Pencarian

Cahaya Di Langit Eropa 2

99 Cahaya Di Langit Eropa Menapak Jejak Islam Di Eropa Karya Hanum Salsabiela Rais Dan Rangga Almahendra Bagian 2


Untuk menghormati temanku Fatma, aku
menjagokan Turki. Tapi aku bingung, ajakan Fatma
yang mendadak membuatku tak berkesempatan
membeli atribut kesebelasan Turki.
"Hanum, pakai jilbab ini. Asal pakai saja. Orang
akan tahu kau menjagokan siapa," pekik Fatma di
antara riuhnya suara manusia. Dia mengangsurkan
jilbab segitiga. Lalu mulailah Fatma mencoret-coreti
mukanya dengan cat muka warna putih. Simbol
bulan sabit dan bintang seketika memenuhi
wajahnya. "Fatma, aku juga mau. Di sini, yang banyak ya!"
aku memekik sambil menunjuk kedua pipiku. Orangorang pendukung Turki di sebelahku mengacungacungkan jempolnya untukku. Mereka seperti tahu,
Indonesia dan Turki sahabat lama dalam sejarah
sehingga harus saling mendukung dalam setiap
perjuangan. "Berapa skor tebakanmu, Hanum?" tanya Fatma.
Dia menyekakku. Dalam hati aku tak bisa
membohongi diri. Di atas kertas, susah untuk
101 102 mengalahkan Portugal. Tapi di atas keyakinan dalam
sepak bola bahwa semua kemungkinan bisa terjadi.
Turki bisa saja menundukkan Portugal. Sebuah
pertanyaan yang susah dijawab.
"Draw, mungkin. Atau"ya menang Turki deh,
1"0." Fatma tersenyum. Dia tahu diriku setengah hati
meyakini kehebatan Turki dalam sepak bola.
"Kaulihat itu Hanum, pemain tengah Turki.
Namanya Emre Bel?zoglu, sangat terkenal. Aku
yakin dia bisa membuat gol banyak kali ini. Turki
akan bersinar dalam acara ini," Fatma menunjuk
salah satu layar TV raksasa. Dia memamerkan salah
seorang pemain Turki kesayangannya. Fatma begitu
semangat menonton laga perdana Turki hari itu. Kali
itu aku tak melihat dia membawa Ayse bersamanya.
Toh semangat dan kesetiaan dukungan Fatma tak
bisa menghalau takdir Tuhan. Teriakan-teriakan
"Turkiye"Turkiye" tiba-tiba berhenti saat peluit
panjang pertandingan ditiup wasit. Turki kalah 2"0
dari Portugal. Air mata Fatma menetes, melunturkan
gambar-gambar bulan sabit dan bintang yang
menghiasi pipinya. Aku melihat sekelilingku.
Perempuan-perempuan berjilbab dengan benderabendera kecil Turki. Perempuan-perempuan muda
dan tua saling berpelukan sedih.
Atribut bulan dan bintang turun serempak dari
hiruk pikuk Fan-zone. Berubah menjadi kibaran
bendera berwarna hijau tua-merah milik Portugal.
Indonesia negaraku memang takkan pernah ikut
ambil bagian di arena olahraga dunia semacam Piala
Eropa. Tapi entah mengapa hari itu aku merasa
"kehilangan". "Kehilangan" yang juga dirasakan oleh
Fatma. Aku hanya bisa membesarkan hatinya. Toh ini
hanya permainan. Harus ada yang menang dan
kalah. Kehilangan yang sementara saja. Turki masih
memiliki kesempatan 2 kali bertanding di babak
penyisihan grup A. Masih banyak jalan untuk menang.
103 12 104 "Fatma Pasha. Ich gratuliere Ihnen. Sie sind die
Beste in der Klasse. Selamat, Anda membuktikan
sebagai yang terbaik di kelas ini!"
Elfriede Kollmann, guru bahasa Jermanku
membagi-bagikan hasil ujian Jerman di kelas.
Matanya diedarkan kepada muridnya satu per satu.
Dia tak menemukan satu-satunya perempuan
berjilbab di kelasnya yang berhak menerima ucapan
selebrasi. Hari itu hari yang aneh. Tidak biasanya Fatma
datang terlambat. Apalagi ini adalah hari yang
ditunggu-tunggu seluruh murid: menerima sertiikat
pendidikan kursus bahasa untuk kemudian
melanjutkan kursus ke jenjang berikutnya.
Tidak ada telepon, e-mail, ataupun SMS dari
Fatma pada pagi ini. Jika tak hadir, biasanya dia
selalu memberitahuku sebelumnya. Pertandingan
Turki-Portugal di Rathaus Fan-zone seminggu
sebelumnya merupakan kali terakhir aku
melihatnya. Sungguh naif dan konyol jika Fatma
terlalu bersedih atas kekalahan Turki dengan
membolos pada hari penting ini.
"Hanum, weisst du wo die Fatma ist" Hanum, kau
tahu di mana Fatma?" Elfriede tiba-tiba bertanya
kepadaku. Tampaknya dia mengenaliku sebagai
teman baik Fatma selama di kelas.
"Na ja, keine Ahnung. Maaf, saya tidak tahu,"
jawabku jujur. Elfriede tampak kecewa. Dia tak mengerti
mengapa murid terbaiknya melewatkan hari terakhir
di kelas Jermannya. Selama beberapa jam di kelas
itu sudah 3 kali aku mengirim SMS ke Fatma dan 3
kali pula meneleponnya. Tapi telepon selulernya tak
aktif. Pikiran tentang Fatma yang tiba-tiba menghilang
masih menggelayutiku hingga kelas usai. Aku
benar-benar tidak bisa menikmati pesta kecil
perpisahan kelas yang seharusnya menghadirkan
peraih skor tertinggi untuk memberikan sedikit
pidato di depan kelas itu.
Di antara penumpang U-Bahn Wina yang saling
berdesak-desakan, aku berusaha menelepon Fatma.
Aku ingin mengabarkannya berita gembira, yaitu
perjuangannya menunjukkan diri sebagai agen
muslim yang berkualitas terbayar hari itu. Dia
adalah murid terbaik dengan perolehan nilai
tertinggi di kelas Jerman. Aku membayangkan
105 betapa bangganya Fatma jika dia diminta ke depan
kelas dan menerima penghargaan dari Elfriede.
Sebuah SMS masuk, mengejutkanku yang berdiri
melamun di pojok shutter U-Bahn. Tapi membuka
SMS di antara berjubelnya manusia yang memaksa
keluar U-Bahn bukanlah perkara mudah. Setelah
keluar U-Bahn, barulah aku bisa membuka daftar
SMS masuk. Dari Fatma. Rentetan kata ada di sana. Kata-kata perpisahan
dari Fatma yang takkan kulupakan seumur hidupku.
106 Hanum maaf, sekarang aku di bandara Schwechat.
Sebentar lagi terbang kembali ke Turki. Ada hal
mendesak yang harus kuselesaikan. Semoga kita
bertemu lagi. Salam. Aku masih tak percaya membaca SMS itu.
Berkali-kali aku mencoba memahami kalimat itu
dalam bahasa Jerman. Stasiun tempatku harus turun
sudah terlewat. Aku linglung. Hanya Warum" Was ist
los, Fatma yang bisa kuketik di keypad ponsel,
menanyakan mengapa dan apa yang sebenarnya
terjadi. Tapi tak ada jawaban lagi setelah itu.
Aku tiba-tiba merasa kehilangan lagi. Kehilangan
seorang sahabat. Kehilangan seorang saudara
perempuan.... 13 Laga Swiss melawan Turki.
Hari ini mestinya aku dan Fatma menonton laga
kedua Turki di pertandingan grup di Fan-zone.
Namun, hal itu tak terlaksana. Setelah mengirim
SMS beberapa hari lalu, nomor telepon Fatma mati
total. Tiga kali aku pergi ke rumahnya dan kupencet bel
di depan pintu. Tidak pernah ada suara dari dalam
rumah. Fatma seperti hilang ditelan bumi sejak
pembagian hasil ujian Jerman. Padahal, sertiikat
Jerman akan kedaluwarsa jika tidak segera diambil
dalam waktu 6 bulan. Aku tak menemukan sedikit pun titik terang
bagaimana aku bisa menghubungi Fatma lagi. Empat
pasar dan supermarket Turki telah aku kunjungi,
berharap bisa menemukan Ezra dan Latife. Tapi tak
ada hasil yang memuaskan. Yang kutemui hanyalah
para Latife dan Ezra yang lain. Keteledoranku adalah
107 108 aku tak pernah menyimpan nomor telepon para
murid bahasa Inggrisku itu. Pasalnya, kami baru
berhasil mengerjakan program tandem ini beberapa
kali sebelum akhirnya Fatma yang menjadi
fasilitator tempat kegiatan ini menghilang.
Teriakan "Hidup Turkiye"Hidup Turkiye" tibatiba membahana di telingaku. Aku tersadar dari
lamunanku yang panjang selama pertandingan
Turki-Swiss yang kutonton di Rathaus Fan-zone.
Sebuah pertandingan yang mengiringi rasa
kehilanganku akan seorang sahabat. Pertandingan
itu diprediksi dimenangi Swiss karena Turki telah
kebobolan sejak menit-menit awal. Namun, sebuah
gol tercipta lagi di gawang Swiss. Turki berhasil
memetik kemenangan 2-1 atas tuan rumah Swiss.
Aku melongok-longok di deretan pagar pembatas
Fan-zone seperti mengharapkan kehadiran
seseorang. Tapi aku tak menemukan siapa pun. Aku
hanya bersama suamiku Rangga di sana. Tidak ada
Fatma, Oznur, Ezra, ataupun Latife.
Tapi aku senang hari itu karena melihat wajahwajah sumringah perempuan berjilbab segala gaya.
Perempuan-perempuan Turki. Senyum salah satu
dari mereka persis senyuman Fatma. Aku yakin,
Fatma seharusnya juga tersenyum hari ini.
Keyakinannya bahwa Turki akan bersinar di
pertandingan-pertandingan selanjutnya adalah
intuisi yang hebat. Sungguh Fatma masih berutang banyak janji
kepadaku. Tercatat 3 janji yang belum dia tunaikan hingga
kelas Jerman akhirnya usai dan dia lenyap
meninggalkanku. Janji pertamanya adalah menonton
bersama semua pertandingan Turki dalam acara
Piala Eropa ini. Janji kedua adalah mengajakku ke
Vienna Islamic Center, bertemu seorang imam di
sana. Dan janji ketiga, menjelajah tempat-tempat
historis Islam di Eropa. Aku tetapkan hati. Akan kulunasi janji-janji itu
sendiri. 109 14 110 Tak kusangka, bangunan yang kulihat dari atas
Kahlenberg dulu ternyata memang sebuah masjid.
Masjid terbesar di Wina. Dari seberang jembatan rel
U-Bahn aku bisa melihat masjid bercorak hijau putih
memberi aksen pemandangan musim panas di tepi
Sungai Danube. Begitu berhenti di halte, kerumunan
orang langsung menyembur dari kereta U-Bahn.
Mereka orang-orang yang berwajah khas. Orangorang yang akan menjalankan ibadah shalat Jumat.
Aku sengaja datang ke Vienna Islamic Centre
dengan Rangga. Dia menemaniku melunasi janji
Fatma: menemaniku ke Vienna Islamic Center.
"Kautunggu di luar ya. Duduk-duduk saja di
pinggir sungai. Cuacanya sangat bagus," kata
Rangga sambil berlari meninggalkanku. Aku melirik
jam tanganku. Khotbah Jumat akan segera usai.
Bisa menjalankan Shalat Jumat bagi Rangga
adalah kesempatan emas. Dia tidak akan
melewatkannya meski hanya bisa mengejar satu
rakaat. Jadwal kampusnya tidak pernah mau tahu
kewajiban pemeluk agama Islam yang taat. Mereka
hanya tahu kewajiban Rangga untuk mengajar kelas
dengan waktu bertepatan dengan Zuhur pada hari
Jumat. Aku menuruni tangga U-Bahn. Sebuah
pemandangan yang ironis tampak di hadapanku.
Muncul pria-pria berbaju gamis, berjenggot, dan
berkopiah yang menenteng sajadah atau tasbih dari
U-Bahn tadi. Termasuk Rangga, kulihat dia berlarilari kecil dari jauh. Mereka semua menuju masjid
yang berdiri tepat di sebelah tepian Danube. Tapi
untuk menuju masjid, itu bukan perkara mudah. Di
pelataran bawah stasiun U-Bahn, keramaian lain
telah menyambut kehadiran jemaah Jumat. Mereka
adalah para manusia berbaju minim"atau minim
sekali mendekati telanjang"laki-laki maupun
perempuan. Ada yang telentang, tengkurap, atau
berpelukan satu sama lain di atas hamparan rumput
ilalang. Mereka adalah orang-orang yang kelaparan
menginginkan hangatnya sinar matahari. Kulit
mereka yang pucat memerlukan sedikit cahaya
untuk membuatnya tampak terbakar seksi.
Di antara mereka ada yang bercengkerama
memadu kasih. Yang jomblo atau kesepian hanya
bisa memandangi bebek dan angsa yang berenangrenang. Yang serasa piknik akan membawa bekal
makanan dan minuman, lalu membaca buku di
111 112 bawah rindangnya pepohonan. Tak jarang kawanan
bebek dan angsa tadi menyambangi orang-orang itu
untuk minta makan. Lalu anjing-anjing piaraan
orang-orang itu serta-merta menyerang mereka;


