Pencarian

Accidentally Love 8

Accidentally Love Karya Boni Bagian 8


Begini dok, saya dan keluarga kan awam nih, kalau menurut dokter baiknya gimana dengan kondisi istri saya yang sekarang"
Mmm.. saya sih pro normal ya, jadi sesulit apapun saya usahakan normal, tapi itu kembali lagi ke pihak mas-nya..
Gua menggaruk-garuk kepala, keputusan yang sulit.
Akhirnya setelah bertarung dengan kontraksi selama berjam-jam, tengah malam atau dini hari tanggal 6 Oktober seorang bayi laki-laki mungil hadir menyapa dunia melalui proses kelahiran secara normal. Setelah membasuh beberapa luka cakaran dibeberapa bagian di tangan dan wajah ditambah muntah-muntah karena menemani Ines melahirkan, gua kembali ke ruang persalinan untuk meng-adzani bocah ini.
World.. Please welcome Fatih Murlan Al Khalifi.. Gua berkata sambil menyerahkan si bayi yang sedari tadi nggak henti-hentinya menangis kepada seorang perawat, perawat tersebut kemudian
menggendongnya dan menyerahkannya ke Ines yang masih terlihat lemah namun penuh senyum diwajahnya.
Siapa bon tadi namanya"
Ines bertanya ke gua dengan suara yang parau.
Fatih Murlan Al Khalifi.. Yang artinya"..
Ines bertanya sambil mengangkat alis.
Fatih itu sang penakluk, diambil dari Sultan Ahmed Al Fatih, sultan turki penakluk constantine.. Terus..."
Al Khalifi itu artinya pemimpin, mudah-mudahan dia nanti bisa jadi pemimpin yang bijaksana, kalau nggak bisa jadi pemimpin umat, paling nggak bisa jadi pemimpin keluarga dan pemimpin atas dirinya sendiri..
Murlan.." Gua tersenyum sebelum menjawab.
Murlan diambil dari nama jalan tempat tinggal kita eh.. tempat tinggal aku dulu..
Gua bicara sambil memandang ke arah nyokap yang baru saja masuk.
Gua mengecup kening Ines, Selamat menjadi Ibu ya..
#50: Conflict Kehidupan baru gua sebagai suami, sebagai supir dari kendaraan yang namanya keluarga dalam menempuh jalan kehidupan akhirnya lengkap. Hadirnya Fatih membuat hari-hari gua lebih berharga, tangisannya di tengah malam, air kencingnya yang selalu membasahi kemeja kerja gua dan harus bangun pagi untuk mencuci pakaian dan popoknya sama sekali nggak membebani gua.
Ines sekarang menjadi lebih dewasa, walau terkadang manja-nya masih sering keluar. Terkadang yang sedikit membuat gua bingung adalah bagaimana membagi perhatian terhadap Fatih dan Ines, dua-duanya adalah cahaya hidup gua, dua-duanya sama berartinya melebihi apapun yang ada didunia ini.
Beberapa bulan berikutnya, Fatih tumbuh menjadi seorang anak yang sehat dan lucu. Tingkahnya kadang membuat gua dan Ines tertawa terbahak-bahak, manja-nya juga sepertinya terwaris langsung dari mami-nya. Kalau sedang berpergian atau sekedar berbelanja kebutuhan keluarga, gua jadi seakan ngemong dua bayi; bayi pertama namanya Ines, bayi kedua namanya Fatih.
Boon mau es kriim.. Suatu ketika saat kami bertiga berbelanja bulanan di sebuah mall di daerah Depok.
Yaudah, beli sana.. Gua berkata sambil menunjuk dengan dagu sebuah counter Ice Cream.
Yaah.. beliin.. Kamu mah ngalah-ngalahin anaknya deh, nes.. Ya nanti kalo fatih udah bisa makan juga dia pasti minta.. sekarang kan dia belom makan jadi maminya yang minta..kan sama aja ntar buat fatih juga jadi ASI..
Hadeeh.. Hadirnya Fatih nggak melulu menimbulkan efek positif buat gua dan Ines, ada beberapa konflik yang melibatkan gua dan ines bahkan ada juga yang melibatkan kami dengan nyokap gua. Dimulai dari menyebut panggilan untuk Fatih terhadap Ines dan Gua, Ines bersikukuh untuk menggunakan panggilan yang sedikit ke-barat-baratan; Mommy Ines dan Daddy Boni, buat gua nggak ada masalah sama sekali dengan panggilan untuk Ines, sounds good! pun jika di tulis dan diserap kedalam bahasa Indonesia; menjadi Mami Ines, justru yang agak mengganjal adalah sebutan untuk gua; Daddy, yang kalau di serap kedalam bahasa Indonesia bunyinya menjadi; Dedi, gua bener-bener nggak nyaman mendengarnya, selain terlalu norak dan agak western panggilan tersebut takut menimbulkan kerancuan dalam ambigu-nya nama-nama lain, seperti Dedi Corbuzier, Dedi Dukun, Dedi Mahendra Desta, Dedi Dores, Dedi Ratnasari atau bahkan nama sebuah Bus malam; Dedi Jaya. Hadeuh.. akhirnya setelah sedikit perdebatan kecil, tok.. tok.. palu diketok, keputusan pun diambil, deal!;
Mami Ines dan Ayah Boni. Posisi gua dan Ines yang sama-sama bekerja sedikit banyak menimbulkan beberapa gesekan kecil mengenai gaya asuhan Fatih. Sejak berusia dua bulan, gua, Ines dan fatih tinggal dirumah nyokap, Ines yang sejak awal sepertinya kurang setuju dengan gaya mengasuh neneknya fatih; nyokap gua.
Yang paling menjadi concern Ines adalah perihal pemberian ASI ekslusif, Ines bersikeras kalau Fatih haruslah mendapat ASI ekslusif; yang artinya hanya diberikan ASI sebagai asupan utama sampai Fatih berusia enam bulan. Sedangkan nyokap keukeuh dengan pendapatnya dia, kalau anak umur segitu biasanya sudah boleh diberikan pisang atau pepaya.
Itu bayi kalo nangis mulu berarti laper, kasih bae pisang.. dulu elu juga umur segitu udah emak kasih pisang diaerin..
Ujar nyokap menggebu-gebu dengan statement-nya, Ines mendengar hal tersebut Cuma tersenyum sambil menggeleng-geleng. Didalam kamar barulah dia menumpakan segala unek-uneknya ke gua; pihak netral.
Ya yang namanya bayi, belom bisa ngomong, bisanya nangis.. mau dikasih racun juga dia mangap aja.. Ines berkata, nggak kalah menggebu-gebunya.
Gua Cuma menggaruk-garuk kepala, bingung. Memang kalau dipikir secara nalar dan logika, teori yang disebutkan Ines, tepat. Tapi disisi lain nyokap kalau sudah berbicara begitu, itu bukan lagi sebuah opini, melainkan sebuah titah , sebuah amandemen yang tak terbantah . Akhirnya gua mencoba menengahi dengan pendekatan persuasif kepada nyokap;
Mak,.. Fatih jangan dikasih makan apa-apa dulu, ntar kalo udah enam bulan baru boleh dikasih pisang, paya ato alpukat..
Emang ngapa kudu nunggu enam bulan" Dulu elu umur segitu emak jejelin pisang, ampe sekarang seger..
Bukan gitu mak.. dulu sama sekarang kan beda, bayi kan pencernaanya belon kayak orang gede.. umur segitu kata dokter emang belon boleh makan apa-apa, cukup ASI aja..
Bayi dulu sama bayi sekarang sama-sama bayi.. ....
Oni.. elu sama emak lahirnya duluan sapa" Malah ngajarin yang tua..
Gua duduk, menunduk mengurut-urut pangkal hidung, antara kedua mata, pusing, bingung dan sedikit nelangsa.
Hal tersebut yang akhirnya membuat sedikit gesekan antara gua dengan Ines. Ines bersikeras kalau gaya asuhan nyokap masih tetap nggak pro ASI maka, dia menolak kalau Fatih dititipkan dan diasuh nyokap. Kemudian gua mencari jalan tengah, yaitu Ines berhenti bekerja dan tinggal dirumah untuk mengurus Fatih, win-win solution, i think. Tapi Ines menolak, dia tetap keukeuh enggan berhenti bekerja.
Ya kalo nggak mau salah asuhan, ya kamu nggak usah kerja.. udah dirumah ngurus anak, udah kodratnya perempuan ngurus rumah, ngurus anak.. Nggak, orang laen pada bisa bon.. dua-duanya kerja, anaknya dititipin sama neneknya..
Tapi kan kamu nggak setuju sama gaya ngasuh nyokap..
Ya makanya, yang harus di push tuh ibu supaya pro ASI, bukannya aku yang malah kamu suruh berhenti kerja..
Susah nes.. kamu kayak nggak tau nyokap aja.. Ya terus maunya gimanaa"".. pokoknya aku nggak mau kalo harus berhenti kerja..
Ya kamu nggak usah kerja!!
Gua sedikit terbawa emosi, berteriak ke Ines.
Aku nggak mau boon.. please.. please.. bukan karena aku nggak sayang fatih, bukan karena aku takut kehilangan pekerjaan.. aku Cuma mau ibu ngerti mana yang bener.. kamu mau nanti kalo Ika punya anak, bakal diperlakukan kayak gitu" Kamu mau nanti anak kedua kamu diasuh seperti itu juga" Kamu tau kan yang mana yang bener" Aku yakin kamu cukup cerdas untuk paham..
Gua Cuma diam, mencoba menghentikan perdebatan ini agar tidak semakin memburuk. Gua menciumi Fatih yang tengah tertidur, memandangnya seakan tidak ada lagi didunia ini yang pantas untuk dipandangi, kemudian berpaling ke Ines yang tengah duduk diatas kasur, menundukkan kepalanya disela-sela lututnya yang ditekuk, sedang menangis.
Gua menghampiri, memeluknya ; Maaf ya udah bentak-bentak kamu..
Ines Cuma mengangguk, gua meninggalkan mereka didalam kamar, keluar kearah teras, menyulut sebatang rokok dan berfikir keras. Lagi-lagi terjebak dalam sebuah pilihan yang berbahaya.
Besok harinya gua menghubungi bokap, orang satusatunya yang bisa menaklukan kerasnya karang pendirian nyokap. Setelah menceritakan detail per detailnya (kecuali detail tentang gua yang bertengkar dengan Ines) bokap berkata;
Udah ntar baba yang ngomong sama emak lu, besok lu anterin aja fatih kemari, baba yang jamin kalo anak lu Cuma minum ASI selama disini..
Oh!, Thank God. Dan akhirnya permasalah gaya asuh perihal ASI tuntas, nyokap akhirnya berhasil dibujuk oleh bokap agar hanya memberikan ASI dan nggak memberikan makanan lain dalam bentuk apapun sampai usia Fatih cukup untuk mengkonsumsi makanan.
Beberapa bulan berikutnya, setelah gua berfikir kalau nggak bakal ada konflik, setelah beberapa bulan yang sudah dilalui berjalan normal, sangat normal. Muncul masalah baru, dan isu-nya tetap sama; gaya asuh . Lagi-lagi konflik melibatkan Nyokap dengan Ines.
Suatu malam saat gua dan Ines baru saja masuk kedalam mobil setelah menjemput Fatih dari tempat nyokap untuk pulang ke rumah, Ines langsung membordarir gua dengan pernyataan-pernyataan mengenai gaya asuh nyokap. Intinya Ines kurang (nggak) setuju kalau Fatih terjatuh, tersandung, terbentur sesuatu dan menangis kemudian nyokap memukul dinding, lantai atau meja tempat Fatih terjatuh atau terbentur, seakan menyalahkan bendabenda mati tersebut.
Masa bon, fatih lagi merembet ditembok, terus kan jatoh, nangis.. ibu malah mukul tembok, nyalahnyalahin temboknya.. itu kan nggak bener.. sama aja ngajarin anak buat meng-kambing hitamkan seseorang atau sesuatu..
.... Memang sedari dulu perlakuan atau gaya asuh orangorang tua disekitar tempat tinggal gua nggak lepas dari model seperti itu. Misalnya saat ada seorang anak balajar berjalan kemudian terjatuh dan menangis, sudah bisa dipastikan si orang tua bakal bilang; Siapa yang nakal, temboknya nakal ya.. nih temboknya nenek pukul..
Entah dinding, entah lantai bahkan terkadang kodok dan kucing pun jadi kambing hitam para orang tua yang mengasuh anak di daerah tempat gua tinggal dulu. Dan hal itu sangat ditentang oleh Ines. Sejujurnya sangat berat buat gua mengakuinya, tapi lagi-lagi opini Ines perihal meng-kambing hitamkan sesuatu sangat masuk akal dan rasional.
Diakhir awal bulan Agustus, setelah melalui survey mendetail dan berkepanjangan, berdasar referensi tetangga dan penduduk sekitar rumah, gua merekrut seorang pengasuh. Seorang pengasuh yang kredibilitasnya sudah teruji, bahkan sangat di rekomendasikan oleh para tetangga.
Hal tersebut nggak ujug-ujug membuat konflik selesai. Nyokap malah punya opini baru;
Elu lebih percaya pembantu daripada emak sendiri, ni"
Bukan gitu mak, Oni takut emak ntar malah kecapean, ngurus Fatih..
