Tsabita Ilana 6
Tsabita Ilana Karya Suffynurcahyati Bagian 6
"Tapi untuk saudara Marco Alexis dan Jimmy Tambunan, mereka ditetapkan sebagai tersangka. Rupanya, mereka sudah lama menjadi incaran polisi. Suami kamu
beruntung, Tsabit" papar Sandy. Melepas kacamata tanpa bingkainya.
"Saya sudah duga merekalah pelakunya. Mereka juga yang menjebak Arsa. Keyakinan saya tidak bisa berbohong." Tsabit menarik nafas lega setelah selama kurang
lebih 7 hari menunggu kasus yang menimpa Arsa, akhirnya mencapai titik terang. Arsa difitnah. Sedangkan Tody dijadikan umpan untuk memfitnah Arsa.
Usai menjalani beberapa rangkaian pemeriksaan, Arsa dinyatakan bersih dari obat obatan terlarang itu. Tsabit dan Sandy terus menunggu kedatangan Arsa diruang
tunggu. Menunggu kehadiran Arsa dan memberi tahu kabar baik ini.
Tidak sampai memakan waktu lama, sosok Arsa baru saja keluar ditemani petugas kepolisian.
"Gimana hasilnya" Kapan gue bisa pulang?" Tanyanya pertama kali setelah duduk berhadapan dengan Tsabit.
"Besok. Kemasi barang barang kamu ya. Besok saya, mama dan Kak Abrar bakal jemput kamu"
"Satu satunya barang yang gue bawa ya cuma baju yang gue pake ini. Lo kira gue disini ngekost"
Tsabit hampir menepuk jidat. Ia lupa suaminya tidak membawa barang apapun kecuali tasbih pemberiannya. Pakaian pun harus bolak balik Tsabit yang membawakannya
hanya untuk ganti. Pakaian yang kotor, ia bawa untuk dicuci di rumah.
"Om Sandy, apa gak bisa hari ini aja pulangnya?" Pandangan Arsa beralih ke Sandy. Pengacara sekaligus ayah dokter Syihab yang diminta Tsabit untuk menangani
kasus suaminya. Sandy menggeleng bijak.
"Kita harus mengikuti prosedur yang ada. Tidak boleh ambil keputusan sendiri sekalipun kita dipihak yang benar."
"Menunggu sehari lagi disini, gak bikin kamu tersiksa kan?" Timpal Tsabit.
"Sehari disini berasa setahun, bit. Lo gak tau gimana rasanya nahan rindu gue sama rumah. Rindu sama mama papa, rindu sama mas Abrar. Berasa kayak nunggu
sidang kasus sianida kelar tau gak lo" keluh Arsa dengan wajah cemberut. Tangannya terlipat di atas meja. Matanya berpaling menatap lain, setelah itu kembali.
"Lo udah pernah ngerasain rasanya dikangenin seseorang?" Tanyanya kali ini.
"Sering" jawab Tsabit enteng.
"Pede banget" gumam Arsa. "Maksud gue dikangenin ampe banget banget banget. Pernah?"
Tsabit menarik nafas. Membuangnya seraya menatap langit langit setelah itu menggeleng. "Sepertinya belum"
"Hari ini dan sejak seminggu yang lalu, lo udah ngerasainnya pertama kali"
Mata Tsabit menyipit samar.
"Pasti gak mudeng" celetuk Arsa agak sewot.
"Emang siapa yang kangennya banget banget banget banget sama saya" Kamu ya?" Tsabit menciptakan senyum jail yang manis disertai telunjuk yang bergerak
dihadapan wajah Arsa. "Bukan. Tasbih gue ni yang kangen"
"Tapi tasbih itu punya saya"
Langsung saja Arsa mengacak ngacak jilbab Tsabit dengan mengusap ngusap kepala gadis itu menggunakan dua tangannya secara gemas.
"Ya gue lah, Tsabit. Masa beneran tasbih. Jangan terlalu polos apa jadi cewek." Geramnya.
"Makanya kalo ngomong tuh yang jelas. Bilang aja kalo kamu kangen banget banget banget sama saya. Gitu aja lebih gampang dan mudah dipahami, kan" Gak perlu
pake embel embel." "Emang lo nya aja yang lola. Om Sandy aja tau maksud omongan gue tadi. Ya gak, om?" Arsa beralih menatap Sandy. Sandy hanya menggeleng sambil tersenyum
memerhatikan interaksi mereka. Jarang ia menemukan sepasang suami istri yang berinteraksi dengan kesewotan atau kekonyolan bahkan umpatan umpatan ringan.
Justru Sandy melihat kasih sayang yang tulus dari sana.
"Om juga pernah muda seperti kalian, tapi masa muda om dengan istri selalu romantis. Kayaknya, di zaman sekarang, perasaan cinta tidak melulu harus diungkapkan
melalui kata kata romantis ya" Bisa dengan tindakan bodoh yang justru menunjukan rasa cinta itu sendiri. Ya seperti kalian ini" Sandy tertawa kecil sambil
melepas kacamata presbiopinya.
"Om bisa aja. Saya kayak gitu karena seneng aja ngebully dia. Yang saya kangenin ya kangen ngebully dia. Ngebully Tsabit gak kayak ngebully Tody, om."
Jawab Arsa santai melirik Tsabit sedikit.
"Omongin aja terus. Orangnya lagi pulang kampung" Tsabit mulai senewen.
"Cie, ngambek. Tambah jelek lo kalo ngambek" ejek Arsa.
Tsabit diam dalam bahaya. Matanya menyimpan strategi.
"Pak Sandy. Sepertinya jam besuk kita sudah habis. Bagaimana kalau kita pulang sekarang" Banyak pekerjaan yang harus saya selesaikan hari ini" sebelum
menjawab, Sandy melihat ekspresi Arsa. Pria itu menatap tidak terima. Menatap Sandy dan Tsabit bergantian.
"Dih, lo mau pulang sekarang" Gak asik banget, sih" protes Arsa kepada Tsabit.
"Tugas Pak Sandy gak cuma ngurusin kamu aja, sa. Dia masih banyak urusan diluar sana." Jelas Tsabit berdiri menyampirkan tasnya ke lengan.
"Terus lo sendiri" Gak sesibuk om Sandy juga, kan" Kalo om Sandy mau pulang, om boleh kok pulang duluan" tatapan Arsa beralih ke Sandy sambil tersenyum
penuh makna. Sandy mengerti seraya menggeleng maklum. Ia pun pamit meninggalkan Arsa juga Tsabit disana.
"Kamu baru saja ngusir orang yang sudah berjuang menyelamatkan kamu dari kasus ini, sa." Mereka duduk kembali dalam posisi semula.
"Om Sandy orang yang cerdas. Dia pasti tau, mana bagian dari pekerjaannya, mana yang bukan. Lo nya aja yang ribet."
"Terserah kamu. Buang buang waktu kalau terus berdebat sama kamu"
"Itu tau" Keduanya terdiam. Seorang petugas yang mengawal Arsa menjadi saksi kebisuan mereka. Itu hanya sebentar, selanjutnya Arsa mengeluarkan sesuatu dari saku
celana. "Nih. Gue balikin" tangan yang menggenggam benda itu terulur dihadapan Tsabit. "Thank's. Benda ini berhasil ngebuat gue selalu inget sama Allah."
"Itu buat kamu. Kalau ternyata tasbih itu membuat kamu jadi lebih baik, saya gak keberatan melepasnya." Tangan Tsabit diam diatas meja. Matanya menatap
tangan Arsa yang masih menggenggam tasbih hitam miliknya.
"Gue bisa beli yang persis kayak gini. Lo pasti juga butuh, kan?"
"Buat apa membeli barang yang kamu sudah memilikinya. Tasbih itu saya berikan buat kamu. Saya punya satu lagi dirumah. Sama seperti yang kamu pegang."
Arsa pun menarik kembali tasbihnya kemudian fokus kepada sang istri. Ia tertawa samar dalam senyuman.
"Kenapa ketawa?" Tsabit mengerut dahi.
"Kita ini lucu ya" Arsa masih tertawa ringan namun manis. "Selama gue hidup, selama gue pernah ngerasain pacaran, selama gue punya pasangan, baru kali
ini gue couple-an tasbih sama istri gue sendiri. Orang orang mah kaos couple kek, tulisan 'i love him' dan 'i love her' atau cincin, atau topi, tas, gelang.
Ini malah tasbih. Lucu aja gitu. Pertama kalinya nih gue kayak gini" Arsa memainkan rangkaian butir tasbih setelah berhasil mengucapkan itu semua.
"Kamu jangan Ge-er. Awalnya saya membeli tasbih itu sepasang untuk kakak tiri saya. Berhubung Allah memanggilnya, saya pakai satu untuk menemani saya kemana
pun saya pergi. Gak ada hubungannya sama kamu"
Arsa bisa melihat kerapuhan Tsabit dari sisi lain. Dibalik ketegaran dan kekokohannya dalam menjalani hidup, Arsa tahu gadis itu memiliki jalan hidup yang
rumit. Tapi ia berhasil menyembunyikannya dengan sempurna. Tentu ia tidak mungkin menanyakan lebih dalam tentang kakak tirinya.
"Tapi pada akhirnya tasbih itu jadi milik gue, kan" Kalo gue gak tersandung kasus ini mungkin lo gak bakal ngasih ni tasbih ke gue."
"Mungkin Allah sudah mengatur semuanya, hingga tasbih itu berada ditangan kamu. Tolong kamu jaga baik baik ya. Pergunakan dengan tulus. Setulus kamu ingin
dekat kepadaNya" ada senyum penuh harap disana. Kabar baik, senyum itu berbalas. Pria dihadapan Tsabit menyunggingkan senyum khas mengandung gula.
"Tenang aja. Selain ganteng, gue juga bisa dipercaya kok"
*** Idzar berjalan santai menuju salah satu ruang. Dengan membawa berkas berkas ditangan, ia bersiap menghadiri meeting bulanan bersama para staff. Ruang rapat
berada di lantai tiga. Untuk menuju kesana Idzar harus menggunakan lift dari lantai dua.
Ketika ia berjalan menuju lift, sesuatu menghentikan langkahnya. Sosok familiar yang sedang duduk di loby berhasil menarik perhatiannya. Ia tegaskan perlihatan
sambil mencondongkan sedikit tubuhnya ke arah gadis cantik yang sedang duduk anggun disana.
Matanya menyipit. "Dia perempuan yang waktu itu kan?" Gumamnya sambil berpikir untuk menghampirinya atau tidak. Rasa penasaran pun berhasil memicu Idzar
hingga akhirnya ia memberanikan diri menemui gadis itu.
"Assalamualaikum" sapanya. Gadis itu menoleh. Menimbulkan lambaian rambut yang bergerak indah secara bersamaan. "Iya. Ada apa?"
Idzar menyayangkan sikap sang gadis yang tidak menjawab salamnya. Betapa ruginya dia, pikir Idzar. "Sepertinya kita pernah bertemu ya" Di rumah sakit kalau
tidak salah." Matanya menyipit mengingat ngingat. Gadis itu melakukan hal yang sama. Keduanya saling mengingat.
"Mungkin iya. Tapi saya lupa. Bisa anda kasih gambaran pertemuan kita?"
Idzar berpikir keras. Bibirnya mengulum. "Ah! Kamu yang tidak sengaja menabrak saya waktu di rumah sakit tumbuh kembang. Ingat?"
Giliran gadis itu yang berpikir keras mengingat.
"Kamu laki laki yang saya tabrak berdua dengan pacar kamu?" Mendengar itu, Idzar tersenyum.
"Dia istri saya." Gadis itu mengangguk lalu meng-oh. "Ngomong ngomong ada yang bisa saya bantu" Kebetulan saya bekerja disini"
"Saya menunggu teman saya. Dia bekerja disini. Kata security, teman saya itu sedang keluar sebentar. Oh ya, kita belum berkenalan. Nama saya Fania." Uluran
tangan berkulit putih nan halus menyapa Idzar. Pria itu menyambutnya dengan tangkupan tangan didada.
"Saya Idzar." Fania menarik kaku tangannya. Ia lupa, sosok pria dihadapannya ini pernah menghindar sewaktu dirinya hendak meminta maaf melalui sentuhan.
Sudah dua pria yang ia temui bersikap sok jual mahal. Pertama adalah Rayyan, kedua Idzar. Sejenak ia berpikir, apa wanita adalah sosok yang begitu menjijikan"
sehingga kaum pria semacam Rayyan dan sejenisnya amat menjaga interaksi dengan lawan jenis. Suatu saat ia akan menanyakan hal ini kepada Rayyan.
"Kalau boleh tahu, siapa nama teman kamu" Barangkali saya kenal."
"Namanya Tsabit. Ada hal penting yang ingin kami bicarakan"
"Oh Tsabit. Dia sahabat istri saya." Jelas Idzar tanpa menunggu ditanya.
Obrolan ringan itu terpecah dengan kehadiran sosok yang ditunggu Fania. Tsabit berjalan menghampiri setelah sebelumnya diberitahu security tentang kedatangan
Fania ke kantornya. Kini ia malah melihat gadis itu sedang berbincang dengan Idzar. Pikirannya semakin kacau.
Idzar pun pamit membiarkan dua gadis berbeda kepribadian itu duduk berdua di loby. Keduanya mengawali pertemuan dengan kebisuan serta kekakuan. Tidak ada
yang inisiatif membuka obrolan. Untuk kasus ini Tsabit tidak mau mengalah. Biar saja ia menunggu Fania berbicara lebih dulu, toh tujuannya datang ketempat
ini bukan untuk berdiam diri seperti ini, kan"
Tsabit memancingnya dengan berdehem sekali. Fania merespon seraya terkesiap. Ia menyampirkan poninya kebelakang. Lalu menatap Tsabit serius.
"Maaf harus menunggu lama. Aku mempersiapkan diri untuk mengatakan ini semua ke kamu, Tsabit."
"Tidak apa. Apa yang mau kamu bicarakan" Sepertinya penting sekali sampai sampai kamu nekat kesini." Mata Tsabit memandang samar gadis berpakaian seksi
dihadapannya. Menilai tiap inci penampilan Fania. Bukan menilai buruk, hanya saja ia berpikir, bagaimana Arsa tidak tergila gila dengan gadis yang kecantikannya
hampir setara dengan aktris korea. Fania sangat cantik. Jika dilihat dari dekat, ia sekilas mirip dengan aktris korea Kim Tae Hee. Salah satu aktris korea
yang ia tahu. "Aku sudah tahu sesuatu yang melatar belakangi pernikahan kamu dengan Arsa. Arsa sudah menceritakan semuanya."
Awalanya Tsabit terkejut. Tapi kemudian ia mengerti, sejak awal Arsa tidak ingin adanya pernikahan ini. Sudah pasti ia memberi tahu kepada kekasihnya,
agar tidak terjadi kesalah pahaman diantara mereka. Ia diam, membiarkan Fania melanjutkan ucapannya.
"Arsa berjanji akan segera menceraikan kamu jika nama baik keluarganya telah bersih. Dan seharusnya kamu sudah bercerai."
"Tapi kamu tahu apa yang terjadi pada Arsa,.. dan kasusnya?" jawab Tsabit hati hati.
"Itu yang aku sayangkan. Kenapa disaat namanya baik telah kembali, malah muncul kasus ini. Nama baik Arsa kembali dipertaruhkan. Dan itu akan membuat kamu
semakin lama hidup bersama Arsa." Fania menyandarkan tubuhnya. Menatap ke arah lain.
"Mau sampai berapa lama pun, bagi saya bukan masalah. Saya adalah istrinya. Meski Arsa berada dipuncak kariernya atau terjatuh sekalipun, saya tetap istrinya."
"Tapi kamu tetap harus bercerai dengan Arsa."
Ucapan Fania, membawa diri Tsabit ke waktu dimana dirinya sedang berbincang di taman olahraga seminggu yang lalu. Saat itu Arsa bertanya, "lo siap kalau
kita bakal bercerai?" Pertanyaan itu melesat bebas bak anak panah yang menancap tepat ke sasaran. Antara ingin menjawab atau tidak, Tsabit hanya bisa diam
dalam beberapa detik. "Bit?" Arsa memastikan Tsabit baik baik saja. Gadis itu terkesiap.
"Perceraian adalah jalan yang dibenci Allah. Ada sesuatu yang menahan saya untuk tetap berada dalam hubungan ini. Bukan cinta yang menggebu gebu, melainkan
cinta yang pernah hilang dari seorang hamba yang melalaikan cinta Tuhannya."
Tsabit tidak mengerti apa yang ia ucap saat itu. Semua terlontar begitu saja. Padahal tadinya ia akan menjawab "saya siap" tapi kekuatan lain berhasil
melencengkan niatnya. "Bilang ke Arsa, bahwa kamu ingin menggugat cerai secepatnya" perintah Fania membuyarkan lamunan Tsabit.
"Tidak bisa. Arsa dan keluarganya, masih membutuhkan saya." Mata Tsabit menatap tajam dan dingin.
"Sepertinya kamu salah. Bukan kamu yang mereka butuhkan. Tapi aku."
"Apa yang membuat kamu besar kepala?"
Fania membenarkan posisi duduknya. Mencondongkan tubuh ke depan persis didepan Tsabit. Seolah ia ingin mengatakan sesuatu yang tidak tidak ingin orang
lain tahu. "Pegang!" Perintah Fania meraih tangan Tsabit, membawanya ke arah perutnya. "Didalam perut ini, ada sesuatu yang menuntut seorang ayah. Laki laki itu adalah
Arsa." Jantung Tsabit hampir ingin meloncat menuju angkasa. Nafasnya mendadak mogok dipertengahan. Sendi sendi ototnya seperti mati rasa. Rasa dingin perlahan
menyelimuti sekujur tubuh. Tangannya masih kaku berada diperut Fania. Matanya enggan menatap gadis itu.
"Aku hamil, Tsabit. Dan Arsa harus bertanggung jawab."
Tsabit diam terpaku. Bahkan ketika Fania menghempas tangannya dari perut, tangan Tsabit masih kaku. Daya berpikirnya menurun. Semoga pendengarannya sedang
berkhianat. Semoga telinganya sedang bermasalah. Semoga, semoga dan semoga.
"Kapan kalian melakukannya?" Tanya Tsabit dingin. Siapa yang tahu, untuk bisa bertanya sesingkat itu, Tsabit membutuhkan oksigen, suplemen keberanian melawan
reaksi reaksi yang menggoyahkan imannya.
"Malam itu sebelum Arsa menyelamatkan kamu dari preman preman."
Jadi, waktu itu Arsa berbohong. Bukan menemui temannya, melainkan bertemu Fania. Tsabit bodoh! Bodoh!, umpatnya dalam hati. Sekarang, siapa yang pantas
disalahkan" Arsa" Fania" Atau malah dirinya sendiri"
Jiwa Tsabit terlalu kuat untuk menangis. Tentu ia tidak ingin menangis dihadapan Fania. Justru Fania lah yang kini tengah menangis sejak tadi. Sambil memegang
perut ia berkata, "Arsa yang memaksa aku melakukannya. Dia bilang cara ini akan mempercepat proses perceraiannya dengan kamu. Hingga aku tersadar, Arsa
telah merebut keperawananku, Tsabit" sambil terisak pedih.
Bibir Tsabit bergerak samar berucap tidak jelas. Matanya kosong. Seperti ada yang hilang dari tubuhnya dan pergi jauh. Ia seperti tubuh tanpa nyawa. Apa
seperti itu sosok Arsa yang sebenarnya" Seburuk itukah" Satu satunya hal positif yang ia ambil dari peristiwa ini adalah, bahwasanya menjalin hubungan
yang tidak ada ridho Allah didalamnya pasti berujung tidak baik. Kalaupun baik, belum tentu Allah memberkahi proses perjalanannya. Itulah mengapa Tsabit
enggan berpacaran. Baik untuk sungguhan atau berpura pura.
"Anak ini butuh seorang ayah. Aku tidak ingin anakku lahir tanpa sosok Ayah. Kalau tidak, aku lebih baik mati daripada harus menanggung malu"
"Jangan!" Sergah Tsabit setelah Kesadarannya kembali sempurna. Akal sehatnya berhasil memancing emosi yang sempat ingin meluap. Ia menatap Fania begitu
dalam. Memerhatikan gadis itu dalam keadaan terisak dengan rambut menutupi sebagian wajah. Tsabit menarik nafas dalam dalam.
"Bunuh diri bukan jalan keluar. Justru semakin menjerumuskan kamu dalam neraka." Fania mendongak, menyingkap rambut lalu menatap Tsabit penuh harap. "Temui
aku besok di rumah Arsa. Dia harus tahu masalah ini. Begiu juga tante Kartika. Saya tidak bisa mengambil keputusan tanpa sepengetahuan suami saya."
Tak ingin berlama lama menguras emosi dalam situasi, Tsabit beranjak hendak pergi. Sebelum melangkah mantap, ia sempatkan diri untuk mengusap lengan Fania.
"Jaga anakmu baik baik. Allah maha tahu. Setelah itu bertaubatlah." Pesan Tsabit sebelum akhirnya pergi berjalan menjauh dari situasi.
Selagi berjalan menjauh, Tsabit memejamkan mata sejenak seraya memohon ampun dalam hatinya. Meski pengakuan Fania terus mengganggu lalu terngiang dipikirannya
dan memutar layaknya kaset kusut. Tubuhnya tidak kuasa menahan diri. Perlahan cahaya cahaya yang berpendar meredup merubah diri menjadi warna gelap dan
hitam pekat menjadi tameng penglihatannya.
*** TBC.. 19. Ketika ikhlas menjadi umpan
Rayyan berdiri bersandar pada pohon besar nan rindang yang daunnya perlahan jatuh satu persatu. Tubuhnya agak condong kesebelah kanan dimana pohon itu
menopang. Sudah setengah jam ia berdiri disana mengamati pergerakan apapun yang ia tangkap dari matanya. Entah dua ekor kucing yang sedang berkelahi, atau
seseorang yang sedang mengikis rumput liar pada halaman.
Dieratkan jaket baseball kesayangannya seraya melirik jam tangan. Setelah cukup lama berada disana, ia berjalan meninggalkan taman menuju seseorang yang
memanggilnya dengan lambaian.
"Monggo, cah ayu sudah menunggu." Bu yati mengiring Rayyan masuk ke kediaman Kartika.
"Tsabitnya ada dimana, bu?" Tanya Rayyan mengekor bu Yati.
"Ada diruang tengah. Sebenarnya ndak boleh keluar kamar dulu sama dokter. Tapi dia ndak enak kalau berdua didalam kamar sama laki laki yang bukan suaminya."
Rayyan meng-oh. Diruang tengah Rayyan mendapati seseorang dari balik sofa panjang yang membelakanginya. Ia hanya bisa melihat kepala yang tertutup kerudung putih yang
muncul dari sisi atas sofa tersebut. Itu pasti Tsabit, pikirnya.
Usai bu Yati menyilahkan lalu pergi, Rayyan mengambil posisi duduk di sofa tak jauh dari Tsabit.
"Assalamualaikum"
"Waalaikumsalam, yan. Maaf ya lama nunggu. Apa kabar kamu?" Jawab Tsabit duduk bersandar. Nada bicaranya datar. Volume suaranya kecil lemah tak bergairah.
Satu titik yang menarik perhatian Rayyan padanya, ialah bibir yang terlihat pucat.
"Gak kebalik" Harusnya aku yang nanya gitu ke orang baru aja pingsan tadi siang. Gimana keadaan kamu?"
Tsabit memaksakan dua sudut bibirnya untuk tertarik seadanya.
"Gak separah sakit yang kemarin. Aku cuma kelelahan aja."
"Gak pernah sakit, sekalinya sakit dua kali dalam sebulan. Tsabit tsabit.. seneng banget bikin orang khawatir."
Mata Tsabit agak membelalak. "Kamu gak cerita ke mama papa soal ini, kan?" Rayyan menggeleng. "Kalau gitu, gak bakal ada yang khawatir selama mereka gak
tau." "Aku yang khawatir sama kamu." Mata Rayyan menatap serius.
"Kamu kenal aku berapa lama, sih" Aku kayak gini kan gak sekali dua kali. Meski jarang, terkadang setiap manusia pasti butuh sakit. Setidaknya itu cara
Allah menegur hambaNya. Selama aku masih bisa nyerocos panjang lebar gini, kamu gak perlu khawatir. Oke?"
Rayyan membuang nafas berat seraya memalingkan wajah. Ia sudah yakin akan seperti ini. Tsabit tidak mau terlihat lemah meski dalam keadaan salit sekalipun.
Selain keras kepala, Tsabit tergolong pintar menutupi kekurangan serta kelemahannya. Berbekal kalimat kalimat ngeles bin ajaibnya, mampu membuang kekhawatiran
Rayyan yang sempat panik sewaktu Fania meneleponnya, memberitahu bahwa Tsabit pingsan.
"Oh ya, ngomong ngomong kamu tahu darimana kalo aku pingsan" Ada yang ngasih tau?"
Rayyan terhentak samar. Matanya bergerak sedang otaknya terkuras memikirkan jawaban. Tsabit akan semakin kepo kalau tahu Fania yang memberi tahu dirinya
perihal ini. "Kebetulan pas kamu digiring menuju ambulans, aku lewatin kantor kamu. Pas aku tanya security, katanya kamu pingsan. Yauda aku ikutin kamu." Jawab Rayyan
agak terbata. "Tapi aku gak ngeliat kamu sepulang dari klinik."
"Aku pulang lagi sebentar. Terus aku balik lagi kamu udah pulang katanya diantar sopir sama Idzar. Yauda aku kesini aja."
Rayyan bukan pembohong sejati. Untuk mengatakan ini saja, keringat dingin mengujur dibalik punggung. Apalagi membohongi Tsabit. Butuh perjuangan baginya.
Tapi, Tsabit tidak boleh tahu perihal dirinya yang mengenal Fania.
Sepulang dari sini pun, Rayyan berniat menemui Fania untuk meminta penjelasan mengapa Tsabit bisa pingsan usai bertemu dengannya. Pasti Fania mengatakan
sesuatu yang menyakiti hati Tsabit. Kalau memang benar, Rayyan tidak segan segan memberi gadis itu pelajaran.
"Kalau lagi ada masalah, cerita bit. Jangan dipendem sendiri." Ucap Rayyan peduli. Ia menaruh parsel buah yang sedari tadi berada dipangkuan ke atas meja
kaca. "Masalah apa" Aku gak ngerasa punya masalah."
"Kok sombong?" Rayyan berkerut dahi.
Tsabit cengar cengir. "Maksudku, aku emang punya masalah. Tapi aku gak mempermasalahkan masalahku." Ujarnya sambil melihat lihat parsel bawaan Rayyan.
"Eh, ada apelnya. Aku buka ya?" Seketika senyumnya melebar bahagia.
"Buka aja. Bisa gak bukanya?" Rayyan hendak menawarkan bantuan.
"Kecil ini mah." Tangan Tsabit lincah mengelupas plastik elastis yang membungkus macam macam buah disana. Ia mengambil satu buah apel lalu menyuapnya satu
gigitan. "Gimana hubungan kamu sama Arsa. Dia gak nyakitin kamu, kan?" Rayyan kembali serius. Sebenarnya pembawaan Rayyan hari ini memang berbeda. Tidak ada mood
untuk bercanda. Kehawatiran terhadap Tsabit yang membuatnya seperti itu.
"Engga lah. Dia kan suami aku."
Rayyan menyimpan curiga dalam hati. "Kamu bahagia?"
"Insya Allah bahagia" jawabnya lagi setelah menelan kunyahan apel.
Mengingat ucapan Fania waktu itu tentang sesuatu dibalik pernikahan Tsabit dan Arsa, Rayyan malah melihat kejujuran dari mata Tsabit. Ia tidak melihat
sesuatu yang ditutupi gadis itu. Semua terlihat alami dan tulus apa adanya.
"Kalau begitu, aku yakin kamu bakal sembuh secepatnya. Orang yang jarang sakit kemungkinan karena hidupnya selalu bahagia. Kalau Arsa bisa membuat kamu
bahagia, artinya dia juga bisa membuat kamu sembuh." Rayyan mengulum senyum. "Trus kapan Arsa pulang dari penjara. Aku baca beritanya, dia bersih dari
tuduhan." "Alhamdulillah. Besok dia pulang. Kamu mau ikut jemput?"
"Permakan bajuku lagi banyak, bit. Salam aja buat suami kamu."
Tsabit mengangguk kecil. Melihat Rayyan bangkit dari duduknya dengan tangan berada disaku.
"Aku pamit ya. Maaf nih gak bisa lama. Kamu gak apa apa kan aku tinggal"--Eh, tapi Arsa udah tau keadaan kamu sekarang belum?" Rayyan duduk lagi.
"Udah. Mama mertua aku yang kabarin dia. Salam juga ya buat ibu kamu. Kapan kapan aku main kesana."
Rayyan berdiri lagi. Kali ini ia menatap Tsabit lama sebelum melangkah pergi. Tsabit menyipit menatapnya bingung. "Kenapa ngeliatin aku kayak gitu?"
"Jaga diri kamu baik baik ya. Kalau terjadi apa apa hubungin aku secepatnya. Kalau Arsa nyakitin kamu, bilang sama aku. Ngerti?" Pesan Rayyan mantap sebelum
akhirnya pamit meninggalkan Tsabit penuh tanda tanya dalam hati. Tsabit bisa melihat sirat makna yang tersembunyi dari matanya.
