Pencarian

Cinta Dalam Kutukan 2

Pendekar Slebor 59 Cinta Dalam Kutukan Bagian 2


la Kunti! Tetapi aku selalu berhasil menghindarinya karena aku memang tak ingin
memancing permusu-han! Kalaupun Jala Kunti akhirnya tewas, itu karena
kesalahannya sendiri! Dia membunuh diri!"
"Gara-gara cintanya kau tolak! Sok kecakepan!"
"Sulit berbicara soal cinta! Karena cinta adalah sebagian dari rahasia Tuhan!"
"Busyet! Jangan-jangan selama ini kau pergi ke India belajar menjadi penyair,
ya"!" seloroh Andika yang memang mulutnya selalu gatal untuk menggoda
eyang buyutnya. "Atau kau sudah kebanyakan
mem...." Belum tuntas kata-kata Andika, mendadak saja
satu gelombang angin menderu ke arahnya.
"Heeiii!!" memekik tertahan pemuda urakan ini yang segera gerakkan tangannya ke
depan. Blaaammm! Terdengar suara laksana salakan petir yang keras.
Di tempatnya, Andika nampak surut dua tindak ke be-
lakang. Mulutnya berbunyi, "Apa-apaan ini" Kenapa pakai menyerangku segala"
Kalaupun kau menolak
cintanya kan bukan urusanku!"
"Nah! Kalau kau sudah tahu bukan urusanmu,
mengapa kau masih banyak tanya, hah"!"
Mendengar ucapan balik Ki Saptacakra, Andika
cuma nyengir. "Ya... pengen tahu saja...." Kemudian masih nyengir dia
melanjutkan, "Aku sudah ketiban pulung dari urusan lalu antara kau dengan Jala
Kunti, Eyang! Dan nampaknya, bukan hanya pada Dewi Selendang Hitam yang telah
dirasuki roh Jala Kunti yang harus kuhadapi! Tetapi juga Dedemit Tapak Akhirat!"
"Betul! Manusia itu telah lama berdiam diri di Bukit Akhirat! Dan rasanya... dia
pun telah mendengar tentang Patung Kepala Singa di mana roh Jala Kunti
hinggap! Bisa jadi pula dia telah mendengar tentang kutukan Jala Kunti yang akan
menggegerkan rimba
persilatan! Ingat! Kau juga harus berhati-hati menghadapinya!"
"Enteng banget tuh bacot, apa dia tidak tahu kalau aku sudah panas dingin menghadapi Dewi Selen-
dang Hitam yang kemasukan roh Jala Kunti?" gerutu Andika dalam hati. Lalu
berkata, "Bagaimana caraku untuk mengalahkannya?"
"Betul-betul celaka! Mana aku tahu" Aku belum
pernah bertarung dengannya!"
"Busyet! Tadi kau cerita, kalau Jala Kunti kau pantek di sebuah pohon...."
"Kau yang busyet! Kupikir kau bertanya soal Dedemit Tapak Akhirat!"
Andika keluarkan dengusan lagi. "Makanya, jan-
gan main asal jawab saja bila belum paham betul!"
"Sialan! Menghadapi Jala Kunti di kala dia masih hidup, dapat kulakukan walau
dengan bersusah
payah! Tetapi menghadapinya dalam kedudukan men-
jelma menjadi roh atas sumpahnya sendiri, jelas tak bisa kugambarkan bagaimana
cara menghadapinya!
Hei! Kudengar orang-orang mengagumimu karena
keenceran otakmu yang seperti air comberan! Lebih
baik coba kau gunakan otakmu, siapa tahu sudah
mampet"!"
"Ngomong memang gampang!"
"Busyet! Kenapa jadi begini"! Jangan-jangan justru kau sendiri ya yang
mengatakan kau pintar ke-
mudian kau sengaja menyebarkannya?"
Di tempatnya Andika melotot. Dan sebelum dia
membuka mulut, Ki Saptacakra telah keluarkan kata-
kata lagi, "Dulu... dia kukalahkan karena aku tahu ke-lemahannya yang terletak
pada telapak kaki kirinya!
Sekarang... ya kau cari sendiri! Barangkali saja terletak
di tempat yang asyik!"
"Betul-betul busyet! Tak kusangka kalau kau masih gatel juga, Eyang"!"
Entah berada di mana, Ki Saptacakra keluarkan
tawanya keras-keras. Di tempatnya Andika menggeru-
tu panjang pendek dan kembali menjerit tatkala dirasakan kepalanya dijitak,
"Kepalaku lama kelamaan bi-sa benjol nih!"
"Benjol dua jamak! Malah kelihatan lebih ganteng!
Orang akan bertanya-tanya, kau ini sebangsa kambing atau orang utan ajaib!"
sahut Ki Saptacakra sambil tertawa lagi.
Andika menggerutu panjang pendek hingga bibir-
nya monyong membentuk kerucut. Setelah itu dia aju-
kan tanya, "Aku ingin tahu... apakah kau mengenai seseorang yang berjuluk Dewa
Suci, Eyang?"
"Dewa Suci" Jelas saja kukenal! Manusia yang selalu meninggikan derajat
kesopanannya! Nah, nah!
Kau mau apa bertanya tentangnya?"
"Aku cuma ingin tahu di mana dia berada"!"
"Betul-betul gemblung! Silakan kau cari sendiri!
Kenapa pakai bertanya padaku, hah" Hei, Slebor! Le-
bih baik kau segera menuju ke arah barat, karena roh Jala Kunti yang telah
menitis pada Dewi Selendang Hitam akan membuat kekacauan?"
"Kau sendiri hendak ke mana?"
"Ke mana" Kenapa kau pakai tanya, hah"!"
"Urusan Jala Kunti itu bagaimana?"
"Ya urusanmu! Bukankah kau juga sedang dicari-
cari olehnya" Bisa jadi kau juga akan dicari oleh Dedemit Tapak Akhirat! Ah,
nasibku sungguh baik betul!
Memiliki tumbal untuk hadapi urusan masa lalu!!"
Habis kata-kata itu, terdengar suara tawa keras
yang semakin lama semakin menjauh. Andika men-
ganggap eyang buyutnya telah meninggalkan tempat
itu. Di tempatnya Andika menggerutu panjang pendek.
"Brengsek! Aku jadi yang kena batunya! Tetapi... sejak semula aku memang sudah
terlibat dalam urusan ini!
Menghindar pun tak mungkin lagi! Dan sialnya, ada
dua orang yang akan memburuku! Huh! Betul-betul
kutu monyet!!"
Untuk beberapa lamanya pemuda yang memiliki
sepasang alls menukik laksana kepakan sayap elang
ini menggerutu. Kejap kemudian dia berkata, "Biar bagaimanapun juga... aku harus
menghadapi urusan
ini." Tahu-tahu dirangkapkan kedua tangannya di depan dada dan berkata hormat,
"Akan kuhadapi segala urusan ini, Eyang.... Lebih baik kau memang berada
dalam hidup yang nyaman...."
Habis kata-katanya terdengar, tahu-tahu....
Tak! Kepalanya dijitak kembali. "Eyang!!"
Terdengar tawa Ki Saptacakra, "Busyet! Baru kali ini kulihat kau bisa bersikap
sopan! Jangan-jangan...
besok pagi dunia sudah kiamat nih!"
Andika yang tadi semula menganggap eyang
buyutnya sudah menjauh cuma nyengir seraya berka-
ta, "Aku lagi latihan main sandiwara nih! Bulan Mau-lud kan aku akan pentas di
Kotapraja" Eh! Kalau kau senggang Eyang, kau bisa nonton!!"
"Lagakmu! Hati-hati!!"
Andika melihat ranggasan semak belukar di hada-
pannya bergerak. Kini dia yakin kalau Ki Saptacakra memang sudah meninggalkan
tempat itu. Tiga tarikan napas kemudian, Andika pun segera
berkelebat menuju ke arah barat.
*** 6 Kita tinggalkan dulu Pendekar Slebor yang sedang
menuju ke barat. Sekarang kita ikuti perjalanan Na-
wang Wangi, Tri Sari, dan Bidadari Tangan Bayangan.
Setelah Nawang Wangi berhasil membawa tubuh Tri
Sari kemudian menyambar tubuh gurunya, Nawang
Wangi membantu gurunya untuk memulihkan kea-
daannya. Setelah itu, Bidadari Tangan Bayangan sen-
diri mencoba melepaskan lilitan hawa dingin yang dilakukan oleh Bocah Liar pada
Tri Sari. Setelah melakukannya dengan susah payah, barulah dia berhasil
membebaskan Tri Sari.
Setelah masing-masing orang pulih keadaannya,
Bidadari Tangan Bayangan yang masih ngotot, menga-
jak untuk kembali lagi ke tempat semula. Nawang
Wangi dan Tri Sari sendiri hanya mengikuti saja. Namun sudah barang tentu mereka
tak menemukan sia-
pa pun di sana. Sesaat tak ada yang membuka suara.
"Apa yang telah terjadi...," desis perempuan berpakaian kuning bersih ini. "Ke
mana manusia-manusia itu" Dan apa yang dialami oleh Pendekar Slebor serta Kepala
Besi?" Tak ada yang buka mulut untuk jawab pertanyaan
itu. Masing-masing orang mencoba memikirkan apa
yang telah terjadi sepeninggal mereka.
Bidadari Tangan Bayangan berkata lagi, "Luruhan abu yang berasal dari Patung
Kepala Singa sudah tak nampak. Hmmm... apa yang sebenarnya telah terjadi?"
Sementara itu Tri Sari melihat sesuatu yang me-
narik perhatiannya di ujung sana. Perlahan-lahan gadis ini melangkah untuk
memastikan apa yang mena-
rik perhatiannya. Kejap itu pula terdengar seruannya,
"Bibik!!"
Dengan gerak cepat Bidadari Tangan Bayangan
mendekat. Nawang Wangi menyusul kemudian. Mas-
ing-masing orang melihat Tri Sari menunjuk sesuatu di atas tanah.
Sesaat Bidadari Tangan Bayangan memicingkan
matanya. "Bocah Liar.... Gila! Bagaimana caranya lelaki bertampang bocah itu bisa mampus"
Dan menilik luka
yang dideritanya, sungguh mengerikan sekali!" desisnya kemudian lalu menyambung,
"Bisa jadi... yang melakukan semua itu adalah Pendekar Slebor. Kalau be-
gitu dia tentunya selamat. Begitu pula dengan Kepala Besi. Lantas, ke manakah
perginya Dewi Selendang Hitam?"
