajah Niken, yang akhirnya
bikin Niken kembali ke "alamnya".
"Aku tau kamu pasti heran, dan mungkin nggak percaya. Tapi bener, aku nggak
punya hubungan apa-apa dengan Rei selain temen. Kami nggak pernah jadian kok."
"Tapi, kamu bilang waktu itu kalian udah jadian. Dan kalian keliatan mesra banget
di sekolah. Trus, kamu setiap malem minggu selalu pergi ama dia?"
"Ooo, itu?" Vira lalu cerita soal dia dan Rei yang ikut streetball setiap malam
minggu dan malam libur. "Dan soal sikapku dan Rei yang kelihatan seolah kayak pacaran di depan kamu dan
anak-anak lain, juga soal ucapanku dulu, itu emang ideku. Ide untuk bikin kamu
cemburu." Ide untuk bikin Niken cemburu"
"Rei udah cerita semuanya ke aku," ujar Vira lagi.
"Cerita" Cerita apa?"
*** Rei baru saja bilang "Aku suka kamu" pada Vira, dan itu bikin Vira nggak bisa ngomong apaapa. Dia cuma diam sambil menatap cowok di depannya yang juga lagi memandanginya.
"Shit!" Tiba-tiba Rei seperti mengumpat pada dirinya sendiri. Pandangannya sekarang agak
tertunduk. Tentu aja ucapan Rei yang terakhir itu bikin Vira heran. Baru saja cowok itu
mengucapkan tiga kata paling manis yang ditunggu setiap cewek yang dekat dengannya, tapi
nggak sampai sepuluh detik kemudian, dia melontarkan kata yang nggak disukai kebanyakan
cewek. Apa sih maunya"
"Aku bisa ngucapin tiga kata itu ke cewek lain, bisa ngucapin ke kamu, tpai nggak bisa
ngucapin ke satu orang."
Vira masih menatap Rei. "Niken?" tanya Vira. Rei menengadahkan kepalanya.
"Kamu nggak bisa ngucapin tiga kata itu ke Niken, kan?"
"Sori, aku nggak bermaksud bikin kamu?"
"Nggak papa kok." Vira tersenyum. "Aku juga ngerasa, saat tadi kamu ngucapin kata itu,
bukan keluar dari hati kamu. Kamu nggak sungguh-sungguh ngucapinnya. Itulah sebabnya
kamu bisa ngomong di depan aku atau cewek lain, tapi nggak bisa di depan Niken. Itu karena
kamu nggak bisa ngeluarin isi hati kamu yang sebenarnya di depan dia. Kamu suka Niken,
kan?" lanjut Vira. Rei menatap Vira, lalu mengangguk perlahan.
"Aku kenal Niken sejak SMP, saat kami sekelas. Dan sejak saat itu aku berteman dengan
seorang cewek yang perfeksionis, cerewet, dan seolah nggak pernah butuh bantuan orang lain
kalo ngerjain sesuatu. Awalnya aku sering kesal dengan sifatnya itu, apalagi kalo kita berdua
satu kelompok untuk ngerjain tugas. Niken selalu pengin semuanya serbasempurna, kalo nggak,
dia bakal marah-marah, lalu semua tugas kelompok dikerjain dia sendiri. Tapi nggak tau kenapa,
aku sama sekali nggak pernah berusaha menjauh dari dia, malah semakin dekat. Mungkin karena
walaupun bawel, Niken penuh perhatian. Kalo ada PR, setiap pagi dia selalu dateng lebih pagi
dari biasa. Bukan karena mo nyontek PR dari yang lain, tapi nungguin aku, kalo-kalo aku lupa
ngerjain, dan dia akan ngasih sontekan PR-nya. Dia juga perhatian ke semua orang, terutama
teman-temannya. Itu yang bikin dia disukai semua orang"," cerita Rei kemudian.
"Termasuk kamu, kan" Dan kamu nggak cuman suka dengan Niken, tapi akhirnya jatuh
cinta ke dia?" tebak Vira. Tebakannya benar. Rei mengangguk.
"Terus, kenapa kamu nggak bisa bilang langsung ke Niken" Kayaknya dia juga suka ama
kamu?" "Aku nggak yakin. Selama aku bersama dia, kami nggak pernah ngomongin soal-soal kayak
gini. Aku dan Niken selalu bicara banyak hal, tpai nggak pernah sekali pun bicara soal
hubungan kami, apalagi soal cinta. Aku jadi nggak tau perasaan dia yang sebenarnya tentang
hubungan kami." Ya ampun! Vira cuma bisa geleng-geleng. Ternyata cowok keren dan cool kayak Rei yang
bisa bikin cewek-cewek nggak tidur, bisa nggak pede juga soal cinta.
"Kamu nggak pernah coba sama sekali untuk tau perasaan Niken ke kamu?"
