7 Hari Menembus Waktu 2
7 Hari Menembus Waktu Karya Charon Bagian 2
Marissa tersenyum dalam hati, dan berbalik kembali ke kamarnya. Ternyata Tante Sarah menyayangi keponakannya, pikirnya, hanya saja ia tidak pernah mem"perlihatkannya di hadapan Wiliam.
M arissa bangun pagi-pagi sekali. Hari ini ia berniat mema-
sak untuk Wiliam, dengan harapan Wiliam akan memaafkannya karena telah merusak robot mainannya kemarin. Bi Ijah sudah ada di dapur saat Marissa masuk ke sana. Pagi, Bi, sapa Marissa, sambil tersenyum. Pagi, Non, balas Bi Ijah. Tumben pagi-pagi Non sudah bangun.
Marissa tertawa sebentar, lalu berkata, Begini, Bi& Bibi tahu apa makanan kesukaan Wiliam"
Den Wiliam suka hampir semua masakan, kata Bi Ijah. Sayur asem, sop, pepes ikan, hampir semuanya.
Aku mana bisa memasak semua itu" Selama ini kan aku belum pernah pegang pisau, pikir Marissa.
Bi, tidak ada yang mudah, ya" Maksudku yang praktis dan gampang dibuat" tanya Marissa berharap.
Oh. Bi Ijah tersenyum memamerkan giginya yang sudah hilang hampir sebagian. Semua gampang, Non. Memang Den Wiliam ingin makan apa" Nanti Bibi yang masak.
Enam 3 Juli 1988 Hari Minggu Tahun 88 Bukan begitu, Bi, Marissa berusaha menjelaskan. Hari ini saya yang akan masak untuk Wiliam. Apakah ada masakan yang dibuat tanpa harus menggunakan pisau, Bi" Yang mudah saja.
Bi Ijah tampak berpikir keras. Masakan yang tidak pakai pisau ya, Non"
Marissa mengangguk-angguk cepat.
Ah, telur dadar, kata Bi Ijah. Tidak perlu pakai pisau, dan Den Wiliam suka telur dadar.
Marissa memeluk Bi Ijah dengan spontan. Terima kasih, Bi. Nah, sekarang tolong Bibi ajari, ya.
Oh& ya, Non, sahut Bi Ijah. Telurnya sudah habis kemarin. Siang ini Bibi baru mau beli telur.
Marissa kecewa beberapa saat, namun semangatnya tidak reda. Begini, Bi. Biar saya saja yang beli telur ke pasar. Bagaimana"
Tidak usah, Non, kata Bi Ijah. Biar Bibi saja yang ke pasar.
Tidak apa-apa, Bi, Marissa tersenyum. Lagi pula, saya tidak ada kerjaan. Bibi beritahu saja pasarnya di mana, sekalian kalau ada barang-barang lain yang akan dibeli. Jadi, nanti saya sekalian beli semuanya di pasar. Bibi jadi merepotkan Non, kata Bi Ijah.
Tidak apa-apa, tegas Marissa lagi. Lagi pula, saya ingin melihat pasar di sini, sekaligus olahraga naik sepeda.
Melihat keteguhan hati Marissa, Bi Ijah akhirnya memberitahu letak pasar dan barang-barang yang akan dibeli.
Kaki Marissa mulai mengayuh sepeda ke luar rumah, bibirnya bersiul-siul gembira. Wiliam pasti akan tersentuh begitu melihatku bersusah payah memasak untuknya, kata Marissa dalam hati, lalu dia akan memaafkan aku. Ya ampun, Marissa, kau memang pandai& ha& ha& ha!
Ternyata pasarnya sudah penuh orang. Apalagi di hari Minggu begini. Marissa sampai berdesak-desakan dengan para ibu rumah tangga. Setelah berkutat selama dua jam dan keringat mulai mengalir di keningnya, Marissa berhasil mendapatkan semua yang dibutuhkan, terutama telur.
Dalam perjalanan pulang, Marissa mampir dulu ke rumah Papi. Ia menghentikan sepedanya dan melihat rumah"nya. Sebentar lagi, pikirnya, sebentar lagi aku akan pulang.
Suara gerbang dibuka mengalihkan pikiran Marissa. Sebuah motor bebek keluar dari sana. Marissa tertawa, lalu mengayuh sepedanya mendekati Papi.
Hai, Ferry! teriaknya dari kejauhan.
Papi celingak-celinguk mencari tahu siapa yang memanggil"nya. Sepeda Marissa sampai di dekat sepeda motor Papi. Hai, sapa Marissa. Pagi-pagi begini kau mau ke mana"
Papi terkejut. Ehm, aku mau ketemu Diana. Bagus! Bagus! seru Marissa riang. Jadi, kencan kemarin berhasil, kan"
Papi mengangguk. Mengapa kau bisa ada di sini" Marissa terdiam sebentar untuk memikirkan jawaban yang tepat. Eh& rumahku dekat-dekat sini. Aku baru pu"lang dari pasar.
Papi melihat barang belanjaan di keranjang depan sepeda, dan mengangguk. Oh& begitu.
Jadi, kata Marissa, ingin tahu, hari ini kau dan Diana akan ke mana"
Siang ini aku akan pergi ke Ratu Plaza, kata Papi. Kata Diana dia ingin mencoba lift di sana. Besok kami akan ke PRJ.
Marissa bertepuk tangan. Bagus! serunya antusias. Papi melihat jam tangannya. Aku harus pergi sekarang. Diana sudah menunggu.
Oke. Marissa mengangguk. Semoga kencannya berhasil, ya.
Terima kasih, kata Papi, segera berlalu dengan motornya.
Sesampainya di rumah Wiliam, suasana hati Marissa se"makin gembira. Sambil menyanyi riang, Marissa berjalan ke dapur dan memberikan semua belanjaannya kepada Bi Ijah.
Sekarang, tolong ajari saya cara memasak telur dadar ya, Bi, katanya.
Setengah jam kemudian, enam telur gosong sudah terkumpul dalam sebuah mangkuk.
Non, kata Bi Ijah. Biar Bibi saja yang masak. Marissa menggeleng. Kalau Bibi yang masak, nanti Wiliam tidak akan menghargai usahaku.
Sial, gerutu Marissa, setelah mencoba tanpa sukses untuk kesekian kalinya. Aku memang tidak punya bakat memasak. Membuat telur dadar yang mudah saja tidak bisa kulakukan. Payah.
Suara pintu terbuka terdengar.
Sepertinya Den Wiliam sudah bangun, kata Bi Ijah. Bi Ijah, jangan sampai Wiliam ke dapur, kata Marissa panik. Aku belum selesai masak. Tolong halangi dia. Suruh dia menunggu di ruang makan saja.
Bi Ijah mengangguk cepat mendengar perintah Marissa. Ia keluar untuk berbicara dengan Wiliam. Marissa mendesah lega. Tiba-tiba ia tersadar dan pandangannya tertuju pada telur dadar di penggorengan. Alamak! teriaknya dalam hati. Gosong lagi deh. Oke& oke& jangan panik, yang gosong kan hanya bagian bawah. Jadi, aku sembunyikan saja bagian itu.
Marissa keluar dari dapur dengan senyum lebar. Wiliam, katanya. Tebak! Aku masak apa hari ini"
Wiliam terlihat masih marah. Marissa menyodorkan telur dadar hasil gorengannya di hadapan Wiliam. Aku sengaja bangun pagi-pagi memasakkan ini untukmu. Aku benar-benar minta maaf soal kemarin. Soal robot itu.
Wiliam melihat telur di depannya tanpa selera. Aku ambilkan nasinya, ya, kata Marissa, sambil mengambil piring untuk Wiliam. Setelah nasi, sendok, dan garpu tertata di depan Wiliam, Marissa menyuruhnya makan.
Ayolah, Wiliam, pintanya manis. Aku benar-benar su"dah berusaha memasaknya. Makan ya& sedikitttt saja.
Bi Ijah kasihan melihat Marissa, karena itu ia ikut menambah"kan, Non Marissa tadi pagi pergi ke pasar membeli telur untuk Den Wiliam.
Setelah mendengar perkataan Bi Ijah, akhirnya Wiliam mengambil sendok dan garpunya lalu memakan telur dadar yang dimasak Marissa.
Bagaimana" Marissa penasaran. Enak tidak" Wiliam menelan telur di mulutnya. Keasinan, katanya pendek.
Marissa merasa lega. Ia berpikir Wiliam tidak akan tahu bahwa telurnya sedikit gosong. Namun ketika Wiliam hendak memotong telur"nya lagi, ia melihat sedikit warna hitam di bagian bawah. Gawat! Gawat! Gawat! teriak Marissa panik.
Wiliam membalikkan telur itu, dan tahulah ia kini bahwa telur gorengnya gosong.
Kakak memasak telur gosong buatku"! teriaknya pada Marissa.
Marissa merasa bersalah. Aku sudah mencoba memasak"nya berulang kali. Yang ini tidak terlalu gosong. Ya, kan" Aku benar-benar memasaknya sendiri, spesial untukmu. Yang penting niatnya. Benar kan, Wiliam"
Wiliam berkata dengan ketus, Telur gosong tetap saja telur gosong.
Marissa duduk lemas di hadapan Wiliam. Wiliam& , katanya, tiba-tiba jadi serius. Aku benar-benar minta maaf sudah mematahkan robotmu kemarin. Aku tidak sengaja. Kalau kau marah kepadaku dan ingin aku pergi dari rumahmu, aku akan pergi.
Wiliam tidak mengomentari perkataan Marissa, namun dia menghabiskan semua telur gosong di piringnya. Marissa menganggap itu sebagai ungkapan perdamaian.
Terima kasih, Wiliam, kata Marissa bersungguhsungguh.
Wiliam hanya mendengus. Setelah sarapan, Marissa menemani Wiliam nonton TV. Acara si Unyil sedang tayang. Marissa ikut tertawa melihat kelucuan tayangan itu. Sepanjang pagi itu, Marissa menghabiskan waktunya dengan menonton. Banyak acara yang cukup menghibur, walaupun hanya ada satu saluran televisi. Siang hari, Marissa menonton acara Ria Jenaka. Marissa tertawa terbahak-bahak melihat betapa lucunya para punakawan yang ada di acara itu.
Setelah menonton televisi, Marissa ingin pergi ke Ratu Plaza untuk melihat ke"adaan kedua orangtuanya. Sewaktu mengusulkan hal itu kepada Wiliam, Wiliam menolak mentah-mentah.
Tidak mau, katanya. Untuk apa ke sana" Untuk melihat orangtuaku. Kalimat itu sebenarnya ingin ia lontarkan untuk menjawab pertanyaan Wiliam. Akan tetapi, Marissa malah berkata, Kan tidak enak di rumah terus.
Wiliam menatap Marissa curiga. Hati Marissa tidak tenang setiap kali Wiliam menatapnya seperti itu. Janganjangan, tebak Wiliam, Kakak akan mengikuti mereka lagi, ya"
Sial. Ketahuan. Wiliam, sanggah Marissa, aku hanya ingin tahu.
Wiliam menggeleng. Pokoknya, aku tidak mau pergi. Aku mau bikin PR. Setelah itu Wiliam berlalu ke kamarnya dan menutup pintu.
Ya sudah, keluh Marissa. Kalau kau tidak mau pergi, aku pergi sendiri saja.
Marissa kembali ke kamarnya untuk bersiap-siap, setelah itu ia membuka pintu depan. Langkahnya terhenti ketika Tante Sarah memanggilnya.
Marissa, katanya. Marissa memandang Tante Sarah, yang sepertinya baru bangun tidur. Wiliam di mana" tanyanya.
Di kamar, Tante, kata Marissa. Sedang mengerjakan PR.
Bagus! Bagus, kata Tante Sarah. Begini, Marissa. Nanti sore Tante mau ke Puncak dan menginap. Tolong kauperiksa PR-nya dan tolong jaga Wiliam juga. Sekarang Tante mau mandi dulu.
Marissa terpaksa membatalkan kepergiannya ke Ratu Plaza. Ia mengetuk pintu kamar Wiliam dan masuk.
Tante Sarah akan pergi ke puncak dan menginap, kata Marissa memberitahu Wiliam.
Wiliam hanya mengangkat bahu, tidak peduli. Dia memintaku mengecek PR-mu dan menjagamu hari ini.
Aku tidak perlu dijaga. Aku bisa mengurus diriku sendiri, kata Wiliam ketus.
Marissa menarik napas. Wiliam, jangan berkata seperti itu. Kau kan masih kecil. Lagi pula, Tante Sarah bermaksud baik. Dia perhatian kepadamu. Kau tidak tahu kalau semalam tantemu&
Wiliam menjatuhkan pensilnya, dan menatap Marissa, Satu-satunya hal yang diinginkan Tante Sarah hanya uang. Dia akan terus mendapatkan uang kalau menjagaku. Itu memang ketentuan surat wasiat Papa.
Marissa terduduk di sebelah Wiliam. Wiliam, katanya sedih. Aku yakin bukan itu alasannya. Jauh di lubuk hatinya Tante Sarah menyayangimu.
Wiliam menggeleng. Tante Sarah satu-satunya adik Papa. Ia tidak pernah peduli kepadaku. Setiap hari aku selalu melihatnya pulang malam dan mabuk.
Kali ini Marissa benar-benar merasa kasihan kepada Wiliam. Dia hanyalah seorang bocah yang kesepian. Ap kah tidak ada saudara mamamu yang bisa menjagamu"
Wiliam menggeleng. Mama berasal dari panti asuhan. Aku tidak punya siapa-siapa.
Marissa menatap Wiliam dengan tegas. Itu tidak benar. Untuk saat ini kau masih punya aku, kan" Walaupun kau tidak ingin mengakuinya, namun aku tahu tantemu juga menyayangimu. Hanya saja dia tidak pernah memperlihatkannya kepadamu.
Wiliam mengambil pensilnya kembali, dan melanjutkan PR-nya. Kau juga akan pergi meninggalkanku, katanya perlahan.
Apa" tanya Marissa, tidak mendengar. Tidak apa-apa, kata Wiliam.
Marissa tidak tahu bagaimana caranya menghibur Wiliam. Ia hanya bisa menemaninya. Setelah sekian lama ditunggui saat mengerjakan PR, Wiliam akhirnya kesal. Kakak pergi saja. Aku sedang mengerjakan PR.
Aku tahu, kata Marissa. Aku akan memeriksa PR-mu setelah kau selesai mengerjakannya.
Kalau begitu, jangan dekat-dekat aku! protes Wiliam.
Marissa beringsut menjauhi Wiliam. Ia melihat koleksi buku di lemari Wiliam. Tangannya mengambil salah satu buku itu. Enid Blyton. Lima Sekawan.
Marissa tersenyum. Ia juga memiliki koleksi lengkap buku itu di lemarinya. Sambil menunggu Wiliam mengerjakan PR, Marissa membaca buku itu.
Kak, aku sudah selesai, kata Wiliam, beberapa waktu kemudian.
Marissa menaruh buku yang sedang dibacanya di tempatnya semula. Oke. Kalau begitu sekarang aku periksa.
Marissa melihat angka-angka di buku tulis Wiliam. Perkalian, pengurangan, penambahan, dan pembagian. Angkanya besar-besar. Untuk perkalian, ada tiga digit angka dikalikan dengan dua digit angka, lalu untuk pembagian puluhan ribu dibagi dengan ratusan. Di bawah terdapat formula untuk menghitung luas lingkaran, kerucut, prisma, dan yang lainnya. Sepertinya ada yang aneh dengan tugas matematika Wiliam.
Wiliam, kata Marissa, ingin mendapatkan jawaban atas keanehan itu, PR-mu ini seperti bukan PR matematika untuk anak seusiamu, ya" Kau kan baru delapan tahun, berarti& kalau tidak salah& kau masih kelas 3 SD, kan" Bukankah kelas 3 SD baru diajari perkalian"
Memang, jawab Wiliam tenang, PR matematika yang kubuat untuk kelas 5 SD.
Hah" Kelas 5 SD" tanya Marissa, semakin bingung. Wiliam mengangguk. Ya. Sekarang aku kelas 5 SD. Aku loncat dua kelas.
Marissa melongo. Jadi, ternyata anak sok pintar ini me""mang sebetulnya& benar-benar pintar" Ini hal lain lagi yang lebih meyakinkan Marissa bahwa Wiliam memang lebih hebat dari anak seusianya, yang kemudian berpengaruh terhadap caranya bersikap dan berbicara.
Kakak periksa saja, aku mau main game dulu, kata Wiliam, beranjak meninggalkan Marissa.
Wiliam, tunggu! kata Marissa. Kau punya kalkulator tidak"
Punya, kata Wiliam. Kakak tidak boleh menggunakan kalkulator untuk memeriksa PR-ku. Tidak adil, masa Kakak enak-enak pakai kalkulator sedangkan aku bersusah payah mengerjakannya tanpa bantuan apa pun" Marissa mengumpat dalam hati.
Setengah jam kemudian, teriakan Wiliam dari ruang tamu membuyarkan konsentrasi Marissa, yang sedang berkutat dengan angka-angka.
Kak"! Sudah belum"! teriaknya. Periksanya lama sekali"! Aku saja sudah loncat sepuluh level main Space Invaders!
Marissa menggerutu kesal. Dibawanya buku PR Wiliam. Ini, kata Marissa, sambil menunjuk buku itu. Ada yang salah satu nomor.
Wiliam melihat sekilas. Tidak ada yang salah. Marissa ngotot. Salah! Harusnya hasil akhirnya empat ratus empat puluh satu.
Wiliam memandang Marissa dengan kesal. Hasil akhirnya benar. 442. Coba Kakak hitung ulang. Enam kali tujuh kan empat puluh dua, bukan empat puluh satu. Ditambah empat ratus, ya jadi empat ratus empat puluh dua.
Marissa mencoba menghitung dan memeriksa ulang PR Wiliam. Ia merasa kesal karena perkataan Wiliam benar.
Dengan santai Wiliam menyindir. Kakak tidak lulus SMA, ya"
Apa"! teriak Marissa. Enak saja. Begini-begini bulan depan aku sudah jadi mahasiswi.
Wiliam menatap Marissa tidak percaya.
Terserah kau mau percaya atau tidak, kata Marissa cemberut, sambil melangkah ke kamarnya.
Dasar& keluhnya dalam hati, ini anak tidak bisa diberi rasa simpati. Tadi aku sempat kasihan kepadanya karena dia kesepian, eh, dia sekarang malah menghinaku.
*** Diana menggandeng tangan Ferry di dalam lift Ratu Plaza.
Aku tidak pernah bosan menaiki lift kapsul ini, katanya.
Ferry hanya tersenyum. Di depan mereka, si penjaga lift memandang keduanya dengan kesal. Lift ini sudah turun-naik hampir sepuluh kali, namun mereka tidak keluar juga.
Kalian mau turun di lantai berapa" tanyanya kemudian, sambil cemberut.
Sepertinya kita sudah kelamaan naik lift ini, Diana berbisik pada Ferry.
Ferry mengacungkan telunjuknya. Satu kali lagi ya, Pak!
Si petugas lift menggeleng.
Diana berbisik lagi kepada Ferry, Terima kasih.
*** Kau memang benar-benar baik, Ferry, kata Diana, pada saat mereka makan siang bersama.
Ferry tersipu malu. Apa pun akan aku lakukan untukmu.
Diana tersenyum lebar, namun senyuman itu kemudian hilang. Dari belakang mereka, tampak Jimmy mendekati dengan ekspresi marah. Wajahnya terlihat garang, apalagi dia memakai jaket kulit hitam". Penampilan pemuda itu terlihat angker.
Jadi, kau di sini rupanya! teriaknya. Ferry dan Diana berdiri.
Jimmy, sebaiknya kau pergi saja! kata Diana kesal. Kan aku sudah bilang, kita tidak punya hubung"an lagi!
Kau lebih suka bersama dengan orang seperti dia"! teriak Jimmy tidak percaya, sambil menunjuk Ferry.
Diana membenarkan. Ya. Dia tidak egois seperti kau. Aku menungguimu latihan breakdance sampai empat jam, namun ketika kau menemaniku antre di toko kaset kau tidak sabar, padahal kita di sana hanya satu jam. Dalam perjalanan pulang kau marah dan ngebut, walaupun sudah kukatakan aku tidak mau kau ngebut. Kau memang egois, kau tidak peduli kepadaku. Kau hanya peduli kepada dirimu sendiri!
Jimmy kesal mendengar perkataan Diana. Aku tidak suka mendengar perkataanmu itu, Diana. Kau lebih suka bersama dengan seorang pengecut seperti dia. Yah, baiklah kalau itu maumu. Kau memang wanita yang suka mempermainkan pria.
Kepalan tangan Ferry seketika itu juga menghantam wajah Jimmy. Jimmy berteriak kesakitan. Dia memandang Ferry dengan kesal, lalu balas memukul wajah Ferry. Pukul"an keras Jimmy membuat Ferry ter"jengkang.
Hentikan!! teriak Diana. Jimmy, sebaiknya kau pergi! Aku tidak mau bertemu denganmu lagi!
Oh, tenang saja, katanya sambil tertawa sinis. Aku akan pergi. Seleramu payah sekali, Diana. Berpacaran dengan pengecut seperti dia.
Setelah berkata demikian, Jimmy pergi meninggalkan mereka berdua.
Diana membantu Ferry berdiri, lalu berteriak keras, Mengapa kau harus memukul Jimmy"!
Ferry terkejut mendengar amarah Diana. Diana& Kau benar-benar bodoh!! lanjut Diana lagi. Mengapa kau harus memukulnya" Karena dia menghinamu" Lihatlah akibatnya! Kau tahu, kau bukan tandingan Jimmy dalam hal menghajar orang! Kenapa kau harus sok jagoan, hah"!
Ferry mendekati Diana. Aku tidak memukul Jimmy karena dia menghinaku.
Lalu, karena apa" tanya Diana bingung.
Aku memukulnya karena dia menghinamu, kata Ferry, sambil menatap Diana dengan lembut.
Perkataan itu membuat Diana tersentuh. Kau tahu, kau benar-benar idiot memukul Jimmy seperti itu.
Ferry tersenyum. Aku tahu, namun aku tidak keberatan.
Diana merangkul tangan Ferry dan mengajaknya pergi, Ayo, kita pulang!
Ferry berkata, Bagaimana kalau kita naik liftlagi sebelum pulang"
Diana hanya tersenyum dan mengangguk.
*** Hari sudah menjelang sore. Wiliam menyalakan televisi. Dia membawa sebuah buku gambar.
Kau mau apa" tanya Marissa heran.
Mau belajar menggambar dengan Pak Tino Sidin, kata Wiliam.
Tak lama kemudian di layar televisi muncul acara Gemar Menggambar . Pembawa acaranya seorang pria bertopi baret.
*** Di layar TV tampak Pak Tino Sidin, sang pembawa acara, sedang menerangkan cara menggambar seekor kucing m"ulai dari kepala, badan, sampai ekornya. Wiliam mengikuti langkah itu satu per satu.
Wiliam, seru Marissa, aku minta kertas gambarmu. Aku juga ingin ikut menggambar.
Wiliam kesal karena permintaan Marissa mengganggunya, namun akhirnya dia memberisehelai kertas gambar pada Marissa.
Marissa juga mengikuti petunjuk menggambar Pak Tino Sidin di layar televisi. Aku tidak menyangka menggambar bisa se"mudah ini. Sejak dulu aku memang tidak punya bakat meng"gambar. Topi setelah mengikuti langkah-langkah Pak Tino Sidin kok jadi mudah sekali. Aku jadi membayang"kan, sepuluh tahun lagi lukisanku dipasang di galeri-galeri seni, dan aku jadi seniman ternama seperti Picasso atau Van Gogh.
Wiliam memperhatikan Marissa dengan curiga. Kemarin Kakak salah makan obat kali, ya" Kok hari ini senyum-senyum sendiri seperti orang gila!
Setelah acara menggambar selesai, Marissa melihat hasil lukisannya dengan bangga. Penasaran, Wiliam melihat hasil karyanya dan mengernyit. Kakak! serunya. Kakak menggambar kucing atau cacing"
Apa"! sentak Marissa marah. Ini anak& urghh& aku meng"gambarnya dengan susah payah, tahu" Memang gambarmu lebih bagus" Coba sini aku lihat! Marissa merebut kertas gambar dari tangan Wiliam, dan melihat gambar yang dilukis Wiliam.
Brengsek! serunya kesal. Gambar Wiliam lebih menyerupai kucing daripada gambarku. Masa aku kalah dengan anak delapan tahun sih!
Ehmm, seru Marissa berkelit, gambarmu memang lebih baik, namun seni kan tidak bisa hanya dilihat dari bentuknya. Seni juga harus dilihat dari segi artistiknya. Harus pakai perasaan.
Wiliam memandang Marissa dengan tampang tidak per"caya. Kalau memang tidak punya bakat menggambar, mengaku saja. Kelihatannya Kakak memang tidak punya bakat lain selain makan.
Marissa hendak membalas kata-katanya, namun akhirnya ia diam saja. Ini anak pintar sekali membuatku kesal. Ia lalu memutuskan untuk tidak melayani ucapan Wiliam, dan melanjutkan menonton televisi.
Di akhir acara, Pak Tino Sidin menunjukkan gambar anak-anak yang dikirim kepadanya, lalu berkata Ba"gus .
Saat Marissa melihat gambar terjelek yang terpampang di depan TV, Pak Tino Sidin tetap berkata Bagus , dia lalu berkata,
Wiliam, Pak Tino Sidin tidak pernah berkata Jelek , ya"
Wiliam menggeleng. Jadi, kalau karyaku dikirim ke Pak Tino Sidin pasti aku akan dinilai bagus juga, kan" katanya, sambil tersenyum bahagia.
Ya, kata Wiliam. Itu karena Pak Tino Sidin kasihan kepada Kakak, bukan karena gambar Kakak bagus.
Urghhhh! Marissa mengepalkan tangannya dengan kesal.
Sudah, ah. Aku mau mandi dulu. Wiliam bergegas ke"luar dari ruang tamu, meninggalkan Marissa yang geram setengah mati.
*** Ketika pukul setengah tujuh malam tiba, mereka kembali menonton televisi. Kali ini acaranya berjudul ACI, yang bercerita tentang tiga sekawan Amir, Cici, dan Ito.
Marissa harus mengakui film-film di masa ini dibuat sangat sederhana, namun ceritanya menyentuh.
Malam harinya Wiliam menonton episode terakhir Megaloman. Marissa masuk ke kamar Wiliam, dan tatap""annya tertuju pada robot berlengan satu yang dia ja"tuh"kan kemarin. Marissa benar-benar merasa bersalah.
Wiliam, katanya, aku benar-benar minta maaf ya. Aku tidak mau membicarakan itu lagi, kata Wiliam, sambil memasukkan kaset video Megaloman-nya.
Kalau begitu, kau sudah memaafkan aku, ya kan" kata Marissa, sambil tertawa. Kelerengmu yang biru ini boleh untukku"
Wiliam menjawab dengan ketus, Tidak boleh. Aku kan sudah berkata bahwa aku tidak suka memberikan mainanku kepada orang lain.
Marissa menjulurkan lidahnya karena kesal, lalu pergi mandi.
Setelah selesai berganti baju, Marissa kembali lagi ke kamar Wiliam. Lampu di kamar Wiliam tidak menyala. Marissa curiga, bukankah dia sedang menonton video" Mengapa lampu kamarnya gelap begini"
Wiliam, panggilnya perlahan. Ia melihat Wiliam sedang tidur di ranjangnya, dan bergegas mendekatinya.
Ada apa, Wiliam" tanya Marissa panik, sambil menyalakan lampu. Kau sakit"
Wiliam bergerak-gerak gelisah dalam tidurnya. Tubuhnya berkeringat. Marissa meraba keningnya. Rasa panas menjalari telapak tangannya. Wiliam demam.
Wiliam, panggil Marissa, berusaha membangunkannya. Kau demam. Kau harus minum obat dulu. Wiliam menatap Marissa dengan lemas. Sudah& Marissa melihat bungkus obat yang sudah terbuka. Baiklah, kalau begitu kau istirahat, ya, katanya, sambil menyelimuti Wiliam dengan selimut bergambar robot.
Marissa masuk ke dapur dan mengambil sebaskom air serta handuk kecil, lalu bergegas kembali ke kamar Wiliam. Ia mengompres kening Wiliam dengan air dingin terus-menerus selama jam-jam berikutnya.
Dalam tidurnya, Wiliam mengigau gelisah, Mama& Papa& jangan pergi& !
Marissa benar-benar merasa sedih. Keluarga Wiliam tidak ada satu pun di rumah. Tante Sarah sedang menginap di Puncak. Orangtua Wiliam sudah meninggal, padahal Wiliam membutuhkan mereka.
Marissa menggenggam tangan Wiliam erat-erat. Aku bukan orangtuamu, namun aku akan menjagamu, Wiliam. Sekarang tenanglah dan tidurlah yang nyaman, katanya, sambil mengelus-elus rambut Wiliam.
Entah berapa lama Marissa mengompres kening Wiliam. Menjelang tengah malam, panas anak lelaki itu sudah turun dan Wiliam terlihat tertidur nyenyak.
Marissa merasa lega. Ia menguap, mata"nya tidak kuat lagi membuka. Tak berapa lama ke"mudian, ia tertidur sambil duduk di tepi ranjang Wiliam.
S uara dengkuran seseorang membangunkan Wiliam dari
tidurnya. Dilihatnya Marissa tertidur di samping tempat tidurnya. Dia ingat, kemarin malam badannya sangat panas. Kelihatannya Marissa mengompresnya dan menemani"nya semalaman. Wiliam menatap Marissa perlahan. Dengkuran Marissa terdengar semakin keras. Wiliam mendesah.
Kak, bangun, kata Wiliam. Sudah pukul sembilan pagi.
Marissa membuka matanya, dan menguap. Oh, Wiliam, kau sudah bangun" Ia meraba kening Wiliam. Demammu sudah turun.
