Pencarian

Cowok Manja Merantau 5

Cowok Manja Merantau Karya Karnaufal Bagian 5


"Cepet banget Fal ngerjain soalnya. Gampang ya"" Tiba-tiba ada seseorang yang duduk di samping dan menepuk pundak gue.
"Eh, kak Theo. Ya begitulah, ga terlalu susah." Ujar gue sambil melepas sebelah earphone. Chanro Theofilus, dipanggil Theo. Dia merupakan anak kelas XI yang menjadi teman sebangku gue dalam mengerjakan soal UTS semester ini.
"Menurut gua juga ga terlalu susah, soal kelas satu mah masih gampang." Ujarnya dengan santai sambil menatap lurus kedepan dan gue membalasnya dengan anggukkan kepala. "Ikut ke kantin ga"" Theo berdiri sambil menepuk-nepuk celananya.
"Ah engga ah, saya disini aja." Ujar gue menengadah untuk melihat mukanya.
"Yaudah, gua ke kantin dulu ya sambil nunggu temen gua keluar."
"Oke." Dan kemudian dia berlalu menuju kantin. Gue kembali memasang earphone dan memejamkan mata sambil menggoyang-goyangkan kepala. Lalu tiba-tiba, gue mencium aroma parfum yang sangat familiar sekali bagi indera penciuman gue. Gue menghirup aroma ini dalam-dalam, mencoba menyerap setiap kenangan yang dapat gue serap saat bersamanya dulu.
Lalu tiba-tiba terdengar lirik yang dinyanyikan oleh Siedah Garett yang membuat gue kembali teringat dengan apa yang pernah dikatakan oleh Hanif dulu:
'You are my universe, Naufal...'
Aroma parfum ini, Lagu yang gue dengarkan ini,
Semuanya membuat gue ingin kembali terbang ke masa lalu...
Gue membuka mata perlahan setelah cukup puas menghirup wangi yang sangat menyentuh hidung ini lalu menengok ke samping. Hanif sedang duduk di sebelah gue sambil memeluk tasnya. Terlihat di telinganya juga tertanam earphone dan bibirnya bergerak-gerak kecil yang gue asumsikan dia sedang menyanyikan lagu yang didengarnya. Gue tersenyum sebentar lalu memalingkan kepala dan kembali menikmati lagu yang dimainkan oleh playlist handphone gue.
Cklek... Pintu kelas terbuka dan satu persatu siswa-siswi keluar dengan menenteng tas mereka masingmasing. Gue kemudian beranjak berdiri dan hendak menuju kelas untuk mengambil tas. Tapi tibatiba ujung celana gue ditarik oleh Hanif. Gue membalikkan badan lalu menaikkan alis. Gue ga bisa mendengar apa yang ia katakan karena telinga gue masih terpasang earphone, namun dari gerakan bibirnya gue dapat menyimpulkan ia berkata: 'mau kemana"' Gue membalasnya dengan mengucapkan kata 'tas' tanpa suara dan langsung pergi ke dalam kelas tanpa menunggu jawaban selanjutnya dari Hanif.
Gue bersikap dingin sedikit, boleh kan"
Setelah mengambil tas, gue melihat Hanif sudah berdiri sambil menyandarkan badannya pada tembok pembatas lalu gue menepuk pundaknya.
"Pulang"" Gue bertanya.
"Iya..." Jawabnya sambil menoleh kepada gue.
"Yaudah, gue duluan ya." Ucap gue sambil memasang kembali earphone pada telinga dan berbalik. Namun tiba-tiba tas gue ditarik dan Hanif berjalan di samping gue.
"Jadi, nanti sabtu kamu bisa ga Fal"" Hanif bertanya.
"Kemana" Ngapain"" Gue kembali mengulang pertanyaan yang gue lontarkan pada sms sebelumnya.
"Aku mau nonton, tapi ga mau sendirian..."
"Hmmm, gimana entar deh..."
"Nanti kalo jadi, kabarin aku ya!" Ujarnya dengan semangat.
"Oke. Yaudah, gue duluan ya." Gue langsung mempercepat langkah dan meninggalkan Hanif di belakang sambil memperbesar volume, mencoba menghiraukan Hanif yang memanggil gue.
Sorry, Nif, gue masih sakit... ***
Hari ini hari Sabtu. Kemarin malam gue meng-iya-kan ajakan Hanif untuk pergi bersamanya dan kemarin malam juga sepertinya menjadi malam dimana gue kembali menjadi seorang bocah SD, seorang bocah yang ga sabar untuk mengikuti study tour ke Planetarium dan Dufan pada keesokan harinya. Gue hampir ga bisa tidur gara-gara perasaan excited yang sangat besar.
Pagi ini, gue sudah bangun lebih awal untuk mempersiapkan penampilan untuk jalan bareng Hanif. Setelah mandi kembang tujuh rupa seperti raja-raja yang akan menghadiri sebuah acara besar, gue langsung mengenakan pakaian terbaik yang gue miliki yang sudah khusus gue persiapkan semalam. Mandi sudah, pakaian oke dan rambut sudah disisir klimis. Sekarang gue hanya tinggal menunggu jam yang berputar sangat lambat.
Setelah menunggu sekian lama, gue langsung meluncur menuju tempat dimana gue janjian bersama Hanif.
Gue berjalan memasuki sebuah mall dengan senyuman yang terpasang pada wajah. Gue melangkahkan kaki dengan cepat dan menaiki eskalator menuju food court di lantai tiga. Setelah celingukan sebentar untuk mencari keberadaan Hanif, gue langsung mengambil langkah seribu setelah melihatnya sedang melambaikan tangan ke arah gue sambil tersenyum.
Langkah kaki yang tadinya cepat, sekarang melambat lalu berhenti di tengah jalan. Senyuman di wajah gue seketika menghilang dan digantikan dengan ekspresi kaget. Gue ga percaya dengan apa yang sedang gue lihat sekarang.
Am i dreaming" Part 55 Six Degrees Langkah kaki yang tadinya cepat, sekarang melambat lalu berhenti di tengah jalan. Senyuman di wajah gue seketika menghilang dan digantikan dengan ekspresi kaget. Gue ga percaya dengan apa yang sedang gue lihat sekarang.
Ga, ga mungkin& Gue memincingkan mata untuk memperjelas penglihatan. Namun tetap, apa yang gue liat ga berubah sama sekali.
Itu Diaz, dan dia sedang duduk satu meja bersama Hanif.
Gue sekarang merasakan bahwa muka dan telinga gue memanas, nafas gue semakin cepat dan tangan gue mengepal, jantung gue berdegup kencang dan.... dan hati gue panas. Ada perasaan yang berontak di dalam hati, gue ga terima jika sekarang Hanif sedang berduaan bersama Diaz. Gue jealous!
Gue mencoba meredam emosi pada kepalan tangan yang semakin dikeraskan. Setelah mengatur nafas sebentar dan me-rileks-kan urat yang menegang, gue kembali meneruskan langkah kaki dengan pelan.
"Hai." Gue menyapa Hanif dengan dingin dari samping meja lalu menoleh kepada Diaz dan memberikan sebuah senyuman datar.
"Sini duduk." Hanif berpindah tempat menuju kursi di sebelahnya.
"Oh, oke..." Gue menarik kursi yang tadi dipakai Hanif, menggeretnya ke samping meja lalu duduk.
"Ga disebelah aku aja Fal"" Hanif bertanya dengan bingung.
"Ngga..." Ucap gue dengan datar.
Suasana canggung mulai terjadi. Hanif dan Diaz kembali menundukkan kepala dan fokus memakan makanan yang sedari tadi sudah terhidang di atas meja tanpa berbicara, sedangkan gue masih mencoba mengontrolemosi dengan tenaga ekstra besar.
Mau seberapa kuat gue mencoba, gue tetap merasakan rasa sakit yang amat sangat di dalam dada ini walaupun badan gue sedang dalam keadaan sehat wal afiat.
Gue ga kuat... Gue ga kuat ngeliat orang yang amat gue sayangi, kini sedang duduk satu meja bersama 'musuh bebuyutan' gue, dan gue diajak untuk pergi bareng mereka berdua! Gue menyesal karena telah memenuhi permintaan Hanif untuk menemaninya...
Bodoh! Sekarang, gue harus mencari alasan yang logis dan ga terkesan aneh untuk bisa pergi dari tempat terlaknat ini. Beberapa saat gue masih terdiam sambil berpikir, akhirnya gue memundurkan kursi lalu berdiri dan membalikkan badan.
"Mau kemana Fal"" Hanif bertanya.
"Liat-liat makanan!" Gue sedikit berteriak tanpa melihat kepada Hanif dan gue juga tau, Diaz sedang memperhatikan gue dari belakang.
*** Gue bekeliling di sekitaran food court dengan langkah yang pelan, mencoba mengulur-ulur waktu sambil menunggu sebuah ide yang muncul di dalam otak. Beberapa detik kemudian, gue merasakan bahwa handphone di dalam saku celana bergetar. Gue menghentikan langkah kaki, mengambilnya lalu membuka sebuah pesan yang ternyata dikirim oleh Hanif.
'Maafin aku ya Fal udah ngajak kamu kesini terus ga ngomong kalo ada Diaz, dia maksa aku terus buat nonton berdua tapi aku ga mau kalo cuma berdua sama dia doang jadi aku ajakin kamu, aku tau kamu pasti sakit, tapi... Maafin aku Fal...'
Kalo lo tau gue pasti sakit, kenapa masih ngajak gue juga, Nif"
Gue meremas handphone, muka dan telinga gue kembali memanas dan jantung gue pun berdegup semakin kencang setelah mengetahui bahwa Hanif menjadikan gue sebagai 'tameng' terhadap Diaz. Gue memasukkan kembali handphone dan melanjutkan berjalan tanpa membalas sms dari Hanif.
Beberapa saat kemudian, terlintas sebuah ide yang menurut gue cukup ampuh untuk bisa membuat gue pergi dari sini. Gue kembali merogoh handphone dan mengetik sebuah sms.
'Mas dayat, telfon ke nomer saya 5 menit lagi ya!' -'Siap den!'
Oke, rencana pertama sudah selesai. Gue kembali melangkahkan kaki menuju mereka berdua.
"Udah" Pesen apa"" Hanif bertanya sambil mengunyah.
"Ga jadi pesen, ga selera semua." Gue menjawab sambil menarik kursi dan duduk.
Setelah gue perhatikan, Diaz sedari tadi ga mengeluarkan sepatah kata pun dari mulutnya dan sedangkan Hanif selalu mengajak gue mengobrol walaupun gue menjawabnya dengan setengah, ga, seperempat hati.
Gue mengeluarkan handphone dan memegangnya di balik meja, mengubah mode Silent menjadi General dan menaikkan volume-nya pada batas maksimal lalu kembali menyimpannya di dalam saku.
Beberapa menit berselang, handphone gue berdering dengan nyaring. Terlihat ekspresi kaget pada wajah Hanif dan Diaz setelah mendengar suara yang cukup keras, begitu pula dengan beberapa pengunjung lainnya yang langsung menoleh ke arah gue sedangkan gue masih mencoba menyembunyikan kebohongan ini dengan berpura-pura grasak-grusuk mengambil handphone pada saku celana.
'Halo" Iya ada apa Mas"'
-'Lho den, mas yang harusnya....' 'Ooh, kan ada bibi di rumah"' -'Bibi emang ad.."'
'Ga ada" Papah dimana sekarang"' -'Bapak la...'
'Oke saya pulang sekarang Mas.'
Klik! Gue mematikan handphone secara sepihak lalu memasukkannya kembali kepada saku celana.
"Siapa Fal"" Hanif bertanya.
"Mas Dayat, supir papah." Ujar gue sambil mendorong kursi ke belakang lalu berdiri.
"Ada apa" Kamu mau kemana"" Hanif terlihat heran melihat gue berdiri.
"Sorry, Nif, Iaz, gue ga bisa ikut bareng kalian soalnya bokap udah di rumah tapi ga ada yang bukain pager." Gue berkata kepada mereka berdua sambil memberikan ekspresi datar. "Gue duluan." Lanjut gue sambil memberi senyuman singkat kepada Hanif kemudian menepok pundak Diaz sambil sedikit meremasnya lalu berjalan dengan cepat menuju eskalator. ***
Gue bingung mau kemana lagi, gue hanya bisa muter-muter di dalam mall tanpa arah dan tujuan dengan membawa perasaan yang campur aduk. Gue mengusap wajah kemudian bersandar pada pembatas kaca dan melihat ke bawah. Bengong.
Gue sekarang merasa, apa ya" Sulit sekali menjelaskan perasaan yang sedang gue alami sekarang. Bodoh, tolol, benci, marah, rindu, semuanya bercampur aduk menjadi satu!
Apa yang sedang mereka berdua lakukan sekarang" Apa sekarang Diaz nembak Hanif" Apa Hanif nerima dia" Apa...
ARGH!! Ternyata sesakit ini melihat orang yang paling gue sayangi sedang 'dating' bersama (uhuk) calon pacarnya (mungkin).
Gue mengusap wajah berkali-kali untuk menghilangkan perasaan tersebut kemudian kembali berjalan menuruni eskalator dan melangkahkan menuju pintu keluar. Sesampainya di depan mall, gue menengok ke sebelah kiri dan melihat sebuah kedai kopi yang namanya sudah sangat terkenal di Indonesia maupun dunia.
Coffee" Hmm, sounds good to me...
Akhirnya gue berjalan menuju pintu masuk kedai kopi tersebut dengan kepala tertunduk, melihat kepada layar handphone sambil mengetikkan sebuah sms.
First, you think the worst is a broken heart
What's gonna kill you is the second part And the third, Is when your world splits down the middle And fourth, you're gonna think that you fixed yourself
Fifth, you see them out with someone else And the sixth, is when you admit you may have fucked up
The Script Six Degrees of Separation a little
You're goin' through six degrees of separation
Part 56 Kikuk Semakin mendekati tanggal Ujian Nasional, semakin sering pula gue berada di dalam rumah untuk belajar pelajaran yang akan diujikan nanti. Dan sekarang gue sedang duduk di depan meja belajar, memutar-mutar pulpen sambil mencoba mengupas tuntas salah satu soal matematika yang sangat memusingkan otak.
"Hmmm..." Gue menggumam kecil, masih mencoba mengingat rumus apa yang harus digunakan untuk menaklukkan soal ini. Tiba-tiba gue tersenyum setelah mendapatkan sebuah 'ilham' yang turun dari langit untuk mengerjakannya. dan ga lama kemudian gue sudah selesai berususan dengan soal tersebut.
Gue menyimpan pulpen lalu meregangkan tangan ke udara. Jam di dinding kini menunjukkan ke angka 12 siang, sudah 3 jam lebih gue berkutat dengan angka-angka di awal weekend ini. Gue bangkit dari kursi, meninggalkan meja belajar lalu turun ke bawah untuk mengambil minuman dingin di kulkas.
*** Gue mengangkat gelas dengan tangan kanan lalu menyeruputnya pelan sambil membaca-baca tentang sistem syaraf. Sedang asyik membaca, handphone yang disimpan di samping buku tiba-tiba menyala dan menampilkan satu buah pesan baru. Gue menyimpan gelas lalu mengambil handphone dan membaca sms-nya.
