Pencarian

A Life 1

A Life Karya Silvia Arnie Bagian 1


A Life Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002
Tentang Hak Cipta Lingkup Hak Cipta Pasal 2: 1. Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta
untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, yang timbul secara
otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan
menurut peraturan perundangan-undangan yang berlaku.
Ketentuan Pidana: Pasal 72 1. Barangsiapa dengan sengaja melanggar dan tanpa hak melakukan perbuatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 49 Ayat (1) dan Ayat
(2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu)
bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau
pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp
5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau
menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta
atau hak terkait sebagai dimaksud pada Ayat (1) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Silvia Arnie A Life Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
Jakarta, 2007 A LIFE oleh Silvia Arnie GM 312 07.006 ? Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
Jl. Palmerah Barat 33"37, Jakarta 10270
Ilustrasi dan desain cover: eMTe
Diterbitkan pertama kali oleh
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama,
anggota IKAPI Jakarta, Februari 2007 208 hlm; 20 cm ISBN-10: 979 - 22 - 2683 - 4
ISBN-13: 978 - 979 - 22 - 2683 - 6
Dicetak oleh Percetakan PT. Gramedia, Jakarta
Isi di luar tanggung jawab percetakan
Little Words" A Life adalah sebuah kehidupan, di mana segala
sesuatu terpaut satu sama lain, membentuk rentetan
urutan kejadian yang mengisahkan cerita-cerita manis
dan pahit. Karena dalam kehidupan selalu ada awal
dan akhir, pertemuan lebih dari sekadar awal kejadian
atau kesenangan. Dan perpisahan bukan sekadar akhir
atau gambaran kesedihan, melainkan lebih dari pelepasan yang bermakna"
Kepada sahabat sejati yang menampar di saat yang
tepat dan membelai saat dibutuhkan, thanks a lot you
taught me that. Kepada Kak Icha Rahmati, thanks. You make me
realize that I really have a big chance to write this.
To my fam, my two big sisters mommy, daddy"
Thanks udah menampungku di rumah ini sehingga
aku bisa berkarya. Kalian tak pernah tahu betapa aku
mengagumi dan menyayangi kalian.
Makasih juga kepada PT Gramedia Pustaka Utama
yang bersedia menampung inspirasiku. Terutama
editorku yang setia membentuk tulisanku sampai seperti
ini. Merci beaucoup, Madame Rosi L. Simamora"
Yah, sama buat guru-guru Biologi di SMAK 2 yang
secara nggak sadar ilmunya aku pake sedikit di sini.
Haha" Kepada segelintir orang suchas Ell, Fris, Lid, Tep, Ndu
(Do I miz anyone") yang walaupun tidak pernah tahu
awal pembuatan novel ini, tapi pada akhirnya tahu lebih
cepat daripada orang lain. Terima kasih telah percaya
dan mendukungku. Dukungan kalian lebih dari yang
kalian bayangkan. Bentuk senyuman dan doa kalian
membuat kehidupan lebih hidup dan manis.
Dan tentunya para pembaca yang telah berkorban
sedikit membeli novel ini atau hanya sekadar meluangkan waktu untuk membaca, thanks a lot. Lebih
dari segalanya, penulis ini mengharapkan kritik dan
saran dari kalian" And last (but really not least), syukurku yang tak
terhingga buat my "Papa" up in heaven. Kenapa aku
ucapin terakhir" Karena saat semuanya berakhir, segala
sesuatu hanya akan berpulang kepada-Nya. Coz I do
everything from Him and only for Him"
Karena kehidupan hanyalah sepotong cerita"
Buku ini kupersembahkan untuk mereka yang
membuat hidupku seperti hot latte klasik diiringi
musik jazz di waktu hujan. Hangat, nikmat, tepat
dengan campuran pahit dan manis yang pas.
Karena akhirnya kehidupan hanyalah
sepenggal cerita... 6 Lunna H ARI Senin yang panas. Matahari menyengat, menghabiskan lapisan ozon yang ada. Dari kejauhan terlihat
warung bakso Pak Damang yang kecil namun rapi.
Aku, Icha, dan Alin duduk-duduk menikmati teduhnya
warung itu. "Lo berdua denger, ya!" seruku sambil mengunyah
baksoku yang kelima belas. "Sampe mati gue nggak
bakal maafin Sandy!" sumpahku sambil mengembuskan napas kesal. Lalu aku meminum jus jerukku.
Teman-temanku diam tak berkutik. Kutatap mereka
dengan tatapan tajam sambil mengipas-ngipas dan
menghapus ingusku. Mereka saling melirik sambil mengerutkan dahi. "Sumpah, pedes banget! Huee"," kataku akhirnya, lalu menghabiskan isi gelasku.
"Lagian lo makan sambel pake bakso. Pak Damang
juga rugi sambel kalo lo yang makan." Alin mengangkat botol sambal kosong yang telah kuhabiskan.
7 "Pak, bakso gorengnya lima lagi, ya! Sama jus jeruk,
nggak pake lama!" aku memesan santai. "Ada yang
mau" Sekalian nih!"
"Najis!! Ini cewek apa monster sih?" tanya Alin
jijik. "Tau lo! Jadi cewek anggunan dikit, napa sih?" Icha
ikut nimbrung. "Yee" simpati dikit kek, namanya juga orang baru
putus!" seruku membela diri.
Pak Damang datang mengangkati mangkuk-mangkuk kosong dan menyediakan jus jeruk serta lima
bakso goreng dalam mangkuk baru. Ia tersenyum
maklum padaku. "GOOD NEWS!!!!" suara centil Cassy tiba-tiba memecah keheningan, menggema di seluruh warung. Aku,
Alin, dan Icha melompat kaget bersama. Kami menoleh
dan mendapati Cassie dan Cannie melompat-lompat
kegirangan ke arah kami. "Heii!!! Tebak, tebak! Tadi gue denger apa?" tanya
Cassy riang. "Apa" Apa?" tanyaku bersemangat.
Mata Cassy membesar. "Tebak dong!!" serunya sambil menyibak rambut.
"Apaan sih" Sok misterius lo!" Icha mulai nggak
sabar. Kami mengelilingi Cassy. Ia tersenyum senang.
Ia selalu senang menjadi pusat perhatian.
"Pak, baksonya dong, lima! Sama es teh, ya?" Cassy
malah memesan bakso. "Ada yang mau, nggak?" tawarnya. Kami menggeram bersamaan. Ia ketawa puas.
8 "Pak, sekalian sambelnya!" Aku menukarnya dengan
botol sambal yang kosong.
"Ni orang malah makan, lagi! Dengerin gue dong!"
kata Cassy kesal, karena perhatianku mulai terbagi.
"Abis, lo kelamaan. Bakso gue yang lima belom
abis-abis dari lo dateng tadi, nanti kalo udah dingin
nggak enak!" lanjutku cuek.
"Ih! Padahal ini kan tentang lo!" Cassy mulai merajuk.
"Oh"," sahutku nggak peduli.
"Yee" nggak asyik banget! Udah ah." Cassy mulai
melahap bakso yang diantar Pak Damang.
"Iya, iya" apaan?" tanyaku mencoba antusias.
"Nggak, gue cuma mau kasih tau, lo menang puisi
lagi," katanya singkat.
"Oh ya?"" tanyaku, kali ini benar-benar antusias. Ia
melirikku kesal. "Hahaha" makasih, ya. Lo memang
sahabat terbaik!" Aku memeluk Cassy yang menatapku
sinis. "BTW, puisi gue yang mana, Sy?" tanyaku penasaran.
"Yang" mana, ya?" Cassy mencoba mengingat-ingat.
"Nggak tau. Lo liat di mading aja. Dipajang kok!"
katanya lagi. "Oh, ya" Kapan dipasangnya" Kok gue nggak tau?"
sahutku bingung. "Iya" gue juga nggak liat," kata Alin.
"Baru dipasang tadi. Pas gue sama Cassy lagi jalan
keluar ruang guru. Biasa, urusan rok. Hehehe","
Cannie nyengir. Rok sekolah Cassy dan Cannie me-
9 mang pendek, karenanya mereka sering dipanggil ke
ruang guru. "Ooww" lomba yang mana lagi sih?" tanya Icha.
"Justru itu, gue nanya puisi yang mana. Gue lupa
ikut lomba puisi di mana aja," aku mencoba mengingat-ingat.
"Mm" judulnya Setiap Detik dalam Hidupku," jawab
Cannie lagi. "Setiap Detik dalam Hidupku?" tanyaku bingung.
"Yang mana tuh?" tanya Alin.
"Kalo nggak salah yang lomba di Gloria 1 deh!"
sahutku ragu. "Sekolah keren itu?" Icha terpukau. "Wow"."
Aku tersenyum bangga mendengar komentarnya.
"Tapi gue nggak suka ah puisi lo yang itu," Cannie
menatapku dalam. "Menurut gue sih kurang" greng,
gitu! Nggak ngena. Kalo yang dulu tuh" kereennn"!"
"Iya" gue juga ngerasa gitu sih, Lun. Maaf nih,
tapi lebih baik jujur, kan?" kata Cassy setuju.
"Nih, gue salin tadi!" kata Cannie.
"Hah" Lo salin" Sempet-sempetnya?" tukas Cassy
nggak percaya. "Gue emang selalu nyalin. Gue kan pengagum
Lunna. Hehe" Gue punya satu file puisi-puisi Lunna.
Hehe"," katanya tersenyum malu. Aku nggak tahu
Cannie sangat menyukai puisiku. Sekelebat perasaan
hangat merasuki dadaku. Rasa bangga, rasa senang,
rasa sayang. Ia membuka file-nya, lalu membuka halaman terakhir. Ada puisiku di sana. Rasa hangat itu
10 lenyap. Aku ingat puisi itu. Puisi itu cuma sekumpulan
kata tak berseni. Aku kehilangan maknanya.
Setiap Detik dalam Hidupku
Setiap detik dalam hidupku diwarnai pengkhianatan
Terlalu kejam tuk jadi kenyataan
Terlalu buruk tuk jadi mimpi buruk
Dan tangis pun tak sanggup menggambarkan apa
pun Lalu-lagu mengalunkan nada empati
Seolah tahu perasaan apa ini
Seandainya semudah itu menerima kenyataan
Seandainya ia tak merampas seluruh napasku
Seandainya ia menyisakan sedikit untukku
Agar setidaknya ku bisa berdiri lagi
Benar kiasan menyayat hati
Teriris tipis dan tertusuk tombak dalam-dalam
Bilamana darah yang tak terhenti
mengucur dari irisan nadiku
Seperti itulah sakit yang abadi
Napasku direnggutnya Nyawaku dicurinya Ia mengambil semuanya Setiap detik dalam hidupku
"Standar, kan?" tanya Cannie. Teman-temanku yang
lain tak menyahut. Ada keheningan yang tidak menyenangkan. Aku tahu mereka setuju.
11 "Nggak juga sih. Gue ngerasain sedikit penderitaan
di puisi lo," kata Alin bijak. Ia terdiam cukup lama,
lalu melanjutkan, "Sedikit keputusasaan tepatnya," ralatnya.
"Dan sedikit kemarahan." Icha melirikku tajam. Mereka tahu ada yang salah.
"Itu puisi gue buat Sandy. Tadinya," aku akhirnya
mengaku di depan sahabat-sahabatku, "gue sayang
banget sama dia!" Aku mengembuskan napas panjang. "Kalo aja ada yang bisa gue lakukan biar bisa
balik." "Sshh" lo pasti bisa dapet yang lain kok! Cowok
kan banyak." Icha mencoba menghiburku.
"Tadi katanya lo nggak mau maafin dia. Ya udah, lo
nggak usah inget-inget dia lagi." Alin merangkulku.
"Lo kenapa sama Sandy" Udah putus?" tanya Cassy
dan Cannie bersamaan dengan mata terbelalak.
"Yah" sebenernya sih belum," kataku bimbang.
"Tapi gue anggep udah."
"Maksud lo, lo belum mutusin dia?" tanya Alin
kaget. "Tadi lo bilang udah putus."
"Gue" nggak ngerti. Ceritain dari awal dong!" pinta
Cannie. "Iya, gue juga nggak ngerti," kata Cassy.
"Makanya, rok tuh dipanjangin! Telat sih! Gue ngulang cerita deh!" Aku memutar mataku.
"Yee" iya, nanti gue buat panjang sekaki sekalian
deh! Udah, cerita deh"," Cassy membela diri.
"Jadi" kemaren itu gue akhirnya mergokin dia
12 SMS cewek lain." Aku memejamkan mata. Kejadian
itu terputar ulang di kepalaku.
"Lo yakin itu cewek ada apa-apanya" Bisa aja dong
itu temen biasa?" Cassy bertanya nggak yakin.
"Yeee" apanya yang biasa" Orang pake aku-kamu
gitu!" tukasku jengkel. "Seharusnya tuh gue udah
nyadar. Dia tuh sering banget SMS-an nggak jelas di
depan gue. Sering banget minta waktu karena teleponan sama orang yang gue nggak kenal. Cewek pasti. Gue yakin. Tapi gue nggak tau itu orang yang sama
atau beda-beda," aku menggigit bibir.


A Life Karya Silvia Arnie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Lo nggak nanya itu siapa?" Icha mengerutkan kening.
"Ya tanya dong! Kalo nggak, liat aja HP-nya!" kata
Alin mulai kesal. "Aduh, sering banget gitu. Masa sih setiap hari gue
harus ngulang seratus pertanyaan yang sama?" Aku
menghela napas. "Apa gue juga harus ngebatesin pergaulan dia" Nggak juga, kan?"
"Ya nggak gitu! Tapi kalo dia kelewatan?" seru Alin
tidak terima. "Ya" Gue nggak bisa begitu. Susahlah. Jadi, waktu
dia ke WC, gue liat HP-nya. Yah, lo taulah isinya.
Nggak gue baca semua sih, tapi udah cukup jelas buat
gue." Teman-temanku mengangguk mengerti. "Anehnya, dulu waktu dia gue kerjain, gue minta kenalan
gitu pake nomor lain, dia nggak bales. Pas gue SMS
pake nomor gue, dia bales kayak biasa. Jadi, gue
percaya-percaya aja sama dia. Gue pikir dia tuh nggak
13 playboy gitu." Hatiku seperti disayat. Aku merasa begitu kehilangan. Tapi aku berjanji takkan menangisi
cowok seperti itu. "Tuh cowok emang kelewatan! Udah punya cewek
masih juga genit!" seru Alin.
"Pokoknya lo harus lupain dia. Ntar gue kenalin
cowok lain deh," tawar Cassy. Aku tertawa hambar.
Kalau saja bisa semudah itu.
"Yang penting lo sekarang mutusin dia dulu," Icha
menyarankan. "Yah" waktu itu gue nggak mau ketauan abis
ngeliat HP-nya, kurang bermoral, gitu. Jadi belum bisa
gue putusin waktu itu. Gue harus ketemu timing yang
pas buat ngomong. Soon. Sekalian ngelabrak dia kalo
bisa." Mataku berkilat marah. Teman-temanku mengangguk setuju.
"Tapi puisi ini nggak gambarin lo beneran, kan"
Kayaknya lo rapuh banget di sini," kata Cannie yang
sejak tadi membaca karanganku.
"Nggaklah. Hahaha" Nggak mungkin Lunna Vania
selemah itu!" Aku tertawa ringan. "Lagian kalo nggak
hiperbolis dan melankolis, jelek dong. Hehe"," aku
menambahkan. Teman-temanku seolah mengembuskan
napas lega. "Itu baru Lunna yang gue kenal!" seru Cassy. "Cowok kayak gitu mah nggak pantes dapetin lo!" Ia
menonjokku pelan. "Yah" apa pun yang terjadi sama lo, inget, ada
kami yang pasti dukung lo!" kata Icha sambil meme-
14 lukku, disusul teman-temanku yang lain. Aku mengangguk sambil membenamkan kepala di bahu sahabatsahabatku. Diam-diam aku meragukan ucapanku yang
menenangkan itu. Benarkah itu hanya sekadar puisi
melankolis" Benarkah Lunna Vania setegar itu" Ataukah
itu memang cerminan hati yang rapuh dan lemah
karena cinta" Apa pun itu, aku cukup tenang karena mereka,
sahabat-sahabatku, akan menangis untukku bahkan di
saat aku sendiri masih tegar berdiri.
15 Ginna A KU mengeluarkan PDA Atom-ku dan menekan
nomor yang sangat kuhafal.
Nuuttt" nuutt" Sambil menunggu telepon di seberang diangkat,
aku berjalan melewati toko-toko di mal itu dan memutuskan memulai dari ujung.
Nuutt" nuuut" "Halo?" jawab seseorang di ujung sana.
"Hai!" balasku bersemangat.
"Oh, hai. Kamu ganti nomor lagi?" tanyanya malasmalasan. Sebentuk perasaan kecewa melandaku. Moodnya lagi nggak bagus. Ia sedang tidak menginginkanku
seperti biasa. "Hmm" communicator-ku rusak lagi. Jadi aku beli
PDA aja, sekalian ganti kartu, biar SMS-annya bisa
gratis," kataku menjelaskan. Ia bergumam tak peduli.
Aku benci kalau ia mulai tidak memedulikanku. "Nanti
jadi, kan?" tanyaku ragu-ragu.
16 "Jadi. Aku jemput kamu jam tujuh," katanya tanpa
basa-basi. "Oh" oke." Aku tak tahu harus bicara apa lagi. Ia
menutup telepon tanpa mengucapkan apa-apa. Aku
mengembuskan napas berat. Dalam hati aku bertanyatanya, akan ke manakah hubungan kami ini.
Ya udahlah, yang penting hari ini gue nge-date, aku
mencoba menghibur diri. Dengan langkah mantap
dan tatapan percaya diri aku memasuki toko.
Aku selalu suka Zara. Selain bajunya lucu-lucu,
sepatunya juga luar biasa. Setelah melihat-lihat, aku
mulai mencoba beberapa baju, rok, celana. Akhirnya
aku membeli dua pasang sepatu, tiga baju, dan satu
rok. Aku tersenyum ramah pada perempuan di kasir
ketika ia menggesek kartu kreditku dengan mantap.
Mango sedang sale! Aku hampir berlari memasuki
toko itu, tapi kutahan. Aku begitu bersemangat belanja
hari itu. Gimana nggak bersemangat" Gue kencan sama Roland,
dear God! pikirku senang.
