Pencarian

Menembus Janji Matahari 1

Menembus Janji Matahari Karya Nelly Martin Bagian 1


Nelly Martin m t.c o po gs lo .b pu st ak a- in 1826 1826 do 26 Nelly Martin Menembus janji matahari Bekerja keras dan berjuang dalam
mengejar cita-cita adalah prinsip hidup
saya. I love this book! - Cinta Laura Kiehl - Aktris Muda Berbakat
Nelly Martin Puspa Populer i 1826 Penulis: Nelly Martin " Penyunting: Lucya Chriz & Dwi Fajar Ratri "
Perancang sampul: Zariyal " Penata letak: Vidia Cahyani "
Penerbit: Puspa Populer, Grup Puspa Swara, Anggota IAPI
gs po t.c o m Redaksi: Perum Jatijajar Estate, Blok D12 No. 1-2 Cimanggis, Depok - 16451
Tlp. (021) 87743503, 87745418 Faks. (021) 87743530
E-mail: popinka@puspa-swara.com / salesonline@puspa-swara.com
Web: www.puspa-swara.com " Facebook: Puspa Swara Publisher
Twiter: @puspa-swara do .b lo Distributor: Jl. Gunung Sahari III/7, Jakarta - 10610
Tlp. (021) 4204402, 4255354 Faks. (021) 4214821
a- in Cetakan I - Jakarta, 2014
pu st ak Buku ini dilindungi Undang-Undang Hak Cipta. Segala bentuk
penggandaan, reproduksi, atau penerjemahan, baik melalui media cetak
maupun elektronik harus seizin penerbit, kecuali untuk kutipan ilmiah.
Perpustakaan Nasional RI: Katalog Dalam Terbitan (KDT)
Martin, Nelly 1826/Nelly Martin --Cet. 1-- Jakarta: Puspa Populer, 2014
viii + 264 hlm.; 19 cm. ISBN 978-602-2140-02-3 ii Sebuah Persembahan.. Alhamdullilah, untuk Allah yang Maha Agung
dan Maha Kaya, syukur Alhamdulillah"
po t.c o m Di suatu hari ada seorang teman yang mengingatkan dan berkali-kali
menagih janji pada saya. Saya pun kemudian teringat, saya pernah berjanji
untuk menulis sebuah novel, jika saya diterima menjadi mahasiswa pada
jenjang akhir akademis di Amerika. Sampai dua tahun kemudian, janji itu
pelan-pelan saya jalani. Ini merupakan awal, karena janji yang saya tulis di
dalam hati, akan menulis pelan-pelan satu kisah yang harapannya akan bisa
dinikmati, diapresiasi, atau jika boleh sedikit berharap, menginspirasi.
a- in do .b lo gs Menulis iksi buat saya adalah sebuah oase dan katalis. Setelah seharian
membaca tumpukan buku dan puluhan artikel akademis serta menulis paper,
saya selalu menunggu malam saat Madison terlelap meninggalkan saya.
Bersama laptop dan imajinasi, saya membiarkan lamunan dan jari-jemari saya
bebas dan lepas. pu st ak Karya kreatif ini tidak akan pernah ada tanpa dukungan sahabat hati saya,
Lesky Anatias yang selalu memberi ruang jika saya ingin berkomunikasi
dengan diri dan hati saya. Sahabat saya yang selalu berbagi peran di apartemen
mungil kami, tanpa pernah merasa sungkan. Di tengah kelelahannya bekerja
dari pagi sampai sore, ia selalu paham dan maklum jika didapatinya sesosok
tubuh yang sedang asyik dengan dunianya bersama macbook dan headphone
Dr.Dre-nya. Dia yang berkali-kali mengusap lelah, memberi hangat dan
nyaman, di saat saya sedang buntu dengan proposal disertasi dan novel saya.
hank you for being so understanding and being there to support me in my new
lunacies, L. Mahalo, L. "Terima kasih untuk bercangkir-cangkir hot choco, teh tawar, dan ajakan
kamu menonton ilm, traveling atau sekadar grocery shopping, L."
iii Untuk Uni saya satu-satunya, yang selalu mendukung saya dengan caranya.
Untuk Ibu, yang doanya adalah jalan buat saya. Buat almarhum Bapak, yang
selamanya sebuah percakapan sebelum beliau menghadap Sang Kuasa akan
menjadi satu kisah yang insya Allah akan saya tuliskan. Untuk kakak ipar saya,
Iwan Setiawan, yang tidak pernah bosan dimintai tolong. Semoga tulisan ini
menginspirasi Zaki Izzati, Kanaya Izzati, dan Adzkiya Izzati.
Untuk sahabat-sahabat saya yang selalu ada meskipun sekarang jarak kita
terbentang benua. Sahabat-sahabat 2-4 yang obrolan mereka selalu menjadi
hiburan paling ampuh buat saya. Juga, teman-teman SMA N 1 Depok.
I"m forever indebted to my supervisor at University of Hawaii-Manoa, Prof.
Uli Kozok, and my mentor, Stephen Tschudi, my professors in Department of
Linguistics, Ohio University, Prof. Jarvis, Prof. hompson, Prof. Flanigan, Prof.
Githinji and Second Language Acquisition (SLA), UW-Madison, Prof. Young,
Prof. Zuengler, Prof. Tochon, and many more.
Juga sahabat-sahabat saya di Honolulu, Hawaii, Athens, Department
of Linguistics, Ohio University, dan Second Language Acquisition &
Curriculum and Instruction, UW-Madison juga Eindhoven, Belanda, IKIP
Jakarta/UNJ yang namanya akan selalu ada di hati saya.
Terima kasih kepada Mbak Yuni Harlinawati yang dengan emailnya, membuat saya bersemangat lagi menulis. Terima kasih atas tawaran
kerjasamanya. Jika ada yang terlupa, percayalah, itu hanya karena otak saya sudah mulai
menua, karena saya menyimpan semua nama yang telah berbagi jalan dengan
saya. Kalian semua istimewa, dan kisah kita abadi. Apologies for those who have
been let out. You"re forever in my heart.
Alhamdullilah. Untuk yang Maha Agung, Terima kasih.
Madison, saat salju baru saja turun"
Nelly Martin iv Kata Mereka.. Sebuah kisah inspiratif seorang anak manusia, menjelajah dunia, menggapai
mimpi yang dikemas dengan menarik dan menyenangkan. Ibarat mengarungi
mesin waktu, kita diajak menatap masa depan sembari sesekali menengok ke
belakang. Bertutur dengan lugas dan detail, serta sarat pesan yang dikemas
tanpa terkesan menggurui. Mampu memberikan inspirasi bagi generasi
muda dalam menemukan hal dan wawasan baru, mengarungi dunia dengan
keragaman budaya, ilmu dan beragam semangat positif lainnya dan tentu
saja menemukan mimpi dan cinta yang diciptakan untuknya....
Feel the excitement of travelling to many places, temperature diferences, touching
snow & sea turtle, inding true love and new riends simply by reading this book.
Dimas Irawan Pegiat Edukasi Nuklir, Kepala Sub-Bidang Diseminasi Energi Nuklir Pusat Diseminasi Iptek
Nuklir - Badan Tenaga Nuklir Nasional
Cerita setiap babnya kaya bangettt. Kaya informasi, cerita, dan selalu
bikin hati dan badan seolah ikutan ke mana-mana. Cerita novel ini adalah
tentang hidup, dan juga tentang kehidupan di beberapa negara, yang bisa
mengajak pembaca mengerti proses aplikasi beasiswa melalui istilah GRE
TOEFL dan lain-lain. Cerita yang kaya meskipun fokus ceritanya tentang
Kelly, tetapi dalam tiap babnya selalu ada satu fokus lain. Cara penulis back
and forth dengan kenangan-kenanganya pas sekali. Penulis bisa bercerita
tentang teman-teman kuliah di tempat baru, tapi penulis juga mampu
menghubungkannya dengan satu tokoh lain di novel ini, Lantana. Pokoknya,
novel ini keren deh. Bikin gemes, hehehe.
Nah, karena kaya informasi dan cerita, ketika saya membacanya, saya serasa
ada di sebelah penulis terus. Malah terkadang saya merasa menjadi si Kelly
:) v "Sis, keren banget. Duh kalau saja kamu ada di depanku, aku cuma mau
peluk kamu buat gambarin gimana aku suka sekali dengan ceritanya. Cerita
di setiap bab-nya kaya banget. Kaya informasi, cerita, dan membuat hati
dan badan seolah selalu berada di samping Kelly. I am very proud of you and
I always admire you. Kamu makan apa sih dari kecil kok bisa kece banget"
Hehehe. Hugs." Yuseva Iswandari t.c o m Fulbright grantee tahun 2006-2008, alumni Arizona University, USA, Penikmat Sastra,
Dosen Pendidikan Bahasa Inggris di Univ. Sanata Dharma Yogyakarta.
pu st ak a- in do .b lo gs po Novel ini seperti membawa saya pada pengalaman saat menyelesaikan study
di luar negeri. Pengalaman berburu beasiswa, kesusahan menyelesaikan
study, usaha menaklukkan kerinduan akan keluarga dibalut manis dengan
cerita-cerita ketika mengikuti konferensi-konferensi yang membawa Kelly
mengelilingi dunia. Novel ini wajib dibaca untuk para pelajar yang bermimpi
bisa sekolah ke luar negeri. Bila Anda ingin mengelilingi beberapa kota cantik
di dunia, seperti New York City, Hawaii, Ohio ataupun Amsterdam, Anda
cukup membaca novel ini. Penulisnya mampu membawa kita menelusuri
kota-kota indah di beberapa negara dengan balutan cerita tentang perjuangan
mahasiswa yang berjuang menyelesaikan study-nya di Amerika.
Nihayatul Wairoh Penulis dan penikmat sastra, penerima beasiswa IFP dan alumni University of Hawaii
at Manoa, Amerika Serikat, mahasiswa Doktoral di ICRS-Universitas Gadjah Mada dan
Sandwich Program di Boston University, Amerika Serikat dan penerima beasiswa Luce
Foundation, pekerja sosial pada isu perempuan dan penggerak perpustakaan komunitas.
vi Daftar Isi 1. Jarak Sedih dan Bahagia | 1
2. Mesin Waktu | 33 3. Pertemanan Antarbenua | 51
4. Ada Apa dengan Namaku" | 69
5. Pengalaman Hidup | 87 6. Sinyal yang Tak Biasa | 96
7. Cerita Musim Panas | 101
8. Arti Sahabat | 155 9. Ode untuk Bapak | 165 10. Ramadhan dan Alunan Rindu | 171
11. Pertanyaan Ajaib | 183
12. Apakah Kamu Nyata" | 193
13. Doa Ibu | 211 14. Untuk R, from K | 227
15. Kita yang (Mungkin) Terlambat Terjadi | 235
16. 1826 | 245 Tentang Penulis | 264 vii Kisah ini hanyalah penggalan kisah dari bagian
skenario hidup yang harus dijalani. Memulainya
pun tidak dari awal mula, tetapi dari saat ini,
lalu mengulas kemarin, untuk kemudian kembali
ke masa sekarang. Cerita ini adalah cerita seorang
gadis sederhana, yang tidak percaya bahwa cinta
sejati itu ada, dan tentang perjuangannya dalam
menggapai mimpi. Berasal dari keluarga sederhana,
ia pun meniti dan merajut mimpi pelan-pelan.
Meniti mimpi dalam doa dan usaha.
viii m t.c o pu st ak a- in do .b lo gs po 1.Jarak Sedih dan Bahagia 1 Untuk semua orang yang berasal dari negara tropis, bisa berada di
negara empat musim merupakan satu pengalaman hidup yang akan selalu
memberikan kejutan di setiap musimnya. Bisa merasakan pesona winter yang
meskipun rasa dingin menusuk tulang akibat udara yang mencapai minus,


Menembus Janji Matahari Karya Nelly Martin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sebanding dengan keindahan saat melihat butiran salju pertama nan putih
dan bersih. Satu pengalaman hidup yang tidak akan mudah untuk dilupakan.
Musim semi pun datang dengan menawarkan pesonanya sendiri, ia datang
membawa puluhan bunga warna-warni indah penyejuk mata. Keindahan
tiada tara, penyejuk mata, sebelum keindahan musim ini dijemput oleh
musim panas. Satu musim yang dimulai di bulan Juni, yang membuat hari menjadi lebih
panjang. Musim yang mampu membuat takjub mata tropis saat menyaksikan
matahari masih saja enggan meninggalkan langit, meskipun hari sudah pukul
10 malam. Musim yang akan berakhir di bulan September, saat hari lambat laun
berlalu lebih cepat. Matahari terbenam lebih cepat dari hari biasa. Daun-daun
maple kemerahan berguguran. Satu musim yang memanjakan mata dengan
pesona kuning dan merah pepohonan. Musim gugur.
Untuk aku, Kelly, seorang gadis sederhana, bisa merasakan empat
keajaiban di masing-masing musim adalah buah dari segala usaha yang telah
kulakukan. Perjuangan yang akhirnya mengantarkan langkahku ke benua
jauh. Perjuangan yang bukan hasil keputusan dan usaha satu atau dua malam
saja. Ini adalah perjuangan panjang sejak sebelum lulus kuliah S-1, hingga
menemukan muaranya. Aku diterima di sebuah universitas di negara bagian
Ohio, Amerika Serikat adalah rangkaian kerja keras, perjuangan, doa Ibu,
restu Bapak, dan dukungan semua yang ada di sekelilingku.
2 Masih kuingat jelas malam-malam terjaga, demi menyiapkan statement
of purpose, sebuah essay akademis, mempersiapkan nilai TOEFL dan GRE,
mengunjungi kantor AMINEF, British Council dengan bus kota hampir tiap
hari setelah pulang kuliah. Semua kulakukan guna mencari informasi tentang
beasiswa dan informasi sekolah di Amerika Serikat dan Inggris. Perasaan
kecewa dan sedih yang menyesakkan dada pun masih kuingat sampai
sekarang, saat mendapatkan surat penolakan dari Beasiswa Chevening, ADS,
dan juga Fulbright. Tetapi, semua itu tidak juga membuatku mundur. Tiap
kali mendapatkan surat penolakan, tiap kali pula mantra kuucapkan:
"Perjuangan masih panjang. Tidak ada keberhasilan tanpa perjuangan
panjang, kerja keras, dan tetesan air mata. Maka, tiap penolakan sama artinya
dengan berusaha lagi, mencoba lagi, dengan lebih keras dan lebih giat."
Aku juga masih ingat benar, bagaimana aku harus beberapa kali berganti
bus kota yang penuh sesak, demi mendatangi kantor AMINEF yang saat
itu masih berlokasi di daerah Senen. Atau British Council di Sudirman, dari
Depok tempat tinggalku, atau dari Rawamangun tempat kos.
Bus kota Jakarta yang penuh, sesak, dan panas tidak pernah sedikit pun
menggoyahkan niatku. Beberapa kali merasa frustrasi, tetapi beberapa kali
aku tahu, bahwa aku harus bangkit untuk bersemangat lagi. Kita jatuh hanya
untuk berlari lebih cepat dan melompat lebih tinggi, itu nasihat Bapak yang
kuingat hingga kini. Seperti per yang jika ditekan, ia akan melontar lebih
keras dan lebih tinggi. Aku juga tak pernah gentar menghadapi rintik, atau hujan yang turun
deras demi mencari informasi beasiswa. Bahkan panas Kota Jakarta yang
terik dan membakar kulit pun tidak pernah menjadi alasanku untuk berhenti
mendatangi pameran-pameran beasiswa. Saat mendapatkan jawaban yang
3 seringkali tidak memuaskan, hal itu tidak juga menyurutkan langkahku. Tak
satu pun dari semua kesulitan itu menghentikan langkahku, bahkan ketika
satu dari teman dekat menyangsikan kemampuan akademis diriku, aku
tetap melangkah. Meski sedikit terluka, aku tetap berjalan sambil berusaha
memaakan segala ucapan menyakitkan.
