Pencarian

Bumi Manusia 3

Bumi Manusia Karya Pramoedya Ananta Toer Bagian 3


"Betul, Rob, dan kau pun jangan sampai lupa pada kata-katamu sendiri itu, sebab itu juga tertuju pada dirimu sendiri."
Matanya sekarang nampak mengimpi menatap aku. Menaksir-naksir kekuatanku. Dan aku mengikuti contohnya, juga tersenyum. Semua gerak-geriknya aku perhatikan. Begitu nanti nampak ada gerakan yang mencurigakan, hup, aku sudah melompat keluar dan jendela. Dia takkan dapatkan aku di dalam kamar ini "Baik," katanya sambil mengangguk-angguk. "Dan jangan pula kau lupa, kau hanya seorang Pribumi."
"Oh, tentu saja aku selalu ingat, Rob. Jangan kuatir. Kau pun jangan lupa, dalam dirimu ada juga darah Pribumi. Memang aku bukan Indo, bukan Peranakan Eropa, tapi selama belajar pada sekolah-sekolah Eropa, ada juga ilmu-pengetahuan Eropa dalam diriku, yaitu, kalau yang serba Eropa kau anggap lebih tinggi." "Kau pandai, Minke, patut bagi seorang siswa H.B.S."
Percakapan pendek itu terasa memakan waktu berjam-jam penuh ketegangan. Kemudian kuketahui, hanya sepuluh menit berlangsung. Beruntung Annelies memanggil dari luar kamar, dan aku minta diri.
Tak kusangka sambil masih tetap duduk Robert berkata sangat tenang: "Pergilah, nyaimu sedang mencarimu."
Aku terhenti di pintu dan memandanginya dengan heran. Ia cuma tersenyum. "Dia adikmu, Rob. Tak patut itu diucapkan. Aku pun punya kehormatan.,..." Annelies buru-buru menarik aku ke ruangbelakang seakan suatu kejadian penting telah terjadi dalam kamar itu. Kami duduk di atas sofa berkasur tinggi dan bertilam bunga-bunga war-na-warni di atas dasar warna creme. Ia begitu melengket padaku, berbisik hati-hati:
"Jangan suka bergaul dengan Robert. Apa lagi masuk ke kamarnya. Aku kuatir. Makin hari ia makin berubah. Telah dua kali ini Mama menolak membayar hutanghutangnya, Mas. "Perlukah kau bermusuhan dengan abangmu sendiri V Bukan begitu. Dia harus bekerja untuk mendapatkan nafkahnya sendiri. Dia bisa kalau mau. Tapi dia tidak mau." "Baik, tapi mengapa kalian berdua mesti bermusuhan "" "Tidak datang dari pihakku. Itu kalau kau mau percaya. EValam segala hal Mama lebih benar dari dia. Dia tak mau mengakui kebenaran Mama, hanya karena Mama Pribumi. Lantas harus apa aku ini ""
Aku tahu, tak boleh mencampuri urusan keluarga. Maka tak kuteruskan. Sementara itu terpikir olehku, Apa yang didapat pemuda ganteng ini dari kehidupan keluarganya", dari bapaknya tidak, dari ibunyapun tidak. Dari saudarinya apalagi. Kasih tiak sayangpun tidak. Aku datang kerumah ini dan ia cemburui aku. Memang sudah sepantasnya.
"Mengapa kau tak bertindak sebagai pendamai Ann ", Buat apa" Perbuatannya yang keterlaluan sudah bikin aku mengutuk dia."
"Mengutuk " Kau mengutuk "..
"Melihat mukanya pun aku tidak sudi. Dulu memang aku masih sanggup bertik dengannya. Sekarang, untuk seumur hidup tidak. Tidak, Mas."
Aku menyesal telah mencoba mencampuri urusannya. Dan wajahnya yang mendadak kemerahan menterjemahkan amarahnya'. Nvai datang menyertai kami. Selembar koran S.N.v/d D ada di tangannya. Ia tunjukkan padaku sebuah cerpen Een Buitengewoon Gewoone Nyai. die Ik ken*.
"Kau sudah baca cerita ini, Nyo " "Sudah, Ma, di sekolah."
Rasanya aku pernah mengenal orang yang ditulis dalam cerita ini." Barangkali aku pucat mendengar omongannya. Walau judulnya telah diubah, itulah tulisanku sendiri, ceipenku yang pertama kali dimuat bukan oleh koranlelang. Beberapa patah kata dan kalimat memang telah diperbaiki, tapi itu tetap tulisanku. Bahan cerita bukan berasal dari Anneiies, tapi khayal sendiri yang mendekati kenyataan sehari-hari Mama. "Tulisan siapa, Ma tanyaku pura-pura. "Max Tollenaar. Benar kau hanya menulis teks iklan " Sebelum pembicaraan jadi berlarut segera kuakui: "Memang tulisanku sendiri itu, Ma." "Sudah kuduga. Kau memang pandai, Nyo. Tidak seorang dalam seratus bisa menulis begini. Cuma kalau yang kau maksudkan dalam cerita ini aku.*..
"Mama yang kukhayalkan," jawabku cepat menyambar. "Ya. Patut banyak tidak benarnya; Sebagai cerita memang bagus, Nyo. Semoga jadi pujangga, seperti Victor Hugo." Masyaallah, dia tahu Victor Hugo. Dan aku malu bertanya siapa dia. Dan dia bisa memuji kebagusan cerita. Kapan dia belajar ilmu cerita " Atau hanya sok saja " "Sudah pernah baca Francis " G.Francis ""
Sungguh aku merasa kewalahan. Itu pun aku tak tahu.
"Rupanya Sinyo tak pernah membaca Melayu." "Buku Melayu, Ma " Ada "" tanyaku mengembik.
"Sayang kalau tak tahu, Nyo. Banyak buku Melayu sudah dia tulis. Aku kira dia orang Totok atau Peranakan, bukan Pribumi. Sungguh sayang, Nyo, kalau tidak ada perhatian."
Ia masih banyak bicara lagi tentang dunia cerita. Dan semakin lama semakin meragukan. Boleh jadi ia hanya membuatkan segala apa yang pernah didengarnya dari Herman Mellema. Guruku cukup banyak mengajar tentang bahasa dan sastra Belanda. Tak pernah disinggung tentang segala yarig diomongkannya. Dan guru kesayanganku, Juffrouw Magda Peters, pasti jauh lebih banyak tahu daripada hanya seorang nyai. Nyai yang seorang ini malah mencoba bicara tentang bahasa tulisan pula!
"Francis, Nyo, dia telah menulis Nyai Dasima, benar-benar dengan cara Eropa. Hanya berbahasa Melayu. Ada padaku buku itu. Barangkali kau suka mempelajarinya."
Aku hanya mengiakan. Tahu apa dia tentang dunia cerita. Lagi pula mengapa dia suka membaca cerita, dan mencoba mencampuri urusan para tokoh khayali para pengarang, bahkan juga bahasa yang mereka pergunakan, sedang di bawah matanya sendiri anaknya, Robert, kapiran " Meragukan.
Seperti 'dapat membaca pikiranku ia bertanya: "Bolehjadi kau hendak mepulis tentang Robert juga." "Mengapa, Ma "" .
"Karena kemudaanmu. Tentu kau akan menulis tentang orang-orang yang kau kenal di dekat-dekatmu. Yang menarikmu. Yang menimbulkan sympati atau antipatimu. Aku kira Rob pasti menarik perhatianmu.
Untung saja percakapan yang tak menyenangkan itu segera tersusul oleh makanmalam. Robert tidak serta. Baik Mama mau pun Anneiies tidak heran, juga tidak menanyakan. Pelayan juga tak menanyakan sesuatu.
Tengah makan ternlat olehku untuk menyampaikan keinginan Robert jadi pelaut, pulang ke Eropa. Pada waktu itu juga justru Nyai berkata:
"Cerita, Nyo, selamanya tentang manusia, kehidupannya, bukan kematiannya. Ya, biar pun yang ditampilkannya itu hewan, raksasa atau dewa atau hantu. Dan tak ada#yang lebih sulit dapat difahami daripada sang manusia. Itu sebabnya tak habishabisnya cerita dibuat di bumi ini. Setiap han bertambah saja. Aku sendiri tak banyak tahu tentang im Suatu kali pernah terbaca olehku tulisan yang kira-kira katanya begini: jangan anggap remeh si manusia, yang kelihatannya begitu sederhana; biar pengelihatanmu setajam mata elang, pikiranmu setajam pisau cukur, perabaanmu lebih peka dari para dewa pendengaranmu dapat menangkap musik dan ratap-tangis kehidupan; pengetahuanmu tentang manusia takkan bakal bisa keraput. Mama sama sekali sudah berhenti makan. Sendok berisi itu tetap tergantung di bawah dagunya. "Memang dalam sepuluh tahun belakangan ini lebih banyak cerita kubaca. Rasanya setiap buku bercerita tentang daya-upaya seseorang untuk keluar atau mengatasi kesulitannya. Cerita tentang kesenangan selalu tidak menarik. Itu bukan cerita tentang manusia dan kehidupannya, tapi tentang surga, dan jelas ridai* terjadi di atas bumi kita ini."
Mama meneruskan makannya. Perhatianku telah kukerahkan untuk menangkap setiap katanya. Pada waktu ini ia sungguh seorang guru tidak resmi dengan ajaran yang cukup resmi.
Ternyata selesai makan ia masih meneruskan:
"Karena itu kau pasti tertarik pada Robert. Ia selalu men-cari-cari kesulitan dan tidak dapat keluar daripadanya. Kira-kira itu yang dinamakan: tragis. Sama seperti ayahnya. Barangkali melalui tulisanmu kalau dia mau membacanya dia akan bisa berkaca dan melihat dirinya sendiri. Mungkin bisa mengubah kelakuannya. Siapa tahu " Hanya, pintaku, sebelum kau umumkan biarlah aku diberi hak untuk ikut membacanya lebih dulu. Itu kalau kau tak berkeberatan tentu. Barangkali saja gambaran dan anggapan keliru bisa lebih dihindari."
Memangaku sedang mempersiapkan tulisan tentang Robert. Peringatan Nyai agak mengejutkan. Aku rasai ia sebagai mata elang yang pengawas. Pandangannya kurasai menyerbu mahligai ha^-hakku sebagai perawi cerita. Terbitnya ceritaku yang, pertama telah menaikkan semangatku. Tapi tulisan tentang Robert tak.bisa lebih maju karena tiupan semangat sukses. Mama dengan mata elangnya telah menyebabkannya tersekat di tengah jalan.
Semua yang tercurah semasa makan itu membikin diri tenggelam dalam renungan. Jfcarangtfentu ia sudah sangat banyak membaca. Kira-kira Tuan Herman Mellema tadinya seorang guru yang benar-benar bijaksana dan penyabar. Nyai seorang murid yang baik, dan mempuyai kemampuan berkembang sendiri setelah mendapaUcan modal pengertian dari tuannya. Apa yaig tak kudapatkan dan sekolah dapat aku paneni di tengah keluTr ga seorang gundik. Siapa bakal menyangka " Mungkin imraL seorang yang lebih mengerti Robert Mellema. Pesannya tentang pemuda pembenci Pnbumi itu menunjukkan kedalaman keoriha tman tentang sulungnya. Tentang pemuda jangkung itu aku belum lagi banyak mengenal. Baragkali ia pun banyak membaca seperti ibunya Maia lah yang dibenkannya padaku ternyata bukan bacaan sembara-ngan Boleh jadi berasal dan perpustakaan rumah, atau diambilnya dan tangan opaspos dan tidak diserahkan pada Mama Bisa jadi juga pemuda itu tidak pernah menamatkannya. Aku tak tahu betul Karangan-karangan di dalamnya semua tentang negeri penduduk dan persoalan Hindia Belanda. Sebuah di antaranya tentang Jepang dengan hubungannya sedikit atau banyak -dengan Hindia. Tulisan itu memperkaya catatanku tentang negeri Jepang yang banyak dibicarakan dalam bulan-bulan terakhir ini Tak ada di antara teman sekolahku mempunyai perhatian pada nege-n dan bangsa ini sekali pun barang dua kali pernah disinggung dalam diskusi-sekolah. Teman-teman menganggap bangsa ini masih terlalu rendah untuk dibicarakan. Secara selintas mereka menyamaratakan dengan pelacurpelacurnya yang memenuhi Kembang Jepun, warung-warung kecil, restoran dan pangkas rambut, verkoper, dan kelontongnya yang sama sekali tak dapat mencerminkan suatu Pabrfk yang menantang ilmu dan pengetahuan modern Dalam suatu diskusi-sekolah, waktu guruku, Tuan Lasten-aienst, mencoba menarik perhatian para siswa, orang lebih banyak tinggal mengobrol pelan. Ia bilang: di bidang ilmu Jepang juga mengalami kebangkitan. Kitasato telah menemukan kuman pes, Shiga menemukan kuman dysenteri dan dengan demikian Jepang tefcih juga berjasa pada ummat manusia. Ia membandingkannya dengan sumbangan bangsa Belanda pada peradaban. Melihat aku mempunyai perhatian penuh dan membikin catatan Lastendienst bertanya padaku dengan nada mendakwa: eh, Minke wakil bangsa Jawa dalam ruangan ini, apa sudah di sumbangkan bangsamu pada ummat manusia " Bukan saja aku menggeragap mendapat pertanyaan dadakan itu, Koleh jadi seluruh dewa dalam kotak wayang ki dalangjikan hilang semangat hanya untuk menjawab. Maka jalan paling ampuh untuk tidak menjawab adalah menyuarakan kalimat ini: Ya, Meneer Lasten-dienst, sekarang ini saya belum bisa menjawab. Dan guruku itu menanggapi dengan senyum manis sangat manis.
Itu sedikit kutipan dari catatanku tentang Jepang. Dengan adanya tulisan dari majalah pemberian
Robert catatanku mendapatkan tambahan yang lumayan banyaknya Tentang kesibukan di Jepang untuk menentukan strategi pertahanannya Aku taK banyak mengerti tentang hal demikian Justru karena itu aku catat. Paling tidak akan menjadi bahan bermegah dalam diskusi-sekolah.
Dikatakan adanya persaingan antara Angkatan Darat dengan Angkatan Laut Jepang. Kemudian dipilih strategi maritim untuk pertahanannya. Dan Angkatan Darat dengan tradisi samurainya yang berabad merasa kurang senang. Bagaimmana tentang Hindia Belanda sendiri " Di dalamnya dinyatakan: Hindia Belanda tidak mempunyai Angkatan Laut; hanya Angkatan Darat. Jepang terdiri dari kepulauan. Hindia Belanda setali tiga uang. Mengapa kalau Jepang mengutamakan laut Hindia mengutamakan darat " Bukankah masalah pertahanan (terhadap luar) sama saja " Bukankah jatuhnya Hindia Belanda ke tangan Inggris nyaris seabad yang lalu juga karena lemahnya Angkatan Laut di Hindia " Mengapa itu tak dijadikan pelajaran "
Dari majalah itu juga aku tahu: Hindia Belanda tidak mempunyai Angkatan Laut. Kapal perang yang mondar-mandir di Hindia bukanlah milik Hindia Belanda, tetapi milik kerajaan Belanda. Daendels pernah membikin Surabaya menjadi pangkalan Angkatan Laut pada masa Hindia Belanda tak punya armada satu pun! Nyaris seratus tahun setelah itu orang tak pernah memikirkan gunanya ada Angkatan Laut tersendiri untuk Hindia. Tuan-tuan yang terhormat mempercayakan pertahanan laut Inggris di Singapura dan pertahanan laut Amerika di Filipina.