Kakak menjagaku semalaman" tanya Wiliam. Marissa mengangguk, lalu menguap lagi. Kau demam tinggi dan mengigau. Jadi, aku menemanimu di sini. Dengan perlahan Wiliam berkata, Terima kasih. Marissa baru sadar bahwa inilah pertama kali Wiliam berkata terima kasih kepadanya. Ia merasa gembira se-
Tujuh 4 Juli 1988 PRJ hingga tanpa sadar tangannya menyentuh baskom air kompresan semalam dan menyenggolnya. Isinya tumpah ke selimut Wiliam.
Arggghhhh! teriak Wiliam. Selimutku! Lalu tampang cemberutnya kembali lagi. Kenapa Kakak selalu me"rusak barang-barang kesayanganku"
Marissa menggigit jarinya. Maaf! Maaf! Maaf! katanya, sambil membawa baskom air kompresan itu. Nanti aku suruh Bi Ijah mencuci selimutmu, ya.
Wiliam hanya menggerutu. Karena kau baru sembuh, kata Marissa lagi, bagaimana kalau pagi ini kau tidak les dulu" Istirahat saja. Kau mau makan apa" Bubur, ya"
Wiliam hanya mengangguk. Marissa keluar kamar dan bergegas menemui Bi Ijah. Bi, kata Marissa, tolong masakkan bubur untuk Wiliam, ya" Semalam dia demam.
Bi Ijah tampak khawatir. Den Wiliam sakit" Sekarang sudah mendingan, kata Marissa. Syukurlah kalau begitu, kata Bi Ijah lega. Pagi itu Marissa menghabiskan waktunya di kamar Wiliam. Saat Marissa akan menyuapi bubur, Wiliam menolak. Aku kan bukan anak kecil lagi, katanya protes. Aku tidak perlu disuapi.
Akhirnya, Marissa membiarkan Wiliam makan sendiri.
Kak, katanya setelah makan, aku ingin nonton episode terakhir Megaloman, semalam belum sempat menonton.
Marissa mengikuti permintaan Wiliam, dan menemaninya menonton. Lama-kelamaan, Marissa ikut terhanyut dalam cerita film itu. Di akhir film, Marissa berkomentar sambil menggeleng-geleng. Ya, ampun! Kok bisa ya Kapten Dagger, musuh buyutan Megaloman, ternyata saudara kembarnya"
Ya, kata Wiliam setuju. Aku juga tidak menyangka. Aku rasa menontonnya sudah dulu. Kau harus istirahat.
Wiliam berbaring di tempat tidurnya lagi, dan Marissa mematikan lampu kamar. Selamat tidur, Wiliam.
Wiliam menguap, tak berapa lama kemudian dia tertidur.
*** Satu jam kemudian, mobil Tante Sarah memasuki halaman rumah. Marissa menyambutnya dan memberi"tahukan keadaan Wiliam.
Sekarang dia di mana" tanya Tante Sarah. Sedang tidur di kamarnya, jawab Marissa. Baguslah, kalau begitu, Tante Sarah berjalan ke kamarnya. Aku capek sekali. Terima kasih kau sudah menjaga Wiliam. Aku mau tidur dulu.
Setelah Tante Sarah masuk ke kamarnya, Marissa menyalakan televisi di ruang tamu. Ia merasa sangat bosan. Sore ini ia ingin sekali pergi ke PRJ, siapa tahu bisa bertemu dengan orang"tuan"ya.
Akhirnya, untuk mengusir kebosanan Marissa menyalakan komputer Wiliam. Ia memainkan game yang sering dimainkan Wiliam, Space Invaders.
Kok jalannya pelan sekali, ya" Ah, ini kan memang komputer zaman jebot, apa yang bisa kuharapkan"
Sejam kemudian Wiliam terbangun. Tubuhnya sudah terasa segar. Dia turun dari ranjang dan keluar dari kamar"nya. Dilihatnya Marissa sedang berkutat dengan serius di depan komputer.
Pesawat warna-warni memenuhi layar, dan Marissa asyik menekan keyboard sehingga tidak menyadari kedatangan Wiliam di belakangnya.
Kakak kok malah main Space Invaders" tanya Wiliam.
Marisssa berbalik sebentar, lalu matanya kembali lagi pada layar komputer, Oh& hai, Wiliam! Sudah ba"ngun rupanya. Aku bosan. Siaran TV-nya juga membosankan. Jadi, aku main komputer saja. Aku lihat kau sering memainkan game ini, aku jadi ingin mencobanya. Kok lambat sekali, ya"
Wiliam menekan tombol Turbo, lalu permainan itu menjadi semakin cepat.
Pantas dari tadi jalannya lambat banget, teriak Marissa kesal dalam hati.
Kak, aku juga ingin main, kata Wiliam.
Nanti ya, sebentar lagi. Kakak lagi tanggung, kata Marissa tanpa memperhatikan Wiliam. Tangannya dengan lincah bergerak-gerak menembaki pesawat musuh yang tidak ada habisnya.
Satu jam kemudian& Kak! Sekarang giliran aku yang main dong! teriak Wiliam, tidak sabar.
Sebentar lagi, kata Marissa. Setengah jam setelah itu&
Kak!! Kapan selesainya"! teriak Wiliam keras-keras. Marissa malah tidak menyadari teriakan itu. Setengah jam berikutnya&
Ahhhh& ahhhh& arghhhhh! teriak Marissa. Ahhhh, game over! Aku tidak terima, aku mau main lagi! Wiliam langsung berteriak, Kak! Sekarang giliranku!
Izinkan aku main satu kali lagi, ya" pinta Marissa manis.
Wiliam tidak mengindahkan perkataan Marissa, dia menarik gadis itu turun dari kursi.
Marissa merengut kesal. Akhirnya, ia pergi mandi karena cuaca panas sekali. Selesai mandi, Marissa melihat jam di dinding menunjukkan pukul empat sore. PRJ bukanya sore, kan" Pukul 17.00 atau pukul 18.00" ta"nya Marissa dalam hati. Pokoknya, aku harus pergi! Marissa mengajak Wiliam pergi ke PRJ. Tidak mau, kata Wiliam.
Wiliam, kau kan sudah sembuh, kata Marissa merayu. Daripada bosan di rumah lebih baik pergi ke PRJ, ya kan"
Ada apa" tanya Tante Sarah, menyela percakapan mereka. Tampaknya Tante Sarah baru saja bangun tidur.
Begini, Tante, kata Marissa. Saya ingin mengajak Wiliam ke PRJ untuk ganti suasana. Bosan kan di rumah terus. Eh, Wiliam tidak mau.
Kalian pergi saja, kata Tante Sarah pada Marissa dan Wiliam. Tante akan pergi menemui teman Tante, nanti sekalian Tante antar ke PRJ.
Marissa tersenyum lebar. Terima kasih, Tante. Nah, Wiliam, ayo kita pergi ke PRJ.
Wiliam menatap Marissa dengan kesal.
Sore itu sebelum pergi Marissa melihat-lihat lemari pakaian orangtua Wiliam dan menemukan gaun kuning terusan dengan tangan menggelembung di kedua sisinya. Sederetan manik-manik menghiasi baju bagian depan. Marissa kemudian memakainya. Untuk sepatunya, Marissa memilih sepatu kulit berwarna hitam.
Dua jam kemudian, Marissa, Wiliam, dan Tante Sarah sudah berada dalam perjalanan menuju PRJ. Suasana PRJ sudah ramai ketika Marissa dan Wiliam turun dari mobil.
Ini uang jajan kalian, kata Tante Sarah, mem"berikan beberapa lembar uang sepuluh ribuan pada Marissa. Nanti kalian pulang sendiri, ya.
Terima kasih, Tante, kata Marissa senang. Ayo Wiliam, kita masuk.
Wiliam mengikuti Marissa dari belakang.
Wah, ramai sekali. Marissa melihat keramaian orang di sekitarnya dengan antusias. Kau tahu, Wiliam, di masa depan PRJ masih ada lho.
Benarkah" Ya, benar. Tempatnya saja yang berbeda. Oh, lihat itu! seru Marissa. Ada banyak sekali makanan yang dijual. Ayo kita makan!
Kakak, yang dipikirkan hanya makanan melulu. Wiliam mengikuti Marissa ke area tempat makan.
Marissa duduk. Mana bisa perut kosong dipakai jalanjalan. Mas, saya pesan mi bakso dan nasi goreng. Wiliam, kau mau apa"
Wiliam hanya menggeleng. Aku belum lapar. Kakak makan saja dulu.
Marissa menghabiskan nasi goreng di piringnya sampai perutnya terasa penuh. Ia menutup mulutnya dan bersendawa.
Apa Kakak yakin bisa menghabiskan mi baksonya" Wiliam menatap curiga.
7 Hari Menembus Waktu Karya Charon di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Marissa hanya tersenyum. Tenang saja, perutku memang besar. Pasti aku bisa menghabiskannya. Baru pertama kali Wiliam melihat gadis begitu rakus. Kau yakin tidak mau makan, Wiliam" tanya Marissa sekali lagi.
Wiliam menggeleng. Melihat Kakak makan saja aku sudah kenyang.
Marissa benar-benar menghabiskan mi baksonya. Sekarang mari kita jalan-jalan!
Setelah beberapa saat berjalan-jalan, Marissa berhenti di sebuah stand makanan. Lihat itu, Wiliam! Katanya kalau beli satu dapat undian langsung. Ayo kita beli!
Marissa membeli satu kantong plastik makanan. Akan tetapi, saat mengambil undian hadiah, dia tidak beruntung.
Beli satu lagi, kata Marissa penasaran.
Kakak, protes Wiliam. Beli makanan banyak-banyak, siapa yang akan makan"
Kau tenang saja. Nanti aku makan semuanya, kata Marissa. Lagi pula, kan tidak harus di"makan hari ini.
Untuk kali kedua mereka mendapatkan sebuah tempat pensil. Marissa menjerit gembira. Nah lihat, tempat pensil ini bagus sekali, kata Marissa. Untukmu saja, Wiliam.
Tidak mau, kata Wiliam. Aku sudah punya tempat pensil Robot Voltus.
Ya, sudah, kata Marissa, menyimpan kaleng pensil itu ke dalam plastik.
Kak, ujar Wiliam tiba-tiba, aku ingin ke WC dulu. Oke! kata Marissa, sambil mencari-cari WC. Itu dia! Aku tunggu di luar, ya.
Wiliam berlari masuk ke WC dengan terburu-buru. Sambil menunggu, Marissa melihat-lihat stand di sekitar situ. Pandangannya tertuju pada Robot Voltus yang mirip dengan milik Wiliam.
Mas, saya ingin beli robot ini, kata Marissa, sambil ter"senyum. Ia bisa memberikan robot ini sebagai pengganti robot bertangan satu di lemari Wiliam.
Sesudah membelinya, Marissa menyembunyikannya di salah satu kantong plastik yang berisi makanan. Ia ingin memberi kejutan untuk Wiliam.
Wiliam keluar dari WC, keduanya kemudian melanjutkan perjalanan.
Marissa membeli banyak permen dan makanan, mencoba satu per satu, membujuk Wiliam untuk mencobanya juga.
Kak, aku capek! teriak Wiliam, setelah berputar-putar selama satu jam. Kita duduk dulu, ya.
Kebetulan di dekat mereka ada bangku, Marissa duduk sambil membawa semua yang tadi dia beli. Marissa mendongak ke atas dan memandang bintang-bintang yang bertebaran di angkasa.
Sudah lama aku tidak merasa sebahagia ini, kata Marissa. Hei, Wiliam! Kau senang kan hari ini" Ya, begitulah, jawab Wiliam pendek.
Marissa hanya tertawa mendengarnya. Kau memang anak yang susah sekali diajak bersenang-senang.
Tiba-tiba ia melihat Papi dan Mami berada tak jauh dari tempat duduknya. Mereka sedang ada di stand aksesori.
Wiliam, katanya gembira, itu Mami dan Papi. Aku mau melihat mereka.
Ya, ampun, keluh Wiliam kesal, kita mau mematamatai mereka lagi"
Stttt, bisik Marissa, aku hanya ingin tahu mereka sedang apa. Ayo kita dekati mereka!
*** Diana jatuh hati pada sebuah kalung hitam dengan inisial huruf dari perak yang menggantung di tengahnya. Aku suka kalung ini, katanya pada pemuda di sebelahnya.
Ferry tersenyum. Beli saja kalau kau suka, biar aku yang bayar.
Tangan Diana mengambil sebuah kalung lagi. Begini saja. Kita beli dua kalung ini. Yang berinisial D untuk Diana dan F untuk Ferry. Kau pakai yang berinisial D, sedangkan aku akan memakai yang berinisial F. Bagaimana"
Baiklah! kata Ferry. Dia memasang kalung berinisial D di lehernya. Setelah itu, dia membantu memasangkan kalung yang berinisial F di leher Diana.
Diana memandang Ferry dengan senang. Kau tahu, Ferry. Kau benar-benar pria terbaik yang pernah aku kenal. Aku nyaman sekali bila pergi bersamamu. Ferry tersipu malu. Aku juga senang bersamamu. Kalau begitu, usul Diana. Bagaimana kalau besok kita pergi lagi" Ke mana, ya" Bagaimana kalau ke Gajah Mada"
Besok aku ada kuliah, ujar Ferry. Dari pukul satu sampai pukul tiga sore.
Kalau begitu, aku akan menemuimu di kampus seusai kuliah dan kita bisa berangkat bersama-sama, saran Diana.
Ide yang bagus. Ferry tersenyum senang.
*** Marissa melihat kemesraan di antara keduanya, dan tersenyum. Ia pernah melihat kalung itu di masa depan. Satu di kotak perhiasan Mami, dan yang satu lagi di laci meja kerja Papi. Rupanya keduanya masih menyimpan kalung yang berumur dua puluh tahun itu.
Mereka masih menyimpan kalung itu, ungkapnya perlahan pada Wiliam. Mereka benar-benar saling mencintai.
Wiliam memandang Marissa, lalu kepada kedua orangtuanya. Mereka beruntung, katanya.
Marissa memandang langit di atasnya dan mendesah. Kapan ya aku bisa mendapatkan cinta seperti mereka" Aku tidak mau patah hati lagi.
Kakak pasti akan mendapatkannya suatu saat, seru Wiliam, berusaha menghibur.
Marissa menatap Wiliam curiga. Hei, tunggu dulu! Bocah ini ternyata selain bisa berkomentar sinis, dia bisa juga berkomentar manis, dan anehnya perkataan Wiliam menenteramkan hatinya.
Wiliam, menurutmu aku bisa mendapatkan cinta seperti orangtuaku"
Wiliam mengangkat bahu. Bisa saja, kalau Kakak tidak rakus makan.
Hei, potong Marissa. Kau menyindirku, ya" Aku kan hanya mengatakan kenyataan, kata Wiliam. Tawa kedua orangtuanya mengalihkan perhatian Marissa. Ia melihat Papi sedang membeli makanan dan mem"berikannya kepada Mami. Mami memakannya dan menyuapi Papi. Saat ada sisa saus di mulut Papi, Mami membersihkannya dengan sapu tangannya.
Marissa tersenyum lega melihat itu.
Aku benar-benar merindukan mereka. Aku ingin berlari ke sana dan memeluk mereka, namun aku tidak bisa melakukannya, bukan"
Kakak akan bertemu mereka sebentar lagi, kata Wiliam perlahan. Bukankah Kakak mengatakan, saat ge"dung itu dibuka Kakak bisa kembali ke masa depan"
Marissa menatap Wiliam dengan saksama. Sekarang kau percaya bahwa aku berasal dari masa depan" Sejak kapan"
Sejak Kakak melahap semua permen dan cokelat waktu itu. Kakak terkesan seperti baru pertama kali memakannya, kata Wiliam.
Aku senang kau memercayaiku, Wiliam. Lagi pula, lanjut Wiliam, Kakak tidak pandai berbohong.
Marissa tersenyum. Ya, kau benar soal itu. Bisakah kita berjalan-jalan lagi" tanya Wiliam. Ayo! ajak Marissa.
*** Ayo, Wiliam! Tembak terus!! teriak Marissa berse"mangat.
Beberapa saat yang lalu mereka tiba di sebuah arena game komputer. Saat arena itu mengadakan lomba game Space Invaders, Marissa langsung meminta Wiliam mengikuti perlombaan itu. Siapa pun yang bisa mencetak angka paling tinggi selama sepuluh menit, dialah pemenang"nya.
Di sinilah mereka sekarang. Marissa tak henti-hentinya memberi semangat di sebelah Wiliam.
Kakak! teriak Wiliam, menyela di sela-sela permainannya.
Hah" Apa" tanya Marissa.
Jangan teriak-teriak di depan kupingku. Aku jadi tidak bisa konsentrasi, jawab Wiliam ketus.
Maaf, kata Marissa lagi. Aku tidak akan berteriakteriak lagi.
Saat sepuluh menit berlalu dan perlombaan dianggap selesai, salah seorang petugas arena memeriksa angka di masing-masing komputer. Kemudian, ia mengumumkan bahwa Wiliam-lah pemenangnya.
Marissa bertepuk tangan dan meloncat-loncat gembira. Wiliam mendapat jam tangan dan dua lusin cokelat wafer.
Wiliam, kau hebat! seru Marissa, ketika mereka keluar dari arena itu.
Kak, sudah malam nih. Aku ngantuk. Pulang yuk, katanya.
Marissa mengangguk, lalu keduanya berjalan pulang.
*** Marissa memasuki kamar Wiliam beberapa jam setelahnya. Wiliam, katanya. Aku punya hadiah untukmu. Ia mengeluarkan robot Voltus baru dan memberikannya kepada Wiliam.
Bagaimana" tanyanya. Sama persis kan dengan milikmu"
Untuk apa beli robot yang sama" tanya Wiliam. Milikmu kan aku rusak. Jadi, aku beli penggantinya, kata Marissa.
Wiliam mengambil robot yang ada di tangan Marissa dan menaruhnya di samping robot yang rusak. Terima kasih, katanya.
Marissa tersenyum. Ehmmm, ada satu hal lagi yang ingin aku minta.
Mau apa lagi" tanya Wiliam curiga. Aku minta cokelat wafernya, ya"
Tidak boleh, kata Wiliam. Kakak kan sudah beli banyak makanan. Wafer cokelat itu punyaku. Aku memenang"kannya.
Aku tahu, kata Marissa. Begini saja, aku tukar makan"an yang aku beli dengan cokelat wafernya ya, bagaimana" Atau& satu deh, aku minta satu saja. Wiliam tetap menggeleng. Tidak bisa.
Ditolak seperti itu, Marissa cemberut lagi. Ini anak pelit sekali! Apa dia tidak tahu bahwa aku tidak akan pernah lagi menikmati cokelat itu. Di masa depan cokelat itu sudah tidak ada.
Marissa melihat kelereng biru yang diincarnya di lemari mainan Wiliam. Melihat Wiliam sedang fokus memakai arloji barunya, Marissa mengambil kelereng itu dan berjalan ke luar kamar. Wiliam tidak akan kehilangan kelereng ini. Lagi pula, dia masih punya banyak, ratusan malah, katanya dalam hati.
Marissa meletakkan kelereng itu di laci meja kamarnya. Aku akan membawa kelereng ini pulang bersamaku.
Tiba-tiba perutnya terasa sakit. Marissa membuka pintu kamar, lalu berlari ke kamar mandi.
Mendengar suara langkah Marissa, Wiliam menengok ke luar kamar. Dilihatnya Marissa berlari ke kamar mandi sambil memegangi perutnya.
Itulah akibatnya kalau makan terlalu banyak! teriak Wiliam.
Diam, Wiliam!! geram Marissa.
Aku kan sudah beritahu. Kakak rakus sih! seru Wiliam.
Tutup mulutmu! Aduh& aduh& sakit sekali! teriak Marissa. Jangan menggangguku lagi, Wiliam. Kakak tidak mau cokelat waferku" goda Wiliam. Wiliam! teriak Marissa keras-keras. Pergilah ke kamarmu dan jangan ganggu aku lagi!
Wiliam masuk kembali ke kamar, lalu dia tertawa cekikikan.
*** Marissa memegangi perutnya dengan lega. Akhirnya, setelah dua jam di kamar mandi, perutnya bisa tenang juga. Tiba-tiba pintu depan terbuka. Tante Sarah masuk ke dalam rumah dengan langkah sempoyongan. Sesampainya di tangga atas, kakinya sudah mulai goyah. Untung saja Marissa ada di situ, ia memegangi tangan Tante Sarah dan memapahnya ke kamarnya.
Setengah sadar, Tante Sarah bergumam tidak jelas. Kau siapa, hah"
Saya Marissa, Tante, kata Marissa. Tante mengizinkan saya menginap di sini beberapa hari yang lalu. Tante Sarah mengangguk. Oh& ya& ya.
Marissa merebahkan Tante Sarah di atas tempat tidurnya dan menyelimutinya. Saat akan berlalu, Marissa mendengar suara tangisan di belakangnya.
Tante tidak apa-apa" tanya Marissa khawatir. Isakan tangis Tante Sarah semakin kencang. Apakah kau tahu& , isaknya, bagaimana rasanya kehilangan seorang kakak yang selalu melindungimu" Aku benarbenar me"rindukan dia. Kenapa dia harus pergi" Orangtuaku& kakak"ku& semuanya menghilang dari hadapanku. Aku tidak bisa hidup sendirian seperti ini.
Marissa menatap Tante Sarah dengan prihatin. Saya tidak punya kakak. Jadi, saya tidak tahu rasanya kehilangan kakak, namun Tante tidak sendirian. Tante masih punya Wiliam.
Anak itu, seru Tante Sarah. Anak itu mirip sekali dengan kakakku& . Sakit& sekali rasanya.
Marissa menghela napas. Sebaiknya Tante lebih sering meluangkan waktu bersama Wiliam.
Anak itu membenciku, katanya kesal.
Marissa menggeleng. Tidak! Wiliam tidak membenci Tante, dan saya yakin Tante juga tidak membencinya.
Kau tidak tahu apa-apa, kata Tante Sarah kesal, matanya perlahan membuka. Kesadarannya berangsur-angsur pulih.
Marissa menelan ludah. Saya memang bukan keluarga Tante, namun tidak perlu harus menjadi bagian keluarga untuk mengatakan bahwa Tante juga menyayanginya.
Kalau saja Tante mau meluangkan waktu bersama Wiliam.
Kau tidak berhak berkata seperti itu kepadaku, suara Tante Sarah terdengar ketus. Kau tidak tahu rasanya kehilangan semuanya.
Marissa terdiam sesaat dan menunduk. Kemudian, ia memberanikan diri menatap Tante Sarah.
Tante memang telah kehilangan kakak, katanya tegas. Tapi Wiliam"! Dia sudah kehilang"an ke"dua orangtuanya. Apakah Tante pernah memikirkan itu" Wiliam juga pasti merasa kehilangan. Sekarang, secara perlahan-lahan apakah Wiliam juga harus kehilang"an Tante"
Tante Sarah terdiam mendengar perkataan Marissa. Ia kembali menutup matanya. Pergilah! katanya. Marissa berjalan ke luar kamar dan mematikan lampu. Selamat malam, katanya, sebelum menutup pintu kamar.
B esok aku pulang! seru Marissa dalam hati. Ia bangun
dengan hati gembira. Hari ini adalah hari terakhirnya di masa lalu. Besok Gedung Albatross akan dibuka. Lukisan itu pasti akan ada di sana, dan ia akan kembali ke masa depan. Walaupun begitu, Marissa merasa sedih karena ia akan meninggalkan Wiliam. Hari ini, ia ingin berpamitan dengan Papi, lalu sesudahnya ia akan membawa Wiliam berjalan-jalan. Soal tempat, biar Wiliam saja yang memilih.
Selamat Pagi, Wiliam, sapanya, saat akan sarapan. Berlainan dengan suasana hati Marissa yang ceria, Wiliam malah terlihat murung. Hei, kenapa tampangmu murung begitu" Marissa duduk di sebelahnya. Cerialah sedikit. Aku tahu, kau pasti sedih aku mau pergi, ya. Wiliam tidak berbicara apa pun.
Bagaimana kalau sore ini kita main sepuasnya. Kau yang tentukan tempatnya, Marissa berkata lagi. Wiliam, aku tahu kau sedih, namun kau harus menger"ti bah"wa... Main" sela Wiliam.
Delapan 5 Juli 1988 Persona Non-Grata Marissa mengangguk sambil mengambil nasi dan sayur dari meja makan, Ya. Kau mau ke mana"
Entahlah, kata Wiliam. Hei, tidak usah sedih begitu, kata Marissa. Perkataan Wiliam yang berikutnya mengejutkan Marissa. Aku mau kelereng biruku dikembalikan. Hah" Kelereng biru apa" tanya Marissa, berlagak tidak tahu.
Kakak mengambilnya semalam, tuduh Wiliam. Aku& ehm& aku tidak mengambilnya, Marissa berusaha menyangkal. Sial! Kenapa dia bisa tahu" Kan ada ratusan kelereng di kaleng itu.
Tadi pagi aku lihat sudah tidak ada, Wiliam berkata, sambil menyipitkan matanya. Pasti Kakak yang ambil. Ya, kan"
Apa sih yang Wiliam lakukan setiap pagi" Melihat mainannya satu per satu"
Tidak, kata Marissa mencoba meyakinkan Wiliam. Aku tidak mengambil. Ia memasang tampang tidak bersalah.
Aku kan pernah mengatakan, Kakak bukan pembohong yang baik. Wiliam menyorongkan telapak tangannya di depan Marissa. Ayo, kembalikan!
Marissa meletakkan garpu dan sendoknya, lalu berlari ke kamarnya. Oke! Oke! Aku ambil.
Ini, katanya beberapa saat kemudian, sambil meletakkan kelereng biru itu di tangan Wiliam.
Wiliam mengambil kelerengnya, lalu meneruskan makannya, diikuti dentingan garpu dan sendok Marissa.
*** Arena kolam renang ramai dengan pengunjung. Marissa duduk di salah satu kursi, jemarinya dengan lincah memain"kan GemBot yang dibawanya tadi pagi. Pagi ini, Wiliam les berenang. Sesekali pandangannya tertuju pada Wiliam, melambaikan tangannya, lalu berkonsentrasi bermain GemBot lagi.
Setelah mencapai angka empat ratus, Marissa tersenyum-senyum sendiri. Sebentar lagi aku akan m"enyamai angka tertinggi Wiliam. Angka berhenti di empat ratus lima puluh. Marissa bangkit dari kursinya dan berteriak. Wiliam, aku mengalahkan angkamu! Akhirnya, aku mengalahkanmu juga!
Ia ingin memperlihatkan pencapaian angka itu kepada Wiliam, namun ia tidak melihat Wiliam di mana pun. Di mana dia" tanyanya. Ah, itu dia, baru muncul ke permukaan.
Marissa berlari ke tepi kolam renang. Lihat!! Ia menunjuk"kan GemBot di tangannya ke arah Wiliam. Aku ber"hasil mengalahkan angka tertinggimu. Aku memang hebat!
Wiliam membasuh air dari mukanya dan melihat GemBot di tangan Marissa. Jangan senang dulu, katanya. Kakak baru main Game A. Ia lalu menekan tombol Game B. Game B lebih sulit dari Game A.
Marissa kaget melihat angka tertingginya. Tujuh ratus tiga puluh lima. Marissa mencoba memainkan Game B selama beberapa menit.
Apa ini" Kok parasutnya bisa menyangkut di pohon segala" tanya Marissa bingung. Hanya dalam waktu lima menit, Marissa sudah game over.
Kakak coba kalahkan angka tertinggiku, ya, kata Wiliam perlahan, lalu kembali berenang.
Marissa duduk kembali di tempatnya semula, dan mencoba bermain Game B. Setelah satu jam dan angka yang bisa diraihnya hanya dua ratus, ia menyerah. Matanya me"lihat seorang penjual es krim, dan ia pun membelinya.
Es krim ini enak sekali, katanya, sambil melihat merek"nya. Woody. Aku belum pernah mencobanya.
Setelah menghabiskan tiga cup, ia beralih pada permen karet yang dibelinya semalam di PRJ. Ternyata pada bungkus permen karet itu ada gambar untuk tato. Marissa langsung meletakkan bungkus permen karet itu pada tangannya, dan mengolesinya dengan air. Sebuah tato kupu-kupu kecil kini tertera di tangannya.
Bagus sekali, katanya puas.
Mereka makan siang di warung dekat kolam renang. Aku akan mengantarmu pulang, kata Marissa di selasela makan siang mereka. Aku akan mengucapkan selamat tinggal kepada Papi. Setelah itu kita pergi main, bagaimana"
Wiliam mengangkat bahu. Terserah.
*** Ferry, seru Marissa di depan kelas Papi. Papi menoleh.
Marissa berjalan mendekati Papi, Bagaimana hubungan"mu dengan Diana" Baik-baik saja"
Papi mengangguk senang. Hari ini Diana akan datang, dan aku ingin mengungkapkan perasaanku kepadanya.
Oh, bagus, kata Marissa berseri-seri. Aku yakin kau bisa mengatakannya. Ehm& sebenarnya aku datang ke sini ingin mengucapkan selamat tinggal. Besok aku akan pergi.
Oh! seru Papi. Aku harap aku bisa bertemu denganmu lagi.
Marissa tersenyum. Tentu Papi akan bertemu denganku lagi. Di masa depan.
Aku hanya ingin mengatakan semoga hubunganmu dengan Diana berhasil, kata Marissa.
Terima kasih, kata Papi tulus, atas semuanya. Marissa tidak bisa menahan diri lagi, ia berjalan memeluk Papi erat-erat. Aku senang bisa membantumu.
Mulanya Papi terkejut, lalu ia tersenyum. Surat cinta buatanmu itu benar-benar bagus. Kalau tidak ada kau, aku tidak punya keberanian menelepon Diana. Omongomong, selama ini aku belum tahu namamu.
