Pencarian

Lagi Lagi Uang 2

Lagi Lagi Uang Karya Karen Angel Bagian 2


bertemu denganku di dekat kampus. Kami belum mengenal satu sama lainnya"heh, tentu saja aku
tidak pernah mau peduli siapa laki-laki yang mengencaniku. Namun, jika aku ceritakan, Anda pasti
akan kaget! Tahukah siapa orangnya"!
Namanya, Donaldson. Dialah satu-satunya laki-laki yang menolak 'berkencan' denganku meski sudah kurayu habishabisan!
Astaga, aku sendiri baru ingat!
Dia bule. Tampan. Dan bermata teduh! Saat itu baru kali pertama menginjak Surabaya setelah iseng-iseng traveling dari Bali.
Hei, mungkin dia juga sudah lupa. Entahlah. Mungkin juga dia masih ingat, tetapi pura-pura lupa.
Hahaha.... " TAMAT http://cafenovel.com/ 37 BIODATA PENULIS Lala Novrinda, lahir 16 November 1985 di Surabaya. Mahasiswi Ilmu Komunikasi Unair Surabaya
ini sedari dulu menggemari sastra puisi, gemar baca novel dan menulis. Di sela-sela kesibukan kuliahnya, ia senang menuangkan
tema kesehariannya pada buku diarinya, dan sesekali JJS, menyanyi serta musik. Penulis muda ini merupakan salah satu Anggota
Group www.cafenovel.com di facebook.com yang sangat berpotensial menjadi penulis handal.
http://cafenovel.com/ 38 SAAT ULTAH Sekaranglah kesempatannya, ya sekaranglah kesempatannya, benak saya membatin, menerobos
keraguan yang sudah cukup lama saya pendam.
Maka, segera saya bungkus "Jalan Menuju Cinta"-nya Jalaludin Rumi, dan "Surat-surat Cinta"-nya
Khalil Gibran, dengan kertas kado berwarna merah muda.
Ya, sekaranglah kesempatannya, sekali lagi, benak saya membatin, memantapkan hati saya.
*** "Retnooo...! Retnooo...!" panggil Ratih setengah teriak. Gadis itu tersenyum ke arah saya.
Senyumnya manis, tidak beda dengan senyum Retno, adiknya.
Saya juga tersenyum. "Masuk aja, Van," katanya. "Sebentar ya saya panggil Retno-nya."
Saya mengangguk sambil tersenyum lagi. Sepatu kets yang saya kenakan saya buka sebelum
melangkah ke dalam rumah. Setelah sampai di dalam, saya menjatuhkan pantat di atas sofa.
Sejak dari rumah, jantung saya yang berdetaknya kelewat rajin semakin menjadi-jadi saja. Bahkan
waktu saya mengendarai motor dari rumah saya ke rumah Retno ini pun, perasaan suara detak
jantung saya lebih cepat ketimbang lari sepeda motor itu. Ada hembusan napas berat dari hidung
saya. Tanpa sadar, saya remas kado di tangan. Gelisah.
Beberapa menit kemudian, sosok dengan gaun coklat muda yang pada lengan tangannya ada dua
garis hitam muncul dari dalam kamar.
*** Ada senyum yang mengembang.
Ada pula senyum balasan. Untuk beberapa detik, di antara senyuman, mata saya beradu pandang. Tapi kemudian, sosok
bergaun coklat yang punya rambut panjang itu tertunduk malu. Tersipu.
"Hai...." sapa saya, pelan.
Tidak ada sahutan, cuma ada senyum yang kembali mengembang. Perlahan, masih dengan tersipu
malu, sosok dengan gaun coklat berambut panjang, gadis cantik nan manis bernama Retno Ayu
Larasati itu duduk di sofa.
"Main, Van," suara Retno merdu terdengar.
"He-eh," saya menjawab dibarengi anggukan.
Kami saling senyum lagi. "Kenapa tadi siang nggak masuk sekolah?" tanya saya, hati-hati.
http://cafenovel.com/ 39 "Sengaja," jawab Retno, sudah tidak tersipu lagi.
"Bukankah... bukankah... hari ini kamu ulangtahun?"
Retno tersenyum. "Iya," jawabnya, sambil memandang saya sebentar. "Setiap ulangtahun, dari
mulai kelas dua SMP, saya sengaja mengurung diri di rumah, di dalam kamar," kata Retno. "Saya
kepingin ngoreksi diri saya saat hari kelahiran saya. Makanya saya nggak ke mana-mana."
Hening.... "Sekarang saya sudah kelas dua SMA," ujarnya, cuma sejenak. "Saya kepingin belajar dewasa.
Lewat perenungan, di hari kelahiran saya," tambahnya lagi.
Hening lagi. Saya memandang Retno. Retno tertunduk. "Retno...." "Hmmm...." "Tadi, saat kamu menyudahi kata-kata kamu itu, kamu pun sudah dewasa, No," kata saya, pelan.
"Selamat, ya." Retno mengangguk dengan senyuman.
"Nggak ada yang bisa saya berikan selain ini," saya menyodorkan kado di tangan saya. "Cuma buku
bacaan." Retno menerima kado pemberikan saya. "Makasih ya, Van," katanya, sambil ingin membuka
bungkus kado itu. "Eh, bukanya nanti saja, kalau saya sudah pulang. Jangan sekarang. Sebentar saya malu."
Retno kembali tersenyum. Saya juga.
Lalu diam. Hening pun ada lagi. Agak lama, hening itu menguasai.
"Silakan diminum airnya, Van." Tiba-tiba Ratih sudah berada di antara kami, sambil meletakkan air
putih di atas meja. "Waduh, saya sampai lupa ngambilin air minum," Retno tersenyum.
"Nggak apa-apa. Makasih ya, Tih."
Ratih juga tersenyum. Lalu pergi kembali membawa baki.
Saya meminum air yang dibawa Ratih, sedikit. Lalu diam lagi.
Hening lagi. "Jangan pandang saya seperti itu, Van!" Retno tersipu, ketika mata saya menjajahnya.
"Kenapa?" "Malu." Retno tersipu lagi.
Saya tersenyum. "Saya ingin melihat hati kamu. Sebenarnya sih, sudah lamaaa banget," kata saya,
sambil menggoda. "Lho, mana bisa," Retno merunduk. "Hati saya ada di dalam, kok, di sini," ia meraba dadanya
dengan jari manisnya. Saya tersenyum lagi. "Hati kamu sebenarnya dekat banget dengan saya, No. Cuma... saya takut
mengambilnya, takut kamu marah."
Kali ini Retno yang tersenyum. "Kenapa?" tanyanya sembari mempermainkan ujung rambut
panjangnya. "Apakah selama ini saya pernah marah sama kamu?"
"Nggak, kamu nggak pernah marah sama saya. Kamu baik, kok!"
