Pencarian

Arus Balik 4

Arus Balik Karya Pramoedya Ananta Toer Bagian 4


Tholib Sungkar Az-Zubaid berdiri di belakang Nyi Gede. Tuan Sayid Habibullah Almasawa,! Sang Adipati berkata, inilah Nyi Gede Kati, pengurus keputrian, wanita Tuban pertama-tama yang Tuan kenal.
Terdengar dari belakang Nyi Gede, Sayid Habib Almasawa menjawab gopoh-gapah: Ampun, Gusti, patik belum pernah mengenalnya, melihatnya pun belum!
Kalau begitu, kata Sang Adipati lagi, lihatlah baikbaik. Mungkin sudah agak lupa!
Terdengar olehnya Syahbandar baru Tuban itu membantah.
Ampun, Gusti, betul, demi Rasul, tiada pernah patik melihat perempuan ini.
Baik, kata Sang Adipati, dan kau, Nyi Gede, telah kau serahkan hidup dan matimu pada kami. Maka dengarkan, Tuan Syahbandar Sayid Habibullah Almasawa, ambillah perempuan ini dengan baik-baik sebagai istri Tuan yang baik-baik pula, untuk melayani Tuan dalam hidup Tuan di Tuban. Dan kau, Nyi Gede, kemasi semua barangmu dan ikuti suamimu. Tinggallah kau betsama dengannya di gedung kesyahbandaran. Adipati Tuban menitahkan. Laksanakan pada hari ini juga dan berangkatlah kalian sebagai suami istri.
Kedatangan Nyi Gede di gedung kesyahbandaran mengurangi kerinduan Idayu pada orang tua dan Awis Krambil. Apa lagi sikap wanita itu terhadap Galeng adalah juga seperti terhadap anak sendiri, dan juara gulat itu pun segera menyayanginya. Sebaliknya Syahbandar selalu bersungut-sungut dalam bahasa apa orang tak tahu. Dalam berbagai bahasa yang dikenalnya sebenarnya ia hanya mengulang kalimat: Mengapa perempuan bergigi hitam diberikan padaku, bukan yang satu itu" Dan bukan itu saja, Syahbandar itu kini jadi agak pendiam dan sering bermenung. Ada satu masalah pelik sedang mengganjal dalam otaknya seperti batu krikil bergigi: Mengapa Nyi Gede Kati dihadiahkan padanya sebagai istri yang harus dikawininya di mesjid" Apakah benar wanita itu Nyi Gede Kati" Ia tak pernah melihatnya sebelumnya.
Apakah Sang Adipati tahu tentang diri dan perbuatannya menghubungi haremnya" Tak ada seorang pun di seluruh Tuban dapat diajaknya bicara. Kalau toh ada, itu justru hanya Nyi Gede sendiri.
Setelah Syahbandar menemukan jalan segera ditempuhnya.
Dalam bilik waktu itu. Hari telah larut malam. Dua buah lilin menyala menerangi ruangan. Ia bangunkan Nyi Gede.
Di luar kamar tidur Galeng sedang mengintip mereka. Pelnn, hati-hati, adakah kau bcnar Nyi Gede Kati pengurus keputrian"
Inilah sahaya, Tuan Syahbandar, jawab Nyi Gede juga dalam Melayu.
Kalau begitu siapakah selir kesayangan Sang Adipati" ia menguji.
Siapa" Tidak tahulah sahaya sekarang ini. Tadinya sebelum& . tadinya Nyi Ayu Sekar Pinjung.
Mengapa tadinya" Ya, Tuan, apalah guna mengetahui soal keputrian" Bukankah aku suamimu" dan engkau harus menjawab! Ya, Tuan, Sekar Pinjung terkena salah. Dia telah menerima surat dari luar, dari orang yang sahaya tidak tahu.
Jadi dikeluarkan dari keputrian" Syah Syahbandar memberikan ujiannya.
Tidak, Tuan. Dia tetap di dalam keputrian, tetap mendapat apa yang jadi haknya. Hanya untuk seumur hidup dia takkan lagi dikunjungi oleh Sang Adipati. Juga takkan dapat keluar dari keputrian, sebagai hukuman.
Semoga Allah menurunkan dalam hati dia yang teraniaya tanpa dosa kesabaran yang tak terhingga, Syahbandar berdoa. Kemudian: Katakanlah: Amien . Amien, Tuan.
Amien saja, tanpa kau sebut-sebut tuan, karena amien itu untuk Allah, bukan untuk tuan Syahbandar. Amien.
Tholib Sungkar Az-Zubaid masih belum dapat diyakinkan.
Nyi Gede Kati, perlihatkanlah sekarang padaku barangbarang berharga yang jadi milikmu. Ingin aku melihat bagaimana dan macam apa perhiasan perempuan Jawa, katanya dengan suara lebih keras dari semula.
Dengan luwesnya Nyi Gede Kati memperagakan tubuhnya yang berisi dan dengan gerak tangan indah menuding pada perhiasan yang dikenakan pada tubuhnya: subang cepuk besar yang menyebabkan lobang pada godoh menjadi besar dan godoh itu sendiri turun panjang ke bawah, gelang, kalung, cincin dan cundrik langsing bersarung mas berukir.
Tholib Sungkar Az-Zubaid alias Sayid Mahmud Al- Badaiwi, alias Sayid Habibullah Almasawa mengawasi dan memperhatikan benda-benda itu sebuah demi sebuah.
Bagus, bagus sekali, ia mengangguk memuji, tak kalah garapannya dari pandai emas di negeri mana pun, ia berhenti dan mengelus dada. Tentu bukan hanya ini milikmu;
Tentu, Tuan, masih ada pada sahaya. Biar sahaya ambilkan.
Tak lama kemudian terjajar barang-barang berharga milik pribadi Nyi Gede Kati. Di antaranya seutas kalung sebentuk cincin dan gelang bertatahkan zamrud dan mutiara. Jelas bukan bikinan dan tidak bermotit Jawa. Dan dua buah real mas Portugis.
Mata Syahbandar bersinar-sinar. Ia tegakkan bongkoknya dan bertepuk tangan, kemudian menggeserkan tarbus ke belakang. Didekatinya barang yang berjajar di atas ketiduran. dan: Gelang, cincin dari kalung ini jelas seperangkat. Semua dibikin oleh pandai yang sama, dipermatai dengan keserasian hijau putih. Hanya putri-putri negeri Tiongkok menggunakan keserasian ini.
Hadiah para selir dan karunia Sang Adipati sendiri. Nyi Gede menerangkan dengan nada bangga. Yang menarik hati, Tuan, itu adalah hadiah dari seorang tuan yang sahaya tidak kenal. Ia melirik pada suaminya.
Bagaimana duduk perkaranya maka kau tak mengenalnya"
Ya, Tuan, tahu-tahu sudah ada di bawah pintu sahaya beserta sepucuk surat. Sahaya tak pernah tahu dari siapa. Adakah kau balas surat itu"
Kami orang Jawa selamanya membalas surat, senang atau tidak pada isinya, karena demikian diajarkan pada kami di perguruan kami.
Tholib Sungkar Az-Zubaid tertawa senang dan lega. Kemudian: Bagaimana kau membalas surat pada pengirim tak dikenal itu, Nyi Gede"
Sahaya letakkan di bawah pintu itu juga surat balasan sahaya Tuan, setiap malam, sampai datang masanya surat itu tiada.
Sekali lagi Syahbandar tertawa, lebih keras, mendering menembusi udara malam, keluar rumah.
Kalau begitu kau tahu benar ada orang tak dikenal suka masuk ke dalam keputrian. Siapa dia kiranya, Nyi Gede"
Dia datang pada waktu sahaya terlena, Tuan. Sahaya tiada berkemampuan berjaga sepanjang hidup.
Sekarang sesuatu membersit di dalam pikiran Tholib Sungkar Az-Zubaid: ia telah temukan kunci harem, la tersenyum puas. Dan perhiasan-perhiasan bertatahkan zamrut dan mutiara yang telah berada di tangannya itu belum juga diletakkannya, ditimangnya sejenak, kemudian: Kau istriku, bukan, Nyi Gede" Istriku yang syah. Sahaya, Tuan.
Kukawini kau di mesjid. Sahaya, Tuan.
Gusarkah kiranya kau bila barang-barang yang kukagumi ini dan juga dua real Peranggi ini aku simpan sendiri agar selamat dan aman"
Silakan, Tuan, kalau itu yang jadi kehendak Tuan. Ambil barang sahaya, bahkan badan sahaya sendiri ini, adalah milik Tuan Syahbandar Tuban.
Sekali lagi Tholib Sungkar Az-Zubaid tertawa puas. Sambil memasukkan barang-barang tersebut ke dalam sakudalam jubahnya ia bertanya bermain-main dan mencubit pipi istrinya: Semua jadi milikku. Tapi milik siapa jiwamu"
Gusti Adipati, Tuan. Husy, jangan sekali lagi bilang begitu. Jiwa hanya milik Allah.
Nyi Gede tak menjawab. Ia tidak menggeleng, tidak pula mengangguk.
Dengar, Nyi Gede, mulai besok buanglah kebiasaan menggimakan jahawe. Aku lebih suka melihat gigimu putih daripada hitam, seperti gigi iblis, seperti gigi perempuan kafir perbegu Benggala.
Baik, Tuan. Tholib Sungkar Az-Zubaid meninggalkan kamar untuk menyembunyikan benda-benda yang bisa jadi bukti terhadap perbuatannya. Pergilah ia dan turunlah Wiranggaleng dari tempat pengintaiannya. Syahbandar muda itu duduk dalam kegelapan di bawah sebatang pohon menunggu kalau-kalau Syahbandar Tuban keluar dari rumah. Dugaannya tidak keliru.
Sosok tubuh jangkung sedikit bengkok berjubah gelap itu keluar dari rumah dengan mengayun-ayunkan tongkat. Ia mengikutinya dari sesuatu jarak. Yang diikuti ternyata menuju ke warung Yakub, mengetuk pintu dan memasuki ruangan warung yang diterangi dengan sebuah pelita minyak kelapa dari satu sumbu.
Ia dengarkan mereka bercakap dalam bahasa asing yang ia tidak mengerti. Dalam sinar taram-temaram ia lihat Tholib Sungkar Az-Zubaid menyerahkan barang-barang perhiasan pada Yakub. Kemudian terdengar mereka bicara dalam Melayu: Ya Allah, Tuan Syahbandar, Tuan selalu dilindungi Tuhan. Memang tak pernah ada arak baik di sini, tapi demi Allah, ada barang secawan yang agak tepat untuk Tuan.
Selama bukan tuak Pribumi, insya Allah agak tepat kiranya untukku. Keluarkan, Yakub!
Yakub mengeluarkan sebuah cawan tembikar dan segera Syahbandar meneguknya habis dan mengucap syukur.
Tuan nampak sangat gembira hari ini. Alhamdulillah Tuan mempercayai si Yakub ini untuk menyimpannya, Tuan. Percayalah, di Tuban ini tak ada maling seperti di bandar-bandar lain, tak ada perampok Kalau ada kerusuhan selamanya soal asmara. Darah penduduk Tuban sudah panas, dipanaskan lagi oleh tuak setiap hari. Biar begitu tidak mudah menggelegak selama tidak menyinggung asmara. Memang tidak baik tuak buat orang Atas Angin. Lagi araknya, Tuan"
Cukup, Yakub. Harganya memang bukan harga tuak, Tuan, tepat harga arak Di mana pun yang lebih baik lebih mahal harganya, dan baik atau tidak akhir-akhirnya hanya asal selera. Tak peduli di Tuban atau di tempat lain.
Dari tempatnya Wiranggaleng melihat Syahbandar mengawasi Yakub, barangkali untuk memahami apa yang dikiaskan oleh pewarung itu. la melihat Yakub menunduk sambil meneruskan katanya Betul, juga di sini, Tuan, bayaran yang baik untuk jasa yang baik tepat seperti di mana pun, di Lisboa atau Madrid.
Syahbandar itu nampak tak begitu bersenang hati. Ia balikkan badan, mungkin untuk menyembunyikan perubahan pada wajahnya. dan berbalik kembali sudah dengan senyum pada bibir.
Rupa-rupanya kau, Yakub, seperti aku juga, petugas Sang Adipati, ia berkata mencoba-coba.
Ohoi! Yakub berseru pelan. Terkejut benar nampaknya Tuan. Mana bisa Yakub seperti Tuan Syahbandar" Biar pun hanya peranakan Arab dengan Benggala, Tuan, belum perlu rasanya si Yakub ini mengabdi pada seorang raja kecil Pribumi. Kami memang agak lain dari Tuan rupanya. Di mana ada keuntungan di sana Tuan ada. Begitu, bukan, Tuan Syahbandar" ia tertawa menyelidik.
Allah melindungi aku dari perbuatan menghina. Karena, di mana pun langit terbentang, di mana pun bumi terhampar, di sanalah kebesarannya diciptakan untuk seluruh umatnya.
Yakub tertawa-tawa sambil mengusap-usap janggut dan Tholib Sungkar meneruskan pandang padanya.
Allah memberkahi orang yang tak mudah marah. Bukankah sabar juga bagian iman, Tuan Syahbandar" Tuan Sayid"
Aku bayar belanjaku, dan tak ada alasan untuk marah, ia lihat Yakub meneruskan pandang padanya.
Tuan agaknya salah tangkap, Yakub membetulkan. Tak ada yang tidak percaya pada semua kata Tuan. Tuan selalu bayar belanja Tuan. Dan, Tuan Sayid, kapan pun Tuan akan bayar belanja Tuan yang jauh lebih mahal untuk jasa Yakub yang lebih baik dan lebih besar. Percayalah, Tuan Syahbandar.
Manakah di Tuban yang kecil ini ada jasa yang baik apa lagi besar"
Pada Yakub, tuan Sayid, jasa selalu tersedia, besar dan baik, kecil dan besar, setiap saat, tak peduli siang atau malam, pagi atau sore.
Tak ada perbuatan tanpa dipikirkan lebih dulu, Yakub. Tuban menciptakan makhluknya bukan untuk jadi gila. Assalamualaikum, dan dengan kata itu ia pun pergi meninggalkan warung.
Wiranggaleng mengikutinya pulang ke kesyahbandaran. Ia lihat Tholib Sungkar Az-Zubaid berjalan langsung menuju ke gandok kiri, menaiki serambi, kemudian mendengar-dengarkan pada pintu kamar, mencoba mengintip dari sana dan sini. Karena tak melihat sesuatu pun di dalam kamar itu ia pergi lagi masuk ke dalam gedung utama dari pintu tengah.
Tahu lah Wiranggaleng sekarang, tidak lain dari tuan Syahbandar yang jadi bayangan selama ini. Dan keluarganyalah sasarannya.
0o-dw-o0 8. Wiranggaleng Pergi ke Barat
Idayu mengantarkannya ke pelabuhan dan ikut masuk ke dalam kapal dagang berbendera Tuban.
Suami-istri itu was-was menghadapi perpisahan mereka. Bahkan juga pada merasa tak senang dengan kepergiannya. Dermaga disesaki oleh orang-orang yang hendak melihat Idayu mengantarkan suaminya. Mereka berdiri diam-diam menunggu penari ulung kekasih Tuban dan para desa itu keluar lagi dari kapal untuk dapat melambaikan pandang padanya.
Kalau diperkenankan, Kang, aku bersedia ikut, ke mana pun, Kang.
Kapal akan segera berangkat, Dayu. Aku kuatir, Kang.
Kau sendiri harus belajar dapat lindungi keselamatan sendiri. Tentu kau akan selalu ingat pada Rama Cluring
Idayu menggandeng tangan suaminya dan turun kembali ke dermaga.