99 Cahaya Di Langit Eropa Menapak Jejak Islam Di Eropa Karya Hanum Salsabiela Rais Dan Rangga Almahendra di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seakan-akan mereka adalah pesaing hewan
kesayangan sang majikan. Aku duduk di sebuah bangku taman, memandangi
semua tingkah laku manusia yang tengah
keranjingan eksistensi matahari dan hangatnya
udara. Sebuah kondisi yang hanya berjalan 3 atau 4
bulan selama musim panas sebelum ancaman dingin
siap mencengkeram. Kelopak mataku tiba-tiba serasa berat. Desiran
angin menambah beban berat itu. Burung-burung
berkicau meninabobokkan. Aku mengantuk. Samar-samar kudengar ikamah dari masjid. Sebuah
ikamah yang sangat indah. Seperti alunan musik
tersendiri di tepi Sungai Danube. Lebih indah
daripada "An der Sch?nen Blauen Donau" karya
Johann Strauss. Mataku yang semakin berat masih bisa melirik
keadaan sekitar. Tempat seperti ini cocok untuk
memberikan ruang kesendirian. Termasuk bagi
perempuan dan laki-laki yang kesepian. Aku melihat
seorang laki-laki tua memakai kacamata hitam
mendekati salah satu perempuan yang tengah
tidur-tiduran tengkurap ditemani seekor anjing. Pria
tua itu menggumamkan sesuatu. Aku tak paham apa
yang dia katakan. Lalu tiba-tiba dia menawari
perempuan itu sebatang rokok. Telapak tangan
perempuan itu mengibas. Dia tidak merokok. Lalu
pria tua itu menggumam lagi sambil tersenyum
sendirian. Kemudian dia mengeluarkan sesuatu dari
dompetnya, kemudian dijulurkannya kepada
perempuan itu. Selembar uang warna hijau nominal
100 Euro. Dan kali ini perempuan muda itu merasa
tersinggung. Mukanya memerah. Dia bangkit,
mengambil tikar, dan menggiring anjingnya
meninggalkan pria uzur itu cepat-cepat. Pria itu
tersenyum lagi, menggumam sendiri. Dia
menebarkan pandangan ke sana kemari, seperti
mencari seseorang yang bisa didekatinya lagi.
Mataku yang sayu oleh kantuk tiba-tiba
bergairah untuk melek sempurna. Aku bangkit dari
bangku, lalu memacu jalan menjauhi pria uzur itu.
Jantungku berdegup kencang. Peristiwa itu memang
tak terjadi pada diriku, tetapi sebagai perempuan
aku bisa merasakan ketersinggungan yang sama
seperti perempuan muda tadi. Aku berlari menaiki
permukaan tanah yang bergelombang. Hanya
pelataran masjid yang menjadi pelindungku kini.
Tepian Danube yang asri, teduh, dan penuh
kedamaian itu ternyata menyimpan bahaya
tersendiri. 113 15 114 "Nama saya Imam Hashim. Sebut saja begitu. Suami
Anda bilang, Anda ingin berbincang-bincang
sebentar usai Shalat Jumat."
Suara lembut dari imam Vienna Islamic Center
tadi seketika mengguyur panasnya hatiku dengan
aliran air jernih. Empunya suara adalah imam masjid
yang kurang lebih berusia 60 tahun ke atas;
seumuran dengan pria jail tadi. Kupandangi dari
jauh bangku di tepi sungai yang tadi kududuki. Pria
tua bangka tadi sudah tidak berada di sekitar sana.
Dia mencari mangsa lain. Seorang perempuan
berbikini yang tengah duduk bersandar di pohon
didekatinya. Aku tak tahu apa yang terjadi setelah
itu. "Mm...ya. Ini pertama kalinya saya ke sini. Masjid
paling besar, ya.... Tapi mengapa harus dekat dengan
semua itu?" tanganku kuhamparkan. Aku bingung
mencari perbandingan kata yang lebih halus
daripada "tempat yang "menggoda syahwat?".
Rangga yang berdiri tepat di sampingku langsung
mencubit punggungku. Aku tahu, pertanyaanku
berlebihan, apalagi kami baru saja berkenalan. Tapi
hanya pertanyaan "itu" yang tiba-tiba tebersit di
otakku. Imam Hashim tersenyum simpul. Dia tidak
menjawab. "Mari saya antar putar-putar masjid. Apakah
Anda membawa kerudung?" Aku mengangguk.
Kukeluarkan jilbab pinjaman dari Fatma saat
menonton pertandingan Turki tempo hari.
"Sebetulnya tidak apa-apa jika tidak memakai
kerudung, tapi sebaiknya pakai. Akan sangat bagus
dengan busana Anda yang sudah terhormat," Imam
Hashim terlihat kikuk berbicara. Agaknya dia tak
biasa mengantar perempuan yang tidak berhijab.
Kami bertiga memasuki teras yang hanya berwujud
undak-undakan menuju lantai 2 masjid. Kumasukkan
dua pasang sepatu kami"sepatuku dan sepatu
Rangga"ke dalam kantong plastik. Mataku melihatlihat sekitar masjid itu. Masjid yang sangat sederhana.
Terdiri atas 2 tingkat, ditutupi permadani merah cerah,
dan dihiasi beberapa jendela. Beberapa orang masih
duduk-duduk di dalam masjid. Ada yang mengaji, ada
yang berbincang-bincang, ada juga yang berdiam diri
bermunajat dengan Sang Pencipta. Kami bertiga hanya
berdiri di depan bibir pintu lantai 2. Lantai yang
dikhususkan bagi jemaah pria.
115 116 "Di bawah adalah lantai untuk perempuan. Anda
bisa ke sana nanti untuk melihat-lihat sendiri," ucap
Imam Hashim menjelaskan. "Oh ya, tentang pertanyaan Anda tadi. Mengapa
harus di tepi Sungai Danube...," sang imam
menggantung kalimatnya. Aku mengangguk, berusaha mengurangi bicara
agar tak dianggap terlalu mengkritik.
"Dulu kami sempat berpikir untuk memindahkan
lokasi Islamic Center ini ke tempat yang lebih
"pantas". Sekilas memang ironis, apalagi saat musim
panas begini. Saya tahu, orang-orang sering
membuat lelucon. Setelah berdoa di masjid, kita
semua berbuat dosa lagi karena tak bisa
menjauhkan pandangan dari manusia-manusia yang
telanjang di sana. Seolah-olah masjid ini simbol
yang tak berbunyi. Hanya formalitas," lanjut Imam
Hashim membuka perbincangan panjang kami.
"Ya"sama seperti gereja di Amsterdam yang
konon berdiri di tengah red light district," sahutku
mengingat cerita gereja tua yang hingga kini tetap
bertahan di tengah hedonisme masyarakat
Amsterdam yang melegalkan semua kesenangan
hidup. "Itulah"itu penerimaan orang luar seperti Anda
yang melihat ke dalam. Namun untuk saya, orang
dalam yang melihat keluar, masjid yang berada di
dekat Danube justru merupakan berkah," ucap Imam
Hashim lembut. Dia membuatku bertanya-tanya.
"Mari masuk ke kantor saya."
Aku dan Rangga memasuki sebuah kantor yang di
Indonesia dijuluki kantor takmir masjid. Sebuah
lemari kayu berisi khazanah buku dan kitab
membuat kantor itu seperti perpustakaan.
"Inilah berkah itu," Imam Hashim mengeluarkan
catatan dari balik lemari tadi.
The newcomers to Islam. "Orang-orang yang baru saja masuk Islam"
Mualaf?" sahut Rangga terkesiap.
Tapi aku masih belum bisa mendapatkan benang
merah antara berkah mualaf dengan lokasi masjid di
Danube. Bagaimana mungkin masjid ini
mendapatkan berkah dari danau musim "panas?"
"Ini adalah daftar nama orang yang masuk Islam.
Di antara mereka adalah yang tadinya senang
berjemur dan menikmati suasana musim panas di
tepi Danube," ucap Imam Hashim berusaha
menjelaskan benang merah yang dia maksudkan
kepadaku,sedikit demi sedikit.
"Maksud Imam, masjid ini seperti mengirim
hidayah kepada mereka?" tanya Rangga memastikan
maksud sang imam. "Seperti itulah kira-kira." Mungkin saja mereka
penasaran dengan masjid yang sering
mengumandangkan suara azan. Penasaran apa sih
masjid itu. Apa sih isinya"."
Aku mulai paham maksudnya. Sekilas masjid ini
memang tak layak berdiri di tempat yang penuh
117 godaan duniawi. Tapi di balik semua itu, siapa yang
pernah menyangka suara azan yang sayup dan
samar, juga ikamah bisa menggetarkan hati dan
perasaan orang yang ber-sun bathing di rerumputan
Danube" "Hidayah turun tak pernah tahu di mana dan
bagaimana. Tidak semua orang yang mengucap
syahadat mendapatkannya saat di Sungai Danube.
Banyak cara dan jalan ketika hidayah itu muncul,
lalu meresap ke dalam hati dan jiwa."
Hidayah. 118 Aku jadi teringat cerita Oznur tentang Ezra.
Seseorang yang mendapatkan hidayah dari Allah
dengan cara unik. Hidayah itu datang dari senyum
dan aura persahabatan yang disebarkan Latife.
"Cara seperti apa yang biasanya dialami para
mualaf ini, Imam" Maksud saya"mmm"apakah
semua orang bisa menerima hidayah?" tanya
Rangga. Pertanyaan Rangga itu juga merupakan
pertanyaanku. Islam adalah agama yang benar dan
lurus untuk jalan menuju surga. Itu adalah
keyakinanku dan keyakinan kita semua. Lalu,
bagaimana Islam memandang orang-orang
nonmuslim" "Pada dasarnya semua orang mendapatkan
hidayah itu. Pada satu titik dalam kehidupannya,
setiap manusia di dunia ini pada dasarnya pernah
berpikir tentang siapakah dirinya, mengapa dan
untuk apa dia hidup, dan adakah kekuatan di atas
kekuatan hidupnya. Hanya saja ada yang kemudian
mencari dan menelisik, ada pula yang membuangnya
jauh-jauh atau melupakannya. Yang mencari pun
ada yang caranya salah dan keliru. Dan sebagainya
dan sebagainya." "Tapi pada akhirnya, semua kembali ke individu
itu sendiri. Ketika orang sudah mempunyai
pendirian, kita tidak berhak mengusiknya. Orang
yang datang kemari bukanlah mereka yang dipaksa,
melainkan mereka yang "mencari", sementara saya
hanya berusaha menunjukkan," tutup Imam Hashim.
Dia duduk di sebuah kursi empuk dengan bantalan
di atasnya. Tampaknya dia sudah tak terlalu kuat
untuk terus berdiri. "Seorang mualaf pernah bertanya banyak tentang
Islam. Kalau tidak salah dia seorang peneliti di
sebuah institusi kebudayaan dan sejarah Eropa.
Pengetahuannya sangat luas. Saya cukup terkesima
dengan pengetahuannya tentang Islam. Dia jatuh
cinta dengan Islam dan mendapatkan hidayah
dengan cara yang indah, lalu dia menindaklanjutinya
dengan cara yang benar."
"Cara seperti apakah itu, Imam?" kejarku
penasaran. "Ada hal yang membuatnya penasaran," Imam
Hashim melanjutkan, "apakah fakta atau dongeng
belaka. Dia mengagumi Napoleon Bonaparte.
119 120 Katanya, tadinya dia sudah jatuh cinta dengan
Islam. Dan dia tambah mantap ketika tokoh
pujaannya ternyata seorang muslim."
"Maksudnya Napoleon Bonaparte, Napoleon
Bonaparte yang itu?" tanya Rangga dengan nada
mencari kepastian bahwa di perjalanan sejarah
hanya ada satu nama Napoleon Bonaparte yang
menjadi kaisar Prancis. Imam Hashim tidak menjawab. Dia hanya
menutup kedua matanya rapat-rapat, seperti
tengah mendoakan Napoleon Bonaparte.
Mendoakan bahwa kaisar Prancis itu benar-benar
mati dalam keadaan muslim.
Imam Hashim kemudian beranjak dari kursi
empuknya. Dia mengambil sesuatu dari lemarinya.
Sebuah kartu nama dia berikan kepada Rangga.
Nama seorang perempuan tertera di sana. Dia
tinggal di Paris, Prancis.
16 Kartu nama itu teronggok begitu saja dalam laci
plastik di atas meja untuk beberapa waktu.
Teronggok bersama ratusan kartu nama yang
didapatkan Rangga dari berbagai macam acara. Bisa
dihitung dengan jari berapa kartu nama yang
akhirnya benar-benar "dipakai" setelah sekian lama.
Tumpukan kartu nama itu menggunung menjadi
satu dengan koleksi kartu nama yang kudapatkan.
Bayangkan saja, saat bekerja menjadi reporter TV
dulu, setidaknya satu kartu nama kuterima untuk


99 Cahaya Di Langit Eropa Menapak Jejak Islam Di Eropa Karya Hanum Salsabiela Rais Dan Rangga Almahendra di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

setiap hari kerjaku meliput peristiwa.
Hari itu aku terpaksa membongkar dan
mengaduk-aduk tumpukan kartu nama di laci.
Sebulan lagi aku akan pergi ke Paris. Rangga akan
menghadiri sebuah konferensi di sana. Entah
mengapa hanya kartu nama pemberian Imam
Hashim yang berputar-putar di otakku.
Keterpaksaan terkadang menjadikan kita mandiri.
121 Aku tahu saat memutuskan ikut Rangga ke Paris,
aku akan berjalan-jalan sendiri berkeliling kota
tanpa kawan. Ketika bayangan ini datang, hanya
satu nama yang tiba-tiba menyembul dalam cairan
otakku, yang kuharapkan bisa menjadi teman
jalan-jalanku. Marion Latimer. Nama di kartu nama pemberian
Imam Hashim. " " 122 Aku tak menyangka e-mailku dibalas cepat oleh
Marion. Kami saling berbalas e-mail. Ada yang
menarik tentang dia. Walaupun belum pernah
melihat wajah apalagi mengenal kepribadian
masing-masing, dia setuju menemaniku jalan-jalan.
Dia juga mengingatkan sesuatu via e-mail.
Paris n"est pas qu"une question de Tour Eiffel et de
Louvre. Cela va bien au del? de ces "petits
b?timents". J"ai trouv? ma foi ici.
Paris tak hanya tentang Eiffel atau Louvre. Lebih
dari dua bangunan "kecil" itu. Aku menemukan
imanku di sini. Walaupun belum mengerti bahasa puitisnya ini,
segera kubalas e-mail Marion. Kuucapkan terima
kasih atas kehangatan surat-menyurat via e-mail.
Kami sepakat untuk bertemu di sebuah meeting point
bernama Saint Michel di Paris. Dari sana dia akan
mengantarkan kami ke hotel.
Aku tercenung dengan semua kebetulan yang
dimudahkan ini. Tiba-tiba aku teringat kembali
kepada Fatma. Tentang cita-cita kami berdua di
depan hiasan magnet di dinding dapurnya. Cita-cita
menjelajah Eropa bersama. Agaknya cita-cita itu
tidak akan kesampaian. Entah mengapa aku ingin menulis e-mail ke
Fatma. Meskipun aku tahu tidak ada gunanya.
Sudah berkali-kali aku mengirimkan surat elektronik
untuknya sejak hari terakhir di kelas Jerman itu. Dia
tidak pernah membalasnya. Fatma bagaikan
manusia yang tiba-tiba hadir dalam hidupku tanpa
asal-usul, lalu secara tiba-tiba pula dia menghilang.
Entah dia sebenarnya membaca e-mail-e-mailku
atau tidak. Sebuah e-mail pendek tetap kukirim untuk
Fatma. Bagaimanapun, penjelajahan di Eropa harus
tetap dimulai meskipun tanpanya.
Fatma, ternyata bukan Istanbul dan Cordoba yang
menjadi perjalanan kita yang pertama. Perjalanan yang
pertama adalah ibu kota wisata Eropa, Paris!
Cha mp Elys ees Obelisk Concarde Trocadero Eiffel 7 ?me arrondissement Champ de Mars 124 Bagian 11 17 " Paris Laki-laki tua itu memacu kudanya, namun
pandangan matanya semakin kabur.
Jantungnya berdegup kencang. Kontrolnya
terhadap kuda begitu limbung. Dia
terperosok ke dalam parit yang dibuatnya
sendiri. Jatuh terjerembap ke dasar parit
yang dalam. Sangat dalam.... Tuilerie 2 ?me arrondissement Obelisk Concarde Tuileries 3 ?me arrondissement 1 ?me arrondissement Louvre Paris Ile de la Cite 6 ?me arrondissement St. Michel 4 ?me arrondissement Notre ?ame Cathedral Arab World Institute 5 ?me arrondissement Masjid Paris Jantungku berdegup kencang. Aku membuka mata.
Mataku begitu berat. Sejurus kemudian aku
menemukan diriku terguncang-guncang saat roda
pesawat menyentuh bumi dengan serampangan.
Seperti jatuh terjerembap.
Dua tas kabin jatuh dari kompartemen karena tak
tahan terhadap entakan pesawat. Tanganku dan
tangan Rangga bertaut, sama-sama mencengkeram
bahu tempat duduk kami dengan erat. Kami tak
125 126 yakin apakah sang pilot mampu mengendalikan laju
pesawat yang oleng ke kanan dan ke kiri itu. Aku
memandang sekeliling. Aku melihat muka-muka
penumpang lain yang begitu pasrah.
Ya Allah, bekal akhirat kami belum tuntas. Biarkan
kami terus hidup beberapa waktu lagi. Hanya doa itu
yang kami panjatkan dalam drama 2 menit
pendaratan yang tak mulus itu. Dua menit serasa
berjam-jam saat kita dilanda ketegangan. Antara
hidup dan mati. Pesawat Wina"Paris itu akhirnya tak lagi
bergerak melenceng. Genggaman tanganku di
tangan Rangga merenggang. Telapak tanganku
begitu berkeringat. Beberapa detik kemudian, suara
tepuk tangan menyemarakkan kabin pesawat. Entah
apa yang orang-orang ini pikirkan. Tapi aku yakin,
Tuhan baru saja mendegarkan dan mengabulkan doa
kami. "Kau tadi tak sempat melihat indahnya Paris dari
atas," ucap Rangga memecah kekosongan pikiranku.
Aku memang tertidur di pesawat sejak pesawat lepas
landas. Dan anehnya, suamiku itu juga lupa
membangunkanku karena tersihir kecantikan Paris
pada malam hari. "Indah sekali. Paris pada malam hari seperti
hamparan permadani cahaya. Kerlap-kerlip
keemasan terpancar dari jutaan lampu gedung,
rumah-rumah, dan mobil yang lalu-lalang.
Semuanya begitu terstruktur, tidak morat-marit.
Lautan cahaya mini yang berpendar menembus
pekatnya atmosfer malam Eropa. Welcome to Paris,
Hanum. Paris, la Ville-Lumiere. The City of Lights,"
ujar Rangga layaknya seorang pramugara
memberikan sambutan dalam kabin pesawat. Aku
hanya bisa bersungut-sungut.
Paris memang mempunyai daya tarik yang luar
biasa. Inilah kota yang paling terang cahayanya di
benua Eropa. Tak hanya menjadi ibu kota peradaban
Eropa, tapi juga menjadi pusat peradaban paling
maju di dunia. Manusia berbagai bangsa bisa
ditemukan di kota ini. Siapa pun pasti tersihir untuk
datang ke sini. Kau belum dianggap ke Eropa jika tak menginjakkan
kaki di bumi Paris, demikian kata buku-buku
traveling. 127 18 128 "Wa"alaikumsalam, Sister Marion," jawabku di ujung
telepon ketika Marion menelepon saat kami berjalan
beberapa detik di gardarata pesawat.
"Jadi, di manakah Saint Michel itu?" tanyaku
sambil menghidupkan mode speaker agar Rangga
mendengarkan pembicaraan kami.
"Jangan khawatir Sister, aku akan memandumu.
Bandara Charles de Gaulle terletak 25 km dari pusat
kota Paris. Suamimu ikut juga, kan" Kalian bisa naik
kereta dari bandara ini dan nanti aku akan
menjemput kalian di stasiun pusat kota, ? bient?t.
Sampai nanti." Aku tiba-tiba merasa begitu dekat dengannya.
Seperti kali itu kami sedang berkunjung ke saudara
jauh. Kata-kata "sister" di antara kamilah yang
membuat kami terkoneksi. Rangga dan aku mendengarkan baik-baik
penjelasan Marion di telepon cara kami mencapai
Saint Michel dengan kereta bawah tanah atau
Metro. Sungguh sebenarnya kami tak perlu
mengandalkan Marion untuk mencapai tempat yang
dimaksud. Ini adalah kedua kalinya Rangga ke Paris,
namun aku tak ingin mengangkat isu itu dalam
percakapan kami. Tak sulit menemukan stasiun kereta di bandara
Charles de Gaulle. Setelah sampai pintu keluar, kami
berjalan menyusuri lorong-lorong mengikuti arah
panah bergambar kereta api. Kami tidak sendiri,
ternyata sebagian besar penumpang pesawat tadi
juga berjalan ke arah yang sama. Kurang dari 10
menit kami menemukan stasiun bandara.
Sebuah mesin penjualan tiket otomatis berwarna
hijau bertuliskan Billetterie Ile-de-France bertengger
di beberapa sudut. Di atas mesin itu aku melihat
papan pengumuman yang ditulis sangat mencolok:
RER B"All trains go to Paris = Platform 12.
Inilah kereta yang dimaksud Marion. Setelah
mengantungi tiket, kami berdua menarik koper dan
berjalan menuju peron 12.
Memahami sistem perkeretaan dalam kota di
negara baru tidak sepenuhnya menyelesaikan
masalah. Meskipun peta sudah dilengkapi bahasa
Inggris, memahami peta yang begitu ruwet tetap
bukan perkara mudah. Dan di Paris, semuanya
menjadi terlihat lebih parah karena orang-orang
lokal sungkan berbicara Inggris meskipun bisa.
129 130 Untuk itu, bekal penguasaan bahasa Prancis"paling
tidak yang sangat dasar"bisa menolong kebutaan
kita saat berjalan-jalan di Prancis. Itulah pesan
Marion via e-mail. Tentu, hal itu bukanlah hal yang gampang juga.
Akhirnya "Parlez vous Anglais?" (Apakah Anda bisa
berbicara bahasa Inggris") menjadi kata kunci yang
kami gunakan untuk mendeteksi apakah lawan
bicara kami bisa berbahasa Inggris. Begitu dia
menggeleng, kami langsung mencari mangsa lain
hingga menemukan orang yang mengangguk. Usai
dengan semua penelusuran peta dan penjelasan dari
seorang anak muda yang sangat meyakinkan, kami
baru berani menaiki sebuah kereta.
Kami turun di stasiun Saint Michel, dua stasiun
setelah stasiun Gare du Nord, stasiun utama dan
terbesar di kota Paris. Di sinilah Marion bilang akan
menunggu kami. Aku melihat serombongan turis yang asyik
berfoto di bawah patung besar. Patung sosok lakilaki gagah bersayap; tangan kanannya mengangkat
pedang sementara tangan kirinya menunjuk lurus ke
langit. Kakinya menjejak igur patung lain yang juga
bersayap dan tampaknya telah dia kalahkan. Patung
ini terlihat makin megah karena diapit dua air
mancur yang keluar dari mulut patung naga di
sebelah kanan dan kirinya.
"Hanum Indonesia!"
Sebuah suara mengagetkanku dari belakang.
Kata-kata itu langsung membuat kami menoleh.
Itulah kali pertama kami melihat Marion Latimer.
Perempuan yang selama ini hanya kukenal lewat
e-mail selama kurang dari sebulan. Taktiknya untuk
mengenali kami begitu cerdik. Memanggil namaku
dan kebangsaanku dirasa cukup untuk membedakan
kami dari beberapa turis Melayu yang juga
berkeliaran di pelataran Saint Michel.
"Tu dois ?tre Hanum et tu dois ?tre Rangga," kata
Marion sambil menjulurkan tangannya padaku dan
Rangga dengan sangat akrab, seperti telah lama
berkenalan. Ternyata dia jauh lebih tinggi daripada
yang aku bayangkan. Seorang bule asli menyambut


