Pencarian

You Are My Dream World 1

You Are My Dream World Karya Angchimo Bagian 1


angchimo , Chapter 2 You Are My Dream World Pembukaan Aku.. B ers ama s is a-s is a getir yang merindumu
S empat berdamai dengan kecemburuan di cekungan hati. Memelukmu dalam H ampa dan S emu
Meratapi tinggi dan terjalnya jalan yang telah coba kulalui ..
Aku.. Merangkai s ajak tuk memadu mimpi dan cinta Menanti hujan menghujam perih dalam hati yang tandus B erhamburan ditengah luka dan nes tapa
B ers enandung dalam melodi dari s ebuah as a yang kian pupus .. K ecewa atas mimpi dan realita yang s elalu berbenturan Maka, izinkanlah aku berhenti dan melangkah berputar arah. Namamu kan tetap kubis ik dalam doa dan harapan,
Namun, angkuh s ang waktu tak lagi mengenalkanku untuk menunggu dan mengalah. Maaf, aku harus lanjutkan hidupku ...
Gue terbangun di Senin siang dalam keadaan malas dan lemas. Setelah semalaman memaksa otak gue tetap bekerja dalam dunia mimpi.
Nama gue Hendra. Gue kuliah di salah satu universitas swasta di Jakarta. Orang biasanya menyebut orang-orang seperti gue sebagai seorang Lucid Dreamer, sementara gue lebih suka menyebut diri gue sendiri sebagai seorang pemimpi. Dan ini adalah kisah gue. Part 1: Sebuah Permulaan
Gue berusaha sekuat tenaga menahan kantuk yang bergelayut di kelopak mata, saat sang dosen sedang berceramah panjang lebar mengenai teori dasar Filsafat Komunikasi. Entah kenapa akhir-akhir ini gue jadi sulit tidur dengan nyenyak setiap malam.
Rasanya, gue seperti tertidur tapi pikiran gue tetap aktif. Gue dapat dengan jelas merasakan sensasi yang terjadi dalam mimpi gue, seperti merasakan dinginnya air laut yang menyentuh kaki gue saat gue bermimpi sedang berlibur di sebuah pantai indah yang gue pernah lihat dari sebuah iklan promosi wisata di sosial media.
Imbasnya, setiap siang gue selalu gagal berkonsentrasi saat sedang beraktifitas, khususnya saat ada jadwal perkuliahan seperti ini. Gue harus berjuang melawan rasa kantuk ditengah ketenangan kelas yang hanya didominasi oleh suara dosen. Tentu saja hembusan angin dari Air Conditioner membuat gue semakin berat melawan godaan untuk memejamkan mata sejenak.
P laakkk Kepala gue merasakan benturan dari sebuah benda yang sepertinya terbuat dari kayu padat, membuat gue refleks menegakkan posisi duduk dan mencari benda yang menghujam kepala gue tadi.
Berani sekali kamu tidur saat saya sedang mengajar ucap dosen filsafat dari depan kelas dengan intonasi tinggi.
Maaf Pak.. Gue menjawab singkat sambil melihat sekeliling, dimana seluruh mata mahasiswa dan mahasiswi menatap ke arah gue.
Kamu mau keluar kelas, atau saya yang keluar" Baik Pak, saya aja yang keluar
Gue membereskan buku dan memasukkannya kedalam tas kemudian dengan segera keluar kelas tanpa menatap ke wajah sang dosen. Tapi gue bisa pastikan dia masih memasang wajah berang karna tidak terima dengan perlakuan gue yang tertidur di kelas.
Gue berjalan cepat menyusuri koridor kampus sambil mencari sebuah nama dalam daftar kontak di handphone gue. Kemudian menekan tombol hijau sebagai tanda memanggil kontak tersebut.
Gus, dimana lo" tanya gue ketika panggilan gue dijawab.
Biasa nih, di kos si Dika. Lo kalo udah selesai kelas langsung kemari aja ndra Oke, gue kesana nih
Gue mematikan telepon dan memasukkan handphone ke saku jeans, kemudian mempercepat langkah keluar kampus menuju kos Dika yang dimaksud oleh Bagus. Gue menyulut sebatang rokok saat menaiki anak tangga menuju lantai atas dimana kamar kos temen gue berada, kemudian mendapati temen-temen gue sedang duduk sila di lantai kamar dengan membetuk formasi lngkaran sambil memegang kartu. Disana ada Bagus, Alfi, dan Soni.
Eh, masuk ndra ucap Dika sambil berbaring diatas kasur saat melihat kedatangan gue.
Gue duduk di bangku plastik depan teras kamar dan merespon Dika dengan menunjukkan rokok yang gue apit di sela jari. Menandakan gue ingin menghabiskan sebatang rokok diluar kamar.
Kelas lo ga ada dosennya" Tanya Alfi ke gue tanpa memindahkan pandangan matanya ke lembaran kartu domino yang sedang dia pegang.
Ada, gue ketangkep basah tidur di kelas, terus dilempar penghapus papan tulis dan disuruh keluar
Ketiduran lagi" Kebiasaan amat lo saut Bagus dengan nada mencibir.
Gue menginjak puntungan rokok kemudian masuk kedalam kamar kos dan menggeser Dika diatas kasur, lalu menyamankan posisi dengan merebahkan kepala dan mulai memejamkan mata. Dengan segera gue tertidur meski suara ramai temen-temen gue mengganggu harapan gue untuk tertidur dengan damai.
Gue terbangun karna merasakan sesak di dada gue. Ternyata Bagus tidur disamping gue dengan posisi kaki nya menindih gue. Dengan segera gue menyingkirkan kakinya kemudian turun dari kasur. Kamar kos sudah sepi, gue mengecek jam di handphone yang menunjukkan jam 4 sore.
Sebuah lagu berbunyi kencang mengagetkan gue. Nada dering di handphone Bagus emang gak kira-kira. Dia menjadikan lagu-lagu metal yang penuh suara scream sebagai nada dering defaultnya.
Bikin kopi ndra ucap Bagus saat terbangung dan melihat gue duduk di lantai.
B erengs ek. B angun tidur langs ung nyuruh-nyuruh. D ominant amat ini anak. Gumam gue dalam hati.
Bagus mematikan handphone nya tanpa menjawab panggilan tadi, kemudian turun dari kasur dan masuk kamar mandi, sementara gue menuju dispenser berniat membuat kopi.
Gue membuka dua buah kopi hitam sachet dan menuangkannya ke dalam gelas, kemudian mengisi air panas dan mengaduknya perlahan.
Gue kopi mocca, bego! ucap Bagus saat keluar dari kamar mandi dengan wajah basah namun nada bicara ngotot.
Anjing! Bisa santai ga lo ngomongnya" Udah nyuruh-nyuruh pake ngatain bego pula balas gue dengan ga kalah ngototnya.
Yang dibalas hanya cengengesan dan menoyor kepala gue. Kemudian mengambil segelas kopi hitam yang tadi gue buat dan melangkah santai kearah teras luar. Gue pun menyambar gelas yang satunya dan menyusul Bagus ke teras.
Gus, bacot lo dijaga lah. Gue bukan junior disini. Jangan bergaya kaya senior dah lo ucap gue ke Bagus saat duduk di bangku plastik disampingnya.
Yailah, kaya anak perawan aja lo. Sensitif banget Bukan gitu, gue ga suka lo nya bersikap kaya gitu! Gue sebenernya langsung dikuasai emosi saat itu, hanya saja gue berusaha menutupinya. Lagipula, Bagus dan temen-temen gue yang biasa kumpul disini adalah temen-temen yang gue kenal sejak semester awal gue kuliah.
Sorry ndra, gue becanda. Lagian lo kaya baru kenal gue aja. Ada mas alah apaan s ih sampe sensitif amat lo hari ini" ucap Bagus yang sepertinya menebak apa yang gue rasakan.
Iya Gus.. Eh Gus, lo percaya sama dunia mimpi gak" tanya gue pelan, namun cukup untuk memaksa temen gue ini untuk menoleh dan menahan tangannya yang sedang memantik korek saat berniat menyulut sebatang rokok yang terselip di bibirnya. Part 2: Berbagi
Dunia mimpi" tanya Bagus sambil menurunkan batang rokok dari bibirnya dan menatap gue dengan wajah bingung.
Iya, dunia mimpi. Dalam arti sebenernya. Emang apa arti sebenernya dunia mimpi"
Gini, Gus.. gue menahan sejenak ucapan gue sambil menegakkan posisi duduk.
Lo jangan cerita ke temen-temen lain ya. G ue s ejak kecil punya keanehan. S etiap bangun tidur, gue s elalu inget apa mimpi gue s emalem itu. D an lama kelamaan, gue lupa s ejak kapan, gue jadi kaya bisa ngatur mimpi gue sendiri. Lanjut gue sambil menatap Bagus yang memasang posisi menyimak.
Ngatur mimpi" Lucid Dream" Oh, lo tau tentang Lucid Dream ya"
Enggak sih, Cuma pernah denger aja. Terus, masalahnya apaan" Bukannya enak ya"
Ya ga ada masalah sih sebenernya. Cuma satu kelemahan gue, gue cuma bisa ngatur mimpi saat udah didalem mimpi itu. Artinya, gue ga bisa rencanain mau nge-lucid' atau tidur normal s etiap malemnya
Bagus mengangguk-anggukkan kepalanya sambil mengalihkan pandangan ke jalan raya depan kos. Sepertinya dia sedang mencoba mencerna apa yang baru saja gue sampaikan.
Lo udah pernah sharing hal ini ke orang yang lebih ngerti belum" Soalnya jujur aja, gue ga paham s ama hal-hal kaya gini. K alo s oal percaya atau ga s ama mimpi, gue tipe orang yang percaya s ama mimpi. B uat gue, mimpi bukan s ekedar bunga tidur, tapi ada pes an yang ingin disampaikan. Ucap Bagus panjang lebar menanggapi cerita gue.
Belum Gus. Gue ga berniat share keadaan gue. Sebenernya di satu sisi, gue kesiksa. Tiap pagi abis ngatur mimpi, gue s elalu bangun dalam keadaan capek. S ementara ga jarang juga gue kebangun tengah malem s aat mimpi gue keputus dan ujung -ujungnya jadi s leep paralyzed
Kok bisa" Sleep paralyzed itu yang katanya kaya orang ketindihan setan gitu kan ya" Cewek gue sering tuh tengah malem kaya gitu.
Oh ya" Si Liana" gue bertanya setengah kaget. Gue memang pernah ketemu sama pacarnya Bagus, tapi ga pernah tau cerita tentang dia. Karna Bagus juga ga sering cerita tentang ceweknya.
Iya, itu karna apa sih"
Itu kaya semacem kita udah kebangun, tapi badan kita belum siap. Gimana ya jelasinnya. Intinya antara otak sama badan ga singkron lah
Oh, syukurlah. Gue pikir kedudukan setan tuh anak. Ucap Bagus sambil tertawa, yang juga memancing gue ikut tertawa lepas.
Kapan-kapan ceritain gue tentang dunia mimpi lo ya. G ue balik dulu, ga enak udah s ore, nyokap gue s endirian dirumah. L o tunggu s ampe D ika balik kes ini, jangan pulang juga. Lanjut Bagus sambil bangkit dari duduknya dan mengambil tas didalam kamar kemudian berlalu meninggalkan gue sendirian di kosan orang.
***** Sekitar jam 6 sore, Dika dan Alfi kembali ke kos dan mendapati gue yang masih asik melamun di depan teras.
Bagus udah pulang, ndra" ucap Dika membuyarkan lamunan gue sambil melintas masuk ke dalam kamar kos nya.
Iya, udah daritadi Lah ini kopi siapa" Lo ngopi dua gelas" tanya Alfi sambil menunjuk gelas kopi disamping gue.
Itu tadi si kunyuk. Minta bikin kopi tapi malah pulang.
Yee, lagian lo bikin kopi item. Kan dia udah nyetok kopi mocca tuh di dalem. Ucap Alfi sambil meminum kopi hitam yang belum dinikmati Bagus
Ya mana gue tau. Lagian mah sama-sama kopi ini.
Ucapan gue malah disambut tawa oleh Alfi. Dika yang berada didalam kamar pun ikut tertawa, membuat gue heran dan memasang wajah bingung.
Lo ga pernah denger kata mutiara nya Bagus ya" tanya Dika ke gue sambil memunculkan kepalanya kemudian mencolek pundak Alfi.
Ada tiga hal di dunia ini yang sama sekali ga bisa disamakan. Kopi, Senja, dan Wanita. Mungkin s ekilas ras anya keliatan s ama aja. T api s etelah bertahun-tahun lo terpaku menikmatinya, akan jelas perbedaannya. Hahaha ucap Alfi sambil mengacungkan jari telunjuknya dan meniru cara bicara Bagus. Gue dan Dika pun sontak tertawa mendengarnya.
Sore itu Gue, Dika dan Alfi menghabiskan waktu dengan berdiskusi membicarakan beberapa mata kuliah yang tema nya menarik untuk dibahas. Entah kenapa, gue merasa malas untuk segera pulang. Gue memilih beraktifitas diluar rumah dan akan pulang ketika badan gue bener-bener capek, supaya malem nanti gue bisa tidur pulas tanpa terganggu mimpi-mimpi yang memaksa otak gue tetap terjaga.
Part 3: Dunia Baru Semilir angin menerpa wajah gue yang basah oleh peluh. Gue merasa sangat jauh sudah gue berlari tanpa arah, hanya mencoba menjauh dari kerumunan orang yang berusaha menyerang gue dengan benda tajam.
