Pencarian

Tsabita Ilana 1

Tsabita Ilana Karya Suffynurcahyati Bagian 1


Tsabita Ilana [selesai] Oleh Suffynurcahyati Kehidupan Tsabita ilana berubah seketika. Semua itu berawal ketika seorang wanita paruh baya bernama Kartika membawanya dalam konflik hidup yang rumit.
Belum lagi, prinsipnya untuk tidak berpacaran, dipertaruhkan saat ia dihadapkan dengan mahasiswa sombong nan tengil sekaligus putra bungsu Kartika, bernama
Arsa. Berpacaran memang suatu jalan yang tidak pernah ada ridho Allah di dalamnya. Tapi menikah dengan pria yang lebih muda darinya juga bukan keputusan yang
sehat. Justru melibatkan Tsabit dalam masalah yang lebih besar.
Dari sanalah kekuatan Tuhan membolak balikan hati keduanya bekerja.
Akankah Tsabit mempertahankan pernikahannya hanya demi sebuah ego"
01. move on, Tsabit! Kehidupan Tsabita ilana berubah seketika. Semua itu berawal ketika seorang wanita paruh baya bernama Kartika membawanya dalam konflik hidup yang rumit.
Belum lagi, prinsipnya untuk tidak berpacaran, dipertaruhkan saat ia dihadapkan dengan mahasiswa sombong nan tengil sekaligus putra bungsu Kartika, bernama
Arsa. Berpacaran memang suatu jalan yang tidak pernah ada ridho Allah di dalamnya. Tapi menikah dengan pria yang lebih muda darinya juga bukan keputusan yang
sehat. Justru melibatkan Tsabit dalam masalah yang lebih besar.
Dari sanalah kekuatan Tuhan membolak balikan hati keduanya bekerja.
Akankah Tsabit mempertahankan pernikahannya hanya demi sebuah ego"
01. move on, Tsabit! Gadis itu berjalan tergesa gesa menyusuri koridor lantai dua sambil membawa tumpukan map di tangannya. Guratan wajahnya menampakan kelelahan yang abadi.
Kecemasan perlahan mampir menelusup ke celah celah garis muka. Ia sampirkan pashmina hitamnya kebelakang bebarengan dengan hembusan nafas pendek. Ada sesuatu
yang mengganjalnya sejak siang tadi.
Langkahnya semakin cepat setelah ia melihat jam tangan melingkar di pergelangan tangan kanannya menunjukan pukul 4 sore. Ini jam pulang kerja. Seharusnya
ia sudah berada di rumah. Sedang dia masih harus menyelesaikan laporan laporan ini. Laporannya selama beberapa bulan terakhir ini yang sempat terbengkalai.
Belum lagi data input yang sudah seminggu ini belum terjamah. Lalu berkas berkas lainnya yang menunggu dikerjakan.
Akhir akhir ini Tsabit disibukan dengan beberapa tugas kantornya sebagai assisten manager di salah satu perusahaan yang bergerak di bidang produksi elektronik.
Belum lagi tugas tambahan lain yang terpaksa ia ambil alih, yakni laporan dari salah satu rekan kerjanya yang sedang mengambil cuti beberapa hari ini.
"Semua sudah di selesaikan. Bapak tinggal baca lalu tanda tangani saja" begitu kata Tsabit setelah memasuki ruang utama kepala manager perusahaan, Azka
Syandana Prama. Ia duduk manis menyodorkan tumpukan map di atas meja.
"Sudah semuanya?"
Tsabit mengangguk. "Bagus" komentar pak Dana--begitu Tsabit menyapanya. Pria maskulin itu mulai sibuk membolak balik map. Menelusuri point point terpenting dari tiap laporan.
Suara berisik yang ditimbulkan dari lembaran kertas di tangannya menjadi pengisi keheningan keduanya.
"Ada kesulitan?"
Tsabit memainkan jemari di atas meja. Bibir tipisnya tertarik sedikit. "Ada, pak. Terutama pada laporan milik pak Idzar. Ada beberapa point yang saya bingung"
Alis Dana terangkat. "Apa saja?"
"Pada laporan rekapitulasi kehadiran karyawan pertahunnya. Seharusnya disana dicantumkan jumlah absensi secara keseluruhan. Tapi, saya tidak menemukan.
Akhirnya saya coba input manual dari laporan absensi perbulan" jelas Tsabit.
"Sudah coba hubungi Idzar?" Dana meletakan map map itu di atas meja. Menatap Tsabit serius.
"Belum, pak" "Sebaiknya setelah ini kamu hubungi Idzar. Konfirmasi ke dia tentang kesulitan tadi. Biar nanti setelah dia selesai cuti, segera diperbaiki. Dia harus
tahu problem ini. Karena ini masih tugas dia"
Memang niatnya mau seperti itu. Malah bukan hanya membicarakan pekerjaan, tapi Tsabit juga ingin menginterogasi Idzar dan Aufa--yang kini resmi menjadi
suami istri--tentang pernikahan mereka yang dilakukan mendadak dan diam diam. Betapa kagetnya Tsabit waktu mendapat telepon dari Diana, Sang ibu tiri,"
bahwa putrinya Aufa telah menikah dua hari yang lalu. Diana mengabari Tsabit sehari setelah pernikahan.
Dia merasa tidak dianggap. Padahal Tsabit juga salah satu orang yang berperan penting dalam perjalanan cinta Idzar dan Aufa. Mungkin bisa disebut mak comblang.
Ya, walaupun pada akhirnya sang mak comblang juga harus merasa patah hati merelakan sang pria idaman. Ia sempat menaruh hati pada Idzar. Sejak pertemuan
pertamanya di jalan besar kala itu. Ia juga harus berterimakasih kepada kemacetan dan mobilnya yang mogok. Karena dua moment menyebalkan itu membawanya
bertemu sosok pria dewasa nan elegant seperti Idzar. Ketertarikannya bermula ketika ia hendak memberi uang tip atas bantuan Idzar memperbaiki mobilnya
di tengah kemacetan yang luar biasa. Belum lagi teriakan serta umpatan para pengemudi mobil yang tidak sabaran. Tapi Idzar tetap tenang. Masa bodoh dengan
mereka. Yang penting mobilku beres, begitu pikir Tsabit. Idzar menolak uang 100ribu pemberian Tsabit dengan alasan,
"mba cukup berterimakasih sama Allah, biar Allah yang memberi saya imbalan pahala dariNya"
Kalau ada laki laki satu lagi seperti Idzar, Tsabit bakal berdiri di antrian paling depan. Idzar tidak hanya berakhlak. Tapi juga tampan. Ketampanannya
memang belum sebanding dengan Reza Rahardian, Adipati Dolken atau Lee Donghae, bahkan Choi Siwon sekalipun. Tapi kepribadiannya mampu menyeimbangi itu
semua. Masukan saja Idzar di barisan pria pria tampan tadi, Tsabit yakin dia tertampan paket lengkap. Aish! Kenapa jadi membicarakan pria yang sudah beristri
itu" "Gimana" Bisa?" Tsabit terkesiap lalu tersadar dari dunia khayal. Masih ada Dana di hadapannya menunggu respon jawaban sedari tadi.
"Bisa, pak. Nanti saya akan hubungi pak Idzar"
"Kapan?" "Secepatnya" Dana menghela nafas berat. "Memangnya perempuan aja yang butuh kepastian. Laki laki, termasuk saya juga butuh kepastian, Tsabit." Tsabit menarik pelipisnya
bingung. "Saya butuh yang pasti. Kapan kamu akan menghubungi Idzar?" Sorot mata Dana menambah kemantapan pertanyaan tersebut.
Oh. Oke. Tsabit paham sekarang. Menunggu sesuatu yang tidak pasti itu tidak enak. Lalu, Tsabit berpikir sejenak memikirkan waktu yang tepat menemui Idzar.
Apakah nanti sepulang kerja" Tidak. Hari ini mamanya akan pulang dari kalimantan.
"Besok. Besok saya akan menemuinya, pak" jawab Tsabit tak kalah mantap.
"Oke. Saya tunggu"
** Jalanan ini nampak ramai. Tidak afdhol kalau tidak ada kemacetan yang menghiasi. Mobil mobil berbaris rapi sepanjang hampir 3 kilometer. Sedangkan nasib
Kendaraan roda dua" Mereka bisa bebas berlalu lalang melewati kemacetan ini dengan menyalip setiap celah yang ada. Saking lincahnya, mereka bahkan mengambil
jatah fasilitas yang seharusnya bukan untuk mereka. Trotoar, misalnya" Itu hak pejalan kaki. Tapi melihat mereka melaju dengan enaknya di trotoar tersebut,
menganggap seolah trotoar adalah alternatif kedua menghadapi macet. Hei, itu sudah jelas salah. Tsabit berdecak sebal melihat pemandangan itu. Ingin rasanya
ia turun ke jalan lalu mencegat para pengendara nakal disana. Tapi sayang tidak ada Idzar disini. Kalau saja dia ada seperti waktu mobilnya mogok, tentu
Tsabit bisa nekat. Siapa tahu Idzar turut andil dalam aksinya nanti.
Setelah hampir 15 menit, akhirnya mobil yang dikendarainya maju perlahan. Syukurlah ada perkembangan. Dan lagi lagi Tsabit melihat ulah para pengendara
motor melaju melewati trotoar. Itulah hidup. Mungkin sebagian dari mereka beranggapan," peraturan ada untuk dilanggar. Padahal sejatinya bukan seperti
itu. Peraturan dibuat agar manusia menjadi lebih disiplin.
Ketika sedang asyik mengkritik dalam hati, ada pengendara motor ninja berwarna merah berhenti tepat di sebelah mobilnya. Pengendara motor tersebut juga
berada dalam situasi yang sama. Tsabit melihat sekilas. Si pengendara berkaos belang belang coklat hitam memakai helm full face bernomor 93. Pasti penggila
marquez, tebak Tsabit. Tsabit menarik miring sudut bibirnya. Terbesit suatu ide, ia pun membuka kaca mobil lalu menaruh sikut di atasnya bersamaan dengan gerakan menaikan kacamata
hitam ke atas kepala. "Mas. Gak ikutan kayak mereka?"
Si pria pengendara motor ninja otomatis menoleh. Kaca helm yang gelap menghalangi pandangan Tsabit untuk melihat si pengendara.
"Kayak orang orang itu loh, mas" Tsabit mengarahkan dagunya ke pemandangan menggemaskan itu. Si pengendara mengekor arahannya. Tak lama ia membuka kaca
helm lalu menyuguhkan mata bulat yang indah bak bulan purnama. Sorot mata yang jarang Tsabit temui.
"Yang di trotoar itu?" Akhirnya si pengendara buka suara. Suaranya terdengar berat namun renyah. Tangan kirinya menunjuk ke arah yang dimaksud.
"Iya. Kok mas mau macet macetan di sini" Kan bisa kayak mereka tuh jalan seenaknya di trotoar. Terus mengganggu pejalan kaki di sana" Entah apa tujuan
Tsabit mengatakan hal itu, yang jelas terlihat sekali perubahan sorot mata dari pengendara ninja itu setelah mendengar. Ada kerutan menghiasi jarak antara
sepasang matanya. Ia belum mau menanggapi. Masih diam dibalik helm full face kebanggannya.
"Mereka itu rakus atau apa ya, mas" Udah dikasih fasilitas sendiri tapi masih aja ambil hak orang lain. Mentang mentang bisa nyalip, lalu bisa seenaknya
nyalip di mana aja, termasuk di trotoar. Apa gak mikir ya mereka itu." Ungkap Tsabit bersama keluhan keluhannya. Si mas pengendara menyimpan senyum dari
balik helm. "Tuh lihat, mas! Terus aja kayak gitu gak berhenti. Kalau satu udah mempelopori, yang lain pasti ikut ikutan" serunya. Kali ini Tsabit menunjuk nunjuk
ke arah yang dimaksud dengan antusias ditambah kesewotan yang mengakar tunjang. Pengendara nakal itu kian bertambah. Sekilas ia melihat seorang pejalan
kaki bersungut dalam langkah ketika perjalanannya terganggu oleh ulah mereka.
Selagi kemacetan berlangsung, mobil yang dikendarai Tsabit berjalan sedikit sedikit. Begitu juga si pengendara motor, ia turut mensejajarkan kendaraannya
dengan mobil ber-plat B 1606 TSA itu bahkan membiarkan kendaraan lain yang berusaha menyalipnya. Sepertinya ia mulai tertarik dengan topik yang dibahas
gadis berhijab fashionable itu. Gayanya bicaranya yang ceplas ceplos. Belum lagi cara ia mengajak berbincang terlihat sok asyik atau dalam bahasa gaulnya
disebut SKSD (sok kenal sok dekat).
"Mas pernah kayak gitu juga ya" Jujur aja mas. Gak apa apa kok. Kita sharing aja sesama pengguna jalan"
"Kadang kadang. Itu pun kalau sedang terburu buru" mas pengendara itu menaikan separuh bagian helm lalu membiarkannya menangkring di atas kepala. Cukup
berhasil menghadiahkan Tsabit pemandangan menarik dari wajahnya. Wajah maskulin khas pria pria model iklan sabun pembersih muka yang sering ia lihat di
televisi. "Nah, waktu mas ngelakuin itu. Apa yang ada di pikiran mas?" Tanya Tsabit menanggapi jawaban si pengendara.
"Gak mikir apa apa. Yang penting saya sampai tujuan dengan selamat. Itu aja."
"Meskipun melalui jalan yang salah sekalipun?"
"Maaf?" Nampaknya mas pengendara ninja itu belum mengerti.
"Anggaplah misalnya hidup mas sukses. Karier bagus, hidup bahagia, uang berlimpah, lalu dikenal banyak orang. Tapi semua itu hasil korupsi. Apa mas bisa
menikmati itu semua meski dalam bayang bayang dosa" Ini hanya contoh ya. Saya tahu mas bukan orang seperti itu"
Mas pengendara itu tersenyum. Senyum yang hanya bermodal garis simetris dari bibir. Apa cuaca sore ini begitu panas" Ia nampak mengibas ngibas tangan ke
tubuh karena kegerahan. "Perumpamaan itu terlalu berat menurut saya. Bagaimana kalau begini, mbak....." mas pengendara nampak menarik alis meminta sesuatu
untuk melengkapi kalimatnya.
"Tsabit. Panggil saya Tsabit"
"Misalkan saja mbak Tsabit berhasil menegur pengendara nakal disana. Mbak Tsabit nekat turun ke jalan lalu meneriakan kritik mbak kepada mereka atau mencegat
aksi aksi mereka dengan kalimat kalimat keadilan. Tapi, mbak sendiri tidak sadar kalau ada sebagian dari tindakan mbak menyalahi aturan dalam beragama.