Tulisan itu membayangkan sekiranya terjadi perang dengan Jepang. Bag'aimana akan halnya Hindia Belanda dengan perairan tak terjaga " Sedang Angkatan Laut Kerajaan Belanda hanya, kadang-kadang saja datang meronda " Tidakkah pengalaman tahun 1811 bisa berulang untuk kerugian Belanda "
Aku tak tahu apakah Robert pernah membaca dan mempelajarinya. Sebagai pemuda yang ingin berlanglang buana sebagai pelaut boleh jadi ia telah mempelajarinya. Dan sebagai pemuja darah Eropa kiranya dia mengandalkan keunggulan ras putih. Tulisan itu juga mengatakan: Jepang mencoba meniru Inggris di perairan. Dan pengarangnya memperingatkan agar menghentikan ejekan terhadap bangsa itu sebagai monyet peniru. Pada setiap awal pertumbuhan, katanya, semua hanya meniru. Setiap kita semasa kanak-kanak juga hanya meniru Tetapi kanak-kanak itu pun akan dewasa, mempunyai perkembangan sendiri..............
Sedang pembicaraan yang dapat kusadap antara Jean Marais dengan Telinga tentang perang dapat kucatat demikian:
Jean Marais: peranan berpindah-pindah, dari generasi ke generasi yang lain, dari bangsa yang satu ke bangsa yang lain Dahulu kulit berwarna menjajah kulit putih. Sekarang kulit putih menjajah kulit berwarna.
Telinga: Tak pernah kulit putih dialahkan kulit berwarna dalam tiga abad ini. Tiga abad! Memang bisa terjadi kulit putih mengalahkan kulit putih yang lain. Tapi kulit berwarna takkan dapat mengalahkan yang putih. Dalam lima abad mendatang ini dan untuk selamanya. .
Dan Robert ingin jadi awak kapal sebagai orang Eropa. Dia bermimpi belayar dengan Karibou, di bawah naungan Inggris -negeri tak berapa besar, dengan matari tak pernah tenggelam....
7. RASANYA BELUM LAGI LAMA AKU TERTIDUR. Pukulan gugup pada
pintu kamarku membikin aku menggeragap bangun. "Minke, bangun," suara Nyai.
Kudapati Mama berdiri di depan pintuku membawa Win. Rambutnya agak kacau. Bunyi ketak-ketik pendule merajai ruangan di pagi gelap itu. ' "Jam berapa, Ma "" "Empat. Ada yang mencari kau.
Di sitje telah duduk seorang dalam kesuraman. Makin dekat lilin padanya makin jelas: agen polisi! Ia berdiri menghormat, kemudian langsung bicara dalam Melayu berlidah Jawa: "Tuan Minke ""
"Benar." "Ada surat perintah untuk membawa Tuan. Sekarang juga, ia ulurkan surat itu. Yang dikatakannya benar. Panggilan dan Kantor Polisi B., dibenarkan dan diketahui oleh Kantor Polisi Surabaya. Namaku jelas tersebut di dalamnya. Mama juga telah membacanya. . .
"Apa yang sudah kau perbuat selama mi, Nyo " tanyanya.
"Tak sesuatu pun," jawabku gugup. Namun aku jadi ragu pada perbuatanku sendiri. Kuingat dan kuingat, kubariskan semua dari seminggu lewat. Kuulangi: "Tak sesuatu pun, Ma."
Anneiies datang. Ia bergaun panjang dari beledu hitam. Rambutnya kacau. Matanya masih layu. Mama menghampiri aku:
"Agen itu tak pernah menyatakan kesalahanmu. Dalam surat juga tidak tertulis." Dan kepada agen polisi itu: "Dia berhak mengetahui soalnya."
"Tak ada perintah untuk itu, Nyai. Kalau tiada tersebut di dalamnya jelas perkaranya memang belum atau tidak boleh diketahui orang, termasuk oleh yang bersangkutan." "Tidak bisa begitu," bantahku, "aku seorang Raden Mas, tak bisa diperlakukan asal saja begini," dan aku menunggu jawaban. Melihat ia tak tahu bagaimana mesti menjawab aku teruskan, "Aku punya Forum Privilegiatum
"Tak ada yang bisa menyangkal, Tuan Raden Mas Minke." "Mengapa anda perlakukan semacam ini "" "Perintah untukku hanya mengambil Tuan. Pemberi perintah tak akan lebih tahu tentang semua perkara, Tuan Raden Mas," katanya membela diri. "Silakan Tuan bersiap-siap. Kita akan segera berangkat. Jam lima sudah harus sampai di tujuan."
"Mas, mengapa kau hendak dibawa "" tanya Annelies ketakutan. Aku rasai gigilan dalam suaranya.
"Dia tak mau mengatakan," jawabku pendek. "Ann, urus pakaian Minke dan bawa kemari," perintah Nyai, "dia akan dibawa entah untuk berapa hari. Kan dia boleh mandi dan sarapan dulu ""
"Tentu saja, Nyai, masih ada sedikit waktu." Ia memberi waktu setengah jam.
Di ruangbelakang kudapati Robert sedang menonton kejadian itu dari tempatnya. Ia hanya menguap menyambut aku. Di dalam kamarmandi mulai kutimbang-timbang kemungkinan: Robert penyebab gara-gara ini, menyampaikan lapuran palsu yang bukan-bukan. Semalam dan kemarin malam dia tidak muncul untuk makan. Satu demi satu ancamannya terkenang kembali. Baik, kalau benar kau yang membikin semua keonaran ini. Aku takkan melupakan kau, Rob.
Kembali ke ruangdepan kopi telah tersedia dengan kue.
Agen polisi itu sedang menikmati sarapan pagi. Ia kelihatan lebih sopan setelah mendapat hidangan. Dan nampak tak pirnya sikap permusuhan pribadi terhadap kami semua. Malah ia bercerita sambil tertawa-tawa.
"Tak ada terjadi sesuatu yang buruk, Nyai," katanya akhirnya, "Tuan Raden Mas Minke paling lama akan kembali dalam dua minggu ini."
"Bukan soal dua minggu atau sebulan. Dia ditangkap di rumahku. Aku berhak tahu persoalannya," desak Nyai "Betul-betul aku tak tahu. Maafkan. Itu sebabnya pengambilan dilakukan pada begini hari, Nyai, biar tak ada yang tahu "Tak ada yang tahu " Bagaimana bisa " Kan Tuan telah menemui penjaga rumah sebelum dapat bertemu denganku 7 "Kalau begitu urus saja penjaga itu biar tidak bicara. "Tak bisa aku dibikin begini," kata Mama, "penjelasan akan kupinta dari Kantor Polisi." .
"Itu lebih baik lagi. Nyai akan segera mendapat penjelasan. Dan pasti benar."
Annelies yang masih berdiri menjinjing kopor mendekati aku, tak bisa bicara. Kopor dan tas diletakkan di lantai. Tanganku diraih dan dipegangnya. Tangannya agak gemetar.
"Sarapan dulu, Tuan Raden Mas," agen itu memperingatkan. "Di Kantor Polisi barangkali tak ada sarapan sebaik ini. Tidak " Kalau begitu mari kita berangkat." "Aku akan segera kembali, Ann, Mama. Tentu telah terjadi kekeliruan. Percayalah." Dan Annelies tak mau melepaskan tanganku.
Agen polisi itu mengangkatkan barang-barangku dan dibawa keluar. Annelies tetap mengukuhi tanganku waktu aku mengikuti agen keluar rumah. Aku cium pada pipinya dan kulepaskan pegangannya. Dan ia masih juga tak bicara. "Semoga selamat-selamat saja, Nyo," Nyai mendoakan. "Sudah, Ann, berdoalah untuk keselamatannya."
Dokar yang menunggu ternyata bukan kereta polisi dokar preman biasa. Kami naik dan berangkat ke jurusan Surabaya. Agen ini akan bawa aku ke B. Dan dalam gelap pagi itu kubayangkan setiap rumah yang pernah kulihat di B. Yang mana di antara semua itu menjadi tujuan " Kantor Polisi " Penjara " Losmen " Rumah-rumah preman barangtentu tidak masuk hitungan.
Di jalanan hanya dokar kami yang mewakili lalulintas. Grobak-grobak minyakbumi, yang biasanya bergerak pada su-buh-hari dari kilang B.P.M. dalam iringan dua puluh sampai tiga puluh buah sekali jalan, sekarang tidak kelihatan. Seorang-dua memikul sayuran untuk dijual di Surabaya. Dan agen itu menutup mulut seakan tak pernah belajar bicara dalam hidupnya.
Boleh jadi Robert memang telah memfitnah aku. Tapi mengapa B. jadi tujuan " Lampu minyak dokar kami segan menembusi kegelapan subuh berhalimun itu. Seakan hanya kami, agen, aku, kusir, dan kuda, yang hidup di atas jalanan ini. Dan aku bayangkan Annelies sedang menangis tak terhibur. Dan Nyai bingung kuatir penangkapan atas diriku akan memberi nama buruk pada perusahaan. Dan Robert Mellema akan mendapat alasan untuk berkaok: Nah, kan benar kata Suurhof " Dokar membawa kami ke Kantor Polisi Surabaya. Aku dipersilakan duduk menunggu di ruangtamu. Sudah timbul keinginanku untuk menanyakan persoalanku. Nampaknya dalam udara pagi berhalimun orang tak berada dalam suasana memberi keterangan. Aku tak jadi bertanya. Dan dokar masih tetap menunggu di depan kantor. Agen itu malah meninggalkan aku seorang diri tanpa berpesan. Betapa lama. Matari tak juga terbit. Dan waktu terbit tidak mampu mengusir halimun. Butir-butir air yang kelabu itu merajai segalanya, malah juga di pedalaman paru-paruku. Lalulintas di depan kantor mulai ramai: dokar, andong, pejalan kaki, penjaja, pekerja. Dan aku masih juga duduk seorang diri di ruangtamu. Jam sembilan pagi kurang seperempat agen itu baru muncul. Nampaknya telah tidur barang sejam dan mandi air hangat. Ia kelihatan segar. Sebaliknya aku merasa lesu, lelah menunggu. Dan, masih tetap tak sempat bertanya.
"Mari, Tuan Raden Mas," ajaknya ramah.
Kembali kami naik dokar, ke stasiun. Juga dia lagi yang mengangkatkan barangbarangku, juga menurunkan dan mengiringkan ke loket. Ke dalamnya ia menyorongkan surat dan mendapat dua karcis putih kias satu. Jam ini bukan masa keberangkatan kereta express. Uh, naik kereta lambat pula. Benar saja, kami naik gerbong kereta yang membosankan itu, jurusan barat. Aku sendiri tak pernah naik kereta semacam ini. Selalu express kalau ada. Kecuali, yah, kecuali dari B. ke kotaku sendiri, T.
Agen itu kembali tidak bicara. Aku duduk pada jendela. Ia di hadapanku. Gerbong itu sedikit saja penumpangnya. Selain kami berdua hanya tiga orang lelaki Eropa dan seorang Tionghoa. Nampaknya semua dalam suasana kebosanan. Pada perhentian pertama penumpang sudah berkurang dengan dua, termasuk orang Tionghoa itu. Penumpang baru tak ada.
Sudah berpuluh kali aku menempuh jarak ini. Maka pemandangan sepanjang perjalanan tak ada yang menarik. Di B. biasanya aku menginap di losmen untuk keesokanharinya meneruskan perjalanan ke T. Sekarang bukan menuju ke losmen langganan. Paling tidak di Kantor Polisi.
Pemandangan tambah lama tambah membosankan: tanah kersang, kadang kelabu, kadang kuning keputihan Aku tertidur dengan perut lapar. Apa pun bakal terjadi, terjadilah.
Uh bumi manusia! Kadang muncul kebun tembakau, kecil dan hilang tersapu kelajuan. Muncul lagi, kecil lagi, hilang lagi. Dan sawah dan sawah dan sawah, tanpa air, ditanami palawija menjelang panen Dan kereta merangkak lambat, menyemburkan asap tebal hitam dan lebu, dan lelatu. Mengapa bukan Inggris yang menguasai semua ini " Mengapa Belanda " Dan Jepang " Bagaimana Jepang " Sentuhan tangan agen itu menyebabkan aku terbangun. Di sampingku telah Tergelar bawaannya: kam^mbungkus terbu^ iadi landasan. Di atasnya: nasi goreng berminyak mengkilat, dengan sendok dan garpu, dihias matasapi dan sempalan goreng ayam di dalam wadah takir daun pisang. Mungkin sengaja disediakan untukku. Seorang agen akan berpikir dua kali untuk menjamu makan demikian; terlalu mewah. Botol putih berisi susu coklat berdiri langsing di samping takir - minuman yang belum banyak dikenal Pribumi.
Dan kota B. yang suram itu akhirnya muncul juga di depan mata menjelang jam 5 sore. Ia tetap tak bicara. Tapi tetap membawa barang-barangku. Dan aku tak mencegahnya. Apa arti seorang agen polisi kias satu dibanding dengan siswa H.B.S. Paling-paling dia hanya bisa sedikit baca dan tulis Jawa dan Melayu. Dokar membawa kami meninggalkan stasiun. Ke mana ", Aku kenal jalan-jalan putih batu cadas yang menyakitkan mata ini. Tidak ke hotel, tidak ke losmen langganan. Juga tidak ke Kantor Polisi B.
Alun-alun itu nampak lengang dengan permadani rumputnya yang kecoklatan dan botak dan bocel di sana-sini. Ke mana hendak di bawa " Dokar sewaan menuju ke gedung bupati dan berhenti agak jauh di tentang pintu gerbang batu. Apa hubungan perkara ini dengan Bupati B. " Pikiranku mulai gila bergerayangan. Dan agen itu turun dahulu, mengurus barang-barangku seperti sebelumnya. "Silakan," katanya tiba-tiba dalam Jawa kromo. Kuiringkan dia memasuki Kantor Kabupaten, terletak di depan sebelah samping gedung bupati. Kantor yang lengang dari hiasan dinding, sunyi dari perabot yang patut, tanpa seorang pun di dalam. Semua perabot kasar, terbuat dari jati dan tidak dipolitur, nampak tanpa ukuran kebutuhan dan tanpa perencana-naan guna, asal jadi. Dari rumah mewah Wonokromo memasuki
ruangan ini seperti sedang meninjau gudang palawija. Boleh jadi lebih mewah sedikit saja dari kandang ayam Anneiies. Ini a-gaknya ruang pemeriksaan. Hanya ada bebe'rapa meja, sedikit kursi dan beberapa bangku panjang. Di sana ada rak-rak dengan beberapa tumpuk kertas dan beberapa buah buku. Tak ada alat penyiksaan. Hanya botol-botol tinta di atas semua meja.