Sepertinya lagi-lagi gue terjebak dalam dunia mimpi. Gue mencoba memastikan apakah ini memang dunia mimpi atau bukan, gue membayangkan sebuah perahu boat mewah terdampar dihadapan gue saat ini, ditepi pantai. Dan dengan seketika, perahu boat itu muncul.
Dengan segera gue menaiki perahu itu ketika dari kejauhan nampak kerumunan orang yang tadi mengejar gue kian mendekat. Gue berusaha menyalakan mesin perahu dan menekan sebuah tuas yang gue yakini sebagai pemacu laju perahu.
Gue kini berada ditengah hamparan lautan biru, entah dibelahan bumi bagian mana. Gue berjalan tanpa tau arah sambil berusaha mengendalikan ritme napas yang mulai perlahan teratur.
Dari kejauhan, gue melihat sebuah pulau kecil. Namun nampak jelas awan gelap bergelantung diatasnya, seperti tanda akan turun hujan yang sangat deras. Gue memacu perahu boat lebih cepat, berusaha tiba di pulau tersebut sebelum turun hujan. Dengan segera gue merapatkan boat menuju dermaga kayu dan melompat kemudian berlari masuk ketengah pulau. Sepertinya ini pulau kosong, namun ada banyak pohon besar yang tumbuh disini.
Gemuruh petir mulai terdengar seiring rintik air yang mulai berjatuhan dari langit. Gue mempercepat langkah semakin masuk ketengah pulau sambil membayangkan sebuah rumah. Tentu saja gue kini setengah berlari saat melihat sebuah rumah kayu berdiri dihadapan gue.
Gue masuk kedalam rumah tersebut. Kesan pertama yang muncul dalam benak gue adalah, ini rumah kuno. Namun tidak berdebu dan kotor, justru sebaliknya, sangat bersih dan terawat.
Sambaran petir semakin menjadi diluar. Gue mendengar suara seperti sebuah pohon ambruk terhantam sambaran petir. Seketika gue kembali kedepan pintu dan melihat apa yang terjadi di luar.
Dari kejauhan, gue melihat samar-samar seorang wanita menggunakan gaun putih berlari kearah gue menerobos hujan. Entah apa yang harus gue lakukan, namun sempat terbesit dalam benak gue untuk mencoba membantu wanita itu. Sayangnya, gue terlalu takut dengan sambaran petir yang semakin menggila. Gue hanya berdiri diambang pintu dengan rasa khawatir dan tetap melekatkan pandangan kearah wanita tersebut.
Gue sempat melihat wajahnya dengan jelas, sebelum sambaran petir tiba-tiba menghantam tiang kayu depan rumah yang gue tempati dan membuat gue terpental hingga beberapa meter, membuat gue berada ditengah suasana antara sadar dan pingsan. Tidak lama, gue kembali kedunia gue, dimana gue tergeletak tak berdaya diatas kasur dikamar gue yang gelap, tanpa mampu menggerakkan badan sedikitpun.
Gue mencoba berteriak dan menggerakkan badan gue sekuat tenaga. Berulang kali gue mencoba hingga tanpa sadar gue malah kembali tertidur, tanpa mimpi, hanya warna hitam pekat yang terlihat setiap kali gue mencoba membuka mata.
Hendra.. Hendra.. Sayup-sayup gue mendengar suara memanggil nama gue, berulang kali. Gue mencoba menggerakkan badan dan membuka mata, namun selalu berakhir tanpa hasil. Hendra.. Bangun..
Aarrgh, gue terus mencoba berteriak. Gue sangat tersiksa dengan kondisi ini. Gue ingin segera terbangun dan kembali ke dunia gue. Sampai pada akhirnya gue merasa tangan gue ditarik dan badan gue diposisikan terduduk. Perlahan gue membuka mata dan melihat wajah nyokap gue.
Kamu ga kuliah" Udah siang ini. Ucap nyokap gue saat melihat mata gue mulai terbuka.
Gue menghela napas dan mengucap syukur. Gue kembali ke dunia gue, dunia nyata. Dan gue harus segera bergegas mandi ketika melihat jam dinding menunjukkan hampir jam 12 siang. Gue melewatkan satu mata kuliah di pagi hari karna terjebak dalam keadaan tidak bisa terbangun.
*** Gue mengebut motor gue menuju kampus untuk mengejar mata kuliah kedua yang akan dimulai jam 1 siang. Untungnya, siang ini jalanan ga terlalu macet. Gue ga perlu memperagakan berkendara dengan gaya oportunis salip kanan kiri.
Sesampai di parkiran kampus, gue langsung berlari menuju ruang kelas. Suasana kampus pun sudah mulai sepi, karna jam perkuliahan sudah dimulai. Gue melihat jam tangan menunjukkan jam 1 lewat 10 menit, masih ada waktu 5 menit dari batas toleransi si dosen yang akan mengajar.
Alhasil, gue sampai didalam kelas dengan keadaan napas dan degup jantung yang menggebu. Gue memilih tempat duduk di sudut ruangan yang dekat dengan AC untuk mengusir gerah, kemudian mengeluarkan sebuah buku yang biasa gue gunakan untuk mencatat.
Gue memfokuskan pandangan ke depan kelas, kemudian terpaku sendiri menatap dosen yang berdiri didekat papan tulis dengan keadaan kaku, tanpa bergerak, seperti dalam mode pause. Seketika gue langsung menyadari, gue masih di dunia mimpi. Dan inilah pertama kalinya gue merasakan terbangun dari mimpi namun masih ada di dunia mimpi, dunia baru yang benar-benar mirip dengan dunia realita yang gue tinggali.
Part 4: Mimpi Alya Gue berjalan keluar kelas meninggalkan kekakuan yang tersisa. Gue bener-bener gatau apa yang harus gue lakuin. Gue hanya berjalan pelan menyusuri koridor kampus, tanpa tau arah mana yang akan gue tuju setelah ini.
Sekeliling pandangan, ga ada satu aktifitas pun dari manusia lain, atau bahkan makhluk lain. Hingga gue mendapati sesosok wanita dengan gaun putih berjalan membelakangi gue, yang sepertinya pernah gue jumpai.
Iya, gue yakin kali ini. Dia adalah wanita yang ada di dunia mimpi sebelumnya. Gue berjalan cepat mendekat kearah wanita tersebut.
Halo.." Bisa denger saya" ucap gue saat mendekat ke wanita yang masih membelakangi gue tanpa menoleh.
Permisi. Saya bisa minta tolong" tanya gue lagi saat sudah berada dihadapannya.
Perlahan wanita itu menoleh dan memasang senyum menatap gue. Wajahnya cantik. Ah, bukan. Ini nyaris mendekati sempurna. Gue memundurkan langkah sejenak dan menatap wanita ini dari ujung kepala sampai ujung kaki nya. Gue gagal menemukan cela dari kecantikan yang terhampar dihadapan gue.
Saya Hendra.. ucap gue sambil menjulurkan tangan. Aku, Alya. Jawabnya singkat.
Intonasinya tenang. Nada suaranya pun sangat menenangkan. Senyum manis diwajahnya belum sempat pudar sejak pertama kali gue menyapanya.
Alya" Nama lo Alya" tanya gue karna merasa tertarik dengan namanya. Unik, tapi seperti mengandung arti yang menyenangkan.
Wanita itu menjawab dengan anggukan, kemudian kembali berjalan pelan. Gue mengiringi langkah kecilnya dari samping sambil tetap menatap wajahnya. Ada rasa kagum dalam diri gue padanya.
Dia memilih sebuah kursi besi di pinggir taman kampus, disamping sebuah batu alam berukuran besar, dan kemudian duduk disana. Gue pun mengikuti dengan duduk disampingnya. Gue gatau kemana tujuan gue. Makanya gue memilih membuang sedikit waktu untuk mencari tau tentang wanita ini.
Dengan tiba-tiba, sebuah ayunan besi berdiri tegak tidak jauh dari hadapan kami di tengah taman. Gue menatap wanita itu dengan wajah heran. Namun, dia justru malah mengembangkan senyumnya.
Kamu pikir, kamu satu-satu nya orang yang bisa seperti itu di dunia ini" ucap wanita itu sambil menatap gue.
Eh.." Kamu.. Gue gugup. Ini pertama kali dalam mimpi gue, gue berinteraksi sejauh ini dengan orang lain. Dan ternyata, orang itu memiliki kemampuan yang sama dengan gue.
Ini mimpiku. Ini duniaku. Aku membentuknya mirip dengan dunia nyatamu, dengan cara mengambilnya dari kenanganmu. Lanjut wanita itu.
Gue masih belum berhasil mencerna sepenuhnya apa yang Alya ucapkan. Jika ini mimpinya, bagaimana bisa gue masuk kedalamnya"
Tapi, kenapa aku bisa ada disini" Seinget aku, kayaknya tadi aku udah bangun dari mimpiku. Dan kenapa aku malah masuk ke mimpi kamu" tanya gue dengan penuh rasa penasaran.
Masih banyak yang belum kamu tau ya kayanya. Besok, selesai kuliah, kamu temuin aku ya. Jawab Alya.
Temuin kamu" Gimana caranya" Dimana" Di dunia mimpi ini lagi"
Alya tertawa kecil mendengar rentetan pertanyaan gue. Dia menatap gue seperti melihat seorang anak kecil yang penuh rasa penasaran atas hal-hal yang menurut dia sangat sepele.
Kamu kira aku ga ada di dunia nyata" Udah, besok aku tunggu di depan koridor sana. Ucap Alya sambil menunjuk ke arah koridor kampus.
Gue menoleh sejenak kearah koridor, kemudian kembali menatap Alya dengan rasa bingung. Apa itu artinya dia juga kuliah di kampus yang sama dengan gue selama ini" Tapi, apa iya gue ga pernah melihat wanita secantik ini di kampus"
Sana, kamu balik ke dunia kamu. Jangan lupa ya, aku tunggu di koridor. Ucap Alya lagi sambil mendorong badan gue.
Gue sontak kehilangan keseimbangan dan terjatuh dari bangku besi, kemudian merasakan benturan di kepala gue yang beradu dengan batu besar di pinggir taman. Seketika hanya warna hitam yang gue lihat. Gue merasa badan gue melayang, kemudian terjatuh dari tempat yang sangat tinggi.
Gue membuka mata, kemudian memperhatikan sekeliling. Ini kamar gue. Apa ini artinya gue udah bener-bener kembali ke dunia gue" Gue melihat jam dinding di sudut kamar gue, masih jam 10 pagi.
Alya. Apa benar dia ada di dunia nyata ini" Atau hanya sekedar bentuk imajinasi dalam mimpi gue" Gumam gue dalam hati.
Gue keluar dari kamar, mencari nyokap gue. Berulang kali gue memanggil nyokap gue namun ga ada jawaban. Gue membuka kamarnya pun ga menemukan nyokap gue disana. Gue menoleh kearah beberapa tumpukan buku diatas laci kecil dekat kasur di kamar nyokap gue. Gue membuka sebuah buku yang ternyata adalah cetakan Surat Yaasin. Gue membalik beberapa halaman, kemudian terduduk lemah dilantai ketika melihat foto nyokap gue di salah satu halamannya.
Air mata gue mengalir begitu mudahnya, tanpa ada sesuatu yang dapat menahannya. Gue baru menyadari, di dunia nyata gue, nyokap gue udah berpulang setahun yang lalu. Dan disinilah gue baru merasakan penyesalan dan rindu yang menyesakkan dada. Betapa gue menyesal tidak sempat memeluk nyokap gue di dunia mimpi tadi.
Mom, pleas e. T ake me with you..
Part 5: Menagih Janji Alya
Selesai jam mata kuliah pertama, gue langsung menuju koridor kampus. Gue melempar pandangan ke sekeliling koridor, mencari seorang wanita yang meminta gue untuk menemuinya disini.
Sekitar setengah jam gue menunggu dan menyapu setiap wajah yang melintas, tapi ga ada satupun dari mereka adalah Alya.
Ngapain lo bengong disitu ndra" tegur Alfi yang kebetulan lewat dan menyapa gue.
Eh, enggak. Ini gue lagi nunggu orang. Kantin aja yuk. Anak-anak pada disana.
Ntar gue nyusul deh, bentar lagi gue ada kelas soalnya.
Asal jangan ketiduran lagi aja ucap Bagus yang tiba-tiba muncul dari belakang sambil menoyor kepala gue dan cengengesan.
Alfi dan Bagus berjalan beriringan menuju kantin. Gue hanya memperhatikan mereka sejenak, kemudian kembali menengok ke setiap sudut jalan dan koridor kampus, berharap bisa menemui wanita di dalam mimpi gue, Alya.
Sampai hampir jam 1 siang, ga ada tanda-tanda kedatangan Alya. Gue jadi gelisah sendiri.
Apa jangan-jangan Alya cuma orang dalam mimpi gue aja ya" Atau, jangan-jangan ini s ebenernya juga dunia mimpi. J angan-jangan gue s ebenernya lagi tertidur di dalam kelas" Aargh, Batin gue kini malah membuat gue ragu dengan dunia realita gue sendiri.
Gue kembali berjalan kedalam kampus, menuju kelas perkuliahan kedua yang harus gue hadiri hari ini. Tapi otak gue ga pernah berhenti berpikir, kenapa Alya ga dateng sesuai dengan perkataannya"
Gue menyelesaikan perkuliahan kedua sekitar jam 3 sore. Gue memutar arah lewat belakang kampus langsung menuju parkiran motor. Sepertinya gue mau langsung pulang aja hari ini. Gue kecewa, tapi juga penasaran dengan sosok sebenarnya si Alya.