99 Cahaya Di Langit Eropa Menapak Jejak Islam Di Eropa Karya Hanum Salsabiela Rais Dan Rangga Almahendra di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kami dengan begitu hangat dan akrab, lebih
daripada yang pernah kubayangkan. Satu hal yang
menarik perhatianku: dia berjilbab.
Jarang aku menemukan orang asli Eropa yang
memakai jilbab. Orang berjilbab yang kutemui
biasanya warga keturunan atau imigran.
"Nice veil," sanjungku.
"Merci. Buatku rukun Islam itu ada 6. Yang
keenam adalah menjaga kehormatanku dengan
jilbab," ujar Marion tersipu-sipu.
Rangga berdehem sambil menyentil bahuku. Aku
tahu maksud Rangga. Dia menyindirku yang tak
berjilbab ini. "Aku ingin tahu, apa yang membuatmu tertarik
pada Islam. Mungkin aku bisa belajar banyak
darimu," ucapku setengah bercanda.
131 132 Marion hanya tersenyum simpul. Kemudian aku
dan Rangga berjalan mengikutinya.
"Jangan khawatir Hanum, aku akan mengajakmu
jalan-jalan mengenal sisi lain kota Paris, yang pasti
akan membuatmu makin jatuh cinta dengan
agamamu. Aku mengenal Islam justru dari kota ini.
Aku memeluk Islam karena...Paris."
Aku masih tak percaya mendengar kata-kata
terakhirnya. Kata-kata puitisnya di e-mail juga
seperti itu. Setahuku Paris identik dengan kota
pusat mode, pusat belanja, Menara Eiffel, atau
Museum Louvre. Tak ada satu pun yang menjalin
hubungan erat dengan dunia Islam.
"Ayo, kita jalan menuju mobilku," ajak Marion
kepada kami. "Hm...sebentar, Marion. Sebelum kita pergi,
bisakah kauambilkan foto kami di depan patung
Saint Michel ini?" kata Rangga sambil mengangkat
kamera dari kalung di lehernya.
"Bien s?r. Tentu saja, Rangga. Kalian tahu kan
patung siapa ini?" "Ya Marion, aku pernah melihat patung seperti
ini di Wina, tapi tidak sebesar ini," kataku sambil
berpose di samping Rangga.
"Bukan hanya di Paris dan Wina, hampir setiap
kota di Eropa memiliki Saint Michel sendiri-sendiri,"
ungkap Marion sambil menyerahkan kembali
kamera kami, "namanya sering disebut dalam
Al-Qur"an. Salah satu dari malaikat yang kita
yakini." Aku berpikir sejenak, mencari nama malaikat
yang paling mungkin disebut Michel.
"Maksudmu, malaikat Mikail" Malaikat yang
diberi tugas oleh Allah untuk menyebar rizki?" tanya
Rangga. "Islam mengenalnya demikian, tapi umat Kristen
dan Yahudi memiliki intepretasi lain dari Mikail.
Dalam tradisi Kristen, dia dikenal sebagai malaikat
perang, atau lebih tepatnya malaikat pelindung.
Sementara di Yahudi, Mikail berarti "dia yang
menyerupai Tuhan"."
Aku dan Rangga mengernyitkan dahi mendengar
cerita Marion. Sebuah pengetahuan baru. Betapa
malaikat Mikail diterima nilai-nilai kemalaikatannya
secara berbeda-beda oleh berbagai pemeluk agama.
"Kalau begitu, sosok bersayap di bawah kaki
patung Saint Michel itu pasti imajinasi igur setan,
ya?" tanyaku memastikan sembari melihat igur
makhluk bertanduk yang diinjak Saint Michel.
Marion mengacungkan jempolnya untukku,
memberi apresiasi akan jawaban yang benar. Dia
mengeluarkan kunci mobil dari saku jaketnya. Tak
terasa kami telah berjalan sekitar 15 menit
menyusur Boulevard Saint Michel. Aku bergerak
menuju bagasi mobil Marion untuk menaruh
ranselku. "Sengaja aku memarkir mobilku dekat Place de la
Sorbonne. Kau tentu pernah mendengar tentang
133 134 Universitas Sorbonne, kan" Sewaktu kuliah dulu,
aku sering menghabiskan waktu di sini, di daerah
Latin Quarter. Salah satu tempat favoritku di Paris."
"Jadi dulu kau mengambil kuliah di Sorbonne"
Bidang apa, Marion?" tanya Rangga.
"Aku mengambil jurusan Sejarah. Lebih spesiik
lagi Studi Islam Abad Pertengahan," kata Marion
sambil menghidupkan mesin mobil. Aku dan Rangga
langsung mendeduksi mengapa Marion akhirnya
memilih untuk memeluk Islam.
"Jadi itu yang membuatmu mengenal Islam?"
tanyaku sambil duduk di sebelah Marion dan
mengencangkan sabuk pengaman, sementara
Rangga duduk di jok belakang.
Marion menjawab dengan senyuman. Kemudian
dia mengemudikan mobil pelan-pelan, kembali
menyusuri Boulevard Saint Michel. Pada lampu
merah pertama dia membelokkan mobil ke kiri.
"Kalian lihat bangunan besar di depan itu" Itu
adalah Pantheon. Dulu gereja, sekarang kuburan.
Banyak orang terkenal yang dikubur di sana," ucap
Marion sambil menunjuk sebuah bangunan artistik
tepat di depan kami. Bangunan itu tinggi dan besar,
beratap kubah, dan disangga 6 pilar berukuran
raksasa. Bangunan ini sangat mencolok karena
ukuran dan posisinya tepat di tengah jalan.
Kubahnya menyerupai rotunda gedung Capitol Hill
di Washington DC. Takkan ada yang mengira
bangunan semewah itu ternyata tempat tubuh
manusia bersemayam abadi.
Aku menatap Pantheon beberapa saat sebelum
Marion akhirnya mempercepat?laju mobil.
Bangunan itu mengingatkanku akan Masjid Istiqlal,
hanya saja kubah Pantheon lebih tinggi.
"Siapa saja yang dikubur di situ" Tokoh-tokoh
gereja?" tanyaku penasaran.
"Tidak juga. Kebanyakan justru tokoh sastrawan,
ilsuf, atau ilmuwan. Mungkin kalian pernah
mendengar nama-nama Victor Hugo, Voltaire, Marie
Curie, atau Louis Braille, sang penemu huruf Braille
untuk orang buta?" Aku mengangguk-angguk seraya berpikir tentang
latar belakang tokoh-tokoh tersebut. Semua tokoh
sekuler. Sama sekali tidak ada tokoh gereja.
"Salah satu yang menarik mungkin Voltaire," kata
Marion. Terus terang aku tak pernah mendengar nama itu
sebelumnya. "Sastrawan, ya" Sekilas aku pernah
mendengarnya," tebak Rangga sekenanya.
"Bisa dibilang begitu. Orang yang sangat
kontroversial. Dia pernah membuat fragmen drama
berjudul "Le fanatisme, ou Mahomet le Prophete".
"Fanatisme atau Muhammad Sang Nabi"."
"Oh, ya" Aku belum pernah dengar ada ilsuf
besar Eropa yang menulis riwayat Nabi
Muhammad," kata Rangga dengan sedikit
menjulurkan kepalanya ke depan untuk memastikan
135 136 Marion bisa mendengar kata-katanya.
"Memang dia tidak menulis riwayat Rasulullah.
Dalam drama itu, dia menggambarkan karakter Nabi
Muhammad secara negatif," jawab Marion
"Voltaire mempersembahkan kisah laki-laki
bernama Seid atau yang kita kenal sebagai Zaid
Ibnu Harithah. Fanatisme Zaid terhadap ajaran Nabi
Muhammad justru membuatnya gelap mata
sehingga akhirnya Zaid membunuh ayah
kandungnya sendiri."
Aku mencoba mengingat-ingat kisah tentang
Zaid dalam tarikh Islam yang pernah kudengar.
Seorang anak angkat Rasulullah, tapi tak ada satu
penggal pun cerita Zaid yang menyerupai drama
Voltaire itu. "Itu benar-benar cerita itnah, Marion," kataku.
Perasaanku terluka dengan cerita bohong Voltaire.
"Memang, Hanum," jawab Marion mengangkat
bahunya. "Itu hanya imajinasi Voltaire. Akhirnya
dia mengaku bahwa cerita tentang Nabi Muhammad
yang dia buat tidak berdasarkan fakta sejarah. Dia
punya misi lain di balik penyebaran cerita bohong
tersebut. Dia ingin menunjukkan bahwa fanatisme
berlebihan terhadap suatu agama hanya akan
menimbulkan kehancuran jiwa. Sebenarnya dia
menyindir hegemoni gereja saat itu, melalui
tindakan mendistorsi sejarah agama lain."
"Mungkin dia ingin berkata bahwa fanatisme
agama dengan segala bentuknya merupakan sumber
segala perselisihan, musuh bersama umat manusia,"
ujar Rangga berkesimpulan.
Aku terdiam sejenak memikirkan ide Voltaire ini.
"Bagiku, terdengar seperti kata-kata seorang ateis."
"Memang dia seorang ateis, Hanum. Tapi terlepas
dari itu, kalian tahu apa kata-kata terakhir yang dia
ucapkan menjelang kematiannya?"
"Apa yang dikatakannya?" mataku tertuju kepada
Marion. "Ya Tuhan, tolong...aku ingin mati dengan
damai...." Aku tercenung beberapa saat mendengar kisah
Voltaire. Sejauh-jauhnya orang terhadap agama,
pada akhirnya dia tak akan sanggup menjauhkan
Tuhan dari hatinya. Meski pikiran dan mulutnya bisa
mengingkari-Nya, ruh dan sanubari manusia tidak
akan pernah sanggup berbohong.
"Anehnya lagi, kira-kira 30 tahun setelah menulis
fragmen drama tentang Muhammad, dia kembali
menulis sebuah esai tentang Islam, agama yang
menjunjung toleransi. Bahkan dia mengaku kagum
dengan kepemimpinan Nabi Muhammad yang adil
dan toleran." "Jangan-jangan dia masuk Islam diam-diam?"
tanyaku berandai-andai. Marion tersenyum lagi. Dia mengangkat kedua
bahunya. "Tak ada yang tahu rahasia hati manusia kecuali
Tuhan, kan?" ucap Marion singkat.
137 138 "Sayang, hingga kini dia tetap dikenal oleh dunia
barat sebagai tokoh ateis, meski dia pernah berkata:
Kalaupun seandainya Tuhan itu tidak ada, kita tetap
harus mencari-Nya." Aku dan Rangga termangu cukup lama
mendengar kalimat terakhir Marion. Kehidupan
Voltaire begitu labil. Aku hanya bisa berharap
hidayah itu pernah datang dalam suatu titik
kehidupannya yang tak pernah tersibak selamanya.
"Aku sendiri berpendapat pandangannya tentang
Islam, agama, dan konsep ketuhanan berubah sejak
dia membaca karya ilsuf bernama Averro?s."
"Maksudmu Ibnu Rushd?" timpal Rangga.
"Ya benar, tentunya kalian sudah pernah
mendengar tentang dia sebelumnya."
"Ya, aku tahu Averro?s seorang pemikir dan ilsuf
besar Islam dari Andalusia, tapi aku tak begitu
mengenali karya-karyanya," kataku.
"Aku bisa bicara semalam suntuk hanya untuk
membicarakan kehebatan Averro?s ini". Tapi,
bagaimana kalau kita simpan topik ini untuk besok"
Kalian pasti sudah sangat lelah."
Aku sebenarnya agak kecewa mendengar jawaban
Marion, tapi mataku memang sudah tidak bisa
diajak kompromi. "Oya, jadi apa rencana kalian besok?" Marion
bertanya kepada kami berdua.
"Well, Rangga harus menghadiri konferensi
seharian, sedangkan aku belum punya agenda
khusus. Mudah-mudahan kau bisa menemaniku
jalan-jalan." "Ya, tentu saja. Kebetulan besok aku free, jadi kita
bisa berkeliling kota Paris. Oke, kita sudah sampai di
hotel kalian. Besok kujemput jam 9?" tanya Marion
dengan nada yang tak menginginkan bantahan
dariku. Aku hanya mengiyakan kata-katanya. Kedua
tangannya masih tetap berada di atas kemudi mobil.
Aku kemudian termangu, membuang jauh
pandanganku keluar jendela mobil. Dari kejauhan
aku bisa melihat pancaran sinar dari Menara Eiffel
yang kali itu menyalakan iluminasi biru laut, serasi
dengan horizon cahaya kota Paris. Cahaya itu
menari-nari membentuk simfoni malam.
Aku sudah tidak sabar menunggu esok untuk
berjalan-jalan dan mendengarkan rahasia lain dari
Paris, seperti yang Marion tulis dalam e-mail.
Paris yang penuh misteri.
139 19 140 Marion menepati janjinya. Tepat pukul 09.00 pagi