From: Naufal 'Tib, sini dong ke Sbux... Gue butuh temen ngobrol..'
Semenjak dari BMC tempo hari, dia kadang memanggil gue dengan sebutan 'Tib', atau kependekan dari 'Tatib'. Gue memundurkan kursi lalu melihat ke arah jam dinding: pukul satu siang. Yah, mungkin gue juga butuh sedikit jalan-jalan setelah belajar hampir 4 jam penuh. Kemudian gue mengetikkan balasan untuknya.
'Okiii, trktr ya!' *** Gue berjalan dengan santai menaiki eskalator lalu berbelok ke sebelah kiri. Sekarang gue sudah berada di depan pintu masuk kedai kopi dimana Naufal sedang berada. Gue mencari-cari keberadaan Naufal dari luar. Setelah melihat tempat dimana Naufal duduk, gue memasuki kedai kopi tersebut dan berjalan ke arahnya.
Dari kejauhan, terlihat ia sedang duduk membelakangi gue sambil menyimpan jarinya di bawah hidung dan menengok ke kaca. Gue mendekatinya dengan perlahan. Saat hanya berada beberapa langkah di belakangnya, gue dapat melihat dengan jelas pantulan wajahnya pada kaca. Dia sedang menatap kosong keluar jendela. Gue yang berniat untuk mengageti Naufal, mengurungkannya dan berjalan lebih cepat.
"Hallo." Gue tersenyum sambil menyimpan tas di atas meja dan duduk di seberangnya. Naufal menengok ke arah gue lalu memberikan senyum simpul sekilas lalu kembali memasang tatapan kosong. Di atas meja ada satu buah cangkir kopi yang masih terisi penuh dan sepertinya belum tersentuh olehnya.
"Kenapa lo"" Gue bertanya dan yang ditanya hanya menggeleng.
"Dari wajah lo, gue tau ada yang salah sama lo. Kenapa"" Gue mengulang. Dia memejamkan mata sebentar, lalu bibirnya bergerak tanpa suara. Yang gue tangkap disini, dia menyebutkan satu buah kata, atau mungkinsebuah nama: Hanif.
Gue menghela nafas lalu memanggil pelayan.
"Caramel Macchiato-nya satu ya mas, sirup karamelnya agak banyak sedikit."
"Baik mbak, tunggu sebentar." Ujar sang pelayan sambil tersenyum dan sedikit membungkukkan badan.
"Kenapa lagi sama Hanif"" Gue bertanya kepada Naufal setelah pelayan tersebut pergi.
"Lo belum tau"" Dia balik bertanya namun tatapannya masih melekat pada kaca.
"Tau apa"" Gue bertanya kembali dengan heran.
"Lo beneran belum tau atau pura-pura ga tau"" Dia sedikit meninggikan suaranya.
"..." Gue menggeleng sambil mengerutkan kening. Obrolan kami terhenti ketika seorang pelayan datang dan menyimpan pesanan gue di atas meja. Setelah pelayan tersebut pergi, gue kembali bertanya kepadanya.
"Tau apa, Fal"" Setelah gue bertanya, dia memegang keningnya sambil menghela nafas berat.
"Gue udah putus sama Hanif."
Gue sedikit, atau mungkin kaget beneran setelah mendengarnya. Gue sedikit membungkukkan badan, mengambil macchiato lalu menyeruputnya sedikit. Setelah mengelap whip cream yang menempel pada bibir, gue kembali bertanya.
"Kenapa bisa""
"..." Dia menggeleng.
"Kenapa"" Gue kembali mengulang.
"..." Dia menengokkan kepalanya dengan lemah lalu menggeleng.
"Fal..." Gue menyimpan kedua tangan di atas paha.
"Yang lo butuhkan cuma satu, cerita! Gue tau rasanya abis putus tuh kayak gimana, dan sekarang lo butuh cerita biar lo sedikit merasa lega!"
"So tau lo! Lo ga tau kan ada yang lebih parah dari itu"! Ga tau kan"!"
"Gimana gue mau tau, lo ga cerita apa-apa dari tadi!"
"..." Dia menghela nafas lalu bersandar pada kursi.
"Dia lagi jalan bareng Diaz, disini, di lantai tiga." Ujarnya pelan sambil menatap kosong langit-langit.
"Serius lo"!" Gue memajukan badan, ga percaya.
"Ngapain gue bohong" Lo udah liat kan sekarang gue kayak gimana"" Dia menegakkan badannya lalu kembali bersandar.
"Hhhhh..." Gue menghela nafas. Sulit gue percaya, Hanif yang baru putus sama Naufal tiba-tiba udah jalan lagi dengan Diaz.
"Terus kok lo bisa tau mereka berdua ada disini""
Dia kemudian mengambil kopi di atas meja lalu meminumnya. Dengan tatapan serius namun terkesan santai, dia menatap gue selama beberapa saat. Gue sedikit kaget dengan tatapannya. Gue membenarkan posisi duduk dengan kikuk dan menatap ke arah lain.
Gue, Gue salah tingkah... "Sekarang gue mau cerita, dengerin ya."
"I..iya..." Part 57 Tell Me Where It Hurts "Eeet bentar-bentar, gue ke wc dulu. Kebelet pipis nih sorry..." Ujar gue sambil memegang perut.
"Lo mau denger gue cerita ga""
"Iya, tunggu, bentaaar aja." Kemudian gue beranjak dari kursi, menyelempangkan tas lalu berjalan dengan terburu-buru menuju toilet.
Gue... Nervous... *** Gue menggeleng sambil memegang kedua pipi di depan cermin.
Astaga, ga mungkin kalo gue memiliki 'rasa' kepada Naufal. Ini cuma keadaan dimana dia sedang butuh teman untuk mengobrol dan mencurahkan seluruh isi hatinya. Saat ini, gue hanya merasa bersimpati kepadanya.
Ga, ga mungkin gue suka sama dia...
Tapi tatapan matanya... Ah! Engga, engga... Gue memegang ujung wastafel dan kembali menggeleng. Lalu gue memandang cermin sambil menengok ke kanan dan kiri, melihat apakah ada yang kurang dalam penampilan gue saat ini.
Gue mengambil sisir dari dalam tas lalu merapihkan rambut yang sedikit berantakan. Setelah selesai, gue kembali menatap cermin.
Duh Kok gue gini banget ya" Hhhhh... Ini cuman Naufal, dan kenapa gue harus ribet-ribet dandan lagi"
Gue menghela nafas perlahan, lalu berjalan keluar dari toilet menuju tempat dimana Naufal berada. ***
"Pas abis UTS kemarin, Hanif ngajakin gue jalan keluar. Katanya, dia ga mau nonton sendirian." Naufal mulai bercerita sambil menatap ke arah lain.
"Hmmm, terus""
"Lo pasti tau, gue ngerasa seneng banget walaupun gue berusaha keras menutupi perasaan bahagia gue di depannya."
"Iya, terus" Lo iya-in""
"Diem dulu napa! Gue belum selesai!" Dia memalingkan wajahnya kepada gue dan memberikan tatapan yang,begitulah...
"..." Gue mengangguk.
"Awalnya, gue sengaja ga ngasih jawaban dulu. Gue juga mikir, kami berdua baru aja putus tapi kenapa dia masih ngajakin gue buat jalan bareng berdua""
"Mmm..." "Hampir tiap saat, dia nanyain apa gue bisa atau engga. Yaaa... Mungkin karena sedikit banyak gue masih berharap kepadanya..." Dia menaikkan bahunya.
"...akhirnya gue mengiyakan ajakannya."
"..." Gue mengambil macchiato di atas meja lalu memegang cangkirnya.
"Kemaren malem, gue minta tolong bibi buat nyetrikain baju sama celana pilihan gue." Ujarnya sambil tersenyum, namun tatapannya masih kosong dan tetap melekat pada sudut lain kedai ini. "Udah selesai disetrikain, gue minta bajunya dipakein hanger biar ga kusut terus disimpen di dalam kamer gue." Lanjutnya.
"Gue ga bisa tidur, gue cuman bisa guling kanan guling kiri, berharap-harap cemas kalo gue nutup mata satu detik terus pas ngebuka mata lagi tiba-tiba alarm berbunyi dan hari sudah berganti. Tapi ya tetep, hari belum berganti dan gue ga bisa tidur. Gue baru bisa tidur gara-gara emang udah ngantuk banget." Dia berkata tanpa jeda.
"..." Gue mengangguk sambil menyeruput cangkir berisi macchiato yang sedang gue pegang.
"Besoknya, gue langsung mandi sebersih-bersihnya dan memakai parfum andalan seharumharumnya."
"Setelah ber-sms ria bersama Hanif, suasana hati gue semakin berbunga-bunga. Dengan perasaan excited yang tiada dua, gue pergi ke mall ini."
"..." "..." "Terus"" Gue bertanya sambil mengerutkan kening saat dia berhenti mengoceh. Kemudian dia menghembuskan nafas dan kembali bercerita.
"Gue buru-buru naik ke lantai tiga pas abis dapet sms kalo dia nunggu di bagian foodcourt." "Pas nyampe situ, gue celingukan nyari Hanif. Terus gue ngeliat dia ngedadah-dadahin gue. Dengan senyum lebar, gue buru-buru nyamperin dia."
"Lo seneng dong"" Gue menggodanya.
"..." Dia tersenyum.
"Terus"" "Langkah gue perlahan terhenti saat gue melihat satu orang yang paling gue benci, sedang duduk membelakangi gue. Dan dia sedang duduk dalam meja yang sama dengan Hanif."
"..." DEG!!! "Gue mulai panas, gue kesel gara-gara Hanif ga ngomong kalo ada orang lain dan gue ga terima kalo Diaz sedang berada bersamanya. Dengan berat hati, gue berjalan dengan pelan dan mendekati mereka berdua." Dia mengepalkan tangan kanannya.
"..." Emosi gue naik, gue hanya bisa menggeleng sambil mengatupkan bibir rapat-rapat.
"Kami bertiga duduk, menikmati makanan dalam kekakuan." Ujarnya tanpa berkedip. "Gue ga kuat duduk disitu lama-lama. Hati gue sakit walaupun gue sadar gue bukan siapa-siapanya Hanif."
"..." "Gue cemburu, Ay... Sakit..." Kini kepalan tangannya mulai melemah, kemudian secara perlahan terbuka dan dia memegang lengan kursi. Gue dapat melihat wajahnya mengeluarkan aura kesedihan dan hati gue tersentuh saat melihatnya.
"..." "Yah... Setelah puter otak buat nyari cara biar gue bisa keluar dari situ, akhirnya gue dapet alibinya. Dan sekarang, gue sedang berada disini, menceritakan apa yang baru saja terjadi beberapa saat yang lalu, kepada elo." Ujarnya sambil merentangkan kedua tangannya, lalu melipatnya di depan dadanya.
"..." "Sekarang, gue harus gimana""
"..." "Hhhhh..." Gue menghela nafas.
"Gue ga tau lo harus gimana." Gue menggeleng. "Yang jelas, move on."
"Move on" Secepat ini" Hell no. Susah, gue sekelas sama dia! Sebangku pula!" Dia meninggikan suaranya.
"Ya mau gimana lagi" Lo mau tanya ke sejuta orang juga pasti jawabannya masih sama: move on."
"..." Dia menengok ke arah lain, memegang pergelangan tangannya sambil memain-mainkan bibirnya.
"..." "Tau lah!" Ujarnya sambil mengibaskan tangan di udara. Kemudian dia mengambil kopinya lalu meminumnya sampai habis dalam dua tegukan.
"Yuk balik. Gue males lama-lama disini." Ujarnya datar sambil berdiri, mengambil jaket parasitnya dan mulai melangkahkan kakinya.
Gue masih terduduk lemas setelah mendengar ceritanya. Tapi saat melihatnya sudah berdiri dan berjalan menuju kasir, mau ga mau gue pun berdiri dan mengekor di belakangnya.
I hate to see you so deep in the blue... My heart breaks...
I wish i could help you more, but...
How" *** What is that sad look in your eyes
Why are you crying Tell me now, tell me now Tell me, why you're feelin' this way I hate to see you so down, oh baby
Is it your heart Oh, that's breakin' all in pieces
Makin' you cry Makin' you feel blue Is there anything that I can do
Where are all those tears coming from
Why are they falling Somebody, somebody, somebody left your heart in the cold You just need somebody to hold on, baby Give me a chance to put back all the pieces Take your broken heart
Make it just like new There's so many things that I can do Why don't you tell me where it hurts now, baby
And I'll do my best to make it better Yes, I'll do my best to make those tears all go away Just tell me where it hurts now, tell me And I love you with a love so tender
Oh and if you let me stay I'll love all of the hurt away Oh I'm gonna take it all away, baby...
MYMP Tell Me Where It Hurts
Part 58 Rainy Day "Tungguin!" Aya berteriak dari belakang. Gue menengok sambil mengeluarkan dompet.
"Ini mbak." Gue memberikan uang kepada pelayan kasir.
"Udah lo bayarin"" Dia bertanya setelah sudah berdiri di samping gue.
"Udah, entar lo bayar ke gue." Gue menunjuk diri sendiri menggunakan dompet yang sedang dipegang di tangan.
"Kalo gue harus bayar, lo anterin gue dulu ya""
"..." Gue meliriknya sambil mengerutkan kening. "Kemana""
"..." Dia menunjuk ke atas dengan jari telunjuknya.
"Ke atas"" Gue bertanya dan dia mengangguk.
"Lo pengen ngeliat gue makin sakit"" Gue berkata dengan ketus, berjalan keluar kedai dan meninggalkannya di depan kasir.
"Tunggu duluuu, gue bukan mau ke lantai 3 kok..." Ujarnya setelah mengejar gue yang sudah berjalan menuju pintu keluar mall.
"Terus"" "Gue mau nyari iket rambut, tempatnya di lantai 2. Anterin ya" Entar lo baliknya gue anterin deh!" Dia berkata sambil sedikit memasang tampang memelas.
Oke, gue sekarang terjebak di dalam dua pilihan yang sangat berbahaya. Pertama, gue harus nganterin Aya ke tempat aksesoris cewek dan kalo seorang cewek lagi berburu barang, mereka semua punya tenaga ekstra untuk nyari barang tersebut sampe ketemu, yang tentunya akan memakan waktu yang super lama.
Dan yang kedua, gue males kalo balik naik angkot karena jarak dari mall ini menuju rumah gue terbilang lumayan jauh. Daripada gue mati kutu sambil galau di dalam angkot dan dengan diimingimingi dianter pulang, akhirnya gue menyetujui ajakan Aya.
"Hhhh..." "Yaudah deh ayo." Gue sudah pasrah dengan keadaan ini, kemudian Aya menampilkan ekspresi penuh kemenangannya lalu berjalan di depan gue.
*** Sekarang, gue sedang bersandar pada pembatas kaca, menunggu Aya yang berada di dalam salah satu toko aksesoris wanita yang terletak di belakang gue. Gue melihat jam di tangan lalu melihat ke atas, melihat ke lantai 3.
"Lagi ngapain lo disana Nif"" Gue menggumam pelan.
Ah, gue gila beneran... Gue menunduk sambil menggaruk-garuk belakang kepala lalu kembali melihat jam. Sudah cukup lama Aya berada di dalam dan gue ga ingin tetap berlama-lama disini, akhirnya gue memutuskan untuk memasuki toko dan mencarinya.
