Pencarian

Cowok Manja Merantau 9

Cowok Manja Merantau Karya Karnaufal Bagian 9


"Beberapa saat lagi, kita akan menonton satu buah pertunjukan band dari kelas XII IPA-5. Mereka semua beranggotakan..."
Samar-samar suara MC terdengar hingga ke backstage, tempat dimana kami berada sekarang. Gue berdiri di depan cermin, merapikan pakaian gue sendiri lalu melihat pantulan bayangan Humam dan Rianti yang sedang berjongkok di depan dua buah softcase. Gue membalikkan badan dan menghampiri mereka berdua.
"Apaan tuh""
"..." Humam tidak menjawabnya dan mengeluarkan satu buah gitar berwarna hitam dengan striping putih, ditambah dengan sebuah gambar kepala tengkorak serta 3 buah huruf 'S-Y-N' pada leher gitarnya.
"Schecter, Synyster Gates, A7X." Ujarnya sambil menyeringai.
"Eh, emang elo doang yang bisa apa"!" Ujar Rianti dengan ketus dan langsung mengeluarkan satu buah gitar dari softcase yang bertuliskan 'Ibanez' di atasnya.
"Itu apaan"" Tanya gue.
"RG-370 DXZ BK. Ibanez."
"..." Gue dan Ojan hanya bisa bengong, ga ngerti sama sekali tentang gitar-gitar yang mereka berdua bawa.
"Gile lu yeee, cewek-cewek pake kebaya kayak gini tapi make gitar item. Cadas banget!" Ujar Ojan. "Dan inilah mereka!"
Suara tepuk tangan terdengar sangat keras sekali. Kami berempat saling bertatapan, lalu tersenyum dengan lebar dan mengangguk. Humam memimpin kami semua keluar dari backstage menuju panggung yang disusul oleh gue dan kemudian Ojan. Suara tepuk tangan masih terdengar normal hingga Rianti keluar sambil membawa gitar di balik punggungnya.
Seketika seisi ballroom menjadi membahana dan para penonton bertepuk tangan lebih keras lagi daripada sebelumnya. Bahkan hingga ada yang meneriakkan nama Rianti sambil bersiul nyaring.
"Assalamualaikum wr. wb." Rianti sebagai lead vocal, membuka salam sekaligus menyapa seluruh audiens yang hadir.
"Kami, perwakilan dari kelas XII IPA-5 yang beranggotakan empat orang. Dimulai dari saya sendiri sebagai vokalis dan gitaris, lalu ada Humam pada gitar." Rianti menunjuk Humam yang berada di samping kanannya.
"..." Humam mengangkat sebelah tangannya sambil tersenyum sementara tangan yang sebelahnya memegang leher gitar miliknya.
"Lalu ada Fauzan pada bass." Rianti menunjuk ke sebelah kiri.
"..." Ojan hanya memberikan senyumannya.
"Dan di belakang kami bertiga, ada Naufal pada drum."
"..." Gue berdiri, sedikit membungkukkan badan lalu kembali duduk.
Sementara Rianti masih 'ngoceh' sambil ditanya ini dan itu tentang lagu yang akan kami bawakan oleh para MC, gue melepas pantofel dan menyimpannya di belakang lalu membenarkan posisi duduk agar lebih nyaman dan mudah dalam bermain.
Setelah itu gue, mendongakkan kepala dan melihat ke depan. Ruangan di depan gue sama-samar terlihat karena pencahayaan yang kurang sementara panggung tempat gue berada saat ini sangat terang sekali. Gue memincingkan mata lalu melihat ke arah dimana Hanif duduk.
Walaupun dalam pencahayaan yang minim sekalipun, gue masih dapat melihat wajahnya sedang tersenyum dan memperhatikan gue. Saat melihatnya, gue seolah-olah mendapatkan sebuah energi positif yang dapat menghilangkan ke-grogi-an gue yang sedari tadi menghinggapi tubuh gue.
"Selamat menikmati lagu yang akan kami bawakan." Ujar Rianti dan kemudian disusul oleh suara tepuk tangan serta siulan dari para penonton.
Lamunan gue akan Hanif pun buyar.
Humam mulai memainkan intro dari lagu 'Mama Rock n' Roll' dan disusul oleh permainan Ojan pada bass serta gue pada drum. Dan beberapa saat kemudian, Rianti mulai bernyanyi dan kami pun beraksi di atas panggung yang menuai sedikit tawa.
Pada saat memasuki bagian guitar solo, Humam mendekat ke arah Rianti dan langsung show off akan kemampuan dalam bergitarnya sambil memasang wajah yang membuat gue ingin tertawa. Setelah Humam selesai, Rianti meladeninya dan mereka berdua show off secara bergantian hingga para penonton berteriak kegirangan.
Dan tiba-tiba saja, mereka bertiga menghentikan permainannya dan membiarkan gue untuk bermain drum secara solo.
'Bangke!' Gue menggumam sambil menggelengkan kepala.
Akhirnya gue menjiplak permainan Cobus Potgieter dengan lagu Umbrella yang di cover olehnya karena itu merupakan satu-satunya ide yang terlintas di dalam otak. Gue hanya memainkan intro serta outro dari lagu coveran tersebut, persis dengan apa yang dilakukan oleh Cobus di dalam videonya dan langsung memberi kode kepada mereka bertiga untuk melanjutkan bermain.
Ketika kami selesai bermain, kami mendapatkan apresiasi yang baik dari para penonton. Mereka semua bertepuk tangan dengan keras sambil tetap bersiul-siul. Dari seluruh orang yang bertepuk tangan, gue dapat mendengar bahwa Hanif-lah yang bertepuk tangan paling keras diantara mereka semua.
*** Badan gue dipenuhi oleh keringat setelah bermain drum sambil mengenakan kemeja lengan panjang yang dibalut dengan jas berwarna hitam. Lalu gue memutuskan untuk berjalan keluar dari ballroom untuk mencari udara segar. Gue berdiri dan memegang pembatas kayu berwarna cokelat sambil menatap kosong ke arah kolam renang yang memantulkan cahaya keemasan.
Semilir angin malam berdesir dan menggerakkan dedaunan hijau hingga mengeluarkan bunyi gemerisik yang indah di telinga gue. Lalu secara perlahan, pasukan udara mulai menyentuh lembut wajah gue yang berkeringat. Gue menikmatinya dengan cara memejamkan mata dan menghirup udara tersebut dalam-dalam. Lalu tiba-tiba indera penciuman gue mencium aroma yang terdiri dari campuran bahan kimia selain oksigen, dan gue semakin menikmatinya.
"Permainan kamu bagus, Fal." Ujar sebuah suara.
Gue menoleh ke arah suara tersebut. Ada seorang wanita yang sedang berdiri di samping gue, dan dia juga sedang menatap ke arah kolam renang yang berkilauan. Wajahnya terlihat samar-samar karena diterpa oleh cahaya redup dari lampu yang berada di depan kami berdua. Beberapa saat kemudian, kepalanya menoleh. Kami berdua saling menatap satu sama lain, lalu kami berdua menyungginggkan sebuah senyuman.
Part 109 Love Is Aching Gue berjalan dengan bertelanjang kaki di atas pasir putih halus yang terhampar luas sambil menggandeng tangan kanan milik seorang wanita yang berparas cantik, cantik sekali. Gue menoleh dan memandangi sebuah anugerah yang telah Tuhan berikan kepada gue.
Dia mengenakan kaos putih tanpa lengan, dan kedua kaki jenjangnya hanya ditutupi oleh hotpants berwarna biru gelap. Tidak lupa, di kepalanya terpasang dengan rapi sebuah sun hat berwarna senada dengan kaos yang dikenakannya, dan dia juga mengenakan sebuah sun glasses berwarna cokelat yang terpasang rapi pada kedua matanya.
Angin sore pantai berhembus hingga membuat rambut merah kecokelatannya berkibar dengan indah. Pemandangan yang sangat memikat sekali bagi siapapun yang melihatnya. Aroma parfum yang dikenakannya pun tercium oleh gue karena hembusan angin tersebut. Dengan menyunggingkan sebuah senyuman, gue melepas genggaman tangannya dan memeluk bahunya.
"Sore-sore gini kok pake kacamata cokelat."
"Tapi tetep cantik kaaan""
"Cantik" Ah kata siapa""
"Ga percaya nih" Coba foto aku sekarang!"
Gue melepaskan pelukan dan dia berjalan menjauhi gue. Setelah berjarak beberapa langkah, dia menengok ke samping lalu menengadahkan kepalanya dan memasang pose a'la ratu Cleopatra. Gue mengangkat kamera dan bersiap untuk memotretnya.
"Satuu... Dua..."
"..." "..." "Udah belom""
"Belooom... Tahaaan..."
Gue sengaja tidak mengambil gambarnya dengan terburu-buru karena gue masih ingin melihat dirinya dari balik lensa kamera yang gue pegang dan mengagumi paras anggunnya dalam diam. Lalu beberapa saat kemudian, gue berteriak.
"Tiga!" Ckrek! Gue melihat hasil jepretan, lalu tersenyum. Dia berpose sambil membelakangi sinar matahari sore sehingga membentuk sebuah siluet yang dilatari oleh langit berwarna oranye tua. Indah sekali. Gue menghampirinya dan memperlihatkan hasil jepretan gue kepadanya.
"Gimana" Aku tetep cantik kan walaupun dalam bentuk siluet juga""
"..." Gue terkekeh dan kembali memeluk bahunya. "Iya, mau gimana juga kamu memang cantik kok."
"Gombal!" Lalu pada sore itu, kami berdua berjalan di atas pasir putih yang halus sambil berangkulan, menikmati momen kebersamaan ini hingga matahari meninggalkan singgasananya di langit.
Legian, 1 Juni 2015 *** Kami berdua masih saling melempar senyuman, lalu beberapa saat kemudian gue mengalihkan pandangan dan kembali melihat ke arah kolam renang yang bekilau keemasan, diterpa oleh cahaya lampu yang mengelilingi kolam tersebut.
"Ga di dalem aja, Nif" Disini kan udaranya dingin."
"Ga apa-apa, aku ingin di luar."
"Ooh..." Gue membulatkan bibir.
Dan seketika semuanya menjadi hening. Kekakuan kembali datang menghinggapi kami berdua. Gue ingin membuka topik obrolan, namun gue urungkan. Gue takut untuk memulai obrolan di dalam situasi seperti ini.Awkward.
"Menurut kamu, cinta itu apa sih"" Tanya Hanif dengan tiba-tiba.
"Hahaha..." Gue terkekeh.
"Lo salah nanya, Nif. Gue sama sekali ga berpengalaman dalam cinta-cintaan." "Ngobrolnya sambil duduk aja yuk!"
Kami berdua berjalan menuju dua buah bangku yang di tengahnya dipisahkan oleh sebuah meja berbentuk persegi berwarna cokelat. Gue duduk sambil menopang dagu dengan tangan yang bertumpu di atas paha dan memandang ke arah kolam renang.
"Cinta... Apa ya""
"..." "Cinta itu ibarat bunga matahari."
"..." Gue dapat merasakan bahwa Hanif menoleh ke arah gue.
"Pernah baca asal-usul bunga matahari"" Tanya gue kepada Hanif tanpa mememandangnya.
"Engga, kenapa""
"Kata orang Yunani jaman dulu, bunga matahari itu merupakan jelmaan dari sebuah nimfa yang jatuh cinta kepada dewa matahari, Helios. Helios selalu menjelajahi angkasa, setiap hari, tapi dia gak pernah tau kalo ada sebuah nimfa yang mencintainya. Nimfa tersebut selalu berdiri di tempatnya dari mulai pagi hari hingga malam hari, dan tetap memperhatikan sang dewa yang gak peduli sama dia."
"..." "Hingga berhari-hari lamanya si nimfa tersebut gak bergeming dari tempatnya berdiri. Tiba-tiba ada sebuah keajaiban yang datang. Akar mulai muncul dari kakinya. Badannya berubah menjadi batang tanaman, dan wajah cantiknya berubah menjadi sebuah bunga yang selalu menghadap ke arah matahari."
"..." "Gue tadi ngomong kalo si nimfa selalu memperhatikan arah gerak sang dewa matahari atau si Helios itu, 'kan""
"Iya..." "Maka dari itu, gerak bunga matahari yang mengikuti arah gerak matahari disebut dengan heliotropisme. Sama halnya jika kita mencintai seseorang. Kita selalu memperhatikan gerakgerik dari orang tersebut, bahkan hingga kita hafal dengan kebiasaannya walaupun dia ga tau kalo ada orang yang memperhatikan dirinya."
"..." "Jadi kesimpulannya, cinta itu merupakan sebuah bentuk dari kesetiaan."
"..." "Mau se-cuek apapun sifat dari orang yang kita cintai, kalo kita memang mencintai orang tersebut, ya berarti kita harus setia kepadanya. No matter what, cintailah orang tersebut layaknya seorang nimfa yang mencintai sang dewa matahari."
"Jadi..." "..." Gue menoleh kepada Hanif.
"Kalo aku cinta sama seseorang walaupun dia cuek sama aku, aku harus tetap cinta dan setia sama dia""
"Siapa" Rizal""
"..." Hanif menjawabnya dengan sebuah senyuman yang tidak gue mengerti.
"Rizal kan""
"Ah, kamu mah ga ngerti-ngerti ih. Kesel deeeh." Ujarnya sambil sedikit tertawa.
Gue bangkit berdiri lalu bersandar pada dinding pembatas kayu. Gue bersandar sambil berhadapan dengan Hanif seiring dengan terbukanya pintu ballroom dan Ojan keluar sambil membawa dua buah gelas minuman bersoda. Ojan memasang ekspresi kaget ketika melihat kami berdua. Gue memberi gerakan kepala agar Ojan kembali masuk ke dalam, dan dia langsung menurut tanpa bertanya.
"Siapa" Ojan ya""
"..." Gue mengangguk.
Angin malam berhembus lebih kencang dari sebelumnya. Gue menikmati angin tersebut karena badan gue memang sedang berkeringat. Namun beda halnya dengan Hanif. Dia sedikit bergidik dan ditambah dengan kebaya merah marunnya dengan model naked back yang membuatnya semakin kedinginan. Gue mendekati Hanif dan melepaskan jas yang gue kenakan, lalu memakaikannya pada tubuh Hanif.
"Kalo pake model kebaya yang kayak gini, mendingkan ke dalem aja. Daripada entar kedinginan terus masuk angin kalo di luar terus mah."
"..." Hanif menggeleng lalu menyilangkan kedua tangannya dan menarik ujung jas gue yang telah dikenakannya.
"Makasih ya..."
"Ya, sama-sama..."
"Mau ke dalem lagi gak""
"..." Hanif menggeleng.
"Anterin aku ke kamer yuk, aku mau istirahat aja."
"Ok." Hanif berdiri lalu berjalan menyusuri koridor, disusul dengan gue yang mengekor beberapa langkah di belakangnya. Mungkin karena gue berjalan di belakangnya, Hanif memperlambat langkahnya hingga kami berdua bersisian, dan dia berjalan di samping gue.
