Pencarian

Bumi Manusia 2

Bumi Manusia Karya Pramoedya Ananta Toer Bagian 2


Prasangkaku, sekali waktu ia bercerita, bahwa parang dan tombak, dan ranjau Aceh, takkan mampu menghadapi senapan dan meriam,juga keliru.
Orang Aceh punya cara berperang khusus. Dengan alamnya, dengan kemampuannya, dengan kepercayaannya, telah banyak kekuatan Kompeni dihancurkan. Aku heran melihat kenyataan ini, tambahnya lagi. Mereka membela apa yang mereka anggap jadi haknya tanpa mengindahkan maut. Semua orang, sampai pun kanak-kanak! Mereka kalah, tapi tetap melawan. Melawan, Minke, dengan segala kemampuan dan ketakmampuan.
Waktu aku bertugas di sana, pada lain kali ia bercerita dengan bahasa yang campuraduk itu, pertahanan orang Aceh sudah terdesak jauh ke pedalaman dan selatan, di daerah Take-ngon. Seorang panglima Aceh, Tjoet Ali, sudah kehilangan banyak kekuatan dan daerah, namun tetap dapat mempertahankan ketinggian semangat pasukannya suatu rahasia yang tak dapat aku pfecahkan. Mereka tetap bertempur, bukan hanya melawan Kompeni, juga melawan kehancurannya sendiri. Hubungan lalu-lintas Kompeni selalu jadi sasaran empuk: jembatan, jalanan, kawat tilgrap, keretapi dan relnya, peracunan air minum, serangan dadakan, ranjau bambu, penyergapan, penikaman tak terduga, pengamukan dalam tangsi...... Para jendral Belanda hampir-hampir tak sanggup meneruskan operasi penumpasan. Yang tertumpas selalu kanak-kanak, kakek-nenek, orang sakit, wanita bunting. Dan orang-orang tak berdaya itu, Minke, justru merasa beruntung bila dibunuh Kompeni. Sassus dari atasan mengatakan: -memang kurban di antara serdadu Eropa tak pernah mencapai tiga ribu orang seperti dalam perang Jawa, tapi ketegangan syaraf menguasai seluruh pasukan Kompeni di setiap jengkal tanah yang diinjaknya. Dan Jean Marais mulai belajar mengagumi dan mencintai bangsa Pribumi yang gagah-perwira ini, berwatak dan berpribadi kuat ini. Dua puluh tujuh tahun mereka sudah berperang, berhadapan dengan senjata paling ampuh pada jamannya, hasil ilmu-pengetahuan dan pengalaman seluruh peradaban Eropa.
Cinta itu indah, Minke, terlalu indah, katanya. Ia masih juga belum bercerita bagaimana ia dapat mengubah wanita musuhnya jadi wanita yang dicintai dan boleh jadi mencintainya juga, jadi wanita yang memberinya seorang anak kesayangan, May sekarang duduk bercericau di pangkuanku.
Aku belai rambutnya. Berapa bulan ibumu sempat memberimu air dada padamu, anak manis " Kau tak pernah melihat pasang mata ibiimu, wanita Aceh kelahiran pantai itu! Kau takkan pernah bisa berbakti padanya. Kau, semuda ini, May, telah kehilangan sesuatu yang tak mungkin akan tergantikan oleh apa dan siapa pun! "Lihat sana itu, Oom," serunya dalam Belanda, "di atas mendung mendatang itu, masa layang-layang seperti kepiting!"
"Memang tidak cocok kalau kepiting terbang di langit. Men-dung semakin tebal", May, mari pulang."
Jean Marais masih mencangkungi meja-gambar. Ia angkat pandang waktu kami masuk. May segera menghampiri ayahnya dan bercericau tentang layang-layang kepiting di atas mendung Jean mengangguk memperhatikan. Dan aku mondarmandir melihat-lihat lukisan jadi yang besok atau lusa harus kuantarkan pada Jean kufikir mungkin mampu melayani kebawelan mereka. Ada saja perubahan yang mereka kehendaki agar lukisan lebih sesuai dengan anggapan mereka sendiri. Dan itulah pekerjaanku pekerjaan berat tentu meyakinkan mereka: pelukisnya adalah pelukis besar Prancis, cukup jadi jaminan akan keabadiannya lebih abadi dari pemesannya sendiri. Kalau diubah lagi, keabadiannya akan rusak dan akan di potret kimia biasa. Kebawelan paling gigih selamanya datang dan pemesan wanita. Beruntung aku banyak mendengar keterangan dan Jean sendiri: wanita lebih suka mengabdi pada kekinian dan gentar pada ketuaan: mereka dicengkam oleh impian tentang kemudaan yang rapuh itu dan hendak bergayutan abadi pada kemudaan impian itu Umur sungguh aniaya bagi wanita. Maka juga setiap kebawelan wanita harus dilawan dengan kebawelan lain: lukisan mi adalah warisan terbaik untuk anakanak Mevrouw, bukan sema-ta-mata untuk Mevrouw. (Beruntung semua pemesan wamta itu bukan dari golongan mandul). Biasanya kebawelanku menang. Kalau toh kalah juga terpaksa aku mengancam: baik, kalau Mevrouw tak suka, lukisan ini akan kutebus sendiri, akan kupasang di rumahku sendiri. Biasanya ancaman demikian menimbulkan kecucukan.
Orang segera bertanya: untuk apa " Dan kujawab: kalau sudah jadi milikku apakah juga takkan ada halangan. Diapakan, misalnya " Ya, memang bisa aku ben berkumis (tapi tak pernah aku nyatakan demikian). Pendeknya sampai sekarang aku tak pernah kalah dalam kebawelan, apalagi setelan tahu: kebawelan banyak kali dianggap wanita sebagai ukuran Kelihaian.
"Sudah sore, Jean, aku pulang.
"Terimakasih, Minke, atas segala dan semua kebaikanmu, ia lambaikan tangan meminta aku mendekat. "Bagaimanai seK lahmu " Buat kepentingan May dan aku kau tak pernah semp* belajar di rumah. Aku kuatir......."
"Beres, Jean. Ujian selalu aku lalui dengan selamat." Menyeberangi pagar hidup di samping rumah sampailah aku di pelataran pemondokan. Darsam sudah lama menunggu aku dengan sepucuk surat.
"Tuanmuda," ia memberi tabik, kemudian bicara jawa, "Nyai menunggu jawaban. Darsam menunggu, Tuanmuda."
Surat itu memberitahukan: keluarga Wonokromo menantikan kedatanganku; Annelies sekarang jadi pelamun, tak suka makan, pekerjaannya banyak terbengkalai, dan salah. "Sinyo Minke, alangkah akan berterimakasih seorang ibu yang banyak pekerjaan ini kalau Sinyo sudi memperhatikan kesulitannya. Annelies satu-satunya pembantuku. Aku takkan mampu kerjakan semua seorang diri. Aku kuatir sekali akan kesehatannya. Kedatangan Sinyo adalah segala-galanya bagi kami berdua. Datanglah, Nyo, biar pun hanya sebentar. Satu-dua jam pun memadai. Namun kami mengharapkan dengan sangat agar Sinyo suka tinggal pada kami. Selanjutnya terimakasih tak berhingga untuk perhatian dan kesudian Sinyo." Surat itu tertulis dalam Belanda yang patut dan benar. Rasanya tak mungkin ditulis oleh seorang lulusan sekolah dasar tanpa pengalaman. Entahlah, mungkin ditulis oleh orang lain. Setidak-tidaknya bukan oleh Robert Mellema. Tapi apa pentingnya siapa penulisnya " Surat itu memberanikan aku, mengembalikan kepribadianku: bukan aku saja telah tergenggam oleh mereka, mereka sebaliknya pun tergenggam olehku. Genggam-menggenggamlah, kalau tak dapat dikatakan sihir-menyihir. Seorang ibu yang bijaksana dan berwibawa seperti Nyai memang dibutuhkan oleh setiap anak, dan dara cantik tiada bandingan dibutuhkan oleh setiap pemuda. Lihat: mereka membutuhkan aku demi keselamatan keluarga dan perusahaan. Kan aku termasuk hebat juga " Aduh, sekarang ini betapa banyak alasan dapat aku bariskan untuk membenarkan diri sendiri. Baik. Aku akan datang.
4. SURAT NYAI MEMANG TIDAK BERLEBIHAN. Annelies kelihatan susut. Ia sambut aku pada tangga depan rumah. Matanya bersinar-sinar menghidupkan kembali wajahnya yang pucat waktu ia menjabat tanganku.
Robert Mellema tidak nampak. Aku pun tak menanyakan. Nyai muncul dari pintu di samping ruang depan.
"Akhirnya kau datang juga, Nyo. Betapa lamanya Annelies harus menunggu. Urus abangmu itu, Ann, aku masih banyak kerja, Nyo."
Aku masih sempat melirik ke dalam ruangan di samping ruangdepan. Ternyata tak lain dari kantor perusahaan. Nyai menutup kembali pintu, hilang di baliknya. Seperti pada kedatanganku yang pertama juga sekarang timbul perasaan itu dalam hati: seram. Setiap waktu rasanya bisa terjadi peristiwa aneh. Waspada, hati ini memperingatkan. Jangan lengah. Seperti dulu juga sekarang sepantun suara bertanya padaku: mengapa kau begitu bodoh berkunjung kemari " Sekarang hendak coba-coba tinggal di sini pula " Mengapa tidak pulang pada keluarga sendiri kalau memang bosan tinggal di pemondokan " Atau cari pemondokan lain " Mengapa kau mengikuti tarikan rumah seram ini, tidak melawan, bahkan menyerahkan diri mentah-mentah "
Annelies membawa aku masuk ke kamar yang dulu pernah kutempati. Darsam menurunkan kopor dan tasku dari bendi dan membawanya ke dalam kamar. "Biar kupindahkan pakaianmu ke dalam lemari," kata gadis itu. "Mana kunci kopormu " Sini!"
Aku serahkan kunci koporku dan ia mulai sibuk. Buku-buku dari kopor ia deretkan di atas meja, pakaian ke dalam lemari. Kemudian tas dibongkarnya. Darsam menaruh kopor dan tas kosong dia atas lemari. Dan Annelies kini memperbaiki deret buku itu sehingga nampak seperti serdadu berbaris.
"Mas!" itulah untuk pertama kali ia memanggil aku panggilan yang mendebarkan, menimbulkan suasana seakan aku berada di tengah keluarga Jawa. "Ini ada tiga pucuk surat. Kau belum lagi membacanya. Mengapa tak dibaca "" Rasanya semua orang menuntut aku membacai surat-surat yang kuterima. "Tiga pucuk, Mas, semua dari B."
"Ya, nanti kubaca." .
Ia antarkan surat-surat itu padaku, berkata: "Bacalah. Barangkali penting."
Ia pergi untuk membuka pintu luar. Dan surat-surat itu kuletakkan di atas bantal. Kususul dia. Di hadapan kami terbentang taman yang indah, tidak luas, hampirhampir dapat dikatakan kecil-mungil, dengan kolam dan beberapa angsa putih bercengkerama seperti dalam gambar-gambar. Sebuah bangku batu berdiri di tepi kolam.
"Mari," Annelies membawa aku keluar, melalui jalan beton dalam apitan gazon hijau. Duduklah kami di atas bangku batu itu. Annelies masih juga memegangi tanganku. "Apa Mas lebih suka kalau aku bicara Jawa ""
Tidak, aku tak hendak menganiayanya dengan bahasa yang memaksa ia menaruh diri pada kedudukan sosial dalam tata-hidup Jawa yang pelik itu.
"Belanda sajalah," kataku.
"Lama betul kami harus tunggu kau." "Banyak pelajaran, Ann, aku harus berhasil." "Mas pasti berhasil."
"Terimakasih. Tahun depan aku harus tamat. Ann, aku selalu terkenang padamu." Ia pandangi aku dengan wajah bersinar-sinar dan dirapat kannya tubuhnya padaku. "Jangan bohong," katanya.
"Siapa akan bohongi kau " Tidak." "Betul itu "" ..,"
"Tentu. Tentu."
Aku pelukkan tanganku pada pinggangnya dan kudengar nafasnya terengah-engah. Ya Allah, Kau berikan dara tercantik di dunia ini kepadaku. Aku pun berdebar-debar. "Di mana Robert "" tanyaku untuk penenang jantung.
"Apa guna kau tanyakan dia " Mama pun tak pernah bertanya di mana dia berada." Nah, satu masalah sudah mulai timbul. Dan aku merasa tak patut untuk mencampuri.
"Mama sudah merasa tak sanggup, Mas, ia menunduk dan suaranya mengandung duka. "Sekarang ini semua kewajibannya aku yang harus lakukan." Aku perhatikan bibirnya yang pucat dan seperti lilin tuangan itu" Dia tak menyukai Mama. Juga tidak menyukai aku. Dia jarang di rumah. Kan Mas sendiri pernah saksikan aku bekerja ""
Kudekap tubuhnya untuk menyatakan sympati. "Kau gadis luarbiasa."
"Terimakasih, Mas," jawabnya senang. "Kau ak perlu perhatikan Robert. Dia benci pada semua dan segala yang serba Pribumi kecuali keenakan yang bisa didapat daripadanya. Rasa-rasanya dia bukan anak sulung Mama, bukan abangku, seperti orang asing yang tersasar kemari."
Jelas ia banyak memikirkan abangnya, dan memikirkannya dengan prihatin anak semuda ini.
"Aku juga tak melihat Tuan Mellema," kataku mencari pokok lain.' "Papa " Masih juga takut padanya " Maafkan malam buruk itu. Dia pun tak perlu kau perhatikan. Papa sudah menjadi begitu asing di rumah ini. Seminggu sekali belum tentu pulang, itu pun hanya untuk pergi lagi. Kadang tidur sebentar, kemudian menghilang lagi entah ke mana. Maka seluruh tanggungjawab dan pekerjaan jatuh ke atas pundak Mama dan aku."
Keluarga macam apa ini " Dua orang wanita, ibu dan anak, bekerja dengan diamdiam mempertahankan keluarga dan perusahaan sebesar itu "
"Bekerja di mana Tuan Mellema ""
"Jangan perhatikan dia, pintaku, Mas. Tak ada yang tahu bekerja di mana. Dia tak pernah bicara, seperti sudah bisu. KaI mi pun tak pernah bertanya. Tak ada orang bicara dengannya. Sudah berjalan lima tahun sampai sekarang. Rasa-rasanya memang sudah seperti itu sejak semula kuketahui. Dia dulu memang begitu baik dan ramah. Setiap hari menyediakan waktu i untuk bermain-main dengan kami. Waktu aku duduk di kias dua j E.L.S. mendadak semua jadi berubah. Beberapa hari perusa- . haan tutup. Dengan mata merah Mama datang ke sekolah men| jemput aku, Mas, mengeluarkan aku dari sekolah untuk selain
lamanya. Mulai hari itu aku harus membantu pekerjaan Mama dalam perusahaan. Papa tak pernah muncul lagi, kecuali beberapa menit dalam satu atau dua minggu. Sejak itu pula Mama tak pernah menegurnya, juga tak mau menjawab pertanyaannya....."