Kami berdua saling senyum lagi.
Lalu hening lagi. "Retno...." Kalimat saya digantungkan. "Kami nggak marah kalau saya bicara terus terang sama
kamu?" "Lho, tadi kan sudah saya bilang, apakah saya pernah marah sama kamu" Dan dari tadi juga, kita
http://cafenovel.com/ 40 sudah saling bicara, kok."
"Tapi yang ini lain, No." Deg, deg, deg! Tiba-tiba detak jantung saya kelewat rajin berdetak lagi,
setelah beberapa menit yang lalu sudah kembali normal.
"Lain apanya" Coba deh, bicara aja."
"Benar, nih" Kamu nggak marah?"
Retno tersenyum. Detakan jantung saya seperti laju kereta, cepaaaat banget.
"Saya... saya... saya suka kamu, No!"
Plep! Langsung wajah Retno merona merah. Dia merunduk. Tidak tersenyum dan tidak tersipu lagi.
Dia diam. Dan terlambat sudah bagi saya untuk menyesal.
Apalagi menarik kembali kalimat yang sudah terlontar.
Lama juga kami saling diam.
Retno tetap merunduk. Dan saya tetap menatap lekat ke gadis yang duduk di depan saya, yang dipangkuannya ada kado
berwarna merah muda. "Maafkan saya, Retno, kalau saya bersalah ngucapin kata-kata itu." Saya menarik napas panjang.
Sedikit, Retno mengangkat kepala. "Nggak, kamu nggak salah, kok. Itu memang hak kamu kalau
kamu kepingin ngucapin kata-kata itu."
"Jadi kamu nggak marah?"
Retno menggeleng. "Kamu... kamu juga suka saya, No?"
Retno tidak menjawab. Dia merunduk dalam. Seperti ada ganjalan di napas yang ia keluarkan.
Hening lagi. Saya menunggu saat-saat selanjutnya.
Retno mengangkat kepala. "Kamu benar-benar suka sama saya, Van?" tanyanya, serius.
Saya tersenyum dan mengangguk pasti.
Retno merunduk lagi. "Kalau kamu benar-benar suka sama saya, saya pinta sama kamu, lupakanlah
saya," ucapan Retno begitu mengagetkan saya.
"Kalau kamu nggak cuma sekadar bilang suka sama saya di mulut kamu, penuhi permintaan saya
itu, Van. Buktikan kalau kamu memang benar-benar suka sama saya...."
"Retno, saya... saya nggak mengerti apa yang kamu bicarakan, No?"
"Berusahalah untuk mengerti walau kamu nggak mengerti, Van," kata Retno, matanya berkacakaca.
"Karena... karena saya hidup nggak akan lama lagi! Saya sakit, Van. Saya nggak dapat
menahan nyeri sakit kanker saya." Airmata Retno mengkristal.
Butiran itu jatuh di pipinya yang halus.
Ada isak yang tertahan. Isak itu terdengar begitu giris menyayat kalbu.
"Retno...." Suara saya bergetar. "Kamu nggak pernah bilang sebelumnya, No!"
Retno merunduk. Gadis di hadapan saya ini tiba-tiba jadi begitu rapuh.
"Saya nggak ingin orang lain tahu selain keluarga saya, Van," kata Retno, setelah diam beberapa
detik. Tangannya sibuk mengusap airmata yang menetes. "Penyakit itu sudah saya rasakan
bertahun-tahun. Sekarang saya memberitahukannya ke kamu. Saya harap kamu mau mengerti
tentang saya. Saya nggak ingin kematian saya meninggalkan beban di hati seseorang. Kalau kamu
benar-benar menyukai saya, lupakan saya, Van. Anggap saya nggak pernah ada."
"Tapi, No... kematian hanya milik Tuhan. Kamu jangan sampai larut dengan penderitaan seperti ini.
Saya... saya menyayangi kamu apa adanya, No."
Retno terdiam. Airmatanya belum berhenti mengalir.
http://cafenovel.com/ 41 Saya jadi ikut larut dalam kesedihannya.
Ada airmata juga, di mata saya.
"Retno...." *** Hening dan sepi sekali hati saya. Saya tak kuat dan tak tahan melihat gadis itu melewati hariharinya
dengan kesedihan dan penderitaan akan penyakitnya. Ingin rasanya saya selalu bersamanya,
melewati hari-harinya yang katanya tidak lama lagi itu"seperti yang ia katakan dua hari yang lalu
saat hari ulangtahunnya. Tapi kecelakaan sepeda motor saat saya pulang dari rumahnya,
menghempaskan saya ke sebuah alam yang begitu jauh dari alam gadis itu.
Retno di alam fana, sedangkan saya sudah di alam nan tak tersentuh.
Ah, maut, memang tidak pernah ada yang menduganya.
Gadis itu menangis. Entah apa yang disedihkannya. Dalam parau suaranya, saya mendengar nama
saya disebut. Meskipun pelan, tapi saya amat jelas mendengarnya. Sudah dua hari ini, dalam
kesendiriannya, nama saya selalu disebut-sebut. Tapi saya tak bisa berbuat apa-apa. Karena alam
saya dengan alam Retno sudah berbeda. "
http://cafenovel.com/ 42 MASIH MILIK KAMU Lia.... Apa kabar" Semoga baik-baik saja, ya. Syukur deh, memang itu yang selalu kuharapkan siang dan
malam. Tak terasa, sudah hampir setahun kita tak bertemu. Aku sangat rindu pada kamu, rindu ingin
bertemu. Tapi, apakah mungkin hari-hari indah yang pernah kita lalui bersama dapat terulang lagi"
Apakah mungkin hari-hari indah seperti dulu dapat tercipta lagi" Apakah mungkin" Menyesal
rasanya aku telah berbuat salah kepada kamu. Aku minta maaf. Aku begitu bodoh, ketika itu,
kenapa aku harus meninggalkan kamu yang sudah kutahu siapa kamu. Kamu adalah gadis sejuta
pesona yang tiada duanya. Dan akhir-akhir ini, aku selalu ingat kamu. Dapatkah kita seperti dulu
lagi, Lia" Mengisi hari-hari yang kita lalui dengan indahnya cinta" Dapatkah"
Sekali lagi kumohon, maafkan aku, Lia. Dan aku percaya, hati kamu yang selembut awan itu
dengan tulus akan memaafkannya. Ssemoga.
Salam, Leo *** Aku lipat surat berwarna biru muda yang baru saja kubaca itu. Dudukku jadi tidak tenang. Angin
malam yang lembut menggeraikan rambutku. Aku menengadah, memandang sinar rembulan yang
sedang bulat-bulatnya bersinar.
