Pencarian

Everytime 3

Everytime Karya Alboni Bagian 3


Gua kembali melihat kertas berisi nama dan alamat yang tadi diberikan bokap.
Mas Solichin ada..." Ya, ada apaan"
Eem anu saya disuru ngasih sample T-Shirt sama bapak..
Bapak siapa" Bapak saya, pak Mardi, Sumardi.. yang punya konve...
Belum gua selesai menjelaskan dia mengangkat tangannya melewati pagar.
Yaudah mana" Nih.. Gua menyerahkan kantung plastik besar berisi beberapa sample T-shirt, pria itu menggapainya kemudian seakan nggak menganggap gua, dia berpaling dan berjalan melangkah gontai ke arah pintu masuk.
Woi.. mas..mas.. Gua memanggilnya setengah berteriak. Pria kurus tadi menoleh sebentar kemudian kembali menghampiri gua.
Apa lagi" Ada yang perlu ditanda tangan" Suaranya terdengar datar, hampir tanpa ekspersi, tanpa emosi.
Eh.. emang lo pikir gua kurir".. gua ini anaknya pak Mardi..
Gua menjelaskan, sementara pria kurus tersebut masih tetap tanpa ekspresi dan memandang gua dengan tatapanya yang sendu. Kalau diperhatikan secara seksama sebenarnya pria ini cukup ganteng, mungkin kumis, cambang dan jenggotnya yang nggak keurus membuatnya terkesan berantakan .
Trus" Lu bilang tadi cuma ngasih sample kan.." Ya gua mau ngasih sample sekalian nego harga sama mas Solichin..
Oh.. berarti tadi lu menggunakan bahasa yang salah..
Pria itu berkata tetap tanpa ekspresi sambil membuka slot besi yang mengunci gerbang. Kemudin tanpa mempersilahkan gua masuk, dia melengos dan berlalu begitu saja. Gua mendengus kesal dan menyusulnya masuk kedalam. Pria tersebut meletakkan, mungkin lebih tepat melempar kantung plastik berisi sample T-shirt disebuah meja kayu yang terletak diantara dua buah kursi didepan teras, kemudian duduk disalah satu kursi yang paling dekat dengan pintu rumah.
Mendapat pengalaman di depan pagar tadi, tanpa menunggu dipersilahkan, gua duduk dikursi satunya.
Dia membuka kantung plastik, mengeluarkan dan mengecek isi-nya satu persatu.
Yang ini berapa" Dia menyodorkan sebuah T-Shirt berwarna putih ke gua.
Itu udah ada harganya di situ..
Gua menunjuk ke arah selebaran yang sengaja diikutsertakan pada T-Shirt T-shirt tersebut. Kalo gitu, lu sama sekali nggak ada fungsi-nya dong"
Mendengar pertanyaan pria itu, gua mendengus kesal kemudian menyambar selebaran yang berisi daftar harga kemudian membacakan hargaharganya.
Yaudah gua mau yang ini, 1000pcs.. ukuran S 200, ukuran L 200, ukuran XL 200 sisanya yang ukuran M..
Ujar pria kurus itu sambil menunjuk salah satu Tshirt berwarna hitam dengan bahan Katun Combat.
Wah itungannya lusinan mas..
Yaudah tinggal itung aja 1000 dibagi 12.. Gua memandang ke atas sambil coba menghitung 84 Lusin.. ngitung gitu aja lama..
Pria kurus itu mengiterupsi proses menghitung gua kemudian berdiri dan membuka pintu rumah bersiap untuk masuk.
Kalo bisa minggu ini harus udah dianter ke workshop gua, bokap lu udah tau alamatnya.. nanti kalo keluar pagernya tutup lagi
Dia masuk kedalam, menutup pintu dan cklek.. terdengar suara pintu dikunci dari dalam. Gua mendengus lagi, seumur-umur gua berhubungan dengan calon pembeli dan langganan-langganan bokap, belum pernah gua bertemu dengan pria seperti ini. Dan sepanjang perjalan pulang gua nggak henti-hentinya mengutuki perlakuan pria tadi ke gua.
--- Uwis, trid.." (Sudah, trid")
Bapak bertanya saat gua baru saja tiba dirumah yang juga difungsikan sebagai kantor, tempat produksi dan gudang oleh bapak.
Uwis pak.. (Sudah pak) Petuk karo uwonge.. (Ketemu sama orangnya" )
Hooh.. Gelem po ora" (Mau apa nggak")
Gelem pak, 84 lusin pak.. (Mau pak, 84 lusin) Sing endi" (Yang mana")
Sing Katun combat.., sesuk ae lah pak, ta terangke.. wes kesel aku.. (Yang katun kombat, besok aja ya pak saya jelasin, udah capek aku..) Gua menjawab malas, kemudian bergegas masuk kedalam. Meninggalkan bapak yang masih duduk sambil menikmati segelas kopi diteras rumah. Dari luar terdengar bapak bertanya sambil berteriak; Warna ne, opo ae nduk.." (Warnanya apa aja") Deg!
Gua menghentikan langkah. Menepuk jidat, sadar kalau tadi gua belum sempat bertanya perkara warna yang mau dipilih oleh Pria tadi.
Campur pak; ireng, abang karo putih.. (Campur pak; hitam, merah sama putih)
Gua menjawab, mungkin tepatnya; menebak. Sambil melanjutkan langkah gua menaiki anak tangga menuju ke kamar. Gua berfikir kalau ada orang yang beli baju 1000 pcs pasti mau warna-nya dicampur, mana mungkin ada yang beli 1000pcs warna hitam semua, kalaupun ada tuh orang pasti penganut paham dark metal .
------ Bagian #22 Kowe salah keto e, nduk.. mas Solichin ora gelem campur warnane, njaluk sing ireng kabeh.. (Kamu salah kayaknya, mas solichin nggak mau dicampur warnanya, minta yang warna hitam semua) Suara bapak menyambut gua yang baru saja pulang mengantar adik dari kampus.
Salah" Lha terus kepiye.. (Salah" Ha terus gimana")
Mau uwonge ngebel, lha kae sing liane ireng dibaleni kabeh.. njaluk ijol (Tadi orangnya telepon, lha itu yang selain hitam dikembaliin semua, minta tukar)
Bapak menunjuk tumpukan karung berisi T-shirt yang minggu kemarin dipesan oleh pria bernama Solichin.
Gua buru-buru kembali naik ke atas sepeda motor, bersiap menuju ke rumah Solichin. Bapak buruburu menghampiri.
Arep ngandi" (Mau kemana")
Nyang omahe Solichin.. complain.. (Kerumahnya solichin, komplain)
Ora sah.. lha wong sing keliru kowe kok, malah arep komplen.. (Nggak usah, yang salah kan kamu kok malah mau komplen)
Gua kembali mematikan mesin sepeda motor. Mengko bar dzuhur, anteri sisane sing ireng.. gek ora sah komplen-komplenan.. (Nanti setelah dzuhur, anter sisa yang hitam.. dan nggak usah pakai komplen-komplen segala)
Nggih pak.. Gua hanya mengangguk sambil ngeloyor pergi masuk kedalam rumah.
Siang harinya gua sudah berada di sebuah rumah yang disulap menjadi semacam tempat produksi tees. Dimana terdapat tiga orang pekerja yang tengah membersihkan alat-alat sablon, sementara di sudut ruangan yang terbuka, berjajar puluhan kaos yang sudah disablon sedang dijemur. Gua duduk disebuah bangku plastik menunggu si empunya usaha; Solichin, yang katanya sebentar lagi datang.
Nggak lama berselang, pria kurus bernama Solichin itu datang dengan mengendarai sepeda. Dia mengenakan celana kargo pendek selutut dan kaos putih oblong, dibibirnya menggantung sebatang rokok filter yang masih tersisa setengah. Setelah menyandarkan sepedanya di sisi pagar dia berjalan masuk kedalam.
Mau ngapain" Dia bertanya tanpa memandang ke arah gua. Nganter kaos sisa kemaren.. kurangnya 600 pcs.. tuh gua taro situ.. nih sekalian nganter tagihan Gua menjawab sambil menunjuk dua karung berisi T-Shirt hitam pesanannya yang sempat salah pesan dan menyerahkan lembaran invoice yang harus dibayarnya. Solichin memandang sekilas ke arah karung-karung tersebut, memanggil salah satu anak buahnya dan meminta untuk mengeceknya sementara tangan kanannya meraih lembaran invoice yang gua sodorkan.
Besok besok kalo salah lagi, gua minta potongan.. produksi gua jadi telat..
Solichin duduk di tepi teras sambil membaca invoice.
Yaelah.. cuma salah gitu doang.. telat paling juga sehari.. pekerja lo juga cuma tiga orang, gak bakal banyak pengaaruh ke proses produksi lo.. Mendengar perkataan itu, dia menoleh ke arah gua, memandang dengan matanya yang sayu, dengan tatapan yang datar seperti tanpa emosi kemudian berdiri.
Dalam satu jam, satu orang pekerja gua bisa produksi 30 kaos.. satu hari mereka bisa kerja 8 jam, berarti 240 kaos perhari dan seperti yang tadi lu bilang, pekerja gua ada tiga; 240 dikali 3 berapa"
Gua menghitung sebentar, belum selesai menghitung lagi-lagi dia menginterupsi gua. 720.. lu sekolah nggak sih" Ngitung gitu doang lama banget..
Yee biasa aja kali.. Kemaren lu salah kirim, dan yang bisa diproduksi cuma 400pcs, jadi pekerja gua cuma nongkrong, ngerokok, ngegosip sambil nunggu sisa yang 600pcs lu anter.. dan lu bilang nggak ngaruh ke produksi"
Yaudah, sorry sorry.. iya gua salah.. trus sekarang pembayaranya gimana tuh"
Transfer ato Cash" Solichin bertanya sambil menjatuhkan puntung rokok kemudian menginjaknya.
Transfer aja.. Oke.. tunggu .. Gua mengangguk pelan, sementara Solichin masuk kedalam.
Setelah menunggu sekitar sepuluh menit dia keluar sambil menyodorkan bukti transfer yang di print-out dalam selembar kertas. Gua menyambarnya, buru-buru memasukkanya kedalam tas kemudian bersiap pergi.
Itu transfernya gua lebihin..
Solichin berujar sambil menyalakan korek dan menyulut sebatang rokok. Gua menghentikan langkah dan berpaling.
Hah.. buat apa" Buat elu..
Buat gua" Gua bertanya heran. Iya, buat beli kalkulator.. Gua berjalan pelan menghampirinya. Eh, lo pikir gua nggak mampu itung-itungan" Solichin hanya menyeringai kecut, kemudian duduk di kursi plastik tempat gua menunggu tadi. Gua mendengus kesal
Dan lo pikir gua nggak mampu beli kalkulator sendiri"
Salah satu kelemahan orang Indonesia; malu mengakui kelemahan sendiri dan marah saat kelemahannya di ekspoitasi orang lain.. Solichin berkata sambil terkekeh pelan, masih dengan asap mengepul dari mulutnya dan hidungnya.
Eh.. semua orang juga punya kelemahan kali.. Really", gua nggak punya tuh..
Sombong banget.. Kemudian gua buru buru melangkah pergi meninggalkan Solichin yang masih menyeringai sambil menatap remeh gua.
Nggak habis pikir gua dibuatnya, kok bisa-bisanya ada orang yang tingkahnya menyebalkan sepertinya.
--- Itu adalah kisah awal pertemuan gua dengan Solichin. Sosok pria menyebalkan si penyembah ego yang selalu mau menang sendiri. Sosok pria tersebut kini duduk disebelah gua, disalah satu angkringan yang berada di keramaian sabtu malam Malioboro. Awal pertemuan yang nggak begitu punya kesan positif itu malah pada akhirnya membawa gua untuk terus menerus berinteraksi dengannya. Dari mulai saling mengejek lewat SMS, saling mengolok-olok saat gua ikut mengantarkan barang pesanannya dan akhirnya malah membuat gua jatuh hati kepadanya.
Pada dasarnya Solichin mungkin sosok yang menyenangkan, pembawaanya serius tapi santai, dalam hidupnya semua terlihat terorganisir, tapi entah kenapa gua selalu menangkap ada sesuatu yang buruk, sangat buruk yang pernah menimpanya, membuatnya sering terlihat murung dan gelisah. Dilain sisi, dia sangat perhatian dan murah hati, mungkin dengan mengesampingkan kehandalannya dalam merayu lawan jenis dan gua boleh dibilang salah satu korban rayuannya. Masih teringat jelas saat dibenak gua kejadian beberapa bulan yang lalu, saat belum lama gua mengenalnya.
Lu punya obeng" Nggak, Buat apa"
Kalo, kunci inggris.. punya" Nggak juga.., buat apaan" Kalo, kunci pas"
Nggak punyaaaaa.. buat apaan sih" Ah, kalo nomor telepon pasti punya dong.. ....
Gua terdiam, sambil menyunggingkan senyum gua mulai menyebutkan angka-angka nomor ponsel gua kepadanya.
Selain rayuannya, wajahnya yang saat ini bersih dari jenggot dan kumis juga menjadi salah satu faktor kenapa gua bisa jatuh hati padanya. Memang ada pepatah yang bilang Don t judge a book, from it cover , tapi buku yang nggak memiliki cover yang indah menurut gua nggak bakal bisa menarik minat pembaca, bahkan untuk sekedar melihat judulnya.
Oke, pada akhirnya semua wanita pasti bakal setuju dengan gua, jika gua sebutkan hal-hal seperti ini; Ganteng, Tinggi, Masih muda, Mapan, Pandai merayu. Apa lagi yang bisa diharapkan" Tentu saja mengesampingkan sifatnya yang menyebalkan. Tapi, gua punya prinsip kalau sifat dan watak seseorang (mungkin) masih bisa berubah seiring faktor waktu, lingkungan dan habit. And i am still working on it..
Solichin. Sejak pertama berkenalan, entah kenapa dia selalu marah saat gua memanggilnya dengan sebutan; Sol .
Jangan pernah gunakan sebutan itu untuk manggil gua.. lu boleh manggil sua si brengsek, si ** SENSOR **, si goblok asalkan jangan sebutan itu, jangan pernah!!
Akhirnya sejak saat itu, gua memanggilnya dengan sebutan ; Licin
Ada banyak misteri yang tersembunyi dibalik semua perkataannya, tatapannya, gerakan tubuhnya, bahkan hisapan rokoknya. Seringkali gua mendapati dia tengah memandang kosong ke arah sambal pecel ayam yang nggak pernah gua sentuh saat makan bersama dengannya, gua nggak suka pedas. Pernah juga suatu waktu saat mengantri untuk mengisi bensin di SPBU, dia terlihat menghitung jumlah motor yang mengantri dihadapanya, melirik ke arah jam tangan dan bilang ke gua;
Kita bakal sampe didepan antrian sekitar.. dua menit lagi..
Dan biasanya perhitungannya selalu tepat, hampir nggak pernah meleset.
Tapi, jangan harap ada orang yang bisa menginterupsi bahkan berkomentar negatif tentang kebiasaannya itu. Gua pernah satu kali mengomentari kebiasaanya itu dan gua kapok; Cin.. ngapain lo ngitungin gituan, cuma orang gila nggak punya kerjaan yang ngitungin antrian motor di SPBU
Saat bilang begitu, kami baru saja selesai mengisi bensin dan gua tengah dibonceng olehnya. Tibatiba dia menghentikan sepeda motornya, menyuruh gua turun dan pergi meninggalkan gua.