Lagi tak ada yang sahuti pertanyaannya. Masing-
masing orang justru arahkan pandangan pada mayat
Bocah Liar. "Hanya mayat Bocah Liar dan tempat yang porak
poranda yang terlihat. Sungguh, aku dibuat penasaran untuk mengetahui apa yang
sebenarnya telah terjadi?"
desis Bidadari Tangan Bayangan lagi.
"Guru... apakah tidak lebih baik kita segera tinggalkan tempat ini?" tanya
Nawang Wangi. "Terus terang, aku masih tidak tenang bila berada di sini."
Bidadari Tangan Bayangan arahkan pandangan-
nya pada murid jelitanya yang berambut dikuncir dua,
"Aku pun merasakan kekosongan yang dalam. Tetapi...
naluriku seolah mengatakan, sesuatu yang lebih men-
gerikan telah muncul, sesuatu yang diakibatkan dari Patung Kepala Singa...."
Mendengar ucapan gurunya, Nawang Wangi tak
membuka mulut. Justru Tri Sari yang berkata, "Bibik... Dewi Selendang Hitam
telah membunuh ayah
dan saudara-saudaraku. Menilik hanya mayat Bocah
Liar yang berada di sini, tentunya perempuan celaka
itu masih hidup. Biar bagaimanapun juga, aku harus
menuntut balas padanya. Apalagi, aku gagal menja-
lankan amanat yang diberikan Ayah untuk menyerah-
kan Patung Kepala Singa pada orang yang berhak me-
milikinya...."
Bidadari Tangan Bayangan mendesah. Lalu ka-
tanya pada gadis berambut ekor kuda itu, "Kau benar, Tri Sari.... Tetapi untuk
saat ini, jelas semuanya tak akan bisa kau jalankan. Paling tidak, kau tentunya
sudah gagal untuk menyerahkan Patung Kepala Singa
pada yang berhak. Kendati demikian, barangkali kau
akan dapat melihat perempuan celaka yang telah la-
kukan pembantaian di Kuil Putra Langit mampus."
Tri Sari menganggukkan kepalanya. Dan bersuara
agak geram, "Kalau begitu... kita harus segera menca-rinya, Bibik...."
"Kau benar. Tetapi, aku memiliki pikiran lain," ka-ta Bidadari Tangan Bayangan.
Untuk sesaat dia ter-
diam sebelum berkata, "Tri Sari... kita pernah mencoba menemui Dewa Suci tetapi
gagal. Dan aku minta...."
"Guru!" potong Nawang Wangi. "Kau mengatakan kau dan Tri Sari pernah mencari
Dewa Suci?"
Kendati sebenarnya tak suka karena kalimatnya
dipotong seperti itu, Bidadari Tangan Bayangan pa-
lingkan pandangannya seraya anggukkan kepala.
"Aku pernah ditolong oleh seseorang yang berna-ma Dewa Suci...," kata Nawang
Wangi kemudian.
Tak menyangka mendengar pengakuan muridnya,
Bidadari Tangan Bayangan sesaat tak membuka mu-
lut. Kemudian katanya, "Kapan kau berjumpa dengannya?"
"Aku tidak berjumpa dengannya Guru... tetapi dia menolongku. Maksudku... aku tak
tahu dia berada di mana...," kata Nawang Wangi, lalu diceritakan penga-lamannya
di saat diselamatkan oleh Dewa Suci tatkala
Gendala Maung hendak mempermalukannya. (Baca:
"Rahasia Di Balik Abu").
Bidadari Tangan Bayangan mengangguk-
anggukkan kepalanya selesai muridnya bercerita se-
raya mendesis, "Pantas dia tak kutemui di kediaman-nya...." Kemudian katanya,
"Kalau begitu... kau dan Tri Sari segera mencari Dewa Suci. Katakan padanya,
kalau aku membutuhkan bantuannya."
"Guru sendiri hendak ke mana?"
"Nawang Wangi... aku masih penasaran dengan
segala urusan yang membentang di depan mataku.
Kendati Patung Kepala Singa telah hancur, aku ingin tahu rahasia apa yang
sesungguhnya telah tersimpan.
Di samping itu, aku juga hendak mencari Kepala Besi untuk meminta maaf" atas
tuduhanku waktu lalu...."
Sesaat hening meraja sebelum Tri Sari membuka
mulut, "Bibik... sebelum Ayah meninggal, dia berpesan padaku untuk menjumpaimu.
Dan sekarang kita telah
bertemu kendati aku gagal menyerahkan Patung Kepa-
la Singa kepadamu untuk diserahkan pada pemiliknya
yang sah."
"Apa maksudmu, Tri Sari?"
"Bukankah lebih baik bila kita berjalan bersama-sama" Maksudku... kita bisa
saling menjaga satu sama lain...."
"Aku tahu kekhawatiranmu, karena sesungguhnya
aku juga khawatir. Tetapi kupikir, bila bersama-sama dengan Nawang Wangi...
kalian tentunya dapat saling membantu. Paling tidak untuk saat ini, kita saling
membagi tugas. Kau dan Nawang Wangi mencari ke
mana perginya Dewi Selendang Hitam, sementara aku
mencoba untuk tetap mengetahui ada rahasia apa se-
benarnya pada Patung Kepala Singa. Dengan kata lain, aku harus menemukan
Pendekar Slebor atau Kepala
Besi." Lalu sebelum Tri Sari membuka mulut lagi, Bida-
dari Tangan Bayangan sudah berkata, "Sekarang juga kita berpisah! Kalian harus
berhati-hati!"
Habis kata-katanya terdengar, perempuan yang di
pinggangnya melilit selendang warna merah itu sudah berkelebat cepat, hingga
yang nampak hanyalah
bayangan kuning belaka.


Pendekar Slebor 59 Cinta Dalam Kutukan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sepeninggal Bidadari Tangan Bayangan, Tri Sari
berkata, "Nawang Wangi... apa yang dikatakan gurumu memang benar. Yah, kita
memang harus menempuh
segala risiko di depan mata. Apapun yang terjadi,
nampaknya kita memang harus bergerak cepat!"
Tri Sari terdiam sejenak. Pancaran matanya kini
menjadi dingin. Suaranya agak menggeram saat berka-
ta, "Hhh! Dewi Selendang Hitam! Dendamku padamu semakin tinggi!"
Gadis berpakaian ringkas warna biru kehijauan
itu cuma menganggukkan kepalanya. Dapat dirasakan
bagaimana kegeraman gadis berpakaian putih-putih
yang berdiri di sebelahnya.
"Yah... lebih baik kita segera bergerak sekarang.
Mencari Dewi Suci, sekaligus menemukan di mana
Dewi Selendang Hitam berada...."
Setelah masing-masing gadis sama-sama angguk-
kan kepala, keduanya pun segera berkelebat mening-
galkan tempat itu.
*** Sinar matahari pagi kembali bekerja seperti sedia
kala. Entah pagi keberapa sejak dimulainya kehidupan ini. Sinar redup matahari
mengantar Nawang Wangi
dan Tri Sari tiba di sebuah dusun. Begitu menginjakkan kaki mereka di jalan
masuk dusun itu, masing-
masing gadis sudah hentikan langkah dengan kening
berkerut. Di kanan kiri mereka, beberapa rumah nampak
porak poranda. Beberapa pohon tumbang tumpang
tindih seolah halangi langkah. Dan yang membuat ke-
duanya saling pandang sejenak, karena baru menya-
dari kalau mereka tak melihat seorang pun di sana.
"Aneh... apa yang telah terjadi?" tanya Tri Sari seperti ditujukan pada diri
sendiri. "Sebaiknya, kita teruskan saja langkah. Barangkali kita akan mendapat
jawabannya...," sahut Nawang Wangi.
Lalu kedua gadis ini pun terus melangkah mema-
suki dusun itu. Dan semakin keduanya menjejaki du-
sun itu, mereka melihat di sana-sini seperti habis dila-brak gerombolan gajah
liar. Dan ada keramaian di
ujung sana. Kehadiran kedua gadis yang sama-sama
jelita itu sebenarnya dapat memancing perhatian para lelaki. Namun mereka hanya
sekali melirik, dan setelah itu melengos kembali.
Nampak serombongan orang bergegas menuju ke
sebuah tempat. Begitu pula dengan orang-orang yang
lainnya. Kedua gadis itu melihat tak ada warung yang buka. Ketergesa-gesaan
orang-orang dusun itu memancing perhatian kedua gadis ini.
"Aneh! Mengapa orang-orang itu seperti berkum-
pul di sini?" desis Tri Sari.
Nawang Wangi tak segera menjawab. Dia perhati-
kan dulu kesibukan yang terjadi. Dilihatnya ada beberapa sosok mayat yang
digotong. Ada pula orang-orang yang membawa buntalan seperti hendak mengungsi.
"Nampaknya... dusun ini seperti diserang penyakit yang mengerikan..."
"Tetapi... menilik mayat-mayat yang diangkut itu, jelas bukan disebabkan oleh
penyakit. Dada masing-masing orang bolong. Bahkan... oh! Tidakkah kau lihat
kalau ada beberapa mayat yang kepalanya buntung?"
Kalau tadi begitu mereka masuk ke dusun itu su-
asana begitu hening, kini di tengah-tengah dusun ke-hiruk-pikukan kian menjadi-
jadi. Apalagi tatkala terdengar isak tangis dari beberapa orang perempuan.
"Nawang... aku menangkap sesuatu yang lebih
mengerikan dari sekadar penyakit!"
"Aku juga menduga seperti itu!"
"Lebih baik kita berpencar untuk mencari tahu
ada masalah apa gerangan?"
Nawang Wangi menganggukkan kepalanya. Dia
bergerak ke arah kiri, sementara Tri Sari ke arah kanan. Tangis yang terdengar
kian menjadi-jadi, disertai teriakan-teriakan memanggil nama seseorang yang
sudah menjadi mayat.
Selang beberapa saat kedua gadis itu bertemu
kembali di tempat semula.
"Apa yang kau dapatkan?" tanya Tri Sari segera.
"Seseorang yang mengaku bernama Jala Kunti da-
tang memporakporandakan dusun ini! Perempuan itu
memaksa orang-orang di sini mengatakan di mana
orang yang bernama Saptacakra berada," sahut Nawang Wangi.