99 Cahaya Di Langit Eropa Menapak Jejak Islam Di Eropa Karya Hanum Salsabiela Rais Dan Rangga Almahendra di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dia sudah menunggu di lobi hotel. Rangga sudah
terlebih dulu meninggalkan hotel menuju tempat
konferensi setengah jam sebelumnya.
"Jadi, mana tujuan utamamu" Eiffel" Lafayette"
Champ Elysees" Moulin Rouge?" ujar Marion
seakan-akan dia tahu semua orang yang pergi ke
Paris pasti ingin berbelanja atau setidaknya berfoto
di bawah Eiffel"menara yang konon paling
legendaris itu. Aku menggeleng. Aku memang sudah meniatkan datang ke Paris
untuk mendampingi suamiku konferensi sekaligus
jalan-jalan. Namun, kata-kata Imam Hashim tentang
Marion, mualaf yang pengetahuan Islam-nya begitu
dalam, agaknya menjadi pelecut bagiku untuk
mencari sesuatu yang "lebih". Kalaupun harus
mengunjungi tempat-tempat yang disebutkan
Marion tadi, mereka akan menjadi kunjungan
terakhirku nanti bersama Rangga.
"Aku ingin mengeksplorasi tempat bersejarah
yang ada kaitannya dengan keahlianmu, Marion,"
jawabku akhirnya. Marion berpikir sejenak, mencaricari tempat yang paling pas untuk kukunjungi.
"Kalau kau tertarik menelusuri peninggalanpeninggalan sejarah, kita bisa mulai dari Museum
Louvre"." Aku bersemangat mendengar pilihannya. Siapa
yang belum pernah mendengar tentang Museum
Louvre" Museum dengan koleksi terlengkap di
seluruh dunia. Setiap tahunnya lebih dari 10 juta
orang berkunjung ke museum ini. Jumlah ini hampir
4 kali lipat jumlah wisatawan yang datang ke pulau
Bali setiap tahunnya. Museum ini mengoleksi lukisan-lukisan karya
maestro dunia, seperti Rembrandt, Michel Angelo,
Rafael, Reubens, dan tentunya lukisan Mona Lisa
karya Leonardo Da Vinci yang tersohor itu. Namun,
bukan hanya itu yang membuat Louvre menarik
untuk dikunjungi. Kelengkapan koleksinyalah yang
sangat sayang jika dilewatkan. Museum ini
menyimpan peninggalan dari zaman ke zaman, dari
imperium ke imperium, yang kuyakini bisa
memberiku banyak pengetahuan.
" " 141 142 Hari itu kami sepakat berkeliling kota dengan
kereta bawah tanah, atau yang disebut Metro. Aku
senang karena di stasiun-stasiun keretalah
sesungguhnya aku bisa ikut merasakan denyut
aktivitas kehidupan masyarakat setempat.
Kami naik Metro jalur 1 untuk menuju Museum
Louvre. Gerbong kereta yang cukup sesak oleh
penumpang membuatku tak bisa leluasa berdiskusi
dengan Marion selama perjalanan. Aku melihat
beberapa tempelan stiker di dalam Metro. Salah
satunya sebuah stiker bergambar tas dengan tangan
yang diam-diam merogoh ke dalamnya. Tampaknya
aksi pencopetan kerap terjadi dalam Metro sehingga
pihak keamanan Metro perlu membuat peringatan
khusus mengenai hal ini. Kereta kami berhenti di Stasiun Louvre-Rivoli.
"Ayo Hanum, kita sudah sampai," kata Marion
sambil menarik pergelangan tanganku keluar dari
Metro. Aku melihat ratusan orang lain menghambur
keluar dan merangsek masuk pada waktu yang sama.
Stasiun ini tampak begitu padat. Tak heran stikerstiker tadi ditempel di berbagai tempat di sudut
stasiun. Aku perhatikan interior dalam stasiun; tampak
berbeda dibandingkan stasiun-stasiun lainnya.
Dekorasi stasiun ini sudah disulap menyerupai galeri
museum. Patung mumi mesir, patung antik abad
Renaissance, dan beberapa lukisan membuat tempat
ini terlalu mewah dan elegan untuk ukuran stasiun
kereta bawah tanah. "Ini adalah salah satu stasiun Metro tertua di
Paris, didirikan tahun 1900," kata Marion saat kami
menaiki anak tangga yang sangat tinggi.
Aku hampir tak percaya. Lebih dari 100 tahun
yang lalu orang-orang Eropa telah berpikir cara
menanggulangi hiruk-pikuk kendaraan dan
kemacetan. Rasanya langsung ciut hatiku mengingat
Jakarta. Jakarta yang terus berpikir bagaimana
mengatasi kemacetan dalam kurun waktu 20 tahun
terakhir, namun tetap saja nihil hasilnya.
Aku masih belum bisa membayangkan orang
pada waktu itu bisa membangun terowongan yang
berkelok-kelok di bawah tanah, menembus bawah
Sungai Seine tanpa dibanjiri airnya, atau tanpa
merusak bangunan-bangunan di atasnya.
Tiba-tiba Marion membuyarkan lamunanku. "Ayo
Hanum, kita harus berjalan lebih cepat, jangan
sampai kita mengantre di konter tiket di belakang
turis-turis itu." Beberapa saat setelah berhasil menundukkan 50
anak tangga keluar dari stasiun Louvre Rivoli, aku
dan Marion bisa menghirup udara segar. Di depan
kami puluhan rombongan turis berjalan perlahanlahan menghambat laju gerak kami.
Aku sudah siapkan mental, akan ada ribuan
orang menyerbu Museum Louvre. Maklum, manusiamanusia Eropa selalu mendambakan cuaca seperti
143 144 kali ini. Cuaca dengan hawa tengah-tengah"tak
terlalu panas dan tak terlalu dingin. Matahari yang
bersinar kuning keemasan membuat siapa pun akan
merasa sia-sia menghabiskan hari itu hanya dengan
berdiam di rumah. Orang-orang keluar rumah dan menengadahkan
wajah menghadap matahari. Seperti kucing yang
manja saat dielus-elus lehernya. Sinar surya
memendarkan pucuk-pucuk bangunan gaya
Renaissance yang berdiri di depanku.
Bangunan itu memiliki tiang-tiang penyangga
begitu solid. Bagian tengahnya dipahat dengan
relief yang sangat elegan. Di puncak bangunan
bertengger kubah-kubah yang menantang matahari.
Jejeran bangunan itu melingkar membentuk
paviliun-paviliun bercabang dengan pelataran
sangat luas. Namun, ada pemandangan ganjil yang
kulihat tepat di tengah pelataran kompleks Museum
Louvre itu. Bangunan piramida gelas raksasa modern
sekilas merusak harmoni kemegahan yang tersaji di
depanku. Setelah lama kuperhatikan, justru struktur
piramida gelas itulah yang menjadi pusat energi di
kompleks museum ini. Paviliun raksasa yang
mengelilinginya bagai tertunduk hormat menghadap
sang piramida. Turis yang berada di depan kami
langsung berteriak kegirangan menyaksikan
pemandangan ini. Piramida itu begitu memikat
hingga turis tadi berlonjak-lonjak seperti melihat
harta karun. Meskipun kalah tinggi dengan bangunan di
sekitarnya, piramida gelas itu seperti ingin
menunjukkan pesonanya sendiri saat bersaing
dengan Menara Eiffel yang kokoh berdiri di
kejauhan. Di salah satu sisinya, kulihat antrean yang
mengular. Rupanya piramida itu menjadi pintu
masuk utama Musee de Louvre atau Museum Louvre.
Aku dan Marion langsung bergegas masuk barisan
antrean. Napoleon Hall. Hall lantai bawah tanah yang tak
kalah luasnya dengan pelataran di atasnya.
Kemegahan museum ini langsung tersibak hanya
dari hall-nya. Piramida-piramida yang ada di atas
ternyata menembus garis permukaan tanah
membentuk piramida terbalik dengan pucuk di
lantai Napoleon Hall. Persis seperti penggambaran
Dan Brown di Da Vinci Code saat Robert Langdon
memburu keberadaan Holy Grail. Sungguh bangunan
kontemporer yang indah! Tiba-tiba aku terpikir, mungkinkah Brown
berfantasi"?Ataukah cawan suci Yesus Kristus itu
benar-benar ada di sana" Di bawah titik pucuk menara
piramida yang terbalik itu"
Marion menepuk bahuku, membuyarkan rasa
penasaranku. "Aku mengantre tiket dulu. Kalau kau mau, kau
berjalan-jalan saja," Marion mengedipkan matanya
padaku. 145 146 "Baik, kau mengantre, aku berkeliling hall. Tapi
sebagai gantinya, aku membayarimu tiket masuk.
Anggap saja upah mengantre," gantian aku
mengedipkan mata kepadanya.
Kuserahkan lembar kuning uang kertas nominal
50 Euro padanya. "Merci beaucoup. Terima kasih
banyak," Marion mengecup lembar uang 50 Euro itu
lalu menempatkan diri di barisan antrean.
Sembari menunggu Marion mengantre, aku
berkeliling Napoleon Hall. Mataku menyusuri
sudut-sudut ruang istana Louvre yang menggelar 2
halaman utama"Cour Napoleon dan Cour Visconti.
Bangunan futuristik piramida gelas tadi berada di
tengah-tengah Cour Napoleon.
Mata kuedarkan kembali ke langit-langit aula
yang mengumbar ribuan gelas berbentuk belah
ketupat berlian. Berkali-kali jepretan menghambur
dari kameraku. Bangunan ini memang genius.
Dengan atap semacam itu, sorot cahaya matahari
tak perlu menelikung lewat jendela-jendela, tetapi
bisa langsung masuk ke dalam bangunan di bawah
tanah. Membuat para pengunjung betah berlamalama dalam bangunan itu tanpa merasakan
kegelapan. Dari kejauhan kulihat Marion berbincangbincang dengan petugas loket. Dia kembali berjalan
ke arahku sambil membawa peta lipat denah lokasi
galeri-galeri di Museum Louvre, kemudian
membukanya di depanku. "Ternyata museum ini besar juga, ya"," mataku
menyusuri denah yang dibawa Marion.
"Sehari tidak akan cukup untuk melihat
semuanya"okay, kita mau mulai dari mana?" tanya
Marion sigap. Aku tak menjawab pertanyaannya. Dengan
mantap aku menunjuk salah satu tulisan di denah
itu. Marion tersenyum membaca tulisan di bawah
ujung jariku. Section Islamic Art Gallery.
147 20 148 Di denah itu dituliskan bahwa Galeri Islam terletak
di Lantai 1 Richeliu Wing. Aku dan Marion kemudian
mempercepat langkah menuju Richeliu Wing.
Tiba-tiba langkah Marion terhenti di depan
papan pengumuman. Islamic Gallery sementara ditutup untuk
rekonstruksi. Aku hampir terpekik membaca pengumuman itu.
Kenapa semua ini harus terjadi" Kenapa hanya
Galeri Islam yang direkonstruksi" Dan kenapa pula
renovasinya pas sekali dengan waktu kedatanganku kali
ini" Marion menghampiri seorang petugas berbaju
seragam yang kedapatan menguap. Petugas itu
seperti bosan dengan pekerjaannya menunggu ruang
yang tengah direnovasi. Dia memberi tahu bahwa
kami harus kembali ke atrium Napoleon untuk
melihat koleksi peradaban Islam. Kami lalu keluar
Richeliu Wing menuju Sully Wing, sayap lain di
lantai atas. Islamic Gallery untuk sementara
dicampur dengan koleksi Mesir kuno.
Aku tak paham apa latar belakang pencampuran
ini. Mungkin para kurator di museum ini masih
terpengaruh dengan pandangan "Arab itu Islam dan
Islam itu Arab". Tapi mungkin ada baiknya juga
koleksi peninggalan Islam dijadikan satu dengan
deretan patung-patung Firaun dan Sphinx.
Setidaknya, pengunjung mau tak mau akan melihat
koleksi Islam. Setelah berjalan kurang lebih 10 menit, akhirnya
sampai juga kami ke tempat yang dimaksud petugas
itu. Ada nuansa berbeda ketika aku melangkahkan
kaki ke dalam Galeri Sully. Serasa aku masuk ke
portal dunia lain, yang membawaku terbang jauh
dari Paris. Pemandangan patung dan lukisanlukisan tanpa busana yang banyak kulihat
sebelumnya telah berganti menjadi tiang-tiang
besar kaligrafi, keramik, dan pernak-pernik
bernuansa Islam. Seperti memasuki museum di
Mesir atau Iran. Marion membiarkanku menyusuri
benda-benda dan artefak peninggalan Islam di
ruang itu. Jumlahnya mungkin ratusan. Itu yang
dipamerkan karena ada rekonstruksi. Mungkin
saja ribuan jika semua koleksi Islamic Gallery di
Richeliu dipindahkan ke Sully.
Setiap benda dilengkapi tulisan berisi penjelasan
149 150 dan sejarah singkatnya. Ada perasaan haru sekaligus


99 Cahaya Di Langit Eropa Menapak Jejak Islam Di Eropa Karya Hanum Salsabiela Rais Dan Rangga Almahendra di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sedih ketika aku membaca tulisan-tulisan itu. Aku
terharu bisa melihat warisan budaya Islam,
kaligrai-kaligrai indah di jantung pusat peradaban
benua Eropa ini. Nama-nama berbau Arab tersaji di
beberapa koleksi benda kuno. Rasa sedih menggejala
karena tiba-tiba aku merasa tersindir. Tak ada nama
yang kukenal. Aku tahu siapa itu Picasso, Rodin,
atau Van Gogh. Tapi apa itu Pyxis Al-Mughira
peninggalan Madinat Al Zahra, Stucco panel
kaligrai dari zaman Ibn Tulun"
Kulihat Marion juga tengah asyik memandangi
satu per satu benda yang terdapat di ruang itu.
Marion Latimer, seorang warga Eropa asli, justru
tertarik mempelajari warisan budaya Islam, bahkan
bersekolah jurusan Islam abad pertengahan di
sebuah universitas ternama di Paris. Menyembul
rasa iri dan malu yang merongrong sanubari.
"Marion, ini apa" Seperti bola dunia," aku
memberanikan diri bertanya padanya, sambil
menunjuk sebuah benda aneh berbentuk bola emas
dengan tulisan dan angka-angka yang tak
kumengerti. Celestial Sphere"by Yunus Ibn al Husayn alAsturlabi (1145)
"Hampir benar, tapi ini lebih daripada itu. Ini
bola langit. Lebih tepatnya peta antariksa ilmu falak
yang dikembangkan astronom Islam pada abad
ke-12." Aku kembali dibuat termangu oleh penjelasan
Marion. Sebelumnya aku terpana membayangkan
orang abad ke-19 sudah mampu membuat Menara
Eiffel dan terowongan rumit di bawah tanah. Dan
kini kudapati ada manusia yang mampu membuat
peta antariksa, gugusan bintang, dan planet di luar
angkasa pada 700 tahun sebelumnya. Dan orang itu
adalah muslim. "Sebenarnya peradaban Eropa saat ini
berkembang 5 abad terakhir saja. Jauh sebelumnya,
benua Eropa berada dalam masa kegelapan dan
keterbelakangan selama 10 abad lebih. Dan pada
saat itu, Islam adalah peradaban yang paling
terang-benderang di muka bumi ini," Marion
bercerita sambil mengajakku berjalan pelan-pelan
ke luar ruang. "Ya, aku pernah mendengar mengenai Abad
Kegelapan di Eropa. Orang Eropa kurang senang
mendengar sebutan itu. Mereka lebih senang
menyebutnya Abad Pertengahan, kan?"
Marion mengiyakan. Sebagai orang Eropa, dia
pun menganggap sebutan "Eropa Zaman Kegelapan"
sebagai sesuatu yang kurang menyenangkan. Namun
dia sadar, itu adalah fakta sejarah yang tak
terbantahkan. Dia tiba-tiba berhenti, lalu menunjuk
kamera yang terkalung di leherku.
"Teknologi lensa juga ditemukan oleh ilmuwan
151 Islam. Tanpa temuannya, dunia tidak akan pernah
mengenal kamera seperti yang kaupegang itu," ucap
Marion. Aku memandang kamera yang baru kubeli dari
sebuah toko elektronik diskon di Austria. Siapa
sangka, selama ini ribuan jepretan yang
menghambur dari lensa kameraku adalah berkat jasa
luar biasa seorang ilmuwan muslim.
Pikiranku kembali melayang ke kelas tarikh Islam
di SMA Muhammadiyah dulu. Ilmuwan Islam-lah
yang mengenalkan dasar-dasar Algoritme, Aljabar,
dan Trigonometri. Tanpa cabang ilmu-ilmu hitung
tersebut, manusia bernama Neil Alden Armstrong
takkan pernah bisa menginjakkan kakinya ke bulan.
152 21 "Ke sini, Hanum. Lihatlah ini!" teriak Marion.
Marion sudah berada di jejeran kotak pajang kaca
yang menggelar berbagai alat makan kuno. Aku tak
tahu mengapa Marion tertarik memameriku koleksi
piring, mangkok, nampan, dan pajangan dinding.
Aku sudah kenyang menyaksikan hal?yang sama di
Museum Putri Sisi di Wina dulu bersama Fatma.
Sekilas semua benda yang ditunjukkannya itu
biasa-biasa saja. Walaupun bertuliskan kaligrai
Arab, barang pecah belah tersebut tampak tidak
luar biasa. Pengaruh Cina sedikit banyak terlukis di
atas licinnya material porselen piring makan dan
aneka kerabatnya itu. Marion memfokuskan matanya pada salah satu
koleksi piring berbahan terakota. Dia memutar-mutar
kepalanya ke kiri dan ke kanan, membaca sesuatu yang
tertulis di piring. Tulisan Arab yang aneh. Aku yang
yakin bisa membaca Al-Qur"an dengan sempurna
153 merasa tulisan Arab itu tak bisa dibaca, bahkan meski
tulisan itu berbentuk Arab gundul. Aku ikut-ikut
memutar kepalaku, berusaha membaca inskripsi Arab
yang tertulis di piring itu. Mataku tak bisa menangkap
satu kata pun yang kukenal.
154 "Ah ya, benar. Masya Allah! Kata yang sangat
indah," Marion meyakinkan dirinya sendiri. Tulisan
itu berhasil dia baca. Huruf-huruf hijaiyah itu
berhasil dia pecahkan! "Tulisan apa itu?" tanyaku diliputi rasa
penasaran. "Al-"ilmu murrun syadidun il bidayah, wa ahla minal
"asali in-nihayah. Kira-kira begitu," ucap Marion dengan
bahasa Arab yang sangat lancar. Aku baru tersadar dia
bekerja sebagai peneliti di Arab World Institute Paris
yang mensyaratkan keahlian bahasa Arab.
"Al-Qur"an atau Hadis?" tanyaku memberinya
pilihan. Ungkapan Arab tadi tak pernah kudengar
sebelumnya. "Sepertinya itu tulisan Kufic. Seni kaligrafi
Arab kuno. Tak terbaca dengan pengetahuan
biasa. Sekilas hanya seperti coretan Arab yang tak
ada artinya. Tapi ini sebuah misi dakwah yang luar
biasa. Para kalifah Islam senang mengirim
cendera mata dengan pesan puitis dengan
dekorasi Kufic seperti ini kepada raja-raja Eropa
yang kebanyakan menganut Katolik Roma."
Marion memperjelas semuanya mengapa aku
gagal membaca tulisan Arab kuno itu. Tulisan
kaligrafi kuno yang tak terpikirkan olehku. Ini
berbeda sekali dengan tulisan Arab yang kukenal.
"Arti Kufic ini kurang lebih "ilmu pengetahuan
itu pahit pada awalnya, tetapi manis melebihi
madu pada akhirnya"," kata Marion melanjutkan.
Aku tertegun sejenak dengan adagium itu.
Memang sungguh indah di telinga. Juga sejuk di
hati. Kupandangi lagi piring putih tulang itu, tapi
kini mataku tertuju pada titik hitam yang menjadi
pusat lingkaran sempurna piring itu.
Jika diperhatikan, lama-lama titik hitam itu
seperti simbol yang kukenal.
"Sepertinya itu simbol "yin" dan "yang". Lambang
keseimbangan?" tanyaku pada tour guide spesialku,
Marion. Marion mengangguk.
Rupanya piring ini tak sekadar piring. Pesan
155 156 tersembunyi dalam piring itulah yang membuat
benda kuno ini jadi istimewa. Menilik dari tulisan
Arab Muslim dan pesannya tentang keutamaan
ilmu, artefak kuno ini ingin menyampaikan pesan
yang sangat mendalam. Agama dan ilmu harus membentuk keseimbangan
yang tak bisa dibentur-benturkan. Keduanya tak
boleh mengkairi yang lainnya. Baik agama dan ilmu
pengetahuan harus membuka diri satu sama lain.
Kalau tidak, kesembangan itu akan runtuh.
Kekuatan yin dan yang harus saling melengkapi,
tidak boleh saling mengingkari.
Kucermati keterangan piring itu. Hadiah untuk
seseorang dari Khurasan Iran tahun 1100.
Sayangnya keseimbangan itu terbukti pernah
runtuh. Sekitar 500 tahun kemudian Galileo Galilei,
seorang Katolik taat, justru dihukum penjara hingga
mati oleh hegemoni gereja saat itu, padahal dia
begitu mencintai Tuhannya. Dan perkataannya
kepada gereja bahwa bumi bukanlah pusat tata
surya merupakan perjuangannya membela
kebenaran Tuhan. Toh petinggi-petinggi gereja
menuduh sebaliknya. Galileo dianggap penyebar
heresi dan bidah. Dia bersalah karena
memensiunkan bumi sebagai pusat tata surya dan
menaiktahtakan matahari. " " "Yang ini adagium lain," Marion menunjukkan
piring lain kepadaku. Piring pinjaman dari museum
lain di Inggris. Sebuah Kuic artistik yang membuat
dahiku kembali berkerut. Piring itu terbuat dari
metal, bukan keramik. "Kalau ini artinya "Janganlah menelantarkan
harapan. Perjuangan masih panjang"."
Aku mencermati piring bertulisan Arab timbul
biru itu. Hanya huruf hijaiyah Lam-Alif sambung
yang bisa kucerna berbunyi "laa" yang berarti
"janganlah". Sisanya terlalu rumit.
Tiba-tiba aku tersadar. Ucapan Marion memiliki
ruh untuk kita semua. Pentingnya menjaga
optimisme dalam perjalanan panjang membangun
peradaban kepercayaan kita ini.
Aku membayangkan betapa canggihnya orangorang Islam dahulu menyebarkan pengaruh. Kurang
dari dua ratus tahun setelah Rasulullah meninggal,
Islam adalah peradaban paling bersinar dengan daerah
paling luas"dari Eropa paling barat hingga India
paling timur. Perlu waktu berpuluh hingga beratusratus tahun untuk menebarkan pengaruh itu. Kekuatan
ide dan pesan perdamaianlah yang membuat Islam
bersinar. Bukan kekuatan pedang tajam.
Aku teringat kakek buyut Fatma, Kara Mustafa
Pasha. Aku membayangkan bagaimana dia
meneriakkan Allahu Akbar dengan mengacungacungkan pedang. Mungkin dia menang cepat. Tapi
kemenangan itu hanya sesaat.
157 22 158 Aku begitu terpesona dengan koleksi di Sully Wing
ini. Bongkahan batu-batu bertuliskan Kuic hampir
mendominasi koleksi di galeri Islam. Tulisan Arab
kuno itu takkan terdeteksi tanpa memelototkan
kedua mata. Dan tanpa juru penjelas seperti Marion,
tulisan-tulisan itu hanya seperti rangkaian ornamen
tak berarti. Aku melihat beberapa turis yang tak paham
dengan semua ini secepat kilat beralih dari satu
koleksi ke koleksi lain. Mereka hanya celingakcelinguk di depan kotak kaca yang membingkai satu
demi satu benda-benda peradaban. Membaca
keterangan yang bertele-tele terkadang
membosankan. Apalagi dalam bahasa yang tak
dikenal. Aku beruntung pergi bersama Marion.
Marion membantuku mengubah dogma tentang
"Louvre is all about Mona Lisa". Sama sekali bukan.
Aku bangga bisa ke Louvre karena hal lain. Mona
Lisa menjadi tak ada apa-apanya dibandingkan
piring-piring hias bertulis Arab Kuic itu.
"Hanum, kau tertarik mempelajari Kuic lagi?"
tanya Marion menantang. Aku mengangguk mantap. Aku ingin dia
mengajariku lebih banyak lagi trik membaca Kuic.
Aku yakin, di Eropa ini akan lebih banyak lagi
museum yang akan kukunjungi.
"Kalau begitu, akan kutunjukkan salah satu
yang"mungkin sedikit mengejutkan."
Marion menggandengku meninggalkan Sully
Wing. "Tempatnya di Departemen Lukisan Middle
Age. Di bawah mezanin Louvre," lanjutnya.
"Bukan di Islamic Art?" tanyaku yang membuat
Marion melambatkan derap jalannya. Kembali
melewati mezanin adalah hal yang cukup
melelahkan. Artinya, aku harus naik-turun tangga
lagi sebagai jalan terbaik menghindari lautan orang
yang menaiki eskalator. "Bukan," jawab Marion pendek. Lalu dia
meralatnya. "Eh, mungkin juga masuk kategori
Islamic Art, tetapi banyak orang yang tak tahu
tentang itu," ucap Marion setengah memendam
rahasia. Untuk menuju Departemen Lukisan, kami harus
melewati Galeri Islam yang masih direnovasi itu. Di
sepanjang koridor kami menemukan banyak ruang
yang ditutupi tirai kayu seadanya dengan tulisan
besar-besar: Under Construction. Suara orang yang
159 160 tengah melakukan pekerjaan bangunan samarsamar terdengar dari dalam. Hal ini mengingatkan
Marion akan sesuatu. "Oh ya! Renovasi Islamic Gallery. Ini bukan
renovasi biasa. Kemarin salah satu kolegaku menjadi
partner kerja untuk proyek besar pengalihan Islamic
Gallery ke Cour Visconti. Bagian ini mungkin
menjadi salah satu yang akan dipindah," seru
Marion menunjuk ruang yang tertutup rapat oleh


