Pencarian

Cahaya Di Langit Eropa 3

99 Cahaya Di Langit Eropa Menapak Jejak Islam Di Eropa Karya Hanum Salsabiela Rais Dan Rangga Almahendra Bagian 3


dipermasalahkan. Stefan sang ateis kembali dengan
pertanyaan yang membuat gusar. Kali ini dia jengkel
karena Rangga menolak ajakannya makan siang
bersama di dapur. "Aku puasa, Stefan. Sekarang bulan Ramadhan.
Jadi kau tak perlu mengajakku makan siang sebulan
mendatang." Susah menjelaskan pada Stefan bagaimana
mungkin kami orang muslim bisa menahan lapar
dan haus, tidak makan dan minum selama 15 jam
pada musim panas. Tidak berhenti di situ, pada suatu hari menjelang
akhir bulan Ramadhan, Stefan kembali datang ke
211 212 kantor Rangga dengan kata-kata yang membuat
Rangga terkejut. "Hari ini aku juga mau berpuasa
sepertimu. Aku ingin tahu seberapa kuat aku
menjalani ini." Rangga tersenyum sambil mengacungkan dua
jempolnya. Stefan merasa terhormat walaupun
mengaku telanjur sarapan sahur pada jam 9 pagi
dengan semangkok sereal dan susu. Rangga tetap
memuji usahanya untuk mencoba ikut berpuasa.
"Good start, Stefan. Nanti kita berbuka bersama.
Kau kutraktir spageti, asal kau bisa tahan sampai
jam 7.30 malam. No food. No drink. No smoking.
Okay?" kata Rangga menawarkan tantangan.
Satu jam. Dua jam. Tiga jam. Hingga pukul 6.30
sore, 1 jam sebelum saatnya berbuka, Stefan
kembali datang ke kantor Rangga dengan muka
kusut. "Aku tidak tahan, Rangga. Aku tak bisa berbuat
apa-apa hari ini. Aku hanya tertidur pulas di mejaku.
Aku harus minum...."
Seulas senyum Rangga kembangkan untuk
menghargai perjuangan Stefan. Lalu dia berdiri dan
menepuk pundak Stefan dengan mantap.
"Minumlah, tak apa. Daripada kau pingsan, aku
malas menggendongmu. Tapi spagetinya tetap
tunggu sejam lagi. Bagaimana?"
Stefan tersenyum lebar, kemudian menenggak 2
gelas air minum dari keran dapur.
Sejam kemudian mereka berdua sudah berada di
kafe spageti depan kampus.
Stefan memesan spageti carbonara ukuran besar
yang dihidangkan dengan keju bubuk dan potongan
daging babi cincang. Rangga memilih spageti
vegetarian arrabiata. Sementara Stefan memesan
satu botol bir besar, Rangga memesan segelas jus
apel dan teh panas. "Rangga, aku ingin membuat sebuah pengakuan,"
ujar Stefan memecah keheningan.
"Go ahead." "Belum pernah dalam hidupku aku makan
carbonarra seenak ini. Tapi harus kuakui, tadi ada
sebuah perasaan aneh saat aku akhirnya meneguk
air putih di keran. Perasaan bersalah sekaligus kalah
karena aku tak bisa menaklukkan sesuatu dalam
diriku sendiri," cerita Stefan panjang lebar.
"Perasaan nikmat seperti itu, Stefan, yang kita
kejar ketika berpuasa. Toh kau tahu, ini tetap
carbonarra yang sama seperti yang biasanya
kaumakan. Tapi aku yakin yang ini terasa jauh lebih
nikmat. Nikmat karena berhasil menaklukan sesuatu
dalam diri kita. Yah, kalau kaupercaya ada setan,
sebenarnya setan itu yang telah kita taklukkan.
Perasaan bersalah muncul karena akhirnya kau
merasa kalah. Air putih yang tadinya kauanggap
paling nikmat, ternyata tetap air putih biasa. Kau
membiarkan setan membisikimu, membiarkannya
menggodamu. Kemudian kau menyesal, kau tidak
mendapatkan apa yang setan janjikan."
213 214 Dalam 10 menit, spageti Stefan langsung ludes.
Dia tampak heran melihat Rangga makan tidak
selahap dirinya. ?"Rangga, tell me you didn"t cheat! Kau tidak
diam-diam minum di kantor kan tadi?"
Rangga hampir tersedak oleh spagetinya. Dia
ingin tertawa. "Stefan, buat apa aku berbohong" Aku
melakukannya bukan untuk menang taruhan
denganmu. Puasa itu melatih kita jujur terhadap diri
sendiri. Aku ingin puasaku hanya dinilai oleh
Tuhanku, karena memang aku melakukannya untukNya."
"Jadi"tak ada setetes air pun yang kauminum
tadi siang?" kembali Stefan bertanya penuh selidik.
Rangga menggeleng sambil tersenyum
memperhatikan air muka Stefan yang masih belum
percaya ada manusia mampu bertahan tanpa makan
minum selama 15 jam setiap hari selama 30 hari.
"Agamamu kurang realistis. Kenapa agamamu
menyiksa umatnya dengan segala macam
kewajiban" Kalau memang Tuhan itu ada, kalau
memang Tuhan itu Maha Pemurah, kenapa Dia
menganiaya kalian dengan semua kesulitan itu" Kau
harus sembahyang 5 kali sehari. Kau harus puasa
sebulan setahun. Kau harus pergi haji, berpanaspanasan dan berdesak-desakan seperti yang kulihat
di TV. Kenapa harus begitu" Dan kenapa kau harus
mau" Itu tidak logis!"
Susah memang berbicara tentang Tuhan pada orang
yang sejak lahir tak pernah mengenal agama, batin
Rangga. Stefan tidak percaya Tuhan itu ada. Dia
berpikir jika Tuhan ada, mana mungkin Tuhan
sejahat itu membebankan semua kewajiban untuk
umat-Nya" Rangga berpikir keras cara mengubah pola pikir
Stefan. Rangga tahu, dia tidak sedang dalam rangka
membujuk Stefan untuk percaya Tuhan, apalagi
mengajaknya masuk Islam. Masih sangat jauh dari
itu semua. Cara berpikir Stefan yang sudah dibawa
sejak lahir itu tak mungkin berubah dalam hitungan
detik pada malam itu. "Okay Stefan, sebelum aku menjawab
pertanyaanmu, aku juga punya pertanyaan
untukmu". By the way, berapa biaya asuransi
kesehatan yang harus kaubayar setiap bulan?"
"Hmm, aku membayar premi asuransi kesehatan
dari berbagai perusahaan, mungkin jumlahnya
sekitar 90-an Euro," kata Stefan.
"Buat apa kau membayar sebanyak itu" Toh kau
juga jarang masuk rumah sakit."
"Kau ngaco Rangga, kita kan tidak pernah tahu.
Kalau sepulang dari kafe ini aku ditabrak orang,
bagaimana" Setidaknya aku bisa tenang karena ada
perusahaan yang membayari ongkos rumah sakitku,"
Stefan tampaknya tak sadar dia baru saja menjawab
pertanyaannya sendiri. "That"s the point, Stefan. Kau membayar premi
215 216 asuransi agar kau tenang. Demikian juga aku. Aku
bisa menganalogikan semua ibadah yang kulakukan
sebagai premi yang harus kubayarkan kepada Tuhan.
Agar aku merasa tenang dan damai.
"Kau takkan pernah tahu apa yang terjadi setelah
mati, kan?" lanjut Rangga.
"Mati ya mati. Selesai," jawab Stefan enteng
sambil menenggak birnya. "Sebentar, bagaimana jika surga dan neraka itu
benar-benar ada" Itu sama saja kau pulang dari kafe
dan tiba-tiba kau tertabrak mobil, harus masuk
rumah sakit. Dan kemudian kau baru sadar, kau tak
punya asuransi ketika semua sudah terlambat."
Rangga berusaha menjelaskan dengan bahasa
logika yang mudah dipahami ateis semacam Stefan.
Rangga tahu ibadahnya pada Allah tak mungkin bisa
dilukiskan hanya dengan hubungan transaksional
seperti itu. Sesungguhnya bukan dengan penjelasan
seperti ini semua kewajiban agama dimaknai. Ibadah
menyangkut dimensi spiritual yang hanya bisa
dimaknai dalam kerangka keikhlasan. Tapi pria bule
di depannya ini menuntut penjelasan rasional
karena memang dari awal dia tidak pernah percaya
pada Tuhan, tak pernah percaya dengan konsep
keikhlasan. "Aku tetap susah memercayainya. Well,
perusahaan asuransiku itu benar-benar ada, aku
membuat kontrak dengan mereka. Nah, sekarang
bagaimana jika Tuhanmu itu ternyata tidak ada"
Padahal kau sudah melakukan ritual-ritual yang
ternyata semua"non-sense."
Hati Rangga bergetar mendengar pertanyaan
Stefan. Sejenak emosinya mendidih. Membayangkan
Tuhan tidak ada saja sudah membuatnya demikian
tercekat. Stefan mengucapkan pengandaian yang
menurut Rangga sangat mustahil terjadi. Selera
Rangga menghabiskan spageti tiba-tiba sirna. Dia
tak bernafsu memakannya lagi.
Jika dia mengakui pengandaian Stefan, itu berarti
dia telah mengingkari ikrar pertamanya sebelum
lahir di bumi ini, ketika malaikat membisikinya
untuk bersyahadat di dalam rahim ibunya. Sebuah
kontrak suci untuk percaya pada Tuhan, hanya satu
Allah. Lalu bayi itu menangis keras saat semua orang
tertawa gembira melihat kelahirannya. Menangis
karena dia takut mengingkari kontrak suci dengan
Tuhannya kelak. Lalu ikrar itu dia pikul dalam
perjalanan hidupnya dan harus berhasil dia peluk
terus hingga ujung hayatnya, untuk dia
pertanggungjawabkan kelak.
Dan kini ikrar suci itu ditantang oleh sosok
pemuda yang tengah duduk dengan 2 botol bir di
depannya. Manusia yang lebih memercayai kontrak
dengan perusahaan asuransi dibandingkan kontrak
suci antara manusia dengan pencipta-Nya.
"Ayo jawab Rangga, bagaimana jika Tuhan itu
tidak ada?" tuntut Stefan sambil meringis. Seolah-
217 218 olah dia hampir menang debat.
"Kalau sampai"ternyata"Tuhan itu"tidak
ada...." Suara Rangga terputus di sana. Dia tak percaya
mengeluarkan kata-kata itu. Ada yang mengganjal
dalam pita suaranya. Hatinya beristighfar, memohon
ampun pada Allah. Meyakinkan bahwa kata yang
baru dia ucapkan bukanlah kata-kata yang muncul
dari sanubarinya. Dia mencoba untuk tetap tenang
sambil melanjutkan kata-katanya.
"Kalau Tuhan ternyata tidak ada"nothing to lose,
Stefan. Toh aku tak kehilangan apa pun di dunia ini.
Setidaknya aku bahagia ada "perasaan" yang
membuatku menjalani hidup lebih baik, tenang,
damai, tanpa waswas. Aku tak ingin menyesal pada
hari tuaku, bahwa hidupku hanya kuhabiskan
dengan kesia-siaan. Itu saja...."
Sejak itu Stefan si ateis yang serbarasional tak
pernah mengajak Rangga berdebat tentang agama.
Mungkin akhirnya dia mengerti banyak hal di dunia
ini yang perlu difahami dengan hati, kekuatan
emosional, dan spiritual yang tak mungkin
dijelaskan dengan daya pikir manusia yang serbaterbatas.
Aku masih ingat 6 bulan setelah Stefan lulus
menjadi Ph.D., dia mengirimkan surat elektronik
pendek kepada Rangga. Rangga, my friend. I think I now believe in God. That"s
it. But not interested into a religion. Maybe one day....
Rangga dan aku tersenyum membaca e-mail
Stefan. Ia tak menjelaskan titik kejadian apa yang
membuatnya "berubah". Tak ada perasaan apa
pun.... Kami hanya berusaha menjadi agen muslim
yang baik di negeri Eropa ini.
219 33 220 Kami terpana melihat pemandangan di depan mata.
Benda-benda pusaka bersepuh emas dan berlian
langsung menyambut kedatangan kami di pintu
masuk Schatzkammer Museum.
Jujur, Rangga dan aku tak bisa menghentikan
panggilan dari kepala kami untuk menuntaskan rasa
penasaran kami. Setiap waktu kami bagai penyelidik
amatiran yang sibuk menginvestigasi gambar di
internet. Mencari tahu mantel koronasi Raja Roger
dari Sisilia Italia. Mantel keramat yang konon
tersimpan rapi di kompleks Istana Hofburg.
Penantian panjang itu akhirnya terbayar. Liburan
Paskah adalah waktu yang cocok untuk itu. Aku dan
Rangga yang tak memiliki rencana bepergian ke
mana pun memanfaatkan kartu pelajar kami untuk
mendapatkan tiket masuk lebih murah dibandingkan
tiket turis, yaitu 3,5 Euro dari harga normal 7 Euro.
Nuansa kemewahan langsung terasa begitu kami
menyusuri lorong-lorong Schatzkammer. Mahkota
raja bertabur berlian, tongkat, pedang, dan benda


