Tsabita Ilana 2
Tsabita Ilana Karya Suffynurcahyati Bagian 2
"Tentu. Silakan, tante" Tsabit menginteruksi Yuana dan Citra agar bergeser tempat duduk lalu menyediakan satu kursi kosong diantara mereka untuk Kartika.
Wanita itu membuang nafas sembari memalingkan wajah malas lalu kembali menatap Tsabit serius.
"Hanya empat mata. antara kamu dan saya" Kartika memberi gerakan tangan menunjuk Tsabit lalu dirinya secara bergantian dengan gaya anggun.
Tsabit meng-oh kemudian menuruti apa kemauan Kartika. Kali ini apa lagi" Mau mengajaknya bersandiwara lagi" Atau mengajaknya casting sebuah film" mengingat
tadi aktingnya menjadi calon mantu begitu sempurna tanpa celah. Firasat buruk baru saja melintas di otak Tsabit. Ia seperti memberi sinyal bahaya.
*** Pintu theater 2 baru saja dibuka. Mengeluarkan segerombolan manusia dari sana. Berbagai macam ekspresi menguar dari wajah masing masing. Ada yang heboh
membicarakan bagian dari film yang baru saja mereka tonton. Ada yang sibuk bermanja manja dengan kekasih dengan menyandarkan kepala ke bahu si pria lalu
menggandeng tangannya begitu erat seolah pacarnya adalah buronan polisi yang hendak kabur. Ada juga yang keluar dari pintu bioskop dengan tergesa gesa
menuju toilet. Dan masih banyak reaksi lainnya.
Salah satunya sepasang kekasih yang turut meramaikan pengunjung bioskop tadi. Dua sejoli itu menuruni eskalator menuju lantai dasar Mall yang berada di
kawasan Depok. Mereka nampak asyik berbincang dalam tautan. Tangan si pria menggenggam erat tangan si wanitanya. Sesekali ia mencium punggung tangannya
dengan mesra. "Kita makan dulu, yuk!" Ajak si wanita.
"Makan lagi" Kamu emang belum kenyang, yang?" Tanya si Pria terheran.
"Kapan kita makan" Kan abis nemenin kamu beli kaos, kita langsung nonton, ay" protes si wanita sembari menyampirkan rambut kecoklatannya ke belakang telinga.
Si pria nampak berpikir sejenak.
"Oh iya ya. Aku lupa" si pria merenges tanpa dosa. "Yauda yuk! Kita makan. Kasihan banget pacar aku kelaperan. Ntar kurus lagi." si wanita berhenti sejenak
lalu menatap si pria. "Kamu gak seneng liat aku kurus" Pengennya aku gendut, gitu?" Si pria menarik lembut tangan satunya si wanita seiring tatapan lembut.
"Mau kamu kurus atau gendut, aku tetap sayang sama kamu. Kamu tetep cantik di mata aku" si pria menggiring wanitanya kembai berjalan menyusuri sudut mall
menuju lantai food court. "Tapi kalo kamu kurus dan langsing, terus kamu makin cantik, yang ada cowok cowok pada naksir sama kamu. Saingan aku makin banyak,
ayang" si wanita tersenyum merona malu lalu iseng mencubit perut si pria.
"Kelana Arsalais, bisa aja sih ngegombalnya. Siapa yang ngajarin coba ngegombal gini"
"Itu loh, cewek cantik yang namanya Fania Malaika. Dia yang ngajarin aku jadi jago gombal gini. Tapi aku serius, yang. Aku gak rela kalo kamu dideketin
cowok lain selain aku"
Keduanya tersenyum penuh arti hingga sang pelayan datang memberi menu setibanya mereka di salah satu rumah makan. Gadis bernama Fania itu menatap kagum
pria dihadapannya yang sedang sibuk memesan makanan. Dalam hatinya memuji kesempurnaan yang nampak dari sana. Tidak hanya fisik, tapi juga hal lain yang
membuatnya jatuh cinta setiap hari.
"Emang kalo ngeliatin aku kaya gitu, bisa bikin kenyang, ya?"
Fania terkesiap. Meskipun mata Arsa tertuju pada menu, pria itu tahu bahwa dirinya sedang menjadi objek penglihatan Fania. "Cie, malu malu gitu" ledek
Arsa melihat Fania salah tingkah.
"Apa sih, kamu. Udah deh ngeledeknya" Fania tersipu malu.
Arsa terkekeh geli. Sedang fania sibuk menahan diri karena malu. Setelah itu ia mendapat cubitan gemas di pipinya yang berasal dari tangan Arsa.
*** Dalam hening, Tsabit menilai sosok wanita di hadapannya. Ia tengah duduk anggun bersama secangkir white coffee. Jika diperhatikan lebih dekat, Kartika
memang terlihat cantik dan seksi untuk ukuran seorang ibu. penampilannya mengingatkan ia pada tante Diana di masa lampau. Itu pun berdasarkan cerita Aufa.
Tapi kalau dibayangkan dan dibandingkan, Kartika lebih memimpin dalam segala hal yang berbau kecantikan dan kemewahan.
Setelah pesanan pelayan datang membawa pesanan Tsabit, segelas lemon tea hangat, saat itu juga Kartika menyampaikan maksud dan tujuannya.
"Langsung saja ya" Kartika membenarkan posisi duduknya. "Saya ingin kamu bersandiwara lagi seperti tadi" sebuah tawaran yang masih abu abu di kepala Tsabit.
Di pikirannya, Kartika mempunyai maksud dan tujuan lain.
"Hanya itu?" Tsabit malah terlihat meremehkan. Padahal melakoni peran seperti tadi siang sudah cukup menguras tenaga dan otaknya. Malah bisa bisanya ia
berkata seolah itu hal yang biasa.
"Ini berbeda. Saya ingin kamu bersandiwara dalam jangka waktu yang sudah saya tentukan. Dan ini bukan sandiwara biasa. Harga diri, bahkan nyawa menjadi
taruhannya" Oke. Ini mulai serius. Topik kali ini sunggu diluar perkiraan Tsabit. Kenapa harus nyawa yang menjadi taruhannya" Apa ia sedang berhadapan dengan pembunuh
kelas kakap atau semacamnya" Kartika bukan wanita sembarangan. Tsabit menelan ludah seraya melatih dirinya agar lebih hati hati dalam mengambil keputusan
atas tawarannya. "Kamu cukup berpura pura menjadi pacar anak bungsu saya, Arsa. Lalu kalian bersikap layaknya sepasang kekasih di depan publik. Yakinkan mereka bahwa kalian
adalah sepasang kekasih yang sedang di mabuk cinta, semesra mungkin" dengan gaya bicara yang khas, seolah Kartika adalah sang sutradara yang mengatur skenario
apa yang harus dilakoni Tsabit. Bahkan ia tidak mempedulikan bagaimana reaksi Tsabit mendengar rentetan skenario menjijikannya. Untuk menghormati, Tsabit
tetap diam, membiarkan Kartika melanjutkan mandatnya.
"Kamu tenang saja. Ini hanya sandiwara. Kamu cukup memainkan peran kamu sebagai seorang pacar yang baik dan manis. Termasuk di depan teman teman saya"
maksudnya di hadapan ibu ibu rempong tadi" Oh akankah kiamat kubra akan menimpanya siang ini" Ini konyol. Pertemuannya dengan Kartika juga termasuk hal
konyol luar biasa. "Bagaimana?" Kartika membuyarkan ekspetasi Tsabit yang mengudara. Ia menarik nafas berat setelah menyeruput secangkir teh lemon yang mulai dingin.
"Maaf. Saya menolak tawaran anda" jawaban Tsabit terdengar halus. Ia masih mempertahankan kesopanannya terhadap Kartika. Otomatis Kartika mengerutkan dahi.
"Kenapa?" "Bagi saya sandiwara ini sudah melewati batas. Saya sangat keberatan jika harus bermesraan terhadap pria yang bukan mahram saya. Apalagi di depan khalayak
ramai" jawab Tsabit sambil diam diam mengamati tiap inci aura yang terpancar dari wanita dihadapannya.
"Kamu jangan sok suci"
Tsabit benci kalimat itu. Banyak orang yang salah kaprah dengan wanita yang senantiasa ingin menjaga dirinya dari fitnah. Pemahaman mereka terlalu dangkal.
Menganggap menuruti aturan Allah adalah tindakan tak lazim sehingga image 'sok suci' menempel permanen pada mereka yang menjalankannya. Ini sangat tidak
adil. Mereka, para pen-judge, tidak tahu bagaimana sulitnya melewati proses istiqomah di zaman yang semakin tua ini. Tsabit menahan secuil amarah yang
perlahan muncul, menatap Kartika sinis.
"Ini wajar bagi sepasang kekasih yang hanya berpura pura. Kalian cukup berpegangan tangan lalu saling menatap mesra anak saya. Saya rasa itu bukan hal
yang sulit bagi kamu, mengingat kemampuan akting kamu yang bisa dibilang cukup profesional"
"Bahkan keyakinan saya melarang adanya sentuhan antar lawan jenis yang bukan mahramnya" Tsabit memberanikan diri menatap lebih dalam sorot mata Kartika.
Menelaah lebih jauh sekuat apa tekadnya kali ini.
"Apa keyakinan kamu juga melarang untuk menolong sesama manusia?"
Tsabit berdecak remeh sambil memalingkan wajah. "Manusia hidup di atas aturan yang telah ditentukan Allah. Maka dalam menolong seseorang pun harus disertai
aturan. Justru yang melewati batas itu yang salah" ujar Tsabit sekembalinya dari menatap jalanan kota Depok yang ramai pada siang hari ini.
"Skenario yang anda berikan sudah melenceng dari keyakinan saya. Saya tidak mungkin mengkhianati Tuhan saya, nyonya Kartika." tegas Tsabit lagi dengan
sedikit penekanan pada kata terakhir.
"Tuhan kamu dan Tuhan saya sama. Saya juga seorang muslim. Tapi saya tidak fanatik seperti kamu" timpal Kartika tak mau kalah. Jadi, ini wujud asli seorang
Kartika" Sungguh membahayakan. Terutama kata kata menyakitkannya. Wanita seperti Kartika tergolong wanita yang sulit menerima penolakan. Apalagi ia seorang
istri pejabat kaya raya. Hidupnya bergelimang harta. Kesehariannya di kawal ajudan ajudan bertubuh besar. Ditambah lagi jumlah pelayan yang dengan senang
hati melayani apapun perintahnya. Kehidupan Kartika dibuat mudah dengan keberadaan manusia manusia yang meng-uangkan hidupnya. Dengan uang, Kartika bisa
mendapatkan segalanya. "Itu urusan anda. Saya tidak punya hak menilai seseorang. Tapi saya berhak menyelamatkan hidup saya dari dosa"
"Saya bayar berapa pun yang kamu mau" benar, kan" Kalau sudah begini, uang lah satu satunya senjata Kartika.
"Saya tidak butuh uang anda. Bukankah anda tahu, siapa saya?"
Kartika bergeming tanpa kata. Ya, gadis sok suci dihadapannya adalah pemilik Cafe ini. Pantas ia bersikap lebih sombong darinya. Tapi itu belum seberapa
ketimbang kekayaannya, komentar Kartika dalam hati.
Sayup sayup keramaian cafe masih menjadi pengisi keheningan mereka. Tak ada sahutan lain yang menyertai. Kartika menghabiskan sisa kopinya lalu beranjak
dari kursi. "Kamu akan menyesal menolak tawaran saya" ancam Kartika dalam kemelut emosi yang tertahan.
Tsabit tersenyum anggun lalu beranjak dari kursi "pintu keluar ada di sebelah sana" ujarnya mengulurkan tangan ke arah pintu yang dimaksud.
Sepeninggalnya Kartika lalu menjauh dari peredaran mata, Tsabit menarik nafas, mengaturnya sebaik mungkin. Berhadapan dengan Kartika seperti berhadapan
dengan ular berbisa. Diam diam mengandung racun mematikan. Dibalik pesonanya yang membunuh siapa saja.
Lagipula siapa yang mau berpura pura menjadi pacar anaknya" Si Arca itu, kan" Meski ia tampan atau menyaingi Song Joong ki sekalipun, Tsabit tidak akan
mau menerima sandiwara konyol itu. Seperti wanita yang tidak punya harga diri saja, mau maunya diperalat seperti boneka.
*** TBC... 05. Misi yang gagal "Baiklah. Sekian rapat kita kali ini. Kalian boleh beristirahat. Saya akhiri wassalamualaikum warahmatullahiwabarakatuh"
"Waalaikumsalam warahmatullah.."
Rapat bulanan pun telah usai, Dana mengakhiri rapat hari ini. Para staff dan karyawan berhamburan keluar dari ruang Aula samping kantor manager. Masing
masing membawa map serta berkas berkas sebagai bahan pembahasan rapat kali ini. Kebanyakan dari mereka langsung menuju kantin. Ada juga yang langsung menuju
musholla untuk melaksanakan sholat Dzuhur berjamaah.
Tsabit berjalan lemah diantara sekumpulan karyawan dan staff yang berhamburan keluar. Kedua tangannya sibuk memeluk map yang jumlahnya lebih banyak dari
karyawan lain. Wajahnya nampak kusut seperti pakaiannya yang dijemur berhari hari lalu dilipat tanpa disetrika.
"Lemes amat, neng. Lagi dapet?" Ada tangan yang menyenggol lengannya sehingga menyadarkan Tsabit dari lamunan semu. Tsabit menggeleng lemah.
Tak perlu berpikir lama, Citra tahu apa yang menyebabkan sahabatnya seperti itu. "Kalo dipikirin, bakal jadi beban. Jalanin aja. Kamu pasti bisa kok. Semangat!"
Seru Citra menyemangati Tsabit. Mengingat rapat bulanan tadi membahas penggantian posisi sementara. Tsabit diberi mandat agar menggantikan posisi Abidzar
Ahda sebagai staff HRD dikarenakan musibah yang menimpa Idzar dan istrinya, Aufa. Mereka tertimpa kecelakaan di jalan raya. Keduanya dilarikan ke rumah
sakit kondisi mereka cukup parah, bahkan hingga saat ini Idzar dan Aufa belum sadarkan diri. Rupanya tidak hanya Idzar dan Aufa yang menjadi korban. Dua
orang pengendara motor juga mengalami nasib yang sama. Diduga kecelakaan bersumber dari pengendara motor yang menerobos lampu merah dan melaju pada kecepatan
tinggi. Disaat yang bersamaan mobil Idzar datang dari arah kanan sehingga terjadilah kecelakaan dahsyat tersebut. Selain rezeki, jodoh dan kematian, Musibah
juga kerap mendatangi manusia kapan pun ia mau. Tak peduli siapa, kapan dan dimana. Yang lebih menyedihkan adalah Idzar dan Aufa baru saja menikah. Kebahagiaan
tidak selamanya didapat secara instan. Terkadang butuh jerih payah bahkan air mata untuk memperolehnya. Mengingat perjalanan asmara keduanya begitu panjang
nan penuh lika liku. Bahkan Tsabit sendiri turut andil dalam kisah mereka. Ya, sebagai mak comblang yang tersakiti hatinya karena harus mengikhlaskan pria
yang dicintai. Kadang Tsabit merasa keberadaannya di kehidupan Idzar, tak lebih seperti jeda iklan yang tidak begitu penting, tapi juga dibutuhkan suatu
saat. Seiring perasaan itu berlalu, ujian tak bosan menimpa Idzar dan Aufa. Sungguh betapa Allah menyayangi hambaNya melalui ujian yang bertubi tubi. Bukankah
manusia bisa dikatakan beriman kalau Allah telah mengujinya dengan ujian dan masalah"
Sejak Diana menghubungi Tsabit mengenai kecelakaan tersebut, Tsabit nampak tidak bersemangat. Hari harinya terasa begitu berat dilalui.
"Pak Dana kasih kamu posisi itu kan karena dia tau, kamu punya skill di sana. Kamu pasti bisa jalaninnya, deh. Aku yakin 100 persen" Citra masih menyemangati.
Tsabit menoleh sekilas sembari berjalan beriringan menuju kantin.
"Itu nomer dua, Cit" ujarnya singkat.
"Terus, yang pertama apa?"
"Keadaan Idzar dan istrinya. Sampai sekarang mereka belum sadarkan diri. Gimana aku ga kepikiran. Mereka juga sahabat aku" ungkap Tsabit setibanya di salah
satu meja Kantin yang letaknya tak jauh dari musholla.
"Jadi, gara gara itu. Yaudah kamu berdoa aja biar mereka segera membaik. Musibah itu kan datengnya dari Allah, jadi kembalinya ke Allah juga. Kamu jangan
sampe kebanyakan pikiran, bit. Inget tipes kamu" Citra mengingatkan selagi melumuri roti daging dengan saus tomat.
"Ada masalah atau engga. Makan ku tetep banyak kok. Insya Allah tipes gak berani deket deket sama aku" Tsabit cengengesan setelah itu.
"Iya juga ya. Aku lupa kalo kamu ini ratu makan. Dimana dimana mah orang kalo stress, gak nafsu makan. Cuma kamu doang yang stress gak stress sama aja"
timpal Citra. "Mana gak gemuk gemuk lagi. Aku bingung, deh. Itu makanan larinya kemana sih" Makan banyak, tapi badan segitu gitu aja" ungkapnya mengintimidasi
keadaan yang menurut Citra tidak adil. Kenapa hanya Tsabit yang seperti itu. Makan banyak tapi berat badan tetap stabil adalah impian semua wanita. Termasuk
dirinya. "Tau. Aku juga bingung. Aku sempet dikira cacingan, loh sama mama ku. Padahal dia sendiri juga kayak gitu" Tsabit menyuap sesendok mie goreng dengan lahap.
"Berarti faktor keturunan, tuh bit" Citra menunjuk Tsabit seusai mengunyah roti. "Kamu beruntung. Gak perlu susah susah diet, body udah bagus" ada pujian
menyertai. Tsabit tersenyum separuh mengamati sejenak penampilan Citra hari ini. Agak berbeda dengan gaya jilbab segiempat berbahan velvet. Nampak lebih
feminin. Setelah dua hari yang lalu Tsabit memposting tutorial gaya hijab tersebut, Citra langsung mempraktekannya.
"Ohya, gimana kalo nanti pulang kerja, kita hunting buku" Abis itu kita nongkrong di Cafe kamu. Ajak Yuana juga" ajak Citra antusias, tapi Tsabit buru
buru menggeleng seraya meminum air mineral dari botol tupperware hijaunya.
"Yah,.. kenapa?" Citra merengut
"Aku mau ke rumah sakit" Selama dua hari ini Tsabit rutin menemani Diana di Rumah sakit. Sekaligus menanti kesadaran Aufa juga Idzar. Bahkan ia rela bolak
balik Rumah sakit hanya untuk menggantikan Diana bermalam di sana. Kadang ada Sina, sepupu Aufa sekaligus kakak ipar Idzar, yang datang menemaninya. Kesibukannya
sebagai seorang ibu tentu Sina juga tidak bisa menemaninya setiap hari.
"Yaudah salam ya buat pak Idzar dan istrinya. Aku gak ikut gak apa apa, kan" Tsabit mengangguk. Mengelap mulutnya dengan tissue basah.
"Gak apa apa kok"
"Kamu bisa, kan sendirian kesana tanpa aku" Ntar kangen lagi" ledek Citra. Tsabit mengendik jijik. "Dih.. PeDe banget sih ni anak satu. Mau aku pencet
lagi hidungnya" Iya?" Ancamnya. Buru buru Citra menangkup wajah dengan telapak tangan sebagai tameng dari serangan Tsabit terhadap hidungnya.
"Ampun.. Tsabit!!"
*** Dua orang berseragam nampak berdiri di sudut dinding dapur. Mereka memakai kemeja putih dipadu rok span mini berwarna hitam. Keduanya melongokan kepala
sedari tadi. Tubuh mereka bersembunyi dibalik tembok dapur yang bersebelahan dengan ruang keluarga. Mereka mengintip aktifitas majikannya sejak pagi tadi.
Kini mereka saling menatap bingung lalu menggeleng satu sama lain. Salah satu dari mereka mengindikan bahu tanda tidak mengerti. Melihat wanita yang menjadi
tontonannya terus mondar mandir tanpa henti.
Kartika menghisap rokok ketiganya. Mengudarakan asap putih terbang kemana pun mengisi ruangan besar bernuansa biru laut. Setiap hembusan yang keluar, bersamaan
dengan pejaman mata. Seolah asap asap tersebut bisa mengajak pergi bersama beban berat yang tengah menimpanya. Dihisapnya lagi rokok tersebut seraya mengusap
kepala. "Agh!!" Pekiknya mulai frustasi. Dihempaskan tubuhnya di atas sofa biru yang siap menyapa. Dengan menyandarkan punggung lalu menengadahkan kepala, dirasa
cukup untuk membuang titik titik kepenatan yang mengintai.
Kartika mulai memijit mijit pelipisnya perlahan masih dalam keadaan terpejam.
Selama dua hari ini Kartika dibuat uring uringan. Kalau saja ia tidak berurusan dengan gadis sok suci itu, tentu ia tidak akan mengalami kegalauan luar
biasa ini. Tapi ia akui, ini semua terjadi berkat kecerobohannya karena sudah seenaknya menarik Tsabit lalu membawanya dalam permasalahan ini. Sialnya
lagi, gadis itu malah lepas tanggung jawab. Dengan dalih keyakinan yang menurut Kartika sangat primitif. Di zaman se-modern ini masih ada orang primitif
macam dia" Maki Kartika dalam hati.
Selang beberapa detik, Kartika menegakan kepala lalu menoleh ke arah suara langkah sepatu yang berasal dari pintu depan. Melihat seseorang yang melangkah
santai menghampirinya, ia mendesis seraya memalingkan wajah.
"Darimana aja kamu" Tumben pulang cepet. Gak sekalian aja pulang pagi kayak kemarin" sambut Kartika sinis kepada putra bungsunya, Arsa.
"Dari kampus, lah ma. Dosennya gak ada. Yaudah aku pulang aja" jawab Arsa santai, melempar diri di atas sofa lalu menempatkan diri di sebelah sang mama.
"Kangen ya?" Tanganya melingkari pundak Kartika sambil tersenyum genit. Wanita itu membuang muka sebal lalu menaruh rokok pada tepi asbak.
"Jangan ngerayu mama. Tidur dimana kamu semalam?" Tanya Kartika tegas.
"Aku tidur di kosan Tody, ma. Mau langsung pulang capek banget. Kalo aku paksain bawa motor, mama mau aku kenapa napa di jalan?" Jelas Arsa sambil melepas
jaket baseball bercoklat mahoni.
"Di kosan Tody apa Fania?" Tanya Kartika lebih terkesan memojokan Arsa. Kartika tahu semalam anaknya pergi bersama gadis itu. Ia tidak mungkin salah tebak.
Sebab sebelumnya Kartika sudah mengutus salah satu ajudannya untuk menguntit Arsa selama dua hari.
"Pasti mama ngebuntutin aku lagi" Arsa merendahkan pundak sambil berhembus berat. Melempar kaos kaki yang dilepasnya ke sembarang arah.
"Kalo gak gitu kamu gak bakal ngaku, Sa. Udah mama bilang berkali kali, kamu boleh pacaran sama perempuan mana aja. Tapi jangan sampai menginap segala.
Lagian, memangnya orang tua Fania gak ngelarang apa?" Kartika akhirnya menghadap penuh kepada Arsa. Memerhatikan perubahan wajah putranya. Kantung matanya
terlihat jelas. Arsa pasti begadang lagi, tebaknya.
"Orang tua Fania lagi ke luar negeri"
"Heum.. pantes" Kartika memberi tatapan intimidasi. "Ngapain aja kamu di rumah Fania" Awas kalo macem macem. Mama hapus nama kamu dari daftar keluarga"
telunjuknya mengarah tepat di hidung mini Arsa. Arsa sendiri tetap bersikap tenang lalu menangkup telunjuk Kartika, menurunkannya perlahan dari posisi.
"Anak mama ini daya ingatnya tinggi. Arsa gak mungkin lupa sama pesan mama, termasuk tentang sex before married. Mama gak usah khawatir. Kebetulan pembantunya
Fania juga lagi pulang kampung. Dia takut sendirian di rumah. Lagian, aku cuma semalam doang, ma disana. Besoknya baru deh aku nginep di kosan Tody. Sudah
jelas, mama ku sayang?" Ada kelegaan dalam diri Kartika. Beruntung, Arsa masih memegang teguh prinsip serta amanat yang ia berikan. Terutama dalam menjaga
hubungan sebelum menikah. Kartika memang membebaskan anak anaknya menjalin hubungan dengan wanita manapun, asal tidak ada sex sebelum adanya pernikahan.
Cukup sekali ia menanggung malu akibat ulah anak sulungnya, yang menghamili anak gadis sehingga masa depannya untuk mengambil beasiswa di luar negeri harus
pupus. "Arsa, mama mau ngomong sama kamu" kali ini Kartika menatapnya serius. Ia duduk bersilang tungkai menghadap Arsa. "Dari tadi juga mama ngomong, kan" ia
meraih pundak Arsa agar fokus kepadanya. "Mama serius" Arsa menurut.
"Oke oke. Apa?"
"Secepatnya kamu harus menjaga jarak dengan Fania. Kalau perlu untuk sementara, kamu putusin dia segera"
Otomatis Arsa mengubah rautnya. Tidak hanya serius, tapi juga patut dipertanyakan. Ada angin apa tiba tiba Kartika berkata seperti itu. Arsa mencium ke-tidak
beres-an. "Kenapa, ma?" "Teman teman mama sudah tahu siapa pacar kamu. Termasuk media."
"So" Berarti bagus dong. Aku tinggal ngenalin Fania ke mereka. Abis itu aku kenalin Fania ke media, kalau putra bungsu Dirga santoso telah menjalin hubungan
dengan Fania malaika selama,--"
"Bukan itu masalahnya" potong Kartika gemas. Arsa membeku sejenak lalu mengangkat bahu. "Lantas?"
Kartika pun menceritakan semuanya. Dari kecerobohannya membawa Tsabit dalam sandiwara busuknya lalu alasannya melakukan itu. Itu semua karena Kartika tidak
ingin semua orang tahu bahwa putranya, Arsa berpacaran dengan Fania. Lalu Kartika mengada ada perihal putusnya Arsa dengan Fania lalu menjalin hubungan
dengan gadis lain yang lebih pantas. Munculah ide ketika ia melihat sosok Tsabit berjalan dari kejauhan. Sehingga terjadilah sandiwara tersebut. Sejujurnya,
Kartika sendiri setengah hati merestui hubungan Arsa dengan Fania. Kalau bukan karena Arsa begitu mencintai Fania, ia tidak mungkin mau mempunyai calon
besan seperti keluarga Fania. Keluarga yang tidak tahu terimakasih. Bisa dibilang, Fania adalah kekasih Arsa yang tidak dianggap oleh Kartika. Buat apa
mengenalkannya kepada publik" Apa yang dibanggakan dari gadis itu" Toh, keluarganya saja tidak tahu diri. Sudah dikasih hati, minta jantung. Tambah besar
kepala mereka kalau tahu putrinya terkenal karena menjalin cinta dengan Arsa. Andai saja Arsa tahu kebencian mamanya terhadap mereka.
Mungkin dengan membawa gadis lain sebagai tameng, akan menolongnya dari situasi tersebut. Sayanganya, takdir berkata lain. Kartika ceroboh kala itu. Ia
nekat pergi sendiri tanpa dikawal seorang body guard. Hingga akhirnya berembus kabar bahwa beberapa wartawan mengetahui kabar Arsa menjalin hubungan dengan
seorang wanita. Dan wanita itu adalah Tsabit. Si gadis primitif itu. Baru baru ini, Arsa memang sudah menjadi incaran pemburu berita. Berkat ketampananya
serta statusnya sebagai anak konglomerat kaya raya, menjadikan Arsa sosok yang ditunggu publik. Tidak harus menjadi seorang aktor, keberadaan Arsa cukup
menyita perhatian media, bahkan mengalahkan ketenaran Reza Rahardian dan Chiko Jericko sekalipun. Sungguh fisik dan harta mampu membayar segalanya. Termasuk
perhatian publik terhadapnya.
"Mama gila, ya?" Komentar pertama Arsa mendengar apa yang baru saja menusuk telinganya. Tapi setelah itu ia mendapat pukulan ringan di perut. "Yang sopan
sama orang tua" tegur Kartika.
"Abisnya mama ada ada aja. Mama kalo udah ketemu temen temen rempongnya ya gitu tuh. Ada aja masalah" keluh Arsa. Kartika langsung saja melototi Arsa.
"Kamu nyalahin mama?"
"Engga. Aku nyalahin diri aku sendiri. Kenapa waktu itu aku gak paksa mama buat bawa pengawal. Dan kenapa aku gak larang mama buat gak kumpul sama temen
temen rempong mama itu sementara" ungkap Arsa menahan sabar, menyayangkan kecerobohan mamanya. Keadaan ini memang bersumber dari Kartika. Tapi Arsa tidak
mungkin menyalahkan Kartika sepenuhnya. Wanita primitif itu juga harus bertanggung jawab atas ini semua. Bagaimana pun juga ia sudah terlibat dalam masalah
ini. "Maafin mama" Kartika menampakan wajah sedih. Ia genggam erat tangan putranya seraya menunduk. Perlakuan itu yang membuat Arsa luluh. Kesedihan mamanya
adalah beban baginya. Pria itu menarik nafas dalam dalam.