Agen itu meninggalkan aku seorang diri lagi. Dan untuk kedua kalinya aku menunggu dan menunggu. Matari telah tenggelam. Dia belum juga muncul. Bedug masjid agung telah bertalu, menyusul suara azan yang murung. Lentera jalanan sudah dinyalakan oleh tukanglampu. Kantor ini semakin gelap juga. Dan nyamuk yang keranjingan ini, mereka mengembut, menyerang satu-satunya orang di dalamnya. Kurangajar! sumpahku. Begini orang mengurus seorang Raden Mas dan siswa H.B.S. pula " seorang terpelajar dan darah raja-raja Jawa " _ Dan pakaian ini sudah terasa lengket pada tubuh. Badan sudah mulai diganggu bau keringat. Tak pernah aku mengalami aniaya semacam ini. -
"Beribu ampun, Ndoro Raden Mas," agen itu menyilakan aku keluar dari kantor gelap penuh nyamuk itu. "Mari 'sahaya antarkan ke pendopo." Sekali lagi ia angkati barang-barangku.
Jadi aku akan dihadapkan pada Bupati B. God! urusan apa pula " Dan aku ini, siswa H.B.S., haruskan merangkak di hadapannya dan mengangkat sembah pada setiap titik kalimatku sendiri untuk orang yang sama sekali tidak kukenal " Dalam berjalan ke pendppo yang sudah diterangi dengan empat buah lampu itu aku merasa seperti hendak menangis. Apa guna belajar ilmu dan pengetahuan Eropa, bergaul dengan orang-orang Eropa, kalau akhirnya toh harus merangkak, beringsut seperti keong dan menyembah seorang raja kecil yang barangkali butahuruf pula " God, God! Menghadap seorang bupati sama dengan bersiap menampung penghinaan tanpa boleh membela diri. Tak pernah aku memaksa orang lain berbuat semacam itu terhadapku. Mengapa harus aku lakukan untuk orang lain " Sambar geledek! Nah, kan benar " Agen itu sudah mulai kurangajar menyilakan aku mencopot sepatu melepas kauskaki. Permulaan aniaya yang lebih hebat. Suatu kekuatan gaib telah memaksa aku mengikuti perintahnya. Lantai itu terasa dingin pada telapak kaki. Ia memberi isyarat, dan aku menaiki jenjang demi jenjang, melangkah ke atas. Ia tunjukkan padaku tempat aku harus duduk menekur: di depan sebuah kursi goyang. Kata salah seorang guruku: kursi goyang adalah peninggalan terindah dan Kompeni sebelum mengalami kebangkrutannya. Aduhai, kursi goyang, kau akan jadi saksi bagaimana aku harus menghinakan diri sendiri untuk memuliakan seorang bupati yang tak kukenal. Terkutuk! Apa teman-teman akan bilang bila melihat aku jalan berlutut begini sekarang ini, seperti orang tak punya paha merangkak mendekati peninggalan V.O.C. menjelang bangkrutnya " kursi yang tak bergerak dekat pada dinding dalam pendopo itu "
"Ya, jalan berlutut, Ndoro Raden Mas," agen itu seperti mengusir kerbau ke kubangan.
Dan jarak yang hampir sepuluh meter itu aku tempuh dengan menyumpah dalam lebih tiga bahasa.
Dan di kiri-kananku bersebaran hiasan lantai berupa kerang-kerangan. Dan lantai itu mengkilat terkena sinar empat lampu minyak. Sungguh, teman-teman sekolah akan mentertawakan aku sekenyangnya melihat sandiwara bagaimana manusia, biasa berjalan sepenuh kaki, di atas telapak kaki sendiri, sekarang harus berjalan setengah kaki, dengan bantuan dua belah tangan. Ya Allah, kau nenek-moyang, kau, apa sebab kau ciptakan adat yang menghina martabat turunanmu sendiri begini macam " Tak pernah terpikir olehmu, nenek-moyang yang keterlaluan! Keturunanmu bisa lebih mulia tanpa menghinakan kau! Sial dangkal! Mengapa kau sampaihati mewariskan adat semacam ini "
Di depan kursi goyang aku berhenti. Duduk bersimpuh dan menekuri lantai sebagaimana diadatkan. Terus juga menyumpah dalam lebih tiga bahasa. Yang dapat kulihat di depanku adalah bangku rendah berukir dan di atasnya bantal alas kaki daripada beledu hitam. Sama dengan gaun Annelies sepagi tadi.
Baik, sekarang aku sudah menekuri lantai di hadapan kursi goyang keparat ini. Apa urusanku dengan Bupati B. " Tak ada. Sanak tidak, keluarga tidak, kenalan bukan, apalagi sahabat. Dan sampai berapa lama lagi aniaya dan hinaan ini masih harus berlangsung " Menunggu dan menunggu sambil dianiaya dan dihina begini " Terdengar pintu-angin mengerait terbuka. Langkah selop kulit terdengar semakin lama semakin jelas. Dan teringat aku pada langkah sepatu menyeret Tuan Mellema pada malam menyeramkan dulu. Dari tempatku, selop yang melangkah-langkah itu nuilai kelihatan, lambat-lambat. Di atasnya sepasang kaki bersih. Kaki lelaki. Di atasnya lagi kain batik berwiru lebar.
Aku mengangkat sembah sebagaimana biasa aku lihat dilakukan punggawa terhadap kakekku, dan nenekku, dan orangtua-ku, waktu lebaran. Dan yang sekarang tak juga kuturunkan sebelum Bupati itu duduk enak di tempatnya. Dalam mengangkat sembah serasa hilang seluruh ilmu dan pengetahuan yang kupelajan tahun demi tahum belakangan ini. Hilang indahnya dunia sebagaimana dijanjikan oleh kemajuan ilmu. Hilang anthusiasme para guruku dalam menyambut hari esok yang cerah bagi ummat manusia. Dan entah berapa kali lagi aku harus mengangkat sembah nanti. Sembah pengagungan pada leluhur dan pembesar melalui perendahan dan penghinaan diri! sampai sedatar tanah kalau mungkin! Uh, anakcucuku tak kurelakan menjalani kehinaan ini.
Orang itu, Bupati B., mendeham. Kemudian lambat-lambat duduk di kursi goyang, melepas selop di belakang bangku kaki dan meletakkan kakinya yang mulia di atas bantal beledu. Kursi mulai bergoyang-goyang sedikit. Keparat! Betapa lambat waktu berjalan. Sebuah benda yang kuperkirakan agak panjang telah dipukul-pukulkan lembut pada kepalaku yang tak bertopi. Betapa kurangajarnya makhluk yang harus kumuliakan ini. Setiap pukulan lembut harus kusambut dengan sembah terimakasih pula. Keparat! .. Setelah lima kali memukul, benda itu ditariknya, kini tergantung di samping kursi: cambuk kuda tunggangan dari kemaluan sapi jantan dengan tangkai tertutup "kulit pilihan, tipis. "Kau!" tegurnya lemah, parau.
"Sahaya Tuanku Gusti Kanjeng Bupati," kata mulutku, dan seperti mesin tanganku mengangkat sembah yang kesekian kali, dan hatiku menyumpah entah untuk ke berapa kali.
"Kau! Mengapa baru datang "" suaranya makin jelas keluar dari tenggorokan yang sedang pada akhir selesma.
Rasanya aku pernah dengar suara itu. Pileknya juga yang menghalangi untuk dapat mengingat dengan baik. Tidak, tidak mungkin dia! Tak mungkin! Tidak! Dan aku tetap masih tidak mengerti duduk-perkara. Maka aku diam saja.
"Kanjeng Gubermen tak percuma punya dinas pos mampu menyampaikan suratku dengan tepat pada alamat yang tepat dan selamat padamu...."
Benar, suara dia. Tidak mungkin! Tak ada syarat untuk itu. Tidak mungkin: aku hanya mengandai.
"Mengapa diam saja" Karena sudah tinggi sekolahmu sekarang merasa hina membaca suratku ""
Benar, suara dia! Aku angkat sembah sekali lagi, sengaja sedikit mendongak dan melepas mata. Ya Allah, memang benar dia.
"Ayahanda!" pekikku, "ampuni sahaya." "Jawab! Kau merasa hina membalas suratku ""
"Beribu ampun, Ayahanda, tidak." "Surat Bundamu, mehgapa tak juga kau balas . "Ayahanda, beribu ampun."
"Dan surat abangmu....."
"Ampun, Ayahanda, beribu ampun, sahaya kebetulan tidak di tempat, tidak di alamat, ampun, beribu ampun.
"Jadi untuk dapat menipu kau disekolahkan sampai setinggi pohon kelapa itu "" "Beribu ampun, Ayahanda."
"Kau kira semua orang ini buta, tak tahu sesuatu pada tanggal berapa kau pindah ke Wonokromo " Dan kau bawa serta surat-surat itu tanpa kau baca " ...
Cambuk kuda tunggangan dari kemaluan sapi itu berayun-ayun. Bulu ronaku mulai merinding menunggu jatuhnya pada tubuhku. sebagai kuda binal. "Apa masih perlu dihinakan kau di depan umum dengan cambuk ini * "Hinalah' sahaya ini terkena cambuk kuda di depan umum," jawabku nekad, tak tahan pada aniaya semacam mi. Tapi kehormatan juga bila perintah itu datang dan .feorang ayah te-rusku lebih nekad lagi. Dan aku akan bersikap seperu Mama terhadap Robert, Herman Mellema, Sastrotomo dan istrinya.
"Buaya!" desisnya geram. "Kukeluarkan kau dan E.L.S. di T dulu juga karena perkara yang sama. Semuda itu! Makin tinggi sekolah makin jadi buaya bangkong! Bosan main-main dengan gadis-gadis sebaya sekarang mengeram di sarang nyai. Mau jadi apa kau ini "" _
Aku terdiam. Hanya hati meraung: jadi kau sudah menghina aku, darah raja! suami ibuku! Baik, aku takkan menjawab. Teruskan, ayoh, teruskan, darah raja-raja Jawa! Kemarin kau masih mantri pengairan. Sekarang mendadak jadi bupati, raja kecil. Lecutkan cambukmu, raja, kau yang tak tahu bagaimana ilmu dan pengetahuan telah membuka babak baru di bumi manusia ini!
"Ditimang Nenendamu jadi bupati, ditimang dihormati semua orang..... anak terpandai dalam keluarga..... terpandai di seluruh kota..... ya Tuhan, bakal apa jadinya anak ini!"
Baik, ayo teruskan, raja kecil!
"Satu-satunya pengampunan hanya karena kau naik kias." Sampai ke kias sebelas pun aku bisa naik! raungku pesakitan. Ayoh, lepaskan semua kebodohanmu, raja kecil.
"Apa tidak kau pikirkan bahaya mengerami nyai " Kalau tuahnya jadi matagelap dan kau ditembak mati, mungkin dihajar dengan parang, atau pedang, atau pisau dapur, atau dice-k,k..... bagaimana akan jadinya " Koran-koran itu akan mengumumkan siapa kau, siapa orangtuamu. Malu apa bakal kau timpakan pada orangtuamu " Kalau kau tak pernah berpikir sampai ke situ...."
Seperti Mama aku siap meninggalkan semua keluarga ini, raungku lebih keras, keluarga yang hanya membebani dengan tali pengikat yang memperbudak! Ayoh, teruskan, teruskan, darah raja-raja Jawa! Teruskan! Aku pun bisa meledak. "Apa tidak kau baca di koran-koran, besok malam ini ayahmu akan mengadakan pesta pengangkatan jadi bupati " Bupati B. " Tuan Assisten Residen B., Tuan Residen Surabaya, Tuan Kontrolir dan semua bupati tetangga akan hadir. Apa mungkin seorang siswa H.B.S. tidak membaca koran " Kalau tidak, apa mungkin tak ada orang lain memberitakan " Nyaimu itu, apa dia tidak bisa membacakan untukmu "" Memang berita mutasi tidak pernah menarik perhatianku: pengangkatan, pemecatan, perpindahan, pensiun. Tak ada urusan! Kepriyayian bukan duniaku. Peduli apa iblis diangkat jadi mantri cacar atau diberhentikan tanpa hormat karena kecurangan " Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dengan persoalannya.
"Dengar, kau, anak mursal!" perintahnya sebagai pembesar baru yang lagi naik semangat. "Kau sudah jadi linglung mengurusi nyai orang lain. Lupa pada orangtua, lupa pada kewajiban sebagai anak. Barangkali kau memang sudah ingin beristri. Baik, lain kali dibicarakan. Sekarang ada soal lain. Perhatikan. Besok malam kau bertindak sebagai penterjemah. Jangan bikin malu aku dan keluarga di depan umum, di depan Residen, Assisten Residen, Kontrolir dan para bupati tetangga." "Sahaya, Ayahanda."
"Kau sanggup jadi penterjemah "" "Sanggup, Ayahanda."
"Nah, begitu, sekali-sekali melegakan hati orangtua. Aku sudah kuatir Tuan Kontrolir yang akan melakukan tugas ini. Coba, bagaimana kalau dalam resepsi pengangkatan ada anak lelaki tidak hadir dalam kesaksian para pembesar " Kapan kau harus mulai dikenal oleh para beliau " Ini kesempatan terbaik bagimu. Sayang kau begitu mursal. Barangkali tidak mengerti bagaimana orangtua merintis jalan pangkat untukmu. Kau, anak lelaki, di-mashurkan terpandai dalam keluarga. Atau barangkali kau sudah lebih berat pada nyai daripada pangkat ""
"Sahaya, Ayahanda."
"Biar terang jalanmu ke arah jabatan tinggi." "Sahaya, Ayahanda."
"Sana, pergi menghadap Bundamu. Kau memang sudah tidak bermaksud pulang. Memalukan, sampai-sampai harus minta tolong Tuan Assisten Residen. Senang, kan, ditangkap seperti maling kesiangan " Tak ada perasaan malu barang sedikit. Bersujud pada Bundamu sendiri pun sudah bertekad melupakan. Putuskan hubungan dengan nyai tak tahu di untung itu!"
Tentu aku tak menjawab. Hanya menyembah. Selanjutnya: jalan setengah kaki dengan bantuan tangan merangkak membawa beban kedongkolan di punggung seperti kerang. Tujuan: tempat di mana sepatu dan kauskaki kulepas, tempat di mana pengalaman terkutuk ini kumulai. Tak ada Pribumi bersepatu di lingkungan gedung bupati. Dengan sepatu di tangan aku berjalan di samping pendopo, masuk ke pelataran dalam. Lentera-lentera suram menunjukkan jalan ke arah dapur. Kurebahkan badan di kursi malas bobrok, tak mengindahkan barang bawaan. Seseorang datang menjenguk. Aku pura-pura tak tahu. Secangkir kopi hitam disugukan. Kuteguk habis.