Cerita yang tidak menyenangkan.
"Juga Robert dikeluarkan dari sekolah ""tanyaku mengalihkan. "Pada waktu aku dikeluarkan dia duduk di kias tujuh tidak, dia tidak dikeluarkan.'1 "Meneruskan sekolah mana dia kemudian "", "Dia lulus, tapi tak mau meneruskan. Juga tak mau bekerja. Sepakbola dan berburu dan berkuda. Itu saja." "Mengapa dia tidak membantu Mama "" "Dia pembenci Pribumi, kecuali keenakannya, kata Mama.
Bagi dia tak ada yang lebih agung daripada jadi orang Eropa dan semua Pribumi harus tunduk padanya. Mama menolak tunduk. Dia mau menguasai seluruh perusahaan. Semua orang harus bekerja untuknya, termasuk Mama dan aku." "Kau juga dianggapnya Pribumi "" tanyaku hati-hati. "Aku Pribumi, Mas," jawabnya tanpa ragu. "Kau heran " Memang aku lebih berhak mengatakan diri Indo. Aku lebih mencintai dan mempercayai Mama, dan Mama Pribumi, Mas."
Memang keluarga teka-teki, setiap orang menduduki tempatnya sebagai peran dalam sandiwara seram. Banyak Pribumi me-ngimpi jadi Belanda, dan gadis yang lebih banyak bertampang Eropa ini lebih suka mengaku Pribumi.
Annelies terus bicara dan aku hanya mendengarkan. "Kalau itu yang kau kehendaki," terusnya, "mudah, Robert, kata Mama, sekarang kau sudah dewasa. Kalau papamu mati, pergi kau pada advokat, mungkin kau akan dapat kuasai seluruh perusahaan ini. Kata Mama pula: Tapi kau harus ingat, kau masih punya saudara tiri dari perkawinan syah, seorang insinyur bernama Maurits Mellema, dan kau takkan kuat berhadapan dengan seorang Totok. Kau hanya Peranakan. Kalau betul kau hendak menguasai perusahaan dengan baik-baik, belajarlah kau bekerja seperti Annelies. Memerintah pekerja pun kau tidak bisa, karena kau tak bisa memerintah dirimu sendiri. Memerintah diri sendiri kau tak bisa karena kau tak tahu bekerja." "Lihat angsa itu, Ann, putih seperti kapas," kataku mengalihkan. Tapi dia bicara terus. "Mengapa rahasia keluarga kau sampaikan padaku ""
"Karena Mas tamu kami dalam lima tahun ini. Tamu kami, tamu keluarga. Memang ada beberapa tamu, hanya semua berhubungan dengan perusahaan. Ada juga tamu keluarga, tapi didokter keluarga kami. Karena itu kaulah tamu pertama itu. Dan kau begitu dekat, begitu baik pada Mama mau pun aku," suaranya mendesah sunyi, tak kekanak-kanakan. "Lihat, tak segan-segan aku ceritakan semua itu padamu, Mas. Kau pun jangan segan-segan di sini. Kau akan jadi sahabat kami berdua/' Suaranya menjadi semakin sentimentil dan berlebihan: "Segala milikku jadilah milikmu. Mas. Kau bebas sekehendak hati dalam rumah M."
Betapa sunyi hati gadis dan ibunya di tengah-tengah kekayaan melimpah ini. "Nah, mengasohlah. Aku hendak bekerja sekarang."
Ia berdiri hendak berangkat. Ia pandangi aku sebentar, ragu, mencium pipiku, kemudian berjalan cepat meninggalkan aku seorang diri......
Berapa lama sudah ia simpan perasaannya. Sekarang akulah tempat tumpahan curahan.
Dari tempat dudukku terdengar deru pabrik beras yang sedang bekerja. Bunyi andong-andong pengantar susu yang berangkat dan datang. Derak-derik grobakgrobak mengangkuti sesuatu dari dan ke gudang. Pukulan-pukulan gebahan orang melepas kacang-kacangan dari kulitnya, sambil bergurau.
Aku masuk ke kamar, membuka-buka buku catatanku dan mulai menulis tentang keluarga aneh dan seram ini, yang karena suatu kebetulan telah membikin aku terlibat di dalamnya. Siapa tahu pada suatu kali kelak bisa kubuat cerita seperti Bila Mawar pada Layu cerita bersambung menggemparkan tulisan Hertog Lamoye " Ya, siapa tahu " Selama ini aku hanya menulis teks iklan dan artikel pendek untuk koran-lelang. Siapa tahu " Dengan nama sendiri terpampang dan dibaca oleh umum " Siapa tahu "
Semua kata-kata Annelies telah kucatat. Bagaimana tentang Darsam si pendekar " Aku belum tahu banyak tentangnya. Berpihak pada siapa dia di antara tiga golongan dalam keluarga seram ini " Tiadakah dia justru bahaya terdekat bagi ketiga-tiga pihak " Bahaya " Adakah bahaya itu sesungguhnya " Kalau ada kan aku sendiri pun ikut terancam " Kalau benar ada, untuk apa pula aku tinggal di sini " Kan lebih baik aku pergi "
Pergi begitu saja aku tak kuasa. Gadis mempesonakan ini ke mana pun terbawa dalam pikiran.
Ketukan pada pintu itu membikin aku menggagap, Nyai telah berdiri di hadapanku. "Tak terkirakan gembira Annelies dan aku Sinyo sudi datang, lihat Nyo dia sudah mulai bekerja lagi, mendapatkan kegenitannya yang semula. Kedatangan Sinyo bukan sekedar membantu kelancaran perusahaan, terutama untuk kepentingan Annelies sendiri. Dia mencintai Sinyo. Dia membutuhkan perhatianmu. Maafkan keterus-teranganku ini, Minke " .
Ya Mama" jawabku takzim, rasanya lebih daripada kepada ibuku sendiri, dan kembali kurasai daya sihirnya mencekam, Sudahlah, tinggal di sini saja. Kusir dan bendi bisa disediakan khusus untuk keperluan Sinyo.
"Terima-kasih, Mama."
"Jadi Sinyo bersedia tinggal di sini, bukan " Mengapa diam saja", ya .. ya pikirkanlah dulu. Pendeknya, sekarang ini Sinyo sudah tinggal di sini."
Ya Mama," dan genggamannya atas diriku semakin terasa.
Baik. Istirahatlah. Biar terlambat, tentunya tak ada buruknya aku ucapkan selamat naik klas."
Dengan demikian aku mulai menjadi batih baru keluarga ini. Dengan catatan tentu: aku harus tetap waspada, terutama terhadap Darsam. Aku takkan terlalu dekat padanya. Sebaliknya harus selalu sopan padanya. Robert barangtentu akan membenci aku sebagai Pribumi tanpa harga. Tuan Herman Mellema tentu akan menyembur aku pada setiap kesempatan yang didapatnya Pendeknya aku harus waspada kewaspadaan sebagai bea kebahagiaan hidup di dekat gadis cantik tanpa bandingan: Annelies Mellema. Dan apa bisa diperoleh dalam hidup ini tanpa bea " Semua harus dibayar, atau ditebus, juga sependek-pendek kebahagiaan. ***
Pada waktu makan malam Robert tak muncul. Bayang-bayang dan langkah menyeret Tuan Mellema pun tiada.
"Minke, Nyo," Nyai memulai, "Kalau suka bekerja dan berusaha, kau cukup di sini saja bersama kami. Kami pun akan merasa lebih aman dengan seorang pria di dalam rumah ini. Maksudku, pria yang dapat diandalkan."
"Terimakasih, Mama. Semua itu baik dan menyenangkan, sekali pun harus kupikirkan dulu," dan kuceritakan keadaan keluarga Jean Marais yang masih membutuhkan jasa-jasaku.
"Itu baik," kata Nyai, "manusia yang wajar mesti punya sahabat, persahabatan tanpa pamrih. Tanpa sahabat hidup akan terlalu sunyi.....suaranya lebih banyak tertuju pada diri sendiri. Mendadak: "Nah, Ann, Sinyo Minke sudah ada di dekatmu. Lihat baik-baik. Dia sudah ada di dekatmu. Sekarang, kau mau apa .. "Ah, Mama!" desau Annelies dan melirik padaku.
"Ah-Mama ah-Mama saja kalau ditanyai. Ayoh, bicara sekarang, biar aku ikut dengarkan."
Annelies melirik padaku lagi dan mukanya mcrahpadam. Nyai tersenyum bahagia. Kemudian menatap aku, berkata:
"Begitulah, Nyo, dia itu seperti bocah kecil. Sedang kau sendiri, Nyo, apa katamu sekarang setelah di dekat Annelies ""
Sekarang giliranku tersipu tak bisa bicara. Dan barang tentu aku takkan mungkin berseru ah-Mama seperti Annelies. Perempuan ini memang berpikiran cepat dan tajam, langsung dapat menggagapi hati orang, seakan ia dengan mudah dapat mengetahui apa yang hidup dalam dada. Barangkali di situ letak kekuatannya yang mencekam orang dalam genggamannya, dan mampu pula mensihir orang dari kejauhan. Apalagi dari dekat.
"Mengapa kalian berdua pada diam seperti sepasang anak kucing kehujanan "" ia tertawa senang pada perbandingannya sendiri;
Memang bukan nyai sembarang nyai. Dia hadapi aku, siswa H.B.S. tanpa merasa rendahdiri. Dia punya keberanian menyatakan pendapat. Dan dia sadar akan kekuatan pribadinya. J
Kami lewatkan malam itu dengan mendengarkan waltz Austria dari phonograf. Mama membaca sebuah buku. Buku apa aku tak tahu. Annelies duduk di dekatku tanpa bicara. Pikiranku justru melayang pada May Marais. Dia akan senang di sini, kiraku. Dia senang mendengarkan lagu-lagu Eropa. Tak ada phonograf di rumahnya, pun tidak di pemondokanku.
Mulailah aku ceritakan padanya tentang gadis cilik yang kehilangan ibunya. Dan nasib ibunya. Dan kebaikan hati Jean Marais. Dan kebijaksanaannya. Dan kesederhanaannya.
Nyai berhenti membaca, meletakkan buku di pangkuan dan ikut mendengarkan ceritaku. Phonograf dilayani seorang pelayan wanita.
Aku teruskan ceritaku tentang Jean Marais. Pada suatu kali ia dengar regunya mendapat perintah menyerbu sebuah kampung di Biang Kejeren. Mereka berangkat pagi-pagi dan sampai di kampung itu sekitar jam sembilan pagi. Dari jauh mereka telah menghamburkan peluru ke udara agar semua pelawan menyingkir, dan dengan demikian tidak perlu terjadi pertempuran. Mereka menembak-nembak lagi ke udara sambil berteduh di bawah pepohonan. Beberapa kemudian mereka berjalan lagi, siap memasuki kampung. Betul saja kampung itu telah kosong. Regunya masuk tanpa perlawanan. lak seorang pun dapat ditemukan. Seorang bayi pun tidak. Orang mulai memasuki rumah-rumah dan mengobrak-abrik apa saja yang bisa dirusak. Penduduk sudah begitu melaratnya selama lebih dua puluh tahun berperang. Tak ada didapatkan sesuatu untuk kenang-kenangan. Kopral Telinga telah memerintahkan membakar semua rumah, lepat pada waktu itu orang-orang Aceh nampak seperti rombongan semut, laki dan perempuan. Semua berpakaian hitam. Berseru-seru dalam berbagai macam nada memanggil-manggil Allah. Beberapa orang saja nampak berikat-pinggang selendang merah.
Di dalam kampung itu sendiri tiba-tiba muncul beberapa orang lelaki muda Aceh, menerjang. Mengamuk dengan parang. Entah dari mana datangnya. Senapan tak bisa dipergunakan lagi. Dan semut hitam di kejauhan itu makin mendekat juga. Regu Telinga kocar-kacir, sekali pun sebagian besar para pengamuk tewas. Sisanya melarikan diri. Dengan mengangkuti teman-teman sendiri yang terluka regu itu tergesa meninggalkan kampung. Jean Marais terjebak dalam ranjau bambu. Sebilah yang runcing telah menembusi kakinya.
Juga Telinga terkena ranjau, hanya kurang parah. Orang mencabut'bilah bambu dari kakinya, dan Jean pingsan. Mereka lari dan lari dan lari. Orang tak dapat menduga apa yang sedang dipersiapkan di luar rombongan semut yang mendatang itu. Orang Aceh pandai bermain muslihat. Bisa saja mendadak muncul pasukan pelawan baru. Hanya lari dan lari yang mereka bisa. Dan membawa kurban yang bisa dibawa. Para kurban dirawat di rumah sakit Kompeni. Lima belas hari kemudian ketahuan kaki Jean Marais terserang gangreen pada perbukuan lutut. Beberapa bulan yang lalu ia telah kehilangan kekasihnya, seTcarang ia kehilangan sebuah dari kakinya, dipotong di atas lutut.
'.'Bawalah anak itu kemari," kata Nyai. "Annelies akan suka sekali mendapatkan adik. Bukan, Ann " Oh, tidak, kau tidak membutuhkan adik, kau sudah mendapatkan Minke."
"Ah, Mama ini!" serunya malu.
Dan aku sendiri tidak kurang dari itu. Tak ada peluang lain. Sudah kucoba bangunkan diri.sebagai pria berpribadi dan utuh di hadapan wanita luarbiasa ini. Tak urung setiap kali ia bicara usahaku gagal. Kepribadianku terlindungi oleh bayang-bayangnya. Memang aku tahu: yang demikian tak boleh berlarut terus. "Mama, ijinkan aku bertanya," begitu usahaku untuk keluar dari bayang-bayangnya, "lulus sekolah apa Mama dulu ""
"Sekolah ia menelengkan kepala seperti sedang mengintai langit, menjernihkan ingatan. "Seingatku belum pernah
"Mana mungkin " Mama bicara, membaca, mungkin juga menulis Belanda. Mana bisa tanpa sekolah.
"Apa salahnya " Hidup bisa memberikan segala pada barang siapa tahu dan pandai menerima."
Sungguh aku terperanjat mendengar jawaban itu. Tak pernah itu dikatakan oleh setiap orang di antara guru-guruku.
Maka malam itu aku sulit dapat tidur. Pikiranku bekerja keras memahami' wanita luarbiasa ini. Orang luar sebagian memandangnya dengan mata sebelah karena ia hanya seorang nyai, seorang gundik. Atau orang menghormati hanya karena kekayaannya. Aku melihatnya dari segi lain lagi: dan segala apa yang ia mampu kerjakan, dari segala apa yang ia bicarakan Aku benarkan peringatan Jean Marais: harus adil sudah sejak dalam pikiran, jangan ikut-ikutan jadi hakim tentang perkara yang tidak diketahui benar-tidaknya.