Marissa melepaskan pelukannya, baru akan memberitahu""kan namanya saat seseorang berteriak di belakang me"reka.
Teganya kau, Ferry!! teriak Diana. Aku kira kau berbeda. Ternyata semua pria sama saja.
Marissa terkejut melihat Mami menatapnya dengan pandangan menuduh sambil berteriak marah. Tunggu! kata Marissa. Kau salah paham.
Diam! teriak Mami kepada Marissa. Aku tidak mau berbicara kepadamu.
Diana! seru Papi perlahan. Kau benar-benar salah paham. Aku dan dia hanya berteman.
Aku melihatmu berpelukan dengannya, kata Mami, sambil berusaha menahan air matanya. Kau mengatakan surat cinta itu bukan buatanmu" Kau sudah berbohong kepadaku, Ferry. Aku tidak mau bertemu lagi denganmu.
Mami melangkah pergi, namun Papi menyentuh lengan Mami dan menghentikannya. Tunggu, Diana. Aku bisa menjelaskan semuanya.
Mami melepaskan tangannya dari genggaman Papi, lalu menatapnya dingin. Mulai hari ini kau masuk dalam daftar Persona Non-Grata-ku. Aku rasa kau tahu apa maksudnya.
Mami berlari ke luar kelas. Papi terlalu shock, sehingga hanya bisa terdu"duk terdiam. Marissa menyusul Mami. Ia harus menjelas"kan semuanya.
Tunggu, Diana! teriak Marissa. Dengarkan aku dulu! Mami tetap berlari, dan Marissa mengikuti di belakang""nya. Setelah berlari selama lima belas menit, Mami ber"henti dan menoleh ke belakang. Berhenti mengikutiku!
Aku ingin menjelaskan semuanya, kata Marissa. Kau sudah salah paham. Aku dan Ferry hanya berteman.
Marissa melangkah mendekat, namun Mami menghentikan"nya. Jawab saja pertanyaanku. Apakah surat cinta yang Ferry berikan kepadaku itu buatanmu" Dengan berat hati Marissa mengangguk.
Hanya itu saja yang ingin kuketahui, kata Mami tegas.
Marissa menggeleng. Tunggu!! Ferry sungguh-sungguh mencintaimu. Aku sudah melihat kalian tertawa bersama dan nonton bersama. Perasaan kalian tidak bisa bohong.
Ya, ampun! Kau memata-mataiku"! teriak Mami kesal.
Tidak. Tidak. Bukan seperti itu, jelas Marissa, sambil menyesali kebodohannya karena telah membuat Mami curiga. Mungkin kalian belum tahu, suatu saat kalian ber"dua benar-benar akan menjadi orang yang sangat berarti bagiku. Tolong, berilah Ferry kesempatan! Dia telah mencintaimu selama lebih dari sepuluh tahun.
Mami terdiam sebentar. Ia menarik napas, lalu berkata, Kau bukan dia. Bagaimana kau tahu perasaan dia yang sesungguhnya"
Aku tahu karena aku anaknya, dan aku anakmu juga. Aku sudah melihat bukti cinta kalian selama delapan belas tahun. Ingin rasanya Marissa berteriak seperti itu. Tapi ia tahu, Mami tidak akan memercayainya.
Melihat Marissa terpaku, Mami berjalan menjauhinya. Marissa jatuh terduduk di lantai. Ia mengacaukan semuanya. Ia sedih sekali, sampai-sampai tak kuasa menahan tangisnya.
*** Perjalanan pulang ke rumah Wiliam dilalui Marissa dengan langkah gontai. Pikirannya tidak bisa lepas dari per"selisihan Papi dan Mami. Marissa membuka pintu dan masuk ke dalam rumah.
Wiliam sudah menunggunya.
Kakak sudah pulang" katanya gembira. Ayo, kita pergi! Suara Wiliam terhenti melihat tampang Marissa yang pucat.
Ada apa" tanyanya bingung
Marissa menangis lagi. Aku mengacaukan semuanya, Wiliam. Mereka tidak bisa bersatu karena aku. Tadi aku menemui Papi, aku tidak bisa menahan perasaanku dan me"meluknya. Mami melihat hal itu dan langsung marah. Bagai"mana bisa Mami curiga kepadaku" Aku kan anaknya.
Ibumu tidak tahu hal itu, ungkap Wiliam. Aku gagal! teriak Marissa putus asa. Aku sudah berusaha menjelaskannya, namun Mami tidak mau mendengarku. Bisakah kaubayangkan" Mami cemburu kepadaku. Anaknya sendiri. Aku benar-benar mengacaukan se"mua"nya.
Kakak, panggil Wiliam, bingung apa yang harus ia laku"kan untuk menghibur Marissa. Kakak jangan bersedih. Kakak bisa mencoba menjelaskan lagi. Kita pergi ke rumah ibumu, lalu kakak bisa menjelaskan semuanya.
Marissa menggeleng. Mami tidak mau bertemu ataupun berbicara denganku lagi. Aku benar-benar payah. Aku tidak bisa menyelamatkan hubungan orang"tuaku. Sekarang aku tidak tahu apa yang akan terjadi padaku. Menurutmu, kalau orangtuaku tidak bersatu, apa"kah aku akan menghilang"
Aku tidak tahu, Wiliam menjawab jujur. Mengapa aku harus mengacaukan segalanya"! teriak Marissa putus asa. Seminggu yang lalu, aku hanya ingin kembali ke rumahku, dan tiba-tiba aku ada di masa yang asing. Mengapa aku harus berbicara pada lukisan konyol itu" Aku menghancurkan semuanya! Semuanya!!
Wiliam menggenggam tangan Marissa untuk pertama kalinya. Kakak tidak mengacaukan semuanya. Kakak menyelamatkanku, ingat" Malam itu Kakak dengan berani menyelamatkanku dari kecelakaan mobil.
Aku tahu, kata Marissa. Orang lain pun akan melakukan hal yang sama untukmu.
Wiliam menggeleng. Kakak tidak mengerti. Malam itu aku tidak ingin diselamatkan.
Perhatian Marissa kini beralih kepada Wiliam. Apa mak"sudmu"
Aku memang sengaja ada di tengah jalan. Aku ingin mobil itu menabrakku, kata Wiliam.
Mengapa kau melakukan itu" tanya Marissa bingung. Kakak pikir hanya hidup Kakak yang hancur" teriak Wiliam. Aku juga telah menghancurkan hidup ayah dan ibuku.
Apa maksudmu" Marissa semakin bingung. Bukankah kaukatakan kedua orangtuamu sudah meninggal"
Ya. Kecelakaan mobil, kata Wiliam perlahan. Kakak ingin tahu mengapa mereka meninggal" Semua karena aku. Aku meminta mereka membelikan robot Voltus di ka"marku itu. Aku tahu mereka sudah lelah, namun aku merengek-rengek ingin robot itu. Semua temanku memilikinya, dan aku juga menginginkannya. Akhirnya, Mama dan Papa pergi untuk membelikan robot itu untukku. Itu adalah terakhir kalinya aku melihat mereka. Mereka tidak pernah pulang, padahal besoknya kami bertiga akan pergi ke pantai. Aku membunuh mereka. Kau tahu apa yang menyedihkan dari semua itu" Mobil ayahku benar-benar rusak, namun mainan robot di dalamnya sama sekali tidak hancur.
Marissa tertegun mendengar penjelasan Wiliam. Wiliam, kau tidak tahu. Itu bukan salahmu.
Kalau saja waktu itu aku tidak memaksa mereka mem""beli mainan, Mama dan Papa pasti masih hidup sam"pai sekarang, kata Wiliam, air mata membasahi pi"pi"nya.
Marissa langsung memeluk Wiliam erat-erat. Dielusnya rambut Wiliam dengan lembut. Semuanya bukan kesalahanmu, Wiliam. Orangtuamu tidak akan menyalahkanmu karena itu memang bukan salahmu. Sama sekali bukan salahmu. Kematian orangtuamu adalah ke"celakaan. Bukan salahmu. Kecelakaan itu dapat terjadi kapan saja, Wiliam.
Rupanya selama ini Wiliam telah memendam perasaan yang sangat menyakitkan. Itulah sebabnya mengapa Wiliam terlihat lebih dewasa dari umurnya. Dia telah berhenti menjadi seorang anak kecil saat orangtuanya meninggal.
Kenapa aku tidak mati saja bersama mereka" Hari itu, aku marah sekali karena Kakak telah menyelamatkanku, kata Wiliam, sambil menangis terisak-isak di pelukan Marissa.
Stttt& Wiliam& jangan berkata seperti itu! kata Marissa menenangkannya. Orangtuamu pasti menginginkanmu hidup. Jangan pernah melakukan hal konyol seperti itu lagi. Kau tidak boleh menyia-nyiakan hidupmu. Kau masih punya banyak hal untuk dilakukan.
Keduanya berpelukan entah sampai berapa lama. Keduanya menangis.
Rasa dingin yang menjalar di sekujur tubuh Marissa membuatnya melepaskan pelukannya. Wiliam, apakah kau merasa kedinginan"
Wiliam menggeleng. Tidak.
Aneh, seru Marissa perlahan. Aku merasa kedinginan.
Wiliam membantu Marissa berdiri. Kalau begitu, Kakak istirahat saja di kamar.
Marissa mengangguk. Rasanya ia memang harus istirahat. Badannya lemas semua.
Marissa berbaring di kamarnya. Wiliam ada di sampingnya sambil membantu menyelimutinya. Kakak ingin minum air hangat" tanyanya khawatir.
Marissa menggeleng. Aku& lelah sekali& dingin& dingin sekali& . Marissa gemetar.
Kakak! teriak Wiliam lagi. Apa yang Kakak rasakan"
Marissa berusaha membuka matanya, dan menatap mata Wiliam yang khawatir. Dingin. Dingin sekali.
Aku akan bawa selimutku kemari biar hangat. Tunggu ya, Kak. Wiliam berlari ke kamarnya dan membawa selimutnya, lalu menaruhnya di atas tubuh Marissa.
Kakak sudah merasa lebih hangat" tanyanya lagi. Marissa tidak menjawab. Sekujur tubuhnya gemetaran. Dingin sekali, katanya.
Wiliam bingung setengah mati. Ruangan kamar sangat panas. Kenapa Marissa malah kedinginan"
Mami& Papi, kata Marissa mengigau. Aku minta maaf.
Ucapan Marissa itu membuat Wiliam berpikir. Orangtua Marissa. Kalau mereka tidak bersatu maka Marissa tidak akan dilahirkan. Tidak! Tidak! Ini tidak boleh terjadi! Marissa tidak boleh meninggal!
Kakak, katanya lagi, sambil mengguncang-guncang bahu Marissa. Bangun! Kakak harus bangun!!
Marissa membuka matanya kembali perlahan-lahan. Tatapan mata khawatir Wiliam adalah hal terakhir yang ia lihat sebelum semuanya menjadi gelap.
Kakak& Kakak!! teriak Wiliam.
Marissa tidak terbangun mendengar teriakan Wiliam. Wajah Marissa pucat pasi. Sekujur tubuhnya sedingin es. Napasnya terengah-engah. Wiliam menangis. Kakak, jangan pergi!
*** Ferry menunggu seharian di depan rumah Diana. Dia tahu Diana ada di rumah. Dia juga tahu Diana tidak mau menemuinya. Ferry menarik napas panjang. Aku harus menjelaskan semuanya, tekadnya.
Diana! teriaknya lagi. Bisakah kau menemuiku" Tetap tidak ada jawaban dari kamar Diana. Suara pintu dibuka membangkitkan harapan di hati Ferry. Papa Diana keluar menemuinya.
O0m, kata Ferry, saya ingin menjelaskan semuanya. Semuanya hanya salah paham. Saya benar-benar menyayangi anak O0m. Izinkan saya bertemu dengannya.
Papa Diana berkata, Aku tahu kau anak baik, Ferry. Saat ini Diana sedang mengurung diri di kamar. Lebih baik kau kembali lain waktu.
Tetapi, O0m, protes Ferry.
Anak O0m keras kepala, Ferry, kata papa Diana lagi. Sebaiknya kauberi dia waktu untuk menenangkan diri terlebih dahulu.
Bisakah Oom sampaikan kepada Diana bahwa saya benar-benar menyukainya" tanya Ferry.
Papa Diana tersenyum tipis. Lebih baik kausampaikan sendiri hal itu kepada Diana. Sekarang, pulanglah! Kau sudah menunggu cukup lama. Diana tidak akan turun. Tidak ada gunanya menunggunya lagi. Nanti kalau dia sudah tenang, kau bisa kembali lagi.
Ferry mengangguk. Baiklah. Saya pulang dulu, Oom. Permisi.
Diana memandang Ferry dari balik jendela kamarnya. Ia me"lihat motornya semakin menjauh. Diana menangis sedih sesudahnya.
*** Semalaman Wiliam menjaga Marissa. Tubuhnya tetap sedingin es, walaupun Wiliam sudah mengompresnya dengan air hangat. Dia sudah kehabisan ide. Jam sudah menunjukkan tengah malam. Tidak ada dokter yang mau datang jam-jam seperti ini. Wiliam membawa selimut dari kamar kedua orangtuanya. Sebelum pergi ia memandang foto mama dan papanya. Mama& Papa, katanya memohon. Aku tidak ke"beratan kalau nanti dia pergi meninggalkanku untuk kembali ke masanya. Tapi aku ingin dia sehat lagi. Kalau dia sembuh, aku berjanji akan jadi anak yang baik.
Wiliam menatap foto kedua orangtuanya dan menangis tersedu-sedu.
Setelah tangisnya mereda, dia kembali ke kamar Marissa dan menemaninya.
*** Sarah mengemudikan mobilnya sambil mengantuk. Dia tidak tahu sudah berapa lama dia mengemudi. Jam di mobil menunjukkan pukul lima pagi. Efek alkohol dari minuman yang diteguknya mulai terasa. Kepalanya terasa me"layang-layang. Sesaat dia bahkan sempat menutup matanya.
Tiba-tiba sebuah cahaya lampu mobil yang menyilaukan diiringi suara klakson yang keras membangunkan Sarah dari rasa kantuknya. Ia melihat ada mobil di depannya, yang pasti akan menabraknya jika dia tidak meng"hindar.
Tangannya langsung mencengkeram kemudi dan dengan refleks membelokkan mobilnya ke pinggir jalan. Kaki"nya menginjak rem kuat-kuat. Mobil terhenti tak lama kemudian. Wajah Sarah terbenam pada kemudi mobil. Ia tidak bergerak selama beberapa waktu. Jantungnya ber"pacu tidak keruan. Perlahan-lahan, Sarah mulai membuka matanya. Tangannya meraba bekas benturan di kening"nya.
Auww! teriaknya, saat menyadari keningnya terluka. Ia beristirahat sejenak, lalu mengambil tasnya. Saat hendak mengambil saputangan untuk mengusap lukanya, sehelai foto terjatuh ke kursi penumpang. Sarah mengambil foto itu. Foto kakaknya bersama dirinya di masa kecil.
Sarah menangis keras-keras sesaat setelah melihat foto itu. Kini dirinya benar-benar sadar sepenuhnya. Nyawanya hampir saja melayang tadi. Bukan itu saja, setelah dua kecelakaan yang merenggut nyawa keluarganya, Sarah tidak mau menjadi kecelakaan yang ketiga. Ia belum mau mati.
Kakak, katanya perlahan, kau datang untuk menyadar"kanku, ya"
Senyum kakaknya di foto seakan-akan telah menjawab pertanyaan yang diajukan Sarah.
Maafkan aku, katanya lagi. Aku telah mengabaikan hidupku. Setelah kehilanganmu, aku jadi tidak punya tujuan hidup. Kau selalu menjagaku. Aku baru sadar, Kakak pasti tidak ingin aku menyia-nyiakan hidupku, kan" Karena aku masih punya tanggung jawab terhadap Wiliam.
Jemarinya mengelus foto itu dengan penuh kelembutan. Maafkan aku, Kak. Dulu kakak selalu menjagaku, dan kini giliranku menjaga Wiliam, anak Kakak. Bukan"kah begitu yang Kakak inginkan" Aku sudah sadar seka"rang. Aku berjanji kepada Kakak. Aku akan menjaga Wiliam apa pun yang terjadi.
Sarah menghapus air matanya, dan tersenyum. Ia melihat keadaan di sekitarnya. Terus terang, ia tidak tahu di mana ia berada saat ini. Ia langsung menghidupkan mobilnya dan bergegas mengendarainya pulang.
Tunggu saja, Wiliam, katanya dengan semangat baru, Tante pasti pulang dan menemuimu hari ini.
P agi sudah datang. Wiliam meraba kening Marissa. Ma-
sih dingin. Semalaman Marissa sama sekali tidak bangun. Wiliam menatap Marissa lagi. Dia tahu Marissa tidak akan bertahan lebih lama lagi.
Wiliam bangkit berdiri. Aku berjanji padamu& kau akan pulang hari ini. Ia lalu meninggalkan sebuah pesan untuk Marissa, berlari ke luar rumah, mengambil sepeda yang diparkir di halaman dan pergi. Wiliam mengayuh sekuat tenaga. Setibanya di depan rumah papa Marissa, dia turun dari sepeda dan menggedor pintu rumah itu berkali-kali.
Ferry keluar untuk melihat siapa yang ada di luar rumah"nya. Ya" tanyanya bingung. Ia heran melihat ada anak kecil berdiri di depan rumahnya. Ada apa"
Kau harus pergi menemuinya! teriak Wiliam. Apa" tanya Ferry bingung. Kau siapa"
Wiliam menggeleng. Itu tidak penting. Kau harus me-
Sembilan 6 Juli 1988 Selamat Tinggal, Wiliam nemui Diana. Sekarang! Kau harus menemuinya supaya kau bisa menyelamatkan Marissa. Ia sedang sekarat!
Ferry semakin bingung, Aku tidak mengerti apa yang kaukatakan. Siapa kau" Bagaimana kau bisa tahu tentang Diana"
Wiliam menarik tangan Ferry ke arah motor bebeknya. Temui Diana sekarang! Pergilah!
Tetapi& ! seru Ferry masih bingung.
Kau mencintai Diana, bukan" Kau harus mengatakan perasaanmu kepadanya. Apa pun yang terjadi! teriak Wiliam.
Ferry mendesah. Diana tidak mau menemuiku. Jadi, kau akan menyerah begitu saja" tanya Wiliam kesal. Hanya sampai sebegitukah rasa cintamu kepadanya"
Hei, protes Ferry, aku benar-benar mencintainya. Kalau begitu, pergi dan katakan kepadanya! desak Wiliam.
Oke. Oke. Aku pergi! kata Ferry, sambil menaiki motor""nya.
7 Hari Menembus Waktu Karya Charon di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Wiliam merasa lega. Se"belum pergi, Ferry berbalik menatap Wiliam lagi, Kau sebenarnya siapa" Apakah aku mengenalmu"
Wiliam menggeleng. Kau tidak mengenalku. Aku mengenalmu.
Ferry mengernyit, ia kebingungan.
Sudahlah, kata Wiliam. Tidak ada waktu untuk menjelaskan.
Tak berapa lama kemudian, Ferry pergi dengan motor be"beknya. Wiliam mengendarai sepedanya, ia ingin secepat"nya menemui Marissa. Kakak bertahanlah! katanya dalam hati.
Ketika Wiliam memasuki jalan rumahnya, segerombolan anak menghalangi jalannya. Wiliam turun dari sepedanya.
Halo, Wiliam, sapa anak yang paling besar. Sudah lama kita tidak bertemu. Kau masih ingat aku, kan"
Wiliam panik. Sial! keluhnya. Aku tidak bawa uang hari ini.
Di mana penjagamu hari ini, hah" tanya anak yang lain. Dia sudah pergi, ya" Kau tidak bisa menghindari kami selamanya.
Mereka berkerumun mendekati Wiliam. Tiga orang di antara mereka menendang sepeda Wiliam sampai rusak. Wiliam menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Bersiap-siap menerima pukulan.
*** Sementara itu, di kamarnya Diana duduk di meja belajar dengan kesal. Matanya memandang seuntai kalung. Diangkatnya kalung pemberian Ferry dua hari yang lalu.
Aku benci kamu! katanya, dengan nada kesal pada kalung itu.
Mengapa" Mengapa kau mengkhianati aku"! teriaknya dalam hati. Mengapa hatiku bisa sesakit ini" Saat aku putus dengan Jimmy, aku hanya merasa kesal, tidak sakit hati. Kini, saat melihat kau memeluk perempuan lain, hatiku terasa sakit.
Diana membuka laci mejanya dan menaruh kalung itu di sana. Seakan-akan tindakan itu bisa mengubur kenangannya bersama Ferry. Saat hendak menaruh kalung itu, Diana melihat sebuah buku. Ia mengambilnya dan membukanya.
Ternyata buku kenangan saat dia di SD dulu. Aku sudah lama tidak pernah membukanya, katanya dalam hati. Di dalam buku itu terdapat biodata semua teman SD. Nama, umur, hobi, cita-cita, dan yang lainnya.
Ia melihat halaman pertama. Di situ tertulis biodata dirinya. Melihat hal itu Sarah sedikit terhibur. Banyak kenangan manis yang ia lalui sewaktu SD. Halaman demi halaman dibukanya buku kenangan itu, raut wajah teman-teman SD-nya kembali bermunculan.
Saat hendak menutup buku kenangan itu, Diana melihat halaman terakhirnya. Ia tidak pernah melihat halaman terakhir buku kenangan ini sebelumnya karena buku itu hanya terisi separonya.
Siapa yang mengisi pada halaman terakhir bukuku" tanyanya penasaran.
Ia melihatnya, dan seketika itu juga tercengang. Tatapan matanya tertuju pada bagian cita-cita. Diana menutup mukanya dan menangis.
Buku kenangan itu tetap terbuka pada halaman terakhir.
Nama : Ferry Umur : 12 tahun Hobi : Baca buku
Cita-cita: Ingin membuat Diana bahagia ***
Satu jam kemudian& Ferry bergegas turun dari motor sesampainya di rumah Diana. Dia berhenti di depan pintu pagar dan menarik napas. Diana! teriaknya. Aku tidak akan pergi sebelum berbicara kepadamu! Aku mohon, turunlah!
Dari atas dan jendela kamarnya, Diana melihat Ferry me"mandangnya dengan putus asa.
Melihat Diana di jendela kamarnya, Ferry ter"senyum. Diana! teriaknya lagi.
Diana kesal, ia menutup gorden jendelanya. Di bawah, Ferry mendesah putus asa. Diana, ayolah! Temui aku!
Seseorang mengetuk pintu kamar Diana. Diana membuka pintu kamarnya dan melihat ayahnya berdiri di sana. Boleh Papa masuk" tanyanya.
Diana mempersilakan papanya masuk, lalu menutup pintu kamarnya.
Kau tidak bisa membiarkannya di luar terus, Diana, kata papanya. Kau harus menemuinya cepat atau lambat.
Aku benci kepadanya, Pa, kata Diana kesal. Dia sudah berbohong kepadaku.
Papa Diana mengangguk. Apakah dia sudah menjelaskan mengapa dia berbuat demikian"
Diana menggeleng. Aku tidak memberinya kesempatan.
Hmmm, seru papanya lagi. Lebih baik kautemui dia dulu. Suruh dia menjelaskan. Kalau saat itu kau masih tidak bisa menerimanya, barulah kauputuskan untuk tidak menemuinya lagi. Pria itu sepertinya sungguhsungguh menyukaimu. Setidaknya beri dia satu kesempatan. Bagaimana"
Diana menghela napas panjang. Ya, Papa benar. Aku akan menemuinya.
Papa Diana memeluk anaknya. Aku tahu kau tidak akan menyesalinya.
Papa selalu tahu apa yang terbaik untukku, kata Diana, sambil tertawa.
Papanya melepaskan pelukannya. Tentu saja. Selain itu, sebenarnya& ehmm& Papa malu kepada tetangga karena ada orang yang teriak-teriak di depan rumah sepagi ini.
Diana tertawa terbahak-bahak. Dasar Papa. Akhirnya, Diana keluar dan menemui Ferry. Jelaskan, katanya, tanpa basa-basi.
Terima kasih karena kau mau menemuiku, kata Ferry. Diana, aku benar-benar menyukaimu, tidak pernah ada orang lain lagi. Aku baru mengenal gadis itu beberapa hari yang lalu. Aku bahkan tidak tahu siapa namanya. Dia selalu muncul tiba-tiba di hadapanku. Dia me""ngatakan akan membantuku mengenalmu karena aku telah menyelamatkannya waktu itu& entahlah, aku sendiri tidak tahu mengapa dia mau melakukan"nya. Surat cinta itu, sela Diana. Dia yang buat" Ya, jawab Ferry jujur.
Tidakkah kau sadar kau telah membohongiku" tanya Diana kesal.
Aku bukan orang yang pandai menulis kata-kata indah, puisi atau kata-kata romantis. Terus terang semua kata-kata itu tidak ada gunanya. Kau lebih dari deretan kata-kata itu. Kata-kata itu tidaklah penting. Kaulah yang terpenting. Perasaanku kepadamu adalah nyata. Aku hanya bisa mengatakan bahwa aku mencintaimu, Diana. Percayalah kepadaku, aku tidak pernah menyukai gadis lain selain dirimu. Setiap hari kita bersama, aku senang sekali. Dalam mimpi pun aku tidak percaya gadis secantik kau mau keluar denganku.
Diana terdiam mendengar semua penjelasan itu. Ferry berkata lagi, Aku hanya ingin mengungkapkan perasaanku dan menjelaskan semuanya. Aku tidak akan memaksamu untuk mencintaiku ataupun menerimaku. Aku hanya ingin kau bahagia. Apa pun pilihanmu, aku akan selalu mendukungmu.
Ferry mendesah. Hanya itu yang ingin aku katakan. Melihat tidak ada jawaban dari Diana, Ferry menunduk lemas. Diana tidak memaafkanku, katanya dalam hati.
Aku sudah menjelaskan semuanya, Diana, lanjut Ferry perlahan. Semoga kau selalu berbahagia. Kakinya beranjak melangkah pergi.
Tunggu dulu!! teriak Diana Ferry menoleh lagi.
Seenaknya saja kau pergi begitu saja! teriak Diana. Ia membuka pintu pagar rumahnya dan berjalan mendekati Ferry. Apa kau tidak tahu bahwa aku menderita semalaman" Dasar idiot! Aku juga menyukaimu. Itulah sebabnya aku merasa sakit hati.
Ferry langsung memeluk Diana. Terima kasih kau mau menerimaku.
Diana tersenyum dalam pelukan Ferry. Justru seharusnya aku yang mengatakannya. Kau satu-satunya pria yang bisa menerimaku apa adanya.
Ferry tersenyum bahagia. Akhirnya, dia bisa mendapatkan hati gadis pujaannya.
*** Marissa membuka matanya perlahan. Rasanya ia telah tertidur selama berhari-hari. Badannya lemas. Apa yang terjadi" katanya, sambil bangkit dari ranjang. Sehelai kertas di atas meja menarik perhatian Marissa. Ia membacanya.
Kak Marissa, Aku pergi menemui ayah Kakak.
Kakak jangan khawatir, aku pasti akan membereskan semuanya.
Wiliam Oh, Wiliam, keluh Marissa, sambil berlari ke luar kamar"nya. Sepeda yang biasanya terparkir di halaman tidak ada di tempatnya. Marissa tahu Wiliam pergi membawanya. Ia keluar dari rumah dan berlari menuju rumahnya.
Di tengah jalan, Marissa berhenti. Ia melihat Wiliam sedang dikerumuni segerombolan anak, tak jauh dari tempatnya berdiri.
Marissa bergegas mendekati mereka dan menyelamatkan Wiliam.
*** Wiliam sudah bersiap-siap menerima pukulan. Saat seorang anak yang bertubuh paling besar mendekatinya, Wiliam menyadari bahwa dia ingin melawan. Dia tidak mau diperlakukan seperti ini lagi. Wiliam membuka kedua tangannya dan menatap anak di depannya.
Apa! teriak anak itu. Berani kau memandangku seperti itu"
Kau hanya seorang pengecut, yang bisanya main keroyokan. Kalau berani, ayo lawan aku, satu lawan satu, tegas Wiliam.
Anak itu tertawa terbahak-bahak. Ha& ha& ha, kaupikir aku tidak berani" Lucu sekali. Kau ingin berkelahi denganku" Baiklah aku ladeni!
Anak itu segera mengambil ancang-ancang. Dia mengepalkan tangannya dan mengayunkannya ke muka Wiliam. Wiliam menunduk, menghindari ayunan tangan anak itu, lalu dia menendang kaki lawannya keras-keras.
Anak itu langsung jatuh terduduk dan meringis kesakitan. Anak-anak yang lain hanya bisa diam melihat perkelahian itu.
Jangan ganggu aku lagi, kata Wiliam memperingatkan. Ia menatap anak-anak yang lain. Kalau kalian tidak mau bernasib sama seperti dia, sebaiknya kalian menyingkir. Di belakangnya, Marissa memperhatikan semua adegan itu dengan bangga. Wiliam telah berhasil membela dirinya sendiri.
Wiliam meraih sepedanya, dan berjalan melewati lawannya. Matanya menatap se"orang gadis yang berdiri tak jauh di depannya, lalu dia tersenyum lebar. Kakak! teriaknya, sambil berlari. Kakak sudah bangun.
Aku sudah baikan sekarang, kata Marissa ketika Wiliam sampai di depannya. Aksi yang bagus sekali.
Wiliam tersenyum. Ya. Kali ini aku punya alasan untuk menghajar mereka.
Marissa menepuk-nepuk kepala Wiliam. Apakah kau menemui ayahku"
Wiliam mengangguk. Dia sudah pergi menemui ibu Kakak. Aku rasa dia berhasil.