Apa pun yang terjadi, Idayu, hadapi semua dengan tabah.
Aku kuatir, Kang, bisiknya. Aku pulang ke desa saja.
Bukankah kau harus menari di pendopo kadipaten" Dan perintah itu sewaktu-waktu bisa datang dari Gusti Adipati sendiri"
Kang, aku kuatir, Idayu berbisik dan memandangi suaminya dengan mata sayu. Aku takut, Kang. Di desa aku tak pernah takut seperti ini.
Kalau diperkenankan, kami sedia ikut menjaga, Wira, seseorang di antara para perubung mengusulkan.
Betapa mulia hati kalian, terimakasih. Sayang, kalian sendiri tahu, tak dibenarkan memasuki pelataran kesyahbandaran.
Nahkoda datang mewartakan pada Wiranggaleng layar akan segera dipasang dan kapal akan berangkat. Wiranggaleng mengusap-usap rambut istrinya. Allah bersama denganmu, Wiranggaleng! seru Tholib Sungkar Az-Zubaid.
Sejahtera, sejahtera untukmu, Galeng, dan istrimu, kerumunan orang itu meninggalkan dermaga, makin kecil dan makin& .
Layar turun dan segera menggelembung. Kapal mandal, makin lama makin jauh meninggalkan dermaga, makin kecil dan makin kecil. Dan kerumunan orang itu mengantarkan Idayu sampai ke kesyahbandaran& .
Wiranggaleng dan Pada memandangi semua yang bergerak di dermaga sampai iring-iringan itu hilang dari pemandangan. Akhirnya semua pun lenyap ditelan keleluasaan alam.
Terdengar Pada mengeluh. Wiranggaleng sambil berpegangan pada seutas tali layar, bersandaran pada dinding lembung, mengawasinya: Apa yang kau keluhkan"
Jangankan manusia seperti aku ini, Kang, kuda pun kadang-kadang mengeluh juga.
Apa yang dikeluhkan kuda" . Kita akan ke mana, Kang"
Apa yang dikeluhkan kuda" Kau belum lagi menjawab. Kalau kau sendiri, Pada. Aku tahu apa yang kau keluhkan. Kita ke Banten, Kang" Betapa jauh dan lama. Itukah yang kau keluhkan" Jauh dari kadipaten" Jauh dari keputrian" Dari para selir"
Kang! Pada terpekik terkejut.
Wiranggaleng pura-pura tak mengerti dan menjatuhkan pandang pada permukaan laut, pada pantai pulau Jawa yang putih berjabatan dengan kegelapan hitam dan perbukitan dan gunung-gemunung. Juga hatinya sendiri penuh was-was, kekuatiran dan kecurigaan.
Ia tahu benar Tholib Sungkar Az-Zubaid adalah kucing hitam di waktu malam dan burung merak di siang hari. Dalam hati-kecilnya bayangan Sang Adipati, yang jelas memberanikan istrinya, antara sebentar mengawang dan mengancam hendak merobek-robek hatinya. dan sekarang aku harus pergi dari Tuban. Apakah yang bakal terjadi"
Untuk ke sekian kalinya ia hibur dan tenteramkan hatinya dengan menyerahkan segala-galanya pada Idayu sendiri.
Ia telah tinggalkan pada istrinya sebilah cundrik dan pesan, Belalah dirimu kalau ada niatmu untuk membela diri! Dan pada Nyi Gede Kati ia mengharap agar dia sudi ikut menjaga keselamatan Idayu.
Setelah berada di atas kapal ia menyesal telah berpesan pada seorang bekas pengurus harem. Bekas pengurus harem! Tahukah orang seperti itu tentang cinta, kasih dan kesetiaan" Bekas pengurus harem! Harem!
Kang! Pada mengulangi tegurannya. Mengapa kau terkejut, Pada"
Ampun: Kang, janganlah hubung-hubungkan aku dengan keputrian dan para selir. Aku tak tahu apa-apa tentang mereka, Pada membela diri, menghiba-hiba. Takut benar kau nampaknya, Pada.
Dan kapal terus berlayar.
Bagaimana aku tak takut, Kang Nyi Gede Kati telah diusir dari keputrian. Nyi Ayu Sekar Pinjung ke&
Dari mana kau tahu mereka kena hukuman" Dan siapa mereka itu"
Semua orang membicarakan, Nyi Gede pengurus. Nyi Ayu selir. Siapa pula dalam kadipaten tidak tahu"
Jadi sudah berapa kali kau panjat pagar kayu keputrian dan masuk ke dalamnya, Pada"
Kang! Pada terpekik lagi untuk kesekian kalinya.
Terkejut lagi kau nampaknya, Pada.
Ah, Kang Galeng, Kang Galeng, bisiknya menghibahiba. Untuk apa aku pergi ke sana" Dan bagaimana bisa aku ke sana"
Wiranggaleng menatap Pada sambil menggeleng. Paling tidak, Syahbandar-muda itu menepuk bahunya beberapa kali, dua kali dalam seminggu kau pasti masuk ke sana
Kang Galeng, kakangku sendiri& tega kau berkata begitu. karanya gugup dan megap-megap.
& Kau lemparkan tali berjangkar ke atas pagar kayu tmggi itu, dan kau memanjat masuk.
Kang, aduh, Kang. Itu berarti kau membunuh aku, Kang.
Husy. Kau pura-pura tak mengetahui sesuatu apa tentang dirimu sendiri.
Kang! Pada terpekik lagi.
Husy. Goba selir yang mana saja sudah kau hubungi" Kau menyiksa aku, Kang menganiaya.
Ayoh, katakan pada kakang mu ini. Bukankah aku kakangmu"
Kang tega, kau, Kang suara Pada telah menghampiri sebuah tangs dari seorang bocah yang tak berdaya.
Ayoh, ceritai aku, Pada. Sekali saja. Dengan selir mana saja kau telah lewatkan malam-malam yang sunyi di dalam keputrian"
Pada telah sampai pada puncak kekecutan, tak mampu bicara.
Sewaktu Wiranggaleng melecuti anak itu dengan pertanyaan. terbayang olehnya istrinya, Idayu. Sekiranya Idayu dulu terpaksa jadi penghuni harem, menjadi selir sebagai yang lain-lain, mungkinkah anak ini juga yang akan datang padanya, di malam sepi, dan meletakkan tangan pada tubuh kekasihnya" Darahnya tersirap dan dengan sendirinya tangannya melayang mencekam pergelangan Pada.
Anak itu meraung kesakitan. Syahbandar muda terpaksa metepaskan kembali.
Dengan pandang bertanya Pada menatap juara gulat Itu, kemudian memeriksa pergelangannya. Dibimya cemberut.
Di asrama dulu kau mengenakan gelang, kalung dan cincin mas, Pada. Seperti pembesar. Mana barang-barang itu sekarang"
Kau siksa aku begini macarn, Kang.
Kau tidak menjawab. Dan kau tak mau menjawab. Selir mana yang telah beri kau semua itu"
Kang, tega kau& Di mana barang-barang itu sekarang, Pada" Pada terdiam. Pandangnya dilemparkannya ke permukaan laut.
Bocah berumur lima belas! Wiranggaleng meludah ke geladak.
Kata orang, gandarwa berumur dua ratus tahun baru mulai dewasa. Kau, Pada& empat belas, lima belas! Keparat! Empat belas, lima belas sudah jadi buaya. Jangan ucapkan itu, Kang. Pada memohon.
Dua orang itu kini terdiam. Lama. Seakan-akan telah terjadi permusuhan bat in antara mereka.
Wiranggaleng melepaskan pandang ke sebelah selatan, pada pantai pulau Jawa yang nampak samar-samar di kejauhan. Dan Pada mulai agak mengerti mengapa ia berada di atas kapal dagang ini.
Juara gulat itu membanding-bandingkan dirinya dengan Pada. Waktu berumur empat atau lima belas ia masih tak mengerti sesuatu kecuali bekerjn di sawah atau ladang atau mengurus ternak: babi, sapi, ayam dan anjing.
Semua tak ada yang kau jawab, Pada. Sekarang yang lain. Barangkali kau mau menjawab: sudah berapa kali kau menulis surat untuk Sayid Habibullah Almasawa Syahbandar Tuban"
Menulis surat" bocah itu berseru terheran-heran. Buaya! Kau memang pandai berpura-pura. Pada, aku tahu surat-surat itu tulisanmu. Apa kau kira dunia ini bisa kau bodohi begitu gampang" ia buang pandangnya ke tempat lain dan meneruskan, pelan-pelan. Orang tak mungkin bisa berbohong terus-menerus. Pada suatu kali orang harus mengakui kebenaran.
Pada terdiam tak membuka mulut. Ia hindari pandang juara gulat yang mengancam itu.
Sekali ini kau harus menjawab, Pada. Syahbandar muda itu memaksa. Berapa kali kau tuliskan surat untuk Syahbandar"
Kang Galeng, bukankah tak lain dari Kakang sendiri yang tahu, semua! Kewajibanku telah kulakukan dengan baik" Apakah yang Pada tak lakukan buat kepentinganmu dan Mbok Ayu Idayu" Sekalipun harus melanggar aturan yang ada"
Wiranggaleng membatalkan niatnya untuk menyakiti bocah itu. Ingat akan jasa Pada menyebabkan ia merasa segan melakukan.
Sang Adipati juga memuji kecakapanmu. Kalau kau anak tertib mungkin bisa kau jadi penggawa di kemudian hari. Aku dan Idayu takkan melupakan jasa-jasamu. Yang aku ingin tahu dari kau sekarang, Pada, apakah yang telah kau lakukan di luar kewajibanmu yang merugikan Sang Adipati"
Ia lihat Pada menjadi pucat dan bibirnya gemetar. Anak itu mulai mengerti benar mengapa ia dibawa ke kapal ini: untuk menjalani pemeriksaan dan hukuman. Dan Wiranggaleng yang ia hadapi kini bukanlah seorang kakang yang lunak, lemah-lembut dan pelindung. Ia adalah pemeriksa dan penghukumnya sekaligus. Ia menekur tak berani mengangkat muka.
Kau tak menjawab, Pada, ia lemparkan pandang jauhjauh. Jawablah. Aku tak perlu melihat mukamu. Aku hanya inginkan jawabanmu. Dijauhkan Kakang hendaknya daripada perbuatan salah terhadapmu, Pada. Jawablah. Ia menunggu dan menunggu. Jawaban itu tak kunjung datang. Bukankah masih kau akui aku kakangmu"
Ya, Kang. Jawablah. Terserah bagaimana menjawabnya. Pada tak juga mau menjawab.
Tanpa mengubah kedudukan pandangnya tangan Wiranggaleng mencekam rambut Pada yang jatuh terurai dari bawah destamya. la tahu cengkaman itu lunak tak menyakiti.
Baik, kau tak mau menjawab. Sekarang Pada, katanya tanpa melihat kepadanya, mengapa kau suka memasuki keputrian" Juga tak berjawab. Mengapa kau menulis surat di atas kertas untuk Nyi Gede Kati dan Sayid Habibullah Almasawa" Tak berjawab. Baiklah kau tak mau menjawab lagi. Tahukah kau, jiwamu ada di tanganku sekarang ini, dan hidup-matimu akulah yang menentukan"
Tak terduga oleh Wiranggaleng si bocah Pada menjawab tertahan: Sekarang aku tahu mengapa aku mendapat perintah untuk mengikuti kau. Kang. Kang Galeng, ketahuilah, aku takkan jawab semua pertanyaanmu. Aku tak mampu, Kang. Ampunilah, aku. Hanya, Kang, kalau aku kau bunuh juga sekarang ini, sampaikan sembahku pada Mbokayu Idayu, Kang. Tak ada sebuah dapat kusampaikan pada siapa pun, karena tak ada orangtua dan sanak padaku.
Mengapa pada Idayu" Karena seluruh Tuban memujanya, juga aku, Kang. Maukah kau"
Katakan sesuatu padaku, Pada.
Tak ada sesuatu yang dapat aku katakan, Kang. Menjawab atau tidak, perintahmu adalah membunuh aku. Semua sudah kukatakan dan jawab.
Ayoh, katakan, katakan sesuatu. Anak itu justru membisu.
Suatu pergolakan telah terjadi di dalam hati juara gulat itu. Batinnya menuduh kau mencemburui bocah kecil ini, Galeng. Kau sendiri ada keinginan untuk melenyapkannya dari muka bumi karena perintah cemburu hatimu sendiri. Kau punya kepentingan pribadi dalam urusan ini! Tapi di hadapanmu ada Gusti Adipati. Dan kau takkan mampu melawannya. Di samping itu ada juga tuan Syahbandar Tuban, kucing di waktu malam dan merak di siang hari itu.
Kau pun boleh jadi tak dapat berbuat apa-apa terhadapnya. Hanya terhadap Pada, si bocah tanpa daya ini, kau berani berbuat, hanya karena cemburu yang tidak terbukti. Bagaimana kau ini, Galeng" Pengikut rama Cluring" Kau bingung! Kau tak tahu di mana tempatmu.
Syahbandar muda itu malu punya perasaan cemburu terhadap si bocah itu. Idayu sendiri lebih tidak berdaya! Kini hatinya jadi sendu. Apa yang dia bisa perbuat menghadapi orang-orang berkuasa seperti Sang Adipati dan Syahbandar Tuban" Dia yang tertinggal di daerah larangan, di kesyahbandaran itu, dalam satu sarang dengan Nyi Gede Kati, bekas pengurus harem, yang sudah selayaknya akan membantu suaminya menundukkan Idayu. Mengapa bocah ini harus jadi sasaran kekacauanku"
Juara gulat dan Pada berdiam diri dengan pikiran masing-masing. Beberapa kali orang berjalan mondarmandir melewati mereka. Dan mereka tetap tak bicara sesuatu.
Matari makin lama makin condong. Angin laut yang bertiup dari belakang menyebabkan rambut mereka tergerai di bawah destar, sedang puputan pada layar menyebabkan antara sebentar terdengar gelepar.
Kalau kau tega juga membunuh aku, Kang tiba-tiba Pada berkata seperti pada diri sendiri.
Mengapa kau punya pikiran aku akan membunuhmu" Siapakah yang tidak dibunuh oleh Sang Adipati, bila orang dianggap merugikannya"
Siapakah aku ini maka harus membunuh kau" Aku sudah banyak tahu, Kang. Kaulah yang akan membunuh aku atas perintah Gusti Adipati.
Kalau saja kau mau ceritai aku tentang keputrian dan diri Sayid&
Kalau aku harus dibunuh karena surat dan keputrian; sama saja, Kang, aku pun harus dibunuh karena yang itu juga, hanya surat itu untuk Kang Galeng dan Mbokayu Idayu.
Bukankah telah kukatakan kami berdua berterimakasih" Dan semakin heran ia mengapa si bocah itu begitu tabah menghadapi bahaya maut yang sudah dekat pada lehernya. Pasti ia punya perhitungan: melompat ke laut dan berenang. Pasti! Bertanya ia lembut dan sopan: Tiadakah kau takut pada hiu, Pada"
Ia lihat Pada tersenyum seakan mengerti maksudnya. Kata orang, Pada mulai seperti hendak mendongeng, barangsiapa takut pada hiu, dia takkan menyintuh laut. Barangsiapa menentang laut, dia takkan dapatkan hiu. Kembali mereka berdiam diri.
Waktu seseorang memberitakan, makan sudah siap, baik Wiranggaleng mau pun Pada mulai juga tidak beranjak dari tempat. Dan matari dengan lambatnya ma km mendekati ufuk barat. Semburat merah mulai membakar kaki langit. Kau diam saja, Kang. Hari mendekati malam. Terdengar seseorang menyerukan azan di bawah geladak dan ia memperhatikan. Lagunya begitu asing dan katakatanya ia tak kenal. Setelah seruan selesai ia merangkul Pada dengan mesra.