"Fal..." "Hmmm"" "Abis ini, kita kayaknya udah ga akan ketemu lagi ya""
"Masih kok, nanti kan kita harus ke sekolah buat legalisir dokumen."
"Bukan, abis semua ini."
"..." Gue menoleh kepadanya, lalu tertegun sejenak. "Mungkin, kita bakal ketemu lagi. Entah kapan."
"Kalo gitu..." Hanif menghentikan langkahnya.
"..." "May i hold your hand""
"..." Gue menatapnya dengan bingung, lalu gue tersenyum dan menggeleng lemah. "Even for a moment""
"..." Ada jeda beberapa saat setelahnya. Gue mencoba memikirkan kata-kata yang menurut gue pas diucapkan kepada Hanif.
"..." "No, not even for a moment. I'm so sorry, Nif. We are not supposed to be like that. And i hope you'd understand our situation." Gue menjawab sambil tersenyum dan menatap lekat kedua matanya. "And then..."
"..." "When will we meet again"" "When God makes a plan for us." "When""
"..." "..."
"Someday, maybe..."
Lalu dengan disaksikan oleh cahaya lampu yang berwarna kuning keemasan di dalam lorong hotel tersebut, Hanif mendekat dan mendekap erat tubuh gue.
Part 110 Banyak Jalan Menuju Roma Beberapa hari setelah perpisahan sekolah, kadang-kadang gue masih sering memikirkan seorang Hanif dan memikirkan tentang momen terakhir kebersamaan kami berdua di lorong hotel tersebut. Ya, di lorong yang lengang itu kami berdua berbicara tentang sebuah kenyataan, kenyataan dimana gue dan Hanif memang tidak bisa bersama, atau bahkan untuk bertemu kembali di kemudian hari pun sepertinya akan sulit.
Gue menutupi wajah dengan kedua tangan sambil menghembuskan nafas panjang lalu menyenderkan badan pada sofa di samping Aya yang sedang bermain handphone sambil ngemil.
"Kenapa sayang"" Tanya Aya.
"Gapapa..." Gue menggeleng sambil tetap menutupi kedua wajah.
Aya menarik sebelah tangan gue dan menggenggamnya. Gue menoleh kepada Aya dan melihat bahwa dirinya sedang tersenyum ke arah gue dengan senyuman manisnya yang selalu sukses membuat gue merasa safe and sound.
"Fal..." Ujarnya dengan lembut lalu memposisikan badannya menghadap gue. "Kita udah saling mengenal selama hampir tiga tahun dan kita juga udah pacaran selama dua bulan lebih. Walaupun masa pacaran kita masih seumur jagung, tapi sedikit banyak aku udah tau sifatsifat sama kebiasaan kamu."
"Dan sekarang, kamu lagi masang muka seorang Naufal yang lagi ada masalah."
"..." Gue tersenyum.
"Aku disini bukan hanya sebagai pacar atau status sosial doang, aku juga sahabat kamu yang bisa dijadiin temen curhat. Kalo ada masalah apa-apa, aku ada disini, dan sebisa mungkin aku kasih masukan serta support aku buat kamu. Ya""
"Iya, makasih ya sayang." Gue tersenyum sambil mengelus lembut punggung tangannya.
"Kamu mau cerita ada masalah apa""
"..." Gue terdiam sejenak.
"Ini, kamu udah tau kan nilai UN aku kayak gimana" Ga ada yang bisa dibanggain dari nilai itu."
"..." Aya mengangguk.
"Gimana nanti aku mau bersaing sama anak-anak sekolah lain kalo bersaing sama temen-temen sekolah aja susah""
"Kamu jangan pesimis, masih ada ujian SNMPTN kan""
"..." Gue mengangguk.
"Dari sekarang, kamu belajar lebih giat lagi biar nanti bisa lolos ujiannya."
"Terus jangan lupa kamu juga ikut ujian masuk universitas lainnya biar nanti kalo, amit-amit, kamu ga lolos di salah satu ujian, kamu udah punya cadangannya."
"Tapi kalo semuanya masuk kan jadi lebih bagus lagi, kamu punya banyak pilihan yang salah satunya bisa kamu ambil."
"..." Gue tersenyum lalu mengangguk seraya menggenggam erat tangannya. "Makasih ya sayang buat sarannya."
"Iya, anything for you."
"Ay"" "Hmmm"" "..." Gue menggeleng dan mencubit pelan hidungnya sambil tertawa.
Kemudian Aya menyandarkan kepalanya pada bahu gue dan dia kembali memainkan handphonenya dengan senyuman yang mengembang. Sementara gue kembali berpikir, berpikir tentang sebuah hal yang cukup rumit di dalam kepala gue.
Seorang wanita pada dasarnya lebih cepat dewasa dibanding pria yang seumuran dengannya. Hal ini telah dibuktikan oleh seorang Aya yang pemikirannya sudah sangat dewasa sekali. Ditambah dengan usianya yang lebih tua dua tahun dari gue, Aya juga telah membuktikan bahwa pengalaman yang telah mendewasakan dirinya tidak pernah berbohong.
Berbeda halnya dengan gue. Gue masih terlalu dini, sangat egois dan tidak mau, atau lebih tepatnya tidak memiliki nyali untuk mengatakan sebuah hal yang sebenarnya kepada Aya. Gue dengan mengatasnamakan hasil pembelajaran gue selama di SMA, mencoba untuk menyembunyikan sebuah kebenaran yang gue tutup rapat-rapat.
*** "Sukses: Racun yang manis.
Atau, Sukses: Racun yang menggoda. Atau,
Berapa harga sebuah kesuksesan""
Paulo Coelho Sukses, apa itu sukses"
Dari salah satu koleksi buku karangan Paulo Coelho yang pernah gue baca, beliau membuat sebuah kutipan yang selama ini selalu gue ingat, sebuah kutipan yang selama ini selalu sukses membuat gue bertanya-tanya tentang definisi sukses menurut gue sendiri. Apakah selama gue hidup di dunia ini, gue sudah mendapatkan kesuksesan yang selama ini gue inginkan"
Entahlah... Lokasi bank yang gue datangi bersama Ojan hari ini ternyata cukup penuh, dipenuhi oleh anak-anak SMA yang seangkatan dengan gue yang juga ingin mengikuti tes SNMPTN untuk masuk ke universitas impiannya.
"Lo jadi daftar kemana, Jan"" Tanya gue di sela-sela antrian kepada Ojan.
"Gue sih udah daftar ke sini sama ke sini." Ojan menyebutkan nama sebuah universitas negeri di Yogyakarta dan universitas negeri di Jatinangor.
"Lo"" "Rahasia sob, sori ye gue ga mau ngasih tau dulu."
"Anjir, parah lo ah."
Tidak lama berselang, antrian yang sedari tadi mengular kini sudah berkurang dan tiba saatnya bagi gue untuk membayar. Gue menyerahkan form kepada petugas bank lalu mengambil uang dari dompet. Sambil menunggu proses pembayaran selesai, gue memperhatikan penampilan petugas bank yang sedang memproses pembayaran gue tersebut.
Seorang calon mamah muda menggoda yang umurnya gue taksir sekitar 24-26 tahunan, cantik pake banget, dan memiliki rambut hitam yang dicepol rapi. Kacamata frameless serta make up tipis dengan lipstick yang mengkilap pada bibirnya, telah sukses membuat gue lupa kalo gue udah punya pacar yang berpenampilan ga jauh berbeda dengannya.
"Cepet minggir, lo udah selesai. Giliran gue sekarang."
Ojan memecahkan lamunan gue tentang calon mamah muda menggoda tersebut lalu dia merangsek ke depan. Mau ga mau, gue menyingkir dan mengambil bukti pembayaran lalu menunggu Ojan di dekat pintu keluar bank. Sambil menunggu, gue melirik jam di tangan kanan yang kini menunjukkan pukul satu siang, waktunya untuk makan siang.
Gue memandang keluar pintu kaca dan melihat bahwa matahari di luar sedang sangat terik sekali, membuat gue ingin berlama-lama di dalam ruangan ber-ac ini dan menikmati sejuknya udara ruangan dibandingkan dengan udara di luar yang kering, penuh dengan debu yang berterbangan, dan ditambah dengan karbon monoksida yang dikeluarkan oleh kendaraan bermotor.
"Ayo, gue udah."
Ojan menepuk bahu gue sambil memasukkan bukti pembayaran ke dalam tas selendangnya. Gue dan Ojan keluar dari pintu kaca yang dibukakan oleh seorang satpam yang tersenyum seraya berkata 'terima kasih' kepada kami berdua. Baru beberapa langkah setelah keluar dari bank, seketika udara kering nan panas langsung menerpa wajah. Gue memincingkan mata dan menutup hidung dengan jari sambil berjalan ke arah parkiran.
"Cari makan yuk, gue laper nih."
"Boleh, dimana"" Tanya Ojan.
"Warteg aja deh, tuh disana tuh." Gue menunjuk kepada sebuah warteg yang terletak di pinggir jalan dan Ojan langsung menepikan motornya di depan warteg tersebut.
Setelah memilih-milih makanan yang sangat menggugah selera, kami berdua duduk saling berhadapan dan tidak jauh dari pintu masuk agar mudah dalam mengawasi motor Ojan yang terparkir di luar. Sambil ngaso dan beristirahat sejenak setelah makan, kami berdua mengobrol.
"Selain SNMPTN, lo udah daftar kemana aja"" Tanya gue kepada Ojan.
"Gue sih udah daftar ke satu politeknik sama nanti mau daftar USM STAN."
"Tapi untungnya gue juga udah keterima di PTS, jaga-jaga kalo nanti gue ga keterima dimana-mana."
"Tes politekniknya kapan" Pendaftarannya masih dibuka ga""
"Tes masuknya abis kita SNMPTN. Kalo pendaftaran sih bisa sampe minggu depan, lo mau ikut juga""
"Iya, iya. Gue mau ikut." Jawab gue antusias.
"Emang mau ambil apa""
"D4 Elektro sama D3 Mesin."
"Laaah, kok sama sih"!"
"Gue minat masuk situ soalnya."
"Daftar tesnya bisa di sekolah atau harus dateng langsung ke kampusnya""
"Di sekolah bisa kok, tinggal ngomong sama bagian administrasi."
"Oke, besok anterin gue ke sekolah ya."
"Sip." "Sekalian gue juga mau nyari PTS buat jaga-jaga."
"Iya." "Kalo USM STAN daftarnya kapan""
"Nanti itu mah daftarnya, awal Juni."
"Oke, entar gue ikut nyoba juga ya. Barangkali aja dari tes-tes itu bakalan ada yang nyantol sama gue."
"Amin." Kami melanjutkan obrolan seputar tes-tes yang akan datang sambil kembali memesan segelas teh manis dingin sebagai teman di siang bolong ini. Dalam obrolan kami, gue berharap, dari sekian tes dan ujian yang akan gue ikuti dalam beberapa waktu kedepan, gue akan menemukan satu buah jalan yang terbuka untuk gue untuk menuju kesuksesan yang gue inginkan.
Part 111 Oh, You re My Best Friend
"Hallo, lagi dimana""
"Di rumah kok Ay, kenapa"" "Aku main ke rumah ya""
"Yeee, biasanya juga kamu langsung dateng."
"Hehe yaudah ya, aku mau berangkat ke rumah kamu sekarang."
Telpon pun dimatikan dari ujung sana. Gue tersenyum simpul, lalu kembali mempelajari soal-soal yang masih harus gue pahami.
Setelah menunggu sekian lama, terdengar suara mesin motor yang berhenti di depan rumah dan disusul dengan suara pintu pagar yang terbuka. Gue melongok sedikit dari jendela kamar dan mendapati Aya sedang memasukkan motornya ke dalam garasi. Gue bangkit berdiri, berjalan keluar dan membukakan pintu rumah untuknya.
"Tadaaaaa..." Aya mengangkat satu buah kresek berwarna hitam, dan dia masih mengenakan helm serta jaket yang membalut tubuhnya.
"Apaan tuh isinya"" Tanya gue heran.
"Liat aja sendiri sama kamu." Aya memeletkan lidahnya lalu melepas helm dan menyimpannya di atas motor. Kemudian Aya merapikan sedikit rambut berwarna merah kecokelatan miliknya, rambut berwarna merah kecokelatan favorit gue.
"Waduh, ini kok banyak banget"" Gue mengeluarkan satu persatu DVD yang dibawa Aya dan kebanyakan merupakan film yang sedang trend pada saat itu.
"Iya, soalnya kan sekarang-sekarang kita ga bisa nonton ke bioskop. Jadi aku beli terus kita nonton berdua deh di rumah. Eh enggak ding, aku aja yang nonton. Kamu mah harus belajar dan ga boleh ikut nonton." Aya kembali memeletkan lidahnya, dan kali ini sambil menyipitkan kedua matanya. Gue pun tertawa dan mengajaknya masuk ke dalam.
Di dalam, Aya langsung bersila di depan tv lalu mencabut satu persatu kabel yang terpasang pada playstation gue dan menggantinya dengan kabel DVD Player sementara gue masuk ke kamar dan duduk di depan meja belajar untuk kembali belajar. Beberapa saat setelahnya, Aya masuk dan duduk di atas kasur. Gue menoleh lalu berbicara kepadanya.
"Ga jadi nonton filmnya""
"..." Aya menggeleng sambil menunduk, dia sedang memainkan handphonenya. "Belum, aku mau ngasih tau ini nih. Coba deh kamu dengerin lagunya sambil belajar. Pasti lebih rileks." Aya menghampiri gue dan memberikan handphonenya.
"Ini lagu apa""
"Dengerin aja." Aya tersenyum lalu keluar dari kamar dan meninggalkan ruangan ini dengan aroma parfumnya yang khas, aroma parfum yang selalu memanjakan indera penciuman gue.
Gue mengambil earphone lalu memasangkannya pada telinga dan memutar sebuah lagu berjudul 'You Make Me Smile' yang dibawakan oleh Dave Koz. Ternyata, lagu ini merupakan sebuah lagu instrumen. Gue memejamkan mata dan menikmati lagu tersebut sambil menggoyang-goyangkan kepala
Karena penasaran, gue membuka kunci handphone Aya dan mengubek-ubek playlistnya. Ternyata ada beberapa musisi jazz yang gue kenali, diantaranya adalah Brian Culbertson dan Boney James. Gue mengenali mereka karena gue juga memang menggemari musik instrumen yang mereka bawakan.
Gue menggeleng, gue tidak menyangka bahwa Aya memiliki selera musik yang sama dengan gue.
"Kok enak sih lagunya"" Gue menghampiri Aya sambil senyam-senyum sendiri.
"Suka kaaaan"" Aya memasang wajah penuh kemenangan.
"Iya nih aku jadi suka sama lagu-lagunya Dave Koz. Kenal sama lagunya dari siapa""
"Dulu aku iseng buka youtube terus masukin keyword 'smooth jazz' dan salah satu video yang keluar tuh punya Dave Koz. Pas aku dengerin, eh ternyata enak. Jadi aja aku download lagu-lagunya terus masukin ke hp."
"Aku pinjem dulu ya handphonenya, enak nih dipake buat belajar."