"Nasi udah jadi bubur, ma. Tinggal kita racik lalu menikmatinya aja" Arsa menatap jendela rumahnya. Memandang langit langit sore yang indah. "Lantas, kita
harus ngapain" Mohon mohon sama gadis itu" Siapa namanya tadi?"
"Tsabit" Arsa menaikan satu alisnya. Ia seperti familir dengan nama itu. Nama yang tidak asing di telinganya. Tapi ia buru buru menggeleng, menepis pikiran lain
yang mengganggu. "Arsa gak mau masalah ini semakin rumit. Dia juga harus bertanggung jawab"
Seusai mengatakan itu, Arsa beranjak dari sofa meninggalkan jacketnya disana lalu berjalan menuju pintu keluar. Kartika merespon pergerakan putranya. Ia
pun mengekor di belakang sambil mengintruksi pelayan agar segera memanaskan mobil.
*** Tsabit berjalan menyusuri koridor rumah sakit. Langkahnya santai tanpa ada beban. Sesekali ia tersenyum sembari menghirup udara segar. Kesegaran beraroma
rumah sakit. Bau obat obatan menguar di sekeliling jalanan yang ia lewati. Disaat kebanyakan orang amat membenci bau rumah sakit, yang katanya bau obat
sehingga membuat mual siapa saja. Tsabit masuk daftar pengecualian. Bau obat obatan ialah aroma kesukaan Tsabit kedua setelah aroma bensin. Aneh memang.
Tapi begitulah nyatanya. Pernah sesekali ketika Tsabit mengisi bahan bakar mobil di Stasiun Pengisian Bahan bakar Umum (SPBU), ia sengaja keluar mobil
mengamati petugas SPBU mengisi tanki mobilnya, hanya untuk menghirup aroma yang menguar dari sana. Mungkin pada saat itu mas mas SPBU merasa canggung lalu
menganggap Tsabit ini perempuan aneh. Walaupun tidak terlihat seperti menghirup aromanya, tapi Tsabit sendiri justru yang dengan PeDenya mengatakan, "Bau
bensin itu kok enak banget ya, mas. Saya seneng deh sama baunya. Pantesan mas betah kerja disini". Si mas mas SPBU hanya bisa tersenyum hambar sambil terus
mengisi bahan bakar. Dalam hatinya berkata, "Cantik cantik kok hobinya nyium bensin. Untung cantik"
Kembali ke tujuan awalnya setelah berkunjung ke Rumah sakit. Akhirnya Tuhan mengabulkan do'anya. Aufa telah sadar. Ia sudah bisa di ajak berkomunikasi.
Meskipun do'a itu belum sepenuhnya terkabul. Karena Idzar masih terbaring lemah belum sadarkan diri. Jika mengingat keadaan Aufa saat itu. Betapa ia ingin
menangis. Melihat kondisi Idzar yang begitu menyedihkan, Aufa tentu saja merasa terpukul. Hatinya diiringi pikiran pikiran buruk yang menghantui. Bahkan
ia tidak berhenti menangis melihat suaminya terbaring tak berdaya.
Sesampainya di parkiran, ketika akan membuka pintu mobil, ponselnya berdering. Tsabit merogoh isi tas lalu menerima panggilan dari sana.
"Assaalamualaikum. Iya Nadine, kenapa?" Salam Tsabit membuka pembicaraan kepada Nadine, Assisten manager di Dream Cafe sekaligus orang kepercayaannya.
"Waalaikumsalam, mbak. Mbak Tsabit bisa ke Cafe sekarang gak" Penting"
Tsabit menyipitkan mata. "Ada apa memangnya?"
"Ada orang yang ngotot pengen ketemu mbak. Dia maksa maksa gitu"
"Siapa?" Sambil memasuki mobil dan mengapit ponsel diantara telinga dan bahu, Tsabit bersiap melajukan mobilnya. Ia punya firasat buruk tentang ini. Setelah terus
beristighfar dan mengatur nafas, Tsabit segera menuju Cafe.
*** Setibanya di Cafe, Tsabit celingak celinguk menelusuri seisi tempat disana. Mencari sosok yang katanya ngotot ingin bertemu dengannya. Tak lama, Nadine
datang menghampiri.
Tsabita Ilana Karya Suffynurcahyati di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mana orangnya?" Tanya Tsabit menjinjing tas kulit silver di lengan.
"Orangnya ada di lantai 2, mbak. Mbak ke atas aja. Mau saya temenin?" Tawarnya. Tsabit menggeleng ringan kemudian berlalu meninggalkan Nadine menuju lantai
2. ada tiga pengunjung di lantai 2. Yang satu seorang wanita muda dengan anak dan suaminya. Tsabit tidak kenal mereka. Pengunjung satunya hanya seorang bapak
ditemani gadis kecil berseragam Sekolah Dasar. Tsabit mengernyit. Mungkin pengunjung satunya lagi. Nampak seorang wanita paruh baya duduk sendiri di salah
satu meja bernomor 5. Ia nampak asyik mengoperasikan ponsel. Tsabit menyipit seraya menegaskan penglihatannya. Tanpa sadar kakinya perlahan melangkah maju
mendekati sosok wanita itu. Setelah jaraknya hampir mendekat, si wanita tersebut mendongak. Terpampanglah wajah familiar di hadapannya.
"Apa kabar?" Sambut wanita itu tersenyum satu garis seraya berdiri menyambut kedatangan Tsabit.
"Rupanya, anda. Saya kira siapa" balas Tsabit ringan tersenyum kecil menyambut Kartika, Wanita yang dimaksud Nadine. "Boleh saya duduk?" Ia menunjuk salah
satu kursi di sebelah wanita itu.
"Silakan" "Kalau boleh tahu ada perlu apa anda menemui saya, lagi?" Tanya Tsabit dengan menekankan kalimat 'lagi' nya dengan hati hati. Sebelum Kartika menjawab,
pelayan menghampiri meja mereka, tapi hanya untuk menulis pesanan Tsabit. Tsabit hanya memesan susu hangat. Setelah itu pelayan pergi.
"Anda sudah memesan makanan?" Tanya Tsabit lagi. Sejenak ia memerhatikan gerak gerik Kartika. Wanita itu nampak gelisah seperti ada sesuatu yang disembunyikan.
Tsabit menyimpan siaga. "Panggil saya tante. Ini bukan pertemuan formal. Dan saya sudah memesan makanan sebelumnya. Anak saya yang memesan langsung disana" tangan Kartika mengarah
kepada meja kasir dekat tangga. Disana berdiri seorang pria berkaos hitam sedang sibuk menunggu uang kembalian. Setelah Tsabit menoleh untuk melihat, raut
wajahnya mengalami sedikit perubahan. Punggung itu. Ia seperti mengenal bentuk punggung besar itu. Mengingatkannya pada seseorang entah siapa. Oh, mungkin
hanya sugesti sesaat, pikirnya. Dia si patung Arca"
Dia si patung Arca" "Tujuan saya kesini masih sama. Untuk kali ini saya mohon sekali. Berpura pura lah menjadi pacar anak saya. Hanya itu satu satunya jalan keluar" tanpa
basi basi, Kartika langsung saja mengajukan permintaan dirinya kepada Tsabit agar mau bersandiwara seperti yang diminta waktu itu. Kali ini disertai raut
memohon. Berbeda sekali dengan perawakannya ketika pertama kali bertemu.
"Jawaban saya masih sama, tante. Sekali lagi, maaf. Saya tidak bisa menerima tawaran anda" ujar Tsabit dengan segala kerendahan hati. Selama Kartika masih
bersikap sopan, ia bisa lebih sopan. Untuk sementara ini belum ada perkataan yang menyakitkan hatinya.
"Tapi kenapa" Saya akan berikan apa saja yang kamu mau. Kamu mau apa" Uang" Mobil" Apartemen" Atau rumah?" Semua kekayaannya ia sebutkan satu persatu.
Sayangnya Tsabit tidak tertarik akan itu semua.
"Ini tidak ada hubungannya dengan kekayaan yang tante tawarkan. Ini mengenai keyakinan"
"Keyakinan seperti apa yang kamu anut, sehingga begitu tega membiarkan seorang ibu memohon memohon belas kasihan?" Itu bukan Kartika yang berbicara. Melainkan
seorang pria yang berjalan menghampiri mereka membawa nampan berisi satu gelas milkshake dan secangkir kopi. Tsabit berjengit seraya menyipitkan mata "dia?"
Gumamnya. "Perkenalkan ini anak saya, Arsa. Dia yang akan menjadi pacar kamu, kalau kamu menerima tawaran saya" Kartika sumringah mengenalkan putra bungsunya. Dalam
hatinya berharap Tsabit bakal terpesona dengan ketampanan yang dimiliki. Ia pun menarik senyum miring mengamati perubahan raut Tsabit. Siapa pun pasti
akan mudah jatuh cinta kepada Arsa, termasuk gadis primitif ini, batin Kartika membangga.
"Jadi, dia ini putra anda?" Tanya Tsabit tidak percaya. Telunjuknya mengarah ke tubuh Arsa. Pria itu sudah duduk tepat di kursi di depannya. Keterkejutan
keduanya terjadi secara bersamaan. Semoga ini mimpi buruk Tsabit. Apa ada yang bersedia mencubit atau menampar pipinya" Agar ia terbangun dari mimpi buruk
ini. "Kenapa harus cewek bringas ini, sih ma!" ungkap Arsa tak kalah heboh sambil memukul ringan meja yang tidak bersalah. Menyayangkan pertemuan ini. Pantas
saja firasatnya sejak tadi tidak enak. Rupanya, Tsabit yang dimaksud sang mama ialah Tsabit si perempuan bringas yang menyerangnya tempo hari. Tidak ingin
berurusan lebih panjang dengan dua ular berbisa ini, Tsabit beranjak dari kursi.
"Loh, kamu mau kemana?" Tanya kartika kebingungan.
"Pertemuan ini saya anggap selesai. Saya tetap menolak tawaran tante. Sekali lagi saya tegaskan, ini mengenai keyakinan. Bukan kekayaan yang anda tawarkan.
Saya yakin seratus persen anda melakukan ini semua demi sebuah gengsi yang begitu anda elu elukan. Ya kan?" Tak butuh jawaban, Tsabit meraih tas silver
miliknya lalu menjinjingnya bersiap untuk melangkah pergi. Kartika menganga tidak percaya seraya menggeleng samar, entah berapa kali ia mengerjap bodoh
mendengar tebakan Tsabit mengenai tujuan utamanya.
"Saya permisi. Assalamualaikum"
Tsabit melangkah mantap menuju tangga. Membiarkan Kartika uring uringan seraya menyadarkan Arsa agar segera bertindak sesuatu. Tidak tega melihat sang
mama, Arsa menggeleng sambil menarik nafas.
"Tunggu!" Tsabit tidak mungkin berbalik kalau tidak ada jemari kekar yang mengerat lengannya. Arsa menyusul Tsabit lalu memaksanya untuk berhenti. Gadis itu sontak
menghadap kepada pria yang kini menatapnya tajam. "Lo gak bisa main pergi begitu aja. Secara gak langsung, lo udah ikut andil dalam masalah ini. Gak sadar?"
Tsabit menegang mendapati perlakuan itu. Lengan kirinya masih dalam genggaman Arsa. Ada kilatan mata menyalang yang tersorot dari mata coklatnya. Mata
mereka saling bertemu dalam sepersekian detik. Detik berikutnya Tsabit mulai tersadar akan posisinya.
"Lepasin!" Gertak Tsabit berusaha melepas diri dari jerat genggaman kokoh Arsa. Alih alih melepas, Arsa tetap mempertahankan posisinya. Menatap tajam gadis
berjilbab namun bringas ini.
"Lo gak kasihan sama nyokap gue" Dia stress mikirin masalah ini. Jangan sok jual mahal, deh" ucap Arsa tidak mempedulikan kesulitan Tsabit melepas diri.
Kekuatan Arsa jauh lebih besar ketimbang Tsabit. Gadis itu menggeretakan giginya menahan geram. Arsa adalah pria cemen yang pernah ia temui. Bisa bisanya
ia seenaknya memperlakukan Tsabit seperti ini. Tidak ibu tidak anak, sama saja.
"Eh! Kelana Arsalais alias Kura kura ninja! Dengerin ya" Arsa berjengit samar mendengar julukan aneh untuknya. Kura kura ninja" "Saya bisa laporin kamu
ke polisi atas tindakan kamu ini. Mau kamu ancam kayak gimana pun saya gak bakal mau pura pura jadi pacar kamu. Pacaran beneran aja Haram. Apalagi cuma
pura pura. Itu sama aja kayak saya membohongi Tuhan saya. Paham gak?" Ancaman Tsabit tak kalah membahayakan. Ditambah kekuatan volume suaranya yang meninggi.
Setinggi dongakan kepalanya kepada Arsa yang lebih tinggi darinya.
"Oh ya" Silakan! Gue gak takut sama gertak sambel lo. Laporin aja!"
"Lepasin gak"! Saya hitung sampe tiga kalau kamu gak mau lepas, kamu bakal terima akibatnya"
"Oke. Gue bantu hitung kalo gitu. Satu,.." ucap Arsa dengan wajah nyolotnya. Tsabit mendesis sebal.
"Dua,..?" Hitungan kedua, Arsa menarik salah satu sudut bibir. Ada seringai menyertai. Tsabit benci sekali keadaan ini.
"Tiga" hitungan selesai. Keadaan menghening sementara. Arsa menunggu.
"See" Come on! apa yang mau lo lakuin ke gue?" Tantangnya lagi. Tatapan Arsa enggan berpindah dari ketidakberdayaan Tsabit. Tidak ada sedikit pun rasa
iba yang muncul. Bisa jadi ini merupakan tindakan balas dendam atas perlakuan Tsabit tempo hari. Tsabit pun bergeming dalam emosi yang siap meledak. Ini
sudah tidak bisa dibiarkan. Ia mulai mengatur nafas, memalingkan wajah sekilas setelah itu apa yang akan Tsabit lakukan"
Tsabit memegangi lengan kekar yang menjeratnya setelah itu ia nekat mendaratkan gigitan kesana. Ia gigit pergelangan tangan Arsa sekuat tenaga. Berbekal
emosi yang menggebu gebu tentu menambah energi Tsabit dalam melakukan aksi pembalasan.
"Anjrit!" Arsa memekik lalu mengaduh kesakitan. Ia memegangi lengannya sambil meringis merasakan sakit luar biasa yang diciptakan gadis itu. Selang beberapa lama,
setelah merasa puas, bersamaan dengan terlepasnya genggaman Arsa, Tsabit mengusap bibirnya seraya mengatur nafas. Tatapan matanya ibarat seorang kanibal
yang habis menikmati mangsanya.
"Saya gak selemah yang kamu pikir" ucap Tsabit mengusap ngusap lengan kemejanya. Merapikan bagian yang kusut karena effek genggaman Arsa.
"Kalau bukan karena terdesak, saya gak sudi gigit tangan kamu. Pait banget tau gak!" Keluhnya kemudian berbalik anggun seirama ketukan sepatu high heels
yang menyertai. Langkahnya mantap meninggalkan Arsa dalam kesakitannya memegangi pergelangan tangan. Kartika menghampiri putranya cemas.
"Cewek stress!" Gerutu Arsa memandang jauh Tsabit yang sedang menuruni tangga. Setibanya di ujung, Tsabit menyempatkan diri menatap ka atas. Menghadiahi
Arsa tatapan benci. *** TBC... 06. Manusia kura kura ninja
Ruangan itu tak ubahnya seperti kapal pecah. Meski ia sendiri belum pernah melihat langsung bagaimana rupa kapal yang pecah, tapi bisa dipastikan kondisinya
tidak jauh berbeda dengan kamar ini. Kamar nuansa pink itu tidak terlihat seperti kamar yang dihuni seorang gadis. Nampak berantakan. Sprei mulai berpindah
ke lantai, tidak lagi menutup rapenpat tidur berukuran king size itu. Majalah majalah yang berserakan di tempat tidur. Belum lagi kondisi laptop masih
dalam keadaan menyala. Sepasang sepatu tidak lagi bersanding bersebelahan. Mereka harus terpisah oleh barang barang lain yang turut meramaikan kamar itu.
Jika kamar itu bisa berbicara, mungkin ia akan meneriaki si penghuni berkat keteledorannya hari ini. Gadis si pemilik kamar itu sedang berada di kamar
mandi. Tak sampai lima menit ia keluar dengan langkah tergesa gesa. Berganti pakaian dengan gerak cepat, kemudian memoleskan wajah dengan pelembab tanpa
memakai bedak padat. Setelah itu ia memberi sentuhan terakhir berupa olesan lip balm pada bibirnya yang sudah merah sejak bayi. Itu berkat sang mama rutin
mengolesinya madu alami. Ia juga tidak perlu memakai maskara. Sebab sejak lahir, Liana rajin menjilati bulu matanya dengan ludah basi, sehingga bulu mata
Tsabit lentik dengan sendirinya. Selain itu Liana juga mengolesi kedua alis Tsabit dengan kemiri yang dibakar sebelumnya. Itu berguna agar alis bisa tumbuh
lebat dan tebal. Dan masih banyak perlakuan rutin sang mama kepada Tsabit sehingga putrinya memiliki kecantikan yang alami.
"Alarm kamu kemana, emang" Kok bisa kesiangan gini?" Liana menyambut putrinya dari arah kamar menghampirinya. Ia dan suaminya sedang menikmati sarapan
di ruang makan. "Aktif, kok ma. Tapi tadi abis sholat subuh aku tidur lagi. Gak tahu kenapa tumben banget deh aku kayak gini" ungkap Tsabit agak ngos ngosan sambil mengambil
dua tangkup roti tawar, satu buah apel, dan susu yang ia tuang ke dalam kantung plastik ukuran prapatan. Semua makanan itu ia taruh ke dalam tas, kecuali
Roti. Liana dan James melihatnya terheran heran. Meski dalam keadaan terlambat, Tsabit tidak pernah melewatkan sarapan pagi sedikitpun. Baginya sarapan
pagi adalah Raja. "Mau pake sopir?" Tawar Liana.
"Boleh. Eh, tapi engga usah deh, ma. Pak Doyo gak bisa ngebut. Aku bawa mobil sendiri aja" Tsabit menyalami kedua orang tuanya tak lupa memberinya ciuman
pipi kanan dan kiri. "Boleh ngebut, asal pelan pelan" celetuk James menahan tawa. Tsabit mengelos sambil berkata, "kalo pelan pelan, bukan ngebut namanya, pa. Aku berangkat,
Assalamualaikum" Di awal perjalanan, Tsabit lega karena kondisi jalanan tidak begitu macet seperti biasa. Ia pun bebas menaikan kecepatan lalu melaju cepat menyusuri jalanan
Raya Bogor. Sambil menikmati perjalanan, ia menyetel musik bernuansa islami lewat saluran radio. Kepalanya mengangguk menggeleng mengikuti irama lagu kesukaannya.
Tak lupa dua roti yang ia siapkan sedang dinikmatinya. Kalau sedang tidak di buru buru, biasanya Tsabit iseng membuat video lalu mengunggahnya di media
sosial. Anggaplah sebagai pengisi kemacetan. Tapi tidak untuk hari ini.
Sayangnya, kebebasan Tsabit tidak berlangsung lama. Tepat di 5km menuju kantor, kemacetan mulai terlihat. Justru ditempat yang jarang sekali macet. Tsabit
berdecak dalam kemudi lalu melirik jam tangannya.
"Gak keburu ini mah" gerutunya sambil celingak celinguk menatap jalanan di hadapannnya. Untungnya, Idzar sedang berhalangan bekerja. Kalau tidak, mungkin
ini menjadi keterlambatan kedua baginya. Dan sesuai janjinya waktu itu, jika Tsabit mengulangi keterlambatannya, SP II akan menyapanya lalu tersenyum manis.
Selagi menunggu pun, mobil tak kunjung maju. Ada apa sih" Semoga tidak ada kecelakan lalu lintas atau semacamnya yang menyebabkan kemacetan luar biasa
ini. Tsabit melirik jam tangannya lagi.
"Hah! Udah jam segini aja" Tsabit terkejut melihat waktu menunjukan pukul 07:44, sedang apel dimulai pukul 8. Oke, Tsabit tidak bisa berdiam diri. Dimana
mana menunggu itu selain membosankan, juga menyebalkan. Tsabit langsung menghubungi pak Wardoyo, sopirnya. Bukan untuk mengambil alih kemudi lalu mengantarnya,
tapi untuk membawa mobil ini pulang. Tsabit butuh kendaraan roda dua alias sepeda motor.
"Mbak Tsabit naik apa ntar?" tanya Pak Doyo dengan logat Jawa khasnya, setibanya ia di jalan setelah Tsabit menepikan mobilnya di pinggir jalan.
"Saya gampang. Naik ojek juga bisa" jawabnya santai sambil menyerahkan kunci lalu mengambil tas dan berkas berkas penting dari mobil.
"Tapi disini jarang ada ojek, mba" pak Doyo sudah di kursi kemudi sebelum berangkat ia memastikan putri majikannya baik baik saja. Berbicara melalui kaca
jendela. "Pasti ada kok, pak. Saya sering kok lewat sini. Udah pak Doyo gak usah khawatir. Hati hati ya, pak di jalan"
"Harusnya bapak yang bilang gitu. Mbak Tsabit hati hati ya"
Pak Wardoyo pun melajukan mobilnya meninggalkan Tsabit di pinggir jalan besar. Benar kata Pak Doyo, selama menunggu, Tsabit tidak menemui ojek sama sekali.
Yang ada hanya kendaraan umum biasa. Kalau pun ada motor, belum tentu jasa ojek. Sialnya lagi, ketika ia memutuskan untuk memakai jasa ojek online, paket
internetnya sudah limit dan tidak bisa digunakan. Ia semakin dikejar oleh waktu. Tsabit pun memutuskan berjalan sambil sesekali menengok ke belakang siapa
tahu ada ojek yang lewat.
Hampir beberapa meter perjalanannya, langkah Tsabit terhenti seraya menoleh ketika sepeda motor Ninja berwarna merah berhenti tepat di sebelahnya.
"Butuh tumpangan?" Tawar seorang pengendara motor itu tanpa membuka helm bahkan kaca helmnya. Tsabit membeku sejenak lalu mengerjap.
"Alhamdulillah. Akhirnya ada ojek juga" ungkap Tsabit lega. Tanpa basa basi ia langsung menaiki motor ninja merah itu. Tak lupa menaruh tasnya di tengah
sebagai pembatas dirinya dengan si pengendara.
"Dari sini ke Pekayon, 5 menit bisa gak, mas" Saya kasih double deh ongkosnya" tawar Tsabit sebelum si pengendara melajukan motornya. Dari balik helm,
si pengendara mengeryit kebingungan. Ia tolehkan kepalanya ke jok belakang sejenak, melihat sosok gadis yang sudah duduk manis di sana.
"Bisa gak, mas?" Tanyanya lagi. Tak menjawab, si pengendara motor itu hanya mengangkat jempol tangannya ke udara. Tsabit tersenyum tenang melihat respon
tersebut. "Mas, udah lama jadi tukang ojek?"
"Kok tukang ojek motornya keren banget, sih mas. Kayak yang di sinetron yang suka saya liat itu"
"Pasti mas pembalap deh. Nyalipnya jago banget"
"Mas tinggal dimana, mas" Sudah berkeluarga?"
"Mas sakit gigi ya, kok saya tanya diem aja"
Dan masih banyak pertanyaan lain yang terlontar dari mulut Tsabit selama perjalanan. Kalau saja tukang ojek yang ia tanya itu tidak punya stock kesabaran,
mungkin Tsabit akan dilempar ke bawah lewat fly over yang mereka lewati barusan. Tukang ojek itu hanya menjawab seadanya. Malah ada beberapa pertanyaan
yang tidak ia jawab. Ia menggeleng kecil. Mungkin karena fokus mengemudi dan harus tiba di tujuan dalam waktu lima menit. Atau mungkin dia stress karena
baru kali ini ia mendapati penumpang cerewet seperti Tsabit.
"Loh, mas jangan lewat trotoar gini, dong" protes Tsabit ketika motor yang ditumpangi melesat bebas di trotoar. Ada motor lain juga yang mengekor. Tsabit
menoleh ke belakang sebentar melihat motor motor itu mengikutinya.
"Mas kok nekat, sih lewat sini. Ini kan jalanan khusus pejalan kaki"
"Kalo gak gini, kita gak bisa sampai dalam waktu 5 menit. Palingan 10 atau 15 menit. Mau?" Itu jawaban terpanjang yang Tsabit dengar sepanjang perjalanan.
Tsabit meng-oh pasrah sambil merekam suara khas si tukang ojek dalam ingatannya. Suara itu seperti ia pernah dengar.
Tepat pukul 07:58. Motor Ninja merah itu berhenti di depan gedung besar bertuliskan Prams Coorporation. Suatu pengalaman luar biasa. Tsabit menempuh perjalanan
selama kurang dari 5 menit. Tukang ojek yang membawanya sungguh lihai. Meskipun Tsabit sedikit khawatir takut takut terjadi sesuatu padanya, tapi keahlian
tukang ojek itu sungguh membuatnya merasa aman.
"Sesuai janji saya, saya kasih double bayarannya. Kembaliannya ambil aja. Makasi ya, mas" Tsabit menyerahkan uang 100ribu kepada tukang ojek setelah turun
dari motor. Alih alih menerima, tukang ojek itu malah diam di atas motor sambil bersendekap menatap Tsabit lewat balik helm.
"Ini mas, uangnya. Mas gak mau?"
Tukang ojek itu masih diam. Selang kemudian, ia pun membuka helm full face nya, menampakan sosok asli si tukang ojek. Tsabit mengendik setelah itu.
"Kok kamu?" "Selain kritis, kamu cerewet juga ya, rupanya" ada senyum kecil yang mengiringi sambutan Tsabit kepada si tukang ojek yang tak lain dan tak bukan adalah
Abrar. Pria yang dikenalnya seminggu lalu, sewaktu ia ingin sekali mendemo para pengendara nakal di trotoar waktu itu. Tapi justru hari ini, ia sendiri
juga menjadi bagian dari pengendara nakal itu.
"Oh, kamu bisa ngomong juga. Aku kira lagi sakit gigi ditanya diem aja. Sudah lama jadi tukang ojek?" Tsabit menipiskan bibirnya menatap Abrar sesukanya.
Pria seperti Abrar terlalu kece kalau jadi tukang ojek, pikirnya. Dari penampilan saja bisa ditebak kalau ia seorang pekerja kantoran seperti dirinya.
Kemeja merah sederhana di padu celana bahan hitam tak membuat kewibawaanya hilang meski tertutupi jaket levi's. Apa pertolongan ini bagian dari modusnya"
Kalau iya, Tahu begitu, Tsabit memastikan terlebih dahulu siapa yang membawanya. Tapi, Bukankah seharusnya ia bersyukur, masih untung ada yang menawarkan
bantuan. Sisi lain Tsabit menegurnya.
"Baru hari ini" Abrar menatap jalanan. Lalu pandangannya kembali. "Sejak ada perempuan cantik yang nawarin diri buat aku bonceng" lantas tersenyum menawan.
"Kamu duluan yang menawarkan tumpangan" kilah Tsabit tidak merespon sanjungan yang ditujukan padanya. Ia melirik jam tangan. "Tapi itu gak penting. Yang
penting, berkat kamu, aku gak jadi kena SP II. Terima kasih ya" ungkapnya sambil tersenyum.
"Sama sama" jawab Abrar mengulum senyum. "Selain senang karena bisa membantu, aku juga senang melihat senyum kamu" Tsabit memutar bola mata. Ini masih
pagi, dua roti yang ia santap tadi tidak cukup untuk mempertahankan dirinya dari mulut manis pria bernama Abrar itu.
"Aku harus segera masuk. Apel paginya keburu mulai. Sekali lagi terimakasih ya"
"Hobi banget bilang terima kasih" Abrar menaiki motornya. "Aku harap ada pertemuan selanjutnya setelah ini" ada sorot makna yang terpancar dari matanya.
Hanya mata bulat itu yang terlihat setelah ia mengenakan kembali helmnya. Tsabit bersikap biasa saja sekaligus mengamati pergerakan pria itu. Hingga akhirnya
ia tersadar akan sesuatu.
"Loh, bayarannya gimana?" cegah Tsabit sebelum Abrar meng-gas motornya. Pria itu menoleh. Lalu dari balik helm ia berkata, "Simpan aja. Buat pertemuan
kita berikutnya. Siapa tahu kamu mau traktir aku makan pake uang itu"
Abrar pun pergi meninggalkan Tsabit. Gadis itu mencebik seraya mengangkat bahu.
