Pencarian

Cowok Manja Merantau 4

Cowok Manja Merantau Karya Karnaufal Bagian 4


Angin malam ini berhembus dengan kencang, masuk melalui ventilasi udara di dalam kamar yang membuat gue terbangun dan bergidik kedinginan. Gue melipat badan lalu menarik selimut hingga ke bawah dagu, mencoba menghalau dingin yang menyapa di malam hari ini. ***
Gue terbangun saat samar-samar terdengar suara spatula dan wajan saling beradu antara satu dengan yang lainnya. Gue bangun dan duduk bersandar di atas kasur sambil mengerjap-kerjapkan mata, mencoba meraih kesadaran.
Gue mengambil handphone yang tergeletak di samping bantal, membuka screenlock-nya lalu mendapati ada dua buah sms yang belum terbaca. Belum sempat gue membaca sms-sms tersebut, tiba-tiba layar handphone menjadi putih lalu muncul animasi dua buah tangan saling bersalaman, dan handphone pun mati. Meninggalkan gue dengan rasa penasaran akan siapa pengirim sms tersebut.
Low batt... Batin gue dalam hati. Semenjak pulang dari toko buku kemarin, gue lupa mengisi ulang daya baterai handphone ini dan untungnya hari ini hari Minggu, jadi gue ga perlu terburu-buru untuk mengecas handphone atau mulai beraktivitas.
Gue turun dari kasur dan mengambil charger, memasangkannya kepada handphone lalu mencolokkannya pada terminal yang menempel di samping meja belajar. Lalu kaki ini melangkah menuju toilet untuk mengambil air wudhu.
Setelah shalat, gue keluar kamar dan mendapati bibi sedang menyimpan sepiring nasi goreng di atas meja makan.
"Udah dari jam berapa, Bi"" Gue menyapa dan membuka pembicaraan kepada bibi.
"Dari jam lima tadi cep." Balas bibi dan gue menanggapinya dengan ber-'oooh' ria sambil mengangguk.
*** Setelah selesai menyantap sarapan, gue masuk ke dalam kamar, mengambil handphone yang sedang dichargedan buru-buru menyalakannya.
Beberapa saat setelah handphone menyala, muncul sebuah ikon yang berbentuk sms di bagian atas layar. Gue langsung membuka tab sms di dalam menu dan menuju pada kolom inbox. Terlihat ada dua buah sms yang belum terbaca, yang satu berasal dari sang pujaan hati gue, Hanif, dan yang satunya lagi berasal dari...... Aya.
Entah kenapa, gue lebih penasaran dengan sms yang dikirim oleh Aya. Gue mengabaikan sms dari Hanif lalu membuka sms dari Aya.
'Maaf ini dari siapa" Terima kasih untuk apa"'
Gue menggaruk-garuk kepala yang tidak terasa gatal. Gue lupa bahwa semalam gue hanya mengirim ucapan terima kasih tanpa menyertakan nama gue.
'Ini Naufal, kak...' Klik!
SMS terkirim. Ga lama kemudian, Aya kembali membalas sms dari gue.
'Haha terima kasih buat apaan"'
--'Kan kakak kemarin udah nolongin saya hehehe...'
'Ohaha ya2 sama2, kebetulan doang gue kemarin lewat situ jadi bisa nolong'
Gue masih menatap ke arah layar handphone, bingung mau ngebales apaan untuk Aya. Lalu tibatiba terbersit sebuah ide untuk membalas perbuatan Aya yang menurut gue setimpal
--'Sebagai ucapan terima kasih, saya boleh traktir kakak makan"' 'Haha gausah2, gue ikhlas nolongnya'
--'Enggak, enggak. Saya memaksa kakak hehehe.'
'Yaudah kalo gitu, nanti dikabarin lagi ya sekalian nyari hari kosong.' --'Okee...'
Gue langsung menyimpan handphone di sudut kasur lalu tidur dengan posisi tengkurap sambil memeluk bantal.
Kok gue mau ya ntraktir Aya" Argh!
Gue menggaruk-garuk kepala, lalu turun dari kasur dan berjalan ke ruang tengah untuk bermain ps. ***
"Jan, gue mau ntraktir si Aya. Menurut lo gimana"" Gue bertanya kepada Ojan yang sedang duduk di seberang meja, melahap makanannya yang sudah ia beli.
"Nwaktiw awaan"" Ojan berbicara dengan mulut yang masih penuh dengan makanan.
"Ya gue ga tau, makanya sekarang gue nanya ke elo Jan."
Ojan kemudian menelan semua makanannya lalu berbicara.
"Ntraktir dia buat apaan""
Gue mengambil minuman teh dalam kemasan lalu menyedot isinya dengan pelan. Sambil menggigit-gigit sedotan, gue berbicara kepada Ojan.
"Ucapan terimakasih, kemarin dia udah nolongin gue."
"Hmm, yaudah terserah lo aja. Bagi dong minumannya, nyangkut nih!" Ojan berkata sambil sedikit mengernyitkan dahinya, lalu gue memberikan minuman gue kepada Ojan dan dengan secara goblok dia menyedotnya dalam-dalam.
"Gantiin lo minuman gue! Maen abisin aja lo!" Gue melempar Ojan dengan botol air mineral kosong dan dia membalasnya dengan cengengesan.
Lalu kami berdua melanjutkan obrolan sambil makan siang di kantin. ***
Sekembalinya ke kelas, gue langsung duduk dan merebahkan kepala di atas tas dengan hati-hati, takut-takut luka di muka gue bakal kerasa lagi sakitnya. Gue menghadapkan kepala gue ke sebelah kiri, memposisikan kepala yang terluka di bagian atas.
"Faaalll..." Hanif memanggil gue, namun gue gak menghiraukannya dan pura-pura tidur.
"Faleeee..." Kini Hanif sedikit menarik-narik telinga sebelah kiri gue, namun gue masih tetap dalam pendirian: pura-pura tidur.
"Oooh pura-pura tidur ya" Itu kayaknya perban enak deh buat dipukul pake kotak pensil aku Fal." Deg!
Gue buru-buru bangun dan tersenyum manis kepada Hanif.
"Eh Hanif manggil ya" Ada apa Niiif"" Ucap gue dengan nada lembut yang dibuat-buat sambil tersenyum.
"Tuh kaan pura-pura tiduuur, untung aku masih baik ga jadi mukul kamu Fal. Coba kalo aku jahat, pasti deh udah aku pukul."
"Jahat amat kalo beneran mukul mah."
"Biarin! Lagian kamu tadi dipanggil-panggil ga nyaut terus!"
"Hehehe, ngantuk soalnya."
"Itu perban kapan dibukanya""
"Kayaknya sih minggu depan, eh aku keluar dari rumah sakit udah berapa lama sih""
Hanif kemudian mengangkat jari-jarinya dan mulai menghitung. Satu persatu jarinya terlipat dan menyisakan empat jarinya.
"Enam hari kemarin kamu baru selesai masa skors, kayaknya sih 10 hari lebih deh. Aku lupa berapa pastinya. Kenapa""
"Yaudah nanti lusa kamu anterin aku ke rumah sakit ya, nanti perbannya mau dibuka. Nah terus kalo misalkan udah rapet luka sobeknya, jahitannya diambil. Kalo misalkan belum, berarti ganti perban baru. Gituuu."
"Iiih, bakal sakit ga entar pas jahitannya diambil"" Selidik Hanif sambil sedikit mengernyitkan dahinya.
"Hmmm, gatau... Eh Nif, aku boleh ntraktir kak Aya""
"Hah" Ntraktir kak Aya" Kenapa""
"Hooh, sebagai ucapan terima kasih udah nolongin aku Nif..."
"Sama siapa aja""
"Gatau, kayaknya berdua doang."
"Gak-gak-gak!" Hanif berkata sambil menggoyang-goyangkan telunjuknya ke kanan dan ke kiri. "Pokoknya ga boleh berdua!"
"Lah terus harus sama siapa lagi""
"Aku ikut!!!" Ujar Hanif dengan bersemangat, semangat yang disebabkan oleh rasa cemburu yang mendalam.
"Tapi bayar sendiri ya"!"
"Enggak! Dibayarin kamu juga ya Fal"" Sekarang ekspresi wajahnya berubah menjadi ekspresi super lucu, ekspresi pemerasan.
"Yaudah, ga boleh ikut." Gue berkata dengan santai sambil memalingkan wajah ke arah lain.
"Ish nyebelin dasar..."
Hanif menunjukkan ekspresi cemberutnya, sebuah ekspresi yang membuat gue menjadi semakin gemas kepadanya. Entah kenapa setiap kali gue melihat ekspresi Hanif yang seperti ini, gue merasakan bahwa rasa sayang gue kepada Hanif semakin tumbuh dengan subur dan gue ga mau jauh-jauh darinya.
I am deeply in love with you, Nif!
*** "Gue pulang duluan Fal!" Ucap Ojan yang sedang menyelempangkan tasnya.
"Oke-oke, gue ngerjain PR bentar." Gue membalas perkataan Ojan tanpa melihat kepadanya, fokus ke dalam tugas yang diberikan oleh seorang guru yang baru saja meninggalkan kelas ini.
"Eh Jan!" Gue sedikit berteriak, lalu muncul kepala Ojan dari balik pintu. "Tar sore ke rumah gue gak"" Gue bertanya kepada Ojan "Ngapain""
Gue membalasnya dengan gerakkan tangan sedang memegang stik ps lalu disusul dengan anggukan Ojan sambil tersenyum sumringah. Kemudian Ojan menarik kepalanya dan pergi meninggalkan kelas.
"Ditunggu Jan!" Gue sedikit berteriak kepada Ojan.
"Siiip!" Ojan membalas teriakkan gue yang terdengar samar-samar.
Lalu gue melanjutkan mengerjakan PR.
Karena otak gue sudah mulai stuck dalam mengerjakan soal-soal fisika ini, gue kemudian melihat ke samping kanan dan melepaskan sebelah earphone yang menempel di telinga Hanif. Hanif menoleh ke arah gue lalu mengangkat kedua alisnya.
"Yuk pulang!" Ajak gue kepadanya, lalu Hanif tersenyum dengan manis dan mengangguk.
Beberapa meter di depan, gue melihat ada Diaz dan beberapa orang temannya sedang berkumpul di lapangan luar. Gue masih memperhatikan dia dari jauh sambil berjalan dengan lambat.
"Nif..Nif.." "Apa"" Gue ga membalas perkataan Hanif, gue langsung meraih dan menggenggam erat tangannya.
"Eh.." Hanif terlihat kaget, namun dia tidak melepaskan tangannya dari genggaman gue. Dan kami berdua pun berjalan bergandengan tangan.
Perlahan tapi pasti, kami berdua kini sudah dekat dengan tempat dimana Diaz berada. Dengan mantap, gue berjalan melewati mereka semua. Gue melihat ke arah Diaz sambil sedikit menaikkan sebelah bibir sambil tetap memegang tangan Hanif dengan erat sedangkan Diaz hanya melihat gue dengan datar tanpa ekspresi. Sesaat setelah melewati Diaz, gue dapat merasakan bahwa Diaz masih menatap gue dari belakang.
Gue kemudian menoleh ke arah Hanif, tersenyum sambil sedikit tertawa.
"Ish kamu tuh emang nyebelin ya Fal!" Hanif mencubit lengan gue.
Lalu kami berdua tertawa sambil berjalan pulang, meninggalkan Diaz jauh di belakang sana.
Can you see it" She is mine! Not yours, sorry bud.
Part 42 Mesmerized Gue sedang melihat wajah di depan cermin sambil mengoleskan salep bening resep dari dokter untuk luka sobek di kening gue. Kata dokter, luka ini bakalan jadi luka permanen dan ga bakal pernah bisa sembuh total seperti sedia kala. Yaa...gapapa deh. Itung-itung biar kayak Harry Potter yang punya luka kayak lambang PLN kebalik di jidatnya. Harry dapet luka gara-gara mau dibunuh sama Voldemort, sedangkan gue dapet luka gara-gara berantem. Beda-beda tipis lah asal usul lukanya.
Tadi siang setelah pulang sekolah, gue diantar oleh Hanif menuju rumah sakit tempat gue dirawat sebelumnya untuk kontrol luka di hidung dan kening. Luka di kening gue ternyata sudah menjadi rapat, kemudian gue memutuskan untuk mengambil benang jahitan yang tersisa. Hanif menunggu di luar ruangan saat dokter mengambil benang jahit yang mirip dengan kenur layangan yang berwarna bening di atas alis kiri gue. Setelah semuanya selesai, gue diberi resep oleh dokter dan keluar ruangan dengan menahan air mata yang sudah sedikit menumpuk di ujung mata. Sakit...
Setelah mengoleskan salep di bagian luka, gue mencuci tangan lalu melihat handphone. Ada dua sms, dari Hanif dan Aya. Gue membuka sms dari Aya terlebih dahulu.
'Fal gue ada hari yg ksg tapi sabtu, bs keluar g"'
Hmmm... Gue mencoba mengingat apakah di hari Sabtu nanti gue bakal ada acara apa enggak. Setelah otak gue mengkonfirmasi bahwa di hari itu gue free, barulah gue membalas sms dari Aya.
'Oke kak, saya kosong hari itu. Mau ditraktir makan apa"' SMS terkirim dan gue hanya tinggal menunggu pilihan Aya.
Sebenarnya gue agak ragu untuk mengajak Aya makan keluar, alasan pertama sudah jelas bahwa dulu dia sudah membuat gue membencinya secara total. Yang kedua, untuk pertama kalinya gue mengajak seorang cewek untuk makan keluar dan dia adalah orang yang lebih tua dari gue. Yang ketiga, dia bukan Amel. Mereka berdua kembar namun memiliki sisi koin yang berbeda, Amel merupakan cewek yang bener-bener 'tulen' dibandingkan dengan Aya yang agak sedikit kurang feminin. Dan yang terakhir, gue ga pernah ngobrol langsung sama dia hampir 7 bulan lebih! Gila! Tapi di satu sisi, gue merasa berhutang budi kepadanya karena dia telah menolong gue.
Argh! Gue benci situasi kayak gini. Sedang asyik bermain-main bersama pikiran, handphone gue bergetar menandakan ada sebuah sms yang masuk dari Aya.
'Gue lg pengen ngemil yoghurt nih, di BMC aja gmn"' -'Hah" Dimana tuh" Jauh ga"'
'Dkt kok, di jln aceh.' -'Tapi saya ga ada kendaraan kesana kak, gimana"'
'Yaudah nnti gue bawa motor, ktmu di sekolah aja ya. Tgg kabar dari gue ya.' -'Ok.'
Gue ga tau BMC itu tempat kayak gimana, gue ga tau Jalan Aceh dimana, gue hanya bisa nurut kepadanya. Yasudahlah, gue tinggal nunggu hari sabtu doang. Tapi kayaknya ada yang aneh disini... Setelah gue ingat-ingat, gue baru ingat sesuatu.
Hanif! Gue lupa sama anak satu ini. Gue membalas sms dari Hanif sekalian pamit untuk tidur duluan dengan alasan mengantuk. Kemudian handphone gue simpan di atas meja dan sengaja memilih mode silent, gue ga ingin diganggu dulu.
