Pencarian

Arus Balik 15

Arus Balik Karya Pramoedya Ananta Toer Bagian 15


Pada salah seorang pengejar Syahbandar itu bertanya dalam Jawa: Ada apa ini"
Seorang lelaki menghampiri dan meludahi mukanya: Kalian orang Peranggi busuk, di mana-mana mengganggu kami! tuduhnya.
la berhenti menghadapi Tholib. Dan Tholib menyeka mukanya dengan selembar setangan putih.
Jangan keliru! raung Tholib, dan mengangkat tongkat. Aku pendatang baru.
Baru atau lama semua Peranggi sama saja! ia meludah lagi dan lari meneruskan pengejaran, menggabungkan diri pada yang lain-lain.
Keparat! Syahbandar memekik, mengamangkan tongkat dan menyeka mukanya.
Di sana pintu bersalib itu terbuka. Seorang lelaki Portugis berpakaian pelaut memunculkan kepala dari kiraian pintu, melihat pada Pogoh, kemudian melihat pada para pengejarnya. Ia keluar dari pintu, mengembangkan kedua belah tangan seakan sedang menghalangi serbuan para pengejar. Dan Pogoh berlindung di balik punggung orang Portugis.
Para pengejar tak berani menangkap perempuan itu. Tholib Sungkar mempercepat jalan, dan tak lama kemudian juga sampai di depan pintu bersalib itu.
Jangan sentuh dia, Pogoh, pinta para pengejar itu di hadapan orang Portugis itu.
Jangan masuki rumahnya. Jangan. Jangaaaaan! pekik seorang wanita setengah baya.
Syahbandar berdiri di belakang para pengejar itu, terengah-engah.
Lindungi sahaya, Bapa, pinta Pogoh dari belakang punggung Portugis berpakaian pelaut itu.
Masuk cepat ke dalam, perintah Portugis itu sambil sedikit menengok padanya.
Tetapi Pogoh tak berani masuk. Portugis itu mendorongnya dengan kakinya dan hilang di balik pintu. Ugh
Kembalikan Pogoh kami. Bapa, wanita setengah baya itu meratap.
Tak ada di antara para pengejar berani memasuki pintu bersalib itu. Bahkan melalui Portugis yang seorang itu pun tak berani.
Sahaya bapaknya, Bapa, sahaya berwenang menyelamatkan dia, lelaki yang meludahi Tholib itu membela haknya.
Kau takkan selamatkan dia, bantah Portugis itu dalam Jawa setempat. Kau dan kalian hanya akan aniaya dan bunuh dia. Sudah kuterima Pogoh dalam perlindunganku. Pergi kalian dengan damai. Jangan lewati pintu tanpa ijin dan tanpa wewenang seperti diajarkan oleh leluhur kalian sendiri. Jangan ganggu ini rumah orang lain, yang bernyawa atau tidak, seperti ajaran leluhur kalian sendiri juga. Pulang! Pulanglah dengan damai.
Pogoh, Bapa, wanita itu mengulangi ratapannya. Pada suatu kali Pogoh akan kembali pada kalian, dalam keadaan lebih baik dan lebih berbahagia.
Anak sahaya. Bapa, wanita itu merengek, juga cucu sahaya. Bapa.
Pulang! Semua pulang! Jangan-jangan Sri Baginda mengetahui ini dan menghukum kalian, ancam Portugis itu.
Dengan ragu-ragu para pengejar meninggalkan pelataran, menyumpah-nyumpah. Melihat Tholib berdiri di situ orang lelaki setengah baya itu meludahi lagi ditambah dengan sumpahan.
Syahbandar mengayunkan tongkat dan si peludah tidak menggubrisnya, malahan meludahinya lagi. Sekali ini ke tanah. Dan sekali lagi Tholib terpaksa mengeluarkan setangan dan menyeka muka.
Portugis berpakaian pelaut itu masih berdiri di depan pintu di bawah salib kuningan waktu Syahbandar itu datang padanya dan mengulurkan tangan.
Selamat pagi, saudara Cortez, katanya dalam Portugis. Cortez mengawasi Portugis kehitaman itu sejenak, mengamatinya dari kaki sampai ke tarbus, tersenyum terpaksa berkata: Selamat pagi. Siapakah yang aku hadapi"
Syahbandar Tuban, Saudara Cortez.
O-ya, Tuan Syahbandar Tuban. Sudah beberapa hari ini aku ingin menemui Tuan sebelum berangkat ke Malaka. Mari masuk.
Mereka masuk. Cortez menutup pintu dan terhenti berdiri. Kakinya dipeluk oleh Pogoh yang bertelut di lantai, sedang anaknya sedang merangkak-rangkak.
Lindungi sahaya, Bapa. Apakah semua ini, Saudara" tanya Syahbandar dalam Portugis.
Hanya kejadian sehari-hari, kemudian dalam Jawa pada Pogoh: Kau sudah dalam keadaan dilindungi di sini. Pogoh namamu, bukan"
Syahbandar menebarkan pandang selintas. Ruangan besar itu dapat dikatakan kosong dari perkakas. Beberapa orang wanita sedang bekerja membersihkan lantai dan dinding, semua dari kayu. Melalui pintu dalam ia lihat wanita dan hanya wanita atau bayi.
Semua perempuan, katanya kemudian.
Bangunlah kau, Pogoh, kata Cortez dalam Portugis. Pogoh yang menengadahkan muka itu nampak bermandi airmata.
Bangun, kau! Tholib Sungkar Az-Zubaid menjawakan. Makhluk celaka di negerimu sendiri ini, kata Cortez dalam Jawa pada Tholib Sungkar. Seperti Pogoh ini, Ia menuding pada wanita itu. Lari dari bangsanya sendiri. Yesus Maria! Celaka bertubi celaka, suami meninggal dan sebagai janda ia harus dibakar untuk mengikuti roh suami.
Bukan sahaya menolak mengikuti suami sahaya, Pogoh memprotes.
Bangsa kafir, jahil celaka, kata Syahbandar dalam Portugis.
Ada yang lari ke mari dalam keadaan bunting tua, kata Cortez dalam Jawa. Allah Bapa, melindungi. Sahaya tidak bunting, Bapa, protes Pogoh. Bangkit kau berdiri. perintah Cortez pada Pogoh dalam Portugis.
Bayi yang merangkak-rangkak itu kembali pada ibunya dan menangis minta dada.
Dan Pogoh mengambil anaknya dan menyusuinya. Ia berdiri membungkuk, mengawasi lantai dan memprotes dengan suara sangat lemah sehingga baik Cortez maupun Syahbandar mencangkung untuk dapat menangkap: Bukan sahaya kurang atau tidak berbakti pada suami. Bukannya suami kurang kasih dan sayang pada sahaya. Cuma sahaya tak ada keberanian melompat ke dalam api, meliuk-liuk dan menyeringai, kemudian jadi arang dan debu kelabu tiada bentuk. Sahaya selalu ingat pada anak sahaya yang seorang ini Siapa nanti akan menyusui dan merawatnya.
Takkan ada orang akan mengambil kau dari sini tanpa semaumu sendiri, Cortez meyakinkan. Kau berada di tengah-tengah saudara-saudarimu sendiri. Hidup dan bekerja dengan mereka.
Anak sahaya, Bapa. Anakmu juga selamat di sini. Sahaya lari dari api karena anak ini.
Beristirahat kau barang dua-tiga hari. Tenangtenangkan hatimu.
Kau masih akan punya anak lagi, kata Syahbandar. Cortez memandangi Syahbandar untuk mencegahnya ikut campur. Yang dipandangi merasa diberanikan, dan meneruskan: Dan seorang lagi, dan seorang lagi& .
Sahaya orang baik-baik. Bapa. Bukan untuk beranak dan beranak sahaya larikan diri dari suami-dewa sahaya.
Diamlah Tuan, kata Cortez dalam Jawa pada Syahbandar.
Diamlah kau, kata Tholib dalam Jawa pada Pogoh. Cortez nampak tak bersenang hati melihat campurtangan tamu tak diundang itu dan menyorong Pogoh menyuruhnya masuk ke dalam. Kemudian pintu dalam itu ia tutup.
Banyak yang dapat dituai di negeri jahiliah begini, Syahbandar memulai.
Bukan, Tuan Syahbandar, kami baru membuka ladang. Menyebar benih pun belum.
Bagaimana rencana Tuan dengan mereka" Ummat Nasrani makin lama makin banyak datang dari segala pojok dunia untuk menjenguk Panarukan. Kapalkapal Portugis mengarungi semua samudra. Pada suatu kali barangkali mereka akan kunjungi juga tempat ini dan berangkat dengan mereka sebagai domba Kristus. Anakanak yang dibesarkan di sini akan mengembarai bumi tumpah darahnya membawa terang pada bangsanya& .
Tak ada sebuah kursi pun di dalam ruangan itu. Dan wanita-wanita pekerja itu telah masuk semua ke dalam.
Syahbandar membelokkan percakapan pada maksud kedatangannya.
Adapun tentang Rodriguez, kemenakan Saudara Cortez, tentara Tuban telah membunuhnya. Mayatnya dihancurkan dan dibuang ke laut. Itulah yang dapat aku beritakan dengan dukacita kepada Saudara.
Yesus Maria! sebut Cortez dan membuat salib dengan jarinya. Benarkah Tuan ini"
Tidak ada yang lebih benar daripada itu, Saudara. Tuan mengetahui betul"
Telah aku bikin penyelidikan yang teliti.
Tentu Tuan mengetahui betul. Manakah yang benar. Tuan. Di Pasai sana orang mengabarkan bukan tentara Tuban yang membunuhnya, walau pun dia dan temannya memang dijatuhi hukuman mati. Jelas tentara Tuban memang akan membunuhnya, ia pandangi Syahbandar itu seakan baru saja dilihatnya. Tuan Syahbandar Tuban, bukan"
Tidak keliru, Saudara. Sayid Habibullah Al-Masawa, bukan"
Benar, Saudara Cortez, Sayid Habibullah Al-Masawa. Alias Sayid Mahmud Al-Badaiwi, bukan"
Syahbandar Tuban ragu-ragu. Matanya mengerjapngerjap dan pegangannya pada hulu tongkatnya diperkukuh. Ia tak menjawab. Pertanyaan itu dirasainya mengandung maksud buruk.
Alias Tholib Sungkar Az-Zubaid, bukan" Cortez meneruskan. Ya, itulah kata orang di Pasai sana, orangorang Portugis, maksudku. Mengapa Tuan diam saja" Melihat tamunya menjadi curiga dan waspada dan bersiapsiap hendak melakukan sesuatu, ia meramahkan wajah dan tersenyum ikhlas meneruskan: Melalui nakhoda kapal Lisboa tentu Tuan masih ingat kapal itu, bukan" melalui nakhodanya, Malaka telah menebus pada Tuan untuk harga kemenakanku dan temannya bernama Esteban. Benar begitu, bukan"
Nafas Tholib Sungkar terengah-engah seperti habis mendaki gunung, sedang bongkoknya naik-turun kembangkempis seperti insang ikan di darat.
Mengapa Tuan diam saja" Yesus Maria! Beginilah macamnya seorang pembunuh" Keluar! Mengotori tempat ini dengan kehadiranmu" Penjahat paling hina yang pernah ada di atas bumi. Orang tak kenal azas!
Dan Syahbandar itu masih kehilangan kepribadiannya. Matanya kelap-kelip memandangi penuduhnya yang kehabisan kata-kata, menge-bas-ngebaskan jari-jarinya dan masuk ke dalam melalui pintu dalam.
Astagafirullah! sebut Tholib kemudian. Dengan perasaan kacau-balau ia keluar dari rumah pemeliharaan dan langsung pulang ke kantor dagang Portugis.
Sampai di dalam bilik hatinya masih juga penasaran. Perkara itu nampaknya telah diketahui oleh orang-orang Peranggi di Pasai, dan barang tentu di Malaka juga, di Goa dan Malabar, di Madrid dan Lisboa juga, menjalar juga kira-kira di Maluku: Tholib Sungkar Az-Zubaid telah menerima uang tebusan buat dua orang Portugis pelarian, kemudian ia sendiri yang membunuhnya. Memang benar ada saksi yang menyerahkan pelarian-pelarian itu, ada saksi juga yang melihat ia menerima uang tebusan. Itu saja mungkin belum begitu. Tapi berita ia telah membunuh mereka" Membunuh orang Portugis Moro membunuh orang Portugis" sekaligus dua"
Dan sekarang ia merasa menyesal tidak membantah Saudara Cortez berdepan-depan.
Kalau begitu Martinique barangkali juga mengetahui. Tidak, Martinique berada dalam kekuasaanku karena sekandal Panarukan ini. Sekali kubuat laporan dia akan jatuh merangkak-rangkak seperti kepiting laut di debuan bekas kebakaran.
Ia dengar-dengar suara ramai di depan kamarnya. Tak salah: suara Martinique. Dan ia merasa kecut untuk keluar. Kalau semua orang Portugis tahu siapa pembunuh mereka, negeri Portugis dan Ispanya takkan mungkin lagi dapat diinjaknya. Dengan senang hati baik pedang Peranggi maupun Ispanya akan berjatuhan pada tubuh seorang Moro terbenci.
Akan runtuhlah sisa hidup di hari tua"
Ia merasa Martinique memang sengaja mondar-mandir di depan kamarnya. Maka ia sambar tongkat dan pergi ke luar. Ia akan bertahan, Bertahan!
Aa, Tuan Tholib Sungkar! seru Martinique dengan suara bernada kemenangan. Mari duduk-duduk. Hari ini ada borongan, Tuan, lain dari yang lain. Satu partai kulit macan dari raja Klungkung di Bali sana, ia menuding ke arah pulau Bali. Aku ada rencana untuk Malaka, Tuan. Biar mereka persembahkan kulit-kulit ini sebagai permadani bawah peraduan, persembahan ke bawah duli Sri Baginda dan Sri Ratu. Tak bakal ada raja di seluruh Eropa berpermadani kulit macan. Bayangkan, Tuan.
Rupa-rupanya Tuan tak pernah dengar tentang istana Ispanya. Sudah sejak jaman khalifah kulit singa Afrika dengan kepala utuh sudah dipergunakan untuk lapik bercengkerama, berdeklamasi, berbicara tentang obatobatan baru&
Setidak-tidaknya bisa dijual ke Paris atau Wina. Tholib Sungkar tertawa meremehkan. Martinique menutupi kekalahannya dengan menetakkan persoalan baru: Tentu Tuan disambut dengan gembira oleh Saudara Cortez. Orang menganggap, bahwa Tuanlah yang tahu betul tentang nasib Rodriguez dan temannya itu. Siapa pula namanya" O, ya, Esteban. Aneh, orang-orang Portugis dengan nama Spanyol. Ah-ya, mungkin saja.
Aku tak tahu tentang itu.
Mengapa Tuan terburu-buru ke rumah Saudara Cortez seperti mendapat panggilan dari seorang kekasih" Dan mengapa Tuan begitu buru-buru pulang seperti diburu macan"
Syahbandar Tuban megap-megap sebentar. Ia raba dadanya. Rupanya aku sudah tua, pikirnya. Syarafku mulai begini lemahnya.
Baiklah kalau Tuan tak suka membicarakan soal pembunuhan itu. Tentang menerima tebusan itu mungkin mau. Rupa-rupanya Tuan kurang periksa, tidak lain dari aku yang mengurus pelarian-pelarian itu waktu diserahkan oleh Yakub ke kapal. Tiba-tiba ia mengalihkan pembicaraan. Kapal Tuan akan datang lusa, dan akan berangkat pada hari itu juga. Malaka akan bersorak-sorai menyambut Tuan. Bukan sebagai penerima tebusan yang hina itu, lebih dari itu, sebagai pembunuh dua orang Portugis!