99 Cahaya Di Langit Eropa Menapak Jejak Islam Di Eropa Karya Hanum Salsabiela Rais Dan Rangga Almahendra di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pusaka kerajaan lainnya yang semuanya
memamerkan kecanggihan Eropa pascaRenaissance. Sebagian berhiaskan salib emas yang
permukaannya dihiasi batu-batu mulia. Bahkan
konon, di sinilah potongan kayu salib Yesus
disimpan. Menunjukkan betapa religiusnya kaisar di
Austria. Kilauan mahkota dan salib-salib emas itu
mampu menembus temaramnya ruang, khas gaya
museum Eropa. Satu jam kami mengitari pelosok-pelosok ruang
Schatzkammer, kebosanan melanda. Bosan karena
kami tak kunjung menemukan "harta" yang sudah
beberapa bulan kami riset. Kami sempat berpikir
bahwa mantel itu tak pernah ada, hanya mitos di
internet atau ada tetapi sengaja disembunyikan.
Untung akhirnya kami menemukannya: sebuah
jubah merah yang sangat kami kenal warna dan
bentuknya. Jubah itu bertengger manis di ujung
museum sebelum pintu keluar.
Berwarna merah menyala, mantel ini terbuat dari
beludru sutra berkualitas. Bordiran benang emas
menghiasi sekujur mantel itu. Tahun pembuatan
1133"begitu yang tertulis di gelas kaca mantel itu.
Untuk ukuran tahun saat itu, jelas mantel kain
seperti itu sangatlah mewah. Aku teringat kata-kata
Marion tentang Perang Salib yang berperan
membawa hasil karya masyarakat Timur Tengah
221 222 yang penuh cita rasa Qur"ani. Secara kronologis
menjadi sangat logis, karena Perang Salib Pertama
pecah pada akhir abad ke-11.
Kami langsung terkesiap memandang mantel
merah itu. Mantel pengangkatan raja Katolik Eropa
di Sisilia itu seharusnya penuh ikonisasi Katolik.
Tapi yang ini justru sebaliknya.
"Lihat tulisan Arab di pinggirannya itu?" Telunjuk
Rangga mengetuk batas gelas kaca pelindung.
Aku memicingkan mata dan memutar kepalaku
ke kanan dan ke kiri hingga leher serasa hampir
terkilir. Seorang petugas yang berjalan melewati
kami tersenyum-senyum melihat tingkah laku kami.
Di bagian bawah mantel itu aku melihat kaligrai
Arab yang ditulis dari ujung satu ke ujung lain
mantel itu. Tulisan bordir benang emas yang cukup
mencolok, namun sangat susah kubaca. Lagi-lagi
kaligrai Kuic seperti pada piring-piring di Louvre.
Tapi benarkah itu tulisan Tauhid"
Andai Marion ada di sini....
"Terlalu panjang untuk menjadi kalimat
syahadat," gumamku. "Atau mungkin potongan ayat Al-Qur"an?"
tanyaku pada diri sendiri. Aku hanya melihat
goresan-goresan yang menyerupai tulisan Arab
"Allah", "lam alif", "mim", dan "qof" berkali-kali.
Rangga juga menggeleng. Sepertinya dia juga tak
bisa menangkap sepatah kata pun dari tulisan itu.
Dia lalu mengeluarkan kameranya.
"Stop!" Petugas yang dari tadi berdiri di ujung
lorong akhirnya menegur kami. "Kein Kamera, bitte.
No camera, please!" Aku merasa peraturan museum tentang larangan
mengabadikan objek dengan kamera ini sungguh
mengesalkan. "Yang di tengah mantel itu seperti pohon kurma
kan" Menurutmu apa itu artinya, Mas?" tanyaku
pada Rangga yang dengan masygul mengalungkan
kembali kameranya. "Eh, sepertinya yang di kanan dan di kiri adalah
bordiran unta dan singa"," sahut Rangga tak
menjawab pertanyaanku. "Kenapa gambar-gambar
berbau Timur Tengah ini dimunculkan di sini"
Bukankah Raja Roger seorang penganut Katolik
yang taat?" "Mungkin benar kata Marion. Kecintaan Roger
terhadap budaya Arab membuatnya dijuluki The
Baptized Sultan," jawabku.
Rangga kemudian mengalihkan pandangannya ke
arahku. "Maksudmu?"
"Dia sebenarnya tidak setuju dengan ajakan Paus
waktu itu untuk memerangi Islam dalam Perang
Salib. Bahkan dia cenderung membela muslim yang
banyak tinggal di Sisilia. Dia sangat terinspirasi oleh
orang-orang Cordoba saat itu yang hidup dengan
semangat convivencia, persatuan dalam perbedaan."
"Tapi dia tetap seorang Katolik, kan?" tanya
Rangga. 223 224 "Tentu saja. Justru seharusnya seperti itulah
Katolik yang taat. Dia terkenal sebagai penguasa
dengan pendekatan multikultural. Bahkan saat
pengangkatan sebagai raja dan penguburannya, dia
minta dimakamkan di katedral yang sangat berbau
Islam." "Mezquita?" tanya Rangga mengerutkan dahi.
"Ah, bukan. Katedral Pallermo di Sisilia."
Dahi Rangga tidak lagi berkerut. "Memangnya
ada apa dengan katedral itu?"
"Selain inskripsi-inskripsi Arab di dalamnya,
katanya ada pahatan Al-Fatihah dan tulisan
basmalah di pintu masuknya."
Rangga kembali mengerutkan kening, tampak tak
percaya dengan kedalaman risetku. Dia masih
mencoba-coba memastikan tulisan di pinggir mantel
Roger. Tapi tulisan Arab gundul itu terlalu rumit dan
panjang untuknya. Mungkin Marion benar. Masa Cordoba adalah
masa yang paling banyak ditiru bangsa Eropa saat
itu. Masa itulah yang membuat Roger of Sicily II
akhirnya mengundang ahli kartograi Cordoba
bernama Al-Idrisi untuk datang ke Sisilia dan
membuatkannya peta dunia yang disebut Book of
Roger. Dan siapa yang menyana, Book of Roger inilah
yang kemudian menginspirasi Vasco de Gama dan
Columbus untuk melakukan pengembaraan
menemukan dunia baru. Sebuah dunia baru yang
kemudian menjadi pusat imperium raksasa,
peradaban modern abad ini: Amerika Serikat.
225 34 226 Satu lagi peristiwa yang menginspirasiku dan
Rangga untuk menjelajahi tempat baru, mengarungi
peradaban Islam. Hari ulang tahunku pada April.
Tatkala aku mendapatkan telepon pada pagi hari
dari seseorang yang nyaris kulupakan untuk
beberapa saat. Dari ayahku, Amien Rais.
"Alles Gute zum Geburtstag!" katanya sambil
memamerkan pengetahuan bahasa Jermannya.
"Jadi, hikmah apa yang kauambil dari
kehidupanmu?" kata ayahku.
Terus terang aku tak bisa menjawab dengan
jawaban yang terlalu ilosois. Pada kenyataannya,
ayahku itu tak sadar beliau meneleponku pagi-pagi
buta di Eropa. Tentu saja otakku belum bisa diajak
bicara terlalu "berat".
"Kehidupan itu ya".seperti perjalanan atau
traveling saja, Pak," jawabku sekenanya dengan mata
masih sangat berat. "Nah, itu dia. Ngomong-ngomong traveling, kau
sudah ke mana saja, Nduk" Bapak lihat foto-fotomu,
lho. Keliling Eropa.?"
"Mmm"mmm"."
"Tahun lalu sempat ke New York juga, kan?"
"Mmm"mmm"."
"Jadi sudah berapa negara yang kaukunjungi
selama ini?" "Mmm"mmm"."
"Hanum! Kau dengar kata-kata Bapak?"
"Yaaa, mmm"susah menghitungnya, Pak. Sudah
lebih dari Bapak, kayaknya," jawabku asal. Aku
nyengir dalam kantuk. Aku tahu ayahku itu jauh
lebih sering bepergian ke penjuru dunia untuk
menghadiri seminar dan kuliah.
"Kau bisa melebihi Bapak itu tidak penting, Num.
Yang lebih penting kau harus mengunjungi 2 tempat
spesial di Eropa." Kalimat ayahku ini sontak
membuatku melek. "Ah Inggris, ya" Visanya susah. Kalau Rusia
dingin, susah mencari kapan panasnya," lagi-lagi
aku tak mampu membaca keseriusan ayahku. Hanya
dua negara itu yang ada dalam pikiranku. Dua
negara yang kata teman-teman Indonesiaku sangat
susah untuk dikunjungi karena visanya.
Tiba-tiba tercipta keheningan di ujung telepon....
Suara lemah ayahku itu akhirnya kembali hadir.
"Bukan," kata beliau. "Kalau ada waktu, wakililah
bapakmu ini menyaksikan Cordoba dan Granada.
227 228 Bapak belum pernah ke sana," lanjutnya lirih.
Setelah itu, tatkala adikku Tasniem berteriak
pelan mengingatkan bahwa di Wina masih pukul 2
dini hari, beliau segera menutup telepon.
Telepon yang meninggalkanku tercenung pada
dini hari itu. Tiba-tiba aku merasa bersalah telah merasa
terganggu dengan telepon pagi buta kali itu. Ayahku
justru telah membangunkanku pada sebuah janji
perjalanan antara aku dan Fatma yang kami rancang
dulu. Selepas Shalat Subuh berjemaah dengan
suamiku, aku membuka komputer tabletku. Berburu
tiket paling murah pada Juni 2010, saat libur musim
panas di kampus Rangga. Cordoba, here we come....
Universitas Berrio de la Catedral Patung Al Gahafiqi Minaret Patio de Los Naranjos Maimonides Great Mosque aka Mosque-Cathedral
Mezquita Patung Averroes Mihrab Pu e nto Cordoba Ro Sungai Gradalquivir ma na 230 Bagian 111 Cordoba & Granada Madrid-Cordoba. 35 " Sebuah perjalanan dengan kereta berdurasi
3 jam, melewati dua dataran berbeda dan
hawa yang kontras pada peralihan musim.
Untuk perjalanan kali ini, kami berdua
memilih bulan Juni. Pada bulan ini musim
semi di sebagian besar Eropa sudah
mencapai klimaks. Artinya, hawa segar
seperti pendingin ruang pada beberapa
Granada Alcazaba Nasrid Palace Fortress Generalife Chatedral Charles Palace Alhambra Bukit Assabica 231 bulan sebelumnya akan segera diambil alih oleh
kuasa panas matahari. Musim panas segera tiba.
Angin kencang adalah gejala paling kuat yang
dirasakan ketika peralihan musim di Eropa. Di
Stasiun Madrid, aku masih bisa merasakan sentuhan
dingin pada kulitku. Paling tidak angin yang
berembus kencang memberi sensasi itu. Begitu
memasuki daerah Andalusia, hawa yang berembus
mirip di Indonesia"panas dan kering. Topograinya
232 lebih mirip gurun di Arab daripada dataran Eropa
pada umumnya. Di Madrid, perkiraan cuaca masih
menunjuk angka 25 hingga 28 derajat Celcius,
sementara cuaca di Andalusia sudah mencapai 30
hingga 35 derajat Celcius. Di tengah perjalanan,
mesin pendingin ruang di kereta pun langsung
dinyalakan. Menjelang matahari terbenam, kereta Renfe tiba
di stasiun sentral kota. Kami turun dari kereta yang
membawa kami ke sebuah kota, ibu kota Eropa
zaman pertengahan. Aku langsung teringat kata


99 Cahaya Di Langit Eropa Menapak Jejak Islam Di Eropa Karya Hanum Salsabiela Rais Dan Rangga Almahendra di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Marion, inilah the true city of lights, kota seribu
cahaya, Cordoba. Kota yang menginspirasi banyak
orang Eropa. Sejurus kemudian saat menuruni kereta, aku dan
Rangga memandang sekeliling. Ada perasaan yang
sama dalam hati kami; bayangan tentang Cordoba
yang kami dengar sebagai pusat peradaban Islam di
Eropa ribuan tahun lalu belum kami temukan. Ada
secercah harap bahwa kami akan menemukan orang
berkerudung berlalu-lalang. Mengharap wajahwajah Islami masih tersisa, yang bisa memberi aura
Cordoba sebagai kekuatan peradaban muslim masa
lalu. Toh pada akhirnya yang kami saksikan adalah
Eropa masa kini. Perempuan dan laki-laki berciuman
di tempat umum adalah hal paling wajar yang
pertama kami temukan begitu menginjakkan kaki di
sini. Tak hanya pasangan laki-laki-perempuan,
pasangan sesama jenis juga tanpa malu-malu
memamerkan romantisme mereka. Ada semacam
mata rantai yang terputus antara Cordoba kini dan
Cordoba masa lalu. Kami sangat merasakan hal itu.
Kami berjalan menuju anjungan pintu luar
stasiun. Seseorang seharusnya sudah menunggu
kami, petugas dari agen layanan antar-jemput, satu
paket dengan hotel agar kami tak kerepotan mencari
alamat di Cordoba. Kami mencari-cari papan nama dari kertas yang
diacung-acungkan oleh banyak penjemput di pintu
luar. Tidak ada namaku ataupun nama Rangga.
Plang nama yang diangkat para penjemput tersebut
semua bertuliskan nama orang-orang dan
kewarganegaraannya. Sejurus kemudian Rangga
menemukan satu nama yang sepertinya merujuk
kepada kami. Sebuah sobekan kertas bertinta merah
yang hanya mencantumkan nama negara saja:
INDONESIA. Sebuah nama yang diyakini oleh sang
agen akan cukup mengena, mengingat tak banyak
orang Indonesia yang bertandang ke Cordoba. Kami
langsung menebar senyum kepada pria penjemput
kami. Pria itu pun dengan hangat menyapa kami.
"Ola, assalamu"alaikum. Me ilamo Gomez! Nama
saya Gomez. Saya yang akan mengantarkan Anda ke
hotel," sambut pria muda itu. Seorang pria Spanyol
dengan wajah sangat khas, seperti para bintang
sepak bola Spanyol atau Italia yang kerap menjadi
idaman kaum hawa. Kami langsung membalas
233 234 salamnya yang sedikit terbata-bata. Membalas
dengan semangat lebih karena mendapatkan
sambutan salam di negeri di Eropa yang sangat
kental aroma Katoliknya. Aku sebenarnya terkejut dengan sapaan salam
Gomez. Dari namanya, aku ragu dia seorang muslim.
Tapi sebagai seseorang yang bekerja untuk hotel di
sebuah kota wisata, tentu dia akan berusaha
menyenangkan pelanggannya. Sebuah salam
spontan yang dia sampaikan begitu melihat aku
yang mengenakan kerudung sederhana di atas
kepala. Dan itu benar-benar menciptakan kesan baik
dalam benak kami tentang Cordoba dan apa yang
akan terjadi selanjutnya.
Gomez membawa kami menyusuri sebuah jalan
raya. Jalan raya kota Cordoba yang terlihat lengang
dan lekang oleh deru dan klakson mobil. Sejak dari
stasiun tadi hanya salam dari Gomez yang terucap.
Tidak ada percakapan lagi. Meski Gomez sangat irit
bicara, wajahnya berseri-seri. Mukanya penuh
semangat seperti baru saja memenangi undian kuis
bernilai jutaan Euro. Bukannya dia tak ramah atau
malas berbicara dengan tamunya. Ada satu
kemungkinan mengapa dia tidak bicara banyak"
bahasa Inggrisnya belepotan.
Di dalam mobil, aku dan Rangga dibuat saling
pandang oleh ulah Gomez. Laki-laki muda berusia
20-an tahun itu bersenandung sendiri selama
perjalanan. Jari-jarinya yang menggenggam setir
sesekali diketuk-ketukkan, seolah sedang mengikuti
sebuah lagu. "Why do you look so happy?" tanyaku akhirnya.
Agaknya Gomez memang sengaja membuat kami
bertanya-tanya. "Porque". El espa?ol gan?! Spain won...! You know"
You know?" jawab Gomez dengan melepas kedua
tangannya dari setir sekadar untuk mengepalkannya
beberapa detik. Ah, sepak bola. Piala Dunia di Afrika. Kami yang
berada di jok belakang langsung ber-aha serempak.
Sepak bola sudah seperti agama di Spanyol. Tak
terkecuali di kota bernama Cordoba. Gomez
beranggapan, kemenangan Spanyol di setiap
pertandingan dunia seolah sebuah pesta yang harus
dirayakan umat sedunia. Termasuk juga turis-turis
seperti kami yang tengah berada di Spanyol. Gomez
dengan cekatan langsung menyalakan radio di
dalam mobil. Dia berbicara kesal kepada dirinya
sendiri, sepertinya karena ketinggalan suatu acara
radio. Dia memutar-mutar tombol bundar radio ke
kanan dan ke kiri. Mencari gelombang radio yang
seolah tak boleh terlewatkan dalam hidup ini. Lalu
kurang dari 10 detik, dia berhenti pada sebuah
saluran radio. Suara berat laki-laki dalam bahasa Spanyol
langsung membahana dalam mobil. Dia berbicara
nyerocos tiada henti seperti tak butuh bernapas.
Sebuah suara yang membuat jantung kami deg-
235 236 degan. Bukan karena mendengar ocehan penyiar
bola itu, tapi karena bahasa tubuh Gomez.
Konsentrasi Gomez terpecah antara menyetir mobil
dan mendegarkan siaran live sepak bola di radio.
Setiran mobil Gomez meliuk-liuk, seolah dia sedang
menggiring bola. Aku dan Rangga terguncang-guncang sepanjang
perjalanan karena kepotan mobil Gomez ke sana
kemari. Sebagai tamu, kami merasa tidak dihargai.
Anak muda itu seolah tak menyadari ada nyawa
yang tengah dia pertaruhkan dalam mobil, demi
mendengarkan laga siaran sepak bola Spanyol
melawan Portugal! Rangga langsung mengaduk-aduk isi tasnya.
Sebuah kamus bahasa Spanyol "Phrasebook for
Travelling" dia keluarkan.
"Lenta...lenta...calma...calma, por favor," kata
Rangga kepada Gomez, memintanya menyetir pelan
dan kalem. Gomez menolehkan pandangan sebentar
ke Rangga yang dengan niat penuh membuka kamus
bahasa Spanyol untuk sekadar berbicara dengannya.
Gomez tersenyum kecil. Dia mungkin baru
menyadari ada penumpang di kursi belakang
mobilnya, yang bisa saja melapor pada atasannya
dan membuat dirinya dipecat dari pekerjaannya.
"Si...si...bien, okay. Don"t worry Sir, I am sorry. God
with us, el El espa?ol with us, ameen...."
Bagi Gomez, bola dan Tuhan pasti akan bekerja
sama dengan baik. Bekerja sama memenangkan
Spanyol dari Portugis. Dan akan menjaga dan
menyelamatkan hidup kami di dalam mobil yang
melaju dengan kecepatan tinggi itu.
Mobil terus melaju sekencang angin meski
Rangga telah memperingatkan Gomez. Kendaraan
baru memelan setelah memasuki sebuah kompleks
dalam kota. Sebuah city center yang berbeda dengan
city center lain di kota-kota besar Eropa.
Hingga perjalananku saat ini, aku masih belum
bisa menemukan apa yang membuat Cordoba
dijuluki kota ribuan cahaya. Cahaya lampu jalanan
remang-remang yang kami lalui pada malam hari
tidak bisa membuktikan julukan yang sangat indah
itu. Cahaya yang paling terang hanya dipancarkan
dari sebuah bangunan tinggi dengan tembok
menjulang. Di atas pinggiran tembok terdapat
lampu-lampu kecil yang bekerlap-kerlip. Di sekitar
bangunan besar itu kedai makanan, bar, dan kafe
masih buka. Beberapa orang yang dipastikan turis duduk
bertopang kaki sambil menikmati berbotol-botol bir.
Mata mereka tak bisa berkedip. Sebuah layar besar
dipasang di luar kafe. Seluruh kesadaran mereka
seperti tersedot menonton siaran 22 manusia
berebut bola yang disiarkan melalui layar monitor
itu. Gomez semakin memperlambat lajunya saat
melalui bangunan kokoh yang paling terang itu. Lalu
dia berhenti tepat di depan sebuah penginapan.
237 238 Hotel Maimonides. Gomez dengan sigap loncat dari jok sopir, lalu
menurunkan tas ransel kami. Kami tahu, si Gomez
sudah kebelet ingin cepat-cepat pergi untuk
menikmati sisa waktu pertandingan yang sangat
menegangkan antara Spanyol dan Portugal.
"Good luck. Assalamu"alaikum!" seru Gomez saat
kami hendak berpisah dengannya. Rangga
menjulurkan beberapa koin Euro untuk Gomez
sebagai tip menyetir dengan "baik".
Tiba-tiba Rangga mengajukan pertanyaan yang
sangat pribadi untuk Gomez. "Are you a muslim?"
tanya Rangga sedikit berbisik.
Gomez senyum-senyum sendiri. Gomez paham
Rangga menanyakan hal itu karena dia sudah 2 kali
mengucap salam yang identik dengan umat muslim.
Gomez menggeleng. Dia mencoba menjawab
dengan bahasa Inggrisnya yang patah-patah tak
beraturan. "...but, my grandfather very old, and very
old, and again very very old, yes, they muslim," ucap
Gomez yang menjelaskan sambil menggerakkan
tangannya ke atas, lalu semakin ke atas.
Kami langsung paham maksudnya. Maksudnya,
kakek dan buyut-buyutnya terdahulu adalah muslim.
Aku tiba-tiba berasumsi. Kalau dirunut, buyutbuyutnya mungkin adalah penduduk muslim yang
tinggal di daratan Iberia ini.
Dia tidak menjelaskan apa keyakinannya. Bagi
Gomez, keyakinan tentang agama itu tidak penting.
Lebih penting Spanyol menang atau kalah dari
Portugal malam itu. Gomez pun langsung berteriak
kencang begitu mendengar buncahan suara orangorang dari kafe dan bar.
Hasil pertandingan malam itu: Spanyol
mengalahkan Portugal di perempat inal.
Kami yang menyaksikan histeria itu hanya bisa
melongo. Mungkin karena tidak ada satu pun dari
kami yang menjagoi Spanyol di pesta olahraga
sejagad itu. Lalu dengan releks untuk
menyenangkan Gomez, kami berpura-pura berteriak
kegirangan juga. Agaknya kami benar-benar paham
apa keyakinan dan "agama" Gomez sekarang.
"I go now, yes. Eh, look, you have good place, yes...
very near...huh. Look, this is Mezquita! Okay, adios
muchachos!" teriak Gomez meninggalkan kami.
Mobil yang disetirinya langsung melesat dalam
gelap di kompleks kafe dan bar.
Kami terpana melihat bangunan besar yang
ditunjuk Gomez barusan. Cahaya yang paling terang
tadi ternyata dipancarkan bangunan yang paling
kucari selama ini. Masjid atau mezquita dalam
bahasa Spanyol. Bangunan yang kini telah menjadi
gereja. Dan memang nama bangunan itu adalah The
Mosque Cathedral. Inilah Mezquita, yang namanya sering disebut-sebut
Marion. Dan Fatma sangat ingin mengunjunginya.
239 36 240 Kami beruntung, dengan rencana yang sangat
matang 3 bulan sebelumnya, kami mendapatkan
penginapan yang lumayan murah dan strategis
dekat bangunan yang menjadi tujuan utama kami:
Mezquita. Selesai mengurus administrasi di meja
resepsionis, kami langsung menuju kamar. Namun,
ada hal yang menarik perhatianku di lantai dasar
penginapan itu: patung laki-laki yang dipajang di
dinding pintu masuk penginapan. Patung itu tak
terlalu besar, namun cukup mencuri perhatian
karena tiada patung lain yang menghiasi lobi
penginapan itu selain ornamen-ornamen kecil
laki-laki dan perempuan mengenakan dress
lamenco"tarian khas Spanyol yang sering kulihat
di TV. Patung Pak Tua itu menjadi istimewa karena
seakan-akan dialah yang mendirikan penginapan ini.
Seperti patung atau lukisan orang yang dipajang di
restoran dan hotel, yang mengacu pada pemilik
tempat. Maimonides. Nama patung itu sama dengan nama penginapan
kami. Patung itu mengingatkanku pada Kara
Mustafa di Museum Wina karena serban dan jenggot
panjangnya.