99 Cahaya Di Langit Eropa Menapak Jejak Islam Di Eropa Karya Hanum Salsabiela Rais Dan Rangga Almahendra di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

asbes dan kayu temporer itu.
Aku tak bisa menebak di mana Cour Visconti itu.
Terlalu banyak sayap dan halaman di istana seluas
6.500 meter persegi ini. Untuk berjalan keluar dari
Sully Wing menuju Paintings Department of Middle
Ages Era saja kami membutuhkan waktu lebih dari
15 menit. Berjalan dengan sedikit silang-menyilang
saking banyaknya pengunjung di setiap sudut dan
koridor. "Cour Visconti adalah halaman terluas kedua di
seluruh museum ini setelah Cour Napoleon. Kalau di
Cour Napoleon didirikan piramida gelas, tahukah
bangunan apa yang akan kita lihat di Islamic
Gallery-Cour Visconti nanti?" tanya Marion
bergairah. "Ada hubungannya dengan simbol Islam, ya?"
tanyaku berusaha berhipotesis dengan kegembiraan
Marion. "Ya!" jawab Marion menantangku untuk
menebak. "Bulan sabit dan bintang!" kataku sekenanya
tanpa berpikir bagaimana arsitektur berbentuk
bulan dan bintang bisa dimasuki pengunjung
museum. Marion menertawaiku. "Kenapa ya bulan dan
bintang selalu identik dengan Islam?" Marion
bertanya pada dirinya sendiri.
Dia tak peduli dengan apa yang sedang
kupikirkan. Yang kuingat tiba-tiba hanyalah roti
croissant yang juga berbentuk bulan sabit. Roti yang
mempunyai legenda kekalahan Turki yang
menyakitkan, seperti diceritakan Fatma dulu.
Marion tiba-tiba menunjukkan sesuatu. Dindingdinding sepanjang gang menuju Paintings
Department itu memamerkan proyek besar yang
tengah dibangun. Aku membaca dengan jelas panelpanel khusus yang menggambarkan virtual rencana
bangunan baru di Cour Visconti. Di tengah Cour
Visconti akan segera dibangun bangunan baru.
Sebuah kanopi persegi panjang bergelombang yang
berfungsi sebagai atap. Seperti karpet melayang.
Jelas, itu bukan rencana pembangunan gedung
berbentuk bulan dan bintang.
"Itu adalah bangunan untuk menggambarkan
hijab atau jilbab. Kau harus ke sini setelah proyek
ini selesai," tutup Marion.
Aku terkesima seketika. Aku makin jatuh cinta
kepada Louvre. 161 23 162 Beberapa menit kemudian kami tiba di Departemen
Lukisan atau Paintings Department. Kami harus
berdesak-desakan dengan lautan turis yang
penasaran dengan si Mona Lisa. Marion menarik
tanganku erat-erat. Dia seperti pengawal yang
melindungiku dari himpitan antrean manusia yang
tak sabar mencuri pandang lukisan karya Leonardo
Da Vinci yang tersohor itu. Saking asiknya, mereka
tak sadar sepatunya menginjak-injak sepatu turis
lainnya. Pardon, pardon, dan pardon. Kata-kata mohon
diberi jalan ini diucapkan Marion berkali-kali ketika
kami akhinya berhasil keluar dari kerumunan turis
yang merasakan kekecewaan yang sama. Kecewa
karena gambar Mona Lisa tak sebesar dalam
bayangan. Ternyata cuma segitu. Hanya sedikit lebih
besar daripada gambar Pak SBY di kelas-kelas
sekolah. "Kau mau aku tunjuki lukisan yang lebih dahsyat
daripada Mona Lisa?" kata Marion sambil bergegas
menarik tanganku menjauhi ruang Mona Lisa. Aku
hanya pasrah mengikuti langkahnya.
Denon Wing. Akhirnya aku kembali lagi ke selasar utama
Paintings Department di Denon Wing. Marion
mengajakku mendekati sebuah lukisan. Tema lukisan
yang paling banyak kulihat di seantero museum
Eropa. Lukisan yang mungkin paling digemari para
pelukis abad pertengahan Eropa. Lukisan Bunda
Maria dan bayi Yesus, putra semata wayangnya.
Aku membaca tulisan di bawah lukisan itu.
Vierge ? l"Enfant"The Virgin and the Child:
Ugolino di Nerio 1315"1320
"Ini, Hanum. Perhatikan apa yang menarik dari
lukisan ini." Kulihat lekat-lekat lukisan itu. Tidak ada yang
istimewa. Susah memang menyuruh orang sepertiku
menganalisis atau menebak makna lukisan. Aku
bukanlah kurator atau penikmat lukisan. Mataku
sudah terlalu dekat dengan permukaan lukisan. Jika
sedikit saja menyentuhnya, dijamin alarm museum
akan berdering-dering. 163 164 Kugelengkan kepala. Aku menyerah.
"Kauperhatikan hijab yang dipakai Bunda Maria,
Hanum,"?Marion memberiku petunjuk.
Aku tersadar. Sehelai kain hitam putih tersampir
di kepala Bunda Maria. Tapi apa yang aneh dari
Bunda Maria yang berjilbab" Bukankah sebagian
besar penggambaran Bunda Maria selalu merekam
beliau dalam keadaan memakai hijab" Aku kembali
memperhatikan hijab yang dipakai Bunda Maria
dengan cermat. "Hey. Sepertinya ada inskripsi Arab juga di kain
hijab Bunda Maria ini. Kuic lagi!" pekikku.
Aku tak bisa menyembunyikan keterkejutanku.
Gambar Bunda Maria berinskripsi Arab" Aku
berusaha tetap tenang, tapi rasanya aku bisa
mendengar degup jantungku sendiri.
"Apa arti tulisan ini, Marion" Kata-kata bijak
lagi, mungkin?" harapku.
"Yang kaulihat itu bukan Kuic tapi Pseudo-Kuic,
biasanya dibuat oleh nonmuslim yang mencoba
meniru inskripsi Arab. Kalau melihat nama pelukisnya
yang seorang Italia, jelas dia bukan muslim. Pseudo
Kuic lebih sulit diinterpretasi daripada Kuic biasa,"
ujar Marion menjelaskan dengan saksama.
"Aku sendiri berkali-kali mencoba mencari tahu
Kuic yang satu ini. Sepertinya sang pelukis cuma
asal coret. Tapi saat kaucermati lagi, ada kata yang
sangat identik, bahkan terlalu identik dengan
kepercayaan kita," Marion kembali menantangku.
Aku mengucek-ucek mata. Cahaya redup yang
menyinari lukisan membuat bayang-bayang
kepalaku menggelapkan sebagian lukisan.
Kumiringkan kepalaku ke kanan dan ke kiri,
mengecek penjelasan Marion tentang inskripsi Arab
di tepi kerudung Maria. Kuteliti lagi setiap jengkal
kerudung yang mengitari wajah Maria. Dari bawah
ke tengah, ke kanan, dan ke kiri, lalu ke atas. Bayi
Yesus digambar itu tampak meremas bagian bawah
kerudung Maria. Coretan-coretan di kerudung itu memang tidak
jelas, tapi aku yakin jika diperhatikan benar-benar,
goresan itu berbentuk tulisan Arab. Aku benarbenar menyerah. Marion tersenyum penuh misteri
kepadaku. 165 166 "Kau boleh percaya boleh tidak, Insya Allah aku
benar. Itu adalah tulisan "Laa Ilaa ha Illallah"," ucap
Marion mengangguk mantap.
Aku masih tak percaya. Bagaimana mungkin
kalimat paling sakral bagi agama Islam berada di
simbol suci umat Katolik"
"Bagaimana tulisan itu bisa berada di situ,
Marion" Apa maksudnya?"
"Panjang ceritanya. Aku ceritakan selengkapnya
nanti. Di Museum Louvre ini ada empat atau lima
lukisan Bunda Maria lainnya yang berinskripsi Arab
seperti itu. Bahkan juga di banyak lukisan lain di
museum-museum Eropa."
"Oh, ya" Dari mana kau tahu tentang semua itu?"
"Kebetulan Arab World Institute pernah
melakukan penelitian tentang Pseudo Kuic. Pseudo
Kuic ini tidak hanya ditemukan di lukisan-lukisan,
tapi juga di patung-patung religius dan dindingdinding gereja. Hmm, maukah kau mendengarkan
yang lebih mencengangkan?"
"Apa itu?" kataku penasaran.
"Seorang raja di Eropa memakai mantel
bertuliskan kaligrai Arab pada hari
pengangkatannya sebagai raja. Kalimat Tauhid juga
bertahta di pinggir mantel bordirnya. Dia memang
memesannya dari seorang muslim Arab. Konon, si
raja memang menyukai budaya Arab, terutama
kaligrainya. Hingga kini mantel itu masih tersimpan
rapi." "Ah masa" Aku ingin melihatnya Marion, ayo kita
ke sana"." Kakiku seperti lebih bergairah daripada
diriku sendiri. "Sayangnya mantel itu tidak ada di sini. Bukan di
Museum Louvre"," ucap Marion menyurutkan
langkah kakiku. Aku menghela napas dalam-dalam. Tak bisa
menyembunyikan kekecewaanku.
"No worries, aku punya berita bagus untukmu".
Mantel itu sekarang tersimpan rapi di Museum
Harta Kerajaan, Istana Hofburg di Wina, Austria."
Istana Hofburg" Ingatanku tiba-tiba melayang ke
istana imperium Habsburg. Tempat itu hanya
berjarak 15 menit dari tempat tinggalku di Wina.
Sialan. Marion benar-benar membuatku makin
penasaran. 167 24 168 Belum pernah sebelumnya aku merasakan sensasi
seperti ini saat berkunjung ke museum. Semacam
ekstasi tersendiri yang menjalari sekujur tubuhku.
"Marion, sebelum kau membuatku tidak bisa
tidur malam ini, jelaskan padaku kenapa tulisantulisan Arab itu bisa berada di lukisan Bunda
Maria?" pintaku pada Marion. Marion tak
menjawab. Dia menengok ke kanan dan ke kiri
seperti memastikan semuanya aman.
"Sebaiknya kita mencari ruang yang agak sepi. Di
sini terlalu ramai. Kita ke sana saja," ajak Marion
sambil menunjuk satu sudut ruang di Denon Wing
yang tidak terlalu padat pengunjung.
"Sebenarnya tulisan "La Ilaa haIllallah" di hijab
Bunda Maria masih menjadi topik kontroversial
hingga saat ini. Ilmuwan bersilang pendapat untuk
memastikan bahwa inskripsi di beberapa lukisan
Bunda Maria memang Pseudo Kuic kalimat Tauhid.
Ilmuwan hanya sepakat dalam lukisan itu memang
terdapat Pseudo Kuic atau coretan-coretan imitasi
tulisan Arab." "Menilik latar belakang para pelukis yang
sebagian besar nonmuslim, tidak mungkin mereka
membuat pesan rahasia di lukisan Bunda Maria"
kecuali satu hal"." Marion berhenti sejenak. Dia
mencoba menemukan analisis yang paling masuk
akal. "Kecuali apa, Marion?" sergahku.
"Kecuali"dia tidak sengaja," ucap Marion
pendek. "Tidak sengaja bagaimana maksudmu?"
"Ya tidak sengaja. Mereka tidak mengetahui arti
tulisan yang mereka coret."
Aku tak merespons kata-kata Marion. Tidak
sengaja" Bagaimana mungkin seorang pelukis tak tahu
apa yang dia lukis" "Well, pada awal abad ke-12, saat peradaban
Islam di Arab maju, bersamaan dengan pascaPerang Salib, mobilitas antarmanusia begitu besar.
Orang-orang Eropa dan para penakluk Kristen di
Yerusalem menyebarluaskan berita tentang hasilhasil tenun indah dan tekstil orang-orang muslim
yang begitu berkualitas, dengan corak warna
bermacam-macam. Mereka membawanya hingga ke
Eropa." "Kau tahu, para bangsawan dan raja-raja di Eropa
berbinar-binar setiap melihat karya tekstil dan
169 170 kerajinan tangan orang-orang Timur Tengah.
Akhirnya mereka gemar mendatangkan beraneka
macam barang dari Timur Tengah, seperti
permadani, keramik, dan kain sutra.
"Semua hasil industri yang beraneka ragam itu
tak bisa lepas dari pahatan atau bordir bertuliskan
"Laa Ilaa ha Illallah"."
Marion berhenti bercerita. Dia menatapku.
Memastikan apakah aku memahami semua
ceritanya. "Jadi, kata-kata seperti ini bagaikan kata mutiara
favorit orang-orang Timur Tengah saat itu?" tanyaku
menanggapi. "Yap! Secara masif tulisan itu menghiasi
berbagai busana hingga kerudung yang dipakai
perempuan-perempuan bangsawan Eropa. Dan
sangat kebetulan sekali, lukisan Bunda Maria dan
bayi Yesus atau yang disebut bertema "Madonna and
Child" menjadi, katakanlah, hype bagi para pelukis


