Jo Anak Gelandangan 2
Lima Sekawan 9 Jo Anak Gelandangan Bagian 2
langsung ketahuan," kata Julian. "Bahkan Joan juga harus ikut duduk di situ.
Benar-benar konyol!"
"Tidak adakah orang yang akan datang ke sini nanti?" tanya Anne dengan suara
berbisik. "Maksudku orang dari toko atau begitu." Anak itu bersikap seakan-akan
rumah dikepung oleh mata-mata penculik.
"Tidak ada! Kalau ada, kita akan bisa menyelundupkan surat lewat orang itu,"
kata Julian. Tiba-tiba ia menepuk meja, sehingga kedua adiknya kaget. "Tunggu
dulu! Ya - betul! Tukang koran! Rumah ini termasuk yang paling akhir menerima
antaran koran. Tapi mungkin ada risikonya, jika kita memberikan surat padanya.
Tak adakah jalan yang lebih baik?"
"Aku punya akal!" seru Dick dengan mata berkilat-kilat. "Begini - aku kenal anak
yang jadi tukang koran itu. Anaknya baik. Nanti begitu dia muncul, kita membuka
pintu depan dan dia kita tarik masuk ke dalam rumah. Segera kemudian aku keluar
dengan topinya serta tas yang berisi koran. Aku akan bersiul-siul, naik ke atas
sepeda, lalu pergi! Para pengintai takkan menyadari bahwa aku bukan tukang koran
yang sebenarnya. Lalu apabila hari sudah gelap aku menyelinap kembali, langsung
menuju ke bagian belakang kebun. Aku bersembunyi di situ, menunggu kedatangan
orang yang akan mengambil buku catatan yang tersembunyi di bawah batu. Setelah
itu aku akan mengikutinya dari belakang!"
"Idemu bagus, Dick!" kata Julian sambil cepat-cepat mempertimbangkan. "Ya - hal
itu bisa kita kerjakan! Memang lebih baik kita mengintip untuk melihat siapa
yang datang, daripada pergi melapor pada polisi. Sebab jika para penculik
bersungguh-sungguh, pasti keadaan George akan gawat begitu mereka tahu bahwa
kita menghubungi polisi."
"Apakah tukang koran tidak heran nanti?" tanya Anne ragu.
"Anaknya agak goblok," kata Dick. "Dia mau saja percaya apa pun yang dikatakan
padanya. Kita akan mengarang alasan untuk menjelaskan. Kita juga harus
menyenangkan hatinya, sehingga ia ingin terus-terusan datang ke mari!"
"Lalu mengenai buku catatan, sebaiknya kita ambil salah satu dari laci," kata
Julian. "Kita bungkus, dengan surat di dalamnya yang mengatakan mudah-mudahan
buku itu yang mereka maksudkan. Dan orang yang datang mengambil, pasti akan
langsung menyerahkannya pada para penculik. Kurasa ia tidak akan segera
membukanya di belakang untuk memeriksa. Mungkin ia bahkan sama sekali tidak
tahu, apakah memang itu buku catatan yang benar."
"Anne, coba carikan salah satu buku catatan," kata Dick. "Sementara itu aku
menunggu di balik pintu depan. Tukang koran baru akan datang pukul setengah tapi
aku tak mau mengambil risiko ia datang terlalu cepat"
Anne bergegas menuju ke kamar kerja Paman. Ia merasa lega, karena ada kesibukan.
Tangannya gemetar ketika membuka laci demi laci, mencari sebuah buku catatan
yang cukup besar. Bungkusan yang akan diletakkan di bawah batu, harus nampak
dengan jelas. Julian pergi bersama Dick ke balik pintu depan, untuk membantu adiknya itu
menghadapi tukang koran. Di situ mereka menunggu dengan sabar. Lama juga mereka
menunggu. Terdengar jam berdentang enam kali. Kemudian setengah tujuh. Pukul
tujuh. "Dia datang!" kata Dick tiba-tiba. "Siap, Julian" Kau harus menyentakkannya ke
dalam. - Halo, Sid!"
Bab 10 MALAM MENYENANGKAN BAGI SID
SID adalah tukang koran yang dimaksudkan oleh Dick. Sid kaget setengah mati,
ketika Julian dengan tiba-tiba saja menyentakkannya masuk ke dalam rumah. Ia
semakin tercengang ketika topi petnya yang berkotak-kotak ditarik dari
kepalanya, sedang kantong tempat koran disambar dari bahu.
"He! Apa-apaan ini?" serunya lemah.
"Ah, ini cuma lelucon saja, Sid," kata Julian sambil memegang anak itu kuat-
kuat. "Pokoknya nanti kau pasti senang."
Sid tidak menyukai lelucon kasar seperti itu. Ia memberontak, tapi cuma sebentar
saja. Julian bukan saja besar badannya, ia juga kuat dan bertekat bulat. Sid
menoleh ke belakang. Dilihatnya Dick pergi ke luar. Topi pet yang berkotak-kotak
terpasang miring di kepala, sedang kantong koran tersampir di bahu. Napas Sid
tersentak ketika dilihatnya Dick meloncat naik ke sadel sepedanya yang tadi
disandarkan dekat pintu pekarangan. Dick langsung melaju di jalan.
"Kenapa dia begitu?" tanya Sid pada Julian. Ia benar-benar bingung. "lelucon
aneh." "Aku tahu. Tapi kau kan tidak keberatan," kata Julian sambil membimbingnya masuk
ke ruang duduk. "Mungkin ada yang bertaruh dengannya, bahwa ia takkan bisa mengantar koran,"
kata Sid. "Dan rupanya ia menerima taruhan itu, ya?"
"Kau memang anak pintar, Sid," kata Julian. Muka Sid yang tolol nampak berseri-
seri. "Yah, mudah-mudahan saja ia melakukannya dengan beres," katanya. "Tapi toh cuma
tinggal dua lagi, kedua-duanya untuk pertanian yang di atas. Ini rumah terakhir
di sini, sebelum aku naik ke sana. Kapan dia kembali lagi?"
"Sebentar lagi," jawab Julian menenangkan. "Kau mau ikut makan malam bersama
kami, Sid?" Mendengar ajakan itu. mata Sid melotot.
"Makan malam bersama kalian?" tanyanya heran bercampur gembira. "Wah, tentu saja
aku tak menolak!" "Baiklah kalau begitu. Sekarang kau duduk saja dulu di sini, sambil melihat-
lihat buku ini," kata Julian sambil menyodorkan beberapa jilid kepunyaan Anne.
"Sementara itu aku akan mengatakan pada Juru masak kami, agar untukmu dibikinkan
makanan yang enak-enak."
Sid sama sekali tak mengerti, apa sebabnya ia secara tiba-tiba saja mendapat
sambutan yang begitu ramah. Tapi ia takkan menolak tawaran makan. Karena itu ia
duduk sambil berseri-seri di atas dipan, sambil membalik-balik halaman buku
dongeng kepunyaan Anne. Wah - apa kata ibunya nanti jika mendengar bahwa ia
diajak makan di Pondok Kirrin" Pasti akan tercengang, pikir Sid.
Sementara itu Julian sudah sibuk membujuk Joan, agar mau diajak bersiasat dengan
mereka. Ketika ia masuk ke dapur, juru masak itu kaget melihat tampang Julian
yang serius. Apalagi pintu langsung ditutup olehnya.
"Ada apa?" tanya Joan.
Julian lantas menceritakan segala-galanya. Mulai dari penculikan terhadap
George, surat yang aneh dan selanjutnya. Julian menyodorkan surat itu, supaya
dibaca sendiri oleh Joan. Wanita itu duduk, karena lututnya terasa lemas.
"Biasanya kejadian begini cuma kita baca saja dalam koran, Julian," katanya
dengan suara agak gemetar. "Aneh rasanya, apabila tiba-tiba kita sendiri yang
terlibat! Aku tak suka kejadian seperti ini."
"Kami juga tidak," jawab Julian. Kemudian diceritakannya rencana yang sudah
disusun. Joan tersenyum sedikit ketika mendengar betapa Dick menyamar sebagai
tukang koran, untuk melihat siapa yang akan datang mengambil buku catatan malam
itu. Apalagi mendengar bagaimana Sid melongo ketika tiba-tiba disergap dan
diseret masuk. "Ah, Sid," kata Joan sambil menggeleng-geleng. "Orang desa pasti takkan henti-
hentinya diceritai olehnya nanti, bagaimana ia diundang makan malam di sini.
Anak itu memang agak tolol - tapi ia tidak jahat."
Joan tersenyum lagi, walau ia masih agak cemas mengingat George yang diculik.
"Kau tak perlu khawatir! Nanti akan kusiapkan makanan yang enak untuknya. Dan
aku juga akan ikut duduk dalam kamar depan. Bagaimana jika kita main kartu saja
nanti" Kita pilih permainan yang juga dikenal Sid - dia bisanya cuma main remi
dan main cangkulan saja!"
"Ya, betul!" kata Julian, yang selama itu sudah bingung karena tak tahu caranya
menyibukkan Sid sampai malam. "Kita akan main remi - dan Sid kita biarkan
menang!" Sid benar-benar menikmati malam yang menyenangkan. Mula-mula ia mendapat
hidangan makanan yang benar-benar enak. Sid makan dengan lahap. Sedang puding
coklat, disikatnya sampai habis tiga perempat. Padahal puding itu ukurannya
tidak setengah-setengah besarnya.
"Aku paling suka makan puding coklat," katanya pada Anne. "Joan mengetahuinya!
Ia tahu, aku paling suka makan apa saja yang ada coklatnya. Ia kenalan baik
ibuku, karena itu ia tahu. Dan barang yang kusukai, paling gemar kumakan!"
Anne tertawa geli. Walau ia masih cemas dan gelisah, tapi ia juga senang melihat
tingkah laku Sid yang lucu. Anak itu tidak bermaksud begitu, tapi ia toh lucu.
Sid menikmati malam itu, dan mengatakannya berulang-ulang.
Sid tamu yang menyenangkan. Jarang ada tamu yang menyambut apa saja yang
diajukan dengan gembira, dan berulang-ulang mengatakan bahwa ia senang ada di
situ. Sehabis makan malam ia pergi ke dapur. Ia hendak mencuci piring, katanya pada
Joan. "Aku selalu melakukannya untuk ibu," katanya. "Jangan khawatir, pasti takkan ada
yang pecah." Ia lantas mencuci piring, sedang Anne membantu mengeringkan.
Menurut pendapat Julian, sebaiknya Anne disuruh sibuk terus, agar jangan sempat
memikirkan hal yang tidak-tidak.
Sid nampak agak kaget dan segan, ketika kemudian diajak main kartu.
"Wah - bagaimana ya" Aku tak begitu mahir main kartu," katanya setengah menolak.
"Aku selalu bingung, kalau disuruh menghitung nilai dan sebagainya."
"Sebetulnya kami ingin main remi," kata Julian. Mendengar itu wajah Sid langsung
berseri kembali. "Remi-" Kalau itu - aku paling senang!" serunya gembira. Dan ternyata memang
benar. Ia mempunyai kebiasaan menyerukan 'Remi', lalu mengumpulkan kartu-kartu
yang terletak di meja, sehingga ia menang terus. Nampak jelas bahwa Sid sangat
gembira. "Wah, malam ini sangat menyenangkan," katanya berulang-ulang. "Sudah lama aku
tak bergembira seperti sekarang! Aku kepingin tahu bagaimana keadaan adikmu yang
tadi - mudah-mudahan saja sepedaku dikembalikan lagi."
"Tentu saja dikembalikan," kata Julian, sambil membagi-bagi kartu untuk kesekian
kalinya. Mereka duduk mengelilingi meja dekat jendela di kamar duduk. Lampu
kamar bersinar terang benderang. Orang yang memandang ke dalam bisa dengan jelas
melihat Julian, Joan, Anne dan Sid duduk di situ. Tapi takkan ada yang menyangka
bahwa Sid adalah anak yang biasa mengantar koran - dan bukan Dick!
Pukul sebelas malam, Julian keluar sebentar. Ia pergi untuk meletakkan buku
catatan yang sudah dibungkus rapi oleh Anne ke bawah batu ubin di belakang
kebun. Buku catatan yang diambil kelihatannya tidak penting. Julian
menyelinapkan sepucuk surat dalam bungkusan itu.
"Ini buku catatannya. Harap bebaskan sepupu kami dengan segera. Kalau tidak,
tanggung sendiri akibatnya."
Julian menyelinap ke kebun, sambil menyorotkan senter ke jalur jalan ubin yang
terdapat di belakang. Ketika tiba pada batu paling ujung, dicobanya mengangkat batu itu. Ternyata batu
itu sudah longgar, sehingga bisa diangkat dengan mudah. Julian menyelipkan
bungkusan yang berisi buku catatan ke dalam lubang yang nampaknya memang sengaja
digali untuk keperluan itu. Sementara itu dengan hati-hati ia memandang
berkeliling. Ia ingin tahu apakah Dick sudah bersembunyi di sekitar situ. Tapi
tak ada orang yang dilihatnya.
Tak sampai dua menit kemudian, Julian sudah kembali lagi di kamar duduk, lalu
ikut bermain kembali. Ia sengaja bermain asal saja. Ia membiarkan Sid menang
terus. Tapi kecuali itu, ia juga tak henti-hentinya memikirkan Dick. Asal saja
adiknya itu tak mengalami bahaya!
Tiba-tiba terdengar suara burung hantu. Anak-anak kaget mendengarnya. Julian
melirik ke arah Joan dan Anne. Kedua orang itu mengangguk, tanda mengerti bahwa
bunyi itu merupakan isyarat bagi mereka. Isyarat bahwa bungkusan sudah ditemukan
dan diambil, kini Sid sudah bisa disuruh pergi. Setelah itu mereka masih harus
menunggu Dick kembali. . Joan menghilang sebentar, lalu kembali dengan minuman coklat dan roti hangat.
Mata. Sid bersinar-sinar. Nasibnya sangat mujur malam itu.
Masih satu jam lagi mereka duduk di ruang depan sambil makan dan minum, serta
mendengarkan cerita Sid tentang berbagai keasyikan bermain remi yang pernah
dilakukannya. Anak itu nampaknya hendak terus-menerus duduk di situ!
"Ibumu pasti sudah gelisah, karena kau belum pulang," kata Julian sambil
memandang ke jam. "Malam sudah larut."
"Mana sepedaku?" tanya Sid. Ia menyesal, karena malam yang menyenangkan itu
sudah akan berakhir. "Adikmu tadi belum pulang" Yah - bilang saja padanya, ia
harus mengantarnya ke rumahku pada waktunya besok pagi, supaya aku tak terlambat
mengantar koran. Dan topiku juga. Itu topi khususku! Aku sayang sekali pada topi
itu. Topi hebat'" "Betul," kata Julian yang sudah capek sekali. "Begini, Sid. Malam sudah larut,
dan di jalan mungkin banyak orang jahat. Kalau ada orang menyapamu, kau harus
segera lari secepat mungkin. Jangan berhenti sebelum sampai di rumah."
"Wah," kata Sid dengan mata melotot karena kaget. "Ya deh - aku akan lari
secepat kilat." Setelah menyalami Joan, Julian dan Anne, Sid pergi ke luar. Ia bersiul-siul,
untuk memberanikan diri. Tapi tiba-tiba ia kaget. Dari balik tikungan muncul
polisi desa. Tahu-tahu orang itu sudah berdiri di depannya. karena memakai
sepatu bersol karet. "Lho, si Sid," kata polisi itu dengan suara galak. "Dari mana kau keluyuran
malam-malam?" Tapi Sid tidak menunggu lebih lama lagi. Tanpa menjawab ia lari pontang-panting.
Lari terus, sampai di rumah. Di sana dilihatnya sepedanya tersandar dekat pintu
pagar, lengkap dengan topi pet yang berkotak-kotak serta kantong tempat menaruh
koran. "Benar-benar ajaib," kata Sid dalam hati.
Ia memandang ke arah rumah. Semua jendela sudah gelap. Ia merasa kecewa.
Ternyata ibunya sudah tidur. Jadi ia harus menunggu sampai pagi dulu - setelah
itu barulah ia bisa bercerita tentang pengalamannya yang asyik malam itu.
Dan bagaimana pengalaman Dick"
Begitu melompat ke atas sadel sepeda Sid, ia langsung meluncur ke jalanan.
Potongannya saat itu mirip anak tukang koran yang tolol itu, karena di kepalanya
ada topi pet yang berkotak-kotak. Ketika lewat dekat pagar semak yang tak jauh
dari Pondok Kirrin, Dick merasa seakan melihat sesuatu yang bergerak di situ.
Pasti ada orang yang sedang mengintai di situ, pikirnya. ia sengaja berhenti
lalu turun dari sepeda, pura-pura memeriksa roda. Biar pengintai itu melihat
kantong koran yang disandangnya, sehingga ia dikira tukang koran yang sejati!
Kemudian Dick menuju ke pertanian yang di atas untuk mengantarkan koran. Setelah
itu pergi ke desa, untuk meninggalkan barang-barang kepunyaan Sid di depan
rumahnya. Lalu ia nonton film. Dick menunggu hari sudah gelap, sehingga ia bisa
menyelinap dengan aman ke Pondok Kirrin lagi.
Setelah gelap, Dick keluar lalu kembali ke Pondok Kirrin. Ia mengambil jalan
memutar. Akhirnya sampai di belakang kebun rumah itu. Sekarang - di manakah ia
harus bersembunyi" Jangan-jangan sudah ada orang bersembunyi di situ. Kalau
begitu - ia pasti akan tertangkap!
Bab 11 DICK BERAKSI DICK terpaku di tempatnya. Sambil menahan napas, ia mendengarkan dengan hati-
hati. Tapi ia tak mendengar apa-apa, selain bunyi daun kena angin, serta sekali-
sekali bunyi tikus ladang mencicit. Malam itu gelap. Langit berawan. Mungkinkah
ada orang bersembunyi di dekatnya - atau akan bisakah ia menemukan tempat
mengintip yang aman dan kemudian menunggu di situ"
Dick berpikir-pikir selama beberapa menit. Tapi kemudian ia merasa takkan
mungkin ada orang yang mengawasi belakang rumah sekarang, karena hari sudah
gelap. Julian dan yang lain-lainnya tentu nampak jelas duduk di ruang depan.
Sedang Sid pasti dikira dirinya. Jadi tak perlu lagi bagian belakang rumah
dijaga. Dick ragu sebentar, memilih tempat sembunyi yang baik. Kemudian ia cepat-cepat
mengambil keputusan. "Aku memanjat pohon," katanya dalam hati. "Enaknya di pohon yang dekat dengan
jalur jalan ubin! Kalau awan gelap tersingkap sedikit nanti, mungkin saja aku
bisa melihat sekilas tampang orang yang datang mengambil bungkusan. Setelah itu
aku akan turun dari pohon dengan diam-diam, lalu membuntutinya."
Dick memanjat pohon oak, yang dahannya terjulur di atas jalur jalan di belakang
kebun. Ia duduk di pangkal dahan yang agak lebar. Ia sudah siap untuk menunggu
agak lama di situ. Menurut surat itu. pukul berapa" Sebelas. Ya. Betul - pukul sebelas malam Julian
harus keluar lalu meletakkan bungkusan berisi buku catatan di bawah batu ubin
yang paling ujung. Dick menunggu jam gereja berdentang. Kalau angin datang dari
arah yang benar, ia akan bisa mendengar bunyinya dengan jelas.
Kemudian didengarnya dentang lonceng. Pukul setengah sebelas. Ia masih harus
menunggu setengah jam lagi. Menunggu, baginya merupakan pekerjaan yang paling
tidak enak. Dick merogoh kantongnya, mengambil sebatang coklat yang sudah agak
lembek. Ia mulai menggigit coklat itu sedikit-sedikit, supaya tidak lekas habis.
Terdengar dentang jam gereja lagi. Pukul sebelas kurang seperempat. Coklat sudah
habis dimakan. Dick mulai bertanya-tanya dalam hati, apakah sebentar lagi Julian
akan muncul. Dan ketika jam gereja berbunyi lagi untuk menunjukkan waktu sudah
Lima Sekawan 9 Jo Anak Gelandangan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pukul sebelas, nampak pintu dapur dibuka dari dalam. Dick melihat Julian berdiri
sejenak di ambang pintu. Abangnya itu mengepit sebuah bungkusan.
Setelah itu Julian bergegas-gegas menuju ke belakang kebun. Dick merasa bahwa
abangnya memandang berkeliling. Mungkin mencarinya! Tapi Dick tak berani memberi
isyarat, bahwa saat itu ia tepat berada di atas kepala Julian.
Didengarnya Julian mengorek-ngorek tanah, lalu mengembalikan batu ubin yang
besar ke tempatnya semula. Dick melihat cahaya senter bergerak-gerak, sementara
Julian berjalan kembali ke arah dapur.
Beberapa saat kemudian pintu dapur ditutup kembali dengan keras.
Kini Dick nyaris tak berani menarik napas lagi. Siapakah yang akan muncul untuk
mengambil bungkusan" Dick memasang telinga baik-baik. Tubuhnya mengejang. Saat
itu angin bertiup. Dick nyaris saja berteriak karena kaget, ketika ada daun
bergerak dan menyentuh tengkuknya. Ia merasa seakan-akan ada jari yang
menyentuh. Lima menit kemudian, masih saja belum ada orang datang. Tapi tiba-tiba Dick
mendengar suatu bunyi. Bunyi itu pelan sekali - nyaris tak kedengaran. Apakah
ada orang yang menyelinap masuk lewat sela pagar semak" Dick menajamkan mata.
Tapi ia cuma melihat bayangan yang lebih hitam dari kegelapan sekeliling.
Bayangan itu kelihatannya seperti bergerak. Kemudian terdengar jelas napas
berat. Rupanya orang yang baru datang itu sedang bersusah payah mengangkat batu
ubin yang besar ukurannya. Jadi bungkusan sedang diambil, seperti tertulis dalam
surat! Terdengar batu ubin dijatuhkan kembali ke tempatnya. Dan nampak lagi bayangan
menyelinap ke arah pagar semak. Siapa pun orang itu - ia pasti membawa bungkusan
yang berisi buku catatan.
Dengan hati-hati Dick turun dari pohon. Ia memakai sepatu bersol karet, sehingga
langkahnya tak kedengaran. Ia menyelinap ke luar kebun, lewat lubang besar yang
ada di tengah pagar semak, yang mengelilingi.
Sesampai di luar ia memicingkan mata, berusaha menemukan orang yang akan
dibuntuti olehnya. Ah - itu dia! Dilihatnya bayangan seseorang berjalan lewat
jalan tanah di tengah lapangan di sebelah rumah, menuju ke arah pintu pagar.
Dick mengikuti dari belakang, sambil merapatkan diri ke pagar semak. Ia
menyelinap agak jauh di belakang bayangan itu sampai sudah keluar di jalan.
Sesampai di situ bayangan berhenti. Dick kaget ketika tiba-tiba terdengar suara
burung hantu beruntun-runtun
Ternyata orang tak dikenal itu yang menirukan suara burung hantu. Tentu saja!
Itu isyarat bahwa bungkusan sudah diambil. Dick kagum mendengar bunyinya, sebab
mirip sekali dengan suara burung hantu. Kemudian orang itu melanjutkan langkah.
Rupanya ia tak mengira ada orang yang mengikuti dari belakang.
Walau ia berjalan dengan hati-hati, tapi tak diusahakannya untuk menyembunyikan
diri. Ia menyusur jalan,lalu membelok masuk ke sebuah lapangan. Dick baru saja
hendak ikut masuk, ketika ia mendengar suara beberapa orang bercakap-cakap.
Suara mereka pelan sekali, sehingga tak terdengar apa pembicaraan mereka. Dick
merunduk di balik bayangan pintu pagar yang terbuka lebar, sehingga orang bisa
leluasa masuk ke lapangan.
Dick kaget ketika tiba-tiba mendengar bunyi nyaring. Matanya silau menatap sinar
terang. Ia merasa bersyukur, karena masih sempat cepat-cepat merunduk di balik
pagar. Ternyata ada mobil di lapangan ini. Dan mobil itulah yang menimbulkan bunyi
nyaring. Mesinnya dinyalakan, dan lampu besarnya dihidupkan. Saat berikutnya
mobil itu mulai bergerak - menuju pintu pagar yang terbuka!
Dick berusaha melihat siapa yang ada dalam mobil. Ia cuma melihat seorang laki-
laki duduk di belakang setir. Kecuali orang itu, nampaknya tak ada siapa-siapa
lagi dalam mobil. Lalu ke mana orang yang satu lagi - orang yang mestinya
mengambil bungkusan di belakang kebun dan menyerahkannya pada pengemudi mobil"
Mungkinkah ia ditinggal di lapangan" Kalau benar begitu, Dick perlu berhati-
hati! Mobil sudah sampai di jalan. Geraknya semakin melaju, dan tak lama kemudian
hanya terdengar derunya saja di kejauhan. Satu hal sudah jelas- Dick tak mungkin
bisa membuntuti mobil yang berjalan cepat! Ia menahan napas, sambil mendengarkan
baik-baik. Mungkin saja terdengar gerakan orang yang satu lagi. Dick merasa
yakin, orang itu pasti masih ada di lapangan!
Tiba-tiba didengarnya seperti orang menyedot hidung. Dengan segera Dick merunduk
semakin rendah. Dilihatnya bayangan orang dengan cepat bergerak melewati pintu
pagar, membelok ke arah Pondok Kirrin dan lenyap dalam gelap.
Dick berdiri lalu mengejar. Kalau orang yang itu, ia pasti akan bisa
membuntutinya. Orang itu pasti akan pergi ke salah satu tempat!
Menyusur jalan, lalu melangkahi gerbang pagar lagi seperti tadi. Berjalan di
lapangan, kembali ke pagar semak yang tumbuh di belakang kebun Pondok Kirrin.
Lho - kenapa kembali ke situ lagi" Dick bingung. Didengarnya orang yang
dibuntuti merayap lewat lubang di sela pagar, lalu diikutinya dari belakang.
Diperhatikannya orang itu menyelinap lewat jalan setapak, lalu mengintip ke
dalam rumah lewat sebuah jendela yang gelap.
"Kurasa ia ingin mencoba masuk lagi ke rumah untuk mengacak-acak," kata Dick
dalam hati. Ia mulai marah. Diperhatikannya bayangan gelap yang berdiri dekat
jendela. Kelihatannya tak begitu besar. Rupanya seseorang yang bertubuh kecil.
Orang sekecil itu sanggup dihadapinya. Orang itu akan dibantingnya ke tanah.
Setelah itu sambil memanggil Julian, orang itu hendak ditahannya sampai Julian
datang. "Lalu mungkin kita bisa ikut-ikutan menculik pula," pikir Dick geram. "Jika
George ditahan terus sebagai sandera, maka kita membalas dengan menahan salah
satu orang mereka. Balas-membalas!"
Dick menunggu dulu sampai bayangan itu agak menjauh dari jendela. Kemudian ia
menerpa. Korbannya berteriak kaget, lalu terjatuh ke tanah.
Dick kaget karena ternyata orang itu kecil sekali. Tapi biar kecil, cabe rawit!
Orang tak dikenal itu menggigit, mencakar dan menyepak-nyepak. Mereka berdua
berkelahi berguling-guling sehingga tanaman di tepi jendela patah-patah sebagai
akibatnya. Tangan dan kaki mereka tergores-gores kena duri pohon mawar.
Sementara itu Dick terus berteriak-teriak, memanggil abangnya.
"Julian! JULIAN! Tolong, Julian!"
Julian mendengar panggilan itu, lalu cepat-cepat datang sambil berseru-seru,
"Dick! Kau di mana, Dick" Ada apa?"
Julian mengarahkan cahaya senternya ke tempat datangnya suara Dick. Dilihatnya
adiknya itu menindih seseorang. Dengan segera Julian bergegas membantu. Senter
dilemparkannya ke rumput, sehingga ia bisa memakai kedua tangannya dengan bebas.