Bagian #23 Everytime I try to fly, I fall without my wings, I feel so small.
I guess I need you baby. And everytime I sleep your in my dreams, I see your face, it's haunting me. I guess I need you baby.
Gua berbaring menatap kosong ke langit-langit kamar, sementara stereo set disudut kamar melantunkan sebuah lagu; Everytime-nya Britney Spears.
Bayangan Desita yang selama ini berpijar nyata dilangit-langit kamar, yang selalu menemani waktu tidur gua perlahan mulai memudar, berpendar lembut dan perlahan menguap seperti asap. Gua bangkit mengambil sebuah foto seukuran postcard dengan frame cokelat muda dan memandanginya; didalamnya terdapat gambar seorang gadis tengah tersenyum, seorang gadis manis bermata biru dengan rambut sebahu, mata gua terpejam, mencoba menyerap dalamdalam sosok dalam foto tersebut dan berusaha menyimpannya dalam memori agar tetap berada disana dan tak terlupa.
Sudah tiga tahun Desita pergi meninggalkan gua. Tanpa pamit, tanpa kata, dia menghilang, pergi dari kehidupan ini.
Bayangkan kalian berada ditengah samudera antah berantah, diatas sebuah kapal yang maha besar lengkap dengan fasilitas dan keperluan hidup yang berlimpah, tapi tidak tau harus berbagi ke siapa, karena elu hanya berada sendiran disana. Tanpa teman, tanpa tempat bercerita, tanpa sosok yang menertawai canda, tanpa orang yang bisa protes tentang kelalaian-kelalain lu, tanpa wanita yang bisa lu kagumi.
Dan gua berada diatas kapal itu selama tiga tahun. Hari itu, hari dimana saat gua terbangun tanpa melihat adanya SMS ucapan selamat pagi , hari dimana gua datang ke kantor dan nggak mendapati Desita tengah tersenyum dari meja kerjanya sambil memandang gua yang tengah menggenggam secangkir kopi, hari dimana gua nggak lagi bertemu dengannya.
Dan hari ini, tepat tiga tahun yang lalu.
Benak gua membentuk sebuah lubang yang berputar membentuk sebuah lorong, menghisap pikiran gua kembali ke masa itu, masa yang nggak pernah gua inginkan untuk terjadi.
Fit.. Desita nggak masuk" Kayaknya nggak deh.. Oh oke deh, makasih..
Gua meletakkan gagang telepon, mengambil jaket yang tersandar di kursi dan bergegas untuk turun. Sejak pagi tadi gua berusaha menghubungi Desita dan nggak pernah bisa, siang itu saat jam istirahat makan siang, gua berjalan melalui gang sempit menuju ke rumah Desita. Gua mengetuk rumahnya berkali-kali. Tidak ada jawaban. Kemudian sosok pria setengah baya muncul dari balik pintu rumah yang bersebelahan dengan rumah Desita; Orangnya pergi mas.. Oh.. kemana ya pak..
Kayaknya pulang kampung deh.. tadi berangkat subuh-subuh..
Gua terdiam mendengar keterangan pria tersebut, mengeluarkan ponsel dan (lagi) mencoba menghubunginya, sebuah tindakan yang gua pun tau kalau nggak bakal membuahkan hasil. Pulang kampung kemana ya pak" Paling ke Bogor mas..
Tau alamatnya pak" Pria itu menggeleng.
Orang sini mah nggak ada yang tau mas.. ya taunya Desi sama ibu-nya orang bogor, lengkapnya nggak pada tau..
Gua hanya mengangguk, kemudian bergegas pergi setelah mengucapkan terima kasih kepada pria itu.
Seminggu setelah kejadian itu, gua masih belum bisa menghubungi Desita. Entah sudah berapa kali gua datang kerumahnya, mencoba mengorek informasi dari tetangga-nya bahkan samapi ke ketua RT nya dan tetap tanpa hasil.
Setahun berlalu, sampai akhirnya gua menyerah dan merelakan takdir yang sepertinya nggak sepaham dengan perasaan gua. Hidup gua sempat berantakan, amburadul, jungkir balik, semakin gua berusaha melupakan Desita, semakin gila gua dibuatnya.
Entah sudah berapa kali Si Bewok mencoba mengenalkan gua dengan beberapa wanita yang menurutnya sanggup membuat hidup gua normal kembali dan gagal. Entah sudah beberapa kali juga Salsa memaksa gua untuk ikut liburan bersama dengan teman-temannya untuk sedikit refresing dan sejenak melupakan Desita; gagal. Entah sudah berapa kali bapak dan ibu berusaha membujuk gua untuk melanjutkan studi S2 gua di Australia agar gua bisa move-on, gagal.
Gua nggak mau, sa... gua cuma mau Desita, titik.. kalo kalian nggak bisa bantu gua ketemu Desita, jangan maksa gua melakukan hal lain.. Gua setengah berteriak didepan forum keluarga yang sengaja dibentuk untuk menyamankan gua dan kembali gagal. Ibu hanya bisa terisak sambil memegangi lengan bapak yang menggelengkan kepalanya sementara Salsa berusaha menahan gua yang hendak kembali ke kamar.
Sampai pada puncaknya, gua memutuskan untuk resign dari tempat gua bekerja dan pindah ke Jogja. Ya, gua lari.. gua berusaha kabur dari kenyataan yang pada akhirnya tetap nggak berhasil, Desita dengan senyum-nya selalu berhasil menghantui gua.
--- Dan saat ini, hadir dalam kehidupan gua sosok perempuan yang hampir semua gelagat-nya mirip dengan Desita. Namanya Astrid. Walaupun perasaan ini sempat melawan tapi ada sebuah bisikan dihati kecil gua untuk setidaknya mencoba, mencoba membuka hati gua kembali untuk diisi dengan cinta. Dan Astrid-lah yang mendapat kesempatan itu.
Astrid memiliki banyak kesamaan dengan Desita, dia easy going, murah senyum, humoris, cantik dan sedikit menyebalkan. Ya walaupun Astrid nggak pandai berhitung dan memainkan logika. Tapi, semakin jauh Astrid mencoba masuk kedalam kehidupan gua, justru rindu gua akan Desita semakin besar.
Saat gua sedang bersama Astrid sesungguhnya, hanya tubuh gua yang bersama-nya sedangkan hati dan pikiran gua tetap berada di rumah, didalam kamar, berbaring bersama sebuah frame berukuran Postcard yang didalamnya terdapat foto Desita.
Cin.. ... Gua boleh nanya nggak" ...
Desita siapa sih" Gua terperanjat saat mendengar Astrid menyebut nama Desita.
Tau darimana lu" Handphone lo.. di inbox handphone lo ada pesan yang udah lama banget, tapi nggak lo apus.. Ngapain lu ngeliat-liat hape gua" Hehehe.. iseng..
Gila lu ya.. meriksa-meriksa hape orang.. Gua berdiri dan mencak-mencak di hadapannya. Iya sorry sorry... eh siapa Desita.."
.... Mantan lo" Gua menggeleng. Trus siapa"
Cewek gua.. Hah.. kok lo nggak pernah bilang kalo udah punya pacar"
Karena lu nggak pernah nanya.. udah ah gua mau pulang..
Gua kemudian naik ke atas sepeda motor dan menyalakan mesinnya.
Lo.. gua nggak abis pikir deh, cin.. kok bisabisanya lo ngerayu cewek sementara lo masih punya pacar"
Gua udah nggak pernah ketemu dia lagi... Tapi kata lo tadi dia pacar lo..
Iya emang, karena gua nggak pernah putus dari dia.. udah gua mau pulang
Gua menutup kaca helm dan bergegas pergi meninggalkan Astrid yang masih berdiri didepan teras rumahnya.
------- Bagian #24 Kata orang cinta itu bisa hadir karena terbiasa, kalau mendengar pepatah orang-orang Jogja ; Witing Tresno Jalaran Soko Kulino yang kurang lebih artinya Cinta tumbuh karena terbiasa . Memang kalau dipahami maksudnya, akan bisa dimengerti bahwa cinta itu akan bisa tumbuh karena terbiasa. Terbiasa bertemu, terbiasa bersama-sama. Kalaupun mungkin pada awalnya cinta itu belum tumbuh, tetapi karena sering bertemu dan sering bersama-sama akhirnya (bisa jadi) cinta itupun mulai tumbuh. Tapi, persetan dengan itu. Sudah hampir setengah bulan lebih gua bersama dengan Astrid, tapi nggak ada tandatanda cinta yang tumbuh. Yang hadir malah perasaan bosan setiap kali gua bertemu dengannya, tidak ada getaran, tidak ada perasaan bersemi-semi.
Dan sudah hampir satu minggu ini gua selalu berusaha menghindar dari Astrid. Gua tau rasanya ditinggalkan dan gua nggak mau mengecewakan orang dengan meninggalkannya. Desita memang meninggalkan gua, tapi Desita juga mengajarkan banyak hal; darinya gua tau bahwa uang bukan jawaban dari kebahagiaan, ya memang nggak bisa dipungkiri kalau uang itu bagian dari kebahagiaan tapi bukan segalanya. Dari dirinya gua belajar bagaimana menikmati hidup, bagaimana menghargai manusia lain tapi darinya juga gua malah menjadi sosok asing.
Gua berbaring diatas kasur sambil memeluk guling dan memandang foto Desita, sementara ponsel gua terus berdering, bergetar lembut diatas meja kayu, bersisian dengan foto Desita. Gua melihat layarnya, nama Astrid muncul disana. Gua menekan tombol power off dan meletakkannya kembali diatas meja. Nggak beberapa lama berselang, terdengan langkah kaki mendekati kamar gua dan mengetuk pintunya.
Mas.. mas solichin.. dicari mbak Astrid.. ditunggu diluar..
Terdengar suara Mursan; salah satu pekerja gua, pelan sambil mengetuk pintu.
Gua mengabaikannya. Tapi Mursan masih tak bergeming, dia tetap mengetuk pintu dan memanggil gua, suaranya memang lirih, tapi cukup mengganggu. Gua bangun, beranjak menghampiri pintu dan membukanya;
Kenapa sih, san" Nganu.. mas, mbak Astid ngenteni neng jobo.. (Anu mas, mbak Astid nungguin diluar) Biarin aja..
Gua menjawab sambil bersiap menutup pintu, kemudian tangan Mursan menahan pintunya. Nganu mas,.. mesak e lho mash.. uwis ngenteni ket mau.. (Anu mas, kasian lho mas, sudah nunggu dari tadi)
Gua berdiri mematung. Kemudian membuka pintu lebar-lebar.
Yaudah suru kesini deh.. Suara langkah kaki perlahan terdengar mendekati kamar dan perlahan bayangan sosok seseorang menutupi cahaya yang masuk dari ruang tengah ke kamar gua, yang sengaja gua biarkan gelap. Astrid berjalan pelan melewati gua yang terduduk dilantai, dia membuka tirai jendela kamar, cahaya menyilaukan menerpa wajah, gua berusaha menghalaunya dengan telapak tangan, sambil memicingkan mata gua beringsut, berpindah ke tempat yang lebih teduh, ke sudut ruangan.
Setelah membuka tirai dan jendela, tanpa bicara Astrid membuang abu dan bungkus rokok yang berserakan, merapihkan kertas-kertas gambar kemudian duduk di kursi menghadap ke gua. Kenapa lo"
Gua nggak menjawab, hanya berdiri kemudian mengambil sebatang rokok, menyulutnya dan menutup kembali tirai jendela.
Sementara Astrid memandang sekeliling, mengambil sebuah frame foto yang masih tergeletak dari atas tempat tidur gua dan meletakkannya di meja gambar gua.
Cantik ini yang namanya Desita"
Gua menoleh, baru sadar kalu yang tadi diambil dan dipandanginya adalah foto Desita, buru buru gua mengambilnya dan menyimpannya kedalam lemari. No!, barang itu terlalu berharga untuk disentuh orang lain.
Dia ninggalin lo" Atau .
Wajar sih kalo cowok kayak lo ditinggalin sama cewek..
Gua hanya terdiam, menghisap dalam-dalam rokok filter gua dan menghembuskannya ke dalam ruangan kamar yang gelap dan sumpek. Asapnya berputar-putar sebelum kemudian berbaur hilang. Sambil memainkan puntung rokok yang masih membara diantara sela-sela jari tangan kanan, gua duduk diatas kasur.
Iya dia pergi, dan gua nggak tau kenapa dan kemana.."
Keluar negeri" Gua menggeleng.
Yaelah.. jadi cowo kok cemen banget.. Terakhir sih, informasi yang gua dapet, dia ke bogor..
Yaaaahhh, ciiiinn.. gua pikir mah kemana gitu, ke amerika, ostrali, maroko ato ke jerman.. timbangane bogor mah ciiil..
Astrid berkata sambil menjentikkan jari kelingkingnya.
Udah pernah nyoba nyari ke Bogor"
Astrid bertanya dan gua hanya menggeleng. Memang gua belum pernah mencari Desita sampai ke Bogor, karena keterbatasan informasi. Dengan asumsi jika Bogor yang dimaksud adalah kota Bogor; yang luasnya mencapai 118,50 dengan jumlah populasi sekitar 949.066 jiwa maka, mencari satu orang di bogor tanpa keterangan lengkap sama saja mencari satu jarum didalam gudang jarum yang dikelilingi tumpukan jerami. Apalagi kalau coba memasukkan Kabupaten Bogor (bukan kota bogor) kedalam parameter pencarian, maka ruang lingkup pencarian menjadi 2.071,21 km", dengan jumlah populasi 4.771.932 jiwa. Jika gua melakukan pencarian sendirian, manual, dengan mendata satu persatu kecamatan, kelurahan atau RT/RW setempat hanya dengan bermodal sebuah nama, maka hal tersebut hampir mustahil dilakukan, jika dilakukan pun persentasi berhasilnya hanya sekitar 0,7% itupun sukur-sukur gua belum mati ditengah pencarian.
Dulu gua pernah sempat mendapatkan Ide untuk memasang iklan diberbagai media cetak, semacam obituary tapi isinya informasi tentang Gua yang tengah mencari sosok Desita. Tapi, setelah berfikir efeknya bakal mengganggu ketentraman bisnis keluarga, gua membatalkannya.
Oke sekarang, apa aja data-data yang lo punya dari Desita.."
Astrid mengeluarkan ponselnya, bersiap mencatat. Gua hanya menggeleng lagi. Wah susah juga ya.. udah berapa lama dia pergi" Gua mengacungkan tiga jari gua. Astrid mengangguk sambil mengusap-usap dagunya. Udah lama juga ya pernah nyoba hubungin nomornya lagi setelah sekian lama"
Gua bengong, menggeleng, kemudian buru-buru menyalakan kembali ponsel yang tadi sempat gua matikan dan mencoba menghubungi nomor lama Desita.
Gua tertunduk lesu sambil meletakkan ponsel diatas meja. Nomornya nggak bisa dihubungi. Terlihat Astrid mengetuk-ngetukan jari dilututnya, kelihatanya dia tengah berfikir. Semenit kemudian dia membuka suara;
Kalo dipikir-pikir, aneh juga ya.. seharusnya kalau ada nomor ponsel yang udah nggak aktif sampe tiga tahun, pasti dicabut sama pihak provider trus dijual lagi .