"..." Aya mengangguk sambil tersenyum.
*** Beberapa hari sebelum pelaksanaan ujian SNMPTN, gue diberi sebuah kabar mengejutkan yang datang dari sahabat gue sendiri, Humam. Gue langsung mengambil handphone dan bertanya kepada Ojan tentang kebenaran dari berita tersebut.
"Iya, beneran kok dia ga akan ikut ujian SNMPTN." Ujar Ojan ketika kami berdua bertemu di rumahnya.
"Emang dia udah yakin bakal keterima disana" Kan ujian masuknya aja susah banget."
"Ga tau tuh." Saat sedang mengobrol tentang Humam, orang yang sedang dibicarakan oleh kami berdua pun menampakkan batang hidungnya. Sambil cengar-cengir, Humam duduk di atas sofa di samping gue dan langsung ngemil.
"Lo beneran yakin tentang ini, Mam" Setau gue, setiap gelombang ujian masuk tuh yang keterima cuman 20 orang." Tanya gue kepada Humam.
"Insyallah, gue udah yakin. Gue dari kecil udah punya cita-cita ingin jadi pilot. Dan sekarang gue bakal berjuang buat cita-cita gue." Ujar Humam dengan nada tegas.
"Kenapa harus ambil akademi pilot yang di Bali" Kan yang disini juga ada tuh yang di deket bandara."
"Masa sih cuman elo doang yang bisa ngerantau jauh-jauh dari rumah"" Ujar Humam dengan nada yang mengejek.
"Anjir, bangke lo Mam." Gue melempar Humam dengan bantal sofa dan kami bertiga tertawa di dalam rumah Ojan.
Keesokan harinya, gue, Ojan, dan Humam sedang berada di stasiun dan menunggu jadwal kereta yang akan ditumpangi oleh Humam. Di sana, di Jakarta nanti, Humam akan mengikuti serangkaian tes atau ujian masuk sebelum diterima menjadi murid akademi tersebut dan melanjutkan studinya di Bali.
Ada sebuah perasaan aneh yang tidak bisa gue gambarkan. Gue merasa bahwa gue telah memiliki sebuah ikatan persahabatan yang tak kasat mata dengan Humam. Berawal dari sering gitar-gitaran bareng di sekolah dan bertukar pikiran bersama, kini gue, Ojan, dan Humam dapat dikatakan telah menjadi tiga orang sahabat dekat yang saling mengenal satu sama lainnya dengan baik. Kami bertiga selalu bersama-sama, dan sekarang kami akan berpisah. Entah untuk berapa lama. Gue ga tau.
"Lo berdua jangan mahoan terus ya kalo ga ada gue." Humam berdiri di tengah-tengah dan merangkulkan lengannya pada pundak kami berdua.
"Ya kali, gue kalo mau maho juga ga akan sama si Naufal." Ojan bersungut-sungut lalu disusul oleh tawa gue dan Humam.
"Nanti kita bertiga bakal ketemu lagi kalo kita udah jadi orang sukses dan udah bener-bener jadi 'orang'. Bukan kita yang sekarang, bukan anak SMA yang masih bau kencur." "Janji"" Humam mengeratkan rangkulannya.
"Janji." Ucap gue dengan mantap.
"Oke, siapa takut." Jawab Ojan.
Humam melepas rangkulannya dan menjabat tangan kami satu persatu. Ketika tangan gue dan tangan Humam saling berjabatan, gue dapat merasakan bahwa dia menggenggamnya dengan erat dan Humam menatap kedua mata gue dengan mantap sambil tersenyum. Kesan yang ditimbulkannya pun sangat kuat dan memperlihatkan sebuah kebesaran hati yang teguh seperti batu karang.
Dengan dikomandoi oleh alam bawah sadar gue sendiri, gue mendekat dan memeluknya.
"Inget, kita bakalan ketemu lagi kalo kita udah sukses nanti." Ujar Humam berbisik.
"Dan kita bakalan ketemu lagi kalo kita udah jadi 'orang'." Balas gue.


Cowok Manja Merantau Karya Karnaufal di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Gue melepaskan pelukan dan sekali lagi menjabat tangannya sambil tersenyum. Lalu kemudian giliran Ojan yang mendekat dan memeluk Humam sambil menepuk-nepuk punggungnya.
"Sukses buat tes-nya sob."
"Amin, doain gue ya."
Humam melepaskan pelukan dan mengambil tas punggung yang dibawanya. Kemudian dia membalikkan badan lalu menaiki kereta yang akan mengantarkannya kepada cita-cita dan mimpi masa kecilnya.
Gue melihat bahwa humam masih berdiri di dekat pintu ketika kereta telah berjalan dengan perlahan. Dia menatap kami berdua, tersenyum, dan mengepalkan tangannya di udara lalu berteriak dengan lantang.
"Sampai ketemu di hari sukses kita semua!" "Keep in touch!"
Humam, seseorang bocah lulusan SMA yang memiliki sebuah mimpi untuk menjadi pilot sejak kecil. Meskipun gue yakin bahwa banyak sekali godaan-godaan untuk melepaskan mimpi masa kecilnya. Namun Humam dengan tekadnya yang kuat, dapat bertahan dan tetap yakin bahwa suatu hari nanti dia akan mendapatkan mimpinya tersebut.
Gue tersenyum dan melambaikan tangan kepada Humam. Kereta yang ditumpanginya pun semakin lama semakin menjauh, menjauh membawa seorang sahabat gue menuju masa depannya yang telah terbuka lebar.
Gue yakin, dan bahkan sangat yakin sekali, Humam akan meraih apa yang menjadi cita-citanya.
Sekarang, gue dan Ojan akan bertarung untuk meraih mimpi kami berdua melalui ujian SNMPTN yang sudah di depan mata. Dan sekali lagi, semoga kami akan benar-benar mendapatkan kesuksesan dan dapat kembali bertemu sebagai tiga orang sahabat, bertemu dengan kepala yang ditegakkan dan dada yang dibusungkan.
Farewell, my friend. May God enlighten your paths.
Part 112 More Than Anything Beberapa hari yang lalu, gue dan Ojan sudah menyelesaikan ujian SNMPTN yang diselenggarakan pada tahun ini. Dan kemarin juga kami telah menyelesaikan ujian masuk pada salah satu politeknik yang menjadi incaran kami berdua. Saat ini, gue dan Ojan membutuhkan beberapa hari refreshing untuk menyegarkan kembali otak yang sudah diperas sedemikian rupa demi mendapatkan hasil maksimal dalam mengerjakan soal pada ujian-ujian tersebut.
"Fal, PS lo gue pinjem ya""
"Berapa lama"" Gue menjawabnya tanpa menoleh kepada Ojan sambil mengambil lauk di atas meja.
"Ya paling tiga hari-an. Gimana" Boleh gak""
"..." Gue terdiam sebentar.
Setelah gue pikir-pikir kembali, tidak ada salahnya juga meminjamkan playstation gue kepada Ojan. Lagi pula, dia sepertinya memang membutuhkan hiburan untuk menyegarkan kembali otaknya.
"Boleh. Tapi ps 2 lo, gue pinjem."
"Laaah, kan ps gue rusak."
"Oh iya ya, lupa gue." Gue menggaruk pelipis.
"Euh, pikun." Gue menarik kursi dan mulai menyantap hidangan makan siang yang sudah dibuatkan oleh bibi. Beberapa saat kemudian, Ojan duduk di seberang gue dan ikut mencomot beberapa lauk tanpa nasi.
"Gimana kabar pedekate lo sama dia" Eh, siapa sih namanya""
"Amalia." "..." Gue berhenti makan dan menatap Ojan dengan nanar.
"Kalem bos! Becanda gue, becandaaa..." "Fina, namanya."
"..." Gue kembali melanjutkan makan dengan santai.
"Ah udahlah, males gue ngomonginnya."
"Kenapa" Gagal""
"Bisa dibilang begitu."
"Kenapa"" "Kalo gue keterima SNMPTN terus pindah ke Jogja, gue ga yakin bisa LDR sama dia. Lo tau lah kenapa." Ujarnya lemas.
Ojan pernah bercerita kepada gue bahwa cewek gebetannya sangat membenci dengan apa yang namanya LDR gara-gara mantan pacarnya. Mereka berdua berpacaran di dalam kota yang sama, namun berbeda sekolah. Dan, yah, orang ketiga kembali menjadi biang masalahnya. ***
Setelah hampir satu bulan lamanya gue tidak pergi keluar dengan Aya, hari ini, malam Minggu, gue dan Aya telah merencanakan untuk pergi keluar berdua. Gue mengenakan celana chino berwarna cokelat muda yang dipadukan dengan kemeja putih kotak-kotak. Tidak lupa, sepatu sneakers gue telah dicuci hingga bersih dan siap untuk dipakai hari ini.
"Udah dandannya, sayang"" Tanya Aya.
"Udah kok, yuk pergi sekarang." Jawab gue sambil tersenyum.
Kami berdua masuk ke dalam mobil Aya dan kali ini gue yang menyetir. Sekarang gue udah bisa bawa mobil sendiri dong hahaha. Gue mengarahkan mobil menuju salah satu pusat perbelanjaan yang terletak di bilangan Cihampelas. Setelah memarkirkan mobil di basement, gue menggandeng tangan Aya dan berjalan menuju teater bioskop yang berada di lantai tiga.
"Fal... Fal..."
"Ya"" Gue menoleh kepadanya.
Hari ini, Aya mengenakan baju berwarna biru tua yang agak sedikit gombrong pada bagian lengan atasnya. Pada pinggangnya terpasang dengan rapi sebuah obi berwarna putih dan dipadu dengan celana jeans panjang berwarna senada dengan pakaiannya. Seperti biasa, rambut merah kecokelatan Aya tergerai dengan indah pada punggungnya. Dan juga gue melihat bahwa Aya mencatok rambut favorit gue pada bagian ujung-ujungnya sehingga menambah kesan 'wah' tersendiri bagi gue.
"Kita nontonnya sore aja ya" Jangan yang jam sekarang." Aya menunjuk ke arah layar monitor yang tertempel di dinding di depan kami.
"Kenapa"" "Aku mau liat-liat running shoes dulu, soalnya punya aku udah rusak sol sepatunya hehehe."
"Iya, mau sampe ngacak-ngacak semua toko sepatu disini juga boleh kok." Jawab gue sambil cengengesan.
"Kalo nanti aku beli mas-mas kasirnya juga sekalian gimana" Boleh ya" Mau aku jadiin yang kedua selain kamu."
"Boleh aja sih, tapi nanti jangan panggil aku sayang lagi."
"Oke, nanti aku panggil kamu... Mmm... Apa ya" Yayang"" Ujarnya tengil.
"Itu mah ga ada bedanya kali Ayaaa..." Gue mencubit gemas sebelah pipinya dan kemudian kami berdua tertawa.
Setelah membeli dua buah tiket bioskop, kami langsung turun ke lantai dasar dan memasuki sebuah toko yang menjual berbagai macam barang yang berkaitan dengan olah raga. Mulai dari kaos kaki, running shoes, hingga jersey dari berbagai macam klub bola pun dijual disini. Aya langsung menarik tangan gue menuju salah satu rak yang menampilkan beberapa running shoes khusus cewek.
"Mau nyari model yang kayak gimana, Ay""
"Aku ga tau, yang penting cocok sama selera aku." Ujar Aya sambil melihat-lihat sepatu yang terpampang di depannya.
Jika Aya sudah berkata seperti itu, gue yakin, dia rela menghabiskan waktu seharian penuh untuk memasuki seluruh toko yang berada di dalam pusat perbelanjaan ini hanya demi mencari sepatu keinginannya.
Di dalam hati, gue berdoa. Gue berdoa semoga kedua betis gue diberi kesabaran serta ketabahan ekstra dalam menghadapi ujian yang maha dahsyat ini, dan semoga Aya cepat-cepat menemukan apa yang menjadi incarannya.
Aamiin. *** Sekitar pukul 7 malam, kami berdua baru saja selesai menonton sebuah film dan langsung keluar dari bioskop. Sambil tak henti-hentinya menyunggingkan senyuman yang lebar, Aya memeluk lengan kiri gue yang dimasukkan ke dalam saku jaket sementara tangan kanan gue membawa kresek berisi running shoes Aya yang baru.
The power of shopping-nya Aya kali ini telah sukses membuat gue ingin membuang kedua betis gue sendiri dan menggantinya dengan sepasang betis yang baru.
Dasar, girls. "Besok pagi kita ke CFD yuk!"
"Ngapain""
"Emang kalo kita kesana mau ngapain""
"Nge-ganteng." Jawab gue santai.
"Ish..." "Kamu mau lari pagi disana, atau mau nyoba sepatu baru""
"Ngg... Dua-duanya."
"Ngomong aja mau nyoba sepatu baru apa susahnya siiih."
"Hehehe, malu ah ngomongnya."
"Tapi, it's a no. Besok aku mau tidur sampe siang dan aku ga mau diganggu." Gue mengangkat jari telunjuk kepadanya.
"Ish kamu maaah..." Aya mencubit lengan gue dengan manja dan membuat gue terkekeh.
Sambil mengobrol, kami berdua terus berjalan dan memasuki halaman parkir pusat perbelanjaan ini. Masih dengan Aya yang melingkarkan tangannya pada lengan gue, gue memperlambat langkah kaki ketika melihat sepasang kekasih di depan sana yang memasuki sebuah Yaris hitam sambil memasang wajah bahagia. Lalu sedetik kemudian, deg! Otak gue berfungsi lebih baik dari sebelumnya.
Do you guys feel the same with me"
"Kenapa"" Tanya Aya.
"..." Gue hanya tersenyum, menggeleng dan kembali berjalan menuju mobil Aya.
Aya masuk dan duduk pada kursi penumpang. Setelah gue menyimpan barang bawaan di jok belakang, gue masuk ke dalam pintu kemudi namun gue tidak menyalakan mesin mobil dan hanya memegang setir-nya saja sambil tertunduk.
"Kenapa sayang""
"..." "Faaal"" Aya menggenggam tangan kiri gue yang masih memegang erat setir mobil.
"..." Gue menoleh kepadanya.
Aya memandang gue dengan tatapannya yang khas, tatapan yang selalu bisa menenangkan kegundahan hati gue, tatapan yang selalu membuat gue merasa aman ketika berada di dekatnya.
Aya tersenyum dan sedikit memiringkan kepalanya sehingga rambut merah kecokelatannya sedikit menjuntai ke bawah.
"Kenapa"" Ujarnya lembut.
"Tadi kamu liat kan orang yang lagi pacaran juga di depan kita""
"..." Aya mengangguk. "Ada apa sama mereka""
"Aku yakin kalo mobil itu punya si cowok, dan aku juga yakin kalo si cowok itu juga yang ngejemput pacarnya."
"..." "Sedangkan kita" Tiap kali kita kemana-mana, pasti kamu yang jemput aku di rumah. Udah gitu perginya jugapasti pake kendaraan kamu."
"Kamu... Kenapa kamu mau sama aku, Ay""
"Padahal kan banyak banget cowok yang lebih di luar sana dibandingkan dengan aku yang ga punya apa-apa kayak gini."