Aku juga masih ingat saat harus rela tidak makan siang, atau tidak membeli
tas atau sepatu baru, meskipun yang lama sudah demikian usang dan tidak
layak pakai, agar bisa menabung demi membayar ujian TOEFL dan GRE yang
tidak murah. Pelan-pelan aku juga mengumpulkan uang hasil mengajar privat
dan mengajar di sebuah Lembaga Bahasa, agar bisa membayar ujian-ujian
internasional, dan untuk biaya mengirim lamaran ke universitas yang tidak
murah. Harga yang demikian mahal jika dikonversi ke dalam rupiah. Maka,
sedapat mungkin, aku tahu supaya jangan sampai ada pengulangan. Membayar
sekali saja membuat ngos-ngosan, apalagi harus mengulang sampai dua atau tiga
kali. Untuk itu aku pun belajar demikian giat.
Setiap malam, setelah kuliah dan mengajar, aku selalu sempatkan belajar
TOEFL dan GRE minimal lima jam sehari. Membaca dan mengerjakan tugas
kuliah setelahnya. Di saat tubuh merasa lelah setelah seharian beraktivitas,
aku masih harus menahan kantuk demi membaca tumpukan buku, agar
bisa mendapatkan nilai yang memuaskan. Untuk nilai kuliah, juga untuk
kedua ujian internasional. Terutama GRE, yang merupakan salah satu ujian
menakutkan bagi siapa saja yang ingin kuliah ke luar negeri. Di saat semua
orang di kos terlelap, aku masih terjaga. Di saat teman-teman sudah asyik
bermimpi, aku masih berjuang menahan kantuk bersama segelas kopi, agar
target bacaan tercapai. Aku jalani hari dan malam yang panjang sejak kuliah tingkat satu sampai
lulus. Jam terjaga di tengah malam di depan meja belajar, kian panjang saat
4 harus menulis skripsi. Tubuh yang lelah setelah seharian kuliah dari pagi
sampai siang, kemudian mengajar dari siang sampai sore, belum juga berhak
istirahat saat malam tiba. Malam setelah mandi dan beristirahat sejenak,
selalu kumanfaatkan untuk mengolah data dan mengerjakan skripsi. Tepat
tengah malam, aku akan kembali menekuni buku-buku latihan TOEFL dan
GRE, sambil menulis lamaran beasiswa sampai Subuh menjelang. Begitu
fase hidup setiap hari. Setelah sholat Subuh, baru aku bisa beristirahat untuk kemudian bangun
pada pukul tujuh, dan bersiap berangkat ke kampus. Di antara kelelahan
yang kurasakan, aku tahu aku tidak boleh mengeluh. Ini adalah jalan
menemui cita-citaku, melangkahkan kaki sampai ke negeri Paman Sam atau
Ratu Elizabeth. Untuk bisa sekolah lagi dengan beasiswa dan tanpa harus
membebani tubuh tua Bapak.
Puluhan lamaran dan aplikasi ke universitas dan beasiswa yang
kukirimkan, pada akhirnya bertemu dengan nasib baik. Satu hari di bulan
Januari, berita baik itu pun datang juga. Satu senja di hari Jumat, saat pulang
ke Depok dan menemukan satu amplop di atas meja. Ibu bilang surat
itu sampai sejak dua hari lalu, namun tidak ada yang membuka, karena
itu ditujukan untukku. Amplop putih bertuliskan"Graduate School, Ohio
University," itu pun kuraih dan kubuka pelan-pelan. Ada harap di sana. Ada
doa saat jari-jemariku membukanya. Telah berpuluh-puluh surat sampai
dari beberapa universitas, namun semua selalu dimulai dengan"We regret to
inform you?" Aku pun, meski berharap, juga sudah menyiapkan satu hatiku
untuk membaca kalimat ini.
Saat akhirnya surat itu telah berpisah dari amplopnya, aku pun
membacanya. Dalam harap. Saat kalimat pertama"We are pleased to inform
you that you have been admited "..,"aku pun langsung berteriak menyebut
5 kebesaran namaNya. Sujud syukur setelahnya. Kegembiraan yang
membuncah dan menyeruak ingin keluar. Kucari Bapak, Ibu, dan Uni.
Kukabarkan berita ini sambil tak sanggup menahan haru. Air mata tak terasa
membasahi pipi. Rangkaian perjuanganku akhirnya menemukan bahagia.
Masih kuingat jelas bagaimana air mata haru di wajah tua Ibu dan Bapak. Ibu
dan Bapak mengucap syukur sambil berkali-kali menghapus titik air mata
yang hampir jatuh ke pipi tua mereka.
.b lo gs po t.c o m Namun, aku juga lebih dari tahu, di saat Bapak bersyukur, ada satu sisi hati
Beliau yang mungkin sedang menahan kecewa, atau mungkin menyimpan
kesedihan. Aku bisa merasakannya. Ada satu harapan Bapak yang seharusnya
bisa kupenuhi sebelum aku melanjutkan ke jenjang akademis lebih tinggi.
Namun, rezeki adalah hak mutlak Tuhan, meskipun usaha telah kujalankan.
Rezeki yang Tuhan telah siapkan, ternyata harus membawa diriku
mengembara ke benua lain, bukan untuk menjadi pendamping orang lain.
pu st ak a- in do Hari-hari berikutnya adalah masa persiapan pengurusan paspor, visa
Amerika Serikat yang terkenal banyak aturan dan sulit didapatkan. Sejak
hari itu, rutinitas di rumah menjadi berubah. Uni dan Ibu sibuk membeli
barang-barang kebutuhan yang menurut mereka akan berguna selama
merantau. Aku pun hampir tiap minggu mengunjungi keluarga besar untuk
berpamitan, mengingat banyaknya jumlah keluarga besar Ibu dan Bapak.
Uni Dona, kakakku satu-satunya, tak kalah sibuk. Uni Dona hampir
tiap hari membantu memilihkan apa yang harus dibawa untuk kemudian
mengepak kopor. Dengan teliti, ia lipat semua baju agar bisa masuk ke kopor
merah besar. Sejak ia tahu aku akan berangkat ke Amerika Serikat, Uni pun
merelakan uang tabungannya untuk membeli beberapa potong long-john
(baju dalam), dan juga dua jaket tebal yang harus dipakai saat winter.
6 "Beli di sini aja, Kel, lebih murah. Jadi nanti nggak usah repot dan habiskan
uang di sana." Uni menyakinkanku berkali-kali.
Kesibukan masa persiapan yang menyita waktu dan tenaga. Sehingga
tanpa terasa, kurang dari seminggu, aku sudah harus memulai satu chapter
kehidupan berjarak ribuan kilometer dari kampung halaman. Bahkan
sampai menjelang keberangkatan, Ibu tidak habis-habis membelikan syal
dan penutup kepala. "Untuk musim dingin," ujar Beliau. Berkali-kali membeli, berkali-kali
khawatir. "Nanti dinginnya seperti apa ya, Kel" Nanti kamu bisa tidur di sana"
Pake selimut ya, Kel. Kamu di sini, kena kipas angin aja langsung pusing dan
masuk angin, gimana dengan udara dingin di sana" Kalau syal yang Ibu beli
nggak cukup menahan dingin, kamu beli aja ya, nggak usah sayang-sayang
sama uangnya. Ibu ada sedikit tabungan, nanti Ibu bawain buat kamu."
Aku menatap haru wajah tua Ibu. Ingin sekali memeluk Beliau yang
masih saja sibuk membereskan kopor bersama Uni. Aku tahu tabungan
Ibu tidak banyak. Tabungan yang pelan-pelan Beliau kumpulkan dari uang
menjual es dan kue di warung. Untuk naik haji, kata Beliau, tiap kali kudapati
Ibu yang sedang memasukkan hasil keringatnya ke celengan berbentuk
jeruk. Begitulah Ibu, ia masih enggan untuk menabung di bank.
"Repot ah, Kel. Biarin pake celengan aja. Ibu nggak perlu naik angkot,
sudah bisa menyetor hasil tiap hari," kilah Ibu saat dibujuk olehku dan Uni
untuk membuka rekening di bank dekat rumah.
Aku tidak akan sanggup menerima, jika Beliau memberikan uang
itu nanti. Itu uang hasil keringat Ibu. Jika bisa, aku malah ingin memberi,
bukan mengambil darinya. Puluhan tahun sudah melihat Ibu dan Bapak
membanting tulang, bekerja keras demi memberikan pendidikan yang baik
7 dan cukup untukku dan Uni. Dari Subuh sampai Subuh mereka membanting
tulang. Tidur menjadi barang mewah untuk Ibu yang sejak pukul dua sudah
harus bangun menyiapkan adonan kue untuk dijual di warung, menyiapkan
sarapan buat Bapak, Uni dan aku, keperluan sekolah dan mengajar Bapak,
dan berjualan di warung sampai sore. Bergantian dengan Bapak, yang akan
menjaga warung setelah pulang mengajar. Bapak akan menjaga warung sejak
sore sampai tengah malam. Bergantian dengan Ibu. Sambil mengajar aku
dan Uni. Semua dilakukan di rumah kami yang mungil.
.b lo gs po t.c o m Masa persiapan berjalan sibuk, namun menyenangkan. Aku bisa melihat
bagaimana Ibu dan Uni sangat bahagia menerima kabar ini. Hanya Bapak
yang agak diam dan tidak terlalu excited dengan rencana kepergiaanku. Saat
Ibu dan Uni mengurus semua keperluan, Bapak hanya melihat sebentar
untuk kemudian pergi ke depan membaca koran di warung. Beliau kelihatan
lebih pendiam dan tidak terlalu banyak bicara.
pu st ak a- in do Uni Dona sudah selesai mengecek semua kopor dan menimbang agar
berat kopor tidak lebih dari 23 kg. Masih kuingat bagaimana mata Uni Dona
yang bersinar bangga, namun juga menyimpan sedih, karena esok hari kami
akan terpisah benua. Malam itu, malam terakhir sebelum aku berangkat. Aku
pun pamit untuk pergi tidur cepat kepada Ibu, Bapak, dan Uni. Esok hari aku
akan terbang mengitari setengah globe. Saat aku bersiap tidur, tiba-tiba pintu
kamar diketuk. "Bapak ganggu" Sudah mau tidur?" Suara lirih Bapak di balik pintu.
"Belum, Pak. Masuk saja. Pintunya nggak dikunci." Aku pun urung
beranjak dari meja belajar. Aku masih menyiapkan beberapa dokumen
untuk besok. Bapak pun melangkah menuju meja belajar. Selama dua jam, aku dan
Bapak berbicara dari hati ke kati. Bapak menceritakan apa yang menjadi
8 resah dan khawatirnya. Malam itu akhirnya terjawab sudah teka-teki dari
sikap Bapak. Bapak ingin aku menikah dulu sebelum pergi, namun Bapak
juga akhirnya menyadari bahwa rencana Tuhan sedang tidak berjalan sesuai
kemauannya. Meski berat, Bapak pun akhirnya memberikan restu.
"Nak, hati-hati ya besok. Bapak doakan kamu. Jerih payah kamu setelah
bertahun-tahun belajar, menabung, mengirimkan lamaran beasiswa
akhirnya menemukan rezekinya. Pergilah Nak, kembangkan sayapmu,
hadapi dunia, langkahkan kakimu, kenali perbedaan, luaskan cakrawala
berpikir, jadilah bijaksana. Kelak jika dunia telah kamu genggam, jangan
sekalipun meninggikan dagu, tetap mendengar kesusahan orang lain, dan
jangan lupa bersujud kepada Tuhanmu. Mungkin Bapak tidak akan pernah
lagi merengkuh bahumu, tetapi doa Bapak tidak akan berkekurangan,
meskipun kita ribuan kilo jaraknya. Bapak ada di sana, di setiap embusan
napasmu. Bapak bukan orang mampu yang akan bisa memberi kamu uang,
tetapi Bapak selalu punya doa untuk kamu. Jangan lupa untuk berkirim
kabar, karena buat Bapak, mengetahui kamu baik-baik saja sudah lebih dari
cukup. Bapak cuma minta kamu sehat dan lancar di sana, Bapak nggak akan
pernah minta apa-apa lagi."
Aku pun memeluk Bapak lama. Tanpa mampu kukendalikan, air mata
sudah keluar cukup deras membasahi pipi. Kilasan masa lalu berkelebatan
di ingatanku. Puluhan tahun lalu, di kamar yang tidak luas ini, aku diajari
pertama kali membaca dan menulis oleh Bapak. Aku pun juga mengingat
Bapak yang mengompres badanku yang kian menghangat karena demam,
saat Ibu juga sedang jatuh sakit. Aku pun juga teringat kembali saat-saat aku
dan Bapak berbagi cerita tentang apa saja. Tentang sekolah, tentang temanteman, tentang kakak kelas yang cerdas dan jago basket. Bapak yang selalu
sabar mendengarkan. 9 Aku pun tak kuasa untuk tidak mengingat kembali kejadian saat sekolah
dulu. Saat aku dan beberapa teman sekolah pergi main ke rumah seorang
teman sampai jauh malam, dan baru sampai rumah pukul delapan malam.
Bapak yang membuka pintu. Tidak ada gurat marah di wajahnya, namun
Beliau diam selama beberapa saat dan tidak mengajak bicara. Jika Bapak
diam, aku tahu aku dalam bahaya. Dari Ibu akhirnya kutahu, Bapak tidak bisa
makan saat aku belum juga pulang ke rumah sore itu. Itu kali pertama aku
pulang terlambat dari sekolah. Biasanya aku sudah sampai sebelum Maghrib
untuk sholat berjamaah dan belajar bersama Uni dan Bapak. Hari itu, karena
keasyikan bermain dengan teman-teman sekolah, aku pun melanggar aturan


Menembus Janji Matahari Karya Nelly Martin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rumah untuk pertama kalinya.
Mengingat kejadian itu, aku pun tiba-tiba memahami apa yang sedang
Bapak rasakan. Kekecewaannya karena aku belum juga menikah setelah
lulus kuliah S1, kesedihannya melepaskan anak bungsunya pergi ke benua
jauh. Kedekatan kami layaknya sahabat. Tiba-tiba, aku merasakan apa yang
menjadi gundah dan resah Bapak.
Saat kami berpelukan, aku tahu,bukan hanya Bapak yang sesak menahan
perih, karena sesak itu juga kurasakan. Mungkin buat Bapak, aku akan selalu
menjadi gadis kecil. Pasti banyak yang bergejolak di hati Bapak, namun sikap
Bapak yang demokratis, menyebabkan Beliau memberi restu dan tidak
melarang. Esok hari, saat Bapak harus melepaskan dan merelakan kepergian
gadis kecilnya yang akan berjarak ribuan kilo dan terpisah lautan, entah
perasaan apa yang berkecamuk di hati Beliau.