Mendengar perkataan Astrid, sontak gua menjatuhkan rokok dari jari-jari tangan. Gua memandang Astrid tajam, menghampirinya kemudian mencium ujung kepalanya.
Tumben pinter lu.. Kemudian gua buru-buru keluar dari kamar, kembali lagi dengan sebuah koper berukuran sedang dan mulai memasukkan beberapa pakaian kedalamnya. Melihat hal tersebut Astrid hanya tersenyum ringan sambil mengetik sesuatu diponselnya.
--- Tiga jam berikutnya gua sudah duduk diantara deretan gerbong Taksaka Malam menuju ke Jakarta.
------- Bagian #25 Gua memandang ke lampu-lampu yang seperti titik-tiik kecil yang bergerak cepat ditengah kegelapan didalam jendela salah satu gerbong kereta api Taksaka malam yang membawa gua ke Jakarta. Sudah hampir tiga jam gua berada di dalam kereta, dan nggak sedetikpun mata ini mampu terpejam, gua hanya membayangkan apaapa saja rencana yang bakal gua laksanankan setibanya di Jakarta. Mata gua masih memandang ke arah jendela yang memantulkan sosok wajah gua sendiri, melamun, tetap sama seperti solichin sebelumnya, tapi kali ini ada yang berbeda dengan tatapan gua; ada setitik harapan disana. Perlahan sosok bayangan wajah gua mulai memudar, berganti dengan sosok gadis cantik bermata biru yang tengah tersenyum, gua balas tersenyum. Kemudian tangan dingin menyentuh lengan gua. Cin.. kenapa lo"
Hah, nggak papa.. Kok senyum-senyum sendiri" Nggak kok
Masih lama ya" Udah sampe mana sih" Astrid menyingkirkan selimut tebal berwarna cokelat yang menyelimuti tubuhnya, merentangkan kedua tangannya kemudian memegang leher.
Pegel banget deh capek.. kenapa nggak naek pesawat aja sih"
Berisik , tadi lu yang maksa pengen ikut, jadi udah diem aja..
Diih Kemudian Astrid menutupi tubuhnya dengan selimut, sementara gua kembali asik dengan bayangan yang ada dijendela. Namun semakin lama gua memandang, yang gua dapati hanya pantulan wajah gua sendiri yang diselingi gerakan tiang dan pagar-pagar ditepi rel yang seakan berlari cepat. Nggak lama berselang, bayangan gelap diluar gerbong semakin terang, sorot lampu dari rumah-rumah berganti dengan lampu voltase besar yang berada dideretan toko dan gedunggedung bertingkat. Gua sudah di Jakarta. ---
Cin.. makan dulu ya.. Astrid berjalan sambil memanggul tas ranselnya, turun dari peron stasiun Gambir menuju le lantai bawah. Gua mengikutinya sambil menyeret koper kecil gua, nggak seberapa lama, kami sudah berada di salah satu restaurant donat paling popular di Indonesia.
Kita langsung apa nginep di hotel dulu nih, cin.." Langsung.. udah buruan abisin..
Gua menjawab pertanyaan Astrid sambil melirik jam tangan gua yang menunjukan angka 02.45 dini hari. Sementara Astrid malah terlihat santai menikmati donat dan kopi hitam panasnya, sesekali dia memandang layar ponselnya kemudian mengetikan sesuatu sambil tersenyum. SMS-an sama siapa, seneng banget"
Vavava.. vengen vau ya.. ava veeh.. vemburu yva (Hahaha.. pengen tau ya.. ada deh.. cemburu ya)
Astrid bicara, padahal mulutnya penuh dengan makanan.
Gua berdiri, menuju ke meja pelayanan dan memesan kopi dalam cangkir kertas. Setelah membayar gua berjalan cepat keluar dari restaurant tersebut bergegas ke lobi untuk mencari taksi. Di Lobi, gua memanggil taksi yang tengah berderet menunggu pelanggan, pintu bagasi terbuka, seorang sopir berusia setengah baya turun dan mengangkat koper gua masuk kedalam bagasi. Sementara dari arah belakang terdengar langkah cepat, gua menoleh, Astrid tengah berlari kecil mengejar gua, sementara ditangan kanan-nya masih menggenggam kardus kemasan donat dan tangan kirinya menggenggam kopi dalam cangkir kertas.
Nggak asik lo.. maen tinggal aja..
Tanpa aba-aba Astrid langsung ngeloyor masuk kedalam taksi.
Gua masuk menyusul Astrid; Bintaro pak.. Kemudian Taksi putih yang gua tumpangi melaju cepat melintasi jalanan Jakarta yang lengang. ---
Jam menunjukkan pukul 04.30 dini hari. Terdengar adzan Subuh yang bergema sahut menyahut, taksi yang gua tumpangi mulai memasuki komplek perumahan tempat keluarga gua tinggal dan berhenti tepat didepan rumah.
Ini rumah lo cin" Astrid berdiri memandang kagum ke arah rumah gua sambil mengenakan ranselnya. Tanpa menjawab gua berjalan pelan menuju ke pos penjagaan yang terletak disalah satu sudut rumah, menaiki salah satu dindingnya yang rendah, naik ke atapnya kemudian menyebrangi pagar rumah gua dan melompat kedalam. Dari dalam, gua mengambil anak kunci dari gembok yang biasa digunakan Oge untuk mengunci pagar kecil yang disembunyikan dibawah keran air kemudian membuka pintu kecil disudut pagar.
Ni rumah lo bukan sih" Kok kayak maling" Bawel.. udah buruan masuk..
Astrid pun bergegas masuk, yang gua herankan dia sama sekali nggak lepas dari ponselnya sejak di kamar gua kemarin dan di restaurant tadi. Gua mengeluarkan kunci garasi yang gua jadikan satu dengan potongan kuku, kunci ini nggak pernah lupa gua bawa kemanapun, sangat berguna saat dulu sering kelayapan pulang pagi.
Astrid berjalan dibelakang sambil memegangi bagian belakang jaket gua, sementara gua meraba-raba langkah dalam gelapnya garasi mencari saklar lampu.
Ctek.. ckliit ckliit Tiba-tiba lampu garasi berpendar, menyala. Oge berdiri didepan saklar sambil menggenggam gagang sapu bersiap memukul kami berdua. Mas Solichin"
Gembel! Bikin kaget gua aja luh ge.. Kirain maling,.. kapan sampe mas"
Menurut lu" Bapak sama ibu udah bangun " Bapak sih udah tadi kedengeran lagi solat.. Gua kemudian berjalan memasuki rumah lewat dapur, nggak ada yang berubah dari rumah ini sejak gua tinggalkan, entah dekorasinya, entah perabotannya, semuanya Nampak sama. Gua menarik kursi meja makan dan memberikan kode agar Astrid duduk disana sementara gua berjalan berjingkat menuju pintu kamar Bapak dan Ibu. Belum juga gua sampai, pintu kamar terbuka, Bapak yang sepertinya baru selesai solat, masih menggunakan sarung dan baju koko berdiri di muka pintu menatap gua heran;
Kamu sekarang brewokan gitu, ngilmu" Gua menggaruk-garuk kepala mendengar pertanyaan bapak. Kalau seorang Bapak normal mungkin bakal bertanya begini; Apa kabarmu nak" , Kamu sehat-sehat aja kan" , Ada apa kok mendadak pulang" kepada anaknya yang sudah beberapa tahun tidak bertemu. Tapi, bapak kan orang nya nyeleneh, jadi gua memaklumi diri. Nggak lama, ibu muncul dari balik punggung bapak, dia nampak terkejut dan sesaat kemudian memeluk gua;
Kamu sehat kan bleh" Sehat..
Diadu sama ayam, mau"
Gua melepaskan pelukan ibu dan kembali ke meja makan. Bapak dan Ibu mengikuti gua, kemudian langkah mereka terhenti saat melihat Astrid. Dari air wajahnya gua tau kalau Bapak dan Ibu mengucap sukur dalam hati, mungkin mereka berfikir kalau gua sudah berhasil menemukan pengganti Desita. Dalam sekejap Ibu sudah duduk disebelah Astrid;
Siapa namanya Dek" Astrid bu..
Pacar nya ableh" Ableh" Ableh siapa"
Oh anu maksudnya, pacarnya solichin" Anu, bukan bu.. saya temennya yang dijogja.. Oh..
Ibu meng-oh kan sambil mengangguk pelan, terlihat ada kekecewaan tersirat dari wajahnya. Sementara bapak hanya berlalu menuju ke dapur sambil berdehem. Sekiranya gua harus berteriak Woy.. ini anak kalian pulang , tapi urung gua lakukan. Gua bergegas menuju ke kamar, mandi dan bersiap-siap.
Saat kembali ke meja makan, Astrid tengah berbincang dengan Salsa yang duduk diseberang meja, sambil menaikkan kaki keatas kursi sementara tangannya memeluk toples keripik singkong.
Mandi buruan.. tuh dikamar gua, abis itu kita berangkat..
Gua menepuk pundak Astrid sambil menunjuk keatas, sebuah kamar dengan pintu masih terbuka yang terlihat dari meja makan; kamar gua. Astrid mengangguk sopan ke Salsa kemudian meninggalkan kami.
Salsa bangkit dari duduknya, menghampiri gua, setelah memandang Astrid yang mulai menghilang dibalik tangga dia berbisik; Itu" Kayak gitu gantinya".. masih mending juga Desita..
Bukaaan Oh bukan.. bagus dah trus ngapain lo pulang" Ada urusan, minjem mobil lu dong..
Gua mengatungkan tangan ke arah Salsa. Salsa hanya berdiri diam mematung.
Pake mobil lo sendiri dong! Emang kenapa kalo mobil lo, motor lo, punya kenangan sama Desita, dijual nggak boleh, dipake juga enggak mau diapain.. belajarlah nerima sesuatu
Gua diam, nggak menjawab sementara Salsa masih berbicara sendiri, sengit.
Gua menuju ke garasi belakang, membuka cover mobil dan memandangi sambil meraba setiap bagiannya, gua memandang spion bagian kanan yang dulu sempat rusak dan sosok Desita muncul disudut cermin spion, memandang ke gua. Sementara disudut garasi sebelah kiri, sepeda motor kesayangan gua berdiri tegak, gua menghampirinya, mengelus pelan tangki bensinnya dan benak gua mulai melayang, teringat kenangan-kenangan bersama Desita dan sepeda motor ini.
Mas.. Sebuah suara membuyarkan lamunan, gua menoleh.
Oge berdiri dibelakang gua, tangannya menyodorkan sebuah kantong ziplock transparan. Didalamnya terdapat kunci mobil dan motor gua, lengkap dengan surat-suratnya yang nggak pernah lupa diperpanjang Oge setiap tahun. Mobil sama motornya saya cuci sebulan sekali lho mas.. dalemnya juga saya vakum.. tapi nggak saya kasih pewangi..
Iya makasih ge.. bensin-nya ada" Oh ada mas, mau dipake"
Gua mengangguk pelan, kemudian Oge bergerak lincah mengambil kembali kunci mobil ditangan gua dan menyalakan mesin mobil. Lima belas menit berikutnya, sebuah CRV hitam dengan kondisi mesin mobil menyala dan body yang mengkilat setelah dipoles oleh oge, terparkir dihalaman rumah. Sementara gua duduk diteras rumah sambil berbincang dengan Bapak yang juga tengah bersiap berangkat bekerja.
--- Kita kemana nih".. Astrid bertanya sambil memasang sabuk pengaman. Tangannya bergerak ke arah radio tape mobil. Gua menghalaunya, sesaat pikiran gua teringat kata-kata Salsa tadi pagi. Dan kemudian membiarkan Astrid menyalakan radio.
Kita kemana nih"..langsung ke Bogor" Nggak, kita ke Wisma Mulia dulu.. Hah, ngapain"
Udah diem, jangan bawel Lho, gua disini mau bantuin lo, tapi setiap gua nanya nggak pernah dijawab, paling nggak kasih tau kek draft rencana-nya gimana..


Everytime Karya Alboni di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kita ke Telkomsel.. provider pasti punya data si pengguna nomor..
Ya nggak mungkin bisa lah, ciin.. Data kayak gitu kan privat mana bisa tiba-tiba dateng kesana dan minta data, kalo bos-nya sodara lo sih mungkin bisa..
Emang.. Maksudnya" Bosnya Om gua.. Hah.. Gua duduk disebuah sofa empuk didalam ruang tunggu berukuran empat meter persegi yang berada disudut lantai, dari sini terlihat jelas jalan raya gatot subroto beserta kendaraan-kendaraan yang terlihat kecil berjalan tersendat. Astrid duduk bersandar di sofa yang sama masih sambil memainkan ponselnya. Setelah menunggu sekitar lima belas menit, pintu ruangan terbuka, sosok pria tinggi, kurus dengan rambut hampir botak dengan setelan jas perlente memasuki ruangan disusul seorang pemuda yang nggak kalah perlente walau tanpa jas.
Udah lama, hin" Pria tinggi setengah botak tersebut menyapa sambil mengulurkan tangannya.
Belum Om.. Gua menyalami Pria tersebut dan mengenalkannya kepada Astrid.
Trid, kenalin Om Sasmi.. Astrid berdiri dan menyalami Om Sasmi sambil tersenyum.
Emang mau nyari siapa kamu, hin"
Om Sasmi yang tadi pagi sudah gua hubungi via telepon perkara pencarian data nomor ponsel bertanya ke gua sambil membuka kancing jasnya dan duduk disalah satu sofa diseberang gua. Nyari belahan jiwa saya om..
Gua berkata sambil tersenyum ke Om Sasmi, dia hanya tertawa. Mungkin dia menganggap perkataan gua adalah becandaan.
Teknisnya sih nanti bisa tanya-tanya sama Ari.. tapi Om nggak bisa kasih kamu full akses lho, hin.. Om Sasmi bicara sambil menunjuk pria berdasi dengan kemeja putih yang berdiri disebelahnya Lho, kok gitu om.."
Ya, kita juga punya prosedur hin.. kalau kamu punya surat perintah dari kepolisian, dan datanya digunakan untuk penyelidikan demi kepentingan khalayak ramai, mungkin om bakal kasih kamu full akses.. tapi kan ini personal..
Yah.. om.. Gua memandang memelas ke arah Om Sasmi, dia hanya menggeleng sambil tersenyum kemudian berdiri, menepuk pelan pundak gua dan bergegas pergi.
Salam buat bapak ya.. Om Sasmi berjalan menuju pintu dan meninggalkan kami bertiga diruangan ini. Pria bernama Ari, yang tadi dikenalkan oleh Om Sasmi menyalami gua dan Astrid kemudian duduk di sofa persis dimana tadi Om Sasmi duduk. Dia mengeluarkan PDA dari saku kemejanya dan mulai bertanya;
Ada nama atau nomor ponselnya, mas" Gua mengangguk kemudian menuliskan nama lengkap Desita beserta nomor ponsel yang dulu sempat digunakannya disecarik notes yang disediakan diatas meja dan menyerahkannya ke Ari. Dia menerima-nya, memandang sekilas, mencatatnya dengan stylus di PDA nya dan mengembalikan notes tersebut ke gua. Agak susah lho mas..
Ari berkata sambil matanya tetap memandang ke arah layar PDA.
Maksudnya" Gua bertanya.
Nanti hasil yang keluar pasti ratusan, bahkan bisa jadi ribuan nama..
Ari berusaha menjelaskan.