Memang ada sangat banyak wanita hebat. Hanya saja baru Nyai Ontosoroh yang pernah kutemui. Menurut cerita Jean Marais wanita Aceh sudah terbiasa turun ke medan-perang melawan Kompeni. Dan rela berguguran di samping pria. Juga di Bali. Di tempat kelahiranku sendiri wanita petani bekerja bahu-membahu dengan kaum pria di sawah dan ladang. Namun semua itu tidak seperti Mama dia tahu lebih daripada hanya kampung-halaman sendiri.
Dan semua teman sekolah tahu ada juga seorang wanita Pribumi yang hebat, seorang dara, setahun lebih tua daripadaku. Ia putri Bupati J. wanita Pribumi pertama yang menulis dalam Belanda, diumumkan oleh majalah keilmuan di Betawi. Waktu tulisannya yang pertama diumumkan ia berumur 17. Menulis tidak dalam bahasa ibu sendiri! Setengah dari teman-temanku menyangkal kebenaran berita itu. Mana bisa ada Pribumi, dara pula, hanya lulusan E.L.S., bisa menulis, menyatakan pikiran secara Eropa, apalagi dimuat di majalah keilmuan " Tapi aku percaya dan harus percaya, sebagai tambahan keyakinan aku pun bisa lakukan apa yang ia bisa lakukan. Kan telah ku-buktikan aku juga bisa melakukan " Biar pun masih taraf coba-coba dan kecil-kecilan " Bahkan dialah yang merangsang aku untuk menulis. Dan didekatku kini ada wanita lebih tua. Dia tidak menulis, tapi ahli mencekam orang dalam genggamannya. Dan dia mengurus perusahaan besar secara Eropa! Dia menghadapi sulungnya sendiri, menguasai tuannya, Herman Mellema, bangunkan bungsunya untuk jadi calon administratur, Annelies Mellema dara cantik idaman semua pria.
Aku akan pelajari keluarga aneh dan seram ini. Dan bakal kutulis.
5. TAK DAPAT AKU MENAHAN KECUCUKANKU. UNTUK mengetahui siapa sebenarnya Nyai Ontosoroh yang hebat ini. Beberapa bulan kemudian baru kuketahui dari cerita lisan Annelies tentang ibunya. Setelah kususun kembali cerita itu jadi begini:
Kau tentu masih ingat pada kunjunganmu yang pertama, Mas. Siapa pula bisa melupakan " Aku pun tidak. Seumur hidup pun tidak. Kau gemetar mencium aku di depan Mama. Aku pun gemetar. Kalau tiada diseret oleh Mama aku masih terpukau pada anak-tangga. Kemudian bendi merenggut kau dari padaku.
Ciumanmu terasa panas pada pipiku. Aku lari ke kamar dan kuperiksa mukaku pada kaca cermin. Tiada sesuatu yang berubah. Makan kita malam itu tak bersambal, hanya sedikit lada. Mengapa begini panas " Kugosok dan kuhapus. Masih juga panas. Kemana pun mata kulayangkan selalu juga tertumbuk pada matamu. Sudah gilakah aku " Mengapa kau juga yang selalu nampak, Mas " dan mengapa aku senang di dekatmu, dan merasa sunyi dan menderita jauh daripadamu " Mengapa tiba-tiba merasa kehilangan sesuatu setelah kepergianmu "
Aku berganti Pakaian-tidur dan memadamkan lilin, masuk keranjang. Kegelapan justru semakin memperjelas wajahmu, aku ingin menggandengmu seperti siang tadi. Tapi tanganmutidak ada. Kumiringkan badan kekiri dan kekanan , tidak juga mau tdur. Tidak juga mau tidur.
Berjam-jam. Dalam dadaku terasa ada sepasang tangan yang jari-jarinya menggelitik memaksa aku berbuat sesuatu.
Berbuat apa " Aku sendiri tak tahu. Kulemparkan selimut dan guling. Kutinggalkan kamar.
Tanpa sadarku panas pada pipi itu terasa tiada lagi.
Aku menyerbu ke kamar Mama tanpa mengetuk pintu seperti biasa ia belum tidur. Ia sedang duduk pada meja membaca buku. Ia berpaling padaku sambil menutup buku, dan sekilas terbaca olehku berjudul Nyai Dasima.
"Buku apa, Ma "i
Ia masukkan benda itu ke dalam laci. "Mengapa belum juga tidur "" "Malam ini ingin tidur sama Mama."
"Perawan sebesar ini masih mau tidur sama biang . "Ma, ijinkanlah."
"Sana, naik dulu!"
Aku naik dulu ke ranjang. Mama turun untuk memeriksai pintu dan jendela. Kemudian naik lagi, mengunci pintu kamar menurunkan klambu, memadamkan lilin. Gelap-gelita di dalam kamar.
Di dekatnya aku merasa agak tenang dengan harap cemas menunggu kata-katanya tentang kau, Mas.
"Ya, Annelies," ia memulai, "mengapa takut tidur sendirian " kau yang sudah sebesar ini ""
"Mama, pernah Mama berbahagia ""
"Biar pun pendek dan sedikit setiap orang pernah" Ann." "Berbahagia juga Mama sekarang ""
"Yang sekarang ini aku tak tahu. Yang ada hanya kekuatir-an, hanya ada satu keinginan. Tak ada sangkut-paut dengan kebahagiaan yang kau tanyakan. Apa peduli diri ini berbahagia atau tidak " Kau yang kukuatirkan. Aku ingin lihat kau berbahagia ....."
Aku menjadi begitu terharu mendengarkan itu. Aku peluk Mama dan aku cium dalam kegelapan itu. Ia selalu begitu baik padaku. Rasa-rasanya takkan ada.orang lebih baik.
"Kau sayang pada Mama, Ann ""
Pertanyaanuntuk pertama kali ftu diucapkan, membikin aku berkaca-kaca, Mas. Nampaknya saja ia selalu keras.
"Ya, Mama ingin melihat kau berbahagia untuk selama-lamanya. Tidak mengalami kesakitan seperti aku dulu. Tak mengalami kesunyian seperti sekarang ini: tak punya teman,, tak punya kawan, apalagi sahabat. Mengapa tiba-tiba datang membawa kebahagiaan ""
"Jangan tanyai aku, Ma, ceritalah."
Ann, Annelies, mungkin kau tak merasa, tapi memang aku didik kau secara keras untuk bisa bekerja, biar kelak tidak ha rus tergantung pada suami, kalau ya, mogamoga tidak kalau-kaiau suami itu semacam ayahmu itu." "
Aku tahu Mama telah kehilangan penghargaannya terhadan Papa. Aku dapat memahami sikapnya, maka tak perlu bertanya tentangnya. Yang kuharapkan memang bukan omongan tentang itu. Aku ingin mengetahui adakah ia pernah merasai apa yan" ku rasai sekarang.
Kapan Mama merasa sangat, sangat berbahagia "" "Ada banyak tahun setelah aku ikut Tuan Mellema, ayahmu."
"Lantas, Ma ""
"Kau masih ingat waktu kau kukeluarkan dari sekolah " Itulah akhir kebahagiaan itu. Kau sudah besar sekarang, sudah harus tahu memang. Harus tahu apa sebenarnya telah terjadi. Sudah beberapa minggu ini aku bermaksud menceritakan. Kesempatan tak kunjung tiba juga. Kau mengantuk . "Mendengarkan, Ma."
"Pernah Papamu bilang, dulu, waktu kau masih sangat, sangat kecil: seorang ibu harus menyampaikan pada anak-perempuannya semua yang dia harus ketahui ...... "Pada waktu itu ......."
"Betul, Ann, pada waktu itu segala dari Papamu aku hormati, aku ingat-ingat' aku jadikan pegangan. Kemudian ia berubah, berlawanan dengan yang pernah diajarkannya.
Ya, waktu ,tu mulai hilang kepercayaan dan hormatku padanya Ma, pandai Papa dulu, Ma ".
Bukan saja pandai, juga baik hati, Dia yang mengajari aku segala tentang pertanian, perusahaan, pemeliharaan hewan, pekerjaan kantor. Mula-mula diajari aku bahasa Melayu, kemudian membaca dan menulis dan bahasa Belanda, Papamu bukan hanya mengajar dengan sabar tetapi juga menguji semua yang telah diajarkannya. Kemudian diajarinya aku semua yang berurusan dengan Bank, ahli-ahli Hukum, aturan dagang. Semua yang sekarang mulai juga kuajarkan padamu. Mengapa papa bisa berubah begitu Ma".
Ada, Ann, ada sebabnya. Sesuatu telah terjadi, hanya sekali, kemudian dia kehilangan seluruh kebaikan, kepandaian, keterampilan, kecerdasannya. Rusak, Ann, binasa karena kejadian yang satu itu. Ia berubah menjadi orang lain, jadi binatang yang tak kenal anak dan isteri lagi.
"Kasihan, Papa."
"YaTak tahu diurus' ,ebih suka mengembara tak menentu.
Mama tak meneruskan ceritanya. Kisahnya seakan jadi peringatan terhadap hari depanku, Mas" Dunia menjadi semakin senyap. Yang kedengaran hanya nafas kami berdua. Sekiranya Mama tidak bertindak begitu keras terhadap Papa begitu berkali-kali diceritakan oleh Mama tak tahu aku apa yang terjadi atas diriku Mungkin jauh, jauh lebih buruk yang dapat kusangkakan.
"Tadinya terpikir olehku untuk membawanya ke rumahsakit jiwa. Ragu Ann. Pendapat orang tentang kau, Ann, bagaimana nanti " Kalau ayahmu ternyata memang gila dan oleh Hukum ditaruh onder curateele "* Seluruh perusahaan, kekayaan dan keluarga akan diatur seorang curator yang ditunjuk oleh Hukum Mamamu, hanya perempuan Pribumi, akan tidak mempunyai sesuatu hak atas semua, juga tidak dapat. berbuat sesuatu untuk anakku sendin, kau, Ann. Percuma saja akan jadinya kita berdua membanting tulang tanpa hari libur ini. Percuma 'aku telah lahirkan kau, karena Hukum tidak mengakui keibuanku, hanya karena aku Pribumi dan tidak dikawin secara syah. Kau mengerti ".
"Mama!" bisikku. Tak pernah kuduga begitu banyak kesulitan yang dihadapinya. "Bahkan ijin-kawinmu pun akan bukan dari aku datangnya, tapi dari curator itu - bukan sanak bukan semenda. Dengan membawa Papamu ke rumahsakit jiwa, dengan campurtangan pengadilan, umum akan tahu keadaan Papamu, umum akan.....kau, Ann, nasibmu nanti, Ann. Tidak!"
"Mengapa justru aku, Ma ""
Kau tidak mengerti " Bagaimana kalau kau dikenal umum sebagai anak orang sinting " Bagaimana akan tingkaumu dan tingkahku di hadapan mereka "" Aku sembunyikan kepalaku di bawah ketiaknya, seperti anak ayam. Tiada pernah aku sangka keadaanku bisa menjadi seburuk dan senista itu.
"Ayahmu bukan dari keturunannya menjadi begitu," kata Mama meyakinkan. "Dia menjadi begitu karena kecelakaan. Hanya orang mungkin akan menyamakan saja, dan kau bisa dianggap punya benih seperti itu juga." Aku menjadi kecut. "Itu sebabnya dia kubiarkan. Aku tahu dimana dia selama mi bersarang Cukuplah asal tidak diketahui umum .
Lambat-lambat persoalan pribadiku terdesak oleh belas-kasihanku pada Papa. "Biarlah, Ma, biar kuurus Papa.
"Dia tidak kenal kau."
"Tapi dia Papaku, Ma."
"Stt. Belas-kasihan hanya untuk yang tahu. Kaulah yang lebih memerlukannya anak orang semacam dia. Ann, kau harus mengerti: dia sudah berhenti sebagai manusia. Makin dekat kau dengannya, makin terancam hidupmu oleh kerusakan. Dia telah menjadi hewan yang tak tahu lagi baik daripada buruk. Tidak lagi bisa berjasa pada sesamanya. Sudah, jangan tanyakan lagi."
Kumatikan keinginanku untuk mengetahui lebih jauh. Bila Mama sudah bersungguh begitu tidak bijaksana untuk berulah.
Aku tak tahu ibu dan anak orang-orang lain. Kami berdua tak punya teman, tak punya sahabat. Hidup hanya sebagai majikan terhadap buruh dan sebagai taoke terhadap langganan, dikelilingi orang yang semata karena urusan perusahaan, membikin aku tak bisa membanding-banding. Bagaimana kaum Indo lainnya akupun tidak tahu. Mama bukan saja melarang aku bergaul, juga tidak menyediakan sisa waktu untuk memungkinkan. Mama adalah kebesaran dan kekuasaan satusatunya yang aku kenal.
"Kau harus mengerti, jangan lupakan seumur hidupmu, kita berdua ini yang berusaha sekuat daya agar tak ada orang tahu, kau anak seorang yang sudah rusak ingatan," Mama menutup persoalan.
Kami berdua diam untuk waktu agak lama. Aku tak tahu apa yang sedang dipikirkan atau bayangkan. Di dalam dadaku sendiri jari-jari itu mulai lagl menggelitik. Tiada tertahankan. Masih juga ia tidak mau bicara tentang kau MasAdakah dia setuju denganmu atau tidak Mas " atau kau dianggap sebagai unsur baru saja dalam perusahaan.
Kegelapan itu terasa tiadaYang ada hanya kau. Tak lain daripada kau!, maka aku harus hentikan ceritanya yang tidak menyenangkan itu, Jadi :
Mama ceritai aku bagaimana kau bertemu dan kemudian dan kemudian hidup bersama papa.
Ya itu harus kau ketahui Ann, hanya saja jangan sampai kau tergoncang. Kau anak manja dan berbahagia dibandingkan dengan mamamu ini pada umur yang lebih muda . Mari aku ceritai kau dan ingat-ingat selalu.
Dan mulailah ia bercerita:
Aku punya seorang abang: Paiman. Dia lahir pada hari pasaran Paing, maka dinamai dia dengan suku depan Pai. Aku tiga tahun lebih muda, dinamai: Sanikem. Ayahku bernama Sastrotomo setelah kawin. Kata para tetangga, nama itu berarti: Jurutulis yang utama
Kata orang, ayahku seorang yang rajin. Ia dihormati karena satu-satunya yang dapat baca-tulis di desa, baca tulis yang dipergunakan di kantor. Tapi ia tidak puas hanya jadi jurutulis. Ia impikan jabatan lebih tinggi, sekali pun jabatannya sudah cukup tinggi dan terhormat. Ia tak perlu lagi mencangkul atau meluku atau berkuli, bertanam atau berpanen tebu.
Ayahku mempunyai banyak adik dan saudara sepupu. Sebagai jurutulis masih banyak kesulitan padanya untuk memasukkan mereka bekerja di pabrik. Jabatan lebih tinggi akan lebih memudahkan, lagi pula akan semakin tinggi pada pandangan dunia. Apalagi ia ingin semua kerabatnya bisa bekerja di pabrik tidak sekedar jadi kuli dan bawahan paling rendah. Paling tidak mandorlah. Untuk membikin mereka jadi kuli tak perlu orang punya sanak jurutulis B semua orang bisa diterima jadi kuli kalau mandor setuju. Ia bekerja rajin dan semakin rajin. Lebih sepuluh tahun.
