Pencarian

Everytime 1

Everytime Karya Alboni Bagian 1


?"Episode 1 Bagian #1 Nama gua Solichin, semasa sekolah dasar dulu gua biasa dipanggil licin dan menginjak SMP temanteman mulai memanggil gua Ableh .
Entah kenapa gua bisa dipanggil begitu, lupa. Bleh.. nebeng dong sampe depan..
Gua sedang mengikat tali sepatu kets hitam kesayangan gua saat Salsa, kakak perempuan gua satu-satunya berteriak dari dalam kamarnya. Yaudah buruan.. gua kesiangan nih.. Gua berkata setengah berteriak sambil berdiri, kemudian bergegas keluar dari rumah dan menghidupkan motor. Nggak lama berselang Salsa keluar, berjingkat sambil memakai sepatu berhak-nya yang sepertinya agak kekecilan, dimulutnya masih tersisa remah-remah roti yang sepertinya dimakan terburu-buru.
Beberapa menit kemudian gua dan Salsa sudah berada di tengah kerumunan sepeda motor yang mulai menyemut di jalan raya depan komplek rumah. Seperti hari-hari weekday biasanya, gua berangkat kerja pukul tujuh pagi dan terkadang Salsa ikut nebeng sampai perempatan depan komplek dimana nanti dia bakal dijemput sama pacarnya disana.
Buat gua semua hari itu sama, terdiri dari hari Senin #1, Senin #2, Senin #3, Senin #4, Senin #5, Libur dan Senin minus 1. Gua orang yang perfeksionis, semua harus tepat pada tempat dan porsinya, gua nggak pernah terlambat masuk kerja, gua nggak suka ada kemeja baju yang warna kancing-nya beda satu, kalau makan telor kuningnya gua makan belakangan, begitu juga dengan Ice cream gua makan cone nya lebih dulu baru kemudian cream-nya, kata orang sih save the best for the last. Gua bahkan mengurutkan channel stasiun televisi berdasarkan tahun berdirinya stasiun yang bersangkutan; #1 Untuk TVRI, #2 untuk RCTI, #3 untuk SCTV dan seterusnya dan seterusnya, gua selalu membeli sikat gigi berwarna hijau dan menyikat gigi bagian depan 24 kali, gigi bagian samping masing masing 24 kali, kemudian berkumur selama 30 detiksesuai dengan anjuran yang tertulis dikemasan obat kumur. Gua selalu meletakkan ponsel disaku celana bagian kanan, dompet di saku celana bagian kanan belakang, uang receh/kembalian gua tempatkan disaku celana bagian kiri, kunci kendaran di saku celana kiri belakang dan rokok disaku kemeja, selalu begitu dan harus selalu begitu, harus!
Semasa kecil gua bercita cita jadi dokter, supaya bisa megang-megang cewek tanpa digampar atau diomelin. Tapi, setelah melihat bahwa jadi instruktur fitnes punya persentase lebih besar untuk bisa megang-megang cewek tanpa digampar atau diomelin, gua pun beralih cita-cita, tapi sayang sampai gua kelas 3 SMP tubuh gua nggak memberikan respon yang berarti, bahkan sampai sekarang tubuh gua cuma terdiri dari tulang, sedikit lemak dan terbungkus kulit. Makanya Salsa selalu bilang begini;
Bleh, badan udah kurus kering, jangan panaspanasan mulu.. ntar jadi kerupuk..
Akhirnya gua memutuskan meninggalkan cita-cita untuk jadi dokter atau instruktur fitness dan mulai menggantungkan impian menjadi artis, sambil tetap berharap dapet peran yang bisa megangmegang, meluk bahkan mencium artis tanpa digampar atau diomelin.
Lulus SMP gua masuk SMA, dan memang seharusnya begitu (mengesampingkan teman gua; si Bewok, yang lulus SMP ingin langsung kuliah. Katanya dari SMP lanjut SMA itu terlalu mainstream). Di SMA, gua memilih untuk mengambil jurusan IPS. Sebenarnya jika menggunakan kalimat yang tepat bukan memilih tapi terpaksa, karena nilai-nilai gua nggak mencukupi untuk masuk ke jurusan IPA. Oke, gua ralat; Di SMA, gua terpaksa untuk mengambil jurusan IPS. Jujur, selama makan bangku sekolah formal dari SD sampai SMP gua cuma berhasil mempelajari tiga hal; Menulis, membaca dan berhitung. Di SMA gua juga cuma belajar tiga hal juga; Belajar merokok, deketin cewek, dan Billiard. Lulus SMA, Bapak ingin agar gua masuk ke Akademi Kepolisian, Ibu ingin anak laki-laki satu-satunya jadi sarjana pendidikan, Salsa menyarankan gua untuk kuliah ambil jurusan IT dan gua sedikit membelot dengan mengambil jurusan Desain Grafis. Lulus kuliah, setelah magang disana sini akhirnya gua berlabuh di sebuah perusahaan yang bergerak sebagai distributor makanan, bagian Exim, Exim disini bukan seperti nama penyakit kulit (Eksim) melainkan sebuah kependekan dari Eksport- Import.
Gua lahir dan dibesarkan dikeluarga yang nyeleneh , makanya gua jadi orang yang sedikit nyeleneh pula. Bapak, saat dikantor, bekerja sebagai notaris dan saat dirumah dia menjelma menjadi sosok tukang kebun dan koki dadakan. Ibu yang jadi guru di salah satu SMP negeri di Jakarta saat dirumah berubah menjadi perdana menteri, ratu, manager keuangan merangkap mandor, semua kata-katanya adalah titah, sebuah ultimatum yang tak terbantahkan, Salsa, kakak perempuan gua adalah seorang akuntan yang bekerja di salah satu stasiun TV swasta di Jakarta dan saat berada dirumah dia menjelma menjadi tangan kanan-nya perdana menteri merangkap asisten mandor, walaupun kata-katanya bukanlah titah, bukan ultimatum yang tak terbantahkan namun seringkali pedas dan pedih bagai cambuk, walaupun begitu Salsa adalah salah satu rolemodel kakak yang brilian, dia selalu ingat dengan adik nya dalam kondisi apapun. Misalnya saat dia makan malam di restaurant mahal dengan rekan kantor atau pacarnya, dia selalu ingat dengan gua; adiknya yang durjana ini.
Bleh, tadi gua abis makan di Ritz, gilaa.. enak banget kepiting nya...
Asik dong, gua dibawain"
Nggak lah, mahal gilaaa... tapi tadi pas makan, gua inget kok sama lo dan pengen buru-buru sampe rumah buat cerita ke lo..
Najis.. kakak durhaka Hampir semasa hidup, gua nggak pernah menemui kesulitan berarti, apalagi dari segi ekonomi. Alhamdulillah, Bapak dan Ibu selalu dicukupkan rejekinya hingga kedua anaknya bisa bersekolah. Dunia sosial gua juga bisa dibilang, tanpa masalah. Gua punya banyak teman dan hampir nggak punya musuh, tapi mungkin kisah percintaan yang selalu jadi masalah. Gua yang perfeksionis, ego sentris dan mau menang sendiri (kata temen gua, si Bewok; gua begini mungkin karena terlahir sebagai anak bungsu) selalu jadi kendala buat cewek-cewek yang baru mau jadi pacar atau sudah terlanjur jadi pacar gua. Tercatat jelas dibuku harian gua, sejak SMP sampai masa kuliah, total gua sudah enam kali berpacaran dan rata-rata durasinya cuma satu bulan. Dina; 27 hari, Ira; 25 hari, Intan; 20 hari, Cecil; 25 hari, Sita; 41 hari, Eci;45 hari dan Anto; 5 hari, oke yang terakhir nggak perlu dihitung. Totalnya; 27+25+20+25+41+45 = 183, 183:30=6,1.
Dan sejak terakhir putus dengan Eci, gua nggak pernah lagi dekat atau berpacaran dengan cewek manapun (cowok juga). Kata peribahasa begini; Keledai nggak bakal jatuh dilubang yang sama dua kali dan itu nggak berlaku buat gua, gua jatuh di lubang kesalahan yang sama enam kali. Dan gua menolak untuk disamakan dengan Keledai. Masih terngiang jelas dibenak gua saat Eci bilang ; Bleh.. kayaknya cukup gue aja deh yang lo perlakuin kayak gini, lo tuh harus belajar ngalah.. kalo lo begini terus, egois, nggak bakal ada yang bisa bertahan sama lo..
Setelah berkata begitu, gua dan Eci pun balik kanan-bubar jalan alias putus. Tiga hari kemudian Eci udah jalan sama Kemal, temen-nya (dan temen gua juga) yang kemudian jadi pacarnya. Saat itu gua bertekad buat dapet pacar yang bisa tahan dengan ke-egoisan gua dan dengan perfeksionisnya gua.
--- Gua tiba dikantor saat jam menunjukkan pukul 8.45. Gua menghela nafas panjang setelah tau kalau nggak terlambat. Hidup dan kerja di Jakarta dengan melalui jalan-jalan pagi ibukota yang seperti neraka memang benar-benar melatih kesabaran, dan untungnya kesabaran yang gua punya, yang konon diturunkan dari Bapak, jumlahnya Unlimited dan mampu menjaga gua dari ganasnya jalanan Jakarta. Sebenarnya jarak dari Kantor gua di daerah Senayan dari rumah gua di Bintaro nggak sampe 10 menit kalau terbang naik gantole. Tapi sayang gua nggak bisa, nggak punya dan memang nggak niat untuk punya gantole, jelas lebih enak naik motor. Selain bisa dipakai buat kerja dan transportasi sehari-hari, motor juga nyaman dipake buat pacaran, gua nggak habis pikir kalau harus pacaran naik gantole, cepet sih cepet. Tapi, agak repot juga kalau mau beli jajan di pinggir jalan.
Sayang, aku mau makan cilok.. Si cewek berkata sambil setengah berteriak, karena suaranya parau, hilang terbawa angin.
Oke honey, dimana" Si cowok yang menggunakan kacamata terbang, balas bertanya, tetap sambil berteriak
Itu, abangnya ada dibawah sana.. Si cewek menunjuk titik kecil, dibawah sana, dikejauhan Baiklah, kita mendarat dulu ya..
Dengan naik motor, jarak dari rumah ke kantor yang seharusnya cuma 10 menit dengan menggunakan gantole bisa memuai jadi sekitar 45 menit sampai satu jam. Itupun dengan gaya berkendara yang oportunis, lihai melihat celah dan pandai memanfaatkan ruang kosong dijalan raya. Gua berlari kecil menuju lobi lift, berusaha memburu lift yang sedang diisi oleh para karyawan yang juga tengah memburu mesin absen di lantainya masing-masing. Sesaat sebelum pintu lift menutup, sambil menggumam sorry..sorry.. , gua berhasil masuk dan menelisip disela-sela kerumunan orang yang sudah memenuhi lift. Samar terdengar suara mengeluh dari belakang gua, mungkin salah satu orang yang terjepit dengan ransel yang gua kenakan. Kemudian sesosok tangan mungil, menyentuh pinggang gua dari sela-sela kerumunan. Gua menoleh sesaat dan nggak melihat sosok tersebut, hanya tangan-nya mungil putih nya saja yang bergoyang-goyang mencolek gua. Dari balik sosok Bapak-bapak berambut klimis, terlihat sosok perempuan yang sepertinya berjingkat dan hanya terlihat ujung kepala sampai mata saja, sambil berkedip memberikan isyarat dia berkata;
Mas, lantai 20 dong.. Berapa" Sepuluh"
Gua mengernyitkan dahi sambil sedikit menunduk. Dua puluh mas!!
Wanita mungil itu sedikit berteriak, hingga membuat beberapa orang didalam lift menoleh kepadanya.
Waduh.. biasa aja kali mbak..
Gua berkata sambil melirik ke arah kumpulan tombol yang terdiri dari angka-angka di bagian kanan pintu lift. Terlihat kalau angka 20 sudah berpendar merah yang artinya sudah ada yang menekan tombolnya. Lantai tujuan yang sama dengan gua.
Ting Bunyi suara dari speaker diiringi dengan terbukanya pintu lift. Gua melangkah keluar dari dalam lift diikuti dua orang lainnya dan salah satunya adalah wanita yang tadi mencolek dan berteriak ke gua. Gua bergegas berjalan menuju ke sebuah pintu kaca yang terletak nggak begitu jauh dari Lift, pintu masuk ke kantor tempat gua bekerja.
Saat membuka pintu kaca, terdengar lagi suara wanita tadi memanggil. Gua menoleh sebentar, dia melambai ke arah gua, kesal karena tadi dia sudah berteriak ke gua dan karena terburu-buru untuk absen, gua pun melengos dan mengabaikannya. Setelah selesai absen, wanita mungil itu terlihat masuk menyusul gua melalui pintu kaca yang sama, celingak-celinguk sebentar kemudian berjalan cepat menghampiri gua. Bu Indra dimana ya"
Wanita mungil itu bertanya ke gua, tanpa basabasi.
Eh..mbak, kalo nanya yang sopan sedikit dong, permisi dulu kek..
Yee, emang saya kurang sopan" Trus nanya yang sopan gimana"
Gua menaikkan alis dan memasang tampang kesal kemudian meninggalkannya begitu saja, sambil berlalu gua berkata: Gua nggak tau.. Dan itulah awal pertemuan gua dengan Desita. -------
Bagian #2 Gila!, Songong banget tuh orang..!
Gua membanting ransel diatas meja kerja kemudian merebahkan diri diatas kursi sambil terus menggerutu.
Kalo cowok udah gua sikat tuh orang.. Rusli, salah satu rekan kerja, yang sedari tadi manggut-manggut sambil memperhatikan gelagat gua, buka suara;
Kenapa sih lu", pagi-pagi udah ngedumel aja.. Gua menyandarkan kepala di kursi dan memandang ke langit langit sambil meletakkan telapak tangan di atas dahi.
Gila.. tadi di lift ada cewek songong banget, rus! Songong kenapa"
Rusli menggeser kursinya mendekat ke gua. Di lift, doi teriak-teriak ke gua, eh sampe diluar lift doi nanya ke gua, tapi nanya-nya nyolot gitu.. Gua sedikit menjelaskan kronologi kejadian di lift barusan ke Rusli. Dia cuma manggut manggut nggak jelas sambil sesekali bergumam hmm.. Dan diawal hari itu, pagi gua berantakan total. Cewek di lift tadi benar-benar berhasil bikin mood gua hancur.
--- Jam di dinding kantor menunjukkan pukul 11.50 siang, gua membereskan meja kerja sebelum pergi keluar untuk makan siang. Gua terbiasa rapi, gua menata meja kerja sedemikian rupa sehingga terlihat seperti meja milik seorang perempuan, tidak ada tempelan catatan-catatan yang ditulis pada post-it warna warni yang ditempel di layar monitor seperti kebanyakan karyawan-karyawan lainnya, nggak pernah ada kertas-kertas berserakan di meja kerja gua, semua teratur rapi dan bersih. Rapi dan bersih saat gua datang, saat kerja, saat gua tinggalkan makan siang dan saat gua pulang. Dan untuk dicatat, hampir semua rekan-rekan kerja gua tau, kalau gua nggak suka ada orang yang tiba-tiba bikin berantakan apalagi bikin kotor meja kerja gua.