Ingin sekali kuselami hati Beliau, hati yang selalu sabar dan tabah
menghadapi cobaan hidup, yang selalu siap memberiku untaian nasihat
berharga tanpa bernada menggurui. Bukan hanya Bapak, aku pun akan
kehilangan salah satu sahabat terbaik dalam hidup. Tidak akan ada lagi
10 obrolan sore hari di hari Jumat, saat aku pulang dari kos. Tidak akan ada lagi
yang mendengarkan semua keluh kesahku, saat kelelahan dan kesedihan
datang menyapa tanpa diminta. Ribuan kilo akan terentang di antara kami.
Aku tahu, aku akan merindukan satu episode rutin yang telah bertahuntahun kujalani, menghabiskan satu senja di akhir minggu, berbagi cerita.
Meninggalkan Bapak, Ibu, dan Uni esok pagi mungkin tidak akan
semudah yang kupikirkan. Di saat aku merasa sangatexcited dengan semua
tantangan dan pengalaman hidup di hari-hari mendatangdi satu negeri baru,
aku juga menyadari, pasti lebih berat bagi mereka yang ditinggalkan.
?"" Hari itu pun tiba. Tanggal 15 Agustus 2006, pengalaman pertama
penerbangan ke Negeri Paman Sam. Setelah perpisahan yang sangat
mengharukan dengan Bapak, Ibu, Uni, dan beberapa sepupu, aku melangkah
menuju gate yang akan membawaku ke Bandara Changi di Singapore. Dua
kopor besar menemaniku sampai ke counter Garuda, untuk kemudian
checked through sampai ke Columbus, Ohio, United States.
Saat aku tiba di gate tempat menunggu penerbangan ke Bandara Changi,
Singapore, aku pun tak kuasa menahan haru. Ada bahagia, ada haru. Namun
yang paling aku rasakan saat itu adalah rasa khawatir dan resah, karena ini
adalah pengalaman terbang pertama kali ke luar negeri. Apalagi aku harus
terbang seorang diri. Selama kurang lebih 30 jam, aku akan terbang menuju
salah satu negeri impian. Singapura akan menjadi transit pertama, untuk
kemudian terbang ke Narita Jepang, lalu melanjutkan ke Chicago dan Ohio,
Amerika Serikat. 11 Penerbangan pertama membawaku ke negeri tetangga. Layover selama
hampir dua puluh jam di Singapore. Aku berjalan-jalan menikmati negara
kecil ini selama beberapa jam bersama Anna, seorang kawan yang sedang
kuliah di negeri ini. Menjelang pukul tujuh malam, aku dan Anna menuju
Shangrila dengan MRT. Aku cukup beruntung karena Delta Airline menyediakan sebuah kamar
cukup mewah untuk bermalam. Bersama Anna, aku menikmati satu bungkus
nasi rames berisi daging balado buatan Ibu, yang memang sengaja dimasak
untukku. Aku menikmati nasi itu dalam syukur. Mungkin perlu waktu
kurang lebih dua tahun lagi untuk bisa merasakan nikmatnya masakan Ibu.
Masakan yang Beliau buat dengan penuh cinta. Setelah Anna kembali ke
apartemennya di bilangan orchard, aku membersihkan diri dan menelepon
resepsionis untuk minta dibangunkan esok pagi.
Tepat pukul 3.30, resepsionis hotel menelepon untuk mengabarkan,
bahwa taksi akan menjemputku sekitar tiga puluh menit lagi. Aku pun bersiap.
Setelah yakin tidak ada yang ketinggalan, aku pun meninggalkan kamar di
lantai 15 menuju lobi. Di lobi, aku telah ditunggu oleh seorang sopir taksi
tengah baya. Setelah memberikan kunci kepada sang resepsionis, lima menit
kemudian aku sudah berada di dalam taksi yang akan membawaku menuju
Changi. Taksi meluncur membelah Kota Singapura yang masih agak sepi
pada dini hari. Sopir taksi masih asyik bercerita, sedangkan aku masih asyik
bergelimang lamunan, sambil sesekali menanggapi ocehannya yang tak
kunjung henti. Ia berceloteh dalam singlish, perpaduan bahasa Inggris dengan
beberapa kata Melayu, dan diucapkan dengan dialek ala Melayu Singapura.
Aku hanya mengangguk sesekali, sambil sedikit memberikan tanggapan.
Semata-mata demi kesopanan.
12 Setelah membayar ongkos taksi, aku melangkah memasuki salah satu
bandara modern di dunia, Changi Airport. Waktu masih pukul empat pagi,
dan penerbanganku pukul 8 pagi. Masih ada waktu sekitar tiga puluh menit
untuk sekadar berjalan-jalan mengelilingi bandara modern ini sebelum check
in. Aku pun mengelilingi dan menikmati bandara sambil ditemani backpack
hitam, hasil gaji pertama mengajar.
Tepat pukul 4.30, kulangkahkan kaki mencari counter check-in Delta
Airline. Setelah selesai check-in, tibalah saat yang paling menegangkan.
Yaitu diperiksa di security check. Mungkin sudah menjadi rahasia umum,
bahwa penerbangan ke Negara Amerika Serikat merupakan penerbangan
yang paling "menyeramkan." Yah setidaknya bagiku. Sejak peristiwa
911, pemerintah Amerika Serikat sepertinya benar-benar mengetatkan
keamanan di bandara, dan memeriksa detail siapa pun yang akan masuk
ke negaranya. Sedikit nampak phobia, namun masih bisa dipahami. Teroris
adalah musuh siapa saja. Bukan hanya musuh negara Amerika, ia adalah
musuh kemanusiaan. Setelah mendapatkan boarding pass, aku menuju antrian yang nampak
seperti ular. Panjang. Puluhan bahkan ratusan manusia dari berbagai ras
berbaris rapi untuk diperiksa. Dan pagi itu ternyata adalah hari yang lain
dari biasa. Penjagaan di bandara yang sudah sedemikian, menjadi lebih
ketat karena peristiwa teror di Bandara Heathrow, London, kemarin malam.
Suasana pun menjadi semakin tegang, karena sekumpulan polisi bersenjata
laras panjang berpatroli di sekitar bandara. Sungguh suasana yang mencekam
untuk memulai sebuah hari. Petualanganku menuju benua lain.
Petugas bandara pun memberlakukan pemeriksaan yang teramat ketat
kepada semua penumpang. Kami semua, termasuk orang tua dan anak-anak
kecil, harus melewati rangkaian pemeriksaan yang teramat teliti dan sedikit
13 menegangkan. Sebelum kami sampai ke security check, kami diwawancarai
satu per satu oleh pegawai airline, yang sama sekali tidak ramah. Mungkin
aku termasuk yang beruntung, karena bisa berbahasa Inggris. Kadang aku
jatuh kasihan pada bapak dan ibu paruh baya yang kesulitan berbahasa
Inggris, karena mereka harus dibentak berkali-kali. Petugas nampak tidak
sabar. Antrian semakin panjang.
Di tengah segala ketegangan dan kekhawatiran, dengan sisa tenaga yang
aku masih punya, aku sempat bersitegang dengan petugas airline. Mereka
memaksa membuka satu dokumen yang semestinya hanya boleh dibuka oleh
petugas custom di Port of Entry di Chicago. Setelah bersitegang beberapa saat,
akupun pasrah. Mereka meyakinkan, bahwa everything will be alright. Aku pun
mengalah, lalu berjalan menuju security check. Tiba di security check, semua ikat
pinggang dan sepatu harus dicopot. Aku harus merelakan beberapa alat-alat
kosmetik dibuang, karena tidak dimasukkan ke dalam plastik bening. Saat
itu bandara belum memiliki informasi yang memadai tentang aturan cairan
yang boleh dibawa ke kabin. Juga bandara belum menyediakan plastik bening,
sehingga kosmetik, pasta gigi, dan parfum yang besarnya melebihi 300 ml pun
harus kupasrahkan dibuang dengan seenaknya oleh petugas tanpa perasaan.
Beberapa obat-obatan yang sengaja kubawa dari rumah terpaksa harus
dibuang. Semua tanpa resep dokter. Aku menatap sedih tumpukan Panadol,
Tolak Angin, dan minyak angin yang berpindah tempat dari tasku ke tempat
sampah bandara. Yang paling konyol dari semua proses ini adalah, saat aku
diminta memakai bedak di hadapan para petugas. Untuk memastikan bahwa
kandungan itu tidak berbahaya, bukan bahan peledak. Begitu pula dengan
lipstik. Seperti badut saja rasanya. Tidak pernah kubayangkan aku harus
"berdandan" di bandara, di hadapan para petugas ini. Sungguh Subuh yang
menegangkan, unik, dan tak terlupakan. Di counter lain, aku melihat seorang
14 ibu yang harus mencoba susu formula yang ia bawa untuk bayinya. Semua
demi keamanan, begitu para petugas meyakinkan kami.
Setelah selesai melewati pintu sensor, aku terkena second inspection.
Seorang petugas wanita mendekatiku dan menjelaskan, bahwa mereka harus
memeriksaku di sebuah ruangan khusus. Di sebuah kamar tertutup, aku
diminta untuk membuka jaket. Sang petugas memeriksa seluruh badanku.
Cukup sopan, tapi tidak urung membuat suasana menjadi agak tegang.
Setelah selesai, dengan sopan petugas itu mengucapkan terima kasih.
Setelah selesai dengan semua proses pemeriksaan, aku mulai mencari
informasi letak gate di papan yang memuat informasi keberangkatan.
Ternyata letaknya agak jauh. Aku masih punya waktu sekitar dua jam lagi.
Aku mencari counter computer yang banyak tersedia di Changi. Masih
dihantui akan dideportasi saat tiba nanti di Chicago, karena dokumen asli
sudah dibuka oleh petugas di Singapura, maka aku ingin mengirimkan email.
Saat mengirim email, tak terasa air mata jatuh. Mungkin karena khawatir,
atau mungkin karena terlalu lelah setelah semua proses pemeriksaan tadi.
Pengalaman pertama yang sungguh penuh cerita kenangan.
Aku menangis, karena khawatir akan dideportasi saat tiba di Port of
Entry. Aku mengirimkan email ke salah satu graduate study Ohio University,
menceritakan keadaanku. Juga ke salah seorang profesor di Ohio University
guna memberi tahu situasiku, if things come worse. Setelah selesai, aku
menelepon Anna, sambil menangis tentunya. Semua perasaan bercampur
menjadi satu. Senang, bahagia, excited, tapi juga nervous dan khawatir.
Setelah selesai mengirim semua email, akhirnya aku sampai di depan gate.
Aku memilih duduk untuk kemudian meluruskan kaki yang terasa penat.
Di antara waktu menunggu dan istirahat, aku berkenalan dengan seorang
bapak paruh baya yang bekerja di Jepang. Bapak itu berasal dari Ngawi, dan
15 sudah sekitar 15 tahun mencari nakah di Negeri Sakura. Meninggalkan
anak dan istrinya. Kami bertukar cerita, meski sebenarnya ia yang lebih
banyak menceritakan tentang pengalaman hidupnya. Ada nada kesedihan
di suaranya. Jika ia boleh memilih, ia ingin bersama-sama keluarganya dan
melihat anak-anaknya tumbuh, tetapi tuntutan ekonomi menyebabkan
ia harus hidup terpisah dengan mereka yang ia sayangi. Ia menumpahkan
sedihnya kepadaku, orang yang baru saja dikenalnya.
Bekerja sebagai buruh kasar di Jepang lebih dari cukup untuk menjamin
kehidupan ekonomi keluarganya. Ia tidak punya keahlian khusus selain
tenaga, yang hanya mendapatkan upah sangat rendah di Indonesia. Dengan
sangat berat ia pun mengadu nasib dan hidup terpisah dengan mereka yang
dicintai. Harapannya hanya satu, anak-anaknya tumbuh dengan baik, dan bisa
bersekolah sampai universitas. Bapak itu pun dengan bangga menceritakan,
bahwa anak pertamanya saat ini sedang menyusun tugas akhir di Teknik
Kimia ITS, sedangkan anak keduanya masih duduk di bangku SMA. Di
akhir cerita, Bapak itu pun berujar.
"Buat orangtua, harapan mereka pada anak itu cuma satu. Anak-anak bisa
hidup sehat dan mandiri saat dewasa. Orangtua akan melakukan apapun
untuk anaknya, bahkan kehilangan nyawa sekali pun. Kalau orangtua Nak
Kelly masih ada, meskipun jauh, teleponlah mereka, karena seorang Ibu
dan Bapak itu tidak bisa makan dengan tenang sebelum tahu anak-anaknya
baik-baik saja atau tidak. Doa orangtua tidak akan pernah putus, meskipun
berjauhan. Jika boleh memilih, saya hanya ingin berada di dekat mereka,
tetapi hidup memang terkadang tidak berjalan sesuai yang kita mau."
Bapak itu mengusap air mata yang menitik dari bola matanya. Aku tak
kuasa menahan haru. Baru dua jam lalu aku mengenal Bapak ini, namun
16 nasihat Beliau tertinggal di hati. Saat boarding, kami mengucapkan selamat
jalan dan semoga tiba di tempat tujuan dengan selamat dan lancar.
Pesawat terbang menuju Narita, Jepang. Setelah tujuh jam terbang
dari Changi, akhirnya aku sampai juga. Masih ada tujuh jam menunggu di
bandara yang terletak di Chiba ini. Untuk mengisi waktu, aku berjalan-jalan.
Aku mengunjungi beberapa toko cinderamata dan menyempatkan makan
udon di sebuah restoran di bandara. Bandara Narita besar dan bersih, seperti
halnya Changi. Setelah selesai berbelanja dan mengisi perut, dan masih memiliki waktu
empat jam lagi, aku merebahkan diri di sofa yang terletak di longue. Longue ini
berisi sofa-sofa besar yang bisa dipakai oleh penumpang untuk beristirahat
dan merebahkan diri. Aku masih saja kagum atas fasilitas bandara ini.
Selain sofa untuk istirahat, mereka juga menyediakan kamar mandi untuk
penumpang yang ingin membersihkan diri sebelum terbang ke tempat
tujuan. Perjalanan dari Narita ke Chicago memakan waktu sekitar 13 jam. Aku
pun menghabiskan waktu dengan membaca dan tentu saja, untuk tidur.
Pramugari meminta penumpang untuk menutup jendela pesawat, agar
kabin pesawat gelap, sehingga memberikan waktu bagi penumpang untuk
beristirahat selama penerbangan panjang ini. Meskipun tempat duduk di kelas
ekonomi tidak terlalu memberikan ruang yang nyaman, namun aku sungguh
kagum pada mataku. Mata yang bisa terpejam di mana saja, di keadaan apa
saja. Di antara waktu istirahat dan membaca, dua kali aku terbangun dan
terjaga. Saat waktu makan. Meskipun makanan yang disediakan tidak terlalu
istimewa, aku masih bersyukur. Setidaknya perutku tidak harus merintih
menahan perih. Selesai makan, aku pun kembali membaca dan kemudian
tertidur. Perjalanan 13 jam itu pun akhirnya terlampaui.