Seorang pengabdi Portugis takkan membunuh Portugis, bantah Tholib.
Sia-sia, Tuan. Tuan kira waktu itu Tuan seorang diri di dermaga Tuban" Ada seorang saksi ketika kilat memancar dan Tuan tikamkan isi tongkat Tuan itu, ia menuding pada hulu gading tongkat tamunya, pada salah seorang di dalam krangkeng besi itu. Perlukah saksi itu dipanggil"
Tidak, tidak ada saksi seorang pun. Dermaga sunyi! bantah Tholib.
Martinique tertawa terbahak. Dan Tholib menjadi pucat setelah ucap-annya sendiri yang terakhir. Ia ketahui tangannya gemetar dan dalam hati ia mengutuki syarafnya yang telah jadi begitu lemah.
jadi betul Tuan ada di dermaga waktu itu. Dan Tuan mengira tak ada saksi. Mengapa Tuan jadi pucat" Karena Malaka telah menunggu Tuan" Dengan tiang gantungan" Coba Tuan terangkan Syahbandar itu berlunak-lunak, bagaimana Tuan sampai pada pikiran aku membunuh mereka"
Begini saja, Tuan, mintalah keterangan itu di Malaka sana. Pasti Tuan akan merasa puas.
Baik! jawabnya untuk memutuskan persoalan yang tak menyenangkan itu. Bersama dengan kulit macan dari Bali itu.
Tetapi Martinique belum lagi puas dalam membalaskan dendamnya. Ia masih harus melepaskan anak panahnya: Ingatkah Tuan pada seorang pewarung di bandar Tuban yang bernama& ah, siapa pula namanya itu, oh, ya, Yakub,& bukanlah dia juga yang mengantarkan pelarianpelarian itu di kapalku dulu" Ya-ya, Yakub namanya. Dengarkan Tuan, pada suatu kali dia ingin juga kembali melihat warungnya. Dia berdayung memantai dari timur, sampai di dermaga naik, kilat menyambar, dan melihat Tuan, tidak lain dari Tuan Syahbandar Tuban bermain pisau tongkat& . Itulah dia si Yakub pelarian. Dan tongkat di tangan Tuan itulah yang Tuan mainkan. Berani bertaruh, dalam tongkat Tuan itu ada pisaunya,
Semua orang tahu, pewarung arak selalu menipu. Dan Tuan selalu bersedia membayar tipuannya, bukan" Aku juga membeli dari dia seperti Tuan.
Baiklah, kita sama-sama korban penipu yang seorang itu, ia berdiri dari tempat duduk pura-pura tidak menderita cedera pada pedalaman dirinya. Siapkan kulit-kulit macan Tuan, biar aku kawal ke Malaka.
Ia melangkah ke arah biliknya kembali.
Betapa hebat orang itu menakut-nakuti! Perintah penangkapan tak pernah dia keluarkan. Uh, mudah benar aku ditakut-takuti. Kalau dia merasa benar, dia tak perlu menakut-nakuti, dia akan biarkan aku berlayar ke Malaka. Dan sesungguhnya ia takut juga.
0o-dw-o0 Pada hari yang telah ditentukan Martinique mengantarkan tamunya ke pelabuhan. Kulit-kulit macan telah dimasukkan ke dalam kapal. Barang-barang Tholib Sungkar masih menumpuk di dermaga.
Syahbandar itu nampak kurus dan gelisah. Pipinya cekung tergantung dan matanya suram. Jalannya lambatlambat seakan bongkoknya, menjadi dua puluh kali lebih berat.
Keributan kecil tiba-tiba terjadi di dermaga. Lambatlambat ia berjalan mendekati bersama Martinique.
Dalam sebuah lingkaran berdiri seorang pelaut Pribumi yang bicara lantang pada para pendengarnya: Pada hari ke dua, teman-teman. Banteng Wareng dari pasukan kuda Tuban menghalau Demak dari Tuban. Ia tidak rela pasukannya jadi tertawaan umum. Bukan main Banteng Wareng. Demak mundur dan maju lagi lusa harinya, seperti air banjir membongkar tanggul Banteng Wareng terdesak ke timur. Tetapi sebelum sampai ke kota. Kala Cuwil Patih Tuban Sang Wirabumi dengan pasukan gajahnya memotong dari selatan. Air banjir Demak patah di tengah seperti saluran kejatuhan sekaten. Pasukan pengawal Tuban menceburkan diri di dalam kancah. Kemudian pasukan kaki Tuban memukul dari luar Tuban. Hampir-hampir Trenggono tertangkap hidup-hidup oleh pasukan kaki. Dengan kakinya sendiri ia lari tunggang-langgang menerjang-nerjang, hilang di dalam semak-semak. Hebat benar Tuban! Banteng Wareng! Kala Cuwil! Rangkum! dan Braja! Tanpa raja! Kami akan balik ke Tuban hari ini. Hari ini juga. Siapa ikut boleh turut!
Aku ikut! seru Syahbandar Tuban. Pindahkan barang-barang ke dalam perahumu! perintahnya. Tuan tidak jadi ke Malaka" tanya Martinique. Tholib Sungkar Az-Zubaid tak menjawab, dan orang mulai memindahkan barang-barangnya ke sebuah perahu layar Tuban.
Bedebah! maki Martinique.
Syahbandar Tuban buru-buru turun ke perahu Tuban. 0odwo0
37. Panjang Jayakarta Bulan Juli 1527
Pengantin baru itu sengaja hendak menikmati pelayaran melalui kepulauan Seribu, gugusan pulau yang tersebar antara Jawa dan Sumatra. Layar mereka gulung dan keduanya mendayung dari pulau ke pulau. Tak ada bajak di daerah perairan sini. Semua lari menghindarkan diri dari armada Jepara-Demak.
Di hadapan mereka nampak gunung-gemunung pulau Sumatra, di belakang mereka gunung-gemunung pulau Jawa, berlapis-lapis tertimpa sinar surya dari sebelah barat.
Kebetulan laut pun sedang tenang. Air nampak biru dengan ombak kecil-kecil yang riang bermain pada permukaan. Kail yang dipasang pada buritan antara sebentar menghasilkan ikan ekor kuning, sedang yang dipasangi dengan baling-baling bulu ayam putih menghasilkan layur.
Bila mereka lapar, singgahlah mereka di salah sebuah pulau, bertanak nasi, berkasih dan bercumbu, tanpa seorang pun mengganggu. Untuk itu sengaja mereka pilih pulau kecil tanpa penduduk. Dunia berisikan kesukaan semata.
Dan sampai sejauh itu Sabarini tak juga pernah bertanya hendak ke mana. la pun tak pernah mabuk laut Ia bicara hanya bila ditanyai. Bila naik lagi ke atas perahu, tanpa diminta segera ambil dayung dan mulai mengayuh.
Dengan demikian pulau demi pulau disinggahi atau dilewati. Mengapa kau tak pernah bercerita"
Sabarini berhenti mendayung, menciduk air laut dengan tangan, memandanginya sambil tersenyum dan membuang muka. Ia mulai mendayung lagi. Wajahnya kemerahmerahan seperti buah tomat menjelang matang.
Tentu karena ingat pada rumah, desak Pada. Mereka sekarang tak ada di rumah lagi, Gusti, jawabnya dengan suara dan lagu menyanyi bening itu. Mereka semua telah melarikan diri masuk ke hutan-hutan.
Ya, Gusti, karena kita lari. Mereka akan menerima hukuman dari Sri Baginda. Karena patik lari. Mereka akan dihukum oleh Sang Patih Narogol.
Mereka akan dapat menangkap kasut kami. Sabarini mendengus tertawa.
Betapa besar dosaku pada mereka. Sabarini mengayuh cepat-cepat.
Bagaimana harus kutebus dosa kita" Pada bertanya.
Tidak perlu. Gusti. Bapak sahaya sendiri yang bersalah. Jangan jadi fikiran, Gusti. Mereka akan lari ke hutan-hutan, berkumpul di sana dan mencari tempat baru untuk hidup tempat yang sekiranya takkan diketahui oleh Sri Baginda. Kalau mereka tak suka membuka hutan, barangkali mereka akan turun ke Sunda Kelapa.
Nampaknya kau tak berprihatin.
Bukankah sudah cukup lama patik berprihatin" Cukup lama. Coba ceritakan, istriku.
Ya Gusti, Sabarini mulai suka bicara. Di desa kami gadis-gadis dikawinkan pada umur yang masih sangat muda. Kadang-kadang baru tiga tahun. Orangtuanya takut kalau-kalau anak-gadisnya dirampas para ningrat dan dibawa ke Pakuan. Patik sendiri tumbuh jadi gadis tua karena ketentuan putra Sang Narogol. Perjaka-perjaka tak berani melamar patik. Orang memandang patik dengan belas-kasihan semata. Semua orang tahu nasib buruk seorang selir.
Pada mendengarkan suara bening istrinya yang bernyanyi. Itulah untuk pertama kali Sabarini bicara sebanyak itu. Ia mengangguk-angguk memberanikan. Suaranya bernyanyi lagi. Terdengar olehnya jauh lebih indah daripada kebenaran yang terkandung di dalamnya: Mereka akan ikut berbahagia dengan kebahagiaan kita, Gusti. Janganlah Gusti menjadi risau. Semua akan bersyukur bila ada seorang calon selir berani lari dengan seseorang yang dicintainya. Semua akan bersedia membantu dan melindungi dan berkorban tahu mereka bakal mati di ujung tombak. Gusti sama sekali tak berdosa pada mereka.
Sabarini, istriku, sekiranya kau benar, mengapa kau tak suka bicara seperti orang-orang lain"
Mata gadis itu bersinar dan bibirnya tersenyum. Kemudian menunduk malu.
Apa yang menjadikan kau malu pada suami sendiri, di tengah laut tanpa saksi begini"
Ah, Gusti, Gusti tidak tahu bagaimana perasaan patik. Bagaimanakah patik harus lewatkan kebahagiaan ini dengan hanya bicara"
Stt. Mulai sekarang, jangan panggil aku Gusti. Sabarini memandanginya bersungguh-sungguh. Sekarang ceritakan tentang kebahagiaanmu.
Dan berceritalah gadis itu tentang asal-muasal kelahirannya, dan tentang kepala desa serta seluruh penduduk desa yang tak berani mempersembahkan dudukperkara kelahirannya pada Patih Narogol. Betapa ia menderita sebagai calon selir saudaranya sendiri. Maka ia bertekad melatih ilmu berkelahi. Bila toh takkan ada orang yang berani membela dan melindunginya, ia akan membela dan melindungi dirinya sendiri.
Apabila patik berhasil dalam usaha patik, Sabarini meneruskan, patik akan mengembara jauh, jauh entah ke mana, asal keluar dari negeri Pajajaran. Patik lulus, kemudian datang seorang pangeran dari Jepara, yang sekarang memperistri patik. Pangeran itu harus lari dari kejaran tentara Pajajaran. Patik pun akan jadi orang kejaran. Mengapalah patik takkan lari dengannya"
Pada tertawa senang dan berbahagia mendengar cerita di mana keputusan cepat dalam keadaan berbahaya harus diambil. Dan keputusan itu juga diambil secara tepat Dan tidak lain dari Sabarini yang berjasa.
Begitulah Allah mempertemukan kita. Segala pujipujian untukNya semata, Sabarini. Aku merasa berbahagia bila kau berbahagia, janganlah sebut dirimu Patik. Terganggu perasaanku mendengar itu. Aku sama sekali bukan seorang pangeran .
Pada memperhatikan perubahan pada airmuka istrinya. Dan perubahan itu ternyata tak ada. Ia terheran-heran, dianggapnya perempuan itu tak begitu mendengarkan.
Aku sama sekali bukan seorang pangeran, ia mengulangi.
Apakah bedanya suamiku seorang pangeran atau tidak" Seorang pangeran takkan mengindahkan istrinya sebagaimana suamiku mengindahkan diriku
Pada agak kecewa melihat Sabarini tidak terkejut Sabarini lebih suka kalau suaminya seorang petani biasa, karena seorang petani hanya sederhana, tidak ditingkah oleh seribu nafsu. Aku, dan kami semua tahu tingkah kaum ningrat. Maka aku tahu suamiku tidak bertingkah, tidak berbahasa seperti mereka. Sejak semula kulihat, tamu agung itu, itu sudah aku lihat ia seorang orang biasa dalam pakaian kebesaran.
Sabarini! gumam Pada setelah mendengar begitu banyak kata tercurah. lihat, bandar Panjang sudah mulai nampak. Sebentar lagi kita akan menginjakkan kaki di bumi Sumatra.
Matari mulai tenggelam. Awan hitam bergumpal-gumpal muncul dari balik-balik gunung di daratan Sumatra. Angin kencang mulai bertiup seperti dihembuskan oleh mulut raksasa gaib. Alam yang tenang tiba-tiba berubah mengancam. Guruh mengaum dari kejauhan dan kilat sambar-menyambar di cakrawala.
Beberapa noktah dengan puncak-puncak keputihan terpancari sisa sinar matari nampak di kejauhan, di tentang kaki langit.
Armada Peranggi, gumam Pada. Ayoh, dayung cepat.
Mereka mendayung cepat-cepat memasuki pelabuhan Panjang. Dan bersamaan dengan itu badai taufan mulai mengamuk sejadinya. Hujan jatuh mendadak bercampur angin seperti langsung dilemparkan dari langit.
Setelah mencancang perahu pengantin baru itu dengan membawa barang-barangnya yang sedikit lari masuk ke dalam sebuah bedeng yang telah penuh dengan tumpukan kranjang lada.
Seorang penjaga memberi tempat berteduh pada mereka di antara dua tumpukan kranjang sehingga terlindung dari angin dan air.
Pada terheran-heran melihat tumpukan kranjang lada sebanyak itu. Dan bedengnya bukan hanya sebuah. Tak kurang dari sepuluh, terbuat dari kayu seluruhnya, dan nampak belum lagi lama didirikan.
Dari cerita penjaga ia mengetahui, kapal-kapal Peranggi akan datang mengambilnya. Lada itu tidak seluruhnya di panen dari pedalaman. Lebih separoh dari Pajajaran dan Banten setelah lolos dari blokade armada Jepara-Demak. Lada tetap datang seperti dicurahkan. Panjang mendadak jadi bandar ramai. Saudagar dari Sunda Kelapa, Banten dan Cimanuk berlomba-lomba memindahkan kegiatannya di sini dan mendirikan bedeng-bedeng gudang sendiri dan rumah tinggal yang bagus di daerah pelabuhan. Dalam kurang dari setahun Panjang akan telah sangat berubah. Kemakmuran telah menarik orang-orang dari pedalaman untuk bekerja di bandar sehingga pedalaman kekurangan tenaga untuk mengurusi pertanian dan panen lada. Beras pun terpaksa dimasukkan dari tempat-tempat lain, dan minyak, dan kacang-kacangan, dan tenunan, dengan harga yang tinggi.
Pada tak habis-habis pikir mendengarkan betapa kemakmuran bisa berpindah-pindah dari bandar yang satu ke yang lain. Dan bila armada Jepara-Demak terus-menerus menindas bandar-bandar lain dan membikinnya jadi bandar tak bebas, Panjang bisa menggantikan Malaka atau Pasai.
Setelah berunding dengan istrinya mereka bersepakat menunda pelayaran ke Malaka untuk melihat-lihat Panjang lebih lama.
0o-dw-o0 Armada Portugis itu tak mau berkisar dari tujuan semula, menolak berlindung di bandar Panjang.