Ya, dia berhasil, ulang Marissa sambil tersenyum. Ayo kita pergi ke pantai! ajak Marissa. Wiliam mendongak. Sungguh"
Marissa mengangguk. Ya, aku ingin menghabiskan hari ini bermain denganmu di pantai, bagaimana"
Bukankah Kakak harus pulang hari ini" tanya Wiliam. Gedung baru itu kan bukanya hari ini.
Lukisan itu tidak akan ke mana-mana, sahut Marissa. Aku akan ke sana sesudah kita bermain di pantai.
Wiliam tersenyum. Baiklah. Kalau begitu, aku mandi dulu dan ganti baju. Habis itu, kita pergi ke pantai, ya. Marissa mengangguk.
*** Marissa mengenakan gaun putih miliknya yang ia kenakan seminggu yang lalu. Hari ini ia akan kembali. Ada perasaan sedih menggelayuti hatinya. Marissa duduk di meja kamar, mengambil selembar kertas, lalu menulis surat.
Tante Sarah, Saya akan pergi hari ini. Saya tidak tahu kapan kita bisa bertemu lagi. Ada beberapa hal tentang Wiliam yang ingin saya sampaikan.
1. Jangan pernah suruh Wiliam ikut lomba menyanyi. Suaranya sangat parah. Apalagi kalau men"dengar dan menyanyi malam-malam, bisa membuat kepala pening keesokan harinya.
2. Bila Wiliam sakit, temani dia. Dia masih merindukan kedua orangtuanya.
3. Jangan pernah memberi Wiliam masakan gosong. Dia bisa mendeteksinya dengan cepat, sejago apa pun Tante menyembunyikan kegosongan makanan itu.
4. Jangan pernah mengambil satu pun mainan yang ada di lemari Wiliam. Entah bagaimana, Wiliam bisa tahu, padahal ada ratusan mainan di situ.
5. Yang terakhir, Wiliam tidak suka disentuh. Akan tetapi, sesekali kalau sedang sedih Tante boleh memeluknya. Wiliam tidak akan mencoba melepaskan pelukan itu.
Tidak sulit untuk menyukai Wiliam. Saya hanya membutuhkan tujuh hari untuk itu. Tante masih punya banyak waktu bersamanya. Habiskan waktu dengannya, dan Tante akan menyadari bahwa Wiliam anak yang hebat. Bahkan lebih hebat dari saya.
Terima kasih karena telah mengizinkan saya tinggal di sini.
Marissa Marissa melipat surat itu dan membawanya turun. Ia menemui Bi Ijah dan berpamitan kepadanya. Selamat tinggal, Bi Ijah, kata Marissa. Terima kasih atas bantuannya selama ini.
Selamat tinggal, Non! kata Bi Ijah. Jaga diri baikbaik.
Terima kasih, Bi. Marissa memeluk Bi Ijah dengan erat. Sesudahnya ia memberikan surat yang ditulisnya kepada Bi Ijah. Tolong Bibi berikan surat ini pada Tante Sarah. Sepertinya Tante tidak ada di rumah hari ini.
Bi Ijah mengangguk. Ya, Non. Nanti Bibi sampaikan.
Kak Marissa, panggil Wiliam dari ruang tamu. Ayo kita pergi!
Saya pergi dulu, Bi, kata Marissa. Hati-hati! seru Bi Ijah.
*** Marissa mengajak Wiliam ke rumah ibunya terlebih dahulu sebelum mereka pergi ke pantai. Di sana, Marissa melihat papi dan maminya sedang berpegangan tangan di depan pekarangan rumah. Mereka tersenyum dan tertawa bersama.
Aku akan menemui kalian lagi di masa depan, kata Marissa perlahan.
Setelah itu, Marissa pergi ke pantai bersama Wiliam. Mereka berlarian di atas pasir dengan bertelanjang kaki. Marissa tidak peduli gaunnya kotor lagi. Mereka mendirik an istana pasir, dan merasa sedih ketika istana itu hanyut dibawa ombak. Benar, kan! Kataku tadi juga apa. Kakak membuatnya terlalu dekat ke laut, kata Wiliam.
Ya, sudahlah, kata Marissa. Ayo, kita buat lagi! Kali ini yang agak jauhan dari laut, bagaimana" Wiliam mengangguk.
Ketika Marissa kelaparan, Wiliam mengajaknya makan di tepi pantai. Sesudahnya Marissa membeli beberapa permen karet dan cokelat yang dijual di sana. Aku tidak akan merasakan makanan ini lagi di masa depan, katanya.
Mengapa" tanya Wiliam
Makanan ini sudah tidak ada lagi di masa depan, kata Marissa. Itulah sebabnya aku akan memuaskan diri dengan memakannya sekarang juga.
Jangan kebanyakan makan! kata Wiliam. Ingat terakhir kali Kakak makan banyak sewaktu ke PRJ itu" Pulangnya Kakak sakit perut, kan"
Marissa hanya tertawa tanpa mengindahkan perkataan Wiliam. Ia membuat gelembung bola dengan permen karet"nya. Ia juga membuat tato di tangan satunya lagi. Kali ini bergambar bunga. Sekarang di kedua tangannya ada dua tato, bunga dan kupu-kupu. Ia tahu itu bukan tato permanen, setidaknya ada bagian dari masa ini yang dia bawa ke masa depan nanti.
Sini! katanya, sambil menarik tangan Wiliam. Aku tato tanganmu juga.
Wiliam menarik tangannya dari Marissa. Aku tidak mau! Kakak terlalu kekanak-kanakan! teriaknya, sambil berlari.
Marissa berlari mengejar William. Hei, Wiliam& tunggu!
Di sore hari, keduanya duduk dan melihat matahari terbenam.
Indah sekali, kata Wiliam.
Ya, seru Marissa, sambil menatap mentari di depannya, lalu tatapannya beralih kepada Wiliam. Wiliam, terima kasih karena kau telah mengizinkan aku tinggal di rumahmu.
Sama-sama, kata Wiliam. Kakak juga telah menyelamat"kanku.
Kali ini tatapan mata Marissa beralih serius. Wiliam, berhentilah menjadi dewasa. Kau masih anak-anak. Seharus"nya kau menikmati masa kanak-kanakmu. Masa mudamu cuma datang satu kali. Kau hidup di masa yang hebat. Nikmatilah semua ini. Pilih satu kegiatan yang kausukai. Habiskan waktumu dengan bermain dan mencoba hal-hal baru. Mulailah berteman dengan anak-anak seusiamu. Ada hal-hal yang lebih baik dilakukan bersama daripada sendirian.
Wiliam menatap Marissa dengan lembut. Aku tahu. Aku akan mencoba mengikuti perkataan Kakak. Satu hal lagi, lanjut Marissa.
Apa" tanya Wiliam. Berjanjilah kepadaku bahwa kau akan memberi tantemu kesempatan. Ia benar-benar menyayangimu. Marissa menggerakkan jari kelingkingnya.
Bagaimana Kakak bisa yakin" sahut Wiliam ketus. Marissa mendesah. Mungkin kau benar, aku tidak punya bakat apa pun selain makan, namun kau tidak perlu punya bakat hebat untuk mengetahui apakah seseorang menyayangi keluarganya. Percayalah kepadaku, tantemu amat menyayangimu. Tolong, berilah dia kesempatan! Berjanjilah kepadaku, ya"
Wiliam terdiam beberapa saat, lalu jari kelingkingnya melingkari jari kelingking Marissa. Oke. Aku berjanji.
Baguslah, kalau begitu, kata Marissa, sambil tersenyum dan berdiri. Aku lega mendengarnya. Aku jadi tidak terlalu sedih meninggalkanmu di masa ini.
Tiba-tiba Wiliam meraih tangan Marissa dan menggenggamnya. Bisakah Kakak tidak pergi" Tinggallah di sini saja.
Wiliam, seru Marissa perlahan.
Aku akan memberikan semua mainanku untuk Kakak! ucapnya serius. Kakak boleh main Space Invaders sepuasnya, aku tidak akan mengganggu Kakak. Tiap hari Kakak boleh makan makanan mana pun yang Kakak suka. Jangan pergi!
Marissa jongkok di depan Wiliam. Wiliam, bukannya aku tidak ingin. Aku ingin sekali tinggal bersamamu, namun ini bukan masaku.
Aku tahu, ucap Wiliam perlahan. Aku hanya berharap Kakak tidak perlu pergi.
Dua jam kemudian, Marissa menatap Gedung Albatross sambil menarik napas. Gedung itu sudah dipenuhi pengunjung. Aku akan masuk sekarang, katanya kepada Wiliam. Kau bisa pulang sendiri, kan"
Wiliam mendengus. Aku kan bisa menjaga diriku sendiri.
Ya, aku tahu, kata Marissa. Jaga dirimu baik-baik, Wiliam.
Marissa melangkah pergi. Orang itu tidak berhak mendapatkan Kakak! teriak Wiliam di belakangnya. Marissa menoleh ke belakang. Apa maksudmu"
Orang yang memutuskan Kakak di masa depan. Pacar Kakak, kata Wiliam terbata-bata, dia& dia tidak berhak men"dapatkan Kakak. Kakak berhak mendapatkan seseorang yang jauh lebih baik darinya.
Marissa tersenyum perlahan. Terima kasih. Marissa baru menyadari bahwa selama satu minggu ini ia tidak me"mikirkan Michael dan Selina sama sekali. Rasa sakit di hatinya akibat diputuskan Michael tidak dirasakannya lagi.
Marissa berjalan kembali ke arah Wiliam. Aku tahu kau tidak suka disentuh, namun& Tiba-tiba Marissa memeluknya.
Terima kasih, Wiliam, kata Marissa lagi, lalu melepaskan pelukannya. Tangannya menepuk kepala Wiliam perlahan. Selamat tinggal, Wiliam.
Wiliam melihat Marissa berjalan menuju gedung, dan tak berapa lama kemudian ia tidak terlihat lagi. Di dalam gedung, Marissa pergi menaiki anak tangga ke lantai tempat lukisan Menembus Waktu dipajang.
Ia bernapas lega ketika menemukan lukisan itu. Marissa berjalan mendekatinya.
Aku tahu kau yang mengirimku ke masa ini, katanya perlahan. Kau ingin aku melihat orangtuaku di masa muda, bukan" Sepertinya kau juga mengirimku ke masa ini untuk menyelamatkan Wiliam. Aku sudah mengerti sekarang.
Marissa menarik napas perlahan. Tolong kembalikan aku ke masaku! Aku mohon, kembalikan aku ke masaku yang semula!
Tak berapa lama kemudian, ruangan gedung bergetar hebat. Marissa menutup matanya. Ia akan kembali.
*** Wiliam memandang seberkas cahaya putih yang menyala dari lantai tiga, yang tak lama kemudian padam. Dia menunggu setengah jam berikutnya di depan gedung. Ketika sosok Marissa tidak muncul-muncul di pintu depan, Wiliam yakin Marissa telah kembali ke masanya. Selamat tinggal, Marissa, ucapnya perlahan. ***
Ketika Wiliam pulang ke rumahnya malam itu, Tante Sarah sudah menunggunya dengan berderai air mata. Tangan"nya memegang sehelai surat. Wiliam, ujarnya sambil berjalan mendekatinya. Maafkan Tante.
Tante Sarah memeluk Wiliam. Selama ini Tante gagal merawatmu. Maafkan Tante. Tante akan mencoba berubah dan merawatmu mulai sekarang.
Untuk pertama kalinya selama bertahun-tahun, Wiliam membalas pelukan tantenya.
Jadi, Marissa sudah pergi" tanya Tante Sarah, beberapa saat kemudian.
Wiliam mengangguk. Tante tahu kau senang bermain bersamanya. Bagaimana kalau kauajak dia kemari lagi kapan-kapan" usul Tante Sarah.
Wiliam menggeleng. Dia tidak akan kembali lagi. Mengapa" tanya Tante Sarah bingung.
Dia sudah kembali ke masanya. Pandangan Wiliam me"nerawang jauh.
Tante Sarah bingung mendengar jawaban Wiliam. Kalau begitu, bagaimana kalau Tante mulai menemanimu les mulai besok" tanyanya, sambil tersenyum. Wiliam terkejut mendengar usul itu. Sungguh" Baru kali ini Wiliam melihat tantenya tersenyum tulus kepadanya, dan hatinya menghangat setelah melihat senyum"an itu.
Tante Sarah mengangguk. Aku ingin mengenalmu dari awal lagi. Jadi& hm& Tante Sarah berjongkok di hadapan Wiliam. Halo, katanya kemudian, sambil mengulurkan tangannya, namaku Sarah. Aku adalah tante yang payah. Selalu mabuk dan tidak pernah ada di ru"mah. Aku sudah menyia-nyiakan hidupku. Mulai saat ini aku berjanji, aku akan menjaga keponakanku!
Wiliam tersenyum lembut. Ia akan mencoba menepati janjinya kepada Marissa dengan menyambut uluran tangan tantenya. Halo, Tante. Namaku Wiliam. Umurku delapan tahun. Film favoritku Megaloman, dan mainan robot favoritku bernama Voltus.
Tante Sarah tertawa. Mulai hari ini, ayo kita membuat kenangan baru!
Wiliam mengangguk. Matanya menatap tangannya yang bertato. Pikirannya beralih ke pantai sore tadi. Saat Marissa mengejarnya dan akhirnya berhasil membuat tato itu di tangannya. Ia tahu, ia akan membuat kenangan baru dengan tantenya. Sementara itu, kenangan dengan Marissa akan selalu disimpannya.
M arissa membuka matanya perlahan-lahan. Dia melihat
ke sekelilingnya. Ia telah kembali ke masa depan. Jam dinding di aula gedung menunjukkan pukul enam sore. Marissa berlari menuju kamar mandi dan melihat pantulan wajahnya di cermin. Kacamata beningnya tidak rusak. Bajunya tidak kotor. Ia melihat kedua tangannya. Tidak ada tato kupu-kupu dan bunga di sana. Seakanakan perjalanan waktu selama tujuh hari itu seperti mimpi. Marissa tahu itu bukan mimpi. Ia merasakannya. Ia ada di tahun 1988 selama tujuh hari. Bertemu orangtuanya di masa muda. Bertemu Wiliam.
Marissa keluar dari kamar kecil, dan baru menyadari bahwa lukisan di dekat tangga sudah hilang. Tidak ada bekas"nya sama sekali. Ia menyentuh dinding tempat lukisan itu tadinya dipajang. Terima kasih, ujarnya perlahan.
Saat hendak kembali ke tempat pertemuan, matanya terpaku. Selina datang ke arahnya sambil tersenyum penuh kemenangan.
Sepuluh 6 Juli 2008 Kembali ke Masa Depan Hai, Marissa, katanya. Aku tidak tahu kau ada di sini" Wah, jangan-jangan kau menghindari kami, ya"
Tadinya ya. Sekarang tidak, kata Marissa dalam hati. Aneh, pikirnya lagi, aku tidak memiliki perasaan benci lagi kepada Selina, padahal tujuh hari yang lalu aku ingin sekali menjambak rambutnya. Sekarang aku hanya merasa sedikit jengkel.
Tidak! kata Marissa tegas. Aku baru saja akan masuk ke acara pesta. Permisi, Selina!
Oh, Marissa, panggil Selina lagi, apakah kau punya tips-tips khusus untuk menghadapi Michael" Karena kau sudah& ehmm& berapa lama ya, ketiga jari tangannya bergoyang di hadapan Marissa, tiga tahun bersamanya, bukan" Ck& ck& ck& waktu yang cukup lama.
Marissa hanya tersenyum pendek. Ia tidak akan meladeni ejekan Selina lagi. Ada hal-hal yang lebih penting selain mengurusi Selina. Tidak. Aku tidak punya tips khusus, ujarnya, sambil berbalik dan melangkah. Ia baru berjalan dua langkah ketika berbalik lagi. Aku pikir-pikir, Selina, aku memang punya satu tips khusus untukmu. Oh, ya" tanya Selina, ia tersenyum licik. Apa itu" Kau dan Michael sangat cocok satu sama lain, jawab Marissa tenang. Hanya satu tips dariku. Kalau Michael bisa memutuskan aku dengan begitu mudahnya, cepat atau lambat dia bisa melakukan hal yang sama kepadamu. Bukankah begitu" Walau bagaimanapun, kudoakan kau rukun selalu dengannya. Seperti sudah kukatakan tadi, kalian pasangan yang serasi.
Marissa meninggalkan Selina yang meringis geram di belakang"nya. Bibirnya menyunggingkan senyuman kecil.
Lega rasa"nya, katanya dalam hati, tidak ada rasa benci, tidak ada rasa sakit hati. Semua perasaan itu hilang dari hatiku.
Sosok Mami dan Papi terlihat oleh Marissa di kejauhan. Ia b lari menghampiri mereka dan memeluk keduanya dengan cepat. Papi dan Mami terkejut mendapat reaksi seperti itu dari Marissa.
Marissa" tanya Papi. Ada apa"
Marissa hanya menggeleng. Tidak ada apa-apa. Rissa hanya merindu"kan Mami dan Papi. Rasanya sudah lama sekali.
Lama apanya" tanya Mami bingung. Kau kan baru pergi sepuluh menit yang lalu.
Aku tahu, kata Marissa, sambil melepaskan pelukannya. Sepuluh menit untuk Mami, tapi tujuh hari di masa lalu untukku.
Kau yakin kau tidak apa-apa" tanya Papi khawatir. Aku yakin! jawab Marissa mantap. Pap& Rissa mau ke ruang sebelah dulu ya, mau cari makanan. Rissa sudah lapar.
Papi tertawa. Dasar, dari dulu yang kaupikirkan hanya makanan. Ya sudah, pergi sana!
Oh, ada satu hal lagi, kata Marissa kepada orangtuanya.
Apa lagi" tanya Mami penasaran. Pap, kata Marissa kepada Papi. Apa" tanya ayahnya bingung.
Jangan pernah membuat surat cinta, kata Marissa, sambil tersenyum. Kemudian, beralih kepada Mami.
Mam, eye shadow biru sangat& sangat tidak cocok dengan wajah Mami.
Hah" Keduanya melongo.
Marissa hanya tersenyum lebar dan pergi meninggalkan Papi dan Mami.
Papi dan Mami saling berhadapan. Apa maksudnya itu tadi, Pi" tanya Mami. Entahlah, Mi, kata Papi. Hm, rasanya Papi pernah kenal dengan seseorang yang mirip dengannya. Benarkah" tanya Mami. Siapa"
Papi menggeleng. Tidak tahu, sudah lama sekali. Papi tidak bisa mengingatnya. Ayo kita menemui teman Papi yang lain!
Mami menggandeng tangan Papi. Ayo! katanya.
*** Dalam perjalanan ke ruang makan, Marissa bertemu dengan Michael. Ditatapnya bekas pacarnya selama tiga tahun itu. Marissa tidak merasa sakit hati lagi. Baginya, sekarang Michael adalah sosok asing. Ia tidak membencinya, dan ia juga tidak mencintainya lagi.
Marissa, sapa Michael lebih dahulu. Aku benar-benar minta maaf bila aku sudah menyakitimu. Aku...
Marissa langsung menghentikan ucapan Michael, Kau tidak perlu menjelaskan semuanya, Michael. Aku mengerti.
Tetapi... Michael ngotot.
Kau tahu, Michael, kata Marissa, sambil menatapnya tajam, aku senang kau memutuskanku. Sungguh. Kau dan Selina memang cocok.
Marissa, protes Michael lagi.
Seseorang pernah berkata kepadaku bahwa aku berhak mendapatkan cowok yang jauh lebih baik darimu. Pikiran Marissa melayang kepada Wiliam. Dia benar. Aku ber"hak mendapatkan cowok yang lebih baik. Selamat tinggal, Michael. Sesudah hari ini, aku harap aku tidak bertemu denganmu lagi.
Marissa berjalan melewati Michael tanpa memandang ke arahnya.
Di ruang makan Marissa melihat aneka macam masakan, dan perutnya mulai berbunyi. Ya, ampun! Aku lapar sekali! serunya dalam hati.
Marissa mengambil piring dan mulai meng"isinya dengan semua makanan yang ada di meja makan pertama. Mengingat acara pertemuan di sebelah belum dimulai, belum ada satu tamu pun yang ada di ruang makan itu. Bagi Marissa ini kesempatan untuk melahap semua makanan enak yang ada di sana tanpa diganggu siapa pun.
Lima belas menit kemudian perutnya sudah terisi penuh, namun Marissa masih ingin mencicipi lagi. Ia tidak puas bila belum mencoba semuanya. Dia membawa piringnya yang sudah kosong ke meja makan yang satu lagi. Dengan hati gembira dan bibir penuh senyum, ia mengambil satu demi satu makanan yang ada di meja itu.
Sebaiknya kau tidak makan lagi kalau tidak ingin perutmu sakit, kata suara dari belakangnya. Siapa itu" protes Marissa dalam hati. Siapa yang berani menyuruhku berhenti makan. Apa orang itu tidak tahu, tidak seorang pun yang bisa menghalangiku makan banyak"
Marissa menaruh piringnya. Dengan geram ia menatap orang di belakangnya. Seorang pemuda. Dia mengenakan jas hitam, celana hitam, dan kemeja biru bergaris putih tanpa dasi. Marissa terkesima. Wajah pria itu sangat tampan dan posturnya tinggi gagah. Tapi Marissa tetap saja tidak suka bila ada orang yang menasihatinya seperti itu.
Mengapa kau berkata seperti itu" tanya Marissa ketus.
Pemuda itu berjalan mendekati Marissa, dan berhenti beberapa langkah di depannya. Mengingat aku lebih tua sepuluh tahun darimu, maka kau harus menuruti semua perkataanku.
Marissa menjatuhkan tangannya. Jantungnya berhenti ber"detak. Tatapannya tidak lepas dari pemuda itu. Tatapan mata itu, seru Marissa dalam hati, aku mengenalnya.
Wi& liam" tanyanya perlahan.
Pemuda itu tersenyum. Hai, Marissa. Lama kita tidak bertemu. Sudah dua puluh tahun, bukan"
Kali ini Marissa yakin, pria di hadapannya adalah Wiliam. Ya, ampun! Kaukah itu, Wiliam" Aku tidak menyangka sama sekali. Bagaimana kau bisa ada di sini" Terakhir aku melihatmu, tinggimu tidak lebih dari bahuku.
Wiliam tersenyum. Aku bukan anak-anak lagi, Marissa. Ya, aku tahu, kata Marissa, menatap Wiliam dari atas sampai bawah.
Hari ketika kau pergi, aku pulang dan melihat Tante Sarah sedang menangis. Dia meminta maaf kepadaku dan merawatku sejak saat itu. Kau membuat surat itu untuknya, ya"
Marissa mengangguk. Aku lega Tante Sarah bisa mengerti. Bagaimana keadaan dia sekarang"
Dia baik-baik saja, kata Wiliam, sambil tersenyum. Beberapa tahun yang lalu Tante menikah dengan seorang pria asing, dan kini ia tinggal di luar negeri. Dia sudah menemukan kebahagiaan.
Marissa tersenyum. Aku lega mendengarnya. Wiliam maju selangkah lagi. Jadi, kau mau menghabiskan 36.500 makan malam berikutnya denganku" Marissa hanya bisa terpaku. Kau membaca suratku" Wiliam mengangguk. Ya.
Marissa tersenyum lagi. Kau tahu, Wiliam, aku masih kuliah. Aku juga ingin berkarier. Aku rasa...
Wiliam menghentikan ucapannya, dengan melangkah maju dan memeluk Marissa.
Marissa terkejut mendapat pelukan yang tiba-tiba seperti itu.
Hei, aku tidak akan ke mana-mana. Aku sudah menunggumu selama dua puluh tahun, ujar Wiliam. Apalah artinya beberapa tahun lagi, lalu ia melepaskan pelukannya.
Pipi Marissa bersemu merah. Aku benar-benar merindukanmu, Wiliam.
Ya, aku juga, kata Wiliam, lalu ia merogoh saku celananya dan meletakkan sebuah benda di tangan Marissa. Ini untukmu.
Marissa menatap tangannya dan melihat sebuah kelereng biru. Kelereng yang pernah ia curi diam-diam dari kamar Wiliam.
Marissa tertawa lebar. Ya, ampun. Kau masih punya kelereng ini" Bukankah kau pernah berkata bahwa kau tidak suka memberikan mainanmu kepada orang lain"
Wiliam berkata dengan serius. Seseorang telah mengubah pikiranku.
Benarkah" tanya Marissa. Siapa"
Wiliam berkata lagi, Dua puluh tahun yang lalu aku bertemu seorang gadis aneh. Aku tidak mengerti satu pun alat teknologi masa depan yang disebutkannya. Kini, semuanya masuk akal. Dia menyelamatkanku dan mengubah hidupku. Kau mengubah hidupku, Marissa.
Marissa tidak tahu harus menjawab apa. Ia hanya bisa menyebut namanya. Wiliam.
Kali ini aku tidak akan melepaskanmu pergi lagi, Marissa, tekad Wiliam. Aku akan menunggumu sampai kau siap.
Marissa menatap Wiliam dengan serius. Aku juga tidak akan pergi ke mana-mana lagi.
Wiliam tersenyum. Ada satu hal lagi yang ingin kuutarakan. Di suratmu untuk Tante, kau mengatakan suaraku sumbang. Biar kutegaskan, suaraku tidak sumbang.
Marissa langsung protes. Suaramu memang tidak enak. Membuat kepalaku pusing. Ada hal-hal yang memang tidak bisa berubah, suaramu adalah salah satunya.
Kau juga masih suka makan banyak, timpal Wiliam. Ah, tiba-tiba sebuah ada mengusik percakapan mereka. Di sini rupanya kau, Wiliam. Aku mencarimu ke mana-mana.
Marissa menoleh ke belakang Wiliam. Papi tampak sedang tersenyum sambil menggandeng tangan Mami. Ke mana saja kau" tanya Papi lagi kepada Wiliam. Wiliam hanya tersenyum. Saya punya urusan penting sebelum menemui Oom, katanya menjelaskan. Tatapan matanya beralih kepada Marissa. Marissa hanya bisa diam kebingungan. Papi mengenal Wiliam" tanyanya dalam hati.
Oh, kata Papi, seakan baru menyadari Marissa ada di sana, Kebetulan kau ada di sini, Marissa.
Wiliam, kata Papi kepada Wiliam, kenalkan ini anak Oom, Marissa. Pandangan Papi kemudian beralih kepada Marissa. Marissa, ini Wiliam, klien baru Papi. Wiliam baru saja kembali dari luar negeri. Bukankah begitu, Wiliam"
Ya, Oom! kata Wiliam mengangguk.
Senang berkenalan denganmu, Wiliam, seru Mami, sambil melepaskan tangannya dari Papi dan bersalaman dengan Wiliam.
Senang berkenalan dengan Anda juga, Tante, kata Wiliam sopan.
Mami melirik kepada Marissa dan berdecak kesal. Marissa, katanya kesal. Di mana sopan santunmu" Ini klien Papi. Ayo salami dia.
Marissa terlihat serbasalah. Yang benar saja! teriaknya dalam hati. Beberapa menit yang lalu Wiliam baru saja memeluknya, sekarang Mami minta aku menyalami"nya" Tadi Papi bilang apa" Klien Papi" Wiliam, klien Papi"
Wiliam tidak kuasa menahan tawa. Akhirnya, dia terbatuk-batuk beberapa kali untuk menyembunyikan tawanya. Tidak apa-apa. Saya sudah mengenalnya. Benarkah" tanya Mami bingung.
Wiliam mengangguk, lalu berkata lagi, Dua puluh tahun yang lalu.
Papi dan Mami mengernyit bersamaan.
Wiliam menatap Marissa. Marissa menggenggam kelereng di tangannya dengan erat, lalu menatap Wiliam. Pandangan keduanya bertemu. Mereka tersenyum penuh arti.
Tentang Penulis C haron , anak tengah dari tiga bersaudara, lahir di Sukabumi 19 Juni 1980. Suka menulis sejak SMA, tapi baru mengirimkan naskah sesudah bekerja.
Sejak kecil Charon sudah menyukai buku, mulai dari komik sampai novel. Mulai dari biografi, thriller, mitologi, roman, sampai fantasi. Dia bisa bertahan di toko buku lebih dari tiga jam. Charon juga menyukai semua jenis film, kecuali film horor. Dia juga pecandu cokelat.
Charon pertama kali bergabung dengan GPU tahun 2008 dan telah menerbitkan 4 buku, yaitu: 3600 Detik, 7 Hari Menembus Waktu, 1000 Musim Mengejar Bintang, dan Trio Weirdo.
Orang-orang terpenting dalam hidup Charon adalah keluarga, karena mereka suporter terhebat dalam perjalanan hidupnya.
Charon suka musik klasik, terutama karya Chopin. Bagi Charon, menulis merupakan hobi. Saat yang paling bahagia baginya adalah ketika penggemarnya memberikan komentar dan saran atas bukunya dan tentu saja melihat bukunya dipajang di toko buku.
Jika ingin mengirim saran dan kritik, Charon bisa dihubungi lewat Twitter @WriterCharon, e-mail: charon_2519@ Untuk pembelian online: e-mail: cs@gramediashop.com website: www.gramedia.com
Untuk pembelian e-book: www.gramediana.com www.getscoop.com
Penerbit Marissa kesal ketika harus ikut ayahnya ke Gedung Albatross, karena itu berarti ia akan bertemu Michael, mantan pacarnya, dan Selina, musuh bebuyutan yang telah merebut Michael dari sisinya.
7 Hari Menembus Waktu Karya Charon di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Frustrasi oleh situasi, tak sadar Marissa menangis di depan sebuah lukisan dan bergumam seandainya saja ia bisa menghilang.
Dan ia& betul-betul menghilang! Terlempar ke masa dua puluh tahun silam, saat ia belum lahir, saat orangtuanya masih belum berpacaran.
Bersama William, anak kecil yang ditemuinya di masa itu, Marissa mengalami hal-hal lucu dan menyenangkan, hal-hal yang akan mengubah kehidupan gadis itu dan William di masa depan.