Jujur, gue ga terlalu suka sama orang yang ikut nimbrung diluar dari acara gue walaupun dia adalah pacar sendiri. Kalo misalkan gue udah ngebuat janji sama orang, yaudah gue harus janji sama orang itu aja, ga boleh ada orang yang dateng diluar dari janji itu kecuali tiba-tiba ada hal lain yang mendadak.
Setelah puas bengong sambil mikirin hal yang ga jelas, perlahan-lahan kelopak mata atas gue menurun lalu kemudian menutup dengan rapat, mempersilahkan gue untuk terbang ke alam mimpi.
*** "Nif, nanti aku jadi ntraktir kak Aya." Gue berbicara sambil memain-mainkan pulpen di tangan.
"Boleh, tapi aku ikut ya"" Balas Hanif.
Gue kemudian memposisikan badan menghadap kepada Hanif, gue lihat dia sedang menengok ke arah gue dengan tatapan yang teduh. Gue tersenyum, kemudian mencubit pelan sebelah pipinya.
"Ti-dak!" Ucap gue.
"Ish, ga mau ah pokoknya aku harus ikut!"
"Ngapain sih ikut-ikut""
"Ya masa kamu berduaan gitu sama cewek lain terus aku didiemin""
"Kan kita masih bisa sms-an Nif..."
"Ga mauuuu! Aku ikut! Ya ya ya""
"Ti-dak." "Ish..." Hanif memalingkan wajahnya sambil cemberut. Gue masih memain-mainkan pulpen sambil menatap kosong ke arah lain. Ga lama kemudian gue menyimpan pulpen di atas meja dan kembali mengajak Hanif untuk bernegosiasi tentang perizinan.
"Nif..." Gue memanggil Hanif, dia tidak menyahut panggilan gue.
"Hoiiii..." Gue memencet-mencet lengan kirinya dengan jari telunjuk, mulai ada respon. Dia melirikkan matanya kepada gue namun masih tetap memalingkan wajahnya.
"Haaaniiiif"""" Gue melembutkan nada untuk memanggilnya.
"APA"!" Hanif menengok sambil membalas dengan ketus.
"Eeet..." "Iya Fal, apa""
Gue kemudian mendekat ke arah telinganya, tercium aroma rambutnya yang sangat wangi membuat gue enggan melepaskan indera penciuman ini dari rambutnya. Lalu gue berbisik.
"Nanti besoknya, hari Minggu, kita nonton." Ucap gue sambil menjauhkan kepala dari telinganya dan tersenyum kearahnya.
"Beneran"" Raut wajah Hanif kini berubah menjadi lebih sedap dipandang, gue mengangguk mengiyakan.
"Beneran ya Fal"" Hanif kembali bertanya dan gue mengangguk sambil tersenyum. "Beneran beneran beneran""
"Iyaaaa.... Nanya beneran lagi, kita ga jadi nonton!"
"Hehehe iya-iya ampun Fal, gitu aja kok marah huuuu dasar."
"Ya abisnya sih kamu nanya terus." Gue kemudian kembali membalikkan badan lalu merebahkan kepala di atas meja dengan tangan sebagai bantalnya.
"Fal..." Hanif menarik telinga sebelah kiri gue dengan pelan.
"Hmm"" "Nanti hari Sabtu aku ikut, boleh ya""
"GAAAK!" "Ish..." *** 'Fal, hari ini jd ya. Gue jmpt di sklh jam 10.'
SMS dari Aya membuat gue sedikit grasak-grusuk.
Gue mengubek-ubek lemari, mencari baju yang cocok untuk dipakai keluar bersama Aya. Gue
mencoba untuk memberikan first impression tentang gue kepada Aya dengan sebaik-baiknya. Gue mengambil kemeja kaos berwarna putih lalu mengambil celana chino berwarna biru kemudian mencocokkannya di depan cermin. Gue menggeleng, kayaknya terlalu aneh kalo gue pake style kayak gini, gue kembali memasukkan baju dan celana ke tempatnya masing-masing. Kok gini-gini banget ya" Padahal cuma mau makan doang sama Aya...
Gue masih terpaku di depan lemari, gue bingung mau pake baju yang kayak gimana. Pengen rasanya gue nanya ke Aya kalo dia mau pake baju yang kayak gimana, biar nanti gue bisa mencocokan style gue denganstyle dia, antisipasi biar style kami berdua gak terlalu kebanting. Karena bingung mau pake apaan, akhirnya pilihan gue jatuh kepada gaya berpakaian gue yang santai: celana jeans biru gelap, kaos polos dibalut dengan jaket jeans dan sepatu converse.
Setelah selesai berdandan, gue mengambil handphone dan mengetikkan sebuah sms.
'Nif, aku pergi sekarang ya. Jangan kangen dulu ' Klik!
SMS terkirim kepada sang pujaan hati. Setelah gue mengirim sms kepada Hanif, gue kembali mengetik kembali sebuah sms kepada Aya.
'Kak, saya pergi ke sekolah sekarang.'
Setelah sms terkirim, gue langsung meluncur ke sekolah. ***
Gue melirik jam di tangan. 09:50
Kayaknya gue dateng kepagian disini.
Sabtu ini, suasana sekolah lumayan ramai. Ada beberapa ekskul yang melaksanakan kegiatannya hari ini. Gue berjalan masuk melewati gerbang dan kemudian melihat ke tempat dimana gue berdiri, tempat dimana gue bertemu dengan 'Amel' gadungan gara-gara topi bola sialan itu terbang dari kepala gue. Lalu lengan gue ditarik dan diseret maju ke depan, gue disuruh untuk berdiri di atas podium bersama beberapa orang 'tersangka' lainnya. Lalu keesokan harinya, gue memberikan sebuah surat cinta dan dibalas dengan sebuah hukuman yang sangat goblok sekali sehingga membuat gue membenci seorang tatib yang bernama Amalia.
Tapi sekarang, gue disini untuk memenuhi sebuah janji dengan tatib tersebut, memenuhi janji untuk mentraktir seorang tatib yang paling gue benci seumur hidup.
Funny isn't it" Dulu gue benci dan gue berubah menjadi sensitif saat berbicara mengenai dirinya, namun sekarang gue berhutang kepadanya.
Hidup itu memang aneh dan penuh konspirasi.
Ya, dunia bisa menjauhkan yang dekat dan dunia pula lah yang bisa mendekatkan yang jauh. Gue menyebut hal ini sebagai 'teori konspirasi dunia'. Dunia selalu berkehendak semaunya, seenak jidatnya.
Drrrt...drrrt...drrrt... Handphone gue bergetar, gue merogoh-rogoh saku celana lalu mengambil handphone. Gue melihat incoming call dengan nama 'Aya' di dalamnya. Lalu gue mengangkat telfon darinya.
'Halo"' -'Dimana Fal"' 'Di dalem sekolah kak, kakak dimana"' -'Udah di depan gang sekolah. Sini cepetan.' 'Oke saya kesana sekarang.'
Tut... Gue mematikan telfon secara sepihak dan mulai berjalan meninggalkan sekolah.
Gue berjalan dengan cepat, ga ingin Aya untuk menunggu lama-lama. Beberapa meter kemudian, gue melambatkan langkah kaki saat gue sudah melihat Aya sedang duduk di atas motornya sambil memegang sebuah helm.
Langkah kaki gue tiba-tiba terhenti saat kami berdua saling bertatapan. Aya tersenyum dan melambaikan tangannya.
Dari jauh, gue dapat menyimpulkan satu kata untuk penampilannya hari ini: Waw...
Part 43 Traktir (2) Waw... Gue berjalan mendekatinya dengan perlahan. Sebelumnya, gue masih bisa berjalan dengan 'normal' dan masih bisa berjalan dengan cepat. Tapi sekarang, gue berjalan dengan kaku saat ternyata Aya masih memperhatikan gue dari atas jok motornya sambil tersenyum. Gue merasa kikuk karena berjalan sambil diperhatikan oleh orang lain.
Entah kenapa hari ini penampilan Aya bisa membuat gue terpukau. Padahal dia hanya memakai baju rajutangombrang (atau bisa dibilang sweater) hingga dapat menutupi semua jari tangannya, dipadukan oleh celanalegging gemes yang menampakkan arsitektur kedua pahanya, rambut panjang miliknya dibiarkan tergerai dengan di bagian ujungnya dibuat sedikit curly dan disimpan di depan dadanya.
Penampilan ini berbeda sekali dengan Aya yang sering gue temui di sekolah. Mungkin gara-gara Aya terlalu sering mengikat rambutnya dan sekarang menjadi dibiarkan tergerai" Entahlah... Gue ga tau, tapi yang pasti hari ini dia sangat memukau.
Aya berdiri dari motornya, menyimpan helm di atas spion dan menyambut kedatangan gue sambil memegang tas selempang kecil yang dibawanya.
"Halo Kak." Dengan kikuk gue menyapanya.
"Halo juga Fal." Aya membalasnya.
"..." "..." "..." Kami berdua saling terdiam dan hanya melempar senyuman.
"Yaudah yuk pergi sekarang, enak nih siang-siang gini makan yoghurt!" Ujar Aya sambil memberikan kunci motornya.
"Eh... Saya belum punya SIM kak, masa saya yang bawa""
"Ah ga akan ada polisi, kalo ada polisi juga tinggal muter jalan. Yuk cepet naik!"
Lalu gue menaiki motor dan memasukkan kuncinya. Saat gue hendak menyalakan motor, gue baru sadar cuman ada satu helm doang dan itupun warnanya sangat girly sekali.
"Kak, helm nya cuma satu""
"Iya, kenapa""
"Saya pake helm ini"" Gue menunjuk ke arah helm yang masih berada di atas spion.
"Iya, pake aja."
Ampuuun, dengan sangat terpaksa gue memakai helm yang sangat girly ini.
*** "Faaal, udah pernah makan disitu belom"" Aya berkata sambil sedikit berteriak dari belakang.
"Haaah"" Namun gue hanya mendengar samar-samar suaranya, tertutup oleh suara deru mobil yang berlalu lalang di samping kanan.
"Udah pernah makan di BMC belom"" Aya kembali mengulang perkataannya.
"Belom kaaak." Gue membalas dengan sedikit berteriak.
"Abis lampu merah di depan, belok kesitu." Jari telunjuk Aya melewati leher gue dan mengarah pada sebuah belokan yang terletak di depan lampu merah. Gue mengarahkan motor seperti apa yang Aya katakan.
"Pelan-pelan." Aya menepuk bahu gue sambil menyuruh untuk memperlambat laju motor. "Tuh, parkir disitu."
Gue langsung memarkirkan motor di tempat parkir yang tersedia. Setelah mematikan mesin motor, gue agak bingung. Dimana restorannya" Gue hanya melihat sebuah bangunan tua dengan arsitektur Belanda yang sangat kental di depan gue. Apa ini restorannya"
"Kak, restorannya mana"" Ujar gue sambil menyantolkan helm di bagasi.
"Ini." Aya menunjuk ke arah bangunan tua tersebut.
"Ini"" Gue kembali bertanya.
"Restorannya ada di dalem sini"" Gue menunjuk ke arah pintu masuk restoran tersebut.
"Iya." Aya berkata sambil berlalu masuk ke dalam restoran dan meninggalkan gue dengan kebingungan. Baru pertama kalinya gue melihat sebuah restoran dengan gaya zaman Belanda. Gue melihat ke bagian atas, tiga huruf besar yang termpampang menandakan nama dari restoran ini. Gue mengasumsikan bahwa ini memang benar-benar resotran yang dimaksud oleh Aya. Setelah beberapa saat, barulah gue mengikuti Aya yang kini sudah berada di muka pintu restoran.
"Duduk disitu aja yuk!" Aya menunjuk ke sebuah meja bundar yang terbuat dari kayu. Gue mengangguk, dan mengikutinya berjalan ke arah meja tersebut.
Gue memandang sekeliling, restoran ini memiliki beberapa foto tentang kota ini dalam versi tempo doeloe,menambahkan kesan klasik pada restoran ini.
"Ini bekas peninggalan Belanda ya kak"" Gue bertanya kepada Aya yang sedang membolak-balikkan buku menu.
"Hmm mmm.." "Lo mau pesen apa"" Ucap Aya sambil memberikan buku menunya kepada gue.
Gue melihat-lihat harga dari menu-menu tersebut terlebih dahulu. Setelah gue menemukan harga yang cocok, barulah gue melihat nama dari makanan tersebut. Ga, gue kembali mencari menu yang lain setelah menu sebelumnya gue eliminasi, tidak cocok dengan selera perut. Akhirnya pilihan gue jatuh kepada Klappertaart dan Kefir Strawberry. Sebenarnya, banyak makanan yang sangat cocok untuk perut, namun harganya bisa membuat gue ga nafsu makan selama seminggu.
"Yang ini kak." Gue menunjuk ke arah dua menu tersebut.
Aya mengangguk lalu memberikan menu tersebut kepada pelayan.
Kami berdua menunggu pesanan dalam diam. Aya sibuk memainkan handphonenya sementara gue masih mengagumi desain interior dari bangunan tua nan klasik ini.
"Ngapain Fal sampe puter-puter badan gitu"" Aya heran melihat gue yang sedang memutarmutarkan badan di atas kursi.
"Ngeliat isi dari tempat ini, keren-keren arsitekturnya. Klasik tapi semi modern." Ucap gue tanpa melihat kepadanya dan masih sambil menjamah seisi ruangan dengan mata.
Ga lama kemudian pesanan datang. Gue melihat gelas berukuran sedang berisi es krim strawberry kental yang di bawahnya sudah sedikit meleleh, gue mengasumsikan bahwa ini adalah minuman gue. Gue langsung menyambar minuman tersebut dan menyeruputnya.
Wuanjrit! Asem banget! Gue sedikit mengernyitkan dahi setelah mencicipi minuman tersebut. Aya melihat gue dengan heran, lalu dia memakan sebuah es krim yang bentuknya mirip dengan kue tart. Biarlah kalo gue dianggap kampungan sama dia, lagian gue baru pertama kali kesini.
Kami berdua makan (masih) dengan terdiam, hanya terdengar bunyi sendok dan piring yang saling beradu dan obrolan dari beberapa pelanggan lainnya. Aya (masih) makan bersama handphonenya dan gue fokus memakan klappertaart yang enaknya tiada dua.
"Fal..." Aya memanggil. Gue melirikkan mata kepadanya.
"Hmm"" "..." "..." "Sorry..." Ujarnya sambil sedikit tertunduk.
"Sorry buat"" Gue mulai bingung, kemudian menyimpan sendok sambil menatap Aya dengan heran.
"Yang waktu itu..."
"Hah"" "MOS..." Ucap Aya dengan lirih.
"Ya." Jawab gue dengan dingin, gue gak mood buat ngomongin ginian. Ga penting sama sekali. "Makasih ya kak, udah nolongin saya kemarin." Gue merubah arah pembicaraan. Aya menengadahkan kepala, gue melihat bahwa kedua matanya kini sedikit memerah. Aya tersenyum sambil mengangguk.