Francisco de Sa, pemimpin armada, adalah seorang muda berumur tiga puluhan, berwatak keras, giat dan bernafsu untuk menjabat kedudukan tinggi. Ia meningkat dengan cepat dari kelasi menjadi kepala setting, jurumudi, wakil kapten, kapten, dan terakhir sekarang ini: pemimpin armada.
Menurut perintah yang diterima ia harus memulai pembangunan kantor dagang sekaligus benteng di Sunda Kelapa selama setengah tahun dengan menurunkan serdadu dan tukang. Kapal-kapalnya harus segera balik kembali ke Malaka membawa lada dari Panjang.
Tetapi ia juga punya rencana pribadi. Ia akan selesaikan pekerjaannya dalam tiga bulan di Sunda Kelapa. Yang tiga bulan lagi akan dipergunakannya untuk membangun kebesaran baru di Jawa, untuk diri sendiri dan untuk Portugis. Tanpa jalan demikian dirasainya sulit untuk bisa jadi pemimpin Portugis di Asia yang berkedudukan di Malaka.
Ia tak mengindahkan kekuatiran anak buahnya sedangkan hujan angin kian mengganas dan gelombang pun semakin menggunung. Satu mata taufan telah menerjang armada dan menyeret beberapa kapal langsung ke jurusan tenggara. Beberapa tiang kapal telah patah dengan layar compang-camping. Laut yang ditekan taufan itu menjompak naik jadi gunung-gumunung yang gulungbergulung. Beberapa kapal telah patah kemudi, dan tanpa daya diseret terus dalam cengkeraman gelombang.
Taufan itu mendesak sampai separoh dalam laut, menimbulkan alun yang semakin tinggi juga. Pulau-pulau dari gugusan Seribu sebentar hilang sebentar timbul dari balik puncak ombak. Dengan tenggelamnya surya alam pun menjadi kelabu hitam. Curah hujan menyebabkan orang tak bisa lagi melihat ke depan.
Semua layar telah digulung, tetapi deras angin menghalau mereka ke selatan.
Hanya lentera-lentera kapal sayup-sayup menandakan adanya manusia yang hidup di tengah laut itu. Dan lenteralentera itu nampak menyampaikan perintah-perintah dari Francisco de Sa pada kapal-kapalnya yang tak terkendalikan lagi. Ia berteriak-teriak, menghantamhantamkan kaki pada geladak, memaki dan menyumpah. Tanpa guna. Taufan tak juga berhenti. Hujan semakin tebal curahnya dan kilat sabung-menyabung merajai alam.
Bagi Francisco de Sa hanya peristiwa yang sekali ini saja ia harus bisa atasi. Ada satu tahyul di dalam hatinya: bila sekali ini ia gagal, semua cita-citanya selanjutnya akan runtuh. Sekali bencana ini dapat dikalahkan, suatu kegemilangan tanpa batas sedang menunggu-nunggunya di waktu dekat mendatang.
Tiga bulan! Hanya tiga bulan kerja di Sunda Kelapa! Tiga bulan selebihnya adalah untuk kegiatan pribadi tapi atas nama Portugis: pembalasan dendam atas Tuban yang telah berani menghina beberapa tahun yang lalu.
Dalam pancaran kilat ia lihat armadanya cerai-berai, dan dilihatnya juga kapal yang dikapteni oleh Duarte Coelho telah menyelonong paling depan, kadang berputar dalam mata taufan, kadang mendorong permukaan laut, kemudian meluncur ke tenggara dengan buritan jadi haluan. Jelas kemudinya telah patah dan tak ada satu tiang pun utuh.
Sebuah kapal lainnya berdiri dengan haluan di atas, kemudian dalam kerjapan kilat nampak cepat menyelam ke dasar laut dan tak muncul lagi. Beberapa puluh anak kapal berapungan timbul-tenggelam di puncak-puncak ombak.
Petir menyambar. Sebuah kapal pecah, miring, kemudian tenggelam.
Jesus Maria! sebutnya. Pantang mundur! Maju terus! Badai taufan bukanlah tanggungjawabku.
Isyarat-isyaratnya memerintahkan: Maju terus! 0o-dw-o0
Kapal yang dikapteni oleh Duarte Coelho tak dapat keluar dari cengkaman mata taufan. Seperti dalam cakar kucing kapal itu kemudian terangkat ke udara dan terbang dengan cepatnya. Waktu cengkaman agak kendor ia menurun, menerjang kegelapan, menepis air dan terlempar ke daratan, melindas pohon-pohon nyiur pantai, kemudian jatuh di atas rawa-rawa dengan menumbangkan pepohonan. Air rawa itu menyembur ke atas dan lunas kapal menancap pada dasarnya.
Kapal itu tak bergerak lagi dengan dinding pecah berentakan, Manusia di dalamnya kehabisan daya, adalah laksana jamblang kocok. Hanya seorang dua tak mengalami cedera, itu pun hanya karena kebetulan.
Duarte Coelho sendiri tergeletak di geladak dengan lengan patah. Namun ia masih mampu memberikan perintah. Dan perintahnya yang terakhir terdengar adalah: Periksa kapal! Periksa di mana kita berada!
Dua orang yang masih jaya terlongok-longok heran melihat kapal tak lagi berada di atas laut. Di sekitarnya hanya semak-semak rawa.
Terdampar jauh di darat! seorang di antaranya berseru. Sayang kapal sebagus ini.
Dan mata taufan itu bergerak terus meninggalkan mereka di tengah-tengah daerah rawa, tak sudi mengembalikan ke laut lagi, terus menerjang daratan ke jurusan tenggara.
Terdampar jauh di darat! pekik kelasi itu.
Tak ada yang menanggapi. Ia turun ke tanah. Matari baru saja terbit. Ia punguti dan periksa pecahan dinding dan melemparkannya ke tanah. Kemudian ia berdiri di atas batang pohon kelapa rebah dengan akar-akarnya jadi pengganjal kapal bersama dengan batang-batang pohon lain.
Terdampar di tengah-tengah rawa! serunya ke atas. Juga tak ada sambutan.
Mereka naik lagi ke atas, langsung mendapatkan Duarte Coelho yang pingsan tak sadarkan diri.
0o-dw-o0 Prajurit-prajurit Demak yang bertugas menjaga perbentengan mendengar seorang berteriak-teriak di belakangnya, di daerah rawa-rawa. Ia berhenti dan mendengarkan. Teriakan itu juga berhenti.
Daerah itu tak pernah dimasuki orang selama ini. Orang gentar pada demam rawa yang membunuh. Maka ia lari mendapatkan teman-temannya. Dan semua ragu-ragu. Daerah itu juga menjadi sarang buaya besar. Dalam rawarawa dangkal demikian buaya sama saja berbahayanya baik di air ataupun di darat. Monyet dari atas pohon yang tak berbilang banyaknya mungkin juga akan menyulitkan bila yang memasuki hanya beberapa orang saja. Seratus orang kemudian masuk berbareng dengan tombak di tangan dan pedang di pinggang. Dan mereka mendapatkan kapal Portugis yang telah compang-camping tanpa tiang tanpa layar. Mereka terdiam. Tak pernah melihat sebuah kapal sebesar itu dapat mendarat begitu jauh dari laut. Hanya seorang Portugis ia lihat bergerak di dalam kapal itu. Kemudian seorang lagi.
Monyet pada memekik-mekik dan burung-burung bernyanyi seperti lima ratus tahun yang lalu. Tak ada buaya nampak di sekitar.
Mula-mula para prajurit berunding berbisik-bisik, kemudian mendengar-dengar kan lagi. Tapi di atas kapal itu sunyi saja. Seorang prajurit mengambil batu dan melembarkan pada kapal Seorang Portugis muncul dan menjenguk ke bawah, kemudian pergi lagi.
Peratus memerintahkan menyerbu. Mereka turun ke air, langsung menuju ke kapal. Dan mereka tak dapat naik, semua mendongakkan kepala ke atas.
Barisan prajurit di belakang datang membawa batangbatang pohon yang habis ditebangnya. Orang mulai naik. Dua orang Portugis dengan pedang di tangan menghantam setiap orang yang paling atas naik pada batang kayu itu. Dan melihat semakin banyak orang datang membawa batang, mereka pun menggunakan musket dan menembaki.
Dari darat dilemparkan beberapa tombak, dan dua orang Peranggi itu jatuh ke geladak. Seorang di antaranya menukik dari atas dan kepalanya menancap pada lumpur dasar rawa. Tinggal kakinya melengkung di atas air. Seseorang menghantamkan pedangnya, dan tubuh itu kemudian rebah.
Penyerbuan tiada yang menghalangi. Mereka mulai naik ke geladak, menerobosi bingkahan dinding ke dalam paikah dengan tombak dan pedang terhunus. Yang mereka dapatkan hanya tubuh-tubuh Peranggi yang bergelimpangan tanpa daya.
Tombak dan pedang menghabisi mereka tanpa perlawanan. Dalam biliknya orang menemukan Duarte Coelho dengan tangannya yang sehat mencoba memberikan perlawanan. Pertarungan dengan pedang sebentar berlaku. Baja beradu baja berdentingan sebentar kemudian padam sama sekali. Sebilah tombak telah melumpuhkan Duarte Coelho dari lambung. Ia jatuh terkapar.
Prajurit Demak bersorak-sorak di antara bangkai-bangkai bergelimpangan.
Sebelum menghembuskan nafas penghabisan Duarte Coelho masih sempat bicara dalam Melayu: Kami datang untuk bersahabat.
Ia sudah tak mendengar lagi waktu prajurit Demak menjawabinya.
Tak antara lama seratus prajurit lagi datang. Seluruh kapal compang-camping itu diperiksa. Semua benda dikumpulkan di geladak termasuk sembilan pucuk meriam, peluru dan mesiu, alat makan dan dapur, musket, perkakas tukang, buku, persediaan bahan makanan, obat-obatan, alat kebaktian, patung dan salib milik pribadi awak kapal.
Peratus itu memerintahkan menurunkan semua dan mempersembahkan pada Fathillah. Demikian mereka mengangkuti sambil bersorak-sorai melalui jalan setapak yang baru diretas.
Sebagian dari para prajurit mendapat perintah membikin jembatan untuk menurunkan meriam dan barang-barang berat lain. Sebagian mendapat perintah membikin tali. Tapi sebagian besar melakukan pengangkutan.
Daerah rawa yang biasanya tiada bermanusia itu kini riuh-rendah. Monyet dan margasatwa pun beterbangan melarikan diri. Asap mulai mengepul untuk menjerangkan air minum dan makan siang.
Tengah hari Fathillah sendiri memerlukan datang dan melakukan pemeriksaan ke seluruh kapal, sampai-sampai pada kamar mandi dan kamar kecil. Ia tenggelam dalam renungan, dan tiada seorang pun tahu apa sedang bergerak dalam hatinya. Ia turun dari kapal dalam keadaan tenggelam dalam pikirannya dan kembali ke bandar.
Orang menduga ia sedang melihat sendiri akibat dari penanggulan pesisir bandar yang menghalangi pasang-surut air di rawa-rawa. Sebagian terbesar tak punya dugaan sesuatu, mabok mendapat jarahan.
Tak berapa lama ia pergi datang seratus orang prajurit tambahan untuk melakukan kerja pengangkutan dan melebarkan jalan setapak untuk dapat dilalui oleh barangbarang besar.
Markas Fathillah berdiri di atas tanah yang tinggi menghadapi tanah lapang.
Barang-barang jarahan ditumpuk di depan rumah ini. Dalam waktu pendek orang datang berduyun-duyun untuk melihat-lihat barang aneh, sebagian tak jelas apa gunanya.
Fathillah berjalan mondar-mandir dalam markasnya menunggu datangnya meriam-meriam rampasan. Tetapi barang-barang berat itu hanya dengan susah-payah saja bisa melintasi daerah rawa bertanah lunak bercampur hancuran luruhan dedaunan.
Waktu musket-musket datang ia keluar dari markas dan memerintahkan membongkarnya dari ikatan. Diperintahkannya datang pasukan pengawalnya dan membagi-bagikannya pada mereka, kemudian sendiri memberikan petunjuk bagaimana menggunakannya. Dua ratus pucuk telah dirampas pada hari itu.
Seorang prajurit mempersembahkan padanya sebuah bola dunia dan ia menerima persembahan itu dengan kaki dan menendangnya. Dunia menggelinding dan berhenti pada kaki seorang prajurit, tanpa jagang.
Prajurit, yang menduga bola itu barang sihir, melompat kecut. Ketakutan menyebabkan wajahnya nampak jadi ungu.
Tendang! perintah Fathillah.
Bola itu ditendang oleh prajurit lain lagi, menggelinding dan menggelinding, ditendang dan ditendang. Waktu jatuh ke laut benda itu telah penyek.
Sebuah teropong yang dihadapkan segera diambil oleh Fathillah. Ia memeriksanya sebentar kemudian menggunakannya untuk meneropong laut lepas. Benda itu ia panjang-pendekkan. la lepas. Dikocoknya matanya.
Menggeleng dan meneropong lagi. Kembali benda itu diperiksanya, kemudian dipendek-panjangkan. Meneropong lagi ke laut lepas. Kemudian melihat dengan mata telanjang pada ke jauhan dan meneropong lagi.
Ia berpikir sebentar. Kemudian bertanya pada pengiring yang berdiri di belakangnya; dalam Melayu: Coba lihat sana, benarkah yang aku lihat dengan teropong terkutuk ini"
Ada patik lihat, Gusti, tapi tidak jelas, jawab pengiring itu, juga dalam Melayu.
Apa yang kau lihat" Beberapa titik putih. Gusti. Coba dengan ini.
Pengiring itu mengenakan teropong, melepas dan mengenakannya kembali, melepas dan memeriksa kacakaca teropong, kemudian meninjau dengan mata telanjang dan mengenakannya lagi.
Apa kau lihat" Tiga kapal asing, Gusti, dengan teropong ini. Fathillah mengambil teropong itu dan mengenakannya. Kemudian dipanggilnya seorang lagi dan disuruhnya melihat ke kejauhan, setelah itu disuruhnya dengan teropong.
Dengan barang ini muncul tiga kapal asing, Gusti, sedang menuju ke Sunda Kelapa.
Pengangkutan meriam supaya lebih cepat! perintahnya pada yang lain.
Dan meriam yang sudah ada ia perintahkan dipasang di belakang bentengan kayu bakau-bakau.
Dan peluru dan mesiunya. Cepat! Tambah tiga ratus prajurit lagi untuk mengangkut! perintahnya pada seorang peratus Demak.
Orang itu lari untuk menjalankan perintah.
Lima pucuk meriam telah terpasang di balik bentengan. Fathillah sendiri memberi petunjuk cara menggunakan sebagaimana pernah didengar-dengamya dari Arabia dan Mesir. Peluru dan mesiu di bagi-bagikan dari tangan ke tangan.
Fathillah melarang siapa pun melakukan serangan tanpa perintah, la menghendaki pertempuran di darat untuk dapat merampas semua kapal Portugis yang datang dan merencanakan penyergapan tapal kuda jarak beberapa ratus depa.
Hentikan pengangkutan! seorang peratus meneruskan perintah Fathillah. Siapkan pedang dan tombak.
Moncong-moncong meriam rampasan telah ditujukan pada sisa armada Francisco de Sa yang mendatangi. Semua terlindung oleh semak-semak asli dan buatan. Dan semua orang berbesar hati dengan adanya meriam.
Dengan teropong di tangan Fathillah melakukan pemeriksaan di seluruh medan dengan berjalan kaki.
Sebentar lagi, ya sebentar lagi, hari ini juga, kapal-kapal itu akan terampas dengan seluruh isinya, dan anakbuahnya tumpas.