99 Cahaya Di Langit Eropa Menapak Jejak Islam Di Eropa Karya Hanum Salsabiela Rais Dan Rangga Almahendra di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Siapa orang ini" Aku belum pernah mendengar
namanya," gumam Rangga. Aku sebenarnya juga
penasaran dengan patung tersebut. Tapi rasa kantuk
dan lelah menjalar tiba-tiba. Badan terlalu rapuh
setelah 3 jam naik kereta dari Madrid dan
guncangan mobil Gomez yang cukup menyiksa.
"Ah, namanya seperti nama-nama Averro?s,
Avicenna, atau Al Farabi. Nama semi-Arab yang
dieropakan. Pasti seorang ilsuf Arab atau pemikir
yang berjasa di Cordoba," jawabku asal-asalan. Aku
memasuki lift sambil menenteng tas ranselku,
meninggalkan Rangga yang masih berusaha
mengartikan satu demi satu kata-kata Spanyol yang
merangkai keterangan tentang patung itu. Masih
dengan buku Phrasebook for Traveling-nya.
Aku sudah terlalu lelah hari itu, ingin cepat-cepat
tidur agar pagi-pagi sekali aku bisa segera
menjelajahi Cordoba. Kota pertama di Eropa yang
dibangun oleh imperium Islam.
" " 241 242 Kami berdua bangun begitu pagi pada keesokan
harinya. Subuh di musim panas tiba pada pukul
3.30. Matahari pada bulan-bulan mendatang akan
terus terbit lebih awal dibandingkan bulan-bulan
sebelumnya. Puncak siang paling panjang terjadi
pada Juli dan Agustus. Ada hal yang tiba-tiba melintas begitu saja dalam
pikiranku. Tahun ini bakal menjadi puasa Ramadhan
yang paling panjang waktunya dalam hidupku.
Sebuah tantangan yang membuatku ragu apakah
bisa sekuat sebelumnya, namun sekaligus
penasaran, rindu untuk segera bertemu bulan itu.
Aku membuka tirai jendela kamar. Di hadapanku
hadir sebuah menara tinggi berwana cokelat bata.
Menara Mezquita. Tiba-tiba, entah mengapa, aku memejamkan
mata. Seperti ketika aku memejamkan mata di Bukit
Kahlenberg dulu. Ada sesuatu yang ingin kudengar.
Suara Azan Subuh bergema dari menara itu.
Fantasiku tiba-tiba terseret pada belasan abad
lalu di kota ini. Ketika setiap 5 kali sehari seorang
laki-laki menaiki menara masjid dan
mengumandangkan azan ke seluruh penjuru kota.
Tanpa bantuan pengeras suara. Hanya suara merdu
yang sepenuh hati keluar dari pita suaranya. Lalu
kata-kata terakhirnya, "Sesungguhnya shalat itu
lebih baik daripada tidurmu," pastilah menggugah
siapa saja di kota ini untuk bangkit dari tidur pulas
mereka. Aku membuka mata. Kupandang jalanan di
bawahku yang membentuk labirin dan rumah-rumah
dengan eksterior sangat serasi di sekitar Mezquita.
Belasan abad lalu, pastilah manusia berbondongbondong keluar dari rumah tersebut, lalu memenuhi
jalanan yang ciut menuju satu tempat, Mezquita.
Meski berbentuk labirin dan berkelok-kelok, mereka
tidak akan bingung ke mana mencari tempat
peribadatan itu karena semua orang berbondongbonding menuju tempat yang sama pada subuh
seperti ini. Lagi-lagi itu hanya ilusi. Fantasi liarku yang
merindukan harapan, merindukan kembalinya
nostalgia Cordoba masa lalu. Kenyataannya pagi ini
dari jendela kamar penginapanku, aku hanya
melihat jalan setapak yang sempit di bawah sana
kosong melompong. Manusia-manusia masih tertidur lelap setelah
teler dan mabuk pada pesta semalam. Mereka masih
bercengkerama dengan mimpi masing-masing.
Bermimpi membawa bola-bola kemenangan Spanyol
pada setiap pertandingan Piala Dunia.
" " Cordoba baru bangun dari tidurnya setelah jam 8.
Namun, aku dan Rangga sudah tak betah lagi berada
di kamar penginapan sejak Shalat Subuh. Begitu
matahari mengintip di timur, kami memutuskan
243 244 untuk berpetualang menyusuri sekeliling Mezquita.
Sepagi mungkin sebelum manusia-manusia Cordoba
membuat gaduh dengan segala macam aktivitas
pagi mereka. Begitu turun dari lift, aku menemukan seseorang.
Seseorang yang selama ini kucari-cari. Perempuan
berkerudung. Perempuan itu tampak sedang
menjalankan tugasnya pada pagi hari. Sangat pagi,
sebelum tamu penginapan beranjak keluar. Dia
tampak mengelap semua perabotan dan ornamenornamen di lantai lobi. Termasuk patung
Maimonides yang menjadi ikon penginapan ini.
"Assalamu"alaikum," sapaku dengan semangat
pagi. Seperti semangat Gomez tadi malam saat
menyalami kami. Perempuan berkerudung itu tidak
menjawab. Dia hanya menoleh dan tersenyum. Lalu
kembali aku sampaikan salamku kepadanya. Dia
hanya tersenyum lagi tak menjawab apa pun. Dia
seperti ingin menjawab tetapi tidak tahu harus
menjawab apa. Rangga kemudian menyikut
pundakku. "Kau jangan salah sangka. Mungkin dia seorang
Yahudi atau penganut Kristen Ortodoks. Kerudung
seperti "itu" juga biasa dipakai oleh mereka."
Kulihat perempuan berkerudung tadi tersenyum
lagi. Aku membalas senyumnya sekaligus berusaha
menghilangkan rasa malu yang tiba-tiba menjalar.
Dia lalu meninggalkan kami masuk ke dalam bilik
"staff only" di belakang meja resepsionis.
Rangga mungkin benar karena aku baru
menyadari perempuan itu mengenakan kerudung
yang tidak bisa disebut jilbab. Kerudung itu juga
dipadukan dengan setelan rok pendek dan kaos kaki
putih setinggi lutut. Sepatunya seperti sepatu para
pengibar bendera pusaka 17 Agustus. Gaya busana
perempuan Yahudi konservatif yang sering kutemui
di Eropa. "Aku teringat tadi malam. Tentang patung ini,
Maimonides. Dia adalah seorang ilsuf Yahudi
ternama dari Cordoba. Dan penginapan ini adalah
penginapan milik orang yang mungkin kagum
kepada Maimonides. Atau bisa juga milik orang
Yahudi," ucap Rangga menganalisis.
Rangga membuat semuanya jelas. Dia akhirnya
bisa menerjemahkan keterangan berbahasa Spanyol
tentang si Maimonides itu. Entah mengapa ada
perasaan menggelitik yang menggejala dalam diriku.
Bahwa kenyataan Maimonides yang seorang Yahudi
itu mendapatkan tempat tersendiri bagi masyarakat
Cordoba, ibukota peradaban Islam waktu itu.
Maimonides, seseorang yang disegani, dihormati
karena ilmunya, di tengah-tengah masyarakat
muslim mayoritas saat itu. Sisa-sisa keindahan
hidup beragama itu seolah baru saja terjadi pagi ini,
ketika aku menemukan perempuan Yahudi yang
sangat ramah meski tak bisa menjawab salamku
barusan. Aku tiba-tiba menyadari, bisa saja perempuan itu
245 paham aku menganggapnya sebagai saudara
muslim. Walaupun ternyata aku salah. Namun,
senyumnya barusan telah mematahkan sekat-sekat
pembatas persaudaraan. Kau dan aku berbeda, tapi senyuman kita bermakna
sama. 246 37 Sepagi itu di Cordoba, belum ada satu pun toko atau
kedai yang buka. Pintu-pintu gerbang dari rumahrumah bersusun yang mengitari Mezquita juga
masih tertutup rapat. Pintu-pintu itu seperti
melarang bekas kaleng dan botol bir sisa semalam
memasuki pelatarannya. Kaleng dan botol bir itu
masih bertebaran di jalan-jalan seputar Mezquita.
Hanya ada satu kedai yang sudah buka, persis di
sudut belokan menuju Mezquita. Kedai itu menggelar
barang dagangan yang tak biasa bagi penglihatanku.
Deretan daging paha yang gemuk-gemuk
menggantung di kaca pajang kedai. Di atas kaca
tampak bagian-bagian lain daging, mulai kulit, kepala,
hingga jeroannya. Rangga dan aku langsung mengenali
daging apa itu. Apa lagi jika bukan babi. Apa pun itu,
kedai ini satu-satunya kedai yang paling rajin
menyambut matahari pagi, beda dengan jejeran kedai
lain yang masih terbenam dalam kemalasan.
247 248 Seorang bapak tua berbadan gelap keluar dari
kedai yang kumuh itu. Dia mengeluarkan sebongkah
daging yang cukup besar, lalu meletakkannya di
meja di luar kedai. Kemudian dengan cetakan Pak
Tua itu menghunuskan pisau besar dari balik
sakunya. Dengan sekuat tenaga dia memotongmotong bongkahan daging itu menjadi beberapa
bagian. Dalam beberapa menit saja gumpalan
daging babi yang cukup besar tadi sudah menjadi
kepingan-kepingan kecil. Kami memandang aktivitas Pak Tua itu beberapa
lama. Karena hanya pemandangan itu yang paling
menarik ditonton pada pagi yang sunyi. Pak Tua itu
agaknya sadar telah menjadi bahan tontonan.
Apalagi Rangga kemudian menjepretkan kameranya
dari berbagai angle. Dia tiba-tiba menoleh kepada
kami. Seketika aku agak ketakutan melihat mimik
wajahnya yang menyiratkan rasa tak suka.
Pak Tua itu tiba-tiba melebarkan mulutnya alias
menyunggingkan senyum kepada kami. Lalu seperti
jadi tontonan massa, dia beraksi bak foto model.
"Take more pictures, okay"!" seru Pak Tua kepada
Rangga. Lalu Pak Tua sejenak menatapku yang
memakai kerudung. "This is haram, yes?" tanya Pak Tua sambil
menunjuk potongan dagingnya. Dia rupanya sedang
bertanya apakah aku muslim dengan cara yang
berbeda. Aku hanya mengangguk pelan.
"Venga aqui. Have some coffee with me. Mezquita
opens a bit later. Better you have breakfast irst. Por
favor"," pinta Pak Tua dengan sangat sopan. Dia
melambaikan tangannya mempersilakanku dan
Rangga masuk ke kedainya untuk minum kopi. Aku
dan Rangga hanya bisa saling pandang.
"Don"t worry"I will not serve you with this. This is
for them, not for us...," ujar Pak Tua menunjuk daging
babi di depannya. Aku tahu kata "them" mengacu
pada orang lain yang tak pantang makan babi. Tapi,
not for "us?" "Here"s yours. This is Algerian coffee," suguh Pak
Tua sesaat setelah kami memasuki kedainya. Pak Tua
kemudian menutup rapat geretan dari kaca pajang
yang memamerkan gantungan daging babi.
"No te preocupes, Senorita. Jangan khawatir,
cangkir kalian dicuci terpisah dari barang dan benda
yang berbau babi.... Namaku Hassan," Pak Tua
akhirnya memperkenalkan diri. Tadinya dia
memandangku dan Rangga yang masih ragu-ragu
meminum kopi khas Aljazair suguhannya. Mungkin
dipikirnya aku dan Rangga terlalu khawatir dengan
semua tetek bengek di dapurnya yang bisa saja
bercampur minyak atau babi.
"Jadi, Anda muslim?" tanya Rangga berharap,
mempertimbangkan nama bapak itu dan asalnya
yang mengindikasikan dirinya muslim.
Hassan mengangguk kikuk. Aku tahu dia begitu
karena aku memergokinya menjual makanan dari
babi untuk menyambung hidup. Dia sepertinya yakin
249 250 kami akan menceramahinya.
"Ya, mau bagaimana lagi" Aku tak bisa
menemukan pekerjaan lain di sini. Hanya restoran
ini yang mau menerimaku bekerja," sambung Hassan
sambil mengangkat bahu. Ia mendesah dalam.
Aku dan Rangga tak bisa berkata apa-apa.
Bagaimanapun juga, kami sedikit kecewa dengan
pilihannya menjual daging yang jelas-jelas
diharamkan Islam. Tapi, entah mengapa kami
merasa "kasihan" kepadanya.
Hassan bukanlah penduduk Spanyol asli. Dia
hanya imigran yang sedang mengadu nasib di Eropa.
Melihat pakaian dan wajahnya yang lusuh, aku bisa
menyamakan tingkat kehidupannya dengan para
pedagang asongan di jalan Jakarta yang mungkin
tak punya pilihan pekerjaan lain untuk sekadar
menyambung hidup. Aku langsung teringat kata-kata ayahku tentang
sulitnya merelasikan larangan-larangan agama jika
sudah berhubungan dengan masalah perut. Kau tidak
akan bisa melarang orang, tidak boleh ini tidak boleh
begitu, atau ini haram dan itu halal, jika perut orang
yang kauceramahi itu keroncongan. Petuah agama apa
pun jadi tidak berlaku. Termasuk juga Hassan yang
terpaksa bekerja di kedai daging babi.
Rasanya aku memang ingin menasihatinya,
meyakinkannya bahwa dia juga bisa mendapatkan
kesejahteraan hidup tanpa harus berjualan daging