Saat hendak berdiri meninggalkan meja, sebuah suara memanggil gua . Suara Bu Indra.
Hin.. hin..Solichin Gua menoleh, melihat seorang wanita pendek, berkacamata bertubuh gemuk melambailambaikan tangannya ke arah gua. Disebelahnya berdiri seorang wanita putih, mungil, dengan rambut sepundak memandang lurus ke depan, menatap ke gua.
Gua mengangkat bahu, pasang tampang heran kemudian mengetuk-ngetukan jari diatas jam tangan yang terpasang dilengan kiri gua. Memberikan isyarat kalau sekarang waktunya makan siang. Bu Indra menangkap isyarat dari gua dan membalasnya dengan gelengan kepala kemudian berjalan cepat menghampiri gua, dan tentunya diikuti oleh wanita mungil tadi. Ada apa bu" Udah jam makan siang nih, saya laper berat..
Nggak cuma sebentar aja, ini kenalin karyawan baru, dia nanti ditempatin dibagian Legal, tapi selama probation tiga bulan dia sama kamu dulu, sekalian belajar Import..
Bu Indra membuka telapak tangannya dan mengarahkannya ke arah wanita mungil yang tengah berdiri dibelakangnya, sebuah isyarat agar kami saling berkenalan. Wanita tersebut menyodorkan tangannya.. Gua memandanginya dari atas ke bawah, agak lama sampai akhirnya gua menyambut tangan-nya
Hai, saya Desita.. Gua menganggukkan kepala dan melepas tangan gua, sambil berkata pelan; Solichin
Nah Desita, mulai besok kamu langsung kesini ya..
Bu Indra bicara ke wanita bernama Desita itu yang dijawab dengan anggukan kepala, kemudian Bu Indra pergi meninggalkan kami yang masih saling terdiam.
Gua sedikit berlari menyusul Bu Indra dan bicara sambil berjalan disebelahnya.
Sorry, bu.. tuh anak duduk dimana, meja disini udah penuh semua"
Ya sementara semeja dulu sama kamu, meja kamu kan gede.. nanti saya suruh orang cari meja kosong buat dia..
What the Belum selesai gua bicara, Bu Indra melotot ke arah gua kemudian berlalu, samar terdengar dari mulutnya ; be nice .
Gua berdiri, terdiam kaku, memandang nanar ke arah Bu Indra yang sosoknya perlahan-lahan hilang berbelok disebuah lorong. Gua berbalik, menuju kembali ke arah meja gua, mengambil jaket yang tergantung di sandaran kursi dan pergi meninggalkan Desita yang masih berdiri mematung didepan meja kerja gua.
Err.. mau makan siang ya"
Desita bertanya sambil menyusul dengan sedikit berlari-lari kecil mengikuti langkah gua. Enggak, gua mau ngebongkar wc, mau ngacakngacak tai..
Idiih.. nggak berpendidikan banget sih jawaban lo..
Gua menghentikan langkah, kemudian menoleh ke arah wanita itu.
Emang apa peduli lu, gua mau kemana" Gua mau makan siang kek, mau makan ati kek, mau makan beling kek.. ngapain lo pake nanya-nanya.. Lho, gue kan nanya baik-baik, kenapa lo sewot" Nah itu lu bisa nanya baik-baik, tadi pagi kenapa nggak gitu"
Oh, lo marah ya gara-gara tadi pagi.. yaudah gue minta maaf
Desita kembali menyodorkan tangannya, gua memandang tangan tersebut sekilas kemudian menatap wajahnya. Dalam hati gua berfikir, kalau gua menerima maaf-nya sekarang, sebagai laki-laki gua merasa kalah, harga diri gua bakal hilang dimata dia dan seterusnya dia bakalan membabibuta melecehkan gua. Nope, itu nggak boleh terjadi.
Gua mengabaikan tangannya yang masih menggantung dan buru-buru masuk kedalam lift yang masih terbuka.
Desita berlari kecil menyusul gua, dan hebatnya, dia bisa menyelinap diantara pintu lift yang hampir menutup, kemudian memposisikan diri disebelah gua.
Oke, kalo lo gak mau maafin gua, nggak masalah
Dari dinding lift yang terbuat dari kaca, gua bisa melihat kalau di sedang menggerutu sambil memonyong-monyongkan bibirnya. Gua akui kalau cewek ini memang manis, nggak.. nggak.., dia nggak cuma manis, dia juga cantik, tubuh mungilnya sungguh terasa cocok dengan rambutnya yang sepundak, wajahnya yang oval dan gaya berpakaiannya yang feminim dengan kemeja putih bergaris, rok span berwarna cokelat tapi tetap terlihat sporty dengan balutan jam tangan Baby-G biru di lengan kiri-nya. Seandainya, dia nggak cari masalah dengan gua, mungkin saat ini gua tengah merayu-nya untuk ikut makan siang di warung belakang kantor.
Pintu lift terbuka, gua buru-buru keluar dan menuju ke pintu belakang basement. Sambil menggunakan jaket gua menyulut sebatang rokok dan berjalan cepat. Selama gua kerja disini, gua selalu makan siang tepat jam dua belas dan selesai makan jam 12.40, kemudian sholat Dzuhur, sampai jam 12.50 dan tidur-tiduran di mushola kantor sampai jam 12.00, jam 12.10 siang, gua sudah berada di meja kerja gua lagi.
Tapi, kali ini sepertinya sedikit diluar jadwal, dan gua nggak suka itu. Gua melirik jam tangan, waktu menunjukkan pukul 12.10, yang artinya gua udah kehilangan lima menit dari jatah waktu makan siang gua, dan semua ini gara-gara dia. Gua menggerutu sambil melirik Desita yang masih berlari-lari kecil mengikuti gua.
Eh, sol.. lo mau makan dimana" What.. lu manggil gua apa"
Gua menghentikan langkah tiba-tiba setelah mendengar pertanyaan dari Desita, bukan pertanyaannya yang jadi masalah. Tapi, penggunaan panggilan nama gua yang kurang enak ditelinga.
Nama lo Solichin kan"
Iya, tapi jangan Sol juga kali manggilnya.. Trus apa", Licin" Hahaha kayak lantai abis di pel dong licin
Gila! Gua menyilangkan jari didepan dahi kemudian meneruskan langkah gua ke sebuah warung nasi yang terletak nggak begitu jauh dari pintu keluar basement.
Dari kejauhan sudah terlihat beberapa warung tenda yang berjajar rapi di tepi jalan kecil menuju ke perkampungan warga dibelakang kantor, siang itu cuaca sedikit gerimis diiringi beberapa kali petir yang sahut menyahut. Gua masuk kedalam salah satu warung tenda yang menjual aneka pecelpecelan dari mulai pecel ayam, pecel lele sampai pecel bebek, diikuti oleh Desita yang nggak pernah selangkah pun lepas dari gua semenjak dari atas tadi.
Eh mas Solichin.. mangan mas" / Eh mas Solichin, makan mas"
Terdengar kalimat pembuka dari Mbak Jumi, ramah menyapa gua yang baru saja duduk disebuah bangku kayu panjang.
Ya gua kalo kesini pasti makan lah, mbak.. kalo mau berak saya ke wc..
Gua menjawab sekena-nya, respon dari kalimat yang baru saja gua lontarkan berdampak sistemik kepada orang-orang yang juga tengah makan disitu, mereka berhenti sejenak dan memandangi gua. Gua melotot, balas memandang ke arah beberapa orang yang masih kekeuh melihat ke gua;
Apa! Belom pernah ngeliat orang lagi kesel!!" Seketika orang-orang yang tadinya memandang ke arah gua langsung memalingkan kembali wajahnya sambil melanjutkan makan. Gua agak sedikit takjub juga dengan keberanian gua yang tiba-tiba muncul jika sedang kesal, padahal kalau tuh orang-orang yang barusan gua bentak nggak terima dan berusaha mukulin gua, gua nggak bisa apa-apa kecuali nangis-nangis sambil mohon ampun.
Pecel ayam satu, mbak.. nasi nya setengah, es teh manis..
Gua mulai memesan, kemudian duduk sambil mengeluarkan Ponsel, mengecek keberadaan Rusli melalui SMS.
Mbak, pecel lele nya ya satu..
Desita, mengangkat telunjuknya sambil memesan dan duduk disebelah gua.
Eh, emang lo lagi kesel sama siapa, sol" Gua memalingkan pandangan dari layar ponsel gua ke arah Desita.
Menurut lu, gua lagi kesel sama siapa" Hmm.. bentar.. bentar.. sama Bu Indra ya" Gua mengangkat kedua tangan sambil mengepalkannya dan sedikit menggeram, nggak menjawab, sama sekali nggak menjawab, hanya menggerutu sambil menggeram;
Aarrgghg.. oh gosh.. oh my.. please save me Kemudian siang itu hujan turun, gua menikmati pecel ayam yang seperti nggak ada rasanya, hambar. Disebelah gua duduk seorang wanita mungil yang tengah menjilati jari-jari nya yang dipenuhi sambal pecel setelah menghabiskan dua ekor lele goreng. Jam menunjukkan pukul 12.50 dan lengkap sudah hancurnya mood gua hari ini ---
Eh.. sol, emang kita ngimport barang apaan aja sih"
Desita bertanya membuka keheningan, dia duduk dengan kursi yang diambil dari ruang meeting disebelah gua sambil sesekali mencatat di notes bersampul Hello Kitty miliknya.
Lho, lu ngelamar kerja disini tanpa tau background perusahaannya" Aneh..
Yee, gue tau.. tapi kan detail impor nya gue belom tau..
Ni perusahaan kan distributor makanan, jadi nggak produksi sendiri, menurut lu kita ngimpor apaan"
Makanan.. Nah itu lu tau,pake nanya.. Iiih.. maksudnya..
Belum selesai Desita berargumen, gua mengambil sepotong kertas dari tempat sampah, menggulungnya dan melemparkannya ke Rusli yang sedang asik bermain Farmville di komputernya sambil menggunakan earphone. Rusli tergagap, kaget, kemudian melepas salah satu earphone dari telinganya dan membuka mulutnya sambil bertanya Apa" tanpa suara. Nih, bocah lu ajarin regulasi BPOM aja dulu.. Gua berkata ke Rusli, kemudian menambahkan; Tuh, lu tanya-tanya masalah dokumen untuk BPOM aja dulu ke Rusli..
Tanpa banyak tanya, Desita menggeser kursinya ke meja disebelah gua, meja si Rusli.
Jam menunjukkan pukul 16.25 saat gua memutuskan untuk mematikan komputer, membereskan meja kerja gua dan bersiap turun untuk pulang. Disebelah gua terlihat Rusli tengah garuk-garuk kepala sambil menjelaskan beberapa dokumen yang berhubungan dengan perizinan BPOM kepada Desita. Gua tersenyum kecil kemudian melewati mereka sambil menepuk pundak Rusli;
Gua balik duluan ya.. Rusli cuma mengangkat tangannya dan gua bergegas turun. Didalam lift saat turun, gua bertemu dengan Bu Indra. Ah kebetulan, ada sedikit yang mengganjal perkara penempatan Desita di departemen gua, khususnya semeja dengan gua.
Bu, itu si Desita, buat legal kok probation-nya di Import sih"
Ya kan Import ada hubungannya sama legal juga, hin..
Iya sih, tapi kenapa nggak di Eksport aja" Traffic eksport kita kan rendah, hin.. mana bisa dia nanti kalo ditaro disitu.. emang kenapa sih, lagian tuh cewek juga cakep kan, bukannya seneng kamu"
Yaa...gimana ya" Emang Kenapa sih"
Bu Indra merubah mimik wajahnya menjadi sedikit serius, tadinya gua mau bilang kalo tuh anak rese dan ga asik tapi gua urungkan karena takut mempengaruhi penilaian Bu Indra terhadap Desita pada masa probation-nya, dan gua nggak mau merusak rejeki dalam karir seseorang, sebenci apapun gua dengan orang tersebut.
Nggak apa-apa, bu.. Oiya, hin.. saya belum dapet meja kosong buat anak baru itu, sementara sama kamu aja dulu ya.. What.." terus sampe kapan"
Belum sempat menjawab, pintu lift terbuka dan Bu Indra buru-buru ngeloyor pergi meninggalkan gua yang masih berdiri mematung didalam lift hingga pintunya menutup kembali.
------- Bagian #3 Hari berikutnya, gua tiba dikantor lebih pagi. Gua berangkat lebih awal dengan alasan; menghindari Salsa nebeng yang selalu sukses bikin gua sedikit terburu-buru, karena Salsa selalu minta ditungguin setelah gua turunkan sampai teman atau pacarnya datang menjemput.
Gua masuk ke dalam ruangan, dan terkejut setelah melihat sosok Desita yang tengah asik duduk dikursi gua, menggunakan komputer gua sambil menikmati bubur ayam didalam wadah sterofoam. Disisi meja yang lain berserakan plastik bekas bungkusan bubur dan beberapa tissue. Gua menarik kursi kecil yang seharusnya digunakan Desita dan duduk disana, Desita menyadari kehadiran gua, menoleh sebentar kemudian kembali asik kehadapan monitor.
Eh.. udah dateng.. Gua mengusap wajah dengan kedua telapak tangan, mengambil cangkir diatas meja dan berjalan menuju pantri untuk membuat kopi. Sebelum berlalu, gua sempat berkata ke Desita; Gua mau bikin kopi, pas gua balik nanti, gua mau lu udah enyah dari kursi gua dan sampah-sampah itu udah nggak ada..
Sepertinya gertakan gua tadi cukup berhasil, sekembalinya dari pantri terlihat meja kerja gua sudah kembali bersih, sampah-sampah sudah berpindah ke tempat sampah dan Desita sudah berpindah ke kursi dimana dia seharusnya berada, disamping kursi gua. Sambil menyilangkan kaki dan meletakkan kedua tangannya diatas dada, dia tersenyum ke gua. Oh, God.. kalo aja dia nggak nyebelin, mungkin gua sudah tenggelam dalam senyumannya.
Gua duduk di kursi, meletakkan siku diatas meja dan berpangku tangan;
Rule number one, dont ever touch my stuff.. rule number two dont ever ever touch my stuff, rule number three, dont ever ever ever touch my stuff..
.... ..dan, jangan berani-beraninya lagi lu bikin kotor ato berantakan meja gua lagi..
Iya maaf Desita menundukkan kepala-nya, hal yang membuat gua sedikit iba. Gua membuka aplikasi pemutar lagu di komputer dan mulai memainkan playlist yang berisi lagu-lagu favorit gua, lumayan buat mencairkan suasana.
Kemaren udah diajarin apa sama Rusli" Gua bertanya ke Desita. Yang ditanya cuma terbengong-bengong sambil mengetuk-ngetukan ujung pensil ke bibirnya.
Hmm.. Rusli itu yang mana yah"
Whaat kemaren lu emang nggak kenalan" Itu yang kemaren ngasih tau lu tentang dokumendokumen BPOM, yang duduk disini Gua bicara setengah berteriak sambil menunjuk kursi dan meja kosong tempat Rusli duduk. Ohh namanya Rusli, yang kumisan kan" Yang kumisnya kayak bulu sikat"
Iyaa.. yang orangnya nggak bisa mingkem.. Emm.. udah sampe mana ya.. Emm udah lah, urusan dokumen gitu mah gancil
Desita berkata sambil menjetikkan ujung jari kelingkingnya.