Gua memberikan sebuah alasan klise, sungguh klise.
Tapi seiring berjalan-nya waktu akhirnya nyokap pun mengerti ditambah Ika yang selalu memutarkan video tentang pentingnya ASI, gaya asuh yang benar ke nyokap melalui video yang dia download dari Internet. ---
Konflik berikutnya, sesuatu yang benar-benar nggak gua sangka sebelumnya. Heru mengirim email ke gua, isinya sebuah informasi kalau beberapa hari yang lalu Ines menghubungi-nya melalui skype, meng-introgasinya tentang Resti .What!!
Gua membalas pesannya dengan kalimat singkat; Trus lu ngomong apa" dan mengirimnya.
Seketika gua sedikit enggan untuk pulang, tapi dengan meyakinkan diri gua kalo nggak ada apa-apa kenapa harus takut . Malam harinya, saat itu jam menunjukkan pukul sembilan saat gua tiba dirumah, gua melongok sebentar kedalam kamar, Ines tengah berbaring menonton tivi sedangkan Fatih sedang asik bermain dengan mainan robot-robotan-nya diatas kasur. Gua beranjak kedapur, cuci muka dan masuk kedalam kamar. Ines yang sadar akan kedatangan gua Cuma menoleh sekilas kemudian berpaling lagi kearah tivi, gua menghampiri Fatih dan menciumi-nya bertanya tentang kegiatannya hari ini, dan Cuma dijawab dengan cengiran lucu-nya sambil memukul-mukulkan mainan robot ke kasur, gua melirik ke arah maminya yang masih menatap ke layar tivi, sesekali menatap ke arah gua, sebuah tatapan yang sangat jarang gua temui, gua yakin ada yang bakal dia utarakan setelah Fatih tidur nanti. Memang sudah menjadi sesuatu kebiasaan kami untuk membicarakan hal-hal yang serius dan penting setelah Fatih tidur.
Dua jam berikutnya, Fatih sudah tertidur pulas masih sambil menggenggam robot mainan-nya. Gua menyelimutinya dan bergegas menggelar kasur kecil ditepi tempat tidur, semenjak Fatih lahir gua sangat jarang tidur dalam satu ranjang bersama Ines dan Fatih, karena memang benar kesaksian nyokap perihal betapa anarkisnya gua saat tengah terlelap, takuttakut Fatih ketendang jadinya gua mengalah dengan tidur dibawah, ditepi ranjang dengan alas sebuah kasur berukuran kecil.
Baru saja gua merebahkan tubuh, ines turun dari kasur dan pindah berbaring disebelah gua. Kasur kecil ini nggak cukup untuk menampung dua orang, gua mengalah dan bangun;
Kok malah turun, itu anaknya ntar jatoh, nggak ada yang jagain..
... Ines Cuma terdiam sambil menatap gua.
Kenapa" Gua bertanya, berpura-pura nggak tau apa-apa.
Apa-nya yang kenapa" Itu.. kok ngeliatin aku"
Emang nggak boleh istri memandang suami" Ya.. bo..leh..sih, tapi.. kayaknya aneh gitu.. Owh, aneeeh ya.. kalo Resti yang mandang, berasa aneh juga"
Apaan sih kamu.. Aku punya waktu semalaman untuk denger penjelasan kamu tentang Resti atau... Atau apa"
... kamu kasih ke aku nomor hape cewek yang namanya Resti, biar aku yang tanya langsung ke dia..what you say"
#51: Liar-Liar Aku punya waktu semalaman untuk denger penjelasan kamu tentang Resti atau... Atau apa"
... kamu kasih ke aku nomor hape cewek yang namanya Resti, biar aku yang tanya langsung ke dia..what you say"
Ines duduk disebelah gua sambil menyilangkan tangannya.
Kamu apaan sih nes.. Lho.. aku kan minta penjelasan, emang nggak boleh" Kalo nggak mau jelasin aku minta nomor hape-nya biar aku cari tau sendiri, nggak susah kan..
Nggak ada yang bisa dijelasin dan aku nggak punya nomor hape-nya..
Bullshit... Gua berdiri, membuka pintu, keluar dari kamar dan duduk di meja makan. Ines menyusul, menarik kursi dan duduk disebelah gua.
Mau sampe kapan kamu ngumpetin cerita tentang cewek itu ke aku, bohong tentang hubungan masa lalu kamu ke aku.."
... ... sedangkan aku, nggak pernah nutup-nutupin masa lalu aku...
... ... sejak awal aku emang udah curiga sama kamu, kok bisa-bisa-nya jaman sekarang ada cowok kayak kamu nggak pernah pacaran...
... ... aku nggak bakal marah bon, sama sekali enggak!, aku Cuma mau tau aja tentang cewek itu.., ya walaupun mungkin setelah mendengar penjelasan dari kamu nanti aku bakal sedikit kecewa..
Sssttt... Gua meletakkan jari telunjuk diatas mulut, memberikan isyarat agar Ines sedikit memelankan volume suaranya, kemudian gua menatap matanya yang saat ini mulai basah.
Nes.. kamu percaya nggak sama aku"
Gua bertanya sambil mencoba memegang tangannya, Ines menarik kedua tangannya dari atas meja, menghindar dari gua.
Nes.. kamu percaya nggak sama aku" Gua bertanya untuk yang kedua kalinya.
Untuk hal yang satu ini, susah buat aku percaya sama kamu.. Cuma untuk hal yang satu ini...
Aku.. bener-bener nggak ada apa-apa sama cewek yang namanya Resti itu, oke.. dulu kita sempet deket, dan kedeketan itu Cuma sebatas teman, thats it.. nggak lebih, nggak kurang..
Masa" Ines bertanya, tersenyum sambil menyatukan kedua tangan, menopang dagunya, memandang ke arah gua dengan sebuah senyuman yang menakutkan. Kamu mau jawaban yang pengen kamu denger atau jawaban yang harus aku katakan"
Yang sejujur-jujurnya.. Ya itulah yang sejujurnya..aku, resti, temen.. Boleh aku minta nomor hape-nya...
Ines mengeluarkan ponsel dari saku baju tidurnya.
Aku nggak punya... Bohong!
Bener neess... aku udah nggak punya nomernya... Ines meletakkan ponsel pintarnya diatas meja makan, sesaat kemudian terdengar musik dari ponsel tersebut. Gua mengenali intro-nya, lagu dari The Used; Liar, liar, pants on fire
And the pills go down and get you higher Baby bottle's burning, motherfucker And the mother hates him like the daughter Only god and maker gripping tighter Saying you will burn in hell, they say You will burn in hell...
Lantunan lagu Liar-liar (Burn In Hell) menggema.
Gua mengambil ponsel tersebut, mematikan musik playernya dan meletakkannya diatas meja, gua memandangi wallpaper ponsel Ines yang memajang foto gua dan fatih yang saat itu tengah berpose nyengir kuda.
Nes.. kamu udah lupa, gimana aku waktu pertama kali ketemu sama kamu"
Nggak.. aku nggak bakalan lupa..
Gimana aku pada waktu itu menghadapi kamu" Cuek dan ... apa ya.. ngeselin..
Dan pada akhirnya... ..... ... Aku sekarang ada disini, duduk sama kamu, ninggalin semua yang sudah aku punya di Leeds buat kamu, apakah itu nggak berarti buat kamu" Apakah apa yang udah aku lakuin buat kamu terus ancur garagara kecurigaan kamu ke aku.."
Tapi aku punya alesan untuk curiga.. Dan aku udah kasih kamu penjelasan, kalau resti Cuma temen, kamu mau jawaban apa" Kamu mau aku jawab iya resti dulu pacar aku , gitu"
... ...Kamu mau aku harus gimana supaya kamu puas dengan penjelasan aku, mau periksa hape aku, mau cek imel aku, apa yang bisa aku kasih ke kamu..." ...
... dan satu lagi nes, aku nggak suka kamu tanyatanya tentang masa lalu aku sama orang lain, kalo kamu punya pertanyaan, tanya sama aku... Tapi.. kalo kamu nggak mau jawab gimana" At least you try...
Ya nggak bisa dong.. Ya jelas bisa!, sangat bisa! Sekarang kamu mau aku gimana"
... KAMU MAU AKU GIMANA"
Ines Cuma menunduk sambil menggeleng menyaksikan perubahan emosi dalam diri gua, tanpa sadar saat ini gua tengan berdiri sambil
menggenggam ponsel Ines mengangkatnya, hendak membanting-nya.
Gua mengucap istigfar kemudian, meletakkan ponsel di atas meja, berjalan menuju ke teras. Gua membuka pintu rumah dan duduk di kursi teras, terdengar dari dalam suara isak tangis Ines dan pintu kamar yang menutup.
Sejak menasbihkan cinta terhadap Ines, gua tau saat ini akan datang, saat dimana gua harus menjelaskan perihal Resti kepadanya, penjelasan yang bukan sekedar kata teman . Iya memang hubungan gua dan resti hanya sebatas itu, tapi penjelasan singkat tentang pertemanan tersebut nggak memuaskan Ines dan gua sadar akan hal itu, gua terlalu egois untuk berbesar hati mengisahkan semuanya. Setelah mengumpulkan keberanian dan mempersiapkan diri, gua bergegas masuk untuk menceritakan semuanya, ya.. semuanya ke Ines, gua akan menghabiskan malam ini untuk berkisah tentang Resti ke Ines.
Gua memutar gagang pintu kamar, cklek..tidak bisa terbuka, sepertinya terkunci dari dalam. Gua menghela nafas panjang dan menuju ke sofa ruang tamu, merebahkan diri diatasnya. Sepertinya sudah digariskan hari ini gua nggak bisa menjelaskan semuanya ke Ines. Sambil berusaha memejamkan mata gua mengucap janji didalam hati; suatu saat nanti nes, aku akan cerita, kamu akan tau semuanya, sementara ini biarkan aku berfikir bagaimana caranya, menceritakan ke kamu.. someday you ll know. ---
Keesokan paginya, Ines menyiapkan sarapan tanpa bersuara dan mata yang masih sembab. Gua sengaja nggak mengajaknya bicara, biarlah emosi gua, emosi Ines, emosi kita berdua reda terlebih dahulu baru setelah itu gua akan mengajaknya bicara. Setelah selesai mempersiapkan semua; sarapan, ASI yang diletakkan dalam botol dikulkas, dia menciumi Fatih yang masih tertidur kemudian menghampiri gua yang tengah duduk di kursi meja makan, dia meraih tangan kanan gua dan menciumnya, Cuma satu kalimat terlontar dari bibirnya yang sengaja dipasang manyun; Aku berangkat dulu, Assalamualaikum.. Gua memandangi Ines yang berjalan perlahan meninggalkan rumah, menjawab lirih; Waalaikumsalam, ati-ati...
Beberapa hari sejak kejadian itu, Ines masih terlihat murung. Sesekali dia sudah mau berbicara kepada gua walaupun kalimat yang dikeluarkannya terbatas, beberapa kali gua mencoba mencairkan suasana dengan bercanda atau sekedar mencolek hidung-nya, tapi dia nggak menggubrisnya, hanya berkata ; Diem ah, aku lagi males ngomong..
Terakhir kali Ines bertingkah seperti itu adalah saat gua membeli konsol game PS3 tanpa berkonsultasi terlebih dulu kepadanya. Itupun durasi marahnya Cuma dua hari dan sekarang sudah masuk hari ke empat dalam event marah perihal Resti .
Nes.. ... Sampe kapan kamu mau diem kayak gitu" ...
Ines.. Ya.. Sampe kapan kamu mau diem kayak gitu" Sampe aku rasa diem -nya aku bisa ngobatin semua kecewa disini..
Ines menjawab sambil menunjuk ke arah ulu hati-nya.
Maapin aku ya.. Minta maaf untuk apa" Selama ini kan kamu ngerasa paling bener, paling powerfull, paling dominan.. buat apa minta maaf..kalo didalam hati kamu nggak tulus, itu juga kalo kamu punya hati ..
Gua menggaruk-garuk kepala, bingung harus ngomong apa lagi.
Yaudah.. aku ceritain ya semua tentang Resti.. Nggak perlu!..
Terus, aku harus gimana supaya kamu nggak marah lagi"
Lho.. aku nggak marah.. Tapi udah berhari-hari kamu diem aja, apa namanya kalo nggak marah"
Diem bukan berarti marah... Ya terus artinya apaa" Pikir aja sendiri...
Gua kembali menggaruk-garuk kepala, kali ini ditambah mengusap-usap wajah sambil menghela nafas panjang dan berdiri meninggalkan Ines yang tengah berbaring diatas kasur sambil menemani Fatih.
Malamnya, gua merasakan ada yang mengguncangguncang pundak gua, gua menoleh dan melihat Ines yang memasang tampang panik sambil terus mengguncang-guncang pundak;
Ayaah.. banguun.. dedek badannya panas banget...
Mendengarnya, tengkuk gua seakan panas terbakar, gua buru-buru bangun, naik ke atas kasur dan menyentuh dahi fatih dengan punggung tangan, Panas.
Gua berdiri, mengambil dompet dan ponsel; Pakein jaket sama kaos kaki tuh anaknya...
