Pencarian

Gempar Aji Karang Rogo 2

Dewa Linglung 26 Gempar Aji Karang Rogo Bagian 2


salurkan tenaga dalam kebagian dada. Agak ter-
kejut Rah Bono karena merasai hawa aneh yang
menebar dari pusar ke sekitar dada. Disaat itulah jotosan yang dapat meremukkan
tulang itu menghantam dadanya.
Di detik itu tiba-tiba terdengar suara jeri-
tan parau Gerba. Tampak tubuhnya berkelojotan
bagai terkena sengatan aliran listrik, dengan lengan masih menempel di dada
pemuda itu. Tak
lama tubuhnya terkulai kaku. Sepasang matanya
mendelik. Ternyata nyawanya telah putus.
Terkejut bukan kepalang Weling Moko. De-
tik itu juga dia mencabut kapak bermata lebar di balik punggung. Lalu berkelebat
seraya mena-baskan mata kapaknya ke punggung pemuda itu.
"Trang!"
Terdengar suara berdentang keras. Mata
kapak Weling Moko somplak seperti menghantam
besi keras. Bukan saja Weling Moko yang terkejut dengan membelalakkan mata. Akan
tetapi Rah Bono yang melihat kejadian itu tersentak kaget.
Dia sengaja membiarkan hal itu terjadi, karena
ingin mengetahui kehebatan aji Karang Rogo.
Tentu saja kejadian itu membuat dia melongo an-
tara terkejut dan girang.
Saat itu Rah Banu telah mencampakkan
lengan Garba. Garba tewas dengan muka menyeringai
dan mata mendelik, serta keadaan lengan meren-
tang kaku. Sebelah lengan mengepal, dan sebelah lagi merentangkan kelima jari-
jarinya. Pucat pias seketika wajah Weling Sukma.
Tak terasa dia melangkah mundur. Disaat itulah
Rah Bono melompat ke depan seraya tertawa ter-
gelak-gelak. "Haha... haha... kalian orang-orang pe-
sanggrahan Linggar Jati tak akan mampu mela-
wan kami. Karena kami memiliki aji Karang Rogo
yang tiada tandingnya di jagat ini!"
"Aji Karang Rogo...?" sentak Weling Sukma berdesis. Seumur hidup barulah dia
mendengar nama ilmu yang aneh itu. Tapi kenyataan me-
mang terpampang di depan mata. Tubuh pemuda
itu bagaikan sebongkah batu karang yang tak
mempan oleh senjata tajam. Kapak mautnya yang
telah menghantar nyawa entah berapa belas la-
wan itu ternyata somplak ketika membentur
punggung pemuda itu.
Disaat itu belasan orang pesanggrahan te-
lah bermunculan dengan senjata-senjata terhu-
nus. Akan tetapi seorangpun tak ada yang berani maju. Bahkan mereka kembali
menyurut mundur, melihat laki-laki sang tetamu ketua mereka tampak tergeletak
kaku tanpa nyawa.
Rah Banu merasakan keadaan aneh pada
tubuhnya segera menyadari kalau aji Karang Rogo telah terwaris di tubuhnya.
Karena itu dia semakin berani mengambil langkah tindakan selanjut-
nya. "Haha... siapa lagi yang mau mampus, hayo majulah! Kalau kalian sayang
nyawa, lebih baik panggil ketua kalian si Raja Pedang!" sumbar Rah Banu dengan suara lantang.
"Kembar Seruling Maut! Ilmu iblis macam
apapun yang kalian miliki, aku telah datang un-
tuk mencabut nyawamu!" Satu bentakan keras menggeledek terdengar merobek udara.
Dan tahu-tahu seorang laki-laki berkulit hitam, berbaju
rompi gemerlapan telah muncul di tempat itu.
Melihat orang ini. Rah Banu dan Rah Bono
tersenyum, dan saling pandang.
"Hehe... untuk manusia ini, biarlah aku
yang melawannya!" bisik Rah Bono sang adik kembar. Rah Banu mengangguk.
"Biarlah aku yang jadi penonton!" sahutnya kemudian melompat ke sisi. Sementara
itu Weling Sukma telah melompat mendekati kakak seperguruannya, seraya berbisik
"Hati-hati, Kakang...! Mereka memiliki aji Karang Rogo yang dahsyat! Kau lihat,
mata ka-pakku somplak begini. Tubuhnya keras seperti
batu karang! Celaka kita, kakang... agaknya me-
reka bukan lawan kita. Sebaiknya kita menying-
kir!" Akan tetapi si Raja Pedang justru mendelikkan mata dengan gigi berkerot.
"Hm, aku tak mau bertindak pengecut. Hal
itu akan mencemarkan nama baikku...!" Walau berkata demikian, tapi diam-diam
nyali si Raja Pedang agak menciut melihat kematian teta-
munya dari Partai Halimun Sakti. Garba adalah
tangan kanan partai itu yang datang bertamu ke
pesanggrahan Linggar jati dalam rangka perem-
bugkan mengenai pembagian batas wilayah. Da-
lam beberapa pekan ini sayap Partai Halimun
Sakti semakin meluas. Dia mengetahui kekuatan
serta kewibawaan partai itu yang diketuai oleh
Badar Saga. Dia memang tak menolak niat Badar
Saga untuk menggabungkan Partai Halimun Sakti
dengan perguruannya. Tapi dengan syarat-syarat
tertentu tanpa harus menyerahkan kekuasaan
penuh pada Badar Saga. Untuk itulah Badar Saga
mengirim utusan kepesanggrahan Linggar Jati.
Akan tetapi sungguh diluar dugaan kalau dalam
waktu singkat Garba sang utusan Partai Halimun
Sakti yang menjadi tetamunya itu siang-siang telah tewas di pintu
pesanggrahannya.
"Srek!"
Si Raja Pedang telah mencabut pedang pu-
saka andalannya. Melihat demikian, Weling Moko
jadi serba salah. Nyalinya sudah menciut sejak tadi. Maka tak ada jalan lain
selain angkat kaki meninggalkan pesanggrahan itu.
"Celaka! Ini bukan main-main! Sebuah ma-
lapetaka telah kelihatan di depan mataku! Aku
tak tahu apa yang terjadi dengan kakang Weling
Sukma. Sebaiknya aku cepat melaporkan hal ini
pada ketua Partai Halimun Sakti!"
Selesai berpikir demikian, Weling Moko tak
menunggu lama. Tubuhnya berkelebat dari tem-
pat itu. Sebentar saja lenyap dari pesanggrahan itu, dengan melompati tembok
sebelah Timur. Belasan anak buah si Raja Pedang cuma terpaku
melihatnya. Mereka masih tetap mematung me-
nunggu perintah dengan hati kebat kebit. Jelas
lawan mereka yang muncul ini bukan lawan en-
teng. Tapi lawan yang akan menentukan mati hi-
dup sang ketua mereka.
DELAPAN Tumpuk Undung melihat semua kejadian
itu dengan mata membelalak, dari tempat per-
sembunyiannya di dahan pohon Waru yang tum-
buh di luar tembok pesanggrahan Linggar Jati.
Entah sejak kapan wanita isteri kedua ketua Partai Halimun Sakti itu telah
berada di tempat itu.
Seorang laki-laki berikat kepala kain kun-
ing, berkumis dan berjenggot tebal sejak tadi menunggu di bawah pohon terhalang
semak rimbun. Sebentar-sebentar dia menengadah ke atas me-
mandang wanita itu. Pemandangan dari bawah
itu memang asyik, karena dengan jelas dia dapat melihat celana dalam wanita itu.
Kunyuk! Sementara wanita itu dalam keadaan te-
gang, karena melihat pertarungan di dalam pe-
sanggrahan itu. Tampak si Raja Pedang dengan
menggembor keras menghantamkan pukulan-
pukulannya ke arah salah seorang laki-laki kem-
bar itu. Raja Pedang tahu gelagat kalau lawan
memiliki ilmu luar biasa yang sangat aneh. Oleh sebab itu, dia hanya menyerang
dengan angin pukulannya saja tanpa berani menempelkan tan-
gan ke setiap tubuh atau anggota badan lawan-
nya. Akan tetapi angin pukulan itupun seperti
tersedot bila pemuda gondrong itu memapakinya.
