Accidentally Love 7
Accidentally Love Karya Boni Bagian 7
Jam menunjukkan pukul sepuluh malam saat Komeng pamit untuk pulang, nggak terasa sisa obrolan tadi sore yang dilangsungkan sambil berbisik dan berubah jadi obrolan otomotif saat bokap, nyokap atau Ika melewati ruang tamu tempat gua dan komeng ngobrol. Sebelum pulang komeng sempat berkata;
Cinta itu bon& &
& perasaan yang datangnya kita nggak tau dan rasanya nggak pernah berakhir..
Ah tau apa lu meng tentang cinta" Lu aja playboy.. Lah, justru itu.. pengalaman gua jadi banyak.. Hmmm&
Gua manggut-manggut. Nggak lama komeng pamit pulang. Gua duduk diteras rumah sambil menghabiskan rokok yang baru saja gua sulut, gua menggumam;
Cinta itu adalah rasa dimana kita nggak bisa pindah kelain hati pada seseorang, kalau masih bisa berpaling pada orang lain padahal kita sudah mengaku mencintainya, maka tinggalkan lah dia dan berpalinglah pada wanita kedua. Karena
sesungguhnya cinta itu adalah menutup mata, hati, pikiran dan logika agar tidak berpaling ke lain hati. Ah entitas mana yang berkata" perasaaan atau logika atau keduanya" Ah tau apa gua tentang cinta.
Gua membuang puntung rokok dengan sebuah jentikan kemudian masuk kedalam, menutup dan mengunci pintu. Meninggalkan semua perihal-perihal cinta dan remeh temeh lainnya agar tetap diluar, tetap pada koridornya, tetap pada pendirian teguh yang tumbuh subur didalam diri, cinta belum punya tempat di hati gua.
Kemudian sesosok entitas dalam diri gua bertanya; Bagaimana dengan Resti"
Dan kali ini gua dengan tegas menjawab; Hah" Resti" Siapa"
#42: The Past of the Future
Hari ketiga setelah lebaran. Gua sudah berada kembali di Leeds. Okey, walaupun hidup sendirian disini entah kenapa Leeds sukses bikin gua kangen, gua jadi merasa hidup diantara dua dunia, Indonesia dan Inggris, keduanya adalah rumah buat gua, keduanya punya kenangan, punya memori.
--- Hampir setahun sejak kepulangan gua ke Indonesia dan sejak saat itu gua nggak pernah lagi menginjakkan kaki ke kampung halaman. Hidup gua Cuma diisi dengan Tidur, kerja, makan, kerja, tidur lagi dan begitu terus, mungkin kalau boleh mengutip istilah seorang developer software; Looping
Kata orang, hidup di luar negri dimana ketimpangan antar budaya dan latar belakang-nya besar sekali, sangat potensial untuk merubah sifat seseorang. Apalagi di Negara-negara Eropa yang notabene, segala sesuatunya benar-benar berbeda dengan Negara asal gua. Heru, waktu masih di Singapore sebelum berangkat ke Inggris pernah bilang; & Bon, konon katanya kalo tinggal lama diluar negeri, kita Cuma punya dua pilihan; Jadi orang yang bener-bener baik atau jadi orang yang bener-bener bobrok , nggak ada yang ditengah tengah.. dan disana lu bakal berubah menjadi orang yang sama sekali baru&
Awal pindah ke Inggris, gua setuju dengan opini Heru. Tapi semakin kesini, sedikit demi sedikit gua mulai bisa mementahkan opini tersebut. Dengan bangga-nya gua bisa menunjukkan ke Heru, betapa Inggris nggak bisa membuat gua bergeming dari apa yang namanya prinsip. Prinsip yang selalu gua pegang teguh dan kemudian mengakar dalam diri, prinsip untuk selalu mengedepankan logika dan nalar, bahkan tanpa takut gua mengakui bahwa gua adalah budak dari nalar dan logika tersebut.
Dari kecil gua selalu memperdebatkan perkataan nyokap perihal yang namanya pamali , tahayul dan apalah sebutannya. Bukannya nggak percaya, tapi selama hal tersebut bisa dijelaskan secara nalar dan ilmiah maka tanpa ragu gua pun menurutinya, tapi kalau sama sekali nggak bisa dijelaskan secara nalar, atau ada penjelasan ilmiahnya namun logika gua nggak menerimanya, maka jangan harap gua mau menerimanya.
Jangan nyapu malem-malem.. pamali.. Yang jelas bukan karena pamali , kurang kerjaan banget tu orang nyapu malem-malem, malam hari itu waktunya istirahat lagian juga gelap-gelap kok nyapu.
Jangan duduk didepan pintu.. pamali.. Pamali dari mana" Dari hongkong" Nggak usah disangkut-sangkutin dengan pamali -pun yang namanya duduk apalagi tidur didepan pintu itu menghalangi jalan orang lewat.
Anak perawan jangan makan sepet (sayap) ayam, ntar dibawa pergi jauh sama suaminya.. Ya selama yang bawa pergi suaminya yang sah, dimana masalahnya" Kecuali yang bawa pergi kang abu gosok.
Dan banyak hal-hal lain yang masih dianggap tabu, pamali, tahayul oleh nyokap yang selalu gua perdebatkan, dan biasanya bokap yang selalu menengahi sambil berkata ke gua; Udah turutin aja, kalo nggak ngerugiin elu mah..
Gua tipe orang yang nggak bakal menelan mentahmentah apa yang disodorkan ke gua tanpa tau asalusul, sebab, apa, kenapa dan dimana. Pada akhirnya hal itulah yang membentuk gua yang sekarang, gua yang men-dewa-kan nalar dan logika.
Disatu sisi, di dunia kerja yang sekarang, jelas prinsip men-dewa-kan logika gua ini sangat berguna, bahkan boleh dibilang semua keputusan, ide bahkan sebuah klik pada komputer diproses oleh logika dan nalar gua. Dalam dunia desain banyak yang bilang kalau perasaan dan feeling lebih mendominasi dalam berkreasi, nggak sepenuhnya salah dan buat gua sama sekali nggak benar. Kalau ada orang yang setuju dengan statement perasaan dan feeling lebih mendominasi dalam berkreasi, maka gua akan menyerahkan sebuah pensil serta selembar kertas ke orang tersebut kemudian menyuruhnya untuk menggambar, atau men-sketsa atau mendesain atau membuat kaligrafi atau berkreasi tanpa harus befikir, ingat! Jangan berfikir. Bisa" Nggak mungkin. Nalar akan berusaha mengambil memori-memori dalam otak, memprosesnya kemudian member isyarat ke tangan untuk mulai menggerakan pensil membentuk sesuatu yang paling sering dibayangkan, kemudian logika akan membantu menyatukan guratan-guratan pensil menjadi bentuk yang lebih presisi.
Dan prinsip itu pula yang pada akhirnya membawa dan menemani gua berpetualang ke negri-nya Ratu Elizabeth ini, dan pada akhirnya prinsip tersebut runtuh seruntuh-runtuhnya, amburadul, pecah nggak keruan, berbalik menyerang diri gua sendiri saat gua memasuki akhir tahun ke-empat gua berada di sini, di Leeds.
Kalau kata orang betawi ketula yang bisa diartikan kemakan omongan sendiri .
Gua yang selalu men-dewa-kan nalar dan logika akhirnya harus bertekuk lutut, menyerah dihadapan seorang wanita asing yang baru gua kenal.
Berawal dari kejenuhan gua saat memasuki weekend di akhir musim gugur. Pagi itu cuaca sedikit mendung dan berangin. Gua terjaga akibat pemanas ruangan yang sejak semalam mati. Tidur dengan menggunakan sweater dan kaos kaki membuat gua nggak nyaman dan beberapa kali terbangun. Jam menunjukkan pukul 5 dini hari saat gua duduk dikursi dapur sambil menikmati sebatang rokok dan secangkir kopi hitam yang uapnya masih mengepul, dengan kedua kaki nangkring diatas kursi gua melihat-lihat catatan yang selama ini gua tulis dalam PDA, sambil menghapus beberapa reminder yang sudah nggak lagi berguna gua menyadari kalau sudah hampir sebulan ini gua nggak pergi memancing. Gua bangkit, kemudian menuju ke kamar mandi untuk sekedar cuci muka dan sikat gigi lalu bergegas menuju ke tempat Darcy untuk complain perihal pemanas ruangan yang rusak sebelum berangkat memancing.
Satu jam berikutnya gua duduk di kursi lusuh yang terletak di lantai bawah yang digunakan Darcy sebagai gudang. Darcy dan seorang pria teknisi gas dan pemanas ruangan langganan-nya tengah berdebat mengenai spare-part yang harus diganti, setelah melalui perdebatan panjang, dengan wajah sedikit lecek teknisi tersebut melanjutkan memperbaiki salah satu pipa pemanas sambil menggumam nggak jelas. Kemudian teknisi tersebut meminta gua ke atas, ke kamar gua untuk mencoba menyalakan pemanas, gua bergegas naik ke atas dan menyalakan pemanas, sedikit berdengung di awal kemudian perlahan-lahan suhu ruangan berubah hangat. Gua turun kebawah, menghampiri Darcy yang tengah berdiri disamping teknisi tersebut sambil berkata it works . Sambil sedikit berbasa-basi gua menenteng sepeda menuruni tangga kemudian berlalu, meninggalkan Darcy dan si teknisi yang sepertinya masih melanjutkan perdebatan mengenai sparepart pemanas yang sudah harus diganti.
Sebelum berbelok ke jalan berpasir menuju ke danau, gua mampir ke sebuah toko kelontong, Le Grocery. Pak tua si penjaga toko tersenyum saat gua memasuki toko-nya, setelah mengambil beberapa kaleng Diet coke dan membayarnya;
Gone fishing huh.." Yeah.. see ya.. Have a nice day..
Gua keluar toko setelah sedikit berbasa-basi dengan pak tua pemilik toko, kemudian memasang headset ke telinga dan mulai mengayuh sepeda menuju ke jalan berpasir kearah danau.
Setibanya di danau, gua memarkirkan sepeda didepan sebuah rumah yang mirip bungalow. Didepan bungalow tersebut berdiri sebuah papan usang, sama usangnya dengan bungalaw teserbut bertuliskan; Observatorium . Sejak setahun belakangan, saat danau mulai ramai oleh orang-orang yang ingin memancing atau hanya sekedar ber-piknik, bungalow tersebut dialihkan fungsinya sebagai lahan parkir. Pagi itu belum ada satupun sepeda yang terparkir disana, setelah menggembok sepeda menggunakan rantai, gua berjalan gontai menuju ke danau melalui jalan setapak sambil menggendong joran pancing dipundak, menenteng plastik berisi diet coke ditangan kanan dan kursi lipat kecil ditangan kiri.
Gua membuka lipatan kursi mini yang terdiri dari rangkaian besi-besi dan engsel yang memungkinkan untuk dilipat menjadi sangat kecil kemudian duduk diatasnya. Setelah memasang umpan, gua melempar kail sejauh mungkin.
Semilir angin bertiup, menerpa wajah dan menyisir rambut gua. Sambil memandangi tali pancing yang kadang bergoyang-goyang diterpa riak air akibat hembusan angin, ingatan gua akan kampung halaman kembali berpendar.
Gua duduk ditepi danau di pinggiran kota Leeds sambil bernostalgia, mencoba membangkitkan memori tentang memancing, tentang si Komeng, tentang Jakarta, tentang rumah.
Setelah berjam-jam memancing, menghabiskan berkaleng-kaleng Diet Coke akhirnya gua memutuskan untuk menyudahi kegiatan ini. Pulang dengan membawa 6 Ekor ikan Yelowtail (di Indonesia disebut ikan patin) dan sedikit kenangan tentang rumah , gua berjalan gontai menuju tempat dimana sepeda kesayangan gua diparkir, sempat kebingungan awalnya karena sekarang ada banyak sepeda yang diparkir dan gua mulai mengayuh.
Sambil mendengarkan Heaven nya Lost Lonely Boys lewat headset, gua mengayuh sepeda menuju ke rumah, pulang. Melewati jalan berpasir yang dipenuhi pohon-pohon maple di kedua sisinya menuju jalan utama. Jalan yang sangat sepi dan hening, jam menunjukkan angka 4 sore, di sabtu sore seperti sekarang ini memang didaerah sini sangat sepi, kebanyakan penduduk sekitar sedang ke stadion atau pub-pub untuk menyaksikan Leeds United bertanding. Ingin buru-buru sampai di rumah, karena perut udah mulai keroncongan, gua kayuh sepeda lebih cepat. Sampai kemudian terdengar sayup-sayup suara musik yang makin lama makin nyaring, suara musik RnB yang sepertinya diputar dari dalam mobil dengan volume maksimal. Suara tersebut datang dari arah belakang dan kemudian menyusul gua, sebuah BMW silver yang melaju cepat bahkan boleh dibilang sangat cepat, sambil meninggalkan debu persis seperti mobil yang sedang Rally Dakkar.
Orang Gila!! gua mengumpat, masih sambil dengerin coda lagu Heaven nya Lost Lonely Boys. Sampai gua melihat beberapa detik kemudian lampu rem BMW tersebut menyala dan kemudian berhenti.
Deg!, Wuanjrit, sakti juga tuh orang bisa denger suara gua sambil berhenti dan melepas headset dari telinga. Yang ternyata setelah gua sadar, suara gua nggak sepelan pas pakai headset tadi. Gua nunggu sambil dag dig dug, kalau dia ngerti ucapan gua, dia pasti orang Indonesia dan kalo ternyata bukan gua bakal siap-siap kabur.
Pintu penumpang pun terbuka, terbuka secara paksa tepatnya, sedetik kemudian keluar seseorang dari kursi penumpang, terhuyung dan kemudian terjatuh, terdengar makian dari dalam BMW tersebut mungkin seperti bitch atau semacamnya dan sesaat kemudian BMW tersebut pergi, mengasapi orang yang tersungkur itu dengan debu jalanan.
Sesosok perempuan yang awalnya gua kira adalah lakilaki, terduduk dengan kepala menunduk ke tanah. Perempuan yang pada akhirnya meruntuhkan semua prinsip gua tentang Logika dan nalar yang terlanjur meng-akar dalam diri gua, perempuan hitam manis dengan rambut pendeknya, perempuan yang mengubah hidup gua.
Namanya Ines. CHAPTER VI #43: My First& Kata orang, yang namanya pernikahan itu umpama pohon cinta, yang akan terus bertumbuh dan menghasilkan buah yang manis melewati sebuah proses. Semakin kuat akarnya, maka semakin kuatlah pohon itu tegak berdiri. Dalam pernikahan akar diibaratkan sebuah komitmen yang ada pada suami maupun istri. Semakin kuat komitmen yang ada, maka semakin kuatlah biduk rumah tangga tersebut.
Sebuah perumpamaan yang gua kutip dari seorang penghulu di Kantor Urusan agama sewaktu gua dan Ines ikut yang namanya Penataran Pra Nikah .
Saat itu sebulan sebelum melangsungkan pernikahan, pasangan calon pengantin diwajibkan untuk mengikuti yang namanya Penataran Pra Nikah yang isinya Cuma sekedar omong kosong nggak karuan tentang bagaimana menjalani kehidupan berumah tangga yang baik, benar dan sesuai dengan syariat. Parahnya penataran ini dilaksanakan pada jam dan hari kerja. Waktu itu gua dan Ines sampe bela-bela-in bolos kerja demi mengikuti yang namanya penataran ini. Awalnya gua sedikit penasaran dengan apa aja sih konten yang bakal disajikan saat penataran dan berbekal rasa penasaran itulah yang akhirnya membawa gua ke KUA didaerah kebayoran baru jakarta selatan.
Jam sepuluh pagi gua dan Ines sudah tiba di KUA, setelah bertanya ke bapak petugas yang sedang merokok di depan pintu masuk gedung (sangat tipikal orang Indonesia sekali si bapak ini, jam kerja, malah ngudut didepan kantor).
Misi pak, kalo mau penataran disebelah mana ya" Oh mau penataran"
Kebetulan iya pak.. Terlambat kamu.. udah buruan masuk, naik ke lantai dua..
Ok, makasih ya pak.. Gua kemudian menarik lengan Ines yang malah asik moto-in bunga yang terdapat di pot-pot berjejer di depan gedung KUA.
..Eh.. mas..mas.. Terdengar panggilan dari si Bapak petugas yang tadi, setelah menghisap dalam-dalam rokok-nya dia meletakkannya di tanah, menginjaknya kemudian menghampiri kami yang baru saja hendak masuk ke dalam.
...Daftar dulu.. sini.. Si Bapak petugas tadi bergerak menuju ke sebuah meja yang bentuk dan warnanya mirip dengan meja guru di sekolah-sekolah negeri ditambah sebuah taplak segi empat berwarna merah dengan motif bunga-bunga, diatasnya terbuka sebuah buku dengan ukuran besar. Si Bapak petugas tadi menyodorkan sebuah spidol dan memberikan isyarat ke gua untuk mengisi buku yang seperti buku tamu sambil berkata;
Biayanya 30 ribu ya per orang... Oh.. kirain gratis pak..
Gua bertanya sambil mengisi nama, alamat dan nomor telepon.
Di Jakarta mana ada yang gratis mas... Oh gitu pak.. nih pak..
Gua mengeluarkan uang 60 ribu dan menyodorkannya ke Bapak petugas tadi.
Minta kuitansinya dong pak..
Si Bapak petugas tersebut seketika terbelalak, sambil mengambil mengantungi uang yang tadi gua berikan dia menaikkan kaki kirinya diatas pangkuan.
..Kamu ini.. uang 60 rebu aja pake minta kuitansi.. Bapak keberatan"
Ya jelas.. Lho, kalo emang sesuai prosedur kenapa bapak keberatan" Saya kan Cuma minta kuitansi.. Gua masih tetep keukueh ingin minta kuitansi. Pengen tau aja sejauh mana kejujuran dalam birokrasi di KUA ini bisa dijalankan.
Ines menarik lengan gua; Udah ah..
Kemudian dia tersenyum ke arah Bapak petugas tersebut dan mengatakan;
Nggak usah pake kuitansi pak.. maap ya..
Dia menarik tangan gua dan berjalan ke arah tangga, menuju ke atas, sambil ngedumel nggak jelas. Beberapa saat kemudian kami sudah duduk pada barisan paling belakang di sebuah ruangan yang menyerupai aula. Di bagian depan seorang pria berkopiah putih dengan seragam berwarna hijau tengah berbicara. Gua mendengar selentingan tentang pesan-pesan pernikahan, tentang tips-tips dalam berumah tangga bahkan tutorial dalam menghadapi pasangan yang bermasalah. Pria berkopiah tersebut kemudian memberikan kesempatan bertanya kepada para peserta penataran, beberapa tangan mengacung ke atas, disusul pertanyaan-pertanyaan konyol yang bikin sisa peserta terbahak-bahak mendengarnya
Ada lagi yang mau bertanya"
Pria berkopiah tersebut memberi kesempatan lagi kepada peserta untuk mengajukan pertanyaan dan dari gesturnya sepertinya ini merupakan kesempatan terakhir.
Gua mengangkat tangan kemudian berdiri; Maaf pak, penataran ini selesainya jam berapa ya"
Si Pria berkopiah berdehem sebentar kemudian menjawab sambil memandang ke arah gua, tajam; Setelah sesi saya selesai, akan ada orang lain yang meneruskannya, mungkin baru selesai nanti sore. Ada masalah" Kalau anda ada keperluan lain boleh kok keluar, tapi ingat.. nanti anda nggak bakal dapet sertifikat..
Gua Cuma memainkan alis mata sambil mengangkat bahu, terasa tangan dingin Ines menggenggam telapak tangan gua. Gua menatapnya, dia tersenyum kecil sambil berbisik;
Sabar ya sayang.. sabar.. Gua tersenyum;
Iya.. Jam menunjukkan pukul dua siang saat penataran selesai, gua dan Ines duduk di sebuah bangku panjang. Nggak seberapa lama, nama gua dan Ines dipanggil, seorang petugas wanita berkerudung menyerahkan dua buah map berwarna biru tua, bertuliskan masingmasing nama gua dan Ines pada bagian depannya. Gua membuka map tersebut dan terlihatlah sebuah kertas murahan dengan judul Sertifikat Pra-Nikah bertuliskan nama gua di bagian tengah yang sepertinya di print dengan printer yang tinta-nya sudah hampir habis. Gua berjalan keluar dari KUA menuju ke tempat parkir motor sambil ngedumel disusul Ines yang tergopoh-gopoh menyusul gua.
Kenapa si kamu, bon" Daritadi kok bawaannya sewot melulu..
Nggak papa.. Nggak papa apanya, Kenapa sih"
Gua Cuma nggak abis pikir aja, ngapain coba kita buang-buang waktu hampir seharian Cuma buat sampah kayak gini..
Gua berbicara sambil melambai-lambaikan sertifikat yang diprint pada selembar kertas ArtCarton 260gram berukuran A4.
Ya kan tapi kita dapet ilmu juga, boni.. Udah ah, yuk.. gua anter pulang.. Pulang"
Iyak, emang mau nginep" Kamu mau kerja"
Iya.. Yaah... Ines meraih helm yang gua sodorkan, diwajah tersirat kekecewaan dan seperti biasa gua selalu bertekuk lutut kalau dia sudah pasang tampang seperti itu.
Emang lu mau kemana" Nggak.. udah ayuk pulang.. Laah.. kok pasang tampang begitu"
Kirain kamu mau libur, kita jalan dulu kek kemana gitu..
... Gua menyalakan mesin motor dan kemudian melaju menuju padatnya jalan ibukota.
Selama perjalanan Ines Cuma diam saja, nggak seperti biasanya yang bawel dan nggak henti-hentinya ngomong dan bercerita. Gua menoleh kebelakang; Nes..
Hmm.. Diem aja.. Ga papa.. Gua sadar dibalik kata-katanya yang Ga papa punya arti yang kurang lebih begini; Heloo.. ya jelas lah gua apa-apa . Hidup disisi Ines selama ini benar-benar melatih kepekaan gua terhadap dirinya, terhadap wanita. Makhluk dengan gender ini memang sungguh misterius, sulit dimengerti dan nggak mengenal yang namanya logika, segala sesuatu-nya harus lah berdasarkan feeling dan perasaan. Gua dan (mungkin) para laki-laki didunia ini harus hidup dengan sebuah cobaan berat: Mencoba mengerti dan memahami perasaan wanita .
Jikalau ada masalah atau sesuatu yang mengganjal, Ines nggak pernah mau mengatakannya langsung, dia lebih memilih diam sambil pasang wajah murung, kecewa kadang-kadang memelas. Gua dipaksa untuk mencoba menerka-nerka masalah apa yang ada dibenaknya. Kalau diabaikan maka akan keluar katakata seperti; Nggak Peka.. , Kurang Sensitif.. bahkan Nggak punya hati.. , disisi lain gua sama sekali nggak tau apa yang dia mau. Cmon..gals.. kalau kalian, para wanita nggak mau mengungkapkan, gimana kami, para pria bisa tau apa yang kalian mau.
Gua membelokkan motor ke sebuah mall yang terletak di Pondok Indah, Ines yang sejak tadi terdiam tiba-tiba bergerak, gua melirik Ines dari kaca spion motor, dia sedang celingak celinguk, bingung;
Kita mau kemana" ...
Gua Cuma diam. Setelah memarkir sepeda motor, gua menggandeng Ines, berjalan menuju ke lobi mall, masuk dan menuju ke lantai tiga mall tersebut.
Bon, kita mau ngapain kesini" ...
Ines melepas genggaman tangan gua, kemudian berdiri dalam diam. Gua ikutan berhenti dan menoleh kebelakang.
Kasih tau kek.. Gua tersenyum kemudian berkata; Nonton..
Asiiiik... Ines berlari kecil kemudian kembali meraih genggaman tangan gua, kali ini lebih erat.
Ines masih nggak melepas genggaman tangannya saat memilih tempat duduk didepan monitor disebuah meja yang berbentuk seperti meja resepsionis. Wanita penjual tiket menyebutkan sebuah nominal yang harus dibayar untuk dua tiket, gua agak kesulitan mengeluarkan uang dari dalam dompet karena Ines tetap (masih) nggak mau melepaskan genggamannya. Entah kenapa, sepertinya kali ini wajahnya terlihat berbinar-binar, terlihat senang bukan main. Mungkin karena gua mau berubah pikiran untuk akhirnya nggak kerja dan mengajak dia jalan atau mungkin karena ini adalah kali pertama kami nonton di bioskop.
Setelah menunggu sekitar lima belas menit, terdengar suara perempuan yang renyah dan teduh,
menginformasikan bahwa teater tempat film yang gua dan Ines bakalan nonton sudah dibuka dan para penonton dipersilahkan untuk masuk.
Gua dan Ines duduk berdampingan dikursi lembut dengan nuansa warna merah.Lampu-lampu bioskop mulai meredup dan film tentang raja yang gagap pun dimulai, menonton film ini sedikit banyak membangkitkan memori gua tentang Leeds, apalagi aksennya. Mungkin Begitu juga dengan Ines. Sekitar hampir dua puluh menit film berlangsung, Ines yang sejak tadi masih menggenggam tangan gua, sekarang melepasnya. Kali ini di memindahkan tangan kiri gua, melewati belakang kepalanya dan meletakkan dibahu kirinya. Kepalanya disandarkan di dada gua, harum rambut dan parfum beraroma permen nya menyeruak memenuhi hidung gua. Dan dalam sesaat gua kehilangan konsentrasi dalam menonton.
Ines mendongak, menatap ke arah gua penuh arti. Gua balas menatapnya sekilas, kemudian buru-buru mengambil coke ukuran medium dan menyeruputnya sambil menghela nafas panjang, salah tingkah. Ines tersenyum, menyentuh dagu gua dan memejamkan mata. Oh God.. Gua sedikit menundukkan kepala...
#44: If Lovin You Ines mendongak, menatap ke arah gua penuh arti. Gua balas menatapnya sekilas, kemudian buru-buru mengambil coke ukuran medium dan menyeruputnya sambil menghela nafas panjang, salah tingkah. Ines tersenyum, menyentuh dagu gua dan memejamkan mata. Oh God.. Gua sedikit menundukkan kepala kemudian mencium keningnya.
Kejadian berikutnya sudah barang tentu hal yang sering gua alami kalau deket-deket sama Ines, lutut mulai lemes, jantung berdetak cepat kemudian berhenti sebentar dan berdetak lagi lebih lambat. Sungguh suatu cobaan yang luar biasa untuk pria dewasa seperti gua.
Ines tersenyum mendapat ciuman di kening-nya kemudian semakin beringsut dan mengusel manja di dalam pelukan. Gua nggak lagi memperhatikan film yang kami tonton, pikiran gua melayang jauh kembali kepada kenangan tentang apa itu arti dari sebuah cinta. Perempuan ini, seorang Perempuan yang (tadinya) berasal entah dari mana, Perempuan yang mampu meruntuhkan semua ego dan nalar gua hanya dalam waktu kurang dari dua bulan, Perempuan yang membuat logika gua bertekuk-lutut dan menyerah kalah, Perempuan yang mampu merubah abu-abu-nya hidup gua menjadi kumpulan warna yang lebih meriah daripada pelangi, Perempuan yang mampu membuat gua rela melakukan apa saja, Perempuan yang selalu tampil apa adanya, Perempuan yang saat ini tengah berada dipelukan gua, tempat gua mampu membisikan; Gua sayang sama elu . ---
Minggu, 5 Juni 2011 Gua terbangun, didalam sebuah kamar, Kamar gua. Gua mengenalinya lewat langit-langit yang sudah sedikit keropos di salah satu sudutnya, gua merabaraba kasur mencari jam tangan, jam tangan hadiah dari Ines, barang yang nggak pernah absen menemani gua saat tidur, nggak di pakai Cuma diletakkan di bantal disisi kepala. Gua sedikit tersentak saat tangan gua menyentuh sesuatu, sesuatu seperti rambut. Gua bangun, mengucek-ngucek mata sambil memandang sosok perempuan yang tengah tertidur, meringkuk sambil berselimut disebelah gua. Deg! gua celingukan sebentar, mampus dah kalau sampe ketahuan nyokap bawa pulang perempuan ke rumah, tidur seranjang pula, Bisa diarak keliling kampung nih gua. Jantung serasa seperti mau lepas saking lega-nya saat melihat parcel-parcel cantik dan baju pengantin yang kemarin gua pakai tergantung di balik pintu kamar. Fyuuh...
Gua menarik selimut yang menutupi kepala perempuan tersebut, menatap ke wajah nya, wajah seorang perempuan, wajah istri gua, oh God.. gua udah punya istri.. di tampangnya tersirat kelelahan, tapi tetap tersungging senyum tipis di bibirnya, gua mengecup bibirnya, iya... kali ini gua mengecup bibirnya kemudian buru-buru beringsut keluar, ke kamar mandi, ambil wudhu terus solat subuh.. biar sudah halal entah kenapa gua tetap merasa bersalah.