Tak lama kemudian ia dan Dick sudah berhasil meringkus orang yang masih terus
melawan itu. Orang itu diseret ke arah pintu belakang, sementara ia menjerit-
jerit. Tiba-tiba Dick mengenali suara jeritan itu. Astaga - mustahil - tak
mungkin orang itu Jo! Tapi ternyata memang Jo. Ketika anak itu sudah berhasil diseret ke dalam. ia
lantas ambruk sambil menangis keras-keras. Sementara tangannya mengusap-usap
lengan dan betis yang penuh goresan, ia memaki-maki Dick dan Julian. Anne dan
Joan cuma bisa melongo saja melihat adegan itu. Ada apa lagi sekarang"
"Bawa dia ke atas,lalu masukkan ke kamar tidur," kata Julian. "Keadaannya payah
sekali sekarang. Aku juga begitu! Kalau aku tahu dia cuma Jo, aku tadi pasti
takkan menghajarnya begitu keras!"
"Aku sama sekali tak menyangka," kata Dick sambil membersihkan mukanya yang
kotor dengan sapu tangan. "Astaga, anak ini galak sekali! Aku bahkan digigit
olehnya." "Aku tak tahu bahwa tadi itu kau, Dick," kata Jo sambil menangis. "Sungguh, aku
tak tahu. Kau tahu-tahu menerpa, jadi aku terpaksa melawan. Kalau aku tahu kau
yang kuhadapi, pasti aku takkan menggigit."
"Kau ini persis kucing liar yang licik dan penipu." kata Dick sambil mengamat-
amati luka-luka pada dirinya bekas cakaran dan gigitan. "Pura-pura tak tahu apa-
apa tentang orang laki-laki yang memberikan surat padamu - padahal kenyataannya
kau bersekongkol dengan kelompok maling dan pencuri itu."
"Aku tak bersekongkol dengan mereka," kata Jo sambil menangis.
"Jangan bohong," hentak Dick marah. "Aku tadi bersembunyi di atas pohon ketika
kau datang untuk mengambil bungkusan yang ada di bawah batu! Ya, lalu aku
membuntuti sampai ke mobil, dan kemudian kembali lagi ke sini! Tentunya kau
datang lagi untuk mencuri, ya?"
Jo kelihatan kaget. "Tidak, aku bukan hendak mencuri," katanya pelan.
"Mengaku sajalah! Kau akan kami serahkan pada polisi besok," kata Dick yang
masih marah. "Aku bukan kembali untuk mencuri, tapi ada urusan lain," kata Jo. Ia memandang
Dick dari sela-sela rambutnya yang terurai ke depan. Tampangnya saat itu seperti
binatang yang ketakutan. "Hahh - itu cuma alasanmu saja." tukas Dick mengejek. "Lalu kau kembali untuk
apa" Mencari anjing lain, yang bisa kaubius barangkali?"
"Bukan," kata Jo dengan sedih. "Aku datang lagi untuk mengatakan bahwa aku mau
mengantarkan kalian ke tempat George disembunyikan, asal kalian tidak mengadukan
aku. Aku pasti akan dipukul habis-habisan oleh ayahku, jika ia tahu bahwa aku
membuka rahasianya. Memang aku yang tadi mengambil bungkusan - karena terpaksa.
Tapi aku sama sekali tak tahu apa isinya. Aku cuma membawanya ke tempat tadi,
seperti disuruh oleh Jake. Setelah itu aku kembali ke mari. Maksudku hendak
menceritakan segala yang kuketahui pada kalian. Tapi tahu-tahu aku diserang."
Empat pasang mata menatap wajah Jo. Anak itu menutup muka. Dick menarik tangan
anak itu, lalu memaksanya menatap matanya.
"Begini," kata Dick. "Soal ini penting sekali bagi kami, terlepas dari apakah
kau berkata dengan jujur atau tidak. Kau tahu di mana George kini berada?"
Jo mengangguk. "Dan kau mau mengantarkan kami ke situ?" kata Julian. Suaranya terdengar dingin
dan galak. Sekali lagi Jo mengangguk.
"Ya, aku mau," katanya. "Kalian jahat padaku, tapi akan kutunjukkan pada kalian
bahwa aku sebenarnya tak sejahil anggapan kalian. Akan kuantarkan kalian ke
tempat George ditahan."
Bab 12 JO MULAI MEMBUKA MULUT
TIBA-TIBA terdengar jam berbunyi satu kali.
"Wah! Sudah pukul satu," kata Joan kaget. "Malam ini kita tidak bisa berbuat
apa-apa lagi. Anak gelandangan ini sudah tak mampu lagi mengantarkan kalian ke
mana-mana. Ia sudah capek sekali - berdiri saja hampir tak kuat'"
"Betul juga kata Anda, Joan," kata Julian. Ia segera melepaskan niatnya untuk
pergi mencari George malam itu juga. "Kita harus menunggu sampai besok. Sayang
kabel telepon kita dipotong orang. Menurut perasaanku, kita wajib memberitahukan
pada polisi tentang urusan ini."
Jo kaget. "Kalau begitu takkan kukatakan di mana George berada," katanya. "Kau tahu apa
yang akan dilakukan polisi terhadapku, jika mereka berhasil menangkapku" Aku
akan dimasukkan ke dalam panti asuhan anak nakal, dan aku takkan pernah bisa
bebas lagi - karena aku memang nakal dan macam-macam perbuatanku yang tidak
baik. Aku tak pernah mendapat kesempatan untuk hidup seperti anak biasa."
"Semua orang pada suatu waktu pasti akan mendapat kesempatan," kata Julian
lembut. "Kau juga, Jo - tapi kalau kesempatan itu datang nanti, kau harus
menggunakannya. Baiklah! Polisi tidak kita bawa-bawa dalam urusan ini, asal kau
berjanji membawa kami ke tempat George. Bagaimana - kau mau?"
Jo mengangguk, tanda setuju. Setelah itu Joan membimbingnya naik ke tingkat
atas. "Dalam kamarku ada bangku," kata Joan pada Julian. "Ia bisa tidur di situ malam
ini. Tapi tak peduli sudah larut malam atau tidak, sebelumnya ia harus mandi
dulu. Bau badannya bukan main!"
Setengah jam kemudian Jo sudah berbaring di atas bangku dalam kamar Joan.
Badannya sudah bersih, walau penuh luka memar dan bekas-bekas goresan. Rambutnya
juga sudah dicuci dan disikat, sehingga kini menjadi keriting seperti rambut
George. Di depannya ditaruhkan sebuah baki berisi mangkuk dengan roti dan susu
hangat. Joan pergi ke serambi atas lalu memanggil Julian.
"Julian! Jo sudah berbaring di tempat tidurnya. Tapi ia masih ingin mengatakan
sesuatu pada kau dan Dick."
Dick dan Julian bergegas masuk ke kamar Joan. Nyaris saja mereka tak mengenali
Jo. Anak itu memakai salah satu gaun tidur kepunyaan Anne yang sudah agak tua.
Ia nampak bersih dan kekanak-kanakan.
Jo memandang mereka, lalu tersenyum malu.
"Apa yang hendak kaukatakan pada kami?" tanya Julian.
"Banyak yang sebenarnya ingin kukatakan," kata Jo, sambil mengaduk-aduk roti
yang tercelup dalam susu.
"Aku merasa enak sekarang - enak dan bersih - pokoknya begitulah! Tapi besok -
mungkin besok aku akan merasa seperti biasa lagi. Dan mungkin saja aku tak mau
mengatakan apa-apa lagi. Jadi sebaiknya sekarang saja aku membuka mulut."
"Katakan saja," kata Julian.
"Yah - waktu rumah ini kemalingan, aku yang memasukkan orang-orang itu," kata
Jo. Dick dan Julian melongo, sementara Jo terus saja mengaduk rotinya.
"Sungguh," katanya lagi. "Aku masuk lewat jendela kecil yang tak terkunci.
Setelah itu aku pergi ke pintu belakang, dan membukanya sehingga mereka bisa
masuk. Mereka mengacak-acak kamar itu, ya" Aku sempat memperhatikan cara kerja
mereka. Banyak sekali kertas-kertas yang mereka ambil."
"Mana mungkin kau bisa masuk lewat lubang jendela sekecil itu," kata Dick.
"Pokoknya aku bisa," kata Jo. "Aku - aku sudah sering menyusup jendela-jendela
sekecil itu. Soalnya aku tahu caranya. Cuma sekarang jendela yang sangat kecil
tak bisa lagi kumasuki, karena badanku bertambah besar terus. Tapi jendela kecil
kalian itu, mudah saja bagiku."
Julian menghembuskan napas panjang. Ia tak tahu, apa yang harus dikatakan.
"Teruskan ceritamu," katanya kemudian. "Kurasa setelah orang-orang itu sudah
selesai, kau mengunci kembali pintu dapur lalu menyusup lagi ke luar lewat
jendela kecil itu?" "Betul," kata Jo, lalu memasukkan sepotong roti ke dalam mulut.
"Bagaimana dengan Timmy" Siapa yang membiusnya, sehingga ia tidur pulas malam
itu?" tanya Dick. "Aku yang melakukannya," kata Jo. "Itu juga pekerjaan gampang bagiku."
Julian dan Dick tak sanggup mengatakan apa-apa. Bayangkan, perbuatan sejahat itu
pun dilakukan oleh Jo! "Masih ingatkah kalian, aku mengajak Timmy berteman di pantai?" kata Jo. "George
jengkel karenanya. Aku senang pada anjing. Kami dulu banyak memelihara anjing,
sampai ibuku meninggal dunia. Anjing-anjing itu selalu menurut perintahku. Ayah
yang mengatakan apa yang harus kulakukan - mengajak Timmy berteman, supaya aku
bisa memanggilnya malam itu serta memberinya daging yang sudah dibubuhi sesuatu
di dalamnya:" "O, begitu. Dan itu juga gampang sekali, karena kami menyuruh Timmy keluar
sendiri - langsung ke tempatmu menunggu," kata Dick kesal.
"Ya. Ia langsung datang ke tempatku. Ia senang berjumpa kembali denganku. Ia
kuajak jalan-jalan, dan kuciumkan daging yang kubawa. Kemudian ketika kuberikan
padanya, daging itu ditelannya - tanpa dikunyah lagi!"
"Dan kemudian ia tidur pulas semalam suntuk, sehingga kawan-kawanmu bisa masuk
ke dalam rumah dengan tenang," kata Julian. "Aku cuma bisa mengatakan, kau ini
bandit kecil. Tidak malukah kamu?"
"Entah," kata Jo. Ia memang tak tahu pasti, bagaimana rasanya malu. "Apakah aku
tidak boleh bercerita lagi pada kalian?"
"Bukan begitu! Ceritalah terus," kata Dick cepat-cepat. "Lalu adakah hubunganmu
dengan penculikan terhadap George?"
"Aku cuma disuruh berbunyi seperti burung hantu, begitu George dan Timmy
muncul," kata Jo. "Sementara itu mereka sudah siap meringkusnya dengan karung.
Sedang Timmy hendak dipukul kepalanya supaya pingsan. Setelah itu ia pun akan
dimasukkan ke dalam karung. Cuma pembicaraan mereka yang itu saja bisa kudengar.
Tapi orang-orang itu tak nampak olehku. Aku disuruh menyelinap ke mari untuk
menutup pintu depan. Supaya jika George baru pagi-pagi ketahuan tak ada, kalian
akan mengira bahwa ia sudah pergi."
"Dan memang begitulah sangkaan kami," kata Dick sambil mengeluh. "Dasar kita ini
memang tolol! Satu-satunya tindakan kita yang memakai otak, adalah ketika kita
memutuskan untuk membuntuti orang yang mengambil bungkusan."
"Padahal orang itu cuma aku saja," kata Jo. "Lagipula, aku memang berniat
kembali lagi ke sini, untuk mengatakan bahwa aku mau mengantarkan kalian ke
tempat George ditahan. Bukannya karena aku suka padanya! Aku tak suka pada
George. Ia jahat dan kasar sikapnya. Kalau menuruti perasaanku, biar saja ia
diculik selama bertahun-tahun!"
"Aduh, bukan main manisnya anak ini!" kata Julian pada Dick. Ia merasa putus
asa. "Kita apakan sebaiknya anak seperti ini?" Kemudian dialihkannya perhatian
kembali pada Jo. "Lalu mengingat keinginanmu agar George biar saja diculik
selama bertahun-tahun - apa yang menyebabkan kau lantas mengambil keputusan
untuk mengatakan pada kami di mana anak itu berada?" tanyanya bingung.
Lima Sekawan 9 Jo Anak Gelandangan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Yah, aku tak suka pada George - tapi aku senang pada dia!" kata Jo sambil
mengacungkan sendoknya ke arah Dick. "Dia baik hati terhadapku. Jadi aku ingin
membalas kebaikannya itu. Aku tak sering berperasaan begitu," katanya
menambahkan cepat-cepat. Seakan-akan ia merasa bahwa sikap baik hati merupakan
kelemahan yang tidak bisa dikagumi. "Aku ingin agar ia tetap suka padaku."
Dick menatap anak itu. "Aku akan suka padamu, jika kauantarkan kami ke tempat George," katanya. "Kalau
tidak - ya tidak! Jika kau menipu kami, aku lantas akan menganggapmu sebagai
biji buah plum - yang pantasnya hanya untuk diludahkan sejauh mungkin."
"Besok kalian akan kuantarkan ke sana," kata Jo.
"Di mana George?" tukas Julian. Menurut pendapatnya lebih baik hal itu diketahui
malam itu juga. Karena siapa tahu pikiran Jo berubah lagi besok pagi, dan
adatnya kembali seperti biasa.
Jo nampak ragu-ragu. Ia menatap Dick.
"Aku akan senang sekali jika kau mau berbaik hati dan menceritakannya pada
kami." kata Dick dengan ramah.
Jo senang jika ada orang yang baik padanya. Karena itu ia lantas mengalah.
"Kau kan tahu, aku pernah cerita bahwa ayahku pergi," katanya berbisik. "Dan aku
ditinggalnya sendiri, bersama Jake. Ayah tidak mengatakan alasannya - tapi aku
mendengarnya dari Jake. Ternyata George dan Timmy terkurung di dalam karavan
kami. Kemudian ia pergi malam-malam. Dan kurasa aku tahu ke mana ia pergi. pasti
ke tempat yang selalu didatangi jika ia hendak menyembunyikan diri."
"Di mana tempat itu?" tanya Julian. Ia begitu heran mendengar cerita Jo yang
luar biasa, sehingga ia mulai mengira bahwa saat itu sedang bermimpi.
"Di tengah Hutan Gagak," kata Jo. "Kau tak tahu di mana letaknya - tapi aku
tahu! Besok akan kuantarkan kalian ke sana. Sekarang tak ada lagi yang masih
bisa kuceritakan." Anak itu mulai cepat-cepat makan bubur roti, sambil memandang
Dick dan Julian dari balik bulu matanya yang panjang.
Dick memperhatikannya. Ia merasa yakin bahwa Jo tidak bohong tadi. Tapi ia juga
yakin bahwa anak itu pasti akan bohong, jika dengan jalan begitu ia akan lebih
beruntung. . Menurut perasaannya, Jo seorang anak jail yang tidak kenal kasihan, dan liar
wataknya. Tapi sekaligus Dick juga merasa kasihan pada anak itu. Mau tak mau, ia
mengagumi ketabahan anak itu.
Kemudian diperhatikannya luka-luka memar dan bekas goresan di tubuh Jo. Dick
menggigit bibir ketika diingatnya betapa ia menerpa dan menghajar anak itu -
karena sama sekali tak menyangka bahwa ia berhadapan dengan Jo.
"Aku menyesal telah menyakiti dirimu," kata Dick. "Tapi tentu kau mengerti,
bukan maksudku begitu. Itu hanya terjadi karena kekeliruan."
Jo memandangnya, seakan-akan Dick itu raja.
"Tak apa," katanya. "Untukmu, aku mau melakukan apa saja. Kau baik hati."
Saat itu terdengar Joan mengetuk pintu dengan sikap tidak sabar.
"Belum selesai juga?" tanyanya pada Dick dan Julian. "Aku sudah mengantuk
sekali. Suruh saja Jo berhenti bicara. Dan kalian tidur juga dulu."
Anak-anak membuka pintu. Ketika melihat tampang mereka yang serius, dengan
segera Joan menebak bahwa keterangan Jo pada mereka pasti penting. Diambilnya
mangkok susu dari tangan anak itu, yang kemudian didorongnya supaya berbaring di
dipan. "Sekarang kau langsung tidur - dan ingat begitu kudengar kau berbuat aneh-aneh
di tengah malam, aku akan bangun dan memukulmu kuat-kuat sampai kau tidak bisa
duduk berminggu-minggu," kata Joan. Nadanya keras, tapi terasa keramahannya.
Jo nyengir mendengarnya. Gaya bicara seperti begitu, dimengerti olehnya. Ia
meringkuk ke dalam selimut, menikmati kehangatan dan keempukannya. Tak lama
kemudian ia sudah terlena. Joan masuk ke tempat tidur, lalu memadamkan lampu.
"Pukul dua," katanya pada diri sendiri, ketika terdengar jam berdentang dua
kali. "Macam-macam saja! Nanti aku pasti terlambat bangun, sehingga tidak bisa
meminta susu lebih banyak jika tukang susu datang."
Akhirnya cuma Julian saja yang masih bangun. Ia gelisah, memikirkan sikapnya
selama itu. Betul- atau keliru" Kasihan si George - selamatkah anak itu"
Betulkah si bandel yang bernama Jo itu akan mengantarkan mereka ke karavannya
besok - atau barangkali mereka akan dibawa ke sarang penculik, sehingga mereka
semua tertangkap" Julian benar-benar tak tahu.
Bab 13 MENCARI GEORGE KEESOKAN paginya, cuma Joan saja yang bangun lumayan cepat. Tapi ia pun masih
terlambat, sehingga tak bisa berjumpa dengan tukang susu. Juru masak itu
bergegas turun ke bawah pukul setengah delapan. Satu jam lebih lambat dari
biasanya! "Setengah delapan - benar-benar keterlaluan," katanya menggumam, sambil
menyalakan api di dapur. Ia teringat kembali pada kejadian-kejadian malam
sebelumnya. Sebelum turun tadi ia sempat melihat ke tempat tidur Jo. Ia takkan
heran jika si bandel itu sudah menghilang di tengah malam.
Tapi ternyata Jo masih tidur pulas. Tidurnya meringkuk seperti anak kucing,
dengan satu tangan menempel ke pipinya. Rambutnya yang bersih berkilauan,
bergelung menutupi matanya yang terpejam. Ia tetap tak bergerak ketika Joan
sibuk berpakaian dalam kamar.
Anak-anak yang lain juga masih tidur. Julian bangun paling dulu. Tapi itu pun
ketika sudah pukul delapan. Begitu bangun, ia segera teringat kembali pada
kejadian malam lalu. Ia segera bangun dari tempat tidur.
Ia pergi ke kamar tidur Joan. Didengarnya suara juru masak itu di bawah,
berbicara dengan dirinya sendiri seperti biasa. Julian mengintip lewat pintu
yang terbuka sedikit. Syukurlah - Jo masih ada di dalam.
Julian masuk ke dalam lalu membangunkan anak itu dengan pelan-pelan. Jo
menggeliat, membalikkan tubuh sambil membenamkan mukanya ke bantal. Julian
menggoncangnya lagi, sekali ini lebih keras. Ia bertekat hendak membangunkan
anak itu. supaya bisa mengantarkan mereka selekas mungkin ke tempat George
ditahan. Pukul setengah sembilan semua sudah ada di bawah. Mereka sarapan dalam suasana
murung. Jo makan di dapur. Anak-anak mendengar Joan mengomel, memarahi anak itu
karena cara makannya. "Haruskah kau makan secepat itu" Seakan-akan ada anjing yang hendak merebut! Dan
siapa menyuruhmu. mencelupkan jari ke dalam selai, lalu menjilatnya" Aku punya
mata di belakang kepala, jadi hati-hati sedikit!"
Jo senang pada Joan. Menghadapi wanita itu, ia tahu harus bagaimana sikapnya.
Pokoknya apabila katanya diikuti terus, Joan pasti akan cukup memberi makan dan
tidak banyak campur tangan. Tapi jika tidak, boleh diharapkan akan datang hal
yang dikenal baik olehnya. Omelan dan tamparan keras! Joan baik hati, tapi tidak
sabaran. Walau begitu tak ada anak yang merasa takut padanya. Ketika sudah
selesai sarapan, Jo mengikutinya terus, ke mana saja Joan pergi.
Pukul sembilan Julian masuk ke dapur.
"Mana Jo?" katanya. "Ah, itu dia anaknya! Nah, bagaimana sekarang dengan
janjimu, hendak mengantarkan kami ke tempat karavan ayahmu" Kau pasti tahu jalan
ke sana?" Jo tertawa mencemooh. "Tentu saja aku tahu! Daerah sekitar sini kukenal baik!"
"Baiklah kalau begitu," kata Julian. Ia mengambil peta daerah situ, lalu
menghamparkannya di meja dapur. Ia menuding ke suatu tempat,
"Di sini letak Kirrin," katanya. "Dan ini tempat yang disebut Hutan Gagak.
Inikah tempat yang kaumaksudkan" Kita ke sana lewat mana - jalan yang ini, atau
yang itu ?" Jo memandang peta yang ada di meja. Kertas itu tak ada artinya sama sekali
baginya. Ia cuma memandang saja ke titik yang ditunjuk Julian.
"Nah, bagaimana?" tanya Julian. Ia sudah tidak sabar lagi. "Inikah Hutan Gagak
yang kaumaksudkan?" "Aku tak tahu," kata Jo bingung. "Hutan Gagak yang kumaksudkan benar-benar
berupa hutan - aku tak tahu apa-apa mengenai titik yang ada di atas kertas itu."
Joan mendengus. "Percuma saja menunjukkan peta padanya, Julian! Kurasa ia belum pernah melihat
peta. Bahkan membaca pun sama sekali tidak bisa!"
"Tidak bisa membaca?" kata Julian kaget. "Kalau begitu, pasti juga tidak bisa
menulis." Ditatapnya Jo dengan pandangan bertanya.
Jo menggeleng. "Ibu dulu pernah mencoba mengajarku membaca," katanya. "Tapi dia sendiri tidak
begitu bisa. Lagipula, apa gunanya membaca" Orang kan tidak bisa menjebak
kelinci atau memancing ikan dengan membaca?"
"Memang tidak! Gunanya untuk urusan-urusan lain," kata Julian geli. "Tapi, yah -
kusadari bahwa peta sama sekali tak ada gunanya bagimu." Peta digulungnya lagi,
sambil berpikir-pikir. Sukar sekali mengetahui cara yang tepat untuk menghadapi
anak seperti Jo, yang hanya tahu sedikit tentang beberapa hal, tapi tentang
soal-soal lain banyak pengalamannya.
"Dia pasti akan tahu jalan ke sana," kata Joan sambil membersihkan dasar sebuah
panci. "Orang sebangsa dia, penciumannya sangat tajam! Mereka bisa mencium jalan
yang hendak mereka tempuh."
"Betulkah kau bisa mencium bau jalan - seperti seekor anjing?" tanya Anne ingin
tahu. Anak itu kebetulan masuk ke dapur untuk melihat apa yang terjadi di situ.
Begitu mendengar ucapan Joan, langsung saja ia mau percaya. Dianggapnya Jo
benar-benar bisa mencium bau jejak, seperti Timmy.
"Ah, tidak!" kata Jo membantah. "Tapi aku tahu, jalan mana yang harus kulalui.
Dan aku tidak berjalan lewat jalan yang biasa. Terlalu lama kalau lewat situ.
Aku mengambil jalan pintas!"
"Bagaimana kau bisa tahu, itu jalan tersingkat?" tanya Anne lagi. Tapi Jo cuma
mengangkat bahu. Segala pertanyaan itu mulai dirasakannya membosankan.
"Mana anak laki-laki yang satu lagi?" tanyanya. "Apakah dia tidak ikut" Aku
ingin berjumpa dengannya."
"Wah, rupanya ia senang sekali pada Dick," kata Joan sambil mengambil sebuah
panci lagi yang harus dibersihkan. "Nah itu Dick datang - sekarang kau boleh
senang, Jo!" "Hai, Jo," kata Dick sambil nyengir ramah. "sudah siap mengantar kami pesiar?"
"Sebaiknya berangkat malam hari," kata Jo sambil menatap anak itu.
"Astaga!" seru Dick bingung. "Kita berangkat sekarang juga. Kami tak mau jika
kau mengulur-ulur waktu terus. Sekarang, Jo - sekarang!"
"Jika ayahku melihat kita datang, pasti ia akan mengamuk," kata Jo berkeras.
"Baiklah," kata Dick sambil memandang Julian. "Kalau begitu kami pergi sendiri.
Kami sudah menemukan di mana letak Hutan Gagak di peta. Kami akan bisa pergi ke
sana dengan mudah." "Huhh," kata Jo mengejek. "Bisa saja kalian sampai di sana tapi Hutan Gagak
tempatnya luas sekali. Dan cuma aku dan Ayah saja yang tahu, di mana tempat kami
menyembunyikan karavan. Lagipula, jika Ayah ingin menyembunyikan George di
tempat yang benar-benar aman, anak itu pasti dibawanya ke lubang persembunyian
kami di tengah hutan. Nah, apa katamu sekarang" Kalian tak bisa pergi tanpa
aku." "Baiklah, kalau begitu kami akan mengajak polisi," kata Julian dengan gembira.
"Mereka akan membantu kami membongkar isi hutan, dari ujung ke ujung. Pasti kami
akan menemukan George dengan segera."
"Jangan!" seru Jo ketakutan. "Katamu, kau takkan memanggil polisi. Kau sudah
berjanji!" "Ya - tapi kau pun sudah berjanji pula," tukas Julian. "Kita saling bertukar
janji. Tapi kulihat sekarang
bahwa kau tak bisa dipercaya. Sebaiknya kuambil saja sepeda sekarang, untuk
pergi ke kantor polisi."
Tapi sebelum Julian sempat pergi ke luar, Jo sudah menubruk dan memeganginya
erat-erat. "Tidak! Jangan!" teriaknya. "Aku akan mengantarkan kalian ke sana. Sungguh, aku
berjanji. Tapi memang sebaiknya kita berangkat malam-malam."
"Aku tak mau mengundur-undurkan rencana lagi," kata Julian sambil menepiskan
tangannya. Pegangan Jo terlepas. "Jika kau memang bersungguh-sungguh, kau ikut
bersama kami sekarang juga. Tentukan pilihanmu."
"Aku ikut," kata Jo.
"Tidakkah sebaiknya kita beri dia celana pendek yang lain?" tanya Anne dengan
tiba-tiba. Ia melihat celana pendek Jo yang kumal ada lubangnya. lubang itu
besar sekali. "Dia tidak bisa pergi seperti begitu. Dan lihat saja baju kaosnya
- sudah berlubang-lubang."
Dick dan Julian menatap pakaian Jo.
"Bau anak ini akan lebih enak, jika ia memakai pakaian bersih," kata Joan. "Ada
celana pendek George yang sudah tua. Aku mencucinya minggu lalu dan merapikan
jahitannya. Jo bisa memakai celana itu. Dan ada pula kemeja tua kepunyaan George
yang bisa dipinjamnya."
Dalam waktu lima menit, Jo sudah berganti pakaian. Ia memakai celana pendek yang
tua tapi bersih, serta kemeja seperti yang dipakai oleh Anne. Anne memandang
anak itu, lalu tertawa: "Sekarang tampangnya semakin mirip dengan George," katanya. "Mereka bisa jadi
kakak adik." "Abang adik, maksudmu," kata Dick. "George dan Jo pasangan yang luar biasa!"
Jo merengut. Ia tidak senang pada George, dan tidak ingin dikatakan mirip anak
itu. "Bahkan kalau merengut pun mirip George!" kata Anne lagi. Jo langsung memutar
tubuh. Kini giliran Joan menerima tampang masam itu.
"Aduh, tampangmu jelek sekali!" seru Joan, "Awas jangan sampai mukamu merengut
terus dan tidak bisa lenyap!"
"Sudahlah," sela Julian dengan tidak sabar. "Jo! Yuk, kita berangkat. Antarkan
kami ke Hutan Gagak!"
"Nanti kelihatan oleh Jake," kata Jo merajuk. Anak itu keras kepala. Ia sengaja
mengulur saat berangkat. "Ya, betul juga," kata Julian. Hal itu tak terpikir olehnya tadi. "Baiklah! Kau
berjalan duluan, dan kami menyusul jauh di belakangmu. Jadi Jake takkan mengira
bahwa kau mengantarkan kami ke tempat tertentu."