Dan, tenaga pukulannya seperti lenyap, seperti
menghantam kapas. Sedangkan lawan dengan
tertawa-tawa mengeluarkan serulingnya dari
pinggang. "Haha... aku ingin kau mampus dengan ca-
ra yang lebih baik dari tetamumu itu. Raja Pe-
dang! Hm, mengapa tak kau gunakan senjata an-
dalanmu itu" Apakah takut somplak hingga tak
dapat dipergunakan lagi?" mengejek Rah Bono.
Sementara Rah Banu tersenyum senyum. Tiba-
tiba mata liar laki-laki kembar ini dapat melihat adanya sesosok tubuh yang
mengintai di cabang
pohon Waru. Mendadak tubuhnya berkelebat ke
balik pintu pesanggrahan. Sementara itu belasan anak buah si Raja Pedang cuma
jadi penonton sa-ja. Melihat lenyapnya salah seorang dari laki-laki kembar itu,
mereka tersentak. Dan tanpa disuruh lagi menyurut mundur dengan berjaga-jaga,
khawatir pemuda itu menyerang.
Saat itu Tumpuk Undung masih dalam
keadaan terpaku tegang memperhatikan jalannya
pertarungan. Tahu-tahu dia mendengar suara
bentakan di bawahnya.
"Hah! Siapa kau!" Itulah bentakan si laki-laki berewok kawannya. Ketika dia
menoleh ke bawah, tampak salah seorang laki-laki kembar itu telah berada di bawah pohon.
"Haha... kiranya kau berdua dengan mo-
nyet besar ini, Nona...! Apakah kawanmu ini tak bisa naik ke pohon?" berkata Rah
Banu, seraya menengadah ke atas menatap Tumpuk Undung.
Wajah wanita ini seketika berubah merah. Dan,
sekali gerakkan tubuh, dia melompat turun.
"Biarlah aku menghajar pemuda kurang
ajar ini. Den Ayu...!" kata si kakek berewok dengan mata melotot tajam menatap
Rah Banu. "Sabar, Paman...! Jangan sembarangan tu-
run tangan!" kata Tumpuk Undung. Lalu memberi isyarat pada laki-laki tua itu
agar menjauh. Dengan hati mendongkol karena dirinya dianggap
seekor monyet besar, laki-laki tua itu beranjak menjauh.
Tumpuk Undung menjura di hadapan laki-
laki itu, seraya berkata ramah. Sementara ma-
tanya memain. "Sobat gagah...! Aku sangat mengagumi
kehebatan ilmumu. Bolehkah aku berkenalan
dengan anda" Dan, tampaknya anda berdua se-
perti dua orang saudara kembar...!" kata wanita ini. Sejenak Rah Banu terpaku.
Dia tak menyangka kalau wanita itu selain berwajah cantik, tapi juga sangat
genit. Hal itu menimbulkan kegembi-raannya.
"Namaku Tumpuk Undung...!" kata wanita ini memperkenalkan diri. Rah Banu
tersenyum. Matanya menjalari sekujur tubuh wanita itu.
"Namaku Rah Banu. Dan saudara kembar-
ku yang tengah bertarung itu bernama Rah Bo-
no!" kata Rah Banu.
"Hm, siapakah monyet besar yang tak pan-
dai memanjat itu?" tanyanya seraya melirik laki-laki tua berewok itu. Ejekan Rah
Banu itu tentu saja terdengar oleh laki-laki itu, karena Rah Banu sengaja
mengeraskan suaranya. Terasa panas wajah laki-laki ini. Tiba-tiba dia melompat
ke hadapan mereka. Sepasang matanya membinar mena-
tap pemuda berambut panjang bercelana kotor
tanpa baju itu.
"Haha... monyet besar piaraanmu tampak-
nya marah, Nona...! Celaka! Aku bisa digigitnya!"
kata Rah Banu sambil tertawa. Lalu berpura-pura seperti orang ketakutan
menyumpalkan kepalanya ke dada wanita itu sambil memeluk ping-
gangnya. Tentu saja kepalanya menyentuh sepasang
benda kenyal di dada wanita itu. Hal itu membuat Tumpuk Undung tertawa geli
terpingkal-pingkal.
Sementara dalam hati dia berkata.
"Aku telah menemukan orang gagah beril-
mu tinggi yang kucari! Cita-citaku menundukkan
Badar Saga suamiku untuk bertekuk lutut di ka-
kiku akan segera terlaksana! Dan... akulah yang akan berkuasa kelak di Partai
Halimun Sakti!"
Saat itu si laki-laki tua berewok tiba-tiba
merenggutkan kumis tebal dan berewoknya. Ter-
nyata cuma berewok palsu! Siapa adanya laki-laki ini tak lain dari Parta, si
pembantu laki-laki isteri kedua ketua Partai Halimun Sakti.
Sepasang mata laki-laki ini menyorot tajam
menatap wanita itu. Sinar kebencian merambah
wajah Parta melihat sikap wanita itu. Mendadak
dia membentak dengan suara keras.
"Perempuan bejat! Setelah kau merayu aku
untuk menuruti napsu bejatmu, sekarang kau ja-
tuh dalam pelukan laki-laki keparat ini! Kau suruh aku menyamar segala, dan
pergi mengikuti-
mu. Tapi nyatanya kau cuma menjadikan anjing
piaraanmu! Tunggulah! Akan kuadukan kelakuan
bejatmu pada suamimu, Gusti Badar Saga!' Parta
mengalihkan tatapannya pada Rah Banu dengan
wajah merah padam. Hatinya geram bercampur
cemburu, karena melihat Tumpuk Undung meme-
luk tubuh laki-laki itu. Selesai berkata Parta balikkan tubuh, lalu berlari
cepat meninggalkan sisi tembok pesanggrahan itu.
Wanita ini menatap Rah Banu. Lalu berka-
ta. "Aku memang isteri Badar Saga, ketua Par-
tai Halimun Sakti. Tapi aku sakit hati karena aku diabaikan suamiku. Rupanya dia
lebih me-nyayangi isteri pertamanya...!" Rah Banu ke-rutkan keningnya.
"Kau isteri kedua?"
"Ya! Aku dendam padanya. Aku telah ber-
sumpah akan membuat dia bertekuk lutut di ka-
kiku! Aku tidak takut diadukan pada suamiku...
karena aku yakin kau pasti mau membantuku
mencapai cita-citaku!"
"Jangan khawatir! Itu masalah kecil! Aku
akan membantumu!" kata Rah Banu dengan tersenyum.
"Bagus! Kau bunuhlah laki-laki itu! Monyet besar tak berguna yang tak pandai
memanjat buat apa dipelihara?" kata Tumpuk Undung. Rah Banu mengangguk dengan tersenyum.
Matanya

Dewa Linglung 26 Gempar Aji Karang Rogo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menatap ke arah punggung Parta yang masih ke-
lihatan di kejauhan. Tangan Rah Banu tiba-tiba
mematahkan ranting semak yang tumbuh didekat
tembok. "Whuuut!"
Ranting itu meluncur cepat bagai anak pa-
nah melesat. Sukar untuk dilihat kecepatan lun-
curan ranting kayu itu. Tahu-tahu dikejauhan
terdengar jeritan parau Parta. Tubuhnya tersung-kur. Dan ranting itu telah
menembus punggung-
nya. Laki-laki itu masih mencoba bangkit berdiri, tapi kembali terhuyung... dan
roboh terjungkal
tak bangkit lagi. Ranting kayu itu dengan waktu singkat telah merenggut jiwa
Parta. Darah mengalir dari perutnya yang tertembus benda itu.
"Hebat...!" Puji Tumpuk Undung dengan bertepuk tangan.
"Haha... cuma membunuh seekor kera bo-
doh, tak perlu memakan banyak waktu dan tena-
ga!" kata Rah Banu dengan tersenyum.