Di tengah-tengah bulatnya rembulan, tiba-tiba saja wajah Leo tampak dan memberikan senyuman
kepadaku. Aku mendesah pelan. Sudahlah, Leo, lirihku. Aku tak mau kamu ganggu lagi. Sudah
cukup luka yang kau torehkan di hatiku. Aku tak mau luka itu tergores lagi. Aku ingin melupakan
kamu, Leo. Meskipun secara jujur aku akui, hari-hari indah yang pernah kita lalui bersama dulu
telah menjadi kenangan yang sulit untuk kulupakan. Pergilah, Leo. Aku sudah merelakan cinta
kamu untuk Shinta. Bukankah kamu dulu meninggalkanku demi Shinta" Kenapa sekarang kamu
ingin kembali lagi kepadaku" Tak puaskah kamu menyakiti hatiku" Atau kamu ingin membunuhku
secara perlahan-lahan dengan cintamu"
http://cafenovel.com/ 43 Didustai itu sakit, Leo. Apalagi dustanya cinta. Pernahkan kau melihat lilin yang terbakar" Seperti
itulah hatiku ketika kau tinggal pergi tanpa pesan sepuluh bulan yang lalu. Hancur, hancur benar
hatiku ketika itu, hingga aku tak bisa membedakan mana nikmatnya air susu dan obat serangga.
Akibatnya, aku harus 'indekos' di rumah sakit selama seminggu.
Ah... untung aku dapat tertolong, kalau tidak" Entahlah. Yang jelas, aku sangat mengutuk tindakan
bodohku pada waktu itu. Aku menjadi buta, buta karena cintamu. Karena, kamu adalah cinta
pertamaku, Leo. Dan kata orang, cinta pertama itu sulit untuk dilupakan. Sialnya, itu memang
benar. Dan sepuluh bulan aku harus melupakan kamu, yang terkena panah cinta Shinta si Foto
Model itu, merupakan sebuah perjuangan yang sarat dengan rintangan. Hari-hari indah yang sering
kita lalui bersama selalu mengusik hatiku. Aku pikir, ketika itu aku tak bisa melupakanmu selamalamanya.
Tapi dengan posisiku ketika itu, bahwa aku dan kamu sudah tidak ada apa-apanya,
meskipun kita belum pernah mengucap kata berpisah, membuatku sadar, bahwa kamu adalah lelaki
masa laluku. Aku harus bisa melupakanmu. Sulit memang. Tapi aku mencobanya dengan perlahanlahan.
Dan sekarang, ketika aku sudah mulai dapat melupakanmu, tiba-tiba saja kau hadir kembali.
Hadir kembali dengan sepucuk surat yang kau berikan melalui Dian, teman sekelasku.
Ah, Leo... apa yang kau ingini dariku sekarang ini" Cinta" Kalau kau memang mengingini cintaku
kembali lagi untukmu, kenapa kau dulu mencampakkannya" Kenapa kau dulu malah memilih cinta
Shinta setelah kau dapatkan cinta dariku yang seutuhnya" Kenapa, Leo"
Aku mendesah pelan. Bayangan wajah Leo di atas sana masih tersenyum seperti tadi. Ah... aku
kembali mendesah. Pandangan Leo seperti sedang menjajahku. Dan senyumannya... senyumannya
itulah yang dahulu telah meluluhkan hatiku, hingga aku sampai bertekuk lutut di singgasana
cintanya. Entah mengapa, akhirnya aku menikmati senyumannya itu. Dan kembali mengingat
kenangan indah hari-hari bahagia dulu.
Di taman ini, kalau malam Minggu, aku selalu duduk berdua dengannya. Cerita, bercanda, dan
tertawa. Dan aku masih ingat ketika purnama seperti sekarang ini, Leo membelai rambutku dengan
penuh cinta kasih sambil membisikkan kata-kata:
"Aku mau mengajakmu ke bulan, Lia. Kamu mau?"
"Kemana pun kau ajak aku, Leo, aku pasti ikut," jawabku, sambil bersandar manja di bahunya. Ah,
kenangan itu teramat sulit kulupakan.
Setiap malam minggu kamu menemaniku. Dan hari-hariku pun menjadi indah karena cinta kamu.
Tapi setelah purnama kedua sehabis kau mengatakan ingin mengajakku ke bulan, kamu tidak hadir
menemaniku. Aku begitu sedih. Tak percaya rasanya kamu tega membiarkanku berteman sepi. Aku
begitu kecewa. Apalagi setelah malam Minggu selanjutnya, selanjutnya, dan selanjutnya kamu tak
hadir lagi, aku semakin kecewa. Hancur hatiku! Karena kamu pergi begitu saja tanpa pesan.
Andaikan saja kita satu sekolah, ingin rasanya aku mendatangi kelasmu, lalu akan kukatakan
kepada kamu, bahwa aku begitu kesepian tanpa dirimu. Tapi sekolah kamu berbeda. Kita bertemu
dan bersatu pun, tanpa disengaja.
Kalau bukan karena classmeeting sehabis kenaikan kelas, mungkin kita tak pernah bertemu.
Sekolahmu dan sekolahku mengadakan kompetisi basket, itulah yang mempertemukan kita. Ah,
Leo... kamu telah mendustaiku. Mana janjimu ingin mengajakku ke bulan" Seumpamanya tidak jadi
pun, asalkan kamu menemaniku setiap malam Minggu seperti dulu, aku akan bahagia. Tapi ketika
itu, kamu tidak hadir-hadir lagi di malam Mingguku. Dan lama-lama aku tahu, ternyata kamu
kepincut dengan gadis lain. Shinta. Ya, Shinta, namanya. Dian yang menceritakan semuanya
tentang kamu. Dian tahu tentang kamu dari sahabatnya yang satu sekolah dengan Shinta. Shinta
adalah seorang foto model yang wajahnya sering menghiasi sampul majalah-majalah remaja. Hatiku
semakin hancur. Pantas memang kamu memilih Shinta ketimbang aku. Shinta seorang foto model,
sedangkan aku apa" Tidak ada yang bisa dibanggakan dariku. Tapi Leo, kenapa kita harus bertemu
kalau akhirnya tidak bersatu" Kenapa kamu meninggalkanku kalau pada akhirnya kamu malah
ingin kembali lagi kepadaku" Kenapa, Leo"
http://cafenovel.com/ 44 Aku kembali mendesah. Hembusan angin malam yang dingin, menyelimutiku. Kalau saja bukan


Lagi Lagi Uang Karya Karen Angel di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

malam, ingin rasanya aku duduk berlama-lama dahulu di taman ini. Dengan kegelisahan di hati, aku
tinggalkan bangku taman yang jadi saksi bisu segala cinta Leo dulu kepadaku. Meninggalkan
bayangan wajah Leo yang masih tersenyum di atas sana....