Kalau bukan karena kedatangan abang, mungkin aku sudah tertidur di tempat. Dengan menarik airmuka sengit ia bicara Belanda padaku:
"Rupanya kesopanan pun sudah kau lupakan maka tak segera sujud pada Bunda " Aku bangun dan mengiringkannya, seorang siswa S.I.B.A.*, seorang calon ambtenar Hindia Belanda. Ia terus juga menggerutu seakan sedang jadi pengawal langit jangan sampai merobohi bumi. Karena Belandanya terbatas ia lanjutkan mengatai aku dalam Jawa sebagai anak tak tahu adat. Tentu aku tak menanggapi. Kami memasuki gedung bupati, melewati beberapa pintu kamar. Akhirnya di depan sebuah pintu ia berkata:
"Masuk situ kau!"
Pintu kuketuk pelan. Aku tak tahu kamar siapa, membukanya dan masuk. Bunda sedang duduk bersisir di depan cermin.
Sebuah lampu minyak berkaki tinggi berdiri di atas sebuah kenap di sampingnya. "Bunda, ampuni sahaya," kataku mengembik, bersujud di hadapannya dan mencium lututnya. Tak tahulah aku mengapa tiba-tiba hati diserang rindu begini pada Bunda. "Jadi kau pulang juga akhirnya, Gus. Syukur kau selamat begini," diangkatnya daguku, dipandanginya aku seperti seorang bocah empat tahun. Dan suaranya yane lunak W nyayang, membikin aku jadi terharu. Mataku sebak berkaca kaca. Inilah Bundaku yang dulu juga, Bundaku sendiri
"Inilah putra Bunda yang nakal," sembahku parau
"Kau sudah jantan. Kumismu sudah mulai melembayane Kata orang kau sedang menyenangi seorang nyai kaya dan cantik," dan sebelum sempat membantah ia telah meneruskan "Terserah padamu kalau memang kau suka dan dia suka. Kau sudah besar. Tentu kau berani memikul akibat dan tanggungia-wabnya, tidak lari seperti kriminil." Ia menghela nafas dan membelai pipiku seperti bayi. "Gus, kabarnya sekolahmu maju. Syukur. Kadang heran juga aku bagaimana mungkin sekolahmu maju kalau kau sedang kalap dengan nyai itu. Atau mungkin kau ini memang sangat pandai " Ya-ya, begitulah lelaki," suaranya terdengar murung, "semua lelaki memang kucing berlagak kelinci. Sebagai kelinci dimakannya semua daun, sebagai kucing dimakannya semua daging. Baiklah, Gus, sekolahmu maju, tetaplah maju." Lihat. Bunda tak menyalahkan aku. Tak ada yang perlu ku-bantah memang. "Lelaki, Gus, soalnya makan, entah daun entah daging. Asal kau mengerti, Gus, semakin tinggi sekolah bukan berarti semakin menghabiskan makanan orang lain. Harus semakin mengenal batas. Kan itu tidak terlalu sulit difahami " Kalau orang tak tahu batas, Tuhan akan memaksanya tahu dengan caraNya sendiri." "' -- Ah, Bunda, betapa banyak kata-kata mutiara telah dipatenkan dalam diriku. "Kau masih diam saja, Gus. Apa akan kau beritakan pada Bunda " Kan tidak sia-sia penungguanku ""
"Tahun depan sahaya akan tammat, Bunda."
"Syukur, Gus. Orangtua hanya bisa mendoakan. Mengapa kau baru datang " Ayahandamu sudah begitu kuatir, Gus, marah-marah setiap hari karena kau. Mendadak saja Ayahandamu diangkat jadi bupati. Tak ada yang menduga, secepat itu. Kau pun kelak akan sampai setinggi itu. Kau pasti dapat. Ayahanda hanya tahu Jawa, kau tahu Belanda, kau siswa H.B.S. Ayahandamu hanya dari Sekolah Rakyat. Kau punya pergaulan luas dengan Belanda. Ayahandamu tidak. Kau pasti jadi bupati kelak.*
"Tidak, Bunda, sahaya tidak ingin." .
"Tidak " Aneh. Ya, sesuka hatimulah. Jadi kau mau jadi apa " Kalau tamat kau bisa jadi apa saja, tentu.
"Sahaya hanya ingin jadi manusia bebas, tidak diperintah, "Ha " Ada jaman seperti itu, Gus " Aku baru dengar.
Seperti semasa bocah dulu dengan semangat kuceritakan padanya keterangan para guru dari sekolah. Juga sekarang Tentang Juffrouw Magda Peters yang bisa begitu menarik ceritanya:
Revolusi Prancis, maknanya, azasnya.
Bunda hanya tertawa, tak membantah. Juga seperti semasa aku bocah dulu. "Uh, kau begini .kotor, bau keringat. Mandi, jangan lupa dengan air hangat. Hari sudah begini malam. Mengasoh. Besok kau bekerja berat. Sudah tahu kewajibanmu besok ""
Gedung itu belum kukenal. Kumasuki -kamar yang disediakan untukku. Lampu minyak telah menyala di dalam. Nampaknya abang juga di' kamar itu. Ia sedang duduk membaca dibawah lampu duduk.' Aku melintas untuk membenahkan barangbarangku. Dan abang, yang selalu menggunakan haknya sebagai anak yang lahir terdahulu, sama sekali tak mengangkat kepala, seakan aku tak ada di atas duia ini. Apa dia hendak mengesani sebagai siswa yang rajin "
Aku mendeham. Ia tetap tak memberikan sesuatu reaksi.
Aku lirik bacaannya. Bukan huruf cetak: tulisan tangan! Dan aku curiga melihat sampul buku itu. Hanya aku punya buku bersampul indah buatan tangan Jean Marais. Pelan aku berdiri di belakangnya. Tidak salah: buku catatan harianku. Kurebut dia dan meradang:
"Jangan sentuh ini! Siapa kasih kau hak membukanya " Kau! Begini sekolahmu mengajar kau
Ia berdiri, mendelik padaku.
"Memang sudah bukan Jawa lagi." "Apa guna jadi Jawa kalau hanya untuk dilanggar hak-haknya " Tak mengerti kau kiranya, catatan begini sangat pribadi sifatnya " Tak pernah gurumu mengajarkan ethika dan hak-hak perseorangan ""
Abang terdiam, mengawasi aku dengan amarah tanpa daya. "Atau memang begitu macam latihan bagi calon ambtenar " Menggerayangi urusan orang lain dan melanggar hak siapa saja " Apa kau tidak diajar peradaban baru " peradaban modern " Mau jadi raja yang bisa bikin semaa sendiri, seperti raja-raja nenek-moyangmu Kesebalan dan kemarahanku tertumpah-tumpah sudah.
"Dan begitu itu peradaban baru " Menghina " Menghina ambtenar " Kau sendiri bakal jadi ambtenar!" ia membela diri.
"Ambtenar " Orang yang kau hadapi ini tak perlu jadi." "Mari, aku antarkan pada Ayahanda, dan bilang kau sendiri padanya." "Jangankan hanya bilang, dengan atau tanpa kau, kutinggalkan semua keluarga ini pun aku bisa. Dan kau! Menjamah yang jadi hakku minta maaf pun tidak mengerti. Apa kau tak pernah bersekolah " Atau memang tak pernah diajar adab "" "Tutup mulut! Kalau aku tak pernah bersekolah, kau sudah' kusuruh merangkak dan menyembah aku."
"Hanya kepala kerbau bisa berpikir begitu tentang aku. Bu-a huruf!" Dan Bunda masuk, menengahi: -
"Baru bertemu sekali dalam dua tahun...... mengapa mesti ribut seperti anak desa "" "Siapa pun melanggar hak-hak pribadi akan sahaya tentang, Bunda, jangankan hanya seorang abang."
"Bunda, dia sudah mengakui segala kejahatannya dalam buku catatannya. Akan sahaya persembahkan tulisannya pada Ayahanda. Dia ketakutan, lantas mengamuk pada sahaya."
"Kau belum lagi ambtenar yang berhak menjual adikmu untuk sekedar dapat pujian," kata Bunda. "Kau sendiri belum tentu lebih baik dari adikmu."
Aku angkuti barang-barangku.
"Lebih baik sahaya kembali ke Surabaya,, Bunda." "Tidak! Kau besok mendapat pekerjaan dari Ayahandamu." "Dia bisa lakukan itu," kataku dengan pandang terarah pada abangku. "Abangmu bukan dari H.B.S."
"Kalau sahaya diperlukan, mengapa diperlakukan begini "" Bunda memerintahkan abang pindah ke kamar lain. Setelah ia pergi Bunda meneruskan:
"Kau memang sudah bukan Jawa lagi. Dididik Belanda jadi Belanda, Belanda coklat semacam ini. Barangkali kau pun sudah masuk Kristen."
"Ah, Bunda ini. ada-ada saja. Sahaya tetap putra Bunda yang dulu." "Putraku yang dulu bukan pembantah begini."
"Dulu putra Bunda belum lagi tahu buruk-baik. Yang dibantahnya sekarang hanya yang tidak benar, Bunda."
Itu tanda kau bukan Jawa lagi, tak mengindahkan siapa lebih tua, lebih berhak akan kehormatan, siapa yang lebih ..
"Ah, Bunda, jangan hukum sahaya. Sahaya hormati yang labih benar. "Orang 'Jawa sujud berbakti pada yang lebih tua, lebih berkuasa, satu jalan pada penghujung keluhuran , Orang harus berani mengalah. Gus, nyanyian itu mungkin kau sudah tidak tahu lagi barangkali.
Sahaya masih mengingat bunda, kitab-kitab Jawa masih sahaya bacai. Tapi itulah nyanyian keliru dari orang Jawa yang keliru.
Yang berani mengalah tennjak-injak, Bunda. Gus
"Bunda berbelas tahun sudah sahaya bersekolah Belanda untuk dapat' mengetahui semua itu. Patutkah sahaya Bunda hukum setelah tahu.
Kau terlalu banyak bergaul dengan Belanda , "Maka kau karang tak suka bergaul dengan segangsamu bahkan dengan saudara-saudaramu, dengan Ayahandamu pun. Surat-surat tak kau balas. Mungkin kau pun sudah tak suka aku. "Ampun, Bunda," kata-kata itu tajam menyambar Kujatuh kan diri, berlutut di hadapannya dan memeluk kakinya, Jangan katakan seperti itu. Bunda. Jangan hukum sahaya lebih berat dari kesalahan sahaya. Sahaya hanya mengetahui yang orang Jawa tidak mengetahui, karena pengetahuan itu milik bangsa Eropa, dan karena memang sahaya belajar dan mereka. Ia jewer kupingku, kemudian berlutut, berbisik: "Bunda tak hukum kau. Kau sudah temukan jalanmu sendiri. Bunda takkan halangi, juga takkan panggil kembali. Tempun-lah jalan yang kau anggap terbaik. Hanya jangan sakiti orangtuamu, dan orang yang kau anggap tak tahu segala sesuatu yang kau tahu."
"Sahaya tidak pernah berniat menyakiti siapa pun, Bunda.
"Ah, Gus, begini mungkin kodrat perempuan. Dia mende-ritakan sakit waktu melahirkan, menderita sakit lagi karena tingkahnya."
"Bunda, ampun, kesakitan karena tingkah sahaya hanya kemewahan berlebihan. Kan Bunda selalu berpesan agar sahaya belajar baik-baik " Telah sahaya lakukan sepenuh bisa. Sekarang Bunda menyesali sahaya.
Dan seakan aku masih bocah kecil dulu Bunda membelai-belai rambut dan pipiku. "Pada waktu aku hamilkan kau, aku bermimpi seorang tak kukenal telah datang memberikan sebilah belati. Sejak itu aku tahu, Gus, anak dalam kandungan itu bersenjata tajam. Berhati-hati menggunakannya. Jangan sampai terkena dirimu sendiri....."
*** Sejak pagihari orang telah sibuk menyiapkan tempat untuk resepsi pengangkatan Ayahanda. Penari-penari tercantik dan terbaik seluruh kebupatian kabarnya telah disewa untuk keperluan itu. Ayahanda telah mendatangkan gamelan terbaik dari perunggu tulen dari kota T., gamelan Nenenda, yang selalu terbungkus beledu merah bila tak ditabuh. Setiap tahun bukan hanya dilaras kembali, juga dimandikan dengan air bunga.
Bersamaan dengan gamelan datang juga jurularas. Ayahanda menghendaki bukan saja gamelannya, juga larasnya harus murni Jawa-Timur. Maka sejak pagi pendopo telah bising dengan bunyi orang mengikir dalam melaras.
Pekerjaan administrasi kantor kebupatian B. berhenti seluruhnya. Semua membantu Tuan Niccolo Moreno, seorang dekorator kenamaan yang didatangkan dari Surabaya. Ia membawa serta kotak besar alat-alat hias yang selama itu tak pernah kukenal. Dan pada waktu itu juga baru aku tahu: memajang adalah satu keahlian. Tuan Niccolo Moreno datang atas saran Tuan Assisten Residen B., dibenarkan dan ditanggung oleh Tuan Residen Surabaya.
Pagi itu juga aku harus menemuinya. Dengan tangannya sendiri ia ukur tubuhku, seperti hendak membikinkan pakaian untukku. Setelah itu dibiarkannya aku pergi. Pendopo itu telah dirubahnya menjadi arena dengan titik berat pada potret besar Sri Ratu Wilhelmina, dara cantik yang pernah aku impikan dibawa dari Surabaya, dilukis oleh seorang dengan nama Jerman: Hiissenfeld. Aku masih tetap mengagumi kecantikannya.
Bendera Triwarna dipasang di mana-mana, tunggal atau dua bersilang. Juga Triwarna pita panjang berjuluran dari potret Sri Ratu ke seluruh pendopo, dan bakalnya meraih para hadirin dengan kewibawaannya. Tiang-tiang pendopo dicat dengan cat tepung yang baru kuperhatikan waktu itu pula, dan dapat kering dalam hanya dua jam. Daun beringin dan janur kuning dalam keserasian warna tradisi mengubah dinding dan tiang-tiang yang kering-kerontang menjadi sejuk dan memaksa orang untuk menikmati dengan pengelihatannya. Maka mata pun diayunkan oleh permainan warna bunga-bungaan kuning, biru, merah, putih dan ungu indah meresap bunga-bungaan yang dalam kehidupan sehari-hari berpisahan dan dengan diam-diam berjengukan pada Pagar.
Malam kebesaran dalam hidup Ayahanda tiba juga. Game-lan sudah lama mendayudayu pelahan. Tuan Niccolo Moreno Sbuk dalam kamarku: merias aku! Siapa pernah sangka aku yang sudah dewasa ini pula! seakan aku dara akan naik ke puadai pengantin " Selama merias tak hentinya ia bicara dalam Belanda yang kedengaran aneh, datar, seperti keluar dari rongga mulut Pribumi. Jelas ia bukan Belanda. Menurut ceritanya: ia sering. merias para bupati, termasuk ayahku sekarang ini, para raja di Jawa dan sultan di Sumatra dan Borneo. Ia telah banyak membikin rencana pakaian mereka, dan masih tetap dipergunakan sampai sekarang. Katanya pula: pakaian pasukan pengawal para raja di Jawa ia juga yang merencanakan. Diam-diam aku mendengarkan, tidak mengiakan juga tidak membantah, sekali pun tak percaya sepenuhnya.