Panglima-Laksamana-Gubernur meneropong dan meneropong. Betapa lama rasanya. Dan kapal-kapal itu semakin lama semakin membesar. Juga nyamuk semakin giat menyerang mereka yang bersiaga dalam keadaan diam. Betapa lama. Dan memang lama.
Kapal-kapal itu ternyata tidak memasuki muara Ciliwung. Tiga-tiganya membuang sauh jauh dari darat. Lama, lama sekali rasanya, baru kemudian mereka menurun-nurunkan sekoci. Mereka yang melayani meriam tanpa pernah berlatih telah gatal tangan untuk segera menembak. Mereka yang mendapat pembagian musket juga tanpa pernah berlatih telah gelisah. Setidak-tidaknya balatentara Jepara-Demak sedang dalam semangat tinggi.
Kapal-kapal mulai menuangkan prajuritnya ke semua sekoci, dan beriringan seperti itik menuju ke muara Ciliwung. Setiap orang menyandang musket panjang. Duduk pada dasar sekoci musket mereka menggermang ke atas, lebih tinggi dari kepala mereka. Dari tempatnya yang terlindung Fathillah meneropong. Mereka turun ke sekoci dengan tangga tali ia memperingatkan. Hati-hati. Mereka kelihatan lelah. Biarpun begitu, awas. Peranggi tetap Peranggi. Tak seorang pun bakal menyerah tanpa berkelahi. Mereka lebih suka tewas daripada bertekuk lutut. Jangan gegabah. Kita akan sergap tepat pada waktunya
Serdadu-serdadu Portugis itu diturunkan di tepian muara Ciliwung. Sekoci-sekoci kembali lagi ke kapal untuk meneruskan pendaratan.
Awasi setiap gerak-geraknya, Fathillah menekan kekecewaan karena yang turun mendarat seluruhnya hanya berjumlah delapan puluh orang. Kapal-kapal di sana itu tetap terjaga dari dalam.
Dari teropongnya ia melihat meriam-meriam kapal ditujukan ke darat. Mereka mengambil jarak di luar daya tembak cetbang.
Mereka yang mendarat harus ditumpas. Kapal-kapalnya kemudian ditembaki, tenggelam atau lan tersapu. Dari teropong itu juga nampak olehnya seorang tidak bersenapan serba putih. Berbeda dari yang lain, topinya dihias dengan jumbai-jumbai kuning dan pada dadanya terhias selempang merah Itulah Francisco de Sa.
Serdadu-serdadu yang telah turun mulai dibariskan. Francisco de Sa berjalan dalam iringan tiga orang. Kemudian seluruh bansan itu mengiringinya. Mereka menuju ke lapangan bandar. Dan bansan itu berhenti.
Francisco de Sa berhenti, meninjau ke segala penjuru. Nampaknya ia heran tak melihat seorang pun. Tak ada orang bekerja, tak ada yang jalan-jalan. la pun tak tahu sama sekali Sunda Kelapa sudah jatuh dan tangan Pajajaran pada Demak, la berjalan beberapa belas depa ke depan, ke samping, kemudian kembali ke barisan.
Dengan iringan tiga orang ia kembali ke tepi Ciliwung, ke muara. Ia mulai perhatikan perahu-perahu yang tertambat, semua tanpa manusia. Dan sekoci-sekocinya tercancang rapi seperti susunan ikan. Semua tanpa manusia. la kembali lagi pada barisan.
Seorang pengiring memberikan pikiran padanya, mungkin penduduk Sunda Kelapa masih ketakutan pada taufan dan melarikan diri ke pegunungan. De Sa membantah, karena bukan adat pelaut lari dari angin. Mungkin sedang merayakan pesta di pedalaman.
Seorang pengiring lain menyarankan untuk membawa naik pasukan ke Pajajaran. Ia menggeleng. Ia tak mau kehilangan terlalu banyak waktu. Ia hanya bisa memberikan jatah tiga bulan. Maka ia menghendaki segera bertemu dengan Pangeran Sunda Kelapa, Gubernur bandar, untuk segera bisa memulai pekerjaan. Dan bila pertemuan tak mungkin, pekerjaan akan dimulai tanpa sepengetahuan Sang Gubernur.
Dan di mana pula Syahbandar"
Dari pengalaman di Tuban ia mengerti, bila seorang Syahbandar tak datang menyambut sewaktu Portugis datang, pasti ada sesuatu yang tidak beres.
Di mana Syahbandar" Bahkan jalan-jalan sampai yang sekecil-kecilnya pun tinggal lengang tak bermanusia.
Tak tahan terkepung oleh kesenyapan Francisco de Sa menjadi penasaran. Ia berjalan cepat menuju ke kantor Syahbandar dan berteriak kencang; tangan dicorongkan pada mulut: Syahbandar! Syahbandar!
Hanya deburan laut jua yang menjawab.
Ia memberikan perintah agar pasukannya bergerak maju. Dan majulah pasukan kecil itu. Semua berbaris menuju ke tempat kantor Syahbandar, kemudian membelok ke kanan menuju ke tempat tugu perjanjian Portugis-Pajajaran.
Francisco de Sa menjadi murka melihat tugu itu telah hancur dan tinggal puntungnya di atas landasan batu segi empat. Ia selidiki luka pada Ipatahan batu itu dan mengetahui belum lama berselang suatu perusakan dengan senjata telah dilakukan oleh orang: suatu kekuatan telah menantang perjanjian itu. Ia perintahkan pasukannya siap tempur.
Semua yang terjadi diikuti oleh Fathillah dari teropong rampasan.
Pasukan kecil Portugis itu bersiap-siap untuk balik ke laut sambil siaga berbaris mundur menghadap ke daratan menuju ke tempat sekoci.
Francisco de Sa menarik pandang tinggi, memekik.
Dari balik semak-semak pasukan Demak bersorak-sorak sambil melemparkan tombak. Musket Demak tak ada sepucuk pun meledak. Contoh penggunaan yang diberikan oleh Fathillah ternyata tidak kena.
Prajurit-prajurit Portugis memencar barisan. Tembakannya mulai terdengar. Mula-mula satu-satu, kemudian bergelombang-gelombang. Semburan pelurunya beterbangan dan berjatuhan menjadi hujan logam.
Meriam rampasan mulai berdentaman dari balik semaksemak dan tanggul. Pelurunya beterbangan ke arah kapalkapal Portugis. Tangan-tangan tak terlatih itu menghamburkan peluru tanpa mengenai sasaran. Prajurit-prajurit Demak sudah mulai bergelimpangan. Fathillah segera mengerti, pertempuran jarak jauh akan menguntungkan Portugis. Dengan jarak dekat mereka takkan segera dapat menyiapkan senjatanya. Ia perintahkan pelemparan tombak terus-menerus sambil menerjang maju. Dengan pedang di tangan ia pimpin sendiri penyergapan. Jubah putih dan ujung-ujung destar putihnya berkibar-kibar dalam puputan angin seperti melambai-lambai pada barisannya.
Pasukan Portugis menyelamatkan Francisco de Sa di tengah-tengahnya sambil terus mundur ke jurusan Ciliwung. Mereka sama sekali tidak bersorak-sorak. Hanya terdengar aba-aba dari seorang saja, dan suaranya nyaring, keras, dan dengan pedang dilambai-lambaikan ke udara. Mereka yang roboh terkena tombak ditinggalkan dalam gerakan mundur. Tak seorang pun korban mereka bawa.
Dari seberang Ciliwung tentara Demak mulai bersoraksorak menuju ke sasaran. Melihat sedang di tapalkuda pasukan Portugis melepaskan tembakan sekali lagi dan buyar berebut dulu turun ke sekoci masing-masing. Yang tak mendapat tempat melompat dalam sampan dan perahu penduduk.
Dari seberang tentara Demak mulai menaiki biduk juga dan mengejar, dan melemparkan tombak dan melepaskan anak panah. Portugis membalas dengan tembakantembakan sehingga para pengejar dipaksa berhenti dan tinggal hanya bersorak-sorak seperti menghalau babi hutan.
Tak sebuah pun sekoci Portugis tertinggal. Mereka mendayung berpencaran melalui peluru meriam Demak yang berjatuhan di laut. Satu-dua di antara peluru-peluru itu telah mengenai salah satu di antaranya, oleng, dan penumpangnya berlompatan ke laut.
Dari teropongnya Fathillah melihat Francisco de Sa tetap berdiri di atas biduk, bertelekun pada hulu pedang dan matanya terpaku pada Sunda Kelapa. Wajahnya merah padam karena murka. Dan nampaknya ia tak tahu apa harus diperbuatnya.
Meriam-meriam kapal tak dapat leluasa menembak, takut mengenai teman-temannya sendiri.
Francisco de Sa mengetahui usahanya gagal, la tak berani mendaratkan pasukannya.


Arus Balik Karya Pramoedya Ananta Toer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

22 Juni 1527 Dengan masih meneropong Fathillah mengatakan, seakan sudah seia dengan Wiranggaleng: Mereka takkan datangi lagi tempat di mana mereka pernah dikalahkan.
Biduk-biduk itu telah sampai di kapal masing-masing. Mereka bemaikan dari tangga tali. Dan sesuatu yang mengherankan telah terjadi: Portugis tak melepaskan satu peluru pun dari meriam-meriamnya.
Sauh-sauh diangkat. Layar dipasang, dan berlayarlah sisa armada yang habis diterjang taufan dan dihalau Fathillah itu menuju ke timur, menjauhi pesisir pulau Jawa.
Tentara Jepara-Demak bersorak-sorai dalam kegembiraannya. Walau banyak korban jatuh, mereka pun telah pernah menghadapi Peranggi le-lananging jagad dalam suatu pertempuran sesungguhnya. Perasaan rendah takut pada Peranggi yang dahsyat itu tiba-tiba menjadi pudar Peranggi ternyata memang hanya manusia biasa yang dapat juga dihalau.
Di tengah-tengah pasukannya sendiri Fathillah mengumumkan: Dengan nama Allah yang Maha Pemurah dan Maha Pengasih, pada hari ini dengan kekuatan yang dilimpahkan-Nya pada kita, kita telah halau Peranggi ke laut. Insya Allah mereka takkan menginjakkan kaki lagi di bumi kita ini. Sebagai peringatan atas peristiwa ini, aku nyatakan bandar ini berganti nama, dan menjadilah Jayakarta. Jaya pada awal dan kemudiannya, karta untuk selama-lamanya.
Berita penghalauan Portugis dari Sunda Kelapa dan terdamparnya kapalnya di rawa-rawa, segera terdengar di Panjang. Di mana-mana terbentuk gerombolan orang yang membicarakannya dengan bersemangat.
Tetapi saudagar-saudagar lada berkabung: lada mereka tetap tertumpuk di bedeng-bedeng.
Untuk dapat memberitakan pada Wiranggaleng dengan lebih jelas Pada memutuskan untuk sekali lagi menunda keberangkatannya ke Malaka. Dan istrinya menyambut putusannya tanpa bicara. Maka dengan istrinya setiap hari ia bergelandangan di bandar kecil yang mendadak kehilangan kegembiraannya itu.
Berita Portugis akan mengambil lada tak terdengar lagi.
Berita lain datang menyusul: sisa armada Portugis itu berlayar terus ke timur dengan menghindari setiap pertemuan dengan armada Jepara-Demak.
Maka waktu berita itu sampai ke Teluk Bayur, kapalkapal Parsi, Arab, Benggala, yang masih ragu-ragu hendak meneruskan pelayarannya ke selatan mengangkat sauh, berebut cepat mendapatkan lada di Panjang.
Saudagar-saudagar lada di Panjang melepas barangnya sedapat ia jual.
Pada dan Sabarini bekerja memunggah lada untuk penghidupannya. Maka ia tahu harganya tidak setinggi biasanya. Mungkin juga Peranggi berjanji hendak mengambilnya dengan harga lebih mahal.
Waktu kapal-kapal berangkat lagi, ternyata masih terlalu banyak tumpukan lada yang belum terjual. Bandar kembali jadi senyap. Perahu-perahu layar Pribumi mulai membeli sisa itu dan mengangkutnya ke Pasai atau Malaka. Dengan lada bandar-bandar dalam kekuasaan Portugis selalu terbuka.
Dengan habisnya lada dan kosongnya bedeng-bedeng, kembali Pada dan Sabarini tak mempunyai suatu pekerjaan tertentu. Berdua mereka tinggal di bandar dengan kegiatan hanya mendengar-dengarkan berita. Pada suatu hari dalam kehidupannya seperti ini datang sebuah perahu layar dari Madura, membawa berita, bahwa bandar Banten dan Jayakarta untuk ke dua kalinya telah dinyatakan sebagai bandar bebas oleh Fathillah. Memang perahu-perahu mulai berdatangan, tetapi tidak untuk berdagang, hanya untuk mendapatkan air dan beras dan sayuran.
Dan waktu orang bertanya bagaimana keadaan bandar Cimanuk sekarang, nakhoda perahu Madura itu sambil melompat ke darat berkata dengan suara lantang: Tetap, belum dinyatakan bebas. Tak ada perdagangan di sana. Jangan kalian coba-coba ke sana. Bisa dirayah oleh serdadu-serdadu itu.
Orang-orang merubungnya. Dan Pada bertanya: Tidak bertemu dengan armada Peranggi"
Alhamdulillah, kami selamat Yang lain-lain tak dapat menghindarkan diri. Mereka seperti kerbau gila, bedebah terkutuk itu. Tidak puas hanya membajak. Semua orang dari Tuban dan Demak dan Jepara dibunuh, Nakhoda Madura itu menjawab sambil memilin kumisnya yang tebal. Di mana bertemu dengan mereka"
Di atas Juana. Jadi mereka tak mendarat di Jepara"
Tidak. Setelah Juana mereka mulai mendekati pantai. Tapi mereka terus ke jurusan timur.
Ke Blambangan barangkali"
Boleh jadi. Setidak-tidaknya memasuki wilayah Demak mereka tidak berani. Berita itu tidak lengkap dan belum tentu benar. Pada belum lagi puas. Ia masih harus menunggu.
Kapal-kapal dari Atas Angin berdatangan lagi melalui barat Sumatra. Dan Portugis tak kunjung tiba. Lada yang didatangkan oleh para penyelundup dari luar bandar-bandar dalam kekuasaan Demak memang terus berdatangan, tetapi jumlahnya tidak mencukupi untuk memenuhi permintaan. Harga menjadi sangat tinggi. Memang penjualan berjalan sangat cepat, persediaan habis, tetapi keadaan tidak menguntungkan Panjang. Kapal-kapal itu meneruskan perjalanan ke tenggara, ke Jayakar-ta dan Banten sendiri.
Nampaknya Fathillah kini berhasil dengan pembebasan bandar-bandarnya. Kapal-kapal Atas Angin mulai tersedot ke sana. Akibatnya bandar Panjang surut menjadi sepi seperti semula. Akibat selanjurnya: pekerja-pekerja bandar tak punya pekerjaan lagi. Mereka kembali naik ke pedalaman untuk mengurus lada. Pada dan Sabarini ikut saja dengan arus, memasuki pedalaman dan mencari penghidupan seperti yang lain-lain.
Sebuah berita hebat telah pecah, mengabarkan Portugis akan datang mengambil lada yang telah dijanjikan. Orang pun berbondong-bondong turun ke bandar Panjang. Pedagang-pedagang lada sedang sibuk mengangkuti barangbarangnya untuk melarikan diri dari bandar. Tiadanya persediaan lada akan menyebabkan Portugis bakal melakukan pembalasan dendam terhadap seluruh bandar. Penduduk lainnya juga sedang siap-siap untuk mengungsi.