Ginii aja mas, kita cuma mau tau, nomor yang tadi apa pernah melakukan isi ulang, kalo pernah bisa nggak diliat lokasi terakhir dia isi ulang" Astrid bertanya sambil menggeser duduknya mendekat ke Ari.
Kalo mengecek pernah top-up atau nggak sih, bisa ketahuan.. tapi kalo liat lokasinya kita nggak bisa kasih mbak..
Oke deh, nggak papa mas ari, kira-kira lama nggak"
Gua berkata sambil mengusap-usap dagu. Nggak kok.. paling sepuluh menitan.. tunggu disini ya..
Ari bicara sambil berdiri dan meninggalkan kami. Gua berdiri, berjalan ke arah jendela, menatap keluar, ke gedung-gegung tinggi bertingkat yang berjajar memenuhi sisi jalan Gatot Subroto yang masih terlihat cukup padat. Dari pantulan kaca jendela, terlihat Astrid berdiri dan menghampiri gua, dia merangkul gua dengan tangan kanan-nya dan berdiri disebelah gua.
Pasti ketemu deh cin.. percaya deh.. Yakin banget lu
Kalo lo punya mimpi, pertama lo harus yakin dulu..
Gua nggak menjawab, hanya tersenyum sambil memandang kearahnya. Memang bukan senyum terbaik gua, tapi dengan senyum ini saja biasanya gadis-gadis standart bisa klepek-klepek dibuatnya.
Hampir lima belas menit berlalu dan Ari belum juga kembali, gua hanya bisa mondar-mandir sambil sesekali melirik ke arah jam tangan dan kemudian memandang ke arah pintu. Menit berikutnya, pintu ruangan terbuka, Ari membuka pintu dengan siku-nya dan muncul dengan mengapit beberapa lembar kertas sambil menggenggam dua gelas kopi dikedua tangannya.
Sorry ya, lama... Ari bicara sambil meletakkan kopi diatas meja dan duduk ditempatnya tadi.
Jadi gini... Dia meletakan salah satu kertas diatas meja dan membentangkannya.
...ini data top up dari nomor 08xxxxxxxxxxx, gua ambil data selama setahun terakhir dan nomor tersebut ada top-up sebanyak 9 kali, detailnya ada disini...
Ari menambahkan sambil menunjuk ke arah kertas tersebut. Kemudian dia membentangkan kertas yang satu lagi.
...Nah yang ini, data aktivasi dari nama yang tadi mas kasih..
Dia menunjuk salah satu nama; Desita Rahmawati yang tertera disalah satu dari mungkin ratusan nama yang ada dilist diatas berlembar-lembar kertas diatas meja.
Gua mengambil lembaran kertas tersebut sambil mencoba mencari kecocokan antara nama-nama yang tertera disitu dengan tempat dan tanggal lahir Desita.
Setelah sedikit berbasa-basi dan mengucapkan terima kasih ke Ari, gua dan Astrid bergegas meninggalkan kantor provider tersebut. Satu jam berikutnya, gua dan Astrid sudah duduk disebuah kafe yang terletak didaerah Sarinah dan sibuk dengan lembaran kertas yang tadi diserahkan Ari, mencoba melakukan filter manual, dengan mencoret list nama-nama yang tidak cocok dengan kriteria Desita.
Bercangkir-cangkir kopi telah kami habiskan, berbatang-batang rokok telah habis gua hisap dan kini, saat matahari mulai beranjak kembali ke peraduannya, gua meregangkan kedua tangan sambil memandang 15 nama yang kriterianya cocok dengan Desita dan alamatnya berada di Bogor. Sementara Astrid tengah merebahkan kepalanya diatas kedua tangannya yang dilipat, dia tertidur.
Trid.. Astrid.. bangun.. Mmmpfh.. jam berapa"
Jam setengah enam.. yuk jalan.. Pulang"
Nggak, kita ke bogor sekarang..
Ah gila lo.. ngantuk abis nih gua.. istirahat dulu deh.. besok baru kebogor
Ah, nggak.. Lu kan bisa istirahat dimobil... Kemudian gua berdiri dan berusaha menarik lengan Astrid yang masih terlihat ogah-ogahan . -------
Bagian #26 Cin, gua lapeer Gua menoleh ke arah bangku penumpang disebelah kiri, Astrid duduk sambil meringkuk memainkan sabuk pengaman, sejak masuk tol Jagorawi tadi tak henti-hentinya dia mengeluh perihal lelah , ngantuk dan lapar . Gua nggak menggubrisnya, hanya sesekali meliriknya sambil memperhatikannya menggigit-gigit sabuk pengaman.
Rusak ntar tuh.. lu gigitin..
Biarin!!.. tuh.. tuh ada tulisannya 2 km lagi rest area.. laper nih..
Astrid tiba-tiba melonjak dari kursinya saat melihat semacam papan marka berwarna biru bertuliskan Rest Area 2 Km . Gua menghela nafas panjang kemudian mengangguk. Tepat dua kilometer berikutnya gua membelokan kendaraan masuk kesebuah jalan yang bercabang, menuju ke Rest Area di Kilometer 10 Tol Jagorawi, Cibubur. Rest Area ini boleh dibilang sedikit berbeda dengan kebanyakan Rest Area yang berada disepanjang jalan Tol Jagorawi, direst area ini hampir semua fasilitas tersedia dari mulai masjid, mini market, tempat makan bahkan tempat pijat refleksi. Gua memarkirkan kendaraan disalah satu sudut area parkir, saat itu jam menunjukkan pukul delapan malam. Astrid buru-buru keluar dari mobil, dengan setengah berlari dia bergegas menuju ke toilet sementara gua mengeluarkan kertas hasil print-out yang tadi pagi diberikan oleh Ari, kertas yang sudah penuh dengan coretancoretan tinta pulpen berwarna biru. Gua memandang nama-nama yang tersisa, list nama yang nggak tercoret, ada 15 nama Desita disana lengkap dengan alamatnya; Bogor. Gua memandang nanar dan mencoba berfikir realistis, sambil memandang jam digital pada dashboard mobil, gua menggeleng, sepertinya nggak mungkin kalau pencarian harus dilakukan mala mini. Mungkin benar pendapat Astrid tadi; untuk mulai berangkat ke bogor dan mulai mencari besok pagi. Gua membuka pintu dan turun dari mobil, berjalan pelan ke arah deretan meja dan kursi dengan atap payung besar didepan Cibubur Square, Astrid datang menyusul gua sambil berlarilari kecil kemudian buru-buru menjatuhkan diri disalah satu kursi disana.
Kayaknya besok aja deh kita nyari-nya.. Gua berkata sambil memandang Astrid yang sedang menikmati Nasi goreng sambil sesekali sibuk dengan ponselnya.
Kan tadi gua udah bilang begitu, ngeyel.. lo nggak makan"
Nggak ah.. males.. Gua menjawab. Dalam kondisi seperti ini, gua sanggup mengabaikan rasa lapar yang datang. Tapi, entah sampai berapa lama.
Makan dong, ntar kalo lo sakit trus mati, siapa yang mulangin gua ke jogja"
Gua hanya menggeleng lesu, sambil tetap memandangi kertas berisi list nama ditangan gua. Astrid menghabiskan suapan terakhir nasi gorengnya, menyeruput cepat jus tomat dihadapannya dan beranjak pergi. Nggak lama dia sudah kembali dengan beberapa potong roti kejucokelat dan sekotak susu dingin, kemudian menyodorkannya dihadapan gua.
Tuh makan.. Gua memandangnya. Apa" Disuruh makan malah melotot.. masih mending ada yang ngasih makan, noh orang-orang di etiopia, mau makan aja susah..
Astrid bicara sambil bertolak pinggang, kemudian duduk sambil menyilangkan kaki dan senyumsenyum sendiri memandangi ponselnya. Sementara gua meraih roti dimeja, membuka kemasannya dan mulai memakannya.
--- Satu jam berikutnya, mobil yang gua kendarai mulai memasuki kota Bogor. Lalu lintas disini, di Bogor nggak jauh berbeda dengan di Jakarta, macet dimana-mana dan penyebabnya pun hampir sama; angkutan umum yang ngetem dan berhenti seenaknya, tapi bedanya angkot-angkot disini terlihat lebih gaul , tampilannya lebih elegan, nggak terlihat bulukan dan kusam, bahkan sekilas gua melihat sebuah angkot biru dengan lampu led warna-warni didalamnya ditambah body-kit pada bumper, lengkap dengan dentuman sound system yang menggelegar.
Mobil gua mulai memasuki pelataran parkir sebuah hotel berbintang yang terletak persis dipusat kota Bogor. Setelah memarkirkan mobil, gua menyusul Astrid yang sudah lebih dulu tiba di frontdesk lobi hotel.
Selamat malam Bapak.. Ibu.. mau kamar yang Standart, Deluxe atau yang Superior.." Seorang wanita dengan rambut disanggul tinggi, mengapit kedua tangannya didada, persis seperti seorang tengah bersemedi sambil tersenyum dan menawarkan tipe kamar ke gua.
Yang Superior-nya dua mbak
Em..yang superior sudah untuk dua orang pak.. Si wanita frontdesk officer mencoba menjelaskan ke gua.
Gua hanya menggeleng dan kembali mengulang perkataan gua. Si wanita frontdesk officer terlihat sedikit bingung sampai Astrid maju ke depan meja dan menjelaskan kalau kami bukan pasangan suami istri. Wanita tersebut kemudian menundukkan kepala sambil berulangkali meminta maaf, gua hanya tersenyum kecil, kemudian mengambil dompet menyerahkan KTP dan kartu kredit keatas meja.
Dan malam itu, hampir sama dengan malammalam sebelumnya. Gua berbaring diatas ranjang kingsize empuk memandang langit-langit kamar yang hanya diterangi lampu meja redup, sambil membalas senyum manis Desita yang muncul dilangit-langit kamar. Sesaat gua teringat dengan lembaran kertas yang berisi list nama-nama didalamnya, gua bangun dan mencoba mencari dalam saku jaket yang tergeletak disofa, nggak ada. Gua keluar dari kamar dan mencoba mengetuk pintu kamar Astrid yang terletak disebelah gua, nggak ada jawaban. Berulang kali gua mencoba dan masih belum ada jawaban, gua bergegas turun ke bawah, ke lobi.
Mbak kamar 608, nitip kunci nggak"
Gua bertanya kepada seorang pria yang berada di meja resepsionis sambil mencoba mengatur nafas. Pria itu mengecek bilik-bilik kecil kosong dibelakangnya dan menggeleng.
Bisa tolong ditelponin ke kamarnya.. Bisa pak, sebentar ya..
Pria itu kemudian mengangkat gagang telepon dan mencoba menghubungi kamar 608, kamarnya Astrid. Cukup lama gua menunggu sampai akhirnya pria tersebut menggeleng sambil meletakkan kembali gagang telepon.
Nggak ada jawaban pak.. Sementara wanita yang tadi sempat melayani proses check-in gua muncul dari sebuah ruanan dibalik meja resepsionis. Gua mengajukan pertanyaan ke wanita itu.
Mbak, liat perempuan yang tadi sama saya" Oh, tadi sih dia keluar pak, tapi nggak pesan apaapa..
Bawa kertas" Gua bertanya, sementara wanita tersebut terlihat mencoba mengingat-ingat.
Mmmm .Kayaknya bawa deh pak.. Deg.
Gua berjalan cepat menuju pintu keluar dan memandang ke sekeliling. Gua menggaruk-garuk kepala, mencoba berusaha berfikir kemana perginya si Astrid. Kalau dia hanya keluar sebentar, apa perlunya harus membawa kertas tersebut, atau jangan-jangan.. Astrid pergi.. Pergi meninggalkan gua dengan membawa lembaran kertas yang berisi list nama bersamanya" -------
Bagian #27 Gua berjalan cepat menuju pintu keluar dan memandang ke sekeliling. Menggaruk-garuk kepala yang nggak gatal, mencoba berusaha berfikir kemana perginya si Astrid. Kalau dia hanya keluar sebentar, apa perlunya harus membawa kertas tersebut, atau jangan-jangan.. Astrid pergi.. Pergi meninggalkan gua dengan membawa lembaran kertas yang berisi list nama bersamanya" ---
Gua melangkah pelan melintasi pelataran halaman hotel menuju ke arah jalan raya, mala mini cuaca di Bogor sedikit kurang bersahabat. Gerimis rintikrintik ditambah hembusan angin super dingin menerpa kulit menembus kaos yang gua kenakan. Gua mengambil sebatang rokok, menyulutnya dan menghisapnya dalam-dalam, sementara kaki gua terus melangkah menyusuri trotoar dan akhirnya terhenti disebuah minimart kecil, gua masuk kedalam dan membeli kopi dalam kemasan kotak. Nescape nya ya mas, jadi Enam ribu Seorang pria menyodorkan kembali kopi kemasan yang tadi gua pesan, dari gaya bicaranya dan logatnya terdengar sepertinya dia asli orang Bogor.
Asli orang sini mas"
Enggak juga sih aa.. aselinya mah cisarua.. Cisarua, bogor juga kan"
Iyah.. kabupaten bogor.., kenapa aa" Nggak papa..
Gua buru-buru menyambar kopi kotak dan bergegas pergi darisana. Beberapa detik kemudian gua kembali ke meja kasir;
Punya kertas bekas" Si kasir pria tersebut mengangguk kemudian menyerahkan secarik potongan kertas bekas ke gua.
Sekalian pulpen-nya"
Gua masih menyodorkan tangan. Pulpennya, mau beli apa minjem aa"
Gua mengernyitkan dahi mendengar pertanyaan si kasir, kemudian mengambil uang kembalian sisa membeli kopi dan menyerahkannya ke pria tersebut. Pria tersebut kemudian mengambilkan tiga buah pulpen dan menyerahkannya. Gua mengambil salah satunya dan buru-buru keluar dari minimart tersebut dan duduk diterasnya. Ditemani dengan kopi kemasan dan sebatang rokok filter, gua duduk sambil memejamkan mata mencoba mengingat nama-nama yang tersisa dari list yang dibawa pergi Astrid. Mungkin dalam kondisi normal, gua bisa mengingat 10 sampai 12 nama beserta alamat lengkapnya, tapi dalam kondisi ini; kedinginan, bingung dan hampir putus asa, sepertinya otak gua nggak sanggup bekerja maksimal. Gua memejamkan mata lagi, berusaha lebih keras, mencoba mengingat-ingat, dan akhirnya satu persatu nama yang tercantum list tadi berpindah dari memori otak gua ke sobekan kertas bekas yang tadi diberikan kasir minimart. Gua masih terduduk sambil memandangi robekan kertas di teras minimart saat si kasir yang tadi melayani gua keluar dari dalam. Kali ini dia sudah tak lagi mengenakan seragamnya, dengan balutan jaket hitam dan tas ransel dipunggung dia berjalan melewati gua sambil menenteng plastik hitam besar dan melemparkannya ke tempat sampah.
Mas..mas.. Gua memanggilnya, sementara pria muda itu menghampiri dan duduk disebelah gua. Rokok"
Gua menyodorinya bungkusan rokok, dia hanya menggeleng dan menepuk-nepuk saku celananya, mungkin maksudnya; gua punya .
Tau alamat-alamat ini nggak"
Gua menarik bungkusan rokok dan kali ini menyerahkan sobekan kertas kepadanya, dia mengambil dan membaca-nya dengan seksama. Tau..
