Pencarian

Ayahku Bukan Pembohong 1

Ayahku Bukan Pembohong Karya Tere-liye Bagian 1


Sungguh Tere-Liye berhasil menggugah saya sebagai pembaca sekaligus seorang anak dari seorang ayah yang
sangat saya banggakan. A must read.
Amang Suramang, Penggerak di Goodreads Indonesia
Isinya tak hanya menggugah dan membuat haru, tapi membuat kita merasa perlu meneguhkan kembali keyakinan
dan kecintaan pada keluarga. Salut atas novel ini!
Arwin Rasyid, Presiden Direktur Bank CIMB-Niaga
Novel ini dapat menjadi langkah awal untuk menata ulang konsep budi pekerti di negeri ini.
Muliaman D. Hadad, Deputi Gubernur Bank Indonesia
NOVEL DEWASA Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
Kompas Gramedia Building Blok I, Lantai 5 Jl. Palmerah Barat 29-37 Jakarta 10270 www.gramedia.com Ayahku (Bukan) Pembohong.indd 1
om t.c po lo gs .b do ain st ak Setamat membaca buku ini, satu hal yang pasti nyata: saya menangguk banyak kearifan di kedalaman cerita.
A. Fuadi, Penulis Trilogi Negeri 5 Menara
TERE-LIYE pu Tere-Liye adalah pengarang beberapa novel dengan rating tinggi di website para
pencinta buku www.goodreads.com. Tere-Liye banyak menghabiskan waktu untuk
melakukan perjalanan, mencoba memahami banyak hal dengan melihat banyak
tempat. Selamat membaca novel kecil ini.
AYAHKU (BUKAN) PEMBOHONG Kapan terakhir kali kita memeluk ayah kita" Menatap wajahnya, lantas
bilang kita sungguh sayang padanya" Kapan terakhir kali kita bercakap
ringan, tertawa gelak, bercengkerama, lantas menyentuh lembut tangannya,
bilang kita sungguh bangga padanya"
Inilah kisah tentang seorang anak yang dibesarkan dengan dongengdongeng kesederhanaan hidup. Kesederhanaan yang justru membuat ia
membenci ayahnya sendiri. Inilah kisah tentang hakikat kebahagiaan sejati.
Jika kalian tidak menemukan rumus itu di novel ini, tidak ada lagi cara
terbaik untuk menjelaskannya.
Mulailah membaca novel ini dengan hati lapang, dan saat tiba di
halaman terakhir, berlarilah secepat mungkin menemui ayah kita, sebelum
semuanya terlambat, dan kita tidak pernah sempat mengatakannya.
TERE-LIYE BUKAN) PEMBOHONG AYAHKU ( AYAHKU (BU G N O H O B M KAN) PE 3/17/11 10:54 AM pu st ak ain do .b lo gs po t.c om Ayahku (bukan) pembohong Isi-Ayahku.indd 1 3/23/11 2:27:01 PM Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002
Tentang Hak Cipta t.c om Lingkup Hak Cipta Pasal 2: 1. Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta
untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, yang timbul? secara
otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi? pembatasan
menurut peraturan perundangan-undangan yang berlaku.
pu st ak ain do .b lo gs po Ketentuan Pidana: Pasal 72 1. Barangsiapa dengan sengaja melanggar dan tanpa hak melakukan perbuatan?
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 49 Ayat (1) dan
Ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing? paling singkat 1
(satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah),
atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh)? tahun dan/atau denda paling?
banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan,? atau
menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran? hak cipta
atau hak terkait sebagai dimaksud pada Ayat (1) dipidana dengan? pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling? banyak
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Isi-Ayahku.indd 2 3/23/11 2:27:01 PM Ayahku (Bukan) Pembohong Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
Jakarta, 2011 Isi-Ayahku.indd 3 3/23/11 2:27:04 PM AYAHKU (Bukan) PEMBOHONG oleh Tere-Liye GM 401 01 11 0013 Desain dan ilustrasi sampul oleh Lambok Hutabarat
? PT Gramedia Pustaka Utama
Jl. Palmerah Barat 29"37
Blok 1, Lt. 5 Jakarta 10270 Hak cipta dilindungi oleh undang-undang
Diterbitkan pertama kali oleh
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
anggota IKAPI Jakarta, April 2011 Cetakan kedua: Mei 2011 Cetakan ketiga: Juni 2011
304 hlm; 20 cm ISBN: 978 - 979 - 22 - 6905 - 5
Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, Jakarta
Isi di luar tanggung jawab Percetakan
Isi-Ayahku.indd 4 3/23/11 2:27:05 PM t.c om 1 Zas dan Qon po A pu st ak ain do .b lo gs ku berhenti memercayai cerita-cerita Ayah ketika umurku
dua puluh tahun. Maka malam ini, ketika Ayah dengan riang
menemani anak-anaku, Zas dan Qon, menceritakan kisah-kisah
hebatnya pada masa mudanya, aku hanya bisa menghela napas
tidak suka. Ingin sekali menyela, bilang bahwa Zas dan Qon
harus segera tidur, besok mereka harus bangun pagi-pagi, serta
bertumpuk alasan lainnya, mulai dari yang masuk akal hingga
yang dibuat-buat. Sayangnya, istriku sudah dua kali memberikan
kode di balik buku tebal yang sedang dibacanya. Kode itu bilang
dengan tegas, biarkan Ayah menikmati sedikit waktu dengan
kedua cucu menggemaskannya.
Ayah tertawa, terbatuk sedikit. Zas dan Qon, seperti yang
kuduga, bergegas berebut mengambilkan gelas air minum, sama
seperti waktu aku dulu masih terbilang anak-anak, yang juga
semangat memijat Ayah, mencabuti uban Ayah (yang baru satudua, jadi susah dicari), atau mengerjakan pekerjaan rumah,
Isi-Ayahku.indd 5 3/23/11 2:27:05 PM seperti menyapu, mengepel, melakukan apa saja yang disuruhnya,
harga atas kisah-kisah hebat itu.
"Kalian tahu si Nomor Sepuluh, bukan?"
"Yang mencetak gol tadi malam, Kek?" Mata Zas membulat.
"Qon tahu, Qon tahu," bungsuku beringsut menyikut kakak?
nya, "yang jago melewati tiga bek lawan sekaligus kan, Kek"
Zig-zag kiri-kanan, hop mengecoh kiper, dan GOL! Si Nomor
Sepuluh!" Qon meniru gaya idolanya selepas menceploskan bola
ke gawang lawan. "Yeah!" Ayah ikut melakukan gerakan yang sama, tertawa,
"Sstt, jangan bilang siapa-siapa, Kakek akan menceritakan raha?
sia besar pada kalian."
"Rahasia apa?" Zas dan Qon tertarik"tidak ada anak-anak
di atas dunia yang tidak tertarik dengan rahasia.
"Tetapi jangan bilang ke siapa-siapa."
Dua anakku menggeleng kuat-kuat.
"Janji?" Ayah mengangkat tangannya.
"Janji." Zas dan Qon sigap ikut mengangkat tangan.
Ayah tertawa, lantas berbisik, "Dua hari lalu si Nomor Se?
puluh menelepon Kakek langsung."
"Sungguh?" Mata Zas dan Qon langsung membesar.
"Kakek tidak sedang bergurau, kan?"
"Tidak, tentu saja Kakek tidak bergurau." Ayah pura-pura
menepuk dahi, pura-pura tersinggung.
"Kakek bahkan bilang padanya kalau di rumah kita ada dua
monster kecil yang suka sekali bermain bola, yang mengidolakan
klub terhebat, juga pemain terhebat di dunia. Dan kalian tahu
apa yang si Nomor Sepuluh katakan setelah mendengar itu" Si
Isi-Ayahku.indd 6 3/23/11 2:27:06 PM Nomor Sepuluh bilang, dia tidak sabar ingin sekali berkunjung
menemui kalian." Ayah kembali tertawa.
"Benarkah?" Zas dan Qon sekarang merapat mencengkeram
lengan Ayah. Aku semakin tersengal memperhatikan dari ujung ruangan.
Kepalaku mendadak kosong, laptop di hadapanku mendengung
pelan, tidak tersentuh satu jam terakhir. Apa yang Ayah bilang"
Si Nomor Sepuluh meneleponnya" Ini terlalu. Meskipun benar
pemain super berbakat itu dikenal ramah dan bersahaja, jika pun
betul pemain super terkenal itu rendah hati melakukan kontak
dengan penggemarnya, ayahku akan berada di urutan terakhir.
Jauh langit, jauh bumi. Omong kosong.
Hari ini umurku empat puluh. Sudah dua puluh tahun aku
berhenti memercayai cerita Ayah. Bukan karena kehilangan
semangat untuk mendengarkan kisah-kisah itu, bukan karena
tidak bisa menghargai seorang ayah, tetapi karena aku tahu persis,
ayahku seorang pembohong. Dan di rumah ini, aku tidak akan
membesarkan Zas dan Qon dengan dusta seperti yang dilakukan
Ayah dulu kepadaku. Mereka akan dibesarkan dengan kerja keras,
bukan dongeng-dongeng palsu. Tetapi aku sekarang tidak bisa
melarang Ayah agar berhenti bercerita, atau menegur Zas dan
Qon untuk segera meninggalkan kakeknya. Itu bukan hanya akan
menyakiti perasaan Ayah, tetapi juga perasaan kedua anakku.
Tiba-tiba aku tutup laptop dengan kasar. Suara berkeletak
membuat istriku menoleh, menghentikan tawa Ayah, Zas, dan
Qon. Menahan rasa jengkel, aku akhirnya memilih meninggalkan
ruang keluarga kami. Isi-Ayahku.indd 7 3/23/11 2:27:07 PM 2 Cedera om T pu st ak ain do .b lo gs po t.c iga puluh tahun lalu. "Kau sudah mengantuk, Dam?" Ayah tertawa menatapku.
Aku menggeleng kuat-kuat. Tidak. Aku pasti bisa bertahan
menunggu siaran langsung ini. Tadi pagi, seluruh teman di
sekolah sibuk meributkan pertandingan ini, bertengkar membela
klub kesayangan masing-masing. Mula-mula hanya berteriak


Ayahku Bukan Pembohong Karya Tere-liye di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