"..." "Aku..." "Aku tuh ngerasa kalo aku itu ga pantes jadi pacar kamu."
"..." Aya hanya memperhatikan gue dengan seksama. "Look at me! What do I have" Nothing!"
"Jadi sekarang kamu mau aku mutusin kamu, terus aku cari cowok lain yang lebih dari kamu""
"..." "Gitu"" "..." Gue mengalihkan pandangan, gue tidak berani menatap kedua matanya.
"Faaal..." "Aku suka sama kamu, aku sayang sama kamu, aku juga cinta sama kamu itu bukan karena materi atau karena hal lainnya. Aku nyaman sama kamu. Aku bisa ketawa-ketiwi bareng sama kamu. Aku bahagia sama kamu. Itu semua bukan dilandasi oleh materi apa yang kamu punya."
"..." "Perasaan aku buat kamu ini bener-bener pure dari hati kecil aku sendiri." "Dan aku juga yakin, someday, kita bakalan punya sesuatu yang lebih dari ini."
"Kenapa kamu yakin sama aku"" "I've seen something in your eyes." "What's that""
"Entahlah, aku ga bisa ngejelasinnya. Ada sesuatu di mata kamu yang bisa bikin aku percaya dan bikin aku yakin sama kamu."
"..." Aya mendekatkan kepalanya, dan mencium lembut pipi gue.
"Jangan pernah ngerasa kayak gitu lagi ya sayang"" Aya menyunggingkan senyumannya dan menggenggam tangan gue, erat.
"Iya, makasih ya sayang." Gue tersenyum, lalu mengecup keningnya dengan penuh kasih sayang.
Saat ini, gue merasa bahwa cinta gue kepada Aya semakin tumbuh dengan subur. Gue mencintai Aya, dan bahkan gue sangat mencintainya. Melebihi apapun.
Di saat yang bersamaan juga, gue bersyukur kepada Tuhan karena Dia telah memberikan seorang wanita yang cantik, wanita yang indah, dan wanita yang sempurna sekali bernama Amalia kepada gue.
Part 113 Mini Heart-Attack Gue berjalan di tengah-tengah kerumunan manusia di dalam lorong panjang yang sempit, berdesakdesakkan menuju sebuah lift yang terdapat di ujung koridor lantai tiga gedung ini. Ketika gue mendekati pintu lift, ternyata sudah terdapat banyak sekali manusia yang juga sedang mengantri. Mau tidak mau, gue harus rela mengantri bersama puluhan orang yang juga telah selesai mengikuti ujian hari ini.
Udara disini panas, sangat panas sekali, karena terlalu banyak hawa panas yang dikeluarkan oleh tubuh manusia yang banyak bergerak dan juga ditambah dengan mereka yang mengobrol sehingga mengeluarkan uap air yang lembab ke udara. Walaupun terdapat beberapa jendela di sekeliling gue, angin yang berhembus masih tidak dapat menurunkan suhu di dalam lorong ini dan alhasil tubuh gue menjadi berkeringat.
Gue menerobos masuk ke dalam lift saat pintunya terbuka dan gue dapat bernafas dengan lega ketika sudah sampai di lantai dasar. Setelah celingukan sebentar, gue langsung menghampiri Ojan yang sedang menunggu gue di salah satu sudut gedung ini.
"Jan, kalo lo diterima SNMPTN, Ujian Politeknik, sama USM STAN, lo mau pilih yang mana"" Tanya gue kepada Ojan setelah kami berdua keluar dari sebuah gedung universitas yang dijadikan tempat untuk ujian masuk STAN hari ini.
"Wah itu pilihan yang berat untuk saya, pak!"
"Pret, tinggal pilih aja salah satu."
"Nah itu dia masalahnya. Gue pengen tiga-tiganya."
"Rakus banget lo, nyet!" Gue menoyor kepalanya.
"Kalo lo sendiri gimana""
"Au..." Gue mengangkat bahu.
"Duduk dulu deh disitu yuk, panas nih." Gue menunjuk ke salah satu tempat yang berbentuk seperti gazebo yang cukup teduh karena dilindungi oleh beberapa pohon mangga yang rindang.
Gue menyimpan tas, duduk sambil menyelonjorkan kaki dan mengibaskan tangan pada leher yang
sedikit berkeringat. Ojan pun melakukan hal yang sama dengan gue. Namun bedanya, dia meregangkan kedua tangannya di udara sambil mendesah pelan.
"Tadi tes-nya gila banget ye." Gue berkata sambil memperhatikan sekerumunan orang di depan gue yang sedang berbondong-bondong berjalan menuju parkiran di bawah terik matahari yang bersinar terang.
"Bener, setuju." Ojan mengangguk.
"Otak gue juga butek banget ini, pengen pecah rasanya."
"..." "Cari makan deh yuk. Laper nih gue. Lagian sekarang juga udah siang."
"Gue sih bawa makan dari rumah."
"Wah, tumben banget lo bawa bekel."
"Iya nih, dibuatin sama Aya."
"Mana, mana" Gue ingin nyoba."
"Kalem." Gue membalikkan badan dan mengeluarkan kotak makan berwarna oranye dari dalam tas. Setelah gue membuka tutup dari kotak makan tersebut, seketika harum saus teriyaki yang dicampur dengan wangi khas dari bawang bombay langsung menyeruak dan mengelilingi udara di sekitar kami.
Gue menatap nanar hidangan yang tersaji pada tangan kiri gue. Sekumpulan daging sapi berwarna cokelat kehitaman yang ditambah dengan sedikit black pepper di atasnya. Makanan yang sangat menggugah selera makan gue siang ini.
Gue meneguk liur. Glek...
"Wanjiiir! Beef Teriyaki!" Ojan menggosok-gosokkan kedua tangannya dengan semangat. "Sikaaat!" Dia langsung mencomot salah satu daging tersebut, namun gue tepuk punggung tangannya.
"Jorok!" Ucap gue ketus lalu mengambil tissue basah dari dalam tas. "Nih, bersihin dulu tangan lo!"
Sementara Ojan membersihkan tangannya dengan tissue basah sambil ngoceh, gue mengambil kotak makan lainnya yang berisi nasi beserta sendok dan garpu dari dalam tas. Gue terdiam sebentar ketika melihat sebuah sticky notes berwarna merah muda yang tertempel pada tutup kotak makan tersebut dan kemudian gue membaca pesannya.
'Semangat tes-nya! Semoga lancar!' ^_^
With love -Aya- Gue menyunggingkan senyuman kecil setelah membaca tulisan tangan milik Aya, dan beef teriyaki buatannya terasa menjadi seratus kali lebih nikmat dari biasanya. ***
Kemarin merupakan hari yang paling ditunggu-tunggu oleh seluruh calon mahasiswa di Indonesia, hari dimana diumumkannya peserta yang lulus ujian SNMPTN. Namun hingga saat ini, gue belum mengeceknya. Gue terlalu takut untuk membuka situs yang memberikan pemberitahuan tentang kelulusan tersebut.
"Udah cek belum"" Tanya Aya yang sedang berkutat di depan laptopnya di atas meja makan.
"Belum." Jawab gue sambil tetap bermain PS.
"Kok belum" Mana nomor ujian kamu" Sini, aku yang cek."
"Iya, bentar." Gue bangkit berdiri, masuk ke dalam kamar untuk mengambil kartu ujian dan memberikannya kepada Aya.
"Nih." "Kenapa sih ga di cek dari kemaren"" Tanya Aya sambil menjulurkan tangannya dan mengambil kartu ujian dari tangan gue.
"Aku ga berani sayaaang."
"Ih, jadi cowok kok ga berani." Ujarnya dan gue hanya menggumam.
Gue kembali duduk dan hendak mengambil stick PS, namun gue urungkan. Gue berjalan menuju dapur untuk mengambil beberapa makanan ringan untuk menemani gue bermain. Sekembalinya ke ruang tengah, gue dibuat bingung oleh Aya. Dia berdiri di depan gue, menyunggingkan senyuman yang lebar sambil menggigit bibir bawahnya, lalu dia melebarkan kedua tangannya dan berteriak.
"Aaaaa!" Aya menerjang dan memeluk gue sambil menggoyang-goyangkan badannya ke kanan dan ke kiri.
"Aduh, jangan kenceng-kenceng meluknya. Aku sesek nih." "Ada apa sih""
"Aaaaa! Selamat ya sayang! Aku bangga deh sama kamu!"
"Umumumumumu..." Dia mencubit kedua pipi dan hidung gue secara bergantian sambil memonyong-monyongkan bibirnya.
"Selamat buat apaan, Ay"" Tanya gue heran.
"Siniii..." Aya menuntun gue dan kemudian menunjuk ke arah layar laptopnya. "Itu bacaaa!"
Setelah membaca tulisan tersebut secara berulang-ulang untuk memastikan kebenarannya, seketika seluruh persendian gue menjadi lemas dan gue hanya bisa menatap bengong ke arah layar laptop sambil ternganga, menghiraukan Aya yang memeluk leher gue dari belakang sambil tetap menggoyang-goyangkannya.
Selamat! Naufal Eko W. Anda diterima di Program Studi:
36*** Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan ********
Gue lulus ujian SNMPTN...
Side Story Happy B day and Happy Ied Spoiler: Intro
Karena sekarang masih dalam suasana Idul Fitri, gua akan memberikan sebuah side story untuk kalian semua. FYI: ini bukan cerita kelanjutan dari part 113. Jadi, kalian boleh membacanya ataupun tidak.
Feel free to read! **** July 16th, 2015 10:20 PM UTC +10
"Hallo sayang." Gue menyapa hangat dirinya. Atau lebih tepatnya, menyapa menyapa hangat pencitraan dirinya yang terpampang pada layar laptop gue.
"Hallo juga sayang." Dia menjawab sambil tersenyum dan sedikit memiringkan kepalanya.
"Udah ada siapa aja disana""
"Keluarga besar kamu hampir semuanya ada disini. Tinggal mas Aryo sama keluarganya aja yang belum dateng. Katanya, mereka nyusul abis lebaran besok." Iya, dia sedang berada di rumah gue bersama keluarga gue yang lain. Tahun ini merupakan tahun pertama baginya untuk berlebaran bersama keluarga besar gue.
"Ooh. Mamah gimana" Sehat""
"Mamah yang mana dulu niiih"" Ujarnya sambil cengengesan.
"Mamah yang& Mana aja deh!"
"Hehe mamah kamu baik-baik aja kok, kayaknya mamah juga lagi seneng nih soalnya banyak anak kecil disini."
"Rame banget ya disana""
"..." Dia mengangguk.
"Eh, coba kamu geserin dong laptopnya. Aku pengen liat kamer aku."
"Bentar yaaa..."
Dia memundurkan kursi lalu berdiri sambil memangku laptop dengan kedua tangannya. Selama beberapa detik, gue dapat melihat dadanya yang membuat jantung gue dag-dig-dug tak karuan. Lalu beberapa saat kemudian, dia membalikkan laptop dan terlihatlah seluruh isi kamar gue.
Tempat tidur lama kesayangan gue dengan bed cover-nya yang berwarna biru laut, lemari yang penuh dengan sticker di sudut kanan kamar, dan juga sebuah gitar lawas berwarna hitam yang disimpan di sampingnya.
Gue juga dapat melihat bahwa di ujung sana, di balik pintu kamar yang terbuka, terdapat beberapa keponakan gue yang masih balita sedang berlari kesana kemari, berteriak-teriak, dan tertawa-tawa ketika dijahili oleh om gue.
Tanpa terasa gue, pun tersenyum. Tersenyum saat melihat secuil suasana dan kenangan akan 'rumah' yang nun jauh disana.
"Kamu kangen rumah ya"" Suara lembutnya membangunkan gue dari nostalgia yang sempat melanda.
"Iya, aku kangen. Aku kangen mamah, aku kangen kamu, aku kangen rumah."
"..." Gambar di laptop kembali berubah. Dia sepertinya menyimpan laptop di atas meja belajar gue, dan kemudian dia duduk di depannya sehingga wajah kami berdua kembali bertatapan.
"Sabar ya sayang, mungkin tahun depan kamu bisa lebaran disini."
"..." Gue mengangguk.
"Tanteee!" Suara nyaring yang khas dari seorang anak kecil membuat perhatiannya teralih. Dia tersenyum ke arah gue, kemudian dia membalikkan badan seraya membentangkan kedua tangannya dan menyambut kehadiran anak kecil tersebut.
"Amiraaa!" Itu adalah Amira, keponakan gue yang berumur satu tahun setengah. Dia berlari dengan tertaihtatih ke arah tante-nya sambil menyeringai lebar. Tawanya dapat dengan jelas terlihat dari layar laptop gue. Lucu sekali. Kemudian dia menggendong dan memangku Amira di atas pahanya, lalu kembali menghadap ke arah laptop.
"Tuuuh liat ada siapa." Dia menunjuk ke arah layar laptopnya, menunjuk kepada gue.
"Om Ufal!" Ujarnya sambil melunjak.
"Halo, Amiraaa." Gue melambaikan tangan kepadanya.
"Om enga puang"" Tanya-nya dengan gemas.
"..." Gue menggeleng sambil tersenyum. "Engga nih, om ga bisa pulang sekarang."
"Om kapan puangah" Besok ya puangah""
"..." Gue hanya tersenyum, dan gue tidak bisa menjawabnya.
"Om Ufal pulangnya nanti. Sekarang Om Ufal lagi kerja dulu disana." Jawabannya mewakilkan gue yang sedang diam membisu.
"Gih sana main lagi sama yang lain. Tante mau ngobrol dulu sama Om." Dia mencubit pelan pipi Amira dan menurunkannya ke lantai. Beberapa saat kemudian, Amira kembali berlari keluar kamar sambil berteriak dan mengangkat kedua tangannya.
"Kadang-kadang, aku suka nyesel udah kerja disini."
"..." Dia membalikkan badan lalu melihat ke arah gue, memiringkan kepala, dan sedikit menaikkan alisnya sambil tersenyum seolah-olah bertanya 'kenapa"'
"Aku masih sering ngerasa homesick. Aku ga ingin jauh-jauh dari rumah, dari orang-orang yang paling aku sayang. Terutama kamu."
"..." "..." Ada jeda yang cukup lama di antara kami berdua.
Gue diam, dan dia pun terdiam. Gue menundukkan kepala, lalu memegang kedua ujung mata dengan ibu jari dan telunjuk. Ya, gue hampir saja meneteskan air mata karena gue tidak bisa bersilaturahmi secara langsung dengan saudara-saudara gue, dengan keluarga gue, dengan dirinya, dan yang paling utama adalah dengan orang tua gue satu-satunya yang masih tersisa di dunia ini, yaitu ibu gue.
"Hei..." Ujarnya lembut.
"..." Gue menengadahkan kepala, dan kembali menatap wajah indahnya. Dia sedang tersenyum manis, dan dia terlihat sangat cantik sekali.
"Ya"" "Be strong, dear."
"..." Gue tersenyum, dan mengangguk.
"Kamu tidur gih, lagian sekarang juga udah malem banget kan disana" Besok kamu harus bangun pagi loh buat shalat ied."