*** Aku kaget, begitu melihat Leo sedang duduk di samping kijang biru tuanya. Ia tersenyum ke
arahku. Aku cepat-cepat membuang muka. Kikuk juga rasanya. Tapi aku berusaha biasa-biasa saja.
Tak enak kalau Dian sampai tahu kekagetanku demi melihat Leo di seberang sana.
"Lia, aku duluan, ya." Rupanya Dian tidak mengetahui di seberang sana ada Leo.
"Iya, deh. Hati-hati di jalan, Dian. Kalau jatuh bangun sendiri, ya!" selorohku.
Dian cuma tersenyum sambil mengajungkan jari tangan kanan yang tengah.
Aku melirik ke arah Leo, dia masih memandangku. Aku jadi gelisah. Mang Rohman, supir
pribadiku yang mengantar dan menjemput aku sekolah belum kelihatan batang hidungnya. Ini tidak
biasa. Kalau saja bukan bubaran sekolah, mungkin aku begitu kikuk berdiri sendiri seperti ini
sambil dipandangi oleh Leo di seberang sana.
Tet-tet-tet! Ah, itu Mang Rohman! Lonjakku kegirangan.
"Aduh, kenapa terlambat sih, Mang?" gerutuku, sambil membuka pintu mobil.
"Wah, jalanan macet, Non. Apalagi ini hari Senin. Tahu sendiri deh bagaimana keadaan jalan kalau
hari Senin sore," ujar Mang Rohman membela diri.
Aku cuma manyun. Ketika mobil berjalan, aku menoleh ke arah Leo. Duh, dia melambaikan tangan. Entah mengapa,
aku tersenyum untuknya. Sesampainya di rumah, hatiku tidak tenang. Pintu kamar aku kunci. Dengan tergesa-gesa, aku buka
laci meja belajarku. Aku keluarkan semua isinnya. Di tumpukan terakhir, aku menemukan barang
yang aku cari. Foto Leo berukuran 5R. Aku pandangi wajah tampan dengan seulas senyum
menawan itu. Ah... aku lempar foto berbingkai indah itu ke atas ranjang. Aku pandangi langit-langit
kamar. Entah mengapa, tiba-tiba saja aku rindu dengan Leo. Lambaian tangannya tadi di sekolah
membayangiku terus. "Lia! Lekas mandi dan makan." Suara Mama membuyarkan lamunanku.
"Sebentar, Ma," sahutku
Aku usap wajahku, lalu bergegas ke kamar mandi.
Malamnya, ketika aku sedang melihat acara musik di tv, Mama memanggilku.
"Ada apa, Ma?" Aku menghampiri Mama.
"Di depan ada Leo." Aku kaget mendengar penjelasan Mama yang tiba-tiba itu. "Mama minta,
kamu temui dia. Mama tahu, luka hatimu karena Leo memang masih membekas. Tapi Leo tadi
meminta dengan sangat, ingin bicara dengan kamu. Jadi saran Mama, temui dia dulu, ya," ujar
Mama. Bijaksana sekali Mama ini, gumamku dalam hati. Mama memang tahu semua apa yang
pernah terjadi antara aku dan Leo.
Dengan senyum, aku turuti saran Mama itu. Dan kalau aku mau jujur pun, aku akan menemui Leo
tanpa mesti dipinta oleh Mama.
Di ruang depan, aku lihat Leo sedang duduk di bangku dekat pintu.
"Hai!" sapanya, ramah sambil tersenyum.
Aku tidak menyahut. Langsung duduk di hadapannya.
"Apa kabar, Lia?"
Aku kembali tidak menyahut. Leo tampaknya gugup sekali. Kurundukkan kepalaku. Kupandangi
lantai karpet yang kupijak. Sedangkan jari-jari tanganku memainkan ujung kaos biru mudaku.
"Lia...." Aku menoleh. Leo memandangku lekat-lekat.
http://cafenovel.com/ 45 "Aku... aku minta maaf."
Aku kembali menunduk. "Aku akui, aku bersalah sama kamu. Maukah kamu memaafkan aku, Lia?"
Aku tak menjawab. Leo akhirnya diam. Hening. "Bagaimana kabar Shinta?" tanyaku memecah kesunyian.
Leo tampaknya tidak enak mendengar pertanyaanku. Ia merunduk.
"Lia... aku minta maaf," katanya. "Aku salah pilih. Aku bersalah pada kamu. Shinta bukan gadis
idamanku. Dia terlalu glamour, penuh hura-hura dan punya cinta di mana-mana. Aku begitu
menyesal. Kenapa aku dulu meninggalkan kamu. Aku...." Leo tidak meneruskan kata-katanya. "Ah,
sudahlah. Aku tidak ingin membicarakan Shinta," kata Leo akhirnya.
"Kenapa" Bukankah enak pacaran sama foto model" Terkenal, dan selalu jadi sorotan media
massa." Leo diam saja. "Lia, aku minta pengertian kamu."
"Pengertian apa" Bukankah sudah cukup kamu menyakitiku. Mendustaiku?" Nada suaraku
meninggi. "Pengertian apa yang kamu maksud?"
Leo tidak menjawab. Hening lagi. "Surat yang kuberikan melalui Dian sudah kamu terima?"
Aku pandang Leo. "Kenapa memangnya?"
"Kalau begitu aku mau permisi saja," Leo berdiri. "Aku cuma mau bilang, dapatkah kita seperti
dulu lagi" Tak ada gadis lain di hatiku selain kamu, Lia."
Aku diam. "Hanya kamu yang ada di hatiku, Lia. Aku jujur."
Aku merunduk. "Aku permisi. Kalau boleh, malam Minggu nanti aku ke sini lagi, ya?"
Aku masih diam. Aku pandangi langkah-langkah Leo keluar. Setelah masuk ke dalam kijang biru tuanya, mobil itu
melaju membawa sepotong hati yang kecewa. Membawa dan menyeret perasaanku yang kacau tak
menentu. Ah, Leo... kalau aku boleh jujur, cintaku masih milik kamu. Tak ada pemudai lain di hatiku selain
kamu. Datanglah di malam Minggu-malam Minggu seperti dulu, Leo.
Karena, cinta ini masih milik kamu. "
http://cafenovel.com/ 46 BIANGLALA Rio, nama anak itu. Kata teman-teman, dia naksir saya. Seminggu ini, saya memperhatikan dia.
Anaknya sih tidak begitu tampan. Tapi gayanya yang cueklah yang menarik perhatian. Saya tidak
habis pikir, kenapa Rio bisa sekolah di sekolah favorit yang ketat ini" Karena kalau ke sekolah, dia
suka semaunya. Baju tidak pernah dimasukkan, pakai topi di lingkungan sekolah, dan kalau bawa
buku cuma satu. Selidik punya selidik, ternyata Rio anak orang berada. Sekolah yang saya sekolahi, separuhnya dana
dari orangtua Rio. Pantas saja, dia bebas semaunya. Tapi seharusnya, Rio tidak boleh begitu. Pihak
sekolah juga sih belum menegurnya. Karena katanya, perbuatan Rio itu masih dalam batas-batas
yang wajar. Tidak merugikan pihak satu dan yang lainnya.