Bisa nggak kalo kita langsung ke menu utama-nya aja" Langsung ke prosedur Import..
Desita menambahkan, sambil menggeser kursinya mendekat. Dari tempat gua duduk tercium parfum beraroma Candy yang menggoda. Aarrghh Stop!! Stop!!.. mundur lu.. mundur Gua mengangkat tangan sambil menggoyanggoyangkan telapak tangan, memperagakan gerakan mengusir kucing; hush..hush. Desita memundurkan kursinya, kemudian menatap, gua baru menyadari kalau Desita memiliki mata biru yang indah dan gua ragu kalau itu adalah softlens, dengan mata biru-nya kali ini pandangannya berubah menjadi lebih serius, dalam tatapannya, gua seperti terseret kedalam sebuah cerita, mata ini, mata indah ini seperti memiliki cerita nya sendiri, seperti ada kepedihan didalamnya. Dan seperti terhipnotis, tangan gua mulai menyentuh wajahnya, tanpa sadar gua mengucap;
Maaf Sebuah kata yang nggak pernah gua ucapkan kepada perempuan manapun, siapapun. Plak!!
Sebuah tamparan mendarat di pipi sebelah kiri gua, nggak begit keras, tapi cukup mengagetkan. Sejurus kemudian Desita menyingkirkan tangan gua dari wajahnya
Wooyy Suara Rusli membuyarkan lamunan, Dengan posisi tangannya masih memegang tangan gua. Kami terlihat salah tingkah, ditambah suara Rusli yang seperti meledek membuat gua semakin linglung, semakin nervous.
Gila!, baru kenal dua hari udah pegangpegangan..
Rusli bicara sambli menggeleng-geleng kan kepala sambil duduk dikursinya.
Sorry ya.. nggak level gua pegang-pegangan sama dia..
Gua membalik badan dan kembali menatap ke layar monitor. Sambil mengusap-usap pipi kiri gua yang sekarang baru terasa pedas
Desita menarik kursi mendekat, wangi parfumnya kembali menyebar disekeliling hidung, dia mengeluarkan notes kecilnya dan meletakkannya diatas meja, kemudian memasang posisi bersiap untuk mencatat.
Mau ngapain lu" Mau mencatat.. Sono geseran dikit
Desita menggeser kursinya hingga tepian meja, kemudian kembali memasang posisi siap mencatat.
Gua nggak suka ngulang-ngulang, jadi selama gua jelasin lu cukup catet aja, kalo lu nggak nyimak, ketinggalan atau nggak denger, gua nggak mau ngulang..
Oke.. Desita menjawab sambil mengangkat ibu jarinya dan mengangguk.
Dan gua pun mulai menjelaskan prosedur melakukan import barang, terutama jenis makanan siap saji, dari tahap awal seperti persiapan dokumen, legalitas sampai tahap akhir; pengurusan kepabeanan. Semua gua jelaskan secara cepat, singkat dan lugas, nggak sampai dua jam, gua telah selesai menjelaskannya.
Oke, udah jelas kan.."
Gua bertanya ke Desita sambil melirik notes miliknya dan terkejut setelah melihat nggak ada satupun tulisan disana kecuali sebuah judul yang ditulis dengan huruf kapital yang sepertinya diulang-ulang; Import .
Buset.. gua cape-cape jelasin dari tadi, dan sama sekali nggak lu catet"
Abisnya lo cepet banget jelasinnya, gimana gue mau catet, emang lu pikir gue wartawan bisa nulis cepet"
Yaelah, jaman sekarang tuh apa-apa kudu cepet, jangan lelet.. yaudah, kayak yang tadi udah gua bilang, gua nggak mau ngulang, titik.. Oke, fine.. kalo gitu, gue bisa kok cari orang laen yang bisa ngajarin gue
Oh, ya malah lebih bagus, silahkan.
Gua berdiri dan mengangkat tangan mempersilahkan Desita untuk pergi, nggak menunggu lama, dia berdiri, memasukkan notes dan alat tulisnya kedalam tasnya dan berjalan cepat meninggalkan gua.
Woii Gua memanggilnya. Desita menoleh tanpa bertanya.
Nih, kursi balikin ke ruang meeting..
Dia, berjalan kembali ke arah gua, mengambil kursi yang sedari kemarin dia gunakan dan menariknya. Sesekali dia menggerutu saat roda kursinya membentur dinding atau tersangkut pada tirai. Gua memandangnya sampai dia menghilang persimpangan lorong, dia berpaling sebentar, menatap tajam ke arah gua, kemudia mengibaskan rambutnya dan meneruskan berjalan.
Parah lu, bro.. Rusli yang sejak tadi cuma duduk, mendengarkan musik lewat earphone sambil bermain Farmville membuka suara.
Parah kenapa" Ya itu, masak sama perempuan segitu keselnya.. Yah, gimana yak, gua kurang sreg aja kayaknya.. Gua beralasan, membuat kebohongan pertama, yang dikemudian hari gua akan menyesalinya. Kurang sreg kok tadi pegang-pegangan.. Nnngg.. anu.. tadi sebenernya..
Gua menggaruk-garuk kepala sambil mencari alasan lain.
Udah nggak usah banyak alesan.. gua paham dah..
Rusli dengan gaya sok kebapak-bapakan menepuk pundak gua.
Bukan gitu, rus.. Udah.. Sssttt.. Ssstt.. Gua ngerti..
Rusli memasang tampang sok bijaknya sambil tersenyum.
Nggak seberapa lama berselang, saat gua tengah sibuk dengan banyaknya laporan yang masih menumpuk, pesawat telepon di meja gua berdering. Gua melihat ke layar kecil yang berada dipesawat telepon dan terpampang ekstensi dari Pak Swi, manajer Eksport-Import, manajer gua. Pak Swi ini orangnya terkenal galak dan disiplin, dia jarang sekali marah, but when he do, you ll be wish that you never work here. Gua berderhem sebentar sebelum mengangkat gagang telepon.
Halo.. Hin, ke ruangan saya ya sekarang.. Emm, ya pak..
Gua meletakkan gagang telepon dan berdiri, Rusli memandang gua dan bersiap bertanya sebelum selesai dia membuka mulutnya, gua buru-buru berkata;
Pak Swi, gua disuru keruangannya.. Kemudian gua bergegas naik ke Lantai atas. Beberapa menit kemudian gua sudah duduk disebuah kursi yang menghadap kemeja kerja besar terbuat dari kayu jati dimana banyak berkasberkas berserakan diatasnya. Diseberang gua, disisi satu-nya duduk seorang pria berkacamata, dengan rambut yang membotak dibagian belakang kepalanya sedang memandangi dan membolak-balik dokumen yang ada ditangannya. Kamu kenapa"
Pak Swi bertanya tanpa memalingkan pandangannya dari dokumen-dokumen ditangannya.
Kenapa, apanya pak" Katanya kamu ada masalah sama anak baru" Pak Swi bertanya lagi, pandangannya masih belum beranjak dari dokumen-dokumen ditangannya. Hah, nggak kok pak..
Gua menyadari kalau arah pembicaraan ini pasti merujuk ke sebuah nama;Desita. Dan gua berusaha menutupinya, walaupun gua yakin bakalan percuma, karena Pak Swi terkenal punya kemampuan interogasi yang tinggi dan kemampuan mengorek informasi yang mumpuni. Heh..
Pak Swi menyunggingkan senyuman, sebuah senyuman yang sangat populer buat para staff Eksport-Import. Biasanya senyuman model seperti yang barusan dikeluarkan, staff yang bersangkutan bakal keluar dari ruangannya sambil tertunduk dan menggenggam sebuah surat peringatan, surat pemotongan gaji sampai surat pengantar mutasi.
Hin, kamu kan udah lumayan lama kerja disini, udah senior.. trus apa susahnya sih cuma ngajarin anak baru"
Mmm, sebenernya sih saya nggak ada masalah, tapi..
Tapi apa".. kamu mau saya telepon anak baru itu buat kesini.. biar konfrontasi sekalian" Ya silahkan aja sih pak.. toh saya nggak merasa salah apa-apa..
Mendengar kalimat yang baru aja gua lontarkan, Pak Swi mulai meletakkan dokumen-dokumen yang sedari tadi diamati, membetulkan letak kacamatanya dan memandang ke arah gua. Saya mau setelah kamu keluar dari sini, kamu cari anak baru yang tadi kamu usir, dan lakukan apa yang seharusnya seorang senior lakukan ke juniornya..
Iya pak.. Yaudah sana.. Pak Swi kemudian kembali mengambil dan mengamati dokumennya lagi, gua beranjak dan bergegas keluar dari ruangan sebelum Pak Swi berkata;
Hin.. saya nggak mau denger kejadian kayak gini lagi ya..dan saya mau report progress nya anak itu per minggu.. disini, dimeja saya setiap senin Gua mengangguk kemudian keluar. Sambil terus menggerutu dalam hati, gua mulai berspekulasi, siapa yang mengadukan hal ini, dan orang pertama gua curigai tentu saja; Desita. Mungkin dia bicara ke Bu Indra dan kemudian Bu Indra melaporkan hal ini ke Pak Swi, yang notabene adalah atasan langsung gua.
Lu liat Desita nggak, Rus"
Gua bertanya ke Rusli yang tengah sibuk mencatat di meja kerjanya.
Desita siapa" Desita.. itu cewek yang tadi...
Oh yang tadi lu sempet pegang-pegangan sama dia, namanya Desita toh..
Liat nggak" Nggak.. kenapa" Gapapa
Gua menjawab sambil berlalu, bergegas menuju ke ruangan Bu Indra. Siapa tau dia ada disana. Ditengah lorong, menuju ke Ruangan Bu Indra gua melihat Desita tengah berbincang dengan Mas Anto, orang dari departemen legal. Gua menghampiri mereka, tanpa basa-basi gua menarik tangan Desita menuju ke sudut lorong. Lu ngadu ke Bu Indra"
Iya!!, kenapa" Gila lu.., masih baru aja udah nyari-nyari masalah!!
Hah, gue nyari masalah"" Hellooo.. nggak salah" Gue tanya sekarang, yang dapet masalah siapa" Udah sekarang lu ikut gua..
Gua kembali menarik tangannya. Iiih.. lepas ah, gue bisa jalan sendiri..
Desita berhenti dan berusaha melepaskan genggaman gua, nggak sadar ternyata beberapa orang tengah berdiri memperhatikan kami. Gua melepasnya, dia mengusap-usap pergelangan tangannya kemudian berjalan cepat pergi meninggalkan gua. Saat kembali ke meja kerja gua sudah mendapati Desita tengah duduk dikursi sambil mengganti-ganti playlist lagu di komputer. Awas.. ambil kursi lu sono..
Nggak, gue mau duduk disini.. Reseh lu..
Gua menggumam sambil berjalan keruang meeting, mengambil sebuah kursi kecil dan menyeretnya ke meja gua.
Oke, sekarang gue harus mulai dari mana" Gue mau langsung praktek aja..
Praktek ngapain" Praktek import lah.. Nggak ada, sekarang lagi nggak ada import, semuanya udah dikapal, paling tinggal nyiapin dokumen pabean-nya aja buat ngambil barang di pelabuhan..
So, what youre waitin for.."
Jujur, saat ini cuma ada satu orang yang gua nggak ingin berada didekatnya; Desita. Tapi, mau nggak mau gua harus melakukan semua ini, akhirnya gua pasrah dan mulai mengajari dia tahap-tahap yang harus dikerjakan dalam prosedur pengambilan barang dari pihak Custom.
--- Hari-hari berikutnya gua habiskan dengan memberi tutorial langsung kepada Desita, memang bukan sesuatu yang sulit mengajarkan semua hal-hal ini kepadanya. Selain cepat tanggap sepertinya dia juga cukup sigap. Belum ada seminggu, dia sudah hampir menguasai apa yang gua ajarkan. Cuma yang sedikit agak mengganggu tentu saja masalah yang dimiliki hampir semua wanita yang ada didunia; Bawel.
Kalau bawelnya itu ada hubungannya dengan pekerjaan, mungkin gua masih bisa maklum. Tapi, Desita terkadang bawel terhadap hal-hal yang kurang penting, bahkan sama sekali nggak penting dan nggak ada hubungannya langsung dengan proses Import. Sol, kayaknya lo nggak cocok deh pake kemeja warna ijo.. , Sol, selain bikin kesel orang, keahlian lo apalagi sih" , Sol, harusnya kalo mau pindah kolom pencet tab aja kali.. , Sol, lo kalo potong rambut, bilangnya apa ke abangnya" , Sol,lo marah nggak kalo bulu idung lu gue cabut, satuuu aja.. . Dan pernah suatu waktu, dia bilang begini;
Sol, lo tau nggak kalo gue suka ngupil" Gua cuma diam, sudah hampir seminggu ini dia selalu membahas hal-hal nggak penting macem ini, seperti biasa gua cuma mengabaikannya.
Biasanya gue kalo abis ngupil, gua pilin-pilin kecil...
... Trus gue tempelin dibawah meja..
Gua kaget, memandang ke arahnya kemudian turun dari kursi dan melongok ke bagian bawah meja kerja. Gua menghela nafas setelah tau kalau bagian bawah meja gua bersih. Dan kembali duduk diatas kursi. Desita cuma cekikikan sendiri dan berkata; Hehehe.. becanda..
------- Bagian #4 Masuk minggu terakhir dalam bulan pertama masa probation-nya Desita. Dan gua rasa ini jadi masa ujian juga buat gua. Ada perasaan sedikit bangga saat melihat Desita mampu menguasai hampir semua yang gua ajarkan, dan kagum dengan daya tangkap serta intelegensianya yang tinggi, ya cukup pintar untuk ukuran orang selain gua.
Setelah hampir sebulan, akhirnya gua punya cukup kekebalan dalam menghadapi makhluk mungil yang namanya Desita ini. Mungkin banyak yang bertanya-tanya, seberapa menyebalkannya kah Desita buat gua". Oke, gua jabarkan sedikit; Desita itu wanita mungil berparas cantik yang (menurut gua) memiliki kepribadian ganda, suatu saat gua pernah melihat dia duduk bersandar di tembok mushola di basement kantor sambil terbengongbengong, menghiraukan segala hiruk pikuk yang ada disana pada saat jam istirahat. Beberapa menit kemudian, dia sudah hahahihi, cekakak-cekikik disebelah gua, menikmati kripik singkong sambil sesekali mengecek laporan Import. Pernah pula gua mendapati dia tengah menangis, walaupun saat gua tanyakan alasannya dia cuma bilang; Ini nih, kelilipan upil.. dan setelahnya dia kembali ceria, dia seperti memiliki dua pribadi dan sialnya gua mulai jatuh hati pada kedua pribadi-nya. Walaupun perasaaan ini sedikit menaruh hati padanya, tetapi tubuh dan akal ini menolak keras untuk setuju dan sepaham dengan perasaan. Gua yang punya ego setinggi langit, sebesar gunung, menolak mentah-mentah untuk jatuh hati kepadanya. Jatuh hati kepada seorang cewek yang benar-benar nggak mendapat nilai memuaskan gua sejak kesan pertama, gua setuju dengan kata-kata pada sebuah iklan, kalau kesan pertama begitu menggoda dan Desita sudah kehilangan kesan itu. Tapi, kadang hati nggak bisa dan nggak akan pernah bisa berbohong, entah sejak kapan setiap malam, setiap gua berpisah dengannya dari kantor, bahkan belum ada limat menit gua pamit untuk pulang duluan, wajah dan selalu sukses tampil berbayang di kaca helm gua, di speedometer motor gua, di layar ponsel gua, di tangki bensin motor gua, di gumpalan awan yang berjalan lamban, di butiran pasir disudut jalan, dihembusan angin sore Jakarta, di papan reklame, dimana-mana. She s everywhere.