Jadi segala yang orang ketahui tentang kau temyata benar. Pada. Kau tak mau bicara, baiklah. Dan kalau kau melompat ke laut. aku takkan menghalangi. Kalau kau melompat dan berenang ke sana, cukupkah kiranya nafasmu, Pada"
Jangan pikirkan nafasku, Kang Aku mengerti kau harus bunuh aku. Aku akan berenang dan takkan kembali ke Tuban Demi Batara Kala. Percayalah.
Pada, adikku, maafkan aku. Sembahmu pada mbokayumu nanti aku sampaikan. Kalau kau melompat, aku akan menengok ke sana, ke laut lepas. Melompatlah. Cepat, melompat!
Tetapi Pada tiada bercepat melompat. la bersimpuh di atas geladak itu, menyembah Wiranggaleng mencium kakinya, berdiri lagi dan dengan lambat naik ke atas dinding lambung.
Aku pergi, Kang. Kemudian menyusul bunyi benda jatuh ke laut. Mati! teriak Wiranggaleng sekuat-kuatnya. Mau kau, Pada! Mati!
Orang berlarian naik ke geladak dan bertanya-tanya. Juara gulat itu bertolak pinggang menghadapi mereka dan dengan nada resmi mengumumkan: Telah kubunuh atas titah Gusti Adipati Tuban Arya Teja Tumenggimg Wilwatikta, seorang pendurhaka bemama Pada. Kubunuh dan kulemparkan dia ke laut.
Tanpa menggubris tanggapan dan pertanyaan ia berjalan menuruni tangga geladak untuk mendapatkan makannya.
Dari mereka yang tak suka pada Demak, sindiran datang tanpa henti. Di antaranya yang tajam menusuk: Mendirikan kerajaan memang mudah. Carilah tempat yang sepi di pedalaman. Kalau musuh datang dari laut jangan dirikan di tepi pantai. Kalau takut musuh menyerbu dari gunung, jangan dirikan di tepi pantai. Kalau kuatir musuh datang dari lembah, jangan dirikan di tepi pantai. Kalau was-was musuh datang dari langit, jangan dirikan di tepi pantai!
Lama kelamaan sindiran mencapai puncaknya dalam bentuk yang semakin jelas: Di pedalaman saja, sahabat, di pedalaman, karena Peranggi bakal datang!
Sindiran itu dinyanyikan orang di mana-mana, juga di tengah-tengah Demak sendiri.
Putra mahkota Demak, Adipati Kudus Pangeran Sabrang Lor, tak dapat menenggang semua itu. Pada setiap kesempatan ia memerlukan menangkis: Mereka bilang, Peranggi lelananging jagad, menguasai segala yang dilihatnya. Mereka, Peranggi, belum lagi melihat Demak. Suruh dia melihat Demak, dan dia akan melihat kuburannya sendiri.
Putra mahkota juga yang pada suatu kali menghadap ayahandanya. Sultan Syah Sri Alam Akbar Al-Fattah, memohon satu kesatuan balatentara pilihan. Dengan modal itu ia menyerbu Jepara menduduki dan menguasainya. Kini Demak punya bandar sendiri. Putra mahkota diangkat jadi Adipati Demak dengan gelar Adipati Unus. Dan Unus dimasyhurkan sebagai nama seorang nabi penguasa laut. Ia pun diangkat oleh ayahandanya jadi menteri urusan manca negara. Itulah jawaban Demak terhadap sindiran takut pada Peranggi.
Tetapi orang masih tetap tidak percaya pada sesumbar putra mahkota. Sindiran terus juga datang.
Portugis menduduki Malaka.
Sekarang sindiran lain lagi bunyinya: Lihat, Peranggi sudah menduduki Malaka. Demak menduduki Jepara.
Mereka hanya akan berpandang-pandangan dari bandar masing-masing, sampai kedua-duanya bosan dan tak berpandang-pandangan lagi.
Adipati Unus Jepara pada suatu kesempatan di hadapan para punggawa, yang ditugaskan membangun galangangalangan besar, berkata: Ketahuilah, bila kelak Peranggi tidak datang ke Jepara untuk menantang Demak, maka dari Jepara akan datang Demak ke Malaka menentang Peranggi.
Sindiran-sindiran padam setelah jelas Adipati Unus Jepara tidak tinggal bersumbar-sumbar. Galangan-galangan kapal diperbanyak dan diperbesar. Kapal perang dan niaga dibangunkan. Didatangkannya pengecor-pengecor dari Blambangan. Dan ia tidak peduli pandai-pandai itu beragama Hindu. Ditempatkan mereka di desa Bareng untuk membikin cetbang yang direncanakannya sendiri, khusus untuk menghadapi Peranggi.
Perintah-perintahnya sangat keras. Semua pekerjaan harus selesai pada waktunya.. Permunculannya menerbitkan kegentaran pada para pekerja. Kayu keras didatangkan dari Kalimantan untuk lunasdan Hang kapal. Dan waktu pandai-pandai di Bareng dianggapnya kurang cepat bekerja, mereka dipindahkan bersama bengkelnya ke pinggiran bandar jepara.
Dengan demikian Jepara dihadapkannya ke Malaka. Galeng mendarat di bandar Yuana bandar milik Tuban yang terletak di wilayah paling barat, setelah Jepara jatuh ke tangan Demak
Bandar Jepara sedang giat-giatnya bekerja waktu ia datang. Ia berjalan lambat-lambat, melihat-lihat pemandangan di kiri, kanan dan depannya Sengaja ia perlihatkan diri sebagai orang baru yang tidak tahu sesuatu apa. Tak ada seorang pun dikenalnya.
Duduklah ia di bawah sebatang pohon kenari. Semua orang nampak sibuk. Tak ada orang berlenggang-kangkung dengan tangan kosong. Di sana orang sedang menggotong atau memikul balok dan papan. Di sini orang sedang menumpuk kayu. Dari mana-mana datang bunyi orang membelah, memohon atau berseru-seru memberi perintah, Dalam bedeng-bedeng tanpa dinding orang sedang melengkungkan papan yang dipatok-patok dengan kayu pada tanah dan memanggang lengkungan dengan api. Dan kapal-kapal besar yang sedang digalang adalah laksana kerangka ikan raksasa yang sedang dirubung semut. Gerobak-gerobak beroda kayu untuk mondar-mandir mengangkuti pasir, batu dan kayu. Di tempat yang paling jauh orang sedang membadari batu karang untuk dibikin kapur.
Semua serba berbeda dengan di bandar Tuban, juga dengan di bandar galangan Glendong.
Mereka akan segera mengenali aku sebagai pendatang baru, pikir juara gulat itu. Ia bangkit berdiri waktu seseorang memanggilnya sambil melambaikan tangan. Pakaiannya sama juga dengan orang Tuban.
Hai, kau! Tidak bekerja"
Sekaligus ia dapat menangkap, akhir suku kata yang di tempatnya disebutkan jadi a miring, di sini jadi o miring.
Belum lagi ia sempat menjawab orang itu sudah meneruskan: Ha, pendatang baru. Kebetulan. Apa bisa kau kerjakan" Menukang" Besar betul badanmu.
Hanya memikul, jawab juara gulat itu menirukan lidah Jepara.
Baik,& Man ikuti aku. Kami kekurangan pemikul Dengan demikian mulailah Wiranggaleng bekerja sebagai pemikul balok, mondar-mandir dari penumpukan ke galangan. Menjelang matari tenggelam orang membawanya ke bedeng tidur di daerah pelabuhan itu juga. Setelah makan malam orang pun merebahkan diri berjajarjajar seperti di asrama di Tuban dulu, hanya ambin di sini tidak dari kayu, seluruhnya dari bambu dan pelupuh. Dan kepinding menyerang dari segala penjuru.
Kelelahan menyebabkan orang segera tertidur. Namun tidak semua menyerahkan diri pada mimpi. Tak kurang orang sengaja menunda kantuk sesuai dengan pesan orang tua-tua untuk belajar sesuatu dari orang Iain, mendengarkan wejangan, berita, untuk meningkatkan pengetahuan.
Pada malam pertama juara gulat itu menggolekkan tubuhnya yang besar di samping-menyamping orang-orang yang belum dikenalnya. Ia tahankan bau yang keluar dari pakaian mereka. Dan ia tak mencoba membuka mulut. Ia berusaha mendengarkan segala apa yang dapat didengamya.
Dari kegelapan beberapa depa dari tempatnya ia dengar seorang pekerja berkata pada teman-temannya.
Kerajaan itu, Islam atau tidak Islam, dikuasai oleh raja yang menentukan aturan praja. Aturan itu tak banyak bedanya pada semua kerajaan, ada hukuman dan ada karunia. Kalian hanya harus mematuhi dan menjalankan, dan semua akan berjalan beres. Kalian pasti selamat tak kurang suatu apa.
Apakah kau pernah hidup di dalam istana" Tidak.
Tahukah kau, banyak juga orang yang sudah menjalankan dan mematuhi aturan dengan sepatutnya namun dibunuh juga oleh raja"
Mesti ada sebabnya, ada kesalahannya. Misalnya karena cemburu kalau-kalau orang itu akan menggulingkannya.
Betul, itu memang ada, orang lain membenarkan. Boleh jadi raja itu menghendaki istri atau anaknya yang cantik.
Jantung Wiranggaleng berdebar-debar. Idayu muncul dalam penglihatan batinnya. Tapi segera kemudian lenyap oleh kata-kata orang tersebut.
Itu namanya raja lalim. Dalam kerajaan Islam tak ada raja lalim, semua adil.
Baiklah tak ada raja Islam yang lalim. Sekiranya raja Islam itu lalim, siapa yang menghukumnya" Ataukah tidak akan dihukum seperti halnya dengan raja-raja Syiwa atau Buddha atau Wisynu"
Juara gulat itu tak mampu lagi mengikuti perdebatan. Pikirannya sibuk mengurus kekuatirannya sendiri. 0o-dw-o0
Beberapa minggu kemudian tahulah ia, pekerja yang suka memberikan ceramah itu tak lain dari seorang musafir Demak, seorang di antara para pemasyhur Demak dan Sultan Sri Alam Akbar Al-Fattah. Ia menamakan diri Hayatullah. Orang yang sudah mengenalnya sejak kecil memanggilnya Anggoro, bukan Anggara, karena dilahirkan pada hari Anggara. Pada suatu malam Hayatullah menerangkan pada teman-temannya, ada banyak putra Adipati Tuban yang telah mengikat kesetiannya pada Demak, dan tak lama lagi Tuban pasti menjadi daerah Demak.
Betapa hebatnya kerajaan Islam pertama-tama ini, ia meneruskan dalam kegelapan bangsal tidur. Belum seberapa umumya, tapi lebih baik daripada semua kerajaan yang pernah ada. Dahulu seorang raja dapat berselir tanpa batas, dan selir-selir celaka itu tak punya hak sesuatu& .
Dari ujung ambin seseorang membentak Tutup mulutmu. Kalau kau tak tahu tentang istana, jangan membual.
Dalam kegelapan itu Wiranggaleng membayangkan Hayatullah terduduk dari rndan mencari-cari penyangkalnya, karena tak lama kemudian terdengar musafir Demak itu menanya.
Siapa itu" Adakah kau sendiri isi istana" Kalau isi istana mengapa tinggal dalam bangsal gelap ini" Atau kira-kira kau seorang pangeran tersasar"
Tidur kau! bentak suara orang tak dikenal itu. Sudah malam, dan besok pagi masih harus bekerja. Kalau tak tahu tentang istana, sebaiknya kau bertanya padaku. Semua selir raja punya hak, pertama gelar untuk anak-anaknya, hak keprajaan, kedua tanah yang harus digarap oleh orang desa, ketiga pengakuan atas anak-anaknya sebagai anak syah raja. Itu sekedarnya saja tentang selir. Sudah, jangan berisik.
Ternyata Hayatullah tak mau diam. Dengan berapi-api ia ganti menyangkal: Itu katamu. Siapa yang menjamin hakhak itu dilaksanakan"
Goblok kau! Menteri-dalam mengurus semua itu. Siapa menjamin Menteri-dalam melakukan kewajibannya"
Yang menjamin Hayatullah alias Anggoro tentu, penyangkal itu berseru jengkel, kemudian sengaja memperdengarkan kuapnya.
Jangan mempermain-mainkan aturan, kau, Hayatullah memperingatkan. Kalau jaminan aturan mesti berlaku tidak ada, tak usah orang bicara tentang aturan. Beda dalam kerajaan Islam. Jangan pura-pura tidur, kau. Dengarkan biar kau tahu sedikit tentang Demak, karena bagaimana pun kalian sekarang ini tak lain dari kawula Demak.
Pertentangan itu menyebabkan orang-orang diam mendengarkan.
Raja Islam hanya boleh beristri empat, dan semua mereka punya hak yang diatur di dalam Alkitab. Dahulu aturan-aturan ditulis dalam seratus lembar lontar yang bemama Nitisastra.
Seseorang terdengar tertawa berbahak mengejek. Hayatullah! Tahu apa kau tentang Nitisastra" Memasuki mandala pun kau tak pernah. Membaca Jawa pun kau tak tahu& .
Ada ratusan kali seratus lembar lontar aturan yang harus dipatuhi oleh raja Islam dan kawulanya, Hayatullah meneruskan tanpa menggubris penyangkalnya.
Aturan bukan hanya ada dalam Nitisastra, seorang lain menyangkal dalam kegelapan yang sama. Ada banyak aturan dalam lontar yang kau tak tahu. Perlukah aku sebutkan satu-per-satu"
Biar pun lontar-lontar itu dua puluh kali seratus kali dua ratus& berapa saja kau sebutkan, sama saja, Hayatullah meneruskan, tak dapat dibandingkan dengan Alqur an atau Alkitab atau Alfurkon, karena kitab ini berasal dari Allah melalui rasulnya. Lontar itu hanya berasal dari para raja dan para empu, para pujangga.
Untuk ke sekian kalinya Wiranggaleng telah tertidur sebelum ceramah selesai.
0o-dw-o0 Di siang hari sewaktu bekerja ia mencoba memperhatikan Hayatullah. Tubuhnya kecil rapuh, ototototnya pendak dan tipis, tetapi ia bekerja tanpa henti-henti. Seakan sedang mengerjakan sawah dan ladang sendiri. Matanya tidak tenang, pikirannya seperti selalu melayang ke manamana. Pada waktu istirahat siang selalu ia pergi menyendiri membawa lodong bambu berisi air tawar, membasuh tangan, muka, dahi rambut dan kaki, menggelar tikar di bawah sebatang pohon, kemudian bersembahyang. Di malam hari ia muncul di bangsal tidur bila orang sudah pada bergolek di tikar masing-masing dan ia langsung bercerita atau membuka persoalan seperti dilakukan oleh para guru-pembicara di desa-desa. Bedanya, para gurupembicara di desa-desa bicara pada mereka yang mempunyai perhatian, musafir Demak ini bicara terus tak peduli ada yang dengar atau tidak.
Siapakah putra-putra Tuban di Demak" Galeng memberanikan diri bertanya.
Lidahmu seperti lidah Tuban, tegur Hayatullah. Tidak.
Dari Lao Sam barangkali"
Dua-duanya tidak, jawab juara gulat itu.