*** Ada dua pria disana. Di tempat seperti taman yang di dalamnya terdapat banyak besi yang dibentuk sedemikian rupa hingga bisa digunakan para pria bertubuh
Atletis seperti Arsa dan Tody melakukan olahraga. Disanalah tempat mereka melakukan olahraga pagi. Tempatnya cukup luas untuk mereka berlari lari memutari
lapangan. Biasanya setelah lari beberapa putaran, Arsa lanjut melakukan senam. Bukan senam aerobik, melainkan semacam senam akrobat.
Seperti sekarang ini, setelah 10 putaran lapangan ia lalui, Arsa beralih melatih otot tangannya menggunakan alat sederhana. Sebilah besi dibuat melengkung
seperti huruf 'H' besi tersebut ia gunakan sebagai alat untuk menggantung tubuhnya dalam posisi terlentang dibawah lintangan besi di bagian tengah yang
membentuk garis horizontal. Setelah itu Arsa tinggal menitik beratkan kedua tangan pada besi yang melintang itu. Kemudian ia mulai mengangkat tubuhnya,
naik turun secara berulang.
Ada beberapa orang yang hadir mulai mengisi keramaian taman tersebut. Arsa dan Tody pun mengakhiri kegiatan mereka. Kalau sudah banyak orang seperti ini,
olahraganya jadi sedikit terganggu. Belum lagi keberadaan beberapa gadis yang sering ia lihat akhir akhir ini. Dengan percaya dirinya mereka pernah nekat
mengajak Arsa berkenalan. Nalurinya sebagai seorang pria, Arsa tentu tidak menolak. Ia tetap menanggapinya dengan sopan, bahkan sangat 'sopan'. Moment
ini biasanya dimanfaatkan Tody sebagai ajang tebar pesona. Meski ia tidak semempesona Arsa, tapi ia tetap mempunyai kepercayaan diri tingkat tinggi.
"Cewek lo gak kesini?" Tanya Tody duduk di tepi taman, meluruskan kakinya.
"Lagi di jalan. Bentar lagi sampe" jawab Arsa singkat, juga meluruskan kaki lalu mencium lututnya. Dilanjut gerakan pendinginan lainnya. "Minum gua mana?"
Arsa mencari sesuatu di sebelah Tody. Tody mengambil botol minuman infused water dengan potongan lemon di dalamnya.
"Ngapain nyari kesono sono, sih. Nih disini nih minum lu" Tody menyodorkan minuman tersebut. "Mau kesempatan lu ya grepe grepe gue?"
"Dih, najis!" Sungut Arsa lalu meminum airnya. "Elu kali yang nafsu sama gue, ngaku lu!"
"Amit amit jabang bayi gue nafsu ama lu, sa. Gue masi doyan cewek" balas Tody tak kalah sewot.
"Buktinya lu masih jomblo. Gue tau selama ini lu mendem perasaan kan sama gue, Tod. Jujur aja kali" Tody meninju lengan Arsa sehingga Arsa hampir saja
tersungkur. "Kurang kurangin nonton film bokep, sa" celetuk Tody cekikikan.
"Enak aja. Elu itu. Gua mah masih polos" balas Arsa sewot.
"Ngomong nih ama sepatu gua" Tody mengangkat kakinya menjulurkan sepatunya. Lalu mereka berlanjut saling serang menyerang bersenjatakan botol minuman masing
masing. Aksi mereka pun berakhir sejak kedatangan Fania. Gadis turunan Jawa-Belanda itu nampak cantik dengan balutan kemeja garis garis perpaduan warna putih dan
pink sebatas paha. Bagian lengannya ia gulung hingga siku. Celana putih pendek hampir tidak terlihat karena tertutup kemeja sehingga mengekspos paha mulusnya.
Rambut hitam sebatas dada dibiarkan terurai indah ditemani kacamata dengan warna senada.
"Kamu udah sarapan belum" Aku bikin sandwich, mau?" Fania mengeluarkan kotak makan dari tasnya
"Kamu udah sarapan belum" Aku bikin sandwich, mau?" Fania mengeluarkan kotak makan dari tasnya.
"Kamu yang bikin, sayang" tumben pinter" ledek Arsa menerima kotak makan bersusun itu.
"Baru tau ya kalo aku pinter" Kemana aja, mas" Fania mencolek hidung Arsa. ada sepasang mata yang melihatnya keki. Fania melirik sedikit. "Loh, ada Tody,
toh" Kirain gak ada siapa siapa" Tody menggerutu sebal.
"Namanya orang lagi kasmaran, dunia serasa milik berdua. Yang lain ngungsi di akhirat" cibir Tody sambil melempar botol minum yang telah kosong. Dalam
sekali lempar, botol tersebut masuk ke dalam tong sampah.
"Pada mati dong" Arsa kegirangan. Menatap Fania bergantian sambil terkekeh.
"Itu lu tau. Udeh sono abisin tuh sarapan buatan ayang mbeb, ntar kalo gak enak aja baru dikasih gue. Sisaan" sindir Tody berakhir bully-an untuk dirinya
sendiri. "Kayak kucing aja dikasih yang kaga enak. Sekali kali kasih yang enak lah" sekarang Arsa tertawa terbahak bahak. Suatu kebahagiaan tersendiri jika berhasil
membully sahabat satunya ini.
"Sebagai sahabat yang baik. Gue gak bakal ngebiarin lo mati kelaperan, Tod" Arsa menepuk nepuk punggung Tody menatapnya sok peduli. "Kita makan ini berdua,
ya gak?"Otomatis Tody melempar wajah sumringah bahagia. "Sayang, Tody dikasih juga gak apa apa kan?" Tanya Arsa kepada Fania. Gadis bernama belakang Malaika
itu mengangguk. "Okeehh.. sikaat!" Tody siap menyerbu 4 potong sandwich di hadapannya. Begitu juga Arsa. Tapi ketika Arsa hendak menyuap satu gigitan, ponselnya berdering.
Buru buru ia mengeluarkan ponsel dari saku celana.
"Iya, ma. Kenapa" Aku masih di taman sama Tody" lalu Arsa melirik Fania. "Iya sama Fania juga" Fania menyingkirkan poni seraya menyimak pembicaraan Arsa
dengan yang ia tahu adalah Kartika, calon mertuanya.
"Nanti siang emang gak bisa" aku lagi sarapan dulu sama anak anak" Arsa mendesah seraya menurunkan bahu. Diliriknya lagi Fania dan Tody bergantian sambil
terus mendengar ocehan sang mama.
"Yauda iya. Arsa kesana sekarang" sahutnya lagi dengan irama terpaksa. Seusai berbincang dengan Kartika, Fania menatap Arsa dengan tatapan bertanya.
"Aku musti pulang. Mama udah nungguin di rumah"
"Mama kenapa emangnya?" Tanya Fania bernada kecewa.
"Gak kenapa napa. Biasalah orang tua. Maaf ya, sayang" Arsa mengelus lembut puncak kepala Fania seraya menatapnya hangat. Fania hanya bisa tersenyum setengah
hati. "Oke. Aku ngerti kok" seperti mendapat suplemen kebahagiaan lain, Fania berusaha terlihat tidak mempermasalahkan kepergian Arsa. "Tapi sandwichnya gimana"
Aku udah susah susah bikin"
"Tau nih. Udah gue sisain dua nih buat lo" rupanya selagi Arsa menerima telepon ia sibuk melahap sandwich hingga tersisa dua potong untuk Arsa. "Buat lo
aja. Gue masih kenyang" ujar Arsa enteng. Namun ada reaksi protes dari Fania.
"Kok gitu" Aku pagi pagi buta bikin ini buat kamu masa dikasih Tody,sih" sungutnya mengerucutkan bibir. Arsa mendaratkan tangkupan tangan ke pipi gadisnya.
"Kamu kan bisa bikin lagi buat aku. Kalau perlu nanti kita berdua yang bikin. Biar lebih romantis" bersama senyum manis mematikan yang mengiringi janji
manis Arsa kepadanya. "Lagian anggap aja sedekah buat Tody. Dia belum makan dua hari, yang. Maklum anak kos. Makannya kalo gak obat magh, mie instan. Mentok
mentok makan di tempat kondangan biar gratis. Kasian kan dia?"
"Kampret lu, Sa!" Tody melempar handuk kecilnya tepat mengenai punggung Arsa. Sedang Arsa meringkih geli disusul tawa Fania.
"Yauda. Aku pergi dulu ya sayang"
Sepeninggal Arsa dan memastikan ia sudah tidak terlihat, Fania menarik nafas dalam lalu melirik Tody sekilas. Jenis lirikan samar namun nyata.
*** *** Di ruang kerjanya, Tsabit mulai sibuk menata berkas berkas kepunyaan Idzar. Beberapa laporan dan rekapan absen selama beberapa bulan. Summary absensi per
tahun ditambah presentasi kehadiran per bulan juga per tahunnya. Semua itu ia pelajari dengan tekun. Semalaman suntuk ia tekuni materi materi pekerjaan
Idzar. Dan itu yang membuatnya kesiangan hari ini.
Untungnya nasib baik sedang berpihak kepadanya. Tepat ketika para karyawan berbaris untuk apel, Tsabit sudah berdiri diantara mereka sambil tersenyum manis.
Pegawai lain yang melihatnya sempat terheran. Terutama Yuana.
"Kamu kapan dateng" Udah ngetem disini aja" tanya Yuana saat itu seraya menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Alih alih menjawab, Tsabit hanya memberi
Tsabita Ilana Karya Suffynurcahyati di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
senyum polos tanpa dosa sembari menyembunyikan tangan di belakang.
Aktifitas Tsabit harus terjeda sejenak, mendengar bunyi notifikasi ponselnya di atas meja. Setelah memastikan tidak ada pak Dana, Tsabit meraih ponsel
tersebut. Ada satu pesan masuk. Dari Aufa.
Terima kasih ya sayang kiriman buahnya :*
Alhamdulillah suami ku udah sadar.
Aku seneng,bit Tsabit menutup mulutnya dengan satu tangkupan tangan. Ada rasa haru yang menyertai. Akhirnya Idzar sadar dari tidur panjangnya. berulang kali ia mengucap
syukur atas dijawabnya do'a yang tak pernah putus. Kini lengkap sudah kebahagiaan Tsabit. Kedua orang yang ia sayangi telah kembali. Tidak ada yang lebih
membahagiakan selain kabar baik ini.
Alhamdulillah :* Dihabiskan ya buahnya. Jaga kesehatan kamu juga
Ketika sedang aktif mengetij rangkaian kalimat pada layar datar tersebut, seorang pria berdiri tepat di mejanya. Sayangnya, Tsabit belum menyadari keberadaannya.
Ia masih asyik senyum senyum sendiri menatap layar ponsel.
"Handphonenya ngelawak?"
Tsabit langsung gelagapan mendengar suara familiar itu. Ia buru buru menaruh asal ponselnya di atas paha lalu menatap pria di depannya. Menatapnya sambil
cengengesan tanpa dosa. "Eh, pak Dana. Saya kira siapa"
"Sms dari siapa sampe senyum senyum gitu" Dari pacar?" Tebak Dana dengan gaya boss-nya yang menawan.
"Saya gak pacaran, pak. Ini sms dari Aufa. Alhamdulillah Idzar sudah siuman" jelasnya sambil menunjukan layar ponselnya guna memperkuat keyakinan Dana.
"Alhamdulillah" suara Dana pelan. "Yasudah kamu teruskan pekerjaan kamu ya" Tsabit bernafas lega. Pak Dana memang the best big boss. Tsabit pikir ia bakal
marah besar. Dua detik kemudian Tsabit menghentakan kepalanya ke atas, teringat akan satu hal. Kalau memanggilnya sambil berteriak pasti tidak sopan. Oke,
kalau begitu Tsabit bergegas mengejar pak Dana yang sudah berjarak 10 kaki darinya.
"Maaf, pak tunggu sebentar. Ada yang mau saya tanyakan" Dana berhenti. "Apa?" Tsabit diam sejenak berpikir cepat bagaimana merangkai pertanyaan yang pas.
"Bapak kenal dengan Pak Dirga,..." keningnya mengerut mencoba mengingat mengingat. "....Dirga siapa ya, aduh! Pake lupa lagi" umpatnya bergumam.
"Dirga Santoso maksud kamu?"
Tsabit mengangguk semangat. Berarti Dana memang kenal dengan nama itu. Nama yang belum lama ini terngiang ngiang di pikiran Tsabit.
"Dia sahabat ayah saya. Sekaligus investor terbesar di perusahaan ini. Namanya ikut andil dalam laju pembangunan Prams. Tapi semakin hari karier beliau
semakin sukses. Kesuksesan beliau membawa eksistensinya melebarkan sayap ke dunia politik. Selain memiliki banyak perusahaan bonafit, beliau juga menjabat
sebagai anggota DPRD, juga bisnis property yang sudah mempunyai cabang hampir di seluruh Indonesia. Dan masih banyak lagi. Saking suksesnya pak Dirga mulai
sibuk menghadiri rapat dan pertemuan pertemuan penting. Jadi, ayah saya dan beliau jarang bertemu. Tapi, persahabatan mereka masih terjalin erat" penjelasan
Dana sudah memuaskan rasa penasaran Tsabit terhadap sosok yang dibanggakan Kelana pada waktu peristiwa demo itu. Dan memang benar. Si patung Arca itu adalah
anak bungsu seorang konglomerat. Pantas saja belagu, umpat Tsabit dalam hati.
"Kamu kenal pak Dirga?" Dana menyipit.
"Cuma tahu namanya aja, pak. Kalau saya tau mah, saya gak mungkin nanya ke bapak, kan" kilah Tsabit. Dana mengangguk.
"Ada pertanyaan lagi?"
"Tidak, pak. Cukup. Terimakasih. Maaf mengganggu waktunya"
Tsabit pun kembali ke kursinya sambil memainkan pulpen di udara, berpikir keras.
*** "Jadi, dia bekerja di Prams" Apa jabatannya?" Tanya Kartika serius sambil memotong motong potongan sosis di piring setelah itu menabur parutan keju di
atasnya. Arsa mengangkat bahu.
"Kamu gak nyoba cari tahu?" Potongan sosis merah itu dilahapnya lewat garpu. Arsa yang hanya meminum jus wortel, menarik wajah sambil bergidik. "Kurang
kerjaan banget nyari tahu tentang dia" jawabnya cuek.
"Lantas darimana kamu tahu kalau dia bekerja di Prams?" Pandangan Kartika berpindah ke putranya.
"Tanda pengenal yang dia pake waktu kita ribut di jalan" Kartika mengangguk samar. Sambil menikmati sarapan, ingatannya kembali pada cerita Arsa kemarin.
Bahwa sebelum pertemuannya dengan Tsabit, Arsa sudah lebih dulu mengenalnya. Lewat perdebatan sengit sewaktu Arsa melaksakan Orasi di jalan. Dari ceritanya
Kartika menyimpulkan Bahwa Tsabit bukanlah gadis biasa. Menghadapi gadis seperti Tsabit, harus diperlakukan berbeda. Suatu tantangan tersendiri bagi Kartika
menunjuknya sebagai 'boneka' sandiwara. Membawa Tsabit ke kehidupannya tidak semudah membalikan telapak tangan.
"Barusan teman mama menghubungi mama. Dia mau mengadakan pertemuan lagi. Dan mereka ingin mama mengajak Tsabit" ada sentuhan hangat menyebar di punggung
tangan Arsa. Kartika menatapnya serius. Arsa memiringkan kepala bersamaan tarikan satu alisnya.
"Tolong kamu bujuk Tsabit lagi. Tapi jangan pakai kekerasan seperti waktu itu. Bersikaplah lebih lembut dan sopan. Buat dia kagum sama kamu" pinta Kartika
dengan nada melemah namun lembut. Suara khas keibuan.
"Susah, ma. Dia bukan cewek sembarangan. Zaman sekarang, cowok bersikap kasar dibilang pengecut beraninya sama perempuan, kalo bersikap sopan dibilang
modus. Apalagi kayak si harimau betina itu. Nih! Mama liat, bekas gigitan dia" Arsa mengulurkan tangan menunjukan lengannya yang terkena gigitan Tsabit
malam itu. Masih membiru dengan ceplakan berbentuk deretan gigi disana. Kartika melihatnya agak bergidik. "Sampe sekarang masih ngilu" tambah Arsa mendeskripsikan
nasib malangnya. "Maka dari itu kamu coba bersikap lebih sopan. Jangan pake kekerasan. Apa salahnya dicoba, nak" saran Kartika sebisa mungkin agar Arsa menuruti perintahnya
kali ini. Ia yakin cara ini pasti berhasil.
"Kenapa bukan Fania aja, sih ma. Kita ambil aman aja lah. Fania sudah jelas pacar aku. Keluarganya juga sederajat sama kita. Tinggal klarifikasi sama temen
mama kalau,--" "Kalau mana sudah bilang tidak, artinya tidak. Paham kamu?" Kartika memotong tegas usul Arsa. "Sekarang nurut sama mama. Kamu cari cara buat deketin Tsabit.
Bikin dia jatuh cinta sama kamu. Mama kasih tau ya, perempuan itu tipikal yang setia sama perasaannya. Kalau dia sudah jatuh cinta, apa pun bakal dia lakukan
demi orang yang dicintainya" Arsa menarik nafas berat. Mau tidak mau, ia hanya bisa pasrah menerima permintaan konyol sang mama. Tapi mendengar perkataannya
barusan, Arsa yakin menaklukan hati Tsabit tidak semudah ia menjentikan jari.
"Terserah" Arsa meninggalkan meja makan dengan perasaan tidak karuan. Mata Kartika mengikuti langkahnya. Di sisi lain hatinya merasa kasihan. Tentu ia juga tidak
ingin memaksa putranya seperti itu. Semua ini ia lakukan semata mata demi nama baik keluarganya, tidak lebih.
*** Tsabit baru selesai merapikan jilbabnya di depan cermin yang dipasang pada dinding musholla. Seusai melaksanakan kewajibannya. Niatnya setelah ini ia langsung
menuju aula makan. Citra dan Yuana pasti sudah menunggunya disana.
"Mbak Tsabit. Ditunggu temannya" ucap seorang security menghampirinya yang sedang sibuk memakai kaos kaki di kursi depan musholla.
"Yuana sama Citra, ya pak" Saya tau kok. Mereka saya suruh tunggu di kantin" jawab Tsabit.
"Bukan, mba. Temannya laki laki. Dia nunggu di loby. Dia bilang teman mba waktu di pesantren" jelas security. Tsabit berpikir keras. Pesantren darimana"
Yang ia tahu sejak SD hingga SMP dia bersekolah di sekolah swasta khusus agama nasrani. Itu sebelum ia memeluk islam. Kemudian ia meneruskan SMA di sekolah
negeri. "Bapak yakin dia mau ketemu saya" Gak salah orang?" Tsabit memastikan pak Ujang si security perusahaan. "Yakin mba. Ganteng lagi orangnya"
Tak mempedulikan penilaian pak Ujang pada tamu misterius itu, Tsabit langsung saja pergi meninggalkan Ujang menuju loby bawah.
"Oh, jadi kamu yang ngaku ngaku teman pesantren saya" Tsabit berjalan menghampiri pria yang sedang berdiri di loby menatap ke luar jendela besar yang menampilkan
pemandangan indah disana. Pria itu berbalik.
"Perempuan alim kayak lo pasti pendidikannya gak jauh jauh dari pesantren. Bener kan?" Pria itu Arsa. Siang ini ia melakukan perintah Kartika dengan menemui
Tsabit di kantornya. Tsabit memalingkan wajah cemooh.
"Sayangnya kamu salah besar. Kamu itu gak tau, tapi sok tau ya" komentar Tsabit pedas. "Kalau tujuan kamu kesini masih sama, kamu sia sia, anak muda" nadanya
mengejek. "Bisa kita duduk dulu" Gak etis banget ngobrol sambil berdiri" Tsabit menurut. Ia duduk bersebrangan dengan Arsa duduk. Mengamati bocah ingusan itu dengan
seksama. Setiap ia menatapnya, hanya ada satu objek menarik darinya. Yakni punggung besar itu. Itulah alasan mengapa ia menyebut Arsa dengan panggilan
kura kura ninja. "Gue kesini mau minta maaf. Mungkin perlakuan gue terlalu kasar waktu itu. Gue sadar gue salah" kalau bukan karena Kartika, Arsa anti mengatakan ini semua.
Cowok" Minta maaf duluan" Gak oke namanya. Umpat Arsa dalam batin.
"Buat apa kamu minta maaf" Toh, saya udah puas ngebales perbuatan kamu waktu itu. Jadi, saya anggap impas" jawab Tsabit enteng. "Ngomong ngomong, Apa kabar
lengan kamu" Gak sampe diamputasi, kan?" Cibirnya bernada mengejek.
Sial! Arsa mengumpat lagi. Seharusnya ia jangan meminta maaf dulu. Gadis itu makin besar kepala kan jadinya. Kali ini ia yakin tidak akan salah langkah.
"Oh ini. Tenang aja. Gigitan kayak gini mah berasa digigit semut. Gak ngaruh buat gue. Dan gak sebanding juga sama yang gue lakuin ke lo" ujar Arsa sombong
menutupi kenyataan bahwa gigitannya masih meninggalkan bekas sakit. "Lo sendiri gimana tangannya" Udah mulai pegel pegel?" Balasnya tidak mau kalah.
"Sudah saya bilang, saya gak selemah yang kamu pikir. Ini gak seberapa buat saya dibanding dosa yang saya terima. Kamu sudah lancang menyentuh saya karena
kamu bukan mahram saya. Paham?" Benar ucapan mamanya waktu itu. Gadis ini begitu primitif. Sinkron sekali dengan penampilannya yang fashionable.
"Itu artinya kita belum impas. Gak salah dong kalo gue minta maaf duluan" Kan gue udah bikin lo berdosa sama Allah" ujar Arsa enteng.
"Kalau mau minta maaf, minta maaf aja sama Allah. Kenapa harus ke saya. Kamu sendiri kan juga berdosa karena bersentuhan dengan yang bukan mahram kamu"
kelit Tsabit menyandarkan duduknya sambil menyilang kaki sombong.
"Jadi, tante gak mau maafin aku?" Tiba tiba raut Tsabit berubah melihat perubahan sikap Arsa padanya. Pria itu mendadak melankolis. Didukung wajah memelas
yang dibuat buat. "Saya gak se-tua itu ya" Tsabit memperingatkan sambil mengarahkan telunjuknya lalu berdiri. "Sebaiknya kamu pulang aja, deh. Saya masih banyak urusan"
alih alih Arsa menurut, ia malah berangsur ke bawah memeluk kaki Tsabit lalu mengeratnya. Semua itu terjadi begitu cepat. Hingga Tsabit hampir saja terjatuh.
"Eh eh, kamu mau ngapain"!"
"Please, tante maafin aku. Aku gak mau pergi kalau tante gak maafin aku" rengek Arsa persis seperti anak kecil yang minta dibelikan mainan. Tsabit panik
akan perlakuan tersebut. Ia berusaha menarik kakinya dari pelukan Arsa. "Kamu jangan macem macem ya. Mau saya laporin security" Lepasin tangan kamu dari
kaki saya" Arsa tidak berkutik. Tetap pada posisinya.
"Aku gak bakal lepasin sebelum tante maafin aku" ancam Arsa masih merengek pada posisi yang sama. Tsabit menatap sekitar. Ada beberapa karyawan yang mulai
memerhatikan dirinya menatapnya heran. Mereka pasti berpikir macam macam tentang kejadian ini. Bagaimana kalau pak Dana melihat" Belum lagi ada beberapa
dari mereka yang saling berbisik sambil menunjuk nunjuk dirinya.
"Kelana, lepasin tangan kamu. Malu dilihat orang banyak!" Tsabit mencoba agak menunduk menarik lengan Arsa dari kakinya.
"Please, tante maafin aku dulu. Aku mohon tante, maafin aku. Abis itu aku janji bakal lepasin" rengekan itu malah semakin keras hingga menarik perhatian
siapapun yang ada di loby ini. Tsabit mulai mengerti. Ini pasti bagian dari rencana bocah ingusan ini sebagai wujud balas dendamnya. Ini sungguh mempermalukan
dirinya. "Maafin aja, mbak. Kasian dia sampe mohon mohon gitu" pak Ujang security pun akhirnya turut angkat suara melihatnya. Oh, pasti image Tsabit sudah buruk
sekarang. Tamatlah riwayatmu Tsabit. Umpatnya.
"Oke oke. Saya maafin" ucap Tsabit mengibarkan bendera putih tanda menyerah. "Sekarang lepasin tangan kamu sekarang juga" tambahnya.
Tautan itu pun terlepas. Arsa berdiri lalu tersenyum tanpa dosa sambil mengibas tangan dengan saling menepuk antar telapak tangan. Tsabit tahu senyum macam
apa yang ia hadiahkan. Senyum licik penuh kemenangan atas perbuatannya hari ini.
"Terimakasih ya tante udah mau maafin aku" ucap Arsa dibuat kekanak kanakan lalu memberi seringai licik setelahnya. Ada senyum yang menyertai. Senyum berbahaya
yang bisa mematikan siapa saja.
"Jangan pernah muncul lagi di hadapan saya. Mengerti?" Ancam Tsabit bernada Dingin agak berbisik. Ia yakin Arsa pasti mendengar. Tak menghiraukan ancaman
tersebut, Arsa berbalik meninggalkan Tsabit. Ia tersenyum sekali lagi mengakhiri sandiwaranya kemudian melambaikan tangan ke arahnya.
"Sok ganteng" Tiba tiba Tsabit merasakan sesuatu yang aneh. Dan itu terjadi pada jantungnya. Ia berdetak tidak normal seperti biasa.
*** TBC... 07. Titik terang Pukul 02:00 pagi. Tsabit baru saja terbangun dari tidur lelapnya. Mengumpulkan nyawa yang berkaburan ke alam lain dengan mengerjap ngerjapkan mata. Setelah
itu ia meraih ponsel di atas nakas. Melihat logo jam disana.
"Selalu begini" desahnya
Ia taruh lagi ponsel di atas nakas. Beruntung ia bisa menjaga tidurnya semalam, sehingga ia bisa terbangun di waktu yang tepat. Lupakan saja tentang daya
ingatnya yang payah itu. Meski sudah berulang kali ia mengingatkan dirinya sendiri agar men-setting alarm, nyatanya ingatan itu tidak terealisasikan dengan
mudah. Ia pun beranjak dari ranjang empuk menuju kamar mandi bersiap untuk wudhu.
Hampir setengah jam berlalu, Tsabit pun usai melaksanakan Qiyamul lail. Ia tidak langsung tidur. Melainkan berkutat pada ponsel melantunkan surat Al Mulk
melalui qur'an selullernya. Dibacanya surat tersebut dengan penuh kekhusyuan. Memahami makna serta arti dari surat yang memiliki arti kerajaan itu. Di
tengah kekhusyuannya, Tsabit mulai lagi merasakan pusing. Kepalanya terasa berat. Seperti ditimpa ber-ton ton besi. Entah sejak kapan keringat sudah membasahi
kening dan leher. Sebenarnya, karena ini juga lah mengapa Tsabit tidak melanjutkan tidurnya. Ia tidak bisa tidur dalam kondisi seperti ini. Sejak pulang
bekerja, kondisinya mulai menurun. berawal ketika pandangannya kabur jika ia memaksakan berjalan. Untungnya tidak sampai pingsan. Kalau iya, ia tidak bisa
bayangkan bagaimana sulitnya orang orang yang menggotong tubuhnya nanti. Maka dari itu Tsabit memilih tidur lebih awal. Tak lama, seseorang mengetuk pintu
kamarnya. Dibarengi suara yang memanggilnya. Tsabit tahu siapa pemilik suara lembut itu. Ia beranjak dari ranjang menuju pintu.
"Gimana" Sudah membaik?" Tanya Liana tidak bisa nenutupi kekhawatirannya. Disentuhnya kening Tsabit menggunakan punggung tangan.
"Pusingnya belum ilang" jawabnya singkat sambil berjalan lemas menuju tempat tidur. Liana mengekor.
"Obatnya yang dari mama sudah diminum belum" Mama biasa minum itu kalau masuk angin" tangannya beralih memijit mijit pundak Tsabit. Tsabit menggeleng lemah.
"Diminum atuh, sayang. Gimana bisa sembuh kalau didiemin aja kayak gini"
"Ini cuma masuk angin biasa, ma. Nanti sebelum aku berangkat kerja juga sembuh" Tsabit menyudahi bacaannya lalu menaruh ponsel ditempat semula. "Mama kenapa
bangun jam segini" Tumben. Mau tahajud juga?"
"Abis tahajud mama gak bisa tidur. Mama kepikiran kamu tau gak. Kamu itu kalau udah sakit, susah sembuhnya" ungkap Liana mulai resah. Tsabit tergolong
gadis yang aktif dan jarang sekali sakit. Tapi jika sudah sakit, akan sulit bagi Liana menyuruhnya minum obat. Bahkan James sekali pun yang meminta tetap
tidak manjur. Ia terlalu menganggap enteng penyakit.