Aku tak tahan hingga akhirnya membeli tas putih
mungil seharga dua ratus ribu dan kardigan pink tua
seharga dua ratus tujuh puluh ribu yang didiskon.
Mm" sebenarnya aku tidak begitu menyukai kardigan
itu, tapi kardigan garis-garis itu membuatku sedikit
lebih langsing. Tapi, bukankah gue udah kurus" pikirku. Aku mengangkat bahu tak peduli. Kapan-kapan gue akan membutuhkan kardigan ini, pikirku lagi. Jadi aku membelinya.
17 La Senza. Kadang-kadang kita butuh sesuatu yang
membuat kita merasa sedikit seksi. Aku membeli tiga
g-string, tiga thong, dan enam bra yang sesuai.
Aku berjalan-jalan iseng ke Giordano, membeli dua
kaus Mickey Mouse dan Tinker Belle untuk kupakai
di rumah. Baju-baju Giordano itu nyaman dipakai
tidur. Setelah kupikir-pikir, untuk tidur aku akan ke
Women"s Secret, membeli satu set baju tidur beserta
sandal rumahnya. Kenapa nggak sekalian membeli perawatan wajah
untuk tidur" Jadi aku bergerak ke Face Shop, tapi
malah membeli beberapa lip shine dan kuteks. Jadi
kuputuskan ke The Body Shop untuk menuntaskan
misi perawatanku. Setelah puas berbelanja aku memutuskan pulang.
Sepanjang perjalanan ke tempat parkir aku merasa
ada yang kurang. Sambil mengingat-ingat apa yang
belum kubeli, aku masuk ke U2, lalu membeli rok
kasual yang bahannya sangat lembut. Setelah hampir
menghabiskan limit kartu kreditku, aku belum juga
menemukan apa yang kurang. Aku bahkan sudah ke
Body and Soul, membeli gaun, tapi tetap merasa ada
yang kurang. Aku memeriksa belanjaanku, semuanya
sudah kubeli. Jam tangan dan dompet Guess yang
baru. Parfum J-lo. Kacamata hitam"
Aduh, aku benar-benar hampir menghabiskan limit
kartu kreditku. Bukan berarti ayahku bakal marah.
Papa nggak pernah keberatan soal uang. Dengan enteng ia akan mentransfer sejumlah uang lagi ke ta-
18 bunganku. Mungkin ia merasa cara itu akan meringankan bebanku dan ia sendiri merasa telah menjalankan
kewajibannya sebagai ayah. Asal tahu saja, walaupun
ia telah memberikan uang berlimpah kepadaku, ia tak
pernah menjalankan kewajibannya sebagai ayah yang
baik. Bagaimana bisa kalau ia hanya pulang beberapa
minggu sebelum Natal, lalu berlayar lagi untuk merayakan Tahun Baru bersama kapalnya" Ia hanya pulang
setahun sekali, dan setiap bulan ia hanya mengirim
uang kepadaku seolah-olah hanya itu yang kubutuhkan
di dunia. Aku butuh kasih sayang. Aku butuh ayah
yang mengajariku mengemudi. Ayah yang menemaniku
nonton bola malam-malam. Ayah yang menciumku
saat aku mau tidur. Ayah yang melarangku ke party
atau dugem. Ayah yang membelaku ketika aku dimarahi ibuku"
Itu tidak mungkin terjadi.
Bukan hanya ayahku tidak mungkin melakukan itu,
tapi ibuku juga. Mama ada di Belanda, mengajar di
sana. Ia ahli bahasa yang menguasai tujuh bahasa,
belum lagi yang dikuasainya secara pasif. Ia pulang
setiap libur semester. Itu berarti ia pulang setiap summer
dan akhir tahun. Ia juga mengirimiku uang setiap
bulan. Dasar orangtua tak berperasaan. Apa mereka
pikir aku akan bahagia dengan semua uang ini tanpa
perhatian dari mereka" Apalagi kakak laki-lakiku,
Therius, akhirnya harus ke Singapura tahun lalu karena
kecerobohannya sendiri. Kalau aku tidak memiliki
Mbok Minnah, pengasuhku sejak kecil, aku pasti sangat
19 menderita. Mbok Minnah orang yang paling dekat
denganku. Ia tempatku curhat, tempatku mendapat
cinta. Aku menyerah. Aku nggak tahu apa yang kurang.
Aku melirik jam. Hampir jam lima. Aku harus cepat.
Aku harus mandi, memilih baju, membereskan rambut"
Astaga. Aku tahu! Aku tahu!! Aku belum ke salon!!! 20 Lunna Y A Tuhan. Aku kangen Sandy. Aku kangen cara
cowok itu merangkulku, memelukku, menggandengku,
menciumku. Aku kangen setiap garis di wajahnya.
Senyumnya, hidungnya, matanya. Semuanya. Tuhan"
mengapa ini harus terjadi padaku" Mengapa Kaukaruniakan cinta ini padaku"
Aku terduduk diam di kafe favorit kami. Aku menatap bangku kosong di depanku. Harusnya ia ada di
sini. Di depanku. Berbicara padaku. Aku mengkhayalkannya di sini, menggenggam tanganku. Bayangan itu
mengirisku perih. File Cannie teronggok bisu di depanku. Aku menatap puisiku dengan tatapan kosong.
"Standar, kan?"
Kata-kata Cannie terngiang-ngiang di telingaku. Kini,
apa lagi yang tersisa dariku" Kalau saja aku bisa menangis, mungkin aku bisa sedikit lebih lega. Tapi air
mata ini tak kunjung keluar. Benarkah aku sekuat itu"
21 Atau aku hanya berusaha kuat" Atau aku hanya berusaha terlihat baik-baik saja" Benarkah aku serapuh
ini" Atau aku memang hanya sedang mengasihani
diri" Satu tahun lima bulan. Aku bertahan sejauh ini.
Dua bulan belakangan aku makin jarang bertemu
dengannya. Sekali-sekalinya bertemu, ia semakin menyebalkan. Kadang ia sangat lembut, seperti tak mengizinkanku pergi ke mana pun, tapi detik berikutnya ia
pergi dengan HP di tangan. Kenyataan kemarin menamparku, menyadarkanku. Aku begitu na?f, begitu
bodoh. Tujuh belas bulan. Aku memutar kenangankenangan selama ini bersamanya dalam kepalaku. Dalam hati aku bertanya-tanya, akankah ia menahanku
pergi" Dalam hati aku berharap ia mau berubah untukku. Tapi aku mulai harus menghapus harapan itu.
Aku harus menghadapi kenyataan. Aku akan membuat
keputusan. Aku harus siap, harus kuat. Sejak awal
aku tahu hari ini akan datang, aku tahu hal ini akan
terjadi. Hanya saja, aku belum siap. Aku tak pernah
akan siap. Tapi ini harus kulalui. Bisakah aku benarbenar kehilangan dia" Oh, Tuhan" apa yang harus
kulakukan" "Ini hot cappuccino-nya. Ada tambahan?" tanya pelayan, menyentakku ke alam nyata. Aku kaget dan
menyenggol file kumpulan puisiku hingga terjatuh
dari meja. Kertas-kertas bertebaran, melayang, lalu
akhirnya menyentuh lantai dengan lembut. Aku menatapnya pasrah sambil mengumpat pelan.
22 "Sori, sori. Haha"," tawaku garing. Pelayan itu tersenyum maklum, dan membantuku memungut kertaskertas itu. Brengsek, Cannie. Kenapa sih kertasnya nggak
dirapiin" batinku. Aku menatap pelayan itu dengan tatapan berterima
kasih. Ia memasang senyum dan menyerahkan beberapa kertas yang telah ia punguti. "Oke, thanks," ujarku
sopan. Tepat saat aku mengulurkan tangan untuk
mengambilnya, pelayan itu menarik kembali tangannya.
Tatapan terima kasih dan senyum sopanku perlahan
lenyap dari wajahku. Beberapa detik aku bingung,
tidak tahu apa yang sebenarnya ia lakukan sampai
akhirnya aku benar-benar yakin ia sedang membaca
tulisanku. Aku mulai panik. Baiklah, kalau sampai
orang yang tak kukenal juga menilai puisiku buruk,
tamatlah riwayatku. Mungkin seumur hidup aku tidak
akan membuat puisi lagi. "Mm"maaf?" Aku menaikkan alisku sambil menutupi kekhawatiranku.
"Oh, iya. Sori." Akhirnya ia mengembalikan puisiku.
Aku mengembuskan napas lega dan menutup file itu
serta menunggunya pergi. Ia membaca bahasa tubuhku, lalu pergi dengan sopan. Sekali lagi aku mengembuskan napas lega. Setelah yakin ia benar-benar pergi,
aku kembali membuka file itu dan membaca puisi
terakhirku. Aku menyesap cappuccino-ku dan tersedak.
Selain sangat panas, cappuccino itu sangat pahit. Sial!
"Ini gulanya," sekonyong-konyong pelayan tadi datang, nyaris membuatku menyemburkan cappuccinoku ke wajahnya. Aku menatapnya dengan pandangan
23 tidak percaya. Selain muncul tiba-tiba, kenapa pula ia
baru menyerahkan gula sialan ini sekarang?" Tatapan
sopannya membuatku ingin menonjoknya.
"Makasih," sahutku dingin tanpa memandangnya
lagi. Maksudku supaya ia pergi sesegera mungkin dan
melayani meja lain. Kenapa ini harus menimpaku"
Sewaktu aku datang dengan Sandy, hal buruk ini tak
pernah menimpaku. Oh, Tuhan. Kalau saja Sandy ada
di sini dan membereskan semuanya. Aku memejamkan
mata dan bersandar pasrah di kursi. Aku harus bisa.
Aku harus terbiasa tanpanya, ujarku pada diriku sendiri.
Tiba-tiba aku menyadari sesuatu, tepatnya menyadari
kehadiran seseorang. Dengan marah aku menengok ke
belakang dan menatap pelayan itu dengan tajam. "Billnya harus dibayar sekarang?" tanyaku dingin. Ia kelihatan sangat kaget. Bagus.
"Oh" maaf. Bukan. Saya" puisinya bagus," katanya
terbata-bata. Aku tertegun. Serius nih"
"Hah?" tanyaku seperti orang tolol.
"Iya, puisinya bagus," katanya lagi, kali ini lebih
yakin. "Hah?" ulangku, tak memercayai pendengaranku.
Maksudnya?" Seorang pelayan mengendap-endap hanya
untuk membaca karangan bodohku ini" Kenapa sih
semua orang" Ia berdeham. "Begini" maaf, kalau boleh tahu namanya?"
"Hah?" Mungkin aku benar-benar tolol, tapi memang
hanya kata itu yang terlintas di otakku. Maksudku,
24 kalau kau ada di posisiku, kau juga hanya akan berkata
"Hah?", kan"


A Life Karya Silvia Arnie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dia mengembuskan napas, seolah-olah sangat lelah,
lalu menariknya lagi, seakan siap menjelaskan sesuatu.
"Mm" begini. Kamu mau bikin lirik untuk bandku?"
Kau tahu aku akan bilang apa.
"Hah?" Ya, betul. Itu. "Oke, kalau tidak keberatan." Ia menarik kursi,
menungguku mengangguk sebelum ia benar-benar duduk. Aku menatap sekelilingku, kafe itu sepi. Aku
menyerah, lalu mengangguk.
"Jadi?" tanyaku bingung.
"Begini. Aku cuma menggantikan kakakku yang
sedang sakit. Satu hari. Jadi, aku bukan benar-benar
pelayan di sini." Itu menjelaskan sikap tidak profesionalnya. "Oke. Aku tahu sikapku tadi aneh," ia menarik
napas. "Aku butuh orang untuk menulis lirik untuk
bandku." Dia berhenti sebentar. Aku hampir mengatakan "Hah?" lagi, tapi langsung kutahan. "Dan kayaknya
kamu orang yang aku butuhkan." Ia mengakhiri perkataannya dengan senyum. Mungkin ia berharap aku
bilang apa saja, tapi aku hanya mengangguk. "Jadi?"
tanyanya lagi. "Band apa" Lirik seperti apa" Buat apa?" tanyaku
akhirnya. "Oh iya. Aku lupa. Gini. Aku baru masuk kuliah,
dan ada lomba band untuk anak-anak baru. Kalau
25 menang, bisa mulai debut. Kalau nggak menang pun,
coba-coba buat cari pengalamanlah." Dia tersenyum
memamerkan barisan gigi yang rapi. "Masalahnya,
persyaratannya lagunya harus dibuat sendiri. Soal aransemen sih gampang, tapi soal lirik" kacau!" katanya
pasrah. Aku tertawa kecil yang langsung kuselingi
dengan permintaan maaf. "It"s okay," katanya. "Keadaannya memang sekacau itu kok. Haha"," ia ikut
tertawa, dan aku pun melanjutkan tawaku tanpa ragu.
"Kalau kamu mau, kapan-kapan aku kenalin sama
anggota bandku. Mereka baik-baik. Atau kamu mau
liat kami manggung juga bisa kok," tawarnya setengah
memohon. "Kok kalian bisa bikin band padahal nggak ada
yang bisa bikin lirik?" tanyaku bingung.
"Huumm" Nggak tau. Haha" mungkin kami belajar nanti saja. Biasanya sih Angga yang buatin, tapi dia
dapet job jadi drummer di band lain yang udah mulai
debut, jadi ya"." Ia dengan pasrah mengangkat bahu.
"Jadi kalian kehilangan drummer?"
"Aku drummer barunya. Aku pengganti Angga," katanya lagi.
"Ooh?" Band yang malang.
"Makanya, aku jadi merasa terbebani. Haha?"
Aku berpikir sebentar. "Yah" bolehlah. Kebetulan
aku juga lagi free. Tapi aku lihat band kalian dulu, ya.
Aku lihat personelnya dulu. Kalau nggak cocok sama
aku, aku nggak mau," kataku sedikit mengancam.
"Oh" boleh. Kamu pasti suka sama mereka," kata-
26 nya yakin sambil menebar senyum. Sambil meminta
nomorku, ia memperkenalkan diri. "Gue Mango."
"Ha?" Upss"
"Mango. Nama gue Mango," jelasnya sekali lagi,
seakan-akan aku benar-benar bodoh. Ia berdiri dan
mulai menjaga sikap dan jarak. Aku mulai rileks.
"Oh"," kataku sok ngerti sambil tersenyum menahan tawa. Tentu aku nggak bisa menahan bibir yang
tersungging dan terangkat dengan bergetar, tapi rasanya
nggak sopan menertawakannya. Seingatku, satu-satunya
nama lucu adalah nama temanku, Asnail. Maaf, bukannya nggak sopan, tapi A SNAIL" Siput" Hahaha. Well,
seenggaknya nama itu dieja As-na-il, bukan a snail. Tapi
Mango" Orangtua mana yang tega menamakan anaknya...
eehhmm... Mangga?" Maaf, sekali lagi, tapi... hahaha...
memang rasanya nggak sopan menertawakan nama
yang sudah susah payah dipikirkan orangtua kita.
Hahaha... upss. Sekali lagi, maaf. Maaf.
Dia tersenyum sementara aku menghirup cappuccinoku. "Nggak papa. Gue udah biasa melihat reaksi orang
kalo gue nyebutin nama gue," ia tertawa ringan.
"Sori, gue nggak bermaksud..."
"Iya, nggak papa," potongnya. "Masih mending daripada nggak punya nama," katanya lagi. Aku mengangguk setuju.
"Gue Lunna," kataku singkat.
"Mango, ada yang datang nih! Jangan ngerayu cewek
mulu!" seru seorang temannya. Mango" Hahaha. Uh,
oh. Maaf. Ia berdiri dan berjanji akan meneleponku.
27 Aku memerhatikan Mango dari kejauhan. Dia tipe
cowok percaya diri yang bersikap seenaknya. Terlihat
dari caranya berjalan. Dan kalau diperhatikan, ia nggak
bisa melayani orang. Lihat saja caranya melayani pasangan itu. Untung saja ia cuma bekerja sehari. Tunggu.
Tunggu. Apa yang kulihat tadi" Aku menyipitkan mata.
Pasangan itu. Oh, Tuhan. Oh, Tuhan. TUHAN!! Apa Sandy nggak punya tempat lain buat kencan"
28 Ginna "S EPERTI biasa, kamu selalu sempurna," kata
Roland tanpa ekspresi. Aku memandangnya bingung.
"Aku anggap itu pujian," kataku tersenyum.
"Tadi itu siapa yang bukain pintu?" tanyanya lagi.
"Oh, itu Mbok Minnah. Pengasuhku sejak kecil,"
ujarku tetap mempertahankan senyum.
"Oh"," kata Roland singkat. Aku menelan kepahitan.
Mengapa selalu begini kalau kami sedang berdua"
Seperti hanya aku yang berusaha mengarahkan semua
ini ke dalam sebuah ikatan. Kami diam dalam keheningan yang tak nyaman. Aku berterima kasih kepada
Tuhan ketika kami sampai di tempat ini. Keheningan
takkan berlangsung lebih lama.
Tapi ternyata aku keliru. Ia tetap diam sampai kami
masuk. Seorang waiter membimbing kami ke meja untuk
dua orang di pojok. Aku tersenyum berusaha mencair-
29 kan suasana, tapi ia tetap diam sekeras batu. Ia membuka buku menu, membolak-baliknya beberapa kali,
lalu menutupnya. "Mau pesan apa?" tanyaku bingung karena ia menutup buku menu.
"Terserah. Sama kayak kamu aja," katanya singkat.
Air mataku menggenang. Aku sudah susah payah
seperti ini, tapi sikapnya tak berubah.
"Kalau begitu, kami pesan salad dan air mineral,"
kataku kepada waiter sambil berusaha menguasai emosi.
"Oke. Saya ulang. Dua salad dan dua air mineral?"
tanyanya memastikan. Tepat saat aku mengangguk, Roland menyela, "Hah"
Kamu yang bener aja. Salad sama air mineral?" tanyanya kesal. "Aku pesan lasagna dan cokelat panas." Ia
tidak memandangku sama sekali. Aku menatapnya sakit hati. Waiter seperti bisa membaca keadaan. Ia sepertinya ingin segera meninggalkan perang dingin ini.
"Jadi, saya ulang, ya. Satu salad, satu lasagna, satu
air mineral, dan satu cokelat panas," katanya memastikan sekali lagi. Aku menoleh penuh harga diri, mengangguk, dan tersenyum seolah mengatakan ini-biasaterjadi-aku-baik-baik-saja. Dia balas tersenyum penuh
pengertian. "Segera diantar." Lalu ia berlalu.