Ia telah kenakan padaku kemeja-dada berenda, kaku, seperti terbuat dari selembar kulit penyu. Tak mungkin rasanya mem-bongkok dengan kemeja-dada ini. Gombaknya yang kaku seperti kulit sapi juga membikin leher segan untuk maksudnya supaya badan tetap tegap, tidak sering menoleh, pandang lurus seperti gentlemen sejati. Kemudian ta kenakan padaku kain batik dengan ikat pinggang perak. Gaya pengenaan kain itu diatur sedemikian rupa sehingga muncul watak kejawa-timuran-nya yang gagah. Itu yang kiranya dikehendaki Ayah. Aku tetap manda seperti anak dara. Sebuah blangkon, dengan gaya perpaduan antara Jawa-Timur dan Madura, sama sekali baru, kreasi Niccolo Moreno sendiri, terpasang pada kepalaku. Menyusul sebilah keris bertatahkan permata. Kemudian baju lasting hitam berbentuk jas pendek dengan cowak pada bagian punggung, sehingga keindahan keris bisa dikagumi semua orang. Dasi kupu-kupu hitam membikin leherku, yang biasa giat mengantarkan mataku mencari sasaran, serasa hendak dijerat hiduphidup. Keringat panas mulai membasahi punggung dan dada.
Pada cermin kutemui diriku seperti satria pemenang dalam cerita Panji. Di bawah bajuku menjulur selembar kain beledu tersulam benang mas.
Jelas aku keturunan satria Jawa maka sendiri seorang satria Jawa juga. Hanya mengapa justru bukan orang Jawa yang membikin aku jadi begini gagah " dan ganteng " Mengapa orang Eropa " Mungkin Italia " mungkin tak pernah mengenakannya sendiri " Sudah sejak Amangkurat I pakaian raja-raja Jawa dibikin dan direncanakan oleh orang Eropa, kata Tuan Moreno, maaf, Tuan hanya punya selimut sebelum kami datang. Pada bagian bawah, bagian atas, kepala, hanya selimut! Sungguh menyakitkan. .....
Apa pun ceritanya; benar atau tidak, pada cermin itu muncul kegagahan dan kegantenganku. Mungkin nanti orang akan mengatakan : dandananku Jawa tulen, melupakan semua unsur Eropa pada kemeja-dada, gombak, dasi, malah lupa pada lasting dan beledu yang semua bikinan Inggris.
Pakaian dan permunculanku sekarang ini aku anggap produk bumi manusia akhir abad sembilanbelas, kelahiran jaman modern. Dan terasa benar olehku: Jawa dan manusianya hanya sebuah pojokan tidak terlalu penting dalam keseluruhan bumi manusia. Twente telah menenunkan untuk orang Jawa, juga memilihkan bahannya. Tenunan desa tinggal dipakai orang desa. Hanya yang membatik tinggal orang Jawa. Dan tubuhku yang sebatang ini tetap asli!
Tuan Moreno pergi. Dan aku duduk. Waktu aku sadari bunyi gamelan Jawa-Timur, yang mengayunkan suasana malam itu, aku terbangun dari renungan, berkaca lagi dan tersenyum puas sangat puas.
Menurut aturan aku jadi pengiring Ayahanda dan Bunda waktu memasuki sidang resepsi. Abang akan jadi pembuka jalan, sedang saudari-saudariku tak mendapatkan sesuatu tugas di depan umum. Mereka sibuk di belakang.
Tamu telah pada berdatangan. Ayahanda dan Ibunda keluar. Abang di depan, aku di belakang mereka. Begitu memasuki ruang resepsi di pendopo, datang Tuan Assisten Residen B., karena begitu menurut acara.
Semua berdiri menghormat. Tuan Assisten Residen berjalan langsung mendapatkan Ayahanda, memberi tabik, kemudian membungkuk pada Bunda, menyalami abang dan aku. Baru setelah itu duduk di samping Ayahanda. Gamelan memainkan Kebo Giro, lagu selamat datang, menggebu-gebu memenuhi ruangan resepsi dan hati. Dan pendopo telah penuh dengan hadirin dengan wajah dipancari sinar kesukaan dan sinar-lampu gas. Di belakang mereka di pelataran sana, duduk berbanjar para lurah dan punggawa desa, di atas tikar.
Protokol, Patih B., mulai membuka acara. Gamelan padam "setellah ragu sebentar, seperti .ditekan tenaga gaib.
Lagu kebangsaan Belanda, Wilhelmus, dinyanyikan. Orang berdiri Sangat sedikit yang ikut menyanyi. Sebagian terbesar memang tidak bisa. Pribumi hanya seorangdua. Yang lain-lain berdiri terlongok-longok, mungkin sedang menyumpahi melodi yang asing dan mengganggu perasaan itu.
Tuan Assisten Residen B. sebagai wakil Tuan Residen Surabaya mulai angkat bicara. Tuan Kontrolir Willem Emde tampil untuk menjawakan. Tuan Assisten Residen menggeleng dan melambaikan tangan menolak. Aku yang ditunjuknya sebagai penterjemah. .
Sejenak aku gugup, tapi secepat kilat kudapatkan kepribadianku kembali. Tidak, mereka takkan lebih dari kau sendiri! Dan suara itu memberanikan diri. Lakukan tugas ini sebagaimana kau selesaikan ujianmu.
Aku tampil, lupa pada bungkuk dan apurancang dalam adat Jawa. Rasanya diri sedang berada di depan kias. Ke mana saja pandang kulayangkan pasang mata para bupati juga yang tertumbuk olehku. Mungkin mereka sedang mengagumi satria Panji berpakaian setengah Jawa setengah Eropa ini. Mungkin juga sedang memanjakan antipatinya karena kurangnya kehormatan dari diriku untuk mereka. Tuan Assisten Residen selesai berpidato. Aku pun selesai menjawakan. Ia menyalami Ayahanda. Dan sekarang giliran A-yahanda yang angkat bicara. Ia tak tahu Belanda, dan itu masih lebih baik daripada para bupati yang butahuruf. Ia berbasa Jawa dan aku membelandakan. Sekarang dengan lagak Eropa sepenuhnya, tertuju pada Tuan Assisten Residen B. dan hadirin E-ropa. Aku lihat Tuan Assisten Residen mengangguk-angguk mengawasi aku, seakan tidak lain dari diri yang berpidato, atau mungkin juga sedang menikmati sandiwaraku sebagai monyet di tengah kalangan. Pidato Ayahanda selesai dan terjemahan pun habis. Para pembesar memberi salam selamat pada Ayahanda, Bunda, abang dan aku.
Waktu Tuan Assisten Residen menyalami aku ia memerlukan memuji bahasa Belandaku:
"Sangat baik," kemudian dalam Melayu, "Tuan Bupati, berbahagia Tuan berputrakan pemuda ini. Bukan hanya Belandanya, terutama sikapnya." Dan kembali dalam Belanda, "Kau siswa H.B.S.; kan " Bisa besok sore jam lima datang ke rumah kami "" "Dengan senanghati, Tuan."
"Kau akan dijemput dengan kereta."
Salaman ucapan selamat itu tak lama. Lurah-lurah tak layak menyalami bupati. Maka Ayahanda menghemat tangannya dari dari barang seribu dua ratus jabatan para punggawa desa, mereka tinggal duduk di atas tikarnya di pelataran sana, Gamelan kembali menderu riuh. Seorang penari dengan badan berisi seperti terbang memasuki gelanggang, membawa talam berisi sampur. Dengan talam perak itu langsung ia datang pada Tuan Assisten Residen. Dan pembesar putih itu berdiri dari kursinya, mengambil sampur dan menyelendangkan pada bahunya sendiri. Orang bersorak, bertepuk menyetujui. Ia mengangguk pada Ayahanda, minta ijin membuka tayub. Kemudian pada para hadirin. Dengan langkah tanpa ragu, dalam iringan penari itu, ia masuk ke tengah kalangan di bawah sorak berderai. Dan menari ia dengan jari-jari menjempit ujung sampur, btrpacakgulu pada setiap jatuh gung. Di hadapannya penari cantik menarik dengan badan berisi itu menari mengigal. Beberapa menit kemudian seorang penari lain datang berlarian, juga cantik gemilang. Dengan talam perak di tangan seperti terbang ia memasuki gelanggang membawa gelas kristal kecil i berisi minuman keras. Ia mengambil tempat di samping Tuan ! Assisten Residen dan ikut menari.
Pembesar itu berhenti menari, berdiri tegak di hadapan penari baru. Di ambilnya gelas kristal dan meneguk isinya sampai tiga perempat. Yang seperempat sisanya ia sentuhkan pada bibir temannya menari, yang menghabiskannya setelah berusaha menolak sambil menari, kemudian menunduk malu tersipu.
Hadirin bersorak girang. Lurah-lurah dan para punggawa desa berdiri menyumbangkan keriuhan.
"Minum, manis! Minum, hosssss
Penari baru yang cantik rupawan dengan bahu telanjang berkulit langsat padat bersinar itu mengambil gelas dari tangan pembesar itu dan menaruhnya di atas talam kembali.
Tuan Assisten Residen mengangguk senang, bertepuk girang, tertawa. Kemudian ia kembali ke kursinya.
Sekarang penari lain lagi datang mempersembahkan sampur pada Ayahanda. Dan ia menari dengan indahnya. Juga tarian itu kemudian dihentikan oleh minuman keras dari talam penari lain
lagi. Tuan Assisten Residen pulang setelah itu. Para bupati pun pulang seorang demi seorang dibawa oleh kereta kebesaran masing-masing. Para lurah, wedana, mantri polisi, menyerbu pendopo, dan tayub berlangsung sampai pagi dengan seruan hosiii setiap teguk minuman keras Paginya baru aku ketahui ada sebungkus tumpukan pendek uang perak rupiahan di dalam koporku. Bungkus kertas dengan tulisan Annelies: Jangan kau biarkan kami terlalu lama tak mendengar beritamu. Annelies. Uang itu sebanyak lima belas gulden, cukup untuk makan satu keluarga di desa selama sepuluh bulan, bahkan dua puluh bulan bila belanjanya benar dua setengah sen sehari.
Pagi itu juga aku berangkat ke kantorpos. Sepnya, entah siapa namanya, seorang Indo, menjabat tanganku dan menyampaikan pujian untuk Belandaku yang sangat bagus dan tepat dalam resepsi semalam. Semua pegawai kantor kecil itu berhenti bekerja hanya untuk mendengarkan percakapan kami dan untuk mengingat tampangku.
"Kami akan sangat senang dan bangga kalau Tuan sudi bekerja di sini. Tuan siswa H.B.S., bukan ,""
"Aku hanya hendak mengirimkan tilgram," jawabku. "Kan tak ada kabar buruk ""
"Tidak." Sep itu sendiri yang melayani aku mengambilkan formulir. Ia menyilakan duduk pada mejanya, dan aku mulai menulis, kemudian menyerahkan padanya. Kembali ia melayani sendiri.
"Kalau Tuan sempat, boleh kiranya kami mengundang makan "" Rupanya undangan Tuan Assisten Residen telah menjadi berita penting di kota B. Dapat diramalkan semua pejabat akan mengundang, putih dan coklat. Dengan demikian tiba-tiba saja aku berubah jadi seorang pangeran tanpa kerajaan. Hebatnya, siswa H.B.S! kias akhir! di tengah nasyarakat butahuruf ini. Semua bakal memanjakan aku. Kalau assisten residen sudah mulai mengundang, orang sudah tanpa cacad, semua tingkahnya benar, tak ada sesuatu dapat dikatakan menyalahi adat Jawa.
Dugaan itu tak perlu lebih lama ditunggu kenyataannya. Waktu meninggalkan kantor kecil itu pandangku kutebarkan keseluruh ruangan. Semua orang membungkuk menghormat. Mungkin di antara mereka sudah ada yang menaksir akan mengambil diri jadi menantu atau ipar. Coba: siswa H.B.S. Dan benar saja. Sampai di rumah telah datang beberapa pucuk surat berbahasa dan bertulisan Jawa mengundang! Tak seorang pun di antara para pengirim pernah kukenal. Dugaanku tetap: semua mereka mencalonkan diri jadi mertua atau ipar. Coba: anak bupati, dianggap calon bupati, siswa H.B.S., kias akhir. Semuda ini telah diindahkan seorang assisten residen. Tuan Kontrolir pun sudah dikalahkannya! Kota B.! ah, pojokan kelabu bumi manusia. Demi kehormatan orang tua saja waktuku sepagi habis untuk minta maaf dalam surat balasan, tak dapat memenuhi undangan, harus segera kembali ke Surabaya.
Dan pada sorehari itu kereta yang dijanjikan sudah datang menjemput. Aku berpakaian Eropa seperti biasa di Surabaya sekali pun Bunda tidak setuju. Rupanya berita undangan memang sudah menjalari seluruh kota. Orang memerlukan melihat diri menempuh jarak pendek antara gedung kebupatian dengan gedung keresidenan. Wajah-wajah tak kukenal, dalam pakaian Jawa yang necis tanpa alas kaki, membungkuk memberi hormat. Yang bertopi di atas blangkonnya memerlukan mengangkatnya.
Kereta membawa aku langsung ke belakang gedung keresidenan, berhenti di serambi belakang.
Tuan Assisten Residen bangkit berdiri dari kursi kebun, juga dua orang dara di sampingnya. Ia mendahului memberi salam."
"Ini sulungku," ia mengenalkannya, "Sarah. Ini bungsuku, Minam. Dua-duanya lulusan H.B.S. Yang bungsu satu sekolahan dengan kau, sebelum kau masuk tentu. Nah, maafkan, ada pekerjaan mendadak," dan ia pergi.
Begini jadinya sekarang undangan terhormat yang menggemparkan seluruh kota itu. Diperkenalkannya aku pada putri-putri-nya kemudian ia pergi.
Boleh jadi Sarah dan Miriam lebih tua daripadaku. Dan setiap siswa H.B.S tahu benar: senior selalu mencari kesempatan berlagak, jual tampang, mengejek dan menunggingkan si junior.
Hati-hati kau, diri. Lihat, Sarah sudah mulai: "Guru bahasa dan sastra Belanda Miriam itu, Meneer Mahler, apa masih mengajar " si bawel sinting itu ""
"Sudah digantikan Juffrouw Magda Peters," jawabku.
"Tentunya lebih bawel dan cuma pandai tentang istilah dapur," susulnya. "Tahu benar kau dia seorang juffrouw "" tanya Miriam.
"Semua memanggilnya juffrouw." *
Dan Miriam tertawa terkikik. Kemudian juga Sarah. Sungguh aku tak tahu apa yang ditertawakan.