Waktu Pada dan Sabarini sampai, yang mereka dapatkan adalah sebuah perahu layar Bali. Awak perahu segera dirubung orang untuk mendapatkan beritanya.
Kami takkan dapatkan lada di Tuban, katanya. Ke Jayakarta dan Banten kami takut. Kami bukan Islam. Maka kami cari lada ke mari. Lagi pula, kata orang, harga lada di sana terlalu tinggi, maka kami terus ke mari.
Mendengar Tuban disebut-sebut Pada mendesak ke depan dan bertanya: Apakah Peranggi tidak mendarat di Tuban"
Takkan didapatkan sesuatu di Tuban. Mereka mendarat dan mengamuk di sana.
Siapa mereka" Maksudmu Peranggi" Siapa lagi kalau bukan Peranggi"
Bukankah Tuban sudah jadi daerah Demak" Tidak. Hanya sehari Demak memasuki Tuban. Mereka diusir keluar lagi oleh pasukan kuda dan gajah, jatuh lagi ke tangan balatentara Tuban. Pada waktu itulah Peranggi masuk.
Jelas Peranggi sudah menguasai Tuban" Setidak-tidaknya begitulah yang kami dengar. Jadi bagaimana halnya dengan balatentara Tuban dan Demak"
Tuban mengundurkan diri ke luar kota. Demak tidak meneruskan serangannya ke Tuban.
Jadi Tuban kena keroyok" Boleh jadi begitu jadinya.
Pada menarik tangan istrinya dan diajaknya pergi. Mereka memasuki bedeng kosong dan berdiri diam-diam mengawasi laut, memperhatikan perahu mereka yang sudah lama tiada mereka pergunakan.
Sabarini, selesailah sudah urusan kita di Panjang ini. Kita akan teruskan pelayaran.
Karena berita-berita itu"
Karena berita-berita itu, Sabarini. Bukankah belum tentu semua itu benar"
Seorang nakhoda selamanya bicara benar. Kalau tidak dia akan jadi tertawaan di setiap bandar, penghidupannya akan mati.
0od-w-o0 38. Yang Lola di Semenanjung
Hari itu Hang Wira berkunjung ke kampung-kampung penduduk. Kemudian juga memasuki kampung-kampung para prajurit Tuban dan Bugis, yang kini telah menjadi petani atau nelayan sepenuhnya. Mereka telah belajar melupakan negeri kelahiran masing-masing.
Dan dengan menjadi petani atau nelayan sepenuhnya, dengan wanita setempat yang kini jadi istrinya, pergulatan untuk memenuhi kehidupan sehari-hari telah menggantikan perjuangan bersenjata. Perdagangan dan pertukaran barang telah mendesak jiwa prajunt dan kebiasaan prajurit.
Bila setiap hari seorang suami-istri berhasil dapat menanam lima belas pohon pisang, setelah membabat semak dan menebang hutan, berarti mereka telah menyimpan lima belas hari bahan makanan untuk tahun yang akan datang. Dan bila mereka berhasil menanam jagung selebar dua puluh depa persegi setiap hari, mereka telah menyimpan sepuluh hari makanan sehari untuk empat bulan mendatang, justru pada waktu pengantin baru mereka harus bekerja keras. Tahun depan seorang bayi akan lahir atas nama mereka, dan tenaga bakal tinggal sang suami saja.
Wiranggaleng tahu, ia tak mampu mengatasi kemerosotan prajurit-prajurit. Dan dalam bicara dengan mereka ia berusaha baik-baik menutupi kekecewaannya, apalagi bila menghadapi istri-istri mereka.
Dan di mana-mana suara mereka sama saja: Apakah yang bisa diharapkan lagi di Jawa" Kami dapat mati sia-sia untuk mengabdi tidak menentu. Ampuni kami, Senapatiku.
Ya, mereka lebih berhak atas diri masing-masing, lebih berhak daripada Trenggono ataupun Sang Adipati. Setelah Sultan Demak meneruskan usahanya untuk menguasai Jawa, kepercayaan orang padanya jatuh, dan pembebasan Malaka bukan saja tinggal jadi impian di langit biru, malah telah jadi lelucon yang mengibakan.
Wiranggaleng menghargai perasaan mereka. Ia tak mempunyai kekuatan atau hak apa pun untuk mencegah kemerosotan.
Kegiatan ketentaraan tinggal hanya kesibukan pertahanan. Menyerang mereka sudah tidak lagi. Lagi pula Portugis tidak lagi meronda keluar perbatasan kota Malaka. Suatu gencatan senjata berjalan dengan diam-diam tanpa persetujuan tanpa perjanjian.
Dan semua itu membikin hati Wiranggaleng menjadi lengang, la tak melihat adanya hari depan yang lebih baik daripada masakini, baik untuk negerinya sendiri mau pun untuk diri sendiri. Tak ada tanda-tanda kebesaran dan kejayaan yang bisa dipanggil dari guagarba haridepan. Haridepan itu sendiri tidak ada. Yang ada hanya kekosongan yang menganga, bolong dan melompong.
Dalam salah satu pertemuan malah ia pernah dengar kata-kata ini: Senapatiku, apa sesungguhnya yang kita kehendaki" Toh bukan kematian yang percuma"
Demikianlah ia berjalan dari gubuk ke gubuk, dari kampung ke kampung. Di mana-mana pisang dalam pertumbuhan, dan pohon-pohon buah, dan pohon-pohon turi sepanjang jalan baru, kecil sempit dan belum lurus.
Luas daerah pertanian itu kini menjadi berlipat ganda, dan setiap bekas prajurit memiliki jauh lebih luas daripada penduduk asli. Beberapa orang malah mulai membuka kebun kelapa, cengkeh dan barus.
Kelengangan di dalam hati itu mencopoti kekuatannya untuk berprakarsa. Jiwanya lunglai menggapai-gapai. Setiap kali ia mencoba mendapatkan pegangan baru, setiap kali pula luput. Gapaian tinggal gapaian, dan pikirannya membuncah murka bila teringat pada pengkhianatan dari segala penjuru yang nampaknya dicurahkan pada dirinya seorang. Dan kemerosotan anak buahnya meluncur terus ke bawah.
Dengan seorang istri orang sudah bertekad menetap di Semenanjung ini, pikirnya. Mereka telah mendapatkan segala-galanya dalam hidupnya: Istri, rumah, ladang, anak, kedamaian, penghidupan, tanpa gangguan seorang raja atau sultan. Tanah di sini lebih subur daripada Tuban, Demak ataupun Jepara. Air mencukupi. Dan raja-raja di Jawa sana hanya sibuk cari kebesaran dan kekayaan dan melepas nafsu sendiri. Ya, mereka berhak berpihak pada hidup dan dirinya sendiri.
Ia berjalan terus ke daerah yang jalan-jalannya belum lagi teratur, memasuki kampung-kampung yang lebih baru. Dan setiap keluarga me nyambutnya dengan ramah. Itulah satu-satunya penghibur dirinya. Dari seorang Senapati dan Panglima pasukan gabungan ia berubah jadi seorang tetua bagi mereka. Dan apa lagi yang ia bisa perbuat kalau sudah ada tambahan bayi sebagai tambahan warganya" Bayi kelahiran Semenanjung" Tak mengenal Tuban dan Jawa"
Memang tak ada yang diperbuatnya. Kemerosotan keprajuritan me luncur terus menuju ke titik terdalam. Pada suatu sore ia memasuki kampung penduduk asli. Seorang wanita berlutut di hadapannya, menyembah dan menangis: Hang Wira, ampunilah sahaya, tolonglah sahaya.
Kemudian datang juga suaminya, berdiri angkuh memegangi hulu parang dan menatapnya dengan pandangan mengancam. Tak lama kemudian seluruh penduduk kampung dari beberapa rumah itu datang merubung.
Apa aku bisa tolongkan. Perempuan"
Anak sahaya, Hang Wira, seorang Tuban telah menculiknya, anak perawan sahaya. Kembalikan dia pada sahaya.
Kalian datang ke mari memang hanya mau bikin rusuh! terdengar suara parau suaminya yang masih juga memegangi hulu parang. Kembalikan anakku!
Anakmu akan dikawini dengan baik-baik, perempuan. Bukankah semua pernah dengar sudah tiga orang prajurit Tuban dijatuhi hukuman mati karena perkosaan"
Kembalikan anakku! suara parau suaminya semakin mengancam. Tak bisa kami diperlakukan begini lebih lama.
Hai, Perempuan, anak itu anakmu ataukah anak lelaki ini"
Anak sahaya sendiri. Maksudmu orang ini bapak-tirinya" Betul, Hang Wira.
Baik. Anakmu akan dikawini baik-baik. Kau akan mendapatkan menantu yang baik. Apakah lamarannya pernah kau tolak"
Suami sahaya yang menolaknya, Hang wira. Anak itu kubesarkan sejak kecil, gumam sang suami sambil menghampiri Wiranggaleng, patutkah menerima pinangan seorang petualang" Kembalikan dia, atau kami akan perangi semua petualang Tuban di sini.
Rubungan orang itu bubar melihat perkelahian akan terjadi.
Jangan, Bang, jangan, tegah perempuan itu pada suaminya sambil memegangi tangannya. Tetapi lelaki itu mengenaskannya sehingga ia jatuh terpelanting dan masih tetap menegah: Jangan, jangan! melihat suaminya mulai menarik parang.
Wiranggaleng melangkah ke samping dan menegah: Jangan. Lagi pula anak itu bukan anakmu. Mengapa kau yang marah; sedang berhak tidak"
Dan lelaki itu menjawab dengan ayunan parang, memekik: Rasakan parang Semenanjung!
Wiranggaleng melompat dan melompat. Dan lelaki itu menyerang dan menyerang. Para perubung bubar. Pada suatu kesempatan Senapati dapat menyambar potongan bambu untuk penangkis. Dan bunyi parang beradu dengan bambu itu mendebarkan orang yang menyaksikan. Jangan, Bang, jangaaaan, teriak istrinya. Sudah, sudah cukup! tegah Hang Wira.
Lelaki itu sudah menjadi kalap. Sinar keputihan telah memancar dan pandangannya, sehingga bola-bola matanya nampak seperti terbalik
Melihat itu Wiranggaleng mulai memekik menyerang dengan bambunya. Pada suatu kesempatan ia serampang kaki lawannya sehingga terpekik dan terpincang-pincang mengendorkan serangan. Namun ia masih juga menyerang. Dengan hantaman luarbiasa keras Hang Wira menyerampang kakinya yang lain. Sekali lagi orang itu terpekik dan jatuh terduduk kemudian mengerang-ngerang. Matanya melotot gusar.
Bukan maksudku hendak menganiaya, kata Hang Wira. Ia tinggal berdiri menunggui lelaki itu kalau-kalau masih hendak menyerang juga.
Lelaki itu telah kehilangan gairah. Dan ia tetap juga duduk meraba-raba tulang-keringnya. Mulurnya berkomatkamit dan meringis. Tiba-tiba dengan gerak cepat ia lemparkan parang pada Wiranggaleng, menyerempet pada betis, jatuh menancap ke tanah.
Hang Wira melihat pada betisnya. Serempetan itu tidak melukai, karena bukan mata parang yang telah mengenai.
Kembali orang datang merubung. Istrinya mencabut parang itu dari tanah dan menyerahkan pada orang lain. Kemudian ia menolong suaminya berdiri dan memapahnya masuk ke rumah.
Juga Wiranggaleng ikut masuk. Ia duduk diam-diam. Tidak. Kaki itu tidak aku patahkan. Perempuan, biarlah aku pergi mencari menantumu itu. Dan kalian, penduduk kampung, janganlah mencari-cari sengketa. Kami tak pernah bikin percederaan dengan kalian. Kalau ada anakbuahku yang tidak senonoh, dan di antara kalian pun ada yang demikian, janganlah dijadikan sengketa. Biar kita urus bersama semua dengan baik. Anak-buahku bukan hanya sekedar teman dan tetangga; mereka telah mulai jadi saudara dan kerabat kalian sendiri. Assalamu& .
Ia keluar dari rumah, berjalan murung pulang ke markas, la sangat menyesal. Bukan jadi keinginannya untuk berkelahi dengan penduduk. Ia datang untuk mengusir Peranggi. Yang diusir tetap berdiri di tempatnya. Dan permusuhan dari penduduk adalah satu kutukan. Ia harus dapat mengelakkan. Kalau sekali mereka bersekutu dengan Peranggi&
Dan ia mengakui, persoalan wanita memang jadi masalah gawat sekalipun wajar. Beberapa orang anakbuahnya ada yang telah membikin perahu dan hanya untuk membajak wanita di kampung-kampung nelayan untuk diperistri dan untuk bisa menetap di Semenanjung. Lebih enam ratus lelaki! Dan lelaki memang dilahirkan oleh wanita. Ia pun diperuntukkan wanita! Tak perlu ia menduga akan menghadapi masalah ini la datang untuk berperang. Dan kini semua telah berkisar menjurus ke arah yang sama sekali berlainan.
Ia berhenti waktu mendengar jerit seorang bayi. Kelahiran baru, ia membelok ke sebuah pondok, menjenguk ke dalam.
Lelaki! seseorang terdengar berseru girang. Wiranggaleng berjalan terus. Kelahiran baru. Anak itu tidak tahu negeri nenek-moyangnya. Bila sudah besar, mungkin Portugis bukan musuh dan bukan persoalannya. Bukankah orangtuanya sendiri sudah memunggungi persoalan itu karena kekecewaan pada raja-rajanya sendiri"
Ia menarik nafas panjang, memenuhi paru-parunya dengan udara malam yang segar.
Ya, aku telah dibebaskan dari tugasku. Keadaan yang telah membebaskan aku& .
Sesampainya di markas ia dapatkan Pada sedang duduk bersama seorang wanita muda cantik, bermata bulat dengan bulu mata panjang. Dua-duanya sudah nampak lelah dan mengantuk, tetapi bertekad menunggu sampai ia datang.
Waktu ia mendekat mereka tak menyedari sedang tertarik ke alam mimpi, la mendeham dan mereka membuka mata.
Kau datang, Pada, tegur Hang Wira.
Pada melompat berdiri dan merangkulnya. Ia menangis gembira, ter-hisak-hisak seperti anak kecil. Sabarini mengangkat sembah dari tempatnya dan memperhatikan dua orang lelaki yang berangkulan seperti bocah itu. Ampuni aku bila terlalu lama.
Sudah tak ada bedanya lama atau tidak. Pada. Kau baik dan selamat. Itu sudah cukup.
Banyak yang hendak kusampaikan. Kang. Antaranya seorang ipar untukmu. Sini, Sabarini, inilah Kang Galeng, abangku.
Hang Wira tertawa senang melihat Sabarini yang menunduk dan mengangkat sembah: Anak dari mana kau, Upik" tanyanya dalam jawa.
Bukan jawa, Kang. Aceh" Jambi, Minang"
Sunda, jawab Sabarini dengan suaranya yang menyanyi.
Wiranggaleng mengangkat tangan memberikan restu. Pada dan Sabarini berlutut. Panglima dari pasukan gabungan lola itu meletakkan tangan sabelah pada tiap kepala: Syukur pada Hyang Widhi, restu untuk kalian, semoga kekallah perkawinan ini dan dikaruniai kebahagiaan lumintu dan anak-anak yang sehat, dilimpahi hendaknya dengan kehidupan yang terang dan gilanggemilang. Berdirilah kalian.
Mereka berdua berdiri dan masih menyembah dada dan menunduk.
Pada, bawalah istrimu beristirahat. Mereka berdua bergerak meninggalkannya. Dari sinar lampu Senapati itu melihat kilau airmata bahagia mereka berdua.
