Pencarian

7 Hari Menembus Waktu 1

7 Hari Menembus Waktu Karya Charon Bagian 1


?"Penerbit Marissa kesal ketika harus ikut ayahnya ke Gedung Albatross, karena itu berarti ia akan bertemu Michael, mantan pacarnya, dan Selina, musuh bebuyutan yang telah merebut Michael dari sisinya.
Frustrasi oleh situasi, tak sadar Marissa menangis di depan sebuah lukisan dan bergumam seandainya saja ia bisa menghilang.
Dan ia& betul-betul menghilang! Terlempar ke masa dua puluh tahun silam, saat ia belum lahir, saat orangtuanya masih belum berpacaran.
Bersama William, anak kecil yang ditemuinya di masa itu, Marissa mengalami hal-hal lucu dan menyenangkan, hal-hal yang akan mengubah kehidupan gadis itu dan William di masa depan.
C h a r o n Charon pustaka-indo.blogspot.com
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama Jakarta
7 Hari Menembus Waktu oleh: Charon
6 15 1 50 002 " Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
Gedung Gramedia Blok I, Lt. 5 Jl. Palmerah Barat 29 33, Jakarta 10270 Cover oleh MD Pictures
Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama anggota IKAPI, Jakarta, Maret 2010 www.gramediapustakautama.com
Hak cipta dilindungi oleh undang-undang. Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit.
ISBN 978 602 03 1215 6 Cetakan keenam: November 2012 Cetakan ketujuh: Mei 2015 176 hlm; 20 cm
Untuk keluargaku, Mami, Papi, Opa, dan Dede Suporter terheboh sejagat raya.
Untuk Grandma & Grandpa yang berada di atas sana& Terima kasih karena telah memperlihatkan arti sebuah cinta sejati.
Untuk Mbak Ike, terima kasih untuk hari-harinya mengedit naskah ini.
Untuk kalian yang pernah mengalami tahun 80-an, selamat bernostalgia!
Charon M arissa memandang jalanan dari kaca jendela mobil
tanpa antusias. Hari ini Papi dan Mami mengajaknya pergi ke pesta, padahal dia lebih suka ada di rumah. Mobil Papi memasuki sebuah gedung, dan tak berapa lama kemudian berhenti. Terdengar suara pintu mobil dibuka dari arah depannya. Lalu ketukan di kaca jendela mobil membuyarkan lamunannya.
Kau tidak mau turun" tanya Papi. Kita sudah sampai.
Marissa memandang Papi sambil mendesah. Dengan malas dibukanya pintu mobil.
Bisakah Rissa pulang saja" tanya Marissa, setengah memohon.
Mami langsung berkata dengan kesal, Marissa, kita sudah membicarakan hal ini di rumah. Acara ini penting untuk Papi.
Papi menyentuh pundak Marissa. Papi tahu kau tidak ingin ada di sini, kau tidak ingin bertemu mereka. Me-
Satu 6 Juli 2008 Kabur!! ngurung diri di kamar tidak akan memperbaiki keadaan. Cepat atau lambat kau harus menghadapi mereka. Bukankah lebih cepat lebih baik"
Alasan utama Marissa tidak mau menghadiri pesta ini karena dia akan bertemu dengan Michael dan Selina. Satu bulan yang lalu, Michael memutuskan dirinya. Marissa tidak habis pikir mengapa Michael tega melakukannya, padahal mereka sudah berpacaran selama tiga tahun. Rasa sakit hati Marissa semakin parah ketika Michael malah jadian dengan Selina, musuh terbesarnya selama ini.
Hari ini Selina pasti akan menghadiri pesta bersama orang"tuanya. Sebagai sesama pengacara, Papi dan papa Selina sering bertemu dan mereka berteman baik.
Akan tetapi tidak demikian halnya dengan anak-anak mereka. Marissa dan Selina sudah tidak menyukai satu sama lain saat pertama kali mereka bertemu. Selina terlalu sombong, mau menang sendiri, dan sering mengolokoloknya. Yang lebih menyebalkan, Selina pandai sekali berbohong tanpa rasa bersalah.
Saat pertama kali jadian dengan Michael, Marissa senang sekali melihat Selina cemburu kepadanya. Kini, tiga tahun kemudian Selina membalas rasa cemburu itu.
Pandangan Marissa beralih pada sebuah papan karangan bunga di depan gedung. Dia membaca tulisan yang ter"tera di papan itu. Selamat atas dua puluh tahun berdirinya Gedung ALBATROSS.
Mami menengok ke belakang, dan memandang putrinya dengan putus asa. Marissa, ayo masuk! Dengan langkah berat Marissa memasuki gedung. Mereka naik lift menuju lantai tiga. Di dalam lift, Mami menatap anaknya dengan lembut. Mami tahu kau tidak ingin bertemu mereka. Akan tetapi, apa yang Papi katakan benar, Marissa. Kau harus menghadapi mereka. Lagi pula, Mami dan Papi tidak membesarkan seorang pengecut, kan"
Mami mengelus rambut anaknya penuh kelembutan. Mengurung diri di kamar bukan jalan keluar. Aku tahu, kata Marissa akhirnya.
Pintu lift terbuka, ketiganya keluar dari lift dan berjalan menuju hall. Sesaat setelah Marissa me"langkah ke dalam tempat acara, matanya menatap Selina dan Michael tak jauh di depannya. Marissa mendesah kesal. Selina sengaja datang lebih awal untuk meng"hinanya, padahal biasanya dia selalu telat.
Aku benar-benar benci dia! desah Marissa dalam hati. Dengan senyum manis, Selina memandang Marissa, sementara tangannya menggelayut manja kepada Michael. Michael melihat kedatangan Marissa, dan ia hanya tertunduk malu. Napas Marissa terhenti sesaat. Aku tidak bisa melakukan"nya, katanya dalam hati, terlalu menyakitkan.
Mami, katanya kemudian. Aku mau ke toilet dulu. Setengah berlari, Marissa meninggalkan tempat acara dan masuk ke toilet yang berada tak jauh dari sana. Di dalam toilet, air mata Marissa jatuh. Aku benar-benar benci mereka! bisiknya sambil menangis. Aku membencimu, Michael. Tega sekali kau melakukan ini padaku.
Selama beberapa menit hanya tangis Marissa yang terdengar di dalam toilet, lalu isakan itu mereda. Marissa menatap wajahnya dalam cermin. Ia mengambil tisu dari toilet dan menghapus air matanya. Mata dan hidung"nya merah. Aku tidak sekuat yang Papi bayang"kan. Aku tidak bisa melakukan ini, aku harus pergi.
Dengan tekad bulat, Marissa keluar dari toilet dan berjalan ke arah tangga di hadapannya. Dia ingin pulang dan menangis sepuasnya di rumah. Dilihatnya jam dinding besar di aula gedung menunjukkan pukul enam sore. Pandangannya lalu tertuju pada lukis"an di dekat tangga. Marissa berjalan mendekat. Lukisan sebesar satu kali satu meter itu hanya berupa lingkaran-lingkaran merah dengan latar belakang berwarna hitam. Dia membaca keterangan di bawahnya.
Judul Lukisan: Menembus Waktu
Tahun Dibuat: Tidak diketahui, diperkirakan sekitar abad 17-18
Pelukis: Tidak diketahui Keterangan:
Konon, lukisan ini dipercaya bisa mengabulkan sebuah permohonan.
Marissa tertawa pendek. Mengabulkan permohonan" katanya, tidak percaya. Tidak ada hal seperti itu di dunia ini. Saat ini aku sebal kepada Papi dan Mami. Apakah mereka tidak pernah merasakan bagaimana menjadi seorang remaja dan sakit hati" Tidakkah mereka mengerti bahwa aku butuh waktu untuk sembuh" Mereka benarbenar tidak mengerti apa yang ada dalam hatiku. Pacarku meninggalkanku. Sangat menyakitkan. Sekarang aku tidak punya pacar.
Suara Marissa sudah mendekati histeria. Aku benci Michael, aku benci Selina! Aku benci semuanya! Aku benci tempat ini! Aku berharap tempat ini ditutup saja sehingga aku tidak perlu menghadiri acara ini, dan bertemu dengan orang-orang yang menyakiti hatiku!
Napas Marissa terengah-engah, lalu akal sehat merasukinya. Apa yang baru saja kulakukan" tanyanya perlahan. Aku ber"bicara pada sebuah lukisan. Tampaknya pikiranku su"dah benar-benar kacau.
Marissa membalikkan badannya, dan melangkah menuruni tangga. Tiba-tiba seluruh ruangan bergetar hebat. Ada apa ini"! Marissa panik. Getaran itu se"makin lama semakin kuat. Ya, ampun! teriaknya dalam hati. Gempa bumi!!
Marissa terjatuh, kacamatanya terlepas. Marissa memandang langit-langit di atasnya dengan ketakutan. Secara refleks diangkatnya tangannya untuk melindungi kepala, lalu dia menutup matanya.
E ntah berapa lama Marissa tertelungkup. Lantai gedung
sudah tidak bergetar lagi. Perlahan-lahan Marissa membuka matanya. Hal pertama yang disadarinya adalah seluruh gedung gelap gulita. Marissa mencoba memakai kacamatanya untuk melihat keadaan, namun kacamatanya sudah retak, tidak bisa digunakan lagi. Dengan putus asa, Marissa menyusuri gedung dengan perlahan-lahan. Halo! teriaknya dengan ragu. Ada orang di sini" Interior gedung tampak berbeda. Pintu ke ruang acara tertutup. Marissa lalu membukanya. Keadaan di dalamnya gelap gulita. Halo! teriaknya lagi. Mami! Papi! Kalian ada di dalam"!
Di mana semua orang"! teriaknya dalam hati, dengan pu"tus asa. Kenapa gedung ini gelap gulita"
Apakah semua orang sudah di luar gedung" Hatinya bertanya-tanya. Marissa memutuskan keluar dari gedung, ia menuruni tangga. Di depan pintu masuk hanya satu lampu neon yang berpijar.
Dua 29 Juni 1988"! Yang Benar Saja!
Halo!! teriaknya lagi, dengan lebih keras. Tiba-tiba ada cahaya senter di kejauhan mendekati Marissa. Suara anjing menggonggong mengikuti arah cahaya senter itu. Marissa ketakutan.
Siapa di sana" tanya suara dari balik kegelapan. Jangan bergerak!
Suara anjing menyalak semakin kencang, dan ter"dengar semakin mendekati tempat Marissa ber"ada. Tanpa berpikir panjang, Marissa lari sekencang-kencangnya keluar dari gedung. Di luar tampak kawat tinggi, yang mengelilingi gedung. Tanpa memandang lagi ke belakang, Marissa terus berlari menuju pintu yang juga terbuat dari kawat, dan membukanya. Seketika tatapan Marissa tertuju pada papan putih di depannya, dengan tulisan besarbesar:
GEDUNG ALBATROSS. AKAN DIBUKA TANGGAL 6 JULI 1988
Kening Marissa berkerut. Hah" Ada apa ini" Apakah ini hanya lelucon" Mimpi buruk" Tubuhnya merinding. Marissa mempercepat langkahnya sampai ke jalan raya. Napasnya terengah-engah.
Lebih baik aku pulang ke rumah, kata Marissa dalam hati. Untung saja rumah Marissa dan Gedung Albatross me"mang tidak terlalu jauh. Sepanjang jalan yang dilaluinya, Marissa kebingungan. Mobil-mobil yang dilihatnya tidak seperti biasanya.
Aku ada di mana" teriaknya dalam hati. Perlahan tapi pasti, Marissa berjalan menyusuri jalan utama, lalu dia berbelok menuju jalan ke rumahnya. Hari masih sore, Marissa melihat anak-anak perempuan sedang bermain lompat tali. Aneh, katanya dalam hati. Mengapa banyak anak-anak di sini"
Marissa meneruskan perjalanannya. Tak berapa lama kemudian ia melihat lapangan luas terbentang di sampingnya. Marissa semakin bingung.
Sejak kapan ada lapangan di situ" kata Marissa perlahan. Bukankah di situ lokasi supermarket"
Beberapa anak laki-laki tampak tertawa sambil bermain kelereng di tanah lapang. Marissa meng"geleng-geleng. Apakah pikiranku menjadi kacau sejak gempa bumi tadi"
Marissa menahan napas, lalu berjalan lagi menuju rumahnya. Hatinya lega melihat rumah yang amat familier baginya. Ketika sampai di depan gerbang Marissa mencoba memencet bel, namun bel itu tidak ada di tempatnya. Ia mencoba masuk, namun sebuah gembok mengunci pintu itu. Apakah Mami dan Papi belum pulang" tanyanya dalam hati. Marissa semakin bingung. Marissa akhirnya berjalan memutar ke samping rumah dan menemukan lubang yang tersembunyi di balik pepohonan. Ia menemukan lubang itu ketika berusia sepuluh tahun. Sejak itu ia sering kabur untuk pergi bermain melalui lubang tua itu, ketika orangtuanya tidak mengizinkannya keluar rumah.
Ketika merangkak masuk ke dalam lubang itu, Marissa tidak memperhitungkan tinggi badannya. Kini dia bukan lagi gadis kecil berusia sepuluh tahun. Di usianya yang ber"anjak dewasa, tinggi badannya pun telah bertambah.
Setengah badan bagian atas bisa masuk dengan mudah, namun ia mengalami kesulitan ketika men"dorong masuk tubuh bagian bawahnya. Marissa mem"balikkan badannya, dan telentang di atas tanah, lalu meng"gunakan tangannya untuk maju. Ketika akhirnya dia be hasil berdiri di depan rumah itu beberapa saat ke"mu"dian, baju pesta putihnya sudah kotor berlepotan tanah.
Marissa memandang rumahnya. Rasanya ada yang beda" tanyanya dalam hati. Bentuk rumah ma"sih sama, namun catnya berbeda, pekarangannya juga ber"beda.
Terdengar suara anjing besar menggonggong dari dalam rumah. Ya, ampun! keluh Marissa dalam hati. Masa aku harus berurusan dengan anjing galak dua kali"
Lampu depan rumah dinyalakan. Siapa di luar" teriak sang penghuni rumah.
Astaga, pikir Marissa panik, itu bukan suara Papi. Sepertinya aku masuk ke rumah orang, bukan rumahku.
Jeritan keras penghuni rumah terdengar sampai ke halaman. Papi! teriak seorang wanita. Sepertinya ada maling di depan rumah kita!
Arghhhh! Marissa ketakutan dan semakin panik. Aku disangka maling"!!
Mami diam saja di rumah! Terdengar suara seorang pria dari dalam rumah. Mana pemukul bola" Sini& berikan pada Papi!
Gawat! Aku harus kaburrr! Marissa berlari ke arah lubang yang tadi dimasukinya. Setelah keluar dari sana, dia berlari sekencang-kencangnya.
Setelah setengah jam berlari tak tentu arah, Marissa berhenti untuk mengambil napas dalam-dalam. Aku harus ke mana lagi" tanyanya dalam hati. Mengapa semuanya begitu berbeda" Di mana rumahku"
Ia mencoba mengamati lingkungan sekitarnya. Aku ada di mana"
Matanya kemudian melihat sosok anak laki-laki sedang menyeberangi jalan. Tak berapa jauh dari sana sebuah mo"bil berkecepatan tinggi melaju kencang menuju anak itu. Marissa pun berlari dan berteriak, Hei, kamu! Hatihati! Ada mobil!
Anak kecil itu tidak menggubris teriakan Marissa. Dengan sekuat tenaga, Marissa berlari dan menarik ke luar anak itu dari jalanan. Keduanya jatuh di seberang jalan dalam keadaan berpelukan. Sementara, mobil yang tadi tetap melaju melewati mereka dengan kencang. Marissa terengah-engah.
Lepaskan aku! teriak anak itu.
Marissa melepaskan pelukannya dan menatap anak itu, Kau tidak apa-apa"
Anak itu memandang Marissa dengan cemberut, lalu ber"diri. Marissa juga mencoba berdiri dengan susah payah. Kakinya lecet. Hak tinggi memang tidak diciptakan untuk berlari, keluh Marissa dalam hati.