Beberapa jam berikutnya gua sudah berada di salah satu rumah sakit Ibu dan Anak didaerah kukusan, Depok.
Dari diagnosa dokter, Fatih mengalami demam tinggi yang diakibatkan oleh infeksi, bakteri atau virus. Dokter mengatakan, Sejauh ini tidak ada yang perlu dikhawatirkan, orang tua hanya butuh pengetahuan tentang tentang Demam dan penanganan-nya. Ines masih menangis sesenggukan di bahu gua sambil menggendong Fatih yang saat ini tertidur pulas setelah diberi obat penurun panas dan antibiotik.
Anak pertama ya bunda" I..i..i ya dok..
Ines menjawab masih sambil sesenggukan.
Iya nggak apa-apa.. panasnya masih normal, nanti resepnya ditebus ya..
Dokter menyodorkan kertas resep, gua meraihnya.
Punya termometer nggak dirumah mas" Sebelum menjawab, gua memandang ke arah Ines. Dia menggeleng.
Nggak punya dok.. Yasudah nanti, di apotik beli sekalian ya termometernya, jadi next time kalau ada keluhan demam jangan Cuma diraba dengan tangan saja, lebih baik pake termometer; kalau suhu lebih dari 37,5 derajat buru-buru dibawa kesini..
Iya dok.. Gua menjawab sambil mengeluarkan ponsel, mencatat apa yang baru dikatakan dokter barusan. Masih ASI kan, dedek Fatihnya"
Alhamdulillah masih dok.. Gua menjawab.
Ayah sama bundanya kerja" Iya dok..
Wah hebat yah, bundanya.. bisa kasih ASI sambil kerja..
Gua tersenyum mendengar pujian si Dokter kemudian berpaling ke Ines yang sekarang tangisnya mulai reda.
Setelah menyelesaikan proses administrasi dan menebus obat di apotik, kami pun bergegas pulang. Didalam mobil Ines sambil memeluk Fatih yang tertidur dipangkuannya, menggenggam tangan gua; Ayah..
Gua menoleh ke arah Ines, tumben saat Fatih sudah tidur dia memanggil gua dengan sebutan itu. Gua Cuma dipanggil dengan sebutan ayah saat tengah berkumpul bertiga, begitu juga gua saat memanggil Ines, jika ada Fatih atau Fatih belum tidur, gua memanggil Ines dengan sebutan Mami.
Ya.. Maafin aku ya.. Lho kok jadi kamu yang sekarang minta maaf" Nggak.. kok aku ngerasa kayak kualat ya sama kamu, diemin kamu berhari-hari..mau kan maafin aku" Iya, aku juga.. Juga apa"
Minta maaf.. Bisa nggak ngomongnya lengkap" Aku juga minta maaf ya nes... Iya.. ayaaah..
Malam itu kami sama-sama tersenyum menembus tengah malam kota Depok. Fatih justru menjadi penyelamat dalam pertengkaran mami dan ayahnya. Gua tersenyum sambil memandang dua malaikat yang duduk dikursi disebelah gua, dua malaikat yang selalu memenuhi hari-hari gua dengan warna.
Saat mobil mulai berbelok masuk kedalam garasi rumah, Ines menatap gua dan berkata; Oiya aku masih penasaran sama cewek itu lho.. Dia tersenyum, mengerlingkan mata seraya keluar dari mobil sambil menggendong fatih.
Gua membalas senyumnya, kemudian menjawab dalam hati;
Iya suatu hari nanti kamu akan tau semuanya..tapi bukan dari aku, bukan dari heru, bukan dari siapasiapa..
#52: Memories Sejak kejadian Fatih demam, dimana kejadian itu sedikit banyak membuat mami dan ayah-nya berfikir untuk saling tidak menyakiti satu sama lainnya, untuk selalu mengedepankan perihal anak,
mengesampingkan ego personal demi anak kami, demi Fatih. Dan sejak saat itu pula Ines tak lagi mengungkit-ungkit perihal Resti yang kemungkinan besar bakal menimbulkan konflik yang sama. Gua melihatnya sebagai sesuatu yang berbeda , sesuatu yang membuka mata gua lebar-lebar; bahwa betapa besar hati istri gua, betapa lapang dada-nya Ines, mengorbankan ego-nya demi anak, membunuh kepenasaran-nya demi keluarga.
Setiap kali Fatih demam, setiap kali Fatih sakit, setiap kali itu juga cinta gua terhadap Ines dan Fatih tumbuh semakin subur. Kehidupan keluarga kecil gua ini juga semakin Harmonis, Ines yang lambat laun level kemanjaan-nya semakin berkurang dan kini tambah bijak dan dewasa dalam bersikap. Fatih yang semakin bawel dengan ocehan-ocehan menggemaskannya, dengan seringnya jatuh ketika belajar berjalan, dengan tangisnya dikala malam, dengan rengeknya ketika sulit untuk makan dan dengan panggilan ke ayah dan maminya yang terdengar lucu, semua membuat hidup gua terasa lengkap, terasa lebih penuh warna, saat ini (dan berharap untuk selamanya) mereka dua malaikat penyemangat hidup gua.
--- Gua duduk diatas kasur sambil mengelus-elus punggung Fatih yang baru saja terlelap. Disebelahnya Ines bersandar pada bahu kanan gua sambil memandang Fatih. Malam ini, tanggal 5 Oktober, beberapa jam lagi Fatih berulang tahun;
Makasih ya Nes udah jadi Ibu yang sempurna buat Fatih...
Aku nggak sempurna, aku masih ninggalin Fatih demi pekerjaan...
Dimata aku kamu sempurna..., makasih kamu udah mau jadi bagian hidup aku..
Kamu tau nggak yah... kenapa aku sayang banget sama kamu" Kamu nggak pernah nanya itu kan".. Ah masa nggak pernah" Pernah ah... Gua menjawab sambil mencoba mengingat-ingat
Aku langsung tau kalo kamu suka sama aku dari sejak awal bertemu.. dari cara kamu memperlakukan aku, dari cara kamu menatap aku..
Ah masa.. .. dari situ aku tau kalo kamu tuh beda .. berbeda dari laki-laki lain yang pernah aku temuin...aku tau kamu perlu waktu untuk bilang cinta... Masa..."
..Iya, kamu tuh nggak peka, dibilang cuek tapi perhatian.. dibilang pinter tapi bego.. What" Bego"..
Iya.. tapi justru ke-bego-an kamu dalam menghadapi wanita yang bikin kamu beda.. yang bikin aku sayang sama kamu..
Wuow.. masak, mami sayang sama ayah karena ayah bego, dek...
Gua berbisik ke arah Fatih yang tengah tertidur sesekali bibirnya manyun .
Ayaaah... Apa.. Dengerin.. Iya dari tadi juga dengerin kamu...
Aku percaya sama kamu tapi jangan sampe sia-sia in kepercayaan aku...
Iya.. Kamu boleh bikin aku kesel, boleh bikin aku marah, boleh bikin aku nangis asal bukan karena ada orang lain, bukan karena kamu genit, bukan karena ... amit amit.. kamu selingkuh... inget tuh..
Ines bicara sambil melotot dan mengangkat jari telunjuknya ke arah gua kemudian mengarahkanya ke lehernya sendiri menirukan gerakan menggorok leher.
Waduh.. iya..iya.. Awas..
Gua tak henti-hentinya menciumi Fatih yang tertidur, Ines beberapa kali memukul pundak gua, memberi peringatan.
Makanya kalo kangen sama anak, sabtu nggak usah masuk, jadi bisa maen sama anak...
Ines berkata sambil menarik baju gua, memberi isyarat untuk turun dari kasur, kembali ke singgasana gua di bawah, diatas kasur kecil yang durjana.
Ya kan tadi udah bilang, ketemu si Aril.. Emang nggak bisa ketemuan-nya hari biasa.. Ya justru, si aril minta hari sabtu...
Lagian udah sih nggak usah nyamping * mulu, ntar kecapean malah drop..
*Nyamping: istilah yang dulu sering digunakan bokap untuk nyari sampingan , sekarang istilah ini sering digunakan Ines.
Yah, mumpung masih kuat, masih ada yang nawarin rejeki..
Gua mencoba mengeluarkan opini gua tentang kegiatan nyamping gua yang kadang memang memakan waktu libur kerja.
Terkadang gua yang lulusan desain dan saat ini bekerja di bidang broadcast, masih punya sedikit passion dalam dunia desain grafis dan menuangkan-nya dengan membuat sketch, awalnya sih memang Cuma iseng-iseng belaka, tapi ternyata salah seorang teman asal Jogja, pemilik distro disana tertarik dengan beberapa sketch yang gua buat, akhirnya berawal dari iseng-iseng malah jadi lumayan buat tambahan beli pampers-nya si Fatih.
Kenapa kamu nggak nulis aja lagi.." enak nggak perlu keluar keluar..
Ines bertanya, sambil menoleh ke arah gua yang tengah berbaring dibawah, diatas kasur kecil. Males..
Gua meletakkan lengan menutupi kedua mata, mencoba untuk segera tidur.
Besok Fatih ulang tahun, tadi siang nyokap menelpon gua, minta dijemput pagi-pagi sekali. Gua udah sempat meyakinkan nyokap, kalau ulang tahun Fatih yang pertama ini nggak perlua dirayakan, karena Fatihnya juga belum mengerti tentang perayaan-perayaan seperti itu, nyokap malah udah bikin selametan malem jumat kemarin dan dia bersikeras untuk datang kesini pada hari ulang tahun Fatih untuk membuat nasi kuning dan dibagi-bagikan kepada tetangga nantinya. Kagak..kagak dirayain, emak Cuma bikin selametan kemaren.. sama besok lu jemput dah abis subuh, ntar mak masak nasi kuning disono..
Ya sama aja itu mah, ngerayain dengan membuat nasi kuning..
Lagian lu ngapa gitu amat si ni" Orang selametan kagak boleh, orang ngerayain ulang taon kagak dikasih, orang mau ngeja nasi kuning dilarang.. Kagaaak maak, oni kagak ngelarang.. boleh.. boleh.. udah besok emak oni jemput..
--- Sore harinya, setelah semua perayaan ulang tahun Fatih selesai. Gua tengah duduk didepan teras menemani bokap bersama Ardhi, pacar si Ika yang katanya sebentar lagi ingin menikah. Bokap menepuk pundak gua, kemudian tersenyum;
Baba sekarang udah punya cucu, setaon... ...
..padahal dulu elu ni.. set dah bukan maen susahnya kalo disuru makan, disuru mandi, lah sekarang lu udah gede, udah punya anak, setaon..
Ya emang oni suru kecil mulu.. Berarti baba udah tua juga yak.." Lah bangkotan ba.. bukan tua lagi... Bokap menghisap rokok kreteknya dalam-dalam, kemudian sambil menggeleng-geleng mengelus-elus jenggotnya dia menoleh ke dalam, Fatih tengah berlari-lari kecil menyusul gua yang duduk di teras, Ines berlari tergopoh-gopoh mengejarnya.
Setdah kan maen cucu gua, jalan bae blon jejeg, uda mao lari.....
Bokap menggelengkan kepalanya lagi, kagum dengan perkembangan motoriknya Fatih.
Nggak bisa diem sekarang pak..
Ines berkata sambil mencoba memegang Fatih, yang dipegang tetap berusaha memberontak, ingin lepas dan berlari lagi.
Yang namanya bocah ya begitu, nes.. ayahnya tuh dulu....
Bokap menunjuk gua dengan puntung rokok kreteknya.
...lagi masih keci mah, segala tai kotok dibakal maenan...
Bandel ya pak, ayahnya Fatih dulu..." Ines duduk disamping gua sambil bertanya tentang masa kecil gua ke bokap. Sementara Fatih masih berlari-larian, kali ini Ardhi yang mengejarnya.
Waduh.. ini bocah.. lagi kecil mah, bangoor-nya bukan maen.. segala radio pernah dibakar... Ines tersenyum mendengar cerita bokap tentang gua.
Kemudian sore itu, Ines, Ika dan Ardhi duduk menikmati teh sambil menyimak cerita masa kecil gua yang dikisahkan oleh bokap dan nyokap. Sedangkan gua, saat ini sibuk menyuapi sambil mengejar-ngejar Fatih yang tengah sibuk berlarian kesana kemari di jalan depan rumah.
Malam harinya bokap, nyokap, ika dan ardhi pulang. Ines menghampiri gua yang tengah menggendong Fatih yang sepertinya kelelahan setelah seharian nggak henti-hentinya bermain.
Aku bayangin kamu waktu kecil kayak gimana ya.." Ya kayak dia..
Sambil menunjuk Fatih yang masih dalam gendongan gua.
Ayaah... Ines menggelendot manja di tangan sebelah kiri gua, sedangkan tangan kanan gua masih menggendong Fatih.
Apa sih, jangan gelendotan ah.. ntar anaknya jatoh nih..
Kamu kalo sabtu minggu nggak usah kemana-mana ya...
Iya... Kita hari biasa udah jarang ketemu karena kerja, hari libur kamu nyamping melulu, kapan ada waktunya buat keluarga..
Iya.. Jangan Cuma iya-iya aja dong.. Ya aku harus jawab apa" ...