Pada saat itulah terdengar teriakan mero-
bek udara dari dalam tembok pesanggrahan Ling-
gar Jati. Sesaat Rah Banu tersentak. Dia
mengkhawatirkan adiknya. Sekali gerakkan tu-
buh Rah Banu melompat ke atas tembok, kemu-
dian turun di sebelah dalam halaman pesanggra-
han. Apakah yang terjadi di dalam pesanggra-
han" Ternyata pertarungan itu telah berakhir
dengan kematian si Raja Pedang. Leher laki-laki ketua pesanggrahan Linggar Jati
itu tertembus pangkal seruling Rah Bono. Pedang pusakanya
patah-patah. "Haha... hehe... dendammu telah kuba-
laskan, kakang Rah Banu! Ternyata Raja Pedang
bukan tandingan kita lagi!" kata Rah Bono dengan tertawa menyeringai, ketika
saudara kembar-
nya muncul. Sementara itu belasan anak buah
Weling Sukma telah melarikan diri serabutan. Sebentar saja pesanggrahan itu jadi
kosong. "He" Siapakah perempuan cantik itu, Ka-
kang?" tanya Rah Bono, ketika melihat Tumpuk Undung berlari-lari setelah lompat
dari atas pagar tembok, mendekati ke arah mereka.
"Perkenalkan aku pada saudara kembar-
mu, sobat Rah Banu!" kata Tumpuk Undung dengan tersenyum.
"Hm, tentu! Adikku...! Nona ini bernama
Tumpuk Undung! Dia sahabatku yang akan me-
nemani kita dalam perjalanan!"
"Oh, ya" Haha... untung sekali kau kakang, punya sahabat seorang gadis cantik!"
kata Rah Bono dengan tertawa.
"Dia isteri kedua Badar Saga, ketua Partai Halimun Sakti...!"
"Ah... begitukah?" sentak Rah Bono terkejut. "Jangan khawatir, Adikku! Dia telah
mem-benci suaminya, dan memberi gagasan baik buat
kita untuk merebut kekuasaan di Partai Halimun
Sakti!" Tumpuk Undung manggut-manggut. Dia turut bicara.
"Benar! Akan tetapi tak usah terlalu cepat!
Sebaiknya kita menghilang dulu. Saat ini biarlah mereka kalut lebih dahulu.
Bukankah masih banyak waktu buat kita menggempur dan merebut
kekuasaan mereka" Dan... aku ingin lebih dekat
mengenal kalian..." Wanita ini menatap Rah Bono dan mengerling pada Rah Banu.
"Aha... benar adikku! Sebaiknya kita
menghilang dulu dari Rimba Persilatan. Dengan
kejadian ini, sudah jelas akan membuat gempar
kalangan kaum Rimba Hijau. Dan... haha tam-
paknya sahabatku ini sudah tak sabar untuk
mengajak aku bermalam..." kata Rah Banu sambil melingkarkan lengannya ke
pinggang wanita itu.
"Terserah kau, Kakang! Aku cuma mengi-
kutimu saja!" tukas Rah Bono dengan tersenyum kaku. "Kalau begitu mari kita
tinggalkan tempat ini...!" kata Rah Banu. Tumpuk Undung mengangguk. Rah Bono
mengiyakan. Tak lama kedu-
anya segera berlari cepat meninggalkan halaman
pesanggrahan Linggar Jati. Tampaknya Tumpuk
Undung bukan seorang wanita biasa. Diapun seo-
rang yang mengerti ilmu silat dan memiliki ke-
pandaian berlari cepat. Tapi dia berpura-pura ter-tinggal di belakang. Rah Banu
tak sabar. Segera dia memondong wanita itu.
"Kemana arah kita, manis..." tanya Rah Banu. Tumpuk Undung lingkarkan lengannya
ke leher laki-laki itu.
"Terserah kemana anda mau pergi! Ke
ujung langitpun boleh!" sahut Tumpuk Undung.
Lebih dari tujuh purnama laki-laki ini tak me-
nyentuh wanita, memandang Tumpuk Undung
yang manja dan genit serta cantik itu membuat
dadanya bergemuruh. Dibawanya tubuh wanita
dalam pondongan itu berkelebat menyusul Rah
Bono. Sebentar saja bayangan sosok tubuh mere-
ka lenyap tak kelihatan lagi...
SEMBILAN Berita kemunculan dua pemuda kembar
yang memiliki aji Karang Rogo dan menewaskan
si Raja Pedang serta membunuh orang penting
dari Partai Halimun Sakti sebentar saja tersiar di-kalangan Rimba Hijau. Berita
itu sangat meng-
gemparkan, karena mereka tahu kehebatan dan
ketinggian ilmu si Raja Pedang. Akan tetapi se-
jauh itu orang-orang persilatan, baik dari golongan hitam atau putih, tak
menjumpai dimana
adanya dua laki-laki kembar itu, yang sudah me-
reka duga adalah dua pemuda kembar yang
menggelari dirinya si Kembar Seruling Maut.
Sepekan kemudian seorang kakek mema-
suki lembah tempat berdiamnya Nini Sumbi. Seo-
rang pemuda gondrong mengintil di belakangnya.
"Apakah nama lembah ini, kakek Pantat
Kuning?" tanya si Dewa Linglung. Laki-laki tua jubah hitam bertambal kain kuning
di bagian pantatnya itu hentikan tindakannya. Sesaat Nan-
jar sudah berada di samping laki-laki tua.
"Hm, lembah ini tak bernama. Sebut saja
lembah Tanpa Nama!" menyahut kakek ini. Nanjar manggut-manggut. Pandangannya
memutari sekitar lembah.
"Kau mengajakku kemari, apakah sebenar-
nya yang kau cari?" tanya Nanjar. Matanya menatap kakek bergelar Iblis Pantat
Kuning yang tampak seperti orang kebingungan mencari yang ditu-junya.
"Aku mencari bekas adik seperguruanku,
dia berdiam di lembah ini. Tapi aku lupa tempat berdiamnya. Di sebelah mana goa
itu...?" sahut laki-laki tua ini dengan memandangnya ke sekeliling tebing batu.
"Bukankah dia yang bernama Nini Sumbi
itu" Yang pernah kau ceritakan padaku beberapa
bulan yang lalu?" Nanjar memang pernah mendengar si Iblis Pantat Kuning
menceritakan kere-takan hubungan dengan bekas adik sepergu-
ruannya itu. "Benar...! Tadinya aku tak mau ambil pus-
ing, apakah dia mau menempuh hidup di jalan
sesat atau di jalan lurus, tapi setelah aku kembali ke jalan lurus dan hidup
secara wajar, aku mulai memikirkan dia. Kukira tak baik aku membiar-kannya
semakin tersesat, walaupun semua itu
akibat patah hati...!"
"Patah hati" Patah hati dengan siapa?"
tanya Nanjar, Iblis Pantat Kuning menghela na-
pas. Lalu berkata datar.
"Dia pernah menjadi kekasih Patih Mangku
Jagat di Kerajaan Mamulang atau Pengging ini!
Ternyata kemudian hubungan mereka menjadi re-
tak, mungkin perbedaan pendapat di antara ke-
duanya. Sumbi yang sejak masih gadis kusebut
Nini Sumbi itu memang berwatak keras. Ternyata
sampai usianya terus melanjut dia tak pernah
menikah. Akan tetapi secara diam-diam dia me-
nyimpan dendam pada bekas kekasihnya itu. Aku
mengetahui itu, karena secara diam-diam dia
berbuat seenak perutnya untuk melampiaskan
kemarahan hatinya. Sikap dan tingkah lakunya
mirip orang kurang waras. Terkadang menyem-
bunyikan diri berbulan-bulan, bahkan sampai
beberapa tahun aku tak pernah tahu di mana dia
berada. Belakangan ini, jelasnya kurang lebih de-lapan bulan yang lalu aku
pernah berjumpa den-
gan dia. Dia pernah mengajakku ke lembah ini, di mana dia berdiam selama itu.
Ternyata secara di-am-diam dia tengah mempelajari ilmu-ilmu sesat.
Bukan saja dengan menggunakan darah bina-
tang, tapi juga darah manusia untuk melengkapi
ramuan aneh untuk membuat dirinya menjadi
muda kembali! Aku marah, karena saat itu aku
mulai sadar dan mulai menempuh jalan lurus..."
Kakek ini sejenak berhenti untuk menyeka kerin-
gatnya yang membasahi dahi. Sementara Nanjar
tercekat hatinya mendengar cerita si Iblis Pantat Kuning.
"Apakah ada ramuan yang dapat membuat
manusia menjadi muda lagi...?" berkata Nanjar dalam hati.
"Aku pergi meninggalkan dia, dan sejak itu aku tak mau tahu urusannya lagi...!
Tapi justru aku khawatir dia telah melangkah semakin jauh!