"Coba kamu ngaca. Muka kamu pucet banget"
Tsabit mengiyakan. Dilihatnya pantulan wajah dari benda mini itu. "Pucet darimana" Kulitku kan emang putih, ma"
"Bibirnya, liat"
"Bibirku pink kok, engga pucet"
Liana membuang nafas kasar seraya memalingkan wajah. "Keras kepala papamu itu nular ke kamu. Susah banget dibilanginnya. Kalau udah sakit kan" kamu yang
rugi, nak. Jangan nyepelein penyakit, dong sayang" Liana menggenggam erat kedua tangan putrinya. Menatapnya cemas. Tsabit tersenyum kecil. Ketika akan
mengatakan sesuatu, Liana mendahuluinya.
"Mama kasih dua pilihan. Kamu minum obat. Atau kamu gak minum obat, tapi full bedrest di rumah alias absen kerja hari ini" Tsabit langsung menunjukan wajah
keberatan. "Engga bisa gitu, dong ma"
"Pilihan pertama atau kedua?" Tidak mempedulikan ajuan protes Tsabit, Liana berdiri bertolak pinggang menuntut jawaban putrinya. "Pilih salah satu"
Tsabit mendesah tak berdaya. Kalau sudah begini, ia bisa apa"
"Pilihan pertama aja" jawabnya datar. Liana tersenyum. Sudah ia duga jawaban ini yang akan ia dengar. Tsabit seorang workholic sejati tidak mungkin memilih
berdiam diri di rumah meski dalam keadaan sakit sekalipun." Justru dengan bekerja, besar kemungkinan sakitnya segera sembuh.
"Oke. Bagus" akhirnya Liana bisa bernafas lega. "Mama sedikit tenang sekarang. Tapi mama gak suka omong kosong. Kamu harus beneran minum obatnya"
"Siap ibu negara"
*** "Stop, pak. Aku turun disini aja"
Perintah Tsabit kepada Wardoyo "Emang kenapa, mbak" Ini kan masih jauh" Wardoyo kebingungan.
"Deket kok, pak. Paling jalan berapa meter juga sampe. Kalo nunggu macet, yang ada aku telat lagi." Jelasnya. Ia pun sudah berada di luar mobil sekarang.
Wardoyo membuka kaca jendela.
"Tapi ntar kalo ibu nanya, gimana?"
"Bilang aja kalau bapak anterin aku sampe kantor. Percaya deh, pak Doyo. Aku gak kenapa napa" Tsabit berusaha menenangkan pak Doyo yang masih memasang
wajah sanksi. "Justru kalau aku diem aja di mobil, aku gak bakal sembuh, pak. Badannku butuh gerak"
Dengan berat hati, Wardoyo mengiyakan keputusan gadis itu. Semoga ia tidak bertindak macam macam. Ia khawatir melihat kondisi majikannya saat ini. Meski
ia tetap bawel juga aktif seperti biasa, tetap saja wajah Tsabit tidak menunjukan sedang baik baik saja. Ia menghela nafas dalam kemudi menunggu majunya
mobil ditengah kemecetan tak berujung ini.
Jarak dari sini menuju kantor kemungkinan bisa ditempuh dalam waktu kurang lebih 10 menit. Jika dilihat waktunya, masih cukup. Tidak terlalu mepet. Kemungkinan
sampai sana pukul 07:30. Masih banyak waktu. Lebih baik Tsabit berjalan santai saja. Sekaligus meregangkan otot. Lagi pula sinar matahari pagi bagus untuk
kesehatan. "Hallo, tante" Suara orang menyapa. Tsabit menoleh kepada si pemanggil. Semoga dugaannya salah. Tapi itu mustahil. Satu satunya manusia yang memanggilnya dengan sebutan
'tante' hanya dia." Si manusia kura kura ninja. Tiba tiba saja ia muncul di peredaran jalan membawa mobil spot putihnya. Lajunya sengaja diperlambat guna
menyamakan langkah Tsabit. Gadis itu acuh. Menganggap Arsa hanya butiran debu yang bisa berbicara, lalu Tsabit berusaha tidak mendengarnya.
"Assalamualaikum, tante" Arsa mengubah sapaannya menjadi salam. Tsabit menjawabnya pelan sembari melirik Arsa lewat sudut mata. Pria itu berada di mobil
dalam keadaan jendela terbuka.
"Kenapa jalan kaki, tan" Keabisan ongkos" Apa lagi program diet?" Ejek Arsa sesekali fokus pada jalanan. Arsa tidak melihat adanya respon dari Tsabit.
"Tante gak capek emang" Mau naik mobil gue gak" Mumpung kosong nih"
Tsabit mendesis sinis. Hatinya terus menyemangati bahwa ia harus mengacuhkan bocah tengil itu. Tsabit menyesali keputusannya hari ini. Kalau tahu bertemu
Arsa, tentu ia lebih memilih berdiam diri di mobil menikmati kemacetan membunuh ini. Ah, anggap saja Arsa adalah botol. Ya, botol kecap, misalnya. Irama
langkahnya agak dipercepat.
"Buru buru banget. Takut terlambat ya, tan" Bareng gue aja. Gue anterin kemana pun tante mau" ada tawa yang mengiringi. Tsabit mendengar samar tawa itu.
Tawa renyah yang menyebalkan.
"Tan" Kok diem" Jawab dong"
Oke. Ini bukan genjatan senjata. Tsabit menghentikan langkahnya lalu menoleh. "Bisa gak, kamu berhenti memanggil saya dengan sebutan menjijikan itu" Saya
tidak dilahirkan dari rahim nenek kamu. Jadi berhenti memanggil saya tante. Ngerti?" Ini rekor. Kalimat itu terucap dalam waktu tercepat. Bersama amarah
yang menumpuk di kepala, membantu Tsabit menuang kekesalannya.
"Dan berhenti ngikutin saya. Kamu udah janji untuk tidak muncul lagi di hadapan saya. Gak ingat?" Ucap Tsabit lagi, sebelum ia memutuskan pergi.
"Ingat kok. Tapi sayangnya gue belum meng-iyakan. Gimana dong?"
"Itu sih urusan kamu"
"Yaudah, berarti gue gak salah dong ngikutin kemana pun lo pergi, tante.." Arsa menerima tatapan membunuh dari Tsabit, ".. eh, Kak Tsabit maksudnya" ia
cengengesan. Ya Allah.. kenapa tidak Kau cabut saja nyawa dia" Aku males ribut. Do'a Tsabit pagi ini terdengar ekstrim. Tak apa lah, pikirnya. Asal bocah ini musnah
dari pandangannya. Ia pun kembali meneruskan perjalanan. Masa bodoh dengan Arsa. Biar saja ia mengikutinya terus. Nanti juga capek sendiri.
"Gak apa apa kan kalo gue panggil kakak?"
Tsabit diam. Tetap pada langkahnya. Arsa tidak menyerah. Selama perjalanan pun ia masih sanggup mengikuti Tsabit. Toh, ia mengendarai mobil. Tidak terlalu
sulit. Perbandingannya sangat jauh. Lagipula secepat apapun langkahnya masih sanggup ia tempuh dengan mobil ini. Tak bosan ia mengajak Tsabit berbicara.
Dari menanyakan hal yang sangat tidak penting. Sampai pertanyaan yang paling menyebalkan. Tapi tetap saja usahanya nihil. Tsabit masih betah mengacuhkannya.
"Udah nyampe sejauh ini lo masih sanggup jalan kaki" Yakin gak mau gue anter?" Tawar Arsa sekali lagi. Berharap ada respon sedikit saja dari Tsabit. Karena
ia sudah mulai lelah berceloteh sendiri. Seperti berbicara dengan tembok berjalan.
Nihil. Tsabit tetap fokus pada jalanan di hadapannya. Berjalan santai menatap pemandangan sekitar. Sukses membuat Arsa jengkel. Pria itu sudah dianggapnya
seperti botol kecap yang bisa berbicara dan mempunyai kaki lalu berjalan mengikutinya. Sungguh imaginasi yang aneh.
"Lo harus tau satu hal. Gue bukan tipikal orang yang gampang nyerah gitu aja. Selain itu gue juga bisa ngelakuin apa aja yang gue suka. Seperti ngegendong
elo terus gue bawa masuk ke mobil, misalnya" Ia menarik senyum miring.
Dalam sikap sok tenangnya, Tsabit menyimpan siaga extra serta ketakutan luar biasa. Kekhawatiran pasti ada. Mengingat Arsa pernah nekat mencengkram tangannya
dengan keras demi mendapatkan apa yang ia mau. Bukan mustahil kalau hari ini ia membuktikan ucapannya. Tsabit melirik sekilas. Pria itu menghentikan laju
mobil lalu bersiap keluar dari sana. Haruskah ia berlari"
"Saya gak segan segan nonjok wajah kamu kalau kamu berani macem macem" setiba Arsa tepat di hadapannya, Tsabit sudah mengambil posisi siaga lebih dulu."
Dengan mengepalkan tangan ke udara, bersiap mendaratkan tinju jika Arsa bertindak sesuatu.
Arsa tertawa kecil. "Takut juga rupanya" ia bersendekap, "baru segitu aja udah takut. Gimana kalo gue gendong beneran" tatapnya cemooh.
"Mau kamu tuh apa sih sebenernya" Menawarkan tumpangan atau apa" Beberapa hari ini kamu dan mama kamu udah bikin hari hari saya hancur. Kamu udah ganggu
hidup saya, Kamu rusak mood saya, kamu pancing emosi saya, dan sekarang saya sakit. Itu juga gara gara kamu, tau" cacian itu berujung curahan hati yang
mendalam. Tsabit tidak sadar mengatakan itu semua. Kali ini dengan wajah menyedihkan ditambah raut memelas, ia menambahkan, "Saya mohon. Jangan ganggu
saya seperti ini, Kelana. Saya ingin hidup tenang"
Ada gejolak aneh dalam diri Arsa melihat gadis itu memohon padanya. Sepertinya ia mulai iba. Perlahan ia sedikit menurunkan emosi juga ego-nya hari ini.
Di tatapnya gadis itu. "Gue cuma pengen lo nolong nyokap gue. Udah cuma itu doang"
Arsa berhasil mengontrol emosinya. Obrolan mereka tidak se-sengit tadi. Terkadang memakai emosi tidak selamanya menyelesaikan masalah. Itu pelajaran untuk
mereka. "Gue bisa aja nyuruh pacar gue sendiri buat ngejalanin ini semua. Tapi sayangnya gak bisa. Cuma elo yang bisa, Tsabit" ini pertama kalinya Arsa menyebut
Tsabit tanpa embel embel 'tante' atau 'kakak'." "Gue gak mungkin ngejar ngejar lo kayak gini kalau bukan karena keinginan nyokap gue"
Tsabit bergeming sesaat. Ada kejujuran dari mata sendu itu. Seperti ada lelehan es yang mencair disaat yang bersamaan. Haruskah ia menuruti kemauannya"
*** Tepat di sudut Cafe, Abrar menikmati segelas guava juice kesukaannya. Memanjakan mata pada sekeliling. Melihat lihat suasana Cafe yang tidak begitu ramai.
Hanya ada beberapa meja yang terisi. Diminumnya jus buah tersebut melalui sedotan.
Selang beberapa menit, matanya menangkap sosok yang baru saja datang berjalan menghampirinya. Tanpa perlu menegaskan, ia sudah hafal sosok tersebut. Sosok
wanita berpakaian serba hitam. Khimarnya panjang sebatas betis, cukup menjadi ciri khas wanita itu.
"Assalamualaikum. Maaf menunggu lama" Abrar menyilahkannya duduk di kursi sebelahnya.
"Waalaikumsalam. Aku tau kamu sibuk"
Abrar melihat wanita itu mengeluarkan beberapa berkas yang di taruh pada map bening. Ada tiga map disana. Wanita itu" menjelaskan.
"Ini akte kelahiran Diva" tangannya menunjuk map bening bergaris tepi hijau.
"Kalau ini surat kelahirannya" lantas menunjuk map lain. Pada map terakhir ia menyebutkan, "Dan ini akte cerai kita"
Abrar menerima tiga map tersebut. Tanpa perlu memeriksanya, ia masukan ke dalam tas laptop miliknya. Digulungnya lengan kemeja hingga sebatas sikut. Lalu
membenarkan posisi duduk. Cukup menjadi pemandangan menarik si wanita.
"Kamu boleh pesan apa saja. Aku yang bayar" tangannya terarah menyilahkan.
"Terimakasih. Aku puasa"
Abrar meng-oh seraya mengangguk.
"Buat apa kamu minta berkas berkas itu?"
"Persiapan Diva masuk sekolah" jawab Abrar singkat.
"Umur dia belum cukup"
Abrar membuang sejenak wajahnya. Ada desahan nafas berat terlihat. "Kemauan mama"
Wanita itu mendelik tajam, membenarkan dugaannya.
Tsabita Ilana Karya Suffynurcahyati di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tapi aku ibunya" tangannya menunjuk dirinya sendiri, lalu melipatnya di atas meja. "Aku kira kamu sudah berubah. Ternyata masih saja bergantung sama wanita
tua itu" ada nada sinis menyertai.
"Wanita tua yang kamu maksud itu ibuku. Pemilik surgaku" jelas Abrar tak senang.
"Lantas mengorbankan pernikahan kita, lalu memilih jalan yang amat dibenciNya Begitu?"
Abrar melonggarkan dasi, menghabiskan sisa minumannya. "Besok aku mau jemput Diva" lalu berusaha mengalihkan pembicaraan. "Mungkin siang atau sore aku
kesana" "Baik. Pastikan kalau Diva mau ikut kamu ya. Aku tidak janji" wanita itu bersiap diri untuk pergi. "Sebab Diva sudah bisa membedakan mana yang baik untuknya,"
mana yang bukan" ia berbalik.
"Asal tidak ada yang meracuni otaknya"
sahut Abrar sepeninggal wanita itu. Wanita itu masih bisa mendengar samar ucapan Abrar dari kejauhan.
*** Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Bosan adalah sikap jenuh terhadap sesuatu yang berulang terus menerus. Entah itu sebuah aktifitas maupun keadaan.
Tapi mungkin akan berbeda pemahaman jika sesuatu yang berulang itu terjadi pada kita seperti melakukan bernafas. Pernahkah kita bosan untuk bernafas" Padahal
aktifitas tersebut dilakukan secara terus menerus setiap detik dalam kehidupan sehari hari. Pendapat lain juga mungkin mengatakan bahwa bernafas itu suatu
kebutuhan. Manusia tidak mungkin bosan untuk itu. Karena itu adalah kebutuhan utama makhluk hidup.
Dari sinilah pemahaman tersebut saling berkesinambungan. Ketika kita merasakan kebosanan terhadap sesuatu. Entah itu kegiatan mereka sehari hari yang meyangkut
pekerjaan, misalnya ataupun yang lain. Maka jadikanlah kegiatan tersebut suatu kebutuhan. Kebutuhan yang jika kita tinggalkan sedikit saja akan berpengaruh
terhadap diri kita sendiri. Kurang lebih seperti itulah gambaran sikap kita menghadapi kebosanan yang saat ini merajalela berpetualang ke dalam diri kita.
Dan seperti itulah yang terjadi pada Tsabit yang sedang duduk manis di kursi yang--sejak beberapa minggu ini--setia menemaninya. Wajahnya nampak serius
menyimak deretan perpaduan huruf dan angka yang terpatri di layar datar bernama laptop. Jemari lentiknya bergerak teratur diatas papan keyboard mengikuti
instruksi otak si gadis. Bibirnya sesekali bergerak gerak mengeja kata perkata yang tertera di layar itu. Di dekatnya ada banyak tumpukan map berbagai
macam warna tengah berdiri seperti sedang menyemangati gadis itu yang perlahan menampakan raut raut kejenuhan. Ia menghembus nafas berat ketika matanya
melirik sekali lagi map map tersebut. Diambilnya satu map berwarna merah untuk segera dikerjakan. Sesekali ia memijit pelipisnya guna menghilangkan rasa
pusing yang menyerangnya berangsur angsur. Dua detik kemudian seseorang sudah berdiri disampingnya lalu memerhatikan gadis itu.
"Tsabit" Ia menoleh mendapati pria gagah yang ia sebut sebagai papa muda berada didekatnya. Berdiri sempurna sambil menaruh tangan kebelakang. "Iya, pak Dana. Ada
yang bisa saya bantu?" Tawarnya hormat setelah beranjak dari kursi lalu menatap penuh hormat.
"Setelah jam makan siang, kamu boleh kembali ke posisi kamu sebagai assisten saya" begitu kata kepala menagernya. Mendengar hal itu, Tsabit seperti tengah
menikmati sirup aroma leci kesukaannya ketika dahaga tidak terkendali. Begitu menyegarkan dan ini yang ia nanti nanti sejak beberapa minggu ini. Betapa
pengertiannya pak Dana. Mungkin ia merasa kasihan dengan nasib assistennya yang tersiksa karena pekerjaan milik sang kepala HRD yang terpaksa ia ambil
alih. Kalau bukan karena pengabdiannya terhadap perusahaan, tentu ia akan menolak pekerjaan itu. Sekarang ia cukup menunggu beberapa jam lagi menuju jam
makan siang. Dan itu masih ada waktu 3 jam lagi.
"Kamu mendengar saya?"
Tsabit terhentak seraya mengerjap. "Dengar pak. Baiklah kalau begitu. Selepas makan siang saya bersiap kembali ke posisi saya" Dana mengangguk.
"Kalau boleh saya tahu, Apa sudah ada pengganti posisi pak Idzar disini, pak?"
"Idzar sudah kembali bekerja. Nanti siang setelah konfirmasi dia akan segera menempati posisinya sebagai kepala HRD"
Ingin rasanya Tsabit melakukan sujud syukur detik ini juga. Dibalik masalahnya dengan Arsa dan Kartika, ada secercah nikmat yang hadir. Akhirnya sedikit
beban ini berkurang dengan kembalinya Idzar di perusahaan ini. Bayangkan, selama berminggu minggu sejak dirinya dinyatakan menjadi pengganti sementara
Idzar, ia berubah menjadi pegawai teladan dadakan. Jatah lembur tak jarang ia dapatkan. Pulang larut malam menjadi makanan sehari hari. Mata pandanya semakin
merona jelas. Mesin otaknya berkali kali mengalamin turun mesin. Itu semua yang menjadi penyebab kondisinya menurun drastis.
"Kamu bisa siapkan barang barang kamu untuk kembali setelah jam makan siang. Masih ada waktu beberapa jam untuk kamu menyelesaikan laporan Idzar. Setelah
itu bawa ke saya untuk ditanda tangani" perintahnya dalam kecepatan normal bernada tegas. Sama seperti adiknya. Hanya saja, adiknya lebih songong. Batin
Tsabit menilai. "Laporan ini masih saya yang harus menyelesaikan, pak" Kan pak Idzar sudah kembali" protes Tsabit menatap hati hati. Dana menarik nafas membawa tatapan
mata sayu nya bersiap untuk menyerang ucapan Tsabit.
"Mengerjakan sesuatu itu tidak boleh setengah setengah. Kamu mau, dikasih jodoh setengah pria setengah wanita" Kan gak lucu"
Sama sekali tidak lucu. Kenapa harus mengarah ke jodoh, sih" Apa ada penelitian yang menyambungkan antara pekerjaan dengan jodoh" Kalau ada, bisa tolong
tunjukan hasil resetnya kepada Tsabit. Agar gadis itu tidak bergumam aneh setelah mendengar penyataan Dana. Lama lama pak Dana mirip Arsa. Sama sama menyebalkan.
"Pak Dana ini bisa aja" ia tertawa hambar. "Ya gak mau lah pak. Masa jodoh saya setengah setengah. Nanti cintanya juga setengah setengah lagi" lanjutnya
dengan gaya sok asik. Dana turut tertawa seperlunya. Berusaha mempertahankan kewibawaannya. "Kalau kamu merasa kesulitan, kamu minta bantuan Idzar aja.
Ingat ya, hanya membantu. Laporan itu masih tanggung jawab kamu"
"Iya, pak. Secepatnya akan saya selesaikan" keadaan kembali menegang serius. Akhir akhir ini Dana jadi tidak seasik dulu waktu pertama kali Tsabit bekerja.
Masih ada kekakuan yang muncul. Sangat disayangkan sekali. Padahal bagi Tsabit, sikap bersahabat Dana bisa menjadi pelindungnya dari kesewenang wenangan
Idzar, si kepala HRD menyebalkan itu.
"Ohya, tadi pak Ujang menitipkan ini kepada saya. Tadinya dia ingin langsung kasih ke kamu. kebetulan saya lewat, saya yang menerimanya. Katanya dari seseorang
yang tidak ingin disebut namanya" Dana menyodorkan sebuah kotak kecil persegi panjang berbungkus kertas berwarna merah muda.
"Dari siapa ya pak?" Tanya Tsabit menerima benda tersebut.
"Sebut saja hamba Allah"
Selagi dirinya sibuk meramal isi kotak tersebut beserta pengirimnya, Dana pamit meninggalkan gadis itu. Sejurus kemudian Tsabit kembali duduk di kursinya
bersamaan terbukanya kertas pembungkus kotak tersebut.
"Apaan nih?" Kotak kemasan kecil itu ia buka lalu menemukan sebuah botol kaca ukuran mini. Dari tulisan yang tertera dibotol itu, Tsabit menyimpulkan bahwa benda hanya
berupa minyak angin roll on dengan merk tertentu.
"Buat apaan minyak angin begini?" Ejek Tsabit menampakan wajah tidak suka sambil memainkan benda tersebut di udara. "Orang gue udah gak masuk angin juga"
Gerutunya. Tak lama ia menemukan secarik kertas terselip di kotak minyak angin tersebut. Buru buru Tsabit membuka agar tahu siapa si hamba Allah itu yang
teramat sangat baik hati mengirimnya minyak angin terapi ini.
Hallo tante, udah nyampe minyak anginnya" Gue tahu lo alergi AC, so jangan sia siain kebaikan gue ini yang jarang orang dapetin. Lo beruntung, tan ^/^
-Arsa- "Bocah gila! Gue gak ngerasa nikah sama om lo" Umpat Tsabit membuang wajah kesal sambil membanting secarik kertas tersebut di meja. Enak saja alergi AC
katanya. Jelas jelas ia masuk angin bukan karena AC. Tsabit mengerang geram. Bisa bisanya Arsa menebak asal tentang kondisinya. Justru ia seperti ini gara
gara ulah manusia kura kura ninja itu." Tsabit menenggelamkan wajahnya dalam lipatan kedua tangan di meja.
"Dasar bocah ingusan!" Umpatnya geram.
*** "Jadi, dia benar benar mau mempertimbangkan tawaran kita?"
Ada sepercik kebahagiaan yang terpancar dari wajah Kartika. Matanya berbinar benderang. Mengabaikan rangkaian bunga di meja yang sedang dikerjakannya sejak
pagi. Arsa mengangguk sambil merenggangkan otot leher. Duduk bersila di atas sofa memainkan ponsel pintar.
"Nanti habis Isya kita disuruh ke Dream Cafe buat ngomongin ini"
Kartika masih belum percaya. Tarikan senyum cemerlang masih terpatri jelas di wajahnya. Titik terang masalahnya hampir di depan mata." Harga diri dan nyawanya
akan terselamatkan. "Jangan seneng dulu. Ini masih tahap pertimbangan. Belum jelas dia nerima atau engga" ucap Arsa tanpa menoleh, masih sibuk dengan ponselnya.
"Setidaknya pertemuan ini jadi titik terang kita, sa. Kalau dia sudah mau mempertimbangkan, artinya tawaran kita mulai menarik perhatiannya"
"Semoga aja" responnya singkat.
Hening sementara. Hanya terdengar suara game yang dimainkan Arsa. Sedang Kartika sibuk berandai andai akan rencananya. Ia tidak percaya akhirnya gadis
sok suci itu mau mempertimbangkan tawarannya.
"Kamu kok gak semangat gitu, sih" Daritadi mama perhatiin kamu banyak diem"
Arsa menoleh sebentar, lalu fokus pada permainan. "Eh" Gak kenapa napa, ma"
"Ngomong ngomong, apa yang udah kamu lakuin sampe dia mau mempertimbangkan ini semua?" Arsa mengingat kejadian tadi pagi. Dengan kemantapan hatinya, Tsabit
memberi secercah harapan kepada Arsa.
"Baiklah kalau begitu. Nanti malam bada' Isya. Kamu dan mama mu temui saya di Cafe Dream. Saya akan mempertimbangkan tawaran ini?" ada senyum manis muncul
dari wajah innocent Arsa. Tsabit hampir tidak berkedip dalam beberapa detik.
"Mana tangan kamu" perintahnya tegas. Arsa menurut. Ia mengulurkan telapak tangannya yang mengepal. "Buka?" Lanjutnya. Tsabit mengeluarkan pulpen dari
saku blezzer. Menuliskan deretan angka pada telapak tangan Arsa. Pria itu mengamati dengan seksama. Betapa Tsabit menulisnya dengan sangat hati hati. Takut
takut kulitnya saling bersentuhan. Tak jarang ia sekedar mencuri pandangan ke gadis itu.
"Nanti sore hubungi saya lagi buat konfirmasi pertemuan" ucapnya sambil menaruh pulpen ke sakunya, menatap Arsa serius. "Ingat ya, ini masih pertimbangan.
Apapun keputusan saya nanti tolong kamu terima dengan bijaksana. Mengerti?"
"Feeling gue mengatakan kalo lo bakal terima tawaran ini" ujar Arsa cuek selagi menyalin nomor dari telapak tangan ke ponselnya. Tsabit mengeluarkan nafas
pendek. "Jangan menggantungkan harapan berlebih kepada manusia kalau tidak ingin merasakan kekecewaan. Banyak banyak berdoa" Tsabit bisa berjalan tenang meninggalkan
Arsa dalam keheningan. Perkataan Tsabit tadi seperti mengandung sihir. Mampu membuatnya diam tak berkutik lagi. Jangankan menanggapi, untuk berbalik saja
terasa sulit. "Sebenarnya, yang harus mama puji karena kehebatannya itu, kamu atau Tsabit ya" Kamu memang hebat bisa sedikit meruntuhkan pertahanan Gadis itu. Tapi Tsabit
gak kalah hebat, bisa bikin kamu jadi pendiam gitu" cibir Kartika setelah Arsa menceritakan kejadian tadi pagi.
"Nanti aku gak ikut ya. Mama aja yang kesana"
"Loh, kenapa?" "Aku males ketemu dia"
Kartik mencebikan bibirnya ke bawah. "Jangan gitu. Kamu harus bisa lebih dekat sama dia. Toh, dia nanti bakal jadi pacar palsu kamu. Gimana bisa membangun
chemistry kalo gitu" Kartika melanjutkan kegiatan merangkai bunganya.
"Jangan menaruh harapan berlebih kepada manusia kalau tidak ingin merasakan kekecewaan, ma" tanpa sadar Arsa mengulang nasehat itu.
"Kamu harus ikut, Arsa. Mama gak mau tahu. Batalin janji sama Fania kalo perlu"
Arsa berdecak malas mendengar ketidak sukaan Kartika kepada kekasihnya itu. Ia pun pergi begitu saja meninggalkan Kartika.
*** Dan pada akhirnya, minyak angin tersebut menjadi berguna. Buktinya, benda mungil beraroma terapy itu setia berada dalam genggaman Tsabit bahkan ia memakainya
pada jam makan siang seusai melaksanakan sholat. Setelah menyelesaikan beberapa laporan yang sudah dikejar deadline membuat Tsabit merasa pusing tidak
karuan. Di kursi salah satu meja cafetaria, ia duduk ditemani segelas teh hangat sambil memainkan ponsel. Tangan satunya sibuk mengoles bagian leher.
"Bisa sakit juga kamu?"
Sejak kapan pria itu berada disini" Tepat di kursi sebelahnya, menaruh bekal makan siang di atas meja. Lama tak jumpa, ia jadi terlihat kurus sekarang.
Bahkan Tsabit masih bisa melihat bibirnya yang sedikit pucat.
"Aku gak sakit. Cuma gak enak badan" Jawab Tsabit. Matanya mengarah pada kotak makan siang yang terbuka. "Aih, bahagianya dibawakan bekal makan siang sama
istri tercinta. Menu apa hari ini?" Tsabit tersenyum lebar hampir memperlihatkan gigi grahamnya seraya menaruh minyak aroma terapinya.
"Ralat. Bukan istri tercinta. Tapi istri sholihah" Idzar menyuap satu sendok nasi ditemani oseng oseng jamur kesukaannya beserta sop. Ia menikmatinya dengan
lahap. "Iya iya, istri sholihahnya pak Idzar. Puas?" Tsabit menipiskan bibir lalu fokus pada ponsel.
"Oh iya, ini" Idzar menaruh kantong tas daur ulang di atas meja tepat di hadapan Tsabit" "Titipan dari istriku buat kamu. Sebagai tanda terimakasih katanya"
dunia gadget Tsabit harus teralihkan karena kantong yang menggoda itu. Dilihatnya isi kantong tersebut. "Makasih ya sudah menggantikan posisi aku sewaktu
aku dirawat" Idzar tersenyum kecil.