Hei, Anak kecil, kata Marissa lagi, kau tidak apaapa"
Anak kecil itu tidak menjawab, bahkan dia malah pergi me"ninggalkan Marissa.
Marissa kesal setengah mati. Dasar anak tidak tahu ber"terima kasih.
Hei! Tunggu! teriak Marissa, sambil berlari mengejar anak itu.
Marissa menyentuh pundak anak kecil itu, dan berkata dengan marah, Hei! Seharusnya kau berterima kasih karena aku sudah menyelamatkanmu.
Anak kecil itu menyingkirkan tangan Marissa dari pundaknya. Jangan sentuh aku!
Marissa menahan napas menahan amarah. Oke. Oke. Aku tidak akan menyentuhmu lagi. Aku hanya ingin tahu apakah kau baik-baik saja. Tidak ada yang terluka, kan"
Anak itu menoleh ke arah Marissa tanpa antusias. Aku tidak butuh perhatianmu! Kemudian, dia berjalan lagi. Ini anak, kata Marissa dalam hati, jutek abis. Marissa mengikuti anak itu dari belakang. Setelah lima menit berlalu, anak itu membalikkan badannya. Kenapa kau mengikutiku"
Marissa mendekati anak itu. Kau punya nama, kan" Anak itu menatap Marissa dengan curiga. Aku tidak boleh memberitahukan namaku kepada orang tidak dikenal.
Marissa geram. Orang tidak dikenal" Aku baru saja menyelamatkan hidupmu.
Anak kecil itu mengangkat bahu. Aku tidak memintamu, kan"
Amarah Marissa meledak. Dasar anak tidak tahu berterima kasih! Tidak diajari sopan santun oleh orangtuamu ya"
Pandangan sedingin es anak itu menatap mata Marissa. Kedua orangtuaku sudah meninggal! katanya ketus.
Marissa merasa bersalah. Maafkan aku. Aku tidak bermaksud menyakiti perasaanmu. Aku hanya ingin mengetahui apa"kah kau baik-baik saja.
Anak itu menatap Marissa dari atas ke bawah, lalu mem"balikkan badannya dan berjalan lagi.
Aku dicuekin" batin Marissa tidak percaya. Saat hendak mengejar anak itu, perut Marissa berkeroncongan. Dia baru ingat dia belum makan.
Anak itu berhenti setelah beberapa langkah, dan berdiri di depan salah satu rumah. Ketika dia akan membuka pintu, Marissa mencegatnya.
Hei, kata Marissa dengan manis, aku tahu kau marah kepadaku. Begini saja, kenalkan, namaku Marissa. Bolehkah aku singgah sebentar di rumahmu" Aku benarbenar haus.
Anak itu menatap Marissa lagi dengan tajam. Rumahku bukan tempat orang telantar.
Orang telantar"! teriak Marissa kesal. Oke. Cukup sudah!
Kau harus mengizinkan aku masuk! teriak Marissa. Aku benar-benar kelaparan. Kau berutang padaku! Tidak! kata anak itu tegas.
Tatapan Marissa berubah memohon. Tolonglah! Aku mohon!
Tidak! kata anak itu cepat.
Marissa tertunduk menyerah. Ia sudah tidak punya tenaga lagi. Dia berjalan ke depan gerbang dan duduk di sana. Air matanya keluar dan ia menangis keras. Aku benci semua ini! teriak Marissa. Aku tidak tahu ada di mana. Aku tidak punya rumah. Aku tidak punya uang. Orangtuaku menghilang. Kakiku sakit karena berlari dari tadi. Aku disangka maling. Apa yang sebenarnya terjadi" Mengapa nasibku sial sekali" Aku diputus pacar"ku. Musuhku merebutnya dari tanganku. Aku hanya ingin kabur dari sana. Aku melihat sebuah lukisan konyol, dan tiba-tiba terjadi gempa bumi. Di sinilah aku sekarang. Entah di mana ini, aku tidak mengenal siapa pun.
Marissa akhirnya berhenti berteriak karena kelelahan. Ia memegangi lututnya dan menjatuhkan kepalanya di sana. Setelah itu, yang terdengar hanyalah isak tangisnya.
Anak itu memandang gadis di depannya tanpa bersuara. Dilihatnya lutut gadis itu terluka karena menyelamatkannya tadi. Dia lalu berjalan mendekat.
Kau boleh tinggal di rumahku, kata anak itu perlahan.
Marissa mengangkat kepalanya. Benarkah" Secercah ha"rapan muncul hatinya. Aku akan melakukan apa pun.
Benarkah" tanya anak itu.
Marissa mengangguk. Apa pun yang kauinginkan. Kau bisa masak" tanya anak itu lagi.
Marissa menggeleng cepat. Aku tidak bisa dekat-dekat dengan kuali panas.
Bagaimana kalau mencuci" tanyanya lagi. Tanganku tidak bisa kena deterjen, sahut Marissa lagi sambil menelan ludah.
Bersih-bersih" tanya anak itu lagi dengan kesal.
Aku alergi debu, kata Marissa, sambil menutup matanya.
Anak itu mendesah kesal. Dasar tidak berguna! katanya. Tadinya aku pikir kau bisa membantu Bi Ijah. Sekarang&
Marissa bangkit berdiri. Aku bisa belajar& sungguh& . Aku bisa membantunya. Tolong bantu aku!
Anak itu menarik napas, dan akhirnya mengangguk. Baiklah. Kau boleh tinggal. Akan tetapi& kalau kau membuatku marah, kau harus keluar.
Marissa tersenyum lega. Oke. Ia memeluk anak itu dengan antusias.
Anak itu berusaha melepaskan diri. Jangan peluk aku! katanya kesal. Aku tidak suka disentuh!
Marissa langsung melepaskan pelukannya. Maaf. Tidak akan kuulangi. Terima kasih. Aku sudah tidak tahu mau ke mana lagi& .
Anak itu membuka pintu gerbang rumahnya, dan Marissa mengikutinya dari belakang.
Den Wiliam baru pulang" tanya seorang wanita tua di depannya.
Ya, Bi Ijah, kata anak itu, yang ternyata bernama Wiliam. Tante Sarah ada di rumah"
Bi Ijah mengangguk. Sepertinya mau pergi lagi, Den. Wiliam menoleh kepada Marissa. Ikut aku! Wiliam membuka pintu depan rumahnya, lalu masuk. Wiliam, kata suara seorang wanita, kau baru pulang"
Wiliam menjawab, Ya, Tante.
Seorang wanita tinggi semampai berjalan ke hadapan Wiliam dan Marissa.
Marissa menatap wanita itu. Dandanannya sangat tebal. Anting-anting besar nyantel di telinganya. Ia mengena"kan celana jins pudar dan kaus berwarna-warni.
Dandanan wanita ini benar-benar norak, kata Marissa dalam hati.
Siapa ini" tanyanya, menunjuk kepada Marissa. Tante Sarah, kata Wiliam. Kenalkan ini Marissa, dia anak teman Mama dari panti asuhan. Dia baru saja datang di Jakarta, dan akan tinggal di sini selama liburan.
Marissa terkejut dan merasa heran mendengar perkataan Wiliam. Rupanya anak kecil yang dia tolong ini benar-benar pintar berbohong. Selain itu, ucapan-ucapannya tidak mencerminkan layaknya anak berusia delapan tahun. Kalau saja Marissa tidak berhadapan lang"sung dengan Wiliam, mungkin ia akan mengira bahwa anak yang berbicara itu seumur dengan dirinya.
Tante Sarah memandangi Marissa dari atas sampai ke bawah.
Pakaian apa yang dikenakannya" tanya Tante Sarah. Kotor sekali.
Wiliam menatap tantenya dengan tenang. Dia kan dari kampung, Tante. Apa yang bisa Tante harapkan"
Marissa harus mengakui Wiliam benar-benar meyakinkan dalam berbohong.
Ya, baiklah. Terserah, kata Tante Sarah, kehilangan minat. Kau tempati saja kamar tamu.
Tante Sarah lalu membungkuk, dia mencubit kedua pipi Wiliam dengan gemas. Tante pergi dulu. Kau jangan nakal, ya.
Wiliam memalingkan wajahnya, berusaha melepaskan pipinya dari jemari tantenya.
Tante Sarah hanya tersenyum, dan berlalu dari hadapan Wiliam. Tak lama kemudian, suara mobil dari halaman depan terdengar, menandakan kepergian Tante Sarah. Perut Marissa berkeroncongan lagi.
Bi Ijah! teriak Wiliam ke arah dapur.
Tak lama kemudian Bi Ijah tergopoh-gopoh ke ruang tamu. Ada apa, Den" tanyanya sopan.
Bi Ijah& , kata Wiliam, lalu menoleh kepada Marissa, Ini Marissa, anak teman Mama dari panti asuhan.
Bi Ijah mengangguk perlahan ke arah Marissa. Marissa balas mengangguk.
Sepertinya Marissa kelaparan, kata Wiliam lagi. Tolong siapkan makanan untuk dia ya, Bi.
Ya, Den, kata Bi Ijah, sambil berlalu masuk ke dapur.
Wiliam menyuruh Marissa duduk menunggu di ruang makan. Marissa mengambil gelas yang ada di meja makan dan menuangkan air ke dalamnya. Ia minum hampir dua gelas penuh.
Tak berapa lama kemudian, Bi Ijah datang membawa makan"an. Wajah Marissa berseri-seri melihatnya. Ia mengambil piring, mengisinya dengan nasi dan lauk-pauk serta sayur-mayur yang ada di depannya. Ketika akan menyuapkan sesendok nasi ke mulutnya, Marissa melihat Wiliam memperhatikannya.
Kau tidak makan" tanya Marisa heran.
Aku tidak lapar, kata Wiliam perlahan.
Marissa makan dengan lahap tanpa memedulikan tatapan Wiliam. Seumur hidupnya ia belum pernah merasa kelaparan seperti saat ini. Saat nasi di piringnya habis, Marissa menambah lagi, namun lauk-pauk dan sayur-mayur di hadapannya sudah hampir habis.
Em, Wiliam, kata Marissa serbasalah, boleh minta Bi Ijah masak sayurnya lagi tidak"
Wiliam melihat ke arah piring Marissa sambil mendesah. Kakak rakus sekali, komentarnya.
Dikatai demikian, Marissa sedikit tersinggung. Makannya dari dulu memang banyak. Akan tetapi, baru kali ini dia dibilang rakus, terlebih lagi oleh seorang bocah. Marissa berusaha bersabar, ia tidak boleh melawan karena takut diusir dari rumah ini. Ia tersenyum manis pada bocah itu. Aku memang makannya banyak.
Wiliam terdiam beberapa saat, namun akhirnya dia menyuruh Bi Ijah memasak lagi. Setelah perut Marissa kenyang, Wiliam mengajaknya ke kamar tamu. Kakak bisa tidur di kamar ini, kata Wiliam. Marissa masuk ke kamar itu. Di sana terdapat satu ranjang, lemari, dan meja rias. Terima kasih, kata Marissa, lalu dia memandang ke luar jendela. Sebuah mobil terparkir di luar. Marissa tahu itu mobil keluaran tahun lama. Ia pernah melihat foto mobil itu. Rasa ingin tahunya tergelitik karena ia merasa keluarga William cukup berada, tapi kenapa mobilnya mobil keluaran tahun lama.
Wiliam, katanya, sambil mengernyit. Hari ini tanggal berapa"
Wiliam menunjuk pada kalender yang terpasang di dinding kamar. Hari ini tanggal 29 Juni&
Pandangan Marissa tertuju pada kalender di dinding. Matanya menatap tanggal yang disebut Wiliam dengan rasa tidak percaya.
1988, lanjut Wiliam lagi.
29 Juni 1988"! teriak Marissa. 29 Juni 1988" Yang benar saja! Tidak mungkin!
Wiliam memandang Marissa dengan penasaran. Terakhir kali aku ada di tahun 2008, lanjut Marissa lagi. Tepatnya tanggal 6 Juli 2008.
Kakak omong apa sih" tanya Wiliam bingung. Marissa akhirnya menatap Wiliam. Tidakkah kau mengerti, Wiliam" Aku terlempar ke masa lalu, dua puluh tahun dari masa tempatku berasal.
Tidak ada yang namanya perjalanan waktu, kata Wiliam menegaskan.
Hal itu terjadi padaku! teriak Marissa putus asa. Aku bukan berasal dari tahun ini& aku malah belum lahir di tahun ini& .
Wiliam tidak memercayai satu pun perkataan Marissa. Aku rasa Kakak perlu istirahat.
Marissa mendesah. Kau tidak percaya, kan" Aku sendiri pun bahkan tidak memercayainya. Tunggu& aku bisa membuktikan bahwa aku berasal dari tahun 2008.
Sedikit rasa penasaran timbul di hati Wiliam. Oh, ya" tanyanya. Bagaimana"
Marissa terlihat berpikir keras. Hmm, di masa depan mobil yang diparkir di halaman depan rumahmu sudah menjadi barang langka. Orang-orang di masaku mobilnya lebih canggih.
Wiliam menggeleng tidak percaya. Kakak akan mengatakan bahwa mobilnya bisa terbang"
Marissa menelan ludah. Tidak.
Kalau begitu, apa bedanya dengan mobil tahun ini" tanya Wiliam.
Pokoknya, modelnya beda! teriak Marissa ngotot. Di masaku juga ada internet, iPod&
Ai pot" tanya Wiliam bingung. Pot bunga" Bukan, kata Marissa tidak sabar. iPod adalah semacam alat untuk mendengarkan lagu, kita bisa membawanya ke mana-mana. Bentuknya ringan dan kecil.
Di masa ini juga ada alat yang kami sebut walkman, untuk mendengarkan lagu. Alat ini bisa dibawa ke manamana juga, kata Wiliam, memberi penjelasan.
Itu berbeda, kata Marissa putus asa. Walkman-mu perlu kaset, bukan" Nah, di masa depan kita tidak memerlukan kaset lagi, kita hanya menyimpannya dalam file-file mp3.
Kakak bisa saja mengarang hal-hal itu, kata Wiliam, masih tidak percaya.
Marissa tidak putus asa. Tunggu, di masa depan ada yang namanya komputer.
Wiliam mengajak Marissa ke ruang tamu. Di sana dia membuka kain yang menutupi sebuah benda. Sekarang, aku juga punya komputer, kata Wiliam. Pandangan Marissa tertuju pada komputer di depannya. Ya, memang. Akan tetapi, komputer di masaku lebih canggih.
Komputer ini sudah termasuk yang paling canggih, kata Wiliam, tidak mau kalah. Ini keluaran terbaru. Su"dah empat warna, tidak hanya satu warna seperti dulu.
Marissa tertawa. Komputer di masaku punya jutaan warna.
Itu kan hanya kata Kakak, sanggah Wiliam. Tidak membuktikan apa pun.
Marissa menepuk kepalanya dengan kedua tangannya sebagai tanda frustrasi.
Wiliam melihat hal itu sambil tersenyum kecil. Saat Marissa melihatnya lagi, senyum itu sudah hilang dari bibirnya.
Mengaku saja, Kak, kata Wiliam, Kakak kabur dari rumah, kan"
Tidak! sanggah Marissa, aku tidak kabur dari rumah. Ya, ampun, keluhnya dalam hati, apa pun yang aku katakan, Wiliam pasti tidak percaya. Mana mungkin dia percaya bahwa barang-barang yang aku sebutkan belum ada di masanya" Lagi pula, apa yang aku lakukan" Memberi penjelasan tentang benda-benda masa depan pada seorang anak kecil" Mana mungkin dia mengerti"
Tiba-tiba pandangan Marissa tertuju pada televisi di depannya, lalu dia tersenyum. Wiliam, aku akan membukti"kan bahwa aku memang datang dari masa depan, katanya yakin. Kaulihat televisi di depanmu" Di masa Kakak, gambar televisi sudah berwarna. Tidak hitam putih lagi.