Saat gue menemukan sosoknya di dalam, dia sedang, entah, memilih-milih iket rambut" Gue ga tau apa nama barang yang sedang dipegangnya.
"Ayo lah cepet balik, sekarang lo nyari apaan lagi" Masih kurang sama barang yang udah beli di tempat yang tadi""
"Bentar sih, gue bingung nih milih yang mana. Semuanya lucu banget!" Ujarnya sambil menimangnimang beberapa aksesoris aneh yang katanya lucu.
Tempat yang gue masuki ini sangatlah bertema girly, dindingnya dicat dengan warna merah muda, pada etalase-etalasenya terpampang ratusan, hingga ribuan aksesoris berukuran kecil hingga yang berukuran besar dan khusus untuk para cewek. Mulai dari cincin, kalung, boneka, ikat rambut, dan masih banyak lagi barang yang gue ga tau apa namanya. Intinya, tempat ini merupakan salah satu tempat yang ga ingin gue datangi dan gue masuki lagi.
"Tuh yang itu tuh bagus!" Gue asal jeplak dan asal tunjuk salah satu item yang sedang dipegangnya.
"Ga sabaran banget sih jadi orang!" Ujarnya ketus.
"Gimana gue mau sabar, lo udah bediri di dalem toko ini berapa lama"!" Gue mengetuk-ketuk jam yang berada di tangan kanan.
"Ah rese lo..." Aya menyimpan satu demi satu aksesoris yang berada di tangannya sambil cemberut lalu mengambil satu item yang sudah gue tunjuk tadi.
"Cepetan, lama banget cuman milih gitu doang!"
"Iya bawel!" "Gue tunggu diluar." Ujar gue seraya meninggalkannya yang sedang mengantri di kasir.
"Ayo, gue udah."
"Udah"" Gue bertanya.
"..." Dia mengangguk sambil menaikkan bungkusan yang sedang dipegangnya, dan tentunya warna bungkus tersebut adalah pink.
"Yaudah yuk balik. Cape gue disini."
"Cape badan atau cape hati niiih"" Aya menggoda gue sambil tersenyum.


Cowok Manja Merantau Karya Karnaufal di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dua-duanya!" Gue berkata ketus sambil berjalan menjauhinya.
"Eh tunggu!" Dia sedikit berteriak dan gue menghentikan langkah kaki lalu berbalik.
"Apa lagi"!"
"Nih!" Ujarnya sambil mengangkat sebuah kunci.
"Ck, sini-sini cepet!" Gue menjulurkan tangan lalu dia memberikan kunci motornya dan kembali berjalan menujubasement dengan Aya yang mengekor di belakang gue.
*** Sebelum gue memasuki mall beberapa jam yang lalu, gue masih disuguhi dengan langit yang cerah. Namun pada saat gue keluar dari mall ini, ternyata langit yang sebelumnya cerah kini telah berubah menjadi abu-abu pekat, sepekat dengan suasana hati gue sekarang.
Angin sore bertiup dengan kencang dan membuat pohon besar yang gue lewati di sepanjang perjalanan bergoyang ke kanan dan kiri. Gue memutuskan untuk menambah laju kecepatan motor Aya untuk menghindari hujan yang sepertinya akan datang sebentar lagi.
Hujan rintik-rintik kini turun perlahan setelah gue memacu kecepatan motor dan ga beberapa lama kemudian, hujan telah berubah menjadi besar. Gue buru-buru menepikan motor setelah melihat ada sebuah ruko yang juga sudah dipenuhi oleh beberapa pengendara motor yang berteduh.
"Bawa jas hujan ga"" Gue bertanya kepada Aya yang kini sedang menatap tetesan air hujan sambil menyunggingkan sebuah senyuman.
"Bawa sih, tapi cuman bawa satu. Kenapa""
"Lo lagi diburu waktu ga""
"Hmmm..." "Ga terlalu, kenapa""
"..." Gue melirik jam yang jarum pendeknya kini sudah menunjukkan angka 4, kemudian gue berjalan menuju sisi ruko dan menjulurkan tangan kiri yang terbalut oleh jaket parasit.
"Ngapain lo"" Aya bertanya.
"Ngetes jaket."
"Ngetes jaket"" Dia bertanya dengan nada heran.
"Dulu kata orang yang jualnya jaket ini anti air. Makanya gue coba tes sekarang."
"Terus hasilnya""
Gue menepuk lengan kiri yang sudah basah lalu tersenyum kecil.
"He said the truth, anti air." Gue tersenyum kecil.
"Emmm, terus""
"Keluarin jas hujan lo."
"Ngapain""
"Gue mau balik, pengen tidur! Udah cepet keluarin aja!" Gue berkata sambil menyerahkan kunci motornya.
Kemudian dia membuka bagasi motor dan mengeluarkan jas hujannya.
"Nih, gimana cara makenya kalo cuma satu pasang doang""
"Udah, diem." Gue mengambil jas hujan yang dipegangnya. "Nih, pake dulu ini." Gue menyerahkan celana jas hujan kepadanya.
"Terus"" Dia menjawab sambil mengenakan celananya.
"..." Gue hanya diam dan membuka jaket parasit yang gue kenakan.
"Nih pake juga ini. Hood-nya jangan lupa dipake." Gue menyerahkan jaket parasit kepadannya lalu gue mengenakan jas hujan bagian atasnya.
"Gue pake ini juga"" Dia mengangkat jaket yang gue berikan dan gue mengangguk.
Beberapa saat kemudian, gue sudah selesai mengenakan jas hujan dan berjalan mendekati motor.
"Mana kuncinya"" Gue menjulurkan tangan.
"Nih." Dia menyerahkannya dan gue mulai menyalakan motor. Setelah menyalakannya, gue berbalik dan mendapatinya sudah terbalut celana jas hujan yang kebesaran dan jaket gue yang juga kebesaran pada badannya. Gue terkekeh melihat penampilannya sekarang.
"Jangan lupaaa, hood-nya juga dipakeee." Gue berjalan mendekatinya lalu memakaikan hood jaket parasit gue pada kepalanya dan mengencangkan ikatannya. Sekilas gue melihat wajahnya yang menatap arah lain dan sedikit merona. Gue hanya menaikkan pundak saat melihatnya. "Yuk cabut!" Gue langsung mengenakan helm dan naik ke atas motor disusul dengan Aya. "Badan lo jangan jauh-jauh dari gue, biar lo ga kena air hujan secara langsung."
"I..iya..." "Pegangan yang kenceng, Tib!"
Beberapa lama kemudian, gue sudah berada di atas jalanan yang basah, membelah derasnya hujan yang sedang mengguyur kota di sore ini.
Part 59 Words Under The Twilight Ting...nong...
Suara bel menggema pada seisi ruangan. Gue yang sedang bermain ps sambil berselimut, mau ga mau harus membukakan pagar karena sore ini gue sendirian di dalam rumah. Dengan memegang sapu tangan yang menutupi bagian hidung, gue berjalan keluar.
"Siapa"" Gue sedikit berteriak dari teras.
"Temen di depan bangku lo!" Teriak sebuah suara yang gue kenali: Ojan.
"Oooh... buka aja, ga dikunci Jan..." Ujar gue sambil berjalan kembali mausk ke dalam rumah.
Gue langsung duduk bersila di depan tv, mengambil stik ps sambil berselimut dan kembali bermain game yang sempat terhenti. Beberapa saat kemudian, wajah si goblok Ojan muncul sambil cengengesan dari balik dinding yang membatasi antara ruang tengah dan ruang tamu.
"Nih buat lo!" Ujarnya seraya menjulurkan tangan.
"Apaan nih" Lo mau nyogok gue"" Gue berkata dengan ketus sambil mengambil paksa bungkusan dari tangan Ojan.
"Iya gue nyogok! Minggir-minggir gue mau main!" Dia langsung duduk di depan tv dan mengambil stik ps.
"Thank you lho ya buat sogokannya. Kebetulan gue lagi pengen ngemil. Eh lo kesini sama siapa" Sendiri" Tumben."
"Engga, gue bawa pasukan. Sekalian nengok elo." Ujarnya sambil terfokus pada game yang sedang dimainkannya.
"Lah siapa aja"" Gue bertanya kembali dan membuka salah satu snack pemberiannya.
"Entar juga lo tau, udah ah jangan ganggu gue dulu!"
"Gila dasar!" Gue melempar Ojan dengan ciki yang sedang gue pegang.
"Eh, lo besok masuk sekolah ga""
"Gimana besok... Kalo idung gue udah bener lagi ya berarti masuk. Kalo belom bener, yaudah gue disini aja. Mumpung surat dokternya masih berlaku." Ucap gue santai.
"Enak bener lo, berapa lama emang surat dokternya""
"4 hari, masih ada sisa sehari lagi buat besok."
Saat sedang asyik mengobrol, suara bel kembali menggema di dalam ruangan. Ojan yang sedang fokus bermain pun menoleh dan memberi gue kode untuk membukakannya. Gue menaikkan alis seakan bertanya 'siapa"'Namun dia hanya menjawabnya dengan senyuman aneh lalu perhatiannya kembali terfokus kepada ps. Setelah melempar Ojan dengan bantal, gue baru turun dari kursi dan menuju depan rumah.
Gue membuka pagar perlahan. Saat pagar terbuka, gue sedikit terjekut dan hampir mundur satu langkah saat melihat sosoknya sedang berdiri di depan gue.
"Hallo Fal." Ujarnya ramah sambil tersenyum.
"Nih buat kamu..." Hanif menjulurkan tangannya yang sedang memegang kresek putih.
"Emmm..." Gue menggaruk kepala, kikuk. Lalu menerima pemberiannya.
"Thank you, masuk gih. Udah ada Ojan di dalem." Gue menggerakkan tangan, memberi isyarat untuk mempersilahkannya masuk.
"Tau kok, tadi aku kesini bareng sama dia cuman aku beli makanan dulu."
"..." Gue hanya membulatkan bibir sambil mengangguk.
"Gimana keadaan kamu""
"Nggg.. Udah lumayan baikan sekarang mah..."
"Besok masuk kan""
"Nggg...ga tau... Liat besok aja deh."
"Masuk ya""
"Aku ngerasa sepi kalo ga ada kamu Fal..." Ujarnya pelan dan kepalanya sedikit tertunduk.
"..." "Mmmm, ngobrolnya di dalem aja Nif sambil duduk."
"..." Hanif kemudian mendongak, mengangguk dan tersenyum, lalu kami berdua masuk ke dalam rumah.
"Wiiih inilah dia! Pasangan kelas X-J!" Ujar Ojan sambil menepuk-nepuk konsol yang sedang dipegangnya. Gue membalasnya dengan acungan jari tengah yang disimpan di depan perut dan dia hanya terkekeh saat melihatnya.
"Gimana" Udah balikan apa belum"" Ucapnya sambil menaik-turunkan alis.
"Hah"" Gue melongo, bingung.
"Kita belum balikan kok Jan, masih temenan. Iya kan Fal"" Hanif menyikut gue dari belakang.
"Eh, iya..." Gue menjawab dengan kikuk.
Gue disini mulai bingung. Sore ini tiba-tiba Ojan datang bersama Hanif dan secara tiba-tiba juga dia bertanya 'udah balikan apa belum', dan Hanif menjawabnya dengan kalimat 'belum balikan', jawaban yang sedikit membuat perasaan gue campur aduk...
Hanif kemudian duduk di sofa panjang dan gue duduk diseberangnya.
"Eh, batrenya abis nih!" Ucap Ojan sambil menepuk-nepuk stik ps.
"Gausah ditepuk-tepuk juga, gila!" Gue menghampiri Ojan lalu menoyor kepalanya.
"Lo urusin nih stik!" Dia memberikannya kepada gue. "Gue mau keluar dulu ya." Lanjutnya seraya berdiri.
"Bakalan lama koook!" Ojan berkedip kepada gue lalu melirik Hanif sambil tersenyum dan kemudian dia pergi keluar.
Gue mengambil kabel USB dan memasangkannya pada stik. Namun sebelum gue colokkan kepada ps, gue melihat stik ini masih berfungsi dan sepertinya baterainya masih ada. Kalaupun misalkan baterainya habis, kenapa ga dipasang aja kabelnya ke ps" Hhhh...
Gue menghela nafas lalu kembali menggulung kabel USB.
"Fal..." Hanif memanggil.
"Hmm"" Gue menjawab sambil tetap menggulung kabel. "Apa"" Gue menengok kepada Hanif.
"..." Dia hanya diam sambil menepuk sofa yang kosong di sebelahnya, memberikan isyarat agar gue duduk disana. Gue menyimpan kabel dan stik di atas ps lalu berjalan menuju sofa.
"Iya, ada apa Nif"" Gue bertanya setelah duduk disampingnya.
"Mmmm.. Fal""
"Hmmm"" "Aku mau ngomong sesuatu sama kamu..." Ujarnya sambil tertunduk.
"Haha... Tinggal ngomong aja, Nif." Gue terkekeh kemudian bersandar pada sofa.
"..." "..." "..." "Nggg... Jaaadi"" Gue memajukan badan dan menatapnya dari samping.
Perlahan Hanif mendongak dan menoleh kepada gue, tiba-tiba tangannya menggenggam lembut tangan gue. Jantung gue tiba-tiba berdegup dengan kencang, gue kaget dan sontak memalingkan wajah, namun gue sama sekali ga mencoba melepaskan genggaman tangannya. Hanif kemudian tersenyum, berdiri dan melangkah menuju teras rumah sambil tetap memegang tangan gue. ***
Cahaya matahari sore menghambur dan menyeruak masuk melewati jendela-jendela yang berada di sekeliling rumah, sang surya kini sedang berada dibawah horizon namun sinarnya sudah dibelokkan oleh atmosfer bumi sehingga tercipta guratan-guratan indah berwarna oranye yang terpampang di kaki langit, hampir sama persis dengan suasana hati gue yang tiba-tiba 'dibelokkan' oleh 'atmosfer' yang tercipta secara tiba-tiba.
Hanif berdiri di depan gue, sambil berpegangan tangan. Kami berdua diam cukup lama, hanya terdengar suara air mancur taman yang suara gemericiknya sangatlah meneduhkan hati.
"Aku..." Hanif berkata lirih, lalu gue menoleh kepadanya. "Aku...ngg..." Kepalanya menunduk sambil menggigit bibir bawahnya.
"Iya"" "..." "..." Gue mengerutkan kening.
"..." Hanif menatap gue dalam-dalam dan gue menatap wajah cantik miliknya. Lalu beberapa saat kemudian, mulutnya mulai bergerak dan dia berkata:
"Aku mau balikan sama kamu, Fal..."
*** Part 60 A Special Place Gue masih berdiri terpaku di depan Hanif sambil terbengong-bengong. Sekarang Hanif menggenggam tangan gue lebih erat dari sebelumnya, seakan meminta jawaban atas permintaan yang dilontarkan olehnya beberapa saat yang lalu.
'Aku mau balikan sama kamu, Fal...'
Kalimat tersebut masih terngiang-ngiang di kepala gue, sangat jelas sekali.