Jabatan dan pangkatnya tak juga naik. Memang gaji dan persen tahunan selalu naik. Jadi ditempuhnya segala jalan: dukunn, jampi, mantra, bertirakat memutih, berpuasa semn-kamis. tak juga berhasil. , ,
Jabatan yang diimpikannya adalah jurubayar: kassier, pemegang kas pabrikgula Tulangan, Sidoarjo. Dan siapa tidak berurutan dengan jurubayar pabrik " Paling sedikit mandortebu Mereka datang untuk menerima uang dan membubuhkan "p jempol. Ia bisa menahan upah mingguan kesatuan si mandor kalau ne-reka menolak cukaian atas penghasilan para kuhnya Sebagai jurubayar pabrik ia akan menjadi orang besar di Tulangan. Pedagang akan membungkuk menghormati. Tuan tuan Totok dan Peranakan akan memberi tabik dalam Melayu. Guratan penanya berarti uang! Ia akan termasuk golongan berkuasa dalam Pabrik. Orang akan mendengarkan katanya: tunggu di bangku situ, untuk dapat menerima uang dan tangannya. . Mengibakan. Bukan kenaikan Jabatan, Kehormatan dan ketakziman yang ia dapatkan. Sebaliknya kebencian dan kejijikan orang dan jabatan juru bayar itu tetap tergantung diawang-awang.
Tindakannya yang menjilat dan merugikan orang menjadikannya tersisih dari pergaulan. Ia terpencil ditengah lingkungannya sendiri.
Tapi ia tidak peduli, ia memang keras hati . Kepercayaannya pada kemurahan dan perlindungan tuan-tuan kulit putih tak terpatahkan, Orang muak melihat usahanya menarik tuan-tuan Belanda itu agar sudi datang ke rumah Seorang-dua memang datang juga dan disugunya dengan segala apa yang bisa menyenangkan mereka. Tapi jabatan itu tak juga tiba.
Malah melalui dukun dan tirakat ia berusaha menggendam Tuan Administratur, Tuan Besar Kuasa, agar sudi datang ke rumah Juga tak berhasil. Sebaliknya ia sendiri sering berkunjung ke rumahnya. Bukan untuk menemui pembesarnya karena sesuatu urusan. Untuk membantu kerja di belakang! Tuan Administratur tak pernah mempedulikannya.
Aku sendiri merasa risi mendengar semua itu. Kadang dengan diam-diam kuperhatikan ayahku dan merasa iba. Betapa jiwa dan raganya disesah oleh impian itu. Betapa ia hinakan diri dan martabat sendiri. Tapi aku tak berani bicara apa-apa. Memang kadang aku berdoa agar ia menghentikan kelakuannya yang memalukan itu. Para tetangga sering bilang: lebih baik dan paling baik adalah memohon pada Allah; sampai berapalah kekuasaan manusia, apalagi orang kulit putih pula. Doaku untuknya bukan agar ia mendapatkan jabatan itu agar ia dapat mengebaskan diri dari kelakuannya yang memalukan. Waktu itu memang aku tidak akan mampu bercerita seperti ini. Hanya merasakan dalam hati. Dan semua doaku juga tanpa hasil.
Tuan Besar Kuasa adalah seorang bujangan sebagai biasanya orang Totok pendatang baru. Umurnya mungkin lebih tua dari ayahku, jurutulis Sastrotomo itu. Orang bilang, pernah juga ayahku menawarkan wanita padanya. Orang itu bukan saja tidak menerima tawaran dan berterimakasih, malah memaki, mengancam akan memecatnya', Sejak itu ayah jadi ketawaan umum. Ibuku menjadi kurus setelah mendengar sindiran orang: Jangan-jangan anaknya sendiri nanti yang ditawarkan, yang mereka maksudkan adalah aku.
Tentu kau mengerti bagaimana sesak hidup ini mendengar itu. Sejak itu aku tak berani keluar rumah lagi. Setiap waktu mataku liar menatap keruang depan kalau kalau ada tamu orang kulit putih. Syukur tamu itu tidak ada.
Tidak seperti pegawai Belanda lainnyaTuan Besar Kuasa tidak suka ikut bertayub dalam pesta giling. Setiap hari minggu ia pergi ke kota Sidoarjo untuk bersembahyang di gereja Protestan Pada jam tujuh pagi orang bisa melihat ia pergi naik kuda atau kereta. Aku sendin pernah melihatnya dari kejauhan. Waktu berumur tigabelas aku mulai dipingit, dan hanya tahu dapur, ruangbelakang dan kamarku sendiri. Teman-teman lain sudah pada dikawinkan. Kalau ada tetangga atau sanak datang baru kurasai diri berada di luar rumah seperti semasa kanakkanak dulu. Malah duduk di pendopo aku tak diperkenankan. Menginjak lantainya pun tidak.
Bila pabrik berhenti kerja dan pegawai dan buruh pulang sering aku lihat dari dalam rumah orang lalulalang menoleh ke rumah kami. Tentu saja. Tamu-tamu wanita yang berkunjung selalu memuji aku sebagai gadis cantik, bunga Tulangan, kembang Sidoarjo. Kalau aku bercermin, tak ada alasan lain daripada membenarkan sanjungan mereka. Ayahku seorang yang ganteng. Ibuku aku tak pernah tahu namanya seorang wanita cantik dan tahu memelihara badan. Semestinya, sebagaimana lazimnya, ayahku beristri dua atau tiga, apalagi ayah mempunyai tanah yang disewa pabrik dan tanah lain yang digarap oleh orang lain. Ia tidak demikian. Ia merasa cukup dengan seorang istri yang cantik. Di samping itu ia hanya mengimpikan jabatan jurubayar, pemegang kas pabrik, Pribumi paling terhormat di kemudian hari-
Begitulah keadaannya, Ann.
Waktu berumur empatbelas masyarakat telah menganggap aku sudah termasuk golongan perawan tua. Aku sendiri sudah haid dua tahun sebelumnya. Ayah mempunyai rencana tersendiri tentang diriku. Biar pun ia dibenci, lamaran-lamaran datang meminang aku. Semua ditolak. Aku sendiri beberapa kali pernah mendengar dari kamarku. Ibuku tak punya hak bicara seperti wanita Pribumi seumumnya. Semua ayah yang menentukan. Pernah ibu bertanya pada ayah, menantu apa yang ayah harapkan.
Dan ayah tidak pernah menjawab.
Tidak seperti ayahku, Ann, aku takkan menentukan bagaimana harusnya macam menantuku kelak. Kau yang menentukan, aku yang menimbang-nimbang. Begitulah keadaanku, keadaan semua perawan waktu itu, Ann 1 hanya bisa menunggu datangnya seorang lelaki yang akan mengambilnya dari rumah, entan ke mana, entah sebagai istri nomor berapa, pertama atau keempat. Ayahku dan hanya ayahku yang menentukan. Memang oer-untung kalau jadi yang pertama dan tunggal. Dan itu keluar-saan dalam masyarakat pabrik. Masih ada lagi. Apa lelak.yang mengambil dari rumah itu tua atau muda, seorang perawan gg
perlu mengetahui sebelumnya. Sekali peristiwa itu terjadi perem puan harus mengabdi dengan seluruh jiwa dan raganya pada |e. laki tak dikenal itu, seumur hidup, sampai mati atau sampai dia bosan dan mengusir. Tak ada jalan lain yang bisa dipilih. Boleh jadi dia seorang penjahat, penjudi atau pemabuk. Orang takkan bakal tahu sebelum jadi istrinya. Akan beruntung bila yang datang itu seorang budiman. Pada suatu malam Tuan Administratur, Tuan Besar Kuasa itu, datang ke rumah. Aku sudah mulai cemas. Ayahku gopoh-gapah memerintahkan ini-itu pada Ibu dan aku untuk kemudian dibantahnya sendiri dengan perintah baru. Ia perintahkan aku mengenakan pakaian terbaik dan sekali-dua mengawasi sendiri aku berhias. Memang aku curiga, jangan-jangan benar bisik-de-sus orang itu. Ibuku lebih curiga lagi. Belum apa-apa, dan ia sudah menangis tersedan-sedan di pojokan dapur dan membisu seribu logat.
Ayahku, jurutulis Sastrotomo, memerintahkan aku keluar menyuguhkan kopisusu kental dan kue. Ayah memang sudah berpesan: bikin yang kental. Keluarlah aku menating talam. Kopisusu dan kue di atasnya. Tak tahu aku bagaimana wajah Tuan Besar Kuasa. Tak layak seorang gadis baik-baik mengangkat mata dan muka pada seorang tamu lelaki tak dikenal baik oleh keluarga. Apalagi orang kulit putih pula. Aku hanya menunduk, meletakkan isi talam di atas meja. Biar bagaimana pun nampak pipa celananya, putih dari kain drill. Dan sepatunya, besar, panjang. Menandakan orangnya pun tinggi dan besar.
Aku rasai pandang Tuan Besar Kuasa menusuk tangan dan leherku. "Ini anak sahaya, Tuan Besar Kuasa," kata ayahku dalam Melayu. "Sudah waktunya punya menantu," sambut tamu itu. Suaranya besar, berat dan dalam, seperti keluar dari seluruh dada. Tak ada orang Jawa bersuara begitu. Aku masuk lagi untuk menantikan perintah baru. Dan perintah itu tidak datang. Kemudian Tuan Besar Kuasa pergi bersama ayah. Ke mana aku tak tahu. Tiga hari kemudian, pada tengah hari Minggu sehabis makansiang. Ayah memanggil aku. Di ruangtengah ia duduk bersama Ibu. Aku berlutut di hadapannya. "Jangan, Pak, jangan," Ibu menegah.
"Kem, Ikem," Ayah memulai. "Masukkan semua barang milik dan pakaianmu ke dalam kopor Ibumu. Kau sendiri pakaian baik-baik, yang rapih, yang menarik." Ah, betapa banyak pertanyaan sambar-menyambar di dalam hati. Aku harus lakukan semua perintah orangtuaku, terutama ayah. Dari luar kamarku kudengar Ibu menyangkal dan menyangkal tanpa mendapat pelayanan.
Telah kumasukkan semua pakaian dan barang milikku. Dibandingkan dengan gadisgadis lain barangkali pakaianku termasuk banyak dan mahal, maka kupelihara baikbaik. Kain batikku lebih dari enam. Di antaranya batikanku sendiri. Dan keluarlah aku membawa kopor tua coklat yang sudah penyok disana-sini itu. Ayah dan Ibu masih duduk di tempat semula. Ibu menolak berganti pakaian. Kemudian kami bertiga naik dokar yang telah menunggu di depan rumah. Di atas kendaraan ayah bilang, suaranya terang tanpa keraguan "Tengok rumahmu itu, Ikem. Mulai hari ini itu bukan rumahmu lagi." Aku harus dapat memahami maksudnya. Kudengar Ibu tersedan-sedan. Memang aku sedang dalam pengusiran dari rumah. Aku pun tersedu-sedu. Dokar berhenti di depan rumah Tuan Besar Kuasa. Kami semua turun. Itulah untuk pertama kali Ayah berbuat sesuatu untukku: menjinjingkan koporku. Tak berani aku melihat sekelilingku. Namun aku merasa ada beribu-ribu pasang mata melihatkan kami dengan terheran-heran.
Aku berdiri saja di atas jenjang tangga rumah batu itu. Pikiran dan perasaan telah menjadi tambahan beban, menghisap segala dari tubuh. Badan tinggal jadi kulit. Jadi ke sini juga akhirnya aku dibawa, ke rumah Tuan Besar Kuasa, seperti sudah lama disindirkan. Sungguh, Ann, aku malu mempunyai seorang ayah jurutulis Sastrotomo. Dia tidak patut jadi ayahku. Ta-pi aku masih anaknya, dan aku tak bisa berbuat sesuatu. Airma-ta dan lidah Ibu tak mampu jadi penolak bala. Apalagi aku yang tak tahu dan tak memiliki dunia ini. Badan sendiri pun bukan aku punya. Tuan Besar Kuasa keluar. Ia tersenyum senang dan matanya berbinar. Ada kudengar suaranya. Dengan bahasa isyarat yang asing ia silakan kami naik. Sekilas menjadi semakin jelas
Ah betapa tinggi besar tubuhnya. Mungkin beratnya tiga kali ayah. Mukanya kemerahan. Hidungnya begitu mancungnya, cukup untuk tiga atau empat orang Jawa sekaligus. Kulit lengannya kasar seperti kulit biawak dan berbulu lebat kuning. Aku kertakkan gigi. menunduk lebih dalam. Lengan itu sama besarnya dengan kakiku.
Jadi benar aku diserahkan pada raksasa putih berkulit biawak ini Aku harus tabah, kubisikkan pada diri sendiri. Takkan ada yang menolong kau! Semua setan dan iblis sudah mengepung aku.
Untuk pertama kali dalam hidupku, karena silaan Tuan Besar Kuasa, aku duduk di kursi sama tinggi dengan Ayah. Dihadapan kami bertiga: Tuan Besar Kuasa. Ia bicara Melayu' Hanya sedikit kata dapat kutangkap. Selama pembicaraan semua terasa timbul-tenggelam dalam lautan. Tak ada senoktah pun tempat teguh. Dari kantongnya Tuan Besar Kuasa mengeluarkan sampul kertas dan menyerahkannya pada Ayah. Dari saku itu pula ia keluarkan selembar kertas berisi tulisan dan Ayah mem bubuhkan tandatangan di situ. Di kemudianhari kuketahui, sampul itu berisikan uang dua puluh lima gulden, penyerahan diriku kepadanya, dan janji Ayah akan diangkat jadi kassier setelah lulus dalam pemagangan selama dua tahun. Ann, upacara sederhana bagaimana seorang anak telah dijual oleh ayahnya sendiri, jurutulis Sastrotomo. Yang dijual adalah diriku: Sanikem. Sejak detik itu hilang sama sekali penghargaan dan hormatku pada ayahku; pada siapa saja yang dalam hidupnya pernah menjual anaknya sendiri. Untuk tujuan dan maksud apa pun. Aku masih tetap menunduk, tahu takkan ada seorang pun tempat mengadu. Di dunia ini hanya Ayah dan Ibu yang berkuasa. Kalau Ayah,sendiri sudah demikian, kalau Ibu tak dapat membela aku, akan bisa berbuat apa orang lain.
Kata-kata terakhir Ayah: "Ikem, kau tidak keluar dari rumah ini tanpa ijin Tuan Besar Kuasa. Kau tidak kembali ke rumah tanpa seijinnya dan tanpa seijinku."
Aku tak melihat pada mukanya waktu dia mengatakan itu.