*** Esok paginya, ketika sang surya memberanikan dirinya menjulang di seperempat pagi, menimbulkan hawa hawa sejuk. Panasnya tidak begitu terik. Mereka menyebutnya
pagi yang cerah. Meski tidak secerah gumpalan perasaan tak menentu yang dialami Tsabit hari ini.
Sejak subuh, hatinya dilanda kerisauan. Tak hanya gelisah, tapi juga ketakutan yang mengakar tunjang mengakibatkan Tsabit kesulitan konsentrasi beraktivitas.
Bahkan sholat subuh pun tidak khusyu dibuatnya.
Sesampainya di Polsek setempat, dimana Arsa ditahan selama hampir seminggu. Tsabit, Kartika juga Abrar pun menjemput Arsa. Arsa yang telah siap ditemani
beberapa petugas serta menandatangani beberapa surat perjanjian dan jaminan keamanan akhirnya bisa menghirup udara bebas. Melepas rindu bersama orang tersayang.
Ada beberapa moment mengharukan yang terjadi. Dimana Arsa menangis memeluk Kartika ketika ia keluar dari ruang tahanan. Dalam tangisnya, Arsa mengungkapkan
penyesalannya. Selama hidup, cobaan ini lah yang terberat baginya. Dan juga yang berhasil membawa dirinya kembali ke jalan Allah. Engkong Rahmat pernah
berkata, "Sebenarnya ketika Allah menimpakan ujian kepada hambaNya, Dia selalu menyelipkan hikmah serta hidayah. Sayangnya, jarang manusia yang menyadari.
Mereka terlalu egois. Mereka sibuk mencari jalan keluar dari masalah yang menimpa mereka. Padahal jika mau saja sedikit mensyukuri ujian tersebut, maka
Allah tidak hanya memberinya jalan keluar. Tapi juga hidayah dan hikmah yang akan terpakai kelak dikemudian hari." Itulah pesan terakhir Engkong Rahmat
sebelum Arsa pamit pulang meninggalkan rumah tahanan ini.
"Mama duduk didepan aja ya, sama Mas Abrar. Aku mau duduk dibelakang sama dia." Pinta Arsa ketika akan masuk ke dalam mobil menuju pulang. Tsabit yang
sudah masuk lebih dulu ke dalam mobil hanya duduk manis menolehkan kepala menghadap jendela, menatap jalanan sepi. Matanya kosong seraya menghela nafas.
"Ngeliatin apaan sih" Serius amat." Sapa Arsa mengikuti arah mata Tsabit ke luar jendela sesampainya dijok belakang bersama gadis itu. Yang disapa tidak
merespon, apalagi menoleh. Ia tetap pada posisi.
"Lo kenapa" Ditekuk gitu mukanya. Gak seneng kalo gue bebas dari penjara?" Tanya Arsa.
Tidak ada jawaban. "Seminggu ditinggal gue, lo jadi budek gini. Baru seminggu, udah gak ada gairah aja. Gimana kalo gue tinggal ke luar negeri dah." Ia menyandarkan tubuhnya
di jok seraya merenggangkan otot ototnya yang kaku. Kedua tangannya direntangkan agak keatas sambil menarik nafas. Perlahan tangan kanannya mendarat dibalik
Tsabita Ilana Karya Suffynurcahyati di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
punggung Tsabit lebih tepatnya pada sisi atas jok. Gadis itu tidak akan menyadari kalau ia tidak bersandar. Jika dilihat dari depan, akan terlihat seperti
Arsa merangkul Tsabit. Ia senang melakukan hal kecil itu. Tak apa meski Tsabit masih mendiamkannya.
Setelah mengingat ngingat, Arsa terhentak lalu menghadapkan wajahnya ke arah Tsabit. "Yampun!" Seru Arsa menepuk dahi. Tsabit menoleh samar. "Gue tahu
sekarang. Pantesan lo diem aja kayak ayam telo. Lo masih sakit, kan" Kata mama kemaren lo pingsan" Iya bener?" Tanya Arsa khawatir. Tangan yang tadi ia
sandarkan, beralih meraih pundak Tsabit agar mereka saling menghadap. Otomatis Tsabit mengikut. Mau tidak mau.
"Sekarang masih sakit" Bibir lo pucet gini." Satu sentuhan jari Arsa berhasil meraba bibir bawah Tsabit. Singkat namun berimbas pada jantungnya. "Muka
lo juga pucet. Trus udah minum obat belum" Ya ampun, Tsabit. Kalo lo masih sakit harusnya gak usah ikut jemput gue. Lo tidur aja dirumah, istirahat."
"Saya baik baik aja, Arsa." Jawab Tsabit apa adanya. Tapi tidak mempengaruhi kecemasan Arsa padanya.
"Kayak gini dibilang baik baik aja. Biasanya kan lo bawel. Biasanya lo nyeramahin gue atau ngomong apa gitu ke gue. Kalo lo udah diem begini, gue perlu
khawatir tau gak." "Saya bilang saya baik baik aja. Kamu gak perlu bersikap berlebihan seperti ini." Balasan Tsabit kali ini sangat dingin. Sedingin pertemuannya pertama
kali setelah insiden perkelahian dulu. Lebih tepatnya, insiden Tsabit menggigit lengan Arsa."Mimik wajahnya nampak tidak bersahabat. Arsa terkatup sepersekian
detik. Sayangnya, mata Tsabit berkata lain. Arsa mampu menangkap itu.
"Kepedulian kamu tidak bisa mengobati apa yang saya rasakan dan kekhawatiran kamu terhadap saya tidak bisa membaca kenyataan pahit yang harus saya telan."
Ujarnya mantap. Arsa kebingungan sendiri.
"Ada apa, Tsabit?" Tanya kartika yang rupanya memerhatikan interaksi mereka dari jok depan.
"Tidak ada apa apa, ma" jawab Tsabit menyempatkan untuk tersenyum sekilas.
"Lagi PMS ya, bit" maklum, Sa. Tsabit kan baru sembuh." Abrar menimpali dari balik kemudi.
Arsa kembali menatap istrinya. Tsabit yang akan membuang wajah, harus kembali menghadap Arsa karena pria itu memaksanya pelan. "Gue yakin, lo gak cuma
sakit doang. Tapi ada sesuatu yang lo sembunyiin dari gue. Kasih tau gue, bit. Gue bikin salah sama lo" Apa ada yang nyakitin lo selama gue gak ada?"
Dalam diamnya Tsabit menelaah sorot mata Arsa. Ketulusan yang hadir sempat menyurutkan kerisauan Tsabit tentang kenyataan yang diucapkan Fania kemarin.
Apa Arsa benar benar tidak tahu kesalahan fatal apa yang membuatnya seperti ini"
"Aku hamil, Tsabit. Dan Arsa harus bertanggung jawab"
"Di dalam perut ini, ada sesuatu yang menuntut seorang Ayah.."
Tsabit menggeleng kasar seraya memalingkan wajahnya. Kata kata kemarin siang sedang menari nari dalam batin. Hatinya berkecamuk tidak karuan. Dilemma besar
telah lancang hadir ke kehidupannya. Tanpa permisi ia mengoyak ngoyak perasaan tulus yang sudah ia rangkai menjadi satu kesatuan yang indah. Sayangnya,
kesatuan itu harus pecah begitu saja tanpa meninggalkan bekas.
"Kamu benar benar gak tau apa salah kamu?"
Arsa menggeleng. Masih menghadiahi Tsabit sorot mata elang khas nya.
"Kalau kamu mau tahu, bersabarlah sampai kita tiba dirumah. Setelah ini mungkin kamu gak hanya sekedar tahu. Tapi juga mengakui apa yang udah kamu perbuat."
Tsabit menormalkan posisi duduknya. Duduk tegap menghadap lurus ke jalan bersama tatapan kosong juga wajah datar yang sangat menyebalkan. Sementara Arsa
masih dibuat bingung olehnya. Sesekali ia menoleh hanya untuk menatap istrinya. Setelah itu matanya tertuju pada jemari yang saling bertaut bergerak abstrak.
Arsa memberanikan diri meraih jemari itu kemudian menggenggamnya erat. Sedetik setelahnya, si pemilik jemari mungil itu otomatis menoleh. Dua pasang mata
itu saling bertemu. Berjarak bayangan jalan kota yang terpantul dari kaca mobil.
*** Jarum jam berdetak teratur. Menciptakan suara yang mendominasi keheningan suatu ruang. Yang terisi oleh beberapa orang didalamnya. Mereka diam dalam pikirannya
masing-masing. Setiap kursi berhias ukiran jawa yang indah masing-masing telah terisi satu penghuni. Diantaranya, Kartika, Arsa, Abrar juga Tsabit dan
seorang gadis yang belum lama hadir ditengah mereka. Gadis itu yang berhasil membisukan suasana. Dia, Fania.
Sembari menunggu siapa yang akan berbicara lebih dulu, diam diam Arsa menanyakan sesuatu kepada Tsabit yang berada dikursi sebelahnya. Sambil agak berbisik,
ia berkata, "lo yang ngundang Fania kesini" Jadi dia tamu yang lo maksud?" Tanyanya setelah itu. Bersama mimik dingin yang tidak berubah sejak tadi, Tsabit
menjawab, "iya."
Sebelumnya Tsabit sudah mengatakan kepada Arsa tentang kehadiran tamu yang akan menjawab alasan perihal sikap dinginnya. Sekaligus kesalahan fatal yang
Arsa perbuat. Tapi kenapa harus Fania" Pikirnya.
"Dalam rangka apa?" Tanya Arsa lagi.
"Nanti kamu juga bakal tau."
Arsa berdecak lalu bergumam sendiri. "Gimana gue bisa tau kalo dari tadi gak ada yang ngomong satu pun. Pada puasa ngomong apa?" Ditatapnya Fania yang
duduk didepan bersebrangan dengannya. Gadis itu sedang tertunduk lesu sambil memainkan kuku. Memikirkan cara untuk mengatakan sesuatu kepada tiga orang
dihadapannya. Posisinya saat ini layaknya seorang tersangka sebuah kasus yang tengah disidang oleh beberapa hakim.
"Kamu ingin mengatakan apa, Fania?" Tanya Arsa yang cukup membuat Fania terkejut samar dalam hati. Arsa yang dulu ia kenal sungguh berbeda. Satu hal yang
membuktikan ialah, tidak ada lagi sapaan sayang yang akrab ditelinga. Tatapan hangat serta penuh cinta dari Arsa pun kini tidak lagi ia rasakan. Arsa menatapnya
berbeda. Seperti menatap orang lain, bukan seorang kekasih. Gadis itu tersenyum kecut. "Aku rindu sapaan sayangmu, Arsa" meski terdengar pelan, Tsabit
mampu mendengar ungkapan itu. Jangan tanyakan bagaimana perasaannya. Tsabit sudah kebal dengan semua problematika dunia ini.
"Sebaiknya cepat kamu katakan, waktu saya terbuang sia sia hanya untuk menunggu kebisuan kamu." Kartika angkat suara. Ketika berbicara, matanya enggan
menatap Fania. Gadis itu menarik nafas seraya menunduk. Setelah berhasil menetralkan perasaannya, ia mengatakan,
"Aku minta pertanggung jawaban Arsa."
"Tanggung jawab apa?" Ucap Arsa memotong dengan nada protes.
"Aku belum selesai bicara, sayang." Mendengar sapaan sayang itu, Arsa terkatup seketika. Ia melirik Tsabit, ingin tahu reaksi istrinya jika mendengar sapaan
yang menurut Arsa terasa menyakitkan jika terlontar dari mulut gadis lain. Sayangnya, ia tidak melihat satu titik pun raut kecemburuan. Hanya wajah datar
menyebalkan yang tidak berubah sejak kemarin.
"Aku hamil. Dan bayi yang ada dalam kandunganku adalah darah daging Arsa." Ucap Fania terbata bata. Matanya tidak mampu menatap orang disekitar. Satu reaksi
yang sama diberikan oleh tiga orang dihadapannya. Baik Kartika maupun Arsa dan Abrar, terkejut mendengar pernyataan yang baru saja hadir ditelinga mereka.
"Kamu jangan bercanda, Fania." Ujar Arsa dengan mimik cemas. "Aku tahu kamu gak terima dengan pernikahan aku dan Tsabit. Tapi gak harus bercanda kayak
gini." "Aku serius, Arsa. Aku hamil. Ini anak kamu." Ada penekanan pada kalimat akhir. Upaya Fania agar Arsa mengakui kenyataan yang sebenarnya.
"Bagaimana bisa" Aku gak ngerasa berbuat macem macem sama kamu. Selama kita pacaran kita gak ngapa ngapain. Mungkin itu anak,--"
"Kamu mau bilang, itu anak pria lain" Jahat kamu!" Potong Fania sebelum Arsa mengucapkan hal yang tidak tidak.
"Tapi aku gak ngerasa berbuat apa apa sama kamu. Sekarang, aku minta buktinya." Pinta Arsa tegas. Ini masalah serius. Rupanya ini yang membuat Tsabit bersikap
dingin padanya. Dilihatnya Tsabit sedang duduk tenang memerhatikan perdebatan dirinya dengan Fania. Arsa yakin, dalam sikap tenangnya, ia menyimpan rasa
sakit yang luar biasa. Selagi itu, Fania berhasil mengeluarkan sesuatu dari tas ber-merk miliknya. Sebuah benda pipih yang tidak asing, menampilkan dua
garis merah disana. "Ini buktinya. Satu satunya pria yang melakukannya cuma kamu, Arsa." Isak tangis mulai terdengar. "Cuma kamu pria yang aku cintai sekaligus yang berhasil
merebut segalanya dari aku. Semuanya telah aku berikan kepada kamu. Aku hanya ingin anak ini memiliki seorang ayah."
Arsa mematung dalam posisi. Tidak tahu harus berkata apa lagi. Sedang Abrar sibuk menelaah masalah yang timbul. Bagaimana bisa adiknya berbuat sebejat
itu" Sementara Kartika, hampir saja mati ditempat mendengar pernyataan tersebut. Setelah diam beberapa lama, wanita bernama lengkap Kartika Saraswati itu
berdiri. Melenggang angkuh mendekati Fania.
"Kamu tahu, mengapa saya amat membenci keluarga kamu" Termasuk kamu?" Ia sedikit menunduk agar wajahnya sejajar menghadap Fania. Ia menatap tajam Fania.
Suasana berubah mencekam. "Sebelum kehidupan keluarga kamu sukses seperti sekarang, kalian bukanlah apa apa. Kalian harus mengemis ngemis kepada saya.
Berharap uluran tangan saya. Sebagai sahabat Tamara, tentu saya bukan orang yang tidak punya hati. Saya berikan sebagian harta saya kepada mereka. Saat
itu kamu masih berusia 10 tahun. Tamara meminjam uang kepada saya untuk usahanya. Dengan cuma cuma saya memberinya modal 10juta untuk usaha butiknya. Beberapa
bulan berikutnya ayah dan ibu kamu datang lagi meminjam dana untuk biaya sekolah kamu masuk SMP. Dan lagi lagi, saya memberinya cuma cuma. Semua itu karena
saya menganggap Tamara adalah sahabat saya."
Kartika bangkit. Berbalik membelakangi lalu melanjutkan. "Ditengah kesuksesannya, keluarga kamu mengalami kebangkrutan. Tamara ditipu oleh investor gadungan,
dan suaminya terlilit hutang oleh BANK. Kalian tidak punya rumah. Sebut saja, gembel." Mulut pedas Kartika kumat. Fania ingat, saat itu Fania sampai harus
bolak balik izin dari sekolah karena masalah yang menimpa keluarganya.
"Dan untuk kesekian kalinya, saya menolong kalian dengan segenap ketulusan hati saya kepada sahabat saya sendiri; yaitu ibu kamu. Kamu pasti ingat berapa
lama kalian tinggal satu atap dengan keluarga saya hingga kamu bisa mengenal Arsa lebih dekat. Bahkan ibu kamu sendiri pun bisa berselingkuh dengan suami
saya secara leluasa."
Bagai petir disiang bolong. Semua yang ada disana terkejut bukan main. Tidak ada yang tahu rahasia ini. Termasuk Arsa yang sejak dulu mempertanyakan mengapa
ibunya enggan mengenalkan Fania ke publik sebagai kekasihnya. Jadi ini rahasia terbesar yang disimpan Kartika rapat rapat. Arsa melihat ketegaran dari
garis wajah mamanya. Ia memang tidak menangis, tapi Arsa tahu hati sang mama sedang tidak baik baik saja.
"Saya menangkap basah ibu kamu sedang bermesraan dengan suami saya dikamar. Kamu pasti tahu bagaimana perasaan saya. Tidak hanya hancur. Tapi juga kecewa,
Fania! Tamara yang saya anggap lebih dari sekedar sahabat bahkan saudara, tega memeluk saya erat erat hanya agar mudah menusuk saya dari belakang. Ternyata
menjadi seorang musuh sangatlah mudah. Cukup menjadi orang yang dipercaya maka ia akan mendapatkan semuanya."
Tsabit tertunduk turut merasakan sakit yang dialami Kartika. Ia tahu sekali rasanya dikecewakan.
"Jadi itu alasan tante waktu itu mengusir keluarga saya dari rumah ini" Bukan karena mama mempunyai rumah baru?" Tanya Fania masih dalam tangisnya.
"Bahkan rumah barunya itu adalah hadiah terakhir saya kepada kalian. Saya tidak ingin dicap orang baik bak malaikat. Tapi ditengah kehancuran saya pun
saya masih memikirkan keadaan kalian. Maka dari itu saya memberi kalian rumah yang kalian tempati sampai saat ini. Saya pernah merasakan jadi gembel. Jangan
sampai kalian merasakan hal yang sama. Itu yang ada dalam benak saya."
"Dan sekarang, setelah dengan bangganya kamu menjadi kekasih anak saya. Berharap dikenal publik dan media, kamu mengatakan bahwa kamu sedang mengandung
bayi Arsa. Dimana otak kamu, Fania?" Kartika mendaratkan telunjuk dikepalanya. Menatap benci gadis itu.
"Belum cukup keluarga kamu menghancurkan saya" Apa kamu juga ingin menghancurkan Arsa" Lalu setelah Arsa, Abrar" Iya" Tanpa sadar, kamu telah menghancurkan
dua orang sekaligus. Arsa dan istrinya."
"Kalau boleh saya meminta kepada Tuhan, saya tidak ingin memilih kehidupan yang seperti ini, tante. Semua ini bukan mau saya. Bahkan kehamilan ini juga
bukan kehendak saya. Tolong jangan melihat hanya dari satu sisi. Tanyakan langsung pada Arsa."
Mau tidak mau, Kartika beralih menatap putra bungsunya. Ia berjalan berirama mendekati Arsa. Lalu duduk dengan posisi berlutut menghadap satu sama lain.
"Mama sayang sekali sama kamu, Arsa. Tolong katakan yang sesungguhnya nak. Sejak kecil mama mengajarkan kamu untuk selalu jujur kepada siapa pun. Karena
kejujuran adalah mata uang yang berharga diseluruh dunia." Dengan nada lirih disertai suara yang mulai serak, Kartika memohon dengan sangat agar Arsa memberi
sedikit pencerahan melalui pengakuannya. Walau akan sakit nantinya, setidaknya dengan kejujuran akan menjamin hidup yang berharga di akhirat kelak.
Arsa diam. Memegang erat jemari sang mama. "Arsa gak tau harus bicara apa. Yang Arsa ingat malam itu sebelum kejadian menolong Tsabit dari preman preman.
Arsa memang pergi sama Fania. Kita pergi ke suatu tempat. Kita membicarakan soal perceraian aku dan Tsabit nanti."
Tsabit memejamkan mata menahan gelanyar perih yang nekat muncul. Sampai ia tidak tahu seseorang memerhatikan setiap inci perubahan wajahnya sejak tadi.
Pria yang juga diam duduk manis dikursi tak jauh darinya menatap iba dan peduli padanya.
"Sampai Arsa terbangun dalam keadaan tanpa busana, tertutup selimut. Dan Fania menangis disamping Arsa. Tanpa sadar Arsa sudah merebut segalanya, ma."
Dan Arsa pun mengalirkan satu aliran bening dari matanya.
Lengkap sudah kehancuran Kartika hari ini. Cobaan itu sedang asyik mempermainkan perasaannya. Ujian itu hobi sekali datang hanya untuk menguji kesabaran
Kartika. Apa belum cukup fitnah yang menimpa Arsa" Sekarang malah muncul kenyataan yang lebih pahit dari sebelumnya. Adilkah ini" Kenapa semua itu datang
bertubi tubi ketika ia sedang berusaha dekat denganNya.
"Kamu jahat sekali, Arsa. Kamu tega mengecewakan mama." Kartika menangis.
"Maaf, ma. Arsa minta maaf." Arsa memeluk tengkuk mamanya seraya menunduk lalu menjatuhkan kepala diatas kepala mamanya. Kartika tidak menjawab apa apa.
Ia sibuk meratapi nasibnya sambil terus menangis.
Hingga akhirnya Abrar angkat suara. "Menangisi masalah memang tidak akan merubah keadaan. Tapi setidaknya mampu mengurangi beban yang muncul. Sekarang
waktunya kita bicarakan solusi. Aku rasa sudah cukup bertangis tangis rianya."
Kartika mengusap air mata. Berpindah duduk tepat disebelah Tsabit. Gadis itu menyambutnya dengan usapan lembut dipunggung. Salah satu upayanya menenangkan
perasaan Kartika. "Arsa harus bertanggung jawab. Yaitu dengan menikahi Fania secepatnya sebelum perutnya semakin membesar." Abrar mengutarakan solusinya.
"Tolong pikirkan perasaan Tsabit. Status dia masih istri Sah Arsa." Timpal Kartika membela.
"Mau tidak mau kalian harus bercerai."
"Gak!" Ujar Arsa tegas dan mantap. "Gue gak mau cerai. Mending Fania gugurin,--"
Plak! Satu tamparan berhasil mendarat dipipi Arsa. Tamparan itu berasal dari Tsabit. Gadis yang sedari tadi memilih diam dalam kondisi menyakitkan ini. Kini
ia membuka suara. "Mengugurkan kandungan tidak semudah kamu membalikan telapak tangan. Itu nyawa. Bukan sampah yang bisa kamu buang begitu saja. Selain berhadapan dengan
dosa. Kamu juga harus berhadapan dengan Allah untuk mempertanggung jawabkan. Paham, kamu?" Ditatapnya Arsa sedang memegangi pipinya. Mereka saling mempertemukan
dua tatapan berbeda. Arsa menghadiahkan sorot mata penuh makna.
"Tapi kalau gue harus cerai sama lo, gue lebih milih mati. Lo gak tau gimana susahnya ngusir perasaan ini jauh jauh, bit. Lo gak tau gimana sulitnya membagi
rata cinta gue ke elo, sama cinta gue ke Tuhan gue. Kalo akhirnya lo pergi dari hidup gue, itu sama aja kayak gue ngusir Allah dari kehidupan gue."
"Kalau memang hidup kamu sudah bergantung sama Allah, kamu tidak akan mengecewakannya dengan berzina. Jangankan saya, Allah pun benci dikhianati seperti
ini. Kamu yang memilih jalan ini. Kamu juga yang harus mempertanggung jawabkannya. Hidup manusia bukan hanya mengandalkan doa dan takdir saja. Tapi juga
ikhtiar dari manusia itu sendiri. Percuma kamu berdoa memohon hidayah dari Allah tapi maksiat tetap kamu jalani."
"Iya. Gue tau gue salah. Gue bejat! Gue pendosa! Gue munafik! Terserah lo mau ngomong apa tentang gue." Murka Arsa. "Tapi itu semua gak bisa ngerubah perasaan
gue. Gue gak bakal cerai-in lo. Meskipun lo gugat gue. Setau gue keputusan talak ada ditangan suami. Bukan begitu?"
"Kamu jangan egois, Arsa." Abrar menimpalinya agak emosi. Ia sendiri tidak tega melihat keadaan Tsabit. Gadis itu pasti terluka karena adiknya.
"Mama setuju sama Arsa." Mendengar ucapan itu, Abrar melongo terkejut melihat mamanya mengucapkan itu dengan mantap. "Mama tidak merestui perceraian kalian.
Arsa dan Tsabit tidak boleh bercerai." Ujarnya penuh keyakinan.
"Kenapa mama jadi labil gini" Bukannya mama sendiri yang pengin mereka cerai?" Protes Abrar.
"Memang benar. Tapi itu sebelum mama mengenal Tsabit lebih dalam. Mama tidak ingin kehilangan sosok yang mengenalkan mama pada Allah. Mama tidak mau kehilangan
dua hal penting dalam hidup mama sekaligus. Yaitu, Allah dan perantara yang membawa mama mendekat kepadaNya. Tsabit bukanlah gadis primitif yang mama hinakan
dulu. Dia gadis hebat yang berhasil mengetuk lembut lalu membuka perlahan hati mama yang sempat berkarat dan membusuk untuk mengenal kembali Tuhannya.
Pertemuan di Kafe waktu itu adalah cara Allah mengirimkan Tsabit kepada mama. Mama bersyukur telah mengenal kamu, Tsabit" pandangan Kartika beralih ke
arah gadis yang dibicarakannya. Mengusap pipinya lembut. Ada kehangatan kasih sayang seorang ibu yang menginginkan dirinya tetap disini.
"Jika kamu tidak bisa bertahan karena Arsa, setidaknya jangan pergi demi mama."
*** Tsabit dilemma berkepanjangan. Haruskah ia meninggalkan Arsa" Pria yang jujur, telah mengambil sebagian hatinya. Karena sebagiannya telah dirobek oleh
perbuatan Arsa sendiri. Tapi tidak mudah untuk mengakui bahwa ia membenci Arsa. Karena kenyataannya tidak seperti itu. Apa salah jika Tsabit mempunyai
perasaan yang sama" Meski harus terhias dengan luka luka.
Sedangkan kepada Kartika. Ia tidak merasa menujukan hidayah kepada wanita itu. Ia hanya melakukan apa yang menurut dia benar. Menyampaikan pesan yang baik
adalah keharusan seorang muslimah. Hanya itu. Kalau karena itu saja Kartika terketuk hatinya, itu berarti Allah memang berencana menebarkan hidayah kepadanya.
Semua itu karena Allah, bukan karenanya. Tsabit menyayangi Kartika seperti menyayangi Liana, sang mama. Melupakan kesan pertama yang buruk dengannya, Kartika
bukan sosok yang angkuh. Ya, dia memang angkuh, sih. Tapi dia punya alasan untuk itu. Maka dari itu Tsabit pernah berpikir, ketika kita menilai buruk seseorang,
saat itu pula kita tidak tahu hal baik apa yang orang itu lakukan namun luput dari pandangan kita. Karena sejatinya manusia adalah selalu memandang buruk
sesuatu. Dibalik kejelekan mereka sendiri.
Kembali kepersoalan. Dilemma ini belum selesai. Tapi keadaan menuntut Tsabut untuk segera mengambil keputusan. Haruskah ia merelakan Arsa untuk Fania"
Merelakan pernikahannya juga kebahagiaannya" Itu paket lengkap kesedihan yang menyakitkan.
Atau mengabaikan Fania dengan bayi yang dikandungnya" Itu lebih menyakitkan lagi. Tsabit membayangakan jika berada diposisi Fania. Rasanya pasti tidak
enak. Berjuang sendiri menunggu kehadiran buah hati tanpa pendamping itu lebih sakit ketimbang ditinggal kawin orang yang dicintai. Untuk hal itu, anggap
saja curhatan terdalam Tsabit.
"Arsa.." Sepertinya emosi Tsabit mulai tenang. Arsa melihat sorot hangat memandangnya penuh damai. "Kamu akan tetap menikahi Fania. Saya seorang perempuan.
Saya mengerti perasaan Fania."
"Jadi lo ikhlas ngelepas gue" Lo beneran mau cerai terus ninggalin gue, bit?" Arsa dilanda frustasi.
"Perceraian itu jalan yang dibenci Allah. Saya tidak mau jadi hamba yang dibenciNya. Kita tidak akan bercerai."
Ibarat dunia kartun, tanda tanya sedang berputar lalu menari menari indah dibenak Arsa juga semua orang yang berada disini.
"Jangan bilang elo,.."
"Iya. Saya siap dipoligami." Ucap Tsabit disertai helaan nafas beratnya. Mungkin itu keputusan terbaik sekaligus asing yang melintas dibenaknya. Ia tidak
percaya akan mengambil keputusan ini. Tapi bukankah poligami bukan jalan yang tidak buruk" Daripada harus bercerai.
"Lo gila" Lo mau dipoligami" Lo waras gak sih"! Itu artinya lo bakal berbagi suami sama cewek lain, bit. Sadar wey." Arsa memetikan jari tepat dihadapan
Tsabit. "Memangnya salah dengan poligami" Islam membolehkan hal tersebut. Dalam ayatnya bukan semata mata agar pria bisa seenaknya menikah lebih dari satu kali.
Tapi untuk kasus seperti ini, saya rasa satu satunya jalan adalah poligami. Jujur, berdasarkan pengalaman teman teman saya. Menjadi janda tidaklah enak.
Saya tidak ingin itu. Tapi menjadi Fania lebih tidak enak. Lantas, bayangkan jika kamu berada diposisi saya. Kamu pasti bingung memilih yang mana. Iya
kan?" Balas Tsabit dalam perawakan tenangnya.