Gua berjalan masuk kedalam kamar, merebahkan Fatih yang sekarang sudah tertidur kemudian menciuminya sebentar. Setelahnya gua kembali ke ruang tengah, dimana Ines tengah berbaring disofa memandang layar tivi yang mati.


Accidentally Love Karya Boni di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Gua duduk dilantai membelakangi Ines sambil menekan tombol pada remote, menyalakan tivi. Ines meraih tangan gua;
Jangan dinyalain tivi-nya..
Gua kembali menekan tombol power, pettt.. tivi mati, ruangan kembali remang-remang.
Ngapain malah tiduran diluar" .....
Kalo kamu tidur disini ntar anaknya sama siapa" aku ke kamar ya.."
Ish.. jangan!! Ines melotot.
Pokoknya kamu disini aja sampe aku tidur, ntar kalo aku udah tidur kamu pindahin aku kekamar .....
Lima belas menit berlalu, gua Cuma bengong membelakangi Ines menghadap tivi yang nggak nyala. Posisi yang sama dengan sewaktu Ines ketakutan akan petir saat masih di Leeds, saat itu dalam posisi yang sama seperti ini; Ines berbaring di sofa, gua duduk membelakangi dia menghadap tivi. Waktu itu dia bercerita tentang mantan tunangannya; Johan. Gua terdiam, terhenyak dan larut dalam lamunan masa lalu itu. Dulu gua pernah mengutuki keputusan Ines yang seperti menyia-nyiakan keluarga dan sahabatnya demi Johan yang akhirnya malah membuang nya ke jalanan. Tapi disisi lain, gua akhirnya sadar, tanpa kejadian itu Gua nggak bakal bisa berada disini, disampingnya, menjadi suaminya, menjadi ayah dari anaknya.
Gua memalingkan wajah, gua berfikir kalau dia sudah tertidur, tapi ternyata Ines malah masih terjaga, berbaring berbantalkan lengannya tersenyum ke arah gua;
Kamu pasti keinget waktu di Leeds kan" Posisinya sama seperti ini lho..
Ines bertanya, gua hanya mengangguk sambil tersenyum.
Yaah.. Ya.. Bener ya kata orang kalo cinta itu nggak kenal usia, nggak kenal tempat dan nggak kenal waktu.. Kok"
Buktinya, kita.. kamu entah dibelahan dunia mana, dan ketemu sama aku.. trus kamu jatuh cinta sama aku deh..
Eh.. nggak kebalik" Kamu kali yang jatuh cinta sama aku..
Yeee... Nes.. aku sayang sama kamu.. Hah..tumbeen..
Gua Cuma tersenyum memandangi perempuan berkulit hitam manis berwajah mungil dengan rambut sebahu, wajah yang dulu (bahkan sampai sekarang) selalu berhasil mempesona gua. Wajah perempuan yang sering gua ungkapkan sebelum-sebelumnya, perempuan berhati baja yang manja. Gua mengusap pipinya dengan punggung tangan, dia balas tersenyum, meraih tangan gua dan menggenggamnya;
So Do I... Really"
Kamu tau nggak kenapa aku sayang sama kamu" Karena aku bego...
Ines menggeleng, kemudian berkata;
I Love you because when I needed a place to hang my heart, you were there to wear it from the start, and with every breath of me, you really the only light I see...
Gua tersenyum mengecup keningnya kemudian berbisik ;
Itu kata-kata aku.. --- EPILOGUE Gua duduk dihadapan laptop dimeja dapur, menghisap dalam-dalam marlboro light sambil ditemani secangkir kopi, mencoba memulai lagi hobi kecil yang dulu sempat padam, kini dengan sedikit hembusan motivasi, mencoba membakar kembali semangat itu. Gua memandang kursor berkedip pada layar laptop yang menampilkan sebuah aplikasi pengolah kata, kemudian mulai menulis....
EPILOGUE #53: Epilogue 1 Gua duduk dihadapan laptop dimeja dapur, menghisap dalam-dalam marlboro light sambil ditemani secangkir kopi, mencoba memulai lagi hobi kecil yang dulu sempat padam, kini dengan sedikit hembusan motivasi, mencoba membakar kembali semangat itu. Gua memandang kursor berkedip pada layar laptop yang menampilkan sebuah aplikasi pengolah kata, kemudian mulai mengetik sebuah judul: Desain, Sebuah Alat atau Tujuan.
Lama gua memandangi judul yang baru gua ketik tersebut, sebatang, dua batang, tiga batang rokok habis selama memandangi judul itu. Sebuah judul yang boleh dibilang sedikit kontradiktif. Gua menyulut batang rokok ke-empat saat mulai mengetik paragraf pertama, paragraf kedua dan seterusnya. Semuanya begitu mengalir, begitu mulus, hampir tidak ada halangan berarti, boleh dibilang setelah hampir lebih dari sebulan gua menulis sebagian kisah hidup gua dalam sebuah forum internet terbesar di Indonesia membuat naluri menulis gua bangkit lagi. Setengah jam kemudian gua mengangkat kedua tangan sambil meregangkan tubuh kemudian membaca ulang tulisan yang baru saja selesai. Gua menyeruput kopi yang sudah mulai dingin, mengambil ponsel yang tergeletak disamping laptop, mencari sebuah nama dan mulai menghubungi-nya.
Halo Assalamualaikum.. Terdengar sapaan dari ujung telepon.
Waalaikumsalam.. Ari" Iya bang.. ada apa"
Sorry, nih ri.. telpon tengah malem gini, nggak ganggu kan"
Hehehe.. ngga apa-apa bang, belon tidur kok, maklum anak kost-an, nggak bisa tidur sore..ada apa ya bang"
Hahaha.. ini gua udah ada artikel yang lu minta, gua email sekarang ya..
Hah, cepet amat bang, perasaan baru tadi sore saya kerumah..
Iya mumpung lagi mood, nih ri..
Yaudah dikirim ke email saya yang dikartu nama aja bang, makasih ya udah repot-repot..
Nyantai aja ri.. yaudah gua langsung kirim nih ya.. Oke bang..
Oiya ri, nanti kolom authornya, pake nickname aja ya.. jangan pake nama asli..
Oh gitu bang.. oke deh, nicknamenya apa" Terserah elu dah..
Yaudah deh... sekali lagi makasih ya bang.. Iya ri, assalamualaikum..
Waalaikumsalam.. Gua menutup pembicaraan, kemudian meletakkan ponsel kembali disebelah laptop.
Setelah beberapa saat mencari kartu nama Ari, gua menemukannya sudah sedikit lecek ditambah basah disudut-sudutnya, pasti tadi dibuat main oleh Fatih. Gua meng-klik ikon email disudut kanan layar laptop, mengunggah file artikel gua barusan dan mengirimnya ke alamat email yang tertera didalam kartu nama tadi. Gua tersenyum memandang background layar laptop gua yang menampilkan seorang perempuan cantik, hitam manis dengan rambut sebahu tengah berpose dengan seorang anak kecil sedang menggunakan kacamata hitam; Istri dan anak gua.
Gua mengambil cangkir kopi dan bungkusan rokok, kemudian berdiri dan bergegas menuju keluar, ke teras rumah. Gua berhenti sebentar di depan pintu kamar, mengintip melalui celah pintu yang masih terbuka sedikit, masuk kedalam untuk membetulkan letak selimut yang menutupi Ines dan Fatih, mengecup kening kedua malaikat gua ini. Ines menggumam, sejenak dia terjaga dan berkata;
Kamu kok belom tidur" Iya sebentar lagi..
Jangan malem-malem tidurnya..
Kemudian dia memeluk guling dan memejamkan matanya lagi.
Gua kembali keluar, menutup pintu kamar dan menuju ke teras.
Salah satu kegiatan yang sering gua lakukan, duduk diteras rumah tengah malam sambil menikmati secangkir kopi dan sebatang (berbatang-batang) rokok.
Teringat akan kejadian tadi sore, saat dua orang remaja datang bertamu ke rumah. Seorang pria dan wanita; Ari dan Santi. Mereka mengaku berasal dari kampus yang sama tempat gua kuliah dulu. Sedikit curiga gua bertanya darimana mereka bisa mengetahui alamat rumah gua, salah seorang dari mereka menjawab kalau mereka tadinya sempat datang kerumah nyokap dan nggak menemukan gua disana, akhirnya mereka datang kesini setelah diberikan alamat oleh bokap.
Mas Boni" Pria yang mengenalkan diri bernama Ari bertanya. Iya.. ada apa ya"
Begini mas, kita dari kampus xxxxx.. sebelumnya maaf nih mas udah lancang tiba-tiba langsung dateng kesini...
Ya, nggak papa.. ..kita sebenernya mau ngadain semacam seminar khusus untuk anak-anak DKV dikampus mas.. nah pas lagi nyari-nyari narasumber, kita dikasih tau kalo mas bisa bantu, soalnya mas kan almamater kampus xxxxx juga kan..
Oke.. begini.. yang pertama; jangan panggil saya mas.. panggil aja bang , yang kedua; tau darimana alamat nyokap saya", yang ketiga; siapa yang ngereferensiin saya buat jadi nara sumber" Gua mengajukan tiga pertanyaan kepada mereka berdua seraya menyulut sebatang rokok. Ines muncul dari dalam sambil membawa dua gelas berisi air berwarna orange dan menyuguhkannya dihadapan mereka.
Gini bang, kita juga nggak kenal siapa orangnya, soalnya dia juga ngasih taunya via email.. trus masalah alamat, kita minta dari pihak administrasi kampus.. Si wanita yang bernama santi membuka suara.
Oohh gitu... tau alamat emailnya" Oiya minum dulu deh,, Ri.. San..
Ada bang, sebentar.. Ari mengeluarkan ponsel dari dalam sakunya, sesaat kemudian di mendiktekan sebuah alamat email ke gua; theponytailingyou@xxxx.com
Gua mengangkat bahu. Emangnya seminar tentang apaan" Tema-nya sih Desain dan Penerapan dalam kehidupan bang..
Oooh.. bisa sih, tapi.. ...anu bang kalo bisa sih sekalian ngasih motivasi juga, biar bisa dapet beasiswa keluar negri kayak abang, gitu..
Ari berkata malu-malu sambil menyeruput minumannya.
Loh kok tau gua pernah dapet beasiswa" Iya bang, dari pihak administrasi kampus yang ngasih tau..
Ooh.. gua kalo Cuma jadi nara sumber sih nggak masalah, tapi kalo motivasi nggak bisa.. hidup gua aja masih berantakan, gimana mau memotivasi orang.. Yah.. yaudah deh bang.. tapi bener kan setuju nih buat jadi narasumber"
Gua mengangguk, menjawab pertanyaan si Ari.
Kapan sih acaranya" Masih minggu depan bang.. Dimana" Dikampus" Iya bang..
Oke deh.. nanti kasih tau detail acaranya aja, sama audience-nya siapa aja..
Acaranya sih pagi bang, audience ya Cuma anak-anak DKV kampus aja..
Gua manggut manggut sambil menghisap rokok.
Yaudah bang gitu aja deh, kalo bisa saya mau minta kontak abang..
Ari berkata sambil menyerahkan selembar kartu nama, gua menerimanya kemudian menyebutkan nomor ponsel yang buru-buru dicatat kedalam ponselnya.
Oiya bang, satu lagi, kalo bisa saya nanti dikasih bocoran tentang isi topik yang bakal abang bawain ya..
Oh..iya iya..nanti gua email.. Makasih ya bang..
Sama-sama Kemudian mereka berdua pun pamit. ---
Jumat, minggu berikutnya.
Malam itu, hujan. Gua sampai dirumah saat jam menunjukkan pukul enam sore, pekerjaan yang sedikit renggang membuat gua bisa pulang agak sedikit cepat. Setelah melepas jas hujan dan
menggantungnya, gua masuk kedalam dan langsung disambut oleh fatih yang sudah berpakaian rapi. Gua berjongkok bersiap menyambutnya;
Waah anak ayah mau temana, kok wangi bener.. Nek... mah.. nek..
Mau kerumah nenek" Sama siapa" A..y..ah..
Fatih menjawab lucu. Gua menggapai dan menggendongnya, sesaat kemudian Ines keluar dari kamar, juga sudah berpakaian rapi.
Mau kemana" Ke rumah nyokap" Gua bertanya ke Ines.
Iya.. kan katanya kamu mau ngisi seminar besok di kampus..
Ines menjawab sambil membetulkan rambutnya
Ya kan seminarnya besok.. Ya kita ngikut ya dek..
Ines menjawab sambil mengambil alih Fatih dari gendongan gua.
Kita nginep dirumah ibu, besok jadi kamu berangkat dari sana..
Ooh.. yaudah.. Mau siap-siap langsung jalan sekarang apa mau makan dulu"
Ines bertanya sambil menggendong Fatih.
Emang kamu masak" Nggak.. kalo mau makan aku masakin mie.. Nggak deh, ntar aja makan diluar... Assiiik..
Gua bergegas masuk kedalam kamar dan berganti pakaian. Beberapa saat kemudian kami sudah berada dijalan menuju ke rumah nyokap.
Keesokan harinya, gua tengah bersiap siap untuk berangkat menuju ke kampus guna menghadiri undangan seminar. Ines sedang membuat kopi untuk bokap kemudian dia menghampiri gua didalam kamar;
Ayaah.. aku ikut ya" Ikut.. mau ngapain" Pengen ikut aja...