Aku masih tetap menunduk. Itulah suaranya yang terakhir yang pernah aku dengar. Ayah dan Ibu pulang dengan dokar yang tadi juga. Aku tertinggal di atas kursi bermandi airmata, gemetar tak tahu apa harus kuperbuat. Dunia terasa gelap. Samar-samar nampak dari bawah keningku Tuan Besar Kuasa naik. lagi ke rumah setelah mengantarkan orangtuaku. Diangkatnya koporku dan di bawanya masuk. Ia keluar lagi, mendekati aku. Ditariknya tanganku disuruh berdiri. Aku menggigil. Bukan aku tak mau berdiri, bukan aku membangkang perintah. Aku tak kuat berdiri. Kainku basah. Kedua belah kakiku malah begitu menggigilnya seakan tulangbelulang telah terlepas dari perbukuan. Diangkatnya aku seperti sebuah guling tua dan dibopongnya masuk, diletakkannya tanpa daya di atas ranjang yang indah dan bersih. Duduk pun aku tiada mampu. Aku tergolek, mungkin pingsan. Tapi mataku masih dapat melihat pemandangan sayup-sayup dalam kamar itu. Tuan Besar Kuasa membuka koporku yang tiada berkunci dan memasukkan pakaianku ke dalam lemari besar. Kopor ia seka dengan lap dan ia masukkan dalam bagian bawah. Kembali ia hampiri diriku yang tergolek tanpa daya.
"Jangan takut," katanya dalam Melayu. Suaranya rendah seperti guruh. Nafasnya memuputi mukaku.
Aku tutup mataku rapat-rapat. Akan berbuat apa raksasa ini terhadap diriku " Ternyata ia angkat dan digendong aku ki-an-kemari seperti boneka kayu dalam kamar itu. Ia tak peduli pada kainku yang basah. Bibirnya menyentuhi pipi dan bibirku. Aku dapat dengarkan nafasnya yang menghembusi kupingku begitu keras. Menangis aku tak berani. Bergerak pun tak berani. Seluruh tubuh bercucuran keringat dingin.
Didirikannya aku di atas ubin. Ia segera tangkap aku kembali melihat aku meliuk hendak roboh. Diangkatnya aku lagi dan dipeluk dan diciuminya. Aku masih ingat kata-katanya yang diucapkannya, tapi waktu itu aku belum mengerti maksudnya: "Sayang, sayangku, bonekaku, sayang, sayang."
Dilemparkannya aku ke atas dan ditangkapnya kemudian pada pinggangku. Ia goncang-goncang aku, dan dengan jalan itu aku dapatkan sebagian dari kekuatanku. Ia dirikan aku kembali ke lantai. Aku terhuyung dan ia menjaga dengan tangan agar aku tak jatuh. Aku terus juga terhuyung, terjerembab pada tepi-an ranjang. Ia melangkah padaku, membuka bibirku dengan jari-jarinya. Dengan isyarat ia perintahkan mulai sejak itu menggosok gigi. Maka ia tuntun aku pergi ke belakang, ke kamarmandi. Itulah untuk pertama kali aku melihat sikatgigi dan bagaimana menggunakannya. Ia tunggui aku sampai selesai, dan gusiku rasanya sakit semua. Dengan isyarat pula ia perintahkan aku mandi dan menggosok diri dengan sabunmandi yang wangi. Semua perintahnya aku laksanakan seperti perintah orangtua sendiri. Ia menunggu di depan kamarmandi dengan membawa sandal di tangannya. Ia pasang sandal itu pada kakiku. Sangat, sangat besar sandal pertama yang pernah aku kenalkan dalam hidupku dari kulit, berat. ia gendong aku masuk Ke rumah, ke Kamar. Didudukkannya aku di depan sebuah cermin. Ia gosok rambutku denga selembar kain tebal, yang kelak aku ketahui bernama anduk sampai kering, kemudian ia minyaki begitu wangi baunya Aku tak tahu minyak apa. Dialah juga yang menyisiri aku seakan aku tak bisa bersisir sendiri. Ia mencoba mengkondai rambutku, tapi tak bisa dan membiarkan aku menyelesaikan.
Kemudian ia suruh aku berganti pakaian, dan ia mengawasi segala gerakku. Rasanya aku sudah tak berjiwa lagi, seperti selembar wayang di tangan ki dalang. Selesai itu aku dibedakinya Kemudian bibirku diberinya sedikit gincu. Dibawanya aku keluar kamar. Dipanggilnya dua orang bujangnya perempuan. "Layani nyaiku ini baikbaik!"
Begitulah hari pertama aku menjadi seorang nyai, Ann. Dan ternyata perlakuannya yang menyayang dan ramah telah membuat sebagian dari ketakutanku menjadi hilang.
Setelah berpesan pada bujang-bujangnya Tuan Besar Kuasa terus pergi. Ke mana aku tak tahu. Dua wanita itu dengan cekikikan menyindir aku sebagai orang beruntung diambil jadi nyai. Tidak, aku tak boleh dan tak mau bicara sesuatu pun. Aku tak mengenal rumah ini atau pun kebiasaannya. Memang ada terniat dalam hati untuk lari. Tapi pada siapa aku harus melindungkan diri " Apa harus aku perbuat setelah itu " Aku tak berani. Aku berada dalam tangan orang yang sangat berkuasa, lebih berkuasa daripada Ayah. daripada semua Pribumi di Tulangan. Mereka menyediakan untukku makan dan minum. Sebentar-sebentar mengetuk pintu dan menyilakan dan menawarkan ini-itu. Aku diam membisu, duduk saja di lantai, tak berani menjamah barang sesuatu dalam kamar itu. Mataku terbuka, tapi takut melihat. Mungkin itu mati dalam hidup.
Pada malam hari Tuan datang. Kudengar langkah sepatunya yang makin mendekat. Ia langsung masuk ke dalam kamar. Aku gemetar. Lampu, yang tadi sore, dinyalakan oleh bujang, memantulkan cahaya pada pakaiannya yang serba putih dan menyilaukan. Ia dekati aku. Diangkatnya badanku dari lantai, diletakkannya di ranjang dan digolekkan di atasnya. Bernafas pun rasanya aku tak berani, takut menggusarkannya.
Aku tak tahu sampai berapa lama bukit daging itu berada bersama denganku. Aku pingsan, Annelies. Aku tak tahu lagi apa yang telah terjadi.
Begitu aku siuman kembali, kuketahui aku bukan si Sanikem vang kemarin. Aku telah jadi nyai yang sesungguhnya. Kemudian hari aku ketahui nama Tuan Besar Kuasa itu: Herman Mellema. Papamu, Ann, Papamu yang sesungguhnya. Dan nama Sanikem hilang untuk selama-lamanya.
Kau sudah tidur, belum " Belum "
Mengapa aku ceritakan ini padamu, Ann " Karena aku tak ingin melihat anakku mengulangi pengalaman terkutuk itu. Kau harus kawin secara wajar. Kawin dengan seorang yang kau sukai dengan semau sfendiri. Kau anakku, kau tidak boleh diperlakukan seperti hewan semacam itu. Anakku tak boleh dijual oleh siapa pun dengan harga berapa pun. Mama yang menjaga agar yang demikian takkan terjadi atas dirimu. Aku akan berkelahi untuk hargadiri anakku. Ibuku dulu tak mampu mempertahankan aku, maka dia tidak patut jadi ibuku. Bapakku menjual aku sebagai anak kuda, dia pun tidak patut jadi bapakku. Aku tak punya orangtua. Hidup sebagai nyai terlalu sulit. Dia cuma seorang budak belian yang kewajibannya hanya memuaskan tuannya. Dalam segala hal! Sebaliknya setiap waktu orang harus bersiap-siap terhadap kemungkinan tuannya sudah merasa bosan. Salah-salah bisa badan diusir dengan semua anak, anak sendiri, yarig tidak dihargai oleh umum Pribumi karena dilahirkan tanpa perkawinan syah.
Aku telah bersumpah dalam hati: takkan melihat orangtua dan rumahnya lagi. Mengingat mereka pun aku sudah tak sudi. Mama tak mau mengenangkan kembali peristiwa penghinaan itu. Mereka telah bikin aku jadi nyai begini. Maka aku harus jadi nyai, jadi budak belian, yang baik, nyai yang .sebaik-baiknya. Mama pelajari semua yang dapat kupelajari dari kehendak tuanku: kebersihan, bahasa Melayu, menyusun tempat tidur dan rumah, masak cara Eropa. Ya, Ann, aku telah mendendam orangtua sendiri. Akan kubuktikan pada mereka, apa pun yang telah diperbuat atas diriku, aku harus bisa lebih berharga daripada mereka, sekali pun hanya se*bagai nyai.
Ann, satu tahun lamanya aku hidup di rumah Tuan Besar Kuasa Herman Mellema. Tak pernah keluar, tak pernah diajak jalan-jalan atau menemui tamu. Apa pula gunanya " Aku sendiri pun malu pada dunia. Apalagi pada kenalan, tetangga. Bahkan malu punya orangtua. Semua bujang kemudian aku suruh pergi. Semua pekerjaan rumah aku lakukan sendiri. Tak boleh ada saksi terhadap kehidupanku sebagai nyai. Tak boleh ada berita tentang diriku: seorang wanita hina-dina tanpa harga, tanpa kemauan sendiri ini.
Beberapa kali jurutulis Sastrotomo datang menengok. Mama menolak menemui. Sekali istrinya datang, melihatnya pun aku tak sudi. Tuan Mellema tidak pernah menegur kelakuanku. Se-baliknya ia sangat puas dengan segala yang kulakukan. Nampaknya ia juga senang pada kelakuanku yang suka belajar. Ann papamu sangat menyayangi aku. Namun semua itu tak dapat mengobati kebanggaan dan harga diri yang terluka. Papamu te-tap orang asing bagiku. Dan memang Mama tak pernah meng-gantungkan diri padanya. Ia tetap kuanggap sebagai orang yang tak pernah kukenal, setiap saat bisa pulang ke Nederland, meninggalkan aku, dan melupakan segala sesuatu di Tulangan. Maka diriku kuarahkan setiap waktu pada kemungkinan itu. Bila Tuan Besar Kuasa pergi aku sudah harus tidak akan kembali ke rumah Sastrotomo. Mama belajar menghemat, Ann, menyimpan. Papamu tak pernah menanyakan penggunaan uang belanja. Ia sendiri yang berbelanja bahan ke Sidoarjo atau Surabaya untuk sebulan.
Dalam setahun telah dapat kukumpulkan lebih dari seratus gulden. Kalau pada suatu kali Tuan Mellema. pergi pulang atau mengusir aku, aku sudah punya modal pergi ke Surabaya dan berdagang apa saja.
Setelah setahun hidup bersama dengan Tuan Mellema, kontrak papamu habis. Ia tidak memperpanjangnya. Sudah sejak di Tulangan ia mentemakkan sapi perah dari Australia dan diajarinya aku bagaimana memeliharanya. Di malamhari aku diajarinya baca-tulis, bicara dan menyusun kalimat Belanda.
*** Kami pindah ke Surabaya. Tuan Mellema membeli tanah luas di Wonokromo, tempat kita ini, Ann. Tapi dulu belum seramai sekarang, masih berupa padang semak dan rumpun-rumpun hutan muda. Sapi-sapi dipindahkan kemari.
Pada waktu itu Mama mulai merasa senang, berbahagia. Ia selalu mengindahkan aku, menanyakan pendapatku, mengajak aku memperbincangkan semua hal. Lama kelamaan aku merasa sederajat dengannya. Aku tak lagi malu bila toh terpaksa bertemu dengan kenalan lama. Segala yang kupelajari dan kukerjakan dalam setahun itu telah mengembalikan hargadiriku. Tetapi sikapku tetap: mempersiapkan diri untuk tidak akan lagi tergantung pada siapa pun. Tentu saja sangat berlebihan seorang perempuan Jawa bicara tentang hargadiri, apalagi semuda itu. Y ' pamu yang mengajari, Ann. Tentu saja jauh di kemudian hari aku dapat rasakan wujud hargadiri itu.
Juga ke tempat baru ini beberapa kali ayah datang menengok, dan aku tetap menolak menemuinya.
"Temui ayahmu," sekali Tuan Mellema menyuruh, "dia toh ayahmu sendiri." "Aku memang ada ayah, dulu, sekarang tidak. Kalau dia bukan tamu Tuan, sudah aku usir."
"Jangan," tegah Tuan.
"Lebih baik pergi dari sini daripada menemuinya."
"Kalau pergi, bagaimana aku " Bagaimana sapi-sapi itu " Tak ada yang Bisa mengurusnya."
"Banyak orang bisa disewa buat mengurusnya." "Sapi-sapi itu hanya mengenal kau."
Begitulah aku mulai mengerti, sesungguhnya Mama sama sekali tidak tergantung pada Tuan Mellema. Sebaliknya, dia yang tergantung padaku. Jadi Mama lantas mengambil sikap ikut menentukan segala perkara. Tuan tidak pernah menolak. Ia pun tak pernah memaksa aku kecuali dalam belajar. Dalam hal ini ia seorang guru yang keras tapi baik, aku seorang murid yang taat dan juga baik. Mama tahu, semua yang diajarkannya pada suatu kali kelak akan berguna bagi diriku.dan anak-anakku kalau Tuan pulang ke Nederland.
Tentang Sastrotomo ia tidak mendesak-desak lagi. Beberapa kali jurutulis itu menyampaikan pesan melalui Tuan, kalau sekiranya aku segan menemuinya, hendaklah menulis sepucuk surat. Aku tak pernah laksanakan. Biar pun hanya sebaris-dua. Biar pun aku sudah pandai menulis, juga dalam Melayu dan Belanda. Berkali-kali Sastrotomo menyurati. Tak pernah aku membacanya, malah kukirim balik.
Pada suatu kali Ibu bersama Ayah datang ke Wonokromo. Tuan merasa gelisah, mungkin malu, karena aku tetap tidak mau menemui. Tamu itu, menurut Tuan, telah merajuk minta bertemu. Ibu sampai menangis. Melalui Tuan aku katakan: "Anggaplah aku sebagai telornya yang telah jatuh dari peta-rangan. Pecah. Bukan telor yang salah."
Dengan itu selesai persoalan antaradiriku dengan orangtuaku.
Mengapa kau mencekam lenganku, Ann, Kau kudidik jadi pengusaha dan' pedagang. Tidak patut' melepas perasaan dan mengikutinya. Dunia kita adalah untung dan rugi. Kau tidak setuju terhadap sikap Mama, bukan " Hmm, sedang ayam pun, terutama induknya tentu, membela anak-anaknya, terhadap elang dari langit pun. Mereka patut mendapat hukuman yang setimpal. Kau sendiri juga boleh bersikap begitu terhadap Mama. Tapi nanti, kalau sudah mampu berdiri di atas kaki sendiri. Tuan kemudian mendatangkan sapi baru. Juga dari Australia. Pekerjaan semakin banyak. Pekerja-pekerja harus disewa.
Semua pekerjaan di dalam lingkungan perusahaan mulai diserahkan kepadaku oleh Tuan. Memang mula-mula aku takut memerintah mereka. Tuan membimbing. Katanya : Majikan mereka adalah penghidupan mereka, majikan penghidupan mereka adalah kau! Aku mulai berani memerintah di bawah pengawasannya. Ia tetap keras dan bijaksana sebagai guru. Tidak, tak pernah ia memukul aku. Sekali saja dilakukan, mungkin tulang-belulangku berserakan. Bagaimana pun sulitnya lama kelamaan dapat kulakukan apa yang dikehendakinya.