saling membanggakan, berdebat, lantas berakhir dengan saling
memiting, hingga guru datang memisahkan kami. Bagai?mana
mungkin aku tidak menonton"
"Percuma saja kau tunggu. Malam ini klub kesayangan kau
sepertinya bakal kalah tipis." Ayah duduk di sebelahku,
meletakkan segelas cokelat panas.
Aku kembali menggeleng kuat-kuat. Tidak mungkin. "Sang
Kapten bermain, Yah. Tidak ada yang bisa mengalahkan mereka
jika sang Kapten bermain," aku berkata teramat yakin.
"Ya, ya" Ayah tahu soal itu, tetapi sepak bola adalah per?
mainan tim, Dam. Mereka butuh waktu untuk menjadi tim yang
kompak." Isi-Ayahku.indd 8 3/23/11 2:27:08 PM "Sang Kapten akan membuat mereka kompak, Yah. Lihat,
sejak sang Kapten bergabung pada awal musim, dua puluh
pertandingan mereka tidak terkalahkan." Aku seperti komentator
pertandingan yang sudah siap mendebat Ayah dengan amunisi
data-data pertandingan sebelumnya.
Ayah menyimpul senyum, mengangguk. "Kau benar soal itu.
Tetapi malam ini lawan mereka berbeda. Juara bertahan. Meski
bermain di kandang sendiri, tidak mudah mengalahkan juara
tahun lalu." Aku tetap menggeleng tidak terima, bersiap membantah,
tetapi urung. Televisi mungil kami mulai menampilkan siaran
pembuka pertandingan. Mulutku segera tertutup, menatap
layar kaca tanpa berkedip. Stadion penuh warna merah. Ma?
lam itu pertandingan putaran pertama semifinal Liga
Champions Eropa dimulai. Pembawa acara dan rekannya sibuk
meng?oceh tentang betapa akbarnya pertandingan ini. Dua klub
terbesar dari dua negara saling bertemu. Sang juara bertahan
melawan klub underdog, yang mendadak tidak terkalahkan
sepanjang musim. Angka statistik ditampilkan. Analisis lengkap disajikan. Aku
mendengus. Aku tahu itu semua tidak perlu. Aku tidak sabar
menunggu pertandingan dimulai. Aku bersorak senang saat
akhir?nya layar kaca menayangkan sang Kapten yang berlari-lari
kecil bersama rekannya keluar dari ruang ganti menuju lapangan
hijau. Terdengar gemuruh suara pemimpin pertandingan lewat
loud speaker. Aku hafal sekali ritual klub ini, hafal kalimatkalimatnya (meski dalam bahasa asing). "Inilah dia pemain
terhebat milik kita! Pujaan hati seluruh penggemar! Inilah dia
pencetak gol ter?banyak! Inilah dia"." Dan aku sudah berdiri,
Isi-Ayahku.indd 9 3/23/11 2:27:09 PM bersama puluhan ribu penonton di stadion sana, ikut berteriak
kencang-kencang, "EL CAPITANO! EL PRINCE!"
Bulu kudukku berdiri, ikut merasakan atmosfer teriakan yang
membahana di langit-langit stadion. Sang Kapten tersenyum.
Rambut ikal panjangnya bergoyang anggun. Kamera televisi
mengambil gambar dari jarak dekat. Sang Kapten ramah me?
lambaikan tangan. Ayah tertawa, menyuruhku duduk. "Dam, jangan-jangan ma?
lam ini jika sang Kapten kalah, kaulah orang yang paling sedih
sedunia." Dan Ayah benar. Dua babak pertandingan berlalu. 2 x 45 menit dijeda istirahat
15 menit telah usai. Meski sang Kapten bermain bagai serigala
lapar, terus mengejar bola dengan semangat, mereka tetap kalah
dramatis 3-2. Dua kali sang Kapten menjebol tim lawan yang
dijaga kiper terbaik dunia dengan sundulan mautnya, tetapi
musuh lebih tangguh dan lebih kompak, mengejar ketinggalan,
balas merangsekkan tiga gol balasan.
Aku tidak kuasa menahan tangis saat menit ke-89"satu
menit lagi sebelum pertandingan usai"ketika sang Kapten
semakin gigih menerjang untuk menyamakan kedudukan, salah
satu bek lawan menebas kakinya. Dalam gerakan lambat yang
menyedih?kan (replay televisi), sang Kapten tersungkur. Setengah
menit ia tidak berdiri-diri juga. Bergegas petugas membawa
tandu ke dalam lapangan. Sang Kapten cedera, digantikan pe?
main lain. Seluruh stadion senyap. Pembawa acara pertandingan
terdiam. Keheningan mengungkung langit-langit. Dan sebelum
jutaan peng?gemar sang Kapten menyadari apa yang baru saja
terjadi, wasit sudah meniup peluitnya. Pertandingan berakhir.
10 Isi-Ayahku.indd 10 3/23/11 2:27:10 PM Klub yang mengejutkan daratan Eropa enam bulan terakhir
berhasil di?kalahkan. Ayah benar, aku tiba-tiba menjadi orang paling sedih sedunia.
Kerongkonganku tercekat, dadaku menyempit, seperti ada yang
terenggutkan. "Tidak mengapa, Dam, tidak mengapa." Ayah mengelus ram?
but?ku, menghibur. "Kau tahu, kekalahan seperti ini justru baik
bagi mereka. Agar mereka bisa menilai kembali kelebihan dan
kekurangan tim. Sang Kapten tahu persis, cepat atau lambat
mereka pasti kalah, hanya soal waktu."
Aku tetap menangis sedih, mengabaikan kalimat Ayah.
"Ini bukan kiamat, Dam. Hanya satu kekalahan biasa. Minggu
depan, pada kesempatan kedua, mereka bisa membalasnya de?
ngan selisih gol lebih baik. Kau tentulah tahu, jika bisa menang
satu gol saja, mereka akan unggul selisih gol, dan tetap bisa lolos
ke final." Aku tidak peduli, menyeka pipi. Klub kesayanganku kalah
dan pemain idolaku terkapar cedera. Siapa yang bisa memastikan
minggu depan sang Kapten bisa bermain" Tanpa sang Kapten,
tim mereka hanya sekumpulan pemain biasa berseragam me?
rah. "Dam." Ayah menjawil bahuku.
Aku tidak mengacuhkan Ayah.
"Kau tidak mengenal sang Kapten kalau begitu." Ayah ter?
senyum hangat, terdiam sejenak, mengelus dahinya. "Baiklah
ka?lau ini akan membuat kau berbesar hati, Ayah akan men?
ceritakan salah satu rahasia besar Ayah."
Aku tidak tertarik"meski selama ini aku selalu tidak sabar
men?dengar Ayah memulai dongeng-dongeng hebatnya, tidak
11 Isi-Ayahku.indd 11 3/23/11 2:27:11 PM sabar menunggu Ayah bercerita menjelang tidur. Rasa sedih ini
menyelungkup hatiku, menghilangkan banyak selera, termasuk
soal "rahasia besar Ayah".
"Percayalah, Dam. Sang Kapten akan bermain minggu depan
walau dengan kaki dibebat. Sang Kapten akan membalas ke?
kalahan ini. Dia tidak akan menyerah, tidak akan pernah. Ayah
berani bertaruh." Aku menoleh, terdiam oleh suara Ayah yang begitu meyakin?
kan. Belum pernah ia bercerita dengan kalimat semantap ini.
Aku menatapnya, menelan ludah. Bagaimana Ayah tahu"
"Karena malam ini, jika kau orang yang paling sedih di
seluruh dunia atas kekalahan ini, Ayah-lah orang yang paling
mengenal sang Kapten di seluruh dunia. Inilah rahasia terbesar
Ayah." Mataku langsung membulat. Bagaimana mungkin"
*** Sejak kecil, bahkan sejak aku belum bisa diajak bicara, Ayah
sudah suka bercerita. Ia menghabiskan banyak waktu menemani?
ku, membacakan buku-buku. Ketika halaman buku-buku itu
habis, meski sudah membeli buku-buku terbaru dari toko dan
me?minjam seluruh tumpukan buku di perpustakaan, Ayah mulai
mencomot begitu saja dongeng dari langit-langit kamar. Ia pen?
dongeng yang hebat. Sepotong benda atau satu kata bisa ber?
ubah menjadi dongeng yang menakjubkan. Entah sejak kapan,
Ayah mulai menceritakan masa kecilnya, masa mudanya. Dan
aku tidak tahu lagi mana batas dongeng dan cerita nyata atas
kisah-kisah itu. 12 Isi-Ayahku.indd 12 3/23/11 2:27:12 PM pu st ak ain do .b lo gs po t.c om "Sewaktu kecil, sang Kapten pernah dipanggil si Keriting
Pengecut." Dini hari itu, dua puluh tahun silam, sambil meng?
geser gelas cokelat yang telah dingin ke arahku, Ayah memulai
cerita hebatnya. "Sungguh?" Aku menyeka pipi. Meski sudah membaca banyak
artikel, menyimak banyak liputan televisi, aku tidak pernah tahu
bahwa sang Kapten pernah memiliki nama panggilan yang mem?
buat kesedihan di hatiku seketika terusir, berganti rasa ingin
tahu. Fakta ini menarik, karena separuh teman-teman sekolah
me?manggilku si Keriting (rambutku memang keriting), sedang?
kan separuh yang lain memanggilku si Pengecut (dengan satu
alasan tertentu). Kalau digabungkan, astaga, aku memiliki
panggil?an yang sama dengan sang Kapten.
"Seperti yang kau tahu, Dam, Ayah pernah mendapat bea?
siswa untuk sekolah di luar negeri. Nah, apartemen Ayah tidak
jauh letaknya dari flat sempit milik keluarga sang Kapten."
Aku takjub menatap Ayah, mengabaikan komentator bola
yang masih sibuk menganalisis pertandingan barusan. Apa yang
Ayah katakan" Ia dulu bertetangga dengan sang Kapten"
Ayah mengangguk. "Ayah mengenal baik anak itu. Siapa pun
yang bertemu dengannya akan segera terkesan. Bagaimana tidak,
tampilannya menarik, sudah keriting, hitam, pendek pula. Siapa
sangka, sekarang dia menjadi idola jutaan orang, termasuk kau,
Dam." Teruskan, Yah. Teruskan. Aku menunggu tidak sabar.
"Ayah kenal pertama kali saat umurnya baru berbilang dela?
pan, lebih muda dibanding kau sekarang. Keluarga mereka mis?
kin, imigran dari negeri jauh. Papa sang Kapten mati dalam
perang saudara di negeri asal mereka. Setelah berbulan-bulan
13 Isi-Ayahku.indd 13 3/23/11 2:27:13 PM berjuang melintasi perbatasan, mamanya berhasil membawanya
pergi." Ayah terhenti sejenak, menyuruhku meminum cokelat
dingin di atas meja. Aku menyeringai. Aduh, sepertinya Ayah tidak akan me?
lanjutkan cerita kalau aku tidak mau meminumnya. Baiklah,
enam tegukan cepat, gelas dalam genggamanku kosong. Aku
per?lihatkan pada Ayah, yang justru tertawa melihatku, yang
sudah tidak peduli lagi pada layar televisi yang sedang meng?
ulang terjadinya dua gol sundulan sang Kapten.
"Sang Kapten bekerja keras sejak kecil, Dam. Dia harus
mem?bantu mamanya bertahan hidup. Ayah mengenal sang
Kapten pertama kali saat memesan sup hangat lewat telepon
di salah satu restoran terkenal kota itu. Malam-malam yang
dingin, tugas kuliah menumpuk, perut Ayah lapar. Satu jam
se?telah meletak?kan gagang telepon, pintu apartemen Ayah baru
diketuk. "Ayah beranjak dari kursi dengan perasaan jengkel. Pelayan
restoran yang menerima pesanan Ayah tadi menjanjikan maksi?
mal tiga puluh menit sup hangat itu sudah sampai, tapi ini su?
dah satu jam. Terlalu. Saat Ayah siap menyemprot, di depan
bingkai pintu, dengan terbata-bata bocah petugas pengantar
makanan itu men?jelaskan. Dia bilang, ban sepedanya bocor, ter?
benam di tumpuk?an salju enam blok dari situ. Dia sudah
berusaha lari secepat mungkin membawa kantong makanan itu.
Sialnya pula, lift apar?temen macet. Bocah itu terpaksa menaiki
seratus sepuluh anak tangga agar tiba di lantai delapan. Dia
meminta maaf karena sudah membuat Ayah menunggu begitu
lama. Dia sudah ber?usaha sebaik mungkin.
"Ayah termangu, menatap lamat-lamat bocah itu, dari ujung
14 Isi-Ayahku.indd 14 3/23/11 2:27:14 PM pu st ak ain do .b lo gs po t.c om rambut ikalnya hingga ujung sepatu bututnya yang basah karena
salju. Napas anak itu masih tersengal. Dia menyeka keringat
yang mengalir deras. Seragam restorannya lembap. Terlihat sekali
dia tidak berdusta. Ceritanya bisa dibuktikan dengan me?lihat
tampilannya. Rasa marah Ayah mencair, berganti gumpal iba.
Kau tahu, Dam, anak itulah sang Kapten. Dialah El Capitano
pada masa lalu. Dialah El Prince, pemain sepak bola terbaik saat
ini, berdiri kedinginan di depan pintu apartemen Ayah."
Mulutku membuka separuh, ternganga. Sungguh" Ayah tidak
bergurau, bukan" Baru tadi siang teman-temanku sibuk pamer
poster keren sang Kapten, kaus sang Kapten, syal klub, dan topi
klub. Bahkan Jarjit, yang orangtuanya kaya raya, memperlihatkan
bola yang ditandatangani sendiri sang Kapten waktu ia seke?
luarga pelesir ke luar negeri menonton langsung. Sombong sekali
Jarjit memamerkannya, lantas bilang, "Dan kau, Pengecut, mana
koleksi kau" Atau jangan-jangan ayah kau yang miskin itu bah?
kan tidak mampu membelikan kartu bergambar."
Sekarang, apa aku tidak salah dengar" Ayah bilang dia me?
ngenal langsung sang Kapten" Ini jelas beribu kali lebih keren
dibanding bola Jarjit. Ayah mengangguk, senyumnya mengembang. "Itu benar, Dam.
Sang Kapten bekerja di restoran sup jamur itu. Umurnya dela?
pan, tubuhnya pendek, badannya kerempeng, dan rambutnya
ikal. Malam itu Ayah bertanya apakah dia masih harus meng?
antar pesanan berikutnya. Dia menggeleng, bilang itu pesanan
ter?akhir sebelum berganti jadwal dengan yang lain. Ayah me?


Ayahku Bukan Pembohong Karya Tere-liye di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nawari?nya masuk, untuk menghangatkan badan di dalam, dan
me?nikmati sup jamur. Dua menit dia ragu-ragu. Ayah membujuk?
nya. Malam itu, Dam, kami tertawa sambil menghabiskan sup
15 Isi-Ayahku.indd 15 3/23/11 2:27:15 PM jamur yang sudah dingin. Anak itu menyenangkan sejak kecil,
ramah, dan mau belajar apa saja. Dia belum pandai mengguna?
kan bahasa negeri barunya, maka kami banyak bergurau tentang
kosa?kata, hingga malam semakin larut dan dia harus pulang
sebelum mamanya telanjur cemas menunggu."
"Kau lihat." Ayah menunjuk layar televisi yang sedang mem?
perlihatkan gambar ulang sang Kapten yang ditandu keluar
lapangan. Wajah sang Kapten meringis menahan sakit. "Minggu
depan dia akan bermain, Dam. Meski dengan bebat di kaki,
meski dengan cedera menyakitkan, karena itulah sang Kapten
yang sebenarnya. Sejak kecil dia tidak pernah berhenti bekerja
keras. Sejak kecil dia belajar langsung kalimat "jangan pernah
me?nyerah". Sang Kapten akan kembali dan dia akan mengalahkan
lawan-lawannya. Semangatnya tidak akan patah oleh kaki yang
patah, apalagi hanya cedera ringan. Ayah tahu sekali itu. Itulah
El Capitano, El Prince sejati!" Ayah menatapku dengan sorot
meyakinkan, mengepalkan tangannya penuh semangat.
Aku menelan ludah, terdiam sejenak, kehabisan seruan apalagi
pertanyaan. Lima belas detik ruang keluarga lengang.
"Kalian belum tidur?" Ibu muncul dari balik pintu kamar,
rambut?nya acak-acakan, daster biru mudanya kusut, walau ia
tetap terlihat cantik. "Sudah selesai bukan siaran langsungnya?"
"Sebentar lagi, Bu." Aku jelas-jelas tidak mau tidur sebelum
mendengar seluruh cerita Ayah. Ini cerita terhebat yang pernah
kudengar dari Ayah. "Tidur, Dam. Ini sudah pukul tiga dini hari." Ibu mendelik.
"Empat jam lagi kau harus sekolah. Bukankah sore-sore pula
kau harus ikut seleksi renang?"
16 Isi-Ayahku.indd 16 3/23/11 2:27:16 PM Aku merengut, itu bisa diurus nanti-nanti. Aku menoleh ke arah
Ayah, meminta dukungan. Tetapi setelah berpikir sejenak, Ayah
ikut menyetujui kalimat Ibu. "Ibu kau benar, kita bisa lanjut?kan
besok lusa." Dan Ayah beranjak membereskan meja. Aku ber?kata
"ya" pelan, kecewa. Aku harus bilang apa" Jika Ayah sudah bi?lang
begitu, sekuat apa pun aku membujuk, tidak akan berhasil.
Malam itu, hingga dua tahun ke depan, kisah tentang sang
Kapten menyingkirkan cerita-cerita lain. Aku tidak tahu apakah
Ayah berbohong atau berkata benar. Aku masih terlalu kecil
untuk menyimpulkan. Aku tersuruk-suruk masuk ke dalam
kamar, menatap selintas poster raksasa sang Kapten di dinding.
Tentu saja aku punya benda koleksi El Capitano, banyak, tapi
aku tak akan seperti Jarjit. Kata Ayah, dalam salah satu cerita?
nya, "Meski memiliki apel emas"benda paling berharga se?
dunia"penduduk Lembah Bukhara tidak pernah menyombong?
kan diri, Dam." Aku mengempaskan tubuh di atas kasur. Menguap lebar.
Tidak mengapa sang Kapten kalah, minggu depan ia pasti bisa
membalasnya. Sementara suara Ibu sayup-sayup terdengar. "Seharusnya kau
berhenti menceritakan hal-hal itu."
"Ah, dia akan belajar banyak hal baik dari cerita-cerita itu."
"Itu benar, tetapi suatu saat dia akan mulai bertanya apakah
cerita-cerita itu nyata."
Tidak terdengar kalimat Ayah menanggapi.
"Suatu saat kelak, kau tidak akan siap dengan rasa ingin tahu
Dam." Aku sudah menarik selimut, tidak tahu apa yang mereka bi?
cara?kan. Semoga tidur singkatku diisi mimpi menonton langsung
17 Isi-Ayahku.indd 17 3/23/11 2:27:17 PM sang Kapten di stadion megah. Aku tersenyum memejamkan
mata. "Inilah dia pemain terhebat milik kita! Pujaan hati seluruh
penggemar! Inilah dia pencetak gol terbanyak! Inilah dia"." Dan
aku bersama puluhan ribu penonton sudah bergemuruh se?
rempak menyambung teriakan pemimpin pertandingan, "EL
CAPITANO! EL PRINCE!"
18 Isi-Ayahku.indd 18 3/23/11 2:27:18 PM 3 Klub Renang E mpat jam kemudian, esok harinya.
"Bergegas, Dam. Kau sudah terlambat!" Sambil mengomel,
Ibu me?masukkan celana dan kacamata renang ke dalam kantong
plastik, mencari sepatu, sekaligus meneriakiku yang masih ber?
kutat memasang seragam sekolah.
"Bukannya sudah Ibu bilang, kau tidak usah menonton per?
tandingan semalam. Nanti-nanti bukankah ada siaran ulangnya?"
Kepala Ibu menyembul dari balik pintu kamar, melotot, tidak
sabar melihatku. Aku tidak menjawab, bergegas memasukkan kancing terakhir,
menyambar topi dan dasi, mengambil tas dari Ibu, memakai se?
patu seadanya tanpa kaus kaki (bisa kupakai lengkap kalau su?
dah di sekolah), mengeluarkan sepeda, lantas berteriak pamit.
"Kau belum menyisir rambut, Dam!" Ibu berteriak.
Sepedaku sudah meluncur. Ayah yang sedang menyiram halaman tertawa kecil melihat?
ku. 19 Isi-Ayahku.indd 19 3/23/11 2:27:19 PM Dalam sekejap, saat udara pagi menerpa wajah, rasa kantukku
hilang. Apa yang dini hari tadi Ayah bilang" Sang Kapten
pernah menjadi tukang antar sup jamur dengan sepeda" Itu
kabar hebat, sama denganku yang setiap hari harus mengayuh
sepeda ke sekolah. Aku tidak akan mengeluh lagi. Peduli amat
jika suatu saat Jarjit diantar dengan helikopter sekalipun. Peduli
amat kalau hanya aku yang memakai sepeda besar tua yang
tidak proporsional dengan tubuh kecilku.
Tiupan angin pagi membuat rambutku mengering, dengan
cepat helai ikalnya berebut mengembang"apalagi tanpa disisir.
Aku menyeringai sekali lagi, aku juga tidak akan mengeluh soal
panggilan si Keriting (Pengecut). Itu tidak penting. Bukankah
sang Kapten waktu kecil juga dipanggil seperti itu" Itu justru
panggilan hebat. Aku mengayuh sepeda lebih kencang. Matahari
sudah tinggi. Aku terlambat setengah jam. Ibu guru menyuruhku berdiri di
pojok kelas. Teman-temanku tertawa, mengolok-olok. Aku hanya
menyeringai. Aku punya energi bahagia tidak terbilang pagi ini,
tidak akan habis walau sepanjang hari diolok-olok atau di?
hukum. "Kaki kau pegal, Dam?" Taani, satu-satunya anak perempuan
di kelas memanggil namaku, mendekati mejaku saat bel istirahat
berbunyi. "Payah, seharusnya dia bisa mencetak tiga gol kalau tidak di?
curangi." Sebelum aku menjawab pertanyaan Taani, suara serak
Jarjit sudah terdengar di dekat kami. "Tim lawan jahat, menebas
kaki sembarangan. Dasar pecundang."
"Benar itu. Benar." Kamerad-kamerad Jarjit mengiyakan tidak
mau kalah. 20 Isi-Ayahku.indd 20 3/23/11 2:27:20 PM "Kau semalam menonton tidak, Pengecut?" Jarjit menoleh
kepadaku. "Atau jangan-jangan di rumah kau tidak ada televisi?"
Kerumunan itu tertawa. Aku hendak membalas kalimat Jarjit, tetapi Taani sudah me?
narik tanganku, mengajak menjauh.
"Sang Kapten memang jago sekali menyundul bola. Dua gol
dari sundulan. Dia memang tinggi, aku sampai harus mendongak
saat minta tanda tangannya dulu. Yah, tanda tangan di bola itu,
yang kuminta langsung darinya, tahu kan?" Suara Jarjit terdengar
di langit-langit kelas. "Berapa tingginya sang Kapten, Kawan?" salah satu begundal
Jarjit bertanya. "Paling tidak dua meter," Jarjit menjawab mantap, seperti baru
tadi pagi saja ia mengukur tinggi badan bersama-sama sang
Kapten di poliklinik. "Dasar sombong," Taani bersungut-sungut di sebelahku. "Aku
berani bertaruh, dia paling juga tidak menonton, hanya melihat
beritanya tadi pagi, sekarang berlagak paling tahu. Mentangmentang punya bola sialan itu, bukan berarti dia paling tahu
soal sang Kapten." Aku menyeringai, menatap wajah bundar Taani yang diterpa
cahaya matahari pagi. Lapangan sekolah ramai oleh anak-anak
yang bermain bola kasti. Tertawa, saling kejar, dan mengincar.
Bunga bugenvil tampak mekar di pagar, berbaris, merah, putih,
kuning, warna-warni indah.
"Kalau kau, pastilah menonton." Taani nyengir lebar, menyikut
lenganku. "Buktinya kau sampai kesiangan dan terlambat seko?
lah, Dam. Lihat, mata kau masih ada beleknya."
21 Isi-Ayahku.indd 21 3/23/11 2:27:21 PM Aku tertawa. Terlepas dari Taani tidak pernah memanggilku
si Keriting Pengecut, dalam banyak hal aku suka Taani.
"Per?tandingannya seru, bukan?" Taani bertanya ingin tahu.
Aku meng?angguk, rambut ikal di kepalaku bergerak-gerak
tidak ter?atur. *** Pulang sekolah, dengan menumpang angkutan umum, Ayah men?
jemputku. Ia langsung mengantarku ke klub renang kota kami.
"Apakah sang Kapten tinggi, Yah?" Aku memegang lengan
Ayah. Ayah menggeleng. "Pendek, Yah?" Ayah menggeleng lagi. "Tingginya berapa senti, Yah?"
"Rata-rata kebanyakan," Ayah menjawab singkat, memperhati?
kan jalan yang ramai melalui jendela angkutan.
"Apakah Ayah dulu pernah ke rumah sang Kapten?"
Ayah mengangguk. "Ceritakan, Yah". Ceritakan!"
Ayah menggeleng, lebih tegas.
Aku mendesah kecewa, menggoyang lengan Ayah.
"Kau tidak mau rahasia besar kita diketahui orang lain, kan?"
Ayah berbisik menenangkanku, melirik depan, samping kirikanan yang dipenuhi penumpang. "Nantilah kalau waktunya pas,
akan Ayah lanjutkan cerita itu."
"Janji?" aku mendesak.
Ayah tertawa kecil, mengangguk. Angkutan umum yang kami
22 Isi-Ayahku.indd 22 3/23/11 2:27:22 PM tumpangi berhenti untuk kesekian kali. Gerimis membasuh kota.
Jalanan ramai oleh orang-orang yang berebut menuju tujuan
sebelum hujan telanjur membesar.
"Kau siap, Dam?" Ayah melihat pangkuanku, kantong plastik
berisi celana dan kacamata renang yang disiapkan Ibu tadi pagi.
Aku mengangguk. Dua hari lalu, catatan waktuku sudah di
bawah satu menit lima belas detik. Itu syarat utama lolos men?
jadi anggota klub renang. Aku jauh lebih dari siap dibandingkan
tes seminggu lalu atau dua minggu lalu. Setelah dua kali gagal
berturut-turut, ini tes ketiga bagiku dan menjadi kesempatan
terakhir sebelum seleksi tahun ini ditutup.
Kolam renang kota ramai oleh anak-anak. Beberapa di antara?
nya teman sekolahku. Orangtua dan penonton lainnya duduk di
tribun, mengembangkan payung besar warna-warni. Kami
berganti pakaian. Gerimis mulai menderas. Pelatih renang
dibantu dua anak yang sudah menjadi anggota klub keluar de?
ngan daftar nama, menyuruh kami berbaris menunggu giliran.
Aku sedikit menggigil, kedinginan menunggu seleksi dimulai.
Angin kencang membuat bendera di atas menara pengawas
kolam berkelepak. Sialnya aku malah menguap. Kurang tidur
semalam mulai terlihat akibatnya.
Pelatih memberikan instruksi dengan pengeras suara. Ia men?
jelaskan nama besar dan prestasi gemilang klub renang sepuluh
tahun terakhir, dan kamilah yang akan meneruskan catatan emas
itu"tentunya jika kami terlebih dulu berhasil lolos tes sore ini.
Aku tidak terlalu mendengarkan. Mataku sudah menyipit saat
menyadari salah satu anak yang membantu pelatih adalah Jarjit.
Bergaya sekali ia memeriksa barisan, dengan tongkat pendek di
tangan, sudah seperti perenang paling top.
23 Isi-Ayahku.indd 23 3/23/11 2:27:23 PM "Sepertinya kau tidak akan lolos lagi, Pengecut." Jarjit me?
nyengir lebar saat melihatku, akhirnya.
Aku diam, tidak menjawab.
"Kau terlalu pendek untuk menjadi perenang, dan rambut
kau, astaga." Jarjit terbahak melirik kepalaku. "Kau harus hatihati, jangan-jangan kalau kolam ini ada ikannya, mereka me?
nyangka itu sarangnya."
Aku hendak mendorong dada Jarjit yang sengaja menusuknusukkan tongkatnya ke dadaku. Angin kencang. Aku menelan
ludah, mendongak menatap bendera yang berbunyi kelepakkelepak. Bukankah Ayah pernah bercerita bahwa suku Penguasa
Angin bisa bersabar walau beratus tahun dizalimi musuh-musuh
mereka" Suku itu paham, terkadang cara membalas terbaik
justru dengan tidak membalas.
"Atau kau perlu disiapkan tim penyelamat. Aku khawatir
rambut kau ini terlalu berat dan membuat kau tenggelam." Jarjit
masih terus sibuk menggangguku, sengaja membuatku jengkel.
Aku hanya menyengir tipis menatap Jarjit. Aku tidak akan
tergoda menanggapinya. "Kenapa kau pendiam sekali, Pengecut" Takut nama kau ku?
coret, hah" Dan celana renang kau ini" Tidak bisakah ibu kau
mencari model dan warna yang lebih baik" Norak." Jarjit
menyeringai buruk. Wajahku kali ini memerah, bukan karena
dadaku sakit ditusuk tongkatnya, tapi marah karena ia mem?
bawa-bawa Ibu dalam olok-oloknya.
Untunglah pelatih renang memanggil Jarjit sebelum tanganku
terangkat. Gangguannya terhenti. Wajah Jarjit yang justru seka?