Seperti merasa paling benar, misalnya" Atau menilai buruk seseorang?"
"Mbak gak sadar ya kalau kritikan mbak itu hanya berujung penyakit hati buat diri mbak sendiri?"
Tsabit menyipitkan matanya. Menelaah pernyataan pria bermata besar itu. "Kenapa jadi ke saya ya" Kita sedang membahas masalah lain, mas. Jangan lupakan
itu" "Ya saya tahu. Lebih baik begini saja. Gimana kalau sebaiknya mba turun ke jalan sekedar mengingatkan mereka" pria itu menunjuk ke jalan. "Bahwa yang mereka
lakukan adalah salah." Saya rasa itu lebih baik ketimbang mbak mengumpat sendiri mengkritik lalu mencaci mereka seolah mereka adalah manusia manusia nakal
yang tidak bertanggung jawab. Saya khawatir akan timbul ujub di dalam diri mbak Tsabit. Saya yakin mba tahu apa itu ujub. Ujub itu,--"
"Sikap merasa paling sholeh atau paling benar sendiri. Saya tahu kok" potong Tsabit tak senang. Setelah membuang muka, ia menatap mas pengendara ninja
sinis. "Setidaknya apa yang saya katakan itu benar. Bagaimana kalau kita sama sama turun ke jalan lalu kita hadapi manusia nakal itu berdua?"
Pria itu diam. Bibirnya menipis sempurna. Rautnya nampak menimang. Hampir saja Tsabit ingin berteduh diantara wajahnya yang meneduhkan itu.
"Ketimbang mas mengkritik sikap saya. Bertindak itu lebih baik, kan?" Apa kali ini ia menantang keberanian pria pengendara itu" Sepertinya begitu. Pengendara
tampan itu mencebik lalu mengangguk samar. "Siapa takut" jawabnya sambil membuka helm marquez berwarna hijau stabilo dari kepala.
Tsabit mengenakan kembali kacamata hitamnya lalu merapikan diri bersiap untuk turun ke jalan. Sedang si pria sibuk mengamati beberapa detik. Mengamati
per-inci keunikan yang diciptakan Tsabit.
Ketika keduanya melangkah ke arah trotoar, baru beberapa langkah, si pria pengendara ninja berhenti lalu menoleh ke belakang. Tsabit turut melakukan hal
yang sama. Berbagai jenis suara klakson rupanya meneriaki mereka. Ditambah teriakan salah satu pengemudi mobil yang menuntut mereka agar segera kembali
karena kemacetan perlahan berakhir. Kalau mereka tidak segera kembali, akan ada kemacetan kedua.
Tsabit dan pria itu saling berpandangan satu sama lain. "Masih mau lanjut?" Tanya si pria. Tsabit bersendekap seraya menarik nafas berat. Ia melepas kembali
kacamata hitamnya lalu disampirkan pada lipatan pashmina yang melingkar di dada.
"Mas berhutang sama saya. Juga mereka yang di sana" telunjuknya mengarah ke trotoar yang masih menyuguhkan pemandangan yang sama. "Mereka gak bisa lari
dari pengamatan saya" setelah itu ia berjalan mantap" menuju mobil. Si pria mengekor sambil mengulum senyum menyembunyikan tawa.
"Terimakasih atas waktu luangnya. Senang bisa mengenal dan bertukar pikiran dengan mas" ucap Tsabit dalam keadaan melajukan mobilnya. Pria pengendara itu
tersadar sesuatu. Sesegera mungkin ia mengenakan helm lalu mengejar mobil Tsabit. Setibanya tak jauh dari mobil, ia mengetuk kaca jendela.
"Kamu belum tahu nama saya. Gimana kamu bisa senang mengenal saya?" ucap pria pengendara setelah berhasil memancing Tsabit membuka kaca jendela mobilnya.
Gadis itu menggeleng sambil menimang dalam hati. Haruskah ia meladeni pria maskulin ini" Dia memang tampan. Walaupun ketampanannya belum sebanding dengan
Idzar. Tapi, aish! Idzar lagi Idzar lagi. Its time to move on, Tsabit!
"Siapa tahu waktu mau berbaik hati mempertemukan kita lalu melanjutkan misi yang tertunda" ucapnya lagi sambil beberapa kali fokus ke jalanan. Ia nampak
susah payah menyeimbangkan laju motor dengan mobil Tsabit. Tekadnya begitu kuat untuk mengenalkan diri kepada gadis unik yang berhasil menarik perhatiannya.
"Anda ambisius juga rupanya" komentar Tsabit. "Yaudah. Siapa nama mas?"
"Abrar" Si pria pemilik nama Abrar tersenyum manis. Senyuman berbahaya yang bisa membuyarkan konsentrasi siapa saja, termasuk Tsabit. Setelah itu keduanya berpamitan
memisahkan diri di persimpangan jalan. Tsabit mengambil jalan lurus, sedangkan Abrar mengambil arah kanan.
*** Di sebuah kamar yang luas tersuguh lautan warna softpink yang indah. Ada sentuhan warna putih yang turut mempermanis dindingnya. Mulai dari tirai tirai
yang bergelayut di jendela kokoh. Lalu sprei tempat tidur dibuat dengan motif bunga sakura. Tak lupa meja belajar dilengkapi kursinya pun menggunakan warna
khas perempuan itu. Di sudut kamar terdapat boneka teddy bear besar seukuran tubuh manusia dewasa tergeletak dengan posisi duduk. Ukurannya yang besar sangat cukup untuk menghangatkan
diri dibalik bulu bulu halus yang menyelimuti si boneka beruang cokelat itu. Tepat di sebelahnya ada si cantik boneka barbie berjajar rapi menemani sang
beruang. Mulai dari barbie yang memiliki sayap, lalu barbie bergaun princess sampai barbie yang mengenakan hijab turut melengkapi koleksi keberadaan mereka.
Tepat di sisi lain, sang pemilik kamar sedang sibuk menata rumah rumahan barbie yang kian hari warna pinknya mulai kusam. Rumah rumahan itu sudah ada sejak
2 tahun yang lalu. Sejak pemiliknya meminta hadiah rumah rumahan tersebut sebagai hadiah ulang tahun.
Kini ia mulai mengelap bagian atap rumah rumahan menggunakan kain perca. Sesekali tangan mungilnya menyibak anak rambutnya ke belakang telinga.
"Nanti kalau rumah kamu udah bersih, kamu harus rajin sholat ya Khadijah" si gadis kecil pemilik mainan berbentuk rumah yang indah itu nampak berbicara
dengan deretan barbie di belakangnya. Khususnya kepada sang barbie berhijab polkadot itu.
"Sebentar lagi rumah kalian bersih. Tapi jangan sampai kotor lagi. Oke?"
"Oke deh" Ada suara lain yang menyahut dari arah pintu kamar. Si gadis menoleh ke asal suara. Seorang pria tinggi tegap sempurna berdiri di ambang pintu. Ia tersenyum
hangat lalu berjalan menghampiri si gadis kecil berusia 4,5 tahun itu. Tentu saja si gadis tersenyum bahagia menyambut kehadiran sang papa yang dinantinya
sejak tadi siang. "Papa kok lama sih, pulangnya. Diva bosen disini" adunya setelah menghentikan aktifitas bersama rumah rumahan pink itu kemudian berangsur memeluk sang
papa. Si papa masih mempertahankan senyuman seraya mengelus puncak kepala gadis kecil bernama Diva.
"Maafin papa ya sayang. Tapi kan sekarang papa udah disini nemenin kamu. Kamu udah makan?" Si papa merapikan rambut Diva yang terurai indah. Rambut ikal
sepanjang punggung itu disibaknya dengan jari lalu diikat ke atas menggunakan ikat rambut yang tergeletak di atas nakas. Sekarang diva terlihat lebih cantik
dengan rambut dikuncir kuda.
"Belum. Papa kita ke rumah eyang, yuk! Diva mau main sama eyang aja. Pasti disana juga ada mama, deh. Yuk, pa!" Rengek diva mulai manja kepada papanya
itu. Tangan mungilnya nampak memeluk bahu kekar papa. Si papa belum merespon. Hanya tersenyum samar menanggapi permintaan putri satu satunya itu. Ia pun
menggendong diva lalu melangkah keluar kamar.
"Tapi kan diva belum makan. Mbak Sari gak nyiapin makan buat kamu?" Tanya si papa. Tak lama wanita jawa berpenampilan sederhana bernama Sari itu muncul
dari arah dapur. "Maaf, pak. Tadi saya udah nyiapin makan buat non diva. Tapi divanya gak mau. Sudah saya bujuk juga gak mau. Saya malah di usir dari kamarnya, pak" mendengar
laporan dari assisten rumah tangganya, Si papa langsung menatap protes putrinya.
"Kenapa sayang?"
"Diva gak mau makan disini. Diva mau makan sama eyang. Papa pergi pergian terus. Diva bosen"
Rasa iba perlahan menyusup ke dalam hati pria berusia 30 tahun itu. Kesibukannya akhir akhit begitu berpengaruh dengan mental anaknya yang kian hari kian
manja membutuhkan kasih sayang dirinya dan juga sang istri. Kasihan sekali putrinya. Setiap hari harus berteman dengan sepi manakala orangtuanya mulai
sibuk dengan pekerjaan mereka. Sang papa menatap lembut Diva. Gadis itu menguap dalam gendongan papanya. Tak lama, dering ponselnya berdering dari arah
saku celana. Si papa duduk di sofa masih dalam keadaan menggendong Diva, berusaha susah payah mengeluarkan ponsel slimnya itu.
"Iya, ma. Ada apa?"
"Ada apa, ada apa. Kamu dimana Abrar"! Kenapa baru angkat telpon mama" Mana Diva?" Pria bernama Abrar menjauhkan ponsel dari telinganya sejenak sambil
mengendik ketika pertanyaan bertubi tubi hampir memecahkan gendang telinganya.
"Tadi Abrar lagi di jalan, ma. Gak sempet angkat telpon. Abrar udah sampe rumah kok. Diva lagi sama Abrar sekarang. Mama mau ngomong?" Jawab Abrar halus
sambil melepas jam tangan hitamnya lalu bersandar pada bagian belakang sofa. Diva turut menyandarkan diri di dada bidang Abrar. Mata gadis itu mengerjap
ngerjap berair tanda ia mengantuk.
"Gak usah. Kamu bawa aja Diva kesini. Biar mama yang urus Diva. Lama lama Diva bisa jadi anak broken home kalo orang tuanya sibuk kerja terus" cerocos
sang mama dari seberang sana. Abrar hanya bisa mendengar sambil manggut manggut lalu meng-iya iyakan apa saja yang terlontar dari mulut sang mama.
"Besok kamu bawa baju sama perlengkapan Diva kesini ya. Ajak Sari juga. Biar dia bantu mama disini ngurus Diva. Dan kamu juga tinggal aja disini sama mama.
Rumah kamu yang itu biarin aja kosong. Mama udah sewa orang buat ngurus dan ngerawat rumah kamu selama kosong, Paham?" Nadanya tegas dan wibawa. Cukup
menciutkan nyali Abrar. Secerewet apapun, wanita yang sedang berbicara itu adalah ibunya, juga eyang putri dari Diva.
"Iya, paham. Yaudah Abrar mau tidurin Diva dulu ya, ma. Kasihan dia udah ngantuk dari tadi."
"Jangan dibiarkan tidur dulu. Diva belum makan dari siang nunggu kamu" sergah mama buru buru.
"Kok mama tahu Diva belum makan?"
"Ya jelas tahu lah. Buat apa mama simpen nomor Sari kalau bukan buat pantau Diva juga kamu. Kalau mobil gak di pake adek kamu, mungkin mama udah meluncur
kesana jemput Diva. Kamu pikirin nasib psikologis Diva gak sih, brar?"
Abrar ingin meledak hari ini mendengar celoteh mamanya yang tak kunjung henti. Setiap ia menjawab satu kalimat. Mama menanggapinya dengan banyak paragraf
ucapan yang panjang tanpa jeda. Pasti hal yang sama juga di alami Sari, assisten rumah tangganya yang setiap hari di telpon nyonya besarnya untuk memantau
keadaan cucu kesayangannya itu. Sabar ya Sari. Keluh Abrar dalam hati.
"Iya, ma. Maaf. Tapi kalau dibangunin kasian Diva. Dia ngantuk banget"
"Salah kamu sendiri itu. Dengerin mama ya Abrar. Pekerjaan itu gak menjamin kamu bisa bahagia dengan keluarga yang senantiasa selalu ada buat kamu. Uang
uang kamu itu gak cukup untuk membayar kenikmatan dan kasih sayang keluarga terhadap kamu. Kalau kamu kenapa napa, yang peduli pasti keluarga, kan" Bukan
teman teman kerja atau atasan kamu sekalipun"
Abrar diam. Hembusan nafas berat mencuat keluar perlahan dari rongga mulutnya. Tangan kanannya tak henti mengelus kepala Diva yang mulai nyenyak dalam
mimpi, bersandar nyaman di dadanya.
"Kamu harus terjaga malam ini. Biasanya kalau belum makan, Diva suka terbangun tengah malam. Bilangin Sari siapin makanan kalau nanti Diva minta makan.
Kamu yang nemenin dia makan. Kalau perlu suapin dia. Paham kamu, Abrar?"
"Paham, mama ku sayang. Abrar begadang deh malam ini nemenin Diva"
"Bagus. Yaudah mama tutup ya. Inget pesan mama tadi"
Panggilan berakhir. Berakhir pula ceramah dari sang mama. Dalam waktu 10 menit mendengar celoteh mamanya, selama itu pula telinga Abrar memanas. Setelah
ini ia berjanji akan membawa Diva ke rumah mamanya. Siapa tahu dengan melakukan itu, ocehan mama terhadapnya berkurang sedikit. Meskipun ia sudah terbiasa
mendapat serangan seperti itu dari mamanya setiap malam, tetap saja Abrar harus mengelus dada setiap hari. Belum lagi kalau memikirkan pekerjaannya yang
kian hari kian menumpuk. Benar juga kata mama, uang uangnya tidak mampu untuk membayar kenikmatan bersama keluarga.