Tsabit sibuk dengan isi kantong itu. Kedua tangannya mengabsen sejumlah makanan disana. Ada dua buah coklat batang ukuran besar. Minuman kaleng bersoda
Cewek 5 Hardy Boys Sindikat Pencuri Mobil Pendekar Kidal 19
"Tentu. Silakan, tante" Tsabit menginteruksi Yuana dan Citra agar bergeser tempat duduk lalu menyediakan satu kursi kosong diantara mereka untuk Kartika.
Wanita itu membuang nafas sembari memalingkan wajah malas lalu kembali menatap Tsabit serius.
"Hanya empat mata. antara kamu dan saya" Kartika memberi gerakan tangan menunjuk Tsabit lalu dirinya secara bergantian dengan gaya anggun.
Tsabit meng-oh kemudian menuruti apa kemauan Kartika. Kali ini apa lagi" Mau mengajaknya bersandiwara lagi" Atau mengajaknya casting sebuah film" mengingat
tadi aktingnya menjadi calon mantu begitu sempurna tanpa celah. Firasat buruk baru saja melintas di otak Tsabit. Ia seperti memberi sinyal bahaya.
*** Pintu theater 2 baru saja dibuka. Mengeluarkan segerombolan manusia dari sana. Berbagai macam ekspresi menguar dari wajah masing masing. Ada yang heboh
membicarakan bagian dari film yang baru saja mereka tonton. Ada yang sibuk bermanja manja dengan kekasih dengan menyandarkan kepala ke bahu si pria lalu
menggandeng tangannya begitu erat seolah pacarnya adalah buronan polisi yang hendak kabur. Ada juga yang keluar dari pintu bioskop dengan tergesa gesa
menuju toilet. Dan masih banyak reaksi lainnya.
Salah satunya sepasang kekasih yang turut meramaikan pengunjung bioskop tadi. Dua sejoli itu menuruni eskalator menuju lantai dasar Mall yang berada di
kawasan Depok. Mereka nampak asyik berbincang dalam tautan. Tangan si pria menggenggam erat tangan si wanitanya. Sesekali ia mencium punggung tangannya
dengan mesra. "Kita makan dulu, yuk!" Ajak si wanita.
"Makan lagi" Kamu emang belum kenyang, yang?" Tanya si Pria terheran.
"Kapan kita makan" Kan abis nemenin kamu beli kaos, kita langsung nonton, ay" protes si wanita sembari menyampirkan rambut kecoklatannya ke belakang telinga.
Si pria nampak berpikir sejenak.
"Oh iya ya. Aku lupa" si pria merenges tanpa dosa. "Yauda yuk! Kita makan. Kasihan banget pacar aku kelaperan. Ntar kurus lagi." si wanita berhenti sejenak
lalu menatap si pria. "Kamu gak seneng liat aku kurus" Pengennya aku gendut, gitu?" Si pria menarik lembut tangan satunya si wanita seiring tatapan lembut.
"Mau kamu kurus atau gendut, aku tetap sayang sama kamu. Kamu tetep cantik di mata aku" si pria menggiring wanitanya kembai berjalan menyusuri sudut mall
menuju lantai food court. "Tapi kalo kamu kurus dan langsing, terus kamu makin cantik, yang ada cowok cowok pada naksir sama kamu. Saingan aku makin banyak,
ayang" si wanita tersenyum merona malu lalu iseng mencubit perut si pria.
"Kelana Arsalais, bisa aja sih ngegombalnya. Siapa yang ngajarin coba ngegombal gini"
"Itu loh, cewek cantik yang namanya Fania Malaika. Dia yang ngajarin aku jadi jago gombal gini. Tapi aku serius, yang. Aku gak rela kalo kamu dideketin
cowok lain selain aku"
Keduanya tersenyum penuh arti hingga sang pelayan datang memberi menu setibanya mereka di salah satu rumah makan. Gadis bernama Fania itu menatap kagum
pria dihadapannya yang sedang sibuk memesan makanan. Dalam hatinya memuji kesempurnaan yang nampak dari sana. Tidak hanya fisik, tapi juga hal lain yang
membuatnya jatuh cinta setiap hari.
"Emang kalo ngeliatin aku kaya gitu, bisa bikin kenyang, ya?"
Fania terkesiap. Meskipun mata Arsa tertuju pada menu, pria itu tahu bahwa dirinya sedang menjadi objek penglihatan Fania. "Cie, malu malu gitu" ledek
Arsa melihat Fania salah tingkah.
"Apa sih, kamu. Udah deh ngeledeknya" Fania tersipu malu.
Arsa terkekeh geli. Sedang fania sibuk menahan diri karena malu. Setelah itu ia mendapat cubitan gemas di pipinya yang berasal dari tangan Arsa.
*** Dalam hening, Tsabit menilai sosok wanita di hadapannya. Ia tengah duduk anggun bersama secangkir white coffee. Jika diperhatikan lebih dekat, Kartika
memang terlihat cantik dan seksi untuk ukuran seorang ibu. penampilannya mengingatkan ia pada tante Diana di masa lampau. Itu pun berdasarkan cerita Aufa.
Tapi kalau dibayangkan dan dibandingkan, Kartika lebih memimpin dalam segala hal yang berbau kecantikan dan kemewahan.
Setelah pesanan pelayan datang membawa pesanan Tsabit, segelas lemon tea hangat, saat itu juga Kartika menyampaikan maksud dan tujuannya.
"Langsung saja ya" Kartika membenarkan posisi duduknya. "Saya ingin kamu bersandiwara lagi seperti tadi" sebuah tawaran yang masih abu abu di kepala Tsabit.
Di pikirannya, Kartika mempunyai maksud dan tujuan lain.
"Hanya itu?" Tsabit malah terlihat meremehkan. Padahal melakoni peran seperti tadi siang sudah cukup menguras tenaga dan otaknya. Malah bisa bisanya ia
berkata seolah itu hal yang biasa.
"Ini berbeda. Saya ingin kamu bersandiwara dalam jangka waktu yang sudah saya tentukan. Dan ini bukan sandiwara biasa. Harga diri, bahkan nyawa menjadi
taruhannya" Oke. Ini mulai serius. Topik kali ini sunggu diluar perkiraan Tsabit. Kenapa harus nyawa yang menjadi taruhannya" Apa ia sedang berhadapan dengan pembunuh
kelas kakap atau semacamnya" Kartika bukan wanita sembarangan. Tsabit menelan ludah seraya melatih dirinya agar lebih hati hati dalam mengambil keputusan
atas tawarannya. "Kamu cukup berpura pura menjadi pacar anak bungsu saya, Arsa. Lalu kalian bersikap layaknya sepasang kekasih di depan publik. Yakinkan mereka bahwa kalian
adalah sepasang kekasih yang sedang di mabuk cinta, semesra mungkin" dengan gaya bicara yang khas, seolah Kartika adalah sang sutradara yang mengatur skenario
apa yang harus dilakoni Tsabit. Bahkan ia tidak mempedulikan bagaimana reaksi Tsabit mendengar rentetan skenario menjijikannya. Untuk menghormati, Tsabit
tetap diam, membiarkan Kartika melanjutkan mandatnya.
"Kamu tenang saja. Ini hanya sandiwara. Kamu cukup memainkan peran kamu sebagai seorang pacar yang baik dan manis. Termasuk di depan teman teman saya"
maksudnya di hadapan ibu ibu rempong tadi" Oh akankah kiamat kubra akan menimpanya siang ini" Ini konyol. Pertemuannya dengan Kartika juga termasuk hal
konyol luar biasa. "Bagaimana?" Kartika membuyarkan ekspetasi Tsabit yang mengudara. Ia menarik nafas berat setelah menyeruput secangkir teh lemon yang mulai dingin.
"Maaf. Saya menolak tawaran anda" jawaban Tsabit terdengar halus. Ia masih mempertahankan kesopanannya terhadap Kartika. Otomatis Kartika mengerutkan dahi.
"Kenapa?" "Bagi saya sandiwara ini sudah melewati batas. Saya sangat keberatan jika harus bermesraan terhadap pria yang bukan mahram saya. Apalagi di depan khalayak
ramai" jawab Tsabit sambil diam diam mengamati tiap inci aura yang terpancar dari wanita dihadapannya.
"Kamu jangan sok suci"
Tsabit benci kalimat itu. Banyak orang yang salah kaprah dengan wanita yang senantiasa ingin menjaga dirinya dari fitnah. Pemahaman mereka terlalu dangkal.
Menganggap menuruti aturan Allah adalah tindakan tak lazim sehingga image 'sok suci' menempel permanen pada mereka yang menjalankannya. Ini sangat tidak
adil. Mereka, para pen-judge, tidak tahu bagaimana sulitnya melewati proses istiqomah di zaman yang semakin tua ini. Tsabit menahan secuil amarah yang
perlahan muncul, menatap Kartika sinis.
"Ini wajar bagi sepasang kekasih yang hanya berpura pura. Kalian cukup berpegangan tangan lalu saling menatap mesra anak saya. Saya rasa itu bukan hal
yang sulit bagi kamu, mengingat kemampuan akting kamu yang bisa dibilang cukup profesional"
"Bahkan keyakinan saya melarang adanya sentuhan antar lawan jenis yang bukan mahramnya" Tsabit memberanikan diri menatap lebih dalam sorot mata Kartika.
Menelaah lebih jauh sekuat apa tekadnya kali ini.
"Apa keyakinan kamu juga melarang untuk menolong sesama manusia?"
Tsabit berdecak remeh sambil memalingkan wajah. "Manusia hidup di atas aturan yang telah ditentukan Allah. Maka dalam menolong seseorang pun harus disertai
aturan. Justru yang melewati batas itu yang salah" ujar Tsabit sekembalinya dari menatap jalanan kota Depok yang ramai pada siang hari ini.
"Skenario yang anda berikan sudah melenceng dari keyakinan saya. Saya tidak mungkin mengkhianati Tuhan saya, nyonya Kartika." tegas Tsabit lagi dengan
sedikit penekanan pada kata terakhir.
"Tuhan kamu dan Tuhan saya sama. Saya juga seorang muslim. Tapi saya tidak fanatik seperti kamu" timpal Kartika tak mau kalah. Jadi, ini wujud asli seorang
Kartika" Sungguh membahayakan. Terutama kata kata menyakitkannya. Wanita seperti Kartika tergolong wanita yang sulit menerima penolakan. Apalagi ia seorang
istri pejabat kaya raya. Hidupnya bergelimang harta. Kesehariannya di kawal ajudan ajudan bertubuh besar. Ditambah lagi jumlah pelayan yang dengan senang
hati melayani apapun perintahnya. Kehidupan Kartika dibuat mudah dengan keberadaan manusia manusia yang meng-uangkan hidupnya. Dengan uang, Kartika bisa
mendapatkan segalanya. "Itu urusan anda. Saya tidak punya hak menilai seseorang. Tapi saya berhak menyelamatkan hidup saya dari dosa"
"Saya bayar berapa pun yang kamu mau" benar, kan" Kalau sudah begini, uang lah satu satunya senjata Kartika.
"Saya tidak butuh uang anda. Bukankah anda tahu, siapa saya?"
Kartika bergeming tanpa kata. Ya, gadis sok suci dihadapannya adalah pemilik Cafe ini. Pantas ia bersikap lebih sombong darinya. Tapi itu belum seberapa
ketimbang kekayaannya, komentar Kartika dalam hati.
Sayup sayup keramaian cafe masih menjadi pengisi keheningan mereka. Tak ada sahutan lain yang menyertai. Kartika menghabiskan sisa kopinya lalu beranjak
dari kursi. "Kamu akan menyesal menolak tawaran saya" ancam Kartika dalam kemelut emosi yang tertahan.
Tsabit tersenyum anggun lalu beranjak dari kursi "pintu keluar ada di sebelah sana" ujarnya mengulurkan tangan ke arah pintu yang dimaksud.
Sepeninggalnya Kartika lalu menjauh dari peredaran mata, Tsabit menarik nafas, mengaturnya sebaik mungkin. Berhadapan dengan Kartika seperti berhadapan
dengan ular berbisa. Diam diam mengandung racun mematikan. Dibalik pesonanya yang membunuh siapa saja.
Lagipula siapa yang mau berpura pura menjadi pacar anaknya" Si Arca itu, kan" Meski ia tampan atau menyaingi Song Joong ki sekalipun, Tsabit tidak akan
mau menerima sandiwara konyol itu. Seperti wanita yang tidak punya harga diri saja, mau maunya diperalat seperti boneka.
*** TBC... 05. Misi yang gagal "Baiklah. Sekian rapat kita kali ini. Kalian boleh beristirahat. Saya akhiri wassalamualaikum warahmatullahiwabarakatuh"
"Waalaikumsalam warahmatullah.."
Rapat bulanan pun telah usai, Dana mengakhiri rapat hari ini. Para staff dan karyawan berhamburan keluar dari ruang Aula samping kantor manager. Masing
masing membawa map serta berkas berkas sebagai bahan pembahasan rapat kali ini. Kebanyakan dari mereka langsung menuju kantin. Ada juga yang langsung menuju
musholla untuk melaksanakan sholat Dzuhur berjamaah.
Tsabit berjalan lemah diantara sekumpulan karyawan dan staff yang berhamburan keluar. Kedua tangannya sibuk memeluk map yang jumlahnya lebih banyak dari
karyawan lain. Wajahnya nampak kusut seperti pakaiannya yang dijemur berhari hari lalu dilipat tanpa disetrika.
"Lemes amat, neng. Lagi dapet?" Ada tangan yang menyenggol lengannya sehingga menyadarkan Tsabit dari lamunan semu. Tsabit menggeleng lemah.
Tak perlu berpikir lama, Citra tahu apa yang menyebabkan sahabatnya seperti itu. "Kalo dipikirin, bakal jadi beban. Jalanin aja. Kamu pasti bisa kok. Semangat!"
Seru Citra menyemangati Tsabit. Mengingat rapat bulanan tadi membahas penggantian posisi sementara. Tsabit diberi mandat agar menggantikan posisi Abidzar
Ahda sebagai staff HRD dikarenakan musibah yang menimpa Idzar dan istrinya, Aufa. Mereka tertimpa kecelakaan di jalan raya. Keduanya dilarikan ke rumah
sakit kondisi mereka cukup parah, bahkan hingga saat ini Idzar dan Aufa belum sadarkan diri. Rupanya tidak hanya Idzar dan Aufa yang menjadi korban. Dua
orang pengendara motor juga mengalami nasib yang sama. Diduga kecelakaan bersumber dari pengendara motor yang menerobos lampu merah dan melaju pada kecepatan
tinggi. Disaat yang bersamaan mobil Idzar datang dari arah kanan sehingga terjadilah kecelakaan dahsyat tersebut. Selain rezeki, jodoh dan kematian, Musibah
juga kerap mendatangi manusia kapan pun ia mau. Tak peduli siapa, kapan dan dimana. Yang lebih menyedihkan adalah Idzar dan Aufa baru saja menikah. Kebahagiaan
tidak selamanya didapat secara instan. Terkadang butuh jerih payah bahkan air mata untuk memperolehnya. Mengingat perjalanan asmara keduanya begitu panjang
nan penuh lika liku. Bahkan Tsabit sendiri turut andil dalam kisah mereka. Ya, sebagai mak comblang yang tersakiti hatinya karena harus mengikhlaskan pria
yang dicintai. Kadang Tsabit merasa keberadaannya di kehidupan Idzar, tak lebih seperti jeda iklan yang tidak begitu penting, tapi juga dibutuhkan suatu
saat. Seiring perasaan itu berlalu, ujian tak bosan menimpa Idzar dan Aufa. Sungguh betapa Allah menyayangi hambaNya melalui ujian yang bertubi tubi. Bukankah
manusia bisa dikatakan beriman kalau Allah telah mengujinya dengan ujian dan masalah"
Sejak Diana menghubungi Tsabit mengenai kecelakaan tersebut, Tsabit nampak tidak bersemangat. Hari harinya terasa begitu berat dilalui.
"Pak Dana kasih kamu posisi itu kan karena dia tau, kamu punya skill di sana. Kamu pasti bisa jalaninnya, deh. Aku yakin 100 persen" Citra masih menyemangati.
Tsabit menoleh sekilas sembari berjalan beriringan menuju kantin.
"Itu nomer dua, Cit" ujarnya singkat.
"Terus, yang pertama apa?"
"Keadaan Idzar dan istrinya. Sampai sekarang mereka belum sadarkan diri. Gimana aku ga kepikiran. Mereka juga sahabat aku" ungkap Tsabit setibanya di salah
satu meja Kantin yang letaknya tak jauh dari musholla.
"Jadi, gara gara itu. Yaudah kamu berdoa aja biar mereka segera membaik. Musibah itu kan datengnya dari Allah, jadi kembalinya ke Allah juga. Kamu jangan
sampe kebanyakan pikiran, bit. Inget tipes kamu" Citra mengingatkan selagi melumuri roti daging dengan saus tomat.
"Ada masalah atau engga. Makan ku tetep banyak kok. Insya Allah tipes gak berani deket deket sama aku" Tsabit cengengesan setelah itu.
"Iya juga ya. Aku lupa kalo kamu ini ratu makan. Dimana dimana mah orang kalo stress, gak nafsu makan. Cuma kamu doang yang stress gak stress sama aja"
timpal Citra. "Mana gak gemuk gemuk lagi. Aku bingung, deh. Itu makanan larinya kemana sih" Makan banyak, tapi badan segitu gitu aja" ungkapnya mengintimidasi
keadaan yang menurut Citra tidak adil. Kenapa hanya Tsabit yang seperti itu. Makan banyak tapi berat badan tetap stabil adalah impian semua wanita. Termasuk
dirinya. "Tau. Aku juga bingung. Aku sempet dikira cacingan, loh sama mama ku. Padahal dia sendiri juga kayak gitu" Tsabit menyuap sesendok mie goreng dengan lahap.
"Berarti faktor keturunan, tuh bit" Citra menunjuk Tsabit seusai mengunyah roti. "Kamu beruntung. Gak perlu susah susah diet, body udah bagus" ada pujian
menyertai. Tsabit tersenyum separuh mengamati sejenak penampilan Citra hari ini. Agak berbeda dengan gaya jilbab segiempat berbahan velvet. Nampak lebih
feminin. Setelah dua hari yang lalu Tsabit memposting tutorial gaya hijab tersebut, Citra langsung mempraktekannya.
"Ohya, gimana kalo nanti pulang kerja, kita hunting buku" Abis itu kita nongkrong di Cafe kamu. Ajak Yuana juga" ajak Citra antusias, tapi Tsabit buru
buru menggeleng seraya meminum air mineral dari botol tupperware hijaunya.
"Yah,.. kenapa?" Citra merengut
"Aku mau ke rumah sakit" Selama dua hari ini Tsabit rutin menemani Diana di Rumah sakit. Sekaligus menanti kesadaran Aufa juga Idzar. Bahkan ia rela bolak
balik Rumah sakit hanya untuk menggantikan Diana bermalam di sana. Kadang ada Sina, sepupu Aufa sekaligus kakak ipar Idzar, yang datang menemaninya. Kesibukannya
sebagai seorang ibu tentu Sina juga tidak bisa menemaninya setiap hari.
"Yaudah salam ya buat pak Idzar dan istrinya. Aku gak ikut gak apa apa, kan" Tsabit mengangguk. Mengelap mulutnya dengan tissue basah.
"Gak apa apa kok"
"Kamu bisa, kan sendirian kesana tanpa aku" Ntar kangen lagi" ledek Citra. Tsabit mengendik jijik. "Dih.. PeDe banget sih ni anak satu. Mau aku pencet
lagi hidungnya" Iya?" Ancamnya. Buru buru Citra menangkup wajah dengan telapak tangan sebagai tameng dari serangan Tsabit terhadap hidungnya.
"Ampun.. Tsabit!!"
*** Dua orang berseragam nampak berdiri di sudut dinding dapur. Mereka memakai kemeja putih dipadu rok span mini berwarna hitam. Keduanya melongokan kepala
sedari tadi. Tubuh mereka bersembunyi dibalik tembok dapur yang bersebelahan dengan ruang keluarga. Mereka mengintip aktifitas majikannya sejak pagi tadi.
Kini mereka saling menatap bingung lalu menggeleng satu sama lain. Salah satu dari mereka mengindikan bahu tanda tidak mengerti. Melihat wanita yang menjadi
tontonannya terus mondar mandir tanpa henti.
Kartika menghisap rokok ketiganya. Mengudarakan asap putih terbang kemana pun mengisi ruangan besar bernuansa biru laut. Setiap hembusan yang keluar, bersamaan
dengan pejaman mata. Seolah asap asap tersebut bisa mengajak pergi bersama beban berat yang tengah menimpanya. Dihisapnya lagi rokok tersebut seraya mengusap
kepala. "Agh!!" Pekiknya mulai frustasi. Dihempaskan tubuhnya di atas sofa biru yang siap menyapa. Dengan menyandarkan punggung lalu menengadahkan kepala, dirasa
cukup untuk membuang titik titik kepenatan yang mengintai.
Kartika mulai memijit mijit pelipisnya perlahan masih dalam keadaan terpejam.
Selama dua hari ini Kartika dibuat uring uringan. Kalau saja ia tidak berurusan dengan gadis sok suci itu, tentu ia tidak akan mengalami kegalauan luar
biasa ini. Tapi ia akui, ini semua terjadi berkat kecerobohannya karena sudah seenaknya menarik Tsabit lalu membawanya dalam permasalahan ini. Sialnya
lagi, gadis itu malah lepas tanggung jawab. Dengan dalih keyakinan yang menurut Kartika sangat primitif. Di zaman se-modern ini masih ada orang primitif
macam dia" Maki Kartika dalam hati.
Selang beberapa detik, Kartika menegakan kepala lalu menoleh ke arah suara langkah sepatu yang berasal dari pintu depan. Melihat seseorang yang melangkah
santai menghampirinya, ia mendesis seraya memalingkan wajah.
"Darimana aja kamu" Tumben pulang cepet. Gak sekalian aja pulang pagi kayak kemarin" sambut Kartika sinis kepada putra bungsunya, Arsa.
"Dari kampus, lah ma. Dosennya gak ada. Yaudah aku pulang aja" jawab Arsa santai, melempar diri di atas sofa lalu menempatkan diri di sebelah sang mama.
"Kangen ya?" Tanganya melingkari pundak Kartika sambil tersenyum genit. Wanita itu membuang muka sebal lalu menaruh rokok pada tepi asbak.
"Jangan ngerayu mama. Tidur dimana kamu semalam?" Tanya Kartika tegas.
"Aku tidur di kosan Tody, ma. Mau langsung pulang capek banget. Kalo aku paksain bawa motor, mama mau aku kenapa napa di jalan?" Jelas Arsa sambil melepas
jaket baseball bercoklat mahoni.
"Di kosan Tody apa Fania?" Tanya Kartika lebih terkesan memojokan Arsa. Kartika tahu semalam anaknya pergi bersama gadis itu. Ia tidak mungkin salah tebak.
Sebab sebelumnya Kartika sudah mengutus salah satu ajudannya untuk menguntit Arsa selama dua hari.
"Pasti mama ngebuntutin aku lagi" Arsa merendahkan pundak sambil berhembus berat. Melempar kaos kaki yang dilepasnya ke sembarang arah.
"Kalo gak gitu kamu gak bakal ngaku, Sa. Udah mama bilang berkali kali, kamu boleh pacaran sama perempuan mana aja. Tapi jangan sampai menginap segala.
Lagian, memangnya orang tua Fania gak ngelarang apa?" Kartika akhirnya menghadap penuh kepada Arsa. Memerhatikan perubahan wajah putranya. Kantung matanya
terlihat jelas. Arsa pasti begadang lagi, tebaknya.
"Orang tua Fania lagi ke luar negeri"
"Heum.. pantes" Kartika memberi tatapan intimidasi. "Ngapain aja kamu di rumah Fania" Awas kalo macem macem. Mama hapus nama kamu dari daftar keluarga"
telunjuknya mengarah tepat di hidung mini Arsa. Arsa sendiri tetap bersikap tenang lalu menangkup telunjuk Kartika, menurunkannya perlahan dari posisi.
"Anak mama ini daya ingatnya tinggi. Arsa gak mungkin lupa sama pesan mama, termasuk tentang sex before married. Mama gak usah khawatir. Kebetulan pembantunya
Fania juga lagi pulang kampung. Dia takut sendirian di rumah. Lagian, aku cuma semalam doang, ma disana. Besoknya baru deh aku nginep di kosan Tody. Sudah
jelas, mama ku sayang?" Ada kelegaan dalam diri Kartika. Beruntung, Arsa masih memegang teguh prinsip serta amanat yang ia berikan. Terutama dalam menjaga
hubungan sebelum menikah. Kartika memang membebaskan anak anaknya menjalin hubungan dengan wanita manapun, asal tidak ada sex sebelum adanya pernikahan.
Cukup sekali ia menanggung malu akibat ulah anak sulungnya, yang menghamili anak gadis sehingga masa depannya untuk mengambil beasiswa di luar negeri harus
pupus. "Arsa, mama mau ngomong sama kamu" kali ini Kartika menatapnya serius. Ia duduk bersilang tungkai menghadap Arsa. "Dari tadi juga mama ngomong, kan" ia
meraih pundak Arsa agar fokus kepadanya. "Mama serius" Arsa menurut.
"Oke oke. Apa?"
"Secepatnya kamu harus menjaga jarak dengan Fania. Kalau perlu untuk sementara, kamu putusin dia segera"
Otomatis Arsa mengubah rautnya. Tidak hanya serius, tapi juga patut dipertanyakan. Ada angin apa tiba tiba Kartika berkata seperti itu. Arsa mencium ke-tidak
beres-an. "Kenapa, ma?" "Teman teman mama sudah tahu siapa pacar kamu. Termasuk media."
"So" Berarti bagus dong. Aku tinggal ngenalin Fania ke mereka. Abis itu aku kenalin Fania ke media, kalau putra bungsu Dirga santoso telah menjalin hubungan
dengan Fania malaika selama,--"
"Bukan itu masalahnya" potong Kartika gemas. Arsa membeku sejenak lalu mengangkat bahu. "Lantas?"
Kartika pun menceritakan semuanya. Dari kecerobohannya membawa Tsabit dalam sandiwara busuknya lalu alasannya melakukan itu. Itu semua karena Kartika tidak
ingin semua orang tahu bahwa putranya, Arsa berpacaran dengan Fania. Lalu Kartika mengada ada perihal putusnya Arsa dengan Fania lalu menjalin hubungan
dengan gadis lain yang lebih pantas. Munculah ide ketika ia melihat sosok Tsabit berjalan dari kejauhan. Sehingga terjadilah sandiwara tersebut. Sejujurnya,
Kartika sendiri setengah hati merestui hubungan Arsa dengan Fania. Kalau bukan karena Arsa begitu mencintai Fania, ia tidak mungkin mau mempunyai calon
besan seperti keluarga Fania. Keluarga yang tidak tahu terimakasih. Bisa dibilang, Fania adalah kekasih Arsa yang tidak dianggap oleh Kartika. Buat apa
mengenalkannya kepada publik" Apa yang dibanggakan dari gadis itu" Toh, keluarganya saja tidak tahu diri. Sudah dikasih hati, minta jantung. Tambah besar
kepala mereka kalau tahu putrinya terkenal karena menjalin cinta dengan Arsa. Andai saja Arsa tahu kebencian mamanya terhadap mereka.
Mungkin dengan membawa gadis lain sebagai tameng, akan menolongnya dari situasi tersebut. Sayanganya, takdir berkata lain. Kartika ceroboh kala itu. Ia
nekat pergi sendiri tanpa dikawal seorang body guard. Hingga akhirnya berembus kabar bahwa beberapa wartawan mengetahui kabar Arsa menjalin hubungan dengan
seorang wanita. Dan wanita itu adalah Tsabit. Si gadis primitif itu. Baru baru ini, Arsa memang sudah menjadi incaran pemburu berita. Berkat ketampananya
serta statusnya sebagai anak konglomerat kaya raya, menjadikan Arsa sosok yang ditunggu publik. Tidak harus menjadi seorang aktor, keberadaan Arsa cukup
menyita perhatian media, bahkan mengalahkan ketenaran Reza Rahardian dan Chiko Jericko sekalipun. Sungguh fisik dan harta mampu membayar segalanya. Termasuk
perhatian publik terhadapnya.
"Mama gila, ya?" Komentar pertama Arsa mendengar apa yang baru saja menusuk telinganya. Tapi setelah itu ia mendapat pukulan ringan di perut. "Yang sopan
sama orang tua" tegur Kartika.
"Abisnya mama ada ada aja. Mama kalo udah ketemu temen temen rempongnya ya gitu tuh. Ada aja masalah" keluh Arsa. Kartika langsung saja melototi Arsa.
"Kamu nyalahin mama?"
"Engga. Aku nyalahin diri aku sendiri. Kenapa waktu itu aku gak paksa mama buat bawa pengawal. Dan kenapa aku gak larang mama buat gak kumpul sama temen
temen rempong mama itu sementara" ungkap Arsa menahan sabar, menyayangkan kecerobohan mamanya. Keadaan ini memang bersumber dari Kartika. Tapi Arsa tidak
mungkin menyalahkan Kartika sepenuhnya. Wanita primitif itu juga harus bertanggung jawab atas ini semua. Bagaimana pun juga ia sudah terlibat dalam masalah
ini. "Maafin mama" Kartika menampakan wajah sedih. Ia genggam erat tangan putranya seraya menunduk. Perlakuan itu yang membuat Arsa luluh. Kesedihan mamanya
adalah beban baginya. Pria itu menarik nafas dalam dalam.