99 Cahaya Di Langit Eropa Menapak Jejak Islam Di Eropa Karya Hanum Salsabiela Rais Dan Rangga Almahendra di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

babi. Tapi lalu apa" Jika dia mengikuti kata-kataku,
dia akan merasa ditinggal sendirian karena aku pun
tak bisa memberinya jaminan kepastian hidup yang
lebih baik dengan meninggalkan "profesi"-nya
berjualan babi. Di matanya, tentu aku bukanlah
orang yang bertanggung jawab. Hassan hanya
percaya realitas. Realitas bahwa di dekat Mezquita,
sebuah kedai mau menerimanya bekerja, meski
harus berjualan babi. Dia tak peduli lagi. Desakan
ekonomi membuatnya menutup mata.
Kuseruput kopi Aljazair yang dihidangkan
Hassan. Rasanya seperti kopi-kopi Arab yang berbau
herbal, menghadirkan sensasi dingin.
"Eh, tapi kalian jangan salah. Aku ini muslim
yang taat. Aku tak pernah sedikit pun makan daging
babi meski aku bertahun-tahun bersanding dan
bergelimang dengannya. Aku percaya, Tuhan
Mahabijaksana," tambahnya.
Kupandang wajah Hassan. Dia sangat yakin
dengan kata-katanya. Dia tahu agama bukan
matematika. Lebih luas dari sekadar haram dan halal
semata. Dia berharap Tuhan Yang Maha Pengasih
lagi Maha Penyayang akan memahami kondisinya.
"Hassan, meski kau berjualan babi, aku yakin
Anda bangun subuh, lalu shalat dan menjalankan
rutinitas sehari-hari. Itu lebih baik daripada mereka
yang tidur sepanjang hari," hibur Rangga.
"Dan kudoakan semoga Anda mendapat
pekerjaan yang lebih baik suatu saat nanti,"
sambungku membesarkan hati Hassan.
251 252 Hassan hanya tersenyum Dia kemudian
mengamini semua perkataan kami. Berjualan
sesuatu yang halal sudah barang tentu merupakan
impiannya. "Mari tambah lagi kopinya. Aku senang
menerima kalian sebagai tamuku pagi ini. Kautahu,
muslim di dunia ini adalah saudara jauh. Ngomongngomong, kalian dari mana?" Hassan mengalihkan
diskursus kami tentang halal dan haram.
"Indonesia," jawabku pelan.
"Aha, India! Namaste," sahut Hassan sambil
menyatukan telapak tangan, khas salam orang India.
Aku tak mengerti bagaimana mungkin mukaku dan
Rangga ini bisa dia asosiasikan dengan India.
"Bukan! In"do"ne"sia," ujar Rangga
mengoreksi. Hassan tak merespons. Dia tersenyumsenyum malu karena salah mengira asal kami. Dan
mungkin malu karena tak bisa mengira-ngira letak
negara bernama Indonesia itu dalam peta dunia di
kepalanya. "You know Hassan, Indonesia is home to the world?s
largest Muslim population!" ucap Rangga berusaha
membantu menambah pengetahuannya. Hassan
mengangguk-angguk dalam. Dia mengacungkan 2
jempol besarnya untukku dan Rangga.
" " Kami tak sadar telah berada di kedai Hassan hampir
2 jam lamanya. Orang-orang yang silih berganti
membeli babi membuat kami tak enak hati untuk
terus berdiam di kedai Hassan. Hassan pun
mengirim tanda dia tak bisa menemani kami
berbincang-bincang terlalu lama. Kopi Aljazair
buatannya kami seruput hingga habis, lalu kami
berpamitan kepadanya. Begitu kami keluar dari kedai Hassan, suasana
pagi hari yang sebenarnya semakin terlihat. Kafe
dan kedai makan mulai menggelar kursi-kursi santai
di pelatarannya. Semua siap menerima tamu yang
ingin menikmati cahaya matahari yang
menyehatkan. Suara petikan gitar spanyol sayup-sayup
terdengar dari berbagai penjuru kompleks Mezquita.
Selain suara penyanyi jalanan, ada juga suara dari
kaset yang diputar di restoran. Lalu lalang manusia
yang keluar dari rumah-rumah susun bercorak sama
menambah semarak Cordoba pada pagi hari. Mereka
tampak sangat bersemangat bekerja karena tim
nasional mereka berhasil masuk ke semiinal Piala
Dunia. Lalu, terbelalaklah mata kami. Ternyata banyak
juga kedai-kedai lain yang menggantung paha babi,
seperti kedai Hassan. Daging babi yang
menggelantung ini merupakan pemandangan yang
paling wajar kulihat di Spanyol berhari-hari
kemudian. 253 38 254 Pukul 10, aku dan Rangga memutuskan untuk masuk
ke Mezquita saat lonceng berbunyi berdentangdentang. Begitu kami menginjakkan kaki ke
kompleks Mezquita, sebuah kolam dengan pancuran
berundah-undak adalah keindahan yang pertama
kami lihat di Masjid Katedral ini. Air mancur di
pelataran masjid, seperti yang kulihat di Masjid
Paris, namun ukurannya jauh lebih besar. Airnya
yang melompat-lompat dari ujung pancuran seperti
menyapu dahaga kami dari panasnya matahari.
Patio de los Naranjos nama pelataran itu.
Pelataran yang dipenuhi pohon-pohon jeruk yang
musim panas ini mulai menggelantung buahnya.
Keteduhan kurasakan di pelataran masjid. Pohonpohon jeruk ditanam sangat teratur, satu sama lain
sama jaraknya. Sepertinya dulu pelataran terbuka di
masjid ini merupakan halaman yang diperuntukkan
bagi jemaah masjid yang ingin berelaksasi, bertukar
pikiran, saling bertaaruf dalam keteduhan masjid.
Pastilah pelataran ini juga digunakan untuk
jemaah shalat hari raya, tiap akhir puasa dan pada
Hari Qurban. Sebuah rasa dan fantasi yang begitu
saja membayang dalam otakku. Sebuah fantasi
tentang bagaimana Mezquita berfungsi layaknya
"mezquita" yang sesungguhnya.
Bagiku, Mezquita ini tetaplah sebuah tempat
yang agung. Meskipun secara isik dia bukan lagi
rumah ibadah bagi agamaku. Sejarah memang telah
terjadi, mengubahnya menjadi tempat lain yang
sama sekali berbeda. Tapi, bagiku sendiri tempat
ibadah ini tidak pernah berubah, sampai kapan pun
tetaplah masjid. Aku membawa mukena putih dalam tas kecilku,
yang sudah jauh-jauh hari kusiapkan. Ada sebersit
harapan aku bisa mengembalikan sedikit cahaya
Cordoba pada masa lalu ke masa kini. Aku ingin
shalat di Mezquita. Kami segera menuju loket pembelian tiket masuk
Mezquita, 16 Euro untuk berdua. Sejurus perasaan
janggal hinggap, karena baru kali ini kami harus
membayar tiket untuk bisa masuk "masjid".
Setelah menggenggam tiket di tangan, kami pun
mengantre di depan pintu masuk Mezquita. Antrean
di depan gerbang hari ini tak terlalu ramai oleh turis
mancanegara. Dialog dalam bahasa Spanyol lebih
mendominasi, menunjukkan turis domestik Spanyol
juga berdatangan ke situs sejarah Islam ini.
255 256 Aku menatap orang-orang di barisan depan dan
belakangku, sebagian besar turis bule. Lalu aku
menyadari sesuatu"hanya aku yang mengenakan
kerudung. Petugas museum yang berdiri di pintu
utama Mezquita itu terus memandangiku.
Pandangan matanya sekali-kali dilempar ke arahku
dari fokusnya mengamati satu demi satu peziarah
yang masuk ke gedung utama Mezquita. Saat aku
dan Rangga sampai di depannya, hanya satu kalimat
yang dia ucapkan sambil menggerak-gerakkan
tangannya mengelilingi wajahnya"menggambarkan
kerudungku. "No praying, please...."
Harapanku pun pupus sudah. Rangga hanya bisa
menepuk-nepuk bahuku, membesarkan hatiku yang
bersedih karena gagal shalat 2 rakaat di Mezquita.
39 Masjid Nabawi di Madinah. Hanya releksi bangunan
megah itulah yang tebersit ketika aku dan Rangga
akhirnya masuk ke Mezquita. Aku percaya Mezquita
pernah menjadi masjid terbesar pada masanya.
Pilar-pilar dalam bangunan seluas 24.000 m 2 itu
mengingatkanku pada gaya bangunan yang sama di
Nabawi. Pilar-pilar penyangga Mezquita itu
beraksen merah dan putih, ada ukiran dan pahatan
yang sangat indah di bagian atasnya"antarpilar
dihiasi lengkungan yang sangat khas. Di tengah
setiap blok yang terbentuk dari 856 pilar itu
terdapat lampu-lampu gantung dengan tali yang
menjulur panjang dari atap yang sangat tinggi.
Sejauh mata memandang, pilar-pilar ini seperti
ribuan pohon palem yang ditanam berjajar dengan
sangat teratur. Aku mendapati pilar-pilar ini begitu
kokoh dan sejuk bila disentuh.
"Aku yakin, perluasan dari Nabawi pada zaman
257 258 modern pasti meniru Mezquita," ujar Rangga
menganalisis. Ada perasaan aneh yang tiba-tiba menyergap
sekujur tubuhku. Seperti kebiasaan yang seharusnya
kulakukan sebelum memasuki masjid: melepas sepatu
dan sandal. Tapi itu tidak kulakukan. Karena memang
aku tidak diperbolehkan melakukannya.
Lantai marmer yang kuinjak dengan sepatuku itu
pastilah dahulu tertutup oleh gelaran permadani
yang sangat indah dari satu ujung ke ujung lainnya.
Lalu gelaran-gelaran permadani yang berbaris-baris
itu "seharusnya" tersatukan oleh mihrab. Tempat
sang imam shalat. Menuju satu orientasi, Kakbah.
Dari kejauhan kulihat mihrab itu. Tapi mihrab itu
tak bebas lagi. Dia dibatasi jeruji-jeruji yang
memisahkannya dari pengunjung masjid.
Memisahkanku dengan pusat masjid ini....
Suara koor yang menggema mengambil alih
kesadaranku. Suara nyanyian puja dan puji yang
sangat ritmis terdengar dari sebuah bangunan yang
berdiri di tengah-tengah masjid. Bangunan itu
sangat artistik. Penuh dengan ukiran dan juga
pahatan. Namun, gayanya berbeda dari gaya ukiran
dan relief yang meningkahi pilar dan atap masjid.
Bangunan di tengah itu penuh dengan logam
berwarna keemasan. Dia seperti mencari perhatian
dari setiap pengunjung di Mezquita.
Letaknya yang di tengah masjid pastilah
membuat siapa saja terpana akan kemegahannya.
Dia seperti berkata "akulah inti bangunan ini
sekarang, bukan mihrab itu". Dia seperti bagian
yang terpisah dari masjid secara keseluruhan, meski
bertengger tepat di tengah-tengahnya. Bangunan
itu adalah "dunia" yang berbeda.
Suara nyanyian dari bangunan itu lagi-lagi
mengingatkanku akan sesuatu. Masjid ini sudah
berubah menjadi gereja. Dan bangunan yang
terpatri di tengah itu adalah tempat ibadah yang
baru, altar gereja yang setiap waktu menggelar misa
dan kebaktian. Ambiguitas tiba-tiba menyeruak ke dalam aura
bangunan ini. Seperti krisis identitas. Aku bingung
harus memanggilnya apa. Dan tiba-tiba aku merasa
"kehilangan" lagi.
Satu demi satu orang yang berada di altar tadi
keluar. Misa telah selesai dilaksanakan. Aku dan
Rangga tepekur di bawah salah satu tiang masjid di
antara lalu lalang manusia yang berhamburan dari
altar dan turis-turis yang lebih bebas
mengekspresikan kekagumannya terhadap Mezquita
usai misa. Suara mereka bercakap-cakap dan senda
gurau mereka dalam masjid lebih terdengar usai
keheningan yang menyelimuti misa barusan.
Aku dan Rangga masih terduduk di lantai
Mezquita. Termangu melihat keindahan Mezquita.
Kami perhatikan detail-detail yang ada di atap"
ukir-ukiran kaligrai Arab"yang menunjukkan
betapa terampil pembuatnya.
259 260 Kami memandang dengan saksama ukiran-ukiran
yang terpotong di sana-sini, sudah tak utuh lagi.
Ada "luka" di sana. Sebuah luka yang sengaja
digoreskan. Tadinya kaligrai Arab itu pastilah
kalimat-kalimat yang bersenandung. Kalimat yang
memberi ruh untuk masjid ini. Kalimat-kalimat suci
dari Al-Qur"an.... Ukiran-ukiran yang indah itu atas nama sejarah
harus dicongkel dan dihapus. Kami melihat "usaha"
itu. Terlihat dari sisa-sisa ukiran kaligrai yang
mungkin belum sempat tercongkel di sepanjang
pilar masjid. Lagi-lagi aku hanya bisa menerima.
Tempat ini berhak mengubah dirinya. Berhak
menghilangkan identitas aslinya. Karena memang
dia adalah gereja yang tak memerlukan kalimatkalimat indah itu.
40 "Up.... Up, please...."
Petugas Mezquita memberi tanda kepada kami


99 Cahaya Di Langit Eropa Menapak Jejak Islam Di Eropa Karya Hanum Salsabiela Rais Dan Rangga Almahendra di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

untuk bangkit. Kami tidak boleh duduk-duduk di
dalam Mezquita. Satu-satunya tempat yang boleh
diduduki adalah bangku-bangku sambung dari kayu
yang ada di dalam altar gereja. Kecuali itu, semua
orang harus berdiri dan terus berjalan.
Kami pun beranjak menuju pusat asli Mezquita.
Saat itu kami sadar, petugas tadi terus mengawasi
gerak-gerik kami. Aku paham, kerudung sederhana
yang kukenakan inilah penyebabnya.
Mihrab yang "terlantar" itu justru menjadi pusat
daya tarik kami. Tampaknya mihrab ini menjadi situs
tersendiri dari keseluruhan Mezquita. Jerujinya yang
tinggi tak menghalangi keinginan banyak
pengunjung mengabadikan gambar dari sela-sela
jeruji. Termasuk kami berdua. Kami menjepret
sebanyak mungkin gambar mihrab. Karena hanya di
261 mihrab itulah kami menyaksikan dengan jelas
tulisan dari ukiran yang paling utuh. Tulisan "Allah"
dan "Muhammad".
Ukiran berwarna kuning dan hitam itu
bersambung-sambung. Aku dan Rangga terpana.
Kedua tangan kami menggengam erat jeruji. Mata
kami tak berpaling dari tulisan-tulisan Arab itu.
Tiba-tiba hatiku berdesir, jiwaku luruh, permukaan
kulitku merinding. Hatiku seperti berontak kuat
menghadapi realitas dalam bangunan ini. Adakah
yang bisa mengatakan padaku...ini bukan gereja...ini
masjid" Tak terasa mataku basah oleh air mata.
262 " " "Ehem...ehem"."
Petugas yang terus menguntit aku dan Rangga
tadi berdehem-dehem di dekat posisi kami berdiri.
Hanya sekitar 3 meter dari depan mihrab tempat
kami masih memandangi tulisan-tulisan kebesaran
Ilahi. Aku menoleh kepadanya. Dia tersenyum manis
kepada kami. "Kalian dari mana?"
"In...do...ne...sia," jawab Rangga pelan dan jelas
agar tak ada lagi kesalahpahaman tentang asal
muasal kami, seperti yang tadi terjadi dengan
Hassan. "Wah, jauh sekali. Kalian ke sini hanya untuk
melihat tempat ini?" tanyanya terheran-heran. Aku
ingin menjawab ya dan tidak. Mengingat kami
datang dari Wina bukan langsung dari Jakarta,
tetapi bagaimanapun juga kami tetaplah orang
Indonesia. Ada raut keheranan dari petugas itu"
begitu niatnya orang Indonesia terbang ke Spanyol
"hanya untuk melihat" Mezquita"
Kenapa tidak" "Ya," jawabku begitu saja. "Bagi kami, Mezquita
adalah situs sejarah yang sangat penting. Untuk itu
kami jauh-jauh datang ke sini," lanjutku. Seperti ada
perasaan bangga membela diri terbang ke Spanyol
demi menyaksikan Mezquita.
"Kau muslim ya.... Banyak sekali muslim yang
datang ke sini. Sayang ya, sekarang sudah menjadi
gereja," ujar petugas itu sambil mengarahkan
matanya ke mihrab. Aku mengangguk tanpa arti.
Aku masih belum paham mengapa dia tiba-tiba
mendekati kami. Mungkin dia tadi menyaksikanku
meneteskan air mata beberapa lama di depan
mihrab, lalu dia kasihan kepadaku.
"Sebenarnya jika diperbolehkan, aku ingin
sembahyang 2 rakaat saja di sini," kataku tiba-tiba.
Aku merasakan seperti ada dorongan dari dalam
hatiku untuk mengungkapkannya kepada petugas itu.
Rangga segera menyenggol bahuku. Dia khawatir
sesuatu akan terjadi. Petugas itu menggeleng-gelengkan kepalanya
berkali-kali. Aku sudah mengantisipasi hal itu.
263 264 Shalat di dalam Mezquita takkan pernah terjadi.
Petugas itu punya kewajiban mengawasi dengan
ketat setiap turis yang berusaha melakukan
peribadatan lain selain peribadatan Kristen. Dan
mau tak mau dia harus tunduk pada kewajiban itu.
"Beberapa waktu yang lalu terjadi insiden. Ada
kelompok turis Austria yang shalat di sini. Mereka
lalu bersitegang dengan salah seorang kolegaku.
Sampai ke polisi segala. Hal seperti itu terlalu sering
terjadi. Maaf, aku tak bisa mengizinkanmu
melakukannya...." Petugas itu kemudian berlalu meninggalkan
kami. Dia tak pernah tahu bahwa aku dan Rangga
juga terbang dari Austria.
Aku berdiri mematung memegang erat tas
mukenaku. Ada pergulatan hebat dalam diri. Antara
ingin bershalat di Masjid Agung ini dengan
konsekuensi yang akan kuhadapi setelah itu.
Namun, hati nuraniku membisikkan sesuatu.
Untuk apa memaksakan sesuatu yang lebih besar
mudharatnya daripada manfaatnya"
Aku berusaha mengalah dan menerima kenyataan
sejarah ini. Dan aku yakin, sikap mengalahku ini
akan lebih baik di mata Tuhan dibanding pemaksaan
kehendakku untuk "sekadar" shalat dua rakaat,
namun mengakibatkan ketegangan.
Aku dan Rangga kembali memandangi mihrab
yang menjadi korban sejarah itu.
Ada sedikit rasa senang, setidaknya ada orang
Spanyol yang bisa menyelamatkan bagian
terpenting dari masjid ini dari serangkaian usaha
untuk menguburkannya. Seakan mereka tahu bahwa
bangunan ini pada masa depan akan menjadi releksi
bagi banyak orang pada ratusan tahun berikutnya.
Termasuk bagiku dan Rangga. Releksi akan
kejayaan peradaban Islam sekaligus kejatuhannya.
Sebuah grand mosque yang kemudian menjadi grand
cathedral. Arah menuju kiblat di Mekkah itu telah
diubah sejarah mengikuti arah katedral yang
berkebalikan. Sungguh, aku tahu tidak ada niat sejarah untuk
menunjukkan siapa mengalahkan siapa. Atau siapa
lebih kuat daripada siapa. Namun, tak bisa
dimungkiri, bagiku dan bagi umat Islam di dunia,
sejarah bangunan ini memang sangat menyakitkan.
Tapi mau apa lagi" Ini sudah suratan takdir....
Kami berdua keluar dari Mezquita. Mengucap
salam perpisahan dengan masjid yang telah
memberi keberkahan bagi masyarakat ratusan tahun
yang lalu itu. Marion, Fatma, dan Bapak, akhirnya kami
mengunjungi Mezquita.... Di pintu keluar menuju taman Patio de los
Naranjos, secepat kilat aku bersujud. Di antara
orang-orang yang juga berangsur-angsur keluar dari
Mezquita. Aku berdoa mengucap Shalawat Nabi seraya
menyelipkan harapan, suatu hari nanti akan ada
265 266 muslim kaya yang dilebihkan rezekinya di dunia ini
bisa membeli kembali situs sejarah ini.
Menjadikannya rumah ibadah bagiku lagi,
merobohkan jeruji-jeruji di mihrab tadi,
mengembalikan kalimat-kalimat utuh yang suci, dan
mengirimkan seorang muazin setiap 5 kali sehari
untuk mengundang shalat dari atas minaret. Namun,
semua itu harus dilakukan tanpa mengusik
keberadaan altar yang menjulang tinggi di tengahtengahnya.... Mungkinkah itu"
Rangga tiba-tiba menepuk-nepuk bahuku. Aku
bangkit dari sujudku yang singkat lalu menengadah.
Lalu kulihat petugas Mezquita tadi berdiri tepat di
depanku, bersedekap tangan sambil
menyunggingkan senyum kecil tanpa arti.
"Stand up please...," katanya pendek.
41 Keluar dari Mezquita, Aku dan Rangga membeli dua
kotak take away Paella, nasi goreng ala Valencia
Spanyol. Perpaduan antara nasi yang digoreng
dengan sedikit air dan daging yang akhirnya
menghasilkan nasi goreng yang "becek".
Rasanya biasa-biasa saja, tak bisa mengalahkan
nasi goreng ala Indonesia yang biasanya kering dan
berbumbu. Namun, Paella yang satu ini untuk
sementara terasa sangat spesial karena kami
menyantapnya tepat di depan Mezquita, di bawah
rerimbunan pohon jeruk Patio de los Naranjos.
Tiba-tiba seorang laki-laki tua menghampiri
kami. Dia menawarkan jasa kepada kami.
"Maaf mengganggu makan siang Anda berdua.
Perkenalkan, namaku Sergio. Aku adalah pensiunan
tour guide Mezquita ini. Well, apakah Anda tertarik
untuk berjalan-jalan di sekitar kota ini?" tanya pria
tua itu. 267 268 "Oh ya, Anda muslim?" tanyanya lagi.
Aku dan Rangga mengangguk. Ini adalah
kesekian kalinya pada hari yang sama kami ditanya
apakah kami muslim. Agaknya kerudung sederhana
yang kupakai itulah yang memicu semua pertanyaan
itu. "Saya mempunyai banyak tetangga muslim di
Toledo, tempat kelahiran saya. Mereka sangat taat
beragama. Tidak seperti yang digambarkan media
Eropa tentang muslim radikal yang dekat dengan
kekerasan," ucap laki-laki itu berusaha menarik
simpati kami. "Oh ya, aku mengajukan penawaran, 30 Euro
selama 2 jam untuk Anda berdua. Saya akan
mengajak Anda keliling kota dan membagi ceritacerita sejarah tentang kota ini. Bagaimana?"
Kami melihat suasana di sekeliling kami. Agaknya
Sergio bukan satu-satunya orang yang mendekati
para turis dan mengiming-imingi pelayanan tur
keliling kota. Keliling kota dengan berjalan kaki di
bawah terik matahari. Kami menyaksikan orangorang tua seumur Sergio yang juga aktif menjajakan
jasanya kepada para turis lain.
Sungguh aku terkejut, semangat orang-orang tua
ini tak padam demi mencari uang tambahan, meski
sebenarnya mereka mendapatkan dana pensiun dari
pemerintah. Persis seperti orang tua di Museum
Kota Wina. Sebenarnya kami sudah punya rencana untuk
menjelajah sendiri kota Islam kuno ini seusai makan
siang. Dengan berbekal buku Lonely Planet sebagai
tour guide kami. Tapi terkadang, banyak
pengetahuan dan rahasia-rahasia cerita yang tak
terbagi jika hanya mengandalkan buku panduan
wisata. Entah mengapa, aku punya irasat bahwa Sergio
bisa membagi cerita-cerita yang jauh lebih menarik
daripada info dari buku wisata. Dan 30 Euro untuk
berdua" Itu adalah harga yang sangat wajar, bahkan
sangat murah untuk membayar seorang guide yang
tahu sejarah kota ini. "Deal! Kami tertarik. Kita berangkat sekarang!"
seru Rangga. Kami memacu kecepatan menyantap makan
siang. Paella ini menjadi terkalahkan rasanya
dengan semangat kami untuk berburu cerita-cerita
di balik keagungan Cordoba pada masa lalu.
" " "Ekskursi yang akan kusampaikan di perjalanan kita
ini tidak akan kubesar-besarkan hanya untuk
menyenangkan kalian tentang kebesaran Islam pada
masa lalu. Dan juga tak akan kubumbui agar kalian
merasa sedih mengapa Islam harus jatuh di bumi
Spanyol ini. Aku sangat menghargai sejarah kota ini
dan tentu saja aku berusaha jadi guide yang terbaik
untuk kalian," ucap Sergio membuka perjalanan tur
269 270 berjalan kaki ini, sejurus dengan langkah kaki kami
yang resmi meninggalkan kompleks Mezquita.
"Mezquita Cordoba. Aku sebenarnya berharap
bangunan ini dijadikan museum saja. Seperti
bangunan Hagia Sophia Turki. Jadi semuanya adil.
Tidak ada satu pun yang dijadikan rumah ibadah.
Apalagi Mezquita jadi kurang komersial, tidak
seperti Hagia Sophia. Aku yakin kalau bangunan ini
dijadikan museum, pasti orang-orang muslim seperti
kalian akan lebih banyak datang ke sini. Dan itu
artinya lebih banyak pemasukan untuk kota
Cordoba. Dan tentu saja, lebih banyak juga uang
yang bisa kukumpulkan dari mengantar para turis
keliling kota," ucap Sergio sambil tertawa-tawa
sendiri. Kami melewati sebuah belokan di dekat pintu
masuk yang menghubungkan Mezquita dengan
kehidupan di jalan. Begitu melewati belokan itu, aku
bisa melihat menara Mezquita, minaret masjid ini
tepatnya, yang subuh tadi kutatap penuh
kekhidmatan. Siapa pun pasti dengan mudah mengira