Ayahku Bukan Pembohong Karya Tere-liye di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rang berubah menggelembung jengkel. Aku mengusap wajahku
yang basah oleh air hujan. Itulah kenapa aku selama ini senang
24 Isi-Ayahku.indd 24 3/23/11 2:27:24 PM dengan cerita-cerita Ayah. Lihatlah, Jarjit bukan jengkel karena
dipanggil pelatih, ia jelas-jelas jengkel karena gagal membuatku
jengkel"padahal ia yang menzalimi. Aku menatap lagi kelepak
bendera dengan napas lega, membiarkan rintik air menerpa. Me?
nurut cerita Ayah, ia bahkan pernah terbang di atas layanglayang raksasa bersama salah satu Penguasa Angin, mengelilingi
padang penggembalaan luas milik mereka. Aku tidak akan
pernah lupa cerita hebat itu.
Pelatih memulai tes seleksi.
Namaku di urutan kedua puluh. Itu berarti bersama tujuh
anak lain aku berada di gelombang ketiga tes renang jarak se?
ratus meter. Aku melemaskan tangan dan kaki, melirik tribun.
Ayah yang duduk di bawah payung besar berwarna kuning meng?
acungkan tangannya. Aku tertawa. Pelatih menyuruh kami ber?
siap, mengambil ancang-ancang. Pelatih meniup peluit kencang.
Aku gesit meluncur ke dalam air. Rasa dingin langsung me?
nyergap. Cipratan air di mana-mana. Hujan semakin deras.
Gerak?an badanku terasa lebih berat. Apakah startku terlambat"
Apakah anak di sebelahku sudah melesat satu meter lebih cepat"
Aku memutuskan berhenti berpikir. Saatnya mengayuh kaki dan
tangan secepat mungkin. Aku tersengal. Tiga puluh lima detik
aku tiba di ujung kolam. Dengan gerakan yang sudah kuhafal
mati, aku cepat membalik badan seratus delapan puluh derajat,
mengentakkan kaki ke dinding kolam, meluncur, kembali me?
ngayuh kaki dan tangan. Ayah berdiri dengan payungnya saat aku menyentuh tempat
start. Aku tersengal, berusaha melihat ke jalur kiri-kanan, ter?
tawa lebar, dan menepuk permukaan air. Aku berhasil me?
nyelesai?kan tes lebih cepat dibanding tujuh anak lain. Limit
25 Isi-Ayahku.indd 25 3/23/11 2:27:25 PM waktu itu pasti terlewati, boleh jadi rekor tercepat klub. Aku
telanjur berpikir jumawa. Aku berlari-lari mengambil handuk,
berteduh di bawah kanopi kolam, lalu mengeringkan badan.
Hanya tersisa tiga gelombang tes lagi, masing-masing delapan
anak. Setengah jam berlalu, pelatih menyuruh kami berbaris lagi
di pinggir kolam. Aku menelan ludah tidak mengerti, anak-anak
yang lain juga saling tatap. Bukankah sudah selesai" Tinggal
ditempel saja catatan waktu kami" Delapan peserta dengan hasil
terbaik lolos. Kenapa kami disuruh berbaris kembali"
"Sebulan terakhir, dua kali seleksi, kami mendapatkan enam
belas anak berbakat." Pelatih meraih pengeras suara, berusaha
mengalahkan berisik hujan. "Tetapi lihat, hari ini hanya tersisa
separuhnya. Sisanya tidak berhasil memenuhi standar klub renang
kebanggaan kota kita, tersingkir bahkan sebelum meng?ikuti
lomba renang satu pun. Semua orang mulai lupa, piala-piala yang
berada di lemari besar klub tidak sekadar didapatkan dari ke?
cepatan, tetapi juga daya tahan dan semangat juang. Mu?lai hari
ini, klub memutuskan untuk menambah satu kriteria tes seleksi.
Hanya anak-anak yang tidak kenal menyerah, terus berjuang
hingga titik akhirlah yang berhak menggunakan jaket kebanggaan
klub. Maka kita akan memulai seleksi kedua, daya tahan."
Aku mengusap air di wajah. Hujan semakin deras. Beberapa
penonton menyingkir ke ruangan tertutup, menonton dari balik
jendela kaca. Apa pun bentuk tes kedua ini, sepertinya menjadi
kabar buruk. Aku tidak sempat menyiapkan diri. Hanya delapan
anak yang ikut tes daya tahan, aku berada di jalur keenam.
Pelatih meneriaki kami dari tepi kolam, menyuruh kami bersiapsiap. Mataku mendongak ke arah tribun. Bersama segelintir pe?
nonton, Ayah masih bertahan duduk di sana.
26 Isi-Ayahku.indd 26 3/23/11 2:27:26 PM Pelatih meniup peluit. Aku bergegas meloncat ke dalam di?
ngin?nya air. Tidak ada alat penghitung waktu, stopwatch. Tes ini sederhana.
Kami hanya diminta berenang selama mungkin. "Berikan yang
terbaik. Jika kalian bisa berenang hingga hujan reda, matahari
tenggelam, bulan muncul, terus lakukan. Kayuh hingga kaki dan
tangan kalian tidak bisa digerakkan. Hanya empat peserta
terakhir yang berhasil bertahan di kolam yang berhak menjadi
anggota klub!" pelatih berseru galak, bergeming dari pinggir
kolam. Tangan dan kakiku terus mengayuh. Setengah jam berlalu,
satu anak sudah berhenti di ujung kolam, tersengal, menyerah.
Aku mengertakkan gigi. Aku bisa bertahan lebih lama dari itu.
Lima belas menit kemudian, dua anak menyusul menyerah, be?
renang gontai ke tepi kolam dengan sisa-sisa tenaga. Ayolah, aku
membujuk seluruh tubuhku, tinggal satu pesaing lagi, bertahan
sebentar saja dan semua akan berhasil. Aku melirik Ayah yang
sudah berdiri di tribun. Bendera sudah berhenti berkelepak. Air
hujan mengalahkan angin. Butiran hujan, seperti senapan mesin,
me?nembaki dari langit. Aku menggigit bibir, berusaha menebal?
kan niat. Aku tidak akan menyerah semudah itu.
Pengaruh kurang tidur semalam semakin memengaruhi
stamina?ku. Tubuhku lemas. Tangan dan kakiku semakin berat
di?gerakkan. Ayolah, aku mendesis. Bukankah Ayah tadi malam
bilang sang Kapten tidak pernah menyerah" Semangatnya tidak
pernah patah meskipun kakinya patah ditebas bek lawan. Karena
itulah El Capitano sejati.
Aku membayangkan wajah sang Kapten lekat-lekat, mengingat
semua pertandingannya. Sang Kapten yang terus belari mengejar
27 Isi-Ayahku.indd 27 3/23/11 2:27:27 PM bola, bertarung satu lawan satu dengan bek lawan, mengecoh
kiper. Gaya selebrasi yang dia lakukan dan potongan gambar itu
ter?henti. Kakiku tidak kuasa lagi mengayuh. Tanganku men?
dadak seperti kaku, tidak bisa diperintah. Gerakanku terhenti
persis di tengah kolam. Tubuhku mengapung, tersedak, berusaha
menggapai-gapai udara sebelum tenggelam.
Pelatih tanpa menunggu sedetik pun sudah meloncat ke da?
lam kolam. Ayah melemparkan payungnya, berlari menuruni
tribun. Kali ini, cerita-cerita itu tidak bisa menolongku.
*** Wajah yang pertama kali kulihat saat membuka mata adalah
wajah itu. Wanita tercantik di dunia. Senyum wanita itu me?
ngem?bang. Ada denting air di pelupuk mata. Ia menciumi ke?
ning?ku dengan lembut, berbisik pelan, "Dam, ini Ibu, Sayang"
Ibu." Aku mengangguk lemah, berusaha melihat sekitar, berpikir di
mana aku sekarang. Ayah mendekat, tertawa kecil, menepuknepuk bahuku. "Kau sudah siuman, Dam. Jagoan Ayah sudah
siuman." Pelatih berhasil menangkapku sebelum aku meminum air
kolam lebih banyak, memberikan pertolongan pertama. Ayah
ber?gegas memanggil petugas kesehatan. Aku dibawa pulang.
Tergolek lemah di ranjang tidak sadarkan diri, aku ditunggui Ibu
sejak enam jam lalu. Sepertinya sudah malam. Aku melihat jam
dinding, sudah pukul sembilan.
"Tes renangnya bagaimana?" aku bertanya lemah.
"Kau masih bisa ikut seleksi tahun depan."
28 Isi-Ayahku.indd 28 3/23/11 2:27:28 PM "Astaga, tidak bisakah kita lupakan sebentar tes itu?" Ibu yang
menyeka pipinya menyela kalimat Ayah. "Bagi Ibu, meskipun
kau tidak jadi anggota klub olahraga mana pun, kau tetap anak
paling hebat di seluruh kota."
Ayah menyeringai di belakang punggung Ibu, memasang
wajah aneh dan tanda tanduk di kepala dengan tangan. Aku
hendak tertawa, tapi tawaku menjadi batuk kecil. Itu kode kami
setiap kali Ibu meneriakiku.
Ibu meraih gelas di meja, menyuruhku minum. "Kau harus
banyak istirahat, Dam, agar lekas pulih." Ibu menoleh ke arah
Ayah yang masih memasang tanda, lalu melotot. "Dan kau,
malam ini tidak ada cerita-cerita itu. Libur. Dam harus tidur
lebih cepat." Ayah menyeringai, buru-buru mengangguk.
29 Isi-Ayahku.indd 29 3/23/11 2:27:29 PM 4 Kesempatan Kedua G erimis di luar mulai menderas. Ruang keluarga kami.
"Yang itu Zas sudah tahu, Kakek," sulungku dengan cepat
menjawab. "Qon juga tahu, si Nomor Sepuluh mencetak tiga gol di final,
hatrick ke" ya, hatrick keenamnya musim lalu. Eh, benar tidak,
Kak?" Qon menggaruk-garuk kepalanya, lupa-lupa ingat, me?
masti?kan pada kakaknya. Zas mengangguk, mengiyakan.
Ayah terkekeh, meletakkan gelas cokelat panas, menunjukku
yang sedang mengambil beberapa kertas di atas meja. "Kalian
mirip sekali dengan papa kalian dulu, hafal di luar kepala seluruh
angka. Malah lebih hafal dibandingkan pelajaran sekolah."
"Memangnya waktu kecil Papa suka bola, Kek?" Zas ber?
tanya. "Lebih dari siapa pun yang Kakek kenal. Dia penggemar sepak
bola nomor satu." Ayah menyeringai lebar, terdiam se?bentar
melihat wajah anak-anakku. "Papa kalian tidak pernah cerita?"
Zas dan Qon serempak menggeleng.
30 Isi-Ayahku.indd 30 3/23/11 2:27:30 PM "Papa belum pernah bercerita," Qon berbisik.
"Papa tidak suka bercerita," Zas pelan menambahkan.
Ayah menghela napas panjang, tidak terdengar oleh dua cucu
menggemaskannya, tapi aku yang sedang berdiri sepuluh langkah
dari sofa tempat mereka duduk bisa merasakan embusan napas
itu. Termasuk tatapan redup Ayah. Ingin sekali aku berseru tegas
menjawab tatapan itu, "Iya, aku tidak pernah bercerita ke Zas dan
Qon. Lantas apa itu salah" Mereka tidak akan dibesar?kan dengan
cerita-cerita itu. Dunia mereka berbeda." Namun gerakan purapura istriku yang hendak mengambil pensilnya mem?buat mulut?ku
tersumpal, urung. Aku bergegas meraih charger laptop yang
tertinggal, kembali masuk ke ruang kerja. Setidaknya aku tidak
perlu mendengar Ayah. Besok lusa aku bisa memberikan
pengertian kepada Zas dan Qon bahwa cerita-cerita itu tidak
penting. Tidak perlu dimasukkan ke hati. Kakek hanya bergurau,
sedang bermain-main, sama seperti saat aku mengajak mereka
bermain scrabble, puzzle, monopoli, atau sejenisnya.
"Papa kalian dulu penggemar berat pemain bola dengan juluk?
an sang Kapten." Suara berat Ayah terdengar sayup-sayup dari
ruang keluarga. "El Capitano" El Prince?" Zas bertanya.
"Kau tahu pemain itu?" Ayah menepuk dahi. "Pemain itu men?
jadi idola tiga puluh tahun silam, sebelum kalian lahir. Bagai?
mana mungkin?" "Qon juga tahu, Kakek." Bungsuku membanggakan diri.
"Kami tahu semua tentang bola," Zas berkata jumawa.
Ayah menggelengkan kepalanya. "Tetapi yang ini kalian pasti
tidak tahu." "Coba Kakek bilang, kami pasti tahu."
31 Isi-Ayahku.indd 31 3/23/11 2:27:31 PM Ayah menyeringai. "Baiklah. Apakah kalian tahu bahwa sang
Kapten, idola papa kalian dulu waktu masih kecil, adalah paman
si Nomor Sepuluh, idola kalian saat ini?"
Zas dan Qon terdiam, perlahan menggeleng, menatap wajah
kakeknya yang justru tertawa lebar.
"Benar, kan" Kalian tidak tahu itu. Itu juga salah satu rahasia
besar Kakek." Ayah selalu pandai mengarang-ngarang cerita. Dari ekspresi
wajahnya dan intonasi kalimatnya, kalian pasti akan menyangka
semua itu benar"tidak peduli walau cerita itu amat tidak ma?suk
akal. Aku yang sayup-sayup masih mendengar percakapan me?
reka, terpisah dua belas meter, dua ruangan, perlahan meng?hela
napas, menatap ke luar jendela. Air hujan membasuh bunga
bugenvil. Kaca mengembun. Kerlip lampu taman terlihat indah.
Itu cerita yang menarik, bahkan bagi wartawan sepak bola yang
pe?malas sekalipun. Si Nomor Sepuluh, pemain termahal saat ini,
pencetak empat gol di final Piala Dunia tahun lalu, ternyata
masih kerabat legenda sepak bola, sang Kapten. Yang benar saja.
Di ruang keluarga, Zas dan Qon berebut posisi memijat bahu
Ayah. *** Beranda rumah kami, tiga puluh tahun lalu. Aku duduk ber?
selonjor di tegel, bersandar di dinding, memainkan jari kaki de?
ngan tidak bersemangat. "Tidak mengapa, Dam. Kau hanya harus menunggu setahun
lagi agar mendapat kesempatan kedua. Sang Kapten bahkan
menunggu tiga tahun untuk mendapatkannya." Ayah ikut duduk
32 Isi-Ayahku.indd 32 3/23/11 2:27:32 PM di sebelahku, menyambar koran yang dilempar loper, pagi per?
tama setelah kondisi badanku membaik.
"Kau hanya tidak beruntung, terlampau lelah kurang tidur,
tidak bisa berenang lebih lama. Sang Kapten ditolak karena dia
tidak punya uang dan tidak cukup tinggi bahkan sebelum bisa
mencoba." Aku menoleh pada Ayah. "Kau sudah siap mendengarkan lanjutan cerita sang Kapten?"
Ayah tertawa menggodaku. Aku menyeringai, ikut tertawa, mengangguk.
"Kami menjadi teman baik sejak malam itu, Dam. Dua hari
kemudian, Ayah kembali memesan sup hangat, dan sang Kapten
kecil yang mengantar. Kami berbincang banyak hal. Meski usia?
nya baru delapan, dia mempunyai mimpi dan cara berpikir
seperti orang dewasa. Aku bertanya, benda apa yang menyembul
di saku celananya. Dia tertawa, mengeluarkan bola kasti yang
sudah separuh botak. Dia suka bermain sepak bola, tapi tidak
cukup uang untuk membeli bola sungguhan. Hanya dengan bola
kasti yang dia temukan di kotak sampah itulah dia menggunakan
halaman belakang restoran sebagai tempat bermain, sambil
menunggu tugas mengantar pesanan. Menendang-nendang bola