Wiliam mengedip-ngedipkan matanya beberapa kali, Wow, katanya kemudian. Kakak sepertinya memang datang dari masa depan.
Marissa tersenyum lebar. Nah kan, apa kataku" kata Marissa, penuh kemenangan dalam hati.
Wiliam melangkah menuju televisi, dan menghidupkannya. Marissa melihat gambar di televisi dan terkejut.
Kami sudah punya televisi berwarna dari kapankapan, kata Wiliam tenang, dan menatap Marissa seakan dirinya adalah manusia paling bloon sedunia.
Arghhh sial! kata Marissa kesal. Aku dipermalukan oleh anak kecil.
Wiliam! kata Marissa kesal. Berapa umurmu" 30"
Umurku delapan tahun! kata Wiliam galak. Umurku delapan belas tahun! kata Marissa, tidak kalah galak. Aku lebih tua darimu sepuluh tahun. Jadi, aku pastinya lebih berpengalaman dan lebih tahu tentang segala hal. Kau harus mendengar kata-kataku!
Wiliam menguap. Aku capek, katanya malas. Aku mau tidur dulu. Lebih baik Kakak juga isti"rahat. Siapa tahu besok pagi pikiran Kakak sudah kembali normal.
Ini anak benar-benar menyebalkan. Kalau bukan karena aku tinggal di rumahnya, sudah pasti aku beri dia pelajaran. Marissa cemberut melihat Wiliam masuk ke kamarnya tanpa memperhatikan dirinya lagi.
Malam itu Marissa berusaha memikirkan semua kejadian yang dialaminya. Tetap saja dia merasa bahwa apa yang dialaminya tidak masuk akal. Marissa meringkuk di atas ranjang dan memejamkan matanya. Ini semua pasti cuma mimpi, katanya berusaha meyakinkan dirinya sendiri. Besok pagi saat aku terbangun& semuanya akan kem"bali seperti semula.
Dengan pikiran seperti itu, Marissa tertidur pulas.
S uara ayam berkokok membangunkan Marissa. Matanya
masih tertutup, namun mulutnya menguap lebar. Sejak kapan Papi pelihara ayam di rumah" Berisik sekali, keluhnya masih setengah mengantuk. Tunggu dulu& , pikirnya setelah alam dunia mimpi men"jauhinya. Kasur ini keras sekali, bantalnya juga& ini bukan tempat tidurku.
Marissa langsung membuka matanya, lalu melihat kalender di depannya. Angkanya masih menunjukkan 29. Marissa kembali menutup matanya dengan kesal. Ini bukan mimpi, katanya kesal, aku benar-benar ada di tahun 1988. Setelah berdiam diri beberapa saat, Marissa bangun dari tempat tidurnya. Ia baru tersadar saat melihat cermin di depannya, ternyata dirinya masih mengena"kan baju pesta putihnya, yang berlepotan tanah. Aku harus ganti baju, tekadnya. Tetapi, aku tidak punya baju.
Marissa membuka pintu kamar dan melihat ke luar
Tiga 30 Juni 1988 Selamat Datang di Fashion 88
ruangan. Masih sepi. Ia melangkah menuju kamar Wiliam dan mengetuk pintunya perlahan. Wiliam, panggilnya pelan-pelan. Kau sudah bangun"
Ketika beberapa saat tidak ada jawaban, Marissa mencoba membuka pintu kamar Wiliam. Psttt& pstt& Wiliam, panggilnya lagi. Kau sudah bangun"
Pintu kamar tiba-tiba terbuka. Wiliam muncul dengan wajah tanpa ekspresi. Ada apa" tanyanya.
Marissa berdiri tegak. Hmmm, begini& kau punya baju ganti untukku" Kaulihat bajuku, kan" Kotor sekali. Aku tahu aku merepotkanmu, namun aku tidak mungkin memakai baju ini lagi, kan"
Wiliam keluar dari kamar, dan menyuruh Marissa mengikutinya ke kamar di lantai dua. Wiliam masuk ke kamar itu dan membuka lemari pakaian yang ada di dalamnya. Pilih saja sendiri, kata Wiliam. Ini baju-baju almarhumah Mama.
Marissa memandang foto keluarga yang ada di kamar itu. Seorang pria tampan beserta istrinya yang can"tik, lalu ada Wiliam yang tersenyum manis, diapit keduanya. Sayang sekali keduanya sudah meninggal, padahal kelihatannya mereka baik sekali.
Kau tidak keberatan aku memakai baju mamamu" tanya Marissa hati-hati.
Jangan bikin kotor, jawab Wiliam.
Marissa menarik napas. Aku akan memakainya dengan hati-hati, Wiliam.
Setelah itu, Marissa dibiarkan sendiri memilih baju yang ada di lemari. Setelah membolak-balik pakaian beberapa kali, Marissa mendesah. Benar-benar beda dengan mode pakaian di tahun 2008, katanya. Apa boleh buat, daripada tidak ganti baju.
Marissa akhirnya memilih sehelai rok panjang berwarna hitam dan blus yang memakai busa di kedua pundaknya. Kemudian ia mandi dan mengenakan baju serta rok itu. Marissa menatap dirinya di cermin sambil mengernyit. Benar-benar tidak sesuai denganku, katanya sambil mencoba memperbaiki tatanan bajunya. Marissa mencoba memakai sepatu hak tingginya, namun ternyata kakinya masih lecet bekas kemarin. Ia masuk ke kamar orangtua Wiliam lagi dan mencari-cari sepatu. Ada sepasang sepatu sport usang di dalam lemari. Marissa me"makainya, walaupun ternyata setelah dipakai sepatu sport itu kebesaran satu nomor. Ia tidak peduli, yang penting dia bisa bergerak dengan bebas.
Marissa mendekati meja rias dan menemukan kotak kacamata di sana. Ia membukanya dan menemukan kacamata berbingkai cokelat. Dengan hati-hati ia memakainya. Walaupun model kacamata ini ketinggalan zaman, katanya dalam hati, setidaknya ukuran kacamata ini sesuai dengan mata"ku.
Marissa memandang dirinya sekali lagi di cermin dan tertawa. Aku pasti akan menjadi bahan tertawaan jika me"ngenakan pakaian seperti ini di masaku.
Ketika Marissa memasuki ruang makan beberapa saat kemudian, Bi Ijah sedang menata lauk-pauk di meja. Selamat pagi, Bi Ijah, kata Marissa.
Selamat pagi, Non Marissa, kata Bi Ijah. Ke mana Wiliam dan Tante Sarah" tanya Marissa, sambil memandangi meja makan yang tidak ada penghuninya.
Den Wiliam sudah pergi les, kata Bi Ijah. Kalau Non Sarah belum bangun. Non Marissa ingin makan duluan"
Marissa mengangguk. Perutnya memang sudah lapar. Seusai makan, Marissa mulai memikirkan apa yang terjadi padanya. Ia sudah bisa menerima bahwa ia memang ada di masa lalu, namun tidak mengerti bagaimana hal ini bisa terjadi. Ia berhenti berpikir. Tentu saja, katanya dalam hati, lukis"an di gedung itu. Hal terakhir yang aku ingat adalah aku sedang berbicara di depan lukisan itu. Tiba-tiba terjadi gempa bumi, lalu aku ada di masa lalu. Aku harus pergi ke gedung itu lagi. Aku harus menemukan lukisan itu dan kembali ke masaku.
Bi Ijah... apakah keluarga William punya mobil atau motor yang bisa saya pakai"
Cuma Non Sarah yang punya mobil... tapi... ada sepeda bekas ayah Den William di depan.
Senang telah mendapatkan jawaban dari Bi Ijah, Marissa bergegas ke luar ruangan. Sebuah sepeda tersandar di tembok tak jauh dari pintu gerbang. Marissa mengambil sepeda itu dan mencoba mengendarainya.
Setelah sempat sempoyongan beberapa kali karena sudah lama tak bersepeda, akhirnya Marissa bisa mengendarai sepeda itu dengan lancar. Marissa melihat Wiliam di kejauhan. Anak itu tampaknya sedang dikerumuni oleh segerombolan anak kecil. Salah seorang anak mengambil tas Wiliam dan menjatuhkannya, lalu anak itu merenggut pakaian Wiliam.
Melihat masalah yang akan dialami Wiliam, Marissa mem"percepat laju sepedanya. Hei! teriaknya pada gerombolan anak di depannya. Lepaskan dia!
Anak-anak itu langsung bubar ketika melihat ada orang dewasa di depan mereka. Marissa turun dari sepeda dan mendekati Wiliam. Kau tidak apa-apa, Wiliam"
Wiliam mengambil tasnya, dan memakainya kembali. Aku tidak apa-apa.
Marissa benar-benar khawatir. Apakah mereka memukul"mu" Apa yang mereka inginkan"
Me"reka tidak menyukaiku, kata Wiliam. Mereka juga menginginkan uang jajanku.
Marissa prihatin. Ayo, aku antar kau ke tempat lesmu! kata Marissa, sambil memegang tangan Wiliam. Tatap"an Marissa tertuju pada lebam-lebam di lengan Wiliam.
Ya, ampun! serunya kaget. Mereka memukulmu. Aku akan memperingatkan mereka! Marissa hendak mengejar anak-anak nakal itu, namun Wiliam menarik bajunya dan menghentikannya.
Biarkan saja, kata Wiliam. Tetapi& , protes Marissa.
Aku tidak mau telat ke tempat lesku. kata Wiliam, sambil memandang Marissa.
Marissa membungkuk hingga matanya sejajar dengan Wiliam. Aku akan menemanimu les setiap hari. Kau tidak perlu khawatir lagi kepada mereka, Wiliam.
Kakak tidak perlu melakukannya, kata Wiliam perlahan.
Hei, aku sudah makan dan tidur gratis di rumahmu, kata Marissa, sambil tersenyum kecil. Setidaknya aku bisa membalas kebaikanmu dengan melakukan ini untukmu. Ayo, aku boncengi kau.
Dengan ragu Wiliam naik ke boncengan sepeda. Wiliam memberitahu arah ke tempat les"nya, dan Marissa mengayuh sepedanya dengan cepat. Setibanya di tempat les, Wiliam turun dari sepeda.
Aku akan menjemputmu lagi, kata Marissa. Pukul berapa kau selesai les"
Pukul dua belas, kata Wiliam.


7 Hari Menembus Waktu Karya Charon di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku akan ada di sini pukul dua belas, kata Marissa. Wiliam, tunggu! Sebenarnya aku segan memintanya darimu. Bolehkah aku minta uang" Siapa tahu aku lapar dan butuh beli makanan.
Wiliam berhenti melangkah, lalu mendengus kesal, Kalau begitu, apa bedanya Kakak dengan anak-anak tadi"
Marissa merasa sedikit bersalah. Aku kan memintanya dengan manis, boleh ya" Tidak usah banyak-banyak.
Wiliam merogoh sakunya dan memberikan dua lembar uang lima ratusan berwarna hijau kepada Marissa. Ini, katanya.
Marissa menerima uang dari Wiliam. Seribu rupiah. Bisa jajan apa dengan seribu rupiah" Beli minuman doang. Ini anak pelit banget. Hmm, Wiliam, apakah kau tidak terlalu pelit" Maksudku, uang ini hanya cukup untuk membeli minuman, katanya kemudian
Wiliam mendengus kesal. Dengan seribu rupiah, kau bisa membayar bensin motor selama seminggu. Marissa tercengang mendengar penjelasan Wiliam. Oh, ya. Aku ada di tahun 1988, pasti semua harga juga beda dengan di masaku.
Ya& ya, kata Marissa mengakui. Aku lupa aku sekarang ada di tahun 1988. Maaf deh, Wiliam. Wiliam mencibir, lalu berlari memasuki gedung. Marissa menarik napas, dan melanjutkan perjalanannya ke Gedung Albatross. Hati-hati dia memarkir sepedanya tak jauh dari gedung itu, lalu berjalan perlahan sambil mem"perhatikan petugas keamanan yang ada di sana. Saat petugas itu sedang lengah, Marissa menyusup masuk. Ia berlari ke lantai tiga, dan mencari lukisan yang pernah dilihat di masanya. Ternyata lukisan itu tidak ditemukannya di mana-mana di dalam gedung itu. Marissa mencari sekali lagi dengan putus asa. Hasilnya tetap sama. Kelelahan, Marissa duduk di lantai dan menutup matanya.
Ayo berpikir, Marissa! katanya pada diri sendiri. Mengapa lukisan itu tidak ada di sini" Tunggu& waktu itu di bawah keterangan lukisan terdapat catatan tanggal& 6 Juli 1988. Ya, itu dia& lukisan itu baru akan dipasang tanggal 6 Juli 1988, tepat dengan pembukaan gedung ini. Hari ini tanggal 30 Juni 1988, berarti enam hari lagi lukisan itu akan ada di sini. Itu artinya, enam hari lagi aku baru bisa pulang.
Marissa tersenyum sendiri. Ia tidak sabar ingin mengatakan hal ini kepada Wiliam. Akan tetapi, katanya lagi, Wiliam tidak percaya bahwa aku datang dari masa depan. Tidak ada seorang pun yang memercayaiku. Tunggu dulu& mungkin Papi dan Mami akan percaya kepadaku kalau aku mengatakannya. Aku harus pergi menemui Papi dan Mami. Tahun 1988, berarti Papi dan Mami masih kuliah, kan" Aku bisa menemui mereka di kampusnya. Mami dan Papi pasti akan memer"cayai"ku.
Dengan ide itu di kepalanya, Marissa menuruni tangga dan keluar dari gedung dengan hati-hati. Ia mengendarai sepedanya kembali dan bergegas menuju kampus orangtua"nya.
Marissa sampai di depan kampus setengah jam kemudian dengan keringat mengalir di sekujur tubuhnya. Napasnya terengah-engah. Setelah memarkir sepedanya di samping motor-motor bebek yang berjajar di sana, ia pun melaksanakan niatnya mencari Papi. Ia memasuki area Fakultas Hukum, dan melihat ke dalam ruang-ruang kuliah yang ada di sana. Papi tidak ada di mana-mana. Marissa lalu beranjak mencari Mami di Fakultas Ekonomi, lagi-lagi dia gagal menemukan Mami di sana.
Apakah mereka berdua tidak kuliah hari ini" tanyanya dalam hati, sambil berjalan. Ia melihat sebuah gedung yang sedang direnovasi, palang-palang besi ter"bentang dari bawah hingga atas gedung. Ada sebuah bangku tak jauh dari sana. Marissa duduk di sana untuk beristirahat terlebih dahulu.
Tiba-tiba sebuah sepeda motor hitam memasuki area kampus. Pengendaranya menghentikan sepeda motornya tak jauh dari tempat Marissa duduk. Suara decitan rem membuat semua orang melihat ke arah pengendara motor itu. Di belakangnya, sang penumpang turun dari boncengan dengan tenang. Sekilas Marissa melihat seorang gadis dengan celana jins hijau dan kaus kuning ter"senyum kepada pengendara sepeda motor itu. Rambutnya panjang sebahu, dan memakai poni. Kedua te"linga"nya memakai sepasang anting besar. Kosmetik tebal dengan eye shadow biru menghiasi parasnya.
Ada apa sih dengan cewek-cewek di tahun 1988" tanya Marissa, sambil memperhatikan gadis itu dan gadisgadis yang lain. Model rambut mereka hampir sama. Terutama selera berpakaian yang norak. Jins hijau dan kaus kuning& benar-benar tidak cocok.
Para gadis yang lain bergegas menghampiri gadis tadi. Hai, Diana! Wah, baju baru, ya"
Marissa melongo. Diana" Diana" Itu kan nama Mami. Tunggu, tunggu& tidak mungkin! Marissa memperhatikan wajah gadis itu dari bangkunya. Oh, tidak! Itu memang benar-benar Mami. Astaga!
Gadis yang bernama Diana itu memandang pengendara sepeda motor dan berkata, Dah, katanya. Nanti pulang kuliah jemput aku lagi, ya. Diana tersenyum dan mengedipkan matanya.