"Terus gimana sama perasaan lo sendiri" Coba belajar buat egois, deh. Semua cewek pasti sakit hati kalau suaminya sendiri ngasih kasih sayang dan cinta
ke cewek lain. Lo jangan naif, bit. Hidup ini gak kayak disinetron yang bisa dengan mudahnya beristri dua." Timpal Arsa.
"Sekarang saya balik nanya ke kamu. Kamu udah ngerasa cukup egois" Dengan tidak ingin menceraikan saya. Padahal Fania lebih membutuhkan kamu. Kalau nurutin
keegoisan saya, artinya kamu yang harus mengalah. Tapi disini saya yang menuruti keegoisan kamu. Saya tetap istri kamu, dan kamu tetap bisa mempertanggung
jawabkan perbuatan kamu."
Arsa terdiam menyimak. Dibantu kerendahan hatinya menerima alasan yang diutarakan Tsabit.
"Tolong hargai keputusan saya. Kamu bilang kalau kita bercerai, sama saja seperti kamu mengusir Allah dari hidup kamu. Asal kamu tahu, menarik kembali
perhatian Allah tidaklah mudah. Kamu akan kehilangan ridhoNya, HidayahNya juga pertolonganNya. Lebih baik kamu kehilangan sesuatu karena Allah daripada
kehilangan Allah karena sesuatu. Saya tidak ingin kamu hidup sengsara tanpa Tuhan kamu, Arsa."
"Anggaplah saya memutuskan ini karena Allah. Terserah kamu mau berpendapat apa. Saya sakit hati" Iya. Saya munafik" Iya. Atau saya naif" Jelas. diluar
semua pendapat itu, tekad saya hanya satu. Melakukan yang menurut saya dan agama saya benar."
Arsa mendengus pendek. Menarik satu sudut bibirnya keatas. "Lo cewek aneh yang pernah gue temuin. Aneh! Aneh banget tau gak! Diluar sana, ratusan bahkan
ribuan cewek gak mau dipoligami. Malah lebih milih cerai. Lo sendiri malah pengin suaminya nikah lagi. Nih ya gue kasih gambaran. Lo bakal berbagi suami
sama cewek lain, lo bakal cemburu, lo bakal sakit hati kalau nanti suami lo harus berhubungan intim dengan cewek lain. Belum lagi perhatian suami lo bakal
teralihkan ke cewek lain. Dan masih banyak hal hal nyakitin yg bakal menimpa lo nanti. Lo siap" Gue sendiri aja gak tega, bit ngelakuinnya."
"Arsa benar, bit. Kamu rela dengan itu semua?" Abrar menambahkan.
"Sekarang bayangkan kalau Fania melahirkan bayinya tanpa seorang ayah. Jiwanya bakal terganggu, dia bakal terpuruk, belum lagi status anaknya yang tidak
jelas, lalu bagaimana dengan wali nikah atau hak warisnya. Ditambah lagi dengan omongan orang tentang dia dan keluarganya. Kamu sanggup jika berada diposisi
dia?" "Selain aneh, lo batu juga ya jadi cewek. Keras kepala banget. Tapi herannya kenapa gue bisa sayang sama lo, bit." Umpat Arsa sekaligus pengakuannya terhadap
Tsabit. Ini pertama kalinya Arsa mengutarakan perasaan sayangnya. Masa bodoh dengan perasaan Fania" yang melihatnya terluka. Jujur, semenjak mengenal Tsabit,
perasaan kepada Fania perlahan memudar. Ditambah dengan kenyataan baru yang menimpanya, malah semakin mencap buruk Fania dimatanya.
"Seumur umur gue kenal cewek. Cuma lo yang aneh bin ajaib. Gue gak tau, kenapa Allah bikin gue bisa sayang sama lo gini. Sesuai kata lo, gue harus tetep
positif thinking sama Allah. Oke, gue gak Nething sama Allah. Mungkin Allah punya rencana lain buat gue." Ujar Arsa dengan gaya cuek bin tengil andalannya.
"Sekarang gini, kalo emang keputusan lo kayak gitu, gue terima. Gue ikutin aturan maen lo, bit. Semoga lo gak nyesel." Hingga pada akhirnya Arsa lah yang
mengalah. Semua itu tidak lain karena ketulusannya mencintai Tsabit. Gadis aneh bin ajaib yang berhasil memenjarakan hatinya.
"Tsabit. Kamu yakin dengan keputusanmu" Tolong pikirkan ini matang matang." Kartika menatapnya cemas.
"Percuma, ma. Mama mau ngomong apa juga gak bakal ngaruh. Cewek batu, emang!" Gerutu Arsa.
Tsabit memaksakan diri untuk tersenyum. "Insya Allah yakin, ma. Tapi saya minta, selagi proses menuju pernikahan Arsa dan Fania, saya izin untuk tinggal
dirumah mama saya sementara sampai pernikahan itu berlangsung." Pinta Tsabit pelan. Itu semata mata karena Tsabit ingin menangkan hatinya. Dengan menuang
rindu kepada Liana dan James setidaknya mengurangi sedikit beban yang memberatkan.
"Tentu, sayang. Mama mengizinkan. Mama tahu apa yang kamu rasakan saat ini."
"Bilang aja lo mau menjauh dari gue. Ya kan?" Celetuk Arsa lagi.
"Selain tengil, kamu bawel juga ya jadi laki laki. Kalau mau ikut bilang aja. Gak perlu pake suudzan bisa, kan?"
"Enggak. Gue gak mau ikut."
"Yauda terserah."
"Sekali lagi gue ingetin. Gue gak bisa jamin bisa adil kalau nanti gue menikah sama Fania. Gue harap lo bisa kontrol kecemburuan lo nanti." Pesan Arsa
penuh intrik ancaman dan gertakan.
"Siap, kura kura!" Gaya Tsabit melakukan hormat diiringin senyum manisnya. Tidak menutup kemungkinan hanya untuk menutupi lukanya.
Dan mereka terlibat perdebatan lagi. Meninggalkan serpihan perih" diantara orang sekelilingnya. Tiada yang tahu perasaan sakit apa yang dirasakan Fania
melihat interaksi mereka. Begitu juga Abrar.
*** TBC.. 20. Menyulam cinta diatas duka
Terpaan angin berhasil mengudarakan gelembung gelembung balon hingga pecah jika semakin tinggi terbangnya. Dan muncul lagi gelembung lainnya yang mengalami
nasib yang sama. Mereka berarak diudara menghiasi langit pagi yang cerah.
Menemani seorang gadis kecil yang asyik memainkan busa busa berbuih lalu meniupnya, cukup menjadi keasyikan tersendiri. Sesekali ia tertawa riang kala
salah satu gelembung pecah mengenai wajahnya. Tawa riangnya mampu menularkan kebahagiaan bagi siapapun disekitarnya. Termasuk dua orang yang memilih duduk
disudut taman bermain mengawasi gadis itu dari kejauhan.
"Diva terlihat sangat ceria sekali pagi ini" ucap Abrar.
"Aku baru saja memberinya hadiah karena telah berhasil menghafal surat At-tin. Setelah ini, dia ingin menghafal surat An-naba." Jawab seorang wanita berkhimar
coklat mahoni serasi dengan gamis lebarnya. Ditangannya terdapat kotak nasi disertai botol minum.
"Apa hadiah berikutnya?"
"Mukena. Dia ingin sekali mukena bergambar little pony. Tapi aku belum membelinya."
Abrar menipiskan bibir seraya mengangguk samar. Ia gulung lengan kemeja panjangnya sebatas siku. Menyandarkan tubuhnya pada kursi berbahan besi bercat
sewaran dengan baju yang dikenakan Maudy pagi itu.
"Ngomong ngomong, sudah sampai mana persiapan sekolanya?" Abrar menoleh sekilas mendengar pertanyaan yang terlontar dari mantan istrinya.
"Sekolah masih menolak dikarenakan umur Diva belum cukup."
"Sudah kubilang. Umur Diva belum saatnya mengenyam pendidikan formal. Jangan terlalu memaksakan. Biarkan dia bermain sambil belajar. Setelah nanti ia siap
menghadapi dunia yang baru." Jelas Maudy.
"Tapi kamu sendiri menuntutnya belajar mengaji dan menghafal surat surat. Menurutku itu sama saja."
Maudy menoleh juga akhirnya lalu menatap serius. "Jelas berbeda, Abrar. Mengaji dan mengenal ilmu agama adalah modal awal seorang anak. Dia harus mengenal
Tuhannya terlebih dulu. Jika ilmu agama sudah ia dapatkan insya Allah ilmu ilmu lainnya mampu dia peroleh. Ibarat kita memilih mengejar Akhirat ketimbang
dunia. Jika kita mengejar akhirat maka dunia pun akan mengikuti. Tapi kalau kita mati matian mengejar dunia, akhirat akan menjauh, dunia pun akan lenyap
karena pada kenyataannya Dunia bersifat fana."
Sudah lama sekali Abrar tidak mendengar tausiyah tausiyah ringan yang Maudy paparkan padanya. Dulu sebelum mereka bercerai, mereka adalah dua partner in
crime yang serasi. Biasanya selagi mengisi waktu kosong, mereka pergunakan untuk berdiskusi ringan. Baik itu membicarakan agama atau fenomena fenomena
dunia yang kerap terjadi. Abrar mengemukakan pendapatnya berdasarkan ilmu pendidikan formal, sedang Maudy menyikapinya dari sisi agama. Dua hal yang berbeda
namun saling melengkapi. Begitulah mereka.
"Tapi dalam mengaji hanya mengenal huruf hijaiyah. Bukan alfabet. Sedangkan Diva hidup di Indonesia yang dimana harus mengenal membaca menulis bahasa indonesia.
Tsabita Ilana Karya Suffynurcahyati di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bukan arab." "Aku juga mengajarkan dia membaca dan menulis. Bahkan dia sudah bisa mengeja nama lengkapnya sendiri lalu menulisnya dengan rapi. Bahkan ia lancar menulis
nama kedua orangtuanya. Dan selama proses belajar aku tidak menuntutnya dengan keras. Beruntung Diva memiliki motivasi dan keingintahuan yang kuat. Belajar
mengaji dan menghafal semua adalah murni keinginannya."
Abrar tahu Maudy tidak mungkin berbohong. Ia tahu bagaimana Maudy mendidik buah hatinya. "Perlu bukti?" Maudy menyadarkan. Abrar menegakan tubuh.
"Tidak perlu. Sejak awal memilih kamu sebagai istri, aku yakin kamu ibu yang pantas untuk anakku."
"Diva juga anakku. Wajar kalau aku memberinya yang terbaik." Ucap Maudy.
Keduanya terdiam beberapa detik. Maudy melambai hangat Diva yang meneriakinya dari tempatnya bermain disertai pancaran senyum ceria nan menggemaskan.
"Alhamdulillah ya Arsa sudah bebas. Aku tahu dia anak yang baik. Dan aku senang karena Tsabit tidak lagi kesepian."
"Begitulah." Jawab Abrar singkat. Sebenarnya ia sendiri malas membahas hal ini.
"Dan aku tahu ada yang tersakiti oleh mereka." Tebakan Maudy sontak menolehkan kepala Abrar menatap dirinya. Ia pun juga menoleh. Keduanya saling bertemu.
Memberi sorot mata penuh makna. "Kamu. Ya kan?"
Abrar tertawa sedikit. Hanya sebatas menarik bibir lalu menggeleng samar. "Sok tau kamu."
"Aku memang tahu. Aku tahu kamu menginginkan Tsabit. Termasuk perceraian dia dengan Arsa. Kalau kamu mengelak, aku tidak yakin kamu sedang tidak berbohong."
"Tsabit bercerita banyak, rupanya. Kapan kalian bertemu?"
"Bukan Tsabit. Mama yang menceritakan semuanya." Abrar menyipit lalu menciptakan kerutan didahi. "Mama?"
Maudy mengangguk. "Iya"
"Tumben." "Aku juga heran. Pertama kalinya nih mama curhat sama aku." Kemudian Abrar memposisikan dirinya menghadap penuh disertai tatapan serius.
"Lantas, bagaimana menurut kamu?" Ucapnya menunggu jawaban.
"Mengenai?" "Semua yang diceritakan mama ke kamu."
Maudy menarik nafas dalam dalam sebelum akhirnya balik bertanya, "Menurutku kamu mencintai orang yang salah. Tsabit sudah bersuami. Ditambah lagi kamu
mengharapkan perceraian mereka. Itu dzalim namanya."
"Bukan itu." Ucap Abrar agak gemas seraya menggeleng sekali. Bukan jawaban itu yang Abrar inginkan dari Maudy. Ia sendiri bingung bagaimana menyampaikan
maksudnya. "Lantas apa" Kamu hobi sekali buat aku bingung."
"Ini aneh. Aneh sekali. Aku tidak melihat adanya kecemburuan didiri kamu. Setelah kamu mengetahui yang sebenarnya, kamu sungguh sungguh tidak cemburu"
Apa kamu sudah bisa move on" Sudah dapat penggantiku, rupanya."
Alih alih tersinggung atau semacamnya, Maudy malah terkekeh dalam senyum. Ia menutup mulutnya dengan deretan jari. "Malah ketawa."
"Kamu berharap aku cemburu, gitu?"
"Gak ada salahnya, kan?"
Akhirnya Maudy tertawa ringan. Tawa wanita anggun yang sampai sekarang belum berubah sejak Abrar menikahinya.
"Kamu gak salah kalau berharap kecemburuan dari aku. Tapi kalau aku cemburu, justru itu kesalahan besar. Buat apa aku cemburu kepada laki laki yang statusnya
sekarang bukan mahramku?"
Abrar tertegun. Menunggu jawaban Maudy berikutnya.
"Dulu beberapa hari setelah perceraian kita, aku memang sangat sakit hati. Sakit sekali. Melepas seorang laki laki sekaligus suami seperti kamu adalah
siksa terbesar yang pernah aku alami. Tapi seiring waktu berjalan aku semakin terbiasa dengan ketiadaan kamu dihidupku. Dan saat itu juga, aku memilih
memprioritaskan Diva. Segenap cinta dan kasih sayangku hanya untuk Diva." Maudy menatap dalam sang mantan suami. Menambah sorot yang hadir pada setiap
ucapannya. Seolah apa yang ia ucapkam benar benar berasal dari hatinya yang terdalam.
"Kalaupun aku cemburu sama kamu, mungkin kalau kamu berhasil memberi kasih sayang yang lebih kepada Diva ketimbang aku, lalu Diva lebih menyukai kamu.
Itu kecemburuan terbesarku."
Abrar mencebik. Ia kembalikan lagi pandangannya menelusuri keindahan taman bermain. Kini ia melihat putrinya asyik menaiki ayunan bersama teman temannya.
Wajah ceria itu enggan pergi menghiasi darinya. Melihat hal itu, Diva melambaikan tangan ke arah sang Ayah. Kemudian berbalas lambaian yang sama.
"Aku pikir ada kemungkinan kita untuk bersama lagi. Tapi mendengar jawaban kamu, aku tahu apa yang harus aku lakukan sekarang."
"Apa?" Tanya Maudy penasaran.
"Mencari pengganti kamu. Kalau kamu bisa cemburu atas perlakuan Diva kepadaku. Aku juga bisa membuat kamu cemburu dengan ibu baru Diva nantinya."
Maudy tersenyum tulus. Sudah seharusnya mereka membuang perasaan ingin kembali memiliki. Karena pada kenyataannya. Keduanya tidak bisa saling kembali.
Namun cinta mereka kepada Diva tetap sama. Cinta orang tua kepada anaknya, laksana air sungai yang mengalir. Tak berawal dan tak berujung.
"Silakan. Aku siap menunggu kehadiran ibu baru Diva."
*** Arsa baru saja memarkirkan kuda besi merah kesayangannya dihalaman belakang. Sengaja tidak ia parkir digarasi karena setelah ini ia akan pergi lagi. Sambil
berjalan santai seraya bersiul dan melempar tangkapkan kunci motor, ia menaiki tangga lalu melewati sebuah kamar.
Siulannya berhenti seiring ayunan kakinya turut terhenti tepat diambang pintu kamar tersebut. Didapatinya seseorang yang tengah duduk ditepi ranjang membelakanginya.
Ia nampak sibuk dengan sesuatu dihadapannya.
Berniat menghampiri, Arsa memutar posisi topinya kebelakang. Kemudian ia berdiri disisi seorang gadis disana. "Gue kira lo bercanda mau pulang kerumah.
Lo beneran mau tinggal dirumah nyokap lo?" Tanyanya setelah itu. Si gadis menjawab tanpa perlu menoleh. "Gak ada untungnya bercanda sama kamu. Hanya untuk
sementara saja. Saya rindu orangtua saya." Jelasnya sambil sibuk melipat pakaian untuk dimasukan ke dalam koper.
"Selamanya juga gak apa apa." Arsa melipat tangan didada. Matanya menatap langit langit.
"Yaudah. Saya bisa membawa pakaian lebih banyak lagi kalo gitu." Jawaban itu berhasil menggerakan tubuh Arsa untuk turut duduk ditepi ranjang berhadapan
dengan istrinya. "Kok lo baper sih" Gue kan cuma bercanda. Lo kenapa sih pengen ninggalin gue sendirian disini" Gimana pun juga lo kan masih istri gue,
bit." "Saya harap kamu bisa mengerti keputusan saya, Arsa. Sudah cukup banyak permasalahan yang saya terima. Dengan bertemu kedua orang tua saya, setidaknya
mampu mengurangi beban saya."
"Terus selama ini gue dianggep apa?"
Tsabit nampak bingung. "Suami..?" Jawabnya bernada ragu. Arsa berdecak. "Maksud gue, emangnya keberadaan gue gak bisa gitu ngurangin beban berat yang menimpa
lo sekarang?" "Gak bisa." "Kenapa" Karena gue nyebelin ya?"
Banget. Tadinya Tsabit ingin menjawab itu. Tapi Arsa keburu berbicara lagi. "Atau karena gue gak sedewasa elo" Sebenernya sih gue bukannya gak bisa dewasa.
Gue realistis. Gue gak mau melibatkan perasaan terlalu banyak. Tapi justru yang kayak gitu malah dibilang gak punya hati lah. Egois lah." Tsabit memerhatikan
gaya bicara Arsa. Ada perbedaan memang.
"Kalau gue gak punya hati, gimana ceritanya gue bisa sayang sama lo, coba. Proses menuju sayang itu kan pasti melibatkan perasaan. Gue gak setuju kalo
ada yang bilang cinta itu tumbuh dari mata turun ke hati. Justru sebaliknya. Dari hati naik ke mata. Percaya ga lo?"
Tsabit menggeleng. "Kalo cinta tumbuh dari mata turun ke hati, mungkin sampe sekarang gue gak punya perasaan apa apa sama lo. Tapi buktinya, gue mulai sayang sama lo setelah
kita menikah. Lo pasti gak percaya sama yang ini, ya kan?"
Tsabit menggeleng kedua kalinya. Kali ini disertai senyuman. Setelah serius menyimak pemaparan Arsa, ia melanjutkan lagi kesibukannya.
"Lo percaya gak?" Tanya Arsa lagi.
"Kamu ini ngomong apa sih, Arsa. Kita lagi gak bicarain itu. Intinya alasan saya pulang karena saya rindu mama dan papa saya. Hanya itu. Dan kamu gak perlu
repot repot membahas hal yang saya tidak ingin tahu."
"Jadi, perasaan gue ini gak penting menurut lo?"
Tsabit mendongak beberapa centi hanya untuk melihat sosok yang mengatakan hal tersebut. Bibirnya tertegun seraya mengerjap.
"Cuma dianggep perasaan sesaat doang ya?" Lanjutnya bernada pesimis.
Rupanya Tsabit mampu menatap lama suaminya. Ini rekor! Tapi ada yang aneh usai Arsa menanyakan itu. Seperti ada sesuatu yang mengaduk ngaduk gumpalan hatinya.
Seperti ada palu yang memukul berulang ulang tepat mengenai jantungnya.
"Sebaiknya kamu telaah lagi perasaan kamu itu. Cinta tidak sesederhana kamu mengatakan itu semua. Bahkan ketika saya pernah berpikir telah mencintai kamu,
saya masih harus menfilter perasaan itu. Karena sejatinya, kecintaan yang tulus tidak harus diberikan kepada lawan jenis. Dan saya memilih mencintai Tuhan
saya lebih dulu." "Bukan gak sederhana, bit. Elo nya aja terlalu dibuat rumit. Lantas buat apa Allah menciptakan cinta didunia ini" Khusus buat Allah doang gitu?"
"Hati hati kamu kalau bicara." Tsabit memperingatkan.
"Gue belum selesai ngomong, wey." Ada yang mencolek hidung Tsabit sekilas. Sempat sempatnya Arsa melakukan itu. Dia tidak tahu apa, kalau Tsabit sedang
berdebar debar. Didepan sih kelihatan nothing problem, tapi dihati siapa yang tahu.
"Kalau lo mencintai Allah, lo salah. Berarti lo memposisikan Allah sebagai objek. Bukan tujuan." Entah Arsa yang sedang korslet atau memang Tsabit yang
mengalami lola alias loading lama. Arsa tahu sekali dari raut Tsabit, gadis itu tengah susah payah mencerna ucapannya. Ia pun bersemangat menjelaskannya.
"Kalo lo cuma mencintai Allah doang. Lo gak bisa mencintai orang disekitar lo, bit. Seperti keluarga lo, sahabat lo, atau... suami lo." Pada kalimat terakhir,
Arsa memalingkan wajah sebentar menghadap ke atas. Cukup menarik perhatian Tsabit hingga ia tersenyum tipis.
"Padahal lo bisa mencintai mereka karena Allah. Kan Allah sendiri yang menghadirkan perasaan cinta dihati hambaNya. Allah juga kan yang mampu membolak
balikan hati manusia. Kalo aja Allah buang cinta dihati semua manusia, gue yakin dunia ini bakal ancur. Gak ada prikemanusiaan didunia ini. Perang dimana
mana. Semua orang pada mati rasa."
"Bahkan bisa aja lo tega durhaka sama kedua orangtua lo, kalo Allah gak nyiapin hati yang tulus didiri lo. Diibaratkan Allah udah ngasih lo daging mentah
yang seger. Terserah lo deh mau dimasak gimana. Mau direndang kek, digulai kek. Kalo lo gak tahu cara masaknya, tanya sama yang ngasih, yaitu Allah. Biar
daging yang Allah kasih jadi masakan yang enak dan bermanfaat. Allah pun ridho. Jadi, lo boleh kok cinta sama siapa aja. Asal bisa menempatkan cinta itu
atas namaNya. Ngerti?"
Alih alih menunjukan reaksi mengerti atau semacamnya, Tsabit malah sibuk tenggelam dalam pesonaa yang diberikan Arsa. Gaya bicaranya memang bijak sekali.
Tapi penampilan tetap tidak bisa berbohong. Dengan kaos oblong putih agak ketat, lalu celana skater abu abu bergaris hitam disisinya, kemudian topi yang
pakai kebelakang. Membuat Arsa terlihat seperti anak SMA yang pernah ia sukai dulu.
"Lalu kamu mau bilang kalau kamu mencintai saya karena Allah, begitu?" Tsabit menyimpulkan sebelum Arsa tersadar dirinya diperhatikan.
"That's right!" Serunya menyatukan jari telunjuk dan jempol membentuk lingkaran. "Gue tahu istri gue cerdas." Tsabit mengulum bibir menerawangkan pandangannya
keatas seperti memikirkan sesuatu. Jarinya mengetuk ngetuk dagu.
"Ada bukti?" Arsa mengernyit sambil menarik diri. "Pake bukti segala" Alay banget."
"Kamu tahu saya, kan" Saya gak mudah percaya sama orang."
"Emang kata kata aja gak cukup" Harus banget ya pake bukti segala" Gue tulus kok sayang sama lo. Masa lo gak percaya, sih." Sungut Arsa membuka topi lalu
mengusap wajahnya. "Ya harus lah."
"Buktinya gue kan udah nikahin lo. Katanya kan bukti cinta laki laki itu ijab qabul. Bukan kalimat i love you atau sejenisnya. Berarti gue udah ngebuktiin."
Ujar Arsa sehingga Tsabit merendahkan bahunya pasrah.
"Iya juga sih. Yaudah deh. Makasi ya kamu sudah sayang sama saya." Balasnya datar sambil meretsletingkan koper besar.
Ketika Tsabit mendirikan posisi koper, sesuatu tak sengaja terjatuh ke lantai. Arsa tersadar lalu hendak memungut selembar kertas berukuran post card tersebut.
Berikutnya Tsabit pun turut tersadar oleh benda yang kini berada dalam genggaman Arsa.
"Kembaliin!" Perintah Tsabit hendak merampas benda itu. Arsa dengan sigap menarik tangan guna menghindar.
"Ini punya lo" Cewek ini elo, bit?" Tanyanya dengan bibir merapat sempurna namun ada kedutan kecil ditiap ujungnya.
"Saya bilang balikin, balikin." Seru Tsabit berusaha merampas benda miliknya. Alih alih menurut, Arsa semakin meninggikan lengannya agar Tsabit sulit menjangkau.
Sambil terkekeh kecil Arsa berkata, "Anjir. Serius ini elo, bit" Alay banget. Pantesan minta bukti bukti cinta segala." Akhirnya tawa Arsa menggelegar
sempurna mengisi ruang melihat sosok yang ditampilkan pada selembar foto yang direkat menjadi 6 bagian itu.
Disana terpampang foto Tsabit semasa memasuki kuliah semester pertama. Saat itu Tsabit memang gadis narsis yang selalu ingin tampil cantik didepan layar
kamera. Dalam foto tersebut, Tsabit memakai hijab berwarna merah muda dengan sentuhan accesories bandana berwarna biru. Dengan berbagai gaya ia tampilkan keimutan
yang terpapar sempurna. Selagi ia susah payah menjangkau lengan Arsa yang kian meninggi. Arsa sibuk memerhatikan detail wajah dalam foto itu sambil sesekali tersenyum.
"Arsa, jangan lancang ya kamu. Cepat kembalikan foto saya atau kamu bakal nyesel." Ancam Tsabit. Pria itu mengurangi volume tawanya.
"Gue kira lo lahir langsung dewasa. Ngalamin masa alay juga, toh." Tsabit mendengus dan memilih kembali duduk bersila diranjang. Percuma juga ia berusaha
merebut fotonya. Kekuatan Arsa lebih besar. Mau tidak mau ia hanya bisa pasrah dipermalukan oleh foto masa lalunya itu. Sambil bersendekap Tsabit berkata,
"Kalo udah puas ngejeknya, segera kembalikan foto itu ke pemiliknya. Saya kasih waktu 5 menit."
Arsa ikut duduk diranjang juga. Dengan posisi duduk yang sama seperti Tsabit. Hanya saja mereka saling membelakangi. Saling menempelkan punggung mereka.
Arsa masih mempertahankan senyum khasnya sejak foto itu berada ditangannya.
Dibalik ejekannya terhadap Tsabit, ia menyimpan kekaguman tersendiri. Baginya Tsabit nampak cantik dan menggemaskan. Ada salah satu pose yang tak henti
ia perhatikan. Yakni pose mengedipkan satu mata lalu tersenyum sedang tangannya membentuk huruf V. Ia pun mengetahui bahwa Tsabit memang terlahir cantik.
Dulu Arsa pernah menganggap bahwa dengan menutup aurat, seorang wanita tidak bisa terlihat cantik. Karena rambut adalah mahkota yang menjadi banggaan semua
wanita. Tapi sekarang, ia tepis anggapan tersebut. Kecantikan wanita yang berhijab terletak pada aura yang terpancar serta akhlakul karimah wanita itu
sendiri. Dan Tsabit hampir memiliki semua itu.
"Foto kapan nih?" Tanya Arsa.
"Sewaktu pertama kali masuk kuliah." Jawab Tsabit seadanya.
"Pantes. Kebiasaan SMA masih kebawa. Sekarang masih suka foto begini?"
"Ya enggalah. Kamu pikir?"
Arsa tertawa lagi. Tawanya renyah seperti kerupuk. "Kirain diem diem masih suka foto alay gini. Kok cemberut gitu, sih?" Tsabit memilih diam sambil memasang
ekpresi yang diucapkan Arsa. Mulutnya komat komit tanpa suara menggerutu tidak jelas.
"Lo malu" Foto aib lo ketauan gue" Santai aja lagi. Gue kan laki lo,bit. Alias suami lo. Harusnya lo bangga nunjukin foto itu ke gue. Nyenengin hati suami
itu pahalanya kan gede. Lo gak mau dapet pahala emangnya?"
"Saya gak lihat ekpresi senang kamu melihat foto itu. Tawa kamu malah terdengar mengejek tahu." Arsa pun berbalik. Memaksa pelan tubuh Tsabit agar dirinya
turut berbalik lalu saling menghadap satu sama lain.
"Tapi lo gak tau hati gue senengnya kayak apa, kan?"
Tsabit bisa leluasa lagi memandang wajah Arsa. Kenapa pria itu semakin hari semakin tampan" Bahkan disaat ia harus pergi meninggalkan Arsa meski hanya
sementara. Belum lagi mulut manisnya serta ungkapan perasaan cintanya yang membuat Tsabit sulit melangkahkan kaki keluar dari rumah ini. Entah ini cinta
atau perasaan bersalah karena meninggalkan suaminya seorang diri.