Ayahku Bukan Pembohong Karya Tere-liye di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kasti, membuat lingkaran target di dinding, memasang tiangtiang halang, dan berlatih menggiring bola. Itu cara yang baik
untuk mengusir rasa bosan sampai pemilik restoran menyuruh?
nya bergegas membawa pesanan."
Aku mengangguk-angguk, sepertinya latihan yang menarik.
"Sang Kapten ingin menjadi pemain hebat, Dam. Bukankah
dengan begitu keluarga mereka punya uang banyak" Dia bisa
membelikan ibunya rumah yang layak. Dia ingin menjadi pe?
33 Isi-Ayahku.indd 33 3/23/11 2:27:33 PM main bola karena dia suka. Itu hidupnya. Itu mimpinya. Di kota
tempat Ayah menyelesaikan beasiswa ada dua klub besar, sang
Kapten memilih yang terbaik. Usia tujuh tahun dia ikut antrean
panjang seleksi. Petugas menolaknya, karena dia tidak membawa
uang pendaftaran yang hanya beberapa peso. Usia delapan dia
kembali. Setelah berbulan-bulan mengumpulkan uang tips meng?
antar sup, petugas seleksi tetap menolaknya mentah-mentah,
karena dia tidak memenuhi standar tinggi badan, kurang se?
tengah senti. Itu terjadi sebulan setelah Ayah mengenalnya.
"Urusan setengah senti itu sempat mengganggu sang Kapten.
Dia kehilangan semangat persis seperti kau saat ini. Ketika Ayah
me?mesan sup jamur berikutnya, yang mengetuk pintu apartemen
bukan sang Kapten. Ayah bergegas menelepon restoran itu, ber?
tanya ke mana bocah kecil yang biasa mengantar. Bos restoran
bilang anak itu sudah tiga hari tidak masuk." Ayah terhenti se?
bentar, balas melambaikan tangan pada pejalan kaki yang me?
nyapanya. "Mungkin sang Kapten sakit, Yah?"
"Itu juga yang Ayah tanyakan. Bos restoran bilang tidak tahu.
Ayah bertanya apakah bisa mendapatkan alamat anak itu" Bos
restoran bilang dia tidak tahu. Apakah ada karyawan lain yang
tahu rumahnya" Bos restoran bilang juga tidak tahu. Astaga,
Ayah jengkel mendengarnya. Bagaimana mungkin tidak ada yang
tahu" Beruntung, penjaga apartemen Ayah, yang juga suka me?
mesan sup jamur hangat, tahu di mana keluarga sang Kapten
berada." Ayah terhenti lagi, balas melambaikan tangan pada
pejalan kaki yang melintas di depan rumah kami"sepertinya
seluruh kota mengenal Ayah.
"Ayah pergi ke rumah sang Kapten?" Aku tidak sabar.
34 Isi-Ayahku.indd 34 3/23/11 2:27:34 PM "Tentu saja," Ayah menjawab pendek, sekarang santai mem?
buka koran pagi. "Sungguh?" Aku berusaha menyingkirkan perhatian Ayah dari
koran. Ayah mengangguk. "Nah, ini kabar baik bagi kau." Ayah me?
nyerahkan koran, halaman olahraga. "Sang Kapten hanya cedera
ringan, dipastikan bermain di putaran kedua minggu depan."
Aduh, aku menyeringai, membaca sekilas judul berita dengan
huruf besar-besar itu. Ada cerita yang lebih menarik dibanding?
kan ini. Lagi pula, tadi pagi aku juga sudah tahu lewat berita
televisi. "Bagaimana rumah sang Kapten, Yah" Besar" Kecil" Ayah ke
kamarnya" Apakah ada poster-poster seperti kamarku" Apakah
sang Kapten punya koleksi gambar idolanya?" Aku mencengke?
ram lengan Ayah. Sayangnya Ayah hanya tertawa, matanya kembali pada koran,
membaca halaman berita politik dengan takzim. Aku mendengus
kecewa. Kalau sudah begini, tamat sudah cerita sang Kapten pagi
ini. Ayah tidak akan melanjutkannya hingga lain kesempat?an.
Ibu keluar membawa nampan sarapan, memotong wajah sebal?
ku. Ibu berbicara tentang tetangga yang minta tolong satu-dua
hal pada Ayah, lantas mengacak-acak rambutku sebelum kembali
ke dapur. "Nah, kauhabiskan roti selainya ya, Dam."
Aku mengangguk malas, kembali memainkan ujung jari kaki.
*** Esok harinya, di halaman sekolah, aku bertengkar dengan
Jarjit. 35 Isi-Ayahku.indd 35 3/23/11 2:27:35 PM "Sepertinya dugaanku benar, Kawan. Rambut jeleknya mem?
buat dia tenggelam. Meluncur ke bawah seperti patung batu."
Jarjit tertawa, diikuti kameradnya yang selalu setia.
"Sepertinya kau harus melupakan klub renang. Itu hanya
untuk anak-anak keren. Pengecut keriting seperti kau tidak
pantas bergabung, bisa membuat buruk foto-foto klub." Jarjit
tambah semangat mengolok melihatku hanya diam.
"Setidaknya aku mengikuti seleksi dengan baik." Aku me?
nyengir pada Jarjit, berkata kalem, akhirnya menanggapi. "Se?
tidaknya aku tidak diterima masuk klub hanya karena ayahku
penyumbang terbesar."
"Kau bilang apa?"
"Kasihan, bahkan kalimat sesederhana itu saja kau tidak me?
ngerti." Aku melambaikan tangan, beranjak meninggalkan wajah
merah Jarjit. Ia langsung menerkamku, memiting. Aku membalas, juga ikut
memukul. Satu lawan lima, teman-temannya ikut mengeroyok.
Anak-anak berteriak. Taani berlari-lari melaporkan ke ruang
guru. Lima belas menit berlalu, aku dan Jarjit sudah digelandang
ke ruangan kepala sekolah.
Ibu dan ibu Jarjit dipanggil, bertemu dengan kepala se?kolah
yang baik hati (syukurlah), seorang bapak berumur enam puluh
tahun dengan wajah menyenangkan.
"Bukan aku yang memulai, dia yang mulai mengejekku!" aku
protes, menunjuk Jarjit. "Kenapa aku juga ikut dihukum?"
Kepala sekolah menggelengkan kepala, menyuruhku bersalam?
an dengan Jarjit. Beliau tersenyum, berkata bahwa esok lusa aku
dan Jarjit akan menjadi sahabat baik satu sama lain. "Dan kau,
36 Isi-Ayahku.indd 36 3/23/11 2:27:36 PM Dam, tidakkah cerita-cerita ayah kau membuat kau mengerti
bahwa hi?dup ini harus bisa mengendalikan diri?" Rasa marah
membuat?ku abai dengan kalimat kepala sekolah yang sebenarnya
ganjil, karena... hei, bagaimana dia tahu bahwa Ayah suka
bercerita di rumah" Di lorong sekolah, Ibu berkali-kali minta maaf pada ibu
Jarjit"yang membuatku semakin jengkel, kenapa pula Ibu yang
harus minta maaf. Ibu Jarjit sebenarnya juga berkali-kali minta
maaf pada Ibu, bilang bahwa anaknya memang susah diatur,
bukan sekali ini bertengkar dan mengganggu anak lain. Enak
saja, aku menyergah dalam hati, seharusnya bukan cuma maaf,
Jarjit seharus?nya dihukum berat di rumah mereka.
Jarjit dijewer ibunya naik ke mobil mewah yang terparkir rapi.
Apalagi aku, Ibu mencengkeram lenganku kuat-kuat, menaiki
angkutan umum, dan hingga sore Ibu tetap me?lotot marah.
*** Malam harinya. Situasi hatiku berangsur normal.
"Mulai kapan kau harus membersihkan toilet sekolah?" Ayah
yang menemaniku masak mi instan di dapur bertanya. Ini ter?
masuk kemarahan sekaligus hukuman Ibu karena aku berkelahi
tadi siang; tidak ada makan malam untukku.
"Mulai besok," aku menjawab pendek.
Ayah tertawa. "Kalau begitu sebaiknya besok pagi-pagi kau
menyiapkan sepatu bot dan sarung tangan besar."
Aku mendengus ke dalam panci. Yang lebih menyebalkan bu?
kan bersih-bersih toiletnya, aku sudah terbiasa melakukan ba?
nyak hal di rumah, termasuk membongkar kloset mampet. Yang
37 Isi-Ayahku.indd 37 3/23/11 2:27:37 PM membuatku tidak terima, aku harus membersihkan toilet itu
bersama Jarjit. "Padang penggembalaan mereka dikuasai beratus tahun, Dam.
Rumput subur, mata air, domba-domba gemuk dan bersusu ba?
nyak. Semua sumber penghidupan mereka dijajah lima generasi,
dimusnahkan, dan diganti jadi ladang tembakau, tumbuhan yang
amat mereka benci turun-temurun. Tetapi mereka tetap bisa
bersabar, bisa mengendalikan diri dengan baik."
Aku tahu, Ayah ingin menceritakan lagi soal suku Penguasa
Angin yang bersabar atas penganiayaan orang lain. Aku tadi
siang juga sudah bersabar, hanya membalas olok-olok dengan
cara yang cerdas. Jarjit saja yang menyerang bersama temantemannya. Mana boleh aku hanya diam, membiarkan tangan dan
kaki mereka memukul badanku.
"Seharusnya kau bisa lebih pandai menghadapi olok-olok
Jarjit." "Dia menghinaku."
"Ah, yang menghina belum tentu lebih mulia dibandingkan
yang dihina. Bukankah Ayah sudah berkali-kali bilang, bahkan
kebanyakan orang justru menghina diri mereka sendiri dengan
menghina orang lain."
Sebelum aku sempat membantah kalimat Ayah, bel pintu
depan berbunyi lantang. Ayah beranjak ke ruang tamu. Aku me?
numpahkan mi ke dalam mangkuk, perutku sejak tadi sudah
ber?bunyi. Lapar berat. "Ada yang berbaik hati, Dam." Ayah kembali ke dapur mem?
bawa kotak kue. "Siapa bilang dia boleh makan kue itu" Dia masih dihukum,"
Ibu yang mengiringi langkah Ayah protes.
38 Isi-Ayahku.indd 38 3/23/11 2:27:38 PM "Ayolah, jelas-jelas kue ini dikirim untuknya." Ayah tertawa.
Aku menyeringai, ini kejutan yang menyenangkan, bergegas
meraih kotak dari tangan Ayah sebelum dirampas Ibu. Ditilik
dari kotak dan aromanya, ini kue mahal yang lezat, jauh lebih
baik dibandingkan mi rebus buatanku.
"Ini kue dari siapa?" Aku tidak sabar membuka kotak.
"Dari Jarjit. Itu kue kiriman dari ibunya," Ibu yang men?
jawab. Aku langsung kehilangan selera.
39 Isi-Ayahku.indd 39 3/23/11 2:27:39 PM 5 Celana Renang M asih pagi, sekolah belum ramai saat Taani tergopohgopoh datang.
"Hoi, kau tidak boleh masuk ke WC anak laki-laki!" Jarjit
langsung mencegahnya. Taani melotot. "Siapa pula yang mau masuk ke toilet kalian"
Jorok, bau. Di mana Dam?"
Jarjit tidak menjawab, balas melotot marah.
"DAM! Kau di mana?" Taani mengabaikan.
Kepalaku keluar dari balik pintu. Ini hari pertama hukuman
kami. Sejak tadi aku bungkam, menganggap Jarjit tidak ada di
tempat. Bagusnya ia juga memperlakukanku begitu. Kami tanpa
bicara langsung berbagi tugas. Jarjit membersihkan toilet lakilaki, bagianku toilet perempuan. Sebelum memulai membersih?
kan toilet, di kelas aku sempat mendengar Jarjit me?maki?ku pada
teman-temannya, berkata bahwa gara-gara aku, ibunya di ru?mah
me?maksa mengirimkan kuelah, peraturan itulah, peraturan
inilah. 40 Isi-Ayahku.indd 40 3/23/11 2:27:40 PM "Ada apa?" Aku menyingkirkan ember karbol, meletakkan kain
pel, menggaruk ujung hidung dengan lengan"tidak mungkin
kulakukan dengan jari terbungkus sarung tangan kotor, bukan"
"Kau diberikan kesempatan lagi, Dam." Taani tidak peduli,
lalu memegang tanganku. "Kesempatan apa?"
"Pelatih bilang kau boleh mengulang seleksi renang."
"Apa"!" Itu bukan seruan kaget dan gembiraku. Itu seruan
tertahan (menyebalkan, tidak percaya, dan tidak terima) Jarjit.
*** Aku jadi tahu bahwa pelatih yang tegas, keras, dan berwibawa
itu adalah papa Taani. Seumur-umur melatih, beliau tidak per?
nah memberikan pengecualian selain disiplin tanpa kompromi.
Taani membawa dua alasan. Pertama, catatan jarak seratus
meterku adalah yang terbaik seleksi tahun ini. Kedua, soal lelah
karena begadang menonton sepak bola itu. "Dam berhak meng?
ulang, Pa. Taani yakin Dam akan menjadi perenang yang he?
bat." Entalah, apa karena bujukan Taani atau karena aku memang
berhak, pelatih memutuskan memberikan kesempatan kedua.
Entahlah pula, itu kabar baik atau bukan, pelatih akan meng?
ulang ujian daya tahan itu persis saat latihan penerimaan
anggota baru. "Apa pun yang terjadi, hujan badai, gempa bumi, dunia
kiamat, kau tidak boleh berhenti. Kau harus berenang setidaknya
selama satu jam untuk mendapatkan jaket kebanggaan klub yang
terakhir. Tanpa itu, pulang saja menangis di pangkuan ibu kau."
41 Isi-Ayahku.indd 41 3/23/11 2:27:40 PM Pelatih dengan suara tajam, tanpa senyum, kumis melintang,
men?jelaskan peraturannya.
Aku mengangguk. Aku lebih dari siap.
Sejak lima hari lalu, saat Taani mengabarkan berita hebat itu,
aku berlatih lebih sungguh-sungguh, dan tidak ada lagi tidur
kemalaman. Sore ini kolam renang kota kami ramai. Ada peraya?
an kecil, latihan pertama penerimaan anggota baru. Hari seperti
ini selalu spesial. Keluarga berdatangan. Para pencinta renang,
donatur klub, termasuk alumni klub yang ingin mengenang masa
lalu juga hadir. Pukul tiga sore, cuaca terang benderang. Pelatih
menyuruhku berganti pakaian.
Jarjit yang berdiri di pintu ruang ganti menyeringai ganjil.
Aku tidak peduli, meraih kantong plastik yang disiapkan Ibu
tadi pagi lalu bergegas berganti pakaian.
Ayah melambaikan tangan di atas tribun. Makanan kecil
tersaji di atas meja di bawah kanopi. Orang-orang berkerumun.
Meski latihan pertama penerimaan baru satu jam lagi, separuh
tribun sudah terisi. Pengunjung dan undangan bertegur sapa.
Satu-dua orang melihatku yang sedang melemaskan badan,
bertanya-tanya, siapa anak itu" Apakah latihan inaugurasi sudah
dimulai" Pelatih meraih pengeras suara. "Belum, kita belum memulai