"Makasih juga loh buat traktirannya." Ucapnya kemudian dan gue membalasnya dengan anggukkan sambil tersenyum. Lalu kami berdua kembali makan sambil terdiam.
Gue memutar otak, mencari-cari topik pembicaraan untuk mengurangi suasana kaku seperti ini. Tapi yang terlintas malah tentang cerita dari Amel beberapa bulan yang lalu di rumah gue. Tentang Aya yang ga pernah pulang lagi ke rumah setelah bokapnya menikah. Kalo gue nanya hal yang kayak gitu, suasana disini sepertinya akan semakin kaku.
"Fal..." Aya ternyata membuka pembicaraan duluan.
"Hmm"" "Udah berapa lama sama Hanif""
"Hah" Tau dari mana kak kalo saya sama Hanif""
"..." Aya ga menjawab.
"Udah sekitar tiga bulanan, dari awal Januari kemarin." Ucap gue dan Aya mengangguk. "Kalo kakak sendiri" Udah punya pacar"" Gue membalikkan pertanyaan kepadanya.
"Nggak, gue baru putus dua bulan yang lalu."
"Cari lagi dong kak, Amel aja punya pacar hahaha..."
"Tanggung bentar lagi UN soalnya, nanti aja deh pas udah lulus hahaha."
"Eh, panggil gue pake nama aja ya gausah pake 'kakak', samain kayak lo manggil Amel." Lanjutnya.
"Kalo sama manggil Amel, pakenya lo-gue, gapapa emang kak""
"Gapapa kok, tapi kalo di sekolah mah panggil pake 'kakak' ya!"
"Katanya mau disamain kayak Amel, gimana sih..."
"Di sekolah mah beda, gue lebih superior dari lo soalnya." Ucapnya dengan sedikit menyombongkan diri.
"Iyadeh iya, Kak Aya yang superior." Gue sedikit meledeknya.
"Gausah gitu juga kali ngomong superiornya hahahaha..." Aya kemudian tertawa. Baru pertama kalinya gue dapat melihat seorang Aya yang tertawa lepas di depan gue langsung.
Kami berdua kini bisa mengobrol panjang lebar dan kekakuan itu tiba-tiba hilang dengan sendirinya. Aya bercerita panjang lebar mengenai jabatannya di osis, kelakuan teman-temannya di kelas, hingga keluhannya tentang pelajaran yang berat. Gue memperhatikannya dengan seksama sambil mengangguk-angguk dan memberi respon seperti 'oooh', 'terus"', 'hmmm'. Namun selama Aya bercerita, dia sama sekali ga menyinggung tentang masalah keluarganya ataupun mantan pacarnya. Gue sebenarnya ingin bertanya tentang hal tersebut, namun sepertinya itu merupakan sebuah privasi dan dia sendiri ga menyinggungnya sama sekali. Jadi gue hanya menjadi seorang pendengar yang baik untuknya.
*** Malam harinya saat gue sedang bermain Medal of Honor: Airborne, handphone yang gue letakkan di sisi kursi bergetar. Gue mempause game dan melihat siapa yang mengirim gue sms.
'Gimana pacaran sama kak Aya nya Fal"'
Well, pacaran... Kalo aku sama kamu apa dong Nif"


Cowok Manja Merantau Karya Karnaufal di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Wih sukses dong Nif, dia nyuruh putusin kamu loh soalnya dia ga mau jadi selingkuhan aku.' Klik!
SMS terkirim dan gue melanjutkan bermain ps. Saat gue sedang asyik-asyiknya menjalankan sebuah misi, handphone gue kembali bergetar namun suara getarannya sedikit tertutup oleh suara senapan dan bom yang bersahut-sahutan dari dalam game. Mungkin dari Hanif, gue membatin. Tanpa menghiraukannya, gue masih anteng bermain.
Sekitar satu jam kemudian, gue sudah merasa mengantuk. Gue mematikan ps dan mengambil handphone yang tergeletak di samping lalu berjalan ke kamar.
Gue langsung merebahkan badan dan meregangkannya di atas kasur. Setelah sudah agak rileks, gue membukascreenlock handphone dan melihat sms tersebut.
'Mksh ya Fal buat traktirannya hari ini, ditgg traktiran berikutnya hehehe.' Gue tersenyum saat melihat isi sms dari Aya.
Gue ga membalas sms-nya dan meniympan handphone di samping kasur lalu memejamkan mata. Belum lama gue memejamkan mata, gue kembali melek.
Oh! Hanif kemana ya" Ah, biarlah. Besok juga ketemu.
Akhirnya gue kembali memejamkan mata dan pergi tidur.
Part 44 The Tears "Cep... Bangun cep shalat subuh dulu..." Suara bibi terdengar pelan dari balik pintu. Gue yang sedang tidur akhirnya menyerah dan membuka mata karena bibi masih berkata hal yang sama berulang-ulang.
"Iya bi, saya udah bangun." Gue menjawab sambil menarik selimut hingga ke dagu. Lima menit lagi... Lalu gue memejamkan mata.
*** Plok...plok...plok... "Bangun, dasar kebo!" Ujar seseorang sambil menampar-nampar pipi gue.
"Heh"" Gue masih belum sadar dari tidur lalu membalikkan posisi badan ke arah lain.
"Faaallll isshhhh bangun kebooo!" Seseorang itu langsung menarik selimut yang sedang menutupi tubuh gue, gue langsung menarik guling dan memeluknya karena dingin.
Deg! Gue belum shalat! Gue buru-buru bangun dari kasur dan langsung ngacir ke kamar mandi. Baru beberapa saat di dalam kamar mandi, gue melongokkan kepala keluar dan melihat cewek gila yang paling gue sayangi sedang duduk di atas kasur sambil memasang wajah yang super seram. Hiii...
"Ummm, kapan dateng Nif""
"Barusan." "Kok ga ngomong kalo mau kesini""
"Gapapa..." Gue menangguk pelan sambil membulatkan bibir dan kembali masuk ke kamar mandi, menyalakan kran air lalu bengong, melihat air yang jatuh terbuang.
Hanif kenapa ya" Entah sudah berapa lama gue bengong, akhirnya gue memutuskan untuk mengambil air wudhu dan shalat.
*** Setelah menunaikan shalat subuh yang hampir mepet pada waktu shalat dhuha, gue melihat ke arah Hanif yang sedang memperhatikan gue shalat dari atas kasur yang berantakan. Kemudian gue berdiri lalu melipat kasur dan sajadah.
S "Shalat kok jam segini." Ujarnya dingin lalu berjalan keluar kamar. Gue bingung, kenapa dia tiba-tiba jadi kayak gitu"
Oke, ada yang salah dengan Hanif.
Gue memegang punggung kursi meja belajar dan melihat ke arah jendela yang masih tertutup oleh gorden berwarna biru. Sambil sedikit meremasnya, gue mencoba mengingat-ingat kesalahan gue kepada Hanif. Ga mungkin dia datang ke rumah gue, sepagi ini, dengan aura 'membunuh' yang sangat kental, karena kami berdua sudah janjian di sebuah mall pada jam 11 nanti.
Entah sudah berapa lama gue berdiam diri, gue berjalan keluar kamar namun tidak mendapati Hanif di ruang tengah. Gue berjalan ke dapur, kosong. Halaman belakang, kosong. Kini jantung gue berdegup kencang, gue mulai was-was, takut Hanif tiba-tiba pergi entah kemana. Lalu gue mempercepat langkah kaki ke arah ruang tamu, gue menghela nafas panjang ketika gue mendapati sebuah ruangan kosong tak berpenghuni. Lutut gue lemas seketika.
Gue langsung melempar badan di atas sofa hingga terdengar suara berdebum yang lumayan keras. Gue bersandar ke belakang sambil menutup kedua wajah, gue masih ga ngerti kenapa Hanif tibatiba jadi kayak gini. Gue bangkit dari kursi dan lari ke kamar, mengambil jaket lalu pergi keluar untuk menyusul Hanif. Kalo memang Hanif pergi dari rumah gue, gue yakin dia berjalan belum jauh dari sini karena jarak menuju gapura komplek bisa dibilang lumayan jauh.
Gue berjalan setengah berlari sambil celinguk kanan kiri, mencoba menemukan keberadaan Hanif di sepanjang jalan menuju pintu masuk komplek ini. Nafas gue ngos-ngosan ketika sudah sampai di depan komplek dan Hanif masih belum diketahui dimana keberadaannya.
Gue menyandarkan badan di dinding gapura sambil mengatur nafas. Lalu dengan langkah gontai, gue kembali pulang ke rumah.
Hanif, kamu dimana" *** Kini gue sedang duduk bersandar sambil menatap langit-langit ruang tamu, menyesali kebodohan gue karena ga bisa menemukan Hanif.
Apa iya gara-gara kemarin gue pergi sama Aya"
Ga, ga mungkin Hanif bisa jadi semarah itu kalo cuma gara-gara gue pergi dengan Aya. Apa kesalahan gue"!
Argh! Gue mengusap wajah berkali-kali, lalu terdengar suara pintu pagar terbuka. Paling itu bibi, udah biasa kalo bibi bolak-balik kesini kalo hari Minggu. Namun ternyata pikiran gue salah ketika gue melihat sesosok wanita cantik berambut bob se-leher berada di muka pintu sambil membawa sebuah kantong kresek hitam kecil di tangannya. Gue bangkit, sedikit berlari ke arahnya dan langsung memeluknya dengan erat.
"Jangan pergi kemana-mana Nif... Aku takut..." Gue berkata dengan pelan di samping telinganya. "Kamu kenapa Nif"" Lanjut gue.
"Lepasin dulu ah." Hanif mencoba melepaskan pelukan gue.
"Ga mau..." Gue mempererat pelukan gue kepadanya.
"LEPASIN!" Hanif sedikit berteriak. Gue kaget dan tanpa dikomandoi, tangan gue melepas pelukan gue kepadanya.
"Kamu yang kenapa Fal!!!" Hanif membentak gue.
"..." "Kamu kemarin kemana"" Ucapnya lirih.
"..." "Kamu kemarin lupa kan sama aku" Mana katanya yang mau sms-an" Dapet yang baru terus lupa sama aku, Fal"" Ada sebuah getaran pada suaranya, sebuah getaran kesedihan. "Aku sms-in kamu berkali-kali tapi kamu balesnya malem dan kamu bales sms-nya kayak gitu, kamu mikirin perasaan aku ga" Engga kan Fal" Engga kan" Kamu cuman enak-enakan sama kak Aya aja, ga ngasih kabar sama sekali buat aku..." Satu butir air mata kini mengalir di pipinya. Memang Hanif mengirim sms berkali-kali, namun gue ga terlalu menghiraukannya. Gue terlalu asik menikmati acara bersama Aya kemarin.
Bodoh! Gue membatin dalam hati.
"Aku cuman mau dapet kabar dari kamu doang Faaal... Ga lebih koook..."
"..." "Kamu ngerti kek Faaal, peka sedikit bisa kaaan""
Gue membalasnya dengan anggukkan pelan.
"A...aku... Aku, minta maaf, Nif..." Gue berkata sambil terbata-bata dan melihat ke arah lain, ga berani ngeliat kedua matanya yang mulai sembab.
"..." "Aku minta maaf..." Gue kembali mengulang permintaan maaf. Kemudian Hanif memegang tangan gue.
"Janji ga akan gitu lagi ya""
"Iya, aku janji..."
Saat gue memberanikan diri menatap wajahnya, gue lihat dia sudah kembali tersenyum sambil menyeka sisa air mata di pipinya.
"Nih Fal sarapan dulu, aku udah beliin nasi kuning tadi." Hanif memberikan kantong kresek hitam di tangannya kepada gue.
"Kan aku udah dibuatin sarapan sama bibi""
"Sarapan punya kamu udah aku abisin, jadi gantinya aku beliin ini deh hehehe." Ujarnya sambil cengengesan. Gue tersenyum lalu mencubit pipinya.
"Makanan punya aku kok dimakan, huuu dasar!" Gue melepaskan cubitan lalu mengacak-acak rambutnya.
"Ish apa sih, udah ah rambut aku jadi berantakan nanti." Tangannya mencoba melepaskan tangan gue dari rambutnya
"Biarin!" "Yaudah gih sana makan dulu cepetaaan!" Hanif membalikkan badan gue dan mendorongnya ke arah ruang tengah.
"Ngapain sih dorong-dorong"!"
"Biar cepet sarapannya!"
"Terus kalo aku udah sarapan, mau ngapain""
"Kita pergi keluar!"
"Laaah..." Gue menghentikan langkah kaki dan berbalik melihat Hanif. "Masih pagi, mau pergi kemana" Mall masih pada tutup kali Nif."
"Gapapa..." "Yang penting, sekarang aku mau pergi seharian sama kamu!" Ucapnya dengan manja sambil tersenyum dengan manis.
Nyess... Hati ini menjadi adem setelah melihat senyuman manja miliknya.
Dengan bibir yang tak henti-hentinya tersenyum serta perasaan yang plong, gue memakan nasi kuning pemberian Hanif yang rasanya meningkat menjadi 100 kali lipat lebih enak pada setiap suapannya.
Part 45 Sesuatu Hujan rintik-rintik kini telah berubah menjadi deras, suaranya sedikit mengganggu konsentrasi gue dalam mengerjakan soal ulangan matematika yang diujikan hari ini. Menghitung soal-soal tentang logaritma seperti ini harus menggunakan konsentrasi penuh, setidaknya untuk gue yang kurang mengerti tentang bab ini.
Otak mulai mandeg. Gue mengetuk-ngetukkan pensil di atas kertas kotretan, menyimpannya lalu berdiri dan berjalan menuju meja guru.
"Bu, saya izin ke toilet."
"Jangan lama-lama, waktunya sebentar lagi."
"Oke bu..." Gue berbalik dan pergi keluar kelas. Saat berada di luar kelas, gue menjadi artis dadakan karena langsung ditanyai oleh teman-teman gue yang sedang menunggu giliran untuk masuk ke dalam kelas. Oiya, ulangan hari ini dibagi menjadi dua sesi: sesi pertama untuk absen 22-44, dan sesi kedua untuk absen 1-21. Gue berada di absen 20-an.
"Gimana soal-soalnya Fal"" Tanya Hanif. Gue menjawabnya dengan gelengan kepala sambil berjalan menuju toilet. Setelah gue menjawab seperti itu, anak-anak kelas langsung membuka buku, mencoba untuk menghafalkan rumus lebih keras yang sepertinya akan sia-sia jika berada dibawah tekanan seperti ini.
Gue mengambil air dan membasuhnya pada muka. Ahhh, air memang senjata paling ampuh untuk mendinginkan kepala yang mulai panas. Setelah mencuci muka dan buang air kecil, gue kembali ke dalam kelas dengan perasaan yang sedikit lebih baik dibandingkan dengan sebelumnya.
*** Hujan ini semakin deras dan sepertinya tidak ada tanda-tanda akan berhenti. KLETARR!!
Suara gledek sangat keras sampai-sampai membuat kaca kelas bergetar. Hanif gimana ya di dalem" Bisa ngerjainnya ga ya"
Gue menggaruk kepala dengan pulpen, lalu bangkit berdiri dan memperhatikan hujan yang jatuh ke bumi dari balik pembatas.