Pengendara sepeda motor itu naik kembali ke motornya dan beranjak pergi. Diana dan teman-teman"nya berjalan ke dalam kampus. Seorang pria lewat di hadapan mereka, dan Diana bersiul keras diiringi teriakan, Hai, cowok!
Marissa ternganga saking terkejutnya. Ya, ampun! Mami kok centil banget. Dua tahun yang lalu, ketika Marissa sembunyi-sembunyi memakai kosmetik, Mami marah besar. Sekarang, ternyata Mami malah pakai kosmetik yang berlebihan. Benar-benar jauh dari gambar"an Mami yang dia kenal.
Diana dan teman-teman wanitanya duduk tak jauh dari bangku yang diduduki Marissa. Sampai saat itu, Marissa masih belum bisa mengatasi rasa terkejutnya. Ia memandang. Mami dengan rasa tidak percaya.
Tiba-tiba pandangan mata Diana bertemu dengan Marissa. Marissa mencoba tersenyum, namun Diana malah tertawa lebar. Ia lalu berkata kepada teman-temannya, Ya, ampun! Cewek di depan kita itu selera pakaiannya aneh sekali. Benar-benar tidak cocok.
Diejek seperti itu, Marissa cemberut kesal. Tidak dulu tidak sekarang. Komentar Mami soal caraku berpakaian tetap tidak berubah. Aku harus mendekatinya dan membuat Mami percaya kepadaku.
*** Ferry tidak pernah bosan memandang Diana. Dia sudah mencintai Diana sejak SD, dan perasaan itu tidak pernah berubah. Hari ini melihat Diana berboncengan dengan pria lain, hati"nya sedikit cemburu. Akan tetapi, dia tidak bisa berbuat apa-apa karena setiap kali dia ada di dekat gadis pujaan"nya itu, dia tidak bisa berbicara. Hari ini Diana me"ngenakan baju baru. Ferry mengakui bahwa Diana me"mang cantik mengenakan baju apa pun.
Suara palang besi yang jatuh membuyarkan pandangan Ferry dari Diana. Ferry melihat seorang gadis se"dang duduk tepat di bawahnya. Ia langsung berlari ke arah gadis itu dan menubruknya. Ia menarik tangan gadis itu agar terhindar dari tertimpa palang besi.
*** Marissa baru saja akan mendekati Mami, saat seseorang menubruknya dan menarik tangannya hingga jatuh. Marissa melihat sebuah palang besi jatuh menimpa bangku yang tadi dia duduki.
Kau tidak apa-apa" tanya pemuda yang menubruknya.
Marissa menelan ludahnya dan mengangguk. Terima kasih, kata Marissa. Tatapannya tertuju pada pemuda yang telah menyelamatkannya. Dia mengenakan celana jins dan kemeja yang digulung hingga siku.
Diana berjalan ke arah mereka. Hai, Ferry. Ferry" ungkap Marissa dalam hati. Itu berarti, pemuda ini& Papi"
Marissa kini memandang pemuda itu dengan cermat. Memang benar Papi.
Papi membantu Marissa berdiri. Wajah Papi tertunduk malu, lalu menjawab dengan tergagap-gagap, Ehmm& . Ha& lo, Di& Di& Diana.
Diana tersenyum manis. Kau benar-benar hebat sudah menyelamatkannya.
Mendengar pujian Diana, wajah Ferry semakin memerah. Te& te& terima kasih, Diana.
Aku masuk kelas dahulu, kata Diana. Sampai jumpa.
Ferry tersenyum gugup. Sampai jumpa.
Marissa memandang Papi dengan setengah jengkel. Papi kok jadi pemalu seperti itu" Bukankah Papi paling jago berdebat di pengadilan" Masa omong dengan Mami saja gelagapan seperti itu"
Aku senang kau tidak apa-apa, kata Ferry kepada Marissa. Maaf, aku harus kuliah.
Hei, tunggu! Papi! teriak Marissa. Papi sudah berlari menuju ruang kuliahnya.
Marissa kembali berjalan menuju parkiran sepeda. Sepertinya aku tidak bisa berharap banyak bahwa Papi dan Mami akan memercayaiku. Mereka bahkan belum pacaran. Kalau aku omong, Hai Mam& Pap& sebenarnya aku ini anakmu di masa depan... Ha& ha& lucu se"kali& pasti mereka tidak akan percaya.
Perut Marissa berkeroncongan lagi. Ia teringat pada Wiliam. Astaga, aku hampir lupa, aku kan harus menjemput dia.
Marissa bergegas mengendarai sepedanya, dan pergi ke tempat les Wiliam.
*** Wiliam baru saja keluar dari depan pintu, saat sepeda Marissa memasuki area tempat les. Perjalanan bolak-balik dari tempat les ke kampus dan sebaliknya membuat Marissa kecapekan.
Wiliam, katanya, sambil terengah-engah. Kita makan dulu, yuk!
Wiliam menatap Marissa dengan curiga. Kakak ke mana saja sih"
Aku akan menceritakannya kepadamu setelah makan, kata Marissa.
Mereka makan mi bakso di warung dekat situ. Marissa terkejut mengetahui betapa murahnya harga makanan di tahun 1988. Dua mangkuk mi bakso hanya lima ratus rupiah.
Benar-benar murah, kata Marissa. Di masaku, Wiliam, dengan uang lima ratus tidak cukup untuk membeli satu mangkuk mi bakso. Mumpung mu"rah, bagaimana kalau aku tambah satu mangkuk lagi, ya" Bang, tambah satu mangkuk lagi!
Wiliam hanya mendesah melihat kerakusan Marissa. Usai makan mi bakso, Marissa mengajak Wiliam melewati rumahnya.
Kita mau ke mana" tanya Wiliam. Arah jalan pulang bukan lewat sini.
Aku tahu, kata Marissa. Aku mau menunjukkan sesuatu padamu.
Mereka tiba di depan sebuah rumah. Wiliam menatap Marissa penuh tanda tanya. Jari telunjuk Marissa menunjuk rumah itu. Kau lihat rumah dengan gerbang hijau itu" tanyanya. Itu rumahku, maksudku rumahku di masa depan.
Kalau itu rumahmu, mengapa kau tidak pulang saja" tanya Wiliam.
Aku kan sudah katakan, gerutu Marissa. Itu rumahku di masa depan. Di masa ini, tidak ada seorang pun yang mengenalku. Terakhir kali aku ke sana, aku disangka maling oleh Kakek. Aku rasa itu Kakek. Kakek mencoba mengejarku dengan pemukul bola. Kau tidak percaya, ya"
Wiliam menggeleng. Aku rasa Kakak hanya mengarang saja.
Marissa menarik napas, Kau tahu gedung baru yang akan dibuka di jalan raya itu"
Gedung Albatross" tanya Wiliam.
Marissa mengangguk. Aku rasa aku ada di tahun ini karena lukisan yang ada di dalam gedung itu. Aku sendiri sulit memercayainya. Di masa depan saat aku ada di gedung itu, aku melihat lukisan aneh dan men"dekatinya. Di situ tertulis bahwa lukisan itu bisa me"ngabulkan sebuah permintaan. Tanpa sadar aku meng"ucapkan keinginanku. Aku tadi ke sana, lukisan itu belum dipasang. Aku yakin lukisan itu akan dipasang tang"gal 6 Juli, saat pembukaan gedung itu. Itu artinya, aku akan pulang enam hari lagi.
Wiliam terdiam mendengar perkataan Marissa. Marissa menatap Wiliam. Aku tidak peduli kau percaya atau tidak. Aku akan membuktikannya padamu tanggal 6 Juli nanti.
Suara sepeda motor mendekati rumah itu. Marissa tersenyum.
Kaulihat pengendara sepeda motor itu" katanya kepada Wiliam. Itu ayahku. Aku baru saja bertemu dengannya di kampus. Aku bertemu ibuku juga. Mereka tidak seperti yang aku harapkan, namun aku benar-benar merindukan mereka. Hari ini Papi telah me"nyelamatkanku. Tadi aku nyaris tertimpa palang besi. Aku rasa di mana pun aku berada, Papi selalu melindungiku. Ayo kita pulang!
Marissa menatap rumahnya sekali lagi, lalu mengayuh sepedanya. Di belakangnya, Wiliam memperhatikan rumah itu dan si pengendara sepeda motor yang sedang masuk ke dalam rumah. Wiliam tidak tahu apakah yang dikatakan Marissa benar atau tidak. Akan tetapi, ekspresi Marissa tadi benar-benar meyakinkan.
*** Diana memandang pria di hadapannya dengan bosan. Sepulang kuliah, Jimmy, pacarnya selama tiga bulan itu, menjemputnya dan langsung membawanya ke tempat latihan breakdance. Sudah dua jam berlalu, Jimmy dan teman-temannya masih terus menggerak-gerak"kan kaki dan tangannya. Semakin lama Diana se"makin merasa kesal. Saat latihan breakdance berlangsung, Jimmy sama sekali tidak memedulikannya. Akhirnya ia bergegas mendekati Jimmy dan menarik jaket jins yang dikenakannya. Jimmy, aku lapar! teriaknya. Bisakah kau berhenti"
Jimmy menatap Diana dengan kesal. Aku belum selesai.
Diana juga tidak mau kalah. Aku benar-benar lapar. Lagi pula, apa pentingnya latihan konyol seperti ini"
Konyol"! teriak Jimmy. Apa kau tidak tahu ini sedang trend"
Aku tahu, kata Diana dalam hati, namun melihatmu dan teman-temanmu latihan breakdance seperti melihat segerombolan binatang liar yang bergerak tak keruan. Tadinya aku pikir Jimmy terlihat keren dengan motor hitamnya, namun sekarang& argh!
Ya sudah, kata Diana akhirnya. Kalau kau tidak mau makan, ya sudah. Aku makan sendiri saja.
Terserah! bentak Jimmy. Silakan saja. Aku belum lapar. Lagi pula, aku belum selesai latihan. Aku benci kau, Jimmy! teriak Diana sambil berlari. Jimmy sekarang benar-benar menyesal karena telah membentak Diana. Tiga bulan yang lalu, saat dia mengenalkan Diana kepada teman-temannya, dia merasa sangat bangga. Teman-temannya mengakui bahwa pacarnya memang benar-benar cantik.
Jimmy lalu berlari menyusul Diana. Diana, Tung"gu! seru"nya.
Apa"! teriak Diana kesal.
Aku akan menemanimu makan, katanya, sambil merayu. Setelah itu, aku akan menemanimu pergi ke toko musik yang kauinginkan, bagaimana"
Diana memandang Jimmy dengan kesal. Akan tetapi, akhirnya dia luluh juga oleh tatapan pemuda itu. Baiklah. Kau tidak boleh ingkar janji, ya. Kau harus menemaniku ma"lam ini, oke"
Oke, kata Jimmy sambil tersenyum lebar.
*** Hari sudah menjelang sore ketika Marissa dan Wiliam
tiba di rumah. Sebaiknya Kakak mandi, kata Wiliam. Nanti kita akan pergi ke toko kaset.
Kau ingin beli kaset" tanya Marissa.
Apakah Kakak tidak tahu" tanya Wiliam. Hari ini adalah hari terakhir harga kaset Rp 2.750,00. Besok sudah naik jadi Rp 4.500,00. Aku akan membeli kaset lagu Megaloman.
Marissa bergegas masuk ke rumah, Oke, katanya. Aku akan mengantarmu ke toko kaset.
Di kamar mandi, dia merasa pernah mendengar apa yang dikatakan Wiliam tadi. Akan tetapi, benaknya tak mampu mengingat. Sore itu dia mengenakan celana jins ibu Wiliam dan blus warna bergaris-garis.
Mereka pergi ke toko kaset naik bus kota. Sesampai"nya di depan toko kaset, sudah banyak orang. Wiliam berlari dan berusaha masuk ke toko kaset itu.
Wiliam, tunggu! kata Marissa, sambil berlari mengejarnya.
Di dalam toko, kerumunan orang semakin banyak. Berjalan di antara mereka sungguh bukan hal yang mudah. Karena Wiliam masih kecil, dia dapat dengan mudah bergerak ke sana-sini.
Tiba-tiba Marissa melihat Mami sedang memilih-milih kaset tak jauh dari sana. Apa yang Mami lakukan di sini" tanyanya. Marissa beringsut-ingsut di antara rak kaset dan bersembunyi di sebuah rak dekat Mami.
Diana, kata suara bernada kesal. Sampai kapan aku harus di sini"
Marissa mengintip dari balik rak dengan hati-hati. Ya, ampun! Itu kan pemuda berjaket kulit hitam di kampus siang tadi, yang memboncengi Mami.
Marissa menatap Mami dan pemuda berjaket kulit itu dengan saksama. Pikirannya membeku. Mami seharus"nya datang kemari dengan Papi, katanya dalam hati. Itulah sebabnya, mengapa perkataan Wiliam soal toko kaset tadi mengusikku. Mami pernah berkata bahwa kencan pertama kali dengan Papi adalah antre di toko kaset. Mami juga berkata bahwa semua orang me"nyerbu toko musik karena harga kaset akan naik. Akan tetapi, mengapa sekarang Mami malah bersama pemuda itu" Bukan dengan Papi" Seharusnya Mami kencan dengan Papi hari ini. Tunggu& tunggu& aku harus meng"ingat perkataan Mami lagi. Mami berkata bahwa siang"nya sebelum kencan pertama kali, Papi menyelamatkan"nya, kan" Tapi tadi siang Papi& . Ya, ampun! Papi menyelamatkanku, bukan Mami. Seharus"nya Mami yang duduk di bangku kampus tadi siang, bukan aku. Papi seharusnya menyelamatkan Mami, bukan aku. Astaga! Aku menghancurkan kesempatan Mami dan Papi untuk bersama. Kalau Mami dan Papi tidak bersamasama, itu artinya aku tidak akan ada.
Marissa menggeleng-geleng. Aku harus menyatukan ke"dua"nya, katanya perlahan. Ini semua kesalahanku. Besok aku harus membantu Papi mendapatkan Mami kembali.
Di depan rak tempat Marissa bersembunyi, Diana mendengus kesal ke arah pasangannya. Jimmy, katanya, tadi kau berjanji akan menemaniku ke sini, kan" Aku sudah menemani"mu latihan breakdance siang tadi selama berjam-jam. Sekarang giliranmu menemaniku antre. Diana, kata Jimmy, kakiku sudah pegal. Diana berkata sinis, Kau tidak pegal saat latihan breakdance. Pokoknya, kau tunggu di situ!
Diana pergi meninggalkan Jimmy sendirian untuk memilih-milih kaset. Marissa menundukkan tubuhnya menyembunyikan diri. Lalu menatap Jimmy dengan kesal. Perlahan-lahan ia mendekati pemuda itu dari belakang. Desakan pengunjung yang ramai membuat Marissa agak sulit berjalan ke arah Jimmy, namun akhirnya ia berhasil mendekati jummy dari belakang.
Marissa mengepalkan tangannya, ia sudah gatal ingin memukul punggung pria itu. Setelah berpikir beberapa saat, ia mengurungkan niatnya. Berani-beraninya kau mem"buat Mami kesal. Lihat saja, rasakan akibatnya!
Tanpa rasa bersalah, Marissa menyenggol Jimmy dengan sengaja, lalu berlari menjauh secepat kilat. Ia mendengar suara kaset berjatuhan dan sebuah teriak"an. Siapa yang barusan mendorongku, hah"
Marissa tersenyum puas. Kemudian, dilihatnya seorang pria mendekati Jimmy.
Hei, anak muda, kata pria itu, kau sudah menjatuhkan kaset-kaset ini. Jadi, kau harus membereskannya. Tetapi, Pak... sanggah Jimmy.
Tatapan garang sang manajer toko membuat nyali Jimmy menciut. Akhirnya dia menuruti perintah pria itu, membereskan kaset-kaset yang berserak"an di lantai ke raknya kembali.
Melihat itu, Marissa terkikik geli. Itulah akibatnya kalau kau membuat mamiku kesal. Tidak boleh ada seorang pun yang menyakiti keluargaku. Aku tidak rela kau jadi pacar Mami. Bagaimanapun juga, Mami harus jadian dengan Papi.