Selain itu Desita juga punya sifat yang luar biasa nggak ketebak, pola hidupnya sangat random, semua seperti tidak ada aturan yang baku, dia bisa saja tiba-tiba mengeluarkan bekal makan siangnya saat jam baru menunjukkan pukul 11 siang, atau menggunakan jam tangannya disebelah kiri kemudian besoknya disebelah kanan, dia juga acap kali terlihat meminum secangkir kopi, dilain hari dia terlihat menikmati teh dan dihari berikutnya dia hanya minum air putih dari botol air mineral. Suatu waktu, saat sebuah lagu berjudul Vindicated -nya Dashboard Confenssional diputar di playlist gua, dia manggut-manggut sambil bilang Enak banget nih lagu.. dihari lainnya dia bilang ; Ganti.. ganti, lagu nggak jelas gini di setel.. , sungguh nggak tertebak. Hal ini yang membuat gua sedikit kehilangan respect terhadapnya, hal ini sangat bertolak belakang dengan gua, sangat berbeda 180 derajat. Bagaimana mungkin ada seseorang yang gaya hidupnya begitu semrawut , begitu amburadul .
Yang membuat gua dan Desita mirip hanyalah, kami sama-sama keras kepala. Kami sama-sama punya temperament yang cukup tinggi, kami berdua sama-sama enggan mengalah kami samasama pejuang, pejuang terhadap idealisme-nya masing-masing.
Lu nggak makan siang" Nggak nanti aja" Belom laper..
Oh.. kok ada ya orang jadwal makannya aja nggak teratur..
Gua berkata sambil mengambil jaket kemudian pergi untuk makan siang.
Loh.. terserah gue dong.. perut-perut gue.. dan yang ngerasain laper juga gue, kenapa lo yang rempong..
Desita membalas perkataan gua dengan argumennya, gua hanya mendengarnya sekilas dan berusaha menahan diri untuk nggak menggubrisnya.
Saat tengah berjalan di lorong menuju ke meja kerja setelah selesai istirahat makan siang, gua melihat dari kejauhan Pak Swi sedang berbincang dengan Desita di meja gua. Melihat hal tersebut, perasaan gua jadi nggak menentu, ada apa ini" Apa Desita bikin masalah" Atau gua yang bakal dapet masalah" Karena nggak biasa-biasanya Pak Swi turun kebawah dan memberikan perintah langsung kepada bawahannya, biasanya dia selalu menggunakan Email dan Message Chatting, biar ada bukti katanya.
Ada apa pak" Gua bertanya ke Pak Swi sambil melepaskan jaket. Oh, hin.. begini..
Pak Swi bangkit dari kursi tempat tadi dia duduk dan menepuk pundak gua.
Besok, kamu ke BPOM, ngurus prosedur pindah alamat, buat di Nomor Ijin Edar produk ya.. Lah, kan ada Rusli pak.."
Rusli tadi telepon, dia nggak masuk, istrinya lagi sakit.. lagian juga ini nggak ada hubungannya sama Rusli
Ooh.. Gua meng ooh kan sambil mengingat isi SMS dari Rusli tadi pagi, yang bilang kalau istrinya lagi sakit, gua pikir Rusli cuma alasan aja supaya bisa libur panjang, karena besok hari Jum at.
Nah, saya udah bilang sama Desita tadi, dia ikut kamu besok..biar paham prosedurnya sekalian Pak Swi kemudian berlalu meninggalkan gua yang masih terdiam.
Pak..pak.. Gua berlari kecil menyusul Pak Swi. Emangnya kita mau pindah alamat"
Nggak, bukan kita.. tapi pabrik yang di US sana mau pindah.. jadi alamat yang ada di Nomor Ijin Edar dan di label Produk harus diubah juga.. Oh iya.. iya..
Tapi apa, saya perlu ngajak dia pak.." Gua bertanya sambil mengerlingkan mata ke arah Desita yang tengah duduk menatap ke layar monitor di meja gua.
Lohh.. kamu ini paham nggak" Maksudnya.."
Mengurus prosedur pindah alamat itu tugasnya Departemen Legal, dan kamu bukan orang legal.. Trus.."
Disini yang posisinya orang legal, ya anak itu.. Pak Swi menunjuk ke arah Desita.
Jadi.." Jadi, harusnya pertanyaannya bukan kenapa Desita harus ikut kamu" , tapi, kenapa kamu harus ikut Desita" , Paham"
Mendengar penjelasan Pak Swi, gua menundukkan kepala sambil memijit kening. Ini artinya, besok gua akan ke BPOM tanpa punya kuasa dan Desita lah yang punya kendali penuh. Kamu paham nggak"


Everytime Karya Alboni di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pak Swi bertanya. Iya paham, pak.. Kemudian gua berjalan pelan sambil menunduk kembali ke meja gua.
Sol, besok lo anter gue ke BPOM ya.. Bawel!, gua udah tau..
Jangan lupa semua dokumen-dokumen yang diperluin disiapin..
Desita berkata ke gua sambil mengangkat kedua alisnya, seakan memberi perintah.
Songong banget lu, nyuru-nyuru gua" Bukan gitu gua kan nggak tau dokumen apa aja yang diperluin..
Gua nggak menjawab, cuma mengambil selembar kertas dan mulai menulis. Kemudian menyerahkan potongan kertas tersebut, yang isinya daftar dokumen yang harus dibawa kepada Desita. Nih.. yang tinta warna biru, lu minta dokumennya sama orang legal.., yang tinta warna item lu cari di Filling Kabinet-nya si Rusli, yang tinta merah lu baca dan camkan baik-baik..
Desita memperhatikan dan mulai membaca kertas tersebut, kemudian mendekatkan bibirnya ke telinga gua. Dari sini wangi tubuh-nya terasa menusuk ke hidung kemudian menjalar ke otak, sebuah aroma yang memancarkan kebahagiaan; Oke bos..
Desita berdiri dan melangkah pergi ke lantai atas, ke bagian legal. Meninggalkan gua yang masih terkesima dalam balutan aroma tubuhnya yang menggoda.
Gua duduk terdiam, sambil kemudian tertawa sendiri membayangkan apa yang baru saja gua tulis dengan tinta warna merah di secarik kertas tadi yang isinya;
Gua nggak pernah jalan berdua sama cewek yang tampil biasa-biasa aja, besok lu harus luar biasa! ---
Malam harinya, sebuah malam yang mungkin bakal selalu gua kenang di masa sisa hidup gua. Bagai seorang bocah yang dijanjikan bakal diajak ke Dunia Fantasi oleh Bapak-nya, kayak seorang anak SD yang menunggu hari Study Tour dan mungkin mirip seorang mahasiswa yang bersiap menghadapi wisuda besok harinya, gua gelisah, susah tidur dan berharap-harap cemas menantikan jam weker gua berdering, menunggu pagi.
Pagi dimana gua akan ke kantor BPOM bersama Desita.
Perasaan seperti ini, perasaan yang mirip seperti inilah yang kerap kali muncul setiap saat, apalagi menjelang tidur. Wajah Desita selalu terbayang dimanapun dan kapanpun. Rasa inilah yang selalu dilawan akal sehat gua agar nggak kehilangat harga diri, agar nggak merusak martabat, agar jangan sampai gua suka sama dia atau bahkan amit-amit bisa jadian sama dia. Tapi, ah.. reseh ya.. kenapa tuh anak bikin kesel gua saat baru pertama jumpa, ah.. kalo aja dia nice, pasti nggak bakal bergejolak begini hati gua.
Yang jelas gua nggak bisa dan menolak untuk jatuh cinta sama orang yang nggak punya manner , orang yang pola hidupnya aja berantakan, gimana nanti kalau jadi istri gua, hidup gua bakal berantakan juga, gua nggak habis pikir kalau nanti orang seperti Desita jadi istri gua, jadi ibu dari anak-anak gua, saat gua pulang kerja dan disambut oleh istri dan anak-anak gua yang tengah asik duduk berjajar sambil ngupil di teras depan rumah. Dan jelas bisa dibayangkan betapa banyak nanti upil-upil yang ber-kerak, mengeras dibawah meja-meja, dikolong kursi, disenderan kasur dan ah.. sudahlah.
Tapi Sebuah bayangan Wajah itu
Tawa itu.. Aroma tubuhnya Aaarrrgghhh anjiiiiiiiiiin*!!!
Gua mengacak-acak rambut sambil terduduk diatas kasur. Nggak lama terdengar suara ketukkan dipintu kamar gua disusul suara renyah ibu.
Bleeh.. bleh.. kamu kenapa" Nggak apa-apa..
Gua membenamkan wajah dalam tumpukan bantal.
Terus kenapa teriak-teriak"
Ibu terus bertanya, masih dari luar dibalik pintu kamar.
Gua bangun, turun dari tempat tidur dan membuka pintu kamar. Ibu berdiri, berkacak pinggang sambil bersandar pada tembok disisi pintu kamar gua.
Nggak apa-apa, cuma lagi main game.. Ooh.. kirain ada apaan.. kalo maen game nggak usah teriak-teriak.. bikin kaget orang aja.. Iya..
Kemudian gua menutup pintu kamar dan kembali menjatuhkan diri diatas kasur. Sambil menatap langit-langit kamar yang masih memantulkan sosok Desita, gua tersenyum sambil tak hentihentinya menggeleng.
Biarin, gilagila dah gua.. -------
Bagian #5 Jakarta, buat sebagian manusia yang hidup didalamnya mungkin terasa menyenangkan, hampir semua kebutuhan manusia dapat dengan mudah ditemukan disini, asal punya uang tentu saja kebutuhan bisa terpenuhi. Tapi, buat sebagian besar sisa-nya, hidup di Jakarta mungkin adalah sebuah kesalahan dalam menentukan arah dan tujuan hidup, meraung-raung mengais rejeki sampai tak ada lagi iba buat mereka. Siapa suruh datang Jakarta.
Mungkin dulu Abah juga punya pikiran yang sama dengan para pemuda-pemuda dari kampungnya di pedalaman Jasinga, Bogor. Mungkin dulu Abah berfikir kalau Jakarta adalah sebuah kota impian, kota nya para Dewa, kota yang menyediakan seribu kesempatan, kota yang menjanjikan gemerlap kemeriahan didalamnya, Abah pun tertipu dan datang ke Jakarta.
Buat gua, sejak terlahir kedunia, separuh kehidupan gua langsung mati . Begitu pula puluhan mungkin ratusan atau ribuan bayi lain yang terlahir dalam keadaan miskin di Jakarta.
Jelas, sangat jelas kalau mereka, si bayi-bayi ini, termasuk gua, nggak ingin dilahirkan miskin, kalau bisa memilih tentu saja gua ingin dilahirkan di keluarga kaya raya, dari rahim seorang ningrat yang darahnya biru. Separuh dari sisa hidup gua kemudian mati saat abah, si tulang punggung keluarga, meninggal saat gua baru berusia 10 tahun, dan sejak saat itu kehidupan gua serasa mati , serasa mati karena harus menanggung beban mental sebagai seorang anak yatim yang miskin, serasa mati karena harus menanggung beban hidup sendirian sebagai seorang anak. Gua berhasil menamatkan sekolah sampai jenjang yang paling tinggi (untuk ukuran kaum gua) sampai SMA, gua melaluinya lewat sepasang tangan yang mulai keriput dengan tenaga tua-nya, lewat tangan ibu yang setiap selama bertahuntahun jadi kuli cuci hanya untuk membayar SPP bulanan. Dari sana, gua besar menjadi pribadi yang tangguh, pribadi yang keras dan nggak gampang kalah. Selama bersekolah hampir setiap tahunnya gua mendapat beasiswa, hingga dapat meringankan beban ibu yang semakin lama, tangan tuanya semakin lemah. Lulus dari SMA, gua langsung mengajukan lamaran-lamaran ke berbagai perusahaan, entah nantinya jadi SPG, Cleaning Service atau sukur-sukur bisa jadi customer service di perusahaan kecil.
Drrtt.. drrrrtttt Drrtt.. drrrrtttt
Ponsel lawas gua bergetar lama diatas meja makan, satu-satunya meja yang ada dirumah petakan ini. Gua menggapainya, sebuah panggilan dari nomor asing muncul dilayarnya yang masih monochrome.
Ya hallo.. Halo selamat pagi.. Selamat pagi..
Dengan mbak Desita" Ya benar, dari mana"
Saya, Fitri dari PT. XXX..yang kemarin, mau mengundang mbak untuk interview kedua dengan usernya langsung ya
Oh iya, kapan ya mbak"
Besok, senin ya.. jam 8 pagi.. Ketemu dengan Ibu Indra ya..
Iya mbak, makasih.. Gua mengakhiri panggilan, dan melempar ponsel ke atas kasur kemudian bergegas kebelakang, ketempat ibu yang tengah menggoreng bakwan untuk dijual, dititipkan diwarung bang Udin. Bu, aku dipanggil untuk interview yang kedua.. Ibu nggak menjawab, hanya tersenyum sambil mengusap rambut kepala gua.
Gua teringat saat interview diperusahaan tersebut minggu lalu. Bermodal informasi dari bapak supir langganan makan di warung Bang Udin. Gua pun mengirimkan lamaran, tak disangka ternyata sesampainya disana gua langsung psikotest dan di interview. Entah beruntung atau apa namanya, gua dipanggil lagi.
--- Senin pagi, setelah selesai membantu ibu menyiapkan adonan untuk membuat gorengan, gua bersiap untuk berangkat ke perusahaan tersebut. Dari rumah gua di Palmerah ke kantor yang bakal gua datangi di Senayan, jaraknya kurang lebih hanya 6 kilometer. Sebenarnya bisa saja gua jalan kaki untuk menuju kesana, tapi daripada terlambat dan kemeja gua bau keringat dan matahari, akhirnya gua memutuskan untuk naik ojek.
Jam menunjukkan pukul 7.20 saat gua celingakcelinguk mencari tukang ojek yang biasa mangkal diperempatan gang rumah gua saat pagi, Tapi saat ini nggak satupun yang ada disana. Gua berjalan cepat menyebrangi pasar palmerah sambil berharap berpapasan dengan salah satu tukang ojek. Pucuk dicinta ulam pun tiba, terdengar dari belakang suara seorang laki-laki yang menawarkan jasa ojek, tapi begitu menoleh yang terlihat cuma sekumpulan anak sekolah berseragam putih-abu-abu yang berusaha menggoda gua dengan menawarkan tumpangan. Gua mengacungkan jari tengah, disusul riuh suara anak-anak tersebut cengengesan. Setelah cukup lama berjalan, gua mendapati tukang ojek yang baru saja menurunkan ibu-ibu dengan plastik belanjaannya, gua menepuk pundaknya dan bertanya ongkos ke Senayan. Tawar-menawar terjadi, cukup alot, setelah mencapai kesepakatan dengan keuntungan besar sepertinya ada di pihak abang tukang ojek, gua pun naik di jok belakang dan motor mulai melaju melintasi padatnya jalan Jakarta.