Aku tak berani bertanya seperti biasa. Roland kelihatan sangat tidak tenang. Matanya menerawang gelisah.
"Are you okay?" tanyaku takut-takut. Aku bisa saja
jadi wanita paling tegas, tapi tidak di depan cowok ini.
Aku lemah di depannya. 30 "Iya," katanya nggak yakin. Lalu ia memandang
lurus ke arahku dengan pandangan terkejut. Aku tersenyum ragu, tapi ia tidak melihatku. Dengan bingung
aku menoleh ke belakang. Seorang cewek lecek duduk
di sana, sendirian. Aku memutar bola mataku. Yang
benar saja, cewek seperti itu di tempat seperti ini"
Dan Roland-ku melihat ke arahnya.
"Siapa cewek itu?" tanyaku cemburu. Cewek itu
menatapku tajam. Aku semakin bingung. Kenapa sih
dia" Aku balas memelototinya dengan tatapanku yang
paling dingin. "Hei"," kata Roland sejenak ragu. Ia terlihat risi.
Lalu ia tersenyum penuh sayang, berubah lembut dan
mesra. Dengan respons berlebihan, aku kembali
memfokuskan diri pada cowokku.
Tapi aku nggak bisa. Tatapan tajam cewek itu menghunus punggungku. Aku kembali menoleh dan mendapati cewek berantakan itu berjalan ke arah kami.
"Halo, Sandy," ujarnya dingin.
Tiba-tiba aku tertawa lega. "Hahahaha"." Ternyata
dia salah orang. Aku menatap sinis cewek lusuh itu.
Penampilannya benar-benar big no-no! Kaus luntur
yang bisa dibeli di pasar sepuluh ribu dua. Jins yang
sobek di lutut. Kets yang solnya hampir copot. Dia
anak seni atau apa sih" Belum lagi rambutnya yang
nggak disisir diikat berantakan. Dan tasnya. Tas selempang zaman SMP. Sungguh jadul. Apa dia nggak kenal LV" Atau Dior" Paling nggak, Guess lah. Elle, atau
Esprit" 31 Cewek lecek itu menatapku dengan pandangan meremehkan. Roland memandangi cewek lusuh itu dengan
pandangan puas. "Jangan ketawa, centil!" kata cewek
lecek itu tenang. Sorry" Itukah pandangannya tentang
aku" "Maaf. Gue lebih puas jadi cewek centil daripada cewek nggak gaya," sindirku tajam. Ia menatapku marah.
"Cewek kayak lo tuh cuma jadi mangsa, tahu!"
tandasnya kejam. Mangsa" Apa maksudnya" Cewek
ini sinting. Jelas otaknya punya kelainan.
"Sandy, lo nggak mau ngomong apa kek gitu?"
tanyanya galak pada Roland. Roland menatapnya diam.
Aku kehilangan kesabaran.
"Ini pesanannya." Waiter datang pada saat tidak
tepat. Aku sudah kehilangan nafsu makanku.
"Bisa tolong panggilkan satpam dan usir orang ini?"
pintaku pada waiter. Waiter berusaha membaca keadaan.
"Lunna, ini temen lo?" tanya waiter kepada si cewek
lecek. Apa-apaan ini" Cewek yang dipanggil Lunna itu
tak menjawab. Ia hanya memandang Roland dingin.
"Lo salah orang," kataku akhirnya. Tapi dia ketawa
mengejek. "Salah orang?" Ia melirikku, lalu segera mengalihkan
pandangan kepada Roland yang diam seribu bahasa.
"Land, say something!" pintaku. Tapi Roland tetap
diam. Jantungku mulai berdetak lebih cepat.
"Maaf, ini ada apa, ya?" tanya waiter semakin bingung.
32 "Kita selesain di luar!" tukas cewek pembawa malapetaka itu sambil beranjak ke luar. Lalu ia menambahkan, "Jangan cuma bisa jadi banci, Sandy," katanya
tegas. Aku tak bisa membaca air muka Roland. Ia meletakkan beberapa lembar uang di meja, lalu pergi
mengikuti cewek itu. Aku mulai ketakutan. Ada yang
nggak beres nih, pikirku.
Kuikuti mereka sampai ke tempat parkir. Aku tak
tahu apa yang terjadi. Kenapa Roland mau mengikutinya, padahal dia jelas-jelas salah orang"
"Ada yang bisa jelasin ke gue, ada apa ini?" tanyaku
nggak tahan. "Bagus, lo tanya aja sama cowok lo ini," katanya
dengan senyum mematikan. Aku mengernyitkan dahi,
lalu menatap Roland. Tapi Roland hanya mengangkat
bahu. "Kita belum putus, tapi lo udah nge-date sama
cewek lain. Hebat!" katanya lagi. Tapi Roland malah
tersenyum. Aku semakin bingung.
"Kamu jadian sama cewek ini?" tanyaku nggak percaya. Roland tetap tidak menjawab. "Hey! Say something!"
kataku mulai frustrasi. Lalu aku segera mengalihkan
pandanganku ke cewek itu. "Lo tuh siapa sih?"
"Lunna. Lunna Vania," jawabnya singkat.
"Maksud gue, lo siapanya dia?" Aku kehilangan
kesabaran. "Ceweknya. Lo siapa?" tanyanya.
"Roland itu?" 33 "Maksud gue nama lo," selanya.
Aku mendesah marah. Dia benar-benar nggak sopan.
"Ginna Amellia," jawabku singkat.
"Sandy" Roland?" katanya ketus. "Nama lo sebenernya siapa sih?" ia melabrak Roland.
"Christian Sandy Roland Nugroho," kata Roland
dengan gaya sabar. "Gue bener-bener tolol, setelah satu tahun lima bulan
kita jadian, gue baru tau nama lengkap lo sepanjang
itu," sindirnya. Aku benar-benar terenyak. Cewek ini ternyata nggak
salah orang. Saat itu air mataku nyaris keluar. Aku
menarik napas dalam-dalam untuk menahannya. Darahku mendidih sampai ke ubun-ubun.
Puisi itu" menggambarkan isi hatiku saat ini.
Setiap detik dalam hidupku diwarnai pengkhianatan.
"Jadi?" tanyaku pada Roland, suaraku bergetar. "Lo
udah punya cewek?" Kaget menyadari air mataku,
aku mengerjap dan menghapusnya.
"Dan lo ngeduain gue?" tanya Lunna nyaris tanpa
luka. "Lo salah sangka, Lun" Gue nggak jadian sama
dia. Gue nggak ada hubungan apa pun sama dia,"
kata Roland menenangkan. Terlalu kejam tuk jadi kenyataan.
"How could you say that?" tanyaku lemah.
"Gin, kita cuma temenan. Aku nggak pernah nganggep
kamu lebih dari teman," katanya meminta maaf.
Terlalu buruk tuk jadi mimpi buruk.
34 "Tapi kamu bilang kamu sayang sama aku!!" teriakku frustrasi.
"Aku sayang kamu cuma sebagai teman, Gin. Aku
pikir kamu ngerti," dia terlihat mulai khawatir.
"Tapi aku sayang kamu?" tangisku.
Dan tangis pun tak sanggup menggambarkan apa
pun. Aku sangat terpukul. Aku benar-benar berusaha untuknya. Seharusnya aku tahu ia punya cewek. Seharusnya aku tahu. Isakanku semakin keras. Aku melupakan
etika. Aku melupakan penampilan. Aku melupakan
harga diriku. Plak!! "Lunna!" tegur Roland kaget.
Lunna menamparku keras. Tangisku berhenti. Aku
memandangnya seakan-akan cewek itu sinting. Dan ia
memang sinting. "Jangan nangisin cowok kayak begini," katanya tegas.
Roland terlihat sangat terpukul.
"Aku minta maaf. Aku nggak tau bakal kayak begini.
Aku bener-bener minta maaf. Aku say?"
Bruuk!!! "Bullshit!!" Lunna menonjok Roland tepat di wajahnya. Aku memekik tertahan. Ia benar-benar menonjok
wajahnya. Seperti cowok-cowok di film kalau berkelahi.


A Life Karya Silvia Arnie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku belum pernah melihat cewek sekurus itu bisa
nonjok cowok seperti Roland sampai jatuh. Suara itu
menggema di basement. Lalu-lagu mengalunkan nada empati.
35 "Gue bakal bikin lo lebih menderita daripada gue,
daripada Ginna," tukasnya sedingin es. Daripada Ginna"
Daripada aku juga" Aku tidak mengharapkannya, sinting!!
Seolah tahu perasaan apa ini.
Lalu ia menatapku. "Apa"!" katanya dengan gaya
sangat menyebalkan. Tamparan pedas di pipiku masih
terasa, tapi hatiku tertampar lebih pedas lagi. Aku
mendatanginya, dan membalas tamparannya.
PLAK!! "Ini buat lo, cewek sinting!" Aku menjambaknya. Ia
berteriak kesakitan, lalu balas menjambakku.
"Eh, dasar psycho lo!! Udah ngerebut cowok orang,
masih berani nampar, lagi!!" bentaknya.
Seandainya semudah itu menerima kenyataan.
Kucakar wajahnya. "DIAM LO!!! Mana gue tau dia cowok lo!! Lagian
siapa juga yang ngerebut"!! Lo tuh yang psycho!" Ingin
rasanya aku menyakitinya sampai mati! Ingin rasanya
aku, dia merasakan apa yang kurasakan! Jelas dia
tidak mencintai Roland atau Sandy seperti aku, jelas
Lunna tidak menangisinya!! Aku menonjoknya, tepat
di rahangnya. Seandainya ia tak merampas seluruh napasku.
BRUK!! Dia jatuh tersungkur.
"Aaahhhh.!!! Brengsek!!" Dalam hitungan detik ia
menerjangku dan balas menonjokku berkali-kali. Darah
di bibirku terasa hangat. Kami berguling-guling, saling
menonjok. Baju putihku sobek, braku tersingkap. Ia
36 tidak hanya menahan seranganku, tapi terus membalas. Aku bukan lawan yang kuat, tapi aku tak
peduli. Orang-orang berdatangan menyaksikan, hingga
satpam melerai kami. Tapi kami terus meronta membabi buta.
Seandainya ia menyisakan sedikit untukku.
"Ini semua salah lo!!!" sergahku sambil mengacungacungkan tangan.
"Sinting!" teriaknya saat berhasil bebas dari cengkeraman sang satpam. Kutarik bajunya sampai sobek,
dan ia mencakar wajahku. Satpam menarik tanganku
dan tangannya. Aku terus meronta-ronta membebaskan
diri. Agar setidaknya ku bisa berdiri lagi.
Tiba-tiba aku berhenti. Aku menangkap kedua tangan Lunna yang berusaha memukulku, lalu memandang berkeliling. Seperti permainan dalam game
yang di-pause atau di-slow motion. Semua orang mengelilingi kami. Semuanya berhenti. Semuanya hitamputih. Malu adalah hal terakhir yang kupikirkan. Hal
pertama yang kupikirkan adalah kata pertama yang
kulontarkan. Benar kiasan menyayat hati.
"Roland?" "Sandy?" Kami memanggil bersamaan. Aku sadar, dia juga
memikirkan dan melakukan hal yang sama. Lalu, tibatiba aku mendengar suara mobil, dan Roland tidak
lagi ada di sana. Dia telah pergi. Dia melarikan diri
37 dari semua ini, sama sekali tidak bertanggung jawab.
Padahal kupikir ini akan jadi hari yang menyenangkan.
Padahal kupikir... Teriris tipis dan tertusuk tombak dalam-dalam.
Air mata hangat kini mengalir di pipiku. Aku benarbenar kalah, benar-benar sia-sia. Aku menangis lebih
keras daripada sebelumnya. Aku terus menangis dan
berteriak-teriak. Satpam pun tak bisa menghentikanku.
Kerumunan orang semakin banyak, tapi aku tidak
peduli. Bilamana darah yang tak terhenti.
Hatiku teramat sakit. Mengucur dari irisan di nadiku.
Semua mengernyit dan menggeleng-gelengkan kepala, mereka menggumamkan kata-kata "cewek sinting", tapi aku benar-benar nggak peduli.
Seperti itulah sakit yang abadi.
Kurasakan bahuku disentuh lembut, aku menoleh
dan melihat tangan yang penuh cakaran meremas
pelan bahuku. Kehangatan menjalar di seluruh tubuhku.
Dan untuk pertama kalinya, aku melihat Lunna tampak
kehilangan. Napasku direnggutnya. Untuk pertama kali, aku melihatnya merasa hampa.
Untuk pertama kalinya aku merasakan ia menahan
tangisnya. Untuk pertama kali aku menyadari, ia sangat
menyayangi "Sandy"-nya. Untuk pertama kali aku
merasakan, ia lebih menderita daripada aku. Untuk
pertama kali, aku memiliki perasaan ada seseorang
38 yang senasib-sepenanggungan denganku, bahkan dia
terasa lebih dekat daripada sahabat.
Nyawaku dicurinya. Lalu aku terisak beberapa kali. Ia memelukku dengan
mata kering yang kosong. Kami berpelukan sambil
menyesali nasib masing-masing.
Ia mengambil semuanya. Setiap detik dalam hidupku"
39 Lunna "S ORI," ujarku sambil mengambil satu es batu lagi
untuk mengompres wajahku.
"Buat?" tanyanya singkat.
"Nonjok lo," kataku lagi.
"Nggak perlu. Gue juga nonjok lo. Kita impas." Dia
mengompres wajahnya yang tadinya mulus itu dengan
es. Aku hampir menyahut, tapi akhirnya memilih
diam. Ia terlalu lemah untuk menjadi lawanku. Wajahnya yang babak belur itu buktinya. Harusnya aku tidak memukul cewek. Sial! Harusnya cewek centil ini
diam saja. Aku bukan mau berurusan dengannya. Bisa
dibilang kami sama-sama korban. Dia tidak tahu apaapa, sama seperti aku. Harusnya yang mengalami ini
hanya Sandy. Brengsek! Tapi tetap saja. Cewek centil ini benar-benar menyebalkan. Dia sudah kehilangan otak atau apa sih" Dia
sadar nggak sih pacarnya itu bajingan! Sudah bagus
dibela, malah ngamuk. 40 "Udah ah, gue mau balik!" kataku akhirnya. "Thanks
nih kompresnya," aku mencoba bersikap sopan, tapi
yang kutangkap malah nada-nada menyebalkan. Dia
tetap diam. Aku hampir berdiri ketika seorang ibu tua
masuk ke kamar. "Masih sakit, Non?" tanyanya dengan sayang.
"Udah nggak begitu sih, Mbok," sahutnya jauh
lebih tenang. "Baguslah." Perempuan yang dipanggil "Mbok" itu
melihat ke arahku. "Non gimana?" tanyanya ramah.
Aku mengangguk sopan dan tersenyum ragu, tidak
nyaman dengan keramahan itu. Ia membalas senyumku.
Aku berdiri dan melangkah pelan untuk memohon
diri. Tepat saat aku membuka mulut, Mbok berjalan
melewatiku dengan tatapan waswas. Dengan bingung
aku menoleh dan melihat Mbok memeluk Ginna, dan
Ginna bersandar di bahunya sambil menangis terisakisak. Astaga. Dia nangis, lagi, pikirku kacau. Seketika
rasa bersalah menyelimutiku. Apa yang harus kulakukan sekarang" Aku takkan bisa keluar dengan tenang
dari rumah neraka ini. Kenapa sih manusia cengeng itu masih nangis juga"
batinku tak nyaman, tapi langsung kusesali dengan
berjuta perasaan bersalah. Dia menangis karena aku, dan
seharusnya aku malu telah berpikir begitu. Aku terdiam,
tak tahu harus berkata apa. Sebagai informasi, Mbokentah-siapa-namanya-ini tak tahu apa-apa tentang kami.
Tadi setelah Sandy meninggalkan kami, aku merasa
bersalah menyadari apa yang kulakukan, jadi aku
41 mengantarnya pulang dengan motor bobrokku. Tidak
mungkin aku meninggalkan cewek berparas malaikat
dengan baju sobek-sobek begini pulang sendirian. Bisabisa ia diperkosa dan masalahnya tambah panjang.
Apalagi ia kelihatan depresi, mungkin orang-orang malah
mengira ia habis diperkosa. Jadi tanpa terlalu keras
melawan ia bersedia kuantar pulang. Saat aku masih
terkagum-kagum melihat rumahnya yang luar biasa
besar, mboknya dengan penuh sayang menyambutnya
seolah-olah Ginna sudah kabur seminggu. Dengan waswas
ia menyediakan obat-obatan tanpa bertanya apa-apa.
Betul-betul mbok yang bijak dan keibuan.
Bagaimana dengan ibuku" Mungkin beliau bakal
pingsan melihatku seperti ini. Berhubung ayahku juga
sudah tiada, Bunda sangat rentan terhadap hal-hal
yang mengancamku. Karenanya aku berusaha sekuat
tenaga untuk tidak menimbulkan kekhawatirannya,
berusaha meringankan bebannya. Selama ini aku cukup
berhasil membuatnya tenang. Dan sekarang aku tak
ingin gagal. Membayangkan wajah Bunda bila melihatku seperti ini membuat dadaku sesak. Aku kembali
memandang Ginna dan Mbok dengan perasaan bersalah. Ini semua karena aku.
"O"oke. Jadi, mending gue balik aja," kataku tergagap. Mereka memandangku. "Sori buat semuanya,
Gin." Aku menahan napas, tak berani memandang
mereka. "And... thanks juga."
"Non mau pulang?" tanya Mbok yang tiba-tiba sudah
berdiri di sebelahku. 42 "Mm" iya," kataku gugup. Si Mbok menatapku
sabar. Setelah keheningan yang menjengahkan aku
menambahkan, "Nggak pulang sih, mungkin pergi dulu
ke mana, gitu. Kalau Bunda liat aku begini, bisa kacau.
Haha"," sesuatu di matanya membuatku berkata jujur.
"Kalau begitu di sini dulu saja. Nginap dulu kalau
mau," tawar Mbok. Aku ternganga. Mbok ini tentu tidak bodoh, kan"
"Ah, nggak deh. Nggak enak ngerepotin Ginna lagi."
Aku tersenyum, mencoba sopan.