Nes.. nes.. bangun.. solat subuh dulu.. Gua menggoyang-goyang tubuh Ines. Yang dibangunin Cuma menjawab hmm..hooh Buruan, keburu terang..
Ines mengulet sebentar. Ntar kek bon.. dikit lagi..
Ya ntar abis solat subuh, tidur lagi sampe siang.. Gua menarik selimut yang menutupi tubuhnya, perlahan membelai rambutnya dan membisikkan sesuatu ke telinga-nya. Sekejap mata, Ines bangun terduduk dikasur sambil mengucek-ngucek mata; Bangun, ntar siang kita nonton..
Beneran ya.. awas kalo bohong.. Iya.. bener..makannya solat dulu sana..
Ines ngulet (lagi) kemudian beranjak ke kamar mandi, nggak beberapa lama dia kembali lagi kekamar, rambutnya masih kusut;
Boon, anteriin.. Gua menghela nafas, kemudian bangkit berdiri dan mengandeng Ines menuju ke kamar mandi. Rumah gua (rumah bokap gua) ini emang tipe rumah-rumah jaman baheula, dapurnya memiliki atap yang sedikit lebih rendah namun dengan ukuran yang lebih luas daripada ruang tamu, lokasi kamar mandinya pun terpisah dari bangunan utama, kalau subuh-subuh begini memang diluar agak sedikit gelap, apalagi ditambah desiran daun dari pohon melinjo yang tertiup angin, tepat menaungi lokasi kamar mandi, jelas bikin Ines takut.
Udah sana... Gua melepas gandengan tangan gua dan Ines masuk kedalam kamar mandi. Belum ada sedetik dia membuka pintu kamar mandi;
Jangan kemana-mana ya... Iya.. udah buruan..
Awas boong... Pintu kamar mandi ditutup. Nggak ada seberapa lama pintu kamar mandi terbuka lagi sedikit, kepala-nya menyembul dari dalam kamar mandi;
Jangan ditinggalin ya.. Set dah.. iya Ines.. iyaaaa...
Gua menjawab sambil berjongkok didepan pintu dapur menghadap ke kamar mandi. Dari dalam kamar mandi terdengar suara Ines setengah berteriak;
Booonii.. Iyaaaa... Masih disitu kan.. Nggak, udah pergi.. Aaaah.. dia mah... Iya, iya ini masih disini..
Pintu kamar mandi terbuka lagi, gua mendongak, dan mengucap istigfar tiga kali. Ni anak mau ngambil wudhu aja repot banget, Ines muncul dari dalam, masih dengan tampang dan rambut kusutnya.
Bon.. Apa sih nes.. Ini lampunya nggak nyala ya Emang nggak ada lampunya... Yaaah..
Udah buruan ah.. Aku mau pup..
Gua menggeleng sebentar kemudian bergegas masuk kedalam, Ines berlari menyusul gua sepertinya dia bener-bener nggak mau berada sendirian disana. Kemudian setelah mendapatkan apa yang gua cari, lilin. Gua menyalakannya dengan korek sekaligus menyulut marlboro putih yang sejak tadi gua letakkan di atas daun telinga gua dan sambil melindungi nyala api dari hembusan angin, gua membawanya masuk kedalam kamar mandi dan meletakkannya disisi kolam, Ines yang sejak tadi nggak beringsut memegangi kaos singlet dari belakang gua, kemudian masuk ke kamar mandi;
Bon.. kamu nyanyi ya.. biar aku tau kalo kamu nggak kemana-mana..
Ines berkata sebelum menutup pintu kamar mandi. Iya...mau boker aja repot banget
Booon... Suara Ines terdengar dari dalam kamar mandi.
Apa.. Nyanyi!!.. Gua menghela nafas sebentar kemudian mulai menggumamkan bait demi bati lagu Tak ingin usai - nya Tere.
--- Awal hidup baru sebagai keluarga, sebagai suami-istri buat sebagian orang katanya adalah saat saat yang indah dan tak terlupakan. Pun begitu dengan gua dan Ines, semua terlihat sempurna di hari-hari awal setelah pernikahan. Sampai akhirnya tibalah saat gua dan Ines untuk berpisah dari rumah bokap dan nyokap. Memang pada awalnya, sebelum menikah gua sudah meng-iya-kan permintaan Ines yang ingin tinggal dirumahnya sendiri daripada harus tinggal dirumah bokap gua. Selain bisa lebih mandiri tentu saja sangat sayang sekali kalau rumah Ines yang di Depok dibiarkan kosong.
Tapi beda pikiran gua, beda pula pikiran nyokap. Dia punya pola pikirnya sendiri, dan nyokap bersikeras agar gua dan Ines harus dan tetap tinggal dirumah. Suatu malam, nyokap melongok kedalam kamar gua, dia melihat Ines yang tengah memasukkan pakaianpakaian kami kedalam sebuah koper. Kemudian nyokap menghampiri gua yang tengah asik menonton tivi, sambil berkacak pinggang dia berkata dengan suara yang dibuat agak keras, mungkin maksudnya biar Ines dengar;
Nii...emang ngapa sih tinggal disini.. emang lu kagak mau deket sama emak.."
Ya mau mak.. tapi kan Oni sekarang udah nikah, udah punya keluarga sendiri, nggak enak kalo masih numpang disini..
Emang ngapa sih" Kurang lega emang ni rumah" Hah!".. kurang cakep apa nih rumah"!.. Bukan gitu mak...
Udah, bilangin sono bini lu.. bongkarin lagi tuh baju, ngapain pake pindah-pindah segala...
... Gua diam, nggak menjawab. Kemudian berdiri dan menuju ke kamar, dari celah pintu yang sedikit terbuka gua melihat Ines yang tengah duduk diatas kasur, disebelahnya tergeletak beberapa kemeja kerja gua yang sepertinya nggak jadi dimasukkan kedalam koper. Ines menundukkan kepalanya, sesekali dia mengusap ujung matanya dengan tangan. Gua masuk kedalam kamar dan menutup pintu, setelah memasukkan kemeja kerja kedalam koper, menutupnya dan menurunkannya kelantai, gua duduk disebelah Ines;
Sabar ya, Nes.. kita tetep pindah kok, nanti emak gua omongin lagi..
Gua berkata pelan sambil sesekali menaikkan helaihelai poni rambutnya yang menjuntai menutupi sebagian wajahnya. Dia mengangguk pelan, kemudian merebahkan diri di kasur. Gua tau, kalau terpaksa Ines pasti bersedia untuk tinggal disini, dan gua juga tau kenapa dia bersikeras untuk ingin tinggal di Depok, ditempat orang tuanya membesarkan dia, dirumah peninggalan Almarhum Orang tuanya.
Gua seperti terjebak pada pilihan yang berbahaya. Disatu sisi nyokap ingin gua dan Ines tetap tinggal dirumah, disisi lain gua sudah terlanjur janji ke Ines setelah menikah kita bakal tinggal di Depok. Gua terjebak dalam sebuah pilihan, dimana gua nggak bisa memenangkan hati salah satu dari mereka tanpa menyakiti perasaan pihak yang lainnya. Nggak terbesit sama sekali untuk memenangkan hati Ines, perempuan yang kini menjadi Istri gua dan nggak terbesit pula dibenak gua untuk menomor-duakan nyokap. Ah, mungkin secangkir kopi dan sebatang rokok mau berbagi kisah bersama. Gua membelai pelan kepala Ines yang tengah berbaring di atas kasur;
Gua di depan ya, Nes.. Disini aja..
Gua nggak kuasa menahan permintaan Ines, akhirnya setelah membatalkan janji dengan secangkir kopi dan sebatang rokok, gua menemani Ines. Hampir satu jam gua menemani nya, membelai rambutnya sambil menggumamkan lagu-lagu Titik Puspa, Obi Mesakh dan Chrisye. Gua menyibak rambut yang menutupi wajahnya dan Ines sudah terlelap, setelah merebahkan kepala dan meluruskan tubuhnya diatas kasur, gua berjingkat meninggalkan kamar kemudian memenuhi janji suci gua terhadap secangkir kopi dan sebatang rokok.
Gua duduk dikursi diteras rumah, ditemani secangkir kopi panas dan sebatang (berbatang-batang) marlboro light. Memandang kosong ke arah langit malam sambil merenung memikirkan perkataan nyokap tadi dan akibat yang ditimbulkannya terhadap Ines. Nggak lama berselang, terdengar suara pagar besi didepan berderak, bokap baru saja pulang. Setelah meletakkan sangkar burung di paku yang tertancap di langit-langit teras, Bokap duduk disebelah gua.
Emang lu mau pindah ni"
Bokap bertanya sambil menyulut rokok kretek yang baru diambil dari saku kemejanya.
Iya ba.. Nggak kesian sama emak lu, lu tinggal mulu" Deg!, kata-kata bokap meluncur, langsung menghujam ke dasar jantung. Nggak pernah terpikirkan oleh gua betapa nyokap selalu ingin bersama sama dengan anakanaknya, betapa selama ini dia sudah kehilangan anak sulungnya selama lima tahun, begitu kembali kesini si anak sulung menikah kemudian pergi lagi.
Baba sih ngerti apa yang elu pengen.. baba ngerti kalo elu pengen mandiri..tapi coba dah liat emak lu, apa nggak kesian lu"
... ..Apa elu udah manteb, pengen pindah" Udah ba..
Ya kalo lu udah manteb buat pindah, yaudah lu pindah..
Tapi emak..."" Gampang, ntar baba yang ngomong sama emak lu. Tapi, lu kudu janji.. sering-sering tengokin tuh emak lu ntar..
Iya ba, kalem... Jangan kalem-kalem aja.. gua sikat lu kalo kagak maen-maen kemarih..
Iya ba... Lah bini lu kemanain" Tuh, tidur dikamar..
Laah baru aja baba mau minta bikinin kupi sama mantu..
Yauda bentar oni bangunin...
Gua bergegas bangkit dan masuk kedalam, tapi bokap buru-buru menyela;
Eeet.. udah..udah jangan.. jangan kalo udah molor mah, kesian.... sini duduk..
Bokap memberikan isyarat agar gua duduk kembali. Gua pun kembali duduk.
Lu kan sekarang udah jadi kepala keluarga.. diriin solat, lancarin ngaji, agama benerin, biar bisa nuntun dan jadi contoh buat bini ama anaklu.. asal lu tau, jadi suami, jadi bapak tuh tanggungannya gede.. bini lu bikin salah, elu kena dosa-nya, anak lu bikin salah lu kebagian dosa-nya..
Iya ba,.. Kemudian disisa malam itu, bokap menghabiskan rokok kreteknya sambil memberi wejangan ke gua tentang hidup berkeluarga dalam sudut pandang agama. Sekian lama gua jadi anaknya, gua baru menyadari betapa bijaksana-nya bokap. Nggak terasa jam sudah menunjukkan angka sebelas malam, bokap menghabiskan hisapan terakhir rokok kreteknya, menjetikkan puntungnya kearah halaman depan kemudian menepuk pundak gua sambil berlalu masuk kedalam rumah;
Motor adek lu masukin tuh.. Iya..
--- Pagi harinya setelah menunaikan solat subuh, gua membuka pelan kamar nyokap. Terlihat bokap baru saja selesai mengaji sedangkan nyokap sedang mengeluarkan tumpukan map-map yang gua tau berisi dokumen-dokumen penting seperti Akte lahir, Ijasahijasah dan sertifikat gua dan Ika, sertifikat tanah, sertifikat haji, kartu keluarga dan surat-surat penting lainnya. Nyokap menyadari kehadiran gua dan menggerakkan tangan, memberikan isyarat kepada gua untuk duduk disebelahnya.
Nyari apaan mak.." Ini lagi nyari KK (Kartu Keluarga).. Bakal apaan"
Lah kan elu katanya mau pindah, pegimane siy.. kan kudu diurus juga surat-suratnya, ntar tuh baba lu mau ke kelurahan.. mana sini KTP lu..
Hah.. emang emak udah setuju oni pindah" Nyokap menarik nafas panjang, kemudian menghembuskannya.
Ni... Sebenernya mah, emak berat banget kalo elu pindah.. emak tuh pengennya elu sama Ines disini aja, ngumpul semuanya..
... ... tapi semalem baba lu ngomong ke emak, lu pan udah jadi kepala rumah tangga.. nggak bisa dalam satu atap ada dua kepala rumah tangga..
Iya mak, ntar oni bakalan sering maen kok.. Ya kudu itu mah.. Bini lu udah bangun" Udah mak, lagi solat... kenapa"
Panggil kemari dah.. emak mau ngomong.. Gua mengangguk kemudian bergegas ke kamar, didalam kamar Ines tengah melipat mukena. Gua memanggilnya, sesaat kemudian kami berdua sudah berada didalam kamar nyokap, Ines duduk diatas kasur disebelah nyokap dan gua berbaring di tengah kasur, sepertinya sudah seabad gua nggak merasakan nyamannya kasur kapuk berkelambu ini.
Nyokap membelai rambut Ines, di sudut matanya mulai menggenang air mata;
Emak mah sebenernya pengen elu tinggal dimari aja, nes..tapi nggak apa-apa kalo lu bedua emang udah manteb mau misah sama emak, sama baba.. ...
Nes.. lu perhatiin ya si oni.., jangan kasih begadang mulu, ngerokok nya suru kurangin, jangan kasih makan sembarangan.. pokoknya emak titip oni ya.. Iya bu..jangan khawatir, nanti aku ingetin Ntar elu bedua sering-sering maen kemari.. Iya bu..
Lu inget nes.. jangan anggep emak orang laen.. sekarang emak juga ibu lu, baba ya bapak lu, ika ya adek lu.. kalo ada apa-apa cerita ke emak.. Iya bu, makasih ya..
Ines kemudian memeluk nyokap, keduanya samasama terisak. Buat gua pemandangan seperti ini adalah sebuah hadiah terbesar yang diberikan tuhan ke gua. Betapa tidak, dua orang perempuan yang paling gua sayangi saling berpelukan.
--- Siang harinya kami sudah berada di Depok, Ines sedang berada di kamar merapikan pakaian-pakaian gua dan memasukkan-nya kedalam lemari. Gua duduk diteras depan memandang ke arah jalan komplek yang seperti mengeluarkan uap panas sambil sesekali menyeruput kopi yang sudah mulai dingin. Gua membayangkan kembali masa-masa dimana gua hidup dalam kesendirian, tanpa cinta, tanpa rasa, tanpa warna,kemudian muncul sosok perempuan yang merubah itu semua. Gua tersenyum sendiri, menghabiskan sisa kopi dan masuk ke dalam, saat berjalan ke dapur gua menyempatkan diri mengintip dari celah pintu kamar yang sedikit terbuka, terlihat Ines sedang bernyanyi kecil sendiri, mendendangkan bagian reff Accidentally In Love nya Counting Crows. Gua meletakkan cangkir kopi kosong disebelah meja tivi kemudian masuk kedalam kamar.
Gua memeluk Ines dari belakang, menciumi harum rambutnya kemudian berbisik kepadanya; Nes...if loving you is wrong, i dont want to be right...
#45: Goin Back Waktu penataran di KUA, gua pernah mendangar sebuah perumpamaan tentang pernikahan ; Yang namanya pernikahan itu umpama pohon cinta, yang akan terus bertumbuh dan menghasilkan buah yang manis melewati sebuah proses. Semakin kuat akarnya, maka semakin kuatlah pohon itu tegak berdiri. Dalam pernikahan akar diibaratkan sebuah komitmen yang ada pada suami maupun istri. Semakin kuat komitmen yang ada, maka semakin kuatlah biduk rumah tangga tersebut.
Tapi gua punya analogi sendiri tentang pernikahan. Buat gua pernikahan dalam kehidupan itu seperti mengendarai mobil. Dulu sebelum menikah dengan Ines, analoginya; seperti gua mengendarai mobil sendirian melintasi jalan-jalan kehidupan, menuju ke sebuah akhir yang banyak orang bilang kebahagiaan . Sekarang, setelah menikah, gua nggak lagi sendirian, gua tetap berada dibalik kemudi mobil pernikahan ditemani Ines sebagai navigator nya dalam melintasi jalan-jalan kehidupan, tujuannya tetap sama; kebahagiaan . Terkadang kita tiba disuatu persimpangan jalan, dimana gua sebagai pengemudi menemui apa yang namanya keraguan , disaat itulah si Navigator; Ines, membisikkan saran, usul, kritik, masukkan, pun hanya sekedar kata penyemangat. Dan suatu hari nanti bakal ada penumpang tambahan di dalam mobil kehidupan yang akan mengisi bangkubangku kosong dibelakang; seorang anak. Yang kadang memberikan keceriaan didalam mobil, kadang juga sesekali memberikan petunjuk tentang jalan mana yang harus si pengemudi ambil.
Tapi itu semua kan hanya analogi, dalam prakteknya hal hal seperti ; navigator memberikan petunjuk tentang jalan mana yang harus diambil memang sudah diterapkan dalam keluarga kecil gua ini. Yang tetap menjadi ganjalan buat gua dan Ines adalah; belum hadirnya si buah hati, pengisi bangku kosong di mobil kehidupan, padahal sudah hampir satu tahun gua menikah dengan Ines, sampai saat ini belum juga ada tanda-tanda kehamilan.
Sejak bulan-bulan awal pernikahan, Ines terus berharap agar secepatnya bisa hamil dan punya momongan, tapi sepertinya Tuhan punya rencana lain.
Pernah suatu malam, ketika pernikahan kami memasuki bulan ke empat. Gua baru saja pulang bekerja, diluar rumah sudah terparkir mobil Ines yang sepertinya diparkir asal-asalan. Gua buru-buru masuk, takutnya ada apa-apa, karena nggak biasa-biasanya dia memarkir mobil seperti itu. Gua membuka pintu depan, anak kuncinya masih menggantung di luar, disofa tergeletak tas dan map-map yang biasa dibawa ines sepulang mengajar, gua bergegas menuju ke kamar. Kondisi kamar gelap, setelah menyalakan lampu terlihat Ines sedang berbaring tengkurap diatas ranjang, menangis sesenggukan. Gua duduk disebelahnya, sambil membelai rambutnya gua bertanya;
Kamu kenapa" Iya sejak menikah, Ines selalu protes dengan gua yang selalu menggunakan panggilan ( Gua-Elu ) sekarang gua menggunakan ( Aku-Kamu ).
Ines nggak menjawab, masih menangis sesenggukan. Gua bertanya sekali lagi, kali ini dia bangun, duduk; Aku dapeet boon...
... Aku pikir aku hamil, soalnya udah telat hampir seminggu..
Ines menangis semakin keras, gua membelai rambutnya;
Sabar... kamu harus sabar.. Mau sabar sampe kapan" Ya sampe dikasih sama Allah.. biar kita nyoba sampe berdarah-darah juga kalo tuhan belon ngasih ya nggak bakal ada nes.. sabar.. yang penting kan kita usaha sambil berdoa..
Ines memeluk gua. Dan kejadian seperti itu mulai berulang, hampir tiap bulan. Memasuki bulan ke enam setelah pernikahan, kami berdua mengunjungi dokter kandungan, berniat memeriksakan apa ada yang salah dengan Ines atau Gua. Dan dari hasil tes lab sana-sini, hasilnya normalnormal saja, kata dokter pun nggak perlu khawatir, sabar saja. Dan kata-kata itu pula yang selama ini menjadi senjata gua untuk menghibur Ines.
Cobaan dari dalam sih sepertinya nggak terlalu mengkhawatir-kan. Yang paling berasa justru seranganserangan dari luar, dari sanak saudara gua, dari teman-teman Ines, teman-teman gua, tetangga sampai orang-orang yang baru kenal. Kadang saat sedang kumpul-kumpul entah dengan teman atau saudara, pertanyaan seperti; Udah isi belum" , Belum hamil juga" , Wah kebalap dong sama si anu.. , dan semacamnya sering menerpa Ines, bukannya gua. Entah kenapa di Indonesia ini posisi perempuan/istri sangat riskan menerima beban jika belum juga mempunyai keturunan, saat menerima pertanyaan-pertanyaan model seperti itu, Biasanya ines hanya diam sambil tersenyum, air muka nya langsung berubah, murung dan buru-buru berbisik Pulang aja yuk.. . Dan gua yang nggak menerima istri gua mendapat serangan seperti itu terkadang pasang badan dengan buru-buru menjawab;
Iya nih, sperma gua jelek soalnya, kata dokter sih kebanyakan ngerokok sama makan sate bayi di pengkolan depan, lagi promo lho.. buy two get one, dan gua beli 10 tusuk tadi..
Syukurnya, bokap, nyokap dan Ika nggak terlalu punya concern yang tinggi terhadap gua yang belum juga dikasih keturunan. Saat sedang kumpul bersama, nggak sekalipun bokap, nyokap atau Ika membahas hal tersebut, apalagi terhadap Ines. Sesuatu yang begitu gua kagumi dari anggota keluarga gua ini. Rumah bokap juga sudah berubah, kali terakhir gua main kesana kamar mandi yang tadinya terpisah dari bangunan utama, gelap dan terkesan angker, kini sudah tidak ada. Sekarang kamar mandinya dipindahkan kedalam, disudut dapur.
Mbak..kapan maen kesini.. udah dibikinin kamar mandi lho didalem sama baba..
Suatu ketika gua mendengar percakapan anatara Ika dengan Ines melalui pengeras suara ponsel gua. Ah masa sih... ish jadi nggak enak nih.. Ines menjawab sambil tersipu malu.
Mbak.. elo waktu abis merit bulan madu nggak" Nggak, ... abisnya abang lo tuh udah buru-buru mau kerja..
Ines bicara sambil melirik kemudian mendengus kearah gua.
Temen gue, sih udah dua taun belon punya anak, eh kemaren second Honeymoon ke Lombok, cespleng..langsung mlendung.. Hah masa sih"
Iya tau.. udah buruan gih bulan madu.. kemana gitu, ke bali, ke raja ampat atau ke singapur... ntar gua diajak ya..hehehe..
Yee, kalo elu ngikut nggak bulan madu dong... Gua Cuma duduk sambil geleng-geleng kepala mendengar percakapan tersebut, gua yakin setelah selesai telpon Ines bakal merengek-rengek minta jalanjalan ke destinasi yang disebut sama Ika barusan, bulan madu.
Tebakkan gua nggak meleset sedikitpun, beberapa saat setelah selesai menelpon Ines langsung mengusel manja, memainkan ujung kaos sambil berkata; Booooon...
Hmm... Ayoo bulan madu... Ah ngapain, bulan madu kan buat penganten baru... kita kan penganten lama..
Ish.. dia mah.. Yaudah minggu depan kamu cuti aja.. Asiiik, kita kemana"
Ke Puncak.. Ah.. ke puncak.. ogaaah.. kepuncak doang aja pake cuti segala.. ke bali ya, ya, ya, ya...
Iya nanti dipikir-pikir dulu.. Sekarang aja mikirnya..
Mana bisa" Ntar aku biasanya mikir sambil boker.. Ish..
Ines mencubit lengan gua kemudian duduk dan mengganti chanel tivi sambil pasang tampang cemberut. Gua bangkit berdiri dan menuju ke kamar mandi;
Mau kemana" Katanya tadi suru mikir.. Yauda disini aja..
Nggak ah mau sambil boker.. Ish..
Gua masuk kedalam kamar mandi, menyalakan sebatang rokok, kemudian terdengar teriakan dari luar;
Jangan ngerokok dikamar mandi.. bauuuu asep!!
Gua terdiam sebentar, kemudian menghisap rokok dalam-dalam dan bergumam pelan, sangat pelan; Bodo ah..
--- Besoknya, setelah mengkalkulasi biaya perjalanan dan menginap untuk bulan madu kami, gua mengklik ikon email disudut kanan layar laptop.
Ya, gua memang nggak kuasa menahan rengekan, sindiran dan perkataan manja-nya Ines yang tiap saat nggak henti-hentinya minta diajak bulan madu. Gua bilang ke Ines, kalo gua pasti mengajak dia bulan madu, tapi melarangnya untuk terus-terusan bertanya kemana" dan kapan" .
Gua mengecek email masuk, salah satunya dari Heru. Sahabat gua yang tampangnya kayak beruk ini sekarang masih tinggal di Manchester, waktu pernikahan gua dia menyempatkan datang walaupun sedikit terlambat dan ketinggalan menyaksikan prosesi akadnya. Gua mengklik pesan tersebut, muncul sebaris teks, jawaban dari email yang gua kirim kemarin. Gua membacanya sekilas, membalasnya kemudian menutup jendela pesan tersebut, sambil tersenyum.
---
Accidentally Love Karya Boni di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dua minggu setelah gua saling mengirim email ke Heru, saat itu Ines sedang packing, memasukkan beberapa potong baju kedalam sebuah koper, gua menyaksikan betapa kebingungannya dia memilih baju mana yang harus dibawa, sesekali dia berkacak pinggang, ngedumel sendiri dan mengeluhkan betapa dia katanya nggak punya baju, padahal sepanjang mata memandang didalam sebuah lemari ukuran besar, mayoritas isinya adalah baju dia, baju gua Cuma menghabiskan sekotak kecil dari banyak kotak didalam lemari tersebut. Dasar Perempuan.
Gua berkata kepadanya sambil tiduran, memainkan sebuah game diponsel.
Bawa jaket nes... Ines, berdecak pelan kemudian duduk diatas kasur membelakangi gua menghadap ke lemari pakaian. Bingung deh aku sama kamu, bon...
.... .. pergi, tapi aku nggak tau mau kemana... kasih tau kek, kamu kebiasaan deh.. sok-sok surprise.. Udah jangan bawel... ntar digoreng orang... Ish.. itumah bawal kali..
Besoknya gua dan Ines sudah berada dalam taksi yang menuju ke bandara, sampai saat itu Ines belum tau kita mau kemana. Taksi terus melaju melewati terminal 1 Bandara Soekarno Hatta dan kemudian berhenti di pelataran Terminal keberangkatan 2D.
Bon, kok terminal 2D... Iya,...
Gua menarik koper sambil menyerahkan paspor kepada Ines.
Lah, emang mau kemana" Kok pake paspor segala... Udah jangan bawel...
Ish.. Siap-siap menikmati jalan-jalan kamu ini, karena kemungkinan dalam waktu lama kita nggak bakal jalan-jalan lagi, uang belanja bulanan kamu juga aku potong, rencana kamu ganti mobil juga terpaksa batal dan niat kamu buat ngecor dapur belakang juga harus dipending..
Hah!.. emang segitu costly" Nggak sih, but pretty much costly.. Yaaah... nggak papa sih nggak jalan-jalan lagi juga, mobil nggak ganti juga nggak papa, ngecor dapur juga bisa kapan-kapan..
Uang belanja bulanan"
Kalo itu kayaknya jangan dipotong deh booon... Ya harus lah, justru itu yang persentasenya paling gede..
Aaarrgggghhh.... Beberapa jam kemudian, Ines duduk dibangku pesawat disebelah gua. Bersandar dibahu, senyum senyum sambil memeluk lengan gua.
Makasih ya booon... Iya.. Aku kan Cuma minta bulan madu doang.. nggak mesti ke London juga kali..
Nggak apa-apa.. asal kamu senang..
Kalo aku senang , tapi kamunya enggak.. buat apa" Iya sayang..
Gua berkata sambil membelai rambutnya, sesekali gua menyeka air mata yang hampir menetes, sedih. Sedih kalau memikirkan biaya dari perjalanan bulan madu ini.
#46: Leeds II Jam menunjukkan pukul 9 pagi saat kami tiba di Heathrow, London. Setelah melalui proses imigrasi yang lumayan lama, mungkin karena kali ini visa yang gua bawa adalah visa turis, bukan visa kerja seperti saat pertama kali datang kesini. Gua berdiri di depan toilet wanita, menunggu Ines yang sepertinya jet-lag sampai muntah-muntah. Keluar dari toilet gua melihat raut wajahnya yang pucat dan rambut pendeknya yang kusut. Gua merangkulnya kemudian memakaikan kupluk dan syal dilehernya, kemudian bergegas keluar dari bandara.
Udara dingin bulan desember berhembus menyisir rambut dan tengkuk gua, Ines memeluk erat gua, tubuhnya sedikit bergetar. Gua mengajak dia berjalan masuk kembali kedalam lobi bandara yang sedikit hangat, kemudian keluar lagi dan gua lakukan hal tersebut beberapa kali sampai tubuh Ines mampu beradaptasi. Setelah mondar-mandir beberapa kali, dan dia sudah mulai menyesuaikan diri, tubuhnya sudah tak lagi bergetar, hanya sesekali menggosokkan telapak tangannya.
Naik taksi aja ya.. Gua menawarkan ke ines untuk naik taksi. Tapi dia menggeleng.
Nggak ah, jangan.. mahal..