Kemudian, tersadar dirinya sudah agak lama meninggalkan William, Marissa berusaha mencari Wiliam di keramaian. Ia menemukannya sedang antre di kasir untuk membayar.
Wiliam, kata Marissa, berusaha curhat. Aku bertemu Mami. Aku rasa aku mengacau"kan sejarah pacaran Mami dan Papi.
Hah" Apa" Kakak omong apa" tanya Wiliam, di sela hiruk-pikuk musik yang keras. Aku tidak bisa mendengar Kakak.
Tatapan Marissa jatuh pada sebuah kaset di tangan Wiliam. Marissa berteriak keras, Astaga, Wiliam! Kau capek-capek datang ke sini hanya untuk beli satu ka"set"
Orang-orang yang antre di belakang Wiliam terdiam mendengar teriakan Marissa. Marissa tertunduk menahan malu. Maaf, katanya kepada Wiliam dengan manis. Kau antre saja, ya. Aku tunggu di luar.
Marissa membalikkan punggungnya dan keluar dari toko kaset. Di belakangnya, Wiliam menatap punggung Marissa. Di bibirnya tersungging seulas senyum.
*** Aku harus pergi ke kampus dan bertemu dengan Papi
besok, tekad Marissa. Ia dan William sudah pulang dari toko kaset dan kini sedang ada di kamarnya. Dari tadi Marissa mondar-mandir terus. Aku harus membantu Papi, katanya lagi. Marissa menjatuhkan badannya ke tempat tidur dan berusaha tidur. Ketika akan menutup matanya, terdengar sebuah lagu dari kaset di penjuru rumah, diikuti suara Wiliam yang menyanyi dengan keras.
Yuke yuke yuke megaloman Doko mademo susume & .
Megalon FIRE Megaloman wa yukuze Megaloman wa yaruze Megaloman hon" no senshi
Marissa mengambil bantal di kepalanya, dan melemparnya ke pintu kamar. Wiliaaaammm! teriaknya. Beriiisssiiik! Aku mau ti"dur!
Marissa mengambil bantal satunya lagi dan meletakkannya di atas kupingnya. Setelah bolak-balik di tempat tidur selama satu jam dan rasa kantuk tidak juga kunjung datang, Marissa akhirnya berjalan ke luar kamar.
Ia berjalan ke arah pekarangan rumah dan melihat langit di atasnya. Jutaan bintang bertebaran di sana. Apakah Mami dan Papi juga sedang menatap langit yang sama di masa depan" keluhnya dalam hati. Aku benarbenar ingin pulang. Akan tetapi, tidak sebelum aku menyatukan Mami dan Papi kembali. Waktunya hanya enam hari. Marissa mendesah. Apakah aku sanggup melakukannya dalam waktu sesingkat itu" Tiba-tiba sebuah jari menusuk punggungnya. Arrgghhh! teriak Marissa kaget.
Di belakangnya, Wiliam menutup kupingnya dengan kesal. Teriakan Kakak keras sekali.
Marissa mengusap-usap dadanya untuk meredakan kekagetannya. Salahmu sendiri, tiba-tiba membuatku kaget. Bukankah kau sedang menyanyi di kamarmu" Untuk apa kau ke sini"
Wiliam mendengus kesal. Aku melihat ada orang di pekaranganku. Aku kira rumahku kemalingan. Heh, kausangka aku maling" tanya Marissa kesal. Sebenarnya apa yang Kakak lakukan di sini malammalam begini" tanya Wiliam bingung.
Aku sedang menatap bintang, sahut Marissa. Aku rasa langit di masa kini ataupun di masa depan pasti tidak berubah, ya kan"
Wiliam mengangkat bahunya, seakan tidak peduli. Tiba-tiba Marissa memukul pundak Wiliam dan berteriak, Hei, ada bintang jatuh! Ayo ucapkan keinginanmu!
Wiliam hampir saja tersungkur jatuh oleh pukulan tangan Marissa di pundaknya. Ia lalu memandang cewek di depannya dengan kesal. Itu kan cuma takhayul saja. Mana ada bintang yang bisa memenuhi keinginan orang"
Masa bodoh, kata Marisa. Pokoknya, aku berharap aku bisa kembali ke masa depan, dan tidak perlu berurusan denganmu lagi. Oh ya, aku juga ingin punya pacar yang ganteng banget, pintar, baik hati, perhatian, mengerti aku apa adanya.
Oi! teriak Wiliam, mengingatkan Marissa. Bintangnya sudah tidak kelihatan lagi. Sepertinya keinginan Kakak tidak akan terpenuhi. Lagi pula, mana ada cowok sempurna seperti yang Kakak inginkan" Permintaan Kakak tidak masuk akal. Pasti bintangnya juga kecapekan mendengar permintaan Kakak yang panjang begitu.
Marissa menarik napas dengan kesal. Namanya juga permintaan. Bukankah kita harus berharap yang setinggitingginya" Ya, sudah. Kalau kau tidak percaya, kau kan tidak perlu menggangguku membuat permintaan. Nah, sekarang aku harus menunggu bintang jatuh lagi.
Setelah itu, Wiliam terdiam seribu basa. Dulu dia percaya bahwa ia bisa mengajukan permintaan ketika ada bintang jatuh. Sekarang sudah tidak lagi. Dua tahun yang lalu, ia meminta kepada sang bintang agar orangtuanya kembali kepadanya. Ternyata, permintaan itu tidak pernah terkabulkan. Akhirnya, ia berhenti meminta.
Ditatapnya Marissa yang sedang mencari bintang jatuh berikutnya di langit. William menunduk, lalu melangkah masuk ke rumahnya perlahan-lahan.
M arissa terbangun dengan kepala pening. Semalam ia
mencoba menatap langit, berharap bintang jatuh akan terjadi lagi. Setelah menunggu satu jam, bintang jatuh tak kunjung tiba. Akhirnya, Marissa kembali ke kamar tidurnya dengan perasaan kesal. Kini, kepalanya berdenyutdenyut. Pasti gara-gara tidur kemalaman dan masuk angin. Bangkit dari tempat tidurnya, Marissa mengambil kaca"mata, mengenakannya, dan menatap beker di samping tempat tidur.
Apa"! teriaknya, sudah pukul sembilan"
Marissa berlari ke luar kamar dan melihat Wiliam sedang nonton TV. Wiliam, panggilnya. Kau belum pergi les"
Hari ini aku les piano pukul sepuluh, kata Wiliam. Marissa menarik napas lega. Tiba-tiba Marissa teringat, Wiliam, bukankah kau sedang liburan sekolah" Kenapa harus les setiap hari"
Wiliam hanya mengangkat bahu, lalu kembali memandangi layar televisi.
Empat 1 Juli 1988 Surat Cinta Marissa mendesah. Pikirannya kembali tertuju pada tugas penting yang harus ia lakukan. Hari ini ia harus pergi menemui Papi lagi, dan meyakinkannya agar segera ber"kencan dengan Mami. Aku mandi dulu, kata Marissa. Nanti aku antar kau les.
Marissa mengenakan celana jins pucat dan kemeja ibu Wiliam. Lengan kemeja itu terlalu panjang. Karena itu Marissa melipatnya sampai ke atas siku karena ia melihat Papi mengenakan kemejanya seperti itu.
Waktu turun untuk sarapan, Marissa tidak melihat Tante Sarah lagi. Tante Sarah masih belum bangun" tanya"nya kepada Wiliam.
Wiliam mengangkat bahu. Kemarin sepertinya Tante tidak pulang. Ayo, kalau sudah selesai, antar aku les! Wiliam jalan ke luar rumah, dan Marissa mengikutinya.
Kali ini tempat les Wiliam agak jauh. Jadi, mereka memutuskan naik mikrolet saja. Dalam perjalanan mereka bertemu dengan segerombolan anak yang kemarin menyerang Wiliam. Marissa melirik mereka dengan tatapan dingin, lalu anak-anak itu me"nyingkir.
Kau selesai pukul berapa" tanya Marissa, sesampainya di tempat les.
Pukul dua belas, kata Wiliam.
Oke, kata Marissa, nanti kujemput. Hari ini aku harus pergi menemui Papi lagi. Dadah....
*** Papiii! Ehmm, Ferry! panggil Marissa, sambil melongok ke dalam ruang kuliah Papi.
Di tengah kelas, Papi mendongak dan mencari arah datangnya suara yang memanggil namanya. Kebetulan kelas masih kosong, kecuali dirinya yang hari itu memang hadir lebih awal.
Marissa tersenyum melihat Papi, lalu melangkah maju mendekati meja Papi dan duduk di kursi sebelahnya.
Masih ingat aku, kan" tanya Marissa, sambil tersenyum manis.
Ferry melihat gadis di sebelahnya dan mengangguk. Kau gadis yang aku selamatkan kemarin.
Ya, benar. Marissa tersenyum lebar. Jadi& kali ini aku datang untuk membantu Pap& ehmm& kau, Ferry.
Membantu apa" tanya Ferry, sambil beringsut menjauh dari gadis di sebelahnya.
Membantumu mendekati Diana tentu saja. Kau menyukainya, kan" kata Marissa, mendekatkan diri ke bangku Papi.
Ferry beringsut menjauh lagi. Bagaimana kau bisa tahu" tanyanya.
Itu tidak penting, kata Marissa, tidak menggubris pertanyaan Ferry. Yang penting sekarang aku mau membantumu. Jadi, kita harus menemui Diana, dan kau harus mengungkapkan perasaanmu padanya hari ini.
Ferry menggeleng ngeri. Tidak mungkin. Aku& aku& gugup sekali bila berdekatan dengannya.
Oleh karena itulah, aku akan membantumu, Marissa menegaskan. Kau harus mengatasi rasa gugupmu itu. Ayolah, Diana kan gadis yang kausukai. Masa kau tidak ingin mengatakan isi hatimu kepadanya selamanya" Tidak mungkin, kan"
Pergilah! kata Ferry, mengusir Marissa. Aku tidak butuh bantuanmu. Ia kemudian kembali menulis sesuatu di sehelai kertas.
Marissa memiringkan kepalanya untuk melihat apa yang ditulis Papi. Saat Papi sedang lengah, Marissa mengambil kertas itu dan membacanya.
Hah! Rupanya kau sedang menulis surat cinta, kata Marissa, sambil memegang surat Papi.
Papi berusaha meraih kembali surat di tangan Marissa, na"mun Marissa lebih gesit dan menghindarinya. Kembalikan padaku! teriak Ferry panik.
Aku akan kembalikan, kata Marissa tenang, setelah aku membacanya, ya.
Tolong, jangan baca, kata Ferry memelas. Dengar, Ferry, kata Marissa serius, aku benar-benar ingin membantumu mendapatkan Diana. Jadi, kau duduk saja dan biarkan aku membaca. Aku akan memberikan opini sebagai seorang perempuan.
Ferry akhirnya berdiam diri dan membiarkan Marissa membaca surat yang ditulisnya. Melihat kepanikan Papi mereda, Marissa membaca surat itu.
Untuk Diana, Jikalau kau adalah bunga matahari, aku rela menjadi lebahnya.
Jikalau kau adalah rembulan yang menyinari bumi, biarlah aku menjadi bintang di sisimu.
Madu di tangan kananmu, racun di tangan kirimu, Aku akan menerima apa pun yang kauberikan kepadaku.
Diana& maukah kau jadi pacarku"
Yang selalu mencintaimu, Ferry
Marissa terheran-heran membaca isi surat cinta Papi.
Bagaimana" tanya Papi, tidak sabar di sebelahnya. Ba"gus tidak"
Marissa memutar bola matanya, lalu memandang Papi. Surat ini kesannya, hmmm& gombal, picisan&
& terlalu berlebihan, lanjut Marissa, berusaha supaya pendapatnya tidak terdengar merendahkan. Ia harus ingat, walau bagaimanapun pria di hadapannya ini akan menjadi papinya di masa yang akan datang. Yang tidak ia sadari, ternyata papinya sangat payah, tidak bisa membuat surat cinta.
Berlebihan" tanya Papi. Aku sudah mencoba mengungkapkan perasaanku lewat surat itu. Menurut artikel yang aku baca di majalah-majalah, surat seperti itu menarik perhatian wanita.
Aduh, Papi baca majalah apa sih! Ini sih surat cinta picisan. Aku saja sekali baca sudah tahu.
Apa ini artinya, madu dan racun" tanya Marissa bingung.
Ehmm, itu diambil dari lagunya Bang Arie yang terkenal, Madu dan Racun, kata Papi. Masa kau tidak tahu"
Begini saja, kata Marissa, sambil geleng-geleng. Aku akan buat surat cinta yang baru. Aku rasa kita butuh surat cinta yang tidak berlebihan. Jadi, ceritakanlah kepadaku tentang Diana. Aku akan menulis surat cinta berdasarkan apa yang kaurasakan, bagaimana" Kalau kau tidak suka, kau bisa memberikan surat cinta yang kautulis sendiri.
Apa yang harus aku ceritakan" tanya Ferry. Aku jelasjelas mencintai Diana.
Ya, aku tahu, kata Marissa tidak sabar. Maksudku, misal"nya kau bisa menceritakan tentang pertama kali Pap& ehmm& kau bertemu. Apa yang kausuka dari Diana" Hal-hal seperti itulah.
Papi tampak berpikir, Yah, aku bertemu dengannya se"puluh tahun yang lalu ketika masih SD. Menurutku ia gadis paling cantik di sekolah! Bibir Papi tersenyum teringat kenangan manis masa kecil mereka. Sampai sekarang pun dia masih gadis paling cantik yang pernah aku temui. Aku suka senyumnya, tatapannya, semuanya. Aku suka memandangnya, dan tak sekali pun aku merasa bosan. Kau tahu, ketika kau mencintai seseorang, kau ingin menghabiskan sisa hidupmu dengannya.
Marissa terpana. Ia tahu orangtuanya saling men"cintai. Mendengar perasaan Papi langsung dari mulut"nya sendiri, membuat Marissa tersentuh. Papi memang benar-benar mencintai Mami.
Itulah yang bisa aku ceritakan, lanjut Papi lagi. Aku me"mang tidak pandai menggunakan kata-kata roman"tis.
Marissa mengangguk dan menyentuh tangan Papi. Tidak apa-apa. Aku sudah mengerti. Kau benar-benar mencintainya. Aku berharap aku bisa merasakan hal yang sama.
Tiba-tiba dari luar terdengar bunyi mesin motor dan decitan rem disusul teriakan, Diana, tunggu!
Papi dan Marissa keluar dari kelas, dan melihat Mami sedang berjalan menjauhi pemuda yang mengendarai sepeda motor.
Pokoknya, aku tidak mau melihatmu lagi! teriak Diana. Pergi!!
Diana! teriak pemuda itu ngotot. Kita putusssss!! teriak Diana keras-keras. Pemuda itu memegang tangan Diana, dan memintanya untuk tinggal. Lepaskan tanganku! teriak Diana lagi. Jangan pernah menyentuhku lagi!
Marissa melihat Mami berjalan ke ruang kuliahnya meninggalkan pemuda itu sendirian. Tak berapa lama deru motor kembali membahana, lalu lenyap. Pemuda itu telah pergi.
Marissa tersenyum sambil meloncat-loncat. Ini kesempatanmu, katanya kepada Papi, sambil menepuk pung"gungnya. Diana baru saja putus dengan pacarnya. Sekarang kau bisa menemuinya dan menyatakan perasaanmu.
Papi menggeleng. Aku rasa tidak semudah itu, katanya. Diana sedang terluka.
Tidakkah kau ingin menghiburnya" tanya Marissa kesal.
Tentu saja, kata Papi lembut, akan tetapi, sekarang ia butuh waktu untuk sembuh. Saat ini dia pasti berpikir semua pria adalah makhluk yang harus dihindari. Aku akan berbicara dengannya besok. Oh ya, aku harus kembali ke ruangan. Kuliah akan segera dimulai.