Akhirnya mereka berangkat juga. Joan menyiapkan bekal makanan, karena siapa tahu
di tengah jalan mereka lapar. Julian memasukkan bekal itu ke dalam tas yang
kemudian disandangnya. Jo menyelinap ke luar lewat belakang, terus ke ujung kebun lalu pergi ke jalan
lewat lubang dalam pagar semak. Sedang anak-anak yang lain keluar lewat pintu
depan. Mereka berjalan pelan-pelan, menunggu Jo muncul.
"Itu dia anaknya," kata Julian. "Yuk - harus kita usahakan agar anak itu tidak
lenyap dari pandangan. Aku takkan heran jika tiba-tiba ia menghilang lagi
sekarang!" Jo berjalan jauh di depan, sambil melonjak-lonjak. Tak dipedulikannya ketiga
anak yang mengikuti dari belakang.
Tiba-tiba terjadi sesuatu yang tidak disangka-sangka. Sesosok tubuh muncul dari
balik semak, lalu berdiri di depan Jo. Orang itu mengatakan sesuatu pada Jo.
Anak itu berteriak sambil berusaha melarikan diri. Tapi orang itu lebih cepat.
Disambarnya lengan Jo, dan ditariknya anak itu ke dalam semak.
"Itu tadi pasti Jake!" seru Dick. "Aku yakin, orang itu pasti Jake. Rupanya ia
sudah mengintai Jo sedari tadi. Apa yang kita lakukan sekarang?"
Bab 14 KARAVAN KEPUNYAAN SIMMY
ANAK-ANAK bergegas mendatangi tempat Jake tadi menangkap Jo. Tapi di situ sama
sekali tak kelihatan apa-apa, kecuali beberapa ranting patah di semak. Jake
tidak ada di situ - begitu pula Jo. Anak-anak juga tidak mendengar apa-apa. Tak
ada jeritan Jo. dan Jake juga tidak terdengar berteriak. Keduanya seakan-akan
lenyap ditelan tanah! Dick menerobos semak, masuk ke lapangan yang ada di baliknya. Tapi di situ juga
tak ada siapa-siapa. Yang nampak cuma beberapa ekor sapi. Hewan-hewan itu
memandangnya dengan heran, sementara ekor mereka bergerak kian ke mari.
"Di ujung lapangan ada hutan kecil," seru Dick pada saudara-saudaranya yang
menunggu di jalan. "Pasti mereka ada di sana. Aku akan memeriksa sebentar."
Kemudian Dick lari melintasi lapangan, menuju ke hutan. Tapi di situ pun tak ada
orang. Di belakang hutan nampak sederetan pondok beratap rendah. Dick memandang
ke arah pondok-pondok yang berantakan itu dengan kesal dan bingung.
"Kurasa Jo dibawa Jake ke salah satu pondok itu," pikirnya. "Mungkin pula Jake
tinggal di sana! Satu hal sudah pasti - Jo takkan dilepaskan lagi olehnya.
Tentunya ia mengira Jo sekarang memihak kita. Kasihan si Jo!"
Dick kembali ke jalan. Ia berunding dengan kedua saudaranya, sambil berbisik-
bisik. "Sebaiknya kita laporkan saja pada polisi," kata Anne ketakutan.
"Ah, jangan! Yuk, kita pergi saja sendiri ke Hutan Gagak," balas Dick. "Kita kan
tahu di mana tempatnya. Kita tidak bisa mengambil jalan yang hendak ditunjukkan
Jo -tapi setidak-tidaknya kita masih bisa mengikuti petunjuk dalam peta."
"Ya - kurasa memang bisa," jawab Julian. "Kalau begitu kita lekas-lekas saja
berangkat!" Mereka meneruskan langkah di jalan itu, kemudian mengambil jalan memintas lewat
suatu lapangan. Akhirnya sampai di jalan besar. Sebuah bis lewat, tapi dari arah
berlawanan.
Lima Sekawan 9 Jo Anak Gelandangan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Nanti kalau sampai pada suatu perhentian bis, kita lihat apakah ada yang lewat
dekat Hutan Gagak," kata Julian. "Dengan naik bis, kita akan bisa menghemat
waktu. Kita akan bisa tiba jauh lebih cepat dari Jake, jika orang itu berniat
memberitahukan pada ayah Jo bahwa kita akan ke sana! Kurasa Jo pasti akan
mengatakannya pada Jake. Percaya pada anak licik itu, sama saja seperti
mempercayai ular'" "Aku benci pada Jo!" kata Anne sengit. Anak itu sudah hampir menangis. "Aku sama
sekali tak percaya padanya. Kau. Dick?"
"Entahlah," kata Dick. "Aku tak tahu bagaimana sikapku terhadap anak itu. Jo
belum terbukti bisa dipercaya atau tidak. Lagipula, kan kemarin malam ia datang
lagi untuk menceritakan hal-hal yang diketahuinya pada kita. Ya kan?"
"Aku tak percaya ia datang untuk itu," kata Anne berkeras kepala. "Kurasa ia
datang untuk mengintip-intip."
"Mungkin saja kau benar," kata Dick. "Nah - itu ada tempat perhentian bis. Dan
ada pula daftar perjalanan!"
Ternyata dari situ ada bis yang lewat dekat Hutan Gagak. Dan lima menit lagi bis
itu akan lewat. Anak-anak duduk di bangku yang ada di situ. Bis datang tepat
pada waktunya. Dari jauh sudah terdengar bunyinya. Bis itu penuh dengan wanita
yang hendak pergi ke pasar. Mereka semuanya gemuk-gemuk, dan keranjang yang
dibawa serba besar, sehingga Julian beserta kedua adiknya sukar sekali bisa
masuk ke dalam. Sesampai di pasar, para penumpang yang tadi turun semua. Julian
menanyakan jalan ke Hutan Gagak.
"Itu dia," kata kondektur sambil menunjuk ke lembah yang penuh pepohonan di
bawah bukit. "Tempat itu sangat luas. Kalian jangan sampai tersesat di dalamnya.
Dan hati-hati terhadap orang gelandangan. Biasanya mereka banyak di sana!"
"Terima kasih," kata Julian, lalu mereka berjalan menuruni bukit dan masuk ke
dalam lembah. Kemudian mereka sampai di tepi hutan.
"Wah, hutan ini benar-benar hutan," kata Anne. "Di mana-mana cuma pohon saja
yang kelihatan. Kurasa bagian tengahnya pasti mirip rimba."
Memang, hutan di Inggris lain dengan di Indonesia. Di sana, jika ada tempat yang
agak lebat ditumbuhi pepohonan: maka tempat itu sudah disebut 'hutan'. Karenanya
tidaklah mengherankan, jika bagi Anne tempat yang pepohonannya tumbuh rapat
sudah dianggap 'rimba'. Coba kalau anak itu bisa datang sebentar ke Kalimantan,
atau ke Irian - saat itu baru ia akan mengalami bagaimana wujud rimba yang
sebenarnya. Ketiga anak itu kemudian tiba di suatu tempat yang lapang. Di situ ada
perkemahan orang gelandangan.
Orang-orang ini di Inggris disebut 'gipsy' . Tak ada yang tahu dengan pasti,
dari mana orang-orang itu berasal. Tampang mereka lain dari penduduk Eropa yang
berkulit putih dan berhidung besar. Mereka lebih mengarah pada bangsa Asia.
Berkulit coklat, berbadan sedang dan berambut hitam. Mereka biasa hidup
berkelana. Tapi orang Inggris menganggap mereka termasuk kaum gelandangan.
Perkemahan yang dilihat oleh Julian serta kedua adiknya, terdiri dari beberapa
karavan yang agak kotor. Di sekeliling tempat itu beberapa anak kecil berkulit
coklat sedang main tali. Julian melirik sebentar ke arah kumpulan karavan itu.
Pintu-pintunya terbuka semua.
"George tak ada di sini," katanya dengan suara pelan pada Dick dan Anne. "Sayang
aku tak tahu, ke mana kita harus pergi sekarang. Kurasa paling baik jika kita
ikuti saja jalan yang agak lebar ini. Bagaimanapun, karavan ayah Jo memerlukan
jalan yang agak lebar supaya bisa lewat."
"Kenapa tidak kita tanyakan saja, apakah karavan itu ada di sekitar sini," usul
Anne. "Kita tidak tahu siapa nama ayah Jo," kata Julian.
"Tapi kita kan bisa mengatakan karavan itu ditarik seekor kuda hitam, dan yang
tinggal di situ seorang anak perempuan bernama Jo dengan ayahnya," kata Anne
lagi. "Ya - betul juga katamu," kata Julian. Ia mendatangi seorang wanita tua. Wanita
itu sedang memasak sesuatu dalam panci hitam yang ditaruh di atas setumpuk kayu
bakar yang menyala. Menurut perasaan Julian, wanita itu kelihatannya mirip
sekali perempuan sihir yang biasanya diceritakan dalam dongeng. Wanita itu
menatap ke arahnya, dari balik rambut beruban yang tergerai di mukanya.
"Bu, bolehkah saya bertanya sebentar," kata Julian dengan sopan. "Saya ingin
tahu apakah dalam hutan ini ada karavan yang ditarik kuda hitam" Di situ tinggal
seorang anak perempuan bernama Jo. Ia tinggal bersama ayahnya. Kami ingin
bertemu dengan Jo." Wanita tua itu mengejap-ngejapkan mata. Kemudian menunjuk ke arah kanan dengan
sendok besi yang dipakainya mengaduk-aduk masakan.
"Simmy pergi ke arah sana," katanya. "Tapi sekali ini aku sama sekali tak
melihat Jo. Pintu karavan itu tertutup terus jadi mungkin saja ia ada di dalam.
Mau apa kalian dengan Jo?"
"Ah tidak - cuma ingin ketemu saja," kata Julian samar-samar. Ia tidak bisa
cepat-cepat mengarang alasan tepat, apa sebabnya hendak mendatangi anak
gelandangan itu. "Orang bernama Simmy itu ayahnya?"
Wanita tua itu mengangguk, sementara tangannya sudah sibuk lagi mengaduk-aduk
isi panci. Julian kembali ke saudara-saudaranya. .
"lewat sini," katanya, dan mereka pun berjalan menyusur jalan tanah yang
bergalur-galur. Jalan itu pas-pasan untuk dilalui karavan. Anne mendongak.
Dilihatnya dahan-dahan menaungi kepala.
"Kurasa karavan kalau lewat di sini, atapnya pasti tergeser terus ke dahan-dahan
itu," katanya. "Kehidupan aneh - siang malam tinggal terus dalam karavan kecil,
menyusup-nyusup dalam hutan dan padang!"
Mereka terus menyusur jalan yang berliku-liku di sela-sela pohon. Kadang-kadang
batang pohon begitu merapat di kiri kanan, sehingga rasanya takkan mungkin
dilewati karavan. Tapi dari alur bekas roda yang nampak, mereka tahu bahwa
karavan yang dicari memang lewat di situ.
Hutan makin lama makin lebat. Cahaya matahari sudah nyaris tak bisa lagi
menembus dedaunan yang menaungi di atas kepala. Tapi di depan mereka jalan
berkelok-kelok terus. Tapi kini tinggal alur bekas dua roda saja yang masih
kelihatan. Kemungkinan besar kedua alur itu bekas roda-roda karavan kepunyaan
Simmy. Di sana-sini nampak pohon yang sudah dipotong dahan-dahannya yang rendah. Ada
semak yang dicabut dan dicampakkan begitu saja.
"Rupanya kali terakhir ia ke mari, Simmy sudah bermaksud hendak masuk jauh ke
dalam hutan," kata Julian sambil menuding semak yang tergeletak layu di pinggir
jalan. "Di sana-sini ia sudah melebarkan jalan. Ini sebetulnya sudah bukan jalan
lagi. Kita cuma mengikuti alur bekas roda."
Anak-anak berjalan sambil membisu. Hutan sangat sunyi di tempat itu. Tak ada
suara burung berkicau. Dahan dan ranting di atas dan di sekeliling mereka begitu
rapat tumbuhnya, sehingga semua cuma kelihatan remang-remang gelap.
"Alangkah baiknya jika Timmy ada bersama kita," kata Anne setengah berbisik.
Julian mengangguk. Dalam hati, perasaan begitu sudah lama muncul pada dirinya.
Ia juga menyesal mengajak Anne ikut. Tapi sewaktu berangkat tadi, Jo masih ada
sebagai penunjuk jalan. Dan untuk memberitahukan jika ada bahaya. Tapi Jo kini
tak ada lagi! "Sebaiknya kita berjalan dengan hati-hati," kata Julian dengan suara pelan.
"Siapa tahu, mungkin saja tiba-tiba karavan sudah di dekat kita. Jangan sampai
Simmy mendengar kita datang, lalu siap-siap untuk menyergap."
"Aku dulu saja berjalan, supaya bisa memberi tanda pada kalian jika terdengar
atau terlihat sesuatu," kata Dick. Julian mengangguk, tanda setuju. Dick lantas
berjalan mendului. Setiap mendekati tikungan, ia mengintip dulu dari balik
pohon. Dalam hati, Julian sudah mereka-reka apa yang akan dikerjakan jika sampai
di karavan yang dicari. Ia merasa pasti, George dan Timmy tentu akan ditemukan
terkurung dalam karavan yang terkunci rapat.
"Jika kita berhasil membongkar pintu dan membebaskan mereka, selebihnya menjadi
urusan Timmy," katanya dalam hati. "Timmy kemampuannya setanding dengan tiga
polisi sekaligus. Ya - kurasa sebaiknya begitu saja!"
Tiba-tiba nampak Dick berhenti. Anak itu mengangkat tangannya, menyuruh berhati-
hati. Kemudian mengintip dari balik batang pohon besar, lalu berpaling dan
mengangguk-anggukkan kepala.
"Ia melihat karavan," kata Anne. Seperti biasa, jantung anak itu mulai lagi
berdebar dengan keras. "Tinggal dulu di sini," kata Julian pada Anne, lalu menyelinap maju ke tempat
Dick. Sementara itu Anne merangkak masuk ke dalam semak. Ia tak suka berada
dalam hutan gelap dan sunyi itu. Ia mengintip dari sela dedaunan, memandang ke
arah kedua abangnya. Ternyata memang dengan sekonyong-konyong saja Dick melihat karavan itu.
Ukurannya kecil. Catnya sudah mengelupas di sana-sini. Dan kelihatannya saat itu
tak ada orang di situ. Di luar tak nampak api unggun menyala. Simmy tak
kelihatan, begitu pula kuda yang hitam.
Anak-anak memperhatikan sambil berdiam diri selama beberapa menit. Dari arah
tempat agak lapang di mana karavan berada, sama sekali tak terdengar bunyi apa
pun. Tak ada yang bergerak-gerak.
"Dick," bisik Julian. "Kelihatannya Simmy tak ada di sini. Ini kesempatan yang
kita tunggu! Kita merayap mendekati karavan, lalu mengintip ke dalam lewat
jendela. Begitu George melihat kita. dengan segera kita berusaha membebaskannya.
Timmy juga!" "Aneh - kenapa anjing itu tidak menggonggong," kata Dick sambil berbisik-bisik
juga. "Rupanya kedatangan kita tak terdengar olehnya. Yah - bagaimana" Kita ke
karavan sekarang?" Dengan hati-hati mereka lari mendekati karavan. Julian langsung mengintip ke
dalam, lewat jendela yang kotor kacanya. Tapi di dalam terlalu gelap, sehingga
ia tidak bisa melihat apa-apa.
"George!" desis Julian. "Kau ada di situ, George?"
Bab 15 MENARA MERAH DARI dalam karavan tak terdengar jawaban. Mungkin George sedang tidur. Atau
jangan-jangan dibius! Dan Timmy juga. Semangat Julian mengerut. Ia ngeri
membayangkan, kalau George diperlakukan dengan kejam. Ia berusaha mengintip lagi
ke dalam. Tapi kaca jendela yang kotor, ditambah dengan keadaan sekitar situ
yang gelap, menyebabkan ia sama sekali tak bisa melihat apa-apa.
"Bagaimana jika kita gedor saja pintunya," kata Dick.
"Wah, jangan! Kalau Simmy ada di sekitar sini, bunyi ribut-ribut itu akan
menyebabkan ia datang bergegas-gegas. Lagipula, jika George ada di dalam dan
sedang bangun, pasti ia sudah mendengar suara kita," kata Julian.
Mereka lantas menyelinap, mendekati pintu yang ada di sisi belakang karavan. Tak
ada anak kunci terselip dalam lubangnya. Julian mengerutkan kening. Rupanya anak
kunci dibawa Simmy. Kalau begitu, mereka terpaksa membongkar pintu, tapi itu
akan menimbulkan bunyi ribut!
Julian naik ke atas tangga, lalu mendorong daun pintu. Kelihatannya sangat
kokoh. Lagipula, bagaimana bisa membongkar pintu" Mereka sama sekali tak membawa
peralatan! Julian mengetuk pintu dengan hati-hati. Tok-tok-tok. Tapi tak terdengar bunyi
apa-apa di dalam. Aneh! Julian berusaha memutar tombol pintu. Ternyata bisa
bahkan gampang sekali. Bukan itu saja. Pintu juga langsung terbuka!
"Dick - ternyata pintu sama sekali tak terkunci," seru Julian. Ia sangat kaget,
sehingga lupa berbisik. Kemudian ia masuk ke dalam karavan yang gelap.
Harapannya sudah kecil sekali, akan menjumpai George atau Timmy di dalam.
Dick ikut masuk. Di dalam tercium bau pengap. Keadaan ruangan acak-acakan. Tapi
tak ada siapa-siapa di situ. Karavan ternyata kosong - seperti telah
dikhawatirkan Julian. Anak itu mengeluh. "Kita sudah jauh-jauh ke sini, tapi ternyata percuma! Mereka sudah memindahkan
George ke tempat lain. Habis usaha kita sekarang, Dick! Tak ada petunjuk sama
sekali, ke mana kita harus pergi dari sini."
Sementara itu Dick mengeluarkan senter yang dikantonginya. Dinyalakannya alat
itu, lalu disorotkannya ke arah barang-barang yang berserakan dalam karavan. Ia
mencari tanda-tanda yang bisa dijadikan bukti bahwa George pernah ada di situ.
Tapi tanda-tanda seperti itu, sama sekali tak kelihatan!
"Mungkin saja Jo cuma mengarang-ngarang belaka bahwa ayahnya menculik George,"
katanya sambil mengeluh. "Tak ada tanda sedikit pun bahwa ia dan Timmy pernah
ada di sini." Kemudian ia menyorotkan cahaya senter ke dinding karavan yang terbuat dari
papan. Tiba-tiba perhatiannya terpaku pada tulisan yang nampak di dinding itu.
Ia memperhatikan lebih dekat lagi.
"Julian'" katanya kemudian. "Bukankah ini tulisan George" Lihatlah - apa yang
tertulis di sini?" Kedua anak itu membungkuk, membaca tulisan yang tergores di dinding. 'Red Tower,
Red Tower, Red Tower'. Kedua kata itu nampak tertulis berulang-ulang dengan tulisan kecil-kecil.
"Red Tower! Menara Merah," kata Dick. "Apa maksudnya" Dan benarkah ini tulisan
tangan George?" "Ya, kelihatannya memang tulisannya," kata Julian. "Tapi untuk apa kedua kata
itu ditulisnya berulang-ulang" Menurut perkiraanmu, mungkinkah itu nama tempat
ke mana ia dibawa sekarang" Barangkali ia mendengar penculiknya mengatakan
sesuatu, lalu cepat-cepat menuliskannya - dengan harapan kita berhasil menemukan
karavan ini lalu memeriksa isinya. Red Tower. Jadi Menara Merah! Kedengarannya
aneh!" "Kurasa mungkin itu sebuah rumah dengan menara merah," kata Dick. "Yah -
sekarang sebaiknya kita kembali saja, lalu melaporkan pada polisi. Biar mereka
saja yang mencari di mana ada 'Menara Merah' itu."
Dengan perasaan kecewa, Dick dan Julian kembali ke tempat Anne menunggu. Begitu
mendengar mereka datang, anak itu cepat-cepat merangkak keluar dari bawah semak.
"George tidak ada di dalam karavan," kata Dick. "Tapi sebelumnya ia ada di situ!
Kami melihat tulisannya di dinding sebelah dalam."
"Dari mana kau tahu bahwa itu tulisannya?" tanya Anne.
"Soalnya, ia menuliskan perkataan 'Red Tower' berkali-kali dan huruf R dan T
tulisan itu persis dengan yang biasa ditulisnya," kata Dick. "Kami rasa,
mestinya ia mendengar orang bercakap-cakap dan mengatakan bahwa ia akan dibawa
ke Red Tower - jadi ke Menara Merah. Entah menara merah mana yang dimaksudkan!
Sekarang kita akan berangkat ke polisi. Aku menyesal, kita sudah mempercayai Jo,
sehingga banyak waktu terbuang percuma!"
"Kita makan saja dulu," kata Julian. "Tapi tak perlu duduk. Kita bisa makan
sambil berjalan." Tapi tak seorang pun berselera makan. Kata Anne perutnya mulas. Julian terlalu
gelisah, sedang Dick ingin cepat-cepat berjalan sehingga tak sempat membuka
bekal dulu. Mereka lantas kembali menyusur jalan yang tadi.
Tiba-tiba sekeliling mereka menjadi gelap gulita. Terdengar hujan menderu
mengenai dedaunan, teriring bunyi guruh. Anne kaget mendengarnya, lalu menyambar
lengan Julian dan memegangnya erat-erat.
"Julian," keluhnya. "Kan berbahaya jika berada dalam hutan pada saat badai
hujan! Aduh, Julian - bisa disambar kilat kita di sini'"
"Tidak," jawab Julian menenangkan. "Kalau di hutan, sama saja seperti di tempat
lain. Yang berbahaya, jika kita berlindung di bawah pohon yang berdiri sendiri.
Nah - di sana ada tempat yang agak lapang! Kalau kau mau, kita ke sana
sekarang." Tapi di tempat itu hujan turun sangat lebat. Kalau mereka berdiri di sana, pasti
dalam sekejap mata akan sudah basah kuyup. Julian mendorong Anne ke arah
segerombol semak, lalu mereka merunduk di bawahnya.
Tak lama kemudian hujan berhenti. Guruh semakin menjauh ke arah timur. Mereka
sama sekali tak melihat kilat yang sambar-menyambar. Keadaan sekeliling mereka
menjadi agak terang. Mestinya di atas puncak pepohonan matahari sudah bersinar
cerah kembali. "Aku tak suka hutan ini," kata Dick sambil merangkak keluar dari semak. "Yuk,
kita cepat-cepat kembali ke jalan tadi."
Sambil berkata begitu ia sudah berjalan di sela pepohonan. Julian memanggilnya.
"Tunggu, Dick. Kau yakin arahmu benar?"
Dick langsung berhenti melangkah. Ia gelisah.
"Yah- kurasa tadi bahwa ini jalannya," katanya ragu. "Tapi entahlah. Kau tahu
harus lewat mana?" "Kusangka kita harus lewat di sela pepohonan sebelah sana," kata Julian. "Di
sana - ke tempat yang agak lapang itu."
Mereka segera pergi ke tempat yang ditunjukkan oleh Julian.
"Tapi kelihatannya tak sama seperti yang tadi," kata Anne, begitu mereka sampai.
"Tempat tadi, di satu sisinya ada batang kayu yang mati. Tapi di sini, tidak
ada." "Sialan!" kata Julian jengkel. "Yah - kalau begitu kita coba lewat sini saja."
Mereka berjalan ke arah kiri. Tapi ternyata mereka malah lebih dalam masuk ke
hutan. -.Julian ngeri. Ia menyesali ketololannya tadi. Mestinya ia tahu,
berbahaya jika meninggalkan satu-satunya jalan yang dikenal tanpa meninggalkan
tanda-tanda yang bisa diikuti. Dan sekarang ia sama sekali tak tahu lagi, di
Lima Sekawan 9 Jo Anak Gelandangan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sebelah mana letak jalan yang ada alur bekas roda tadi. Dipandangnya Dick dengan
suram. "Gawat," kata Dick. "Yah - sekarang kita terpaksa memilih jalan mana yang harus
kita tuju. Kita tidak bisa berdiri saja di sini terus."
"Tapi jangan-jangan malah bertambah dalam masuk ke hutan," kata Anne. Tiba-tiba
ia merasakan ketakutan mencengkam dirinya. Dengan segera Julian merangkul pundak
adiknya itu. "Yah, kalau kita masuk semakin dalam, akhirnya toh akan keluar juga di seberang
sana," katanya. "Hutan ini kan bukan tak berujung'"
"Kalau begitu kita berangkat saja merintis hutan," kata Anne. "Pada suatu saat
kita pasti akan keluar juga."
Kedua abangnya tidak sampai hati untuk mengatakan, tak mungkin mereka bisa
merintis begitu saja. Mereka akan terpaksa mengitari semak belukar, kadang-
kadang melangkah balik apabila menjumpai bagian yang tak bisa ditembus, serta
membelok rapat. Mereka mustahil bisa berjalan lurus terus, seperti merintis
lapangan terbuka. "Bahkan mungkin pula kita nanti akan berjalan berputar-putar terus di satu
tempat, seperti yang sering terjadi dengan orang-orang yang tersesat di tengah
gurun pasir," pikir Julian. Ia menyesali dirinya sendiri, karena meninggalkan
alur bekas roda yang bisa dipakai sebagai penunjuk jalan.
Mereka bertiga berjalan selama dua sampai tiga jam. Tiba-tiba Anne jatuh karena
kakinya tersandung. "Aku tak mampu berjalan lagi," kata anak itu sambil menangis. "Aku ingin
istirahat dulu." Dick melirik arlojinya, lalu bersiul kaget. Wah - tahu-tahu sudah hampir pukul
tiga sore! Cepat sekali waktu berjalan. Ia duduk dekat Anne lalu meraih adiknya
itu. "Kita perlu mengisi perut dulu:" katanya. "Sejak sarapan tadi, kita belum makan
lagi." Anne mengatakan bahwa ia masih tetap belum merasa lapar. Tapi ia langsung
berubah pikiran, begitu mencium roti daging yang disiapkan oleh Joan. Tak lama
kemudian ia sudah makan bersama kedua abangnya. Dan setelah itu, ia merasa
badannya lebih enak. "Sayang kita tak membawa minuman," kata Dick. "Tapi Joan membekali tomat dan
buah plum. Jadi itu saja yang kita makan, sebagai ganti minuman."
Ketiga anak itu menyikat segala-galanya. Dalam hati Julian merasa sangsi
terhadap perbuatan mereka. Mereka tak bisa mengetahui berapa lama lagi mereka
masih akan tersesat di tengah Hutan Gagak. Mungkin saja kemudian Joan akan
merasa cemas lalu melaporkan pada polisi bahwa anak-anak pergi ke Hutan Gagak,
sehingga akan diadakan usaha pencarian. Tapi bisa saja lama sekali sebelum
mereka ditemukan! Sehabis makan, Anne tertidur. Kedua abangnya bercakap-cakap dengan suara pelan.
"Perasaanku tidak enak," kata Dick. "Maksud kita hendak mencari George - tapi
ternyata kita malah tersesat. Petualangan kali ini rasanya tidak berjalan
lancar." "Jika kita tidak berhasil keluar dari sini sebelum gelap, kita akan terpaksa
tidur di bawah semak," kata Julian.
"Nanti kalau Anne sudah bangun, kita mencoba lagi - sekali ini sambil berseru-
seru. Lalu jika setelah itu kita masih saja tersesat, kita mencari tempat yang
bisa dipakai untuk tidur dalam hutan."
Ternyata ketika hari sudah gelap- dan di hutan cepat gelap - mereka masih tetap
tersesat. Suara mereka sampai serak karena berteriak-teriak terus.
Tanpa bicara mereka mencabut setumpuk tumbuhan pakis dari tempat yang agak
lapangan, lalu menaruhnya di bawah semak.
"Untung malam ini tidak dingin," kata Dick. Ia bersikap seakan-akan gembira.
"Besok pagi, kita pasti bersemangat lagi. Anne, kau berbaring merapat padaku,
supaya badanmu hangat, nah - begitu! Lalu Julian berbaring di situ, di sebelah
Anne juga. Asyik juga petualangan ini."
"Aku tak suka petualangan," kata Anne dengan pelan.