Ngapain sih ngikut-ngikut segala"
Gua menjawab sambil pasang tampang sangar. Bukannya gua nggak mau Ines ngikut tapi entah kenapa setiap gua tengah mengisi acara-acara seminar dan Ines ikut hadir disana, membuat gua jadi sedikit grogi atau entah apa namanya. Jadi, gua berfikir untuk nggak pernah lagi mengajak Ines dalam acara seminar dimana gua jadi narasumber atau pembicaranya.
Yaah.. aku kan pengen liat kampus kamu... Waktu itu kan udah pernah liat..
Ish.. Cuma lewat doang... Ntar fatih sama siapa" Ya ikut juga lah..
Ntar kalo rewel" Ya kan ada mami sama ayahnya.. ....
..ya..ya..ya.boleh ya.. Ines mendekati gua sambil memasang tampang memelasnya.
Oh God!, kenapa sih elu pasang tampang seperti itu nes, yang akhirnya selalu sukses bikin gua menyerah mempertahankan pendirian gua.
Gua Cuma menghela nafas panjang. Ines kemudian buru-buru keluar dari kamar dan memanggil Fatih yang sejak pagi asik bermain dengan kakeknya. Deek.. fatih.. yuk ganti baju, kita ikut ayah.. Dan satu jam berikutnya kami sudah berada di aula kampus. Gua berdiri diatas sebuah panggung berukuran kecil dihadapan hampir dua ratus pasang mata yang menatap kearah gua seakan-akan menelanjangi gua dalam kesendirian. Gua mengetuk mikropon beberapa kali, dan pada ketukan ketiga seisi ruangan hening seketika. Setelah mengucapkan salam gua membuka topik dengan bertanya tentang kabar para peserta dan dilanjutkan dengan menyebut judul Desain sebuah alat atau tujuan .
Selesai acara, gua diantar kebelakang panggung oleh Ari, dimana Ines dan fatih sudah menunggu. Gua mengambil Fatih dari gendongan maminya sambil bersiap-siap untuk pulang, Ari mengapit tangan gua dan membisikan sesuatu, yang gua dengar Cuma selentingan dari omongannya: amplop . Gua memberikan kunci mobil ke Ines dan menyuruhnya untuk menunggu dimobil, dia Cuma mengangguk dan mengangkat tangannya hendak meraih Fatih dari gendongan;
Udah biarin sama aku aja, kamu tunggu di mobil ya sebentar..
Iya..jangan lama-lama.. Iya..
Kemudian gua mengikuti Ari sambil menggendong Fatih kedalam sebuah ruangan kecil yang terletak dilantai dua.
Setelah menyelesaikan urusan dengan Ari, gua bergegas turun melalui tangga menuju kelantai dasar dan disaat turun gua berhadapan dengan sesosok perempuan berambut panjang yang diikat keatas dengan poni yang menutupi sebagian wajahnya. Perempuan itu berdiri disudut tangga menatap gua yang masih menggendong Fatih, kami saling menatap.
Perempuan itu menggigit bibir sambil menyibak poni rambut dengan hentakan lembut kepalanya, terlihat sepintas sebuah luka sepanjang kurang lebih tiga senti disudut dahi kanannya yang kemudian tertutup oleh rambut lagi.
#54: Epilogue 2 Disaat turun gua berhadapan dengan sesosok perempuan berambut panjang yang diikat keatas dengan poni yang menutupi sebagian wajahnya. Perempuan itu berdiri disudut tangga menatap gua yang masih menggendong Fatih, kami saling menatap.
Perempuan itu menggigit bibir sambil menyibak poni rambut dengan hentakan lembut kepalanya, terlihat sepintas sebuah luka sepanjang kurang lebih tiga senti disudut dahi kanannya yang kemudian tertutup oleh rambut lagi. Gua berjalan pelan menuruni tangga, menghampiri perempuan yang masih berdiri diam menatap gua di antara belokan tangga. Seketika perempuan itu membuang pandangannya ke arah lain.
Gua mengangkat tangan, perlahan menyibak poni rambutnya kemudian menelan ludah.
Glek! Gua menurunkan fatih dari gendongan, membiarkannya bermain dengan celana jeans dan sepatu kets gua.
Apa kabar res" Gua membuka suara, memecah keheningan yang sejak tadi menghinggapi kami.
Resti tersenyum, senyuman yang penuh arti. Kemudian membuka suara;
Gua boleh peluk lo" ...
Gua menggeleng pelan. Gua udah punya istri dan ...
Gua mencoba menjelaskan posisi gua saat ini kepada Resti sambil memandang ke arah Fatih yang kini tengah bermain dengan lubang ventilasi kecil yang berada di dinding tangga.
...anak Resti berjongkok kemudian menggenggam tangan mungil Fatih, fatih merangsek kedalam sela-sela kaki gua, seperti biasa dia agak sedikit jadi pemalu jika ada orang yang baru ditemuinya.
Haloo.. adeeek, adeek Fatih ya namanya".. sini yuk sama tante esti...
Gua tertegun, antara bingung, shock dan sedikit penasaran.
Kok lu bisa tau nama anak gua" Gua bertanya penasaran.
Resti bangkit berdiri, membersihkan lututnya kemudian menepuk-nepukan tangan. Dia memandang gua tajam, kemudian berbalik dan berjalan turun meninggalkan gua dan Fatih. Gua bergegas menggendong fatih dan berjalan cepat menyusulnya.
Gimana kabar bini lo"
Resti bertanya ke gua sambil melangkah pelan menyusuri koridor kampus yang sepi.
Alhamdulillah.. baik, lo gimana" Udah merit" Punya anak berapa" Eh kok lu bisa tau nama anak gua sih res.."
Gua memberondong pertanyaan kepadanya, dia menoleh ke arah gua kemudian mengambil sesuatu dari dalam tas nya, sebuah dompet. Dia membuka dompetnya dan menunjukkan sebuah foto usang, sebuah foto yang menampilkan dua orang muda mudi tengah berpose, dua orang yang tengah tersenyum; foto usang hasil jepretan sebuah photobox yang menampilkan; gua dan resti. Gua menghentikan langkah, terpana dan terdiam.
Elo udah merit kan, res" Masa malah majang foto gua..
Kali ini gua bertanya dengan nada lebih serius. Resti nggak menjawab, dia Cuma menggelengkan kepalanya, sekilas terlihat air mata menggenang disudut-sudut matanya.
Seandainya gue bisa, bon.. seandainya gue bisa ngelupain elo.. mungkin sekarang gue nggak ada disini.. mungkin minggu lalu gua nggak ngereferensiin elo untuk jadi narasumber di acara seminar ini.. dan mungkin...
.... ...mungkin nggak bakal kering air mata ini Cuma untuk menangisi kepergian cowok bego yang ninggalin gue demi sebuah obsesi konyolnya... Res.. seandainya bisa gua kasih semua permohonan maaf yang gua punya buat elo.. pasti gua berikan semuanya..
Dan gua juga bakal memberikan semua maaf yang gua punya untuk menjawabnya boon.. Res.. resti,... lu punya hidup yang harus lo jalanin, jangan Cuma nyia-nyiain semuanya buat cowok kayak gua ...
Resti Cuma mengangguk sambil sesekali menyeka air matanya yang mulai menetes.
Udah jangan nangis.. malu.. masa udah gede nangis.. tuh diketawain sama fatih..
Aaah, hehee... Resti tertawa masih sambil menyeka air matanya.
Bon.. Ya.. Gue masih boleh jadi temen lo kan" Hahaha masih lah.. tapi,..
Kenapa" Takut bini lo cemburu" Ntar gue yang ngomong deh.. mana bini lo"
Resti berkacak pinggang, sambil memandang sekeliling. Gua tersenyum sambil memindahkan gendongan Fatih dari tangan kanan ke kiri.
Iya, dia belom tau tentang elu.. lu mau ketemu dia" Yakin"..
Iya.. emang kenapa" Gua nggak menjawab pertanyaanya, Cuma bisa menelan ludah sambil membayangkan Ines tengah melotot ke arah gua dengan jari telunjuknya menirukan gerakan menggorok leher, kemudian gua bergidik.
Nggak apa-apa, Cuma kayaknya sekarang waktunya nggak tepat aja..
Owh, okey.. maybe next time.. Resti menjawab sambil berusaha tetap tersenyum. Gua tau ada kesedihan didalam matanya yang dia sembunyikan lewat tawa dan senyumnya.
Alright, time to go.. Resti menarik tali tas ransel-nya dan bergegas pergi. Spontan gua menarik tangannya.
Eh, res.. boleh minta nomer hape lu"
Hah, buat apa" Empat taon yang lalu lo punya nomer hape gue and even once you texting me.. so kenapa sekarang gua harus ngasih nomor hape gue ke lo" Ya sekarang beda kali...
Gua menjawab dan nggak berani menatap ke matanya.
Oh beda toh, apanya ya yang beda, bisa bilang ke gue" Beda karena lo sekarang udah punya istri, anak dan hidup bahagia selamanya".. beda karena sekarang lo udah bisa menuhin semua obsesi lo" Beda karena sekarang lo udah bisa bahagiain nyokap bokap lo, beda karena lo sekarang udah nggak diperbudak logika" Beda apa nya boon"..
Bukan begitu res... Terus apa dong kalo gitu" Resti bicara sambil mengangkat telapak tangannya kemudian duduk diatas sebuah meja yang sudah agak reot, yang sepertinya diletakkan begitu saja karena sudah tidak layak pakai.
Boon..apa" kasih gue satu alasan, satuuuuu aja alasan kenapa lo nggak pernah menghubungi gue Gua takut res, gua takut perasaan ini kebablasan, gua yang dulu yang selalu menuhankan nalar dan logika memaksa untuk melakukan itu semua..
Resti menganggukan kepalanya sambil menggoyanggoyangkan kedua kakinya yang menggantung diatas lantai.
Yah, paling enggak salah satu dari kita hidup bahagia.. ya kan"
Dia meninju lengan gua sambil mengumbar tawa renyah-nya.
... Gue belom sempet ngucapin selamet atas pernikahan dan kelahiran anak lo.. ...
..berapa umurnya sekarang si Fatih" Setaun jalan lima bulan.. eh elu kan belon jawab pertanyaan gua tadi.. kok lu bisa tau nama anak gua sih"
Hehehe.. siapa dulu.. resti Serius nih gua.. Sebenernya....
Belum sempat resti menyelesaikan omongannya, ponsel gua berbunyi mengalunkan lagu Accidentally In Love-nya Counting Crows, gua melihat ke layar ponsel, nama dan foto Ines muncul disana;
Halo.. Lama ish.. Iya sebentar lagi.. Masih lama nggak" Fatih-nya rewel nggak tuh" Nggak, tunggu sebentar..
Kalo masih lama, aku beli siomay dulu ya didepan.. Oh yaudah, nanti aku nyusul deh...
Ya..jangan lama-lama.. Iya Gua mengakhiri pembicaraan kemudian memasukkan kembali ponsel kedalam saku celana gua.
Bini lo" Hehe iya.. Yaudah sana.. ntar ngambek aja, nggak dikasih jatah lo..
Tapi... Udah gampang ntar gua yang hubungin lo.. Emang lo tau no hape gua, oiya tadi gimana lo bisa tau nama anak gua"
Haha.. rahasia membuat wanita menjadi wanita.. Resti turun dari meja tempatnya duduk, dia mengelus kepala fatih yang sepertinya sudah sedikit mengantuk setengah tertidur dalam gendongan gua.
Kayaknya kok kebetulan banget ya kita bisa ketemu disini"
Gua bertanya kepada Resti.
Bon, kebetulan sama takdir itu bedanya Cuma segini Resti menjawab sambil menjentikkan jari
kelingkingnya. Tante pergi dulu ya dedek fatih, semoga jadi anak yang pintar dan berbakti kepada orang tua.. dan inget ya dek.. jangan jadi pengecut seperti ayahmu.. Kemudian Resti berjalan gontai melewati gua sambil melirik, sesaat kemudian dia mendekatkan wajahnya ke telinga gua dan berbisik:
Nggak semua Robot itu Pintar
Kemudian dia berjalan meninggalkan gua, sempat menoleh sebentar dan mengedipkan sebelah matanya sambil tersenyum penuh teka-teki, gua hanya bisa berdiri memandang punggungnya yang perlahan menghilang ditelan ramainya mahasiswa yang lalu lalang.
Sebuah lagu mengalun dalam benak gua; Lumpuhkanlah ingatanku, hapuskan tentang dia Ku ingin ku lupakannya
Lumpuhkanlah ingatanku, hapuskan tentang dia Hapuskan memoriku tentang dia
Hilangkanlah ingatanku jika itu tentang dia Ku ingin ku lupakannya
Gua berjalan menyusuri koridor yang kini ramai oleh para mahasiswa, sambil menggendong Fatih gua berusaha mencerna apa maksud kata-kata yang tadi diucapkan oleh Resti sebelum pergi. Sesaat kemudian gua berhenti; Deg!
Anjrit! Gua tersenyum, kemudian kembali melangkah menuju ke kios kios yang terletak digang sebelah kampus.
Setelah beberapa saat mencari, akhirnya gua berhasil menemukan Ines sedang asik menikmati sepiring siomay didalam kios. Gua duduk disebelahnya. Bobo ya Fatih-nya..