Aku pernah mendengar dia menyebut-nyebut
suatu ilmu yang hampir dikuasai yaitu Aji Karang Rogo! Kupikir dia hanya main-
main, karena aku
memang menganggap dia agak kurang waras.
Semua yang dilakukannya hanya karena pelarian
dari rasa masygul akibat patah hati dengan Patih Mangku Jagat yang pada waktu
itu masih menjadi Adipati. Akan tetapi berita yang terdengar ak-
hir-akhir ini sangat membuat terkejut dunia persilatan, karena kemunculan dua
laki-laki kembar yang memiliki Aji Karang Rogo, dan telah menewaskan si Raja
Pedang, serta salah seorang dari partai Halimun Sakti! Aku menduga pasti dua la-
ki-laki kembar itu adalah si Kembar Seruling
Maut. Tapi sejak kapan dia memiliki Aji Karang
Rogo?" Sejenak Nanjar tercenung ketika laki-laki tua itu berhenti bertutur.
"Apakah dugaanmu si Kembar Seruling
Maut ada hubungan dengan adik seperguruan-
mu?" tanya Nanjar.
"Benar! Kupikir aku perlu menemuinya,
untuk mencari tahu tentang dua pemuda kembar
itu. Apakah benar ada hubungannya dengan dia?"
sahut Iblis Pantat Kuning mengelus jenggotnya.
Selesai menyahut, laki-laki tua ini berkata karena segera dia teringat di mana
goa tempat tinggal Ni-ni Sumbi.
"Ah, aku tahu tempat dia berdiam...! Mari
kau ikut aku, Dewa Linglung!" Iblis Pantat Kuning mendahului berkelebat. Nanjar
garuk-garuk tengkuknya sebentar, kemudian segera berkelebat
menyusul: "Haih! Entah macam apa kehebatan Aji Karang Rogo itu?" berkata Nanjar
dalam hati. Dalam berlari-lari mengikuti gerakan kakek itu, Nanjar terus
berpikir. "Tak kusangka Patih Mangku Jagat pernah
punya hubungan asmara dengan Nini Sumbi. Ka-
lau benar perempuan itu menyimpan dendam pa-
da Patih Mangku Jagat, bukan mustahil kalau
suatu ketika Nini Sumbi akan mengacau Kota Ra-
ja..." Ternyata mereka menjumpai goa yang di-huni Nini Sumbi telah kosong.
Bermacam perala-
tan termasuk tulang-tulang tengkorak dalam
ruangan atas telah penuh dengan sarang laba-
laba. Mereka pergi dari goa itu dengan hati kece-wa.
* * * Sementara itu entah dari mana muncul-
nya, sebuah gerobak dihela seekor kuda tampak
melintas di jalan lembah, sesaat setelah si Dewa Linglung dan Iblis Pantat
Kuning pergi meninggalkan lembah itu.
Di bagian depan gerobak tampak duduk
seorang laki-laki bertubuh agak gemuk, berpa-
kaian warna abu-abu dengan bagian bawah hi-
tam. Laki-laki berpipi tembam ini tampaknya te-
lah melintas jalan di lembah itu untuk memotong jalan. Di dalam gerobak tampak
beberapa buah karung entah berisi apa. Tapi melihat butiran-
butiran yang tercecer di dalam gerobak, jelas yang dibawanya adalah beberapa
karung padi. "Hehe... lewat jalan lembah ini jalannya
cukup baik. Aku akan tiba lebih cepat dari pada harus memutar lewat sisi hutan.
Ah, sampai kapan aku jadi kuli seperti ini. Rasanya sudah
hampir bosan jadi orang suruhan Pak Kuwu. Tapi
anak perawannya yang cantik itu membuat aku
tak mampu pergi meninggalkan rumah itu.
Hehe... siapa tahu suatu ketika aku diambil man-tu oleh beliau..." menggumam
pemuda ini, dan tersenyum-senyum sendiri membayangkan wajah
anak gadis majikannya.
Gerobak terus melaju ke tengah lembah,
dan melewati jalan membelok. Tiba-tiba....
"Dheer!"
Terkejut dia karena gerobak membentur
batu yang menonjol di tengah jalan. Tak ampun
lagi roda gerobak oleng... dan
"Brraaak!"
Gerobak itu terguling. Rodanya lepas. Kuda
yang menghela seketika meringkik karena terke-
jut bercampur dengan teriakan kaget laki-laki itu.
Untung saja dia sempat melompat, dan jejakkan
kaki ke tanah, sementara gerobaknya rusak porak poranda. Sedangkan kuda itu
penarik gerobak telah lepas talinya. Binatang itu membedal lari dengan
meringkik-ringkik.
Belum hilang terkejutnya, tiba-tiba batu
menonjol di tengah jalan pada gundukan tanah
yang hampir rata itu menyemburat. Bongkahan
tanah dan pasir menghambur ke udara. Terbela-
lak mata pemuda ini melihat sesosok tubuh wani-
ta berambut panjang beriapan bagaikan hantu
yang bangkit dari dalam kubur, muncul dari da-
lam lubang di hadapannya.
Itulah sosok tubuh Nini Sumbi yang dalam
keadaan telanjang bulat!
Tentu saja melihat kejadian di depan ma-
tanya itu seketika menggeletar tubuh laki-laki ini.
"Han... han... tu... atau... mayat hi... hi-
dup..." Hiii..." Kakinya terasa berat untuk melangkah lari. Tahu-tahu tengkuknya


Dewa Linglung 26 Gempar Aji Karang Rogo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

telah dicengkeram tangan wanita itu.
"Hihi... hihi... terima kasih! Kau telah me-nolongku..." kata Nini Sumbi dengan
tersenyum menyeringai. Akan tetapi tubuh si laki-laki pesuruh Pak Kuwu ini telah
terkulai. Seketika itu juga dia telah tak sadarkan diri karena terkejut luar
biasa dan rasa takut setengah mati. Nini Sumbi
bagaikan mayat yang baru bangkit dari lubang
kubur membawa tubuh laki-laki itu berkelebat
dari lembah itu....
SEPULUH Apa yang dikhawatirkan si Dewa Linglung
ternyata benar. Kemunculan seorang wanita can-
tik berpakaian laki-laki longgar di depan Istana Kerajaan Pengging membuat
kegemparan para
prajurit Kerajaan. Pakaian yang dipakainya tentu saja pakaian laki-laki pembawa
gerobak yang pingsan di lembah Tanpa Nama. Suatu hal yang
aneh, karena wanita itu hidup lagi setelah dis-
angka tewas oleh si Kembar Seruling Maut.
Lima orang prajurit segera mengurung, ka-
rena wanita itu telah membunuh dua pen-jaga
gerbang. Sementara di luar istana orang-orang
berlari ketakutan dengan berteriak panik. Di tengah jalan menuju Kota Raja Nini
Sumbi telah me-
newaskan belasan penduduk, dan empat orang
prajurit Kadipaten yang kebetulan melintas di ja-
lan yang dilalui Nini Sumbi.
"Minggir kalian, kalau tak mau mampus!
Panggil keluar Patih Mangku Jagat!" teriak Nini Sumbi. "Perempuan pengacau!
Katakan siapa dirimu" Apa maksudmu bertemu dengan Gusti Pa-
tih?" bentak salah seorang perwira Kerajaan.
"Hihik... hik... katakan pada Gustimu, aku Dewi Sumbi! Akan kukorek jantungnya,
dan akan kulihat apakah sebusuk hatinya?" sahut Nini Sumbi dengan tertawa mengikik
membangunkan bulu roma. Lima perwira Kerajaan ini tersentak kaget.
Tiga orang sudah maju menerjang dengan diiringi bentakan-bentakan.
"Iblis jahanam, kau layak mampus sebelum
dipenggal batang lehermu sebagai penebus per-
buatan keji dan kelancangan bicaramu!"
"Tebas saja batang lehernya!"
Akan tetapi sekali lengan Nini Sumbi ber-
gerak, tiga perwira terjungkal roboh bergelimpangan dengan nyawa putus dan tubuh
kaku. Hal itu membuat terkejut dua perwira lainnya. Wajah
mereka pucat pias, dan mereka mundur beberapa
langkah. Pada saat itulah terdengar bentakan meng-
geledek merobek udara.