17 Saat pramugari mengucapkan selamat datang di Land of Freedom, aku
bergetar. Terharu. Akhirnya perjuangan sejak masa S-1 dulu mengantarkanku
sampai ke negeri ini. Rasa bangga menyeruak dan bahagia membuncah
di dada. Saat keluar pesawat dan berjalan menuju custom, aku tidak lagi
merasakan lelah. Semua hilang, saat membaca tulisan "Welcome to the United
of States." I"m in the States. he States. Seruku berkali-kali. Tentu saja dalam hati. Aku
masih belum ingin dianggap kurang waras. Sambil terus berjalan menuju
custom, aku berjalan agak santai. Connecting light ke Columbus masih sekitar
lima jam lagi. Aku tidak terlalu khawatir melihat antrian yang demikian
panjang. Setelah kurang lebih 30 menit mengantri, aku pun mendapat giliran
wawancara. Petugas memang diformat tidak ramah. Setelah memberikan
paspor dan I20, dokumen yang dikeluarkan universitas sebagai tanda kita telah
diterima agar bisa masuk ke wilayah Amerika Serikat, aku menjawab semua
pertanyaan dengan lugas. Saat kupikir sang petugas adalah manusia paling
kaku, aku pun terkejut saat mendengar pertanyaannya tentang namaku.
"Is your Father an American?"
"No, he"s an Indonesian."
"Does he speak English?"
"Not at all. Well, when he was alive, he didn"t. He actually hated English."
"So, why does your name sound so American?"
"Ehm. You are like the 1000th person having asked me that question."
Sambil senyam-senyum, aku menjawab agak santai. Tidak lagi setegang
lima menit lalu. Aku sudah terbiasa dengan pertanyaan seperti ini. Sejak kecil,
aku sudah ratusan kali ditanya apakah bapak atau kakek adalah orang Barat.
"Ya, mereka orang Barat. Orang Sumatera Barat, lebih tepatnya." Itu
jawaban andalanku. Beberapa tertawa, beberapa mesem-mesem, beberapa lagi
hanya menahan senyum. 18 Setelah selesai dengan pertanyaan tentang nama, pertanyaan selanjutnya
juga cukup membuat tersenyum.
"You are a Linguistics student, so how many languages do you speak?"
Ini pun adalah pertanyaan yang kerap kuterima. Pertanyaan standar yang
kerap ditanyakan ke mahasiswa Linguistik.
Kurang dari lima belas menit, akhirnya petugas memberi cap Admited
to the United States. Lega dan lagi-lagi terharu. Dengan langkah lebih ringan,
aku menuju ke claim baggage. Kopor-kopor harus di-check-in kembali sampai
ke Columbus. Bandara O"hare sangat besar. Untuk pindah terminal, aku harus
menggunakan kereta. Cukup memusingkan, setelah puluhan jam
penerbangan. Setelah menunggu selama beberapa jam, akhirnya pesawat


Menembus Janji Matahari Karya Nelly Martin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang akan membawa ke Columbus pun boarding.
Kurang lebih satu jam, pesawat akhirnya mendarat di Columbus, Ohio.
Setelah selesai mengambil kopor-kopor, aku mencari pintu keluar. Mataku
tertuju pada satu mobil berukuran sedang, berwarna hijau putih bertuliskan
Ohio University. Shutle bus yang telah dipersiapkan oleh pihak universitas
untuk menjemput para mahasiswa internasional. Bus itu telah menunggu di
bagian depan pintu bandara.
Perjalanan menuju Athens bersama lima mahasiswa yang berasal dari
lima negara berbeda itu kami lalui dalam hening. Rasa lelah menyebabkan
kami semua memilih untuk beristirahat. Puluhan jam telah kami lalui demi
untuk sampai ke benua ini. Semua penumpang shutle, kecuali pak sopir,
tertidur. Hampir dua jam perjalanan terlalui. Saat aku mendengar suara
agak berisik yang mengganggu tidur, kubuka mata dan kudapati rimbunan
pepohonan warna-warni di tengah bangunan batu bata merah. Aku telah
19 tiba di sebuah kompleks apartemen. Apartemen yang akan kutinggali selama
kurang lebih dua tahun. Riverpark Apartment Complex di Athens. Sebuah
studio mungil di lantai lima telah menanti. Sebuah studio bercat biru yang
tidak terlalu besar, namun menawarkan nyaman. Studio yang akan menjadi
rumahku selama di sini. ?"" Hari-hari pertama di satu negeri jauh yang kupikir akan berisi
kebahagiaan, ternyata di awal minggu harus diisi oleh kesedihan. Sebuah
email yang dikirim oleh Uni Dona mampu membuatku menangis berharihari. Hatiku menjadi kepingan-kepingan tak berbentuk.
Ternyata, saat aku sedang berada di atas Lautan Pasiik memutari setengah
globe dunia, kabar duka itu datang. Kabar yang baru sempat kubaca setelah
berhasil mengalahkan jetlag yang menyerang. Kabar yang baru kubaca empat
hari setelah email itu dikirim Uni.
Tak kuasa kumenahan haru. Tetesan air mata mengalir, mengingat
kenangan bersama Bapak saat melepas kepergianku di bandara. Wajah
tua Bapak yang membias sedih. Rasa bangga dan haru yang Beliau selalu
tampakkan, tidak mampu menutup guratan kesedihan. Semua masih
terekam begitu jelas dan nyata. Ternyata, hari itu adalah hari terakhir aku bisa
menatap wajah tua Bapak. Obrolan di malam sebelum kepergianku adalah
obrolan terakhir kami berdua. Ada yang terasa sakit menghujam dada. Perih.
Nyeri sampai ke ulu hati.
Uni Dona juga mengirimkan sebaris tulisan Bapak melalui atachment
email. Tulisan dari agenda harian Beliau. Tulisan yang menurut Uni, ditulis
20 dua hari sebelum Bapak pergi. Bapak pergi tanpa sakit. Beliau pergi setelah
sholat Subuh, saat bersiap berangkat ke sekolah tempatnya mengajar. Dokter
bilang, karena penyakit jantung.
Masih gemetar, kubuka atachment berupa foto agenda harian Bapak.
Tulisan tangan Bapak di kertas kuning yang kukenali dengan mudah.
Kelly, doa Bapak selalu buat kamu. Bapak rindu. Kamu jangan lupa
makan dan sholat. Bapak selalu di sini, mendoakan kamu.
Aku menangis pilu di pojokan studio. Kota Athens yang cantik di
musim gugur pertama, tiba-tiba menjadi demikian suram. Kota pelajar
di negara bagian Ohio itu mendadak kehilangan pesona dan tidak lagi
istimewa.Malam-malam sebelum masa perkuliahan dimulai, kuhabiskan
untuk bertanya dan menggugat Tuhan. Aku marah. Aku bertanya dengan
segala macam pertanyaan. Puluhan bahkan ratusan jam percakapan melalui
Skype dengan ibu dan Uni pun kulakukan. Semua demi menguatkan diri
dan mencari semangat. Kalau saja Ibu dan Uni tidak menguatkan, aku pasti
sudah membeli tiket pulang untuk mencium pusara Bapak.
Musim gugur 2006, aku mulai dengan sweet biter feeling. Di saat aku
seharusnya bersyukur atas diijabah sebuah doa, aku malah harus menjalani
satu kisah paling sedih. Kehilangan orang yang doanya paling kuperlukan.
Orang yang selama puluhan tahun hidupku selalu mendengarkan keluh kesah,
mendengarkan impian, mengusap air mata, dan memberi hidup padaku.
Aku, yang saat ini sedang menjalani satu impian, hasil kerja keras
bertahun-tahun di masa lalu. Aku, yang percaya bahwa kerja keras insya Allah
membawa hasil. Aku, yang membawa semua impian untuk kuretaskan satu
21 per satu. Aku, yang selalu terjaga di saat kebanyakan manusia lain sedang
tertidur. Aku, penerima salah satu beasiswa sebagai tenaga Pengajar, Teaching
Assistant, dan Mahasiswi Pascasarjana (Graduate Student) di Department of
Linguistics, Ohio University, Amerika Serikat. Aku, Kelly Morgan.
?"" Musim Dingin dan Musim Semi, Athens, 2007
Dua musim. Dua pengalaman pertama. Melewati musim gugur
dan dingin dengan susah payah dan penuh perjuangan. Aku berhasil
menyelesaikan dua kuarter pertama perkuliahan. Fall quarter dan winter
quarter. Masa-masa adaptasi yang tidak mudah. Adaptasi diri dalam hidup
sehari-hari dan kehidupan akademis. Gegar budaya (cultural shock) yang
masih terus kurasakan, meskipun sudah hampir setahun tiba di kota ini.
Masa penyesuaian yang tidak mudah, apalagi saat daylight saving time yang
pernah menyebabkan datang terlambat ke kelas. Semua karena aku lupa
mengubah waktu jam dinding di kamar.
Juga masa penyesuaian lidah yang masih saja kelu, saat harus memanggil
profesor dengan nama depan mereka. Semakin sang profesor meminta
untuk memanggil dengan nama depan mereka, semakin aku tak kuasa dan
selalu membubuhkan gelar Doktor atau Profesor saat menyapa mereka, baik
saat bertatap muka atau melalui email.
Kali lain, aku masih sering terbengong-bengong tak percaya, saat
melihat pasangan (love birds) bisa sedemikian vulgar dan mesra dalam
mengekspresikan cinta mereka di taman kampus. Aku masih saja terkagetkaget, saat melihat beberapa orang datang ke kelas dengan celana super
22 pendek dan baju tanpa lengan yang memperlihatkan sebagian besar kulit
dan bagian tubuh mereka. Hal ini membuatku teringat akan tempat kuliah
saat S-1 dulu, yang mengharuskan semua murid bersepatu dan berpakaian
rapi. Aku tidak bisa membayangkan kalau murid-murid boleh berpakaian
super seksi seperti ini, mungkin beberapa dosen dan murid-murid laki-laki
tidak akan konsentrasi saat di kelas.
Juga, aku masih sering kaget apabila ada seorang murid yang tiba-tiba saja
keluar meninggalkan kelas, meskipun mata kuliah belum habis. Biasanya, aku
akan mengecek raut muka sang profesor. Kebanyakan dari mereka tidak ada
yang merasa terganggu, apalagi marah. Mungkin buat mereka belajar adalah
pilihan masing-masing individu, di mana murid mempunyai hak penuh
atas diri dan pilihannya. Jika murid itu merasa perlu meninggalkan ruangan
kuliah untuk mengejar keperluan yang lain, mereka tidak perlu meminta izin
kepada sang profesor. Aku pun masih ingat, bagaimana aku meminta izin
saat ingin membuang air kecil, pada mata kuliah Introduction to Linguistics.
Sang profesor pun mengangguk dengan pandangan agak bingung.
Aku juga masih tidak bisa bersikap biasa saja, saat ada beberapa anak
(biasanya mahasiswa undergrads) yang mengambil kelas bersama kami,
mengangkat kaki mereka seperti sedang duduk di warteg saat mengikuti
perkuliahan. Berkali-kali kubagi konsentrasi antara menyimak penjelasan
profesor dan melihat ke satu anak yang asyik mendengarkan ulasan sang
dosen dengan kaki di atas kursi.
Kehidupan akademis pun menjadi tantangan tersendiri. Meskipun
kemampuan bahasa sudah cukup memadai, aku harus berjuang lebih keras.
Menyesuaikan diri dengan kehidupan akademis yang begitu berbeda dengan
yang selama ini kuhadapi di Indonesia. Paper berkali-kali dikembalikan karena
perbedaan cara menulis. Paper di kampus US meminta mahasiswa untuk to
23 the point dan tidak bertele-tele. Maka, di saat teman-teman Amerika hanya
memerlukan waktu kurang lebih dua hari untuk menulis paper sebanyak 30
halaman, aku memerlukan setidaknya dua minggu. Malam-malam panjang
tanpa istirahat pun harus kulalui.
Perkuliahan di negeri ini juga meminta mahasiswa aktif di kelas. Apapun
yang tidak jelas harus ditanyakan sehingga diskusi yang akademis memang
terasa sekali di kelas. Untuk satu mata kuliah per harinya, bacaan yang harus
dibaca sekitar 100-250 halaman, sedangkan aku harus menghadiri tiga
mata kuliah setiap hari. Demi membaca bahan kuliah itu, lagi-lagi aku harus
merelakan waktu istirahat. Tidur menjadi barang yang demikian langka.
Belum lagi saat diskusi di kelas, perasaan tidak percaya diri dan
terintimidasi hadir berkali-kali. Betul-betul perjuangan untuk menghilangkan
semua perasaan negatif ini. Tap,i aku juga tahu, there"s always light ater the
dark. Ratusan malam terjaga, kadang tanpa ada makanan apapun di perut
jika bahan bacaan, tugas, paper, koreksi ujian mahasiswa menumpuk. Setiap
hari. Semua itu akan dua-tiga kali lipat lebih berat saat musim dingin tiba.
Saat musim dingin, saat udara menembus minus, semua orang seperti
kehilangan motivasi. Mata dan tubuh menjadi lebih cepat lelah. hey call it
Winter Blues. Aku pun harus berjuang lebih keras agar masih bisa menjaga
ritme kerja dan belajar di musim ini. Semua orang termasuk diriku,
memerlukan mood booster di musim yang ekstrim ini.
Satu hari di musim dingin, saat pulang dari perpustakaan Alden, tempatku
bekerja paruh waktu dan belajar sampai jauh malam, aku menembus badai
salju. Di antara menahan dingin yang bahkan sebuah jaket tebal pun tak
mampu menghangatkan, juga rasa takut karena terpaan angin yang demikian
kencang. Aku menjadi sulit berjalan.
24 Setelah berpisah dengan Yuki, kakak kelas dan juga teman belajarku, di
ujung Alden aku menuruni Bukit Morton. Sukses menuruni Morton yang
malam itu tidak terlalu licin, salju turun begitu lebat. Angin bertiup begitu
kencang. Aku seperti terbang. Aku kesulitan berjalan. Boots yang kupakai,
ternyata tidak mampu menahan udara malam itu. Tiupan angin seringkali
meniupkan butiran salju ke wajah. Mata tidak dapat lagi melihat. Wajah
terasa perih dan membeku. Susah payah melangkah. Kampus ini tampak
seperti kota mati. Gelap dan tiada satu pun yang di luar. Tidak manusia, tidak
seekor tupai. Hanya aku dan sisa tenagaku melawan badai salju.
Berkali-kali kubetulkan syal dan hood yang jatuh menutup mata. Syal
yang kukenakan harus kubagi secara adil untuk leher dan wajah. Angin yang
bertiup kencang sampai 50 km/jam, dan salju yang turun demikian deras di
tengah malam yang sepi, membuatku jatuh berkali-kali di tumpukan salju.
Wajah membeku dan terasa perih. Syal sudah kocar-kacir digerakkan angin.
Di tengah rasa dingin yang mendera, aku berkali-kali berdoa agar bisa
sampai di apartemen mungilku dengan selamat. Rasa khawatir demikian
besar menghantuiku. Khawatir tidak akan pernah bisa melawan alam saat
itu. Tiba-tiba wajah Ibu, Uni, dan almarhum Bapak bermunculan satu per
satu di benakku. Sendiri aku harus melewati semua ini, sambil menahan sakit
di sekujur badan akibat terjatuh. Aku bangkit untuk kemudian berjalan lagi.
Aku harus terus berjalan. Tidak ada pilihan lain. Air mata turun tanpa mampu
kutahan. Di saat beberapa teman selalu menyangka bahwa kehidupan di luar
negeri serba enak, mereka tidak pernah tahu ada banyak pengorbanan yang
harus dihadapi. Susah payah, akhirnya aku sampai juga di studio mungil
bercat biru muda. Tahun ini adalah musim dingin pertama kali untuk tubuh tropisku. Jaket
yang super tebal dan memakai baju berlapis-lapis adalah sebuah kewajiban.