C h a r o n Charon Tembang Tantangan 13 Animorphs - 51 The Absolute Gempar Aji Karang Rogo 2
Marissa tersenyum dalam hati, dan berbalik kembali ke kamarnya. Ternyata Tante Sarah menyayangi keponakannya, pikirnya, hanya saja ia tidak pernah mem"perlihatkannya di hadapan Wiliam.
M arissa bangun pagi-pagi sekali. Hari ini ia berniat mema-
sak untuk Wiliam, dengan harapan Wiliam akan memaafkannya karena telah merusak robot mainannya kemarin. Bi Ijah sudah ada di dapur saat Marissa masuk ke sana. Pagi, Bi, sapa Marissa, sambil tersenyum. Pagi, Non, balas Bi Ijah. Tumben pagi-pagi Non sudah bangun.
Marissa tertawa sebentar, lalu berkata, Begini, Bi& Bibi tahu apa makanan kesukaan Wiliam"
Den Wiliam suka hampir semua masakan, kata Bi Ijah. Sayur asem, sop, pepes ikan, hampir semuanya.
Aku mana bisa memasak semua itu" Selama ini kan aku belum pernah pegang pisau, pikir Marissa.
Bi, tidak ada yang mudah, ya" Maksudku yang praktis dan gampang dibuat" tanya Marissa berharap.
Oh. Bi Ijah tersenyum memamerkan giginya yang sudah hilang hampir sebagian. Semua gampang, Non. Memang Den Wiliam ingin makan apa" Nanti Bibi yang masak.
Enam 3 Juli 1988 Hari Minggu Tahun 88 Bukan begitu, Bi, Marissa berusaha menjelaskan. Hari ini saya yang akan masak untuk Wiliam. Apakah ada masakan yang dibuat tanpa harus menggunakan pisau, Bi" Yang mudah saja.
Bi Ijah tampak berpikir keras. Masakan yang tidak pakai pisau ya, Non"
Marissa mengangguk-angguk cepat.
Ah, telur dadar, kata Bi Ijah. Tidak perlu pakai pisau, dan Den Wiliam suka telur dadar.
Marissa memeluk Bi Ijah dengan spontan. Terima kasih, Bi. Nah, sekarang tolong Bibi ajari, ya.
Oh& ya, Non, sahut Bi Ijah. Telurnya sudah habis kemarin. Siang ini Bibi baru mau beli telur.
Marissa kecewa beberapa saat, namun semangatnya tidak reda. Begini, Bi. Biar saya saja yang beli telur ke pasar. Bagaimana"
Tidak usah, Non, kata Bi Ijah. Biar Bibi saja yang ke pasar.
Tidak apa-apa, Bi, Marissa tersenyum. Lagi pula, saya tidak ada kerjaan. Bibi beritahu saja pasarnya di mana, sekalian kalau ada barang-barang lain yang akan dibeli. Jadi, nanti saya sekalian beli semuanya di pasar. Bibi jadi merepotkan Non, kata Bi Ijah.
Tidak apa-apa, tegas Marissa lagi. Lagi pula, saya ingin melihat pasar di sini, sekaligus olahraga naik sepeda.
Melihat keteguhan hati Marissa, Bi Ijah akhirnya memberitahu letak pasar dan barang-barang yang akan dibeli.
Kaki Marissa mulai mengayuh sepeda ke luar rumah, bibirnya bersiul-siul gembira. Wiliam pasti akan tersentuh begitu melihatku bersusah payah memasak untuknya, kata Marissa dalam hati, lalu dia akan memaafkan aku. Ya ampun, Marissa, kau memang pandai& ha& ha& ha!
Ternyata pasarnya sudah penuh orang. Apalagi di hari Minggu begini. Marissa sampai berdesak-desakan dengan para ibu rumah tangga. Setelah berkutat selama dua jam dan keringat mulai mengalir di keningnya, Marissa berhasil mendapatkan semua yang dibutuhkan, terutama telur.
Dalam perjalanan pulang, Marissa mampir dulu ke rumah Papi. Ia menghentikan sepedanya dan melihat rumah"nya. Sebentar lagi, pikirnya, sebentar lagi aku akan pulang.
Suara gerbang dibuka mengalihkan pikiran Marissa. Sebuah motor bebek keluar dari sana. Marissa tertawa, lalu mengayuh sepedanya mendekati Papi.
Hai, Ferry! teriaknya dari kejauhan.
Papi celingak-celinguk mencari tahu siapa yang memanggil"nya. Sepeda Marissa sampai di dekat sepeda motor Papi. Hai, sapa Marissa. Pagi-pagi begini kau mau ke mana"
Papi terkejut. Ehm, aku mau ketemu Diana. Bagus! Bagus! seru Marissa riang. Jadi, kencan kemarin berhasil, kan"
Papi mengangguk. Mengapa kau bisa ada di sini" Marissa terdiam sebentar untuk memikirkan jawaban yang tepat. Eh& rumahku dekat-dekat sini. Aku baru pu"lang dari pasar.
Papi melihat barang belanjaan di keranjang depan sepeda, dan mengangguk. Oh& begitu.
Jadi, kata Marissa, ingin tahu, hari ini kau dan Diana akan ke mana"
Siang ini aku akan pergi ke Ratu Plaza, kata Papi. Kata Diana dia ingin mencoba lift di sana. Besok kami akan ke PRJ.
Marissa bertepuk tangan. Bagus! serunya antusias. Papi melihat jam tangannya. Aku harus pergi sekarang. Diana sudah menunggu.
Oke. Marissa mengangguk. Semoga kencannya berhasil, ya.
Terima kasih, kata Papi, segera berlalu dengan motornya.
Sesampainya di rumah Wiliam, suasana hati Marissa se"makin gembira. Sambil menyanyi riang, Marissa berjalan ke dapur dan memberikan semua belanjaannya kepada Bi Ijah.
Sekarang, tolong ajari saya cara memasak telur dadar ya, Bi, katanya.
Setengah jam kemudian, enam telur gosong sudah terkumpul dalam sebuah mangkuk.
Non, kata Bi Ijah. Biar Bibi saja yang masak. Marissa menggeleng. Kalau Bibi yang masak, nanti Wiliam tidak akan menghargai usahaku.
Sial, gerutu Marissa, setelah mencoba tanpa sukses untuk kesekian kalinya. Aku memang tidak punya bakat memasak. Membuat telur dadar yang mudah saja tidak bisa kulakukan. Payah.
Suara pintu terbuka terdengar.
Sepertinya Den Wiliam sudah bangun, kata Bi Ijah. Bi Ijah, jangan sampai Wiliam ke dapur, kata Marissa panik. Aku belum selesai masak. Tolong halangi dia. Suruh dia menunggu di ruang makan saja.
Bi Ijah mengangguk cepat mendengar perintah Marissa. Ia keluar untuk berbicara dengan Wiliam. Marissa mendesah lega. Tiba-tiba ia tersadar dan pandangannya tertuju pada telur dadar di penggorengan. Alamak! teriaknya dalam hati. Gosong lagi deh. Oke& oke& jangan panik, yang gosong kan hanya bagian bawah. Jadi, aku sembunyikan saja bagian itu.
Marissa keluar dari dapur dengan senyum lebar. Wiliam, katanya. Tebak! Aku masak apa hari ini"
Wiliam terlihat masih marah. Marissa menyodorkan telur dadar hasil gorengannya di hadapan Wiliam. Aku sengaja bangun pagi-pagi memasakkan ini untukmu. Aku benar-benar minta maaf soal kemarin. Soal robot itu.
Wiliam melihat telur di depannya tanpa selera. Aku ambilkan nasinya, ya, kata Marissa, sambil mengambil piring untuk Wiliam. Setelah nasi, sendok, dan garpu tertata di depan Wiliam, Marissa menyuruhnya makan.
Ayolah, Wiliam, pintanya manis. Aku benar-benar su"dah berusaha memasaknya. Makan ya& sedikitttt saja.
Bi Ijah kasihan melihat Marissa, karena itu ia ikut menambah"kan, Non Marissa tadi pagi pergi ke pasar membeli telur untuk Den Wiliam.
Setelah mendengar perkataan Bi Ijah, akhirnya Wiliam mengambil sendok dan garpunya lalu memakan telur dadar yang dimasak Marissa.
Bagaimana" Marissa penasaran. Enak tidak" Wiliam menelan telur di mulutnya. Keasinan, katanya pendek.
Marissa merasa lega. Ia berpikir Wiliam tidak akan tahu bahwa telurnya sedikit gosong. Namun ketika Wiliam hendak memotong telur"nya lagi, ia melihat sedikit warna hitam di bagian bawah. Gawat! Gawat! Gawat! teriak Marissa panik.
Wiliam membalikkan telur itu, dan tahulah ia kini bahwa telur gorengnya gosong.
Kakak memasak telur gosong buatku"! teriaknya pada Marissa.
Marissa merasa bersalah. Aku sudah mencoba memasak"nya berulang kali. Yang ini tidak terlalu gosong. Ya, kan" Aku benar-benar memasaknya sendiri, spesial untukmu. Yang penting niatnya. Benar kan, Wiliam"
Wiliam berkata dengan ketus, Telur gosong tetap saja telur gosong.
Marissa duduk lemas di hadapan Wiliam. Wiliam& , katanya, tiba-tiba jadi serius. Aku benar-benar minta maaf sudah mematahkan robotmu kemarin. Aku tidak sengaja. Kalau kau marah kepadaku dan ingin aku pergi dari rumahmu, aku akan pergi.
Wiliam tidak mengomentari perkataan Marissa, namun dia menghabiskan semua telur gosong di piringnya. Marissa menganggap itu sebagai ungkapan perdamaian.
Terima kasih, Wiliam, kata Marissa bersungguhsungguh.
Wiliam hanya mendengus. Setelah sarapan, Marissa menemani Wiliam nonton TV. Acara si Unyil sedang tayang. Marissa ikut tertawa melihat kelucuan tayangan itu. Sepanjang pagi itu, Marissa menghabiskan waktunya dengan menonton. Banyak acara yang cukup menghibur, walaupun hanya ada satu saluran televisi. Siang hari, Marissa menonton acara Ria Jenaka. Marissa tertawa terbahak-bahak melihat betapa lucunya para punakawan yang ada di acara itu.
Setelah menonton televisi, Marissa ingin pergi ke Ratu Plaza untuk melihat ke"adaan kedua orangtuanya. Sewaktu mengusulkan hal itu kepada Wiliam, Wiliam menolak mentah-mentah.
Tidak mau, katanya. Untuk apa ke sana" Untuk melihat orangtuaku. Kalimat itu sebenarnya ingin ia lontarkan untuk menjawab pertanyaan Wiliam. Akan tetapi, Marissa malah berkata, Kan tidak enak di rumah terus.
Wiliam menatap Marissa curiga. Hati Marissa tidak tenang setiap kali Wiliam menatapnya seperti itu. Janganjangan, tebak Wiliam, Kakak akan mengikuti mereka lagi, ya"
Sial. Ketahuan. Wiliam, sanggah Marissa, aku hanya ingin tahu.
Wiliam menggeleng. Pokoknya, aku tidak mau pergi. Aku mau bikin PR. Setelah itu Wiliam berlalu ke kamarnya dan menutup pintu.
Ya sudah, keluh Marissa. Kalau kau tidak mau pergi, aku pergi sendiri saja.
Marissa kembali ke kamarnya untuk bersiap-siap, setelah itu ia membuka pintu depan. Langkahnya terhenti ketika Tante Sarah memanggilnya.
Marissa, katanya. Marissa memandang Tante Sarah, yang sepertinya baru bangun tidur. Wiliam di mana" tanyanya.
Di kamar, Tante, kata Marissa. Sedang mengerjakan PR.
Bagus! Bagus, kata Tante Sarah. Begini, Marissa. Nanti sore Tante mau ke Puncak dan menginap. Tolong kauperiksa PR-nya dan tolong jaga Wiliam juga. Sekarang Tante mau mandi dulu.
Marissa terpaksa membatalkan kepergiannya ke Ratu Plaza. Ia mengetuk pintu kamar Wiliam dan masuk.
Tante Sarah akan pergi ke puncak dan menginap, kata Marissa memberitahu Wiliam.
Wiliam hanya mengangkat bahu, tidak peduli. Dia memintaku mengecek PR-mu dan menjagamu hari ini.
Aku tidak perlu dijaga. Aku bisa mengurus diriku sendiri, kata Wiliam ketus.
Marissa menarik napas. Wiliam, jangan berkata seperti itu. Kau kan masih kecil. Lagi pula, Tante Sarah bermaksud baik. Dia perhatian kepadamu. Kau tidak tahu kalau semalam tantemu&
Wiliam menjatuhkan pensilnya, dan menatap Marissa, Satu-satunya hal yang diinginkan Tante Sarah hanya uang. Dia akan terus mendapatkan uang kalau menjagaku. Itu memang ketentuan surat wasiat Papa.
Marissa terduduk di sebelah Wiliam. Wiliam, katanya sedih. Aku yakin bukan itu alasannya. Jauh di lubuk hatinya Tante Sarah menyayangimu.
Wiliam menggeleng. Tante Sarah satu-satunya adik Papa. Ia tidak pernah peduli kepadaku. Setiap hari aku selalu melihatnya pulang malam dan mabuk.
Kali ini Marissa benar-benar merasa kasihan kepada Wiliam. Dia hanyalah seorang bocah yang kesepian. Ap kah tidak ada saudara mamamu yang bisa menjagamu"
Wiliam menggeleng. Mama berasal dari panti asuhan. Aku tidak punya siapa-siapa.
Marissa menatap Wiliam dengan tegas. Itu tidak benar. Untuk saat ini kau masih punya aku, kan" Walaupun kau tidak ingin mengakuinya, namun aku tahu tantemu juga menyayangimu. Hanya saja dia tidak pernah memperlihatkannya kepadamu.
Wiliam mengambil pensilnya kembali, dan melanjutkan PR-nya. Kau juga akan pergi meninggalkanku, katanya perlahan.
Apa" tanya Marissa, tidak mendengar. Tidak apa-apa, kata Wiliam.
Marissa tidak tahu bagaimana caranya menghibur Wiliam. Ia hanya bisa menemaninya. Setelah sekian lama ditunggui saat mengerjakan PR, Wiliam akhirnya kesal. Kakak pergi saja. Aku sedang mengerjakan PR.
Aku tahu, kata Marissa. Aku akan memeriksa PR-mu setelah kau selesai mengerjakannya.
Kalau begitu, jangan dekat-dekat aku! protes Wiliam.
Marissa beringsut menjauhi Wiliam. Ia melihat koleksi buku di lemari Wiliam. Tangannya mengambil salah satu buku itu. Enid Blyton. Lima Sekawan.
Marissa tersenyum. Ia juga memiliki koleksi lengkap buku itu di lemarinya. Sambil menunggu Wiliam mengerjakan PR, Marissa membaca buku itu.
Kak, aku sudah selesai, kata Wiliam, beberapa waktu kemudian.
Marissa menaruh buku yang sedang dibacanya di tempatnya semula. Oke. Kalau begitu sekarang aku periksa.
Marissa melihat angka-angka di buku tulis Wiliam. Perkalian, pengurangan, penambahan, dan pembagian. Angkanya besar-besar. Untuk perkalian, ada tiga digit angka dikalikan dengan dua digit angka, lalu untuk pembagian puluhan ribu dibagi dengan ratusan. Di bawah terdapat formula untuk menghitung luas lingkaran, kerucut, prisma, dan yang lainnya. Sepertinya ada yang aneh dengan tugas matematika Wiliam.
Wiliam, kata Marissa, ingin mendapatkan jawaban atas keanehan itu, PR-mu ini seperti bukan PR matematika untuk anak seusiamu, ya" Kau kan baru delapan tahun, berarti& kalau tidak salah& kau masih kelas 3 SD, kan" Bukankah kelas 3 SD baru diajari perkalian"
Memang, jawab Wiliam tenang, PR matematika yang kubuat untuk kelas 5 SD.
Hah" Kelas 5 SD" tanya Marissa, semakin bingung. Wiliam mengangguk. Ya. Sekarang aku kelas 5 SD. Aku loncat dua kelas.
Marissa melongo. Jadi, ternyata anak sok pintar ini me""mang sebetulnya& benar-benar pintar" Ini hal lain lagi yang lebih meyakinkan Marissa bahwa Wiliam memang lebih hebat dari anak seusianya, yang kemudian berpengaruh terhadap caranya bersikap dan berbicara.
Kakak periksa saja, aku mau main game dulu, kata Wiliam, beranjak meninggalkan Marissa.
Wiliam, tunggu! kata Marissa. Kau punya kalkulator tidak"
Punya, kata Wiliam. Kakak tidak boleh menggunakan kalkulator untuk memeriksa PR-ku. Tidak adil, masa Kakak enak-enak pakai kalkulator sedangkan aku bersusah payah mengerjakannya tanpa bantuan apa pun" Marissa mengumpat dalam hati.
Setengah jam kemudian, teriakan Wiliam dari ruang tamu membuyarkan konsentrasi Marissa, yang sedang berkutat dengan angka-angka.
Kak"! Sudah belum"! teriaknya. Periksanya lama sekali"! Aku saja sudah loncat sepuluh level main Space Invaders!
Marissa menggerutu kesal. Dibawanya buku PR Wiliam. Ini, kata Marissa, sambil menunjuk buku itu. Ada yang salah satu nomor.
Wiliam melihat sekilas. Tidak ada yang salah. Marissa ngotot. Salah! Harusnya hasil akhirnya empat ratus empat puluh satu.
Wiliam memandang Marissa dengan kesal. Hasil akhirnya benar. 442. Coba Kakak hitung ulang. Enam kali tujuh kan empat puluh dua, bukan empat puluh satu. Ditambah empat ratus, ya jadi empat ratus empat puluh dua.
Marissa mencoba menghitung dan memeriksa ulang PR Wiliam. Ia merasa kesal karena perkataan Wiliam benar.
Dengan santai Wiliam menyindir. Kakak tidak lulus SMA, ya"
Apa"! teriak Marissa. Enak saja. Begini-begini bulan depan aku sudah jadi mahasiswi.
Wiliam menatap Marissa tidak percaya.
Terserah kau mau percaya atau tidak, kata Marissa cemberut, sambil melangkah ke kamarnya.
Dasar& keluhnya dalam hati, ini anak tidak bisa diberi rasa simpati. Tadi aku sempat kasihan kepadanya karena dia kesepian, eh, dia sekarang malah menghinaku.
*** Diana menggandeng tangan Ferry di dalam lift Ratu Plaza.
Aku tidak pernah bosan menaiki lift kapsul ini, katanya.
Ferry hanya tersenyum. Di depan mereka, si penjaga lift memandang keduanya dengan kesal. Lift ini sudah turun-naik hampir sepuluh kali, namun mereka tidak keluar juga.
Kalian mau turun di lantai berapa" tanyanya kemudian, sambil cemberut.
Sepertinya kita sudah kelamaan naik lift ini, Diana berbisik pada Ferry.
Ferry mengacungkan telunjuknya. Satu kali lagi ya, Pak!
Si petugas lift menggeleng.
Diana berbisik lagi kepada Ferry, Terima kasih.
*** Kau memang benar-benar baik, Ferry, kata Diana, pada saat mereka makan siang bersama.
Ferry tersipu malu. Apa pun akan aku lakukan untukmu.
Diana tersenyum lebar, namun senyuman itu kemudian hilang. Dari belakang mereka, tampak Jimmy mendekati dengan ekspresi marah. Wajahnya terlihat garang, apalagi dia memakai jaket kulit hitam". Penampilan pemuda itu terlihat angker.
Jadi, kau di sini rupanya! teriaknya. Ferry dan Diana berdiri.
Jimmy, sebaiknya kau pergi saja! kata Diana kesal. Kan aku sudah bilang, kita tidak punya hubung"an lagi!
Kau lebih suka bersama dengan orang seperti dia"! teriak Jimmy tidak percaya, sambil menunjuk Ferry.
Diana membenarkan. Ya. Dia tidak egois seperti kau. Aku menungguimu latihan breakdance sampai empat jam, namun ketika kau menemaniku antre di toko kaset kau tidak sabar, padahal kita di sana hanya satu jam. Dalam perjalanan pulang kau marah dan ngebut, walaupun sudah kukatakan aku tidak mau kau ngebut. Kau memang egois, kau tidak peduli kepadaku. Kau hanya peduli kepada dirimu sendiri!
Jimmy kesal mendengar perkataan Diana. Aku tidak suka mendengar perkataanmu itu, Diana. Kau lebih suka bersama dengan seorang pengecut seperti dia. Yah, baiklah kalau itu maumu. Kau memang wanita yang suka mempermainkan pria.
Kepalan tangan Ferry seketika itu juga menghantam wajah Jimmy. Jimmy berteriak kesakitan. Dia memandang Ferry dengan kesal, lalu balas memukul wajah Ferry. Pukul"an keras Jimmy membuat Ferry ter"jengkang.
Hentikan!! teriak Diana. Jimmy, sebaiknya kau pergi! Aku tidak mau bertemu denganmu lagi!
Oh, tenang saja, katanya sambil tertawa sinis. Aku akan pergi. Seleramu payah sekali, Diana. Berpacaran dengan pengecut seperti dia.
Setelah berkata demikian, Jimmy pergi meninggalkan mereka berdua.
Diana membantu Ferry berdiri, lalu berteriak keras, Mengapa kau harus memukul Jimmy"!
Ferry terkejut mendengar amarah Diana. Diana& Kau benar-benar bodoh!! lanjut Diana lagi. Mengapa kau harus memukulnya" Karena dia menghinamu" Lihatlah akibatnya! Kau tahu, kau bukan tandingan Jimmy dalam hal menghajar orang! Kenapa kau harus sok jagoan, hah"!
Ferry mendekati Diana. Aku tidak memukul Jimmy karena dia menghinaku.
Lalu, karena apa" tanya Diana bingung.
Aku memukulnya karena dia menghinamu, kata Ferry, sambil menatap Diana dengan lembut.
Perkataan itu membuat Diana tersentuh. Kau tahu, kau benar-benar idiot memukul Jimmy seperti itu.
Ferry tersenyum. Aku tahu, namun aku tidak keberatan.
Diana merangkul tangan Ferry dan mengajaknya pergi, Ayo, kita pulang!
Ferry berkata, Bagaimana kalau kita naik liftlagi sebelum pulang"
Diana hanya tersenyum dan mengangguk.
*** Hari sudah menjelang sore. Wiliam menyalakan televisi. Dia membawa sebuah buku gambar.
Kau mau apa" tanya Marissa heran.
Mau belajar menggambar dengan Pak Tino Sidin, kata Wiliam.
Tak lama kemudian di layar televisi muncul acara Gemar Menggambar . Pembawa acaranya seorang pria bertopi baret.
*** Di layar TV tampak Pak Tino Sidin, sang pembawa acara, sedang menerangkan cara menggambar seekor kucing m"ulai dari kepala, badan, sampai ekornya. Wiliam mengikuti langkah itu satu per satu.
Wiliam, seru Marissa, aku minta kertas gambarmu. Aku juga ingin ikut menggambar.
Wiliam kesal karena permintaan Marissa mengganggunya, namun akhirnya dia memberisehelai kertas gambar pada Marissa.
Marissa juga mengikuti petunjuk menggambar Pak Tino Sidin di layar televisi. Aku tidak menyangka menggambar bisa se"mudah ini. Sejak dulu aku memang tidak punya bakat meng"gambar. Topi setelah mengikuti langkah-langkah Pak Tino Sidin kok jadi mudah sekali. Aku jadi membayang"kan, sepuluh tahun lagi lukisanku dipasang di galeri-galeri seni, dan aku jadi seniman ternama seperti Picasso atau Van Gogh.
Wiliam memperhatikan Marissa dengan curiga. Kemarin Kakak salah makan obat kali, ya" Kok hari ini senyum-senyum sendiri seperti orang gila!
Setelah acara menggambar selesai, Marissa melihat hasil lukisannya dengan bangga. Penasaran, Wiliam melihat hasil karyanya dan mengernyit. Kakak! serunya. Kakak menggambar kucing atau cacing"
Apa"! sentak Marissa marah. Ini anak& urghh& aku meng"gambarnya dengan susah payah, tahu" Memang gambarmu lebih bagus" Coba sini aku lihat! Marissa merebut kertas gambar dari tangan Wiliam, dan melihat gambar yang dilukis Wiliam.
Brengsek! serunya kesal. Gambar Wiliam lebih menyerupai kucing daripada gambarku. Masa aku kalah dengan anak delapan tahun sih!
Ehmm, seru Marissa berkelit, gambarmu memang lebih baik, namun seni kan tidak bisa hanya dilihat dari bentuknya. Seni juga harus dilihat dari segi artistiknya. Harus pakai perasaan.
Wiliam memandang Marissa dengan tampang tidak per"caya. Kalau memang tidak punya bakat menggambar, mengaku saja. Kelihatannya Kakak memang tidak punya bakat lain selain makan.
Marissa hendak membalas kata-katanya, namun akhirnya ia diam saja. Ini anak pintar sekali membuatku kesal. Ia lalu memutuskan untuk tidak melayani ucapan Wiliam, dan melanjutkan menonton televisi.
Di akhir acara, Pak Tino Sidin menunjukkan gambar anak-anak yang dikirim kepadanya, lalu berkata Ba"gus .
Saat Marissa melihat gambar terjelek yang terpampang di depan TV, Pak Tino Sidin tetap berkata Bagus , dia lalu berkata,
Wiliam, Pak Tino Sidin tidak pernah berkata Jelek , ya"
Wiliam menggeleng. Jadi, kalau karyaku dikirim ke Pak Tino Sidin pasti aku akan dinilai bagus juga, kan" katanya, sambil tersenyum bahagia.
Ya, kata Wiliam. Itu karena Pak Tino Sidin kasihan kepada Kakak, bukan karena gambar Kakak bagus.
Urghhhh! Marissa mengepalkan tangannya dengan kesal.
Sudah, ah. Aku mau mandi dulu. Wiliam bergegas ke"luar dari ruang tamu, meninggalkan Marissa yang geram setengah mati.
*** Ketika pukul setengah tujuh malam tiba, mereka kembali menonton televisi. Kali ini acaranya berjudul ACI, yang bercerita tentang tiga sekawan Amir, Cici, dan Ito.
Marissa harus mengakui film-film di masa ini dibuat sangat sederhana, namun ceritanya menyentuh.
Malam harinya Wiliam menonton episode terakhir Megaloman. Marissa masuk ke kamar Wiliam, dan tatap""annya tertuju pada robot berlengan satu yang dia ja"tuh"kan kemarin. Marissa benar-benar merasa bersalah.
Wiliam, katanya, aku benar-benar minta maaf ya. Aku tidak mau membicarakan itu lagi, kata Wiliam, sambil memasukkan kaset video Megaloman-nya.
Kalau begitu, kau sudah memaafkan aku, ya kan" kata Marissa, sambil tertawa. Kelerengmu yang biru ini boleh untukku"
Wiliam menjawab dengan ketus, Tidak boleh. Aku kan sudah berkata bahwa aku tidak suka memberikan mainanku kepada orang lain.
Marissa menjulurkan lidahnya karena kesal, lalu pergi mandi.
Setelah selesai berganti baju, Marissa kembali lagi ke kamar Wiliam. Lampu di kamar Wiliam tidak menyala. Marissa curiga, bukankah dia sedang menonton video" Mengapa lampu kamarnya gelap begini"
Wiliam, panggilnya perlahan. Ia melihat Wiliam sedang tidur di ranjangnya, dan bergegas mendekatinya.
Ada apa, Wiliam" tanya Marissa panik, sambil menyalakan lampu. Kau sakit"
Wiliam bergerak-gerak gelisah dalam tidurnya. Tubuhnya berkeringat. Marissa meraba keningnya. Rasa panas menjalari telapak tangannya. Wiliam demam.
Wiliam, panggil Marissa, berusaha membangunkannya. Kau demam. Kau harus minum obat dulu. Wiliam menatap Marissa dengan lemas. Sudah& Marissa melihat bungkus obat yang sudah terbuka. Baiklah, kalau begitu kau istirahat, ya, katanya, sambil menyelimuti Wiliam dengan selimut bergambar robot.
Marissa masuk ke dapur dan mengambil sebaskom air serta handuk kecil, lalu bergegas kembali ke kamar Wiliam. Ia mengompres kening Wiliam dengan air dingin terus-menerus selama jam-jam berikutnya.
Dalam tidurnya, Wiliam mengigau gelisah, Mama& Papa& jangan pergi& !
Marissa benar-benar merasa sedih. Keluarga Wiliam tidak ada satu pun di rumah. Tante Sarah sedang menginap di Puncak. Orangtua Wiliam sudah meninggal, padahal Wiliam membutuhkan mereka.
Marissa menggenggam tangan Wiliam erat-erat. Aku bukan orangtuamu, namun aku akan menjagamu, Wiliam. Sekarang tenanglah dan tidurlah yang nyaman, katanya, sambil mengelus-elus rambut Wiliam.
Entah berapa lama Marissa mengompres kening Wiliam. Menjelang tengah malam, panas anak lelaki itu sudah turun dan Wiliam terlihat tertidur nyenyak.
Marissa merasa lega. Ia menguap, mata"nya tidak kuat lagi membuka. Tak berapa lama ke"mudian, ia tertidur sambil duduk di tepi ranjang Wiliam.
S uara dengkuran seseorang membangunkan Wiliam dari
tidurnya. Dilihatnya Marissa tertidur di samping tempat tidurnya. Dia ingat, kemarin malam badannya sangat panas. Kelihatannya Marissa mengompresnya dan menemani"nya semalaman. Wiliam menatap Marissa perlahan. Dengkuran Marissa terdengar semakin keras. Wiliam mendesah.
Kak, bangun, kata Wiliam. Sudah pukul sembilan pagi.
Marissa membuka matanya, dan menguap. Oh, Wiliam, kau sudah bangun" Ia meraba kening Wiliam. Demammu sudah turun.