Detik berikutnya ia sudah pulas.
Bab 16 TAMU TENGAH MALAM LAMA sekali Julian dan Dick baru bisa tidur. Keduanya merasa gelisah - mengingat
George, tapi juga mengingat diri mereka sendiri. Mereka juga merasa lapar. Dan
rasa lapar ditambah kegelisahan, menyebabkan sukar tidur!
Tapi akhirnya. Dick tertidur juga. Sedang Julian masih bangun. Diharapkannya
Anne merasa enak dan hangat tidur di sela kedua abangnya. Ia sendiri agak
kedinginan. Tiba-tiba terdengar bunyi daun-daun berdesir, serta sesuatu yang bergerak-gerak
di belakang kepalanya. Binatang apakah itu" Mungkin tikus.
Kemudian dirasakannya ada sesuatu menyentuh rambutnya. Julian merinding. Jangan-
jangan ada labah-labah! Yah - lebih baik jangan bergerak, karena nanti Anne
terbangun. Kalau binatang itu hendak membuat jaring di atas kepalanya, silakan!
Julian memejamkan mata. Lalu terlena. Tak lama kemudian ia sudah mimpi.
Tapi tiba-tiba ia terbangun karena kaget. Ia mendengar bunyi burung hantu.
Tentunya suara itu yang membangunkannya. Nah, sekarang ia pasti akan sukar bisa
tidur lagi, keluhnya dalam hati.
Julian memejamkan matanya kembali. Tapi burung hantu sialan itu berbunyi lagi.
Julian kesal mendengarnya. Mudah-mudahan Anne tidak terbangun. Anak itu bergerak
sedikit, sambil menggumam dalam tidur.
Julian menjamah badan adiknya. Terasa hangat. Ia lantas memejamkan mata. Tapi
baru sekejap, sudah terbuka lebar kembali. Ia mendengar bunyi sesuatu!
Bukan burung hantu, dan juga bukan bunyi kaki binatang kecil seperti tikus -
tapi bunyi yang lebih nyaring. Julian menajamkan telinga. Di salah satu tempat
sekitar itu ada bunyi gemerisik. Rupanya di dekat-dekat situ ada binatang yang
agak besar! Julian ketakutan. Tapi cuma sebentar saja, karena dengan segera ia berhasil
menenangkan diri. Di Inggris tidak ada lagi binatang liar yang berbahaya.
Serigala pun sudah tidak ada! Jadi mungkin yang didengarnya itu seekor luak yang
sedang mencari makan. Tapi ia tak mendengar suara mengendus-endus. Yang ada cuma
bunyi gemerisik gerak binatang itu dalam semak.
Bunyi itu semakin mendekat. Kedengarannya seperti lurus menuju ke tempatnya!
Julian merasakan ada napas hangat dekat telinganya. Ia bergidik, lalu cepat-
cepat duduk dan mengulurkan tangan. Tersentuh sesuatu yang hangat dan berambut.
Seketika itu juga ia menarik tangannya karena kaget dan ngeri, lalu meraba-raba
mencari senter. Bayangkan, di tengah malam segelap itu menyentuh sesuatu yang
terasa hangat dan berambut. Bahkan Julian yang biasanya berani, sekali itu
ketakutan! Tahu-tahu ada yang memegang lengannya! Julian menjerit dan mengibaskan lengan
sehingga pegangan terlepas. Ia kaget setengah mati, ketika makhluk yang disangka
binatang itu tahu-tahu berbicara.
"Julian - ini aku'"
Julian dengan tangan gemetar menyalakan senter. Cahayanya menerangi wajah coklat
kotor, dengan ram but kusut menutupi mata.
"Jo," seru Julian tercengang. "Jo! Apa yang kaulakukan di sini" Aku tadi
setengah mati ketakutan karenamu. Kukira kau binatang seram berbulu panjang.
Rupanya rambutmu yang tersentuh tadi."
"Memang," kata Jo, sambil menyusup ke bawah semak. Anne dan Dick yang terbangun
mendengar teriakan Julian, menatap Jo dengan heran dan bingung. Mereka melongo.
Bayangkan - tahu-tahu Jo muncul di tengah mereka, dalam hutan. Bagaimana caranya
anak itu bisa sampai di situ"
"Kalian kaget kan melihat aku di sini?" kata Jo. "Aku tadi pagi disergap oleh
Jake. Ia tak tahu, kalian mengikuti dari belakang. Aku diseretnya ke pondok
tempat tinggalnya, lalu dikurungnya di situ. Ia tahu malam kemarin aku menginap
di Pondok Kirrin. Katanya aku akan dibawa ke tempat ayahku, supaya dihajar
habis-habisan. Dan ayahku pasti akan melakukannya."
"Jadi itu rupanya yang terjadi dengan dirimu," kata Dick.
"Kemudian aku berhasil melarikan diri, setelah membongkar jendela," cerita Jo
selanjutnya. "Jake jahat! Aku takkan mau melakukan perintahnya lagi. Bayangkan,
aku dikurungnya dalam pondok! Padahal aku paling benci dikurung dalam rumah. Yah
- setelah itu aku lantas mencari kalian."
"Bagaimana caramu bisa menemukan kami di sini?" tanya Julian heran.
"Mula-mula aku pergi ke karavan," kata Jo. "Bu Smith - itu, wanita tua yang
kerjanya tak habis-habisnya mengaduk isi panci - ia mengatakan bahwa kalian
datang dan menanyakan di mana karavan kepunyaan ayahku. Jadi aku lantas menduga
bahwa kalian pasti pergi mencarinya. Aku segera menyusul. Tapi karavan kujumpai
dalam keadaan kosong. Bahkan George pun tak ada lagi di situ."
"Kau tahu di mana George sekarang?" tanya Anne.
"Tidak," jawab Jo. "Ayah membawanya ke tempat lain. Kurasa ia diangkut naik kuda
kami, karena kuda itu pun tak kelihatan."
"Lalu bagaimana dengan Timmy?" tanya Dick.
Jo membuang muka. "Kurasa Timmy sudah mati, dibunuh mereka," katanya kemudian. Sesaat anak-anak
membisu. Mereka tak mampu berbicara, karena sedih dan ngeri membayangkan anjing
George mati dibunuh orang.
"Bagaimana kau bisa menemukan kami?" tanya Julian kemudian.
"Gampang sekali," kata Jo. "Jejak siapa pun, pasti bisa kuikuti. Sebetulnya aku
bisa datang lebih cepat, tapi sudah terburu malam. Wah, kalian benar-benar
tersesat rupanya ya?"
"Betul," kata Dick. "Jadi kau mengikuti kami terus, berjalan tak menentu arah?"
"O ya," kata Jo. "Sampai capek rasanya mengikuti jejak kalian yang simpang siur.
Apa sebabnya kalian meninggalkan alur bekas rada?"
Julian menceritakan sebabnya.
"Kau ini memang tolol," kata Jo. "Kalau hendak meninggalkan jalan yang ada dalam
hutan, cukup kauberi tanda saja sedikit pohon-pohon yang kaulewati. Tak perlu
semua - cukup di sana-sini saja! Dengan begitu kau akan selalu bisa menemukan
jalan kembali." "Kami mula-mula tak menyadari bahwa kami bisa tersesat," kata Anne sambil
memegang tangan Jo dan meremasnya. Ia sangat lega melihat anak itu muncul.
Sekarang mereka akan bisa keluar dari hutan seram itu.
Jo kaget dan terharu. Tapi ia cepat-cepat menarik tangannya. Ia tak suka
dipegang-pegang. Tapi kalau Dick yang melakukannya, itu lain perkara. Jo
menganggap Dick pahlawannya, jauh melebihi siapa pun juga. Dick ramah
terhadapnya, dan ia merasa senang bisa menjumpainya.
"Kami menemukan tulisan di dinding karavan," kata Julian. "Rasanya kami tahu
sekarang ke mana George dibawa ayahmu. Ke suatu tempat yang namanya Red Tower.
Jadi Menara Merah. Kau tahu di mana tempat itu?"
"Tak ada tempat bernama Red Tower," jawab Jo dengan segera. "Itu ...."
"Jangan aksi, Jo. Kau tak mungkin tahu bahwa tak ada tempat bernama Red Tower,"
kata Dick jengkel. "Mungkin ada beratus-ratus tempat yang namanya begitu! Pokoknya kami harus
mencari tempat itu. Polisi pasti tahu di mana letaknya."
Jo nampak ketakutan. "Kau sudah berjanji tak melaporkan pada polisi," katanya.
"Ya, kami berjanji begitu - tapi hanya jika kau mengantarkan kami ke tempat
George ditahan," kata Dick. "Tapi kau tak menepati janji. Lagipula, jika kau
jadi mengantarkan kami ke karavan, George toh tak ada di situ. Jadi kami bisa
saja sekarang menghubungi polisi untuk mencari di mana Red Tower."
"Yang tertulis itu kata 'Red Tower'?" kata Jo. "Kalau begitu - aku bisa
mengantarkan kalian ke George'"
"Mana mungkin, jika kau tadi mengatakan tak ada tempat yang namanya Red Tower?"
tukas Julian kesal. "Aku tak mau percaya lagi kata-katamu, Jo. Kau pembohong - dan aku agak curiga
bahwa saat ini pun kau masih memihak pada musuh kami'"
"Tidak! Tidak benar," kata Jo marah. "Kau jahat! Red Tower sama sekali bukan
nama tempat. Itu nama orang!"
Anak-anak melongo mendengar ucapan Jo. Nama orang! Tak ada yang terpikir ke
situ. Jo berbicara lagi. Kedengarannya senang melihat anak-anak kaget mendengar
keterangannya tadi. "Orang itu bernama Tower. Rambutnya merah menyala. Karenanya ia mendapat julukan
Red - si Merah. Tower si Menara - Red Tower! Sekarang mengerti?"
"Kau tidak cuma mengarang-ngarang lagi, kan?" tanya Dick setelah agak lama.
"Maklumlah, kau biasa berbohong."
"Baiklah. Kalian bisa saja beranggapan aku cuma mengarang-ngarang saja," tukas
Jo merajuk. "Aku pergi! Coba saja cari jalan keluar sendiri. Kalian jahat!"
Jo bergerak hendak pergi, tapi Julian cepat-cepat memegang lengannya.
"Nanti dulu!" katanya. "Sekarang kau harus terus bersama kami, juga apabila aku
terpaksa mengikatmu semalaman! Soalnya sukar sekali bagi kami untuk
mempercayaimu, Jo - dan itu salahmu sendiri, bukan salah kami. Tapi sekali ini
kami mau percaya padamu. Ceritakanlah tentang Red Tower, lalu antarkan kami ke
tempat tinggalnya. Jika kau melakukannya, akan bertambah kepercayaan kami
padamu." "Dick juga mau percaya padaku?" kata Jo sambil berusaha membebaskan diri dari
pegangan Julian. "Ya," kata Dick singkat. Ia rasanya sudah kepingin menampar anak perempuan itu.
Anak itu tidak bisa diduga, sikapnya mengesalkan, tapi entah kenapa toh
menyenangkan. "Tapi saat ini aku tak merasa terlalu senang padamu. Jika kau
ingin kami mempercayai dan juga menyenangi dirimu, kau harus lebih banyak
menolong kami daripada sekarang."
"Baiklah," kata Jo sambil rebah kembali ke tempatnya. "Sekarang, aku capek.
Besok pagi kalian akan kubawa ke luar, lalu kuantar ke rumah Red. Tapi kalian
pasti takkan suka padanya. Orang itu jahat."
Setelah itu ia tak mau mengatakan apa-apa lagi. Mereka lantas berusaha tidur
kembali. Perasaan mereka sudah agak lega, karena Jo ada bersama mereka. Anak itu
akan mengantarkan mereka keluar dari hutan. Menurut perasaan Julian, kecil
sekali kemungkinannya anak itu masih akan meninggalkan mereka lagi. Ia J lantas
memejamkan mata. Tak lama kemudian ia sudah terlena.
Jo bangun paling dulu. Ia menggeliat. Setelah itu dibangunkannya Julian dan
kedua adiknya. Anak-anak duduk sambil meluruskan tubuh yang terasa kaku. Mereka
merasa kotor dan lapar. "Aku juga haus," kata Anne mengeluh. "Di mana kita bisa memperoleh makanan dan
minuman?" "Sebaiknya kita pulang dulu untuk mandi dan sarapan, serta mengatakan pada Joan
kita hendak ke mana," kata Julian. "Ayo Jo - tunjukkan jalan keluar."
Jo berjalan dengan langkah yakin. Anak-anak heran, bagaimana anak itu bisa tahu
jalan dengan tepat. Mereka lebih tercengang lagi ketika dua menit berikutnya
mereka sudah ada lagi di jalan yang ada alur bekas rada.
"Astaga! Ternyata cuma dekat saja!" kata Dick. "Padahal kemarin kita rasanya
jauh sekali tersesat dalam hutan!"
"Memang betul," kata Jo. "Kalian menempuh lingkaran besar, dan sudah hampir
sampai lagi di tempat semula. Yuk - sekarang kutunjukkan jalan kembali ke rumah
kalian. Jauh lebih baik daripada naik bis!"
Bab 17 NAIK PERAHU JOAN merasa lega melihat anak-anak pulang. Semalaman ia gelisah terus. Kalau
kabel telepon tidak putus, pasti ia sudah menelepon polisi. Tapi telepon rusak,
jadi ia tak bisa melakukannya. Dan malam itu gelap sekali, sehingga ia tak
berani berjalan seorang diri ke desa.
"Aku tak bisa tidur semalam suntuk," katanya. "Kejadian begini tak boleh
terulang lagi, Julian. Nyaris mati aku karena cemas. Sedang George dan Timmy
masih juga belum ditemukan. Sungguh, jika mereka tidak muncul dalam waktu dekat,
aku sendiri akan mengambil tindakan. Dari paman dan bibi kalian juga belum ada
kabar! Mudah-mudah mereka tidak ikut tersesat pula."
Setelah itu Joan sibuk di dapur, menyiapkan sarapan untuk anak-anak. Begitu
hidangan sampai di atas meja, dengan segera habis disikat.
"Aku tak peduli mandi dulu sebelum perutku terisi makanan," kata Anne. "Untung
kau tahu jalan memintas ke mari, Jo - rasanya jauh lebih singkat daripada ketika
kami berangkat naik bis."
Memang menakjubkan, betapa yakin dan cekatan Jo berjalan mengantarkan mereka
pulang, mengambil jalan lewat tanah lapangan dan jalan setapak, memotong
pekarangan. Dan tak pernah nampak Jo ragu sedikit pun.
Mereka tiba di rumah tak lama setelah Joan bangun. Juru masak itu nyaris
berteriak karena kaget dan lega, ketika melihat anak-anak muncul di depan.
"Lihatlah - betapa kotor tampang kalian," katanya sambil menaruh makanan ke atas
meja. "Kupanaskan saja dulu air di dapur, supaya kalian bisa mandi air hangat.
Sekarang kalian kelihatan seperti saudara-saudara Jo, si gelandangan cilik ini."
Jo sama sekali tidak marah mendengarnya. Ia bahkan nyengir, sambil mengunyah
roti. Anak itu makan tanpa mempedulikan aturan yang sopan. Tapi yang lain-lain
juga sama saja! Mereka sangat kelaparan, sehingga tak mengacuhkan sopan .santun
lagi. "Pagi ini kalian sebetulnya tidak harus diberi garpu dan pisau, tapi sekop,"
Lima Sekawan 9 Jo Anak Gelandangan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kata Joan melihat cara mereka makan. "Masa makanan ditelan begitu saja! Tidak,
Julian - aku tak bisa membuatkan apa-apa lagi. Semua sudah habis! Kalau mau,
makan saja roti dengan selai."
Sehabis makan, keempat anak itu langsung mandi. Jo sebetulnya tidak mau, tapi ia
dikejar oleh Joan dengan pemukul karpet. Kata juru masak itu, jika Jo tidak mau
mandi, akan dipukulnya seluruh kotoran yang melekat di tubuh anak itu dengan
pemukul karpet. Karenanya Jo akhirnya mandi juga. Ternyata ia menikmatinya!
Setelah itu mereka berunding.
"Bagaimana halnya dengan orang yang bernama Red Tower?" kata Julian. "Di mana
tempat tinggalnya" Apa yang kauketahui tentang dirinya?"
"Tidak banyak," jawab Jo. "Orang itu kaya, dan kalau bicara ngaco! Kurasa ia
sinting. Orang-orang seperti Ayah dan Jake disuruhnya melakukan perbuatan jahat
untuknya." "Pekerjaan jahat seperti yang bagaimana maksudmu?" tanya Dick.
"Yah begitulah - seperti mencuri dan sebagainya," kata Jo samar-samar. "Aku tak
tahu persis. Ayah jarang bicara padaku. Pokoknya aku harus melakukan apa yang
diperintahkan, tanpa banyak bertanya-tanya. Aku tak kepingin dipukul lebih
sering dari sekarang!"
"Di mana tinggalnya orang itu?" tanya Anne. "Jauhkah dari sini?"
"Ia tinggal dalam sebuah rumah di atas tebing," kata Jo. "Aku tak tahu jalan ke
sana lewat daratan. Tahuku cuma kalau dengan perahu. Tempat tinggalnya itu aneh
- bisa dibilang kayak puri kecil. Temboknya tebal, terbuat dari batu. Kata
ayahku, tempat itu cocok untuk Red."
"Kau pernah ke sana?" tanya Dick bersemangat.
Jo mengangguk. "O ya, bahkan sudah dua kali," katanya. "Ayahku pernah mengantarkan sebuah peti
besar dari besi ke sana. Dan kedua kalinya ia membawa sesuatu dalam karung. Aku
ikut dengan dia." "Untuk apa?" tanya Julian. "Kusangka ia tidak suka jika kau ikut dengannya!"
"Aku disuruh mendayung perahu," kata Jo. "Seperti kukatakan tadi, tempat tinggal
Red di atas tebing. Kami ke sana naik perahu. Kalau lewat darat, aku tak tahu
jalannya. Kami mendarat di sebuah teluk kecil. Di belakang teluk itu ada semacam
gua. Kami masuk ke dalam gua. Di situ kami disongsong oleh Red. Katanya, ia
datang dari rumahnya di atas tebing. Tapi aku tak tahu bagaimana ia bisa sampai
di gua." Dick menatap Jo. "Alah," katanya seperti tak percaya. "Lalu kau akan mengatakan, ada jalan
rahasia dari gua itu ke rumahnya."
"Mestinya begitu," jawab Jo. Tiba-tiba ia memandang Dick dengan mata melotot.
"Kau tak percaya" Baiklah kalau begitu, cari saja sendiri tempat itu!"
"Yah - kedengarannya memang seperti dongeng," kata Julian. "Kau yakin yang
kauceritakan itu semuanya benar, Jo" Soalnya kami tak ingin menyasar-nyasar
lagi." "Ceritaku sama sekali tidak menyasar," kata Jo bingung. Ia tak mengerti apa yang
dimaksudkan oleh Julian. "Aku kan dari tadi bercerita tentang Red. Kalau kalian
mau, kita bisa berangkat sekarang juga. Tapi kita memerlukan perahu."
"Kita pakai saja kepunyaan George," kata Dick sambil bangkit. "Jo, kurasa kali
ini lebih baik jika Anne tidak kita ajak serta. Aku tak ingin ia ikut menghadapi
sesuatu yang mungkin berbahaya."
"Tapi aku ingin ikut," kata Anne dengan segera.
"Tidak, kau tinggal bersamaku di sini," kata Joan. "Hari ini aku ingin ditemani.
Macam-macam saja yang terjadi, sehingga aku takut sendirian di sini. Kau tinggal
saja di sini bersama aku."
Akhirnya Anne tidak jadi ikut. Dalam hati ia merasa lega. Diperhatikannya ketiga
anak yang lain berangkat.
Jo keluar dengan jalan menyusup lewat lubang dalam semak pagar, karena takut
kelihatan Jake, jika orang itu kebetulan ada di sekitar situ. Julian dan Dick
langsung pergi ke pantai.
Setelah memandang berkeliling untuk meyakinkan bahwa Jake tak kelihatan, mereka
lantas memberi isyarat pada Jo. Anak itu bergegas muncul dari tempat
persembunyiannya, lalu melompat naik ke perahu kepunyaan George. Ia langsung
berbaring di dasar perahu, supaya tidak kelihatan dari luar. Dick dan Julian
menyeret perahu ke air. Sampai di sana Dick melompat naik, sementara Julian
menolakkannya ke tengah ketika ada ombak besar datang. Setelah itu ia pun naik
ke atas perahu. "Berapa jauhnya tempat itu dari sini?" tanya Julian pada Jo, yang masih
berbaring di dasar perahu.
"Aku tak tahu," jawab Jo. Sikapnya yang tak pasti itu benar-benar menjengkelkan.
"Begitulah, mungkin dua atau tiga jam."
Bagi Jo, waktu tidak sama artinya seperti untuk anak-anak yang lain. Pertama-
tama, ia tidak memiliki arloji seperti mereka. Dan kalau ia mempunyainya, toh
takkan ada gunanya, karena Jo tak bisa melihat waktu. Baginya, waktu cuma ada
dua. Siang - dan malam. Dick memasang layar. Angin kebetulan datang dan arah yang tepat, jadi ia merasa
lebih baik memanfaatkannya. Dengan begitu mereka bisa lebih cepat sampai!
"Kau masih sempat membawa bekal makanan yang disiapkan Joan tadi untuk kita?"
tanya Julian pada Dick. Aku tak melihat bungkusan itu."
"Jo! Kau berbaring di atasnya," seru Dick.
"Ah, masa kubaringi saja bisa rusak," kata Jo. Begitu perahu sudah berada di
tengah laut, anak itu lantas duduk. Ia menawarkan diri untuk memegang kemudi.
Ternyata anak itu sangat cekatan. Jadi urusan perahu bisa diserahkan padanya.
Julian membentangkan peta yang dibawa serta.
"Aku ingin tahu, di mana letak tempat tinggal Red," katanya. "Dari sini sampai
kota berikut, Port Limmersley, daerah pesisir boleh dibilang tak didiami orang.
Kalau di daerah sini memang ada bangunan mirip puri, mestinya tempat itu sangat
terpencil. Di peta bahkan tak nampak desa nelayan satu pun, sampai beberapa
kilometer dari sini."
Perahu melaju terus. Sekali-sekali melesat ke depan, terdorong tiupan angin yang
cukup kencang. Julian mengambil alih tugas memegang kemudi.
"Sudah cukup jauh kita berlayar sampai sekarang," katanya. "Di mana tempat itu"
Kau yakin bahwa kau tahu tempatnya, Jo?"
"Tentu saja," kata Jo tersinggung. "Kurasa letaknya di balik tebing batu yang di
sana itu." Ternyata kata Jo memang benar. Begitu perahu mengitari tebing yang tinggi dan
menjorok ke tengah, anak itu langsung menuding.
"Itu dia!" katanya bangga. "Lihat rumah yang di atas itu" Itulah tempat tinggal
Red." Dick dan Julian memandang ke arah yang ditunjuk oleh Jo. Mereka melihat sebuah
bangunan yang suram, terbuat dari batu berwarna kelabu. Keterangan Jo ternyata
memang benar. Kelihatannya seperti puri ukuran kecil. letaknya di tepi tebing.
Sebuah menara persegi empat mencuat di atas air.
"Sebelum kita sampai di sana, ada sebuah teluk," kata Jo. "Kalian harus
memperhatikan baik-baik, karena letaknya tersembunyi."
Teluk itu ternyata memang tersembunyi letaknya. Ketika mereka melihatnya, perahu
sudah lewat. "Itu dia," seru Jo dengan tiba-tiba.
layar diturunkan, dan perahu didayung mundur. Teluk yang dituju terselip di
antara dua tonjolan karang. Mereka langsung memasukinya. Tempat itu tenang dan
sunyi. Perahu mereka terayun-ayun sedikit, mengikuti gerak air.
"Kita bisa kelihatan dari rumah di atas?" tanya Dick, sementara perahu didayung
terus menuju lambung teluk.
"Entah," kata Jo. "Tapi kurasa tidak! Lihatlah - di situ ada batu besar. Kita
taruh saja perahu di balik batu itu. Siapa tahu, masih ada orang lain datang ke
mari." Perahu ditarik ke atas batu pantai. Dick menyelubunginya dengan rumput laut
bertumpuk-tumpuk, sehingga nampak seperti batu pantai itu sendiri.
"Lalu sekarang bagaimana?" kata Julian. "Mana dia gua yang kausebut-sebut?"
"Di atas sana," kata Jo, lalu mulai mendaki tebing.
Geraknya cepat, seperti monyet. Dick dan Julian sangat mahir mendaki, tapi
beberapa saat kemudian mereka sudah tidak bisa lagi terus naik.
Jo bergegas turun menghampiri mereka.
"Ada apa?" katanya. "Ayahku saja bisa naik, masa kalian tak mampu'"
"Jangan lupa, ayahmu dulu akrobat." kata Julian.
Tiba-tiba ia merosot ke bawah. "Wah, gawat nih. Sayang kita tak membawa tali."
"Di perahu ada tali. Kuambil sebentar" kata Jo.
Dengan cepat ia meluncur menuruni tebing, kembali ke teluk di sebelah bawah.
Ketika memanjat lagi ke atas, ia sudah membawa tali. Ia naik sampai ke tempat
yang lebih tinggi sedikit dari Julian dan Dick. Di situ ia mengikatkan tali ke
batu yang menonjol. Ujung tali yang satu lagi diulurkannya sampai ke tempat Dick
dan Julian berpegang erat-erat ke permukaan tebing.
Dengan bantuan tali, kedua anak itu bisa lebih mudah mendaki. Tak lama kemudian
mereka sudah berdiri di tepi semacam birai. Di sisi belakang tebing yang
menjorok ke belakang itu nampak sebuah gua. Bentuknya aneh, lonjong dan sang at
gelap sebelah dalamnya. "Kita masuk ke dalam," kata Jo sambil berjalan mendului. Dick dan Julian
menyusul. Kaki mereka terantuk-antuk ke batu. Mau ke mana mereka sekarang"
Bab 18 RED TOWER JO mendului masuk ke terowongan batu yang sempit. Kemudian mereka sampai di
sebuah gua lagi. Gua itu agak lebar, berdinding lembab. Julian bersyukur bahwa
ia tak lupa membawa senter. Tempat itu menyeramkan. Hawa di sini dingin dan
pengap. Julian menggigil. Tiba-tiba ia melompat mundur. Ada sesuatu menyentuh
mukanya. "Apa itu?" katanya kaget.
"Kelelawar," jawab Jo. "Dalam gua ini ada beratus-ratus kelelawar. Karena itulah
bau di sini tidak enak. Di balik batu yang menonjol ini ada gua lain, yang tak
sebau tempat ini." Mereka menyelip lewat sudut sempit pada dinding batu, dan tiba di gua lain. Gua
itu tak selembab yang tadi. Di situ bau kelelawar tidak begitu menusuk hidung.
"Aku belum pernah masuk lebih jauh dari di sini," kata Jo. "Ke sinilah aku
bersama ayahku dulu datang dan menunggu kedatangan orang yang bernama Red.
Secara tiba-tiba saja ia kemudian muncul, tapi aku tak tahu dari mana."
"Tapi ia pasti harus keluar dari salah satu tempat," kata Dick sambil menyalakan
senternya pula. "Mungkin di sini ada lorong tersembunyi. Sebentar lagi kita akan
menemukannya." Bersama Julian ia mulai memeriksa seluruh gua. Mereka mencari lorong, atau
terowongan sempit. Atau mungkin pula lubang yang mengarah ke atas, menuju rumah.
Mestinya Red Tower turun lewat lubang semacam itu. Jo menunggu di salah satu
pojok gua, karena ia tak membawa senter.
Tiba-tiba kedua anak laki-laki itu terkejut setengah mati. Suara seseorang
menggema dalam gua. Kedengarannya nyaring dan bernada marah, sehingga jantung
mereka berdebar keras karena kaget dan takut.
"SIAPA MENYURUH KALIAN MASUK KE MARl"!"
Seketika itu juga Jo bersembunyi di balik batu. Sedang Julian dan Dick berdiri
seperti terpaku di tempat mereka. Dari mana datangnya suara itu"
"Kau siapa?" seru suara itu lagi.