Kesialan gua nggak berakhir disulitnya mencari tukang ojek saat ingin berangkat tadi. Hanya kurang lebih tersisa sekitar 500 meter, motor yang gua tumpangi di stop oleh petugas polisi, penyebabnya; karena gua nggak pake helm. Motor si abang ojek pun digiring ke sebuah pos polisi di sudut jalan, ternyata ada beberapa motor juga yang terkena jerat polisi disana. Gua melirik jam tangan yang menunjukkan angka 7.38, kemudian memandang si abang ojek yang tengah asik dalam negosiasinya dengan salah satu petugas polisi, berperut buncit, gua mengelurakan selembar uang 20.000 rupiah dan memberikannya ke tangan si abang tukang ojek, dan bersiap pergi. Nih bang..
Eh apaan nih neng, tunggu dulu lah.. ini mah kurang buat bayar tilang..
Laah tadi kan perjanjiannya 15 rebu, itu udah gue lebihin goceng..
Tapi neng.. Apa!", gue udah telat nih, masih mending lo gue kasih dua puluh rebu, padahal nyampe tujuan juga belom..
Kemudian gua ngeloyor pergi, berusaha berjalan secepat mungkin sambil sesekali melirik ke arah jam tangan.
Jam menunjukkan pukul 7.45 saat gua sudah berada di lobi lift untuk menuju ke lantai 20, lantai dimana gua harus bertemu dengan Bu Indra, dari bagian HRD. Suasana di sekitar lobi lift semakin ramai, begitu pintu lift terbuka, tanpa peringatan, orang-orang berdasi dan berkemeja rapi tersebut berubah menjadi ganas, saling dorong untuk bisa mencapai tempat kerjanya secepat mungkin. Gua, dengan ukuran tubuh yang terbilang mini, berusaha menyelinap masuk kedalam lift dan sama sekali nggak menemukan kesulitan untuk menemukan ruang kosong diantara manusiamanusia didalamnya.
Tapi, permasalahan muncul saat gua yang berada di ujung lift sebelah kiri, nggak bisa mencapai tombol lift yang berada di sebelah kanan pintu. Gua berjingkat sambil berusaha meraih bahu seorang wanita untuk meminta tolong menekan tombol angka dua puluh. Tapi belum sempat tangan gua mencapai bahu wanita itu, seorang bapak berambut klimis bergerak mundur yang membuat gua sedikit terjepit, gua berjingkat lagi untuk melihat apa yang terjadi, ternyata seorang pria berbadan kurus baru saja merangsek masuk kedalam lift yang sudah hampir kelebihan muatan. Gua berusaha menggapai lengan pria tersebut yang posisinya lebih mudah untuk menekan tombol.
Mas, lantai 20 dong.. Berapa" Sepuluh"
Pria itu bertanya kembali dengan tampang yang dipasang seperti meledek ukuran tubuh gua yang sedikit mini
Dua puluh mas!! Gua sedikit meninggikan nada suara,dan sepertinya malah membuat beberapa orang didalam lift mengalihkan pandangan ke gua. Waduh.. biasa aja kali mbak..
Pria itu menjawab sambil menggerakan tangannya ke tombol lift.
Ting Pintu lift terbuka, gua berusaha untuk keluar dengan susah payah, dan ternyata pria kurus tadi turun dilantai yang sama dengan gua. Ah kebetulan, pikir gua dalam hati. Siapa tau bisa tanya-tanya. Tapi ternyata si pria kurus itu langsung berjalan cepat menuju ke pintu kaca bertuliskan nama perusahaan di bagian depannya, sebelum dia menghilang dari pandangan, gua pun berusaha memanggilnya;
Mas.. mas.. woi.. Pria kurus itu hanya menoleh sebentar kemudian masuk. Gua berjalan cepat menyusulnya, setelah membuka pintu kaca, dan menemukan pria tersebut yang baru saja selesai melakukan absensi, gua pun menhampirinya;
Bu Indra dimana ya" Gua bertanya sopan ke Pria tersebut.
Eh..mbak, kalo nanya yang sopan sedikit dong, permisi dulu kek..
Yee, emang saya kurang sopan" Trus nanya yang sopan gimana"
Pria itu memasang tampang kesal kemudian pergi begitu saja, dari yang gua dengar sepertinya dia menggerutu bilang: Gua nggak tau..
Dan itulah awal pertemuan gua dengan pria kurus bernama Solichin Syafriel.
Bagian #6 Gua berpaling, kemudian menghampiri seorang pria yang tengah menyiapkan air minum untuk para karyawan dan mencoba bertanya kepadanya, dimana ruang Ibu Indra. Pria yang gua tanya mengantarkan gua ke ruangan Bu Indra, dan ternyata yang bersangkutan belum hadir. Pria tadi mengantar dan mempersilahkan gua untuk menunggu disebuah ruangan kecil dengan dekorasi ruang tamu yang terlihat nyaman dan bersih, gua duduk disebuah sofa kulit berwana cokelat. Sambil mengagumi kenyamanan sofa yang gua duduki sekarang, gua nggak hentihentinya mengutuki pria kurus tadi.
Seorang pria dengan tipikal sombong dan arogan, yang nggak bisa menghargai wanita. Hampir sama dengan banyak tipe pria yang dulu sempat dekat dengan gua, menghabiskan waktunya dan uangnya untuk merayu gua. Tapi, setelah mengetahui lebih dalam tentang gua, tentang kondisi hidup gua, tentang gua yang yatim, tentang ibu gua yang cuma kuli cuci, mereka seakan lupa pernah mengenal gua, seakan membiarkan uang dan waktunya terbuang percuma untuk merayu seorang gadis yatim, miskin yang seperti nggak ada nilai tawar-nya. Dan sejak terakhir kali seorang pria datang dalam hidup gua dan kemudian mengabaikan gua begitu tau detail hidup gua. Gua berusaha menutup hati untuk pria manapun, sampai kapanpun, ya at least sampai gua bisa berdiri dengan kaki gua sendiri dan berhenti bergantung ke ibu.
Life is like skydiving and mind is like a parachute, if it doesnt open then youre fucked, totally fucked. Mostly, semua orang yang gua kenal, entah itu teman, sahabat atau bekas pacar sekalipun, semua orientasi-nya hanya uang . Kalau mau terpandang maka haruslah ada uang, kalau mau terkenal haruslah ada uang, kalau mau berhasil haruslah ada uang, dan kalau tak ada uang maka persahabatan melayang, gara gara uang persaudaraan hilang dan bisa jadi perkara uang percintaan jadi rusak. Banyak orang yang ngakunya open minded tapi tetep menyembah uang, banyak yang mengaku pintar tapi tetap mendewakan uang, lalu apa kabarnya orangorang kelas teri seperti gua. Apa karena gua miskin kemudian gua nggak bisa mendapatkan kesempatan yang sama dengan orang yang banyak uang" Apa karena gua nggak punya banyak uang kemudian gua nggak bisa bahagia" Kalau bisa, lalu kenapa gua di abaikan, lalu kenapa gua jadi ter-marjinal-kan.
Setelah satu jam lebih menunggu, pintu ruang tunggu terbuka. Seorang wanita pendek, separuh baya dan berkacamata, masuk sambil membawa beberapa kertas dan sebuah map. Gua berdiri dan menyambutnya sambil mengulurkan tangan, wanita tersebut menjabat tangan gua dan memperkenalkan diri sebagai Ibu Indra. Mbak Desita ya"
Iya bu.. Udah lama" Lumayan bu..
Interview disini aja ya.. Oh iya bu, nggak apa-apa
Bu Indra mempersilahkan gua duduk kemudian dia menutup pintu dan duduk disofa diseberang gua. Dan berberapa jam kemudian, kami sudah menyelesaikan interview dan saat ini berada di ruangan Bu Indra untuk menandatangai kontrak kerja gua selama tiga bulan,masa percobaan. Gua Diterima.
Des.. kamu nanti di bagian legal.. kamu diproyeksikan buat gantiin salah satu karyawan yang mau resign bulan depan.. nah selama nunggu, sambil training kamu di bagian Import dulu ya..
Oh iya, nggak masalah bu..
Saya udah ngomong ke Manajer import-nya, namanya pak Swi Wardhana, dia sudah ok.. kamu bisa langsung mulai hari ini kan"
Oh bisa-bisa bu.. Yaudah yuk saya antar ke bagian import... Kemudian gua mengikuti Bu Indra berjalan melintasi lorong lorong dimana di bagian kiri kanannya terdapat bilik-bilik ruangan tempat para karyawan bekerja. Langkah demi langkah yang kemudian mengantarkan gua ke sebuah cerita, cerita tentang bagaimana cinta merubah segalanya.
------- Episode 2 Bagian #7 Pagi itu, mungkin menjadi hari jumat pagi biasa buat sebagian orang. Tapi, buat gua, Jumat pagi itu akan menjadi hari yang spesial, hari yang akan menjadi sebuah awal sebuah tikungan di garis takdir hidup gua. Masih sama seperti hari-hari yang pernah gua lalui sebelum-sebelumnya, dia terbangun dari tidurnya yang tidak nyenyak saat jam wekernya belum berdering. Seperti biasa, gua selalu patuh, patuh terhadap semua aturan yang gua buat sendiri, boleh dibilang gaya hidup gua nyaris seperti seorang tentara yang hidup dan tinggal di barak pelatihan, dan gua suka itu. Gua suka keteraturan. Gua bangun jam 5 pagi, setelah merapihkan tempat tidur, menunaikan solat subuh dua rokaat dan tetap dengan keyakinan gua tanpa menggunakan do a qunut, kemudian membuat setengah porsi kopi di cangkir bermotif bunga yang selalu gua gunakannya selama bertahun-tahun. Kenapa harus setengah porsi", karena gua akan menikmati sisa setengah porsinya di akhir hari nanti, hal itu berdasarkan dengan aturan yang juga gua buat sendiri; Satu cangkir kopi sehari, tidak lebih, tidak kurang.
Hari ini, gua memiliki janji dengan seorang gadis rekan kerja yang belum lama gua kenal. Seorang gadis yang apes karena nggak berhasil mendapatkan impresi yang menjanjikan saat pertama bertemu dengan gua, seorang gadis yang memiliki pola hidup berbanding terbalik dengan gua, gadis yang seharusnya gua jauhi. Gua terbiasa menjadi seorang pria yang selalu terpenuhi keinginannya, gua nggak pernah terlalu bersusah payah mendapatkan apa yang gua mau, bahkan untuk urusan yang namanya pacar. Jika gua menginginkan sebuah jam tangan mahal seharga jutaan rupiah, maka dengan mudah gua mampu membeli-nya, jika gua menginginkan sebuah mobil maka si Bapak yang keturunan ningrat akan menyediakannya, dan jika gua menginginkan seorang gadis untuk jadi pacar, dalam waktu tiga hari, atau maksimal satu minggu maka si gadis tersebut akan menjadi pacar gua. Wajah tampan dan keturunan orang kaya, menjadi bonus yang melekat sejak lahir. Bonus itulah yang menjadi senjata utama gua untuk mendapatkan apa yang gua mau.
Ada yang bilang kalau gua ini sombong. Gua sama sekali nggak membantahnya, gua sombong karena berbagai alasan dan alasan tersebut membuat gua pantas untuk sombong.
Tapi, kali ini berbeda, sangat berbeda. Gua yang egonya sebesar gunung, perfeksionis dan arogan, terseok-seok hatinya menghadapi gadis rekan kerja yang baru gua kenal. Sebuah pergolakan batin terjadi; gadis yang dari sikapnya perlu dijauhi malah membuat gua jatuh hati. Akal gua menolak, hati meronta-ronta. Dan ini adalah kali pertama gua merasakan hal itu. Malu mengakui kalau gua jatuh hati.
Hari itu, gua menggunakan setelan kemeja terbaik, menggunakan sepatu pantofel hitam yang telah disemir klimis, menggunakan jel rambut lebih banyak dari biasanya, menyemprotkan parfum lebih banyak dari biasanya dan berkumur lebih lama dari biasanya. Pagi itu, tanpa sadar gua telah keluar dari pola dan aturan yang sudah gua buat Dihampir semua kisah percintaan gua, gua nggak pernah sedikitpun melakukan hal yang berlebihan untuk mencari impresi dari gadis yang gua incar. Dari semua gadis yang pernah gua pacari nggak ada satu orang pun yang mampu menolak rayuan maut gua dan gua sangat percaya bahwa nggak ada gadis yang mampu menolak untuk menjadi pacar gua. Gua adalah jelmaan Don juan modern, seorang Casanova sejati.
Bleh, kok tumben udah siap jam segini" Ibu bertanya sambil meletakkan telur dadar diatas piring.
Hooh mau bawa mobil.. Tumben"
Iya mau ke kantor BPOM.. Gua menjawab sambil mengambil sepotong roti kemudian mengecup pipi ibu dan bergegas berangkat.
Bleeh.. gue nebeng.. Dari lantai atas terdengar suara Salsa. Nggaaaak.. gua buru-buru..
Gua menjawab sambil bergegas masuk kedalam mobil.
--- Gua duduk di meja kerja sambil memainkan pulpen, menunggu Desita yang belum juga datang. Gua berfikir keras, agar mampu untuk tampil senatural mungkin dan nggak terlihat grogi. Jujur, kali ini gua begitu grogi dan gua tau kenapa. Gua jatuh hati dengan seorang gadis yang sempat gua benci dan jatuh hati ini terasa berbeda dari yang pernah gua rasakan sebelumnya, kali ini lebih hangat, lebih terasa manis dan lebih menyengat. Sambil menggoyang-goyangkan kaki, tipikal gua saat merasa gugup. Beberapa saat kemudian, muncul sesosok bayangan dibelakang gua yang terpantul dari layar monitor komputer yang sengaja nggak gua hidupkan. Sosok itu menepuk pundak gua;
Woy...bengong aja.. Terdengar suara renyah Desita dari belakang. Gua masih memainkan pulpen, mencoba untuk tetap terlihat cool sambil tetap berusaha memandang sosok bayangan yang terpendar di layar monitor yang gelap. Gua menoleh, dan... Berdiri dihadapan gua, seorang gadis mungil, mengenakan kemeja putih, dibalut dengan blazer hitam dan rok span dengan warna senada, sambil memeluk tumpukan dokumen yang sejak kemarin sudah disiapkannya. Gua berdiri, menyambut aroma tubuh yang sama, aroma tubuh yang membuat gua kehilangan kesadaran, membuat gua menanggalkan semua ke-don juan-an gua. Dan usaha gua untuk terlihat cool pun sepertinya gagal, gua (mungkin) malah terlihat seperti orang tolol yang baru saja bertemu dengan artis idolanya.
Lama banget lu.. Gua berkata sambil menggaruk-garuk kepala yang nggak gatal. Mencoba menutupi kegugupan gua dan tetap berusaha terlihat cool. Gua sama sekali nggak mau dia tau kalo gua jatuh hati kepadanya, kalau dia sampai tau, apa kata dia" Apa kata dunia" Lama" Masih jam delapan kali...
Desita kemudian mengambil kursi kecil tempat biasa dia duduk dan menjatuhkan diri diatasnya sambil meletakkan tumpukan dokumen ke atas meja.