Daripada kamu kedinginan begitu, ntar mimisan lagi..
Nggak mau.. naik bis aja..
Akhirnya kami memilih naik bis, menuju ke stasiun King Cross.
Cuma dalam hitungan menit, kami sudah tiba di stasiun kereta api King Cross, Ines bertanya kenapa kita harus kesini, kenapa gua nggak bergegas mencari hotel. Gua hanya tersenyum nggak menjawab pertanyaannya. Setelah membeli tiket virgin Train, gua menyerahkan tiket tersebut kepada Ines, tertera disana tujuan asli dari bulan madu kami, Leeds.
Ines tersenyum, dia berjinjit, meraih tengkuk gua dan mencium kening gua.
Didalam kereta tak henti-hentinya Ines, bernyanyi. Ingatan gua seketika melayang ke masa beberapa tahun yang lalu, saat dalam perjalanan pertama kali gua dan Ines dengan kereta yang sama, waktu itu gua mengajak dia untuk nonton United di Old Trafford. Perempuan yang waktu itu juga bernyanyi nyanyi didalam kereta hingga ditegur oleh penumpang lain itu kini telah menjadi istri gua.
Dua jam berikutnya kami sudah tiba di Leeds station. Suasana disini sedikit ramai, apalagi ditambah dekorasi natal disana-sini. Ada beberapa struktur bangunan gedung stasiun yang sedikit berubah, gua memandang sekeliling mencoba membangkitkan lagi kenangan akan stasiun ini. Setelah sebentar bernostalgia dengan isi stasiun gua menggandeng Ines sambil menyeret koper keluar dari stasiun, gua celingak celinguk mencari taksi. Ines menarik tangan gua; Jalan aja yuk..
Gua tersenyum dan mulai melangkah bersama Ines.
Kamu nggak dingin emang, kok ngajakin jalan" Gua berjalan disisi Ines sambil tetap menggandeng tangannya.
Nggak, aku malah pengen jalan, sekalian nostalgia.. Emang tau kita mau nginep dimana"
Ines menggeleng. Emang mau nginep dimana" Aku juga belon tau..
Ish kamu maaah... Udah ikut aja..
Boon, tapi nanti mampir ke tempat Darcy ya.. Iyaaa...
Dua puluh menit berikutnya kami sudah tiba di Moorland Rd, berjalan di trotoar yang basah mungkin bekas salju yang mencair semalam. Kami melewati rumah rumah mungil dengan bentuk yang hampir sama disepanjang jalannya, sampai kami tiba di depan sebuah rumah dengan tembok dari bata merah dan pintu tua berwarna biru.
Gua mulai mulai mengetuk, sambil menunggu jawaban gua dan Ines saling pandang. Sesaat kemudian pintu terbuka, sesosok perempuan berusia lebih dari setengah baya muncul dari balik pintu, Sosok Darcy muncul, dia sedikit tercengan dan kaget melihat kehadiran gua. Darcy tersenyum kemudian memeluk gua sambil berbisik;
Youre Back.. what a suprise..
Dia melepaskan pelukan dan berpaling ke Ines; ... and.. my lil girl.. wow.. you look pretty.. Dan kemudian mereka berdua berpelukan.
Darcy mempersilahkan gua dan Ines masuk, dia menyediakan teh hangat untuk Ines dan secangkir kopi untuk gua. Setelah bercakap-cakap sebentar, gua bertanya ke Darcy tentang tempat menginap yang bagus disekitar sini, Darcy Cuma menggeleng, kemudian dia berdiri, berjalan menuju ke kamarnya, sesaat kemudian dia kembali sambil menenteng anak kunci, dan tentu saja gua sangat mengenali anak kunci tersebut. Dia menyerahkannya ke gua;
I clean it every day... Darcy berkata sambil kembali duduk di kursinya.
... I leave it unoccupied, since you been gone.. Why...
Sharon will use it.. next year, when she has graduated...
Owh.. How long you will stay" Four days.. for honeymoon Whaat..""
Darcy terperanjat, shock.
Kemudian dia berdiri mencak-mencak, ngedumel, dan ngomel, tantang kenapa kami menikah tanpa memberitahunya.
Okey, that will be my wedding gifts..
Darcy yang sudah mulai tenang, duduk kembali dan menunjuk ke arah anak kunci yang kini gua pegang.
Kemudian disusul Darcy yang memeluk Ines sambil menggoyang-goyangkan tubuh mereka, jadi mirip seperti orang berdansa.
Setelah satu jam lamanya kami ngobrol sambil pelukpelukan, akhirnya Darcy berdiri dan mengantar kami ke rumah sebelah. Tempat dimana dulu, selama 5 tahun gua tinggal. Dia meninggalkan kami berdiri didepan sebuah pintu dengan anak kunci ditangan gua. Gua memasukkan anak kunci dan mulai memutarnya;
Cklek, Cklek... disusul bunyi berdecit kreeek... Pintu terbuka. Gua dan Ines saling pandang dan bersama-sama membuang pandangan ke dalam.
Gua melangkahkan kaki masuk kedalam, membelai meja dan kursi dapur kemudian bergerak menuju ke kamar, gua membuka pintu, menghela nafas panjang, kali ini Darcy mengganti seprainya, warna seprainya kali ini hitam tidak lagi ungu seperti warna yang dulu. Gua melongok keluar, Ines sedang bersandar pada bingkai pintu, menangis sesenggukan.
Ya ampun ni anak cengeng-nya bukan maen dah ah.. Gua menghampirinya, memapahnya masuk dan mendudukkannya ke sofa.
Kamu kenapa" Nggak tau.. kok pas ngeliat ruangan ini, ditambah kamu didalemnya.. aku jadi melow gitu..
Halah.. kirain kenapa.. udah sana ganti baju.. aku mau beli makan dulu ya..
Aaaah jangan ditinggalin... aku ikuuuttt.. Nggak usah lah, istirahat aja.. nanti kecapean.. Yaah..
Kemudian gua bergegas keluar, meninggalkan Ines sendiri didalam ruangan tersebut, ruangan yang saat ini sudah tidak bisa lagi gua sebut rumah. Dan sisa hari itu gua habiskan dengan bercengkrama dengan Ines dalam hangat-nya kamar.
--- Pagi di Hari kedua berada Leeds, kami habiskan dengan berjalan kaki mengunjungi LeGrocery, sekedar duduk-duduk di tangga beranda tempat dulu Ines duduk menunggu gua membeli air. Kemudian berlanjut ke jalan berpasir yang kali ini karena musim dingin jadi berlumpur;
Booon.. kok lumpur gitu sih jalannya..." Ya namanya juga pasir kena aer.. mau ikut nggak" Mau.. tapi gendoong...
Udah copot aja sepatunya...
Nggak mau... aku maunya digendoong.. Yaelah...
Gua ngedumel sambil membungkuk didepan Ines yang tengah melepas sepatu converse kulit kesayangannyanya kemudian dia naik kepunggung, tangannya menyilang didada gua. Gua berjalan pelan melalui jalan penuh lumpur yang mengarah ke danau, sesekali hampir terpeleset saat menginjak sisi tanah yang licin. Gua berhenti di bagian jalan yang dibagian sisinya terdapat batu yang cukup besar, setelah menurunkan Ines diatas batu tersebut gua menunjuk ke tengah jalan berlumpur;
Tuh.. disitu tuh, tempat kamu dulu dilempar... Gua menunjuk sebuah titik di jalan sambil ngos-ngosan setelah menggendong Ines.
Terus aku ketemu kamu deeeh.... Ines berdiri diatas batu, merentangkan kedua tangannya ke arah gua;
Peyuuuuukkk..... Kemudian dia menerjang memeluk gua, mengangkat kakinya dan menyilangkannya ke pinggul gua.
Susah lah nes kalo nggendongnya begini.. nggak ngeliat aku-nya..
Kemudian Ines kembali berdiri diatas batu, memutar posisi tubuh gua dan kembali menaiki punggung.
Kami pun bergerak pulang. Sepanjang perjalanan Ines tetap keukeuh nggak mau diturunkan dari gendongan. Sesekali dia bercerita sambil menyanyi kecil;
Kadang aku suka ngebayangin deh, bon... kalo misalnya dulu aku dilempar dari mobil terus nggak ketemu kamu, gimana ya..
Gua nggak menjawab, Cuma mengangkat kedua bahu.
... Kalo aku nggak ketemu kamu pada hari itu, mungkin aku udah diselametin sama pangeran dari Dubai kali yaa, trus sekarang aku mungkin lagi liburan di Hawaii menikmati hangatnya mentari... Keep dreamin ... kalo nggak ketemu aku, paling kamu dimakan srigala..
Ah boong.. emang ada srigala disini"
Kalo srigala beneran sih nggak ada, tapi kalo srigala jejadian...ada..
Gua memelankan nada suara gua, membuat seolah seperti narasi reality show horor. Ines yang sepertinya percaya dengan gurauan gua tentang srigala jadijadian itu mulai panik dan mendekap leher gua erat. Bo ong aaahhh...
Serius.. kalo nggak percaya, kamu aku tinggal ya disini...
Nggak Mau!!.. Ines mencubit lengan gua.
Eh nes.. ntar sore Heru mau kesini, aku jemput ke stasiun ya...
Ikuuut.. Ngapain siy, orang Cuma jemput heru doang.. ntar kamu masak aja dirumah..
Yaaah, yaudah.. Sesampainya dirumah, gua meninggalkan Ines yang tengah menyiapkan masakan. Tinggal disini (lagi) buat gua dan Ines sama sekali nggak membuat canggung, Ines bahkan tau dimana letak perabotan-perabotan memasak. Setelah pamit dengan Ines gua bergegas keluar, cuaca diluar gerimis disertai sedikit butiran salju halus, gua mempercepat langkah dan menaikkan hood jaket.
Baru berjalan beberapa puluh meter, ponsel gua berbunyi, dilayarnya tertera nama Heru ; Halo..
Dimana lu, gua udah sampe nih.. Yaudah tunggu, bentar lagi nyampe.. Tut tut tut tut.
Bener-bener nggak punya manner nih anak. Gua semakin mempercepat langkah, takut Heru kelamaan nunggu.
Nggak sampai lima belas menit kemudian gua sudah berada di Leeds Station, setelah celingak-celinguk sebentar, terlihat sosok Heru sedang melambailambaikan tangannya memanggil-manggil gua. Gua tersenyum, membalas lambaiannya, dia menghampiri.
Apa kabar bro" Heru menyalami gua.
Hahaha.. baik bro.. lu kayak-nya keliatan bersihan ruk..
Bisa aja lu, mandi susu gua.. Yuk..
Jauh nggak" Kagak..
Kemudian kami berdua berjalan menembus hujan.
Gimana bini lu" Udah bunting"
Heru membuka pembicaraan dengan bertanya tentang Ines.
Belon nih ruk.. Wah, berenti ngerokok luh.. Mana bisa...
Mau punya anak kagak" Ah elu juga klepas-klepus... Ya ntar kalo merit gua berenti.. Eh ruk, kalo didepan Ines, jangan nanya-nanya masalah hamil
Oh.. oke deh.. oiya lu kemari dalam rangka liburan kan" Bukan kerja..
Iya, sebenernya sih bulan madu.. Buseet.. telaaaat banget lu bulan madunya Iya kan belon sempet dulu..
Nggak terasa kami sudah memasuki jalan Moorland Rd dan beberapa saat kemudian gua dan Heru pun sudah berada didalam. Seteleh menggantung jaket dan mantel yang basah, gua mempersilahkan heru duduk, Ines keluar dari kamar kemudian menyalami Heru, berbasa-basi sedikit kemudian ikutan duduk tapi karena sofanya nggak cukup untuk tiga orang, akhirnya Ines mengalah, dia beringsut menuju ke meja dapur.
Heru mau kopi" Ines menawarkan kopi kepada heru.
Boleh..boleh.. Manis apa nggak" Sendoknya kayak apa" Kayak begini..
Ines mengangkat sendok yang bakal dipakai menyendok kopi dan gula.
Oh.. kopinya tiga sendok, gulanya satu.. Heru mengangkat telunjuk tangannya.
Aku juga mau dong nes.. Gua ikut-ikutan minta dibuatkan kopi.
Nggak, kamu udah ngopi tadi.. sehari jatahnya secangkir..
Yaah.. Sore itu kami bertiga larut dalam obrolan, obrolan tentang masa di singapore dulu, tentang bagaimana waktu gua baru pindah ke Leeds dari London, Heru pun nggak ketinggalan, dia bercerita tentang betapa asiknya tinggal di Great Manchester dan tentunya, sisa dari ceritanya sudah pasti tentang United. Ines mendengarkan sambil sesekali bertanya ; Emang iya" , Ooh.. , Ish..
Setelah lama berbincang, Ines membubarkan obrolan dengan mengangkat semua gelas minuman yang ada di meja, kemudian menghidangkan ayam mentega panggang dan mashed potatoes. Heru berdecak kagum, menggeleng-geleng kepala;
Jago masak rupanya si nyonya ini.. Hahaha bisa aja heru.. gampang lagi masak ayam begini mah..
Gimana cara-nya nes, bosen nih gua makan ayam goreng mulu tiap hari..
Emang heru masak sendiri"
Iya.. kalo nggak masak sendiri, bisa tongpes gua hidup di manchester..
Udah ntar bongkar resepnya, makan dulu.. Gua memotong pembicaraan mereka sambil memotong ayam panggang yang dibuat Ines.
Kami pun makan malam bersama dengan gaya orangorang inggris, benar-benar tipikal hidup sosial ala orang inggris. Menikmati Teh disore hari dan disusul makan malam, tapi tentu saja setelah makan malam nggak ada yang namanya minum anggur.
Eh.. resti apa kabar bon, di indo nggak ketemu lu" Heru bertanya sambil tersenyum penuh arti kepada gua
Mampus dah gua! #47: I Love You (Jealousy)
Eh.. resti apa kabar bon, di indo nggak ketemu lu" Heru bertanya sambil tersenyum penuh arti kepada gua.
Mampus dah gua! Ines menatap ke arah heru kemudian berpaling ke gua. Dari gelagatnya sepertinya Ines berhasil menangkap arti dari senyuman Heru.
Mmm..mmm...nggak tau dah gua ruk.. Gua menjawab asal-asalan, sambil menggaruk-garuk kepala yang nggak gatal.
Resti" Resti siapa ru"
Ines bertanya sambil menyuap makanan masuk kedalam mulutnya.
Oh, elu belon kenal ya... itu temen kampusnya si Boni..
Ooowh.. kok Boni nggak pernah cerita ya ke gue.. Ines kembali menatap gua, dari tatapannya gua tau ada sesuatu yang tersirat.
Nggak mau berlarut-larut, gua mengalihkan pembicaraan tentang pekerjaan. Ines yang kurang tertarik kemudian membenahi piringnya dan pergi masuk kedalam kamar. Gua melirik Ines sampai masuk kedalam kamar, setelah memastikan Ines sudah didalam, gua menendang kaki Heru;
Begooo.., ngapain lu nanya-nanya si Resti.. Tanya gua ke Heru setengah berbisik sambil sesekali memandang ke pintu kamar.
Lho.. i dont see any problem.. lu kan bukan pacarnya at least nggak sempet jadi pacarnya karena elu terlalu cupu..
Ya tetep aja ruuuk.... Udah ah nggak usah terlalu mendramatisir, lagian kenapa si lu nggak cerita ke Ines tentang Resti" Nggak ah, lagian ngapain juga, kan resti juga bukan siapa-siapa gua..
Nah itu lu paham, kalo bukan siapa-siapa elu, ngapain lu takut"
Gua terdiam mendengar perkataan Heru yang terakhir, Gua pikir ni anak ada benernya juga. Kalau emang (dan memang bener) gua nggak ada apa-apa sama Resti kenapa gua harus takut buat cerita, toh itu juga Cuma masa lalu dan gua bukan tipe orang yang terlalu memusingkan tentang masa lalu. Gua nggak pernah bertanya tentang hubungan masa lalu-nya Ines, gua nggak pernah mengungkit tentang Johan, mantan-nya Ines. Tapi, gua kan bukan Ines dan Ines bukan gua.
Udah ah, gua balik ya.. Heru berdiri kemudian bergegas mengambil mantelnya.
Lah, nggak nginep" Tadinya sih mau, tapi berhubung rencana lu kesini buat bulan madu, nggak enak lah gua, ntar ngganggu lu..
Yaelah ruk, kaku banget si lu.. udah nginep aja Gua berusaha membujuk Heru untuk menginap, dan jujur ini bukan basa-basi gua benar-benar takut menghadapi pertanyaan Ines tentang Resti setelah Heru pergi nanti. Kalau ada Heru kan paling nggak Ines nggak bakal introgasi gua.
Nggak ah, lagian juga besok kan gua harus kerja.. Yaah yaudah deh.. mau dianter nggak" Ah ngapain.. lu nganter-nya juga jalan kaki.. ...
Gua berdiri dan mengetuk pintu kamar, memanggil Ines, memberitahu kalau Heru ingin pamit pulang.
Pintu kamar terbuka, Ines keluar, menatap ke gua sebentar kemudian berjalan ke arah Heru; Kok nggak nginep ru"
Nggak nes, besok kan kerja. Lagian juga nggak enak takut ngganggu lu bedua..
Nggak apa apa lagi, santai aja.. Hehehe.. gua pamit ya.
Gua bergegas mengambil jaket dan menemani Heru sampai diluar.
Diluar hujan sudah berhenti, menyisakan rintik-rintik lembut yang membasahi jalan. Heru menepuk pundak gua;
Bro.. sukses ya, program bikin anak-nya.. mudahmudahan gua cepet punya ponakan..
Oke.. sip-sip.. ati ati lu..
Sip, thanks ya buat ayam-nya.. salam buat Ines, bilangin masakannya uenak buanget.. Oke..
Kemudian Heru berlalu, berjalan menjauh dan kemudian menghilang ditengah kerumunan orang yang berjalan bergerombol sambil menyalakan kembang api. Disaat yang sama pikiran gua masih tetap tak menentu, membayangkan jawaban apa yang tepat jika Ines bertanya tentang siapa Resti.
Gua berbalik dan kembali masuk, didalam Ines sedang mencuci piring dan mengabaikan gua yang berjalan masuk. Setelah menggantung jaket gua berjingkat masuk kedalam kamar. Nggak lama berselang Ines menyusul kedalam, kali ini dia sudah berganti mengenakan celana training dan sweater abu-abu. Gua berbaring disudut kasur, menghadap ketembok, berpura-pura tidur, gua merasakan pergerakan pada kasur, sepertinya Ines duduk ditepi-nya;
Resti siapa" Ines bertanya dan gua hanya diam.
Bon, Resti siapa" Untuk meyakinkan akting tidur, gua tetap diam.
Bon, jangan pura-pura tidur... Resti siapa" Ah.. gua nggak kuasa bertahan dalam kepura-puraan ini, seketika gua bangun dan duduk bersandar pada dinding.
Resti itu siapa" Suamiku... sayangku.. cintaku.. Ines bertanya sambil berbalik ke arah gua, katakatanya manis tapi tatapan matanya tajam langsung menembus kedalam nadi. Gua terdiam, masih berusaha mencari kata-kata untuk menjawab pertanyaan Ines.
Boniii... Ya.. Resti itu siapa" Kan tadi heru udah bilang, temen kuliah.. Ooh temeeeen ...
Iya temen.. Kok nggak pernah cerita ke aku ya" Bukan nggak pernah, tapi belum pernah.. Trus kapan mau cerita nya"
Tadi barusan.. Udah, gitu doang" Resti Cuma temen.. udah" Sesimple itu kah"
Iya, ya emang gitu doang, nggak lebih, nggak kurang..
Owh oke.. berarti nggak masalah dong kalo sometimes aku confirm ke heru"
Nggak,nggak, jangan.. ngapain si, bawa-bawa heru ke masalah pribadi..
Lho kok kamu anggap ini sebagai masalah sih" Enggak bukan gitu..
Gua benar-benar terpojok dan kehabisan kata-kata.
Kalo emang Cuma temen , berarti nggak perlu takut kan"
Nggak, aku nggak takut, ngapain takut.. Yaudah, sekarang cerita.. aku mau denger.. Udah ah, udah dikasih tau juga, pokoknya yang namanya Resti itu Cuma temen, nggak lebih nggak kurang, titik!, no more question..case closed.. Hmmm.. okelah kalau begitu..
Kamu marah" Gua bertanya sambil memainkan rambut pendeknya.
Nggak, kenapa harus marah.. Bagus deh kalo gitu..
... Bobo yuk.. Mendengar itu Ines mengernyitkan dahi, kemudian membuang muka.
Gosok gigi dulu sono.. Gua berjingkat, buru-buru menuju kamar mandi, kegirangan. Girang bukan karena sebab lain, melainkan karena akhirnya persoalan Resti telah selesai. Tapi ternyata perkiraan gua tersebut salah. ---
Memasuki hari ketiga gua berada di Leeds, gua dan Ines menyempatkan diri berjalan-jalan, napak-tilas ke beberapa tempat yang dulu sempat gua dan Ines kunjungi. Mulai dari Millenium Square, sampai ke jalan tempat Ines pingsan. Entah kenapa berjalan kaki mengunjungi tempat-tempat yang punya kenangan membuat emosi gua seperti bergolak, dan mungkin begitu juga dengan Ines. Di millenium square, tempat banyak orang berkumpul sekedar untuk nongkrong atau bermain skateboard dikala musim panas, tempat dulu Ines mimisan karena kedinginan, kami duduk disana, disebuah bangku dibawah pohon, mungkin orang-orang disekitar sini bakal mengira kalau kami orang kurang kerjaan, dalam cuaca dan suhu yang dingin dan gerimis begini malah menghabiskan waktu diluar. Kami nggak saling berbicara, Cuma duduk berdua sambil berpegangan tangan, Ines
menyandarkan kepalanya yang tertutup hood mantel dibahu gua dan jujur, gua sangat menikmati momen ini, mungkin ini salah satu momen paling berarti dalam percintaan gua dengan Ines.
Boon.. Ines membuka suara memecah keheningan.
Ya.. Kamu mau nggak janji sama aku... Janji apa"
Ines terdiam sejenak. Kalo emang aku nggak bisa ngasih kamu keturunan, kamu jangan pernah tinggalin aku ya..
Kamu ngomong apa sih, be careful what you wish for...
... ...gimanapun kamu, jadi apapun kamu nantinya, bagaimanapun takdir membawa kamu, you still the one and only..
Aku sayang sama kamu.. Aku juga..
Juga apa" Sayang Sayang sama siapa" Sama kamu..
Ngomong yang lengkap, bisa" Aku sayang sama kamu, Imanes.. Nah gitu dong, apa susahnya sih..
Gua mengakhiri obrolan tersebut dengan mencium kening-nya, sebuah ciuman yang nggak mungkin bisa gua lakukan ditempat umum di Indonesia.
Gerimis berubah menjadi hujan, kami memutuskan untuk segera bergegas pulang. Sambil memeluk pinggangnya kami berjalan pulang, menembus hujan yang turun semakin lebat, suara hujan menjadi backsound yang indah ditengah kebersamaan gua dan Ines. Kebersamaan yang mudah-mudahan selamanya. ---
Hari keempat sekaligus hari terakhir gua berada di Leeds. Setelah pamit ke Darcy sambil menyerahkan kunci dan amplop berisi uang sebagai pengganti biaya gua dan Ines yang numpang menginap di tempatnya (dan amplop tersebut dikembalikan oleh Darcy) kami bergegas menuju ke London, pesawat kami akan berangkat nanti malam, dan pagi-pagi sekali kami sudah berada di King Cross Station. Sebelum kembali ke Jakarta, gua berniat mengajak Ines jalan-jalan berkeliling London.
Gua sengaja membeli tiket terusan wisata London agar bisa lebih berhemat; The London Pass, sebuah kartu yang bisa digunakan untuk mengunjungi tempattempat wisata di Kota London. Dengan kartu ini kita bisa keliling ratusan muesum dan tempat wisata yang berada di London. Untuk beli kartu ini harganya sekitar "70 per orang dan berlaku untuk satu minggu, jadi dengan kartu ini kita bisa keliling tempat wisata terkenal di London selama seminggu, Gratis (nggak gratis sih Cuma udah dibayar dimuka aja sebesar "70 tadi) dan waktu kemarin tiba di London gua membeli dua tiket London Pass yang berlaku selama tiga hari, harganya juga Cuma setengahnya; "30. Buat beli kartu ini, sekarang sudah banyak yang dijajakan di stasiunstasiun besar di London, bahkan dibeberapa stasiun besar seperti King Cross sudah ada vending machine sendiri untuk membeli kartu ini.
Bon, kenapa harus beli kartu gituan.. kan kita nggak mungkin juga datengin semua tempatnya... Kamu tau nggak kita dimana sekarang" Westminster Abbey..
Kalo nggak pake London Pass, masuk kesini bayar "12..
Ooh.. Ditambah misalnya abis ini kita ke London Eye, trus ke Wimbledon, yang kalo kita pukul rata tiketnya masing-masing "15.. totalnya berapa" "42..
See.. aku Cuma beli nih kartu "30.. Oiya..ya..
Setelah puas berfoto, yang tentunya kebanyakan Ines yang berfoto kami mulai bergegas ke destinasi selanjutnya The London Eye , London Eye ini udah seperti Monas-nya Jakarta, Liberty nya New York atau Borobudurnya Yogyakarta. Sebuah Bianglala berukuran raksasa yang letaknya nggak begitu jauh dari Westminster Abbey dan berada di tepi sungai Thames. Jadi biasanya turis yang kesini tuh dateng ke Westminster Abbey, lanjut ke London Eye kemudian diteruskan dengan naik perahu wisata di sungai Thames. Jadi semacam paketan wisata karena letaknya yang sangat dekat.
Ines melonjak-lonjak kegirangan saat memasuki sebuah kapsul yang berbentuk seperti sangkar burung terbuat dari kaca; London Eye terdiri dari kapsulkapsul yang terhubung seperti roda raksasa yang akan berputar 180 derajat, jika sudah sampai di posisi paling atas, kita bisa menyaksikan keindahan kota London yang sungguh ciamik, Big Ben, Tower Bridge, St. Paul Cathedral, gedung parlemen dan gedung-gedung tinggi lainnya.
Ines memeluk gua, sambil menunjuk-nunjuk ke arah Big Ben.
Bon nanti kesana ya..ke big ben.. Yaah takut pesawatnya nggak keburu nes.. Yaaah..
Next time ya.. Yaaah, kalo ada rejeki...
Rejeki mah pasti ada.. tenang aja.. Darimana"
Jual mobil, jual rumah.. Enak aja.. wleee..
Ines menjulurkan lidahnya meledek dan nggak setuju dengan usul gua.
Nggak terasa hari sudah hampir sore, sebenarnya gua masih ingin berkeliling tempat wisata lainnya tapi apa daya waktu nya udah mepet (karena disatu tempat wisata aja, Ines bisa berfoto selama satu jam-an) dengan jadawal pesawat. Agak sedikit menyesal sebenarnya, kenapa nggak dari kemarinnya ke London, tapi ah sudahlah. Berharap mudah-mudahan dikasih rejeki dan kesempatan lagi untuk kembali kesini.
Jam menunjukkan pukul enam sore saat pesawat yang gua dan Ines tumpangi tinggal landas meninggalkan London. Gua menggenggam tangan perempuan disebelah gua yang sedang asik membaca majalah sambil mendengarkan musik melalui headphone. Gua tersenyum kemudian mencolek hidungnya; Ines balas tersenyum, kemudian menggerakkan bibirnya tanpa suara, dari gesturnya gua tau dia bilang I Love You
#48: After All Sepulangnya dari Inggris, kehidupan keluarga kecil gua sejauh ini (masih) baik-baik saja. Walaupun tandatanda kehamilan belum juga menghampiri Ines. Malah beberapa hari setelah pulang dari bulan madu yang telat itu, Ines malah menstruasi, dan parahnya menstruasi-nya nggak seperti biasa, saking banyaknya darah yang keluar dia sampai lemes dan terpaksa gua bawa kedokter. Menurut dokter yang menangani Ines sih, it s not a big deal, hanya sedikit kelelahan saja, gua menghela nafas panjang. Ide untuk bulan madu malah bikin Ines kelelahan, bukannya malah rileks. Tapi gua tetap punya keyakinan, sebuah teori yang dulu pernah nyokap bilang ke gua;
Tuhan tidak pernah salah! Yang baik menurut gua belum tentu baik dimata Tuhan.