Ayahku Bukan Pembohong Karya Tere-liye di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

acara. Anggap saja ini hiburan, pengantar menu utama kita
sore ini." Sebenarnya ia mencoba bergurau, tapi hanya setinggi
itu selera humor pelatih. "Tahun ini kami menerima sepuluh
anggota baru. Sembilan akan mengikuti prosesi penerimaan
sore ini. Satu jaket lagi tersisa, aku memberikan kesempatan
terakhir ke bocah keriting yang sedang bersiap di jalur enam
itu." 42 Isi-Ayahku.indd 42 3/23/11 2:27:41 PM Undangan sekarang menatapku, tertarik.
"Anak ini boleh jadi memiliki rekor waktu tercepat proses
seleksi, tapi kita akan lihat apakah dia memiliki semangat
pantang menyerah yang menjadi mars klub sejak berdiri. Aku
tidak suka memberinya kesempatan kedua, membuang-buang
waktu, tapi kita lihat saja apakah dia memang layak atau tidak.
Kau siap, hah?" pelatih meneriakiku.
Aku mengangguk. Ayah di tribun mengacungkan jempol.
Bendera di atas menara pengawas berkelepak pelan. Langit biru
nyaris bersih dari saputan awan.
Pelatih meniup peluit kuat-kuat. Aku mantap me?luncur ke
dinginnya kolam. Seluruh kesegaran air segera me?nerpa poripori kulitku"berenang memang selalu menyenang?kan.
Seberapa tangguh fisik kalian" Kebanyakan dari kita meng?
anggap kondisi fisik diri sendiri cukup baik, apalagi dengan me?
lihat selintas angka-angka. Aku beritahukan rahasia kecil (se?
benar?nya Ayah yang memberitahuku dalam cerita-ceritanya)
yang bisa kalian buktikan sendiri, lebih dari empat perlima orang
dewasa tidak bisa menyelesaikan lari tanpa henti sejauh dua
kilometer atau enam putaran lapangan sepak bola selama dua
belas menit. Separuh sudah terhenti di putaran kedua, dan
dalam jumlah yang sama, tersengal, tidak bisa lari lagi setelah
putaran per?tama. Nah, bagaimana dengan berenang" Menurut Ayah, dua pertiga
orang dewasa tidak bisa menyelesaikan jarak lima puluh meter
atau satu kali panjang kolam renang ukuran pertandingan. Lan?
tas apakah sepertiganya mampu" Tidak, sepertiga sisanya bahkan
sama sekali tidak bisa berenang"Ayah terkekeh memberitahu?
ku. 43 Isi-Ayahku.indd 43 3/23/11 2:27:42 PM Jadi tes daya tahan ini tidak bisa diremehkan. Berenang se?
lama satu jam tanpa henti tidak mudah bahkan bagi yang
terbiasa berenang. Anak terakhir yang berhasil bertahan saat
seleksi enam hari lalu hanya di angka lima puluh menit. Pelatih
sengaja memasang syarat lebih tinggi untuk tes ulanganku.
Lima belas menit berlalu. Walaupun aku berusaha menjaga
kecepatan"tidak terlalu cepat, tidak terlalu lambat"napasku
mulai tersengal. Aku mengatupkan rahang. Untuk menyelesaikan
sisa waktu, aku harus konsentrasi penuh, mengabaikan para
undangan yang sekarang asyik memperhatikanku membelah biru
kolam sendirian sambil asyik berbincang.
Tiga puluh menit lepas, cuaca semakin menyenangkan.
Cahaya matahari terhalang dinding tribun dan pohon, kolam
renang tidak panas lagi. Undangan semakin ramai, memenuhi
bangku-bangku. Ayah terlihat menyalami kepala sekolah, juga
ayah Jarjit (yang merupakan donatur terbesar klub). Aku me?
nyemburkan air dari mulut. Aku bisa bertahan, sepanjang ber?
henti melirik dan memikirkan apa yang terjadi di sekitarku.
Empat puluh lima menit terlewati, salah satu anak mengacung?
kan angka 15, itu jumlah putaranku, satu setengah kilometer.
Penonton bertepuk tangan memberikan apresiasi. Sayangnya, ini
bukan soal seberapa jauh aku berenang. Lima belas menit lagi,
aku bisa menyelesaikannya.
Angka digital stopwatch raksasa di menara kolam menunjuk?
kan menit kelima puluh satu, napasku tersengal kencang. Enam
hari lalu aku sudah lebih dari layak lolos menjadi anggota klub,
sudah melewati waktu terlama peserta terakhir.
Menit lima puluh lima, separuh undangan mulai berdiri, me?
nye?mangati. Tontonan selingan ini mengasyikkan sambil me?
44 Isi-Ayahku.indd 44 3/23/11 2:27:43 PM ngunyah kudapan sore dan bertemu teman lama. Jarang-jarang
ada perenang dengan rambut keriting bergelombang, sendirian
berenang di tengah birunya kolam, menjadi siluet yang menarik.
Ayah sedang tertawa, berbincang bersama walikota"yang ikut
datang sepuluh menit lalu.
Celaka! Meski aku yakin bisa bertahan lima menit lagi, entah
kenapa aku merasa ada yang aneh dengan celana renangku,
simpul karet pinggangnya seperti terlepas. Aku gelagapan hendak
memeriksa. Aku dulu pernah meminta Ibu membelikan celana khusus
renang, seperti yang dimiliki teman-teman, tetapi Ibu hanya
memberikan celana pendek biasa yang bisa dipakai sehari-hari.
Rasa-rasanya posisi celanaku semakin longgar. Sambil tersengal,
terus mengayuh kaki, tanganku bergegas hendak memeriksa.
Astaga" Talinya putus sebelum tanganku sempat meraihnya, dan
tanpa karet tali di pinggang dengan cepat celana itu melorot
lepas, tertinggal di belakang.
Itu sore yang memalukan"walau Ayah malamnya hanya ter?
tawa ringan, menceritakan pada Ibu. Seluruh undangan sontak
berseru dan tertawa ramai. Sepuluh detik aku berkutat meraih
celanaku yang tertinggal satu meter di belakang, sambil me?ng?
ambang, lalu buru-buru mengenakannya. Tali pinggangnya putus
dua, tidak bisa kuikatkan lagi. Aku mengertakkan gigi. Baiklah,
aku tidak akan menyerah. Aku tidak akan berhenti hanya karena
celana sialan ini. Maka, sambil tangan kiriku memegangi celana,
aku meneruskan berenang. Rasa-rasanya lima menit terakhir
berjalan jauh lebih lama dan menyiksa dibandingkan lima puluh
lima menit sebelumnya. Pelatih menjulurkan tangan membantuku naik saat angka
45 Isi-Ayahku.indd 45 3/23/11 2:27:44 PM digital menunjukkan satu jam nol menit tiga puluh detik. Aku
lupa detail acara berikutnya, rasa senang karena akhirnya lolos,
rasa malu karena kejadian barusan, dan entahlah campur aduk
jadi satu. Aku bergegas mencari peniti, tali, apa saja yang bisa
membuat celanaku tetap di pinggang.
Inaugurasi latihan berjalan menarik. Ada pertandingan renang
estafet alumni klub melawan kami. Klub itu sudah berdiri nyaris
lima puluh tahun. Para alumni yang sudah tua masih ber?
semangat berlomba. Bahkan ada yang pura-pura kehabisan napas
di tengah kolam, membuat penonton terbahak. Ada prosesi pe?
makaian jaket (bangga sekali rasanya saat jaket biru itu dikena?
kan pelatih kepadaku), dan acara nostalgia lainnya.
Matahari sudah tumbang, seluruh rangkaian acara selesai. Aku
bergegas kembali ke ruang ganti, mengemasi pakaian. Di ruang
ganti hanya terlihat beberapa anak yang juga siap-siap pulang.
Jarjit, sambil menyengir lebar, mulai mengolok-olokku. "Ter?
nyata menarik melihat anak pendek, keriting, telanjang bulat di
tengah kolam. Sayangnya tidak ada yang membawa kamera. Itu
bisa jadi foto terlucu sepanjang sejarah klub."
Aku mengabaikannya. "Kupikir tali pinggangnya akan putus di menit kesepuluh."
Jarjit masih asyik. Aku mengangkat kepalaku, belum mengerti.
Jarjit santai menunjukkan gerakan menggunting udara dengan
telunjuk dan jari tengah. Kepalaku berpikir cepat. Tentu saja,
tidak mungkin tali celanaku putus begitu mudah tanpa sebab.
Aku melempar kantong plastik baju renang, dan tanpa ba-bi-bu,
lompat memiting. Jarjit tidak tinggal diam, dia balas mendorong
tubuhku. Anak-anak lain yang berada di ruangan ganti berusaha
46 Isi-Ayahku.indd 46 3/23/11 2:27:45 PM melerai. Kursi panjang terpelanting. Kantong plastik terserak.
Aku tersengal menahan marah. Jadi ini semua rencananya. Kalau
saja celana itu putus di menit kesepuluh, akan sulit sekali me?
nyelesai?kan tes daya tahan itu. Jarjit-lah yang diam-diam meng?
gunting separuh tali celana renangku.
"Ada pelatih"! Ada pelatih kemari!" salah satu teman berseru
dari pintu ruangan. Emosiku mereda, melepaskan tangan dari
lengan Jarjit. Anak-anak bergegas membereskan sisa keributan.
"Ada apa?" pelatih menyapu bersih wajah-wajah kami.
"Hanya perayaan kecil, Pak Pelatih." Salah satu senior klub,
berjarak dua tahun dengan kami pura-pura tertawa, yang lain
mengangguk-angguk bersepakat.
"Suara ribut apa tadi?" Dahi pelatih mengernyit.
"Dam, Pak Pelatih." Senior menepuk bahuku. "Dia terlalu
gembira bisa menyelesaikan lima menit terakhirnya, sampai ter?
jatuh menyenggol bangku panjang."
"Kau jangan pulang dulu, Dam." Setelah memastikan sejenak,
pelatih menunjukku dan tiga teman lainnya. "Hari ini giliran
kalian membereskan kolam."
Keributan itu bubar. Sejak sore itu aku memendam sakit hati
pada Jarjit. Lupakan cerita Ayah tentang suku Penguasa Angin.
Aku tidak akan bersabar lagi atas olok-oloknya.
47 Isi-Ayahku.indd 47 3/23/11 2:27:46 PM 6 Surat-Surat Itu H ujan di luar semakin deras. Kami berada di ruang keluar?
ga. "Bagaimana Kakek tahu kalau sang Kapten adalah paman si
Nomor Sepuluh?" Zas menyela cerita, menghentikan sejenak
pijatan di bahu Ayah. "Sang Kapten sendiri yang memberitahu Kakek," Ayah men?
jawab ringan, seringan kepul uap cokelat panas dari gelas be?
sar. "Kakek juga mengenal sang Kapten?" Mata Zas membulat.
Hebat benar obrolan mereka malam ini. Belum habis kejutan
Kakek tentang si Nomor Sepuluh yang meneleponnya, disusul
rahasia tentang si Nomor Sepuluh yang masih kerabat dekat
dengan sang Kapten, sekarang Kakek akan cerita apa lagi"
"Benar, Kakek mengenalnya langsung waktu dia masih se?
umuran kalian. Masih belajar menendang dengan bola kasti."
Ayah santai menatap wajah cucu-cucunya, menunjuk bahu dan
tangan sulungku yang menggantung berhenti.
48 Isi-Ayahku.indd 48 3/23/11 2:27:47 PM Zas dan Qon bergegas kembali memijat kakeknya.
Ayah tertawa. "Papa kalian dulu amat mengidolakan sang
Kapten. Menjadikan sang Kapten sumber inspirasi. Kalian lihat
piala besar di lemari?"
Zas dan Qon menoleh serempak.
"Itu piala kemenangan papa kalian di lomba renang estafet
antarklub. Catatan rekor yang hingga hari ini belum pecah. Papa
kalian menjadikan sang Kapten motivasinya berlatih dan ber?
tanding. Kalian tidak tahu itu?"
Zas menggeleng. "Papa tidak pernah bercerita tentang itu."
"Papa tidak suka bercerita," Qon berkata pelan.
Ayah ikut menggelengkan kepala. "Kalau begitu, papa kalian
pasti juga tidak pernah bercerita bahwa dia sempat berkirim
surat ke sang Kapten idolanya."
"Berkirim surat?" Zas dan Qon memijat lebih kencang.
*** Dini hari, pertandingan putaran kedua semifinal Liga Champions
Eropa tiga puluh tahun lalu.
"Bangun, Dam." Ayah lembut menggerakkan bahuku.
Aku hanya menggeliat, merasa terganggu.
"Bangun, Dam. Pertandingannya sudah mulai," Ayah berbisik.
Aku patah-patah duduk, hanya sedetik, lantas roboh lagi di
atas sofa, memeluk guling.
Sepulang dari membereskan tepi kolam, tiba di rumah, lalu
ma?kan malam, aku berusaha terus terjaga menunggu siaran lang?
sung. Rasa lelah melewati tes dan latihan inaugurasi tadi sore
mengalahkanku. Aku menguap berkali-kali lantas jatuh tertidur
49 Isi-Ayahku.indd 49 3/23/11 2:27:48 PM setelah titip pesan pada Ayah, "Nanti bangunkan aku ya, Yah."
Rasa-rasanya baru terlelap, Ayah sudah menjawil bahu mem?
bangun?kan. Ayah menyeringai melihat aku mendengkur. Ia meraih remote,
membesarkan volume televisi, persis saat pendukung klub
memulai ritual lapangan hijau itu. "Inilah dia pemain ter?hebat
milik kita! Pujaan hati seluruh penggemar! Inilah dia pencetak
gol terbanyak! Inilah dia"," puluhan ribu penonton di stadion
melanjutkan, "EL CAPITANO! EL PRINCE!"
Aku terlonjak, melempar guling, refleks berseru, "Sudah mulai,
Yah" Sudah berapa kosong?"
Ayah terkekeh. "Baru mulai. Lihat, sang Kapten bermain
dengan bebat kaki." Rasa kantukku menguap di langit-langit kamar.
Dini hari itu, berkali-kali aku berteriak kencang. Rasanya
seperti seluruh kebahagiaan berkumpul di dada. Setelah tadi
sore aku lolos menjadi anggota klub renang, malam ini sang
Kapten sempurna melakukan pembalasan 4-2. Tim mereka lolos
ke final Liga Champions Eropa dengan keunggulan selisih gol.
Rambut ikal sang Kapten berkibar-kibar, peluh menetes dari
wajahnya. Sesekali kamera televisi menangkap eskpresi wajahnya
yang meringis, tidak terhitung berapa kali ia seperti tertatih.
Dua kali tim mereka tertinggal, dua kali pula sang Kapten tidak
pernah berhenti mengejar bola, meneriaki teman-temannya
untuk terus semangat, menyamakan kedudukan. Lima menit
ter?akhir menjadi milik sang Kapten. Dia mencetak dua gol,
mengakhiri perlawanan tuan rumah.
"Andai kata celana pendek sang Kapten robek atau putus tali
pinggangnya, sepertinya dia tetap berlari, Dam." Ayah tertawa
50 Isi-Ayahku.indd 50 3/23/11 2:27:49 PM mengolokku. Aku tidak mendengarkan, menari-nari senang saat
peluit panjang dibunyikan.
"Kalian berisik sekali." Ibu yang muncul di balik pintu terlihat