Gue harus gimana" Jujur, perasaan gue kepada Hanif masih belum berubah semenjak gue putus dengannya. Tapi sekarang, gue malah merasa ga yakin dengan apa yang baru saja diucapkannya setelah melihat perlakuan Hanif kepada gue dalam beberapa hari terakhir.
"Gue, ngg..." Gue memalingkan kepala. "Aku..."
"Ga tau harus jawab apa..."
"Kenapa..."" Tanyanya lirih.
"Aku bingung sama kamu..."
"Kamu yang putusin aku gara-gara aku ga pernah 'maju' duluan, tapi sekarang kamu ngajak balikan dan tetep kamu duluan kan yang majunya""
"Aku cape nunggu Fal, capek..."
"See" Sekarang pun kamu duluan yang maju..."
"..." Hanif menundukkan kepalanya.
"Nif..." Gue mengangkat dagunya yang tertunduk.
"Aku... Ga ngerti sama keadaan kita sekarang. Setelah kita putus, kamu tetep ngasih perhatian yang porsinyahampir sama kayak waktu kita pacaran dulu. Ngeliat kamu yang perhatian gitu, aku ingin ngajak balikan lagi sama kamu. Tapi pas kamu ngajakin nonton dan taunya ada Diaz, aku mulai bimbang... Aku..."
"Sakit..." "..." "Aku mau tanya sama kamu, boleh""
"..." Dia mengangguk.
"Perasaan kamu sama aku sekarang, gimana""
"..." Hanif menatap gue.
"Kenapa kamu masih tanyain hal itu Fal" Kamu ga yakin sama perasaan aku""
"Iya, aku ga yakin sama kamu!" Gue berkata dengan tegas.
"Aku ga yakin gara-gara kamu ngajak aku nonton dan taunya ada juga orang lain dan orang lain itu adalah Diaz!"
"..." "Kalo kamu emang sayang sama aku, kamu pasti ga akan ngajak aku buat dijadiin 'tameng' terhadap Diaz kan""
"..." "Mungkin kamu ga tau rasa sakitnya kayak gimana dan mungkin juga kamu ga tau kenapa tiba-tiba aku pulang. Iya kan""
"Kamu pulang gara-gara ada papah kamu dateng kesini!"
"NGGAK!" Gue mengibaskan tangan di udara. "Salah! Total!"
"..." "Aku nyuruh Mas Dayat buat nelfon aku terus ngomong kalo dia sama papah ada disini jadi aku bisa pulang duluan supaya aku ga ngerasain sakit yang lebih lama gara-gara ngeliat kalian berdua satu meja bareng-bareng!" Gue berkata dalam satu tarikan nafas dan sekarang nafas gue sama sekali ga teratur, gue emosi.
"..." "Ma....af...." "..." Gue mengatur nafas dan mengepalkan tangan, mencoba meredam emosi yang berlebih. Beberapa saat kemudian, gue kembali berbicara.
"Nif..." "Hmm"" "..." "Maaf..." "..." "..." "Jadi... Kita sekarang..."
"Nggak balikan, ya"" Ujarnya dengan nada yang pasrah.
"..." Gue tersenyum lalu menggeleng.
"..." Hanif kembali menundukkan kepalanya.
"Nif..." Gue menarik nafas sebentar.
"Aku sekarang ga bisa lagi bareng sama kamu. Kamu masih inget kan kalo kamu pernah ngomong sama aku kalo aku tuh ga pernah maju duluan""
"..." Dia mengangguk lemah.
"Aku kayaknya emang belum siap buat pacaran. Aku bakalan siap, kalo memang sudah waktunya. Entah besok, lusa, seminggu, sebulan, setahun, atau berapa lama lagi, aku ga tau. Dan yang pasti, bukan sekarang."
"..." "..." Gue memejamkan mata lalu menarik nafas dalam-dalam, mencoba mencari ketegaran hati untuk mengatakan kalimat berikutnya. Lalu beberapa saat kemudian, gue membuka mata dan menatap matanya dengan lekat.
"Aku minta kamu buat ga nungguin aku lagi. Aku ingin kamu nunggu orang yang siap maju duluan buat ngambil hati kamu. Bukan aku, tapi orang lain."
"..." Dia hanya menatap gue dengan sedih dan matanya sudah berair.
"Jangan nungguin aku lagi ya, Nif"" Gue tersenyum lirih.
"..." Air matanya mulai mengalir.
BRUGH! Hanif tiba-tiba memeluk gue dan tangisnya pecah. Sementara gue" Gue sama sekali ga bisa membalas pelukannya.
I'm such a coward, rite"
Nif, Maaf... Aku ga bisa... Tapi kamu harus ingat ini:
You're my first love, And you will always be here, in a special place, Inside my heart...
**** Part 61 Perpustakaan Pagi ini gue pergi ke sekolah dengan perasaan yang sangat berbeda. Entahlah, gue hanya berpikir bahwa hari ini pasti bakalan berbeda dengan hari-hari sebelumnya.
Setelah mengurus izin untuk mengenakan jaket dengan guru piket, gue melangkahkan kaki pada anak tangga lalu berjalan menuju kelas. Saat gue berada di lorong, gue memperlambat langkah kaki dan melirikkan mata pada jendela kelas. Mencoba melihat siapa saja yang sudah datang. Atau lebih tepatnya, melihat apakah Hanif sudah datang apa belum.
Dan ternyata, dia sudah datang.
Gue menggenggam erat selendang tas, lalu gue memantapkan diri dan masuk ke dalam kelas.
Terlihat Hanif sedang mendengarkan musik melalui earphone yang terpasang pada telinganya. Saat dia menyadari kedatangan gue, dia hanya memberi senyuman sekilas dan gue pun melebarkan bibir untuk membalas senyumannya. Setelah gue membalas senyumannya, dia kembali fokus kepada handphone yang sedang ia dipegang.
Apa yang gue duga ternyata benar, hari ini memang berbeda. Ga ada lagi sebuah sapaan akrab 'Hallo Naufal' darinya. Yah, yasudahlah. Gue ga terlalu mempermasalahkan hal itu walaupun ga dapat dipungkiri bahwa gue sendiri masih ingin mendapatkan perhatian kecil darinya. ***
Saat ini, ada salah satu jadwal pelajaran yang kosong. Setelah menimbang-nimbang antara diam di kelas lalu tidur atau pergi keluar kelas, akhirnya gue memutuskan untuk pergi ke luar kelas.
Gue bersandar pada dinding pembatas lalu memandang ke sekeliling sekolah dari lantai tiga. Dari kejauhan, gue dapat melihat seseorang yang sepertinya gue kenali sedang berjalan di lorong lantai 2. Gue memincingkan mata, mencoba memperjelas penglihatan. Namun beberapa saat kemudian, sosoknya hilang ditelan pintu kelas.
Gue menatap langit sambil mengingat-ingat siapa orang tersebut. Gue yakin bahwa gue pernah bertemu dengannya, tapi siapa"
Oh! Vanny! Gue inget, gue pernah ketemu dengannya di perpustakaan pas gue telat masuk sekolah dulu. Seorang cewek aneh yang membawa buku tentang sejarah, lalu berbicara sok kenal sok deket dengan gue.
Haha, gue senyam-senyum sendiri saat mengingatnya.
Dan setelah gue ingat-ingat lagi, pada saat itu juga gue meminjam sebuah buku ensiklopedi yang belum sempat gue baca lebih lanjut. Akhirnya, gue pun memutuskan untuk pergi menuju perpustakaan.
*** Gue memainkan jari di depan dagu sambil memilih-milih buku yang akan gue baca. Gue bingung. Banyak sekali buku-buku yang ingin gue baca, terutama buku tentang pengetahuan umum.
Setelah puas berbingung-bingung ria, gue memutuskan untuk mengambil salah satu buku dan berjalan menuju meja untuk membacanya.
Gue menarik kursi lalu duduk dan jari jemari mulai membuka halaman pertama dari buku yang sedang gue pegang. Saat asyik membaca, ujung mata sebelah kanan gue melihat ada seseorang cewek yang masuk ke dalam perpustakaan. Tanpa menghiraukannya, gue tetap melanjutkan membaca.
Entah sudah berapa lama terfokus kepada buku, tiba-tiba ada tangan yang menepuk pundak gue dan secara refleks kepala gue menengok ke belakang.
"Eh, ngapain lo disini Mel"" Gue bertanya kepada Amel yang sedang berdiri sambil memeluk buku di dadanya.
"Kalo orang di perpus, emangnya mau ngapain""
"Mmmm, baca buku." Gue menjawab polos.
"Ya aku juga berarti mau baca buku!" Jawabnya. Gue hanya menggaruk-garuk kepala, menyesali perbuatan gue yang telah bertanya sebuah pertanyaan bodoh kepadanya. "Baca buku apaan Fal"" Tanya Amel setelah dia duduk di samping gue.
"Nih." Gue memperlihatkan cover buku yang gue pegang kepadanya.
"Suka buku yang gituan""
"Yaaa... Lumayan suka sih, buku yang lain kurang menarik soalnya."
"Oooh..." Lalu obrolan kami terhenti. Kami berdua mulai kembali fokus kepada bukunya masing-masing. ***
Setiap koin pastilah memiliki dua sisi berbeda, yang satu merupakan sisi kepala dan yang satunya lagi merupakan sisi ekor. Saat ini, gue baru saja bertemu dengan sisi kepala dari sebuah koin. Lalu beberapa saat kemudian, muncullah seseorang yang melengkapi bagian ekor dari koin tersebut.
Sosok Aya terlihat sedang berjalan ke arah kami berdua sambil membawa kotak pensil dan beberapa buku yang dia pegang di tangannya. Gue mencolek lengan Amel lalu bertanya kepadanya.
"Mel, lo sampe sekarang masih 'nempel' sama si Aya"" Gue berbisik.
"Kenapa emangnya"" Dia bertanya heran.
"Kalo ada lo, pasti aja ada Aya. Bingung gue..." Gue memegang kening lalu menggeleng.
"Hayo lho! Lagi ngomongin gue kan" Iya kan"" Sifat tengil Aya mulai keluar dan dia berkata dengan sedikit berteriak, persis di depan telinga gue.
"Apasih ah." Gue menjauhkan kepala sambil mendengus.
"Yee, so tau kamu dek." Ujar Amel.
"Dek"" Gue bertanya bingung, dan mereka berdua menatap heran kepada gue. "Jadi... Lo kakaknya dia Mel"" Gue menunjuk Aya.
"Iya, kenapa"" Jawabnya.
"Beda berapa lama""
"Berapa ya" Kalo ga salah sih 4 menit. Bener ga Ay""
"Bener kok, 4 menit." Jawab Aya sambil mengangguk.
"Eh tib, duduk lah... Risih gue liat lo berdiri terus daritadi."
"Iya-iya, nitip dulu ini." Tanpa persetujuan gue, Aya memberikan buku dan kotak pensilnya lalu dia berjalan untuk mengambil kursi.
"Sini, mana buku gue"" Dia meminta kembali buku miliknya dia setelah menempatkan kursinya di samping gue.
Sekarang, gue duduk diantara dua manusia kembar yang umurnya hanya berbeda selama 4 menit.
"Fal, lo minggu depan libur ga"" Aya bertanya setelah mendapatkan bukunya kembali.
"Libur"" Gue mengkerutkan kening. "Libur apaan""
"Oh iya beda ya, gue soalnya libur. Minggu tenang sebelum UN."
"Yaaa, terus""
"Gue ingin main, ke taman hutan raya..." Jawabnya.
"Ya tinggal pergi aja, ngapain ngomong sama gue""
"Ssshhhh..." Amel menginterupsi obrolan kami berdua lalu gue menoleh kepadanya. Gue melihat dia sedang menyimpan jari telunjuknya di depan bibir, dan gue mengangguk.
"Tib, ngobrol di luar aja." Gue langsung bangkit dari kursi dan berjalan keluar perpustakaan sambil diikuti oleh Aya di belakang.
*** "Kenapa harus gue dan kenapa lo ga ajak temen lo yang lain aja"" Gue bertanya kepadanya.
"Iiih dibilangin, yang lain pada ga mau soalnya udah mepet sama UN."
"Lo harusnya ikutin mereka dong, mereka aja pada ga mau keluar gara-gara mepet sama UN."
"Gue bosen belajar terus, gue ingin refreshing sebelum UN."
"Ck...ck...ck..." Gue menggeleng
"Yang lain pada belajar buat UN, tapi lo sendiri malah ingin main!"
"Biarin! Terserah gue! Udah ya, gue mau masuk lagi ke dalem. Nanti gue kabarin lagi, dan elo harus mau! Titik!" Setelah Aya berkata seperti itu, dia langsung berbalik dan kembali masuk ke perpustakaan. Meninggalkan gue yang masih terbengong-bengong.
Gue bingung dengan jalan pikiran dari satu cewek saklek ini.
Akhirnya gue pun memutuskan untuk kembali membaca di dalam perpustakaan hingga jam pelajaran berganti.
Part 62 Sunday = Sunny Day Hari ini adalah hari Minggu dan besok adalah hari Senin. Hari dimana Ujian Nasional akan dilaksanakan. Untuk ukuran manusia normal yang akan menghadapi ujian, mereka semua pasti akan belajar lebih giat lagi. Apalagi ini adalah Ujian Nasional, mungkin bakalan ada orang yang mengurung diri di dalam kamar bersama buku-buku tebal yang penuh akan rumus atau hapalanhapalan yang wajib dihapal.
Tapi ini semua ga berlaku bagi seonggok manusia yang bernama Amalia Dwi Nadia, adik dari Amelia Dwi Nadia.
*** Pagi-pagi sekali sekitar jam 6 pagi, gue sudah berpakaian lengkap untuk pergi hiking bersama Aya. Setelah menunggu sekitar 10 menit, terdengar suara deru motor yang berhenti di depan rumah. Dengan ogah-ogahan, gue mengenakan sepatu lalu pergi menemui Aya. Saat pagar rumah terbuka, gue mendapati sosok Aya yang sudah rapih dengan setelan training berwarna biru tua. Setelan hiking gue dan Aya bisa dibilang cukup, atau sangat berbeda. Gue hanya memakai kaos oblong yang dibalut dengan jaket serta celana pendek selutut. Sedangkan Aya, dia memakai baju training berlengan panjang dan celana training panjang. Berbeda sekali bukan"
Oke, who cares"

Cowok Manja Merantau Karya Karnaufal di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Siap buat hiking bersama Aya hari ini"" Ujarnya sambil tersenyum aneh. Lalu dia melepaskan helm yang menutupi kepalanya dan memberikan kunci motornya kepada gue.
"Gue ga mau disalahin kalo misalkan besok lo ga bisa ngerjain soalnya. Ngerti"" Gue berkata sambil meraih kunci motornya.
"Ah gancil, besok mah cuma Indonesia doang!" Dia berkata sambil menjentikkan jari.
"Pokoknya gue ga mau disalahin."
"Iyaaa! Cowok kok bawel amat sih." Ujarnya sambil bersungut-sungut.
Gue kemudian mengenakan helm yang juga dibawakan oleh Aya, menaiki motor lalu menstaternya. Sebelum motor menyala, Aya menjatuhkan dirinya pada jok belakang motor dengan hentakan yang cukup keras.
BRUKK!! Dasar gila! Gue bergumam di dalam hati.