Gue memacu motor perlahan keluar dari pelataran parkir kampus, dan melintas pelan melewati taman, tempat gue dan Alya mengobrol di dunia mimpi.
Ga ada seorangpun duduk disana. Bahkan, bayangan Alya pun ga membekas dan memberi kesan apapun. Tapi, hati gue merasa seperti ada yang kurang lengkap hari ini.
Ah, mungkin karna gue terlalu berharap buat ketemu Alya aja. Gumam gue dalam hati sambil menambah kecepatan motor dan segera berlalu pulang.
Gue merebahkan kepala diatas kasur dengan menyangga kepala menggunakan kedua lengan sambil menatap langit-langit kamar gue. Pikiran gue masih aja tentang Alya. Entah apa yang gue rasakan saat ini. Apa karna Alya adalah seorang wanita cantik makanya gue jadi sangat berharap bisa benar-benar menemuinya"
Gue masih ingat dengan jelas raut wajahnya. Tatapan matanya sendu. Kelopak mata bagian bawahnya terlihat menggemuk ketika dia tersenyum atau tertawa kecil, diiringi lesung pipi yang membuat wajahnya semakin indah untuk di pandangi. Bibirnya tipis, namun mempesona. Sesekali dia menggigit bibir bawahnya sebelum memulai bicara. Rambutnya berwarna coklat kemerahan dan terurai sedikit melewati pundak. Tinggi dan postur tubuhnya semampai, lengkap dengan kulit putih dan menjanjikan kehalusan jika gue sempatkan untuk menyentuhnya.
Ah, dia pasti memang hanya ada dalam dunia mimpi gue. Wanita secantik itu nyaris mustahil jika memang benar ada di kampus gue tanpa gue pernah melihatnya sebelumnya.
Gue bangkit dari kasur dan menuju dapur, mengambil segelas air mineral kemudian meminumnya sampai habis dan segera kembali ke kamar. Gue berniat menemui Alya lagi, gue akan segera menuju dunia mimpi. Dan semoga saja, gue bisa menemukan satu-dua kesempatan untuk sekedar berinteraksi fisik dengannya, dan merasakan sensasinya meski hanya di dunia mimpi. Tentu saja, setelah menagih janji bertemu yang dia ingkari tadi justru malah membuat gue semakin bersemangat untuk kembali menemuinya dan menagih janji bertemu dengannya.
Part 6: Keindahan Mimpi Gue duduk disebuah bangku kayu panjang, di pinggir taman yang sepi. Hanya hamparan rumput hijau yang memanjakan mata dengan beberapa pepohonan rindang. Apakah ini dunia mimpi" Gue mencoba memikirkan sebuah ayunan gantung dan kemudian tentu saja tiba-tiba muncul ditengah taman. B enar, ini dunia mimpi.Gumam gue dalam hati.
Dari kejauhan, seorang wanita berjalan pelan kearah gue. Dengan sebuah pakaian terusan berwarna biru langit, berjalan mendekat sambil memasang senyum terbaiknya. Alya.
Kamu ingkar janji. Ucap gue dengan ekspresi wajah yang menyiratkan kekecewaan ketika Alya duduk disamping gue.
Alya hanya menatap gue dengan senyuman. Gue menatapnya heran. Gue memperhatikan setiap lekuk wajahnya, terlihat nyata, sangat nyata. Rambutnya yang coklat kemerahan berterbangan diterpa semilir angin sore yang cerah ini.
Kenapa kamu tadi ga dateng" tanya gue lagi
Aku dateng. Kamu yang langsung pergi. Jawab Alya dengan tenang. Ha" Pergi" Aku nunggu kamu hampir sejam tadi, selesai kelas pertama. Aku kan bilang selesai kamu kuliah. Tadi sore aku di koridor nunggu kamu.
Gue kaget mendengarnya. Seketika gue merasa sebagai orang paling bodoh di dunia. Gue ga menyadari maksud ucapan Alya sebelumnya, yang berkata akan menunggu gue sampai selesai kuliah, bukan selesai perkuliahan kelas pertama.
Kamu liat aku pas pulang tadi" tanya gue lagi.
Liat. Aku nyoba manggil kamu pas tadi kamu bawa motor. Tapi mata kamu malah terpaku kearah taman, sama sekali ga ngeliat kearah koridor
S ial! G ue tadi memang s empat tertegun menatap bangku taman kampus , berharap menemukan s is a bayangan Alya dis ana. Ucap gue dalam hati sambil menundukkan kepala.
Gapapa ndra, seenggaknya kita masih bisa ketemu disini ucap Alya sambil mengusap punggung gue.
Gue menatap wajahnya. Gue mengaggumi bentuk senyum yang terpasang indah di garis wajahnya yang sangat cantik. Tapi ini ga cukup buat gue. Gue mau menikmati semua keindahan itu dalam dunia realita yang jelas, bukan dalam dunia mimpi.
Setiap sebelum kamu tidur, coba pikirin aku ya, ndra. Kita akan selalu bisa ketemu disini, di dunia yang tanpa batas , tanpa ras a khawatir keindahan ini direbut oleh waktu." Ucap Alya lagi sambil menegakkan posisi duduk gue.
Gue merasakan kehangatan ketika bibir tipisnya menyentuh pipi gue. Kehangatan yang menjalar hingga menembus kulit dan menyelimuti hati gue. Gue benar-benar merasakan rubuhnya dinding pembatas antara mimpi dan realita.
Alya, temuin aku di dunia nyata. Ucap gue pelan. Apa beda nya di dunia ini dengan disana"
Aku butuh merasakan semua ini secara nyata, Al. Aku ga mau terbuai sama mimpi
Alya menatap gue dengan senyumannya. Kemudian mendekatkan posisi duduknya kearah gue. Tanpa ragu, dia mendaratkan sebuah ciuman tepat di bibir gue. Sebuah ciuman yang membuat gue lupa dengan apa yang baru saja gue ucapkan. Semua ini, benar-benar terasa nyata, sangat nyata. Gue bisa merasakan bibir tipisnya dan harum napasnya. Gue bisa merasakan sentuhan halus telapak tangan Alya di pipi gue. Gue bisa merasakan semuanya.
Apa yang bikin kamu ragu dengan rasa di dunia ini ndra" ucap Alya sambil menghentikan ciumannya. Namun wajahnya masih berada tepat didepan wajah gue.
Satu-s atunya yang membatas i dunia mimpi dengan dunia nyata kita adalah waktu, ndra. S egala bentuk kekejaman waktu yang merebut s emua hal yang kita inginkan, ga akan pernah terjadi dis ini. K arna hanya dis ini aku berani menemui kamu, tanpa khawatir dengan pandangan hina manus ia lain terhadap aku, terhadap kita. Lanjut Alya.
Gue menatap wajah Alya yang berada tepat didepan gue, sambil mencerna setiap kata yang dia ucapkan. Gue menopang dagunya, kemudian menatap tepat ke kedua bola matanya yang berwarna cokelat.
Alya, sehina apapun kita di dunia nyata, kita ga perlu pura-pura s empurna dan menikmati kesempurnaan palsu itu di dunia mimpi. Aku tunggu besok sore di taman kampus. Ucap gue pelan sambil mengecup kening Alya.
Gue terbangun kembali diatas kasur kamar gue. Tapi kali ini gue ga merasakan lemas. Sebaliknya, gue merasa sangat bersemangat. Entah karna efek ciuman lembut dari Alya, atau karna semangat ingin menemui Alya hari ini.
Gue bangkit dari kasur dan menuju ke dapur dan mendapati meja makan gue kosong tanpa sesuatu yang bisa di makan. Sambil tersenyum, gue mencoba iseng membayangkan beberapa makanan untuk dimunculkan diatas meja makan. Tentu saja, gue hanya bisa cengengesan sendiri saat melihat tidak ada satu makanan pun yang tersedia dari hasil pikiran gue. Ah, ternyata dunia nyata memang lebih kejam. Ucap gue pelan sambil mengambil handuk dan berniat segera mandi.
Part 7: Kemisteriusan Alya
Sore hari, gue udah duduk di bangku taman kampus menunggu kehadiran Alya. Sebenernya gue ragu dia akan datang. Tapi bagaimanapun, gue perlu melihat sosok Alya dalam dunia nyata. Gue ga mau terjebak oleh halusinasi mimpi.
Sejujurnya, gue tertarik dengan Alya. Bukan hanya karna kecantikannya. Tapi juga dengan segala kemisteriusannya. Bagaimana mungkin dia bisa membawa gue ke dunia mimpinya yang dia setting serupa dengan dunia nyata gue. Akan ada banyak hal yang ingin gue bicarakan dengan dia di dunia nyata, dan akan ada banyak hal juga yang ingin gue lakukan dengan dia di dunia mimpi nanti.
Setidaknya, dia membuat dunia mimpi gue menjadi berwarna dan ada ceritanya. Ga lagi melulu tentang sekelompok orang berwajah sangar membawa benda tajam yang ingin membunuh gue.
Jam 4 sore, gue masih duduk sendiri sambil berbalas sms dengan Bagus yang menanyakan posisi gue. Sampai akhirnya dia datang menghampiri gue dengan seorang wanita yang sepertinya juga gue kenal.
Anak-anak pada kemana ndra" tanya Bagus ketika mendekat dan menyalami gue.
Ga tau. Mungkin masih ada kelas. Eh, Nindi ya" tanya gue ke seorang perempuan yang kemudian duduk di samping Bagus.
Iya. Sok ga kenal lo sama gue. Ucap Nindi. Lo ngapain disini" Kok ga ke kos Dika aja" Ntar aja lah Gus. Lagian belom tentu Dika di kosnya.
Yaudah, gue anter Nindi balik dulu ya. Ucap Bagus sambil berdiri dan berjalan menjauh Ciyee. Tumben, ada maunya tuh dia Nin nganter lo.
Kok ada maunya" Emang salah ya kalo cowok nganter pulang ceweknya" saut Nindi sambil berjalan menjauh mengikuti Bagus.
C eweknya" B agus s ama Nindi pacaran" Ah, gila s i B agus . S etau gue dia udah pacaran lama s ama s i L iana. S ayang banget cewek s ecantik Nindi dijadiin s elingkuhan. Batin gue dalam hati.
Lama gue menunggu sampai cahaya kemerahan senja perlahan tergantikan gelap. Rasa jenuh dan putus asa kini mulai mengalahkan rasa penasaran gue untuk menjumpai Alya. Tapi gue ga mau terlalu buru-buru menyerah, gue ga mau mengulang kesalahan yang sama kaya kemaren, yang buru-buru ambil kesimpulan bahwa Alya tidak akan datang.
Gue mengecek jam di handphone yang kini sudah menunjukkan pukul 7 malam. Oke, ini udah keterlaluan. Udah hampir 3 jam gue menunggu tapi ga ada tanda-tanda kedatangan Alya. Lagi-lagi dia mengelak untuk menemui gue. Atau mungkin memang benar, dia cuma sosok wanita halusinasi yang ada dalam mimpi gue. Gue memutuskan untuk pulang.
Sampai dirumah, gue merebahkan badan diatas kasur. Sebenernya gue masih mau mengerjakan beberapa tugas kuliah dulu, tapi rasa kesal dan kecewa sama Alya membuat gue memutuskan untuk segera menemuinya, di dunia mimpi.
Kini gue berada ditengah hutan, dengan pohon-pohon besar menjulang tinggi serta akarnya yang melintang menghiasi tanah. Gue melihat ke sekeliling, mencoba mencari tau dimana tempat yang enak agar bisa menemui Alya.
Tapi dari kejauhan, sekelompok orang yang biasa gue temui dalam mimpi-mimpi gue sebelumnya kini sudah berlari mendekat. Masih dengan wajah mereka yang semakin sadis, serta benda tajam yang mereka acungkan kearah gue.
Gue ga pernah tau apa masalahnya sampai mereka berambisi banget buat membunuh gue. Dengan segera gue berlari menjauh. Gue membayangkan tembok-tembok besar berdiri dibelakang gue, dengan harapan tembok itu akan menahan mereka. Namun, ternyata dengan mudahnya mereka menembus tembok itu dan tetap mengejar gue.
Dengan rasa sangat lelah, gue memutuskan menyerah dan berharap bisa membicarakan semua ini secara baik-baik dengan mereka. Gue berhenti berlari dan berbalik badan sambil mengangkat kedua tangan. Belum sepatah katapun gue ucapkan, sebuah pedang berkilau sudah terayun mengarah tepat kewajah gue.
Gue merasakan sakit yang luar biasa dikepala gue, namun mata gue ga bisa menangkap cahaya apapun. Hanya hitam pekat yang terlihat. Badan gue pun sama sekali ga bisa digerakkan. Sepertinya kini gue kembali terjebak dalam sleep paralyzed yang melumpuhkan gue.
Berulang kali gue mencoba bergerak, bahkan berteriak, namun hasilnya tetap nihil. Gue berdoa untuk meminta pertolongan, namun keadaan tidak berubah.
Alyaaa..!!! Gue menjerit sekeras-kerasnya hingga akhirnya gue terbangun dan langsung terduduk diatas sebuah kasur dalam sebuah ruangan yang sepertinya kamar rumah sakit. Gue melihat seorang wanita terduduk di kursi disamping gue dengan kepala yang ia rebahkan ke sisi kasur tepat disamping tangan gue yang terlilit selang dari kantung infus.
Gue membayangkan sebuah lemari besar berdiri diatas kasur untuk memastikan apakah ini masih dalam dunia mimpi. Namun tiba-tiba wanita disamping gue terbangun dan menatap gue dengan wajah kaget serta mata yang berkaca.