Cklek... Pintu kelas terbuka dan Ojan muncul dari balik pintu sambil memasang wajah pasrah, dia langsung berjalan dan berdiri di samping gue.
"Gimana, Jan"" Gue bertanya kepadanya.
"Bener, gue jadi masuk ke kelas IPS kalo kayak gini terus mah." Ujarnya sambil melepas kacamata lalu mengurut-urut pangkal hidungnya. Gue membalasnya dengan sedikit tertawa dan kembali memperhatikan hujan. Ya, Ojan memang sedikit lemah dalam pelajaran eksak, namun dia jago dalam pelajaran-pelajaran yang berbau ilmu sosial.
Gue melipat kedua tangan dan bersandar di dinding pembatas sambil melihat ke arah langit yang berwarna abu-abu pekat. Kalo misalkan pola belajar gue yang gini-gini aja, dapat dipastikan bahwa gue bakalan dapet nilai yang berisi si jago merah di dalam raport dan gue ga akan pernah lagi menginjakkan kaki di kota ini.
Maret, April, Mei, Juni...
Akhir Maret nanti akan ada UTS, dan perkiraan gue UAS akan dilaksanakan pada bulan Mei atau Juni. Gue hanya memiliki waktu persiapan sekitar satu minggu lebih untuk menghadapi UTS, dan sepertinya mustahil bagi gue untuk mempelajari seluruh pelajaran dalam kurun waktu satu minggu. Gue mengacak-acak rambut dengan kesal.
"Napa lo"" Ojan melihat gue dengan bingung. "Gue yang ga bisa ngerjain, lo yang galau." Lanjutnya.
"Bentar lagi UTS, gue ga yakin dapet nilai yang bener. Kalo misalkan gue ga bener ngerjain soal UTS kayak soal ulangan ini, bisa-bisa gue bakal pulang kampung." Ucap gue sambil menatap kosong ke atas daun yang sedang diguyur air hujan.
"Ya belajar makanya, mending ps lo disimpen di rumah gue deh biar lo bisa konsen belajar!" Ujarnya dengan semangat.
"Enak aja!" Gue menoyor kepala Ojan.
"Hiburan gue satu-satunya di rumah tuh cuman itu!" Lanjut gue.
"Bawa aja si Hanif ke rumah, 'hiburan' tuh buat elo dengan adik kecil lo hahaha." Kemudian si goblok Ojan tertawa terbahak-bahak dan gue menoyor kepalanya.
"Mending lo sekarang konsentrasi dulu, jangan kebanyakan main. Kalo misalkan di UTS nanti lo dapet nilai gede, setidaknya bakal ngebantu nilai raport lo nanti kan""
Gue terdiam, apa yang dikatakan oleh Ojan memang ada benarnya juga. Gue udah terlalu banyak main, entah itu main diluar bersama Hanif atau bermain ps di rumah. Gue ga pernah belajar selain di dalam sekolah dan hal ini dapat dipastikan sangat sulit sekali untuk menaikkan nilai raport semester kemarin yang ga jauh dari batas minimal. Gue harus merubah pola belajar, gue harus bisa mempertahankan posisi nilai dan kalo bisa menaikkan nilai-nilai yang pas-pasan. Setidaknya, jika nanti nilai gue meningkat dibanding dengan semester satu kemarin, gue berasumsi bahwa 'nilai jual' gue di mata bokap akan meningkat dan beliau akan tetap mempersilahkan gue untuk bersekolah disini.
Cklek... Pintu kelas kembali terbuka dan hampir semua siswa yang berada di dalam kelas kini keluar dengan menampakkan wajah-wajah yang desperate. Gue mencari-cari keberadaan Hanif diantara kerumunan siswa yang baru keluar kelas, namun ternyata Hanif masih berada di dalam kelas bersama dengan beberapa orang siswa yang memiliki otak encer, mereka semua (yang berada di dalam kelas) sedang berusaha semaksimal mungkin dan menggunakan waktu yang tersisa sebaik mungkin, termasuk Hanif.
Deg! Gue malu sama diri gue sendiri, Hanif yang merupakan seorang perempuan ternyata memiliki tingkatan effortyang lebih tinggi dari gue untuk bisa sukses dalam mengerjakan soal ulangan hari ini. Jujur, gue ga ingin dikalahkan oleh seorang wanita, apalagi dikalahkan oleh pacar sendiri. Apa yang bisa dibanggakan oleh Hanif pada diri gue kalo gue sendiri masih berada di bawahnya" 'Kenalin pacar aku, Naufal. Dia pinter banget loh kalo di kelas suka dapet ranking terus!'
Ya! Itu yang gue inginkan! Gue ingin punya 'sesuatu' untuk dibanggakan dan Hanif bisa membanggakan 'sesuatu' tersebut di depan teman-temannya serta ga merasa malu untuk memperkenalkan gue sebagai pacarnya. Simple"
Enggak! Dengan keadaan yang seperti ini, gue membutuhkan proses untuk mempunyai 'sesuatu' tersebut dan prosesnya gak akan cukup dalam waktu satu minggu.
"Hoi, kok bengong""
"Eh..." Hanif mengagetkan gue yang lagi gak fokus, dia sekarang sudah berdiri di depan gue yang masih terpaku.
"Gimana" Kamu bisa ngerjainnya""
"Hhhhh..." Hanif menghela nafas. "Susssaaaaaaahhh...."
"Aku yakin kamu bakal dapet nilai gede kok, usaha kamu keliatan banget loh sama aku." Ucap gue sambil tersenyum.
"Hahaha kamu kenapa Fal" Tumben-tumbennya kayak gini""
"Ah, gatau deh, efek ngerjain logaritma yang ga jelas kali ya"" Gue menggaruk pelipis.
"Woii pacaran mulu! Kantin yuk!" Ojan tiba-tiba nimbrung.
"Ayo deh mumpung kantinnya masih sepi, bel istirahat bentar lagi bunyi soalnya. Yuk Fal." Ajak Hanif sambil berjalan bersama Ojan dan mendahului gue. Gue tersenyum dan mengangguk lalu mengikuti mereka berdua dari belakang.
Gue janji, gue bakal punya 'sesuatu' yang bisa dibanggakan oleh Hanif.
*** Spoiler: It all began from here Desember 2014
Gue baru saja kembali ke kamar apartment setelah selesai mengerjakan tugas hari ini. Kedatangan gue langsung disambut oleh Tama, rekan satu kantor gue yang sama-sama sedang mendapatkan tugas diluar kota.
"Kopi"" Tama menawarkan.
"Boleh deh, espresso Tam." Ujar gue sambil menyimpan draft di atas meja di samping tempat tidur. Saat sedang melepas sepatu, handphone di saku celana gue bergetar. Gue mengambilnya dan membuka notifikasi tersebut.
Hah, tumben dia nge-bm gue di jam-jam kayak sekarang.
PING!!! PING!!! PING!!! 'Cek email atau on skype sekarang!' 'Napa"'
'Cek aja dan jangan kelamaan. Ditunggu.'
'Ada apaan sih"' Ah, sayang, bbm yang gue kirim hanya bertanda ceklis.
Gue langsung menyalakan laptop dan membuka email. Ada satu buah email darinya dan gue langsung membuka email tersebut. Setelah membacanya, gue mengenakan kembali sepatu yang telah tergeletak di samping kasur dan menyambar jaket.
"Kemana"" Tanya Tama sambil memegang secangkir kopi yang sepertinya untuk gue. "Keluar, urgent."
"Kopi lo""
"Buat lo aja." "Espresso coy, gue ga mau begadang malem ini. Besok gue harus kerja jam 7!" Ujarnya sedikit berteriak karena gue sudah menutup pintu kamar dan sedikit berlari menuju lift.
Part 46 The Chasm "Naufal." Bu Aan memanggil dari depan kelas. Dada gue berdegup dengan kencang, setiap pembagian hasil ulangan pasti selalu begini. Namun sepertinya sekarang berbeda, dada gue berdegup lebih kencang daripada saat-saat pembagian hasil ulangan sebelumnya.
"Sana Fal, ambil dulu." Ujar Hanif sambil tersenyum dan mengacungkan jempolnya. Pada ulangan kali ini, Hanif mendapatkan nilai yang menurut gue sangat fantasits: 87. Nilai tersebut membuat gue senang dan juga membuat gue takut, gue takut mendapatkan nilai yang lebih kecil dibandingkan dengan nilai yang didapatkan oleh Hanif. Gue bangkit dan berjalan ke tempat dimana bu Aan sedang duduk.
"Nilainya tolong ditingkatkan lagi ya nak." Ucap bu Aan sambil tersenyum lalu memanggil nama berikutnya. Gue menerima hasil pekerjaan gue dengan dada sedikit mencelos setelah melihat nilai yang tertera di pojok kanan atas: 53.
Kecewa" Ya! Merasa bodoh" Sangat!
Malu sama nilai" Kenapa enggak"
Gue bejalan kembali menuju tempat duduk dengan kepala tertunduk sambil memijit kening dengan keras. Ga peduli deh kalo misalkan luka di kening kebuka lagi, gue ga peduli. Gue duduk bersandar pada kursi dengan punggung yang sengaja ditegakkan dan menatap lurus ke arah papan tulis dengan tatapan kosong. Kertas ulangan yang sedikit remek diambil oleh Hanif dari tangan gue.
"Yaaah, kok kecil sih"" Ujarnya sambil membolak-balik kertas ulangan milik gue. "Tuh kaaan kamu salah pake cara, ngerjain yang ini tuh caranya bukan kayak gi...."
"Bisa ga ngomongin ini dulu"" Gue langsung memotong perkatannya dan berkata dengan datar sambil menatap dingin ke arahnya. Dia sedikit kaget kemudian mengangguk pelan dan menyimpan kertas ulangan gue di atas meja.
"Makasih." Kami berdua mengikuti mata pelajaran bu Aan dalam diam. Walaupun mata gue memperhatikan beliau yang sedang menerangkan materi di depan, namun materi yang disampaikannya sama sekali ga ada yang masuk, atau setidaknya 'numpang lewat' di dalam otak gue pun nihil. Pikiran gue blank, gue ga bisa berpikir apa-apa sama sekali.
Bel tanda pergantian pelajaran pun berbunyi. Bu Aan menutup kegiatan pembelajarannya lalu pergi meninggalkan kelas sementara anak-anak kelas pada sibuk memasukkan buku dan bersiap menyambut pelajaran bahasa Indonesia. Mereka semua mengeluarkan buku cetak dan buku catatannya dari dalam tas masing-masing. Gue" Gue malah menarik kertas selembar dan membuka kembali catatan tentang logaritma. Setelah membuka lembar catatan, gue mengambil kertas hasil ulangan dan menulis kembali soal demi soal yang dicoret dengan tinta merah. Sekarang gue akan mengerjakan ulang soal-soal yang salah.
Gue membolak-balik halaman catatan dan mencocokkan caranya dengan soal yang sedang dikerjakan. Beberapa soal sudah selesai gue kerjakan dengan cepat, namun pada saat memasuki soal yang rada nylenehdari soal sebelumnya, gue menjadi bingung. Entah sudah berapa kali mencari caranya, namun sepertinya cara yang gue butuhkan ga ada di dalam catatan. Gue mulai stuck dan otak gue mulai overheat.
"Argghhh!" Gue mencorat-coret kertas dengan kasar lalu membanting pulpen di atas meja. Hanif sepertinya kaget dengan kelakuan gue namun dia tetap mengunci mulutnya. Ojan yang juga mendengar suara bantingan gue, membalikkan badannya lalu menatap dengan heran.
"Kenapa men""
"Gausah banyak tanya lo!" Gue sedikit membentak Ojan dan mengacungkan jari telunjuk tepat di depan mukanya. Gue dapat melihat Ojan melirikkan matanya ke arah Hanif dengan bingung lalu dia menganggukkan kepalanya dan kembali melihat ke depan. Gue beranjak dari kursi dan pergi keluar kelas, mencoba me-refreshotak dengan menghirup udara segar.
"Kamu kenapa Fal"" Suara lembut milik Hanif tiba-tiba mengagetkan gue. Gue kemudian membalikkan badan dan melihat ke arahnya.
"Bisa ga sih lo ga ngagetin gue mulu"!" Gue membentaknya lalu pergi ke arah tangga, kembali meninggalkan Hanif di depan kelas seperti dulu.
*** Sudah satu jam pelajaran gue duduk di kantin sendirian sambil memegang sebotol air mineral yang isinya tinggal setengah. Gue mangkir dari pelajaran bahasa Indonesia, rasanya males buat balik lagi ke kelas. Gue hanya duduk bengong sambil memperhatikan anak-anak kelas XII yang sedang jajan, mereka semua memiliki jam pelajaran yang berbeda dibandingkan dengan kelas X dan XII karena jadwal yang mulai padat menjelang UN.
"Disini kosong kan"" Ujar salah seorang yang tiba-tiba datang dan berdiri di samping meja yang sedang gue tempati. Gue melirik ke arahnya dan gue mengangguk. Aya kemudian duduk di depan gue.
"Ga ada kelas lo""
"Ada, bolos." "Kok bolos""
"Kok lo banyak nanya"" Gue memberi sedikit penekanan pada kalimat yang gue katakan.
"Dih, ngeyel lo ya. Kalo gue kasih hukuman lagi kayak waktu MOS baru tau rasa lo."
"Terserah." Ucap gue sambil beranjak dari kursi. Baru saja gue hendak melangkahkan kaki, Amel tiba-tiba berdiri di depan gue sambil membawa sepiring nasi dengan lauknya.
"Mau kemana Fal"" Tanyanya.
"Bukan urusan lo." Gue berkata dengan datar lalu pergi meninggalkan mereka berdua di kantin dan kembali berjalan ke kelas. Sesampainya di depan kelas, gue mengetuk pintu dan ada suara dari dalam mempersilahkan gue masuk.
"Permisi..." Seluruh pasang mata di kelas langsung tertuju kepada gue, termasuk guru yang sedang mengajar di depan kelas. Deja vu, rasanya hampir mirip seperti gue masuk ke dalam kelas XII IPA 6, kelas dimana gue dihukum oleh Aya dan ternyata kelas itu adalah kelas milik Amel.
"Dari mana kamu" Kenapa baru masuk sekarang"" Gue ditanya oleh guru bahasa Indonesia.
"Engg... Itu pak... Abis susulan matematika, bu Aan..." Gue berbohong.
"Yasudah, duduk di tempat kamu."
"Baik pak..." Gue berjalan melewati Ojan dan duduk di belakangnya, duduk di samping Hanif. Gue mengeluarkan buku dan mencari halaman yang sedang diterangkan oleh guru.
"Halaman berapa"" Gue menengok dan bertanya kepada Hanif.
"Seratus dua." Jawabnya dengan dingin sambil tetap menatap ke depan.
"Makasih." "Ya." *** Kami berdua melaksanakan kegiatan belajar mengajar dalam diam. Hingga bel pulang berbunyi, kami masih saling berdiam diri.