Memang tidak ada urusanku dengan asalmu. Putraputra Tuban yang terkemuka di Demak ialah Raden Kusnan, Punggawa-dalam. Yang lain Raden Said, anggota Majlis Kerajaan. Orang memanggilnya juga Ki Aji, Kalijaga, dan lebih suka dipanggil demikian. Dibuangnya Raden leluhur sendiri dari Majapahit dulu, digantinya dengan Ki Aji, gelar pemberian orang yang mencintainya. Mengapa dibuang gelar dari leluhumya"
Gelar kafir itu tak mengandung sesuatu arti di dalamnya. Dalam Islam, hanya perbuatan orang yang dinilai oleh sesama dan oleh Allah. Perbuatan atau amal Ki Aji Kalijaga luar biasa agungnya. Dengarkan ceritanya, karena barangkali di Tuban sendiri tak pernah kau dengar. Di Tuban sendiri memang tak pernah terdengar. Beliau telah tinggalkan Tuban dan mengembara ke mana-mana untuk memasyhurkan Islam. Beliau keluarmasuk desa-desa. Beliau tidak bicara di balai-balai desa seperti para guru-pembkara yang tak tahu apaapa tentang wahyu Allah itu. Beliau lebih suka memilih tempt di bawahbawah pohon rindang, mengajak anak-anak bermain-main dan berceritalah beliau tentang kisah para nabi dan mukjijatnya. Lama-kelamaan ibu-ibu mereka ikut mendengarkan. Kemudian juga para bapak.
Apa kisah para nabi itu" Apakah sama dengan kisah para dewa"
Cet, cet, jangan samakan nabi dengan dewa, karena nabi memang bukan dewa. Nabi sungguh-sungguh pernah ada, pernah hidup di atas bumi dan di antara manusia, menerima wahyu langsung atau tidak langsung dari Allah. Dewa-dewa tak pernah hidup di atas bumi dan selalu ngawur.
Siapa bilang para dewa tidak ada" Kalau pernah ada, mana keturunannya" Hadapkan padaku seorang saja di antara. Mereka yang tidak setuju dan jengkel mulai bersorak-sorak mengejek. Wiranggaleng diam memperhatikan sebagaimana biasa pada waktu ia di balai-desa mendengarkan seorang guru-pembicara. Waktu ejekan telah reda, terdengar lagi suara Hayatullah yang tak mengacuhkan gangguan.
Begitulah pada suatu kali Raden Said sampai ke sebuah desa. Mereka adalah orang-orang kafir penyembah Sang Kali
Apa kafir itu" Mereka yang tidak percaya dan tidak tahu ajaran para nabi. Ingat-ingat, kafir namanya. Jadi setiap penyembah berhala, yang nampak atau tidak, termasuk Sang Kali, kafir namanya.
Ngawur, kau, Hayatullah, tak ada orang menyembah Sang Kali Orang hanya menyembah Sang Maha Buddha Galeng membantah karena tersinggung. Kalau kau bilang Sang Maha Buddha tak pernah ada, lebih baik pecahkan saja kepalamu sendiri.
Tetapi Hayatullah tak peduli dan meneruskan. Anakanak itu pada datang, ibu-ibunya, bapak-bapaknya. Kemudian juga tetua desa. Pertentangan pendapat terjadi, perdebatan, sehari, seminggu, dua bulan. Tak ada di antara tetua desa dapat mengalahkan beliau. Begitulah akhimya mereka dapat ditaubatkan.
Apa artinya ditaubatkan"
Diyakinkan akan kebenaran Islam, dan membawa mereka masuk Islam. Mereka meninggalkan Sang Kali. Mereka menyembah Allah dan mendengarkan perintah dan meninggalkan larangan-Nya. Ia diam sebentar. Kau sudah tidur" dan waktu ia masih mendengar jawaban, ia meneruskan, sejak itu beliau dipanggil Ki Aji Kalijaga, Ki Aji, yang menjaga agar Sang Kali takkan kembali untuk seiama-lamanya. Dan sekarang Ki Aji duduk dalam majlis kerajaan Demak. Tidak sembarang orang bisa. Raja Majapahit pun takkan bakal mampu lakukan pekerjaan itu, karena pekerjaannya adalah menurunkan ajaran nabi di dalam keprajaan. Memang hanya empat kali dalam sebulan sidangnya, tetapi menentukan. Enam hari dalam seminggu Ki Aji Kalijaga meneruskan pekerjaannya yang dalam, memasyhurkan Islam dan Demak di desa-desa. Wiranggaleng telah tertidur.
Dalam pekerjaan sehari-hari ia mengetahui, pembikinan kapal-kapal perang dan niaga itu berjalan sangat cepat, tidak seperti di Glondong. Sebuah kapal terbesar, yang akan dipergunakan jadi kapal bendera akan dapat mengangkut lima ratus prajurit laut dengan empat belas cetbang besar pada haluan dan lambung. Badan kapal itu akan dilepa dengan tujuh lapis adonan kapur dengan minyak kelapa. Peluru Peranggi diperkirakan takkan dapat menembusinya.
Orang tak banyak membicarakan kapal yang mereka sedang bikin sendiri. Di dalam bangsal tidur apalagi. Justru soal-soal lain yang orang percakapkan.
Pada malam-malam selanjutnya Hayatullah tak muncul. Beberapa orang, menganggap itu suatu keberuntungan, karena si pengganggu tidur membiarkan mereka melepaskan lelah dengan damai. Sebaliknya beberapa orang yang sudah terbiasa mendengarkan para pembicara di desadesa menyatakan, tak ada buruknya orang mengetahui halhal baru yang terjadi di atas dunia manusia ini.
Lama-kelamaan ketahuan juga Hayatullah tak seorang diri menghilang di malam hari. Beberapa orang ternyata mengikutinya. Di siang hari sekarang ia nampak tidak seorang diri bersembahyang. Ia telah mempunyai pengikut, dari dua jadi enam, dari enam jadi delapan. Terheran-heran orang waktu kemudian mengetahui, tak lain dari Sang Adipati Unus Jepara sendiri yang memerintahkan pembangunan rumah sembahyang di tempat Hayatullah biasa bersembahyang.
Dan sejak itu mereka tak lagi bersembahyang di tempat terbuka, terlindung dari hujan dan angin dan panas.
Pada suatu tengah malam Hayatullah muncul lagi. Tetapi ia bukan pembicara cerewet yang dulu. Ia sudah jadi orang lain. Tak seorang pun berani mengejek atau menyorakinya walaupun tidak setuju. Kata-katanya mulai didengarkan oleh semua orang dengan sungguh-sungguh suka atau tidak suka.
Bukankah pembikinan rumah sembahyang itu, tempat orang menyembah Hyang baru itu, mengurangi kelajuan pembikinan kapal" sekali waktu seseorang bertanya dalam kegelapan.
Mengapa tidak tidur saja di rumah sembahyang" seorang lain lagi bertanya.
Bagaimana kau dapat mengatakan pembikinan rumah itu menyendatkan pembikinan kapal" Kapal dan Islam akan belayar bersama-sama, tidak tunggu-menunggu. Apakah arti kerajaan Islam kalau Islam tak berkembang di antara kawulanya" Tidak seperti Hindu dan Buddha, orang-orang desa harus bangunkan sendiri asrama, mandala dan perguruan sendiri. Sedang kapal-kapal itu gunanya untuk menumpas Peranggi yang jelas-jelas, memusuhi Islam. Peranggi tak boleh memasuki Nusantara, apalagi Jawa, karena cepat atau lambat semua penduduknya akan masuk Islam.
Mana mungkin. Apakah semua kami harus masuk Islam"


Arus Balik Karya Pramoedya Ananta Toer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tak ada yang memaksa kalian masuk Islam. Adakah aku memaksa kalian masuk Islam dan bertaubat" Adakah pembicara di desa-desa memaksa kalian mempercayai dan mengikutinya"Tetapi karena aturan Islam adalah yang terbaik, dia akan mengalahkan yang kurang baik dan yang tidak baik. Ada pun aku tidak tinggal di rumah sembahyang, walau sudah berdinding dan berpintu, tunggulah, lain waktu kalian akan tahu lebih baik. Hayatullah meneruskan kata-katanya tentang agamanya. Wiranggaleng tak mendengarkan lagi walaupun belum tidur. Ia telah temukan yang dicarinya: Adipati Unus Jepara mempersiapkan armada untuk menyerang Malaka, untuk melindungi Islam, bukan untuk memanggil kejayaan dan kebesaran masa silam pada guagarba hari depan. Unus akan membangunkan kejayaan dan kebesaran tersendiri, bukan kebesaran dan kejayaan Majapahit. Ia tak dapat bayangkan kebesaran dan kejayaan macam apa itu, dan ia merasa tak ikut jadi bagian dari padanya.
Pada keesokan harinya ia tinggalkan pekerjaannya dan pindah ke bengkel pandai. Cetbang-cetbang buatan pandai Bareng itu temyata lebih besar daripada buatan Tuban. Empat orang takkan kuat memikulnya, sedang bilikledaknya menggelembung sebesar buah kelapa. Ia tak dapat bayangkan seberapa besar peluru yang akan dilemparkan dari bilik ledak sebesar itu. Ia sendiri belum pernah melihat peluru cetbang.
Dua bulan kemudian ia tinggalkan juga pekerjaan barunya.
0o-dw-o0 Seorang diri ia berjalan kaki memasuki Demak. Tetapi tak ada sesuatu yang penting didapatkannya. Ia saksikan penyempumaan pembangunan mesjid raya, pembangunan jaian-jalan raya yang melintasi desa-desa dan tanah-tanah perawan menuju ke Semarang. Ia pernah melihat Raden Kusnan dari kejauhan. Ia pernah melihat Ki Aji Kalijaga sedang memasuki mesjid. Orang yang tersohor itu berpakaian seperti bagawan, berkain baik tanpa wiru, berdestar batik dan berkerobong kain batik untuk penutup badan-atasnya. Kakinya tak beralas sedang destar nampak begitu longgar di kepalanya dengan ikatan bergaya khusus. Ujung-ujung destar itu jatuh lunglai panjang-panjang pada bahunya. Dan di bawah destar tak nampak ada rambut.
Berbeda dengan di Jepara, di Demak di mana-mana orang bicara tentang armada yang sedang dipersiapkan dan tentang sekutu Demak yang akan bergabung dalam armada kesatuan, semua kerajaan Islam termasuk Tuban.
Keterangan itu baginya telah berisi segala-galanya, walaupun ia belum mengerti betul duduk-perkaranya. Kalau Demak satu-satunya kerajaan Islam di Jawa, mengapa Tuban dan Banten juga dianggap sebagai kerajaan Islam" Ia anggap itu bukan masalahnya. Yang jelas: Demak punya sekutu, armada gabungan akan dibentuk, semua akan menyerang Malaka.
Setelah lebih enam bulan meninggalkan Tuban ia merasa telah cukup menjalankan tugasnya untuk mengetahui segala sesuatu tentang persiapan Adipati Unus Jepara. Ia bermaksud pulang. Di tinggalkannya Demak dan berangkat kembali ke Jepara.
Sesampainya di bandar Jepara ia melihat serombongan orang mengejar-ngejar dua orang berkulit putih berpakaian aneh. Yang seorang berambut pirang, yang lain berambut hitam. Kedua-duanya lari dengan gesit menyelamatkan diri dari mata pedang dan mata tombak. Orang bersorak-sorak mengejamya.
Mereka berdua melompat ke dalam perahu besar, mendayung cepat ke tengah laut. Sebentar kemudian layamya berkembang dan dengan lajunya meluncur ke arah timur laksana burung camar.
Para pemburu pun berlompatan ke dalam perahu dan mengejar. Yang dikejar makin lama makin jauh tiada tercapai, lebih unggul dari perahu-perahu para pengejar. Maka pengejaran tak diteruskan.
Di bandar orang-orang pada duduk menyembah seseorang yang berdiri bertolak-pinggang dikawal oleh beberapa belas orang prajurit berpedang. Orang itu kemudian menuding-nuding ke arah larinya dua orang kulit putih tersebut dan meraung dalam bahasa Jawa langgam setempat: Bodoh! Bagaimana bisa mereka dibiarkan berkeliaran disini" Jawab, kau, Syahbandar.
Ampun, Gusti, adapun pelabuhan Jepara ini tiada aturan menolak orang dari mana pun juga datangnya. Apa katamu"
Selama orang tidak mengajukan permohonan untuk menetap atau untuk tinggal sementara di sini, Syahbandar saja yang berwenang mengijinkan atau menolak, Syahbandar Jepara menerangkan. Atau orang tidak melewati daerah bandar. Boleh saja.
Benar, mengapa kau biarkan mereka" Mengapa kau ijinkan mereka"
Mengapa, Gusti" Karena Jepara bandar bebas. Apa kau kira ini bandar nenek-moyangmu sendiri" Ini pelabuhan Demak, bukan pelabuhan siapa saja.
Ini pelabuhan bebas, Gusti, Syahbandar membangkang. Ketentuan itu belum pernah dirobah oleh Gusti Kanjeng Sultan ataupun oleh Gusti Kanjeng Adipati.
Orang yang berdiri bertolak pinggang itu terdiam sejenak. Tiba-tiba ia meledak lagi: Baik. Kau berwenang terhadap pelabuhan ini. Tetapi mengapa mereka kau biarkan bergelandangan memasuki galangan-galangan dan bengkel"
Belum pernah ada larangan.
Tidakkah kau bisa berpikir. Itu tak boieh untuk mereka, pendatang-pendatang" berkulit putih itu"
Jepara pelabuhan bebas, Gusti.
Kau memang sudah tua. Tidakkah kau ada kecurigaan terhadap Peranggi" Mata-mata dari Malaka, atau diturunkan dari kapal Peranggi"
Memang mereka Peranggi, Gusti, dan Jepara masih tetap pelabuhan bebas.
Kami akan persembahkan pada Gusti Jepara. Apa kebangsaanmu, Syahbandar"
Koja, Gusti. Islam agama sahaya.
Wiranggaleng duduk di bawah sebatang pohon kenari dan mengawasi kejadian itu dengan diam-diam. Peranggi temyata sudah memasuki Jepara, pikimya, Jepara belum lagi menjenguk Malaka. Sungguh berani orang-orang kulit putih itu hanya berdua memasuki negeri orang yang memusuhinya.
Selamat untukmu, Syahbandar bukan Pribumi. Apa saja mereka perbuat di sini" Syahbandar tak dapat menjawab. Orang lain yang menjawabkan: Hanya melihat-lihat sambil tertawa-tawa, Gusti.
Mentertawakan siapa"
Ampun, Gusti, orang itu meneruskan, tak ada yang mengerti bahasanya.
Wiranggaleng menangguhkan kepulangannya. Kedatangan dua orang kulit putih itu tentu saja sesuatu kejadian besar. Ia harus mengetahui kelanjutannya.
Kelanjutannya adalah: Syahbandar Jepara diturunkan dari jabatannya. Anak-lelakinya yang menggantikan.
Mendengar itu juara gulat itu tertawa pada dirinya sendiri. Sama saja, dari Koja yang satu pada Koja yang lain. Mau tak mau ia teringat pada Moro Sayid Habibullah Almasawa. Satu demi satu perbuatannya yang ia pernah ketahui berbaris di hadapan mata ingatannya. Apakah Syahbandar Jepara berbeda dari Syahbandar Tuban" Apakah mereka lebih baik dari Rangga Iskak, peranakan Benggala itu" Di Tuban orang tidak suka pada Rangga Iskak ataupun Sayid Habibullah Alamasawa. Syahbandar Jepara, lama atau baru, barangkali sama saja. Ia pun mengherani mengapa Adipati Tuban dan Jepara masih juga menggunakan orang asing.
Sebelum berangkat ke Tuban ia memerlukan minta diri pada orang-orang yang pernah dikenalnya. Ia pun datang ke galangan dan bengkel. Hayatullah tak dijumpainya. Ia temukan orang itu pada senja hari di rumah sembahyang. Beberapa orang murid memenuhi ruangan dalam. Orang itu nampak sedang mengajar dengan sebuah kitab terbuka di hadapannya. Beberapa orang murid mengikuti segala kata yang diucapkannya, kata-kata aneh yang ia tak tahu artinya.