Ayahku Bukan Pembohong Karya Tere-liye di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bersungut-sungut. Rambutnya kusut, dasternya terlipat. "Jangan
salahkan Ibu kalau tidak ada yang membangunkan kalian pagipagi."
"Sang Kapten menang, Bu!" Aku saling memukulkan telapak
tangan dengan Ayah, tos kemenangan.
*** Ayah benar, sang Kapten menjadi inspirasi terbesarku.
Aku berlatih dua kali lebih semangat dibanding anggota klub
lain"datang lebih awal, pulang paling akhir. Aku tidak pernah
lagi datang terlambat ke sekolah, semangat mengayuh sepeda,
selalu mengerjakan tugas rumah yang diberikan Ibu, bahkan aku
mengiyakan ide Ayah agar mengisi waktu senggang dengan
bekerja. Ibu awalnya keberatan, tetapi Ayah bilang itu penting
agar Dam belajar mandiri. Aku hanya mendengarkan diskusi
mereka dari kamarku sambil belajar.
Esok harinya aku menjadi loper koran.
Keluarga kami tidak kekurangan, meski tidak juga kaya (jangan
bandingkan dengan keluarga Jarjit). Walau lulusan master hukum
luar negeri, Ayah hanya menjadi pegawai negeri golongan me?
nengah, bukan hakim, jaksa, atau pejabat penting seperti temantemannya yang bahkan lulusan sekolah hukum terbaik dalam
negeri pun tidak. Lebih tepatnya, hidup kami apa adanya.
Dari percakapan yang aku kuping dari kepala sekolah, pelatih,
tetangga, atau orangtua di sekitarku, mereka sering menyimpul?
51 Isi-Ayahku.indd 51 3/23/11 2:27:50 PM kan: Ayah terlalu jujur dan terlalu sederhana. Dari ibuku, karena
aku sekali-dua sering bertanya kenapa kami ke mana-mana
harus menaiki kendaraan umum, aku hanya mendapat jawaban,
"Bukankah itu lebih keren" Kita jadi punya mobil banyak sekali,
bukan?" Lantas Ibu tertawa"meski Ibu jarang sekali terlihat
tertawa. Aku tidak pernah membahas soal itu pada Ayah, karena
ia akan memasang wajah tidak sukanya. Kalian pasti tidak tahan
tiba-tiba melihat ekspresi seperti itu dari wajah seseorang yang
selalu terlihat riang"apalagi saat bercerita.
Enam bulan berlalu. Pelatih mulai mempertimbangkanku
sebagai salah satu perenang estafet klub. Itu catatan hebat, ka?
rena jarang sekali anggota klub pada tahun pertama bisa masuk
sebagai perenang inti. Dengan tubuh kecil, pengalaman terbatas,
kami masih kalah cepat dan tangguh dibandingkan senior yang
dua-tiga tahun lebih dulu masuk klub. Tetapi tahun ini, melihat
angka-angka latihan rutin, pelatih menyiapkanku bersama salah
satu anak tahun pertama sebagai empat perenang di kelas estafet
4x100 meter. Sialnya, anak satunya itu adalah Jarjit.
Jika aku bisa menghapus nama itu di sekolah, di taman ber?
main, di klub renang, dan di semua aktivitas kota, hidupku akan
berjalan lebih baik. Enam bulan ini saja aku sudah bertengkar
dua kali dengan Jarjit. Satu kali di museum kota, saat kunjungan
sekolah, ia mengolok-olok rambutku seperti manusia purba, yang
lagi-lagi membuat Ibu (dan ibu Jarjit) dipanggil. Kami dihukum
membersihkan toilet museum selama seminggu. Satu kali lagi di
klub renang, Jarjit menertawakanku yang selalu terlambat loncat
latihan start dibanding dia, yang membuatku (dan Jarjit) di?
hukum menguras dan membersihkan kolam selama sebulan.
Awal pertengkaran itu selalu hal sepele.
52 Isi-Ayahku.indd 52 3/23/11 2:27:51 PM Sejak dua pertengkaran itu, aku dan Jarjit saling tatap seperti
musuh besar. Jarjit adalah perusak kebahagiaan, dan aku tidak
tahu kenapa ia amat membenciku. Kalian tahu kenapa aku di?
panggil si Pengecut di sekolah" Itu karena Jarjit.
*** Sarapan bersama Ayah. "Jika berhasil menang malam ini, sang Kapten akan membawa
negaranya ke Piala Dunia setelah enam belas tahun tidak pernah
lolos." Ayah membentangkan koran pagi lebar-lebar.
Aku yang sedang menghabiskan bubur di mangkuk meng?
angguk. Musim lalu, sang Kapten berhasil memenangi dua piala untuk
tim?nya. Juara liga nasional dan Liga Champions Eropa. Pertanya?
an terbesar dari wartawan dan pencinta bola sejagat ketika sang
Kapten mengangkat tinggi-tinggi piala Liga Champions Eropa
itu adalah apakah sang Kapten mampu membawa tim nasional?
nya kembali menjuarai Piala Dunia.
"Ayah, apakah aku bisa mengirimkan surat padanya?" Aku
tiba-tiba teringat ideku selama seminggu terakhir, seraya meng?
angkat wajah dari mangkuk.
Ayah terbatuk pelan, meletakkan koran, menoleh padaku.
"Yeah, maksudku, Ayah kan kenal dekat dengannya. Pasti
Ayah punya alamat sang Kapten, kan" Aku ingin berkenalan
de?ngan?nya, mengirimkan surat."
"Sang Kapten terlalu sibuk untuk membaca surat, Dam," Ayah
menjawab datar setelah hanya memandangiku beberapa detik.
53 Isi-Ayahku.indd 53 3/23/11 2:27:52 PM "Dia pasti sempat, Yah. Aku akan tulis di sampul surat bahwa
aku anak Ayah. Dia pasti membaca surat dari anak sahabatnya,
bukan?" Aku sekarang memegang tangan Ayah.
Ayah menggeleng. "Memangnya kau bisa bahasa sang
Kapten?" Aku terdiam sejenak, benar juga. "Tetapi aku bisa menulis?nya
dalam bahasa Inggris, Yah." Aku tidak kalah alasan, aku bisa
menuliskannya"walau berlepotan.
Ayah menggeleng. "Atau bukankah Ayah pernah sekolah di sana" Ayah jago
bahasa mereka. Ayah bisa membantuku menulis suratnya." Aku
terpikirkan cara lain yang lebih baik.
Ayah tetap menggeleng. "Sang Kapten terlalu sibuk berlatih,
berlatih, dan terus berlatih, Dam. Surat kau tidak akan sempat
dibacanya." "Ayolah, Yah. Setidaknya aku mencoba. Ayah punya alamat
sang Kapten, kan?" Aku menggoyang tangan Ayah.
Lima menit aku membujuk. Lima menit pula Ayah mengalih?
kan perhatianku dengan petuah tentang sang Kapten. Meski
sudah menjadi pemain terbaik dunia pun, sang Kapten tetap
berlatih dua kali lebih banyak dibanding yang lain, berusaha me?
nembus batas yang ada, mencoba berbagai kemungkinan baru.
Percuma, aku tetap bertanya alamat sang Kapten, menyampaikan
keinginanku mengirimkan surat kepadanya.
Dua minggu aku berkutat dengan ide itu. Pagi, siang, malam,
kapan saja saat kesempatan berdua dengan Ayah datang. Seperti
kaset rusak, aku mengulang-ulang permintaan yang sama. Awal?
nya melalui percakapan baik-baik, lama-lama mulai diikuti rajuk?
an dan boikot. 54 Isi-Ayahku.indd 54 3/23/11 2:27:53 PM "Kau lupa mencuci piring-piringnya, Dam," Ibu menegurku
yang selesai makan meninggalkan meja begitu saja.
"Kau seharusnya sedang belajar, Dam." Ibu mengetuk pintu
kamar, menyuruhku berhenti membaca tabloid dan majalah
bola. "Ini hari libur, sepatu dan seragam sekolah kau belum dicuci,
Dam" Dan kau juga belum mengepel lantai, membersihkan
halaman," Ibu mengingatkanku yang asyik memasang poster
baru. "Kau tidak mengantar koran hari ini?" Ibu bertanya dengan
intonasi tajam pada hari kesekian, melihatku yang hanya ber?
malas-malasan sejak bangun subuh.
"Astaga" Kau seharian hanya bermain sepeda, menelantarkan
tugas-tugas di rumah" Kenapa sekarang susah sekali menyuruh
kau melakukan sesuatu, Dam?" Ibu mengelus dada. Aku baru
pulang ke rumah lepas magrib, dengan tubuh kotor dan rambut
ikal berdebu. Tidak sekali Ayah mengajak bicara baik-baik, dan aku me?
nutup pembicaraan dengan mengulang ide. Aku hanya ingin
berkirim surat, tidak lebih, tidak kurang, apa pula masalahnya"
Apa susahnya Ayah memberikan alamat sang Kapten" Atau
Ayah saja yang mengirimkannya. Aku menyerahkan berlembarlembar surat yang sudah kutulis rapi dalam bahasa Inggris pada
Ayah. Ayah mendengus jengkel, bilang bahwa surat-surat itu hanya
akan mengganggu sang Kapten. Aku berteriak marah. Apanya
yang akan mengganggu" Aku hanya bertanya apa kabar. Bilang
bahwa aku senang bisa mengirimkan surat, senang berkenalan.
Bilang bahwa aku salah satu penggemar, senang sekali setiap
55 Isi-Ayahku.indd 55 3/23/11 2:27:54 PM melihat sang Kapten bertanding, dan ikut berteriak "El
Capitano! El Prince!" setiap ritual itu dilakukan. Lantas di
bawahnya hanya ditulis namaku, Dam, penggemar setia. Tidak
lebih, tidak kurang, hanya itu isi suratku.
Sore berikutnya aku bahkan menolak berlatih renang, me?
lemparkan kantong plastik peralatan renangku. Tidak ada lagi
Dam yang selama ini berlatih lebih banyak dibanding anggota klub
lain. Dam yang ingin menjadi perenang top di klub ke?banggaan.
Dam yang menjadikan sang Kapten sumber insipirasi.
Ayah marah besar, menyuruhku masuk kamar, dan baru
keluar kalau aku sudah minta maaf.
Malam itu hujan gerimis membungkus rumah kecil asri
kami. "Aku pernah mengingatkan kau." Sayup-sayup suara Ibu ter?
dengar dari kamar. "Tetapi itu tidak mungkin," terdengar jawaban Ayah.
"Maka kau harus mencari jalan keluar lain."
Lengang, Ayah tidak menjawab.
"Dia tidak akan menyerah. Kau sendiri yang mendidiknya
de?ngan cerita-cerita siapalah pemain bola itu. Jadi berharaplah
se??moga cerita-cerita lain tentang anak yang baik, yang men?
dengar??kan orangtua, juga bekerja di sisi lainnya. Karena kalau
tidak, kita akan butuh waktu lama sekali untuk menyelesai?kan
masalah ini baik-baik." Suara Ibu mengecil.
Aku tidak mendengarkan lagi. Sambil terisak, aku menulis
surat, tetapi bukan buat sang Kapten. Aku me?nulis surat buat
Ayah. *** 56 Isi-Ayahku.indd 56 3/23/11 2:27:54 PM Esok paginya, setelah hukuman tidak boleh keluar kamar selesai,
aku masuk ke dapur dengan pakaian sekolah rapi dan wangi
sabun. Satu jam lalu, bahkan saat Ayah dan Ibu belum bangun,
saat jalanan masih gelap, aku juga sudah menggowes sepeda,
mengantar koran, mengepel lantai, menyiram taman,
mengerjakan seluruh tugas rumah yang kuabaikan sebulan ter?
akhir. Ibu sedang menyiapkan sarapan roti bakar, sedikit heran
melihatku sudah rapi. Ibu tersenyum mengelus rambutku, bilang
"Selamat pagi, Dam." Ayah tidak banyak bicara, hanya sibuk
membaca koran pagi, melirik sekilas padaku. Mungkin Ayah
masih marah padaku. Kami sarapan tanpa bicara. Aku mengunyah makanan sambil
menatap piring. Usai sarapan, aku patah-patah mendekati kursi Ayah. Sudah
saatnya aku pamit sekolah.
"Maafkan aku yang sebulan terakhir membuat Ayah sebal."
Aku tertunduk mengatakan itu, menyeka pipi, entah kenapa ke?
rongkonganku kesat, hendak menangis. "Ayah pernah cerita, Toki
si Kelinci Nakal selalu tahu bahwa orangtuanya amat me?
nyayangi dia. Meski harus menaklukkan badai salju, melawan
kerumunan serigala, menghindari jebakan pemburu, bahkan
melewati jembatan terakhir, orangtuanya tetap berusaha me?
nyelamatkan Toki, senakal apa pun anaknya.... Aku tahu, Ayah
akan selalu menyayangiku."
Ibu meletakkan sendok di seberang meja, gerakan menyuapnya
terhenti. Kepala Ayah terangkat dari halaman koran, menatapku,
sedikit tidak mengerti. "Maafkan aku yang sudah membuat Ayah membanting pintu
57 Isi-Ayahku.indd 57 3/23/11 2:27:55 PM .b lo gs *** po t.c om semalam. Sungguh maafkan aku"." Kalimatku hilang di ujung?
nya, susah sekali menyelesaikannya.
Ibu sudah bergegas bangkit dari kursinya.
Dengan tangan sedikit gemetar, aku menjulurkan surat yang
kutulis semalam pada Ayah, lantas bilang pamit pergi ke se?kolah.
Ayah hendak marah, menyangka itu juga amplop surat buat sang
Kapten, tapi urung. Ibu sudah memelukku erat-erat, menciumi
keningku, matanya juga basah. Ibu berbisik, "Kau anak yang
baik, Dam. Kau akan selalu jadi anak yang baik." Mem?buat
langit-langit dapur hanya menyisakan suara ketel air panas.
Lima menit kemudian, aku sudah mengayuh sepeda menuju
sekolah. pu st ak ain do Dear Ayah Bagiku, sehebat apa pun sang Kapten, maka Ayah lebih hebat.
Izinkanlah aku menulis surat untuk Ayah, dan semoga Ayah suka
membacanya. Ayah dulu pernah bilang padaku, "Jangan-jangan kau akan
menjadi orang paling sedih sedunia jika malam ini tim sang Kapten
kalah." Ayah keliru. Malam ini, saat sendirian di kamar, saat me?
nyadari bahwa Ayah telah kurepotkan sebulan terakhir dengan
permintaan itu, Ayah bahkan berteriak marah untuk pertama
kalinya di rumah kita, aku jauh lebih sedih dibandingkan me?lihat
tim sang Kapten kalah. Boleh jadi aku menjadi anak yang paling
tidak berterima kasih di seluruh dunia.
Maafkan aku. Ayah benar, surat itu tidak penting. Sang Kapten
tidak akan pernah punya waktu untuk membaca surat dariku.