"Mau kemana"" Gue membuka pembicaraan saat melihat Hanif sudah selesai merapikan bukunya dan sedang memakai cardigan putih miliknya.
"Pulang." "Ga nungguin aku dulu"" Tanya gue.
Hanif menggeleng, lalu dia menyambar tas dan berjalan agak cepat menuju pintu sambil menutup mulutnya dengan sebelah tangannya.
"Cewek lo kenapa"" Ojan bertanya kepada gue. Dia sudah berdiri sambil memegang tasnya dan bersiap untuk pulang.
"Tau." "Lo kenapa sih""
"Gapapa." Ujar gue sambil mengeluarkan pulpen dari kotak pensil. Gue mengetuk-ngetukkan pulpen di atas meja lalu mengerjakan tugas.
"Yaudah gue duluan Fal." Gue membalasnya dengan anggukkan kepala.
Setelah sekian lama gue mengerjakan soal-soal yang terhidang, gue hanya dapat mengerjakan sekitar 30% dari total keseluruhannya. Gue mengerjakan tugas dengan pikiran bercabang, memikirkan tugas, memikirkan nilai ulangan matematika, memikirkan UTS, dan memikirkan... Hanif.
Percuma rasanya jika gue mengerjakan tugas dengan pikiran yang kalut seperti ini, akhirnya gue memutuskan untuk menyudahi acara mengerjakan tugas hari ini. Gue mengusap wajah lalu menyimpan jari telunjuk dibawah hidung, dan kemudian bengong.
*** Cahaya jingga mulai menerangi seisi ruangan. Dari luar, terdengar teriakkan-teriakkan dan decitandecitan sepatu dari siswa-siswa yang sedang bermain basket di lapangan dalam sedangkan gue masih duduk di dalam kelas yang sudah sepi, bersandar dengan santai pada kursi kayu sambil mengusap rambut berkali-kali dan menatap ke kosong arah langit-langit kelas.
Saat ini gue sedang merasa berada di dalam jurang yang sangat dalam, satu buah masalah yang kecil kini telah beranak pinak dan menjadikan masalah baru yang lebih besar dalam waktu beberapa jam saja. Akar dari masalah tersebut adalah: nilai matematika.
Namun setelah gue pikir-pikir kembali, yang salah adalah gue. Gue ga mempersiapkan diri untuk menghadapi ulangan kemarin, gue ga pernah mempersiapkan diri untuk melihat nilai Hanif yang lebih tinggi daripada nilai yang gue dapatkan, dan gue marah karenanya! Bukan, gue ga marah Hanif, gue marah karena kebodohan gue sendiri yang akhirnya kemarahan tersebut merembet kepada orang lain.
Gue mengeluarkan handphone dari saku celana lalu mencari sebuah nama di contact list: Hanif. Gue menatap nama dan nomor Hanif yang tertera di layar handphone.
Telpon enggak ya, telpon enggak ya...
Setelah sedikit bimbang dan menurunkan gengsi, gue menekan tombol call lalu mendekatkan handphone pada telinga.
Tuuut....tuuut....tuuut....
Panggilan pertama gue ga dijawab olehnya lalu gue mencoba untuk menelponnya lagi.
... 'Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan...'
"Argh!" Gue meremas handphone dan hampir saja membantingnya. Setelah Hanif tidak menjawab panggilan gue, dia malah mematikan handphone miliknya!
God dammit! Gue mencoba menelponnya berkali-kali dan yang gue dapatkan hanyalah suara operator yang ga pernah bosen memberitahu gue bahwa handphone milik Hanif sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan.
Gue membereskan buku yang berada di atas meja dengan terburu-buru lalu mengambil tas dan berjalan keluar kelas.
Langkah gue terhenti ketika gue melihat Amel sedang berdiri ga jauh dari kelas gue.
Dan dia ga sendirian... Part 47 Bingung Amel dan Ojan sedang berbicara dengan serius di depan pintu kelas X-I yang sedikit terbuka, kelas yang berada di samping kelas gue, X-J. Gue berdiri mematung saat melihat mereka berdua. Ketika mereka menyadari kehadiran gue, Amel langsung menengok dan menunjuk ke arah gue.
"Lo ada masalah apa lagi sih sama Hanif"!" Ujar Ojan sambil berjalan dengan ke arah gue.
"Nothin'." Jawab gue dengan datar sambil melihat ke arah lain.
"Lo jawab nothing, tapi kenapa Hanif sampe nangis di depan gue sama kak Amel"" Ojan kini menatap gue dengan pandangan yang serius sementara Amel masih memperhatikan kami berdua yang sedang berdebat, atau lebih tepatnya Ojan yang sedang berdebat dengan gue yang lagi gak mood untuk berdebat.
"..." "Kok diem""
"Lo mau gue jawab apa" Gue harus jawab yang pengen elo denger apa pengen gue jujur""
"..." "Kok sekarang lo yang diem""
"Terserah lo deh. Capek gue." Ojan mengibaskan tangannya lalu membalikkan badan. Amel menghampiri Ojan lalu mengobrol sedikit, entah apa yang mereka berdua bicarakan. Setelah selesai, mereka datang menghampiri gue.
"Kamu kenapa bentak-bentakin Hanif"" Amel bertanya.
"Kamu ga tau kan tadi dia curhat sama aku di kantin sambil sesegukan"" Lanjutnya.
"..." Gue hanya menatap dingin pada Amel.
"Dia takut ngeliat kamu kayak gitu Fal. Semua cewek pasti takut kalo digituin, apalagi sama orang yang paling dia sayang!" Amel memberikan sedikit penekanan pada akhir kalimatnya yang membuat gue sedikit terganggu.
"Yaudah, lo berdua ingin gue gimana"" Gue balik bertanya.
"Lo bener-bener bego ya!"
"Minta maaf lah sama dia!" Lanjut Ojan.
"Oke, gue harus minta maaf. Masalah selesai" Yaudah gue mau balik sekarang." Gue kemudian berjalan melewati mereka, namun pergelangan tangan gue ditahan oleh Amel.
"Kok kamu jadi gini sih""
"JADI GINI GIMANA"" Gue membanting tangan, mencoba melepaskan tangan Amel dari tangan gue. "GUE GA BOLEH FOKUS DULU SAMA NILAI GUE"" Gue meninggikan suara.
"Oh jadi cuman gara-gara nilai doang Fal kamu jadi kayak gini"" Tanya Amel.
"IYA! KALO NILAI GUE ANCUR, GUE GA SEKOLAH LAGI DISINI! GUE PULANG KAMPUNG! KALO GUE PULANG KAMPUNG, APA BISA GUE GA AKAN PERNAH KETEMU LAGI SAMA HANIF"! HAH"! MIKIR WOI!!!" Gue menyimpan jari telunjuk di kepala kemudian berjalan meninggalkan mereka berdua dengan perasaan yang sangat chaos.
*** Gue berjalan bolak-balik antara kamar dan ruang tengah sambil menggenggam handphone, masih mencoba untuk menghubungi Hanif semenjak gue pulang ke rumah tadi sore. Namun usaha gue sia-sia, nomor milik Hanif masih tidak dapat dihubungi. Entah sudah berapa ratus kali mencoba, gue menyerah dan melempar handphone ke atas kasur lalu duduk di atas kursi, mengambil beberapa buku pelajaran dan mencoba untuk belajar.
Usaha belajar gue kali ini kembali sia-sia, ga ada satupun materi yang masuk ke dalam otak walaupun gue sudah membolak-balik buku selama hampir satu jam lebih. Memang mata gue tetap berada pada buku, gue membaca setiap kalimat pada materi tersebut, tangan gue secara otomatis membalikkan halaman ke halaman berikutnya, namun pikiran gue tidak berada di dalam buku tersebut. Pikiran gue sedang berada pada satu orang yang paling gue sayangi.
Gue tau kalo gue salah udah ngebentak-bentak Hanif tadi siang sampe-sampe dia curhat sambil nangis di depan Amel sama Ojan. Tapi apa gue juga salah kalo gue sedikit lebih peduli terhadap nilai yang gue dapatkan"
Ck, argh! Gue menyalurkan emosi kepada pulpen dan buku dengan cara melempar pulpen ke sudut kamar dan membanting buku ke lantai. Gue melipat kaki di atas kursi dan memeluknya lalu membenamkan kepala diantaranya.
Gue galau. Baru pertama kalinya dalam hidup gue, gue dihadapkan pada masalah yang serumit ini. Kalo masalah tentang nilai, oke lah gue bisa handle sedikit demi sedikit seperti masa-masa SMP dulu. Namun sekarang berbeda, ada Hanif yang sedikit banyak turut andil membebani pikiran gue saat ini.
Gue turun dari kursi dan tidur terlentang di atas kasur. Gue meraba-raba bagian kasur untuk mencari handphone. Setelah mendapatkannya, gue mengetikkan nama Hanif pada contact list.
Sekarang gue kembali bimbang.
Apa telpon gue bakal diangkat oleh Hanif"


Cowok Manja Merantau Karya Karnaufal di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Setelah sekian lama beripikir, gue memutuskan untuk menelpon Hanif. Dan jika telpon gue ga diangkat lagi, i swear, gue ga akan nelpon Hanif lagi malam ini.
Tuuut...tuuut...tuuut... Nyambung!
Gue memposisikan badan menjadi duduk tegak di atas kasur sambil menunggu telpon gue direspon olehnya.
Cklek! "Ha..ha...halo..." Nif""
"..." "Halo" Nif""
"..." Hanya terdengar suara sesegukan di ujung sana yang membuat gue bingung.
"Nif" Halo" Nif""
Tut...tut...tut... "GILA!!!" Gue membanting handphone di atas kasur lalu membenamkan kepala pada bantal, mencoba tidur dan melupakan masalah ini untuk sejenak
*** Pagi ini terasa berbeda, ga ada sambutan 'selamat pagi' yang biasa dikirimkan oleh Hanif lewat sms. Dengan berat, gue berangkat ke sekolah dengan kantung mata yang sedikit menebal, gue hanya tidur sekitar satu jam lebih. Walaupun kepala terasa pusing, gue masih memaksakan diri untuk pergi ke sekolah.
Sesampainya di kelas, gue masih belum melihat Hanif di dalam. Gue duduk dan membenamkan kepala di atas meja, mencoba untuk mendapatkan waktu tidur ekstra. Namun setiap gue memejamkan mata, kepala semakin terasa berat dan berputar, gue ga bisa tidur dalam keadaan seperti ini.
Saat sedang mengurut-urut kepala, Ojan dan Hanif datang berbarengan. Seperti biasa, Ojan berjalan dan duduk di depan gue namun tidak ada sapaan akrab darinya. Lalu gue dibuat bingung ketika melihat Hanif malah berjalan lurus dan duduk di sebelah teman perempuannya. Whaa""
Gue masih menatap punggung Hanif dari belakang, gue ingin sekali berteriak memanggil namanya agar duduk di sebelah gue tetapi bibir gue ga bisa berkata apa-apa.
Saat ini, gue ingin kembali mendapatkan kenyamanan dan kehangatan setiap saat gue berada di dekatnya. Tapi sekarang"
Gue takut kalo gue akan kehilangan kenyamanan dan kehangatan itu...
Part 48 Before The Worst "Fal, kosong nih"" Tanya seorang teman gue yang hendak menyimpan tas nya di samping gue.
"Engga, ada Hanif nanti pindah kesini."
"Tapi kan si Hanif di depan""
"Nanti dia pindah kesini kok..."
"Oh yaudah kalo gitu." Dia kemudian berjalan mencari tempat yang kosong. Ojan yang mendengar percakapan gue, menolehkan kepalanya ke belakang dan melirik ke arah gue. Dia hanya memberi tatapan sinis lalu kembali melihat ke depan.
Gue sengaja mengosongkan bangku milik Hanif, antisipasi kalo-kalo dia memang mau pindah lagi kesini.
Kalo dia mau pindah lagi... ***
Selama pelajaran berlangsung, gue menatap ke depan namun bukan memperhatikan guru. Gue lebih memilih memperhatikan Hanif yang sepertinya sedang serius mengikuti pelajaran, sesekali gue menangkap dia sedang tersenyum dan tertawa dengan teman sebangkunya. Saat melihat senyumnya, gue ga bisa berbohong kalo hati gue pun ikut tersenyum walaupun senyumannya bukan ditujukan kepada gue.
Gue kangen melihat senyumannya,
Gue kangen tawanya, Gue kangen saat dia mengganggu tidur gue, Gue kangen Hanif...
Tapi apa yang bisa gue lakukan sekarang"
Gue cuma bisa melihat senyuman dan tawanya dari balik punggungnya.
Sangat pathetic sekali. *** Bel istirahat berbunyi, gue memasukkan buku-buku ke dalam tas lalu menengok ke kanan, melihat bangku milik Hanif yang sekarang sedang dalam keadaan kosong tak berpenghuni.
Nif, please duduk lagi disini...
Gue meronta dalam hati. Gue merindukan sesosok wanita yang biasa mengisi hari-hari gue dengan warna yang dimilikinya dan sekarang dia sedang 'pergi' (dan gue harap) untuk sementara waktu.
Mungkin, dia sedang membutuhkan waktunya untuk sendiri. Gue mencoba berpikir positif.
Gue menutup resleting tas lalu menengok ke arah tempat Hanif duduk sekarang.
Kosong. Setelah berdiam diri sebentar, gue bangkit dari kursi untuk menuju ke kantin.
Saat sedang berada di lorong kelas, badan gue tiba-tiba menjadi freeze saat melihat Hanif sedang berjalan ke arah gue. Ada perasaan takut saat melihatnya, gue ingin berbalik badan dan kembali ke kelas lalu bersembunyi di balik meja.
Gue takut... Namun sepertinya rasa lapar ini lebih tinggi daripada rasa takut yang gue rasakan sekarang. Seketika terbersit pikiran untuk berbicara kepada Hanif dan meminta maaf kepadanya. Dengan memantapkan hati, gue akan berbicara kepadanya.
Gue berjalan dengan kikuk, atau bisa dibilang salah tingkah. Semakin lama, jarak antara gue dan Hanif semakin dekat. Dia pun menyadari keberadaan gue namun sepertinya dia lebih bisa mengatur dirinya dibandingkan dengan gue yang seperti ini.
Semakin dekat... Dekat... Dan kami berdua pun berpapasan...
Apa yang terjadi" Ga ada! Kami berdua berpapasan namun tidak saling menyapa, seperti tidak saling mengenal satu sama lainnya. Dia berjalan dengan menatap lurus kedepan tanpa melihat ke arah gue dan gue ga bisa berkata apa-apa!
Kata-kata permintaan maaf yang sudah gue susun di dalam otak, semuanya hilang dalam waktu sepersekian detik, menghilang seperti wangi parfum Hanif yang tercium dengan cepat oleh indera penciuman dan dengan cepat pula wanginya menghilang setelah dia melewati gue.