Ya, berbahagialah kalian.
la segera tenggelam dalam kenangan pada perkawinannya yang gilang-gemilang dulu. Ia tersenyum sunyi. Tak ada duanya perkawinan besar semacam itu, penuh keagungan dan kejayaan. Seluruh kota ikut merayakan. Ia dianggap sebagai Kamajaya dan Idayu sebagai Kamaratih. Kemudian tandunya jatuh. Sebagai pengantin ia dan istrinya terjerembab di tanah. Terjerembab! Mungkin perlambang kejatuhannya selama irii. Tahyul! pekiknya menolak gagasan tentang perlambang itu. Tahyul! Kegagalan hanya buah usaha yang memang gagal. Barangsiapa tak pernah berusaha dia pun takkan pernah gagal.
Kegagalan yang berisikan penyesalan banyak penyesalan. Sang Patih Tuban telah tewas karena tangan dan kerisnya. Orang sebaik itu, sebijaksana ini! seorang majikan dan seorang guru sekaligus! Dan kiai di Gresik itu banyak namanya pun ia tak tahu. Dan Danu santri terpandai itu. Tiga orang yang telah tewas karena tangannya dan tidak karena perang!
Ia tinggalkan markas dan memasuki malam. Selama pelayarannya dari Panjang ke Semenanjung memantai pesisir timur Sumatra Pada telah berpikir keras untuk dapat memahami perkembangan di Jawa. Dan ternyata tak semudah itu ia dapat mengikuti kejadiankejadian yang simpang siur seperti benang kacau itu.
Ratu Aisah mengapa wanita tua itu berkunci diri di dalam rumah" Mengapa ia menyerahkan bingkisan bekas Adipati Unus" Liem Mo Han mengapa pula dibunuh oleh tentara Demak" Dan mengapa pula keluarga Wiranggaleng terancam kebinasaan" Mengapa Senapati dituduh bersengkongkol menentang Demak" Dan mengapa pula dirinya sendiri disangkut-pautkan dengan semua itu" Ia tak dapat menjawab.
Gerakan Trenggono ke jurusan timur dan barat Demak, penaklukan atas kabupaten tetangga, penaklukan atas Banten, Sunda Kelapa dan Cimanuk semua pelabuhan penting. Sekarang Cirebon diancam pula. Apakah Trenggono sudah bertekad menguasai semua bandar di Jawa sebagai kerajaan yang pada mulanya tak punya bandar" Adakah hanya Tuban mendapatkan bandar Jepara maka Trenggono bernafsu menggagahi banyak bandar lain" Dan mengapa lawan-lawan Sultan Demak tak ada yang mampu menahan gelombang balatentaranya" Mengapa pula Tuban yang beratus tahun jadi andal-andal Majapahit dapat ditangannya, bahkan telah terjamah ibukotanya" Lagi pula apa sebabnya balatentara Tuban mencoba terus menghalau musuhnya sekalipun Sang Adipati telah mangkat. Dan mengapa pula Peranggi langsung masuk ke Tuban setelah kegagalannya di Sunda Kelapa" Seakan-akan semua itu berputar untuk keuntungan Peranggi"
Dan di Jayakarta dan Banten untuk kedua kalinya Fathillah menyatakan dua bandar itu jadi bandar bebas. Dan mengapa armada Jepara-Demak mengakhiri blokadenya" Dan mengapa balatentara armada itu tak meneruskan penusukannya lebih jauh ke pedalaman" Dan mengapa bukan Banten dan Jayakarta sebagai bandar bebas dengan sekali pukul telah mematikan bandar Panjang" Benang yang kacau itu semakin kacau.
Yang paling memusingkannya adalah: Mengapa Trenggono menyia-nyiakan kekhalifahan ayahandanya almarhum. Sudah selesaikah riwayat kerajaan Islam pertama-tama di Jawa, dan terjatuh jadi kerajaan kafir sebagai semula"
Mengapa justru Wiranggaleng yang harus mengusahakan pembebasan Malaka dengan sekutu-sekutu yang ditarik kembali dan yang tidak ada" Mengapa ia mendapatkan armada yang bukan kapal negeri, hanya jung" Mengapa tidak boleh diperlengkapi dengan meriam Peranggi" Bahkan tak boleh dengan cetbang" Dan bukankah Wiranggaleng itu sendiri yang telah merampas senjata ampuh itu. Dan mengapa Senapati yang paling berjasa pada Tuban itu justru diusir dari Tuban" Dan mengapa ia sekarang harus menduduki jabatan sebagai panglima pula"
Dalam pelayaran kembali ke Malaka ia menjadi kurus dan nampak lebih jangkung daripada sesungguhnya.
Ia tak mampu keluar dari teka-teki pulau Jawa. Lebih memusingkan baginya adalah masalah Tuban. Untuk siapa balatentara Tuban berkelahi mati-matian melawan Demak" Dan mengapa Tuban begitu mudah dimasuki Portugis"
Benar-benar ia tak mampu menyusun sangkut-paut peristiwa yang susul-menyusul begitu cepat. Ia merasa diri semakin jadi bodoh. Mungkin, pikirnya memaafkan diri sendiri, karena sedang dalam suasana pengantin baru maka diri menjadi bebal.
Waktu memasuki Pati ternyata tak ada gangguan dari pihak Portugis. Mereka memang nampak kasar dan tidak tahu adat, tetapi tak selembar pun barang-barangnya mereka rampas, apalagi perahu layarnya.
Juga perahu-perahu lain tiada mengalami sesuatu kesulitan. Beberapa keranjang lada yang dibongkarnya segera dibeli oleh Peranggi dengan uang perak. Dan ia tak melihat adanya permusuhan tertuju padanya.
Ia pun dapat meninggalkan bandar tanpa dicurigai. Semua itu menambahi masalah dalam pikirannya. Mengapa Peranggi-Peranggi itu nampak begitu damai" Dan jarang di antara mereka membawa senjata" Dan mengapa di Tuban justru sebaliknya"
Waktu berjalan memikul beban menuju ke markas Wiranggaleng sedang istrinya menggendong pada punggung, sampailah ia pada puncak kegugupannya. Ia takan mampu menyusun laporan untuk panglimanya. Dan ia merasa akan menderita aib sekiranya Wiranggaleng menuduhnya hanya mengurusi soal bini semata dan tidak melakukan tugasnya. Maka sambutan Hang Wira yang ramah dan tidak menuding, bahkan merestui perkawinannya, melenyapkan seluruh kerisauannya. Galeng yang lama itu tampil lagi dalam hatinya sebagai seorang abang yang pemurah dan bijaksana.
Keesokan harinya ia telah berniat hendak menyampaikan berita-berita sebagaimana adanya. Ternyata ia tidak mampu menyusunnya.
Ia temui Hang Wira sedang duduk bertopang dagu di sebuah bangku kebun di belakang markas. Nampaknya Panglima sedang berpikir keras. Matanya suram.
Pelahan-pelahan ia duduk di dekatnya. Dan di luar dugaannya ternyata ia ditegur lebih dahulu dengan suara lunak: Coba ceritakan bagaimana kau mendapatkan istrimu, ia tersenyum.
Ketegangan Pada hilang sama sekali
Mereka berdua tertawa-tawa dan berseri dan menyebutnyebut dan bertepuk-tepuk kegirangan seperti dua orang bocah yang belum mengenal dunia di sebuah dusun terpencil, aman dan damai.
Jadi kau sudah tahu rasanya jadi pangeran. Mungkin begitu juga rasanya anak-anak dewa di atas dunia ini, Kang.
Di mana kau peroleh peralatan badut itu. Dan Pada tak menduga dengan begitu mudah ia mendapatkan jalan untuk menyampaikan segala yang telah dilihat dan didengarnya sendiri di Tuban, Lao Sam, Jepara, Pajajaran, Sunda Kelapa dan Panjang, malah juga di Pasai. Pengalamannya dengan Coa Mie An dan cucu Ratu Aisah. Dan: Seminggu tepat aku duduk di depan pendopo dalam terik matan dengan kekuatiran amat sangat kalau-kalau tentara Demak menyergap aku. Satu minggu penuh, Kang. Hanya seorang gadis kecil menyampaikan sebuah bungkusan. Aku tahu bungkusan itu untuk Kang Galeng. Ampunilah aku karena telah kukenakan untuk mendapatkan sedikit kesenangan sebagai pangeran. Nanti sore akan kuserahkan bungkusan itu. Hanya saja kasut n ya tertinggal di rumah kepala desa Baleugbag, desa Sabarini, istriku.
Semua ketakutan dan kelelahanmu telah ditebus. Kau telah mendapatkan seorang istri yang tiada duanya. Belum pernah aku dengar suara yang begitu bening dan indah dan menarik seakan hanya keluar dari mulut bidadari, bukan manusia.
Kau melebih-lebihkan, Kang.
Tidak melebih-lebihkan. Kau saja yang pura-pura dungu. Ayoh, teruskan ceritamu.
Pada meneruskan ceritanya tentang jatuhnya Banten dan Sunda Kelapa ke tangan Demak. Bahwa Sunda Kelapa telah diubah jadi Jayakarta. Bahwa Cimanuk kemudian juga diseibu oleh armada Jepara-Demak. Dan setelah itu armada bergerak dengan bantuan tenaga setempat menduduki Cirebon.
Wiranggaleng diam termenung mendengar bagaimana Fathillah menghalau Portugis dan kapal-kapalnya. Dan armada itu meninggalkan Sunda Kelapa tanpa melepaskan sebutir pun peluru meriam. Apakah kau tidak keliru. Pada"
Tidak. Portugis tidak menembak. Mereka terus berlayar ke timur, terus ke timur.
Dan memasuki Tuban. Ya, dan memasuki Tuban.
Mungkin mereka hendak selamatkan pelurunya untuk Tuban. Hang Wira menerangkan. Mungkin karena itu mereka dapat menusuk Tuban dengan mudah. Jadi kau tak dapat menemui Kala Cuwil"
Tidak, Kang. Semua usaha gagal. Satu yang belum aku ceritakan: Sang Adipati mangkat waktu Demak masuk.
Wiranggaleng seperti tersengat kalajengking. Dipandanginya tajam-tajam akan Pada tanpa bertanya. Melihat airmuka Pada tidak berubah, ia berbalik dan berjalan tanpa menoleh.
Pada yang masih juga duduk menunggu akhirnya berdiri juga dan mencarinya. Didapatinya Senapati sedang berdiri merenungi saluran yang berair bening. Tangan kanannya bertahan pada sebatang kayu. Kau telah terbebas dari sumpah. Kang.
Apakah hanya itu saja yang penting"
Memang tidak. Ada yang lebih penting: balatentara Tuban berperang tanpa raja. Untuk siapa mereka berperang"
Itulah, Pada& itulah satu masa di mana raja lama mati, raja baru tidak ada. Dan tak ada anak desa tampil marak menobatkan dirinya sendiri. Ada suatu jaman di mana seorang anak desa dapat tampil demikian. Tiga ratus tahun yang lalu. Pada.
Kau sudah terlalu sering menceritakannya: Ken Arok Rajasanagara.
Betul, Pada. Dan jaman itu takkan berulang. Tuban tidak melahirkan Ken Arok. Kala Cuwil sesungguhnya bisa marak, atau Banteng Wareng. Mereka takkan bakal ada keberanian untuk itu Mereka memang lain dari Ken Arok. Dia muncul berlandaskan perjuangan untuk keadilan. Kepala-kepala pasukan Tuban tidak. Mereka berlandaskan gengsi ketentaraan semata.
Mereka berdua terdiam, masing-masing sedang mengerahkan otak untuk membuat penilaian. Dan memang mereka yakin Kala Cuwil dan Banteng Wareng tak ada keberanian untuk itu. Sekiranya ada boleh jadi wajah tanah Jawa akan berubah.
Kang, tiba-tiba Pada mengganggu, kau sendiri sebenarnya bisa, Kang
Husy. Kau masih juga tidak mengerti Galeng ini Kau sudah begitu berpengalaman, semua orang mengenal dan mengasihi kau, Kang. Kau bisa, Kang. Kau keliru.
Aku tidak keliru, Kang. Kau begitu senang bercerita tentang memanggil kejayaan dan kebesaran pada guagarba haridepan& .
Bukan untukku, Pada. Bodohnya kau jadi petani tanpa tidak lebih dari Idayu, hanya menginginkan jadi petani tanpa gangguan siapa pun. Tanpa gangguan siapa pun& itulah yang justru membikin aku menyasar-nyasar begini, melalui jadi Syahbandar-muda sampai Senapati dan Panglima gabungan yang kapiran sekarang ini Sabarini muncul dan menyilakan Hang Wira makan.
Aah, adikku Sabarini, tegur Senapati dalam bahasa Melayu. Aku senang mendapatkan seorang saudari seperti engkau. Jangan kau menyesal datang ke tempat ini: hutan semata, tanpa sawah, tanpa ladang yang bagus dan tanpa kebun yang indah seperti di negerimu.
Sahaya akan tetap senang selama tidak ditinggalkan oleh suami sahaya, jawab Sabarini dengan suaranya yang menyanyi.
Nah, kau dengar sendiri itu, Pada.
Ya, Kang Galeng. Selama aku tak mengabdi pada seorang raja takkan dia bakal kutinggalkan.
Kau benar, Pada. Kau benar. Lihat Sabarini, suamimu ini. Dia sudah jenuh jadi abdi raja, apalagi raja itu begitu besar kuasanya sehingga tak perlu berpikir lagi, dungu seperti kerbau dan bebal seperti bebek. Hanya celaka sajalah yang menimpa diri. Kau dengar sendiri, Sabarini, selama dia tak mengabdi pada seorang raja, kau akan selalu dapat mengikutinya, dan dia takkan meninggalkan kau, barangkali juga dialah yang mengikuti kau.
Sabarini malu kemerah-merahan dan mencibirkan bibir. Wiranggaleng tersenyum senang melihatnya dan berseru: Lihat Pada, istrimu itu. Pantas kau tergila-gila padanya. Aku tak salahkan kau.
Tidak bisa, Kang, bantah Pada, dialah yang tergilagila padaku.
Benar, Sabarini" Dan Sabarini lari tersipu meninggalkan mereka.
Jangan kau sia-siakan dia, Pada, kau! Kau bekas kutu harem! Anak itu sangat baik untukmu. Dia adalah laksana bunga yang kembang pada waktunya. Selama kau rukun dengan dia, kau akan tetap berbahagia. Begitu kau bertingkah dan balik jadi kutu seperti dulu, selesailah riwayatmu.
Mengapa begitu, Kang"
Ah, yang kau ketahui tentang selir saja. Itulah salahmu. Perhatikan dia baik-baik, resapkan dan nilai setepatnya tingkah-lakunya dan kecantikannya. Dengan mata tertutup aku akan dapat mengetahui dari suaranya saja, dia seorang wanita pilihan, khusus disediakan untukmu.
Kang. Apalagi kau bertaubat. Sudah lama aku bertaubat. Mari makan.