"Benar! Dan karena tak seorang pun yang menge-
tahui siapakah serta di manakah orang yang bernama
Saptacakra berada, maka perempuan bernama Jala
Kunti itu mengamuk dan membunuhi mereka dengan
ganas. Kalaupun masih ada yang hidup, karena mere-
ka kebetulan tak berada di tempat saat petaka itu terjadi. Atau berhasil
meloloskan diri. Nawang... apakah kau mendengar pula ciri orang yang bernama
Jala Kunti?" Nawang Wangi menganggukkan kepalanya.
Tri Sari berkata lagi, "Apakah ciri orang yang bernama Jala Kunti itu tidak
mengingatkan kau pada se-
seorang?" "Ya!" sahut Nawang Wangi sambil menganggukkan kepalanya lagi. "Sungguh aneh
sebenarnya! Kala kutanyakan ciri-ciri orang yang bernama Jala Kunti, aku
langsung teringat pada perempuan celaka yang berjuluk Dewi Selendang Hitam."
"Kau benar! Aku pun menduga seperti itu! Menga-pa Jala Kunti mempunyai ciri yang
sama dengan Dewi
Selendang Hitam" Lantas apa yang kau pikirkan seka-
rang?" "Kemungkinannya... perempuan yang bernama Ja-
la Kunti adalah Dewi Selendang Hitam sendiri. Tidakkah kau ingat, bagaimana
Pendekar Slebor membuka
samaran Dewi Selendang Hitam yang sesungguhnya
adalah Nyi Dungga Ratih, perempuan yang mencoba
menjebaknya?"
"Jadi maksudmu... kau menduga Jala Kunti ada-
lah Dewi Selendang Hitam?"
"Benar."
"Pikiran itu pun ada di benakku. Tetapi, mengapa dia justru mencari seseorang
yang bernama Saptacakra" Mengapa dia bukan mencari Pendekar Slebor"
Bukankah Pendekar Slebor yang mengacaukan semua
rencana jahatnya?" tanya Tri Sari dan wajah gadis ini merah padam tatkala
membayangkan wajah Dewi Selendang Hitam, yang diketahui sebagai pembunuh
ayah dan saudara-saudara angkatnya di Kuil Putra
Langit. Nawang Wangi tak segera membuka mulut. Sete-
lah berpikir sesaat dia berkata, "Aku tidak tahu."
"Ini harus dicari kejelasannya. Orang yang berjuluk Jala Kunti mengingatkan kita
pada Dewi Selendang Hitam. Namun tujuan yang kita ketahui, Dewi Selendang Hitam
berkeinginan untuk mendapatkan Patung
Kepala Singa yang telah pecah. Dan dia pun sangat
mendendam pada Pendekar Slebor yang menurutnya
adalah orang yang bertanggungjawab atas kegagalan-
nya itu. Kalau memang Dewi Selendang Hitam me-
nyamar sebagai Jala Kunti, mengapa dia mencari
orang yang bernama Saptacakra" Inilah yang membua-
tku jadi agak ragu."
"Tri Sari... bisa jadi kalau Jala Kunti memang Jala Kunti, begitu pula Dewi
Selendang Hitam. Hanya kebetulan saja ciri-cirinya sama satu sama lain."
"Tidakkah mereka kembar?" cetus Tri Sari memikirkan kemungkinan lain.
"Aku tidak bisa menjawab secara pasti. Akan tetapi, rasanya tak mungkin bila dia
kembar." "Jadi bagaimana sekarang?"
"Kita harus memburu orang yang bernama Jala
Kunti yang dikatakan oleh orang yang kutanya berlalu ke arah barat. Perempuan
celaka itu harus mendapatkan ganjaran atas segala perbuatannya...."
Tri Sari menganggukkan kepala. "Ya! Kita kejar perempuan celaka itu!!"
Dua kejapan mata kemudian, masing-masing ga-
dis segera berkelebat ke arah barat dengan kerahkan ilmu peringan tubuh. Di
dusun yang telah porak poranda itu, isak tangis masih terdengar memilukan.
*** 7 Perempuan berpakaian kuning bersih dengan se-
lendang merah yang melilit pada pinggang rampingnya itu, hentikan kelebatannya
di sebuah tanah yang dipenuhi bebatuan. Sesaat perempuan ini arahkan pan-
dangannya ke berbagai penjuru. Menyusul dia mende-
sis, "Sungguh keadaan yang membingungkan... apa yang telah terjadi
sepeninggalku" Siapa yang telah
membunuh Bocah Liar" Ke mana pula perginya Pen-
dekar Slebor dan Kepala Besi" Yang terutama, ke ma-
na larinya perempuan celaka yang ternyata adalah
orang yang turunkan tangan telengas di Kuil Putra
Langit?" Perempuan ini tarik napas panjang tatkala tak
menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaannya.
Kembali pandangannya diedarkan ke segenap penjuru.
Begitu pandangannya tertuju ke samping kanan,
perempuan ini melengak kaget dengan kedua mata
membuka. "Gila! Sejak tadi tak kulihat seorang pun berada di sini! Dan tahu-tahu lelaki
berkumis baplang itu telah berdiri di sana" Celaka! Jelas urusanku akan tertunda
sekarang!" maki perempuan ini dalam hati.
Sejarak lima belas tombak, lelaki berkumis bap-
lang yang di dadanya terdapat selendang warna putih bersilangan, perlihatkan
seringaian lebar. Lalu melangkah
perlahan-lahan mendekati perempuan berpakaian
kuning bersih yang nampak bersiaga.
Masih berjalan lelaki yang tak lain Gendala Maung
adanya sudah buka ejekan, "Tak kusangka... kita bertemu lagi, Bidadari Tangan
Bayangan! Apakah kau su-
dah melupakanku, atau kau berlagak lupa?"
Bidadari Tangan Bayangan kertakkan rahangnya.
"Keparat betul! Mengapa di saat urusan masih belum dapat kujelajahi secara utuh,
manusia celaka ini sudah muncul kembali" Hhh! Ke mana sahabatnya
yang bernama Ganda Maung?"
Habis membatin begitu, dengan pancaran mata
melecehkan dan nada suara mengejek, Bidadari Tan-
gan Bayangan buka mulut, "Hhhh! Apakah kau belum
merasa puas kugebuk beberapa waktu lalu" O ya, ke
mana sahabatmu itu" Apakah dia sudah putus nyali
begitu melihatku"!"
Sejarak lima langkah, Gendala Maung hentikan
langkahnya. Lelaki berkumis baplang ini langsung keluarkan tawa keras dan
mengejek. "Bicaramu seolah masih membuktikan betapa he-
batnya kau ini, Bidadari Tangan Bayangan! Dan kau
merasa, dapat menyelami lautan yang paling dalam!
Tetapi sayang... nyawamu kini sudah berada di tan-
ganku"!"
"O ya" Apakah kau...."
"Bagaimana dengan muridmu yang bernama Na-
wang Wangi?" putus Gendala Maung dengan serin-
gaian. "Bila kau mau menyerahkan muridmu itu untuk menjadi gundikku, maka
nyawamu akan kulepas hari
ini!" "Jahanam terkutuk!!" maki Bidadari Tangan Bayangan dalam hati. Kemudian
membentak, "Me-nyesal aku tak membunuhmu dulu! Padahal orang-
orang seperti kau tak layak untuk hidup lebih lama!!"
"Yang dulu sudah basi! Yang kita hadapi adalah urusan sekarang!!" sahut Gendala
Maung. Lalu suaranya berubah tajam, "Perbuatanmu yang menghentikan segala
keinginanku... akan kubalas hari ini!!"
"O ya" Atau kau sebenarnya sudah tak sabar un-
tuk pergi ke akhirat" Bagus! Akan kutunjukkan jalan kepadamu!"
Belum habis suara Bidadari Tangan Bayangan
terdengar, Gendala Maung sudah menerjang ke depan.
Tangan kanan dan kirinya diputar cepat.
Bidadari Tangan Bayangan, hanya keluarkan den-
gusan saja. Begitu tubuh lawan mendekat, dia segera melesat ke depan.
Des!! Jotosan tangan kanan Gendala Maung berhasil
dipapakinya. Bersamaan dengan itu tubuh Bidadari
Tangan Bayangan mencelat ke samping, lalu lepaskan
jotosan ke bagian samping kiri tubuh Gendala Maung.
Namun hanya dengan tekuk sikunya, jotosan itu
berhasil diputuskan. Menyusul dengan gerakan yang
aneh, kaki kanan kiri Gendala Maung bergerak bersa-
maan mengarah pada leher dan kepala Bidadari Tan-
gan Bayangan. Guru Nawang Wangi ini kertakkan rahangnya se-
raya melompat ke belakang. Kejap kemudian dia sudah menderu ke depan. Kedua
tangannya mendadak ber-putar dan menjelma laksana bayangan belaka. Genda-
la Maung sesaat melengak, tetapi di saat lain dia sudah memapaki serangan itu
dengan kedua kakinya.
Des! Dess!! Bidadari Tangan Bayangan langsung mundur dua
langkah ke belakang. Tangannya dirasakan ngilu. "Gi-la! Tenaga dalamnya begitu
besar sekali! Padahal dulu, tenaga itu akan menjadi besar bila digabungkan
dengan tenaga dalam Ganda Maung!"
Perubahan yang terjadi pada tenaga dalam Genda-
la Maung, ini disebabkan karena ilmu yang diturunkan oleh Dedemit Tapak Akhirat.
Bahkan gerakan Gendala
Maung terlibat lebih ringan dari biasanya.
Mulutnya berbunyi, "Mengapa kau mundur seperti itu, hah"! Ataukah kau sudah tak
sanggup untuk imbangi lagi kehebatanku ini" Hmmm... sebenarnya aku
ingin kita bermain-main lebih lama! Tetapi sayang,
urusanku masih banyak!!"
Habis kata-katanya, mendadak saja kedua tan-
gannya disentak-sentakkan ke depan. Menyusul tu-
buhnya sudah melesat ke depan. Desingan angin pra-
hara melabrak dahsyat ke arah Bidadari Tangan
Bayangan yang cepat menghindar. Namun serangan
itu datang susul menyusul, bahkan dilakukan dengan
menggerakkan kedua kaki dan tangan sekaligus.
Bukan main gusarnya Bidadari Tangan Bayangan.
Sambil melompat ke belakang untuk hindari sergapan
kedua kaki lawan, tangan kanan dan kirinya diki-
baskan. Wrrrrr!! Serta merta menderu dua sinar putih bening yang
keluarkan hawa panas. Karena saat menyerang Genda-
la Maung semakin mendekat dengan maksud memati-
kan ruang gerak, maka sulit baginya untuk hindari
sergapan dua sinar putih itu.