Mungkin Tuhan masih belum mempercayai kami untuk menerima rejeki berupa keturunan. Nggak habis gua berdoa setiap malam, bukan memohon untuk lekas diberi keturunan, bukan! Gua berdoa kepada Tuhan agar diberikan yang terbaik untuk kami berdua, gua berdoa agar Ines diberikan ketabahan super ekstra dalam menghadapi yang terbaik yang bisa Tuhan berikan. Sebulan setelahnya di suatu malam, gua terjaga dari tidur yang nggak pernah nyenyak sejak pulang dari bulan madu . Gua terduduk di pinggir kasur memandang Ines yang tengah terlelap memeluk guling. Setelah mengambil air wudhu, gua membangunkan Ines dengan memercikan sisa-sisa air ditangan gua;
Nes... nes.. bangun.. Hmmm...
Bangun.. mau tahajud nggak" Hmmm..
Bangun.. ambil wudhu gih..
Ines membuka matanya, kemudian duduk diatas kasur.
Kenapa..." Ambil wudhu gih, kita tahajud..
Ines berdiri gontai kemudian berjalan menuju kamar mandi, tanpa suara.
Setelah menunaikan solat sunah tahajud, gua kembali tidur, meninggalkan Ines sendiri yang masih bersimpuh menggunakan mukena diatas sajadah. Rasa kantuk mulai menyerang lagi, bener kata bokap yang sering bilang ; kalo susah tidur, ambil wudhu, tahajud. Kalau abis itu masih belum ngantuk, tambah lagi rakaatnya, masih belum ngantuk, tambah lagi, kalau perlu sampai elu ketiduran saat berdoa.
Alarm diponsel gua berdering, gua mematikannya kemudian meraih jam tangan kesayangan yang gua letakkan di-dak bagian kepala kasur. Jam
menunjukkan pukul lima pagi. Gua menoleh dan nggak mendapati Ines disebelah gua, setelah turun dari kasur gua melihat Ines yang duduk bersimpuh, masih menggunakan mukena dan tetap diatas sajadah yang semalam dia gunakan.
Nes..kamu nggak tidur"
Gua bertanya dan Ines Cuma menggeleng.
Setelah solat subuh berjamaah, gua memapah Ines ke atas tempat tidur, melepas mukena-nya dan membaringkannya.
Kamu nggak usah masuk kerja dulu, istirahat aja.. Nggak ah, aku nggak papa..
Lagian kamu kenapa nggak tidur" Ntar nyetir malah ngantuk..
Nggak papa, hari ini ada ulangan, koreksian juga masih banyak yang belum selesai..
Yaudah aku anterin aja.. Nggak usah boon.. nanti kamu kepagian kalo nganter aku dulu
Ga apa-apa.. enak malah nggak macet.. tapi naik motor ya..
Ines Cuma mengangguk.
Accidentally Love Karya Boni di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Gua ingin beranjak untuk mandi dan menyiapkan sarapan untuk Ines saat dia menarik lengan gua.
Boon... Ya.. Mudah-mudahan aku hamil ya.. Amiin
Soalnya aku udah telat seminggu lho..
Gua sedikit sumringah mendengarnya, tapi gua nggak mau terlalu berharap takutnya kalau nanti nggak jadi malah kecewa. Gua Cuma tersenyum kecil sambil meninggalkan Ines ditempat tidur.
--- Hari itu, gua masih sangat mengingatnya. Hari jumat, setelah selesai dari jum atan di sebuah Masjid yang terletak dibilangan simprug, jakarta selatan. Gua berjalan menyebrangi jalan menuju ke sebuah restaurant sea-food tempat tadi gua makan siang sekaligus brainstorming dengan teman-teman kerja. Ponsel gua bergetar, masih dalam mode silent . Gua mengambilnya dari saku celana, sebuah notifikasi pesan dari Ines. Seperti biasa saat jam-jam istirahat makan siang begini dia selalu mengirim pesan yang isinya jangan lupa makan , makan siang apa" , atau sekedar selamat siang boniii . Tapi, kali ini berbeda. Tidak ada kata-kata dalam pesan tersebut, dia hanya mengirim sebuah gambar, gua membukanya. Terpampang sebuah foto aneh, berupa dua buah garis merah pada semacam kertas atau entah apa namanya. Gua membalasnya;
Apaan tuh" Ponsel gua kembali bergetar; Tebak"
Lg mls tebak2an Cari Tau!
Gua memasukkan kembali ponsel kedalam saku. Gua masuk kedalam restaurant seafood yang terletak persis diseberang masjid tempat gua jumatan, hanya dibelah oleh sebuah jalan arteri yang ditengahnya terdapat underpass, jalur transjakarta.
Gua menghampiri sebuah meja, dimana sudah duduk menunggu disana rekan-rekan kerja gua yang sudah lebih dulu kembali dari solat jumat, kecuali mbak Rini, iya mbak Rini kan perempuan jadi dia jaga gawang, nggak ikut solat jumat. Gua duduk diantara mereka dan melanjutkan obrolan sambil menikmati gurame asam manis yang rasanya biasa-biasa saja kalau dibandingkan dengan nama besar restaurant ini yang selalu dibangga-banggakan oleh mbak Rini.
Gimana bon.. enakkan gurame-nya" Mbak Rini bertanya ke gua.
Hmm, enak.. Gua menjawab sambil menjilat jari-jari tangan, gua bohong.
Kapan-kapan ajak bini lo kemari, nggak nyesel deh.. sedikit mahal tapi rasanya top markotob.. Gua nggak menjawab, Cuma memonyongkan bibir sambil manggut-manggut. Gua membayangkan kalau Ines gua ajak makan disini dan nyobain gurame asam manis yang gua makan sekarang, dia pasti manggutmanggu juga, terus bilang; Ah, enakan juga masakan aku...
Membayangkan hal tersebut, gua jadi ingat gambar yang dikirim oleh Ines. Seketika gua mengeluarkan ponsel, membuka galeri image, menampilkan foto yang tadi dikirim Ines dan menunjukkannya ke Prapto, teman yang duduk persis disebelah gua;
Ini gambar apa, prap"
Gua bertanya dan Prapto Cuma menggeleng. Gua menyodorkan ponsel ke teman disebelah Prapto, Mas Roni. Sama dengan prapto, mas Roni juga Cuma menggeleng. Kemudian gua menyerahkan ponsel ke seberang meja, ke pria berkumis tebal yang kadang jarinya suka ngetril dan gayanya ngondek .
Pak Markum.. tau nggak ini foto apaan" Pak Ma ruf yang biasa dipanggil Markum (singkatan dari Ma ruf Kumis), mengangkat tangan sambil menggeleng-geleng. Padahal belum juga melihat gambarnya;
Ih..ih ogah ogah.. pasti gambar serem.. nggak mau.. Yeee bukan.. liat dulu..
Setelah sedikit dipaksa oleh Prapto, akhirnya dia melirik ke arah layar ponsel gua kemudian menggeleng, Mbak Rini yang duduk disebelah Pak Markum, ikut melirik;
Punya siapa, bon" Mbak Rini bertanya sambil sibuk mengupas kulit udang.
Hape-nya" Punya gua..
Bukaan.. itu tespack punya siapa, bini lu" Tau dah.. bini gua ngirim tuh tadi.. Owh punya bini lu..
Iya.. Udah telat berapa hari" Maksudnya"
Gua bertanya, masih belum mengerti arah pembicaraan Mbak Rini.
Bonii.. itu namanya Tespack.. tespack itu alat cek kehamilan, dan gua nanya.. bini lu udah telat berapa hari..."
Hah... Tau dah, kayaknya sih semingguan deh.. kenapa emang mbak"
Owh.. ya kalo udah seminggu mah, bisa 70% positif beneran..
I don t get it.. Boonii!!.. lu waktu kecil pernah kejedot traktor kali ya".. kok telmi banget sih.. bini lo hamil.. What!!""...
Hasil tespack itu dua garis; positif, yang artinya hamil tapi kalo mau lebih yakin lagi minggu depan lu cek ke dokter kandungan..
Pak Markum menyela omongan Mbak Rini; Tunggu mbak.. kalo yang bunting bini-nya kenapa yang disuru cek ke dokter kandungan si Boni"
Gua nggak menggubris lagi omongan-omongan mereka, seketika gua merebut ponsel dari tangan Pak Markum, berjalan ke salah satu sudut ruangan, memisahkan diri dari mereka kemudian menelpon Ines.
Beberapa kali nada sambung berbunyi, kemudian terdengan suara riang Ines diujung sana; Nes, itu tespack kan" Hasilnya positif" Kamu hamil" Itu punya kamu kan"
Iya.. Alhamdulillah.. yaudah ntar kamu jangan pulang sendiri, aku jemput..
Hah, kamu pulang jam berapa emang" Aku dari sini jam 4, kalo nungguin kamu mah keburu lumutan.. Udah pokoknya jam empat aku ntar udah disana.. Motor kamu"
Gua menutup pembicaraan dengan kata Gampang.. kemudian terduduk dilantai. Menghela nafas panjang sambil mengucap syukur.
Teman-teman yang masih duduk dimeja, tertawa sambil meledek ke arah gua. Gua bangkit berdiri memasang senyum selebar-lebarnya sambil kembali berdiri dan menghampiri mereka.
Mbak Rini.. kalo situasinya kayak gitu, udah beneran postif apa nggak"
Gua bertanya ke Mbak Rini, penasaran.
Dulu sih gua, pas hamil anak pertama, tiga hari telat, tespack positif beneran hamil.. tapi tiap orang sih beda-beda bon..
Oh gitu.. Iya.. kalo emang bener, selameet ya boon... Hahaha... mbak Rini.. pesen lagi udang sama gurame nya,.. gua yang bayar!!
--- Sore harinya, gua pulang lebih cepat. Dengan diantar oleh Office Boy kantor. Jam empat kurang lima menit gua sudah berada di sekolah swasta tempat Ines mengajar. Sepuluh menit menunggu dalam situasi seperti ini bener-bener membuat gua gelisah nggak karuan, menit berikutnya Ines muncul dari dalam gerbang, gua menghampirinya;
Itu testpack punya kamu kan nes" Iyaa..
Bener" Ish, ngapain aku boong.. nih mobilnya di ujung, deket tukang cakwe..
Ines menjawab sambil menyodorkan kunci mobil ke gua.
Kamu naek apa kesini" Dianter aldi.. Motor kamu"
Ditinggal dikantor.. Yaudah aku ngambil tas dulu.. Siap boss..
Gua bergegas mengambil mobil.
Sore itu sepulang dari menjemput Ines, dengan mengabaikan saran dari Mbak Rini untuk cek ke dokter minggu depan. Gua dan Ines langsung mengarahkan mobil ke arah Pondok Indah kemudian berbelok ke arah ciledug raya dan menuju ke sebuah Rumah Bersalin, namanya Avisena. Rumah bersalin tempat dimana gua dan Ika dilahirkan. Rumah sakit yang selalu direkomendasikan nyokap ke para saudara, tetangga atau calon ibu lainnya.
Jam enam kurang, kami sudah tiba disana. Setelah menunggu beberapa lama, seorang perawat memanggil nama Ines dan kami berdua masuk kedalam. Pengecekan dengan metode USG sudah dilakukan, Ines bersama seorang perawat menuju ke ruang lain untuk pengecekan dengan metode darah dan urine. Gua duduk menghadap seorang dokter yang sudah lumayan tua, dia mengatakan kalau memang hasil Tespack Ines akurat, dan menurut hasil USG Ines benar-benar hamil. Tapi tadi Ines tetap bersikeras untuk mengecek dengan metode yang lebih meyakinkan, gua mengangkat bahu, terserah kamu...
Jam delapan, kami sudah berada dijalan pulang. Boon... udah sampe sini, mampir sebentar kerumah ibu..
Emang kamu nggak capek.." Nggak kok, besok kan libur.. Oiya..
Nggak usah bilang-bilang ibu dulu ya kalo aku hamil..
Lho kenapa" Gapapa.. ntar ibu malah selametan.. ngerepotin... Hahahaha.. iya..
Malam itu, gua berada ditengah kemacetan jalan Ciledug Raya. Kemacetan yang baru kali ini benarbenar gua nikmati. Gua menggenggam tangan Ines yang duduk disebelah gua sambil bergumam; Tuhan nggak pernah salah..
Terkadang kita, yang Cuma manusia biasa, yang bukan rasul, yang bukan nabi malah bersahut-sahutan menyalahkan Takdir, menyalahkan keadaan, menyalahkan kondisi, menyalahkan Tuhan.
Kali ini, Tuhan mempercayai gua dan Ines menerima sebuah anugrah; kehamilan. Yang memang sudah kami tunggu-tunggu kedatangannya, yang mampu membuat kegundahan gua hilang. Gua Cuma berharap nantinya mampu mengayomi dan menjaga Ines selama kehamilannya itu, dalam hati gua membuat janji.
Sebulan setelah-nya, Ines nggak henti-hentinya mondar-mandir ke kamar mandi; muntah dan mual. Gua yang nggak tega melihat-nya kelelahan dan tergopoh-gopoh bolak-balik dari kamar ke kemar mandi akhirnya mengambil ember besar yang sudah gua isikan beberapa gayung air dan diletakkan di tepi kasur disebelah Ines.
Nih.. muntahin disini aja, biar nggak bolak-balik... ish.. nggak ah.. jorok, masa muntah ditampung di ember..
Gapapa, daripada bolak-balik...
Jadilah semalaman gua bangun setiap setengah-jam, membuang muntahan didalam ember, membilas, mengisinya dengan dua gayung air dan meletakkannya kembali di tepian kasur.
Besok harinya gua memutuskan untuk memberitahu nyokap akan kehamilan Ines, sekaligus memintanya untuk menemani Ines disini. Dan apa yang pernah Ines duga terjadi-juga;
Wah kudu diselametin itu...
Yaudah terserah emak dah, yang penting emak sekarang mau kesini nggak nemenin Ines", oni mau kerja..
Lha ya mau... Disamping beberapa kerepotan dan ke-hebohan baru dalam rumah tangga gua, dua bulan pertama kehamilan Ines, menurut gua sebagai seorang suami dan calon bapak baru, apalagi kehamilannya ditunggutunggu, rasanya sama seperti dulu (sekali) saat gua tengah bergelayutan di pohon jambu didepan rumah Haji Hasan, kemudian melihat bokap pulang mengendarai vespa-nya dengan sebuah kardus diikat di jok belakang bertuliskan Nintendo . Disusul gua dan teman-teman lainnya berlari-lari sambil berteriak bahagia, mengejar bokap menuju ke rumah. Ya! Rasanya persis seperti itu.
#49: Hell Yeah Kalau dirunut melalui akal sehat, nalar dan logika, yang namanya nyidam / ngidam itu buat gua sedikit nggak masuk akal. Apalagi kalau dikait-kaitkan dengan sebab si anak ileran karena waktu hamil si Ibu ngidam dan nggak kesampaian.
Ditambah nyokap gua yang masih pola pikirnya sangat old school . Kalau hamil jangan nyiram air bekas cucian ke kaki, jangan keluar malam-malam, jangan ini, jangan itu, jangan ono, jangan anu. Ines Cuma senyamsenyum kecil, bersandar dipundak gua sambil mendengarkan wejangan dari nyokap. Malam itu setelah acara pengajian dan (tentu saja) selametan (yang kedua). Nyokap duduk sambil memijat-mijat kaki mungil Ines yang tengah berbaring.
Dirumah jangan ngeja (bikin) apa-apa nes.. ngga usah masak.. ntar kecapean..
Iya bu.. Udah lu tinggal dimari aja dah.. biarin si Oni mah didepok..
Yah ntar yang ngurusin Oni siapa bu"
Lah lu pan lagi bunting, kebalik kudu nya Oni yang ngurusin lu..
Hehehe.. nggak papa bu.. Elu kerja masih nyetir sendiri nes" Masih bu..
Tiba-tiba sebuah sendal melayang tepat mengenai pipi gua, kaget gua menoleh. Nyokap menggenggam sebelah sendal satunya bersiap melempar lagi.
Orang mah jadi laki, bini lagi bunting, kerja lu anterin..
Yaelah.. kepagian mak kalo nganter dia mulu, baliknya juga dia mah sore, oni kadang suka balik malem..
Ya elu ijin kek, gimana kek..
Iya kali ijin masa sampe sembilan bulan.. kalo perusahaan punya engkong mah gapapa.. Nggak apa apa bu, aku masih bisa kok sendiri.. nanti kalo udah hamil gede baru dianter jemput.. Ines memotong pembicaraan membela gua. ---
Selama hamil ini hampir setiap hari nyokap menelpon, kadang malah sehari bisa dua atau tiga kali. Dia benarbenar khawatir dengan kondisi Ines dan si jabang bayi. Nyokap bahkan sampai bela-belain pasang AC dirumah-nya, ditempat yang tadinya kamar gua , takuttakut kalau Ines datang menginap nanti kepanasan. Dan saat menginap pun, nyokap meng-ultimatum gua untuk tidur dibawah, jangan tidur dikasur, disebelah Ines.
Lu kan tidurnya jabrah, ntar kalo perut bini lu ketendang gimane"
Yang jadi sasaran bukan Cuma gua aja, bokap juga kadang juga sering kena semprot nyokap jika merokok didalam rumah saat ada Ines, setelah pindah ke teras pun, bokap masih harus menerima lemparan sendal nyokap sambil berteriak;
Sono yang jauh ngerokok nya, asepnya masuk kedalem,, nggak kesian apa sama mantu..
Lain Nyokap, lain pula Ines; semakin besar usia kehamilan Ines, semakin bertambah manja-nya. Apalagi yang namanya menuruti ngidam -nya Ines, badan gua jadi tambah kurus. Kadang gua suka beradu argumen dengan Ines perihal mitologi ngidam . Gua bersikeras kalau ngidam itu Cuma sugesti sesaat aja, nggak ada pengaruhnya sama sekali terhadap kesehatan janin atau si ibu. Tapi Ines selalu menyanggahnya dengan sebuah teori menyangkut efek psikologis yang diemban si Ibu dan pada akhirnya gua harus menyerah, bukan terhadap teori-nya Ines melainkan terhadap pandangan manja-nya yang selalu berhasil bikin lutut gua lemes.
Pernah suatu siang, gua membaca status bbm yang dibuat Ines;
Lg ngidam asinan aseli bogor, tp yg beli harus laki gua
Membaca status tersebut gua Cuma geleng-geleng sambil mengusap-usap wajah. Ya walaupun bisa diakali dengan gua berpura-pura membeli asinan di bogor, padahal nongkrong di sevel fatmawati kemudian beli asinan di pasar minggu. Toh Ines juga nggak tau;
Enak nggak asinan aseli bogor-nya" Enak... banget..
Ines menyuap dua kali kemudian menyerahkannya mangkok berisi asinan ke gua.
Nih.. Lah.. udah" Gitu doang"
Iya, udah.. Cuma ngilangin pengen doang.. kamu abisin..
Nggak ah, taro kulkas aja ya"
Nggak nggak jangan, kamu abisin sekarang! Hah"
Abisin!! Gua memandang nanar ke arah asinan bogor sambil meneguk liur.
Suatu malam pernah Ines, merajuk meminta rambutan bahkan sambil menangis sesenggukan. Nggak tega, gua buru-buru menyalakan motor dan berkeliling mencari rambutan. Ya yang namanya sedang nggak musim rambutan, jelas nggak ada yang berjualan. Akhirnya setelah mondar-mandir kesana-kemari, telepon sana-sini, tanya sanatanya sini, gua mendapatkan seikat rambutan yang terdapat disebuah sepermarket yang menjual aneka buah dan sayuran. Lokasinya ada di kebon jeruk, silahkan bayangkan sendiri; Depok Kebon Jeruk pulang pergi hanya untuk seikat rambutan.
Kalau itu parah, masih ada yang lebih parah lagi. Sampai sekarang gua menyebutnya Parah pangkat dua. Suatu malam, Ines membangunkan gua; Boon.. aku mau mie..
Hmmm... apa" Gua mengucek-ngucek mata, masih belum bisa mencerna perkataan Ines.
Aku mau mie.. Yaah nes.. masa malem-malem makan mie, mie instan"
Hooh.. Kemudian gua klontangan di dapur tengah malam buta membuat mie instan buat Ines. Setelah selesai gua membangunkan Ines, dia bangun dan menuju ke meja makan. Gua duduk disebelahnya saat Ines Cuma memandangi Mie instan yang masih mengepul asapnya.
Kok pake teloor siih.. Ines mengaduk-aduk mie instan yang baru gua buat sambil pasang tampang cemberut.
Kamu mah nggak ngerti aku banget deh bon... Dan dia mulai menangis. Iya sejak usia kehamilannya semakin besar dia jadi bertambah manja dan lebih sensitif.
Lah... Nggak pake ba-bi-bu , gua buru-buru memasak mie instan lagi, kali ini nggak ditambah telur. Setelah matang gua menyodorkan semangkuk mie instan ke hadapan Ines, yang masih terisak. Gua bener-bener bingung, padahal sebelum-sebelumnya Ines kalau makan mie instan selalu pakai telur.
Ines masih memandangi Mie instan kedua yang juga masih mengepul asapnya. Dia memutar-mutar mangkok wadah mie instan, kemudian berkata; Aku mau mangkok yang ada gambar ayam jagonya..
Ya Allah, nes.. kita mana punya mangkok kayak gituan..
Ya cari kek!!!.. Gua menggaruk-garuk kepala, bingung harus marah atau gimana, ingin rasanya gua membentur-benturkan kepala ke meja dihadapan Ines. Tapi ines mulai terisak lagi. Gua bergegas berdiri, mengambil jaket dan kunci motor. Setelah mengecup kepalanya sambil berkata Aku cari dulu ya..udah jangan nangis .
Gua menembus dingin-nya angin malam kota Depok. Menghampiri satu persatu warung-warung tenda yang masih buka, tukang pecel ayam, tukang nasi goreng, tukang jamu, tukang sekoteng dan akhirnya gua berhasil mendapatkan mangkok ayam-jago di tukang mie ayam yang tengah mendorong gerobaknya sepertinya selesai berdagang dan ingin pulang. Bang.. punya mangkok ayam jago nggak" Hah"..
Mangkok ayam jago.. Si abang tukang mie ayam memandang curiga ke gua, mungkin dikiranya gua mau merampok dia, dengan modus menanyakan jenis mangkok yang dia punya. Gua mengeluarkan selembar dua puluh ribuan dan menyodorkannya ke abang tukang mie ayam tersebut.
Kalo ada, saya bayarin bang.. Oh.. yang kayak gini"
Si abang tukang mie ayam, mengangkat mangkok bergambar ayam jago dari dalam ember yang digantung pada gagang dorongan gerobak.
Iya bener.. Gua menyambar mangkok tersebut dan menyerahkan selembar uang dua puluh ribuan kepadanya, kemudian meluncur meninggalkan si abang tukang mie ayam dalam kesendirian ditengah heningnya malam dijalan Nusantara, Depok.
Sesampainya dirumah, gua langsung menuju ke dapur, mencuci mangkok ayam jago dan memindahkan mie instan yang sudah mulai dingin kedalamnya. Setelah siap saji gua memanggil-manggil Ines, nggak ada jawaban. Gua masuk kekamar, Ines sudah tidur. Nes.. nes bangun.. itu mie plus mangkok ayam jagonya udah ada..
Hmmm... Bangun.. itu mie plus mangkok ayam jago-nya udah ada..
Ah.. males, udah nggak pengen.. ngantuk aku.. udah kamu makan aja..
Gua bengong, shock dan terduduk di lantai bersandar ditepian kasur, menatap nanar ke langit-langit kamar sambil mengacak-ngacak rambut sendiri. Gila nih lama-lama gua..
Tapi kejadian itu baru masuk ke Parah pangkat dua, kejadian berikut masuk kedalam kategori Parah pangkat tiga.
Saat itu, sabtu sore. Gua dan Ines berencana menginap di rumah nyokap. Kami berada didalam mobil menuju ke jalan ciledug raya. Tanpa ada angin, tanpa ada petir, tiba-tiba Ines mematikan radio. Bon.. aku mau liat layar tancep deh.. Hah..
Aku mau nonton layar tancep..
Udah deh nes, nggak usah yang macem-macem lah.. jaman sekarang udah nggak ada orang yang nanggap layar tancep..
Ish.. kamu mah.. belon dicari udah bilang nggak ada..
Ya kamu-nya mintanya yang aneh-aneh aja.. Pokoknya aku mau nonton layar tancep, titik, no excuse..
Dan sisa perjalanan sore itu dihabiskan Ines dengan membuang muka ke arah jendela, diam sepanjang jalan. Sesampainya dirumah nyokap pun dia tetap diam, nggak berkata apa-apa dan langsung masuk kedalam kamar. Nyokap yang mengetahui gelagat tersebut, bertanya ke gua;
Ngapa bini lu.. Tau tuh,..
Gua menjawab sambil mengeluarkan tas ransel berisi pakaian Ines dari dalam mobil.
Lu apain bini lu" Kagak diapa apain maaak, dia ngidam pengen nonton layar tancep..
Lah.. yauda gidah sono lu cari orang yang nanggap layar..
Yaah mak, jaman sekarang mana ada orang yang nanggap layar..
Nyokap memukul pundak gua kemudian bergegas masuk kedalam kamar, menyusul Ines. Kemudian dia keluar dari kamar dan mengangkat gagang telepon, sejauh yang gua dengar sih sepertinya nyokap menghubungi bokap yang sedang keluar, menanyakan dimana ada orang yang menggelar Layar Tancep .
Udah.. lu buruan pulang dah bang... Suara nyokap menggema diseluruh ruangan mengakhiri pembicaraan antara nyokap dan bokap via telepon.
Setelah menutup gagang telepon, nyokap buru-buru menghambur keluar rumah, bergegas ke rumah tetangga mulai dari rumah Haji Kosim, Bang Oman, Bude Niroh, Mpo Adah, Hj Hasan, Baba Jirin, menanyakan satu persatu perihal informasi Layar Tancep . Gua menepuk jidat, kemudian merebahkan diri di kursi ruang tamu.
--- Semakin besar usia kehamilan Ines, level manja dan sensitif-nya semakin bertambah. Bahkan sempat beberapa malam dia tiba-tiba menangis tanpa sebab dan alasan. Pernah Ines menangis sesenggukan, saat menonton sebuah acara tentang animal discovery di tivi;
Kamu kenapa si" Kok tau-tau nangis.. Itu boon, kasian rusa-nya..
Kenapa rusa-nya" Bapak ibunya mati.. dimakan singa, dia jadi sendirian deh..
Ya emang udah takdirnya..
Kasiaan booon, jadi yatim piatu... kayak aku.. Sejak saat itu, setiap pergi kemanapun atau melihat dimanapun, seorang anak, atau bahkan seekor binatang yang sedang sendirian dia pasti menangis. Bertanya-tanya kemana bapak-ibunya.
Beruntung kejadian seperti itu nggak sampai berlarutlarut, takutnya nanti setiap ketemu tiang listrik dia nangis nggoser-nggoser nanyain emak-bapaknya tuh tiang kemana.
Seiring waktu permintaan-permintaan anehnya yang berkedok ngidam sudah mulai berkurang intensitasnya. Ya walaupun sesekali ada permintaan seperti kue cucur, toge goreng atau sekedar nyubitin tangan gua, yang overall nggak terlalu sulit untuk diturutin.
Saat itu, akhir bulan Oktober 2012.
Usia kehamilan Ines memasuki bulan ke sembilan, dia sudah mengambil cuti dari pekerjaannya, dan pindah sementara ke rumah nyokap. Selain karena dirumah nyokap selalu ada orang yang bisa menemani, gua juga jadi bisa meninggalkan dia bekerja dengan tenang. Jam dua belas siang, ponsel gua berbunyi, Ines menelpon;
Halo.. Boon.. aku udah mules-mules deeh.. Laah.. emak mana"
Ada nih.. Ada siapa lagi" Ada bapak juga. Yaudah minta anter ke Avisena (nama rumah bersalin) aja...
Iya.. nanti kamu langsung nyusul ya.. Iya..
Gua buru-buru membereskan pekerjaan dan segera meluncur ke Rumah sakit bersalin.
Berjam-jam gua menunggu, pembukaan Ines nggak juga bertambah. Seorang dokter menghampiri gua, menjelaskan kemungkinan-kemungkinan yang bisa dilakukan; antara normal namun proses-nya pasti butuh waktu dan si ibu bakal terus merasa sakit luar biasa atau dengan proses operasi (cesar) yang bisa dilakukan kapan saja, setelah mendapat persetujuan dari pihak pasien.
Umm dok, boleh saya bicara sama istri saya dulu.." Oh, iya silahkan..
Kemudian gua menghampiri Ines yang tengah berbaring menahan mules yang intervalnya semakin lama semakin cepat. Gua bertanya kepada Ines tentang dua opsi yang tadi dikatakan oleh dokter. Ines Cuma meringis sambil menggeleng dan berkata; Aku udah nggak kuat boon..
Yaudah operasi aja ya" Ines mengangguk.
Gua kembali menghampiri dokter yang masih menunggu di luar ruangan.