"Nasi udah jadi bubur, ma. Tinggal kita racik lalu menikmatinya aja" Arsa menatap jendela rumahnya. Memandang langit langit sore yang indah. "Lantas, kita
harus ngapain" Mohon mohon sama gadis itu" Siapa namanya tadi?"
"Tsabit" Arsa menaikan satu alisnya. Ia seperti familir dengan nama itu. Nama yang tidak asing di telinganya. Tapi ia buru buru menggeleng, menepis pikiran lain
yang mengganggu. "Arsa gak mau masalah ini semakin rumit. Dia juga harus bertanggung jawab"
Seusai mengatakan itu, Arsa beranjak dari sofa meninggalkan jacketnya disana lalu berjalan menuju pintu keluar. Kartika merespon pergerakan putranya. Ia
pun mengekor di belakang sambil mengintruksi pelayan agar segera memanaskan mobil.
*** Tsabit berjalan menyusuri koridor rumah sakit. Langkahnya santai tanpa ada beban. Sesekali ia tersenyum sembari menghirup udara segar. Kesegaran beraroma
rumah sakit. Bau obat obatan menguar di sekeliling jalanan yang ia lewati. Disaat kebanyakan orang amat membenci bau rumah sakit, yang katanya bau obat
sehingga membuat mual siapa saja. Tsabit masuk daftar pengecualian. Bau obat obatan ialah aroma kesukaan Tsabit kedua setelah aroma bensin. Aneh memang.
Tapi begitulah nyatanya. Pernah sesekali ketika Tsabit mengisi bahan bakar mobil di Stasiun Pengisian Bahan bakar Umum (SPBU), ia sengaja keluar mobil
mengamati petugas SPBU mengisi tanki mobilnya, hanya untuk menghirup aroma yang menguar dari sana. Mungkin pada saat itu mas mas SPBU merasa canggung lalu
menganggap Tsabit ini perempuan aneh. Walaupun tidak terlihat seperti menghirup aromanya, tapi Tsabit sendiri justru yang dengan PeDenya mengatakan, "Bau
bensin itu kok enak banget ya, mas. Saya seneng deh sama baunya. Pantesan mas betah kerja disini". Si mas mas SPBU hanya bisa tersenyum hambar sambil terus
mengisi bahan bakar. Dalam hatinya berkata, "Cantik cantik kok hobinya nyium bensin. Untung cantik"
Kembali ke tujuan awalnya setelah berkunjung ke Rumah sakit. Akhirnya Tuhan mengabulkan do'anya. Aufa telah sadar. Ia sudah bisa di ajak berkomunikasi.
Meskipun do'a itu belum sepenuhnya terkabul. Karena Idzar masih terbaring lemah belum sadarkan diri. Jika mengingat keadaan Aufa saat itu. Betapa ia ingin
menangis. Melihat kondisi Idzar yang begitu menyedihkan, Aufa tentu saja merasa terpukul. Hatinya diiringi pikiran pikiran buruk yang menghantui. Bahkan
ia tidak berhenti menangis melihat suaminya terbaring tak berdaya.
Sesampainya di parkiran, ketika akan membuka pintu mobil, ponselnya berdering. Tsabit merogoh isi tas lalu menerima panggilan dari sana.
"Assaalamualaikum. Iya Nadine, kenapa?" Salam Tsabit membuka pembicaraan kepada Nadine, Assisten manager di Dream Cafe sekaligus orang kepercayaannya.
"Waalaikumsalam, mbak. Mbak Tsabit bisa ke Cafe sekarang gak" Penting"
Tsabit menyipitkan mata. "Ada apa memangnya?"
"Ada orang yang ngotot pengen ketemu mbak. Dia maksa maksa gitu"
"Siapa?" Sambil memasuki mobil dan mengapit ponsel diantara telinga dan bahu, Tsabit bersiap melajukan mobilnya. Ia punya firasat buruk tentang ini. Setelah terus
beristighfar dan mengatur nafas, Tsabit segera menuju Cafe.
*** Setibanya di Cafe, Tsabit celingak celinguk menelusuri seisi tempat disana. Mencari sosok yang katanya ngotot ingin bertemu dengannya. Tak lama, Nadine
datang menghampiri.
Tsabita Ilana Karya Suffynurcahyati di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mana orangnya?" Tanya Tsabit menjinjing tas kulit silver di lengan.
"Orangnya ada di lantai 2, mbak. Mbak ke atas aja. Mau saya temenin?" Tawarnya. Tsabit menggeleng ringan kemudian berlalu meninggalkan Nadine menuju lantai
2. ada tiga pengunjung di lantai 2. Yang satu seorang wanita muda dengan anak dan suaminya. Tsabit tidak kenal mereka. Pengunjung satunya hanya seorang bapak
ditemani gadis kecil berseragam Sekolah Dasar. Tsabit mengernyit. Mungkin pengunjung satunya lagi. Nampak seorang wanita paruh baya duduk sendiri di salah
satu meja bernomor 5. Ia nampak asyik mengoperasikan ponsel. Tsabit menyipit seraya menegaskan penglihatannya. Tanpa sadar kakinya perlahan melangkah maju
mendekati sosok wanita itu. Setelah jaraknya hampir mendekat, si wanita tersebut mendongak. Terpampanglah wajah familiar di hadapannya.
"Apa kabar?" Sambut wanita itu tersenyum satu garis seraya berdiri menyambut kedatangan Tsabit.
"Rupanya, anda. Saya kira siapa" balas Tsabit ringan tersenyum kecil menyambut Kartika, Wanita yang dimaksud Nadine. "Boleh saya duduk?" Ia menunjuk salah
satu kursi di sebelah wanita itu.
"Silakan" "Kalau boleh tahu ada perlu apa anda menemui saya, lagi?" Tanya Tsabit dengan menekankan kalimat 'lagi' nya dengan hati hati. Sebelum Kartika menjawab,
pelayan menghampiri meja mereka, tapi hanya untuk menulis pesanan Tsabit. Tsabit hanya memesan susu hangat. Setelah itu pelayan pergi.
"Anda sudah memesan makanan?" Tanya Tsabit lagi. Sejenak ia memerhatikan gerak gerik Kartika. Wanita itu nampak gelisah seperti ada sesuatu yang disembunyikan.
Tsabit menyimpan siaga. "Panggil saya tante. Ini bukan pertemuan formal. Dan saya sudah memesan makanan sebelumnya. Anak saya yang memesan langsung disana" tangan Kartika mengarah
kepada meja kasir dekat tangga. Disana berdiri seorang pria berkaos hitam sedang sibuk menunggu uang kembalian. Setelah Tsabit menoleh untuk melihat, raut
wajahnya mengalami sedikit perubahan. Punggung itu. Ia seperti mengenal bentuk punggung besar itu. Mengingatkannya pada seseorang entah siapa. Oh, mungkin
hanya sugesti sesaat, pikirnya. Dia si patung Arca"
Dia si patung Arca" "Tujuan saya kesini masih sama. Untuk kali ini saya mohon sekali. Berpura pura lah menjadi pacar anak saya. Hanya itu satu satunya jalan keluar" tanpa
basi basi, Kartika langsung saja mengajukan permintaan dirinya kepada Tsabit agar mau bersandiwara seperti yang diminta waktu itu. Kali ini disertai raut
memohon. Berbeda sekali dengan perawakannya ketika pertama kali bertemu.
"Jawaban saya masih sama, tante. Sekali lagi, maaf. Saya tidak bisa menerima tawaran anda" ujar Tsabit dengan segala kerendahan hati. Selama Kartika masih
bersikap sopan, ia bisa lebih sopan. Untuk sementara ini belum ada perkataan yang menyakitkan hatinya.
"Tapi kenapa" Saya akan berikan apa saja yang kamu mau. Kamu mau apa" Uang" Mobil" Apartemen" Atau rumah?" Semua kekayaannya ia sebutkan satu persatu.
Sayangnya Tsabit tidak tertarik akan itu semua.
"Ini tidak ada hubungannya dengan kekayaan yang tante tawarkan. Ini mengenai keyakinan"
"Keyakinan seperti apa yang kamu anut, sehingga begitu tega membiarkan seorang ibu memohon memohon belas kasihan?" Itu bukan Kartika yang berbicara. Melainkan
seorang pria yang berjalan menghampiri mereka membawa nampan berisi satu gelas milkshake dan secangkir kopi. Tsabit berjengit seraya menyipitkan mata "dia?"
Gumamnya. "Perkenalkan ini anak saya, Arsa. Dia yang akan menjadi pacar kamu, kalau kamu menerima tawaran saya" Kartika sumringah mengenalkan putra bungsunya. Dalam
hatinya berharap Tsabit bakal terpesona dengan ketampanan yang dimiliki. Ia pun menarik senyum miring mengamati perubahan raut Tsabit. Siapa pun pasti
akan mudah jatuh cinta kepada Arsa, termasuk gadis primitif ini, batin Kartika membangga.
"Jadi, dia ini putra anda?" Tanya Tsabit tidak percaya. Telunjuknya mengarah ke tubuh Arsa. Pria itu sudah duduk tepat di kursi di depannya. Keterkejutan
keduanya terjadi secara bersamaan. Semoga ini mimpi buruk Tsabit. Apa ada yang bersedia mencubit atau menampar pipinya" Agar ia terbangun dari mimpi buruk
ini. "Kenapa harus cewek bringas ini, sih ma!" ungkap Arsa tak kalah heboh sambil memukul ringan meja yang tidak bersalah. Menyayangkan pertemuan ini. Pantas
saja firasatnya sejak tadi tidak enak. Rupanya, Tsabit yang dimaksud sang mama ialah Tsabit si perempuan bringas yang menyerangnya tempo hari. Tidak ingin
berurusan lebih panjang dengan dua ular berbisa ini, Tsabit beranjak dari kursi.
"Loh, kamu mau kemana?" Tanya kartika kebingungan.
"Pertemuan ini saya anggap selesai. Saya tetap menolak tawaran tante. Sekali lagi saya tegaskan, ini mengenai keyakinan. Bukan kekayaan yang anda tawarkan.
Saya yakin seratus persen anda melakukan ini semua demi sebuah gengsi yang begitu anda elu elukan. Ya kan?" Tak butuh jawaban, Tsabit meraih tas silver
miliknya lalu menjinjingnya bersiap untuk melangkah pergi. Kartika menganga tidak percaya seraya menggeleng samar, entah berapa kali ia mengerjap bodoh
mendengar tebakan Tsabit mengenai tujuan utamanya.
"Saya permisi. Assalamualaikum"
Tsabit melangkah mantap menuju tangga. Membiarkan Kartika uring uringan seraya menyadarkan Arsa agar segera bertindak sesuatu. Tidak tega melihat sang
mama, Arsa menggeleng sambil menarik nafas.
"Tunggu!" Tsabit tidak mungkin berbalik kalau tidak ada jemari kekar yang mengerat lengannya. Arsa menyusul Tsabit lalu memaksanya untuk berhenti. Gadis itu sontak
menghadap kepada pria yang kini menatapnya tajam. "Lo gak bisa main pergi begitu aja. Secara gak langsung, lo udah ikut andil dalam masalah ini. Gak sadar?"
Tsabit menegang mendapati perlakuan itu. Lengan kirinya masih dalam genggaman Arsa. Ada kilatan mata menyalang yang tersorot dari mata coklatnya. Mata
mereka saling bertemu dalam sepersekian detik. Detik berikutnya Tsabit mulai tersadar akan posisinya.
"Lepasin!" Gertak Tsabit berusaha melepas diri dari jerat genggaman kokoh Arsa. Alih alih melepas, Arsa tetap mempertahankan posisinya. Menatap tajam gadis
berjilbab namun bringas ini.
"Lo gak kasihan sama nyokap gue" Dia stress mikirin masalah ini. Jangan sok jual mahal, deh" ucap Arsa tidak mempedulikan kesulitan Tsabit melepas diri.
Kekuatan Arsa jauh lebih besar ketimbang Tsabit. Gadis itu menggeretakan giginya menahan geram. Arsa adalah pria cemen yang pernah ia temui. Bisa bisanya
ia seenaknya memperlakukan Tsabit seperti ini. Tidak ibu tidak anak, sama saja.
"Eh! Kelana Arsalais alias Kura kura ninja! Dengerin ya" Arsa berjengit samar mendengar julukan aneh untuknya. Kura kura ninja" "Saya bisa laporin kamu
ke polisi atas tindakan kamu ini. Mau kamu ancam kayak gimana pun saya gak bakal mau pura pura jadi pacar kamu. Pacaran beneran aja Haram. Apalagi cuma
pura pura. Itu sama aja kayak saya membohongi Tuhan saya. Paham gak?" Ancaman Tsabit tak kalah membahayakan. Ditambah kekuatan volume suaranya yang meninggi.
Setinggi dongakan kepalanya kepada Arsa yang lebih tinggi darinya.
"Oh ya" Silakan! Gue gak takut sama gertak sambel lo. Laporin aja!"
"Lepasin gak"! Saya hitung sampe tiga kalau kamu gak mau lepas, kamu bakal terima akibatnya"
"Oke. Gue bantu hitung kalo gitu. Satu,.." ucap Arsa dengan wajah nyolotnya. Tsabit mendesis sebal.
"Dua,..?" Hitungan kedua, Arsa menarik salah satu sudut bibir. Ada seringai menyertai. Tsabit benci sekali keadaan ini.
"Tiga" hitungan selesai. Keadaan menghening sementara. Arsa menunggu.
"See" Come on! apa yang mau lo lakuin ke gue?" Tantangnya lagi. Tatapan Arsa enggan berpindah dari ketidakberdayaan Tsabit. Tidak ada sedikit pun rasa
iba yang muncul. Bisa jadi ini merupakan tindakan balas dendam atas perlakuan Tsabit tempo hari. Tsabit pun bergeming dalam emosi yang siap meledak. Ini
sudah tidak bisa dibiarkan. Ia mulai mengatur nafas, memalingkan wajah sekilas setelah itu apa yang akan Tsabit lakukan"
Tsabit memegangi lengan kekar yang menjeratnya setelah itu ia nekat mendaratkan gigitan kesana. Ia gigit pergelangan tangan Arsa sekuat tenaga. Berbekal
emosi yang menggebu gebu tentu menambah energi Tsabit dalam melakukan aksi pembalasan.
"Anjrit!" Arsa memekik lalu mengaduh kesakitan. Ia memegangi lengannya sambil meringis merasakan sakit luar biasa yang diciptakan gadis itu. Selang beberapa lama,
setelah merasa puas, bersamaan dengan terlepasnya genggaman Arsa, Tsabit mengusap bibirnya seraya mengatur nafas. Tatapan matanya ibarat seorang kanibal
yang habis menikmati mangsanya.
"Saya gak selemah yang kamu pikir" ucap Tsabit mengusap ngusap lengan kemejanya. Merapikan bagian yang kusut karena effek genggaman Arsa.
"Kalau bukan karena terdesak, saya gak sudi gigit tangan kamu. Pait banget tau gak!" Keluhnya kemudian berbalik anggun seirama ketukan sepatu high heels
yang menyertai. Langkahnya mantap meninggalkan Arsa dalam kesakitannya memegangi pergelangan tangan. Kartika menghampiri putranya cemas.
"Cewek stress!" Gerutu Arsa memandang jauh Tsabit yang sedang menuruni tangga. Setibanya di ujung, Tsabit menyempatkan diri menatap ka atas. Menghadiahi
Arsa tatapan benci. *** TBC... 06. Manusia kura kura ninja
Ruangan itu tak ubahnya seperti kapal pecah. Meski ia sendiri belum pernah melihat langsung bagaimana rupa kapal yang pecah, tapi bisa dipastikan kondisinya
tidak jauh berbeda dengan kamar ini. Kamar nuansa pink itu tidak terlihat seperti kamar yang dihuni seorang gadis. Nampak berantakan. Sprei mulai berpindah
ke lantai, tidak lagi menutup rapenpat tidur berukuran king size itu. Majalah majalah yang berserakan di tempat tidur. Belum lagi kondisi laptop masih
dalam keadaan menyala. Sepasang sepatu tidak lagi bersanding bersebelahan. Mereka harus terpisah oleh barang barang lain yang turut meramaikan kamar itu.
Jika kamar itu bisa berbicara, mungkin ia akan meneriaki si penghuni berkat keteledorannya hari ini. Gadis si pemilik kamar itu sedang berada di kamar
mandi. Tak sampai lima menit ia keluar dengan langkah tergesa gesa. Berganti pakaian dengan gerak cepat, kemudian memoleskan wajah dengan pelembab tanpa
memakai bedak padat. Setelah itu ia memberi sentuhan terakhir berupa olesan lip balm pada bibirnya yang sudah merah sejak bayi. Itu berkat sang mama rutin
mengolesinya madu alami. Ia juga tidak perlu memakai maskara. Sebab sejak lahir, Liana rajin menjilati bulu matanya dengan ludah basi, sehingga bulu mata
Tsabit lentik dengan sendirinya. Selain itu Liana juga mengolesi kedua alis Tsabit dengan kemiri yang dibakar sebelumnya. Itu berguna agar alis bisa tumbuh
lebat dan tebal. Dan masih banyak perlakuan rutin sang mama kepada Tsabit sehingga putrinya memiliki kecantikan yang alami.
"Alarm kamu kemana, emang" Kok bisa kesiangan gini?" Liana menyambut putrinya dari arah kamar menghampirinya. Ia dan suaminya sedang menikmati sarapan
di ruang makan. "Aktif, kok ma. Tapi tadi abis sholat subuh aku tidur lagi. Gak tahu kenapa tumben banget deh aku kayak gini" ungkap Tsabit agak ngos ngosan sambil mengambil
dua tangkup roti tawar, satu buah apel, dan susu yang ia tuang ke dalam kantung plastik ukuran prapatan. Semua makanan itu ia taruh ke dalam tas, kecuali
Roti. Liana dan James melihatnya terheran heran. Meski dalam keadaan terlambat, Tsabit tidak pernah melewatkan sarapan pagi sedikitpun. Baginya sarapan
pagi adalah Raja. "Mau pake sopir?" Tawar Liana.
"Boleh. Eh, tapi engga usah deh, ma. Pak Doyo gak bisa ngebut. Aku bawa mobil sendiri aja" Tsabit menyalami kedua orang tuanya tak lupa memberinya ciuman
pipi kanan dan kiri. "Boleh ngebut, asal pelan pelan" celetuk James menahan tawa. Tsabit mengelos sambil berkata, "kalo pelan pelan, bukan ngebut namanya, pa. Aku berangkat,
Assalamualaikum" Di awal perjalanan, Tsabit lega karena kondisi jalanan tidak begitu macet seperti biasa. Ia pun bebas menaikan kecepatan lalu melaju cepat menyusuri jalanan
Raya Bogor. Sambil menikmati perjalanan, ia menyetel musik bernuansa islami lewat saluran radio. Kepalanya mengangguk menggeleng mengikuti irama lagu kesukaannya.
Tak lupa dua roti yang ia siapkan sedang dinikmatinya. Kalau sedang tidak di buru buru, biasanya Tsabit iseng membuat video lalu mengunggahnya di media
sosial. Anggaplah sebagai pengisi kemacetan. Tapi tidak untuk hari ini.
Sayangnya, kebebasan Tsabit tidak berlangsung lama. Tepat di 5km menuju kantor, kemacetan mulai terlihat. Justru ditempat yang jarang sekali macet. Tsabit
berdecak dalam kemudi lalu melirik jam tangannya.
"Gak keburu ini mah" gerutunya sambil celingak celinguk menatap jalanan di hadapannnya. Untungnya, Idzar sedang berhalangan bekerja. Kalau tidak, mungkin
ini menjadi keterlambatan kedua baginya. Dan sesuai janjinya waktu itu, jika Tsabit mengulangi keterlambatannya, SP II akan menyapanya lalu tersenyum manis.
Selagi menunggu pun, mobil tak kunjung maju. Ada apa sih" Semoga tidak ada kecelakan lalu lintas atau semacamnya yang menyebabkan kemacetan luar biasa
ini. Tsabit melirik jam tangannya lagi.
"Hah! Udah jam segini aja" Tsabit terkejut melihat waktu menunjukan pukul 07:44, sedang apel dimulai pukul 8. Oke, Tsabit tidak bisa berdiam diri. Dimana
mana menunggu itu selain membosankan, juga menyebalkan. Tsabit langsung menghubungi pak Wardoyo, sopirnya. Bukan untuk mengambil alih kemudi lalu mengantarnya,
tapi untuk membawa mobil ini pulang. Tsabit butuh kendaraan roda dua alias sepeda motor.
"Mbak Tsabit naik apa ntar?" tanya Pak Doyo dengan logat Jawa khasnya, setibanya ia di jalan setelah Tsabit menepikan mobilnya di pinggir jalan.
"Saya gampang. Naik ojek juga bisa" jawabnya santai sambil menyerahkan kunci lalu mengambil tas dan berkas berkas penting dari mobil.
"Tapi disini jarang ada ojek, mba" pak Doyo sudah di kursi kemudi sebelum berangkat ia memastikan putri majikannya baik baik saja. Berbicara melalui kaca
jendela. "Pasti ada kok, pak. Saya sering kok lewat sini. Udah pak Doyo gak usah khawatir. Hati hati ya, pak di jalan"
"Harusnya bapak yang bilang gitu. Mbak Tsabit hati hati ya"
Pak Wardoyo pun melajukan mobilnya meninggalkan Tsabit di pinggir jalan besar. Benar kata Pak Doyo, selama menunggu, Tsabit tidak menemui ojek sama sekali.
Yang ada hanya kendaraan umum biasa. Kalau pun ada motor, belum tentu jasa ojek. Sialnya lagi, ketika ia memutuskan untuk memakai jasa ojek online, paket
internetnya sudah limit dan tidak bisa digunakan. Ia semakin dikejar oleh waktu. Tsabit pun memutuskan berjalan sambil sesekali menengok ke belakang siapa
tahu ada ojek yang lewat.
Hampir beberapa meter perjalanannya, langkah Tsabit terhenti seraya menoleh ketika sepeda motor Ninja berwarna merah berhenti tepat di sebelahnya.
"Butuh tumpangan?" Tawar seorang pengendara motor itu tanpa membuka helm bahkan kaca helmnya. Tsabit membeku sejenak lalu mengerjap.
"Alhamdulillah. Akhirnya ada ojek juga" ungkap Tsabit lega. Tanpa basa basi ia langsung menaiki motor ninja merah itu. Tak lupa menaruh tasnya di tengah
sebagai pembatas dirinya dengan si pengendara.
"Dari sini ke Pekayon, 5 menit bisa gak, mas" Saya kasih double deh ongkosnya" tawar Tsabit sebelum si pengendara melajukan motornya. Dari balik helm,
si pengendara mengeryit kebingungan. Ia tolehkan kepalanya ke jok belakang sejenak, melihat sosok gadis yang sudah duduk manis di sana.
"Bisa gak, mas?" Tanyanya lagi. Tak menjawab, si pengendara motor itu hanya mengangkat jempol tangannya ke udara. Tsabit tersenyum tenang melihat respon
tersebut. "Mas, udah lama jadi tukang ojek?"
"Kok tukang ojek motornya keren banget, sih mas. Kayak yang di sinetron yang suka saya liat itu"
"Pasti mas pembalap deh. Nyalipnya jago banget"
"Mas tinggal dimana, mas" Sudah berkeluarga?"
"Mas sakit gigi ya, kok saya tanya diem aja"
Dan masih banyak pertanyaan lain yang terlontar dari mulut Tsabit selama perjalanan. Kalau saja tukang ojek yang ia tanya itu tidak punya stock kesabaran,
mungkin Tsabit akan dilempar ke bawah lewat fly over yang mereka lewati barusan. Tukang ojek itu hanya menjawab seadanya. Malah ada beberapa pertanyaan
yang tidak ia jawab. Ia menggeleng kecil. Mungkin karena fokus mengemudi dan harus tiba di tujuan dalam waktu lima menit. Atau mungkin dia stress karena
baru kali ini ia mendapati penumpang cerewet seperti Tsabit.
"Loh, mas jangan lewat trotoar gini, dong" protes Tsabit ketika motor yang ditumpangi melesat bebas di trotoar. Ada motor lain juga yang mengekor. Tsabit
menoleh ke belakang sebentar melihat motor motor itu mengikutinya.
"Mas kok nekat, sih lewat sini. Ini kan jalanan khusus pejalan kaki"
"Kalo gak gini, kita gak bisa sampai dalam waktu 5 menit. Palingan 10 atau 15 menit. Mau?" Itu jawaban terpanjang yang Tsabit dengar sepanjang perjalanan.
Tsabit meng-oh pasrah sambil merekam suara khas si tukang ojek dalam ingatannya. Suara itu seperti ia pernah dengar.
Tepat pukul 07:58. Motor Ninja merah itu berhenti di depan gedung besar bertuliskan Prams Coorporation. Suatu pengalaman luar biasa. Tsabit menempuh perjalanan
selama kurang dari 5 menit. Tukang ojek yang membawanya sungguh lihai. Meskipun Tsabit sedikit khawatir takut takut terjadi sesuatu padanya, tapi keahlian
tukang ojek itu sungguh membuatnya merasa aman.
"Sesuai janji saya, saya kasih double bayarannya. Kembaliannya ambil aja. Makasi ya, mas" Tsabit menyerahkan uang 100ribu kepada tukang ojek setelah turun
dari motor. Alih alih menerima, tukang ojek itu malah diam di atas motor sambil bersendekap menatap Tsabit lewat balik helm.
"Ini mas, uangnya. Mas gak mau?"
Tukang ojek itu masih diam. Selang kemudian, ia pun membuka helm full face nya, menampakan sosok asli si tukang ojek. Tsabit mengendik setelah itu.
"Kok kamu?" "Selain kritis, kamu cerewet juga ya, rupanya" ada senyum kecil yang mengiringi sambutan Tsabit kepada si tukang ojek yang tak lain dan tak bukan adalah
Abrar. Pria yang dikenalnya seminggu lalu, sewaktu ia ingin sekali mendemo para pengendara nakal di trotoar waktu itu. Tapi justru hari ini, ia sendiri
juga menjadi bagian dari pengendara nakal itu.
"Oh, kamu bisa ngomong juga. Aku kira lagi sakit gigi ditanya diem aja. Sudah lama jadi tukang ojek?" Tsabit menipiskan bibirnya menatap Abrar sesukanya.
Pria seperti Abrar terlalu kece kalau jadi tukang ojek, pikirnya. Dari penampilan saja bisa ditebak kalau ia seorang pekerja kantoran seperti dirinya.
Kemeja merah sederhana di padu celana bahan hitam tak membuat kewibawaanya hilang meski tertutupi jaket levi's. Apa pertolongan ini bagian dari modusnya"
Kalau iya, Tahu begitu, Tsabit memastikan terlebih dahulu siapa yang membawanya. Tapi, Bukankah seharusnya ia bersyukur, masih untung ada yang menawarkan
bantuan. Sisi lain Tsabit menegurnya.
"Baru hari ini" Abrar menatap jalanan. Lalu pandangannya kembali. "Sejak ada perempuan cantik yang nawarin diri buat aku bonceng" lantas tersenyum menawan.
"Kamu duluan yang menawarkan tumpangan" kilah Tsabit tidak merespon sanjungan yang ditujukan padanya. Ia melirik jam tangan. "Tapi itu gak penting. Yang
penting, berkat kamu, aku gak jadi kena SP II. Terima kasih ya" ungkapnya sambil tersenyum.
"Sama sama" jawab Abrar mengulum senyum. "Selain senang karena bisa membantu, aku juga senang melihat senyum kamu" Tsabit memutar bola mata. Ini masih
pagi, dua roti yang ia santap tadi tidak cukup untuk mempertahankan dirinya dari mulut manis pria bernama Abrar itu.
"Aku harus segera masuk. Apel paginya keburu mulai. Sekali lagi terimakasih ya"
"Hobi banget bilang terima kasih" Abrar menaiki motornya. "Aku harap ada pertemuan selanjutnya setelah ini" ada sorot makna yang terpancar dari matanya.
Hanya mata bulat itu yang terlihat setelah ia mengenakan kembali helmnya. Tsabit bersikap biasa saja sekaligus mengamati pergerakan pria itu. Hingga akhirnya
ia tersadar akan sesuatu.
"Loh, bayarannya gimana?" cegah Tsabit sebelum Abrar meng-gas motornya. Pria itu menoleh. Lalu dari balik helm ia berkata, "Simpan aja. Buat pertemuan
kita berikutnya. Siapa tahu kamu mau traktir aku makan pake uang itu"
Abrar pun pergi meninggalkan Tsabit. Gadis itu mencebik seraya mengangkat bahu.