99 Cahaya Di Langit Eropa Menapak Jejak Islam Di Eropa Karya Hanum Salsabiela Rais Dan Rangga Almahendra di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

saat itu...." Sebuah kebetulan yang luar biasa. Tulisan "Laa
Ilaaha Illallah" adalah kata favorit di Timur Tengah
sementara lukisan "Virgin Mary and Child" adalah
tema favorit pelukis saat itu, kataku kepada diri
sendiri. Aku berusaha merekam kembali semua yang
dikatakan Marion ke dalam otakku. Marion seperti
mengajakku berpikir seperti dirinya. Berpikir logika
sejarah yang paling masuk akal mengapa tulisan
Pseudo Kuic bisa merekam kalimat Tauhid.
"Mungkin pelukis Zaman Kegelapan Eropa
melukis sosok Bunda Maria dengan model yang
memakai kain berlafal Tauhid" Dan dia tak sengaja
melukisnya?" kuarahkan mataku ke Marion.
"Exactly, Hanum," jawab Marion pendek sambil
mengacungkan jempolnya untukku.
Aku terdiam sejenak. Sekarang semuanya
terdengar logis. Penjelasan Marion membuat
pertanyaan mengapa tulisan paling mendasar dalam
ketauhidan manusia itu bisa muncul di beberapa
lukisan, bahkan mosaik-mosaik Katolik di gerejagereja Eropa, jadi lebih mudah dicari jawabannya.
"Marion, koreksi aku jika aku salah. Jadi para
pelukis yang melukis Bunda Maria itu menggunakan
lafal Al-Qur"ani dalam coretannya tanpa tahu
artinya" Itulah mengapa tulisan "La Ilaaha Illallah"
dalam lukisan itu terlihat tidak sempurna?" kataku
terbata-bata mencoba menganalisis kembali.
Marion hanya mengerdipkan matanya untukku
pertanda setuju. Tiba-tiba aku merasa begitu mencintai sejarah
karena ternyata dia bisa menyimpan begitu banyak
teka-teki. Aku tercenung cukup lama menyadari semua
analisisku tadi. Lagi-lagi semuanya menjadi masuk
akal. Suatu hal yang wajar jika suatu bangsa yang
tertinggal cenderung meniru-niru kebudayaan
bangsa lain yang dianggap lebih maju.
171 Pikiranku terbang melayang ke Indonesia. Budaya
populerisme mendewakan budaya Barat yang sedang
menjangkiti generasi muda saat ini ternyata juga
dialami orang-orang Eropa pada masa lalu terhadap
peradaban Islam. Kalau toh tulisan yang kubaca
dalam lukisan Ugolino itu bukan lafal "La ilaa ha
Illallah", setidaknya ada satu fakta yang tak
terbantahkan: peradaban Islam pernah
menancapkan pengaruhnya di benua ini.
172 25 Setelah kurang lebih 4 jam menjelajah Museum
Louvre, Marion mengajakku keluar museum, tidak
melalui Napoleon Hall dan piramida gelas, namun
melalui pintu lain yang ternyata menembus ke Jardin
des Tuileries, taman besar tepat di tengah kota Paris
yang bersebelahan dengan kompleks Louvre.
Kami berjalan melewati bangunan monumen
berbentuk pintu gerbang bernama Arc de Triomphe
du Carrousel. Bangunan monumen ini sangat mirip
dengan Arc de Triomphe de l"?toile, monumen pintu
gerbang yang menjadi ikon kota Paris selain Eiffel.
Monumen Arc de Triomphe du Carrousel yang
kulihat dengan mata kepala sendiri ini berukuran
jauh lebih kecil daripada Arc de Triomphe de
l"?toile, tapi tetap terlihat megah. Tingginya kurang
lebih 20 meter dan lebarnya kurang lebih
selapangan basket ukuran internasional. Di atas
monumen itu terdapat patung Quadriga, kereta
173 174 perang Yunani kuno yang ditarik 4 kuda berukuran
sebenarnya. Kereta perang itu ditunggangi
perempuan yang diapit dua igur perempuan lain
yang bersayap. Sepertinya igur malaikat. Yang
istimewa, patung kedua malaikat itu berwarna
keemasan seperti bersepuh emas.
"Kaulihat itu, Hanum" Air mancur besar,
monumen Obelisk Mesir, jalan Champs-?lys?es, dan
monumen Arc de Triomphe di ujung jalan sana
membentuk garis lurus yang sempurna." Kedua
tangan Marion menjulur lurus ke depan untuk
memastikan dia tidak salah bicara.
Sesaat baru kusadari, pemandangan "satu garis"
ini begitu indah. Aku pernah melihat tata kota yang
mirip seperti ini di kota kelahiranku, Yogyakarta.
Konon katanya, singgasana sultan, Siti Hinggil
Kraton Yogyakarta, Jalan Malioboro, Monumen
Tugu, dan Gunung Merapi juga berada dalam satu
garis. Artinya, jika Sultan duduk di singgasananya,
dia bisa melihat Malioboro, Tugu, dan Gunung
Merapi tepat pada satu garis. Namun, seiring
dengan tumbuhnya mal dan bangunan baru di
sekitar Malioboro yang juga diperparah polusi kota,
garis lurus ini semakin susah dibuktikan secara
kasatmata. Sebaliknya, pemandangan "garis lurus" yang
kulihat di Paris ini begitu istimewa. Garis ini jelas
terlihat karena banyak bangunan luar biasa lainnya
yang terletak dalam satu garis. Aku berdiri di bawah
lengkungan Monumen du Carrousel, jalanan
berkerikil putih tepat simetris membelah rumputrumput di Taman Tuileries. Di ujung taman aku
melihat lingkaran besar kolam air mancur, lalu tepat
di belakang pusat lingkaran itu berdiri megah
Monumen Mesir berbentuk pensil setinggi 20 meter
lebih. Jauh ke belakang kulihat Monumen Arc de
Triomphe de l"?toile yang terhubung oleh Jalan
Champs-?lys?es, pusat perbelanjaan paling terkenal
di Paris. Ketika aku melongok ke belakang, puncak
Piramida Louvre juga tepat berada di garis tersebut.
Marion mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Peta
kota Paris. "Ini yang disebut Axe Historique, Hanum,
atau garis imajiner yang tepat membelah kota Paris.
Banyak bangunan penting tepat berada di garis ini."
Marion kemudian mengeluarkan pensil dari dalam
tasnya, kemudian menandai tempat-tempat di atas
peta tersebut. "Sekarang kita berdiri di sini, Monumen du
Carrousel, lalu monumen berbentuk pensil di depan
sana itu adalah Obelisk Luxor, di tengah alun-alun
Place de la Concorde," kata Marion sambil
melingkari dua tempat di petanya. Dia kemudian
menarik garis lurus dari dua titik itu menyusuri
koridor Jalan Champs-?lys?es yang berujung di Arc
de Triomphe de l"?toile. Garis lurus sempurna.
Marion melanjutkan kata-katanya, "Jika
kaulanjutkan lagi garis ini, kau akan menjumpai La
Grande Arche de la D?fense, bangunan unik setinggi
175 176 108 m di kawasan perkantoran paling terkenal di
kota Paris." Ketika memandang garis lurus yang dibuat
Marion di atas petanya, aku begitu mengagumi
kesimetrisan dan keteraturan tata letak bangunan
kota ini; menunjukkan bahwa orang Paris sejak dulu
begitu menjunjung tinggi nilai seni dan estetika.
Persis seperti Fatma yang mengamati orang Eropa
begitu rewel dengan detail. Bukan hanya seni lukis
dan bangunan, tapi juga dalam hal rancang kotanya.
"Bangunan apa lagi yang ada di belakang la
D?fense?" tanyaku, berharap bisa menemukan
bangunan eksotis lainnya.
"Kenapa kau hanya tertarik mengetahui
bangunan di belakang la D?fense" Bagaimana
dengan bangunan di depannya?" jawab Marion
penuh teka-teki. Dia lalu menarik garis lagi di
petanya. Kali ini dia menarik garis dari arah
sebaliknya, dari la D?fense?menuju tempat kami
berdiri. Mataku mengikuti garis yang Marion buat,
menyusuri arah timur kota Paris. Tapi sepertinya tak
ada satu pun bangunan atau monumen lain yang
kukenal. "Hm, satu-satunya bangunan di timur Louvre
yang kukenal cuma ini, Gereja Notre Dame dan
Patung Saint Michel tempat kita bertemu tadi
malam. Tapi itu pun tak membentuk garis lurus
dengan bangunan sebelumnya," kataku pelan.
Aku tahu aku tak terlalu pandai membaca peta,
tapi aku tetap mencoba. Ujung jariku terus
menyusuri garis Axe Historique yang dibuat Marion
sampai ujung peta yang dia bawa.
Aku tak menemukan apa pun.
Aku mengerutkan keningku sambil berkata, "Aku
menyerah Marion, tak ada bangunan istimewa lain
di sepanjang garis ini, setidaknya menurut peta
Paris yang kaubawa."
"Aku tak bertanya tentang Paris. Aku tadi
bertanya apa yang akan kautemukan jika kau terus
menarik garis lurus Axe Historique ke timur, terus
keluar kota Paris dan terus menembus benua lain."?
Kali ini aku berusaha membentangkan bayangan
atlas yang lebih luas dalam pikiranku. Negara
pertama di timur tenggara Paris adalah Swiss,
kemudian di bawahnya adalah Italia, kemudian
Yunani. Menyeberangi Laut Mediterania, kita akan
bertemu Mesir, lalu Arab Saudi, kemudian".
"Mekkah?" kataku tak yakin pada Marion. Apakah
kota ini yang dia maksudkan"
"Yap! Mungkin itulah maksud tersembunyi
Napoleon membangun Axe Historique. Sebutan
lainnya adalah Voie Triomphale, "Jalan
Kemenangan"," tukas Marion.
177 9 ?me arrondissement La Defense Avenue Foch 8 ?me arrondissement Arc du Triomphe de l"Etoile
Cha mp E lysee s 2 ?me arrondissement Obelisk Arc du Triomphe du Carrousel
Trocadero Louvre 7 ?me arrondissement Champ de Mars 178 26 Voie Triomphale. Jalan menuju Kemenangan. Mekkah.
Kiblat. Arah paling istimewa bagi seluruh muslim di dunia.
Tiba-tiba semua istilah Prancis dan nama-nama
tempat itu begitu sempurna di otakku.
"Tapi tunggu dulu. Kau tadi menyebut Napoleon?"
tanyaku pada Marion sambil memicingkan mata.
"Ya, Napoleon Bonaparte. Voie Triomphale ini sengaja
ondissement 2 ?me arrondissement ouvre dibuat untuk merayakan kemenangan pahlawan
besar Prancis, Napoleon Bonaparte Sang Penakluk
Eropa. Napoleon sendiri yang memerintahkan
membangun 2 monumen besar berbentuk
pintu gerbang mengapit jalan Champs-?lys?es.
Pintu gerbang sebagai simbol kemenangan dan
pembebasan. Kemudian muncullah bangunan
tambahan sepanjang garis antara 2 monumen
tersebut. Obelisk Mesir tahun 1800-an, lalu
Piramida Louvre dan la D?fense atas perintah
Presiden Mitterand."?
Sejauh itu aku tetap belum bisa memercayai
analisis Marion bahwa bangunan-bangunan
peringatan kemenangan Napoleon sengaja dibuat
membentuk garis imajiner yang searah dengan
kiblat di Mekkah. Aku hanya bisa melongo mendengar
semua kebetulan ini. "Menurutku itu hanya kebetulan, Marion. Jika
memang benar, mengapa Mitterand meneruskan garis
Axe Historique ke barat di depan kita" Itu kan justru
membelakangi Kakbah," kataku sambil membuat
anak panah dari timur ke barat. Bukan barat ke timur
sebagaimana arah kiblat di Eropa.
"Karena memang tak pernah ada yang tahu
pasti mengapa Napoleon membangun tugu-tugu
kemenangannya dengan arah seperti ini. Mitterand
dan orang-orang setelah Napoleon hanya melanjutkan
saja...tapi"," mata Marion bergerak-gerak. Dia ingin
memberiku sebuah "bukti".
179 180 "Suis-moi. Je vais te montrer quelque chose. Ikuti
aku, kutunjukkan sesuatu," kata Marion sambil
mengajakku berjalan kembali melewati gerbang Arc
de Triomphe du Carrousel.
"Kauperhatikan baik-baik bangunan monumen
gerbang ini. Bangunan Arc de Triomphe du
Carrousel ini dibangun atas perintah langsung