"Ah, nggak papa. Non Ginna nggak keberatan, kan,
Sayang?" tanya Mbok tersenyum. Ginna menatapku
penuh kebencian, tapi ia menggeleng dan mengangkat
bahu. "Tuh, kan?"
Mungkin mbok ini benar-benar bodoh dan tak bisa
membaca situasi. "Haha"," tawaku garing, entah menertawakan apa.
"Nggak deh, Mbok. Aku nggak enak," tolakku, berusaha sopan tapi tegas. Tapi mbok itu terus memaksa.
Seharusnya tadi aku menutup mulut.
"Nggak papa, Non. Kami bisa sediakan satu tempat
tidur lagi kok. Non mau tidur di sini atau di kamar
lain?" desaknya. Astaga. Aku sudah melontarkan isyarat mata pada Mbokentah-siapa-namanya-ini, tapi dia nggak ngerti juga.
Apa kurang jelas bahwa Ginna yang disayanginya itu
membenciku begitu rupa sampai-sampai ia mungkin
sanggup memakanku hidup-hidup"
43 "Mbok, sini deh," aku akhirnya menyerah dan menarik Mbok-entah-siapa-namanya-ini ke luar kamar.
Tadinya aku tak mau mengungkapkan ini, tadinya
aku berharap bisa pergi dari sini tanpa dibenci oleh
Mbok-entah-siapa-namanya-ini. Aku bahkan sedikit berharap mbok ini menyukaiku, karena aku cukup menyukainya.
"Kenapa, Non?" tanyanya bingung. "Mau kamar
sendiri aja?" "Bukan, Mbok," ujarku lelah. "Mbok, Ginna itu
benci sama saya," kataku akhirnya.
"Ah, nggak begitu. Dia cuma sedang kesal," katanya
tenang. "Iya, kesal sama saya!" sambarku mulai tidak sabar.
"Duh, Mbok! Saya yang nonjok-nonjokin dia sampe
begitu. Saya yang menyebabkan dia kehilangan pacar
saya," aku menyadari kata-kataku sedikit aneh.
"Iya, Mbok tahu." Sesuatu dalam suaranya membuatku sedikit tenang.
Hah?"" Maksudku, "Hah?"
"Tapi itu kan menunjukkan juga bahwa Nak Roland
itu tidak baik. Mbok berterima kasih sama Non?" ia
tidak menyelesaikan ucapannya, menungguku menyebutkan namaku.
"Lunna. Nama saya Lunna," jawabku, berharap bisa
melontarkan pertanyaan yang sama tanpa terdengar
aneh. "Iya, Non Lunna. Untung Non Ginna belum terlalu
lama kenal dengan Nak Roland. Jadi Mbok masih
44 tenang," katanya dengan rasa syukur. Aku benar-benar
tidak mengerti jalan pikiran Mbok-entah-siapa-namanyaini.
"Tapi, Mbok" saya yang mukulin Ginna. Mbok
nggak marah sama saya?" tanyaku makin bingung.
Dia tersenyum kecil. "Non Ginna juga mukulin
Non, kan?" Dia benar-benar mirip Ginna.
"Tapi jelas luka Ginna lebih parah daripada saya,"
aku tetap berargumen, mencoba mencari titik temu.
"Luka luar itu bisa disembuhkan, tapi luka hati
susah disembuhkan. Jadi Mbok bersyukur ada orang
yang menyadarkan Non Ginna sebelum dia terlalu
jauh sama Nak Roland," jelasnya.
Aku terdiam seribu bahasa. Tetap saja ini tak masuk
akal bagiku. Mana mungkin ada orang yang begitu
lurus dan baik hati serta berpikiran positif di dunia
ini" "Mbok"," panggil Ginna tanpa menoleh padaku.
Jelas ia akan memohon pada Mbok-entah-siapa-namanya-ini untuk mengusirku. Aku sudah siap menghadapi
wajah terkejut si mbok baik hati ini. Saat itu, sebelum
Mbok membujuk Ginna dengan alasan-alasan aneh,
aku akan mohon diri dan pergi dari tempat ini. Dan
mungkin kapan-kapan aku akan mengunjungi Mbokentah-siapa-namanya-ini kalau aku yakin Ginna tak
ada di rumah, sekadar mengucapkan terima kasih
karena telah berpikir begitu baik tentang aku. "Jadi
dia mau tidur di mana?" tanyanya.
45 Hah?" Wajahku pucat pasi. Sungguh di luar dugaan. Ginna
menyerah" "Hah?" tanyaku tanpa bisa ditahan. Mereka memandang lurus ke arahku. Tatapan Ginna tetap dingin.
"Hah?" ulangku. Ginna memutar bola matanya.
"Lo mau pulang atau nggak sih?" tanyanya tajam.
"Hmm" gue" nggak yakin. Mungkin gue nginep
di rumah temen gue aja kali, ya," jawabku. Ginna
menatapku tanpa mengatakan apa-apa. Mbok memandang majikannya dengan penuh pengertian. "Lagian


A Life Karya Silvia Arnie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

besok gue harus sekol?"
"Dia tidur di kamarku aja, Mbok," putus Ginna
sambil melenggang masuk ke kamarnya lagi dan meninggalkan aku terbengong-bengong.
"Mbok?"?" aku mengharap bantuan, tapi Mbokentah-siapa"namanya-ini telah pergi mempersiapkan
tempat untukku tidur. Aku masih terbengong-bengong
tak percaya, enggan memasuki kamar Ginna sebelum
dipaksa. Serius" Mereka serius" Atau jangan-jangan malammalam mereka mengikat dan melemparku ke danau"
Atau meracuni makananku" Tidak, mereka tidak selicik
itu. Maksudku, tidak mungkin, kan" Atau?""
"Non Ginna tidak mungkin membiarkan Non Lunna
pulang seperti ini," bisik Mbok, seakan bisa membaca
pikiranku. "Meskipun di mata Non, Non Ginna kelihatan menyebalkan, tapi sebenarnya dia gadis yang
sangat baik," lanjutnya.
46 "Mbok"!!" panggil Ginna. Mbok-entah-siapa-namanya-ini menatapku, meminta pengertian sambil tersenyum ramah. Dengan gugup aku membalas senyumnya. Bukan apa-apa. Aku bukan orang kaya, dan pelayanan serta fasilitas di rumah ini sangat luar biasa.
Sebenarnya aku benar-benar merasa tidak nyaman.
Apalagi pemilik rumah ini rivalku. Aku benar-benar
terjebak. "Mbok Minnah!!" panggil Ginna kesal, karena mboknya belum datang juga. "Kasih pembatas di tengah
ranjangku!" teriaknya tak berperasaan.
Oh" Dia benar-benar anak baik.
Senyumanku bertahan beberapa detik, bergetar, lalu
lenyap ketika Mbok mohon diri untuk memberi pembatas di tengah ranjang yang akan kami tiduri. Aku
menghela napas panjang. Sepertinya malam ini bakal
panjang. Tapi setidaknya aku sudah tahu nama mbok
itu, Mbok Minnah. 47 Ginna A KU mengurung diri di kamar mandi.
Coba kita lihat. Dia mengantarku pulang. Dengan
motor bobroknya. God, yang jelas dia mengantarku
pulang. Dia tak seburuk itu, aku mencoba meyakinkan
diri. Dia membelaku, bukan seperti aku yang dengan
bodohnya membela Roland. Tapi siapa yang nggak
marah melihat orang yang disayangi ditonjok seperti
itu" Dasar cewek mengerikan. Aku tak bisa mencegah
diriku untuk tidak bersikap dingin terhadapnya, tapi
sebenarnya aku tidak membencinya. Toh ini bukan
salahnya. Ini semua bukan salah siapa-siapa. Ini semua
salah paham. Dia saja yang overacting. Kenapa sih dia
nggak bisa tenang" Dear God. Dia menonjok Roland
sampai jatuh. Dan yang lebih parah, kenapa sih aku
nggak bisa tenang" Aku! Seorang Ginna Amellia! Hampir berlutut mengemis-ngemis pada Roland untuk meminta sedikit cinta. Memikirkannya saja sudah mem-
48 buatku merinding. Untung makhluk mengerikan bermata hitam bulat, dengan hidung mungil dan bibir
kecil tipis, serta rambut bergelombang yang diikat
berantakan itu menamparku.
Aku menatap cermin dan mendapati, kecuali lukaluka di sekujur tubuhku, diriku sangat berbeda darinya.
Aku begitu kehilangan akal sehingga menerjang cewek
perkasa itu. Jelas aku kalah telak. Setidaknya meski
penampilanku berantakan, aku tidak seberantakan dirinya. Mataku yang cokelat dengan alis dicukur sempurna menatap cermin dengan tajam. Mata itu bengkak
dan merah. Tadi hidung mancungku nyaris patah dan
mengeluarkan darah. Bibirku sobek. Tulang pipiku
yang menonjol biru. Rambut cokelatku yang lurus
dan selalu rapi kini berantakan. Aku menghela napas.
"Kenapa gue malah nyuruh dia nginep?" tanyaku
pada cermin itu. "Satu-satunya alasan karena dia nggak salah dan lo
harus bertanggung jawab. Dia nggak bisa pulang ke
rumahnya gara-gara lo," kata cewek di cermin itu
mantap. Aku memandangnya dengan pandangan memelas dan kalah.
"Dia cukup bertanggung jawab nganterin gue pulang,
jadi gue juga harus berbaik hati sedikit, kan" At least,
gue bisa kasih dia obat mujarab dari Mbok Minnah,"
gumamku. "Tapi atas dasar apa gue nyuruh dia tidur di kamar
gue?" Aku tak habis pikir. Apa yang kupikirkan tadi"
Sebenarnya, tadi gue cuma mikir nggak mau tidur
49 sendirian malam ini. Gue mau seseorang yang ngerti
kesedihan gue nemenin gue, berbagi cerita sama gue,
dengan malu aku mengakui dalam hati. Tidak usah
berbagi cerita juga tak apa, karena pada dasarnya aku
tak yakin bisa ngobrol dengannya. Mengetahui ada
seseorang yang senasib denganku di sebelahku akan
membuatku sedikit tenang. Oh, God! Apa aku sudah
gila" Tidak, tidak. Aku tidak membutuhkannya untuk
membuatku tenang. Tapi aku sampai memaksanya
menginap. Di kamarku. Tidur satu tempat tidur denganku. Separah itukah aku" Setelah menyadari kelakuanku yang kurang beres, dengan panik aku mulai
mencari rokok. Rokok selalu berhasil membuatku berpikir lebih jernih. Tidak ada. Rokok sialan itu pasti sudah dibuang Mbok Minnah ketika aku mengumumkan
pada dunia aku akan berhenti merokok.
Tuhan tahu aku butuh nikotin.
"Ya" satu-satunya alasan karena gue nggak mau
Mbok Minnah repot-repot nyiapin satu kamar buat dia.
Dia nggak cukup penting. Apalagi kalo Mbok harus
bolak-balik ke kamar dia dan gue buat ngasih obat.
Repot, kan?" kataku menenangkan diri. "Ini semua
gara-gara gue cewek yang bertanggung jawab dan
terhormat, hingga gue nggak mungkin membiarkan
cewek yang terluka pulang begitu saja sebelum diobati,"
hiburku. "Apalagi dia kelihatan kurang mampu," tambahku. Setelah menarik napas beberapa kali, aku mulai
tenang. "Ini semua cuma karena gue cewek terhormat.
Gue belom se-desperate itu," ulangku mantap.
50 "Non" Non Ginna," panggil Mbok Minnah sambil
mengetuk pintu. Terlonjak aku berbalik dan mendapati
diriku seperti orang gila yang berbicara kepada bayangan.
"Ya!!" sahutku sambil membereskan rambut sebisanya, lalu membuka pintu.
"Eh!" Mbok Minnah kaget, nggak nyangka aku
akan membuka pintu kamar mandi. Mungkin Mbok
pikir aku sedang mandi atau apa.
"Kenapa, Mbok?" tanyaku.
"Mbok pikir Non lagi mandi," katanya sambil mengelus dada. Aku tak tahu harus menjawab apa, jadi aku
hanya tersenyum. "Non, itu Non Lunna sudah menunggu untuk makan malam," katanya lagi. Aku mengangguk singkat. Aku sama sekali tidak merasa lapar.
"Hari ini masak apa, Mbok?" tanyaku.
"Kangkung, sup jagung, buncis goreng telur, sama
ayam panggang," jawabnya.
"Ayam panggang?" tanyaku merinding.
"Iya. Kan ada Non Lunna, jadi lauknya tidak seperti
biasa," katanya memohon pengertianku. Aku mengangguk pasrah.
"Tapi ayam panggang?" ulangku. "Mbok tahu kan,
aku nggak bisa makan kalau di mejaku ada makhluk
hidup?" kataku jijik. Aku vegetarian.
"Tapi ayamnya sudah mati, Non," kata Mbok menghibur. Aku menelan ludah tak percaya. Aku memang tidak lapar, tapi aku pasti muntah kalau melihat makhluk
malang itu masuk ke mulut Lunna. Maksudku, tadinya
51 makhluk itu hidup, kan! Masih berjalan-jalan dengan
riang, tapi detik berikut ia dipotong! Membayangkannya
saja aku sudah mual. "Ayolah, Non" Kasihan Non
Lunna nggak makan-makan kalau Non belum turun,"
ajaknya. Mbok membimbingku ke luar kamar.
"Sebentar!" ujarku belum siap. "Mbok"," panggilku
takut-takut. "Iya, Sayang?" tanyanya penuh sayang.
"Mbok buang rokok aku, ya?"
Lunna tersenyum manis kepadaku, tapi aku hanya
menatapnya tajam. Bibirnya yang tipis sempurna dan
berwarna merah cerah itu beberapa detik mengembang,
lalu bergetar dan senyum itu pun hilang.
Kalau aku tidak merokok, mungkin warna bibirku
lebih bagus daripada bibirnya, batinku. Aku tak berhasil
mendapatkan rokokku. Mbok Minnah benar-benar telah membuangnya. Aku mendesah kesal.
Lunna menautkan alis tebalnya ketika ia mengoleskan obat di sekitar lukanya. Duh, alis itu. Aku tak
tahan ingin mencukurnya. Lalu kuku itu. Ia memiliki
bentuk jari yang bagus, tidak bengkok-bengkok. Kukunya tumbuh sehat, tidak kuning di ujung jarinya.
Mengapa ia tak memelihara kuku sialan itu" Kuku itu
bersih, tapi guntingannya tidak rapi. Dengan apa sih ia
menggunting kuku" tanyaku dalam hati. Dengan pisau
dapur" pikirku lagi setelah melihat kuku kelingkingnya
yang sangat pendek. Harusnya ia memakai kuteks!
52 Mataku beralih pada kulitnya. Cokelat terbakar matahari. Mengapa ia tidak merawatnya sih" Mengerikan
sekali bintik-bintik cokelat itu. Aku bisa melihat bintik
itu tanpa perlu mendekatkan mata. Untuk mendapatkan kulit cokelat yang sehat, ia butuh lotion. Lalu
rambutnya. Sebenarnya ia mempunyai rambut hitam
bergelombang yang indah. Aku lebih menginginkan
rambut itu daripada rambut lurus penurut milikku.
Kalau aku memilikinya, tentu aku akan menyisirnya
setiap ke kamar kecil. Oh, God!! Pinggulnya. Ia memiliki pinggul impian!
Pinggangnya yang melekuk masuk dan pinggulnya yang
mungil sempurna. Lunna mengenakan pakaian tidur
Esleep baru milikku yang hanya berupa tank top dan
celana pendek. Pakaian minim itu tidak mahal tapi lucu.
Aku berpikir untuk memberikan baju itu padanya.
Oh, kali ini aku benar-benar sirik. Perutnya rata.
Kalau saja aku memiliki semua itu, pikirku sambil
menatap perutku yang walau tidak buncit tapi jelas
berlemak. Aku takkan menyia-nyiakannya. Sebenarnya
Lunna manis. Bahkan ia bakal cukup cantik kalau
mau merawat tubuhnya. Tidak, lebih tepatnya, ia bakal
sangat cantik. Mungkin Roland melihat semua itu. Mungkin karena
itulah ia memilihnya. Kalau tidak, bagaimana mungkin
aku bisa kalah dari cewek urakan seperti dia" Aku
jauh lebih oke. "Mm" kenapa ya?" tanya Lunna, yang menyadari
aku memerhatikannya sejak tadi. Aku tersentak.
53 "Nggak"," kataku singkat sambil dengan cepat
mengalihkan perhatian ke lukaku. Aku melirik Lunna
dengan ujung mata. Ia menatapku curiga.
"Ada apa sih?" tanyanya penasaran.
"Nggak," jawabku dingin. Aku tak mampu melepaskan tatapan dari perutnya, mencoba mencari lemak
yang tersembul dari baju minim itu. Aku tak menemukannya.
"Sejak tadi lo ngeliatin gue terus," ia mengingatkan.
Aku mengangkat tatapanku ke dadanya. Mm" mungkin 34A. Untuk yang satu ini aku menang. "Kalo ada
yang lo nggak suka, bilang aja. Gue tahu kok lo
marah sama gue, tapi jangan ngeliatin gue sinis begitu,"
lanjutnya tegas. Aku tersentak.
"Gue nggak bilang gue marah sama lo!" aku menutupi kegugupanku. Dia tahu aku memerhatikannya.
Mungkin ia tahu aku menginginkan bagian-bagian
tubuhnya. Ada apa dengan otakku hari ini" Kacau!
Tuhan tahu betapa aku membutuhkan nikotin.
"Ginna," katanya dengan nada tak bersahabat, "gue
minta maaf soal Sandy. Sekarang kalo lo punya unekunek, bilang aja."
Betisnya kecil. "Nggak ada unek-unek," jawabku setengah sadar.
Kakinya juga panjang. "Lo nggak mau menatap mata gue. Apa lo segitu
bencinya sama gue?" katanya lelah.
"Lun, bodi lo bagus," kataku akhirnya.
"Hah?" tukasnya kaget. Aku sendiri terkejut oleh
ucapanku. 54 "Astaga, Lunna. Jangan bilang "hah?"!" seruku tertahan. "Itu kampungan," kataku lagi. "Lo harusnya bilang
"sorry", "excuse me", atau "pardon?""
"Hah?" Ia menatapku seolah aku gila.
"Pardon," koreksiku.
"Hah?"" tanyanya mengernyit kaget.
"Pardon," ulangku.
"Apa?" tanyanya nggak percaya.