Menjawab membabi-buta: "Aku kira dia bukan hanya mengetahui istilah-istilah dapur. Dia guruku yang terpandai,, paling kusayangi."
Sekarang mereka berdua tertawa cekikikan sambil menutup mulut dengan setangan. Aku agak bingung tak tahu dimana lucunya. Sekilas kulihat lirikan bersinar datang dari kiri dan kananku.
Dapat apa kau dari dia "
Dia panda, menerangkan tentang gaya tahun delapan puluhan dan pintar membandingannya dengan gaya sekarang
Wah wah, seru Sarah, Kalau begitu coba deklamasikan salah lebuah sajak Kloos, biar kami lihat apa benar gurumu memang jagoan.
Dia pandai menerangkan latarbelakang psikologi dan sosial dari karya-karya delapanpuluhan," aku meneruskan membabibuta
Apa yang maksudkan dengan latarbelakang psikologi dan sosial "" Sarah dan Miriam mulai cekikikan lagi.
Sekarang aku sudah mulai jengkel dengan ape gieren, cekikikan mereka. Aku pindah duduk di kursi bekas Tuan Assisten Residen untuk menghindari lirikan mereka. Sekarang aku hadapi mereka. Dan nampaknya mereka gadis Totok mg hncah bukan tidak menarik. Namun seorang junior tak bisa tidak harus selalu waspada terhadap seniornya.
"Sekiranya diperlukan keterangan tentang itu," jawabku sambil menarik tampang penting, "tentu diperlukan literatur dibawah mata." ..
Melihat aku mulai memasuki pojokan mereka semakin cekikikan dan saling melirik. "Masa ya, ada guru bahasa dan sastra Belanda bicara tentang latarbelakang psikologi dan sosial " Kedengaran kembung! Mau jadi apa dia, itu Juffrow Magda Peters " Paling-paling dia mampu mengedepankan pujangga-pujangga Angkatan Delapanpuluh yang menggonggong-gonggong meratapi langitnya yang di-rusak asap pabrik, ladang-ladangnya yang dibisingi lalulintas, kena terjang jalanan dan rel keretapi," Miriam yang lebih agresif itu mulai menyerang. "Kalau mau bicara tentang latarbelakang sosial semestinya dia tak bicara tentang Angkatan cengeng itu. Dia akan bicara tentang Multatuli........ dan Hindia!"
Ya, itu baru "bicara tentang sastra gagan di mana lumpur dapat menumbuhkan teratai."
"Dia bicara juga tentang Multatuli," jawabku tabah. "Mana bisa Multatuli diajarkan di sekolah " yang benar saja. Dalam buku pelajaran tak pernah disebut," Miriam meneruskan serangan.
"Miriam betul," Sarah memperkuat. "Kalau bicara tentang latarbelakang sosial memang Multatuli contoh typikal," kemudian melirik pada adiknya. "Juffrow Magda peters bukan hanya sekedar mengedepan-kannya sebagai contoh typikal. Sampai-sampai ia menyoroti."
"Menyoroti!" seru Sarah tak percaya. "Guru H.B.S. Hindia menyoroti Multatuli! Bisa itu terjadi dalam sepuluh tahun mendatang, Miriam "" dan Miriam menggeleng tak percaya. "Atau mungkin kalian sudah berganti buku pelajaran "" "Tidak."
"Gurumu itu memang kembung. Kau hanya muridnya," Sarah menindas aku. "Tidak."
"Gurumu itu sungguh nekad. Kalau benar, dia bisa celaka/' Miriam mulai bersungguh-sungguh.
"Mengapa ""
"Betapa sederhananya kau ini. Jadi kau tidak tahu. Dan kau perlu dan harus tahu," Miriam .meneruskan. "Karena gurumu itu, kalau benar ceritamu, boleh jadi dia dari golongan liberal."
"Kan golongan liberal baik " Dia membawa kemajuan pada Hindia "" Pada waktu itu aku merasa diri benar-benar pandir.
"Kan baik belum tentu benar, juga belum tentu tepat " Malah bisa salah pada waktu dan tempat yang tidak cocok "" desak Miriam. '
Sarah mendeham. Ia tak bicara.
"Coba, tulisan siapa saja yang dikedepankannya dengan lebih bersemangat "" Mereka semakin menjengkelkan. Dan seorang junior, entah siapa yang mula pertama mengatur, selalu harus tetap hormat.
Jadi: "Karyatamanya tentu," jawabku, "Max Havelaar atau De Koffieveilingen der Nederlandsche Handelmaatschappij*
"Dan siapa Multatuli itu kiramu "" Sekarang Sarah yang menerjang aku. ' "Siapa " Eduard Douwes Dekker."
"Bagus. Juga kau harus tahu Douwes Dekker lain. Itu wajib," Sarah meneruskan terjangannya.
Senior gila ini semakin menjadi. Dan mengapa menerjang aku sambil melirik pada adiknya pula sedang bibir kejang menahan tawa " Mereka sedang bersandiwara mempermainkan budak Pribumi Sungguh kurangajar. Hanya ada seorang Douwes Dekker yang dikenal sejarah.
"Jadi kau tak tahu," Sarah mengejek. Atau ragu ".
Miriam meledak dalam tawa cekikikan, tak terkendali. Baik, persekongkolan setan ini akan aku hadapi. Dan begini kiranya harga undangan terhormat dan menggemparkan dari Tuan Assisten Residen. Baik, karena tidak tahu aku jawab sewajar mungkin.
Hanyak Eduard Douwes Dekker dengan nama-pena Multa-tuli yang kukenal. Kalau ada Douwes Dekker lain sungguh aku tidak tahu."
"Memang ada," Sarah lagi yang meneruskan. Miriam menenggelamkan muka dalam setangan sutra. Lebih penting Siapa dia " Jangan bingung, jangan pucat," ia meledek. Sebenarnya kau tahu, hanya pura-pura tidak tahu. "Benar tidak tahu," jawabku resah.
"Kalau begitu gurumu Juffrouw Magda Peters, yang kau agungkan itu, kurang beres pengetahuan umumnya. Dengarkan, dan ingat-ingat jangan sampai memalukan senior. Jangan sampai lupa. Douwes Dekker yang lain itu, yang lebih penting dan Multatuli, adalah seorang pemuda......"
"Sekarang ini masih pemuda ""
"Tentu saja masih pemuda. Dia sedang belayar. Mungkin juga sudah berada di Afrika Selatan, ikut berperang melawan Inggris di pihak Belanda. Pernah dengar "" "Tidak. Apa saja karyanya "" tanyaku nendahhati. "Dia masih pemuda. Tentu dapat dimaafkan kalau belum punya karya," jawab Sarah, kemudian juga cekikikan. "Jadi apanya yang harus dikenal "" protesku. "Kan orang dikenal karena karyanya "" sekarang aku mulai sempat membela diri. "Ratusan juta orang di atas bumi ini tidak berkarya yang membikin mereka dikenal, maka tidak dikenal."
"Sebetulnya dia punya banyak karya juga. Hanya saja yang membacanya cuma seorang. Inilah dia pembacanya yang paling setia: Miriam de la Croix. Dia pacarnya, mengerti ""
Kurangajar! sumpahku dalam hati. Apa urusanku dengan dia " kalau hanya pacar Miriam " Dua orang noni ini pun takkan tahu siapa Annelies Helema. Berani bertaruh!
"Ayoh, Mir, bercerita kau tentang pacarmu," desak Sarah berkobar-kobar. "Tidak. Tak ada urusan dengan tamu kita. Baik kita bicara soal lain," tolak Miriam. "Kau Pribumi tulen, kan Minke , Aku diam tak menjawab, merasa pintu penghinaan mulai dibuka tanpa ketukan. "Seorang Pribumi yang mendapat didikan Eropa Bagus. Dan sudah begitu banyak kau ketahui tentang Eropa Mungkin kau tak tahu banyak tentang negerimu sendiri Barangkali. Bukan " Aku tak salah, kan "" Penghinaan itu sekarang sedang berlangsung, pikirku.
"Nenek-moyangmu," Miriam de la Croix meneruskan, "Maaf, bukan maksudku hendak menghina, turunan demi turunan percaya, petir adalah ledakan dari sang malaikat yang berusaha menangkap iblis. Begitu, kan " Mengapa diam saja " Malu kau pada kepercayaan nenek-moyang sendiri ""


Bumi Manusia Karya Pramoedya Ananta Toer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sarah de la Crofx berhenti tertawa. Ia menarik wajah serius, mengamati aku seperti pada binatang ajaib.
"Tidak perlu nenek-moyangku," tolakku, "nenek-moyang Eropa dan Belanda jaman purba tidak akan kurang dungu daripada nenek-moyangku."
"Nah," Sarah menengahi. "Sudah kuperkirakan juga. Kalian akan bertengkar juga tentang nenek-moyang itu."
"Ya, kita ini seperti sapi, Minke," Miriam meneruskan. "Berkelahi pada pertemuan pertama, bersahabat kemudian, barangkali untuk selamanya. Begitu, kan "" Gadis lincah! Kecurigaanku mereda.
"Nenek-moyangku mungkin lebih dungu daripada nen^k-moyangmu, Minke. Waktu nenek-moyangmu sudah bisa bikin sawah dan irigasi, leluhurku masih tinggal dalam gua. Tapi bukan itu yang hendak kita bicarakan. Begini, di sekolah kau diajar: petir hanya perbenturan awan positif dengan negatif. Malah Benjamin Franklin bisa membikin penangkal petir. Begitu, kan " Sedang leluhurmu punya dongengan indah sejauh yang pernah kudengar ceritanya tentang Ki Ageng Sela yang dapat menangkap sang petir, kemudian menyekapnya dalam kurungan ayam." Sarah meledak dalam tawa bebas. Miriam semakin jadi ber-sungguh, mengawasi wajahku dalam rembang senja itu untuk dapat melontarkan teka-tekinya: "Aku percaya pikiranmu dapat menerima pelajaran tentang awan positif dan negatif itu. Soalnya, kau membutuhkan angka untuk dapat lulus. Terusrterang saja, percaya kau pada kebenaran pelajaran itu ""
Tahulah aku sekarang: ia sedang menguji pedalamanku. Ya, betul-betul ujian. Terusterang saja, aku tak pernah bertanya tentang ini pada diri sendiri. Rasanya semua sudah berjalan baik dan dengan sendirinya.
Sekarang Sarah ikut menimbrung:
"Tentu saja aku yakin kau mengetahui dan menguasai pelajaran ilmu alam itu. Soalnya sekarang: kau percaya-tidak "Aku harus percaya/' jawabku. "Harus percaya hanya agar lulus ujian. Harus! Jadi kau belum percaya." "Guruku, Juffrow Magda Peters ........'
"Lagi-lagi Magda Peters," potong Sarah. "Dia guruku. Menurut dia: semua datang dan pelajaran, jawabku, "dan latihan. Juga kepercayaan datang dari situ. Kan kau tidak mungkin percaya Jesus Kristus tanpa pelajaran dan latihan percaya "" "Ya-ya, barangkah benar juga gurumu itu, Sarah bimbang.
Miriam sebaliknya mertgawasi aku seperti sedang menonton potret kekasih. . Aku merasa agak lega setelah mulai menangkis serangan.
"Tahun ini kita mulai mengenal kata baru: modern. Tahu kau apa artinya "" Miriam yang agresif memulai lagi, meninggalkan soal petir. "Tahu. Hanya dari keterangan Juffrow Magda Peters.
"Rupanya kau tak punya guru lain," sela Sarah.
"Apa boleh buat. Dia yang bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan kalian." . "Jadi apa arti modern menurut gurumu yang jagoan itu !
Miriam menetak. "Tak ada kata itu dalam kamus. Hanya menurut guruku yang jagoan itu adalah nama untuk semangat, sikap, pandangan, yang mengutamakan syarat keilmuan, estetika dan effisiensi. Keterangan lain aku tak tahu. Dia berasal dari kelompok skisma dalam Gereja Katholiek yang dikucilkan oleh Sri Paus. Barangkali ada keterangan lain "" tanyaku akhirnya.
Sarah dan Miriam berpandang-pandangan. Aku tak dapat melihat jelas muka mereka. Senja sudah datang sekali pun sangat lambat rasanya. Dan mereka sekarang hanya diam-diam berpandang-pandangan, malah mulai sibuk membinasakan nyamuk yang meramahi kulit.
"Nyamuk ini," Sarah menggerutu, "diri ini dianggapnya restoran saja." Sekarang aku yang meledak dalam tawa.
"Ah, kita sampai lupa minum," kata Sarah. "Silahkan."
Ketegangan semakin kendor juga. Nafas panjang mulai dapat kuhela. Dan teringat aku pada jongos berbaju dan bercelana putih tadi menyusun gelas dan kue di atas meja kebun kami,
Untuk pertama kali aku menyenyumi diri sendiri. Bukan hanya karena kendornya ketegangan, juga karena aku tahu mereka tik lebih tahu dan diriku sendiri. "Tahu kau siapa Doktor Snouck Hurgronje sekali lagi Miriam menerjang. Kalau sekarang ini Tuan Assisten Residen datang berakhirlah aniaya ini. Di mana kau juruselamatku " Mengapa kau tak kunjung muncul " Dan anak-anakmu ini tak kurang galak dari nyamuk senja " Apa memang kau sengaja mengundang aku untuk digulung oleh anak-anakmu, seniorku " Pikiran itu mendadak membikin aku mengerti: Tuan Assisten Residen memang serahkan kepada dua orang putrinya untuk diuji. Kira-kira dia mempunyai maksud tertentu.
"Bagaimana sekarang sekiranya aku yang ganti bertanya "" Sarah dan Miriam tertawa tak terkendali.
"Nanti dulu," tegah Miriam. "Jawab dulu. Juffrow kesayanganmu memang hebat. Kau sendiri murid yang tidak kurang hebat. Pantas kau sayang padanya. Mungkin aku pun akan sayang padanya. Sekarang, barangkali pertanyaan terakhir, juga barangkali guru kesayangan itu sudah banyak omong."
"Sayang tidak," jawabku pendek. "Cobalah terangkan."
Rupanya sudah lama ia menunggu kesempatan untuk tampil jadi guru. Dengan tangkasnya ia bercerita:
Dia seorang sarjana yang berlian: berani berpikir, berani bertindak, berani mempertaruhkan diri sendiri untuk kemajuan pengetahuan, termasuk penyaran penting dalam menentukan Perang Aceh untuk kemenangan Belanda. Sayang sekarang dia terlibat dalam pertengkaran dengan Van Heutsz. Pertikaian tentang Aceh. Apa arti pertikaian itu " Tak ada, kata Miriam. Yang terpenting, ia telah membikin satu percobaan mahal dengan tiga orang pemuda Pribumi. Maksud: hanya untuk mengetahui, apa benar Pribumi bisa menghayati dan dihayati ilmupengetahuan Eropa. Setiap minggu ia memerlukan menginterpiu mereka untuk dapat mengetahui perubahan pedalamannya sebagai siswa sekolah Eropa, dan kemampuan mereka menyerapnya. Apa ilmu pengetahuan dari sekolahhanya selaput upis Kering yang mudah tanggal atau benar-benar berakar. Sarjana itu belum dapat mengambil kesimpulan.