"Beberapa kali aku cerita ke Niken tentang hubunganku dengan cewek lain, tentang cewekcewek yang deketin aku. Itu untuk mancing perasaan dia, walau aku sebenarnya belum pernah
pacaran sama sekali. Aku lakukan itu cuman untuk tau reaksi Niken. Tapi ternyata dia biasabiasa aja, sama sekali nggak terpengaruh. Itu yang bikin aku ragu-ragu."
Terus terang, tadinya Vira sempat ge-er dan mikir yang nggak-nggak saat Rei ngajak dia
makan malam di kafe dan kelihatan salah tingkah malam ini. Biasanya itu tanda-tanda cowok
mau nembak cewek untuk jadi pacarnya. Vira tadi sempet kaku juga saat Rei bener-bener bilang
"aku suka kamu" ke dia. Vira pikir, Rei benar-benar nembak dia.
Untungnya Rei nggak benar-benar nembak Vira, karena ucapan tadi sebetulnya ditujukan ke
Niken, dan kegugupan Rei sebelumnya karena dia nggak tahu harus mulai cerita dari mana. Itu
sedikit melegakan Vira. Coba seandainya tadi Rei benar-benar nembak Vira, kan belum tentu dia
nolak! He" he" he"
"Kamu kenapa sih nggak bisa ngomong terus terang ke dia" Kamu kan cowok. Harusnya
punya inisiatif. Bagaimana kamu bisa tau perasaan Niken ke kamu kalo nggak ngomong
langsung ke dia?" tanya Vira.
"Itulah. Aku nggak bisa ngomong langsung ke Niken, tanpa tau perasaan dia yang
sebenarnya. Aku nggak bisa nerima penolakan langsung dari mulut Niken, yang mungkin akan
memengaruhi hubungan persahabatan kami. Aku bisa terima kalo Niken nggak ada perasaan
apa-apa ke aku dan cuman menganggap aku sebagai teman, asal jangan langsung dari
mulutnya. Untuk itu aku mo minta bantuan kamu?"
"Kamu mo suruh aku ngorek keterangan dari Niken" Suruh cari tau perasaan dia ke kamu?"
"Kamu sekarang temen deketnya. Dia pasti mo terbuka soal perasaannya ke kamu."
Vira memandang Rei dengan perasaan kasihan campur geli. Kasihan karena dia baru tahu
bahwa Rei adalah model cowok yang setia. Dia cuma cinta pada satu orang, tetap
mempertahankannya. Walau sebetulnya gampang bagi Rei untuk pindah ke lain hati, tapi itu
nggak dilakukannya. Vira juga geli karena dia baru tahu Rei belum pernah pacaran sama sekali.
Padahal kalo di SMA Altavia, cowok-cowok model Rei pasti udah punya cewek plus "selir" di
setiap kelas. Contohnya ya kayak Robi.
Eh" kok malah bawa-bawa nama Robi" Rei jelas beda dengan Robi. Bagi Vira, Rei jelas
seribu kali lebih baik dari mantan cowoknya itu. Niken beruntung banget kalau punya cowok
sebaik Rei. "Gimana, Vi" Kamu mau kan bantu aku?" tanya Rei harap-harap cemas.
"Hmmm" aku rasa, aku punya ide yang lebih baik"," jawab Vira sambil tersenyum.
"Ide apa?" "Kamu tadi udah "nembak" aku, kan?" lanjut Vira sambil tersenyum penuh arti, bikin Rei
menatapnya dengan heran. *** Tentu aja Vira nggak cerita semua obrolannya dengan Rei di kafe. Dia cuma cerita halhal yang perlu diketahui Niken saja.
"Teman yang menghibur kamu dan berusaha membangkitkan semangat kamu saat
ayah kamu meninggal itu Rei, kan" Dia berusaha supaya kamu kembali jadi Niken
yang dulu"," tukas Vira.
"Dan patung kristal yang katanya kamu pesen untuk kenang-kenangan Kak Aji, itu
sebenarnya untuk hadiah ulang tahun Rei. Kamu sengaja pengin ngasih hadiah spesial
untuk dia, tapi nggak pengin ada yang tau. Makanya kamu bilang ke semua orang,
termasuk ke Amalia itu kenang-kenangan untuk Kak Aji. Kebetulan wajah Rei dan Kak
Aji hampir mirip, jadi sekilas patung itu mirip Kak Aji. Dan ketika pecah, orang lain
nggak bisa membedakan lagi itu patung wajah Rei atau Kak Aji. Jadi saat Kak Aji nanya
ketika melihat kamu nangis dan pecahan patung itu, kamu bilang kalo itu patung
wajahnya," lanjut Vira.
"Kamu tau dari mana?"
"Nggak penting aku tau dari mana. Yang jelas, usahaku dan Rei membuat kamu
cemburu gagal. Aku sama sekali nggak bisa tau perasaan kamu ke dia."