"Lo mau bukti kalo gue beneran sayang sama lo gak?"
"Katanya udah. Dengan kamu nikahin saya."
"Ada satu lagi."
"Apaan?" Jawaban itu ia wakilkan dengan gerakan tubuhnya mendekatkan perlahan tubuhnya kehadapan Tsabit. Ia taruh kedua tangannya diatas bahu gadis itu. Membuang
sedikit jarak diantara mereka. Tsabit merasakan wajah Arsa semakin dekat dengan wajahnya. Ditambah deruan nafas hangat yang perlahan menguar ke permukaan
wajah. Arsa memiringkan kepalanya beberapa derajat lalu memejamkan mata. Tsabit tahu sekali perlakuan apa yang akan ia tunjukan. Benarkah bahwa Arsa akan
menciumnya" Perlahan Tsabit mulai tenggelam kedalam perlakuan yang akan menimpanya. Ia pun memejamkan kedua kata guna menyambut perlakuan tersebut. Dan ketika jarak
dua bibir mereka hampir menempel, tiba tiba Tsabit membuka matanya lebar lalu menghentikan semua itu dengan seruan.
"Arsa.." Otomatis Arsa menjeda sambil menjawab dengan suara parau yang seksi. "Iya, bit. Kenapa berhenti?" Tanyanya. Selagi menunggu, Arsa memainkan jemarinya diatas
bibir kemerahan tipis Tsabit lalu merabanya samar. Tsabit ingin lari dari perlakuan ini. Jantungnya serasa ingin copot. Semua organ tubuhnya sepertinya
sudah melambai ke kamera tanda menyerah. Mereka tidak kuat menahan reaksi akibat perlakuan Arsa kepada majikannya.
"Tolong jauhkan tangan kamu dari sana." Dengan susah payah Tsabit memerintah Arsa agar berhenti membuatnya tidak berdaya. Baiklah, mungkin ini terlihat
amatir. Tapi sungguh, Tsabit belum siap untuk dicium. Pasalnya, ia ingat setelah sarapan tadi ia belum sikat gigi. Apa nanti kata Arsa kalau... argh!
"Iya nanti. Setelah gue berhasil ngebuktiin sesuatu ke lo ya." Kenapa Arsa mendadak lembut seperti ini" Kemana perginya Arsa si cuek nan belagu itu" Tsabit
mengatur pasokan oksigen ditubuhnya. Matanya sedari tadi enggan pergi dari pergerakan Arsa setiap inci. Pria itu masih asyik mengusap ngusap bibirnya dengan
tatapan yang menggoda. "Kamu mau membuktikan apa" Saya rasa tidak perlu. Saya percaya kalau kamu benar benar mencintai saya. Jadi, mungkin bisa kita akhiri sekarang."
"Lo sadar gak, selama kita menikah, kita belum saling memberi hak dan kewajiban kita masing-masing?"
Deg! "I..iya. Memang belum. Lalu?"
Apa jawaban itu malah membuat Arsa terpancing" Semoga saja tidak. Tsabit tidak sadar menjawab itu. Daya pikirnya mendadak mogok dijalan.
"Sebelum nanti gue membagi cinta lo sama Fania, gue mau buktiin cinta gue diatas namaNya, bit. Gue mau kita menyulam cinta sebelum duka menyapa kita dikemudian
hari." Meski indah namun perih yang dirasa. Perih sekali. Haruskah Tsabit memberi semua itu sebelum akhirnya ia harus berbagi cintanya kepada wanita lain"
*** Diwaktu yang sama, Fania nampak sibuk menghubungi seseorang diluar sana. Sambil menulis nulis daftar pada selembar kertas, ia mengapit ponsel diantara
telinga dan bahu. Dia ditemani beberapa orang yang juga sibuk menata ruang. Ada yang sibuk mengukur luas halaman dan ruangan. Ada juga yang sibuk berdiskusi dengan Tamara.
Mereka datang dari salah satu Wedding organizer langganan Tamara sewaktu dirinya menikah. Dan masih ada beberapa yang lalu lalang mengisi kesibukan di
kediaman Fania Malaika. "Gambar yang aku kirim udah masuk, tante?" Fania berbicara dengan seseorang disana.
"Iya. Aku mau yang simple aja. Yang penting ada nuansa pink sama ungunya." Ucapnya lagi. "Prewedd" Kayaknya engga, deh tan. Aku mau langsung aja. Ribet
kalau pake prewedd segala." Lanjutnya sambil berjalan menyusuri orang orang yang sibuk dengan tugas mereka. Ia berdiri ikut mengamati halaman bersama tim
pendekor. "Untuk souvenir, satu paketin aja sama undangan. Nanti data ku sama Arsa aku WA-in ke tante aja ya. Ohya, tan. Dikasih diskon gak nih?" Fania meringis
geli seraya menyingkap rambut ke belakang.
"Berapa nih?" "Oke deh. Asyik! Yeay. Thanks ya tante Mirza ku yang cantik."
Hingga perbincangan mereka pun usai, Fania berjalan menuju kamar. Sebelum tiba, asissten rumah tangganya mengatakan bahwa ada tamu pria yang ingin bertemu
dengannya. Fania pun berangsur menuju ruang tamu, dimana pria itu menunggunya sambil duduk menatap kagum rumah mewah Fania.
"Oh, kamu. Ada apa?" Ujar Fania menyambut sang tamu yang dimaksud. Pria itu pun berbalik.
"Aku kesini bukan mau basa basi" Pria itu menyembunyikan kedua tangan disaku celana. "Kamu serius sama ini semua" Yakin gak pengin mundur atau pikir matang
matang dulu?" Tanyanya.
"Aku yakin seyakin yakinnya. Tinggal selangkah lagi, tujuanku tercapai. Apa yang aku dan keluargaku impikan akhirnya akan terwujud." Ungkap Fania tanpa
menyilahkan tamu prianya duduk. "Kamu tahu kan, berapa lama aku perjuangin Arsa demi menuju pernikahan ini?"
"Tapi jalan yang kamu tempuh ini salah. Gak seharusnya kamu menjadi tamu dikehidupan rumah tangga Arsa dan Tsabit. Harusnya kamu malu. Dimana harga diri
kamu sampai sampai kamu rela jadi yang kedua." Mata Fania sontak mendelik tak senang.
"Jaga mulut kamu. Tidak apa jadi yang kedua asal statusku tetap istri sah Arsa. Lagian aku yakin Arsa bakal lebih mengutamakan aku ketimbang perempuan
itu. Aku cinta pertamanya. Siapa yang bisa move on dari cinta pertama?" Kelit Fania melipat tangan didada.
"Kamu salah besar. Yang menjadikan Arsa lebih baik, adalah yang akan dicintai dengan tulus. Aku nyesel pernah berada dipihak kamu."
"Yaudah, kamu silakan pergi dari urusan saya. Tugas kamu kan udah selesai." Langkah Fania menganyun mantap mendekat pria itu. Menatapnya angkuh. Tapi pria
itu tetap pada posisinya. Sorot matanya menyimpan penyesalan dan kekecewaan yang besar. Rahangnya memgeras sempurna. Tanpa sadar tangannya ikut mengepal
disisi kaki. "Tapi tanggung jawab aku belum selesai. Tanggung jawab itu harus aku selesaikan secepatnya. Kamu ngerti?" Pada kalimat terakhir seperti ada sesuatu yang
menghentak hati Fania hingga gadis itu memasang wajah siaga. Rautnya nampak hati hati sekali. Berbeda dengan pria itu. Kini ia memberi seringai skak mat!
Yang siap menghancurkan Fania kapan pun ia mau.
"Aku gak butuh ancaman kamu" tangan Fania terulur setengah ke arah selatan. Matanya dinamis pada objek berwajah oriental dihadapannya. "Pintu keluar terbuka
lebar buat kamu. Silakan pergi dari sini sekarang juga."
"Oke. Sampai ketemu dipernikahan kamu nanti. Aku pasti dateng." Ucapnya terakhir kali sebelum akhirnya berbalik melangkah pergi. Fania mengibas tangan
ke arah wajah. Membuang wajah sinis. Padahal baru saja perasaannya dibuat berbunga oleh persiapan pernikahan yang tinggal satu minggu lagi. Tapi tamu pria
menyebalkan itu berhasil merusak mood nya hari ini.
*** "Lo yakin mau ngangkot" Padahal motor gue nganggur. Mobil Mas Abrar juga ditinggal. Kenapa harus naik angkot segala, sih?" Gerutu Arsa sepanjang perjalanan
ia membawa koper lalu berjalan kaki dari jalan raya komplek menuju halte.
"Bit, cuaca lagi panas gini. Lo gak takut item apa" Ntar kulit lo gosong. Kita balik aja yuk! Naik mobil mas Abrar." Cerocos Arsa lagi. Kini mereka tiba
di halte. Ada beberapa orang disana yang juga menunggu kedatangan bus metromini atau kopaja jurusan Bogor.
"Bit. Jawab kek. Jangan diem aja." Ucap Arsa lagi setelah duduk dikursi stainless yang memfasilitasi halte tersebut.
"Emangnya kamu nanya apa?"
Arsa berdecak. "Daritadi gue ngomong ampe berbusa masa gak lo tanggepin. Malah nyelonong jalan terus. Mana cepet banget lagi. Kaki lo abis dichas?" Celetuknya
mengakhiri. "Ya saya harus nanggepin gimana, Arsa" Daritadi yang saya dengar cuma keluhan kamu doang. Ya panas lah, ya takut item lah, takut gosong lah."
"Lah emang bener kan" Lo gak takut kulit lo item panas panasan gini" Atau ntar keringetan bau matahari pas naik angkot?"
"Kenapa harus takut" Mereka gak gigit ini." Tsabit membenarkan posisi kopernya. Ia taruh tepat didepan kakinya. Kemudian ia ambil ponsel dari saku.
"Gue serius, nenek Lana." Pria itu mencubit pipi Tsabit hingga ia meringis kesakitan.
"Kalo nanti saya item, kulit saya gosong atau saya bau keringet, itu bukan urusan kamu. Tenang aja, persediaan sabun, shampoo, body lotion dan deodorant
saya masih banyak kok. Sangat cukup untuk mengembalikan kondisi seperti semula. Ngerti?" Ucap Tsabit bernada teratur dan mantap disertai tatapan tajam.
"Bukan masalah itu. Gue gak biasa naek angkot ginian" tangannya menunjul nunjuk bus bus kopaja yang lalu lalang di jalan raya. "Apalagi metromini. Rawan
copet, bit." Tsabit merendahkan bahu pasrah lalu menepuk jidat. Kepalanya tergeleng lemah. Seorang Arsa yang hobi olahraga bahkan hidupnya bersahabat dengan keringat
pagi dan siang, harus ciut ketika berhadapan dengan mobil angkot yang ia anggap rendahan itu.
"Makanya ada doa naik kendaraan. Gunanya agar kita selamat selama perjalanan. Lalu ada juga doa keluar rumah. Insya Allah, Allah bakal ngelindungin kita
dari bahaya." Jelas Tsabit.
"Tetep aja. Namanya musibah kan kenal waktu, gak kenal orang. Selama ada kesempatan, langsung ngegas." Balas Arsa tak mau kalah.
"Selagi kita hati hati dan waspada, insya Allah kita selamat."
"Susah emang ngomong sama cewek batu." Arsa mengusap wajahnya dari balik masker bergambar tengkorak itu. Tujuannya agar tidak ada orang yang mengenali.
Ia pun menerapkan itu pada istrinya, Tsabit. Cukup dengan memakaikan Tsabit kacamata non minus, membuatnya tidak mudah dikenali orang.
"Lagian lo kenapa sih tiba tiba pengen naik angkot" Mau TePe-in kenek kenek ganteng ye?" Celetuknya seenak jidat. Sukses mendapat cubitan keras dilengannya.
"Anj----sakit, bit!"
"Makanya kalo ngomong difilter dulu. Sembarangan banget." Ucapnya melihat Arsa mengusap bekas cubitan. "Saya lagi pengin aja naik angkot. Dulu sewaktu
SMP, saya naik metromini menuju sekolah. Bersama teman teman saya. Kita bercanda sambil membicarakan apa apa yang kita temui. Saya ingat sekali waktu saya
dan teman teman saya berhasil menggagalkan aksi pencopet di bus. Saat itu saya melihat pencopet hendak merogoh tas ibu ibu tua yang kesusahan membawa anaknya.
Tsabita Ilana Karya Suffynurcahyati di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kemudian diam diam tanpa sepengetahuan ibu ibu itu," saya injak kaki pencopet itu sambil bilang, "Bayangin kalo ibu ibu yang lo copet itu emak lo. Gimana?"
Copet itu berusaha pergi, teman teman saya pun meneriaki mereka. Ada salah satu dari mereka yang berhasil menampar wajah pencopet itu." Tsabit tertawa
sendiri mengenang peristiwa bersejarah itu.
"Copet aja dilawan. Pantes gue hampir bonyok waktu itu." Gumam Arsa mengingat pertikaiannya dengan Tsabit dalam demo waktu itu. Untungnya Tsabit tidak
mendengar. "Mungkin para pencopet itu udah insyaf sekarang."
"Mustahil! Kalaupun insyaf, paling ada anak buahnya yang nerusin. Kehidupan jalanan itu keras, bit. Malah ada yang sampe ngorbanin anak kandungnya buat
ngemis." "Itu kamu tahu."
"Maka dari itu gue males naik" angkot. Gue males berurusan sama pelaku pelaku jalanan nantinya. Pasti ada aja deh. Entah pencopet lah, atau pengamen yang
bukannya nyanyi malah ceramah kayak ustad lah, terus maksa maksa lah. Terakhir, pantat gue pernah dicubit sama pengamen bocah. Gila, kan"!" Curhat Arsa.
Tsabit yang mendengarnya hampir mengukir tawa. Gaya Arsa menceritakan teramat jenaka. Semua itu murni kisah pengalaman pahitnya.
"Dih, ketawa. Seneng banget lo liat gue sengsara." Sungut Arsa melihat Tsabit belum menyelesaikam tawa sederhananya.
"Itu pengamen genit juga ya cubit cubit kamu."
"Tau tuh!" Kemudian, "Kenapa" lo pengen juga cubit cubit gue?" Arsa tersenyum menggoda sambil menaik turunkan alisnya. Tsabit mengendik menarik wajah lalu
merubah rautnya. "Enak aja" Tapi setelah itu, "beneran mau saya cubit lagi" Itu bekas cubitan dilengan udah sembuh belum?" Sindirnya.
Arsa buru buru menggeser posisi duduknya agak jauh sambil memasang wajah siaga. "Gak usah deh, bit makasi. Makasi banget." Ucapnya tak berdaya.
*** Arsa dan Tsabit mendapat sepasang kursi dibaris sebelah kanan. Itu kursi terakhir yang kosong. Beruntung mereka mendapatkannya. Langsung saja Tsabit menduduki
kursi dekat dengan jendela. Tadinya ia menyilahkan Arsa untuk duduk disana, tapi pria itu menolak dengan dalih, "Kalo gue di pojok, siapa yang ngejagain
lo dari ulah tangan tak bertanggung jawab?" Tsabit tercengang lalu menurut.
Metromini itu berjalan agak cepat. Tidak meninggalkan ciri khas tersendiri. Itulah mengapa bus metromini rawan kecelakaan. Padahal itu bisa terjadi karena
sopirnya ugal ugalan atau nekat melaju karena mengejar setoran. Tapi mereka tidak memikirkan nasib penumpang. Memang tidak semua. Nyatanya bus yang ditumpangi
Tsabit berjalan normal. Hanya saja nampak sesak penuh penumpang yang perlahan bertambah, mengisi celah celah jalan yang bakal dilalui penumpang lain.
"Baru beberapa menit udah bau rokok aja, kan" komentar Arsa sehabis memerhatikan banyaknya penumpang yang datang. Salah satunya ada yang sambil merokok.
Dia berdiri tepat disebelah Arsa.
"Kamu kan udah pakai masker." Tsabit mendengar gumaman Arsa. Ia menyandarkan kepala ke jendela.
"Tetep aja. Orangnya nangkring di sebelah gue. Mau gue pake masker setebel tembok china juga kena asepnya."
"Yauda. Mau tukeran tempat sama saya?" Tawar Tsabit berusaha mengerti keluhan Arsa. Berusaha sabar lebih tepatnya. Anggap saja begitu.
"Engga usah. Gue bisa tahan kok. Yang penting lo aman." Jawaban cuek namun terdengar menyejukan hati.
Selama perjalanan, mata Arsa siaga memerhatikan orang orang yang berada di bus. Sampai kenek metromini yang hendak menagih uang pun ia perhatikan dengan
seksama, sang kenek pun merasa risih diperhatikan oleh seorang pria. Buru buru ia melanjutkan menagih ke penumpang lain.
Suara klakson saling bersahutan mengiringi perjalanan bus tersebut. Aroma aroma tak sedap perlahan mampir ke indera penciuman Arsa. Dari aroma minyak wangi
yang menyengat, kemudian asap rokok yang terus mengudara tanpa henti, ditambah lagi aroma aroma bahan bakar yang menambah ketidak nyamanan Arsa. Ia melirik
sekilas gadis yang duduk disebelahnya. Tsabit nampak serius membaca buku. Terlihat lebih anggun ketika mengenakan kacamata. Cantik. Arsa menyunggingkan
senyum tipis acap kali mata coklat itu melakukan kerjapan indah menelusuri rangkaian tulisan pada buku tersebut. Merasa diperhatikan, Tsabit menoleh.
"Arsa..." panggilnya bernada datar. Tapi punya makna lain menurut Arsa pribadi.
"Iya, kenapa?" Arsa sudah kepedean akan panggilan singkat itu. Entahlah ada apa dengannya hari ini. Padahal beberapa detik yang lalu, ia baru saja menjadi
penggerutu ulung. "Bisa kasih tempat duduk buat ibu itu?" Dagu Tsabit mengarah kepada seorang ibu hamil yang membawa tas jinjing besar.
Sial! Arsa sudah terlanjur berharap Tsabit mengatakan hal yang menyenangkan. Rupanya menyuruhnya memberi tempat duduk.
"Nanti juga ada yang ngasih tempat duduk. Kenapa musti gue?"
"Apa salahnya bertindak lebih cepat tanpa perlu menunggu" Kesempatan untuk berbuat baik itu langka loh."
Arsa menyembunyikan bibir sambil memutar bola mata. Maksudnya, dia harus menyilahkan ibu hamil itu duduk, sedang Arsa sendiri harus berdiri" Seperti itu"
"Terus nasib gue gimana?"
"Saya yakin fisik kamu lebih kuat untuk berdiri. Ibu itu membawa satu nyawa diperutnya. Lihat, dia sedang hamil besar. Kamu tega" Bayangkan kalau yang
didalam perut itu kamu. Atau bayangkan kalau dia adalah mama Kartika."
Tsabit diam menunggu respon. Matanya mencoba mengamati ibu tersebut. Nampak kesusahan berdiri memegangi headboard bangku sebagai penahan tubuh, sedang
tangan satunya memegangi perut dengan tas jinjing yang melingkar dilengannya. Lalu kembali menuju ke Arsa, menatapnya serius.
"Kamu gak mau" Oke. Biar saya yang berdiri kalau gitu."
"Oke.. oke!" Cegah Arsa menahan Tsabit dengan menggenggam kedua tangannya lalu menyuruhnya duduk kembali. "Lo tetep duduk manis disini. Anteng!" Intruksi
Arsa akhirnya menuruti permintaan sang istri.
Arsa pun berdiri sambil tersenyum hangat mengulurkan tangan kepada ibu itu, tanda bahwa ia menyilahkan duduk ditempatnya. Ibu itu tentu menyambutnya sopan
dan penuh rasa terimakasih. Dia pun bisa bernafas lega setelah mendapat posisi yang lebih baik. Ibu itu mengucapkan terimakasih kepada Arsa. Arsa membalasnya
dengan senyum sederhana yang manis.
Selagi berdiri, Arsa terus menarik dan membuang nafas berulang kali. Terkadang tangannya mengibas ngibas wajah lalu mengusap peluh disana. Cuaca hari ini
sungguh panas. Ditambah kondisi di bus ini yang semakin sesak akan penumpang.
Tiba tiba saja matanya menangkap aktivitas tersembunyi yang dilakukan oleh seorang pria berwajah dipenuhi brewok. Mata Arda menyipit guna mempertegas pemandangan
yang jaraknya hanya sekitar dua kaki dari tempat ia berdiri. Pria brewok itu nampak sedang mengelus ngelus bagian tubuh seorang wanita berseragam dengan
logo sebuah minimarket. Sepertinya wanita itu tidak menyadari bahwa bagian tubuh belakangnya sedang dijadikan bahan pelecehan seksual yang dilakukan pria
itu. Arsa tidak terima melihatnya. Dengan pergerakan mantap, ia melangkah pelan namun mantap menuju pria bejat tersebut. Setelah berjarak cukup dekat.
Tanpa sepengatahuan si wanita, Arsa mencengkram pergelangan tangan si pria kuat kuat sambil berkata, "lo pikir lo aman" Sayangnya bukan cuma gue yang liat
perbuatan bejat lo. Tapi ada Allah yang siap nunggu lo di Neraka." Dengan mata tajam Arsa mengatakan itu layaknya sebuah pesan kematian dari langit. Si
pria yang tadinya protes lalu hendak melawan, terpaksa mengurungkan niat begitu tahu beberapa penumpang lain juga melihat perseteruan dirinya dengan Arsa.
Semua itu berkat ancaman Arsa kepadanya. Meski bervolume rendah. Orang orang disana mampu mendengar.
Tatapan curiga mulai mengepung pria itu hingga tidak berdaya. Begitu pula si wanita yang menjadi korban lantas menoleh kebelakang. Ia nampak kebingungan
dengan situasi tersebut. Akhirnya si pria brewok itu memilih mundur.
"Pir, pir! Depan kiri, pir!" Serunya kepada sopir metromini agar berhenti. Kemudian pria itu pun melangkah turun dari bus. Sebelum turun, ia sempat menunjuk
Arsa sambil mengumpat, "ketemu gua lagi, abis lu sama gua!" Ancamnya bersuara kecil. Arsa mendengar lalu membalasnya tak mau kalah. "Gue tunggu! Pergi
lu! Sebelum gue teriakin maling" akhirnya pria itu melenggang pergi penuh rasa kecewa.
Sepeninggalnya si pria brewok, Arsa berbalik. Ada Tsabit yang berdiri dari kursi menatapnya cemas. "Ada apa, sa" Kamu bikin ulah ya?" Tebak Tsabit curiga.
"Enak aja. Kalo gak ada gue, mbak mbak ini abis jadi korban pelecehan tu cowok mesum." Sontak saja wanita berseragam itu menoleh sambil memasang wajah
kaget. "Maksudnya saya, mas?" Tanya si wanita.
"Makanya mbak, rok mininya jangan terlalu pendek gitu. Mendingan dari rumah pake celana panjang terus pake jaket. Cowok zaman sekarang gak bisa liat paha
mulus. Kalo perlu pake jilbab biar aman." Pesan Arsa kepada wanita berambut ikal panjang sebatas punggung.
"Ya Allah, mas. Makasi banget ya. Untung ada mas yang nolong saya. Saya pake baju ini juga terpaksa, mas. Daripada saya gak dapet pekerjaan. Tadinya saya
berhijab. Tapi pekerjaan ini menuntut saya untuk melepasnya. "Ungkap wanita itu penuh rasa menyesal.
"Kayak gak ada kerjaan lain aja, mbak. Emang pekerjaan mbak bisa ngejamin situ aman dari mata mesum laki laki" Engga kan" Mending out aja, mbak." Ujar
Arsa kesal sendiri. Sebenarnya dalam dirinya ia juga malu. Terutama kepada Allah. Dulu ia begitu memuja wanita berpakaian seksi dan mengutuk wanita yang
menutup auratnya. Sekarang, dari peristiwa ini ia mendapat pelajaran, bahwa Allah memerintahkan wanita untuk menutup aurat juga karena agar terhindar dari
pandangan laki laki. Karena pandangan itu akan menimbulkan syahwat yang membahayakan wanita itu sendiri. Betapa Allah mengetahui apa yang manusia tidak
ketahui. Ia ingat sekali, dulu ia membelikan Fania pakaian minim nan seksi. Dan Arsa bisa dengan puas memandang keindahan celah setiap lekukan tubuh indah
Fania kala itu. Betapa zinanya mata ini telah melihat apa yang seharusnya tidak ia lihat. Entah sudah berapa banyak objek objek dosa yang menjadi incaran
matanya. Astaghfirullahaladzim. Batin Arsa mencoba bermuhasabah.
"Rezeki itu Allah yang mengatur. Cukup taat kepada aturan Allah, maka Allah akan mengatur rezeki mbak sebaik mungkin. Taat kepada manusia aja bisa, kenapa
taat kepada Allah aja sulit" Semoga kita bisa ambil hikmah dari peristiwa ini ya, mbak. Ini juga pelajaran buat saya." Tsabit turut angkat suara mengelus
bersahabat pundak wanita itu sambil melontarkan senyum hangat.
"Iya mbak, terimakasih. Buat mas nya juga. Makasih banyak sekali lagi."
"Makasi sama Allah dulu, mbak. Baru sama saya. Abis itu Allah yang bakal ngasih saya imbalan pahala insya Allah"
Tsabit terhentak mendengar kalimat terakhir Arsa.
'Abis itu Allah yang bakal ngasih saya imbalan pahala'
Memorinya membawa ia ke masa lima tahun silam, dimana ia bertemu Idzar pertama kali. Yakni ketika peristiwa mogok itu terjadi. Kata katanya persis sekali
yang diucapkan Idzar saat itu.
'Mbak cukup berterimakasih sama Allah. Dan biar Allah yang memberi saya imbalan pahala.'
**** 21. Kecupan beribu makna Gemericik air bergulir dari bebatuan meninggi menuju bebatuan rendah yang membentuk aliran sungai kecil. Lalu berakhir pada kolam kecil berisi populasi
ikan koi cantik beraneka corak perpaduan hitam, orange dan putih. Mereka bergumul dengan sesama spesiesnya menari menari dibawah permukaan cairan bening
yang jernih. Tatkala sebuah tangan menabur sesuatu dari atas mereka, dengan cepat ikan tersebut mengajak temannya saling berebut makanan. Ada beberapa
yang saling melompat. Sehingga menciptakan kekehan kecil dari seorang gadis yang sedari tadi asyik mengajak mereka bermain.
Tsabit duduk diatas bebatuan kolam kecil disana. Sejak siang hewan hewan berinsang itu berhasil menarik perhatiannya lalu melupakan tujuan awalnya datang
ke rumah sang pemilik ikan tersebut.
Hingga seorang wanita berhijab putih sebatas pinggang datang dengan membawa kotak hitam besar berpita.
"Asyik banget mainan ikannya." Ucap wanita itu menduduki kursi plastik tak jauh dari Tsabit. Tsabit menoleh cepat ke belakang. "Eh, iya nih. Sejak kapan
kamu pelihara ikan koi sebanyak ini" Coba bilang ke aku dari dulu, Bakal sering sering deh aku mampir kesini." Jawab Tsabit kembali memutari pandangannya
ke seluruh penghuni kolam.
"Baru seminggu yang lalu. Idzar pengin suasana yang berbeda, katanya. Buat nemenin aku juga kalo sendirian dirumah." Wanita yang menjadi istri Abidzar
Ahda itu menuang segelas teh hijau ke dalam dua cangkir di meja.
"Termasuk tanaman bonsai dan kaktus di halaman depan sana?"
"Iya. Ngeliat aja kamu, bit."
"Kalau ditaruhnya di gudang bawah tanah, baru aku gak liat. Lah kamu nanemnya dihalaman depan gimana aku gak lihat, bumil ku yang cantik." Ujar Tsabit
gemas sendiri terhadap ibu hamil satu ini. Ternyata masa kehamilan Aufa tidak mengubah ke-lola-an wanita itu. Lihat saja tampang wajahnya tadi saat kebingungan.
Persis anak ayam yang kehilangan induknya. Sekarang wanita berbadan dua itu sedang cengar cengir tanpa dosa.
"Oya, katanya mau lihat lihat foto pernikahan Sina. Nih!" Aufa menyodorkan kotak hitam berpita itu yang rupanya berisi album foto pernikahan Sina, sepupunya.
Tsabit menyambutnya antusias kemudian menomor duakan kesibukannya terhadap ikan ikan tadi.
"Kamu beneran mintain ke kak Sina" Padahal aku cuma bercanda kemarin ditelpon."
"Gak apa apa. Mumpung aku mampir kesana jadi sekalian." Tsabit mulai membuka lembaran tebal pertama. Suguhan foto Sina bersama Dana terpajang besar memenuhi
satu halaman besar. Gaun silver perpaduan softpink menambah kemewahan dan keindahan yang tercipta. Senyum keduanya begitu menawan. Ditunjang kelebihan
mereka yang memang sudah terlahir tampan juga cantik. Bahkan Tsabit acapkali memuji kecantikan sepupu sahabatnya ini. Kak sina memiliki garis wajah kebangsaan
Arab. Padahal silsilah keluarganya murni keturunan Jawa.