"Pardon," aku mengulangi sekali lagi.
"Ya ampun, lo gila atau apa sih?" ia tercengang.
"Pardon, Lunna," kataku ngotot.
Ia mengehela napas. "Pardon." Ia membeo menyerah.
Aku tersenyum puas. "Jadi, lo merokok?" tanyaku penuh harap. Ia menggeleng tegas. Aku terkulai kecewa.
"Lo ngerokok?" tanyanya tak percaya.
"Nggak," dengan ahli aku berbohong. Bukan sepenuhnya bohong. Aku sudah berhenti, kan" Hampir.
"Oh?" "Jadi berapa tinggi lo?" tanyaku penasaran.
"Mm" 167 gitu deh," katanya sambil mengingatingat. Astaga, dia itu serius tinggi. Aku mengerutkan
kening. Aku juga sekitar itu kalau mengenakan high heels
tujuh senti, aku mencoba menghibur diri.
"Kenapa sih lo! Peduli amat sama badan gue?"
tanyanya risi. "Ya" nggak juga sih," aku berusaha tidak peduli.
Aku mengangkat bahu dan menyelesaikan mengoleskan
55 obat di lukaku. Ia menatapku tajam. Dari ekor mata
aku melihat kakinya. Setelah hening beberapa saat,
aku bertanya, "Kenapa lo nggak cukur bulu kaki lo?"
"Hah?"" tanyanya benar-benar terkejut.
"Pardon," kataku mengingatkan.
"Pardon," ulangnya lelah. "Emangnya ada apa sama
bulu kaki gue?" tanyanya tanpa mengurangi rasa terkejutnya.
"Ya nggak papa. Cuma kan lebih bagus kalo nggak
ada bulu," kataku polos sambil menunjukkan tungkaiku yang licin. Dia mengernyit mundur.
"Lo bener-bener cewek pesolek!" Lalu ia memandangiku dari atas ke bawah.
"Pesolek?" ujarku tersinggung. "Lo bener-bener cewek urakan," balasku tak mau kalah.
"Urakan?" ulangnya nggak terima. "Coba lo tunjukin
bagian mana yang urakan?" tantangnya.
Dengan mantap aku meraih tangannya. "Liat!" aku
menunjuk kukunya. "Lo gunting kuku pake apa sih"
Pisau dapur?" tanyaku kejam.
Ia terkejut dengan kelancanganku. Dikibasnya cengkeramanku. "Ke salon mana lo pedi tiap hari?" sindirnya setelah melihat kuku-kukuku yang dicat sempurna.
Aku menarik tangannya lagi. "Lo berjemur di mana
setiap hari sampe kulit lo begini?"
Ia membalas dengan menarik tanganku. "Lo luluran
di mana sampe kulit lo begini" Nggak boleh kena
sinar matahari, ya?" ejeknya.
"Rambut lo tuh nggak keurus!" kataku dingin.
56 "Yang pasti gue nggak harus bolak-balik ke salon
tiap hari cuma buat dapetin rambut lurus kaku begitu!"
balasnya.

A Life Karya Silvia Arnie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lurus kaku?""!!!!
Dia nggak tahu berapa jam aku harus di salon
untuk mendapatkan rambut ini!
"Alis lo nggak berbentuk," kataku dengan bibir
terkatup saking kesalnya.
"Alis lo terlalu berbentuk kayak bulan sabit," ia
membalasku bahkan sebelum aku menyelesaikan kalimatku.
Uurggghh!!!! "Kaki lo berbulu!" Aku menatap tajam matanya.
"Kaki lo botak, sampe lalat bisa kepeleset," sindirnya.
Aku terdiam, begitu pula dia. Kami terdiam dalam
kemarahan. Berani-beraninya dia!! Padahal maksudku
baik! Tadinya aku malah berpikir untuk memotong
kukunya dan mengecatnya. Aku berpikir ingin merapikan alisnya, mencukur bulunya, memberi vitamin
rambutnya, memberi lotion"
"Lo 34A," kataku akhirnya dengan senyum kemenangan. Dia menatapku dengan mulut ternganga.
"Ap?"" "Lo 34A! Gue 34B," aku tersenyum menantang.
"Lo gila!" serunya sambil menggelengkan kepala.
Ha! Aku menang! 57 Lunna D UK. Duk. Duk. Aku mendribel bola dengan gayaku yang khas. Matahari pagi tidak seperti biasa, menyengat seluruh tubuhku. Aku mencoba memasukkan
bola ke ring, tapi gagal. Aku mencoba sekali lagi,
gagal lagi. Hari ini aku merasa kurang sehat. Kepalaku
sakit dan telingaku berdenging. Konsentrasiku buyar.
Pandanganku berbayang. Mungkin karena semalam
aku tidak bisa tidur. Bukan karena ranjangnya tidak
nyaman, semuanya luar biasa sempurna untukku. Tapi
toh tetap saja aku tidak bisa membayangkan tinggal di
rumah sebesar itu tanpa Bunda dan Adit. Dan lagi,
aku sangat bersyukur bisa keluar dari situ hiduphidup. Tadi pagi sarapanku sama sekali tak kusentuh.
Segera setelah mengucapkan banyak terima kasih kepada Mbok dan Ginna, aku langsung pamit. Bukannya
tidak sopan, tapi aku harus ganti baju dulu ke rumah.
Alhasil, aku tiba di sekolah terlalu pagi. Dan untuk
ukuran pagi, matahari sangat panas.
58 "Heh!" teriak Alin dari pinggir lapangan. Aku menoleh dan mendapati teman-temanku menungguku masuk kelas. "Kenapa muka lo" Kayak kucing garong,"
katanya tersenyum geli. "Tau nih! Kepala gue pusing!" keluhku. Aku berjalan sempoyongan menghampiri mereka.
"Kenapa lo?" tanya Cassy sekenanya. Aku hanya
mengangkat bahu dan menenggak air putih untuk
menyegarkan tubuhku. "Gila, ya" Ini air apa keringet?" Cannie menyentuh
seragamku dengan jijik. Sekali lagi aku mengangkat
bahu tak peduli. Aku mengerjap, berusaha tetap sadar.
"Lo kenapa sih?" tanya Icha khawatir, menangkap
ada yang tidak beres. "Nggak tau. Pusing banget kepala gue. Terus kayaknya kuping gue berdenging gitu." Teman-temanku
menatapku prihatin. "Ke UKS aja gih!" tawar Icha.
"Nggak ah. Gue cuma kepanasan aja, kali. Sumpah,
matahari gue masukin freezer juga nih!" keluhku. Teman-temanku tersenyum.
"Lagian lo pagi-pagi maen basket. Bentar lagi bel!"
kata Cassy. "Justru biasanya pagi-pagi tuh nggak panas! Mana
ada pagi-pagi panas!" aku membela diri.
"Yang bener aja deh! Mau pagi-pagi nggak panas
juga, ini belom masuk kelas, bo! Nanti lo di kelas bau
keringet." Cassy menutup hidungnya dan pura-pura
menjauhiku. 59 "Sial lo!" tawaku ringan sambil mendorongnya.
"Jadi hot news apa yang bikin muka lo kayak kucing
garong gitu?" Alin nyeletuk. Aku mengernyit.
"Emang tampang gue segitu ancurnya, ya?" tanyaku.
Teman-temanku mengangguk antusias.
"Segitu jelas?" Sekali lagi teman-temanku mengangguk mengiyakan. Aku pura-pura kecewa. "Kenapa sih
lo semua nggak bisa bohong" Hibur gue dikit kek!"
keluhku, lalu beranjak mengangkut semua barangku
dan mendribel bola basket kesayanganku.
"Yee" kita mah anak-anak jujur," canda mereka.
Lalu satu per satu mereka mengikutiku.
"So?" tanya Icha, yang sepertinya masih khawatir
karena jalanku sempoyongan.
"So what?" balasku.
"Ya" what?"" tanya Icha lagi.
"What what?" candaku. Aku tertawa melihat Icha
mulai tak sabar. Aku menarik napas dan memulai,
"Gue kemaren berantem sama cewek baru Sandy."
Seketika mereka menghentikan langkah. Aku ikut berhenti melangkah.
"Yang bikin lo kayak gini itu cewek barunya Sandy?"
kata Cassy tak percaya. "Gila! Cewek kayak apa sih dia" Pegulat?" Alin
berkomentar. "Hah?" tanyaku nggak ngerti. Pardon, kata-kata
Ginna terngiang-ngiang. "Jagoan taekwondo aja belum tentu bisa ngalahin
lo," Icha menambahkan sambil menggeleng pelan.
60 "Lo kayak nggak tau aja cewek kalo lagi marah,"
kataku. "Tapi lo aja bisa sampe kayak gini. Berarti tu cewek
gawat, ya?" ujar Cannie.
"Nggak juga. Dia jauh lebih parah daripada gue!"
Tiba-tiba rasa bersalah yang kurasakan di rumah Ginna
kembali menyelimuti. "Wow!!" ujar Cassy. "Tega banget lo!"
"Gue khilaf waktu itu. Parah deh?" Aku melanjutkan langkah sambil menenteng bolaku. Teman-temanku
mengikuti. "Sandy ninggalin tuh cewek, lagi. Brengsek
banget tuh cowok!" ujarku marah.
"Hah"! Iya" Dia ninggalin begitu aja?" Alin menyipitkan mata menandakan kebencian yang mendalam.
"Iya. Pas gue lagi ribut-ribut begitu, lagi tonjoktonjokan, sampe guling-gulingan di tanah, eh" setan
itu malah pergi dengan enaknya." Emosiku kembali
terpancing mengingat kejadian itu. Dasar brengsek!
"Lo sampe guling-gulingan di tanah" Nggak ada
yang meleraikan begitu?" Icha memasang tampang
kaget. "Ada lah! Satpam. Yang laen cuma nonton. Tapi tuh
satpam juga kayaknya kena tendang deh. Haha?"
Teman-temanku ikut ketawa mendengarnya. Lucu juga
rasanya. Konyol. Kenapa kami harus berkelahi seperti
itu demi cowok brengsek kayak Sandy" Kalau dipertemukan dengan cara lain, mungkin aku akan menyukai
Ginna. Mungkin. Mm" Kayaknya nggak juga deh,
mengingat kasus 34A itu. 61 "Lho" Seharusnya kan lo nonjok Sandy, bukan ceweknya?" ujar Cannie bingung.
"Tau! Tuh cewek udah gue belain malah nonjok
gue. Salah gue sih, nampar dia duluan. Abis dia
segitunya sih sama Sandy. Jadi gue geregetan!" aku
terkekeh. Sesampainya di depan loker aku memasukkan bukubuku dan bola basketku. Kemarin saat aku menelepon
rumah untuk meminta izin menginap kepada Bunda,
Adit yang mengangkat telepon. Ia terdengar sangat
kecewa aku nggak pulang hari itu. Aku berjanji membelikannya cheesecake dari The Ivy. Ia belum pernah
makan cheesecake dan sangat ingin mencobanya. Aku
mengelus bolaku dalam loker dengan sayang dan penuh permintaan maaf. Bola itu hadiah dari Adit. Adikku
telah menabung susah payah untuk bola ini, tapi aku
bahkan tidak bisa memberikan hal sekecil itu padanya.
"Terus" Dia cantik nggak?" tanya Cassy sinis.
"Cantik sih. Kayak malaikat," kataku jujur sambil
mengambil buku-buku pelajaran pertama. Biologi.
"Agak-agak bule gitu kayaknya."
"Bohong lo! Nggak mungkin tuh cewek lebih cantik
dari lo!" tukas Cassy tidak terima.
"Haha" serius. Dia cantik banget. Baik, lagi. Gue
disuruh nginep di rumahnya, terus muka gue dikasih
obat," kataku lagi. Hampir saja aku menambahkan
bahwa ia cengeng, pesolek, dan nggak mau kalah.
Tapi kalau Cassy tahu ia memiliki kekurangan, ia
takkan bosan mencela cewek malang itu. Meskipun
62 aku juga tidak begitu menyukainya sih. Tapi aku
kasihan padanya. Mata teman-temanku terbelalak. "Lo" lo nginep?"
tanya mereka hampir bersamaan. "Serius?"
"Iya. Gue nginep di rumah Ginna," kataku antara
malu dan bangga. "Lo gila! Malu, kali!" Alin mencecarku.
"Oh, namanya Ginna," Cannie berkomentar nggak
penting. Kami sama sekali tidak menggubrisnya.
"Siapa yang mau! Gila, gue dipaksa, lagi!" Lalu aku
menceritakan bagaimana Mbok Minnah memaksaku.
Bagaimana akhirnya Ginna yang tadinya menatapku
sinis juga ikut-ikutan memaksa. Mereka mendengarkan
setengah nggak percaya. "Lo tau nggak, yang paling
parah" Sandy itu nama lengkapnya Christian Sandy
Roland Nugroho. Dan setahu Ginna, namanya itu
Roland. Aduh" gue jadi pengen tau, ada nggak ya
cewek lain yang kenal dia sebagai Christian?" Bibirku
membentuk senyuman, sedang teman-temanku mendesah kesal.
"Tuh cowok" bajingan banget sih"!" Alin memijat
kepalanya. "Gue no comment deh!" Cassy angkat tangan.
"Eh, tapi gue agak-agak bingung. Kayaknya Ginna
sama Sandy nggak jadian deh"," kataku mencoba
mengingat percakapan kemarin.
"So?" tanya Alin yang sejak tadi sudah berprasangka
buruk. "Kata Sandy, dia cuma nganggep Ginna temen. Apa
63 gue berlebihan" Siapa tau Sandy bener-bener nganggep
Ginna temen, tapi Ginna-nya aja yang kecentilan,"
ujarku penuh harap. "Hah" Lo yang bener aja! Cowok kayak gitu masih
lo anggep baik-baik?" sela Cassy. "Kalo dia emang
kayak yang lo bilang, masa dia pake acara ninggalin lo
waktu kalian berantem" Mestinya kan dia bersikap
gentleman dan nolongin atau meleraikan lo!" Cassy
ngomel panjang-lebar. "Sandy-nya playboy, Ginna-nya
kecentilan. Ya pas!" Cassy mulai menghina.
"Yah" yang pasti lo nggak usah punya hubungan
apa pun sama dia lagilah." Icha menepuk pundakku.
Aku mengangguk mantap. Aku melihat jam, tujuh
pas, seharusnya sudah bel.
"Tapi, kan mungkin aja dia emang nggak ada maksud apa-apa sama cewek itu. Buktinya dia jelas-jelas
bilang dia nggak ada apa-apa sama cewek itu. Kalo
memang playboy, dia pasti lebih milih cewek baru itu
dong. Cewek yang lo bilang baik dan cantik kayak
malaikat itu," sergah Cannie. Aku menatap Cannie
ragu. Mungkin dia benar, pikirku penuh harap. Tapi sepertinya teman-temanku tak sependapat. Mereka menatap
Cannie seolah Cannie sudah gila.
"Sayang, playboy lebih tertarik sama cewek seribu
satu yang keras dan susah didapet daripada cewek
yang pasaran kayak Ginna. Lebih menantang, lebih
seru, dan jelas dia lebih bangga dapetin yang tipe-tipe
Lunna!" tukas Cassy sengit. Harapanku pupus sudah.
64 Cassy benar. Aku bisa merasakan wajahku memucat.
Mungkin memang tidak seharusnya aku menaruh harapan lebih.
"Masih pusing nggak lo?" tanya Icha yang terlihat
mengkhawatirkan aku. "Masih sih" Tapi nggak kayak tadi. Gue kepanasan,
kali!" kataku berusaha cuek.
"Mending lo nggak usah ikut pelajaran. Ke UKS
aja. Pelajaran Ibu Veve ini," Alin menyarankan dengan
senyum licik. "Haha" iya juga, ya" Tuh guru sinis banget sih
sama gue. Bete gue," keluhku. "Tapi kita udah kelas
tiga, Neng! Udah mau UAN. Kalo gue nggak lulus
gara-gara bolos pelajaran, gimana?"
"Najis lo! Mana mungkin lo nggak lulus. Lo sekolah
aja pake beasiswa. Bentar lagi jangan-jangan lo ke
Harvard, lagi, dapet beasiswa juga!" sindir Cassy. "Kalo
gue tuh" mati deh. Gawat." Dia menggeleng-geleng
pasrah. "Iya, gue juga nih!" Alin ikut-ikutan.
"Heh! Sekolah kita sekolah unggulan, mana mungkin
kita nggak lulus?" hibur Icha membangkitkan semangat.
Mereka mengangguk-angguk setuju.
"Jadi, lo udah putus sama Sandy nih?" tanya Cannie
tiba-tiba. Kami semua memandangnya bersamaan.
"Lo ke mana aja sih?" Alin menyenggolnya.
"Haloooww" Eniybodey houuummm?"" sindir Cassy
hiperbolis sambil mengetukkan jarinya di kepala
Cannie. Tepat saat itu bel berbunyi.
65 "Jadi lo udah putus, kan?" tanyanya sekali lagi.
Kami semua menghela napas sambil memutar bola
mata. "Kan?" Dia menuntut jawaban. Dengan pasrah
kami satu per satu meninggalkannya dan masuk kelas.
"Oosit sekunder yang mengandung ovum dibuahi sperma," suara guruku samar-samar terdengar. Peduli setan
dengan ovum. Kepalaku nyeri.
"Sperma harus menembus korona radiata?" Telingaku kembali berdengung. Peduli setan dengan korona
radiata. "Lalu harus menembus lapisan setelah korona radiata,
yaitu zona pelusida berupa glikoprotein yang?" Peduli
setan dengan zona pelusida. Peduli setan dengan
glikoprotein. Aku mau pingsan.
Aku memandang ke luar jendela sambil berharap
mendapat udara segar. Aku memejamkan mata mencoba mendapat ketenangan, tapi yang kulihat dalam
bayanganku malah kejadian kemarin. Semua kilasan
balik itu membuatku memilih merasakan sakit kepalaku saja. Jadi aku membuka mata untuk menghentikan
bayangan itu. Mereka bilang aku kuat. Teman-temanku,
Bunda, Adit, Ginna, bahkan Sandy" Karena itukah
dia tega menyakitiku seperti ini" Tahukah mereka aku
tak sekuat itu" Aku manusia biasa. Aku juga gadis
biasa. Mengapa mereka tidak mendengar jeritanku"


A Life Karya Silvia Arnie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tak melihat sinyal permintaan tolongku" Apa mereka
pura-pura tidak tahu aku juga bisa menangis"
66 "Na!" terdengar samar-samar orang memanggil nama
Ginna. Aku menutup telinga. Lamunanku berlebihan.