Pria muda itu mengangguk sambil mengeluarkan bungkusan rokok putih dari saku-nya, meletakkannya di bibir dan menyulutnya. Bisa tunjukkin.."
Bisa.. dari sini Aa.. Mmm.. a bawa motor apah jalan"
Jalan Dari sini Aa nyah, lurus aja, sampe pertigaan depan.. ituh ada angkot yang warna biru.. Naek angkot"
Iyah.. lumayan, apalagi yang ini nih Dia menunjuk ke list nomor tiga.
..Ini mah didaerah megamendung jauh aa.. lagian udah malem ginih mah hese atuh angkutannya a
Kalo besok bisa anter gua"
Aduh gimana ya a.. besok teh saya masup pagi.. Pria muda itu menggaruk-garuk kepalanya. Bolos aja, ntar gaji lu hari itu gua ganti, mau" Hadeuh.. lain kitu aa.. gimana iye.. Pria muda itu semakin bingung.
Gua mengambil dompet dan mengeluarkan semua uang cash yang ada didalamnya meletakkannya ditangan pria muda itu.
Itu kira-kira delapan ratus ribu, elu bantuin gua nyari alamat nama-nama yang dikertas ini, sampe ketemu.. kalo udah selesai, gua tambahi dua ratus ribu lagi..
Waduuh.. ketemuannya dimana besok aa" Ya disini aja..
Yaah, nanti saya ketauan bos atuh, kan mau bolos..
Gua berfikir sejenak kemudian menunjukkan hotel tempat gua menginap yang terlihat dari halaman minimart dan menyuruhnya menunggu disana besok pagi.
Setelah dia menuliskan nomor ponselnya di kertas yang sama tempat gua menyalin nama, pria muda yang akhirnya mengenalkan diri bernama Taufik itu pamit dan gua pun melangkahkan kaki kembali ke hotel. Diperjalanan kembali ke hotel, gua melihat sosok Astrid berjalan gontai ditrotoar yang sama dengan arah yang sama dengan gua, setengah berlari gua menhampirinya, kemudian meraih lengannya.
Darimana lu!" Ih.. bikin kaget..
Astrid terlihat terkejut dengan gerakan gua. Kertasnya mana"
Kertas apaan" Ini"
Astrid mengambil kertas dari dalam saku sweaternya dan menyerahkannya ke gua. Sebuah kertas berwarna merah muda, yang isinya adalah semacam promosi restaurant yang tadi disediakan di meja resepsionis hotel.
Bukan!! Kertas daftar nama sama alamat, mana.."
Ih ngapain gua bawa-bawa tuh kertas.. ada didalem kamar..
Sial!!... Kenapa sih" Nggak apa-apa.. Gua kemudian berjalan pelan, melepaskan genggaman tangan gua dari lengan Astrid dan meninggalkannya menuju ke hotel. Sementara Astrid berjalan pelan dibelakang gua.
Emang lu abis darimana"
Gua membuka pembicaraan dengan Astrid, setelah cukup lama saling terdiam sejak di trotoar tadi hingga kini kami berada didalam lift hotel, menuju ke kamar.
Abis Makan.. Laperrr.. Ooh..
Mulut gua hanya meng-oh kan sementara perasaan ini tertawa terbahak-bahak. Kok bisabisanya gua separanoid ini, takut kehilangan sebuah harapan untuk bertemu dengan Desita, sebuah harapan yang terlampir dalam secarik kertas. Gua benar-benar malu dan akhirnya menertawai diri sendiri; kok bisa-bisanya gua berfikir kalau Astrid bakal pergi dengan membawa kertas tersebut, edan!
Jam menunjukkan pukul 2 malam saat gua bisa kembali menikmati kasur kingsize dikamar hotel. Baru saja mata ini berusaha untuk terpejam, suara ketukan pintu membangunkan gua.
Sambil menghela nafas, gua membuka slot kunci kamar dan memutar kenop pintu.
Nih.. Astrid berdiri disisi luar kamar sambil menyodorkan kertas print-out berisi list nama dan alamat. Gua meraihnya kemudian kembali menutup pintu yang terasa berat, gua menoleh dan memandang Astrid yang masih berdiri sambil tangan kanannya menahan pintu.
Gua tidur disini boleh nggak" Hah"
Boleh ya Gua melepaskan tangan dari kenop pintu dan membiarkan Astrid masuk kedalam.
Nggak papa, gua tidur di sofa aja..
Astrid bicara sambil berdiri disebelah gua yang tengah berusaha membereskan kaos dan jaket gua dari atas kasur. Sejenak Astrid memandangi punggung telanjang gua, dia menyentuh bagian tubuh gua yang dipenuhi tinta dan berwarna dengan tangan-nya.
Lo tato-an ya Gua hanya diam nggak menjawab, sambil meraih kaos dan jaket dari atas kasur gua merebahkan diri diatas sofa. Sebuah pertanyaan klise yang sering terlontar dari orang yang baru pertama kali melihat bagian punggung gua, sebuah pertanyaan yang nggak memerlukan jawaban. Astrid menghampiri dan duduk disebelah gua. Cin.. lo ditato" Itu permanen"..
Berisik, emang nggak pernah liat orang tatoan.."
Pernah sih.. tapi nggak sampe sedekat ini.., boleh pegang nggak"
Dan entah sudah yang keberapa kalinya hari ini gua menghela nafas (lagi) sambil membalik tubuh gua dan memperlihatkan bagian yang bertinta. Tangan lembut Astrid bergerak menyusuri punggung gua sambil sesekali mengusapnya, kemudian tangannya terhenti pada bagian tengah punggung, yang gua tau disitu terdapat tato pertama gua; bertuliskan ; No Regret
Lo nggak nyesel ditato"
Astrid bertanya. Gua nggak menjawab, hanya tersenyum kecil kemudian buru-buru menutupi punggung gua dan mengenakan kaos.
Ciin.. Apa" Kalo seandainya.. seandainya lho
lo udah nyari dan ternyata cewek yang lo cari nggak ketemu, gimana"...
Gua cari terus sampe ketemu.. Misalnya.. misalnya lho.. lo udah ketemu, tapi cewek itu udah berbedai, udah nggak seperti waktu kalian berpisah, gimana.."
Maksudnya" Misalnya dia udah punya keluarga, punya suami dan anak..
Gua hanya diam, termenung sambil berpangku tangan, memandang ke arah sudut kamar hotel yang gelap. Gua sama sekali nggak berfikir ke arah sana, entah apa karena ekspektasi gua yang terlalu besar atau tingkat antusiasme yang tinggi hingga gua bisa melupakan skenario terburuk yang bisa terjadi.
Apa lo masih nggak mau pindah ke lain hati"... .
Masih banyak hati yang bisa lo tinggali kok Iya, gua tau.. tapi paling nggak saat ini, gua cuma mau nyari dia dan pengen tau alesan dia ninggalin gua, that s it.. kalau memang nantinya bakal jadi seperti kayak yang lu bilang tadi.. ya..
Gua terhenti, tenggorokan gua seperti tercekat, gua nggak mampu meneruskan kalimat ini, bahkan hanya untuk sebuah perumpamaan, sangat berat bagi gua untuk bisa bilang; Gua bakal berusaha mengabaikan dia..
Apa " Astrid bertanya, sepertinya menunggu akhir dari kalimat gua.
Nggak papa, udah ah.. gua mau tidur.. udah sono lu dikasur
Yaaah Astrid mengeluh sambil melemparkan jaket kewajah gua, dia mematikan hampir semua lampu yang ada dan hanya menyisakan lampu dinding kecil dikamar mandi. Gua mencoba memejamkan mata lagi dan hampir saja gua terlelap saat sebuah cahaya terang yang setelah gua sadari berasal dari ponsel Astrid yang diarahkan ke wajah gua. Ngapain sih lu, trid.." udah tidur sono ah.. Belum ngantuk nih gua ngobrol aja yuuk.. Ya jelas lu nggak ngantuk, sepanjang jalan cuma tidur doang
Nggak asik ah Astrid mematikan cahaya terang dari ponselnya yang barusan menerangi wajah kami.
Trid, kenapa sih lu mau bantuin gua nyari Desita" Tanpa sadar gua bertanya ke Astrid sambil menahan kelopak mata gua yang mulai berat. Astrid menoleh dan menjawab, sayangnya indera gua mulai kabur seiring dengan terlelapnya tubuh ini, gua hanya bisa melihat gerakan bibirnya yang semakin lama semakin kabur.
------- Bagian #28 Taufik, pria muda si kasir minimart sudah berdiri didepan pintu hotel saat gua turun, gua memberikan kode kepadanya dengan lambaian tangan agar masuk kedalam lobi. Dengan canggungnya, Taufik melintasi pintu kaca besar otomatis dan berjalan menghampiri gua. Saya tunggu diluar ajah atuh, aa.. Udah sarapan"
Taufik menggeleng, gua meraih bahunya dan mengajaknya masuk kedalam restaurant buffet yang berada disudut belakang lobi hotel, sambil menunggu Astrid yang masih belum selesai bersiap-siap gua duduk disalah satu meja makan yang tersedia. Taufik baru saja kembali dari meja prasmanan yang menyajikan berbagai menu makan pagi yang sudah disediakan dan duduk disebelah gua.
Ini nggak apa-apa aa, saya teh makan disini.. Nggak papa..
Gua memandang piring lebar yang digunakan Taufik namun hanya terisi sedikit. Gua berdiri dan menariknya kembali ke meja tempat hidangan tersedia, kemudian meletakkan beraneka roti, kue-kue dan salad memenuhi piringnya. Ini udah gua bayar, lu makan sampe muntah juga nggak papa, justru kalo lu ngambilnya sedikit malah rugi...
Taufik cuma tersenyum kemudian duduk kembali dan mulai menikmati sarapannya.
Gua mengeluarkan print-out daftar alamat dan merentangkannya dimeja, Taufik melihat sekilas, kemudian wajahnya berubah menjadi sedikit bingung.
Kita mulai dari yang mana dulu, fik"
Gua bertanya sambil meletakkan telapak tangan diujung kertas.
Waduh.. kok sekarang jadi banyak gini, aa.. perasaan kemaren teh cuma lima..
Taufik menjelaskan sebab kebingungannya sambil mulutnya tetap mengunyah makanan.
Pokoknya tenang aja, ntar duitnya gua tambahin.. yang penting lu bantu gua, sampe selesai..
Bukan masalah duitnya aa.. saya kan nggak bisa bolos terus atuh..
Yaudah sebisa-nya lu aja deh.. Taufik mengangguk setuju.
Nggak seberapa lama, gua dikejutkan dengan kehadiran seorang gadis cantik yang tampil sporty dengan balutan kaos krem, celana denim biru muda dan sepatu kanvas hitam. Astrid berdiri sambil berkacak pinggang dihadapan gua, sementara gua hanya bisa mengerynitkan dahi. Astrid memandang heran ke arah Taufik kemudian menunjuk dengan jarinya, sementara bibirnya digerakan tanpa suara, yang kurang lebih bilang; itu siapa"
Fik..kenalin nih.. Astrid... Astrid kenalin ini akamsi..
Hah akamsi" Anak Kampung Sini.. Oh orang bogor ya"
Astrid bertanya sambil menyalami Taufik, yang kini sudah selesai dengan sarapannya.
Eh, katanya orang sunda nggak bisa ngomong F ya..
Ah bisa kok teh.. Taufik menjawab pertanyaan Astrid yang seperti meledek.
Nama lo siapa" Taupik..
Hening sebentar, kemudian kami bertiga tersenyum.
Terbukti kan.." Astrid bicara sambil berdiri kemudian bergegas menuju ke meja prasmanan untuk sarapan. ---
Jam digital di dashboard mobil gua berkedip kedip, angkanya menunjukkan angka 10. Kami bertiga sudah berada di jalan kota bogor, mengikuti instruksi Taufik yang duduk disebelah gua sambil sesekali bilang; kiri aa.. , Kanan.. , Etaa..etaa..aya pos ke kiri.. . Gua dan Astrid hanya bisa tersenyum kecil mendengar gaya bicara Taufik yang penuh ekspresi apalagi saat dia mulai mengutuki motor-motor yang berseliweran dan hampir menyenggol mobil dengan logat sunda-nya yang kental.
Memang ada beberapa orang yang pernah bilang ke gua, kalau orang sunda itu kurang cocok jika berpacaran bahkan sampai menikah dengan orang jawa. Coba bayangkan jika ada sepasang suamiistri, suaminya jawa sedangkan istrinya sunda; si istri sedang menyiapkan makan untuk suaminya tercinta, kemudian si istri bilang;
Pah.. tolong eta piring na di cokot keun.. (Pah, tolong itu ambilkan piring *cokot dalam bahasa sunda artinya ambil )
Si Suami bingung, bercampur kesal. Kemudian membanting piring, keributan pun terjadi. Edaan.. bojo edan.. moso suami kok dikon nyokot piring (Gila.. istri gila.. masa suami kok disuruh gigit piring *cokot dalam bahasa jawa artinya gigit ).
Pernah juga ada kejadian disalah satu toilet umum; seorang jawa tengah diare dan buang hajat. Sementara diluar orang sunda tengah mengantri, menunggu giliran untuk buang hajat (juga). Setelah selesai, karena mungkin ingin bermaksud ramah, si sunda berkata ke si jawa;
Atos pak" (Sudah selesai pak" *Atos dalam bahasa sunda artinya sudah )
Ndasmu! Boro-boro atos.. mencret!! (Palalu! Boro-boro keras.. mencret!! *Atos dalam bahasa jawa artinya keras )
Tapi, itu semua hanya guyon dan candaan yang pernah disampaikan oleh salah satu guru bahasa Indonesia gua waktu SMP dulu, perihal pentingnya penggunaan bahasa Indonesia. Saat ini buat gua nggak penting siapa dan dari suku apa dia, selama seseorang mampu menerima pasangan apa adanya maka bahasa, suku, ras, adat istiadat bukanlah halangan, karena cinta bisa menyelaraskan semua; sepertinya begitu dan mudah-mudahan bisa begitu.
--- Gua memperlambat laju mobil dan menepikannya disisi jalan sesuai yang diinstruksikan oleh Taufik. Kami bertiga turun dari mobil, sementara Taufik sambil menatap keratas berisi daftar nama dan alamat berjalan cepat menuju ke ujung jalan yang semakin menyempit. Gua dan Astrid mengikutinya. Taufik menghentikan langkahnya didepan sebuah warung, kemudian bertanya kepada orang yang berada didalamnya, dia keluar lagi sambil menunjukkan sebuah gang dan kami bertiga berjalan menuju ke gang tersebut. Setelah melalui jalan kecil berliku dan beberapa kali bertanya kami akhirnya sampai didepan sebuah rumah mungil, dimana dibagian depannya tengah duduk seorang pria tua sambil membaca koran. Taufik menghampiri pria tua tersebut.
Punten, Bapak..., Desita na nyondong" Taufik bertanya ke pria tersebut sambil sedikit membungkukkan tubuhnya.
Oh.. nya muhun, mangga kalebet.. ..des..des..aya nu milarian..
Pria tersebut menjawab kemudian berteriak kearah dalam rumah dengan bahasa yang gua nggak mengerti. Beberapa detik kemudian seorang wanita muda muncul dari dalam rumah. Iyak.. rupina aya naon kitu.."
Ibu nu namina, Desita, sanes.." Taufik bertanya ke wanita itu. Muhun..