Mustika Naga Hijau 1 Wiro Sableng 120 Kembali Ke Tanah Jawa The Brethren 6
"Tapi untuk saudara Marco Alexis dan Jimmy Tambunan, mereka ditetapkan sebagai tersangka. Rupanya, mereka sudah lama menjadi incaran polisi. Suami kamu
beruntung, Tsabit" papar Sandy. Melepas kacamata tanpa bingkainya.
"Saya sudah duga merekalah pelakunya. Mereka juga yang menjebak Arsa. Keyakinan saya tidak bisa berbohong." Tsabit menarik nafas lega setelah selama kurang
lebih 7 hari menunggu kasus yang menimpa Arsa, akhirnya mencapai titik terang. Arsa difitnah. Sedangkan Tody dijadikan umpan untuk memfitnah Arsa.
Usai menjalani beberapa rangkaian pemeriksaan, Arsa dinyatakan bersih dari obat obatan terlarang itu. Tsabit dan Sandy terus menunggu kedatangan Arsa diruang
tunggu. Menunggu kehadiran Arsa dan memberi tahu kabar baik ini.
Tidak sampai memakan waktu lama, sosok Arsa baru saja keluar ditemani petugas kepolisian.
"Gimana hasilnya" Kapan gue bisa pulang?" Tanyanya pertama kali setelah duduk berhadapan dengan Tsabit.
"Besok. Kemasi barang barang kamu ya. Besok saya, mama dan Kak Abrar bakal jemput kamu"
"Satu satunya barang yang gue bawa ya cuma baju yang gue pake ini. Lo kira gue disini ngekost"
Tsabit hampir menepuk jidat. Ia lupa suaminya tidak membawa barang apapun kecuali tasbih pemberiannya. Pakaian pun harus bolak balik Tsabit yang membawakannya
hanya untuk ganti. Pakaian yang kotor, ia bawa untuk dicuci di rumah.
"Om Sandy, apa gak bisa hari ini aja pulangnya?" Pandangan Arsa beralih ke Sandy. Pengacara sekaligus ayah dokter Syihab yang diminta Tsabit untuk menangani
kasus suaminya. Sandy menggeleng bijak.
"Kita harus mengikuti prosedur yang ada. Tidak boleh ambil keputusan sendiri sekalipun kita dipihak yang benar."
"Menunggu sehari lagi disini, gak bikin kamu tersiksa kan?" Timpal Tsabit.
"Sehari disini berasa setahun, bit. Lo gak tau gimana rasanya nahan rindu gue sama rumah. Rindu sama mama papa, rindu sama mas Abrar. Berasa kayak nunggu
sidang kasus sianida kelar tau gak lo" keluh Arsa dengan wajah cemberut. Tangannya terlipat di atas meja. Matanya berpaling menatap lain, setelah itu kembali.
"Lo udah pernah ngerasain rasanya dikangenin seseorang?" Tanyanya kali ini.
"Sering" jawab Tsabit enteng.
"Pede banget" gumam Arsa. "Maksud gue dikangenin ampe banget banget banget. Pernah?"
Tsabit menarik nafas. Membuangnya seraya menatap langit langit setelah itu menggeleng. "Sepertinya belum"
"Hari ini dan sejak seminggu yang lalu, lo udah ngerasainnya pertama kali"
Mata Tsabit menyipit samar.
"Pasti gak mudeng" celetuk Arsa agak sewot.
"Emang siapa yang kangennya banget banget banget banget sama saya" Kamu ya?" Tsabit menciptakan senyum jail yang manis disertai telunjuk yang bergerak
dihadapan wajah Arsa. "Bukan. Tasbih gue ni yang kangen"
"Tapi tasbih itu punya saya"
Langsung saja Arsa mengacak ngacak jilbab Tsabit dengan mengusap ngusap kepala gadis itu menggunakan dua tangannya secara gemas.
"Ya gue lah, Tsabit. Masa beneran tasbih. Jangan terlalu polos apa jadi cewek." Geramnya.
"Makanya kalo ngomong tuh yang jelas. Bilang aja kalo kamu kangen banget banget banget sama saya. Gitu aja lebih gampang dan mudah dipahami, kan" Gak perlu
pake embel embel." "Emang lo nya aja yang lola. Om Sandy aja tau maksud omongan gue tadi. Ya gak, om?" Arsa beralih menatap Sandy. Sandy hanya menggeleng sambil tersenyum
memerhatikan interaksi mereka. Jarang ia menemukan sepasang suami istri yang berinteraksi dengan kesewotan atau kekonyolan bahkan umpatan umpatan ringan.
Justru Sandy melihat kasih sayang yang tulus dari sana.
"Om juga pernah muda seperti kalian, tapi masa muda om dengan istri selalu romantis. Kayaknya, di zaman sekarang, perasaan cinta tidak melulu harus diungkapkan
melalui kata kata romantis ya" Bisa dengan tindakan bodoh yang justru menunjukan rasa cinta itu sendiri. Ya seperti kalian ini" Sandy tertawa kecil sambil
melepas kacamata presbiopinya.
"Om bisa aja. Saya kayak gitu karena seneng aja ngebully dia. Yang saya kangenin ya kangen ngebully dia. Ngebully Tsabit gak kayak ngebully Tody, om."
Jawab Arsa santai melirik Tsabit sedikit.
"Omongin aja terus. Orangnya lagi pulang kampung" Tsabit mulai senewen.
"Cie, ngambek. Tambah jelek lo kalo ngambek" ejek Arsa.
Tsabit diam dalam bahaya. Matanya menyimpan strategi.
"Pak Sandy. Sepertinya jam besuk kita sudah habis. Bagaimana kalau kita pulang sekarang" Banyak pekerjaan yang harus saya selesaikan hari ini" sebelum
menjawab, Sandy melihat ekspresi Arsa. Pria itu menatap tidak terima. Menatap Sandy dan Tsabit bergantian.
"Dih, lo mau pulang sekarang" Gak asik banget, sih" protes Arsa kepada Tsabit.
"Tugas Pak Sandy gak cuma ngurusin kamu aja, sa. Dia masih banyak urusan diluar sana." Jelas Tsabit berdiri menyampirkan tasnya ke lengan.
"Terus lo sendiri" Gak sesibuk om Sandy juga, kan" Kalo om Sandy mau pulang, om boleh kok pulang duluan" tatapan Arsa beralih ke Sandy sambil tersenyum
penuh makna. Sandy mengerti seraya menggeleng maklum. Ia pun pamit meninggalkan Arsa juga Tsabit disana.
"Kamu baru saja ngusir orang yang sudah berjuang menyelamatkan kamu dari kasus ini, sa." Mereka duduk kembali dalam posisi semula.
"Om Sandy orang yang cerdas. Dia pasti tau, mana bagian dari pekerjaannya, mana yang bukan. Lo nya aja yang ribet."
"Terserah kamu. Buang buang waktu kalau terus berdebat sama kamu"
"Itu tau" Keduanya terdiam. Seorang petugas yang mengawal Arsa menjadi saksi kebisuan mereka. Itu hanya sebentar, selanjutnya Arsa mengeluarkan sesuatu dari saku
celana. "Nih. Gue balikin" tangan yang menggenggam benda itu terulur dihadapan Tsabit. "Thank's. Benda ini berhasil ngebuat gue selalu inget sama Allah."
"Itu buat kamu. Kalau ternyata tasbih itu membuat kamu jadi lebih baik, saya gak keberatan melepasnya." Tangan Tsabit diam diatas meja. Matanya menatap
tangan Arsa yang masih menggenggam tasbih hitam miliknya.
"Gue bisa beli yang persis kayak gini. Lo pasti juga butuh, kan?"
"Buat apa membeli barang yang kamu sudah memilikinya. Tasbih itu saya berikan buat kamu. Saya punya satu lagi dirumah. Sama seperti yang kamu pegang."
Arsa pun menarik kembali tasbihnya kemudian fokus kepada sang istri. Ia tertawa samar dalam senyuman.
"Kenapa ketawa?" Tsabit mengerut dahi.
"Kita ini lucu ya" Arsa masih tertawa ringan namun manis. "Selama gue hidup, selama gue pernah ngerasain pacaran, selama gue punya pasangan, baru kali
ini gue couple-an tasbih sama istri gue sendiri. Orang orang mah kaos couple kek, tulisan 'i love him' dan 'i love her' atau cincin, atau topi, tas, gelang.
Ini malah tasbih. Lucu aja gitu. Pertama kalinya nih gue kayak gini" Arsa memainkan rangkaian butir tasbih setelah berhasil mengucapkan itu semua.
"Kamu jangan Ge-er. Awalnya saya membeli tasbih itu sepasang untuk kakak tiri saya. Berhubung Allah memanggilnya, saya pakai satu untuk menemani saya kemana
pun saya pergi. Gak ada hubungannya sama kamu"
Arsa bisa melihat kerapuhan Tsabit dari sisi lain. Dibalik ketegaran dan kekokohannya dalam menjalani hidup, Arsa tahu gadis itu memiliki jalan hidup yang
rumit. Tapi ia berhasil menyembunyikannya dengan sempurna. Tentu ia tidak mungkin menanyakan lebih dalam tentang kakak tirinya.
"Tapi pada akhirnya tasbih itu jadi milik gue, kan" Kalo gue gak tersandung kasus ini mungkin lo gak bakal ngasih ni tasbih ke gue."
"Mungkin Allah sudah mengatur semuanya, hingga tasbih itu berada ditangan kamu. Tolong kamu jaga baik baik ya. Pergunakan dengan tulus. Setulus kamu ingin
dekat kepadaNya" ada senyum penuh harap disana. Kabar baik, senyum itu berbalas. Pria dihadapan Tsabit menyunggingkan senyum khas mengandung gula.
"Tenang aja. Selain ganteng, gue juga bisa dipercaya kok"
*** Idzar berjalan santai menuju salah satu ruang. Dengan membawa berkas berkas ditangan, ia bersiap menghadiri meeting bulanan bersama para staff. Ruang rapat
berada di lantai tiga. Untuk menuju kesana Idzar harus menggunakan lift dari lantai dua.
Ketika ia berjalan menuju lift, sesuatu menghentikan langkahnya. Sosok familiar yang sedang duduk di loby berhasil menarik perhatiannya. Ia tegaskan perlihatan
sambil mencondongkan sedikit tubuhnya ke arah gadis cantik yang sedang duduk anggun disana.
Matanya menyipit. "Dia perempuan yang waktu itu kan?" Gumamnya sambil berpikir untuk menghampirinya atau tidak. Rasa penasaran pun berhasil memicu Idzar
hingga akhirnya ia memberanikan diri menemui gadis itu.
"Assalamualaikum" sapanya. Gadis itu menoleh. Menimbulkan lambaian rambut yang bergerak indah secara bersamaan. "Iya. Ada apa?"
Idzar menyayangkan sikap sang gadis yang tidak menjawab salamnya. Betapa ruginya dia, pikir Idzar. "Sepertinya kita pernah bertemu ya" Di rumah sakit kalau
tidak salah." Matanya menyipit mengingat ngingat. Gadis itu melakukan hal yang sama. Keduanya saling mengingat.
"Mungkin iya. Tapi saya lupa. Bisa anda kasih gambaran pertemuan kita?"
Idzar berpikir keras. Bibirnya mengulum. "Ah! Kamu yang tidak sengaja menabrak saya waktu di rumah sakit tumbuh kembang. Ingat?"
Giliran gadis itu yang berpikir keras mengingat.
"Kamu laki laki yang saya tabrak berdua dengan pacar kamu?" Mendengar itu, Idzar tersenyum.
"Dia istri saya." Gadis itu mengangguk lalu meng-oh. "Ngomong ngomong ada yang bisa saya bantu" Kebetulan saya bekerja disini"
"Saya menunggu teman saya. Dia bekerja disini. Kata security, teman saya itu sedang keluar sebentar. Oh ya, kita belum berkenalan. Nama saya Fania." Uluran
tangan berkulit putih nan halus menyapa Idzar. Pria itu menyambutnya dengan tangkupan tangan didada.
"Saya Idzar." Fania menarik kaku tangannya. Ia lupa, sosok pria dihadapannya ini pernah menghindar sewaktu dirinya hendak meminta maaf melalui sentuhan.
Sudah dua pria yang ia temui bersikap sok jual mahal. Pertama adalah Rayyan, kedua Idzar. Sejenak ia berpikir, apa wanita adalah sosok yang begitu menjijikan"
sehingga kaum pria semacam Rayyan dan sejenisnya amat menjaga interaksi dengan lawan jenis. Suatu saat ia akan menanyakan hal ini kepada Rayyan.
"Kalau boleh tahu, siapa nama teman kamu" Barangkali saya kenal."
"Namanya Tsabit. Ada hal penting yang ingin kami bicarakan"
"Oh Tsabit. Dia sahabat istri saya." Jelas Idzar tanpa menunggu ditanya.
Obrolan ringan itu terpecah dengan kehadiran sosok yang ditunggu Fania. Tsabit berjalan menghampiri setelah sebelumnya diberitahu security tentang kedatangan
Fania ke kantornya. Kini ia malah melihat gadis itu sedang berbincang dengan Idzar. Pikirannya semakin kacau.
Idzar pun pamit membiarkan dua gadis berbeda kepribadian itu duduk berdua di loby. Keduanya mengawali pertemuan dengan kebisuan serta kekakuan. Tidak ada
yang inisiatif membuka obrolan. Untuk kasus ini Tsabit tidak mau mengalah. Biar saja ia menunggu Fania berbicara lebih dulu, toh tujuannya datang ketempat
ini bukan untuk berdiam diri seperti ini, kan"
Tsabit memancingnya dengan berdehem sekali. Fania merespon seraya terkesiap. Ia menyampirkan poninya kebelakang. Lalu menatap Tsabit serius.
"Maaf harus menunggu lama. Aku mempersiapkan diri untuk mengatakan ini semua ke kamu, Tsabit."
"Tidak apa. Apa yang mau kamu bicarakan" Sepertinya penting sekali sampai sampai kamu nekat kesini." Mata Tsabit memandang samar gadis berpakaian seksi
dihadapannya. Menilai tiap inci penampilan Fania. Bukan menilai buruk, hanya saja ia berpikir, bagaimana Arsa tidak tergila gila dengan gadis yang kecantikannya
hampir setara dengan aktris korea. Fania sangat cantik. Jika dilihat dari dekat, ia sekilas mirip dengan aktris korea Kim Tae Hee. Salah satu aktris korea
yang ia tahu. "Aku sudah tahu sesuatu yang melatar belakangi pernikahan kamu dengan Arsa. Arsa sudah menceritakan semuanya."
Awalanya Tsabit terkejut. Tapi kemudian ia mengerti, sejak awal Arsa tidak ingin adanya pernikahan ini. Sudah pasti ia memberi tahu kepada kekasihnya,
agar tidak terjadi kesalah pahaman diantara mereka. Ia diam, membiarkan Fania melanjutkan ucapannya.
"Arsa berjanji akan segera menceraikan kamu jika nama baik keluarganya telah bersih. Dan seharusnya kamu sudah bercerai."
"Tapi kamu tahu apa yang terjadi pada Arsa,.. dan kasusnya?" jawab Tsabit hati hati.
"Itu yang aku sayangkan. Kenapa disaat namanya baik telah kembali, malah muncul kasus ini. Nama baik Arsa kembali dipertaruhkan. Dan itu akan membuat kamu
semakin lama hidup bersama Arsa." Fania menyandarkan tubuhnya. Menatap ke arah lain.
"Mau sampai berapa lama pun, bagi saya bukan masalah. Saya adalah istrinya. Meski Arsa berada dipuncak kariernya atau terjatuh sekalipun, saya tetap istrinya."
"Tapi kamu tetap harus bercerai dengan Arsa."
Ucapan Fania, membawa diri Tsabit ke waktu dimana dirinya sedang berbincang di taman olahraga seminggu yang lalu. Saat itu Arsa bertanya, "lo siap kalau
kita bakal bercerai?" Pertanyaan itu melesat bebas bak anak panah yang menancap tepat ke sasaran. Antara ingin menjawab atau tidak, Tsabit hanya bisa diam
dalam beberapa detik. "Bit?" Arsa memastikan Tsabit baik baik saja. Gadis itu terkesiap.
"Perceraian adalah jalan yang dibenci Allah. Ada sesuatu yang menahan saya untuk tetap berada dalam hubungan ini. Bukan cinta yang menggebu gebu, melainkan
cinta yang pernah hilang dari seorang hamba yang melalaikan cinta Tuhannya."
Tsabit tidak mengerti apa yang ia ucap saat itu. Semua terlontar begitu saja. Padahal tadinya ia akan menjawab "saya siap" tapi kekuatan lain berhasil
melencengkan niatnya. "Bilang ke Arsa, bahwa kamu ingin menggugat cerai secepatnya" perintah Fania membuyarkan lamunan Tsabit.
"Tidak bisa. Arsa dan keluarganya, masih membutuhkan saya." Mata Tsabit menatap tajam dan dingin.
"Sepertinya kamu salah. Bukan kamu yang mereka butuhkan. Tapi aku."
"Apa yang membuat kamu besar kepala?"
Fania membenarkan posisi duduknya. Mencondongkan tubuh ke depan persis didepan Tsabit. Seolah ia ingin mengatakan sesuatu yang tidak tidak ingin orang
lain tahu. "Pegang!" Perintah Fania meraih tangan Tsabit, membawanya ke arah perutnya. "Didalam perut ini, ada sesuatu yang menuntut seorang ayah. Laki laki itu adalah
Arsa." Jantung Tsabit hampir ingin meloncat menuju angkasa. Nafasnya mendadak mogok dipertengahan. Sendi sendi ototnya seperti mati rasa. Rasa dingin perlahan
menyelimuti sekujur tubuh. Tangannya masih kaku berada diperut Fania. Matanya enggan menatap gadis itu.
"Aku hamil, Tsabit. Dan Arsa harus bertanggung jawab."
Tsabit diam terpaku. Bahkan ketika Fania menghempas tangannya dari perut, tangan Tsabit masih kaku. Daya berpikirnya menurun. Semoga pendengarannya sedang
berkhianat. Semoga telinganya sedang bermasalah. Semoga, semoga dan semoga.
"Kapan kalian melakukannya?" Tanya Tsabit dingin. Siapa yang tahu, untuk bisa bertanya sesingkat itu, Tsabit membutuhkan oksigen, suplemen keberanian melawan
reaksi reaksi yang menggoyahkan imannya.
"Malam itu sebelum Arsa menyelamatkan kamu dari preman preman."
Jadi, waktu itu Arsa berbohong. Bukan menemui temannya, melainkan bertemu Fania. Tsabit bodoh! Bodoh!, umpatnya dalam hati. Sekarang, siapa yang pantas
disalahkan" Arsa" Fania" Atau malah dirinya sendiri"
Jiwa Tsabit terlalu kuat untuk menangis. Tentu ia tidak ingin menangis dihadapan Fania. Justru Fania lah yang kini tengah menangis sejak tadi. Sambil memegang
perut ia berkata, "Arsa yang memaksa aku melakukannya. Dia bilang cara ini akan mempercepat proses perceraiannya dengan kamu. Hingga aku tersadar, Arsa
telah merebut keperawananku, Tsabit" sambil terisak pedih.
Bibir Tsabit bergerak samar berucap tidak jelas. Matanya kosong. Seperti ada yang hilang dari tubuhnya dan pergi jauh. Ia seperti tubuh tanpa nyawa. Apa
seperti itu sosok Arsa yang sebenarnya" Seburuk itukah" Satu satunya hal positif yang ia ambil dari peristiwa ini adalah, bahwasanya menjalin hubungan
yang tidak ada ridho Allah didalamnya pasti berujung tidak baik. Kalaupun baik, belum tentu Allah memberkahi proses perjalanannya. Itulah mengapa Tsabit
enggan berpacaran. Baik untuk sungguhan atau berpura pura.
"Anak ini butuh seorang ayah. Aku tidak ingin anakku lahir tanpa sosok Ayah. Kalau tidak, aku lebih baik mati daripada harus menanggung malu"
"Jangan!" Sergah Tsabit setelah Kesadarannya kembali sempurna. Akal sehatnya berhasil memancing emosi yang sempat ingin meluap. Ia menatap Fania begitu
dalam. Memerhatikan gadis itu dalam keadaan terisak dengan rambut menutupi sebagian wajah. Tsabit menarik nafas dalam dalam.
"Bunuh diri bukan jalan keluar. Justru semakin menjerumuskan kamu dalam neraka." Fania mendongak, menyingkap rambut lalu menatap Tsabit penuh harap. "Temui
aku besok di rumah Arsa. Dia harus tahu masalah ini. Begiu juga tante Kartika. Saya tidak bisa mengambil keputusan tanpa sepengetahuan suami saya."
Tak ingin berlama lama menguras emosi dalam situasi, Tsabit beranjak hendak pergi. Sebelum melangkah mantap, ia sempatkan diri untuk mengusap lengan Fania.
"Jaga anakmu baik baik. Allah maha tahu. Setelah itu bertaubatlah." Pesan Tsabit sebelum akhirnya pergi berjalan menjauh dari situasi.
Selagi berjalan menjauh, Tsabit memejamkan mata sejenak seraya memohon ampun dalam hatinya. Meski pengakuan Fania terus mengganggu lalu terngiang dipikirannya
dan memutar layaknya kaset kusut. Tubuhnya tidak kuasa menahan diri. Perlahan cahaya cahaya yang berpendar meredup merubah diri menjadi warna gelap dan
hitam pekat menjadi tameng penglihatannya.
*** TBC.. 19. Ketika ikhlas menjadi umpan
Rayyan berdiri bersandar pada pohon besar nan rindang yang daunnya perlahan jatuh satu persatu. Tubuhnya agak condong kesebelah kanan dimana pohon itu
menopang. Sudah setengah jam ia berdiri disana mengamati pergerakan apapun yang ia tangkap dari matanya. Entah dua ekor kucing yang sedang berkelahi, atau
seseorang yang sedang mengikis rumput liar pada halaman.
Dieratkan jaket baseball kesayangannya seraya melirik jam tangan. Setelah cukup lama berada disana, ia berjalan meninggalkan taman menuju seseorang yang
memanggilnya dengan lambaian.
"Monggo, cah ayu sudah menunggu." Bu yati mengiring Rayyan masuk ke kediaman Kartika.
"Tsabitnya ada dimana, bu?" Tanya Rayyan mengekor bu Yati.
"Ada diruang tengah. Sebenarnya ndak boleh keluar kamar dulu sama dokter. Tapi dia ndak enak kalau berdua didalam kamar sama laki laki yang bukan suaminya."
Rayyan meng-oh. Diruang tengah Rayyan mendapati seseorang dari balik sofa panjang yang membelakanginya. Ia hanya bisa melihat kepala yang tertutup kerudung putih yang
muncul dari sisi atas sofa tersebut. Itu pasti Tsabit, pikirnya.
Usai bu Yati menyilahkan lalu pergi, Rayyan mengambil posisi duduk di sofa tak jauh dari Tsabit.
"Assalamualaikum"
"Waalaikumsalam, yan. Maaf ya lama nunggu. Apa kabar kamu?" Jawab Tsabit duduk bersandar. Nada bicaranya datar. Volume suaranya kecil lemah tak bergairah.
Satu titik yang menarik perhatian Rayyan padanya, ialah bibir yang terlihat pucat.
"Gak kebalik" Harusnya aku yang nanya gitu ke orang baru aja pingsan tadi siang. Gimana keadaan kamu?"
Tsabit memaksakan dua sudut bibirnya untuk tertarik seadanya.
"Gak separah sakit yang kemarin. Aku cuma kelelahan aja."
"Gak pernah sakit, sekalinya sakit dua kali dalam sebulan. Tsabit tsabit.. seneng banget bikin orang khawatir."
Mata Tsabit agak membelalak. "Kamu gak cerita ke mama papa soal ini, kan?" Rayyan menggeleng. "Kalau gitu, gak bakal ada yang khawatir selama mereka gak
tau." "Aku yang khawatir sama kamu." Mata Rayyan menatap serius.
"Kamu kenal aku berapa lama, sih" Aku kayak gini kan gak sekali dua kali. Meski jarang, terkadang setiap manusia pasti butuh sakit. Setidaknya itu cara
Allah menegur hambaNya. Selama aku masih bisa nyerocos panjang lebar gini, kamu gak perlu khawatir. Oke?"
Rayyan membuang nafas berat seraya memalingkan wajah. Ia sudah yakin akan seperti ini. Tsabit tidak mau terlihat lemah meski dalam keadaan salit sekalipun.
Selain keras kepala, Tsabit tergolong pintar menutupi kekurangan serta kelemahannya. Berbekal kalimat kalimat ngeles bin ajaibnya, mampu membuang kekhawatiran
Rayyan yang sempat panik sewaktu Fania meneleponnya, memberitahu bahwa Tsabit pingsan.
"Oh ya, ngomong ngomong kamu tahu darimana kalo aku pingsan" Ada yang ngasih tau?"
Rayyan terhentak samar. Matanya bergerak sedang otaknya terkuras memikirkan jawaban. Tsabit akan semakin kepo kalau tahu Fania yang memberi tahu dirinya
perihal ini. "Kebetulan pas kamu digiring menuju ambulans, aku lewatin kantor kamu. Pas aku tanya security, katanya kamu pingsan. Yauda aku ikutin kamu." Jawab Rayyan
agak terbata. "Tapi aku gak ngeliat kamu sepulang dari klinik."
"Aku pulang lagi sebentar. Terus aku balik lagi kamu udah pulang katanya diantar sopir sama Idzar. Yauda aku kesini aja."
Rayyan bukan pembohong sejati. Untuk mengatakan ini saja, keringat dingin mengujur dibalik punggung. Apalagi membohongi Tsabit. Butuh perjuangan baginya.
Tapi, Tsabit tidak boleh tahu perihal dirinya yang mengenal Fania.
Sepulang dari sini pun, Rayyan berniat menemui Fania untuk meminta penjelasan mengapa Tsabit bisa pingsan usai bertemu dengannya. Pasti Fania mengatakan
sesuatu yang menyakiti hati Tsabit. Kalau memang benar, Rayyan tidak segan segan memberi gadis itu pelajaran.
"Kalau lagi ada masalah, cerita bit. Jangan dipendem sendiri." Ucap Rayyan peduli. Ia menaruh parsel buah yang sedari tadi berada dipangkuan ke atas meja
kaca. "Masalah apa" Aku gak ngerasa punya masalah."
"Kok sombong?" Rayyan berkerut dahi.
Tsabit cengar cengir. "Maksudku, aku emang punya masalah. Tapi aku gak mempermasalahkan masalahku." Ujarnya sambil melihat lihat parsel bawaan Rayyan.
"Eh, ada apelnya. Aku buka ya?" Seketika senyumnya melebar bahagia.
"Buka aja. Bisa gak bukanya?" Rayyan hendak menawarkan bantuan.
"Kecil ini mah." Tangan Tsabit lincah mengelupas plastik elastis yang membungkus macam macam buah disana. Ia mengambil satu buah apel lalu menyuapnya satu
gigitan. "Gimana hubungan kamu sama Arsa. Dia gak nyakitin kamu, kan?" Rayyan kembali serius. Sebenarnya pembawaan Rayyan hari ini memang berbeda. Tidak ada mood
untuk bercanda. Kehawatiran terhadap Tsabit yang membuatnya seperti itu.
"Engga lah. Dia kan suami aku."
Rayyan menyimpan curiga dalam hati. "Kamu bahagia?"
"Insya Allah bahagia" jawabnya lagi setelah menelan kunyahan apel.
Mengingat ucapan Fania waktu itu tentang sesuatu dibalik pernikahan Tsabit dan Arsa, Rayyan malah melihat kejujuran dari mata Tsabit. Ia tidak melihat
sesuatu yang ditutupi gadis itu. Semua terlihat alami dan tulus apa adanya.
"Kalau begitu, aku yakin kamu bakal sembuh secepatnya. Orang yang jarang sakit kemungkinan karena hidupnya selalu bahagia. Kalau Arsa bisa membuat kamu
bahagia, artinya dia juga bisa membuat kamu sembuh." Rayyan mengulum senyum. "Trus kapan Arsa pulang dari penjara. Aku baca beritanya, dia bersih dari
tuduhan." "Alhamdulillah. Besok dia pulang. Kamu mau ikut jemput?"
"Permakan bajuku lagi banyak, bit. Salam aja buat suami kamu."
Tsabit mengangguk kecil. Melihat Rayyan bangkit dari duduknya dengan tangan berada disaku.
"Aku pamit ya. Maaf nih gak bisa lama. Kamu gak apa apa kan aku tinggal"--Eh, tapi Arsa udah tau keadaan kamu sekarang belum?" Rayyan duduk lagi.
"Udah. Mama mertua aku yang kabarin dia. Salam juga ya buat ibu kamu. Kapan kapan aku main kesana."
Rayyan berdiri lagi. Kali ini ia menatap Tsabit lama sebelum melangkah pergi. Tsabit menyipit menatapnya bingung. "Kenapa ngeliatin aku kayak gitu?"
"Jaga diri kamu baik baik ya. Kalau terjadi apa apa hubungin aku secepatnya. Kalau Arsa nyakitin kamu, bilang sama aku. Ngerti?" Pesan Rayyan mantap sebelum
akhirnya pamit meninggalkan Tsabit penuh tanda tanya dalam hati. Tsabit bisa melihat sirat makna yang tersembunyi dari matanya.