Trus, ngapain malah duduk.. ayo berangkat.. Yaah.. gue sarapan dulu ya" Laper banget nih, dari SD belom makan..
Desita mengeluarkan sebuah kotak makan berwarna kuning dari dalam tas-nya. Dari tampilannya gua menebak kalau kotak makan itu bekas dari kotak kemasan margarin.
Udah ntar aja dijalan sarapannya...
Gua mengambil kotak makan berwarna kuning itu dan menjejalkannya masuk kedalam tasnya. Kemudian mengambil tumpukan dokumen yang tergeletak diatas meja dan bergegas turun kebawah. Terdengar Desita sedikit menggerutu, sambil menenteng tas dia berjalan cepat menyusul gua.
Eh, sol.. lo bawa helm dua kan" Buat apa"
Ya buat gue lah.. ntar kalo gue nggak pake helm ditangkep polisi..
Yaudah lo minjem aja dulu sana sama yusuf.. Yusuf yang OB itu"
Iya.. nah tuh orangnya...
Beberapa saat kemudian kami berdua sudah berada di lobi lift yang terletak di lantai Basement. Saat keluar dari lift, Desita mulai mengenakan sweater dan helm yang baru saja dia pinjam dari yusuf si OB kantor. Sementara gua menyulut sebatang rokok dan berdiri bersandar ditembok. Lah kok lo malah ngerokok" Udah sana ambil motornya..
Bawel lu.. Gua merokok, hisapan demi hisapan sambil sesekali terkekeh melihat pemandangan dihadapan gua. Sosok gadis mungil, mengenakan sweater abu-abu dan sebuah helm yang kebesaran, mirip seperti semut rangrang. Dan satu hal lagi yang membuat gua nggak henti-hentinya senyum-senyum sendiri; Desita nggak tau kalau kita bakal naik mobil.
Gua mematikan rokok di asbak yang berada di antara pintu lift. Kemudian bergegas keluar dari lobi lift yang terletak di lantai basement, menuju dimana mobil gua terparkir. Sementara Desita berjalan lambat di belakang, sesekali gua menoleh dan tersenyum melihat dia berkali-kali membetulkan posisi helm-nya yang kebesaran. Dia terlihat bodoh dengan tampilan seperti itu, tapi ironis-nya, gadis yang terlihat bodoh itu telah membuat gua jatuh hati.
Tiit... tit.. Gua membuka pintu mobil dan masuk kedalamnya. Sementara Desita masih berdiri mematung di depan mobil sambil menyilangkan tangan didada dan memasang wajah kesal, masih belum melepas helm dan sweaternya. Gua menyalakan mesin mobil dan membuka jendela. Lu mau naek atau mau diri disitu terus" Gua mengeluarkan kepala lewat jendela sambil bicara ke Desita. Dia nggak menjawab, hanya menghela nafas kemudian membuka pintu penumpang dan masuk kedalam. Wajahnya masih terlihat kesal, sambil sedikit kesulitan melepas helm dia terus menggerutu.
Ngomong kek kalo bawa mobil..
Desita berkata sambil melempar helm ke kursi belakang kemudian melepas sweaternya. Hahahaha...
Lo pikir lucu" Bisa nggak sih lo nggak bikin gue kesel sehari aja"
Yaelah masa gitu aja marah.. Gue nggak marah, gue cuma kesel... Kesel sama siapa" Sama gua, kenapa" Ya sama lo lah.., bisa kan lo bilang dari tadi kalo lo bawa mobil, jadi gua nggak keliatan tolol dengan helm ini..
Bisa aja, tapi kan gua punya hak buat nggak ngomong ke elu, lagian lu juga nggak nanya.. Gua menghindar sambil mulai melajukan kendaraan. Dalam hitungan menit, kami sudah berada diluar gedung dan satu jam kemudian mobil yang gua dan Desita tumpangi sudah (baru) berjarak sekitar 5 km dari kantor, inilah Jakarta. Kenapa nggak naik motor aja sih"
Desita membuka suaranya,sejak meninggalkan kantor tadi kami hanya saling diam dan nggak sekalipun gua berani menatap ke arahnya. Gua sempat bingung, kemana hilangnya keberanian ini. Keberanian menghadapi cewek manapun yang nggak pernah luntur dari gua, keberanian yang mampu membuat cewek manapun luluh-lantah, tapi sekarang, saat ini, gua seperti anak katro dan culun yang sedang menghadapi seorang gadis primadona sekolah.
Panas.. Gua menjawab singkat. Tapi kan enak bisa nyalip-nyalip.., eh gue nyalain radio ya"
Oh iya, nyalain aja.. Gua mengangguk sambil memandang tangan mungil Desita menekan tombol power pada tapedeck di dashboard mobil gua.
Beberapa saat kemudian, gua membelokkan mobil kedalam sebuah stasiun pengisian bahan bakar, berniat mengisi bensin yang sudah mulai sekarat.
Gue kadang suka bingung deh sama orang-orang yang katanya tajir tapi pikirannya nggak ada Desita tiba-tiba bicara sambil memandang ke luar melalui jendela.
Hah, maksudnya" Gua bertanya, bermaksud agar Desita mengulangi kata-katanya.
Coba deh tuh liat.. Dia menunjuk seorang pria berpenampilan perlente, sedang menggoyang-goyangkan Pajero Sport-nya yang tengah diisi bensin. Gua mencoba mencari-cari dimana letak keanehannya kemudian mengangkat bahu.
Kalo mereka pinter, mereka harusnya tau kalau bensin itu adalah benda cair.. dan prinsip benda cair itu adalah mengalir ketempat yang lebih rendah dan selalu mengisi ruang kosong mengikuti wadahnya.. gue rasa itu teori fisika yang kelas novice...
Trus, hubungannya sama gua"
Nggak ada hubungannya sama elo, tapi sama orang perlente itu...
Desita kembali menunjuk sosok pria perlente yang masih menggoyang-goyangkan mobilnya, kemudian dia menambahkan;
Kalo dia paham prinsip fisika tentang benda cair, harusnya dia nggak perlu goyang-goyangin mobilnya.. kecuali dia berfikir kalau bensin itu bukan benda cair atau yang dia isi mungkin pasir.. Gua ternganga mendengar penjelasan singkat dari Desita, Ternyata dia cukup memperhatikan detail dan beberapa hal kecil yang mungkin dianggap lumrah buat kebanyakan orang. Dan gua cukup kagum dengan cara dia menjelaskan teorinya. Oke you have my attention now.
Kok diem aja" Desita bertanya ke gua. Nggak papa..
Atau jangan-jangan lo salah satu dari orang model begitu, yang suka goyang-goyanging mobil saat ngisi bensin..
Hahaha...nggak lah, gua cukup pandai untuk bisa tau hal ecek-ecek macem gitu, gua bahkan nggak pernah turun dari mobil saat isi bensin.. Desita cuma mengangguk sambil membulatkan bibirnya membentuk huruf o .
Setelah selesai mengisi bensin, kami pun melanjutkan perjalanan. Gua menurunkan volume radio di mobil dan berusaha mengeluarkan keberanian untuk memulai obrolan dengan Desita. Seperti biasa, saat baru mulai PDKT kesemua gadis yang ingin gua dekati, pertama-tama topik yang bakal gua ajukan untuk memulai obrolan adalah mengenai pekerjaan, tapi berhubung Desita satu kerjaan dan gua tau luar-dalam tentang detail pekerjaannya, maka akhirnya gua putuskan untuk membuka obrolan seputar pendidikan. Des, lu lulusan apa sih"
Eh gue" Gue IPA"
MIPA" Dimana" Kok dari MIPA bisa lari ke Legal, itu kan administratif banget
Apanya yang dimana" Kuliahnya"
Oooh, gue nggak kuliah... What" Masih kuliah maksud lu"
Nggak, bukan.. bukan.. gue tuh cuma lulusan SMA..
Lulusan SMA" Serius"
Gua sedikit terkejut mendengar jawaban dari Desita, terkejut karena dia bisa masuk ke perusahaan tempat gua kerja sebagai staff legal hanya berbekal ijasah SMA, terkejut karena hampir semua gadis yang pernah gua dekati nggak ada yang (cuma) lulusan SMA, at least mereka masih kuliah, dan terkejut karena pikirannya sangat terbuka untuk ukuran seorang lulusan SMA. What the hell...
Ah becanda kali lu" Serius.. kenapa emang" Ada masalah kalo gua cuma lulusan SMA"
Mmm.. nggak sih.. cuma.... Cuma apa"
Gua nggak menjawab, hanya dia sambil memandang lurus kedepan.
Cuma apa"".. Desita bertanya lagi, kali ini dia menghadapkan tubuhnya ke arah gua.
Gapapa, udah jangan bawel.. Idih..
Desita terlihat nggak puas dengan jawaban (yang bukan jawaban) dari gua, kemudian dia mengeluarkan kotak bekal, membuka dan mulai memakan isinya. Gua melirik, penasaran dengan apa yang ada didalamnya.
Apaan tuh" Gua akhirnya bertanya, daripada mati penasaran. Kue..
Kue apa" Kok nggak nawarin gua" Nawarin lo" Hampir sebulan gue bawa bekal dan hampir sebulan juga waktu gue abis cuma buat nawarin lo, dan apa lo pernah nyolek sedikitpun makanan yang gue tawarin""
Gua nggak menjawab, hanya menggeleng sambil sesekali melihat kedalam kotak makannya. Mungkin Desita menangkap gelagat gua yang penasaran, akhirnya dia mengangkat sepotong kue cokelat, berbentuk lonjong, pipih dan terlihat sedikit lengket karena lapisan gula merah disisi luarnya.
Apaan tuh" Tuh kan, elo kayak ginian aja nggak tau.. Ya kalo gua tau, gua nggak nanya.. lagian apa susahnya sih nawarin dan ngasih tau gua itu apa.. ribet banget..
Oke, hai sol, ini namanya Gemblong, lo mau nggak"
Enak nggak" Alah.. males deh gue.. tinggal satu nih, kalo lo mau, nih gua kasih.. kalo lo nggak mau dan ribet pake nanya enak apa enggak, bikin batuk apa nggak, bikin mules apa nggak, gua bakal makan aja nih..
Yaudah deh, mau.. Nah gitu aja dari tadi repot banget.. nih.. Desita menyodorkan sepotong kue bernama Gemblong yang baru kali itu gua lihat. Gua mengambilnya kemudian menyodorkannya kembali ke Desita. Sambil mengelap tangan gua bekas menyentuh kue lengket tersebut di sisi jok mobil.
Kenapa, nggak mau" Lengket, pake tissue dong.. Yaelah... ribet banget hidup lo sol..
Desita berkata sambil celingak-celinguk mencari tissue didalam mobil dan baru gua sadari kalau tissue di mobil gua habis..
Ah, tissue nya abis.. udah kalo lo nggak mau, gue makan aja deh..
Eh jangan...jangan, gua mau nyobain.. Yaudah niiih......
Desita menyodorkannya kembali. Gua memandangnya sebentar kemudian menggeleng.
Nggak deh.. Masya Allah, kok ada ya orang kayak elo, sol.. sol..
Ntar setir gua lengket dan berminyak... Ya Allah, soooolllll....!!
Desita setengah berteriak kemudian menjulurkan gemblong tersebut persis dihadapan mulut gua. Dia berniat menyuapi gua dan ini sungguh, sungguh bukan sebuah modus yang gua ciptakan. Akhirnya disisa perjalanan kami, Desita menyuapi gua. Terkadang gua mencuri-curi kesempatan untuk menatap-nya dan saat itu gua benar-benar sadar kalau akhirnya akal, jiwa dan tubuh gua setuju dengan perasaan; bahwa gua jatuh hati pada orang ini. Tapi, harga diri gua tetap ingin berada di tempatnya seharusnya berada, jauh tinggi diatas sana. Dan dengan mengakui ke Desita kalau gua jatuh hati padanya, maka gua kalah dan gua nggak suka kalah.
------- Bagian #8 Oke, Des.. berapa 577 pangkat 2.. What" Lo ngetes gue"
Udah jawab aja.. Nggak! Gue nggak mau jawab sebelum tau, kenapa lo tiba-tiba nanya ke gue..
Udaah jawab aja! Gua setengah berteriak ke Desita Nggak!!
Desita pun nggak mau kalah, dia berteriak sambil menepuk dashboard mobil.
Gua menepikan mobil disisi jalan yang hampir mendekati lokasi kantor BPOM yang terletak di daerah Cipinang, Jakarta Pusat. Gua mengaktifkan rem tangan dan memalingkan wajah gua ke hadapannya.
Lu cukup jawab aja, Des.. berapa 577 pangkat dua..
Gue nggak mau jawab, sol lagian kenapa gue harus jawab, buat apa"
Haaah.. tinggal jawab aja apa susahnya, janganjangan emang lo nggak bisa lagi, makanya nggak mau jawab..
Gua menurunkan rem tangan mobil, memasukan perseneling dan kembali melaju di jalanan. Gua melirik Desita yang masih terlihat cemberut garagara kejadian barusan. Gua hanya ingin tau sejauh mana kecepatan dia dalam menghitung. Tiba-tiba tangan mungilnya menyentuh tangan kiri gua yang masih menggenggam perseneling.
Ganti soalnya.. What" Gua bertanya penasaran. Ganti soal yang lain.. Oke, bentar..
Gua mengeluarkan ponsel dari dalam saku, masuk ke mode kalkulator dan mulai menghitung. Nih.. 727 pangkat dua, berapa"
Gua mengajukan satu pertanyaan dan gua sudah memegang hasilnya yang tertera di layar ponsel. Gua menatap Desita yang tengah memejamkan matanya, beberapa detik kemudian, dia berkata; 528.529
Gua mengintip layar ponsel yang sedari tadi gua telungkupkan didashboard speedometer mobil, dan terkejut saat mencocokan angka yang disebut Desita dengan yang tertera di layar ponsel. Gua meminta Desita mengulangi jawabannya, dia mengucapkan angka-angka tersebut lagi dan jawabannya tetap sama.
Oke, bener.. tapi bisa aja kebetulan.. nih lagi.. Gua menekan tombol-tombol pada keypad ponsel, berusaha memberikan soal hitungan lagi ke Desita.
Boleh Desita tersenyum simpul, kemudian menyilangkan kedua lengannya diatas dada.
97864 dikali Sembilan.. berapa" Makan tuh itungan
No.. no.. jangan perkalian Sembilan, terlalu mudah.. ganti yang laen..
Desita menggeleng-gelengkan jari telunjuknya sambil mengikuti gesture orang-orang India saat menggeleng.
Yaudah.. 97864 dikali delapan..
Desita kembali menutup matanya, kali ini sedikit mengernyitkan dahinya. Tampak dari sini, kecantikan alami yang nggak pernah gua lihat dari perempuan manapun di Dunia ini.
782912.. nggak usah di cek, udah pasti bener.. Desita berkata ke gua sambil tersenyum dan membuka matanya. Gua melotot, sedikit emosi mendengar nada dan gaya bicaranya yang sombong, disini yang boleh sombong hanya gua, nggak ada orang lain selain gua yang bisa menyombongkan diri, gua nggak suka itu. Kemudian gua membalik ponsel dan angka yang sama dengan yang disebutkan Desita muncul di layar ponsel gua.