*** "Pergi lagi, ma?"
Tsabit baru saja keluar dari dapur membawa semangkuk buah potong yang dilumeri susu kental di atasnya. Mendapati mamanya tengah bersiap untuk pergi, ia
berjalan mendekat. "Iya. Gak lama kok. Cuma dua hari. Setelah itu mama free selama sebulan" wanita cantik yang usianya hampir mencapai 47 tahun itu, nampak menyemprotkan
parfum ke tubuh di depan cermin.
"Oh ya" Tumben" respon singkat itu membuat Liana--begitu namanya--menoleh ke belakang dimana putrinya berdiri mengamati. "Mama sibuk salah. Mama gak sibuk
juga salah. Malah dibilang tumben" Liana melanjutkan aktifitasnya. Kini ia tengah merapikan ujung jilbab segiempat yang dilipat ke belakang lalu dililit
menyisakan sebagian anak rambut yang terlihat. Tsabit begitu jeli sehingga tangannya berinisiatif merapikan anak rambut itu.
"Kamu emang gak seneng kalau mama di rumah?"
"Seneng, ma. Banget malah. Bisa gak freenya selamanya aja" Sebulan mah gak berasa" setelah mamanya terlihat lebih rapi dari sebelumnya, Tsabit menyuap
sepotong strawberry bersusu ke dalam mulut. "Lagipula guci guci mama itu kok gak abis abis, sih. Katanya peminatnya banyak" protes Tsabit cemberut.
"Justru karena peminatnya banyak, mama gak bisa berhenti hunting guci guci antik baru, nak. Harga mereka mencapai puluhan juta bahkan ratusan. Keuntungannya
pun tidak kecil" jelas Liana menggebu gebu.
"Dan kemarin mama baru saja membeli guci martavan peninggalan dinasty Tang. Guci itu baru ditemui di Indonesia khususnya di Kalimantan barat, termasuk
produksi baru di Singkawang. Makanya kemarin mama bela belain ke Kalimantan cuma buat itu. Dan hasilnya gak sia sia" Liana tersenyum puas tak peduli dengan
ekspresi datar Tsabit yang menyebalkan itu. Sejujurnya, ia malas kalau sudah mendengar mamanya membicarakan guci guci yang menurutnya tak lebih dari sekedar
pajangan berkeramik. Di salah satu ruangan di rumahnya, terdapat jejeran guci guci kuno. Benda benda itu terawat dengan sangat baik dan rapi oleh sang
mama. Liana memperlakukan benda antik itu dengan istimewa sehingga benda tersebut nampak bersih, mengkilap, dan menampilkan keagungan auranya
Pada awalnya guci digunakan untuk wadah barang barang dagangan pada masanya. Tapi ternyata suku suku di Asia tenggara terutama suku Dayak suka sekali guci
sebagai bebda dekorasi di rumah rumah mereka. Ini yang menyebabkan China memproduksi guci guci dengan kualitas istimewa hanya untuk pasar Asia tenggara.
Guci guci ini di wariskan ke anak cucu dan seterusnya sehingga lama lama dianggap sebagai benda pusaka. Bahkan keraton keraton nusantara misalnya, keraton
kutai, cirebon, yogyakarta, dan surakarta mempunyai guci guci pusaka.
"Mau aku antar ke Bandara?" Tawar Tsabit setibanya di halaman membantu Liana menaruh koper di dalam bagasi.
"Gak usah sayang. Kan udah sama pak Wardoyo" Wardoyo adalah sopir keluarga Tsabit yang sudah mengabdi selama 27 Tahun. Tepatnya sejak Tsabit lahir.
"Mama gak takut sendirian?"
"Takut sama apa" Emangnya mama, kamu" Liana mencolek hidung mancung putri semata wayangnya. Tsabit meringis geli. "Oh ya, bilang ke papa, jangan lupa hubungi
uncle Joe buat kasih tahu kalau mama udah terbang lagi ke Kalimantan ya, sayang" wanita itu beralih mengelus pipi Tsabit.
"Oke. Segera kabari aku kalau sudah tiba ya. Safe flight, mom. Love you"
"Love you too. Jangan nakal di rumah. Assalamualaikum" pesan Liana diakhiri salam setelah mencium pipi Tsabit dengan lembut kemudian memasuki mobil bersiap
berangkat menuju Bandara.
"Waalaikumsalam" jawab Tsabit melambaikan tangan ke udara mengiringi kepergian sang mama yang perlahan menjauh dari pandangan.
***

Tsabita Ilana Karya Suffynurcahyati di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

TBC... 02. Pertarungan dua kubu Macet lagi. Kehidupan Tsabit bahkan para pekerja keras seperti dirinya, terasa hampa jika tidak dibumbui kemacetan yang mengisi perjalanannya dalam mencapai kesuksesan.
Terkadang itulah hidup. Kita harus mengorbankan air mata untuk mendapatkan hidup yang lebih baik.
Macet kali ini nampak parah. Sudah ada satu jam mobil yang dikendarai Tsabit berada ditengah barisan kendaraan yang sama. Tidak ada pergerakan sama sekali.
Kalaupun ada, itu terjadi setiap lima belas menit sekali, itu pun hanya sekitar 2 meter. Tsabit berdecak gusar dalam kemudi. Untungnya perusahaan memberi
kompensasi pulang lebih cepat. Dan niatnya hari ini, sepulang bekerja ia hendak mengunjungi Idzar untuk membicarakan laporan" perusahaan yang bermasalah
tempo hari. Ketika kendaraan perlahan maju, mulai nampak penyebab dari kemacetan ini. Sekumpulan mahasiswa nampak berkumpul memenuhi jalan melakukan orasi. Jumlahnya
sangat banyak. Mungkin ada ratusan. Ada yang berteriak teriak. Ada yang sibuk membawa spanduk panjang. Spanduk tersebut di pegang oleh sekitar 3 orang.
Ada yang hanya ikut berjalan saja. Ada juga yang melakukan aksi teater di jalan.
Tumbuh rasa penasaran, Tsabit berinisiatif bertanya kepada penjual es cendol yang menepi di pinggir jalan. Kebetulan mobilnya berada di sebelah kanan tak
jauh dari lokasi para pedagang yang mangkal.
"Ini demo apa, pak?" Tanya Tsabit kepada bapak tua penjual es cendol. Kepalanya dilongokan ke luar jendela mobil.
"Menuntut keadilan, neng. Protes tentang hukuman mati itu" jawab si bapak penjual cendol sekenanya. Tsabit menelaah dalam diam. Dilihatnya lagi kondisi
demo di sana. "Kasus bali nine itu ya pak?" Tanya Tsabit lagi. Bapak penjual itu menaikan bahu sambil berujar, "iya kayaknya. Saya mah engga paham sama begituan, neng"
bapak itu cengengesan. Ditengah rasa penasaran yang luar biasa, ada seorang mahasiswa yang sedang asyik menikmati es cendol si bapak itu. Ia sempat melihat interaksi Tsabit dengan
si bapak. "Menolak rencana pemerintah, mbak. Perihal eksekusi terpidana warga negara asing yang terlibat kejahatan Narkoba. Khususnya kasus bali nine itu" pria itu
menjelaskan sambil menyuap sesendok es cendol dengan nikmat. Tsabit menoleh ke arah sumber suara.
"Lalu apa yang teman teman kamu inginkan?"
"Keadilan mbak. Itu melanggar Hak Asasi Manusia. Hukuman itu tidak manusiawi. Kami menuntut hukuman yang benar benar adil. Bukan hukuman mati. Mereka para
warga asing di sana memiliki hak untuk hidup" mahasiswa bertubuh tegap itu baru saja meletakan gelas kosong di kursi kayu panjang. Ia menaikan kaki ke
atas kaki satunya. "Termasuk mas, menolak keputusan tersebut?"
"Iya lah. Hukuman mati adalah bentuk hukuman yang merendahkan martabat manusia dan bertentangam dengan hak asasi manusia, mbak. Atas dasar inilah kemudian
banyak negara menghapuskan hukuman mati dalam sistem peradilan pidananya. Sampai sekarang ini sudah ada 97 negara menghapuskam hukuman mati" mahasiswa
begitu tegas dan kritis dalam menjelaskan. Sepertinya ia tidak peduli mau Tsabit mengerti ucapannya atau tidak. Yang Tsabit heran, kenapa ia tidak bergabung
dengan teman lainnya sesama mahasiswa yang turun ke jalan sana"
"Meskipun si pidana melakukan kejahatan paling berbahaya sekalipun?"
"Tentu, mbak. Buat apa ada rehabilitasi kalau bukan untuk menanggulangi pengguna Narkoba" jawab mahasiswa itu enteng. Tsabit menghela nafas pendek sambil
menatap remeh. "Dangkal banget pikiran kamu. Justru diadakannya hukuman mati karena Rehabilitasi bahkan kurungan penjara sekalipun tidak memberi efek jera kepada pelaku.
Bahkan kalau kamu tahu, peredaran narkoba itu sendiri sudah berjalan dengan lancar secara sembunyi sembunyi di salah satu rumah tahanan. Itu pasti ada
oknum oknum nakal yang turut berpatisipasi dalam kejahatan tersebut. Itu artinya Narkoba sudah berada pada titik yang harus ditanggulangi dengan tegas.
Kurungan penjara atau denda aja gak cukup, mas" timpal Tsabit tak kalah kritis. Mahasiswa ber-almamater kuning itu diam. Menyimak penjelasan Tsabit dengan
seksama. Ia menunggu gadis itu menyampaikan lagi pembelaannya terhadap rencana pemerintah perihal eksekusi mati tersebut.
"Hukuman mati memberi efek cegah terhadap penjahat potensial kejahatan Narkoba. Bila menyadari akan dihukum mati, penjahat demikian setidaknya akan berpikir
seribu kali sebelum melakukan kejahatan Narkoba. Dan fakta membuktikan, bila dibandingkan dengan negara negara maju yang tidak menerapkan hukuman mati,
Arab saudi, yang memberlakukan hukum islam dan hukuman mati, memiliki tingkat kejahatan yang rendah." Jalanan masih sama. Tidak ada pergerakan. Lagi lagi
Tsabit mengisi kemacetannya dengan pedebatan entah dengan siapa pun. Kalau waktu itu ia berdebat dengan pria dewasa yang ambisius. Kali ini ia berhadapan
dengan mahasiswa bermata sayu bertubuh atletis, juga kritis.
"Lalu bagaimana dengan pemerkosa" Kalau pemerintah ingin menerapkan hukuman mati kenapa hanya kejahatan Narkoba aja?"
Tsabit berpikir mahasiswa di hadapannya saat ini sedang menguji pengetahuannya. Asal jangan sekali kali menguji kesabarannya. Habis sudah riwayat mahasiswa
berkulit putih itu. "Narkoba merupakan satu satunya kejahatan luar biasa yang menistakan perikemanusiaan. Kejahatan yang merenggut hak hidup tidak hanya satu orang, melainkan
banyak manusia. Dalam keadaan darurat narkoba seperti sekarang ini, ketika kejahatan narkoba telah merusak generasi muda dan merampas hak hidup banyak
manusia di Indonesia adalah dengan menjatuhkan hukuman mati. Kalau mas berpikir tentang Hak asasi manusia. Mas pikirkan juga bagaimana hak asasi manusia
untuk hidup harus terenggut sia sia dengan benda pembunuh bernama Narkoba."
"Dan jangan membandingkan dengan tindak kejahatan lain, mas. Semua tindakan kriminal itu sama. Sama sama dosa dan merugikan orang lain. Tinggal bagaimana
mereka menanggulangi agar kejahatan tersebut tidak terjadi. Dan lihat juga dari dampaknya. Narkoba menimbulkan dampak negatif yang besar. Sekali lagi,
tidak hanya satu, tapi banyak orang" kali ini Tsabit nampak kewalahan. Nafasnya berhembus tidak beraturan menanggapi si mahasiswa. Belum lagi melihat wajah
tengilnya itu. Dia itu sok ganteng atau apa" Selama Tsabit berbicara, ia sering sekali mengusap rambutnya ke belakang, lalu menatap sekitar sambil senyum
senyum. Seolah tidak mendengar penjelasan Tsabit. Tebar pesona sama pedagang pinggir jalan"
Tak lama mahasiswa tersebut beranjak dari kursi lalu berjalan menuju mobil Tsabit. "Berarti mbak berpakaian seperti ini, untuk menghindar dari kejahatan
pemerkosaan ya?" Satu pertanyaan sukses membuat Tsabit menatap tajam mahasiswa yang kini sedang berdiri angkuh di depan pintu mobil.
"Seperti ini apa maksud kamu?" Mata gadis itu menyipit tak senang.
"Ya seperti mbak kenakan sekarang. Memakai penutup kepala. Ditambah lagi kain memanjang yang membungkus tubuh anda ini. Bukankah ini bagian dari strategi
anda menghindari kejahatan pemerkosaan?" Menutup aurat maksudnya" Mahasiswa itu nampak mengabsen penampilan Tsabit dari ujung kaki sampai ujung kepala.
Ini pertama kalinya gadis itu memakai rok. Dan rasanya sangat tidak enak.
"Jaga mulut kamu ya. Berhijab merupakan kewajiban. Bukan yang seperti kamu pikir" Tsabit mulai tak mempedulikan beberapa kendaraan yang mulai mengklaksoninya.
"Kita sedang membahas narkoba. Bukan pakaian saya. Paham?"
"Kan mbak sendiri yang memulai perdebatan ini. Jadi, jangan salahin saya. Mbak gak tau sedang berhadapan dengan siapa?" Si mahasiswa berhasil menggiring
Tsabit keluar dari mobil. Kini tubuhnya sudah berada di hadapan mahasiswa yang jika dilihat dari dekat terlihat lebih manis. Dan lihat bagaimana tingginya
tubuh mahasiswa tersebut. Tinggi Tsabit yang hanya mencapai dagunya harus mendongak jika ingin bertatapan langsung dengannya.
"Penting buat saya" Saya cuma minta kamu tarik kembali kata kata kamu tadi" telunjuk Tsabit menunjuk batang hidung si mahasiswa dengan mata yang menyalang.
"Sebelum saya tarik ucapan saya. Kamu bisa jawab pertanyaan saya?" Tantang si mahasiswa sambil bertolak pinggang dengan angkuh. Tsabit membuang wajah kasar
pandangannya seraya mengumpulkan kesabaran. "Kenapa Tuhan mewajibkan kaum wanita membungkus dirinya seperti ini, kalau bukan karena takut ancaman para
pemerkosa?" Tsabit menarik nafas dalam dalam seraya menahan geram. Rahangnya mengeras dari balik pashmina abu abunya. Matanya menyalang seperti ingin menelan hidup
hidup mahasiswa ingusan tengil ini.