99 Cahaya Di Langit Eropa Menapak Jejak Islam Di Eropa Karya Hanum Salsabiela Rais Dan Rangga Almahendra di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Napoleon. Menurutmu bangunan ini menghadap ke
mana?" tanyanya memberiku sebuah teka-teki lagi.
Sulit awalnya menentukan arah muka dan
belakang monumen ini karena bangunan pintu
gerbang ini dibuat simetris"sepertinya depan dan
belakang sama saja. Tapi kemudian mataku terpaku
pada patung Quadriga diapit 2 malaikat emas di
atas monumen itu. Patung besar manusia dan 4 ekor kuda dalam
ukuran sebenarnya itu semua serempak
membelakangi la D?fense. Patung Quadriga dan
malaikat semua menghadap ke timur tenggara. Arah
Mekkah. Aku mengangguk paham. Semuanya menjadi
tidak "kebetulan".
"Sekarang Hanum, Arc de Triomphe du Carrousel
ini dibangun tak lama setelah Napoleon kembali dari
ekspedisinya menaklukkan Mesir. Sekembalinya dari
Mesir, menurut sebuah surat kabar saat itu,
Napoleon menjadi begitu religius. Banyak kutipan
dalam sejarah yang mengatakan dia begitu
mengagumi Al-Qur"an dan Nabi Muhammad."
"Well, sebagian orang tetap menganggap itu
hanya strategi perang Napoleon untuk merengkuh
hati rakyat Mesir yang sudah ditaklukkannya."
"Tapi kau tahu kan, ada sistem hukum yang dia
buat sekembalinya di Paris, yang dia katakan
terinspirasi dari pertemuannya dengan seorang
imam di Mesir yang mengundangnya pada sebuah
acara Islam" Dari situlah dia menelurkan apa yang
disebut Napoleonic Code. Kalau dicermati, pasalpasalnya senapas dengan syariah Islam."
Marion menarik napas panjang. Ada hal lain yang
ingin dikatakannya, tetapi dia tidak terlalu yakin.
Dia mengusap wajahnya yang semakin berminyak
karena keringat dan membenarkan sedikit hijabnya
yang menyembulkan beberapa helai rambut. Panas
matahari semakin menyengat.
"Ini semua yang membuatmu berkesimpulan
Napoleon seorang...muslim?" Akhirnya kata-kata itu
kuluncurkan. Kata-katanya yang membuat diriku
tertarik bertemu dengannya.
Marion menoleh padaku. Lalu tertawa.
"Pasti Imam Hashim yag memberitahumu, ya?"
tanyanya balik. Aku tak menjawab.
"Hmm... aku hanya berdoa mudah-mudahan
demikian. Hanya satu yang bisa diamini semua
orang, Francois Menou, jenderal kepercayaan
Napoleon, bersyahadat setelah kembali dari Mesir.
Well, aku hanya membayangkan sebesar apakah
pengaruh seorang tangan kanan yang paling
181 182 dipercayai dalam memberi nasihat untuk atasannya,
termasuk dalam ranah paling pribadi" Lagi-lagi,
siapa yang tahu rahasia hati manusia" Paling tidak
fakta yang tak terbantahkan adalah, dia tak "jauh"
dari Islam," tegas Marion sambil mengacungkan
telunjuknya. "Tidak penting apakah Napoleon muslim atau
bukan. Kenyataannya, pada suatu masa dia telah
memberi ruang yang lebar bagi nilai-nilai Islam,
baik untuk negara maupun dirinya sendiri," Marion
kembali tersenyum simpul melihat aku yang terpaku
dengan semua fakta itu. Sebenarnya aku masih sedikit tak percaya
mendengar penjelasan Marion. Kalau benar
Napoleon masuk Islam, tentu sangat mengagetkan.
Aku yakin pasti banyak orang Eropa yang tidak
percaya akan hal ini, menganggapnya hanya rumor
teori konspirasi murahan. Aku yang muslim saja
masih ragu karena penjelasan Marion ini belum
pernah kudengar sebelumnya.
Tapi kemudian aku kembali memikirkan kata-kata
Marion. Bagaimanapun Napoleon dianggap sebagai
sosok pahlawan besar bagi masyarakat Prancis, dan
Eropa pada umumnya. Sosok sekelas founding father
dijadikan role model setiap rakyat Prancis. Kenyataan
bahwa dia muslim jelas akan mengurangi
"kebesaran" namanya dan mungkin juga
memupuskan kebanggaan warga Prancis pada
bangsanya. Kalaupun Napoleon memang memeluk
Islam, fakta ini takkan diungkapkan demi
kepentingan nasional yang lebih besar. Andai saja
media barat lebih objektif mengungkapkan fakta ini,
mungkin persepsi Eropa terhadap Islam tidak seperti
sekarang ini. 183 27 184 Aku benar-benar menikmati kunjungan pertamaku
ke Louvre kali itu. Meski panas dan kelaparan,
susunan organ metabolismeku tak pernah
memberontak seharian. Hingga akhirnya detik itu
tampaknya tak tertahankan lagi.
"Aku tahu tempat yang pas untuk makan siang
sekaligus Shalat Zuhur. Bagaimana?" tanya Marion.
Aku melirik jam tangan. Jarum pendek sudah
menunjukkan angka 3. "Ke mana" Masih jauh?" tanyaku khawatir karena
perutku semakin keroncongan. Aku melihat
sekeliling areal Louvre dan Arc de Triomphe du
Carrousel. Tak ada kedai maupun kios makanan
cepat saji di sana. "Tergantung. Kita naik Metro menyeberangi
sungai. Kau ukur sendiri jauh tidaknya nanti," jawab
Marion tak mengindahkan responsku. Lalu dia
bergegas bergerak. Agaknya Marion tak menyadari
bahwa sesungguhnya aku hampir tak kuat berjalan
lagi. Namun, ketika Marion berkata dia bisa
menemukan tempat yang cocok untuk shalat, sontak
semua rasa capai dan lapar hari itu bisa terkalahkan.
Kami berdua berjalan menuju monumen pensil
Obelisk, kemudian berbelok ke kanan menuju sudut
tembok yang membatasi Jardin des Tuileries dan
Place de la Concorde. Marion mengajakku menapaki
tangga menurun di sebelah tembok itu. Sampai di
situ Marion baru menyadari "saudara
perempuannya" ini berjalan lambat karena
kecapaian. "Sister, sedikit lagi! Kaulihat tulisan Metro
Concorde itu" Kita naik jalur kuning," kata Marion
sambil bertepuk tangan seperti tengah menjadi
supporter lomba olahraga. Terpaksa kupercepat
langkahku mengikuti Marion menuju peron stasiun
Metro. Sejurus kemudian kereta yang kami tunggu tiba.
Marion bergegas masuk dan mengamankan satu
kursi kosong untukku. Setelah 2 stasiun, kami harus
berganti Metro nomor 7 ke arah Villejuif-Louis
Aragorn dan turun di Stasiun Censier Daubenton.
Dengan fasilitas kereta bawah tanah ini, perjalanan
kami seharusnya tak lebih dari 10 menit. Kini aku
bisa mengukur, perjalanan ini takkan sejauh yang
kubayangkan. " " 185 186 Jarak yang kami tempuh tak lebih dari 5 km,
mungkin sama jaraknya antara Harmoni dan Stasiun
Kota di Jakarta. Tiba-tiba semua ini mengingatkanku
pada pengalaman menaiki Trans Jakarta menuju
Stasiun Kota beberapa hari sebelum terbang ke
Wina. Tujuanku adalah membeli baju hangat bekal
persiapan ke Eropa di Mangga Dua.
Berbekal niat suci menjadi agen pengurang
kemacetan Jakarta, aku menggunakan Trans Jakarta.
Tapi niat baikku menjadi warga yang baik sirna
begitu saja. Seorang perempuan menjambak
rambutku karena bernafsu menyerobot masuk ke
dalam bus. Kursi kosong di dalam bus bagaikan
harta karun tak bertuan bagi siapa saja yang malas
atau tak kuat berdiri di tengah desakan penumpang
lain. Tanda utamakan tempat duduk untuk ibu
hamil, orang tua, dan orang cacat di dalam bus
hanya menjadi tempelan pemanis.
Meskipun berjalan di jalur yang sudah
disediakan, sedikit-sedikit bus mengerem tajam.
Rupanya lusinan mobil dan motor pribadi menjejali
jalur khusus itu. Alhasil, kecemasan bahwa aku baru
akan tiba di Mangga Dua dalam waktu 2 jam
menjadi kenyataan. Waktu terbuang percuma dan
niat baikku mengurangi macet Jakarta kandas
dengan sukses. Segera aku turun dari bus, lalu
membonceng ojek motor untuk menempuh sisa
perjalanan ke Mangga Dua. Alhasil aku harus
merogoh kocek sebanyak Rp20.000,00 lagi sehingga
total menjadi Rp25.000,00, untuk mencapai Mangga
Dua. Sialnya lagi, baju hangat yang kuburu tak
berhasil kudapatkan karena tokonya telanjur tutup
10 menit sebelum aku datang.
Kondisi kereta bawah tanah di kota Paris tidak
terlalu jauh berbeda dengan bus Trans Jakarta.
Dengan ukuran lebar gerbong setengah bus Trans
Jakarta, penumpang di sini juga berdesak-desakan.
Harga tiketnya"tentu saja"jauh lebih mahal
daripada tiket Trans Jakarta, yaitu 1,7 Euro atau
sekitar Rp20.000,00 untuk sekali jalan. Di dalam
Metro aku lantas menghitung-hitung. Pada akhirnya
uang yang kukeluarkan tak jauh berbeda.
Rp25.000,00 untuk perjalanan bus dan ojek selama 2
jam di Jakarta dan Rp20.000,00 untuk perjalanan 10
menit dengan Metro di Paris.
Untuk transportasi umum seperti ini, menurutku
yang paling penting adalah ketepatan waktunya
harus bisa diandalkan. Itulah aspek yang selalu
diutamakan di Eropa. Buktinya, Metro ini tak peduli
terhadap perempuan yang lari tergopoh-gopoh demi
mencapai pintu Metro. Jelas masinis Metro bisa
melihat calon penumpang ini dari kaca besar di
ujung peron. Namun, si masinis tetap melajukan
keretanya, meninggalkan perempuan necis dengan
syal kotak-kotak Burberry yang menjinjing tas Louis
Vuitton dan berbalut blazer berhias emblem satu
perusahan terkenal. Ternyata semua orang dari berbagai lini
187 kehidupan, dari tukang bangunan hingga bos
perusahaan beken, bangga dan rela menggunakan
jalur kereta bawah tanah di Paris. Kupikir hanya
turis dan orang kelas bawah yang berminat
menggunakan jasa transportasi seperti ini.
188 28 "Voila! Voici la place! Ini dia, inilah tempatnya!" ucap
Marion begitu kami keluar dari lorong Metro. Dia
menghamparkan tangannya jauh-jauh,
menyuguhkan sebuah bangunan ibadah.
Aku segera mengenali bangunan ini. Sebuah
masjid. Masjid ini dikelilingi tembok berwarna putih
dengan genteng hijau dan pintu-pintu lengkung
khas masjid. Tepat di samping menara masjid itu aku
melihat pintu gerbang utama yang di atasnya
terpasang lambang bulan sabit raksasa. Di dalam
kompleks itu sebuah kolam air mancur menyambut
kedatangan kami. Sayup-sayup aku mendengar
suara azan ashar berkumandang dari menara itu.
Suara azan yang istimewa karena berasal dari
sebuah masjid di jantung kota Paris!
"Hanum, aku sedang tidak shalat. Aku akan
menunggumu di kafe sebelah sana," kata Marion
189 190 sambil menunjuk suatu tempat di ujung lain
kompleks masjid. Aku hanya bisa bergumam dalam
hati: Benar kata Marion. Ini benar-benar tempat yang
cocok memenuhi kebutuhan rohani dan jasmaniku saat
ini. Le Grande Mosquee de Paris atau Masjid Besar
Paris hari itu begitu ramai. Tak hanya jemaah shalat
yang berdatangan. Sejumlah turis kulihat berlalu
lalang sambil menjepret sana-sini dalam kompleks
masjid. Ada hal yang sangat kuhargai. Meski hawa
hari itu sedikit terik, tak kulihat para turis
perempuan berbaju minim atau seksi.
Kupandangi sebentar masjid ini. Sangat
menyegarkan, kontras dengan bangunan renaissance
di sekitarnya. Ornamen mosaik yang tertempel di
seputar masjid tampak artistik, kental dengan
nuansa Islam. Setelah menjamak shalatku, aku segera berjalan
menuju kafe tempat Marion menunggu. Begitu
masuk ke dalamnya, aku merasakan sebuah
atmosfer yang sangat "hidup".
Bukan hanya masjidnya yang ramai, kafe dan
restoran dalam kompleks masjid ini pun tampak
sesak dipenuhi pengunjung. Dari dandanan mereka,
sepertinya mereka bukan orang yang menunaikan
shalat di masjid saja. Sebagian besar justru turis dan
orang lokal yang ingin menikmati menu Timur


99 Cahaya Di Langit Eropa Menapak Jejak Islam Di Eropa Karya Hanum Salsabiela Rais Dan Rangga Almahendra di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tengah di kafe ini. Aku melihat Marion duduk di salah satu sudut
kafe. Dia tengah berbincang akrab dengan pramusaji
kafe. Ternyata dia telah memesankan untukku teh
mint dan sepiring nasi arab. Kutarik kursi di
dekatnya lantas duduk bersandar pada dinding kafe.
"Masjid ini mengubah mitos masjid kebanyakan,
yang praktis hanya untuk beribadah. Aku senang
masjid ini didatangi banyak turis," kataku sambil
memandang seorang turis Amerika memakai kaos
Obama for President. "Sebenarnya selain kafe dan restoran, di
kompleks masjid ini juga ada sekolah dan sebuah
lembaga teologi Islam. Hal ini disengaja karena
sebenarnya dari dulu masjid dikenal sebagai tempat
menyebarkan ilmu pengetahuan, bukan sematamata tempat beribadah," sambung Marion.
"Ya, tadi aku melihat imam shalat duduk
melingkar, sepertinya langsung memimpin sebuah
diskusi." "Hal kecil semacam itu menjadi cikal bakal
madrasah atau sekolah," timpal Marion.
"Maksudmu?" tanyaku balik.
"Kau tahu kan universitas tertua Al Azhar di
Kairo" Dia berawal dari sebuah masjid. Masjid
seharusnya memfasilitasi manusia untuk saling
bertukar pikiran, ide, dan perspektif, kemudian
menjadi rahim lahirnya sekolah atau madrasah."
Aku mengangguk setuju. Aku jadi teringat Masjid
Gede Kauman di Yogyakarta. Lokasinya persis di
depan alun-alun kota. Masjid yang juga melahirkan
191 192 organisasi Muhammadiyah. Aku masih ingat ayahku
menjadi salah satu anak kos yang mendiami
kompleks kos-kosan di Kauman semasa menjadi
mahasiswa. Ini semua menunjukkan masjid begitu
berpengaruh sebagai pusat gerakan intelektual.
"Itu sebabnya dunia Islam tidak mengenal
benturan antara sains dan agama sebagaimana yang
pernah terjadi di Eropa. Islam mengajarkan bahwa
keduanya harus jalan bersamaan," lanjut Marion.
"Yang jelas, keberadaan masjid yang tepat di
tengah kota Paris ini merupakan terobosan luar
biasa. Apalagi masjid ini juga bertetangga dengan
banyak situs sejarah Eropa," aku menimpali.
"Masjid ini memang dibangun untuk mengenang
ratusan ribu tentara muslim yang gugur membela
Prancis saat perang dunia pertama. Dan fakta yang
tak terbantahkan adalah masjid ini pernah
menyelamatkan ratusan orang Yahudi."
Aku mengernyitkan dahi. "Karena Nazi,
maksudmu?" "Ya, begitulah. Paris pernah jatuh ke tangan
Hitler dan mereka mulai menangkapi para Yahudi di
Paris. Salah satu imam masjid ini mengambil risiko
menyembunyikan ratusan Yahudi dalam masjid, lalu
dia membuatkan identitas palsu bagi mereka agar
lolos dari perburuan tentara SS Nazi."
Pikiranku tiba-tiba melayang ke ilm "Schindler"s
List". Kisah nyata tentang pria yang berjuang
menyelamatkan ratusan Yahudi di Polandia dari
pengiriman ke camp kematian dengan
mempekerjakan mereka di perusahaannya. Aku
merasa imam masjid ini, siapa pun dia, juga
mempertaruhkan nyawa untuk menyelamatkan
orang-orang yang sama sekali tak ada hubungan
dengan dirinya. Namun, dia yakin dengan perintah
Allah dalam Al-Qur"an tentang kewajiban
menyelamatkan jiwa umat manusia yang lain apa
pun agama mereka, apa pun kepercayaan mereka.
Karena dengan demikian dia sama saja
menyelamatkan seluruh manusia di bumi.
"Kau tahu Mezquita Cordoba di Spanyol?" tanya
Marion tiba-tiba mengalihkan topik pembicaraan.
Aku mengangguk. Aku ingat nama masjid itu. Atau
katedral itu". Tempat yang ingin sekali Fatma kunjungi.
"Masjid Besar Paris ini dibangun untuk
melahirkan kembali semangat Cordoba. Kalau
kaulihat di dalam tadi, tak hanya desain interior dan
eksteriornya yang dibuat menyerupai Mezquita,
namun juga semangat untuk melahirkan kembali
gerakan intelektual berdampingan dengan dakwah."
"Kau tahu kota yang disebut The City of Lights?"
Marion bertanya padaku. "Paris, kan" Setelah Eiffel dan"majunya
peradaban Prancis pasca-Revolusi Prancis, dan tentu
saja Renaissance di Eropa?" tanyaku balik
mengonirmasi apakah jawabanku itu benar.
Marion menggeleng penuh misteri.
"Itu kan sekarang. Sesungguhnya yang disebut
193 194 The City of Lights adalah Cordoba. Kota inilah
renaissance Eropa yang sesungguhnya. Semua
berasal dari Mezquita itu. Kota yang tak hanya
terang karena pencahayaan secara isik, tetapi juga
karena "ini" juga mengalami masa keemasan," kata
Marion sambil menunjuk kepalanya.
Marion menyanjung Cordoba sebagai kota yang
berhasil mengawinkan kemakmuran, kesejahteraan,
dan keharmonisan. Cordoba adalah teladan
peradaban Islam yang ideal di Eropa. Masjid-masjid
dibangun berdampingan dengan perpustakaan,
universitas, rumah sakit, dan taman-taman yang
menyejukkan hidup manusia.
"Satu lagi, Hanum. Cordoba adalah tempat
semua agama bisa hidup damai berdampingan di
bawah Islam, tempat dakwah bisa maju bersama
ilmu pengetahuan. Kau tahu, seorang pemikir
Cordoba pernah meramalkan suatu saat Paris juga
akan menjadi kiblat peradaban Eropa selanjutnya
setelah Cordoba. Dan ilmuwan itu benar"."
Entah mengapa hatiku bergetar meski terus
terang aku tak mempunyai gambaran seperti apa
Mezquita dan seperti apa pula Cordoba itu.
Keberadaanku di Eropa masih tersisa 2 tahun lagi.
Aku berharap suatu saat jika ada rezeki, aku diberi
kesempatan oleh-Nya untuk mengunjunginya.
" " "Belum terlalu sore. Setelah ini mau ke mana"
Eiffel" Sacre de c"ur" Moulin Rouge" Notre Dame"
Atau"." "Ya, itu yang terakhir!" potongku bersamaan
dengan datangnya nasi arab ala Maroko setelah
begitu lama menunggu. Bohong jika aku tak tertarik mendatangi Eiffel
atau Moulin Rouge. Tapi aku sudah telanjur
mengagendakan dua tempat itu dalam daftar jalanjalanku dengan Rangga esok hari. Aku ingin
mengetahui titik nol Paris yang konon berlokasi di
daerah Notredame. Marion kali itu benar-benar menjamuku. Tak
hanya dengan semua pengetahuan dan analisisnya
selama berjalan-jalan, namun dengan kerelaannya
membayari penuh semua santapanku di kafe. Aku
begitu kikuk dengan traktirannya yang mendadak
kali itu, karena aku tak tahu kapan aku bisa
membalas "treat"-nya. Esok dia tak bisa
mendampingi kami lagi. Sebuah SMS dari Rangga
masuk sehingga aku bisa mengalihkan kekikukanku.
Suamiku mengabarkan dia ingin ikut berjalan-jalan
dengan kami setelah selesai mengikuti konferensi
yang menguras tenaga. Ketemu di depan pintu gereja Notredame 30 menit
lagi, okay! jawabku membalas SMS Rangga.
195 29 "Cours vite! Cours!"
196 Pria berkulit putih itu berlari-lari dengan 3
kawannya. Dia berteriak-teriak kepada ketiga
kawannya agar terus berlari. Keempatnya berlari
menuju aku dan Marion yang baru saja berjalan
melewati Arab World Institute, tempat Marion
bekerja. "Minggir, Hanum. Awas! Pasti mereka sedang
dikejar polisi keamanan!" seru Marion sambil
menggamit tanganku memberi jalan bagi keempat
orang yang berlari tergopoh-gopoh. Agaknya
kejadian seperti ini sudah biasa terjadi.
"Kriminalitas?" tanyaku sesaat setelah keempat
pria tadi melesat melewati kami.
"Judi jalanan. Hati-hati saja, mereka sering
menggelar tebakan di jalan-jalan dengan kaleng
berisi uang 50 atau 100 Euro. Para turis sering
tergoda mempertaruhkan uang mereka untuk
menebak di kaleng mana uang 50 atau 100 Euro itu
berada. Jika salah tebak, uang si turis melayang; jika
benar, ya mestinya dapat uang yang ada di kaleng
itu. Tapi pada praktiknya mereka hanya ngibul.
Mereka mempekerjakan kawan sendiri untuk seolaholah menjadi orang yang bertaruh dan mendapatkan
uang. Dan kaleng yang mereka gunakan bukanlah
kaleng biasa. Semuanya sudah mereka desain agar
penebak selalu salah. Para turis yang termakan tipu
muslihat sering kehilangan ratusan Euro. Itulah
kenapa sering ada razia polisi untuk menangkap
mereka. Tapi biasanya sebelum tertangkap mereka
sudah kabur." Aku tersenyum geli mendengarkan penjelasan
Marion. Membayangkan semakin "kreatif"nya orang
mencari uang haram dengan menipu orang lain.
Namun, yang jauh lebih bodoh adalah orang-orang
yang rela bertaruh tadi. Mencari uang dengan
semangat kebetulan dan nasib baik, padahal mereka
hanya dikibuli para berandalan jalanan dengan
kaleng-kaleng itu. Di atas itu semua aku sadar, di
Eropa manusia dilegalkan untuk "menantang" nasib
mereka. Judi dianggap halal asalkan caranya "etis".
Aku melihat keempat pria tadi terus berlari di
antara orang-orang dan turis di jalanan. Aku tak
melihat polisi yang mengejar mereka. Saat aku
menyeberangi jalan, aku tak bisa lagi mengamati ke
mana mereka lari. Sebuah bangunan bermenara
kembar mencuri perhatianku. Aku yakin, inilah
197 198 bangunan yang menginspirasi ilm animasi Disney
"Hunchback of Notre Dame" itu.
Gereja Notre Dame sudah ada di depan mataku.
Rupanya gereja ini terletak di sebuah pulau kecil
tepat di tengah Sungai Seine yang membelah kota
Paris. Tembok seputar gereja itu membentuk
anjungan kapal, seolah-olah gereja ini tengah
mengarungi samudra. Marion mengajakku turun ke bawah jembatan
untuk menyusuri jalur pejalan kaki tepat di sebelah
Sungai Seine. Ternyata sungai ini jauh lebih indah
dilihat dari dekat. Aku melihat beberapa pasang
bule sedang memadu kasih di tepi Sungai Seine.
Matahari yang sudah condong mengeluarkan
semburat keemasan di ufuk barat. Mungkin suasana
seperti inilah yang membuat Paris disebut sebagai
kota paling romantis di dunia.
Aku melihat Rangga menunggu tepat di depan
Gereja Notre Dame. Kami mendapatinya sedang
asyik membidik arsitektur gereja tersebut dari balik
lensa kameranya. Tampak dari kejauhan deretan
talang air berbentuk monster di atas Notre Dame.
Aku menepuk pundaknya dari belakang, sengaja
membuatnya kaget. Marion hanya tersenyum geli
melihat tingkahku. "Jadi, apa yang kaudapatkan hari ini" Hidayah
agar mengenakan jilbab, mungkin?" tanya Rangga
bercanda. "Lebih daripada itu. Aku akan membuatmu iri
karena melewatkan jalan-jalan kali ini," balasku
karena tersindir. "Yang jelas, Paris tak hanya sekadar Eiffel dan
Louvre. Ada misteri peradaban Islam yang membuat
Paris semaju ini. Dan tentu saja semua menjadi
berbeda karena dituturkan langsung oleh ahlinya,"
tukasku menunjuk Marion. Entah mengapa kali ini aku merasa berhasil
membuat suamiku gantian iri hati. Setidaknya
kelupaannya membangunkanku di pesawat sehingga
aku melewatkan cantiknya Paris terbayar sudah.
Rangga tampak tersenyum pahit.
Marion tersenyum melihat Rangga tak berkutik.
"Ne t"inqui?te pas. Jangan khawatir, Rangga," kata
Marion membesarkan hati. "Istrimu bisa mengulangi
semua ceritaku. Kalau suka fotograi arsitektur, kau
memang harus mengabadikan objek ini," lanjut
Marion sambil menunjuk pintu-pintu Notre Dame
dengan lengkungan khasnya. Seperti masjid.
Aku yang dari tadi sangat terpesona oleh
kemegahan ukuran gereja raksasa ini sama sekali
tidak memperhatikan bentuk pintu masuk di depan
kami. Ada tiga gerbang utama sebagai pintu masuk
dan keluar katedral ini. Dan setelah kami
perhatikan, ketiganya berbentuk kubah lengkung,
sangat mirip dengan kekhasan bangunan yang