Benar juga, sih. Kalau saya akhirnya juga menyukai Rio, bukan karena dia anak orang kaya. Saya menyukainya
karena kepribadiannya. Rio orangnya sederhana, tidak pernah membanggakan kekayaan orangtuanya. Ke sekolah pun, dia
sering naik motor. Padahal kalau dia mau, di garasinya rumahnya berbaris lima mobil keluaran
terbaru. "Eh, ada Rio, tuh!" Santi menyikut saya, teh botol yang sedang saya pegang menyiprat.
"Apa-apaan sih kamu, San!" Saya memarahi Santi. Sebab cipratan teh botol itu mengotori ujung rok
seragam saya. "Soi deh, Wulan. Enggak sengaja," Santi mesem-mesem kaya lagi sedang makan gula asem. "Ada
Rio, tuh!" "Memangnya mau diapakan?" Saya tidak peduli.
"Duh lagunya, pakai pura-pura segala. Nanti kita-kita serobot baru tahu rasa deh!" cerocos Yuyun
yang mengundang tawa Santi dan Juju.
Wajah saya bersemu merah.
"Halo Nona-Nona manis, sedang ngerumpi, ya?" tahu-tahu Rio sudah berada di dekat kami.
"Kok tahu aja?" Juju ternyata bisa genit.
"Sedang ngerumpiin siapa, sih?" Rio duduk di samping Santi.
"Ngerumpiin kamu," sambar si Santi.
"Saya?" Rio melongo dibuat-buat. Kenapa saya dirumpiin?"
"Habis, kamu enggak berani mengatakan cinta secara terus terang ke Wulan!" kata-kata Santi yang
pelan itu mengagetkan saya yang tadi diam saja.
Juju dan Yuyun terpingkal-pingkal.
Rio jadi salah tingkah. Apalagi saya. http://cafenovel.com/ 47 Tiga cewek brengsek itu masih tertawa. Saya malu sekali. Tapi untung bel tanda masuk
menyelamatkan semuanya. *** Bubaran sekolah, saya tidak keluar cepat-cepat dari dalam kelas. Nunggu sepi dulu. Lagi pula, di
luar gerimis meskipun kecil-kecil.
Setelah saya rasa sepi, barulah saya keluar. Gerimis masih ada. Tapi tak lama kemudian reda. Awan
yang tadinya mengurung berlarian entah kemana. Matahari leluasa menyorot lagi. Biasanya, kalau
siang hari hujan ditimpa panas kembali, di langit suka muncul warna-warna indah melengkung.
Itulah pelangi. Saya berlari kecil ke belakang. Melewati beberapa anak di koridor sekolah. Santi, Juju dan Yuyun
sudah tidak terlihat lagi di lingkungan sekolah. Mereka mungkin sudah pulang.
Di belakang sekolah yang sepi. Saya berdiri sambil memandangi langit. Sebelah timur. Lama, saya
menatapi pelangi itu. Ada perasaan haru, takjub, dan berdebar-debar takkala saya menikmati warna-warni indah itu.
"Sedang apa kamu, Wulan?" Tiba-tiba saya dikagetkan oleh suara seseorang. Dan saya lebih kaget
lagi begitu mengetahui siapa orang itu.
Rio tersenyum "Maafkan saya, kalau saya mengagetkan kamu," katanya.
Saya tersipu. "Sendiri di belakang, sedang apa?"
Saya masih tersipu. "Lihat pelangi," jawab saya pelan.
"Pelangi?" Rio agak kaget. Tapi setelah itu, dia pun memandang langit sebelah timur sana.
"Apa yang kamu lihat di pelangi itu, Wulan" Warna-warni indah, atau putri-putri cantik yang salah
satu dari sang Putri tersebut, dipersunting oleh pemuda kampung yang mengambil selendangnya?"
Rio memandang saya. "Lebih dari itu, Rio." Saya memberanikan diri bicara. "Saya dapat suasana batin yang lain,
ketenangan, keterpesonaan, dan kegembiraan. Semuanya melebur menjadi satu sewaktu saya
melihat pelangi itu."
"Cuma itu?" Rio bertanya, serius nadanya.
Saya menatap Rio sebentar. "Tentang putri-putri cantik itu memang legenda, Rio. Sedangkan saya
memandang pelangi itu, tak lebih cuma agar saya selalu mengingat kepada yang melukiskan warnawarna
indah itu," jelas saya panjang lebar.
Rio termangu. Lalu kembali memandang pelangi itu, saya melihat mata Rio berkaca-kaca.
"Kenapa, Rio?" Saya tanya dalam nada heran.
"Ah," Rio agak salah tingkah, dan segera mengusap butiran bening di matanya. "Saya hanya ingat
Mama," jujurnya, tiba-tiba.
"Ada apa dengan Mamamu?"
Rio tak langsung menjawab. Dia menatap saya dalam-dalam. Saya jadi risih dan kikuk sekali.
"Mama saya sudah tiada, Wulan," getir terdengarnya, suara yang diucapkan Rio itu.
Saya mengigit bibir. Agak kaget juga mendengar penjelasan Rio. Dan saya tidak menyangka sama
sekali, kalau Mamanya Rio sudah tiada.
"Mama saya sudah tenang di alam sana," kata Rio lagi. "Cuma pas melihat pelangi, dan mendengar
penjelasanmu, tiba-tiba saya ingat Mama. Dulu, Mama selalu mengajak saya menari-nari bermain
di lengkungan warna-warni itu. Bayangan itulah yang membuat saya jadi sedih." Rio kembali
mengusap matanya. Saya turut larut dalam iba.
Hai, kenapa jadi sentimentil begini"
"Sudahlah, kita pulang sama-sama, yuk?" Kentara sekali ketegaran yang dibuat-buat oleh Rio.
Saya baru tahu, seorang Rio, yang cuek dan sering dieluk-elukan oleh teman-temannya, ternyata
http://cafenovel.com/ 48 bisa juga rapuh dan menangis, di depan saya.
Dan sejak itu, Rio semakin akrab dengan saya. Meskipun kami kelasnya berlainan, tapi kalau pergi
dan pulang sekolah, kami sering bersama-sama.
*** Akrab dengan saya, Rio jadi banyak berubah. Yang tadinya semaunya kalau ke sekolah, sekarang
tidak. Bajunya pun sekarang sudah terbiasa dimasukkan dan rapi. Entah karena apa, Rio mengubah
semua itu. Padahal saya tidak pernah menasehatinya. Dan pihak sekolah pun, sampai sekarang
belum pernah ada yang menegurnya.