Memekik tertahan lelaki berkumis baplang ini saat
tubuhnya secara telak terhantam dua sinar putih bening itu. Tubuhnya terhuyung
ke belakang. Bersamaan


Pendekar Slebor 59 Cinta Dalam Kutukan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan itu, Bidadari Tangan Bayangan yang sudah ge-
ram, mencelat ke depan untuk habisi lawannya.
"Manusia celaka seperti kau ini tak layak untuk hidup! Lebih baik kau mampus
berteman dengan cac-ing tanah!!"
Tangan kanan dan kirinya pun telak bersarang
pada dada Gendala Maung. Makin deras tubuh Genda-
la Maung terhuyung ke belakang. Lalu berhenti setelah menabrak sebuah batu
besar. Rupanya tak sampai di
sana penderitaan yang nampaknya dialami oleh salah seorang Dua Iblis Lorong Maut
ini. Tubuhnya pun ter-banting ke depan. Dan tak bergerak.
Di tempatnya, Bidadari Tangan Bayangan men-
dengus. "Hhhh! Kau telah memilih jalanmu sendiri! Dan
rasanya... akan kusesali bila tak kubunuh kau seka-
rang juga!!"
Kejap kemudian diarahkan pandangannya ke de-
pan. "Hari sudah semakin menanjak. Aku harus lebih
cepat untuk mengetahui apa yang telah terjadi...."
Memutuskan demikian, perempuan berpakaian
kuning bersih ini pun siap untuk meninggalkan tempat itu. Namun satu gelombang
angin yang bergerak menyeret tanah dan kerikil, melabrak ke arahnya.
"Heeiiii!!" memekik tertahan Bidadari Tangan Bayangan sambil membuang tubuh ke
kanan. Blaaarrr!! Tanah di mana Bidadari Tangan Bayangan berdiri
tadi seketika terbongkar dan menerbangkan bongka-
rannya ke udara. Belum lagi tanah itu sirap, menda-
dak terdengar gemuruh angin kembali yang menerobos
gumpalan tanah.
Untuk kedua kalinya Bidadari Tangan Bayangan
melompat ke samping kanan. Begitu hinggap kembali
di atas tanah, dia bersiaga penuh untuk menyambut
serangan yang datang.
Namun yang mengejutkannya, tatkala semuanya
sirap, satu sosok tubuh berkumis baplang telah berdiri tegak sejarak delapan
langkah dari hadapannya dengan bibir menyeringai.
"Gendala Maung...." ***
Orang yang tadi dua kali lancarkan serangannya
memang Gendala Maung. Astaga! Bagaimana cara le-
laki berkumis baplang ini masih tetap dalam keadaan segar bugar kendati sudah
dihajar berulangkali oleh Bidadari Tangan Bayangan"
Ini disebabkan karena pengaruh ilmu 'Tapak Ak-
hirat' yang diturunkan oleh Dedemit Tapak Akhirat.
Ilmu 'Tapak Akhirat' dapat melindungi diri pemiliknya dari serangan-serangan
lawan. Memang bila langsung
terkena pukulan lawan, si pemilik ilmu 'Tapak Akhirat'
akan kewalahan menghadapinya. Namun bila telah di-
alirkan tenaga dari ilmu 'Tapak Akhirat' maka orang itu akan mampu berdiri lagi
dalam keadaan segar bugar. Tetapi bila yang melakukannya Dedemit Tapak
Akhirat sendiri, maka pukulan yang dilancarkan Bidadari Tangan Bayangan tadi tak
akan mampu meng-
goyahkannya. Karena ilmu itu sudah merasuk dalam
tubuhnya. Di seberang Gendala Maung tertawa keras melihat
wajah terkejut Bidadari Tangan Bayangan.
"Tadi sudah kukatakan... lain dulu lain sekarang!
Perempuan celaka! Bersiaplah kau untuk mampus!!"
Habis kata-katanya, mendadak saja lelaki berku-
mis baplang ini rangkapkan kedua tangan di depan
dada. Kejap kemudian ditepuknya satu kali. Suara
yang keluar dari tepukan itu sungguh mengejutkan.
Begitu keras, laksana guntur di siang hari. Bahkan tanah di sekitarnya berdiri
beterbangan. Bidadari Tangan Bayangan sendiri merasakan da-
danya berdegup keras akibat suara yang ditimbulkan
oleh tepukan Gendala Maung. Segera dialirkan tenaga dalamnya ke telinga bila tak
ingin alat pendengarannya pecah.
"Gila! Ilmu apa yang diperlihatkannya itu" Kema-juannya nampak begitu pesat
sekali! Hhhh! Biar ba-
gaimanapun juga, aku akan menghadapinya sekuat
tenaga! Tetapi sungguh berbahaya bila Ganda Maung
muncul" Hanya saja... bukankah saat itu Nawang
Wangi bercerita kalau dia melihat lelaki celaka ini tengah berdiam di depan
sebuah makam" Jangan-
jangan... itu makam Ganda Maung yang telah mam-
pus?" Di seberang, Gendala Maung perlihatkan serin-
gaian lebarnya. "Kini... ajalmu telah datang, Bidadari!!"
Habis seruannya, mendadak saja ditepukkan tan-
gannya tiga kali. Saat itu pula satu tenaga raksasa yang mengandung hawa panas
dan menyeret tanah
serta bebatuan menderu ke arah Bidadari Tangan
Bayangan. Tak menyangka serangan seganas itu yang da-
tang, perempuan berpakaian kuning bersih ini lang-
sung melompat ke samping kanan. Akibatnya....
Blaaaammmm!! Lima buah batu besar yang berada di belakang-
nya, langsung rengkah menjadi kerikil dan berpentalan ke sana kemari. Bidadari
Tangan Bayangan sendiri
berdiri tegak dengan napas memburu.
Di tempatnya Gendala Maung terbahak-bahak
keras. "Tak ada jalan untuk menghindar dari tangan-ku! Kenyataan pahit nampaknya
sudah membentang
di matamu! Bersiaplah untuk kukirim ke neraka!!"
Belum habis dia berucap, kembali kedua tangan-
nya ditepukkan. Terdengar suara menyalak keras serta menderunya tenaga besar
yang ganas. Untuk kedua kalinya Bidadari Tangan Bayangan
harus berjumpalitan. Dari hawa yang terpancar dari
tenaga besar itu, dia sadar betul kalau tak mungkin untuk memapakinya. Maka
jalan satu-satunya adalah
menghindar. Begitulah seterusnya. Dengan terbahak-bahak
Gendala Maung terus lancarkan serangannya. Sebe-
narnya dia memang sengaja menyerang seperti itu un-
tuk menguras tenaga Bidadari Tangan Bayangan.
Sementara itu, si perempuan sendiri nafasnya su-
dah kembang kempis. Keringat semakin banyak mem-
banjiri sekujur tubuhnya. Pakaian bersih yang dikena-kannya sudah dipenuhi
kotoran, ini diakibatkan kare-na dia terlalu sering berguling untuk hindari
gempuran lawan. "Celaka! Aku bisa mampus sekarang!" desis Bidadari Tangan Bayangan dengan wajah
pucat. Tenaganya
sudah banyak keluar. Dan dia yakin tak lama lagi dia tak akan mampu untuk
menghindari gempuran ganas
yang dilancarkan lelaki berkumis baplang itu.
Tetapi mau tak mau dia memang harus menghin-
dar. Lima kejapan mata bukanlah waktu yang lama
sebenarnya, namun dirasakan begitu lama oleh Bida-
dari Tangan Bayangan sebelum akhirnya Gendala
Maung hentikan serangannya.
Kedua tangannya masih merangkap di depan da-
da. Sambil menyeringai dia berseru, "Permainan telah selesai! Kini kita memasuki
permainan yang sesungguhnya!"
Habis ucapannya, mendadak saja tubuhnya men-
celat ke depan. Kedua tangan yang tadi terangkap di depan dada kini terangkat
dan siap digerakkan.
Sadar akan bahaya yang mengancam, Bidadari
Tangan Bayangan segera menghindar bersamaan tan-
gan kanan Gendala Maung mengibas dan keluarkan
suara.. Blaaarrr!! Serta merta menderu gelombang angin panas yang
percikkan warna merah ke arah Bidadari Tangan
Bayangan. Memekik tertahan perempuan ini dengan wajah
laksana tanpa darah. Dia memang masih berhasil
menghindari sambaran tenaga ganas itu yang meng-
hantam rengkah tanah di mana dia berdiri tadi yang
seketika membentuk sebuah lubang yang keluarkan
asap. Namun dua gebrakan berikutnya, Bidadari Tan-
gan Bayangan mengalami nasib sial. Karena di saat dia hendak menghindar,
keadaannya yang memang sudah
lelah, membuat kaki kanannya terantuk batu.
Mau tak mau perempuan berpakaian kuning ber-
sih ini ambruk dengan wajah menimpa tanah. Saat itulah tenaga dahsyat yang
dilepaskan Gendala Maung
melabrak mengerikan.
Namun rupanya nasib masih berpihak pada Bida-
dari Tangan Bayangan. Selagi tenaga dahsyat itu siap mengirimnya ke akhirat,
mendadak saja terdengar suara menggelegar laksana salakan guntur dari samping
kanan. Dan menghantam tenaga yang dilepaskan Gendala Maung.
Blaaammmm!! Bukan buatan akibat yang ditimbulkan. Tanah di
mana bertemunya dua pukulan itu terbongkar dan
menerbangkan bongkarannya ke udara. Cukup tinggi
hingga cukup lama pula mengapung di udara sebelum
akhirnya luruh kembali.
Tatkala pandangan tak terhalang lagi oleh gumpa-
lan tanah itu, terlibat satu sosok tubuh berpakaian hijau pupus telah membopong
tubuh Bidadari Tangan
Bayangan yang nampak lemah namun tersenyum lega.
Di seberang, sepasang mata Gendala Maung
membuka lebih lebar. Kemudian terdengar suaranya
yang dipadu dengan tawa sengit, "Bagus! Rupanya kau datang sendiri untuk
mengantar nyawamu padaku,
Pendekar Slebor!!"