Malam Tanpa Akhir 4 Dewa Arak 87 Setan Bongkok Upacara Maut 1
langsung ketahuan," kata Julian. "Bahkan Joan juga harus ikut duduk di situ.
Benar-benar konyol!"
"Tidak adakah orang yang akan datang ke sini nanti?" tanya Anne dengan suara
berbisik. "Maksudku orang dari toko atau begitu." Anak itu bersikap seakan-akan
rumah dikepung oleh mata-mata penculik.
"Tidak ada! Kalau ada, kita akan bisa menyelundupkan surat lewat orang itu,"
kata Julian. Tiba-tiba ia menepuk meja, sehingga kedua adiknya kaget. "Tunggu
dulu! Ya - betul! Tukang koran! Rumah ini termasuk yang paling akhir menerima
antaran koran. Tapi mungkin ada risikonya, jika kita memberikan surat padanya.
Tak adakah jalan yang lebih baik?"
"Aku punya akal!" seru Dick dengan mata berkilat-kilat. "Begini - aku kenal anak
yang jadi tukang koran itu. Anaknya baik. Nanti begitu dia muncul, kita membuka
pintu depan dan dia kita tarik masuk ke dalam rumah. Segera kemudian aku keluar
dengan topinya serta tas yang berisi koran. Aku akan bersiul-siul, naik ke atas
sepeda, lalu pergi! Para pengintai takkan menyadari bahwa aku bukan tukang koran
yang sebenarnya. Lalu apabila hari sudah gelap aku menyelinap kembali, langsung
menuju ke bagian belakang kebun. Aku bersembunyi di situ, menunggu kedatangan
orang yang akan mengambil buku catatan yang tersembunyi di bawah batu. Setelah
itu aku akan mengikutinya dari belakang!"
"Idemu bagus, Dick!" kata Julian sambil cepat-cepat mempertimbangkan. "Ya - hal
itu bisa kita kerjakan! Memang lebih baik kita mengintip untuk melihat siapa
yang datang, daripada pergi melapor pada polisi. Sebab jika para penculik
bersungguh-sungguh, pasti keadaan George akan gawat begitu mereka tahu bahwa
kita menghubungi polisi."
"Apakah tukang koran tidak heran nanti?" tanya Anne ragu.
"Anaknya agak goblok," kata Dick. "Dia mau saja percaya apa pun yang dikatakan
padanya. Kita akan mengarang alasan untuk menjelaskan. Kita juga harus
menyenangkan hatinya, sehingga ia ingin terus-terusan datang ke mari!"
"Lalu mengenai buku catatan, sebaiknya kita ambil salah satu dari laci," kata
Julian. "Kita bungkus, dengan surat di dalamnya yang mengatakan mudah-mudahan
buku itu yang mereka maksudkan. Dan orang yang datang mengambil, pasti akan
langsung menyerahkannya pada para penculik. Kurasa ia tidak akan segera
membukanya di belakang untuk memeriksa. Mungkin ia bahkan sama sekali tidak
tahu, apakah memang itu buku catatan yang benar."
"Anne, coba carikan salah satu buku catatan," kata Dick. "Sementara itu aku
menunggu di balik pintu depan. Tukang koran baru akan datang pukul setengah tapi
aku tak mau mengambil risiko ia datang terlalu cepat"
Anne bergegas menuju ke kamar kerja Paman. Ia merasa lega, karena ada kesibukan.
Tangannya gemetar ketika membuka laci demi laci, mencari sebuah buku catatan
yang cukup besar. Bungkusan yang akan diletakkan di bawah batu, harus nampak
dengan jelas. Julian pergi bersama Dick ke balik pintu depan, untuk membantu adiknya itu
menghadapi tukang koran. Di situ mereka menunggu dengan sabar. Lama juga mereka
menunggu. Terdengar jam berdentang enam kali. Kemudian setengah tujuh. Pukul
tujuh. "Dia datang!" kata Dick tiba-tiba. "Siap, Julian" Kau harus menyentakkannya ke
dalam. - Halo, Sid!"
Bab 10 MALAM MENYENANGKAN BAGI SID
SID adalah tukang koran yang dimaksudkan oleh Dick. Sid kaget setengah mati,
ketika Julian dengan tiba-tiba saja menyentakkannya masuk ke dalam rumah. Ia
semakin tercengang ketika topi petnya yang berkotak-kotak ditarik dari
kepalanya, sedang kantong tempat koran disambar dari bahu.
"He! Apa-apaan ini?" serunya lemah.
"Ah, ini cuma lelucon saja, Sid," kata Julian sambil memegang anak itu kuat-
kuat. "Pokoknya nanti kau pasti senang."
Sid tidak menyukai lelucon kasar seperti itu. Ia memberontak, tapi cuma sebentar
saja. Julian bukan saja besar badannya, ia juga kuat dan bertekat bulat. Sid
menoleh ke belakang. Dilihatnya Dick pergi ke luar. Topi pet yang berkotak-kotak
terpasang miring di kepala, sedang kantong koran tersampir di bahu. Napas Sid
tersentak ketika dilihatnya Dick meloncat naik ke sadel sepedanya yang tadi
disandarkan dekat pintu pekarangan. Dick langsung melaju di jalan.
"Kenapa dia begitu?" tanya Sid pada Julian. Ia benar-benar bingung. "lelucon
aneh." "Aku tahu. Tapi kau kan tidak keberatan," kata Julian sambil membimbingnya masuk
ke ruang duduk. "Mungkin ada yang bertaruh dengannya, bahwa ia takkan bisa mengantar koran,"
kata Sid. "Dan rupanya ia menerima taruhan itu, ya?"
"Kau memang anak pintar, Sid," kata Julian. Muka Sid yang tolol nampak berseri-
seri. "Yah, mudah-mudahan saja ia melakukannya dengan beres," katanya. "Tapi toh cuma
tinggal dua lagi, kedua-duanya untuk pertanian yang di atas. Ini rumah terakhir
di sini, sebelum aku naik ke sana. Kapan dia kembali lagi?"
"Sebentar lagi," jawab Julian menenangkan. "Kau mau ikut makan malam bersama
kami, Sid?" Mendengar ajakan itu. mata Sid melotot.
"Makan malam bersama kalian?" tanyanya heran bercampur gembira. "Wah, tentu saja
aku tak menolak!" "Baiklah kalau begitu. Sekarang kau duduk saja dulu di sini, sambil melihat-
lihat buku ini," kata Julian sambil menyodorkan beberapa jilid kepunyaan Anne.
"Sementara itu aku akan mengatakan pada Juru masak kami, agar untukmu dibikinkan
makanan yang enak-enak."
Sid sama sekali tak mengerti, apa sebabnya ia secara tiba-tiba saja mendapat
sambutan yang begitu ramah. Tapi ia takkan menolak tawaran makan. Karena itu ia
duduk sambil berseri-seri di atas dipan, sambil membalik-balik halaman buku
dongeng kepunyaan Anne. Wah - apa kata ibunya nanti jika mendengar bahwa ia
diajak makan di Pondok Kirrin" Pasti akan tercengang, pikir Sid.
Sementara itu Julian sudah sibuk membujuk Joan, agar mau diajak bersiasat dengan
mereka. Ketika ia masuk ke dapur, juru masak itu kaget melihat tampang Julian
yang serius. Apalagi pintu langsung ditutup olehnya.
"Ada apa?" tanya Joan.
Julian lantas menceritakan segala-galanya. Mulai dari penculikan terhadap
George, surat yang aneh dan selanjutnya. Julian menyodorkan surat itu, supaya
dibaca sendiri oleh Joan. Wanita itu duduk, karena lututnya terasa lemas.
"Biasanya kejadian begini cuma kita baca saja dalam koran, Julian," katanya
dengan suara agak gemetar. "Aneh rasanya, apabila tiba-tiba kita sendiri yang
terlibat! Aku tak suka kejadian seperti ini."
"Kami juga tidak," jawab Julian. Kemudian diceritakannya rencana yang sudah
disusun. Joan tersenyum sedikit ketika mendengar betapa Dick menyamar sebagai
tukang koran, untuk melihat siapa yang akan datang mengambil buku catatan malam
itu. Apalagi mendengar bagaimana Sid melongo ketika tiba-tiba disergap dan
diseret masuk. "Ah, Sid," kata Joan sambil menggeleng-geleng. "Orang desa pasti takkan henti-
hentinya diceritai olehnya nanti, bagaimana ia diundang makan malam di sini.
Anak itu memang agak tolol - tapi ia tidak jahat."
Joan tersenyum lagi, walau ia masih agak cemas mengingat George yang diculik.
"Kau tak perlu khawatir! Nanti akan kusiapkan makanan yang enak untuknya. Dan
aku juga akan ikut duduk dalam kamar depan. Bagaimana jika kita main kartu saja
nanti" Kita pilih permainan yang juga dikenal Sid - dia bisanya cuma main remi
dan main cangkulan saja!"
"Ya, betul!" kata Julian, yang selama itu sudah bingung karena tak tahu caranya
menyibukkan Sid sampai malam. "Kita akan main remi - dan Sid kita biarkan
menang!" Sid benar-benar menikmati malam yang menyenangkan. Mula-mula ia mendapat
hidangan makanan yang benar-benar enak. Sid makan dengan lahap. Sedang puding
coklat, disikatnya sampai habis tiga perempat. Padahal puding itu ukurannya
tidak setengah-setengah besarnya.
"Aku paling suka makan puding coklat," katanya pada Anne. "Joan mengetahuinya!
Ia tahu, aku paling suka makan apa saja yang ada coklatnya. Ia kenalan baik
ibuku, karena itu ia tahu. Dan barang yang kusukai, paling gemar kumakan!"
Anne tertawa geli. Walau ia masih cemas dan gelisah, tapi ia juga senang melihat
tingkah laku Sid yang lucu. Anak itu tidak bermaksud begitu, tapi ia toh lucu.
Sid menikmati malam itu, dan mengatakannya berulang-ulang.
Sid tamu yang menyenangkan. Jarang ada tamu yang menyambut apa saja yang
diajukan dengan gembira, dan berulang-ulang mengatakan bahwa ia senang ada di
situ. Sehabis makan malam ia pergi ke dapur. Ia hendak mencuci piring, katanya pada
Joan. "Aku selalu melakukannya untuk ibu," katanya. "Jangan khawatir, pasti takkan ada
yang pecah." Ia lantas mencuci piring, sedang Anne membantu mengeringkan.
Menurut pendapat Julian, sebaiknya Anne disuruh sibuk terus, agar jangan sempat
memikirkan hal yang tidak-tidak.
Sid nampak agak kaget dan segan, ketika kemudian diajak main kartu.
"Wah - bagaimana ya" Aku tak begitu mahir main kartu," katanya setengah menolak.
"Aku selalu bingung, kalau disuruh menghitung nilai dan sebagainya."
"Sebetulnya kami ingin main remi," kata Julian. Mendengar itu wajah Sid langsung
berseri kembali. "Remi-" Kalau itu - aku paling senang!" serunya gembira. Dan ternyata memang
benar. Ia mempunyai kebiasaan menyerukan 'Remi', lalu mengumpulkan kartu-kartu
yang terletak di meja, sehingga ia menang terus. Nampak jelas bahwa Sid sangat
gembira. "Wah, malam ini sangat menyenangkan," katanya berulang-ulang. "Sudah lama aku
tak bergembira seperti sekarang! Aku kepingin tahu bagaimana keadaan adikmu yang
tadi - mudah-mudahan saja sepedaku dikembalikan lagi."
"Tentu saja dikembalikan," kata Julian, sambil membagi-bagi kartu untuk kesekian
kalinya. Mereka duduk mengelilingi meja dekat jendela di kamar duduk. Lampu
kamar bersinar terang benderang. Orang yang memandang ke dalam bisa dengan jelas
melihat Julian, Joan, Anne dan Sid duduk di situ. Tapi takkan ada yang menyangka
bahwa Sid adalah anak yang biasa mengantar koran - dan bukan Dick!
Pukul sebelas malam, Julian keluar sebentar. Ia pergi untuk meletakkan buku
catatan yang sudah dibungkus rapi oleh Anne ke bawah batu ubin di belakang
kebun. Buku catatan yang diambil kelihatannya tidak penting. Julian
menyelinapkan sepucuk surat dalam bungkusan itu.
"Ini buku catatannya. Harap bebaskan sepupu kami dengan segera. Kalau tidak,
tanggung sendiri akibatnya."
Julian menyelinap ke kebun, sambil menyorotkan senter ke jalur jalan ubin yang
terdapat di belakang. Ketika tiba pada batu paling ujung, dicobanya mengangkat batu itu. Ternyata batu
itu sudah longgar, sehingga bisa diangkat dengan mudah. Julian menyelipkan
bungkusan yang berisi buku catatan ke dalam lubang yang nampaknya memang sengaja
digali untuk keperluan itu. Sementara itu dengan hati-hati ia memandang
berkeliling. Ia ingin tahu apakah Dick sudah bersembunyi di sekitar situ. Tapi
tak ada orang yang dilihatnya.
Tak sampai dua menit kemudian, Julian sudah kembali lagi di kamar duduk, lalu
ikut bermain kembali. Ia sengaja bermain asal saja. Ia membiarkan Sid menang
terus. Tapi kecuali itu, ia juga tak henti-hentinya memikirkan Dick. Asal saja
adiknya itu tak mengalami bahaya!
Tiba-tiba terdengar suara burung hantu. Anak-anak kaget mendengarnya. Julian
melirik ke arah Joan dan Anne. Kedua orang itu mengangguk, tanda mengerti bahwa
bunyi itu merupakan isyarat bagi mereka. Isyarat bahwa bungkusan sudah ditemukan
dan diambil, kini Sid sudah bisa disuruh pergi. Setelah itu mereka masih harus
menunggu Dick kembali. . Joan menghilang sebentar, lalu kembali dengan minuman coklat dan roti hangat.
Mata. Sid bersinar-sinar. Nasibnya sangat mujur malam itu.
Masih satu jam lagi mereka duduk di ruang depan sambil makan dan minum, serta
mendengarkan cerita Sid tentang berbagai keasyikan bermain remi yang pernah
dilakukannya. Anak itu nampaknya hendak terus-menerus duduk di situ!
"Ibumu pasti sudah gelisah, karena kau belum pulang," kata Julian sambil
memandang ke jam. "Malam sudah larut."
"Mana sepedaku?" tanya Sid. Ia menyesal, karena malam yang menyenangkan itu
sudah akan berakhir. "Adikmu tadi belum pulang" Yah - bilang saja padanya, ia
harus mengantarnya ke rumahku pada waktunya besok pagi, supaya aku tak terlambat
mengantar koran. Dan topiku juga. Itu topi khususku! Aku sayang sekali pada topi
itu. Topi hebat'" "Betul," kata Julian yang sudah capek sekali. "Begini, Sid. Malam sudah larut,
dan di jalan mungkin banyak orang jahat. Kalau ada orang menyapamu, kau harus
segera lari secepat mungkin. Jangan berhenti sebelum sampai di rumah."
"Wah," kata Sid dengan mata melotot karena kaget. "Ya deh - aku akan lari
secepat kilat." Setelah menyalami Joan, Julian dan Anne, Sid pergi ke luar. Ia bersiul-siul,
untuk memberanikan diri. Tapi tiba-tiba ia kaget. Dari balik tikungan muncul
polisi desa. Tahu-tahu orang itu sudah berdiri di depannya. karena memakai
sepatu bersol karet. "Lho, si Sid," kata polisi itu dengan suara galak. "Dari mana kau keluyuran
malam-malam?" Tapi Sid tidak menunggu lebih lama lagi. Tanpa menjawab ia lari pontang-panting.
Lari terus, sampai di rumah. Di sana dilihatnya sepedanya tersandar dekat pintu
pagar, lengkap dengan topi pet yang berkotak-kotak serta kantong tempat menaruh
koran. "Benar-benar ajaib," kata Sid dalam hati.
Ia memandang ke arah rumah. Semua jendela sudah gelap. Ia merasa kecewa.
Ternyata ibunya sudah tidur. Jadi ia harus menunggu sampai pagi dulu - setelah
itu barulah ia bisa bercerita tentang pengalamannya yang asyik malam itu.
Dan bagaimana pengalaman Dick"
Begitu melompat ke atas sadel sepeda Sid, ia langsung meluncur ke jalanan.
Potongannya saat itu mirip anak tukang koran yang tolol itu, karena di kepalanya
ada topi pet yang berkotak-kotak. Ketika lewat dekat pagar semak yang tak jauh
dari Pondok Kirrin, Dick merasa seakan melihat sesuatu yang bergerak di situ.
Pasti ada orang yang sedang mengintai di situ, pikirnya. ia sengaja berhenti
lalu turun dari sepeda, pura-pura memeriksa roda. Biar pengintai itu melihat
kantong koran yang disandangnya, sehingga ia dikira tukang koran yang sejati!
Kemudian Dick menuju ke pertanian yang di atas untuk mengantarkan koran. Setelah
itu pergi ke desa, untuk meninggalkan barang-barang kepunyaan Sid di depan
rumahnya. Lalu ia nonton film. Dick menunggu hari sudah gelap, sehingga ia bisa
menyelinap dengan aman ke Pondok Kirrin lagi.
Setelah gelap, Dick keluar lalu kembali ke Pondok Kirrin. Ia mengambil jalan
memutar. Akhirnya sampai di belakang kebun rumah itu. Sekarang - di manakah ia
harus bersembunyi" Jangan-jangan sudah ada orang bersembunyi di situ. Kalau
begitu - ia pasti akan tertangkap!
Bab 11 DICK BERAKSI DICK terpaku di tempatnya. Sambil menahan napas, ia mendengarkan dengan hati-
hati. Tapi ia tak mendengar apa-apa, selain bunyi daun kena angin, serta sekali-
sekali bunyi tikus ladang mencicit. Malam itu gelap. Langit berawan. Mungkinkah
ada orang bersembunyi di dekatnya - atau akan bisakah ia menemukan tempat
mengintip yang aman dan kemudian menunggu di situ"
Dick berpikir-pikir selama beberapa menit. Tapi kemudian ia merasa takkan
mungkin ada orang yang mengawasi belakang rumah sekarang, karena hari sudah
gelap. Julian dan yang lain-lainnya tentu nampak jelas duduk di ruang depan.
Sedang Sid pasti dikira dirinya. Jadi tak perlu lagi bagian belakang rumah
dijaga. Dick ragu sebentar, memilih tempat sembunyi yang baik. Kemudian ia cepat-cepat
mengambil keputusan. "Aku memanjat pohon," katanya dalam hati. "Enaknya di pohon yang dekat dengan
jalur jalan ubin! Kalau awan gelap tersingkap sedikit nanti, mungkin saja aku
bisa melihat sekilas tampang orang yang datang mengambil bungkusan. Setelah itu
aku akan turun dari pohon dengan diam-diam, lalu membuntutinya."
Dick memanjat pohon oak, yang dahannya terjulur di atas jalur jalan di belakang
kebun. Ia duduk di pangkal dahan yang agak lebar. Ia sudah siap untuk menunggu
agak lama di situ. Menurut surat itu. pukul berapa" Sebelas. Ya. Betul - pukul sebelas malam Julian
harus keluar lalu meletakkan bungkusan berisi buku catatan di bawah batu ubin
yang paling ujung. Dick menunggu jam gereja berdentang. Kalau angin datang dari
arah yang benar, ia akan bisa mendengar bunyinya dengan jelas.
Kemudian didengarnya dentang lonceng. Pukul setengah sebelas. Ia masih harus
menunggu setengah jam lagi. Menunggu, baginya merupakan pekerjaan yang paling
tidak enak. Dick merogoh kantongnya, mengambil sebatang coklat yang sudah agak
lembek. Ia mulai menggigit coklat itu sedikit-sedikit, supaya tidak lekas habis.
Terdengar dentang jam gereja lagi. Pukul sebelas kurang seperempat. Coklat sudah
habis dimakan. Dick mulai bertanya-tanya dalam hati, apakah sebentar lagi Julian
akan muncul. Dan ketika jam gereja berbunyi lagi untuk menunjukkan waktu sudah
Lima Sekawan 9 Jo Anak Gelandangan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pukul sebelas, nampak pintu dapur dibuka dari dalam. Dick melihat Julian berdiri
sejenak di ambang pintu. Abangnya itu mengepit sebuah bungkusan.
Setelah itu Julian bergegas-gegas menuju ke belakang kebun. Dick merasa bahwa
abangnya memandang berkeliling. Mungkin mencarinya! Tapi Dick tak berani memberi
isyarat, bahwa saat itu ia tepat berada di atas kepala Julian.
Didengarnya Julian mengorek-ngorek tanah, lalu mengembalikan batu ubin yang
besar ke tempatnya semula. Dick melihat cahaya senter bergerak-gerak, sementara
Julian berjalan kembali ke arah dapur.
Beberapa saat kemudian pintu dapur ditutup kembali dengan keras.
Kini Dick nyaris tak berani menarik napas lagi. Siapakah yang akan muncul untuk
mengambil bungkusan" Dick memasang telinga baik-baik. Tubuhnya mengejang. Saat
itu angin bertiup. Dick nyaris saja berteriak karena kaget, ketika ada daun
bergerak dan menyentuh tengkuknya. Ia merasa seakan-akan ada jari yang
menyentuh. Lima menit kemudian, masih saja belum ada orang datang. Tapi tiba-tiba Dick
mendengar suatu bunyi. Bunyi itu pelan sekali - nyaris tak kedengaran. Apakah
ada orang yang menyelinap masuk lewat sela pagar semak" Dick menajamkan mata.
Tapi ia cuma melihat bayangan yang lebih hitam dari kegelapan sekeliling.
Bayangan itu kelihatannya seperti bergerak. Kemudian terdengar jelas napas
berat. Rupanya orang yang baru datang itu sedang bersusah payah mengangkat batu
ubin yang besar ukurannya. Jadi bungkusan sedang diambil, seperti tertulis dalam
surat! Terdengar batu ubin dijatuhkan kembali ke tempatnya. Dan nampak lagi bayangan
menyelinap ke arah pagar semak. Siapa pun orang itu - ia pasti membawa bungkusan
yang berisi buku catatan.
Dengan hati-hati Dick turun dari pohon. Ia memakai sepatu bersol karet, sehingga
langkahnya tak kedengaran. Ia menyelinap ke luar kebun, lewat lubang besar yang
ada di tengah pagar semak, yang mengelilingi.
Sesampai di luar ia memicingkan mata, berusaha menemukan orang yang akan
dibuntuti olehnya. Ah - itu dia! Dilihatnya bayangan seseorang berjalan lewat
jalan tanah di tengah lapangan di sebelah rumah, menuju ke arah pintu pagar.
Dick mengikuti dari belakang, sambil merapatkan diri ke pagar semak. Ia
menyelinap agak jauh di belakang bayangan itu sampai sudah keluar di jalan.
Sesampai di situ bayangan berhenti. Dick kaget ketika tiba-tiba terdengar suara
burung hantu beruntun-runtun
Ternyata orang tak dikenal itu yang menirukan suara burung hantu. Tentu saja!
Itu isyarat bahwa bungkusan sudah diambil. Dick kagum mendengar bunyinya, sebab
mirip sekali dengan suara burung hantu. Kemudian orang itu melanjutkan langkah.
Rupanya ia tak mengira ada orang yang mengikuti dari belakang.
Walau ia berjalan dengan hati-hati, tapi tak diusahakannya untuk menyembunyikan
diri. Ia menyusur jalan,lalu membelok masuk ke sebuah lapangan. Dick baru saja
hendak ikut masuk, ketika ia mendengar suara beberapa orang bercakap-cakap.
Suara mereka pelan sekali, sehingga tak terdengar apa pembicaraan mereka. Dick
merunduk di balik bayangan pintu pagar yang terbuka lebar, sehingga orang bisa
leluasa masuk ke lapangan.
Dick kaget ketika tiba-tiba mendengar bunyi nyaring. Matanya silau menatap sinar
terang. Ia merasa bersyukur, karena masih sempat cepat-cepat merunduk di balik
pagar. Ternyata ada mobil di lapangan ini. Dan mobil itulah yang menimbulkan bunyi
nyaring. Mesinnya dinyalakan, dan lampu besarnya dihidupkan. Saat berikutnya
mobil itu mulai bergerak - menuju pintu pagar yang terbuka!
Dick berusaha melihat siapa yang ada dalam mobil. Ia cuma melihat seorang laki-
laki duduk di belakang setir. Kecuali orang itu, nampaknya tak ada siapa-siapa
lagi dalam mobil. Lalu ke mana orang yang satu lagi - orang yang mestinya
mengambil bungkusan di belakang kebun dan menyerahkannya pada pengemudi mobil"
Mungkinkah ia ditinggal di lapangan" Kalau benar begitu, Dick perlu berhati-
hati! Mobil sudah sampai di jalan. Geraknya semakin melaju, dan tak lama kemudian
hanya terdengar derunya saja di kejauhan. Satu hal sudah jelas- Dick tak mungkin
bisa membuntuti mobil yang berjalan cepat! Ia menahan napas, sambil mendengarkan
baik-baik. Mungkin saja terdengar gerakan orang yang satu lagi. Dick merasa
yakin, orang itu pasti masih ada di lapangan!
Tiba-tiba didengarnya seperti orang menyedot hidung. Dengan segera Dick merunduk
semakin rendah. Dilihatnya bayangan orang dengan cepat bergerak melewati pintu
pagar, membelok ke arah Pondok Kirrin dan lenyap dalam gelap.
Dick berdiri lalu mengejar. Kalau orang yang itu, ia pasti akan bisa
membuntutinya. Orang itu pasti akan pergi ke salah satu tempat!
Menyusur jalan, lalu melangkahi gerbang pagar lagi seperti tadi. Berjalan di
lapangan, kembali ke pagar semak yang tumbuh di belakang kebun Pondok Kirrin.
Lho - kenapa kembali ke situ lagi" Dick bingung. Didengarnya orang yang
dibuntuti merayap lewat lubang di sela pagar, lalu diikutinya dari belakang.
Diperhatikannya orang itu menyelinap lewat jalan setapak, lalu mengintip ke
dalam rumah lewat sebuah jendela yang gelap.
"Kurasa ia ingin mencoba masuk lagi ke rumah untuk mengacak-acak," kata Dick
dalam hati. Ia mulai marah. Diperhatikannya bayangan gelap yang berdiri dekat
jendela. Kelihatannya tak begitu besar. Rupanya seseorang yang bertubuh kecil.
Orang sekecil itu sanggup dihadapinya. Orang itu akan dibantingnya ke tanah.
Setelah itu sambil memanggil Julian, orang itu hendak ditahannya sampai Julian
datang. "Lalu mungkin kita bisa ikut-ikutan menculik pula," pikir Dick geram. "Jika
George ditahan terus sebagai sandera, maka kita membalas dengan menahan salah
satu orang mereka. Balas-membalas!"
Dick menunggu dulu sampai bayangan itu agak menjauh dari jendela. Kemudian ia
menerpa. Korbannya berteriak kaget, lalu terjatuh ke tanah.
Dick kaget karena ternyata orang itu kecil sekali. Tapi biar kecil, cabe rawit!
Orang tak dikenal itu menggigit, mencakar dan menyepak-nyepak. Mereka berdua
berkelahi berguling-guling sehingga tanaman di tepi jendela patah-patah sebagai
akibatnya. Tangan dan kaki mereka tergores-gores kena duri pohon mawar.
Sementara itu Dick terus berteriak-teriak, memanggil abangnya.
"Julian! JULIAN! Tolong, Julian!"
Julian mendengar panggilan itu, lalu cepat-cepat datang sambil berseru-seru,
"Dick! Kau di mana, Dick" Ada apa?"
Julian mengarahkan cahaya senternya ke tempat datangnya suara Dick. Dilihatnya
adiknya itu menindih seseorang. Dengan segera Julian bergegas membantu. Senter
dilemparkannya ke rumput, sehingga ia bisa memakai kedua tangannya dengan bebas.