Mungkin jika ada yang sadar, akan terlihat kalau wajah gua menegang dan memerah, syaraf-syaraf mata gua membesar dan jantung gua berdetak cepat sambil memompa darah lebih banyak ke otak. Gua sepertinya masih belum bisa menerima kalau Desita bisa menghitung nominal besar tanpa alat bantu hanya dalam hitungan detik. Gua mengusap wajah sambil terus menyetir memasuki area parkir gedung BPOM.
Gua dan Desita berjalan cepat melintasi area parkir yang sedikit panas, menuju ke gedung B untuk mengurus dokumen pindah alamat. Sambil berjalan gua terus menanyakan perkalianperkalian nominal besar ke Desita, semakin besar nominal yang gua sebut, dia terlihat semakin bersemangat memainkan ujung-ujung jarinya diudara, dia seperti menghitung dengan spidol dan papan tulis imajiner dimana hanya dia yang mampu melihatnya dan semuanya berlangsung cepat, hampir secepat kita; yang normal menghitung 12 x 12.
Gua menghentikan langkah kaki didepan sebuah tangga yang mengarah kepintu masuk kantor BPOM gedung B, Desita sudah berada didepan gua beberapa langkah ikut menghentikan kaki-nya kemudian menoleh ke arah gua.
Kenapa" Nggak papa.. gua cuma bingung aja sama elu Hah, bingung"
Desita meraih tangan gua dengan tangan mungilnya yang putih, kemudian dia membisikan sesuatu ke telinga gua;
Lo seharusnya kagum, bukannya bingung.. Sombong banget sih lu jadi cewek, baru bisa itung-itungan begitu doang aja..
Gua melepaskan tarikan tangannya dan mulai berjalan kembali meninggalkan Desita yang masih berdiri diam. Gua nggak terima, sama sekali nggak terima, ada orang yang bisa bersombong ria dihadapan gua, apalagi perempuan.
Yaah, gitu aja marah.. kan bukan gue yang mau show-off, elo yang nanya-nanya duluan.. Desita berlari kecil menyusul gua.
Gua memandang wajahnya sekilas dan muncul sedikit penyesalan menggerogoti perasaan gua. Udah jangan bawel.. sini..
Gua mengajaknya masuk kedalam lift dan menekan tombol lantai 4, menuju ke atas. Didalam lift yang nggak begitu besar, yang saat ini hanya berisi kami berdua, Desita berdiri persis didepan gua, kami sama-sama menghadap ke pintu lift dan sama-sama hanyut dalam diam. Perlahan gua beranikan diri sedikit membungkuk, menciumi aroma rambutnya dan gua tau aroma ini hanyalah aroma dari shampoo rumahan biasa, dengan esensi yang biasa pula, aroma yang sering gua rasakan bau-nya tapi entah kenapa aroma nya begitu menggoda kali ini. Gua membungkuk lebih rendah, aroma tubuh Desita yang bergolak bercampur dengan parfum permen yang terasa manis begitu membius. Gua memejamkan mata, saat itu yang ada dipikiran gua hanya ingin memeluk gadis ini, memeluk Desita.
Ngapain lo" Desita membuyarkan lamunan singkat gua. Dia menoleh, memandang gua dari atas kebawah seakan bertanya apa yang gua lakukan dalam posisi terpejam, setengah membungkuk dengan lutut sedikit tertekuk dan lengan menjuntai kebawah, mirip seperti kera.
Lo mau nyium gue" Mau gue gampar lagi.. Desita mengangkat tangan kanan-nya bersiap melayangkan tamparan ke gua, kemudian suara khas bel lift terdengar disusul kedua pintunya terbuka. Beberapa orang yang tengah menunggu lift memandang heran ke arah kami, sambil menahan malu kami pun bergegas keluar. Lo mo ngapain tadi" Mo ngelecehin gue" Desita menarik lengan gua ke arah sudut ruangan, sambil berbisik dia mencubit lengan gua. Sakiit, ngapain sih lu.. nyubit-nyubit segala" Eh gua kalo mau nyium cewek juga milih-milih kali.. Iya, dan lo milih gue..
Eeeh.. sorry ya Des, lu bukan tipe gua kali.. Gua berbohong lagi, kebohongan kedua, sebuah kebohongan untuk menutupi kebohongan lainnya. Dan gua menyesal.
Gue harus ngapain nih"
Desita bertanya sambil mengangkat kedua bahunya. Gua hanya menunjuk dengan ujung dagu sebuah mesin tiket antrian otomatis di sebuah sudut ruangan. Desita berjalan cepat menghampiri mesin tersebut, sementara gua mencari-cari bangku kosong untuk duduk menunggu. Sol.. sol..!! yang merah apa biru"
Desita berteriak memanggil dan bertanya ke gua, sementara seorang security bertubuh tegap datang menhampiri Desita sambil meletakkan jari telunjuk didepan mulutnya. Gua tersenyum melihat tingkahnya, dari gesturnya dia sepertinya meminta maaf ke security tersebut kemudian berlari menghampiri gua.
Sol.. yang merah apa biru"
Desita bertanya sambil setengah berbisik. Yang merah..
Gua menjawab, Desita kemudian ngeloyor pergi kembali ke mesin tiket antrian. Selang beberapa saat dia sudah kembali sambil menggenggam dua buah tiket antrian, yang satu bernomor 35 yang satu lagi bernomor 38.
Ngapain ngambil sampe dua begitu" Nanti kalo ada pertanyaan yang nggak jelas tapi kita udah ninggalin loket, kan bisa ngantri lagi.. hehehe..
Dia menjelaskan sambil duduk dibangku kosong di sebelah gua. Suasana di sini semakin ramai, banyak orang yang datang kesini pagi-pagi sekali untuk mengambil tiket kemudian pulang atau turun kekantin kemudian kembali saat loket sudah mulai dibuka. Rata rata yang datang untuk sekedar konsultasi atau mengurus perijinan edar makanan dan obat-obatan tapi, banyak juga yang namanya calo , hampir mirip dengan kantor-kantor pemerintahan lainnya, birokrasi-nya rumit dan bertele-tele hingga jasa calo mampu berkembang biak dengan cepat.
Gua mengeluarkan ponsel, berniat memainkan game favorit gua sambil membunuh waktu. Desita melirik ke arah gua dan menggeser tubuhnya lebih dekat. Aroma tubuhnya kembali tercium, membuat gua menahan nafas sebentar, mencoba tetap bersikap normal.
Gue pinjem dong, sol.. Apaan"
Pinjem hape lo.. Buat"
Dengerin lagu.. ada earphone nya kan" Gua mengangguk kemudian mengeluarkan earphone dari kantong ransel dan menyerahkan ponsel beserta earphone-nya ke Desita. Dia menyambutnya, memasang earphone dan mulai memutar sebuah lagu. Dari tempat gua duduk, terdengar samar sebuah lagu diputar, sepertinya dia memutar lagu dengan volume maksimal, gua menggeleng sambil memandanginya. Desita mungkin sedang mendengar salah satu lagu yang ada di Ponsel gua, sedangkan gua; benak gua mulai memainkan lagu imajiner sendiri, sebuah lagu cantik sambil memandangi ciptaan Tuhan yang indah, yang tengah duduk disebelah gua; Bait demi bait, berjalan seperti newstiker berita malam di kepala gua, sebuah lirik dari Kahitna;
Cantik... Ingin rasa hati berbisik Untuk melepas keresahan Dirimu
Cantik... Bukan ku ingin mengganggumu Tapi apa arti merindu Selalu...
--- Malam itu, malam setelah kencan pertama gua dengan Desita. Ok, gua menyebutnya sebagai kencan entah bagaimana Desita menyebutnya.
Gua duduk di beranda belakang rumah gua, ditemani setengah cangkir kopi dan sebatang rokok, sambil sesekali memandang layar ponsel gua menunggu balasan SMS dari Bewok, yang katanya ingin mampir kesini.
Drtt..drrtttt.. Sebuah pesan masuk; Dari Bewok; Gak Jd Cuy, Lembur nih
Gua menghela nafas setelah membaca pesan dari Bewok, kemudian melemparkan ponsel ke kursi goyang yang terletak nggak jauh dari tempat gua duduk, diteras merah, beranda belakang rumah. Gua memandangi kolam yang berisi puluhan ikan koi yang tengah berebut roti yang sedari tadi gua lemparkan kedalam kolam, sambil memandangi sosok Desita yang terpantul didasarnya. Bleh.. anter ke Indomart dooong..
Suara Salsa memecah lamunan gua, dia datang kemudian duduk disebelah gua, dengan dompet dijepit dilengannya.
Ah males gua.., sama Oge aja noh.. Oge udah pulaang..
Salsa menjawab. Oge adalah asisten rumah tangga jika menggunakan bahasa pembantu terlalu kasar. Mpok Esih dan Oge adalah asisten rumah tangga kami sejak Salsa masih kecil, mereka sudah dianggap keluarga sendiri oleh Bapak dan Ibu, rumahnya pun hanya berjarak beberapa meter dari rumah kami. Jadi, mereka datang pagi-pagi dan pulang saat semua pekerjaan rumah telah selesai.


Everytime Karya Alboni di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Yaudah jalan sendiri sono, sekalian olahraga, katanya mau ngurusin badan"
Yeee.. gue kalo berani ngapain minta anterin lo.. Yaelah sa, baru juga jam tujuh.. masih rame kali jalanan..
Ah.. lo mah nggak asik banget jadi sodara.. Emang mao beli apaan sih"
Jajan.. Besok aja.. Ih... Salsa menggerutu sambil berdiri dan pergi meninggalkan gua. Nggak seberapa lama, Salsa kembali lagi dan duduk disebelah gua. Kali ini dia membawa segelas air dingin dan meletakkannya di lantai diantara kami.
Sa.. Apa" Gua nyebelin nggak" Kenapa lo tau-tau nanya gitu" Jawab aja..
Wah tumben serius nih.. mau jawaban yang jujur tapi nyakitin apa yang bohong apa enak didenger"
Gua serius nih.. Iya sama gue juga serius..
Salsa menjawab sambil meletakkan kedua tangannya kebelakang dan meluruskan kedua kakinya.
Yang jujur.. tapi nyakitin.. Bener" Nggak takut kecewa nih" Buruan, jawab..
Hahahaha.. penasaran" Tunggu bentar, gue mau motongin kuku dulu..
Salsa mengeluarkan kunci kamar yang juga terdapat guntingan kuku sebagai gantungan kunci dari dalam saku celananya. Gua mengernyitkan dahi dan merebut kunci tersebut dari tangannya. Bisa nggak sih lo nggak nyebelin, sa" Nah itu lo tau..
... Lo tuh sama kayak gue.. kalo lo mau tau betapa nyebelinnya elo, ya lu liat aja gue..kita ini sodara, kita sama-sama nyebelin.. cuma bedanya, gue nyebelin tapi nggemesin sedangkan elo nyebelin tapi sengak...
Gua terdiam mendengar penjelasan Salsa, apa sebegitu menyebalkannya kah gua" Apa iya" Gua merenung sejenak sebelum akhirnya setuju dengan perkataan Salsa.
Kenapa sih lo, bleh" Sok serius banget.. Gapapa..
Boong! Gini Sa, gua lagi suka sama cewek.. tapi tuh cewek bukan tipe gua sama sekali dan.. apa ya.. nggak gua banget..
Ya, kenapa lo bisa suka kalo dia nggak elo banget "
Gua nggak tau.. tapi semakin kesini semakin parah suka nya
Udah kenal berapa hari" Sebulan..
Tumbeeen.. biasanya baru kenal dua hari langsung lo tembak, seminggu kemudian lo putusin..
Dia ini beda, sa.. Beda.. Yaudah tembak..
Gua takut, sa.. Tumbeeeen, lo punya takut sama cewek.. Gua takut, kalo dia nolak gua, gua nggak bisa lagi deket sama dia...
Kok" Nggak biasa-biasanya lo takut ditolak.." Kan udah gua bilang kalo dia ini beda.. Gue jadi penasaran.. ada fotonya nggak" Gua menggeleng.
Trus, respon dia gimana ke elo" Salsa bertanya lagi dan gua kembali menggeleng. Selama ini, semua perempuan yang gua dekati pasti menunjukkan respon positif, respon itulah yang membuat gua selalu percaya diri dalam menghadapi mereka. Tapi, kali ini beda. Desita sungguh berbeda dari kebanyakan perempuan yang sempat gua kenal, nggak cuma cantik, dia juga open minded, pintar dan arogan. Satusatunya perempuan yang mampu fight-back ke gua, perempuan yang mampu memberi perlawanan, nggak frontal tapi cukup mengena di hati.
Lo mau saran dari gue nggak"
Salsa berdiri, bertolak pinggang sambil menendang kaki gua.
Hah.. Mau saran dari gue nggak" Apa"
Salsa mengambil ponsel gua yang tadi sempat gua lempar ke kursi goyang. Dan menyerahkannya ke gua.
Telpon tuh cewek sekarang.. Trus"
Katro banget sih lo, kayak baru sekali kenal cewek aja.. ya ajak jalan kek, nonton kek, makan kek...
Gua hanya diam memandangi layar ponsel sementara Salsa masuk kedalam sambil berteriak; ...atau ajak ke hotel kek..
Gilaaa!! Gua terbengong-bengong sejenak, kemudian membulatkan teklad untuk mencoba menghubunginya. Masalah lain muncul; gua nggak punya nomor teleponnya. Gua menghela nafas dan meletakkan ponsel dilantai, kemudian muncul sebuah nama dan gua yakin nama itu bakal membantu gua.
Tut.. tut.. Halo.. Halo, Bu Indra.. malem bu.. Ya, hin.. kenapa"
Sorry ganggu malem-malem.. anu.. saya mau nanya..
Nanya apa hin" Hmm.. punya nomornya Desita nggak" Desita, mana ya hin"
Itu lho anak baru yang probation sama saya.. Oooh.. ada hin..
Boleh minta bu" Boleh, besok Senin ya,, soalnya data-datanya di kantor..
Gua menarik nafas sambil menggumam yaelah kemudian, pamit sebelum akhirnya mengakhiri panggilan. Belum lengkap semenit setelah gua mengakhiri panggilan, ponsel gua berdering, nama Bu Indra muncul di layar ponsel, buru-buru gua mengangkatnya.
Ya bu.." Halo, hin... coba kamu tanya Fitri deh, soalnya dulu dia yang hubungi calon karyawan buat interview..
Oh iya bu, saya coba deh.. Punya nomornya fitri kan" Punya bu..
Gua menjawab sambil bergumam dalam hati, cewek cantik mana di kantor yang gua nggak punya nomor ponselnya; kecuali Desita. Gua membuka deretan pesan masuk dan mencari nama Fitri disana. Setelah menemukan pesan dari Fitri yang belum gua masukkan namanya dalam kontak ponsel, pesan yang berisi rayuan-rayuan maut gua yang sekarang malah bakal menghantarkan gua ke perempuan lainnya. Haha, don juan.
Halo, fit.. Ya, hin.. kenapa" Kangen" Hahaha.. iya nih, lagi dimana" Masih dikantor nih, lembur..
Wah kebetulan, minta nomornya Desita dong, ada"
Desita yang anak baru ya" Buat apa" Janganjangan...