BEGO!!! Gue sekarang berdiri mematung diantara puluhan siswa yang berlalu lalang, menyesali kebodohan sendiri yang telah menyia-nyiakan kesempatan untuk berbicara kepada Hanif,
Kesempatan untuk meminta maaf kepada Hanif... *** Sudah dua hari ini gue dan Hanif saling berdiam diri. Ga ada satupun diantara kami berdua yang saling bertegur sapa, baik itu di dalam sms maupun di sekolah. Kami berdua sudah lost contact walaupun masih bertemu di dalam kelas.
Begitu pula dengan Ojan, semenjak gue berargumen dengannya beberapa hari yang lalu, dia seperti enggan untuk berbicara dengan gue. Tapi gue ga peduli, pikiran gue masih disesaki oleh Hanif, Hanif, dan Hanif. Ga ada yang lain selain dirinya di dalam otak gue. UTS" Gue udah ga lagi peduli! Yang gue inginkan cuma satu: meminta maaf kepada Hanif dan membuatnya seperti normal lagi karena gue udah ga tahan lagi berada di dalam kesunyian yang menyiksa batin seperti ini.
Gue ingin gue dengan Hanif kembali berjalan bergandengan tangan seperti dulu lagi, Gue ingin menyelesaikan masalah ini,
Gue ingin semuanya selesai sebelum terlambat...
Dengan tekad yang besar, malam ini gue mempersiapkan diri untuk berbicara kepada Hanif besok setelah pulang sekolah.
Dan gue juga harus menyiapkan mental gue,
Jika yang terburuk akan datang...
*** Come walk with me through Just like we used to, just like we used to
Before too late, before too long
Let's try to take it back Before it all went wrong The Script Before The Worst
Part 49 The Rainbow's Edge Jam di tangan kini menunjukkan pukul 06:50, gue telat masuk ke sekolah gara-gara angkot sialan yang terlalu lama ngetem dan akhirnya kejebak macet karena jalanan mulai penuh.
Gue berlari dengan cepat di lorong lalu berbelok menaikki anak tangga, lalu kembali berlari menuju kelas. Sesampainya di depan kelas, gue mengatur nafas sebentar lalu mengetuk pintu. Tok..tok..
"Permisi..." Gue membuka pintu. Apa hal yang pertama gue lakukan" Gue menengok ke arah tempat dimana gue duduk. Dan thank God, Hanif sekarang sudah duduk di tempatnya. Gue menghela nafas lega.
"Kenapa baru datang"" Ujar sang guru dari atas tempat duduknya.
"Ngg... Angkotnya kejebak macet, Pak& " Jawab gue.
"Udah dapet izin boleh masuk kelas dari guru piket"" Beliau kembali bertanya dan gue membalasnya dengan gelengan lemah.
"Kamu sekarang ke ruang piket lalu minta surat keterangan untuk boleh mengikuti kelas saya." Lanjutnya.
"Baik pak..." Gue menutup pintu dengan pelan.
"Satu lagi." Gue menahan daun pintu.
"Jaketnya tolong dibuka, ini sudah berada di dalam lingkungan sekolah." Tambahnya.
"Oh, baik pak." Kali ini gue sudah menutup pintu lebih cepat.
Gue sengaja ga minta izin terlebih dahulu ke ruang piket karena gue tau bahwa gue ga akan pernah mendapatkan izin untuk mengikuti jam pelajaran pertama karena telat datang ke sekolah. Dengan lemas, gue kembali berjalan menuruni anak tangga menuju ruang piket yang berada di lantai satu. Yah, olahraga pagi...
*** Sekarang gue sekarang berada di dalam perpustakaan, mencoba membunuh waktu dengan melihat-lihat buku sambil menunggu jam pelajaran berikutnya datang. Benar apa dugaan gue, gue ga boleh masuk ke dalam kelas. Dan gue ga sendirian disini, ada beberapa orang siswa yang juga telat masuk ke sekolah dan ditempatkan disini. Bukan beberapa sih, mungkin belasan dan hampir masuk ke angka 20-an orang.
Di satu sisi, gue merasa sedih bahwa rekor gue yang selama ini ga pernah dateng telat akhirnya pecah juga di hari ini. Namun di sisi lain, gue juga merasa senang ketika melihat Hanif sudah kembali duduk di bangkunya lagi. Hati gue berbunga-bunga. Tanpa sadar, gue senyam senyum sendiri memikirkan hal tersebut.
"Naufal ya"" Ujar salah seorang yang entah kapan datangnya, sudah berada di samping gue sambil memegang sebuah buku tentang sejarah.
"Eh, iya. Siapa" Kenal saya dari mana"" Gue bertanya kepada cewek tersebut, yang sebelumnya gue belum pernah kenal ataupun bertemu dengannya.
"Haha siapa sih yang ga kenal sama kamu Fal, anak yang dijailin sama tatib-tatib terus sekarang punya pacar yang lumayan digilai sama anak-anak cowok disini." Ujarnya.
"Tolong, jangan bahas-bahas lagi tentang MOS." Gue memberi senyum yang dipaksakan lalu kembali melihat-lihat buku ensiklopedi yang terpampang di depan wajah.
"Aku Vanny." Dia memperkenalkan dirinya. Gue menengokkan kepala sedikit lalu kembali fokus kepada buku-buku ensiklopedi.
"Saya ga harus memperkenalkan diri kan" Kamu udah tau nama saya." Jawab gue dengan dingin.
"Kok tadi senyum-senyum sih" Sama aku keliatan loh." Dia tiba-tiba bertanya, gue menghela nafas.
"It's none of your business and please, just mind your own business." Ujar gue lalu berjalan menuju meja baca sambil membawa sebuah buku ensiklopedi.
Dasar cewek aneh... *** Gue berjalan menuju kelas sambil menenteng sebuah buku ensiklopedi yang gue pinjam di perpustakaan tadi. Dari luar kelas, dapat terdengar suara ricuh anak-anak yang membuat gue berasumsi bahwa ga ada guru yang mengajar sekarang.
Cklek... Gue membuka pintu, semua mata langsung tertuju pada gue dan suasana seketika hening. Namun tidak lama berselang, kelas kembali ribut. Mungkin semua mereka mengira yang masuk adalah seorang guru tapi ternyata yang masuk adalah gue.
Gue berjalan menuju kursi dengan suasana hati yang senang. Gue akan duduk lagi sama Hanif! Yes!!!
Namun suasana hati gue tiba-tiba berubah dengan cepat. Gue masih berdiri di samping kursi saat gue mendapati bahwa tas milik Hanif tidak berada di tempatnya. Gue mulai panik. Gue celinguk kanan-kiri untuk mencari keberadaannya. Lalu gue memutar badan dan melihat Hanif sedang berada di depan sana, dia ternyata sudah kembali duduk bersama temannya. Argh!
Kenapa kamu pindah, Nif"!
Dengan kesal gue melempar badan pada kursi sehingga membuatnya sedikit terdorong ke belakang.
"Pelan pelan dong Fal!" Ujar salah seorang teman yang duduk di belakang gue.
"Eh, iya sori-sori..." Gue kembali berdiri dan merapikan kursi gue serta meja miliknya lalu kembali duduk.
Setelah duduk, gue kembali bengong sambil melihat cover dari buku ensiklopedi yang gue bawa.
Kenapa Hanif pindah" Apa mungkin gara-gara dia mikir kalo gue ga masuk sekolah jadi dia pindah lagi kesini"
Argh! Gue bangkit berdiri, gue hendak menuju toilet untuk mencuci muka. Baru beberapa langkah, ada suara yang memanggil.
"Fal..." Gue berhenti dan menengok kepada Ojan yang sedang berada belakang gue.
"Hmm"" "..." "..." "Ga jadi deh..." Dia menghela nafas dan hanya menepuk-nepuk pundak gue lalu kembali duduk di tempatnya. Gue mengangguk dan kembali berjalan keluar kelas.
Sebenarnya, Ojan mau ngomong apa" Apa arti dari tepukannya di pundak gue"
*** Jam pelajaran kini sudah usai. Gue memasukkan buku-buku ke dalam tas. Saat sedang memasukkan buku-buku, gue melihat sebuah cokelat batangan yang udah gue beri hiasan sebuah pita berwarna merah. Gue tersenyum, ini adalah janji gue sendiri kalo misalkan gue udah ngomong dan terus baikkan sama Hanif, gue bakal ngasih cokelat ini untuknya.
Sreeek... Suara resleting tas tertutup. Gue memainkan jari-jari diatas tas lalu bersiap untuk berdiri menuju tempat dimana Hanif berada. Tiba-tiba gue mencium wangi parfum yang sangat gue kenali, wangi parfum yang hanya satu-satunya dimiliki oleh pujaan hati gue, Hanif. Dengan reflek, gue membalikkan badan. Gue melihat Hanif sudah rapih memakai cardigan V-neck berwarna putih miliknya, lengkap dengan tas yang tersimpan dibalik punggungnya.
Apa yang gue rasakan sekarang" Senang" Tentu! Gue sangat senang sekali! Rasanya sudah lama
sekali semenjak gue dan Hanif berdiri dan saling menatap satu dengan yang lainnya.
"Fal..." Hanif membuka pembicaraan.
"..." Bibir gue kelu, ga bisa berkata apa-apa, gue masih ga percaya kalo Hanif tiba-tiba datang menghampiri gue.
"Fal..." Hanif mengulangnya lagi.
"I..iya"" "Ikut aku yuk..." Ucapnya dengan lemah sambil memalingkan pandangan ke arah lain.
"Kemana"" Gue bertanya dengan bingung.
"Aku mau ngomong sesuatu sama kamu..." DEG!
Kalimat terakhir yang diucapkan olehnya cukup untuk membuat orang yang punya penyakit jantung terkena serangan jantung mendadak. Dan gue pun mendapatkan mini heart-attack karenanya...
Part 50 Edge of the Rainbow Keringat dingin mulai terasa di bagian tengkuk dan punggung. Gue menghela nafas perlahan lalu mengangguk dengan lemas ke arah Hanif. Kemudian Hanif berbalik dan berjalan dengan pelan menuju pintu kelas, hal ini merupakan sesuatu yang gak biasa dari seorang Hanif. Gue tau kebiasaan Hanif, dia ga pernah berjalan dengan pelan. Hanif orangnya gesit dan ga ragu-ragu dalam melakukan sesuatu hal. Tapi sekarang, gue bisa merasakan bahwa Hanif memiliki sebuah keraguraguan yang sangat terasa pada setiap langkah kaki yang diambilnya. Entah hal apa yang dapat membuat Hanif menjadi se-ragu itu, gue ga tau...
Hari ini suasana sekolah sangat sepi sekali. Padahal, mungkin baru sekitar 30 menit yang lalu bel pulang berbunyi. Di sepanjang lorong kelas, murid-murid yang masih berada disini pun dapat dihitung dengan jari. Gue benci keadaan seperti ini, keadaan dimana dunia seolah-olah sedang berkonspirasi bersama Hanif yang akan membicarakan sesuatu yang sepertinya cukup serius dengan gue.
Hanif menghentikan langkah kakinya di sudut lorong yang hampir sepi tanpa penghuni, gue yang mengekor di belakangnya ikut berhenti. Rasa gugup yang menghinggapi tubuh gue kini menjadi lebih besar daripada sebelumnya. Panasnya udara siang ini tidak dapat mengalahkan rasa dingin yang mulai menjalar di bagian bibir dan wajah. Ujung tangan dan ujung kaki gue pun sama dinginnya.
Hanif membalikkan badannya sambil tertunduk, lalu beberapa saat kemudian dia menengadahkan kepalanya dan mulai berbicara kepada gue.
"Fal... Ada yang aku mau omongin sama kamu..."
"Nif... Aku..." Kata-kata gue terhenti, gue hampir ga bisa meneruskan perkataan berikutnya. Gue menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya.
"Aku mau minta maaf sama kamu." Lanjut gue.
"Buat"" Hanif bertanya dengan lembut. Aaahhh, tolong, gue kangen dengan suara lembut itu...
"Aku mau minta maaf, kemarin aku udah ngebentak-bentak kamu sampe kamu nangis... Aku... Minta maaf..." Setelah gue mengucapkan kalimat tersebut, gue menundukkan kepala. Badan gue nyaris menjadi lemas total.
"Udah cuman itu doang Fal""
"..." Gue mengangguk lemas.
"Apa aku harus maafin kamu""
"..." Gue diam.
"Kamu ga ngerasa ada salah yang lain lagi""
"..." Gue masih diam.
"Kamu ga bisa jawab kan""
"..." "Aku takut waktu kamu kemarin bentak-bentak sama aku, aku takut waktu kamu tiba-tiba ngomong 'lo-gue' lagi sama aku di depan kelas, aku takut..." Hanif berkata dengan lirih.
"Dua hari kemarin, kamu kemana aja Fal"" Sambungnya.
"..." "Aku nungguin kamu, aku nungguin kamu buat ngomong duluan sama aku. Aku... Aku tuh cewek Fal, aku tuh cewek... Aku cape kalo aku terus yang selalu bergerak duluan... Kalo misalkan aku ga ngajak ngomong sama kamu kayak tadi, kamu pasti ga akan pernah ngajak aku ngomong kan" Iya kan""
"..." "Selama dua hari itu, aku nungguin kamu. Aku tidur sambil pegangin handphone, berharap ada sebuah sms atau telfon dari kamu. Satuuu aja Fal... Tapi apa" Sampe aku bangun pun handphone aku masih sepi. Jangankan telfon, kamu sms aku aja enggak kan""
"..." Iya, aku salah... Aku terlalu pengecut...
"Fal, kamu ternyata orangnya masih ga berubah ya dari dulu, ga pernah peka sama perasaan cewek, sama perasaan aku..."
"Dulu kalo aku ga bales sms kamu terus ga mancing-mancing kamu buat nembak aku, mungkin juga kamu ga akan pernah nembak aku kan Fal""
"..." Tolong, Nif, maafin aku... Maafin aku... Maafin... A..ku...
"Aku udah ga tahan kayak gini terus... Iya, aku sampe detik ini masih sayang sama kamu, tapi..."
"..." Please, Nif... Jangan ngomong hal itu... Jangan...
Hanif menghirup oksigen dalam-dalam lalu menghembuskannya sambil berkata:
"Aku ingin kita sendiri-sendiri dulu ya Fal..." DEG!!!
Pipi gue terasa hangat, sebutir air mata kini sudah mengalir dari ujung mata sebelah kiri gue. Hati ini hancur, hancur hingga menjadi jutaan keping yang sangat kecil seperti debu yang berterbangan di muka bumi. Dengan cepat dan sekilas, otak gue memutar kenangan-kenangan indah pada saat pertama kalinya gue bertemu dengan Hanif.
'Kenalin, aku Hanif. Nama kamu siapa"' Aku masih ingat dengan jelas perkenalan kita berdua di awal masuk sekolah dulu... Kamu ingat ga, Nif"
'Kamu ga ke kantin Fal"' Aku juga masih ingat betul saat pertama kalinya kamu mengajak aku ke kantin, namun aku tolak...
'Kamu sakit apa Fal" Tidur ih jam segini bukannya tidur udah tau lagi sakit. Cepet sembuh yaaa...' Aku juga masih ingat dengan bentuk perhatian kecil dari kamu pada saat aku sakit dulu...