Kamu salah! kata Niken dalam hati. Vira dan Rei sukses membuatnya beberapa kali
merasa cemburu dan kesal, apalagi saat Vira bilang dia jadian dengan Rei. Itu sempat
bikin Niken patah hati dan merasa seolah dia "cewek paling nggak laku di dunia ini".
Untungnya Niken masih bisa menahan emosinya dan kembali berpikir logis.
"Jadi aku dan Rei sepakat mengakhiri sandiwara kami, karena nggak ada gunanya.
Rei udah nyerah. Dia nggak tau perasaan kamu ke dia, dan bermaksud ngelupain rasa
cintanya ke kamu. Mungkin kamu emang cuman nganggap dia teman biasa, dia bakal
terima itu. Paling nggak, itu kata-kata dia waktu terakhir ketemu aku.
"Makanya sekarang aku tanya untuk yang terakhir kalinya ke kamu. Apa kamu
mencintai Rei, atau cuman menganggap Rei sebagai teman?" tanya Vira lagi.
Niken menatap Vira. Dia masih ragu-ragu untuk mengatakan hal yang sebenarnya.
"Apa kamu ntar akan bilang ke Rei?" tanya Niken.
"Tergantung?" "Jangan. Jangan bilang apa-apa ke dia. Aku mohon."
"Kenapa?" tanya Vira.
"Aku" nggak tau kenapa, aku masih ragu. Aku ngerasa nggak pede aja kalo jadi
ceweknya Rei. Rei orangnya cakep, baek, dan jadi favorit cewek-cewek. Sedang aku"
dandan aja aku nggak pernah. Ke mana-mana nggak pernah pake rok, kecuali ke
sekolah. Bahkan aku kalah cantik dari Rida, Debi, atau Rena yang jelas-jelas naksir Rei.
Aku cuman heran dan nggak percaya Rei malah suka ama aku."
"Ya ampuun" Kamu kok jadi minder gini sih! Ini bukan Niken yang aku kenal.
Mana Niken yang selalu percaya diri dan penuh semangat" Kamu kan ketua OSIS","
kata Vira. Apa hubungannya"
Lovasket Karya Luna Torashyngu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tapi?" "Oke" aku nggak akan bilang ke Rei kalo itu mau kamu. Soal ini biar kalian aja deh
yang selesaiin sendiri. Aku sekarang cuma mau tau, kamu suka ama Rei nggak?"
Niken menghela napas, masih mikir-mikir lagi.
"Bener kamu nggak bakal bilang ke Rei atau siapa pun?"
"Iya" sumpah deh. Masa kamu nggak percaya?"
Niken kembali menatap Vira. Kali ini agak lama.
"Aku emang suka ama Rei. Aku mencintai dia"," kata Niken akhirnya.
Vira berdiri dari tempat duduknya.
"Mo ke mana?" tanya Niken.
"Pulang. Tugasku udah selesai," jawab Vira. Niken pun segera berdiri.
"Kamu mo ke mana?" Vira balik nanya.
"Lho" Katanya mo pulang?"
"Siapa bilang aku mo pulang bareng kamu?"
Hah" Niken melongo mendengar ucapan Vira.
"Kamu udah denger kan, Rei?" kata Vira, seakan bicara dengan orang lain, bikin
Niken tambah melongo. Rei"
Keheranan Niken segera terjawab setelah Vira menunjuk ke belakangnya. Niken
menoleh dan melihat yang nggak disangka-sangka. Rei berdiri sekitar lima meter di
belakangnya. "Rei" Kenapa kamu ada di sini?" tanya Niken. Lalu dia kembali menatap Vira.
"Kalian?" "Kamu udah denger, Rei?" Vira mengulangi pertanyaannya. Rei mendekat, lalu
mengangguk. "Denger" Denger apa?" Niken jadi curiga, kalau-kalau Rei mendengar ucapannya
barusan. Tapi rasanya nggak mungkin karena tadi Niken bicara dengan pelan dan
cuma Vira yang bisa dengar. Jarak Rei saat itu mungkin lebih dari lima meter. Nggak
mungkin Rei bisa mendengar ucapannya dari jarak segitu, dan Vira udah janji nggak
bakal bilang ke cowok itu, kecuali"
Vira merogoh sweternya, dan mengeluarkan benda kecil dengan kabel pendek dari
balik sweter. "Aku emang udah janji nggak bilang ke Rei, tapi bukan berarti dia nggak boleh tau,
kan?" tandas Vira. "Sori, aku terpaksa melakukan ini. Untuk kamu dan Rei juga,"
lanjutnya sambil menunjukkan benda yang ternyata microphone wireless mini pada
Niken. Kalau Vira punya microphone mini yang tanpa kabel, berarti penerima
microphone itu ada pada"
"Sini, Rei, itu barang pinjeman. Kamu udah nggak butuh, kan?" kata Vira lagi. Rei
menyerahkan earphone dan penerimanya pada Vira.