99 Cahaya Di Langit Eropa Menapak Jejak Islam Di Eropa Karya Hanum Salsabiela Rais Dan Rangga Almahendra di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bangunan tinggi itu adalah menara masjid. Namun,
lonceng dan salib logam di pucuk menara itu
mencoba berkata lain. Yang membuatku penasaran, pintu menara itu
dikunci rapat-rapat dengan belitan rantai-rantai
besar. Di tempat-tempat lain, menara atau minaret
selalu menjadi salah satu objek yang digemari untuk
dinaiki pelancong. Bahkan untuk menaikinya
diperlukan tiket khusus. Semua berlomba-lomba
mendapatkan view indah kota dari ketinggian. Tapi
dasar menara ini" Seperti ada yang ditutup-tutupi.
Menara ini memang sudah tidak berfungsi sebagai
minaret, melainkan untuk menggoyangkan lonceng
katedral. "Sudah ada 2 orang yang melakukan bunuh diri
dari menara ini beberapa waktu lalu. Karena itu,
akhirnya pintunya dipalang seperti ini," ucap Sergio
menjawab rasa penasaranku.
Agaknya orang bunuh diri tak mengenal tempat.
Dan tak ada yang bisa mencegah orang-orang
depresi bunuh diri, tak terkecuali rumah ibadah
seperti Mezquita yang memancarkan cahaya-cahaya
religius ini. "Selamat datang di ibu kota dan ibu sejarah
peradaban ilmu pengetahuan dan keharmonisan
antarumat beragama!" ucap Sergio sambil
merentangkan kedua tangannya seperti MC, si
pemandu acara. Dari caranya mengawali tur ini, aku
langsung yakin Sergio memang benar-benar tour
guide profesional. Kami berjalan berdampingan
menapaki jalan yang terbuat dari lapisan batu kotak.
Tak terasa, kami pun semakin menjauhi Mezquita.
"Kalian adalah umat beragama yang patut
berbangga. Dari Cordoba inilah sejatinya Eropa
maju seperti sekarang. Bukan hanya karena transfer
ilmu pengetahuan, namun lebih daripada itu.
271 272 Transfer nilai-nilai keharmonisan hidup antarumat
beragama. Semuanya dirayakan di Cordoba ratusan
tahun lalu." Sergio lantas menghela napas.
Sepertinya redaksi penyambutan seperti ini sudah
dia hafal di luar kepala.
"Ada sebuah mata rantai yang putus antara
peradaban kuno Yunani dan Romawi dengan
peradaban Eropa Renaissance. Eropa dalam Masa
Kegelapan seperti hendak memutuskan diri dari
tradisi pengetahuan yang telah dibangun sejak era
Socrates, Plato, dan Aristoteles. Cordoba adalah
jembatan yang menyelamatkan tradisi itu. Dia yang
mempertemukan Eropa dengan akarnya, dan tidak
bisa tidak, Cordoba turut andil menjadikan Eropa
seperti sekarang ini. "Hmm...kalian muslim, kan ya...sekali lagi aku
tidak percaya muslim itu seperti para fundamentalis
Arab. Kau tahu, aku ini sejarawan dan aku yakin
muslim yang seharusnya itu seperti pemimpin dan
orang-orang Cordoba zaman dahulu...."
Kami tergoda mendengar kata-kata Sergio"
muslim yang sesungguhnya. Sergio membuat kami
bertanya-tanya seperti apakah muslim yang
sesungguhnya itu. Hanya kata-kata Fatma dulu yang
bisa menjelaskannya lagi. Menjadi agen muslim
yang baik, yang menebarkan nilai-nilai kemanusiaan
dan perdamaian"tampaknya penjelasan inilah yang
tepat menggambarkan seperti apa muslim yang
sesungguhnya itu. "Memangnya seperti apa penggambaran muslimmuslim dahulu itu?" tanya Rangga. Sergio berhenti
berjalan. Dia memandang kami berdua, lalu
memandang Mezquita dari kejauhan.
"Hmm...kalian sudah melihat mihrab di
Mezquita" Ada yang aneh dari mihrab itu," ungkap
Sergio. Dia seperti tidak memfokuskan pikiran pada
pertanyaan Rangga. "Tentu saja. Mihrab adalah hal yang paling
menarik di Mezquita bagi kami umat muslim.
Memangnya apa yang istimewa dengan mihrab itu"
Kecuali ya tentu saja dia sudah dipagari terali besi.
Adakah yang kami lewatkan?" tanya Rangga penuh
selidik. "Arah mihrab itu tidak sepenuhnya menghadap
kiblat kalian di Mekkah. Seharusnya mihrab itu
dibangun sedikit miring ke tenggara. Tapi mihrab
yang satu itu terlalu lurus ke selatan...jadi tidak
menghadap apa pun," ujar Sergio dengan kata-kata
yang membuat kami sedikit "terusik".
"Itu tidak disengaja...mungkin saat itu belum
ditemukan cara untuk mengetahui secara persis arah
tenggara," kataku berusaha "membela" posisi
mihrab Mezquita. "Bukan demikian. Penguasa saat itu, Sultan Al
Rahman, sangat menyadarinya. Dia memang sengaja
membuatnya begitu. Karena"nah, ini ada
hubungannya dengan bagaimana Cordoba bisa
menyandingkan orang-orang yang berbeda
273 274 keyakinan dengan begitu indah"di sebelah masjid
ada gereja yang sudah terlebih dulu berdiri di situ.
Jika memaksakan Mihrab ke arah tenggara, mau tak
mau gereja kecil itu harus dirobohkan. Sultan tak
mau melakukannya," jawab Sergio sambil
mengangkat bahunya singkat.
Aku mengangguk-angguk. Aku tiba-tiba merasa
sangat cocok dengan Sergio. Meskipun dia bukan
muslim, aku merasa apa yang dia katakan tidak
bermaksud hanya menyenangkan kami sebagai
"tamu"-nya. Aku tahu Sergio akan berkata jujur dan
tidak mengada-ada karena itu memang fakta. Hatiku
mulai tergugah, mulai mendapatkan ruh dari kota
masa lalu ini setelah mendengar penjelasannya tadi.
Betapa Islam sangat menghormati pemeluk agama
lain. "Dan kalian tahu, meski mihrab itu dibangun ke
selatan, pada praktiknya orang-orang tetap shalat
sedikit menyerong ke tenggara. Sehingga esensi
arah kiblat ke Mekkah itu tak tergadaikan begitu
saja hanya karena letak dinding gereja itu. Kukira
cara berpikir Al Rahman ini sangat bijaksana," ucap
Sergio sambil tersenyum-senyum.
Ide yang begitu brilian, menurutku. Betapa Al
Rahman melegakan kedua kepentingan yang
berbeda tanpa harus memusnahkan salah satunya.
Dia tak harus melukai keimanannya dan juga tak
harus melukai perasaan warganya yang Kristen.
Kali itu aku berpikir-pikir tentang begitu
banyaknya sengketa dan konlik horizontal yang
sering terjadi di Indonesia atas dasar agama.
Sungguh manusia itu hanya kurang berpikir untuk
mencari jalan keluar yang menenangkan dan
melegakan kedua belah pihak. Manusia terlalu ingin
terlihat mulia dan setia di hadapan Tuhan dengan
membela mati-matian apa yang dianggap benar di
mata Tuhan. Padahal, belum tentu Tuhan
berkenan.... Kami berjalan menuju perkampungan di dekat
Mezquita. Perkampungan itu tampak khas. Aku
melihat orang-orang berpakaian seperti perempuan
housekeeper di penginapan kami tadi pagi. Sergio
akhirnya memberi tahu nama perkampungan itu:
Juderia"kompleks orang-orang Yahudi. Sebuah
sinagog yang sepertinya sudah tak terawat berdiri di
tengah-tengahnya. "Perkampungan ini sudah ada sejak dulu kala,"
kata Sergio menambahkan. "Ini juga sebuah bukti sisa-sisa kota yang
menjadi pelindung setiap jiwa yang berkeyakinan
akan Tuhan. Kalian tahu...betapa Islam, Kristen, dan
Yahudi berada dalam ruang suka cita di negeri ini.
Untuk beberapa lama. Urusan siapa yang benar dan
siapa yang salah dengan keyakinan mereka itu
tidaklah penting. Biarlah nanti setelah ajal
menjemput terbukti sendiri siapa yang benar dan
siapa yang salah. Selagi di dunia, kita tidak
mengurusi hal semacam itu. Kehidupan sosial saat
275 276 itu lebih mengedepankan persamaan yang bisa
mempersatukan mereka, di atas perbedaan yang
ada. Coba tebak apa yang membuat Cordoba begitu
gemilang saat itu.... Tahukah kalian apa yang
membuat mereka bisa hidup bersanding dengan
sikap saling menghargai?" pancing Sergio.
Kami berusaha memikirkan jawabannya. Lalu
terbetik dalam pikiranku bahwa hanya ada satu hal
yang membuat kehidupan manusia menjadi lebih
istimewa dibandingkan dengan makhluk lain.
"Semangat untuk mendapatkan kehidupan yang
lebih baik, yang lebih sejahtera, dan yang ..."
"Dan itu adalah akal dan ilmu pengetahuan,"
sahut Sergio memotong jawabanku.
Kami berjalan melewati pasar tradisional kecil
yang dipenuhi jualan atribut tim nasional Spanyol.
Mulai dari kaos, syal, sepatu, ikat kepala, handuk,
bola, hingga poster-poster pemain sepak bola.
Mereka semua menutupi dagangan asli kios suvenir
di pasar itu, yaitu pernak-pernik Mezquita dan
patung-patung Yesus dan Bunda Maria. Mataku
tertumbuk pada barang-barang lain jualan kios itu,
tulisan kaligrai Allah dan Muhammad seperti di
mihrab. Kaligrai itu untuk sementara juga bernasib
sama, ditindih gambar David Villa, Fernando Torres,
dan Iker Casillas. Semua ini mengingatkanku pada
kegilaan Gomez tadi malam. Tentang keyakinannya
bahwa Tuhan selalu ada, dengan catatan Spanyol
menang dalam setiap pertandingan. Jika Spanyol
kalah, Gomez tak yakin Tuhan bersamanya. Aku
tersenyum sendiri mengingat semua parodi itu. Ada
rasa bersyukur Spanyol menang dalam pertandingan
tadi malam. Setidaknya kemenangan itu membuat
Gomez dan mungkin jutaan orang Spanyol lain yakin
bahwa Tuhan memang "ada".
"Cordoba time adalah Masa Terang yang membuat
orang-orang Eropa iri setengah mati. Bagaimana
tidak, mereka bergelut dengan kegelapan peradaban
setelah kejatuhan kekaisaran Romawi. Dan selama
kurang lebih 1.000 tahun, dogma gereja menjadi
pengekang utama intelektualitas manusia,
melahirkan kemunduran yang luar biasa bagi
perkembangan pengetahuan. Atas nama Tuhan,
mereka menganggap semua tindakan dan pemikiran
gereja adalah sumber kebenaran. Gereja harus
mengatur semua sendi kehidupan, termasuk siapa
yang harus memimpin suatu daerah atau berapa
besar pajak yang harus dibayar rakyat," ungkap
Sergio panjang lebar. "Eropa menjadi sangat religius waktu itu. Tapi
religius yang membabi buta sehingga tak berani
berbuat apa-apa. Takut dosa. Dan kalian tahu
sekarang, agama apa yang paling besar dipeluk di
Eropa ini?" Sergio menatap kami berdua. Kami menggeleng.
Seharusnya pertanyaan ini mudah dijawab: Katolik
dan Kristen. Tetapi mengapa dia harus bertanya"
"Ateisme dan sekulerisme," jawabnya pendek.
277 278 Aku tiba-tiba tersadar, Eropa kini sedang dilanda
gelombang ateisme yang tidak percaya lagi pada
gereja. Aku pun teringat Stefan, juga sebagian besar
kawan Rangga di kampus. Mereka adalah orangorang yang tak ingin terkekang hegemoni agama.
Mereka seperti mengalami trauma berkepanjangan
akan masa lalu. Seakan-akan ratusan tahun
kemudian, trauma itu tetap tak bisa diobati. Lalu
mereka membalas dendam dengan berkata dan
berkeyakinan bahwa "agama hanya bersifat
memporak-porandakan segala sesuatunya".
Kepercayaan diri manusia yang kebablasan karena
merasa sakit dan tersakiti oleh agama.
"Seorang utusan dari kerajaan Eropa pernah
datang ke Cordoba. Kau tahu, dia begitu terkesima
melihat banyaknya cahaya yang keluar dari kota ini
dari kejauhan. Karena di Eropa sana, kegelapan
dalam arti sebenarnya tengah terjadi. Tidak ada kota
lain di Eropa yang jalannya demikian terang
benderang oleh lampu minyak, selain di Cordoba...."
Sergio terus memberi penjelasan kepada kami
tanpa mampu kami tanggapi. Kami benar-benar
merasakan misteri Eropa di Cordoba. Kami sangat
menikmati penjelasan Sergio.
Kami berjalan terus menuju jembatan bernama
Puente Romano. Jembatan panjang yang terbuat
dari batu bata putih ini pada setiap 10 meternya
disangga oleh kaki penyangga. Tonggak landasannya
besar dan kokoh. Aliran deras Sungai Guadalquivir
bergejolak di bawahnya. Jembatan ini menghubungkan dua daratan
Cordoba, antara pusat kota dengan perumahan
penduduk. Jembatan inilah yang digunakan sebagai