*** Esok paginya, ketika sang surya memberanikan dirinya menjulang di seperempat pagi, menimbulkan hawa hawa sejuk. Panasnya tidak begitu terik. Mereka menyebutnya
pagi yang cerah. Meski tidak secerah gumpalan perasaan tak menentu yang dialami Tsabit hari ini.
Sejak subuh, hatinya dilanda kerisauan. Tak hanya gelisah, tapi juga ketakutan yang mengakar tunjang mengakibatkan Tsabit kesulitan konsentrasi beraktivitas.
Bahkan sholat subuh pun tidak khusyu dibuatnya.
Sesampainya di Polsek setempat, dimana Arsa ditahan selama hampir seminggu. Tsabit, Kartika juga Abrar pun menjemput Arsa. Arsa yang telah siap ditemani
beberapa petugas serta menandatangani beberapa surat perjanjian dan jaminan keamanan akhirnya bisa menghirup udara bebas. Melepas rindu bersama orang tersayang.
Ada beberapa moment mengharukan yang terjadi. Dimana Arsa menangis memeluk Kartika ketika ia keluar dari ruang tahanan. Dalam tangisnya, Arsa mengungkapkan
penyesalannya. Selama hidup, cobaan ini lah yang terberat baginya. Dan juga yang berhasil membawa dirinya kembali ke jalan Allah. Engkong Rahmat pernah
berkata, "Sebenarnya ketika Allah menimpakan ujian kepada hambaNya, Dia selalu menyelipkan hikmah serta hidayah. Sayangnya, jarang manusia yang menyadari.
Mereka terlalu egois. Mereka sibuk mencari jalan keluar dari masalah yang menimpa mereka. Padahal jika mau saja sedikit mensyukuri ujian tersebut, maka
Allah tidak hanya memberinya jalan keluar. Tapi juga hidayah dan hikmah yang akan terpakai kelak dikemudian hari." Itulah pesan terakhir Engkong Rahmat
sebelum Arsa pamit pulang meninggalkan rumah tahanan ini.
"Mama duduk didepan aja ya, sama Mas Abrar. Aku mau duduk dibelakang sama dia." Pinta Arsa ketika akan masuk ke dalam mobil menuju pulang. Tsabit yang
sudah masuk lebih dulu ke dalam mobil hanya duduk manis menolehkan kepala menghadap jendela, menatap jalanan sepi. Matanya kosong seraya menghela nafas.
"Ngeliatin apaan sih" Serius amat." Sapa Arsa mengikuti arah mata Tsabit ke luar jendela sesampainya dijok belakang bersama gadis itu. Yang disapa tidak
merespon, apalagi menoleh. Ia tetap pada posisi.
"Lo kenapa" Ditekuk gitu mukanya. Gak seneng kalo gue bebas dari penjara?" Tanya Arsa.
Tidak ada jawaban. "Seminggu ditinggal gue, lo jadi budek gini. Baru seminggu, udah gak ada gairah aja. Gimana kalo gue tinggal ke luar negeri dah." Ia menyandarkan tubuhnya
di jok seraya merenggangkan otot ototnya yang kaku. Kedua tangannya direntangkan agak keatas sambil menarik nafas. Perlahan tangan kanannya mendarat dibalik
Tsabita Ilana Karya Suffynurcahyati di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
punggung Tsabit lebih tepatnya pada sisi atas jok. Gadis itu tidak akan menyadari kalau ia tidak bersandar. Jika dilihat dari depan, akan terlihat seperti
Arsa merangkul Tsabit. Ia senang melakukan hal kecil itu. Tak apa meski Tsabit masih mendiamkannya.
Setelah mengingat ngingat, Arsa terhentak lalu menghadapkan wajahnya ke arah Tsabit. "Yampun!" Seru Arsa menepuk dahi. Tsabit menoleh samar. "Gue tahu
sekarang. Pantesan lo diem aja kayak ayam telo. Lo masih sakit, kan" Kata mama kemaren lo pingsan" Iya bener?" Tanya Arsa khawatir. Tangan yang tadi ia
sandarkan, beralih meraih pundak Tsabit agar mereka saling menghadap. Otomatis Tsabit mengikut. Mau tidak mau.
"Sekarang masih sakit" Bibir lo pucet gini." Satu sentuhan jari Arsa berhasil meraba bibir bawah Tsabit. Singkat namun berimbas pada jantungnya. "Muka
lo juga pucet. Trus udah minum obat belum" Ya ampun, Tsabit. Kalo lo masih sakit harusnya gak usah ikut jemput gue. Lo tidur aja dirumah, istirahat."
"Saya baik baik aja, Arsa." Jawab Tsabit apa adanya. Tapi tidak mempengaruhi kecemasan Arsa padanya.
"Kayak gini dibilang baik baik aja. Biasanya kan lo bawel. Biasanya lo nyeramahin gue atau ngomong apa gitu ke gue. Kalo lo udah diem begini, gue perlu
khawatir tau gak." "Saya bilang saya baik baik aja. Kamu gak perlu bersikap berlebihan seperti ini." Balasan Tsabit kali ini sangat dingin. Sedingin pertemuannya pertama
kali setelah insiden perkelahian dulu. Lebih tepatnya, insiden Tsabit menggigit lengan Arsa."Mimik wajahnya nampak tidak bersahabat. Arsa terkatup sepersekian
detik. Sayangnya, mata Tsabit berkata lain. Arsa mampu menangkap itu.
"Kepedulian kamu tidak bisa mengobati apa yang saya rasakan dan kekhawatiran kamu terhadap saya tidak bisa membaca kenyataan pahit yang harus saya telan."
Ujarnya mantap. Arsa kebingungan sendiri.
"Ada apa, Tsabit?" Tanya kartika yang rupanya memerhatikan interaksi mereka dari jok depan.
"Tidak ada apa apa, ma" jawab Tsabit menyempatkan untuk tersenyum sekilas.
"Lagi PMS ya, bit" maklum, Sa. Tsabit kan baru sembuh." Abrar menimpali dari balik kemudi.
Arsa kembali menatap istrinya. Tsabit yang akan membuang wajah, harus kembali menghadap Arsa karena pria itu memaksanya pelan. "Gue yakin, lo gak cuma
sakit doang. Tapi ada sesuatu yang lo sembunyiin dari gue. Kasih tau gue, bit. Gue bikin salah sama lo" Apa ada yang nyakitin lo selama gue gak ada?"
Dalam diamnya Tsabit menelaah sorot mata Arsa. Ketulusan yang hadir sempat menyurutkan kerisauan Tsabit tentang kenyataan yang diucapkan Fania kemarin.
Apa Arsa benar benar tidak tahu kesalahan fatal apa yang membuatnya seperti ini"
"Aku hamil, Tsabit. Dan Arsa harus bertanggung jawab"
"Di dalam perut ini, ada sesuatu yang menuntut seorang Ayah.."
Tsabit menggeleng kasar seraya memalingkan wajahnya. Kata kata kemarin siang sedang menari nari dalam batin. Hatinya berkecamuk tidak karuan. Dilemma besar
telah lancang hadir ke kehidupannya. Tanpa permisi ia mengoyak ngoyak perasaan tulus yang sudah ia rangkai menjadi satu kesatuan yang indah. Sayangnya,
kesatuan itu harus pecah begitu saja tanpa meninggalkan bekas.
"Kamu benar benar gak tau apa salah kamu?"
Arsa menggeleng. Masih menghadiahi Tsabit sorot mata elang khas nya.
"Kalau kamu mau tahu, bersabarlah sampai kita tiba dirumah. Setelah ini mungkin kamu gak hanya sekedar tahu. Tapi juga mengakui apa yang udah kamu perbuat."
Tsabit menormalkan posisi duduknya. Duduk tegap menghadap lurus ke jalan bersama tatapan kosong juga wajah datar yang sangat menyebalkan. Sementara Arsa
masih dibuat bingung olehnya. Sesekali ia menoleh hanya untuk menatap istrinya. Setelah itu matanya tertuju pada jemari yang saling bertaut bergerak abstrak.
Arsa memberanikan diri meraih jemari itu kemudian menggenggamnya erat. Sedetik setelahnya, si pemilik jemari mungil itu otomatis menoleh. Dua pasang mata
itu saling bertemu. Berjarak bayangan jalan kota yang terpantul dari kaca mobil.
*** Jarum jam berdetak teratur. Menciptakan suara yang mendominasi keheningan suatu ruang. Yang terisi oleh beberapa orang didalamnya. Mereka diam dalam pikirannya
masing-masing. Setiap kursi berhias ukiran jawa yang indah masing-masing telah terisi satu penghuni. Diantaranya, Kartika, Arsa, Abrar juga Tsabit dan
seorang gadis yang belum lama hadir ditengah mereka. Gadis itu yang berhasil membisukan suasana. Dia, Fania.
Sembari menunggu siapa yang akan berbicara lebih dulu, diam diam Arsa menanyakan sesuatu kepada Tsabit yang berada dikursi sebelahnya. Sambil agak berbisik,
ia berkata, "lo yang ngundang Fania kesini" Jadi dia tamu yang lo maksud?" Tanyanya setelah itu. Bersama mimik dingin yang tidak berubah sejak tadi, Tsabit
menjawab, "iya."
Sebelumnya Tsabit sudah mengatakan kepada Arsa tentang kehadiran tamu yang akan menjawab alasan perihal sikap dinginnya. Sekaligus kesalahan fatal yang
Arsa perbuat. Tapi kenapa harus Fania" Pikirnya.
"Dalam rangka apa?" Tanya Arsa lagi.
"Nanti kamu juga bakal tau."
Arsa berdecak lalu bergumam sendiri. "Gimana gue bisa tau kalo dari tadi gak ada yang ngomong satu pun. Pada puasa ngomong apa?" Ditatapnya Fania yang
duduk didepan bersebrangan dengannya. Gadis itu sedang tertunduk lesu sambil memainkan kuku. Memikirkan cara untuk mengatakan sesuatu kepada tiga orang
dihadapannya. Posisinya saat ini layaknya seorang tersangka sebuah kasus yang tengah disidang oleh beberapa hakim.
"Kamu ingin mengatakan apa, Fania?" Tanya Arsa yang cukup membuat Fania terkejut samar dalam hati. Arsa yang dulu ia kenal sungguh berbeda. Satu hal yang
membuktikan ialah, tidak ada lagi sapaan sayang yang akrab ditelinga. Tatapan hangat serta penuh cinta dari Arsa pun kini tidak lagi ia rasakan. Arsa menatapnya
berbeda. Seperti menatap orang lain, bukan seorang kekasih. Gadis itu tersenyum kecut. "Aku rindu sapaan sayangmu, Arsa" meski terdengar pelan, Tsabit
mampu mendengar ungkapan itu. Jangan tanyakan bagaimana perasaannya. Tsabit sudah kebal dengan semua problematika dunia ini.
"Sebaiknya cepat kamu katakan, waktu saya terbuang sia sia hanya untuk menunggu kebisuan kamu." Kartika angkat suara. Ketika berbicara, matanya enggan
menatap Fania. Gadis itu menarik nafas seraya menunduk. Setelah berhasil menetralkan perasaannya, ia mengatakan,
"Aku minta pertanggung jawaban Arsa."
"Tanggung jawab apa?" Ucap Arsa memotong dengan nada protes.
"Aku belum selesai bicara, sayang." Mendengar sapaan sayang itu, Arsa terkatup seketika. Ia melirik Tsabit, ingin tahu reaksi istrinya jika mendengar sapaan
yang menurut Arsa terasa menyakitkan jika terlontar dari mulut gadis lain. Sayangnya, ia tidak melihat satu titik pun raut kecemburuan. Hanya wajah datar
menyebalkan yang tidak berubah sejak kemarin.
"Aku hamil. Dan bayi yang ada dalam kandunganku adalah darah daging Arsa." Ucap Fania terbata bata. Matanya tidak mampu menatap orang disekitar. Satu reaksi
yang sama diberikan oleh tiga orang dihadapannya. Baik Kartika maupun Arsa dan Abrar, terkejut mendengar pernyataan yang baru saja hadir ditelinga mereka.
"Kamu jangan bercanda, Fania." Ujar Arsa dengan mimik cemas. "Aku tahu kamu gak terima dengan pernikahan aku dan Tsabit. Tapi gak harus bercanda kayak
gini." "Aku serius, Arsa. Aku hamil. Ini anak kamu." Ada penekanan pada kalimat akhir. Upaya Fania agar Arsa mengakui kenyataan yang sebenarnya.
"Bagaimana bisa" Aku gak ngerasa berbuat macem macem sama kamu. Selama kita pacaran kita gak ngapa ngapain. Mungkin itu anak,--"
"Kamu mau bilang, itu anak pria lain" Jahat kamu!" Potong Fania sebelum Arsa mengucapkan hal yang tidak tidak.
"Tapi aku gak ngerasa berbuat apa apa sama kamu. Sekarang, aku minta buktinya." Pinta Arsa tegas. Ini masalah serius. Rupanya ini yang membuat Tsabit bersikap
dingin padanya. Dilihatnya Tsabit sedang duduk tenang memerhatikan perdebatan dirinya dengan Fania. Arsa yakin, dalam sikap tenangnya, ia menyimpan rasa
sakit yang luar biasa. Selagi itu, Fania berhasil mengeluarkan sesuatu dari tas ber-merk miliknya. Sebuah benda pipih yang tidak asing, menampilkan dua
garis merah disana. "Ini buktinya. Satu satunya pria yang melakukannya cuma kamu, Arsa." Isak tangis mulai terdengar. "Cuma kamu pria yang aku cintai sekaligus yang berhasil
merebut segalanya dari aku. Semuanya telah aku berikan kepada kamu. Aku hanya ingin anak ini memiliki seorang ayah."
Arsa mematung dalam posisi. Tidak tahu harus berkata apa lagi. Sedang Abrar sibuk menelaah masalah yang timbul. Bagaimana bisa adiknya berbuat sebejat
itu" Sementara Kartika, hampir saja mati ditempat mendengar pernyataan tersebut. Setelah diam beberapa lama, wanita bernama lengkap Kartika Saraswati itu
berdiri. Melenggang angkuh mendekati Fania.
"Kamu tahu, mengapa saya amat membenci keluarga kamu" Termasuk kamu?" Ia sedikit menunduk agar wajahnya sejajar menghadap Fania. Ia menatap tajam Fania.
Suasana berubah mencekam. "Sebelum kehidupan keluarga kamu sukses seperti sekarang, kalian bukanlah apa apa. Kalian harus mengemis ngemis kepada saya.
Berharap uluran tangan saya. Sebagai sahabat Tamara, tentu saya bukan orang yang tidak punya hati. Saya berikan sebagian harta saya kepada mereka. Saat
itu kamu masih berusia 10 tahun. Tamara meminjam uang kepada saya untuk usahanya. Dengan cuma cuma saya memberinya modal 10juta untuk usaha butiknya. Beberapa
bulan berikutnya ayah dan ibu kamu datang lagi meminjam dana untuk biaya sekolah kamu masuk SMP. Dan lagi lagi, saya memberinya cuma cuma. Semua itu karena
saya menganggap Tamara adalah sahabat saya."
Kartika bangkit. Berbalik membelakangi lalu melanjutkan. "Ditengah kesuksesannya, keluarga kamu mengalami kebangkrutan. Tamara ditipu oleh investor gadungan,
dan suaminya terlilit hutang oleh BANK. Kalian tidak punya rumah. Sebut saja, gembel." Mulut pedas Kartika kumat. Fania ingat, saat itu Fania sampai harus
bolak balik izin dari sekolah karena masalah yang menimpa keluarganya.
"Dan untuk kesekian kalinya, saya menolong kalian dengan segenap ketulusan hati saya kepada sahabat saya sendiri; yaitu ibu kamu. Kamu pasti ingat berapa
lama kalian tinggal satu atap dengan keluarga saya hingga kamu bisa mengenal Arsa lebih dekat. Bahkan ibu kamu sendiri pun bisa berselingkuh dengan suami
saya secara leluasa."
Bagai petir disiang bolong. Semua yang ada disana terkejut bukan main. Tidak ada yang tahu rahasia ini. Termasuk Arsa yang sejak dulu mempertanyakan mengapa
ibunya enggan mengenalkan Fania ke publik sebagai kekasihnya. Jadi ini rahasia terbesar yang disimpan Kartika rapat rapat. Arsa melihat ketegaran dari
garis wajah mamanya. Ia memang tidak menangis, tapi Arsa tahu hati sang mama sedang tidak baik baik saja.
"Saya menangkap basah ibu kamu sedang bermesraan dengan suami saya dikamar. Kamu pasti tahu bagaimana perasaan saya. Tidak hanya hancur. Tapi juga kecewa,
Fania! Tamara yang saya anggap lebih dari sekedar sahabat bahkan saudara, tega memeluk saya erat erat hanya agar mudah menusuk saya dari belakang. Ternyata
menjadi seorang musuh sangatlah mudah. Cukup menjadi orang yang dipercaya maka ia akan mendapatkan semuanya."
Tsabit tertunduk turut merasakan sakit yang dialami Kartika. Ia tahu sekali rasanya dikecewakan.
"Jadi itu alasan tante waktu itu mengusir keluarga saya dari rumah ini" Bukan karena mama mempunyai rumah baru?" Tanya Fania masih dalam tangisnya.
"Bahkan rumah barunya itu adalah hadiah terakhir saya kepada kalian. Saya tidak ingin dicap orang baik bak malaikat. Tapi ditengah kehancuran saya pun
saya masih memikirkan keadaan kalian. Maka dari itu saya memberi kalian rumah yang kalian tempati sampai saat ini. Saya pernah merasakan jadi gembel. Jangan
sampai kalian merasakan hal yang sama. Itu yang ada dalam benak saya."
"Dan sekarang, setelah dengan bangganya kamu menjadi kekasih anak saya. Berharap dikenal publik dan media, kamu mengatakan bahwa kamu sedang mengandung
bayi Arsa. Dimana otak kamu, Fania?" Kartika mendaratkan telunjuk dikepalanya. Menatap benci gadis itu.
"Belum cukup keluarga kamu menghancurkan saya" Apa kamu juga ingin menghancurkan Arsa" Lalu setelah Arsa, Abrar" Iya" Tanpa sadar, kamu telah menghancurkan
dua orang sekaligus. Arsa dan istrinya."
"Kalau boleh saya meminta kepada Tuhan, saya tidak ingin memilih kehidupan yang seperti ini, tante. Semua ini bukan mau saya. Bahkan kehamilan ini juga
bukan kehendak saya. Tolong jangan melihat hanya dari satu sisi. Tanyakan langsung pada Arsa."
Mau tidak mau, Kartika beralih menatap putra bungsunya. Ia berjalan berirama mendekati Arsa. Lalu duduk dengan posisi berlutut menghadap satu sama lain.
"Mama sayang sekali sama kamu, Arsa. Tolong katakan yang sesungguhnya nak. Sejak kecil mama mengajarkan kamu untuk selalu jujur kepada siapa pun. Karena
kejujuran adalah mata uang yang berharga diseluruh dunia." Dengan nada lirih disertai suara yang mulai serak, Kartika memohon dengan sangat agar Arsa memberi
sedikit pencerahan melalui pengakuannya. Walau akan sakit nantinya, setidaknya dengan kejujuran akan menjamin hidup yang berharga di akhirat kelak.
Arsa diam. Memegang erat jemari sang mama. "Arsa gak tau harus bicara apa. Yang Arsa ingat malam itu sebelum kejadian menolong Tsabit dari preman preman.
Arsa memang pergi sama Fania. Kita pergi ke suatu tempat. Kita membicarakan soal perceraian aku dan Tsabit nanti."
Tsabit memejamkan mata menahan gelanyar perih yang nekat muncul. Sampai ia tidak tahu seseorang memerhatikan setiap inci perubahan wajahnya sejak tadi.
Pria yang juga diam duduk manis dikursi tak jauh darinya menatap iba dan peduli padanya.
"Sampai Arsa terbangun dalam keadaan tanpa busana, tertutup selimut. Dan Fania menangis disamping Arsa. Tanpa sadar Arsa sudah merebut segalanya, ma."
Dan Arsa pun mengalirkan satu aliran bening dari matanya.
Lengkap sudah kehancuran Kartika hari ini. Cobaan itu sedang asyik mempermainkan perasaannya. Ujian itu hobi sekali datang hanya untuk menguji kesabaran
Kartika. Apa belum cukup fitnah yang menimpa Arsa" Sekarang malah muncul kenyataan yang lebih pahit dari sebelumnya. Adilkah ini" Kenapa semua itu datang
bertubi tubi ketika ia sedang berusaha dekat denganNya.
"Kamu jahat sekali, Arsa. Kamu tega mengecewakan mama." Kartika menangis.
"Maaf, ma. Arsa minta maaf." Arsa memeluk tengkuk mamanya seraya menunduk lalu menjatuhkan kepala diatas kepala mamanya. Kartika tidak menjawab apa apa.
Ia sibuk meratapi nasibnya sambil terus menangis.
Hingga akhirnya Abrar angkat suara. "Menangisi masalah memang tidak akan merubah keadaan. Tapi setidaknya mampu mengurangi beban yang muncul. Sekarang
waktunya kita bicarakan solusi. Aku rasa sudah cukup bertangis tangis rianya."
Kartika mengusap air mata. Berpindah duduk tepat disebelah Tsabit. Gadis itu menyambutnya dengan usapan lembut dipunggung. Salah satu upayanya menenangkan
perasaan Kartika. "Arsa harus bertanggung jawab. Yaitu dengan menikahi Fania secepatnya sebelum perutnya semakin membesar." Abrar mengutarakan solusinya.
"Tolong pikirkan perasaan Tsabit. Status dia masih istri Sah Arsa." Timpal Kartika membela.
"Mau tidak mau kalian harus bercerai."
"Gak!" Ujar Arsa tegas dan mantap. "Gue gak mau cerai. Mending Fania gugurin,--"
Plak! Satu tamparan berhasil mendarat dipipi Arsa. Tamparan itu berasal dari Tsabit. Gadis yang sedari tadi memilih diam dalam kondisi menyakitkan ini. Kini
ia membuka suara. "Mengugurkan kandungan tidak semudah kamu membalikan telapak tangan. Itu nyawa. Bukan sampah yang bisa kamu buang begitu saja. Selain berhadapan dengan
dosa. Kamu juga harus berhadapan dengan Allah untuk mempertanggung jawabkan. Paham, kamu?" Ditatapnya Arsa sedang memegangi pipinya. Mereka saling mempertemukan
dua tatapan berbeda. Arsa menghadiahkan sorot mata penuh makna.
"Tapi kalau gue harus cerai sama lo, gue lebih milih mati. Lo gak tau gimana susahnya ngusir perasaan ini jauh jauh, bit. Lo gak tau gimana sulitnya membagi
rata cinta gue ke elo, sama cinta gue ke Tuhan gue. Kalo akhirnya lo pergi dari hidup gue, itu sama aja kayak gue ngusir Allah dari kehidupan gue."
"Kalau memang hidup kamu sudah bergantung sama Allah, kamu tidak akan mengecewakannya dengan berzina. Jangankan saya, Allah pun benci dikhianati seperti
ini. Kamu yang memilih jalan ini. Kamu juga yang harus mempertanggung jawabkannya. Hidup manusia bukan hanya mengandalkan doa dan takdir saja. Tapi juga
ikhtiar dari manusia itu sendiri. Percuma kamu berdoa memohon hidayah dari Allah tapi maksiat tetap kamu jalani."
"Iya. Gue tau gue salah. Gue bejat! Gue pendosa! Gue munafik! Terserah lo mau ngomong apa tentang gue." Murka Arsa. "Tapi itu semua gak bisa ngerubah perasaan
gue. Gue gak bakal cerai-in lo. Meskipun lo gugat gue. Setau gue keputusan talak ada ditangan suami. Bukan begitu?"
"Kamu jangan egois, Arsa." Abrar menimpalinya agak emosi. Ia sendiri tidak tega melihat keadaan Tsabit. Gadis itu pasti terluka karena adiknya.
"Mama setuju sama Arsa." Mendengar ucapan itu, Abrar melongo terkejut melihat mamanya mengucapkan itu dengan mantap. "Mama tidak merestui perceraian kalian.
Arsa dan Tsabit tidak boleh bercerai." Ujarnya penuh keyakinan.
"Kenapa mama jadi labil gini" Bukannya mama sendiri yang pengin mereka cerai?" Protes Abrar.
"Memang benar. Tapi itu sebelum mama mengenal Tsabit lebih dalam. Mama tidak ingin kehilangan sosok yang mengenalkan mama pada Allah. Mama tidak mau kehilangan
dua hal penting dalam hidup mama sekaligus. Yaitu, Allah dan perantara yang membawa mama mendekat kepadaNya. Tsabit bukanlah gadis primitif yang mama hinakan
dulu. Dia gadis hebat yang berhasil mengetuk lembut lalu membuka perlahan hati mama yang sempat berkarat dan membusuk untuk mengenal kembali Tuhannya.
Pertemuan di Kafe waktu itu adalah cara Allah mengirimkan Tsabit kepada mama. Mama bersyukur telah mengenal kamu, Tsabit" pandangan Kartika beralih ke
arah gadis yang dibicarakannya. Mengusap pipinya lembut. Ada kehangatan kasih sayang seorang ibu yang menginginkan dirinya tetap disini.
"Jika kamu tidak bisa bertahan karena Arsa, setidaknya jangan pergi demi mama."
*** Tsabit dilemma berkepanjangan. Haruskah ia meninggalkan Arsa" Pria yang jujur, telah mengambil sebagian hatinya. Karena sebagiannya telah dirobek oleh
perbuatan Arsa sendiri. Tapi tidak mudah untuk mengakui bahwa ia membenci Arsa. Karena kenyataannya tidak seperti itu. Apa salah jika Tsabit mempunyai
perasaan yang sama" Meski harus terhias dengan luka luka.
Sedangkan kepada Kartika. Ia tidak merasa menujukan hidayah kepada wanita itu. Ia hanya melakukan apa yang menurut dia benar. Menyampaikan pesan yang baik
adalah keharusan seorang muslimah. Hanya itu. Kalau karena itu saja Kartika terketuk hatinya, itu berarti Allah memang berencana menebarkan hidayah kepadanya.
Semua itu karena Allah, bukan karenanya. Tsabit menyayangi Kartika seperti menyayangi Liana, sang mama. Melupakan kesan pertama yang buruk dengannya, Kartika
bukan sosok yang angkuh. Ya, dia memang angkuh, sih. Tapi dia punya alasan untuk itu. Maka dari itu Tsabit pernah berpikir, ketika kita menilai buruk seseorang,
saat itu pula kita tidak tahu hal baik apa yang orang itu lakukan namun luput dari pandangan kita. Karena sejatinya manusia adalah selalu memandang buruk
sesuatu. Dibalik kejelekan mereka sendiri.
Kembali kepersoalan. Dilemma ini belum selesai. Tapi keadaan menuntut Tsabut untuk segera mengambil keputusan. Haruskah ia merelakan Arsa untuk Fania"
Merelakan pernikahannya juga kebahagiaannya" Itu paket lengkap kesedihan yang menyakitkan.
Atau mengabaikan Fania dengan bayi yang dikandungnya" Itu lebih menyakitkan lagi. Tsabit membayangakan jika berada diposisi Fania. Rasanya pasti tidak
enak. Berjuang sendiri menunggu kehadiran buah hati tanpa pendamping itu lebih sakit ketimbang ditinggal kawin orang yang dicintai. Untuk hal itu, anggap
saja curhatan terdalam Tsabit.
"Arsa.." Sepertinya emosi Tsabit mulai tenang. Arsa melihat sorot hangat memandangnya penuh damai. "Kamu akan tetap menikahi Fania. Saya seorang perempuan.
Saya mengerti perasaan Fania."
"Jadi lo ikhlas ngelepas gue" Lo beneran mau cerai terus ninggalin gue, bit?" Arsa dilanda frustasi.
"Perceraian itu jalan yang dibenci Allah. Saya tidak mau jadi hamba yang dibenciNya. Kita tidak akan bercerai."
Ibarat dunia kartun, tanda tanya sedang berputar lalu menari menari indah dibenak Arsa juga semua orang yang berada disini.
"Jangan bilang elo,.."
"Iya. Saya siap dipoligami." Ucap Tsabit disertai helaan nafas beratnya. Mungkin itu keputusan terbaik sekaligus asing yang melintas dibenaknya. Ia tidak
percaya akan mengambil keputusan ini. Tapi bukankah poligami bukan jalan yang tidak buruk" Daripada harus bercerai.
"Lo gila" Lo mau dipoligami" Lo waras gak sih"! Itu artinya lo bakal berbagi suami sama cewek lain, bit. Sadar wey." Arsa memetikan jari tepat dihadapan
Tsabit. "Memangnya salah dengan poligami" Islam membolehkan hal tersebut. Dalam ayatnya bukan semata mata agar pria bisa seenaknya menikah lebih dari satu kali.
Tapi untuk kasus seperti ini, saya rasa satu satunya jalan adalah poligami. Jujur, berdasarkan pengalaman teman teman saya. Menjadi janda tidaklah enak.
Saya tidak ingin itu. Tapi menjadi Fania lebih tidak enak. Lantas, bayangkan jika kamu berada diposisi saya. Kamu pasti bingung memilih yang mana. Iya
kan?" Balas Tsabit dalam perawakan tenangnya.