"Ya udah" aku pulang dulu ya. Ntar kamu pulang bareng Rei aja. Kamu mo
nganterin kan, Rei?" lanjut Vira. Rei nggak menjawab, dan Vira juga nggak butuh
jawaban Rei. "Tapi, Vi"," potong Niken. Nggak tahu kenapa, dia jadi kagok ada di dekat Rei.
Mungkin karena Rei sudah mendengar pengakuan dia, dan Niken nggak tahu harus
berbuat apa. "Apa lagi" Kamu tega banget! Masa aku suruh jadi obat nyamuk di sini" Udah ah"
see you! Jaga Niken baik-baik, Rei."
Tanpa menunggu jawaban Niken, Vira setengah berlari meninggalkan mereka.
"Vi?" Niken mau menyusul Vira, tapi tiba-tiba ada yang memegang tangannya kirinya.
"Rei?" Dan tanpa diduga Niken, Rei langsung memeluknya. Niken kaget, tapi juga nggak
berusaha menolak. Dia malah membalas pelukan cowok yang diam-diam dicintainya
itu. "Rei?" "Mulai sekarang, kamu harus cemburu kalo aku deket ama cewek lain," ujar Rei
lirih. "Mulai sekarang kamu nggak boleh deket-deket ama cewek lain, kecuali ibu dan
saudara kamu," balas Niken sambil mempererat pelukannya. Matanya berkaca-kaca
karena bahagia. Life is full of lots of up and downs,
And the distance feels further when you"re headed for the ground,
And there is nothing more painful than to let your feelings take you down,
It"s so hard to know the way you feel inside,
When there"s many thoughts and feelings that you hide,
But you might feel better if you let me walk with you by your side.
And when you need a shoulder to cry on,
When you need a friend to rely on,
When the whole world is gone,
You won"t be alone, cause I"ll be there,
I"ll be your shoulder to cry on,
I"ll be there, I"ll be a friend to rely on,
When the whole world is gone,
you won"t be alone, cause I"ll be there.
All of the times when everything is wrong,
And you"re feeling like,
There"s no use going on,
You can"t give it up,
I hope you work it out and carry on,
Side by side, With you till the end, I"ll always be the one to firmly hold your hand,
No matter what is said or done,
Our love will always continue on.
(Tommy Page " A Shoulder To Cry On)
Nggak jauh dari sana, Vira melihat pasangan yang sedang berpelukan itu dengan
perasaan campur aduk. Selamat, Ken! Kamu emang pantes ngedapetin ini semua. Rei emang cowok baik,
dan aku nggak pantes bersaing dengan kamu untuk ngedapetin dia! batin Vira. Dia
sama sekali nggak menyesal belum sempat mengungkapkan isi hatinya ke Rei dan
memilih untuk mundur serta membantu Rei untuk mendapatkan Niken.
Nggak lama kemudian, Vira pun meninggalkan tempat itu, menuju mobilnya.
Tugasnya udah selesai! Tiga Puluh LIBURAN semester sudah selesai, dan tahun ajaran baru sudah berlangsung selama
seminggu. Setelah kegiatan Masa Orientasi Siswa (MOS) untuk anak-anak kelas 1 di
minggu pertama, hari ini kegiatan belajar-mengajar kembali seperti biasanya.
Pagi ini, setelah selesai upacara bendera setiap Senin pagi, semua siswa kembali ke
kandang" eh kelas mereka.
"Vira nggak masuk juga?" tanya Amalia saat mereka baru masuk kelas. Mendengar
itu, Niken mengarahkan pandangannya ke seluruh kelas. Penghuni lain sudah
menempati tempat duduk masing-masing. Sekarang Niken udah kelas 3, tepatnya kelas
3IPA-1, dan tentu aja kelas mereka juga pindah, juga posisi tempat duduk masingmasing anak. Walau begitu Niken tetap duduk bareng Amalia di tengah kelas.
Sudah seminggu sekolah dimulai, tapi Vira belum sekali pun masuk. Untung
selama seminggu ini kehadiran siswa belum diabsen, karena kabarnya daftar
absensinya belum jadi (maklum, namanya aja sekolah negeri). Padahal peraturannya,
tiga kali nggak masuk tanpa alasan jelas dalam satu semester, murid bersangkutan
bakal berhadapan dengan Guru BP.
Kamu ke mana sih" tanya Niken dalam hati. Apa Vira sakit" Niken sudah beberapa
kali menghubungi HP Vira, tapi nggak aktif terus. Ditelepon ke rumahnya juga nggak
pernah ada yang ngangkat. Bahkan saat Niken ke rumah Vira bareng Rei, rumah itu
terkunci pagarnya, kayak nggak ada penghuninya. Vira seakan hilang ditelan bumi.
"Ken, bener kalo Vira balik lagi ke SMA lamanya?" tanya Amalia lagi.