Belum selesai Fitri membuat asumsi, gua buruburu memotong bicaranya;
Gua mau nanya dokumen gua, kayaknya kebawa dia..
Oooh, bentar-benta.. nanti gua SMS deh.. OK..
Gua buru-buru menutup telepon dan meletakkannya kembali dilantai. Satu menit, dua menit, lima menit, sepuluh menit, gua memandangi layar ponsel gua, menunggu SMS dari Fitri. Saat gua hampir putus asa, ponsel gua bergetar, sebuah pesan masuk, pesan dari fitri yang isinya sebuah nomor ponsel. Nggak menunggu lama, gua langsung menghubungi nomor tersebut.
Nada sambung berbunyi beberapa kali, sampai akhirnya disusul suara seorang operator wanita yang berkata kalau nomor yang anda hubungi tidak menjawab. Gua mencoba lagi, dan kejadian yang sama pun terulang, hingga percobaan yang ke lima, suara serak seorang perempuan terdengar diseberang sana.
Haloo.. Halo, kemana aja sih lu.. ditelponin nggak dijawab-jawab..
Halo, sorry ini siapa ya"
Gua.. masa lu nggak kenal suara gua" Solichin"
Iya.. abis ngapain sih lu, lama banget ngangkat telepon..
Ketiduran.. lagian kenapa lo jadi marah-marah sih.. ada apaan"
Ketiduran" Emang sekarang jam berapa hah" Yee.. mau jam berapa kek, terserah gue.. gue mau tidur kek, mau makan kek.. ngapain sih lo, telpon langsung marah-marah.. nggak bosen apa lo ngomelin gue mulu"
Makanya kalo nggak mau diomelin.... Tut tut tut tut
Belum selesai gua berbicara,telepon sudah ditutup oleh Desita.
------- Bagian #9 Astaga!, baru kali ini sepertinya gua berhadapan dengan cewek yang berani menutup teleponnya saat gua hubungi. Gua memandang layar ponsel dan menekan tombol berlambang telepon berwarna hijau; Redial. Nggak sampai tiga kali nada sambung berbunyi, terdengar kembali suara Desita diujung sana, kali ini suaranya tidak lagi serak.
Apa lagi" Kalo masih mau marah-marah, gue tutup nih..
Lagi ngapain lu" Lagi telpon!
Ooh.. kirain lagi nonton tipi.. Gue nggak punya tipi!.. Eh..ada kerjaan nggak" Ada, besok senen... Maksudnya hari ini.. Sekarang"
Iya, sekarang.. Nggak ada..
Gua menangkap perubahan suara Desita dari yang awalnya bernada tinggi sekarang mulai mereda. Sedikit terbata-bata gua pun berkata:
Mmm.. Des, mau jalan nggak" ....
Halo.. Des.." Ya..
Mau nggak" Sa..ma si.apa" Ya sama gua.. Kemana"
Kemana kek gitu.. Mmmm..
Terdengar keraguan di nada suaranya. Gua jemput ya..
Emang lo tau rumah gue" Nggak
Trus lo mau jemput dimana" Yauda sms deh alamat lu.. Nggak usah, ketemuan di depan kantor aja.. Hah" Didepan kantor" Kok"
Yaudah kalo nggak mau.. gue mau tidur.. Eh.. iya. Iya didepan kantor, setengah jam lagi ya..
Iya.. Gua mengakhiri panggilan dan bergegas lari kekamar untuk bersiap-siap. Beberapa menit kemudian gua sudah bersiap dengan sepeda motor kesayangan gua.
Bleeh... Terdengar suara Salsa berteriak dari dalam, kemudian sambil berlari dia menghampiri gua. Jadinya ke hotel mana"
Gua melongo mendengar pertanyaan Salsa, apa jadinya kalau Bapak atau Ibu dengar. Bisa-bisa gua disangka ingin cek-in beneran. Gua mengacungkan jari tengah ke arah Salsa dan buru-buru ngeloyor pergi.
Dua puluh menit berikutnya, gua sudah berada di depan kantor. Gua memelankan laju sepeda motor sambil memperhatikan orang-orang yang tengah berdiri menunggu angkutan umum sambil berusaha mencari-cari sosok Desita disana. Gua sempat putus asa saat sudah hampir melewati depan kantor, karena nggak ada sosok Desita disana, gua pun berhenti disisi jalan, memarkir motor dan duduk diatasnya sambil menyulut sebatang rokok. Tiba-tiba seorang perempuan berjalan gontai ke arah gua, perempuan cantik, nggak nggak, dia bukan cuma cantik tapi super cantik dengan kaos panjang bergaris hitam putih horizontal dengan celana pendek selutut berwarna krem.
Payah lo, gue panggil..panggil tadi.. ....
Gua hanya terbengong-bengong memandanginya, bukan, gua bukan hanya bengong, tapi gua terpesona dibuatnya.
Woy.. gue panggil-panggil tadi.. Hah.. emang lu dimana" Disitu, di deket halte..
Desita menunjuk halte yang terletak persisi didepan kantor. Entah kenapa gua bisa nggak melihat sosok secantik ini tadi. Mungkin karena mata gua sudah terbiasa dengan Desita yang menggunakan kemeja, blazer dan rok sehingga pangling saat dia menggunakan kaos dan tampil kasual.
Lu nggak bawa tas" Gua bertanya ke Desita sambil memperhatikan sosoknya dari atas ke bawah.
Tas" Buat apaan"
Desita balik bertanya. Gua cuma mengangkat bahu sambil menggeleng. Biasanya perempuan yang gua ajak jalan pasti ribet sendiri dengan barang bawaannya, entah itu tas dilengan kiri, ponsel yang segede gaban digenggam ditangan kanan dan tentengan-tentengan lainnya yang berguna untuk mendukung ke-modis-an mereka. Tapi, Desita.. dia nyaris nggak membawa apa-apa, kecuali ... nggak ada, dia sama sekali nggak menenteng apa-apa.
Gua memberikannya helm, yang biasa digunakan Salsa. Desita meraih dan memakainya.
Emang mau kemana sih, sol" Udah naek..bawel..
Desita naik ke jok belakang, sambil menepuk punggung gua.
Mau kemana..." gue nggak bawa dompet nih... Lu udah makan"
Udah, tadi... .... Tapi kalo ditraktir, gue mau makan lagi.. Yaudah kalo gitu kita makan..
Gua pun melajukan sepeda motor gua, mengarah ke daerah Blok-M.
--- Malam itu, sebuah malam yang gua nggak pernah sangka sebelumnya. Sebuah malam final, dimana gua mengobrak-abrik sendiri tatanan hidup yang sudah gua buat. Sebuah malam yang mengkahiri dominasi perfeksionisnya gua. Sebuah malam dimana gua bisa terenyum tanpa beban saat memandangi perempuan dihadapan gua tengah menikmati roti bakarnya yang sedikit gosong. Lo ngajak gue makan, tapi lo nggak makan.. aneh..
Nggak, gua nggak laper.. Kalo nggak laper kenapa ngajak gue makan" Desita bertanya sambil memotong roti bakarnya menjadi bagian-bagian kecil.
Des.. lu serius nggak punya tipi"
Ah, ngalihin pembicaraan.. nggak asik.. eh.. ini beneran lo yang bayar kan"
Gua mengangguk sambil tersenyum melihat dan mendengar tingkahnya yang semakin lama semakin menggemaskan.
Mas..mas.. jus jeruknya satu lagi doong.. Desita mengankat tangannya sambil menoleh ke arah penjual yang masih sibuk melayani pesanan lain.
Gue emang nggak punya tipi..
Bohong, masa jaman sekarang ada orang nggak punya tipi..
Desita tersenyum mendengar perkataan gua, dia menyeruput jus jeruknya kemudian berusaha menelan roti yang sepertinya kurang dikunyah. Sol.. mayoritas penduduk Indonesia itu sumber informasinya dari tipi.. tapi sayangnya kualitas acara tipi disini tuh kebanyakan nggak bermutu... Oh, jadi itu alasan lu nggak mau punya tipi.. Nggak juga sih, sebenernya karena emang gue nggak punya duit..
Emang lu tinggal sendiri" Bokap nyokap lu" Desita sedikitr tersedak mendengar pertanyaan gua, ada yang berubah dari wajahnya. Gua menatap mata biru nya yang berbinar, mata yang masih menyembunyikan sebuah cerita. Gua sadar kalau pertanyaan gua barusan membuatnya nggak nyaman. Dengan segera gua mengeluarkan dompet dari dalam saku celana dan bersiap untuk membayar.
Mas berapa" Eh.. jus jeruk gue yang satu lagi aja blon dateng.. Udah dibungkus aja...
Kemudian gua menarik lengan Desita keluar dari warung tenda itu dan berjalan pelan menuju dimana sepeda motor gua terparkir. Terdengar sebuah gumam keluar dari bibirnya, gua mendengarnya, sebuah nada dari Hotel Californianya The Eagles.
Suka the Eagles" Hah.. the eagles.."
Ituh yang lu nyanyiin barusan.. hotel california.. Oh itu yang nyanyi namanya the eagles, gue suka lagu dan nadanya.. tadi siang gue denger dari hape lo..
Ooh.. kirain lu suka juga sama The Eagles.. Eh, sekarang kita pulang nih"
... Sol, kita pulang" Desita bertanya sambil menarik kaos gua. Gua hanya terdiam. Gua ragu apa harus mengatakan ke Desita malam ini kalau gua jatuh hati padanya. Dan kalau iya, apa malam ini waktu yang tepat, apa ini saat yang tepat"
Gua hanya terdiam sambil menyerahkan helm kepada Desita. Sambil memegang plastik bungkusan Jus Jeruk dia menggunakan helmnya dan naik keatas motor.
--- Gua mengendarai sepeda motor sambil melaju dari arah Melawai menuju ke arah Barito. Tepat di depan sebuah gereja, tetesan air jatuh menerpa kaca helm gua, hujan turun. Gua menepikan motor didepan sebuah ruko persis diseberang gereja. Hujan turun cukup lebat dan gua hanya membawa satu set mantel hujan yang gua letakkan di bawah jok sepeda motor gua.
Gua memandang Desita yang tengah berdiri bersedekap disebelah gua, kedinginan. Dingin"
Menurut lo".. Gua tersenyum kemudian melepas jaket kulit gua dan memberikannya ke Desita. Awalnya dia menolak, tapi gua tetap menyodorkan jaket tersebut kepadanya. Akhirnya dia meraih dan mengenakannya.
Gua mengusap lantai teras ruko dengan tangan kemudian duduk. Desita melakukan hal yang sama. Kemudian kami berdua, terduduk dalam diam, sama-sama memandangi tetesan hujan yang menghujam pelataran parkir ruko tersebut. Gua mengusap wajah dengan kedua tangan, kemudian melirik Desita yang masih duduk terdiam memandang ke depan, tatapannya kosong.
Des... Ya.. Desita menjawab tanpa menoleh, tatapannya masih terlihat kosong.
Gua suka sama lu.. ------- Bagian #10 Sontak Desita terkejut bukan main mendengar perkataan yang spontan keluar dari mulut gua. Dia menoleh, kembali ke kesadarannya, menginggalkan tatapannya yang kosong. Kali ini dai menatap gua tajam.
Lo... ... Lo ngeledek gue" Nggak.. gua serius.. gua suka sama elu.. Tapi,..
Tapi apa" Kalo lo suka sama gue, perlakuan lo ke gue, selama ini tuh..
Desita menggelengkan kepalanya, kemudian dia membuang muka dan kembali menatap kosong ke depan.
Perlakuan lo selama ini tuh, nggak fair banget buat gue.. baru sekali lo bersikap nice ke gue malam ini.. dan lo langsung bilang suka sama gue..i don t get it.. gue nggak ngerti..
Ya, gua tau kalo gue emang nyebelin.. tapi kan... Belum selesai gua berbicara Desita buru-buru memotongnya.
Nggak.. nggak.. gue tau kalo ini semua cuma bagian dari jokes lo.. nanti saat gue bilang iya terus lo bakal ketawa, dan besoknya gue bakal jadi bahan ejekan lo dikantor..
Nggak gitu Des,.. ini mah serius..
Kali ini gua yang menggeleng, berusaha keras mencari cara untuk meyakinkan Desita. Gua berusaha memegang tangannya, tapi dia buruburu menariknya.
Des.. suruh gua ngapain aja.., suruh gua ngapain aja untuk nge-buktiin kalo gua serius.. Desita menatap gua, kemudian dia berdiri. Sol.. gue nggak pernah minta apapun dari lo, gue nggak pernah meminta apapun dari orang yang suka sama gue..
... Kalo lo emang serius, gue mau lo nunjukkin satu aja.. cukup satu hal aja..dan itu bakal lebih dari cukup buat ngeyakinin gue..
Gua harus apa" Kenali gue... Makudnya"...
Cmon sol... i just met you and you event dont know my last name...lo belom tau siapa gue, berasal darimana gue..
Gua nggak perlu itu Des.. gue nggak perlu tau siapa elu, darimana elu, berasal dari keluarga manapun elu.. gua cuma.. gua cuma jatuh hati sama lu..
Gue perlu, sol.. Gue pelu lo tau semua hal tentang gue, baru lo bisa menilai gue, dan gue yakin setelah lo tau semua tentang gue.. lo bakalan ninggalin gue, lo bakal jauhin gue.. sama seperti cowok-cowok lainnya...
Oke.. kalo gitu, kita buktiin aja... Udah sol, gue mau pulang...
Tapi, masih ujan.. tunggu reda nanti gue anter.. Nggak gue naek taksi aja...
Desita kemudian berjalan pelan melintasi pelataran parkir ruko dimana kami berteduh. Dengan menggunakan jaket gua sebagai pelindung kepalanya dia memanggil taksi yang banyak mengantri di depan gereja. Beberapa menit berikutnya dia sudah masuk kedalam taksi yang membawanya melaju, melintasi jalan melawai.
Gua hanya terdiam, saat sadar perkataan Desita waktu awal kita bertemu tadi;
Mau kemana..." gue nggak bawa dompet nih... Buru-buru gua menerobos hujan, menyalakan mesin motor dan berusaha menyusul taksi yang membawa Desita pulang. Dilampu merah perempatan Barito, gua berhenti tepat didepan taksi yang membawa Desita, nggak sulit untuk menemukan taksi berwarna mentereng tersebut di jam segini. Gua menghentikan motor didepan taksi tersebut dan mengetuk kaca depan bagian supir. Awalnya si supir terlihat ketakutan, tapi setelah gua menunjuk-nunjuk ke arah Desita yang duduk dikursi penumpang dibelakang, dia membuka kaca jendelanya. Gua mengeluarkan dompet, mengambil dua lembar ratusan ribu dan menyerahkannya ke supir taksi tersebut. Pak, anterin sampe rumah ya.. kembaliannya ambil aja..
Si supir mengambil uang yang sudah terlanjur basah tersebut sambil bertanya ke gua. Lagi marahan ya mas"
Gua cuma tersenyum kemudian memandang ke arah Desita yang membuang pandangannya ke sisi lain jendela. Kemudian taksi tersebut bergerak, melaju meninggalkan gua yang berdiri di tengah jalan sambil menerima makian dari pengendara mobil dibelakang.
Asmara Si Pedang Tumpul 5 Pendekar Naga Putih 89 Orang Orang Terbuang Jejak Di Balik Kabut 17
^