25 Memilih boots yang tepat untuk suhu yang ekstrim pun adalah sebuah
budaya. Aku masih ingat, bagaimana jemari kaki yang beku di dalam boots
yang kupakai. Saat itu, boots yang kukenakan ternyata hanya bisa menahan
sampai suhu 300F atau sekitar -10C. Suhu sudah turun mencapai -100C,
atau bahkan -200C. Aku meringis sepanjang perjalanan dari kantor sampai
apartemen. Sampai di studio, aku langsung memesan online sepatu Boots
Columbia yang akhirnya datang dua hari setelahnya.
Aku juga kadang terlupa, bahwa setiap musim mempunyai tantangan
masing-masing. Musim dingin merupakan satu musim yang memerlukan
banyak persiapan dan pengetahuan. Nyawa bisa menjadi taruhannya.
Di musim ini, setiap orang mesti tahu harus mengungsi ke mana saat ada
Tornado Warning. Kita dianjurkan membeli roti sebagai bahan makanan
gawat darurat, agar jika listrik mati, roti bisa dengan mudah dikonsumsi.
Hal-hal seperti itu baru aku pelajari saat pemerintah Kota Athens
mengeluarkan Tornado Warning. Beruntung aku tidak pernah harus
mengungsi. Di hari-hari yang sangat dingin, penduduk dihimbau untuk
mengurangi kegiatan di luar rumah dan gedung. Kami semua juga dihimbau
untuk mengungsi ke basement, apabila ada sirene berbunyi. Beruntung sirene
tidak pernah berbunyi, meskipun berkali-kali angin bertiup sangat kencang.
Para pengendara mobil diminta untuk selalu menyediakan selimut tebal dan
beberapa bahan makanan, jaga-jaga jika mereka sedang berada di jalan tol
saat darurat cuaca terjadi. Dan hal-hal lain yang baru kutahu dan kupelajari
saat di sini. Benar-benar gegar budaya, deh.
Satu malam menjelang pagi di musim dingin, aku masih asyik bekerja di
ruang 357. Ruang kantor yang kutempati bersama Yulin, Verena, dan Yuki.
Mereka semua kakak tingkat satu tahun lebih dahulu, dan teman satu kantor
di Gedung Gordy tempat kami kuliah dan berkantor. Kami menyebutnya
26 357. Kami terbiasa bekerja sampai pukul 2 pagi. Namun, malam itu 357 hanya
kutempati seorang diri. Yulin, Verena, dan Yuki sudah pulang sejak tadi sore.
Mereka ada acara makan malam dengan teman-teman angkatan mereka.
Aku harus menyelesaikan satu paper. Masa tenggat waktu dua hari lagi.
Aku masih asyik menulis saat Janine, sang janitor, tenaga pembersih gedung,
mengetuk pintu 357. Biasa, untuk mengambil sampah. Setelah ngobrol
sebentar, aku melanjutkan tulisanku. Saat jam menunjukan pukul 1.45,
tiba-tiba aku tidak kuasa menahan lelah dan kantuk. Awalnya, aku berniat
tidur di sofa departemen. Tetapi sudah dua hari tidak tidur di kasur, maka
aku pun memutuskan untuk pulang malam. Aku paling sebal momen harus
keluar saat musim ini. Persiapannya itu lho, repot. Harus memakai jaket, topi,
syal, dan sarung tangan. Setelah selesai memasang semua peralatan lenong,
eh peralatan musim dingin, aku melangkah ke lit. Saat berpapasan dengan
Janine, tak lupa kuucapkan selamat malam kepadanya. Perempuan bertubuh
kurus itu melambaikan tangannya.
Tiba di depan Gordy, kampus terlihat sepi dan basah. Aku baru
menyadari, ternyata hujan mengguyur kota ini sejak tadi. Aku melangkahkan
kaki menuju Bukit Morton. Saat kaki kananku bersiap menuruni bukit itu,
tiba-tiba aku merasakan jalanan licin. Kucoba berkali-kali untuk jalan, namun
gagal. Bahkan, aku tergelincirsampai dua kali. Untungnya tidak terlalu keras
benturannya. Ternyata, malam itu turunan Bukit Morton dipenuhi black ice/
clear ice. Yaitu salju yang berubah menjadi es. Es tersebut menutupi jalan,
berwarna transparan. Kalau sudah malam begini, mata tidak lagi bisa melihat
es itu. Hanya bisa merasakan dengan boots yang dikenakan.
Sambil menahan sakit, aku berusaha bangun lagi. Membuka sarung
tangan untuk meraba es yang menutupi jalan. Kalau kupaksakan berjalan,
aku mungkin tidak akan selamat sampai ke studio mungilku. Aku pasti akan
terguling. Menjadi pasien Rumah Sakit O"Bleness. Atau paling sial, bisa
27 kehilangan nyawa. Aku bergidik membayangkan itu. Aku berpikir cepat.
Akhirnya kuputuskan untuk memutar jalan. Melewati jalanan rerumputan
yang tertutup salju. Biarlah menjadi dua kali lebih jauh dan memakan waktu
dua kali lebih lama, asal selamat sampai tujuan. Sambil menahan dingin dan
kekhawatiran luar biasa, aku pun melangkah pelan-pelan, sambil sesekali
merasakan dulu apakah salju telah berubah menjadi es. Tak jarang, aku harus
merangkak demi keamanan diri. Aku tahu es jenis ini berbahaya dan sudah
menyebabkan banyak korban meninggal.
Malam itu, saat suhu mencapai -150C, aku harus merangkak atau berjalan
pelan ala penguin, demi pulang ke apartemen dengan selamat. Perjalanan
yang biasanya bisa kutempuh selama 15 menit, menjadi 45 menit. Kadang
ingin sekali menangis, tetapi rasa khawatir lebih besar. Satu pengalaman lagi
tentang hidup. Tentang menghadapi musim dingin yang menantang.
Setelah melalui banyak rintangan dan cobaan, musim dengan cuaca
ekstrim itu berlalu. Musim dengan bunga warna-warni hadir. Satu musim
yang ditandai dengan bunga-bunga dafodil yang mulai centil menampakkan
kuningnya. Seperti juga mayoritas penduduk Athens, hatiku bersorak
menyambut kedatangan musim ini. Musim yang sangat dinantikan. Bisa
mengalami sendiri musim semi. Satu pengalaman indah yang menempati
satu ruang memori sendiri. Sebuah impian tentang Cherry Blossom menjelma
nyata di hadapan mata. Warna-warni khas musim semi. Bunga-bunga
yang bermekaran yang dulu hanya bisa dibayangkan melalui novel-novel


Menembus Janji Matahari Karya Nelly Martin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kesayangan, akhirnya bisa mewujud nyata sebagai pemandangan peneduh
dan penyejuk mata. Musim semi pertama. Pengalaman pertama memang selalu meninggalkan
kesan luar biasa. Menit ke menit, tak habis-habis kunikmati dedaunan
bersemi ungu, merah jambu, kuning, dan hijau yang tumbuh di pot-pot atau
di pinggir jalan, dan taman kota. Bahkan, bunga claytonia yang tumbuh liar
pun sanggup menyetop langkah kakiku. Sejenak memanjakan mata dengan
28 hiburan bunga-bunga cantik ini. Bunga-bunga liar yang tumbuh di pinggir
jalan, berhasil menstimulasi hormon endorphine. Bahagia. Bersyukur.
Saat berkali-kali menggugat kuasa Sang Maha atas apa yang terjadi pada
hidupku karena kehilanganBapak, aku juga tahu Tuhan begitu luar biasa
baik. Aku bersyukur, bahwa aku masih bisa merasakan bahagia saat melihat
setangkai bunga di pinggir jalan. Rasa syukur tak berkesudahan pun bisa
hadir di hati, saat memandang hamparan bunga-bunga ini.
Musim semi adalah musim perayaan. All are blossoming. Di musim ini,
bunga-bunga pun menunjukkan cinta mereka dengan bermekaran sepenuh
hati. Memamerkan warna terindah yang mereka miliki, setelah hampir
setahun harus merontokkan dedaunan, demi memberi kehidupan pada
tubuh mereka yang hanya bisa menyerap sedikit air saat suhu mendingin.
Musim semi menyimpan daya magisnya sendiri. Musim ini menyimpan
rahasia bunga terhadap daun, rahasia daun terhadap dahan, dan dahan
terhadap tanah. Sebuah konspirasi rahasia yang menghasilkan satu
kolaborasi indah. Kolaborasi yang melahirkan pemandangan hasil cinta
untuk dinikmati oleh manusia.
Semua bunga memamerkan kelebihan masing-masing. Jika si kuning
dafodil telah mulai bermekaran, itu adalah tanda musim semi telah tiba.
Si putih dan jingga bunga daisy, si putih bunga bloodroot, si kuning aristosa,
si merah jambu rubus odoratus, si merah silene virginica, si ungu cichorium
intybus, si putih kuning crista pun tidak mau kalah memamerkan keindahan
mereka masing-masing. Musim ini, musim berseminya cinta. Musim indah. Tidak ada alasan
untuk tidak mencintai musim ini. Musim permulaan. Permulaan bagiku
berjumpa dengan salah satu impian masa lalu. Perjumpaan pertama dengan
tulips. Tulips yang dulu hanya tumbuh di dunia khayal, kini bisa kusaksikan
sendiri tumbuh nyata di depan mata dan bermekaran di halaman gedung
rumah presiden kampus. 29 Di musim permulaan ini, adalah kali pertama aku kembali diingatkan
akan kelalaian mengucap syukur. Saat melihat bunga-bunga yang bersemi
setelah merontokkan semua daun di musim dingin, aku pun takjub dan
mengerti alam sedang menjalankan sebuah perintah. Tunduk atas perintah
sebuah kuasa. Saat musim berganti sesuai masa, aku mulai memahami, bahwa
alam sedang berkomunikasi dan mengajarkan, bahwa mereka tunduk pada
sebuah aturan. Menunduk. Mereka tunduk.
Saat mengucapkan dua kata ini perlahan, lidahku kelu. Sejenak
menganalisa. Detik itu juga aku ber-istigfar berkali-kali. Menyadari bahwa
aku telah lalai. Kesedihan atas kepergian Bapak telah membuat diriku lupa
melihat berkah Tuhan yang lain. Hatiku sibuk menggugat Tuhan dengan
semua pertanyaan yang tak pernah terjawab. Aku telah zalim and have taken
things for granted. Manusia yang kodratnya lupa, memang sering kali lupa
mengapresiasi, lupa bersyukur. Rasa sakit saat kehilangan Bapak tanpa
diberikan kesempatan untuk melihat beliau di hari wafatnya, membuatku
sempat berpaling dan tidak lagi datang bersujud. Aku merasa dikhianati.
"Pak, aku lebih suka sujud daripada ruku". Aku mau sujudnya lama, ruku"nya sebentar aja." Aku yang waktu itu baru belajar sholat, mengadu pada
Bapak setelah kami sholat Maghrib berjamaah petang itu.
"Bersujudlah, Nak. Sujud adalah jarak terdekat antara hamba dan
Tuhannya, maka banyak berdoalah dalam sujudmu. Tuhan mendengarkan.
Dengan bersujud, kau melepaskan semua bebanmu, dan datang berserah
padaNYA." Percakapan saat aku masih di TK, tiba-tiba terbayang jelas di proyektor
ingatanku. Percakapan di suatu senja, saat aku baru saja selesai berjamaah
dengan Ibu, Bapak, dan Uni. Dan sekarang, hampir sembilan bulan lamanya
aku tidak lagi datang bersujud pada Tuhan. Hatiku sibuk menggugat. Aku
30 tidak ingin datang berserah dan menghadapkan wajahku kepada Dzat yang
telah memberiku hidup. Aku pun ber-istigfar berkali-kali. Meski sampai saat
ini belum juga kumengerti maksud Tuhan atas kepergiaan Bapak setelah
keberangkatanku, aku masih ingin Tuhan mendekapku, dan tidak melepaskan.
Malam-malam perenungan membawa pada ingatan tentang Bapak, yang
kuyakin pasti akan bersedih melihatku tak lagi bersujud pada Tuhan.
Musim ini telah menggugah hati.Musim yang telah banyak mengingatkan
akan kuasa Tuhan. Maka, sebuah doa pun mengalun indah agar musim ini
tidak cepat berlalu. Untaian doa agar waktu berjalan melambat dan tinggal
menetap, dan tidak segera beranjak.
?"" 31 32 2.Mesin Waktu 33 Sometimes, I imagine what would have happened if I hadn"t acted as
myself on that day. I wouldn"t have had that chance to get to know a igure
who had let such a strong impression in me. If I didn"t talk to you that
day, you may have been just another person. Aku yang sekarang adalah hasil
keputusan di masa lalu. Saat aku berani menegur kamu yang tampak pendiam
saat itu, menerobos semua batas keberanian. Mungkin keputusan itu yang
menyebabkan kita menjadi yang sekarang. Kisah ini mungkin tidak perlu diberi
nama. Kisah ini mengalir mengikuti itrahnya sendiri. Tanpa perlu dinamai kamu,
aku, kita, menjalani satu jalinan istimewa yang hanya kita yang tahu bentuknya.
Hidup adalah pilihan, dan pilihanku saat itu untuk memberanikan diri bertanya
padamu, menentukan perjalanan kita. And I, never in any day, regreted the
moment I made the conversation with you.
?"" Hari ini Sabtu, hari di mana aku biasamembersihkan studio mungilku,
menyedot debu, dan mencuci. Hari tanpa jadwal kuliah. Biasanya diisi dengan
kegiatan kelompok belajar untuk mengerjakan proyek mingguan. Sabtu ini
adalah giliran bertemu dengan teman-teman satu grup dari kelas Teaching
Reading for Second Language Learners. Menurut rencana, kami akan bertemu
setelah makan siang di salah satu ruang belajar perpustakaan Alden.
Aku selalu menikmati rutinitas Sabtu pagi. Satu hari di mana aku bisa
bangun lebih siang dari hari biasa. Subuh ini, saat sinar pertama mulai
menampakkan semburat merah di langit Athens, aku bergegas membasuh
wajah untuk datang bersujud pada Tuhan. Tidak lupa menyelipkan seuntai
doa, agar Bapak selalu tenang dan mendapat cahaya terang. Setelah itu, aku
34 kembali tidur dan bangun tepat jam 10. Sungguh, bisa tidur setelah sholat
Subuh tanpa diganggu alarm adalah kenikmatan luar biasa. Aku terkekeh
sambil menarik selimut. Hangat menjalari tubuh. Nikmat.
Setelah bangun, acara membersihkan studio mungil dimulai. Setelah
selesai, aku biasanya menikmati bagel dengan cream cheese dan ditemani
segelas kopi espresso. Kopi pahit kegemaran.Sambil mengunyah, kunyalakan
macbook-ku untuk mengecek email. Memastikan bahwa tidak ada perubahan
rencana untuk hari ini. Setelah selesai mengirim email, aku iseng-iseng
melihat-lihat berita untuk sekadar keep up dengan berita di tanah air.