Marissa tersenyum perlahan. Aku akan membuatkanmu surat cinta yang hebat. Besok aku akan membawanya kemari. Aku yakin Diana pasti akan terharu membacanya dan menerima kencanmu.
Papi hanya tersenyum, lalu masuk ke ruang kuliah.
*** Marissa berdiri di depan tempat les piano Wiliam sambil mengetuk-ngetukkan kakinya di lantai. Pikirannya penuh dengan kata-kata yang akan dia tulis untuk surat cinta Papi. Wiliam melihat Marissa yang tampak sedang berpikir keras hingga tidak meyadari kehadirannya. Kakak sedang memikirkan apa" tanyanya Pertanyaan Wiliam mengejutkan Marissa. Oh, hai Wiliam, lesnya sudah selesai ya"
Wiliam mengangguk. Aku lapar. Ayo kita cari makan!
Marissa menyetujuinya. Mereka makan di warung pinggir jalan.
Tadi, kata Marissa, di tengah makan siang mereka, aku bertemu Papi lagi, dan aku akan membantunya membuat surat cinta.
Wiliam memandang Marissa tanpa semangat, dan kembali melanjutkan makannya.
Kesal karena merasa tidak diindahkan, Marissa cemberut. Wiliam" Kau mendengarkan aku, kan" Wiliam menarik napas, dan meletakkan sendok-garpunya. Ya. Aku rasa surat cinta terlalu aneh kalau ditulis orang lain. Bukankah sebaiknya papimu membuat surat cinta sendiri"
Dia sudah buat, kata Marissa lagi, namun buatannya tidak bagus. Oleh sebab itulah, aku akan membantu membuatkannya.
Tidak terdengar tanggapan apa-apa.
Jadi, bagaimana menurutmu" tanya Marissa bersemangat.
Wiliam mengangkat bahunya. Aku tidak akan mencampuri apa pun yang bukan urusanku.
Marissa merasa kesal. Ini anak memang tidak bisa diajak bicara baik-baik, gerutunya dalam hati.
Kalau Kakak sudah selesai makan, kata Wiliam, melihat piring kosong Marissa, sebaiknya kita pergi sekarang. Aku masih ada les.
Wiliam beranjak berdiri. Marissa membayar makanan mereka, lalu mengikutinya.
Tunggu, Wiliam, kata Marissa. Kau masih ada les apa lagi"
Karate, kata Wiliam. Mereka naik bus kota ke tempat les karate Wiliam. Sepanjang jalan, Marissa tak habis pikir apa benar Wiliam bisa karate. Kalau benar, mengapa dia tidak melawan anak-anak nakal yang mengganggunya waktu itu.
Wiliam, katanya di dalam bus, kau sudah belajar karate berapa lama"
Wiliam menatap Marissa. Dua tahun.
Marissa menelan ludah. Kalau kau sudah belajar begitu lama, mengapa kau tidak melawan anak-anak yang mengganggumu waktu itu"
Wiliam mendengus. Aku tidak punya alasan untuk melawan mereka.
Jadi, kau membiarkan mereka memukulmu, kata Marissa, tidak setuju.
Mereka berenam, dan aku hanya sendiri, kata Wiliam, menerangkan kepada Marissa. Kalaupun aku bisa mengalahkan salah satu dari mereka, yang lain pasti akan bergegas memukulku juga. Jadi, tidak ada bedanya.
Marissa menarik napas lagi. Tidakkah kegiatan lesmu ini terlalu banyak" Kau kan masih kecil, mengapa kau harus les sebanyak ini"
Kata Mama, selagi muda kita harus mencoba semuanya. Mimik Wiliam tampak seakan ia sedang mengingat masa-masa ketika mamanya masih hidup. Mama ingin aku mencoba semuanya, dan menemukan satu kegiatan yang paling aku sukai.
Marissa mengangguk. Kalau begitu, mengapa kau tidak konsentrasi di satu kegiatan yang paling kausukai saja"
Wiliam mengangkat bahu, Karena sampai saat ini aku belum menemukan kegiatan yang paling aku sukai. Kita sudah sampai. Ayo!
Marissa mengikuti langkah Wiliam menuju tempat latihan karatenya. Setelah satu jam menunggu, Marissa mulai melihat-lihat ke luar tempat les. Di sepanjang jalan dekat tempat les Wiliam, banyak sekali penjaja makanan. Mata Marissa bercahaya. Dia menelusuri penjaja makanan itu satu per satu. Di sana banyak sekali dijual makanan yang belum pernah ia cicipi.
Ada berbagai macam cokelat, yang berbentuk batangan, wafer, keping uang logam emas. Bang, kata Marisa, sambil menunjuk semuanya. Aku mau beli cokelatcokelat ini. Harganya berapa, ya"
Si abang penjual makanan berkata, Cokelat batangan ini harganya Rp 25,00 per buah, yang wafer Rp 50,00. Kalau yang berbentuk uang logam emas Rp 25,00 dapat empat buah.
Marissa semakin tersenyum lebar. Murah sekali. Saya mau semuanya, ya.
Setelah transaksi jual-beli selesai, Marissa membuka jajanan yang baru dibelinya satu per satu dan memakannya. Hmmm enak sekali.
Cokelat-cokelat itu habis dalam waktu sepuluh menit. Berikutnya Marissa mengincar permen. Oh, katanya dalam hati, aku belum pernah melihat permen-permen ini. Apa ini namanya" Cocorico, Chicklets, Pindy Pop, permen karet Yosan. Wah, aku harus mencoba semuanya!
Dari dalam ruangan latihan karate, Wiliam menatap Marissa yang sedang bingung memilih mana di antara dua permen yang akan ia makan terlebih dahulu. Setelah tersenyum kecil, Marissa membuka kedua bungkus permen itu dan memakan keduanya sekaligus. Wiliam tertawa.
Dari belakangnya, seseorang memperhatikan Wiliam dan berkata, Kau tahu, ini pertama kalinya Sensei melihatmu tertawa.
Wiliam berbalik, dan menghadapi guru karatenya.
Sensei tersenyum sambil memberikan sabuk kuning kepada Wiliam. Selamat, Wiliam. Hari ini kau telah berhasil memperoleh sabuk kuning.
Wiliam membungkuk memberi hormat. Terima kasih, Sensei. Diterimanya sabuk itu dengan sedikit perasaan bangga, lalu ia melihat ke arah Marissa lagi. Di Tangannya ada permen bergagang putih.
Dia kakakmu" tanya Sensei.
Wiliam langsung menggeleng. Bukan. Dia cuma gadis yang sangat rakus.
Sensei tersenyum mendengar penjelasan Wiliam. Seringlah tertawa, Wiliam.
Wiliam tidak berkata apa-apa mendengar perkataan gurunya. Saya pulang dulu, Sensei.
Sensei mengangguk. Saat keluar dari ruang latihan karate, Wiliam melihat Marissa masih mengunyah permen di mulutnya. Marissa me"natapnya, lalu mengeluarkan permen itu dari mulutnya.
Wiliam, serunya gembira, kau tahu, makanan di masa""mu enak-enak semua. Banyak sekali yang belum pernah aku coba. Permen dan cokelatnya& ehmm& semua"nya enak. Marissa memasukkan sebuah permen lagi ke mulut"nya.
Kakak makan berapa banyak" tanya Wiliam, heran melihat bungkus permen dan cokelat berserakan di lantai.
Marissa membungkuk untuk mengambil bungkusbungkus itu dan membuangnya ke tempat sampah, lalu tersenyum tanpa rasa bersalah kepada Wiliam. Pokoknya, banyak. Aku mencoba semuanya. Ia menyodorkan satu permen kepada Wiliam. Kau mau"
Wiliam menggeleng. Permen bisa membuatmu sakit gigi.
Aku tahu, kata Marissa ceria. Tapi itu tetap saja tidak mencegahku untuk memakannya. Marissa mengulum lagi permen yang ada di tangannya sambil menutup mata, Enak& sekali.
Kali ini Wiliam menatap Marissa dengan serius. Gadis di hadapannya jelas sangat menikmati permen dan cokelat yang dimakannya. Kau memang belum pernah memakan permen dan cokelat-cokelat itu sebelum"nya" tanya Wiliam, mencoba menegaskan.
Ya, kata Marissa. Jajanan di masamu memang enakenak, dan murah.
Mungkin dia memang berasal dari masa depan, kata Wiliam dalam hati. Karena, aku dan anak-anak yang lain merasa jajanan tersebut tidak aneh, biasa-biasa saja. Ayo kita pulang! kata Wiliam.
*** Marissa meremas kertas di hadapannya menjadi gumpalan bola dan melemparnya ke keranjang sampah. Gumpalan kertas itu jatuh di luar keranjang, menemani puluhan gumpalan kertas yang ada di sana.
Marissa mendesah frustrasi, Ah, sulit sekali. Aku belum mendapat ide.
Dibenamkannya kepalanya ke meja. Setelah dalam posisi demikian selama beberapa saat, Marissa menyerah. Dia melihat sebuah radio-tape di depan meja. Ia menyetel"nya untuk mendengarkan siaran radio. Hanya ada satu siaran, yaitu Radio Prambors. Marissa mencoba mencari-cari channel lain, namun tidak ada suara yang keluar selain saluran radio tersebut.
Marissa keluar dari kamarnya, dan masuk ke kamar Wiliam. Wiliam, radio di kamarku rusak.


7 Hari Menembus Waktu Karya Charon di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Wiliam menoleh kepada Marissa dengan kesal. Ketuk pintu dulu sebelum masuk.
Upss, maaf, kata Marissa. Radioku rusak. Pinjam radiomu, ya"
Marissa mencoba menyalakan radio di kamar Wiliam. Hasilnya tetap sama. Satu saluran radio. Radio Prambors.
Wiliam, kata Marissa bingung. Kok nggak ada saluran radio lainnya"
Memang hanya satu saluran saja. Radio Prambors, jawab Wiliam.
Di masaku radio punya banyak saluran, kata Marissa. Ya, sudahlah. Aku tidak jadi mendengarkan radio.
Saat Marissa hendak beranjak dari kamar Wiliam, pandangannya tertuju pada lemari mainan di sebelah pintu. Ada berpuluh-puluh mainan mobil, robot, motor, dan masih banyak mainan yang belum pernah dia lihat sebelumnya.
Wow, kata Marissa. Wiliam, mainanmu banyak sekali.
Marissa juga melihat kaleng berisi kelereng, Kelerengkelereng milik Wiliam warnanya indah-indah.
Wiliam, kata Marissa, aku boleh minta kelereng yang ini"
Wiliam bangkit berdiri, mengambil kelereng itu dari tangan Marissa dan memasukkan ke kalengnya lagi. Tidak boleh.
Ayolah, pinta Marissa. Kau kan masih punya banyak. Ratusan malah. Boleh, ya"
Wiliam tetap bergeming. Tidak. Aku tidak suka membagi mainanku dengan orang lain.
Ditolak dengan ketus seperti itu, Marissa menjulurkan lidahnya. Dasar pelit!
Wiliam menyuruh Marissa keluar dari kamarnya. Kakak nonton TV saja sana! Jangan ganggu aku!
Dengan malas Marissa masuk ke ruang tamu dan menyalakan televisi. Acara berita terpampang di depannya. Marissa mencoba menggantinya dengan saluran lain, namun tidak berhasil.
Wiliam! teriaknya ke kamar Wiliam.
Apa lagi" tanya Wiliam, akhirnya keluar dari kamarnya dan berjalan ke ruang tamu.
Jangan katakan padaku bahwa TV-mu hanya ada satu saluran juga, kata Marissa putus asa.
Dari dulu sampai sekarang salurannya memang hanya itu. TVRI. Tidak ada yang lain. Memang ada apa" tanya Wiliam heran.
Di masaku& kata Marissa. Ia ingin menerangkan, namun akhirnya menyerah. & ah sudahlah, dijelaskan juga kau tidak akan mengerti.
Tiba-tiba Marissa memegangi perutnya. Ia mengernyit kesakitan.
Kakak kenapa" tanya Wiliam khawatir.
Perutku sakit, kata Marissa, lalu berlari ke kamar mandi.
Lima belas menit kemudian, Marissa tersenyum lega. Wiliam memandangnya dengan sinis. Gara-gara kebanyak""an makan siang tadi, ya"
Marissa tidak meladeni ucapan Wiliam. Dan senyuman lega Marissa hanya bertahan sesaat, perutnya melilit lagi. Ia bergegas kembali ke kamar mandi.
Makanya, kalau makan jangan terlalu rakus, kata Wiliam di belakangnya.
Ketika Marissa keluar dari kamar mandi untuk kedua kalinya, Wiliam sedang duduk di depan kompu"ter.
Kau sedang apa" tanya Marissa, sambil mendekati Wiliam.
Main Space Invaders, kata Wiliam.
Marissa melihat barisan pesawat kecil-kecil dan senjata yang merajalela ke sana kemari. Di masaku, kata Marissa lagi, game komputer sudah canggih. Tidak seperti ini lagi. Gambarnya sudah bagus. Bahkan ada game portable yang bisa dibawa ke mana-mana. Nama"nya PSP.
Wiliam membuka laci meja komputernya. Di masa ini juga ada mainan yang bisa dibawa ke mana-mana, katanya tidak mau kalah. Ini, namanya GemBot.
Wiliam memperlihatkan game berbentuk persegi panjang. Di atasnya tertulis: Game & Watch Parachute. Hmmm GemBot, katanya dalam hati. Hanya ada beberapa tombol di game itu. Wiliam menyalakan game itu dan menyuruh Marissa memainkannya.
Tugasmu hanya menyelamatkan penerjun payung dari pesawat. Kau bisa menggerakkan perahu penyelamat ini ke kanan dan ke kiri. Wiliam memberi contoh, lalu Marissa menggantikannya bermain.
Ini terlalu mudah, kata Marissa meremehkan. Coba saja dulu, kata Wiliam.
Marissa memainkan game itu awalnya dengan malasmalasan. Lama-lama para penerjun payung itu semakin cepat datangnya, dan membuatnya kewalahan. Game over. Nilai yang diraih Marissa hanya 150. Marissa melihat angka tertinggi yang diraih Wiliam. Apa" Empat ratus dua belas" teriaknya dalam hati. Sial. Masa aku kalah dengan anak kecil"
Kali kedua Marissa bermain dengan serius, namun tetap saja menjelang malam dia tidak berhasil melewati angka Wiliam. Anak ini benar-benar hebat! Lebih hebat dari anak seusianya! Ini salah satu hal yang akhirnya bisa menjawab keheranan Marissa tentang sikap dan cara berbicara Wiliam yang melebihi anak seumurnya.
*** Sementara itu, di sebuah diskotek& .
Entah sudah berapa lama Sarah menggoyangkan tubuhnya mengikuti irama musik. Tetap saja perasaan kehilangan di hatinya tidak kunjung hilang. Malah semakin bertambah. Ia berhenti berdansa dan pergi memesan minuman beralkohol. Setelah minuman itu ada di depannya, Sarah meneguk isinya hingga habis.
Kenangannya kembali pada tahun-tahun di masa kecilnya. Waktu kakaknya selalu menjaganya sejak kedua orangtua mereka meninggal dalam kecelakaan kapal laut. Saat itu mereka tinggal bersama Nenek. Kakaknya telah ber""tindak sebagai pelindungnya, sekaligus sebagai temannya. Kini kakaknya tidak ada lagi untuk melindunginya.
Mengapa ini semua terjadi" teriaknya dalam hati. Pertama orangtuaku, lalu kakakku. Mengapa mereka semua harus pergi dari sisiku"
Ia tidak tahu harus menyalahkan siapa. Kini, Sarah tidak sanggup menatap wajah keponakannya, Wiliam. Wajah anak itu benar-benar mirip kakaknya. Bahkan tatap"an matanya juga sama. Tatapan mata keponakannya tidak pernah lembut, seperti kakaknya. Oleh karena itu, Sarah selalu berusaha menghindarinya sedapat mungkin.