Tak lama kemudian ia dan Dick sudah berhasil meringkus orang yang masih terus
melawan itu. Orang itu diseret ke arah pintu belakang, sementara ia menjerit-
jerit. Tiba-tiba Dick mengenali suara jeritan itu. Astaga - mustahil - tak
mungkin orang itu Jo! Tapi ternyata memang Jo. Ketika anak itu sudah berhasil diseret ke dalam. ia
lantas ambruk sambil menangis keras-keras. Sementara tangannya mengusap-usap
lengan dan betis yang penuh goresan, ia memaki-maki Dick dan Julian. Anne dan
Joan cuma bisa melongo saja melihat adegan itu. Ada apa lagi sekarang"
"Bawa dia ke atas,lalu masukkan ke kamar tidur," kata Julian. "Keadaannya payah
sekali sekarang. Aku juga begitu! Kalau aku tahu dia cuma Jo, aku tadi pasti
takkan menghajarnya begitu keras!"
"Aku sama sekali tak menyangka," kata Dick sambil membersihkan mukanya yang
kotor dengan sapu tangan. "Astaga, anak ini galak sekali! Aku bahkan digigit
olehnya." "Aku tak tahu bahwa tadi itu kau, Dick," kata Jo sambil menangis. "Sungguh, aku
tak tahu. Kau tahu-tahu menerpa, jadi aku terpaksa melawan. Kalau aku tahu kau
yang kuhadapi, pasti aku takkan menggigit."
"Kau ini persis kucing liar yang licik dan penipu." kata Dick sambil mengamat-
amati luka-luka pada dirinya bekas cakaran dan gigitan. "Pura-pura tak tahu apa-
apa tentang orang laki-laki yang memberikan surat padamu - padahal kenyataannya
kau bersekongkol dengan kelompok maling dan pencuri itu."
"Aku tak bersekongkol dengan mereka," kata Jo sambil menangis.
"Jangan bohong," hentak Dick marah. "Aku tadi bersembunyi di atas pohon ketika
kau datang untuk mengambil bungkusan yang ada di bawah batu! Ya, lalu aku
membuntuti sampai ke mobil, dan kemudian kembali lagi ke sini! Tentunya kau
datang lagi untuk mencuri, ya?"
Jo kelihatan kaget. "Tidak, aku bukan hendak mencuri," katanya pelan.
"Mengaku sajalah! Kau akan kami serahkan pada polisi besok," kata Dick yang
masih marah. "Aku bukan kembali untuk mencuri, tapi ada urusan lain," kata Jo. Ia memandang
Dick dari sela-sela rambutnya yang terurai ke depan. Tampangnya saat itu seperti
binatang yang ketakutan. "Hahh - itu cuma alasanmu saja." tukas Dick mengejek. "Lalu kau kembali untuk
apa" Mencari anjing lain, yang bisa kaubius barangkali?"
"Bukan," kata Jo dengan sedih. "Aku datang lagi untuk mengatakan bahwa aku mau
mengantarkan kalian ke tempat George disembunyikan, asal kalian tidak mengadukan
aku. Aku pasti akan dipukul habis-habisan oleh ayahku, jika ia tahu bahwa aku
membuka rahasianya. Memang aku yang tadi mengambil bungkusan - karena terpaksa.
Tapi aku sama sekali tak tahu apa isinya. Aku cuma membawanya ke tempat tadi,
seperti disuruh oleh Jake. Setelah itu aku kembali ke mari. Maksudku hendak
menceritakan segala yang kuketahui pada kalian. Tapi tahu-tahu aku diserang."
Empat pasang mata menatap wajah Jo. Anak itu menutup muka. Dick menarik tangan
anak itu, lalu memaksanya menatap matanya.
"Begini," kata Dick. "Soal ini penting sekali bagi kami, terlepas dari apakah
kau berkata dengan jujur atau tidak. Kau tahu di mana George kini berada?"
Jo mengangguk. "Dan kau mau mengantarkan kami ke situ?" kata Julian. Suaranya terdengar dingin
dan galak. Sekali lagi Jo mengangguk.
"Ya, aku mau," katanya. "Kalian jahat padaku, tapi akan kutunjukkan pada kalian
bahwa aku sebenarnya tak sejahil anggapan kalian. Akan kuantarkan kalian ke
tempat George ditahan."
Bab 12 JO MULAI MEMBUKA MULUT
TIBA-TIBA terdengar jam berbunyi satu kali.
"Wah! Sudah pukul satu," kata Joan kaget. "Malam ini kita tidak bisa berbuat
apa-apa lagi. Anak gelandangan ini sudah tak mampu lagi mengantarkan kalian ke
mana-mana. Ia sudah capek sekali - berdiri saja hampir tak kuat'"
"Betul juga kata Anda, Joan," kata Julian. Ia segera melepaskan niatnya untuk
pergi mencari George malam itu juga. "Kita harus menunggu sampai besok. Sayang
kabel telepon kita dipotong orang. Menurut perasaanku, kita wajib memberitahukan
pada polisi tentang urusan ini."
Jo kaget. "Kalau begitu takkan kukatakan di mana George berada," katanya. "Kau tahu apa
yang akan dilakukan polisi terhadapku, jika mereka berhasil menangkapku" Aku
akan dimasukkan ke dalam panti asuhan anak nakal, dan aku takkan pernah bisa
bebas lagi - karena aku memang nakal dan macam-macam perbuatanku yang tidak
baik. Aku tak pernah mendapat kesempatan untuk hidup seperti anak biasa."
"Semua orang pada suatu waktu pasti akan mendapat kesempatan," kata Julian
lembut. "Kau juga, Jo - tapi kalau kesempatan itu datang nanti, kau harus
menggunakannya. Baiklah! Polisi tidak kita bawa-bawa dalam urusan ini, asal kau
berjanji membawa kami ke tempat George. Bagaimana - kau mau?"
Jo mengangguk, tanda setuju. Setelah itu Joan membimbingnya naik ke tingkat
atas. "Dalam kamarku ada bangku," kata Joan pada Julian. "Ia bisa tidur di situ malam
ini. Tapi tak peduli sudah larut malam atau tidak, sebelumnya ia harus mandi
dulu. Bau badannya bukan main!"
Setengah jam kemudian Jo sudah berbaring di atas bangku dalam kamar Joan.
Badannya sudah bersih, walau penuh luka memar dan bekas-bekas goresan. Rambutnya
juga sudah dicuci dan disikat, sehingga kini menjadi keriting seperti rambut
George. Di depannya ditaruhkan sebuah baki berisi mangkuk dengan roti dan susu
hangat. Joan pergi ke serambi atas lalu memanggil Julian.
"Julian! Jo sudah berbaring di tempat tidurnya. Tapi ia masih ingin mengatakan
sesuatu pada kau dan Dick."
Dick dan Julian bergegas masuk ke kamar Joan. Nyaris saja mereka tak mengenali
Jo. Anak itu memakai salah satu gaun tidur kepunyaan Anne yang sudah agak tua.
Ia nampak bersih dan kekanak-kanakan.
Jo memandang mereka, lalu tersenyum malu.
"Apa yang hendak kaukatakan pada kami?" tanya Julian.
"Banyak yang sebenarnya ingin kukatakan," kata Jo, sambil mengaduk-aduk roti
yang tercelup dalam susu.
"Aku merasa enak sekarang - enak dan bersih - pokoknya begitulah! Tapi besok -
mungkin besok aku akan merasa seperti biasa lagi. Dan mungkin saja aku tak mau
mengatakan apa-apa lagi. Jadi sebaiknya sekarang saja aku membuka mulut."
"Katakan saja," kata Julian.
"Yah - waktu rumah ini kemalingan, aku yang memasukkan orang-orang itu," kata
Jo. Dick dan Julian melongo, sementara Jo terus saja mengaduk rotinya.
"Sungguh," katanya lagi. "Aku masuk lewat jendela kecil yang tak terkunci.
Setelah itu aku pergi ke pintu belakang, dan membukanya sehingga mereka bisa
masuk. Mereka mengacak-acak kamar itu, ya" Aku sempat memperhatikan cara kerja
mereka. Banyak sekali kertas-kertas yang mereka ambil."
"Mana mungkin kau bisa masuk lewat lubang jendela sekecil itu," kata Dick.
"Pokoknya aku bisa," kata Jo. "Aku - aku sudah sering menyusup jendela-jendela
sekecil itu. Soalnya aku tahu caranya. Cuma sekarang jendela yang sangat kecil
tak bisa lagi kumasuki, karena badanku bertambah besar terus. Tapi jendela kecil
kalian itu, mudah saja bagiku."
Julian menghembuskan napas panjang. Ia tak tahu, apa yang harus dikatakan.
"Teruskan ceritamu," katanya kemudian. "Kurasa setelah orang-orang itu sudah
selesai, kau mengunci kembali pintu dapur lalu menyusup lagi ke luar lewat
jendela kecil itu?" "Betul," kata Jo, lalu memasukkan sepotong roti ke dalam mulut.
"Bagaimana dengan Timmy" Siapa yang membiusnya, sehingga ia tidur pulas malam
itu?" tanya Dick. "Aku yang melakukannya," kata Jo. "Itu juga pekerjaan gampang bagiku."
Julian dan Dick tak sanggup mengatakan apa-apa. Bayangkan, perbuatan sejahat itu
pun dilakukan oleh Jo! "Masih ingatkah kalian, aku mengajak Timmy berteman di pantai?" kata Jo. "George
jengkel karenanya. Aku senang pada anjing. Kami dulu banyak memelihara anjing,
sampai ibuku meninggal dunia. Anjing-anjing itu selalu menurut perintahku. Ayah
yang mengatakan apa yang harus kulakukan - mengajak Timmy berteman, supaya aku
bisa memanggilnya malam itu serta memberinya daging yang sudah dibubuhi sesuatu
di dalamnya:" "O, begitu. Dan itu juga gampang sekali, karena kami menyuruh Timmy keluar
sendiri - langsung ke tempatmu menunggu," kata Dick kesal.
"Ya. Ia langsung datang ke tempatku. Ia senang berjumpa kembali denganku. Ia
kuajak jalan-jalan, dan kuciumkan daging yang kubawa. Kemudian ketika kuberikan
padanya, daging itu ditelannya - tanpa dikunyah lagi!"
"Dan kemudian ia tidur pulas semalam suntuk, sehingga kawan-kawanmu bisa masuk
ke dalam rumah dengan tenang," kata Julian. "Aku cuma bisa mengatakan, kau ini
bandit kecil. Tidak malukah kamu?"
"Entah," kata Jo. Ia memang tak tahu pasti, bagaimana rasanya malu. "Apakah aku
tidak boleh bercerita lagi pada kalian?"
"Bukan begitu! Ceritalah terus," kata Dick cepat-cepat. "Lalu adakah hubunganmu
dengan penculikan terhadap George?"
"Aku cuma disuruh berbunyi seperti burung hantu, begitu George dan Timmy
muncul," kata Jo. "Sementara itu mereka sudah siap meringkusnya dengan karung.
Sedang Timmy hendak dipukul kepalanya supaya pingsan. Setelah itu ia pun akan
dimasukkan ke dalam karung. Cuma pembicaraan mereka yang itu saja bisa kudengar.
Tapi orang-orang itu tak nampak olehku. Aku disuruh menyelinap ke mari untuk
menutup pintu depan. Supaya jika George baru pagi-pagi ketahuan tak ada, kalian
akan mengira bahwa ia sudah pergi."
"Dan memang begitulah sangkaan kami," kata Dick sambil mengeluh. "Dasar kita ini
memang tolol! Satu-satunya tindakan kita yang memakai otak, adalah ketika kita
memutuskan untuk membuntuti orang yang mengambil bungkusan."
"Padahal orang itu cuma aku saja," kata Jo. "Lagipula, aku memang berniat
kembali lagi ke sini, untuk mengatakan bahwa aku mau mengantarkan kalian ke
tempat George ditahan. Bukannya karena aku suka padanya! Aku tak suka pada
George. Ia jahat dan kasar sikapnya. Kalau menuruti perasaanku, biar saja ia
diculik selama bertahun-tahun!"
"Aduh, bukan main manisnya anak ini!" kata Julian pada Dick. Ia merasa putus
asa. "Kita apakan sebaiknya anak seperti ini?" Kemudian dialihkannya perhatian
kembali pada Jo. "Lalu mengingat keinginanmu agar George biar saja diculik
selama bertahun-tahun - apa yang menyebabkan kau lantas mengambil keputusan
untuk mengatakan pada kami di mana anak itu berada?" tanyanya bingung.
Lima Sekawan 9 Jo Anak Gelandangan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Yah, aku tak suka pada George - tapi aku senang pada dia!" kata Jo sambil
mengacungkan sendoknya ke arah Dick. "Dia baik hati terhadapku. Jadi aku ingin
membalas kebaikannya itu. Aku tak sering berperasaan begitu," katanya
menambahkan cepat-cepat. Seakan-akan ia merasa bahwa sikap baik hati merupakan
kelemahan yang tidak bisa dikagumi. "Aku ingin agar ia tetap suka padaku."
Dick menatap anak itu. "Aku akan suka padamu, jika kauantarkan kami ke tempat George," katanya. "Kalau
tidak - ya tidak! Jika kau menipu kami, aku lantas akan menganggapmu sebagai
biji buah plum - yang pantasnya hanya untuk diludahkan sejauh mungkin."
"Besok kalian akan kuantarkan ke sana," kata Jo.
"Di mana George?" tukas Julian. Menurut pendapatnya lebih baik hal itu diketahui
malam itu juga. Karena siapa tahu pikiran Jo berubah lagi besok pagi, dan
adatnya kembali seperti biasa.
Jo nampak ragu-ragu. Ia menatap Dick.
"Aku akan senang sekali jika kau mau berbaik hati dan menceritakannya pada
kami." kata Dick dengan ramah.
Jo senang jika ada orang yang baik padanya. Karena itu ia lantas mengalah.
"Kau kan tahu, aku pernah cerita bahwa ayahku pergi," katanya berbisik. "Dan aku
ditinggalnya sendiri, bersama Jake. Ayah tidak mengatakan alasannya - tapi aku
mendengarnya dari Jake. Ternyata George dan Timmy terkurung di dalam karavan
kami. Kemudian ia pergi malam-malam. Dan kurasa aku tahu ke mana ia pergi. pasti
ke tempat yang selalu didatangi jika ia hendak menyembunyikan diri."
"Di mana tempat itu?" tanya Julian. Ia begitu heran mendengar cerita Jo yang
luar biasa, sehingga ia mulai mengira bahwa saat itu sedang bermimpi.
"Di tengah Hutan Gagak," kata Jo. "Kau tak tahu di mana letaknya - tapi aku
tahu! Besok akan kuantarkan kalian ke sana. Sekarang tak ada lagi yang masih
bisa kuceritakan." Anak itu mulai cepat-cepat makan bubur roti, sambil memandang
Dick dan Julian dari balik bulu matanya yang panjang.
Dick memperhatikannya. Ia merasa yakin bahwa Jo tidak bohong tadi. Tapi ia juga
yakin bahwa anak itu pasti akan bohong, jika dengan jalan begitu ia akan lebih
beruntung. . Menurut perasaannya, Jo seorang anak jail yang tidak kenal kasihan, dan liar
wataknya. Tapi sekaligus Dick juga merasa kasihan pada anak itu. Mau tak mau, ia
mengagumi ketabahan anak itu.
Kemudian diperhatikannya luka-luka memar dan bekas goresan di tubuh Jo. Dick
menggigit bibir ketika diingatnya betapa ia menerpa dan menghajar anak itu -
karena sama sekali tak menyangka bahwa ia berhadapan dengan Jo.
"Aku menyesal telah menyakiti dirimu," kata Dick. "Tapi tentu kau mengerti,
bukan maksudku begitu. Itu hanya terjadi karena kekeliruan."
Jo memandangnya, seakan-akan Dick itu raja.
"Tak apa," katanya. "Untukmu, aku mau melakukan apa saja. Kau baik hati."
Saat itu terdengar Joan mengetuk pintu dengan sikap tidak sabar.
"Belum selesai juga?" tanyanya pada Dick dan Julian. "Aku sudah mengantuk
sekali. Suruh saja Jo berhenti bicara. Dan kalian tidur juga dulu."
Anak-anak membuka pintu. Ketika melihat tampang mereka yang serius, dengan
segera Joan menebak bahwa keterangan Jo pada mereka pasti penting. Diambilnya
mangkok susu dari tangan anak itu, yang kemudian didorongnya supaya berbaring di
dipan. "Sekarang kau langsung tidur - dan ingat begitu kudengar kau berbuat aneh-aneh
di tengah malam, aku akan bangun dan memukulmu kuat-kuat sampai kau tidak bisa
duduk berminggu-minggu," kata Joan. Nadanya keras, tapi terasa keramahannya.
Jo nyengir mendengarnya. Gaya bicara seperti begitu, dimengerti olehnya. Ia
meringkuk ke dalam selimut, menikmati kehangatan dan keempukannya. Tak lama
kemudian ia sudah terlena. Joan masuk ke tempat tidur, lalu memadamkan lampu.
"Pukul dua," katanya pada diri sendiri, ketika terdengar jam berdentang dua
kali. "Macam-macam saja! Nanti aku pasti terlambat bangun, sehingga tidak bisa
meminta susu lebih banyak jika tukang susu datang."
Akhirnya cuma Julian saja yang masih bangun. Ia gelisah, memikirkan sikapnya
selama itu. Betul- atau keliru" Kasihan si George - selamatkah anak itu"
Betulkah si bandel yang bernama Jo itu akan mengantarkan mereka ke karavannya
besok - atau barangkali mereka akan dibawa ke sarang penculik, sehingga mereka
semua tertangkap" Julian benar-benar tak tahu.
Bab 13 MENCARI GEORGE KEESOKAN paginya, cuma Joan saja yang bangun lumayan cepat. Tapi ia pun masih
terlambat, sehingga tak bisa berjumpa dengan tukang susu. Juru masak itu
bergegas turun ke bawah pukul setengah delapan. Satu jam lebih lambat dari
biasanya! "Setengah delapan - benar-benar keterlaluan," katanya menggumam, sambil
menyalakan api di dapur. Ia teringat kembali pada kejadian-kejadian malam
sebelumnya. Sebelum turun tadi ia sempat melihat ke tempat tidur Jo. Ia takkan
heran jika si bandel itu sudah menghilang di tengah malam.
Tapi ternyata Jo masih tidur pulas. Tidurnya meringkuk seperti anak kucing,
dengan satu tangan menempel ke pipinya. Rambutnya yang bersih berkilauan,
bergelung menutupi matanya yang terpejam. Ia tetap tak bergerak ketika Joan
sibuk berpakaian dalam kamar.
Anak-anak yang lain juga masih tidur. Julian bangun paling dulu. Tapi itu pun
ketika sudah pukul delapan. Begitu bangun, ia segera teringat kembali pada
kejadian malam lalu. Ia segera bangun dari tempat tidur.
Ia pergi ke kamar tidur Joan. Didengarnya suara juru masak itu di bawah,
berbicara dengan dirinya sendiri seperti biasa. Julian mengintip lewat pintu
yang terbuka sedikit. Syukurlah - Jo masih ada di dalam.
Julian masuk ke dalam lalu membangunkan anak itu dengan pelan-pelan. Jo
menggeliat, membalikkan tubuh sambil membenamkan mukanya ke bantal. Julian
menggoncangnya lagi, sekali ini lebih keras. Ia bertekat hendak membangunkan
anak itu. supaya bisa mengantarkan mereka selekas mungkin ke tempat George
ditahan. Pukul setengah sembilan semua sudah ada di bawah. Mereka sarapan dalam suasana
murung. Jo makan di dapur. Anak-anak mendengar Joan mengomel, memarahi anak itu
karena cara makannya. "Haruskah kau makan secepat itu" Seakan-akan ada anjing yang hendak merebut! Dan
siapa menyuruhmu. mencelupkan jari ke dalam selai, lalu menjilatnya" Aku punya
mata di belakang kepala, jadi hati-hati sedikit!"
Jo senang pada Joan. Menghadapi wanita itu, ia tahu harus bagaimana sikapnya.
Pokoknya apabila katanya diikuti terus, Joan pasti akan cukup memberi makan dan
tidak banyak campur tangan. Tapi jika tidak, boleh diharapkan akan datang hal
yang dikenal baik olehnya. Omelan dan tamparan keras! Joan baik hati, tapi tidak
sabaran. Walau begitu tak ada anak yang merasa takut padanya. Ketika sudah
selesai sarapan, Jo mengikutinya terus, ke mana saja Joan pergi.
Pukul sembilan Julian masuk ke dapur.
"Mana Jo?" katanya. "Ah, itu dia anaknya! Nah, bagaimana sekarang dengan
janjimu, hendak mengantarkan kami ke tempat karavan ayahmu" Kau pasti tahu jalan
ke sana?" Jo tertawa mencemooh. "Tentu saja aku tahu! Daerah sekitar sini kukenal baik!"
"Baiklah kalau begitu," kata Julian. Ia mengambil peta daerah situ, lalu
menghamparkannya di meja dapur. Ia menuding ke suatu tempat,
"Di sini letak Kirrin," katanya. "Dan ini tempat yang disebut Hutan Gagak.
Inikah tempat yang kaumaksudkan" Kita ke sana lewat mana - jalan yang ini, atau
yang itu ?" Jo memandang peta yang ada di meja. Kertas itu tak ada artinya sama sekali
baginya. Ia cuma memandang saja ke titik yang ditunjuk Julian.
"Nah, bagaimana?" tanya Julian. Ia sudah tidak sabar lagi. "Inikah Hutan Gagak
yang kaumaksudkan?" "Aku tak tahu," kata Jo bingung. "Hutan Gagak yang kumaksudkan benar-benar
berupa hutan - aku tak tahu apa-apa mengenai titik yang ada di atas kertas itu."
Joan mendengus. "Percuma saja menunjukkan peta padanya, Julian! Kurasa ia belum pernah melihat
peta. Bahkan membaca pun sama sekali tidak bisa!"
"Tidak bisa membaca?" kata Julian kaget. "Kalau begitu, pasti juga tidak bisa
menulis." Ditatapnya Jo dengan pandangan bertanya.
Jo menggeleng. "Ibu dulu pernah mencoba mengajarku membaca," katanya. "Tapi dia sendiri tidak
begitu bisa. Lagipula, apa gunanya membaca" Orang kan tidak bisa menjebak
kelinci atau memancing ikan dengan membaca?"
"Memang tidak! Gunanya untuk urusan-urusan lain," kata Julian geli. "Tapi, yah -
kusadari bahwa peta sama sekali tak ada gunanya bagimu." Peta digulungnya lagi,
sambil berpikir-pikir. Sukar sekali mengetahui cara yang tepat untuk menghadapi
anak seperti Jo, yang hanya tahu sedikit tentang beberapa hal, tapi tentang
soal-soal lain banyak pengalamannya.
"Dia pasti akan tahu jalan ke sana," kata Joan sambil membersihkan dasar sebuah
panci. "Orang sebangsa dia, penciumannya sangat tajam! Mereka bisa mencium jalan
yang hendak mereka tempuh."
"Betulkah kau bisa mencium bau jalan - seperti seekor anjing?" tanya Anne ingin
tahu. Anak itu kebetulan masuk ke dapur untuk melihat apa yang terjadi di situ.
Begitu mendengar ucapan Joan, langsung saja ia mau percaya. Dianggapnya Jo
benar-benar bisa mencium bau jejak, seperti Timmy.
"Ah, tidak!" kata Jo membantah. "Tapi aku tahu, jalan mana yang harus kulalui.
Dan aku tidak berjalan lewat jalan yang biasa. Terlalu lama kalau lewat situ.
Aku mengambil jalan pintas!"
"Bagaimana kau bisa tahu, itu jalan tersingkat?" tanya Anne lagi. Tapi Jo cuma
mengangkat bahu. Segala pertanyaan itu mulai dirasakannya membosankan.
"Mana anak laki-laki yang satu lagi?" tanyanya. "Apakah dia tidak ikut" Aku
ingin berjumpa dengannya."
"Wah, rupanya ia senang sekali pada Dick," kata Joan sambil mengambil sebuah
panci lagi yang harus dibersihkan. "Nah itu Dick datang - sekarang kau boleh
senang, Jo!" "Hai, Jo," kata Dick sambil nyengir ramah. "sudah siap mengantar kami pesiar?"
"Sebaiknya berangkat malam hari," kata Jo sambil menatap anak itu.
"Astaga!" seru Dick bingung. "Kita berangkat sekarang juga. Kami tak mau jika
kau mengulur-ulur waktu terus. Sekarang, Jo - sekarang!"
"Jika ayahku melihat kita datang, pasti ia akan mengamuk," kata Jo berkeras.
"Baiklah," kata Dick sambil memandang Julian. "Kalau begitu kami pergi sendiri.
Kami sudah menemukan di mana letak Hutan Gagak di peta. Kami akan bisa pergi ke
sana dengan mudah." "Huhh," kata Jo mengejek. "Bisa saja kalian sampai di sana tapi Hutan Gagak
tempatnya luas sekali. Dan cuma aku dan Ayah saja yang tahu, di mana tempat kami
menyembunyikan karavan. Lagipula, jika Ayah ingin menyembunyikan George di
tempat yang benar-benar aman, anak itu pasti dibawanya ke lubang persembunyian
kami di tengah hutan. Nah, apa katamu sekarang" Kalian tak bisa pergi tanpa
aku." "Baiklah, kalau begitu kami akan mengajak polisi," kata Julian dengan gembira.
"Mereka akan membantu kami membongkar isi hutan, dari ujung ke ujung. Pasti kami
akan menemukan George dengan segera."
"Jangan!" seru Jo ketakutan. "Katamu, kau takkan memanggil polisi. Kau sudah
berjanji!" "Ya - tapi kau pun sudah berjanji pula," tukas Julian. "Kita saling bertukar
janji. Tapi kulihat sekarang
bahwa kau tak bisa dipercaya. Sebaiknya kuambil saja sepeda sekarang, untuk
pergi ke kantor polisi."
Tapi sebelum Julian sempat pergi ke luar, Jo sudah menubruk dan memeganginya
erat-erat. "Tidak! Jangan!" teriaknya. "Aku akan mengantarkan kalian ke sana. Sungguh, aku
berjanji. Tapi memang sebaiknya kita berangkat malam-malam."
"Aku tak mau mengundur-undurkan rencana lagi," kata Julian sambil menepiskan
tangannya. Pegangan Jo terlepas. "Jika kau memang bersungguh-sungguh, kau ikut
bersama kami sekarang juga. Tentukan pilihanmu."
"Aku ikut," kata Jo.
"Tidakkah sebaiknya kita beri dia celana pendek yang lain?" tanya Anne dengan
tiba-tiba. Ia melihat celana pendek Jo yang kumal ada lubangnya. lubang itu
besar sekali. "Dia tidak bisa pergi seperti begitu. Dan lihat saja baju kaosnya
- sudah berlubang-lubang."
Dick dan Julian menatap pakaian Jo.
"Bau anak ini akan lebih enak, jika ia memakai pakaian bersih," kata Joan. "Ada
celana pendek George yang sudah tua. Aku mencucinya minggu lalu dan merapikan
jahitannya. Jo bisa memakai celana itu. Dan ada pula kemeja tua kepunyaan George
yang bisa dipinjamnya."
Dalam waktu lima menit, Jo sudah berganti pakaian. Ia memakai celana pendek yang
tua tapi bersih, serta kemeja seperti yang dipakai oleh Anne. Anne memandang
anak itu, lalu tertawa: "Sekarang tampangnya semakin mirip dengan George," katanya. "Mereka bisa jadi
kakak adik." "Abang adik, maksudmu," kata Dick. "George dan Jo pasangan yang luar biasa!"
Jo merengut. Ia tidak senang pada George, dan tidak ingin dikatakan mirip anak
itu. "Bahkan kalau merengut pun mirip George!" kata Anne lagi. Jo langsung memutar
tubuh. Kini giliran Joan menerima tampang masam itu.
"Aduh, tampangmu jelek sekali!" seru Joan, "Awas jangan sampai mukamu merengut
terus dan tidak bisa lenyap!"
"Sudahlah," sela Julian dengan tidak sabar. "Jo! Yuk, kita berangkat. Antarkan
kami ke Hutan Gagak!"
"Nanti kelihatan oleh Jake," kata Jo merajuk. Anak itu keras kepala. Ia sengaja
mengulur saat berangkat. "Ya, betul juga," kata Julian. Hal itu tak terpikir olehnya tadi. "Baiklah! Kau
berjalan duluan, dan kami menyusul jauh di belakangmu. Jadi Jake takkan mengira
bahwa kau mengantarkan kami ke tempat tertentu."