Gosip Vira balik lagi ke SMA Altavia memang kencang berembus beberapa hari
terakhir ini. Nggak tahu siapa yang nyebarin gosip ini, tapi katanya ada bukti-bukti
yang menguatkannya. "Katanya sih pas lagi penerimaan siswa baru, Vira pernah dateng ke sekolah bareng
ibunya dan kayaknya lagi ngurus sesuatu tuh di ruang TU. Mungkin ngurus
kepindahannya," kata Rini, anak kelas 3IPS-2.
"Aku juga pernah liat Vira di IP. Dia lagi jalan ama temen-temennya. Kayaknya sih
anak-anak Altavia, soalnya pakaian mereka kelihatan mahal-mahal," kata Ani, anak
kelas 3IPA-2 di kesempatan lain.
Tapi Niken sama sekali nggak percaya dengan semua gosip itu. Dia pikir, kalau
benar-benar balik ke SMA Altavia, pasti Vira ngasih tahu dia. Lagi pula Vira pernah
bilang dia nggak bakal balik lagi ke SMA Altavia. Niken juga sudah pernah bertanya ke
Pak Ihsan, salah satu pegawai TU yang ngurusin soal administrasi siswa, dan Pak Ihsan
mengaku nggak pernah ngurus soal kepindahan Vira.
"Ada tiga orang yang pindah sekolah, dan tiga-tiganya anak kelas 1 yang naek ke
kelas 2, seingat Bapak nggak ada yang namanya Savira Priskila," ujar Pak Ihsan.
Tapi kalau Vira nggak pindah, ke mana dia" Niken sudah lama nggak ketemu Vira
sejak di Parijs van Java itu. Selain dia sibuk jadi panitia MOS bareng Rei, Vira juga
nggak pernah menelepon atau main ke rumahnya lagi.
Kalau kabar yang bilang Vira datang ke sekolah bareng mamanya itu bener, untuk
urusan apa" Urusan apa yang begitu penting sehingga harus datang bareng orangtua
selain urusan SPP atau urusan pindah sekolah" Vira nggak mungkin kan bermasalah
dengan uang SPP" Vira memang bilang nggak akan balik lagi ke SMA Altavia, tapi bisa saja dia
berubah pikiran. Siapa sih yang nggak mau sekolah di SMA Altavia, SMA terbaik di
Bandung yang walaupun akhir-akhir ini sering mendapat sorotan negatif, popularitasnya masih tetap tinggi di masyarakat. Vira memang pernah disakiti di sana
setelah kekayaan keluarganya disita, tapi sekarang dia sudah mendapatkan semua
hartanya lagi, dan pihak SMA Altavia pasti mau menerima kembali kehadiran Vira,
salah satu atlet basket cewek paling berbakat di Bandung. Vira tentu pengin mencari
yang terbaik bagi dirinya dan masa depannya, dan itu mungkin nggak bakal dia
dapetkan kalau tetap sekolah di SMA 31.
"Vira belum masuk?" tanya Rei saat lewat di depan kelas 3IPA-1. Saat itu jam
pelajaran belum mulai. Guru-guru belum masuk ke kelas.
Niken menggeleng. "Gimana ya?" Rei menggaruk-garuk kepalanya.
"Ntar sore bakal ada seleksi awal untuk anak-anak baru yang masuk ekskul basket.
Vira sangat dibutuhin untuk ikut menilai seleksi."
"Seleksi?" tanya Niken heran. Setahu dia, nggak pernah ada seleksi untuk masuk
ekskul mana pun di SMA 31, termasuk basket.
"Iya, tahun ini kita terpaksa ngadain seleksi untuk yang mo masuk ekskul basket.
Kalo nggak, kita bakal kerepotan sendiri," jawab Rei.
"Emang yang daftar banyak?"
Sebagai jawaban, Rei menunjukkan map yang dibawanya, yang berisi setumpuk
tebal kertas. "Terbanyak dalam sejarah. Ini aku cuma bawa data dari dua kelas. Mungkin jumlah
yang daftar seratus orang lebih. Makanya, kalo nggak diseleksi, mo latihan di mana
dengan jumlah orang sebanyak itu" Kita kan belum bisa nyewa lapangan di luar."
Niken memandang map di tangan Rei. Dia maklum, setelah prestasi fenomenal tim
cewek SMA 31 di turnamen basket sebulan yang lalu, ekskul basket langsung naik
daun, jadi primadona di mata anak-anak baru. Saat pengenalan ekskul di acara MOS
kemarin, ekskul basket paling banyak ditonton, hampir semua anak baru nonton saat
acara presentasi. Oya, setelah melalui rapat dan protes dari para siswanya, akhirnya pihak sekolah
membatalkan pengurangan ekskul di lingkungan SMA 31. Hanya ekskul yang bersifat
keagamaan seperti DKM dan Rokris yang dihilangkan, dan sekarang dijadikan
kegiatan wajib semua siswa SMA 31 setiap Minggu pagi sebagai bagian dari pelajaran
agama. Ada ekskul yang digabung seperti ekskul seni lukis, seni tari, kabaret, dan
angklung yang digabung dalam ekskul kesenian. Sisanya tetap seperti semula, tapi
subsidi untuk semua ekskul dipotong hingga setengahnya. SEtiap ekskul sekarang
harus membiayai dirinya sendiri, dan kalau nggak mampu, baru akan dibubarkan.