Kakak menjagaku semalaman" tanya Wiliam. Marissa mengangguk, lalu menguap lagi. Kau demam tinggi dan mengigau. Jadi, aku menemanimu di sini. Dengan perlahan Wiliam berkata, Terima kasih. Marissa baru sadar bahwa inilah pertama kali Wiliam berkata terima kasih kepadanya. Ia merasa gembira se-
Tujuh 4 Juli 1988 PRJ hingga tanpa sadar tangannya menyentuh baskom air kompresan semalam dan menyenggolnya. Isinya tumpah ke selimut Wiliam.
Arggghhhh! teriak Wiliam. Selimutku! Lalu tampang cemberutnya kembali lagi. Kenapa Kakak selalu me"rusak barang-barang kesayanganku"
Marissa menggigit jarinya. Maaf! Maaf! Maaf! katanya, sambil membawa baskom air kompresan itu. Nanti aku suruh Bi Ijah mencuci selimutmu, ya.
Wiliam hanya menggerutu. Karena kau baru sembuh, kata Marissa lagi, bagaimana kalau pagi ini kau tidak les dulu" Istirahat saja. Kau mau makan apa" Bubur, ya"
Wiliam hanya mengangguk. Marissa keluar kamar dan bergegas menemui Bi Ijah. Bi, kata Marissa, tolong masakkan bubur untuk Wiliam, ya" Semalam dia demam.
Bi Ijah tampak khawatir. Den Wiliam sakit" Sekarang sudah mendingan, kata Marissa. Syukurlah kalau begitu, kata Bi Ijah lega. Pagi itu Marissa menghabiskan waktunya di kamar Wiliam. Saat Marissa akan menyuapi bubur, Wiliam menolak. Aku kan bukan anak kecil lagi, katanya protes. Aku tidak perlu disuapi.
Akhirnya, Marissa membiarkan Wiliam makan sendiri.
Kak, katanya setelah makan, aku ingin nonton episode terakhir Megaloman, semalam belum sempat menonton.
Marissa mengikuti permintaan Wiliam, dan menemaninya menonton. Lama-kelamaan, Marissa ikut terhanyut dalam cerita film itu. Di akhir film, Marissa berkomentar sambil menggeleng-geleng. Ya, ampun! Kok bisa ya Kapten Dagger, musuh buyutan Megaloman, ternyata saudara kembarnya"
Ya, kata Wiliam setuju. Aku juga tidak menyangka. Aku rasa menontonnya sudah dulu. Kau harus istirahat.
Wiliam berbaring di tempat tidurnya lagi, dan Marissa mematikan lampu kamar. Selamat tidur, Wiliam.
Wiliam menguap, tak berapa lama kemudian dia tertidur.
*** Satu jam kemudian, mobil Tante Sarah memasuki halaman rumah. Marissa menyambutnya dan memberi"tahukan keadaan Wiliam.
Sekarang dia di mana" tanya Tante Sarah. Sedang tidur di kamarnya, jawab Marissa. Baguslah, kalau begitu, Tante Sarah berjalan ke kamarnya. Aku capek sekali. Terima kasih kau sudah menjaga Wiliam. Aku mau tidur dulu.
Setelah Tante Sarah masuk ke kamarnya, Marissa menyalakan televisi di ruang tamu. Ia merasa sangat bosan. Sore ini ia ingin sekali pergi ke PRJ, siapa tahu bisa bertemu dengan orang"tuan"ya.
Akhirnya, untuk mengusir kebosanan Marissa menyalakan komputer Wiliam. Ia memainkan game yang sering dimainkan Wiliam, Space Invaders.
Kok jalannya pelan sekali, ya" Ah, ini kan memang komputer zaman jebot, apa yang bisa kuharapkan"
Sejam kemudian Wiliam terbangun. Tubuhnya sudah terasa segar. Dia turun dari ranjang dan keluar dari kamar"nya. Dilihatnya Marissa sedang berkutat dengan serius di depan komputer.
Pesawat warna-warni memenuhi layar, dan Marissa asyik menekan keyboard sehingga tidak menyadari kedatangan Wiliam di belakangnya.
Kakak kok malah main Space Invaders" tanya Wiliam.
Marisssa berbalik sebentar, lalu matanya kembali lagi pada layar komputer, Oh& hai, Wiliam! Sudah ba"ngun rupanya. Aku bosan. Siaran TV-nya juga membosankan. Jadi, aku main komputer saja. Aku lihat kau sering memainkan game ini, aku jadi ingin mencobanya. Kok lambat sekali, ya"
Wiliam menekan tombol Turbo, lalu permainan itu menjadi semakin cepat.
Pantas dari tadi jalannya lambat banget, teriak Marissa kesal dalam hati.
Kak, aku juga ingin main, kata Wiliam.
Nanti ya, sebentar lagi. Kakak lagi tanggung, kata Marissa tanpa memperhatikan Wiliam. Tangannya dengan lincah bergerak-gerak menembaki pesawat musuh yang tidak ada habisnya.
Satu jam kemudian& Kak! Sekarang giliran aku yang main dong! teriak Wiliam, tidak sabar.
Sebentar lagi, kata Marissa. Setengah jam setelah itu&
Kak!! Kapan selesainya"! teriak Wiliam keras-keras. Marissa malah tidak menyadari teriakan itu. Setengah jam berikutnya&
Ahhhh& ahhhh& arghhhhh! teriak Marissa. Ahhhh, game over! Aku tidak terima, aku mau main lagi! Wiliam langsung berteriak, Kak! Sekarang giliranku!
Izinkan aku main satu kali lagi, ya" pinta Marissa manis.
Wiliam tidak mengindahkan perkataan Marissa, dia menarik gadis itu turun dari kursi.
Marissa merengut kesal. Akhirnya, ia pergi mandi karena cuaca panas sekali. Selesai mandi, Marissa melihat jam di dinding menunjukkan pukul empat sore. PRJ bukanya sore, kan" Pukul 17.00 atau pukul 18.00" ta"nya Marissa dalam hati. Pokoknya, aku harus pergi! Marissa mengajak Wiliam pergi ke PRJ. Tidak mau, kata Wiliam.
Wiliam, kau kan sudah sembuh, kata Marissa merayu. Daripada bosan di rumah lebih baik pergi ke PRJ, ya kan"
Ada apa" tanya Tante Sarah, menyela percakapan mereka. Tampaknya Tante Sarah baru saja bangun tidur.
Begini, Tante, kata Marissa. Saya ingin mengajak Wiliam ke PRJ untuk ganti suasana. Bosan kan di rumah terus. Eh, Wiliam tidak mau.
Kalian pergi saja, kata Tante Sarah pada Marissa dan Wiliam. Tante akan pergi menemui teman Tante, nanti sekalian Tante antar ke PRJ.
Marissa tersenyum lebar. Terima kasih, Tante. Nah, Wiliam, ayo kita pergi ke PRJ.
Wiliam menatap Marissa dengan kesal.
Sore itu sebelum pergi Marissa melihat-lihat lemari pakaian orangtua Wiliam dan menemukan gaun kuning terusan dengan tangan menggelembung di kedua sisinya. Sederetan manik-manik menghiasi baju bagian depan. Marissa kemudian memakainya. Untuk sepatunya, Marissa memilih sepatu kulit berwarna hitam.
Dua jam kemudian, Marissa, Wiliam, dan Tante Sarah sudah berada dalam perjalanan menuju PRJ. Suasana PRJ sudah ramai ketika Marissa dan Wiliam turun dari mobil.
Ini uang jajan kalian, kata Tante Sarah, mem"berikan beberapa lembar uang sepuluh ribuan pada Marissa. Nanti kalian pulang sendiri, ya.
Terima kasih, Tante, kata Marissa senang. Ayo Wiliam, kita masuk.
Wiliam mengikuti Marissa dari belakang.
Wah, ramai sekali. Marissa melihat keramaian orang di sekitarnya dengan antusias. Kau tahu, Wiliam, di masa depan PRJ masih ada lho.
Benarkah" Ya, benar. Tempatnya saja yang berbeda. Oh, lihat itu! seru Marissa. Ada banyak sekali makanan yang dijual. Ayo kita makan!
Kakak, yang dipikirkan hanya makanan melulu. Wiliam mengikuti Marissa ke area tempat makan.
Marissa duduk. Mana bisa perut kosong dipakai jalanjalan. Mas, saya pesan mi bakso dan nasi goreng. Wiliam, kau mau apa"
Wiliam hanya menggeleng. Aku belum lapar. Kakak makan saja dulu.
Marissa menghabiskan nasi goreng di piringnya sampai perutnya terasa penuh. Ia menutup mulutnya dan bersendawa.
Apa Kakak yakin bisa menghabiskan mi baksonya" Wiliam menatap curiga.
7 Hari Menembus Waktu Karya Charon di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Marissa hanya tersenyum. Tenang saja, perutku memang besar. Pasti aku bisa menghabiskannya. Baru pertama kali Wiliam melihat gadis begitu rakus. Kau yakin tidak mau makan, Wiliam" tanya Marissa sekali lagi.
Wiliam menggeleng. Melihat Kakak makan saja aku sudah kenyang.
Marissa benar-benar menghabiskan mi baksonya. Sekarang mari kita jalan-jalan!
Setelah beberapa saat berjalan-jalan, Marissa berhenti di sebuah stand makanan. Lihat itu, Wiliam! Katanya kalau beli satu dapat undian langsung. Ayo kita beli!
Marissa membeli satu kantong plastik makanan. Akan tetapi, saat mengambil undian hadiah, dia tidak beruntung.
Beli satu lagi, kata Marissa penasaran.
Kakak, protes Wiliam. Beli makanan banyak-banyak, siapa yang akan makan"
Kau tenang saja. Nanti aku makan semuanya, kata Marissa. Lagi pula, kan tidak harus di"makan hari ini.
Untuk kali kedua mereka mendapatkan sebuah tempat pensil. Marissa menjerit gembira. Nah lihat, tempat pensil ini bagus sekali, kata Marissa. Untukmu saja, Wiliam.
Tidak mau, kata Wiliam. Aku sudah punya tempat pensil Robot Voltus.
Ya, sudah, kata Marissa, menyimpan kaleng pensil itu ke dalam plastik.
Kak, ujar Wiliam tiba-tiba, aku ingin ke WC dulu. Oke! kata Marissa, sambil mencari-cari WC. Itu dia! Aku tunggu di luar, ya.
Wiliam berlari masuk ke WC dengan terburu-buru. Sambil menunggu, Marissa melihat-lihat stand di sekitar situ. Pandangannya tertuju pada Robot Voltus yang mirip dengan milik Wiliam.
Mas, saya ingin beli robot ini, kata Marissa, sambil ter"senyum. Ia bisa memberikan robot ini sebagai pengganti robot bertangan satu di lemari Wiliam.
Sesudah membelinya, Marissa menyembunyikannya di salah satu kantong plastik yang berisi makanan. Ia ingin memberi kejutan untuk Wiliam.
Wiliam keluar dari WC, keduanya kemudian melanjutkan perjalanan.
Marissa membeli banyak permen dan makanan, mencoba satu per satu, membujuk Wiliam untuk mencobanya juga.
Kak, aku capek! teriak Wiliam, setelah berputar-putar selama satu jam. Kita duduk dulu, ya.
Kebetulan di dekat mereka ada bangku, Marissa duduk sambil membawa semua yang tadi dia beli. Marissa mendongak ke atas dan memandang bintang-bintang yang bertebaran di angkasa.
Sudah lama aku tidak merasa sebahagia ini, kata Marissa. Hei, Wiliam! Kau senang kan hari ini" Ya, begitulah, jawab Wiliam pendek.
Marissa hanya tertawa mendengarnya. Kau memang anak yang susah sekali diajak bersenang-senang.
Tiba-tiba ia melihat Papi dan Mami berada tak jauh dari tempat duduknya. Mereka sedang ada di stand aksesori.
Wiliam, katanya gembira, itu Mami dan Papi. Aku mau melihat mereka.
Ya, ampun, keluh Wiliam kesal, kita mau mematamatai mereka lagi"
Stttt, bisik Marissa, aku hanya ingin tahu mereka sedang apa. Ayo kita dekati mereka!
*** Diana jatuh hati pada sebuah kalung hitam dengan inisial huruf dari perak yang menggantung di tengahnya. Aku suka kalung ini, katanya pada pemuda di sebelahnya.
Ferry tersenyum. Beli saja kalau kau suka, biar aku yang bayar.
Tangan Diana mengambil sebuah kalung lagi. Begini saja. Kita beli dua kalung ini. Yang berinisial D untuk Diana dan F untuk Ferry. Kau pakai yang berinisial D, sedangkan aku akan memakai yang berinisial F. Bagaimana"
Baiklah! kata Ferry. Dia memasang kalung berinisial D di lehernya. Setelah itu, dia membantu memasangkan kalung yang berinisial F di leher Diana.
Diana memandang Ferry dengan senang. Kau tahu, Ferry. Kau benar-benar pria terbaik yang pernah aku kenal. Aku nyaman sekali bila pergi bersamamu. Ferry tersipu malu. Aku juga senang bersamamu. Kalau begitu, usul Diana. Bagaimana kalau besok kita pergi lagi" Ke mana, ya" Bagaimana kalau ke Gajah Mada"
Besok aku ada kuliah, ujar Ferry. Dari pukul satu sampai pukul tiga sore.
Kalau begitu, aku akan menemuimu di kampus seusai kuliah dan kita bisa berangkat bersama-sama, saran Diana.
Ide yang bagus. Ferry tersenyum senang.
*** Marissa melihat kemesraan di antara keduanya, dan tersenyum. Ia pernah melihat kalung itu di masa depan. Satu di kotak perhiasan Mami, dan yang satu lagi di laci meja kerja Papi. Rupanya keduanya masih menyimpan kalung yang berumur dua puluh tahun itu.
Mereka masih menyimpan kalung itu, ungkapnya perlahan pada Wiliam. Mereka benar-benar saling mencintai.
Wiliam memandang Marissa, lalu kepada kedua orangtuanya. Mereka beruntung, katanya.
Marissa memandang langit di atasnya dan mendesah. Kapan ya aku bisa mendapatkan cinta seperti mereka" Aku tidak mau patah hati lagi.
Kakak pasti akan mendapatkannya suatu saat, seru Wiliam, berusaha menghibur.
Marissa menatap Wiliam curiga. Hei, tunggu dulu! Bocah ini ternyata selain bisa berkomentar sinis, dia bisa juga berkomentar manis, dan anehnya perkataan Wiliam menenteramkan hatinya.
Wiliam, menurutmu aku bisa mendapatkan cinta seperti orangtuaku"
Wiliam mengangkat bahu. Bisa saja, kalau Kakak tidak rakus makan.
Hei, potong Marissa. Kau menyindirku, ya" Aku kan hanya mengatakan kenyataan, kata Wiliam. Tawa kedua orangtuanya mengalihkan perhatian Marissa. Ia melihat Papi sedang membeli makanan dan mem"berikannya kepada Mami. Mami memakannya dan menyuapi Papi. Saat ada sisa saus di mulut Papi, Mami membersihkannya dengan sapu tangannya.
Marissa tersenyum lega melihat itu.
Aku benar-benar merindukan mereka. Aku ingin berlari ke sana dan memeluk mereka, namun aku tidak bisa melakukannya, bukan"
Kakak akan bertemu mereka sebentar lagi, kata Wiliam perlahan. Bukankah Kakak mengatakan, saat ge"dung itu dibuka Kakak bisa kembali ke masa depan"
Marissa menatap Wiliam dengan saksama. Sekarang kau percaya bahwa aku berasal dari masa depan" Sejak kapan"
Sejak Kakak melahap semua permen dan cokelat waktu itu. Kakak terkesan seperti baru pertama kali memakannya, kata Wiliam.
Aku senang kau memercayaiku, Wiliam. Lagi pula, lanjut Wiliam, Kakak tidak pandai berbohong.
Marissa tersenyum. Ya, kau benar soal itu. Bisakah kita berjalan-jalan lagi" tanya Wiliam. Ayo! ajak Marissa.
*** Ayo, Wiliam! Tembak terus!! teriak Marissa berse"mangat.
Beberapa saat yang lalu mereka tiba di sebuah arena game komputer. Saat arena itu mengadakan lomba game Space Invaders, Marissa langsung meminta Wiliam mengikuti perlombaan itu. Siapa pun yang bisa mencetak angka paling tinggi selama sepuluh menit, dialah pemenang"nya.
Di sinilah mereka sekarang. Marissa tak henti-hentinya memberi semangat di sebelah Wiliam.
Kakak! teriak Wiliam, menyela di sela-sela permainannya.
Hah" Apa" tanya Marissa.
Jangan teriak-teriak di depan kupingku. Aku jadi tidak bisa konsentrasi, jawab Wiliam ketus.
Maaf, kata Marissa lagi. Aku tidak akan berteriakteriak lagi.
Saat sepuluh menit berlalu dan perlombaan dianggap selesai, salah seorang petugas arena memeriksa angka di masing-masing komputer. Kemudian, ia mengumumkan bahwa Wiliam-lah pemenangnya.
Marissa bertepuk tangan dan meloncat-loncat gembira. Wiliam mendapat jam tangan dan dua lusin cokelat wafer.
Wiliam, kau hebat! seru Marissa, ketika mereka keluar dari arena itu.
Kak, sudah malam nih. Aku ngantuk. Pulang yuk, katanya.
Marissa mengangguk, lalu keduanya berjalan pulang.
*** Marissa memasuki kamar Wiliam beberapa jam setelahnya. Wiliam, katanya. Aku punya hadiah untukmu. Ia mengeluarkan robot Voltus baru dan memberikannya kepada Wiliam.
Bagaimana" tanyanya. Sama persis kan dengan milikmu"
Untuk apa beli robot yang sama" tanya Wiliam. Milikmu kan aku rusak. Jadi, aku beli penggantinya, kata Marissa.
Wiliam mengambil robot yang ada di tangan Marissa dan menaruhnya di samping robot yang rusak. Terima kasih, katanya.
Marissa tersenyum. Ehmmm, ada satu hal lagi yang ingin aku minta.
Mau apa lagi" tanya Wiliam curiga. Aku minta cokelat wafernya, ya"
Tidak boleh, kata Wiliam. Kakak kan sudah beli banyak makanan. Wafer cokelat itu punyaku. Aku memenang"kannya.
Aku tahu, kata Marissa. Begini saja, aku tukar makan"an yang aku beli dengan cokelat wafernya ya, bagaimana" Atau& satu deh, aku minta satu saja. Wiliam tetap menggeleng. Tidak bisa.
Ditolak seperti itu, Marissa cemberut lagi. Ini anak pelit sekali! Apa dia tidak tahu bahwa aku tidak akan pernah lagi menikmati cokelat itu. Di masa depan cokelat itu sudah tidak ada.
Marissa melihat kelereng biru yang diincarnya di lemari mainan Wiliam. Melihat Wiliam sedang fokus memakai arloji barunya, Marissa mengambil kelereng itu dan berjalan ke luar kamar. Wiliam tidak akan kehilangan kelereng ini. Lagi pula, dia masih punya banyak, ratusan malah, katanya dalam hati.
Marissa meletakkan kelereng itu di laci meja kamarnya. Aku akan membawa kelereng ini pulang bersamaku.
Tiba-tiba perutnya terasa sakit. Marissa membuka pintu kamar, lalu berlari ke kamar mandi.
Mendengar suara langkah Marissa, Wiliam menengok ke luar kamar. Dilihatnya Marissa berlari ke kamar mandi sambil memegangi perutnya.
Itulah akibatnya kalau makan terlalu banyak! teriak Wiliam.
Diam, Wiliam!! geram Marissa.
Aku kan sudah beritahu. Kakak rakus sih! seru Wiliam.
Tutup mulutmu! Aduh& aduh& sakit sekali! teriak Marissa. Jangan menggangguku lagi, Wiliam. Kakak tidak mau cokelat waferku" goda Wiliam. Wiliam! teriak Marissa keras-keras. Pergilah ke kamarmu dan jangan ganggu aku lagi!
Wiliam masuk kembali ke kamar, lalu dia tertawa cekikikan.
*** Marissa memegangi perutnya dengan lega. Akhirnya, setelah dua jam di kamar mandi, perutnya bisa tenang juga. Tiba-tiba pintu depan terbuka. Tante Sarah masuk ke dalam rumah dengan langkah sempoyongan. Sesampainya di tangga atas, kakinya sudah mulai goyah. Untung saja Marissa ada di situ, ia memegangi tangan Tante Sarah dan memapahnya ke kamarnya.
Setengah sadar, Tante Sarah bergumam tidak jelas. Kau siapa, hah"
Saya Marissa, Tante, kata Marissa. Tante mengizinkan saya menginap di sini beberapa hari yang lalu. Tante Sarah mengangguk. Oh& ya& ya.
Marissa merebahkan Tante Sarah di atas tempat tidurnya dan menyelimutinya. Saat akan berlalu, Marissa mendengar suara tangisan di belakangnya.
Tante tidak apa-apa" tanya Marissa khawatir. Isakan tangis Tante Sarah semakin kencang. Apakah kau tahu& , isaknya, bagaimana rasanya kehilangan seorang kakak yang selalu melindungimu" Aku benarbenar me"rindukan dia. Kenapa dia harus pergi" Orangtuaku& kakak"ku& semuanya menghilang dari hadapanku. Aku tidak bisa hidup sendirian seperti ini.
Marissa menatap Tante Sarah dengan prihatin. Saya tidak punya kakak. Jadi, saya tidak tahu rasanya kehilangan kakak, namun Tante tidak sendirian. Tante masih punya Wiliam.
Anak itu, seru Tante Sarah. Anak itu mirip sekali dengan kakakku& . Sakit& sekali rasanya.
Marissa menghela napas. Sebaiknya Tante lebih sering meluangkan waktu bersama Wiliam.
Anak itu membenciku, katanya kesal.
Marissa menggeleng. Tidak! Wiliam tidak membenci Tante, dan saya yakin Tante juga tidak membencinya.
Kau tidak tahu apa-apa, kata Tante Sarah kesal, matanya perlahan membuka. Kesadarannya berangsur-angsur pulih.
Marissa menelan ludah. Saya memang bukan keluarga Tante, namun tidak perlu harus menjadi bagian keluarga untuk mengatakan bahwa Tante juga menyayanginya.
Kalau saja Tante mau meluangkan waktu bersama Wiliam.
Kau tidak berhak berkata seperti itu kepadaku, suara Tante Sarah terdengar ketus. Kau tidak tahu rasanya kehilangan semuanya.
Marissa terdiam sesaat dan menunduk. Kemudian, ia memberanikan diri menatap Tante Sarah.
Tante memang telah kehilangan kakak, katanya tegas. Tapi Wiliam"! Dia sudah kehilang"an ke"dua orangtuanya. Apakah Tante pernah memikirkan itu" Wiliam juga pasti merasa kehilangan. Sekarang, secara perlahan-lahan apakah Wiliam juga harus kehilang"an Tante"
Tante Sarah terdiam mendengar perkataan Marissa. Ia kembali menutup matanya. Pergilah! katanya. Marissa berjalan ke luar kamar dan mematikan lampu. Selamat malam, katanya, sebelum menutup pintu kamar.
B esok aku pulang! seru Marissa dalam hati. Ia bangun
dengan hati gembira. Hari ini adalah hari terakhirnya di masa lalu. Besok Gedung Albatross akan dibuka. Lukisan itu pasti akan ada di sana, dan ia akan kembali ke masa depan. Walaupun begitu, Marissa merasa sedih karena ia akan meninggalkan Wiliam. Hari ini, ia ingin berpamitan dengan Papi, lalu sesudahnya ia akan membawa Wiliam berjalan-jalan. Soal tempat, biar Wiliam saja yang memilih.
Selamat Pagi, Wiliam, sapanya, saat akan sarapan. Berlainan dengan suasana hati Marissa yang ceria, Wiliam malah terlihat murung. Hei, kenapa tampangmu murung begitu" Marissa duduk di sebelahnya. Cerialah sedikit. Aku tahu, kau pasti sedih aku mau pergi, ya. Wiliam tidak berbicara apa pun.
Bagaimana kalau sore ini kita main sepuasnya. Kau yang tentukan tempatnya, Marissa berkata lagi. Wiliam, aku tahu kau sedih, namun kau harus menger"ti bah"wa... Main" sela Wiliam.
Delapan 5 Juli 1988 Persona Non-Grata Marissa mengangguk sambil mengambil nasi dan sayur dari meja makan, Ya. Kau mau ke mana"
Entahlah, kata Wiliam. Hei, tidak usah sedih begitu, kata Marissa. Perkataan Wiliam yang berikutnya mengejutkan Marissa. Aku mau kelereng biruku dikembalikan. Hah" Kelereng biru apa" tanya Marissa, berlagak tidak tahu.
Kakak mengambilnya semalam, tuduh Wiliam. Aku& ehm& aku tidak mengambilnya, Marissa berusaha menyangkal. Sial! Kenapa dia bisa tahu" Kan ada ratusan kelereng di kaleng itu.
Tadi pagi aku lihat sudah tidak ada, Wiliam berkata, sambil menyipitkan matanya. Pasti Kakak yang ambil. Ya, kan"
Apa sih yang Wiliam lakukan setiap pagi" Melihat mainannya satu per satu"
Tidak, kata Marissa mencoba meyakinkan Wiliam. Aku tidak mengambil. Ia memasang tampang tidak bersalah.
Aku kan pernah mengatakan, Kakak bukan pembohong yang baik. Wiliam menyorongkan telapak tangannya di depan Marissa. Ayo, kembalikan!
Marissa meletakkan garpu dan sendoknya, lalu berlari ke kamarnya. Oke! Oke! Aku ambil.
Ini, katanya beberapa saat kemudian, sambil meletakkan kelereng biru itu di tangan Wiliam.
Wiliam mengambil kelerengnya, lalu meneruskan makannya, diikuti dentingan garpu dan sendok Marissa.
*** Arena kolam renang ramai dengan pengunjung. Marissa duduk di salah satu kursi, jemarinya dengan lincah memain"kan GemBot yang dibawanya tadi pagi. Pagi ini, Wiliam les berenang. Sesekali pandangannya tertuju pada Wiliam, melambaikan tangannya, lalu berkonsentrasi bermain GemBot lagi.
Setelah mencapai angka empat ratus, Marissa tersenyum-senyum sendiri. Sebentar lagi aku akan m"enyamai angka tertinggi Wiliam. Angka berhenti di empat ratus lima puluh. Marissa bangkit dari kursinya dan berteriak. Wiliam, aku mengalahkan angkamu! Akhirnya, aku mengalahkanmu juga!
Ia ingin memperlihatkan pencapaian angka itu kepada Wiliam, namun ia tidak melihat Wiliam di mana pun. Di mana dia" tanyanya. Ah, itu dia, baru muncul ke permukaan.
Marissa berlari ke tepi kolam renang. Lihat!! Ia menunjuk"kan GemBot di tangannya ke arah Wiliam. Aku ber"hasil mengalahkan angka tertinggimu. Aku memang hebat!
Wiliam membasuh air dari mukanya dan melihat GemBot di tangan Marissa. Jangan senang dulu, katanya. Kakak baru main Game A. Ia lalu menekan tombol Game B. Game B lebih sulit dari Game A.
Marissa kaget melihat angka tertingginya. Tujuh ratus tiga puluh lima. Marissa mencoba memainkan Game B selama beberapa menit.
Apa ini" Kok parasutnya bisa menyangkut di pohon segala" tanya Marissa bingung. Hanya dalam waktu lima menit, Marissa sudah game over.
Kakak coba kalahkan angka tertinggiku, ya, kata Wiliam perlahan, lalu kembali berenang.
Marissa duduk kembali di tempatnya semula, dan mencoba bermain Game B. Setelah satu jam dan angka yang bisa diraihnya hanya dua ratus, ia menyerah. Matanya me"lihat seorang penjual es krim, dan ia pun membelinya.
Es krim ini enak sekali, katanya, sambil melihat merek"nya. Woody. Aku belum pernah mencobanya.
Setelah menghabiskan tiga cup, ia beralih pada permen karet yang dibelinya semalam di PRJ. Ternyata pada bungkus permen karet itu ada gambar untuk tato. Marissa langsung meletakkan bungkus permen karet itu pada tangannya, dan mengolesinya dengan air. Sebuah tato kupu-kupu kecil kini tertera di tangannya.
Bagus sekali, katanya puas.
Mereka makan siang di warung dekat kolam renang. Aku akan mengantarmu pulang, kata Marissa di selasela makan siang mereka. Aku akan mengucapkan selamat tinggal kepada Papi. Setelah itu kita pergi main, bagaimana"
Wiliam mengangkat bahu. Terserah.
*** Ferry, seru Marissa di depan kelas Papi. Papi menoleh.
Marissa berjalan mendekati Papi, Bagaimana hubungan"mu dengan Diana" Baik-baik saja"
Papi mengangguk senang. Hari ini Diana akan datang, dan aku ingin mengungkapkan perasaanku kepadanya.
Oh, bagus, kata Marissa berseri-seri. Aku yakin kau bisa mengatakannya. Ehm& sebenarnya aku datang ke sini ingin mengucapkan selamat tinggal. Besok aku akan pergi.
Oh! seru Papi. Aku harap aku bisa bertemu denganmu lagi.
Marissa tersenyum. Tentu Papi akan bertemu denganku lagi. Di masa depan.
Aku hanya ingin mengatakan semoga hubunganmu dengan Diana berhasil, kata Marissa.
Terima kasih, kata Papi tulus, atas semuanya. Marissa tidak bisa menahan diri lagi, ia berjalan memeluk Papi erat-erat. Aku senang bisa membantumu.
Mulanya Papi terkejut, lalu ia tersenyum. Surat cinta buatanmu itu benar-benar bagus. Kalau tidak ada kau, aku tidak punya keberanian menelepon Diana. Omongomong, selama ini aku belum tahu namamu.
Marissa melepaskan pelukannya, baru akan memberitahu""kan namanya saat seseorang berteriak di belakang me"reka.