*** 8 Orang yang menyelamatkan Bidadari Tangan
Bayangan memang Pendekar Slebor adanya. Sesung-
guhnya pemuda dari Lembah Kutukan ini sempat ter-
kejut tatkala disaat dia tiba di sana, dilihatnya Gendala Maung sedang lancarkan
serangan dahsyat pada pe-
rempuan berpakaian kuning ini. Keterkejutan Andika
bukan dikarenakan nasib sial yang akan menimpa Bi-
dadari Tangan Bayangan, melainkan melihat betapa
ganasnya serangan yang dilancarkan Gendala Maung.
Jelas sekali dalam ingatannya tatkala bertarung
dengan Gendala Maung dan Ganda Maung, kalau tak
ada ilmu sedahsyat itu yang diperlihatkan masing-
masing orang. Saat itu pula Andika sadar, kalau lawan telah menuntut ilmu
kembali. Dan dalam waktu yang
singkat, bukanlah waktu yang tepat guna menuntut
ilmu aneh itu bila tidak diturunkan oleh seseorang
yang memiliki kesaktian cukup tinggi.
Kendati demikian, sambil menurunkan tubuh Bi-
dadari Tangan Bayangan, pemuda urakan ini berkata,
"Busyet! Kok dunia sempit amat, ya" Kenapa bisa bertemu denganmu lagi, sih" Kau
juga yang keganjenan,
pakai mencari-cari segala!!"
"Tutup mulutmu!!"
Andika cuma mengangkat sepasang alisnya yang
laksana kepakan sayap elang. Mulutnya nyerocos lagi,
"Kalau yang menyuruh seorang gadis dan menutup mulutku dengan bibirnya,
amboooiii asyik betul! Tetapi sayang... yang bicara cuma kambing buduk belaka!!"
"Keparaattt!!" bergetar tubuh Gendala Maung mendengar ejekan itu. Tetapi sebelum
salah seorang dari Dua Iblis Lorong Maut ini membuka mulut, pe-
muda yang di lehernya melilit kain bercorak catur sudah berkata lagi.
"Busyet! Kenapa mesti marah" Masih mending
kau kubilang kambing buduk! Coba kalau kubilang
babi celaka, kurus, budukan, bau dan lain-lain! Kan lebih parah!!"
Pemuda dari Lembah Kutukan ini memang senga-
ja mengajak Gendala Maung untuk bercakap-cakap le-
bih lama, mengingat dia harus mengobati Bidadari
Tangan Bayangan. Diam-diam, sambil bercakap-cakap,
Andika telah menempelkan telapak tangannya pada
punggung Bidadari Tangan Bayangan yang segera di-
alirkan tenaga 'Inti Petir'.
"Jahanam sial! Gagal membunuh Bidadari Tangan
Bayangan, tak boleh kubiarkan gagal membunuh pe-
muda celaka itu! Dia telah mempermalukanku di ha-
dapan semua orang! Terutama, nasib sial yang dialami Ganda Maung!" maki Gendala
Maung geram. Lalu berseru, "Jangan bicara seenak perutmu saja! Kini yang ada di
hadapanmu telah jauh berubah! Kau akan terkejut bila tahu siapa aku sekarang
ini?" "Oh!" desis Andika dengan kepala melengak. Wajahnya dibuat terkejut dengan mata
dibeliak- beliakkan. Lalu dengan suara dibuat gemetar dia berkata, "Gila! Jadi kau...
sebenarnya perempuan" Atau...
kau mendadak begitu saja telah berubah menjadi pe-
rempuan" Sayang betul... mengapa tampangmu masih
jelek seperti kambing hendak buang wajah begitu"!"
"Pemuda celaka!! Kubunuh kauu!!"
Habis makiannya, Gendala Maung yang sudah tak
sabar menahan diri lagi mendengar ejekan Pendekar
Slebor, segera rangkapkan tangannya di depan dada.
Kejap itu pula ditepukkannya hingga terdengar suara menggelegar keras. Kejap itu
pula satu gelombang tenaga dahsyat menggebrak ke arah Pendekar Slebor.
Hawa panas yang ditimbulkan oleh tenaga itu seolah menyengat Pendekar Slebor,
belum lagi percikan sinar merah yang memantulkan cahaya matahari.
Sesaat Andika terpana melihatnya.
"Gila! Mengerikan sekali ilmu yang diperlihatkannya!!" makinya dalam hati. Kejap
itu pula dia menarik tangan Bidadari Tangan Bayangan dan membawanya
bergulingan. Bummmmm!!! Tanah di mana dia berpijak tadi langsung rengkah
beterbangan. Sebuah batu sebenar anak kambing pe-
cah berpentalan laksana puluhan anak panah.
"Hebat tapi kejam!" dengus Andika tatkala berdiri kembali. Dia berbisik pada
Bidadari Tangan Bayangan,
"Cepat menyingkir dari sini...."
"Tidak! Manusia laknat itu harus membayar atas perbuatannya!" geram Bidadari
Tangan Bayangan. Setelah dialirkan tenaga 'Inti Petir' oleh pemuda yang berdiri
di sisi kanannya, dirasakan tubuhnya sudah terasa lebih baik dan agak segar.
Andika mengeluh dalam hati, "Kura-kura bau! Bila dia masih berada di sini, sulit


Pendekar Slebor 59 Cinta Dalam Kutukan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bagiku untuk imbangi setiap serangan yang dilakukan Gendala Maung!"
Kemudian katanya lagi, "Jangan keras kepala! Bi-sa-bisa kita berdua akan
celaka!" "Tak peduli apakah hari ini aku akan mampus
atau tidak! Manusia celaka itu harus mendapatkan
ganjarannya!"
"Busyet! Nanti saja kau pikirkan soal itu! Kalau ki-ta berdua mampus di sini...
siapa yang akan menjaga muridmu yang cantik itu?"
Ucapan yang dilakukan Andika barusan sebenar-
nya asal saja. Tetapi Bidadari Tangan Bayangan sesaat memandanginya. Kejap
kemudian dia berkata lagi,
"Urusan kau mencintai muridku atau tidak, bisa diatur belakangan! Justru aku
lebih rela mati sementara kau bisa bersanding dengan muridku sesuai
keinginanmu!"
Andika tergagap sejenak. "Busyet! Kok jadi begini?" desisnya dalam hati. Lalu
berseru, "Jangan banyak membantah lagi sekarang! Lebih baik...."
"Tak ada waktu lagi untuk membiarkan kalian hidup!!" seruan Gendala Maung
memutus kata-kata An-
dika. Bersamaan dengan itu, tubuhnya mencelat ke depan. Tangan kanan dan kirinya
digerakkan. Seketika
nampak gelombang angin yang percikkan sinar merah
keluar dari tapak kedua tangannya. Menyusul suara
mengerikan laksana salakan guntur.
Blgaaarrr!! Pendekar Slebor segera mendorong tubuh Bidadari
Tangan Bayangan ke samping kiri. Sementara dia sen-
diri sudah menggebrak ke depan. Tenaga 'Inti Petir'
tingkat ketiga telah dipergunakan.
Blaaammm! Blaaammm!!
Suara menggelegar saat itu pula terdengar menge-
rikan. Nampak sosok Pendekar Slebor terlempar ke belakang dengan deras. Bila
saja dia tak segera kuasai keseimbangannya, maka tak ampun lagi tubuhnya
akan menabrak batu besar di belakangnya.
Sementara itu, Gendala Maung berdiri tegak sam-
bil terbahak-bahak. Dia hanya surut tiga tindak.
"Ajal telah datang padamu, Pendekar Slebor! Ilmu
'Tapak Akhirat' yang baru saja kupelajari akan men-
jemputmu dalam kematian!!"
Sementara Bidadari Tangan Bayangan akhirnya
membenarkan kata-kata Andika, pemuda itu sendiri
sedang membatin, "Ilmu 'Tapak Akhirat'" Nampaknya aku pernah mendengar nama itu.
Oh, bukan! Bukan
sejenis ilmu! Tetapi sebuah julukan! Ya, sebuah julukan yang dikatakan Eyang
Saptacakra! Dedemit Tapak
Akhirat! Apakah ilmu itu diturunkan dari Dedemit Tapak Akhirat?"
Berpikir demikian, masih tetap bersikap konyol
padahal nafasnya sudah senin-kemis, pemuda urakan
ini berkata, "O... jadi itu toh yang dinamakan ilmu
'Tapak Akhirat'" Masih cetek! Masih kalah dengan ilmu yang kumiliki! Ilmu 'Tapak
Kaki Akhirat Yang Jauh'!
Nah! Apa coba itu"!"
Wajah Gendala Maung mengkelap mendengar eje-
kan orang. Sebelum dia lancarkan serangan kembali,
Andika sudah membuka mulut, "O ya sampai lupa!
Bagaimana kabarnya Dedemit Tapak Akhirat"!"
Pertanyaan yang dilontarkan Pendekar Slebor se-
benarnya asal saja, lebih banyak ditujukan sebagai
pembuktian hasil pikirannya. Dan dia sempat melihat perubahan wajah Gendala
Maung, yang kali ini menyeringai lebar.
"Hebat bila kau mengenal guruku! Hhhh! Bersiaplah untuk mampus!!"
Di tempatnya Andika membatin, "Rupanya dia
murid dari Dedemit Tapak Akhirat! Menurut Eyang
Guru... Dedemit Tapak Akhirat adalah adik sepergu-
ruan Jala Kunti yang kini menitis pada Dewi Selen-
dang Hitam! Hmmm... seharusnya bukan manusia se-
bangsa Gendala Maung yang kuhadapi! Tetapi Dewi
Selendang Hitam yang entah berada di mana seka-
rang!!" Selagi Andika membatin demikian, Gendala
Maung sudah lancarkan serangannya kembali. Kali ini membabi buta. Bukan hanya
diarahkan pada Pendekar
Slebor saja, tetapi juga pada Bidadari Tangan Bayangan. Kejap itu pula terdengar
suara menggelegar yang dahsyat disertai letupan-letupan keras. Entah sudah
berapa banyak bebatuan yang pecah terhantam. Tak terhitung lagi tanah yang kini
telah membentuk lubang-lubang yang keluarkan asap.
"Kutu monyet! Manusia itu tak memberi kesempa-
tanku untuk membalas!" maki Andika keras. "Bisa-bisa... aku benar-benar mampus
nih!!" Sambil menghindari serangan lawan yang tengah
mengumbar ilmu 'Tapak Akhirat', Andika melihat be-
tapa pucatnya wajah Bidadari Tangan Bayangan yang
berusaha keras menghindari setiap serangan ganas
itu. Berulangkali perempuan ini keluarkan jeritan tertahan. Berulangkali pula
dia berlompatan laksana kelinci dikejar serigala.