Hari-hari saya menjadi indah bila bersama Rio, seindah pelangi yang pernah kami lihat bersamasama.
Tapi semakin dekatnya saya dengan Rio, saya semakin tidak mengetahui, apakah sebenarnya
Rio mencintai saya" Karena sampai sekarang, Rio belum pernah mengutarakan isi hatinya kepada
saya. Padahal hal itu sangat saya tunggu-tunggu. Tidak mungkin rasanya, untuk saya, wanita
terlebih dahulu mengutarakan isi hatinya.
Memikirkan hal itu, saya jadi pusing sendiri. Tapi akhirnya saya sadar, bahwa kami terlalu muda
untuk mengetahui arti cinta yang sesungguhnya. Cinta bukanlah sekedar kata-kata. Cinta adalah
tunas jiwa, yang tumbuh di dalam hati yang paling dalam. Begitu yang saya tahu lewat buku.
Namun kehidupan di dunia ini saling timbal balik, ada siang, ada malam. Ada sedih, ada senang.
Kalau ada pertemuan sudah pasti ada perpisahan. Saya amat menyesali hal yang ketiga itu. Karena
setelah lulus sekolah ini, Rio akan studi di Australia. Itu kemauan Papanya, memang. Tapi Rio juga
menyetujuinya. "Saya tidak ingin mengecewakan Papa," alasannya suatu ketika. "Saya adalah harapan Papa.
Apalagi, saya merupakan anak satu-satunya."
Ada gerimis, ketika saya mengantar Rio ke bandara. Gerimis serupa airmata saya yang turun
menderas menjelma tirai hujan.
"Selamat tinggal, Wulan...." Rio menatap saya. "Saya pergi akan kembali, nantikanlah saya."
Saya cuma mengangguk, tak mampu mengucapkan kata-kata. Kerongkongan saya memerih. Hati
saya terasa kosong dan melompong.
Gerimis reda, digantikan panas lagi.
Pesawat mengudara. Ada pelangi di langit sebelah timur sana. Saya memandang dengan sejuta rasa. Seberkas bianglala
itu teramat banyak menyimpan kenangan buat saya. Kenangan indah bersama Rio yang kini pergi
jauh dari sisi saya. "
http://cafenovel.com/ 49 CINTA SEMUSIM Seperti hari-hari yang lalu
Setiap langkah selalu meninggalkan jejaknya
Namun kebersamaan kita Aku tak ingin seperti angin
Ada, namun seperti tak nyata
Dia memang seperti angin, membelai sukma dengan berbagai rasa. Selalu saja ada pesan yang
disampaikan sehabis melewati pertemuan. Pesan itu dikirimkannya ke ponselku lima menit setelah
aku sampai di rumah. Pesan yang selalu penuh makna. Seperti orangnya.
Aku mengenalnya pertengahan tahun lau, waktu aku tengah syuting sinetron produksi salah satu PH
untuk tv swasta. Pekerjaan di film memang melelahkan sekaligus mengasyikkan. Satu hari penuh aku diforsir untuk
menyelesaikan adeganku karena sinetron yang aku perankan memang kejar tayang. Begitu istirahat,
aku menepi di bawah pohon sambil mengambil air mineral yang telah disediakan.
Sambil menikmati sejuknya air mineral yang membasuh dahaga, angin turut membelai. Rambutku
yang sedikit panjang dimainkan angin. Sejuk.
Menyendiri sambil istirahat dengan skenario di tangan, dan melihat-lihat beberapa adegan lagi yang
masih tersisa untukku. Namun konsentrasiku sedikit buyar ketika ekor mataku menangkap seorang
pemuda yang tengah asik duduk di ujung jalan dengan kacamata hitamnya.
Rambutnya yang sedikit gondrong menambah ketampanannya.
Dia bukan kru film dan bukan pemain. Aku tahu betul. Karena sudah empat hari syuting berjalan
dan sejak awal pemuda itu tidak terlihat sebelumnya. Tapi kelihatannya ia enjoy saja dengan
lingkungan sekitar. Apa orang iseng yang cuma mau menonton syuting" Ah, aku pikir orang seperti
itu tidak menyia-nyiakan waktunya hanya untuk sekedar menyaksikan syuting. Pasti ada
kepentingannya. Atau kekasih dari salah satu pemain" Tapi siapa" Ah, entahlah.
Kehadiran pemuda itu menyita pikiranku. Aku tertarik pada sosoknya. Keingintahuanku timbul.
Iseng, aku melangkah mendekatinya.
"Hai, sedang apa?" sapaku, sok akrab.
pemuda itu menoleh dan sedikit agak heran. Ia melepaskan kacamata hitamnya dan menoleh ke kiri
kanan, mungkin khawatir sapaanku bukan untuknya.
"Anda sedang apa" Sendirian saja?" sapaku lagi.
Ia tidak langsung menjawab, tapi melempar senyumnya.
"Boleh aku duduk?" Nakalku kumat.
pemuda itu belum juga membuka suaranya.
Aku duduk tidak jauh darinya.
http://cafenovel.com/ 50 "Lagi istirahat?" Suaranya sedikit berat.
Aku menoleh dan mengangguk. Sapaannya tanpa basa-basi.
"Kapan selesai syutingnya?"
Sekarang, giliran aku yang tidak langsung buka suara. Karena sepertinya pemuda itu tidak asing
dengan suasana syuting ini.
"Yah, mungkin besok atau lusa," jawabku.
pemuda itu mengambil ranting dan memainkannya di atas tanah.
Aku memperhatikannya saja.
"Anda di sini sedang apa" Apa tengah menunggu seseorang?" tanyaku menggoda.
"Kenapa memangnya?" Pemuda itu balik bertanya, tak menjawabi pertanyaanku.
"Ah, nggak, cuma tanya," jawabku pendek.
Pemuda itu kembali diam.

Lagi Lagi Uang Karya Karen Angel di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku membolak-balikkan naskah skenario yang aku pegang.
"Memangnya tidak boleh ya, aku di sini?" Pemuda itu menoleh dan matanya menjajahku.
Aku sedikit gugup. Niatku yang ingin mengusilinya jadi salah tingkah. "Ah, nggak. Nggak kok.
Siapa yang bilang nggak boleh?"
Pemuda itu kembali tersenyum.
Ia berdiri. "Aku ke sini cuma main saja," katanya sambil memainkan ranting yang masih di
tangannya. Benar apa kataku. Ternyata ia cuma lelaki iseng yang ingin menonton orang syuting sambil melihat
artisnya. Tapi... apa ia tidak kenal denganku" Sepuluh lebih sinetron yang sudah aku bintangi, masa
pemuda ini tidak tahu aku.