Teganya kau, Ferry!! teriak Diana. Aku kira kau berbeda. Ternyata semua pria sama saja.
Marissa terkejut melihat Mami menatapnya dengan pandangan menuduh sambil berteriak marah. Tunggu! kata Marissa. Kau salah paham.
Diam! teriak Mami kepada Marissa. Aku tidak mau berbicara kepadamu.
Diana! seru Papi perlahan. Kau benar-benar salah paham. Aku dan dia hanya berteman.
Aku melihatmu berpelukan dengannya, kata Mami, sambil berusaha menahan air matanya. Kau mengatakan surat cinta itu bukan buatanmu" Kau sudah berbohong kepadaku, Ferry. Aku tidak mau bertemu lagi denganmu.
Mami melangkah pergi, namun Papi menyentuh lengan Mami dan menghentikannya. Tunggu, Diana. Aku bisa menjelaskan semuanya.
Mami melepaskan tangannya dari genggaman Papi, lalu menatapnya dingin. Mulai hari ini kau masuk dalam daftar Persona Non-Grata-ku. Aku rasa kau tahu apa maksudnya.
Mami berlari ke luar kelas. Papi terlalu shock, sehingga hanya bisa terdu"duk terdiam. Marissa menyusul Mami. Ia harus menjelas"kan semuanya.
Tunggu, Diana! teriak Marissa. Dengarkan aku dulu! Mami tetap berlari, dan Marissa mengikuti di belakang""nya. Setelah berlari selama lima belas menit, Mami ber"henti dan menoleh ke belakang. Berhenti mengikutiku!
Aku ingin menjelaskan semuanya, kata Marissa. Kau sudah salah paham. Aku dan Ferry hanya berteman.
Marissa melangkah mendekat, namun Mami menghentikan"nya. Jawab saja pertanyaanku. Apakah surat cinta yang Ferry berikan kepadaku itu buatanmu" Dengan berat hati Marissa mengangguk.
Hanya itu saja yang ingin kuketahui, kata Mami tegas.
Marissa menggeleng. Tunggu!! Ferry sungguh-sungguh mencintaimu. Aku sudah melihat kalian tertawa bersama dan nonton bersama. Perasaan kalian tidak bisa bohong.
Ya, ampun! Kau memata-mataiku"! teriak Mami kesal.
Tidak. Tidak. Bukan seperti itu, jelas Marissa, sambil menyesali kebodohannya karena telah membuat Mami curiga. Mungkin kalian belum tahu, suatu saat kalian ber"dua benar-benar akan menjadi orang yang sangat berarti bagiku. Tolong, berilah Ferry kesempatan! Dia telah mencintaimu selama lebih dari sepuluh tahun.
Mami terdiam sebentar. Ia menarik napas, lalu berkata, Kau bukan dia. Bagaimana kau tahu perasaan dia yang sesungguhnya"
Aku tahu karena aku anaknya, dan aku anakmu juga. Aku sudah melihat bukti cinta kalian selama delapan belas tahun. Ingin rasanya Marissa berteriak seperti itu. Tapi ia tahu, Mami tidak akan memercayainya.
Melihat Marissa terpaku, Mami berjalan menjauhinya. Marissa jatuh terduduk di lantai. Ia mengacaukan semuanya. Ia sedih sekali, sampai-sampai tak kuasa menahan tangisnya.
*** Perjalanan pulang ke rumah Wiliam dilalui Marissa dengan langkah gontai. Pikirannya tidak bisa lepas dari per"selisihan Papi dan Mami. Marissa membuka pintu dan masuk ke dalam rumah.
Wiliam sudah menunggunya.
Kakak sudah pulang" katanya gembira. Ayo, kita pergi! Suara Wiliam terhenti melihat tampang Marissa yang pucat.
Ada apa" tanyanya bingung
Marissa menangis lagi. Aku mengacaukan semuanya, Wiliam. Mereka tidak bisa bersatu karena aku. Tadi aku menemui Papi, aku tidak bisa menahan perasaanku dan me"meluknya. Mami melihat hal itu dan langsung marah. Bagai"mana bisa Mami curiga kepadaku" Aku kan anaknya.
Ibumu tidak tahu hal itu, ungkap Wiliam. Aku gagal! teriak Marissa putus asa. Aku sudah berusaha menjelaskannya, namun Mami tidak mau mendengarku. Bisakah kaubayangkan" Mami cemburu kepadaku. Anaknya sendiri. Aku benar-benar mengacaukan se"mua"nya.
Kakak, panggil Wiliam, bingung apa yang harus ia laku"kan untuk menghibur Marissa. Kakak jangan bersedih. Kakak bisa mencoba menjelaskan lagi. Kita pergi ke rumah ibumu, lalu kakak bisa menjelaskan semuanya.
Marissa menggeleng. Mami tidak mau bertemu ataupun berbicara denganku lagi. Aku benar-benar payah. Aku tidak bisa menyelamatkan hubungan orang"tuaku. Sekarang aku tidak tahu apa yang akan terjadi padaku. Menurutmu, kalau orangtuaku tidak bersatu, apa"kah aku akan menghilang"
Aku tidak tahu, Wiliam menjawab jujur. Mengapa aku harus mengacaukan segalanya"! teriak Marissa putus asa. Seminggu yang lalu, aku hanya ingin kembali ke rumahku, dan tiba-tiba aku ada di masa yang asing. Mengapa aku harus berbicara pada lukisan konyol itu" Aku menghancurkan semuanya! Semuanya!!
Wiliam menggenggam tangan Marissa untuk pertama kalinya. Kakak tidak mengacaukan semuanya. Kakak menyelamatkanku, ingat" Malam itu Kakak dengan berani menyelamatkanku dari kecelakaan mobil.
Aku tahu, kata Marissa. Orang lain pun akan melakukan hal yang sama untukmu.
Wiliam menggeleng. Kakak tidak mengerti. Malam itu aku tidak ingin diselamatkan.
Perhatian Marissa kini beralih kepada Wiliam. Apa mak"sudmu"
Aku memang sengaja ada di tengah jalan. Aku ingin mobil itu menabrakku, kata Wiliam.
Mengapa kau melakukan itu" tanya Marissa bingung. Kakak pikir hanya hidup Kakak yang hancur" teriak Wiliam. Aku juga telah menghancurkan hidup ayah dan ibuku.
Apa maksudmu" Marissa semakin bingung. Bukankah kaukatakan kedua orangtuamu sudah meninggal"
Ya. Kecelakaan mobil, kata Wiliam perlahan. Kakak ingin tahu mengapa mereka meninggal" Semua karena aku. Aku meminta mereka membelikan robot Voltus di ka"marku itu. Aku tahu mereka sudah lelah, namun aku merengek-rengek ingin robot itu. Semua temanku memilikinya, dan aku juga menginginkannya. Akhirnya, Mama dan Papa pergi untuk membelikan robot itu untukku. Itu adalah terakhir kalinya aku melihat mereka. Mereka tidak pernah pulang, padahal besoknya kami bertiga akan pergi ke pantai. Aku membunuh mereka. Kau tahu apa yang menyedihkan dari semua itu" Mobil ayahku benar-benar rusak, namun mainan robot di dalamnya sama sekali tidak hancur.
Marissa tertegun mendengar penjelasan Wiliam. Wiliam, kau tidak tahu. Itu bukan salahmu.
Kalau saja waktu itu aku tidak memaksa mereka mem""beli mainan, Mama dan Papa pasti masih hidup sam"pai sekarang, kata Wiliam, air mata membasahi pi"pi"nya.
Marissa langsung memeluk Wiliam erat-erat. Dielusnya rambut Wiliam dengan lembut. Semuanya bukan kesalahanmu, Wiliam. Orangtuamu tidak akan menyalahkanmu karena itu memang bukan salahmu. Sama sekali bukan salahmu. Kematian orangtuamu adalah ke"celakaan. Bukan salahmu. Kecelakaan itu dapat terjadi kapan saja, Wiliam.
Rupanya selama ini Wiliam telah memendam perasaan yang sangat menyakitkan. Itulah sebabnya mengapa Wiliam terlihat lebih dewasa dari umurnya. Dia telah berhenti menjadi seorang anak kecil saat orangtuanya meninggal.
Kenapa aku tidak mati saja bersama mereka" Hari itu, aku marah sekali karena Kakak telah menyelamatkanku, kata Wiliam, sambil menangis terisak-isak di pelukan Marissa.
Stttt& Wiliam& jangan berkata seperti itu! kata Marissa menenangkannya. Orangtuamu pasti menginginkanmu hidup. Jangan pernah melakukan hal konyol seperti itu lagi. Kau tidak boleh menyia-nyiakan hidupmu. Kau masih punya banyak hal untuk dilakukan.
Keduanya berpelukan entah sampai berapa lama. Keduanya menangis.
Rasa dingin yang menjalar di sekujur tubuh Marissa membuatnya melepaskan pelukannya. Wiliam, apakah kau merasa kedinginan"
Wiliam menggeleng. Tidak.
Aneh, seru Marissa perlahan. Aku merasa kedinginan.
Wiliam membantu Marissa berdiri. Kalau begitu, Kakak istirahat saja di kamar.
Marissa mengangguk. Rasanya ia memang harus istirahat. Badannya lemas semua.
Marissa berbaring di kamarnya. Wiliam ada di sampingnya sambil membantu menyelimutinya. Kakak ingin minum air hangat" tanyanya khawatir.
Marissa menggeleng. Aku& lelah sekali& dingin& dingin sekali& . Marissa gemetar.
Kakak! teriak Wiliam lagi. Apa yang Kakak rasakan"
Marissa berusaha membuka matanya, dan menatap mata Wiliam yang khawatir. Dingin. Dingin sekali.
Aku akan bawa selimutku kemari biar hangat. Tunggu ya, Kak. Wiliam berlari ke kamarnya dan membawa selimutnya, lalu menaruhnya di atas tubuh Marissa.
Kakak sudah merasa lebih hangat" tanyanya lagi. Marissa tidak menjawab. Sekujur tubuhnya gemetaran. Dingin sekali, katanya.
Wiliam bingung setengah mati. Ruangan kamar sangat panas. Kenapa Marissa malah kedinginan"
Mami& Papi, kata Marissa mengigau. Aku minta maaf.
Ucapan Marissa itu membuat Wiliam berpikir. Orangtua Marissa. Kalau mereka tidak bersatu maka Marissa tidak akan dilahirkan. Tidak! Tidak! Ini tidak boleh terjadi! Marissa tidak boleh meninggal!
Kakak, katanya lagi, sambil mengguncang-guncang bahu Marissa. Bangun! Kakak harus bangun!!
Marissa membuka matanya kembali perlahan-lahan. Tatapan mata khawatir Wiliam adalah hal terakhir yang ia lihat sebelum semuanya menjadi gelap.
Kakak& Kakak!! teriak Wiliam.
Marissa tidak terbangun mendengar teriakan Wiliam. Wajah Marissa pucat pasi. Sekujur tubuhnya sedingin es. Napasnya terengah-engah. Wiliam menangis. Kakak, jangan pergi!
*** Ferry menunggu seharian di depan rumah Diana. Dia tahu Diana ada di rumah. Dia juga tahu Diana tidak mau menemuinya. Ferry menarik napas panjang. Aku harus menjelaskan semuanya, tekadnya.
Diana! teriaknya lagi. Bisakah kau menemuiku" Tetap tidak ada jawaban dari kamar Diana. Suara pintu dibuka membangkitkan harapan di hati Ferry. Papa Diana keluar menemuinya.
O0m, kata Ferry, saya ingin menjelaskan semuanya. Semuanya hanya salah paham. Saya benar-benar menyayangi anak O0m. Izinkan saya bertemu dengannya.
Papa Diana berkata, Aku tahu kau anak baik, Ferry. Saat ini Diana sedang mengurung diri di kamar. Lebih baik kau kembali lain waktu.
Tetapi, O0m, protes Ferry.
Anak O0m keras kepala, Ferry, kata papa Diana lagi. Sebaiknya kauberi dia waktu untuk menenangkan diri terlebih dahulu.
Bisakah Oom sampaikan kepada Diana bahwa saya benar-benar menyukainya" tanya Ferry.
Papa Diana tersenyum tipis. Lebih baik kausampaikan sendiri hal itu kepada Diana. Sekarang, pulanglah! Kau sudah menunggu cukup lama. Diana tidak akan turun. Tidak ada gunanya menunggunya lagi. Nanti kalau dia sudah tenang, kau bisa kembali lagi.
Ferry mengangguk. Baiklah. Saya pulang dulu, Oom. Permisi.
Diana memandang Ferry dari balik jendela kamarnya. Ia me"lihat motornya semakin menjauh. Diana menangis sedih sesudahnya.
*** Semalaman Wiliam menjaga Marissa. Tubuhnya tetap sedingin es, walaupun Wiliam sudah mengompresnya dengan air hangat. Dia sudah kehabisan ide. Jam sudah menunjukkan tengah malam. Tidak ada dokter yang mau datang jam-jam seperti ini. Wiliam membawa selimut dari kamar kedua orangtuanya. Sebelum pergi ia memandang foto mama dan papanya. Mama& Papa, katanya memohon. Aku tidak ke"beratan kalau nanti dia pergi meninggalkanku untuk kembali ke masanya. Tapi aku ingin dia sehat lagi. Kalau dia sembuh, aku berjanji akan jadi anak yang baik.
Wiliam menatap foto kedua orangtuanya dan menangis tersedu-sedu.
Setelah tangisnya mereda, dia kembali ke kamar Marissa dan menemaninya.
*** Sarah mengemudikan mobilnya sambil mengantuk. Dia tidak tahu sudah berapa lama dia mengemudi. Jam di mobil menunjukkan pukul lima pagi. Efek alkohol dari minuman yang diteguknya mulai terasa. Kepalanya terasa me"layang-layang. Sesaat dia bahkan sempat menutup matanya.
Tiba-tiba sebuah cahaya lampu mobil yang menyilaukan diiringi suara klakson yang keras membangunkan Sarah dari rasa kantuknya. Ia melihat ada mobil di depannya, yang pasti akan menabraknya jika dia tidak meng"hindar.
Tangannya langsung mencengkeram kemudi dan dengan refleks membelokkan mobilnya ke pinggir jalan. Kaki"nya menginjak rem kuat-kuat. Mobil terhenti tak lama kemudian. Wajah Sarah terbenam pada kemudi mobil. Ia tidak bergerak selama beberapa waktu. Jantungnya ber"pacu tidak keruan. Perlahan-lahan, Sarah mulai membuka matanya. Tangannya meraba bekas benturan di kening"nya.
Auww! teriaknya, saat menyadari keningnya terluka. Ia beristirahat sejenak, lalu mengambil tasnya. Saat hendak mengambil saputangan untuk mengusap lukanya, sehelai foto terjatuh ke kursi penumpang. Sarah mengambil foto itu. Foto kakaknya bersama dirinya di masa kecil.
Sarah menangis keras-keras sesaat setelah melihat foto itu. Kini dirinya benar-benar sadar sepenuhnya. Nyawanya hampir saja melayang tadi. Bukan itu saja, setelah dua kecelakaan yang merenggut nyawa keluarganya, Sarah tidak mau menjadi kecelakaan yang ketiga. Ia belum mau mati.
Kakak, katanya perlahan, kau datang untuk menyadar"kanku, ya"
Senyum kakaknya di foto seakan-akan telah menjawab pertanyaan yang diajukan Sarah.
Maafkan aku, katanya lagi. Aku telah mengabaikan hidupku. Setelah kehilanganmu, aku jadi tidak punya tujuan hidup. Kau selalu menjagaku. Aku baru sadar, Kakak pasti tidak ingin aku menyia-nyiakan hidupku, kan" Karena aku masih punya tanggung jawab terhadap Wiliam.
Jemarinya mengelus foto itu dengan penuh kelembutan. Maafkan aku, Kak. Dulu kakak selalu menjagaku, dan kini giliranku menjaga Wiliam, anak Kakak. Bukan"kah begitu yang Kakak inginkan" Aku sudah sadar seka"rang. Aku berjanji kepada Kakak. Aku akan menjaga Wiliam apa pun yang terjadi.
Sarah menghapus air matanya, dan tersenyum. Ia melihat keadaan di sekitarnya. Terus terang, ia tidak tahu di mana ia berada saat ini. Ia langsung menghidupkan mobilnya dan bergegas mengendarainya pulang.
Tunggu saja, Wiliam, katanya dengan semangat baru, Tante pasti pulang dan menemuimu hari ini.
P agi sudah datang. Wiliam meraba kening Marissa. Ma-
sih dingin. Semalaman Marissa sama sekali tidak bangun. Wiliam menatap Marissa lagi. Dia tahu Marissa tidak akan bertahan lebih lama lagi.
Wiliam bangkit berdiri. Aku berjanji padamu& kau akan pulang hari ini. Ia lalu meninggalkan sebuah pesan untuk Marissa, berlari ke luar rumah, mengambil sepeda yang diparkir di halaman dan pergi. Wiliam mengayuh sekuat tenaga. Setibanya di depan rumah papa Marissa, dia turun dari sepeda dan menggedor pintu rumah itu berkali-kali.
Ferry keluar untuk melihat siapa yang ada di luar rumah"nya. Ya" tanyanya bingung. Ia heran melihat ada anak kecil berdiri di depan rumahnya. Ada apa"
Kau harus pergi menemuinya! teriak Wiliam. Apa" tanya Ferry bingung. Kau siapa"
Wiliam menggeleng. Itu tidak penting. Kau harus me-
Sembilan 6 Juli 1988 Selamat Tinggal, Wiliam nemui Diana. Sekarang! Kau harus menemuinya supaya kau bisa menyelamatkan Marissa. Ia sedang sekarat!
Ferry semakin bingung, Aku tidak mengerti apa yang kaukatakan. Siapa kau" Bagaimana kau bisa tahu tentang Diana"
Wiliam menarik tangan Ferry ke arah motor bebeknya. Temui Diana sekarang! Pergilah!
Tetapi& ! seru Ferry masih bingung.
Kau mencintai Diana, bukan" Kau harus mengatakan perasaanmu kepadanya. Apa pun yang terjadi! teriak Wiliam.
Ferry mendesah. Diana tidak mau menemuiku. Jadi, kau akan menyerah begitu saja" tanya Wiliam kesal. Hanya sampai sebegitukah rasa cintamu kepadanya"
Hei, protes Ferry, aku benar-benar mencintainya. Kalau begitu, pergi dan katakan kepadanya! desak Wiliam.
Oke. Oke. Aku pergi! kata Ferry, sambil menaiki motor""nya.
7 Hari Menembus Waktu Karya Charon di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Wiliam merasa lega. Se"belum pergi, Ferry berbalik menatap Wiliam lagi, Kau sebenarnya siapa" Apakah aku mengenalmu"
Wiliam menggeleng. Kau tidak mengenalku. Aku mengenalmu.
Ferry mengernyit, ia kebingungan.
Sudahlah, kata Wiliam. Tidak ada waktu untuk menjelaskan.
Tak berapa lama kemudian, Ferry pergi dengan motor be"beknya. Wiliam mengendarai sepedanya, ia ingin secepat"nya menemui Marissa. Kakak bertahanlah! katanya dalam hati.
Ketika Wiliam memasuki jalan rumahnya, segerombolan anak menghalangi jalannya. Wiliam turun dari sepedanya.
Halo, Wiliam, sapa anak yang paling besar. Sudah lama kita tidak bertemu. Kau masih ingat aku, kan"
Wiliam panik. Sial! keluhnya. Aku tidak bawa uang hari ini.
Di mana penjagamu hari ini, hah" tanya anak yang lain. Dia sudah pergi, ya" Kau tidak bisa menghindari kami selamanya.
Mereka berkerumun mendekati Wiliam. Tiga orang di antara mereka menendang sepeda Wiliam sampai rusak. Wiliam menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Bersiap-siap menerima pukulan.
*** Sementara itu, di kamarnya Diana duduk di meja belajar dengan kesal. Matanya memandang seuntai kalung. Diangkatnya kalung pemberian Ferry dua hari yang lalu.
Aku benci kamu! katanya, dengan nada kesal pada kalung itu.
Mengapa" Mengapa kau mengkhianati aku"! teriaknya dalam hati. Mengapa hatiku bisa sesakit ini" Saat aku putus dengan Jimmy, aku hanya merasa kesal, tidak sakit hati. Kini, saat melihat kau memeluk perempuan lain, hatiku terasa sakit.
Diana membuka laci mejanya dan menaruh kalung itu di sana. Seakan-akan tindakan itu bisa mengubur kenangannya bersama Ferry. Saat hendak menaruh kalung itu, Diana melihat sebuah buku. Ia mengambilnya dan membukanya.
Ternyata buku kenangan saat dia di SD dulu. Aku sudah lama tidak pernah membukanya, katanya dalam hati. Di dalam buku itu terdapat biodata semua teman SD. Nama, umur, hobi, cita-cita, dan yang lainnya.
Ia melihat halaman pertama. Di situ tertulis biodata dirinya. Melihat hal itu Sarah sedikit terhibur. Banyak kenangan manis yang ia lalui sewaktu SD. Halaman demi halaman dibukanya buku kenangan itu, raut wajah teman-teman SD-nya kembali bermunculan.
Saat hendak menutup buku kenangan itu, Diana melihat halaman terakhirnya. Ia tidak pernah melihat halaman terakhir buku kenangan ini sebelumnya karena buku itu hanya terisi separonya.
Siapa yang mengisi pada halaman terakhir bukuku" tanyanya penasaran.
Ia melihatnya, dan seketika itu juga tercengang. Tatapan matanya tertuju pada bagian cita-cita. Diana menutup mukanya dan menangis.
Buku kenangan itu tetap terbuka pada halaman terakhir.
Nama : Ferry Umur : 12 tahun Hobi : Baca buku
Cita-cita: Ingin membuat Diana bahagia ***
Satu jam kemudian& Ferry bergegas turun dari motor sesampainya di rumah Diana. Dia berhenti di depan pintu pagar dan menarik napas. Diana! teriaknya. Aku tidak akan pergi sebelum berbicara kepadamu! Aku mohon, turunlah!
Dari atas dan jendela kamarnya, Diana melihat Ferry me"mandangnya dengan putus asa.
Melihat Diana di jendela kamarnya, Ferry ter"senyum. Diana! teriaknya lagi.
Diana kesal, ia menutup gorden jendelanya. Di bawah, Ferry mendesah putus asa. Diana, ayolah! Temui aku!
Seseorang mengetuk pintu kamar Diana. Diana membuka pintu kamarnya dan melihat ayahnya berdiri di sana. Boleh Papa masuk" tanyanya.
Diana mempersilakan papanya masuk, lalu menutup pintu kamarnya.
Kau tidak bisa membiarkannya di luar terus, Diana, kata papanya. Kau harus menemuinya cepat atau lambat.
Aku benci kepadanya, Pa, kata Diana kesal. Dia sudah berbohong kepadaku.
Papa Diana mengangguk. Apakah dia sudah menjelaskan mengapa dia berbuat demikian"
Diana menggeleng. Aku tidak memberinya kesempatan.
Hmmm, seru papanya lagi. Lebih baik kautemui dia dulu. Suruh dia menjelaskan. Kalau saat itu kau masih tidak bisa menerimanya, barulah kauputuskan untuk tidak menemuinya lagi. Pria itu sepertinya sungguhsungguh menyukaimu. Setidaknya beri dia satu kesempatan. Bagaimana"
Diana menghela napas panjang. Ya, Papa benar. Aku akan menemuinya.
Papa Diana memeluk anaknya. Aku tahu kau tidak akan menyesalinya.
Papa selalu tahu apa yang terbaik untukku, kata Diana, sambil tertawa.
Papanya melepaskan pelukannya. Tentu saja. Selain itu, sebenarnya& ehmm& Papa malu kepada tetangga karena ada orang yang teriak-teriak di depan rumah sepagi ini.
Diana tertawa terbahak-bahak. Dasar Papa. Akhirnya, Diana keluar dan menemui Ferry. Jelaskan, katanya, tanpa basa-basi.
Terima kasih karena kau mau menemuiku, kata Ferry. Diana, aku benar-benar menyukaimu, tidak pernah ada orang lain lagi. Aku baru mengenal gadis itu beberapa hari yang lalu. Aku bahkan tidak tahu siapa namanya. Dia selalu muncul tiba-tiba di hadapanku. Dia me""ngatakan akan membantuku mengenalmu karena aku telah menyelamatkannya waktu itu& entahlah, aku sendiri tidak tahu mengapa dia mau melakukan"nya. Surat cinta itu, sela Diana. Dia yang buat" Ya, jawab Ferry jujur.
Tidakkah kau sadar kau telah membohongiku" tanya Diana kesal.
Aku bukan orang yang pandai menulis kata-kata indah, puisi atau kata-kata romantis. Terus terang semua kata-kata itu tidak ada gunanya. Kau lebih dari deretan kata-kata itu. Kata-kata itu tidaklah penting. Kaulah yang terpenting. Perasaanku kepadamu adalah nyata. Aku hanya bisa mengatakan bahwa aku mencintaimu, Diana. Percayalah kepadaku, aku tidak pernah menyukai gadis lain selain dirimu. Setiap hari kita bersama, aku senang sekali. Dalam mimpi pun aku tidak percaya gadis secantik kau mau keluar denganku.
Diana terdiam mendengar semua penjelasan itu. Ferry berkata lagi, Aku hanya ingin mengungkapkan perasaanku dan menjelaskan semuanya. Aku tidak akan memaksamu untuk mencintaiku ataupun menerimaku. Aku hanya ingin kau bahagia. Apa pun pilihanmu, aku akan selalu mendukungmu.
Ferry mendesah. Hanya itu yang ingin aku katakan. Melihat tidak ada jawaban dari Diana, Ferry menunduk lemas. Diana tidak memaafkanku, katanya dalam hati.
Aku sudah menjelaskan semuanya, Diana, lanjut Ferry perlahan. Semoga kau selalu berbahagia. Kakinya beranjak melangkah pergi.
Tunggu dulu!! teriak Diana Ferry menoleh lagi.
Seenaknya saja kau pergi begitu saja! teriak Diana. Ia membuka pintu pagar rumahnya dan berjalan mendekati Ferry. Apa kau tidak tahu bahwa aku menderita semalaman" Dasar idiot! Aku juga menyukaimu. Itulah sebabnya aku merasa sakit hati.
Ferry langsung memeluk Diana. Terima kasih kau mau menerimaku.
Diana tersenyum dalam pelukan Ferry. Justru seharusnya aku yang mengatakannya. Kau satu-satunya pria yang bisa menerimaku apa adanya.
Ferry tersenyum bahagia. Akhirnya, dia bisa mendapatkan hati gadis pujaannya.
*** Marissa membuka matanya perlahan. Rasanya ia telah tertidur selama berhari-hari. Badannya lemas. Apa yang terjadi" katanya, sambil bangkit dari ranjang. Sehelai kertas di atas meja menarik perhatian Marissa. Ia membacanya.
Kak Marissa, Aku pergi menemui ayah Kakak.
Kakak jangan khawatir, aku pasti akan membereskan semuanya.
Wiliam Oh, Wiliam, keluh Marissa, sambil berlari ke luar kamar"nya. Sepeda yang biasanya terparkir di halaman tidak ada di tempatnya. Marissa tahu Wiliam pergi membawanya. Ia keluar dari rumah dan berlari menuju rumahnya.
Di tengah jalan, Marissa berhenti. Ia melihat Wiliam sedang dikerumuni segerombolan anak, tak jauh dari tempatnya berdiri.
Marissa bergegas mendekati mereka dan menyelamatkan Wiliam.
*** Wiliam sudah bersiap-siap menerima pukulan. Saat seorang anak yang bertubuh paling besar mendekatinya, Wiliam menyadari bahwa dia ingin melawan. Dia tidak mau diperlakukan seperti ini lagi. Wiliam membuka kedua tangannya dan menatap anak di depannya.
Apa! teriak anak itu. Berani kau memandangku seperti itu"
Kau hanya seorang pengecut, yang bisanya main keroyokan. Kalau berani, ayo lawan aku, satu lawan satu, tegas Wiliam.
Anak itu tertawa terbahak-bahak. Ha& ha& ha, kaupikir aku tidak berani" Lucu sekali. Kau ingin berkelahi denganku" Baiklah aku ladeni!
Anak itu segera mengambil ancang-ancang. Dia mengepalkan tangannya dan mengayunkannya ke muka Wiliam. Wiliam menunduk, menghindari ayunan tangan anak itu, lalu dia menendang kaki lawannya keras-keras.
Anak itu langsung jatuh terduduk dan meringis kesakitan. Anak-anak yang lain hanya bisa diam melihat perkelahian itu.
Jangan ganggu aku lagi, kata Wiliam memperingatkan. Ia menatap anak-anak yang lain. Kalau kalian tidak mau bernasib sama seperti dia, sebaiknya kalian menyingkir. Di belakangnya, Marissa memperhatikan semua adegan itu dengan bangga. Wiliam telah berhasil membela dirinya sendiri.
Wiliam meraih sepedanya, dan berjalan melewati lawannya. Matanya menatap se"orang gadis yang berdiri tak jauh di depannya, lalu dia tersenyum lebar. Kakak! teriaknya, sambil berlari. Kakak sudah bangun.
Aku sudah baikan sekarang, kata Marissa ketika Wiliam sampai di depannya. Aksi yang bagus sekali.
Wiliam tersenyum. Ya. Kali ini aku punya alasan untuk menghajar mereka.
Marissa menepuk-nepuk kepala Wiliam. Apakah kau menemui ayahku"
Wiliam mengangguk. Dia sudah pergi menemui ibu Kakak. Aku rasa dia berhasil.
Ya, dia berhasil, ulang Marissa sambil tersenyum. Ayo kita pergi ke pantai! ajak Marissa. Wiliam mendongak. Sungguh"
Marissa mengangguk. Ya, aku ingin menghabiskan hari ini bermain denganmu di pantai, bagaimana"
Bukankah Kakak harus pulang hari ini" tanya Wiliam. Gedung baru itu kan bukanya hari ini.