Saat sedang asyik browsing, sebuah pesan di Yahoo Messenger (YM)
masuk. Kudengar bunyi notiikasi dari macbook, aku hanya menatap sekilas
tanpa memberikan perhatian lebih. Dua kali berbunyi, aku membaca ID
sang pengirim. Jantungku berdetak lebih cepat dari biasa. Kupastikan
mata dan otakku tidak salah dalam memberikan informasi. Kuputuskan
untuk membaca pesannya. Aku terdiam sambil merasakan irama hati
yang berdegup kencang. Nama pengirim pesan itu ternyata masih mampu
membuat pikiranku terbang ke sebuah kisah lama. Kisah yang terjadi sekitar
lima tahun lalu. Mengingat nama itu adalah sama artinya dengan mengingat bagaimana
kami berkenalan pertama kali di masa penataran SMA. SMA terbaik di
Kota Depok. Memori otakku masih jelas mengingat satu episode di masa
itu. Episode yang tidak biasa, yang sampai saat ini masih saja diberi label
istimewa oleh sang otak. ?"" 35 Masa Penataran P4, SMA Nusantara Depok, 2002
Hari itu, hari ketiga Masa Penataran dan Orientasi siswa-siswi baru murid
SMA Nusantara. SMA terbaik di Kota Depok. Masih ada empat hari bagiku,
dan murid-murid baru di SMA ini untuk belajar dan mengenal sekolah baru,
kakak-kakak kelas, guru-guru, dan teman seangkatan serta sekelas. Setiap
tahun, SMA-ku ini menerima enam kelas baru dengan masing-masing
kelas terdiri dari 40 murid. Kelas 1-1 sampai dengan kelas 1-6 dipenuhi
wajah-wajah murid terpilih dari hasil saringan nilai ujian akhir dari Sekolah
Menengah Pertama (SMP) di seluruh Kota Depok.
Hari itu, setelah selesai orientasi pengenalan kegiatan ekstrakurikuler
Palang Merah Remaja (PMR), kami, murid-murid kelas 1-5, bersiap
menerima materi tentang Dasar-dasar Pancasila, yang akan disampaikan
oleh Bu Amy, Guru Matematika yang terkenal cerdas, baik, namun tegas.
Sesi perkenalan dilakukan dengan cara yang sangat menarik dan unik. Alihalih diminta menyebutkan nama dengan cara yang biasa, Bu Amy meminta
kami semua untuk berbaris sesuai hari ulang tahun kami. Kami mulai saling
bertanya kapan tanggal lahir satu sama lain.Kami yang masih berseragam
putih biru itu berbaur demikian cepat, meskipun awalnya masih malu-malu.
Sungguh kukagumi cara Bu Amy. Secara tidak langsung, Beliau meminta
murid-murid untuk lebih mengenal satu sama lain melalui kegiatan yang
menyenangkan. Setidaknya itu yang terjadi pada dua anak manusia yang
sangat berbeda karakter. "Hey, kamu lahir bulan Juli?"
Itu suara cemprengku yang kutujukan ke sosok laki-laki pendiam di
depanku. Dia cuma berdiri tanpa berusaha bertanya kepada orang-orang
di sekeliling kami. Aku gemas melihatnya. Laki-laki itu hanya mengangguk.
36 Aku tambah gemas. Ketika semua murid sudah berdiri di barisan bulan
kelahiran mereka masing-masing, aku berbisik-bisik.
"Hey, kamu," panggilku lagi ke laki-laki yang sama. Sekali, dua kali, lelaki
itu tidak juga menoleh. Aku pun menepuk bahunya. "Hey, kamu tanggal
berapa lahirnya" Aku 29 Juli. Kamu tanggal berapa?" Kegemasanku tidak
bisa kutahan lagi. Laki-laki itu menoleh, sambil menjawab pelan. "Dua delapan." Aku
bagaikan tersengat listrik ketika mendengar jawabannya.
"Hah" Kamu tanggal 28" Ya ampun, kita beda sehari dong ya, aku 29
lho, ihhh keren banget sih." Aku tersenyum-senyum gembira. Sudah lupa
dengan kejengkelanku atas sikapnya. Laki-laki itu membalikkan badannya,
tidak peduli. "Eh, eh, tau nggak, selama ini jarang banget lho ada yang ulang
tahunnya deketan sama aku, ada satu yang lahir tanggal 28 juga, tetanggaku,
dia sama ultahnya sama kamu. Tapi kalau temen sekolah, sejak SD sampe
sekarang, baru kamu lho yang ulang tahunnya beda sehari sama aku."
Aku terus nyerocos dengan riang. Laki-laki berwajah tenang itu tidak
menggubris sama sekali. Aku masih saja berceloteh, sampai sebuah suara
nyaring tiba-tiba berteriak menyebut namaku,
"Kelly Morgan! Kamu bisa diam, tidak?"
Spontan satu kelas senyap. Namaku disebut, tapi aku masih saja
berceloteh riang di balik punggung laki-laki yang sejak tadi nampak tidak
terlalu peduli. "Kel, Kel, lo dipanggil tuh ama Bu Amy." Lisa menepuk bahuku sambil
berbisik. Aku pun tersadar. Semua mata memandang ke arahku. Aku terdiam saat
kulihat kilatan marah dari mata Bu Amy.
37 "Sini kamu!" Suara Bu Amy menggelegar memecah keheningan kelas.
Aku pelan-pelan berjalan ke depan sambil menunduk. Bu Amy
menyuruhku berdiri di depan kelas selama Beliau mengajar.
Sesaat sebelum Bu Amy memberi instruksi ke anak-anak lain, akumerasa
ada satu tatapan mata yang menerobos mataku. Saat kucari sumber tatapan
itu, pemiliknya telah kembali menunduk. Sesaat sebelum menunduk, aku
lagi-lagi merasa pemilik sepasang mata itu melemparkan senyum penuh
kedamaian. Untukku" Mungkin iya, mungkin tidak. Aku tidak punya
keyakinan, yang kupunya hanya pengharapan. Aku berharap lelaki itu yang
tersenyum dan menatapku tadi. Pertanyaan itu tidak pernah menemukan
sebuah jawaban sampai bertahun-tahun. Pernah kutanyakan pada beberapa
sahabatku. Jawaban mereka sama sekali tidak membantu.
"Ehm, mau jawaban jujur apa nggak nih, Kel?"
"Jujur deh," kataku harap-harap cemas.
"Ehm, gue rasa elo ngigo, Kel. Masa sih cowok itu ngeliatin elo" Kerjaannya
aja nunduk mulu gitu." Suara Windi yang masih mengunyah siomay.
"Iya juga. Kayak lagi nyari duit di lantai ya. Nunduk mulu." Aku menjawab
sambil mengingat kelakuan salah satu teman sekelasku itu.
"Iya, apa saking panik dimarahin Bu Amy, otak lo jadi geser, Kel" Orang
lagi nunduk, elo bilang senyum ama elo." Inoy menimpali.
"Ih, tega lo pada. Gue yakin kok. Dua kali dia ngeliatin gue. Sambil
senyum gitu." Aku masih keukeuh.
"Iya, deh. Percayaaaaaaa. Selamat ya, Keeeeeeeel." Itu suara Kiki. Masih
tetap menggodaku. Akhirnya, aku memilih tidak membuka suara. Siomay yang masih tersisa,
tidak lagi ingin kusentuh.
38 "Duileh, jarang-jarang nih Kelly kehilangan selera makan. Udah dong
jangan godain dia mulu." Meita menimpali.
"Kel, mungkin benar dia ngeliatin kamu. Walau aku nggak lihat, tapi entah
kenapa aku yakin dia emang ngeliatin kamu." Rena tiba-tiba mengeluarkan
suaranya. "Tuh, kan. Emang cuma Rena yang paling baik deh," kataku riang.
Tiba-tiba, selera makanku kembali muncul. Kutarik piring siomayku
dari tangan Inoy. Inoy menatapku kecewa. Aku mencibir. Siomay kunikmati
dalam bahagia. "Coba tanya aja, Kel, apa bener dia ngeliatin elo" Daripada penasaran.
Elo kan suka ngigo kalau penasaran." Kali ini, Raisha yang buka suara.
Aku tersedak. Untungnya, Windi dengan sigap memberiku segelas air.
Setelah menelan semua siomay dan air putih, aku sedikit lebih tenang.
"Raishaaaaaa, elo udah gila" Masa tiba-tiba gue nanya gini:"Eh, elo tadi
ngelihatin gue ya" Dua kali" Pas gue lagi disetrap?" Mau ditaroh di manaaaaa
muka gueeeeee?"?"?"?" Aku pura-pura histeris.
"Taroh di ember Bang Siomay aja, Kel. Biar sekalian dikucek." Suara
Lisa, disambut gelak tawa teman-teman yang masih asyik menikmati siomay
dan es melon di kantin. Waktu istirahat pun usai. Gerombolan anak-anak
perempuan itu menuju kelas 1-5.
?"" Saat lamunanku mulai menjejak ke negeri yang berjarak ribuan kilo, ke
masa lima tahun lalu, mengingat salah satu kejadian paling memalukan saat
awal masa sekolah, aku tersenyum-senyum sendiri. Kalau boleh jujur, aku
39 tidak pernah menyesal atas kejadian itu, meskipun harus dimarahi oleh Bu
Amy. Buatku, hari itu menjadi salah satu sejarah yang demikian bermakna.
Tidak akan pernah kulupa, meskipun tahun telah berlalu. Aku terkesima
dengan satu senyuman dan tatapan mata teduh. Milik Lantana. Tatapan yang
mampu membuat hati tenang dan merasakan energi positif yang demikian
dahsyat. Tatapan yang sebenarnya hanya sepersekian detik saja. Tapi sampai
saat ini, masih kuingat. Konyol" Mungkin saja. Tapi kan rasa hati tidak bisa
dibohongi. Mengingatnya, aku masih saja merasa bahagia.
Kubaca lagi pesan di Yahoo Messenger barusan. Berulang-ulang, bukan
hanya sekali-dua kali, tetapi puluhan kali. Tapi sayang, aku tidak punya
keberanian untuk membalasnya.
Lantana Raya: Assalammu"alaikum, Kelly. Apa kabar"
Itu bunyi pesan yang sejak tadi mampu mengobrak-abrik rasa hati dan
memoriku. Cukup sederhanakan" Tapi, sapaan itu sudah kutunggu sejak
beberapa tahun lalu. Jadi, wajar saja jika aku merasa jantungku tidak lagi


Menembus Janji Matahari Karya Nelly Martin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berada di tempat yang seharusnya. Jantungku masih saja berdegup kencang,
tak menentu. Kuucap nama itu pelan-pelan. Lan-ta-na. Lan-ta-na. Lantana
menyapaku! Ini sebuah peristiwa luar biasa yang datangnya tidak sebulan sekali, tetapi
lima tahun sejak kami terakhir bertegur sapa. Aku bangkit dan bolak-balik
mengitari studio yang tidak terlalu luas. Kaget. Senang. Bingung. Energi
bingung ini harus segera dituntaskan. Setidaknya sebelum belajar kelompok
nanti. Jika tidak, nanti aku bisa-bisa tidak bisa mikir lagi.
Aku masih asyik bengong. Tidak percaya. Lima menit, sepuluh menit,
sampai akhirnya aku meraih telepon. Menelepon Raisha, salah satu sahabatku
40 sejak masa putih biru. Saat ini, kami sedang terdampar di benua yang sama,
hanya berbeda negara bagian.Raisha di Chicago. Ku-dial 6303207266. Ada
nada sambung, namun belum diangkat. Aku berdoa dalam hati.
"Angkat dong, Sha, angkat. Penting." Doaku pelan.
"Halo." Suara di ujung sana.
"Sha, lo tau nggak siapa yang tau-tau muncul di YM?" Kataku langsung.
Tanpa basa-basi. Tidak bertele-tele.
"Enggak," sahut Raisha pendek.
"Ihh, tebak dong. Males deh." Aku mendesak.
"Duh, Kel, pagi-pagi udah main tebak-tebakan. Cepetan cerita. Bentar
lagi gue harus ke ruang meeting nih."
Akhirnya, aku menyerah. "Lantana, Sha, Lantana. Lantana nyapa gue
di YM. Nyapa gue, Sha. Gila nggak sih?" Aku melapor tanpa berhenti. Aku
ingin luapkan semua tanpa terkecuali. Sampai-sampai nama lelaki itu pun
tersebut sebanyak tiga kali.
"Wah. You should tell me the story later, Kel. Gue lagi mau meeting nih. Kan
jam 8 nih di sini. Lo baru bangun, ya" Cuci muka dulu, gih."
"Lantana, Sha, Lantana?"
"Iya ya, ntar ya teleponnya. Gue udah mau masuk ruangan nih. Lo kirimin
SMS aja ya atau email. Ntar gue baca pas lunch break, terus ntar malam gue
telepon lo ya. Lo nggak ke perpus, kan" Udah ya, bos gue udah datang nih."
Belum sempat aku menjawab, suara di ujung sana sudah hilang dan
telepon dimatikan. Aku pun manyun. Tapi, aku tahu Raisha pasti sedang
sibuk luar biasa dengan pekerjaannya.
41 Karena sedang bahagia, aku cepat memaakan Raisha yang menutup
telepon terlebih dahulu. "Gak sopan deh si Raisha nutup telepon duluan, kan gue yang nelepon,"
sungutku berkali-kali. Cuma sebentar. Tak lama kemudian, aku meraih laptop dan mulai
merangkai email buat Raisha.
Shaaaaaaa, Tadi pas gue lagi baca-baca berita di laptop gue, tiba-tiba ada suara Buzz di
YM gue. Awalnya, gue nggak percaya. Nggak mungkilah dia kirim pesan buat gue.
Dia tahu ID gue dari mana" Tapi pas gue baca berkali-kali, ternyata emang dari
dia, Sha. Elo pasti tauuuuuuuu, kan, Shaaaa?"?"" Lo pasti bisa nebak kan, siapa
yang bisa bikin gue kalang-kabut dari zaman dulu. Siapa yang bisa bikin jantung
gue kayak mau lompat keluar, dan siapa yang bikin gue tiba-tiba jadi panic atack
kayak sekarang. Cuma satu orang yang bisa bikin gue tiba-tiba jadi linglung,
bingung, dan nggak tahu harus ngapain. Dari dulu cuma ada satu orang yang
bikin gue pusing mikirin ada apa di balik sikapnya. Cuma satu nama, kan, Sha"
Dan barusan nama itu muncul lagi. Gara-gara dia, gue jadi inget lagi zaman
penataran deh, pas pertama kenalan ama dia. Nggak ada yang istimewa sih dari
sapaan dia, cuma sekadar nanyain kabar. Tapi, tetep Shaaaa, ini Lantana lhooo,
Lantanaaaaaaaa. Tau dari mana dia YM ID gue ya, Sha" Dari elo" Ahhh nggak
mungkin yaaaaaaa".. Duh, kayaknya gue mau ke Front Room Caf? niiiihhhhhhhh, mau traktir diri
gue sendiri. Udah seminggu gue hemat abis, nggak beli kopi di warkop favorit gue.
Ke mana-mana cuma bawa seduhan teh atau kopi Walmart, hehehhee. Gue kan
bukan diplomat tajir macam elooo, hihihihihi. Tapi kayaknya ini udah jadi alasan
cukup deh buat beli kopi merek kapitalis itu, hehehehe.
42 Ya udah, gue mau lanjutin lagi kegiatan Sabtu gue ya. Sumpah, gue bahagia
banget. Ntar gue nggak ke perpus, kayaknya gue mau belajar di warkop aja sampe
sore setelah gue selesai belajar kelompok. Kalau gue nggak capek, gue lanjut sampe
jam 10-an. Lo bisa telepon gue setelah jam 4-an, mudah-mudahan kelompok
belajar gue selesai jam segitu. Gue tunggu.