Pelariannya adalah minuman yang saat ini dipegangnya. Akan tetapi, sebanyak apa pun dia menenggak minumannya, tetap ia tidak bisa melupakan persoalannya. Ia menjatuhkan wajahnya ke meja dan menangis. Kakak& , katanya perlahan. Mengapa kau pergi me"ninggalkan aku" Aku sama sekali tidak tahu bagai"mana cara mengasuh anak. Kakak kan tahu aku tidak suka anak kecil. Air mata mulai mengalir membasahi pipinya.
Hei& kau tidak apa-apa" tanya bartender di depannya.
Sarah seakan tersadar dan bangkit dari kursinya, lalu berjalan ke luar diskotek. Hari sudah gelap. Sarah memutuskan untuk naik taksi dari depan diskotek karena kepalanya sudah terasa melayang.
*** Satu jam kemudian, Sarah sampai di rumah dalam keadaan sempoyongan. Ia segera masuk ke rumah. Dilihatnya Marissa dan Wiliam menatapnya dengan bi"ngung. Perasaan sedih muncul kembali saat menatap Wiliam, lalu ia terkulai di sofa di depannya.
Marissa dan Wiliam melihat Sarah terjatuh ke sofa dan tertidur. Marissa mendekati Tante Sarah. Dia tidak apaapa" tanya Marissa kepada Wiliam.
Dia hanya tertidur, kata Wiliam.
Marissa menyuruh Wiliam membantunya mengangkat Tante Sarah dan membaringkannya di kamarnya. Setelah itu, barulah Marissa sadar bahwa dia belum menyelesaikan menulis surat cinta.
Aduh, aku kelupaan! teriaknya panik. Aku kan harus membuat surat cinta untuk Papi.
Marissa berlari ke kamarnya, dan menutup pintu. Kali ini Marissa benar-benar serius merangkai kata-kata untuk surat cintanya. Sambil menulis, ia memikirkan Mami dan Papi dan mulai merindukan mereka.
Ayolah, Marissa, katanya kepada dirinya sendiri. Kau bisa melakukannya.
Marissa menarik napas beberapa kali dan mulai menulis. Setengah jam kemudian surat cinta itu selesai. Marissa tersenyum lega. Ia menjatuhkan diri ke ranjang dan langsung tertidur ketika kepalanya me"nyentuh bantal.
*** Sementara itu, Wiliam bergerak-gerak gelisah di dalam tidurnya. Dia bermimpi bertemu papa dan mamanya. Tapi bukannya mendekat, keduanya malah menjauh. Tidak! kata Wiliam terengah-engah. Papa! Mama! Jangan pergi! Tidak!
Wiliam berusaha mengejar keduanya, namun tetap saja se"kencang apa pun dia berlari mama dan papanya semakin lama semakin jauh. Wiliam berteriak kencang. Tidak& Mama& Papa& jangan tinggalkan aku!
Wiliam terbangun dari mimpinya dengan tubuh berkeringat. Jantungnya berdegup kencang. Ia lalu melihat ruangan di sekelilingnya. Ternyata cuma mimpi, katanya dalam hati. Ia berjalan ke luar kamar untuk mengambil minuman, lalu tatapannya beralih ke kamar Marissa. Ia berjalan mendekatinya, kemudian mengetuk pintunya. Kakak, katanya perlahan. Kau sudah tidur" Tidak mendapat jawaban dari kamar, Wiliam membuka pintunya perlahan dan masuk ke dalam kamar tidur Marissa.
Dilihatnya Marissa tidur tertelungkup. Wiliam ber"niat keluar kamar, kakinya tidak sengaja menyentuh kaki meja dan men"jatuhkan sehelai kertas. Wiliam tidak tega membangunkan gadis itu. Namun ketika Wiliam mengambil kertas itu dan baru membaca kalimat pertama, dia dikejutkan oleh suara di belakangnya. Jantung Wiliam seperti berhenti, dia segera menjatuhkan surat yang dipegangnya.
Ternyata Marissa bergerak dalam tidurnya, tubuhnya kini telentang. Nyam& nyam& nyam.... Begitu suara yang keluar dari mulutnya.
Jantung Wiliam kembali berdetak normal. Dasar Kakak, katanya perlahan. Di alam mimpi pun yang terpikir hanya makanan.
William kembali membacasurat tersebut. Seusai membacanya, dia memandang Marissa yang sedang tertidur selama beberapa saat, meletakkan surat itu kembali ke atas meja, dan mematikan lampu kamar.
M arissa bangun keesokan paginya dengan penuh
semangat. Hari ini ia harus menyerahkan surat cinta yang sudah dibuatnya dengan susah payah kepada Papi.
Papi pasti senang jika membaca surat ini, pikir Marissa, sambil mandi dan bersiul-siul gembira. Pokoknya, hari ini Papi dan Mami harus kencan.
Marissa memakai jins dan kaus bergaris-garis penuh warna, dan bergegas ke ruang makan. Dilihatnya Wiliam sedang sarapan dengan te"nang.
Selamat pagi! seru Marissa sambil tersenyum. Hari yang indah, bukan"
Cepat makan! kata Wiliam ketus. Ingat, aku ada les pagi ini!
Marissa hanya tersenyum mendengar perkataan anak itu. Hari ini suasana hati Marissa sedang gembira. Tak ada satu hal pun yang bisa mengubahnya.
Seusai mengantar Wiliam ke tempat les matematika, Marissa bergegas menuju kampus Papi dan Mami. Mata-
Lima 2 Juli 1988 Kencan Pertama Papi dan Mami
nya bersinar saat melihat Papi sedang duduk di bangku taman.
Ferry, panggil Marissa, sambil menyentuh pundaknya. Aku sudah membuatkan surat cinta untukmu.
Ferry tampak terkejut. Dia tidak menyangka gadis yang diselamatkannya benar-benar bersedia membantunya membuat surat cinta.
Kau benar-benar membuatnya" tanya Ferry tidak yakin.
Tentu saja. Marissa mengeluarkan sepucuk surat dari sakunya. Bacalah!
Ferry mengambil surat itu, membukanya, lalu membacanya.
Untuk Diana, Aku suka senyummu. Aku suka tatapanmu. Aku suka gayamu.
Aku suka semuanya tentangmu.
Aku sudah mengenalmu selama sepuluh tahun, Selama itu pula kau sudah menjadi bagian dalam hatiku.
Diana& maukah kau makan malam denganku hari ini"
Jawablah, Ya. Aku berjanji akan menghabiskan 36.500 makan malam berikutnya bersamamu.
Yang mencintaimu, Ferry Aku suka surat ini, kata Ferry, seusai membacanya. Marissa tersenyum lebar. Aku senang Pa& ehm& kau menyukainya. Jadi, tunggu apa lagi" Ayo kita pergi temui Ma& ehm& Diana!
Diana hari ini tidak kuliah, kata Ferry.
Marissa jatuh terduduk di samping Ferry tanpa semangat, Yaaahhh, padahal aku sudah membuat surat ini seharian.
Melihat tampang Marissa yang kecewa, Ferry berkata lagi, Aku bisa meneleponnya dan mengajaknya kencan.
Bibir Marissa tersenyum lagi, digenggamnya tangan Papi. Ya, lakukan itu. Telepon dia! Ayo!
Tapi lepaskan tanganku dulu, kata Papi, sam"bil memandangi tangannya.
Eh& ya, maaf. Marissa melepaskan pega"ngan"nya. Papi beranjak pergi dari bangku.
Kau mau ke mana" tanya Marissa bingung. Bukankah kau mau menelepon"
Kini giliran Papi yang bingung. Aku memang mau ke telepon umum.
Oh& ya, kata Marissa dalam hati, di masa ini belum ada HP.
Marissa mengikuti Papi ke telepon umum. Papi mengeluarkan sekeping uang logam dan memasukkannya ke telepon. Tangannya sudah mulai berkeringat ketika memutar nomor telepon Mami. Papi lalu meletakkan gagang telepon ke tempatnya lagi.
Kenapa tidak jadi" protes Marissa. Ayo! Telepon dia!
Papi menelan ludah. Bagaimana kalau dia tidak tahu siapa aku" Bagaimana kalau dia menolak ajakanku" Yah, keluh Marissa lagi. Papi memang payah nih! Aku saja yang putar nomornya, ya. Pap... eh& kau& tinggal bicara saja. Berapa nomornya" tanya Marissa.
Tangan Papi menghalangi Marissa. Jangan! Aku ingin melakukannya sendiri.
Kalau begitu, cepat lakukan! Kesabaran Marissa nyaris habis.
Papi mengangkat gagang telepon lagi dan mulai memutar nomor tele"pon Mami. Marissa berdiri mendekati Papi agar bisa mendengar pembicaraan keduanya. Tak berapa lama kemudian suara nada sambung terdengar. Papi me"narik napas cepat-cepat.
Halo, kata suara di seberang.
Akhirnya! Marissa tersenyum senang. Moga-moga itu Mami. Sepertinya itu suara Mami. Inilah saatnya!
Ehm, kata Papi. Maaf. Salah sambung. Papi tertunduk, diletakkannya lagi gagang telepon.
Apa"! teriak Marissa kesal. Papi! Di mana keberanianmu" Masa bicara dengan Mami saja tidak berani"
Aku tidak bisa melakukannya. Aku gugup sekali, kata Papi terbata-bata.
Kedua tangan Marissa menyentuh bahu Papi, memaksa kepala Papi menghadapnya.
Dengar, Ferry, lebih baik kau mencoba daripada tidak sama sekali, kata Marissa keras. Dengan begitu, kau tidak akan hidup dengan penyesalan. Jadi, angkat telepon itu dan telepon dia!
Papi tertegun mendengar perkataan Marissa. Ya, kau benar. Kalau tidak mencobanya, kau tidak akan tahu. Perkataan yang bagus.
Kau yang mengatakannya, kata Marissa keceplosan. Hah" Papi tampak bingung.
Aduh, salah omong deh, keluh Marissa, Ehm& begini. Ayahku yang mengatakan itu.
Ferry tersenyum. Ayahmu pasti orang yang hebat. Tentu saja, kata Marissa, lalu menatap Papi. Yang pasti, dia tidak akan takut menelepon seseorang yang dia cintai untuk pergi dengannya.
Setelah mendengar perkataan Marissa, Papi mengangkat telepon tanpa ragu dan memutar nomor telepon Mami.
Halo, katanya setelah tersambung. Diana" Ini, Ferry. Aku ingin tahu apakah hari ini kau ada waktu untuk menemuiku" Ehm& ya. Aku ingin memberikan sesuatu untukmu sore ini. Oke, pukul tiga. Aku pasti datang ke rumahmu. Papi menutup teleponnya. Sesaat dia terdiam, lalu dia meloncat-loncat di samping telepon sambil tersenyum lebar. Dia mau menemuiku dan aku akan mengajaknya pergi.
Marissa ikut senang. Bagus, katanya. Kau akan mengajak"nya ke mana"
Aku akan mengajaknya ke bioskop, kata Ferry. Ide yang bagus, kata Marissa.
Papi menatap Marissa. Terima kasih atas bantuanmu.
Marissa mengangguk. Aku senang bisa membantumu. Ia melihat jam tangan Papi, dan sadar bahwa ia sudah telat menjemput Wiliam.
Aku harus pergi! kata Marissa terburu-buru. Semoga kencan kalian sukses.
*** Kau terlambat! tuduh Wiliam.
Aku tahu. Maafkan aku, Wiliam, kata Marissa, memelas dan kehabisan napas. Aku tadi menemui Papi lagi. Akhirnya, setelah perjuangan panjang Mami dan Papi akan berkencan.
Wiliam cemberut melihat Marissa yang tersenyum lebar. Apa kau tahu berapa lama aku menunggumu di sini" Les bahasa Inggrisku akan dimulai sebentar lagi. Ayo kita pergi!
Hah" teriak Marissa protes. Tidak ada acara makan siang dulu"
Wiliam mendengus. Ini sudah pukul berapa" Marissa menginjak pedal sepedanya dengan loyo. Perutnya sudah kelaparan. Sepeda berhenti di sebuah gedung dan Wiliam turun. Melihat tampang Marissa yang kecapek"an, hati Wiliam sedikit tergerak.
Ada kantin di dalam gedung, kata Wiliam perlahan. Kau bisa makan di sana.
Senyuman kembali menghiasi wajah Marissa. Ia memarkir sepedanya dan berjalan ke arah kantin. Selama menunggu Wiliam, wajah Marissa berseri-seri. Misinya untuk menyatukan Papi dan Mami sudah berhasil, sekarang tinggal melihat perkembangan selanjutnya. Marissa menunggu dengan bosan. Jam dinding di kantin sudah menunjukkan pukul dua lewat sepuluh menit, namun Wiliam belum selesai juga. Lima menit kemudian, Wiliam baru keluar dari ruang les.
Marissa mengajaknya bergegas ke sepeda. Ada apa" tanya Wiliam.
Aku mau mengajakmu ke suatu tempat, kata Marissa cepat.
Ke mana" Wiliam protes. Aku mau pulang! Dengar, Wiliam, kata Marissa, sedikit mengancam. Aku kan sudah bilang bahwa aku lebih tua darimu sepuluh tahun. Jadi, kau harus mengikuti perkataanku. Pegang pinggangku erat-erat. Kita akan ngebut! Hah, apa" tanya Wiliam. Arghhhh!! Marissa mengendarai sepedanya dengan cepat. Kak, pelan-pelan, kata Wiliam.
Tidak bisa! Marissa ngotot.
Rem sepeda mendecit. Tak jauh dari tempat mereka ber"henti, sebuah rumah besar bercat cokelat berdiri tegak.
Sekarang kita mau apa" tanya Wiliam, setelah berhasil meredakan jantungnya yang berdegup kencang. Sekarang, kata Marissa, kita menunggu. Menunggu apa" tanya Wiliam penasaran. Suara sepeda motor mendekati area rumah itu. Itu, tunjuk Marissa, sambil tersenyum. Kita ada di mana" tanya Wiliam keras-keras. Sttt! Marissa membawa sepedanya sedikit menjauh. Jangan berisik!
Kalau begitu, jawab dulu pertanyaanku, kata Wiliam kesal. Kita ada di mana"
Itu rumah ibuku. Hari ini Papi akan datang untuk meng"ajak Mami kencan.
Wiliam menutup matanya, mengambil napas, lalu membukanya lagi. Untuk apa kita ada di sini"
Tentu saja untuk melihat mereka, kata Marissa. Aku ingin memastikan kencan mereka berjalan lancar. Ah, lihat! Mami sudah keluar menemui Papi. Ayo, Papi! Kerahkan seluruh kemampuanmu. Ya, benar! Beri"kan surat cinta itu kepada Mami!
*** Ferry memberikan surat cinta di tangannya kepada Diana dengan gugup.
Ini untukmu, katanya perlahan.
Diana membaca surat itu dengan sedikit rasa ingin tahu. Ya, ampun! Ternyata selama ini Ferry menyukainya, katanya dalam hati. Ia lalu memandang pemuda itu. Dirinya dan Ferry memang sudah berteman sejak lama, namun selama ini ia tidak tahu bahwa Ferry diam-diam menyukainya.
Bagaimana menurutmu" tanya Ferry perlahan. Apakah kau mau menerimaku"
Diana menarik napas, dan melipat kertas di hadapannya. Kau tahu, selama ini aku selalu menganggapmu teman.
Wajah Ferry langsung kecewa.
Setelah melihat isi suratmu, lanjut Diana, aku rasa, aku ingin memberimu kesempatan.
Benarkah" Ferry tersenyum bahagia. Diana mengangguk.
Terima kasih, kata Ferry lagi. Kau pasti tidak akan menyesalinya.
Aku harap begitu, kata Diana.
Jadi, sekarang kalau kuajak kau ke bioskop, kau mau" tanya Ferry penuh harap.
Diana tersenyum. Ia menatap wajah Ferry. Entah meng"apa setiap kali melihat wajahnya yang penuh senyuman itu, aku merasa nyaman, pikirnya.
Sementara itu, di dalam hati Ferry berteriak gembira. Akhirnya, setelah bertahun-tahun aku bisa kencan dengan Diana. Hari ini adalah hari paling mem"bahagiakan seumur hidupku.