Ayahku Bukan Pembohong Karya Tere-liye di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

58 Isi-Ayahku.indd 58 3/23/11 2:27:56 PM Taani di sekolah bilang, yang baru kusadari malam ini, pastilah
ada ribuan surat yang tiba di kotak surat sang Kapten, jadi bagai?
mana mungkin suratku akan mencolok perhati?an dan mendapatkan
balasan. Jangan-jangan hanya puluhan staf?nya yang membalas,
bukan dia sendiri. Ayah benar, Taani benar, jadi aku memutuskan
mulai malam ini tidak akan membicarakan surat-surat itu lagi.
Sekali lagi maafkan aku. Dari penggemar terbesar Ayah sepanjang masa,
Dam. Ibu meletakkan kertas itu di atas meja, sesenggukan, menyentuh
jemari Ayah, menatapnya dengan sejuta tatapan cinta. "Kau telah
men?didiknya menjadi anak yang berbeda sekali". Sungguh dia
akan tumbuh besar dengan pemahaman yang baik, hati dan
kepala yang baik, meski itu terlihat aneh dan berbeda dibanding?
kan jutaan orang lain."
Aku saat itu justru sedang bertengkar di sekolah dengan
Jarjit. 59 Isi-Ayahku.indd 59 3/23/11 2:27:57 PM 7 Berdamai H ujan membungkus kota. Ruang keluarga kami.
"Zas, Qon," aku berdeham, "sudah malam, saatnya tidur."
Dua anakku menoleh, menatapku yang sudah berdiri di ba?
wah bingkai pintu. "Sebentar lagi, Pa. Masih seru." Zas menggeleng, ekspresi ke?
beratannya jelas lebih terlihat bahkan dibandingkan saat disuruh
pulang dari petualangan wahana tempat rekreasi.
"Iya, Pa, sebentar lagi." Qon, adiknya ikut menggeleng.
"Sudah pukul sembilan. Kakek butuh istirahat, Sayang." Aku
mencoba logika lain. "Aku belum mengantuk, Dam." Ayah justru tertawa, rambut
putihnya bergerak-gerak. "Anak-anak terbiasa tidur jam sembilan, Yah." Aku menelan
ludah, sudah menduga Ayah tidak akan berada di pihakku, ber?
usaha mengeluarkan kalimat dengan intonasi sebaik mungkin.
"Lagi pula seperti yang Ayah sering bilang waktu aku masih
kecil, bukankah besok lusa bisa dilanjutkan ceritanya?"
60 Isi-Ayahku.indd 60 3/23/11 2:27:58 PM "Setengah jam lagi, Pa," Zas membujukku.
"Iya, Pa, setengah jam lagi, please." Qon memasang ekspresi
terlucu yang ia punya. Rambut ikalnya jatuh di dahi, membuat
wajah itu tidak bisa ditolak.
Istriku ikut memperhatikan percakapan dari balik buku tebal.
Tatapan matanya jelas berkata, sekali-sekali melonggarkan aturan
tidak masalah, lagi pula besok libur. Baiklah, empat lawan satu,
aku terpaksa mengangguk. "Oke, setengah jam. Dan ingat, Zas,
Qon, tidak ada tawar-menawar lagi."
Kedua anakku berseru senang. Kembali merubung Ayah.
"Kakek, bagaimana kalau sekarang kita telepon si Nomor
Sepuluh?" "Maksudnya?" Kakek sedikit terbatuk, kaget.
"Tadi Kakek bilang si Nomor Sepuluh menelepon, jadi Kakek
pasti punya nomor teleponnya, bukan" Ayo kita telepon balik,
Zas ingin berkenalan, say hello."
"Ah iya, kau benar sekali." Setelah terdiam sejenak, Ayah
pura-pura menepuk jidat. "Kita telepon balik. Qon, kau ambil
teleponnya." Tanpa perlu disuruh dua kali, Qon bergegas loncat.
Aku sudah tidak mendengarkan kalimat Ayah berikutnya.
Kem?bali masuk ke ruang kerja. Itu trik lama. Ayah pasti su?dah
belajar cara baru untuk membuat cucu-cucunya tidak ke?cewa.
Solusi jitu agar dia bisa menghindar membuktikan ceritaceritanya.
"Kau sudah benar menekan nomornya, Qon?"
"Sudah, Kek. Tut-tut-tut, nomornya keliru."
"Kau belum menekan kode negaranya, Pemalas. Minggir." Zas
rusuh mengambil alih gagang telepon, dengan cepat memencet
61 Isi-Ayahku.indd 61 3/23/11 2:27:59 PM nomor yang ditulis Ayah di kertas. Adiknya hanya bisa me?
nyeringai sebal. Lima belas detik menunggu.
"Eh, yang menerima mesin penjawab, Kek. Bahasanya aneh,
Zas tidak mengerti." Sulungku kebingungan, menyerahkan
gagang telepon. Dan Ayah dengan takzimnya mendengarkan
suara dari seberang sana, mengangguk-angguk.
"Sayang sekali, mesin penjawabnya bilang si Nomor Sepuluh
tidak ada di tempat. Silakan tinggalkan pesan". Mungkin dia
sedang di stadion, latihan. Kalian tahu si Nomor Sepuluh selalu
berlatih berjam-jam setiap hari, dua kali lebih banyak dibanding?
kan pemain lain." Zas dan Qon ber-"yaaah" pelan, mendesah kecewa.
"Tetapi sebentar, kita masih bisa menitipkan pesan. Hmm"
baiklah." Kakek memperbaiki posisi duduk, lantas selama satu
menit berbicara dengan bahasa negara si Nomor Sepuluh, me?
nyebut nama cucu-cucunya di antara kalimat yang tidak di?
mengerti itu. Zas dan Qon bertanya antusias selepas gagang telepon diletak?
kan kembali, "Kakek bilang apa" Kakek bilang apa?"
"Hanya bilang, selamat malam, dua monster kecil di rumah ini
ingin berkenalan dengan Anda, namanya Zas dan Qon. Kalau
Anda punya kesempatan, silakan telepon kembali, dengan senang
hati mereka ingin bicara pada idolanya, pemain terbaik sedunia."
"Sungguh?" Aku meremas kertas desain terakhir yang kubuat"lagi-lagi
ideku buntu. Tidak akan ada telepon balik dari si Nomor
Sepuluh. Ayah pastilah sembarang menelepon nomor siapa pun
di seberang lautan. 62 Isi-Ayahku.indd 62 3/23/11 2:28:00 PM *** Ruangan kepala sekolah, tiga puluh tahun lalu.
Perkelahianku dengan Jarjit pagi itu terhitung serius. Kami
berkelahi di belakang gedung sekolah (jadi tidak ada teman yang
bergegas melapor pada guru). Ia dan kameradnya mengeroyokku.
Lima lawan satu. Tubuhku jadi sansak, pelipisku berdarah.
Petugas kesehatan datang bersama papa Jarjit, dan aku setidak?
nya mendengar tiga kali papa Jarjit membentaknya di lorong
sekolah. "Kau bilang apa" Keluarga mereka amat terhormat
meski tidak memiliki bola bertanda tangan sialan itu. Keluarga
mereka bahkan lebih terhormat dibandingkan kolega bisnis
paling kaya Papa. Sekali lagi kau menghina keluarga mereka
mis?kin, menghina ayah Dam hanya pegawai negeri rendahan,
Papa hukum kau berangkat sekolah jalan kaki."
Ibu tidak banyak berkomentar. Dia segera membawaku pu?
lang. Malamnya, ibu Jarjit sendiri yang menemani Jarjit datang
mengantarkan kue. Menyuruh Jarjit meminta maaf padaku (dan
Ibu). Ibu Jarjit bertanya bagaimana pelipisku. Ibu menerimanya
sambil tersenyum. "Bukan masalah besar, Bu. Hanya kenakalan
anak-anak. Apa kata kepala sekolah tadi" Esok lusa Jarjit dan
Dam bisa jadi teman baik." Aku mendengus dalam hati, jangan?
kan men?jadi teman baik, kosakata "berdamai" pun tidak ada di
otakku. Kalian tahu kenapa aku dipanggil Pengecut" Itu sejak pertama
kali kami berkenalan. Jarjit dengan seluruh kelebihannya cepat
menjadi anak populer di sekolah, sementara aku, dengan rambut
keritingku, juga cepat menjadi sosok yang menarik"untuk
63 Isi-Ayahku.indd 63 3/23/11 2:28:01 PM diolok-olok. Entah apa pasal, baru seminggu di sekolah baru,
geng Jarjit sudah bertengkar dengan anak-anak kompleks. Wajah
Jarjit lebam terkena pukulan. Esoknya, pulang sekolah, Jarjit
meng?ajak seluruh anak-anak kelas membalas. Aku menolak
mentah-mentah ide Jarjit. Aku bukan pengecut. Aku hanya tidak
suka berkelahi, apalagi beramai-ramai mengeroyok dan sekadar
balas dendam. Itu melanggar separuh lebih cerita-cerita Ayah.
Jarjit mengejekku Pengecut, Keriting, dan kalimat apa saja
yang terlintas di kepalanya. Aku membalas penghinaannya de?
ngan melaporkan rencana perkelahian itu pada kepala sekolah.
Perkelahian massal itu urung, Jarjit dan teman-temannya di?
hukum, dan sejak hari itu, sebagian teman-teman di kelas mulai
memanggilku si Pengecut. "Kau ingin makan kuenya, Dam?" Ibu tersenyum padaku.
Demi sopan santun dan terhindar dari hukuman berikutnya,
aku mengangguk, balas tersenyum. Ibu meraih pisau plastik,
meng?iris sepotong, meletakkannya di atas piring kecil, menggeser?
nya ke depanku. Aku patah-patah menjulurkan tangan, me?
ngunyah perlahan kue sogokan berdamai ibu Jarjit. Kue ini lezat
tidak terkira, tetapi aku tidak akan membiarkan lidahku me?
nikmati?nya. "Bagaimana" Enak?" Ibu samar menyikutku.
"Enak". Terima kasih, Tante." Aku buru-buru mengangguk
ke arah ibu Jarjit. "Belum pernah saya makan kue selezat ini,
Tante." "Kau pandai memuji, Dam." Ibu Jarjit tertawa renyah. "Aku
jadi tahu kenapa ibu kau selalu terlihat cantik. Kau pasti sering
me?mujinya, bukan?" Adalah lima belas menit percakapan ibu-ibu, hingga ibu Jarjit
64 Isi-Ayahku.indd 64 3/23/11 2:28:02 PM pamit. Saat Ibu dan ibu Jarjit sibuk menempelkan pipi kirikanan, bertukar salam, aku sekilas melihat kode yang diacungkan
Jarjit. Mobil mewah itu bergerak, aku balas menjawab kode itu
sambil melambaikan tangan.
Kita selesaikan urusan ini segera.
*** Esok harinya sekolah libur. Latihan klub renang dimulai sejak
pagi. "Apa yang kauinginkan?" aku bertanya dingin.
"Kau mengakui kalau kau memang pengecut." Jarjit juga tidak
kalah dingin. Pukul tujuh pagi, latihan renang masih dua jam lagi. Aku selalu
datang lebih awal, berlatih lebih awal, setelah mengantar koran dan
menyelesaikan tugas-tugas rumah. Pagi ini kejutan, Jarjit juga
datang lebih awal"padahal ia biasa latihan di kolam renang milik
keluarganya, yang lebih besar dibandingkan kolam milik klub kota.
Ini mungkin rencana Jarjit atas kodenya ke?marin.
"Aku bukan pengecut."
"Kau pengecut!" Jarjit berteriak. "Semua orang seperti melin?
du?ngi kau. Setiap kali kita berkelahi, kepala sekolah, papaku,
mama?ku, pelatih, semuanya bersepakat membela kau."
"Bukan salahku kalau mereka lebih menyukai aku."
"Itu salah kau! Semua orang menyalahkanku, memarahiku."
Jarjit mencengkeram kausku. "Aku ingin mereka tahu kalau kau
pengecut, tidak lebih baik dibandingkan siapa pun."
Aku hendak menepis tangan Jarjit, bila perlu segera memukul?
nya, melanjutkan perkelahian di belakang gedung sekolah ke?
65 Isi-Ayahku.indd 65 3/23/11 2:28:03 PM marin siang, tetapi telepon mendadak Taani semalam membuat?
ku bersabar. Semalam, pukul sepuluh, ketika Ibu sudah mematikan lampu,
Ayah sudah bilang selamat tidur, Taani meneleponku. Sudah
larut, tidak berselera, aku menyuruhnya menelepon besok pagi
saja. Taani bersikeras bercerita, ia baru saja menyelesaikan misi
penyelidikannya selama ini.
"Kau menyelidiki apa?" aku berbisik, bertanya.
"Kenapa Jarjit begitu membenci kau, Dam?" Taani ikut ber?
bisik. Aku terdiam. Topik penyelidikan yang aneh.
"Ternyata setiap hari papa Jarjit selalu bilang ke Jarjit, "Kenapa
kau tidak bisa seperti Dam, bertingkah baik dan menyenangkan"
Kenapa kau tidak bisa seperti Dam, mandiri, melakukan banyak
hal, dan selalu menurut pada orangtua" Kenapa kau tidak seperti
Dam inilah, Dam itulah." Astaga, kau jadi anak yang ngetop
sekali di rumah besar mereka, Dam."
"Dari mana kau tahu?" aku menyela Taani.
"Aku bertanya pada bibi yang bekerja di rumah mereka."
Taani tertawa pelan, senang dengan ide cemerlangnya selama ini.
"Kau tahu, aku sampai mewawancarai lima orang bibi, termasuk
yang baru saja kutemui satu jam lalu. Dan semuanya bilang
sama, bahkan ada bibi yang bilang ingin sekali bertemu dengan
kau, Dam, ingin tahu seperti apa anak bernama Dam."
Aku terdiam lagi. "Jelas sudah, Jarjit membenci kau karena setiap hari dia di?
banding-bandingkan dengan kau. Belum lagi papa Jarjit selalu
bilang keluarga kau keluarga terhormat, keluarga yang baik,
66 Isi-Ayahku.indd 66 3/23/11 2:28:04 PM menyuruh Jarjit menghargai kau, ayah, dan ibu kau seperti
menghargai keluarga sendiri."
Aku menelan ludah, menatap langit-langit kamar yang gelap.
Aku tidak mengerti. Keluarga kami biasa-biasa saja. Ayah hanya
pegawai negeri. Ibu hanya ibu rumah tangga biasa. Kami tidak
memarkir satu mobil pun di garasi (karena kami memang tidak
punya garasi). Ayah bukan hakim, jaksa, apalagi pejabat tinggi
kota, dan aku, jelas bukan anak berprestasi hebat. Untuk masuk
sepuluh besar pun aku harus belajar habis-habisan. Satu-satunya
yang membuatku menonjol selama ini hanya rambut keriting
lebat, itu saja. "Yaaa, mana aku tahu," Taani berbisik pelan, sebal dengan
pertanyaanku kenapa papa Jarjit begitu menghormati ayahku.
"Boleh jadi ayah kau memiliki rahasia besar, Dam. Kekayaan
tersembunyi, peta harta karun."
Aku menepuk jidat. "Atau jangan-jangan ayah kau punya ilmu sakti, Dam. Bisa
menghilang atau terbang, makanya papa Jarjit takut pada?nya."