Wanita muda itu menjawab sambil mengangguk dan menatap kami heran.
Taufik berbalik dan menatap gua, dia mengangkat kedua matanya, sebuah isyarat yang gua tangkap sebagai pertanyaan ; ini bukan orangnya" , gua menggeleng pelan kemudian buru-buru menarik lengan Astrid dan pergi meninggalkan Taufik yang terlihat masih bicara sopan sambil berkali kali membungkuk kemudian berjalan cepat menyusul gua.
Satu jam berikutnya kami bertiga sudah berada disebuah komplek perumahan yang letaknya nggak begitu jaug dari stasiun Bogor. Taufik menepuk-nepuk lengan kiri gua, memberikan isyarat untuk berhenti. Gua menepikan mobil dan mematikan mesin, kemudian menyusul Taufik yang sudah turun lebih dahulu. Pria muda asli bogor ini benar-benar cekatan, gesit, tidak banyak cingcong dan sepertinya bisa diandalkan. Gua dan Astrid berjalan menyusul Taufik yang sudah berdiri didepan pagar hijau sebuah rumah, didalamnya berdiri seorang ibu yang tengah menggendong bayi. Dengan sedikit berbasa-basi Taufik mulai mengeluarkan jurus pertanyaan yang sama dengan yang tadi dia tujukan di alamat sebelumnya.
Ibu itu, mengangguk. Mengakui dirinya bernama Desita, gua hanya menatap Taufik sambil menggeleng kemudian berbalik dan berjalan lesu kembali ke mobil.
Didalam mobil, Taufik dengan penuh semangat mengeluarkan kertas print-out yang berisi daftar nama dan alamat kemudian mencoret dua nama. Dia tersenyum kemudian memandang gua; Masih.. tiga belas lagi aa.. tenang aja.. pasti ketemu...
Gua tersenyum kecut. Kembali terngiang dibenak gua pertanyaan Astrid semalam;
Kalo seandainya.. seandainya lho lo udah nyari dan ternyata cewek yang lo cari nggak ketemu, gimana"...
Gua memandang Astrid yang duduk dibangku penumpang dibelakang melalui kaca spion, dan mata kamu beradu. Dia tersenyum kemudian menepuk pundak gua sambil berbisik; Semangatt!!... .
--- Siang menjelang sore; gua mengusap wajah kemudian menoleh ke arah Astrid yang kini bertukar posisi dengan Taufik yang katanya nggak kuat duduk didepan karena dinginnya AC, Astrid tengah duduk sambil memandang keluar jendela yang basah terkena tetesan-tetesan air hujan. Sore itu, kota bogor diguyur hujan yang cukup deras ditambah terjebak dalam kemacetan dalam jalanan kota yang nggak begitu familiar membuat tingkat stress kami berdua memuncak, tapi tidak begitu halnya dengan Taufik, dibangku penumpang bagian belakang dia sedang duduk santai sambil mendengarkan lagu-lagu melalui headset dari ponselnya.
Gua mengambil kertas print-out yang berisi daftar nama dan alamat, memandangi beberapa nama yang sudah dicoret oleh Taufik dan kini menyisakan 5 nama. Gua menyerahkan kertas tersebut ke Taufik, dia menerimanya kemudian melepas headset dari telinganya;
Kenapa Aa" Itu sisa lima nama, kira-kira keburu nggak hari ini.."
Gua bertanya sambil memandang wajah Taufik melalui kaca spion.
Hese.. atuh aa.. ini kan emang saya sisain yang jauh-jauh.. yang disekitar kota bogor mah sudah semuanya..
Maksudnya" Nggak keburu gitu..." Gua menoleh kebelakang sambil bertanya. Hooh.. esuk aja dilanjut lagi aa.. Oh gitu..
Ini sisanya didaerah Gadog, Cisarua, Leuwiliang sama Jasinga..
Jauh, fik.." Lumayan Aa..
Gua menggaruk-garuk kepala sambil mengangguk.
Sesiangan ini gua, Astrid dan Taufik sudah berkeliling hampir kepelosok kota bogor, menghampiri sepuluh nama Desita yang tertera pada print-out.
Secara perhitungan, kemungkinan gua bisa menemukan Desita dengan metode tracking melalui nomor ponsel tersisa sekitar 33%. Dalam dunia perbankan mungkin angak 33% tergolong besar tapi dalam hal analisa probabilitas angka tersebut bisa membuat ketar-ketir banyak orang, dan hal itu yang gua rasakan sekarang. Hidup gua kedepannya ditentukan oleh sebuah angka; 33%. -------
Bagian #29 Setelah hampir dua jam terjebak dalam guyuran hujan dan kemacetan kota Bogor, akhirnya gua dapat bernafas lega saat mobil yang gua kendarai mulai memasuki pelataran parkir hotel tempat gua dan Astrid menginap. Begitu turun dari mobil, Taufik langsung buru-buru pamit dan pergi meninggalkan kami, gua memanggilnya dengan tepukan tangan, Taufik menoleh kemudian berjalan cepat kembali menghampiri gua. Maen kabur aja lu...
Iyah.. ngantuk aa... Gua mengambil dompet dan mengeluarkan lima lembar ratusan ribu dan menyerahkannya ke Taufik. Dia nggak langsung mengambilnya, melainkan memandanginya terlebih dahulu. Euuh.. kebanyakan ini atuh aa..
Nggak papa, udah ambil.. Gua mengambil tangannya dan meletakan paksa uang tersebut kedalam genggamannya. Deuh, nuhun ya aa..
Taufik berterima kasih sambil sedikit membungkukan tubuhnya dan bergegas pulang. Astrid turun dari mobil dan menarik tangan gua; Yuuk, capek dan laper nih..
--- Trid.. bangun.. katanya laper..
Gua menepuk pelan pipi Astrid yang tengah tertidur di sofa kamar hotel.
Astrid membuka matanya sebentar, memutar tubuhnya menghadap ke punggung sofa dan kembali terlelap. Gua hanya bisa mengangkat bahu sambil memandang makanan pesanan yang baru saja diantar ke kamar.
Sambil duduk bersandar pada dinding kamar hotel gua menikmati menu masakan hotel yang terasa hambar, entah karena memang rasanya begini atau mungkin karena situasi ini yang membuat lidah dan mulut gua nggak sukses menyampaikan rasa nikmat ke otak. Gua berdiri kemudian meletakkan Nasi Hainan ala hotel berbintang tanpa rasa diatas meja kemudian kembali berusaha membangunkan Astrid. Kali ini sepertinya berhasil, Astrid bangun dan terduduk disofa, sambil mengucek-ngucek matanya dia bertanya;
Jam berapa" Jam sepuluh.. makan dulu tuh.. Laper sih, tapi ngantuk...
Dia kemudian merebahkan tubuhnya dan kembali tertidur.
Gua menggeleng, kemudian mengangkat tubuhnya dari sofa ke atas kasur.
Setelah merebahkan Astrid diatas kasur, gua mengambil kunci kamar Astrid yang tergeletak diatas meja dan melangkah pelan keluar dari kamar gua, kemudian membuka pintu kamar yang terletak persis disebelah kamar gua, kamar yang seharusnya Astrid tempati. Nggak sampai menunggu beberapa lama, gua langsung terpejam saat tubuh ini baru saja menyentuh permukaan kasur.
--- Disebuah pantai, sore itu kala matahari hampir saja tenggelam. Gua duduk diatas sebuah batang pohon kering yang melintang sambil memandangi sosok siluet tengah berlarian menghindari ombak, sesekali terdengar suara tawa riang dari sosok perempuan yang masih gua pandangi, sosok yang diselimuti cahaya jingga ke cokelatan. Gua memicingkan mata sambil mengadahkan tangan mencoba menutupi silaunya sinar matahari sore, saat sosok perempuan itu berjalan pelan menghampiri gua, sosok wanita mungil dengan rambut sebahu.
Des pulang yuk.. Gua berkata sambil menyodorkan kedua tangan kearahnya.
Sosok perempuan itu mengangkat kedua tangannya, seakan menyambut sodoran tangan gua. Sambil berjalan pelan, sosok siluet hitam tersebut semakin lama semakin jelas, sampai akhirnya tangan-nya berhasil meraih tangan gua. Dan gua memandang Astrid tengah tersenyum dihadapan gua.


Everytime Karya Alboni di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

--- Plak!! Sebuah tamparan mendarat dipipi gua. Bangun.. bangun.. udah siang.. Terdengar samar suara Astrid, sementara mata gua masih mencoba menyesuaikan diri dengan cahaya matahari yang dibiarkan masuk oleh Astrid melalui kaca jendela besar di sisi kamar hotel. Gua mengusap-usap bagian pipi yang terasa panas sambil meregangkan tubuh dan memandangi langit-langit kamar. Tamparan Astrid barusan benar-benar sukses membangunkan dan menyadarkan gua dari mimpi aneh tentang Pantai, tentang laut, tentang sosok siluet yang gua pikir adalah Desita, tentang dirinya, tentang Astrid. Kenapa.. Pusing"
Astrid bertanya ketika melihat gua terduduk, sambil mengurut-urut pelan ujung hidung antara mata dan dahi.
Nggak.. Gua menjawab pelan dengan suara serak. Trus kenapa, kok kayaknya nggak enak badan.." Gua mimpi aneh banget..
Hah mimpi apa" Ada penampakan angka atau semacam nomor-nomor gitu nggak"
Astrid terlihat antusias, kemudian duduk disebelah gua.
Gila! Emang kalo ada angka-angka dimimpi gua kenapa" Mau lu pasangin togel"
Respon Astrid benar-benar bikin gua kehilangan feel terhadap mimpi barusan. Lagian cuma mimpi, mimpi kan kembang tidur. Gua berusaha menyangkal dan menolak mentah-mentah untuk mencoba mencari tau arti dan tafsiran dari mimpi tersebut. Gua bangun, mengambil dompet dari saku jaket yang tergeletak dilantai dan membukanya; Foto Desita terpampang didalamnya, gua memandangi foto tersebut, mencoba meresap dalam-dalam sosok wajahnya agar tidak terlupa ATAU berganti dengan sosok lain.
Tanpa gua sadari, sosok Astrid sudah berdiri disebelah gua sambil tersenyum memandangi foto Desita yang berada didompet gua.
Ciee yang udah kangen beraatt , udah buruan mandi, abis itu kita berkelana lagi.. nyari tuan putri lo..
Astrid berkata sambil mendorong tubuh gua menuju ke kamar mandi.
Dan beberapa jam kemudian gua dan Astrid sudah kembali berada di tengah-tengah kota Bogor, sambil menggigit roti isi yang baru tadi dia beli di sebuah warung dipinggir jalan, Astrid berlagak seperti navigator mobil rally, tangan kanannya menunjuk-nunjuk arah, sementara tangan kirinya memegang kertas print-out berisi daftar nama dan alamat yang saat ini tinggal tersisa lima alamat. Mulutnya berbicara, terdengar samar karena tersumbat roti dibibirnya.
Tanpa ragu, gua cuma mengikuti saja instruksi dan arahan darinya. Dan hasilnya
Abis waktu lima jam cuma muter disitu-situ aja
Gua bicara sewot sambil memainkan sendok diatas piring yang sudah kosong.
Siang itu, gua dan Astrid baru saja selesai makan siang disebuah rumah makan khas Sunda yang terletak dibilangan Taman Kencana, Jalan Ciremai kota Bogor.
Ya maap, gua kan nggak paham banget daerah sini..
Astrid meminta maaf sambil memasukan suapan terakhir potongan ayam bakar yang tadi dipesannya.
Kalo cuma, ngikutin arah petunjuk jalan sih gua juga bisa..
Yauda sih, nggak usah pake urat.. gua kan udah minta maaf..
Astrid berkata sambil memasang wajah memelas, sementara tangan kirinya tetap asik dengan ponselnya.
Gua mengeluarkan ponsel milik gua dan mulai menghubungi Taufik. Nada sambung terdengar cukup lama, sampai akhirnya sebuah suara unik terdengar di ujung sana.
Halo.. Taufik" Iyah, saha iee" Solichin, yang kemaren.. Oooh.. iya aa.. kenapa" Lu dimana"
Di kerjaan aa, kunaon"
Gua jemput sekarang ya, kita perlu elu banget nih..
Waduh.. saya juga baru aja masuk inih aa.. Udah pokoknya gua jemput sekarang.. Gua mengakhiri pembicaraan dan buru-buru berdiri. Beberapa puluh menit kemudian gua dan Astrid sudah berada di pelataran parkir minimart tempat Taufik bekerja. Gua membunyikan klakson beberapa kali sampai akhirnya Taufik keluar tergopoh-gopoh dari dalam toko.
Kerjaan saya gimana atuh, aa.." Udah bolos deeh.. sehari lagi..
Taufik terlihat kebingungan, celinagk-celinguk sambil menggaruk-garuk kepalanya.
Yaudah, saya ngomong ke temen saya dulu yah sekedap..
Taufik bergegas masuk kembali kedalam minimart, beberapa menit kemudian dia sudah setengah berlari keluar, masih mengenakan seragamnya dan kali ini dengan menggendong tas ranselnya.
Dan ternyata proses dan hasilnya (dengan atau tanpa Taufik) benar-benara berbeda, kali ini nggak ada kejadian salah masuk gang, salah belok dan nggak lagi terdengar ; eh ini bukan ya jalannya , eh kayaknya belokan yang satu lagi deh, cin , eh, kok kita balik lagi kesini deh.. atau eh, stop.. stop.. gua mau beli cimol dulu.. . Kali ini kami sudah berada di jalan raya puncak kemudian berbelok ke kiri, sebuah tempat bernama mega mendung, gua menggeleng-gelengkan kepala sambil menatap kaca spion ke arah bangku penumpang dibelakang, tempat Astrid duduk.
Tadi mah gua cuma muter-muter di kota bogor doang fik, kalo ini mah kayaknya bener nih, jalannya..
Mendengar perkataan gua, Astrid yang tengah asik dengan ponselnya, duduk menegakkan tubuh dan membalas omongan gua;
Ya jelas, si Taufik kan anak sini..
Nggak lama berselang, setelah beberapa kali bertanya, kami sudah tiba didepan sebuah rumah, Taufik turun dari mobil dan gua menyusulnya. Hampir sama dengan kemarin, bermodal keramahan dan kemampuan bahasa sunda yang dimiliki Taufik dia berbincang sopan dengan seorang ibu yang tengah berdiri sambil menjemur pakaian didepan rumah tersebut. Gua memandang dari jarak yang nggak begitu jauh, mereka tangah berbincang, dan sesaat kemudian Taufik berbalik dan berjalan ke arah kami. Gimana Fik"
Ituh, ibu itu namanya Desita bukan yah" Iya sayangnya bukan..
Gua tertunduk lesu kemudian kembali ke mobil. ---
Waktu menunjukkan pukul 4 sore, saat gua dan Taufik tengah duduk di sebuah warung yang berada di daerah Jasinga, Bogor. Sedangkan Astrid berada didalam masih berada didalam mobil, tengah asik dan tenggelam bersama ponselnya. Ini adalah tempat terakhir dari daftar nama dan alamat yang tempo hari diberikan Ari ke gua. Gua memegang kertas yang sudah telihat lecek dan kumal sambil mengangkatnya dihadapan Taufik.
Punten aa.. mau nanya Aa.. teh intel ya" Hah intel" Maksudnya.."