*** Ada dua pria disana. Di tempat seperti taman yang di dalamnya terdapat banyak besi yang dibentuk sedemikian rupa hingga bisa digunakan para pria bertubuh
Atletis seperti Arsa dan Tody melakukan olahraga. Disanalah tempat mereka melakukan olahraga pagi. Tempatnya cukup luas untuk mereka berlari lari memutari
lapangan. Biasanya setelah lari beberapa putaran, Arsa lanjut melakukan senam. Bukan senam aerobik, melainkan semacam senam akrobat.
Seperti sekarang ini, setelah 10 putaran lapangan ia lalui, Arsa beralih melatih otot tangannya menggunakan alat sederhana. Sebilah besi dibuat melengkung
seperti huruf 'H' besi tersebut ia gunakan sebagai alat untuk menggantung tubuhnya dalam posisi terlentang dibawah lintangan besi di bagian tengah yang
membentuk garis horizontal. Setelah itu Arsa tinggal menitik beratkan kedua tangan pada besi yang melintang itu. Kemudian ia mulai mengangkat tubuhnya,
naik turun secara berulang.
Ada beberapa orang yang hadir mulai mengisi keramaian taman tersebut. Arsa dan Tody pun mengakhiri kegiatan mereka. Kalau sudah banyak orang seperti ini,
olahraganya jadi sedikit terganggu. Belum lagi keberadaan beberapa gadis yang sering ia lihat akhir akhir ini. Dengan percaya dirinya mereka pernah nekat
mengajak Arsa berkenalan. Nalurinya sebagai seorang pria, Arsa tentu tidak menolak. Ia tetap menanggapinya dengan sopan, bahkan sangat 'sopan'. Moment
ini biasanya dimanfaatkan Tody sebagai ajang tebar pesona. Meski ia tidak semempesona Arsa, tapi ia tetap mempunyai kepercayaan diri tingkat tinggi.
"Cewek lo gak kesini?" Tanya Tody duduk di tepi taman, meluruskan kakinya.
"Lagi di jalan. Bentar lagi sampe" jawab Arsa singkat, juga meluruskan kaki lalu mencium lututnya. Dilanjut gerakan pendinginan lainnya. "Minum gua mana?"
Arsa mencari sesuatu di sebelah Tody. Tody mengambil botol minuman infused water dengan potongan lemon di dalamnya.
"Ngapain nyari kesono sono, sih. Nih disini nih minum lu" Tody menyodorkan minuman tersebut. "Mau kesempatan lu ya grepe grepe gue?"
"Dih, najis!" Sungut Arsa lalu meminum airnya. "Elu kali yang nafsu sama gue, ngaku lu!"
"Amit amit jabang bayi gue nafsu ama lu, sa. Gue masi doyan cewek" balas Tody tak kalah sewot.
"Buktinya lu masih jomblo. Gue tau selama ini lu mendem perasaan kan sama gue, Tod. Jujur aja kali" Tody meninju lengan Arsa sehingga Arsa hampir saja
tersungkur. "Kurang kurangin nonton film bokep, sa" celetuk Tody cekikikan.
"Enak aja. Elu itu. Gua mah masih polos" balas Arsa sewot.
"Ngomong nih ama sepatu gua" Tody mengangkat kakinya menjulurkan sepatunya. Lalu mereka berlanjut saling serang menyerang bersenjatakan botol minuman masing
masing. Aksi mereka pun berakhir sejak kedatangan Fania. Gadis turunan Jawa-Belanda itu nampak cantik dengan balutan kemeja garis garis perpaduan warna putih dan
pink sebatas paha. Bagian lengannya ia gulung hingga siku. Celana putih pendek hampir tidak terlihat karena tertutup kemeja sehingga mengekspos paha mulusnya.
Rambut hitam sebatas dada dibiarkan terurai indah ditemani kacamata dengan warna senada.
"Kamu udah sarapan belum" Aku bikin sandwich, mau?" Fania mengeluarkan kotak makan dari tasnya
"Kamu udah sarapan belum" Aku bikin sandwich, mau?" Fania mengeluarkan kotak makan dari tasnya.
"Kamu yang bikin, sayang" tumben pinter" ledek Arsa menerima kotak makan bersusun itu.
"Baru tau ya kalo aku pinter" Kemana aja, mas" Fania mencolek hidung Arsa. ada sepasang mata yang melihatnya keki. Fania melirik sedikit. "Loh, ada Tody,
toh" Kirain gak ada siapa siapa" Tody menggerutu sebal.
"Namanya orang lagi kasmaran, dunia serasa milik berdua. Yang lain ngungsi di akhirat" cibir Tody sambil melempar botol minum yang telah kosong. Dalam
sekali lempar, botol tersebut masuk ke dalam tong sampah.
"Pada mati dong" Arsa kegirangan. Menatap Fania bergantian sambil terkekeh.
"Itu lu tau. Udeh sono abisin tuh sarapan buatan ayang mbeb, ntar kalo gak enak aja baru dikasih gue. Sisaan" sindir Tody berakhir bully-an untuk dirinya
sendiri. "Kayak kucing aja dikasih yang kaga enak. Sekali kali kasih yang enak lah" sekarang Arsa tertawa terbahak bahak. Suatu kebahagiaan tersendiri jika berhasil
membully sahabat satunya ini.
"Sebagai sahabat yang baik. Gue gak bakal ngebiarin lo mati kelaperan, Tod" Arsa menepuk nepuk punggung Tody menatapnya sok peduli. "Kita makan ini berdua,
ya gak?"Otomatis Tody melempar wajah sumringah bahagia. "Sayang, Tody dikasih juga gak apa apa kan?" Tanya Arsa kepada Fania. Gadis bernama belakang Malaika
itu mengangguk. "Okeehh.. sikaat!" Tody siap menyerbu 4 potong sandwich di hadapannya. Begitu juga Arsa. Tapi ketika Arsa hendak menyuap satu gigitan, ponselnya berdering.
Buru buru ia mengeluarkan ponsel dari saku celana.
"Iya, ma. Kenapa" Aku masih di taman sama Tody" lalu Arsa melirik Fania. "Iya sama Fania juga" Fania menyingkirkan poni seraya menyimak pembicaraan Arsa
dengan yang ia tahu adalah Kartika, calon mertuanya.
"Nanti siang emang gak bisa" aku lagi sarapan dulu sama anak anak" Arsa mendesah seraya menurunkan bahu. Diliriknya lagi Fania dan Tody bergantian sambil
terus mendengar ocehan sang mama.
"Yauda iya. Arsa kesana sekarang" sahutnya lagi dengan irama terpaksa. Seusai berbincang dengan Kartika, Fania menatap Arsa dengan tatapan bertanya.
"Aku musti pulang. Mama udah nungguin di rumah"
"Mama kenapa emangnya?" Tanya Fania bernada kecewa.
"Gak kenapa napa. Biasalah orang tua. Maaf ya, sayang" Arsa mengelus lembut puncak kepala Fania seraya menatapnya hangat. Fania hanya bisa tersenyum setengah
hati. "Oke. Aku ngerti kok" seperti mendapat suplemen kebahagiaan lain, Fania berusaha terlihat tidak mempermasalahkan kepergian Arsa. "Tapi sandwichnya gimana"
Aku udah susah susah bikin"
"Tau nih. Udah gue sisain dua nih buat lo" rupanya selagi Arsa menerima telepon ia sibuk melahap sandwich hingga tersisa dua potong untuk Arsa. "Buat lo
aja. Gue masih kenyang" ujar Arsa enteng. Namun ada reaksi protes dari Fania.
"Kok gitu" Aku pagi pagi buta bikin ini buat kamu masa dikasih Tody,sih" sungutnya mengerucutkan bibir. Arsa mendaratkan tangkupan tangan ke pipi gadisnya.
"Kamu kan bisa bikin lagi buat aku. Kalau perlu nanti kita berdua yang bikin. Biar lebih romantis" bersama senyum manis mematikan yang mengiringi janji
manis Arsa kepadanya. "Lagian anggap aja sedekah buat Tody. Dia belum makan dua hari, yang. Maklum anak kos. Makannya kalo gak obat magh, mie instan. Mentok
mentok makan di tempat kondangan biar gratis. Kasian kan dia?"
"Kampret lu, Sa!" Tody melempar handuk kecilnya tepat mengenai punggung Arsa. Sedang Arsa meringkih geli disusul tawa Fania.
"Yauda. Aku pergi dulu ya sayang"
Sepeninggal Arsa dan memastikan ia sudah tidak terlihat, Fania menarik nafas dalam lalu melirik Tody sekilas. Jenis lirikan samar namun nyata.
*** *** Di ruang kerjanya, Tsabit mulai sibuk menata berkas berkas kepunyaan Idzar. Beberapa laporan dan rekapan absen selama beberapa bulan. Summary absensi per
tahun ditambah presentasi kehadiran per bulan juga per tahunnya. Semua itu ia pelajari dengan tekun. Semalaman suntuk ia tekuni materi materi pekerjaan
Idzar. Dan itu yang membuatnya kesiangan hari ini.
Untungnya nasib baik sedang berpihak kepadanya. Tepat ketika para karyawan berbaris untuk apel, Tsabit sudah berdiri diantara mereka sambil tersenyum manis.
Pegawai lain yang melihatnya sempat terheran. Terutama Yuana.
"Kamu kapan dateng" Udah ngetem disini aja" tanya Yuana saat itu seraya menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Alih alih menjawab, Tsabit hanya memberi
Tsabita Ilana Karya Suffynurcahyati di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
senyum polos tanpa dosa sembari menyembunyikan tangan di belakang.
Aktifitas Tsabit harus terjeda sejenak, mendengar bunyi notifikasi ponselnya di atas meja. Setelah memastikan tidak ada pak Dana, Tsabit meraih ponsel
tersebut. Ada satu pesan masuk. Dari Aufa.
Terima kasih ya sayang kiriman buahnya :*
Alhamdulillah suami ku udah sadar.
Aku seneng,bit Tsabit menutup mulutnya dengan satu tangkupan tangan. Ada rasa haru yang menyertai. Akhirnya Idzar sadar dari tidur panjangnya. berulang kali ia mengucap
syukur atas dijawabnya do'a yang tak pernah putus. Kini lengkap sudah kebahagiaan Tsabit. Kedua orang yang ia sayangi telah kembali. Tidak ada yang lebih
membahagiakan selain kabar baik ini.
Alhamdulillah :* Dihabiskan ya buahnya. Jaga kesehatan kamu juga
Ketika sedang aktif mengetij rangkaian kalimat pada layar datar tersebut, seorang pria berdiri tepat di mejanya. Sayangnya, Tsabit belum menyadari keberadaannya.
Ia masih asyik senyum senyum sendiri menatap layar ponsel.
"Handphonenya ngelawak?"
Tsabit langsung gelagapan mendengar suara familiar itu. Ia buru buru menaruh asal ponselnya di atas paha lalu menatap pria di depannya. Menatapnya sambil
cengengesan tanpa dosa. "Eh, pak Dana. Saya kira siapa"
"Sms dari siapa sampe senyum senyum gitu" Dari pacar?" Tebak Dana dengan gaya boss-nya yang menawan.
"Saya gak pacaran, pak. Ini sms dari Aufa. Alhamdulillah Idzar sudah siuman" jelasnya sambil menunjukan layar ponselnya guna memperkuat keyakinan Dana.
"Alhamdulillah" suara Dana pelan. "Yasudah kamu teruskan pekerjaan kamu ya" Tsabit bernafas lega. Pak Dana memang the best big boss. Tsabit pikir ia bakal
marah besar. Dua detik kemudian Tsabit menghentakan kepalanya ke atas, teringat akan satu hal. Kalau memanggilnya sambil berteriak pasti tidak sopan. Oke,
kalau begitu Tsabit bergegas mengejar pak Dana yang sudah berjarak 10 kaki darinya.
"Maaf, pak tunggu sebentar. Ada yang mau saya tanyakan" Dana berhenti. "Apa?" Tsabit diam sejenak berpikir cepat bagaimana merangkai pertanyaan yang pas.
"Bapak kenal dengan Pak Dirga,..." keningnya mengerut mencoba mengingat mengingat. "....Dirga siapa ya, aduh! Pake lupa lagi" umpatnya bergumam.
"Dirga Santoso maksud kamu?"
Tsabit mengangguk semangat. Berarti Dana memang kenal dengan nama itu. Nama yang belum lama ini terngiang ngiang di pikiran Tsabit.
"Dia sahabat ayah saya. Sekaligus investor terbesar di perusahaan ini. Namanya ikut andil dalam laju pembangunan Prams. Tapi semakin hari karier beliau
semakin sukses. Kesuksesan beliau membawa eksistensinya melebarkan sayap ke dunia politik. Selain memiliki banyak perusahaan bonafit, beliau juga menjabat
sebagai anggota DPRD, juga bisnis property yang sudah mempunyai cabang hampir di seluruh Indonesia. Dan masih banyak lagi. Saking suksesnya pak Dirga mulai
sibuk menghadiri rapat dan pertemuan pertemuan penting. Jadi, ayah saya dan beliau jarang bertemu. Tapi, persahabatan mereka masih terjalin erat" penjelasan
Dana sudah memuaskan rasa penasaran Tsabit terhadap sosok yang dibanggakan Kelana pada waktu peristiwa demo itu. Dan memang benar. Si patung Arca itu adalah
anak bungsu seorang konglomerat. Pantas saja belagu, umpat Tsabit dalam hati.
"Kamu kenal pak Dirga?" Dana menyipit.
"Cuma tahu namanya aja, pak. Kalau saya tau mah, saya gak mungkin nanya ke bapak, kan" kilah Tsabit. Dana mengangguk.
"Ada pertanyaan lagi?"
"Tidak, pak. Cukup. Terimakasih. Maaf mengganggu waktunya"
Tsabit pun kembali ke kursinya sambil memainkan pulpen di udara, berpikir keras.
*** "Jadi, dia bekerja di Prams" Apa jabatannya?" Tanya Kartika serius sambil memotong motong potongan sosis di piring setelah itu menabur parutan keju di
atasnya. Arsa mengangkat bahu.
"Kamu gak nyoba cari tahu?" Potongan sosis merah itu dilahapnya lewat garpu. Arsa yang hanya meminum jus wortel, menarik wajah sambil bergidik. "Kurang
kerjaan banget nyari tahu tentang dia" jawabnya cuek.
"Lantas darimana kamu tahu kalau dia bekerja di Prams?" Pandangan Kartika berpindah ke putranya.
"Tanda pengenal yang dia pake waktu kita ribut di jalan" Kartika mengangguk samar. Sambil menikmati sarapan, ingatannya kembali pada cerita Arsa kemarin.
Bahwa sebelum pertemuannya dengan Tsabit, Arsa sudah lebih dulu mengenalnya. Lewat perdebatan sengit sewaktu Arsa melaksakan Orasi di jalan. Dari ceritanya
Kartika menyimpulkan Bahwa Tsabit bukanlah gadis biasa. Menghadapi gadis seperti Tsabit, harus diperlakukan berbeda. Suatu tantangan tersendiri bagi Kartika
menunjuknya sebagai 'boneka' sandiwara. Membawa Tsabit ke kehidupannya tidak semudah membalikan telapak tangan.
"Barusan teman mama menghubungi mama. Dia mau mengadakan pertemuan lagi. Dan mereka ingin mama mengajak Tsabit" ada sentuhan hangat menyebar di punggung
tangan Arsa. Kartika menatapnya serius. Arsa memiringkan kepala bersamaan tarikan satu alisnya.
"Tolong kamu bujuk Tsabit lagi. Tapi jangan pakai kekerasan seperti waktu itu. Bersikaplah lebih lembut dan sopan. Buat dia kagum sama kamu" pinta Kartika
dengan nada melemah namun lembut. Suara khas keibuan.
"Susah, ma. Dia bukan cewek sembarangan. Zaman sekarang, cowok bersikap kasar dibilang pengecut beraninya sama perempuan, kalo bersikap sopan dibilang
modus. Apalagi kayak si harimau betina itu. Nih! Mama liat, bekas gigitan dia" Arsa mengulurkan tangan menunjukan lengannya yang terkena gigitan Tsabit
malam itu. Masih membiru dengan ceplakan berbentuk deretan gigi disana. Kartika melihatnya agak bergidik. "Sampe sekarang masih ngilu" tambah Arsa mendeskripsikan
nasib malangnya. "Maka dari itu kamu coba bersikap lebih sopan. Jangan pake kekerasan. Apa salahnya dicoba, nak" saran Kartika sebisa mungkin agar Arsa menuruti perintahnya
kali ini. Ia yakin cara ini pasti berhasil.
"Kenapa bukan Fania aja, sih ma. Kita ambil aman aja lah. Fania sudah jelas pacar aku. Keluarganya juga sederajat sama kita. Tinggal klarifikasi sama temen
mama kalau,--" "Kalau mana sudah bilang tidak, artinya tidak. Paham kamu?" Kartika memotong tegas usul Arsa. "Sekarang nurut sama mama. Kamu cari cara buat deketin Tsabit.
Bikin dia jatuh cinta sama kamu. Mama kasih tau ya, perempuan itu tipikal yang setia sama perasaannya. Kalau dia sudah jatuh cinta, apa pun bakal dia lakukan
demi orang yang dicintainya" Arsa menarik nafas berat. Mau tidak mau, ia hanya bisa pasrah menerima permintaan konyol sang mama. Tapi mendengar perkataannya
barusan, Arsa yakin menaklukan hati Tsabit tidak semudah ia menjentikan jari.
"Terserah" Arsa meninggalkan meja makan dengan perasaan tidak karuan. Mata Kartika mengikuti langkahnya. Di sisi lain hatinya merasa kasihan. Tentu ia juga tidak
ingin memaksa putranya seperti itu. Semua ini ia lakukan semata mata demi nama baik keluarganya, tidak lebih.
*** Tsabit baru selesai merapikan jilbabnya di depan cermin yang dipasang pada dinding musholla. Seusai melaksanakan kewajibannya. Niatnya setelah ini ia langsung
menuju aula makan. Citra dan Yuana pasti sudah menunggunya disana.
"Mbak Tsabit. Ditunggu temannya" ucap seorang security menghampirinya yang sedang sibuk memakai kaos kaki di kursi depan musholla.
"Yuana sama Citra, ya pak" Saya tau kok. Mereka saya suruh tunggu di kantin" jawab Tsabit.
"Bukan, mba. Temannya laki laki. Dia nunggu di loby. Dia bilang teman mba waktu di pesantren" jelas security. Tsabit berpikir keras. Pesantren darimana"
Yang ia tahu sejak SD hingga SMP dia bersekolah di sekolah swasta khusus agama nasrani. Itu sebelum ia memeluk islam. Kemudian ia meneruskan SMA di sekolah
negeri. "Bapak yakin dia mau ketemu saya" Gak salah orang?" Tsabit memastikan pak Ujang si security perusahaan. "Yakin mba. Ganteng lagi orangnya"
Tak mempedulikan penilaian pak Ujang pada tamu misterius itu, Tsabit langsung saja pergi meninggalkan Ujang menuju loby bawah.
"Oh, jadi kamu yang ngaku ngaku teman pesantren saya" Tsabit berjalan menghampiri pria yang sedang berdiri di loby menatap ke luar jendela besar yang menampilkan
pemandangan indah disana. Pria itu berbalik.
"Perempuan alim kayak lo pasti pendidikannya gak jauh jauh dari pesantren. Bener kan?" Pria itu Arsa. Siang ini ia melakukan perintah Kartika dengan menemui
Tsabit di kantornya. Tsabit memalingkan wajah cemooh.
"Sayangnya kamu salah besar. Kamu itu gak tau, tapi sok tau ya" komentar Tsabit pedas. "Kalau tujuan kamu kesini masih sama, kamu sia sia, anak muda" nadanya
mengejek. "Bisa kita duduk dulu" Gak etis banget ngobrol sambil berdiri" Tsabit menurut. Ia duduk bersebrangan dengan Arsa duduk. Mengamati bocah ingusan itu dengan
seksama. Setiap ia menatapnya, hanya ada satu objek menarik darinya. Yakni punggung besar itu. Itulah alasan mengapa ia menyebut Arsa dengan panggilan
kura kura ninja. "Gue kesini mau minta maaf. Mungkin perlakuan gue terlalu kasar waktu itu. Gue sadar gue salah" kalau bukan karena Kartika, Arsa anti mengatakan ini semua.
Cowok" Minta maaf duluan" Gak oke namanya. Umpat Arsa dalam batin.
"Buat apa kamu minta maaf" Toh, saya udah puas ngebales perbuatan kamu waktu itu. Jadi, saya anggap impas" jawab Tsabit enteng. "Ngomong ngomong, Apa kabar
lengan kamu" Gak sampe diamputasi, kan?" Cibirnya bernada mengejek.
Sial! Arsa mengumpat lagi. Seharusnya ia jangan meminta maaf dulu. Gadis itu makin besar kepala kan jadinya. Kali ini ia yakin tidak akan salah langkah.
"Oh ini. Tenang aja. Gigitan kayak gini mah berasa digigit semut. Gak ngaruh buat gue. Dan gak sebanding juga sama yang gue lakuin ke lo" ujar Arsa sombong
menutupi kenyataan bahwa gigitannya masih meninggalkan bekas sakit. "Lo sendiri gimana tangannya" Udah mulai pegel pegel?" Balasnya tidak mau kalah.
"Sudah saya bilang, saya gak selemah yang kamu pikir. Ini gak seberapa buat saya dibanding dosa yang saya terima. Kamu sudah lancang menyentuh saya karena
kamu bukan mahram saya. Paham?" Benar ucapan mamanya waktu itu. Gadis ini begitu primitif. Sinkron sekali dengan penampilannya yang fashionable.
"Itu artinya kita belum impas. Gak salah dong kalo gue minta maaf duluan" Kan gue udah bikin lo berdosa sama Allah" ujar Arsa enteng.
"Kalau mau minta maaf, minta maaf aja sama Allah. Kenapa harus ke saya. Kamu sendiri kan juga berdosa karena bersentuhan dengan yang bukan mahram kamu"
kelit Tsabit menyandarkan duduknya sambil menyilang kaki sombong.
"Jadi, tante gak mau maafin aku?" Tiba tiba raut Tsabit berubah melihat perubahan sikap Arsa padanya. Pria itu mendadak melankolis. Didukung wajah memelas
yang dibuat buat. "Saya gak se-tua itu ya" Tsabit memperingatkan sambil mengarahkan telunjuknya lalu berdiri. "Sebaiknya kamu pulang aja, deh. Saya masih banyak urusan"
alih alih Arsa menurut, ia malah berangsur ke bawah memeluk kaki Tsabit lalu mengeratnya. Semua itu terjadi begitu cepat. Hingga Tsabit hampir saja terjatuh.
"Eh eh, kamu mau ngapain"!"
"Please, tante maafin aku. Aku gak mau pergi kalau tante gak maafin aku" rengek Arsa persis seperti anak kecil yang minta dibelikan mainan. Tsabit panik
akan perlakuan tersebut. Ia berusaha menarik kakinya dari pelukan Arsa. "Kamu jangan macem macem ya. Mau saya laporin security" Lepasin tangan kamu dari
kaki saya" Arsa tidak berkutik. Tetap pada posisinya.
"Aku gak bakal lepasin sebelum tante maafin aku" ancam Arsa masih merengek pada posisi yang sama. Tsabit menatap sekitar. Ada beberapa karyawan yang mulai
memerhatikan dirinya menatapnya heran. Mereka pasti berpikir macam macam tentang kejadian ini. Bagaimana kalau pak Dana melihat" Belum lagi ada beberapa
dari mereka yang saling berbisik sambil menunjuk nunjuk dirinya.
"Kelana, lepasin tangan kamu. Malu dilihat orang banyak!" Tsabit mencoba agak menunduk menarik lengan Arsa dari kakinya.
"Please, tante maafin aku dulu. Aku mohon tante, maafin aku. Abis itu aku janji bakal lepasin" rengekan itu malah semakin keras hingga menarik perhatian
siapapun yang ada di loby ini. Tsabit mulai mengerti. Ini pasti bagian dari rencana bocah ingusan ini sebagai wujud balas dendamnya. Ini sungguh mempermalukan
dirinya. "Maafin aja, mbak. Kasian dia sampe mohon mohon gitu" pak Ujang security pun akhirnya turut angkat suara melihatnya. Oh, pasti image Tsabit sudah buruk
sekarang. Tamatlah riwayatmu Tsabit. Umpatnya.
"Oke oke. Saya maafin" ucap Tsabit mengibarkan bendera putih tanda menyerah. "Sekarang lepasin tangan kamu sekarang juga" tambahnya.
Tautan itu pun terlepas. Arsa berdiri lalu tersenyum tanpa dosa sambil mengibas tangan dengan saling menepuk antar telapak tangan. Tsabit tahu senyum macam
apa yang ia hadiahkan. Senyum licik penuh kemenangan atas perbuatannya hari ini.
"Terimakasih ya tante udah mau maafin aku" ucap Arsa dibuat kekanak kanakan lalu memberi seringai licik setelahnya. Ada senyum yang menyertai. Senyum berbahaya
yang bisa mematikan siapa saja.
"Jangan pernah muncul lagi di hadapan saya. Mengerti?" Ancam Tsabit bernada Dingin agak berbisik. Ia yakin Arsa pasti mendengar. Tak menghiraukan ancaman
tersebut, Arsa berbalik meninggalkan Tsabit. Ia tersenyum sekali lagi mengakhiri sandiwaranya kemudian melambaikan tangan ke arahnya.
"Sok ganteng" Tiba tiba Tsabit merasakan sesuatu yang aneh. Dan itu terjadi pada jantungnya. Ia berdetak tidak normal seperti biasa.
*** TBC... 07. Titik terang Pukul 02:00 pagi. Tsabit baru saja terbangun dari tidur lelapnya. Mengumpulkan nyawa yang berkaburan ke alam lain dengan mengerjap ngerjapkan mata. Setelah
itu ia meraih ponsel di atas nakas. Melihat logo jam disana.
"Selalu begini" desahnya
Ia taruh lagi ponsel di atas nakas. Beruntung ia bisa menjaga tidurnya semalam, sehingga ia bisa terbangun di waktu yang tepat. Lupakan saja tentang daya
ingatnya yang payah itu. Meski sudah berulang kali ia mengingatkan dirinya sendiri agar men-setting alarm, nyatanya ingatan itu tidak terealisasikan dengan
mudah. Ia pun beranjak dari ranjang empuk menuju kamar mandi bersiap untuk wudhu.
Hampir setengah jam berlalu, Tsabit pun usai melaksanakan Qiyamul lail. Ia tidak langsung tidur. Melainkan berkutat pada ponsel melantunkan surat Al Mulk
melalui qur'an selullernya. Dibacanya surat tersebut dengan penuh kekhusyuan. Memahami makna serta arti dari surat yang memiliki arti kerajaan itu. Di
tengah kekhusyuannya, Tsabit mulai lagi merasakan pusing. Kepalanya terasa berat. Seperti ditimpa ber-ton ton besi. Entah sejak kapan keringat sudah membasahi
kening dan leher. Sebenarnya, karena ini juga lah mengapa Tsabit tidak melanjutkan tidurnya. Ia tidak bisa tidur dalam kondisi seperti ini. Sejak pulang
bekerja, kondisinya mulai menurun. berawal ketika pandangannya kabur jika ia memaksakan berjalan. Untungnya tidak sampai pingsan. Kalau iya, ia tidak bisa
bayangkan bagaimana sulitnya orang orang yang menggotong tubuhnya nanti. Maka dari itu Tsabit memilih tidur lebih awal. Tak lama, seseorang mengetuk pintu
kamarnya. Dibarengi suara yang memanggilnya. Tsabit tahu siapa pemilik suara lembut itu. Ia beranjak dari ranjang menuju pintu.
"Gimana" Sudah membaik?" Tanya Liana tidak bisa nenutupi kekhawatirannya. Disentuhnya kening Tsabit menggunakan punggung tangan.
"Pusingnya belum ilang" jawabnya singkat sambil berjalan lemas menuju tempat tidur. Liana mengekor.
"Obatnya yang dari mama sudah diminum belum" Mama biasa minum itu kalau masuk angin" tangannya beralih memijit mijit pundak Tsabit. Tsabit menggeleng lemah.
"Diminum atuh, sayang. Gimana bisa sembuh kalau didiemin aja kayak gini"
"Ini cuma masuk angin biasa, ma. Nanti sebelum aku berangkat kerja juga sembuh" Tsabit menyudahi bacaannya lalu menaruh ponsel ditempat semula. "Mama kenapa
bangun jam segini" Tumben. Mau tahajud juga?"
"Abis tahajud mama gak bisa tidur. Mama kepikiran kamu tau gak. Kamu itu kalau udah sakit, susah sembuhnya" ungkap Liana mulai resah. Tsabit tergolong
gadis yang aktif dan jarang sekali sakit. Tapi jika sudah sakit, akan sulit bagi Liana menyuruhnya minum obat. Bahkan James sekali pun yang meminta tetap
tidak manjur. Ia terlalu menganggap enteng penyakit.