Tuan sendiri melakukan pekerjaan di luar perusahaan. Ia pergi mencari langganan. Perusahaan kita mulai berjalan baik dan lancar. pada waktu itu Darsam datang sebagai orang gelandangan tanpa pekerjaan. Ia seorang yang mencintai kerja, apa saja yang diberikan padanya. Pada suatu malam seorang maling telah ditangkapnya melalui pertarungan bersenjata. Ia menang. Maling itu tewas. Memang ada terjadi perkara, tetapi ia bebas. Sejak itu ia mendapat kepercayaanku, kuangkat jadi tangankananku. Sementara Tuan semakin jarang tinggal di rumah.
Hampir saja Mama lupa menceritakan, Ann. Tuan juga yang mengajari aku berdandan dan memilih warna yang cocok. Ia suka menunggui waktu aku berhias. Pernah pada saat-saat seperti itu ia bilang:
"Kau harus selalu kelihatan cantik, Nyai. Muka yang kusut dan pakaian berantakan juga pencerminan perusahaan yang ku-sut-berantakan, tak dapat dipercaya." Lihat, kan semua keinginannya telah kupenuhi " Kupuaskan segala kebutuhannya " Aku selalu dalam keadaan rapi. Malah akan tidur pun kadang masih kuperlukan berhias. Cantik menarik sungguh lebih baik daripada kusut, Ann. Ingat-ingat itu. Dan setiap yang buruk tak pernah menarik. Perempuan yang tak dapat .merawat kecantikan sendiri, kalau aku lelaki, akan kukatakan pada teman-temanku: jangan kawini perempuan semacam itu; dia tak bisa apa-apa, merawat kulitnya sendiri pun tidak kuasa.
Tuan bilang: "Kau tidak boleh berkinang, biar gigimu tetap putih gemerlapan. Aku suka melihatnya, seperti mutiara.
Dan aku tidak berkinang. . .
Ann, hampir setiap bulan datang kiriman buku dan majala dari Nederland. Tuan suka membaca. Aku tak mengerti menga-pa kau tidak seperti ayahmu, padahal aku pun suka membaca. Tak sebuah pun dari bacaannya berbahasa Melayu. Apaiag1 Jawa. Bila pekerjaan selesai, di senjahari, kami duduk di depan pondok kami, pondok bambu, Ann belum ada rumah indah kita ini dia suruh aku membaca. Juga koran. Dia dengarkan bacaanku, membetulkan yang salah, menerangkan arti kata yang aku tidak mengerti. Bagitu setiap hari sampai kemudian diajarinya aku menggunakan kamus, sendiri. Aku hanya budak belian. Semua harus kulakukan sebagaimana dia kehendaki. Setiap hari. Kemudian diberinya aku jatah bacaan. Buku, Ann. Aku harus dapat menamatkan dan menceritakan isinya. Ya, Ann, Sanikem yang lama makin lama makin lenyap. Mama tumbuh jadi pribadi baru dengan pengelihatan dan pandangan baru. Rasanya aku bukan budak yang dijual di Tulangan beberapa tahun yang lalu. Rasanya aku tak punya masalalu lagi. Kadang aku bertanya pada diri sendiri: adakah aku sudah jadi wanita Belanda berkulit coklat " Aku tak berani menjawab, sekali pun dapat kulihat betapa terkebelakangnya Pribumi sekelilingku. Mama tak punya pergaulan banyak dengan orang Eropa kecuali dengan Papamu.
Pernah aku tanyakan padanya, apa wanita Eropa diajar sebagaimana aku diajar sekarang ini " Tahu kau jawabannya "
"Kau lebih mampu daripada rata-rata mereka, apalagi yang Peranakan." Ah, betapa berbahagia dengannya, Ann. Betapa dia pandai memuji dan membesarkan hati. Maka aku rela serahkan seluruh jiwa dan ragaku padanya. Kalau umurku pendek, aku ingin mati di tangannya, Ann. Aku benarkan tindakan telah putuskan segala dengan masalalu. Dia tepat seperti diajarkan orang Jawa: guru laki, guru dewa. Barangkali untuk membuktikan kebenaran ucapannya ia berlangganan beberapa majalah wanita dari Nederland untukku.
Kemudian Robert lahir. Empat tahun setelah itu kau, Ann. Perusahaan semakin besar." Tanah bertambah luas. Kami dapat membeli hutan liar desa di perbatasan tanah kita. Semua dibeli atas namaku. Belum ada sawah atau ladang pertanian. Setelah perusahaan menjadi begitu besar, Tuan mulai membayar tenagaku, juga dari tahun-tahun yang sudah. Dengan uang itu aku beli pabrik beras dan peralatan kerja lainnya. Sejak itu perusahaan bukan milik Tuan Mellema saja sebagai tuanku, juga milikku. Kemudian aku mendapat juga pembagian keuntungan selama lima tahun sebesar lima ribu gulden. Tuan mewajibkan aku menyimpannya di bank atas namaku sendiri. Sekarang perusahaan dinamai Boerderij Buitenzorg. Karena semua urusan dalam aku yang menangani, orang yang berhubungan denganku memandang aku Nyai Ontosoroh, Nyai Buitenzorg.
Kau sudah tidur " Belum " Baik.
Setelah lama mengikuti majalah-majalah wanita itu h menjalankan banyak dari petunjuknya, pada suatu kali kuula-pertanyaanku pada Tuan:
"Sudahkah aku seperti wanita Belanda 7" Papamu hanya tertawa mengakak, dan: "Tak mungkin kau seperti wanita Belanda. Juga tidak perlu Kau cukup seperti yang sekarang. Biar begitu kau lebih cerdas dan lebih baik daripada mereka semua. Semua!" Ia tertawa me ngakak lagi.
Barangtentu dia melebih-lebihkan. Tapi aku senang, dan berbahagia. Setidaktidaknya aku takkan lebih rendah daripada mereka. Aku senjtng mendengar pujipujiannya. Ia tak pernah mencela, hanya pujian melulu. Tak pernah mendiamkan pertanyaanku, selalu dijawabnya. Mama semakin berbesar hati, semakin berani. Kemudian, Ann, kemudian kebahagiaan itu terguncang dahsat, menggeletarkan sendi-sendi kehidupanku. Pada suatu hari aku dan Tuan datang ke Pengadilan untuk mengakui Robert dan kau sebagai anak Tuan Mellema. Pada mulanya aku menduga, dengan pengakuan itu anak-anakku akan mendapatkan pe ngakuan hukum sebagai anak syah. Ternyata tidak, Ann Abangmu dan kau tetap dianggap anak tidak syah, hanya diaku sebagai anak Tuan Mellema dan punya hak menggunakan nama nya. Dengan campurtangan Pengadilan hukum justru tidak me ngakui abangmu dan kau sebagai anakku, bukan anak-anakku lagi, walau Mama ini yang melahirkan. Sejak pengakuan itu kalian, menurut hukum, hanya anak dari Tuan Mellema. Menurut hukum, Ann, hukum Belanda di sini, jangan kau keliru. Kau tetap anakku. Pada waktu itu baru aku tahu betapa jahatnya hukum. Kalian mendapatkan seorang ayah, tapi kehilangan ibu-Kelanjutannya, Ann, Tuan* menghendaki kalian berdua dibaptis. Aku tidak ikut mengantarkan kalian ke gereja. Kalian pulang lebih cepat. Pendeta menolak pembaptisan kalian. Papamu menjadi murung.
"Anak-anak ini berhak mempunyai ayah," kata Tuan. "Mengapa mereka tidak berhak. mendapatkan karunia pengampunan dari Kristus'
Aku tak mengerti soal-soal itu, dan diam saja. petelah mengetahui, kalian bisa menjadi syah hanya pada waktu perkawinan kami di depan Kantor Sipil, untuk kemudian bisa dibaptis, mulailah aku setiap hari merajuk Tuan supaya kami kawin di Kantor. Aku merajuk dan merajuk. Papamu yang murung dalam beberapa hari belakangan itu mendadak menjadi marah. Marah pertama kali dalam beberapa tahun itu. Ia tak menjawab. Juga tak pernah menerangkan sebabnya. Maka kalian^tetap anak-anak tidak syah menurut hukum. Tidak pernah dibaptis pula. Aku tak pernah mencoba lagi, Ann. Mama sudah harus senang dengan keadaan ini. Untuk selamanya takkan ada orang akan memanggil aku Mevrouw. Panggilan Nyai akan mengikuti aku terus, seumur hidup. Tak apa asal kalian mempunyai ayah cukup terhormat, dapat dipegang, dapat dipercaya, puya kehormatan. Lagi pula pengakuan itu mempunyai banyak arti di te-ngah-tengah masyarakatmu sendiri. Kepentinganku sendiri tak perlu orang menilai, asal kalian mendapatkan apa seharusnya jadi hak kalian. Kepentinganku " Aku dapat urus sendiri. Ah, kau sudah tidur. "Belum, Ma," bantahku.
Aku masih juga menunggu kata-katanya tentang kau, Mas. Di waktu lain, pada kesempatan lain, mungkin ia tak dapat bicara sebanyak ini. Jadi aku harus bersabar sampai ia bercerita tntang hubungan kita berdua, Mas.
Jadi aku bertanya untuk ancang-ancang:
"Jadi akhirnya Mama mencintai Papa juga."
"Tak tahu aku apa arti cinta. Dia jalankan kewajiban dengan baik, demikian juga aku. Itu sudah cukup bagi kami berdua. Kalau pun dia nanti pulang ke Nederland aku tidak akan menghalangi, bukan saja karena memang tidak ada hak padaku, juga kami masing-masing tidak saling berhutang. Dia boleh pergi setiap waktu. Aku telah merasa kuat dengan segala yang telah kupelajari dan kuperoleh, aku punya dan aku bisa. Mama toh hanya seorang gundik yang dahulu telah dibelinya dari orangtua-ku. Simpananku sudah belasan ribu gulden, Ann."
"Tak pernah Mama menengok keluarga di Tulangan ""
"Tak ada keluargaku di Tulangan. Ada hanya di Wonokro-mo.Beberapa kali Abang Paiman datang berkunjung dan memang aku terima. Dia datang untuk minta bantuan. Selalu begitu. Terakhir kedatangannya untuk mengabarkan: Sastrotomo mati dalam serangan wabah kolera bersama yang lain-lain. Istrinya meninggal terlebih dahulu entah karena apa.
Mungkin lebih baik kalau kita pernah menengoknya Ma.
"Tidak. Sudah baik begitu. Biar putus semua yang sudah-sudah Luka terhadap kebanggaan dan hargadiri tak juga mau hilang. Bila teringat kembali bagaimana hina aku dijual..... Aku tak mampu mengampuni kerakusan Sastrotomo dan kelemahan istrinya. Sekali dalam hidup orang mesti menentukan sikap. Kalau tidak, dia takkan menjadi apa-apa."
"Kau terlalu keras, Ma, terlalu." "Bakal jadi apa kau ini kalau aku tidak sanggup bersikap keras " Terhadap siapa saja. Dalam hal ini biar cuma aku yang jadi kurban, sudah kurelakan jadi budak belian. Kaulah yang terlalu lemah, Ann, berbelas-kasihan tidak pada tempatnya....." Dan Mama masih juga belum bicara tentang kau. Nampaknya Mama tak pernah mencintai Papa, maka aku malu bicara tentang itu. Mas. Papa tetap orang asing bagi Mama. Sedang kau. Mas, mengapa kau begitu dekat padaku sekarang " Selalu dan selalu kau terbayang dan terbayang, dan aku sendiri selalu ingin di dekatmu " "Kemudian datang pukulan kedua terhadap diriku, Ann Mama meneruskan. "Tak tersembuhkan....."
Pemerintah memutuskan melakukan perbaikan dan peningkatan atas pelabuhan Tanjung Perak. Rombongan ahli bangu-nan-air didatangkan dari Nederland. Pada waktu itu perdagangan susu kita berkembang begitu baiknya. Setiap bulan bertambah-tambah saja permintaan untuk jadi langganan baru. Komplex B.P.M. sepenuhnya berlangganan pada kita. Mendadak, seperti petir, bencana datang menyambar. Petir bencana.
Mama turun dari ranjang untuk minum. Kamar itu gelap. Tak ada orang mendengarkan kami berdua di kamar loteng itu. Malam itu senyap. Sayup datang suara ketak-ketik pendule melalui pintu terbuka, datang dari persada. Dan bunyi itu lenyap ketika Mama masuk lagi dan menutup pintu.
Dalam rombongan ahli itu terdapat seorang insinyur muda. Mula-mula aku baca namanya dalam koran: Insinyur Maunts Mellema. Sedikit dari sejarah-hidupnya diperkenalkan. Dia seorang insinyur yang kerashati. Dalam karierenya yang masih pendek ia telah menunjukkan prestasi besar, katanya.
Mungkin dia keluarga papamu, pikirku. Aku tak suka ada orang lain akan mencampuri kehidupan kami yang sudah tenang, mapan, dan senang. Perusahaan kami tak boleh tersintuh oleh siapa pun. Maka koran itu kusembunyikan sebelum ia sempat membacanya. Kukatakan koran belum juga datang, mungkin pengantarnya sakit. Tuan Mellema tak menanyakan lebih lanjut.
Tiga bulan kemudian, Mama meneruskan, waktu itu kau dan Robert sudah pergi bersekolah, datang seorang tamu, menggunakan kereta Gubermen yang besar dan bagus, ditarik dua ekor kuda. Papamu sedang bekerja di belakang. Mama senc^ri sedang bekerja di kantor. Memang suatu kesialan mengapa Tu^n tidak di kantor dan aku di belakang pada hari itu.
Kereta Gubermen itu berhenti di depan tangga rumah. Aku tinggalkan kantor untuk menyambut. Barangkali saja ada jawatan memerlukan barang-barang dari susu. Masih dapat kulihat seorang Eropa muda turun dari dalamnya. Ia berpakaian serba putih. Jasnya putih, tutup, jas seorang opsir Marine. Ia mengenakan pet Marine, tapi tak ada tanda pangkat pada lengan baju atau bahunya. Badannya tegap dan dadanya bidang. Ia mengetuk pintu beberapa kali tapa ragu. Wajahnya mirip Tuan Mellema. Kancing-kancing perak pada bajunya gemerlapan dengan gambar jangkar. Dengan Melayu buruk ia berkata pendek dan angkuh, yang sudah sejak pertama kurasai sebagai kurangajar dan bertentangan dengan kesopanan Eropa yang kukenal:
"Mana Tuan Mellema," tanyanya tanpa tandatanya. "Tuan siapa "" tanyaku tersinggung.