99 Cahaya Di Langit Eropa Menapak Jejak Islam Di Eropa Karya Hanum Salsabiela Rais Dan Rangga Almahendra di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jalan masuk ke kota Cordoba. Kami berjalan hingga
mencapai tengah-tengah jembatan, saat Sergio
kemudian berhenti. "Jembatan ini begitu legendaris. Lebih tua
daripada Mezquita. Dibangun pada 1 Masehi oleh
seorang jenderal Romawi. Tadinya tidak sebaik ini,
hanya jembatan gantung. Jembatan ini lalu
diperbaiki oleh Sultan dan seterusnya hingga kini.
Saat memasuki jembatan inilah pembuatan
Mezquita itu tercetus. Lihatlah Mezquita jauh di
sana...sangat cantik, bukan" Sultan melihat
Mezquita dengan angan-angannya dari jembatan ini.
Dan dia memang benar-benar cantik setelah
dibangun. Di jembatan ini pulalah masyarakat
sering berkumpul, menikmati aliran sungai sambil
memercikkan ide dan kreativitas. Kalian lihat di
sana, ada sebuah kincir air. Kincir air tua. Memang
tidak dipakai lagi, tapi itu bukti kreativitas
masyarakat saat itu. Mereka membangun sumber
tenaga untuk kehidupan sehari-hari."
Belum sempat kami mengamati kincir air itu,
Sergio tiba-tiba berbalik arah. Dia tidak mengajak
kami melanjutkan perjalanan ke ujung jembatan.
Dia sepertinya sadar panas siang itu membuat kami
279 280 tak bisa tahan dengan keringat yang bercucuran.
Termasuk juga membuat tubuh tuanya kepayahan.
Kami kembali ke arah Mezquita melalui jalan sempit
lain yang dipenuhi bunga-bunga kota. Lalu di
pinggir jalan itu terdapat patung setinggi dinding
Mezquita. Pinggir yang lain berupa deretan kafe dan
restoran dengan patung seseorang di depannya.
Patung itu dikerumuni banyak turis yang mengantre
berfoto di sana. Kami berhenti di depan patung itu
sambil ikut mengantre di belakang para turis
lainnya. "Eropa saat ini sangat menjunjung tinggi nama
besarnya. Dia Averro?s atau Ibnu Rushd. Filsuf
terkenal dari Cordoba. Dia yang memperkenalkan
the double truth doctrine, dua kebenaran yang tak
terpisahkan antara agama dan ilmu pengetahuan
atau sains. Sayang karena trauma agama, kini
manusia Eropa hanya percaya yang terakhir, sains
sebagai sumber kepercayaan. Entahlah, aku yakin
bukan seperti itu keinginan Averro?s," ucap Sergio
menunjuk sosok patung yang sangat berwibawa itu.
Aku memandang patung Averro?s yang
berukuran sekitar 7 kaki. Aku teringat Marion yang
pernah bercerita banyak tentangnya. Ide-ide sosok
manusia di depan kami inilah yang diadopsi Paris.
Dan dari kota itulah paham Averro?s berkembang.
Filsuf yang sangat disegani orang Barat ternyata
adalah seorang muslim taat dari Cordoba,
Andalusia. "Pada Era Kegelapan Eropa, tidak ada yang
pernah berpikir tentang ilmu pengetahuan. Mereka
dipaksa untuk meyakini kebenaran agama mentahmentah, tanpa kebebasan menggunakan akal
mereka. Averro?s sangat paham bahwa salah satu
kewajiban manusia hidup di dunia ini adalah untuk
berpikir. Sehingga jika hal ini dikekang, diberangus,
berubahlah dia menjadi bom waktu yang
mematikan. Itulah mengapa Averro?s disebut
sebagai Bapak Renaissance orang Eropa."
Aku terpana melihat Averro?s. Sergio benar, yang
ditekuni sebagian besar bangsa Eropa kini adalah
kebenaran yang kedua saja, sains. Sains dipuja-puja
karena era agama terlalu lama bertahta dalam
kehidupan manusia. Bom waktu itu kini benar-benar
terjadi. Sains dan agama di Eropa telah berkembang
secara sepihak dalam zaman dan ruang yang
berbeda, padahal seharusnya mereka berdua tinggal
dalam waktu dan ruang yang sama. Jika dulu doktrin
agama dipaksa memberangus pengetahuan, kini
seolah giliran pengetahuanlah yang berkesempatan
memberangus agama. Keduanya bagaikan kutub
yang tak pernah akur di Eropa ini.
Sejenak kemudian aku dan Rangga sudah berdiri
tepat di bawah patung Averro?s. Kami memegang
kaki Averro?s yang semakin memudar warnanya
dibanding bagian lainnya.
Kewajiban manusia untuk berpikir. Tiba-tiba katakata Sergio tentang pemikiran Averro?s itu menjadi
281 282 begitu bermakna. Sains dan agama. Dua sisi yang tak bisa
dipisahkan begitu saja. Lagi-lagi aku teringat pada
tulisan-tulisan puisi Kuic di Louvre Paris. Betapa
pada awalnya sains sangat menyakitkan, bahkan
untuk para pemuka agama di Eropa saat itu, tatkala
mereka harus menemukan kenyataan bumi bukanlah
pusat segala-galanya. Namun setelah itu, sains
begitu memaniskan hidup kita sekarang ini, bahkan
manisnya mengalahkan madu.
Sejenak kemudian kami meniti jalan kecil penuh
dengan gantungan daging babi yang tadi pagi kami
lewati. Di sekitar jalan itu banyak kafe dan bar yang
menawarkan pertunjukan tari dan lagu Flamenco"
kesenian khas Spanyol yang memadukan lagu dan
gerak tarian, mensyaratkan kemahiran penarinya
dalam mengolah kaki dan mengentakkan sepatu di
lantai. Sebuah gerakan kaki dan sepatu yang
kemudian diimitasi oleh aktris cilik masa lalu,
Shirley Temple, dalam tap dance-nya.
Pertunjukan memang digelar pada malam hari,
namun kami bisa melihat beberapa orang tengah
berlatih di dalam kafe. Suara-suara gitar spanyol
dan penyanyinya terdengar riuh rendah di dalam
sana. Irama dan aliran musik yang"tak bisa
dihindari"sangat kental aroma Arab-nya.
"Kalian tahu, apa yang membedakan gaya
kekhalifahan Cordoba dan kekhalifahan Turki?"
tiba-tiba Sergio memecah keasyikan kami yang
tengah menonton peragaan gratis geladi resik
Flamenco. "Mereka sama-sama imperium yang terbilang
sukses. Bedanya, Cordoba besar karena
masyarakatnya merayakan perbedaan dengan
semangat melahirkan penemuan-penemuan bidang
teknologi, hukum-hukum bermasyarakat, hingga
kesenian musik dan puisi. Termasuk tarian nasional
Spanyol ini," Sergio menunjuk papan reklame yang
memajang gambar penari Flamenco di depan kafe
tadi, "merupakan ciptaan orang Cordoba. Cordoba
bahkan menjadi pusat Islam menggantikan Baghdad
sebagai kiblat peradaban umat selama beberapa
waktu." Pantas, gumamku. Itulah mengapa tarian dan
lagu Spanyol sangat bernuasa Arab.
"Lalu kalau kekhalifahan Turki?" tanyaku.
"Kesultanan Ottoman juga sangat luas. Tapi cara
mereka tidak berbeda dengan cara Romawi, yaitu
ekspansi melalui perang dan senjata. Sama dengan
yang dilakukan sebagian besar imperium masa lalu.
Termasuk imperium kerajaan Spanyol dengan Isabella
dan Ferdinand yang akhirnya menyudahi era
kekhalifan Islam di Cordoba ini. Kau tahu Granada,
kan" Itu adalah kerajaan terakhir yang bertahan di
Iberia ini. Lalu semuanya...tinggal menjadi kenangan."
Sergio menatap kami lekat-lekat. Seolah dia ingin
memastikan kami juga ikut kecewa dengan semua
pertempuran kekuasaan yang tiada henti.
283 284 Aku melirik jam tanganku. Waktu kami di
Cordoba semakin tipis. Perjalanan hari ini harus
kami lanjutkan ke Granada. Sergio tampaknya
menyadari keresahanku, antara ingin meneruskan
ekskursi ini atau bergegas kembali ke hotel untuk
mengejar bus. Aku begitu menikmati ekskursi panduan Sergio.
Dua jam takkan cukup untuk mengungkap betapa
Cordoba pernah menorehkan masa keemasan untuk
Islam. Masa emas yang selama ini selalu didengungdengungkan dalam pelajaran Tarikh Islam dan
menginspirasi banyak orang untuk menghidupkan
kembali masa keemasan di bawah kekhalifahan itu.
"Bueno, dua jam kurang 13 menit. Perjalanan
harus kita akhiri di sini. Oya, apakah kalian akan ke
Granada setelah ini" Biasanya para peziarah muslim
seperti kalian akan ke Granada juga. Di sanalah
semua keindahan dan keharmonisan antara Eropa
dan Islam yang diwakili oleh Cordoba dan Andalusia
berakhir," ucap Sergio saat kami akhirnya sampai di
monumen patung dekat jembatan Puento Romana.
Ya, aku pernah mendengar semua hal tentang
bagaimana akhirnya Islam tersapu dari Cordoba dan
Andalusia. Pertama karena konlik politik antara
pemimpin-pemimpin Islam itu sendiri, kedua karena
hantaman dari luar, kampanye Perang Salib yang
berlangsung hingga ratusan tahun.
Aku menyerahkan tiga lembar 10 Euro kepada
Sergio. Dan sebelum dia meninggalkan kami, aku
bertanya tentang hal yang sangat pribadi untuknya.
Hanya pertanyaan iseng. "Sergio, kau percaya Tuhan?"
Senyum kecil mengembang dari bibir Sergio.
Seperti senyum Gomez tadi malam.
"Apa bedanya aku percaya atau tidak?" tanya
Sergio balik. Dia seperti tidak bergairah menjawab
pertanyaanku. Aku tiba-tiba tersadar pertanyaanku
ini memang tak berkorelasi dengan apa pun. Sergio
telah mendedikasikan dirinya untuk bercerita sesuai
pengetahuannya akan sejarah.
"Begini, aku beragama atau tidak, percaya Tuhan
atau tidak, itu bukanlah masalah. Kalian tahu,
sejarah telah membuktikan, bukan agama yang
membuat perang dan diperangkan di dunia ini,
melainkan nafsu manusia akan kekuasaan dan nafsu
manusia yang selalu ingin berbeda. Katakan Perang
Salib, perang antara muslim dan Kristen. Kalau
ditelusuri masalahnya, itu karena mereka berebut
ingin berkuasa di Yerusalem. Kenapa" Peperangan
karena iman" Omong kosong! Itu kan tempat yang
suci bagi banyak orang. Lalu kenapa" Karena orang
berbondong-bondong ke sana melakukan
perdagangan. Lalu kenapa" Karena itu
mendatangkan uang. Titik. Apalagi, seperti yang
kuceritakan tadi, pada masa itu masa depan Eropa
sungguh suram, terbelenggu ketakutan berbuat
dosa. Lalu, tiba-tiba terdengar ada sebuah negeri
tempat madu, daging, dan susu berlimpah ruah...,"
285 286 Sergio terdiam beberapa detik.
"Aku berusaha membayangkan diriku sebagai
masyarakat pada masa itu. Pada dasarnya manusia
tidak pernah benar-benar membela agamanya.
Apalagi sampai mau mati. Mereka hanya membela
ego mereka sendiri," ucap Sergio sambil gelenggeleng kepala.
Aku sebenarnya kurang setuju dengan
pernyataannya. Karena aku tahu dan aku percaya
ada juga manusia yang benar-benar berjuang murni
untuk agama, untuk Tuhannya tanpa pamrih. Entah
mengapa tiba-tiba aku teringat akan Fatma dan
kawan-kawannya. Atau tentang Marion yang begitu
berilmu. Mereka memang tidak pergi ke medan
perang, tetapi tingkah laku mereka terasa lebih
murni. "Tapi pada kenyataannya mereka berperang
sambil membawa panji bulan sabit dan salib, kan"
Jelas yang terjadi adalah perang agama," sanggah
Rangga mewakili pernyataanku. Muka Sergio tibatiba berubah riang.
"Hahaha! Hanya kebetulan saja orang yang
berperang itu mempunyai agama yang berbeda.
Panji-panji agama itulah yang akhirnya dijadikan
alasan, lalu dijadikan bensin, untuk mengobarkan
semangat membela nafsu mereka. Apalagi saat itu
ada Paus yang hanya memikirkan politik
kekuasaan," kata Sergio tersenyum masam.
"Paus siapa?" tanya Rangga.
"Paus Urban. Kalian pernah dengar, kan" Dia
kebingungan karena kekuasaannya sedikit demi
sedikit mulai runtuh. Yerusalem, kota kelahiran
Yesus, saat itu telah dikuasai khalifah Islam dan
dihiasi banyak masjid. Dia mengalami krisis
identitas, gelisah mencari pemicu agar
kekuasaannya bisa diraih kembali. Lalu ide paling
gila sekaligus paling menyesatkan keluar dari
kepalanya. Jaminannya kepada semua orang yang
ikut berperang salib adalah tiket ke surga sudah
pasti di tangan," ucap Sergio sambil geleng-geleng
kepala lagi. "Jika Paus Urban kembali hidup pada masa kini,
dia pasti linglung melihat banyaknya ateis di Eropa
dan bagaimana gereja-gereja yang pernah dia
banggakan kini sepi, hanya jadi tontonan turis."
Kali ini Sergio terkekeh-kekeh hingga mukanya
memerah. "Aku tak habis pikir dengan Paus. Mudah ditebak,
Paus itu pasti yakin khotbahnya tentang jaminan