Daaaaaggg, Sha. Kiss, kiss.
Sent. Email buat Raisha pun terkirim.
?"" Tiba-tiba, aku teringat akan diary merah jambu yang terbang bersamaku
ke kota kecil ini. Aku coba mengingat-ingat di mana kuletakkan diary itu.
Saat mataku asyik menyusuri studio biru ini, tiba-tiba kulihat diary merah
muda itu di atas meja belajar. Ternyata, tadi malam sebelum tidur, aku
sempat membaca diary itu. Tapi bukan membaca bagian tentang Lantana,
melainkan membaca bagian tentang Bapak. Entah kenapa, tadi malam aku
ingin sekali berbicara dengan Bapak. Untuk melunaskan kerinduanku pada
Bapak, kubaca diary merah jambu itu. Ternyata bisa sedikit mengobati,
meskipun juga membuat rinduku menjadi demikian dalam.
Awalnya, aku tidak ingin membawa terlalu banyak kisah dengan
Lantana di sana. Kisah yang dulu membuatku selalu tersenyum saat pulang
sekolah. Tetapi belakangan malah sering membuatku kesal, sebal, dan
sedih. Tetapi, Uni Dona menasihati untuk membawa serta diary itu. Uni
tahu aku menyimpan kisah harianku di lembaran-lembaran itu. Diary itu
akan menjadi salah satu teman, jika kerinduan akan rumah dan kehidupan
43 di Depok membuncah. Aku bersyukur, aku mendengarkan nasihat Uni.
Ternyata hari itu datang juga. Hari di mana aku ingin berjumpa lagi dengan
perasaan dan kisah masa lalu.
Perlahan, aku mulai membuka lembaran demi lembaran merah jambu
itu. Bukan bagian tentang Bapak. Bukan tentang hidup di rumah Depok.
Tetapi bagian di sekolah. Sebentar, aku tertawa-tawa. Tak lama, tergugu dan
menahan haru. Rasa malu pun tak jarang kurasakan saat membaca tingkahku
yang sangat bodoh di masa abu-abu. Kenangan masa itu bergulir deras di
kepalaku. Ah, tiba-tiba aku rindu. Aku kembali ke salah satu episode terbaik
dalam hidupku. Semua itu karena lembaran merah jambu. Lembaran penyimpan
kenangan dan cerita masa remaja. Diary yang merekam jejak diriku saat
masih berusia belasan. Aku membalikkan lembar demi lembar. Tepat di
halaman itu. Selasa, 29 Juli 2003 Dear kamu, Syukurku adalah kamu lahir. Satu hari sebelum hari lahirku. Lima belas
tahun kemudian kita baru tahu, rumah sakit kita hanya terjarak satu jalan besar.
Kamu lahir Subuh, aku lahir esoknya siang hari. Mungkin saat itu malaikat
menakdirkan kita akan bertemu di masa depan, pada tahun-tahun berikutnya.
Saat kita berusia belasan. We may have been made to cross path and we did.
Aku syukuri hari itu. Sang malaikat membuatku bertemu kamu....
Mungkin buat kamu, pertemuan pertama kita adalah masa SMA. Buatku,
aku sudah melihat kamu dan "mengenal" kamu dua tahun sebelumnya. Aku
44 beberapa kali melihat kamu dari jendela kelas saat SMP. Saat itu, setiap istirahat,
kamu dengan wajah kamu yang tenang itu selalu menuju ke mushola sekolah
yang terletak di samping kelasku untuk sholat Dhuha. Saat itu, aku hanya
menikmati teduhnya kamu dari jauh, tanpa tahu siapa kamu. Aku juga tidak
berusaha mencari tahu siapa kamu. Yang aku tahu, tiap jam istirahat akan ada
sesosok berwajah teduh dan kalem yang akan melewati belakang kelas menuju ke
mushola. Saat itu, aku hanya bisa mengagumi kamu dalam hati. Betapa tidak,
di saat anak-anak lelaki seusia kamu asyik nongkrong di kantin, main gitar, atau
sekadar duduk-duduk, kamu selalu asyik mengadu di hadapan Sang Khalik.
Hanya sebatas itu kekagumanku padamu.
Nama kamu sudah aku dengar hampir tiap hari. Dari hesa sahabatku,
teman sekelas kamu. Dia yang selalu menceritakan kekagumannya akan kamu.
Hampir tiap hari. Sampai aku bosan, tetapi juga penasaran dengan sosok kamu.
Cerita tentang kamu pun aku dapat dari dia, tapi kita tidak pernah berinteraksi
secara langsung. Dan saat kita akhirnya bertemu di sekolah ini, dimulai dari masa penataran
dan hari selanjutnya, aku selalu cari waktu buat ngobrol sama kamu. Mulai
dari masalah wanita dan laki-laki saat pubertas, sampai masalah mimpi basah.
Cuma dengan kamu aku merasa nyaman bertanya soal ini. Kamu bisa dengan
sedemikian lugas menjawab tanpa pernah membuat aku malu atas pertanyaanku
sendiri, bahkan yang terbodoh sekali pun. Aku sudah kenyang rasanya diledek
habis-habisan jika bertanya pada teman-teman lain.
"Reaksi kamu lucu kalau digodain, makanya anak-anak suka," kata kamu di
satu kali, saat aku bilang aku sebel digodain mulu dengan teman-teman lain.
"Lucu gimana" Aku kesel, tau,?" kataku sedikit merajuk di depan meja kamu,
sehingga kita memang selalu berjarak. Sampai nanti pun kita selalu berjarak.
45 "Kamu nggak pernah kelihatan kesel, malah kelihatan lucu, makanya temanteman nggak pernah berhenti godain kamu," kata kamu lagi dengan tenang,
sambil tentunya menunduk. Beberapa kali mata kita bertukar pandang, kamu
pun pasti langsung menunduk.
Hari-hari di sekolah pun menjadi demikian menarik bagiku. Sikap kamu
yang masih saja pendiam, tetapi selalu ramah jika aku tanya mulai dari masalah
agama sampai pelajaran Fisika, Matematika, atau Kimia. Dengan kamu, Fisika,
Matematika, atau Kimia tidak lagi menjadi penting, asalkan aku bisa ngobrol
sama kamu. Lucu atau norak, ya" Yah, namanya juga usaha. Dengan kamu
aku tahu, aku bisa menjadi diriku sendiri. Saat anak-anak lain, yang tentunya
bercanda, memanggil aku "ndut" karena memang porsi tubuhku yang chubby dan
pastinya nggak langsing, kamu tidak pernah sekali pun memanggil aku dengan
panggilan itu. Sekali waktu aku tanya kamu, karena penasaran. Dan jawaban
kamu sungguh tulus dan menyenangkan.
"Nama kamu sudah bagus. Orangtua kamu pasti mengirim doa lewat
nama kamu, dan aku hanya ingin mendoakan yang terbaik buat kamu dengan
memanggil nama kamu."
Itu adalah jawaban kamu saat itu, saat kita duduk berhadap-hadapan
terpisah satu meja di kelas kita, seperti biasanya. Aku pun terperangah. Bagaimana
mungkin anak umur 15 tahun bisa mikir sedewasa itu" Itu pikirku. Tentu saja
dalam hati. Saat itu, aku tahu hatiku sudah milik kamu. Meskipun kita tidak
pernah berada di satu ikatan lebih dari pertemanan, hati kita sepertinya saling
tertarik. Namun tidak pernah terucapkan. Kita berteman, dan tidak lebih dari
itu. Kamu masih tempat bertanyaku, jika aku kesulitan mengerti beberapa konsep
Fisika, Kimia, atau Matematika.
Di saat aku tahu hatiku telah jatuh pada pesona kamu, aku juga sadar betul,
bahwa hubungan ini tidak akan pernah menjadi lebih dari teman. Aku pahami
46 dan sadari seutuhnya peranan kamu di sebuah organisasi. Maka kebersamaan
dengan kamu saat-saat jam istirahat, saat kamu menerangkan soal-soal sulit itu,
menjadi demikian berharga buat aku. Aku pun menyadari sepenuhnya, bahwa kita
tidak pernah boleh lebih dari sekadar berteman. Posisi kamu sebagai aktivis yang
aktif di sebuah organisasi pun aku pahami sebagai sebuah bendera merah.Ada
banyak mata yang menentang hubungan pertemanan ini. Kakak kelas di rohani
Islam yang tidak memperbolehkan pacaran, juga guru mengaji yang mengasuhmu
sejak dulu. Tapi di saat aku sadari bahwa kisah kita tidak akan menjadi yang istimewa,
kamu malah memberiku banyak sekali tanda. Kamu pernah menungguku setelah
kita sholat tarawih di masjid sekolah hanya untuk membayar uang kas kelas,
padahal besok pagi kita masih bisa bertemu. Kamu juga pernah muncul di teras
rumah dengan alasan mau mengerjakan PR Matematika bersama.
Dari semua kesempatan yang kamu ciptakan untuk bersama-sama denganku,
ada satu kejadian yang masih saja kuingat. Kejadian saat kita bersama-sama ke
Dufan dengan beberapa teman dekat kita. Saat itu, Dufan yang sedang masa
promosi bayar satu untuk dua orang memang dipenuhi oleh sebagian besar anak
sekolah, maka mengantri untuk satu wahana bisa sampai 30 menit. Saat anakanak lain di rombongan kita hanya mengangkat bahu saat aku memutuskan
untuk tidak naik wahana yang paling menguji jantung, kamu meminta aku
mengantri bersama-sama. Dengan sabar kamu bilang. "Ya udah, nggak mau naik nggak apa-apa, ikutan
antri aja yuk, daripada nunggu sendirian.?"
Kamu yang begitu sabar menceritakan rangkaian cerita penuh inspirasi saat
aku tidak berani naik satu wahana yang menguji kekuatan jantung. Selama 30
menit mengantri itulah, kamu dengan sabar dan bijak menceritakan beberapa
cerita inspiratif tentang menghadapi rasa takut. Kamu bercerita layaknya seorang
47 kakak, tanpa ada nada menggurui sedikit pun. Saat antrian kita sudah sampai
di depan, kamu pun menghadapkan wajahmu ke arahku, dan saat itu juga aku
bilang ke kamu. "Aku naik, Lanta. Tapi, kamu duduk di sebelahku, ya.?"
Kamu pun mengangguk. Saat kamu mengangguk, aku tahu, aku lagi-lagi
jatuh ke pesona kamu. Pesona yang selalu kamu pancarkan dengan sederhana.
Aku jatuh hati tanpa aku tahu ke mana aliran hati ini akan bermuara.
Setiap orang jatuh hati dengan caranya sendiri. Ada yang jatuh cinta saat
melihat betapa cantik gadis yang duduk berhadapan di bus umum. Ada yang
jatuh cinta saat melihat teman lelakinya bermain gitar. Ada pula yang jatuh hati
saat mereka bertemu di mall, atau di restoran. Beberapa orang jatuh cinta pada
pandangan pertama di cafe tempat mereka biasa membaca buku atau saat sedang
menunggu. Beberapa jatuh cinta saat mereka berjumpa untuk kesekian kali di
halte bus. Beberapa yang lain jatuh cinta hanya dengan melihat untaian rambut
panjang dan hitam gadis di hadapannya. Beberapa tiba-tiba menjadi kehilangan
kata-kata saat melihat lelaki yang berkacamata di hadapannya sedang presentasi.
Yang lain, bisa jadi jatuh cinta saat mereka menyadari mereka sering mengunjungi
toko buku yang sama berkali-kali.
Sungguh luar biasa bagaimana hormon endorphine ini memengaruhi tubuh.
Reaksi kimia yang kadang tidak mengenal tempat, waktu, dan igur. Sebuah cara
yang bisa sederhana atau bisa demikian rumit.
Dan aku, aku jatuh cinta pada kesabaran kamu dan cara kamu menanggapi
semua pertanyaanku, bahkan yang terbodoh sekali pun. Aku jatuh pada
perasaanku saat bersamamu, perasaan ternyaman yang kamu selalu tawarkan
saat berada di dekat kamu. I"m in love with what I have become when I am
with you, dan caramu menyikapi tingkahku yang sering menyebalkan. Untuk
pertama kalinya dalam hidup, aku menyadari perasaanku yang berkembang
48 dengan cepat sejak kehadiran kamu. Kata orang itu namanya cinta pertama. Aku
bilang, itu rasa ternyaman dan tersabar. Aku yang menemukan nyaman dan bisa
jadi sabar, saat sama kamu.
Aku berada di mesin waktu. Mesin waktu itu membawaku ke masa
itu. Rasa itu. Membawaku tepat di satu halaman yang kutulis tepat di
hari ulang tahunku. Yang ke 16. Setahun setelah kumengenal sosok lelaki
bermata teduh. ?"" 49 50 m t.c o pu st ak a- in do .b lo gs po 3. Pertemanan Antarbenua 51 Saat aku masih asyik terhanyut dengan lapisan kisah masa lalu, iPhonekuberbunyi. Dari hue, salah seorang sahabat yang berasal dari hailand.
Kuraih iPhone dari atas meja belajar. Diary merah jambu kusimpan.
"Hi hue, how are you?"


Menembus Janji Matahari Karya Nelly Martin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dan hue pun menjelaskan maksudnya menelepon. Ia mengundang
teman-teman satu kelas Linguistics untuk potluck, kegiatan rutin mahasiswa,
di mana setiap orang membawa makanan dan minuman untuk dinikmati
bersama-sama. Aturan dari potluck adalah masing-masing orang minimal
membawa makanan yang bisa dikonsumsi oleh empat orang dari yang
hadir. hat"s the rule of thumb of potluck. Itu aturan dari potluck. Kali ini di
apartemennya. Sebelumnya, kami akan bermain voli di area apartemen
Riverpark. "Oh sound cool. I"ll be there. Do you want me to cook something special?" Aku
antusias. "Well, I"ll prepare chicken red curry, rice, chillie ish for the main dishes. Saya
juga akan membuat cheesecake. Akan ada hai tea saat bermain voli. Kamu bisa
bawa apa saja. Ehm, bagaimana dengan mie goreng ala Indonesia" I love your
noodle." Suara hue di ujung sana.
"Okay. I"ll bring a dish of Indonesian noodle for the potluck. Saya akan
juga bawa keripik dan soda. Sampai jumpa jam 5. hank you, hue." Telepon
ditutup. Sejenak, aku merebahkan diri di atas tempat tidur. Aku bersyukur
hue menelepon. Mujarab dalam mengalihkan sedikit perhatianku dari
sosok Lantana, yang kudengar dari kabar di milis SMA, saat ini ia sedang
meneruskan kuliah pascasarjana di Belanda, di bidang Ilmu Komputer di
52 University of Eindhoven/Technische Universitat Eindhoven, Belanda. Akhirnya,
ia kuliah sesuai dengan hobinya, pikirku.
Tidak lama kemudian, iPhone-ku berbunyi lagi. Kali ini sebuah SMS.
Rose mengabarkan, belajar kelompok kami diundur besok, karena hari Sabtu
adalah saat yang tepat to unwind. Santai sebentar, sebelum memulai kegiatan
dan belajar keras lagi di hari Minggu. Aku membalas SMS itu dengan emoticon
senyuman lebar. Kemudian, aku SMS May, Lou, dan Mark, anggota kelompok
untuk memastikan mereka tahu tentang pembatalan hari ini.