Andika menggeram jengkel.
Untuk menyerang masuk bukanlah suatu hal
yang mudah. Karena, setiap kali Andika mencoba ber-
gerak, setiap kali pula serangan dahsyat itu menderu.
"Astaga! Apa yang harus kulakukan sekarang?"
maki Andika dalam hati. Jantungnya berdetak dengan
cepat dan aliran darah yang kacau. "Peduli kutu-kutu monyet! Aku harus berusaha
membalasnya!!"
Lalu tanpa hiraukan keselamatannya sendiri,
mendadak saja pemuda pewaris ilmu Pendekar Lem-
bah Kutukan ini melompat ke samping. Begitu sepa-
sang kakinya menginjak tanah, kejap itu pula tubuh-
nya menerjang ke depan. Tangan kanannya telah me-
nyambar kain bercorak catur yang segera dikibaskan.
Terdengar suara laksana ribuan tawon murka di-
iringi gelombang angin raksasa yang mengerikan.
Wrrrrrr! Blaaammmm!! Sungguh keanehan terjadi. Setelah gelombang an-
gin raksasa yang ditimbulkan oleh kain bercorak catur bertemu dengan serangan
ilmu 'Tapak Akhirat' yang
dilepaskan Gendala Maung, mendadak saja kain ber-
corak catur itu seperti menangkap tenaga Gendala
Maung. Sadar akan hal itu, Andika seketika melompat untuk membetot. Bersamaan
dengan itu tangan kirinya dipukulkan. Ajian 'Guntur Selaksa' sudah diki-rimkan.
Memekik tertahan Gendala Maung menyadari di-
rinya telah masuk ke pusaran lingkaran. Dengan cara menahan napas dalam
perutnya, tenaga yang dile-
paskannya tadi terlepas dari lilitan kain bercorak catur. Bersamaan dengan itu,
dia dorong tangan kanan
kirinya ke depan.
Kembali terdengar letupan yang sangat keras.
Masing-masing orang kini mundur lima tindak ke
belakang. Dan sama-sama memandang tak berkedip.
Kalau Andika masih sempat menggaruk-garuk kepa-
lanya yang tidak gatal, Gendala Maung justru melotot kejam.
"Terkutuk! Kupikir kain bercorak catur yang sejak tadi melilit di lehernya itu
hanyalah sebuah gombal belaka! Tidak tahunya sebuah senjata yang ampuh!!"
maki Gendala Maung dalam hati.
Sementara itu Andika membatin, "Sebenarnya
urusanku bukanlah dengan manusia ini. Melainkan
dengan Jala Kunti yang telah menitis pada Dewi Se-
lendang Hitam. Juga dengan Dedemit Tapak Akhirat!
Huh! Sungguh konyol Eyang membiarkanku mengha-
dapi semua ini!!"
Di seberang, Gendala Maung yang kian menjadi
penasaran sudah menggebrak kembali. Andika pun
langsung menyambutnya dengan menggerakkan kain
bercorak catur.
Memekik tertahan lelaki berkumis baplang itu
tatkala merasakan wajahnya seperti ditampar oleh
tangan kasar. Cepat dia menghindari menjauh sambil
dorong kedua tangannya ke depan. Andika kembali
menggerakkan kain bercorak caturnya. Kali ini dengan cara memutar.
Sraaappp!! Tenaga yang keluar dari ilmu 'Tapak Akhirat' ter-
tangkap oleh lilitan kain bercorak caturnya. Bersa-
maan dengan itu, dia melesat maju. Kaki kanannya
menendang tumit kaki kiri Gendala Maung yang saat
itu tertekuk seperti hendak rubuh.
Bersamaan dengan itu, tangan kiri Andika yang
telah terangkum ajian 'Guntur Selaksa' bergerak. Tepat menghantam dada Gendala
Maung. Kendati demikian,
dia juga berhasil menyarangkan pukulannya pada da-
da Andika. Des! Des!! Masing-masing orang terlempar ke belakang. Begi-
tu ambruk ke tanah, tak ada yang segera berdiri. Bidadari Tangan Bayangan
melihat kesempatan untuk me-
nyerang Gendala Maung.
Namun sebelum dilakukannya, mendadak saja ta-
nah yang dipijaknya bergetar. Andika dan Gendala
Maung sendiri juga merasakannya.
Cepat masing-masing orang berdiri tegak. Dirasa-
kan kembali bagaimana tanah yang mereka pijak ber-
getar kembali, dan getaran tanah itu seolah naik ke dada, hingga keduanya yang
memang telah terluka dalam merasakan betapa nyeri dada mereka.
Dua kejapan kemudian satu sosok tubuh muncul
dan langsung keluarkan suara, "Kucium bau darah Saptacakra yang mengalir pada
dirimu, Pemuda berpakaian hijau pupus!! Dan kutangkap... ilmu 'Tapak
Akhirat' milik adik seperguruanku!! Tetapi dia tak ada di sini! Berarti, yang
memilikinya harus mampus, bersamaan dengan cucu buyut Saptacakra!!"
Masing-masing orang tak ada yang keluarkan sua-
ra. Sepasang mata Bidadari Tangan Bayangan mem-
buka. Kejap itu pula dia mendesis, "Dewi Selendang Hitam... tetapi, mengapa
gerakannya begitu kaku" Dan suaranya... begitu dingin mengerikan...."
*** 9 Tri Sari dan Nawang Wangi yang sedang mencoba
melacak jejak perempuan bernama Jala Kunti yang te-
lah lakukan pembantaian di dusun yang mereka sing-
gahi, hentikan langkah di sebuah jalan setapak. Napas masing-masing gadis
terengah-engah.
"Perempuan itu mungkin sudah menjauh.... Dan
rasanya, tak mungkin untuk dikejar lagi...," kata Tri Sari sambil mengatur
napas. "Kau benar. Lebih baik... kita teruskan langkah mencari Dewa Suci...," sahut
Nawang Wangi. "Mencari Dewa Suci pernah kulakukan bersama
Bibik Bidadari Tangan Bayangan. Dan ternyata tak
mudah menemukannya."
"Itu disebabkan dia sedang keluar dari Bukit Balu-Balu. Tri Sari... apakah tidak
lebih baik kita mendatangi Bukit Balu-Balu kembali" Kau kan pernah ke
sana, tentunya kau masih ingat jalannya, bukan?"
Putri Pendekar Sutera yang tewas di tangan Dewi
Selendang Hitam itu terdiam sesaat sebelum berkata,
"Ya... lebih baik kita ke sana saja. Mudah-mudahan...."
"Tak perlu kalian bersusah payah mendatangi Bukit Balu-Balu. Aku telah tiba di
sini." Terdengar satu suara bernada sopan dari belakang keduanya.
Serentak kedua gadis itu membahkkan tubuh. Se-
jarak sepuluh langkah dari hadapan mereka, telah
berdiri satu sosok tubuh berpakaian dan berjubah putih. Agak membungkuk dengan
wajah dan pancaran
mata begitu teduh sekali. Rambut orang tua ini sudah memutih sebahu. Demikian
pula dengan kumis dan
jenggotnya. Kedua tangannya berada di belakang pinggul dan di pergelangan tangan
kanan dan kirinya terdapat gelang terbuat dari giok berwarna hijau muda.
Orang tua yang wajahnya dilapisi kulit yang tipis
ini tersenyum melihat pandangan terkejut dari kedua gadis itu.
Nawang Wangi yang sebelumnya pernah menden-
gar suara seperti yang diucapkan orang tua di hada-
pannya segera mengubah sikapnya. Dia langsung
rangkapkan kedua tangannya di depan dada, "Dewa Suci...."
Orang tua yang tak lain Dewa Suci adanya terse-
nyum. "Apa kabarmu, Nawang Wangi?"
"Aku baik-baik saja. Terima kasih sekali lagi kuucapkan atas pertolonganmu waktu
itu...." "Aku cuma kebetulan saja lewat."
Tri Sari yang kini yakin kalau orang tua yang me-
reka cari telah berada di hadapannya berkata, "Kakek Dewa Suci... kami datang
untuk meminta bantuan-mu...."
Dewa Suci tersenyum, begitu arif.
"Aku sudah tahu.... Tentunya Bidadari Tangan
Bayangan yang mengutus kalian, bukan" Jala Kunti
telah terlepas dari kuncian yang dilakukan Ki Saptacakra... majikan Lembah
Kutukan yang mempunyai
seorang murid yang berjuluk Pendekar Slebor. Jala
Kunti pun siap untuk jalankan segala kutukannya dan kini dia menitis pada
perempuan kejam berjuluk Dewi Selendang Hitam. Kesaktian Jala Kunti hanya bisa
dikalahkan oleh Ki Saptacakra belaka. Bahkan boleh dikatakan, aku pun masih
belum mampu untuk menga-
lahkannya. Tetapi mudah-mudahan... muridnya yang
agak urakan itu mampu melakukannya...."
Sesaat kedua gadis ini saling pandang, sebelum
akhirnya mengerti apa maksud Dewa Suci. Mereka kini disadarkan, kalau perempuan
bernama Jala Kunti
yang telah menghancurkan sebuah dusun untuk men-
cari seseorang yang bernama Ki Saptacakra adalah se-
buah roh yang masih melayang akibat kutukannya
sendiri. Dan kini telah menitis pada Dewi Selendang Hitam. Mereka pun paham
kalau sasaran berikut dari
roh Jala Kunti adalah Pendekar Slebor.
"Lalu... bagaimana bila Pendekar Slebor gagal
mengalahkannya, Kakek?" tanya Nawang Wangi ke-
mudian. Tatkala teringat wajah pemuda itu, wajahnya sejenak memerah.
"Jalan satu-satunya... haruslah mencari Ki Saptacakra! Dialah yang dulu pernah
mengalahkan Jala
Kunti." "Bagaimana bila membutuhkan waktu yang san-
gat lama untuk menemukan di mana Ki Saptacakra
berada?" Kakek berwajah teduh itu tak segera menjawab.
Dia justru usap-usap jenggotnya, "Terpaksa... aku pun harus turun tangan. Tetapi
aku yakin, pemuda slebor itu dapat mengalahkan atau paling tidak mencari
kelemahan dari Jala Kunti. Setahuku, di saat aku dulu berjumpa dengan Ki
Saptacakra, kelemahan perempuan itu terletak pada kaki kirinya. Entah bagaimana


Pendekar Slebor 59 Cinta Dalam Kutukan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sekarang... apakah masih tetap atau sudah berubah
karena dia telah menitis pada jasad seseorang yang
masih hidup...."