Tuk! Dengan kaget aku memegang kepalaku. Ada yang
menyambitku dengan kertas. Aku menoleh ke belakang
dengan marah. Alin memelototiku sambil memberi
kode ke depan. Aku tidak menangkap kodenya.
"Ginna!" telingaku menangkap nama itu disebut
dengan nada mengancam. "Hah?" tanyaku refleks, langsung menghadap ke
depan. "Lunna! Jangan melamun!" Guruku ternyata sudah
memerhatikanku sejak tadi, wajahnya memerah menahan marah.
"Maaf?" tanyaku bodoh.
"Lunna!!" bentaknya. "Pertama, kamu sama sekali
tidak memerhatikan pelajaran. Kedua, Ibu ada di sini,
kenapa kamu malah nengok ke belakang waktu Ibu
panggil" Ketiga, papan tulis itu di depan, bukan di
luar jendela!!" serunya marah.
Aku tercengang, lalu menggeleng-gelengkan kepala.
"Maaf, tadi Ibu memanggil siapa?"
"Astaga!" Dia memukul kepalanya. "Keluar kamu,
dan tunggu saya di ruangan saya!"
Hhhh. Mulai lagi. Aku benci kalau guru yang satu
ini begini. Dengan kesal aku membuka loker dan mengumpat
67 pelan. Aku melirik jam. Jarum pendeknya menunjuk
angka enam. Itu berarti lima jam di kantor nenek
sihir itu. Kalau semua guru di sini menyukaiku, kenapa
dia tidak" Kalau semua guru di sini bilang aku berbakat, kenapa dia tidak" Apa karena aku miskin dan
bersekolah di sini dengan beasiswa, jadi dia merasa
aku tidak ikut menggajinya" Dan karena itu ia merasa
berhak memarahiku, melampiaskan kekesalannya padaku" Kenapa dia tidak menghargaiku" Setidaknya
menghargai privasiku"
"Udah selesai?" suara seseorang yang kukenal menyapaku dari ujung lorong.
"Icha" kok belum pulang?" tanyaku berusaha tenang, tapi urat-urat wajahku masih tegang. Dari semua
sahabatku, Icha-lah yang paling dewasa dan penuh
pengertian. Itu membuatku tak pernah tega memarahinya, bahkan untuk bicara kasar pun tidak. Dia
terlalu baik. Icha tersenyum penuh pengertian. "Nungguin lo,"
katanya. Lihat, kan" Dia benar-benar baik. Kami berjalan bareng ke gerbang.
"Jadi, lo beneran udah bubaran sama Sandy?" Tibatiba Icha menanyakan hal yang tidak diduga.
"Iya," aku menjawab mantap.
"Baguslah"," katanya tenang.
"Gue belum resmi putus sebenarnya"," kataku bimbang.
"Belum?" tanyanya antara bingung dan tidak percaya.
68 "Gue belum sempet ngomong putus. Tapi harusnya
nggak perlu diomongin segala juga udah selesai, kan"
Maksud gue, harusnya dia tau malu dan nggak hubungin gue lagi, kan?" tanyaku, lebih mirip pernyataan
daripada pertanyaan. Icha mengangkat bahu.
"Lun?" Nada suara Icha mulai serius.
"Hmm"," aku menjawab sekenanya.
"Lo masih sayang sama dia?" Deg. Jantungku berhenti sedetik. Inilah pertanyaan yang kutakutkan.
"Menurut lo?" tanyaku mencoba berputar-putar.
"Masih"," jawabnya takut-takut.
Aku duduk di pinggir lapangan. Tadi pagi benarbenar panas, tapi sekarang matahari hampir lenyap.
Angin sepoi-sepoi membelai lembut wajahku. Kepalaku
mendadak ringan. "Lun?" panggilnya meminta jawaban.
"Masih. Masihlah"," jawabku entah pada siapa. Pada
Icha, pada angin, atau pada diriku sendiri. Dia duduk
diam di sampingku. "Cha"," panggilku.
"Hmm"," jawabnya.
"Lo pernah nggak kayak gini?" tanyaku.
"Kayak apa?" "Kayak gini" Ngerasain kayak gue. Lo sayang banget
sama orang, tapi tu orang malah ngecewain lo. Dia
malah ninggalin lo?" tanyaku, menuntut lebih dari
sekadar jawaban. "Hm?" Dia tersenyum kecil. "Pernahlah, Lun. Waktu
SMP, gue pernah sayang sama sahabat gue sendiri.
69 Dia juga sayang sama gue. Tapi karena kami pikir
lebih baik terus sahabatan, kami terus jalanin persahabatan kami dengan menyembunyikan feeling kami
masing-masing." Icha terdiam. Pikirannya menerawang.
"One day, dia nganterin gue pulang dari party temen
gue. Seperti biasa, dia mampir ke rumah buat ngobrol
dan pamitan sama Nyokap. Tapi waktu itu Nyokap
nggak ada di rumah." Air mata menggenangi pelupuk
mata Icha. Ia menarik napas, lalu menatapku dalam.
"Malam itu gue melepaskan virginity gue."
Aku menahan napas mendengarnya. Icha?" Aku
nggak percaya. Aku nggak nyangka ia bisa melakukan
hal itu. Aku nggak mampu berkata-kata, jadi aku
hanya terdiam. "Gue nggak pernah cerita ini sama siapa pun." Dia
menggigit bibir. Beribu pertanyaan menyerbuku. Apakah teman Icha
itu pakai kondom" Bagaimana rasanya" Bagaimana
mulainya" Apakah dia tidak berpikir kemungkinan
bisa hamil" Bagaimana mereka melakukannya" Apakah
sakit" Apakah dia tak merasa bersalah" Demi Tuhan,
ini kan Icha!! Air mata menetes di pipinya. "Apa lo masih sayang
sama dia?" kataku setelah berhasil menemukan suaraku.
"Hmm" menurut lo?" tanyanya sambil tersenyum
dalam tangisnya. "Masih"," jawabku ragu. Dia diam tak menjawab,
dan aku tahu jawabanku benar.
"Life goes on, Lun"," katanya setelah beberapa saat.
70 "Lo pasti bisa nemuin orang yang lebih baik daripada
dia," katanya lebih kepada dirinya sendiri.
"Jadi dia ke mana?" tanyaku penasaran.
"Dia?" Icha menarik napas. "Dia jadian sama sahabat
yang paling deket sama gue." Rasanya aku kepingin
menonjok cowok brengsek itu.
"Kok lo nggak pernah cerita?" tanyaku sambil menggenggam tangannya.
Dia tersenyum bijak. "Semua orang punya rahasia,
Lun. Mereka, lo, gue" berusaha kelihatan kuat, walau
kita mungkin nggak sekuat itu. Ada orang-orang yang
gagal berakting, jadi keliatan lemah. Ada orang yang
nggak mau repot-repot berusaha menutupi kelemahannya. Tapi sebenarnya ketegaran kita bukan dilihat
dari kuat atau lemahnya kita. Bukan dilihat dari berapa
banyak air mata yang kita teteskan. Tapi dilihat dari
sini?" Ia menyentuh dadanya. "Lo" juga pasti berusaha keliatan kuat, kan" Padahal lo orang yang paling
pengen nangis waktu lo cerita Sandy dengan tampang
ceria lo," katanya lagi. Aku menatapnya kosong. Ternyata ada orang yang mengerti. Ternyata ada juga
yang mendengar jeritanku. "Sahabat gunanya buat
tempat lo cerita. Buat tempat lo sharing. Buat tempat
nampung air mata lo. Buat nangis sama-sama. Bukan
cuma buat ketawa sama-sama doang." Ia meremas
tanganku semakin keras. "Sahabat lo bukan bantal,
tapi gue, Alin, Cannie, Cassy," lanjutnya.
"Thanks," sahutku jauh lebih tenang. Mengetahui
ada sahabat yang baik, yang sangat memahamiku
71 tanpa aku harus bercerita, membuatku sangat lega.
Aku tahu mereka menangis untukku saat aku berusaha
tampak tegar. Aku tahu mereka berbahagia untukku
saat aku berhasil dalam hal-hal kecil. Aku tahu mereka
menamparku saat aku salah. Aku tahu mereka menjaga
jalanku setiap saat hanya agar aku tak jatuh dalam
kesalahan yang sama. Tapi, aku baru tahu bahwa lebih
dari itu ada sahabat yang memahamiku luar dan
dalam. Dan aku berterima kasih karena Tuhan telah
memberikan orang-orang itu dalam hidupku.
"Kami nggak pernah liat lo nangis, Lun, even waktu
lo desperate banget. Padahal kami tahu, lo stres banget, tapi lo nggak pernah nangis. Itu bikin kami
lebih khawatir, tahu! Bahkan waktu bokap lo meninggal, kami semua nangis, tapi lo nggak!" katanya
sambil ketawa. Aku ikut tersenyum. Aku tidak menangis karena aku tidak ingin Bunda dan Adit khawatir.
"Ya" gue nggak punya kelenjar air mata, kali,"
candaku. Dia ketawa kecil. Lalu kami berpelukan.
Kami sama-sama merasa rapuh. Kami melewati masamasa berat. Tapi kami berhasil melewatinya.
"Lo nggak lemah, Cha. Lo nggak pura-pura kuat,
tapi lo emang kuat. Lo emang tegar," bisikku di balik
pundaknya. Air mata membasahi seragamku.
"Gue kuat karena punya sahabat yang jauh lebih
tegar daripada gue, yang jadi inspirasi gue," ia terisak.
"Gue sayang lo, Lun. Lo sahabat gue yang paling
baik," katanya lagi. Tiba-tiba semuanya menjadi jelas.
72 Aku tahu bagaimana ia bisa begitu dewasa. Aku tahu
bagaimana ia bisa begitu memahamiku dan begitu
menghargai sahabat-sahabatnya. Aku tahu mengapa ia
selalu takut kalau kami berantem. Aku tahu bagaimana
ia selalu takut kami terpecah-belah, bagaimana ia takut
kehilangan kami. Ia telah kehilangan dua sahabat dekatnya, membuatnya merasa sendiri dan dikhianati.
Sekarang aku tahu mengapa ia begitu sensitif memahami perasaan orang.
"You too, Cha," jawabku tulus. Kami sama-sama menarik diri dan tersenyum. Kami duduk diam menatap
matahari terbenam. Langit inilah yang paling aku suka.
Oranye, merah, kuning, sedikit biru, sedikit gelap, tapi
masih cukup terang. Setelah puas memandangi keajaiban yang terulang setiap hari itu, aku berdiri.
"Mau balik?" tanyanya.
"Iya, gue mau ke The Ivy," jawabku tersenyum.
"Ngapain" Ada janji sama Ginna?" sindirnya.
"Haha" Nggak lah. Gue mau beli cheesecake buat
Adit," jawabku. "You"re not only a good friend but a good sista" too.
Proud of ya!" "Diitt"!!" seruku. "Lihat nih Kakak bawa apa!"
Adikku datang dengan mata membesar.
"Aahhh!!! Cheesecake! Kakakku emang kakak paling
baik di dunia!" Ia mengecupku ringan, tapi langsung
menjauh. "Ih, muka Kakak kenapa?"
73 "Jatuh kemaren di rumah temen," jawabku singkat,
berharap ia tidak bertanya macam-macam lagi.
"Jatuh sampe begitu?" tanyanya tidak yakin.
"Iya! Jatuh dari genteng," kataku hiperbolis. Dia
baru mau membuka mulut lagi, tapi aku langsung
menyambar, "Nih, makan cheesecake-nya," kataku setengah membujuk. Perhatiannya langsung teralih. "Bunda
mana, Dit?" tanyaku setelah melihat sekeliling rumah.
Rumahku kecil, sangat kecil kalau dibanding rumah
Ginna. Cukup melihat sekeliling untuk tahu siapa
yang ada di rumah. Paling-paling orang hanya bisa
bersembunyi di kamar mandi, kamar tidur, dan dapur.
Jadi kalau Bunda tidak ada di dapur, kamar mandi,
atau kamar tidur, bisa dibilang ia tak ada di rumah.
"Belum pulang, Kak! Kayaknya Bunda kerja tambahan deh. Bunda janji beliin Adit baju baru kalo
dagangannya kali ini laku," katanya senang.
Sejak Ayah meninggal, Bunda berusaha keras memenuhi kebutuhan kami. Adit masih kecil, baru kelas
enam. Ia sebentar lagi masuk SMP, itu berarti Bunda
harus bekerja ekstra untuk membiayai uang pangkal
dan uang sekolah Adit nanti. Upahnya sebagai tukang
jahit mungkin tidak bakal cukup membiayai kami.
Adit anak pintar, tapi tidak cukup pintar untuk mendapat beasiswa sepertiku.
"Mm" Dit, emang kamu bener-bener butuh baju
baru?" tanyaku hati-hati. Dia menoleh kecewa, tahu
arah pembicaraanku. Kami benar-benar perlu mengumpulkan uang saat ini.
74 "Habis, baju Adit yang paling bagus udah sobek,
Kak," serunya cepat. Aku mengerutkan dahi. Ia terlihat
kaget, sadar dirinya bicara terlalu banyak. Aku menatapnya ingin tahu. "Kemarin ada anak yang ngejahatin
Adit pas Adit di pameran seni," katanya sedih sambil
tertunduk menatap cheesecake-nya. "Katanya Adit anak
orang miskin, nggak pantes di sana." Dia menahan air
matanya yang hampir jatuh. "Dia merobek baju Adit,
padahal itu baju Adit yang paling bagus?"
Aku terenyak. Baru sehari aku tidak di rumah,
sudah banyak kejadian yang terjadi. Aku menggigit
bibir marah. Salahkah kami kalau kami miskin" batinku.
Siapa yang bisa memilih nasib" Siapa yang bisa memilih
lahir di keluarga kaya" Aku hampir berteriak. "Terus
kamu apain orang itu?" tanyaku tegas.
"Nggak aku apa-apain. Aku diemin aja seperti pesan
Kakak," katanya sambil menghapus air matanya yang
mulai menetes. "Kita mungkin orang miskin, tapi kita
orang baik-baik. Kita punya harga diri, kita punya
hati. Biar Tuhan yang membalas." Ia mengingat pesanku dengan baik. "Jadi aku diemin aja. Biar Tuhan
yang membalas," katanya mantap, lalu menatap mataku. Aku tersenyum bangga.
"That"s my boy!" ujarku sambil mengacak-acak rambutnya. Ia tertawa bangga, lalu melanjutkan makannya.
"Enak, Kak!" katanya senang. Aku tersenyum hangat.
"Oh, ya. Dit..." tiba-tiba aku teringat sesuatu. Dia
menoleh sambil terus mengunyah. "Bunda tahu tentang
baju kamu?" Ia mengangguk pelan. Aku mendesah
75 kecewa. "Ya udah. Kalau begitu biar Kakak yang
beliin baju, kamu jangan minta sama Bunda, ya?"
kataku. "Kakak baru dapat uang lagi?" tanyanya senang.
"Iya. Kakak baru menang puisi lagi. Hadiahnya lumayan. Sekolah bagus sih." Aku merasa tidak nyaman
saat teringat isi puisiku. Aku tak yakin bakal menang
lagi di lain kesempatan. Belum lagi akhir-akhir ini aku
tak bisa berpikir seperti biasa. Aku tidak bisa berkonsentrasi. Dan aku semakin pelupa. Aku bahkan lupa
di mana aku meletakkan dompetku tadi pagi. Mungkin karena masalahku bertumpuk, aku jadi sedikit
kacau. "Kakak mau mandi dulu, ya," kataku sambil menenteng tas sekolahku ke kamar.
"Kak"," panggilnya tepat ketika aku akan masuk
ke kamar. "Ya?" "Aku mungkin anak orang miskin, tapi aku punya
apa yang orang kaya itu nggak punya," katanya. Aku
mengangkat alis, penasaran. Sambil tersenyum bangga


A Life Karya Silvia Arnie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ia melanjutkan, "Aku punya Kak Lunna."
Aku mencari handuk dengan panik. Darah segar mengucur lewat hidungku.
"Sial!" umpatku kesal. Aku membungkus tubuhku
dengan handuk dan keluar dari kamar mandi mencari
tisu untuk menyumbat hidungku. Kamarku yang
76 penuh dan berantakan tidak membantuku menemukan apa yang kucari. Trofi, piala, medali, piagam,
penghargaan, berserakan di sekitar ranjangku. Aku
melangkahinya, bahkan menendang apa pun yang
menghalangi jalanku. "Mana sih tisu sialan itu?" gumamku sambil meringis. Darahku menetes-netes mengotori handuk dan lantai kamarku. "Aaarrgghh"!!"
Aku mulai emosi. Tepat saat itu aku menemukan apa
yang kucari. "Kenapa, Kak?" tanya Adit dari luar. Nadanya waswas.
"Eeuuhh"!!!" erangku, mencoba menjangkau tisu
sialan itu. Dalam hati aku bersumpah akan membersihkan kamar ini suatu hari nanti. Kamarku bahkan
tak ada seperempatnya kamar Ginna. Sesulit apa sih
membereskan kamar kecil dengan semua barang ini"
"Kak?" panggil Adit sambil mengetuk pintuku dan
memutar kenopnya. "Adit! Jangan masuk!!!" perintahku panik. "Kakak
lagi nggak pake baju!" bohongku.
"Oh?" Ia menuruti dengan ragu. "Tapi Kakak nggak
apa-apa, kan?" Ia masih berdiri di depan pintu.
"Nggak papa. Kakak lagi?" Otakku berputar cepat.
"Lagi" lagi nyabutin bulu kaki!" ujarku asal sambil
menyumbat hidungku dengan tisu.
"Hah?"" tanyanya tak percaya. "Sejak kapan Kakak
peduli sama bulu kaki?"
"Sejak?" Sialan. Kadang-kadang aku benci sifat ingin
tahu adikku ini. "Sejak kemarin, di rumah temen,
77 Kakak diajarin nyabut bulu kaki." Alasanku benarbenar konyol. "Katanya cewek nggak boleh punya
bulu kaki!" tambahku, berharap terdengar lebih meyakinkan.
"Pake apa nyabutnya?"
Duh, anak kecil" "Wax." Itu satu-satunya cara pencabutan bulu yang kutahu.