"Terus gimana sama perasaan lo sendiri" Coba belajar buat egois, deh. Semua cewek pasti sakit hati kalau suaminya sendiri ngasih kasih sayang dan cinta
ke cewek lain. Lo jangan naif, bit. Hidup ini gak kayak disinetron yang bisa dengan mudahnya beristri dua." Timpal Arsa.
"Sekarang saya balik nanya ke kamu. Kamu udah ngerasa cukup egois" Dengan tidak ingin menceraikan saya. Padahal Fania lebih membutuhkan kamu. Kalau nurutin
keegoisan saya, artinya kamu yang harus mengalah. Tapi disini saya yang menuruti keegoisan kamu. Saya tetap istri kamu, dan kamu tetap bisa mempertanggung
jawabkan perbuatan kamu."
Arsa terdiam menyimak. Dibantu kerendahan hatinya menerima alasan yang diutarakan Tsabit.
"Tolong hargai keputusan saya. Kamu bilang kalau kita bercerai, sama saja seperti kamu mengusir Allah dari hidup kamu. Asal kamu tahu, menarik kembali
perhatian Allah tidaklah mudah. Kamu akan kehilangan ridhoNya, HidayahNya juga pertolonganNya. Lebih baik kamu kehilangan sesuatu karena Allah daripada
kehilangan Allah karena sesuatu. Saya tidak ingin kamu hidup sengsara tanpa Tuhan kamu, Arsa."
"Anggaplah saya memutuskan ini karena Allah. Terserah kamu mau berpendapat apa. Saya sakit hati" Iya. Saya munafik" Iya. Atau saya naif" Jelas. diluar
semua pendapat itu, tekad saya hanya satu. Melakukan yang menurut saya dan agama saya benar."
Arsa mendengus pendek. Menarik satu sudut bibirnya keatas. "Lo cewek aneh yang pernah gue temuin. Aneh! Aneh banget tau gak! Diluar sana, ratusan bahkan
ribuan cewek gak mau dipoligami. Malah lebih milih cerai. Lo sendiri malah pengin suaminya nikah lagi. Nih ya gue kasih gambaran. Lo bakal berbagi suami
sama cewek lain, lo bakal cemburu, lo bakal sakit hati kalau nanti suami lo harus berhubungan intim dengan cewek lain. Belum lagi perhatian suami lo bakal
teralihkan ke cewek lain. Dan masih banyak hal hal nyakitin yg bakal menimpa lo nanti. Lo siap" Gue sendiri aja gak tega, bit ngelakuinnya."
"Arsa benar, bit. Kamu rela dengan itu semua?" Abrar menambahkan.
"Sekarang bayangkan kalau Fania melahirkan bayinya tanpa seorang ayah. Jiwanya bakal terganggu, dia bakal terpuruk, belum lagi status anaknya yang tidak
jelas, lalu bagaimana dengan wali nikah atau hak warisnya. Ditambah lagi dengan omongan orang tentang dia dan keluarganya. Kamu sanggup jika berada diposisi
dia?" "Selain aneh, lo batu juga ya jadi cewek. Keras kepala banget. Tapi herannya kenapa gue bisa sayang sama lo, bit." Umpat Arsa sekaligus pengakuannya terhadap
Tsabit. Ini pertama kalinya Arsa mengutarakan perasaan sayangnya. Masa bodoh dengan perasaan Fania" yang melihatnya terluka. Jujur, semenjak mengenal Tsabit,
perasaan kepada Fania perlahan memudar. Ditambah dengan kenyataan baru yang menimpanya, malah semakin mencap buruk Fania dimatanya.
"Seumur umur gue kenal cewek. Cuma lo yang aneh bin ajaib. Gue gak tau, kenapa Allah bikin gue bisa sayang sama lo gini. Sesuai kata lo, gue harus tetep
positif thinking sama Allah. Oke, gue gak Nething sama Allah. Mungkin Allah punya rencana lain buat gue." Ujar Arsa dengan gaya cuek bin tengil andalannya.
"Sekarang gini, kalo emang keputusan lo kayak gitu, gue terima. Gue ikutin aturan maen lo, bit. Semoga lo gak nyesel." Hingga pada akhirnya Arsa lah yang
mengalah. Semua itu tidak lain karena ketulusannya mencintai Tsabit. Gadis aneh bin ajaib yang berhasil memenjarakan hatinya.
"Tsabit. Kamu yakin dengan keputusanmu" Tolong pikirkan ini matang matang." Kartika menatapnya cemas.
"Percuma, ma. Mama mau ngomong apa juga gak bakal ngaruh. Cewek batu, emang!" Gerutu Arsa.
Tsabit memaksakan diri untuk tersenyum. "Insya Allah yakin, ma. Tapi saya minta, selagi proses menuju pernikahan Arsa dan Fania, saya izin untuk tinggal
dirumah mama saya sementara sampai pernikahan itu berlangsung." Pinta Tsabit pelan. Itu semata mata karena Tsabit ingin menangkan hatinya. Dengan menuang
rindu kepada Liana dan James setidaknya mengurangi sedikit beban yang memberatkan.
"Tentu, sayang. Mama mengizinkan. Mama tahu apa yang kamu rasakan saat ini."
"Bilang aja lo mau menjauh dari gue. Ya kan?" Celetuk Arsa lagi.
"Selain tengil, kamu bawel juga ya jadi laki laki. Kalau mau ikut bilang aja. Gak perlu pake suudzan bisa, kan?"
"Enggak. Gue gak mau ikut."
"Yauda terserah."
"Sekali lagi gue ingetin. Gue gak bisa jamin bisa adil kalau nanti gue menikah sama Fania. Gue harap lo bisa kontrol kecemburuan lo nanti." Pesan Arsa
penuh intrik ancaman dan gertakan.
"Siap, kura kura!" Gaya Tsabit melakukan hormat diiringin senyum manisnya. Tidak menutup kemungkinan hanya untuk menutupi lukanya.
Dan mereka terlibat perdebatan lagi. Meninggalkan serpihan perih" diantara orang sekelilingnya. Tiada yang tahu perasaan sakit apa yang dirasakan Fania
melihat interaksi mereka. Begitu juga Abrar.
*** TBC.. 20. Menyulam cinta diatas duka
Terpaan angin berhasil mengudarakan gelembung gelembung balon hingga pecah jika semakin tinggi terbangnya. Dan muncul lagi gelembung lainnya yang mengalami
nasib yang sama. Mereka berarak diudara menghiasi langit pagi yang cerah.
Menemani seorang gadis kecil yang asyik memainkan busa busa berbuih lalu meniupnya, cukup menjadi keasyikan tersendiri. Sesekali ia tertawa riang kala
salah satu gelembung pecah mengenai wajahnya. Tawa riangnya mampu menularkan kebahagiaan bagi siapapun disekitarnya. Termasuk dua orang yang memilih duduk
disudut taman bermain mengawasi gadis itu dari kejauhan.
"Diva terlihat sangat ceria sekali pagi ini" ucap Abrar.
"Aku baru saja memberinya hadiah karena telah berhasil menghafal surat At-tin. Setelah ini, dia ingin menghafal surat An-naba." Jawab seorang wanita berkhimar
coklat mahoni serasi dengan gamis lebarnya. Ditangannya terdapat kotak nasi disertai botol minum.
"Apa hadiah berikutnya?"
"Mukena. Dia ingin sekali mukena bergambar little pony. Tapi aku belum membelinya."
Abrar menipiskan bibir seraya mengangguk samar. Ia gulung lengan kemeja panjangnya sebatas siku. Menyandarkan tubuhnya pada kursi berbahan besi bercat
sewaran dengan baju yang dikenakan Maudy pagi itu.
"Ngomong ngomong, sudah sampai mana persiapan sekolanya?" Abrar menoleh sekilas mendengar pertanyaan yang terlontar dari mantan istrinya.
"Sekolah masih menolak dikarenakan umur Diva belum cukup."
"Sudah kubilang. Umur Diva belum saatnya mengenyam pendidikan formal. Jangan terlalu memaksakan. Biarkan dia bermain sambil belajar. Setelah nanti ia siap
menghadapi dunia yang baru." Jelas Maudy.
"Tapi kamu sendiri menuntutnya belajar mengaji dan menghafal surat surat. Menurutku itu sama saja."
Maudy menoleh juga akhirnya lalu menatap serius. "Jelas berbeda, Abrar. Mengaji dan mengenal ilmu agama adalah modal awal seorang anak. Dia harus mengenal
Tuhannya terlebih dulu. Jika ilmu agama sudah ia dapatkan insya Allah ilmu ilmu lainnya mampu dia peroleh. Ibarat kita memilih mengejar Akhirat ketimbang
dunia. Jika kita mengejar akhirat maka dunia pun akan mengikuti. Tapi kalau kita mati matian mengejar dunia, akhirat akan menjauh, dunia pun akan lenyap
karena pada kenyataannya Dunia bersifat fana."
Sudah lama sekali Abrar tidak mendengar tausiyah tausiyah ringan yang Maudy paparkan padanya. Dulu sebelum mereka bercerai, mereka adalah dua partner in
crime yang serasi. Biasanya selagi mengisi waktu kosong, mereka pergunakan untuk berdiskusi ringan. Baik itu membicarakan agama atau fenomena fenomena
dunia yang kerap terjadi. Abrar mengemukakan pendapatnya berdasarkan ilmu pendidikan formal, sedang Maudy menyikapinya dari sisi agama. Dua hal yang berbeda
namun saling melengkapi. Begitulah mereka.
"Tapi dalam mengaji hanya mengenal huruf hijaiyah. Bukan alfabet. Sedangkan Diva hidup di Indonesia yang dimana harus mengenal membaca menulis bahasa indonesia.
Tsabita Ilana Karya Suffynurcahyati di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bukan arab." "Aku juga mengajarkan dia membaca dan menulis. Bahkan dia sudah bisa mengeja nama lengkapnya sendiri lalu menulisnya dengan rapi. Bahkan ia lancar menulis
nama kedua orangtuanya. Dan selama proses belajar aku tidak menuntutnya dengan keras. Beruntung Diva memiliki motivasi dan keingintahuan yang kuat. Belajar
mengaji dan menghafal semua adalah murni keinginannya."
Abrar tahu Maudy tidak mungkin berbohong. Ia tahu bagaimana Maudy mendidik buah hatinya. "Perlu bukti?" Maudy menyadarkan. Abrar menegakan tubuh.
"Tidak perlu. Sejak awal memilih kamu sebagai istri, aku yakin kamu ibu yang pantas untuk anakku."
"Diva juga anakku. Wajar kalau aku memberinya yang terbaik." Ucap Maudy.
Keduanya terdiam beberapa detik. Maudy melambai hangat Diva yang meneriakinya dari tempatnya bermain disertai pancaran senyum ceria nan menggemaskan.
"Alhamdulillah ya Arsa sudah bebas. Aku tahu dia anak yang baik. Dan aku senang karena Tsabit tidak lagi kesepian."
"Begitulah." Jawab Abrar singkat. Sebenarnya ia sendiri malas membahas hal ini.
"Dan aku tahu ada yang tersakiti oleh mereka." Tebakan Maudy sontak menolehkan kepala Abrar menatap dirinya. Ia pun juga menoleh. Keduanya saling bertemu.
Memberi sorot mata penuh makna. "Kamu. Ya kan?"
Abrar tertawa sedikit. Hanya sebatas menarik bibir lalu menggeleng samar. "Sok tau kamu."
"Aku memang tahu. Aku tahu kamu menginginkan Tsabit. Termasuk perceraian dia dengan Arsa. Kalau kamu mengelak, aku tidak yakin kamu sedang tidak berbohong."
"Tsabit bercerita banyak, rupanya. Kapan kalian bertemu?"
"Bukan Tsabit. Mama yang menceritakan semuanya." Abrar menyipit lalu menciptakan kerutan didahi. "Mama?"
Maudy mengangguk. "Iya"
"Tumben." "Aku juga heran. Pertama kalinya nih mama curhat sama aku." Kemudian Abrar memposisikan dirinya menghadap penuh disertai tatapan serius.
"Lantas, bagaimana menurut kamu?" Ucapnya menunggu jawaban.
"Mengenai?" "Semua yang diceritakan mama ke kamu."
Maudy menarik nafas dalam dalam sebelum akhirnya balik bertanya, "Menurutku kamu mencintai orang yang salah. Tsabit sudah bersuami. Ditambah lagi kamu
mengharapkan perceraian mereka. Itu dzalim namanya."
"Bukan itu." Ucap Abrar agak gemas seraya menggeleng sekali. Bukan jawaban itu yang Abrar inginkan dari Maudy. Ia sendiri bingung bagaimana menyampaikan
maksudnya. "Lantas apa" Kamu hobi sekali buat aku bingung."
"Ini aneh. Aneh sekali. Aku tidak melihat adanya kecemburuan didiri kamu. Setelah kamu mengetahui yang sebenarnya, kamu sungguh sungguh tidak cemburu"
Apa kamu sudah bisa move on" Sudah dapat penggantiku, rupanya."
Alih alih tersinggung atau semacamnya, Maudy malah terkekeh dalam senyum. Ia menutup mulutnya dengan deretan jari. "Malah ketawa."
"Kamu berharap aku cemburu, gitu?"
"Gak ada salahnya, kan?"
Akhirnya Maudy tertawa ringan. Tawa wanita anggun yang sampai sekarang belum berubah sejak Abrar menikahinya.
"Kamu gak salah kalau berharap kecemburuan dari aku. Tapi kalau aku cemburu, justru itu kesalahan besar. Buat apa aku cemburu kepada laki laki yang statusnya
sekarang bukan mahramku?"
Abrar tertegun. Menunggu jawaban Maudy berikutnya.
"Dulu beberapa hari setelah perceraian kita, aku memang sangat sakit hati. Sakit sekali. Melepas seorang laki laki sekaligus suami seperti kamu adalah
siksa terbesar yang pernah aku alami. Tapi seiring waktu berjalan aku semakin terbiasa dengan ketiadaan kamu dihidupku. Dan saat itu juga, aku memilih
memprioritaskan Diva. Segenap cinta dan kasih sayangku hanya untuk Diva." Maudy menatap dalam sang mantan suami. Menambah sorot yang hadir pada setiap
ucapannya. Seolah apa yang ia ucapkam benar benar berasal dari hatinya yang terdalam.
"Kalaupun aku cemburu sama kamu, mungkin kalau kamu berhasil memberi kasih sayang yang lebih kepada Diva ketimbang aku, lalu Diva lebih menyukai kamu.
Itu kecemburuan terbesarku."
Abrar mencebik. Ia kembalikan lagi pandangannya menelusuri keindahan taman bermain. Kini ia melihat putrinya asyik menaiki ayunan bersama teman temannya.
Wajah ceria itu enggan pergi menghiasi darinya. Melihat hal itu, Diva melambaikan tangan ke arah sang Ayah. Kemudian berbalas lambaian yang sama.
"Aku pikir ada kemungkinan kita untuk bersama lagi. Tapi mendengar jawaban kamu, aku tahu apa yang harus aku lakukan sekarang."
"Apa?" Tanya Maudy penasaran.
"Mencari pengganti kamu. Kalau kamu bisa cemburu atas perlakuan Diva kepadaku. Aku juga bisa membuat kamu cemburu dengan ibu baru Diva nantinya."
Maudy tersenyum tulus. Sudah seharusnya mereka membuang perasaan ingin kembali memiliki. Karena pada kenyataannya. Keduanya tidak bisa saling kembali.
Namun cinta mereka kepada Diva tetap sama. Cinta orang tua kepada anaknya, laksana air sungai yang mengalir. Tak berawal dan tak berujung.
"Silakan. Aku siap menunggu kehadiran ibu baru Diva."
*** Arsa baru saja memarkirkan kuda besi merah kesayangannya dihalaman belakang. Sengaja tidak ia parkir digarasi karena setelah ini ia akan pergi lagi. Sambil
berjalan santai seraya bersiul dan melempar tangkapkan kunci motor, ia menaiki tangga lalu melewati sebuah kamar.
Siulannya berhenti seiring ayunan kakinya turut terhenti tepat diambang pintu kamar tersebut. Didapatinya seseorang yang tengah duduk ditepi ranjang membelakanginya.
Ia nampak sibuk dengan sesuatu dihadapannya.
Berniat menghampiri, Arsa memutar posisi topinya kebelakang. Kemudian ia berdiri disisi seorang gadis disana. "Gue kira lo bercanda mau pulang kerumah.
Lo beneran mau tinggal dirumah nyokap lo?" Tanyanya setelah itu. Si gadis menjawab tanpa perlu menoleh. "Gak ada untungnya bercanda sama kamu. Hanya untuk
sementara saja. Saya rindu orangtua saya." Jelasnya sambil sibuk melipat pakaian untuk dimasukan ke dalam koper.
"Selamanya juga gak apa apa." Arsa melipat tangan didada. Matanya menatap langit langit.
"Yaudah. Saya bisa membawa pakaian lebih banyak lagi kalo gitu." Jawaban itu berhasil menggerakan tubuh Arsa untuk turut duduk ditepi ranjang berhadapan
dengan istrinya. "Kok lo baper sih" Gue kan cuma bercanda. Lo kenapa sih pengen ninggalin gue sendirian disini" Gimana pun juga lo kan masih istri gue,
bit." "Saya harap kamu bisa mengerti keputusan saya, Arsa. Sudah cukup banyak permasalahan yang saya terima. Dengan bertemu kedua orang tua saya, setidaknya
mampu mengurangi beban saya."
"Terus selama ini gue dianggep apa?"
Tsabit nampak bingung. "Suami..?" Jawabnya bernada ragu. Arsa berdecak. "Maksud gue, emangnya keberadaan gue gak bisa gitu ngurangin beban berat yang menimpa
lo sekarang?" "Gak bisa." "Kenapa" Karena gue nyebelin ya?"
Banget. Tadinya Tsabit ingin menjawab itu. Tapi Arsa keburu berbicara lagi. "Atau karena gue gak sedewasa elo" Sebenernya sih gue bukannya gak bisa dewasa.
Gue realistis. Gue gak mau melibatkan perasaan terlalu banyak. Tapi justru yang kayak gitu malah dibilang gak punya hati lah. Egois lah." Tsabit memerhatikan
gaya bicara Arsa. Ada perbedaan memang.
"Kalau gue gak punya hati, gimana ceritanya gue bisa sayang sama lo, coba. Proses menuju sayang itu kan pasti melibatkan perasaan. Gue gak setuju kalo
ada yang bilang cinta itu tumbuh dari mata turun ke hati. Justru sebaliknya. Dari hati naik ke mata. Percaya ga lo?"
Tsabit menggeleng. "Kalo cinta tumbuh dari mata turun ke hati, mungkin sampe sekarang gue gak punya perasaan apa apa sama lo. Tapi buktinya, gue mulai sayang sama lo setelah
kita menikah. Lo pasti gak percaya sama yang ini, ya kan?"
Tsabit menggeleng kedua kalinya. Kali ini disertai senyuman. Setelah serius menyimak pemaparan Arsa, ia melanjutkan lagi kesibukannya.
"Lo percaya gak?" Tanya Arsa lagi.
"Kamu ini ngomong apa sih, Arsa. Kita lagi gak bicarain itu. Intinya alasan saya pulang karena saya rindu mama dan papa saya. Hanya itu. Dan kamu gak perlu
repot repot membahas hal yang saya tidak ingin tahu."
"Jadi, perasaan gue ini gak penting menurut lo?"
Tsabit mendongak beberapa centi hanya untuk melihat sosok yang mengatakan hal tersebut. Bibirnya tertegun seraya mengerjap.
"Cuma dianggep perasaan sesaat doang ya?" Lanjutnya bernada pesimis.
Rupanya Tsabit mampu menatap lama suaminya. Ini rekor! Tapi ada yang aneh usai Arsa menanyakan itu. Seperti ada sesuatu yang mengaduk ngaduk gumpalan hatinya.
Seperti ada palu yang memukul berulang ulang tepat mengenai jantungnya.
"Sebaiknya kamu telaah lagi perasaan kamu itu. Cinta tidak sesederhana kamu mengatakan itu semua. Bahkan ketika saya pernah berpikir telah mencintai kamu,
saya masih harus menfilter perasaan itu. Karena sejatinya, kecintaan yang tulus tidak harus diberikan kepada lawan jenis. Dan saya memilih mencintai Tuhan
saya lebih dulu." "Bukan gak sederhana, bit. Elo nya aja terlalu dibuat rumit. Lantas buat apa Allah menciptakan cinta didunia ini" Khusus buat Allah doang gitu?"
"Hati hati kamu kalau bicara." Tsabit memperingatkan.
"Gue belum selesai ngomong, wey." Ada yang mencolek hidung Tsabit sekilas. Sempat sempatnya Arsa melakukan itu. Dia tidak tahu apa, kalau Tsabit sedang
berdebar debar. Didepan sih kelihatan nothing problem, tapi dihati siapa yang tahu.
"Kalau lo mencintai Allah, lo salah. Berarti lo memposisikan Allah sebagai objek. Bukan tujuan." Entah Arsa yang sedang korslet atau memang Tsabit yang
mengalami lola alias loading lama. Arsa tahu sekali dari raut Tsabit, gadis itu tengah susah payah mencerna ucapannya. Ia pun bersemangat menjelaskannya.
"Kalo lo cuma mencintai Allah doang. Lo gak bisa mencintai orang disekitar lo, bit. Seperti keluarga lo, sahabat lo, atau... suami lo." Pada kalimat terakhir,
Arsa memalingkan wajah sebentar menghadap ke atas. Cukup menarik perhatian Tsabit hingga ia tersenyum tipis.
"Padahal lo bisa mencintai mereka karena Allah. Kan Allah sendiri yang menghadirkan perasaan cinta dihati hambaNya. Allah juga kan yang mampu membolak
balikan hati manusia. Kalo aja Allah buang cinta dihati semua manusia, gue yakin dunia ini bakal ancur. Gak ada prikemanusiaan didunia ini. Perang dimana
mana. Semua orang pada mati rasa."
"Bahkan bisa aja lo tega durhaka sama kedua orangtua lo, kalo Allah gak nyiapin hati yang tulus didiri lo. Diibaratkan Allah udah ngasih lo daging mentah
yang seger. Terserah lo deh mau dimasak gimana. Mau direndang kek, digulai kek. Kalo lo gak tahu cara masaknya, tanya sama yang ngasih, yaitu Allah. Biar
daging yang Allah kasih jadi masakan yang enak dan bermanfaat. Allah pun ridho. Jadi, lo boleh kok cinta sama siapa aja. Asal bisa menempatkan cinta itu
atas namaNya. Ngerti?"
Alih alih menunjukan reaksi mengerti atau semacamnya, Tsabit malah sibuk tenggelam dalam pesonaa yang diberikan Arsa. Gaya bicaranya memang bijak sekali.
Tapi penampilan tetap tidak bisa berbohong. Dengan kaos oblong putih agak ketat, lalu celana skater abu abu bergaris hitam disisinya, kemudian topi yang
pakai kebelakang. Membuat Arsa terlihat seperti anak SMA yang pernah ia sukai dulu.
"Lalu kamu mau bilang kalau kamu mencintai saya karena Allah, begitu?" Tsabit menyimpulkan sebelum Arsa tersadar dirinya diperhatikan.
"That's right!" Serunya menyatukan jari telunjuk dan jempol membentuk lingkaran. "Gue tahu istri gue cerdas." Tsabit mengulum bibir menerawangkan pandangannya
keatas seperti memikirkan sesuatu. Jarinya mengetuk ngetuk dagu.
"Ada bukti?" Arsa mengernyit sambil menarik diri. "Pake bukti segala" Alay banget."
"Kamu tahu saya, kan" Saya gak mudah percaya sama orang."
"Emang kata kata aja gak cukup" Harus banget ya pake bukti segala" Gue tulus kok sayang sama lo. Masa lo gak percaya, sih." Sungut Arsa membuka topi lalu
mengusap wajahnya. "Ya harus lah."
"Buktinya gue kan udah nikahin lo. Katanya kan bukti cinta laki laki itu ijab qabul. Bukan kalimat i love you atau sejenisnya. Berarti gue udah ngebuktiin."
Ujar Arsa sehingga Tsabit merendahkan bahunya pasrah.
"Iya juga sih. Yaudah deh. Makasi ya kamu sudah sayang sama saya." Balasnya datar sambil meretsletingkan koper besar.
Ketika Tsabit mendirikan posisi koper, sesuatu tak sengaja terjatuh ke lantai. Arsa tersadar lalu hendak memungut selembar kertas berukuran post card tersebut.
Berikutnya Tsabit pun turut tersadar oleh benda yang kini berada dalam genggaman Arsa.
"Kembaliin!" Perintah Tsabit hendak merampas benda itu. Arsa dengan sigap menarik tangan guna menghindar.
"Ini punya lo" Cewek ini elo, bit?" Tanyanya dengan bibir merapat sempurna namun ada kedutan kecil ditiap ujungnya.
"Saya bilang balikin, balikin." Seru Tsabit berusaha merampas benda miliknya. Alih alih menurut, Arsa semakin meninggikan lengannya agar Tsabit sulit menjangkau.
Sambil terkekeh kecil Arsa berkata, "Anjir. Serius ini elo, bit" Alay banget. Pantesan minta bukti bukti cinta segala." Akhirnya tawa Arsa menggelegar
sempurna mengisi ruang melihat sosok yang ditampilkan pada selembar foto yang direkat menjadi 6 bagian itu.
Disana terpampang foto Tsabit semasa memasuki kuliah semester pertama. Saat itu Tsabit memang gadis narsis yang selalu ingin tampil cantik didepan layar
kamera. Dalam foto tersebut, Tsabit memakai hijab berwarna merah muda dengan sentuhan accesories bandana berwarna biru. Dengan berbagai gaya ia tampilkan keimutan
yang terpapar sempurna. Selagi ia susah payah menjangkau lengan Arsa yang kian meninggi. Arsa sibuk memerhatikan detail wajah dalam foto itu sambil sesekali tersenyum.
"Arsa, jangan lancang ya kamu. Cepat kembalikan foto saya atau kamu bakal nyesel." Ancam Tsabit. Pria itu mengurangi volume tawanya.
"Gue kira lo lahir langsung dewasa. Ngalamin masa alay juga, toh." Tsabit mendengus dan memilih kembali duduk bersila diranjang. Percuma juga ia berusaha
merebut fotonya. Kekuatan Arsa lebih besar. Mau tidak mau ia hanya bisa pasrah dipermalukan oleh foto masa lalunya itu. Sambil bersendekap Tsabit berkata,
"Kalo udah puas ngejeknya, segera kembalikan foto itu ke pemiliknya. Saya kasih waktu 5 menit."
Arsa ikut duduk diranjang juga. Dengan posisi duduk yang sama seperti Tsabit. Hanya saja mereka saling membelakangi. Saling menempelkan punggung mereka.
Arsa masih mempertahankan senyum khasnya sejak foto itu berada ditangannya.
Dibalik ejekannya terhadap Tsabit, ia menyimpan kekaguman tersendiri. Baginya Tsabit nampak cantik dan menggemaskan. Ada salah satu pose yang tak henti
ia perhatikan. Yakni pose mengedipkan satu mata lalu tersenyum sedang tangannya membentuk huruf V. Ia pun mengetahui bahwa Tsabit memang terlahir cantik.
Dulu Arsa pernah menganggap bahwa dengan menutup aurat, seorang wanita tidak bisa terlihat cantik. Karena rambut adalah mahkota yang menjadi banggaan semua
wanita. Tapi sekarang, ia tepis anggapan tersebut. Kecantikan wanita yang berhijab terletak pada aura yang terpancar serta akhlakul karimah wanita itu
sendiri. Dan Tsabit hampir memiliki semua itu.
"Foto kapan nih?" Tanya Arsa.
"Sewaktu pertama kali masuk kuliah." Jawab Tsabit seadanya.
"Pantes. Kebiasaan SMA masih kebawa. Sekarang masih suka foto begini?"
"Ya enggalah. Kamu pikir?"
Arsa tertawa lagi. Tawanya renyah seperti kerupuk. "Kirain diem diem masih suka foto alay gini. Kok cemberut gitu, sih?" Tsabit memilih diam sambil memasang
ekpresi yang diucapkan Arsa. Mulutnya komat komit tanpa suara menggerutu tidak jelas.
"Lo malu" Foto aib lo ketauan gue" Santai aja lagi. Gue kan laki lo,bit. Alias suami lo. Harusnya lo bangga nunjukin foto itu ke gue. Nyenengin hati suami
itu pahalanya kan gede. Lo gak mau dapet pahala emangnya?"
"Saya gak lihat ekpresi senang kamu melihat foto itu. Tawa kamu malah terdengar mengejek tahu." Arsa pun berbalik. Memaksa pelan tubuh Tsabit agar dirinya
turut berbalik lalu saling menghadap satu sama lain.
"Tapi lo gak tau hati gue senengnya kayak apa, kan?"
Tsabit bisa leluasa lagi memandang wajah Arsa. Kenapa pria itu semakin hari semakin tampan" Bahkan disaat ia harus pergi meninggalkan Arsa meski hanya
sementara. Belum lagi mulut manisnya serta ungkapan perasaan cintanya yang membuat Tsabit sulit melangkahkan kaki keluar dari rumah ini. Entah ini cinta
atau perasaan bersalah karena meninggalkan suaminya seorang diri.