Kembali aku yang sekarang tertawa. Dua noni di depanku mi sedang memonyetkan sang sarjana. Dan aku sebagai kelinci yang dapat ditangkapnya dari pinggir jalan. Eilok! Haibat! Tapi karena ini mungkin perintah ayahnya, yang belum tentu bermaksud jahat, kukfndalikan keinginanku untuk membikin serangan pembalasan. Aku dengarkan terus cerita junior, bukan juga sebagai murid sebagai seorang pengamat. Suasana hening tenang. Sarah tak ikut bicara. Kemudian: "Pernah kau dengar tentang teori assosiasi "" "Juffrouw Miriam, kaulah sekarang guruku, jawabku mengelak, Bukaan, bukan guru," tiba-tiba ia jadi rendahhati."Sudah pada galibnya ada pertukaran pikiran antara kaum terpelajar. Begitu, kan " Jadi belum pernah dengar tentangnya "
"Belum." "Baik. Teori itu berasal dari sarjana itu. Teori baru. Dia punya pikiran, kalau percobaannya berhasil, Pemerintah Hindia Belanda bisa mulai mempraktekkannya. Begitu, kan, Sarah " "Teruskan sendiri," Sarah mengelak.
"Yang dimaksudkan dengan assosiasi adalah kerjasama berdasarkan serba Eropa antara para pembesar Eropa dengan kaum terpelajar Pribumi. Kalian yang sudah maju diajak memerintah negeri ini bersama-sama. Jadi tanggung-jawab tidak dibebankan pada bangsa kulit putih saja. Dengan demikian tak perlu lagi ada jabatan kontrolir, penghubung antara pemerintahan Eropa dengan pemerintahan Pribumi. Bupati bisa langsung berhubungan dengan pemerintahan putih. Kau mengerti "" "Teruskan," kataku.
"Bagaimana pendapatmu"
"Sederhana saja," jawabku. "Orang Pribumi seperti aku ini membaca apa yang kalian tidak baca: kitab Babad Tanah Jawi. Memang membaca dan menulis Jawa mata pelajaran tambahan dalam keluarga kami. Lihat, dalam mata pelajaran E.L.S. sampai H.B.S. kita diajar mengagumi kehebatan balatentara Kompeni dalam menundukkan kami, Pribumi."
"Balatentara Kompeni memang hebat. Itu kenyataan," Miriam membela bangsanya. "Ya, kenyataan memang. Tahu, kau, dalam banyak babad tulisan Pribumi, Pribumi telah bertahan selama berabad terhadap kalian""
"Dan kalah terus "" terjang Miriam. "Ya, kalah terus memang, tiba-tiba hilang keberanianku untuk meneruskan kata-kataku. Yang keluar justru pertanyaan: "Mengapa teori itu tidak lahir dan dilaksanakan tiga ratus tahun yang lalu " Pada waktu Pribumi tidak ada yang akan berkeberatan kalau bangsa Eropa ikut memikul tanggung-jawab bersama Pribumi ".
"Aku kurangi memahami maksudmu," sela Sarah "Maksudku, itu sarjana hebat Doktor..... siapa pula namanya " sudah ketinggalan tiga ratus tahun daripada Pribumi pada jamannya," jawabku melagak.
Dan dengan itu aku minta diri, meninggalkan dua orang noni senior yang menjengkelkan itu.
8. AYAH DAN BUNDA SANGAT BANGGA AKU mendapat undangan dari Tuan Assisten Residen Herbert de la Croix.
Di rumah masih berdatangan undangan dari para pembesar Pribumi setempat. Kedua orangtuaku lebih baik tak tahu bagaimana putra kebanggaan ini diplonco. Setengah mati kutolak desakan mereka untuk menceritakan. Malah aku nyatakan akan segera balik ke Surabaya.
Undangan-undangan membikin aku sibuk membalas.
Ayahanda tak lagi gusar padaku. Undangan dari Tuan Assisten Residen membikin semua dosaku dengan sendirinya terampuni.
Telah kukirimkan tilgram lagi ke Wonokromo, mengabarican hari dan jam kembaliku ke Surabaya mendatang, dan agar dijemput dengan kereta.
Ayahanda dan Bunda tak dapat dan mungkin juga merasa tak layak menahan keberangkatanku. Persoalan Nyai Ontosoroh tak pernah digugat lagi. Seorang yang telah mendapat undangan dari Tuan Assisten Residen dengan sendirinya memiliki kekebalan, tak mungkin bersalah, bahkan jabatan tinggi dan penting yang sudah terpampang di ambang pintu kehidupannya. Mereka hanya berpesan agar aku minta diri dari pembesar Eropa itu.
Aku segan tapi berangkat juga. Sekali lagi aku mesti bertemu dengan Sarah dan Miriam de la Croix. Ternyata di dekat ayahnya mereka tidak agresif malah tertib dan sopan.
"Direktur sekolahmu dulu teman sekolahku," kata pembesar itu. "Kalau sudah masuk sekolah lagi sampaikan salam dan hormatku."
Kemudian ia bercerita: anak-anaknya ingin pulang ke Ne-derland. Mereka tak punya ibu barang sepuluh tahun yang lalu.
Kalau mereka pergi, tentu ia akan sangat kesepian. Karena itu:
"Sering-sering kirimi aku surat tentang kemajuanmu. Aku akan senang membacanya. Juga berkorespondensilah dengan Sarah dan Miriam," pesannya. "Kan sudah sepatutnya ada pertukaran pikiran antara muda-mudi terpelajar " Siapa tahu, kelak bisa jadi dasar kehidupan yang lebih baik " Apalagi kalau kalian semua kelak jadi orang penting ""
Aku berjanji akan melaksanakan.
"Minke, kalau kau bersikap begitu terus, artinya mengambil sikap Eropa, tidak kebudak-budakan seperti orang Jawa seumumnya, mungkin kelak kau bisa jadi orang penting. Kau bisa jadi pemuka, perintis, contoh bangsamu. Mestinya kau sebagai terpelajar, sudah tahu: bangsamu sudah begitu rendah dan hina. Orang Eropa tidak bisa berbuat apa-apa untuk membantunya. Pribumi sendiri yang harus memulai sendiri."
Kata-katanya menyakitkan. Ya, setiap kali ujud Jawa disakiti orang luar, perasaanku ikut tersakiti. Aku merasa sepenuhnya Jawa. Pada waktu ketidaktahuan dan kebodohan Jawa disinggung, aku merasa sebagai orang Eropa. Begitulah pesanpesan yang menimbulkan banyak pikiran itu aku bawa serta dalam hati, aku bawa serta dalam kereta cepat, yang membawa aku kembali ke Surabaya. Sekiranya Tuan de la Croix seorang Jawa, mudah bagiku untuk menduga maksudnya: hendak mengambil diri jadi menantu. Tapi dia orang Eropa, maka tidak mungkin. Apalagi baik Sarah mau pun Miriam lebih tua beberapa tahun daripadaku. Pembesar itu mengharapkan aku jadi contoh, pemuka, perintis bangsaku sendiri. Seperti dongengan! Tak pernah yang demikian tersebut dalam cerita-cerita nenekmoyangku. Apa mungkin ada orang Eropa benar-benar menghendaki " Dalam sejarah Hindia pun tak pernah terjumpai. Kompeni Belanda tak pernah mengistirahatkan senapan dan meriamnya, selama tiga ratus tahun di Hindia. Tibatiba ada seorang Eropa yang mengharapkan diri jadi perintis, pemuka, contoh bangsa. Dongengan tidak menarik. Lelucon tidak lucu. Rupanya dia hendak membikin diri jadi kelinci percobaan dalam rangka teori assosiasi Doktor Snouck Hur-gronje. Prek persetan! Bukan urusanku. Beruntung aku suka mencatat, ,mempunyai perbendaharaan yang setiap waktu bisa memberi petunjuk dan peringatan.
Kugagapi tas untuk membacai surat-surat yang belulm juga kubaca itu. Benar saja, isinya pemberitahuan tentang akan adanya resepsi pengangkatan Ayahanda, juga perintah dan permintaan agar aku segera pulang. Pada surat abang malah dilampirkan permohonan cuti untuk Direktur sekolah. Uh, semua sudah berlalu dengan kemenangan pada pihakku.
Hei-hei, mengapa si Gendut agak sipit itu mengawasi aku saja " Ia berpakaian drill coklat, baik kemeja mau pun celana panjangnya. Juga bersepatu coklat sepatu sebagaimana layaknya di gerbong kias satu. Topinya, dari laken dengan pita sutra, tak juga lepas dari kepala, kadang diturunkan sampai menutup kening untuk mendapatkan kebebasan menebarkan pandang ke mana saja ia suka. Bawaannya sebuah kopor kulit kecil yang terletak di atas kepalanya. Dan ia duduk di bangku di samping sana. Waktu kondektur memeriksa karcis ia menyerahkan karcis-putihnya, tetapi matanya melirik padaku.
Dari B. ke Surabaya hanya ada beberapa stasiun singgahan dengan kereta cepat ini. Dan si Gendut tidak turun, tak ada . persiapan. Jelas ia pun menuju stasiun terakhir. Stop! tak mau aku memperhatikan dia. Perjalanan sekali ini hendak kunikmati sebagai liburan. Tidur nyenyak. Aku membutuhkan kekuatan dan kesehatanku sendiri.
Kereta mendesau laju menuju ke Surabaya. Pada jam lima sore Surabaya telah ada di bawah roda kereta. Kuburan panjang itu mulai diterjang, dan kereta berhenti. Perron nampak lengang. Hanya beberapa orang sedang berdiri atau duduk menunggu atau berjalan mondar-mandir.
"Ann! Annelies!" seruku dari jendela. Ia menjemput.
Dara itu berlarian ke gerbongku, berhenti di bawahnya dan mengulurkan tangan: "Tak ada apa-apa, Mas "" tanyanya.
Si Gendut melewati aku dengan menjinjing kopor kecilnya. Ia turun lebih dahulu, sejenak memperhatikan Annelies, kemudian berjalan pelahan menuju ke pintu keluar. Aku ikuti dia dengan mataku. Dan ia tak jadi keluar, berhenti dan menoleh ke belakang, pada kami.
"Ayoh, turun. Menunggu apa lagi "" desak Annelies. Aku turun. Kuli itu mengikuti dengan membawa barang. "Mari, Darsam sudah lama menunggu."
Ternyata si Gendut belum juga keluar dari pintu perron sampai kami melewatinya. Kulitnya langsat cerah, mukanya kemerahan. Dalam gerbong mau pun sekarang antara sebentar ia menyeka leher dengan setangan biru. Begitu kami lewati ia bergerak, seakan sengaja hendak membuntuti.
"Tabik, Tuanmuda!" seru Darsam dari samping andong. (Oleh Mama ia dilarang memanggil aku Sinyo).
Si Gendut memperhatikan kami naik andong. Sekarang
ia seorang jurubayar pada Borsumij atau Geowegrij " Atau mungkin sendiri Mayoor der Chineezen " Tapi seorang mayoor biasanya angkuh dan merasa setara dengan orang Eropa, tak perlu memperhatikan diriku, bahkan takkan peduli pada Pribumi siapa pun. Atau Annelies yang diperhatikannya " Tidak. Ia sudah berlaku seperti itu sejak dari B.
"Non, tunggu sebentar di sini. Darsam ada sedikit urusan di warung itu," kata Darsam dengan mata ditujukan padaku, meneruskan, "Tuanmuda, silakan turun sebentar."
Aku turun. Dengan sikap waspada tentu. Kami memasuki warung kecil, sebuah gubuk bambu beratap genteng.
"Ada apa ke situ, Darsam "" tanya Annelies curiga dari atas andong. Darsam menoleh, menjawab: "Mulai kapan Non tidak percaya sama Darsam "" Aku sendiri juga menjadi curiga. Si Gendut dan dokarnya berhenti di kejauhan sana. Sekarang Darsam pula bikin tingkah.
"Tinggal duduk di situ, Ann," kataku mententeramkan. Namun mataku terus juga mengawasi tangan dan parang pendekar Madura itu-
Dalam warung terdapat hanya seorang langganan yang sedang duduk minum kopi. Ia tak menoleh waktu kami masuk. Nampaknya sedang melamun. Atau pura-pura tak tahu " Atau sekutu si Gendut juga seperti Darsam ini "
Dengan sikap perintah ia silakan aku mengambil tempat di bangku panjang di seberang langganan itu. Ia duduk begitu dekat padaku sampai dapat kudengar nafasnya dan tercium bau keringatnya. *
"Antarkan teh dan kue ke andong di luar sana," perintah Darsam pada wanita pewarung. Matanya tajam mengawasi perempuan itu sampai ia pergi membawa pesanan itu di atas nampan kayu.
Dengan mata liar ia dekatkan kumis-bapangnya padaku, berbisik dalam Jawa yang kaku dan berat:
"Tuanmuda, sesuatu telah terjadi dirumah. Hanya aku yang tahu. Noni dan Nyai tidak. Begini, Tuanmuda, jangan terkejut. Sementara ini jangan Tuanmuda tinggal di Wonokromo. Berbahaya."
"Ada apa, Darsam ""
Suaranya kini agak tenang:
"Darsam ini, Tuanmuda, hanya setia pada Nyai. Apa yang disayangi Nyai, disayangi Darsam. Apa yang diperintahkan, Darsam lakukan. Tak peduli macam apa perintah itu. Nyai sudah perintahkan Darsam menjaga keselamatan Tuanmuda. Aku kerjakan, Tuanmuda. Keselamatan Tuanmuda jadi pekerjaanku. Tidak perlu percaya, Tuanmuda, hanya ikuti saja nasihatku."
"Aku mengerti tugasmu. Terimakasih atas kesungguhanmu. Hanya, apa sesungguhnya telah terjadi ""
"Nyai majikanku. Noni majikanku juga, hanya yang kedua. Sekarang Noni berkasihkasihan sama Tuanmuda. Darsam juga harus menjaga jangan sampai terjadi sesuatu. Jadi nasihat ini aku sampaikan. Bukan karena parang Darsam ini sudah tak bisa menjamin. Tidak, Tuanmuda. Ada sesuatu yang belum lagi jelas benar bagi Darsam." "Aku mengerti. Tapi apa yang sedang terjadi ""
"Pendeknya Tuanmuda akan kuantarkan pulang ke pemondokan di Kranggan, tidak ke Wonokromo."
"Aku harus tahu sebabnya."
Ia terdiam dan mengawasi pewarung itu datang. "Sudah selesai-belum, Darsam ""
"Sabar, Non," jawab Darsam tanpa menengok keluar. Melihat pewarung lewat ia meneruskan bisikannya. "Sinyo Robert, Tuanmuda. Dengan banyak janji dia perintahkan si Darsam ini membunuh Tuanmuda."