Alhamdulillah. Kamu Udah bangun, sayang" ucap Alya dengan mulut bergetar sambil menatap gue yang masih terduduk diatas kasur dengan wajah kebingungan. Part 8: Shafira
Kamu... Aku... Aku dimana Al" tanya gue dengan bingung karna masih sulit memahami apakah ini mimpi atau realita.
Alya ga menjawab, hanya menatap gue masih dengan mata nya yang berkaca, kemudian menekan sebuah tombol di dekat kasur dan berdiri lalu mengusap rambut gue.
Beberapa orang yang sepertinya perawat masuk ke ruangan dan mendatangi gue. Meminta gue merebahkan badan dan kemudian memeriksa kondisi gue dengan beberapa alat dan menuliskan sesuatu diatas kertas yang ditempel di papan jalan.
Apa yang sekarang Bapak rasakan" tanya salah satu perawat ke gue. Bingung. Gue menjawab asal dan singkat.
Yaudah Bapak istirahat dulu ya ucapnya sambil tersenyum kemudian mengajak rekannya yang lain untuk keluar.
Alya mengikuti para perawat tadi dan berbicara pada salah seorang perawat di ambang pintu. Sesekali dia menganggukkan kepala dan menoleh kearah gue sambil mendengarkan instruksi yang disampaikan perawat, kemudian kembali berdiri disamping kasur tempat gue berbaring.
Gue mengubah posisi kembali duduk diatas kasur dan menatap Alya. Dia mengusap pipi gue dan mencium kening gue.
Aku dimana Alya" Aku sakit apa" Ini mimpi kan" tanya gue dengan wajah kebingungan.
Alya meneteskan beberapa air mata setelah mendengarkan pertanyaan gue, namun tetap memaksakan senyumnya, senyum yang dia pasang untuk mengusir wajah sedih yang tidak bisa dia sembunyikan.
Aku sakit apa Alya" gue mengulang pertanyaan gue.
Aku bukan Alya, sayang. Aku Fira. Shafira. Tunangan kamu. ucapnya sambil sesugukan menahan tangis dan tetap memaksakan senyum.
Shafira" Tunangan gue" Apa maksudnya" Ah, gue yakin ini masih dalam dunia mimpi dan Alya mencoba mempermainkan gue.
Alya, kamu jangan becanda. Kamu kenapa sih" Ngapain bawa aku ke mimpi ini" tanya gue dengan nada kesal karna merasa dipermainkan.
Aku Fira, sayang. Shafira Mxxxx. Aku tunangan kamu jawabnya lagi dengan nada memaksa.
Apa-apaan ini. Gue seperti merasa hidup di dunia sinetron saat sang pemain utama dianggap amnesia karna mengalami sebuah kecelakaan. Dan jika Alya berpikir seperti itu, ini bener-bener ga lucu buat gue.
Kamu pulang kerja dateng kerumahku. Awalnya biasa aja. Kamu masih sempet cium pipi aku. S ampe tiba-tiba kamu jatuh dan ga s adarin diri, s elama 2 minggu kamu ga s adarin diri. Aku nemenin kamu dis ini s etiap hari. K a mu manggil-manggil nama temen-temen kuliah kamu, manggil-manggil nama Alya. Tapi aku Fira sayang, bukan Alya. Ucapnya lagi dengan tenang mencoba menjelaskan kenapa gue bisa disini.
Gue menatap keluar melalui jendela rumah sakit yang berada di salah satu sudut kamar yang tidak jauh dari kasur gue, sambil membayangkan sebuah bangunan untuk muncul dan menutupi pemandangan diluar. Lama gue memfokuskan pikiran gue, namun ga ada yang terjadi.
Sayang, kamu udah bangun. Berhenti berpikir bahwa kamu masih mimpi. Aku disini nemenin kamu. T emen-temen kamu juga kemarin-kemarin pada dateng. K amu harus cepet pulih lagi ya.
Temen-temen aku" Siapa aja"
Banyak. Temen-temen kerja kamu. T emen kuliah kamu juga aku hubungin buat minta mereka dateng. T api aku ga tau s iapa Alya. K amu juga ga pernah cerita tentang Alya, aku ga tau mau hubungin dia kemana.
Gue merebahkan kembali badan gue dan menatap langit-langit rumah sakit. Apa ini bener dunia nyata" Terus kenapa beberapa kali gue merasa terbangun dan memastikannya bahwa gue sudah di dunia nyata.
Aku sakit apa Alya.. Fira.. Aku sakit apa" tanya gue ke Fira, yang wajahnya sesuai dengan gambaran Alya didalam mimpi gue.
Dokter masih belum bisa diagnosa penyakit kamu. Awalnya cuma bilang otak kamu kekurangan supply oksigen. Tapi dokter juga ga tau kenapa lama banget kamu ga sadar. Aku boleh pinjem handphone" Tolong telpon temen aku, Bagus.
Alya mengambil sebuah handphone diatas meja laci kecil disamping kasur, kemudian mencarikan nomer Bagus dan memberikannya ke gue. Gue menekan pilihan panggil untuk menelpon temen gue. Entah kenapa gue memilih menghubungi Bagus. Gue merasa, sepertinya gue pernah bercerita ke Bagus bahwa gue sering mengalami mimpi. Dan Bagus juga pernah bilang bahwa dia adalah orang yang percaya dengan mimpi. Halo Fir" ucap Bagus dari ujung telepon.
Gus. Lo dimana" Hah" Hendra" Alhamdulliah. Lo udah bangun ndra" Udah Gus. Lo dimana"
Di kantor nih. Ada apa ndra"
Bisa kesini ga Gus" Gue masih dirumah sakit. Ada yang mau gue omongin.
Yah, masih pagi gini ndra. Gue ga bisa ijin balik cepet. Ga enak sama bos gue. Balik kerja aja gapapa kan"
Iya, gapapa. Gue tunggu ya Gus. Siap ndra. Eh, lo mau dibawain apa" Bawa kesini aja diri lo yang utuh.
Hahaha bangke. Yaudah, balik kerja gue kesana.
Gue mematikan telepon dan mengembalikannya ke Fira. Kemudian meminta air mineral padanya. Rasanya tenggorokan gue sangat kering.
Fira memegangi gelas dan menyodorkan gue minum melalui sedotan. Kemudian gue kembali merebahkan badan. Kepala gue tiba-tiba merasa sangat sakit. Pandangan mata gue pun mulai kabur. Dada gue terasa sangat sesak. Gue menggenggam tangan Fira disamping gue. Hingga tiba-tiba pandangan gue gelap, dan gue terbangun diatas kasur rumah gue.
Part 9: Bagus PoV Gue mengendarai motor melawan kemacetan selepas jam kerja, menuju kearah rumah sakit tempat dimana teman kuliah gue di rawat. Gue sebenernya males datang kesana hari ini, selain ada janji yang harus gue batalkan, juga karna gue baru aja kesana beberapa hari yang lalu menjenguk teman gue.
Gue menaiki lift menuju lantai dimana teman gue di rawat. Perlahan gue berjalan keluar lift dan melihat-lihat sekeliling, mengingat-ingat lagi dimana kamar temen gue, kemudian berhenti didepan pintu kamar yang gue duga tempat temen gue, dan melihat kedalam kamar melalui jendela kecil di sudut tembok. Gue melihat Fira, pacarnya temen gue. Gue pun masuk dengan membuka pintu pelan.
Eh, hey Gus. Ucap Fira saat melihat gue masuk.
Hendra nya tidur" tanya gue sambil berjalan mendekat dan melihat temen gue tergeletak lemah dengan selang oksigen dipasangkan ke hidugnya.
Abis nelpon lo tadi, dia ga sadar lagi Gus. Ga bangun-bangun lagi sampe sekarang ucap Fira dengan nada suara bergetar, menyirarkan kesedihan.
Gue mengusap pundak Fira untuk menenangkannya, kemudian menggeser sebuah kursi dan duduk disampingnya.
Tadi kenapa dia bisa nelpon gue" Ada apaan emang"
Fira hanya menatap tanpa menjawab pertanyaan gue. Perlahan sudut matanya menggenangkan air, dan tumpah beberapa tetes saat tak dapat tempat disana.
Gus, tolong jelasin ke gue. Alya itu siapa" tanya Fira sambil menghapus air mata di pipinya.
Gue ga tau Fir. Beneran deh. Emang dia nyebut nama Alya lagi di tidur nya" Dia nyari Alya saat bangun. Malah, dia nyangka nya gue Alya.
Gue memiringkan kepala sambil menatap Fira dan Hendra secara bergantian. Gue coba mengingat beberapa kenangan di masa lalu saat masa-masa kuliah. Gue dan Hendra kayanya ga terlalu deket, tapi seinget gue Hendra ga punya temen, mantan, atau pacar bernama Alya saat di kampus. Satu-satunya cewek yang pernah Hendra kenalin ke gue cuma Fira. Dia ga punya temen deket cewek lain, bahkan dia ga punya temen deket di kampus. Dia salah satu orang yang pernah gue panggil dengan sebutan makhluk anti s ocial'.
Gue ga tau Fir tentang Alya. Hendra juga ga pernah cerita. Tapi, seinget gue dia ga pernah punya pacar atau temen deket yang namanya Alya.
Tapi kenapa dia selalu nyebut nama Alya Gus"
Ya gue juga gatau. Mungkin namanya orang baru bangun dari tidur panjang, ada beberapa hal terjadi sama otak nya dan bikin dia lupa sama nama asli lo.
Tapi kenapa dia inget nama lo, nama temen-temen kuliahnya" K enapa dia bis a lupa s ama gue yang udah 4 tahun ini nemenin dia"
Fira gagal menguasai dirinya. Tetes air mata kini dengan mudahnya berhamburan dan membasahi pipinya. Gue cuma bisa menenangkannya dengan mengusap punggung dan pundaknya.
Dari wajah Fira, gue bisa melihat kepedihan yang teramat sangat. Gue menebak mungkin dia merasa kecewa, menunggu dan menemani Hendra selama masa sakitnya, tapi yang ditunggu malah menyebut dan mencari wanita lain. Kantung mata Fira yang membengkak menahan tangis serta menyiratkan rasa lelah membuat gue turut bersimpati dengan apa yang dia rasakan.
Fir. Kalian coba omongin ini nanti ya saat Hendra udah sadar dan bener-bener pulih. G ue tau lo pas ti kecewa tapi tolong tahan rasa kecewa itu s ebentar lagi, s ampe H endra bis a menjelaskan semuanya dalam kondisi sehat.
Fira mengangguk pelan sambil menundukkan kepalanya. Gue menggeser duduk mendekat dan mencoba memberikan rangkulan untuk menenangkannya.
Gue Gus yang selama ini nemenin dia. Gue yang selama ini hadir ditengah kesepian yang dia ras ain. G ue yang menghibur, menyemangati, dan mendorong dia s etiap kali dia meras a hidup ini ga pernah adil buat dia. D ia emang ga pernah menyakiti gue s ecara fis ik, tapi dia ngebunuh karakter gue dengan menyebutkan nama cewek lain, dan menga nggap gue sebagai cewek itu. Ucap Fira sambil menenggelamkan kepalanya dalam rangkulan gue. Lo ga boleh ngomong gitu Fir. Dia sayang kok sama lo, sayang banget malah. Dari mana lo bisa menilai kaya gitu"
Dari mata nya. Gue bisa ngelihat cuma lo satu-s atunya bayangan yang ada di mata nya. G ue memang ga kenal deket s ama H endra. T api yang gue tau, lo s atu-s atunya cewek yang bikin hidupnya bersemangat, dari s ejak terakhir ketemu s aat wis uda, s ampe detik ini, gue yakin rasa itu ga berubah.
Tapi kenapa dia bis a nyebut nama cewek lain G us " D ia bahkan ga nyebut nama gue dalam tidurnya.
Itu yang harus lo tanya langsung ke dia. Tapi inget, be fair. Jangan langsung menjudge dia melakukan kecurangan di belakang lo. T anya baik-baik, jangan pake emos i.
Fira menyandarkan tububnya ke sandaran kursi dan menengadahkan kepalanya. Sejenak dia menghela napas, mengusir rasa lelah yang mungkin semakin menggelantung di kepala nya.


You Are My Dream World Karya Angchimo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Gue ga tau Gus. Apa gue masih sanggup nemenin dia lagi untuk kedepannya. Setelah semuanya, gue ngerasa kaya ga ada artinya sama sekali buat dia.
Ga boleh gitu Fir. Lo segalanya banget buat Hendra. Dia pernah bilang ke gue saat selesai sidang skripsi. Kalo bukan karna Fira, mungkin gue ga akan pernah nyelesain kuliah gue G us . G ue salut sama dia, She loves me even when I couldn't love myself. Dari situ, gue percaya, lo s atu-s atunya perempuan yang udah berhas il merubah hidup dia jadi lebih baik. Ucap gue sambil kini menggengam tangan Fira, mencoba meyakinkan dia atas apa yang sebenarnya Hendra rasakan.
Lo tau ga Fir, kepanjangan dan arti tattoo di lengan kiri Hendra" tanya gue ke Fira.
Fira melihat kearah tattoo di lengan Hendra, kemudian kembali menatap gue dan menggeleng pelan.