"Yuk, jalaan!" "Ummm, Ay..." Gue terdiam sambil memegang stang motor.
"Apa"" "Gue ga tau jalan..."
"Ah, payah lo!"
PLETAK! Helm yang gue kenakan dipukul olehnya.
"Udah berapa lama lo tinggal disini"!"
"Yah gue emang udah lumayan lama tinggal disini, cuman gue ga pernah muter-muter."
"Lo beneran payah ah! Udah jalan cepet, gue navigasiin elo dari belakang."
"Eh tib, lo seneng amat perasaan""
"Hahaha emang! Jalaaan!"
*** Setelah berhenti di salah satu mini market untuk membeli camilan serta beberapa kali nyasar dan salah belok karena gue yang ga fokus, akhirnya kami berdua sampai di tempat tujuan.
Kami berdua disambut dengab sebuah gapura melengkung yang bertuliskan 'Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda'. Setelah memarkirkan motor, Aya turun lalu berjalan menuju tempat pembelian tiket masuk.
Sambil menunggu Aya mengantri, gue berjalan-jalan ke sekeliling untuk melihat-lihat dan menikmati sejuknya udara disini. Gue menghirup udara dalam-dalam, mencoba memenuhi seluruh volume paru-paru gue dengan udara sejuk pegunungan hingga tidak ada lagi ruang kosong di dalamnya. Setelah puas menikmati udara pagi, gue memutuskan untuk pergi ke salah satu warung yang berada di bawah pohon rindang yang menjual beraneka macam gorengan.
"Ini berapa bu"" Gue mengangkat pisang goreng yang asapnya masih mengepul dengan ujung kuku ibu jari dan telunjuk.
"Lima ratus dua cep." Ujar sang penjual sambil tetap menggoreng pada wajan panasnya. Gue kemudian merogoh saku dan mengambil dua lembar uang seribuan lalu memberikan kepadanya.
"Ini bu, beli delapan ya bu..."
"Mau yang ini aja atau dicampur""
"Hmmm, campur aja bu." Setelah gue berkata seperti itu, beliau langsung mengambil bungkusan dari kertas koran lalu dengan cekatan memasukkan satu persatu gorengan ke dalamnya. "Ieu cep..." Ujarnya sambil memberikan bungkusan berisi gorengan tersebut.
"Eh..." Gue mengkerutkan kening, gue ga ngerti dengan apa yang baru saja diucapkannya. "Makasih bu..." Kepala gue mengangguk dan tangan gue terjulur, mengambil bungkusan tersebut dari ibu-ibu penjual gorengan.
Gue berjalan menuju motor lalu duduk diatasnya. Gue mengambil salah satu gorengan dan meniupniupnya sebentar lalu memakannya.
Wuuuh, mantep! Ga ada yang lebih nikmat dibandingkan makan gorengan hangat sambil diselimuti oleh udara sejuk pegunungan seperti ini.
"Makan gorengan ga bagi-bagi!" Aya tiba-tiba datang dan menarik bungkusan gorengan dari tangan gue.
"Ya beli sendiri kek, maen ambil aja!"
"Males ah belinya. Nih tiketnya udah dapet!" Ujarnya sambil mengacungkan dua lembar tiket. "Yuk masuk sekarang!" Aya tersenyum lebar, dia sepertinya sangat bersemangat sekali hari ini.
"Bentar, ngabisin dulu gorengannya. Gue belum sarapan..."
"Aaah, makan sambil jalan aja!" Lalu dia membalikkan badan dan berjalan sambil membawa gorengan milik gue di tangannya. Gue hanya bisa menggeleng sambil menahan lapar yang melanda. ***
Saat melewati persimpangan pertama, gue melihat ada sebuah papan penunjuk jalan. Jika kita pergi ke kanan, maka akan ada goa peninggalan zaman Belanda yang konon katanya seram. Dan jika belok ke kiri, maka akan ada goa peninggalan zaman Jepang dan tentunya ga kalah seram dengan goa Belanda. Setelah gue bertanya kepada Aya, dia memilih untuk mengambil jalan ke kanan karena setelah melewati goa Belanda, masih ada jalan setapak lagi yang menuju ke sebuah air terjun.
Tak henti-hentinya gue mengagumi tempat ini. Di sepanjang jalan yang gue tempuh, bagian kanan dan kirinya masih dipenuhi oleh pohon-pohon besar yang menjulang tinggi. Sesekali juga terdengar suara burung saling bersahut-sahutan yang menambah kesan asri tempat ini.
"Eh itu apaan tuh Ay"" Gue menunjuk pada sekerumunan orang yang berada di bawah. Mereka semua sedang mengantri di depan sebuah, entahlah, pintu masuk"
"Itu yang namanya goa Belanda. Berani masuk situ ga lo"!"
"Hah, gitu doang. Siapa takut"!" Ucap gue santai sambil tetap melihat ke sekeliling.
"Oke, sekarang kita masuk ke situ dulu ya!" Ujarnya dan kemudian dia berjalan lebih cepat menuju pintu masuk goa.
Gue mengejar ketertinggalan dengan sedikit berlari menuruni jalanan yang menurun. Setelah sampai di muka goa, gue berjinjit, mencoba mencari keberadaan Aya diantara kerumunan orang.
"Dor!" "Nyariin gue ya" Ciee takut gue ilang ciee!" Aya tiba-tiba muncul dan menggoda gue sambil memegang dua buah senter lusuh di tangannya.
"Gue sih ga nyariin elo juga gapapa, yang penting kunci motor ada di tangan gue." Ujar gue dengan
cuek. "Lo emang tau jalan pulang""
"Tinggal tanya-tanya. Gampang kan"" Gue tersenyum meledek.
"Ish, lo nyebelin ya!" Dia menunjuk gue dengan senter yang dipegangnya sambil cemberut.
"Hahaha, udah yuk masuk."
"Ituuu, masih penuh di depan pintunya juga..." Dia menunjuk kerumunan yang daritadi masih berdiri di mulut goa.
"Ah, lama!" Gue mengambil salah satu senter yang dipegang Aya lalu berjalan menuju pintu masuk goa.
Deg!!! Gue sekarang sedang berdiri dan menatap nanar pada lorong panjang nan gelap di depan gue. Dari kejauhan, gue dapat melihat ada sebuah pintu keluar namun pintu tersebut terletak sangat jauh di depan sana.
Gue meneguk liur. Glek...
"Kenapa" Takut" Haha, cemen!" Aya melewati gue dan masuk duluan ke dalam. Gue sebagai laki-laki merasa tertantang dengan perkataannya. Dengan perasaan yang was-was, gue menyalakan senter dan mengikuti langkahnya dari belakang.
Goa ini sangatlah gelap, kosong, dan bersuhu lebih dingin daripada suhu diluar goa. Gue menyinari tanah, terlihat ada bekas rel yang sepertinya dipakai untuk transportasi goa zaman dulu. Lalu di dinding-dinding bagian atasnya terdapat kabel-kabel tua dan juga ada lampu tua yang sudah usang dan berkarat karena dimakan oleh usia. Gue mengarahkan senter ke kanan dan kiri, ternyata ada banyak sekali lorong bercabang yang entah menuju kemana arahnya.
Gue menepuk bahu Aya dengan maksud untuk bertanya tentang lorong-lorong lain yang berada di dalam goa ini. Namun ternyata tepukan gue disalah artikan olehnya.
Dia sedikit menjerit dan buru-buru melangkahkan kakinya menuju pintu keluar. Gue menghentikan langkah kaki, lalu menggeleng sambil tersenyum setelah melihat reaksi Aya yang kaget saat gue menepuk pundaknya.
"Ngomong ke orang lain cemen, tapi sendirinya langsung lari pas gue tepuk. Cemen! Hahaha..." Gue tertawa puas di depan Aya yang sekarang sudah berkeringat dingin, dan wajahnya pun terlihat sedikit pucat.
"Kan gue kaget Fal, lagian juga itu gelap banget di dalemnya..." Aya mencoba beralibi dan gue kembali terkekeh.
"Yaudah, yuk lanjut jalan. Kesana kan"" Gue menunjuk sebuah jalan yang mulai menanjak.
"Iya, kesana. Ayo."
*** "Ih itu denger ga Fal"" Aya menunjuk pada salah satu sisi bukit yang penuh dengan pohon rindang.
"Oh, denger kok. Sodara-sodara jauh elo tuh seneng ditengokin sama lo." Ucap gue dengan santai.
"Jahat bener lo gue disamain sama monyet!" Ujarnya bersungut-sungut sambil memukul pelan lengan gue. Gue hanya tersenyum dan tetap melangkah maju, membelah jalan setapak berbatu.
Di sepanjang perjalanan yang naik-turun ini, Aya sesekali berhenti di tengah jalan dan meminta gue untuk beristirahat sebentar. Jujur, menurut gue medan seperti ini memang lumayan berat bagi seorang wanita; melewati jalanan setapak yang masih penuh dengan bebatuan dengan trek yang naik turun, dan gue pun merasa kewalahan dalam menghadapi trek ini. Sesekali gue juga harus menuntun Aya yang kesulitan untuk melewati jalanan berbatu di depannya.
Setelah hampir dua jam lebih berjalan, Aya menjulurkan lengannya, menunjuk kepada sebuah jembatan yang berdiri kokoh di atas aliran air sungai yang mengalir dengan deras. Raut wajahnya yang capek kini tiba-tiba berubah dan menunjukkan sebuah ekspresi semangat.
"Tuh! Tuh! Liat Fal!"
"Iya itu jembatan, kenapa""
"Air terjunnya udah deket! Ayo cepetan kesana!"
"Eh lo ga cape emang""
"Engga." "Kita balap lari kesana, mau""
"Hmmm, nantangin gue lo"" Gue m menoleh kepadanya. "Oke siapa takut! Hitungan ke-3 ya..."
"Satuuu..." "TIGA!!!" Aya berteriak dan mulai berlari, mengabaikan cucuran peluh yang sudah membasahi bagian punggung dan wajahnya.
Hari ini, Aya memang sangat bersemangat sekali. Entah apa yang membuatnya bisa menjadi sesemangat ini.
Ah, biarlah. Lalu di bawah sang mentari yang sudah mulai meninggi, gue tersenyum dan berlari menyusul Aya yang sudah duluan berlari menuju air terjun di depan sana.
Part 63 Traktir (2) Malam ini hujan turun begitu deras disertai dengan suara petir yang menggelegar, suara ini sangatlah berisik dan membuat gue ga bisa tidur. Gue menyibak selimut, turun dari kasur dan berjalan ke ruang tengah, mencoba menunggu kantuk sambil bermain ps.
PS sudah menyala, stik sudah di tangan, hanya tinggal menunggu loading screen dan sebentar lagi gue akan larut di dalam dunia game perang Medal of Honor. Namun entah kenapa pada saat loading screen sudah selesai, gue merasa ga bersemangat lagi untuk bermain. Kemudian gue menyimpan stik di lantai lalu berbaring di atas sofa sambil melipat tangan di atas kening.
Sekarang gue merasa sepi. Dalam keadaan seperti ini, biasanya gue sedang saling berkirim pesan bersama Hanif hingga larut malam, dan sekarang gue merindukan momen-momen tersebut. Gue mengusap wajah, lalu pergi ke kamar untuk mengambil handphone.
Gue membuka screenlock dan berharap ada satu buah notifikasi apapun, entah itu sms atau missed call dari Hanif. Dan ya, handphone gue masih tetap sepi tanpa ada sesuatu yang meramaikannya. Lalu secara otomatis, jari-jemari gue membuka kolom inbox dan membaca sms-sms yang pernah dikirim oleh Hanif. Tanpa gue sadari, gue sudah kembali ke kebiasaan lama gue: membaca sms-sms dari Hanif sambil menunggunya untuk membalas sms dari gue. Gue memang terlihat bodoh jika terus-terusan menunggu Hanif untuk mengirim sebuah sms kepada gue dan seharusnya gue lah yang mengirim sms kepada Hanif duluan, iya kan"
Tapi.... Ya, as i said, gue belum siap. Dan bahkan sekarang pun gue belum siap untuk sekedar menyapanya.
Haha, Miris... Setelah puas meratapi nasib, gue teringat akan Aya. Dia lulus ga ya"
Ah, daripada gue terus berandai-andai, gue memutuskan untuk bertanya langsung kepadanya.
'Tib, gimana UN" Lo ga lulus kan"' Klik!
*** 'Aaaa gw lulus! Gw lulusssss!!!'
-'Yaelah tib, gue ngesms lo kapan terus dibales kapan' 'Kan kmrn sih blm dpt surat dr pos, jd gw gatau lulus ap ngga'
-'Selamat deh kalo lo lulus, traktir gue ya '
'Haha, gamauuuu ' Gue langsung melancarkan berbagai bujuk rayu dan hal muluk lainnya agar dia mau mentraktir gue. Dan hari ini, gue akan menagih janji kepada Aya yang akan mentraktir gue makan. ***
Aya menjemput gue, lagi. Hari ini dia mengenakan kemeja berwarna pink yang lengannya dilipat hingga ke sikut dan dibalut celana jeans biru terang. Saat dia melepaskan helmnya, Aya langsung memasang senyuman yangmanis sekali, senyuman yang dapat membuat teduh siapapun yang melihatnya.
"Yuk!" Seperti biasa dia memberikan kunci motornya kepada gue.
"Mau traktir gue kemana nih""
"Pizza!" Ujarnya bersemangat. "Gue lagi ingin nih..."
"Oke, cabut!" Gue langsung menarik gas dan pergi dari halaman rumah.
Setelah menempuh perjalanan yang cukup menguras tenaga karena macet, gue masuk ke sebuah mall dan memarkirkan motor di salah satu sudut basement yang sudah hampir terisi penuh. Di sepanjang perjalanan menuju lantai dasar, banyak sekali mobil yang ber plat B yang terparkir disini. Gue tiba-tiba nyeletuk kepada Aya yang sedang berjalan di samping gue.
"Ay, Ay..." "Hmmm"" "Lo liat tuh mobil-mobil disana." Gue menunjuk beberapa mobil yang terparkir.
"Kenapa"" Aya terlihat kebingungan.
"Kalo lagi ada long weekend, orang-orang pasti kan ingin pergi refreshing buat menghilangkan stress sama pekerjaan mereka."
"Terus-terus""
"Nah disini kan banyak banget mobil ber plat B, plat nomer Jakarta. Sekarang kebetulan lagi long weekend dan mereka semua lagi pada refreshing disini, jadi kesimpulannya orang-orang Jakarta tuh pada stress semua alias gila, iya ga""
"Pfft.." "HAHAHA!!!" Aya tertawa keras sekali, ia mencoba menahan tawanya dengan menutup mulutnya dengan sebelah tangannya.
"Iya bener-bener, berarti mereka semua gila!" Aya menyetujui omongan gue.
Sambil tetap tertawa, kami berdua berjalan bersisian menuju restoran pizza dan saling menambah dosa masing-masing dengan cara bergosip ria tentang orang-orang stress yang sedang berlibur di kota ini.
Part 64 Unexpected You 'Ajarin gue matpel ipa dong, gue banyak yang lemah nih terus bentar lagi gue UAS.' -'Gw jg sibuk bljr bwt tes masuk univ'
'Ayolaaaah, gue banyak yang ga ngerti nih. Ntar lo gue bayar atau traktir deeeeh!'