Dalam berjalan kembali Wiranggaleng tenggelam dalam pikirannya. Baginya pun Tuban merupakan teka-teki. Atau barangkali datangnya waktu inilah yang dimaksudkan oleh Rama Cluring" Datangnya memanggil kejayaan dan kebesaran itu"
Rama Cluring keliru. Dua-duanya tak dapat dipanggil datang ke Tuban. Kuncinya tetap: Semenanjung. Apalah arti Tuban tanpa Malaka" Tuban adalah negeri kelahirannya yang tertinggalkan oleh jalan laut dan perdagangan rempah-rempah. Rama Cluring keliru. Untuk menguasai kembali jalan laut dan perdagangan Malaka harus dibebaskan. Dan Malaka tak dapat dibebaskan karena kurangnya persatuan antara raja-raja bandar. Atau harus timbul Majapahit kedua yang sama sekali menguasai Malaka. Dan itu tidak mungkin. Untuk menguasai seluruh Jawa pun sampai seumur hidupnya orang takkan berhasil. Harus ada senjata baru yang lebih ampuh dari cetbang, baru orang berhasil. Dan cetbang pun sekarang telah dikalahkan oleh meriam. Senjata itu harus lebih ampuh dari meriam. Bagaimana, Kang"
Ayoh makan. Dan malam itu Senapati Tuban berjalan ke ladang untuk bicara-bicara dengan para penjaga babi hutan. Ia mulai menyalakan api unggun, tetapi para penjaga belum juga datang. Yang datang justru Pada membawa bungkusan. Mengapa kau tinggalkan istrimu"
Sudah tidur. Kang. Bukankah aku boleh meninggalkannya"
Kau meninggalkan seorang pengantin seorang diri. Itu tidak patut Apa kau bawa itu"
Sengaja aku tahan para penjaga babi di sana, biar dapat kusampaikan padamu bingkisan ini: dari Gusti Ratu Aisah.
Hmm. Pakaian pangeran itukah, yang menyebabkan kau mendapatkan Sabarini"
Benar. Hanya saja kasutnya hilang sebagaimana pernah aku ceritakan, ia mulai membongkarnya.
Yang pertama keluar adalah kain batik bergambar kuputarung. Seperti kena kejang Wiranggaleng mencengkam kain itu kemudian meletakkan pada dadanya: Aku pernah melihat bendera dengan lambang ini. Adipati Unus Jepara. Pulang membawa luka dan kekalahan dan Malaka. Seorang aulia! Ia tutupkan kain itu pada wajahnya. Ia tenang untuk menguasai perasaannya sendiri, kemudian, Dahulu aku mencurigainya, tidak mempercayainya. Hampir lima belas tahun yang lalu. Waktu itu aku masih terlalu muda, sangat mengagungkan Gusti Adipati Tuban. Aku pernah menjalankan tugas untuk memata-matainya. Aku pernah laporkan semua yang aku ketahui pada Gusti Adipati Tuban. Aku pernah ikut mengkhianatinya waktu menyerang Malaka. Dan ternyata hanya Gusti Kanjeng Adipati Unus yang benar. Betapa aku menyesal telah pernah mencurigai, memata-matai dan mengkhianatinya. Semua itu sudah lewat sekarang, kang.
Lewat saja tiada mengapa, Pada, tetapi lewat dengan segala ketidakberesan begini.
Kang Galeng, Raden Ajeng cilik yang menyerahkan bingkisan padaku itu menyampaikan pesan Gusti Ratu Aisah, bingkisan ini untuk siapa saja yang mampu mengenakannya, Kang. Kaulah itu yang mampu. Tak ada orang lain. Kala Cuwil tidak, Banteng Wareng pun tidak. Hanya kau. Kaulah Ken Arok kedua. Kang.
Wiranggaleng masih tenggelam dalam emosinya, pada masa lalu dan pada cita-cita Adipati Unus.
Bungkus kembali! katanya pelahan dan parau. la berjalan dan hilang di dalam kegelapan. Mohammad Firman mencoba mengikutinya dari belakang dan menemukannya sedang berdiri di bawah sebatang pohon dengan dua belah tangan dan kening pada batang itu. Aku tahu kau sedang berdukacita, Kang. Temani istrimu. Pada.
Bagaimanakah aku dapat meringankan dukaritamu. Kang.
Pergilah kau, jangan ganggu aku. Aku akan tetap di belakang. Kang. Pergilah kau. Pada, ia diam sebentar. Aku katakan sudah untuk kedua katinya.
Untuk kedua kalinya aku bilang, aku tetap di belakangmu, Kang. Katakan semua padaku. Aku tahu kau kalah untuk kedua katinya untuk merebut Malaka. Semua orang tahu. Katakanlah, curahkan semua dukacitamu, Kang.
Lama Wiranggaleng tak bicara. Kemudian mulai ia bicara, lambat; berat, sepatah-sepatah: Hampir-hampir aku tak dapat menahan perasaanku, Pada. Aku hanya si anak desa yang tersasar ke tempat Yang bukan tujuannya. Hampir lima belas tahun yang lalu semestinya Peranggi telah terusir dari sini. Sekarang mereka lebih kuat. Kita lebih lemah, Pada. Tak ada nama yang begitu terbenci dalam hidupku kecuali yang satu itu: Trenggono, Sultan Demak. Ia telah jerumuskan Jawa dalam peperangan melawan yang bukan musuh, dan membiarkan musuh semakin kuat begini. Ia telah perhamba orang-orang serumah sendiri sedang di luarnya orang telah merampas dan menguasai sumber kehidupan.
Ya, Kang, kemenangan di Sunda Kelapa memang tanpa makna, kecuali untuk Fathillah pribadi.
Semua kemenangan atas Peranggi tanpa mereka terusir dari Malaka hanya omong kosong, Pada.
Betul, Kang, hanya omong kosong.
Dan bagiku Jayakartanya Fathillah adalah nama untuk jaman kemerosotan ini.
Ya, Kang untuk jaman kemerosotan ini.
Rasanya tidaklah akan begitu sakit sekiranya pasukan gabungan kita tidak menjadi lola. Lola pun tidak seberapa kalau Demak tak memukul semangat kita. Ditariknya pasukan Aceh mungkin juga tidak seberapa. Tapi Trenggono, betapa beda kau dari abangmu.
Ya, Kang, keadaan sudah jadi begini.
Pasukan gabungan ini tak bisa digerakkan lagi untuk menyerang. Dan menyerang apa" Untuk apa" Mengabdi pada apa aku ini" Pada diriku sendiri pun tidak. Padahal tak banyak yang kupinta dalam hidup ini. Barangkali sama dengan kau: pengabdian pada haridepan barangkali. Haridepan tidak terbina, yang didapat musuh, musuh di mana-mana. Kehidupan macam apa ini"
Ya, Kang, manusia hanya bisa mengusahakan. Allah juga yang menentukan. Terserahlah semua kepadaNya.
Hiburan semacam itu aku tak butuhkan. Pada. Muridmuridmu mungkin memerlukan lebih dari dirimu sendiri. Bagiku lain. Bagimu aku seorang kafir, dan aku senang dalam kekafiranku. Aku tak membutuhkan kata-kata hiburan, suaranya menjadi bersungguh-sungguh disarati oleh pergulatan batin, biarlah hati ini patah karena sarat dengan beban, dan biarlah dia meledak karena ketegangan. Pada akhirnya perbuatan manusia menentukan, yang mengawali dan mengakhiri. Bagiku kata-kata hiburan hanya sekedar membasuh kaki, sebagaimana Sabarini membasuh kakimu. Memang menyegarkan, tapi tiada arti. Jangan kau marah, Pada. Ambillah kata-kata hiburan untukmu sendiri. Aku tidak memerlukan. Barangkali pada titik inilah kita berpisah.
Ia berjalan lagi memasuki kegelapan dan hilang. Pada sangat kecewa dengan jawaban yang tak didugaduganya Ia tahu sahabatnya dihembalang oleh kekecewaan dan dukacita. Ia menginginkan sesuatu yang berada di luar kekuasaannya, di luar kekuatannya. Dan itulah kekecewaan dan dukacita itu sendiri.
Tak ada yang dapat diperbuat Pada kecuali berdoa pada Tuhannya, memohonkan ampun dan taufik-hidayat untuk si kafir sahabatnya yang keras kepala itu. Kemudian ia pulang ke markas membawa bungkusan.
0o-dw-o0 Panglima itu sedang menemui pemimpin kesatuan Bugis- Makasar di pondoknya.
Pembicaraan adalah sekitar kemerosotan semangat yang terus-menerus dan tiada terkendalikan. juga pemimpin itu merasa tak dapat berbuat sesuatu. Semua dikembalikannya pada Wiranggaleng.
Berdasarkan kenyataan itu mereka berdua memutuskan untuk membuat pertemuan bersama: pada minggu mendatang.
Pada siang hari ia pulang ke markas dalam keadaan tenang seperti dahulu. Tapi Pada dapat melihat bagaimana hatinya menggeletar, karena si kafir itu enggan menyerahkan kesulitannya pada Yang Maha Kuasa. Dan ia telah jarang berkhotbah di hadapannya.
Kau suka tinggal di Semananjung sini, Sabarini" tibatiba ia bertanya.
Kalau Kang Pada suka, sahaya pun demikian. Jangan dengan sahay a-sahayaan, ia melirik pada Pada, nampaknya suamimu suka tinggal di sini. Itu baik, baik, selama orang sudah mulai berdamai dengan tempat tinggalnya yang baru, ia tak bicara lagi dan pergi.
Dalam pertemuan seminggu kemudian ia menyatakan, pasukan gabungan Tuban-Bugis-Makasar dalam keadaan lola tanpa batas-Barang-siapa akan pulang kembali ke negerinya masing-masing kesempatan diberikan. Barangsiapa lebih suka tinggal, juga diperkenankan. Di depan pertemuan itu juga ia menyatakan telah melepaskan kepanglimaannya, bukan lagi atasan mereka, hanya sebagian dari mereka. Ia jelaskan tentang pengkhianatan Sultan Trenggono yang menyebabkan semua terdampar sebagai prajurit di sini, tetapi untuk sebahagian toh mendapatkan kebahagiaannya sebagai petani dan nelayan, terutama sebagai suami di tengah-tengah alam yang indah dan subur.
Negeriku, Tuban, sekarang diduduki oleh Peranggi. Jadilah Itu bagiku panggilan untuk kembali menghadapi mereka di sana, karena Tuban negeriku. Aku tak memaksa kalian ikut. Hanya mereka yang ikut serta kembali denganku untuk mengusir Peranggi akan kuterima dengan segala senang bati.
Hanya dua puluh lima orang yang menyatakan hendak kembali. Aku meninggalkan Tuban membawa lima ratus orang dan akan kembali dengan hanya dua puluh lima. Adipati Unus telah gagal. Beberapa belas tahun kemudian juga Wiranggaleng gagal. Karena kegagalan ini disebabkan oleh Trenggono, kalau kalian menyetujui, sebelum keberangkatanku, namailah daerah tinggal kalian ini dengan nama itu pula: Trenggono.
Pada hari yang telah ditentukan, Wiranggaleng bersama dengan dua puluh lima orang pengikutnya diiringkan beramai-ramai ke pantai.
Janganlah gusar kalau aku memilih tinggal di sini. Kang Galeng.
Kau berhak, Pada. Bagiku Jawa hanya tumpukan kekacauan yang tiada habis-habisnya.
Selama Malaka, Selat ini, berada di tangan mereka. Pada, selama itu Jawa akan tetap kacau.
Nampaknya mereka akan tetap menguasainya, Kang Kita tidak tahu apa bakal jadinya. Jangan kau kecewakan Sabarini Dan kau, Sabarini, aku masih ingin melihat anakmu lagalah kesehatanmu. Kirimkan anakmu kelak ke Jawa. Bagaimanapun dia masih punya leluhur. 0odwo0
39. Tuban Jadi Kancah Perang
Kali ini untuk pertama terjadi Tholib Sungkar Az-Zubaid tidak mengawasi barang-barangnya. Orang-orang mengangkutinya ke gedung kesayahbandaran dari dermaga, dan ia berjalan seorang diri mendahului.
Begitu naik ke dermaga Tuban ia bersujud, mencakup tanah berpasir hancuran batu karang, menciumnya. Tak pernah ia mencintai Tuban sebagaimana halnya dengan sekarang.
Selama dalam pelayaran ia tak henti-hentinya mengucapkan syukur karena tidak terbawa oleh kapal Portugis ke Malaka. Tempat yang indah dulu itu kini bisa menjadi kuburannya setelah penganiayaan berat akan mendahului. Setiap Moro akan mengalami itu di tangan Portugis bila terbukti pernah membunuh seorang Nasrani baik Ispanya ataupun Portugis, sekalipun yang dibunuhnya hanya seorang petualang tanpa arti. Ia telah menyedari haridepannya di Andalusia telah musnah. Semenanjung Iberia bukan lagi tempat yang menyenangkan untuk haritua-nya. Bahkan semua negeri dalam kekuasaan Portugis dan Ispanya kini tak lain dari sebuah penggorengan besar bagi dirinya.
Pasir karang itu ia salutkan pada pipi dan seluruh mukanya. Kalau mungkin ia hendak menelannya pula.
Akhir-akhirnya jabatan Syahbandar Tuban sudah cukup baik baginya, biarpun kurang pekerjaan dan kurang penghasilan. Di Tuban sini ia akan hidup tenang dan senang sampai mati. Ia bersumpah di dalam hati untuk memperbaiki kelakuannya dan bertekad hendak membalas budi pada semua orang yang telah berbuat kebajikan padanya. Ia akan minta ampun pada Nyi Gede Kati, dan akan menempatkannya sebagai wanita yang semuliamulianya. Ia akan minta ampun pada istrinya dan akan membantunya dalam segala kesulitannya. Dan ia akan ambil Gelar sebagai anaknya sejati. Ia akan menyerahkan dirinya pada Wiranggaleng bila ia sudah balik dari Malaka. Dan ia akan urus bandar Tuban sebaik-baiknya. Ia akan panggil anak-istrinya yang ada di Goa untuk menemani di harituanya dan kematiannya kelak. Ia bertekad untuk dikuburkan di Bumi Tuban.
Barang-barangnya berbaris dalam pengangkutan di belakangnya, tongkatnya masih tetap setia di tangannya. Juga tarbusnya yang sudah kehilangan banyak warna merahnya. Pakaian Portugis telah ditanggalkannya di perahu, dan kini ia pergunakan pakaian Syahbandar yang lama. Kakinya pun kembali berterompah.
Mendekati kesyahbandaran ia berhenti, membiarkan para pengangkut berjalan mendahului. Ia bersihkan muka, leher dan lengan dengan setangan, kemudian menjentikjentik baju yang terkena pasir. Ia hendak temui Nyi Gede Kati dalam keadaan sebersih-bersihnya: lahir dan batin. Ia tak ambil peduli terhadap bedeng dan galangan dan pasar yang telah runtuh jadi tumpukan arang hitam. Aku tak ikut merusakkan Tuban, pikirnya. Tak ada tanggungan dalam nuraniku. Ia pun tak perhatikan jalan-jalan yang sudah mulai ditumbuhi rumput serta pepohonan yang mati karena terganggang oleh panas kebakaran. Hitam, hitam saja barang ke mana matanya ditujukan. Dan ia berjanji akan membangun kembali bandar ini dalam waktu pendek. Ia membutuhkan kepercayaan dari semua orang. Sambil berjalan ia merencanakan bagaimana harusnya menemui Nyi Gede Kati. Ya, ia akan cium tangan-nya dan segera minta ampun pada saat itu juga. Para pengangkut itu telah memasuki pelataran kesyahbandaran. Paman Merta tak nampak dan taman depan rumah telah kehilangan Keindahannya yang dulu. Juga itu akan ia bangun kembali. Dan gedung ini nampak rusak dan mesum. Pintu-pintu depannya sudah tiada ber-daun lagi. Itu pun ia akan perbaiki.
Ia terbangun dari semua pikiran dan rencananya melihat Kesyahbandaran dijaga oleh prajurit-prajurit pengawal, Seorang prajurit berlarian datang padanya dan memberi tahukan dengan cepat-cepat: Tuan Syahbandar Tuban" Segera tinggalkan tempat ini
Inilah Syahbandar Tuban baru tiba. Segera tinggalkan tempat ini.