Itu loh, polisi yang nyamar-nyamar.. Bukan
Oh.. Dep Visitor" Hah" Mungkin maksud lu Debt Collector kali.." Iyah.. ituh maksudnya..
Bukan.. Trus apa" Saya teh bingung, disuru bantu nyari orang, tapi nggak tau wajah orang yang dicari Gua mengeluarkan dompet dan menunjukkan foto Desita kepada Taufik.
Namanya Desita, pacar gua.. Trus yang dimobil itu siapa, aa..
Taufik bertanya sambil menunjuk ke arah mobil dengan dagunya.
Ooh.. apa ya.. bingung gua juga fik..
Kenapa bingung atuh aa.. Teh Astrid mah geulis.. tapi yang difoto juga geulis.. ih menih bingung urang kalo jadi si aa mah..
Gua menyeruput tegukan kopi terakhir sebelum kemudian bersiap berjalan mendatangi sebuah rumah yang tadi telah ditunjukkan oleh si pemilik warung. Taufik menghabiskan kopi ditangannya kemudian bersiap mengikuti gua.
Lu tunggu disini fik, temenin Astrid.. gua sendiri aja..
Oh.. iya.. Gua pun melangkahkan kaki, melintasi jalan setapak kecil yang dipenuhi rumput-rumput besar dan pagar yang terbuat dari bamboo dikedua sisinya. Sambil menggenggam kertas berisi daftar nama dan alamat gua memejamkan mata sejenak, kemudian mempercepat langkah menuju ke sebuah rumah mungil yang semakin lama semakin dekat.
Suasana sore di salah satu sudut terjauh kabupaten Bogor semakin mendung dengan angin yang membawa rasa dingin, menembus kulit. Gua menetapkan hati, bersiap untuk kemungkinan terburuk. Tetinggal satu nama dalam daftar pada print-out yang diberikan Ari, gua meremas kertas berisi daftar nama tersebut dan menjatuhkannya kebawah, kemudian menuruni anak tangga batu dan mulai memasuki pekarangan rumah tersebut. Assalamualaikum
Gua mengetuk pintunya pelan sambil mengucap salam.
Waalaikum salam saha"..
Terdengar suara wanita menjawab salam gua dari dalam rumah, beberapa detik kemudian pintu pun terbuka.
------- Bagian #30 Terdengar suara wanita menjawab salam gua dari dalam rumah, beberapa detik kemudian pintu pun terbuka. Muncul sosok wanita tua dengan sepasang koyo dikedua sisi dahi-nya.
Cari siapa dek" Mmm.. maaf mengganggu bu, apa bener ini rumah nya Desi Rahmawati"
Iyah betul.. adek teh saha"
Saya temen-nya bu.. hmm .. kalau boleh tau Ibu siapanya Desita ya"
Saya Ibu-nya.. Mendengar jawab dari wanita itu, membuat gua menghela nafas kemudian tertunduk lesu. Gua tau betul Ibunya Desita dan wanita tua yang berdiri dihadapan gua saat ini bukanlah dia. Gua mengeluarkan dompet dan memperlihatkan foto Desita kepada wanita tua tersebut.
Bukan, itu bukan Desi anak saya..
Wanita itu menggeleng sambil menatap gua. Kemudian menunjuk kearah dinding dimana disana berderet foto-foto anaknya yang dimaksud. Dan gua sama sekali nggak mengenali sosok yang berada dalam foto-foto tersebut, dia sama sekali bukanlah Desita yang gua cari.
Gua menghela nafas sambil meletakkan kedua tangan dikepala. Sementara wanita tua itu terlihat kebingungan.
Anak saya Desi, nggak kenapa-kenapa kan dek" Oh, nggak bu.. saya yang salah alamat.. Soalnya Desi teh lagi kerja di Jakarta, ibu pikir mah ada kabar apah kitu..
Nggak bu, nggak ada apa-apa, saya salah orang.. maap ya bu udah ganggu.. permisi, asalamualaikum..
Waalaikumsalam.. Gua pun berjalan gontai meninggalkan rumah mungil tersebut. Dari kejauhan terlihat Astrid dan Taufik berdiri tegang menunggu, tapi mungkin mereka sudah bisa menebak dari gesture tubuh gua kalau ternyata semua pencarian kami selama ini gagal. Gua terduduk dibangku kayu didepan warung dimana tadi gua sempat ngopi dan berbincang dengan Taufik. Astrid berjalan menaiki anak tangga batu, menghampiri dan kemudian duduk disebelah gua.
Tanpa gua bercerita, hasilnya pun sudah tertebak dari tampang gua yang seperti kehilangan semangat. Astrid meletakkan tangannya dipundak gua, sambil tersenyum dia berkata;
Balik ya, istirahat dulu.. besok kita cari lagi.. Gua nggak menjawab, hanya menyingkirkan tangannya dari bahu gua dan bergegas pergi kemudian masuk kedalam mobil. Didalam mobil gua hanya bisa terdiam sambil menundukkan kepala pada kemudi. Nggak ada yang lebih mengecewakan di dunia ini daripada rasa yang harus gua terima sekarang, rasa kehilangan Desita yang muncul kembali dan rasa rindu yang semakin sesak di dada.
Suara pintu mobil terbuka, Astrid masuk dan duduk dibangku depan sementara Taufik yang sejak tadi hanya terdiam masuk dan duduk dibangku belakang. Gua menoleh kepada mereka sejenak, kemudian menyalakn mesin mobil dan mulai meninggalkan tempat itu.
Selama perjalanan dari Jasinga menuju ke Kota Bogor, kami bertiga berada dalam keheningan.
Gua melihat ke belakang melalui spion, Taufik tengah duduk bengong menatap keluar melalui jendela, sedangkan Astrid hanya duduk memandang lurus kedepan sambil memeluk kedua kakinya yang ditekuk dan diangkat ke atas jok.
Gua menyakalan tape mobil, mencoba mencairkan suasana. Suara gemerisik gelombang radio terdengar disusul dengan suara Avril Lavigne yang memecah kesunyian;
When you're gone The pieces of my heart are missing you When you're gone
The face I came to know is missing too
When you're gone The words I need to hear to always get me through The day and make it ok
I miss you I've never felt this way before
Everything that I do reminds me of you And the clothes you left, they lie on the floor And they smell just like you, I love the things that you do
Damn, gua mengganti chanelnya beberapa kali sampai kembali terdengar lantunan musik dan alih-alih lagu ceria yang terdengar malah The Night nya Ataris;
So many paths that we can take To bring us to our destiny Gaze up at the heavens
And see if you can point me out
If I could have one wish tonight I'd wish upon a satellite
To bring me back to you To bring me back to you Sial, gua menekan tombol auto chanel. Radio bergemirisik berkali-kali sampai akhirnya kemudian hening dan berhenti disatu channel yang tengah memainkan Everytime-nya Britney Spears. Oh God Gua menepikan mobil, kemudian mulai memaki ke arah radio tape mobil dan memukulinya dengan tangan, kurang puas dengan menggunakan tangan, gua mengambil kunci inggris yang selalu berada di bawah bangku kemudi dan mulai menghantamkannya ke Radio Tape didashboard mobil, sementara Astrid hanya bisa berteriak dan sesekali beristigfar sendiri sambil sedikit menjauh mencoba menghindar agar tidak tersambar gerakan tangan gua dan serpihan Radio Tape yang mulai berserakan.
Masih kurang puas, gua keluar, kemudian menuju kebagian depan mobil dan mulai menghantamkan kunci inggris ke spion kecil yang terletak diatas kap mesin dan beberapa kali menghantamkannya ke atas kap. Kemudian gua tertunduk, dengan nafas tersengal-sengal gua menjatuhkan kunci inggris dan duduk diatas aspal didepan mobil. Sambil mencoba mengatur nafas yang masih memburu gua menegakkan kepala memandang ke arah langit yang terang ditengah jalan raya yang sepi.
Tanpa sadar, gua merasakan sebuah pelukan. Kedua tangan Astrid melingkar dipundak sementara hembusan nafasnya terasa di tengkuk gua.
Sabar.. ya cin, jangan pake emosi.. istigfar.. semua pasti ada jalan keluarnya.. kalo nggak ketemu sekarang, besok kita cari lagi.. Gua nggak menjawab, hanya memainkan jari memijat-mijat ujung hidung diantara kedua mata gua.
Dan malam itu kami bertiga berada dalam keheningan (lagi) menuju ke Hotel. Setelah menurunkan Taufik di depan terminal Baranangsiang, gua dan Astrid kembali menuju hotel.
Cin.. Makan dulu ya.. Gua nggak menjawab, hanya mengangguk sambil beberapa saat kemudian membelokkan mobil ke area pelataran parkir sebuah rumah makan cepat saji.
Cin.. lo nggak makan deh.. ntar sakit lho.. Males..
Makan ya dikit.." Nggak..
Disuapin mau" Gua menggeleng.
Eh sol.. sebenernya kan print-out yang dikasih Ari ke kita itu daftar nama dan alamat Orang yang baru beli nomor baru, kemudian aktivasi dengan nama Desita Rahmawati kan"..
Iya.. Sedangkan Nomor handphone Desita yang selalu melakukan Top-Up dalam setahun terakhir, si Ari nggak bisa ngasih datanya..
Iya.. terus.." Berarti sebenernya selama ini kita cuma ngelacak si pemakai nomor baru, dan kalau Desita yang lu maksud nggak beli dan aktivasi nomor baru, dia nggak bakal masuk deteksi
Ooh iya.. terus gimana " Astrid hanya mengangkat kedua bahu sambil menghabiskan ayam goreng yang tersisa dipiringnya. Gua mengambil ponsel, mencari nomor Om Sasmi dan mencoba menghubunginya. Halo..
Halo, ya ada apa hin.."
Suara Om Sasmi terdengar diujung sana. Om saya butuh data lokasi nomor ponsel bisa" Nggak bisa, hin.. kan om sudah pernah bilang, kalau semua ada batasannya..
Please om, please banget Hin, nggak semua yang kita mau itu bisa kita dapetin, kita tuh harus belajar nrimo .. Yah Om.. ini perkara hidup dan mati om.. Ah lebay kamu hin, kayak om nggak tau aja.. Yah Om.. bisa yaa sekali ini aja.. Nggak bisa hiin..
Astrid menyela pembicaraan, kemudian merebut ponsel gua dan mulai berbicara dengan Om Sasmi via telepon.
Halo selamat malam Om Sasmi, masih inget saya kan, Astrid..
Kemudian Astrid berdiri dan sedikit menjauh, melanjutkan obrolannya dengan Om Sasmi, dia terlihat santai dan sangat cair dalam bicara dengan Om Sasmi. Nggak seberapa lama kemudian, Astrid terlihat mengeluarkan ponsel-nya, seperti mengetikkan sesuatu dan setelah itu dia mengakhiri pembicaraan dengan Om Sasmi dan kembali duduk.
Apa katanya " Gua bertanya penasaran. Sementara Astrid seperti berlagak jual mahal, dia mengangkat jari telunjuknya sebagai intruksi agar gua menunggu dia selesai menyeruput Coca cola dingin dihadapannya.
Nih, nomor hape-nya Ari.. catet..
Astrid kemudian membuka ponselnya dan menyebutkan nomor ponsel Ari yang tadi baru diberikan oleh Om Sasmi.
Lu bilang apa ke Om" Nggak bilang apa-apa, gua cuma minta nomor telepon terakhir yang dihubungi oleh nomornya Desita..
And.." Dan Om Sasmi mau ngasih tau kok, besok lo disuruh telpon ke Ari..
What" Serius lu.. Iya..
Gua berdiri, menghampiri dan mengecup ujung kepalanya. Kemudian bergegas untuk memesan makanan. Kali ini barulah rasa lapar mulai menghantui gua.
------- EPISODE 5 Bagian #31 Halo, Ari" Iya.. ini siapa ya" Gua, Solichin.. keponakannya Om Sasmi.. Oh iya..iya..
Gua mau minta data bisa.."
Iya bisa, tadi Pak Sas udah ngomong ke gua.. berapa nomornya" Elu minta data nomor panggilan terakhir kan"
Iya, 081294xxxxxx Oke, tunggu sebentar ya.. hmmm atau ntar gua telepon deh, ini nomor lu kan"
Iya, oke.. gua tunggu ya, ri.. thanks.. Oke sip..
Gua mengakhiri panggilan kemudian duduk disofa kamar hotel sambil berharap-harap cemas. Astrid tengah berbaring di ranjang sambil menonton tivi. Sudah malam ke empat gua dan Astrid menginap di hotel ini, dan nggak sudah selama tiga malam ini Astrid selalu tidur dikamar gua.
Kunci kamar lu mana"
Gua berdiri kemudian menghampiri Astrid sambil menengadahkan tangan, meminta kartu kunci kamarnya.
Buat apaan" Mau tidur, sebentar..mana cepet.. Yaudah tidur aja disini, ribet amat..
Nggak ah, berisik disini ada elu.. lagian juga sayang-sayang amat tuh kamar disewa tapi nggak ditidurin..
Yee.. Astrid mengeluarkan sebuah kartu dari saku celana belakang celana Denimnya dan menyerahkannya ke gua, kemudian dia kembali sibuk lagi dengan cartoon network.
Baru saja gua merebahkan diri diatas ranjang kingsize dikamar hotel yang serusnya ditempati ole Astrid saat ponsel gua berbunyi, gua melihat layarnya, nomor telepon lokal dengan area Jakarta tertera disana. Dengan mudah gua menebak kalau panggilan ini dari Ari.
Halo.. Solichin.." Yak, gimana ri.. Ada kertas sama pulpen" Udah sebutin aja..
Emang lu bakal inget" Inget..
Nih.. 0251 8336XXX.. Nomor lokal ya, ri"
Iya, Prefix-nya sih Bogor itu.. Oke makasih ya ri..
Sip sama-sama.. Setelah mengakhiri pembicaraan dengan Ari via telepon barusan, gua buru-buru menuju ke kamar sebelah. Astrid masih berbaring diatas kasur sambil menonton tivi, gua mengambil remote dan mematikannya.
Kok dimatiin sih.." Gua udah dapet nomornya dari Ari.. Mana liat"
Nih disini.. Gua menunjuk dahi dengan jari telunjuk. Kemudian duduk disebelah Astrid dan mulai mengetik nomor telepon yang tadi diberikan oleh Ari.
Sini..sini gua yang telpon..
Astrid menyambar ponsel gua, memandang sekilas kelayarnya dan mengernyitkan dahi. Nomor lokal.."
Iya.. Astrid mengangguk, dia menekan tombol panggil, kemudian merubah mode-nya menjadi loudspeaker.Terdengar nada sambung beberapa kali, lalu disusul suara renyah seorang wanita menyapa.
Sinar Surya Trading, selamat pagi... Hmm.. halo..
Halo Sinar Surya Trading, selamat pagi... ada yang bisa dibantu.."
Iya mbak, bisa minta alamat kantornya nggak ya, karyawan saya mau anter surat tapi nyasar nih.. Oh bisa ibu, silahkan dicatat ya..
Astrid tergopoh-gopoh mencari kertas dan pulpen, kemudian mencatat sesuai dengan alamat yang diberikan oleh wanita diujung telepon sana. Setelah selesai dia berdiri dihadapan gua, berkacak pinggang sambil melambai-lambaikan kertas berisi alamat ditangannya.
Ada Astrid Apapun Lancar..