Namun gue sekarang sadar, gue ga akan pernah mendapatkan perhatian-perhatiannya yang kecil seperti dulu lagi. Rasa sesak memenuhi seisi paru-paru gue, sakit sekali...
Gue menatap wajah cantik milik Hanif yang juga sudah dibasahi oleh air mata. Kami saling bertatapan dalam diam, seakan menikmati setiap detik yang berlalu di dalam momen-momen terakhir diantara kami berdua. Gue melangkah dengan cepat ke arahnya lalu gue memeluk Hanif sangat erat dan mencium lembut ubun-ubunnya. Hanif pun membalas pelukan gue dan dia juga menenggelamkan kepalanya pada dada gue sambil menangis sejadi-jadinya, menumpahkan segala kesedihan yang sudah dia emban selama ini. Hati gue teriris, orang yang gue sayang kini sedang menangis gara-gara gue sendiri. Gue menatap lurus kedepan sambil mengelus-elus rambut halus milik Hanif dengan lembut, dan gue juga ga dapat menahan air mata yang kini sudah menggunung di pelupuk mata.
Beberapa saat kemudian Hanif melepaskan pelukannya. Gue menggenggam sebelah tangan milik Hanif dan menyeka air mata yang terisa di pipinya lalu berkata dengan lembut sambil tersenyum.
"Nif.. Aku ga mau putus sama kamu... Aku masih sayang sama kamu, tolong, aku ga mau kita putus..." Sekali lagi, sebutir air mata mengalir di pipi gue.
"Aku juga masih sayang sama kamu, Fal... Cuman aku ga bisa kayak gini terus..."
"Please, Nif..." Gue memohon.
"Maafin aku Fal, aku ga bisa..."
"..." Gue menundukkan kepala.
"Maafin aku Fal..."
"..." Bibir gue bergetar semakin keras, sekeras gue mencoba menahan air mata agar tidak lagi turun membasahi pipi.
Gue menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya. Gue melepaskan tangan dari tangan Hanif dan mengambil sesuatu di dalam tas. Setelah sedikit merogoh-rogoh, gue mengeluarkan cokelat yang sudah gue persiapkan sebelumnya lalu memberikan cokelat tersebut kepadanya sambil memasang senyuman paling manis yang gue miliki.
"Nih, buat kamu."
"Buat aku"" Dia bertanya dan gue menjawabnya dengan anggukkan sambil tersenyum. "Hehehe makasiiiih!" Dia menerima cokelat pemberian gue.
"Itu sebagai tanda permintaan maaf aku sama kamu loh Nif."
"Emang aku udah maafin kamu" Belom tauuuuu weeekkk!" Hanif memeletkan lidahnya.
Nyess... Hati gue terasa sejuk sekali saat melihat tingkah lakunya yang seperti ini. Tingkah laku yang akan gue rindukan di lain waktu...
"Ih, jahat kamu mah..."
"Biariiin!" "..." "..." "Emmm, yaudah kalo gitu Nif. Aku pulang duluan ya..." Gue meminta izin untuk pamit pulang kepada Hanif. Dia mengangguk sambil tersenyum, manis sekali...
Gue menutup resleting tas dan kembali menyimpannya di balik punggung. Dengan sedikit tertunduk gue membalikkan badan dengan pelan, sangat pelan. Berat sekali rasanya untuk pergi meninggalkan Hanif...
Perlahan, gue mulai berjalan menjauhi Hanif yang masih berdiri di belakang.
"Fal..." Hanif memanggil. Gue menengadahkan kepala lalu menengok ke belakang sambil menaikkan alis.
"Senyum dooong." Dia berkata sambil tersenyum. Lalu sebuah senyuman di bibir gue kini mulai merekah, kemudian gue mengangguk dan kembali melangkah.
Ah, Nif... Kenapa harus seperti ini jadinya"
"Fal!!!" Hanif kembali memanggil. Gue membalikkan badan sambil melebarkan senyuman.
Gue dapat melihat Hanif masih tersenyum, lalu dia melambaikan tangannya.
Bibirnya berkata tanpa suara.
'Dadah...' Gue pun mengangkat tangan dan melambai ke arahnya. 'Dadah...'
Gue juga berkata tanpa suara lalu kembali melangkah.
Baru beberapa langkah berjalan, gue berhenti dan kembali membalikkan badan.
"Nif"" Gue memanggil Hanif yang masih memperhatikan gue.
"Hmm"" "..." "Aku sayang sama kamu..." Gue berkata agak pelan, lalu gue dapat melihat Hanif tersenyum hingga matanya menyipit.
"Aku juga sayang sama kamu, Fal..."
Setelah mendengar dia berkata seperti itu, gue tersenyum sambil kembali melambaikan tangan lalu membalikkan badan dan berjalan lebih cepat, meninggalkan Hanif bersama berjuta perasaan milik gue yang masih tersisa untuknya, hanya untuknya, hanya dia, tiada yang lain, Hanif Putri Annisa
******* It's late at night and neither one of us is sleeping
I can't imagine living my life after you're gone Wondering why so many questions have no answers I keep on searching for the reason why we went wrong
Where is our yesterday You and I could use it right now But if this is goodbye
Just take my heart when you go I don't have the need for it anymore I'll always love you, but you're hard to hold Just take my heart when you go
Here we are about to take the final step now I just can't fool myself, I know there's no turing back
Face to face it's been endless conversation But when the love is gone you're left with nothing but talk
I'd give my everything If only I could turn you around But if this is goodbye
Just take my heart when you go I don't have the need for it anymore I'll always love you but you're hard to hold Just take my heart when you go
Mr. Big Just Take My Heart
Part 51 Bittersweet Reality Sesampainya di rumah, gue langsung menyimpan tas dan merebahkan badan di atas kasur, masih berpakaian seragam lengkap plus sepatu yang masih terpasang pada kaki. Gue menyimpan tangan di atas dahi dan menatap langit-langit kamar yang kini mulai diterpa sinar mentari sore. Terdengar alunan musik alam dari gemericik air mancur di halaman depan dan suara burung milik tetangga sebelah juga menyeruak masuk melalui jendela yang terbuka. Suasana yang hening nan syahdu ini sedikit banyak dapat membuat hati gue damai dan rileks setelah mengalami kejadian hari ini. I wonder why we went wrong, Nif...
Gue menengok ke salah satu sudut kamar dengan perlahan, samar-samar gue teringat pada sebuah kenangan dimana saat Hanif sedang tertawa kepada kamera digital miliknya setelah mengambil foto gue yang sedang tidur.
'Coba deh liat Fal kamu lucu banget kalo lagi tidur, mangap terus mukanya jelek banget! Hahaha...'
Gue tersenyum simpul saat mengingatnya. Lalu gue bangkit dan duduk di tepian kasur, membuka sepatu lalu menyimpan disamping meja belajar dan berjalan keluar kamar.
Gue duduk di atas sofa dan ingatan gue kembali melompat pada waktu dimana gue dan Hanif sedang duduk berdua, disini, di atas sofa yang sedang gue duduki ini sambil melihat-lihat hasil jepretan Hanif. Lalu tiba-tiba Hanif menyenderkan kepalanya di bahu sebelah kanan yang membuat lutut gue menjadi cair tak bertulang.
Dan hal yang ga pernah gue duga sebelumnya pun terjadi, Hanif mencium pipi gue dan dia pun tertawa cengengesan setelah melakukan hal tersebut, dia membuat gue mematung sambil memegang pipi yang dicium olehnya.
Kamu selalu sukses ngebuat aku se-lemes itu,
Dan cuman kamu yang bisa ngebuat aku menjadi diam tak berkutik, Nif...
Lalu tanpa sadar, gue memegang pipi sebelah kanan yang dulu pernah ia cium dan gue pun kembali tersenyum saat mengingatnya. Gue masih dapat merasakan hangatnya kecupan Hanif pada pipi ini.
Dan di saat yang bersamaan pula gue dapat merasakan sakit yang amat sangat setelah mengingat bahwa Hanif sudah tidak lagi berada di sisi gue...
Gue bangkit dan berjalan menuju ruang tamu, gue masih inget, banget, dimana gue memegang tangan Hanif untuk pertama kalinya dan gue pun merasakan hal yang belum pernah gue rasakan di dalam hidup gue sebelumnya, saat dimana gue jatuh cinta kepada Hanif...
Apa gue gila" Iya! Gue gila!!! Gue gila karena gue berpikir bahwa gue masih bisa mengulang kejadian-kejadian yang nyatanya ga akan pernah terulang lagi!
Siapapun, tolong, gue hanya ingin kembali memutar waktu, mengulang semuanya dan berharap ini ga pernah terjadi...
I am lost without you... *** Pagi ini terasa berbeda setelah kejadian hari kemarin, kejadian dimana Hanif menginginkan berjalan sendiri tanpa gue. Hanya kekosongan dan kehampaan yang sedang gue rasakan sekarang. I ain't worth living...
Gue menyibak selimut dengan lemas lalu memposisikan badan untuk duduk di atas kasur. Setelah mengucak-ngucak mata, gue menengok dan melihat handphone di samping bantal lalu mengambilnya. Saat gue membukascreenlock, gue langsung disuguhi oleh
pemandangan background bergambar foto Hanif yang sedang tersenyum lepas sambil memasang dua buah jari berbentuk 'V' ke arah kamera. Gue pun tersenyum kecut saat melihatnya, melihat Hanif yang sedang menjalani saat-saat bahagianya bersama gue.
"Sini-sini Fal!" Hanif memanggil.
"Apaan"" "Berdiri disitu!" Dia menunjuk pada sebuah tempat lalu gue berjalan sesuai dengan arahannya.
"Udah, terus"" Gue bertanya dan Hanif yang sedang memegang handphone gue kini mengangkatnya lalu mengarahkan kameranya pada gue.
"Diem ya, tiga...dua...satu... kejuuu!"
"Cheese!" Dan ckrek! Hanif mengambil foto gue yang sedang memasang gaya tersenyum a'la pas foto.
"Ih bagus-bagus! Coba gantian kamu yang fotoin aku Fal!" Hanif memberikan kembali handphone gue lalu berlari kecil ke tempat dimana gue difoto olehnya.
"Oke, sekarang pasang gaya! Yang cantik!" Gue mengarahkan Hanif dan kemudian dia mengacungkan dua jarinya membentuk huruf 'V' sambil tersenyum.
"Tiga...dua...satu..." Ckrek! Lalu Hanif berjalan ke arah gue dan langsung merebut handphone dari tangan.
"Tuuh kan baguuus! Aku jadiin ini jadi background handphone kamu ya"" Dia bertanya sambil memasang senyum antusias.
"Kenapa enggak" Boleh-boleh." Gue mengangguk dan kemudian Hanif memencet tombol-tombol di handphone gue. Lalu beberapa saat kemudian dia menggoyang-goyangkan handphone di depan muka gue.
"Nih udah, liaaat cantik kan" Jangan diganti loh ya awas!" Hanif mengancam sambil memasang wajah nenek lampirnya.
"Iyaaa, ga akan aku ganti kok!"
Gue merasa bahagia saat mengingat hal tersebut, mengingat salah satu hal yang ga mungkin gue dapatkan kembali bersamanya...
Haha. Menyedihkan...

Cowok Manja Merantau Karya Karnaufal di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Gue memegang handphone cukup lama, berharap akan datang suatu keajaiban dimana Hanif memberikan ucapan selamat paginya kepada gue walaupun gue tau kalo sekarang gue ga akan pernah lagi mendapatkan hal seperti itu, tapi apa salahnya berharap" Apa ga boleh untuk gue berharap agar Hanif mengirimkan sms yang berisi ucapan selamat paginya untuk gue" Apa gue ga boleh berharap, kalo suatu saat nanti Hanif akan menjadi pacar gue lagi" Dan semoga, semoga harapan gue yang terakhir ini bukanlah harapan kosong semata.
Semoga... Gue membuka kolom pesan lalu mengetikkan sebuah kalimat. 'Hallo, Nif, selamat pagiii...'
Lalu rasa bimbang menyerang gue seketika.
Apa gue harus kirim" Tapi... Gue siapanya dia" Ah tapi kan, ini cuma sebuah ucapan selamat pagi. Apa gue ga boleh ngirim kayak gini"
ARGH! Gue menghapus semua kata yang sudah gue ketik lalu melempar handphone ke sudut kasur dan beringsut menuju kamar mandi dengan suasana hati yang kacau balau.
Part 52 Hai Nif Setelah mandi dan menggunakan seragam lengkap, sekali lagi, gue melihat handphone untuk sekedar mengecek apakah ada sms dari Hanif atau tidak.
Dan ya, Handphone gue masih sepi tanpa ada yang notifikasi yang meramaikannya. Gue menghela nafas lalu berjalan menuju meja makan.
I'm desperately, Sad... Hidup segan, mati pun tak mau. Makanan enak tersaji, namun tiada nikmat di dalamnya. Gue menyendoki nasi dengan malas dan mengunyahnya dengan pelan. Seminggu yang lalu, bibi memasak makanan yang sama dengan apa yang gue makan sekarang. Dan rasa masakan hari ini ternyata sangat jauh berbeda sekali dengan rasa makanan yang dimasak minggu kemarin. Malah, rasanya hampir mendekati kepada apa yang sedang hati gue rasakan sekarang. Hambar, tidak berasa. Mau ditambah gula atau garam seberapa banyak pun pasti rasanya akan tetap sama, karena 'penyedap' rasa dalam hidup gue kini sudah pergi.
She has gone... Gue melipat sendok dan garpu lalu meninggalkan piring yang masih terisi 3/4-nya dan memakai sepatu. Jam segini seharusnya gue udah berada di dalam angkot menuju sekolah. Mungkin karena efek malas yang luar biasa (atau mungkin efek baru putus), gue hampir ga mau pergi ke sekolah kalo gue ga lupa bahwa gue harus mengembalikan buku yang dipinjam kemarin karena batas peminjaman yang berakhir hari ini, padahal gue sama sekali belum membacanya.
Sepuluh menit kemudian, gue baru melangkahkan kaki keluar rumah dan menunggu angkot di ujung komplek. Sepertinya nasib gue sedang mujur hari ini, angkot yang gue tumpangi hampir terisi penuh sehingga si supir sama sekali ga berhenti untuk ngetem di tengah jalan.
Namun kemujuran gue berakhir dengan cepat dan digantikan dengan kesialan. Lama perjalanan dari rumah menuju sekolah masih tidak bisa dipersingkat walaupun si supir angkot membawanya dengan kecepatan yang lumayan tinggi. Gue telat lagi.
Setelah mengurus tetek bengek bersama guru piket yang dengan santainya merokok rokok kretek di samping tanda peringatan 'Dilarang Merokok di Lingkungan Sekolah', gue melangkahkan kaki dan masuk ke dalam perpustakaan.
"Bu, saya mau ngembaliin ini." Ucap gue sambil menyerahkan buku kepada wanita paruh baya yang sedang duduk di balik meja.
"Oh, yang kemarin minjem ya"" Tanyanya sambil melihat data peminjam buku perpustakaan.