Persekutuan Tusuk Kundai Kumala 23 Pendekar Rajawali Sakti 58 Darah Seratus Bayi Kemelut Kadipaten Bumiraksa 2
Jam menunjukkan pukul sepuluh malam saat Komeng pamit untuk pulang, nggak terasa sisa obrolan tadi sore yang dilangsungkan sambil berbisik dan berubah jadi obrolan otomotif saat bokap, nyokap atau Ika melewati ruang tamu tempat gua dan komeng ngobrol. Sebelum pulang komeng sempat berkata;
Cinta itu bon& &
& perasaan yang datangnya kita nggak tau dan rasanya nggak pernah berakhir..
Ah tau apa lu meng tentang cinta" Lu aja playboy.. Lah, justru itu.. pengalaman gua jadi banyak.. Hmmm&
Gua manggut-manggut. Nggak lama komeng pamit pulang. Gua duduk diteras rumah sambil menghabiskan rokok yang baru saja gua sulut, gua menggumam;
Cinta itu adalah rasa dimana kita nggak bisa pindah kelain hati pada seseorang, kalau masih bisa berpaling pada orang lain padahal kita sudah mengaku mencintainya, maka tinggalkan lah dia dan berpalinglah pada wanita kedua. Karena
sesungguhnya cinta itu adalah menutup mata, hati, pikiran dan logika agar tidak berpaling ke lain hati. Ah entitas mana yang berkata" perasaaan atau logika atau keduanya" Ah tau apa gua tentang cinta.
Gua membuang puntung rokok dengan sebuah jentikan kemudian masuk kedalam, menutup dan mengunci pintu. Meninggalkan semua perihal-perihal cinta dan remeh temeh lainnya agar tetap diluar, tetap pada koridornya, tetap pada pendirian teguh yang tumbuh subur didalam diri, cinta belum punya tempat di hati gua.
Kemudian sesosok entitas dalam diri gua bertanya; Bagaimana dengan Resti"
Dan kali ini gua dengan tegas menjawab; Hah" Resti" Siapa"
#42: The Past of the Future
Hari ketiga setelah lebaran. Gua sudah berada kembali di Leeds. Okey, walaupun hidup sendirian disini entah kenapa Leeds sukses bikin gua kangen, gua jadi merasa hidup diantara dua dunia, Indonesia dan Inggris, keduanya adalah rumah buat gua, keduanya punya kenangan, punya memori.
--- Hampir setahun sejak kepulangan gua ke Indonesia dan sejak saat itu gua nggak pernah lagi menginjakkan kaki ke kampung halaman. Hidup gua Cuma diisi dengan Tidur, kerja, makan, kerja, tidur lagi dan begitu terus, mungkin kalau boleh mengutip istilah seorang developer software; Looping
Kata orang, hidup di luar negri dimana ketimpangan antar budaya dan latar belakang-nya besar sekali, sangat potensial untuk merubah sifat seseorang. Apalagi di Negara-negara Eropa yang notabene, segala sesuatunya benar-benar berbeda dengan Negara asal gua. Heru, waktu masih di Singapore sebelum berangkat ke Inggris pernah bilang; & Bon, konon katanya kalo tinggal lama diluar negeri, kita Cuma punya dua pilihan; Jadi orang yang bener-bener baik atau jadi orang yang bener-bener bobrok , nggak ada yang ditengah tengah.. dan disana lu bakal berubah menjadi orang yang sama sekali baru&
Awal pindah ke Inggris, gua setuju dengan opini Heru. Tapi semakin kesini, sedikit demi sedikit gua mulai bisa mementahkan opini tersebut. Dengan bangga-nya gua bisa menunjukkan ke Heru, betapa Inggris nggak bisa membuat gua bergeming dari apa yang namanya prinsip. Prinsip yang selalu gua pegang teguh dan kemudian mengakar dalam diri, prinsip untuk selalu mengedepankan logika dan nalar, bahkan tanpa takut gua mengakui bahwa gua adalah budak dari nalar dan logika tersebut.
Dari kecil gua selalu memperdebatkan perkataan nyokap perihal yang namanya pamali , tahayul dan apalah sebutannya. Bukannya nggak percaya, tapi selama hal tersebut bisa dijelaskan secara nalar dan ilmiah maka tanpa ragu gua pun menurutinya, tapi kalau sama sekali nggak bisa dijelaskan secara nalar, atau ada penjelasan ilmiahnya namun logika gua nggak menerimanya, maka jangan harap gua mau menerimanya.
Jangan nyapu malem-malem.. pamali.. Yang jelas bukan karena pamali , kurang kerjaan banget tu orang nyapu malem-malem, malam hari itu waktunya istirahat lagian juga gelap-gelap kok nyapu.
Jangan duduk didepan pintu.. pamali.. Pamali dari mana" Dari hongkong" Nggak usah disangkut-sangkutin dengan pamali -pun yang namanya duduk apalagi tidur didepan pintu itu menghalangi jalan orang lewat.
Anak perawan jangan makan sepet (sayap) ayam, ntar dibawa pergi jauh sama suaminya.. Ya selama yang bawa pergi suaminya yang sah, dimana masalahnya" Kecuali yang bawa pergi kang abu gosok.
Dan banyak hal-hal lain yang masih dianggap tabu, pamali, tahayul oleh nyokap yang selalu gua perdebatkan, dan biasanya bokap yang selalu menengahi sambil berkata ke gua; Udah turutin aja, kalo nggak ngerugiin elu mah..
Gua tipe orang yang nggak bakal menelan mentahmentah apa yang disodorkan ke gua tanpa tau asalusul, sebab, apa, kenapa dan dimana. Pada akhirnya hal itulah yang membentuk gua yang sekarang, gua yang men-dewa-kan nalar dan logika.
Disatu sisi, di dunia kerja yang sekarang, jelas prinsip men-dewa-kan logika gua ini sangat berguna, bahkan boleh dibilang semua keputusan, ide bahkan sebuah klik pada komputer diproses oleh logika dan nalar gua. Dalam dunia desain banyak yang bilang kalau perasaan dan feeling lebih mendominasi dalam berkreasi, nggak sepenuhnya salah dan buat gua sama sekali nggak benar. Kalau ada orang yang setuju dengan statement perasaan dan feeling lebih mendominasi dalam berkreasi, maka gua akan menyerahkan sebuah pensil serta selembar kertas ke orang tersebut kemudian menyuruhnya untuk menggambar, atau men-sketsa atau mendesain atau membuat kaligrafi atau berkreasi tanpa harus befikir, ingat! Jangan berfikir. Bisa" Nggak mungkin. Nalar akan berusaha mengambil memori-memori dalam otak, memprosesnya kemudian member isyarat ke tangan untuk mulai menggerakan pensil membentuk sesuatu yang paling sering dibayangkan, kemudian logika akan membantu menyatukan guratan-guratan pensil menjadi bentuk yang lebih presisi.
Dan prinsip itu pula yang pada akhirnya membawa dan menemani gua berpetualang ke negri-nya Ratu Elizabeth ini, dan pada akhirnya prinsip tersebut runtuh seruntuh-runtuhnya, amburadul, pecah nggak keruan, berbalik menyerang diri gua sendiri saat gua memasuki akhir tahun ke-empat gua berada di sini, di Leeds.
Kalau kata orang betawi ketula yang bisa diartikan kemakan omongan sendiri .
Gua yang selalu men-dewa-kan nalar dan logika akhirnya harus bertekuk lutut, menyerah dihadapan seorang wanita asing yang baru gua kenal.
Berawal dari kejenuhan gua saat memasuki weekend di akhir musim gugur. Pagi itu cuaca sedikit mendung dan berangin. Gua terjaga akibat pemanas ruangan yang sejak semalam mati. Tidur dengan menggunakan sweater dan kaos kaki membuat gua nggak nyaman dan beberapa kali terbangun. Jam menunjukkan pukul 5 dini hari saat gua duduk dikursi dapur sambil menikmati sebatang rokok dan secangkir kopi hitam yang uapnya masih mengepul, dengan kedua kaki nangkring diatas kursi gua melihat-lihat catatan yang selama ini gua tulis dalam PDA, sambil menghapus beberapa reminder yang sudah nggak lagi berguna gua menyadari kalau sudah hampir sebulan ini gua nggak pergi memancing. Gua bangkit, kemudian menuju ke kamar mandi untuk sekedar cuci muka dan sikat gigi lalu bergegas menuju ke tempat Darcy untuk complain perihal pemanas ruangan yang rusak sebelum berangkat memancing.
Satu jam berikutnya gua duduk di kursi lusuh yang terletak di lantai bawah yang digunakan Darcy sebagai gudang. Darcy dan seorang pria teknisi gas dan pemanas ruangan langganan-nya tengah berdebat mengenai spare-part yang harus diganti, setelah melalui perdebatan panjang, dengan wajah sedikit lecek teknisi tersebut melanjutkan memperbaiki salah satu pipa pemanas sambil menggumam nggak jelas. Kemudian teknisi tersebut meminta gua ke atas, ke kamar gua untuk mencoba menyalakan pemanas, gua bergegas naik ke atas dan menyalakan pemanas, sedikit berdengung di awal kemudian perlahan-lahan suhu ruangan berubah hangat. Gua turun kebawah, menghampiri Darcy yang tengah berdiri disamping teknisi tersebut sambil berkata it works . Sambil sedikit berbasa-basi gua menenteng sepeda menuruni tangga kemudian berlalu, meninggalkan Darcy dan si teknisi yang sepertinya masih melanjutkan perdebatan mengenai sparepart pemanas yang sudah harus diganti.
Sebelum berbelok ke jalan berpasir menuju ke danau, gua mampir ke sebuah toko kelontong, Le Grocery. Pak tua si penjaga toko tersenyum saat gua memasuki toko-nya, setelah mengambil beberapa kaleng Diet coke dan membayarnya;
Gone fishing huh.." Yeah.. see ya.. Have a nice day..
Gua keluar toko setelah sedikit berbasa-basi dengan pak tua pemilik toko, kemudian memasang headset ke telinga dan mulai mengayuh sepeda menuju ke jalan berpasir kearah danau.
Setibanya di danau, gua memarkirkan sepeda didepan sebuah rumah yang mirip bungalow. Didepan bungalow tersebut berdiri sebuah papan usang, sama usangnya dengan bungalaw teserbut bertuliskan; Observatorium . Sejak setahun belakangan, saat danau mulai ramai oleh orang-orang yang ingin memancing atau hanya sekedar ber-piknik, bungalow tersebut dialihkan fungsinya sebagai lahan parkir. Pagi itu belum ada satupun sepeda yang terparkir disana, setelah menggembok sepeda menggunakan rantai, gua berjalan gontai menuju ke danau melalui jalan setapak sambil menggendong joran pancing dipundak, menenteng plastik berisi diet coke ditangan kanan dan kursi lipat kecil ditangan kiri.
Gua membuka lipatan kursi mini yang terdiri dari rangkaian besi-besi dan engsel yang memungkinkan untuk dilipat menjadi sangat kecil kemudian duduk diatasnya. Setelah memasang umpan, gua melempar kail sejauh mungkin.
Semilir angin bertiup, menerpa wajah dan menyisir rambut gua. Sambil memandangi tali pancing yang kadang bergoyang-goyang diterpa riak air akibat hembusan angin, ingatan gua akan kampung halaman kembali berpendar.
Gua duduk ditepi danau di pinggiran kota Leeds sambil bernostalgia, mencoba membangkitkan memori tentang memancing, tentang si Komeng, tentang Jakarta, tentang rumah.
Setelah berjam-jam memancing, menghabiskan berkaleng-kaleng Diet Coke akhirnya gua memutuskan untuk menyudahi kegiatan ini. Pulang dengan membawa 6 Ekor ikan Yelowtail (di Indonesia disebut ikan patin) dan sedikit kenangan tentang rumah , gua berjalan gontai menuju tempat dimana sepeda kesayangan gua diparkir, sempat kebingungan awalnya karena sekarang ada banyak sepeda yang diparkir dan gua mulai mengayuh.
Sambil mendengarkan Heaven nya Lost Lonely Boys lewat headset, gua mengayuh sepeda menuju ke rumah, pulang. Melewati jalan berpasir yang dipenuhi pohon-pohon maple di kedua sisinya menuju jalan utama. Jalan yang sangat sepi dan hening, jam menunjukkan angka 4 sore, di sabtu sore seperti sekarang ini memang didaerah sini sangat sepi, kebanyakan penduduk sekitar sedang ke stadion atau pub-pub untuk menyaksikan Leeds United bertanding. Ingin buru-buru sampai di rumah, karena perut udah mulai keroncongan, gua kayuh sepeda lebih cepat. Sampai kemudian terdengar sayup-sayup suara musik yang makin lama makin nyaring, suara musik RnB yang sepertinya diputar dari dalam mobil dengan volume maksimal. Suara tersebut datang dari arah belakang dan kemudian menyusul gua, sebuah BMW silver yang melaju cepat bahkan boleh dibilang sangat cepat, sambil meninggalkan debu persis seperti mobil yang sedang Rally Dakkar.
Orang Gila!! gua mengumpat, masih sambil dengerin coda lagu Heaven nya Lost Lonely Boys. Sampai gua melihat beberapa detik kemudian lampu rem BMW tersebut menyala dan kemudian berhenti.
Deg!, Wuanjrit, sakti juga tuh orang bisa denger suara gua sambil berhenti dan melepas headset dari telinga. Yang ternyata setelah gua sadar, suara gua nggak sepelan pas pakai headset tadi. Gua nunggu sambil dag dig dug, kalau dia ngerti ucapan gua, dia pasti orang Indonesia dan kalo ternyata bukan gua bakal siap-siap kabur.
Pintu penumpang pun terbuka, terbuka secara paksa tepatnya, sedetik kemudian keluar seseorang dari kursi penumpang, terhuyung dan kemudian terjatuh, terdengar makian dari dalam BMW tersebut mungkin seperti bitch atau semacamnya dan sesaat kemudian BMW tersebut pergi, mengasapi orang yang tersungkur itu dengan debu jalanan.
Sesosok perempuan yang awalnya gua kira adalah lakilaki, terduduk dengan kepala menunduk ke tanah. Perempuan yang pada akhirnya meruntuhkan semua prinsip gua tentang Logika dan nalar yang terlanjur meng-akar dalam diri gua, perempuan hitam manis dengan rambut pendeknya, perempuan yang mengubah hidup gua.
Namanya Ines. CHAPTER VI #43: My First& Kata orang, yang namanya pernikahan itu umpama pohon cinta, yang akan terus bertumbuh dan menghasilkan buah yang manis melewati sebuah proses. Semakin kuat akarnya, maka semakin kuatlah pohon itu tegak berdiri. Dalam pernikahan akar diibaratkan sebuah komitmen yang ada pada suami maupun istri. Semakin kuat komitmen yang ada, maka semakin kuatlah biduk rumah tangga tersebut.
Sebuah perumpamaan yang gua kutip dari seorang penghulu di Kantor Urusan agama sewaktu gua dan Ines ikut yang namanya Penataran Pra Nikah .
Saat itu sebulan sebelum melangsungkan pernikahan, pasangan calon pengantin diwajibkan untuk mengikuti yang namanya Penataran Pra Nikah yang isinya Cuma sekedar omong kosong nggak karuan tentang bagaimana menjalani kehidupan berumah tangga yang baik, benar dan sesuai dengan syariat. Parahnya penataran ini dilaksanakan pada jam dan hari kerja. Waktu itu gua dan Ines sampe bela-bela-in bolos kerja demi mengikuti yang namanya penataran ini. Awalnya gua sedikit penasaran dengan apa aja sih konten yang bakal disajikan saat penataran dan berbekal rasa penasaran itulah yang akhirnya membawa gua ke KUA didaerah kebayoran baru jakarta selatan.
Jam sepuluh pagi gua dan Ines sudah tiba di KUA, setelah bertanya ke bapak petugas yang sedang merokok di depan pintu masuk gedung (sangat tipikal orang Indonesia sekali si bapak ini, jam kerja, malah ngudut didepan kantor).
Misi pak, kalo mau penataran disebelah mana ya" Oh mau penataran"
Kebetulan iya pak.. Terlambat kamu.. udah buruan masuk, naik ke lantai dua..
Ok, makasih ya pak.. Gua kemudian menarik lengan Ines yang malah asik moto-in bunga yang terdapat di pot-pot berjejer di depan gedung KUA.
..Eh.. mas..mas.. Terdengar panggilan dari si Bapak petugas yang tadi, setelah menghisap dalam-dalam rokok-nya dia meletakkannya di tanah, menginjaknya kemudian menghampiri kami yang baru saja hendak masuk ke dalam.
...Daftar dulu.. sini.. Si Bapak petugas tadi bergerak menuju ke sebuah meja yang bentuk dan warnanya mirip dengan meja guru di sekolah-sekolah negeri ditambah sebuah taplak segi empat berwarna merah dengan motif bunga-bunga, diatasnya terbuka sebuah buku dengan ukuran besar. Si Bapak petugas tadi menyodorkan sebuah spidol dan memberikan isyarat ke gua untuk mengisi buku yang seperti buku tamu sambil berkata;
Biayanya 30 ribu ya per orang... Oh.. kirain gratis pak..
Gua bertanya sambil mengisi nama, alamat dan nomor telepon.
Di Jakarta mana ada yang gratis mas... Oh gitu pak.. nih pak..
Gua mengeluarkan uang 60 ribu dan menyodorkannya ke Bapak petugas tadi.
Minta kuitansinya dong pak..
Si Bapak petugas tersebut seketika terbelalak, sambil mengambil mengantungi uang yang tadi gua berikan dia menaikkan kaki kirinya diatas pangkuan.
..Kamu ini.. uang 60 rebu aja pake minta kuitansi.. Bapak keberatan"
Ya jelas.. Lho, kalo emang sesuai prosedur kenapa bapak keberatan" Saya kan Cuma minta kuitansi.. Gua masih tetep keukueh ingin minta kuitansi. Pengen tau aja sejauh mana kejujuran dalam birokrasi di KUA ini bisa dijalankan.
Ines menarik lengan gua; Udah ah..
Kemudian dia tersenyum ke arah Bapak petugas tersebut dan mengatakan;
Nggak usah pake kuitansi pak.. maap ya..
Dia menarik tangan gua dan berjalan ke arah tangga, menuju ke atas, sambil ngedumel nggak jelas. Beberapa saat kemudian kami sudah duduk pada barisan paling belakang di sebuah ruangan yang menyerupai aula. Di bagian depan seorang pria berkopiah putih dengan seragam berwarna hijau tengah berbicara. Gua mendengar selentingan tentang pesan-pesan pernikahan, tentang tips-tips dalam berumah tangga bahkan tutorial dalam menghadapi pasangan yang bermasalah. Pria berkopiah tersebut kemudian memberikan kesempatan bertanya kepada para peserta penataran, beberapa tangan mengacung ke atas, disusul pertanyaan-pertanyaan konyol yang bikin sisa peserta terbahak-bahak mendengarnya
Ada lagi yang mau bertanya"
Pria berkopiah tersebut memberi kesempatan lagi kepada peserta untuk mengajukan pertanyaan dan dari gesturnya sepertinya ini merupakan kesempatan terakhir.
Gua mengangkat tangan kemudian berdiri; Maaf pak, penataran ini selesainya jam berapa ya"
Si Pria berkopiah berdehem sebentar kemudian menjawab sambil memandang ke arah gua, tajam; Setelah sesi saya selesai, akan ada orang lain yang meneruskannya, mungkin baru selesai nanti sore. Ada masalah" Kalau anda ada keperluan lain boleh kok keluar, tapi ingat.. nanti anda nggak bakal dapet sertifikat..
Gua Cuma memainkan alis mata sambil mengangkat bahu, terasa tangan dingin Ines menggenggam telapak tangan gua. Gua menatapnya, dia tersenyum kecil sambil berbisik;
Sabar ya sayang.. sabar.. Gua tersenyum;
Iya.. Jam menunjukkan pukul dua siang saat penataran selesai, gua dan Ines duduk di sebuah bangku panjang. Nggak seberapa lama, nama gua dan Ines dipanggil, seorang petugas wanita berkerudung menyerahkan dua buah map berwarna biru tua, bertuliskan masingmasing nama gua dan Ines pada bagian depannya. Gua membuka map tersebut dan terlihatlah sebuah kertas murahan dengan judul Sertifikat Pra-Nikah bertuliskan nama gua di bagian tengah yang sepertinya di print dengan printer yang tinta-nya sudah hampir habis. Gua berjalan keluar dari KUA menuju ke tempat parkir motor sambil ngedumel disusul Ines yang tergopoh-gopoh menyusul gua.
Kenapa si kamu, bon" Daritadi kok bawaannya sewot melulu..
Nggak papa.. Nggak papa apanya, Kenapa sih"
Gua Cuma nggak abis pikir aja, ngapain coba kita buang-buang waktu hampir seharian Cuma buat sampah kayak gini..
Gua berbicara sambil melambai-lambaikan sertifikat yang diprint pada selembar kertas ArtCarton 260gram berukuran A4.
Ya kan tapi kita dapet ilmu juga, boni.. Udah ah, yuk.. gua anter pulang.. Pulang"
Iyak, emang mau nginep" Kamu mau kerja"
Iya.. Yaah... Ines meraih helm yang gua sodorkan, diwajah tersirat kekecewaan dan seperti biasa gua selalu bertekuk lutut kalau dia sudah pasang tampang seperti itu.
Emang lu mau kemana" Nggak.. udah ayuk pulang.. Laah.. kok pasang tampang begitu"
Kirain kamu mau libur, kita jalan dulu kek kemana gitu..
... Gua menyalakan mesin motor dan kemudian melaju menuju padatnya jalan ibukota.
Selama perjalanan Ines Cuma diam saja, nggak seperti biasanya yang bawel dan nggak henti-hentinya ngomong dan bercerita. Gua menoleh kebelakang; Nes..
Hmm.. Diem aja.. Ga papa.. Gua sadar dibalik kata-katanya yang Ga papa punya arti yang kurang lebih begini; Heloo.. ya jelas lah gua apa-apa . Hidup disisi Ines selama ini benar-benar melatih kepekaan gua terhadap dirinya, terhadap wanita. Makhluk dengan gender ini memang sungguh misterius, sulit dimengerti dan nggak mengenal yang namanya logika, segala sesuatu-nya harus lah berdasarkan feeling dan perasaan. Gua dan (mungkin) para laki-laki didunia ini harus hidup dengan sebuah cobaan berat: Mencoba mengerti dan memahami perasaan wanita .
Jikalau ada masalah atau sesuatu yang mengganjal, Ines nggak pernah mau mengatakannya langsung, dia lebih memilih diam sambil pasang wajah murung, kecewa kadang-kadang memelas. Gua dipaksa untuk mencoba menerka-nerka masalah apa yang ada dibenaknya. Kalau diabaikan maka akan keluar katakata seperti; Nggak Peka.. , Kurang Sensitif.. bahkan Nggak punya hati.. , disisi lain gua sama sekali nggak tau apa yang dia mau. Cmon..gals.. kalau kalian, para wanita nggak mau mengungkapkan, gimana kami, para pria bisa tau apa yang kalian mau.
Gua membelokkan motor ke sebuah mall yang terletak di Pondok Indah, Ines yang sejak tadi terdiam tiba-tiba bergerak, gua melirik Ines dari kaca spion motor, dia sedang celingak celinguk, bingung;
Kita mau kemana" ...
Gua Cuma diam. Setelah memarkir sepeda motor, gua menggandeng Ines, berjalan menuju ke lobi mall, masuk dan menuju ke lantai tiga mall tersebut.
Bon, kita mau ngapain kesini" ...
Ines melepas genggaman tangan gua, kemudian berdiri dalam diam. Gua ikutan berhenti dan menoleh kebelakang.
Kasih tau kek.. Gua tersenyum kemudian berkata; Nonton..
Asiiiik... Ines berlari kecil kemudian kembali meraih genggaman tangan gua, kali ini lebih erat.
Ines masih nggak melepas genggaman tangannya saat memilih tempat duduk didepan monitor disebuah meja yang berbentuk seperti meja resepsionis. Wanita penjual tiket menyebutkan sebuah nominal yang harus dibayar untuk dua tiket, gua agak kesulitan mengeluarkan uang dari dalam dompet karena Ines tetap (masih) nggak mau melepaskan genggamannya. Entah kenapa, sepertinya kali ini wajahnya terlihat berbinar-binar, terlihat senang bukan main. Mungkin karena gua mau berubah pikiran untuk akhirnya nggak kerja dan mengajak dia jalan atau mungkin karena ini adalah kali pertama kami nonton di bioskop.
Setelah menunggu sekitar lima belas menit, terdengar suara perempuan yang renyah dan teduh,
menginformasikan bahwa teater tempat film yang gua dan Ines bakalan nonton sudah dibuka dan para penonton dipersilahkan untuk masuk.
Gua dan Ines duduk berdampingan dikursi lembut dengan nuansa warna merah.Lampu-lampu bioskop mulai meredup dan film tentang raja yang gagap pun dimulai, menonton film ini sedikit banyak membangkitkan memori gua tentang Leeds, apalagi aksennya. Mungkin Begitu juga dengan Ines. Sekitar hampir dua puluh menit film berlangsung, Ines yang sejak tadi masih menggenggam tangan gua, sekarang melepasnya. Kali ini di memindahkan tangan kiri gua, melewati belakang kepalanya dan meletakkan dibahu kirinya. Kepalanya disandarkan di dada gua, harum rambut dan parfum beraroma permen nya menyeruak memenuhi hidung gua. Dan dalam sesaat gua kehilangan konsentrasi dalam menonton.
Ines mendongak, menatap ke arah gua penuh arti. Gua balas menatapnya sekilas, kemudian buru-buru mengambil coke ukuran medium dan menyeruputnya sambil menghela nafas panjang, salah tingkah. Ines tersenyum, menyentuh dagu gua dan memejamkan mata. Oh God.. Gua sedikit menundukkan kepala...
#44: If Lovin You Ines mendongak, menatap ke arah gua penuh arti. Gua balas menatapnya sekilas, kemudian buru-buru mengambil coke ukuran medium dan menyeruputnya sambil menghela nafas panjang, salah tingkah. Ines tersenyum, menyentuh dagu gua dan memejamkan mata. Oh God.. Gua sedikit menundukkan kepala kemudian mencium keningnya.
Kejadian berikutnya sudah barang tentu hal yang sering gua alami kalau deket-deket sama Ines, lutut mulai lemes, jantung berdetak cepat kemudian berhenti sebentar dan berdetak lagi lebih lambat. Sungguh suatu cobaan yang luar biasa untuk pria dewasa seperti gua.
Ines tersenyum mendapat ciuman di kening-nya kemudian semakin beringsut dan mengusel manja di dalam pelukan. Gua nggak lagi memperhatikan film yang kami tonton, pikiran gua melayang jauh kembali kepada kenangan tentang apa itu arti dari sebuah cinta. Perempuan ini, seorang Perempuan yang (tadinya) berasal entah dari mana, Perempuan yang mampu meruntuhkan semua ego dan nalar gua hanya dalam waktu kurang dari dua bulan, Perempuan yang membuat logika gua bertekuk-lutut dan menyerah kalah, Perempuan yang mampu merubah abu-abu-nya hidup gua menjadi kumpulan warna yang lebih meriah daripada pelangi, Perempuan yang mampu membuat gua rela melakukan apa saja, Perempuan yang selalu tampil apa adanya, Perempuan yang saat ini tengah berada dipelukan gua, tempat gua mampu membisikan; Gua sayang sama elu . ---
Minggu, 5 Juni 2011 Gua terbangun, didalam sebuah kamar, Kamar gua. Gua mengenalinya lewat langit-langit yang sudah sedikit keropos di salah satu sudutnya, gua merabaraba kasur mencari jam tangan, jam tangan hadiah dari Ines, barang yang nggak pernah absen menemani gua saat tidur, nggak di pakai Cuma diletakkan di bantal disisi kepala. Gua sedikit tersentak saat tangan gua menyentuh sesuatu, sesuatu seperti rambut. Gua bangun, mengucek-ngucek mata sambil memandang sosok perempuan yang tengah tertidur, meringkuk sambil berselimut disebelah gua. Deg! gua celingukan sebentar, mampus dah kalau sampe ketahuan nyokap bawa pulang perempuan ke rumah, tidur seranjang pula, Bisa diarak keliling kampung nih gua. Jantung serasa seperti mau lepas saking lega-nya saat melihat parcel-parcel cantik dan baju pengantin yang kemarin gua pakai tergantung di balik pintu kamar. Fyuuh...
Gua menarik selimut yang menutupi kepala perempuan tersebut, menatap ke wajah nya, wajah seorang perempuan, wajah istri gua, oh God.. gua udah punya istri.. di tampangnya tersirat kelelahan, tapi tetap tersungging senyum tipis di bibirnya, gua mengecup bibirnya, iya... kali ini gua mengecup bibirnya kemudian buru-buru beringsut keluar, ke kamar mandi, ambil wudhu terus solat subuh.. biar sudah halal entah kenapa gua tetap merasa bersalah.