"Mbak Manda sendiri, sedang apa di sini" Apa lagi break?"
Oh, ternyata ia mengenaliku. "Iya, nih," kataku. "Jangan panggil Mbak, dong. Ketuaan lagi. Panggil
saja nama saya." Cowok itu tersenyum. "Selesai syuting ini, sinetron apa lagi yang akan Anda mainkan?"
"Anda orang film?"
Ia menoleh dan tersenyum. "Saya wartawan dan penulis cerita, " jawabnya.
"Oh," aku mengangguk-angguk. "Maaf, nama...."
"Praditya." Pemuda itu mengulurkan tangannya memintas kalimatku yang belum rampung.
Aku menyambut uluran tangan Praditya. Tapi... sepertinya aku tidak asing dengan nama itu.
"Anda.... Anda Praditya Anugrah Senja"!" tanyaku tergagap.
Praditya mengangguk. "Oh, saya sepertinya akrab betul dengan nama Anda. Tapi, di mana saya pernah mendengarkannya,
ya?" "Mungkin di skenario yang Anda pegang," kata Praditya.
"Ah, ya." Aku terlonjak, memperhatikan skenario yang ada di tanganku. Dan jelas betul nama
penulis cerita itu adalah Praditya Anugrah Senja. "Ya, aku baru ingat. Ternyata Anda yang menulis
cerita ini, ya?" Praditya tersenyum sembari mengangguk.
Dari perkenalan itu, akhirnya aku jadi akrab dengannya.
*** Praditya ternyata pemuda yang menyenangkan. Suka humor, dan selalu penuh kejutan. Satu hal
yang amat aku sukai dari dirinya ialah, Pra, demikian kuakrabi namanya, pintar. Wawasannya luas.
Ia selalu dapat membawa setiap pertemuan jadi jauh dengan rasa jenuh. Mungkin karena ia
wartawan, atau juga karena ia seorang pengarang. Selalu ada hal baru yang dapat membuat aku kian
terpesona dengan kepribadiannya. Terutama kalau ia tengah memberikan pandangannya tentang
dunia seni yang aku geluti.
http://cafenovel.com/ 51 "Manda, kalau kamu ingin selangkah lebih maju dari apa yang sudah kamu dapatkan dari
kesibukanmu sebagai pemain sinetron saat ini, kamu juga harus bisa menempatkan diri kamu di
tengah-tengah masyarakat atau pencinta akting-aktingmu," ujar Pra, pada suatu pertemuan yang
kesekian denganku di sebuah rumah makan di bilangan Selatan Jakarta.
"Maksud kamu?" Aku belum mengerti arah pembicaraanya.
"Maksudku, kalau kamu memang sudah sering main sinetron, tapi dari segi popularitas belum juga
terangkat, kamu harus ada kiat sendiri bagaimana mengangkat pamor kamu itu," jelasnya.
"Kasih tahu, dong," rajukku, manja.
"Ya, publikasi. Kamu kan kenal saya, saya bisa mengundang teman-teman wartawan untuk menulis
kamu di media mereka masing-masing. Sebab pertimbangan saya begini, kamu memang sering
main sinetron, tapi sinetron yang kamu perankan tersebut katakanlah berdurasi satu jam. Setelah
sietron itu selesai tayang, kamu pun hilang begitu saja dari penglihatan penggemar kamu. Tapi
kalau kamu ditulis dalam sebuah media seperti majalah, koran atau tabloid misalnya, itu bisa kamu
jadikan dokumentasi, dan media cetak itu sifatnya tidak langsung hilang. Seperti majalah misalnya,
usai dibaca orang, masih ada orang-orang lain yang akan membacaanya. Jadi dengan demikian
membuat kamu semakin dikenal banyak orang, " kata Pra, mengusul.
Aku mendengarkan saja. "Selain itu," lanjutnya. "Lewat berita di media tersebut, kamu juga bisa menyampaikan visi dan
misi kamu dalam menggeluti dunia seni peran. Sehingga penggemar atau pembaca yang membaca
tentang kamu jadi tahu apa alasan kamu mengeluti dunia seni. Apa sekedar iseng, atau memang
sudah menjadi jiwa keseharian, atau ada hal-hal lain yang ingin kamu capai melalui aktivitas kamu
itu." Aku menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya pelan-pelan mendengar penuturan Pra
yang panjang lebar itu. Semua nasehat dan sarannya, memang ada benarnya. Namun jujur saja aku
akui, aku jadi bimbang mendengarkan penjelaskannya itu. Karena aktivitasku di dunia seni peran
ini pun aku tidak dapat mengatakan karena alasan apa. Mencari popularitaskah, nafkahkah, atau
memang tuntutan jiwaku yang menyukai dunia seni peran.
Ah, aku tidak bisa memberikan jawaban itu kepada diriku sendiri, terlebih pada Pra. Lagi pula aku
masih kelas dua SMA. Aku hanya ingin memanfaatkan waktu luangku dengan kegiatan. Kebetulan
aku senang dengan akting, maka seni peranlah jalan untuk penyalurkan bakatku.
Atau dari kegiatanku ini aku mencari popularitas seperti yang Pra katakan" Ah, mungkin juga.
Karena, sudah menjadi sifat manusia bila ingin diperhatikan dan dikenal banyak orang. Tapi... aku
pikir itu pun bukan tujuan utamaku. Apakah arti kepopuleran kalau aku... ah, terus terang saja
memang rutinitasku di dunia seni peran hanya untuk mengisi hari-hari kosongku yang selalu
dihantui oleh penyakit yang sejak kecil sudah aku derita.
Aku mepunyai penyakit turunan dari Mama. Penyakit yang telah merenggut Mama dari keluargaku
itu adalah sesak nafas. Karena penyakit yang aku derita inilah mungkin yang memotivasiku untuk
lebih banyak berkegiatan. Karena kalau aku diam saja, hawa dingin di tubuhku kadang membuat
nafasku jadi sesak. Dengan banyak bergerak dan beraktivitas, otomatis membuat tubuhku hangat.
Dan kehangatan di dalam tubuhku itulah yang membuat hidupku bergairah.
Ya, karena alasan itulah mungkin yang membuat aku menerjuni dunia seni peran ini.
"Manda, kamu melamun," suara Pra mengagetkanku.
"Eh, ng-nggak" Aku tampak gugup.
"Bagaimana dengan saranku tadi, apakah kamu dapat menerimanya?" tanya Pra.
"Apa yang selalu kamu katakan, aku tak pernah bisa menolaknya," jawabku lalu melempar seulas
senyum. "Toh semuanya demi kebaikanku juga. Semuanya masuk nalar."