"Coba kamu ngaca. Muka kamu pucet banget"
Tsabit mengiyakan. Dilihatnya pantulan wajah dari benda mini itu. "Pucet darimana" Kulitku kan emang putih, ma"
"Bibirnya, liat"
"Bibirku pink kok, engga pucet"
Liana membuang nafas kasar seraya memalingkan wajah. "Keras kepala papamu itu nular ke kamu. Susah banget dibilanginnya. Kalau udah sakit kan" kamu yang
rugi, nak. Jangan nyepelein penyakit, dong sayang" Liana menggenggam erat kedua tangan putrinya. Menatapnya cemas. Tsabit tersenyum kecil. Ketika akan
mengatakan sesuatu, Liana mendahuluinya.
"Mama kasih dua pilihan. Kamu minum obat. Atau kamu gak minum obat, tapi full bedrest di rumah alias absen kerja hari ini" Tsabit langsung menunjukan wajah
keberatan. "Engga bisa gitu, dong ma"
"Pilihan pertama atau kedua?" Tidak mempedulikan ajuan protes Tsabit, Liana berdiri bertolak pinggang menuntut jawaban putrinya. "Pilih salah satu"
Tsabit mendesah tak berdaya. Kalau sudah begini, ia bisa apa"
"Pilihan pertama aja" jawabnya datar. Liana tersenyum. Sudah ia duga jawaban ini yang akan ia dengar. Tsabit seorang workholic sejati tidak mungkin memilih
berdiam diri di rumah meski dalam keadaan sakit sekalipun." Justru dengan bekerja, besar kemungkinan sakitnya segera sembuh.
"Oke. Bagus" akhirnya Liana bisa bernafas lega. "Mama sedikit tenang sekarang. Tapi mama gak suka omong kosong. Kamu harus beneran minum obatnya"
"Siap ibu negara"
*** "Stop, pak. Aku turun disini aja"
Perintah Tsabit kepada Wardoyo "Emang kenapa, mbak" Ini kan masih jauh" Wardoyo kebingungan.
"Deket kok, pak. Paling jalan berapa meter juga sampe. Kalo nunggu macet, yang ada aku telat lagi." Jelasnya. Ia pun sudah berada di luar mobil sekarang.
Wardoyo membuka kaca jendela.
"Tapi ntar kalo ibu nanya, gimana?"
"Bilang aja kalau bapak anterin aku sampe kantor. Percaya deh, pak Doyo. Aku gak kenapa napa" Tsabit berusaha menenangkan pak Doyo yang masih memasang
wajah sanksi. "Justru kalau aku diem aja di mobil, aku gak bakal sembuh, pak. Badannku butuh gerak"
Dengan berat hati, Wardoyo mengiyakan keputusan gadis itu. Semoga ia tidak bertindak macam macam. Ia khawatir melihat kondisi majikannya saat ini. Meski
ia tetap bawel juga aktif seperti biasa, tetap saja wajah Tsabit tidak menunjukan sedang baik baik saja. Ia menghela nafas dalam kemudi menunggu majunya
mobil ditengah kemecetan tak berujung ini.
Jarak dari sini menuju kantor kemungkinan bisa ditempuh dalam waktu kurang lebih 10 menit. Jika dilihat waktunya, masih cukup. Tidak terlalu mepet. Kemungkinan
sampai sana pukul 07:30. Masih banyak waktu. Lebih baik Tsabit berjalan santai saja. Sekaligus meregangkan otot. Lagi pula sinar matahari pagi bagus untuk
kesehatan. "Hallo, tante" Suara orang menyapa. Tsabit menoleh kepada si pemanggil. Semoga dugaannya salah. Tapi itu mustahil. Satu satunya manusia yang memanggilnya dengan sebutan
'tante' hanya dia." Si manusia kura kura ninja. Tiba tiba saja ia muncul di peredaran jalan membawa mobil spot putihnya. Lajunya sengaja diperlambat guna
menyamakan langkah Tsabit. Gadis itu acuh. Menganggap Arsa hanya butiran debu yang bisa berbicara, lalu Tsabit berusaha tidak mendengarnya.
"Assalamualaikum, tante" Arsa mengubah sapaannya menjadi salam. Tsabit menjawabnya pelan sembari melirik Arsa lewat sudut mata. Pria itu berada di mobil
dalam keadaan jendela terbuka.
"Kenapa jalan kaki, tan" Keabisan ongkos" Apa lagi program diet?" Ejek Arsa sesekali fokus pada jalanan. Arsa tidak melihat adanya respon dari Tsabit.
"Tante gak capek emang" Mau naik mobil gue gak" Mumpung kosong nih"
Tsabit mendesis sinis. Hatinya terus menyemangati bahwa ia harus mengacuhkan bocah tengil itu. Tsabit menyesali keputusannya hari ini. Kalau tahu bertemu
Arsa, tentu ia lebih memilih berdiam diri di mobil menikmati kemacetan membunuh ini. Ah, anggap saja Arsa adalah botol. Ya, botol kecap, misalnya. Irama
langkahnya agak dipercepat.
"Buru buru banget. Takut terlambat ya, tan" Bareng gue aja. Gue anterin kemana pun tante mau" ada tawa yang mengiringi. Tsabit mendengar samar tawa itu.
Tawa renyah yang menyebalkan.
"Tan" Kok diem" Jawab dong"
Oke. Ini bukan genjatan senjata. Tsabit menghentikan langkahnya lalu menoleh. "Bisa gak, kamu berhenti memanggil saya dengan sebutan menjijikan itu" Saya
tidak dilahirkan dari rahim nenek kamu. Jadi berhenti memanggil saya tante. Ngerti?" Ini rekor. Kalimat itu terucap dalam waktu tercepat. Bersama amarah
yang menumpuk di kepala, membantu Tsabit menuang kekesalannya.
"Dan berhenti ngikutin saya. Kamu udah janji untuk tidak muncul lagi di hadapan saya. Gak ingat?" Ucap Tsabit lagi, sebelum ia memutuskan pergi.
"Ingat kok. Tapi sayangnya gue belum meng-iyakan. Gimana dong?"
"Itu sih urusan kamu"
"Yaudah, berarti gue gak salah dong ngikutin kemana pun lo pergi, tante.." Arsa menerima tatapan membunuh dari Tsabit, ".. eh, Kak Tsabit maksudnya" ia
cengengesan. Ya Allah.. kenapa tidak Kau cabut saja nyawa dia" Aku males ribut. Do'a Tsabit pagi ini terdengar ekstrim. Tak apa lah, pikirnya. Asal bocah ini musnah
dari pandangannya. Ia pun kembali meneruskan perjalanan. Masa bodoh dengan Arsa. Biar saja ia mengikutinya terus. Nanti juga capek sendiri.
"Gak apa apa kan kalo gue panggil kakak?"
Tsabit diam. Tetap pada langkahnya. Arsa tidak menyerah. Selama perjalanan pun ia masih sanggup mengikuti Tsabit. Toh, ia mengendarai mobil. Tidak terlalu
sulit. Perbandingannya sangat jauh. Lagipula secepat apapun langkahnya masih sanggup ia tempuh dengan mobil ini. Tak bosan ia mengajak Tsabit berbicara.
Dari menanyakan hal yang sangat tidak penting. Sampai pertanyaan yang paling menyebalkan. Tapi tetap saja usahanya nihil. Tsabit masih betah mengacuhkannya.
"Udah nyampe sejauh ini lo masih sanggup jalan kaki" Yakin gak mau gue anter?" Tawar Arsa sekali lagi. Berharap ada respon sedikit saja dari Tsabit. Karena
ia sudah mulai lelah berceloteh sendiri. Seperti berbicara dengan tembok berjalan.
Nihil. Tsabit tetap fokus pada jalanan di hadapannya. Berjalan santai menatap pemandangan sekitar. Sukses membuat Arsa jengkel. Pria itu sudah dianggapnya
seperti botol kecap yang bisa berbicara dan mempunyai kaki lalu berjalan mengikutinya. Sungguh imaginasi yang aneh.
"Lo harus tau satu hal. Gue bukan tipikal orang yang gampang nyerah gitu aja. Selain itu gue juga bisa ngelakuin apa aja yang gue suka. Seperti ngegendong
elo terus gue bawa masuk ke mobil, misalnya" Ia menarik senyum miring.
Dalam sikap sok tenangnya, Tsabit menyimpan siaga extra serta ketakutan luar biasa. Kekhawatiran pasti ada. Mengingat Arsa pernah nekat mencengkram tangannya
dengan keras demi mendapatkan apa yang ia mau. Bukan mustahil kalau hari ini ia membuktikan ucapannya. Tsabit melirik sekilas. Pria itu menghentikan laju
mobil lalu bersiap keluar dari sana. Haruskah ia berlari"
"Saya gak segan segan nonjok wajah kamu kalau kamu berani macem macem" setiba Arsa tepat di hadapannya, Tsabit sudah mengambil posisi siaga lebih dulu."
Dengan mengepalkan tangan ke udara, bersiap mendaratkan tinju jika Arsa bertindak sesuatu.
Arsa tertawa kecil. "Takut juga rupanya" ia bersendekap, "baru segitu aja udah takut. Gimana kalo gue gendong beneran" tatapnya cemooh.
"Mau kamu tuh apa sih sebenernya" Menawarkan tumpangan atau apa" Beberapa hari ini kamu dan mama kamu udah bikin hari hari saya hancur. Kamu udah ganggu
hidup saya, Kamu rusak mood saya, kamu pancing emosi saya, dan sekarang saya sakit. Itu juga gara gara kamu, tau" cacian itu berujung curahan hati yang
mendalam. Tsabit tidak sadar mengatakan itu semua. Kali ini dengan wajah menyedihkan ditambah raut memelas, ia menambahkan, "Saya mohon. Jangan ganggu
saya seperti ini, Kelana. Saya ingin hidup tenang"
Ada gejolak aneh dalam diri Arsa melihat gadis itu memohon padanya. Sepertinya ia mulai iba. Perlahan ia sedikit menurunkan emosi juga ego-nya hari ini.
Di tatapnya gadis itu. "Gue cuma pengen lo nolong nyokap gue. Udah cuma itu doang"
Arsa berhasil mengontrol emosinya. Obrolan mereka tidak se-sengit tadi. Terkadang memakai emosi tidak selamanya menyelesaikan masalah. Itu pelajaran untuk
mereka. "Gue bisa aja nyuruh pacar gue sendiri buat ngejalanin ini semua. Tapi sayangnya gak bisa. Cuma elo yang bisa, Tsabit" ini pertama kalinya Arsa menyebut
Tsabit tanpa embel embel 'tante' atau 'kakak'." "Gue gak mungkin ngejar ngejar lo kayak gini kalau bukan karena keinginan nyokap gue"
Tsabit bergeming sesaat. Ada kejujuran dari mata sendu itu. Seperti ada lelehan es yang mencair disaat yang bersamaan. Haruskah ia menuruti kemauannya"
*** Tepat di sudut Cafe, Abrar menikmati segelas guava juice kesukaannya. Memanjakan mata pada sekeliling. Melihat lihat suasana Cafe yang tidak begitu ramai.
Hanya ada beberapa meja yang terisi. Diminumnya jus buah tersebut melalui sedotan.
Selang beberapa menit, matanya menangkap sosok yang baru saja datang berjalan menghampirinya. Tanpa perlu menegaskan, ia sudah hafal sosok tersebut. Sosok
wanita berpakaian serba hitam. Khimarnya panjang sebatas betis, cukup menjadi ciri khas wanita itu.
"Assalamualaikum. Maaf menunggu lama" Abrar menyilahkannya duduk di kursi sebelahnya.
"Waalaikumsalam. Aku tau kamu sibuk"
Abrar melihat wanita itu mengeluarkan beberapa berkas yang di taruh pada map bening. Ada tiga map disana. Wanita itu" menjelaskan.
"Ini akte kelahiran Diva" tangannya menunjuk map bening bergaris tepi hijau.
"Kalau ini surat kelahirannya" lantas menunjuk map lain. Pada map terakhir ia menyebutkan, "Dan ini akte cerai kita"
Abrar menerima tiga map tersebut. Tanpa perlu memeriksanya, ia masukan ke dalam tas laptop miliknya. Digulungnya lengan kemeja hingga sebatas sikut. Lalu
membenarkan posisi duduk. Cukup menjadi pemandangan menarik si wanita.
"Kamu boleh pesan apa saja. Aku yang bayar" tangannya terarah menyilahkan.
"Terimakasih. Aku puasa"
Abrar meng-oh seraya mengangguk.
"Buat apa kamu minta berkas berkas itu?"
"Persiapan Diva masuk sekolah" jawab Abrar singkat.
"Umur dia belum cukup"
Abrar membuang sejenak wajahnya. Ada desahan nafas berat terlihat. "Kemauan mama"
Wanita itu mendelik tajam, membenarkan dugaannya.
Tsabita Ilana Karya Suffynurcahyati di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tapi aku ibunya" tangannya menunjuk dirinya sendiri, lalu melipatnya di atas meja. "Aku kira kamu sudah berubah. Ternyata masih saja bergantung sama wanita
tua itu" ada nada sinis menyertai.
"Wanita tua yang kamu maksud itu ibuku. Pemilik surgaku" jelas Abrar tak senang.
"Lantas mengorbankan pernikahan kita, lalu memilih jalan yang amat dibenciNya Begitu?"
Abrar melonggarkan dasi, menghabiskan sisa minumannya. "Besok aku mau jemput Diva" lalu berusaha mengalihkan pembicaraan. "Mungkin siang atau sore aku
kesana" "Baik. Pastikan kalau Diva mau ikut kamu ya. Aku tidak janji" wanita itu bersiap diri untuk pergi. "Sebab Diva sudah bisa membedakan mana yang baik untuknya,"
mana yang bukan" ia berbalik.
"Asal tidak ada yang meracuni otaknya"
sahut Abrar sepeninggal wanita itu. Wanita itu masih bisa mendengar samar ucapan Abrar dari kejauhan.
*** Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Bosan adalah sikap jenuh terhadap sesuatu yang berulang terus menerus. Entah itu sebuah aktifitas maupun keadaan.
Tapi mungkin akan berbeda pemahaman jika sesuatu yang berulang itu terjadi pada kita seperti melakukan bernafas. Pernahkah kita bosan untuk bernafas" Padahal
aktifitas tersebut dilakukan secara terus menerus setiap detik dalam kehidupan sehari hari. Pendapat lain juga mungkin mengatakan bahwa bernafas itu suatu
kebutuhan. Manusia tidak mungkin bosan untuk itu. Karena itu adalah kebutuhan utama makhluk hidup.
Dari sinilah pemahaman tersebut saling berkesinambungan. Ketika kita merasakan kebosanan terhadap sesuatu. Entah itu kegiatan mereka sehari hari yang meyangkut
pekerjaan, misalnya ataupun yang lain. Maka jadikanlah kegiatan tersebut suatu kebutuhan. Kebutuhan yang jika kita tinggalkan sedikit saja akan berpengaruh
terhadap diri kita sendiri. Kurang lebih seperti itulah gambaran sikap kita menghadapi kebosanan yang saat ini merajalela berpetualang ke dalam diri kita.
Dan seperti itulah yang terjadi pada Tsabit yang sedang duduk manis di kursi yang--sejak beberapa minggu ini--setia menemaninya. Wajahnya nampak serius
menyimak deretan perpaduan huruf dan angka yang terpatri di layar datar bernama laptop. Jemari lentiknya bergerak teratur diatas papan keyboard mengikuti
instruksi otak si gadis. Bibirnya sesekali bergerak gerak mengeja kata perkata yang tertera di layar itu. Di dekatnya ada banyak tumpukan map berbagai
macam warna tengah berdiri seperti sedang menyemangati gadis itu yang perlahan menampakan raut raut kejenuhan. Ia menghembus nafas berat ketika matanya
melirik sekali lagi map map tersebut. Diambilnya satu map berwarna merah untuk segera dikerjakan. Sesekali ia memijit pelipisnya guna menghilangkan rasa
pusing yang menyerangnya berangsur angsur. Dua detik kemudian seseorang sudah berdiri disampingnya lalu memerhatikan gadis itu.
"Tsabit" Ia menoleh mendapati pria gagah yang ia sebut sebagai papa muda berada didekatnya. Berdiri sempurna sambil menaruh tangan kebelakang. "Iya, pak Dana. Ada
yang bisa saya bantu?" Tawarnya hormat setelah beranjak dari kursi lalu menatap penuh hormat.
"Setelah jam makan siang, kamu boleh kembali ke posisi kamu sebagai assisten saya" begitu kata kepala menagernya. Mendengar hal itu, Tsabit seperti tengah
menikmati sirup aroma leci kesukaannya ketika dahaga tidak terkendali. Begitu menyegarkan dan ini yang ia nanti nanti sejak beberapa minggu ini. Betapa
pengertiannya pak Dana. Mungkin ia merasa kasihan dengan nasib assistennya yang tersiksa karena pekerjaan milik sang kepala HRD yang terpaksa ia ambil
alih. Kalau bukan karena pengabdiannya terhadap perusahaan, tentu ia akan menolak pekerjaan itu. Sekarang ia cukup menunggu beberapa jam lagi menuju jam
makan siang. Dan itu masih ada waktu 3 jam lagi.
"Kamu mendengar saya?"
Tsabit terhentak seraya mengerjap. "Dengar pak. Baiklah kalau begitu. Selepas makan siang saya bersiap kembali ke posisi saya" Dana mengangguk.
"Kalau boleh saya tahu, Apa sudah ada pengganti posisi pak Idzar disini, pak?"
"Idzar sudah kembali bekerja. Nanti siang setelah konfirmasi dia akan segera menempati posisinya sebagai kepala HRD"
Ingin rasanya Tsabit melakukan sujud syukur detik ini juga. Dibalik masalahnya dengan Arsa dan Kartika, ada secercah nikmat yang hadir. Akhirnya sedikit
beban ini berkurang dengan kembalinya Idzar di perusahaan ini. Bayangkan, selama berminggu minggu sejak dirinya dinyatakan menjadi pengganti sementara
Idzar, ia berubah menjadi pegawai teladan dadakan. Jatah lembur tak jarang ia dapatkan. Pulang larut malam menjadi makanan sehari hari. Mata pandanya semakin
merona jelas. Mesin otaknya berkali kali mengalamin turun mesin. Itu semua yang menjadi penyebab kondisinya menurun drastis.
"Kamu bisa siapkan barang barang kamu untuk kembali setelah jam makan siang. Masih ada waktu beberapa jam untuk kamu menyelesaikan laporan Idzar. Setelah
itu bawa ke saya untuk ditanda tangani" perintahnya dalam kecepatan normal bernada tegas. Sama seperti adiknya. Hanya saja, adiknya lebih songong. Batin
Tsabit menilai. "Laporan ini masih saya yang harus menyelesaikan, pak" Kan pak Idzar sudah kembali" protes Tsabit menatap hati hati. Dana menarik nafas membawa tatapan
mata sayu nya bersiap untuk menyerang ucapan Tsabit.
"Mengerjakan sesuatu itu tidak boleh setengah setengah. Kamu mau, dikasih jodoh setengah pria setengah wanita" Kan gak lucu"
Sama sekali tidak lucu. Kenapa harus mengarah ke jodoh, sih" Apa ada penelitian yang menyambungkan antara pekerjaan dengan jodoh" Kalau ada, bisa tolong
tunjukan hasil resetnya kepada Tsabit. Agar gadis itu tidak bergumam aneh setelah mendengar penyataan Dana. Lama lama pak Dana mirip Arsa. Sama sama menyebalkan.
"Pak Dana ini bisa aja" ia tertawa hambar. "Ya gak mau lah pak. Masa jodoh saya setengah setengah. Nanti cintanya juga setengah setengah lagi" lanjutnya
dengan gaya sok asik. Dana turut tertawa seperlunya. Berusaha mempertahankan kewibawaannya. "Kalau kamu merasa kesulitan, kamu minta bantuan Idzar aja.
Ingat ya, hanya membantu. Laporan itu masih tanggung jawab kamu"
"Iya, pak. Secepatnya akan saya selesaikan" keadaan kembali menegang serius. Akhir akhir ini Dana jadi tidak seasik dulu waktu pertama kali Tsabit bekerja.
Masih ada kekakuan yang muncul. Sangat disayangkan sekali. Padahal bagi Tsabit, sikap bersahabat Dana bisa menjadi pelindungnya dari kesewenang wenangan
Idzar, si kepala HRD menyebalkan itu.
"Ohya, tadi pak Ujang menitipkan ini kepada saya. Tadinya dia ingin langsung kasih ke kamu. kebetulan saya lewat, saya yang menerimanya. Katanya dari seseorang
yang tidak ingin disebut namanya" Dana menyodorkan sebuah kotak kecil persegi panjang berbungkus kertas berwarna merah muda.
"Dari siapa ya pak?" Tanya Tsabit menerima benda tersebut.
"Sebut saja hamba Allah"
Selagi dirinya sibuk meramal isi kotak tersebut beserta pengirimnya, Dana pamit meninggalkan gadis itu. Sejurus kemudian Tsabit kembali duduk di kursinya
bersamaan terbukanya kertas pembungkus kotak tersebut.
"Apaan nih?" Kotak kemasan kecil itu ia buka lalu menemukan sebuah botol kaca ukuran mini. Dari tulisan yang tertera dibotol itu, Tsabit menyimpulkan bahwa benda hanya
berupa minyak angin roll on dengan merk tertentu.
"Buat apaan minyak angin begini?" Ejek Tsabit menampakan wajah tidak suka sambil memainkan benda tersebut di udara. "Orang gue udah gak masuk angin juga"
Gerutunya. Tak lama ia menemukan secarik kertas terselip di kotak minyak angin tersebut. Buru buru Tsabit membuka agar tahu siapa si hamba Allah itu yang
teramat sangat baik hati mengirimnya minyak angin terapi ini.
Hallo tante, udah nyampe minyak anginnya" Gue tahu lo alergi AC, so jangan sia siain kebaikan gue ini yang jarang orang dapetin. Lo beruntung, tan ^/^
-Arsa- "Bocah gila! Gue gak ngerasa nikah sama om lo" Umpat Tsabit membuang wajah kesal sambil membanting secarik kertas tersebut di meja. Enak saja alergi AC
katanya. Jelas jelas ia masuk angin bukan karena AC. Tsabit mengerang geram. Bisa bisanya Arsa menebak asal tentang kondisinya. Justru ia seperti ini gara
gara ulah manusia kura kura ninja itu." Tsabit menenggelamkan wajahnya dalam lipatan kedua tangan di meja.
"Dasar bocah ingusan!" Umpatnya geram.
*** "Jadi, dia benar benar mau mempertimbangkan tawaran kita?"
Ada sepercik kebahagiaan yang terpancar dari wajah Kartika. Matanya berbinar benderang. Mengabaikan rangkaian bunga di meja yang sedang dikerjakannya sejak
pagi. Arsa mengangguk sambil merenggangkan otot leher. Duduk bersila di atas sofa memainkan ponsel pintar.
"Nanti habis Isya kita disuruh ke Dream Cafe buat ngomongin ini"
Kartika masih belum percaya. Tarikan senyum cemerlang masih terpatri jelas di wajahnya. Titik terang masalahnya hampir di depan mata." Harga diri dan nyawanya
akan terselamatkan. "Jangan seneng dulu. Ini masih tahap pertimbangan. Belum jelas dia nerima atau engga" ucap Arsa tanpa menoleh, masih sibuk dengan ponselnya.
"Setidaknya pertemuan ini jadi titik terang kita, sa. Kalau dia sudah mau mempertimbangkan, artinya tawaran kita mulai menarik perhatiannya"
"Semoga aja" responnya singkat.
Hening sementara. Hanya terdengar suara game yang dimainkan Arsa. Sedang Kartika sibuk berandai andai akan rencananya. Ia tidak percaya akhirnya gadis
sok suci itu mau mempertimbangkan tawarannya.
"Kamu kok gak semangat gitu, sih" Daritadi mama perhatiin kamu banyak diem"
Arsa menoleh sebentar, lalu fokus pada permainan. "Eh" Gak kenapa napa, ma"
"Ngomong ngomong, apa yang udah kamu lakuin sampe dia mau mempertimbangkan ini semua?" Arsa mengingat kejadian tadi pagi. Dengan kemantapan hatinya, Tsabit
memberi secercah harapan kepada Arsa.
"Baiklah kalau begitu. Nanti malam bada' Isya. Kamu dan mama mu temui saya di Cafe Dream. Saya akan mempertimbangkan tawaran ini?" ada senyum manis muncul
dari wajah innocent Arsa. Tsabit hampir tidak berkedip dalam beberapa detik.
"Mana tangan kamu" perintahnya tegas. Arsa menurut. Ia mengulurkan telapak tangannya yang mengepal. "Buka?" Lanjutnya. Tsabit mengeluarkan pulpen dari
saku blezzer. Menuliskan deretan angka pada telapak tangan Arsa. Pria itu mengamati dengan seksama. Betapa Tsabit menulisnya dengan sangat hati hati. Takut
takut kulitnya saling bersentuhan. Tak jarang ia sekedar mencuri pandangan ke gadis itu.
"Nanti sore hubungi saya lagi buat konfirmasi pertemuan" ucapnya sambil menaruh pulpen ke sakunya, menatap Arsa serius. "Ingat ya, ini masih pertimbangan.
Apapun keputusan saya nanti tolong kamu terima dengan bijaksana. Mengerti?"
"Feeling gue mengatakan kalo lo bakal terima tawaran ini" ujar Arsa cuek selagi menyalin nomor dari telapak tangan ke ponselnya. Tsabit mengeluarkan nafas
pendek. "Jangan menggantungkan harapan berlebih kepada manusia kalau tidak ingin merasakan kekecewaan. Banyak banyak berdoa" Tsabit bisa berjalan tenang meninggalkan
Arsa dalam keheningan. Perkataan Tsabit tadi seperti mengandung sihir. Mampu membuatnya diam tak berkutik lagi. Jangankan menanggapi, untuk berbalik saja
terasa sulit. "Sebenarnya, yang harus mama puji karena kehebatannya itu, kamu atau Tsabit ya" Kamu memang hebat bisa sedikit meruntuhkan pertahanan Gadis itu. Tapi Tsabit
gak kalah hebat, bisa bikin kamu jadi pendiam gitu" cibir Kartika setelah Arsa menceritakan kejadian tadi pagi.
"Nanti aku gak ikut ya. Mama aja yang kesana"
"Loh, kenapa?" "Aku males ketemu dia"
Kartik mencebikan bibirnya ke bawah. "Jangan gitu. Kamu harus bisa lebih dekat sama dia. Toh, dia nanti bakal jadi pacar palsu kamu. Gimana bisa membangun
chemistry kalo gitu" Kartika melanjutkan kegiatan merangkai bunganya.
"Jangan menaruh harapan berlebih kepada manusia kalau tidak ingin merasakan kekecewaan, ma" tanpa sadar Arsa mengulang nasehat itu.
"Kamu harus ikut, Arsa. Mama gak mau tahu. Batalin janji sama Fania kalo perlu"
Arsa berdecak malas mendengar ketidak sukaan Kartika kepada kekasihnya itu. Ia pun pergi begitu saja meninggalkan Kartika.
*** Dan pada akhirnya, minyak angin tersebut menjadi berguna. Buktinya, benda mungil beraroma terapy itu setia berada dalam genggaman Tsabit bahkan ia memakainya
pada jam makan siang seusai melaksanakan sholat. Setelah menyelesaikan beberapa laporan yang sudah dikejar deadline membuat Tsabit merasa pusing tidak
karuan. Di kursi salah satu meja cafetaria, ia duduk ditemani segelas teh hangat sambil memainkan ponsel. Tangan satunya sibuk mengoles bagian leher.
"Bisa sakit juga kamu?"
Sejak kapan pria itu berada disini" Tepat di kursi sebelahnya, menaruh bekal makan siang di atas meja. Lama tak jumpa, ia jadi terlihat kurus sekarang.
Bahkan Tsabit masih bisa melihat bibirnya yang sedikit pucat.
"Aku gak sakit. Cuma gak enak badan" Jawab Tsabit. Matanya mengarah pada kotak makan siang yang terbuka. "Aih, bahagianya dibawakan bekal makan siang sama
istri tercinta. Menu apa hari ini?" Tsabit tersenyum lebar hampir memperlihatkan gigi grahamnya seraya menaruh minyak aroma terapinya.
"Ralat. Bukan istri tercinta. Tapi istri sholihah" Idzar menyuap satu sendok nasi ditemani oseng oseng jamur kesukaannya beserta sop. Ia menikmatinya dengan
lahap. "Iya iya, istri sholihahnya pak Idzar. Puas?" Tsabit menipiskan bibir lalu fokus pada ponsel.
"Oh iya, ini" Idzar menaruh kantong tas daur ulang di atas meja tepat di hadapan Tsabit" "Titipan dari istriku buat kamu. Sebagai tanda terimakasih katanya"
dunia gadget Tsabit harus teralihkan karena kantong yang menggoda itu. Dilihatnya isi kantong tersebut. "Makasih ya sudah menggantikan posisi aku sewaktu
aku dirawat" Idzar tersenyum kecil.
Tsabit sibuk dengan isi kantong itu. Kedua tangannya mengabsen sejumlah makanan disana. Ada dua buah coklat batang ukuran besar. Minuman kaleng bersoda
Cewek 5 Hardy Boys Sindikat Pencuri Mobil Pendekar Kidal 19