"Lo mau bukti kalo gue beneran sayang sama lo gak?"
"Katanya udah. Dengan kamu nikahin saya."
"Ada satu lagi."
"Apaan?" Jawaban itu ia wakilkan dengan gerakan tubuhnya mendekatkan perlahan tubuhnya kehadapan Tsabit. Ia taruh kedua tangannya diatas bahu gadis itu. Membuang
sedikit jarak diantara mereka. Tsabit merasakan wajah Arsa semakin dekat dengan wajahnya. Ditambah deruan nafas hangat yang perlahan menguar ke permukaan
wajah. Arsa memiringkan kepalanya beberapa derajat lalu memejamkan mata. Tsabit tahu sekali perlakuan apa yang akan ia tunjukan. Benarkah bahwa Arsa akan
menciumnya" Perlahan Tsabit mulai tenggelam kedalam perlakuan yang akan menimpanya. Ia pun memejamkan kedua kata guna menyambut perlakuan tersebut. Dan ketika jarak
dua bibir mereka hampir menempel, tiba tiba Tsabit membuka matanya lebar lalu menghentikan semua itu dengan seruan.
"Arsa.." Otomatis Arsa menjeda sambil menjawab dengan suara parau yang seksi. "Iya, bit. Kenapa berhenti?" Tanyanya. Selagi menunggu, Arsa memainkan jemarinya diatas
bibir kemerahan tipis Tsabit lalu merabanya samar. Tsabit ingin lari dari perlakuan ini. Jantungnya serasa ingin copot. Semua organ tubuhnya sepertinya
sudah melambai ke kamera tanda menyerah. Mereka tidak kuat menahan reaksi akibat perlakuan Arsa kepada majikannya.
"Tolong jauhkan tangan kamu dari sana." Dengan susah payah Tsabit memerintah Arsa agar berhenti membuatnya tidak berdaya. Baiklah, mungkin ini terlihat
amatir. Tapi sungguh, Tsabit belum siap untuk dicium. Pasalnya, ia ingat setelah sarapan tadi ia belum sikat gigi. Apa nanti kata Arsa kalau... argh!
"Iya nanti. Setelah gue berhasil ngebuktiin sesuatu ke lo ya." Kenapa Arsa mendadak lembut seperti ini" Kemana perginya Arsa si cuek nan belagu itu" Tsabit
mengatur pasokan oksigen ditubuhnya. Matanya sedari tadi enggan pergi dari pergerakan Arsa setiap inci. Pria itu masih asyik mengusap ngusap bibirnya dengan
tatapan yang menggoda. "Kamu mau membuktikan apa" Saya rasa tidak perlu. Saya percaya kalau kamu benar benar mencintai saya. Jadi, mungkin bisa kita akhiri sekarang."
"Lo sadar gak, selama kita menikah, kita belum saling memberi hak dan kewajiban kita masing-masing?"
Deg! "I..iya. Memang belum. Lalu?"
Apa jawaban itu malah membuat Arsa terpancing" Semoga saja tidak. Tsabit tidak sadar menjawab itu. Daya pikirnya mendadak mogok dijalan.
"Sebelum nanti gue membagi cinta lo sama Fania, gue mau buktiin cinta gue diatas namaNya, bit. Gue mau kita menyulam cinta sebelum duka menyapa kita dikemudian
hari." Meski indah namun perih yang dirasa. Perih sekali. Haruskah Tsabit memberi semua itu sebelum akhirnya ia harus berbagi cintanya kepada wanita lain"
*** Diwaktu yang sama, Fania nampak sibuk menghubungi seseorang diluar sana. Sambil menulis nulis daftar pada selembar kertas, ia mengapit ponsel diantara
telinga dan bahu. Dia ditemani beberapa orang yang juga sibuk menata ruang. Ada yang sibuk mengukur luas halaman dan ruangan. Ada juga yang sibuk berdiskusi dengan Tamara.
Mereka datang dari salah satu Wedding organizer langganan Tamara sewaktu dirinya menikah. Dan masih ada beberapa yang lalu lalang mengisi kesibukan di
kediaman Fania Malaika. "Gambar yang aku kirim udah masuk, tante?" Fania berbicara dengan seseorang disana.
"Iya. Aku mau yang simple aja. Yang penting ada nuansa pink sama ungunya." Ucapnya lagi. "Prewedd" Kayaknya engga, deh tan. Aku mau langsung aja. Ribet
kalau pake prewedd segala." Lanjutnya sambil berjalan menyusuri orang orang yang sibuk dengan tugas mereka. Ia berdiri ikut mengamati halaman bersama tim
pendekor. "Untuk souvenir, satu paketin aja sama undangan. Nanti data ku sama Arsa aku WA-in ke tante aja ya. Ohya, tan. Dikasih diskon gak nih?" Fania meringis
geli seraya menyingkap rambut ke belakang.
"Berapa nih?" "Oke deh. Asyik! Yeay. Thanks ya tante Mirza ku yang cantik."
Hingga perbincangan mereka pun usai, Fania berjalan menuju kamar. Sebelum tiba, asissten rumah tangganya mengatakan bahwa ada tamu pria yang ingin bertemu
dengannya. Fania pun berangsur menuju ruang tamu, dimana pria itu menunggunya sambil duduk menatap kagum rumah mewah Fania.
"Oh, kamu. Ada apa?" Ujar Fania menyambut sang tamu yang dimaksud. Pria itu pun berbalik.
"Aku kesini bukan mau basa basi" Pria itu menyembunyikan kedua tangan disaku celana. "Kamu serius sama ini semua" Yakin gak pengin mundur atau pikir matang
matang dulu?" Tanyanya.
"Aku yakin seyakin yakinnya. Tinggal selangkah lagi, tujuanku tercapai. Apa yang aku dan keluargaku impikan akhirnya akan terwujud." Ungkap Fania tanpa
menyilahkan tamu prianya duduk. "Kamu tahu kan, berapa lama aku perjuangin Arsa demi menuju pernikahan ini?"
"Tapi jalan yang kamu tempuh ini salah. Gak seharusnya kamu menjadi tamu dikehidupan rumah tangga Arsa dan Tsabit. Harusnya kamu malu. Dimana harga diri
kamu sampai sampai kamu rela jadi yang kedua." Mata Fania sontak mendelik tak senang.
"Jaga mulut kamu. Tidak apa jadi yang kedua asal statusku tetap istri sah Arsa. Lagian aku yakin Arsa bakal lebih mengutamakan aku ketimbang perempuan
itu. Aku cinta pertamanya. Siapa yang bisa move on dari cinta pertama?" Kelit Fania melipat tangan didada.
"Kamu salah besar. Yang menjadikan Arsa lebih baik, adalah yang akan dicintai dengan tulus. Aku nyesel pernah berada dipihak kamu."
"Yaudah, kamu silakan pergi dari urusan saya. Tugas kamu kan udah selesai." Langkah Fania menganyun mantap mendekat pria itu. Menatapnya angkuh. Tapi pria
itu tetap pada posisinya. Sorot matanya menyimpan penyesalan dan kekecewaan yang besar. Rahangnya memgeras sempurna. Tanpa sadar tangannya ikut mengepal
disisi kaki. "Tapi tanggung jawab aku belum selesai. Tanggung jawab itu harus aku selesaikan secepatnya. Kamu ngerti?" Pada kalimat terakhir seperti ada sesuatu yang
menghentak hati Fania hingga gadis itu memasang wajah siaga. Rautnya nampak hati hati sekali. Berbeda dengan pria itu. Kini ia memberi seringai skak mat!
Yang siap menghancurkan Fania kapan pun ia mau.
"Aku gak butuh ancaman kamu" tangan Fania terulur setengah ke arah selatan. Matanya dinamis pada objek berwajah oriental dihadapannya. "Pintu keluar terbuka
lebar buat kamu. Silakan pergi dari sini sekarang juga."
"Oke. Sampai ketemu dipernikahan kamu nanti. Aku pasti dateng." Ucapnya terakhir kali sebelum akhirnya berbalik melangkah pergi. Fania mengibas tangan
ke arah wajah. Membuang wajah sinis. Padahal baru saja perasaannya dibuat berbunga oleh persiapan pernikahan yang tinggal satu minggu lagi. Tapi tamu pria
menyebalkan itu berhasil merusak mood nya hari ini.
*** "Lo yakin mau ngangkot" Padahal motor gue nganggur. Mobil Mas Abrar juga ditinggal. Kenapa harus naik angkot segala, sih?" Gerutu Arsa sepanjang perjalanan
ia membawa koper lalu berjalan kaki dari jalan raya komplek menuju halte.
"Bit, cuaca lagi panas gini. Lo gak takut item apa" Ntar kulit lo gosong. Kita balik aja yuk! Naik mobil mas Abrar." Cerocos Arsa lagi. Kini mereka tiba
di halte. Ada beberapa orang disana yang juga menunggu kedatangan bus metromini atau kopaja jurusan Bogor.
"Bit. Jawab kek. Jangan diem aja." Ucap Arsa lagi setelah duduk dikursi stainless yang memfasilitasi halte tersebut.
"Emangnya kamu nanya apa?"
Arsa berdecak. "Daritadi gue ngomong ampe berbusa masa gak lo tanggepin. Malah nyelonong jalan terus. Mana cepet banget lagi. Kaki lo abis dichas?" Celetuknya
mengakhiri. "Ya saya harus nanggepin gimana, Arsa" Daritadi yang saya dengar cuma keluhan kamu doang. Ya panas lah, ya takut item lah, takut gosong lah."
"Lah emang bener kan" Lo gak takut kulit lo item panas panasan gini" Atau ntar keringetan bau matahari pas naik angkot?"
"Kenapa harus takut" Mereka gak gigit ini." Tsabit membenarkan posisi kopernya. Ia taruh tepat didepan kakinya. Kemudian ia ambil ponsel dari saku.
"Gue serius, nenek Lana." Pria itu mencubit pipi Tsabit hingga ia meringis kesakitan.
"Kalo nanti saya item, kulit saya gosong atau saya bau keringet, itu bukan urusan kamu. Tenang aja, persediaan sabun, shampoo, body lotion dan deodorant
saya masih banyak kok. Sangat cukup untuk mengembalikan kondisi seperti semula. Ngerti?" Ucap Tsabit bernada teratur dan mantap disertai tatapan tajam.
"Bukan masalah itu. Gue gak biasa naek angkot ginian" tangannya menunjul nunjuk bus bus kopaja yang lalu lalang di jalan raya. "Apalagi metromini. Rawan
copet, bit." Tsabit merendahkan bahu pasrah lalu menepuk jidat. Kepalanya tergeleng lemah. Seorang Arsa yang hobi olahraga bahkan hidupnya bersahabat dengan keringat
pagi dan siang, harus ciut ketika berhadapan dengan mobil angkot yang ia anggap rendahan itu.
"Makanya ada doa naik kendaraan. Gunanya agar kita selamat selama perjalanan. Lalu ada juga doa keluar rumah. Insya Allah, Allah bakal ngelindungin kita
dari bahaya." Jelas Tsabit.
"Tetep aja. Namanya musibah kan kenal waktu, gak kenal orang. Selama ada kesempatan, langsung ngegas." Balas Arsa tak mau kalah.
"Selagi kita hati hati dan waspada, insya Allah kita selamat."
"Susah emang ngomong sama cewek batu." Arsa mengusap wajahnya dari balik masker bergambar tengkorak itu. Tujuannya agar tidak ada orang yang mengenali.
Ia pun menerapkan itu pada istrinya, Tsabit. Cukup dengan memakaikan Tsabit kacamata non minus, membuatnya tidak mudah dikenali orang.
"Lagian lo kenapa sih tiba tiba pengen naik angkot" Mau TePe-in kenek kenek ganteng ye?" Celetuknya seenak jidat. Sukses mendapat cubitan keras dilengannya.
"Anj----sakit, bit!"
"Makanya kalo ngomong difilter dulu. Sembarangan banget." Ucapnya melihat Arsa mengusap bekas cubitan. "Saya lagi pengin aja naik angkot. Dulu sewaktu
SMP, saya naik metromini menuju sekolah. Bersama teman teman saya. Kita bercanda sambil membicarakan apa apa yang kita temui. Saya ingat sekali waktu saya
dan teman teman saya berhasil menggagalkan aksi pencopet di bus. Saat itu saya melihat pencopet hendak merogoh tas ibu ibu tua yang kesusahan membawa anaknya.
Tsabita Ilana Karya Suffynurcahyati di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kemudian diam diam tanpa sepengetahuan ibu ibu itu," saya injak kaki pencopet itu sambil bilang, "Bayangin kalo ibu ibu yang lo copet itu emak lo. Gimana?"
Copet itu berusaha pergi, teman teman saya pun meneriaki mereka. Ada salah satu dari mereka yang berhasil menampar wajah pencopet itu." Tsabit tertawa
sendiri mengenang peristiwa bersejarah itu.
"Copet aja dilawan. Pantes gue hampir bonyok waktu itu." Gumam Arsa mengingat pertikaiannya dengan Tsabit dalam demo waktu itu. Untungnya Tsabit tidak
mendengar. "Mungkin para pencopet itu udah insyaf sekarang."
"Mustahil! Kalaupun insyaf, paling ada anak buahnya yang nerusin. Kehidupan jalanan itu keras, bit. Malah ada yang sampe ngorbanin anak kandungnya buat
ngemis." "Itu kamu tahu."
"Maka dari itu gue males naik" angkot. Gue males berurusan sama pelaku pelaku jalanan nantinya. Pasti ada aja deh. Entah pencopet lah, atau pengamen yang
bukannya nyanyi malah ceramah kayak ustad lah, terus maksa maksa lah. Terakhir, pantat gue pernah dicubit sama pengamen bocah. Gila, kan"!" Curhat Arsa.
Tsabit yang mendengarnya hampir mengukir tawa. Gaya Arsa menceritakan teramat jenaka. Semua itu murni kisah pengalaman pahitnya.
"Dih, ketawa. Seneng banget lo liat gue sengsara." Sungut Arsa melihat Tsabit belum menyelesaikam tawa sederhananya.
"Itu pengamen genit juga ya cubit cubit kamu."
"Tau tuh!" Kemudian, "Kenapa" lo pengen juga cubit cubit gue?" Arsa tersenyum menggoda sambil menaik turunkan alisnya. Tsabit mengendik menarik wajah lalu
merubah rautnya. "Enak aja" Tapi setelah itu, "beneran mau saya cubit lagi" Itu bekas cubitan dilengan udah sembuh belum?" Sindirnya.
Arsa buru buru menggeser posisi duduknya agak jauh sambil memasang wajah siaga. "Gak usah deh, bit makasi. Makasi banget." Ucapnya tak berdaya.
*** Arsa dan Tsabit mendapat sepasang kursi dibaris sebelah kanan. Itu kursi terakhir yang kosong. Beruntung mereka mendapatkannya. Langsung saja Tsabit menduduki
kursi dekat dengan jendela. Tadinya ia menyilahkan Arsa untuk duduk disana, tapi pria itu menolak dengan dalih, "Kalo gue di pojok, siapa yang ngejagain
lo dari ulah tangan tak bertanggung jawab?" Tsabit tercengang lalu menurut.
Metromini itu berjalan agak cepat. Tidak meninggalkan ciri khas tersendiri. Itulah mengapa bus metromini rawan kecelakaan. Padahal itu bisa terjadi karena
sopirnya ugal ugalan atau nekat melaju karena mengejar setoran. Tapi mereka tidak memikirkan nasib penumpang. Memang tidak semua. Nyatanya bus yang ditumpangi
Tsabit berjalan normal. Hanya saja nampak sesak penuh penumpang yang perlahan bertambah, mengisi celah celah jalan yang bakal dilalui penumpang lain.
"Baru beberapa menit udah bau rokok aja, kan" komentar Arsa sehabis memerhatikan banyaknya penumpang yang datang. Salah satunya ada yang sambil merokok.
Dia berdiri tepat disebelah Arsa.
"Kamu kan udah pakai masker." Tsabit mendengar gumaman Arsa. Ia menyandarkan kepala ke jendela.
"Tetep aja. Orangnya nangkring di sebelah gue. Mau gue pake masker setebel tembok china juga kena asepnya."
"Yauda. Mau tukeran tempat sama saya?" Tawar Tsabit berusaha mengerti keluhan Arsa. Berusaha sabar lebih tepatnya. Anggap saja begitu.
"Engga usah. Gue bisa tahan kok. Yang penting lo aman." Jawaban cuek namun terdengar menyejukan hati.
Selama perjalanan, mata Arsa siaga memerhatikan orang orang yang berada di bus. Sampai kenek metromini yang hendak menagih uang pun ia perhatikan dengan
seksama, sang kenek pun merasa risih diperhatikan oleh seorang pria. Buru buru ia melanjutkan menagih ke penumpang lain.
Suara klakson saling bersahutan mengiringi perjalanan bus tersebut. Aroma aroma tak sedap perlahan mampir ke indera penciuman Arsa. Dari aroma minyak wangi
yang menyengat, kemudian asap rokok yang terus mengudara tanpa henti, ditambah lagi aroma aroma bahan bakar yang menambah ketidak nyamanan Arsa. Ia melirik
sekilas gadis yang duduk disebelahnya. Tsabit nampak serius membaca buku. Terlihat lebih anggun ketika mengenakan kacamata. Cantik. Arsa menyunggingkan
senyum tipis acap kali mata coklat itu melakukan kerjapan indah menelusuri rangkaian tulisan pada buku tersebut. Merasa diperhatikan, Tsabit menoleh.
"Arsa..." panggilnya bernada datar. Tapi punya makna lain menurut Arsa pribadi.
"Iya, kenapa?" Arsa sudah kepedean akan panggilan singkat itu. Entahlah ada apa dengannya hari ini. Padahal beberapa detik yang lalu, ia baru saja menjadi
penggerutu ulung. "Bisa kasih tempat duduk buat ibu itu?" Dagu Tsabit mengarah kepada seorang ibu hamil yang membawa tas jinjing besar.
Sial! Arsa sudah terlanjur berharap Tsabit mengatakan hal yang menyenangkan. Rupanya menyuruhnya memberi tempat duduk.
"Nanti juga ada yang ngasih tempat duduk. Kenapa musti gue?"
"Apa salahnya bertindak lebih cepat tanpa perlu menunggu" Kesempatan untuk berbuat baik itu langka loh."
Arsa menyembunyikan bibir sambil memutar bola mata. Maksudnya, dia harus menyilahkan ibu hamil itu duduk, sedang Arsa sendiri harus berdiri" Seperti itu"
"Terus nasib gue gimana?"
"Saya yakin fisik kamu lebih kuat untuk berdiri. Ibu itu membawa satu nyawa diperutnya. Lihat, dia sedang hamil besar. Kamu tega" Bayangkan kalau yang
didalam perut itu kamu. Atau bayangkan kalau dia adalah mama Kartika."
Tsabit diam menunggu respon. Matanya mencoba mengamati ibu tersebut. Nampak kesusahan berdiri memegangi headboard bangku sebagai penahan tubuh, sedang
tangan satunya memegangi perut dengan tas jinjing yang melingkar dilengannya. Lalu kembali menuju ke Arsa, menatapnya serius.
"Kamu gak mau" Oke. Biar saya yang berdiri kalau gitu."
"Oke.. oke!" Cegah Arsa menahan Tsabit dengan menggenggam kedua tangannya lalu menyuruhnya duduk kembali. "Lo tetep duduk manis disini. Anteng!" Intruksi
Arsa akhirnya menuruti permintaan sang istri.
Arsa pun berdiri sambil tersenyum hangat mengulurkan tangan kepada ibu itu, tanda bahwa ia menyilahkan duduk ditempatnya. Ibu itu tentu menyambutnya sopan
dan penuh rasa terimakasih. Dia pun bisa bernafas lega setelah mendapat posisi yang lebih baik. Ibu itu mengucapkan terimakasih kepada Arsa. Arsa membalasnya
dengan senyum sederhana yang manis.
Selagi berdiri, Arsa terus menarik dan membuang nafas berulang kali. Terkadang tangannya mengibas ngibas wajah lalu mengusap peluh disana. Cuaca hari ini
sungguh panas. Ditambah kondisi di bus ini yang semakin sesak akan penumpang.
Tiba tiba saja matanya menangkap aktivitas tersembunyi yang dilakukan oleh seorang pria berwajah dipenuhi brewok. Mata Arda menyipit guna mempertegas pemandangan
yang jaraknya hanya sekitar dua kaki dari tempat ia berdiri. Pria brewok itu nampak sedang mengelus ngelus bagian tubuh seorang wanita berseragam dengan
logo sebuah minimarket. Sepertinya wanita itu tidak menyadari bahwa bagian tubuh belakangnya sedang dijadikan bahan pelecehan seksual yang dilakukan pria
itu. Arsa tidak terima melihatnya. Dengan pergerakan mantap, ia melangkah pelan namun mantap menuju pria bejat tersebut. Setelah berjarak cukup dekat.
Tanpa sepengatahuan si wanita, Arsa mencengkram pergelangan tangan si pria kuat kuat sambil berkata, "lo pikir lo aman" Sayangnya bukan cuma gue yang liat
perbuatan bejat lo. Tapi ada Allah yang siap nunggu lo di Neraka." Dengan mata tajam Arsa mengatakan itu layaknya sebuah pesan kematian dari langit. Si
pria yang tadinya protes lalu hendak melawan, terpaksa mengurungkan niat begitu tahu beberapa penumpang lain juga melihat perseteruan dirinya dengan Arsa.
Semua itu berkat ancaman Arsa kepadanya. Meski bervolume rendah. Orang orang disana mampu mendengar.
Tatapan curiga mulai mengepung pria itu hingga tidak berdaya. Begitu pula si wanita yang menjadi korban lantas menoleh kebelakang. Ia nampak kebingungan
dengan situasi tersebut. Akhirnya si pria brewok itu memilih mundur.
"Pir, pir! Depan kiri, pir!" Serunya kepada sopir metromini agar berhenti. Kemudian pria itu pun melangkah turun dari bus. Sebelum turun, ia sempat menunjuk
Arsa sambil mengumpat, "ketemu gua lagi, abis lu sama gua!" Ancamnya bersuara kecil. Arsa mendengar lalu membalasnya tak mau kalah. "Gue tunggu! Pergi
lu! Sebelum gue teriakin maling" akhirnya pria itu melenggang pergi penuh rasa kecewa.
Sepeninggalnya si pria brewok, Arsa berbalik. Ada Tsabit yang berdiri dari kursi menatapnya cemas. "Ada apa, sa" Kamu bikin ulah ya?" Tebak Tsabit curiga.
"Enak aja. Kalo gak ada gue, mbak mbak ini abis jadi korban pelecehan tu cowok mesum." Sontak saja wanita berseragam itu menoleh sambil memasang wajah
kaget. "Maksudnya saya, mas?" Tanya si wanita.
"Makanya mbak, rok mininya jangan terlalu pendek gitu. Mendingan dari rumah pake celana panjang terus pake jaket. Cowok zaman sekarang gak bisa liat paha
mulus. Kalo perlu pake jilbab biar aman." Pesan Arsa kepada wanita berambut ikal panjang sebatas punggung.
"Ya Allah, mas. Makasi banget ya. Untung ada mas yang nolong saya. Saya pake baju ini juga terpaksa, mas. Daripada saya gak dapet pekerjaan. Tadinya saya
berhijab. Tapi pekerjaan ini menuntut saya untuk melepasnya. "Ungkap wanita itu penuh rasa menyesal.
"Kayak gak ada kerjaan lain aja, mbak. Emang pekerjaan mbak bisa ngejamin situ aman dari mata mesum laki laki" Engga kan" Mending out aja, mbak." Ujar
Arsa kesal sendiri. Sebenarnya dalam dirinya ia juga malu. Terutama kepada Allah. Dulu ia begitu memuja wanita berpakaian seksi dan mengutuk wanita yang
menutup auratnya. Sekarang, dari peristiwa ini ia mendapat pelajaran, bahwa Allah memerintahkan wanita untuk menutup aurat juga karena agar terhindar dari
pandangan laki laki. Karena pandangan itu akan menimbulkan syahwat yang membahayakan wanita itu sendiri. Betapa Allah mengetahui apa yang manusia tidak
ketahui. Ia ingat sekali, dulu ia membelikan Fania pakaian minim nan seksi. Dan Arsa bisa dengan puas memandang keindahan celah setiap lekukan tubuh indah
Fania kala itu. Betapa zinanya mata ini telah melihat apa yang seharusnya tidak ia lihat. Entah sudah berapa banyak objek objek dosa yang menjadi incaran
matanya. Astaghfirullahaladzim. Batin Arsa mencoba bermuhasabah.
"Rezeki itu Allah yang mengatur. Cukup taat kepada aturan Allah, maka Allah akan mengatur rezeki mbak sebaik mungkin. Taat kepada manusia aja bisa, kenapa
taat kepada Allah aja sulit" Semoga kita bisa ambil hikmah dari peristiwa ini ya, mbak. Ini juga pelajaran buat saya." Tsabit turut angkat suara mengelus
bersahabat pundak wanita itu sambil melontarkan senyum hangat.
"Iya mbak, terimakasih. Buat mas nya juga. Makasih banyak sekali lagi."
"Makasi sama Allah dulu, mbak. Baru sama saya. Abis itu Allah yang bakal ngasih saya imbalan pahala insya Allah"
Tsabit terhentak mendengar kalimat terakhir Arsa.
'Abis itu Allah yang bakal ngasih saya imbalan pahala'
Memorinya membawa ia ke masa lima tahun silam, dimana ia bertemu Idzar pertama kali. Yakni ketika peristiwa mogok itu terjadi. Kata katanya persis sekali
yang diucapkan Idzar saat itu.
'Mbak cukup berterimakasih sama Allah. Dan biar Allah yang memberi saya imbalan pahala.'
**** 21. Kecupan beribu makna Gemericik air bergulir dari bebatuan meninggi menuju bebatuan rendah yang membentuk aliran sungai kecil. Lalu berakhir pada kolam kecil berisi populasi
ikan koi cantik beraneka corak perpaduan hitam, orange dan putih. Mereka bergumul dengan sesama spesiesnya menari menari dibawah permukaan cairan bening
yang jernih. Tatkala sebuah tangan menabur sesuatu dari atas mereka, dengan cepat ikan tersebut mengajak temannya saling berebut makanan. Ada beberapa
yang saling melompat. Sehingga menciptakan kekehan kecil dari seorang gadis yang sedari tadi asyik mengajak mereka bermain.
Tsabit duduk diatas bebatuan kolam kecil disana. Sejak siang hewan hewan berinsang itu berhasil menarik perhatiannya lalu melupakan tujuan awalnya datang
ke rumah sang pemilik ikan tersebut.
Hingga seorang wanita berhijab putih sebatas pinggang datang dengan membawa kotak hitam besar berpita.
"Asyik banget mainan ikannya." Ucap wanita itu menduduki kursi plastik tak jauh dari Tsabit. Tsabit menoleh cepat ke belakang. "Eh, iya nih. Sejak kapan
kamu pelihara ikan koi sebanyak ini" Coba bilang ke aku dari dulu, Bakal sering sering deh aku mampir kesini." Jawab Tsabit kembali memutari pandangannya
ke seluruh penghuni kolam.
"Baru seminggu yang lalu. Idzar pengin suasana yang berbeda, katanya. Buat nemenin aku juga kalo sendirian dirumah." Wanita yang menjadi istri Abidzar
Ahda itu menuang segelas teh hijau ke dalam dua cangkir di meja.
"Termasuk tanaman bonsai dan kaktus di halaman depan sana?"
"Iya. Ngeliat aja kamu, bit."
"Kalau ditaruhnya di gudang bawah tanah, baru aku gak liat. Lah kamu nanemnya dihalaman depan gimana aku gak lihat, bumil ku yang cantik." Ujar Tsabit
gemas sendiri terhadap ibu hamil satu ini. Ternyata masa kehamilan Aufa tidak mengubah ke-lola-an wanita itu. Lihat saja tampang wajahnya tadi saat kebingungan.
Persis anak ayam yang kehilangan induknya. Sekarang wanita berbadan dua itu sedang cengar cengir tanpa dosa.
"Oya, katanya mau lihat lihat foto pernikahan Sina. Nih!" Aufa menyodorkan kotak hitam berpita itu yang rupanya berisi album foto pernikahan Sina, sepupunya.
Tsabit menyambutnya antusias kemudian menomor duakan kesibukannya terhadap ikan ikan tadi.
"Kamu beneran mintain ke kak Sina" Padahal aku cuma bercanda kemarin ditelpon."
"Gak apa apa. Mumpung aku mampir kesana jadi sekalian." Tsabit mulai membuka lembaran tebal pertama. Suguhan foto Sina bersama Dana terpajang besar memenuhi
satu halaman besar. Gaun silver perpaduan softpink menambah kemewahan dan keindahan yang tercipta. Senyum keduanya begitu menawan. Ditunjang kelebihan
mereka yang memang sudah terlahir tampan juga cantik. Bahkan Tsabit acapkali memuji kecantikan sepupu sahabatnya ini. Kak sina memiliki garis wajah kebangsaan
Arab. Padahal silsilah keluarganya murni keturunan Jawa.
Mustika Naga Hijau 1 Wiro Sableng 120 Kembali Ke Tanah Jawa The Brethren 6