Akhirnya mereka berangkat juga. Joan menyiapkan bekal makanan, karena siapa tahu
di tengah jalan mereka lapar. Julian memasukkan bekal itu ke dalam tas yang
kemudian disandangnya. Jo menyelinap ke luar lewat belakang, terus ke ujung kebun lalu pergi ke jalan
lewat lubang dalam pagar semak. Sedang anak-anak yang lain keluar lewat pintu
depan. Mereka berjalan pelan-pelan, menunggu Jo muncul.
"Itu dia anaknya," kata Julian. "Yuk - harus kita usahakan agar anak itu tidak
lenyap dari pandangan. Aku takkan heran jika tiba-tiba ia menghilang lagi
sekarang!" Jo berjalan jauh di depan, sambil melonjak-lonjak. Tak dipedulikannya ketiga
anak yang mengikuti dari belakang.
Tiba-tiba terjadi sesuatu yang tidak disangka-sangka. Sesosok tubuh muncul dari
balik semak, lalu berdiri di depan Jo. Orang itu mengatakan sesuatu pada Jo.
Anak itu berteriak sambil berusaha melarikan diri. Tapi orang itu lebih cepat.
Disambarnya lengan Jo, dan ditariknya anak itu ke dalam semak.
"Itu tadi pasti Jake!" seru Dick. "Aku yakin, orang itu pasti Jake. Rupanya ia
sudah mengintai Jo sedari tadi. Apa yang kita lakukan sekarang?"
Bab 14 KARAVAN KEPUNYAAN SIMMY
ANAK-ANAK bergegas mendatangi tempat Jake tadi menangkap Jo. Tapi di situ sama
sekali tak kelihatan apa-apa, kecuali beberapa ranting patah di semak. Jake
tidak ada di situ - begitu pula Jo. Anak-anak juga tidak mendengar apa-apa. Tak
ada jeritan Jo. dan Jake juga tidak terdengar berteriak. Keduanya seakan-akan
lenyap ditelan tanah! Dick menerobos semak, masuk ke lapangan yang ada di baliknya. Tapi di situ juga
tak ada siapa-siapa. Yang nampak cuma beberapa ekor sapi. Hewan-hewan itu
memandangnya dengan heran, sementara ekor mereka bergerak kian ke mari.
"Di ujung lapangan ada hutan kecil," seru Dick pada saudara-saudaranya yang
menunggu di jalan. "Pasti mereka ada di sana. Aku akan memeriksa sebentar."
Kemudian Dick lari melintasi lapangan, menuju ke hutan. Tapi di situ pun tak ada
orang. Di belakang hutan nampak sederetan pondok beratap rendah. Dick memandang
ke arah pondok-pondok yang berantakan itu dengan kesal dan bingung.
"Kurasa Jo dibawa Jake ke salah satu pondok itu," pikirnya. "Mungkin pula Jake
tinggal di sana! Satu hal sudah pasti - Jo takkan dilepaskan lagi olehnya.
Tentunya ia mengira Jo sekarang memihak kita. Kasihan si Jo!"
Dick kembali ke jalan. Ia berunding dengan kedua saudaranya, sambil berbisik-
bisik. "Sebaiknya kita laporkan saja pada polisi," kata Anne ketakutan.
"Ah, jangan! Yuk, kita pergi saja sendiri ke Hutan Gagak," balas Dick. "Kita kan
tahu di mana tempatnya. Kita tidak bisa mengambil jalan yang hendak ditunjukkan
Jo -tapi setidak-tidaknya kita masih bisa mengikuti petunjuk dalam peta."
"Ya - kurasa memang bisa," jawab Julian. "Kalau begitu kita lekas-lekas saja
berangkat!" Mereka meneruskan langkah di jalan itu, kemudian mengambil jalan memintas lewat
suatu lapangan. Akhirnya sampai di jalan besar. Sebuah bis lewat, tapi dari arah
berlawanan.
Lima Sekawan 9 Jo Anak Gelandangan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Nanti kalau sampai pada suatu perhentian bis, kita lihat apakah ada yang lewat
dekat Hutan Gagak," kata Julian. "Dengan naik bis, kita akan bisa menghemat
waktu. Kita akan bisa tiba jauh lebih cepat dari Jake, jika orang itu berniat
memberitahukan pada ayah Jo bahwa kita akan ke sana! Kurasa Jo pasti akan
mengatakannya pada Jake. Percaya pada anak licik itu, sama saja seperti
mempercayai ular'" "Aku benci pada Jo!" kata Anne sengit. Anak itu sudah hampir menangis. "Aku sama
sekali tak percaya padanya. Kau. Dick?"
"Entahlah," kata Dick. "Aku tak tahu bagaimana sikapku terhadap anak itu. Jo
belum terbukti bisa dipercaya atau tidak. Lagipula, kan kemarin malam ia datang
lagi untuk menceritakan hal-hal yang diketahuinya pada kita. Ya kan?"
"Aku tak percaya ia datang untuk itu," kata Anne berkeras kepala. "Kurasa ia
datang untuk mengintip-intip."
"Mungkin saja kau benar," kata Dick. "Nah - itu ada tempat perhentian bis. Dan
ada pula daftar perjalanan!"
Ternyata dari situ ada bis yang lewat dekat Hutan Gagak. Dan lima menit lagi bis
itu akan lewat. Anak-anak duduk di bangku yang ada di situ. Bis datang tepat
pada waktunya. Dari jauh sudah terdengar bunyinya. Bis itu penuh dengan wanita
yang hendak pergi ke pasar. Mereka semuanya gemuk-gemuk, dan keranjang yang
dibawa serba besar, sehingga Julian beserta kedua adiknya sukar sekali bisa
masuk ke dalam. Sesampai di pasar, para penumpang yang tadi turun semua. Julian
menanyakan jalan ke Hutan Gagak.
"Itu dia," kata kondektur sambil menunjuk ke lembah yang penuh pepohonan di
bawah bukit. "Tempat itu sangat luas. Kalian jangan sampai tersesat di dalamnya.
Dan hati-hati terhadap orang gelandangan. Biasanya mereka banyak di sana!"
"Terima kasih," kata Julian, lalu mereka berjalan menuruni bukit dan masuk ke
dalam lembah. Kemudian mereka sampai di tepi hutan.
"Wah, hutan ini benar-benar hutan," kata Anne. "Di mana-mana cuma pohon saja
yang kelihatan. Kurasa bagian tengahnya pasti mirip rimba."
Memang, hutan di Inggris lain dengan di Indonesia. Di sana, jika ada tempat yang
agak lebat ditumbuhi pepohonan: maka tempat itu sudah disebut 'hutan'. Karenanya
tidaklah mengherankan, jika bagi Anne tempat yang pepohonannya tumbuh rapat
sudah dianggap 'rimba'. Coba kalau anak itu bisa datang sebentar ke Kalimantan,
atau ke Irian - saat itu baru ia akan mengalami bagaimana wujud rimba yang
sebenarnya. Ketiga anak itu kemudian tiba di suatu tempat yang lapang. Di situ ada
perkemahan orang gelandangan.
Orang-orang ini di Inggris disebut 'gipsy' . Tak ada yang tahu dengan pasti,
dari mana orang-orang itu berasal. Tampang mereka lain dari penduduk Eropa yang
berkulit putih dan berhidung besar. Mereka lebih mengarah pada bangsa Asia.
Berkulit coklat, berbadan sedang dan berambut hitam. Mereka biasa hidup
berkelana. Tapi orang Inggris menganggap mereka termasuk kaum gelandangan.
Perkemahan yang dilihat oleh Julian serta kedua adiknya, terdiri dari beberapa
karavan yang agak kotor. Di sekeliling tempat itu beberapa anak kecil berkulit
coklat sedang main tali. Julian melirik sebentar ke arah kumpulan karavan itu.
Pintu-pintunya terbuka semua.
"George tak ada di sini," katanya dengan suara pelan pada Dick dan Anne. "Sayang
aku tak tahu, ke mana kita harus pergi sekarang. Kurasa paling baik jika kita
ikuti saja jalan yang agak lebar ini. Bagaimanapun, karavan ayah Jo memerlukan
jalan yang agak lebar supaya bisa lewat."
"Kenapa tidak kita tanyakan saja, apakah karavan itu ada di sekitar sini," usul
Anne. "Kita tidak tahu siapa nama ayah Jo," kata Julian.
"Tapi kita kan bisa mengatakan karavan itu ditarik seekor kuda hitam, dan yang
tinggal di situ seorang anak perempuan bernama Jo dengan ayahnya," kata Anne
lagi. "Ya - betul juga katamu," kata Julian. Ia mendatangi seorang wanita tua. Wanita
itu sedang memasak sesuatu dalam panci hitam yang ditaruh di atas setumpuk kayu
bakar yang menyala. Menurut perasaan Julian, wanita itu kelihatannya mirip
sekali perempuan sihir yang biasanya diceritakan dalam dongeng. Wanita itu
menatap ke arahnya, dari balik rambut beruban yang tergerai di mukanya.
"Bu, bolehkah saya bertanya sebentar," kata Julian dengan sopan. "Saya ingin
tahu apakah dalam hutan ini ada karavan yang ditarik kuda hitam" Di situ tinggal
seorang anak perempuan bernama Jo. Ia tinggal bersama ayahnya. Kami ingin
bertemu dengan Jo." Wanita tua itu mengejap-ngejapkan mata. Kemudian menunjuk ke arah kanan dengan
sendok besi yang dipakainya mengaduk-aduk masakan.
"Simmy pergi ke arah sana," katanya. "Tapi sekali ini aku sama sekali tak
melihat Jo. Pintu karavan itu tertutup terus jadi mungkin saja ia ada di dalam.
Mau apa kalian dengan Jo?"
"Ah tidak - cuma ingin ketemu saja," kata Julian samar-samar. Ia tidak bisa
cepat-cepat mengarang alasan tepat, apa sebabnya hendak mendatangi anak
gelandangan itu. "Orang bernama Simmy itu ayahnya?"
Wanita tua itu mengangguk, sementara tangannya sudah sibuk lagi mengaduk-aduk
isi panci. Julian kembali ke saudara-saudaranya. .
"lewat sini," katanya, dan mereka pun berjalan menyusur jalan tanah yang
bergalur-galur. Jalan itu pas-pasan untuk dilalui karavan. Anne mendongak.
Dilihatnya dahan-dahan menaungi kepala.
"Kurasa karavan kalau lewat di sini, atapnya pasti tergeser terus ke dahan-dahan
itu," katanya. "Kehidupan aneh - siang malam tinggal terus dalam karavan kecil,
menyusup-nyusup dalam hutan dan padang!"
Mereka terus menyusur jalan yang berliku-liku di sela-sela pohon. Kadang-kadang
batang pohon begitu merapat di kiri kanan, sehingga rasanya takkan mungkin
dilewati karavan. Tapi dari alur bekas roda yang nampak, mereka tahu bahwa
karavan yang dicari memang lewat di situ.
Hutan makin lama makin lebat. Cahaya matahari sudah nyaris tak bisa lagi
menembus dedaunan yang menaungi di atas kepala. Tapi di depan mereka jalan
berkelok-kelok terus. Tapi kini tinggal alur bekas dua roda saja yang masih
kelihatan. Kemungkinan besar kedua alur itu bekas roda-roda karavan kepunyaan
Simmy. Di sana-sini nampak pohon yang sudah dipotong dahan-dahannya yang rendah. Ada
semak yang dicabut dan dicampakkan begitu saja.
"Rupanya kali terakhir ia ke mari, Simmy sudah bermaksud hendak masuk jauh ke
dalam hutan," kata Julian sambil menuding semak yang tergeletak layu di pinggir
jalan. "Di sana-sini ia sudah melebarkan jalan. Ini sebetulnya sudah bukan jalan
lagi. Kita cuma mengikuti alur bekas roda."
Anak-anak berjalan sambil membisu. Hutan sangat sunyi di tempat itu. Tak ada
suara burung berkicau. Dahan dan ranting di atas dan di sekeliling mereka begitu
rapat tumbuhnya, sehingga semua cuma kelihatan remang-remang gelap.
"Alangkah baiknya jika Timmy ada bersama kita," kata Anne setengah berbisik.
Julian mengangguk. Dalam hati, perasaan begitu sudah lama muncul pada dirinya.
Ia juga menyesal mengajak Anne ikut. Tapi sewaktu berangkat tadi, Jo masih ada
sebagai penunjuk jalan. Dan untuk memberitahukan jika ada bahaya. Tapi Jo kini
tak ada lagi! "Sebaiknya kita berjalan dengan hati-hati," kata Julian dengan suara pelan.
"Siapa tahu, mungkin saja tiba-tiba karavan sudah di dekat kita. Jangan sampai
Simmy mendengar kita datang, lalu siap-siap untuk menyergap."
"Aku dulu saja berjalan, supaya bisa memberi tanda pada kalian jika terdengar
atau terlihat sesuatu," kata Dick. Julian mengangguk, tanda setuju. Dick lantas
berjalan mendului. Setiap mendekati tikungan, ia mengintip dulu dari balik
pohon. Dalam hati, Julian sudah mereka-reka apa yang akan dikerjakan jika sampai
di karavan yang dicari. Ia merasa pasti, George dan Timmy tentu akan ditemukan
terkurung dalam karavan yang terkunci rapat.
"Jika kita berhasil membongkar pintu dan membebaskan mereka, selebihnya menjadi
urusan Timmy," katanya dalam hati. "Timmy kemampuannya setanding dengan tiga
polisi sekaligus. Ya - kurasa sebaiknya begitu saja!"
Tiba-tiba nampak Dick berhenti. Anak itu mengangkat tangannya, menyuruh berhati-
hati. Kemudian mengintip dari balik batang pohon besar, lalu berpaling dan
mengangguk-anggukkan kepala.
"Ia melihat karavan," kata Anne. Seperti biasa, jantung anak itu mulai lagi
berdebar dengan keras. "Tinggal dulu di sini," kata Julian pada Anne, lalu menyelinap maju ke tempat
Dick. Sementara itu Anne merangkak masuk ke dalam semak. Ia tak suka berada
dalam hutan gelap dan sunyi itu. Ia mengintip dari sela dedaunan, memandang ke
arah kedua abangnya. Ternyata memang dengan sekonyong-konyong saja Dick melihat karavan itu.
Ukurannya kecil. Catnya sudah mengelupas di sana-sini. Dan kelihatannya saat itu
tak ada orang di situ. Di luar tak nampak api unggun menyala. Simmy tak
kelihatan, begitu pula kuda yang hitam.
Anak-anak memperhatikan sambil berdiam diri selama beberapa menit. Dari arah
tempat agak lapang di mana karavan berada, sama sekali tak terdengar bunyi apa
pun. Tak ada yang bergerak-gerak.
"Dick," bisik Julian. "Kelihatannya Simmy tak ada di sini. Ini kesempatan yang
kita tunggu! Kita merayap mendekati karavan, lalu mengintip ke dalam lewat
jendela. Begitu George melihat kita. dengan segera kita berusaha membebaskannya.
Timmy juga!" "Aneh - kenapa anjing itu tidak menggonggong," kata Dick sambil berbisik-bisik
juga. "Rupanya kedatangan kita tak terdengar olehnya. Yah - bagaimana" Kita ke
karavan sekarang?" Dengan hati-hati mereka lari mendekati karavan. Julian langsung mengintip ke
dalam, lewat jendela yang kotor kacanya. Tapi di dalam terlalu gelap, sehingga
ia tidak bisa melihat apa-apa.
"George!" desis Julian. "Kau ada di situ, George?"
Bab 15 MENARA MERAH DARI dalam karavan tak terdengar jawaban. Mungkin George sedang tidur. Atau
jangan-jangan dibius! Dan Timmy juga. Semangat Julian mengerut. Ia ngeri
membayangkan, kalau George diperlakukan dengan kejam. Ia berusaha mengintip lagi
ke dalam. Tapi kaca jendela yang kotor, ditambah dengan keadaan sekitar situ
yang gelap, menyebabkan ia sama sekali tak bisa melihat apa-apa.
"Bagaimana jika kita gedor saja pintunya," kata Dick.
"Wah, jangan! Kalau Simmy ada di sekitar sini, bunyi ribut-ribut itu akan
menyebabkan ia datang bergegas-gegas. Lagipula, jika George ada di dalam dan
sedang bangun, pasti ia sudah mendengar suara kita," kata Julian.
Mereka lantas menyelinap, mendekati pintu yang ada di sisi belakang karavan. Tak
ada anak kunci terselip dalam lubangnya. Julian mengerutkan kening. Rupanya anak
kunci dibawa Simmy. Kalau begitu, mereka terpaksa membongkar pintu, tapi itu
akan menimbulkan bunyi ribut!
Julian naik ke atas tangga, lalu mendorong daun pintu. Kelihatannya sangat
kokoh. Lagipula, bagaimana bisa membongkar pintu" Mereka sama sekali tak membawa
peralatan! Julian mengetuk pintu dengan hati-hati. Tok-tok-tok. Tapi tak terdengar bunyi
apa-apa di dalam. Aneh! Julian berusaha memutar tombol pintu. Ternyata bisa
bahkan gampang sekali. Bukan itu saja. Pintu juga langsung terbuka!
"Dick - ternyata pintu sama sekali tak terkunci," seru Julian. Ia sangat kaget,
sehingga lupa berbisik. Kemudian ia masuk ke dalam karavan yang gelap.
Harapannya sudah kecil sekali, akan menjumpai George atau Timmy di dalam.
Dick ikut masuk. Di dalam tercium bau pengap. Keadaan ruangan acak-acakan. Tapi
tak ada siapa-siapa di situ. Karavan ternyata kosong - seperti telah
dikhawatirkan Julian. Anak itu mengeluh. "Kita sudah jauh-jauh ke sini, tapi ternyata percuma! Mereka sudah memindahkan
George ke tempat lain. Habis usaha kita sekarang, Dick! Tak ada petunjuk sama
sekali, ke mana kita harus pergi dari sini."
Sementara itu Dick mengeluarkan senter yang dikantonginya. Dinyalakannya alat
itu, lalu disorotkannya ke arah barang-barang yang berserakan dalam karavan. Ia
mencari tanda-tanda yang bisa dijadikan bukti bahwa George pernah ada di situ.
Tapi tanda-tanda seperti itu, sama sekali tak kelihatan!
"Mungkin saja Jo cuma mengarang-ngarang belaka bahwa ayahnya menculik George,"
katanya sambil mengeluh. "Tak ada tanda sedikit pun bahwa ia dan Timmy pernah
ada di sini." Kemudian ia menyorotkan cahaya senter ke dinding karavan yang terbuat dari
papan. Tiba-tiba perhatiannya terpaku pada tulisan yang nampak di dinding itu.
Ia memperhatikan lebih dekat lagi.
"Julian'" katanya kemudian. "Bukankah ini tulisan George" Lihatlah - apa yang
tertulis di sini?" Kedua anak itu membungkuk, membaca tulisan yang tergores di dinding. 'Red Tower,
Red Tower, Red Tower'. Kedua kata itu nampak tertulis berulang-ulang dengan tulisan kecil-kecil.
"Red Tower! Menara Merah," kata Dick. "Apa maksudnya" Dan benarkah ini tulisan
tangan George?" "Ya, kelihatannya memang tulisannya," kata Julian. "Tapi untuk apa kedua kata
itu ditulisnya berulang-ulang" Menurut perkiraanmu, mungkinkah itu nama tempat
ke mana ia dibawa sekarang" Barangkali ia mendengar penculiknya mengatakan
sesuatu, lalu cepat-cepat menuliskannya - dengan harapan kita berhasil menemukan
karavan ini lalu memeriksa isinya. Red Tower. Jadi Menara Merah! Kedengarannya
aneh!" "Kurasa mungkin itu sebuah rumah dengan menara merah," kata Dick. "Yah -
sekarang sebaiknya kita kembali saja, lalu melaporkan pada polisi. Biar mereka
saja yang mencari di mana ada 'Menara Merah' itu."
Dengan perasaan kecewa, Dick dan Julian kembali ke tempat Anne menunggu. Begitu
mendengar mereka datang, anak itu cepat-cepat merangkak keluar dari bawah semak.
"George tidak ada di dalam karavan," kata Dick. "Tapi sebelumnya ia ada di situ!
Kami melihat tulisannya di dinding sebelah dalam."
"Dari mana kau tahu bahwa itu tulisannya?" tanya Anne.
"Soalnya, ia menuliskan perkataan 'Red Tower' berkali-kali dan huruf R dan T
tulisan itu persis dengan yang biasa ditulisnya," kata Dick. "Kami rasa,
mestinya ia mendengar orang bercakap-cakap dan mengatakan bahwa ia akan dibawa
ke Red Tower - jadi ke Menara Merah. Entah menara merah mana yang dimaksudkan!
Sekarang kita akan berangkat ke polisi. Aku menyesal, kita sudah mempercayai Jo,
sehingga banyak waktu terbuang percuma!"
"Kita makan saja dulu," kata Julian. "Tapi tak perlu duduk. Kita bisa makan
sambil berjalan." Tapi tak seorang pun berselera makan. Kata Anne perutnya mulas. Julian terlalu
gelisah, sedang Dick ingin cepat-cepat berjalan sehingga tak sempat membuka
bekal dulu. Mereka lantas kembali menyusur jalan yang tadi.
Tiba-tiba sekeliling mereka menjadi gelap gulita. Terdengar hujan menderu
mengenai dedaunan, teriring bunyi guruh. Anne kaget mendengarnya, lalu menyambar
lengan Julian dan memegangnya erat-erat.
"Julian," keluhnya. "Kan berbahaya jika berada dalam hutan pada saat badai
hujan! Aduh, Julian - bisa disambar kilat kita di sini'"
"Tidak," jawab Julian menenangkan. "Kalau di hutan, sama saja seperti di tempat
lain. Yang berbahaya, jika kita berlindung di bawah pohon yang berdiri sendiri.
Nah - di sana ada tempat yang agak lapang! Kalau kau mau, kita ke sana
sekarang." Tapi di tempat itu hujan turun sangat lebat. Kalau mereka berdiri di sana, pasti
dalam sekejap mata akan sudah basah kuyup. Julian mendorong Anne ke arah
segerombol semak, lalu mereka merunduk di bawahnya.
Tak lama kemudian hujan berhenti. Guruh semakin menjauh ke arah timur. Mereka
sama sekali tak melihat kilat yang sambar-menyambar. Keadaan sekeliling mereka
menjadi agak terang. Mestinya di atas puncak pepohonan matahari sudah bersinar
cerah kembali. "Aku tak suka hutan ini," kata Dick sambil merangkak keluar dari semak. "Yuk,
kita cepat-cepat kembali ke jalan tadi."
Sambil berkata begitu ia sudah berjalan di sela pepohonan. Julian memanggilnya.
"Tunggu, Dick. Kau yakin arahmu benar?"
Dick langsung berhenti melangkah. Ia gelisah.
"Yah- kurasa tadi bahwa ini jalannya," katanya ragu. "Tapi entahlah. Kau tahu
harus lewat mana?" "Kusangka kita harus lewat di sela pepohonan sebelah sana," kata Julian. "Di
sana - ke tempat yang agak lapang itu."
Mereka segera pergi ke tempat yang ditunjukkan oleh Julian.
"Tapi kelihatannya tak sama seperti yang tadi," kata Anne, begitu mereka sampai.
"Tempat tadi, di satu sisinya ada batang kayu yang mati. Tapi di sini, tidak
ada." "Sialan!" kata Julian jengkel. "Yah - kalau begitu kita coba lewat sini saja."
Mereka berjalan ke arah kiri. Tapi ternyata mereka malah lebih dalam masuk ke
hutan. -.Julian ngeri. Ia menyesali ketololannya tadi. Mestinya ia tahu,
berbahaya jika meninggalkan satu-satunya jalan yang dikenal tanpa meninggalkan
tanda-tanda yang bisa diikuti. Dan sekarang ia sama sekali tak tahu lagi, di
Lima Sekawan 9 Jo Anak Gelandangan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sebelah mana letak jalan yang ada alur bekas roda tadi. Dipandangnya Dick dengan
suram. "Gawat," kata Dick. "Yah - sekarang kita terpaksa memilih jalan mana yang harus
kita tuju. Kita tidak bisa berdiri saja di sini terus."
"Tapi jangan-jangan malah bertambah dalam masuk ke hutan," kata Anne. Tiba-tiba
ia merasakan ketakutan mencengkam dirinya. Dengan segera Julian merangkul pundak
adiknya itu. "Yah, kalau kita masuk semakin dalam, akhirnya toh akan keluar juga di seberang
sana," katanya. "Hutan ini kan bukan tak berujung'"
"Kalau begitu kita berangkat saja merintis hutan," kata Anne. "Pada suatu saat
kita pasti akan keluar juga."
Kedua abangnya tidak sampai hati untuk mengatakan, tak mungkin mereka bisa
merintis begitu saja. Mereka akan terpaksa mengitari semak belukar, kadang-
kadang melangkah balik apabila menjumpai bagian yang tak bisa ditembus, serta
membelok rapat. Mereka mustahil bisa berjalan lurus terus, seperti merintis
lapangan terbuka. "Bahkan mungkin pula kita nanti akan berjalan berputar-putar terus di satu
tempat, seperti yang sering terjadi dengan orang-orang yang tersesat di tengah
gurun pasir," pikir Julian. Ia menyesali dirinya sendiri, karena meninggalkan
alur bekas roda yang bisa dipakai sebagai penunjuk jalan.
Mereka bertiga berjalan selama dua sampai tiga jam. Tiba-tiba Anne jatuh karena
kakinya tersandung. "Aku tak mampu berjalan lagi," kata anak itu sambil menangis. "Aku ingin
istirahat dulu." Dick melirik arlojinya, lalu bersiul kaget. Wah - tahu-tahu sudah hampir pukul
tiga sore! Cepat sekali waktu berjalan. Ia duduk dekat Anne lalu meraih adiknya
itu. "Kita perlu mengisi perut dulu:" katanya. "Sejak sarapan tadi, kita belum makan
lagi." Anne mengatakan bahwa ia masih tetap belum merasa lapar. Tapi ia langsung
berubah pikiran, begitu mencium roti daging yang disiapkan oleh Joan. Tak lama
kemudian ia sudah makan bersama kedua abangnya. Dan setelah itu, ia merasa
badannya lebih enak. "Sayang kita tak membawa minuman," kata Dick. "Tapi Joan membekali tomat dan
buah plum. Jadi itu saja yang kita makan, sebagai ganti minuman."
Ketiga anak itu menyikat segala-galanya. Dalam hati Julian merasa sangsi
terhadap perbuatan mereka. Mereka tak bisa mengetahui berapa lama lagi mereka
masih akan tersesat di tengah Hutan Gagak. Mungkin saja kemudian Joan akan
merasa cemas lalu melaporkan pada polisi bahwa anak-anak pergi ke Hutan Gagak,
sehingga akan diadakan usaha pencarian. Tapi bisa saja lama sekali sebelum
mereka ditemukan! Sehabis makan, Anne tertidur. Kedua abangnya bercakap-cakap dengan suara pelan.
"Perasaanku tidak enak," kata Dick. "Maksud kita hendak mencari George - tapi
ternyata kita malah tersesat. Petualangan kali ini rasanya tidak berjalan
lancar." "Jika kita tidak berhasil keluar dari sini sebelum gelap, kita akan terpaksa
tidur di bawah semak," kata Julian.
"Nanti kalau Anne sudah bangun, kita mencoba lagi - sekali ini sambil berseru-
seru. Lalu jika setelah itu kita masih saja tersesat, kita mencari tempat yang
bisa dipakai untuk tidur dalam hutan."
Ternyata ketika hari sudah gelap- dan di hutan cepat gelap - mereka masih tetap
tersesat. Suara mereka sampai serak karena berteriak-teriak terus.
Tanpa bicara mereka mencabut setumpuk tumbuhan pakis dari tempat yang agak
lapangan, lalu menaruhnya di bawah semak.
"Untung malam ini tidak dingin," kata Dick. Ia bersikap seakan-akan gembira.
"Besok pagi, kita pasti bersemangat lagi. Anne, kau berbaring merapat padaku,
supaya badanmu hangat, nah - begitu! Lalu Julian berbaring di situ, di sebelah
Anne juga. Asyik juga petualangan ini."
"Aku tak suka petualangan," kata Anne dengan pelan.
Detik berikutnya ia sudah pulas.