*** Dari kejauhan, Marissa melihat Mami membonceng motor Papi.
Ya, ampun& berhasil! Papi berhasil kencan dengan Mami. Hooorreee!! Marissa tertawa lebar.
Jangan pulang kemalaman! teriak suara di belakang mereka.
Papi membalikkan badan dan tersenyum. Ya, Oom! Kami tidak akan pulang terlalu malam.
Papi dan Mami kemudian pergi.
Marissa turun dari sepeda. Tatapannya terfokus pada pria yang ada di rumah itu, yang tadi menegur Papi. Wiliam, tolong pegang sepeda ini sebentar, kata Marissa. Wiliam buru-buru mengambil alih sepeda dari tangan Marissa.
Ada apa" tanya Wiliam bingung. Kakak mau ke mana"
Marissa tidak mengindahkan perkataan Wiliam, ia bergegas ke rumah Mami. Semakin dekat langkah"nya, hati Marissa semakin rindu.
Permisi, Oom, kata Marissa di depan pintu. Ya" tanya sang pria. Siapa, ya"
Saya Marissa, kata Marissa perlahan. Cucu kakek. Teman Diana.
Oh, teman Diana, katanya, sambil mengangguk. Diana baru saja pergi.
Marisa membuka pintu gerbang, lalu masuk. Tiba-tiba dia memeluk pria di hadapannya.
Selama dua menit Marissa tidak melepaskan pelukan itu.
Ehmm& ehmmmm, kata papa Diana, mencoba menarik perhatian orang yang memeluknya. Nak, sampai kapan kau akan memeluk Oom"
Marissa langsung melepaskan pelukannya. Matanya berkaca-kaca. Terima kasih.
Papa Diana memandang Marissa keheranan. Mungkin kau bisa menemui Diana di kampus hari Senin.
Marissa mengangguk. Ya. Terima kasih, Oom! Saya pergi dulu.
Ya, kata Papa Diana, masih setengah kebingungan. Hati-hati di jalan!
Marissa tersenyum sekali lagi, dan bergegas pergi.
Wiliam melihat Marissa berjalan kembali ke arahnya. Ada apa" tanya Wiliam. Mengapa Kakak pergi ke sana"
Marissa berhenti melangkah, lalu berjongkok. Aku memeluk"nya, katanya perlahan, air mata mengalir membasahi pipinya.
Melihat Marissa menangis, Wiliam jadi cemas. Kakak kenapa" tanyanya.
Aku baru saja memeluk kakekku! kata Marissa. Setahu"ku, aku selalu memandang Kakek sebagai pria tua yang beruban dan memakai gigi palsu. Kini, aku melihat kewibawaannya. Kakek masih muda sekali.
Marissa menghapus air matanya setelah beberapa saat. Kakek meninggal tiga tahun yang lalu di rumah sakit. Terkadang aku masih merindukannya. Aku cucu favoritnya, kau tahu" Kakek selalu memanjakanku.
Kakak mendapat kesempatan bertemu dengannya lagi, kata Wiliam. Aku rasa Kakak cukup beruntung. Seandainya aku juga bisa mendapat kesempatan bertemu dengan orangtuaku.
Marissa berdiri. Ya, kau benar.
Kita bisa pulang sekarang" tanya Wiliam akhirnya. Ya, ayo kita pulang, kata Marissa.
Wiliam menarik napas lega.
Setelah itu, kita pergi ke bioskop, kata Marissa lagi. Apaaaa" Nada suara Wiliam penuh protes.
*** Apa Kakak yakin memata-matai orang yang pacaran ide yang bagus" keluh Wiliam, yang sedang duduk di samping Marissa di bangku bioskop. Wiliam sebenarnya malas menemani Marissa ke bioskop. Apalagi di rumah tadi Marissa memintanya berpakaian sedikit lebih resmi dan memakai topi agar tampak lebih dewasa dari umurnya. Yang juga menjengkelkan, tadi sebelum masuk ke dalam gedung bioskop Marissa memintanya menunggu sampai film telah diputar dan lampu-lampu dimatikan agar Wiliam bisa masuk dengan mudah.
Sstt! Marissa menyuruh Wiliam diam. Sambil mengamati pasangan yang berada dua bangku di bawah mereka, ia berkata, Aku hanya ingin memastikan bahwa kencan mereka lancar. Lagi pula, aku kan tidak memata-matai orang lain. Mereka berdua adalah ayah dan ibuku di masa depan. Jadi, pasti mereka tidak keberatan, kan"
Wiliam mengomel. Tentu saja mereka tidak keberatan. Mereka kan tidak tahu Kakak ada di sini mengawasi.
Sudahlah, Wiliam, kata Marissa. Kau duduk saja dan nikmati filmnya. Aku masih punya tugas.
Wiliam menggeleng, dan duduk diam memandang layar bioskop. Pandangan Marissa tidak lepas dari kedua orangtuanya. Ia melihat Papi menawarkan minuman kepada Mami, dan Mami menerimanya. Dari atas, Marissa tersenyum. Setelah lima belas menit, tangan Papi mencoba merangkul pundak Mami. Tiba-tiba Mami menengok ke arah Papi, dan Papi pun mengurungkan niatnya dengan pura-pura menguap.
Yah! seru Marissa kecewa. Gagal total deh usaha Papi merangkul Mami. Ayo dong, Papi! Coba lagi!
Setelah menunggu setengah jam dengan mata tak kenal lelah mengamati keduanya, Marissa akhirnya menyerah dan menyandarkan punggungnya ke kursi. Yah, Papi kok usahanya hanya segitu saja"
Tiba-tiba Marissa duduk tegak kembali. Tunggu& tunggu& bukankah itu tangan Mami" Ya, ampun! Tangan Mami menggenggam tangan Papi. Akhirnya, mereka bersentuhan juga. Mami memang lebih berani dan lebih hebat daripada Papi.
Marissa bertepuk tangan perlahan. Rencananya untuk membuat keduanya bersatu sudah berhasil. Kini tinggal memastikan saja bahwa hubungan mereka tetap lancar seperti ini.
Setelah senang melihat kedua orangtuanya berpegangan tangan, barulah Marissa melihat ke arah layar bioskop. Ia baru sadar ternyata film yang sedang dia tonton adalah film horor. Ketika sang hantu berbaju putih memenuhi layar, Marissa menjerit sekencang-kencangnya sambil menggenggam tangan di sebelahnya dengan erat.
Teriakannya yang keras membuat semua orang memandang ke arahnya. Termasuk kedua orangtuanya.
Ah, gawat! Marissa langsung merosot dari bangkunya, dan jongkok untuk menghindari tatapan kedua orangtuanya. Beberapa saat dia menyembunyikan diri, sebelum akhi"rnya berani kembali duduk di bangkunya.
Kak, gerutu Wiliam kesal. Sampai kapan Kakak meme"gangi jari tanganku" Bisa-bisa jariku patah semua nih!
Marissa melepaskan cengkeramannya pada tangan Wiliam.
Maaf. Maaf, bisik Marissa.
Wiliam cemberut. Ia mengusap-usap jari tangannya yang tadi dicengkeram erat oleh Marissa. Marissa hanya tersenyum kecil melihat tingkah Wiliam. Tatap"annya kembali ke layar bioskop. Setelah menatap selama sepuluh menit, Marissa mulai mengantuk, dan ia menguap tanpa sadar. Tak berapa lama kemudian dia tertidur pulas. Di sebelahnya Wiliam memperhatikannya dengan kesal. Kok bisa-bisanya dia tertidur, padahal beberapa menit yang lalu dia berteriak seperti orang gila"
*** Dari mana kau tahu aku suka nonton film horor" tanya Diana berbisik ke telinga Ferry.
Ferry tersipu malu. Kau menulisnya di buku kenangan sewaktu SD.
Diana terkejut, ternyata Ferry masih mengingat hal yang sudah lama berlalu, dan perlahan-lahan hatinya tersentuh.
Melihat makanan di tangan Diana hampir habis, Ferry berkata, Kau mau lagi" Tunggu di sini ya, aku belikan lagi.
Ketika Ferry hendak beranjak dari kursi, Diana menghenti"kannya. Tidak usah. Aku sudah kenyang. Ferry kembali duduk.
Diana menatap Ferry kembali. Dia sangat berbeda dengan Jimmy. Saat aku kencan dengan Jimmy, dia hanya makan sendiri tanpa menawarkan makanannya padaku, pikirnya. Dengan perlahan jemarinya menyentuh tangan Ferry dan menggenggamnya. Diana mengarahkan pandang"annya ke layar bioskop sambil berpikir sekali lagi betapa pas genggaman tangan pria di sebelahnya.
Setelah Diana menggenggam tangannya untuk yang kedua kalinya, Ferry benar-benar tidak bisa berkonsentrasi karena jantungnya berdegup kencang.
*** Tusukan jari di lengan membuat Marissa terbangun. Dia menatap Wiliam. Ada apa" tanyanya.
Filmnya sudah habis, kata Wiliam.
Marissa langsung bangkit berdiri. Apa" Filmnya sudah selesai" Matanya memandang seluruh ruangan yang hampir kosong, lalu ia menatap bangku yang tadi diduduki Mami dan Papi. Bangku itu kini sudah kosong. Ke mana Mami dan Papi" tanya Marissa lagi. Mereka sudah keluar dari tadi, kata Wiliam tenang. Aduh& aduh. Marissa panik dan berlari ke luar bioskop. Mengapa kau tidak membangunkan aku" teriaknya ke arah Wiliam di belakangnya. Apakah kau melihat mereka" Bagaimana" Apakah kencan mereka oke" Mereka pulang tidak bertengkar, kan"
Wiliam mengangkat bahunya.
Wiliam! teriak Marissa tidak sabar. Jawab pertanyaanku!
Mereka tidak terlihat bertengkar, kata Wiliam. Selebih"nya aku tidak tahu, aku tidak memperhatikan. Lagi pula, siapa yang seharusnya mengawasi mereka, aku atau Kakak" Kakak malah ketiduran.
Marissa terdiam menahan malu. Ya, deh. Maaf. Ya, sudah. Kita pulang saja, sudah malam.
*** Dua jam kemudian, Marissa masuk ke kamar Wiliam. Wiliam, katanya, sambil masuk. Kau sedang apa" Aku akan nonton video Megaloman, kata Wiliam. Marissa duduk di ranjang Wiliam, dan siap merebahkan tubuh"nya saat Wiliam berkata keras, Jangan ber"baring di ranjangku! tegurnya. Nanti berantakan!
Marissa cemberut, namun ia bangkit dari ranjang Wiliam dan duduk di lantai. Karena bosan tidak ada kerjaan, Marissa menemani Wiliam.
Tolong Kakak masukkan kaset video ini, ya, kata Wiliam. Aku akan ambil makanan dulu.
Marissa mengamati gambar video di depannya. Seorang superhero berbaju merah dan berambut keemasan. Mungkin seperti ini superhero masa dulu, kata Marissa dalam hati. Ia lalu memperhatikan video player di depannya. Marissa me"nekan tombol power, lalu dia kebingungan. Matanya men"cari-cari tombol open, namun tidak menemukannya. Wiliam masuk kembali ke kamar, dan Marissa langsung bertanya, Wiliam, video player-mu tidak ada tombol untuk membuka, ya"
Wiliam bingung. Tombol buka untuk apa" Untuk memasukkan kaset videonya! kata Marissa putus asa.
Wiliam mengambil kaset video dari tangan Marissa. Dia membungkuk di depan video player. Marissa mem"perhatikan Wiliam memasukkan video itu pada lubang segi empat yang ada di sebelah kiri, lalu menekan kaset videonya.
Oh& rupanya cara memasukkannya seperti itu, kata Marissa dalam hati.
Wiliam menatap Marissa dan menyindir, Katanya Kakak dari masa depan, memasukkan kaset video saja tidak bisa!
Mana aku tahu"! kata Marissa, tidak mau kalah. Di masaku kaset video sudah tidak ada lagi. Sudah digantikan CD.
Hah" CD" Apa itu" Celana Dalam" tanya Wiliam. Bukan. Compact Disc. Bentuknya bundar seperti piring"an plastik, kata Marissa, menjelaskan.
Ya, terserah apa kata Kakak sajalah. Sekarang jangan ribut, filmnya sudah mulai! kata Wiliam.
Menit-menit berikutnya, Marissa mengikuti petualangan superhero berbaju merah bernama Takeshi, yang bisa ber"ubah jadi raksasa dan rambutnya bisa mengeluarkan api. Si Megaloman mengalahkan musuhnya dengan memutar-mutarkan kepalanya dan mengarahkan rambut apinya ke musuh.
Marissa tertawa tertahan. Apa jagoannya tidak pusing, kepalanya berputar-putar terus seperti itu"
Wiliam menatap dingin. Ia tidak rela Marissa menghina pahlawannya. Itu senjata andalan Megaloman, Megalo Fire.
Oke. Oke. Marissa tidak berkomentar lagi. Ia kemudian melihat-lihat koleksi mainan Wiliam. Sebuah mainan dari kayu yang berbentuk pipih bundar dengan lubang di tengah berisi lilitan tali menarik perhatiannya. Marissa penasaran, mainan apa lagi ini"
Wiliam, panggilnya. Mainan apa ini" Wiliam melihat sekilas ke arah Marissa. Yoyo. Marissa mencoba menarik tali yang melilit yoyo itu, dan seketika itu juga yoyo jatuh melesat ke bawah, mengenai salah satu mainan robot Wiliam. Mainan itu bergoyang-goyang sebentar sebelum akhirnya jatuh ke lantai. Lengan robot itu patah.
Hei, kau& kau! teriak Wiliam, sambil berlari ke arah Marissa. Robot Voltuskuuuuuuuu!
Marissa memandang Wiliam dengan rasa bersalah. Wiliam, aku benar-benar minta maaf. Aku tidak sengaja.
Keluar!! teriak Wiliam marah.
Wiliam, kata Marissa, mencoba membujuknya lagi. Aku bilang keluar dari kamarku! teriak Wiliam. Marissa mundur dan keluar dari kamar Wiliam. Ia benar-benar menyesal telah mematahkan mainan Wiliam, walaupun sebetulnya dia tidak sengaja. Mengapa aku tidak berhati-hati" Aku kan tahu Wiliam tidak suka mainannya disentuh, apalagi jika sampai rusak.
Semalaman Marissa tidak bisa tidur memikirkan cara untuk membujuk Wiliam supaya tidak marah lagi padanya. Akhirnya, ia mendapat ide untuk melakukan sesuatu bagi Wiliam. Marissa yakin, kalau niatnya tulus, Wiliam pasti akan memaafkannya.
Suara barang jatuh di lantai bawah membuat Marissa curiga. Ia bergegas turun dari tempat tidurnya dan membuka pintu kamarnya dengan perlahan. Dilihatnya Tante Sarah sedang berjalan menaiki tangga. Pandangannya berhenti di depan pintu kamar Wiliam. Saat Tante Sarah berjalan masuk ke kamar Wiliam, Marissa berjingkat melangkah ke luar kamarnya. Apa yang dilakukan Tante Sarah di kamar Wiliam malam-malam begini" pikir"nya penasaran.
Tante Sarah terdiam memandangi Wiliam selama beberapa saat. Desahan Wiliam membuatnya memandangi wajah keponakannya itu. Ia melihat selimut keponakannya jatuh ke lantai. Tante Sarah duduk di samping ranjang, memungut selimut itu, kemudian menyelimuti Wiliam kembali. Tante Sarah berusaha menghentikan isakan tangisnya dengan menutup mulutnya. Di belakang pintu yang terbuka, Marissa memperhatikan semua itu.
Selama beberapa saat Marissa melihat Tante Sarah menangis tertahan. Setelah tangisnya mereda, tangan Tante Sarah bergerak menyentuh rambut keponakannya dan mengelusnya.
Sang Alkemis 1 Pedang Kilat Membasmi Iblis Karya Kho Ping Hoo Thrill Of Chase 1
^