Nes.. nes.. bangun.. solat subuh dulu.. Gua menggoyang-goyang tubuh Ines. Yang dibangunin Cuma menjawab hmm..hooh Buruan, keburu terang..
Ines mengulet sebentar. Ntar kek bon.. dikit lagi..
Ya ntar abis solat subuh, tidur lagi sampe siang.. Gua menarik selimut yang menutupi tubuhnya, perlahan membelai rambutnya dan membisikkan sesuatu ke telinga-nya. Sekejap mata, Ines bangun terduduk dikasur sambil mengucek-ngucek mata; Bangun, ntar siang kita nonton..
Beneran ya.. awas kalo bohong.. Iya.. bener..makannya solat dulu sana..
Ines ngulet (lagi) kemudian beranjak ke kamar mandi, nggak beberapa lama dia kembali lagi kekamar, rambutnya masih kusut;
Boon, anteriin.. Gua menghela nafas, kemudian bangkit berdiri dan mengandeng Ines menuju ke kamar mandi. Rumah gua (rumah bokap gua) ini emang tipe rumah-rumah jaman baheula, dapurnya memiliki atap yang sedikit lebih rendah namun dengan ukuran yang lebih luas daripada ruang tamu, lokasi kamar mandinya pun terpisah dari bangunan utama, kalau subuh-subuh begini memang diluar agak sedikit gelap, apalagi ditambah desiran daun dari pohon melinjo yang tertiup angin, tepat menaungi lokasi kamar mandi, jelas bikin Ines takut.
Udah sana... Gua melepas gandengan tangan gua dan Ines masuk kedalam kamar mandi. Belum ada sedetik dia membuka pintu kamar mandi;
Jangan kemana-mana ya... Iya.. udah buruan..
Awas boong... Pintu kamar mandi ditutup. Nggak ada seberapa lama pintu kamar mandi terbuka lagi sedikit, kepala-nya menyembul dari dalam kamar mandi;
Jangan ditinggalin ya.. Set dah.. iya Ines.. iyaaaa...
Gua menjawab sambil berjongkok didepan pintu dapur menghadap ke kamar mandi. Dari dalam kamar mandi terdengar suara Ines setengah berteriak;
Booonii.. Iyaaaa... Masih disitu kan.. Nggak, udah pergi.. Aaaah.. dia mah... Iya, iya ini masih disini..
Pintu kamar mandi terbuka lagi, gua mendongak, dan mengucap istigfar tiga kali. Ni anak mau ngambil wudhu aja repot banget, Ines muncul dari dalam, masih dengan tampang dan rambut kusutnya.
Bon.. Apa sih nes.. Ini lampunya nggak nyala ya Emang nggak ada lampunya... Yaaah..
Udah buruan ah.. Aku mau pup..
Gua menggeleng sebentar kemudian bergegas masuk kedalam, Ines berlari menyusul gua sepertinya dia bener-bener nggak mau berada sendirian disana. Kemudian setelah mendapatkan apa yang gua cari, lilin. Gua menyalakannya dengan korek sekaligus menyulut marlboro putih yang sejak tadi gua letakkan di atas daun telinga gua dan sambil melindungi nyala api dari hembusan angin, gua membawanya masuk kedalam kamar mandi dan meletakkannya disisi kolam, Ines yang sejak tadi nggak beringsut memegangi kaos singlet dari belakang gua, kemudian masuk ke kamar mandi;
Bon.. kamu nyanyi ya.. biar aku tau kalo kamu nggak kemana-mana..
Ines berkata sebelum menutup pintu kamar mandi. Iya...mau boker aja repot banget
Booon... Suara Ines terdengar dari dalam kamar mandi.
Apa.. Nyanyi!!.. Gua menghela nafas sebentar kemudian mulai menggumamkan bait demi bati lagu Tak ingin usai - nya Tere.
--- Awal hidup baru sebagai keluarga, sebagai suami-istri buat sebagian orang katanya adalah saat saat yang indah dan tak terlupakan. Pun begitu dengan gua dan Ines, semua terlihat sempurna di hari-hari awal setelah pernikahan. Sampai akhirnya tibalah saat gua dan Ines untuk berpisah dari rumah bokap dan nyokap. Memang pada awalnya, sebelum menikah gua sudah meng-iya-kan permintaan Ines yang ingin tinggal dirumahnya sendiri daripada harus tinggal dirumah bokap gua. Selain bisa lebih mandiri tentu saja sangat sayang sekali kalau rumah Ines yang di Depok dibiarkan kosong.
Tapi beda pikiran gua, beda pula pikiran nyokap. Dia punya pola pikirnya sendiri, dan nyokap bersikeras agar gua dan Ines harus dan tetap tinggal dirumah. Suatu malam, nyokap melongok kedalam kamar gua, dia melihat Ines yang tengah memasukkan pakaianpakaian kami kedalam sebuah koper. Kemudian nyokap menghampiri gua yang tengah asik menonton tivi, sambil berkacak pinggang dia berkata dengan suara yang dibuat agak keras, mungkin maksudnya biar Ines dengar;
Nii...emang ngapa sih tinggal disini.. emang lu kagak mau deket sama emak.."
Ya mau mak.. tapi kan Oni sekarang udah nikah, udah punya keluarga sendiri, nggak enak kalo masih numpang disini..
Emang ngapa sih" Kurang lega emang ni rumah" Hah!".. kurang cakep apa nih rumah"!.. Bukan gitu mak...
Udah, bilangin sono bini lu.. bongkarin lagi tuh baju, ngapain pake pindah-pindah segala...
... Gua diam, nggak menjawab. Kemudian berdiri dan menuju ke kamar, dari celah pintu yang sedikit terbuka gua melihat Ines yang tengah duduk diatas kasur, disebelahnya tergeletak beberapa kemeja kerja gua yang sepertinya nggak jadi dimasukkan kedalam koper. Ines menundukkan kepalanya, sesekali dia mengusap ujung matanya dengan tangan. Gua masuk kedalam kamar dan menutup pintu, setelah memasukkan kemeja kerja kedalam koper, menutupnya dan menurunkannya kelantai, gua duduk disebelah Ines;
Sabar ya, Nes.. kita tetep pindah kok, nanti emak gua omongin lagi..
Gua berkata pelan sambil sesekali menaikkan helaihelai poni rambutnya yang menjuntai menutupi sebagian wajahnya. Dia mengangguk pelan, kemudian merebahkan diri di kasur. Gua tau, kalau terpaksa Ines pasti bersedia untuk tinggal disini, dan gua juga tau kenapa dia bersikeras untuk ingin tinggal di Depok, ditempat orang tuanya membesarkan dia, dirumah peninggalan Almarhum Orang tuanya.
Gua seperti terjebak pada pilihan yang berbahaya. Disatu sisi nyokap ingin gua dan Ines tetap tinggal dirumah, disisi lain gua sudah terlanjur janji ke Ines setelah menikah kita bakal tinggal di Depok. Gua terjebak dalam sebuah pilihan, dimana gua nggak bisa memenangkan hati salah satu dari mereka tanpa menyakiti perasaan pihak yang lainnya. Nggak terbesit sama sekali untuk memenangkan hati Ines, perempuan yang kini menjadi Istri gua dan nggak terbesit pula dibenak gua untuk menomor-duakan nyokap. Ah, mungkin secangkir kopi dan sebatang rokok mau berbagi kisah bersama. Gua membelai pelan kepala Ines yang tengah berbaring di atas kasur;
Gua di depan ya, Nes.. Disini aja..
Gua nggak kuasa menahan permintaan Ines, akhirnya setelah membatalkan janji dengan secangkir kopi dan sebatang rokok, gua menemani Ines. Hampir satu jam gua menemani nya, membelai rambutnya sambil menggumamkan lagu-lagu Titik Puspa, Obi Mesakh dan Chrisye. Gua menyibak rambut yang menutupi wajahnya dan Ines sudah terlelap, setelah merebahkan kepala dan meluruskan tubuhnya diatas kasur, gua berjingkat meninggalkan kamar kemudian memenuhi janji suci gua terhadap secangkir kopi dan sebatang rokok.
Gua duduk dikursi diteras rumah, ditemani secangkir kopi panas dan sebatang (berbatang-batang) marlboro light. Memandang kosong ke arah langit malam sambil merenung memikirkan perkataan nyokap tadi dan akibat yang ditimbulkannya terhadap Ines. Nggak lama berselang, terdengar suara pagar besi didepan berderak, bokap baru saja pulang. Setelah meletakkan sangkar burung di paku yang tertancap di langit-langit teras, Bokap duduk disebelah gua.
Emang lu mau pindah ni"
Bokap bertanya sambil menyulut rokok kretek yang baru diambil dari saku kemejanya.
Iya ba.. Nggak kesian sama emak lu, lu tinggal mulu" Deg!, kata-kata bokap meluncur, langsung menghujam ke dasar jantung. Nggak pernah terpikirkan oleh gua betapa nyokap selalu ingin bersama sama dengan anakanaknya, betapa selama ini dia sudah kehilangan anak sulungnya selama lima tahun, begitu kembali kesini si anak sulung menikah kemudian pergi lagi.
Baba sih ngerti apa yang elu pengen.. baba ngerti kalo elu pengen mandiri..tapi coba dah liat emak lu, apa nggak kesian lu"
... ..Apa elu udah manteb, pengen pindah" Udah ba..
Ya kalo lu udah manteb buat pindah, yaudah lu pindah..
Tapi emak..."" Gampang, ntar baba yang ngomong sama emak lu. Tapi, lu kudu janji.. sering-sering tengokin tuh emak lu ntar..
Iya ba, kalem... Jangan kalem-kalem aja.. gua sikat lu kalo kagak maen-maen kemarih..
Iya ba... Lah bini lu kemanain" Tuh, tidur dikamar..
Laah baru aja baba mau minta bikinin kupi sama mantu..
Yauda bentar oni bangunin...
Gua bergegas bangkit dan masuk kedalam, tapi bokap buru-buru menyela;
Eeet.. udah..udah jangan.. jangan kalo udah molor mah, kesian.... sini duduk..
Bokap memberikan isyarat agar gua duduk kembali. Gua pun kembali duduk.
Lu kan sekarang udah jadi kepala keluarga.. diriin solat, lancarin ngaji, agama benerin, biar bisa nuntun dan jadi contoh buat bini ama anaklu.. asal lu tau, jadi suami, jadi bapak tuh tanggungannya gede.. bini lu bikin salah, elu kena dosa-nya, anak lu bikin salah lu kebagian dosa-nya..
Iya ba,.. Kemudian disisa malam itu, bokap menghabiskan rokok kreteknya sambil memberi wejangan ke gua tentang hidup berkeluarga dalam sudut pandang agama. Sekian lama gua jadi anaknya, gua baru menyadari betapa bijaksana-nya bokap. Nggak terasa jam sudah menunjukkan angka sebelas malam, bokap menghabiskan hisapan terakhir rokok kreteknya, menjetikkan puntungnya kearah halaman depan kemudian menepuk pundak gua sambil berlalu masuk kedalam rumah;
Motor adek lu masukin tuh.. Iya..
--- Pagi harinya setelah menunaikan solat subuh, gua membuka pelan kamar nyokap. Terlihat bokap baru saja selesai mengaji sedangkan nyokap sedang mengeluarkan tumpukan map-map yang gua tau berisi dokumen-dokumen penting seperti Akte lahir, Ijasahijasah dan sertifikat gua dan Ika, sertifikat tanah, sertifikat haji, kartu keluarga dan surat-surat penting lainnya. Nyokap menyadari kehadiran gua dan menggerakkan tangan, memberikan isyarat kepada gua untuk duduk disebelahnya.
Nyari apaan mak.." Ini lagi nyari KK (Kartu Keluarga).. Bakal apaan"
Lah kan elu katanya mau pindah, pegimane siy.. kan kudu diurus juga surat-suratnya, ntar tuh baba lu mau ke kelurahan.. mana sini KTP lu..
Hah.. emang emak udah setuju oni pindah" Nyokap menarik nafas panjang, kemudian menghembuskannya.
Ni... Sebenernya mah, emak berat banget kalo elu pindah.. emak tuh pengennya elu sama Ines disini aja, ngumpul semuanya..
... ... tapi semalem baba lu ngomong ke emak, lu pan udah jadi kepala rumah tangga.. nggak bisa dalam satu atap ada dua kepala rumah tangga..
Iya mak, ntar oni bakalan sering maen kok.. Ya kudu itu mah.. Bini lu udah bangun" Udah mak, lagi solat... kenapa"
Panggil kemari dah.. emak mau ngomong.. Gua mengangguk kemudian bergegas ke kamar, didalam kamar Ines tengah melipat mukena. Gua memanggilnya, sesaat kemudian kami berdua sudah berada didalam kamar nyokap, Ines duduk diatas kasur disebelah nyokap dan gua berbaring di tengah kasur, sepertinya sudah seabad gua nggak merasakan nyamannya kasur kapuk berkelambu ini.
Nyokap membelai rambut Ines, di sudut matanya mulai menggenang air mata;
Emak mah sebenernya pengen elu tinggal dimari aja, nes..tapi nggak apa-apa kalo lu bedua emang udah manteb mau misah sama emak, sama baba.. ...
Nes.. lu perhatiin ya si oni.., jangan kasih begadang mulu, ngerokok nya suru kurangin, jangan kasih makan sembarangan.. pokoknya emak titip oni ya.. Iya bu..jangan khawatir, nanti aku ingetin Ntar elu bedua sering-sering maen kemari.. Iya bu..
Lu inget nes.. jangan anggep emak orang laen.. sekarang emak juga ibu lu, baba ya bapak lu, ika ya adek lu.. kalo ada apa-apa cerita ke emak.. Iya bu, makasih ya..
Ines kemudian memeluk nyokap, keduanya samasama terisak. Buat gua pemandangan seperti ini adalah sebuah hadiah terbesar yang diberikan tuhan ke gua. Betapa tidak, dua orang perempuan yang paling gua sayangi saling berpelukan.
--- Siang harinya kami sudah berada di Depok, Ines sedang berada di kamar merapikan pakaian-pakaian gua dan memasukkan-nya kedalam lemari. Gua duduk diteras depan memandang ke arah jalan komplek yang seperti mengeluarkan uap panas sambil sesekali menyeruput kopi yang sudah mulai dingin. Gua membayangkan kembali masa-masa dimana gua hidup dalam kesendirian, tanpa cinta, tanpa rasa, tanpa warna,kemudian muncul sosok perempuan yang merubah itu semua. Gua tersenyum sendiri, menghabiskan sisa kopi dan masuk ke dalam, saat berjalan ke dapur gua menyempatkan diri mengintip dari celah pintu kamar yang sedikit terbuka, terlihat Ines sedang bernyanyi kecil sendiri, mendendangkan bagian reff Accidentally In Love nya Counting Crows. Gua meletakkan cangkir kopi kosong disebelah meja tivi kemudian masuk kedalam kamar.
Gua memeluk Ines dari belakang, menciumi harum rambutnya kemudian berbisik kepadanya; Nes...if loving you is wrong, i dont want to be right...
#45: Goin Back Waktu penataran di KUA, gua pernah mendangar sebuah perumpamaan tentang pernikahan ; Yang namanya pernikahan itu umpama pohon cinta, yang akan terus bertumbuh dan menghasilkan buah yang manis melewati sebuah proses. Semakin kuat akarnya, maka semakin kuatlah pohon itu tegak berdiri. Dalam pernikahan akar diibaratkan sebuah komitmen yang ada pada suami maupun istri. Semakin kuat komitmen yang ada, maka semakin kuatlah biduk rumah tangga tersebut.
Tapi gua punya analogi sendiri tentang pernikahan. Buat gua pernikahan dalam kehidupan itu seperti mengendarai mobil. Dulu sebelum menikah dengan Ines, analoginya; seperti gua mengendarai mobil sendirian melintasi jalan-jalan kehidupan, menuju ke sebuah akhir yang banyak orang bilang kebahagiaan . Sekarang, setelah menikah, gua nggak lagi sendirian, gua tetap berada dibalik kemudi mobil pernikahan ditemani Ines sebagai navigator nya dalam melintasi jalan-jalan kehidupan, tujuannya tetap sama; kebahagiaan . Terkadang kita tiba disuatu persimpangan jalan, dimana gua sebagai pengemudi menemui apa yang namanya keraguan , disaat itulah si Navigator; Ines, membisikkan saran, usul, kritik, masukkan, pun hanya sekedar kata penyemangat. Dan suatu hari nanti bakal ada penumpang tambahan di dalam mobil kehidupan yang akan mengisi bangkubangku kosong dibelakang; seorang anak. Yang kadang memberikan keceriaan didalam mobil, kadang juga sesekali memberikan petunjuk tentang jalan mana yang harus si pengemudi ambil.
Tapi itu semua kan hanya analogi, dalam prakteknya hal hal seperti ; navigator memberikan petunjuk tentang jalan mana yang harus diambil memang sudah diterapkan dalam keluarga kecil gua ini. Yang tetap menjadi ganjalan buat gua dan Ines adalah; belum hadirnya si buah hati, pengisi bangku kosong di mobil kehidupan, padahal sudah hampir satu tahun gua menikah dengan Ines, sampai saat ini belum juga ada tanda-tanda kehamilan.
Sejak bulan-bulan awal pernikahan, Ines terus berharap agar secepatnya bisa hamil dan punya momongan, tapi sepertinya Tuhan punya rencana lain.
Pernah suatu malam, ketika pernikahan kami memasuki bulan ke empat. Gua baru saja pulang bekerja, diluar rumah sudah terparkir mobil Ines yang sepertinya diparkir asal-asalan. Gua buru-buru masuk, takutnya ada apa-apa, karena nggak biasa-biasanya dia memarkir mobil seperti itu. Gua membuka pintu depan, anak kuncinya masih menggantung di luar, disofa tergeletak tas dan map-map yang biasa dibawa ines sepulang mengajar, gua bergegas menuju ke kamar. Kondisi kamar gelap, setelah menyalakan lampu terlihat Ines sedang berbaring tengkurap diatas ranjang, menangis sesenggukan. Gua duduk disebelahnya, sambil membelai rambutnya gua bertanya;
Kamu kenapa" Iya sejak menikah, Ines selalu protes dengan gua yang selalu menggunakan panggilan ( Gua-Elu ) sekarang gua menggunakan ( Aku-Kamu ).
Ines nggak menjawab, masih menangis sesenggukan. Gua bertanya sekali lagi, kali ini dia bangun, duduk; Aku dapeet boon...
... Aku pikir aku hamil, soalnya udah telat hampir seminggu..
Ines menangis semakin keras, gua membelai rambutnya;
Sabar... kamu harus sabar.. Mau sabar sampe kapan" Ya sampe dikasih sama Allah.. biar kita nyoba sampe berdarah-darah juga kalo tuhan belon ngasih ya nggak bakal ada nes.. sabar.. yang penting kan kita usaha sambil berdoa..
Ines memeluk gua. Dan kejadian seperti itu mulai berulang, hampir tiap bulan. Memasuki bulan ke enam setelah pernikahan, kami berdua mengunjungi dokter kandungan, berniat memeriksakan apa ada yang salah dengan Ines atau Gua. Dan dari hasil tes lab sana-sini, hasilnya normalnormal saja, kata dokter pun nggak perlu khawatir, sabar saja. Dan kata-kata itu pula yang selama ini menjadi senjata gua untuk menghibur Ines.
Cobaan dari dalam sih sepertinya nggak terlalu mengkhawatir-kan. Yang paling berasa justru seranganserangan dari luar, dari sanak saudara gua, dari teman-teman Ines, teman-teman gua, tetangga sampai orang-orang yang baru kenal. Kadang saat sedang kumpul-kumpul entah dengan teman atau saudara, pertanyaan seperti; Udah isi belum" , Belum hamil juga" , Wah kebalap dong sama si anu.. , dan semacamnya sering menerpa Ines, bukannya gua. Entah kenapa di Indonesia ini posisi perempuan/istri sangat riskan menerima beban jika belum juga mempunyai keturunan, saat menerima pertanyaan-pertanyaan model seperti itu, Biasanya ines hanya diam sambil tersenyum, air muka nya langsung berubah, murung dan buru-buru berbisik Pulang aja yuk.. . Dan gua yang nggak menerima istri gua mendapat serangan seperti itu terkadang pasang badan dengan buru-buru menjawab;
Iya nih, sperma gua jelek soalnya, kata dokter sih kebanyakan ngerokok sama makan sate bayi di pengkolan depan, lagi promo lho.. buy two get one, dan gua beli 10 tusuk tadi..
Syukurnya, bokap, nyokap dan Ika nggak terlalu punya concern yang tinggi terhadap gua yang belum juga dikasih keturunan. Saat sedang kumpul bersama, nggak sekalipun bokap, nyokap atau Ika membahas hal tersebut, apalagi terhadap Ines. Sesuatu yang begitu gua kagumi dari anggota keluarga gua ini. Rumah bokap juga sudah berubah, kali terakhir gua main kesana kamar mandi yang tadinya terpisah dari bangunan utama, gelap dan terkesan angker, kini sudah tidak ada. Sekarang kamar mandinya dipindahkan kedalam, disudut dapur.
Mbak..kapan maen kesini.. udah dibikinin kamar mandi lho didalem sama baba..
Suatu ketika gua mendengar percakapan anatara Ika dengan Ines melalui pengeras suara ponsel gua. Ah masa sih... ish jadi nggak enak nih.. Ines menjawab sambil tersipu malu.
Mbak.. elo waktu abis merit bulan madu nggak" Nggak, ... abisnya abang lo tuh udah buru-buru mau kerja..
Ines bicara sambil melirik kemudian mendengus kearah gua.
Temen gue, sih udah dua taun belon punya anak, eh kemaren second Honeymoon ke Lombok, cespleng..langsung mlendung.. Hah masa sih"
Iya tau.. udah buruan gih bulan madu.. kemana gitu, ke bali, ke raja ampat atau ke singapur... ntar gua diajak ya..hehehe..
Yee, kalo elu ngikut nggak bulan madu dong... Gua Cuma duduk sambil geleng-geleng kepala mendengar percakapan tersebut, gua yakin setelah selesai telpon Ines bakal merengek-rengek minta jalanjalan ke destinasi yang disebut sama Ika barusan, bulan madu.
Tebakkan gua nggak meleset sedikitpun, beberapa saat setelah selesai menelpon Ines langsung mengusel manja, memainkan ujung kaos sambil berkata; Booooon...
Hmm... Ayoo bulan madu... Ah ngapain, bulan madu kan buat penganten baru... kita kan penganten lama..
Ish.. dia mah.. Yaudah minggu depan kamu cuti aja.. Asiiik, kita kemana"
Ke Puncak.. Ah.. ke puncak.. ogaaah.. kepuncak doang aja pake cuti segala.. ke bali ya, ya, ya, ya...
Iya nanti dipikir-pikir dulu.. Sekarang aja mikirnya..
Mana bisa" Ntar aku biasanya mikir sambil boker.. Ish..
Ines mencubit lengan gua kemudian duduk dan mengganti chanel tivi sambil pasang tampang cemberut. Gua bangkit berdiri dan menuju ke kamar mandi;
Mau kemana" Katanya tadi suru mikir.. Yauda disini aja..
Nggak ah mau sambil boker.. Ish..
Gua masuk kedalam kamar mandi, menyalakan sebatang rokok, kemudian terdengar teriakan dari luar;
Jangan ngerokok dikamar mandi.. bauuuu asep!!
Gua terdiam sebentar, kemudian menghisap rokok dalam-dalam dan bergumam pelan, sangat pelan; Bodo ah..
--- Besoknya, setelah mengkalkulasi biaya perjalanan dan menginap untuk bulan madu kami, gua mengklik ikon email disudut kanan layar laptop.
Ya, gua memang nggak kuasa menahan rengekan, sindiran dan perkataan manja-nya Ines yang tiap saat nggak henti-hentinya minta diajak bulan madu. Gua bilang ke Ines, kalo gua pasti mengajak dia bulan madu, tapi melarangnya untuk terus-terusan bertanya kemana" dan kapan" .
Gua mengecek email masuk, salah satunya dari Heru. Sahabat gua yang tampangnya kayak beruk ini sekarang masih tinggal di Manchester, waktu pernikahan gua dia menyempatkan datang walaupun sedikit terlambat dan ketinggalan menyaksikan prosesi akadnya. Gua mengklik pesan tersebut, muncul sebaris teks, jawaban dari email yang gua kirim kemarin. Gua membacanya sekilas, membalasnya kemudian menutup jendela pesan tersebut, sambil tersenyum.
---
Accidentally Love Karya Boni di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dua minggu setelah gua saling mengirim email ke Heru, saat itu Ines sedang packing, memasukkan beberapa potong baju kedalam sebuah koper, gua menyaksikan betapa kebingungannya dia memilih baju mana yang harus dibawa, sesekali dia berkacak pinggang, ngedumel sendiri dan mengeluhkan betapa dia katanya nggak punya baju, padahal sepanjang mata memandang didalam sebuah lemari ukuran besar, mayoritas isinya adalah baju dia, baju gua Cuma menghabiskan sekotak kecil dari banyak kotak didalam lemari tersebut. Dasar Perempuan.
Gua berkata kepadanya sambil tiduran, memainkan sebuah game diponsel.
Bawa jaket nes... Ines, berdecak pelan kemudian duduk diatas kasur membelakangi gua menghadap ke lemari pakaian. Bingung deh aku sama kamu, bon...
.... .. pergi, tapi aku nggak tau mau kemana... kasih tau kek, kamu kebiasaan deh.. sok-sok surprise.. Udah jangan bawel... ntar digoreng orang... Ish.. itumah bawal kali..
Besoknya gua dan Ines sudah berada dalam taksi yang menuju ke bandara, sampai saat itu Ines belum tau kita mau kemana. Taksi terus melaju melewati terminal 1 Bandara Soekarno Hatta dan kemudian berhenti di pelataran Terminal keberangkatan 2D.
Bon, kok terminal 2D... Iya,...
Gua menarik koper sambil menyerahkan paspor kepada Ines.
Lah, emang mau kemana" Kok pake paspor segala... Udah jangan bawel...
Ish.. Siap-siap menikmati jalan-jalan kamu ini, karena kemungkinan dalam waktu lama kita nggak bakal jalan-jalan lagi, uang belanja bulanan kamu juga aku potong, rencana kamu ganti mobil juga terpaksa batal dan niat kamu buat ngecor dapur belakang juga harus dipending..
Hah!.. emang segitu costly" Nggak sih, but pretty much costly.. Yaaah... nggak papa sih nggak jalan-jalan lagi juga, mobil nggak ganti juga nggak papa, ngecor dapur juga bisa kapan-kapan..
Uang belanja bulanan"
Kalo itu kayaknya jangan dipotong deh booon... Ya harus lah, justru itu yang persentasenya paling gede..
Aaarrgggghhh.... Beberapa jam kemudian, Ines duduk dibangku pesawat disebelah gua. Bersandar dibahu, senyum senyum sambil memeluk lengan gua.
Makasih ya booon... Iya.. Aku kan Cuma minta bulan madu doang.. nggak mesti ke London juga kali..
Nggak apa-apa.. asal kamu senang..
Kalo aku senang , tapi kamunya enggak.. buat apa" Iya sayang..
Gua berkata sambil membelai rambutnya, sesekali gua menyeka air mata yang hampir menetes, sedih. Sedih kalau memikirkan biaya dari perjalanan bulan madu ini.
#46: Leeds II Jam menunjukkan pukul 9 pagi saat kami tiba di Heathrow, London. Setelah melalui proses imigrasi yang lumayan lama, mungkin karena kali ini visa yang gua bawa adalah visa turis, bukan visa kerja seperti saat pertama kali datang kesini. Gua berdiri di depan toilet wanita, menunggu Ines yang sepertinya jet-lag sampai muntah-muntah. Keluar dari toilet gua melihat raut wajahnya yang pucat dan rambut pendeknya yang kusut. Gua merangkulnya kemudian memakaikan kupluk dan syal dilehernya, kemudian bergegas keluar dari bandara.
Udara dingin bulan desember berhembus menyisir rambut dan tengkuk gua, Ines memeluk erat gua, tubuhnya sedikit bergetar. Gua mengajak dia berjalan masuk kembali kedalam lobi bandara yang sedikit hangat, kemudian keluar lagi dan gua lakukan hal tersebut beberapa kali sampai tubuh Ines mampu beradaptasi. Setelah mondar-mandir beberapa kali, dan dia sudah mulai menyesuaikan diri, tubuhnya sudah tak lagi bergetar, hanya sesekali menggosokkan telapak tangannya.
Naik taksi aja ya.. Gua menawarkan ke ines untuk naik taksi. Tapi dia menggeleng.
Nggak ah, jangan.. mahal..
Daripada kamu kedinginan begitu, ntar mimisan lagi..