Lama ia duduk di luar mendengarkan. Ia mencoba-coba menirukan, tetapi tak bisa. Ia dengarkan Hayatullah membacakan tafsimya dalam bahasa Melayu, kemudian terjemahannya dalam bahasa Melayu, kemudian terjemahannya dalam bahasa Jawa: Dengan nama Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Katakan: Berlindung aku pada& , kata-kata selanjumya Wiranggaleng tak mengerti, dari bahasa makhluk yang diciptakan-Nya. Dan dari bahaya kegelapan malam bila telah datang. Dan dari bahaya& . Dan dari bahaya orang dengki, bila ia marasa dengki& .
Kalimat-kalimat itu tak punya kesamaan dengan acuan sastra Jawa. Ia tak dapat mengikuti. Ia tetap tak mengerti. Dan Hayatullah alias Anggoro masih juga terus mengajar.
Ia tak jadi minta diri. Ditinggalkannya tempat duduknya, berjalan pelan menuju ke laut& .
0o-dw-o0 9. Esteban dan Rodriguez Dua orang sepupu itu sudah bersepakat untuk melarikan diri.
Mereka sudah bosan pada dinasnya. Mereka bermaksud hendak mewujudkan impian lama: mengembarai Nusantara sebagai orang bebas, melihat negeri-negeri kafir dan penduduknya yang masih perbegu.
Dua orang itu adalah pemuda-pemuda Portugis keturunan Spanyol, Esteban del Mar dan Rodriguez Dez. Dua-duanya kanonir, penembak meriam pada kapal Peranggi.
Berita kemenangan-kemenangan Portugis di seluruh permukaan bumi, penemuan negeri-negeri baru jauh-jauh di seberang lautan yang tak terduga, kekayaan yang datang berlimpahan, telah memanggil pemuda-pemuda Portugis, meninggalkan desanya masing-masing untuk menggabungkan diri dengan armada-armada yang akan berangkat belayar meneruskan Perang Salib di seberang lautan.
Juga Esteban del Mar dan Rodriguez Dez. Mereka tak mampu menolak godaan kebesaran dan kemenangan dan harta-henda dan kemasyhuran ini. Mereka tinggalkan juga ladang mereka diperiuaran kota Lisboa dan mendaftarkan diri. Dan mereka tak perlu kembali ke ladang seperti yang lain-lain. Mereka diterima setelah menyodorkan uang sogokan.
Mulailah keduanya bekerja sebagai awak kapal kemudian meningkat jadi kanonir, menga rungi samudra, menaklukkan negeri-negeri, meneggelamkan kapal saudagar-saudagar asing beserta isinya ke dasar laut. Tak ada di antara kapal-kapal dari berbagai negeri itu mampu melawan. Dengan meriam segala yang nampak di laut dan di pesisir bisa dihembusnya dari permukaan bumi.
Mereka pun ikut serta dalam perang laut di Teluk Parsi melawan armada gabungan negeri-negeri Islam yang dipimpin oleh laksamana Mesir itu, dan menang dengan mudah. Sejak itu tak ada perlawanan lagi terhadap Portugis.
Portugis penguasa dunia! Dan mereka berdua bangga menjadi putra bangsa yang besar, ditakuti seluruh dunia itu.
Ia senang melihat kapal-kapal asing yang buyar berlarian bila melihat salib raksasa yang tergambar pada layar. Mereka itu laksana tikus melihat kucing. Tangan mereka sendiri yang menenggelamkan. Mereka dapat rasai setiap peluru yang lepas, kena atau tidak. Setiap peluru yang menemui sasaran memberikan ketukan pada hati mereka, seakan memberitahukan: pelurumu kena.
Tetapi kebesaran dan kebanggaan, kepahlawanan dan pengembaraan semacam itu, kehidupan tanpa perubahan, lama kelamaan membosankan mereka juga. Kejemuan setiap hari di tengah laut merindukan mereka pada sesuatu yang Iain. Selingan yang menyenangkan hanya sebentar saja terjadi: sementara kapal mendarat. Mereka dapat melihat-lihat negeri yang ditaklukkan, menampilkan diri sebagai pemenang tanpa lawan, mendapatkan segala yang mereka kehendaki. Selebihnya hanya laut dan laut saja di keliling mereka, dan kapal-kapal musuh yang melarikan diri, dan langit, dan bintang-bintang di malam hari, dan badai di hari-hari sial. Mereka tak dapatkan apa yang mereka rindukan belakangan ini: kebebasan dan kesenangan yang tak terbatas.
Akhir-akhir hidup yang sesungguhnya adalah di daratan, mereka memutuskan. Di laut tak ada yang mereka dapat kutip kecuali bila diadakan pencegatan dan perampasan kapal. Tapi di darat! Segala-galanya ada di sana. Dada selalu dapat menggelembung dengan kebanggaan sebagai putra Portugis yang jaya, bangsa pemenang, kawula raja pemenang, awak kapal pemenang, di atas daratan taklukkan! Pribumi pada menyingkir bila pemenang lewat. Orang mengangguk mengiakan dan menyilakan bila pemenang menudingkan telunjuk pada sesuatu dan setiap barang. Dan setiap kali menginjak bumi kafir, bergemalakan nama Jesus dalam hati: daratan ini akan segera diterangi oleh ajaran Isa Almasih.
Kebanggaan seperti itu akhirnya tak memuaskan juga. Dada pun jenuh dengan kebesaran. Mereka menghendaki lebih dari itu: kebebasan, kesenangan tanpa batas. Di darat pun kebebasan seperti itu tak pernah mereka kenyam sebagai awak kapal. Mereka ingin menyaksikan seluruh Nusantara, yang begitu disanjung dalam cerita, kadang juga dalam nyanyian. Mereka tak puas hanya melihat dan menjamah pantai-pantainya yang digermangi nyiur. Mereka ingin juga mendengarkan musiknya, yang kata orang tegap dan menjamah dan meluncuri laut dan gendang dan gongnya yang berbunyi tandas sampai mengaduk dasar hati.
Tertarik oleh cerita yang menyebar ke mana-mana sejak orang tua-tua dulu, yang mungkin mendengamya dari orang-orang Moro atau Sephari, mereka berdua membuat persepakatan untuk mengelanai Nusantara. Untuk itu jalannya hanya satu: melarikan diri dan punya perahu sendiri.
Imam kapal, Mario Fasetti, orang Italia itu, tak bosanbosan mengulangi pesan dalam khotbah-khotbahnya, Jangan masuki daerah kafir tanpa perintah, karena kalian akan membawakan kabar duka, bukan suka. Tak ada terang Allah di setiap jengkal tanah kafir. Pesan itu malah diulangi beberapa kali dalam sekali khotbah, setelah ketahuan ada awak kapal yang melarikan diri, dan tak kembali pada kesatuan, atau kembali sebagai tangkapan.
Tetapi awak kapal yang lari itu dan tak tertangkap lagi, mereka tak bakal muncul, bertahun-tahun, dan kembali ke tanahair, berpindah ke kota lain, membawa harta-benda dan cerita-cerita indah, benar dan bohong juga nyanyian baru, yang menyebabkan mereka jadi tersohor.
Memang benar sebagian terbesar pelarian itu hilang untuk selama-lamanya dan dilupakan orang. Itu semua orang tahu. Dan itu pun sudah jadi bea kebebasan. Maka Esteban del Mar dan Rogriguez Dez tak ambil peduli.
Semua memang ada risikonya. Mereka ingin juga jadi kaya dan tersohor sekaligus.
Setelah Portugis di bawah Alfonso d Albuquerque menguasai Malaka dan tinggal beberapa bulan di sana untuk melakukan penataan kembali kehidupan baru di bawah sang salib, mereka berdua giat mempelajari bahasa Melayu dari penduduk Tanpa bahasa itu mereka takkan mungkin dapat berdiri sendiri.
Pada seorang Pribumi mereka memesan agar dibuatkan sebuah perahu layar yang ramping menurut petunjuk mereka sendiri. Setelah jadi, perahu layar kecil itu mereka sembunyikan di sebuah ceruk beberapa belas kilometer di selatan bandar, di bawah penjagaan si pembikinnya.
Sedikit demi sedikit ditimbunnya barang keperluannya di dalam perahu itu: terigu, keju, mentega, arak semua diperolehnya dari gudang perbekalan di bandar Malaka.
Menjelang Desember 1512, waktu Portugis menyiapkan armada untuk menuju ke Maluku, mereka berdua melarikan diri. Mereka berhasil menggondol musket dengan mesiu, teropong, peta dan alat tuhs-menulis.
Tak sulit mereka mendapatkannya. Dan itu pun secara kebetulan pula. Waktu itu beberapa orang serdadu yang sedang berdinas jaga sedang berpesta-pora menghabiskan arak curian. Mereka berdua menyertainya berdasarkan undangan gelap dengan hanya lambaian tangan. Dan mereka pergunakan kesempatan ini.
Melihat yang lain-lain sudah pada menggeloyor tanpa daya dalam kemabokan, Esteban dan Rodriguez masuk ke dalam kantor dan menggodol apa saja yang dapat diambil.
Mereka lari ke selatan, turun ke atas perahu layarnya, mengembangkan layar dan berangkat. Belum pernah mereka merasa begitu riang seperti kali ini. Matari pagi mulai menyinari pesisir pulau Sumatra yang kelam oleh hijau tua rimba belantara. Perahu-perahu nelayan dan kapal-kapal dagang belayar damai.
Dari pengetahuan sejak di negeri sendiri mereka sudah tahu: di dunia ini tak ada bangsa kafir yang memiliki senjata ampuh kecuali Portugis, musket dan meriam dengan gaya ledak tinggi. Musket ada pada mereka. Dan mereka tak perlu merasa kuatir terhadap bajak laut. Pedang dan tombak para pembajak pasti akan temyata melengkung berhadapan dengan musket. Mereka berhati besar. Tak akan ada yang menghalangi pelayaran mereka.
Mereka tahu juga: kapal dagang Pribumi tak pernah berubah jadi kapal bajak. Dan kapal-kapal perang Pribumi, yang segera nampak dari kejauhan karena lubang-lubang pendayung pada sepanjang lambung kapal, juga tidak berbahaya selama tidak diganggu terlebih dahulu. Mereka berbahaya karena cetbangnya, tapi tak pernah menembak tanpa alasan. Pendeknya tak bakal ada sesuatu yang menghalangi pelayaran mereka.
Mereka bergantian tidur, mengemudi dan masak. Mereka menyinggahi bandar-bandar kecil, sepanjang pantai Sumatra untuk mendapatkan kelapa dan daging dan air minum dan sayur-mayur dan buah-buahan. Di mana pun tak ada yang mengganggu. Walau sekecil-kecilnya bandar kebebasan berniaga terjamin. Setiap orang boleh mendarat dan berjual beli dengan bebas. Dan bandarbandar itu selalu bersaing satu dengan yang lain untuk menjadi persinggahan rempah-rempah.
Di setiap bandar segera dua orang petualang itu menjadi kerumunan orang banyak. Kulit mereka, wajah mereka dan bahasa mereka yang aneh, segera menarik perhatian. Dan mereka senang menjadi tontonan. Dan setiap bandar yang disinggahinya selalu tidak sama dengan yang di Spanyol atau Portugis atau Italia. Tak pernah mereka mengalami penganiayaan. Sebaliknya kekasaran justru akan datang dari sebangsanya sendiri. Teman-teman mereka pada suatu kali bisa berubah jadi pemburu-pemburu yang akan menangkapnya untuk mendapatkan uang tebusan. Atau bisa juga datang dari pihak orang-orang Spanyol yang mungkin akan menjualnya pada bajak-bajak laut Maroko atau Tunisia.
Mereka telah menyinggahi bandar Ban ten, Sunda Kelapa, Cimanuk Tegal, Pekalongan, Semarang dan akhimya berlabuh di bandar Jepara.
Bandar ini tidak begitu besar, buruk, tapi lain daripada yang lain, pikir mereka. Di sini bukan saja ada keistimewaan dan kekhususan, malah keluarbiasaan. Galangan-galangan besar berdiri megah membikin kapalkapal, sama besarnya dengan kapal negerinya sendiri, Portugis. Bahkan sebuah di antaranya lebih besar. Kapal perang! Jelas nampak dari lubang-lubang lambung tempat mengayuh. Layar-layar kuning dari sutra terbeber di tanah dan sedang dijahit. Agak lama mereka awasi kapal terbesar yang sedang dilepa dengan adonan dengan minyak kelapa itu. Ingin mereka naik ke atas dan melihat-iihat susunannya. Isyarat dari banyak tangan menyebabkan mereka menyingkir menghindar.
Dan yang mereka herani, hampir-hampir tak ada perdagangan di sini. Yang ada hanya pekerja-pekerja yang sibuk dan bergegas-gegas seakan besok takkan ada hari baru lagi.
Juga di bandar Jepara tak ada yang mengganggu mereka.
Bunyi logam yang di tempat menyebabkan mereka tergoda untuk menyaksikan bagaimana Pribumi membikin perabot. Mereka memasuki bengkel pembuatan cetbang. Mereka mencoba bertanya apa saja yang sedang mereka buat. Pandai-pandai Biambangan temyata tak mengerti Melayu. Mereka membisu, bahkan melambaikan tangan menyuruh pergi
Esteban dan Rodriguez pergi, tetapi datang lagi untuk mengherani benda yang sedang dibuat itu. Rodriguez menebak, itulah meriam Pribumi. Dan Esteban tertawa terbahak melihat pada larasnya yang tipis bergelang-gelang dan kamar-ledaknya yang segede buah kelapa.
Meriam boneka yang baik hanya untuk melontarkan gombal! seru Rodriguez.
Tertawa mereka tak dapat ditahan. Dan itulah yang menyebabkan beberapa orang Pribumi merasa tersinggung. Tetapi karena bandar Jepara juga bandar bebas, di mana setiap orang dapat bebas bergerak, asing atau Pribumi, tak ada orang dapat dipeisalahkan hanya karena tertawa.
Tetapi orang-orang Pribumi, yang temyata pejabatpqabat penting itu. mempersembahkan datangnya dua orang kulit putih itu pada seorang punggawa. Kebetulan Adipati Unus Jepara sedang menghadap ayahandanya. Hanya punggawa itu saja pejabat tertinggi di Jepara. Maka terjadilah sebagaimana dilihat oleh Wiranggaleng. Esteban dan Rodriguez Deez melarikan diri dalam kejaran para prajurit. Hanya karena tingginya kewaspadaan menyebabkan mereka bisa selamat mencapai perahunya dan meneruskan pelayaran ke tunur.
Malam itu mereka berada di tengah laut. Sebelum salah seorang tidur bersama-sama mereka mengucapkan puji syukur atas keselamatannya. Mereka bersembahyang dan berdoa dan berdoa.
Dengan sinar lilin mereka melihat pada peta, yang disalin dan sebuah kapal Parsi yang mereka rampas kemudian mereka tenggelamkan. Dan awak kapal itu kemudian mereka jual di Mesir.
Dan pada suatu pagi bermendung masuklah perahu layar langsung itu ke bandar Lao Sam. Pelabuhan itu kecil dan mungil dilindungi oleh bukit-bukit terselaputi mendung, namun kelihatan ramah dan membentangi bandar dari badai.
Dan betapa terkejut mereka mengetahui penduduk bandar itu bukan Pribumi. Semua orang Tionghoa, bermata sipit dan berkuncir. Satu-dua Pribumi nampak berjalan mondar-mandir tiada bekerja.