"Lebih dari sekedar itu. Karena wanita itu istimewa, maka Allah mengistimewakan wanita. Tidak hanya terhindar dari para pemerkosa. Tapi juga dari pria
berpikiran kotor seperti kamu" telunjuk Tsabit baru saja mendorong dada mahasiswa meski kekuatannya hanya bisa membuat pria itu mundur satu langkah.
"Tapi pada kenyataan sekarang ini. Kaum yang memakai pakaian seperti kamu, cenderung menjadikannya tak lebih dari sekedar kedok untuk menutupi kebusukannya.
Buktinya, wanita di hadapan saya sekarang. Bukankah wanita yang berhijab itu memiliki kesan anggun, kalem, tenang. Tapi saya tidak melihat itu semua di
diri mbak,...." mahasiswa itu mencoba mengeja nama yang tertera pada nametag yang melingkar di leher Tsabit. Sialnya, Tsabit lupa melepasnya sepulang bekerja.
".....Tsabita Ilana"
"Hijab bukan media mengubah seseorang menjadi orang lain. Justru keindahan dalam perbedaan itu sunnatullah. Asalkan perbedaan tersebut ternaungi oleh akhlak
yang baik. Dengan hijab yang saya kenakan, saya tidak perlu menjadi orang lain--atau yang seperti kamu bilang--saya ya saya. Kalau pun saya harus bersikap
lembut, itu bukan di hadapan kamu. Orang seperti kamu sepertinya tidak pantas mendapatkan perlakuan lembut"
"Tetep aja, munafik!" Cibir si mahasiswa memalingkan wajah.
"Saya jadi kasihan sama kamu. Pasti orang orang seperti kamu, butuh piknik deh. Main kamu kurang jauh, dek. Terutama otak kamu. Ajak dia sekali kali ke
luar sana. Melihat bagaimana pesona akhlak wanita tanpa harus memperlihatkan anggota tubuh mereka" ujar Tsabit sinis. Ia berbalik menuju mobil karena tidak
ingin membahas ini lebih panjang. Ini akan menguras kesabaran dan emosinya. Apa kata orang kalau ia berdebat dengan seorang bocah ingusan, pikirnya.
"Saya juga kasihan sama mbak, pasti anda butuh belaian laki laki saat ini. Saya tidak keberatan kalau anda mau"
Bagai sambaran petir di siang bolong. Kalimat itu mampu menghentikan langkah Tsabit bahkan menghentikan tangannya ketika akan membuka pintu mobil. Darah
yang ia tahan perlahan mengalir hingga ke ubun ubun. Merasa harga dirinya akan terinjak injak. Dan semua respon itu terjadi dengan super cepat sehingga
ia berbalik tegas lalu menatap tajam si mahasiswa. Tsabit berjalan mantap mendekat. Matanya mengabsen setiap inci penampilan sederhana namun memancarkan
aura ketampanan yang tidak biasa. Dalam beberapa detik, sepasang mata coklat itu menangkap bordiran nama yang melekat pada almamater kuning miliknya.
"Heh! Kelana Arsalais! Jaga mulut kamu! Tidak sepantasnya kamu berkata seperti itu kepada orang yang lebih tua. Pasti orang tua kamu gak ngajarin kamu
bertata krama, ya?" "Oh.. lebih tua" Oke. Saya akan menjaga mulut saya, tante Tsabita ilana" ujar mahasiswa bernama Kelana itu tersenyum remeh. Dengan memberi penekanan pada
kalimat akhir. Senyum yang diberikan bak seringai serigala hendak menikam sang mangsa.
"Saya tidak tahu siapa kamu. Dan saya tidak mau tahu siapa kamu sebenarnya. Saya,--"
"Prams Coorporation, ya" Ayah saya, Dirga Santoso, salah satu Investor terbesar disana. Di perusahaan dimana tante bekerja. Sudah jelas?" Dengan gaya angkuh
hiperbola, Kelana memotong begitu saja perkataan Tsabit sambil memperkenalkan jati diri sang Ayah yang ia banggakan. Bermodal nametag yang masih melingkar
di leher Tsabit, informasi yang tertera disana cukup menjadi senjata ampuh menjatuhkam wanita yang baru saja berurusan dengannya. Rupanya Tsabit bekerja
di perusahaan dimana ayah Kelana menanam saham. Suatu kebetulan yang menyebalkan.
Jelas saja Tsabit tidak terima dengan perlakuan ini. Andai ia berada di dunia animasi, pasti gumpalan asap merah mengudara dari hidung dan kepalanya saat
ini. Kesabarannya sudah tidak bisa dikendalikan. Sudah cukup ia menahan amarah terhadap anak manja tengil ini. Sambil menggeretakan gigi menahan geram,
Tsabit menarik kerah kaos putih Kelana lalu mendorongnya sehingga ia tersungkur ke bawah.
"Heh! Anak ingusan! Mau ayah kamu investor terbesar kek, bahkan direktur sekalipun, saya gak peduli. Mulut kamu itu perlu disekolahin! Omongan kamu kayak
orang gak berpendidikan tau gak! Kamu pikir saya takut"! Hah" Gak akan. Jangan mentang mentang kamu masih muda terus aku takut!" Dengan sekuat tenaga,
kedua tangan Tsabit mengguncang guncangkan tubuh Kelana melalui cengkraman kaos putihnya. Cacian serta makian mengiringi aksi frontal gadis itu. Tidak
peduli dengan keadaan Kelana yang sempat tersungkur lalu jatuh ke aspal dalam keadaan duduk.
"Mau kamu panggil tante kek, ibu atau eyang kek, saya gak peduli! Saya sumpahin kamu jomblo seumur hidup!" Maki Tsabit penuh sumpah serapah. Keadaan semakin
ramai. Kini kerusuhan tak hanya satu tapi dua. Yakni sekumpulan massa yang mulai mengerumuni pertengkaran Tsabit dengan Kelana. Kebanyakan dari mereka
hanya berperan sebagai penonton. Ada yang mencibir sambil berbisik bisik. Ada yang mengabadikannya lewat ponsel mereka. Sungguh miris! Dimana rasa kepedulian
mereka" "Kamu baru saja menyakiti perasaan seorang wanita. Bayangkan kalau ibu kamu berada di posisi saya"! Heum!" Kekuatan Tsabit bertambah. Buktinya dengan satu
tangan ia mampu menarik kaos putih Kelana hingga menggiring pria itu terbangun dari posisinya. Kelana hanya bisa membiarkan dirinya menjadi korban amarah
Tsabit. Wajahnya tetap memancarkan aura ketenangan yang tersembunyi di balik seringai angkuh. Diam diam ia mengamati wajah Tsabit ketika gadis itu menatapnya
penuh benci. "Astaghfirullah.. bukannya dipisahin malah ditonton. bubar! Bubar!" Teriak pria tua ber-uban berbaju batik lengan panjang sambil membawa tas hitam besar.
Tangannya mengibas ngibas guna mengusir warga sekitar. Lalu ia menghampiri Tsabit yang masih menghakimi Kelana.
"Mbak udah mba. Semua ini bisa diselesaikan baik baik. Malu mbak dilihat orang" bapak tua itu mencoba menenangkan Tsabit.
"Dia harus dikasih pelajaran. Dia gak sadar kalau dia udah nyakitin hati perempuan, pak. Perempuan itu lemah, Allah yang menguatkan" jawab Tsabit setelah
melepas cengkraman dengan kasar. Mengatur irama nafas yang berhembus. Tapi tatapan benci itu belum mau berpindah dari sang objek.
"Iya saya tahu. Tapi alangkah baiknya masalah antara mbak dan mas diselesaikan dengan kepala dingin. Semua pasti ada jalan keluarnya. Bukan di tempat umum
seperti ini. Tuh mba lihat! Mbak sama mas jadi tontonan orang banyak" bapak itu menunjuk segelintir warga yang setia menjadi penonton gratisan. Tsabit
tak henti hentinya menarik nafas seraya beristighfar dalam hati. Ucapan bapak itu ada benarnya. Kini dalam waktu sekejap ia sudah menjadi terkenal di kalangan
warga sana. Mungkin sebentar lagi namanya akan muncul di berita berita online dengan judul 'seorang gadis berhijab menganiaya mahasiswa' dan itu akan semakin
menambah image buruk tentang dirinya juga kepada Kelana yang menganggap Hijab hanyalah sebuah kedok belaka. Sungguh syeitan berhasil memancing emosinya.
Dan itu gara gara Kelana!
"Sekarang mas sama mbak pulang. Mbak minta maaf sama mas nya. Kasihan suami sendiri diperlakukan kayak gitu. Masalah dalam rumah tangga itu wajar"
Kini ekpresi kaget Tsabit dan Kelana terjadi secara bersamaan. Keduanya mengendik seiring kerutan menyertai wajah mereka. Bapak itu mengira mereka adalah
sepasang suami istri yang bertengkar karena sang suami selingkuh, atau Karena suami pengangguran. Entahlah. Yang jelas Tsabit tidak terima dengan ketidak
tahuan sang bapak baik hati ini.
"Saya gak sudi jadi istri dia pak. Terimakasih sebelumnya. Saya permisi. Assalamualaikum" Tsabit berbalik pergi meninggalkan si bapak dan Kelana. Tak lama
Kelana menatap si bapak tua.
"Selera saya tinggi. Gak seperti cewek bringas itu, pak. Saya juga permisi. Thank you, pak udah nyelametin hidup saya dari harimau betina tadi"
Kelana pun berlalu meninggalkan si bapak. Dengan gaya santai ia merapikan almamater lalu kembali menebar pesona cool yang sempat pudar karena keberingasan
Tsabit. Sepulang dari rumah Idzar, Tsabit langsung berjalan menuju kamar. Dengan langkah lunglai seraya mendongak memijit mijit pelipisnya, berusaha mengusir penat.
Ia sampirkan tas jinjingnya melewati bahu sedang tangan satunya menenteng sepatu highheels abu abu.
"Tumben baru pulang sayang" sapaan tersebut berasal dari arah ruang TV. Tsabit menoleh, mendapati James tengah duduk manis di sofa menonton televisi. Ia
tersenyum sekilas menatap barbie--kucing anggora kesayangan sang papa juga dirinya--berada di pangkuan James sedang dielus elus lembut.
"Macet, pa" jawab Tsabit sekenanya.
"Macet banget?" Tsabit terhenti dari langkahnya lalu menjawab, "banget. Ada demo juga. Ada tawuran juga" Tsabit menaikan bahu. nada bicaranya terdengar
malas. Tapi tidak mempengaruhi rasa ingin tahu James pada cerita putrinya.
"Oh ya" Ada tawurannya juga?"
Tsabit mengangguk lemah. "Tawuran tunggal, pa. Antar mahasiswa dengan wanita karier"
James semakin dibuat penasaran akan penjelasan Tsabit. Ia menggendong barbie lalu berjalan mendekat. "Kok bisa" gimana ceritanya" Kamu melihatnya langsung?"
Bukan melihat lagi. Justru dirinyalah pelaku utama tawuran tersebut. Sejujurnya Tsabit malas kalau membahas pertengkaran dengan Kelana tadi siang. Itu
hanya akan menambah kebenciannya. Sedangkan ia tidak ingin menjadi pribadi yang pembenci. Sekali pun terhadap orang yang sudah membuatnya malu. Nasehat
Idzar, Aufa juga tante Diana setidaknya mampu menenangkan pikirannya saat ini. Setelah sebelumnya ia menceritakan kejadian itu kepada mereka, ia pun mendapatkan
banyak pemahaman tentang sejatinya seorang wanita yang menutup aurat.
"Hijab memang identitas seorang muslimah. Karena itu yang membedakan wanita muslimah dengan wanita lainnya. Maka dari itu Allah mewajibkan kaum wanita
untuk menutup auratnya. Tapi hijab tersebut tidak menjadi patokan akhlak seseorang. Karena urusan akhlak hanya antara manusia dengan Tuhannya. Tidak disangkut
pautkan dengan hijab. Wanita berhijab memang belum tentu berakhlak, tapi wanita berakhlak sudah pasti berhijab" begitu kata Aufa tadi siang. Idzar pun
turut menambahkan. "Kalau ada yang menyalahkan kamu. Salahkan orangnya. Bukan hijab atau agamanya. Karena islam itu sempurna"
Tsabit menyimpulkan bahwa sejatinya ketika wanita memutuskan berhijab, itu tanda bahwa ia taat pada perintah Tuhannya. Seperti dalam surat Al Ahzab ayat
59 "Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri istrimu, anak perempuanmu, dan istri istri mukmin 'hendaklah ia menutupkan jilbab mereka ke seluruh tubuh mereka'
yang sedemikian itu agar mereka mudah dikenali, sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah maha pengampun, Maha penyayang"
Dari sanalah sudah jelas bagaimana Allah melindungi kaum wanita sedemikian rupa agar mereka jauh dari fitnah dunia.
Tsabit ingat sekali. Pada waktu pertama kali dirinya masuk islam. Satu hal yang ia lakukan pertama kali ialah memakai hijab pemberian Liana. Sebuah pashmina
merah marun menjadi penutup aurat pertamanya. Sampai sekarang benda itu masih ia pakai.
"Panjang, pa ceritanya. Nanti aku ceritain ya" ujarnya lemah. James mengangguk seraya tersenyum hangat.
"Yasudah, papa tunggu di meja makan, ya. Papa belum makan nungguin kamu pulang" Tsabit membuang udara berat kemudian beralih membawa barbie dalam gendongannya.
"Papa kalau laper makan duluan aja. Nanti aku nyusul. Aku mau ajak barbie curhat malam ini. Boleh ya?" Tsabit memasang wajah memelas. Ini trik ampuh yang
selalu ia gunakan kalau mereka tengah berebut kucing anggora berbulu corak abu abu putih tersebut. James si penyayang tentu tidak tega melihat raut memelas
menggemaskan itu. "Kamu selalu menang, sayang. Yaudah jangan lupa makan ya" James tak berdaya kemudian ia pergi menuju ruang TV meninggalkan Tsabit yang sedang terkekeh
geli. *** Wanita paruh baya itu menghembuskan gumpalan asap dari mulutnya. Mereka berarak seperti kapas lalu pergi mengudara bersama tiupan angin malam. Matanya
menatap lurus lampu lampu jalanan komplek yang nampak sepi. Sudah selarut ini, para penghuni rumah rumah mewah nan besar itu pasti sudah terbang ke alam
mimpi. Terkecuali dirinya. Sudah satu jam yang lalu ia duduk berdiam di balkon atas ditemani sebatang rokok. Sesekali pandangannya mengarah ke langit langit
setelah itu melihat jam tangan emas di pergelangan tangan. Ia berdecak mengetahui di malam" selarut ini seseorang yang ia tunggu belum kunjung tiba.