Iya nih.. Kok lama" Iya tadi ketemu sama.. anu.. Siapa"
Ines mengernyitkan alisnya sambil menatap tajam kearah gua.
Ketemu dosen.. dosen aku dulu.. Ooh..
Nggak enak, jadi ngobrol dulu sebentar.. Gua berbohong, berusaha memasang tampang se kalem-kalemnya agar gaya bohong gua nggak tercium oleh nya. Ines melahap sendokan terakhir siomay-nya kemudian mengambil alih Fatih dari gendongan gua. ---
Malam harinya gua duduk diteras rumah nyokap, ditemani dengan sebatang rokok dan secangkir kopi panas. Memandangi langit malam yang sedikit mendung menghalangi bintang-bintang yang pasti bersinar terang dibaliknya. Ingatan gua berputar kembali dimana saat gua bertemu pertama kali dengan Ines, masa-masa dimana gua jatuh cinta dengan maminya Fatih, seketika muncul bayangan Resti bercampur dengan memori-memori gua tentangnya, gua mengusap-usap wajah, mencoba mengusir bayangan tersebut agar segera pergi menjauh. Kemudian terasa tangan dingin menyentuh tengkuk, gua menoleh menatap Ines yang berdiri sambil bersandar pada kursi dan punggung gua; Kok belom tidur" Iya, nggak bisa tidur..
Kayaknya kamu belakangan ini, tidurnya telat mulu deh.. nanti sakit lho..
Ho-oh.. Ada apa sih" Nggak ada apa-apa.. Bener"
Bener kok.. Kalo ada apa-apa cerita..
Ines kemudian duduk dikursi sebelah gua, menaikan kedua kakinya dan duduk memeluk lututnya yang dilipat.
Ayah.. Ya.. Aku ada disini bukan Cuma jadi istri, bukan pula Cuma jadi ibu dari anak kamu, bukan Cuma jadi pajangan saat kondangan... aku ada disini sekarang sebagai sahabat kamu, sebagai tempat kamu berbagi, berbagi kala suka, berbagi kala duka, kalo kamu ada masalah, sekecil apapun kamu bisa cerita ke aku, sukur-sukur aku bisa bantu..
Gua memandanginya saat berbicara, bibirnya, matanya, hidungnya, rambutnya, semuanya. Semua yang ada didirinya menghipnotis gua, seolah menyeret gua kedalam tatapan matanya, membuat gua seolaholah berada di dunia lain, membuat gua kehilangan kesadaran akan kerasnya dunia, memaksa gua merobek-robek nalar dan logika sampai keambang batas. Hal yang kemudian gua sadari, bahwa inilah sesuatu yang nggak bisa gua dapatkan dari perempuan lain manapun di dunia ini, ya even Resti sekalipun.
Ines perempuan yang bisa membuat gua terbang ribuan mil jauhnya, meninggalkan cita-cita gua hanya demi menemuinya. Hal yang nggak bisa gua lakukan demi Resti.
Nes... Ya.. Aku mau kasih tau kamu sesuatu.. Apa"
Tunggu sebentar.. Gua bergegas masuk kedalam, meninggalkan Ines sendiri di teras. Gua mengambil laptop dan kembali ke luar.
#55: Epilogue 3 Gua bergegas masuk kedalam, meninggalkan Ines sendiri di teras. Gua mengambil laptop, kembali keluar dan mencoba menghidupkan laptop.
Apaan sih" Ines bertanya penasaran sambil menggeser kursi-nya mendekat.
Udah liat aja nih, jangan bawel..
Gua membuka sebuah folder, meng-klik file dengan ikon aplikasi pengolah kata dan menyodorkan laptop ke Ines. Dia menerima dan membaca-nya, gua duduk menggeser kursi menjauh, menyulut sebatang rokok dan mulai memperhatikan raut wajahnya saat membaca.
Tangan mungilnya bergerak menaik turunkan kursor laptop, sesekali dia menggigit bibir bawahnya sambil tersenyum dan beberapa kali gua mendapati dia melirik dan kembali ke layar laptop.
Ini.. kamu yang buat"
Ines bertanya sambil berdiri, meletakkan laptop diatas meja.
Iya.. lho udah selesai baca-nya.."
Gua bertanya sambil memandang Ines yang hendak beranjak masuk.
Besok lagi ah, aku udah ngantuk berat.. lagian aku juga udah tau kemana arah cerita itu..
Eh Nes.. tunggu.. Gua berdiri, sambil memegang laptop menyusulnya masuk kedalam kamar.
Aku ngantuk ah, iya besok aku baca.. Yaah..
Sedikit kecewa, gua menutup layar laptop dan meletakkan-nya kembali kedalam tas, kemudian bergegas untuk tidur.
--- Gua terbangun, gua mencari-cari jam tangan yang gua letakkan di samping bantal tempat gua tidur dan menyipitkan mata memandang jarum jam yang bersinar hijau terang dalam kegelapan; Jam setengah lima pagi. Setelah solat subuh, gua mengintip kedalam bekas kamar gua dulu, tempat dimana saat ini Ines dan Fatih tidur. Seperti biasa, sama seperti dirumah, saat menginap dirumah nyokap pun gua tidur terpisah dengan istri dan anak gua, tapi bedanya kalau dirumah gua tidur sekamar namun berbeda kasur, jika dirumah nyokap gua tidur diruang keluarga, didepan tivi.
Dari kegelapan kamar, berpendar cahaya terang, gua sedikit menyipitkan mata memandang kedalam. Ines tengah duduk dikursi meja belajar gua dulu, menghadapi layar laptop sambil memangku dagu-nya dengan tangan. Gua masuk kedalam dan duduk di tepi kasur.
Gimana, bagus nggak..." Apanya"
Ines menjawab tanpa memalingkan wajahnya dari layar laptop.
Cerita-nya.. Mmm.. bagus, tapi ada beberapa bagian yang kurang detail aja..


Accidentally Love Karya Boni di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bagian mana-nya" Ada beberapa..tapi so far so good, selama nggak dikonsumsi publik..
Deg!!, Amsiong dah gua. Apa jadinya nih kalau gua jujur bilang ke Ines kalau cerita yang saat ini dia baca, cerita tentang kisah cinta gua dan dia, sudah terlanjur dipublikasikan disebuah forum (yang katanya) terbesar di Indonesia.
Ini maksudnya apa kamu nulis cerita ini" Nggak buat di publikasi kan"
Ines bertanya ke gua, kali ini sambil membalikkan tubuhnya menghadap ke gua.
Gua menelan ludah sambil berpaling dan mulai menciumi Fatih yang masih terlelap.
Mmmm... tadinya sih niatnya mau aku posting di Internet..tapi...
Belum juga gua menyelesaikan omongan, Ines sudah memotong;
Apaan" Internet".. nggak..nggak.. jangan.. norak banget deh kamu..
Ines bicara, kemudian berdiri dan duduk ditepi kasur disebelah gua.
Ya kan baru niat, nes.. Gua berkata, bohong. Masih sambil menciumi fatih, nggak berani membalas tatapannya.
Pokoknya aku nggak setuju kalo sampe tulisan kamu yang ini dipublish.. dimanapun, mau di internet kek, di kolom majalah kek, di buku kek, di koran kek, pokoknya nggak dimanapun.. dan baru aku doang kan yang baca cerita ini"..
Ines bertanya sambil setengah membungkuk, matanya berusaha mencari-cari mata gua yang sengaja gua sembunyikan dengan cara (masih) menciumi Fatih.
Boni.." Ines sedikit menaikkan volume suaranya.
Iya.. nggak usah pake urat kali ngomongnya.. Gua menjawab sambil setengan berbisik dan kali ini gua memberanikan diri menatap wajahnya.
Baru aku doang kan yang baca cerita ini".. Ines mengulangi pertanyaannya, sambil ikut berbisik. Gua mengangguk sebentar kemudian berdiri, berniat menutup layar laptop.
Eh.. tunggu.. tunggu.. aku belom selesai baca..
Gua membatalkan niat menutup layar laptop dan kemudian bergegas keluar dari kamar.
Beberapa saat kemudian, Ines keluar dari kamar sambil menggendong Fatih yang baru saja terbangun. Yang pertama gua perhatikan dari Ines adalah raut wajahnya, saat ini dia masih terlihat wajar; berarti Ines belum membaca cerita sampai bagian dimana gua bertemu dengan Resti.
Adek sama ayah dulu ya, mami mau masak aer dulu buat mandi kamu..
Ines menyerahkan Fatih kedalam gendongan gua, kemudian beringsut kedapur. Sambil menggendong Fatih gua menyempatkan diri melongok kedalam kamar, terlihat disana layar laptop masih terbuka dan dibiarkan menyala. Gua menghela nafas, kemudian mengajak Fatih bermain di depan teras, bersama kakek dan neneknya yang tengah berbincang di teras sambil menikmati teh hangat dan singkong goreng dihari minggu pagi yang cerah ini.
--- Gua tengah mengikuti Fatih yang sedang berlarian mengejar anak ayam sambil menyuapi-nya, membiarkan mami-nya meneruskan membaca cerita tentang kisah hidup ayahnya, membiarkan si cerita menuturkan kejujuran secara berani, mewakili si pembuatnya yang bersembunyi dibalik kisah tersebut.
Jam menunjukkan pukul sepuluh pagi, gua tengah berjalan pulang kerumah nyokap sambil menggendong Fatih yang tertidur setelah lelah bermain di rumah Komeng. Sejak pagi tadi gua mengajak Fatih berkeliling sambil menyuapi-nya dan kemudian mampir sebentar dirumah komeng. Disana gua membiarkan Fatih asik bermain dengan keponakan-keponakan si Komeng, sedangkan gua dan komeng malah asik ngobrol ngalor-ngidul membahas hobi baru-nya; membuat gagang (Pegangan) bendo (Golok).
Sesampainya dirumah nyokap, gua mendapati Ines tengah sudah bersiap-siap hendak pulang. Gua merebahkan Fatih dikasur kemudian duduk ditepian kasur didalam kamar, memandang Ines yang tengah menyiapkan botol susu untuk Fatih, sepintas gua melihat perubahan di wajahnya, Raut wajah yang gua kenali saat dulu dia marah saat gua nggak konsultasi dengannya setelah membeli konsol PS3, raut wajah yang gua kenali saat dulu dia marah perihal Resti dan kali ini raut wajahnya menyiratkan kemarahan yang tiada tara. Gua menelan ludah, berlagak santai kemudian bertanya kepadanya;
Nggak pulang nanti sore aja" ...
Ines nggak menjawab, hanya melirik sebentar ke arah gua kemudian kembali memutar tutup botol susu dengan sekuat tenaga; kreeek .
Gua berdiri dan keluar dari kamar, hendak bersiapsiap. Saat berjalan melintasi Ines, gua sempat menangkap seringai tipis dari bibirnya, sekilas gua mendengar suara keluar dari bibirnya; Ish...
Beberapa saat kemudian kami sudah berada didalam mobil untuk pulang ke Depok. Selama diperjalanan Ines nggak sedikit pun mengeluarkan suara. Dia hanya bicara seperlunya saja, gelagatnya pun terlihat berbeda, sama sekali berbeda. Gua hanya menyetir dalam keheningan, keheningan yang sepertinya mendorong gua jatuh dari tepian jurang yang tanpa dasar dan selama perjalanan yang terasa sangat lama ini, gua serasa tengah melayang terjun bebas dari tepi jurang, sambil menatap bawah, ke dasarnya yang bahkan tidak terlihat, gelap.
Sesampainya dirumah, perangai Ines masih belum berubah. Dia turun dari mobil sambil membanting pintu kemudian bergegas masuk kedalam, meninggalkan gua sendiri yang sibuk dengan barangbarang bawaan kami.
Gua sadar kalau inilah harga yang harus gua bayar untuk arti sebuah kejujuran dan keberanian. Kejujuran dan keberanian untuk menceritakan semuanya secara langsung ke Ines, kejujuran dan keberanian yang akhirnya harus diwakilkan oleh sebuah cerita. Dan gua harus siap untuk menghadapinya.
Ines membanting pintu kamar sekerasnya, saat gua masuk kedalam rumah sambil menenteng tas yang berisi pakaian dan perlengkapan-perlengkapan Fatih. Sejurus kemudian terdengar suara tangisan Fatih menggema dari dalam kamar, gua masuk, meraih Fatih, menggendongnya dalam pelukan dan menepuknepuk punggungnya.
Kamu kenapa si, nes.. Kenapa"
Ya lo pikir aja sendiri..
Gua terperangah mendengar sebutan Ines ke gua; Elo
Sambil berusaha menenangkan Fatih, gua keluar dari kamar meninggalkan Ines sendiri kemudian duduk di sofa. Gua nggak mau Fatih mendengar cek-cok atau adu mulut yang melibatkan Ayah dan Maminya.
Setengah jam kemudian, gua mengangkat Fatih yang baru saja tertidur di atas sofa kemudian
membaringkannya diatas kasur, disebelah Ines yang juga tengah berbaring sambil menghadap dinding, memunggungi kami. Gua menepuk pundaknya pelan, Ines menoleh, kemudian berdiri dan keluar dari kamar.