Aturan di bandar ini lain, keras, dan memang bukan bandar bebas. Setiap perahu pendatang diperiksa sebelum orangnya mendarat. Pengalaman baru ini tak menyenangkan mereka. Selama belayar menyusuri sepanjang Sumatra dan Jawa tak pernah orang memperlakukan demikian. Begitu perahu mereka terpancang pada patok dermaga atau cerocok takkan ada orang datang menjenguk untuk mengintip muatan. Orang membiarkan mereka mendarat, pedagang-pedagang berebutan untuk menjual atau membeli barang. Orang pun takkan menghalanginya bila mereka langsung pergi ke pasar pelabuhan. Di Lao Sam lain yang terjadi.
Tiga orang Tionghoa, bercelana dan berbaju serba putih, dengan topi di atas kuncimya, juga berwarna putih. Mereka semua bersenjata penggada kayu berbentuk blimbingan.
Esteban tak mengerti bahasa mereka. Rodriguez juga tidak. Pada mulanya mereka berdua disuruh mendarat.
Salah seorang di antara mereka berdua menolak untuk disuruh mendarat. Salah seorang di antara yang tiga memanggil teman-temannya. Dalam waktu pendek dermaga itu telah penuh dengan orang. Semua memperlihatkan sikap yang mengancam.
Untuk menyelamatkan perahu dan muatan agar tidak ditenggelamkan mereka naik ke dermaga, mengikuti tiga orang itu.
Mereka dibawa masuk ke dalam sebuah rumah besar berlantai batu gunung dan diperintahkan menunggu. Tiga orang itu masih tetap menjaganya, seakan mereka orang tangkapan.
Esteban dan Rodriguez mendapat tempat duduk pada sebuah bangku panjang. Penjaga-penjaga itu berdiri.
Dua jam kemudian mereka diperintahkan masuk lebih ke dalam lagi, di sebuah ruangan dengan perabot kayu. Tidak kurang dari tujuh orang telah duduk atau berdiri menunggu mereka dengan sikap seram, lebih seram lagi karena mata mereka berubah, seperti terbuat daripada kayu. Mereka berpakaian wama-warni, dan semua membawa kipas pada tangannya, sekalipun tidak dipergunakan. Mereka mengenakan pakaian seperti jubah, semua dari sutra, dengan lengan tangan lebar.
Seorang yang gemuk, berkumis dan berjenggot panjang tipis tergantung, menanyainya dalam Melayu.
Esteban tak dapat menangkap bahasanya. Rodriguez juga tak mengerti. Kata itu diucapkan begitu aneh pada perasaan mereka. Rodriguez Dez menatap Esteban dengan pandang bertanya. Esteban menggeleng. Bersama-sama mereka memandangi orang gemuk di hadapan itu, dan orang itu mengangkat alis. Esteban tidak dapat menahan tawanya mendengar orang gemuk itu bicara lagi. Dan orang gemuk itu tersenyum sambil mengangguk-angguk. Para pengapitnya mulai bicara. Dua orang Portugis itu semakin tidak mengerti.
Orang gemuk itu sekarang bicara pada para pengapitnya. Suara mereka ramai, tetapi badan mereka seakan-akan terbuat dan kayu seluruhnya, nampak sangat sulit untuk digerakkan.
Esteban merasa seperti sedang menonton suatu pertunjukan aneh, Tawanya meledak tak terkendalikan. Rodriguez juga merasa diundang untuk tertawa. Percakapan terpaksa dihentikan.
Dari dalam rumah muncul seorang Tionghoa lain, wajahnya tanpa kumis dan tanpa jenggot. Ia tidak mengenakan jubah tetapi bercelana dan berbaju longgar, tanpa topi, kakinya berkasut. Pakaiannya dari sutra dan nampak terawat baik. Ia berjalan langsung mendapatkan yang gemuk dan memberi hormat. Suatu pembicaraan telah terjadi. Orang baru itu bicara tenang. Si gemuk mengangguk-angguk
Orang baru yang langsing itu berpaling pada Esteban dan Rodriguez, mengawasi mereka tajam-tajam, dan terjadilah yang sama sekali mereka tak duga: Kalian orang Portugis memang pongah! tuduhnya dalam bahasa Portugis. Esteban dan Rodriguez tak dapat menyembunyikan kejutnya.
Kau bisa Portugis" Rodriguez Dez bertanya. Demi keselamatan kalian sendiri, lepaskan kepongahan itu, katanya tanpa perubahan nada, datar, tanpa tekanan. jangan kalian lupa, tak ada seorang pun suka pada Portugis di sini.
Matanya yang sipit menusuk mereka seakan hendak merabai pikiran yang tersembunyi dalam kepala mereka.
Esteban mencoba memperlihatkan keunggulan bangsanya dengan tawa kecil meremehkan.
Baik. Terserah pada kalian bagaimana hendak bersikap. Aku hanya memperingatkan. Itu pun kalau orang Portugis mengerti artinya nasihat.
Kau penterjemah" Esteban bertanya. Pemeriksa kalian.
Pemeriksa! Rodriguez tertawa mengejek. Apa yang hendak kau periksa" Kami bukan tangkapan kalian.
Aku yang memeriksai kalian, bukannya kau yang memeriksa aku Itu pun kalau kalian mengerti bahasa Portugis yang benar.
Kaulah yang pongah, bukan kami, bantah Esteban Kami orang bebas! gumam Rodriguez. Tak ada alasan memeriksa kami Kami menolak. Tak ada orang Portugis diperiksa di bandar asing.
Diam! bentak pemeriksa itu. Aku dengar kalian tidak mengerti Melayu.
Siapa bilang kami tak mengerti Melayu" Orang itu, Rodriguez menuding pada si gemuk, yang tak keruan Melayunya.
Seseorang memukul tangannya yang menuding dengan kasar. Rodriguez merah-padam karena merasa terhina. Tak pernah ada orang dari bangsa lain berani berbuat seperti itu terhadap orang Portugis. la berjalan menghampiri meja si gendut hendak memprotes.
Pemeriksa itu menangkap tangannya dan menyeretnya ke lempatnya kembali. Rodriguez meronta. Tetapi sikutnya terasa hendak patah dalam kempitan pemeriksa itu. Makin meronta makin dekat perbukuan sikutnya pada keremukan. Ia meringis tanpa bisa mengerti.
Orang Portugis juga perlu belajar sopan di negeri orang, kata pemeriksa itu, dan menyorong Rodriguez. Ingat-ingat, namaku Liem Mo Han.
Esteban mengawasi Liem Mo Han dengan pandang mempelajari cara orang itu dapat mengempit sahabatnya sehingga tak berdaya. Ia tak mencoba membelanya.
Baiklah kuterangkan pada kalian, orang-orang Portugis. Kalau kalian bersikap begini terus, aku, Liem Mo Han, akan lakukan segala sesuatu yang telah kalian lakukan terhadap diriku selama tiga tahun.
Esteban diam-diam mendengarkan dan memperhatikan tingkah laku dan bahasa Portugis Liem Mo Han yang cukup baik.
Rodriguez sudah berdiri lagi di tempat sambil meringis kesakitan, kemudian bertanya mencoba ramah: Bagaimana kau bisa berbahasa Portugis sebaik itu"
Itu bisa diceritakan nanti. Jadi nama kalian Esteban del Mar dan Rodriguez Dez. Siapa yang Rodriguez"
Kepala Rodriguez yang berambut pirang itu mengangguk.
Baik. Pekerjaanmu" Tentu bukan saudagar bukan nakhoda.
Dua orang Portugis itu berpandang-pandangan. Baiklah kalian tak perlu mengaku. Di perahu kalian telah didapatkan musket. Jadi kalian ini pelarian dari kapal Portugis. Jangan pura-pura bodoh, aku tahu peraturan dalam kapal Portugis. Hati-hatilah, kalian, jangan sampai membuat onar di sini. Kepala kami yang terhormat, Tuan Gong Eng Cu, masih berhati luas, masih dapat menenggang kelakuan kalian. Maka dengarkan: musket kalian dan mesiunya kami tahan untuk disimpan.
Liem Mo Han bicara seperti tiada kan habis-habisnya, tidak memberikan kesempatan pada Esteban ataupun Rodriguez untuk menyela.
Jadi kalian berdua tidak mempunyai sesuatu pekerjaan, kemudian ia memutuskan. Hanya punya musket, dan dengan senjata itu membajak perahu-perahu kecil di tengah laut.
Tidak benar! bantah Esteban.
Tidak ada bukti kami berdua pernah membajak, banlnh Rodriguez.
Memang tidak ada bukti dalam perahu kalian. Boleh jadi yang tak kalian butuhkan telah kalian buang ke laut, yang kalian butuhkan telah kalian telan.
Bukan kebiasaan dan bukan watak Portugis untuk membajak, susul Esteban dengan nada tersinggung.
Memang dengan satu-dua orang Portugis tidak pernah membajak. Tetapi dengan satu kapal, apalagi satu armada, setiap Portugis adalah bajak.
Itu soal tafsiran! bantah Esteban. Kami tidak membajak, kami berperang.
Itu soal tafsiran! tuduh Liem Mo Han. Setiap kapal dan armada Portugis tidak berperang, tapi membajak. Dan setiap orang Portugis yang jatuh ke tangan kami adalah juga bajak. Bukankah di negeri kalian juga ada hukuman terhadap bajak"
Berperang dan membajak tidak sama, bantah Rodriguez.
Ya, tidak sama, Esteban membenarkan, berperang punya tujuan lebih jauh, lebih mulia, membajak untuk dirinya sendiri.
Tujuan itu urusan kalian sendiri. Bagi mereka yang terkena aniaya perbuatan kalian tetap menganggap kalian bajak belaka. Kalian harus lakukan hukuman sebagai bajak. Lao Sam berada dalam wilayah kekuasaan Tuban. Hukuman atas bajak menurut ketentuan Tuban adalah kerjapaksa, entah sampai berapa tahun sesuai dengan ketentuan, untuk kemudian menjalani hukuman mati. Kami bisa serahkan kalian pada Gusti Adipati Tuban.
Dua orang petualangan itu menjadi lemas. Mereka terdiam.
Gong Eng Cu bicara dalam Tionghoa pada Liem Mo Han. Yang belakangan mengangguk-angguk dan nampaknya hanya mengiakan.
Kepala kami, Liem Mo Han meneruskan, mengatakan, kelihatannya kalian masih muda dan segar. Kekasaran nampaknya sudah jadi watak bangsa kalian. Kami bisa juga jual kalian pada Malaka. pada bangsa kalian sendiri. Dan karena kalian kelihatan kuat dan segar, bisa juga kami jual pada orang-orang Arab. Atau bisa kami pakai sendiri untuk membajak sawah.
Liem Mo Han diam. Gong Eng Cu dan pengapit juga diam. Semua mengawasi dua orang Portugis yang nampaknya kehilangan diri itu.
Kalau kami jual kalian pada Malaka, kalian akan segera naik ke tiang gantungan, dan kami mendapat uang tebusan. Kalau kami serahkan kalian pada Gusti Adipati Tuban, kalian akan lakukan kerjapaksa sebelum naik ke tiang gantungan. Tapi kami tak mendapat sesuatu keuntungan. Kalau kami jual kalian pada orang-orang Arab, kami akan mendapatkan keuntungan lebih banyak, dan kalian harus bekerjapaksa sampai mati tua. Ia diam lagi untuk dapat melihat hancurnya kebanggaan kebangsaan dua orang itu. Nah, pilihlah salah satu di antaranya.
Esteban del Mar dan Rodriguez Dez sejenak berpandang-pandangan dan berunding dengan matanya.
Tidak ada jalan untuk melarikan diri, Liem Mo Han memperingatkan.
Jadi mana yang dipilih, kalian, bajak laut celaka" Kami bukan bajak laut, Rodriguez membela diri. Kelakuan semua pelaut tak lain dari bajak. Esteban berpikir keras.
Kau, Esteban, yang lebih tua, bicara, kau! melihat orang itu masih juga berpikir keras ia meneruskan, barangkali Liem Mo Han ini kau anggap kurang berharga. Baik, silakan bicara sendiri pada kepalaku, Tuan Gong Eng Cu. Hanya, pakailah sedikit kesopanan. Kami tidak hargai kepongahan dan kebanggaan kalian. Bagi kami kalian tak lebih hanya bajak laut.
Esteban melangkah maju mendekati Gong Eng Cu, membungkuk memberi hormat dan membela diri: Tuan Gong Eng Cu, benar kami bukan bajak laut. Kami memang pelarian dari kapal Portugis di Malaka. Dalam perjalanan sampai kemari tak pernah sekalipun kami melakukan kejahatan di laut. Kami hanya ingin pesiar melihat negerinegeri Nusantara.
Setelah Liem Mo Han terjemahkan, Gong Eng Cu berkata melalui terjemahan: Kalian tidak sekedar hanya melihat negeri-negeri. Ada didapatkan senjata, mesiu, peta, kompas, teropong dan buku-buku dalam perahu kalian.
Tak pernah ada larangan membawa barang-barang itu, bahkan semua kapal Portugis dilengkapi dengan semua itu.
Kalian jangan permain-mainkan kami. Pelarian biasa tidak akan membawa semua itu, kalau tidak karena tidak sempat tentu sulit untuk bisa mendapatkannya. Kalian mempunyai cukup persediaan bahan makanan. Nampaknya kalian ini mata-mata Portugis.
Mata-mata" Esteban berseru kaget. Rodriguez terbeliak.
Apakah kalian ingin mencoba jadi mata-mata Sang Adipati Jepara" Nah, kau, Rodriguez, mengapa tak ikuti jejak temanmu menghadap Tuan Gong Eng Cu dengan baik-baik"
Rodriguez maju dan memberi hormat. Ia berdiri di samping temannya. Berkata: Sesungguhnya kami memang melarikan diri dari Malaka.
Aku percaya, jawab Gong Eng Cu. Kalau kalian mengaku bukan bajak laut, bukan mata-mata, mengapa tak juga menyampaikan kami apa rencana Portugis setelah merebut Malaka" Apakah kalian yang sudah bodoh, ataukah memang mau membodohi"
Tuan Gong Eng Cu, Portugis sedang menunggu datangnya tambahan kekuatan di Malaka. Mereka akan terus berlayar ke Maluku.
Ke Maluku" Begitu cepat" Gong Eng Cu terpekik dengan mata membeliak menatap Liem Mo Han. Kemudian ia bicara dengan penterjemah itu dan Liem Mo Han tidak memportugiskan.
Esteban dan Rodriguez berpandang-pandangan dan berunding dengan matanya.
Liem Mo Han menghampiri mereka, menusuk mereka dengan pandangnya, menetak: Pembohong!
Semua awak kapal tahu, sekarang Esteban mengambilalih.
Tadinya dimaksudkan akan memberangkatkan empat buah kapal. Tambahan kekuatan yang ditunggu belum juga datang Kalau dalam bulan Desember& Tuan Liem Mo Han mengerti artinya Desember"
Liem Mo Han mengangguk. Kalau dalam bulan Desember tambahan kekuatan itu tak juga datang, Portugis akan berangkat dengan jumlah kapal dan kekuatan orang yang ada saja.
Pembohong! bentak Liem Mo Han.
Kami tentu akan jadi pembohong kalau Malaka membatallcan niatnya, sambung Esteban.
Kalau kau bukan pembohong, jalan laut mana yang akan ditempuh"
Menyusuri Sumatra dan Jawa. Mengapa"
Karena hanya peluat-pelaut Jawa yang tahu jalan ke Maluku. Kami semua tahu, kapal-kapal Jawa selalu menenggelamkan kapal bukan-Jawa di perairan Maluku. Tak ada yang berani memasuki, bangsa apa pun, juga bangsa Tionghoa tidak.
Gong Eng Cu mengangguk-angguk mendengarkan terjemahan Liem Mo Han.