Ayahku Bukan Pembohong Karya Tere-liye di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku bergegas meletakkan gagang telepon, bukan karena Taani
semakin melantur, tetapi lampu kamar Ibu terlihat menyala. Aku
berjinjit mengembalikan telepon ke atas meja.
"Kau Pengecut!" Jarjit membentakku, ludahnya muncrat.
Kolam renang lengang, hanya satu-dua ekor burung gereja
hinggap di ujung-ujung menara pengawas. Bau kaporit tercium
samar. Salah satu keran di pojok tidak tertutup sempurna, airnya
menetes satu per satu. Aku menggeleng, bukan untuk aku pengecut atau tidak.
Pagi ini, setelah mendengar hasil penyelidikan amatiran Taani,
masalah ini tidak akan selesai dengan berkelahi. Percuma, walau
67 Isi-Ayahku.indd 67 3/23/11 2:28:05 PM salah satu dari kami terkapar di rumah sakit, tetap tidak ber?
kesudahan. Harus ada jalan keluar lain, dan itu solusi yang adil,
yang membuat aku dan Jarjit bisa saling respek (meski tetap
benci). Sebuah pertarungan yang adil macam gladiator zaman
dahulu, atau mungkin sebuah pertandingan sportif seperti suku
Penguasa Angin. Dan, hei, ide itu keluar begitu saja dari kepalaku.
"Kalau kau kalah?" Jarjit berkata tajam, setelah aku menjelas?
kan?nya. "Aku akan mengaku kalau aku memang pengecut."
"Pada semua orang?"
"Iya, bahkan termasuk pada papa dan ibu kau."
Jarjit menyeringai sebentar, bibirnya menyimpul senyum.
"Tetapi kalau kau kalah, kau juga akan berhenti memanggilku
Pengecut. Kau dan seluruh kamerad kau akan menyingkir jauhjauh dari hidupku," aku mengingatkannya.
Jarjit tersenyum sinis. "Aku tidak akan kalah."
Kolam renang sepi, airnya seperti kaca tanpa riak semili pun.
Aku dan Jarjit bergegas melepas baju, lantas mengenakan
pakaian renang. Apa yang Ayah pernah bilang, suku Penguasa
Angin akhir?nya menawarkan penjajah mereka sebuah tantangan,
sebuah per?tandingan yang sebenarnya amat dikuasai penjajah.
Jika me?reka kalah, suku Penguasa Angin akan pergi dari tanah
subur milik mereka, membiarkan rumput-rumput hijau padang
peng?gembala?an dihabisi demi kebun tembakau. Tetapi jika
penjajah itu kalah, penjajah akan menarik seluruh peralatan
berat, petugas bersenapan, dan berbagai intimidasi selama ini.
Ketua Suku Penguasa Angin tahu persis, walaupun menang,
68 Isi-Ayahku.indd 68 3/23/11 2:28:06 PM penjajah tidak akan mudah mengakuinya. Maka suku Penguasa
Angin menyiapkan jebakan besar, yang tidak hanya mengalahkan
penjajah dengan permainan yang mereka cipatakan sendiri, tetapi
sekaligus menghancurkan seluruh kekuatan penjajah. Ren?cana
yang hebat, disusun selama dua ratus tahun, perhitungan ke?
biasaan alam yang tepat, lima generasi menunggu, dan berhasil
gemilang. Penjajah itu tidak tahu kekuatan bersabar. Kekuatan
ini bahkan lebih besar dibandingkan peledak berhulu nuklir.
Alam semesta selalu bersama orang-orang yang sabar.
Aku tidak sesabar suku Penguasa Angin. Aku bahkan berkalikali membalas perlakuan Jarjit. Dan pagi ini, saat pertandingan
besar tiba, aku tidak punya rencana cadangan. Tidak ada yang
kupikirkan selain berenang secepat mungkin. Tidak ada saksi
atas pertandingan ini. Jadi jika Jarjit kalah dan menolak meng?
akuinya, esok lusa ia tetap memanggilku Pengecut, mengolokolok?ku. Aku tidak bisa berbuat banyak. Yang pasti, kalau aku
kalah, aku akan menghormati kekalahan itu. Aku akan bilang
bahwa aku pengecut. Tahukah kalian, Ketua Suku Penguasa
Angin bahkan menyiapkan seluruh rakyatnya berkemas malam
sebelum pertandingan, berjaga-jaga kalau mereka akhirnya harus
terusir dari negeri kelahiran sendiri. Mereka siap dengan ke?
kalahan"sama siapnya dengan sebuah kemenangan.
Kami bersitatap sebentar, tatapan benci, dan sedetik, kami
sudah meluncur ke dinginnya air kolam. Pertandingan kami
amat sederhana, siapa yang lebih dulu menyelesaikan jarak
4x100 meter, dialah yang menang.
Pagi itu matahari lembut membasuh permukaan kolam re?
nang. Burung gereja semakin riuh hinggap di pohon belimbing
yang tumbuh di luar pagar kolam. Aku dan Jarjit akhirnya se?
69 Isi-Ayahku.indd 69 3/23/11 2:28:07 PM pakat menyelesaikan masalah kami dua tahun terakhir bukan
dengan berkelahi. Di klub renang, Jarjit adalah perenang dengan kemampuan
start terbaik. Tubuh tinggi liatnya langsung memimpin setengah
meter saat kepala kami muncul di permukaan air, dan ia juga
sama sepertiku, perenang jarak pendek yang tangguh. Lima
puluh meter berlalu, ia berhasil menambah keunggulan menjadi
satu meter di depanku. Aku tidak sempat mengeluh soal betapa
cepatnya Jarjit membalik badan, mengentakkan kaki di dinding
kolam, siap melanjutkan lima puluh meter berikutnya. Aku
berkonsentrasi penuh tidak membuat kesalahan.
Seratus meter terlewati, aku tetap menyimpan tenaga sekali?
gus menjaga selisih jarak dengan Jarjit tidak membesar. Ke?
sempatanku ada di lima puluh meter terakhir. Selama ini pelatih
dan teman-teman klub memuji daya tahanku. Di putaran ter?
akhir aku bisa memaksakan renang secepat yang aku bisa"dan
semoga Jarjit mulai melambat kehabisan tenaga.
Dua ratus meter, jarak Jarjit sudah satu setengah meter di
depanku. Aku mengatupkan rahang. Tidak, belum saatnya
mengeluar?kan seluruh kalori. Jika perhitunganku benar, lima
puluh meter terakhir lebih dari cukup untuk menyalip Jarjit.
Sayang?nya hingga tiga ratus meter terlewati, tidak ada tandatanda kecepatannya akan berkurang. Aku mulai tegang. Janganjangan Jarjit dibakar "semangat itu". Energi untuk menang yang
tidak terkirakan, seperti sang Kapten yang selalu mempunyai
"semangat itu", gigih, pantang menyerah. Jangan-jangan kebencian
Jarjit berubah menjadi sumber tenaga tidak terkira.
Tubuhku berputar seratus delapan puluh derajat, mengentak?
kan kakiku di pinggir kolam. Akhirnya, ini lima puluh meter
70 Isi-Ayahku.indd 70 3/23/11 2:28:08 PM terakhir, saatnya berenang secepat yang aku bisa tanpa cemas
akan kehabisan tenaga. Tubuh pendek kecilku melesat bak tor?
pedo. Rambut ikalku entah sudah seperti apa. Berenanglah,
Dam, seperti kau tidak akan pernah berenang lagi.
Aku berhasil memangkas jarak menjadi satu meter dalam
waktu sepuluh detik. Dua puluh meter, persis di tengah kolam, aku berhasil me?
nyalip Jarjit yang entah kenapa jadi lamban sekali kayuhannya"
atau aku yang berenang amat cepat" Sepuluh meter lagi
menyentuh pinggir kolam tempat start, aku menyadari ada yang
keliru. Jarjit tertinggal sepuluh meter di belakang. Rasa-rasanya
kecepatan renangku tidak sefantastis itu. Aku menghentikan
gerak tangan, menoleh, hanya tangan Jarjit yang terjulur ke atas,
menggapai-gapai, badannya mulai tenggelam.
Tidak ada waktu untuk berpikir soal kemenangan. Jarjit meng?
alami masalah, maka aku segera membalik badan. Jarjit berseruseru panik, tersedak, meminum air lebih banyak. Jarakku tinggal
lima meter. Kepala Jarjit mulai tenggelam. Tubuhnya sudah
tenggelam saat aku berhasil menyambar tangannya, bergegas me?
nyeretnya ke pinggir kolam.
Aku memukul dada Jarjit keras-keras"teknik yang diajarkan
pelatih sebagai pertolongan pertama keadaan darurat. Jarjit
bergeming. Tubuh tinggi besarnya terkulai lemah. Aku memukul
lebih keras. Ayolah, Kawan, kau bisa melakukannya. Aku berseru
cemas. Tetap tidak ada reaksi. Beruntung, sebelum aku panik,
Jarjit tersedak memuntahkan air. Ia siuman. Aku membantunya
bersandar. Aku tidak ingat detail setelah itu, bergegas lari ke luar kolam
renang, menghentikan angkutan umum, meminta orang-orang
71 Isi-Ayahku.indd 71 3/23/11 2:28:09 PM yang sedang joging di jalanan membantu menggendong Jarjit.
Pagi itu, tanpa kusadari, aku masih mengenakan celana dalam
saat papa, ibu Jarjit, pelatih, dan teman-teman di klubku me?
nyusul ke rumah sakit. Ketika memangkunya di atas angkutan umum, mata kami
ber?sitatap sejenak. Saat itulah aku tahu bahwa masalah kami
sudah selesai. Tidak ada lagi sinar benci di matanya. Yang tersisa
hanya tatapan redup, seperti hendak bilang ia sesungguhnya
tidak pernah membenciku. Ia hanya benci hidupnya selalu di?
banding?kan denganku. Dam anak berambut keriting dari
keluarga sederhana, apa adanya.
72 Isi-Ayahku.indd 72 3/23/11 2:28:10 PM 8 Seleksi Lomba K ejutan besar. Hari-hariku berjalan menyenangkan se?
bulan terakhir. Tidak ada lagi yang memanggilku Pengecut (ka?
lau Ke?riting masih, menyisakan Taani yang entah kenapa bela?
kangan tiba-tiba memanggilku begitu sambil tertawa). Aku bisa
me?nikmati lonceng istirahat dengan nyaman tanpa gerombolan
yang sibuk mengolok-olokku. Aku juga bisa berlatih renang lebih
baik tanpa ada yang menggangguku di ruang ganti. Ayah datang
dengan kejutan itu. "Bagaimana seleksi lomba besok?" Ayah bertanya di tengah
suara denting sendok. "Sudah, Yah," aku menjawab pendek, sibuk mengunyah ayam
bakar spesial. Ibu pandai memasak, makanannya selalu lezat"
karena itulah aku paling tidak suka hukuman pemboikotan Ibu
untuk menyiapkan makan malam.
"Sudah apanya?" Ayah bertanya lagi.
"Eh, tadi Ayah bertanya apa?"
Ayah tertawa. "Seleksi lomba renang kau, bagaimana?"
"O, tenang saja, aku sudah siap."
73 Isi-Ayahku.indd 73 3/23/11 2:28:10 PM "Kau jangan bicara sambil mengunyah, Dam," Ibu menegur?
ku. Kami menghabiskan makan malam lewat percakapan hangat
tentang banyak hal. Dan saat aku sibuk membantu Ibu mem?
bereskan piring-piring, Ayah memberikan amplop biru itu.
"Buatku?" Aku mengernyitkan dahi.
"Ya, Pak Pos mengantarkannya tadi siang." Ayah meng?
angguk. "Dari siapa?" Aku memeriksa amplop. Namaku tercantum
besar-besar, juga alamat rumah kami, tetapi perangkonya tidak
kukenali, stempelnya dari kota dan negara... Astaga" Aku seperti?
nya mengenal sekali nama kota itu. Juga simbol di depannya,
dua ekor singa berdiri berhadapan.
"Ini surat" surat untukku?" Aku berseru kencang, loncat men?
cengkeram lengan Ayah. Setengah percaya, setengah bermimpi.
Ayah mengangguk, mengedipkan mata. "Iya. Sang Kapten."
Andai kata aku bisa menuliskan perasaanku, andai kata....
Aku sudah berteriak kencang, memeluk Ayah, bilang terima
kasih tidak terkira, memeluk Ibu, bilang aku cinta padanya. Ini
kejutan luar biasa. Aku tidak tahu Ayah mengambil surat-surat
untuk sang Kapten yang dulu kubuang ke kotak sampah. Ayah
memasukkannya ke dalam amplop lantas mengirimkannya ke
seberang lautan. Mataku berkaca-kaca, gemetar memegang
amplop biru dengan logo kebanggaan tim besar itu. Astaga,
apakah ini tidak keliru" Pemain terbaik dunia, pencetak lima
puluh gol dalam satu musim, pemegang juara liga dan juara
Champions antarklub Eropa, pemain yang berhasil membawa
negaranya ke Piala Dunia tahun depan, dia, dia mengirimkan
surat kepadaku. 74 Isi-Ayahku.indd 74 3/23/11 2:28:11 PM "Dam, piringnya," Ibu mengingatkanku.
"Ya, Bu." Aku buru-buru menyeka pipi, memasukkan amplop
itu ke saku, kembali melanjutkan membantu Ibu mencuci
piring. *** "Sarapan, Dam." Jarjit menjulurkan kotak makanan.
"Terima kasih." Aku menunjuk roti dan irisan pisang yang
disiapkan Ibu tadi pagi. Sekarang Jarjit menegurku dengan kalimat yang lebih baik,
selalu menawarkan makanan yang dibawanya. Sejak kejadian itu,
meski tidak saling benci lagi, kami juga tidak otomatis jadi
teman yang baik. Pagi ini, duduk berdua di ruang ganti, me?
nunggu pelatih memanggil kami, rasanya amat aneh. Sekali-dua
aku pura-pura memperbaiki ikat rambut, mengunyah sarapan
pelan-pelan. Jarjit lebih ganjil lagi. Ia menepuk-nepuk celana
renangnya, bergumam pelan, memainkan jemari kaki, menoleh
ke arah pintu, berharap ada teman klub lain masuk entah meng?
ambil apa, memotong suasana canggung di antara kami.
Suara peluit, teriakan kencang pelatih, suara debam air, dan
ramai bunyi tepuk tangan terdengar hingga ke dalam. Sejak tadi
pelatih memanggil kami satu per satu. Ini seleksi resmi untuk
menentukan formasi siapa yang akan mewakili klub dalam
lomba renang nasional. Tinggal kami berdua yang tersisa dalam
ruang ganti. "Dam, Jarjit." Salah satu teman melongokkan kepala.
Aku dan Jarjit terlonjak kecil, akhirnya. Tersenyum kaku satu
sama lain. Giliran kami tiba. Situasi aneh ini pun berakhir.
75 Isi-Ayahku.indd 75 3/23/11 2:28:12 PM "Aku harap kau lolos, Dam." Jarjit yang berjalan di depanku
mendadak berhenti, menoleh.
Aku menatapnya sejenak. "Aku juga berharap kau lolos."
Jarjit tersenyum, mengangguk, lantas melangkah menuju tepi
kolam. Pelatih menyuruh kami bergabung di jalur tiga dan empat, di
antara enam anggota klub lainnya yang tiga tahun lebih senior.
"Kalian siap, hah?"
Kami mengangguk mantap. "Dan kau, Dam, tali celana kau sudah diperiksa?" pelatih me?
neriakiku. "Aku tidak mau melihat kau telanjang lagi di kolam."
Teman-teman tertawa, bahkan ada yang tergelak memukul
bangku kolam. Aku menggaruk kepala yang tidak gatal.
Pelatih meniup peluit kuat-kuat. Suara debam air terdengar.
Delapan anak meluncur cepat. Angka digital stopwatch raksasa


Ayahku Bukan Pembohong Karya Tere-liye di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menara kolam mulai berhitung per milidetik. Kecipak air me?
menuhi kolam. Napas tersengal, seruan-seruan menyemangati
teman yang lain, wajah tegang penonton, dan suara tepuk tangan
semakin riuh saat kami tinggal beberapa meter lagi.
Aku dan Jarjit lolos menjadi wakil klub.
*** Hanya Taani yang tahu semua cerita Ayah tentang sang Kapten.
Aku dengan bangga menunjukkan surat hebat bersampul biru
itu"sambil wanti-wanti agar ia tidak bilang ke siapa-siapa.
"Astaga, ini sungguh surat asli?" Taani berdecak.
"Tentu saja. Kau pikir ayahku membuat sendiri surat ini"
Me?ngarang-ngarangnya?" Aku sedikit tersinggung.
76 Isi-Ayahku.indd 76 3/23/11 2:28:13 PM "Eh, bukan itu maksudku, Dam." Taani menggaruk ujung hi?
dung. "Maksudku, ini jelas-jelas ditulis sendiri oleh sang Kapten,
tanda tangannya sama persis."
"Dari mana kau tahu kalau ini tanda tangan sang Kapten"
Kau bahkan tidak tahu bahasa mereka." Aku berusaha menarik
lagi surat dari tangan Taani"enak saja ia memegangnya dengan
tangan berminyak. "Ini tanda tangan sang Kapten, Dam. Kau tidak ingat bola
Jarjit" Sama persis." Taani menjawab kalem, menepis tanganku,
lantas menengadahkan surat itu ke arah cahaya lampu, mencoba
memeriksanya lebih detail, sudah seperti kelakuannya selama ini,
suka bermain detektif-detektifan.
Aku menggeleng. Melihat bola itu saja aku tidak tertarik,
bagaimana aku akan ingat.
"Sejauh ini semua meyakinkan." Taani sudah macam Sherlock
Holmes, sekarang mengangguk-angguk. "Kecuali sang Kapten
punya ratusan staf yang pandai meniru tulisan dan tanda tangan?
nya." Tidak mungkin. Aku membantah kalimat Taani dengan tam?
pang sebal. Ayahku teman baik sang Kapten, bahkan sejak sang
Kapten masih delapan tahun. Ia pasti bersedia meluangkan
waktu membalas sendiri surat dari anak sahabatnya.
"Memangnya isi surat ini apa?" Taani menyerahkan surat.
"Rahasia," aku menjawab pendek, memeriksa surat sang
Kapten. Jangan-jangan ada yang rusak oleh tingkah sok tahu
Taani barusan. "Ah, paling juga basa-basi selebriti kebanyakan." Taani tertawa
kecil. "Senang sekali berkenalan dengan Anda. Aku merasa ter?
hormat menerima surat dari Anda, rasanya luar biasa tahu ada
77 Isi-Ayahku.indd 77 3/23/11 2:28:14 PM penggemar yang datang dari tempat jauh. Semoga bermanfaat,
semoga menginspirasi" bla-bla-bla..." Taani menggerak-gerak?kan
tangan, mengubah intonasi suara, meniru kelakuan basa-basi
selebriti di televisi. Aku ikut tertawa, menyergah. "Sang Kapten tidak seperti
itu." "Kalau tidak seperti itu, lantas isi suratnya apa?"
Aku menyeringai lebar, tidak menjawab, hati-hati melipat
Tiga Mutiara Mustika 3 Filosofi Kopi Karya Dewi Dee Lestari Pedang Keramat Thian Hong Kiam 1
^