I-H -O -B -M-O -M. Itu s ingkatan F ir. S einget gue, sebelum wisuda ya dia nato itu"
Iya, gue udah ngelarang dia. Tapi tetep aja dia maksa dan tetep nato itu. Emang apa kepanjangannya" MOM itu buat nyokapnya kali ya"
I Hurt Others, But Most Often Myself. Itu kepanjangannya saat gue ngejek tattoo ga jelas di tangannya. D ia bilang, itu bentuk kekecewaan dia s ama dirinya s endiri yang s ering nyakitin orang-orang yang dia s ayang, tapi s ebenernya, dia juga meras akan s akit s aat bikin orang lain ters akiti. B ego ya" Hal kaya gitu aja di tattoo. T api dari s itu lo bis a nilai s endiri deh gimana dia mengakui kebodohannya yang seringkali menyakiti orang yang dia sayang. Fira kembali menatap lengan Hendra. Perlahan dia mengusap tulisan kecil yang menjadi tatto di tangan Hendra. Dia kembali menumpahkan air mata, dengan tangan kanannya menutupi mulutnya menahan isak tangis yang terdengar semakin keras.
Fir. Dia sayang sama lo. Cuma mungkin cara dia menunjukkannya ke lo yang berbeda dari kebanyakan orang. Lanjut gue sambil mengusap punggung Fira.
Part 10: Bersama Alya Gue terduduk diatas kasur dengan menunduk. Gue ga ngerti apa yang terjadi sama diri gue. Siapa Alya" Siapa Fira" Kenapa dia bilang dia bukan Alya" Kenapa dia bilang kalo dia Shafira, tunangan gue" Sejak kapan"
Belum mampu gue menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam kepala gue, handphone gue berbunyi menandakan panggilan. Sederet angka tanpa nama muncul di layar handphone gue.
Halo" ucap gue menjawab panggilan telepon tersebut. .....
Haloo" ..... tidak ada jawaban dari si penelpon.
Halo! Ini siapa"! gue menaikkan nada suara karna kesal.
B erengs ek. Gumam gue pelan sambil mematikan telepon. Kemudian gue berjalan ke kamar mandi untuk segera berangkat ke kampus
Dikampus, seperti biasa gue mengikuti perkuliahan dari pagi sampe sore. Sorenya, gue mencari temen-temen gue. Gue mencoba menelpon Bagus saat berjalan menyusuri koridor kampus, tapi ga ada jawaban.
Di taman, gue melihat Alfi sedang asik mengobrol dengan seorang perempuan. Sesekali dia menghembuskan asap rokok tingg-tinggi ke udara sambil kemudian menengok ke arah koridor, yang kebetulan kali ini beradu pandang dengan gue. Alfi mengangkat tangan kanannya, isyarat memanggil gue dan gue pun mempercepat langkah mendatanginya. Anak-anak pada kemana" tanya gue ke Alfi sambil menyalaminya.
Bagus mah paling nganter Nindi. Kalo Dika lagi di sekre kampus, ntar dia kesini. Eh kenalin nih ndra, temen gue di kelas design. Ucap Alfi sambil tangannya mengarah ke perempuan disebelahnya.
Gue kaget saat melihat jelas wajah perempuan tersebut. Alya" tanya gue dengan ekspresi kaget.
Lah" Lo udah saling kenal" Alfi ga kalah kagetnya.
Secara resmi belum. Halo, aku Alya. Jawab Alya ke Alfi kemudian menyodorkan tangannya ke gue.
Gue menyalami Alya, masih dengan rasa kaget. Gue ga pernah melihatnya sebelumnya disini. Sedangkan, Alfi bilang dia temen sekelasnya.
Kamu sekelas sama Alfi di kelas design" tanya gue ke Alya sambil duduk disampingnya. Alya mengangguk penuh antusias.
Heh heh. Apa-apaan pake aku-kamu" K aya orang pacaran aja lo bedua. Protes Alfi yang kemudian gue sambut tertawa hampir berbarengan dengan Alya.
Kami ngobrol-ngobrol banyak saat itu, bahkan sampe lupa waktu. Dika yang kemudian hadir ditengah kami menyarankan untuk pindah ngobrol di kantin biar bisa sambil ngopi. Sampe ga kerasa, sore kini sudah berganti malam dan Alya pamit ditengah obrolan. Kamu pulang kemana" tanya Gue ke Alya.
Aku kos di sekitaran sini. Jawab Alya dengan senyum manisnya.
Yaudah aku anter aja, biar aku sekalian bisa tau kos kamu. Jawab gue cengengesan yang kemudian mendapat tatapan penuh sindiran dari Alfi dan Dika.
Apa lu"! ucap gue ke mereka, kemudian mengajak Alya meninggalkan kantin.
Gue dan Alya berjalan beriringan keluar kantin, kemudian menuju parkiran, berniat mengambil motor gue untuk mengantar Alya.
Lho, mau kemana ndra" tanya Alya sambil menghentikan langkahnya sebelum memasuki area parkir.
Ambil motor. Ga usah, jalan aja sih. Deket kok. Ayok. Ucap Alya sambil melingkarkan tangannya ke lengan gue.
Gue tersenyum dan melanjutkan langkah. Sebenernya gue malu banget jalan dengan Alya yang menggandeng tangan gue. Beberapa makhluk sok ganteng di kampus banyak yang menatap sinis ke gue. Tapi gue juga ga mau bohong bahwa gue seneng. Selain pada akhirnya bisa menemui Alya bukan hanya di mimpi, tapi juga bisa bergandengan tangan dengan Alya. Rasa seneng dan bangga bercampur dan bertumpuk dalam dada gue yang kini malah terlihat membusung.
Biasa aja kali jalannya. Pake ngebusungin dada segala. Ucap Alya dengan cengengesan sambil menepuk dada gue.
Part 11: Memuja Senja Masuk dulu ndra ucap Alya menawarkan gue mampir kedalam kamar kos nya. Eh, ga usah deh Al. Aku langsung balik kampus aja.
Yah, tau gitu aku jalan sendiri aja tadi.
Hehe gapapa kok, aku sekalian mau tau kos kamu dimana.
Alya hanya tersenyum menatap gue. Ah, gue akhirnya percaya bahwa kecantikan Alya di dunia nyata memang jauh lebih sempurna ketimbang apa yang gue lihat sebelumsebelumnya di dunia mimpi.
Eh Al. Nanti ketemu lagi ya di dunia mimpi. Ucap gue. Namun Alya malah merubah bentuk senyumnya menjadi wajah kebingungan.
Dunia mimpi" Yaa kaya kemaren-kemaren.
Maksudnya kamu sering mimpiin aku" tanya Alya dengan wajah genit menggoda gue. Tapi gue justru malah bingung dengan pertanyaannya.
Engg.. eh yaudah aku minta nomer hp kamu dong. Ucap gue sambil memberikan handphone gue ke Alya.
Alya memasukkan nomer handphonenya dan menyimpannya di daftar kontak gue. Kemudian mengembalikan handphone gue.
Yaudah, aku balik ke kampus ya. Met istirahat Al. Iya, makasih ya ndra udah anter.
Gue berjalan keluar dari pelataran rumah kos dan langsung menuju ke kampus.
Besoknya, gue selesai kuliah lebih awal karna mata kuliah sore ga akan ada dosennya. Selesai sholat jumat, gue nongkrong di kantin kampus sambil menikmati segelas kopi dan menyulut sebatang rokok. Kemudian mengeluarkan handphone untuk mengirim sms ke Alya, memintanya ke kantin.
Kamu udah ga ada kelas ndra" tanya Alya sambil berjalan mendekat dan duduk di bangku kantin didepan gue.
Ada, Cuma dosennya yang ga ada. Eh, kamu udah makan" Belom. Mau bayarin aku makan yak" ucap Alya sambil cengengesan. Yaudah sekalian pesen aja. Aku juga lagi pesen makan.
Alya seperti anak kecil yang dibolehkan membeli eskrim, langsung memesan makan kepada Ibu kantin.
Kami makan sambil ngobrol-ngobrol. Alya adalah orang yang seru, bawel, dan banyak tingkah. Ga jarang tingkahnya sangat ngeselin. Kadang celetukan-celetukannya juga membuat gue tertawa lepas. Gue merasa sangat nyaman dengan pembawaan Alya. Eh ndra, besok kamu ada acara ga" tanya Alya ditengah obrolan. Ga ada sih, emang mau kemana"
Ke monas yuk ndra" He" Monas" Ngapain"
Ya main aja. Aku belom pernah liat monas secara langsung. Ucap Alya dengan pipi nya yang memerah.
Gue sontak tertawa saat mendengar ucapannya, sampai beberapa penghuni kantin menoleh kearah kami. Alya yang merasa dipermalukan langsung mencubit tangan gue sekeras-kerasnya.
Aduh, sakit Al. Biarin. Lagian ga usah pake ketawa emang ga bisa" Hahaha lagian ada ya orang di Jakarta ga pernah liat monas"
Ya aku kan baru ke Jakarta saat kuliah, sekarang semester 5, berarti belum genap 3 taun di Jakarta.
Terus selama ini liat monas dari mana" Dari kalender" Apa dari tayangan adzan magrib" Hahaha
Alya yang semakin geram kemudian mengeraskan cubitannya, keras banget. Sampe kulit gue rasanya tebel banget sakit sakitnya.
Yaudah, besok aku jemput di kos kamu ya. Ucap gue yang kemudian disambut anggukan antusias oleh Alya.
Besoknya, gue menjemput Alya di kos nya. Dia sudah menunggu di pelataran kos, dengan kaos polos hitam di balut cardigan biru, celana jeans biru gelap, dan tas selempang kecil. Dandanan nya sederhana, namun terlihat sangat istimewa di mata gue.
Ayo neng, Abang ajak jalan-jalan liat monas. Ucap gue saat Alya keluar kos dan mendatangi gue. Alya hanya tertawa kecil sambil memukul punggung gue dan naik keatas motor.
Sampe di monas, dia ga berhenti mendongakkan kepala melihat puncak monas dengan rasa kagum. Ekspresinya bener-bener mengundang tawa gue, tapi gue tahan. Gue ga mau merusak mood nya yang gue yakin malah nanti jadi ngambek dan nyubitin gue lagi.
Gue mengajaknya mendekat ke monas, dia masih saja ga melepas pandangannya ke puncak monas, sambil menggandeng tangan gue. Gue memutuskan mengajaknya naik ke puncak monas. Alya yang ga menyangka saat gue membeli tiketnya langsung menatap gue histeris dengan mata berkaca.
Serius ndra" Emang bisa naik keatas" tanya Alya dengan antusias.
Bisa. Nanti kita loncat dari atas sekalian.
Sampe di puncak monas, Alya langsung berhamburan keluar lift dan menuju sudut jendela. Ga berhenti dia memasang wajah senang melihat pemandangan Jakarta dari sini.
Bagus ya ndra. Keren keliatannya. Ucap Alya tanpa melepas matanya menatap pemandangan yang terhampar.
Gue hanya tersenyum menatap Alya, menikmati keindahan lain yang terhampar di wajahya, tanpa ada se-inchi pun terlewat.
Gue dan Alya baru turun saat diumumkan waktu istirahat operasional lift. Kemudian duduk dipelataran monas.
Abis ini mau kemana" tanya gue ke Alya yang duduk memangku wajahnya dengan kedua tangannya.
Ga tau. Aku udah seneng kok bisa kesini. Jawab Alya.
Yaudah, kalo gitu gantian, kamu yang ikut nemenin aku ketempat yang aku pilih. Ucap gue sambil berdiri dan menarik tangan Alya.
Gue mengarahkan motor ke Ancol. Sebenernya gue ga terlalu suka Ancol. Cuma, gue suka sama salah satu spot disana untuk menikmati sunset.
Sampai di tujuan, gue berjalan menggandeng Alya yang masih kebingungan kenapa gue membawanya kesini. Gue berhenti dan memaku pandangan gue ke matahari senja yang bersinar kemerahan di ujung langit. Alya yang kini sepertinya sudah tau tujuan gue kesini langsung memeluk lengan gue dan menyandarkan kepalanya, ikut menikmati pemandangan senja yang digambarkan dengan sempurna oleh Tuhan. Alya..
Alya menoleh pelan dengan wajahnya yang cantik terpansang senyuman.
Aku mengagumi kamu, seperti aku memuja senja.. ucap gue perlahan, yang disambut senyuman wajah Alya yang semakin mengembang.
Part 12: Bagus PoV #2 Handphone gue berdering saat gue lagi korupsi waktu di jam kerja. Gue segera menjawab
panggilan telepon yang berasal dari nomer telepon Fira. Gus, lagi dimana"
Kantor Fir, ada apa"
Nanti sore bisa ketemu ga Gus" Sore" Dimana" Balik kerja kan"
Iya, lo balik kerja jam berapa" Kalo di daerah Tebet bisa ga Gus"
Jam 6 sih. Di Tebet" Boleh. Dimananya" Eh tapi lo sama Hendra kan" Gue ajak cewek gue juga ya
Enggak Gus, gue sendiri. Gapapa ajak aja cewek lo. Oh yaudah, nanti kabarin aja ketemu dimananya.
Gue mematikan telepon kemudian mengabari Lisa lewat whatsapp. Tentu saja dengan balasan pertanyaan-pertanyaan penuh curiga dari Lisa.
Jam 6 sore, gue langsung keluar kantor dan menjemput Lisa di kantornya. Fira sudah mengabari tempat ketemuan melalui whatsapp, jadi kebetulan memang searah sekalian gue jemput Lisa.
Emang siapa sih" Kok ngajak ketemuan" tanya Lisa saat gue tiba di depan kantornya. Temen kuliah aku. Tunangannya dia itu juga temen kuliah aku dulu. Siapa" Dika" Alfi"
Bukan, ada satu orang lagi yang kamu ga kenal. Yaudah ayok naek, nanti aku ceritain sambil jalan.