Jantungnya berdebar-debar. Barang-barang itu masih tertumpuk di tepi jalanan taman di depan rumah. Para pengangkut masih pada berdiri menunggu perintah. Sudah ada Syahbandar lainkah karena aku pergi tanpa minta diri tanpa ijin" Semua yang direncanakan goyah.
Dalam waktu pendek ia mengambil sikap yang biasa: waspada terhadap segala yang jelek. Otaknya kembali bekerja keras. Ia balik kanan jalan keluar dari pelataran kesyahbandaran dan para pengangkut mulai mengangkati barang-barangnya. Dari belakangnya ia dengar seseorang berlari-larian. Ia berpaling dan melihat seorang prajurit datang menyusulnya dan menyilakannya masuk. Ia tersenyum puas mengetahui ia dikenal dan diakui kembali oleh praja Tuban. Segala-galanya akan jadi baik kembali seperti dulu.
Ia masuki ruang depan. Kosong! Hanya sebuah bangku kayu kasar berdiri di pojokan. Di atas duduk: ya, siapakah orang yang berkumis dan berjenggot itu"
Orang itu diapit oleh dua orang pengawal bertombak, melambaikan tangan memanggilnya agar mendekat Ia tak berikat kepala. Rambut panjangnya yang ikal jatuh bergulung-gulung di atas bahu, punggung dan sebagian malah menutupi mukanya.
Tuan Syahbandar, tegurnya ramah tanpa menghormatinya, bahkan tetap duduk di atas bangku.
Tholib Sungkar Az-Zubaid mendekat, kemudian berhenti dan berdiri empat depa di depannya. Siapakah orang ini" Ia tak mengenalnya lagi Orang Demakkah gerangan" Demak" Keringat dingin mulai mengucur pada punggungnya. Ia hanya dapat membungkuk menghormat dan dengan tangan kanan bertekuk di depan dada.
Dan orang yang duduk di depannya itu bicara tanpa menggerakkan badan atau kepala ataupun tangan. Kepalanya masih juga menunduk. Hanya mata sebelahnya tertutup rambut memandang tajam padanya.
Jadi Tuan Sayid Habibullah Almasawa datang lagi. Barulah Tholib Sungkar tahu ia sedang berhadapan dengan Patih Tuban Kala Cuwil Sang Wirabumi.
Tugas sahaya sebagai Syahbandar Tuban memanggil, Gusti Patih, jawabnya.
Ia lihat tangan Kala Cuwil bergerak. Telunjuknya menuding ke arah muka Syahbandar, dan suaranya terdengar pelahan dan parau: Lihatlah dia, hei kalian, terpanggil kembali oleh tugasnya.
Demikianlah yang ditugaskan oleh Gusti Adipati Tuban pada sahaya.
Kala Cuwil menjatuhkan tangan pada pangkuannya. Ia kelihatan sangat lelah. Kepalanya tetap tak bergerak. Dan Syahbandar itu sudah sangat ingin mengetahui mengapa Sang Patih berada di gedung kesyahbandarannya. Pengawal! kata Sang Patih. Suaranya lelah. Masukkan dia ke dalam krangkeng. Krangkeng" pekik Tholib Sungkar.
Ya, krangkeng orang-orang Peranggi dulu: Dan dua orang pengawal itu menangkapnya.
Apa dosa sahaya. Gusti"
Letakkan di dermaga. Tabuhkan canang untuknya. Peranggi biar tahu, Tuban tetap pada sikapnya. Sahaya Moro, Gusti, bukan Peranggi.
Dengan suara dan tenaga tuanya Tholib Sungkar meronta dan membangkang. Sia-sia. Ia diseret ke belakang kesyahbandaran dan dimasukkan ke dalam krangkeng besi, dikunci dari luar.
Ia pegangi jeriji krangkeng dan digoncang-goncangkan. Besi itu tak sudi takluk pada kemauannya. Matanya liar berpendaran ke mana-mana. Dan tak ada dilihatnya Nyi Gede Kati. Paman Marta pun tidak. Yang ada hanya prajurit-prajurit pengawal.
Orang mulai menyorong krangkeng beroda itu ke dermaga. Ia berseru-seru gila, memanggil-manggil Sang Adipati, Nyi Gede Kati, Paman Merta, bahkan juga Wiranggaleng. Suaranya gemetar seirama dengan geletaran krangkeng yang disorong.
Seorang pengawal berlari-larian menyusul dan menyerahkan tarbus dan tongkatnya yang jatuh.
Sudah, jangan ribut-ribut, nasihat pengawal itu. Nyi Gede Kati nanti akan datang kalau dia tahu kau ada di sini.
Gusti Adipati , ia meraung.
Apa yang kau raungkan" Dia sudah lama mati. Syahbandar itu berhenti meraung. Ia menggigil. Tak ada lagi kekuatan yang sekarang akan melindunginya. Sang Adipati telah lama mati, katanya. Seorang prajurit takkan berkata sekasar itu pada rajanya. Tentu Sang Adipati memang sudah mangkat. Ah-ah, maut ternyata lebih dekat daripada yang diduga. Ia terduduk di pojokan dan tulangtulang-nya terasa sakit terkena ruji-ruji. Sekiranya ia berlayar ke Malaka, pastilah tiada akan begini jadinya.
Dan krangkeng itu berhenti di dermaga. Pengawalpengawal itu telah pergi. Ia pandangi laut dengan perahuperahu kecil yang bertebaran. Dan tak sebuah pun kapal pasukan laut Tuban yang nampak.
Apalah arti hidup semacam ini" Laut itu pun sudah kehilangan arti. Langit di atas hanya menyiksanya dengan panasnya sengangar. Semua manusia hanya memusuhinya. Semua kata hanya menyakitkan hatinya. Dari alun-alun terdengar canang dipukul bertalu-talu memanggil orang untuk mendengarkan pengumuman. Orang pun mulai berduyun-duyun berlarian, berebut dulu untuk dapat melihat Syahbandar Tuban dalam krangkeng. Orang bersorak-sorak
Syahbandar itu membuang muka terhadap bondongan orang yang bakal menontonnya. Ia tak tahu betapa orang sebanyak itu sudah lama terlalu jengkel terhadapnya, dan tak dapat berbuat sesuatu pun karena perlindungan Sang Adipati. Ya, Allah apa lagikah yang akan menimpa diriku ini" Belum cukupkah ketakutanku selama ini, yang telah Kau berikan jalan keluar" Tidakkah aku Kau selamatkan dari orang sebanyak itu"
la telah dengar langkah kaki berlarian menghampiri. Dan ia tahu tak dapat membela diri. Tak ada penolong dalam bentuk manusia akan datang padanya, sekalipun suaranya sampai pada tepian langit, dan sekalipun kerongkongannya sampai pecah karena itu.
Matanya mengembara dari ruji ke ruji, kemudian dilepaskannya ke laut, jauh, jauh, ke tempat tanpa manusia. Tetapi ingatan, bahwa dalam krangkeng ini pula ia telah membunuh Esteban dan Rodriguez, membikin bulu badannya menggermang. Ia melihat jeruji atas di mana dulu salah seorang di antara korbannya menggelantung mengelakkan diri dari tikaman. Dan ia tikam dia waktu kilat mengerjap, dan ia rasai ujung pisau tongkat bertarung oleh tulang, dan tubuh itu jatuh bergede-buk di tempat ia duduk sekarang. Tidak, tidak ada seorang saksi waktu itu. Ia pandangi kelilingnya; mulut-mulut yang meludahi, lobang-lobang hidung yang menganga menyemburkan nafas pengap, mata yang menyala-nyala penuh dendam. Akhirnya ke laut juga pandangnya lebih aman, pada kaki langit, pada perahu-perahu yang semakin kecil juga. Tidak, tidak ada saksi! Tapi apa pula artinya saksi dalam pengurusan hukum Pribumi di Tuban" Mati. Mati juga yang akan dihadapinya.
Dan ia belum rela mati. Dengan pengalaman sebanyak itu, dengan kelincahan dan kefasihan sebanyak dan sebaik itu& mungkinkah seorang manusia harus mati dalam keadaan sehina ini" Tidak! Tidak layak! Hanya orang dungu tak berpengalaman, tak berilmu, mati hina.
Orang makin banyak juga datang berduyun. Dalam waktu pendek ia telah mandi air ludah dan keringat sendiri, basah-kuyup. Seluruh badannya berbau amis. Ia tak tahu tulisan apa yang terpasang di luar krangkeng.
Karena tak tahan terhadap perlakuan itu ia mencoba mengusir mereka dengan tongkatnya. Dan mereka sama sekali tidak takut pada tongkat itu. Terpikir olehnya untuk menggunakan pisau tongkat dan mengamuk. Tapi ia masih mengharapkan pengampunan dan hidup. Dan ia tidak berani.
Ia tak dapat membela diri apa lagi melawan orang sebanyak itu, sekalipun mereka hanya meludah dan menyumpah. Dicarinya tempat paling tengah, menjauhi tangan-tangan jahil yang menarik-narik rambut, tarbus dan bahunya, tepat seperti dialami Esteban dan Rodrigeuz dulu. Dan di situlah ia duduk tak mempedulikan kata orang, duduk membungkuk memeluk lutut, menenggelamkan muka, dengan pantat sakit terkena ruji besi.
Ia mencoba berpikir dan berpikir. Jalan harus ditemukan untuk dapat lolos dari krangkeng ini. Yah, Yakub harus datang menolong. Atau,.... terkejut ia. Mungkin dia takkan datang untuk menolong, dia hanya akan menolong dirinya sendiri dan takkan ragu-ragu menuding aku, bahkan membunuh aku, presis seperti aku sendiri telah lakukan terhadap Rodriguez dan Esteban. Dia punya alasan, Yakub terkutuk itu. Dia sudah jual keterangan pada Cortez dan Martinique, pada siapa saja yang mau mendengarkan dan mau membayarnya dengan uang uang apa saja, asal emas atau perak. Di mana si terkutuk itu sekarang" Pantas dia jarang kelihatan lagi.
Hujan ludah terus berlangsung. Suara bising melampiaskan dendam dan kejengkelan terhadap dirinya bergulung tak bisa ditangkap kata-katanya.
Ia menekun ruji-ruji besi di bawahnya dan pasir dermaga yang sebentar tadi telah diciumnya dengan penuh pengharapan. Wajah-wajah di sekelilingnya mengernyit dan mengancam, meringis dan merongos, membelalak dim mengedip-ngedip, mentertawakan dan meledek, meraung dan mengikik, menyengjr dan menyeringai, memonyong dan menjebik.
Orang-orang semua ini akan tetap jadi iblis yang menarinari di sekitarku. Harus ada kekuatan yang melepaskan diri dari semua ini. Hati-hati, kalian, sekali krangkeng ini jebol, dan kekuasaan ada padaku kembali& kalian akan remuk di dalam tanganku. Aku bukanlah bagian gerombolan dungu seperti kalian, hewan yang tak berpikiran sendiri! Kalian hanya lalat perubung bangkai! Tidak lebih. Sekali pukul semua kalian akan binasa.
Ia diam saja dalam duduknya. Badan dan pakaiannya semakin basah. Ludah itu bukan lagi menempel pada pakaian dan badan, malahan sudah mulai mengalir dan menetes. Dan udara pengap dan bau amis itu -betapa bedanya dari udara segar di atas sana. Dan angin yang tak henti-hentinya meniup tak sampai padanya, terhalang oleh ratusan, ribuan orang yang mengepungnya.


Arus Balik Karya Pramoedya Ananta Toer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Para penonton mulai lelah dengan tingkahnya. Mereka mulai menipis. Dengan lirikan ia ikuti di antara ketipisan penonton itu kanak-kanak pada pulang sambil berjingkrak membawa berita gempar untuk di rumah. Ia tak tahu lagi berapa orang yang masih tinggal. Percakapan antar-mereka mulai dapat ia tangkap satu-dua patah kata, tapi tetap tak jelas.
Matari tenggelam dan keadaan mulai sepi Deburan laut kini menjadi jelas mencapai pendengarannya.
Tidak, Yakub, kau tak perlu datang, apa lagi malammalam begini.
Barulah ia mengangkat kepala. Dan segera ia menunduk lagi melihat masih ada seorang berdiri dengan dua tangan berpegangan pada jeruji. Ia perhatikan kakinya. Hanya seorang, dan tak bergerak-gerak. Mengapa dia tak pulang seperti yang lain-lain" Anjing yang seekor ini"
Jantungnya yang selama ini meriut kecil sekarang berdebaran. Ia dengan tarikan nafas orang itu. Siapakah kiranya dia yang berjual simpati pada orang di dalam krangkeng maut ini"
Tuan Syahbandar! ia dengar panggilan pelahan. Tholib Sungkar berdiri bangun dan menubruk penonton yang terakhir itu. Ia tak rasakan kakinya kelu karena semutan.
Kati, Kati! Nyi Gede! desaunya, istriku yang setia. Aku tahu kau akan datang.
Bagaimana, Tuan Syahbandar, mengapa jadi begini" Bagaimana" Bagaimana aku tahu" Hanya kaulah yang bisa tolong aku. Kati, istriku yang setia, hanya kau!
Ah, Tuan, bagaimana Tuan bisa tak tahu Gusti telah mangkat"
Syahbandar itu terbatuk-batuk. Jadi benar juga kata orang. Melalui jeruji besi ia pengangi lengan Nyi Gede, berbisik: Menghadaplah pada Sang Patih.
Sahaya akan menghadap. Tuan.
Ya-ya, menghadaplah kau, istriku yang setia, yang berani, yang mulia. Kati, Nyi Gede Kati& .
Mengapakah-Tuan kembali ke Tuban"
Semangat Tholib mulai bangkit lagi. Dengan istrinya ini ia merasa menjadi kuat. Dengan suara berkeyakinan dalam kegugupan ia menjawab: Allah mengirimkan aku kemari dan Allahlah yang akan menghukum orang-orang zalim itu. Allah telah membisikkan padaku untuk mengambil dan memelihara istrinya sebaik-baiknya&
Sahaya bawakan makan sekedarnya, Tuan. Makanlah. Juga air minum. Siapa pun tahu Tuan takkan suka makan dalam keadaan seperti ini. Tapi Tuan harus makan, dan minumlah banyak-banyak, karena hari besok akan punya kemungkinan lain.
Ia sorongkan lodong bambu berisi air.
Syahbandar itu merasa agak terhibur. Ia makan sedikit, dan Nyi Gede pergilah tanpa meninggalkan sepatah kata.
Mengetahui suaminya hanya mau makan dari kirimannya Nyi Gede Kati mengusahakan datang ke krangkeng pada setiap hari bila para penonton sudah tiada.
Pada hari ke tiga percakapan di antara jeruji besi terjadi seperti ini: Orang datang padaku hanya untuk mengejek, mencemooh dan meludahi aku, Kati, Tholib mengadu. Mereka menghina, mencibir, mentertawakan. Kalau tiada larangan mungkin mereka telah bunuh aku. Hanya kau, istriku yang setia, yang memeliharakan aku. Allah akan membalas semua kebajikanmu. Ampunilah segala perbuatanku yang pernah menyakitkan hatimu. Demi Allah, bila umur panjang akan aku muliakan kau, Kati. Terimakasih, Tuan. Suka atau tidak, sahaya adalah istri Tuan. Bagaimana bisa membiarkan Tuan begini" Sahaya sudah menghadap Sang Patih.
Pertemuan Di Kotaraja 15 You've Got Me From Hello Karya Santhy Agatha Reborn Sepasang Kaos 1
^