"Manusia iblis dari mana berani mengacau
di Istana?" Ternyata yang muncul adalah Patih Mangku Jagat sendiri. Laki-laki
tua berperawakan tegap dan tampak masih gagah itu berdiri tegak di depan Nini
Sumbi dengan mata membelalak ter-
kejut, melihat tiga perwira Kerajaan tewas dengan tubuh kaku bergelimpangan di
tanah. "Hihi... Patih Mangku Jagat! Lupakah kau
padaku" Hihi... kau pasti pangling, karena aku
telah berubah jadi muda lagi. Apakah kau tak ingat pada bekas kekasihmu yang kau
hina dan kau putuskan hubungan cintanya karena kau le-
bih tertarik dengan gadis bangsawan dari keturunan Ningrat?"
Wajah Patih Mangku Jagat berubah pias.
Kakinya menyurut mundur selangkah.
"Kau... kau Dewi Sumbi...?"
"Hihi... benar! Aku datang untuk menun-
jukkan siapa diriku! Aku toh masih bisa memper-
tahankan kemudaan dan kecantikanku! Bukan
itu saja, akupun bisa melebihi keberadaan orang-orang Ningrat. Karena aku akan
merebut kekua- saan Kerajaan Pengging dalam waktu singkat.
Dan hatiku belum puas kalau belum mengorek
jantungmu!" Bak mendengar petir menyambar, lagi-lagi Patih Mangku Jagat menyurut
mundur. Seperti tak percaya dia melihat wanita yang pernah menjadi kekasihnya itu muncul
di depan ma- ta, dan masih dalam keadaan muda serta masih
terlihat kecantikannya. Tapi Dewi Sumbi dalam
keadaan seperti iblis haus darah.
Disaat itulah terdengar bentakan seseorang
diiringi berkelebatnya dua sosok tubuh.
"Nini Sumbi! Kau telah tersesat! Kau sung-
guh-sungguh telah jadi budak hawa napsu! Kini
aku tak mengakui kau saudara seperguruan lagi!"
Ternyata yang muncul adalah Iblis Pantat Kuning
dan si Dewa Linglung. Kemunculannya disusul
oleh dua sosok tubuh lagi. Yang seorang adalah Senapati Pramudita, dan seorang
lagi adalah seorang gadis muda berpakaian perwira Kerajaan.
Dialah gadis cucu angkat Lung Gadung yang ber-
nama Panji. Melihat kemunculan Iblis Pantat
Kuning serta orang-orang Kerajaan lainnya, wani-ta ini tertawa dingin. Matanya
nyalang menatap
Iblis Pantat Kuning lalu memutar ke sekeliling.
Pada saat yang sama lebih dari tiga puluh prajurit Kerajaan telah mengurung
pula. "Bagus! Hihi... akan lebih mudah bagiku
untuk menumpas semua orang-orang Kerajaan,
termasuk kau, tua bangka Pantat Kuning! Sung-
guh menyesal, terpaksa aku harus mengirim ji-
wamu ke Akhirat, karena kau tak sepaham den-
ganku!" berkata dingin Nini Sumbi.
"Perempuan laknat! Kau pikir aku takut
dengan ilmu barumu, aji Karang Rogo?" bentak kakek ini dengan mendelikkan mata.
Kemara-hannya telah memuncak, karena selain wanita itu adalah adik
seperguruannya yang telah membuat
dia malu di hadapan para pembesar Kerajaan, ju-
ga kebenciannya karena Nini Sumbi sukar dibe-
lokkan ke jalan lurus.
Kakek ini seketika itu juga langsung me-
nerjang, dan menghantamkan pukulannya ke
arah Nini Sumbi. Serentak para prajurit yang
mengurung segera buyar menyingkir, khawatir
terkena pukulan nyasar.
Hantaman pukulan tenaga dalam Iblis Pan-
tat Kuning ternyata tak dielakkan Nini Sumbi. Dia
merentangkan kedua lengannya digunakan untuk
menangkis serangan itu.
"Dhesss!"
Dua tenaga dalam saling bentur. Terdengar
teriakan kaget Iblis Pantat Kuning. Tubuhnya terhuyung beberapa tindak. Kakek
ini rasakan pu-
kulannya seperti tersedot lenyap. Akan tetapi ti-ba-tiba membalik menghantam ke
arah dirinya sendiri dengan tenaga lebih besar. Hal ini bukan saja membuat Iblis Pantat
Kuning terkejut setengah mati, tapi juga membuat terkejut yang berada di tempat
itu. Nanjar tahu-tahu melompat ke depan, dan
menahan tubuh kakek ini. Terkejut Dewa Lin-
glung karena tubuh si Iblis Pantat Kuning telah berubah menjadi kaku. Nanjar
baringkan tubuh
kakek itu. Tampak wajah laki-laki tua itu pucat pias. Segumpal darah beku
kehitaman menggelo-gok dari mulut kakek ini. Sesaat matanya mena-
tap Nanjar, sepasang mata yang mengandung ke-
cemasan seperti mengkhawatirkan nasib semua
orang yang berada di tempat itu. Namun detik berikutnya dia mengeluh, dan
tubuhnya terkulai.
Nanjar terkejut. Cepat dia memeriksa napasnya.
Ternyata si Iblis Pantat Kuning cuma pingsan karena tak kuat menerima hantaman
pukulan tena- ga dalam yang sangat dahsyat itu. Tentu saja kakek itu terluka dalam cukup
parah. Diam-diam hati Nanjar bergidik. Dia me-
lompat bangkit berdiri. Senapati Pramudita perin-tahkan beberapa prajurit untuk
menggotongnya. Laki-laki ini mencabut kelewangnya dari ping-
gang, lalu melompat maju. Disusul dengan gera-
kan tubuh Panji. Gadis yang telah diangkat men-
jadi kepala satu regu pasukan Kerajaan itu ter-
nyata punya keberanian yang luar biasa, walau-
pun dia telah melihat kehebatan Nini Sumbi.
"Paman Senapati! Biar aku yang mengha-
dapi!" teriak gadis ini. Panji telah mencabut pedangnya, dan disilangkan di
depan dada. "Hati-hati Panji! Mari kita hadapi bersama!"
sahut Senapati Pramudita dengan hati khawatir,
karena dia telah melihat sendiri dengan sekali ge-brak si Iblis Pantat Kuning
telah dibuat roboh.
Melihat demikian, Nanjar segera melompat
ke depan seraya berteriak memberi peringatan.
"Tahan dulu sobat-sobat...! Jangan me-
nambah korban lagi. Dia memiliki aji Karang Rogo yang dahsyat!" Senapati
Pramudita yang siap menerjang, terpaksa menahan diri. Tapi Panji langsung
menerjang dengan membentak keras. Pe-
dang di tangannya menyambar leher Nini Sumbi.
"Trang...!"
Terdengar suara teriakan kaget gadis itu,
sementara yang lainnya melihat dengan terperan-
gah. Karena pedang di tangan Panji seperti menabas batu karang, dan terpental
menjadi dua po-
tong. "Edan! Dia benar-benar bukan manusia...!"
sentak Patih Mangku Jagat dengan mata membe-
lalak. Saat itu dengan mengikik tertawa, Nini
Sumbi hantamkan pukulannya ke arah gadis itu.
Sebelah lengannya lagi menghantam ke arah pu-
luhan prajurit Kerajaan.
Uap putih kebiruan menyambar kedua
arah. Nanjar dan semua yang berada di tempat
itu terperangah kaget. Disaat itulah terdengar bentakan si Dewa Linglung,
diiringi cahaya merah berkelebat membias udara. Panji tak menduga kalau wanita
iblis itu akan menyerangnya. Jantungnya terlonjak kaget. Sukar baginya untuk
meng- hindari serangan. Apalagi dia dalam keadaan terkejut luar biasa, karena
pedangnya patah ketika membentur leher Nini Sumbi. Kalau saja lawannya tak
memiliki ilmu yang dapat membuat tubuh
sekeras batu, tentu kepala wanita iblis itu telah tanggal dari tubuhnya.
Di detik mengandung maut itulah sekilatan
cahaya merah yang membias udara telah me-
nangkis sambaran uap putih kebiruan yang me-
nyambar ke arahnya, yang dibarengi dengan ber-
kelebatnya bayang putih.
"Bhussss...!"
Gumpalan uap putih kebiruan itu lenyap
menimbulkan suara aneh yang meletup di udara.