Lisa naik motor dengan memasang wajah cemberut karna merasa digantung penjelasan oleh gue. Di perjalanan, gue menceritakan tentang Fira dan Hendra, sampai ke terakhir kali gue menjenguk Hendra di rumah sakit. Lisa yang tadinya memasang sikap curiga jadi turut merasa kasihan dengan kondisi Hendra.
Sampai di tempat yang dijanjikan oleh Fira, gue langsung menuju lantai atas dengan lift. Cafe ini memiliki tempat makan di lantai atas dengan atap terbuka.
Pandangan gue menangkap acungan tangan Fira yang sudah duduk di sebuah sofa di sudut cafe, kemudian gue menggandeng Lisa menuju tempat Fira.
Lis, ini kenalin temen kuliah aku. Ucap Gue ke Lisa sambil duduk di sofa.
Lisa menjabat tangan Fira sambil saling berkenalan kemudian duduk disamping gue dan membuka buku menu, lalu menuliskannya di kertas pesanan yang ditunggu oleh seorang waitress.
Lo ga pesen makan atau minum Gus" tanya Fira saat melihat Lisa memberikan kertas pesanannya ke waitress.
Gue mah mana pernah mesen, dia nih yang mesenin. Jawab gue sambil mencubit pipi Lisa.
Oh, kalian udah sering kesini ya"
Enggak. Ini baru pertama kali ya kayanya" tanya gue ke Lisa yang dijawab dengan anggukan.
Bagus emang gitu Fir orangnya. Dia mah kalo ditanya mau pesen apa pasti jawabnya terserah' atau apa aja lah', ujung-ujungnya gue yang dis uruh pilihin. D ia tipe orang yang nuntut pasangannya buat ngerti apa yang dia s uka atau ga s uka, termas uk dalam hal makanan jawab Lisa sambil memasang wajah menyindir menatap gue.
Heh, bukan nuntut. Itu artinya mengajarkan biar kamu tau apa yang aku suka atau ga aku suka. Protes gue ke Lisa.
Yaa apa lah bahasanya. Fira hanya tertawa melihat keributan kecil antara gue dan Lisa. Kemudian meneguk minuman yang sudah dia pesan terlebih dahulu.
Seru ya kalian pacarannya. Berarti sama-s ama s aling tau apa yang dis uka atau ga disukain sama pasangannya. Ucap Fira sambil tersenyum kecut.
Gue dan Lisa saling beradu pandang karna merasa bersalah. Karna gue yakin, antara Fira dan Hendra pasti lagi ada masalah, ga mungkin Fira dateng kesini tanpa Hendra kalo mereka lagi baik-baik aja.
Lisa berdiri dan memindahkan posisi duduknya jadi disamping Fira. Kemudian merapatkan duduknya merangkul Fira seakan dua orang teman yang sudah lama saling mengenal. Mungkin karna merasa bersalah sampai membuat Fira memasang raut wajah sedih. Hendra kok ga ikut Fir" tanya gue ke Fira.
Fira hanya menggeleng, kemudian menenggelamkan kepalanya di pelukan Lisa. Jujur aja, ekspresi Fira malah bikin gue sempat terlintas bahwa Hendra udah lewat'. Karna terakhir gue ketemu dia kan dalam kondisi dia sakit, bahkan udah lama ga pernah sadar.
Seorang waitress membawakan menu pesanan Lisa dan meletakkannya di meja. Fira menegakkan kembali duduknya sambil berusaha menguasai diri. Namun gue bisa melihat wajahnya yang basah.
Gue ga ngerti Gus harus gimana lagi sama Hendra. Ucap Fira dengan sedikit terisak. Emang ada apa" Lagi berantem ya kalian" tanya Lisa sambil mengusap rambut Fira.
Enggak. Gue juga ga tau Lis. Dibilang berantem, ya ga ada marah-marahan. D ibilang baikbaik aja, tapi kok rasanya hubungan gue sama dia tuh kaya semakin jauh aja.
Semakin jauh gimana" Bukannya kalian udah tunangan" sambar gue ke Fira, yang justru malah mendapat tatapan melotot dari Lisa. Entah apa yang salah dari pertanyaan gue.
Iya Gus. Gue.. kalo gue pengen batalin aja tunangan itu bisa ga sih" tanya Fira sambil kembali meneteskan air matanya.
Y a T uhan. D rama apa lagi s ih yang ada dalam hidup temen gue" Gumam gue dalam hati saat mendengar ucapan Fira.
Fira ini sebenernya punya pembawaan yang seru saat diajak ngobrol. Ada aja tingkahnya yang ngeselin tapi bikin gemes. Sayang aja waktu kuliah dulu gue udah ada selingkuhan di kampus, dan sayangnya Hendra yang lebih dulu kenal Fira. Kalo ga, beuh. Udah gue pacarin ini anak.
Tapi pembawaan Fira yang dulu dan Fira yang sekarang jauh berubah. Oke, kalo dari penampilan emang dia jauh lebih keliatan dewasa dan rapih, ga serampangan kaya jaman dia masih kuliah. Tapi sikapnya juga udah ga sama lagi kaya dulu. Dia yang biasanya ketawa ngakak sejadi-jadinya kini malah jadi rapuh, cengeng, dan melow. Perubahan itu pasti karna terlalu banyak mengalami drama selama berhubungan dengan Hendra.
Kalian udah tunangan dari kapan" tanya Lisa ke Fira.
Taun lalu, pas aniversary kami yang ketiga. Hendra dateng nemuin orang tua gue dan minta izin buat nikahin gue. T api H endra bilang minta waktu s ambil buat kumpulin uang. Jadi sementara kami tunangan dulu.
Orang tua lo di Bandung kan" Terus Hendra dateng sama keluarganya" tanya gue ke Fira.
Enggak. Orang tua gue kan udah gue ajak ke Jakarta Gus sejak gue beli rumah disini. H endra ga bawa keluarganya. K an lo tau B okapnya kerja di luar negeri dan udah lama banget dia sendirian disini.
Gue menganggukkan kepala berkali-kali sambil memahami penjelasan Fira. Intinya, gue ngerti. Pertunangan mereka bukan tunangan main-main kaya anak jaman sekarang, tapi melibatkan keluarga. Walaupun emang tanpa keluarga Hendra, toh kalo cowok mah nikahpun ga perlu wali.
Tapi ini jelas berat buat Fira. Karna orang tuanya tau keseriusan hubungan dia dengan Hendra. Kalo dia pengen mengakhiri pertunangan itu, artinya orang tua Fira pun berhak tau atas keputusan dia.
Fir, gue ada dua pertanyaan. Yang pertama, apa yang bikin lo berat buat batalin pertunangan kalian" tanya gue lagi ke Fira.
Fira ga langsung menjawab, hanya menatap kosong ke gelas minuman di meja. Sepertinya dia sedang memikirkan jawaban atas pertanyaan gue.
Orang tua gue Gus. Gue ga enak sama mereka. Mereka udah terlanjur percaya s epenuhnya s ama hubungan gue dan H endra. Mereka pas ti marah banget kalo tau gue mau ngebatalin tunagan ini.
Kalo cuma itu mah mas ih bis a dikas ih penjelasan lah nanti ke mereka. G ue yakin, mereka bakal dukung keputusan lo. Asal lo sendiri yakin sama keputusan lo.
Fira mengangguk-anggukkan kepalanya memahami tanggapan gue.
Terus yang kedua. Apa yang bikin lo pengen batalin tunangan lo sama Hendra" lanjut gue.
Gue udah ga kuat Gus sama sikapnya Hendra. Kalo harus gue jabarin semua, panjang banget ceritanya. Tapi intinya, gue capek, udah ga pernah ada artinya lagi buat dia. Masih soal Alya yang lo cerita di rumah sakit" Iya.
Bukannya Hendra udah sembuh" Udah pulang dari rumah sakit kan" Udah balik kerja lagi dan jalanin hidup normal kan"
Udah pulang sebulan kemarin Gus. Cuma, kalo normal maksudnya kaya dia yang dulu berjuang buat hubungan kita, udah enggak kaya gitu. S emenjak pulang dari rumah s akit, kehidupannya makin ga karuan. D ia res ign dari kerjaannya. D an ngabis in waktu s eharian buat tidur. Kalo gue dateng kerumahnya dan bangunin dia, dia kaya kesel gitu sama gue. Hah" Sampe segitunya" tanya Lisa dengan wajah kaget dan mulut sedikit terbuka.
Iya. Dan dia selalu bilang, semua ini cuma mimpi. Dia ga peduli sama dunia mimpi dia dis ini. D ia cuma mau s ecepetnya kembali ke dunia nyatanya dia, karna dis ana ada Alya yang s elalu nunggu dia dateng buat jemput berangkat kuliah. Ucap Fira sambil kembali menghamburkan tangisnya.
Part 13: Alya #1 Awal semester baru, minggu ini adalah batas akhir pendaftaran ulang para mahasiswa yang akan mengambil jadwal kuliah semseter ini. Dan hari seperti ini adalah hari yang paling gue benci. Karna gue mau ga mau harus menghubungi bokap gue buat minta uang kuliah.
Gue mengirim pesan melalui email dengan rincian biaya keperluan kuliah yang gue perlukan untuk semester ini. Iya, gue dan bokap gue bahkan cuma bisa berkomunikasi lewat email.
Sejak kepergian' nyokap gue, bokap gue memutuskan mengambil tawaran dari kantornya yang menempatkan dia bekerja di Qatar. Bokap gue adalah seorang teknisi senior dikantornya. Mendapatkan kesempatan bekerja dan mengembangkan karir di kantor pusatnya di Qatar adalah sebuah impian bagi kebanyakan karyawan senior kaya bokap gue. Cuma, dari dulu bokap gue selalu menolak, dengan alasan yang sederhana, ga mau jauh dari keluarga.
Tapi, Allah berkata lain. Dia memanggil nyokap gue. Hal itu tentu membuat gue dan bokap gue terpuruk. Gue yang anak satu-satunya di keluarga ini pun akhirnya harus dipaksa menelan pil pahit saat bokap gue memberitahu akan mengambil tawaran bekerja di luar negeri.
Dan sejak satu semester kemarin gue menjalani semuanya sendirian. Hal itu berpengaruh atas prestasi gue di kampus. Akhir semester kemarin nilai kuliah gue berantakan. Gue memang rutin masuk kelas, tapi ga pernah menyimak apa yang diajarkan. Baru saat-saat akhir semester gue bertemu Alya, membuat gue kembali bersemangat buat kuliah.
Bokap gue membalas email gue beberapa hari kemudian. Memberitahukan bahwa dia udah mentrasfer sejumlah uang yang gue minta. Ga lupa juga dia mengirimkan beberapa foto dirinya dan seorang wanita yang ingin dia kenalkan ke gue.
Yap, bokap gue berencana untuk menikah lagi. Dan gue pun akhirnya membalas email beliau dengan makian dan kata-kata yang ga pantas diucapkan seorang anak kepada orang tua nya. Gue tau itu salah, tapi gue ga habis pikir bagaimana dengan mudahnya bokap gue melupakan nyokap gue dan memutuskan menikah lagi.
Ditengah kekecewaan gue, gue cuma punya Alya untuk tempat berbagi. Alya kini udah jadi pacar gue, sejak gue menyatakan perasaan gue di hadapan mentari senja tempo hari lalu, dia menerima gue dan menyatakan siap untuk menjalani hari-hari nya bersama gue.
Kapan kamu mau ke kampus ndra" Tinggal dua hari lagi lho batas pendaftaran ulangnya. Tanya Alya lewat telepon.
Ga tau Al, aku kayanya ga mau nerusin kuliah deh. Aku mau cari kerja aja.
Lho" Kenapa" Tanggung ndra udah s emes ter 6. S emes ter depan tinggal s krips i aja s ama kerja praktek.
Ya itu kamu. Aku mah semester depan masih banyak mata kuliah yang harus diulang. Baru bisa skripsi mungkin semester 8
Ya gapapa, tinggal 3 semester lagi, tanggung. Pokoknya kamu harus kuliah.
Ga bisa. Aku ga ada biayanya buat lanjutin kuliah. Kalo kamu malu punya pacar yang ga kuliah ya tinggalin aku aja sana. Aku bisa dan terbiasa sendiri juga kok. Ucap gue dengan nada tinggi kemudian memutuskan panggilan telepon.
Siang ini sebenernya belum genap 3 bulan gue dan Alya berpacaran. Tapi ini jadi pertama kalinya kami berselisih pendapat dan akhirnya berantem. Alya ga akan ngerti posisi gue. Gue ga mau lagi bergantung dengan kiriman uang bokap gue, gue memutuskan berhenti kuliah dan mencari kerja buat menghidupi diri gue sendiri.
Beberapa jam kemudian, saat gue lagi bersantai di ruang tamu sambil menyetel dvd, gue mendengar pintu rumah gue di ketuk. Gue bangkit dari sofa dan menuju pintu depan, kemudian mengintip dari kaca jendela dan mendapati Alya berdiri di depan pintu. Gue segera membukakan pintu.
P L AAK K Sebuah tamparan dari tangan kanan Alya yang halus mendarat di pipi gue. Membuat gue kebingungan setengah mati dengan reaksinya.
Apa-apaan ini Al" Apa maksud kamu tadi di telpon" Kamu mutusin aku" Eng.. enggak Al, maksud aku..
P L AK K K .. Oke, ini kedua kalinya dia nampar gue. Dan gue rasa ini udah kelewatan. Kamu apa-apaan sih"!
Aku ga suka diputusin lewat telepon. Jangan jadi pengecut. Oke, sekarang kamu pergi. Kita putus. Puas" P L AK K K
Faakkk. Tiga kali gue ditampar cewek dalam waktu kurang dari semenit. Bukan soal perihnya tamparan Alya, Cuma buat gue ini udah kelewatan.