Walau begitu, ekskul-ekskul tersebut nggak boleh memungut uang iuran anggota lebih
dari sepuluh ribu perak per bulan.
"Masa iuran untuk anggota ekskul bisa lebih mahal daripada SPP SMA 31 yang
besarnya lima puluh ribu per bulan?" kata Pak Atmo saat rapat.
Karena itulah, cara lain untuk membiayai kegiatannya, setiap ekskul harus punya
sponsor dari luar. Dan satu-satunya cara mendapatkan sponsor adalah dengan
menghasilkan prestasi yang bisa membuat sponsor tertarik.
"Dan bakal terjadi seleksi alam. Ekskul yang nggak mampu bertahan akan
tersingkir dengan sendirinya. Ini lebih baik dari pada kita yang sengaja menghapus
keberadaan mereka," lanjut Pak Atmo.
*** Pelajaran pertama untuk kelas 3IPA-1 di hari Senin ini adalah pelajaran bahasa
Indonesia. Saat Bu Nani, guru bahasa Indonesia yang potongan rambutnya selalu
pendek kayak almarhum Lady Diana itu mengabsen anak-anak didiknya, pintu kelas
diketuk dari luar. "Maaf, Bu, saya terlambat?"
Semua penghuni kelas 3IPA-1 spontan menoleh ke arah pintu kelas, termasuk
Niken. Dan melihat siapa yang baru aja datang, senyum Niken mengembang lebar.
*** "Kamu ke mana aja" Gosipnya kamu balik lagi ke SMA Altavia," tanya Niken saat jam
pelajaran bahasa Indonesia selesai. Pelajaran berikutnya adalah matematika,d an Pak
Sigit yang mengajar belum datang. Jadi Niken memanfaatkan waktu itu dengan
mendekati Vira di mejanya. Untuk sementara, Yuli yang merupakan teman sebangku
Vira mengungsi dulu ke sebelah Amalia.
"Balik ke Altavia?" Vira mengernyitkan kening sebentar, lalu ketawa. "Apa mereka
mau nerima aku lagi?" dia balik bertanya.
"Kenapa nggak" Kamu kan udah jadi orang kaya lagi, dan atlet basket berbakat.
Mereka pasti nggak pengin kejadian kayak di final kemaren terulang lagi. Kalo kamu
masuk tim basket Altavia, mereka bakal jadi tambah kuat, kan?"
"Kalo pun mereka mau nerima aku pun, aku nggak bakal balik ke sana kok."
"Kenapa?" Kan SMA Altavia lebih baik daripada sini."
"Baik menurut siapa?"
"Yaa" fasilitasnya lebih lengkap. Ruang belajarnya lebih bagus, dan?"
"Bagi aku, SMA 31 lebih baik dari SMA Altavia," potong Vira.
"Hah" Masa" Bagaimana mungkin?"
"Menurutku, sekolah yang terbaik bukan sekolah yang punya fasilitas lengkap,
guru bonafid, atau yang punya reputasi bagus. Sekolah yang baik adalah sekolah yang
mampu memberikan perlindungan, kenyamanan, hingga membuat murid-muridnya
bisa belajar dengan tenang, merasa betah dan bangga sekolah di situ. Itu sekolah
terbaik menurutku, dan aku dapetin semua itu di SMA 31, bukan di SMA Altavia."
"Kamu bisa aja?"
"Dan ternyata nggak cuman aku yang merasa begitu."
"Maksud kamu?" tanya Niken heran.
"Besok SMA 31 bakal kedatangan murid baru."
"Murid baru" Siapa?"
"Amel." "Amel" Amel teman kamu di Altavia itu?"
Vira mengangguk. "Harusnya dia mulai masuk hari ini, tapi udah beberapa hari dia sakit, dan baru
sembuh. Jadi mungkin baru besok bisa masuk," lanjut Vira.
"Tapi" kenapa Amel pindah ke sini?"
"Kan tadi aku bilang, Amel juga sependapat denganku mengenai sekolah terbaik."
"Iyaa" tapi aneh juga?" Niken cuma bisa geleng-geleng. Baginya orang yang
pindah dari sekolah favorit ke sekolah yang "biasa-biasa" saja tanpa sebab yang jelas
itu benar-benar aneh. "Jadi, Amel bakal sekelas dengan kita?" tanya Niken.