"Iya. Tapi besok abis shalat ied, ga bakal ada lagi kupat sama opor ayam yang biasa aku makan kalo lebaran." Jawab gue sambil sedikit terkekeh.
"..." Dia tertawa sambil menutup mulutnya dengan tangan kanan. Lalu dia menyangga sebelah pipinya, menatap gue dengan santai dan berkata:
"Selamat ulang tahun ya, sayang."
"..." Gue kembali terkekeh, dan hampir kembali menitikkan air mata. "Iya, makasih ya sayang. Eh, tapi kan kemaren kamu udah bilang pas hari H-nya." "Ga apa-apa deh, spesial buat orang yang ulang tahun di hari ke-28 di bulan puasa tahun ini." Ujarnya sambil tersenyum.
"..." Lalu tiba-tiba gue teringat tentang sebuah voice note yang dikirimkan oleh teman gue beberapa waktu yang lalu, dan gue pun memberitahukan hal tersebut kepadanya.
"Coba deh kamu dengerin voice note dari temen aku. Bentar yaaa, aku kirim lewat Line dulu."
Gue mem-forward voice note yang dikirimkan oleh teman gue melalui tab yang tersimpan di samping laptop. Tidak lama setelahnya, dia mengambil handphone yang juga tersimpan tidak jauh dari laptop miliknya.
Dari sini gue dapat melihat bahwa dia sedang menundukkan kepala sambil memainkan handphone dengan kedua tangannya. Lalu beberapa saat kemudian, dia tertawa terbahak-bahak setelah mendengar ucapan selamat ulang tahun yang dikirimkan oleh teman kantor gue.
"Ih padahal awalnya udah keren pake flute, eeeh taunya pas ngomong 'Mister Naufal' malah bikin aku ketawa."
"Hahahaha..." Dia menutup mulut dengan sebelah tangannya dan matanya menyipit.
"..." Gue tersenyum saat melihat dirinya tertawa, melihat tawa yang amat sangat gue rindukan. Dan gue juga merasa bahagia ketika melihat tawa-nya yang renyah.
"Nanti, kamu besok kabarin aku ya kalo udah selesai shalat ied. Aku mau nelfon rumah."
"..." Dia mengangguk. "Iya, nanti aku kabarin."
"..." "..." "Hei..." "Hmmm"" Dia menaikkan alisnya.
"Selamat hari raya, sayang."
"Selamat hari raya Idul Fitri juga, sayang."
"..." "..." Kami berdua saling menatap dalam diam. Dan di saat yang bersamaan juga, kami berdua saling melemparkan senyuman.
"..." "..." "I love you." Gue berkata tanpa mengeluarkan suara.
Sambil masih menyangga sebelah pipinya dengan tangan, dia juga menggerakkan bibirnya tanpa bersuara dan berkata:
"I love you too..."
Part 114 Mourn Grief Gue mengucak mata dengan pelan dan kemudian gue duduk di atas tempat tidur, lalu bengong. Butuh beberapa menit hingga gue meraih kesadaran penuh sebelum gue dapat membuka mata dengan lebar dan melihat ke arah gorden yang tertutup.
Kamar gue masih terasa gelap walaupun ada sedikit semburat biru yang mengintip dari balik jendela, menandakan bahwa hari sudah beranjak pagi. Gue meregangkan tangan di udara sambil mendesah, kemudian berjalan menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu dan menunaikan ibadah shalat.
*** Badan gue bercucuran berkeringat setelah hampir satu jam penuh berlari mengelilingi komplek sambil mendengarkan lagu via earphone yang terpasang di telinga. Setelah membeli air mineral di salah satu warung, gue memutuskan untuk berlari-lari kecil menuju sebuah gerobak bubur yang terletak tidak jauh dari rumah.


Cowok Manja Merantau Karya Karnaufal di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kecepatan berlari gue semakin lama semakin berkurang saat mendekati gerobak bubur yang telah dipenuhi oleh orang-orang yang mengantri. Gue melambatkan langkah kaki karena gue melihat seseorang yang sangat gue kenali, namun gue sendiri agak melupakan dirinya.
"Ay..."" Gue menepuk pelan bahunya sambil mengkerutkan kening.
"..." Dia membalikkan badan, dan gue dapat melihat bahwa sorot matanya berbeda dengan Aya.
"Eh, sorry. Gue kira Aya. Taunya elo, Mel." "Lagi libur semesteran""
"Eh, Fal. Iya nih lagi liburan."
"..." Gue tersenyum sambil mengangguk.
"Selamat ya kamu udah diterima di kampus yang itu. Kereeen!" Amel mengangkat jempolnya.
"..." Gue terkekeh dan kemudian mengangkat bahu. "Yah, beruntung doang kali."
"Ah, tapi kata Aya sih kamu udah kerja keras banget buat masuk ke situ."
"Hehehe..." Gue menggaruk pelipis.
"Mau beli bubur juga""
"Iya, bentar ya."
Gue merangsek masuk lalu menyebutkan pesanan gue kepada tukang bubur tersebut. Setelah menunggu sekian lama, akhirnya gue mendapatkan sebungkus bubur dan kembali menghampiri Amel yang sedang menunggu gue, lalu kami berdua berjalan pulang menuju rumah.
"Kamu udah berapa lama sama Aya""
"Hah" Berapa lama apanya""
"Yah, masa lupa sih udah pacaran berapa lama sama Aya""
"Oh... Itu... Hehehe..." Gue cengengesan. "Gue ga tau udah berapa lama."
Iya, gue sendiri kadang lupa dengan tanggal jadian gue dengan Aya. Dan tidak jarang juga Aya menjadi cemberut selama seharian penuh ketika menginjak tanggal dimana kami berdua jadian hanya karena gue lupa dengan tanggal tersebut. Pada akhirnya, gue dapat kembali melihat senyuman Aya setelah gue sogok dengan Cadbury dan nonton di bioskop.
Dua film berturut-turut. *** "Mel..." Gue memanggilnya dan kemudian menghentikan langkah kaki.
"Ya"" Amel pun berhenti melangkah dan melihat ke arah gue.
"Gue mau tanya, boleh""
"Boleh. Tanya apa""
"Anu... Aya." "Aya" Kenapa emang""
"Ngg... Nanya-nya entar aja deh. Jangan disini, jangan sekarang." Gue menggeleng. "Elo liburan sampe kapan""
"Masih lama kok, tenang aja."
"Yaudah, nanti gue sms aja ya buat ketemu dimana-dimananya."
"Oke, see you!" Amel melambaikan tangannya dan kami berdua berpisah di persimpangan. ***
"Hallo, kamu jadi main keluar sama temen-temen, Ay"" "Iya, jadi kok Fal. Kenapa emang""
"Engga, aku cuman nanya doang. Dikirain ga bakal jadi. Sama siapa perginya" Pake apa"" "Aku pergi bareng temen, pake motor."
"Mau main kemana emang""
"Cuman mau makan-makan doang kok, di Raacha. Kamu mau ikut yaaa"" "Wuuu sotoy! Oke deh, take care."
Setelah gue mematikan telefon, gue memberi sms kepada Amel untuk mengkonfirmasi bahwa Aya akan pergi hari ini dan secara otomatis gue memiliki hari yang kosong.
"Oke, langsung ketemuan disana aja ya."
SMS singkat dari Amel tersebut membuat gue bersiap-siap dan langsung pergi dengan menggunakan angkot, menuju sebuah tempat dimana kami berdua akan bertemu di salah satu resto yang terletak di pusat kota.
*** "Jadi, mau tanya apa tentang Aya"" Amel berkata seraya menutup buku menu dan kemudian mencondongkan badannya kedepan.
"..." Gue sedikit tertegun dan menggaruk tengkuk.
"Lo mirip banget sih sama Aya. Gue kayak yang lagi pacaran, tapi bukan sama pacar sendiri."
"Ya iyalah Fal, aku kan kembaran sama dia. Jadiii, jangan suka sama aku juga ya! Apalagi sayang, beuh, nanti ada yang marah loh." Amel mengedipkan matanya sambil sedikit tertawa.
"Iya deh, iya." Gue terkekeh.
"Jadi gini, langsung straight to the point aja ya. Gue ga bisa basa-basi soalnya."
"..." Amel mengangguk.
"..." Gue melipat tangan di atas meja dan kemudian menatap kedua mata Amel. "Gue mau tanya tentang Aya, tentang rumah kalian berdua, dan juga tentang ibu tiri kalian."
"Loh, kok tumben tanya tentang hal ini""
"Gini, lo kan dulu pernah cerita kalo Aya itu ga mau tinggal di rumah kalian berdua." "Apa sampe sekarang, Aya masih ga mau balik lagi ke rumah itu""
"..." Amel menghela nafas dan kemudian menyender pada kursi. "Aku ga tau, aku udah ga pernah nanya tentang hal itu lagi sama dia." Gelengnya. "Emang kamu sendiri ga pernah nanya ke Aya langsung""
"..." Gue menggeleng.
"Gue ga mau tanya-tanya yang sekiranya privasi orang, walaupun orang itu adalah pacar gue sendiri."
"Eh, tapi elo ngasih restu buat gue jadi pacarnya Aya gak nih""
"Hahaha..." Amel sedikit tertawa dan kembali menegakkan tubuhnya.
"Awas aja kalo buat Aya nangis atau sedih, kamu gak akan selamat di kota ini!" Ancamnya sambil tertawa.
"Haha iya deh iya. Gue lanjut nanya lagi ya."
"Iya." "..." Gue kembali menatapnya dengan serius. "Seberapa deket sih Aya sama ibu tirinya"" "..." Amel terdiam, dan dia terlihat memikirkan sesuatu.
"Kalo menurut aku sih ya, mereka berdua itu cukup deket kok. Walaupun ga terlalu deket kayak aku sama ibu." Amel memanggil ibu tirinya dengan sebutan 'ibu', karena 'mamah' adalah sebutan untuk almarhumah ibu kandungnya.
"Tapi... Kok Aya ga mau ya tinggal di rumah""
"Nah itu yang aku bingung. Kalo tiap mereka berdua ketemu atau gimana, Aya tuh keliatannya biasa-biasa aja."
"Dia ga pernah nunjukkin sikap benci atau gak suka sama ibu."
"Apa ada sesuatu hal atau apapun gitu""
"Entahlah..." Amel menghela nafas sambil mengangkat bahunya. "Aku ga tau. Mungkin, memori-memori tentang mamah masih ada di rumah itu."
"Kalo lo sendiri""
"Apanya"" "Memori tentang 'mamah' masih sering muncul ga di rumah""
"Yah, memori sih pasti ada ya. Cuman aku sih udah bisa ikhlas."
"..." Tiba-tiba gue terpikirkan sebuah hal. Gue pun mencondongkan badan dan menatapnya lebih dalam.
"Apa Aya udah ikhlas"" "Atau belum""
"..." Amel menggelengkan kepalanya. "Aku ga tau..."
Di saat yang hampir bersamaan, datang seorang pelayan yang menghampiri kami berdua sambil membawa pesanan. Setelah pelayan tersebut pergi, kami berdua langsung menyantap makanan yang terhidang sambil mengobrol ringan dan sama sekali tidak membicarakan tentang Aya,
Karena gue sudah menemukan sedikit dari jawaban yang selama ini gue cari. ***
"Nih, jemput Aya gih sana." Amel memberikan kunci mobil beserta STNK-nya kepada gue.
"Loh, entar elo sendiri balik pake apa"" Tanya gue dengan bingung.
"Aku udah minta jemput kok sama Fakhri."
"Ooo..." Gue membulatkan bibir dan tersenyum jahil.
"Ish, ga jadi aku pinjemin nih!" Amel melotot.
"Eh, iya-iya deh maaf." Gue langsung menyambar kunci mobil dari tangannya sambil terkekeh. "Yaudah ya, gue pergi dulu. Daaah!"
"Thank you!" Gue berjalan menuju tempat dimana Amel memarkirkan mobilnya dan gue dapat dengan mudah menemukan mobil yang dibawa oleh Amel karena mobil tersebut merupakan sebuah mobil yang juga sering dipakai oleh Aya. Setelah menyalakan mesin mobil, gue langsung keluar dari resto tersebut dan berbelok ke kiri, menuju ke daerah Setiabudhi.
*** Hari telah beranjak sore ketika gue memarkirkan mobil di depan restoran dimana Aya berada saat ini. Ingin rasanya gue menelpon Aya untuk menanyakan keberadaannya, namun gue urungkan. Gue ingin membuat sebuah kejutan untuk Aya.
Gue juga melihat ada beberapa motor yang gue kenali di sudut tempat parkir ini melalui plat nomornya. Berarti, Aya memang masih berada di dalam. Gue keluar lalu bersandar pada pintu mobil dan sesekali memainkan handphone pada tangan, mencoba untuk membunuh waktu sambil menunggu Aya keluar.
Setelah sekian lama menunggu, gue memasang senyuman terbaik yang pernah gue miliki ketika melihat sosok Aya muncul dari pintu restoran di depan gue. Namun, senyuman tersebut menghilang dengan seketika dan digantikan dengan sebuah ekspresi tidak percaya saat gue melihatnya keluar bersama seorang cowok, dan Aya juga memasang ekspresi kaget ketika melihat gue yang sedang menunggunya.
Part 115 Unbearable Pain Turn to Memory
Persendian di kedua tangan gue menjadi lemas dan bahkan gue hampir tidak dapat merasakannya. Jemari tangan dan bibir gue bergetar, dan seluruh bagian di kepala gue menjadi panas, mencoba untuk menyalurkan dan sekaligus menahan dari setiap laju emosi yang berkecamuk di dalam dada, walaupun sangat berat sekali rasanya.
Hati gue juga serasa diiris-iris oleh sebuah pisau tumpul, pisau yang amat sangat tumpul, dan hati gue diiris-iris hingga ke bagian yang paling kecil sehingga menimbulkan sebuah rasa sakit yang tidak dapat gue jelaskan.
Pisau tumpul memang dapat memotong, namun membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan dengan pisau yang tajam. Kenapa" Karena pisau tumpul tidak dapat memotong secara langsung. Pisau tumpul tersebut akan mengoyak, menghancurkan, dan bahkan menceraiberai dari sesuatu yang dipotong olehnya. Gue berteriak kesakitan, dan gue berteriak dalam diam.
Gue melihat bahwa Aya beserta cowok yang berdiri di sampingnya langsung terperanjat ketika melihat gue. Kemudian Aya menggeleng, menutup mulut dengan telapak tangannnya dan langsung berlari kepada gue yang masih berdiri mematung di depan pintu mobil.
Saat ini gue sedang dihadapkan oleh dua buah pilihan, dan gue sama sekali gak yakin dengan pilihan-pilihan tersebut.
Apa gue harus tetap berdiri disini dengan sekuat tenaga dan mendengarkan penjelasan dari Aya" Atau...