Masing-masing orang tak membuka mulut. Bebe-
rapa helai daun berguguran dihembus angin.
Lalu terdengar Tri Sari ajukan tanya, "Aku masih belum mengerti... mengapa roh
Jala Kunti tidak segera kembali kepada Sang Pencipta?"
"Karena kutukannya sendiri! Kutukannya telah
didengar oleh arwah-arwah dari kegelapan.... Dan
nampaknya dia mendapat restu untuk menitis kembali
guna menuntaskan segala dendam lamanya.... Me-
mang sulit diterima oleh akal, tetapi itulah yang terjadi...," sahut Dewa Suci.
Kemudian katanya, "Anak-
anakku.... Sekarang... pergilah kalian menuju ke arah barat. Bila Pendekar
Slebor berhasil mengalahkan roh Jala Kunti yang menitis pada Dewi Selendang
Hitam... katakan padanya, kalau aku menunggunya di Bukit
Balu-Balu. Dan bila dia justru yang dikalahkan olehnya, kalian datanglah
mengabarkan soal itu padaku di Bukit Balu-Balu...."
Tri Sari dan Nawang Wangi sama-sama angguk-
kan kepalanya. Dewa Suci berkata, "Satu hal yang perlu kalau ingatkan pada Pendekar Slebor...
saat menghadapi ma-
nusia itu, jangan sekali-sekali menatap matanya...."
"Mengapa, Kakek?" tanya Nawang Wangi.
"Kalian akan tahu sendiri nanti...."
Habis kata-katanya, seperti datangnya yang tiba-
tiba Dewa Suci menghilang dari pandangan.
Tinggallah kedua gadis itu yang terdiam. Kehenin-
gan dipecahkan oleh kata-kata Tri Sari, "Nawang... kita harus segera bergerak
menuju ke barat...."
Nawang Wangi menganggukkan kepalanya.
"Tri Sari... entah mengapa aku merasa satu getaran yang aneh di dadaku...."
"Tentang apa?"
"Tak bisa digambarkan. Tetapi... aku begitu khawatir mengingat nasib Pendekar
Slebor...."
Tri Sari terdiam sejenak. Diam-diam dia paham
betul apa yang sedang dipikirkan oleh gadis berbaju biru kehijauaan ini.
"Rupanya dia telah jatuh cinta pada Pendekar Slebor.... Ah, cinta memang begitu
cepat datangnya....
Bahkan sulit dibendung bila sudah muncul...."
Kemudian sambil menepuk bahu Nawang Wangi,
Tri Sari berkata, "Biar kau tidak terlalu merasa cemas, lebih baik kita segera
berangkat ke arah barat. Barangkali, apa yang dikatakan oleh Kakek Dewa Suci
tadi, membawa kita pada Pendekar Slebor. Atau... pada siapa pun juga. Aku tidak
begitu pasti...."
Nawang Wangi menarik napas panjang. Dia agak
malu mengingat dirinya telah jatuh cinta pada Pendekar Slebor. Lalu dia berkata,
"Yah... kita segera berangkat sekarang. Mudah-mudahan kita juga tahu apa
yang dialami guruku saat ini...."
Tri Sari menganggukkan kepalanya. Lalu kedua
gadis perkasa ini pun segera berangkat menuju ke barat.
*** Suasana hening seolah cengkeraman kaki burung
garuda raksasa pada tanah yang dipenuhi gugusan
bebatuan itu, kian menggigit dalam. Rambatan mata-
hari terus menanjak naik.
Pendekar Slebor menarik napas pendek begitu me-
lihat siapa yang muncul. Diam-diam pemuda urakan
dari Lembah Kutukan ini membatin, "Dewi Selendang Hitam... orang yang telah
dititisi roh Jala Kunti...."
Bidadari Tangan Bayangan yang masih meman-
dang tak berkedip membatin, "Gila! Apa yang telah terjadi pada perempuan kejam
itu" Sikapnya... sungguh
angker dan mengerikan!"
"Darah Saptacakra telah kucium! Dan tak ingin kuputuskan segala apa yang telah
kudapati ini!!" terdengar suara dingin itu. Sosok tubuh Dewi Selendang Hitam
tetap tegak tak bergerak. Matanya tak berkedip sekejap pun juga.
Lalu mendadak laksana robot, perempuan ini
memalingkan kepala ke arah Gendala Maung yang ju-
ga sedang menatapnya penuh keheranan.
"Kau bukanlah Dedemit Tapak Akhirat! Tetapi
mengapa kau bisa memiliki ilmu Tapak Akhirat' milik-
nya, hah"!"
Melengak dan sampai mundur satu langkah Gen-
dala Maung mendengar suara yang dingin itu. Begitu
teringat akan cerita gurunya, dia langsung merang-
kapkan kedua tangannya di depan dada.
"Bibik Guru... namaku Gendala Maung, murid da-
ri Dedemit Tapak Akhirat, adik seperguruanmu...."
"Manusia itu tak memiliki murid! Jangan bicara ngaco bila tak ingin tubuhmu
kucabik-cabik!!"
"Tidak, Bibik Guru! Apa yang kukatakan ini sungguh sebuah kenyataan! Beliau
adalah...."
Terputus kata-kata Gendala Maung tatkala mera-
sakan satu gelombang angin yang semakin lama mem-
besar menggebrak ke arahnya. Terkesiap lelaki berkumis baplang ini sambil
menghindar. Namun belum lagi dia berdiri, kembali dirasakan gelombang angin yang
menggemuruh menderu ke arahnya.
"Bangsat! Terkutuklah kau, Jala Kunti!!" makinya geram.
Lalu segera ditepuk kedua tangannya dan bersa-
maan dengan itu didorong ke depan. Terdengar suara
yang mengerikan dengan menggebraknya gelombang
angin yang percikkan sinar merah.
Yang terjadi kemudian membuat wajah Gendala
Maung menjadi pucat pasi, karena serangan yang dilakukannya seperti nyeplos
begitu saja laksana masuk
ke dalam gulungan asap. Sementara itu gelombang an-
gin yang menderu dari tubuh Dewi Selendang Hitam
yang tadi gerakkan tangan kanannya begitu kaku se-
perti robot, terus memburu ke arahnya.
Memekik tertahan Gendala Maung sambil coba
papaki kembali dengan ilmu 'Tapak Akhirat' nya. Na-
mun hasilnya sama saja seperti yang pertama tadi.
"Kau tak pantas menjadi murid Dedemit Tapak
Akhirat! Tak seorang pun boleh menurunkan ilmunya!
Kau harus mampus!!" terdengar suara dingin itu berulang-ulang.
Dengan gerakan-gerakan kaku dia terus lancar-
kan serangan ganasnya pada Gendala Maung yang di-
buat lintang pukang. Wajahnya kini benar-benar pucat laksana tanpa darah.
Kendati tahu ilmu 'Tapak Akhirat' yang dile-
paskannya tak banyak membantu, namun lelaki ber-
kumis baplang ini masih berusaha keras untuk mela-
kukannya. Akibatnya, bisa ditebak.
Begitu serangannya nyeplos, satu gelombang an-
gin yang tak keluarkan hawa dingin maupun panas te-
lah menggebrak ke arahnya.
Melihat kalau Gendala Maung sudah berada di
ambang maut, Pendekar Slebor mencoba bertindak.
Dia langsung cabut kain bercorak caturnya yang sege-ra dipadukan dengan ajian
'Guntur Selaksa'.
Suara salakan yang bersatu dengan gemuruh an-
gin laksana ribuan tawon murka menggebrak. Namun
serangan itu nyeplos begitu saja. Sementara gelom-
bang angin yang dilepaskan oleh roh Jala Kunti yang menitis pada Dewi Selendang
Hitam tak bisa dihentikan lagi.
Siap menghajar mati Gendala Maung.
Dalam keadaan yang kritis itu, Andika masih bisa
bertindak cepat sekaligus nekat. Kaki kanannya me-
layang, menendang tubuh Gendala Maung yang sekali-
gus diselamatkannya.
Blaaamm!! Dua buah batu besar langsung hancur menjadi
serpihan begitu terhantam gelombang angin tadi. Di
tempatnya, wajah Dewi Selendang Hitam yang kaku
dan tak sekali pun kedipkan matanya, bergerak ke
arah Pendekar Slebor yang sedang berdiri.
Sementara itu tak menyangka kalau dirinya akan
diselamatkan oleh orang yang dibencinya, Gendala
Maung menggeram. Dia tak suka nyawanya disela-
matkan oleh Pendekar Slebor. Namun biar bagaimana-
pun juga, bila dia tak diselamatkan, bisa jadi nya-
wanya akan putus saat itu juga.
Terdengar suara dingin Dewi Selendang Hitam,
"Keturunan Saptacakra harus mampus hari ini juga!!"
Habis seruan itu, dengan gerak yang kaku tangan
kanan dan kiri Dewi Selendang Hitam terangkat, lalu mendorong ke arah Andika.
Sadar kalau akan percuma bila serangan ganas
itu dipapaki, Andika mencoba menghindar. Dan belum
lagi pemuda dari Lembah Kutukan ini menginjak ta-
nah, gelombang angin lain sudah menderu ke arahnya.
"Celaka! Bagaimana caraku untuk menghada-
pinya?" desisnya dengan wajah mulai dipenuhi kerin-gat. Mendadak dia teringat
akan kata-kata Ki Saptacakra. "Kaki kiri... ya, kaki kirinya yang harus kuserang
sekarang. Kendati Eyang buyut tak begitu yakin lagi akan kelemahan Jala Kunti,
aku harus menco-banya...."
Memutuskan demikian, sambil menghindari se-
rangan-serangan aneh yang ganas yang dilancarkan
oleh Dewi Selendang Hitam, Pendekar Slebor menga-
rahkan serangannya pada kaki kiri Dewi Selendang Hitam. Namun hasilnya tetap tak
bisa diharapkan. Kare-na begitu kain bercorak catur yang telah dialirkan
ajian 'Guntur Selaksa' menggebrak, manusia itu tetap saja berdiri kokoh. Bahkan
dengan ganas melancarkan serangannya.
Sementara itu Gendala Maung seolah menda-
patkan kesempatan untuk meneruskan niatnya mem-
bunuh Pendekar Slebor. Lelaki berkumis baplang yang tak tahu membalas budi ini
segera melancarkan se-
rangannya tatkala Pendekar Slebor sedang keblingsa-
tan. Namun sebelum ajian 'Tapak Akhirat' mengenai sasarannya, mendadak saja satu
gelombang angin deras telah menggebrak ke arahnya.