"Iya bu." Gue menjawab sambil memperhatikan beliau yang sedang mengambil sesuatu dari balik laci mejanya.
"Ini, tolong tanda tangan di kolom ini." Beliau memberikan sebuah buku dan menunjuk kolom konfirmasi pengembalian buku dengan ibu jarinya.
"Oke sudah, makasih bu." Gue berterima kasih dan gue dibalas oleh senyuman beliau.
Gue menarik kursi lalu duduk, bengong, dan perasaan galau pun kembali muncul.
Gue menenggelamkan muka dalam tangan yang bertumpu pada meja lalu menghembuskan nafas berat hingga menimbulkan suara nafas yang cukup keras.
Hhhhh... If only i could turn back the time...
Gue menarik kepala dan kemudian celingak-celinguk memperhatikan sekitar. Lalu tangan gue merogoh handphone yang berada di saku celana dan membuka screenlock-nya. Gue kembali disuguhkan backgroundbergambar Hanif yang sedang tersenyum, dan entah kenapa gue pun tersenyum saat melihatnya. Namun buru-buru gue memencet menu untuk menghindari perasaan yang berkecamuk di dalam hati. Kemudian jari-jari gue memencet tombol yang mengarah pada kolom inbox, lalu membukanya.
Hanif Hanif Hanif Hanif Hanif
Semuanya dari Hanif!!! Sepanjang gue men-scroll ke bawah, hanya sms dari Hanif yang dapat gue lihat dan nyaris ga ada sms lain selain itu!
Gue memberanikan diri untuk membuka salah satu sms darinya dan melihat tanggal saat gue menerima sms tersebut. Gue tersenyum kecut saat mengetahui bahwa sms ini dikirim lima hari sebelum gue putus dengan Hanif. Jujur, gue sedih saat melihat isi dari sms ini, melihat isi dari sebuah sms yang menggambarkan betapa indahnya dunia disaat dua insan manusia yang sedang saling jatuh cinta, tetapi lima hari kemudian mereka berdua memutuskan untuk berpisah di persimpangan. Gue ga pernah menyangka, dalam kurun waktu lima hari ini ternyata semuanya dapat berubah seratus delapan puluh derajat. Semuanya berubah, total.
ARGH!!! Sepanjang menjalani masa 'hukuman' ini, gue hanya duduk diam, membaca satu persatu sms yang dikirimkan oleh Hanif sambil senyam-senyum sendiri.
Ah... Gue gila! Gue gila, karena gue kangen masa-masa itu...
*** Satu persatu siswa yang datang terlambat meninggalkan ruang perpustakaan setelah mendengar bel berbunyi, tanda dimana masa 'hukuman' bagi kami, siswa yang telat masuk, berakhir. Gue mengambil tas yang tergeletak di atas meja, keluar dari perpustakaan dan berjalan di lorong lalu berbelok menaiki anak tangga.
Setelah melewati beberapa puluh anak tangga, gue berhenti di tempat dimana gue dan Hanif kemarin memutuskan untuk berpisah. Ingin rasanya gue mengulang waktu ke 18 jam yang lalu, dimana gue dan Hanif masih menjadi sepasang kekasih walaupun sedang berada di ujung tanduk. Setidaknya, gue ingin mengajak Hanif mengobrol lebih dulu, memohon permintaan maafnya dan (mungkin) gue dapat menghindari kejadian kemarin. Gue menggeleng lemas lalu berjalan menuju kelas sambil menundukkan kepala.
Gue melewati beberapa anak yang sedang mengobrol, sekilas gue dapat mendengar apa yang mereka bicarakan: tentang putusnya gue dengan Hanif.
What"! Berita ini sangat cepat sekali menyebar bagaikan virus yang tertiup oleh angin, dan boom! Semua orang terinfeksi dengan virus tersebut.
Gue mempercepat langkah kaki dan berhenti di depan pintu kelas. Gue memegang gagang pintu dan hendak memutarnya.
"Hai Fal." DEG!!! Gue terdiam mematung sambil memegang gagang pintu. Gue tau siapa yang memanggil gue, gue sangatmengenali suara lembut milik seseorang yang dulunya mengisi hari-hari gue. Dengan kikuk, gue membalikkan badan dan menyapanya.
"H..hai Nif..."
Part 53 The Decision "Kok datengnya telat"" Hanif bertanya.
"Ngg, telat bangun..." Jawab gue asal.
"Huu makanyaaa, jangan tidur malem-malem!"
"..." Gimana mau ga tidur malem" Lo ga pernah hilang dari pikiran gue, Nif! "Yaudah, aku-ngg... Gue masuk dulu." Ujar gue kikuk sambil menunjuk ke dalam kelas.
"Oke, aku juga mau masuk kok..." Gue membalasnya dengan anggukan sambil tersenyum kaku.
Gue berjalan sambil berpikir keras di dalam otak. Aneh, selama di rumah kemarin dan di perpustakaan tadi, gueselalu memikirkan tentang Hanif, Hanif, dan Hanif! Tapi sekarang saat bertemu dengannya, gue takut, dan malah gue cenderung ingin menghindari dia. God dammit! What the fuck is wrong with me"!
Gue menggaruk pelipis, menyimpan tas lalu duduk. Ga lama kemudian, Hanif datang dan duduk di samping gue. Bukannya merasa senang saat melihat Hanif duduk lagi disini, malah gue merasakan bahwa adanya penolakan di dalam tubuh gue, badan ini sedikit banyak menolak kehadiran Hanif yang sekarang sedang duduk di sebelah gue. Entah kenapa. Gue hanya merasa... Ada yang aneh dengan ini semua. Gue, gue yang masih merasakan 'sakit' setelah diputusi oleh Hanif, berusaha mati-matian untuk ga memperlihatkannya di depan Hanif. Namun Hanif" She act like there's nothing wrong between us. It just like, she doesn't give a shit about it!
Oke! Dia ternyata sudah siap mental untuk menghadapi hal ini, menghadapi hari dimana kami berdua yang sekarang sudah berstatus sebagai...teman...
Sedangkan gue" Gue masih menganggap seorang Hanif adalah pacar gue! Dan gue sama sekali belum siap untuk menerima kenyataan bahwa sekarang Hanif bukanlah pacar gue lagi!
Gue yang masih terdiam sambil 'berperang' di dalam otak, kini menengok ke arah Hanif yang sedikit memiringkan badan ke samping. Lalu dia mengeluarkan snack dari dalam tas nya.
"Mau"" Hanif menawarkan dan gue menggeleng sambil tersenyum kecut. Please, jangan kasih gue
perhatian-perhatian lo lagi, Nif!
Tidak ada obrolan diantara kami berdua. Gue anteng bengong ngeliatin sudut kelas dan sesekali terdengar suara 'krauk-krauk' dari mulut Hanif yang sedang mengunyah.
"Aku diajakin nonton loh Fal." Hanif membuka pembicaraan.
"Sama"" Gue bertanya, gue merasa insecure.
"..." "..." "Diaz." DEG!!! Sebuah nama kembali muncul ke permukaan setelah sekian lama dia sudah ga lagi mendekati Hanif. Sekarang, gue benar-benar merasa insecure. Gue menegang sambil menghembuskan nafas perlahan, menahan setiap karbondioksida yang sedang berada di dalam paru-paru. Dada gue sesak, bukan sesak karena nafas yang belum dikeluarkan. Gue sesak karena mengetahui bahwa Diaz sekarang sudah mulai bergerak lagi.
Gue mengedipkan mata, mencoba memperlihatkan sikap yang biasa-biasa aja di depan Hanif.
"Kapan"" "Tadinya dia mau ngajakin besok, Sabtu. Cuman aku tolak soalnya Senin kan kita UTS." Jawabnya dengan cepat.
"Ooh.." Fyuuuh, untung ditolak... "By the way..." Gue melanjutkan.
"Orang ini kemana"" Gue menunjuk bangku Ojan yang kosong sambil mengalihkan arah pembicaraan yang menyayat hati.
"Tadi dipanggil sama bu Rani, ga tau ada apa." Hanif menjawab dan gue kembali membalasnya dengan membulatkan bibir.
Suasana hati gue kembali kacau. Gue menggoyang-goyangkan kaki dengan cepat sambil mengetuk meja berkali-kali dengan jari. Gue mendorong kursi ke belakang dan berdiri.
"Mau kemana"" Tanya Hanif.
"Umm, WC." Gue menjawab tanpa menengok ke arah Hanif sambil tetap berjalan keluar kelas.
*** Gue berjalan diantara lorong yang sepi, hanya terdengar suara dari para guru yang sedang menjelaskan materi dari dalam kelas yang gue lewati.
Kaki ini terus melangkah tak menentu dan kadang gue ditanya oleh guru yang kebetulan berpapasan dengan gue yang sedang berada diluar kelas.
"Dari mana nak""
"Emm, abis dari toilet Bu."
"Oh." Jawab sang guru kemudian berlalu.
Mungkin sudah dua kali gue berpapasan dengan guru yang berbeda namun ditanyai hal yang sama, akhirnya gue memutuskan untuk pergi ke sebuah ruangan yang sepertinya cukup ampuh untuk mengusir rasa galau ini.
Gue membuka pintu yang bertuliskan 'Ruang Kesenian' di atasnya dengan perlahan. Terlihat alatalat musik tradisional seperti angklung, gamelan, gong, dan masih banyak yang lainnya, sedang menganggur. Mata gue menyapu seisi ruangan, mencari sebuah alat musik yang dulu sering gue mainkan di rumah sana: gitar. Setelah menemukannya, gue melepaskan sepatu dan mulai berjalan untuk mengambil gitar yang digantungkan di sudut tembok.
Sedikit informasi, ruang kesenian ini selalu terbuka walaupun pada saat jam-jam belajar sedang berlangsung dan ga ada yang menjaga ruangan ini. Jadi, tempat ini bisa dibilang cukup 'bebas' untuk dimasuki siapapun, kapanpun.
Gue mengelap body-nya yang sedikit berdebu menggunakan tangan lalu menyetemnya. Saat dirasa bahwa suara dentingan sudah cukup pas di telinga, gue mulai melakukan pemanasan jari. Sudah lama sekali gue ga memegang gitar.
Setelah memanaskan jari, gue mulai memasang jari-jari pada kunci C dan memainkan intro sebuah lagu milik grup band asal Inggris, Coldplay.
When the tears come streaming down your face When you lose something you can't replace When you love someone, but it goes to waste Could it be worse"
Gue berhenti memetik gitar, lalu menyandarkannya pada dinding dan bengong.
Gue udah mangkir dalam 1 mata pelajaran hari ini gara-gara telat. Dan sekarang gue malah berada di sini, di dalam ruang kesenian sambil memainkan gitar disaat pelajaran yang lain sedang berlangsung. Gue ga bisa gini terus, UTS sudah berada di depan mata dan dalam waktu tiga hari lagi gue akan menghadapinya. Gue harus sukses dalam mengerjakan soal-soal UTS nanti karena gue memiliki dua buah janji kepada dua orang yang berbeda walaupun kedua orang itu tidak mengetahui janji apa yang gue buat.
Yang pertama, gue berjanji untuk menaikkan nilai agar gue bisa tetap tinggal disini. Itu janji gue kepada Bokap.
Dan yang kedua, Gue berjanji untuk memiliki sesuatu yang dapat dibanggakan olehnya, oleh Hanif...
Memang gue sudah bukan lagi pacarnya, namun janji adalah janji. Gue harus bisa memenuhi janji tersebut karena gue sudah membuatnya.
Gue langsung keluar dari ruang kesenian dan berjalan dengan cepat menuju kelas, dengan semangat baru.
Part 54 Between Us Selama beberapa hari ke belakang, otak gue ga bisa diajak kompromi untuk melakukan multitasking dan itu membuat UTS gue sedikit keteteran. Atau mungkin juga bisa dibilang, sangat keteteran. Di satu sisi, gue menghapalkan pelajaran untuk mata pelajaran yang diujikan, dan di satu sisi juga gue masih teringat denganHanif.
Yah, semoga nilai gue ga buruk...
*** Besok adalah hari terakhir dalam masa UTS. Malam ini, gue sengaja ga belajar dan memilih untuk berleyeh-leyeh di depan tv sambil main ps karena mata pelajaran yang diujikan besok adalah Bahasa Inggris, salah satu mata pelajaran yang dapat gue handle selain Bahasa Indonesia.
Saat gue sedang panas dingin gara-gara selalu gagal dalam menyelesaikan sebuah misi di dalam ps, handphone yang tersimpan di atas meja bergetar. Gue mempause permainan dan menjulurkan tangan untuk mengambil handphone tanpa beranjak dari lantai. Saat gue melihat siapa pengirim dari sms tersebut, gue kembali menyimpan handphone di atas meja dan kembali bermain ps. Karena yang mengirim sms tersebut adalah, Hanif.
Sekitar tengah malam lewat gue baru selesai bermain. Setelah merapihkan ps, gue langsung mengambil handphone dan beringsut ke kamar. Di atas kasur, gue cuman bisa guling kanan guling kiri.
Gue ga ngantuk sama sekali.
Seketika gue teringat pada sms yang dikirimkan oleh Hanif tadi. Saat gue membuka screenlock, ternyata sudah ada 3 sms tambahan dari pengirim yang sama. Lalu gue membukanya satu persatu.
From Hanif: 18:27 'Fal nanti sabtu bisa keluar temenin aku ga"'
From Hanif: 19:40 'Faaal bisa ga" Aku ga mau pergi sendirian...'
From Hanif: 20:05 'Bisa nggaaaa"' From Hanif: 20:55 'Ish, udah tidur ya"'
Gue menggaruk-garuk rambut kemudian tersenyum. Gue senang, senang sekali, saat ternyata Hanif meminta gue untuk menemaninya. Lalu gue mengetikkan sebuah sms balasan untuknya.
'Kemana" Ngapain"'
Ya, gue sengaja mengirimnya dengan nada yang dingin untuk menutupi ekspresi kebahagiaan gue. Kemudian gue menyimpan handphone di samping bantal, merapihkan posisi tidur, dan gue memejamkan mata dengan perasaan yang tenang.
*** Dengan santai gue berjalan ke arah meja guru dan memberikan lembar jawaban UTS Bahasa Inggris gue lalu keluar kelas. Soal-soal yang gue kerjakan sebelumnya gue golongkan ke dalam soal yang mudah. Mungkin kalo di luar negeri sana yang menggunakan Bahasa Inggris sebagai bahasa resminya, soal-soal ini dapat dengan mudah dikerjakan oleh bocah 1st grade of elementary school karena kosakata dan struktur soal yang sangat simple sekali. Dan sekali lagi, ini menurut pandangan gue sendiri.
Gue duduk di lantai lalu mengeluarkan handphone dari saku celana dan memasang earphone. Lagu You Are The Universe-nya The Brand New Heavies menjadi pilihan lagu gue sekarang. Gue memejamkan mata untuk lebih menikmati lagu yang sangat enak didengar ini.
Bagus Sajiwo 3 Ramalan Fudus Ororpus Karya Julia Stevanny Golok Halilintar 6
^