Panji merasa tubuhnya terdorong ke belakang ka-
rena terbentur sesuatu. Ternyata tahu-tahu tu-
buh seorang pemuda berambut gondrong yang
tak lain dari si Dewa Linglung telah berada di depannya. Tangkisan pedang
mustika Naga Merah
pada uap putih kebiruan yang dilepaskan melalui pukulan pada Panji telah membuat
terhuyung tubuh Nanjar hingga membentur tubuh gadis itu.
Akan tetapi bersamaan dengan itu terden-
garlah suara jeritan-jeritan menyayat hati.
Tampak belasan prajurit berjungkalan di-
rambas uap putih kebiruan Nini Sumbi yang se-
kaligus telah meminta korban jiwa!
"Iblis edan! Kau benar-benar telengas!" ma-ki si Dewa Linglung dengan geram.
Wajah Patih Mangku Jagat dan Senapati Pramudita berubah
pucat. Akan tetapi mereka menahan kemarahan-
nya, karena tak berani sembarangan menerjang
setelah mengetahui kehebatan lawan mereka.
"Hihi... kau pasti si Dewa Linglung, si Pendekar Naga Merah!" berkata Nini Sumbi
seraya menatap tajam pada Nanjar yang melintangkan
pedang pusakanya di depan dada.
"Benar dugaanmu, Nini Sumbi! Secara ke-
betulan aku memiliki pedang ini. Walau aku tak
menginginkan gelar itu, tapi terserah bagi siapapun yang menyebutku demikian!"
ujar Nanjar dengan sikap tenang. Kemudian Nanjar melanjutkan kata-katanya.
"Sobat Nini Sumbi! Ilmu yang kau miliki
sungguh hebat. Sebelum kita bertarung, bolehkah aku mengetahui apakah hubunganmu
dengan dua laki-laki kembar yang juga memiliki ilmu hebat aji Karang Rogo" Dan apakah
sebenarnya tu- juanmu mengamuk di Istana Kerajaan Pengging
ini?" Nanjar sengaja lakukan jalan lunak, karena khawatir wanita itu semakin
mengumbar hawa napsu mengamuk membunuhi orang-orang Kera-
jaan. Sedangkan Nanjar menduga belum tentu
mampu menghadapinya. Nini Sumbi tertawa ter-
kikih, kemudian menyahut dengan sikap gagah
dan dada dibusungkan.
"Hm, ilmu aji Karang Rogo takkan ada tan-
dingannya. Memang hebat seperti katamu. Kau
menanyakan dua laki-laki kembar pemilik aji Ka-
rang Rogo" Hihi... keduanya adalah murid-
muridku. Mereka telah mewarisi aji Karang Rogo
yang hebat setelah menerima gemblengan dan
penerapan aji itu selama tujuh kali bulan purna-ma! Hm, dimana kau menjumpai
kedua muridku itu?" Tiba-tiba Nini Sumbi bertanya.
Nanjar menggeleng. "Aku hanya mendengar
beritanya saja. Tapi kaum Rimba Hijau telah
mengetahui kalau dia adalah si Kembar Seruling
Maut. Mereka telah membunuh si Raja Pedang,
dan salah seorang dari Partai Halimun Sakti menjadi korban ketelengasannya!
Sekali lagi kutanyakan, apakah maksudmu mengamuk di Istana Ke-
rajaan Pengging. Apakah dengan ilmumu yang
hebat itu kau akan menguasai jagat" Apakah se-
benarnya yang kau cari" Kalau yang kau cari cu-
ma kepuasan diri, ketahuilah! Kepuasan di atas
dunia ini takkan ada habisnya. Apakah dengan


Dewa Linglung 26 Gempar Aji Karang Rogo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membantai orang menebar bala dapat memua-
skan dirimu?" berkata Nanjar dengan suara datar.
"Hihi... bicaramu seperti seorang pendeta
saja, anak muda! Tapi kata-katamu benar! Aku
cuma mengumbar hawa napsu saja! Dan saat ini
aku puas, karena telah menunjukkan kehebatan-
ku pada manusia yang telah membuat aku sakit
hati!" kata Nini Sumbi, seraya menatap tajam pa-da Patih Mangku Jagat yang
berdiri mematung.
Namun dengan sikap siap siaga.
"Sakit hatipun tak ada habisnya! Kalau kau mendendam sakit hati pada Patih
Mangku Jagat, lalu apakah orang-orang yang kau bunuh itu dari pihak keluarganya tak sakit
hati" Kalau kau bisa mendendam, maka orang lainpun bisa mendendam!" Nanjar
meneruskan bicaranya membuat
Nini Sumbi kembali menoleh dan menatap Nan-
jar. "Hm, silahkan siapapun yang mau men-
dendam padaku. Aku tak perduli! Dengan ilmu
yang kumiliki toh mereka tak mampu mengalah-
kan aku!" berkata dingin Nini Sumbi. Akan tetapi Nanjar tertawa gelak-gelak.
"Haha... ha... kesombongan hanya dimiliki
oleh para iblis! Dan tak ada iblis yang tak ditempatkan di Neraka! Apakah kau
mengira ilmu aji
Karang Rogo tak akan terkalahkan" Hm, dunia ini telah diatur oleh Yang Maha
Kuasa. Di atas langit masih ada langit. Dan manusia masing-masing telah
diberikan takdirnya. Kalau sudah waktunya
mati, maka tak akan dapat ditolak lagi! Ingin kutanya, apakah kau mampu melawan
takdir?" Terhenyak seketika wanita itu. Sepasang
matanya tampak menyorot tajam menatap si De-
wa Linglung. Tapi mendadak dia tertawa terkikih, kemudian berkata dengan angkuh.
"Sampai saat ini aku belum mengenal tak-
dir seperti yang kau sebutkan. Tapi kenyataannya aku telah hidup untuk kedua
kalinya! Disaat aku menerima kesempurnaan aji Karang Rogo dari
Mbah Jogo Karang, aku langsung menyalurkan
melalui kedua lenganku pada kedua laki-laki
kembar muridku. Selanjutnya aku tak tahu apa-
apa lagi. Aku merasa diriku telah mati, karena
aku telah terkubur di dalam tanah. Akan tetapi
tiba-tiba aku merasa dapat bernapas lagi. Dan
dengan segera kujebol tanah yang mengubur tu-
buhku. Hihi... aku tahu, yang telah mengubur-
kanku adalah kedua pemuda kembar muridku.
Dan... hihi... rahasia kehidupanku hanya akulah yang mengetahui..."
Tentu saja penuturan Nini Sumbi membuat
semua yang berada di tempat itu saling pandang.
Sementara itu tanpa setahu seorangpun di atas
tembok Istana telah berdiri seorang tua berjubah putih. Siapa adanya laki-laki
tua ini tak lain dari Lung Gadung. Ternyata kakek itu belum kembali
ke puncak Gunung Galunggung. Sejak tadi dia te-
lah mendengarkan percakapan. Sayang dia da-
tang terlambat, sesaat Nini Sumbi melepas puku-
lan maut yang menewaskan belasan orang praju-
rit Kerajaan. Mendengar disebutnya nama Mbah
Jogo Karang, wajah Lung Gadung berubah seke-
tika. Jantungnya melonjak keras.
"Mbah Jogo Karang" Ah... menurut cerita
manusia itu telah mati seratus tahun yang lalu!
Dia memang seorang tokoh sesat yang memiliki
aji Karang Rogo. Bagaimana sampai aji Karang
Rogo bisa menitis pada wanita bernama Nini
Sumbi ini?" berkata Lung Gadung dalam hati.
"Wanita itu mengetahui rahasia kehidupan dirinya, berarti dia bisa mati seperti
halnya Jogo Karang. Tapi bisa hidup lagi! Kalau begitu besar kemungkinan manusia
bernama Jogo Karang itupun masih bisa hidup, entah berupa roh atau
sukma!" Lung Gadung termangu-mangu di atas
tembok Istana. Saat itu baik Nanjar maupun semua yang
berada di tempat itu terlongong mendengar penu-
turan Nini Sumbi.
"Edan! Siapa lagi manusia bernama Jogo
Karang itu?" bertanya-tanya Nanjar dalam hati.
Akan tetapi Dewa Linglung tak memikir terlalu
jauh. Baginya hanyalah mencari jalan terbaik untuk menyingkirkan malapetaka dari
tempat itu. "Kau memang hebat dan sakti, Nini Sumbi!