"Hanya Tuan Mellema yang kuperlukan," katanya lebih kasar daripada sebelumnya. Kembali aku merasa sebagai seorang nyai yang tak punya hak untuk dihormati di rumah sendiri. Seakan aku bukan pemegang saham perusahaan besar ini. Mungkin dia menganggap aku menumpang hidup pada Tuan Mellema. Tanpa bantuanku Tuan takkan mungkin mendirikan rumah kita ini, Ann. Tamu itu tak punya hak untuk bersikap seangkuh itu.
Aku tak silakan dia duduk dan aku tinggalkan dia berdiri. Seseorang kusuruh memanggil Tuan.
Papamu megajari aku untuk tidak membacai surat dan mendengarkan pembicaraan yang bukan hak. Tapi sekali ini aku memang curiga. Pintu yang menghubungkan kantor dengan ruang-depan k u kirai sedikit. Aku harus tahu siapa dia dan apa yang dikehendakinya.
Orang muda itu masih tetap berdiri waktu Tuan datang.
Dan kiraian kulihat papamu berdiri terpakukan pada lantai "Maurits!" tegur Tuan, "kau sudah segagah ini." Sekaligus aku tahu itulah kiranya Insinyur Maurits Mellema anggota rombongan ahli bangunan-air di Tanjung Perak. ' Dia tak menjawab sapaan, Ann, tapi membetulkannya dengan tak kurang angkuh:
"In-si-nyur Maurits Mellema, Tuan Mellema!" Papamu nampak terkejut mendapat pembetulan itu. Tamu itu sendiri tetap berdiri. Papamu menyilakan duduk, tapi ia tidak menanggapi, juga tidak duduk.
Kau harus dengar cerita ini baik-baik, Ann, tak boleh kau lupakan. Bukan saja karena anak-cucumu kelak harus mengetahui, juga karena kedatangannya merupakan pangkal kesulitan Mama dan kau, dan perusahaan ini. Kata tamu Belanda muda itu: "Aku datang tidak untuk duduk di kursi ini. Ada sesuatu yang lebih penting daripada duduk. Dengarkan, Tuan Mellema! Ibuku, Mevrouw Amelia Mellema-Hammers, setelah Tuan tinggalkan secara pengecut, harus membanting-tulang untuk menghidupi aku, menyekolahkan aku, sampai aku berhasil jadi insinyur. Aku dan Mevrouw Mellema-Hammers sudah bertekad tak mengharapkan kedatangan Tuan, Tuan Mellema. Tuan lebih ka-' mi anggap telah lenyap ditelan bumi. Kami tak mencari berita di mana Tuan berada."
Dari kiraian pintu nampak olehku bagian samping muka papamu. Ia mengangkat kedua belah tangan. Bibirnya bergerak-gerak tapi tak ada suara keluar dari mulutnya. Pipinya menggeletar tak terkendali. Kemudian dua belah tangannya itu jatuh terkulai.
Ann, Insinyur Mellema mengatakan begini: "Tuan telah tinggalkan pada Mevrouw Amelia Mellema-Hammers satu tuduhan telah berbuat serong. Aku, anaknya, ikut merasa terhina. Tuan tak pernah mengajukan soal ini ke depan Pengadilan. Tuan tidak memberi kesempatan pada ibuku untuk membela diri dan kebenarannya. Entah pada siapa lagi tuduhan kotor terhadap ibuku telah Tuan sampaikan atau ceritakan. Kebetulan sekarang ini aku sedang berdinas di Surabaya, Tuan Mellema. Kebetulan pula pada suatu kali terbaca olehku dalam koranlelang sebuah iklan penawaran barang-barang susu dan dari susu bikinan Boerderij Buitenzorg dan nama Tuan terpampang di bawahnya. Telah aku sewa seorang tenaga penyelidik untuk mengetahui siapa Tuan. Betul, H.Mellema adalah Herman Mellema, suami ibuku, Nyonya Amelia Mellema-Hammers bisa kawin lagi dan hidup berbahagia. Tetapi Tuan telah menggantung perkaranya."
"Dari dulu dia bisa datang ke Pengadilan kalau membutuhkan cerai," jawab papamu, lemah sekali, seakan takut pada a -naknya sendiri yang sudah jadi segalak itu. "Mengapa mesti Mevrouw Mellema-Hammers kalau yang menuduh Tuan "" "Kalau aku yang mengajukan perkara, ibumu akan kehilangan semua haknya atas perusahaan-susuku di sana."
"Jangan mengandai dan menggagak, Tuan Mellema. Nyatanya Tuan tidak pernah menjadikannya perkara. Mellema-Hammers telah jadi kurban pengandaian dan penggagakan Tuan."
"Kalau ibumu sejak dulu tak ada keberatan skandal itu diketahui umum, tentu aku telah lakukan tanpa nasihatmu."
"Dahulu ibuku belum mampu menyewa pengacara. Sekarang anaknya sanggup, bahkan yang semahal-mahalnya. Tuan bisa buka perkara. Tuan juga cukup kaya untuk menyewa, juga cukup berada untuk membayar alimentasi." Nah, Ann, jelaslah sudah, Insinyur Mellema tak lain dari anak tunggal papamu, anak syah satu-satunya dengan istrinya yang syah. Dia datang sebagai penyerbu untuk mengobrak-abrik kehidupan kita. Aku gemetar mendengar semua itu. Sedangkan jurutulis Sastrotomo dan istrinya tak boleh menjamah kehidupan kita, Paiman pun tidak. Juga tidak boleh perubahan sikap Tuan Mellema sekiranya sikapnya berubah. Tidak boleh siapa pun di antara anak-anakku. Keluarga dan perusahaan harus tetap begini. Sekarang datang saudara-tirimu yang bukan saja hendak menjamah. Ia datang menyerbu untuk mengobrak-abrik.
Sampai waktu itu aku masih tidak ikut bicara. Tak tahan mendengar ucapannya aku keluar untuk meredakan suasana. Tentu aku harus bantu Tuan.


Bumi Manusia Karya Pramoedya Ananta Toer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Penyelidik itu memberikan padaku keterangan yang sangat teliti dan dapat dipercaya," ia meneruskan tanpa mengindahkan kehadiranku. "Aku tahu apa saja ada di dalam setiap kamar rumah ini, berapa pekerjamu, berapa sapimu, berapa ton hasil padi dan palawija dari ladang dan sawahmu, berapa penghasilanmu setiap tahun, berapa depositomu. Yang terhebat dari semua itu, Tuan Mellema, sesuatu yang menyangkut azas hidup Tuan telah irfeninggalkan dakwaan serong pada Mevrouw Amelia Mellema-Hammers. Apa kenyataannya sekarang " Tuan secara hukum masih suami ibuku. Tapi Tuanlah yang justru telah mengambil seorang wanita Pribumi sebagai teman tidur, tidak untuk sehari-dua, sudah berbelas tahun! siang dan malam. Tanpa perkawinan.
Darahku naik ke kepalamendengar itu Bibirku menggeletar kering. Gigiku mengkertajc. Aku melangkah pelahan mendekatinya dan sudah siap hendak mencakar mukanya. Dia telah hinakan semua yang telah aku selamatkan, pelihara dan usahakan, dan aku sayangi selama ini. ... .,
Ucapan yang hanya patut didengarkan di rumah Mellema-Hammers dan anaknya!" tangkisku dalam Belanda.
Bahkan melihat padaku ia tidak sudi, Ann, apalagi mendengarkan suara geramku, si kurangajar itu. Airmukanya pun tidak berubah. Dianggapnya aku hanya sepotong kayubakar. Dia nilai aku menyerongi ayahnya dan ayahnya menyerongi aku. Boleh jadi memang haknya dan hak seluruh dunia. Tetapi bahwa papamu dan aku dianggap berbuat curang terhadap seorang perempuan tak kukenal bernama Amelia dan anaknya..... kekurangajaran seperti itu sudah puncaknya. Dan terjadi di rumah yang kami sendiri usahakan dan dirikan, rumah kami sendiri.....
"Tak ada hak padamu bicara tentang keluargaku!" raungku kalap dalam Belanda. "Tak ada urusan dengan kow", Nyai," jawabnya dalam Melayu, diucapkan sangat kasar dan kaku, kemudian ia tidak mau melihat padaku lagi.
"Ini rumahku. Bicara kau seperti itu di pinggir jalan sana, jangan di sini." Ayahmu juga aku beri isyarat untuk pergi, tapi ia tidak fa-ham. Sedang si kurangajar itu tak mau melayani aku. Papamu malah hanya mendomblong seperti orang kehilangan akal. Ternyata kemudian memang demikian.
"Tuan Mellema," katanya lagi dalam Belanda, tetap tak menggubris aku. "Biar pun Tuan kawini nyai, gundik ini, perkawinan syah, dia tetap bukan Kristen. Dia kafir! Sekiranya dia Kristen pun, Tuan tetap lebih busuk dari Mevrouw Amelia Mel-lema- Hammers, lebih dari semua kebusukan yang Tuan pernah tuduhkan pada ibuku.
Tuan telah lakukan dosa darah, pelanggaran darah! mencampurkan darah Kristen Eropa dengan darah kafir Pribumi berwarna! dosa tak terampuni!" "Pergi!" raungku. Dia tetap tak menggubris aku. "Bikin kacau rumahtangga orang. Mengaku insinyur, sedikit kesopanan pun tak punya."
Dia tetap tak layani aku. Aku maju lagi selangkah dan $ mundur setengah langkah, seakan menunjukkan kejijikannya didekati Pribumi.
"Tuan Mellema, jadi Tuan tahu sekarang siapa Tuan sesungguhnya." Ia berbalik memunggungi kami, menuruni anak tangga, masuk ke dalam keretanya, tanpa menengok atau pun mengucapkan sesuatu.
papamu masih juga terpakukan pada lantai, dalam keadaan bengong. "Jadi begitu macamnya anak dari istrimu yang syah," raungku pada Tuan. "Begitu macamnya peradaban Eropa yang kau ajarkan padaku berbelas tahun " Kau agungnya setinggi langit " Siang dan malam " Menyelidiki pedalaman rumahtangga dan penghidupan orang, menghina, untuk pada suatu kali akan datang memeras " Memeras " Apalagi kalau bukan memeras "
Untuk apa menyelidiki urusan orang lain ""
Ann, Tuan ternyata tak mendengar raunganku. Waktu bola matanya bergerak, pandangnya diarahkan ke jalan raya tanpa mengedip. Aku ulangi raunganku. Ia tetap tak dengar. Beberapa orang pekerja datang berlarian hendak mengetahui apa sedang terjadi. Melihat aku sedang meradang murka pada Tuan mereka buyar mengundurkan diri.
Aku tarik-tarik dan aku garuki dada Tuan. Dia diam saja, tak merasai sesuatu kesakitan. Hanya kesakitan dalam hatiku sendiri yang mengamuk mencari sasaran. Aku tak tahu apa sedang dipikirkannya. Barangkali ia teringat pada istrinya. Betapa sakit hati ini, Ann, lebih-lebih lagi dia tak mau tahu tentang kesakitan yang kuderitakan dalam dada ini.
Lelah menarik-narik dan menggaruki aku menangis, terduduk kehabisan tenaga, seperti pakaian bekas terjatuh di kursi. Kutelungkupkan muka pada meja. Mukaku basah.
Kapan selesai penghinaan atas diri nyai yang seorang ini " Haruskah setiap orang boleh menyakiti hatinya " Haruskah aku mengutuki orangtuaku yang telah mati, yang telah menjual aku jadi nyai begini " Aku tak pernah mengutuki mereka, Ann.. Apa orang tidak mengerti, orang terpelajar itu, insinyur pula, dia bukan hanya menghina diriku, juga anak-anakku " Haruskah anak-anakku jadi kranjang sampah tempat lemparan hinaan " Dan mengapa Tuan, Tuan Herman Mellema, yang bertubuh tinggi-besar, berdada bidang, berbulu dan berotot perkasa itu tak punya sesuatu kekuatan untuk membela teman-hidupnya, ibu anak-anaknya sendiri " Apa lagi arti seorang lelaki seperti itu " Kan dia bukan saja guruku, juga bapak anakanakku, dewaku " Apa guna semua pengetahuan dan ilmunya " Apa guna dia jadi orang Eropa yang dihormati semua Pribumi " Apa guna dia jadi tuanku dan guruku sekaligus, dan dewaku, kalau membela dirinya sendiri pun tak mampu " Sejak detik itu, Ann, lenyap hormatku pada ayahmu. didikannya tentang hargadiri dan kehormatan telah jadi kerajaan dalam diriku. Dia tidak lebih dari seorang Sastrotomo dan istri nya. Kalau cuma sampai di situ bobotnya dalam menghadapi ujian sekecil itu, tanpa dia pun aku dapat urus anak-anakku, danap lakukan segalanya seorang diri. Betapa sakit hatiku, Ann, lebih dari itu takkan mungkin terjadi dalam hidupku. '
Waktu kuangkat kepala, pandangku yang terselaputi airmata menampak Tuan masih juga berdiri tanpa berkedip, bengong memandang jauh kearah jalan raya. Melihat pada diriku, teman-hidup dan pembantu utamanya ini, ia tidak. Kemudian ia terbatuk-batuk, melangkah, lambat-lambat. Ia berseru-seru pelan seperti takut kedengaran oleh iblis dan setan: "Maurits! Maurits!"
Ia berjalan menuruni anaktangga, melintasi pelataran depan Sampai di jalan raya ia membelok ke kanan, ke jurusan Surabaya. Ia tak bersepatu, dalam pakaian kerja ladang, hanya ber-selop.
Papamu tak pulang dalam sisa hari itu. Aku tak peduli Masih sibuk aku mengurusi hatiku yang kesakitan. Malamnya ia juga tak pulang. Keesokannya juga tidak. Tiga harmal, Ann. Selama itu sia-sia saja airmata yang membasahi bantal. Darsam melakukan segalanya. Pada akhir hari ketiga ia memberanikan diri mengetuk pintu. Kaulah, Ann, yang membukakan pintu rumah dan mengantarkannya naik ke loteng. Tak pernah aku menyangka ia berani naik. Sakithati dan dukacita sekaligus berubah jadi amarah yang meluap. Kemudian terpikir olehku barangkali ada sesuatu yang dianggapnya lebih penting daripada dukacita dan sakithatiku. Pintu kamar itu memang tiada terkunci. Engkaulah, Ann, yang membukakannya. Mungltin kau sudah lupa pada peristiwa itu. Dan itulah untuk pertama dan akhir kali ia naik ke loteng.
Darsam bilang begini: "Nyai, kecuali baca-tulis, semua sudah Darsam kerjakan," ia bicara dalam Madura. Aku tak menjawab. Aku tak pikirkan u-rusan perusahaan. Aku tetap bergolek di ranjang memeluk bantal. Jangan Nyai kuatir. Semua beres. Darsam ini, Nyai, percayalah padanya."
Ternyata dia memang bisa dipercaya.