99 Cahaya Di Langit Eropa Menapak Jejak Islam Di Eropa Karya Hanum Salsabiela Rais Dan Rangga Almahendra di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tiket surga akan berhasil karena satu hal...," Sergio
berhenti sejenak. Dia terbatuk-batuk saking
mengumbar tawa yang tak tertahankan.
"Karena masyarakatnya sedang frustrasi,
kelaparan, dan bodoh."
Aku dan Rangga saling pandang. Bukan karena
melihat Sergio yang terpingkal-pingkal, tetapi
karena kami pernah mendengar kekonyolan yang
sama. Tentang kengerian yang sama. Tentang kondisi
287 288 masyarakat yang sama, yang mudah sekali disulut
ide-ide yang kebablasan. Berjihadlah ke medan
perang, maka 77 bidadari surga akan menyambutmu.
Doktrin itu menggema di mana-mana. Lalu teror
bom, bom bunuh diri, dan perang, termasuk
kerusuhan yang terjadi di Indonesia tiba-tiba
berkelebat dalam alam pikiran kami. Seolah-olah
reinkarnasi idealisme gila dari Paus Urban telah
kembali. "Dan sekarang, jawab...di dunia ini selalu ada
orang yang ingin menyempal, ingin berbeda.
Tunjukkan agama mana yang tidak mempunyai
sempalan" Karena dengan menyempal, manusia
mengira dia bisa menunjukkan diri sebagai yang
lebih baik daripada manusia lain. Sempalmenyempal itu tak pernah habis. Dari satu
sempalan, ada sempalan lagi, ada lagi, dan ada lagi.
Karena apa mereka menyempal" Lagi-lagi, karena
masalah ini," ucap Sergio sambil menunjuk perut
gendutnya. "Ah...manusia. Aku semakin sadar bahwa
sesungguhnya manusia adalah makhluk paling lucu.
Kalian tahu, selain nafsu berkuasa dan selalu ingin
berbeda, manusia juga menderita nafsu menyakiti
manusia yang lain. Manusia seperti Paus Urban itu
ada di mana-mana. Dan kalian temukan juga pada
zaman modern ini. Tidak peduli agamanya apa."
Sergio menatap kami berdua lekat-lekat saat
mengucapkan kalimat yang terakhir.
"Al Hakim, seorang penguasa di Yerusalem, juga
pernah menggila. Nafsu ingin menyakiti begitu
besar dalam dirinya. Sampai-sampai tidak ada hujan
tidak ada angin, tiba-tiba dia memerintahkan
pasukannya untuk membakar sebuah gereja," ucap
Sergio sambil geleng-geleng kepala.
Sergio lantas menunduk lesu. Seperti ada beban
yang dia coba halau dari dalam dirinya. Dia
mendongak sementara matanya menatap nanar jauh
ke jembatan yang menyangga makin banyak turis
yang berjalan di atasnya, meski terik matahari
semakin membakar kulit. "Sudahlah, aku ini agnostik. Aku percaya akan
adanya kekuatan di atas segala-galanya dalam
hidupku ini. Tapi aku tidak percaya apakah
kepercayaanku tentang Tuhan harus diwujudkan
dalam penerimaan agama. Dan untuk hidup
sementara ini, aku hanya ingin berbuat baik. Dan
tentu saja berharap Mezquita ini benar-benar
dimuseumkan agar semakin banyak uang yang
mengalir ke kantongku," ucap Sergio, dilanjutkan
dengan kekehannya. Pasti Stefan kawan Rangga
langsung cocok dengan Sergio jika mereka bertemu.
Terjawab sudah pertanyaan isengku tadi. Sergio
percaya bahwa Tuhan dan uang adalah penyelamat
hidupnya. Dia menjabat tangan kami. Kata-kata
terakhirnya tadi terasa seperti penggalan perasaan
Gomez tadi malam. "Mm...mm...Senor, satu pertanyaan lagi," kata
289 290 Rangga tiba-tiba. Sergio tampak tak bergairah.
Agaknya dia tipe pemandu yang tak suka kliennya
bertanya terlalu banyak dalam perjanjian waktu
yang semakin mepet. "Kalau tiba-tiba kau jatuh dari jembatan itu, atau
mengalami kecelakaan lain dan tiada yang bisa
menolongmu...bahwa saat itu adalah helaan napas
terakhirmu...tahukah kau bekal apa yang kaubawa
untuk kematianmu itu?"
Pertanyaan Rangga kali ini kunilai sedikit
berlebihan. Dahi Sergio sontak berkerut-kerut. Lalu
tiba-tiba dia terkekeh-kekeh lagi. Kali ini kami bisa
melihat pengait gigi palsu yang sudah aus di rahang
atas maupun rahang bawahnya.
"Kan aku tadi sudah bilang, ya berbuat baik
sajalah. Tapi mm...tentang pertanyaanmu tadi,
begini...jatuh betulan dulu sajalah aku, nanti
kupikirkan tindakan selanjutnya. Pertanyaanmu
sangat lucu, Anak Muda!" jawab Sergio masih
terkekeh sambil mencubit pipi Rangga.
"Adios! Cuidate mucho! Sampai jumpa! Hati-hati
di jalan!" kata Sergio berpamitan. Dia mengibasngibaskan uang yang kuberikan padanya, lalu
melangkah pergi meninggalkan kami. Dari kejauhan
kami melihat dia mendekati turis-turis yang tengah
berjalan santai di kanan kiri lorong sempit. Mencari
orang-orang seperti kami, menjajakan
pengetahuannya tentang Cordoba.
Kami masih berdiri tertegun melihat sepak
terjang Pak Tua yang kuasumsikan berusia 70
tahunan itu. Tiba-tiba kami begitu mensyukuri
kehidupan yang kami jalani sekarang ini. Bersyukur
karena kami masih bisa berpikir untuk memercayai
Tuhan dan menjalaninya melalui Islam. Sebuah
keyakinan yang akan kami dekap hingga raga kami
bersatu lagi dengan bumi.
291 42 292 Bus dengan tiket seharga 11 Euro mengantarkan
kami dari Cordoba ke Granada sesuai rencana.
Mata kami dibius pemandangan hamparan ladang
gandum dan zaitun selama perjalanan. Kami
melihat beberapa pengukur suhu udara saat bus
melewati kota-kota kecil di antara Cordoba"
Granada: 38 derajat. Di Indonesia, rasanya cuaca
jarang mencapai tingkat panas setinggi ini.
Sepanjang perjalanan, aku dan Rangga saling
bertukar pikiran tentang apa yang sudah kami
alami. Perjalanan ke Andalusia Spanyol ini lebih
daripada jalan-jalan, relaksasi, atau memotret
sana-sini. Semua cerita Sergio tentang Cordoba
masih terngiang-ngiang di telinga. Aku tiba-tiba
merasa kasihan kepadanya. Bagaimana mungkin
seseorang bisa begitu masa bodoh dengan ujung
kehidupannya" Sergio mungkin merupakan
"korban" dari semua trauma kengerian agama
pada masa lalu di Eropa. Dalam bus 2,5 jam itu kami mengingat kembali
apa yang dikatakan Sergio. Tentang nafsu manusia.
Membayangkan bagaimana orang pada masa lalu
saling menaklukkan hanya dengan bekal kuda atau
unta yang dipacu berlari ratusan kilometer.
Katakanlah dari Cordoba"Granada saja sudah
memerlukan waktu 2,5 jam dengan bus kecepatan
tinggi pada masa modern, bagaimana jadinya jika
perjalanan ditempuh dengan menunggang kuda atau
unta" Bisa sehari atau malah berhari-hari karena
tersesat. Bagaimana pula mereka berlindung dari
panas atau dinginnya udara" Itu hanyalah
penaklukan dalam daerah yang masih terbilang
dekat. Kami membayangkan bagaimana keadaan
saat Perang Salib. Tentunya butuh waktu bertahuntahun untuk berjalan dari utara Eropa hingga
Yerusalem di Timur Tengah.
Semangat untuk menaklukkan, semangat untuk
menguasai, dan semangat untuk menunjukkan diri
sebagai yang paling kuat di muka bumi ini memang
tidak pernah sirna dalam diri manusia. Hingga kini.
Dan manusia mau menempuh jalan apa pun untuk
mewujudkan semuanya. Kemudian apa" Setelah menaklukan pun mereka
tidak mendapatkan apa-apa. Harga diri"
Kebanggaan" Materi" Itu semua tidak akan bisa
mengganti pengorbanan dan penderitan yang harus
ditanggung. 293 Dan pastinya pihak yang ditaklukan tidak akan
tinggal diam. Yang kalah pasti akan mengepalkan
tangan untuk balas dendam. Membalas penaklukan
dengan penaklukan lain. Demikian seterusnya.
Kemudian manusia akan terseret dalam lingkaran
setan yang tak berkesudahan. Setan yang akhirnya
justru tertawa menang. Bukan Tuhan yang tadinya
mereka "bela". " " 294 Kami turun di Gran Via, pusat kota Granada, lalu
melanjutkan perjalanan ke Bukit Assabica dengan
minibus nomor 32 lewat Plaza Nueva. Tujuan kami
tentu saja Al-Hambra. Perjalanan menaiki Bukit
Assabica terasa cepat, meski perlu setengah jam
untuk sampai di pemberhentian bus turis, karena
lanskap yang sangat menakjubkan. Di kanan dan kiri
kami tersaji rumah-rumah yang terlihat mungil
karena jalan yang semakin menanjak. Dan sesuai
dengan nama kota ini, Granada, beberapa
pepohonan yang meliuk-liuk di antara rumah-rumah
mungil itu adalah delima atau pomegranate dalam
bahasa Inggris. Mata kami tersihir oleh sungai yang
mengalir di antara Bukit Assabica dan panorama
yang melatarbelakanginya. Sungai yang kuyakini
merupakan mata air yang digunakan sebagai sumber
kehidupan sehari-hari masyarakat.
Kami teringat kata-kata Sergio. Granada adalah
dinasti Islam terakhir yang mencoba bertahan di
Spanyol. Dan Istana Al-Hambra dari kekhalifahan
Nasrid menggambarkan semua itu. Dari kejauhan,
kami tidak melihat Al-Hambra sebagai istana molek
seperti yang digembar-gemborkan buku-buku
wisata, melainkan sebuah benteng pertahanan yang
dikitari menara-menara pengawas musuh. Sebuah
bangunan yang seakan dihantui oleh ketakutan akan
penaklukan. Ya, penaklukan oleh kerajaan Kristen
Spanyol yang terus menggusur wilayah kesultanan
Islam. Namun, Pegunungan Sierra Nevada yang
berwarna putih salju di garis belakang istana
sejenak menggetarkan hati, menegaskan bahwa
Al-Hambra dibangun dengan sepenuh hati oleh para
sultan. Sepenuh hati seolah inilah gambaran taman
surga kelak. Kami beruntung hari itu. Tiket Al-Hambra yang
selalu sold out direservasi masih tersisa beberapa
lembar. Namun, antrean yang begitu panjang tak
bisa kami abaikan begitu saja. Antreannya lebih
panjang daripada antrean yang harus kami lalui di
Menara Eiffel Paris atau Colosseum Roma beberapa
waktu lalu. Di satu sisi kami sedih karena capai
berdiri dengan gendongan tas punggung di pundak.
Namun di sisi lain, kami rela serela-relanya
menunggu berapa pun waktu yang dibutuhkan
untuk masuk ke istana ini. Ada sebersit rasa bangga
melihat orang-orang dari segala penjuru dunia rela
295 296 mengantre untuk menyaksikan bangunan kehebatan
Islam. Kami melihat serombongan orang-orang
Melayu berjilbab yang juga ikut mengantre di sana.
Dari logat bicaranya, mereka adalah rombongan dari
Malaysia. Setelah menyetempel tiket di anjungan, kami
berjalan menuju bagian istana yang diperuntukkan
sebagai pertahanan militer: Alcazaba. Sebuah
gapura tinggi bernama Babul Shari"a atau Pintu
Keadilan menyambut kami. Sebuah kunci dan simbol
tangan manusia yang direnggangkan menggantung
di belakang gapura, dipahat dari marmer hijau.
"Ini salah satu perintah Sultan, mengingatkan
semua raja yang berada di dalam kuasa bangunan
Alcazaba untuk bertempur demi keadilan, bukan
yang lain. Lima tangan yang direnggangkan
mewakili 5 pilar dalam Islam."
Tak sengaja kami menguping penjelasan tour
guide rombongan Malaysia tadi. Kami memang
sedang mencari-cari seorang guide kali ini. Tadinya
kami berharap ada guide seperti Sergio yang
menjajakan jasanya di Al-Hambra, namun ternyata
nihil. Tiba-tiba naluri sebagai bangsa serumpun dan
seiman mendorong kami untuk menyatu dengan
rombongan Melayu ini. Awalnya kami sungkansungkan, namun dengan seulas senyum yang kami
sunggingkan kepada beberapa orang dalam
rombongan, sambutan mereka luar biasa. Strategi
Fatma dan Latife untuk selalu menderma senyum
keakraban benar-benar manjur kali ini.
"Kalian ikut saja dengan kami," ucap seorang
perempuan anggota rombongan itu.
"Bagaimana membayarnya?" tanyaku terlebih
dulu agar terkesan tidak terlalu memanfaatkan.
"Nanti saja. Soalnya ini sudah paket dengan
travel kami di Singapura," jawab ibu-ibu paruh baya


99 Cahaya Di Langit Eropa Menapak Jejak Islam Di Eropa Karya Hanum Salsabiela Rais Dan Rangga Almahendra di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu. Akhirnya kami berdua mengikuti rombongan
Melayu yang ternyata dari Singapura itu. Sang
tour guide Spanyol yang masih sangat muda
melihat kami bergabung. Dia hanya
menganggukkan kepala, tak keberatan
menerima tambahan anggota rombongan baru.
Dari Gate of Justice atau Pintu Keadilan kami
melihat sebuah bangunan yang tampak asing.
Gayanya begitu berbeda, seperti altar katedral
yang dibangun di tengah-tengah Mezquita.
"Ini adalah Charles"s Palace. Istana Raja
Spanyol yang dibangun pada masa Renaissance,
beberapa ratus tahun setelah Isabella dan
Ferdinand mangkat. Tak heran istana ini begitu
"Eropa". Raja Charles berambisi menyaingi
semua yang tersuguh di Al-Hambra ini," ucap
tour guide sambil mengajak kami ke dalam
istana tersebut. Bentuk istana itu sekilas tampak aneh. Bukan seperti
istana, namun seperti arena gladiator di Colosseum.
297 298 "Charles sangat terinspirasi kebudayaan Romawi.
Itulah mengapa gaya istana ini seperti sisa-sisa
reruntuhan forum Romawi," jelas tour guide seakan
menjawab rasa penasaranku.
"Sayang istana ini tak sepenuhnya selesai. Anda
bisa melihat sayap timur istana ini" Itu bangunan
baru, diselesaikan oleh pemerintah Spanyol pada
awal 1900-an," tambah tour guide sambil
menunjukkan bagian bangunan yang hampir tak
kelihatan perbedaannya dengan bangunan istana
secara keseluruhan. Renovasi museum atau tempat
bersejarah di Eropa memang selalu digarap sangat
mendetail agar menyerupai tata bangunan aslinya.
"Mungkin karena frustrasi pembangunan
istananya tak bisa menyaingi Al-Hambra, Charles
lalu menghentikan pembangunan bagian ini,"
ibu-ibu yang mengajakku tadi berbisik padaku tanpa
menanyakannya kepada tour guide. Aku hanya
mengangguk-anggukkan kepala. Tour guide tetap tak
menjelaskan alasan Charles tak menyelesaikan
bangunannya. Hari itu kami mendapat giliran masuk ke istana
utama pada malam hari. Saat di pintu loket tadi,
kami diminta untuk memasuki Benteng Alcazaba
dan Pertamanan Generalife, sebelum akhirnya
masuk ke istana utama, The Nasrid Palace. Menurut
tour guide, kami beruntung karena Nasrid Palace
lebih cantik pada malam dibandingkan siang hari.
Nasrid Palace adalah daya tarik utama Al-Hambra,
hingga rombongan turis yang berkunjung harus
dibagi-bagi dalam beberapa waktu.
Tour guide yang bernama Luiz itu mengajak kami
menaiki salah satu bastion menara di Alcazaba.
Menara-menara inilah yang kami lihat dalam
perjalanan bus ke Bukit Assabica tadi. Sekali lagi,
dari luar istana ini lebih terlihat sebagai benteng
daripada kediaman istimewa seorang raja. Sampai di
Alcazaba, gambaran itu masih sepenuhnya benar.
Kami menaiki anak tangga yang bersusun
melingkar itu satu per satu. Begitu sampai di atas,
semua rombongan dibuat bertasbih karena
keindahan lanskap yang ada. Sejauh mata
memandang, yang tampak hanyalah hamparan
pohon hijau yang tinggi dan rimbun, serta gugusan
bukit-bukit, anak dari Gunung Sierra Nevada.
"Sekarang, coba lihat apa yang ada persis di
bawah kita. Di sinilah kira-kira Mohammad Boabdil,
sultan terakhir di Granada, menyerahkan kunci
istana ini ke Isabella dan Ferdinand, tanda
menyerahkan diri," ucap Luiz menunjuk sebuah titik
di bawah bastion. Aku memandangi titik yang
ditunjuk Luiz. Sepertinya aku tengah menyaksikan
langsung serah terima kunci simbol penaklukan itu.
Sungguh menyayat hati ini.
"Lalu, di mana sebenarnya "The Last Moor"s Sigh"
itu, Luiz?" tanya seorang bapak anggota rombongan,
memotong penjelasan Luiz. Sepertinya bekal
pengetahuannya lebih "advanced" dibandingkan
299 300 kami. Dia salah satu anggota rombongan yang
paling aktif bertanya. Hal ini membuat Luiz jadi
sedikit gusar, karena tampaknya "The Last Moor"s
Sigh" merupakan bagian penting yang pasti akan
diceritakan Luiz. "Saya mohon Anda bersabar, ya. Jangan
menginterupsi dulu. Saya akan tunjukkan tempat
Boabdil terakhir menatap Granada. Tapi biarkan
saya bercerita dulu," jawab Luiz.
Luiz menceritakan sesuatu yang
mencengangkanku. Tentang Isabella dan Ferdinand.
Pasangan raja dan ratu ini adalah the royal couple
yang menorehkan sejarah kelam bagi Islam di
Spanyol. Namun di sisi lain, mereka berdualah yang
mempersatukan Spanyol sebagai kerajaan Kristen
terbesar di Eropa, sekaligus mengusir Islam dari
bumi Spanyol. "Sultan Granada Boabdil akhirnya menyerah. Dia
melihat dari bastion ini bagaimana pasukan Isabella
yang begitu besar merangsek ke istana. Dia tahu tak
mungkin memenangi pertarungan melawan IsabellaFerdinand sehingga tak ada gunanya melawan,"
lanjut Luiz. "Apa yang bisa dia lakukan adalah membuat
persetujuan dengan Isabella. Istana diserahkan, dia
bersedia diusir, namun dia meminta Isabella
melindungi masyarakat Granada dalam menjalankan
ibadah sesuai keyakinan masing-masing, Kristen,
Islam, dan Yahudi," jelas Luiz dalam bahasa
Inggris yang begitu fasih. Kaus yang dipakainya
dihiasi emblem 4 bendera: Inggris, Spanyol, Italia,
dan Prancis. Menunjukkan dia mampu
menjelaskan perihal Al-Hambra kepada turis-turis
dengan 4 bahasa berbeda. Kemampuan yang luar
biasa yang biasa dimiliki para tour guide objek
wisata di Eropa. "Lalu tepatnya di jalan yang berkelok-kelok di
bukit itulah...," ujar Luiz sambil menunjuk jalan
beraspal yang berkelok-kelok di depan
Pegunungan Sierra Nevada.
"...tempat yang disebut The Last Moor"s Sigh.
Tempat Boabdil yang asli bangsa Moor terakhir
kalinya memandang Granada dengan perasaan
kelam. Kemudian dia...."
"...dia menangis!" potong bapak anggota
rombongan tadi menyisip penjelasan Luiz. Luiz
terdiam, dia hanya bisa mengangguk. Kami
melihat raut wajahnya yang menunjukkan rasa
"terganggu" karena sahutan bapak tadi.
"Maksud saya, dia berdoa juga ketika
menangis, hingga ibunya yang berjalan di
sampingnya berkata: "Janganlah engkau menangis
seperti perempuan untuk sesuatu yang tak bisa
kaupertahankan laiknya seorang pria"," ucap Luiz.
Luiz mengisahkan Boabdil berdoa agar
rakyatnya lebih sejahtera dan tak terusik
keimanannya di tangan Isabella dan Ferdinand.
Sayang seribu sayang, Isabella dan Ferdinand
301 302 membuyarkan harapan Boabdil tersebut.
Dalam kurun 10 tahun setelah Granada takluk,
Isabella dan Ferdinand memerintahkan
pembaptisan massal kepada seluruh penduduk,
baik Islam maupun Yahudi. Sesuatu yang
sebenarnya tak direstui, bahkan oleh penduduk
asli Granada yang memeluk Kristen sekalipun.
"Isabella dan Ferdinand menganggap nonKristen adalah infidel atau kafir. Sejak saat itu,
penggunaan bahasa Arab dilarang keras. Tradisitradisi yang berbau Arab dihilangkan, dan yang
paling agresif adalah pembentukan kepolisian
untuk mengawasi Muslim dan Yahudi yang sudah
"terpaksa" berpindah agama," jelas Luiz.
"Memangnya apa tugas polisi itu?" tanya
Rangga tiba-tiba sambil mengacungkan jari
telunjuknya. Luiz memandang jauh kota Granada di bawah
sana. Dia seperti mencari-cari sesuatu.
"Mm.... Apakah Anda sempat melihat jalanjalan, terutama pasar-pasar di Spanyol ini" Para
penjual daging babi gantung ada di mana-mana,"
kata Luiz. Kami semua mengangguk-angguk, menyadari
betapa vulgar kedai-kedai babi di Spanyol ini.
Aku juga langsung teringat Hassan, si Aljazair
yang mengundang kami di pondokan daging
babinya di Cordoba. "Kepolisian bertugas memastikan tidak ada
warga Spanyol yang memeluk Islam atau Yahudi
secara diam-diam. Mereka memaksa setiap warga
untuk berjualan babi dan mendemonstrasikan
makan babi di depan mereka. Lalu mereka
diwajibkan menggantung daging-daging babi di
pintu rumah sebagai bukti kesetiaan mereka
kepada Isabella. Kewajiban yang dilakukan terusmenerus sehingga saat ini sudah menjadi tradisi,"
ucap Luiz. Semua anggota rombongan sontak
menanggapi dengan bersuara "Ooo", menyadari
betapa tradisi pasang daging babi gantung itu
sangat lestari hingga kini pada zaman Spanyol
modern. Aku tiba-tiba bergidik membayangkan
pemaksaan agama pada masa lalu itu. Rasa
syukur kembali semerbak dalam hati, bahwa aku
dilahirkan pada zaman yang menyambut
kebebasan berkeyakinan. Rasa syukur yang lebih
dalam lagi karena dilahirkan sebagai orang
Indonesia yang tak memiliki trauma sejarah
dengan hegemoni agama, dan berharap tidak
akan pernah ada sampai kapan pun.
Aku begitu yakin, Islam yang awet, yang
abadi dalam diri setiap orang, adalah Islam
yang datang dengan jalan damai. Aku tiba-tiba
teringat bahwa Islam disebarkan dengan cara
indah di Indonesia tanpa pemaksaan atau
pertumpahan darah. Namun, aku juga sadar
303 bahwa ada bab dalam sejarah negara di belahan
dunia lain yang mencatat Islam sebagai agama
yang disebarkan dengan cara-cara tak jauh
berbeda dengan cara paksa ala Isabella dan
Ferdinand. Semuanya melahirkan kesakitan
sejarah yang dampaknya terasa saat itu, juga
ribuan tahun kemudian. Luka itu tetap ada.
304 43 Matahari semakin meninggalkan bumi Spanyol hari
itu. Warnanya begitu indah dengan semburat jingga
yang terus melekat di ekornya. Kata-kata petugas di
loket pembelian tiket tadi benar adanya; saat
matahari terbenam adalah saat yang paling indah di
Al-Hambra. Beberapa menit kemudian kami sudah berada di
dalam kompleks utama istana yang berwarna
kemerah-merahan itu. Ransel yang kami panggul ke
mana-mana sejak dari Cordoba hingga naik turun
bastion di Alcazaba menjadi begitu ringan.
Puluhan museum dan istana telah kami kunjungi
di Eropa, namun belum pernah ada istana yang
begitu menggetarkan hati dan rasa kami. Semua itu
karena ukiran-ukiran kayu dan dinding yang
menyerupai helai-helai kain berbordir halus dan
berbelit-belit. Membayangkan betapa keindaan itu
dibuat oleh cipta dan rasa tangan-tangan manusia.
305 306 Aku bersimpuh seketika, menyadari ukiran-ukiran
itu adalah ayat-ayat Al-Qur"an yang mahaagung.
Sungguh kali ini aku benar-benar takjub. Laa haula
walaa quwwata illa billah. Tiada daya dan upaya
selain dari Allah. Inskripsi itu berliku-liku mengitari
setiap permukaan dinding dan pilar pualam. Katakata itu membuat aku dan Tuhan begitu dekat. Ke
mana pun mata kuedarkan, aku tak bisa
menghindari gelaran kaligrai Qur'ani yang dipahat
pada setiap sudut, atap, dan dinding istana yang
berjalin-jalin. Bangunan ini begitu berbeda dengan
Mezquita. Di sini semua terlihat begitu utuh dan
terlindungi. "Ekskursi kita berakhir di sini. Lima menit lagi,
begitu matahari terbenam dan semuanya gelap,
Anda bisa melihat keajaiban bangunan Al-Hambra
ini," ucap Luiz terakhir kalinya. Lalu tiba-tiba Luiz
mendekati bapak yang sering menginterupsinya. Dia
menyerahkan magnet hiasan berbentuk Istana
Al-Hambra. "Baru kali ini saya mempunyai anggota
rombongan yang begitu cerewet tapi
berpengetahuan seperti Anda. Ini untuk kenangkenangan," ujar Luiz bercanda.
Bapak itu tersipu-sipu karena tersanjung.
Luiz kemudian meninggalkan kami.