Aku memeriksa kulkas, mengecek semua bahan untuk dimasak dan
dibawa ke pesta hue sore ini. Sempat terbesit niat mau belanja ke CVS,
minimarket yang terletak di Court Street sore ini. Tapi undangan potluck dari
hue mengubah rencana. Aku pun mengurungkan niatku. Aku dan hue
tinggal di kompleks apartemen yang sama, hanya berbeda gedung. Daripada
aku harus berjalan kaki ke downtown, maka kuputuskan untuk mengerjakan
paper. Melanjutkan bacaan, sebelum bersiap-siap memasak untuk acara
potluck di apartemen hue.
Sepuluh menit kemudian, aku sudah berkonsentrasi penuh dengan
setumpuk bacaan dan paper-ku. Segelas kopi espresso dan headphone BOSE
kembali menjadi teman paling setia. Tugas mereka adalah menjaga mata
agar tidak mengantuk dan bisa konsentrasi selama beberapa jam. Dentuman
musik trance mengalir keras dan jelas dari BOSE hitam kesayangan. Mataku
yang tadinya sedikit mengantuk, menjadi terstimulasi oleh racikan musik
DJ Tiesto. Kalimat demi kalimat pun mengalir deras di halaman paper. Jari
-jemariku menari demikian lancar.
Saat jam menunjukkan pukul empat sore, aku menyudahi kegiatan
menulis. Aku harus mulai memasak mie goreng ala Indonesia. Satu jenis
53 makanan yang memang disukai oleh teman-teman sekelas. Tiga puluh
menit kemudian, setalah acara memasak selesai, aku bersiap-siap memakai
celana dan baju olahraga. Saat merapikan rambut sebahuku, aku gemas luar
biasa. Tidak ada gaya yang cocok. Dua puluh menit di depan kaca, tatanan
rambutku tidak juga menjadi lebih rapi. Akhirnya kuncir kuda lagi, kuncir
kuda lagi. Sebelum pergi, aku memeriksa kembali paper yang masih on
progress. Sudah kusimpan. Aman. Lalu, kumatikan laptop. Mengunci pintu,
lalu menuju elevator. Saat pintu elevator terbuka, aku langsung mengenali
wajah yang hampir tiap hari berbagi ruang di elevator ini. Sepertinya, ia juga
anak kuliah. Cukup ramah, meskipun hubungan kami hanya terjadi di ruang
tidak terlalu besar ini. "Hi, how are you?" sapanya ramah. Pemuda berkulit putih itu tersenyum
hangat. "Not bad. hanks. It"s been a while since I last saw you." Aku membalas
sapaannya sambil tersenyum. Ternyata, bukan hanya aku yang ingat bahwa
kami sering kali bertemu di lit.
"Yeah, I oten stay late. Very late in my departement. To meet the deadlines."
Dia melanjutkan. Ternyata dia pun sibuk mengerjakan paper, sehingga kami
jarang bertemu selama seminggu ini.
"Oh that sucks! Oh well, I hope you have a good one!" kataku, sebelum kami
berpisah di lobi. "You too." Suara lelaki hilang di antara suara angin musim semi.
Aku meneruskan langkah menuju lapangan voli. Kulambaikan tangan ke
arah teman-teman yang sedang duduk di bangku taman.
"Hi, how are you" Wow, you guys are barbequing" I didn"t know we are!"
54 Aku menatap takjub tumpukan sosis ayam yang telah dimarinade, jagung,
buns dan beberapa chips, juga soda yang terhidang di depan mata. Awalnya,
kupikir hanya akan bermain voli dan makan malam bersama di acara potluck
hue. Ternyata, teman-teman sedang asyik memanggang beberapa daging
dan jagung. "Yeah, it"s kinda last minute. Waktu hue menelpon, saya sedang di Kroger.
Berbelanja bulanan. So I decided to buy some stuf for our BBQ. Untuk acara
panggang-memanggang. Jadi kita batal belajar bersama ya. It can wait but our
party can"t." Itu suara Rose, seorang native Ohioan. Ia seperti bisa membaca
kebingunganku. Semua tertawa mendengar celoteh Rose yang jenaka
mendengar kalimat terakhirnya, "Pesta tidak bisa menunggu. Kelompok belajar
bisa ditunda besok."I bought some chicken for you. Kita juga memanggangnya
di dua tempat berbeda antara ayam dan daging babi. Don"t worry, Kelly." Suara
Rose lagi kepadaku meyakinkanku agar aku tidak khawatir bahwa aku tidak
akan makan daging babi secara tidak sengaja.
Aku tersenyum sambil mengucapkan terima kasih. Perhatian mereka
yang seperti ini selalu membuat terharu. Mereka selalu toleransi. Padahal
aku baru setahun mengenal mereka, kawan-kawan sekelasku ini. Sejak
mereka tahu bahwa aku adalah seorang muslim yang tidak bisa makan
daging babi, ham dan olahannya, mereka selalu membelikan atau
menyiapkan masakan dari daging sapi, ayam, dan sayuran jika sedang
pesta memanggang (BBQ) atau potluck. Jika ada makanan yang terbuat
dari olahan babi, mereka selalu memberitahu agar tidak mengambil dan
memakan masakan itu. Juga, mereka selalu membawa orange juice(OJ),
karena aku tidak bisa minum minuman beralkohol. Meski mereka selalu
menggodaku sebagai "under-age."
55 Peraturan di Amerika Serikat adalah, anak yang belum berumur 21 tahun
tidak boleh meminum alkohol. Maka jadilah aku selalu "dicap" berumur
18 tahun, di setiap acara kumpul-kumpul kami. Jus jeruk atau OJ menjadi
demikian akrab denganku. Mereka akan terus menggoda.
"Ah, Kelly tidak usah diberi alkohol, ia sudah bisa tertawa-tawa hanya
dengan segelas orange juice."
Di tempat panggangan aku melihat Aldrien, hue, dan Mark yang sibuk
ber-BBQ. Rose, Akiko, Elma, dan Diego sedang asyik main Uno. Bai, Amber,
Lou, dan Alice sedang asyik bercakap-cakap sambil sesekali makan chips dan
meneguk soda. Aldrien telah selesai memanggang untuk gelombang pertama. Ia
menaruh piring-piring berisi daging ayam, sapi, dan sosis di atas meja.
"his is chicken and beef. And this one is the sausage."
"Wow. his is awesome! hanks, Aldrien. Here is my share."Aku tersenyum
bahagia. Aku menaruh chips dan beberapa botol soda yang kubawa di atas
meja. "hue, saya akan bawa mie gorengnya nanti. Ada di kulkas. I"ll go get
it later," kataku sambil menghadap hue yang sedang asyik memanggang
dengan Mark. "Oh don"t worry, Kelly. Kita akan makan nanti. We"re gonna have fun all night
long. Kita akan bersenang-senang."
Suara hue pun disambut gelak tawa oleh sekumpulan anak-anak
Linguistik yang berasal dari berbagai belahan dunia. Ini kali pertama bagiku
merasakan pertemanan lintas budaya dan benua. Saat pertama mengenal
mereka, aku sudah langsung mengagumi mereka. Perasaan kagum itu
bertambah setiap harinya. Semua temanku ini istimewa.
56 Aldrien, yang berasal dari Burkina Paso, sebuah negara daratan di Afrika
Barat. Berasal dari sebuah negara yang miskin, temanku ini sungguh seorang
jenius. Ia bisa sampai ke negeri Amerika dengan perjuangan yang teramat
panjang. Walaupun berasal dari keluarga sederhana, Aldrien memiliki
prestasi yang cukup gemilang dalam pendidikannya. Ia sangat mahir
berbahasa Prancis, Inggris, dan bahasa lokal daerah tempat ia lahirkan.
Selain itu, ia mendapat beasiswa sejak masa Sekolah Dasar hingga Sekolah
Menengah Atas dari pemerintah negaranya berkat kejeniusannya.
Dari cerita Aldrien, aku mengerti bahwa bersekolah untuk sebagian anak
di Burkina Paso bukanlah perkara mudah. Hanya anak-anak yang mencapai
ranking tertentu dan mendapatkan nilai baik yang boleh melanjutkan
ke sekolah menengah setelah SD. Setelah lulus Sekolah Menengah Atas,
Aldrien mendapatkan beasiswa bergengsi dari pemerintah Amerika Serikat,
Fulbright Scholarship untuk S-1, dan mendapatkan Graduate Assistantship
(GA) untuk melanjutkan ke jenjang master. Di antara kesibukannya sebagai
mahasiswa dan seorang GA, Aldrien pun masih menyempatkan untuk
mendapat tambahan uang dengan bekerja sebagai pencuci piring di restoran
asrama mahasiswa. Aku sungguh kagum akan kerja keras dan kebrilianan
teman satu ini. Aldrien selalu unggul di semua mata kuliah, terutama mata
kuliah Phonology yang memang terkenal paling sulit di jurusan Linguistik.
Kemudian Lou, temanku dari China yang mahir bahasa Cantonese,
Mandarin, Jerman, dan Inggris. Kantor kami di Gedung Gordy
bersebelahan. Lou mempunyai kebiasaan yang hampir sama denganku.
Suka sekali begadang bermalam-malam di ruang kerja masing-masing.
Satu malam, aku pernah terharu sekali dengan Lou. Kisah itu merupakan
awal persahabatan kami. 57 Hari itu hari Jumat, saat sebagian besar mahasiswa sedang asyik berpesta
atau sedang tertidur. Kira-kira pukul satu malam, aku masih asyik berkerja
sendiri di ruangan dengan pintu terkunci. Yuki memutuskan bekerja di
Alden, sedangkan Yulin sudah pulang sejak tadi sore karena sakit perut.
Verena tidak pernah pulang lebih lambat dari pukul tujuh malam.
Saat aku masih asyik mengetik paper di Mac kantor, tiba-tiba kudengar
suara ketukan pintu. Aku menduga itu Janine. Janine biasa berkerja shit
jam 9 malam sampai 2 pagi. Aku membuka pintu dan siap menyapa Janine
dengan ramah. Aku agak terkejut, saat mendapati Lou di depan pintu. Sedikit
bingung, aku menyapa Lou.
Sejak malam itu, kami menjadi sahabat dekat. Lou yang memang lebih
muda dariku, ternyata baru saja jatuh cinta. Posisi Lou sebagai anak satusatunya, menyebabkan ia tidak terlalu banyak memiliki teman dekat. Lou
juga tidak tahu bagaimana menghadapi perasaan yang baru pertama kali
ia alami. Ia juga tidak tahu kepada siapa ia harus menceritakan gejolak
hati yang saat itu memang sedang perlu diungkapkan. Malam itu, Lou
memilih bercerita padaku. Lou sedang jatuh cinta pada satu sosok yang
bisa membuatnya melupakan sejenak kesibukan sebagai TA dan sebagai
mahasiswa. Sosok yang bisa membuat lelaki cerdas itu meluangkan waktu
untuk sekadar menelepon menanyakan kabar, sebuah kegiatan yang selalu ia
anggap membuang-buang waktu. Sosok yang bisa membuat Lou berdandan
agak lama, jaga-jaga mereka bertemu di jalan menuju Gedung Gordy atau
di Front Room saat membeli kopi. Padahal, Lou adalah seorang yang slebor.
Atau lebih tepatnya, tidak terlalu peduli pada penampilan.
Sejak malam itu, aku mendapat satu tugas dan tanggung jawab baru.
Menjadi penasihat cinta bagi Lou. Aku sih senang-senang saja. Lou
menyenangkan dan baik hati. Aku juga sudah ia anggap sebagai adik. Akulah
58 orang yang pertama kali tahu saat akhirnya Lou resmi menjadi pasangan
dengan gadis pujaan. Aku juga yang memberi saran bunga apa yang harus
Lou bawa di hari Valentine pertama mereka. Atau cokelat rasa apa yang
mesti ia kirim di hari merah jambu itu. Aku juga yang menjadi konsultan
saat hubungan mereka mengalami pasang-surut. Pasangan itu sering
mengundang untuk makan malam bersama. Aku menjadi sahabat yang
paling bahagia, karena kekasih Lou yang merupakan seorang PhD candidate
itu adalah seorang yang sangat baik dan penyabar. Perbedaan usia tidak
menjadi masalah bagi keduanya. Gadis itu terlihat sangat sayang pada Lou,
seperti juga Lou tulus mengasihinya.
Ada Bai yang juga berasal dari China. Bai yang mengajar bahasa China
sebagai sumber dananya. Gadis cantik ini juga salah satu teman dekatku.
Anak ini cantik, periang, dan juga pemberani. Aku masih ingat bagaimana
kami pergi ke Walmart bersama lewat highway. Entah kenapa,aku merasa waswas dengan cara menyetir Bai. Selesai berbelanja, Bai mengantar sampai ke
depan gerbang apartemen. Sebelum aku turun, Bai bercerita bahwa ia baru
saja lulus tes SIM setelah dua minggu belajar mengendarai mobil. Jadi, saat
itu adalah pengalaman pertama Bai menyetiri orang lain, selain menyetiri
petugas SIM. Aku adalah teman pertama yang ia ajak ke highway! Aku
mengucapkan syukur berulang-ulang, karena Bai bisa mengantar sampai ke
apartemen dengan selamat. Gadis itu terlihat gemulai, namun sebenarnya
sangat maskulin dan pemberani.
Lalu hue. Pertemananku dengan hue yang berasal dari hailand
pun istimewa. Temanku ini bukan hanya cerdas dalam pelajaran, tetapi
kemampuannya meracik makanan sungguh luar biasa. Kemampuan
lelaki ini dalam mengolah makanan sama mahirnya dengan kemampuan
memecahkan soal-soal Syntax, satu mata kuliah yang tingkat kesulitannya
59 hampir sama dengan Phonology. Seringkali hue memberikan kejutan
dengan membawakan sekotak makan siang atau sepotong cheesecake yang
kadang sudah tergeletak manis di atas meja kerjaku di ruang 357.
hue selalu menyempatkan untuk memasak makanan hailand yang
super lezat, juga kue-kue sedap di sela-sela kesibukan sebagai mahasiswa
pascasarjana dan GA untuk Prof. Tochon. Dengan hue, aku bisa menjadi
diriku sendiri. Aku bisa bercerita mengenai gundah, resah, dan bahagiaku.
Saat musim gugur lalu, saat mendengar kabar Bapak meninggal, hue adalah
salah seorang yang paling berperan membantuku untuk terus semangat.
Lalu, ada Akiko yang berasal dari Jepang. Gadis ini menghabiskan
masa SMA sebagai pelajar pertukaran di negara bagian Iowa. Kemampuan
Bahasa Inggris Akiko memang di atas rata-rata untuk seorang mahasiswa
internasional. Gadis ini mengajar bahasa Jepang untuk membiayai kuliahnya.
Akiko adalah gadis cerdas dan tegas. Ia selalu tahu akan apa yang ia mau, ia
ucapkan, dan ia prioritaskan.
Kemudian, ada Bastian yang berasal dari Dominika, seorang lelaki
yang gemar berolahraga, gemar berpesta, dan gemar membantu orang
lain. Bastian yang cerdas dan baik hati selalu tampil chic dan serasi. Bastian
mempunyai hobi yang unik, yaitu jogging pada pukul 5 Subuh. Di setiap
musim. Musim panas, gugur, dingin, dan semi. Lelaki berambut ikal itu lebih
memilih menahan udara dingin yang menusuk tulang, dibandingkan tidak
Malam Mencekam Ii 1 Rajawali Emas 24 Dayang Dayang Dasar Neraka Mimpi Mimpi Terpendam 2
^