Nggak mau.. naik bis aja..
Akhirnya kami memilih naik bis, menuju ke stasiun King Cross.
Cuma dalam hitungan menit, kami sudah tiba di stasiun kereta api King Cross, Ines bertanya kenapa kita harus kesini, kenapa gua nggak bergegas mencari hotel. Gua hanya tersenyum nggak menjawab pertanyaannya. Setelah membeli tiket virgin Train, gua menyerahkan tiket tersebut kepada Ines, tertera disana tujuan asli dari bulan madu kami, Leeds.
Ines tersenyum, dia berjinjit, meraih tengkuk gua dan mencium kening gua.
Didalam kereta tak henti-hentinya Ines, bernyanyi. Ingatan gua seketika melayang ke masa beberapa tahun yang lalu, saat dalam perjalanan pertama kali gua dan Ines dengan kereta yang sama, waktu itu gua mengajak dia untuk nonton United di Old Trafford. Perempuan yang waktu itu juga bernyanyi nyanyi didalam kereta hingga ditegur oleh penumpang lain itu kini telah menjadi istri gua.
Dua jam berikutnya kami sudah tiba di Leeds station. Suasana disini sedikit ramai, apalagi ditambah dekorasi natal disana-sini. Ada beberapa struktur bangunan gedung stasiun yang sedikit berubah, gua memandang sekeliling mencoba membangkitkan lagi kenangan akan stasiun ini. Setelah sebentar bernostalgia dengan isi stasiun gua menggandeng Ines sambil menyeret koper keluar dari stasiun, gua celingak celinguk mencari taksi. Ines menarik tangan gua; Jalan aja yuk..
Gua tersenyum dan mulai melangkah bersama Ines.
Kamu nggak dingin emang, kok ngajakin jalan" Gua berjalan disisi Ines sambil tetap menggandeng tangannya.
Nggak, aku malah pengen jalan, sekalian nostalgia.. Emang tau kita mau nginep dimana"
Ines menggeleng. Emang mau nginep dimana" Aku juga belon tau..
Ish kamu maaah... Udah ikut aja..
Boon, tapi nanti mampir ke tempat Darcy ya.. Iyaaa...
Dua puluh menit berikutnya kami sudah tiba di Moorland Rd, berjalan di trotoar yang basah mungkin bekas salju yang mencair semalam. Kami melewati rumah rumah mungil dengan bentuk yang hampir sama disepanjang jalannya, sampai kami tiba di depan sebuah rumah dengan tembok dari bata merah dan pintu tua berwarna biru.
Gua mulai mulai mengetuk, sambil menunggu jawaban gua dan Ines saling pandang. Sesaat kemudian pintu terbuka, sesosok perempuan berusia lebih dari setengah baya muncul dari balik pintu, Sosok Darcy muncul, dia sedikit tercengan dan kaget melihat kehadiran gua. Darcy tersenyum kemudian memeluk gua sambil berbisik;
Youre Back.. what a suprise..
Dia melepaskan pelukan dan berpaling ke Ines; ... and.. my lil girl.. wow.. you look pretty.. Dan kemudian mereka berdua berpelukan.
Darcy mempersilahkan gua dan Ines masuk, dia menyediakan teh hangat untuk Ines dan secangkir kopi untuk gua. Setelah bercakap-cakap sebentar, gua bertanya ke Darcy tentang tempat menginap yang bagus disekitar sini, Darcy Cuma menggeleng, kemudian dia berdiri, berjalan menuju ke kamarnya, sesaat kemudian dia kembali sambil menenteng anak kunci, dan tentu saja gua sangat mengenali anak kunci tersebut. Dia menyerahkannya ke gua;
I clean it every day... Darcy berkata sambil kembali duduk di kursinya.
... I leave it unoccupied, since you been gone.. Why...
Sharon will use it.. next year, when she has graduated...
Owh.. How long you will stay" Four days.. for honeymoon Whaat..""
Darcy terperanjat, shock.
Kemudian dia berdiri mencak-mencak, ngedumel, dan ngomel, tantang kenapa kami menikah tanpa memberitahunya.
Okey, that will be my wedding gifts..
Darcy yang sudah mulai tenang, duduk kembali dan menunjuk ke arah anak kunci yang kini gua pegang.
Kemudian disusul Darcy yang memeluk Ines sambil menggoyang-goyangkan tubuh mereka, jadi mirip seperti orang berdansa.
Setelah satu jam lamanya kami ngobrol sambil pelukpelukan, akhirnya Darcy berdiri dan mengantar kami ke rumah sebelah. Tempat dimana dulu, selama 5 tahun gua tinggal. Dia meninggalkan kami berdiri didepan sebuah pintu dengan anak kunci ditangan gua. Gua memasukkan anak kunci dan mulai memutarnya;
Cklek, Cklek... disusul bunyi berdecit kreeek... Pintu terbuka. Gua dan Ines saling pandang dan bersama-sama membuang pandangan ke dalam.
Gua melangkahkan kaki masuk kedalam, membelai meja dan kursi dapur kemudian bergerak menuju ke kamar, gua membuka pintu, menghela nafas panjang, kali ini Darcy mengganti seprainya, warna seprainya kali ini hitam tidak lagi ungu seperti warna yang dulu. Gua melongok keluar, Ines sedang bersandar pada bingkai pintu, menangis sesenggukan.
Ya ampun ni anak cengeng-nya bukan maen dah ah.. Gua menghampirinya, memapahnya masuk dan mendudukkannya ke sofa.
Kamu kenapa" Nggak tau.. kok pas ngeliat ruangan ini, ditambah kamu didalemnya.. aku jadi melow gitu..
Halah.. kirain kenapa.. udah sana ganti baju.. aku mau beli makan dulu ya..
Aaaah jangan ditinggalin... aku ikuuuttt.. Nggak usah lah, istirahat aja.. nanti kecapean.. Yaah..
Kemudian gua bergegas keluar, meninggalkan Ines sendiri didalam ruangan tersebut, ruangan yang saat ini sudah tidak bisa lagi gua sebut rumah. Dan sisa hari itu gua habiskan dengan bercengkrama dengan Ines dalam hangat-nya kamar.
--- Pagi di Hari kedua berada Leeds, kami habiskan dengan berjalan kaki mengunjungi LeGrocery, sekedar duduk-duduk di tangga beranda tempat dulu Ines duduk menunggu gua membeli air. Kemudian berlanjut ke jalan berpasir yang kali ini karena musim dingin jadi berlumpur;
Booon.. kok lumpur gitu sih jalannya..." Ya namanya juga pasir kena aer.. mau ikut nggak" Mau.. tapi gendoong...
Udah copot aja sepatunya...
Nggak mau... aku maunya digendoong.. Yaelah...
Gua ngedumel sambil membungkuk didepan Ines yang tengah melepas sepatu converse kulit kesayangannyanya kemudian dia naik kepunggung, tangannya menyilang didada gua. Gua berjalan pelan melalui jalan penuh lumpur yang mengarah ke danau, sesekali hampir terpeleset saat menginjak sisi tanah yang licin. Gua berhenti di bagian jalan yang dibagian sisinya terdapat batu yang cukup besar, setelah menurunkan Ines diatas batu tersebut gua menunjuk ke tengah jalan berlumpur;
Tuh.. disitu tuh, tempat kamu dulu dilempar... Gua menunjuk sebuah titik di jalan sambil ngos-ngosan setelah menggendong Ines.
Terus aku ketemu kamu deeeh.... Ines berdiri diatas batu, merentangkan kedua tangannya ke arah gua;
Peyuuuuukkk..... Kemudian dia menerjang memeluk gua, mengangkat kakinya dan menyilangkannya ke pinggul gua.
Susah lah nes kalo nggendongnya begini.. nggak ngeliat aku-nya..
Kemudian Ines kembali berdiri diatas batu, memutar posisi tubuh gua dan kembali menaiki punggung.
Kami pun bergerak pulang. Sepanjang perjalanan Ines tetap keukeuh nggak mau diturunkan dari gendongan. Sesekali dia bercerita sambil menyanyi kecil;
Kadang aku suka ngebayangin deh, bon... kalo misalnya dulu aku dilempar dari mobil terus nggak ketemu kamu, gimana ya..
Gua nggak menjawab, Cuma mengangkat kedua bahu.
... Kalo aku nggak ketemu kamu pada hari itu, mungkin aku udah diselametin sama pangeran dari Dubai kali yaa, trus sekarang aku mungkin lagi liburan di Hawaii menikmati hangatnya mentari... Keep dreamin ... kalo nggak ketemu aku, paling kamu dimakan srigala..
Ah boong.. emang ada srigala disini"
Kalo srigala beneran sih nggak ada, tapi kalo srigala jejadian...ada..
Gua memelankan nada suara gua, membuat seolah seperti narasi reality show horor. Ines yang sepertinya percaya dengan gurauan gua tentang srigala jadijadian itu mulai panik dan mendekap leher gua erat. Bo ong aaahhh...
Serius.. kalo nggak percaya, kamu aku tinggal ya disini...
Nggak Mau!!.. Ines mencubit lengan gua.
Eh nes.. ntar sore Heru mau kesini, aku jemput ke stasiun ya...
Ikuuut.. Ngapain siy, orang Cuma jemput heru doang.. ntar kamu masak aja dirumah..
Yaaah, yaudah.. Sesampainya dirumah, gua meninggalkan Ines yang tengah menyiapkan masakan. Tinggal disini (lagi) buat gua dan Ines sama sekali nggak membuat canggung, Ines bahkan tau dimana letak perabotan-perabotan memasak. Setelah pamit dengan Ines gua bergegas keluar, cuaca diluar gerimis disertai sedikit butiran salju halus, gua mempercepat langkah dan menaikkan hood jaket.
Baru berjalan beberapa puluh meter, ponsel gua berbunyi, dilayarnya tertera nama Heru ; Halo..
Dimana lu, gua udah sampe nih.. Yaudah tunggu, bentar lagi nyampe.. Tut tut tut tut.
Bener-bener nggak punya manner nih anak. Gua semakin mempercepat langkah, takut Heru kelamaan nunggu.
Nggak sampai lima belas menit kemudian gua sudah berada di Leeds Station, setelah celingak-celinguk sebentar, terlihat sosok Heru sedang melambailambaikan tangannya memanggil-manggil gua. Gua tersenyum, membalas lambaiannya, dia menghampiri.
Apa kabar bro" Heru menyalami gua.
Hahaha.. baik bro.. lu kayak-nya keliatan bersihan ruk..
Bisa aja lu, mandi susu gua.. Yuk..
Jauh nggak" Kagak..
Kemudian kami berdua berjalan menembus hujan.
Gimana bini lu" Udah bunting"
Heru membuka pembicaraan dengan bertanya tentang Ines.
Belon nih ruk.. Wah, berenti ngerokok luh.. Mana bisa...
Mau punya anak kagak" Ah elu juga klepas-klepus... Ya ntar kalo merit gua berenti.. Eh ruk, kalo didepan Ines, jangan nanya-nanya masalah hamil
Oh.. oke deh.. oiya lu kemari dalam rangka liburan kan" Bukan kerja..
Iya, sebenernya sih bulan madu.. Buseet.. telaaaat banget lu bulan madunya Iya kan belon sempet dulu..
Nggak terasa kami sudah memasuki jalan Moorland Rd dan beberapa saat kemudian gua dan Heru pun sudah berada didalam. Seteleh menggantung jaket dan mantel yang basah, gua mempersilahkan heru duduk, Ines keluar dari kamar kemudian menyalami Heru, berbasa-basi sedikit kemudian ikutan duduk tapi karena sofanya nggak cukup untuk tiga orang, akhirnya Ines mengalah, dia beringsut menuju ke meja dapur.
Heru mau kopi" Ines menawarkan kopi kepada heru.
Boleh..boleh.. Manis apa nggak" Sendoknya kayak apa" Kayak begini..
Ines mengangkat sendok yang bakal dipakai menyendok kopi dan gula.
Oh.. kopinya tiga sendok, gulanya satu.. Heru mengangkat telunjuk tangannya.
Aku juga mau dong nes.. Gua ikut-ikutan minta dibuatkan kopi.
Nggak, kamu udah ngopi tadi.. sehari jatahnya secangkir..
Yaah.. Sore itu kami bertiga larut dalam obrolan, obrolan tentang masa di singapore dulu, tentang bagaimana waktu gua baru pindah ke Leeds dari London, Heru pun nggak ketinggalan, dia bercerita tentang betapa asiknya tinggal di Great Manchester dan tentunya, sisa dari ceritanya sudah pasti tentang United. Ines mendengarkan sambil sesekali bertanya ; Emang iya" , Ooh.. , Ish..
Setelah lama berbincang, Ines membubarkan obrolan dengan mengangkat semua gelas minuman yang ada di meja, kemudian menghidangkan ayam mentega panggang dan mashed potatoes. Heru berdecak kagum, menggeleng-geleng kepala;
Jago masak rupanya si nyonya ini.. Hahaha bisa aja heru.. gampang lagi masak ayam begini mah..
Gimana cara-nya nes, bosen nih gua makan ayam goreng mulu tiap hari..
Emang heru masak sendiri"
Iya.. kalo nggak masak sendiri, bisa tongpes gua hidup di manchester..
Udah ntar bongkar resepnya, makan dulu.. Gua memotong pembicaraan mereka sambil memotong ayam panggang yang dibuat Ines.
Kami pun makan malam bersama dengan gaya orangorang inggris, benar-benar tipikal hidup sosial ala orang inggris. Menikmati Teh disore hari dan disusul makan malam, tapi tentu saja setelah makan malam nggak ada yang namanya minum anggur.
Eh.. resti apa kabar bon, di indo nggak ketemu lu" Heru bertanya sambil tersenyum penuh arti kepada gua
Mampus dah gua! #47: I Love You (Jealousy)
Eh.. resti apa kabar bon, di indo nggak ketemu lu" Heru bertanya sambil tersenyum penuh arti kepada gua.
Mampus dah gua! Ines menatap ke arah heru kemudian berpaling ke gua. Dari gelagatnya sepertinya Ines berhasil menangkap arti dari senyuman Heru.
Mmm..mmm...nggak tau dah gua ruk.. Gua menjawab asal-asalan, sambil menggaruk-garuk kepala yang nggak gatal.
Resti" Resti siapa ru"
Ines bertanya sambil menyuap makanan masuk kedalam mulutnya.
Oh, elu belon kenal ya... itu temen kampusnya si Boni..
Ooowh.. kok Boni nggak pernah cerita ya ke gue.. Ines kembali menatap gua, dari tatapannya gua tau ada sesuatu yang tersirat.
Nggak mau berlarut-larut, gua mengalihkan pembicaraan tentang pekerjaan. Ines yang kurang tertarik kemudian membenahi piringnya dan pergi masuk kedalam kamar. Gua melirik Ines sampai masuk kedalam kamar, setelah memastikan Ines sudah didalam, gua menendang kaki Heru;
Begooo.., ngapain lu nanya-nanya si Resti.. Tanya gua ke Heru setengah berbisik sambil sesekali memandang ke pintu kamar.
Lho.. i dont see any problem.. lu kan bukan pacarnya at least nggak sempet jadi pacarnya karena elu terlalu cupu..
Ya tetep aja ruuuk.... Udah ah nggak usah terlalu mendramatisir, lagian kenapa si lu nggak cerita ke Ines tentang Resti" Nggak ah, lagian ngapain juga, kan resti juga bukan siapa-siapa gua..
Nah itu lu paham, kalo bukan siapa-siapa elu, ngapain lu takut"
Gua terdiam mendengar perkataan Heru yang terakhir, Gua pikir ni anak ada benernya juga. Kalau emang (dan memang bener) gua nggak ada apa-apa sama Resti kenapa gua harus takut buat cerita, toh itu juga Cuma masa lalu dan gua bukan tipe orang yang terlalu memusingkan tentang masa lalu. Gua nggak pernah bertanya tentang hubungan masa lalu-nya Ines, gua nggak pernah mengungkit tentang Johan, mantan-nya Ines. Tapi, gua kan bukan Ines dan Ines bukan gua.
Udah ah, gua balik ya.. Heru berdiri kemudian bergegas mengambil mantelnya.
Lah, nggak nginep" Tadinya sih mau, tapi berhubung rencana lu kesini buat bulan madu, nggak enak lah gua, ntar ngganggu lu..
Yaelah ruk, kaku banget si lu.. udah nginep aja Gua berusaha membujuk Heru untuk menginap, dan jujur ini bukan basa-basi gua benar-benar takut menghadapi pertanyaan Ines tentang Resti setelah Heru pergi nanti. Kalau ada Heru kan paling nggak Ines nggak bakal introgasi gua.
Nggak ah, lagian juga besok kan gua harus kerja.. Yaah yaudah deh.. mau dianter nggak" Ah ngapain.. lu nganter-nya juga jalan kaki.. ...
Gua berdiri dan mengetuk pintu kamar, memanggil Ines, memberitahu kalau Heru ingin pamit pulang.
Pintu kamar terbuka, Ines keluar, menatap ke gua sebentar kemudian berjalan ke arah Heru; Kok nggak nginep ru"
Nggak nes, besok kan kerja. Lagian juga nggak enak takut ngganggu lu bedua..
Nggak apa apa lagi, santai aja.. Hehehe.. gua pamit ya.
Gua bergegas mengambil jaket dan menemani Heru sampai diluar.
Diluar hujan sudah berhenti, menyisakan rintik-rintik lembut yang membasahi jalan. Heru menepuk pundak gua;
Bro.. sukses ya, program bikin anak-nya.. mudahmudahan gua cepet punya ponakan..
Oke.. sip-sip.. ati ati lu..
Sip, thanks ya buat ayam-nya.. salam buat Ines, bilangin masakannya uenak buanget.. Oke..
Kemudian Heru berlalu, berjalan menjauh dan kemudian menghilang ditengah kerumunan orang yang berjalan bergerombol sambil menyalakan kembang api. Disaat yang sama pikiran gua masih tetap tak menentu, membayangkan jawaban apa yang tepat jika Ines bertanya tentang siapa Resti.
Gua berbalik dan kembali masuk, didalam Ines sedang mencuci piring dan mengabaikan gua yang berjalan masuk. Setelah menggantung jaket gua berjingkat masuk kedalam kamar. Nggak lama berselang Ines menyusul kedalam, kali ini dia sudah berganti mengenakan celana training dan sweater abu-abu. Gua berbaring disudut kasur, menghadap ketembok, berpura-pura tidur, gua merasakan pergerakan pada kasur, sepertinya Ines duduk ditepi-nya;
Resti siapa" Ines bertanya dan gua hanya diam.
Bon, Resti siapa" Untuk meyakinkan akting tidur, gua tetap diam.
Bon, jangan pura-pura tidur... Resti siapa" Ah.. gua nggak kuasa bertahan dalam kepura-puraan ini, seketika gua bangun dan duduk bersandar pada dinding.
Resti itu siapa" Suamiku... sayangku.. cintaku.. Ines bertanya sambil berbalik ke arah gua, katakatanya manis tapi tatapan matanya tajam langsung menembus kedalam nadi. Gua terdiam, masih berusaha mencari kata-kata untuk menjawab pertanyaan Ines.
Boniii... Ya.. Resti itu siapa" Kan tadi heru udah bilang, temen kuliah.. Ooh temeeeen ...
Iya temen.. Kok nggak pernah cerita ke aku ya" Bukan nggak pernah, tapi belum pernah.. Trus kapan mau cerita nya"
Tadi barusan.. Udah, gitu doang" Resti Cuma temen.. udah" Sesimple itu kah"
Iya, ya emang gitu doang, nggak lebih, nggak kurang..
Owh oke.. berarti nggak masalah dong kalo sometimes aku confirm ke heru"
Nggak,nggak, jangan.. ngapain si, bawa-bawa heru ke masalah pribadi..
Lho kok kamu anggap ini sebagai masalah sih" Enggak bukan gitu..
Gua benar-benar terpojok dan kehabisan kata-kata.
Kalo emang Cuma temen , berarti nggak perlu takut kan"
Nggak, aku nggak takut, ngapain takut.. Yaudah, sekarang cerita.. aku mau denger.. Udah ah, udah dikasih tau juga, pokoknya yang namanya Resti itu Cuma temen, nggak lebih nggak kurang, titik!, no more question..case closed.. Hmmm.. okelah kalau begitu..
Kamu marah" Gua bertanya sambil memainkan rambut pendeknya.
Nggak, kenapa harus marah.. Bagus deh kalo gitu..
... Bobo yuk.. Mendengar itu Ines mengernyitkan dahi, kemudian membuang muka.
Gosok gigi dulu sono.. Gua berjingkat, buru-buru menuju kamar mandi, kegirangan. Girang bukan karena sebab lain, melainkan karena akhirnya persoalan Resti telah selesai. Tapi ternyata perkiraan gua tersebut salah. ---
Memasuki hari ketiga gua berada di Leeds, gua dan Ines menyempatkan diri berjalan-jalan, napak-tilas ke beberapa tempat yang dulu sempat gua dan Ines kunjungi. Mulai dari Millenium Square, sampai ke jalan tempat Ines pingsan. Entah kenapa berjalan kaki mengunjungi tempat-tempat yang punya kenangan membuat emosi gua seperti bergolak, dan mungkin begitu juga dengan Ines. Di millenium square, tempat banyak orang berkumpul sekedar untuk nongkrong atau bermain skateboard dikala musim panas, tempat dulu Ines mimisan karena kedinginan, kami duduk disana, disebuah bangku dibawah pohon, mungkin orang-orang disekitar sini bakal mengira kalau kami orang kurang kerjaan, dalam cuaca dan suhu yang dingin dan gerimis begini malah menghabiskan waktu diluar. Kami nggak saling berbicara, Cuma duduk berdua sambil berpegangan tangan, Ines
menyandarkan kepalanya yang tertutup hood mantel dibahu gua dan jujur, gua sangat menikmati momen ini, mungkin ini salah satu momen paling berarti dalam percintaan gua dengan Ines.
Boon.. Ines membuka suara memecah keheningan.
Ya.. Kamu mau nggak janji sama aku... Janji apa"
Ines terdiam sejenak. Kalo emang aku nggak bisa ngasih kamu keturunan, kamu jangan pernah tinggalin aku ya..
Kamu ngomong apa sih, be careful what you wish for...
... ...gimanapun kamu, jadi apapun kamu nantinya, bagaimanapun takdir membawa kamu, you still the one and only..
Aku sayang sama kamu.. Aku juga..
Juga apa" Sayang Sayang sama siapa" Sama kamu..
Ngomong yang lengkap, bisa" Aku sayang sama kamu, Imanes.. Nah gitu dong, apa susahnya sih..
Gua mengakhiri obrolan tersebut dengan mencium kening-nya, sebuah ciuman yang nggak mungkin bisa gua lakukan ditempat umum di Indonesia.
Gerimis berubah menjadi hujan, kami memutuskan untuk segera bergegas pulang. Sambil memeluk pinggangnya kami berjalan pulang, menembus hujan yang turun semakin lebat, suara hujan menjadi backsound yang indah ditengah kebersamaan gua dan Ines. Kebersamaan yang mudah-mudahan selamanya. ---
Hari keempat sekaligus hari terakhir gua berada di Leeds. Setelah pamit ke Darcy sambil menyerahkan kunci dan amplop berisi uang sebagai pengganti biaya gua dan Ines yang numpang menginap di tempatnya (dan amplop tersebut dikembalikan oleh Darcy) kami bergegas menuju ke London, pesawat kami akan berangkat nanti malam, dan pagi-pagi sekali kami sudah berada di King Cross Station. Sebelum kembali ke Jakarta, gua berniat mengajak Ines jalan-jalan berkeliling London.
Gua sengaja membeli tiket terusan wisata London agar bisa lebih berhemat; The London Pass, sebuah kartu yang bisa digunakan untuk mengunjungi tempattempat wisata di Kota London. Dengan kartu ini kita bisa keliling ratusan muesum dan tempat wisata yang berada di London. Untuk beli kartu ini harganya sekitar "70 per orang dan berlaku untuk satu minggu, jadi dengan kartu ini kita bisa keliling tempat wisata terkenal di London selama seminggu, Gratis (nggak gratis sih Cuma udah dibayar dimuka aja sebesar "70 tadi) dan waktu kemarin tiba di London gua membeli dua tiket London Pass yang berlaku selama tiga hari, harganya juga Cuma setengahnya; "30. Buat beli kartu ini, sekarang sudah banyak yang dijajakan di stasiunstasiun besar di London, bahkan dibeberapa stasiun besar seperti King Cross sudah ada vending machine sendiri untuk membeli kartu ini.
Bon, kenapa harus beli kartu gituan.. kan kita nggak mungkin juga datengin semua tempatnya... Kamu tau nggak kita dimana sekarang" Westminster Abbey..
Kalo nggak pake London Pass, masuk kesini bayar "12..
Ooh.. Ditambah misalnya abis ini kita ke London Eye, trus ke Wimbledon, yang kalo kita pukul rata tiketnya masing-masing "15.. totalnya berapa" "42..
See.. aku Cuma beli nih kartu "30.. Oiya..ya..
Setelah puas berfoto, yang tentunya kebanyakan Ines yang berfoto kami mulai bergegas ke destinasi selanjutnya The London Eye , London Eye ini udah seperti Monas-nya Jakarta, Liberty nya New York atau Borobudurnya Yogyakarta. Sebuah Bianglala berukuran raksasa yang letaknya nggak begitu jauh dari Westminster Abbey dan berada di tepi sungai Thames. Jadi biasanya turis yang kesini tuh dateng ke Westminster Abbey, lanjut ke London Eye kemudian diteruskan dengan naik perahu wisata di sungai Thames. Jadi semacam paketan wisata karena letaknya yang sangat dekat.
Ines melonjak-lonjak kegirangan saat memasuki sebuah kapsul yang berbentuk seperti sangkar burung terbuat dari kaca; London Eye terdiri dari kapsulkapsul yang terhubung seperti roda raksasa yang akan berputar 180 derajat, jika sudah sampai di posisi paling atas, kita bisa menyaksikan keindahan kota London yang sungguh ciamik, Big Ben, Tower Bridge, St. Paul Cathedral, gedung parlemen dan gedung-gedung tinggi lainnya.
Ines memeluk gua, sambil menunjuk-nunjuk ke arah Big Ben.
Bon nanti kesana ya..ke big ben.. Yaah takut pesawatnya nggak keburu nes.. Yaaah..
Next time ya.. Yaaah, kalo ada rejeki...
Rejeki mah pasti ada.. tenang aja.. Darimana"
Jual mobil, jual rumah.. Enak aja.. wleee..
Ines menjulurkan lidahnya meledek dan nggak setuju dengan usul gua.
Nggak terasa hari sudah hampir sore, sebenarnya gua masih ingin berkeliling tempat wisata lainnya tapi apa daya waktu nya udah mepet (karena disatu tempat wisata aja, Ines bisa berfoto selama satu jam-an) dengan jadawal pesawat. Agak sedikit menyesal sebenarnya, kenapa nggak dari kemarinnya ke London, tapi ah sudahlah. Berharap mudah-mudahan dikasih rejeki dan kesempatan lagi untuk kembali kesini.
Jam menunjukkan pukul enam sore saat pesawat yang gua dan Ines tumpangi tinggal landas meninggalkan London. Gua menggenggam tangan perempuan disebelah gua yang sedang asik membaca majalah sambil mendengarkan musik melalui headphone. Gua tersenyum kemudian mencolek hidungnya; Ines balas tersenyum, kemudian menggerakkan bibirnya tanpa suara, dari gesturnya gua tau dia bilang I Love You
#48: After All Sepulangnya dari Inggris, kehidupan keluarga kecil gua sejauh ini (masih) baik-baik saja. Walaupun tandatanda kehamilan belum juga menghampiri Ines. Malah beberapa hari setelah pulang dari bulan madu yang telat itu, Ines malah menstruasi, dan parahnya menstruasi-nya nggak seperti biasa, saking banyaknya darah yang keluar dia sampai lemes dan terpaksa gua bawa kedokter. Menurut dokter yang menangani Ines sih, it s not a big deal, hanya sedikit kelelahan saja, gua menghela nafas panjang. Ide untuk bulan madu malah bikin Ines kelelahan, bukannya malah rileks. Tapi gua tetap punya keyakinan, sebuah teori yang dulu pernah nyokap bilang ke gua;
Tuhan tidak pernah salah! Yang baik menurut gua belum tentu baik dimata Tuhan.
Mungkin Tuhan masih belum mempercayai kami untuk menerima rejeki berupa keturunan. Nggak habis gua berdoa setiap malam, bukan memohon untuk lekas diberi keturunan, bukan! Gua berdoa kepada Tuhan agar diberikan yang terbaik untuk kami berdua, gua berdoa agar Ines diberikan ketabahan super ekstra dalam menghadapi yang terbaik yang bisa Tuhan berikan. Sebulan setelahnya di suatu malam, gua terjaga dari tidur yang nggak pernah nyenyak sejak pulang dari bulan madu . Gua terduduk di pinggir kasur memandang Ines yang tengah terlelap memeluk guling. Setelah mengambil air wudhu, gua membangunkan Ines dengan memercikan sisa-sisa air ditangan gua;
Nes... nes.. bangun.. Hmmm...