Bab 16 TAMU TENGAH MALAM LAMA sekali Julian dan Dick baru bisa tidur. Keduanya merasa gelisah - mengingat
George, tapi juga mengingat diri mereka sendiri. Mereka juga merasa lapar. Dan
rasa lapar ditambah kegelisahan, menyebabkan sukar tidur!
Tapi akhirnya. Dick tertidur juga. Sedang Julian masih bangun. Diharapkannya
Anne merasa enak dan hangat tidur di sela kedua abangnya. Ia sendiri agak
kedinginan. Tiba-tiba terdengar bunyi daun-daun berdesir, serta sesuatu yang bergerak-gerak
di belakang kepalanya. Binatang apakah itu" Mungkin tikus.
Kemudian dirasakannya ada sesuatu menyentuh rambutnya. Julian merinding. Jangan-
jangan ada labah-labah! Yah - lebih baik jangan bergerak, karena nanti Anne
terbangun. Kalau binatang itu hendak membuat jaring di atas kepalanya, silakan!
Julian memejamkan mata. Lalu terlena. Tak lama kemudian ia sudah mimpi.
Tapi tiba-tiba ia terbangun karena kaget. Ia mendengar bunyi burung hantu.
Tentunya suara itu yang membangunkannya. Nah, sekarang ia pasti akan sukar bisa
tidur lagi, keluhnya dalam hati.
Julian memejamkan matanya kembali. Tapi burung hantu sialan itu berbunyi lagi.
Julian kesal mendengarnya. Mudah-mudahan Anne tidak terbangun. Anak itu bergerak
sedikit, sambil menggumam dalam tidur.
Julian menjamah badan adiknya. Terasa hangat. Ia lantas memejamkan mata. Tapi
baru sekejap, sudah terbuka lebar kembali. Ia mendengar bunyi sesuatu!
Bukan burung hantu, dan juga bukan bunyi kaki binatang kecil seperti tikus -
tapi bunyi yang lebih nyaring. Julian menajamkan telinga. Di salah satu tempat
sekitar itu ada bunyi gemerisik. Rupanya di dekat-dekat situ ada binatang yang
agak besar! Julian ketakutan. Tapi cuma sebentar saja, karena dengan segera ia berhasil
menenangkan diri. Di Inggris tidak ada lagi binatang liar yang berbahaya.
Serigala pun sudah tidak ada! Jadi mungkin yang didengarnya itu seekor luak yang
sedang mencari makan. Tapi ia tak mendengar suara mengendus-endus. Yang ada cuma
bunyi gemerisik gerak binatang itu dalam semak.
Bunyi itu semakin mendekat. Kedengarannya seperti lurus menuju ke tempatnya!
Julian merasakan ada napas hangat dekat telinganya. Ia bergidik, lalu cepat-
cepat duduk dan mengulurkan tangan. Tersentuh sesuatu yang hangat dan berambut.
Seketika itu juga ia menarik tangannya karena kaget dan ngeri, lalu meraba-raba
mencari senter. Bayangkan, di tengah malam segelap itu menyentuh sesuatu yang
terasa hangat dan berambut. Bahkan Julian yang biasanya berani, sekali itu
ketakutan! Tahu-tahu ada yang memegang lengannya! Julian menjerit dan mengibaskan lengan
sehingga pegangan terlepas. Ia kaget setengah mati, ketika makhluk yang disangka
binatang itu tahu-tahu berbicara.
"Julian - ini aku'"
Julian dengan tangan gemetar menyalakan senter. Cahayanya menerangi wajah coklat
kotor, dengan ram but kusut menutupi mata.
"Jo," seru Julian tercengang. "Jo! Apa yang kaulakukan di sini" Aku tadi
setengah mati ketakutan karenamu. Kukira kau binatang seram berbulu panjang.
Rupanya rambutmu yang tersentuh tadi."
"Memang," kata Jo, sambil menyusup ke bawah semak. Anne dan Dick yang terbangun
mendengar teriakan Julian, menatap Jo dengan heran dan bingung. Mereka melongo.
Bayangkan - tahu-tahu Jo muncul di tengah mereka, dalam hutan. Bagaimana caranya
anak itu bisa sampai di situ"
"Kalian kaget kan melihat aku di sini?" kata Jo. "Aku tadi pagi disergap oleh
Jake. Ia tak tahu, kalian mengikuti dari belakang. Aku diseretnya ke pondok
tempat tinggalnya, lalu dikurungnya di situ. Ia tahu malam kemarin aku menginap
di Pondok Kirrin. Katanya aku akan dibawa ke tempat ayahku, supaya dihajar
habis-habisan. Dan ayahku pasti akan melakukannya."
"Jadi itu rupanya yang terjadi dengan dirimu," kata Dick.
"Kemudian aku berhasil melarikan diri, setelah membongkar jendela," cerita Jo
selanjutnya. "Jake jahat! Aku takkan mau melakukan perintahnya lagi. Bayangkan,
aku dikurungnya dalam pondok! Padahal aku paling benci dikurung dalam rumah. Yah
- setelah itu aku lantas mencari kalian."
"Bagaimana caramu bisa menemukan kami di sini?" tanya Julian heran.
"Mula-mula aku pergi ke karavan," kata Jo. "Bu Smith - itu, wanita tua yang
kerjanya tak habis-habisnya mengaduk isi panci - ia mengatakan bahwa kalian
datang dan menanyakan di mana karavan kepunyaan ayahku. Jadi aku lantas menduga
bahwa kalian pasti pergi mencarinya. Aku segera menyusul. Tapi karavan kujumpai
dalam keadaan kosong. Bahkan George pun tak ada lagi di situ."
"Kau tahu di mana George sekarang?" tanya Anne.
"Tidak," jawab Jo. "Ayah membawanya ke tempat lain. Kurasa ia diangkut naik kuda
kami, karena kuda itu pun tak kelihatan."
"Lalu bagaimana dengan Timmy?" tanya Dick.
Jo membuang muka. "Kurasa Timmy sudah mati, dibunuh mereka," katanya kemudian. Sesaat anak-anak
membisu. Mereka tak mampu berbicara, karena sedih dan ngeri membayangkan anjing
George mati dibunuh orang.
"Bagaimana kau bisa menemukan kami?" tanya Julian kemudian.
"Gampang sekali," kata Jo. "Jejak siapa pun, pasti bisa kuikuti. Sebetulnya aku
bisa datang lebih cepat, tapi sudah terburu malam. Wah, kalian benar-benar
tersesat rupanya ya?"
"Betul," kata Dick. "Jadi kau mengikuti kami terus, berjalan tak menentu arah?"
"O ya," kata Jo. "Sampai capek rasanya mengikuti jejak kalian yang simpang siur.
Apa sebabnya kalian meninggalkan alur bekas rada?"
Julian menceritakan sebabnya.
"Kau ini memang tolol," kata Jo. "Kalau hendak meninggalkan jalan yang ada dalam
hutan, cukup kauberi tanda saja sedikit pohon-pohon yang kaulewati. Tak perlu
semua - cukup di sana-sini saja! Dengan begitu kau akan selalu bisa menemukan
jalan kembali." "Kami mula-mula tak menyadari bahwa kami bisa tersesat," kata Anne sambil
memegang tangan Jo dan meremasnya. Ia sangat lega melihat anak itu muncul.
Sekarang mereka akan bisa keluar dari hutan seram itu.
Jo kaget dan terharu. Tapi ia cepat-cepat menarik tangannya. Ia tak suka
dipegang-pegang. Tapi kalau Dick yang melakukannya, itu lain perkara. Jo
menganggap Dick pahlawannya, jauh melebihi siapa pun juga. Dick ramah
terhadapnya, dan ia merasa senang bisa menjumpainya.
"Kami menemukan tulisan di dinding karavan," kata Julian. "Rasanya kami tahu
sekarang ke mana George dibawa ayahmu. Ke suatu tempat yang namanya Red Tower.
Jadi Menara Merah. Kau tahu di mana tempat itu?"
"Tak ada tempat bernama Red Tower," jawab Jo dengan segera. "Itu ...."
"Jangan aksi, Jo. Kau tak mungkin tahu bahwa tak ada tempat bernama Red Tower,"
kata Dick jengkel. "Mungkin ada beratus-ratus tempat yang namanya begitu! Pokoknya kami harus
mencari tempat itu. Polisi pasti tahu di mana letaknya."
Jo nampak ketakutan. "Kau sudah berjanji tak melaporkan pada polisi," katanya.
"Ya, kami berjanji begitu - tapi hanya jika kau mengantarkan kami ke tempat
George ditahan," kata Dick. "Tapi kau tak menepati janji. Lagipula, jika kau
jadi mengantarkan kami ke karavan, George toh tak ada di situ. Jadi kami bisa
saja sekarang menghubungi polisi untuk mencari di mana Red Tower."
"Yang tertulis itu kata 'Red Tower'?" kata Jo. "Kalau begitu - aku bisa
mengantarkan kalian ke George'"
"Mana mungkin, jika kau tadi mengatakan tak ada tempat yang namanya Red Tower?"
tukas Julian kesal. "Aku tak mau percaya lagi kata-katamu, Jo. Kau pembohong - dan aku agak curiga
bahwa saat ini pun kau masih memihak pada musuh kami'"
"Tidak! Tidak benar," kata Jo marah. "Kau jahat! Red Tower sama sekali bukan
nama tempat. Itu nama orang!"
Anak-anak melongo mendengar ucapan Jo. Nama orang! Tak ada yang terpikir ke
situ. Jo berbicara lagi. Kedengarannya senang melihat anak-anak kaget mendengar
keterangannya tadi. "Orang itu bernama Tower. Rambutnya merah menyala. Karenanya ia mendapat julukan
Red - si Merah. Tower si Menara - Red Tower! Sekarang mengerti?"
"Kau tidak cuma mengarang-ngarang lagi, kan?" tanya Dick setelah agak lama.
"Maklumlah, kau biasa berbohong."
"Baiklah. Kalian bisa saja beranggapan aku cuma mengarang-ngarang saja," tukas
Jo merajuk. "Aku pergi! Coba saja cari jalan keluar sendiri. Kalian jahat!"
Jo bergerak hendak pergi, tapi Julian cepat-cepat memegang lengannya.
"Nanti dulu!" katanya. "Sekarang kau harus terus bersama kami, juga apabila aku
terpaksa mengikatmu semalaman! Soalnya sukar sekali bagi kami untuk
mempercayaimu, Jo - dan itu salahmu sendiri, bukan salah kami. Tapi sekali ini
kami mau percaya padamu. Ceritakanlah tentang Red Tower, lalu antarkan kami ke
tempat tinggalnya. Jika kau melakukannya, akan bertambah kepercayaan kami
padamu." "Dick juga mau percaya padaku?" kata Jo sambil berusaha membebaskan diri dari
pegangan Julian. "Ya," kata Dick singkat. Ia rasanya sudah kepingin menampar anak perempuan itu.
Anak itu tidak bisa diduga, sikapnya mengesalkan, tapi entah kenapa toh
menyenangkan. "Tapi saat ini aku tak merasa terlalu senang padamu. Jika kau
ingin kami mempercayai dan juga menyenangi dirimu, kau harus lebih banyak
menolong kami daripada sekarang."
"Baiklah," kata Jo sambil rebah kembali ke tempatnya. "Sekarang, aku capek.
Besok pagi kalian akan kubawa ke luar, lalu kuantar ke rumah Red. Tapi kalian
pasti takkan suka padanya. Orang itu jahat."
Setelah itu ia tak mau mengatakan apa-apa lagi. Mereka lantas berusaha tidur
kembali. Perasaan mereka sudah agak lega, karena Jo ada bersama mereka. Anak itu
akan mengantarkan mereka keluar dari hutan. Menurut perasaan Julian, kecil
sekali kemungkinannya anak itu masih akan meninggalkan mereka lagi. Ia J lantas
memejamkan mata. Tak lama kemudian ia sudah terlena.
Jo bangun paling dulu. Ia menggeliat. Setelah itu dibangunkannya Julian dan
kedua adiknya. Anak-anak duduk sambil meluruskan tubuh yang terasa kaku. Mereka
merasa kotor dan lapar. "Aku juga haus," kata Anne mengeluh. "Di mana kita bisa memperoleh makanan dan
minuman?" "Sebaiknya kita pulang dulu untuk mandi dan sarapan, serta mengatakan pada Joan
kita hendak ke mana," kata Julian. "Ayo Jo - tunjukkan jalan keluar."
Jo berjalan dengan langkah yakin. Anak-anak heran, bagaimana anak itu bisa tahu
jalan dengan tepat. Mereka lebih tercengang lagi ketika dua menit berikutnya
mereka sudah ada lagi di jalan yang ada alur bekas rada.
"Astaga! Ternyata cuma dekat saja!" kata Dick. "Padahal kemarin kita rasanya
jauh sekali tersesat dalam hutan!"
"Memang betul," kata Jo. "Kalian menempuh lingkaran besar, dan sudah hampir
sampai lagi di tempat semula. Yuk - sekarang kutunjukkan jalan kembali ke rumah
kalian. Jauh lebih baik daripada naik bis!"
Bab 17 NAIK PERAHU JOAN merasa lega melihat anak-anak pulang. Semalaman ia gelisah terus. Kalau
kabel telepon tidak putus, pasti ia sudah menelepon polisi. Tapi telepon rusak,
jadi ia tak bisa melakukannya. Dan malam itu gelap sekali, sehingga ia tak
berani berjalan seorang diri ke desa.
"Aku tak bisa tidur semalam suntuk," katanya. "Kejadian begini tak boleh
terulang lagi, Julian. Nyaris mati aku karena cemas. Sedang George dan Timmy
masih juga belum ditemukan. Sungguh, jika mereka tidak muncul dalam waktu dekat,
aku sendiri akan mengambil tindakan. Dari paman dan bibi kalian juga belum ada
kabar! Mudah-mudah mereka tidak ikut tersesat pula."
Setelah itu Joan sibuk di dapur, menyiapkan sarapan untuk anak-anak. Begitu
hidangan sampai di atas meja, dengan segera habis disikat.
"Aku tak peduli mandi dulu sebelum perutku terisi makanan," kata Anne. "Untung
kau tahu jalan memintas ke mari, Jo - rasanya jauh lebih singkat daripada ketika
kami berangkat naik bis."
Memang menakjubkan, betapa yakin dan cekatan Jo berjalan mengantarkan mereka
pulang, mengambil jalan lewat tanah lapangan dan jalan setapak, memotong
pekarangan. Dan tak pernah nampak Jo ragu sedikit pun.
Mereka tiba di rumah tak lama setelah Joan bangun. Juru masak itu nyaris
berteriak karena kaget dan lega, ketika melihat anak-anak muncul di depan.
"Lihatlah - betapa kotor tampang kalian," katanya sambil menaruh makanan ke atas
meja. "Kupanaskan saja dulu air di dapur, supaya kalian bisa mandi air hangat.
Sekarang kalian kelihatan seperti saudara-saudara Jo, si gelandangan cilik ini."
Jo sama sekali tidak marah mendengarnya. Ia bahkan nyengir, sambil mengunyah
roti. Anak itu makan tanpa mempedulikan aturan yang sopan. Tapi yang lain-lain
juga sama saja! Mereka sangat kelaparan, sehingga tak mengacuhkan sopan .santun
lagi. "Pagi ini kalian sebetulnya tidak harus diberi garpu dan pisau, tapi sekop,"
Lima Sekawan 9 Jo Anak Gelandangan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kata Joan melihat cara mereka makan. "Masa makanan ditelan begitu saja! Tidak,
Julian - aku tak bisa membuatkan apa-apa lagi. Semua sudah habis! Kalau mau,
makan saja roti dengan selai."
Sehabis makan, keempat anak itu langsung mandi. Jo sebetulnya tidak mau, tapi ia
dikejar oleh Joan dengan pemukul karpet. Kata juru masak itu, jika Jo tidak mau
mandi, akan dipukulnya seluruh kotoran yang melekat di tubuh anak itu dengan
pemukul karpet. Karenanya Jo akhirnya mandi juga. Ternyata ia menikmatinya!
Setelah itu mereka berunding.
"Bagaimana halnya dengan orang yang bernama Red Tower?" kata Julian. "Di mana
tempat tinggalnya" Apa yang kauketahui tentang dirinya?"
"Tidak banyak," jawab Jo. "Orang itu kaya, dan kalau bicara ngaco! Kurasa ia
sinting. Orang-orang seperti Ayah dan Jake disuruhnya melakukan perbuatan jahat
untuknya." "Pekerjaan jahat seperti yang bagaimana maksudmu?" tanya Dick.
"Yah begitulah - seperti mencuri dan sebagainya," kata Jo samar-samar. "Aku tak
tahu persis. Ayah jarang bicara padaku. Pokoknya aku harus melakukan apa yang
diperintahkan, tanpa banyak bertanya-tanya. Aku tak kepingin dipukul lebih
sering dari sekarang!"
"Di mana tinggalnya orang itu?" tanya Anne. "Jauhkah dari sini?"
"Ia tinggal dalam sebuah rumah di atas tebing," kata Jo. "Aku tak tahu jalan ke
sana lewat daratan. Tahuku cuma kalau dengan perahu. Tempat tinggalnya itu aneh
- bisa dibilang kayak puri kecil. Temboknya tebal, terbuat dari batu. Kata
ayahku, tempat itu cocok untuk Red."
"Kau pernah ke sana?" tanya Dick bersemangat.
Jo mengangguk. "O ya, bahkan sudah dua kali," katanya. "Ayahku pernah mengantarkan sebuah peti
besar dari besi ke sana. Dan kedua kalinya ia membawa sesuatu dalam karung. Aku
ikut dengan dia." "Untuk apa?" tanya Julian. "Kusangka ia tidak suka jika kau ikut dengannya!"
"Aku disuruh mendayung perahu," kata Jo. "Seperti kukatakan tadi, tempat tinggal
Red di atas tebing. Kami ke sana naik perahu. Kalau lewat darat, aku tak tahu
jalannya. Kami mendarat di sebuah teluk kecil. Di belakang teluk itu ada semacam
gua. Kami masuk ke dalam gua. Di situ kami disongsong oleh Red. Katanya, ia
datang dari rumahnya di atas tebing. Tapi aku tak tahu bagaimana ia bisa sampai
di gua." Dick menatap Jo. "Alah," katanya seperti tak percaya. "Lalu kau akan mengatakan, ada jalan
rahasia dari gua itu ke rumahnya."
"Mestinya begitu," jawab Jo. Tiba-tiba ia memandang Dick dengan mata melotot.
"Kau tak percaya" Baiklah kalau begitu, cari saja sendiri tempat itu!"
"Yah - kedengarannya memang seperti dongeng," kata Julian. "Kau yakin yang
kauceritakan itu semuanya benar, Jo" Soalnya kami tak ingin menyasar-nyasar
lagi." "Ceritaku sama sekali tidak menyasar," kata Jo bingung. Ia tak mengerti apa yang
dimaksudkan oleh Julian. "Aku kan dari tadi bercerita tentang Red. Kalau kalian
mau, kita bisa berangkat sekarang juga. Tapi kita memerlukan perahu."
"Kita pakai saja kepunyaan George," kata Dick sambil bangkit. "Jo, kurasa kali
ini lebih baik jika Anne tidak kita ajak serta. Aku tak ingin ia ikut menghadapi
sesuatu yang mungkin berbahaya."
"Tapi aku ingin ikut," kata Anne dengan segera.
"Tidak, kau tinggal bersamaku di sini," kata Joan. "Hari ini aku ingin ditemani.
Macam-macam saja yang terjadi, sehingga aku takut sendirian di sini. Kau tinggal
saja di sini bersama aku."
Akhirnya Anne tidak jadi ikut. Dalam hati ia merasa lega. Diperhatikannya ketiga
anak yang lain berangkat.
Jo keluar dengan jalan menyusup lewat lubang dalam semak pagar, karena takut
kelihatan Jake, jika orang itu kebetulan ada di sekitar situ. Julian dan Dick
langsung pergi ke pantai.
Setelah memandang berkeliling untuk meyakinkan bahwa Jake tak kelihatan, mereka
lantas memberi isyarat pada Jo. Anak itu bergegas muncul dari tempat
persembunyiannya, lalu melompat naik ke perahu kepunyaan George. Ia langsung
berbaring di dasar perahu, supaya tidak kelihatan dari luar. Dick dan Julian
menyeret perahu ke air. Sampai di sana Dick melompat naik, sementara Julian
menolakkannya ke tengah ketika ada ombak besar datang. Setelah itu ia pun naik
ke atas perahu. "Berapa jauhnya tempat itu dari sini?" tanya Julian pada Jo, yang masih
berbaring di dasar perahu.
"Aku tak tahu," jawab Jo. Sikapnya yang tak pasti itu benar-benar menjengkelkan.
"Begitulah, mungkin dua atau tiga jam."
Bagi Jo, waktu tidak sama artinya seperti untuk anak-anak yang lain. Pertama-
tama, ia tidak memiliki arloji seperti mereka. Dan kalau ia mempunyainya, toh
takkan ada gunanya, karena Jo tak bisa melihat waktu. Baginya, waktu cuma ada
dua. Siang - dan malam. Dick memasang layar. Angin kebetulan datang dan arah yang tepat, jadi ia merasa
lebih baik memanfaatkannya. Dengan begitu mereka bisa lebih cepat sampai!
"Kau masih sempat membawa bekal makanan yang disiapkan Joan tadi untuk kita?"
tanya Julian pada Dick. Aku tak melihat bungkusan itu."
"Jo! Kau berbaring di atasnya," seru Dick.
"Ah, masa kubaringi saja bisa rusak," kata Jo. Begitu perahu sudah berada di
tengah laut, anak itu lantas duduk. Ia menawarkan diri untuk memegang kemudi.
Ternyata anak itu sangat cekatan. Jadi urusan perahu bisa diserahkan padanya.
Julian membentangkan peta yang dibawa serta.
"Aku ingin tahu, di mana letak tempat tinggal Red," katanya. "Dari sini sampai
kota berikut, Port Limmersley, daerah pesisir boleh dibilang tak didiami orang.
Kalau di daerah sini memang ada bangunan mirip puri, mestinya tempat itu sangat
terpencil. Di peta bahkan tak nampak desa nelayan satu pun, sampai beberapa
kilometer dari sini."
Perahu melaju terus. Sekali-sekali melesat ke depan, terdorong tiupan angin yang
cukup kencang. Julian mengambil alih tugas memegang kemudi.
"Sudah cukup jauh kita berlayar sampai sekarang," katanya. "Di mana tempat itu"
Kau yakin bahwa kau tahu tempatnya, Jo?"
"Tentu saja," kata Jo tersinggung. "Kurasa letaknya di balik tebing batu yang di
sana itu." Ternyata kata Jo memang benar. Begitu perahu mengitari tebing yang tinggi dan
menjorok ke tengah, anak itu langsung menuding.
"Itu dia!" katanya bangga. "Lihat rumah yang di atas itu" Itulah tempat tinggal
Red." Dick dan Julian memandang ke arah yang ditunjuk oleh Jo. Mereka melihat sebuah
bangunan yang suram, terbuat dari batu berwarna kelabu. Keterangan Jo ternyata
memang benar. Kelihatannya seperti puri ukuran kecil. letaknya di tepi tebing.
Sebuah menara persegi empat mencuat di atas air.
"Sebelum kita sampai di sana, ada sebuah teluk," kata Jo. "Kalian harus
memperhatikan baik-baik, karena letaknya tersembunyi."
Teluk itu ternyata memang tersembunyi letaknya. Ketika mereka melihatnya, perahu
sudah lewat. "Itu dia," seru Jo dengan tiba-tiba.
layar diturunkan, dan perahu didayung mundur. Teluk yang dituju terselip di
antara dua tonjolan karang. Mereka langsung memasukinya. Tempat itu tenang dan
sunyi. Perahu mereka terayun-ayun sedikit, mengikuti gerak air.
"Kita bisa kelihatan dari rumah di atas?" tanya Dick, sementara perahu didayung
terus menuju lambung teluk.
"Entah," kata Jo. "Tapi kurasa tidak! Lihatlah - di situ ada batu besar. Kita
taruh saja perahu di balik batu itu. Siapa tahu, masih ada orang lain datang ke
mari." Perahu ditarik ke atas batu pantai. Dick menyelubunginya dengan rumput laut
bertumpuk-tumpuk, sehingga nampak seperti batu pantai itu sendiri.
"Lalu sekarang bagaimana?" kata Julian. "Mana dia gua yang kausebut-sebut?"
"Di atas sana," kata Jo, lalu mulai mendaki tebing.
Geraknya cepat, seperti monyet. Dick dan Julian sangat mahir mendaki, tapi
beberapa saat kemudian mereka sudah tidak bisa lagi terus naik.
Jo bergegas turun menghampiri mereka.
"Ada apa?" katanya. "Ayahku saja bisa naik, masa kalian tak mampu'"
"Jangan lupa, ayahmu dulu akrobat." kata Julian.
Tiba-tiba ia merosot ke bawah. "Wah, gawat nih. Sayang kita tak membawa tali."
"Di perahu ada tali. Kuambil sebentar" kata Jo.
Dengan cepat ia meluncur menuruni tebing, kembali ke teluk di sebelah bawah.
Ketika memanjat lagi ke atas, ia sudah membawa tali. Ia naik sampai ke tempat
yang lebih tinggi sedikit dari Julian dan Dick. Di situ ia mengikatkan tali ke
batu yang menonjol. Ujung tali yang satu lagi diulurkannya sampai ke tempat Dick
dan Julian berpegang erat-erat ke permukaan tebing.
Dengan bantuan tali, kedua anak itu bisa lebih mudah mendaki. Tak lama kemudian
mereka sudah berdiri di tepi semacam birai. Di sisi belakang tebing yang
menjorok ke belakang itu nampak sebuah gua. Bentuknya aneh, lonjong dan sang at
gelap sebelah dalamnya. "Kita masuk ke dalam," kata Jo sambil berjalan mendului. Dick dan Julian
menyusul. Kaki mereka terantuk-antuk ke batu. Mau ke mana mereka sekarang"
Bab 18 RED TOWER JO mendului masuk ke terowongan batu yang sempit. Kemudian mereka sampai di
sebuah gua lagi. Gua itu agak lebar, berdinding lembab. Julian bersyukur bahwa
ia tak lupa membawa senter. Tempat itu menyeramkan. Hawa di sini dingin dan
pengap. Julian menggigil. Tiba-tiba ia melompat mundur. Ada sesuatu menyentuh
mukanya. "Apa itu?" katanya kaget.
"Kelelawar," jawab Jo. "Dalam gua ini ada beratus-ratus kelelawar. Karena itulah
bau di sini tidak enak. Di balik batu yang menonjol ini ada gua lain, yang tak
sebau tempat ini." Mereka menyelip lewat sudut sempit pada dinding batu, dan tiba di gua lain. Gua
itu tak selembab yang tadi. Di situ bau kelelawar tidak begitu menusuk hidung.
"Aku belum pernah masuk lebih jauh dari di sini," kata Jo. "Ke sinilah aku
bersama ayahku dulu datang dan menunggu kedatangan orang yang bernama Red.
Secara tiba-tiba saja ia kemudian muncul, tapi aku tak tahu dari mana."
"Tapi ia pasti harus keluar dari salah satu tempat," kata Dick sambil menyalakan
senternya pula. "Mungkin di sini ada lorong tersembunyi. Sebentar lagi kita akan
menemukannya." Bersama Julian ia mulai memeriksa seluruh gua. Mereka mencari lorong, atau
terowongan sempit. Atau mungkin pula lubang yang mengarah ke atas, menuju rumah.
Mestinya Red Tower turun lewat lubang semacam itu. Jo menunggu di salah satu
pojok gua, karena ia tak membawa senter.
Tiba-tiba kedua anak laki-laki itu terkejut setengah mati. Suara seseorang
menggema dalam gua. Kedengarannya nyaring dan bernada marah, sehingga jantung
mereka berdebar keras karena kaget dan takut.
"SIAPA MENYURUH KALIAN MASUK KE MARl"!"
Seketika itu juga Jo bersembunyi di balik batu. Sedang Julian dan Dick berdiri
seperti terpaku di tempat mereka. Dari mana datangnya suara itu"
"Kau siapa?" seru suara itu lagi.
Malam Tanpa Akhir 4 Dewa Arak 87 Setan Bongkok Upacara Maut 1