"Maunya sih gitu. Tapi ternyata kelas kita udah penuh, jadi Amel masuk kelas
3IPA-3." "Sekelas dengan Rei dong?"
Vira cuma ketawa sambil menepuk pundak Niken.
"Jangan khawatir, Amel nggak bakal ngerebut Rei dari kamu. Dia bukan tipe Rei
kok, dan Rei juga bukan tipe dia."
"Yeee" aku nggak mikirin soal itu."
*** Niken masih belum puas ngobrol dengan Vira. Saat jam istirahat, dia kembali ngobrol
dengan Vira di bawah pohon beringin di halaman samping sekolah. Ada bangku di
sana, dan mereka mengobrol sambil makan tahu goreng yang dibawa Niken dari
rumahnya (kebiasaan baru Niken, bawa bekal dari rumah. Katanya biar ngirit uang
Lovasket Karya Luna Torashyngu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
jajan). "Jadi, kamu pergi ke Australia" Katanya nggak bakal ke mana-mana selama liburan
ini"," tanya Niken sambil mengunyah tahu. Vira nyengir.
"Aku berubah pikiran. Oya" Ada tuh oleh-oleh buat kamu, Panji, dan ibu kamu.
Ntar aku anterin ke rumah deh."
"Thanks. Kamu pergi ama papa dan mama kamu?"
"Nggak. Sendirian."
"Sendirian" Tapi kok waktu aku ke rumah kamu, rumah kamu kosong, nggak ada
siapa-siapa" Ditelepon juga nggak ada yang ngangkat. Juga ke HP kamu."
"Ooo" itu?" Vira menepuk keningnya. "Aku lupa ngasih tau kamu, Papa dan
Mama udah pindah ke Jakarta. Papa dapet tawaran kerja di sana, ya jelas nggak ada
orang, karena Papa dan Mama udah pergi ke Jakarta. Dan soal telepon, jelas aja nggak
bisa karena nomorku kan nggak bisa dipake di Aussie. Aku pake nomor sana dan lupa
nggak ngasih tau kamu. Sori yaaa?"
"Nggak papa. Jadi rumah kamu mo dijual" Kenapa?"
"Yee" kalo Papa ama Mama di Jakarta, aku sendirian dong di sini. Ngapain tinggal
di rumah segede itu sendirian" Papa dan Mama sebetulnya ngajak aku pindah sekolah
di Jakarta, tapi aku nggak mau. Tanggung kan, sekolahku tinggal setahun lagi, dan aku
udah betah di sini."
"Yee" Jadi kamu mo tinggal di mana kalo rumah itu dijual?" tanya Niken lagi.
"Lho" aku kan masih punya rumah satu lagi?"
"Di mana?" "Deket rumah temenku yang bawel dan dulu selalu ngerecokin aku tiap pagi, yang
dulu tempat jualan lotek, karedok, dan yang ada bunga mawar di halaman kecilnya,"
jawab Vira sambil tersenyum.
"Di situ" Kamu mo tinggal di situ lagi?"
"Kenapa nggak" Sebetulnya kontrak rumah itu kan belum abis. Dan kemaren Mama
dan Papa mutusin membeli rumah itu, serta merenovasinya supaya lebih baik. Jadi
mungkin sekitar tiga bulan lagi aku bakal pindah ke sana. Sementara ini yaa" tinggal
sendirian deh di istana yang gede itu bareng Bi Narsih dan Wati. Atau kamu nemenin
aku deh! Sekali-sekali nginep di sana. Mau, kan" Ngajak temen-temen yang lain juga
boleh. Kita bikin acara ladies night setiap malem. Gimana?"
"Boleh juga"," kata Niken sambil tersenyum-senyum sendiri, membayangkan
keasyikan ladies night di rumah Vira yang besar. "O ya" Tadi Rei nyariin kamu. Mo
bahas soal seleksi basket ntar sore," lanjutnya tiba-tiba teringat pesan cowoknya tadi
pagi. "Oya" Basket nggak jadi dihapus ya" Syukur deh. Gimana hubungan kamu ama
Rei" Baek-baek aja, kan?" tanya Vira.
"Baek?" Niken dan Vira diam sebentar, melihat ke arah lapangan dan anak-anak kelas 1
yang berseliweran di depan mereka.
"Aku mo nanya sesuatu ke kamu, tapi jangan marah ya," ujar Niken.
"Mo nanya apa?"
"Apa kamu sama sekali nggak pernah tertarik ama Rei" Kalian kan sering jalan
bareng. Apa nggak pernah ada perasaan ke dia?" tanya Niken lirih.
Vira menatap Niken begitu mendengar partanyaannya.
"Maksud kamu nanya gitu apa" Kamu masih nggak percaya ama Rei, ama aku"
Atau ini pertanyaan menjebak?" Vira balik bertanya.