Gue menarik tangan Alya keluar rumah kemudian dengan buru-buru gue masuk kedalam dan mengunci pintu. Gue menutup rapat-rapat jendela dan segera masuk kedalam kamar. Gue ga mau terpancing emosi dan malah membalas sikap kasar Alya.
Memang ternyata memiliki hubungan dengan orang lain ga begitu menyenangkan. Gue heran dengan kebanyakan orang seusia gue yang bisa asik dan seru berpacaran, bahkan sampe bertahun-tahun. Sedangkan gue" Baru kali ini gue merasa tertarik sama perempuan dan mencoba menjalani sebuah hubungan, tapi ternyata terlalu kompleks untuk menyatukan dua kepala dalam satu jalan.
Gue baru keluar kamar saat malam, sebenernya karna gue berniat mau membeli makan karna perut gue udah menagih hak nya untuk di perhatikan. Gue membuka pintu dan kaget saat mendapati Alya masih berdiri disana menghadap kearah gue, dengan wajahnya yang basah.
Belum cukup buat bikin kamu pergi dengan satu kali aku ngucapin kata putus" tanya gue dengan wajah mengejek.
Ribuan kali pun kamu bilang putus, aku ga akan pergi. Ucap Alya dengan nada kesal.
Gue tersenyum kecut mengejek ucapan Alya, kemudian berbalik badan dan kembali masuk kedalam rumah.
Aku bisa buktiin. Ga semua orang datang ke hidup kamu cuma buat pergi di kemudian hari. Ucap Alya sesaat sebelum gue membanting pintu dan mengunci nya. Part 14: Alya #2
Jarum jam di kamar gue udah menunjukkan hampir tengah malam, dan perut gue semakin anarkis menagih jatah makan. Cuma, gue ga berani keluar rumah karna khawatir masih ada Alya diluar.
Perlahan gue melangkah mendekat ke jendela dan mengintip, untuk memastikan apakah masih ada sosok Alya disana. Gue celingukan mencari sosok Alya, namum ga mendapatkannya. Sepertinya dia sudah menyerah dan memutuskan pulang. Gue membuka pintu rumah dengan segera dan memunculkan kepala gue untuk memastikan ulang, udah ga ada Alya.
Gue setengah berlari kedalam kamar mengambil jaket dan beberapa lembar uang, kemudian segera kembali keluar, dan ternyata Alya terduduk dalam tidurnya di sudut teras yang terhalang tembok dari arah pintu. Sial.
Gue berjalan perlahan mendekat, dan menatap wajahnya yang teduh dan damai dalam tidurnya. Hanya cowok munafik yang merasa tega membiarkan wanita secantik ini tertidur di teras luar. Gue gagal menghalau air mata saat menatap wajahnya. Betapa hina nya gue sebagai seorang cowok yang udah memperlakukan Alya sedemikian teganya.
Gue mengangkat badan Alya pelan-pelan dan sangat hati-hati agar tidak membangunkannya, kemudian menggendongnya menuju kamar gue dan gue rebahkan diatas kasur lalu gue tutupi dengan selimut. Gue merasakan suhu badan Alya agak hangat saat gue menyentuh keningnya. Dan gue benar-benar menyesal atas apa yang udah gue lakukan.
Gue duduk dilantai bersandarkan pinggir kasur sambil mengusap kepala Alya, dengan tetap tanpa mampu berhenti meneteskan air mata penyesalan, hingga tertidur saking lelahnya menahan tangis.
Pagi hari nya, gue terbangun karna suara berisik yang berasal dari dapur. Alya udah ga ada diatas kasur. Dengan segera gue bergegas ke dapur.
Hey, morning ndra. Ucap Alya dengan senyum manisnya sambil mengaduk-aduk nasi yang sedang dia goreng.
Gue segera menubruknya dan memeluknya dengan erat. Gue menyesal, sangat menyesal dengan tindakan gue semalam. Alya memangku kepalanya di pundak gue dan mengusapusap punggung gue dengan lembut.
Aku minta maaf Al. Alya ga menjawab, hanya tetap mengusap pundak gue. Gue melepaskan pelukan dan menatap wajahnya yang masih saja tersenyum. Perlahan gue mengusap pipinya yang halus, dan mendekatkan wajah gue.
Kamu doyan nasi gosong" ucap Alya saat hampir saja bibir gue menggapai bibir tipisnya.
Eh" Hehehe.. yaudah dilanjut aja dulu masaknya. Ucap gue sambil memasang wajah bego dan segera ke kamar mandi untuk membasuh wajah.
Gue membantu Alya menyiapkan nasi goreng buatannya dan kemudian membawa dua piring nasi goreng tersebut ke ruang tamu. Alya berjalan membuntuti gue dengan membawa dua gelas teh panas.
Kami menikmati sarapan nasi goreng buatan Alya yang sangat enak, atau mungkin sebeneranya biasa aja rasanya, tapi karna gue terlalu laper makanya jadi terasa enak.
Abis ini kamu mandi ya, terus kita ke kampus. Ucap Alya sambil mengunyah dan menodongkan remot ke tv, menggonta ganti chanel tanpa tujuan.
Gue mengabaikan ucapan Alya dan mencuri beberapa sendok nasi goreng di piringnya yang masih sangat banyak. Kemudian dikagetkan dengan tepukan Alya yang memprotes kelakuan gue.
Iya nanti mandi, bagi dulu dong nasi nya. Kan udah dibagi sama rata.
Sama rata itu belom tentu adil. Porsi makan kita kan beda ucap gue dengan tetap mengambil beberapa sendok nasi di piringnya menghiraukan wajah Alya yang cemberut dibuat-buat.
Selesai makan, gue duduk di teras luar, menyulut sebatang rokok sambil ditemani segelas teh panas yang tersisa setengah, sementara Alya masih berusaha menghabiskan makanannya.
Ah, bahagia itu memang s ederhana. B angun tidur dis iapin s arapan da n makan berdua s ama wanita cantik. Apa begini ya ras anya kalo udah menikah" Pikir gue dalam hati.
Kenapa senyum-senyum sendiri" tanya Alya membuyarkan lamunan gue kemudian duduk di samping gue.
Eh" Enggak. Siapa yang senyum-s enyum" Enak ya nasi goreng bikinan aku" Iya, enak.
Yey.. Aku mau jualan nasi goreng ah di depan kos. Ucap Alya sambil mengangkat kedua tangannya kegirangan.
Gue hanya cekikikan sendiri melihat tingkahnya, sambil mencoba berjanji dalam hati, agar tidak pernah mengubah tingkahnya yang ceria menjadi tangis seperti kemarin. Al, kalo aku ga lanjutin kuliah gapapa kan" tanya gue dengan nada hati-hati.
Aku pacar kamu kan ndra" Kok kamu masih ngerasa ngejalanin semuanya sendiri" Ada masalah apa" Kenapa ga cerita"
Percuma Al, kamu ga akan ngerti posisi aku. Intinya, aku mau cari kerja aja. Katanya buat kuliah selalu masih dikirim uang sama papa kamu"
Semester ini udah enggak lagi. Makanya aku mau cari kerja aja. Ucap gue berbohong.
Oke, Kamu kerja tapi sambil kuliah. Aku ada tabungan, cukup kok buat bayar uang kuliah semester ini. Jawab Alya dengan mudahnya.
Enggak Al, aku kerja aja.
Kamu maunya apa sih" Sekali aja ga bisa ya denger pendapat orang lain"! ucap Alya kini dengan menaikkan nada bicaranya.
Gue sempet kaget dan menatap wajah Alya. Astaga, ini cewek cepet banget ya berubah sikapnya. Tadi lembut banget ngomongnya, ga sampe semenit langsung naik nadanya.
Kali ini kamu ikutin omongan aku dulu ya ndra. Abis ini kita ke kampus, setelah daftar ulang dan is i jadwal kuliah, kita ke warnet coba cari-cari lowongan di internet. Ucap Alya sambil memegang tangan gue, kembali dengan nadanya yang lembut.
Gue mengiyakan ucapannya kemudian bergegas mandi. Selesai mandi, gue mendapati kamar gue udah rapih, sepertinya baru aja di beresin Alya.
Selesai bersiap, gue dan Alya langsung menuju kampus. Kami sempat mampir di sebuah ATM deket kampus untuk mengambil uang Alya. Gatau kenapa gue masih memilih berbohong pada Alya padahal gue udah menerima kiriman uang dari bokap gue.
Selesai melakukan pembayaran untuk daftar ulang, Alya mengambil alih urusan mengisi jadwal kuliah gue. Dia mengetukkan pulpen berkali-kali ke meja saat memastikan jadwal kuliah gue udah sama dengan jadwal kuliahnya.
Sebenernya, gue dan Alya hanya akan sekelas dalam 4 mata kuliah aja. Sisanya gue mengambil mata kuliah yang harus diulang. Tapi jam kuliahnya disamakan dengan jam kuliah Alya di kelas lain. Semua jadwal kuliah kami sore sampe malem, dari jam 4 sore, jedah di jam 6 sore, dan dilanjut jam 7 sampe jam 9 malam, dari senin sampe kamis, dua mata kuliah per hari nya.
Gue menggelengkan kepala berkali-kali, ga habis pikir dengan keputusan Alya yang udah lebih dulu mengisi jadwal kuliahnya dengan mengambil kelas sore.
Kenapa semuanya kelas sore sama malem sih Al" Lah" Kan katanya kamu mau cari kerja"
Iya, tapi kok kamu udah ambil kelas sore duluan kemarin" Kan keputusan aku mau kuliah sambil kerja baru diomongin tadi pagi"
Kan dari kemaren pas di telpon kamu udah bilang mau kerja. Seles ai nelpon aku langs ung isi jadwalku sore semua, karna aku yakin kamu bakal tetep kukuh mau cari kerja ucap Alya dengan wajah memasang senyum kemenangan.
Dan kali ini, tenggorokan gue rasanya tercekat, hingga untuk menanggapi ucapan Alya pun rasanya mustahil. Gue mencintai Alya, yang ga cuma cantik, tapi juga memiliki jalan pikiran yang sangat cerdas.
Y a T uhan, ini beneran pacar gue kan" B ukan bidadari mimpi yang s ekedar datang menawarkan s enyum kemudian pergi s aat gue harus terbangun" Gumam gue pelan. Alya, kamu beneran sayang kan sama aku" tanya gue pelan ke Alya.
Dia ga langsung menjawab. Sejenak menatap gue dengan wajah bingung, kemudian mengembangkan senyumnya.
Jangan tanya ke aku tentang perasaan aku ke kamu. Tanya ke Tuhan, apa Dia belum bos an mendengar nama kamu yang selalu aku ucap dalam doaku" jawab Alya dengan senyum terbaiknya.
Part 15: Alya #3 Setelah menyelesaikan semua urusan pendaftaran ulang semester baru di kampus, gue dan Alya berjalan keluar kampus, berniat menuju warnet sesuai dengan rencana sebelumnya.
Gue dan Alya berselancar di beberapa situs lowongan kerja, tapi kayaknya akan sangat sulit menemukan pekerjaan dengan modal ijazah SMA yang masih belum menyelesaikan kuliah. Akhirnya Alya mengusulkan untuk mencari info lowongan magang. Selain nanti bisa digunakan untuk nilai kerja praktek, juga bisa untuk sambil menambah ilmu.
Gue memasukkan beberapa lamaran di perusahaan yang menawarkan kesempatan magang. Ga semua perusahaan besar sih, ada perusahaan-perusahaan berkembang yang juga gue lamar.
Setelah cukup banyak kami memasukkan lamaran, gue dan Alya meninggalkan warnet saat hari udah sore. Gue mengantar Alya ke kos nya dengan berjalan kaki.
Sepanjang jalan, ada aja yang Alya omongin. Emang dasarnya pembawaan Alya yang bawel dan ga bisa diem, jadilah gue ikut menimpali candaan-candaannya.
Alya, cinta itu ga sebercanda ini ucap gue sambil menghentikan langkah dan berusaha memasang wajah serius ke Alya.
Sejenak Alya menghentikan langkahnya dan menatap gue.
Oke, tapi kamu jangan s erius -s erius ngomongnya. Itu jaitan s unatnya aja mas ih basah. Jawab Alya yang kemudian disusul tawa lepas kami berdua.
Ya, seperti inilah kekonyolan Alya, kekonyolan kami. Ada kalanya kami ngobrol serius membahas sesuatu. Ada kalanya juga kami bercanda seakan hanya dua orang teman, tanpa ada batasan atau merasa sungkan.
Alya membeli nasi bungkus di warung dekat kosnya, kemudian mengajak gue masuk ke kamar kosnya. Dari beberapa bulan bersama Alya, ini pertama kalinya gue masuk ke kamar kosnya.
Kamarnya tidak terlalu besar, namun sangat bersih dan rapih. Barang-barangnya tersusun sesuai tempatnya masing-masing. Setelah mencuci tangan dan kaki, kami menikmati nasi bungkus yang dibeli Alya.
Kok cuma beli satu" tanya gue ke Alya. Aku belom laper
Lah, terus ngapain beli kalo belom laper"
Yee, kamu mah pasti udah laper. Rakus gitu kalo makan.
Oh, yaudah aku makan sendiri kalo gitu. Ucap gue sambil membuka bungkusan nasi.
Karna disini ga ada sendok dan Alya juga lupa minta sendok plastik di penjual nasi tadi, gue makan cuma pake tangan dan duduk lesehan di lantai. Sementara gue makan, Alya masih sibuk menyusun beberapa buku diatas meja belajar kecil di sudut kamar dekat pintu masuk. Aku mau dong. Ucap Alya sambil duduk disamping gue.