99 Cahaya Di Langit Eropa Menapak Jejak Islam Di Eropa Karya Hanum Salsabiela Rais Dan Rangga Almahendra di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sangat kami kenal: masjid.
"Ini yang disebut ogive atau kurva lancip
pengaruh budaya Islam. Jumlahnya selalu ganjil.
199 200 Gerbang ogive seperti ini juga mirip dengan yang
ada di pintu gerbang Masjidil Haram dan Taj Mahal.
"Jika masuk ke dalam, kalian akan menjumpai
lebih banyak lagi kemiripan unsur arsitek bangunan
Notre Dame ini dengan Mezquita, masjid terbesar di
Cordoba. Well, untuk membuktikannya tentu kalian
harus ke Mezquita juga," kata Marion bergurau.
Aku menengok ke belakang. Sebuah antrean
mengular di depan pintu Notre Dame membuat
siapa pun yang melihatnya berkecil hati. Meskipun
hari sudah makin gelap, kunjungan turis terus
mengalir deras. Aku melihat jam. Aku tak yakin
gereja itu masih membuka diri saat kami berada di
mulut pintunya, setelah mengantre cukup panjang.
Tampaknya tak ada lagi kesempatan bagi kami untuk
masuk katedral itu. "Kalau tidak berhasil masuk Notre Dame, harus
berhasil ke Cordoba...," ujar Rangga membuat tekad
untuk dirinya sendiri. 30 "Brother and sister, aku harus pergi sekarang," kata
Marion berpamitan. "Aku tak yakin bisa menemani kalian esok. Tapi
yang terbaik memang seharusnya tidak ada aku agar
kalian bisa menikmati kebersamaan suami istri di
kota romantis ini," lanjutnya dengan mata
mengerling. Aku dan Rangga hanya tersenyum jail.
"Bon voyage. Au Revoir," ucap Marion sambil
memelukku erat-erat. Lalu dia menghilang cepat di
antara turis-turis dan makin gelapnya malam.
Pelukan itu sungguh mengesankan, mengakhiri
pertemuan dua saudari muslim dari ras berbeda di
Eropa ini. Pertemuan yang singkat, namun meresap
ke dalam hati. " " Aku melihat sekeliling Notre Dame yang semakin
gelap. Kerumunan turis tampak merubung suatu
201 202 situs di permukaan tanah. Secara bergantian mereka
menginjak dan berfoto di atas pelat perunggu
berwarna keemasan mengilat itu. Di seputar pelat
matahari itu aku membaca pahatan batu bertuliskan
"Point Zero". Oh...ini adalah titik nol kota Paris yang legendaris itu!
Aku mendengar sebuah mitos, siapa pun yang
menginjak pelat logam itu, dia pasti akan kembali ke
kota Paris. Meski aku tak terlalu percaya dengan hal
seperti itu, aku tidak bisa mengubah fakta bahwa
Rangga juga pernah menginjak pelat Point Zero
beberapa tahun sebelumnya saat mewakili Indonesia
dalam kompetisi strategi bisnis yang diselenggarakan perusahaan Prancis. Dan kini dia benar-benar
kembali. Aku dan Rangga iseng-iseng mengambil antrean
di antara para turis Asia Timur yang sangat percaya
dengan mitos semacam ini. Turis-turis itu begitu
antusias untuk menyentuh, menginjak, dan berfoto
di atas Point Zero hingga pelatnya luntur menjadi
putih mengilap. Aku mendengar mereka menyebutnyebut nama orang lain, berharap bisa kembali lagi
ke Paris bersama keluarga, kekasih, atau teman
dekat mereka. Rangga sudah bersiap mengambil foto. Sebentar
lagi giliranku tiba. Terus terang kepalaku kosong.
Aku bingung siapa yang namanya harus kusebut di
atas pelat logam ini. Hanya satu hal yang tiba-tiba
tebersit di kepala setelah menghabiskan waktu
seharian dengan Marion. Dengan membaca basmalah aku pun menapakkan
kaki di atas pelat logam itu. Aku memohon dan
berdoa dalam hati. Ya Allah, semoga cahaya Islam kembali menyinari
bumi Eropa. 203 31 204 Schatzkammer, Wien. Museum Harta Kerajaan di
Wina. Nama museum itu menggelayut terus di
kepalaku sepulang dari Paris. Aku pernah
mengunjunginya sendiri sebelumnya. Tapi itu jauh
sebelum Marion bercerita tentang mantel raja yang
berhiaskan tulisan Tauhid. Marion sendiri belum
sempat ke Schatzkammer. Aku akhirnya menemukan nama pasti raja itu.
Roger II of Sicily. Namun, tak mudah bagiku dan Rangga
mengunjungi museum itu lagi. Kesibukan Rangga
sebagai mahasiswa doktoral dan pekerjaanku
sebagai editor video di kampusnya membuat
kunjungan ke Schatzkammer sulit terwujud.
Meski Rangga seorang mahasiswa doktoral, dia
dibebani begitu banyak pekerjaan mengajar dan
urusan administrasi. Mungkin inilah cara
pemerintah Austria memanfaatkan semaksimal
mungkin scholar yang mereka biayai hidup dan
sekolahnya. Sampai-sampai untuk minta waktu
mengerjakan Shalat Jumat, Rangga perlu
meyakinkan supervisor dan kolega-koleganya bahwa
ini adalah ibadah wajib yang tak boleh dia
tinggalkan. Bagaimanapun Rangga menjelaskan,
sepertinya mereka masih sulit memahaminya.
Fatma benar, menjalankan ibadah sebagai
minoritas adalah tantangan tersendiri, apalagi
dalam lingkungan ateis yang tidak mengenal Tuhan
apalagi tuntunan agama. Di Indonesia kami tak perlu susah payah minta
izin Shalat Jumat, memakai jilbab, atau cuti haji dan
umrah. Tapi di Austria, segalanya berbeda. Hal-hal
sepele jika tidak ditanggapi dengan bijak bisa
memercikkan konlik. Seperti Rangga yang pernah
mendapat teguran sengit dari kolega Eropanya
karena masalah sepele: makan siang.
Kami mempunyai kebiasaan membawa bekal dari
rumah untuk makan siang. Bukan karena kami tak
suka makanan barat, namun karena mencari menu
yang tak bercampur babi di kantin kampus bukanlah
perkara mudah. Kalaupun ada, pilihannya cuma
menu vegetarian yang entah kenapa harganya jauh
lebih mahal. Austria bukanlah negara tropis; harga
sekilo sayur-mayur bisa lebih mahal daripada sekilo
daging babi. Membawa bekal makanan dari rumah
bisa menjadi jurus ampuh untuk berhemat.
Alhasil, makanan khas Indonesia seperti rendang,
205 206 opor, hingga gulai kari kerap menjadi hidangan
siang kami. Pedas, berkuah, dan berlinang santan,
sungguh menggoda saraf pengecap dan pembau.
Setelah dipanasi dalam microwave, kami nikmati itu
semua bersama di taman kampus pada jam istirahat
siang. Hari itu seperti biasa aku menunggu Rangga
untuk makan siang di kantin kampus. Cukup lama
aku menunggu, sampai kulihat suamiku datang
dengan wajah bersungut-sungut. Bukannya
membawa Tupperware bekal makanan yang
seharusnya sudah hangat, dia malah memberiku
sobekan kertas. Hatiku tersentak membaca coretan di kertas itu.
Please no more curry or masala in the microwave and
cooler! Dilarang menaruh kari dan masala di pemanas
dan pendingin! Kertas itu ditempel di badan microwave dan
kulkas kantor. Sebuah peringatan yang sudah pasti
hanya ditujukan untuk Rangga dan Khan, muslim
kolega Rangga dari India. Dua staf doktoral Asia
yang menjadi tersangka utama pencinta kari, gulai,
dan segala jenis kulinari berwarna kuning kunyit jika
terhidang. "Ini pasti ulah Maarja. Kemarin aku mendengar
dia bersitegang dengan Khan tentang makanan,"
ucap Rangga penuh prasangka.
" Besok aku akan gantian menempelkan kertas
bertuliskan: Please no more pork and beer! Dilarang
menaruh daging babi dan bir!" pungkas Rangga
berapi-api. Baru kali ini aku melihat suamiku yang penyabar
itu begitu emosional. Aku faham dengan perasaan suamiku. Bisa
dibayangkan bau babi bercampur alkohol yang
mengganggu ketenteraman hidung serta matanya
setiap hari. Apalagi jika potongan atau kuah babi itu
sering tertumpah tak beraturan di dinding
microwave dan kulkas. Mau tak mau setiap kali
Rangga harus membersihkannya dulu sebelum
menghangatkan bekal lunch kami. Sampai-sampai
aku sering menggodanya dengan pertanyaan jail,
"Berapa babi yang kaumandikan hari ini, Mas?"
sebagai cara untuk mencairkan hatinya.
Untunglah perang tempelan kertas demi
mempertahankan kenyamanan makan siang
akhirnya batal diluncurkan. Aku teringat Fatma
yang begitu gigih memperjuangkan slogan "Menjadi
Agen Muslim yang baik". Ternyata lebih mudah
diucapkan daripada dilakukan.
Rangga memutuskan mengalah. Dia membuang
jauh-jauh setan yang siap bertepuk tangan
menonton pertandingan Rangga-Khan lawan Maarja
dan teman-teman Eropanya. Pertandingan yang
hanya akan memperkeruh suasana. Kami tak lagi
menggunakan microwave untuk menghangatkan
bekal. 207 208 Sikap mengalah tanpa pamrih yang rupanya
mendapat jawaban. Microwave rusak. Tentu bukan Rangga atau Khan yang sengaja
merusaknya. Alhasil, sejak saat itu semua mendapat
keadilan. Semua harus menikmati makan siang yang
dingin. Kritik makanan hanyalah bagian kecil dari
tantangan yang harus dihadapi kami para
pendatang. Aku dan Rangga yakin, ini bukan
masalah ketegangan antaragama atau keyakinan. Ini
hanyalah masalah perbedaan budaya dan sistem
nilai. Masing-masing pihak punya alasan untuk
mendukung tindakan mereka.
Bisa jadi sudah menjadi hak Rangga dan Khan
untuk melakukan perlawanan. Tapi sebagai muslim,
aku selalu ingat kata-kata Fatma: "mengalah itu
tidak kalah, melainkan menang secara hakiki".
Itulah yang kemudian membuatku dan Rangga
bersemangat mengurungkan niat yang bisa
memperkeruh situasi. Kondisi di Eropa saat ini makin sekuler,
menjungkir-balikkan antara yang patut dan tidak
patut. Menganggap orang yang beragama apa pun
itu adalah suatu bentuk penyimpangan dan menilai
orang tanpa keyakinan agama sebagai bentuk
kenormalan. Saat Rangga tertangkap basah tengah Shalat
Zuhur di dalam kantor pribadinya, dia langsung
diperingatkan agar hal tersebut tak terulang lagi.
Kampus adalah tempat yang netral, harus bebas dari
atribut agama, begitu kata supervisornya.
Sebenarnya aliran darah langsung naik ke ubunubun Rangga. Toh dia Shalat Zuhur di ruang pribadi,
bukan di tengah aula atau gerbang kampus.
Kemudian supervisornya memberi tahu Rangga
bahwa dia bisa tetap shalat di ?kumenischer Raum,
ruang ibadah bagi semua agama yang disediakan
kampus di dekat basement perpustakaan. Ruang
sebesar 3 m x 3 m itu memang dipakai untuk semua
aktivitas agama di kampus Rangga.
Akhirnya, yang bisa dia lakukan hanyalah diam
dan menganggukkan kepala. Mengalah untuk
berjalan ke gedung lain agar bisa Shalat Zuhur di
dalam ruang yang penuh dengan gambar salib,
patung Buddha, dan kitab berbagai agama.
Tak ada gunanya berdebat sengit menjelaskan
shalat adalah kewajiban personal, konsep dosapahala, dan lain sebagainya. Sampai lelah rasanya
harus menjelaskan kami umat muslim tidak makan
babi. Berbuih-buih bibir ini, mereka tidak paham
juga bahwa itu adalah larangan dalam Al-Qur"an"
meskipun kami sudah menjelaskannya dengan
bahasa rasional dari sisi kesehatan sekalipun.
209 32 210 "Ah, ayahku yang berusia 80 tahun adalah
penggemar babi. Sampai sekarang beliau sehatsehat saja, tak pernah masuk rumah sakit. Kau harus
mencobanya sekali-sekali, Rangga," begitu ucap
Stefan, kolega Rangga yang lain di kampus. Dia
mengajak Rangga makan siang bersama sambil
mengajak anjingnya berjalan-jalan.


99 Cahaya Di Langit Eropa Menapak Jejak Islam Di Eropa Karya Hanum Salsabiela Rais Dan Rangga Almahendra di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kalau sudah begini, walaupun bercanda rasanya
sudah malas untuk menanggapi. Karena terus
didesak oleh Stefan agar memberi penjelasan
rasional tentang larangan makan babi, Rangga
hanya bisa menyindir balik.
"Stefan, anjingmu itu mungkin juga enak. Kau tahu,
di Indonesia anjing juga bisa dibuat jadi masakan
lezat. Kau harus mencobanya sekali-sekali," jawab
Rangga menunjuk Stello, anjing Stefan.
Mendengar jawaban Rangga, meledak tawa
Stefan. "Lucu sekali Rangga, mana mungkin aku makan
daging anjing kesayanganku ini?"
"Itulah, Stefan. Kau tidak mau makan anjingmu
karena kau sangat sayang kepadanya. Demikian juga
aku. Aku tidak mau makan babi karena aku sangat
"mencintai" perintah dan larangan Tuhanku," sahut
Rangga. Stefan seketika menghentikan tawanya.
Tampaknya dia sudah paham maksud Rangga.
Stefan lantas manggut-manggut pertanda
paham mengapa kami, muslim, tak boleh makan
babi, bahkan untuk sekadar menyentuhnya.
Mungkin dia berpikir lebih baik berhenti
memengaruhi Rangga untuk makan babi agar
Rangga juga berhenti menggodanya untuk makan
daging anjing kesayangannya.
Pada waktu yang lain, bukan lagi babi yang
Cinta Dalam Kutukan 2 Pendekar Naga Geni 11 Kutukan Patung Intan Pendekar Bayangan Setan 14
^