Apa gue harus mundur, pergi, dan meninggalkan Aya beserta mimpi-mimpi gue yang telah gue rangkai dengannya"
Kenangan demi kenangan manis gue bersama Aya langsung terlihat dengan sekejap dan sekilas, lalu kemudian digantikan oleh sebuah kenyataan pahit yang gue alami saat ini. Gue menarik nafas dalam-dalam sambil memejamkan mata, lalu menghembuskannya dengan kasar dan masuk ke dalam mobil sambil membanting pintunya.
Fuck my life! Gue memasukkan perseneling lalu kemudian menginjak pedal gas hingga terdengar suara menderu yang sangat keras dan langsung pergi meninggalkan restoran, meninggalkan restoran tersebut bersama Aya yang masih berteriak-teriak, memanggil nama gue dengan nada yang bergetar dan kemudian terdengar sayup-sayup saat gue telah menjauhi area tersebut, menjauhi area tersebut sambil sedikit menitikkan air mata yang mulai menuruni kedua pipi gue.
*** Damn! Otak gue korslet. Otak gue tidak dapat berpikir dengan jernih.
Otak gue memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang aneh dan buruk dalam hubungan gue dengan Aya.
Dan itu semua disebabkan karena gue terlalu banyak menonton adegan lebay a'la sinetron di televisi, sehingga imajinasi gue bermain-main dan memikirkan hal yang baru saja terlintas di dalam otak gue beberapa saat yang lalu.
*** Sejenak gue mencoba untuk memejamkan mata, mencoba untuk mendapatkan kembali seluruh kesadaran yang sempat hilang akibat shock therapy yang baru saja gue dapatkan ketika melihat Aya. Beberapa saat kemudian, mata gue perlahan terbuka seiring dengan terciumnya aroma parfum yang sangat gue kenali sekali, aroma parfum yang sangat memanjakan indera penciuman gue, dan aroma ini adalah aroma parfum milik Aya.
Aya berdiri di depan gue sambil memasang ekspresi sumringah. Rambut merah kecokelatannya digelung ke atas dan membiarkan beberapa helai rambutnya jatuh menjuntai di samping pipinya. Dia berdiri secara berdampingan bersama seorang cowok, dan gue pun memperhatikan penampilan dari cowok necis tersebut secara singkat.
Cowok berbadan atletis dan bermuka tirus ini menggunakan kemeja berwarna putih dengan lengan yang digulung hingga ke sikut. Rambutnya diberi pomade dan dia menatanya dengan model spike.
Kulitnya pun terbilang putih untuk ukuran seorang cowok. Dia memiliki tinggi badan sedikit di atas gue, dan di pergelangan tangan kirinya terdapat sebuah jam berwarna putih yang gue tebak merupakan sebuah jam berharga tinggi.
"Ca, kenalin nih. Cowok gue." Suara khas milik Aya membuyarkan lamunan gue tentang dirinya.
'Bentar, 'Ca'" Cowok dengan nama panggilan 'Ca'"' Gue membatin dalam hati.
"Heiii... Aku Rasya..." Cowok yang mengaku bernama 'Rasya' tersebut berbicara dengan nada yang diayunkan, lalu menjulurkan tangan kanannya dengan gemulai. Kemeja putih dengan dua kancing bagian atas yang dibuka itu sedikit mengganggu indera penglihatan gue.
"..." Gue menatap Aya dengan heran. Seluruh rasa sakit yang gue rasakan sebelumnya, kini telah menghilang dan langsung digantikan oleh rasa takut yang menjalar di seluruh tubuh. Gue juga dapat merasakan bahwa bibir dan telapak tangan gue menjadi dingin.
"..." Aya tersenyum jahil sambil mengangguk dengan mantap dan mengerlingkan mata ke arah 'Rasya'.
"..." Gue menatap 'Rasya', dan berkata dengan gagu sambil menjabat tangannya. "Na... Naufal..."
Kami berdua berjabat tangan, hanya beberapa detik, dan beberapa detik tersebut menjadi sebuah 'kiamat kecil' bagi diri gue sendiri. Bagaimana tidak" Setelah berjabat tangan, si 'Rasya' tersebut melepaskannya dengan perlahan dan sedikit mengelus punggung tangan gue dengan ibu jari-nya yang membuat jantung gue hampir melompat keluar.
"Ih cyiiin, ganteng buaaanget deh bok! Dapet darimana nih brondooong"" Cowok setengah mateng tersebut berkata dengan melambai kepada Aya dan memainkan matanya ke arah gue.
"Dari mana aja! Awas lu kalo naksir cowok gue!" Ancam Aya.
"Gak jadi nebeng sama aku niiih" Mentang-mentang ada cowok yey jadi lupa sama aku..." Demi apapun, gue ingin segera memusnahkan makhluk setengah jadi tersebut.
"Udah sana pergi lo! Gue mau jalan bareng cowok gue!" Aya mendorong punggung 'Rasya' hingga
menjauh. "Ih, jahatnyaaa... Dadah dedek ganteeeeng! Muah!" Dedemit tersebut memperagakan gerakan 'kiss bye' lalu melambaikan tangannya dengan anggun kepada gue sambil berlalu, dan gue hanya tersenyum kecut untuk membalasnya.
*** "..." Gue langsung bersandar pada pintu mobil dengan kasar sehingga menimbulkan bunyi berdebum yang cukup keras.
"Itu orang nemu dari mana tuh"" Gue menunjuk ke arah 'Rasya' yang sudah masuk ke dalam mobilnya dengan menggunakan dagu.
"Hahahaha...!" "Tau gak" Kamu itu lucu banget deh!" Ujarnya sambil tertawa lalu melingkarkan tangannya pada lengan gue.
"..." Gue hanya bisa menatapnya dengan heran dan mencoba untuk mengatur nafas yang masih sedikit terengah-engah.
"Pas kamu ngeliat aku keluar bareng Rasya, aku bisa tau kalo kamu itu udah nahan marah. Muka kamu merah, ekspresinya serem, hiiiy takut..."
"Eh pas tadi kenalan, tiba-tiba langsung jadi pucet gitu mukanya." "Hahaha..."
"Au ah..." Gue membalikkan badan lalu masuk ke dalam mobil dan Aya pun berjingkrak menuju pintu sebelah. Setelah Aya duduk di samping, gue dapat melihatnya sedang memegang sabuk pengaman lalu dia menatap gue sambil menahan tawanya melalui ujung mata gue. Gue pun mengalihkan pandangan ke depan sambil cemberut.
"Cieee yang cemburu..."
"..." "Cieee pacar aku lagi cemburu sama bencong..." Aya meggoda gue sambil memasang wajah tengil.
"Apasih, udah ah."
"Cieee yang lagi cemburu buta..."
"Sebegitu sayangnya ya sama aku sampe takut aku direbut sama bencong""
"..." "Kamu tuh lagi cemburu kaaan" Kan... Kan... Kan..."" Aya mulai menyentuh pinggang sebelah kiri gue dengan telunjuknya. Geli.
"Ih, apa sih." Gue menepis tangan Aya sambil mencoba untuk menahan tawa dan tetap memasang eskpresi cemberut.
"Tuh kaaan ketauaaan!"
"Udah deeeh ngomong aja kalo kamu itu cemburu sama dia. Ngaku gak hayo"!" Aya semakin menggelitiki gue dan gue pun mati-matian menahan tawa.
"Pffft..." Gue memiring-miringkan tubuh untuk menghindari setiap serangan yang dilancarkan oleh Aya.
"NGAKU GAK!" Aya semakin menggerayangi bagian-bagian tubuh gue yang rentan untuk digelitiki. Mulai dari pinggang hingga ke perut, seluruhnya dijelajahi oleh Aya. Lama kelamaan pertahanan gue pun jebol dan gue langsung terbahak-bahak dibuatnya.
"HAHAHA..." "Udah, Ay, udah... Ampun..."
"Ngaku dulu!" "I..iya-iya, aku ngaku. Hahaha..."
"Ngaku apa"!"
"Aku cemburu sama manusia jadi-jadian itu!"
"Hahaha... Udah dong... Udah... Geliii..." Gue memohon kepada Aya.
Aya menuruti permintaan gue dan kemudian dia menatap gue sambil tersenyum, menatap gue dengan tatapannya yang khas sambil memangku kedua tangan di atas pahanya.
"Apa"" Gue menatap Aya sambil sedikit tertawa dan menyeka sisa-sisa air mata dengan menggunakan ibu jari.
"..." Aya menggeleng, dan senyumannya semakin mengembang lalu dia mencubit sebelah pipi gue. "Iiih, aku gemes deh sama kamu."
"Duh, sakit tau." Gue mengelus-elus pipi setelah Aya selesai mencubitinya.
"Kamu cemburu yah tadi"" Aya kembali memasang wajah tengilnya.
"Ya iyalah Aya-ku sayang!" Gue sedikit meninggikan intonasi.
"Siapa coba yang enggak cemburu pas ngeliat ceweknya keluar dari resto sama cowok lain."
"Dan cowok lain itu adalah bencong! Dan kamu cemburu sama dia! Berarti kamu cemburu sama bencong! Hahaha..."
Aya menutup mulutnya dengan tangan dan kedua mata indahnya menyipit. Gue juga dapat melihat bahwa dada Aya menjadi bergetar dan naik turun dengan seirama ketika dia melepas tawa-nya. Gue pun tersenyum ketika mendengar tawa Aya yang renyah, mendengarkan sebuah suara yang telah menjadi salah satu favorit gue di dunia.
Gue mengalihkan pandangan sambil sedikit terkekeh, terkekeh karena kelakuan gue sendiri yang menaruh rasa cemburu kepada seorang makhluk setengah jadi yang tidak diketahui asal-usulnya. Lalu beberapa saat kemudian, gue kembali tersenyum. Gue tersenyum karena gue telah mengetahui sebuah hal: gue tidak ingin kehilangan Aya, dan hal tersebut sangat jelas terlihat olehnya.
Sambil memasang sebuah senyuman di bibir dan dengan dilatari oleh suara tawa renyah Aya, gue menyalakan mesin mobil lalu pergi meninggalkan restoran tersebut dengan perasaan yang lega. ***
"The more you love, the more love you have to give. It's the only feeling we have which is infinite."
Christina Westover Side Story A Lil' Bit of Present Day
Di sela-sela pekerjaan yang menumpuk, gue iseng membuka salah satu media sosial melalui handphone setelah sekian lama tidak membukanya. Gue melihat banyak sekali notifikasi dari orangorang yang men-tag gue serta notifikasi-notifikasi lainnya. Gue pun membuka home dari media sosial tersebut, dan gue menjadi tergelitik ketika melihat sebuah post darinya yang telah mengcover salah satu lagu yang dinyanyikan oleh Raisa.
Tidak lama kemudian, gue mengiriminya pesan via BBM sambil cengar-cengir sendiri.
"Ku terpikat pada tuturmu, aku tersihir ciummu..." "Cieee yang abis terpikat sama ciuman seseorang...! " "Ga nyangka deh ternyata aku masih dikepoin sama kamu :')"
"Yeee, kali-kali aja ngepoin kan gapapa " "Eh, btw itu di save boleh ya""
"Wuuu, gak boleh lah kepo-kepo! "
"Di save" Bayar dulu pake sepuluh ribu dollar Australia boleh kali "
"Etdah, itu mah ngerampok namanya mbak "
"Hehe iya-iya, boleh kok " "Terus kalo di share boleh""
"Waaa... Aku nanti terkenal! "
"Boleh kok, boleeeh banget kalo di share... "
"Hehe okedeeeh "
Part 116 Separated Ways "Gimana" Udah ada hasil tentang STAN belom"" Tanya gue kepada Ojan yang sedang bersila dan bermain playstation di depan televisi.
"Kemaren gue cek sih belom ada."
"Anjir, lama banget ya itu pengumumannya." Ujar gue sambil melengos ke dapur. "Kapan sih pengumumannya""
"Ga tau kapan, jadwalnya gak jelas." Ojan sedikit berteriak.
"..." Kemudian gue kembali ke ruang tengah sambil membawa dua buah gelas minuman dingin. "Nih buat lo."
"Sip, simpenin di samping gue dong." "Nuhun."
"Yooo..." Gue bersandar pada sofa dan kemudian menyeruput minuman tersebut. "Kalo misalkan elo gak lulus itu tes, lo jadinya bakal ngambil yang di politeknik aja""
"..." Ojan menyimpan stick di atas lantai lalu meminum habis minuman pemberian gue. "Iya kayaknya, gue udah gak lulus SNMPTN dan gue juga gak mau masuk ke PTS." "Jadi gue bakal ambil aja. Lagian, lulusan situ juga lebih gampang buat kerja." "Yaaa, walaupun enggak segampang elo yang udah masuk ke kampus itu sih."
"Yeee, mbe!" Gue melempar bantal kepadanya.
Ojan mengambil bantal tersebut dan dijadikannya alas duduk lalu ia kembali meneruskan bermain playstation dengan anteng sementara gue merebahkan badan di atas sofa dan berkirim pesan singkat kepada sang pujaan hati tercinta.
*** Beberapa minggu setelah pertemuan terakhir antara gue dengan Ojan di rumah, gue belum pernah bertemu dengannya kembali dikarenakan jadwal kuliah kami berdua yang cukup padat. Lalu pada sore itu saat gue sedang membaca jurnal perkuliahan di perpustakaan kampus, handphone di saku celana gue bergetar. Dengan perlahan gue pun mengambilnya dan mengangkat telefon yang ternyata dari Ojan.
"Dimana"" "Kampus, napa""
"Gue di depan rumah elo nih." "Ngapain""
"Pamitan sama elo."
"Laaah, mau kemana emang"" "Lo belom tau kabarnya ya"" "Kabar apaan""
"Udah buruan balik sini. Gue juga sekalian mau ambil novel yang elo pinjem." "Yaudah tunggu, gue balik sekarang."
Dengan terburu-buru gue membereskan seluruh barang bawaan dan memasukkannya ke dalam tas. Setelah berpamitan kepada teman-teman, gue mengambil jaket fakultas yang tersampir di belakang kursi lalu berjalan keluar dari perpustakaan. Butuh waktu yang cukup lama bagi gue untuk sampai di gerbang depan karena jarak antara perpustakaan dan pintu gerbang kampus yang cukup jauh.
Matahari sudah hampir menghilang di ujung barat ketika gue sampai di depan komplek rumah yang cukup ramai oleh orang-orang yang berlalu lalang. Setelah berbelok, dari kejauhan gue dapat melihat Ojan sedang duduk di atas motornya di depan gerbang rumah gue. Gue langsung berjalan ke arahnya dan menyapa Ojan.
"Woi, lo mau kemana sih""
"Lama amat!" "Nih, liat aja sendiri." Ojan memberikan gue beberapa lembar kertas HVS yang telah di klip menjadi satu. Gue mengambil kertas tersebut dari tangan Ojan dan membacanya dengan seksama.
Quote:Lampiran IX Pengumuman Sekretaris Jenderal Kementrian Keuangan
DAFTAR PESERTA TES KESEHATAN-KEBUGARAN DAN WAWANCARA
Gue tertegun sejenak setelah membaca kop yang tertulis. Gue pernah melihat ini di alamat resmi milik Departemen Keuangan. Tidak ada nama gue di dalam kertas lampiran tersebut karena gue tidak lulus ujian tulis STAN, dan gue juga mengira bahwa Ojan tidak lulus. Tetapi gue menjadi kaget ketika melihat nama lengkap Ojan yang diberi stabillo berwarna hijau cerah.