Kamu tuh kalo ada apa-apa nggak usah teriak-teriak didepan Fatih, pake acara banting pintu segala.. Gua bicara ke Ines sambil menutup pintu kamar secara perlahan.
Ines yang tengah duduk disofa, berdiri dan menghampiri gua.
Jawab yang jujur!, cerita itu.. siapa aja yang udah baca selain aku"
Baru kamu doang.. Gua menjawab, bohong (lagi).
Dan.. kenapa aku harus tau tentang cewek yang namanya Resti dari cerita itu.. bukan dari kamu.. Ya sama aja nes, itu cerita juga aku yang buat.. Ooh.. gitu, trus nanti kali ada masalah lain lagi, kamu bakal bikin cerita, trus nunjukin ke aku.. gitu" ...
Gitu bon" Gua nggak menjawab, Cuma memandang matanya yang saat ini mulai berkaca-kaca. Ines kemudian terduduk disofa, menutupi wajah dengan kedua tangannya sambil menangis sesenggukan. Gua Cuma bisa berdiri mematung, menatap perempuan yang paling gua sayangi menangis dihadapan gua dan garagara gua.
Gua duduk dilantai, menghadapi Ines yang masih menangis sesenggukan. Gua menggenggam tangannya dengan tangan kiri, sementara tangan kanan gua berusaha menyeka air mata yang mengalir membasahi pipi-nya.
Maafin aku ya sayang... maaf banget udah bikin kamu kecewa sama aku, maaf banget karena nggak berani cerita secara langsung ke kamu, maaf..
Aku nggak butuh maaf kamu boon, aku Cuma mau kamu jujur ke aku..jujur tentang masa lalu kamu, toh itu hanya masa lalu, saat ini dan kedepannya kamu adalah suami aku, ayah dari anak-anakku.. Ya tapi kan paling enggak kamu sekarang udah tau kan"
Iya aku tau.. tapi bukan begini caranya..
Ines kemudian terdiam, dia mulai menghentikan tangisannya.
Sekarang kamu nggak pernah kepikiran tentang dia lagi kan boon"
Ines bertanya sambil menatap ke gua, tatapan yang berisi sebuah harapan.
Gua mengangguk, sambil meletakkan kedua tangan di masing-masing pipinya, gua mengecup keningnya dan berkata;
Cuma kamu yang ada dihati aku.. selalu begitu dan akan terus seperti itu..
Ines tersenyum, kemudian kami berpelukan. Sebuah pelukan seperti sepasang kekasih yang kembali bertemu setelah terpisah sekian lama. Sebuah pelukan yang menasbihkan betapa cinta gua ke Ines, cinta Ines ke gua, cinta kami ke Fatih begitu kuat dan tumbuh semakin kuat bahkan cukup kuat untuk ditumbuhi benalu remeh-temeh sebuah cerita. Cerita tentang sepasang anak manusia yang dipertemukan Tuhan disebuah tanah antah berantah, tanah yang jauh dari keluarga, jauh dari apa yang bisa orang sebut sebagai rumah .
Boon.. Ya.. Cerita kamu, dikasih judul apa" Accidentally In Love...
Ines tersenyum kemudian mengambil ponselnya dan mulai memutar sebuah lagu.
These lines of lightning Mean we re never alone, Never alone, no, no
We re accidentally in love.. Accidentally in Love. ---
Beberapa hari kemudian, gua tengah duduk sendiri disalah satu kursi didepan sebuah gerai waralaba didaerah Lebak Bulus, gerai waralaba yang sekarang banyak menjamur di Jakarta, orang-orang menyebutnya Sevel singkatan dari Seven Eleven.
Gua duduk sambil menikmati kopi hitam dan sebatang rokok di suatu sore yang sedikit mendung, menagih janji untuk bertemu dengan gua sore ini. Beberapa saat kemudian muncul seorang gadis mengenakan Sweater abu-abu dengan hood menutupi kepalanya dipadu dengan celana jeans selutut dan sendal jepit swallow berwarna hijau, dia menarik kursi dan duduk disebelah gua. Tanpa bicara perempuan ini mengeluarkan bungkusan marlboro menthol, mengambilnya sebatang kemudian menyulutnya. Dia menyeruput kopi hitam milik gua dan mengernyitkan kedua alisnya.
Oke.. lo udah tau nickname gua di kaskus.. sekarang gua mau tau nickname lo..
Gua bertanya tentang nickname yang resti gunakan diforum internet tempat gua mem-publish cerita. Yang ditanya Cuma menyeringai kemudian tertawa. Kenapa" Ada yang lucu"...
Nggak.. apa lo mikir kalo gue bakal ngasih tau" Ya harus lah, nggak ada salahnya kan kalo gua tau" Resti nggak menjawab, dia hanya mengangkat kedua bahunya.
Kemudian pandangan gua beralih ke sebuah Grand Levina silver yang bergerak masuk kedalam area parkir, sesaat kemudian keluar dari pintu kemudi seorang wanita hitam manis dengan rambut sebahu, mengenakan setelan blazer hitam dan rok span dengan warna senada. Wanita tersebut berjalan penuh semangat menghampiri kami, kemudian berdiri diantara gua dan resti.
Resti.. kenalin ini Ines... dan Ines kenalin ini Resti.. Gua mengenalkan mereka berdua, resti menurunkan hood sweaternya kemudian berdiri menyodorkan tangan-nya setelah memindahkan batang rokok ke tangan sebelah kiri. Ines meraih tangan resti dan mereka saling menyebutkan nama.
Resti kembali duduk, sedangkan Ines meraih tangan gua dan menciumnya.
Oh nggak salah pilih berarti lo boon.. Resti membuka pembicaraan dan langsung dijawab oleh Ines.
Sorry.. maksudnya" Hahaha, boni nggak salah pilih mbak.. ternyata mbak lebih cantik dari yang gue bayangkan..dan gue yakin mbak pasti lebih pinter daripada gue..
Ah nggak juga kok. Ines menjawab berusaha merendah.
Oke langsung ke Inti-nya aja deh.. gue tau kenapa gue berada disini sore ini..
Resti bicara sambil membuang puntung rokoknya, kemudian mengambil batang yang baru dan menyulutnya. Ines terlihat sedikit kaget kemudian berusaha menutupi kekagetannya dengan berlagak mengecek ponsel.
Mbak Ines.. gue Cuma bisa bilang kalo sampe sekarang gua nggak bisa ngelupain suami lo... dulu gue cinta abis-abisan sama dia.. tapi seperti yang lo tau, suami lo itu bego, nggak sensitif dan kurang peka sama perempuan, gue yakin lo setuju dengan hal ini.. Gua melotot ke arah resti, dia Cuma tersenyum kemudian meneruskan bicara. Sekilas gua memandang ke arah Ines yang sedang tersenyum.
...dan gue sama boni nggak pernah lebih dari sekedar temen.. mudah-mudahan mbak Ines puas dengan kesaksian gue ini.. oiya perlu diketahui kalo gue ngomong kayak gini tanpa paksaan dari boni, tanpa hasutan dari siapa-pun...
Makasih ya Resti.. Ines bicara sambil tersenyum ke arah Resti.
...yaah mudah-mudahan kalian berdua bahagia selamanya deh..
Resti berdiri, mengantongi bungkusan rokoknya dan menyeruput habis kopi hitam milik gua.
Lho rest, nickname lo" Gua bertanya kepada resti.
Lho.. kan gue udah pernah bilang rahasia membuat wanita menjadi wanita..
Kemudian diberjalan menjauh, masuk kedalam kemudi sebuah Fortuner hitam dan menghilang.
Ines menggenggam tangan gua, tersenyum kemudian berkata:
Kamu beneran bego ya yah.. kok bisa-bisanya nggak nerima cinta cewek cantik kayak dia..
Ya kalo aku pinter, mungkin sekarang kamu lagi jualan bir di Leeds, Fatih nggak pernah ada, bokapnyokap nggak jadi pergi haji dan .....
Dan apa... Dan mungkin aku nggak bisa sebahagia seperti sekarang ini...
Kami berdua tersenyum kemudian pergi sambil bergandengan tangan, mesra.
Q&A Om, om ini ceritanya true story kan" Apakah ada dramatisasi"
Iya, True Story. Tidak ada dramatisasi, hanya sedikit koreksi tentang penggunaan bahasa dalam dialog agar lebih nyaman untuk dibaca.
Nama-nama tokohnya juga asli"
Hampir 95% nama yang gua gunakan asli. Begitu pula tempat dan waktu kejadian. Namun ada beberapa tokoh yang namanya sengaja gua samarkan.
Keliatannya org inggris more friendly than our indonesian, huh" Lebih ramah kalo baca cerita2 lo ya Nggak juga, dibeberapa bagian kota tempat gua tinggal ada juga yang berlaku kasar dan racist. Ya hampir sama dengan di sini, di Indonesia. Ada beberapa orang yang ramah ada pula yang sedikit kasar.
Om, om, waktu kerja di Leeds gajinya gede nggak" Nggak!, kalo gede ntar susah bawa-nya. Perihal gaji rasanya kurang etis jika gua menyebut nominal disini. Sebagai gambaran, 1 bulan kerja di sana sama dengan 1 tahun kerja di Indonesia dengan posisi dan jenis pekerjaan yang sama (Cuma hitungan kasar saja)
Om, kenapa hampir di setiap part ada backsound lagu nya"
Music For Everyone! Gua pengen semua yang membaca cerita ini bisa punya feel yang sama saat gua mengalami ataupun menuliskan kembali kisah gua ini.
Dan kenapa backsound-nya rata-rata lagu lawas" Sepertinya gua nggak perlu jawab deh pertanyaan semi sindiran ini.
Tapi, kok ada beberapa part yang nggak ada backsound-nya Om"
Sama seperti hidup, kadang hidup penuh warna, penuh musikalitas. Tapi, ada kalanya kita harus hening sejenak untuk menyeimbangkan keselarasan hidup, begitupula dengan backsound pada cerita ini.
Oh gitu, Oiya.. Ente penulis ya bon" Penulis Profesional sih Bukan, Cuma hobi. Om beruk/ Heru apakah masih Di Manchester"
Sampai saat ini, bajingan budukan itu masih tinggal di Manchester. Kadang gua menyempatkan diri sekedar ngobrol melalui skype dengannya.
Kalo gue pengen chatting sama ente, sekedar nanyananya via skype, boleh bang"
Boleh. ID Skype-nya apa Om"
Kalo nggak salah gua pernah menantumkan ID Skype di salah satu part pada Chapter 3 versi thread.
Om, om, kenapa ceritanya kok Prekuel-nya malah dibelakang"
Iya, terinspirasi oleh film starwars.
Bang Boni mau nanya serius. Waktu di Inggris minum kopi apaan sih" Kalo pas di Indonesia kopinya juga apaan"
Di Inggris atau di Indonesia kopi-nya tetep sama, waktu di Inggris temen gua komeng yang selalu ngirim kopi bubuk dengan bungkusan cokelat biasa dibeli di pasar Kebayoran Lama.
Bang, ada twitter atau FB nggak"
Saat ini nggak punya dua-duanya, baru rencana mau buat Twitter.
Om, gimana supaya bisa dapet beasiswa kayak ente" Wah kalo jaman gua dulu, informasi nggak seperti sekarang yang sangat cepat menyebar apalagi dibantu dengan sosial media. Jaman sekarang sudah banyak perusahaan-perusahaan asing maupun local yang membuka program beasiswa, silahkan di googling sendiri.
Om Boni, sampe sekarang tante Ines belom tau dong tentang cerita ini"
Ines tau tentang cerita ini tapi nggak tau kalo cerita ini di publish di kaskus.
Om, boleh nggak ketemuan, sekedar pengen tau wajah om yang katanya tampan"
Boleh, siapin aja sesajen-nya; bayi monyet di osengoseng
Bang, bang.. kenapa sih kok kepikiran nulis di SFTH ini"
Karena nulis di Blog terlalu mainstream dan menulis di diary terlalu girly
Sori cing, kalo dibilang nulis diary terlalu girly gw kok agak2 kurang setuju yak"
Mungkin kalo pertanyaan ini ditanyakan kepada So Hok Gie, dia bakal ngasih jawaban yang beda. Sayangnya pertanyaan ini ditujukan ke gua; ya itulah jawabannya.
Mungkin (mungkin lho) kalau so hok gie hidup pada jaman sekarang, dia pasti nge-blog.
Bon, tulisan lo menginspirasi banget deh, boleh tau nggak lo dikasih makan apa waktu kecil sama nyokap lo"
What!", oncom Om, seandainya bini lu akhirnya tau cerita ini di publish di kaskus, kira-kira gimana reaksinya" Gua nggak tau reaksinya tapi, Silahkan kunjungi gua di rumah sakit.
Om Bon, cakep mana aunty Ines ama aunty Resti" Bwahahaha.. pilihan yang berbahaya... Tanpa mengesampingkan keindahan Tuhan melalui makhluk ciptaanya yang hampir tanpa cela...
Ah sudahlah, kalian pasti tau lebih cakep mana..
Yaah tamat yah, kurang om, tambahin dong.. Gua bisa saja terus becerita on and on and on and on and on.., tambahan detail disana-sini, membuat prekuel baru atau sekuel. Tapi, segala sesuatu yang berlebihan tidak lah lebih baik. Buat gua Yang baik adalah yang ideal, tidak kurang dan juga tidak lebih; Cukup.