Tak lama ponselnya bergetar. Menimbulkan suara getaran yang berasal dari meja bundar penuh pahatan ukiran khas jawa. Melihat sebuah nama yang tertera di
layar, wanita itu menarik senyum angkuh.
"Hallo, jeng siska. Gimana" Bisa besok pagi?" Ia menghisap benda bertembakau itu lalu menciptakan asap asap putih memenuhi wajah.
"Syukur deh. Berarti sekalian nge-brunch aja ya kita. Ajak jeng Widya sama mama Gendis ya" ia tertawa kecil seraya menyeka rambut pendeknya ke belakang
telinga. Kakinya dibuat menyilang. Terlihat begitu elegant bagi seorang wanita yang hanya mengenakan dress panjang berlengan pendek dibalut kimono tipis
yang menyertai. "Oke oke.. bisa diatur. Asal on time aja. Di cafe biasa ya" ia menekan nekan rokok yang mulai memendek di atas asbak. "Jam 9 gimana?"
"Oke. See you, ya. Bye"
Obrolan ringan itu berakhir. Wanita itu menutup panggilan seiring seringai tipis di wajah. Sayup sayup angin malam menggiringnya masuk ke dalam rumah seraya
merapatkan kimono tipis di tubuh langsing nan sexy itu lalu melupakan niat awalnya menunggu seseorang yang sampai detik ini belum menampakan batang hidungnya.
*** Tsabit nampak mengutak ngatik laptop di hadapannya. Sambil menenggelamkan sebagian wajahnya di atas bantal, ia memposisikan tubuhnya menelungkup di atas
ranjang empuk. Jemarinya aktif berpindah pindah dari satu huruf ke huruf yang lain. Matanya fokus pada layar. Meski terkadang barbie mengusiknya dengan
tingkah manja guna mencari perhatian. Mulai dari berdiam di atas papan keyboard sampai mencakar cakar layar. Tsabit tidak keberatan akan hal itu. Justru
dengan begitu kejenuhan dan segala penatnya perlahan berkurang. Malah terlihat menggemaskan.
Bosan dengan sesuatu yang disungguhkan pada layar, Tsabit meng-close file file tugasnya lalu beralih membuka salah situs media sosial. Sudah lama ia tidak
berkutat dengan akun akun medsos nya. Terutama facebook. Satu satunya hal yang ia ingat dari akun tersebut ialah user name yang ia pakai. Bitha cigadis
Manja'ngIn disayaNk Oh, sungguh. Alay merupakan fase kehidupan. Itu memang benar. Setiap manusia pasti mengalami. Terutama manusia yang bermukim di Indonesia. Tolong jangan
pandang anak alay sebelah mata. Karena mereka akan kembali ke jalan lurus pada waktunya. Kok agak melenceng ya"
Oke. Kembali ke topik awal. Untungnya Tsabit berhasil mengganti nama alay kuadratnya itu kembali normal. Cukup mencantumkan nama Tsabita. Tidak begitu
penting menyertakan nama lengkap. Toh, jumlah friendlist nya tidak begitu banyak dan mereka adalah orang orang yang Tsabit kenal dekat.
Terutama seseorang yang tiba tiba saja mengirim permintaan obrolan. Melihat sebuah notif yang muncul dari akun bernama Muhammad Rayyan, gadis itu tersenyum
kecil. Rayyan : ada angin apa nih, Tsabit on. Hehehe
Tsabita : Iseng, yan. Rayyan : kok gak ujan ya malem ini"
Tsabita : kenapa emang"
Rayyan : kalo kamu iseng buka facebook, pasti langsung ujan. Gak biasanya aja.
Tsabita : haha. Bisa aja.
Rayyan : bisa dong. Btw, kenapa belum tidur"
Tsabita : gak bisa tidur Rayyan : kenapa" Tsabita : ya gak bisa aja. Coba kamu tanya langsung sama mata ku. Mungkin menemukan jawaban dari sana hhe
Rayyan : ngaco, deh. Tsabita : kabar nyokap gimana" Kangen nih pengen makan tempe orek buatannya. Hhe
Rayyan : ibu udah tidur. Maen lah kesini. Ajak tante Lian juga. Aku kira kamu udah lupa sama ibu, termasuk aku. Eh keceplosan! Wkwk
Tsabita : woo maunya :p salam ya buat nyokap. Next time aku kesana bawa baju jaitan. Eh keceplosan juga! Wkwk
Rayyan : makin ngaco nih anak. Tidur sono tidur! Udah malem. Besok kerja.
Tsabita : libur wey, Rayyan Off "Yah, dia off" keluh Tsabit berdecak. "Udah mau tidur aja sih ni anak. Masih sore gini juga" Tsabit menengok jam weker di atas nakas. Waktu menunjukan
pukul 12:14 malam. Barbie pun mulai terlelap di atas ranjang empuk berselimuti kertas kertas berkas pekerjaannya.
*** 03. Sandiwara Sekumpulan anak berbagai macam usia nampak asyik berada di tanah lapang yang tidak seberapa luas. Tanah merah becek yang mengisi sebagian lapangan tersebut,
tak menyurutkan semangat mereka memainkan bola bola krystal berwarna yang biasa mereka sebut gundu. Tapi Tsabit sesekali pernah mendengar istilah lain
dari mainan itu. Kalau tidak salah namanya tale. Ya, sebagian dari mereka juga ada yang menyebutnya tale. Salah satu permainan zaman dulu yang mungkin
hanya di daerah ini, Tsabit bisa menemuinya. Disaat anak anak seusia mereka sedang aktif aktifnya bermain gadget canggih. Bahkan kemahirannya mengalahkan
orang orang sebelumnya. Yakni, orang orang yang pada zamannya belum mengenal gadget slim nan canggih tersebut.
Belum lagi baru baru ini dunia sedang gempar akan game keluaran terbaru bernama pokemon go! Sebuah aplikasi permainan dimana para penggunanya diharuskan
mencari monster monster pokemon berdasarkan lokasi mereka berada dengan mengandalkan sistem GPS yang tersedia dalam ponsel mereka. Permainan tersebut hampir
digandrungi seluruh kalangan, terutama anak anak.
Sembari berjalan melewati jalanan kumuh nan becek, Tsabit mengulum senyum. Menikmati kesusahannya berjalan di atas jalan sempit nan kotor. Di setiap langkahnya,
Tsabit menemukan hal hal tidak biasa yang tidak pernah ada di lingkungan rumahnya. Seperti, segerombolan ibu ibu yang sedang duduk di salah satu teras,
mereka duduk berbaris masing masing memegang kepala teman didepannya. Tsabit baru mengerti. Ibu ibu disana sedang mencari kutu atau mungkin mencabut uban.
Itu sebuah pemandangan yang unik tentunya selain anak anak disana yang asik bermain gundu. Di sudut lain, Tsabit juga menemukan pemandangan yang cukup
menyayat hati. Seorang anak kecil nampak sedang mencuci pakaiannya pada aliran sungai yang amat keruh. Sungai itu berwarna kecoklatan. Sudah jelas itu
bukan sumber air yang bersih. Pasti akan merusak kesehatan mereka. Ingin rasanya Tsabit menghampiri anak tersebut lalu membawanya ke tempat yang lebih
baik. Lalu beberapa langkah selanjutnya Tsabit mendapati segerombolan pria berwajah seram dengan berbagai macam penampilan. Penampilan gaya anak punk merupakan
penampilan mereka yang mendominasi. Tsabit bergidik ngeri melihat keberadaan mereka. Tsabit lupa kalau biasanya di lingkungan seperti ini, selalu ada komunitas
preman prema yang kurang kerjaan. Tugasnya hanya mengganggu warga yang lewat. Biasanya anggota dari mereka adalah orang orang yang putus sekolah karena
ekonomi yang sulit. Ditambah lagi mereka sulit mendapatkan pekerjaan sehingga hanya ini yang mereka lakukan.
Salah satu dari mereka ada yang menatap Tsabit dengan tatapan aneh dari atas ke bawah. Tsabit ingin berbalik arah mencari jalan lain, tapi sudah kepalang
tanggung. Mau tidak mau akhirnya Tsabit harus memberanikan diri melewati sekumpulan pria menyeramkan yang sedang bernyanyi nyanyi tersebut. Entah lagu
apa yang mereka nyanyian. Terdengar asal asalan. Ketika melewati mereka, Tsabit berusaha sesopan mungkin. Sepanjang perjalanan ia hanya menunduk sambil
mengucap kata "permisi". Beberapa diantaranya ada yang sibuk dengan gitar. Ada juga yang tersenyum menggoda melihat gadis cantik yang baru saja lewat dihadapannya.
Seringainya seperti akan menikam Tsabit. Salah satu dari mereka ada yang bersiul lalu berceletuk, "Assalamualaikum, cantik. Mau kemana nih?"
Disaat itu juga jantung Tsabit serasa di tarik dari peredaran. Salam yang seharusnya ia jawab justru terdengar menyeramkan. Suaranya terdengar aneh sehingga
menciptakan sinyal bahaya bagi Tsabit. Sebelum sebelumnya Tsabit pernah mengalami hal ini. Dimana dirinya menjadi bahan godaan para kaum adam melalui celetuk
celetukan salam. Ia yakin mereka tidak lebih dari menggoda. Bukan berniat mendoakan melalui salam tersebut. Tapi sebagai seorang muslimah tentu Tsabit
menjawab salam tersebut dengan suara pelan. Karena ia tahu menjawab salam hukumnya wajib.
"Sombong banget, sih. Dijawab dong neng salamnya" celetuk pria lain satunya. Tsabit berusaha menutupi ketakutannya dibalik sikap tenang. Ia berusaha agar
jangan gugup. Tetap santai namun pasti. Ia pun menjawab salam mereka dengan suara bervolume sedang. Tidak kecil dan tidak besar. Ia yakin salah satu dari
mereka pasti ada yang mendengar. Semoga setelah ini mereka tidak berkata aneh aneh lagi. Dan setelah ini pula Tsabit berharap ada pertolongan jika mereka
bersikap macam macam.

Tsabita Ilana Karya Suffynurcahyati di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Alhamdulillah, duh seger banget dah ngeliat yang bening bening gini. Jadi pengen dikawinin. Mau kawin ama abang gak, neng?"
"Emang dia mau ama lu" Jadi ustad dulu baru kawin"
"Kan gua ngajak kawin, bukan nikah, bray!"
"Sama aja, dodol!"
"Lah, beda bray. Lu sih kurang jauh maennya. Maen ama si Japri mulu sih lu. Maen tale noh sono gak kelar kelar dari tadi"
"Mending kawin ama abang aja neng. Bahagia ntar hidupnya"
"Jangan mau neng. Dia gak pernah mandi!"
Dan masih banyak percakapan dan celetukan lainnya sepanjang Tsabit meninggalkan gerombolan pria berwajah preman tadi. Tsabit tidak menyangka akan berada
disini. Di perkampungan kumuh dan beresiko seperti ini. Kalau bukan karena mengunjungi seseorang sekaligus mengantarkan pakaian mamanya, Tsabit memilih
berdiam di rumah bermain bersama barbie sambil menikmati segelas teh hangat. Terakhir kali ia berkunjung kesini sekitar dua tahun yang lalu. Setelah ia
mulai disibukan dengan pekerjaan, ia mulai jarang mengunjungi lingkungan ini.
"Udah lama ya gak digodain mereka?" Cibiran itu berasal dari Rayyan. Pemuda hitam manis yang sedang sibuk berkutat dengan mesin jahit di hadapannya. Ia
tersenyum meledek mendengar peristiwa yang baru saja dialami Tsabit.
Ia tersenyum meledek mendengar peristiwa yang baru saja dialami Tsabit
"Aku kira mereka udah gak nongkrong nongkrong gak jelas lagi. Ternyata belum pada tobat juga" Tsabit bersungut sungut duduk di atas kursi kayu reyot yang
yang berada di sisi deretan mesin jahit lainnya, setelah akhirnya Tsabit sampai di tempat tujuan. Sebuah taylor sederhana bernama Ray's Taylor. Usaha kecil
kecilan yang digeluti Rayaan--sahabatnya--sejak 4 tahun berjalan. Lama tak berkunjung, perkembangan usaha ini semakin pesat. Dulu, waktu pertama kali Rayaan
merintis usahanya, ia hanya punya satu mesin jahit kuno manual. Setelah beberapa tahun setelahnya, Tsabit tidak tahu perkembangan selanjutnya. Kini yang
ia lihat sekarang usaha Rayyan banyak mengalami peningkatan. Mesin jahit kini tidak hanya satu. Ada dua, itu pun sudah yang menggunakan dinamo. Ditambah
lagi mesin obras dan mesin neci yang melengkapi. Rayyan pun menambah etalase di depan tokonya, rupanya ia juga menjual peralatan jahit menjahit. Tapi yang
tidak Tsabit habis pikir, disaat usahanya mulai makmur, kenapa Rayyan memilih tetap tinggal di lingkungan ini" Dengan pemasukan yang cukup, tentunya Rayyan
bisa saja menyewa sebuah tempat atau tinggal saja di Ruko. Sewaktu Tsabit menanyakan hal tersebut, dengan enteng Rayyan menjawab, "Di sini, tenaga dan
keahlianku masih sangat dibutuhkan. Terutama kepada mereka yang tidak memiliki cukup uang untuk membeli baju baru. Aku bisa membantu mereka membuatkan
pakaian pakaian bagus dengan harga yang mereka mau. Mereka cukup membayar seikhlasnya. Aku yakin itu sudah sangat membantu" suatu jawaban sederhana yang
membuat Tsabit terkesima. Rayyan tidak berubah. Image hati malaikat masih melekat di dirinya sampai sekarang. Bahkan sampai keadaannya sedang berada di
atas sekali pun. "Besok besok kalau mau kesini, sore aja. Kalau sore, mereka nongkrong di warkop ujung sana." Rayyan menunjuk ujung jalan sekaligus menyadarkan Tsabit dari
penilaian terhadap pria itu. "Eh! Ini ujungnya di obras aja" Dipotong dulu ga?" Rayyan menyodorkan gamis motif daun milik Liana.
"Iya dipotong. Udah aku tandain kok. Potong segitu aja terus diobras" instruksi Tsabit.
"Gak kependekan" Ini gamis loh. Harusnya panjang" usul Rayyan mengukur panjang gamis menggunakan meteran berwarna kuning yang dikalungkan.