177. Fauzan *** Gue mendongak dan melihat ke arah Ojan. Dia sedang memasang tatapan kosong ke arah kertas yang gue pegang. Entah apa yang sedang dipikirkan olehnya, gue sama sekali ga tau. Kemudian gue kembali membuka lembar kertas selanjutnya, dan kini giliran gue yang menatap kosong ke arah kertas tersebut.
1258. **.*.***178 Fauzan *** DIII Pajak Jakarta "Gue bakal pindah ke Bintaro." Ojan memecahkan lamunan gue.
"..." Gue tersenyum dan melipat kertas tersebut lalu memberikannya kepada Ojan. "Kapan berangkat""
"Lusa." "Cepet banget""
"Iya, gue harus ngurusin administarsi dulu sebelum mulai perkuliahan."
"..." Gue mendekati Ojan dan kemudian memukul keras bahunya sambil tertawa. "Bangke lu ye, lulus ujian tulis gak bilang-bilang sama gue!"
"Taunya sekarang udah jadi mahasiswa resmi STAN aja."
"..." Ojan pun tertawa.
"Makanya kalo baca pengumuman tuh yang lengkap! Anak kampus gajah masih aja ada yang bego bin tolol kayak elo ya." Ejeknya.
Gue kembali meninju lengan Ojan dan kami berdua tertawa lepas. Gue sangat menikmati momen
tawa seperti ini, menikmati momen yang sebentar lagi akan gue rindu-rindukan.
Di dalam hati, gue sedikit merasa sedih karena gue akan kembali berpisah dengan sahabat gue yang lain. Dan di dalam hati gue juga, gue menyempilkan sebuah harapan. Sebuah harapan tulus, dimana kami berdua akan bisa tertawa seperti ini lagi di masa-masa yang akan datang.
Mengulang, menghayati, dan menikmati momen kebersamaan serta tawa hangat yang sangat membahagiakan seperti ini.
*** Matahari sudah menghilang, ditelan oleh rumah-rumah dan hanya menyisakan sedikit semburat berwarna merah tua di kaki langit. Adzan maghrib pun sudah berkumandang beberapa saat yang lalu. Setelah menunaikan shalat, gue mengantar Ojan hingga ke depan pintu gerbang rumah.
"Kalo lo udah kerja di pemerintahan nanti, jangan jadi manusia yang pinter ya." "Soalnya aparat-aparat pemerintahan sekarang udah terlalu pinter bikin perutnya sendiri buncit." Ujar gue sambil menyilangkan tangan di depan dada.
"Santai men. Gue gak akan pinter-pinter amat kok. Gue cuman bakal meneruskan kerja keras mereka aja."
"Yaaa, minimal gak akan ketauan lah sama BPK kalo gue korup."
"Bangke lu!" Gue kembali meninju lengannya sambil tertawa.
"Yaudah, gue balik ya."
"Oke, tiati sob." Gue menjabat tangan Ojan dengan erat dan kemudian memeluknya dengan erat sebagai seorang sahabat yang akan berpisah.
"Jangan kasih tau si Humam ya kalo gue masuk pajak."
"Biar entar pas kita bertiga ketemu lagi suatu saat nanti, dia bakal kaget pas ngeliat gue."
"Iya kalem, lo juga jangan kaget kalo gue tiba-tiba jadi raja minyak di Arab."
Gue melepas pelukannya, lalu kami berdua kembali berjabat tangan dan menggoyanggoyangkannya dengan keras sambil tertawa lebar. Beberapa saat setelah berjabatan tangan, ada suara deru mesin mobil yang sudah sangat familiar sekali di telinga gue. Gue dan Ojan menoleh ke arah mobil tersebut sambil memincingkan mata karena sorot lampunya yang menyilaukan.
"Jan, pamitan juga sama si tatib brengsek kesayangan gue ya." Ucap gue sambil tersenyum tanpa memandang kepada Ojan.
Mobil pun terparkir dengan sempurna dan kemudian mesinnya dimatikan. Aya keluar dari pintu kemudi, dan berjalan kepada kami berdua sambil tersenyum lebar.
Penampilan Aya pada saat itu sangat simple sekali. Dia memakai kaos putih lengan panjang bermotif yang dipadukan dengan celana jeans pendek biru cerah selutut serta sepatu converse pendek yang berwarna senada dengan kaosnya. Seperti biasa, rambut merah kecokelatan favorit gue itu tergerai indah di depan dadanya dengan poni yang dibelah pinggir.
Dia cantik, as always. "Hallo..." Aya melambaikan tangannya.
"Bebskih, nih ada yang mau pamitan." Gue berkata kepada Aya seraya menunjuk kepada Ojan dengan jempol.
"Loh, mau pamit kemana emang"" Tanya Aya heran.
"Iya Ay, gue mau pindah ke Bintaro soalnya."
"Kok... Kenapa""
"Gue keterima di STAN."
"Waaah, selamat ya Jan..." Aya meghampiri Ojan lalu menjabat tangannya.
"..." Ojan melepaskan jabatan tangan Aya dan kemudian langsung naik ke atas motor. "Yaudah deh gue pamit sekarang. Gue belum siap-siap soalnya."
"Yuk semuanya, gue duluan."
Dia melambaikan tangan kirinya kepada kami berdua sambil tersenyum. Lalu dengan perlahan, motornya melaju dan kemudian menghilang di belokan sana. Meninggalkan gue dengan Aya yang masih mematung di depan gerbang rumah.
Masih dengan menatap ke arah dimana punggung Ojan menghilang, gue memanjatkan sebuah doa
yang sama seperti ketika Humam memilih jalannya sendiri: semoga kami bertiga akan bisa bertemu kembali sebagai tiga orang sahabat, dan semoga kami bertiga dapat bertemu kembali dengan kepala tegak serta dada yang dibusungkan. May God enlighten your paths, my bro...
Dulu, pernah ada tiga orang manusia keturunan Adam yang bertemu di sebuah tempat. Lalu kemudian mereka berkenalan, berteman, dan kemudian mereka menjadi tiga orang sahabat dekat yang tak tergantikan. Namun kini, mereka harus berpisah di persimpangan jalan kehidupan. Mereka berpisah demi merengkuh masa depan yang sudah menanti mereka semua, di ujung jalan perjuangan yang mereka tempuh.
"Enak ya yang nanti jadi istrinya Ojan." Aya membuyarkan lamunan dan gue menoleh kepadanya.


Cowok Manja Merantau Karya Karnaufal di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kenapa"" "Dia udah keterima di STAN, pas lulus langsung diangkat jadi PNS, terus lama-lama dia bakal naik jabatan dengan gaji yang segudang."
"Hidupnya bakal mapan."
"Ooh, jadi kamu meragukan aku nih""
"Yaudah gih sana pacaran sama Ojan aja." Gue melengos masuk ke dalam rumah.
"Ih, tungguin akuuu!"
Aya sedikit berlari menyusul gue sambil memegang tas selendangnya. Setelah dia berada di samping gue, Aya langsung menyisipkan jemari tangannya pada jemari tangan gue dan menggenggamnya dengan erat. Kemudian dia berjinjit dan mendekatkan bibirnya kepada telinga gue hingga gue dapat merasakan hembusan nafasnya yang hangat, lalu Aya berbicara dengan setengah berbisik. Suara indahnya terdengar lembut sekali di telinga gue.
"Aku gak pernah ragu sama kamu." "..."
"Karena dari dulu aku udah yakin sama kamu..." "..."
"...dan aku akan selalu yakin. Sampai kapanpun."
Gue terkekeh dan kemudian melepas genggaman tangannya, lalu mengapit leher Aya dengan lembut sambil mengacak-acak gemas rambutnya.
"Giliran aku bete aja ya baru diginiin, dasar!"
"Hehe, biarin!"
Aya menengadahkan kepalanya dan melihat kepada gue. Kedua mata Aya menyipit, dan dia tersenyum dengan manis kepada gue yang membuat gue semakin senang untuk mengacak-acak rambutnya.
Part 117 The Jazz Festival (1) "Megecreeps. Aw! Those guys are awesome!"
Suara dari announcer Pyrion Flax menggema pada headphone yang gue kenakan. Dengan ditandainya notifikasi 'mega creep' tersebut, sudah dapat dipastikan bahwa tim gue akan menang dan gue pun menyandarkan punggung pada kursi sambil melepas headphone dan menyimpannya pada leher.
"Aaah..." Gue meregangkan tangan.
"Eh, itu apaan tuh"" Gue mencondongkan badan ke samping dan bertanya kepada Rahmat, teman kampus gue, tentang situs web yang sedang dibukanya.
"Oh, ini, Java Jazz." Ujarnya sambil menopang dagu tanpa melihat ke arah gue.
"Ada siapa aja artisnya""
"Banyak, cek sendiri aja."
Gue pun menekan tombol Shift+Tab, menggunakan Browser In-game untuk membuka situs resmi Java Jazz Festival dan kemudian gue mengarahkan kursor pada daftar artis-artis yang akan manggung yang terbagi ke dalam tiga hari.
Lalu secara perlahan, mata gue menyusuri seluruh daftar nama artis yang terpampang dan kemudian pandangan gue tertuju kepada satu buah nama artis internasional yang akan manggung, Dave Koz. Setelah memastikan bahwa Dave Koz akan tampil di acara tersebut, gue mengambil handphone yang disimpan di depan layar monitor lalu keluar dari gaming caf" tersebut untuk menelfon Aya.
"Hallo, dimana Ay" Masih disana" "Hallo, iya nih masih. Kenapa""
"Yaudah, aku sekarang kesana. Tungguin ya..."
Berhubung karena hari ini Aya sedang berada di Samsat untuk memperpanjang STNK mobilnya serta lokasi antara Samsat dan lokasi gaming caf" dimana saat ini gue berada memiliki jarak yang cukup dekat, gue pun memutuskan untuk menemuinya secara langsung dan membicarakan tentang festival jazz tersebut bersamanya.
"Mat, gue mau balik duluan." Ujar gue sambil membereskan barang bawaan.
"Jiah, baru juga main 2 game, masa udah balik lagi" Entar aja laaah..." Bujuknya.
"Sorry, sorry... Penting banget nih soalnya." "Eh, elo mau ke Java Jazz juga""
"Iya." "Sama siapa aja""
"Paling berempat sama si Ary, Devan, Ilham. Kenapa" Lo mau ikut""
"Belum tau. Entar yang pesen tiket siapa""
"Gue." "Oh, oke deh. Entar gue kabarin lagi aja ya kalo misalkan gue mau ikut." Kemudian gue menyimpan tas di punggung, lalu bersalaman dengan Rahmat dan langsung pergi dari tempat tersebut. ***
Butuh sekitar 20 menit perjalanan bagi gue untuk sampai di Samsat Outlet dimana Aya berada sekarang. Ketika gue sampai di depan pintu masuk, gue dapat melihat sosoknya yang sedang duduk bertopang dagu sambil memainkan handphone yang dia pegang. Gue pun berjalan memasuki tempat tersebut dan menghampirinya.
"Tumben kamu mau kesini. Biasanya kalo aku minta temenin, kamu ga pernah mau." Ujarnya sesaat setelah gue duduk.
"Yeee, aku dateng malah ditanyain bukannya seneng." Gue menarik gemas hidungnya. "Masih lama ga ngantrinya""
"Masih lamaaa... Nih coba deh kamu liat nomernya." Aya memasang wajah manja lalu memberikan nomor antriannya kepada gue.
"..." Gue mencocokkan nomor antrian yang gue pegang dengan nomor yang baru saja dipanggil ke depan, lalu tercengang.
"Waaah, iya ini sih masih lama banget." Gue mengusap kepala.
"Faaal..." "Hmmm"" Gue menoleh.
"Aku ngantuuuk..."
"Tuh ada lantai. Tidur gih disana."
"Ih kamu maaah..." Aya mencubit perut gue hingga beberapa kali.
"Aw... Aw..." "Manja banget sih kamu ini. Sini, sini..." Gue menarik lembut kepalanya dan Aya menurut tanpa perlawanan.
"..." Aya merebahkan kepalanya pada bahu gue, dan dia mulai memainkan jemari tangan kanan gue dengan lembut.
"Ga malu apa diliatin orang kalo kita kayak gini""
"..." Dia menggeleng, lalu menggenggam tangan gue.
"Eh iya, aku hampir lupa."
"Nanti bulan depan ada Java Jazz di Jakarta. Dave Koz juga bakal manggung disana. Kamu mau nonton""
"..." Sekonyong-konyong Aya langsung menegakkan badannya dan menatap gue dengan mata yang berbinar.
"Seriusan""
"..." Gue mengangguk.
"Mau! Mau!" "Nanti aku minta ke temen buat pesenin tiketnya ya." Ujar gue sambil tersenyum.
"Okedeeeh..." Ujarnya girang. Ekspresinya persis sekali seperti seorang bocah kecil yang baru saja diberi sebuah lolipop.
Lalu kemudian Aya kembali menyandarkan kepalanya pada bahu gue, dan kami berdua mengobrol tentang festival jazz tersebut sambil menunggu nomor antrian yang tertera.
*** Gue duduk bersila di atas lantai kayu berwarna cokelat tua di dalam sebuah masjid yang terletak persis di depan kampus. Gue baru saja selesai menunaikan ibadah shalat dzuhur setelah selesai melaksanakan kegiatan perkuliahan. Masih dengan rambut yang agak sedikit basah dan ditambah dengan angin sepoi-sepoi yang menerpanya sehingga membuat kepala gue menjadi sejuk, gue menyelonjorkan kaki dan mengambil handphone dari dalam tas lalu kemudian menelpon Rahmat.
"Hallo, Mat, pesenin dua dong tiketnya." "Duitnya mana""
"Lo lagi dimana sekarang" Masih di kampus ga" Gue lagi di Salman nih." "Engga Fal, gue udah balik ke kosan."
"Yah, dasar kupu-kupu!"
"Gue transferin aja deh uangnya kalo gitu. SMS-in rekening elo sama total harganya." "Oke. Lo mau beli tiket yang mana""
"Daily Pass tanggal 3 Maret. Eh, elo nonton yang tanggal berapa"" "Sama kok kayak elo, soalnya kan di hari itu ada Raisa bakal manggung."
"Euh, otak selangkangan dasar." "Oke deh, nuhun."
Beberapa saat setelah gue menutup telefon, ada sebuah sms masuk. Rahmat memberitahu total harga dua buah tiket serta nomor rekeningnya, dan tidak lupa juga dia berkata bahwa dia akan membeli tiket tersebut pada sebuah stasiun radio yang sudah sangat terkenal di kota ini. Tanpa pikir panjang, gue langsung pergi menuju lokasi mesin ATM terdekat lalu mentransfer sejumlah uang yang dibutuhkan olehnya.