Jadi Portugis tahu dia akan berhadapan dengan kapalkapal Jawa di Maluku"
Portugis berangkat untuk berperang, kembali Esteban mendapatkan kebanggaan nasionalnya. Dan kami tak pernah kalah.
Apa yang kau bisa perbuat dengan keangkuhanmu" Aku bicara soal kenyataannya. Belum pernah kami dikalahkan baik di laut maupun di darat.
Dengarkan kalian, orang-orang Portugis. Kalau kalian temyata pembohong, bukan kami yang salah. Kalian pernah tangkap aku, kalian bikin aku jadi budak di dapur kapal kalian. Kalian telah bawa aku ke negeri kalian, mengarak aku keliling Lisboa jadi tontonan. Orang menariki kuncirku. Rasa-rasanya mau copot kulit kepalaku. Tiga tahun kalian telah siksa aku. Kalian jual aku pada orang Italia. Mereka menjual aku pada orang Moro. Kapal Moro membawa aku ke Benggala. Kalian hadapilah aku sebagai orang yang pernah kalian aniaya. Tiga tahun! Kalian jangan berlagak pemenang di sini.
Kami tak pernah tahu tentang itu.
Sekarang kalian tahu, dan kalian hanya bagian dari mereka selebihnya. Kalian memang selamat di bandarbandar Sumatra dan Jawa. Di Lao Sam ini tidak. Kalian tahanan kami.
Mereka berdua tak berani membantah. Mengapa diam saja" Gong Eng Cu mendesak. Kami bermaksud hanya hendak melihat-lihat negeri. Kalian mata-mata! tuduh Gong Eng Cu. Portugis sudah melakukan kejahatan di mana-mana, dan bersumbar hendak membawa bangsabangsa selebihnya pada peradaban. Kalian pelarian atau mata-mata sama saja. Sejak saat ini kalian tidak diperkenankan mendekati pantai. Begitu orang melihat kalian melanggar ketentuan, jiwa kalian jadi tebusan. Dan kalau temyata Peranggi datang ke Jawa membikin keonaran seperti di Malaka& .
Gong Eng Cu yang gendut itu tak meneruskan katakatanya. Ia mengangguk sambil memejamkan mata.
Biar pun begitu kami punya peraturan, tidak hanya Portugis, dan kami pun bisa jalankan aturan kami. Kami lihat kalian punya perahu sendiri. Dari siapa kalian merampasnya"
Kami pesan dari Pribumi Malaka. sambar Rodriguez. Membeli, memesan ataupun merampas sama saja. Kalau Portugis suka merampas atau memesan" Juga kami tidak mencurinya, tambah Roodriguez. Memang Portugis tidak pernah mencuri, hanya merampas dan menggagahi, kebiadaban yang tiada tara. Baik, tak ada gunanya bicara soal perahu dan isinya. Dengarkan, kepala kami, Tuan Gong Eng Cu, ingin melihat apakah kalian mata-mata atau bukan. Kami akan membutuhkan waktu untuk dapat kalian yakinkan. Nah, apa keahlian kalian"
Esteban dan Rodriguez berpandang-pandangan dan berunding dengan matanya.
Membuat arak, Rodriguez menjawab. Kalau ada buah anggur. Arak terbaik yang pernah dikenal orang.
Kalau kau pandai membuat arak terbaik, kau takkan gentayangan kemari, Liem Mo Han melecehkan.
Tidak bohong. Kami bisa bikin sendiri, arak merah dan putih dan kuning, mungkin lebih baik dari bikinan negerinegeri lain, Esteban memperkuat.
Takkan ada yang lebih pandai dari bangsa kami, jawab Liem Mo Han.
Boleh jadi, sambung Esteban. Kami juga bisa menukang.
Liem Mo Han tersenyum. Pengapit-pengapit Gong Eng Cu tertawa waktu mendengar terjemahan Liem.
Menukang adalah keahlian bagus, kata Liem Mo Han, dan aku kira takkan ada tukang lebih baik daripada bangsaku. Coba, perlihatkan tangan kalian padaku" dan penterjemah itu memperhatikan otot-otot lengan dan telapak tangan dua orang Portugis itu kemudian menggeleng-geleng melecehkan.
Memang kami tak pernah menukang dalam beberapa tahun belakangan ini, Esteban membela diri.
Pernahkah kalian menukang membikin kapal" Perahu kami itu aku sendiri yang merencanakan, laju seperti hiu, Rodriguez menerangkan dengan bersemangat
Betul, orang-orang bilang memang perahu luarbiasa. Pernah kalian membikin kapal"
Sekali lagi Esteban dan Rodriguez berpandang-pandang berunding dengan mata.
Pernah, Esteban mengangguk mengiakan..
Tentu saja. Membuat kapal" Uh, sudah selusin! Kapal apa" Kapal samudra" Kapal Portugis" Tentu kapal samudra, kapal Portugis. Rodriguez meyakinkan Liem Mo Han.
Aku tak percaya kalian bisa membikin kapal, Liem Mo Han mencoba mematahkan semangat mereka. Kalian terlalu muda untuk bisa bikin kapal, terlalu tidak tekun, terlalu pembual. Orang yang bisa bikin kapal tidak begitu tingkahnya. Juga tidak akan bertualang. Dia akan tetap tinggal di galangan negerinya sendiri. Kalian hanya pembual
Betul, kami berpengalaman, Rodriguez meyakinkan lagi.
Takkan ada yang bisa percaya kecuali kalian sendiri, Liem Mo Han terbatuk-batuk. Barangkali kalian pernah hanya menonton orang membikin kapal besar.
Di sepanjang pantai negeri Portugis orang membikin kapal samudra. Setiap bocah pernah melihat, kata Esteban.
Gong Eng Cu melambaikan tangan menyuruh dua orang itu menjauh daripadanya. Kemudian ia berundingan dengan para pengapitnya. Semua mereka ikut bicara. Orang gendut itu kemudian memberi perintah pada Liem Mo Han.
Kalian hanya penipu. Kalian masih beruntung kepala kami tidak sekejam dan tidak biadab seperti bangsa Portugis. Kepala kami. Tuang Gong Eng Cu. memerintahkan pada kalian untuk tinggal di Lao Sam sampai kalian dinilai. Kalau pada suatu kali ada kapal Portugis datang kemari untuk mencari kalian& kalian sendiri yang lebih tahu apa bakal terjadi.
Kami akan meneruskan pelayaran kami melihat-lihat Nusantara, bantah Esteban.
Tetapi Liem Mo Han tak peduli dan meneruskan: Kalian akan ditempatkan di sebuah rumah. Hanya dengan pengawalan boleh keluar dan situ.
Kami belum lagi mendarat di Lao Sam sini. Kalian yang memaksa kami mendarat, bantah Esteban. Dan kami hanya hendak belanja, sambut Rodriguez. Walau pun kalian tidak bisa dipercaya seperti halnya dengan orang Portugis selebihnya. kepala kami telah memberikan kemurahan pada kalian untuk bekerja di galangan kami. Kalian hanya melihat-lihat bagaimana kapal kami dibikin dan memberikan pendapat dan nasihat sekedamya.
Kembali dua orang itu berunding dengan matanya. Ya, berundinglah kalian. Sebelum kepala kami mengambil sesuatu keputusan, Liem Mo Han memberanikan mereka.
Di luar hujan jatuh berderai, lebat dan berangin. Ya, kau bisa lakukan itu, kata Rodriguez pada temannya, dan aku bisa membantumu. Terimalah. Tapi Esteban masih juga menimbang-nimbang. Asal kalian mengerti, tak ada di antara kami bisa memperrayai kalian.
Apa gunanya nasihat orang yang tidak dipercaya" tanya Esteban.
Kami yang menentukan. Bukan kau, Liem Mo Han melecehkan dengan bibimya. Hanya karena sikap pemurah kepalaku. Mestinya kalian cukup dibinasakan saja. Ia menunggu jawaban. Dan yang ditunggunya belum juga datang. Tidak percuma aku tiga tahun jadi budak kapal, kapalmu, kapal Portugis. Setiap hari mendengar ajaran yang muluk-muluk dengan perbuatan yang rendah. Itulah kalian orang Portugis. Ayo, jawablah kalau kalian sanggup!
Ya, kami sanggup, jawab Esteban.
Betapa cepat keputusan itu, Gong Eng Cu memberikan komentar.
Makin kelihatan petualangan kalian, kata Liem Mo Han. Tapi awas. Tujuh orang yang tersisa dari kapal kami telah kalian perbudak selama tiga tahun. Lima di antara kami akhimya kalian bunuh, kalian buang ke laut. Sekarang kalian hanya berdua. Kalian masih berhutang jiwa pada kami. Begitu kalian& .
Kami tak tahu begitu menyedihkan pengalamanmu. Esteban menanggapi.
Menyedihkan. memang. Semua yang datang dari Portugis selalu menyedihkan, dan itulah kabar gembira untuk kalian.
Esteban yang merasa tersinggung membalas Kelak. kalau kapal samudra kalian jadi, kalian bisa membalas dendam, membajak salah sebuah kapal Portugis yang pertama-tama kalian temui, menangkap semua awak kapalnya dan menjualnya pada siapa saja.
Kami bukan bajak, juga bukan keturunan bajak. Kami keturunan awak armada Ceng He yang besar& .
Apa yang dikatakan Liem Mo Han tidak keliru. Setelah armada Ceng He tak bisa balik ke Tiongkok. Armada ini kemudian berdiri sendiri, melakukan perdagangan sendiri dengan Malaka dan membuka pangkalan-pangkalan di Jawa. Dalam kekuasaan Tuban mereka mendapat perlindungan dan ijin berpangkalan di Lao Sam. Pangkalan pokok mereka dirikan di Sam Toa-lang.
Dari dua pangkalan itu juga mereka lakukan perdagangan dengan Atas Angin sampai-sampai memasuki Laut Merah.
Untuk membikin awak armada ini tidak lenyap ditelan oleh Pribumi, baik karena perkawinan mau pun karena kecilnya jumlah mereka. mereka mendirikan sebuah organisasi pengawal yang harus mempertahankan lembaga peradaban dan kebudayaan negeri leluhumya, bemama Nan Lung atau Naga Selatan.
Liem Mo Han adalah seorang pemuka Nan Lung, yang dihormati oleh masyarakat Tionghoa sepanjang pantai utara pulau Jawa. Di samping Portugis ia pun menguasai Jawa. Oleh Nan Lung dan masyarakat Tionghoa ia diangkat jadi penghubung antara Lao Sam dengan Toalang, juga diangkat jadi duta masyarakat Tionghoa dengan kerajaan Demak
Melihat Liem Mo Han tetap tak menghargai mereka. Esteban dan Rodriguez kembali mengambil sikap berhatihati.
Membajak adalah penghinaan untuk awak armada Ceng He yang besar, juga untuk keturunannya, Liem Mo Han memperingatkan. Kalau bukan karena kehendak kepala kami& lain lagi yang akan terjadi dengan kepala kalian. Hati-hati.
Gong Eng Cu tiba-tiba bicara lagi sambil melambaikan tangan dan Liem Mo Han menterjemahkan: Tempat kalian telah ditentukan. Semua keperluan sehari-hari kalian akan dipenuhi.
Kami akan berikan nasihat-nasihat kami pada kalian, jawab Esteban, tapi kembalikan barang-barang kami.
Kalau kapal kami jadi dengan baik, jangankan barangbarangmu seratus kali benda-benda berharga akan kalian dapatkan dari kami kata Gong Eng Cu. Jangan banyak bicara. Kalian sebagai orang Portugis telah mendapat kemurahan terlalu banyak.
Orang-orang yang menggiringnya dari pantai sekarang menghampiri mereka. Dengan isyarat mereka memerintahkannya berjalan keluar dari rumah besar itu. Mereka digiring di jalanan sempit, berpasir dan berdebu kuning, ke jurusan selatan, ditempatkan di sebuah kamar rumah batu dan terus-menerus dikawal.
Waktu pintu terpalang dari luar kamar mereka masih berdiri berpandang-pandangan. Tak ada sepatah kata keluar dari mulut mereka. Kemudian dengan serentak mereka berlutut dan membikin salib dengan jarinya.
Gong Eng Cu mempunyai rencana khusus terhadap mereka berdua. Pelaut-pelaut keturunan awak armada Ceng He sudah banyak yang ditangkap dan dibinasakan oleh armada Portugis. Dan mereka tak pernah dapat membalas. Armada mereka yang pada mulanya armada militer, kini hanya armada dagang belaka. Dengan Esteban del Mar dan Rodriguez Dez boieh jadi ia dapat memberikan sedikit tekanan pada Portugis.
Ia hendak pamerkan dua orang tangkapan itu pada umum. Setiap hari mereka dipekerjakan di galangan kapal di Dasun. Berita tentang mereka harus sampai ke Malaka.
Gong Eng Cu sendiri bukan keturunan awak armada Ceng He. Ia adalah keturunan ke enam seorang pendatang di Tuban. Ia adalah kepala masyarakat Tionghoa di Lao Sam. Tetapi ia bukan anggota Nan Lung. Ia tidak mempunyai sesuatu urusan dengan kekuasaan raja-raja setempat.
Setelah menyelesaikan urusannya di Lao Sam, dengan sebuah perahu layar milik Esteban dan Rodreiguez ia kembali ke Tuban.
0o-dw-o0 10. Idayu, Kamaratih Tuban
Kumbang-kumbang itu berputar-putar mengigal dalam tingkahan gamelan yang ria, seakan tak ada sesuatu pun yang mengancam kehidupan ini. Pakaian mereka gemerlapan mengeijap-ngeijap berkilauan ungu dan me rah dan kuning dan hijau be rma in-main dengan sinar lampulampu yang menyala dari semua penjuru. Warna-warna yang mengikat pandang dan gerak-gerik yang memukau perasaan.
Seakan langsung dari langit melawan serombongan kumbang jantan, dan buyarlah sekelompok betina yang berbahagia mengigal-ngigal dalam kedamaian itu. Mereka kemudian berkitar-kitar, berkelompok dan pecah. Sekelompok lagi dan pecah, berkelompok lagi dan pecah lagi, akhirnya jadi pasangan-pasangan asyik-masyuk yang berkobar-kobar. Sepasang demi sepasang terbang menghilang dibawa oleh impian untuk mereguk hidup sampai ke dasar cawan.
Yang tertinggal hanya sepasang saja, berputar mengigal bercumbuan. dan gamelan mulai menderu, memuntahkan gelora dan gairah mahluk untuk menunggalkan dua menjadi satu, dan satu untuk membanyak dan membiak mengisi seluruh buana dengan titik-titik kasihnya.
Mendadak gamelan jatuh menghiba-hiba dan pasangan kumbang itu kehabisan cumbu, kekeringan rayu.
Seekor kumbang jantan lain datang seakan dari alam lain, lebih besar, lebih gesit, lebih perkasa. Diceraiberaikannya pasangan itu. Gamelan mengendap-endap ragu dan kumbang betina itu merana melihat sang kekasih tercampak. Berdegup-degup gamelan meningkahi si betina yang lari terbang berputar-putar dalam kejaran jantan perkasa.
Betina itu mengendap, hinggap bersembunyi di balik sekuntum bunga. Si jantan perkasa terbang menghilang kehilangan arah. Tinggal si betina sepi sendiri, meratapi sepotong dari sayap kekasih yang sudah compang-camping, tersangsang pada selembar daun bunga.
Dan kumbang betina yang tertinggal sepi sendiri itu adalah Idayu. Kamaratih Tuban.