"Udah aku bilang ke mama. Dia ngotot pengen segitu ukurannya" jawab Tsabit setelah meminum air mineral kemasan yang diberikan Rayyan. "Kira kira lama gak,
yan ngerjainnya?" Rayyan nampak melihat melihat sambil menghitung pakaian yang dibawa Tsabit. Ada lima gamis, satu jilbab, dan tiga celana panjang.
"Mungkin besok kelar"
Tsabit melemaskan bahu dalam hembusan nafas berat. "Yah, aku kira selesai hari ini juga. Gak bisa dipercepat, yan?" Rayyan tersenyum manis. Senyum meneduhkan
yang ajaib. Ya, ajaib. Karena mampu menggiring Tsabit sehingga ia turut menarik sudut bibirnya.
"Kalau gamis mungkin bisa selesai nanti sore. soalnya untuk celana harus di bongkar dulu. Itu kan ada yang levis, agak susah jadinya" jelas Rayyan. Ia
melirik Tsabit sekilas. "Emang mau kemana sih" Katanya libur. Katanya mau kangen kangenan sama tempe orek ibu"
"Aku harus ke cafe pagi ini. Mumpung libur. Udah lama juga aku gak pantau keadaan disana" jawab Tsabit mengenai usaha cafe miliknya. Cafe yang dirintis
berdua bersama James sejak lima tahun lalu.
"Yaudah santai aja. Gak usah buru buru gitu"
Belum sempat Tsabit berbicara, ada suara hadir diantara mereka. "Iya nih, buru buru banget. Padahal pas banget ibu lagi masak tempe orek, eh pas kamu dateng.
Mangga, dicicipin" seorang wanita 45 tahun berjalan menghampiri Tsabit lalu duduk disebelahnya membawa piring berukuran sedang yang berisi tempe orek.
Biasanya Tsabit menikmatinya tanpa nasi.
"Ih, bisa kebetulan gitu ya, bu. Berarti kita sehati. Seneng deh dibuatin tempe orek sama ibu" puji Tsabit memeluk lengan kecil berbalut daster jingga
ibu Rayyan sebelum ia menyuap tempe orek yang dibuat sangat kering itu.
"Eh, ibu tinggal sebentar ya, lagi goreng ikan asin"
Tsabit mengangguk paham sepeninggal sang ibu Rayyan ke dalam. Ketika tengah menikmati tempe orek, ia dikejutkan dengan kedatangan seseorang. Ia menemui
Rayyan dengan langkah malu malu.
"Eh, Nayla. Pasti mau ambil baju ya" Rayyan menyambut hangat gadis kecil bernama Nayla itu. Tsabit terkesiap dalam sekian detik. Ia baru menyadari bahwa
Nayla itu adalah gadis kecil yang tadi ia lihat sedang mencuci pakaian di sungai keruh. Pakaiannya nampak kumal. Kepalanya terbungkus selendang panjang
yang dipakai asal asalan.
"Nih, bajunya. Bagus kan! Nayla suka ga?" Rayyan memberinya sebuah baju lengan panjang berwarna abu abu. Di baju itu ada hiasan berbentuk hati. Nayla terlihat
tersenyum malu malu sambil mengangguk kecil. Sesekali ia mencuri curi pandang kepada Tsabit yang asyik mengamati dirinya.
"Berapa ka, harganya?" Tanya Nayla dengan suara lembut namun sangat pelan.
"Nayla, ada uangnya berapa?"
Nayla membuka kepalan telapak tangannya malu malu. Ada gumpalan uang kertas yang terlihat lecek. Rayyan menghitung sambil mengulum senyum. Ada dua lembar
uang dua ribu dan selembar uang seribu.
"Nah, kakak mau yang ini aja deh. Gimana?" Rayyan menunjuk uang seribuan kertas. Nayla segera memberi uang tersebut kepada Rayyan. "Nih, ka" Rayyan menerima
uang seribuan itu. "Makasi ya Nayla"
Ketika Nayla akan melangkah pergi, Tsabit buru buru menyerbu isi tasnya guna mengambil sesuatu. Setelah itu ia menahan Nayla agar tidak pergi dulu. Nayla
menurut. "Ini buat kamu, Nayla" ketika Tsabit memberi selembar uang 100ribu, Nayla buru buru menggelengkan kepala sambil menggigiti tangan. Tsabit mengerutkan dahi
kebingungan. "Kenapa" Kamu malu ya?" Tebak Tsabit.
Nayla mempertahankan gelengan lemahnya. Sosoknya berdiri kaku sambil mengapit baju pemberian Rayyan. Jika dilihat dari sikapnya, Nayla hanya malu menerima
pemberian Tsabit. Apa Tsabit harus memaksanya" Ah, itu pemaksaan terhadap anak dibawah umur namanya.
"Ambil aja gak apa apa kok. Terima ya" rayu Tsabit dengan lembut. Lagi lagi respon yang sama yang ia dapat. Kenapa sih Nayla menolak uangnya" Gerutu Tsabit
dalam hati. "Nayla, kakak cantik ini pengen denger kamu nyanyi. Kakak bilang ke dia kalau suara Nayla bagus. Nayla nyanyi deh" Rayyan buka suara lalu menghentikan
sejenak aktifitas menjahitnya.
"Mau lagu apa, ka?"
"Apa aja yang Nayla bisa"
Gadia kecil itu pun menyanyikan sebuah lagu. Meski nada yang terdengar sangat datar, Tsabit mengetahui lagu apa yang ia nyanyikan. Lagu dangdut yang sedang
fenomenal saat ini. Ah, kenapa bukan lagu yang seharusnya dinyanyikan anak seusianya" Bahkan Nayla bisa dengan lancar menyanyikan lagu dangdut tersebut.
Tak sampai 5 menit, Nayla menyudahi pertunjukan menyanyinya. Tsabit mengakhiri dengan tepukan tangan bangga. Saking terlalu asyik menyorak sorai bahagia,
ia sampai lupa sesuatu. Kalau Rayyan tidak memberi isyarat berupa deheman batuk yang dibuat buat lalu tatapan penuh makna, Tsabit pasti lupa niat awalnya.
"Nah ini hadiah buat Nayla"
Akhirnya Nayla menerima selembar uang 100ribu dengan rona malu. Bibir bawahnya tergigit. Tsabit yang melihatnya tersenyum sumringah seraya mengelus kepala
Nayla yang terbungkus selendang pink.
"Makasi ya Nayla" ujar Rayyan. Setelah itu ia memerhatikan apa yang Tsabit lakukan kepada Nayla. Gadis itu nampak merapikan selendang lusuh yang dikenakan
Nayla. Walaupun awalnya canggung, tapi Nayla tidak menolak perlakuan itu.
Setelah melepasnya, Tsabit melipat sedikit sisi selendang setelah itu ia pakaikan seperti cara Tsabit memakai Pashmina. Bermodal satu jarum pentul sudah
berhasil membuat Nayla nampak lebih cantik. Rupanya, ilmu bertutorial hijab yang ia punya sangat bermanfaat. Keisengannya membuat video tutorial di instagram
berawal sejak ia hobby mengutak ngatik gaya Hijab agar tidak terlihat membosankan tapi tetap memacu pada syariat islam. Seperti menutup dada dan tidak
menerawang sehingga memperlihatkan anggota tubuh, seperti leher.
"Wah, Nayla cantik sekali" puji Tsabit tersenyum merekah sempurna. Nayla pun pergi meninggalkan Tsabit dan Rayyan dengan langkah tergesa gesa karena grogi.
"Bukan hanya Nayla, anak anak disini diajarkan, bahwa untuk mendapatkan sesuatu haruslah ada perjuangan. Mereka diajarkan untuk menghargai kerja keras.
Karena Allah begitu menghargai proses ketimbang hasil" Rayyan menjelaskan sambil meneruskan perkerjaannya.
"Siapa yang ngajarin" Pasti kamu deh" telunjuk Tsabit mengarah kepada pria berambut ikal itu. Rayyan menggeleng.
"Terus siapa?" "Orang tua mereka lah. Meskipun mereka tidak sekolah, tidak mendapat pendidikan yang layak, mereka mampu menjaga harga diri mereka dengan tidak mengemis
di pinggir jalan" Mendengar hal itu Tsabit teringat akan suatu hadist yang bunyinya kalau tidak salah seperti ini,
"Barang siapa meminta-minta kepada orang lain tanpa adanya kebutuhan, maka seolah-olah ia memakan bara api"
Tsabit semakin paham. Bahwa sesuatu yang didapat secara instan tidak akan berlangsung lama. Harus ada proses untuk mencapainya. Harus ada kerja keras.
Mengingat Nayla tadi, ia tahu betul Nayla ingin sekali menerima uang pemberiannya, tapi sekali lagi ia diajarkan untuk tidak menerimanya secara cuma cuma.
Pantas saja Rayyan memintanya untuk bernyanyi. Setidaknya dengan bernyanyi, Nayla merasakan kerja keras untuk memperoleh selembar 100ribu berharga untuk
dirinya dan keluarga. "Kamu kok mirip Idzar, sih yan"
"Idzar siapa?" Astaga! Tsabit memaki dirinya lagi karena otak ini sudah lancang memunculkan sosok Idzar.
*** "Anggap saja ini moment spesial kita. Kalian boleh pesan apa saja. Aku yang traktir"
Ucap bangga wanita paruh baya berbusana blouse off shoulder ketat berwarna merah bata. Ia duduk anggun diantara rekan sesama sosialitanya di salah satu
cafe kenamaan di kota Depok. Cafe yang bernama Dream Cafe tersebut menyuguhkan suasana nyaman dan santai ditemani dekor dekor unik yang menambah kesan
tersendiri. Tidak hanya digandrungi kalangan anak muda, orang tua pun senantiasa menjadikan cafe itu sebagai sarana berquality time bersama keluarga mereka.
Bahkan kalangan ibu ibu sosialita juga ikut andil dalam meramaikan pengunjung cafe yang telah berdiri sejak 5 tahun terakhir ini.
"Sedang menang lotre, ya jeng" Apa habis ditransfer suami?" Celetuk wanita yang tidak kalah glamour. Terlihat sekali dari wajahnya yang ramai akan make
up tebal. Terutama pada bagian tulang pipi. Volume blush on yang dipakai terlalu tebal sehingga lebih terlihat seperti habis ditampar. Belum lagi atribut
berbahan emas murni yang bertengger cantik di anggota tubuhnya.
"Kamu kayak gak tahu jeng Kartika aja. Dia ini kan istri konglomerat kaya. Belum lagi anak anaknya bakal calon orang sukses. Nurun dari papanya. Ya gak
jeng?" Wanita satunya turut membuka suara. Ia menyikut lengan Kartika seraya mengerling genit. Kartika tersenyum miring.
"Jeng Siska sama mama Gendis ini bisa saja memujinya. Itu belum seberapa kok. Jangan terlalu diumbar, ah. Saya tidak enak dengan yang lain" kartika merendah
dengan maksud meninggikan dirinya.
"Kenyataan kok jeng. Saya malah iri sama kehidupan situ" sahut wanita yang lain yang duduk berhadapan dengan Kartika. Ia baru saja menyembulkan asap rokok
ke udara. "Anak anak saya lebih memilih menikah ketimbang berkarier di usia muda" kali ini ia berkeluh. Matanya menerawang menatap benda di hadapannya.
"Si Dio?" Rekan Kartika yang bernama Nara mengangguk.
"Ya ampun. Dio kan masih mudah banget. Masih 20 tahun sudah menikah. Gak sayang sama masa mudanya" Kok kamu biarin, sih jeng!" Mama gendis turut menyahut
histeris. Disebut mama gendis karena ia satu satunya ibu yang muda diantara mereka. Anaknya baru satu. Umurnya baru 6 tahun, namanya Gendis.
"Awalnya sih, saya menolak keras. Tapi Dio itu pinter ngambil hati saya. Sampe akhirnya saya izinin dia menikah"
"Alesan dia menikah muda apa" Maaf nih ya sebelumnya.." Kartika menyentuh lembut lengan Nara yang terlipat di atas meja sebagai jeda. "....bukan karena
MBA,kan jeng?" Nara menyipit. Ia remukan rokok yang mengecil ke asbak. "Ya bukan lah jeng. Anak saya anak baik baik semua. Dio gak mungkin kayak gitu. Alesan dia menikah
muda, sih simple. Dia gak mau masa mudanya diisi dengan zina. Kariernya akan lebih bagus kalau ada sosok istri yang menyemangati dan mensupport. Begitu
katanya" jelas Nara.
"Lantas?" Kartika menuntut jawaban. Jawaban yang sebenarnya ia sudah tebak. Pasti kehidupan Dio semakin memburuk karena nikah muda, pikirnya.
"Ternyata Dio membuktikan semuanya. Dia berhasil membuka cabang rumah makan di Surabaya dan di Semarang. Lalu bisnis butik mantu saya mulai meningkat.
Dia udah punya banyak karyawan yang digaji tidak kecil. Belum lagi nih ya, setiap bulan saya di ajak ke luar kota"
Kartika terpengarah akan hal itu. Tebakannya meleset. Ia hampir saja menganga takjub mendengarnya. Apa yang ia dengar adalah kebohongan untuk menaikan
gengsi" Semoga saja bukan.
"Dan rencananya akhir bulan ini, saya berencana umroh dengan keluarga"
Lantas apa yang ia keluhkan" Kehidupannya jauh lebih bergelimang harta ketimbang Kartika. Kartika tersenyum kecut. Ada gelanyar dengki yang menggerogoti
hatinya. Baginya, tidak ada yang lebih kaya kecuali dirinya. Itu hanya bisa bisanya Nara saja membual. Buktinya, Kartika dan teman lainnya tidak diundang
sewaktu pernikahan putra bungsunya, Dio. Pasti pernikahan tersebut terjadi karena ada 'sesuatu'. Betapa dengki isi batin Kartika.
"Hebat ya Dio. Nikah muda gak menghalangi kesuksesannya. Justru memudahkan ya" puji jeng Siska sumringah.
"Iya sih. Tapi kan gak semuanya kayak gitu, jeng. Ya, satu banding seribu lah yang kayak gitu. Cuma keberuntungan Dio aja" cibir Kartika halus. Mempertahankan
fake smile terbaiknya. Nara mendengus pendek. Ada yang tidak senang dengan kehidupan dirinya. Yakni wanita awet muda di hadapannya ini. Sejak dulu, Kartika sudah menjadi rivalnya.