Saat sedang meminta Aya sebagai guru dadakan gue via sms, tiba-tiba ada yang menyenggol tangan kanan gue. Sontak gue mengangkat kepala dan menoleh ke kanan.
"Gila! Dikirain guru yang nyolek gue!" Gue berkata pelan namun dengan nada ketus sambil menyimpan handphone di kolong meja.
"Suru siapa main hp terus. SMS-an sama siapa sih" Pacar baru kamu"" Tanya Hanif datar.
"Bukan, gue ga punya pacar."
"Terus, itu siapa""
"Bukan siapa-siapa kok."
"Oh..." "Kenapa emang""
"Gapapa..." Gue menggigit bibir bawah, lalu kembali memperhatikan guru yang sedang mengajar di depan. ***
Bel istirahat berbunyi, gue langsung mengambil handphone di kolong meja dan memeriksa notifikasinya. Dan ternyata ada sebuah sms masuk dari Aya.
'Ywd, tp lo bayar gw y' Tanpa pikir panjang lagi gue langsung menyetujuinya. Gue memasukkan handphone ke saku celana lalu mengajak Ojan untuk pergi ke kantin. Sambil mengantri membeli makanan, gue mengajak Ojan untuk ikut les bersama gue.
"Jan, gue mau les privat. Mau ikut ga" Tapi lo bayar juga ya."
"Siapa gurunya"" Ujar Ojan sambil memilih jajanan.
"Aya." Gue menjawab enteng.
"Hah"" Dia menatap gue heran. "Si tatib brengsek itu""
"Iya." Gue mengangguk. "Kenapa""
"Hadeh..." Ujarnya sambil menggeleng lalu kembali memilih jajanan yang terpampang di depannya. "Ga tau deh, kapan emang mulainya""
"Belum tau, gue belum konfirmasi lagi."
"Bayarnya berapa""
"Ga tau juga." "Hhhh...." "Beli ini ya bu, dua." Dia memberikan uang kepada si ibu kantin. "Cari tempat duduk Fal."
Kami berdua kemudian duduk di salah satu tempat yang kosong. Ojan langsung membuka pembicaraan.
"Kok lo bisa sih ngejadiin dia sebagai guru lo"" Tanyanya sambil membuka bungkusan makanan.
"Gue minta sama dia."
"Bukan, maksud gue, kenapa lo bisa minta dia buat ngajarin elo" Elo sama dia kan..." Ojan memperagakan gerakan tangan yang saling beradu.
"Everything has changed." Jawab gue enteng.
"Semuanya udah berubah, dulu benci dan sekarang..." "...lo suka gitu sama si Aya""
"Engga laaah! Intinya gue sama dia sekarang bisa dibilang temenan."
"Aneh, beneran aneh..." Ujarnya sambil menggeleng.
"Dulu lo benci banget sama dia, tiap kali ngomongin dia tuh elo selalu sensitif. Tapi sekarang lo malah jadi temen sama dia, aneh..."
"Yaaa... Mau gimana lagi" Emang gitu kenyataannya."
"Terus kalo lo tiba-tiba suka sama dia gimana tuh""
"..." Gue mengangkat bahu.
"Kayaknya ga mungkin Jan, gue belum move on dari Hanif."
"Nih dengerin gue ya, witing tresno jalaran soko kulino." Ujarnya sambil memasang wajah serius.
"..." Gue mengernyitkan dahi. "Artinya""
"Ga tau." "Tapi intinya, lo bisa cinta sama dia gara-gara sering bareng." Ojan buru-buru menambahkan sebelum gue membuka mulut.
"Ga, gue ga percaya." Gue menggeleng.
"Yaudah terserah elo..." Ojan mulai merobek plastik makanan yang dibelinya.
"Jadi gimana" Lo mau ikut ga les bareng gue""
"Iya deh gue ikut, lumayan buat belajar."
"Nah, kan gue jadi ada temen."
Lalu kami berdua mengobrol obrolan ringan sambil menikmati makanan yang tersedia. ***
'Mau dateng ke rumah jam berapa"' -'Gw ud d jln, tgg bntr lg sampe'
Setelah gue mengkonfirmasi kehadiran Aya, kemudian gue mengetik sms kepada Ojan.
'Jan, jadi ikut les di rumah gue ga"
-'Ikut, tp gue telat ya soalnya mau jemput temen dulu bntr' 'Ok...'
Gue menyimpan handphone di atas meja belajar lalu mengambil dompet dan memakai jaket. Saat gue keluar kamar, tercium aroma masakan yang sangat menggugah selera. Gue langsung menghampiri bibi yang sedang memasak di dapur.
"Bi, saya keluar bentar ya."
"Iya cep, ini masakan langsung disimpen di atas meja atau disimpen di dapur""
"Di dapur aja dulu bi, nanti biar saya aja yang ambil."
"Oh iya cep, bibi langsung pulang ya..."
"Oke bi." Gue berjalan keluar rumah menuju sebuah minimarket yang terletak ga jauh dari depan komplek rumah. Sesampainya disana, gue langsung mengambil keranjang dan memasukkan beberapa snack ringan seperti ciki-cikian dan kripik, tentu ga lupa dengan minumannya. Setelah merasa cukup, gue langsung berjalan menuju kasir dan membayarnya.
Setelah gue membayar dan keluar dari minimarket, gue melihat motor Aya yang masuk ke dalam komplek rumah. Gue hendak berteriak memanggilnya, namun setelah dipikir-pikir lagi gue mengurungkan niatan tersebut lalu berjalan pulang.
Ga jauh dari gerbang komplek, gue melewati rumah Amel yang juga bisa disebut sebagai rumah Aya. Gue sempat berpikir, apa Aya memang benar-benar ga pernah pulang kesini" Tapi... Ah, pertanyaan itu terlalu bersifat pribadi. Dengan rasa penasaran yang masih setinggi langit, gue kembali melangkahkan kaki menuju rumah.
Dari kejauhan gue dapat melihat motor Aya yang terparkir di depan pagar dan si pemiliknya terlihat sedang mencoba memencet bel di sudut atas pagar.
"Ngapain" Mau maling rumah gue"" Gue sedikit berteriak dari jauh sambil tetap berjalan.
"..." Aya membalikkan badan dan memasang tampang kaget. "Kok lo bisa ada di luar" Kapan keluarnya""
"Gue keluar daritadi, nih abis beli ini." Gue mengangkat kresek yang dipegang. "Awas, gue bukain dulu pagernya. Motor lo masukin aja ke dalem."
Sreeek... Pintu pagar terbuka diiringi dengan suara mesin motor yang menyala. Aya langsung memasukkan motor dan memarkirkannya di sudut garasi sementara gue nyelonong masuk ke dalam rumah dan menyimpan camilan di ruang tamu. Beberapa saat kemudian, Aya masuk sambil membawa buku cetak tentang pelajaran yang akan dipelajari hari ini.
"Ngapain bawa buku" Gue juga ada bukunya di kamer." Gue menunjuk ke arah meja belajar di dalam kamar.
"Bawel ah! Udah ayo cepet belajar, dan jangan lupa bayaran buat gue." Ujarnya sambil memasang tampang serius.
"Gampang." Gue mengibaskan tangan di udara. "Eh, temen gue boleh ikut belajar ga"" "Siapa""
"Ojan, inget kan""
"Ojan... Fauzan""
"Yap." "Boleh, terus orangnya mana""
"Nyusul, masih di jalan kayaknya."
"Yaudah yuk belajar sekarang, keburu malem entar." Ujarnya sambil melirik jam yang dipakai di tangan kirinya.
Gue mengangkat jari telunjuk, memberi isyarat kepada Aya untuk menunggu sebentar. Gue masuk ke dalam kamar lalu mengambil buku-buku yang diperlukan lalu kembali ke ruang tamu. Aya sedang duduk di sofa sambil membolak-balik buku cetak yang dibawanya. Gue langsung duduk bersila di lantai di seberang Aya.
"Ayo, belajar sekarang."
*** Saat sedang mendengarkan teori yang dijelaskan oleh Aya, terdengar suara motor yang berhenti di depan rumah dan ga lama kemudian suara bel menggema di dalam rumah. Gue berteriak dari dalam untuk mempersilahkan Ojan masuk.
Gue menyimpan pensil lalu berdiri untuk menyambut Ojan. Saat gue keluar, gue langsung tertegun. Ternyata bukan hanya Ojan saja yang datang.
Tanpa pernah gue duga sebelumnya, dia datang membawa seorang teman.
Dan dia adalah Hanif... *** Spoiler: Desember 2014 Setelah turun dari lift, gue melangkahkan kaki dengan cepat lalu mengambil kunci mobil dan menekan tombol alarmnya.
Tin..tin... Suara alarm mobil terdengar sangat nyaring di dalam basement yang lumayan sepi ini. Gue membuka pintu kemudi dan menstarter mobil, dan ga lama kemudian gue sudah berada di atas jalanan kota Jakarta yang sangat menguras emosi jiwa.
Setelah menikmati 'keindahan' ibukota melalui kemacetan yang dimilikinya, gue mengarahkan mobil yang bermesin 4D56 berkapasitas 2.500cc DOHC Commonrail Turbocharged and Intercooled ini untuk belok dan masuk ke dalam tol dalam kota TB Simatupang, Jakarta Selatan. Sehabis mendapatkan kartu tol, gue langsung memacu kendaraan dengan kecepatan tinggi.
Ga butuh waktu lama bagi gue untuk sampai ke gerbang tol selanjutnya: Cikunir. Setelah melewatinya, gue kembali gas pol rem blong di sepanjang ruas jalan tol Cikampek sambil ditemani alunan musik jazz dari album The Dance-nya Dave Koz.
Dengan kecepatan seperti ini dan tanpa kendala lain di tengah perjalanan, mungkin hanya akan memakan waktu 2 hingga 3 jam saja untuk sampai kepada sebuah kota tujuan gue, sebuah kota yang memiliki berjuta kenangan di dalamnya, sebuah kota yang telah menjadi saksi pahit manis perjuangan gue hingga sekarang gue berada di titik seperti ini. Dan sekarang, gue akan kembali membuka kenangan-kenangan lama tersebut karena sebuah email yang tak terduga.
'Dulu gue pernah bilang sama lo, lo ga perlu nungguin gue lagi, 'kan" Finally, someone special has come to your life, right"' Gue menggumam dalam hati sambil tersenyum.
Ya, lo ga perlu lagi untuk menunggu gue.
And Bandung, here i go...
Part 65 The " "Enggg... Masuk, masuk..." Gue mempersilahkan Hanif masuk dan kemudian diikuti Ojan yang mengekor di belakangnya. Setelah Hanif melewati gue, gue langsung menahan Ojan dan memberi isyarat kepadanya untuk mengikuti gue keluar.
"Lo ngapain bawa dia kesini"!" Gue berkata pelan sambil menoyor kepalanya.
"Gue diinterogasi terus sama dia, gila men serem banget muka dia pas ngeinterogasi gue." Ujarnya sambil menggeleng.
"Terus, lo ceritain semuanya gitu ke dia"" Selidik gue.
"..." Ojan mengangguk, polos.
"Dia kesini ngapain" Ikut belajar juga""
"Ga tau..." Ujarnya pasrah sambil mengangkat bahu.
"Yaudah, sana masuk." Gue kembali mempersilahkan Ojan masuk duluan dan gue mengikuti di belakangnya.
Saat masuk ke dalam, gue melihat Aya sedang menatap gue dengan tatapan heran dan Hanif sedang duduk bersila di lantai sambil membolak-balik buku catatan gue yang sudah penuh oleh perhitungan matematika. Gue langsung bertanya kepadanya.
"Mau ikut belajar juga Nif""
"Engga kok, aku cuman mau main doang kesini." Hanif menoleh dan berbicara kepada gue sambil tersenyum.
"Oh..." "Jan, mau ikut belajar ga lo"!"
"Ikut-ikut!" Ujarnya sambil tergesa-gesa mengeluarkan buku dari dalam tas nya.
"Ay, lanjut lagi." Gue berkata kepada Aya dan dibalas oleh anggukan kepalanya. "Nif, kalo mau makan camilan tinggal ambil aja di kresek itu." Gue menunjuk ke arah camilan yang gue beli sebelumnya.
"Kalo mau nonton tv atau mau main ps, tinggal ke dalem aja." Ucap gue sambil kembali duduk di lantai.
"Ok." Balas Hanif sambil berpindah posisi duduk ke atas sofa.
Karena ada Ojan yang baru datang, Aya kembali menjelaskan secara ringkas tentang materi yang sebelumnya sudah disampaikan kepada gue. Aya sepertinya sangat kikuk sekali dalam menghadapi situasi seperti ini, dia langsung menjadi diam seribu bahasa. Berbeda dengan sebelum kedatangan mereka berdua. Kini Aya hanya berbicara pada saat sedang menjelaskan materi dan pada saat ditanya saja.
Entah apakah karena Aya yang mengulang materi atau karena melihat Hanif yang datang secara tiba-tiba, moodbelajar gue tiba-tiba menghilang tanpa sisa.
Gue mulai memperhatikan sekitar. Ojan terlihat serius saat memperhatikan Aya, kadang juga dia bertanya kepada Aya jika dia menemukan sebuah soal yang menurutnya sulit. Lalu gue melihat ke arah Hanif, dia sedang duduk sambil memeluk kedua kakinya di atas sofa, memperhatikan kami bertiga yang sedang berdiskusi.
"Nif, daripada bengong ngeliatin doang mending ikut belajar aja sini." Gue mencoba memecah momen yang super kaku ini.
"..." Dia menggeleng sambil tersenyum.
Gue ga membalas perkataannya dan langsung beranjak pergi ke dalam untuk mengambil air minum. Saat gue mengisi air minum pada dispenser, gue melamun.
Kenapa tiba-tiba Hanif datang kesini"
Kenapa dia datang kalo ga ikut belajar" Pasti 'kan Ojan udah ngasih tau kalo mau belajar bareng disini.
Tanpa gue sadari, ternyata gelas yang gue isi sudah hampir melebihi kapasitasnya. Buru-buru gue menutup tuas dispenser dan mengambil gelas lalu menyeruputnya sedikit untuk mengurangi volume air yang berlebih. Saat berbalik, tiba-tiba Hanif sudah berada di belakang gue dan kami berdua bertabrakan sehingga menyebabkan gelas yang gue bawa tersenggol dan jatuh, pecah.
PRAAANG!! "Maaf-maaf, aku ga sengaja Fal..." Ujarnya sambil mundur beberapa langkah, mencoba menghindari tumpahan air dan pecahan gelas. Belum sempat menjawabnya, gue mendengar suara Ojan yang berteriak dari depan.
"Kenapa"" "Gelas pecah!" Gue membalas dengan sedikit berteriak.
"Diem dulu disitu Nif, hati-hati sama pecahannya." Ujar gue sambil mengambil lap pel untuk mengeringkan lantai.
"Sini Fal, aku aja yang beresin."
"Udah, diem aja disitu." Gue berkata sambil berjongkok dan mengelap air.