Lukisan itu tidak akan ke mana-mana, sahut Marissa. Aku akan ke sana sesudah kita bermain di pantai.
Wiliam tersenyum. Baiklah. Kalau begitu, aku mandi dulu dan ganti baju. Habis itu, kita pergi ke pantai, ya. Marissa mengangguk.
*** Marissa mengenakan gaun putih miliknya yang ia kenakan seminggu yang lalu. Hari ini ia akan kembali. Ada perasaan sedih menggelayuti hatinya. Marissa duduk di meja kamar, mengambil selembar kertas, lalu menulis surat.
Tante Sarah, Saya akan pergi hari ini. Saya tidak tahu kapan kita bisa bertemu lagi. Ada beberapa hal tentang Wiliam yang ingin saya sampaikan.
1. Jangan pernah suruh Wiliam ikut lomba menyanyi. Suaranya sangat parah. Apalagi kalau men"dengar dan menyanyi malam-malam, bisa membuat kepala pening keesokan harinya.
2. Bila Wiliam sakit, temani dia. Dia masih merindukan kedua orangtuanya.
3. Jangan pernah memberi Wiliam masakan gosong. Dia bisa mendeteksinya dengan cepat, sejago apa pun Tante menyembunyikan kegosongan makanan itu.
4. Jangan pernah mengambil satu pun mainan yang ada di lemari Wiliam. Entah bagaimana, Wiliam bisa tahu, padahal ada ratusan mainan di situ.
5. Yang terakhir, Wiliam tidak suka disentuh. Akan tetapi, sesekali kalau sedang sedih Tante boleh memeluknya. Wiliam tidak akan mencoba melepaskan pelukan itu.
Tidak sulit untuk menyukai Wiliam. Saya hanya membutuhkan tujuh hari untuk itu. Tante masih punya banyak waktu bersamanya. Habiskan waktu dengannya, dan Tante akan menyadari bahwa Wiliam anak yang hebat. Bahkan lebih hebat dari saya.
Terima kasih karena telah mengizinkan saya tinggal di sini.
Marissa Marissa melipat surat itu dan membawanya turun. Ia menemui Bi Ijah dan berpamitan kepadanya. Selamat tinggal, Bi Ijah, kata Marissa. Terima kasih atas bantuannya selama ini.
Selamat tinggal, Non! kata Bi Ijah. Jaga diri baikbaik.
Terima kasih, Bi. Marissa memeluk Bi Ijah dengan erat. Sesudahnya ia memberikan surat yang ditulisnya kepada Bi Ijah. Tolong Bibi berikan surat ini pada Tante Sarah. Sepertinya Tante tidak ada di rumah hari ini.
Bi Ijah mengangguk. Ya, Non. Nanti Bibi sampaikan.
Kak Marissa, panggil Wiliam dari ruang tamu. Ayo kita pergi!
Saya pergi dulu, Bi, kata Marissa. Hati-hati! seru Bi Ijah.
*** Marissa mengajak Wiliam ke rumah ibunya terlebih dahulu sebelum mereka pergi ke pantai. Di sana, Marissa melihat papi dan maminya sedang berpegangan tangan di depan pekarangan rumah. Mereka tersenyum dan tertawa bersama.
Aku akan menemui kalian lagi di masa depan, kata Marissa perlahan.
Setelah itu, Marissa pergi ke pantai bersama Wiliam. Mereka berlarian di atas pasir dengan bertelanjang kaki. Marissa tidak peduli gaunnya kotor lagi. Mereka mendirik an istana pasir, dan merasa sedih ketika istana itu hanyut dibawa ombak. Benar, kan! Kataku tadi juga apa. Kakak membuatnya terlalu dekat ke laut, kata Wiliam.
Ya, sudahlah, kata Marissa. Ayo, kita buat lagi! Kali ini yang agak jauhan dari laut, bagaimana" Wiliam mengangguk.
Ketika Marissa kelaparan, Wiliam mengajaknya makan di tepi pantai. Sesudahnya Marissa membeli beberapa permen karet dan cokelat yang dijual di sana. Aku tidak akan merasakan makanan ini lagi di masa depan, katanya.
Mengapa" tanya Wiliam
Makanan ini sudah tidak ada lagi di masa depan, kata Marissa. Itulah sebabnya aku akan memuaskan diri dengan memakannya sekarang juga.
Jangan kebanyakan makan! kata Wiliam. Ingat terakhir kali Kakak makan banyak sewaktu ke PRJ itu" Pulangnya Kakak sakit perut, kan"
Marissa hanya tertawa tanpa mengindahkan perkataan Wiliam. Ia membuat gelembung bola dengan permen karet"nya. Ia juga membuat tato di tangan satunya lagi. Kali ini bergambar bunga. Sekarang di kedua tangannya ada dua tato, bunga dan kupu-kupu. Ia tahu itu bukan tato permanen, setidaknya ada bagian dari masa ini yang dia bawa ke masa depan nanti.
Sini! katanya, sambil menarik tangan Wiliam. Aku tato tanganmu juga.
Wiliam menarik tangannya dari Marissa. Aku tidak mau! Kakak terlalu kekanak-kanakan! teriaknya, sambil berlari.
Marissa berlari mengejar William. Hei, Wiliam& tunggu!
Di sore hari, keduanya duduk dan melihat matahari terbenam.
Indah sekali, kata Wiliam.
Ya, seru Marissa, sambil menatap mentari di depannya, lalu tatapannya beralih kepada Wiliam. Wiliam, terima kasih karena kau telah mengizinkan aku tinggal di rumahmu.
Sama-sama, kata Wiliam. Kakak juga telah menyelamat"kanku.
Kali ini tatapan mata Marissa beralih serius. Wiliam, berhentilah menjadi dewasa. Kau masih anak-anak. Seharus"nya kau menikmati masa kanak-kanakmu. Masa mudamu cuma datang satu kali. Kau hidup di masa yang hebat. Nikmatilah semua ini. Pilih satu kegiatan yang kausukai. Habiskan waktumu dengan bermain dan mencoba hal-hal baru. Mulailah berteman dengan anak-anak seusiamu. Ada hal-hal yang lebih baik dilakukan bersama daripada sendirian.
Wiliam menatap Marissa dengan lembut. Aku tahu. Aku akan mencoba mengikuti perkataan Kakak. Satu hal lagi, lanjut Marissa.
Apa" tanya Wiliam. Berjanjilah kepadaku bahwa kau akan memberi tantemu kesempatan. Ia benar-benar menyayangimu. Marissa menggerakkan jari kelingkingnya.
Bagaimana Kakak bisa yakin" sahut Wiliam ketus. Marissa mendesah. Mungkin kau benar, aku tidak punya bakat apa pun selain makan, namun kau tidak perlu punya bakat hebat untuk mengetahui apakah seseorang menyayangi keluarganya. Percayalah kepadaku, tantemu amat menyayangimu. Tolong, berilah dia kesempatan! Berjanjilah kepadaku, ya"
Wiliam terdiam beberapa saat, lalu jari kelingkingnya melingkari jari kelingking Marissa. Oke. Aku berjanji.
Baguslah, kalau begitu, kata Marissa, sambil tersenyum dan berdiri. Aku lega mendengarnya. Aku jadi tidak terlalu sedih meninggalkanmu di masa ini.
Tiba-tiba Wiliam meraih tangan Marissa dan menggenggamnya. Bisakah Kakak tidak pergi" Tinggallah di sini saja.
Wiliam, seru Marissa perlahan.
Aku akan memberikan semua mainanku untuk Kakak! ucapnya serius. Kakak boleh main Space Invaders sepuasnya, aku tidak akan mengganggu Kakak. Tiap hari Kakak boleh makan makanan mana pun yang Kakak suka. Jangan pergi!
Marissa jongkok di depan Wiliam. Wiliam, bukannya aku tidak ingin. Aku ingin sekali tinggal bersamamu, namun ini bukan masaku.
Aku tahu, ucap Wiliam perlahan. Aku hanya berharap Kakak tidak perlu pergi.
Dua jam kemudian, Marissa menatap Gedung Albatross sambil menarik napas. Gedung itu sudah dipenuhi pengunjung. Aku akan masuk sekarang, katanya kepada Wiliam. Kau bisa pulang sendiri, kan"
Wiliam mendengus. Aku kan bisa menjaga diriku sendiri.
Ya, aku tahu, kata Marissa. Jaga dirimu baik-baik, Wiliam.
Marissa melangkah pergi. Orang itu tidak berhak mendapatkan Kakak! teriak Wiliam di belakangnya. Marissa menoleh ke belakang. Apa maksudmu"
Orang yang memutuskan Kakak di masa depan. Pacar Kakak, kata Wiliam terbata-bata, dia& dia tidak berhak men"dapatkan Kakak. Kakak berhak mendapatkan seseorang yang jauh lebih baik darinya.
Marissa tersenyum perlahan. Terima kasih. Marissa baru menyadari bahwa selama satu minggu ini ia tidak me"mikirkan Michael dan Selina sama sekali. Rasa sakit di hatinya akibat diputuskan Michael tidak dirasakannya lagi.
Marissa berjalan kembali ke arah Wiliam. Aku tahu kau tidak suka disentuh, namun& Tiba-tiba Marissa memeluknya.
Terima kasih, Wiliam, kata Marissa lagi, lalu melepaskan pelukannya. Tangannya menepuk kepala Wiliam perlahan. Selamat tinggal, Wiliam.
Wiliam melihat Marissa berjalan menuju gedung, dan tak berapa lama kemudian ia tidak terlihat lagi. Di dalam gedung, Marissa pergi menaiki anak tangga ke lantai tempat lukisan Menembus Waktu dipajang.
Ia bernapas lega ketika menemukan lukisan itu. Marissa berjalan mendekatinya.
Aku tahu kau yang mengirimku ke masa ini, katanya perlahan. Kau ingin aku melihat orangtuaku di masa muda, bukan" Sepertinya kau juga mengirimku ke masa ini untuk menyelamatkan Wiliam. Aku sudah mengerti sekarang.
Marissa menarik napas perlahan. Tolong kembalikan aku ke masaku! Aku mohon, kembalikan aku ke masaku yang semula!
Tak berapa lama kemudian, ruangan gedung bergetar hebat. Marissa menutup matanya. Ia akan kembali.
*** Wiliam memandang seberkas cahaya putih yang menyala dari lantai tiga, yang tak lama kemudian padam. Dia menunggu setengah jam berikutnya di depan gedung. Ketika sosok Marissa tidak muncul-muncul di pintu depan, Wiliam yakin Marissa telah kembali ke masanya. Selamat tinggal, Marissa, ucapnya perlahan. ***
Ketika Wiliam pulang ke rumahnya malam itu, Tante Sarah sudah menunggunya dengan berderai air mata. Tangan"nya memegang sehelai surat. Wiliam, ujarnya sambil berjalan mendekatinya. Maafkan Tante.
Tante Sarah memeluk Wiliam. Selama ini Tante gagal merawatmu. Maafkan Tante. Tante akan mencoba berubah dan merawatmu mulai sekarang.
Untuk pertama kalinya selama bertahun-tahun, Wiliam membalas pelukan tantenya.
Jadi, Marissa sudah pergi" tanya Tante Sarah, beberapa saat kemudian.
Wiliam mengangguk. Tante tahu kau senang bermain bersamanya. Bagaimana kalau kauajak dia kemari lagi kapan-kapan" usul Tante Sarah.
Wiliam menggeleng. Dia tidak akan kembali lagi. Mengapa" tanya Tante Sarah bingung.
Dia sudah kembali ke masanya. Pandangan Wiliam me"nerawang jauh.
Tante Sarah bingung mendengar jawaban Wiliam. Kalau begitu, bagaimana kalau Tante mulai menemanimu les mulai besok" tanyanya, sambil tersenyum. Wiliam terkejut mendengar usul itu. Sungguh" Baru kali ini Wiliam melihat tantenya tersenyum tulus kepadanya, dan hatinya menghangat setelah melihat senyum"an itu.
Tante Sarah mengangguk. Aku ingin mengenalmu dari awal lagi. Jadi& hm& Tante Sarah berjongkok di hadapan Wiliam. Halo, katanya kemudian, sambil mengulurkan tangannya, namaku Sarah. Aku adalah tante yang payah. Selalu mabuk dan tidak pernah ada di ru"mah. Aku sudah menyia-nyiakan hidupku. Mulai saat ini aku berjanji, aku akan menjaga keponakanku!
Wiliam tersenyum lembut. Ia akan mencoba menepati janjinya kepada Marissa dengan menyambut uluran tangan tantenya. Halo, Tante. Namaku Wiliam. Umurku delapan tahun. Film favoritku Megaloman, dan mainan robot favoritku bernama Voltus.
Tante Sarah tertawa. Mulai hari ini, ayo kita membuat kenangan baru!
Wiliam mengangguk. Matanya menatap tangannya yang bertato. Pikirannya beralih ke pantai sore tadi. Saat Marissa mengejarnya dan akhirnya berhasil membuat tato itu di tangannya. Ia tahu, ia akan membuat kenangan baru dengan tantenya. Sementara itu, kenangan dengan Marissa akan selalu disimpannya.
M arissa membuka matanya perlahan-lahan. Dia melihat
ke sekelilingnya. Ia telah kembali ke masa depan. Jam dinding di aula gedung menunjukkan pukul enam sore. Marissa berlari menuju kamar mandi dan melihat pantulan wajahnya di cermin. Kacamata beningnya tidak rusak. Bajunya tidak kotor. Ia melihat kedua tangannya. Tidak ada tato kupu-kupu dan bunga di sana. Seakanakan perjalanan waktu selama tujuh hari itu seperti mimpi. Marissa tahu itu bukan mimpi. Ia merasakannya. Ia ada di tahun 1988 selama tujuh hari. Bertemu orangtuanya di masa muda. Bertemu Wiliam.
Marissa keluar dari kamar kecil, dan baru menyadari bahwa lukisan di dekat tangga sudah hilang. Tidak ada bekas"nya sama sekali. Ia menyentuh dinding tempat lukisan itu tadinya dipajang. Terima kasih, ujarnya perlahan.
Saat hendak kembali ke tempat pertemuan, matanya terpaku. Selina datang ke arahnya sambil tersenyum penuh kemenangan.
Sepuluh 6 Juli 2008 Kembali ke Masa Depan Hai, Marissa, katanya. Aku tidak tahu kau ada di sini" Wah, jangan-jangan kau menghindari kami, ya"
Tadinya ya. Sekarang tidak, kata Marissa dalam hati. Aneh, pikirnya lagi, aku tidak memiliki perasaan benci lagi kepada Selina, padahal tujuh hari yang lalu aku ingin sekali menjambak rambutnya. Sekarang aku hanya merasa sedikit jengkel.
Tidak! kata Marissa tegas. Aku baru saja akan masuk ke acara pesta. Permisi, Selina!
Oh, Marissa, panggil Selina lagi, apakah kau punya tips-tips khusus untuk menghadapi Michael" Karena kau sudah& ehmm& berapa lama ya, ketiga jari tangannya bergoyang di hadapan Marissa, tiga tahun bersamanya, bukan" Ck& ck& ck& waktu yang cukup lama.
Marissa hanya tersenyum pendek. Ia tidak akan meladeni ejekan Selina lagi. Ada hal-hal yang lebih penting selain mengurusi Selina. Tidak. Aku tidak punya tips khusus, ujarnya, sambil berbalik dan melangkah. Ia baru berjalan dua langkah ketika berbalik lagi. Aku pikir-pikir, Selina, aku memang punya satu tips khusus untukmu. Oh, ya" tanya Selina, ia tersenyum licik. Apa itu" Kau dan Michael sangat cocok satu sama lain, jawab Marissa tenang. Hanya satu tips dariku. Kalau Michael bisa memutuskan aku dengan begitu mudahnya, cepat atau lambat dia bisa melakukan hal yang sama kepadamu. Bukankah begitu" Walau bagaimanapun, kudoakan kau rukun selalu dengannya. Seperti sudah kukatakan tadi, kalian pasangan yang serasi.
Marissa meninggalkan Selina yang meringis geram di belakang"nya. Bibirnya menyunggingkan senyuman kecil.
Lega rasa"nya, katanya dalam hati, tidak ada rasa benci, tidak ada rasa sakit hati. Semua perasaan itu hilang dari hatiku.
Sosok Mami dan Papi terlihat oleh Marissa di kejauhan. Ia b lari menghampiri mereka dan memeluk keduanya dengan cepat. Papi dan Mami terkejut mendapat reaksi seperti itu dari Marissa.
Marissa" tanya Papi. Ada apa"
Marissa hanya menggeleng. Tidak ada apa-apa. Rissa hanya merindu"kan Mami dan Papi. Rasanya sudah lama sekali.
Lama apanya" tanya Mami bingung. Kau kan baru pergi sepuluh menit yang lalu.
Aku tahu, kata Marissa, sambil melepaskan pelukannya. Sepuluh menit untuk Mami, tapi tujuh hari di masa lalu untukku.
Kau yakin kau tidak apa-apa" tanya Papi khawatir. Aku yakin! jawab Marissa mantap. Pap& Rissa mau ke ruang sebelah dulu ya, mau cari makanan. Rissa sudah lapar.
Papi tertawa. Dasar, dari dulu yang kaupikirkan hanya makanan. Ya sudah, pergi sana!
Oh, ada satu hal lagi, kata Marissa kepada orangtuanya.
Apa lagi" tanya Mami penasaran. Pap, kata Marissa kepada Papi. Apa" tanya ayahnya bingung.
Jangan pernah membuat surat cinta, kata Marissa, sambil tersenyum. Kemudian, beralih kepada Mami.
Mam, eye shadow biru sangat& sangat tidak cocok dengan wajah Mami.
Hah" Keduanya melongo.
Marissa hanya tersenyum lebar dan pergi meninggalkan Papi dan Mami.
Papi dan Mami saling berhadapan. Apa maksudnya itu tadi, Pi" tanya Mami. Entahlah, Mi, kata Papi. Hm, rasanya Papi pernah kenal dengan seseorang yang mirip dengannya. Benarkah" tanya Mami. Siapa"
Papi menggeleng. Tidak tahu, sudah lama sekali. Papi tidak bisa mengingatnya. Ayo kita menemui teman Papi yang lain!
Mami menggandeng tangan Papi. Ayo! katanya.
*** Dalam perjalanan ke ruang makan, Marissa bertemu dengan Michael. Ditatapnya bekas pacarnya selama tiga tahun itu. Marissa tidak merasa sakit hati lagi. Baginya, sekarang Michael adalah sosok asing. Ia tidak membencinya, dan ia juga tidak mencintainya lagi.
Marissa, sapa Michael lebih dahulu. Aku benar-benar minta maaf bila aku sudah menyakitimu. Aku...
Marissa langsung menghentikan ucapan Michael, Kau tidak perlu menjelaskan semuanya, Michael. Aku mengerti.
Tetapi... Michael ngotot.
Kau tahu, Michael, kata Marissa, sambil menatapnya tajam, aku senang kau memutuskanku. Sungguh. Kau dan Selina memang cocok.
Marissa, protes Michael lagi.
Seseorang pernah berkata kepadaku bahwa aku berhak mendapatkan cowok yang jauh lebih baik darimu. Pikiran Marissa melayang kepada Wiliam. Dia benar. Aku ber"hak mendapatkan cowok yang lebih baik. Selamat tinggal, Michael. Sesudah hari ini, aku harap aku tidak bertemu denganmu lagi.
Marissa berjalan melewati Michael tanpa memandang ke arahnya.
Di ruang makan Marissa melihat aneka macam masakan, dan perutnya mulai berbunyi. Ya, ampun! Aku lapar sekali! serunya dalam hati.
Marissa mengambil piring dan mulai meng"isinya dengan semua makanan yang ada di meja makan pertama. Mengingat acara pertemuan di sebelah belum dimulai, belum ada satu tamu pun yang ada di ruang makan itu. Bagi Marissa ini kesempatan untuk melahap semua makanan enak yang ada di sana tanpa diganggu siapa pun.
Lima belas menit kemudian perutnya sudah terisi penuh, namun Marissa masih ingin mencicipi lagi. Ia tidak puas bila belum mencoba semuanya. Dia membawa piringnya yang sudah kosong ke meja makan yang satu lagi. Dengan hati gembira dan bibir penuh senyum, ia mengambil satu demi satu makanan yang ada di meja itu.
Sebaiknya kau tidak makan lagi kalau tidak ingin perutmu sakit, kata suara dari belakangnya. Siapa itu" protes Marissa dalam hati. Siapa yang berani menyuruhku berhenti makan. Apa orang itu tidak tahu, tidak seorang pun yang bisa menghalangiku makan banyak"
Marissa menaruh piringnya. Dengan geram ia menatap orang di belakangnya. Seorang pemuda. Dia mengenakan jas hitam, celana hitam, dan kemeja biru bergaris putih tanpa dasi. Marissa terkesima. Wajah pria itu sangat tampan dan posturnya tinggi gagah. Tapi Marissa tetap saja tidak suka bila ada orang yang menasihatinya seperti itu.
Mengapa kau berkata seperti itu" tanya Marissa ketus.
Pemuda itu berjalan mendekati Marissa, dan berhenti beberapa langkah di depannya. Mengingat aku lebih tua sepuluh tahun darimu, maka kau harus menuruti semua perkataanku.
Marissa menjatuhkan tangannya. Jantungnya berhenti ber"detak. Tatapannya tidak lepas dari pemuda itu. Tatapan mata itu, seru Marissa dalam hati, aku mengenalnya.
Wi& liam" tanyanya perlahan.
Pemuda itu tersenyum. Hai, Marissa. Lama kita tidak bertemu. Sudah dua puluh tahun, bukan"
Kali ini Marissa yakin, pria di hadapannya adalah Wiliam. Ya, ampun! Kaukah itu, Wiliam" Aku tidak menyangka sama sekali. Bagaimana kau bisa ada di sini" Terakhir aku melihatmu, tinggimu tidak lebih dari bahuku.
Wiliam tersenyum. Aku bukan anak-anak lagi, Marissa. Ya, aku tahu, kata Marissa, menatap Wiliam dari atas sampai bawah.
Hari ketika kau pergi, aku pulang dan melihat Tante Sarah sedang menangis. Dia meminta maaf kepadaku dan merawatku sejak saat itu. Kau membuat surat itu untuknya, ya"
Marissa mengangguk. Aku lega Tante Sarah bisa mengerti. Bagaimana keadaan dia sekarang"
Dia baik-baik saja, kata Wiliam, sambil tersenyum. Beberapa tahun yang lalu Tante menikah dengan seorang pria asing, dan kini ia tinggal di luar negeri. Dia sudah menemukan kebahagiaan.
Marissa tersenyum. Aku lega mendengarnya. Wiliam maju selangkah lagi. Jadi, kau mau menghabiskan 36.500 makan malam berikutnya denganku" Marissa hanya bisa terpaku. Kau membaca suratku" Wiliam mengangguk. Ya.
Marissa tersenyum lagi. Kau tahu, Wiliam, aku masih kuliah. Aku juga ingin berkarier. Aku rasa...
Wiliam menghentikan ucapannya, dengan melangkah maju dan memeluk Marissa.
Marissa terkejut mendapat pelukan yang tiba-tiba seperti itu.
Hei, aku tidak akan ke mana-mana. Aku sudah menunggumu selama dua puluh tahun, ujar Wiliam. Apalah artinya beberapa tahun lagi, lalu ia melepaskan pelukannya.
Pipi Marissa bersemu merah. Aku benar-benar merindukanmu, Wiliam.
Ya, aku juga, kata Wiliam, lalu ia merogoh saku celananya dan meletakkan sebuah benda di tangan Marissa. Ini untukmu.
Marissa menatap tangannya dan melihat sebuah kelereng biru. Kelereng yang pernah ia curi diam-diam dari kamar Wiliam.
Marissa tertawa lebar. Ya, ampun. Kau masih punya kelereng ini" Bukankah kau pernah berkata bahwa kau tidak suka memberikan mainanmu kepada orang lain"
Wiliam berkata dengan serius. Seseorang telah mengubah pikiranku.
Benarkah" tanya Marissa. Siapa"
Wiliam berkata lagi, Dua puluh tahun yang lalu aku bertemu seorang gadis aneh. Aku tidak mengerti satu pun alat teknologi masa depan yang disebutkannya. Kini, semuanya masuk akal. Dia menyelamatkanku dan mengubah hidupku. Kau mengubah hidupku, Marissa.
Marissa tidak tahu harus menjawab apa. Ia hanya bisa menyebut namanya. Wiliam.
Kali ini aku tidak akan melepaskanmu pergi lagi, Marissa, tekad Wiliam. Aku akan menunggumu sampai kau siap.
Marissa menatap Wiliam dengan serius. Aku juga tidak akan pergi ke mana-mana lagi.
Wiliam tersenyum. Ada satu hal lagi yang ingin kuutarakan. Di suratmu untuk Tante, kau mengatakan suaraku sumbang. Biar kutegaskan, suaraku tidak sumbang.
Marissa langsung protes. Suaramu memang tidak enak. Membuat kepalaku pusing. Ada hal-hal yang memang tidak bisa berubah, suaramu adalah salah satunya.
Kau juga masih suka makan banyak, timpal Wiliam. Ah, tiba-tiba sebuah ada mengusik percakapan mereka. Di sini rupanya kau, Wiliam. Aku mencarimu ke mana-mana.
Marissa menoleh ke belakang Wiliam. Papi tampak sedang tersenyum sambil menggandeng tangan Mami. Ke mana saja kau" tanya Papi lagi kepada Wiliam. Wiliam hanya tersenyum. Saya punya urusan penting sebelum menemui Oom, katanya menjelaskan. Tatapan matanya beralih kepada Marissa. Marissa hanya bisa diam kebingungan. Papi mengenal Wiliam" tanyanya dalam hati.
Oh, kata Papi, seakan baru menyadari Marissa ada di sana, Kebetulan kau ada di sini, Marissa.
Wiliam, kata Papi kepada Wiliam, kenalkan ini anak Oom, Marissa. Pandangan Papi kemudian beralih kepada Marissa. Marissa, ini Wiliam, klien baru Papi. Wiliam baru saja kembali dari luar negeri. Bukankah begitu, Wiliam"
Ya, Oom! kata Wiliam mengangguk.
Senang berkenalan denganmu, Wiliam, seru Mami, sambil melepaskan tangannya dari Papi dan bersalaman dengan Wiliam.
Senang berkenalan dengan Anda juga, Tante, kata Wiliam sopan.
Mami melirik kepada Marissa dan berdecak kesal. Marissa, katanya kesal. Di mana sopan santunmu" Ini klien Papi. Ayo salami dia.
Marissa terlihat serbasalah. Yang benar saja! teriaknya dalam hati. Beberapa menit yang lalu Wiliam baru saja memeluknya, sekarang Mami minta aku menyalami"nya" Tadi Papi bilang apa" Klien Papi" Wiliam, klien Papi"
Wiliam tidak kuasa menahan tawa. Akhirnya, dia terbatuk-batuk beberapa kali untuk menyembunyikan tawanya. Tidak apa-apa. Saya sudah mengenalnya. Benarkah" tanya Mami bingung.
Wiliam mengangguk, lalu berkata lagi, Dua puluh tahun yang lalu.
Papi dan Mami mengernyit bersamaan.
Wiliam menatap Marissa. Marissa menggenggam kelereng di tangannya dengan erat, lalu menatap Wiliam. Pandangan keduanya bertemu. Mereka tersenyum penuh arti.
Tentang Penulis C haron , anak tengah dari tiga bersaudara, lahir di Sukabumi 19 Juni 1980. Suka menulis sejak SMA, tapi baru mengirimkan naskah sesudah bekerja.
Sejak kecil Charon sudah menyukai buku, mulai dari komik sampai novel. Mulai dari biografi, thriller, mitologi, roman, sampai fantasi. Dia bisa bertahan di toko buku lebih dari tiga jam. Charon juga menyukai semua jenis film, kecuali film horor. Dia juga pecandu cokelat.
Charon pertama kali bergabung dengan GPU tahun 2008 dan telah menerbitkan 4 buku, yaitu: 3600 Detik, 7 Hari Menembus Waktu, 1000 Musim Mengejar Bintang, dan Trio Weirdo.
Orang-orang terpenting dalam hidup Charon adalah keluarga, karena mereka suporter terhebat dalam perjalanan hidupnya.
Charon suka musik klasik, terutama karya Chopin. Bagi Charon, menulis merupakan hobi. Saat yang paling bahagia baginya adalah ketika penggemarnya memberikan komentar dan saran atas bukunya dan tentu saja melihat bukunya dipajang di toko buku.
Jika ingin mengirim saran dan kritik, Charon bisa dihubungi lewat Twitter @WriterCharon, e-mail: charon_2519@ Untuk pembelian online: e-mail: cs@gramediashop.com website: www.gramedia.com
Untuk pembelian e-book: www.gramediana.com www.getscoop.com
Penerbit Marissa kesal ketika harus ikut ayahnya ke Gedung Albatross, karena itu berarti ia akan bertemu Michael, mantan pacarnya, dan Selina, musuh bebuyutan yang telah merebut Michael dari sisinya.
7 Hari Menembus Waktu Karya Charon di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Frustrasi oleh situasi, tak sadar Marissa menangis di depan sebuah lukisan dan bergumam seandainya saja ia bisa menghilang.
Dan ia& betul-betul menghilang! Terlempar ke masa dua puluh tahun silam, saat ia belum lahir, saat orangtuanya masih belum berpacaran.
Bersama William, anak kecil yang ditemuinya di masa itu, Marissa mengalami hal-hal lucu dan menyenangkan, hal-hal yang akan mengubah kehidupan gadis itu dan William di masa depan.
C h a r o n Charon Tembang Tantangan 13 Animorphs - 51 The Absolute Gempar Aji Karang Rogo 2