Baik Nara maupun Kartika saling berlomba dalam hedonisme semata. Tak jauh dari kekayaan dan kesuksesan. Keduanya selalu mencari celah untuk bisa dibandingkan
lalu membanggakan diri. "Ngomong ngomong, gimana kabar pacarnya Arsa" Katanya mau ngenalin ke kita kita" tagih Nara meledek.
"Iya nih jeng. Siapa namanya" Kalo gak salah dua tahun ya pacarannya" Hebat ya" sahut Siska.
Kartika mendadak sulit menelan ludah. Tiba tiba wajahnya menegang. Ia meminum segelas air untuk menormalkan ketegangannya.
"Mereka sudah putus" jawab Kartika pendek.
"Loh, kenapa" Gak sayang dua tahun pacaran?"
"Saya yang menyuruh Arsa buat putusin pacarnya. Abis, level dia gak sebanding sama levelnya Arsa. Saya pengen Arsa itu dapet pacar yang setara sama dia.
Gak cuma modal cantik doang. Kalo modal cantik sih, banci Thailand juga bisa" papar Kartika disertai kekehan anggun. Ketiga temannya turut terkekeh.
"Sayang banget ya. Udah dua tahun padahal" mama gendis menyayangkan keputusan Kartika.
"Biarinlah jeng. Kalo bisa dapet yang lebih baik, kenapa engga" Arsa kan ganteng, kaya pula, nyari pacar sih tinggal tunjuk tunjuk aja setelah itu jeng
Kartika tinggal nilai lalu kasih restu, deh. Ya gak jeng" towel siska dengan kerlingan nakal.
"Berarti Arsa udah dapet penggantinya dong" Pasti udah dong ya. Kan Arsa perfect banget. Cowok limited edition gitu deh" Nara menimpali dengan seringai
palsu. "Iya nih, jeng. Pacarnya Arsa siapa sekarang" Udah kamu seleksi belom?"
Pertanyaan pertanyaan tersebut justru semakin menambah beban Kartika. Ia seperti digelayuti berton ton besi besi yang memusingkan kepalanya lalu memaksanya
untuk berpikir keras. Acara yang seharusnya membuat ia enjoy malah jadi menegangkan seperti ini.
"Pacarnya Arsa ada kok. Tunggu aja" tidak ada yang tahu bagaimana perjuangan Kartika melawan kegugupannya saat ini. Sebisa mungkin ia terlihat tenang nan
anggun dalam pesona cantiknya.
"Jadi yang mau kamu kenalin ke kita itu pacar barunya Arsa, jeng?" Kartika mengangguk ragu sambil tersenyum paksa.
"Wah, jeng Kartika ini hobby banget bikin surprise, ya. Jadi penasaran"
Kiamat buat Kartika hari ini. Sial! Nara berhasil membuatnya gelisah tiada ampun. Kalau dia tidak memulainya, tentu tidak akan jadi seperti ini. Nara harus
menerima akibat dari perbuatannya. Sisi lain Kartika mengutuk Nara yang sedang tersenyum penuh kemenangan menatapnya dalam kegelisahan berselimut.
Di tengah kegelisahan yang membunuh nama baiknya, mata Kartika berpetualang mencari cari sesuatu yang sekiranya bisa menjadi penolong situasinya. Otaknya
dipompa terus menerus mencari ide. Ia butuh seseorang. Ya, seorang wanita muda nan cantik detik ini juga.
Dalam pencariannya, Kartika terus menerus berbohong untuk menutupi kebohongan lain terhadap teman teman sosialitanya yang terus menanyakan sosok pacar
baru Arsa, putra bungsunya.
"Itu dia pacar Arsa!"
Kartika menegakan tubuh dalam duduknya. Matanya berbinar indah memandang seorang gadis dari kejauhan yang baru saja tiba di Cafe ini.
*** Setibanya di Dream Cafe, Tsabit dibuat bingung oleh seorang wanita berparas cantik nan glamour yang dengan tiba tiba menarik perlahan lengannya lalu membawanya
ke meja dimana ia beserta teman temannya sedang berkumpul. Kejadian itu terjadi begitu cepat. Saat Tsabit melambaikan tangan ke arah dua orang temannya
di meja ujung, wanita itu melambai ke arahnya sambil tersenyum keibuan. Sudah pasti lambaian itu ditujukan padanya. Jelas jelas tidak ada orang lain di
belakang Tsabit. Awalnya Tsabit tidak mempedulikan. Tapi wanita itu tidak sedang bercanda. Buktinya kini Tsabit telah berada di tengah tengah mereka. Di
antara ibu ibu sosialita cantik yang terus memandangnya dengan tatapan menilai.
"Jadi ini pacarnya Arsa" Cantik sekali. Siapa nama kamu?" Sambutan Siska begitu hangat.
Pacar?" Semoga ada yang salah dengan ucapan mereka. Pacar siapa maksudnya" Ia mulai menatap satu satu wanita paruh baya dihadapannya. Mereka terlihat cantik
dalam riasan make up berlebihan. Terutama wanita bernama Kartika di sebelahnya. Matanya begitu menghipnotis. Terhias bulu mata palsu dan gradasi hitam
terpatri ditepi mata. Kini mata itu menatapnya tajam. Tatapan penuh isyarat yang ia dapat semakin menambah konsentrasi Tsabit dalam menelaah situasi yang
menimpanya. "Nama Saya Tsabit" jawab Tsabit bersama senyum kaku menawan. Menciptakan cekungan indah bak pelangi dari sepasang matanya.
"Nama yang cantik. Sesuai dengan wajahnya" mama gendis turut menilai.
"Sudah lama pacaran sama Arsa?" Itu Nara yang bertanya. Tatapannya berjalan dari atas kepala menuju tangan Tsabit di atas meja. Gerakan gerakan abstrak
tercipta dari tautan tangan tersebut. Tsabit tidak tahu harus menjawab apa. Ia berada di dalam situasi yang membuatnya bingung. Bodohnya lagi, mau maunya
saja ia menuruti kemauan wanita tua yang sama sekali tidak ia kenal. Siapa sih dia"
"Maaf,--" "Baru dua hari yang lalu. Tepatnya sehari setelah Arsa ulang tahun yang ke 22" jawaban Kartika spontan memotong ucapan Tsabit sekaligus niatnya mengakhiri
sandiwara dadakan ini. "Oh lagi anget angetnya toh" celetuk Siska.
Tsabit merasakan hangat di area telapak tangan. Kehangatan itu semakin memenuhi tangannya. Kartika menggenggam erat nan lembut kedua tangan Tsabit di atas
meja. Tsabit agak tersentak lalu menatap Kartika kemudian mata coklat itu mendapati tatapan misterius penuh arti. Tatapan tidak biasa. Ada sorot harap
disana. Harapan dalam kesenduan yang tidak bisa terucap dalam rangkaian kata demi kata. Kartika berharap gadis cantik berjilbab hitam dihadapannya ini
bisa diandalkan. "Jadi, sekali lagi saya perkenalkan ya. Tsabit adalah pacar anak saya, Arsa" nada yang terucap begitu jelas dan lantang. Di akhir kalimat Kartika melirik
Tsabit dibarengi genggaman tangan yang semakin erat. Insting Tsabit benar. Bahasa tubuh yang diberikan Kartika merupakan isyarat permohonan dirinya agar
Tsabit ikut andil dalam sandiwara bodoh ini. Kartika mengerjap sekali. Kerjapannya menyadarkan Tsabit. Gadis itu mengangguk lalu tersenyum lebar menatap
Siska, mama Gendis, juga Nara.
"Salam kenal, Tante. Senang sekali bisa bertemu tante tante cantik ini" sapa Tsabit terlihat mahir memainkan perannya.
"Kamu bisa aja, sih mujinya. Kamu juga cantik loh. Cocok banget sama Arsa" Tsabit memalingkan sejenak wajahnya hanya untuk memutar bola mata. Bahkan dia
tidak tahu siapa sosok yang diperankan menjadi pacarnya itu. Siapa tadi namanya" Arca" Patung Arca" Nama yang aneh. Batin Tsabit menggerutu.
"Iya lah cantik. Beda banget sama pacarnya yang dulu. Cuma modal cantik doang. Tsabit ini, gak hanya cantik. Tapi juga cerdas, loh say" puji Kartika merangkul
bahu Tsabit. Mengelusnya lembut. Tsabit tidak berhenti menarik nafas setiap kali wanita itu melakukan gerakan penuh makna terhadapnya. Ini sungguh drama
yang menjijikan. "Kamu sibuk apa sekarang" Kuliah apa bekerja?" Tanya Nara mulai ramah namun tidak menurunkan gengsinya. Disaat itu juga Kartika kembali menegang. Bagaimana
kalau terjadi sesuatu yang menurunkan gengsinya" Menurut kacamata Kartika, Tsabit masuk daftar kalangan berada. Itu baru penilaiannya secara penampilan.
Gaya berpakaian Tsabit begitu fashionable dengan berhijab. setidaknya ada keyakinan bahwa gadis itu tidak akan mengecewakannya hari ini.
"Saya bekerja di salah satu perusahaan swasta terbesar di Indonesia, sekaligus pemilik Dream Cafe ini" jawabnya penuh kemantapan disertai tatapan tajam
menatap satu satu. Kartika hampir melongo bodoh.
"Are you serious" Wow! Sudah cantik. Masih muda, sukses pula. Kamu pinter jeng pilih calon mantu" Siska menutup mulutnya dengan telapak tangan karena takjub.
"Akhirnya saya pribadi bisa bertemu langsung dengan owner Cafe terkenal ini. Kamu tahu" Cafe ini langganan saya dan keluarga saya loh" Siska melanjutkan
kekagumannya dengan antusias tingkat tinggi.
"Terimakasih. Kenyamanan adalah misi utama Cafe kami"
Sebenarnya Tsabit enggan sekali memperkenalkan dirinya sebagai pemilik Cafe. Ia tidak ingin sombong. Baginya harta sekaligus usahanya ini mutlak titipan
yang diberikan Tuhan kepadanya. Tidak ada yang perlu ia sombongkan di Dunia ini. Tapi sebagai gadis yang telah dimandat untuk menjalankan peran, Tsabit
berusaha memainkannya dengan cantik. Kartika adalah sosok yang memiliki tingkat gengsi yang tinggi. bahkan ketinggiannya bisa mencapai sidhratul muntaha,
begitu penilaian Tsabit. Maka dari itu, ia tidak ingin mengecewakan Wanita yang perawakannya mirip tante Diana di masa lampau. Anggap saja ini bagian dari
pekerjaannya. "Memangnya kamu tidak meneruskan kuliah" Sayang sekali" itu bukti bahwa Nara selalu lihai mencari celah kekurangan orang lain. Termasuk apapun yang ada
pada Kartika. Tsabit menenangkan Kartika yang ingin meledak dengan bergantian merangkul lembut pundak wanita itu disertai seringai yang seolah berkata
'anda tenang saja. Serahkan semua kepada saya' kurang lebih seperti itu.
"Saya memang tidak meneruskan kuliah lagi, tante. Kuliah di Indonesia lebih tepatnya. Karena proses beasiswa saya akan selesai sekitar satu tahun lagi.
Jadi selagi menunggu, saya sibuk dengan bisnis ini" jelasnya masih dalam senyum bangga.
"Oh ya" Kuliah dimana?"
"Di Oxford University"
Hening dalam kekaguman. Terkesima dalam ketakjuban. Betapa mudahnya Tsabit memainkan perannya. Terlihat bagaimana rona rona kagum menambah kecantikan ibu
ibu heboh ini. Yang paling terperangah adalah Kartika. Tidak salah ia menunjuknya asal asalan sebagai tameng untuk menaikan gengsinya dihadapan teman temannya.
Walaupun ia tidak yakin apa yang diucapkan Tsabit sesuai kenyataan atau hanya sekedar uraian mimpi semata. Tsabit menyubit ringan pundak yang menjadi tempat
tangannya bertengger sekaligus menyadarkan Kartika dari pesona kehebatannya. Ia terkesiap.
"Sudah jelas kan" Tsabit ini tidak hanya cantik. Tapi juga cerdas. Tidak salah kan saya memilihnya sebagai pacar Arsa?" Kartika menatap Tsabit. Saling
mempertemukan sepasang mata. Memberikan tatapan kemenangan yang berhasil mereka lakukan dengan sempurna tanpa celah.
"Maaf sebelumnya tante. Saya permisi sebentar. Saya harus menemui pegawai saya" Tsabit bersiap beranjak dari kursi.
"Buru buru sekali. Nanti kesini lagi ya" ujar Kartika basa basi.
"Siap. Kalau begitu saya permisi. Selamat menikmati hidangan kami. Semoga tante tante cantik ini nyaman dan tidak kapok ya" Tsabit menyalami satu persatu
wanita wanita cantik di sana. Masing masing memberinya ciuman pipi kanan dan kiri. Ketika ia melakukan itu kepada Kartika, ia berkesempatan membisikan
sesuatu. "Terimakasih, tante tidak meragukan kepintaran saya dalam bermain peran"
"Sama sama. Terimakasih juga sudah susah payah berbohong untuk menaikan derajat saya" bisik Kartika parau. Irama yang terucap terdengar berbeda dari situasi
tadi. Sangat tidak bersahabat dan dingin. Tsabit hampir merinding dibuatnya. Manusia seperti apa Kartika ini"
"Maaf. Orangtua saya tidak pernah mengajarkan berbohong. Apalagi hanya untuk sandiwara konyol ini. Semua yang saya katakan adalah benar. Permisi"
Tautan mereka berakhir. Tsabit berjalan anggun menjauhi sekumpulan wanita yang masih menatapnya kagum sembari tersenyum. Berbeda dengan Kartika. Wanita
itu berdiri bersendekap sembari tersenyum remeh menatap jauh. Ia hembuskan kepulan asap putih dari mulut berkat rokok yang dihisap.
*** TBC... 04. Ular berbisa Allah mempunyai kuasa penuh atas segala hal di Dunia ini. Termasuk dalam nenciptakan manusia dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Dengan menyisipkan
keadilan tersembunyi, Allah memberi hambaNya satu persatu kekurangan yang kebanyakan manusia tersebut tidak menyadari bahwa kekurangan yang ia dapat bukan
tidak mungkin ada pelengkapnya. Dia juga memberinya kelebihan yang hanya bisa dirasakan jika manusia mau sedikit saja bersyukur. Hanya rasa syukur lah
yang membuat manusia akan semakin menerima apa yang Allah berikan. Tidak merasa kurang dan tidak merasa lebih. Maka bersyukur lah, agar kita bahagia. Bukannya
menunggu bahagia baru kita bersyukur. Itu pemahaman yang salah.