Cowok Manja Merantau Karya Karnaufal di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Setelah merasa bahwa lantai sudah kering, gue mengambil sapu untuk membersihkan sisa-sisa pecahan gelas kecil. Hanif juga ternyata ikut-ikutan berjongkok dan mengambil sisa pecahan yang berukuran besar lalu berjinjit untuk membuangnya di tong sampah. Lantai sudah kembali bersih dan kering, gue mengambil gelas di lemari dan mengambil air minum lagi.
Saat sedang menunggu gelas penuh, tiba-tiba lampu di seisi rumah padam dan menyebabkan dapur menjadi gelap dan hanya disinari oleh cahaya sore yang masuk melalui ventilasi yang cahayanya semakin lama semakin meredup. Hanif yang berdiri di belakang gue langsung menerjang dan memeluk gue dari belakang. Gue yang belum siap dipeluk olehnya langsung terhuyung ke depan. Untungnya tangan gue dapat bertahan pada dinding sambil menopang beban badan gue dan badan Hanif.
"Faaal, mati lampuuu!" Teriak Aya dari depan.
"Iya gue tau!" "Nif, lepasin, gue ga enak, pengap..." Gue mencoba melepaskan tangan Hanif yang melingkar di perut. Semakin gue mencoba melepaskannya, semakin kuat juga lingkaran tangan Hanif di perut gue.
"Ga mau... Aku takut gelap..." Ujarnya sambil membenamkan kepalanya di punggung gue.
"Udah ah, ga akan ada apa-apa. Ga enak kalo diliatin mereka."
"Bawa hp ga"" Gue bertanya lalu dia menggerakkan kepalanya naik turun pada punggung gue. "Sini, gue jadiin senter dulu bentar."
Perlahan Hanif melepaskan tangannya dan mengambil handphone yang berada di saku celananya.
"Nih..." Ujarnya sambil memberikan handphonenya kepada gue. Saat gue membuka tombol kunci, gue melihat sebuah notifikasi sms yang berasal dari Diaz yang terpampang di layar. Tiba-tiba darah gue berdesir dengan kencang menuju kepala. Ingin rasanya gue membuka pesan masuk tersebut dan membaca isinya, namun buru-buru gue urungkan dan memencet tombol back. "Ada lilin ga Fal""
"What"" "Lilin." "Lilin" GAK!" Gue berkata dengan keras.
"Lho kenapa""
"Pokoknya ga pake lilin!" Ujar gue sambil pergi meninggalkan dapur.
"Tungguuu!" Hanif sedikit berlari dan menarik baju gue, kemudian dia berjalan di samping sambil tetap memegang ujung baju gue.
Saat sampai di ruang tamu, gue kembali ditanyai pertanyaan yang sama oleh Aya.
"Ada lilin""
"Ga ada, habis." Jawab gue dingin.
"Yaudah, gue beli dulu ke depan ya." Ujar Aya sambil beranjak dari tempat duduknya.
"Ga, ga. Gue aja yang beli." Gue mencegah Aya dan buru-buru keluar rumah.
Waktu kecil dulu, gue punya pengalaman yang bisa dibilang buruk dengan lilin. Masih jelas teringat pada saat itu sedang bulan puasa. Gue dan bokap bermain kembang api di pelataran rumah dan menggunakan media lilin sebagai penyulut kembang apinya. Gue berlari-lari di sekitar halaman rumah sambil memutar-mutar kembang api lalu kembali menemui nyokap yang sedang menyuapi gue makan.
'Udah ya main kembang apinya Kak, besok malem main lagi abis buka puasa.' Ujar bokap, lalu gue mengangguk sambil mengunyah.
'Tuh matiin lilinnya sana, ditiup aja.' Lanjutnya sambil menunjuk lilin yang tertancap di tanah. Gue berjongkok lalu meniup apinya.
Poof! Lilin pun mati dan menyisakan kepulan asapnya. Karena pada saat itu gue penasaran dengan aromanya, gue menghirup asap tersebut dan sialnya langsung membuat gue mual. Ga lama kemudian gue muntah, gue jackpot,mengeluarkan semua makanan yang baru saja masuk ke dalam perut. Semenjak kejadian itu, gue selalu antidengan yang namanya lilin.
"Ga ada lilinnya, habis." Gue berkata dingin setelah kembali ke rumah dan mereka membalasnya dengan tampang lesu.
"Lanjutin belajarnya entar lagi deh, percuma kalo gelap gini." Ujar Ojan sambil menyimpan tangannya di belakang kepala.
"Kalo gitu gue balik duluan ya Fal, gue harus belajar lagi buat tes univ nanti soalnya." Aya berbicara sambil membereskan barang-barang bawaannya.
"Belajar lagi kapan""
"Entar gue kabarin Ay."
"Ok." Kemudian Aya pamit kepada Ojan dan Hanif lalu keluar rumah. Gue mengikutinya hingga ke depan gerbang dan membantunya mengeluarkan motor dari garasi.
"Ay..." Gue memanggil Aya yang sedang memakai helm.
"Hmmm..." Klik, Aya mengunci helmnya lalu menoleh kepada gue.
"Lo..." Perkataan gue terhenti.
"Lo beneran ga pernah pulang lagi ke rumah lo""
Setelah gue berkata seperti itu, raut wajahnya tiba-tiba berubah. Dengan jelas gue dapat melihat perubahan raut wajahnya walaupun hanya diterpa oleh cahaya sore yang semakin membiru, menandakan datangnya sang malam.
Aya membalas pertanyaan gue dengan memberikan sebuah senyuman yang dipaksakan. Kemudian dia menutup kaca helmnya lalu pergi meninggalkan gue yang masih mematung di depan pagar.
Apa gue salah nanya"
Part 66 It Was The First Setelah gue bertanya seperti itu kepada Aya, muncul perasaan bersalah yang mengganjal di dalam hati. Seharusnya gue ga perlu bertanya hal yang seperti itu. Memang gue masih penasaran kenapa Aya masih ga pulang ke rumahnya selama itu, tapi mungkin Aya juga ingin menyimpan rahasia itu rapat-rapat dan ga mau hal tersebut diketahui oleh siapapun selain dirinya. I am so sorry, Aya...
*** "Fal, kapan belajar lagi di rumah lo"" Ojan bertanya.
"Belom tau, gue belom nanya ke Aya lagi Jan." Gue berkata sambil tetap terfokus pada buku yang sedang dibaca.
"Kabarin gue lagi ya nanti." Gue mengangguk dan Ojan kembali menghadap ke mejanya.
Sebenarnya gue sudah memiliki janji untuk belajar dengan Aya, namun gue memang sengaja ga memberi tahu kepada Ojan karena gue ingin belajar berdua dengan Aya sekaligus meminta maaf kepadanya soal pertanyaan gue tempo hari.
*** Hari yang dijanjikan pun datang, hari ini Aya datang lagi ke rumah. Setelah membukakan pagar, Aya masuk dan memarkirkan motornya di sudut garasi.
"Selamat datang bu guruuu..." Gue berkata kepada Aya yang sedang melepas helmnya sambil menjulurkan tangan.
"Mau ngapain" Minta duit"" Aya heran.
"Mau salim sama ibu guru." Ujar gue sambil cengengesan.
"Salim, salim... Nih bawain ini!" Dia memberikan tas yang dibawanya kepada gue, dan tas ini ternyata berat banget!
"Gila! Lo bawa apa aja ini"!"
"Buku-buku yang harus dibawa." Ujarnya sambil melengos ke dalam. Gue yang penasaran pun langsung membuka resleting tasnya.
"Sebanyak ini"!" Gue terbelalak. Buku pelajarannya cuman 2, namun sisanya merupakan majalah fashion dan majalah tentang cewek lainnya. Gue langsung masuk ke dalam, ternyata Aya sudah berada di ruang tengah.
"Ngapain bawa-bawa majalah ginian"!" Gue berkata sambil mengangkat salah satu majalah yang dibawanya.
"Gue sengaja bawa itu biar nanti kalo mantan tersayang lo dateng kesini lagi, gue ga harus jadi obat nyamuk!" Ujarnya sambil memberi penekanan pada kata 'mantan' yang diucapkannya dan kemudian dia bersandar di sofa. Rupanya Aya ga tau kalo ternyata ga akan ada orang lain lagi yang bakal dateng kesini.
"Mau belajar sekarang ga"" Gue berkata sambil berjongkok dan mengeluarkan buku pelajaran yang dibawa oleh Aya.
"Bentar-bentar, punggung gue pegel."
"Pijetin dong..." Ujarnya sambil menggigit bibir bawahnya dengan manja.
Deg! Gue yakin, setiap orang yang sekarang sedang menatap wajah Aya pasti akan takluk dibuatnya. Sesaat gue memandangi wajah Aya. Setelah diperhatikan lebih seksama, wajah Aya dengan Amel memang mirip, banget. Aya hampir memiliki kecantikan seperti Amel. Andai saja Aya juga memakai kacamata, pasti gue sudah jatuh hati kepadanya.
"Woi! Lo kenapa" Terpesona sama gue"" Aya membuyarkan lamunan. Gue hanya bisa menggarukgaruk kepala karena gue ga bisa menjawabnya...
"Pijetin gue dulu sini baru mulai belajar." Pintanya lalu kemudian dia merubah posisi duduk dan memindahkan rambut panjangnya ke depan. Dengan kikuk, gue menjatuhkan badan dan duduk didekatnya.
"Cepeet!" "Iya-iya bawel!"
Perlahan kedua tangan gue mulai mendarat di punggung Aya lalu gue memijat dengan perlahan.
"Ga ada tenaganya banget sih!" Protesnya.
"Iya bawel!" Ujar gue sambil memberikan tenaga lebih.
"Awww, sakiiit! Jangan keras-keras!"
"Tuh kan gue kasih tenaga dikit lo langsung sakit, gimana sih ah." Gue menepuk pelan punggungnya.
"Jangan dipukuuul."
"Iya-iya..." Gue kemudian memposisikan badan lebih dekat dengan Aya agar lebih mudah untuk memijatnya. Sekarang posisi gue dengan Aya hanya berjarak beberapa cm. Udara yang gue hisap pun tercampur antara oksigen dan harum dari rambut Aya. Gue mulai merasa ga nyaman dengan keadaan seperti ini, gue ingin cepat-cepat mengakhiri momen awkward ini namun gue bingung bagaimana caranya.
"Ay..." Gue memanggil pelan, Aya tidak menoleh. Gue mendekatkan bibir pada telinga agar Aya bisa mendengar gue.
"Aya..." Kepala Aya menoleh, kini jarak antar kepala gue dengan kepalanya hanya sekitar 15cm saja.
Gue berhenti memijat punggungnya, kini kami berdua saling memandang satu sama lain dalam diam.
Aya merubah posisi duduknya menghadap gue sambil tetap memandang kedua mata gue dalamdalam.
Jantung gue berdegup lebih cepat.
Jemari tangannya memasuki sela-sela jari gue. Matanya terpejam,
Kepalanya mendekat. Aroma rambut Aya mulai menyesakki kedua lubang hidung gue.
Tanpa kuasa, Kepala gue juga ikut mendekat.
Gue memejamkan mata dengan perlahan.
Lalu bibir kami berdua saling bersentuhan dengan lembut.
Tidak lama, hanya beberapa detik saja.
Namun beberapa detik itu ga akan pernah gue lupakan seumur hidup.
So, ya! It was my first... Part 67 Kita Sama! Perlahan kami berdua menjauhkan kepala masing-masing. Sekilas gue melihat bahwa muka Aya memerah kemudian dia memalingkan wajah ke arah lain lalu menunduk sambil menggigit bibir bawahnya , kemudian rambut panjangnya jatuh menjuntai ke samping hingga menutupi pandangan gue terhadap wajahnya.
Gue memindahkan posisi duduk sedikit menjauhi Aya dengan kikuk.
Apa yang gue rasakan sekarang"
Aneh, itulah yang gue rasakan sekarang. Gue... Apa ya" Ugh, i can't explain it into words. Pokoknya semua campur aduk jadi satu!
"Gue... Ngg... Gue... Ke kamer bentar." Gue memecah keheningan dan berbicara dengan tergagap sambil menunjuk ke arah kamar. Aya menoleh namun gue buru-buru bangkit dari kursi dan melangkah dengan cepat sebelum Aya sempat membalas ucapan gue.
Gue masuk ke dalam kamar lalu berbelok ke kamar mandi, menutup kemudian mengunci pintunya dan langsung berdiri di depan cermin.
Gue sendiri bingung dengan perasaan gue sekarang. Saat gue mencium dia barusan, itu sama sekali puresebuah ciuman tanpa adanya nafsu atau perasaan. It was just a kiss, nothing more than that.
Tapi... Ya, I cannot describe my feelings right now...
Jari telunjuk gue bergerak ke arah bibir dan memegangnya, lalu gue senyam-senyum sendiri.
'Am i dreaming"' Gumam gue dalam hati lalu menepuk kedua belah pipi dengan telapak tangan berulang kali. Dan ternyata sakitnya terasa.
'Haha, gue ga mimpi. It was kinda surreal for me and i couldn't believe it!'
Gue memegang ujung wastafel lalu membuka tuas kran. Lagi-lagi hal tersebut terlintas di dalam otak dan gue senyam-senyum sendiri sambil membayangkannya. Jujur, gue masih dapat merasakan sentuhan dari bibirnya pada bibir gue. Her lips was so real!
Gue menadahkan tangan di bawah air yang mengucur lalu membasuhnya pada wajah kemudian kembali menghadap cermin. Entah kenapa senyuman di bibir gue tetap merekah, sepertinya tubuh gue sedang memproduksi endorphin dengan kadar yang tinggi.
Setelah mengelap wajah dengan handuk, gue membuka kunci kamar mandi dan kembali menemui Aya sambil memasang wajah yang terlihat se-normal mungkin.
"Ay..." "Sorry..." Aya langsung berkata to the point.
"Hmm"" "Yang tadi..." Aya masih tertunduk, gue ga bisa melihat ekspresi wajahnya karena tertutup oleh rambut panjangnya. Gue mendekat lalu mengelus pelan kepalanya.
"Gue yakin sebenarnya lo ga niat kayak gitu. Cuman gara-gara situasi aja yang ngebuat kita jadi ngelakuin hal yang barusan. Gue minta maaf juga ya Ay." Gue berkata sambil tersenyum kemudian Aya menengadah, ternyata wajahnya masih memerah.
"Ngomong-ngomong..." Omongan gue terhenti.
"Itu... Yang pertama buat gue..." Gue berkata pelan sambil memalingkan wajah, malu.
"Sss..." "Sa..ma..." "Eh"" Gue menatapnya, muka Aya kini terlihat lebih merah dari sebelumnya
Aya juga menatap gue. Kami berdua bertatapan beberapa saat.
Gue memasang ekspresi menahan tawa.
Aya juga menahan ekspresi yang menahan tawa.
Beberapa saat kemudian, tawa kami berdua meledak sejadi-jadinya.
"HAHAHAHA!!!" Aya tertawa terbahak-bahak hingga memegangi perutnya.
"Udah ah udah, sekarang belajar dulu. Ngomongin tentang 'itu' nya dilanjut lagi nanti ya hahaha." Gue juga tertawa sambil duduk bersila di lantai.
"Eh Ay..." "Ya"" Aya kemudian turun dari sofa dan duduk di sebelah gue.