Saat itu pula terdengar pekikan tertahan Gendala
Maung bersama satu suara dingin, "Mencoba mengha-langi keinginanku untuk
membalas keturunan Sapta-
cakra, berarti akan mampus!!"
Kejap itu pula Gendala Maung terseret deras ke
samping kanan tatkala dadanya dihantam gelombang
angin yang tak keluarkan hawa panas maupun dingin.
Tubuhnya ambruk tatkala menghantam sebuah batu
besar yang langsung retak bersamaan dengan suara
'krak'! Tanda tulang punggungnya patah.
Belum lagi dia sadar betul dengan nasib sial yang
di alaminya, mendadak saja gelombang angin menderu
kembali ke arahnya. Andika yang melihat nasib naas
akan menimpa Gendala Maung mencoba menahan se-
rangan itu. Namun dia gagal melakukannya. Maka
tanpa ampun lagi, tubuh lelaki berkumis baplang itu telak terhajar gelombang
angin yang dilepaskan roh
Jala Kunti yang menitis pada Dewi Selendang Hitam.
Terdengar lolongan yang menggema di tanah luas
yang dipenuhi bebatuan itu. Saat tubuhnya berhenti
dari kelojotannya, terlibat dadanya bolong besar dengan jantung hangus.
Di tempatnya, Andika menggeram keras melihat
nasib sial yang dialami oleh Gendala Maung.
"Rasanya... sungguh sulit menghadapi manusia
celaka itu sekarang! Lebih baik... kupergunakan ajian
'Tapa Geni' yang pernah diajarkan oleh Eyang Sangso-ko Murti...."
Memutuskan demikian, perlahan-lahan pemuda
dari Lembah Kutukan ini menarik napas panjang. Lalu
diarahkan tenaga dalam pada perutnya. Kejap berikutnya, hawa panas segera
terpancar dari tubuhnya.
Bidadari Tangan Bayangan yang tadi sempat ter-
banting akibat kerasnya letupan yang terjadi, menahan napas melihat perubahan
yang terjadi pada diri Pendekar Slebor. Sesaat dia terdiam. Dirasakan pula hawa
panas itu menerpa tubuhnya.
"Sungguh luar biasa pemuda ini.... Kendati dia tengah diburu orang yang
membencinya, namun dia
berusaha untuk menolong orang itu.... Bahkan nam-
paknya, dia bersiap untuk menempuh satu jalur, hi-
dup atau mati...."
Andika yang kini sudah keluarkan ajian 'Tapa Ge-
ni', ajian bangsa siluman yang pernah diturunkan oleh Eyang Sangsoko Murti,
terdiam dengan pandangan tak
berkedip. Sedikit banyaknya, dia kebat-kebit juga
mengingat setiap serangannya selalu nyeplos begitu
saja. "Mudah-mudahan... aku berhasil mengata-
sinya...."
Habis mendesis demikian, pemuda urakan ini su-
dah menggebrak ke depan. Tak ada gelombang angin
yang keluar. Tak ada deru yang terdengar. Namun satu tenaga yang tak nampak
mengandung kekuatan panas
luar biasa menderu ke arah Dewi Selendang Hitam.
Di seberang Dewi Selendang Hitam yang begitu di-
titisi roh Jala Kunti tak pernah mengedipkan mata se-kalipun, segera mendorong
kedua tangannya.
Gelombang angin dahsyat yang menyeret tanah
dan kerikil menggebrak ke arah Andika.
Dan... astaga! Lagi-lagi ilmu bangsa siluman yang
dilepaskan oleh Pendekar Slebor nyeplos begitu saja.
Kejap itu pula Andika berjumpalitan ke samping kiri bila tak ingin mengalami
nasib sial. Sementara itu gelombang angin yang dilepaskan
Dewi Selendang Hitam menderu ke arah Bidadari Tan-
gan Bayangan yang terpekik. Belum lagi dia sadar betul apa yang terjadi, satu
sosok tubuh tinggi besar telah menyambarnya.
Blaaammm!! Gelombang angin itu menghantam hancur tanah
di mana Bidadari Tangan Bayangan berdiri. Sementara itu, orang yang
menyelamatkan Bidadari Tangan
Bayangan yang tak lain Kepala Besi adanya mendesis,
"Kita menjauh dari sini...."
Bidadari Tangan Bayangan cuma mengangguk le-
mah. Ada perasaan malu karena dia ditolong oleh Ke-
pala Besi yang mendadak muncul, padahal beberapa
waktu lalu dia berusaha menyerang bahkan membu-
nuh Kepala Besi yang disangkanya adalah orang yang
telah lakukan pembantaian di Kuil Putra Langit.
Sementara itu Andika menarik napas lega melihat
siapa yang muncul dan telah menyelamatkan Bidadari
Tangan Bayangan. Namun kendati begitu, hatinya kian kebat-kebit karena menyadari
ajian bangsa siluman


Pendekar Slebor 59 Cinta Dalam Kutukan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tak mampu menandingi Jala Kunti.
Sebelum dia lakukan tindakan apa-apa, menda-
dak terdengar suara keras, "Kini... terimalah kema-tianmu!"
Menyusul menggebraknya dua gelombang angin
deras ke arah Andika. Tanah dan kerikil yang terseret, membuat Andika harus
memejamkan matanya agar tidak kemasukan debu. Masih memejamkan kedua ma-
tanya, pemuda urakan ini hinggap di atas tanah, tepat berhadapan dengan Dewi
Selendang Hitam yang berdiri sejarak lima tombak.
Dan yang mengejutkan Andika, tatkala dia melihat
satu bayangan yang berada dalam tubuh Dewi Selen-
dang Hitam. Bayangan seorang perempuan tua berpa-
ras jelita dan kenakan pakaian warna jingga yang ce-
rah. Pada wajah orang tersirat kepedihan yang begitu dalam.
Andika terdiam beberapa saat. Baru kemudian
disadarinya, kalau dia masih memejamkan mata.
"Oh, Tuhan... inikah rahasia yang tersimpan di balik titisan Jala Kunti" Dengan
membuka kedua ma-ta, kulihat sosok Dewi Selendang Hitam. Tetapi dengan cara
menutup mata seperti ini, kulihat wujud yang penuh kepedihan.... Wujud seorang
perempuan yang di-
tolak cintanya...."
Belum lagi Andika dapat mencernakan apa yang
ada dalam pikirannya, mendadak dilihatnya bayangan
yang ada dalam diri Dewi Selendang Hitam mendorong
kedua tangannya sementara dilihatnya pula sosok De-
wi Selendang Hitam tetap terdiam. Dan Andika melihat semua itu dengan mata masih
dipejamkan. "Aku harus menghadapinya dengan mata tertu-
tup!" desisnya yakin.
Kejap itu pula dengan cara menutup matanya,
yang seolah dapat melihat apa yang ada di hadapan-
nya, Andika menerjang dengan kain bercorak caturnya yang dipadukan dengan ajian
'Guntur Selaksa'.
Kalau biasanya serangan itu selalu nyeplos, kali
ini serangannya berbenturan dengan gelombang yang
dilepaskan oleh lawan.
Blaaarr! Masih dalam keadaan mata dipejamkan, Andika
bisa melihat betapa tubuh Dewi Selendang Hitam su-
rut ke belakang. Sementara bayangan yang laksana
roh itu melengak kaget.
Menyusul terdengar suara, "Pemuda jahanam!
Kubunuh kau!!"
Serangan berikut yang dilancarkannya memang
semakin ganas dan kian menjadi-jadi. Namun Andika
yang kini menemukan titik kelemahan dari lawannya
terus menyerang. Kalaupun dalam keadaan mata dipe-
jamkan Andika dapat melihat, ini disebabkan karena
daya balik dari ilmu yang dimiliki roh Jala Kunti. Dengan kedua mata membuka,
roh Jala Kunti yang telah
menitis pada Dewi Selendang Hitam justru membuta-
kan mata lawan. Dalam arti, dapat melemahkan se-
rangan lawan ke arahnya.
Dan dalam keadaan mata tertutup, lawan dapat
melihat dengan jelas ke mana arah serangan yang di-
lakukan oleh Jala Kunti. Dengan cara seperti itulah Andika terus mencoba
mematahkan setiap serangan
Jala Kunti. Bahkan satu ketika, dia meluruk cepat dengan
pergunakan ajian 'Tapa Geni' yang diarahkan pada ka-ki kiri Jala Kunti. Nampak
di mata Andika yang masih tertutup sosok Jala Kunti berjingkrak sementara sosok
Dewi Selendang Hitam tetap bergerak kaku.
Serangan pertamanya memang berhasil dihindari
oleh Jala Kunti. Namun Andika yang telah menemukan
bentuk penyerangannya tak mau bertindak ayal. Dia
bergerak cepat dengan kerahkan ajian 'Tapa Geni'
bahkan disatukan dengan kain bercorak catur. Aki-
batnya... "Waaaaaaa!!!" bayangan putih yang berada dalam jasad Dewi Selendang Hitam
melonjak-lonjak.
Ajian 'Tapa Geni' nampak membakarnya hingga tubuh
bayangan perempuan itu kelabakan. Jeritannya ter-
dengar sangat mengerikan. Lima tarikan napas beri-
kutnya, nampak sosok bayangan perempuan itu pun
lunglai dan jatuh.
Andika menarik napas panjang. Begitu sepasang
matanya dibuka, dilihatnya sosok Dewi Selendang Hi-
tam telah ambruk menjadi mayat dengan dada kelua-
rkan asap. Sementara di sampingnya, terdapat seong-
gok abu yang pancarkan sinar perak.
Dua kejapan mata berikutnya, Tri Sari dan Na-
wang Wangi tiba di tempat itu. Begitu melihat sosok Dewi Selendang Hitam telah
menjadi mayat, mereka
sadar apa yang telah terjadi. Rupanya, tanpa mereka beri tahu pun Pendekar
Slebor telah berhasil mengalahkan roh Jala Kunti, sekaligus memunahkan kutu-
kannya. Lantas ke manakah Dedemit Tapak Akhirat"
SELESAI Segera menyusul:
PEMBUNUH DARI JEPANG
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Aura PandRa
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
Mentari Senja 3 Tusuk Kondai Pusaka Karya S D. Liong Kisah Para Penggetar Langit 3
^