Tsabita Ilana Karya Suffynurcahyati di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kira kira seperti itu lah hikmah yang bisa Tsabit ambil dari peristiwa yang menimpanya barusan. Ternyata masih banyak di dunia ini manusia manusia hedonis
seperti Kartika dan kawan kawannya. Betapa kenikmatan dunia adalah segalanya bagi mereka. Gengsi atas harta dan jabatan adalah nomor satu. Tidak peduli
bagaimana mereka mempertahankan derajat mereka. Meski dengan cara yang salah sekalipun. Asal nama baik dan derajat mereka tetap berada di atas. Bahkan
yang begitu menyayat hatinya yakni mengenai sosok pacar untuk anaknya. Sosok laki laki, yang katanya tampan. Kalau memang tampan kenapa harus susah susah
mencari sih" Si pemilik nama aneh itu. Ya, Arca Arca itu. Tsabit menyimpulkan pasti anak itu adalah anak manja yang hidupnya berada pengawasan sang mami.
Kemana kemana mengikut di ketiak sang mami. Tsabit ingin tertawa sendiri mengingatnya. Dan kalau tidak salah umurnya baru menginjak 22 tahun" Astaga! Anak
mami sekali. Hati Tsabit tertawa.
"Eh, ketawa ketawa sendiri. Kamu gila ya?" Tegur Citra. Salah satu rekan satu kantor Tsabit.
"Tau nih, sejak dari sana kamu bengong terus. Emang mereka siapa, sih?" Timpal Yuana rekan satunya. Mereka nampak menikmati hidangan di meja Cafe, setibanya
Tsabit meladeni tante tante heboh tadi. Kasihan mereka terlalu lama menunggu Tsabit. Habisnya mau bagaimana lagi" Tsabit tidak mungkin melawan perlakuan
Kartika. Ia menghormati Kartika sebagai orang tua sekaligus pelanggan Cafenya yang setia.
"Oh, mereka. Biasa lah. Pelanggan setia. Cuma mau ngasih testimoni aja" jawab Tsabit bohong sambil mengaduk ngaduk spaghetty menggulungnya pada garpu lalu
menyuapnya. "Ciee, udah famous" celetuk Yuana lalu menambahkan, "Cit, abis ini kita minta tanda tangan Tsabit, yuk! Nanti kalau dia terkenal kan bakal susah minta
tanda tangannya" Yuana terkekeh geli.
"Sekalian foto bareng juga. Biasanya public figure bakal sok sibuk gitu" Citra menambahkan. Tsabit hanya tersenyum kecil.
"Gak sekalian minta dinner special juga" Atau voucher menginap di rumah ku selama dua hari dua malam, gimana" Mau?" Tsabit menimpali lalu tertawa renyah.
"Ogah. Mending nginep di hotel sekalian, deh"
"Fasilitas rumah ku gak jauh beda kayak di hotel, loh. Bedanya aku ga pake room boy atau cleaning service, jadi jangan lupa ngepel sama bersih bersih juga
ya" ujar Tsabit mendapat serangan tepukan ringan di kedua lengannya dari arah Yuana dan Citra duduk.
"Mulai ngaco nih anak" sungut Citra sambil merapikan tepian hijabnya.
"Kalian duluan sih yang mulai. Aku gak mau terkenal di dunia. Aku maunya terkenal di akhirat sebagai hamba Allah yang terkasih lalu bersanding bersamaNya
kelak" bola mata Tsabit menerawang ke atas sambil mengulum senyum.
"Iya deh iya. Aamiin. Aku doain" Tsabit kalau sudah mengucapkan quotes quotes seperti itu, biasanya susah untuk berhenti. Maka Citra menyahutnya dengan
mengganti topik pembicaraan. "Ngomong ngomong, kamu belum update tutorial terbaru ya" Kapan update lagi" Aku nungguin tau"
"Iya nih aku sibuk. Emang kamu mau tutorial yang kayak gimana?" Tanya Tsabit setelah sekilas menoleh ke belakang. Kartika cs masih disana berkongkow ria
di meja dekat balkon. Mereka nampak tertawa tawa kecil entah menertawakan apa.
"Yang kayak kamu posting di IG, bit. Yang warna biru muda itu loh"
"Oh, yang jilbab segiempat velvet, bukan?"
Citra mengangguk cepat. Ia adalah satu satunya pelanggan setia video tutorial hijab yang Tsabit peragakan. Berkat kreatifitas Tsabit lah, akhirnya Citra
memutuskan berhijab. Tsabit senang, walau niat awal Citra hanya ingin terlihat cantik memakai hijab. Tapi ia yakin, perlaha Citra pasti mampu meluruskan
niat menutup auratnya hanya karena Allah ta'ala.
"Yauda nanti aku update, sabar ya" ujar Tsabit menenangkan.
Selagi mereka menikmati makanan, Tsabit menyadari perubahan gerak gerik teman di sebelahnya, Yuana
Selagi mereka menikmati makanan, Tsabit menyadari perubahan gerak gerik teman di sebelahnya, Yuana. Sedari tadi ia mulai sibuk bercengkrama dengan ponsel.
Bahkan makanan dihadapannya nampak malang karena dianggurin. Melihat hal itu, Tsabit berinisiatif melakukan sesuatu terhadapnya.
"Woy! Sibuk banget kayaknya. Senyum senyum sendiri. Hapenya ngelawak?" Ucap Tsabit setengah berteriak setelah menepuk permukaan meja menggunakan telapak
tangan. Dan itu cukup mengagetkan Yuana dari kesibukannya.
"Ih, ngagetin aja sih! Kalo anak orang jantungan gimana?" Malah Citra yang lebih dulu protes karena ulah iseng Tsabit.
"Tau nih si Tsabit. Gak bisa liat orang seneng aja, deh" Yuana menggerutu sebal. Tapi pandangan wajahnya tidak ingin berpindah dari layar tipis terbungkus
softcase bergambar minnie mouse itu.
"Lagian daritadi sibuk maen hape mulu. Kasian tuh, makanannya dianggurin. Jangan jadi orang autis, deh na" ungkap Tsabit agak kesal. Ia sendiro terkadang
merasa gemas dengan perilaku manusia zaman sekarang. Semakin canggih teknologi malah semakin memudarkan rasa sosialiasi manusia terhadap manusia yang lain.
Baginya, teknologi hanya sekedar mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat. Tapi semua kembali ke diri masing masing bagaimana menggunakannya dengan
cerdas. Toh, Tsabit sendiri membutuhkan teknologi tersebut. Sebagai sarana mengajak kaum muslimah untuk menutup aurat dengan menampilkan kreasi hijab andalannya.
Dan itu sangat berguna bagi banyak wanita.
"Siapa yang autis, sih. Aku lagi hubungin Raka. Dia katanya mau jemput aku disini" jelas Yuana. Mendengar penjelasan temannya, sontak Tsabit dan Citra
terperanjat lalu mengangkat tubuh mendekatkan diri ke arah Yuana. "Raka anak Quality Control itu?" Tebak Citra dengan matanya yang membulat sempurna ditambah
kacamata minusnya yang menutupi. Yuana mengangguk polos.
"Kamu lagi dekat sama Raka" Pacaran?"
"Dekat sih iya. Tapi pacaran belum. Kalian kenapa sih?" Tanya Yuana terheran heran melihat aksi kedua temannya itu.
"Belum. Tandanya, akan?" Tsabit kembali duduk tenang dalam posisi normal. Spaghettynya tersisa satu gulungan garpu. Yuana tersenyum malu malu.
"Aku sih tinggal nunggu tanggal mainnya aja. Nunggu Raka nembak aku terus kita jadian, deh" mata Yuana berbinar bahagia mengingat hubungannya dengan Raka,
karyawan QC termuda dan tertampan disana, yang kian hari kian dekat.
"Kalo, dia nembak. Kalo engga?" Tsabit mencibir sinis.
"Maksud kamu?" "Meskipun antara pria dan wanita memiliki banyak perbedaan, tapi tidak menutup kemungkinan kalau keduanya juga mempunyai persamaan. Yaitu sama sama susah
ditebak. Bahkan kalian sadar gak sih, kadang kita sendiri aja pernah ngerasa bingung sama perasaan kita sendiri" Bisa aja Raka juga gitu" Tsabit membuka
topik menarik. Citra mengangguk sekali. Sedang Yuana sibuk membentuk kerutan di dahi. Untuk membicarakan hal yang serius memang Yuana membutuhkan waktu extra. Lola nya
mengalahkan sahabatnya sendiri, Aufa.
"Kita sendiri aja suka bingung sama perasaan kita alias dilemma. Na, aku tanya deh sama kamu, deket sama Raka udah berapa lama?" Tsabit mengangkat dagu
mengajukan pertanyaan tegas perihal kehidupan asmara Yuana.
"Hampir setahun" jawab Yuana dengan suara merendah.
"Nah!" Refleks Tsabit memukul meja. Citra dan Yuana pun hampir tersentak keluar dari peredaran. "Selama setahun kamu di-PeDeKaTe-in sama Raka, tapi sampe
sekarang aja kamu gak tau gimana perasaan dia. Jadi hubungan kamu ngambang gitu, kan" Ngerasa gak?"
Oke perlahan sistem jaringan otak Yuana mulai merespon. Kalau sudah ada anggukan kecil, artinya pemahaman yang Tsabit berikan meresap kesana.
"Makanya, kenapa aku bilang kayak gitu, karena bisa aja selama setahun PDKT sama kamu, dia dilemma sama perasaannya sendiri. Atau jangan jangan, bukan
cuma kamu doang perempuan yang dideketin Raka. Who knows?"
"Kok kamu nakut nakutin gitu, sih bit tega banget. Aku cuma lagi mencari yang terbaik" ada ketakutan dalam diri Yuana. "Tau, nih Tsabit. Jodoh kan harus
dijemput bukan ditunggu. Ya kali kita sebagai perempuan harus diem aja nungguin jodoh dateng. Pasti harus ada ikhtiar"
Tsabit tersenyum kecil. Menggeser jarak kursi agar lebih dekat dengan kedua temannya. "Yuana sayang, aku bukannya nakut nakutin kamu. Itu hanya gambaran
kecil kalau kita berharap kepada manusia. Masih ada gambaran gambaran lain yang pasti akan berujung kekecewaan. Karena tidak ada yang lebih menyakitkan
selain berharap kepada manusia. Dalam mencari yang terbaik kamu tidak harus mengharapkan Raka yang sampai saat ini aja tidak jelas bagaimana ke kamu. Kalau
dia serius sama kamu, tentu dia tidak akan terus membawa kamu dalam hubungan yang gak jelas seperti ini"
"Lelaki yang baik itu, mendekati, menikahi lalu menafkahi. Bukan mendekati, menikmati lalu pergi. Coba deh kamu tanya hati kecil kamu lalu kamu minta sama
Allah agar kamu diberi ketetapan hati. Berharap aja sama Allah. Jangan sama Raka atau yang lain. Kalau Raka baik buat kamu, Allah pasti gerakan hati Raka
agar dia segera mengajak kamu ke jenjang yang lebih serius. Tapi kalau sebaliknya, Allah akan ngasih kamu pengganti yang jauh lebih baik dari Raka, percaya
deh" ada kerlingan yang bergerak pada bola mata coklat Tsabit. Pipinya yang merona menyembul akibat senyuman sederhana yang ia ciptakan. Yuana hampir menangis.
Dari sana Tsabit tahu bahwa Yuana menyimpan perasaan mendalam untuk Raka tapi mendengar lamanya hubungan mereka yang tidak jelas, membuat Tsabit geram
dan kasihan kepada Yuana. Awas kamu, Raka! Geram Tsabit.
"Kita emang gak bisa diam aja dalam mencari jodoh. Harus ada ikhtiar. Tapi bukan dengan rela digantung berlama lama juga kali, Cit. Perempuan juga punya
cara sendiri dalam berikhtiar menjemput jodoh. Yaitu dengan mendekati Si Pengatur jodohnya, yakni Allah. Dekatkan diri aja sama Allah. Perbaiki diri karena
Allah. Sibukan diri dengan hal hal positif yang lebih bermanfaat. Dekat sama lawan jenis boleh aja. Asal tidak melewati batas aturan. Perbanyaklah teman.
Seperti aku, yang punya kamu dan Yuana. Juga yang lainnya"
"Jadi, semua kesibukan kamu ini juga bagian dari menanti jodoh juga?"
What" Tiba tiba saja kerongkongan Tsabit mendadak kering. Setelah berusaha menelan ludah, ia meneguk segelas air mineral di meja untuk menambah pasokan
energi yang kabur begitu saja ketika Citra mengeluarkan pertanyaan ajaib.
"Tadi kamu bilang apa" Aku gak denger. Ada pesawat lewat tadi kayaknya" Tsabit berdalih konyol.
"Aku bilang, kamu sok sibuk gini karena kamu lagi nyari jodoh juga kan" Atau kamu emang belum mikir buat merried?" Ulang Citra beserta pertanyaan tambahan
lain. "Aku sibuk karena emang aku sibuk. Bukan buat pengalihan isu" bahkan Tsabit tidak mengerti apa yang baru saja ia ucapkan.
"Kamu sok nasehatin kita tapi kamu sendiri masih jomblo, gimana sih?"
"Hei, aku nasehatin kalian bukan semata mata karena aku paling benar. Tapi sekaligus mengingatkan diriku sendiri juga. Soalnya nasehat nasehat yang aku
ucapkan bisa jadi sugesti positif buat diri aku. Paham, neng Citra Rahmayanti?" Diakhir penjelasan Tsabit mencubit hidung bangir Citra dengan gemas.
"Ih,... Tsabit sakit!" Citra meringis kesakitan.
Mereka pun melepas tawa satu sama lain. Tawa bahagia seorang sahabat yang saling membimbing dalam kebaikan. Di tengah keriuhan mereka, ada sesuatu yang
menghentikan aktifitasnya yang datang dari arah meja dekat balkon.
"Permisi, maaf mengganggu"
Tsabit, Yuana dan Citra otomatis terkatup lalu menolehkan kepala menuju sumber suara. Suara dingin yang baru baru ini familiar di telinga Tsabit.
"Bisa kita berbicara sebentar, Tsabit?" Sebuah tawaran bernada datar itu berasal dari Kartika yang tiba tiba saja menghampiri mejanya. Tsabit kelabakan.
Pertarungan Di Lembah Selaksa 2 Pedang Dan Kitab Suci Puteri Harum Dan Kaisar Karya Khu Lung Golok Halilintar 1
^