Memangnya siapa sih yang peduli sama bulu" Aku
membersihkan lantai dengan tisu. Lalu masuk kamar
mandi untuk membersihkan darah di handukku. Untung kamarku dilengkapi kamar mandi sendiri. Aku
sempat mendengar Adit bergumam, "Pantesan sakit,"
sebelum ia benar-benar meninggalkan pintu kamarku.
Aku menatap pintu dengan pandangan tak percaya.
Sejak kapan Adit tahu urusan cabut-mencabut bulu"
SPONGEBOB SQUAREPANTS!!!! Tung turung"
Tiba-tiba HP-ku berbunyi. Aku kaget setengah mati.
Aku menoleh cepat dan mencari HP-ku di meja. Aku
yakin menaruhnya di sana. Tidak ada. Aku menatap
pasrah sekeliling sambil menajamkan telinga.
SPONGEBOB SQUAREPANTS, SPONGEBOB SQUAREPANTS!! Tas!! Suara itu berasal dari tasku. Aku membuka
tasku dan mencarinya, sementara ringtone Spongebob
terus mengalun ceria. Aku tak dapat menemukan
benda itu di antara bukuku. Aku mulai emosi dan
membalikkan tasku hingga buku-buku jatuh berserakan. Lalu benda merah kecil itu keluar dari tempat
78 persembunyiannya. Langsung saja kutangkap sebelum
menyentuh lantai. Sppooonngggeeebboobbb ssqquuuuaaarrreeeeepa"
"Halo?" sapaku terengah-engah. Tisuku yang bersimbah darah hampir jatuh dari hidung. Dengan sigap
aku mengambil tisu baru. "Halo"," balas seseorang di ujung sana. "Eh" lagi
sibuk ya?" "Siapa nih?" tanyaku, tak yakin pernah mendengar
suara ini. "Mango. Inget?" tanyanya ragu.
"Nggak." "Eh?" Ia terdengar bimbang.
"Apaan?" tanyaku tanpa basa-basi.
"Ini Mango yang waktu itu di kafe?" Ia berharap
aku akhirnya ingat. Sayangnya tidak.
"Kafe," ulangku.
"The Ivy. Kemarin," katanya mantap.
"Oh!" Aku tiba-tiba teringat kejadian kemarin. Bodoh!
Ingatanku benar-benar kacau. Bagaimana mungkin aku
melupakan seseorang bernama Mango" "Oh!!" ulangku
lagi. "Oh, iya, iya! Gue inget!" seruku hampir tertawa.
Aku bahkan bisa mendengarnya tersenyum saking
leganya. "Amin?" "Haha?" Aku tertawa dan dia ikut tertawa. "Ada
apa?" "Gini, gue udah bilang sama anak band gue. Mereka
penasaran sama lo. Mereka mau ketemu sama lo.
79 Jadi"," dia berdeham, "mau liat performa gue Sabtu
depan?" "Ehmm" Sabtu, ya?" gumamku sambil melihat
agendaku. "Nggak bisa. Gue ada latian basket!" tolakku
tegas. "Ohh?" Ia terdengar sangat kecewa. "Emang latiannya sampe malem, ya" Gue ngeband mulai jam tujuh
sampe sebelas kok," katanya sedikit memohon.
"Mm" nggak tau ya. Soalnya bentar lagi gue ada
pertandingan basket." Aku menyumbat hidungku lagi.
"Kalo Minggu bisa?" Nadanya mulai mendesak.
"Minggu" Gue usahain, ya. Mungkin gue mau beli
baju sama adik gue," jawabku.
"Please" Masa beli baju juga sampe malem?" Kali
ini Mango benar-benar memohon.
"Mm" Gue nggak janji deh. Tapi gue usahain,
oke?" "Oke." Ia harus puas dengan jawabanku.
"Oke. See ya next week," aku memutuskan telepon.
"Oke," katanya ragu. Aku menunggunya mematikan
telepon, tapi dia tak melakukannya. Lalu sejurus kemudian dia berkata, "Lun, kok suara lo aneh ya di
telepon?" Ups" penyumbat hidungku jatuh lagi.
80 Ginna S ETELAH melewati hari-hari yang panjang tanpa
kabar dari Roland, aku memutuskan melupakannya
dan mencari cowok lain. Aku memang sangat menyukai Roland. Dia cowok yang sangat memikat, misterius,
nggak bisa ditebak. Kini aku tahu mengapa mood-nya
sering berubah. Mungkin saat itu ia sedang bersama
Lunna. Aku menggigit bibir mengingat Lunna.
Aku jauh lebih baik darinya, pikirku.
Yah, bagaimanapun Sandy memang bukan milikku.
Dan dia jelas bukan cowok baik, aku menyadarinya.
Tapi dia membuatku hampir gila walau kami baru
dekat. Aku kehilangan dirinya. Walau seluruh indraku
ingin meneleponnya, meminta penjelasan, tapi sisa-sisa
harga diriku mencegahnya. Dan setelah beberapa hari
terpanjang dalam hidupku yang kulewati dengan menatapi HP-ku yang bisu, aku menyadari Roland tak
cukup gentleman untuk sekadar menelepon dan me-
81 minta maaf. Aku memutuskan melanjutkan hidupku
tanpanya. Aku menelepon sahabatku Lulu dan mengajaknya
berbelanja, tapi rupanya ia sedang kencan dengan
cowok barunya. "Hei" lo ke sini aja, Gin. Ada temennya cowok gue
nih nganggur," ia cekikikan.
"Are you sure" Kayaknya gue nggak yakin"," kataku
mengelak. Cowok macam apa yang ikut temannya
kencan" "Ayolah, lo bilang banyak ikan di laut. Ini salah satu
ikan juga," katanya lagi. "Jangan menyia-nyiakan kesempatan. Siapa tahu dia Mr. Right!" tambahnya.
Sudah banyak cowok yang mengganggu hidupku,
apa salahnya ditambah satu lagi" Lagi pula, bakal
seburuk apa sih dia" Lulu saja mendukung. "C"est
possible," aku menyerah.
"Lo pasti nggak nyesel!" serunya ceria.
Aku memutuskan telepon dan segera bersiap-siap.
Tak perlu berdandan ekstra hari ini. Aku bahkan tak
tahu cowok itu tipe apa. Aku menyisir seperlunya dan mengoleskan lip gloss
Maybeline kesukaanku. Aku tak ingin cowok itu menganggapku memang sengaja ingin menemuinya. Setelah
berganti baju beberapa kali, aku pun siap berangkat.
Aku mengenakan kaus lusuh Body and Soul-ku yang
lama, celana pendek Mango yang di-sale, dan sandal
jepit Charles and Keith putihku yang sudah kotor.
Untuk pertama kali dalam hidupku aku merasa sangat
82 berantakan. Aku bahkan membawa tas pemberian cowokku yang pertama. Tas yang selama ini kubiarkan
teronggok berdebu. Bukan karena harganya murah,
tapi karena aku selalu merasa nggak pernah pas memakai tas itu jika mengenakan baju-bajuku.
"Mbok, aku pergi ya"," aku berpamitan. Mbok
Minnah terheran-heran melihatku. Begitu juga pembantuku yang lain. Aku mengangkat alisku yang sempurna. Masih ada Lunna yang jauh lebih berantakan
dariku, jadi kenapa aku harus takut" batinku.
"Mau ke mana, Non?" tanya Munik, pembantuku.
"Ke Plaza Senayan," jawabku singkat. "Bukain gerbang dong. Mau keluarin mobil," pintaku. Terbengongbengong, ia menuruti permintaanku.
"Non Gin, tumben bajunya"," kata Mbok Minnah.
"Yah" lagi mau ketemu orang, Mbok. Kalau aku
nggak suka sama dia, nanti bisa repot kalau aku
terlalu rapi. Nanti dia pikir aku niat banget ketemu
sama dia," kataku menjelaskan.
Aku memasuki si hitam manis dan bersiap pergi.
Mbok yang mengantar sampai depan masih terus
mengerutkan kening. Aku tersenyum sayang padanya,
dan ia melambaikan tangan.
"Mbok, kalo aku pulang, sandal ini dicuci ya. Geli
makenya," dengan jijik aku memandang sandal kotor
itu. "Terus nanti baju ini kalo udah dicuci masukin ke
lemari baju rumah aja. Bajunya enak dipake tidur
kayaknya," tambahku. Lalu aku menginjak gas dan
mobil melaju pelan. 83 *** Aku menelepon Lulu beberapa kali, tapi nggak diangkat.
"Ke mana sih tuh manusia?" omelku. Pasrah, akhirnya
aku mengiriminya SMS. Aku menunggunya di Starbucks dengan latte kesukaanku. Setelah beberapa jam tak ada kabar, aku memutuskan jalan-jalan sendiri. Aku memasuki toko-toko
yang minggu lalu baru kumasuki. Nggak ada yang baru.
Semua yang kusukai telah kubeli. Aku hanya membeli
parfum, CD, dan satu baju Esprit. Bosan melihat-lihat,
aku memasuki Kinokunia. Dengan asal aku mengambil
satu buku, membaca sinopsisnya, lalu menaruhnya lagi.
Aku melakukannya berulang-ulang. Membaca, lalu
menaruhnya. Membaca, lalu menaruhnya lagi. Ada satu
buku yang menarik perhatianku. Tentang pengguna
narkoba. Bagaimana ia berjuang lepas dari jerat benda
setan itu. Sinopsisnya benar-benar seru dan akhirnya
kubawa buku itu ke kasir sambil terus membaca.
BRUUKK!!!! "Shit!" umpatku. Aku kehilangan keseimbangan, dan
jatuh tak indah di lantai. Ada yang menabrakku. Atau
tepatnya, kami bertabrakan. Aku menjatuhkan semua
barangku. Dengan panik aku memungut belanjaanku.
"Sori," aku meminta maaf atas kecerobohanku. Cowok penabrakku tersenyum mengangguk. Astaga. Cakep banget.
"Iya?" Senyumnya menyihirku. Dia membantuku
berdiri, dan dengan gugup aku mengucapkan terima
84 kasih. Kenapa sih aku harus memakai semua baju
jelek ini justru waktu aku bertemu pangeran tampan"
Aku langsung membayar buku itu di kasir dan
pergi dari tempat itu. Aku tak sanggup bertahan lebih
lama dengan baju lusuh ini. Aku nggak percaya diri.
Aku berlari kecil ke tempat parkir, memasuki mobil,
dan mengatur napas. Setelah tenang aku mencari HPku untuk mengabari Lulu. Aku tak bisa masuk lagi ke
mal. Tidak bisa. Jantungku hampir copot. Aku tak
pernah bertemu cowok secakep itu sepanjang hidupku.
Dan saat aku bertemu dengannya, aku malah sedang
berpakaian tidak pantas. Oh, ow" mana HP-ku" Aku mulai panik. Mana" Di
mana" Di mana" "DI MANA?"" seruku hampir menangis. "GOD!" Pasti ikut terlempar saat aku jatuh tadi.
Sekarang sudah agak terlambat mencarinya. Berpuluhpuluh orang akan lewat di sana, dan salah seorang dari
mereka akan mengambilnya. Aku harus kembali ke communicator-ku, pikirku pasrah, lalu mengemudi pulang.
Sesampai di rumah, aku menyuruh Mbok membuang baju-baju sialan itu.
"Non, tadi ada telepon," kata Mbok Minnah.
"Dari?" tanyaku kurang antusias.
"Non Lulu?" "Oh, iya. Nanti aku telepon balik," selaku sambil
berjalan ke kamar. "Sama Nak Dep," Mbok terus mengikutiku.
"Dep" Siapa itu?" tanyaku.
"Katanya, kalo Non sudah pulang, Non disuruh
85 telepon dia," kata Mbok. Aku mengerutkan kening
dengan malas. "Kenal aja nggak, gimana nelepon?" gumamku.
"Katanya, HP Non ada di dia," tambah Mbok Minnah.
"Pardon?" aku langsung memutar badan. Mbok tampak bingung, tak mengatakan apa pun.
Aku langsung mengambil telepon dan menekan nomor HP-ku.
Nuutt" Nuuutt" Pada dering kedua seseorang mengangkat. "Halo?"
"Halo?" sapaku. "Mm?" aku bingung bagaimana
memulainya. "Aku pemilik HP ini," kataku akhirnya.
"Oh" iya. Aku Dave, yang tadi kamu tabrak,"
sahutnya geli. Deg. Cowok tampan itu. Prince charming itu. Tuhan memang baik.
"Jadi" gimana nih" Mau ketemuan atau?" Dia
tidak menyelesaikan kata-katanya.
"Boleh," sahutku lebih cepat dari seharusnya. Dia tertawa ringan. Wajahku memerah seperti kepiting rebus.
"Gimana kalo besok?" tawarnya.
"Boleh. Di mana?" tanyaku bersemangat.


A Life Karya Silvia Arnie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"PS?" "Oh, jangan"," sahutku cepat. Aku sudah bosan
belanja. "Jangan di mal lagi. Gue bosen." Aku ingin
sesuatu yang lebih romantis"
"Jadi?" "Tahu kafe The Ivy?"
86 Lunna "H EH! Lo di mana?" tanya Alin menyembunyikan
kekhawatirannya. "Mm" lagi di rumah," jawabku singkat.
"Lo udah lima hari nggak masuk!" sergah Alin.
"Nggak bisa dihubungin, lagi! Adit juga nggak tau lo
ke mana. Bingung gue?"
"Oh, itu. Gue lagi sibuk. Mm" ada kerja tambahan."
"Lun! Lo sendiri yang bilang kita udah mau UAN!"
Alin semakin nggak ngerti.
"Iya, Adit juga kan mau masuk SMP, jadi butuh
uang ekstra," aku memohon pengertian. Alin tidak
langsung menyahut. Ia tahu perekonomian keluargaku
nggak bagus. "Oke, tapi jangan sering-sering, ya" Nanti beasiswa
lo dicabut," katanya akhirnya.
"Okeee," jawabku menenangkan.
87 "Eh, Lun"," dia terdiam, "kemarin Sandy dateng
ke sekolah." Ada keraguan dalam kata-katanya.
"Hah" Ngapain?" Jantungku mulai berdetak lebih
cepat mendengar nama itu disebut. Setelah beberapa
hari mengirimiku pesan dan meneleponku tanpa pernah kugubris, ternyata dia tak menyerah juga.
"Nggak tau," sahut Alin. "Mungkin mau minta maaf.
Menurut kami sih?" Aku terdiam, tak bisa bicara. Secercah harapan merasuki hatiku.
"Tapi lo nggak bakal balik meskipun dia minta
maaf, kan?" tegasnya. Hatiku mencelos. Benarkah sudah
tak ada kesempatan" "Lun"," panggilnya.
"Ya?" "Lo nggak bakal balik, kan?" Aku tak menjawab.
Alin seperti bisa membaca pikiranku. "Lun, dia udah
maenin lo!" Alin mengingatkan dengan waswas. Ia
benar. Aku tak boleh menginjak-injak harga diriku
sendiri dengan kembali padanya.
"Iyalah," kataku ringan. "Nggak mungkin gue balik.
Lagian dia cuma datang kemaren, mungkin dia ada
urusan lain," kataku lebih untuk meyakinkan diriku
sendiri. "Eh?" Dia terdengar ragu. "Sebenernya selama lo
nggak masuk itu dia dateng terus?"
"Apa?" selaku. Kutahan kepedihanku. Perasaan sesal
merasukiku. Kalau saja aku kemarin masuk"
"Tapi lo tetap nggak bakal balik, kan?" desaknya
khawatir. 88 "Mungkin dia mau minta maaf," sahutku akhirnya.
"Mungkin dia emang nggak ada apa-apa sama Ginna?"
"Tapi, mungkin juga kan dia dateng mau mutusin
lo?" kata Alin tak sabar.
"Apa?" "Ah?" Alin tersadar telah salah bicara. "Kata Icha?"
Aku terkulai lemas. "Iya, gue emang belum bilang
putus," aku mengakui.
"Terus kenapa lo nggak mutusin dia?"
"Karena gue nggak bisa!" sahutku pedih. "Karena
gue masih sayang sama dia! Puas"!" kataku penuh
emosi. Kenapa sih mereka nggak ngerti perasaanku"
"Lun!!" bentaknya. "Kami mau yang terbaik buat
lo! Emang lo seneng jadian sama Mr. Ring Ring selama
ini" Emang dia ngertiin lo" Emang lo mau diperlakukan
kayak gini lagi" Emang lo suka diginiin" Dia nggak
bakal berubah. Dia bohongin lo, Lun! Dia ninggalin lo
waktu itu. Dia banci!" tukasnya kasar. "Dan lo! Lo
lembek! Ini bukan lo! Lo nggak kayak gini. Ini bukan
lo yang gue kenal. Lunna yang gue kenal nggak bakal
merendahkan dirinya kayak begini!" teriaknya. Aku
terdiam, tidak bisa mengatakan apa-apa. Aku kaget,
syok, marah, kesal, kecewa. Tapi Alin benar. Aku
lemah di depannya. Aku harus kembali kuat, aku
harus kembali menata hidupku yang berantakan. Aku
harus mengangkat kembali harga diriku. Alin benar.
Aku nggak bisa kembali lagi pada Sandy. "Sori","
katanya setelah menyadari kata-katanya. "Gue kelewatan, gue cuma mau bilang, dia nggak pantes buat lo?"
89 "Iya. Lo bener. Dia nggak bisa dapetin gue lagi,"
aku tersadar. Lama kami berdua terdiam. Keheningan
itu bukan keheningan yang nyaman.
"Mau ke mana lo hari ini?" tanyanya memecah
keheningan, mengubah topik.
"Nggak ke mana-mana. Paling ke The Ivy nanti
malam." "Hah" Ngapain?"
"Mm" itu, ada anak band yang minta gue nulis
lirik." "Hari Minggu gini?"
"Iya. Tadinya gue mau pergi sama Adit beli baju,
tapi dia malah ke pameran lukisan," jawabku.
"Oohh" ya udah. Ati-ati lo!" katanya. "Sekalian liatliat cowok sana," candanya. Aku tertawa pedih.
"Iya, tenang aja. Pasti ada cowok lain"," kataku
mantap. "Terus, kalo nggak masuk lo kasih kabar dong!
Anak-anak pada khawatir!" katanya galak. "Jangan
keseringan bolos," tambahnya.
"Oke." "Oke. Sori buat yang tadi, ya?"