Justeru itulah aku ingin bertarung denganmu.
Tapi tidak di tempat ini! Aku ingin tempat yang leluasa!" berkata Nanjar dengan
sikap tenang. Namun dalam hati diam-diam dia berkata. "Tak ada jalan lain
terpaksa aku menghadapinya dengan
segala daya dan kekuatanku. Aku harus membu-
juknya agar meninggalkan Kota Raja, hingga un-
tuk sementara dia melupakan dendamnya pada
Patih Mangku jagat!"
Nini Sumbi tertawa mengikih. Sepasang
matanya berkilat-kilat menatap si Dewa Linglung.
"Hihi... bagus! Carilah tempat yang baik
untuk kuburanmu!" berkata dingin Nini Sumbi.
Ternyata hati wanita ini terpincut juga untuk
menjajal kehebatan pemuda gondrong itu. Lupa-
lah dia pada maksud tujuannya semula.
"Baik! Di luar Kota Raja, disebelah Timur
perbatasan adalah tempat yang baik buat kita
bertarung secara leluasa. Mari kita kesana!" Selesai berkata Nanjar mendahului
berkelebat. Nini
Sumbi tak berayal segera menyusul pemuda gon-
drong itu. Patih Mangku Jagat, Senapati Pramudita,
serta Panji sesaat saling pandang. Bibir Patih
Mangku Jagat tersenyum. Kepalanya digeleng-
gelengkan seraya menghela napas lega. Ketegan-
gan untuk sementara berakhir dengan perginya
wanita iblis itu
"Sungguh cerdik pendekar muda yang ga-
gah itu. Dia berhasil memancing Dewi Sumbi me-
ninggalkan Istana.... Ah, entah malapetaka yang datang ini apakah bisa
tersingkirkan" Aku tak
menduga kalau dia masih menaruh dendam pa-
daku sejak putusnya hubungan cintaku dengan-
nya puluhan tahun yang silam. Dan... benar-
benar luar biasa ilmu kesaktiannya..." kata Patih Mangku Jagat seraya melompat
mendekati Senapati Pramudita.
"Sebaiknya kami menyusul ke sana untuk
melihat pertarungan. Dan... kukira kakang Patih tak usah ke sana. Perketat
penjagaan disekitar Istana untuk melindungi Baginda Prabu...!" berkata Senapati
Pramudita setelah menjura.
"Baiklah, dimas Senapati...! Berhati-
hatilah...! Kirim berita secepatnya bila terjadi apa-apa yang mengkhawatirkan!"
Senapati Pramudita mengangguk. Lalu menjura. Kemudian mengajak
Panji meninggalkan Istana. Sebelum berangkat,
Panji menjura pada Patih Mangku Jagat.
"Kami berangkat, Gusti Patih..."
"Hati-hati anak manis...! Agaknya sifat keberanian ayahmu menurun padamu. Aku
sung- guh-sungguh kagum padamu!" ujar Patih Mangku Jagat dengan tersenyum. Panji tak
menjawab. Dia hanya tunduk tersipu. Tak lama segera balikkan
tubuh dan pergi mengikuti di belakang Senapati
Pramudita. Dengan membawa sepasukan prajurit ber-
jumlah dua puluh orang, Senapati Pramudita be-
rangkat keperbatasan sebelah Timur. Keduanya
menunggang kuda. Tampak Panji yang memimpin
pasukan prajurit Kerajaan. Seiring dengan kepergian mereka. Lung Gadung diam-
diam telah me- nyusul dengan mengambil jalan lain...
* * * Dewa Linglung telah berdiri tegak di hada-
pan Nini Sumbi. Keduanya sama-sama menatap
dengan tajam. Tempat itu sangat luas. Tanah pa-
dang rumput yang biasa digunakan untuk meng-
gembalakan kerbau ini kini akan digunakan un-
tuk ajang pertarungan!
"Dewa Linglung! Kau sudah siap untuk
menghadapiku?" bertanya Nini Sumbi. Suaranya dingin membeku terbawa angin
gunung. "Aha! Aku sudah sejak tadi siap, Nini Sum-
bi!" sahut Nanjar dengan kedua lengan terbuka.
"Kau tak menggunakan pedang mustika
Naga Merahmu?" tanya wanita ini dengan menge-rutkan kening melihat Nanjar
bertangan kosong.
"Aku akan menggunakannya jika kuperlu-
kan! Nah! Mulailah Nini Sumbi!" Dewa Linglung menyahut dengan sikap tenang.
Sementara diam-diam dia telah menyusun rencana untuk meng-
gunakan ilmu sihir putih dan jurus-jurus anda-
lannya. Tapi dia harus berlaku hati-hati, karena sudah melihat betapa hebatnya
wanita itu. "Bagus! Jangan menyesal kalau tempat ini
bakal menjadi tempat kematianmu!" berkata dingin Nini Sumbi. tapi kemudian
tertawa terkikih.
"Hihi... sayang...! Sebenarnya aku sangat kagum padamu, bocah gagah. Kau masih
muda, tapi telah menyandang nama besar di Rimba Persilatan!
Aku sungguh menyayangkan kematianmu!" sam-
bung Nini Sumbi.
"Semuanya kuserahkan pada Takdir!" kata Nanjar dengan tersenyum. Namun diam-diam
dia telah mempersiapkan diri untuk menghadapi wa-
nita itu. "Bagus! Takdir kematianmu adalah di tan-
ganku!" bentak Nini Sumbi dengan mata meman-carkan kemarahan, karena lagi-lagi
si Dewa Linglung menyebut-nyebut kata-kata itu. Serangkum
uap putih kebiruan meluncur ke arah Nanjar ke-
tika wanita itu memulai serangannya. Nanjar berkelebat ke samping dengan gerakan
sebat. "Whuuuuk!"
Sambaran berikutnya menghambur mem-
buru tubuh si Dewa Linglung yang berkelebatan
menghindarkan diri dari serangan tanpa mema-
pakinya. Nini Sumbi menggerung keras. Kedua
lengannya mencengkeram ke batok kepala Nanjar.
Nanjar terkesiap. Karena merasa satu kekuatan
telah menyedot tubuhnya. Tapi dengan cepat dia
gunakan jurus Ular Merosot Dari Pohon. Jurus ini membuat tubuhnya memendek.
Cengkeraman lengan Nini Sumbi lewat di atas kepala. Detik itu
dipergunakan Nanjar untuk menghantam lam-
bung lawan. "Buk!"
Hampir saja Nanjar menjerit kesakitan. Ka-
rena lengannya seperti menghantam batu karang.
Tubuh si Dewa Linglung berguling ke samping, la-lu melompat berdiri. Tampak
mulut si Dewa Lin-
glung meringis. "Sialan! Tubuhnya benar-benar sekeras batu!" sentak Nanjar dalam
hati. Namun akibat pukulan itu tubuh Nini Sumbi terhuyung
ke belakang. "Hihi... pukulanmu mantep juga, Dewa
Linglung! Sebaiknya kau gunakan pedang Naga
Merahmu!" ejek Nini Sumbi sambil men-cibir.
"Baik! Lihat serangan pedangku!" bentak Nanjar. Mendadak tubuhnya berkelebat ke
udara. Tahu-tahu lengannya telah mencekal pedang
mustika Naga Merah. Nini Sumbi menengadah.
Matanya melihat kilatan sinar merah menyambar
ke arahnya. "Whuuuk!"
Nini Sumbi menghantam dengan kedua
lengannya. Uap hitam menyembur dibarengi ber-
siurnya angin keras berhawa dingin men-cekam.
Akan tetapi tahu-tahu sosok tubuh si Dewa Lin-
glung lenyap berikut sinar merah-nya. Hantaman
pukulan maut Nini Sumbi menggelegar di udara
yang kosong. "Haha... haha... kau memukul angin, Nini
Sumbi" Lucu! Kau telah bertarung secara nga-
wur!" Alangkah terkejutnya wanita ini karena melihat si Dewa Linglung masih
berdiri di tempat
asalnya. "Bocah setan! Ilmu apa yang kau guna-
kan?" bentak Nini Sumbi dengan muka berubah merah. "Haha... hihi... itulah jurus
Menipu Nenek Kehilangan Susur!" jawab Nanjar sekenanya. Padahal dia telah
menggunakan salah satu jurus
dari ilmu sihir putih untuk mengelabui lawannya.