Bangun.. mau tahajud nggak" Hmmm..
Bangun.. ambil wudhu gih..
Ines membuka matanya, kemudian duduk diatas kasur.
Kenapa..." Ambil wudhu gih, kita tahajud..
Ines berdiri gontai kemudian berjalan menuju kamar mandi, tanpa suara.
Setelah menunaikan solat sunah tahajud, gua kembali tidur, meninggalkan Ines sendiri yang masih bersimpuh menggunakan mukena diatas sajadah. Rasa kantuk mulai menyerang lagi, bener kata bokap yang sering bilang ; kalo susah tidur, ambil wudhu, tahajud. Kalau abis itu masih belum ngantuk, tambah lagi rakaatnya, masih belum ngantuk, tambah lagi, kalau perlu sampai elu ketiduran saat berdoa.
Alarm diponsel gua berdering, gua mematikannya kemudian meraih jam tangan kesayangan yang gua letakkan di-dak bagian kepala kasur. Jam
menunjukkan pukul lima pagi. Gua menoleh dan nggak mendapati Ines disebelah gua, setelah turun dari kasur gua melihat Ines yang duduk bersimpuh, masih menggunakan mukena dan tetap diatas sajadah yang semalam dia gunakan.
Nes..kamu nggak tidur"
Gua bertanya dan Ines Cuma menggeleng.
Setelah solat subuh berjamaah, gua memapah Ines ke atas tempat tidur, melepas mukena-nya dan membaringkannya.
Kamu nggak usah masuk kerja dulu, istirahat aja.. Nggak ah, aku nggak papa..
Lagian kamu kenapa nggak tidur" Ntar nyetir malah ngantuk..
Nggak papa, hari ini ada ulangan, koreksian juga masih banyak yang belum selesai..
Yaudah aku anterin aja.. Nggak usah boon.. nanti kamu kepagian kalo nganter aku dulu
Ga apa-apa.. enak malah nggak macet.. tapi naik motor ya..
Ines Cuma mengangguk.
Accidentally Love Karya Boni di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Gua ingin beranjak untuk mandi dan menyiapkan sarapan untuk Ines saat dia menarik lengan gua.
Boon... Ya.. Mudah-mudahan aku hamil ya.. Amiin
Soalnya aku udah telat seminggu lho..
Gua sedikit sumringah mendengarnya, tapi gua nggak mau terlalu berharap takutnya kalau nanti nggak jadi malah kecewa. Gua Cuma tersenyum kecil sambil meninggalkan Ines ditempat tidur.
--- Hari itu, gua masih sangat mengingatnya. Hari jumat, setelah selesai dari jum atan di sebuah Masjid yang terletak dibilangan simprug, jakarta selatan. Gua berjalan menyebrangi jalan menuju ke sebuah restaurant sea-food tempat tadi gua makan siang sekaligus brainstorming dengan teman-teman kerja. Ponsel gua bergetar, masih dalam mode silent . Gua mengambilnya dari saku celana, sebuah notifikasi pesan dari Ines. Seperti biasa saat jam-jam istirahat makan siang begini dia selalu mengirim pesan yang isinya jangan lupa makan , makan siang apa" , atau sekedar selamat siang boniii . Tapi, kali ini berbeda. Tidak ada kata-kata dalam pesan tersebut, dia hanya mengirim sebuah gambar, gua membukanya. Terpampang sebuah foto aneh, berupa dua buah garis merah pada semacam kertas atau entah apa namanya. Gua membalasnya;
Apaan tuh" Ponsel gua kembali bergetar; Tebak"
Lg mls tebak2an Cari Tau!
Gua memasukkan kembali ponsel kedalam saku. Gua masuk kedalam restaurant seafood yang terletak persis diseberang masjid tempat gua jumatan, hanya dibelah oleh sebuah jalan arteri yang ditengahnya terdapat underpass, jalur transjakarta.
Gua menghampiri sebuah meja, dimana sudah duduk menunggu disana rekan-rekan kerja gua yang sudah lebih dulu kembali dari solat jumat, kecuali mbak Rini, iya mbak Rini kan perempuan jadi dia jaga gawang, nggak ikut solat jumat. Gua duduk diantara mereka dan melanjutkan obrolan sambil menikmati gurame asam manis yang rasanya biasa-biasa saja kalau dibandingkan dengan nama besar restaurant ini yang selalu dibangga-banggakan oleh mbak Rini.
Gimana bon.. enakkan gurame-nya" Mbak Rini bertanya ke gua.
Hmm, enak.. Gua menjawab sambil menjilat jari-jari tangan, gua bohong.
Kapan-kapan ajak bini lo kemari, nggak nyesel deh.. sedikit mahal tapi rasanya top markotob.. Gua nggak menjawab, Cuma memonyongkan bibir sambil manggut-manggut. Gua membayangkan kalau Ines gua ajak makan disini dan nyobain gurame asam manis yang gua makan sekarang, dia pasti manggutmanggu juga, terus bilang; Ah, enakan juga masakan aku...
Membayangkan hal tersebut, gua jadi ingat gambar yang dikirim oleh Ines. Seketika gua mengeluarkan ponsel, membuka galeri image, menampilkan foto yang tadi dikirim Ines dan menunjukkannya ke Prapto, teman yang duduk persis disebelah gua;
Ini gambar apa, prap"
Gua bertanya dan Prapto Cuma menggeleng. Gua menyodorkan ponsel ke teman disebelah Prapto, Mas Roni. Sama dengan prapto, mas Roni juga Cuma menggeleng. Kemudian gua menyerahkan ponsel ke seberang meja, ke pria berkumis tebal yang kadang jarinya suka ngetril dan gayanya ngondek .
Pak Markum.. tau nggak ini foto apaan" Pak Ma ruf yang biasa dipanggil Markum (singkatan dari Ma ruf Kumis), mengangkat tangan sambil menggeleng-geleng. Padahal belum juga melihat gambarnya;
Ih..ih ogah ogah.. pasti gambar serem.. nggak mau.. Yeee bukan.. liat dulu..
Setelah sedikit dipaksa oleh Prapto, akhirnya dia melirik ke arah layar ponsel gua kemudian menggeleng, Mbak Rini yang duduk disebelah Pak Markum, ikut melirik;
Punya siapa, bon" Mbak Rini bertanya sambil sibuk mengupas kulit udang.
Hape-nya" Punya gua..
Bukaan.. itu tespack punya siapa, bini lu" Tau dah.. bini gua ngirim tuh tadi.. Owh punya bini lu..
Iya.. Udah telat berapa hari" Maksudnya"
Gua bertanya, masih belum mengerti arah pembicaraan Mbak Rini.
Bonii.. itu namanya Tespack.. tespack itu alat cek kehamilan, dan gua nanya.. bini lu udah telat berapa hari..."
Hah... Tau dah, kayaknya sih semingguan deh.. kenapa emang mbak"
Owh.. ya kalo udah seminggu mah, bisa 70% positif beneran..
I don t get it.. Boonii!!.. lu waktu kecil pernah kejedot traktor kali ya".. kok telmi banget sih.. bini lo hamil.. What!!""...
Hasil tespack itu dua garis; positif, yang artinya hamil tapi kalo mau lebih yakin lagi minggu depan lu cek ke dokter kandungan..
Pak Markum menyela omongan Mbak Rini; Tunggu mbak.. kalo yang bunting bini-nya kenapa yang disuru cek ke dokter kandungan si Boni"
Gua nggak menggubris lagi omongan-omongan mereka, seketika gua merebut ponsel dari tangan Pak Markum, berjalan ke salah satu sudut ruangan, memisahkan diri dari mereka kemudian menelpon Ines.
Beberapa kali nada sambung berbunyi, kemudian terdengan suara riang Ines diujung sana; Nes, itu tespack kan" Hasilnya positif" Kamu hamil" Itu punya kamu kan"
Iya.. Alhamdulillah.. yaudah ntar kamu jangan pulang sendiri, aku jemput..
Hah, kamu pulang jam berapa emang" Aku dari sini jam 4, kalo nungguin kamu mah keburu lumutan.. Udah pokoknya jam empat aku ntar udah disana.. Motor kamu"
Gua menutup pembicaraan dengan kata Gampang.. kemudian terduduk dilantai. Menghela nafas panjang sambil mengucap syukur.
Teman-teman yang masih duduk dimeja, tertawa sambil meledek ke arah gua. Gua bangkit berdiri memasang senyum selebar-lebarnya sambil kembali berdiri dan menghampiri mereka.
Mbak Rini.. kalo situasinya kayak gitu, udah beneran postif apa nggak"
Gua bertanya ke Mbak Rini, penasaran.
Dulu sih gua, pas hamil anak pertama, tiga hari telat, tespack positif beneran hamil.. tapi tiap orang sih beda-beda bon..
Oh gitu.. Iya.. kalo emang bener, selameet ya boon... Hahaha... mbak Rini.. pesen lagi udang sama gurame nya,.. gua yang bayar!!
--- Sore harinya, gua pulang lebih cepat. Dengan diantar oleh Office Boy kantor. Jam empat kurang lima menit gua sudah berada di sekolah swasta tempat Ines mengajar. Sepuluh menit menunggu dalam situasi seperti ini bener-bener membuat gua gelisah nggak karuan, menit berikutnya Ines muncul dari dalam gerbang, gua menghampirinya;
Itu testpack punya kamu kan nes" Iyaa..
Bener" Ish, ngapain aku boong.. nih mobilnya di ujung, deket tukang cakwe..
Ines menjawab sambil menyodorkan kunci mobil ke gua.
Kamu naek apa kesini" Dianter aldi.. Motor kamu"
Ditinggal dikantor.. Yaudah aku ngambil tas dulu.. Siap boss..
Gua bergegas mengambil mobil.
Sore itu sepulang dari menjemput Ines, dengan mengabaikan saran dari Mbak Rini untuk cek ke dokter minggu depan. Gua dan Ines langsung mengarahkan mobil ke arah Pondok Indah kemudian berbelok ke arah ciledug raya dan menuju ke sebuah Rumah Bersalin, namanya Avisena. Rumah bersalin tempat dimana gua dan Ika dilahirkan. Rumah sakit yang selalu direkomendasikan nyokap ke para saudara, tetangga atau calon ibu lainnya.
Jam enam kurang, kami sudah tiba disana. Setelah menunggu beberapa lama, seorang perawat memanggil nama Ines dan kami berdua masuk kedalam. Pengecekan dengan metode USG sudah dilakukan, Ines bersama seorang perawat menuju ke ruang lain untuk pengecekan dengan metode darah dan urine. Gua duduk menghadap seorang dokter yang sudah lumayan tua, dia mengatakan kalau memang hasil Tespack Ines akurat, dan menurut hasil USG Ines benar-benar hamil. Tapi tadi Ines tetap bersikeras untuk mengecek dengan metode yang lebih meyakinkan, gua mengangkat bahu, terserah kamu...
Jam delapan, kami sudah berada dijalan pulang. Boon... udah sampe sini, mampir sebentar kerumah ibu..
Emang kamu nggak capek.." Nggak kok, besok kan libur.. Oiya..
Nggak usah bilang-bilang ibu dulu ya kalo aku hamil..
Lho kenapa" Gapapa.. ntar ibu malah selametan.. ngerepotin... Hahahaha.. iya..
Malam itu, gua berada ditengah kemacetan jalan Ciledug Raya. Kemacetan yang baru kali ini benarbenar gua nikmati. Gua menggenggam tangan Ines yang duduk disebelah gua sambil bergumam; Tuhan nggak pernah salah..
Terkadang kita, yang Cuma manusia biasa, yang bukan rasul, yang bukan nabi malah bersahut-sahutan menyalahkan Takdir, menyalahkan keadaan, menyalahkan kondisi, menyalahkan Tuhan.
Kali ini, Tuhan mempercayai gua dan Ines menerima sebuah anugrah; kehamilan. Yang memang sudah kami tunggu-tunggu kedatangannya, yang mampu membuat kegundahan gua hilang. Gua Cuma berharap nantinya mampu mengayomi dan menjaga Ines selama kehamilannya itu, dalam hati gua membuat janji.
Sebulan setelah-nya, Ines nggak henti-hentinya mondar-mandir ke kamar mandi; muntah dan mual. Gua yang nggak tega melihat-nya kelelahan dan tergopoh-gopoh bolak-balik dari kamar ke kemar mandi akhirnya mengambil ember besar yang sudah gua isikan beberapa gayung air dan diletakkan di tepi kasur disebelah Ines.
Nih.. muntahin disini aja, biar nggak bolak-balik... ish.. nggak ah.. jorok, masa muntah ditampung di ember..
Gapapa, daripada bolak-balik...
Jadilah semalaman gua bangun setiap setengah-jam, membuang muntahan didalam ember, membilas, mengisinya dengan dua gayung air dan meletakkannya kembali di tepian kasur.
Besok harinya gua memutuskan untuk memberitahu nyokap akan kehamilan Ines, sekaligus memintanya untuk menemani Ines disini. Dan apa yang pernah Ines duga terjadi-juga;
Wah kudu diselametin itu...
Yaudah terserah emak dah, yang penting emak sekarang mau kesini nggak nemenin Ines", oni mau kerja..
Lha ya mau... Disamping beberapa kerepotan dan ke-hebohan baru dalam rumah tangga gua, dua bulan pertama kehamilan Ines, menurut gua sebagai seorang suami dan calon bapak baru, apalagi kehamilannya ditunggutunggu, rasanya sama seperti dulu (sekali) saat gua tengah bergelayutan di pohon jambu didepan rumah Haji Hasan, kemudian melihat bokap pulang mengendarai vespa-nya dengan sebuah kardus diikat di jok belakang bertuliskan Nintendo . Disusul gua dan teman-teman lainnya berlari-lari sambil berteriak bahagia, mengejar bokap menuju ke rumah. Ya! Rasanya persis seperti itu.
#49: Hell Yeah Kalau dirunut melalui akal sehat, nalar dan logika, yang namanya nyidam / ngidam itu buat gua sedikit nggak masuk akal. Apalagi kalau dikait-kaitkan dengan sebab si anak ileran karena waktu hamil si Ibu ngidam dan nggak kesampaian.
Ditambah nyokap gua yang masih pola pikirnya sangat old school . Kalau hamil jangan nyiram air bekas cucian ke kaki, jangan keluar malam-malam, jangan ini, jangan itu, jangan ono, jangan anu. Ines Cuma senyamsenyum kecil, bersandar dipundak gua sambil mendengarkan wejangan dari nyokap. Malam itu setelah acara pengajian dan (tentu saja) selametan (yang kedua). Nyokap duduk sambil memijat-mijat kaki mungil Ines yang tengah berbaring.
Dirumah jangan ngeja (bikin) apa-apa nes.. ngga usah masak.. ntar kecapean..
Iya bu.. Udah lu tinggal dimari aja dah.. biarin si Oni mah didepok..
Yah ntar yang ngurusin Oni siapa bu"
Lah lu pan lagi bunting, kebalik kudu nya Oni yang ngurusin lu..
Hehehe.. nggak papa bu.. Elu kerja masih nyetir sendiri nes" Masih bu..
Tiba-tiba sebuah sendal melayang tepat mengenai pipi gua, kaget gua menoleh. Nyokap menggenggam sebelah sendal satunya bersiap melempar lagi.
Orang mah jadi laki, bini lagi bunting, kerja lu anterin..
Yaelah.. kepagian mak kalo nganter dia mulu, baliknya juga dia mah sore, oni kadang suka balik malem..
Ya elu ijin kek, gimana kek..
Iya kali ijin masa sampe sembilan bulan.. kalo perusahaan punya engkong mah gapapa.. Nggak apa apa bu, aku masih bisa kok sendiri.. nanti kalo udah hamil gede baru dianter jemput.. Ines memotong pembicaraan membela gua. ---
Selama hamil ini hampir setiap hari nyokap menelpon, kadang malah sehari bisa dua atau tiga kali. Dia benarbenar khawatir dengan kondisi Ines dan si jabang bayi. Nyokap bahkan sampai bela-belain pasang AC dirumah-nya, ditempat yang tadinya kamar gua , takuttakut kalau Ines datang menginap nanti kepanasan. Dan saat menginap pun, nyokap meng-ultimatum gua untuk tidur dibawah, jangan tidur dikasur, disebelah Ines.
Lu kan tidurnya jabrah, ntar kalo perut bini lu ketendang gimane"
Yang jadi sasaran bukan Cuma gua aja, bokap juga kadang juga sering kena semprot nyokap jika merokok didalam rumah saat ada Ines, setelah pindah ke teras pun, bokap masih harus menerima lemparan sendal nyokap sambil berteriak;
Sono yang jauh ngerokok nya, asepnya masuk kedalem,, nggak kesian apa sama mantu..
Lain Nyokap, lain pula Ines; semakin besar usia kehamilan Ines, semakin bertambah manja-nya. Apalagi yang namanya menuruti ngidam -nya Ines, badan gua jadi tambah kurus. Kadang gua suka beradu argumen dengan Ines perihal mitologi ngidam . Gua bersikeras kalau ngidam itu Cuma sugesti sesaat aja, nggak ada pengaruhnya sama sekali terhadap kesehatan janin atau si ibu. Tapi Ines selalu menyanggahnya dengan sebuah teori menyangkut efek psikologis yang diemban si Ibu dan pada akhirnya gua harus menyerah, bukan terhadap teori-nya Ines melainkan terhadap pandangan manja-nya yang selalu berhasil bikin lutut gua lemes.
Pernah suatu siang, gua membaca status bbm yang dibuat Ines;
Lg ngidam asinan aseli bogor, tp yg beli harus laki gua
Membaca status tersebut gua Cuma geleng-geleng sambil mengusap-usap wajah. Ya walaupun bisa diakali dengan gua berpura-pura membeli asinan di bogor, padahal nongkrong di sevel fatmawati kemudian beli asinan di pasar minggu. Toh Ines juga nggak tau;
Enak nggak asinan aseli bogor-nya" Enak... banget..
Ines menyuap dua kali kemudian menyerahkannya mangkok berisi asinan ke gua.
Nih.. Lah.. udah" Gitu doang"
Iya, udah.. Cuma ngilangin pengen doang.. kamu abisin..
Nggak ah, taro kulkas aja ya"
Nggak nggak jangan, kamu abisin sekarang! Hah"
Abisin!! Gua memandang nanar ke arah asinan bogor sambil meneguk liur.
Suatu malam pernah Ines, merajuk meminta rambutan bahkan sambil menangis sesenggukan. Nggak tega, gua buru-buru menyalakan motor dan berkeliling mencari rambutan. Ya yang namanya sedang nggak musim rambutan, jelas nggak ada yang berjualan. Akhirnya setelah mondar-mandir kesana-kemari, telepon sana-sini, tanya sanatanya sini, gua mendapatkan seikat rambutan yang terdapat disebuah sepermarket yang menjual aneka buah dan sayuran. Lokasinya ada di kebon jeruk, silahkan bayangkan sendiri; Depok Kebon Jeruk pulang pergi hanya untuk seikat rambutan.
Kalau itu parah, masih ada yang lebih parah lagi. Sampai sekarang gua menyebutnya Parah pangkat dua. Suatu malam, Ines membangunkan gua; Boon.. aku mau mie..
Hmmm... apa" Gua mengucek-ngucek mata, masih belum bisa mencerna perkataan Ines.
Aku mau mie.. Yaah nes.. masa malem-malem makan mie, mie instan"
Hooh.. Kemudian gua klontangan di dapur tengah malam buta membuat mie instan buat Ines. Setelah selesai gua membangunkan Ines, dia bangun dan menuju ke meja makan. Gua duduk disebelahnya saat Ines Cuma memandangi Mie instan yang masih mengepul asapnya.
Kok pake teloor siih.. Ines mengaduk-aduk mie instan yang baru gua buat sambil pasang tampang cemberut.
Kamu mah nggak ngerti aku banget deh bon... Dan dia mulai menangis. Iya sejak usia kehamilannya semakin besar dia jadi bertambah manja dan lebih sensitif.
Lah... Nggak pake ba-bi-bu , gua buru-buru memasak mie instan lagi, kali ini nggak ditambah telur. Setelah matang gua menyodorkan semangkuk mie instan ke hadapan Ines, yang masih terisak. Gua bener-bener bingung, padahal sebelum-sebelumnya Ines kalau makan mie instan selalu pakai telur.
Ines masih memandangi Mie instan kedua yang juga masih mengepul asapnya. Dia memutar-mutar mangkok wadah mie instan, kemudian berkata; Aku mau mangkok yang ada gambar ayam jagonya..
Ya Allah, nes.. kita mana punya mangkok kayak gituan..
Ya cari kek!!!.. Gua menggaruk-garuk kepala, bingung harus marah atau gimana, ingin rasanya gua membentur-benturkan kepala ke meja dihadapan Ines. Tapi ines mulai terisak lagi. Gua bergegas berdiri, mengambil jaket dan kunci motor. Setelah mengecup kepalanya sambil berkata Aku cari dulu ya..udah jangan nangis .
Gua menembus dingin-nya angin malam kota Depok. Menghampiri satu persatu warung-warung tenda yang masih buka, tukang pecel ayam, tukang nasi goreng, tukang jamu, tukang sekoteng dan akhirnya gua berhasil mendapatkan mangkok ayam-jago di tukang mie ayam yang tengah mendorong gerobaknya sepertinya selesai berdagang dan ingin pulang. Bang.. punya mangkok ayam jago nggak" Hah"..
Mangkok ayam jago.. Si abang tukang mie ayam memandang curiga ke gua, mungkin dikiranya gua mau merampok dia, dengan modus menanyakan jenis mangkok yang dia punya. Gua mengeluarkan selembar dua puluh ribuan dan menyodorkannya ke abang tukang mie ayam tersebut.
Kalo ada, saya bayarin bang.. Oh.. yang kayak gini"
Si abang tukang mie ayam, mengangkat mangkok bergambar ayam jago dari dalam ember yang digantung pada gagang dorongan gerobak.
Iya bener.. Gua menyambar mangkok tersebut dan menyerahkan selembar uang dua puluh ribuan kepadanya, kemudian meluncur meninggalkan si abang tukang mie ayam dalam kesendirian ditengah heningnya malam dijalan Nusantara, Depok.
Sesampainya dirumah, gua langsung menuju ke dapur, mencuci mangkok ayam jago dan memindahkan mie instan yang sudah mulai dingin kedalamnya. Setelah siap saji gua memanggil-manggil Ines, nggak ada jawaban. Gua masuk kekamar, Ines sudah tidur. Nes.. nes bangun.. itu mie plus mangkok ayam jagonya udah ada..
Hmmm... Bangun.. itu mie plus mangkok ayam jago-nya udah ada..
Ah.. males, udah nggak pengen.. ngantuk aku.. udah kamu makan aja..
Gua bengong, shock dan terduduk di lantai bersandar ditepian kasur, menatap nanar ke langit-langit kamar sambil mengacak-ngacak rambut sendiri. Gila nih lama-lama gua..
Tapi kejadian itu baru masuk ke Parah pangkat dua, kejadian berikut masuk kedalam kategori Parah pangkat tiga.
Saat itu, sabtu sore. Gua dan Ines berencana menginap di rumah nyokap. Kami berada didalam mobil menuju ke jalan ciledug raya. Tanpa ada angin, tanpa ada petir, tiba-tiba Ines mematikan radio. Bon.. aku mau liat layar tancep deh.. Hah..
Aku mau nonton layar tancep..
Udah deh nes, nggak usah yang macem-macem lah.. jaman sekarang udah nggak ada orang yang nanggap layar tancep..
Ish.. kamu mah.. belon dicari udah bilang nggak ada..
Ya kamu-nya mintanya yang aneh-aneh aja.. Pokoknya aku mau nonton layar tancep, titik, no excuse..
Dan sisa perjalanan sore itu dihabiskan Ines dengan membuang muka ke arah jendela, diam sepanjang jalan. Sesampainya dirumah nyokap pun dia tetap diam, nggak berkata apa-apa dan langsung masuk kedalam kamar. Nyokap yang mengetahui gelagat tersebut, bertanya ke gua;
Ngapa bini lu.. Tau tuh,..
Gua menjawab sambil mengeluarkan tas ransel berisi pakaian Ines dari dalam mobil.
Lu apain bini lu" Kagak diapa apain maaak, dia ngidam pengen nonton layar tancep..
Lah.. yauda gidah sono lu cari orang yang nanggap layar..
Yaah mak, jaman sekarang mana ada orang yang nanggap layar..
Nyokap memukul pundak gua kemudian bergegas masuk kedalam kamar, menyusul Ines. Kemudian dia keluar dari kamar dan mengangkat gagang telepon, sejauh yang gua dengar sih sepertinya nyokap menghubungi bokap yang sedang keluar, menanyakan dimana ada orang yang menggelar Layar Tancep .
Udah.. lu buruan pulang dah bang... Suara nyokap menggema diseluruh ruangan mengakhiri pembicaraan antara nyokap dan bokap via telepon.
Setelah menutup gagang telepon, nyokap buru-buru menghambur keluar rumah, bergegas ke rumah tetangga mulai dari rumah Haji Kosim, Bang Oman, Bude Niroh, Mpo Adah, Hj Hasan, Baba Jirin, menanyakan satu persatu perihal informasi Layar Tancep . Gua menepuk jidat, kemudian merebahkan diri di kursi ruang tamu.
--- Semakin besar usia kehamilan Ines, level manja dan sensitif-nya semakin bertambah. Bahkan sempat beberapa malam dia tiba-tiba menangis tanpa sebab dan alasan. Pernah Ines menangis sesenggukan, saat menonton sebuah acara tentang animal discovery di tivi;
Kamu kenapa si" Kok tau-tau nangis.. Itu boon, kasian rusa-nya..
Kenapa rusa-nya" Bapak ibunya mati.. dimakan singa, dia jadi sendirian deh..
Ya emang udah takdirnya..
Kasiaan booon, jadi yatim piatu... kayak aku.. Sejak saat itu, setiap pergi kemanapun atau melihat dimanapun, seorang anak, atau bahkan seekor binatang yang sedang sendirian dia pasti menangis. Bertanya-tanya kemana bapak-ibunya.
Beruntung kejadian seperti itu nggak sampai berlarutlarut, takutnya nanti setiap ketemu tiang listrik dia nangis nggoser-nggoser nanyain emak-bapaknya tuh tiang kemana.
Seiring waktu permintaan-permintaan anehnya yang berkedok ngidam sudah mulai berkurang intensitasnya. Ya walaupun sesekali ada permintaan seperti kue cucur, toge goreng atau sekedar nyubitin tangan gua, yang overall nggak terlalu sulit untuk diturutin.
Saat itu, akhir bulan Oktober 2012.
Usia kehamilan Ines memasuki bulan ke sembilan, dia sudah mengambil cuti dari pekerjaannya, dan pindah sementara ke rumah nyokap. Selain karena dirumah nyokap selalu ada orang yang bisa menemani, gua juga jadi bisa meninggalkan dia bekerja dengan tenang. Jam dua belas siang, ponsel gua berbunyi, Ines menelpon;
Halo.. Boon.. aku udah mules-mules deeh.. Laah.. emak mana"
Ada nih.. Ada siapa lagi" Ada bapak juga. Yaudah minta anter ke Avisena (nama rumah bersalin) aja...
Iya.. nanti kamu langsung nyusul ya.. Iya..
Gua buru-buru membereskan pekerjaan dan segera meluncur ke Rumah sakit bersalin.
Berjam-jam gua menunggu, pembukaan Ines nggak juga bertambah. Seorang dokter menghampiri gua, menjelaskan kemungkinan-kemungkinan yang bisa dilakukan; antara normal namun proses-nya pasti butuh waktu dan si ibu bakal terus merasa sakit luar biasa atau dengan proses operasi (cesar) yang bisa dilakukan kapan saja, setelah mendapat persetujuan dari pihak pasien.
Umm dok, boleh saya bicara sama istri saya dulu.." Oh, iya silahkan..
Kemudian gua menghampiri Ines yang tengah berbaring menahan mules yang intervalnya semakin lama semakin cepat. Gua bertanya kepada Ines tentang dua opsi yang tadi dikatakan oleh dokter. Ines Cuma meringis sambil menggeleng dan berkata; Aku udah nggak kuat boon..
Yaudah operasi aja ya" Ines mengangguk.
Gua kembali menghampiri dokter yang masih menunggu di luar ruangan.
Persekutuan Tusuk Kundai Kumala 23 Pendekar Rajawali Sakti 58 Darah Seratus Bayi Kemelut Kadipaten Bumiraksa 2