Aku sama sekali tidak heran. Tanda-tanda niat jahat pemuda itu telah'kukenal. Hanya:
"Apa dosaku terhadapnya ""
"Hanya cemburu kiraku. Nyai lebih sayang, pada Tuanmuda. Dia merasa tak senang ada lelaki lain di dalam rumah."
"Dia bisa bilang terang-terangan padaku. Mengapa menempuh jalan seperti itu "" "Anak kurang pikir, Tuanmuda. Justru karena itu berbahaya. Sekarang Tuanmuda sudah tahu, mengerti nasihatku. Jangan bilang pada Noni atau Nyai. Sungguh, jangan. Nah, mari berangkat." Ia bayar belanja tanpa menanyakan pendapatku. Dokar si Gendut sudah tak nampak. Andong kqmi berangkat. Dan di Woribkromo - kalau Darsam benar spfeorang menghendaki nyawaku yang cuma satu ini. Sepotong nari ini
si Gendut telah memata-matai aku sejak dari B. Barangkali memang tidak begitu salah marah Ayahanda padaku. Juga tidak percuma peringatan Bunda agar berani menerima segala akibat perbuatan sendiri. Ya-ya, Robert Mellema' memang berhak menganggap aku menyerbu ke dalam kerajaannya. Paling tidak aku menjadi tambahan beban bagi pikirannya. Dia sepenuhnya berhak.
Annelies tak hendak melepaskan pegangannya pada tanganku, seakan aku ikan licin yang tiap saat bisa melompat keluar dari andong. Ia tak bicara. Matanya merenung jauh.
"Ann, aku dapatkan uangmu dalam koporku," kataku.
"Ya, memang aku taruh di situ. Kau akan memerlukannya. Kau dalam kepergian tidak menentu, dan kau harus segera kembali padaku."
"Terimakasih, Ann. Aku tidak menggunakannya."
Untuk pertama kali ia tertawa. Dan tawanya tak menarik perhatianku. Lampu andong tak memantulkan sinarnya ke dalam andong. Gelap. Kecantikan Annelies ditelan oleh kehitaman. Sekali pun tidak pun takkan menarik. Pikiranku sedang dipenuhi hal-hal seram, merampas segala yang dikatakan nikmat. Bumiku, bumi manusia ini, kehilangan segala kepastiannya. Semua ilmu dan pengetahuan, yang telah menjadi diriku sendiri, meruap hilang. Tak ada sesuatu yang bisa diandalkan. Robert " memang aku mengenalnya. Si Gendut " Aku telah mengenal bentuknya, juga sekiranya dalam kegelapan. Dalam melakukan kejahatan oarang lain yang tak kukenal, tak kuduga, bisa jadi pelaksananya. Surabaya terkenal dengan banyaknya pembunuh bayaran dengan upah setengah sampai dua rupiah. Dalam setiap minggu ada saja bangkai menggeletak di pantai, di hutan, di pinggir jalan, di pasar, dan pada tubuhnya tertinggal bekas senjata tajam.
Andong menuju ke Kranggan.
"Mengapa sekarang ke sini "" Annelies memprotes lagi. "Masih ada urusan lain, Non. Sabar."
Apa sekarang harus kukatakan pada Annelies " Belum lagi mendapatkan alasan andong telah berhenti di depan rumah keluarga Telinga. Tanpa bicara Darsam telah menurunkan barang-barangku.
"Mengapa diturunkan "" Annelies memprotes lagi.
"Ann," kataku lunak. "Dalam seminggu ini aku harus menyiapkan pelajaran. Sementara itu, sayang sekali, aku tak bisa temani kau pulang. Terimakasih atas jemputanmu,.Ann. Mintakan maaf pada Mama, ya " Benar-benar aku belum bisa ke Wonokromo. Harus tinggal di sini agar lebih dekat pada guru-guruku. Salam dan terimakasih pada Mama. Kalau sudah senggang aku pasti datang." "Kan selama ini Mas juga bisa belajar di sana " Tak ada yang mengganggu kau.
Maafkan sekiranya aku jadi pengganggu," suaranya setengah menangis. "Tidak, tentu saja tidak."
"Katakan kalau aku telah jadi pengganggu, biar aku tahu kesalahanku," suaranya semakin mendekati tangis.
"Tidak, Ann, sungguh, tidak."
Benar-benar tak bisa dihindari. Ia menangis. Menangis seperti anak kecil. "Mengapa menangis " Hanya seminggu, Ann, seminggu saja. Setelah itu aku pasti datang. Kan begitu, Darsam ""
"Benar, Non. Jangan menangis di tempat orang begini."
Pada waktu itu hilang perasaanku sebagai seorang satria Jawa, satria tanpa tandingan dalam angan sendiri, tinggal hanya seorang pengecut ~ telah menjadi takut hanya karena berita, berita saja, bahwa sang nyawa sedang terancam. "Jangan turun, Ann, duduk saja kau dalam andong," dan kucium dia pada pipinya dalam kegelapan kendaraan. Aku rasai kebasahan pada mukanya. "Mas harus segera pulang ke Wonokromo," pesannya dalam tangisnya, mengalah. "Jadi kau mengerti, bukan "" Ia mengangguk. "Kalau semua sudah selesai tentu aku akan segera datang. Sekarang aku harap kau mau dengarkan aku dan memahami keadaanku."
"Ya, Mas, aku tidak membantah," jawabnya sayup. "Sampai bprjumpa lagi, dewiku."
"Mas." Aku turun. Darsam masih menunggu di depan pintu.
Hari telah malam dan lampu berpancaran 'di mana-mana. Hanya pikiran diri juga yang tanpa terang.
"Mengapa tak kau sampaikan pada Mama "" bisikku pada Darsam. "Tidak. Sudah begitu banyak kesulitan Nyai karena anak dan tuannya. Darsam harus urus sendiri pekerjaan ini. Tuanmuda sabar saja."
Suami-istri Telinga duduk di sitje menunggu aku keluar dari kamar untuk bercerita. Pasangan yang rukun dan baik itu! Tak tahu aku bagaimana perasaannya terhadapku. Aku tak keluar,
pintu kamar kukunci dari dalam, ganti pakaian dan naik ke ranjang tanpa makanmalam. Waktu hendak memadamkan lampu minyak masih kuperlukan memandangi potret Ratu Wilhelmina. Bumi manusia! Betapa seorang bisa menjadi kekasih para dewa begini. Aman dalam istananya. Tak ada sesuatu kesulitan, kecuali mungkin, dengan hati dan pikiran, sendiri. Sedang aku " Kawulanya " yang dijanjikan oleh perbintangan akan bernasib sama, bahkan di sudut-sudut bilik mungkin mengintip maut bikinan Robert Mellema.
Kamar diliputi kegelapan. Percakapan di ruangtengah sayup memasuki kupingku. Tanpa makna. Uh, diri semuda ini, dan nyawanya sudah ada yang menghendaki. Janji jaman modern, gemilang dan menyenangkan seperti dikatakan guru itu, tak sesuatu pun tanda dan alamat yang diperlihatkannya. Robert, mengapa kau segila itu " Pembunuhan karena cemburu soal asmara memang terjadi di seluruh dunia sisa kehidupan hewani pada manusia. Khas. Pembunuhan karena kemakmuran juga warisan hewani yang khas pula. Kan " Kan begitu " Tapi kau lebih majemuk. Kau benci ibumu, asalmu, dan tidak mendapatkan kasih-sayang daripadanya. Kau melata mengemis kasih-sayang ayahmu, dan kau tidak digubris. Kau cemburu, Robert, karena kasih-sayang ibumu melimpah padaku. Karena kau takut hak-hakmu sebagai ahliwaris jangan-jangan juga melimpah padaku orang yang tidak berhak seperti banyak disebutkan dalam cerita-cerita Eropa. Kiranya di matamu aku hanya seorang kriminil.
Kan aku sudah cukup jujur pada diri sendiri " Dan terhadap dunia " Lihat: aku hanya menghendaki nikmat dari jerih-payahku sendiri. Yang lain tidak kuperlukan. Kehidupan senang bagiku bukan asal pemberian, tapi pergulatan sendiri. Keretakan dengan keluargaku sendiri yang selama ini mengajar aku demikian. Uh, masalah yang lebih pelik dari semua pelajaran sekolah.
Dan kau pula, Darsam! Semoga mulutmu tak dapat dipercaya. Semoga Robert tidak sejahat itu. Tapi kau sendiri yang menyembunyikan maksud tertentu, dan jahat pula. Dan kau, si Gendut berkulit langsat cerah bermata agak sipit sambar geledek! apa pula urusanmu denganku " Orang senecis kau, mungkinkah hanya pembunuh bayaran semata " Karena menghendaki harta dan anak Mellema " Dan Sarah, dan Miriam de la Croix, dan Tuan Assisten Residen..... dan assosiasi...... Hatiku meriut kecil. Mengapa aku sepengecut ini "
9. AGAR CERITAKU INI AGAK URUT, BIAR Kuutarakan dulu yang terjadi atas diri Robert sepeninggalku dari Wonokromo dibawa agen polisi kias satu itu ke B.
Cerita di bawah ini aku susun berdasarkan kisah dari Annelies, Nyai, Darsam, dan yang lain-lain, dan begini jadinya:
Waktu dokar yang kutumpangi telah hilang ditelan kegelapan subuh Annelies menangis memeluk Mama. (Tak tahulah aku mengapa ia begitu penangis dan manja seperti bocah).
"Diam, Ann, dia akan selamat," kata Nyai.
"Mengapa Mama biarkan dia dibawa "" protes Annelies.
"Hamba hukum itu, Ann, dia tak bisa dilawan." "Mari ikuti dia, Ma."
"Tidak perlu. Masih terlalu pagi. Lagipula jelas ia akan dibawa ke B." "Mama, ah Mama."
"Sayang betul kau padanya ""
"Jangan kau siksa aku begini macam, Ma."
"Lantas apa harus kuperbuat " Tak sesuatu, Ann. Kita hanya harus menunggu. Jangan turutkan kemauan sendiri."
"Usahakan, Ma, usahakan."
"Kau anggap Minke bonekamu saja, Ann. Dia bukan boneka. Usahakan, usahakan! Tentu akan kiiusahakan. Sabarlah. Masih terlalu pagi."
"Kau biarkan aku begini, Ma " Kau hendak bunuh aku ""
Nyai menjadi bingung. Ratapan seperti itu tak pernah ia dengar dari anaknya yang tak pernah mengeluh itu. Ia mengerti Annelies sedang dalam keadaan genting. Annelies: kompanyon kerja terpercaya. Ia tahu: ia harus lakukan segala yang dikehendakinya, yang dianggapnya sebagai haknya. Ia bawa anaknya masuk untuk diistirahatkan di kamar. -'
Dan Annelies menolak. Ia hendak tunggu Minke sampai kembali. "Tidak mungkin begitu, Ann. Tidak mungkin. Mungkin lusa atau lusanya lagi dia baru kembali."
Dan Annelies mulai membisu.
Mama semakin bingung. Ia tahu: sejak kecil anaknya tak pernah meminta. Baru dalam minggu-minggu belakangan ia meminta bukan hanya meminta, mendesak, memaksa semua tentang Minke. Selamanya ia seorang penurut, berlaku manis, jadi buahhati. Sekarang ia mulai jadi pemabangkang.
Annelies menuntut kembalinya bonekanya. Dan ia hanya tahu ibunya. Nyai kuatir kalau-kalau anaknya akan jatuh sakit. Ia semakin melihat munculnya gejala ketidakberesan pada anaknya. Mungkinkah anak penurut ini juga tak tahan guncangan seperti ayahnya "
Dan dengan lambatnya matari mulai terbit.
Darsam datang untuk membukai pintu dan jendela. Ia terkejut melihat tingkah-laku noninya. Menghadapi masalah yang tak membutuhkan otot dan parang ia tidak berdaya.
"Ya, ini urusan Gubermen," desah Mama. Urusan yang tak bisa diraba atau dilihat, urusan para jin negeri jabalkat.
Sekilas Mama teringat pada sulungnya, pada kilasan lain ia juga mencurigainya telah mengirimkan surat kaleng pada polisi. Ia mencurigainya! Kilasan berikutnya: ia hendak menyelidikinya.
"Panggil Robert kemari," perintah Mama pada Darsam.
Dan Robert datang sambil mengocok mata. Ia berdiri diam-diam. Sekiranya tak ada Darsam ia takkan datang menghadap. Itu semua orang tahu. Dan ia berdiri tanpa bicara sepatah pun. Matanya memancarkan ketidakpedulian.
"Sudah berapa kali dan kepada siapa saja kau pernah kirimkan surat kaleng "" Ia tak menjawab. Darsam menghampirinya.
"Jawab , Nyo," desak pendekar itu.
Annelies masih juga berpegangan pada Nyai seakan mencari sandaran. "Tak ada urusanku dengan surat kaleng," jawabnya sengit, mukanya dihadapkan pada Darsam. "Apa aku nampak seperti pembikin surat kaleng "" "Jawab pada Nyai, bukan padaku," dengus Darsam.
"Tak pernah membikin, apalagi mengirimkan," sekarang mukanya ditujukan pada Mama.
"Baik. Aku selalu berusaha mempercayai mulutmu. Apa sebab kau membenci Minke " karena ia lebih baik dan lebih terpelajar daripadamu ""
"Tak ada urusan dengan Minke. Dia hanya Pribumi." "Justru Pribumi kau membencinya."
"Lantas, apa guna darah Eropa "" tantang Robert.
"Baik. Jadi kau membenci Minke hanya karena dia Pribumi dan kau berdarah Eropa. Baik. Memang aku tak mampu mengajar dan mendidik kau. Hanya orang Eropa yang bisa lakukan itu untukmu. Baik, Rob. Sekarang, aku, ibumu, orang Pribumi ini, tahu, orang yang berdarah Eropa tentu lebih bijaksana, lebih terpelajar daripada Pribumi. Tentu kau mengerti aku. Sekarang, aku minta darah Pribumi dalam tubuhmu - bukan Eropa dalam dirimu ~ pergi ke Kantor Polisi Surabaya. Carikan keterangan tentang Minke. Darsam takkan mungkin melakukannya. Aku tidak. Pekerjaan di sini tidak memungkinkan. Kau pandai Belanda dan bisa baca-tulis. Darsam tidak. Aku ingin tahu apa yang kau bisa kerjakan. Naik kuda, biar cepat."
Robert tak menjawab. "Berangkat, Nyo!" perintah Darsam.
Tanpa menjawab Robert Mellema berbalik dan berjalan menyeret sandal masuk ke dalam kamar dan tak keluar lagi.-
"Peringatkan, Darsam!" perintah Mama. Darsam menyusul Robert masuk ke dalam kamar.
Diluar dunia sudah mulai terang. Robert meninggalkan kamar dalam iringart pendekar Madura itu. Ia pergi ke belakang, ke kandang kuda. Ia telah mengenakan celana kuda, bersepatu larsa tinggi dan pada tangannya cambuk kulit.
Korban Balas Dendam 1 Dewa Linglung 1 Raja Raja Gila Istana Langit Perak 2
^