"Bedebah! Kau hadapi seranganku!" bentaknya dengan gusar, karena merasa pemuda
gondrong itu menyindirnya. Pukulan-pukulan
dahsyat merambas si Dewa Linglung dengan de-
ras. Tanah menyemburat di setiap tempat bekas
pukulannya yang lolos. Karena dengan kelinca-
han yang sangat mengagumkan si Dewa Linglung
berkelebatan menghindarkan diri. Sebentar me-
lompat seperti kera. Sebentar menggelosor seperti ular, dan sesekali terhuyung
seperti orang mabuk.. Enam belas jurus telah lewat. Namun tak
satupun pukulan Nini Sumbi yang berhasil men-
genai sasaran. Lagi-lagi wanita itu terkecoh, karena menghantam batu yang
dilontarkan Nanjar ke
udara. Batu itu baru ketahuan batu setelah han-
cur berkepingan terkena sambaran pukulannya.
Padahal yang tadi terlihat adalah sosok tubuh si Dewa Linglung.
Di satu kesempatan tiba-tiba Nanjar lan-
carkan serangan angin pukulan Badai Salju! Itu-
lah jurus yang telah diperdalam diwilayah Mongol ketika mencari kitab ilmu sihir
putih. Uap salju menggebubu menyambar tubuh Nini Sumbi. Se-
ketika itu juga tubuh wanita itu terbungkus oleh salju yang memutih. Disaat
itulah Nanjar cabut
pedang mustika Naga Merah. Dan...
"Crass!"
Darah menyembur ke udara. Tubuh Nini
Sumbi yang terbungkus salju telah terpotong
menjadi dua bagian. Sepotong masih tegak tak
bergeming di tanah, dan sepotong lagi jatuh men-gelinding. Sukar untuk diduga,


Dewa Linglung 26 Gempar Aji Karang Rogo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ternyata Nini Sumbi tewas dengan keadaan masih terbungkus
salju. Kedua potongan tubuh itu dalam keadaan
tak bergeming lagi.
Di saat itulah dua sosok tubuh melompat
ke tempat itu. "Hebat! Kau berhasil membunuhnya, sobat
Dewa Linglung!" Yang berkata dan muncul adalah Senapati Pramudita. Seorang lagi
tak lain dari Panji. Ternyata dua puluh prajurit Kerajaan telah berada di sekitar tempat itu.
Tentu saja mereka melihat pertarungan yang seru dan mendebarkan
itu. Nanjar masih berdiri terpaku. Dengan akal cerdiknya dia berhasil menewaskan
Nini Sumbi. Karena dengan serangan jurus pukulan Badai
Salju, tubuh lawan terbungkus salju. Dengan
demikian dapat diduga kekuatan aji Karang Rogo
menjadi luntur punah. Dugaan Nanjar ternyata
tepat. Dan, pedang mustika Naga Merah berhasil
memapas putus tubuh lawan.
Pada saat yang bersamaan setelah kemun-
culan Adipati Pramudita dan Panji, secara kebetulan seekor burung elang melintas
di udara. Bayangan elang melintas tepat di bagian potongan tubuh Nini Sumbi... Saat itulah
Nanjar membelalakkan mata, melihat potongan tubuh Nini Sumbi
bergerak, dan melesat ke arah tubuhnya yang se-
potong lagi. "Plas!"
Sekejap kedua potongan tubuh itu telah
bersatu lagi. Dan...
"Blarr!"
Salju berhamburan. Terdengar suara ter-
tawa mengikih Nini Sumbi. Bagai melihat hantu,
Nanjar melangkah mundur. Sementara itu Sena-
pati Pramudita tercengang, dan terperangah ka-
get. "Dia... dia hidup lagi...?" sentak Senapati ini dengan suara berdesis. Akan
tetapi secepat kilat laki-laki ini telah mencabut kelewangnya. Dan dengan
gerakan kilat tubuhnya berkelebat. Kelewang di tangannya menyambar leher wanita
iblis itu. "Trang!"
Terdengar teriakan kaget Senapati Pramu-
dita. Tak ubahnya seperti yang terjadi pada Panji, kelewangnya patah menjadi dua
potong ketika membentur tubuh Nini Sumbi. Nanjar terpaku
menatap. Jelas aji Karang Rogo telah kembali
memasuki tubuh wanita itu. Mendadak Nanjar
merogohkan lengannya ke balik baju. Tubuhnya
berkelebat ke arah Nini Sumbi.
"Slup...!"
Sesuatu telah melayang masuk ke celah
baju wanita itu. Disaat Nini Sumbi siap menghan-
tamkan pukulannya ke arah si Dewa Linglung,
mendadak dia menjerit keras. Tubuhnya ber-
jingkrakan melompat-lompat. Rambutnya yang
terurai itu beriapan. Wanita ini menjerit-jerit ka-lap dengan wajah pucat
ketakutan. Ternyata see-
kor tikus putih telah merayap dari celah baju ke arah lehernya.
Rasa geli dan jijik membuat dia ketakutan
setengah mati melihat binatang itu. Binatang kecil ini mencicit-cicit membaui
tubuh Nini Sumbi.
Tiba-tiba tikus kecil itu telah menggigit lehernya.
Nini Sumbi menjerit setinggi langit. Tubuhnya terjungkal roboh, lalu
berkelojotan. Selang tak lama tak bergerak lagi. Membaui tubuh majikannya,
binatang ini segera berlari ke arah si Dewa Linglung yang berdiri menjublak
keheranan. Dan...
"Slup!"
Binatang kecil itu telah menyusup masuk
lagi ke celah bajunya.
Nanjar rogohkan lengannya menangkap bi-
natang peliharaannya. Matanya membelalak me-
natap si tikus putih.
"Kau... kau berhasil membunuhnya?" ujar si Dewa Linglung dengan terlongong.
Benar! Ternyata untuk kedua kalinya Nini Sumbi tewas. Tu-
buhnya tak bergeming lagi. Semua yang berada di tempat itu terpaku mematung.
Rasa khawatir manusia itu akan hidup lagi membuat suasana
dicekam ketegangan. Nanjar perlahan melangkah
mendekati tubuh wanita itu. Lalu lemparkan ti-
kus putih yang dicekalnya melewati tubuh Nini
Sumbi. Dewa Linglung sesaat menahan napas.
Binatang itu mencicit mengendus-endus tubuh
wanita itu. Kemudian merayap naik ke tubuh Nini Sumbi. Dan melompat lagi ke arah
si Dewa Linglung. Lalu kembali menyusup ke balik baju pe-
muda itu. Setelah mengetahui tubuh Nini Sumbi tak
bergerak lagi, barulah Nanjar menghela napas.
Tampak sebuah luka kecil yang mengalirkan da-
rah di leher wanita itu.
Disaat itulah tampak suatu perubahan pa-
da tubuh Nini Sumbi. Tubuh yang padat dengan
wajah yang muda dan cantik itu mendadak be-
rangsur-angsur mengalami perubahan. Kulit yang
putih padat telah berubah lagi menjadi kering kehitaman. Wajah muda wanita itu
juga berubah menjadi seorang wanita tua berkeriput, dan ram-
butnya tampak kembali memutih.
"Aneh! Semua ilmu yang dimilikinya me-
luntur...! Apakah karena pengaruh gigitan tikus putih peliharaanku?" berkata
Nanjar dalam hati.
Nanjar menggaruk tengkuknya yang tidak
gatal. Disaat Senapati Pramudita dan Panji ten-
gah terpaku melihat keajaiban itu, si Dewa Lin-
glung telah berkelebat secara diam-diam mening-
galkan tempat itu. Cuma kakek Lung Gadung
yang melihat kepergian si Dewa Linglung dari
puncak pohon. Laki-laki tua ini menggeleng-
gelengkan kepala. Bibirnya tersenyum.
"Pendekar muda yang aneh...! Sungguh
aku yang tua ini sudah ketinggalan jaman!" ujar-nya berdesis. Kemudian
berkelebat lenyap dari
puncak pohon...
TAMAT Scan/PDF: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
https://www.facebook.com
/DuniaAbuKeisel
Document Outline
SATU DUA TIGA TAMAT Kisah Para Naga Di Pusaran Badai 2 2 Senopati Pamungkas I Karya Arswendo Atmowiloto Kelana Buana 28
^