Sekapur Barus Setelah hampir lebih dari satu bulan lebih gua bercerita tentang penggalan hidup gua disebuah forum internet (yang katanya terbesar di Indonesia). Setelah lebih dari 60 part, 7 Chapter dan lebih dari 112.000 kata gua rangkai, akhirnya sampai disebuah frase dimana gua harus mengakhiri-nya. Bukannya enggan untuk terus menulis, bukannya malas untuk terus bercerita, tapi gua Cuma mau kisah ini tetap pada koridor-nya, tetap pada benang merah yang menjadi kerangka cerita ini. Gua bisa saja terus bercerita tentang detail-detail yang mungkin terlewat, adegan-adegan yang dengan sengaja atau tidak sengaja ter-lupakan atau mungkin sebuah pre-kuel lagi dimana gua duduk dibangku SMA dan Kuliah, yang tentunya menurut hemat gua bakal mengurangi esensi dari kisah ini.
Kita; gua, elu dan kalian semua pasti sadar akan hadirnya akhir pada sebuah awal , hanya ada satu zat didunia ini yang memiliki infinitas; bukan angka nol, bukan luasnya laut, bukan tinggi-nya langit, bukan usia, bukan pula semesta, melainkan Tuhan, Dia yang tanpa awal dan tak punya akhir, The Real Infinity. Tapi terlalu jauh rasanya jika gua membawa-bawa infinitas tuhan dalam kisah konyol ini.
Seperti yang pernah gua tulis dalam salah satu bagian cerita, This is not The End, Its just a Beginning . Dan disetiap akhir dari sesuatu merupakan sebuah awal buat sesuatu yang lain. Mungkin dengan berakhirnya cerita gua ini, gua bisa menulis cerita lain, yang mungkin nggak based on true story suatu saat nanti, mungkin bisa menginspirasi teman-teman yang lain untuk ikut menulis atau mungkin ada beberapa orang yang terinspirasi dari kisah ini sehingga akhirnya bisa memulai sesuatu yang sebelumnya dianggap mustahil.
Bisa jadi" Harus Bisa!
Gua pernah mendapat sebuah pertanyaan dari salah seorang readers;
Bang, enak banget ya jadi elu, bisa kerja di inggris, gimana sih caranya"
Jangan selalu mengikuti jalan yang sudah gua tapaki, cobalah menggunakan sepatu yang sama dengan gua.
Ada beberapa hal unik terjadi selama gua menulis cerita ini; hal pertama tentu saja tentang respon istri gua, yang terkadang sering mendapati gua duduk di kursi meja makan tengah malam buta hanya untuk menyelesaikan part dalam cerita ini. Dan sampai saat ini dia masih berfikir saat itu gua tengah bekerja menyelesaikan tugas kantor.
Hal berikutnya adalah terkuaknya kembali potonganpotongan memori tentang masa-lalu yang beberapa diantaranya sudah gua bungkus rapat-rapat dengan kelambu kenangan agar tidak lagi menghantui tidur malam gua.
Berkat cerita ini pula, sebuah kebenaran berdiri tegas. Ines mengetahui tentang siapa Resti dan gua semakin terbuai dalam kebesaran hati Ines. Dan bukan demi sebuah pembelaan, saat suatu malam gua berkata ke Ines;
Kebenaran yang belum dikatakan bukanlah sebuah kebohongan, nes..
Kemudian Ines menjawab; Kebohongan berasal dari kebenaran yang nggak dikatakan, kemudian diselewengkan, you just millimeter away from that shit, liar!
Dalam kurun waktu gua menulis dan memposting cerita ini dalam sebuah forum, ada kalanya gua sempat dibilang kurang aktif dalam menjawab beberapa pertanyaan yang terlontar dari beberapa member, bukannya pelit berkomentar atau malah terkesan sombong, bukan, sama sekali bukan. Gua berlaku seperti itu (pelit komentar dan kurang aktif) hanya demi melindungi isi dari benang merah cerita dan tetap mencoba berada di balik layar agar kemisterius-an gua tetap terjaga.
Ditambah ada beberapa orang yang mungkin penasaran tentang bagaimana rupa Ines, cantikkah Resti, semirip apakah Heru dengan beruk atau mungkin sesangar apakah si komeng. Untuk hal yang satu ini, dengan berat hati gua selalu mengabaikanya, tentu saja tujuannya sama; hanya urutannya yang sedikit berbeda; Untuk menjaga privasi mereka yang menjadi tanggung jawab gua setelah cerita ini di publish dan (tetap) melindungi isi dari benang merah cerita ditambah sebuah psikologi teori ekspektasi yang bakal diterima pembaca, menurut gua justru dengan menebak-nebak, mencoba menerka dan tenggelam oleh rasa penasaran tersebut lah para pembaca justru berimajinasi semakin luas, semakin merajalela dan pada akhirnya mendapat kepuasan tersendiri dengan Ines versi imajinasinya, dengan Resti versi khayalannya atau mungkin Heru versi bayangan pembaca masing-masing; The Power Of Imagination.
Gua hanya membimbing pembaca untuk membangun tokoh lewat penggambaran yang gua tuliskan.
Ada yang sempat bertanya: Bang elo penulis ya" Bukan!, sama sekali bukan. Menulis merupakan hobi, menulis merupakan sebuah kesenangan tanpa henti, menulis merupakan sebuah cara membunuh waktu, buat gua menulis adalah belajar, menulis untuk menggambarkan kesedihan, menulis adalah cara meluapkan kegembiraan. Sejak kecil gua sudah menulis, entah menulis indah di buku bergaris lima (buku wajib SD jaman dulu), menulis kata mutiara di diari teman, menulis cerpen tentang pekerjaan bokap bahkan gua sempat menulis surat ijin sakit untuk diri gua sendiri #eh (maksudnya memalsukan surat). Intinya, gua bukan penulis professional dan nggak pernah mengenyam pendidikan formal sebagai penulis.
Ada satu saran dari salah satu tokoh paling berpengaruh dari gaya menulis gua; Charles Dickens dan Oliver Twist adalah salah satu novel favorit gua. Dia pernah bilang;
Untuk mulai menulis, banyak-lah membaca .
Dan Charles Dickens bukanlah satu-satunya penulis yang menginspirasi gua, Dan Brown dengan Digital Fortress-nya juga pada akhirnya malah merubah arah gaya menulis gua dari banyaknya penggunaan prosa negatif menjadi lebih kaya dengan penggunaan prosa positif. Tapi, keunggulan Charles Dickens dengan kalimat-kalimat sederhana-nya terkadang masih terasa terlalu sederhana dibanding Dan Brown yang lebih punya banyak kemajemukan dalam penggunaan kalimat dan penggambaran lokasi yang sempurna dimana sampai saat ini gua masih mencoba mempelajari gaya-nya.
Oke sedikit tips buat teman-teman yang lain, bukan bermaksud untuk menggurui, bukan pula sok ber-jagoria, hanya sekedar tips, boleh digunakan jika berguna dan boleh diabaikan jika kurang berkenan;
Contoh-1 Andi bangun tidur, makan, pergi kewarung untuk membeli rokok, dijalan bertemu soraya yang cantik, mereka pun berkenalan.
Contoh-2 Terbangun dari tidur, rasa lapar menghantui-nya. Andi menyambut sepiring nasi penuh lauk yang sudah siap diatas meja makan kemudian mulai melahapnya. Selesai makan, Andi berjalan menyusuri gang kecil menuju ke warung untuk membeli rokok, ditengah perjalanan dia bertemu dengan perempuan cantik dengan rambut panjang, andi terpesona. Kemudian mereka pun berkenalan, nama perempuan itu; soraya.
Contoh-3 Andi merasakan rasa lapar yang amat sangat, dia terjaga dari tidur-nya. Di meja makan Andi disambut oleh sepiring nasi penuh lauk yang seakan memanggilnya, sekejap kemudian Andi sudah larut, bergumul dengan peluh dan nasi penuh lauk dihadapannya.Setelah rasa laparnya terpuaskan, ia bergegas meninggalkan rumahnya yang terletak di gang sempit menuju ke sebuah warung yang berada di ujung jalan. Disalah satu sudut jalan dia melihat sosok wanita cantik, tinggi semampai dengan rambut yang sebagian menutupi wajahnya. Andi diam tak bergerak, tertegun dan terpesona. Tanpa menunggu lama, takut kesempatan terbuang, Andi menghampiri wanita itu kemudian menjulurkan tangan;
Hai,.. boleh kenalan"
Boleh.. Wanita itu menjawab sambil tersipu.
Nama gue soraya, panggil aja aya.. Halo aya.. nama gue.. sayang Andi menjawab sambil berkelakar Eh.. halo sayang..
dan mereka pun berkenalan.
Dari ketiga contoh yang gua jabarkan diatas tentu saja tidak ada yang salah, hanya saja berbeda dari tingkat penjabaran dan penggambaran lokasi dan karakter. Buat gua tentu saja contoh nomor dua sudah cukup mumpuni untuk memuaskan pembaca menyelami cerita. Tapi, contoh terakhir adalah yang paling mendekati penggambaran karakter dan lokasi. Karakter Andi pada contoh ketiga lebih dapat mengeluarkan sisi dirinya yang spontan juga sedikit lucu dan penggambaran lokasi rumahnya juga lebih ter-eksploitasi.
Dari segi editorial gua juga ada sedikit tips; Usahakan jangan pernah melakukan editing saat tengah menulis, biarkan jari-jari lo terus menulis tanpa terinterupsi oleh grammar, missing symbol atau bahkan salah ketik. Setelah selesai menulis satu bagian barulah lakukan koreksi. Untuk menulis dengan dasar sebuah pengalaman pribadi hendaknya kita buat semacam timeline atau timetable tersendiri kemudian diisi dengan kata kunci dari kejadian-kejadian paling diingat kemudian mundur kebelakang, hal itu akan membantu menemukan missing link pada memori kita. Kemudian berdasar dari kata kunci yang sudah dibuat tadi, bisa dikembangkan menjadi sebuah kalimat yang akan menjadi kerangka sebuah cerita. Misal:
TIMELINE ?" Bejo anak Andi lahir
?" Soraya mengandung
?" Andi menikah dengan Soraya
?" Mulai bertunangan dengan Soraya
?" Berpacaran dengan Soraya
?" Menyatakan cinta kepada Soraya
?" PDKT dengan Soraya ?" Berkenalan dengan Soraya
Dari timeline diatas bisa dikembangkan lagi menjadi sub-sub bagian yang punya porsi cerita sendiri, kemudian dibuat sebuah kalimat kerangka ditambah beberapa kalimat pendukung, penyelaman karakter, isi dialog yang tepat dan penggambaran setting lokasi. Dari situ akan tercipta sebuah benang merah yang akan membentuk alur yang nyaman untuk dibaca. Perihal penggunaan dan penyusunan kata, ada baiknya menggunakan saran dari Charles Dickens; Banyak-banyaklah membaca .
Untuk yang punya diary atau semacam catatan hidup, mungkin akan sangat membantu. Apalagi (konon katanya) ada sebuah fitur timeline di Facebook dan Path. Buat yang menggunakannya akan sangat-sangat membantu membentuk kerangka cerita.
Oke, itu tadi secuil tips yang mudah-mudahan bermanfaat.
Dan pada akhirnya (karena setiap awal pasti ada akhir), gua mengucapkan terima kasih yang tak terhingga untuk para readers yang setia menunggu update -an cerita, saran jenius, kritik membangun ataupun pertanyaan-pertanyaan Kepo yang secara tidak langsung memberi suntikan semangat gua untuk terus menulis, menyelesaikan cerita yang sudah gua mulai.
Terima kasih banyak juga;
Buat Heru beruk bajingan buduk yang mudahmudahan sukses menikahi cewek bule, pirang yang selalu jadi mimpinya.
Buat Komeng yang saat ini mungkin sedang asik dengan hobi barunya mengasah golok. Buat Bokap, Nyokap, Ika (beserta calon baby-nya), kalian luar biasa (dengan gaya bicara Ariel Noah ) Buat Resti, dimanapun kamu berada, kamu adalah salah satu motivasi gua untuk menyelesaikan kisah ini, berhentilah merokok dan tetaplah isi dunia dengan keceriaanmu.
Buat Ines dan Fatih; Takkan habis isi semesta dengan milyaran kata untuk menuliskan kebahagiaan memiliki kalian.
Ah.. finally (sambil menyeka airmata dengan tissue) Semoga penggalan kisah ini bisa menginspirasi semua orang, ya paling tidak mudah-mudahan bisa menjadi hiburan dikala senggang dalam kesibukan para readers semua.
Keep Dreamin Jangan pernah berhenti Bermimpi, karena mimpi-lah yang membuat kita termotivasi.
Jangan pernah berorientasi pada hasil, nikmati prosesnya.
Sampai jumpa lagi di tulisan-tulisan gua berikutnya, Salam kecup basah dari Fatih yang dari tadi ngusel dipangkuan gua saat menulis ini,
God Bless You, Assalamualaikum, _Alboni_
Seruling Gading 6 Fear Street - Cewek Baru The New Girl Kisah Dua Naga Di Pasundan 8
^