"Jangan salah sangka. Aku percaya sepenuhnya ke kamu dan Rei. Aku cuman
heran, cewek kayak kamu dan cowok kayak Rei bisa nggak punya hubungan apa-apa
selain temen. Padahal kalian sering jalan bareng, punya hobi yang sama. Pasti ada
sebabnya. Aku cuman pengin tau kenapa.
"Kamu bener-bener pengin tau?"
"Kalo kamu nggak keberatan."
Vira menarik napas dalam-dalam.
"Rei emang cowok keren, baek, dan perhatian. Cewek mana yang nggak jatuh cinta
ama dia, kecuali cewek nggak normal"," ujar Vira, ?"tapi aku nggak bisa punya
hubungan dengan Rei lebih dari hubungan teman karena beberapa alasan?" Vira
berhenti sebentar, mengatur kalimat berikutnya. Niken menunggu dengan sabar (dan
penasaran). "Pertama, aku nggak mau nyakitin hati kamu. Dari awal aku udah curiga kalo
hubungan kamu dan Rei bukan sekadar hubungan teman biasa. Kalian punya perasaan
yang masih disimpan di dalam hati dan malu untuk ngeluarin perasaan kalian satu
sama lain. Dan lagi, Rei juga nggak pernah berusaha pedekate ke aku, dan aku liat dia
memberi perhatian lebih ke kamu, juga sebaliknya.
"Kamu juga udah baek ke aku, dan udah banyak nolong aku, jadi aku juga nggak
berusaha ngedeketin Rei kalo itu cuman akan nyakitin hati kamu dan bikin
persahabatan kita jadi retak."
So sweet" Niken jadi terharu mendengarnya.
"Kedua, aku udah kapok pacaran ama kapten tim basket dan cowok paling populer
di sekolah. Jadi kali ini biar kamu aja yang ngerasain gimana rasanya pacaran ama seleb
sekolah yang selalu dikejar-kejar cewek."
Ucapan Vira bikin Niken tersenyum.
"Dan terakhir?" Vira kembali berhenti. Cukup lama sampai Niken merasa Vira
berat untuk ngomong. "Apa yang terakhir?" tanya Niken, nggak sabar akhirnya.
"Aku udah suka ama cowok lain, dan aku juga ke Aussie dalam rangka pedekate
ama dia," jawab Vira sambil tersenyum, bikin Niken kaget.
"Hah" Cowok kamu di Australia" Dan kamu ke sana cuman buat pedekate?" tanya
Niken. Vira nyengir. "Kamu kok nggak bilang-bilang kalo lagi naksir cowok" Trus gimana" Udah
pedekatenya?" "Kami udah jadian kemaren, saat aku mo pulang ke sini," jawab Vira.
"Waahhh" romantis banget. Kamu pasti ntar sering-sering ke sana buat nemuin
cowok kamu. Atau dia yang ntar bakal sering ke sini?"
"Tenang aja" nanti dia juga ke sini kok kalo liburan, sekalian ke rumah ortunya."
"Ke rumah ortunya" Jadi cowok kamu bukan orang Australia asli?"
"Bukanlah! Aku masih suka barang lokal kok! Dia orang Bandung yang lagi kuliah
di Sydney. Aku pertama kali kenal dia pas dia lagi liburan di sini," jawab Vira sambil
ketawa. "Wah" jadi dia bakal sering pulang dong kalo pas liburan. Kapan-kapan kalo dia
ke Bandung, kenalin yaaa?"
"Nggak ah." "Kenapa" Aku cuman pengin tau aja kok. Pengin tau tipe cowok kamu yang kayak
gimana. Atau kalo nggak mau, liat fotonya aja deh"," kata Niken setengah memaksa.
"Bukan gitu" Aku nggak perlu ngenalin kamu ke dia, karena sebetulnya kamu
udah kenal kok, bahkan jauh sebelum aku kenal dia," tukas Vira.
"Aku udah kenal" Masa sih" Siapa?"
Bel tanda waktu istirahat selesai berbunyi. Vira berdiri dari tempat duduknya.
"Masuk yuk!" ajak Vira. Tapi Niken masih tetap duduk. Dia lagi mikirin ucapan
Vira tentang cowoknya itu.
Orang Bandung yang kuliah di Sydney, dan Vira bilang aku udah lama kenal dia"
Siapa" tanya Niken dalam hati.
Tiba-tiba mata Niken membelalak, sepertinya dia menemukan sesuatu di dalam
pikirannya. Niken menatap Vira dengan pandangan nggak percaya.
"Vi, kamu jangan bilang kalo cowok kamu itu?"
Vira cuman ngakak, lalu berjalan ke kelasnya, meninggalkan Niken. Niken berdiri
lalu mengejar Vira. "Viraa" Kamu nggak jadian ama Kak Aji, kan?"
Petir Di Mahameru Satu 1 Alexs Wish Karya Elcy Anastasia Siasat Yang Biadab 1