"Mmmm... Mau lagi ga"" Gue berkata sambil cengengesan.
"Mau apaan""
"Ngg... Itu..."
"Yang ini loh Ay..." Gue mengatupkan kedua belah telapak tangan lalu mendekatkan keduanya hingga saling beradu.
"HAHAHA, ENGGAK!!!"
"Sekali aja udah cukup ya!" Aya memeletkan lidahnya kepada gue.
Lalu kami berdua belajar sambil diselingi dengan candaan mengenai hal yang baru saja terjadi, dan ga jarang juga gue mendapat pukulan manja dari Aya yang memukul sambil tersipu malu dan kedua belah pipinya merah merona.
I was so No. We were so happy on that day!
Part 68 Kamu Tiga minggu berlalu semenjak 'kejadian' di hari itu, dan sekarang gue baru saja selesai mengerjakan soal terakhir dari mata pelajaran yang diujikan di penghujung ujian akhir semester dua. Dengan kantung mata setebal milik pak presiden, gue menahan kantuk yang sedari tadi menyerang karena selama periode uas kali ini gue belajar mati-matian dan akibatnya waktu sleep well gue di malam hari terpotong sangat drastis.
Bel yang ditunggu-tunggu pun berbunyi, gue merapikan alat tulis dan memasukannya ke dalam tas lalu pergi menuju meja guru untuk mengumpulkan lembar jawaban yang sudah terisi penuh. Setelah keluar kelas, gue mendengar selentingan-selentingan tentang anak kelas yang berencana mengadakan acara piknik selepas pembagian raport. Gue ga terlalu menghiraukan hal itu, gue hanya berbasa-basi sebentar dengan rekan seperjuangan yang baru saja keluar dari kelas lalu buruburu menuruni tangga dan berbelok menuju gerbang sekolah. Karena hari ini jadwal gue memang kosong dan kebetulan lagi ngantuk berat, gue langsung menaiki angkot dan pulang ke rumah. ***
Gue berjalan dengan cepat menyusuri komplek rumah dibawah terik matahari yang begitu menyengat sambil sesekali menyeka keringat yang meluncur di wajah menggunakan ujung lengan jaket.
Saat berbelok di persimpangan, dari kejauhan gue dapat melihat seseorang yang berteduh di bawah pohon yang ga jauh dari rumah gue. Dari motor yang terparkir di depannya, gue tau siapa orang tersebut.
Ya, Siapa lagi kalo bukan Aya.
Gue hanya bisa mendengus sambil tetap berjalan. Selang beberapa meter berjalan, Aya menyadari kehadiran gue dan dia langsung berjalan dengan cepat menghampiri gue lalu kemudian marahmarah ga jelas.
"Elo kemana aja sih gue sms-in sama telfonin ga diangkat-angkat!" Ujarnya sambil bersungut-sungut dan menoyor kepala gue.
"SMS" Telfon" Bentar..." Gue mengkerutkan kening lalu mengambil handphone yang berada di dalam tas.
"Hehe sorry, lagi gue silent terus ga gue cek sampe sekarang." Gue cengengesan sambil memegang handphone.
"Udah yuk anterin gue sekarang!"
"Lah"" Gue berdiri di depan pagar sambil memegang kuncinya lalu menengok pada Aya. "Kemana""
"Gue mau nyari baju buat perpisahan nanti."
"Ngapain ngajakin gue" Kan banyak temen-temen lo yang lain, terus Amel kemana"" Gue nyerocos sambil membuka pintu pagar.
"Temen gue yang lain pada punya acara sendiri, Amel lagi pacaran, udah buruan sana ganti baju!" Aya mendorong tas gue dari belakang.
"Eeeeh, enggak-enggak! Gue males, mau tidur! Lo ga liat apa mata gue kayak gimana sekarang"" Gue menunjuk kedua bola mata menggunakan jari telunjuk dan jari tengah.
"Ah gue traktir ngopi deh!" Bujuknya. Setelah Aya berkata seperti itu, rasa kantuk gue pun perlahan hilang.
"Oke deal." Ujar gue bersemangat sambil mengacungkan jempol lalu berjalan ke dalam.
"Giliran ditraktir aja baru mau, dasar..."
"Ay..." Gue berhenti lalu berbalik dan melihat kepada Aya.
"Apalagi"!"
"Buset, ketus banget lo!"
"Iya, apa""
"Ngg..." "Ini"" Gue memperagakan gerakan kedua belah telapak tangan yang saling mengatup lalu mengadu keduanya sambil cengengesan.
"GAK! CEPET!" *** Gue sekarang duduk di atas kursi bundar yang super empuk sambil memperhatikan Aya di ujung lorong sana yang sedang memilih-milih baju kebaya untuk acara perpisahannya nanti. Entah sudah berapa lama gue duduk sambil menahan rasa kantuk yang menyerang, gue memutuskan untuk berdiri dan menghampirinya.
"A..." Belum sempat gue memanggilnya, Aya sudah berkata terlebih dahulu.
"Ini bagus ga"" Ujarnya sambil tetap memandang lekat-lekat kebaya yang ia pegang tanpa menoleh kepada gue. Sepertinya dia tau siapa yang berada di belakangnya.
"Iya, bhuaaaahgus kok." Gue berbicara sambil menguap.
"Kalo yang ini""
"Iya bagus juga." Gue mulai merem melek, ga memperhatikan Aya.
"Yang ini""
"Kurang bagus, bagusan yang tadi..."
"Ish! Gue kan nunjukkin kebaya yang pertama! Gimana sih!"
"Ya elo lama banget milih ginian doang!"
"Barang tuh harus diliat dulu ada cacat atau engga, kalo udah beli terus taunya ada cacat gimana coba""
"Iya deh terserah..." Gue mengibaskan tangan lalu kembali menuju kursi bundar yang sialnya ternyata sudah terisi oleh orang lain. Lalu gue mendengus kesal dan berbalik menemui Aya. "Masih lama ga""
"Gue bingung milih yang mana..."
"Yang ini warnanya bagus, merah marun, terus gue punya high heels yang cocok sama kebaya ini, terus kalo yang satunya lagi juga bagus warnanya biru laut, gue suka warnanya Fal. Menurut lo gue harus pilih yang mana""
"Hmmm...." Gue berpikir.
"Yang merah marun." Gue memutuskan untuk memilih yang merah marun karena kalo dia memilih warna biru laut, pasti gue bakalan berabe karena dia gak bilang kalo dia punya high heels yang cocok dengan yang itu.
"Beneran"" Aya bertanya lalu gue mengangguk.
"Yaudah deh, bentar ya gue fitting dulu." Dia tersenyum lalu meninggalkan gue.
Gue hanya bisa mengelus dada sambil menggeleng.
Kalo aja gue ga terikat sebuah perjanjian 'ngopi' dengannya, Pasti gue udah tinggalan anak ini disini, sekarang juga...
Akhirnya Aya selesai berurusan dengan yang namanya fitting baju. Dia langsung menuju kasir dan membayarnya lalu menghampiri gue yang menunggu di luar toko sambil bersandar pada dinding kaca.
"Yuk." Aya tersenyum puas setelah hasil buruannya sudah berada di dalam genggaman tangannya.
"Ayolah ngopi cepet, gue butuh kafein sekarang juga!" Gue langsung melengos.
"Haha iya-iyaaa..." Aya sedikit tertawa lalu menyusul dan berjalan di samping gue menuju sebuah cafe.
Efek dari secangkir espresso yang gue minum ternyata masih kurang untuk menjaga mata gue tetap terbuka lebar. Padahal gue sudah memilih sebuah kopi yang kadar kafeinnya lumayan tinggi, berarti rasa kantuk gue memang benar-benar sudah melebihi kadar kafein pada kopi tersebut. Mungkin karena melihat mata gue yang sudah merem-melek, Aya pun mengajak gue pulang.
'Daripada ketiduran disini, nanti gue sudah nyeret lo baliknya.' Itu kata Aya dan kemudian gue balas dengan lemparan dari struk yang sudah gue remas-remas.
*** Adzan maghrib berkumandang seiring dengan datangnya gue pelataran di rumah. Gue memarkirkan motor di depan gerbang lalu turun dan merogoh-rogoh saku celana untuk mencari kunci gembok.
"Fal..." "Hmm"" Gue ga menoleh, masih mencoba membuka gembok di pagar.
"Fal..." "Ya"" Gue menoleh.
CUP Tiba-tiba Aya mencium pipi gue.
Perlakuannya yang secara tiba-tiba seperti itu membuat gue menjadi diam tak berkutik, gue hanya bisa memandangnya sambil sedikit menyunggingkan sebuah senyuman. Dia pun memberikan senyumannya kepada gue.
"Makasih ya kamu udah nganterin." Lanjutnya, lalu dia menaiki motornya dan pergi menjauhi rumah.
Bukan, bukan ciumannya yang membuat gue kaget. Kata 'kamu' yang diucapkan oleh Aya yang membuat gue kaget...
Prelude Spoiler: Prelude Sorry for wasting your precious time, gue tiba-tiba kepikiran buat nulis ini dan akhirnya jemari gue berdansa dengan manis di atas keyboard. Nanti di part berikutnya gue bakal lanjut lagi ke jalan cerita yang aslinya. Kalo ga mau baca juga gapapa kok, ini cuman selingan doang *****
Tangan dari seorang gadis yang duduk di sebelah gue perlahan-lahan memasuki sela-sela jemari tangan gue dan menyimpannya di atas paha gue sementara tangan yang lainnya memegang dompet dan handphonenya. Gue menoleh kepadanya lalu tersenyum dan memandangi sebuah anugerah yang telah Tuhan berikan.
Hari ini dia begitu cantik sekali dengan menggunakan kebaya berwarna merah marun dan dilapisi kain batik yang berwarna senada di bagian bawahnya, wajahnya diberi balutan make up tipis serta rambut merah kecokelatannya yang dicepol menambah kesan anggun yang melekat pada dirinya. Dia masih terlihat cantik, sama seperti saat gue melihatnya berpenampilan seperti ini untuk pertama kalinya di depan gue, dulu sekali.
Dia membalas senyuman gue seraya mempererat genggamannya, lalu kami berdua kembali melihat kedepan dan memperhatikan aura kebahagiaan yang dipancarkan oleh kedua mempelai pengantin yang sedang menyalami satu persatu tamu undangan yang hadir.
*** Karena acara resepsi yang memang sengaja dilaksanakan pada malam hari, kami berdua baru pulang setelah jam menunjukkan pukul 10 malam. Gue keluar dari hall sebuah hotel dan berjalan menuju basement sambil menggenggam erat tangan dari seorang gadis yang kini menjadi pa... ehm, calon istri gue.
Setelah memasuki mobil, dia membuka dashboard dan mengambil sebuah CD lalu kemudian terdengar lagu yang sangat gue kenali sekali. Gue menoleh kepadanya.
'You Make Me Smile'" Gue bertanya. Dia mengangguk.
'Like the old times. Pengen deh aku kembali ke masa itu.' Dia menjawab sambil tersenyum manis, spontan gue langsung memegang tangannya.
Mungkin karena lagu ini bisa dibilang cukup easy listening dan kalem di telinga serta suasana yang
semakin larut malam, dia langsung meminta izin kepada gue untuk tidur duluan, gue membalasnya dengan mengangguk sambil mengelus lembut sebelah pipinya.
Di tengah perjalanan pulang tiba-tiba hujan mengguyur dengan deras. Gue menepikan mobil sambil menyalakan rambu hazard lalu menoleh ke arah bangku penumpang.
Dia tertidur dengan pulas sambil memperlihatkan kedamaian yang tersirat pada wajahnya. Dan entah kenapa, gue juga ikut tersenyum saat melihatnya, melihat seorang wanita yang sudah membimbing gue dengan halus, seorang wanita yang sudah menuntun dan menyemangati gue hingga sekarang gue berada di titik seperti ini, seorang wanita yang mengarahkan gue dengan kelembutan hatinya, seorang wanita yang berhasil membuat rasa jatuh cinta gue terhadap dirinya semakin lama semakin bertambah seiring dengan berjalannya waktu.
Ga dapat gue pungkiri lagi, gue sangat mencintai wanita ini.
Gue memegang telapak tangannya.
Dingin. Gue langsung mematikan AC mobil dan berbalik ke jok belakang untuk mengambil selimut yang sengaja gue bawa dari rumah dan menyelimutinya. Gue memandangi lagi wajahnya, lalu gue mendekatkan kepala dan mengecup lembut keningnya untuk mengungkapkan betapa besar rasa sayang dan cintanya gue terhadap dirinya.
Setelah gue mengecup keningnya, gue melihat ada sebuah senyuman yang merekah pada bibirnya. Saat melihatnya pun tak henti-hentinya gue mensyukuri anugerah Tuhan yang telah memberikan seorang wanita sesempurna dia untuk gue.
Gue kembali memegang kemudi dan mematikan rambu hazard lalu memasukkan perseneling, melanjutkan perjalanan pulang dibawah derasnya guyuran hujan pada malam itu.
Part 69 Words Under The Rain Pagi itu gue sedang duduk di atas kursi plastik di depan sebuah layar monitor tabung sambil memegangi pensil dan secarik kertas yang sudah gue persiapkan. Gue berniat untuk mencatat chord gitar Depapepe Start yang pada saat itu sedang booming di sekolah. Proses catat mencatat ini tidaklah memakan waktu yang lama, kemudian gue memutuskan untuk membuka salah satu situs pemutar video yang cukup terkenal untuk mencaricover gitarnya.
Dan bisa ditebak bahwa video yang berdurasi hampir 6 menit itu gue tonton dengan waktu yang hampirsetengah jam lamanya. Koneksi internet di warnet ini memang sangat busuk sekali. Yaaa, tapi gapapalah, itung-itung buat melatih kesabaran.
Setelah melihat beberapa kunci gantung yang digunakan oleh si pemain, gue mulai melongo kemudian membuka ruas-ruas jari tangan kiri dan memperagakan kunci tersebut. Dengan jari-jari yang pendek seperti ini, apa gue bisa memainkannya" Entahlah...
Dengan bermodalkan ingatan yang pas-pasan serta catatan yang sudah dibuat, gue membayar harga sewa komputer kepada operator lalu berlari pulang. Gue udah ga sabar untuk mencobanya di rumah.
Gue mulai men-stem gitar dan melakukan pemanasan jari sebentar lalu mulai mencoba memainkan intro dari lagu tersebut. Ternyata ga segampang dengan apa yang sudah gue lihat sebelumnya, serius deh. Kadang-kadang juga gue membanting capo gitar gue di atas tempat tidur karena kesal.
"Susah banget sih..." Gue mengeluh sambil mengurut-urut ujung jari yang mulai sakit lalu kemudian tetap mencobanya lagi.
*** Dua hari pertama di liburan semester ini gue habiskan dengan 'bercinta' dengan gitar di dalam kamar sambil mengulik lagu milik Depapepe tersebut dan dalam dua hari ini pula gue sudah mengalami peningkatan. Setidaknya, gue sudah bisa bermain hingga ke tahap chorus dari lagu tersebut walaupun gue masih terbata-bata dalam memainkannya.
Gema Di Ufuk Timur 6 Pendekar Rajawali Sakti 119 Kemelut Cinta Berdarah Ratu Mesum Bukit Kemukus 2
^