*** Pagi itu saat gue sedang uncang-uncang kaki di atas kursi di teras rumah sambil mempelajari tentang mata kuliah yang akan berlangsung siang nanti, tiba-tiba handphone yang disimpan di samping meja berdering dengan nyaring. Dari layarnya, tertera sebuah notifikasi 'Incoming Call' dengan nama 'Aya' yang muncul di situ.
"Ha..." "Faaal..." "Iya, hallo, kenapa Ay"" "Aku ga bisa ikuuut..." "Ikut apaan""
"Nonton Java Jaaaaaazzz..."
"Loh kok ga bisa"" Gue langsung bangkit berdiri, kaget. "Kan tiketnya udah dibeli""
"Iyaaa, aku tau. Cuman si papah niiih ngedadak ngasih tau kalo nanti ada undangan temen kantornya, jadi aku sekeluarga harus pergi ke Jogja."
"Ih beteee..." Suara Aya terdengar sangat manja sekali dari ujung sana. "Yaaah, kamu kapan emang perginya""
"Pas hari Jumat tanggal 2 pake kereta, terus acaranya tanggal 3..." "Ih aku kesel banget deh pokoknya!!!"
"..." "Maafin aku Fal, aku ga bisa ikut nonton ke sana..." "Yaudah deh kalo ga bisa ikut mah. Gapapa kok." "Sekarang kamu lagi dimana""
"Di rumaaah, tadi tuh papah sebelum ngantor dateng ke sini terus ngomongin itu sama nenek." "Keseeel...!!!"
"Kapan lagi coba aku nonton Dave Koz kalo bukan sekarang"!"
"Mungkin taun depan dia bakal dateng lagi ke Indonesia. Jangan sedih gitu dooong..." "Makanya sekarang kamu kesiniii biar aku ga sedih..."
"Yeee, kan hari ini aku ada kelas Ay."
"Yaaah kamu maaah..."
"Yaudah deh kalo gitu..." Suara Aya terdengar kecewa. Buru-buru gue masuk ke dalam rumah dan melihat jam di dinding.
"Ay, aku tutup ya telefonnya" Aku mau siap-siap ngampus nih sekarang."
"Oke, kamu hati-hati di jalan." "Dadah sayang..."
"Dadah..." Setelah telefon dimatikan, gue langsung mengambil handuk serta pakaian bersih lalu pergi ke kamar mandi untuk bersiap-siap. Sebenarnya, gue baru akan pergi ke kampus sekitar tiga jam lagi. Namun gue terpaksa berbohong kepada Aya dan berkata bahwa gue harus pergi sekarang.
Dan setelah gue selesai bersiap-siap dan tidak lupa membawa satu batang cokelat Cadbury kesukaan Aya, gue pun menaiki angkot dan pergi menuju rumah neneknya untuk menjumpai sang pujaan hati yang sedang bersedih.
Part 118 The Jazz Festival (2) "Udah dimana" Udah nyampe belum" Tanya gue kepada Aya ketika gue sedang duduk di bangku penumpang di dalam mobil, di atas jalan tol Cipularang yang terik bersama empat orang kawankawan gue.
"Udah nyampe kok dari tadi subuh, sekarang aku lagi di hotel sama Amel. Papah sama Ibu lagi jalanjalan ke Malioboro sekarang."
"Kamu mau oleh-oleh apa dari sini""
"Oleh-olehnya apa ya""
"Itu aja deh, baju yang ada tulisan aneh-aneh gitu loh." "Okedeeeh, apa lagi""
"Ada satu lagi."
"Apa"" "Cepet pulang, cepet sampe rumah dengan selamat." "Itu oleh-oleh yang paling aku pengen dari kamu." "Fal..."
"Ya"" "Love you..." Aneh, gue menjadi senyam-senyum sendiri setelah membaca pesan balasan yang hanya terdiri dari dua kata tersebut. Saat gue sedang mengetik balasan untuk Aya, tiba-tiba mobil mengerem secara mendadak dan membuat kepala gue terbentur kursi pengemudi. Begitu juga dengan Ary dan Ilham yang berada di samping kiri gue.
"Woi kampret! Nyupir yang bener!" Ary ngedumel kepada Devan selaku supir kami hari ini.
"Eh setan! Itu liat tuh mobil depan ngerem mendadak!" Balas Devan.
"Ya elu bego! Udah tau di depan mobil kol buntung, masih aja diem di belakangnya. Salip ke kanan lah!" Ilham juga ikutan ngedumel sambil menunjuk ke arah mobil di depan.
Secara diam-diam, gue merekam suara dari pertempuran antara Ary, Ilham, dan Devan sambil terkekeh pelan. Setelah gue merekamnya, gue mengirim rekaman suara tersebut kepada Aya. Dan bisa ditebak bahwa Aya langsung tertawa terbahak-bahak melalui chatnya yang berkata 'HAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHA', panjang sekali.
"Eh itu manusia sebiji tidurnya lama banget ya." Gue nyeletuk sembari menunjuk ke arah Rahmat yang terlelap di samping Devan.
"Ga bangun-bangun daritadi."
"Ah itu mah udah biasa, kalo di kosan aja dia nelor mulu di dalem." Devan menimpali.
Sambil mengobrol tentang hal-hal kecil mengenai festival jazz serta menyindir Devan tentang gaya mengemudinya yang masih 'polos', kami berlima menempuh perjalanan menuju Jakarta dengan kecepatan sedang di bawah teriknya sinar matahari yang bersinar terang siang hari ini. ***
Butuh sekitar satu jam lebih bagi Devan untuk menemukan lokasi parkir yang kosong. Di sini, di lokasi PRJ Kemayoran, sangat sulit sekali untuk menemukan lahan parkir yang kosong. Ditambah dengan adanya acara Java Jazz Festival, Devan harus rela adu urat leher bersama tukang parkir yang bertugas agar bisa mendapatkan tempat parkir.
Suara bising yang khas serta hiruk pikuk dari segala jenis manusia menghiasi suasana sore hari ini. Di sini, di lokasi Java Jazz Festival, terdapat banyak sekali turis-turis lokal dan juga turis-turis asing berambut pirang dan berbadan tinggi yang datang untuk menonton festival jazz terbesar se-Asia Tenggara tersebut.
Di sekeliling gue, terdapat banyak sekali ornamen-ornamen penghias sehingga suasana 'festival jazz' sangat begitu terasa auranya. Ada bendera khas dengan warna dominan ungu yang terpasang di sisi kanan dan kiri, baligho bergambar orang yang sedang bermain saksofon, dan juga terdapat spanduk dengan tagline 'Where Jazz Finds a Home' yang terpasang melintang di atas gue.
Kemudian gue melihat jadwal yang tertera di situs web, lalu melihat ke arah jam tangan.
"Depapepe lah yuk. Buruan nih udah mau mulai." Gue mengajak mereka semua untuk menonton salah satu artis internasional favorit gue.
"Ah ogah ah, masih capek. Gue mau duduk dulu bentar." Ujar Devan sambil berjongkok.
"Gak asik banget ini anak satu." Ujar Ary. Ary ini memang tipikal seseorang yang gampang ngeledek atau nyindir orang lain.
"Udah kita cabut sekarang aja." Ary langsung ngeleos pergi menuju arah yang berlawanan.
"Gue juga mau nunggu dulu disini, masih klenger nih kepala." Rahmat membuka suara. "Lo berdua pergi aja duluan. Entar gue nyusul kesana bareng Devan."
"Oke deh, yuk Ham."
Ary berjalan di depan sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jaket dan dia juga menengok ke kanan dan ke kiri, melihat-lihat tentang stand apa saja yang berada di sini. Kemudian gue dan Ilham pun menyusul Ary sambil melakukan hal yang sama dengannya. ***
Setelah menonton penampilan Depapepe yang ciamik dan membuat gue berdecak kagum, kami bertiga langsung keluar dari venue tersebut lalu mencari stand yang menjual makanan.
Kini hari sudah berganti menjadi malam. Lampu-lampu penerangan di sekitar gue juga telah dinyalakan sehingga memberi sinar kuning temaram nan indah bagi siapapun yang melihatnya. Walaupun hari sudah menjadi gelap, gue merasa bahwa orang-orang yang berdatangan ke tempat ini malah semakin banyak dan membuatnya semakin penuh sesak.
"Si Devan sama Mamat kemana nih"" Gue bertanya kepada mereka bertiga.
"Coba sms atau telefon." Ujar Ilham sementara Ary sedang melakukan 'relaksasi mata' dengan cara memandang kepada cewek-cewek bening semi mamah muda yang bersliweran di sekitar kami.
"..." Gue mencoba untuk menelfon mereka berdua hingga beberapa kali, namun hasilnya tetap nihil. "Ga diangkat nih, jadi gimana sekarang""
"Palingan sekarang mereka udah nungguin Raisa manggung."
"Oh iya. Bener juga sih."
"Mau kesana langsung ga"" Ajak Ilham.
"Kemana" Nonton Raisa""
"Ogah banget, jauh-jauh dateng ke Jakarta, terus ngabisin duit sekian banyak cuman buat nonton artis lokal doang""
"Rugi lo!" "Jadi sekarang lo mau kemana""
"Gue mau ke A2 aja deh, mau nonton Dave Koz." "Ry, mau ikut gak"" Gue menarik kerah baju Ary.
"Hah" Kemana""
"NERAKA!" "Eh, yang bener su." Ary menoyor kepala gue.
"Ya elu cuci mata mulu dari tadi!"
"Inget noh sama nyonya di sana, ga dapet jatah baru tau rasa lo!"
"Peduli amat dah, lagian dia juga gak disini." Ujarnya santai. "Lo mau kemana emang""
"Nonton Dave Koz."
"Oh yang main saksofon itu ya""
"..." Gue mengangguk.
"Mending gue ngeliat 'saksofon'nya Raisa aja aaahhh..." Ary mengangkat dua buah jari pada kedua tangannya sambil memasang muka mesum.
"Ayo Ham, markicaw!" Ary memberi isyarat tangan kepada Ilham, lalu mereka pun pergi dan menghilang diantara kerumunan manusia yang berlalu lalang di depan gue. ***
Gue berjalan sendirian memasuki sebuah venue yang akan digunakan oleh Dave Koz untuk manggung malam ini. Di dalam sini, sudah terdapat banyak sekali orang-orang yang menunggu penampilan Dave Koz yang kira-kira akan manggung sekitar 15 menit lagi. Baru saja beberapa saat setelah gue berdiri di dalam, tiba-tiba gue ingin buang air kecil dan kemudian gue memutuskan untuk keluar melalui pintu yang terletak di sisi kiri venue.
"Permisi... Permisi..." Gue menyelinap diantara orang-orang yang sedang berdiri.
Beberapa saat setelah gue menginjakkan kaki di luar, gue menghentikan langkah kaki dan sedikit tertegun ketika melihat seseorang wanita yang sangat familiar sekali di depan gue. Dia berjalan ke arah gue sambil menundukkan kepala, dan dia sedang merogoh sesuatu dari dalam tas yang tersampir di tangan kanannya.
Semakin lama, jarak kami berdua semakin dekat.
Dekat... Lebih dekat... Lebih dekat lagi... Dan masih dalam keadaan kepala yang tertunduk, dengan santainya dia berjalan melewati gue tanpa menyadari kehadiran gue di dekatnya.
Beberapa detik setelah kami berpapasan, gue masih diam membeku dan tak dapat berkutik dari tempat dimana gue berdiri. Efek dari shock therapy yang ditimbulkannya sungguh kuat sekali.
Dia ada di sini" Di tempat ini" Saat ini"
Setelah agak sedikit menguasai diri, gue langsung menolehkan kepala ke belakang dan melihat bahwa wanita dengan rambut panjang se-punggung dan bergelombang itu, sedang berjalan ke arah venue yang telah gue masuki beberapa saat yang lalu. Sebelum wanita tersebut menghilang dari pandangan, gue membalikkan badan dan sedikit berlari untuk mengejarnya.
Part 119 The Jazz Festival (3) Beberapa detik setelah kami berdua berpapasan, gue masih terdiam membeku dan tak dapat berkutik dari tempat dimana gue berdiri. Efek dari shock therapy yang ditimbulkannya sangat kuat sekali. Gue tidak mempercayainya, namun mau tidak mau gue harus percaya bahwa kami berdua telah dipertemukan kembali, saat ini, di sini, di tempat ini.
Tapi, kenapa gue kembali dipertemukan dengannya" Ada apa"
Padahal, probabilitas bagi kami berdua untuk bertemu kembali itu sangat kecil. Gue tegaskan, sangat kecil sekali. Coba saja kalian bayangkan. Kami berdua tidak mengetahui kabar masing-masing dan bahkan kami juga tidak berkomunikasi dalam waktu yang cukup lama, namun tiba-tiba saja kami berdua bertemu di tempat ini, dan bertemu secara tidak sengaja.
Dari sini gue dapat menyimpulkan bahwa semesta kembali berulah dengan konspirasinya. Berulah dengan sebuah konspirasi baru, sebuah konspirasi baru yang sangat gue benci sekali.
Gue tidak tahu menahu mengenai alasan semesta yang kembali mempertemukan gue dengannya. Namun gue yakin, pasti ada sebuah alasan yang jelas di balik semua ini.
Suatu saat nanti, mungkin, gue akan mengetahui sebuah alasan tersebut.
Ya, Mungkin... *** Setelah agak sedikit menguasai diri, gue langsung menolehkan kepala ke belakang dan melihat bahwa wanita dengan rambut panjang se-punggung dan bergelombang itu sedang berjalan ke arah venue yang telah gue masuki beberapa saat yang lalu. Sebelum wanita tersebut menghilang dari pandangan, gue membalikkan badan dan sedikit berlari untuk mengejarnya.
Gue menepuk lembut bahu wanita tersebut ketika gue telah berada tepat di belakang punggungnya. Wanita tersebut langsung membalikkan badan dan memasang ekspresi kaget ketika melihat gue.
Dia memasang sebuah ekspresi yang seakan-akan tidak percaya bahwa kami berdua telah bertemu kembali di sebuah tempat antah berantah yang tidak pernah kami berdua perkirakan sebelumnya.
Begitupun halnya dengan gue. Seluruh kenangan yang pernah tercipta di antara kami berdua, tibatiba berputar di dalam ingatan gue ketika kami berdua bertatapan seolah-olah ada sesuatu yang menariknya untuk kembali mengawang-awang menuju masa lalu. Gue masih dapat mengingatnya dengan jelas.
Semuanya tentang gue, tentang dirinya, dan tentang kami berdua.
Dia masih terlihat cantik, dan dia juga masih terlihat sama seperti saat kali terakhirnya kami berdua bertemu sewaktu perpisahan sekolah dulu. Tidak ada yang berubah. Sorot matanya, seperti biasa, meneduhkan hati bagi siapapun yang menatapnya. Lalu ekspresinya juga masih seperti yang dulu. Hampir tidak ada yang berubah sama sekali. Namun hanya saja kini rambutnya telah menjadi panjang, bergelombang, dan sedikit berwarna hitam kecokelatan.
"Hallo." Ujar gue sambil tersenyum.
Ratu Bukit Brambang 1 Pendekar Gila 34 Nenek Bongkok Bila Pedang Berbunga Dendam 14
^