Di tempat yang ketinggian, di atas kursi kayu cendana berukir, duduk Sang Adipati. Pandangnya gelap menembusi ruang dan waktu. Pemusatan seluruh birahinya membisukan seluruh bunyi dan menghilangkan semua gerak. Yang tertangkap oleh batinnya hanya tubuh yang memancarkan daya tarik tiada terlawankan itu: Idayu! Idayu!
Bila pemusatarinya terputus oleh kenyataan, ia seorang adipati, seorang penguasa di antara para kawula, kendorlah semua ketegangan. la menghela nafas dan menyandarkan punggung pada kursi, diremas-remasnya jari-jarinya sambil menebarkan pandang pada semua orang yang duduk melingkari kalangan di atas lantai di hadapannya sama dan mendesiskan keluh kesakitan.
Sebelum Idayu turun menari di kalangan, satu barisan gadis para pembesar telah menari bersama memperagakan keindahan tubuh dan keluwesan gerak dan kecantikan wajah. Tapi Sang Adipati kehilangan gairah untuk memilih salah seorang di antaranya.
Idayu! Idayu! Hanya Idayu! Mengapa anak desa perbatasan ini mampu menaklukkan aku" Sekali-dua ia menghembuskan nafas keluh dan ratap yang ditenggelamkan oleh bunyi gamelan. Seakan aku bukan seorang tua, tapi seorang perjaka belasan tahun!
Di belakang Sang Adipati, berdiri di pinggiran, adalah Tholib Sungkar Az-Zubaid, berjubah genggang, bertarbus merah. Matanya menyala-nyala penuh nafsu berahi, menjamah dan menelan tubuh yang sedang berlengganglenggok menari itu. Ia tak terbiasa mendengarkan gamelan, tak terbiasa melihat tarian Jawa. Namun semua itu terasa jadi satu kepaduan yang indah pekat, suatu keindahan yang membersit dari pedalaman jiwa manusia, tak pernah ia dapatkan pada tarian Spanyol dan Portugis.
Idayu nampak seakan terbang, menggeleng-gelengkan kepala dan mengipas-ngipaskan sampur pada mukanya, seperti kumbang betina sesungguhnya yang sedang kehilangan akal dan berputus asa.
Ah, tubuh yang langsing berisi dan gerak-gerik yang memanggil-manggil untuk bercumbu itu. Kerjap mata dan geletar jari-jari yang mengundang bercengkerama dan bercinta itu& .
Tangan Tholib Sungkar Az-Zubaid mengepal-ngepal, seakan seluruh tubuh yang indah itu telah berada dalam genggamannya. Bahkan kulit penari di hadapannya itu pun utuh bersinar-sinar dalam kemudaannya!
Dalam meratapi sayap kekasihnya yang compangcamping, mata kumbang itu terayunkan ke atas, pada langit, menunggu datangnya kekasih baru. Dan Tholib Sungkar Az-Zubaid merasa dalam harapannya, kekasih baru itu tidak lain dari dirinya.
Di tempat duduknya, di samping Sang Adipati, agak di belakang dan di atas tikar di lantai, Sang Patih hampirhampir tak bergerak, takut kalau-kalau kehilangan mata rantai keindahan yang bertaut-tautan antara bunyi gamelan dan gerak si penari. Serasi yang padu itu membawanya terayun-ayun ke dalam pukauan alam mistik yang tak tertafsirkan. Lenyap terdesak segala kesulitan dan kepayahannya mengurus pemborongan rempah-rempah dari Maluku dan pengaturan kapal-kapal dan awaknya.
Tiba-tiba kumbang yang tertinggal sepi sendiri itu mengepakkan sayap dengan kejang, jatuh di bumi dan menggelepar. Gamelan mendadak berhenti. Idayu menata diri, bersimpuh dan menyembah Sang Adipati, hilang mengundurkan diri dari kalangan.
Dari-sana sini terdengar terbatuk-batuk dan mendeham. Pertunjukan selesai.
Sang Adipati meninggalkan pendopo dan langsung masuk ke peraduan. Dikebaskannya semua gambaran dan bayangan tentang Idayu. Sebuah pintu rahasia telah membawanya ke sebuah ruangan sempit. Dinyalakannya sebuah pelita gantung dan dengan itu membuka sebuah pintu lagi. Ruangan sempit itu menurun dua-tiga depa ke dalam tanah, dan makin lama makin dalam. Ia sedang memasuki ruangan rahasia.
Hanya seorang dalam satu generasi mengetahui adanya ruangan rahasia ini. Pengganti Sang Ranggalawe yang membangunkannya. Jalan yang bersambung dengan rongga bawah tanah ini memanjang hampir dua ribu depa, dan dikerjakan oleh bajak-bajak yang telah tertangkap. Pengganti Sang Ranggalawe tak sudi mengulangi nasib adipati yang digantikannya tertumpas punah oleh ekspedisi hukuman Majapahit. Maka dibikinnya terowongan panjang ini untuk melarikan diri dari kepungan. Setelah bajak-bajak ini menyelesaikan pekerjaannya, mereka di-sekap dalam salah sebuah ruangan dan dibunuh dengan asap belerang. Ruangan itu tak pernah dibuka lagi.
Ujung terakhir dari rongga ini adalah sebuah bukit rendah yang di-rimbuni oleh semak-belukar dalam hutan larangan.
Setiap Adipati Tuban digantikan oleh anaknya, ia mendapat petunjuk memasuki rongga ini dan mendapat kewajiban untuk setiap bulan memeriksa dan memperbaiki dengan tangannya sendiri pada bagian-bagian yang rusak.
Balok dan papan kayu jati tua merupakan dinding yang menolak gugurnya tanah. Tak ada tanda-tanda kayu itu melapuk selama lebih dari dua ratus tahun ini. Udara yang basah pengap pun tak kuasa merusakkannya: Sebentar Sang Adipati berpegangan pada salah sebuah balok. Dengan tangan lain ia menanting pelita gantung.
Gambar Idayu kembali mengunjungi pikirannya, dan dibawanya masuk ke dalam salah sebuah rongga. Ia masih tak rela sebelum mati tidak menyentuh hasil Awis Krambil yang terindah itu. Tetapi Idayu telah jadi milik seseorang, telah disaksikan oleh seluruh penduduk Tuban Kota. Ia tidak boleh meletakkan tangan di tengah-tengahnya. Ia harus mati tanpa menjamahnya. Ya, biar pun ia telah kirimkan Wiranggaleng jauh ke barat. Tidak, ia tak boleh lakukan itu.
Dari sebuah lemari batu berlapis kayu di dalamnya ia keluarkan selembar kulit yang telah bercendawan. Disekanya lapisan putih cendawan dengan pangkal lengan dan muncul sebuah peta laut peninggalan Majapahit, yang telah lebih seabad tak pernah diperbaiki. Peta itu sudah hampir hancur. Bahkan kulit itu sendiri sudah mulai melumut di sana sini.
Tak lama ia mempelajarinya. Dikembalikan barang itu di tempatnya semula dan bersiap-siap hendak melakukan pengawasan terhadap dinding dan penyangga. Udara yang lembab dan mencekik itu membatalkan niatnya. Memang ia tak pernah berjalan sampai ke ujung sana. Dahulu pernah ia tutup dengan papan di dekat ujung, karena ia takut kalaukalau ular memasuki dan menjadikan sarangnya.
Sambil berjalan balik ke bilik peraduan gambar peta dan gambaran Idayu silih-berganti mengisi pikirannya. Setiap kali ia hendak melukiskan tempat-tempat di mana Peranggi berada untuk mendapatkan kesimpulan gerak mana lagi yang akan diambilnya, gambaran Idayu juga yang muncul.
Sesampainya dalam peraduan ia tidak juga mengantuk. Ia keluar dan menuju ke keputrian.
Sepulangnya dari pendopo kadipaten Sang Patih membuat satu garis pada sebilah papan di mana tertulis nama Wiranggaleng dengan huruf Jawa. Pada papan-papan yang lain tercantum nama petugas laut dan darat yang bertugas di luar negeri. Dan coretan pada papan juara gulat itu semakin banyak juga, namun belum juga utusan itu pulang dari Jepara.
Tholib Sungkar Az-Zubaid berjalan cepat-cepat pulang. Langkahnya panjang-panjang dan jubahnya diangkatnya tinggi-tinggi seakan sedang berjalan di atas becekan.
Didapatinya Nyi Gede Kati telah nyenyak dalam tidurnya. Sekilas ia pandangi mulut wanita yang ternganga, melelakan giginya yang mulai kurang hitam. Ia mengangguk-angguk membenarkan. Dalam kotak-sirihnya sekarang tak pernah terdapat jahawe.
Ia nyalakan sebatang lilin baru dan berjalan menuju ke dapur. Di atas sebuah meja kayu kasar di ruangan dapur terdapat sebuah nampan, di atasnya berdiri gendi berisi air dan sesisir pisang susu. Ia keluarkan sebuah bungkusan dari saku di balik jubah. Dituangnya sedikit serbuk ke dalam gendi itu, diusap-usapnya gendi itu sambil tersenyum dan mengangguk.


Arus Balik Karya Pramoedya Ananta Toer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Suatu suara yang mencurigakan terdengar dari kejauhan. Buru-buru lilin ia padamkan. Ia tinggalkan dapur dengan tangan menggerayang.
Tak lebih dari setengah jam kemudian muncul Idayu membawa pelita gantung ke ruangan dapur. Diambilnya nampan berisi gendi dan sesisir pisang susu dan bersiap-siap hendak pergi lagi. Ia mulai melangkah balik. Terhenti. Sesuatu telah menyentuh kakinya. Ia letakkan kembali nampan dan menyuluhi lantai. Sebatang lilin tergolek di bawah. Ia pungut benda itu, memperhatikannya sebentar dan meletakkannya di atas meja. Kemudian ia meninggalkan ruangan dapur. Betapa keras desau an gin dan deburan laut malam ini.
Ia selalu berusaha untuk tidak mendengar. Justru karenanya terdengar lebih keras dan menggelisahkan pikirannya. Sekiranya suaminya ada di rumah, sekalipun tidak selalu di dekatnya, ia taklcan sesunyi itu, sewas-was ini, dan sekeras itu deburan laut dan desau an gin terdengar.
Sesampainya di dalam kamarnya sendiri ia letakkan nampan di atas meja, juga pelita itu. Kemudian sambil berdiri ia membuat sembah meng-ucapkan syukur pada Hyang Widhi karena tarian telah ia lakukan dengan baik tanpa kesalahan. Ia tak tahu ciptaan siapa tarian itu. Ia tidak suka menarikannya. Isinya tak mempunyai sangkutpaut dengan kebesaran alam dan para dewa. Ia merasa rusuh sekarang ini setelah menarikannya.
Ia lepas cundrik dari sanggul dan jatuhlah rambutnya terurai menutupi seluruh bahunya yang tertutup kain bahu itu.
Ia telah melangkah hendak keluar untuk menggosok gigmya dengan tepung arang. Tak jadi. Ia merasa lapar dan menangguhkan niatnya. Dipilihnya sebuah pisang terbaik.
Seekor kecuak temyata bertengger tanpa curiga pada ujung buah itu, mengatasinya dengan kumis panjangnya berayun-ayun seperti sedang menegur bagaimana tarianmu semalam ini"
Dengan cundriknya Idayu menepak binatang ramah itu sampai jatuh ke lantai dengan kumis dan beberapa di antara kakinya terpenggal.
Dan angin meniup kencang di luar, bersuling-suling di sela-sela genteng. Api pelita itu agak bergoyang. Idayu melihat ke atas. Tak ada sesuatu yang nampak kecuali langit-langit dari jajaran papan.
Dengan diam-diam ia kupas pisang dan memakannya kemudian menaruh kulitnya di atas nampan di atas meja. Setelah itu ia pun minum dari gendi.
Sekarang ia bergerak hendak keluar untuk menggosok gigi. Setelah itu, sebelum tidur, ia akan membacakan mantera untuk keselamatan suaminya. Tiba-tiba dirasainya kepalanya menjadi berat. Kekuatan dengan ccpat seakan tersedot keluar dari tubuhnya. Penglihatannya mulai berayun dan suram. Dengan langkah goyah ia berjalan menuju ke ambin. Ia rasai kepalanya menekan berat pada tubuhnya. Ia limbung. Cepat-cepat diraihnya ambin agar tidak terjatuh. Kakinya dirasainya tak kurang beratnya. Dan lidahnya terasa tebal dan kaku, menolak untuk bergerak atau digerakkan.
Dengan tangan satu ia telah berpegangan pada ambin. Ia masih sempat mendengar cundriknya jatuh di lantai. Ia ingat pada pintu yang belum dipasak, dan ia tahu harus memasaknya dulu. Ia tahu bagaimana pegangannya pada tepi ambin lepas tanpa semaunya sendiri. Ia merasa tubuhnya jatuh di lantai dan perasaannya berayun-ayun di awang-awang. Ia heran dan gugup, tetapi tak dapat berbuat sesuatu. Tubuhnya serasa bukan tubuhnya sendiri. Dan ia terkapar di lantai. Seluruh kesedaran tersedot keluar dari badan. Yang tersisa hanya suatu kesuraman.
Pada waktu itulah masuk Tholib Sungkar Az-Zubaid ke dalam kamar. Ia telah tidak berjubah lagj, tetapi bersarong dan berbaju kalong. Tarbus pun tiada pada kepala dan tongkat tiada di tangan. Ditutupnya pintu dan dipasaknya dari dalam. Diambilnya pelita gantung dari atas meja dan disinarinya wajah Idayu yang terkapar di lantai, tertidur. Diusap-usapnya pipi wanita itu. Pelita kemudian dijatuhkannya. Diangkatnya tubuh wanita itu dengan hatihati dan dengan hati-hati pula digolekkannya di atas ambin& .
Keesokannya matari telah tinggi di langit setelah dengan susah-payah menerobosi dasar laut Pintu kamar gandok kiri itu masih juga belum terbuka. Di gandok kanan para nakhoda dan saudagar telah meninggalkan tempatnya masing-masing untuk pergi ke kota atau mancal berpesiar. EM dapur kesyahbandaran Nyi Gede Kati sudah sibuk memasak.
Idayu belum juga muncul. Waktu menara pelabuhan mengirimkan taluan canang ke semua mataangin, Idayu baru membukakan mata. Tubuhnya belum juga bergerak. Ia terbangun dari suatu impian aneh. Dan ia mulai mengingat-ingat impian itu. Ia menggeleng tak mempercayai. Matanya dikocoknya. Menengok ke arah pintu. Ia ragu-ragu, tersentak duduk. Dilihatnya pasak pintu tidak terpasang. Juga tidak berdiri di tempatnya. Siapa gerangan telah memindahkan dari tempatnya yang biasa"
Ia terkejut waktu pikirannya menduga-duga barangkali ada orang masuk ke kamamya ataukah Galeng sudah pulang"
Ia hendak melompat turun. Tapi tubuhnya dirasainya sangat lemah. Pelan-pelan ia turun dari ambin. Kakinya tersentuh pada cundrik yang tergeletak di kolong. Dipungutnya senjata tajam itu dan dimasukkan ke dalam sarongnya yang juga tergeletak di lantai.
Ingatannya dikerahkan untuk meraih waktu semalam sebelum tidur.
Ia yakin semalam belum lagi naik ke atas ambin. Matanya terbeliak mendadak. Di tepian langit-langit dilihatnya serombongan semut berpawai menggotong kaki kecuak. Pelita gantung itu masih menyala tetapi tidak di tempat yang semestinya. Dan ia masih dapat mengingat dalam impian: seseorang mengangkatnya ke atas ambin dan hembusan nafasnya meniup pada mukanya. Sayup-sayup ia dengar suara yang dikenalnya itu merayukan kata-kata cumbu pada kupingnya.
Ketika Angin Bertiup 4 Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen Raja Tengkorak 1
^