Pada hari keempat aku keluar dari rumah dan pekarangan. Kuambil engkau dan kukeluarkan dari sekolah. Perusahaan hasil jenh-payah kami berdua ini tak boleh rubuh sia-sia. Dia adalah segalanya di mana kehidupan kita menumpang. Dia adalah anak-pertamaku, Ann, abang tertua bagimu, perusahaan ini
Mengakhiri cerita itu Mama tersedu-sedu menangis, merasai kembali sakitnya penghinaan yang ia tak dapat menangkis atau membalas. Setelah reda, ia meneruskan lagi:
"Kau tahu sendiri, sesampai kita pulang, berapa orang waktu itu " lebih limabelas - aku usir dari pekerjaan dan tanah kita. Me'reka itu yang telah menjual keterangan pada Maurits untuk mendapatkan setalen-dua. Barangkali juga tidak dibayar sama sekali. Juga Mama perlu meminta maaf padamu, Ann. Papamu dan aku sudah bersepakat menyekolahkan kau ke Eropa, belajar jadi guru. Aku merasa sangat, sangat berdosa telah mengeluarkan kau dari sekolah. Aku telah paksa kau bekerja seberat itu sebelum kau cukup umur, bekerja setiap hari tanpa liburan, tak punya teman atau sahabat, karena memang kau tak boleh punya demi perusahaan ini. Kau kuharuskan belajar jadi majikan yang baik. Dan majikan tidak boleh berteman dengan pekerjanya. Kau tak boleh dipengaruhi oleh mereka. Apa boleh buat, Ann." Setelah kedatangan Insinyur Mellema, perubahan terjadi dengan hebatnya. Tentang Papa aku tahu sendiri tanpa diceritai oleh siapa pun. Pada hari yang ketujuh ia pulang. Anehnya ia berpakaian bersih, bersepatu baru. Itu terjadi pada sorehari se- 'habis kerja. Mama, aku dan Robert sedang duduk di depan rumah. Dan Papa datang. "Diamkan. Jangan ditegur," perintah Mama. Makin dekat makin kelihatan wajah Papa yang pucat tercukur bersih Sisirannya sekarang sibak tengah. Bau minyakrambut yang tak dipergunakan dalam rumah ini merangsang penciri kami Juga bau minuman keras tercampur rempah-rempah. Ia melewati tempat kami tanpa menegur atau menengok, naik ke atas dan hilang ke dalam.
Tiba-tiba Robert bangkit melotot pada Mama dan menggerutu marah, Papaku bukan Pribumir ia lari sambil memanggil-manggil papa.
Aku memandangi MamaDan Mama mengawasi aku, berkata "Kalau suka, kau boleh ikuti contoh abangmu."
Tidak Ma , seruku dan kupeluk lehernya. "Aku hanya Mama. Aku juga Pribumi seperti Mama."
Nah, Mas, begitu keadaan kami sewajarnya. Aku tak tahu apa kau juga akan ikut menghinakan kami sebagaimana halnya dengan Robert, abangku, dan Insinyur Maunts, abang tiriku Entah apa yang dilakukan Papa di dalam rumah. Kami tak tahu. Pintu-pintu kamar di loteng mau pun di persada semua terkunci.
Kira-kira seperempat jam kemudian ia keluar lagi. Sekali ini melihat pada Mama dan aku. Tak menegur. Di belakangnya mengikuti Robert. Papa kembali meninggalkan pelataran, turun ke jalan raya dan hilang. Robert masuk ke dalam rumah dengan wajah suram karena kecewa tak diindahkan Papa.
Sejak itu hampir aku tak pernah melihatnya dalam lima tahun belakangan ini. Kadang saja ia muncul, tak bicara, dan pergi lagj tanpa bicara. Mama menolak dan tak mau mencari atau mengurusnya. Mama pun melarang aku mencarinya. Bahkan bicara tentangnya juga dilarang. Lukisan potret Papa diturunkan oleh Darsam dari dinding dan Mama memerintahkan membakarnya di pelataran, di bawah kesaksian seisi rumah dan pekerja. Barangkali itulah cara Mama melepaskan dendamnya. Pada mulanya Robert diam saja. Setelah selesai baru ia memprotes. Ia lari ke dalam rumah, menurunkan potret Mama dari bilik Mama dan membakarnya seorang diri di dapur. "Ia boleh ikut papanya," kata Mama pada Darsam. Dan pendekar itu menyampaikan padanya dengan tambahan: "Siapa saja berani mengganggu Nyai dan Noni, tak peduli dia itu Sinyo sendiri, dia akan tumpas di bawah golok ini. Sinyo boleh coba kalau suka, sekarang, besok atau kapan saja. Juga kalau Sinyo coba-coba cari Tuan......."
Dua bulan setelah peristiwa itu Robert lulus dari E.L.S.
Dia tak pernah memberitakan pada Mama, dan Mama tidak ambil peduli. Ia keluyuran ke mana-mana. Permusuhan diam-diam antara Mama dan abangku berjalan sampai sekarang. Lima tahun Mula-mula Robert menjuali apa saja yang bisa diambilnya dari gudang, dapur, rumah, kantor menjualnya untuk sendiri. Mama mengusir setiap pekerja yang mau disuruh mencuri buat kepentingannya. Kemudian Mama melarang Robert memasuki ruang mana pun kecuali kamarnya sendiri dan ruangmakan.
Lima tahun telah berlalu, Mas. Lima tahun. Dan muncul dua orang tamu: Robert untuk abangku, dan Minke untukku dan Mama. Kaulah itu, Mas, tidak lain dan kau sendiri.
6. LIMA HARI SUDAH AKU TINGGAL DI RUMAH MEWAH di Wonokromo. Dan: Robert Mellema mengundang aku ke kamarnya. Dengan waspada aku masuk. Perabotnya lebih banyak daripada kamarku. Di dalamnya ada mejatulis berlapis kaca. Di bawah kaca terdapat gambar besar sebuah kapal pengangkut Ka-ribou berbendera Inggris.
Ia kelihatan ramah. Matanya liar dan agak merah. Pakaiannya bersih dan berbau minyakwangi murahan. Rambutnya mengkilat dengan pomade dan tersibak di sebelah kiri. Ia seorang pemuda ganteng, bertubuh tinggi, cekatan, tangkas, kuat, sopan, dan nampak selalu dalam keadaan berpikir. Hanya matanya yang coklat kelereng itu juga yang suka melirik sedang bibirnya yang suka tercibir benar-benar menggelisahkan aku. Tak tenang rasanya berdua saja dalam kamarnya. "Minke," ia memulai, "rupa-rupanya kau senang tinggal di sini. Kau teman sekolah Robert Suurhof, kan " Dalam satu kias di H.B.S. "" Aku mengangguk curiga. Kami duduk di kursi, berhadapan.
"Semestinya aku pun di H.B.S. sudah tammat pula." "Mengapa tidak meneruskan ""
"Itu kewajiban Mama, dan Mama tidak melakukannya." "Sayang. Barangkali kau tak pernah minta padanya." "Tak perlu dipinta. Sudah kewajibannya."
"Mungkin Mama menganggap kau tak suka meneruskan."
"Nasib tak bisa diandai, Minke. Begini jadinya diri sekarang. Kalah aku olehmu, Minke, seorang Pribumi saja siswa H.B.S. Eh, apa guna bicara tentang sekolah*"" ia diam sebentar, mengawasi aku dengan mata coklat kelereng. "Aku mau bertanya, bagaimana bisa kau tinggal di sini " Nampaknya senang pula " Karena ada Annelies ""
Betul, Rob, karena ada adikmu. Juga karena dipinta. Ia mendeham waktu kuperhatikan
"Kau punya keberatan barangkali " Kau suka pada adikku tanyanya balik. "Betul.
"Sayang sekali, hanya Pribumi/' "Salah kalau hanya Pribumi "
Sekali lag ia mendeham mencari kata-kata. Matanya mengembara kefuar jendela. Pada waktu itu mulai kuperhatikan ranjangnja tidak berklambu. Di kolong berdiri botol dengan masih ada sisa obat nyamuk pada lehernya. Di bawah botol berserakan abu rontokan. Lantai belum lagi disapu.
Aku berhenti memperhatikan kolong waktu terdengar lagi
Rumah ini terlalu sepi bagiku," ia mengalihkan pembicaraan. "Kau suka main catur barangkali ""
"Sayang tidak, Rob." .
"Ya, sayang sekali. Berburu bagaimana " Mari berburu.
"Sayang, Rob, aku membutuhkan waktu untuk belajar. Sebenarya aku suka juga. Bagaimana kalau lain kali ""
"Baik, lain kali," ia tembuskan pandangnya pada mataku. Aku tahu ada ancaman dalam pandang itu. Ia jatuhkan telapak tangan kanan pada paha. "Bagaimana kalau jalan-jalan saja sekarang ""
"Sayang, Rob, aku harus belajar." Agak lama kami berdiam diri. Ia bangkit dan membetulkan kedudukan daun pintu. Mataku gerayangan untuk dapat menemukan sesuatu buat bahan bicara sementara aku selalu waspada, siap-siap terhadap segala kemungkinan. Yang jadi perhatianku adalah jendela. Sekiranya tiba-tiba ia menyerang, ke sana aku akan lari dan melompat. Apa lagi tepat di bawahnya terdapat sebuah kenap yang tiada berjambang burfga.
Di atas kursi yang tidak diduduki Robert tergeletak sebuah majalah berlipat paksa. Nampaknya bekas dipergunakan ganjal kaki lemari atau meja.
"Kau tak punya bacaan "" tanyaku.
Ia duduk di kursinya lagi sambil menjawab dengan tawa tanpa suara. Giginya putih, terawat baik dan gemerlapan.
"Maksudmu dengan bacaan, kertas itu "" matanya menuding pada majalah berlipat paksa itu. "Memang pernah kubalik-balik dan kubaca."
Barang itu diambilnya dan diserahkan padaku. Pada waktu itu aku menduga ia memandang ragu untuk berbuat sesuatu Matanya tajam menembusi jantungku dan aku bergidik. Kertas itu memang majalah. Sampulnya telah rusak, namun masih terbaca potongan namanya: Indi......
"Bacaan buat orang malas," katanya tajam. "Bacalah kalau kau suka. Bawalah." Dari kertas dan tintanya jelas majalah baru.
"Kau mau jadi apa kalau sudah lulus H.B.S. "" tiba-tiba ia bertanya. "Robert Suurhof bilang kau calon bupati."
"Tidak benar. Ak,u tak suka jadi pejabat. Aku lebih suka bebas seperti sekarang ini. Lagi pula siapa akan angkat aku jadi bupati " Dan kau sendiri, Rob," aku balik bertanya.
"Aku tak suka pada rumah ini. Juga tak suka pada negeri ini. Terlalu panas. Aku lebih suka salju. Negeri ini terlalu panas. Aku akan pulang ke Eropa. Belayar. Menjelajahi dunia. Begitu nanti aku naik ke atas kapalku yang pertama, dada dan tanganku akan kukasih tattoo."
"Sangat menyenangkan," kataku. "Aku pun ingin melihat negeri-negeri lain." ^ "Sama. Kalau begitu kita bisa sama-sama pergi belayar menjelajah dunia. Minke, kau dan aku. Kita bisa bikin rencana bukan " Sayang kau Pribumi."
Ya, sayang sekali aku Pribumi."
"Lihat gambar kapal ini. Temanku yang memberi ini," ia nampak bersemangat. "Dia awak kapal Karibou. Aku pernah bertemu secara kebetulan di Tanjung Perak. Dia bercerita banyak, terutama tentang Kanada. Aku sudah sedia ikut. Dia menolak. Apa guna jadi kelasi bagimu, katanya. Kau anak orang kaya. Tinggal saja di rumah. Kalau kau mau kau sendiri bisa beli kapal." Ia tatap aku dengan mata mengimpi. "Itu dua tahun yang lalu. Dan dia tak pernah lagi berlabuh di Perak. Menyurati pun tidak. Barangkali tenggelam."
"Barangkali Mama takkan ijinkan kau pergi," kataku. "Siapa nanti mengurus perusahaan besar ini ""
"Huh," ia mendengus. "Aku sudah dewasa, berhak menentukan diri sendiri. Tapi aku masih juga ragu. Entah mengapa."
"Lebih baik bicarakan dulu dengan Mama." Ia menggeleng. "Atau dengan Papa," aku menyarankan.
"Sayang," ia mengeluh dalam.
"Tak pernah aku lihat kau bicara dengan Mama. Kiranya baik kalau aku yang menyampaikan ""
"Tidak. Terimakasih. Dari Suurhof aku dengar kau seorang buaya darat." Aku rasai mukaku menggerabak karena jompakan darah. Sekaligus aku tahu: aku telah memasuki sudut hatinya yang terpeka. Itu pun baik, karena keluarlah maksudnya yang terniat.
"Setiap orang pernah dinilai buruk atau baik oleh orang ketiga. Juga sebaliknya peftiah ikut menilai. Aku pernah. Kau pernah. Suurhof pernah," kataku. "Aku " Tidak," jawabnya tegas. "Tak pernah aku peduli pada kata dan perbuatan orang. Apalagi kata orang tentang dirimu. Lebih-lebih lagi tentang diriku. Cuma Suurhof bilang: hati-hati pada Pribumi dekil bernama Minke itu, buaya darat dari klas kambing."
"Dia benar, setiap orang wajib berhati-hati. Juga Suurhof sendiri. Aku tak kurang berhati-hati terhadapmu, Rob."
"Lihat, aku tak pernah mengimpi untuk menginap di tempat lain karena wanita. Biar pun memang banyak yang mengundang."
"Sudah kubilang sebelumnya, aku suka pada adikmu. Mama minta aku tinggal di sini."
Baik. Asal kau tahu bukan aku yang mengundang." Tahu betul, Rob. Aku masih simpan surat Mama itu."
"Coba aku baca."
"Untukku, Rob, bukan untukmu. Sayang."
Makin lama sikap dan nada suaranya makin mengandung permusuhan. Lirikannya mulai bersambaran untuk menanamkan ketakutanku. Dan aku sendiri juga sudah merasa kuatir.
"Aku tidak tahu apa pada akhirnya kau akan kawin dengan adikku atau tidak. Nampaknya Mama dan Annelies suka padamu. Biar begitu kau harus ingat, aku anak lelaki dan tertua dalam keluarga ini."
"Aku di sini sama sekali tak ada hubungan dengan hak-hakmu, Rob. Juga tidak untuk mengurangi. Kau tetaplah anak lelaki dan tertua keluarga ini. Tak ada yang bisa mengubah."
Ia mendeham dan mmenggaruk kepalanya dengan hati-hati, takut merusakkah sisiran.
"Aku tahu, kau juga tahu, orang-orang di sini pada memusuhi aku. Tak ada yang menggubris aku. Ada yang membikin semua mi. Sekarang kau datang kemari. Sudah pasti kau seorang di antara mereka. Aku berdiri seorang diri di sini. Hendaknya kau jangan sampai lupa pada apa yang bisa dibikin oleh seorang yang berdiri seorang diri," katanya mengancam dengan bibir tersenyum.
Rahasia 180 Patung Mas 10 Pendekar Mabuk 012 Cermin Pemburu Nyawa Geger Kitab Inti Jagad 2
^