Gue menggeser bungkusan nasi agar Alya bisa ikut makan. Namun kening gue malah disentil oleh Alya.
Aku ga bisa makan kalo ga pake sendok. Masa mau makan pake tangan kiri" ucap Alya sambil cengengesan.
Alya ini adalah orang kidal. Dia menulis, dan melakukan aktivitasnya dengan tangan kiri. Sementara kalo makan pake sendok dia pake tangan kanan, mungkin karna dibiasakan sejak kecil. Tapi, kalo ga pake sendok, dia ga akan bisa makan karna ga mungkin menggunakan tangan kirinya secara langsung. Lucu kan"
Jadilah akhirnya gue menyuapi Alya, dan untungnya dia juga ga merasa segan makan dari tangan gue. Ah, wife-able banget lah ini anak pokoknya. S emoga aja kami ga perlu meras akan bagaimana pahitnya perpis ahan. Ucap gue dalam hati.
Gue dan Alya menghabiskan waktu di kosnya sampe malam. Sambil bercanda dan sesekali membicarakan masa depan. Sok banget ya" Baru semalem berantem dan terucap kata putus, sekarang udah berani ngomongin masa depan.
Ndra, menurut kamu pacaran sehat itu kaya apa" tanya Alya sambil menyandarkan tubuhnya ke gue diatas kasur.
Hmm. Pacaran sambil sesekali rutin ke gym, atau lari pagi bareng, atau apa lah pokoknya yang semacem itu, mungkin"
Iya sih. Ih sehat banget ya itu pasti. Eh, tapi itu pacaran apa lagi persiapan olimpiade"
Gue dan Alya lebih sering tertawa lepas bareng sore ini. Ya memang pacaran sama Alya ga bisa kalo apa-apa diseriusin. Sesuai dengan kata-kata yang selalu Alya ucapkan, Bahagia aja dulu. Ngomong seriusnya bisa belakangan .
Part 16: Alya #4 Hari ini hari pertama perkuliahan semester baru dimulai. Tapi karna jam kuliah gue baru dimulai sore, jadi gue bisa lebih sering bangun siang dan bersantai-santai dirumah. Baru sekitar jam 2 siang gue keluar rumah dan berangkat ke kos Alya untuk menjemputnya.
Walaupun Alya orangnya serampangan, tapi tetep aja dia cewek. Nunggu dia kelar mandi dan rapih-rapih itu makan waktu sejam lebih. Sekitar jam setengah 4 gue dan Alya baru berangkat ke kampus.
Gue dan Alya berjalan kaki ke kampus. Motor gue sengaja gue tinggal di kos nya, karna kan nanti pulangnya gue akan anter dia lagi ke kos nya.
Perkuliahan pertama hari ini gue ga sekelas sama Alya, tapi nanti yang jam kedua gue sekelas. Kami berpisah di koridor kampus, gue menuju kelas gue di lantai basement sementara Alya menuju kelasnya di lantai 4.
Selesai jam kuliah pertama, gue dan Alya saling menunggu di koridor, setelah itu baru kita ke kantin. Sebenernya Alya ga mau cari makan, Cuma mau duduk-duduk aja nunggu jam kuliah kedua. Akhirnya Alya pun mulai mengikuti kebiasaan gue mengkonsumsi kopi. Cuma, dia memilih kopi cokelat yang ga ada ampasnya, sedangkan gue tetep dengan kopi hitam.
Lo masih ada kelas ntar ndra" tanya Dika sambil berjalan mendekat bersama Alfi, kemudian duduk di kursi dihadapan gue dan Alya.
Masih, kelas gue semester ini sore sama malem semua. Lah sama dong. Kita ada yang sekelas ga" Ga tau, coba sini liat jadwal lo.
Dika memberikan selembar kertas berisi jadwal kuliah dia semester ini, gue dan Alya mencocokkannya. Ternyata Dika dan Alfi hampir semuanya sekelas, Cuma Alfi hanya bisa mengambil 6 mata kuliah karna nilainya lebih parah. Gue dan Dika ada 2 mata kuliah yang sekelas, kebetulan banget karna 2 mata kuliah itu gue ga sama Alya. Sedangkan Alya dan Dika ada 1 mata kuliah yang sekelas.
Bagus kemana" Dia kuliah pagi" tanya gue ke Alfi.
Bagus semester ini cuti katanya. Tau dah dia nerusin kuliah apa kagak. Lah" Kenapa dia cuti" Kerja" tanya Alya.
Yaah, lo mah kan belom kenal Bagus Al. dia mah anaknya semaunya. Padahal harusnya 2 semester lagi dia bisa kelar kuliahnya. Jawab Dika.
Gapapa lah, dia kan mau nunggu gue, biar bisa wisuda bareng. Hahaha ucap Alfi yang kemudian disusul tawa oleh kami bersamaan.
Kami ngobrol-ngobrol santai sore itu, sambil menikmati kopi dan beberapa cemilan gorengan. Sampai tiba-tiba Bagus muncul dan langsung duduk nyempil diantara Dika dan Alfi sambil masang tampang sok cool.
Lah, katanya lo cuti Gus" tanya gue ke Bagus.


You Are My Dream World Karya Angchimo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Cuti bukan berarti DO kan" Emang salah kalo gue masih nongkrong kesini" jawabnya santai sambil mencomot gorengan di meja, kemudian memesan kopi pada Ibu kantin sambil setengah berteriak.
Mas, kalo sama yang lebih tua itu jangan teriak-teriak. K alo mau mes en ya s amperin s ana kedepan dia. Ucap Alya memprotes kelakuan Bagus.
Lo siapa" Kayaknya gue baru liat tampang lo. Tanya Bagus ke Alya dengan muka kesel, kayanya dia tersinggung dengan omongan Alya.
Alya menyodorkan tangannya sambil memperkenalkan diri. Bagus menyambutnya dan memperkenalkan diri juga. Gatau kenapa gue malah merasa khawatir. Gue kenal Bagus, dia emang udah punya cewek yang dia pacarin sejak SMA. Tapi juga bisa mengahdirkan Nindi, yang dia kenal di kampus. Jelas gue khawatir dia akan jadi sandungan buat hubungan gue dan Alya.
Nindi mana Gus" tanya gue memecah obrolan Bagus dengan Alya.
Nindi" Oh, gue udah ga sama dia. Jawab Bagus tanpa mengalihkan pandangannya dari Alya, dan melanjutkan obrolan sama Alya.
Kalo Liana" Masih" tanya gue lagi.
Bagus menghentikan obrolannya dengan Alya dan menatap gue dengan senyuman liciknya, entah apa yang ada dalam otaknya.
Alya ini cewek lo ndra" Bagus bertanya balik masih dengan senyum liciknya.
Eh, iya. Nih kenalin Gus cewek gue. Eh udah kenalan yak tadi. Gue merespon kaku dan malah diketawain sama Bagus, Alfi, dan Dika.
Jadilah akhirnya gue dan Alya di cengin. Karna emang mereka baru tau gue dan Alya berpacaran. Dan di mata mereka, gue emang ga pernah punya pasangan. Jadi mungkin ini hal yang baru buat mereka, seorang makhluk anti sosial akhirnya berpacaran.
Oh iya, gue sama Liana masih kok. Santai aja, gue emang omnivora, pemakan segalanya, tapi bukan termasuk kategori pemakan temen. Ucap Bagus setengah berbisik sambil menepuk pundak gue dan berjalan ke Ibu kantin untuk mengambil kopi pesanannya. Bagus kembali ke kursinya sambil menyeruput kopi kemudian menyulut sebatang rokok dan mengobrol dengan Alfi. Gue, dan Dika mengobrol sambil mencertikan rencana gue buat cari kerja sambil kuliah.
Itu kopi lo rasa apa Gus" tanya Alya ke Bagus. Mocca. Kenapa" Lo ngopi juga ya"
Ikut-ikutan ngopi doang s ih s ebenernya, tapi belom nemu ras a yang bakal gue pilih buat seterusnya.
Itu aja samain kaya Hendra dan yang lain, kopi item, biar jadi mainstream kaya kebanyakan orang. Ejek Bagus sambil menunjuk gelas kopi gue, Dika, dan Alfi. Yee, dimana-mana mah kopi itu item. Kalo cokelat mah bukan kopi. Saut gue.
Ah, gue juga bukan peminum kopi kok. Gue kan biasanya susu. Ini mah ikut-ikut kalian aja. Jawab Alfi.
Gue coba kopi lo ya. Ucap Alya sambil mengambil gelas kopi Bagus dan meneguknya sedikit.
Alya mengecapkan lidah bibirnya sambil mencoba merasakan kopi mocca nya Bagus. Bagus, Dika dan Alfi menatap Alya sambil menunggu komentar apa yang Alya ucapkan. Sedangkan gue" Gue sukses dibuat kesel sama kelakuannya Alya. Apaan maksudnya dia minum dari gelas cowok lain"
Enak. Kayanya kopi aku besok-besok yang ini aja deh ndra. Ucap Alya sambil tersenyum lebar menatap gue.
Gue cuma menghela napas dan mencoba ga menunjukkan kekesalan gue. Toh, Alya emang orangnya begitu. Waktu pertama kali Alfi ngenalin dia juga kan dia minum es teh manis dari gelas gue, cowok yang baru aja dia kenal. Tapi gatau kenapa kali ini gue ngerasanya beda, ada rasa cemburu yang ga bisa gue tepiskan.
Selesai ngobrol-ngobrol di kantin, gue dan Alya berpamitan karna masih ada kelas kedua. Gue dan Alya berjalan keluar kantin menuju kelas tanpa saling ngobrol. Sebenernya sih Alya tetep ngoceh sepanjang jalan, Cuma gue males menanggapinya. Bahkan di kelas pun kami sama sekali ga mengobrol walaupun duduk bersebelahan. Satu hal kecil dari tingkah Alya yang merusak mood gue dan membuat gue malas menanggapinya di sisa hari ini.
Part 17: Alya #5 Gue akhirnya memahami, bahwa dalam setiap hubungan mungkin wajar saja ada rasa cemburu. Wajar jika ketika lo merasa memiliki sesuatu, lo khawatir orang lain mengambilnya. Bahkan, justru apa yang lo miliki saat ini adalah apa yang lo ambil dari orang lain.
Tapi dengan Alya, gue mengerti bahwa kepercayaan adalah kunci dari suatu hubungan. Gue seharusnya ga perlu khawatir dia akan pergi diambil' orang. Yang harusnya gue khawatirkan adalah apakah gue mampu menjaga hatinya agar selalu menjadikan gue sebagai satu-satunya pilihan dalam hidupnya.
Kembali ke hari-hari gue bersama Alya di kampus, ternyata manusia emang cuma bisa berencana. Tapi percayalah, Tuhan selalu memberikan jalan yang terbaik. Rencana gue buat kuliah sambil kerja masih belum terjalani bahkan sampai tinggal 3 bulan lagi perkuliahan semester ini selesai.
Tapi balik lagi, selama kita percaya Tuhan, Dia akan selalu kasih jalan terbaik untuk Hamba Nya yang ga berhenti berdoa dan berusaha.
Suatu hari saat gue lagi duduk di pelataran kampus didepan kelas Alya, menunggu dia selesai kelas karna malam ini dosen gue ga hadir jadi gue dapet jam kosong. Ada seorang dosen wanita senior, udah cukup berumur, tapi bukan dosen fakultas gue, membawa sebuah proyektor dan tas berisi laptop dengan tergopoh-gopoh. Sebagai makhluk anti sosial sekalipun gue ga mungkin tega buat pura-pura ga liat. Tanpa ragu, gue mengambil proyektor dan tas laptopnya, menawarkan bantuan untuk membawakannya.
Gue berjalan pelan mengikuti dosen tersebut menuju ruangannya kemudian meletakkan tas laptop dan proyektor itu diatas meja kerjanya, dan segera pamit dari ruangannya. Sebentar nak, kamu fakultas apa" Tanya si dosen saat gue baru mau keluar ruangannya. Saya FISIP Bu. Jawab gue sambil tersenyum menghormatinya.
Oh, kebetulan. Tolong kamu besok temuin Bpk. Adi, dia Dekan kamu kan" Bilang sama dia, kamu dis uruh B u R atna buat temuin dia, perihal tawaran kerja magang di tempat temannya. Jawab dosen tadi yang ternyata Bu Ratna.
Gue mencoba mengingat-ingat nama Pak Adi, yang kemudian gue ketahui sebagai Kajur atau kepala jurusan gue, bukan Dekan gue kaya yang Bu Ratna bilang, mungkin dia lupa atau salah sebut jabatan aja.
Baik Bu, besok pagi saya ke ruangan Pak Adi. Terima kasih Bu. Saya permisi dulu. Ucap gue sambil menundukkan badan tanda pamit.
Gue kembali menuju ruang kelas Alya dengan rasa senang campur bingung. Senang karna mungkin akan dapet kesempatan kerja magang dari Pak Adi sesuai yang Bu Ratna bilang. Bingung mungkin karna gatau gimana besok mau ngomongnya ke Pak Adi. Ah, tapi yaudahlah. Gimana besok aja.
Setelah menyampaikan pada Alya mengenai apa yang dipesankan oleh Bu Ratna, Alya langsung antusias mendengarnya. Padahal gue sebenernya biasa aja, toh belum tentu juga bener ada tawaran magang. Kalopun ada, belum tentu sesuai kemampuan gue. ***
Kipas Dewi Murka 1 Touche Karya Windhy Puspitadewi Rajawali Emas 5
^