Dia berkata sambil mengerlingkan matanya, berlagak bak model yang tengah mempromosikan barang dagangan. Gua tersenyum kemudian menyambar kertas berisi alamat yang berada di tangannya.
Nggak lama berselang gua dan Astrid sudah kembali berada di jalan kota bogor. Dan seperti kapok dengan petunjuk dan arahan Astrid, gua berinisiatif menelpon Taufik untuk bertanya petunjuk menuju ke alamat Sinar Surya Trading, Astrid hanya mendengus kesal ketika gua menelpon Taufik dan mendengarkan petunjuk arah darinya, terdengar dia mengomel dan marahmarah sendiri
Alah,.. nyari alamat gitu doang gua juga bisa, ngapain pake nelpon taufik.. nggak percayaan banget..
Gua meletakkan ponsel di atas dashboard mobil yang kini sudah nggak ada bentuknya dan menggeleng.
Ntar cuma muter-muter doang kayak kemaren.. ---
Setelah mengikuti petunjuk ringkas yang diberikan taufik via telepon tadi, akhirnya kami tiba disebuah komplek perkantoran yang terdiri dari deretan ruko yang rata-rata memiliki lebih dari tiga lantai. Ternyata kantor Sinar Surya Trading yang kami cari terletak nggak begitu jauh dari tempat gua memarkirkan mobil, gua menyulut sebatang rokok dan bersandar pada body mobil.
Ayoo.. malah ngerokok.. Astrid berusaha menarik lengan gua. Bentar, gua bingung mau nanya apa nanti" Oiya..ya..
Astrid berkata sambil menggaruk-garuk kepalanya.
Gua mulai berfikir, kira-kira kenapa Desita menelpon ke kantor ini, ada beberapa kemungkinannya; Desita adalah karyawan kantor ini atau Desita bukan karyawan dan dia menelpon untuk menghubungi seseorang dikantor tersebut, teman, sahabatnya atau mungkin pacarnya.. dan yang terburuk.. suaminya. Ah..sial. Gua menggelengkan kepala, kemudian menceritakan kemungkinan-kemungkinan yang barusan terfikirkan oleh gua kepada Astrid. Dia hanya mengangguk-anggukan kepala, kemudian menjentikkan jarinya.
Gua ada ide.. Apa" Udah ayo ikut aja... Gua mematikan rokok yang baru saja dinyalakan dan mengikuti Astrid berjalan menuju ke kantor tersebut.
Sesampainya didalam kantor itu, kami disambut sapaan ramah seorang resepsionis yang langsung berdiri begitu kami menginjakkan kaki didalam ruangan. Dengan penuh percaya diri Astrid menghampiri meja resepsionis sementara gua hanya mengikutinya dari belakang.
Selamat pagi, bisa saya bantu...
Wanita resepsionis itu mengucap sapaan lagi.
Pagi, mbak.. saya mau ketemu sama mbak Desitanya bisa"
Mbak Desita ya, sebentar ya mbak..
Wanita resepsionis itu kemudian terlihat mengangkat gagang teleponnya, bicara sebentar kemudian menutup gagang telepon bagian bawah dengan tangan satunya, dan bertanya ke Astrid. -------
Bagian #32 Pagi, mbak.. saya mau ketemu sama mbak Desitanya bisa"
Mbak Desita ya, sebentar ya mbak..
Wanita resepsionis itu kemudian terlihat mengangkat gagang teleponnya, bicara sebentar kemudian menutup gagang telepon bagian bawah dengan tangan satunya, dan bertanya ke Astrid. Maaf, mbaknya darimana ya..
Oh, saya Astrid dari Telkomsel
Wanita resepsionis itu kemudian bicara lagi melalui gagang telepon kemudian meletakkannya. Mbak Desita-nya lagi keluar tuh mbak, tapi kalau mau ketemu sama bagian purchasing, ada Bapak Aldi yang bisa nemuin..
Oh, nggak usah mbak, ini pribadi.. kira-kira lama nggak keluarnya..
Hmm.. kurang tau juga ya.. mau nunggu aja" Mendengar pertanyaan dari respsionis barusan, Astrid menoleh ke gua sambil mengangkat dagunya dan berbisik;
Mau nunggu apa gimana"
Gua nggak menjawab, kemudian melangkah maju, mengambil dompet, mengeluarkan dan menunjukkan foto Desita kepada resepsionis tersebut.
Ini kan yang namanya Desita"
Gua bertanya ke respsionis itu, dan dia mengangguk sambil tersenyum.
Oke makasih ya, saya tunggu di mobil aja deh... Gua kemudian berbalik dan melangkah keluar. Astrid menyenggol bahu gua dengan bahunya, sambil menyeruput Es Cendol didepan pelataran parkir komplek perkantoran tadi, kami berdua menunggu Desita sambil menikmati Es Cendol. Ciee.. yang mau ketemu sama tuan putrinya... Gua hanya tersenyum mendengar candaan Astrid, mata gua nggak lepas menatap kearah pintu masuk kantor tersebut, sambil memainkan sendok kecil dan sedotan didalam gelas gua memandangi logo perusahaan Sinar Surya Trading itu, sebuah logo yang entah pernah gua lihat dimana.
Setelah menghabiskan masing-masing dua gelas Es Cendol, gua dan Astrid berpindah kedalam mobil karena suhu semakin panas. Gua sengaja memutar posisi mobil agar bagian depannya persis menghadap ke arah depan kantor Sunar Surya tersebut, dari sini, dari tempat dimana mobil gua terparkir hanya berjarak kira-kira dua puluh meter ke bagian depan kantor tersebut sehingga kami bisa melihat jelas siapa yang lalu-lalang, masukkeluar ke dan dari kantor itu.
Kita kayak detektif aja ya cin"
Hahaha.. iya.. Eh, tadi kenapa lu kepikiran bilang kalo dari Telkomsel"
Oh.. jaman sekarang hampir semua orang punya ponsel dan kita sama sama tau Desita pake provider itu, hal itu bikin orang nggak bakal curiga kalo ada yang nyari dari perusahaan provider.. Boleh juga lu..
--- Hampir kurang lebih tiga jam gua dan Astrid menunggu didalam mobil, rasa lelah dan lapar mulai menyerang tapi gua mengabaikannya. Berkali-kali Astrid keluar-masuk mobil hanya untuk sekedar membeli cireng, tahu goreng, rujak dan minuman dingin, sedangkan gua saat ini benarbenar kehilangan selera. Gua melihat kearah jam tangan, angkanya menunjukkan pukul satu siang, cuaca di bogor hari ini pun sangat panas, hampir mirip dengan Jakarta, mirip sekali.
Astrid menepuk-nepuk lengan gua ketika terlihat sebuah mobil berhenti dan parkir didepan kantor Sinar Surya Trading. Gua yang tengah menyulut sebatang rokok, memicingkan mata dan terkejut melihat sebuah innova hitam, innova hitam yang sangat gua kenali. Lampu rem berwarna merahnya menyala sebentar, kemudian pintu penumpang terbuka dan keluar sosok wanita mungil dari dalamnya, bergegas masuk kedalam kantor. Astrid menepuk-nepuk pundak gua, seperti memberikan kode ke gua untuk segera bertindak jika perempuan yang barusan keluar adalah benar Desita. Gua masih tertegun, bengong...
Bukan... bukan.. Bukan sosok Desita yang membuat gua sangat terkejut, karena gua sudah mengira Desita bakal muncul, tapi yang diluar perkiraan adalah mobil Innova hitam itu, mobil dengan nomor polisi yang benar-benar gua kenali; B 1 LA.
Nomor polisi dari mobil Salsa.
Tidak bisa dipungkiri, rasa rindu didada ini terhadap Desita hampir membuncah pecah, tapi rasa penasaran perihal Desita yang keluar dari mobil Salsa adalah sesuatu yang aneh, sangat aneh, yang membuat gua sedikit mengesampingkan rasa rindu ini.
Gua menatap tak berkedip saat sosok wanita, putih, tinggi dengan rambut panjang digerai yang baru saja keluar dari mobil. Salsa, dia berjalan pelan sambil menuju ke arah kantor. Gua buruburu turun dari mobil, sambil setengah berlari gua menghampiri Salsa yang baru saja hendak membuka pintu kaca kantor, gua menahan pintu kaca dengan tangan dan memposisikan diri dihadapannya.
Ngapain lu disini" Ngapain lu sama Desita" Salsa nggak menjawab, dia hanya mengernyitkan dahi dan menurunkan sedikit kacamata hitamnya kemudian melewati gua dan masuk kedalam, gua menyusulnya sambil mengulangi pertanyaan tadi, kali ini dengan nada sedikit lebih tinggi.
Ngapain lu disini" Ngapain lu sama Desita" Suara gua membuat hampir semua orang yang berada diruangan depan kantor tersebut berdiri dan melihat ke arah gua. Nggak lama Desita muncul dari balik pintu ruangan.
Solichin.. Desita menyebut nama gua sambil berdiri mamatung, menatap nanar dengan mata birunya yang indah. Gua mengalihkan pandangan kepadanya, membalas tatapan gadis mungil yang kini rambutnya dibiarkan panjang, gua berjalan pelang menghampirinya, semakin dekat semakin berkecamuk perasaan didada gua, entah apa namanya. Perlahan wangi parfum aroma candy mulai menyesaki nafas, aroma yang sudah lama gua rindukan, gua memejamkan mata sejenak dan mengambil nafas dalam-dalam sebelum mengangkat tangan gua dan menyentuh pipi-nya yang lembut.
Elu gemukan.. Gua berkata sambil memindahkan telapak tangan gua dari pipi ke helaian poni rambutnya yang menjuntai. Desita nggak menjawab, dia hanya diam sambil menatap gua dalam, perlahan mengalir air mata dari ujung mata membasahi kedua pipinya, gua mengusapnya perlahan. Sambil memandang sekeliling, gua melihat kalau semua mata menatap ke arah kami saat itu. Gua menarik lengan Desita dan mengajaknya keluar, melewati Salsa dan Astrid yang masih berdiri mematung.
Lu masih utang penjelasan sama gua.. Gua berkata ke Salsa sambil berlalu, kemudian mengerling ke arah Astrid, memberikan kode agar mengikuti gua dan Desita.
Sambil berjalan cepat dan mengapit lengan Desita yang terlihat kesulitan mengikuti langkah kaki gua, Astrid membuka suara;
Gua langsung ke Hotel aja deh.. Hah"
Gua berhenti dan memandang heran ke arah Astrid.
Nggak apa-apa, gua naik taksi aja.. lo butuh waktu berdua kan"
Astrid menjawab tatapan heran gua, kemudian membuka pintu mobil, mengambil tas dan berlalu pergi meninggalkan kami.
--- Dan siang itu, gua dan Desita berada didalam mobil, dijalan kota bogor tanpa arah dan tujuan. Kamu abis marah-marah ya sol"
Desita bertanya sambil memandang ke arah Dashboard mobil gua hancur berantakan kemudian menatap ke gua.
Kamu kurusan... Dia menambahkan, kemudian menyentuh pipi gua dengan punggung tangannya.
Cewek tadi, bukan pacar kamu kan"
Gua menggeleng dan mencoba mengatur nafas yang tersengal-sengal mendapat perlakuan seperti itu darinya. Ini seperti waktu baru pertama kali bertemu dengannya, rasa ini. Gua menepikan mobil disalah satu sudut jalan yang lengang dan mematikan mesin.
Kenapa lu ninggalin gua, kenapa nggak pernah ada kabar, kenapa lu bisa bareng sama salsa... kenapa"
Gua bertanya tanpa berani menatap wajahnya, gua takut. Takut melihat dia mengangis. Aku juga nggak mau ninggalin kamu, sol.. bukan mau aku..
Desita menjawab sambil memindahkan arah duduknya menghadap ke gua. Lebih dari tiga tahun nggak bertemu, Desita sedikit berubah, dia nggak lagi menggunakan bahasa prokem elogue , rambutnya dibiarkan panjang dan dia terlihat sedikit lebih gemuk.
Trus maunya siapa" Aku nggak bisa jelasin ke kamu..
Trus sama siapa gua harus minta penjelasan" Salsa..
Desita menjawab lirih, sambil menatap kosong kearah luar melalui kaca jendela.
------- Bagian #33 Nama gua Salsabila Syafriel, beberapa orang memanggil gua Salsa, ada juga yang menyebut Bila dan sisanya beberapa orang yang nggak mau menghemat waktunya dengan memanggil gua dengan Salsabila . Gua adalah anak perempuan satu-satunya dari dua bersaudara dikeluarga ini, adik gua laki-laki; namanya Solichin Syafriel. Selain punya Adik, ternyata gua juga punya Bokap dan Nyokap, karena gua bukan Sun Go Kong yang terlahir dari batu. Bokap gua; Sastrowardjodjo Syarfriel adalah seorang Notaris yang juga owner dari sekitar 15 perusahaan di Jawa dan Bali, konon katanya beliau adalah keturunan ningrat yang mungkin kalau dilukai kulitnya darah yang mengalir berwarna biru, bahkan jika masuk angin kemudian punggungnya dikerik maka bekasnya bukanlah merah seperti kebanyakan orang, melainkan biru. Nyokap gua; Noviatami adalah seorang guru disalah satu SLTP negeri di Jakarta, karena profesinya itu terkadang tingkat kedisiplinan nyokap lebih tinggi daripada bokap, walaupun hal itu nggak sama sekali mengurangi kelembutan seorang ibu kepada anak-anaknya.
Banyak sepertinya yang bisa diceritakan tentang hidup gua, apalagi masalah percintaan. Tapi, kisah percintaan gua masih terdengar kacangan jika dibandingkan dengan kisah hidup dan cinta milik adik gua; Ableh, ya Solichin memang sering disebut sebagai Ableh, oleh teman-temannya, gua bahkan nyokap.
Selama ini Ableh seringkali bergonta-ganti pacar, dan sejauh yang gua tau semuanya nggak ada yang bertahan lama. Alasannya jelas, bukan alasan klasik seperti perselingkuhan atau kecemburuan, biasanya para gadis nggak bakal kuat bertahan lama dengan Ableh, jika bukan itu alasannya maka kebosanan Ableh bisa jadi alasan lainnya. Hal itu berlangsung lama, selama yang gua ingat gadis yang jadi pacarnya hanya beberapa dan bisa dihitung dengan jari tangan, itu diluar gebetangebetan dia lainnya yang usianya cuma seumur jagung, kalau diibaratkan lagu mungkin cinta satu malam bisa menggambarkannya dengan tepat. Sampai suatu hari, Ableh terlihat nggak seperti biasanya. Banyak hal dilakukan keluar dari polanya dan patternya; perlu diketahui Ableh adalah pria dengan tipikal Perfeksionis. Semua hal yang berhubungan dengan dirinya ada aturan, skema dan jalurnya. Dia meminum kopi satu cangkir sehari; setengah cangkir pagi hari dan setengah sisanya malam hari, dia nggak pernah membiarkan pembantu kami menyusun pakaian dilemarinya, dia menyusunnya sendiri, diurutkan sesuai dengan jadwal kapan dia akan memakainya, dia sudah mengatur pakaian mana yang akan digunakan selama seminggu. Dia yang nggak pernah bersikap terbuka ke gua pun tiba-tiba mengajukan pertanyaan-pertanyaan aneh.
Strangers 5 Gara Gara Warisan Kisah Oey Eng Si Burung Kenari Karya Siao Ping Dendam Mahesa Lanang 3
^