"Iya. Nggak papa. Itu gunanya sahabat, kan" Buat
ingetin gue." "Kami cuma mau yang terbaik buat lo," katanya.
"Gue tau." "Oke, udah dulu, ya. Gue mau pergi."
"Oke. Daaah?" "Daaah?" 90 Aku menutup telepon dan mendesah lega.
"Kenapa, Lun?" tanya Bunda khawatir. Kecemasan
tampak jelas di wajahnya.
"Nggak papa, Bun," kataku mencoba menghibur.
"Kenapa kamu nggak kasih tau mereka aja?" pintanya. Aku menggeleng tegas.
"Jangan, Bun. Aku nggak mau bikin mereka khawatir. Lagi pula, semuanya kan belum jelas," aku tersenyum padanya. Tubuhku terkulai lemas. "Jangan kasih
tahu Adit juga, ya," pintaku.
"Tapi?" "Bun?" Aku meraih tangannya. "Yang tahu hanya
kita," tegasku. "Tapi Adit sudah mulai bertanya-tanya ke mana
kamu pergi. Apa Bunda... harus berbohong terus sama
dia?" tanyanya memelas.
"Bunda, aku mohon." Bunda ingin membantah, tapi
akhirnya mengangguk lemah.
"Lun?" Suaranya bergetar. "Bagaimana kalau?"
"Sshh", Bun," aku menyela. "Semuanya pasti baikbaik aja," aku menenangkan sambil menghapus air
mata dari wajahnya. Bunda memelukku dengan sayang.
Aku mengelus punggungnya. "Semuanya pasti baikbaik aja," ulangku mantap.
"Non Lunna sudah lama nggak datang, ya?" ujar Pak
Damang. "Iya. Kami juga nggak tahu dia ke mana," kata Icha.
91 "Sepi juga ya, nggak ada Non Lunna. Dagangan
saya jadi sepi juga," ia terkekeh. "Biasanya dia pesan
bakso banyak banget. Sambal juga cepat habis. Sekarang saya malah kelebihan sambal. Haha?" Pak
Damang berusaha mencairkan suasana.
"Iya, kami juga kangen sama Lunna. Sepi nih, seminggu nggak ada yang rame. Kurang lengkap, gitu,"
Icha setuju. "Gue curiga sama Lunna," kata Alin tepat ketika ia
memutuskan telepon. "Maksud lo?" tanya Icha bingung.
"Kayaknya ada yang dia sembunyiin, ya nggak sih?"
Alin mengangkat alis. "Yeah" mungkin. Dia agak-agak aneh akhir-akhir
ini." Icha menggigit bibir.
"Kalo gue perhatiin sih, sejak putus sama Sandy. Ya
nggak?" tanya Alin. "Ada apa dengan Non Lunna, Non?" tanya Pak
Damang ikut-ikutan khawatir.
"Kami juga kurang tau, Pak. Tapi ntar kami coba
cari tahu deh," sahut Icha bijak.
Jam dinding menunjukkan pukul enam sore. Adit
belum pulang, Bunda pergi menjahit. Seharian ini aku
mencoba mengalihkan perhatian dan pikiranku dari
Sandy. Aku harus melupakannya. Aku memutuskan
mandi dan bersiap-siap pergi.
Aku mengambil handuk dan melilitkannya di tu-
92 buhku, lalu becermin. Kupandangi sekujur tubuhku
yang terlilit handuk. Kakiku memang berbulu. Kukuku memang tidak
rapi. Rambutku memang berombak dan susah diatur.
Kulitku memang kasar. Alisku berantakan. Dan dadaku
hanya 34A. "Trus, memangnya kenapa?" tanyaku tak peduli.
Setidaknya aku masih normal. Setidaknya aku nggak
bakal mati tanpa perawatan, aku menghibur diri. Tapi
aku akan mati karena hal lain, pikirku lagi. Tersentak
kaget memikirkan hal itu, aku membuang muka dari
cermin dan langsung menyalakan shower.
93 Ginna K ALI ini aku mengenakan pakaian yang pantas.
Tank top Zara dipadu dengan jins Levi"s. Simpel, tapi
tetap rapi dan tidak terkesan berlebihan. Aku membawa
tas Elle-ku yang biru dan untuk padanannya aku
membeli sepatu VnC biru. "Mbok, aku pergi, ya," pamitku. "Nik, bukain gerbang!" Kali ini seisi rumah bernapas normal melihatku.
Sepanjang perjalanan aku banyak berdoa. Mungkin
kasus Roland belum lama terjadi. Mungkin perasaanku
masih tersisa sedikit untuknya. Tapi kalau Dave yang
ganteng sekali ini bisa menggantikannya, aku akan
sangat bersyukur. Kafenya ramai. Aku memandang berkeliling mencari
Dave, tapi tak menemukannya. Aku tak bisa menghubunginya, HP-ku ada di dia. Sambil mendesah pasrah
aku duduk dan memesan minuman.
"Vodka, please," kataku pada waiter tanpa berhenti
94 mengedarkan pandang. Dari ujung mata kulihat waiter
itu mencatat di notes kecilnya.
"Oke. Segera diantar," katanya. Lalu menjauh.
God, ini sudah jam sembilan! Masa dia belum datang" Kalau ia berniat mempermainkanku, buat apa
dia repot-repot meneleponku ke rumah"
Dengan kesal aku memandangi band yang sedang
manggung. Bunyi drum berdentum di telingaku,
keyboard-nya mengalun bersemangat, bas-nya terdengar
jelas" Tapi, kenapa sih penyanyinya" Ia bernyanyi
dengan suara bergetar. Bukan vibrasi, tapi sumbang.
Speech control-nya kacau. Astaga. Penyanyi itu mengacaukan seluruh band. Dari mana sih band itu mendapatkan penyanyi kayak begitu" Aku mengernyit saat si
penyanyi melantunkan nada-nada tinggi. Mungkin suaranya memang bagus, tapi speech control-nya" God!!
Dia perlu latihan lagi. "Aduhh"," keluhku. Aku mendelik, kembali memanggil waiter.
"Ya?" tanya seorang waiter sopan.
"Ada rokok, nggak?" tanyaku haus nikotin.
"Ah" Nggak ada," ia tersenyum penuh maaf.
"Bisa tolong beliin, nggak" A Mild, satu aja," bisikku.
Aku memasukkan lima puluh ribuan ke kantongnya.
"Sisanya tip buat kamu," aku tersenyum manis.
Menyadari besar uang yang dimasukkan ke kantongnya, ia segera pergi tanpa basa-basi. Tak lama kemudian
ia kembali dengan pesananku beserta lighter-nya. Juga
asbak. 95 "Thanks." Aku tersenyum manis, lalu menyalakan
rokok itu. Fuuhh" Sudah lama sekali sejak terakhir aku mengisap benda keramat ini. Pikiran dan pandanganku
tiba-tiba jelas, dan kekhawatiran yang melandaku langsung hilang. Sehebat inikah efek nikotin dan tar dalam
rokok ini" Sudah rokok kelima, tapi Dave tak kelihatan juga.
Bahkan aku sudah memesan vodka kedua!
"Hai," sapa seseorang dari belakang. Suara perempuan. Aku menengok bingung.
My God!! "Lunna," ujarku dingin seraya buru-buru mematikan
rokok. "Ow?" Ia melihat asbak dan sisa rokokku. "Katanya
nggak ngerokok." Ia tersenyum penuh kemenangan.
"Waktu itu gue berhenti," jawabku jujur.
"Oh, terus sekarang lanjut lagi?" tanyanya.
"Cuma lagi butuh. Nggak bakal gue lanjutin kok,"
aku membela diri. Ia mengangkat alis seakan tak
percaya. "Gue serius, gue pasti berhenti total!" aku
menekankan. "Cuma sekarang gue lagi butuh," ujarku kesal, lalu mengambil sebatang lagi. Peduli amat,
toh dia juga sudah melihatku merokok. Selama dia
tidak melaporkanku pada Suster Kepala, aku nggak
peduli. "Heuhh" Iya, gue percaya," katanya penuh sindiran.
Aku tak menjawab. "Lagi ngapain sendirian?" tanyanya
sambil menarik kursi. Urat-uratku kembali menegang.
96 Aku benci pertanyaan itu. Aku benci berada di sini
hari ini. "Ada janji," jawabku penuh harga diri.
"Oh" Mana orangnya?" tanyanya sambil mengedarkan pandang. "Jangan-jangan nggak dateng?" tebaknya
sambil memamerkan senyum puas. Menyebalkan.
"Belum datang," kataku singkat.
"Sandy?" tanyanya to the point. Aku terlonjak kaget.
Sandy" Roland, maksudnya" Aku bahkan nyaris nggak


A Life Karya Silvia Arnie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mikirin dia. "Bukan sama manusia brengsek itu," tukasku kesal.
"Lo sendiri" Sama siapa?"
"Sama" drummer itu," katanya menunjuk cowok
berbaju hitam. Bukan tipeku, tapi cukup cute.
"Cepet juga lo dapet pengganti," sindirku tajam. Dia
menoleh cepat dengan pandangan galak.
"Gue sama dia nggak ada apa-apa," katanya mengingatkan.
"Oh. Really?" kataku penuh keraguan. Aku mengangkat alisku yang sempurna sambil mengembuskan
asap rokok ke arahnya. "Ini vodka-nya," waiter menyela sambil menuangkan
sebotol minuman biru ke gelas bening.
Aku menenggak minuman itu dan merasakan kehangatannya melewati tenggorokanku.
"Mungkin lo yang cepet dapet pengganti," katanya
penuh selidik. Ganti aku yang tersenyum puas.
"Roland itu cuma segelintir cowok dalam hidup
gue," kataku penuh kemenangan. Jelas Lunna belum
97 melupakannya, dan aku senang telah menemukan cowok lain lebih dulu. Meskipun cowok baru ini belum
datang juga sih. Sial!! "Oh?" Kalo gitu pasti lo sering banget nangis, ya?"
ujarnya penuh makna. "Maksud lo?" aku mulai berhati-hati.
"Yah, kalo Sandy yang menurut lo bukan siapasiapa aja lo tangisin segitunya, pasti banyak cowok lain
yang lo tangisin juga dong!" Tatapannya menantangku.
Aku menatapnya tenang, padahal otakku sedang kalang
kabut memikirkan jawaban.
"Waktu itu gue beneran suka sama dia," kataku
membela diri sambil memainkan cairan biru di gelasku.
"Tapi setelah gue pikir-pikir, dia nggak worth it buat
ditangisin." Aku menatapnya tajam. "Lagian, gue baru
beberapa bulan deket sama dia. Dengan gampang dia
bisa gue buang jauh-jauh dari hidup gue!" Nada-nada
sindiran terus terlontar dari mulutku. Dia tidak menjawab, hanya balas menatapku. Euh" bajunya lusuh seperti biasa. "Nggak kayak lo yang hidup dalam kisah
lama terus. Haha?" "Haha?" Dia tertawa sengit. "Siapa bilang" Gue
juga udah punya pengganti," katanya nggak mau kalah.
"Really?" senyumku penuh ketidakpercayaan.
"Yap," katanya mantap. "Lo liat kan drummer itu"
Dia gebetan baru gue," katanya puas.
"Oh" Tadi kalo nggak salah lo bilang lo nggak ada
apa-apa sama dia?" sindirku.
"Kalo gue nggak ada apa-apa, nggak mungkin gue
98 nungguin dia, kan?" Dia tersenyum memamerkan giginya yang rapi.
Sial! Dia benar. Dia pasti ada apa-apa dengan
drummer itu. Lagi pula, dia sama sekali nggak nangis
waktu Roland pergi. Dia pasti sudah melupakan cowok
itu. Bagaimana cewek mengerikan ini bisa melakukannya" Aku yang bukan ceweknya aja harus menangis
dan mengurung diri beberapa hari baru akhirnya bisa
melanjutkan hidupku dengan normal. Padahal aku
sempat berpikir ia benar-benar menyayangi Roland. Ia
benar-benar kelihatan kehilangan waktu itu.
"Jadi udah sejauh apa lo sama dia?" tanyaku mulai
kalah. "Mm?" Dia nggak langsung menjawab. "Belum
jauh sih. Gue sih suka sama dia, tapi gue belum tau
dia gimana," katanya. "Kami belum kenal terlalu lama,"
tambahnya. "Oh" Lo yakin lo suka sama dia" Gue sih agak ragu
dia bisa suka sama lo," kataku jahat. "Dengan penampilan lo yang kayak gini?" Dengan jijik aku menatap
penampilannya. "Emang semua cowok suka sama cewek kecentilan
kayak lo?" sergahnya.
"Haha?" aku ketawa puas. Aku kenal banyak lakilaki. Aku tahu kesukaan mereka, aku yakin. "Lo liat
dong, gimana cara cowok itu berpakaian," aku menudingkan jariku ke si drummer. "Rapi, kan?" Kutatap
cowok itu lekat-lekat. Aku bisa mendapatkan drummer
itu dengan mudah. "Cowok itu pasti suka sama cewek
99 yang rapi juga." Kata-kataku yang mantap terlihat
masuk akal bagi Lunna. "Dia pasti nggak suka sama
cewek urakan kayak lo. Tapi sebaliknya, sama gue?"
Aku tidak menyelesaikan ucapanku. Aku memang
tidak berniat menyelesaikannya. Aku hanya ingin menggodanya. Bagiku cowok seperti itu hanya merepotkan.
Lunna terdiam dengan wajah dingin.
"Jadi, di mana Mr. Right-lo itu?" tanyanya dengan
bibir terkatup marah. Ia menamparku telak-telak. Benar.
Di mana Dave" Aku memandang jam. Jam sepuluh.
Dia benar-benar terlambat. Seharusnya dia ada di sini
dua jam yang lalu! "Telat," kataku singkat tanpa memandangnya. Lalu
aku menyerah dan menyimpan rokokku.
"Telat atau nggak datang?" sindirnya dengan senyum
puas. Aku menatapnya marah. Aku tidak menjawab.
Kami duduk di sana tanpa bicara, hanya saling menatap
marah. Kenapa sih cewek ini masih duduk di sini" Kenapa dia
nggak pergi aja" batinku kesal. Aku hampir pulang
ketika mataku menemukan apa yang kucari-cari.
Ohmigod! Sudahkah aku bilang dia ganteng sekali"
"Dave!!" panggilku senang dan lega. Aku melirik
Lunna dengan sinis. "See" Itu gebetan baru gue!"
bisikku puas. "Sori, gue tadi sempet nyasar. Terus ban gue kempes," ia menyebutkan alasan yang sebenarnya kurang
bisa kuterima. 100 "Iya, nggak papa," senyumku ramah.
"Oh, iya. Ini HP-lo," katanya sambil menyerahkan
PDA-ku yang mati. "Sori, gue nggak punya chargernya," sekali lagi ia meminta maaf. Aku mengangguk
penuh pengertian. "Itu" siapa?" dia menatap Lunna.
"Oh" ini?" Aku tergagap.
Lunna mengambil tindakan. "Gue Lunna, temennya
Ginna," dia memperkenalkan diri.
Teman" Teman"! TEMAN?"!! Aku tersenyum pasrah. Mau bilang apa lagi, coba"
Apa aku harus bilang dia rivalku" Atau aku bilang
saja aku hampir merebut cowoknya" God!! Cewek
pengganggu ini!! Tuhan, jauhkan cewek ini dari hidupku!!
101 Lunna A KU mau membayar berapa saja asal bisa menonjok wajah mulus itu sekali lagi. Sekarang dia bermesraan dengan cowok itu, memanas-manasiku. Aku harus
menahan diri untuk tidak nyeletuk, kalau tidak ia
akan ngomong macam-macam pada Mango, dan kebohonganku bakal terkuak.
Serius, cewek ini bikin darahku mendidih. Aku
bahkan nggak bisa mencegah diriku untuk mengarangngarang tentang perasaanku pada Mango. Duh, apa
yang harus kulakukan nanti" Apa aku harus pergi dari
tempat ini" Aku pasti malu banget kalau Mango menghampiriku di depan Ginna. Lagi pula, band-nya kacau.
Siapa sih penyanyinya itu" Kalau nggak bisa nadanada tinggi, ya jangan pakai nada tinggi!
"Ehm"," aku menyela obrolan Dave dan Ginna tepat
saat band selesai manggung. "Gue" ke sana dulu ya?"
kataku asal nunjuk. Ginna terlihat sangat lega.
102 "Ke man?" "Iya, nggak papa," Ginna menyela sambil tersenyum. "Dia punya masalah pencernaan," katanya pada
Dave. Aku melotot nggak percaya. Dasar cewek kurang
ajar!! "Nggak, sebenarnya gue nggak mau gangguin orang
yang lagi fall in love aja," bantahku. Wajah Ginna memerah cepat.
"Ap?" "Hei!!!" seseorang menepuk pundakku.
Mango. Oh, Tuhan! Ini bakal jadi Perang Dunia Ketiga"
"Hai!" sahutku antusias. Aku tersenyum superramah
untuk menyempurnakan dramaku. Mango menatapku
tanpa curiga. "Jadi gimana?" tanyanya.
"Mm" yah?" Aku tak menyelesaikan kata-kataku.
Mango melihat ke belakangku.
"Dave?" panggilnya terkejut. Aku menoleh kaget.
Ginna juga tak kalah kaget. Kebetulan apa lagi ini"
"Ngapain lo?" tanya Mango.
"Hei!!" Dave berdiri dan bersalaman ala cowok dengan Mango. Aku dan Ginna berpandang-pandangan
dengan kening berkerut. Entah ini khayalanku, tapi
aku melihat wajah Dave sedikit pucat. Ketegangan
meliputi wajahnya yang tampan, tapi segera disamarkan
dengan senyumnya yang sempurna.
"Oohh?" Mango tiba-tiba mengangguk melihat
103 Ginna. Ginna ikut berdiri di dekatku. "Ternyata lo
nggak ikut gara-gara cewek," kata Mango pelan.
"Maksudnya?" Ginna berbisik di telingaku. Aku masih kaget, jadi hanya mengangkat bahu.
Dave kelihatan jengah. Air mukanya tak terbaca.
"HP ni cewek ketinggalan, jadi gue mau balikin."
Mango tersenyum penuh pengertian. "Ini Ginna," Dave
Pertarungan Raja Raja Arak 2 Sherlock Holmes - Pria Merangkak Tujuh Tumbal Perawan 1
^