99 Cahaya Di Langit Eropa Menapak Jejak Islam Di Eropa Karya Hanum Salsabiela Rais Dan Rangga Almahendra di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku begitu beruntung hari itu. Mendapatkan
tumpangan guide bersama rombongan turis Melayu.
Kami tak dipungut biaya sepeser pun, mungkin
karena tampilan kami berdua seperti dua backpacker
muda. Kami memperkenalkan diri dan berbagi cerita
traveling dengan rombongan Melayu itu. Aku selalu
yakin, dalam setiap perjalanan, orang-orang yang
kami temui adalah guru tak terencana bagi kami.
Orang-orang Singapura Melayu itu ternyata
rombongan pengajian muslim orang tua. Mereka
sangat mengagumi Cordoba dan Andalusia sebagai
contoh peradaban Islam yang patut dibangkitkan
kembali. Kami tiba-tiba merasa seperti saudara,
berbagi cerita bagaimana menjadi muslim yang
hidup di kalangan nonmuslim mayoritas. Paling
tidak, untukku keadaan seperti itu hanya sementara,
hingga beberapa tahun ke depan di Austria. Aku
begitu terkesan dengan cita-cita Tazneen,
perempuan yang mempersilakan kami bergabung
dengan rombongan tur tadi. Kata-katanya tentang
menjalani Islam di negeri yang tak lebih besar dari
Provinsi Yogyakarta itu begitu sejuk dan
membangkitkan semangat. "We are not moslems living in Singapore, Hanum.
But we are the Singaporean moslems. We are proud to be
Singaporeans and we love it as much as we love our
faith." Dia sangat mencintai bangsanya sebagaimana
dia juga mencintai agamanya.
Kami bertukar nomor telepon dan e-mail sebelum
berpisah. Kami berjanji akan saling mengunjungi
suatu saat nanti. 307 44 308 Sesuatu tiba-tiba mengisi relung hatiku yang paling
dalam saat memandang matahari yang semakin
memejamkan sinarnya. Matahari yang kulihat hari
itu adalah matahari yang sama sejak awal kehidupan
alam semesta ini. Matahari yang sama yang
menyaksikan semua pertikaian, ketegangan, hingga
pertempuran antarmanusia dari berbagai zaman.
Namun, dia jugalah matahari yang menyaksikan
bagaimana Cordoba dan Andalusia selama beberapa
abad telah menorehkan tinta emas peradaban
manusia. Dan dia jugalah matahari yang masih akan
menyaksikan apa yang akan terjadi seribu atau dua
ribu tahun mendatang. Aku melambaikan tanganku pada sumber cahaya
bumi itu, melambaikan tangan dengan harapan
bahwa esok dan seterusnya dia akan menyingsing
dan menyaksikan kehidupan manusia yang lebih
baik. Perjalananku di Andalusia telah membawaku
pada sebuah pertanyaan pada masa lalu. Pertanyaan
sama yang ditanyakan guruku, Pak Djam"an, saat
SMA dulu. Apa yang muncul dalam pikiranmu ketika seseorang
mengatakan Andalusia"
Yang tersisa dalam memori tentang Andalusia
adalah kekalahan, penaklukan, penghinaan, dan
pengusiran, perebutan kehormatan, kebiadaban"
semua merangkum malapetaka sejarah yang takkan
terlupakan. Tak tersisa sedikit ruang pun untuk
memori indah. Apa yang telah dilakukan nenek-nenek moyang
negeri ini, yang bahu-membahu melahirkan manfaat
dalam berbagai bidang dengan semangat toleransi,
kebersamaan, cinta, dan kasih sayang, sirna begitu
saja. Tergilas oleh perasaan sakit yang senantiasa
dirayakan di muka bumi ini, hingga melupakan
semua kontribusi kebaikan yang pernah
ditinggalkan. Aku hanya bisa berharap memori yang
menyakitkan itu tak usah dipupuk agar lebih subur.
Aku tahu hal ini membutuhkan jiwa besar yang luar
biasa. Sejurus aku ingat bahwa hati manusia yang
sakit itu seperti tembok yang dilubangi paku. Hati
dan perasaan kita marah, lalu naik darah.
Meski paku itu dicabut, sayatannya terus
membekas. Namun aku tetap yakin, sayatan itu hanya layak
309 diingat sebentar, untuk kemudian menyadarkan kita
bahwa semua itulah yang membuat semua harmoni
hancur. Aku semakin yakin, esensi sejarah bukanlah
hanya siapa yang menang dan siapa yang kalah.
Lebih dari itu: siapa yang lebih cepat belajar dari
kemenangan dan kekalahan.
310 45 Keindahan yang dikatakan Luiz tak terbantahkan.
Begitu matahari menghilang, pilar-pilar kurus
dari pualam yang menyangga Istana Nasrid ini
berpijar terang. Pilar-pilar itu memancarkan
kaligrai Qur'ani yang temaram di dalam dan di luar
istana. Dinding-dinding yang berpilin dengan
inskripsi Arab mengerlipkan nuansa merah, biru,
dan hijau. Perasaan syahdu meresap dalam kalbu. Seolaholah sudah menjadi takdirku menyaksikan magrib di
Al-Hambra. Aku dan Rangga terduduk di pinggiran kolam
dalam istana yang menjadi rumah ratusan ikan hias
warna-warni. Di dekat kami banyak pancuran air
yang melompat-lompat ke sana kemari. Entahlah,
kami tiba-tiba membayangkan tempat ini sebagai
tempat berwudu atau penyucian diri sebelum shalat.
Kami hanya bisa berasumsi.
311 312 Di kekhidmatan magrib itu, nama seseorang
tiba-tiba hadir dalam benakku. Fatma. Apa kabar
dirinya.... Sebuah e-mail kukirim untuk Fatma lewat telepon
selulerku. Kurangkum ceritaku di Cordoba dan
Granada dalam beberapa paragraf panjang. Aku
tahu itu berbiaya mahal. Entah mengapa aku merasa
harus melakukan ini, meski aku tahu dia tak pernah
membalas e-mailku lagi. Aku hanya merasa
perjalanan ini adalah juga perjalanannya.
Kami melihat masih banyak turis yang berlalu
lalang. Mereka mengabadikan tempat ini dengan
kamera dan video. Suara-suara kekaguman melihat
arsitektur bangunan ini terdengar bersahut-sahutan.
Apa yang mereka rasakan mungkin berbeda dengan
apa yang kurasakan. Perasaan yang tak bisa
diungkapkan dengan kata-kata.
Semua ini seolah terbangun sia-sia. Sayang
berjuta sayang. Aku hanya bisa menitikkan air mata melihat
"keanggunan" Al-Hambra.
" " Kami bergerak turun dari Bukit Assabica menuju
hostel penginapan. Esok hari kami berencana
menjelajahi kota Granada. Namun semua itu
seketika berantakan saat resepsionis hostel memberi
kami kabar yang sangat mengagetkan.
"Booking kamar Anda adalah untuk bulan depan.
Anda telah salah memasukkan angka bulan."
Aku dan Rangga benar-benar linglung. Semua
kamar sudah terisi dan kami tak mungkin bermalam
di Granada. Kami beruntung diizinkan membatalkan
pesanan. Kami berlari menuju stasiun bus, mengejar
bus terakhir ke Madrid malam itu juga.
Hari itu adalah hari yang paling mengesankan.
Enam jam di Granada, kemudian bermalam di
Stasiun Madrid dengan badan sangat lelah.
Tapi ada semangat yang membara....
Aku jatuh cinta lagi kepada Islam.
313 Jembatan Galata G Hacikadin Masjid Suleyman Tahtakale M?lla H?srev Sururi Hobyar Mercan Taya Hatun Universitas Istanbul Balaban Aga Grand Bazaar Molla Fenari Mimar Kemalettin Camberlitas Emin Sinan Masjid Sul Nisanca 314 Blue M Sehsuvar Bey Bagian 1v 46 " Istanbul "Pasti ada orang bunuh diri lagi.
Menyebalkan!" Kereta U-Bahn jurusan Hutteldorf"
Heiligenstadt di kota Wina pada jam pulang
kantor tiba-tiba berhenti. Suara orangorang menggerutu dalam U-Bahn
membangunkanku dari keletihan pekerjaan
mbatan Galata Hobyar Istana Topkapi Hatun enari Gereta St. Irene Alemdar Camberlitas Hagia Sophia Masjid Sultanahmet Blue Mosque hari itu. Mereka mendesah bersama-sama, seakanakan mengatakan waktu berharga mereka terpotong
beberapa menit untuk sesuatu yang
menjengkelkan"menunggu para petugas
perkeretaan membersihkan sisa-sisa tubuh manusia
yang terlindas. Seharusnya mereka sudah bersiapsiap ke pesta atau bar, lalu melantai sambil
315 316 bermabuk-mabukan di diskotik hingga kesadaran
melayang. Seseorang yang duduk di sebelahku
mengeluh hari itu adalah hari ulang tahun anak
satu-satunya, dan tanpa U-bahn yang dihentikan
tiba-tiba ini saja dia sudah terlambat 15 menit.
Satu menit, dua menit, tiga menit, hingga 20
menit, kereta tak bergerak juga. Para penumpang
semakin resah. Mereka terkungkung dalam gerbong,
tak bisa keluar dan tak bisa melakukan aktivitas
komunikasi apa pun karena kereta terhenti di lorong
gelap tanpa sinyal telepon.
Orang bunuh diri lagi. Dan orang-orang tidak
bersimpati sama sekali. Melalui lubang mikrofon, petugas melaporkan
"ada kerusakan teknis di sambungan rel". Tapi
semua orang tak mau percaya. Mereka telah terbiasa
menerima alasan ini sebagai kata-kata tersopan
untuk menyampaikan berita seseorang mengakhiri
hidup dengan menerjunkan diri di jalur U-Bahn.
"Kenapa dia tidak bunuh diri pada tengah malam
saja, sih?" sebuah suara mengambang begitu saja
dalam gerbong. Lalu semua orang tertawa. Hanya
aku yang terdiam. Wajah Gomez dan Sergio di
Spanyol setahun lalulah yang membayang tiba-tiba.
Dua manusia yang percaya bahwa hidup ini
hanyalah sebuah giliran. Dan saat kita mendapatkan
giliran itulah kita harus mempergunakannya sebaikbaiknya. Gomez mempergunakannya sebaik-baiknya
dengan menjadi sopir agen wisata sekaligus
pendukung setia tim Spanyol. Sergio
mempergunakan hidup ini sebaik-baiknya dengan
menjadi tour guide yang menjajakan
pengetahuannya. Demikianlah mereka
mengumpulkan pundi-pundi uang. Bagi mereka,
orang-orang yang bunuh diri adalah orang-orang
bodoh yang tak mempergunakan hidup dengan
sebaik-baiknya. Tapi bagiku sendiri, bukan sekadar
itu. Lebih dalam dan lebih menggetirkan. Mereka
jelas orang-orang yang tak berpegang lagi kepada
Tuhan Yang Maha Menyemangati Hidup.
Kereta kembali berjalan normal. Orang-orang
kembali bercengkerama. Bercengkerama dengan
teman atau kolega seperjalanan, maupun dengan
Legenda Kematian 5 Pendekar Pulau Neraka 07 Jago Dari Seberang Nyai Tandak Kembang 1
^