Pra membalas senyumku. Selalu ada nuansa indah yang aku rasakan setiap kali bertemu dengan Pra. Meski kami jarang
bertemu karena kesibukan kami masing-masing, tetapi setiap kali bertemu selalu memberikan kesan
http://cafenovel.com/ 52 tersendiri di hatiku. Ah, aku tidak pernah berani mengatakan pada diriku kalau aku menyukai
Praditya. Aku memang simpatik padanya. Tapi untuk mencintainya, aku masih memiliki trauma
yang harus aku enyahkan, dan memupuk keyakinan sebenih kalimat bijak yang mengungkap bahwa
tidak semua laki-laki itu bullshit! Jauh, jauh sebelum mengenal Praditya, aku memang selalu
disakiti oleh laki-laki. Namun, Praditya beda! Ia menjanjikan hari baru dan perlahan melamur
semua kenangan pahitku tentang seorang laki-laki penyelingkuh.
Dan untuk saat ini kami memang dekat. Yang jelas, aku merasa senang dan damai bila dekat
dengannya. Sedangkan Praditya sendiri, setiap kali bertemu denganku belum sekali pun
menyinggung masalah hati dan bentuk hubungan kami. Meski dari gerak dan tindakannya yang
kikuk telah menjelaskan bahwa ia memang ada hati, namun aku tidak berani mengartikannya lebih
jauh. Terlebih mengambil kesimpulan sepihak jika ia meencintaiku. Menurutku, cinta dan kasih
sayang jelas beda makna dan beda tempatnya.
Cinta menurutku pula, penuh dengan tuntutan. Apabila tuntutan yang dilandasi oleh cinta tak
kesampaian, akan membuahkan sakit yang teramat sangat di dalam hati yang paling dalam.
Sedangkan kasih sayang, adalah ketulusan yang dapat diberikan kepada siapa saja selagi kita
simpati dan menyukai orang tersebut. Dan bentuk rasa yang aku rasakan terdapat Praditya saat ini
baru hanya sebatas bentuk kasih sayang. Aku masih takut untuk mencintai Praditya. Karena kalau
sudah bicara cinta, akan ada tuntutan dari cinta itu sendiri. Dan kalau tuntutan itu tidak dapat Pra
penuhi, aku takut Pra dan aku saling menyakiti. Sedangkan aku kepingin hari-hariku bersama
Praditya selalu ditaburi bunga-bunga indah. Yang membuat hari-hariku jadi selalu penuh
kebahagiaan. Bisakah semua itu selamanya kudapatkan bersama Praditya"
*** EPILOG Tentang Manda Bulan ini adalah bulan yang bahagia buat Manda, karena pada bulan ini, ada satu hari pada
tujuhbelas tahun silam, ia menangis untuk kali pertama. Tangis pertama yang disambut dengan doa,
tawa dan senyum bahagia. Itulah hari kelahiran Manda.
Oh, sweet seventeen, Manda.
Karena itulah ia ingin merayakannya dengan penuh meriah. Mengundang teman-teman, dan...
Praditya. Manda ingin, di hari ulang tahunnya itu ia diliput oleh wartawan hiburan, baik media cetak maupun
elektronik, dan pada saat itulah, ketika kuli disket itu bertanya, siapa pujaan hatinya, Manda akan
memberikan isyarat kepada Praditya.
"Pra akan memberikan kado apa di hari ulang tahun Manda nanti?" ungkap Manda, suatu ketika
saat bertemu Praditya di petang hari.
"Pra akan mendoakan Manda biar menjadi artis yang sukses," kata Praditya.
"Uh, itu sih basi," rajuk Manda, manja. "Manda kepingin hadiah yang istimewa." Praditya
tersenyum. "Ya, nanti Pra beri hadiah yang istimewa. Dan berita mengejutkan buat Manda!"
"Hadiah apa" Berita mengejutkan apa?" kejar Manda, penasaran.
Pra mengulum senyumnya "Ada deh, lihat saja nanti, dan kamu harus sabar menunggunya," kata
Praditya. Nyatakan Manda tak sabar menunggu hari pesta ulangtahunnya. Ia ingin melihat kejutan apa yang
akan diberikan oleh Praditya, orang yang selama ini selalu mengisi mimpi indahnya.
*** http://cafenovel.com/ 53 Pesta ulang tahun ketujuhbelas Manda itu, meriah. Dirayakan di sebuah hotel berbintang di
bilangan Jakarta. Manda menjadi seperti bidadari, gaun yang dikenakan dan keceriaan paras
wajahnya, membuat para undangan turut bahagia. Tetapi, ada yang membuat Manda gelisah, karena
hingga acara dimulai, Praditya ternyata belum juga datang.
Ketika tiup lilin dan potong kue, Manda bingung untuk memberikannya kepada siapa potongan kue
ulangtahun ketujuhbelasnya itu. Akhirnya, kedua orangtuanya adalah yang diutamakan. Padahal ia
ingin memberikan potongan kue pertama itu kepada Praditya. Tapi, ke mana Praditya, hingga acara
berjalan, ia belum juga kelihatan batang hidungnya.
Wartawan sibuk meliput acara pesta ulangtahun Manda yang begitu meriah. Berbagai pertanyaan
pun dilontarkan. Tetapi Manda tidak semangat menjawabnya. Ia kehilangan arah tanpa Praditya di
sisinya. Menjelang usai acara, Praditya baru datang. Pra langsung mendekati Manda dan
mengucapkan selamat. "Selamat ya, Manda. Kamu sekarang sudah menjadi artis yang dikejar-kejar wartawan," kata
Praditya. "Terima kasih," sambut Manda. "Terus kejutannya mana?"
Praditya melempar senyumnya. Lalu ia melangkah ke depan, menghampiri seorang gadis cantik
dengan rambut panjang yang tergerai. Gadis itu digandengnya mendekati Manda. "Ini kejutannya,
saya membawa seseorang yang selama ini selalu mengisi hari-hari sepi saya di hari ulangtahun
kamu. Namanya, Erna Dewi. Mahasiswa Sastra Inggris semester akhir," kata Pra. "Saya terlambat
ke acara ulangtahun kamu karena menunggu Erna yang datang dari Yogya cuma untuk menghadiri
acara tiup lilin kamu."
"Erna," kata Erna sambil menyodorkan tangannya kepada Manda.
Manda menyambutnya dengan serba salah.
"Pra sudah sering cerita tentang Manda, senang bertemu dengan kamu," kata Erna sambut melepas
senyumnya. Manda balas tersenyum. Senyum yang dipaksakan. Tetapi sejurus kemudian ia kembali tenang.
Meskipun ada sakit yang ia rasakan, tapi sakit karena apa, ia pun tak mengerti. Apakah karena ia
patah hati karena Praditya" Tetapi Pra tidak pernah mengutarakan cintanya kepada Manda.
Pantaskah kalau ia meratapinya"
Ah, Manda memang terlalu banyak berharap cinta Praditya, tetapi Pra ternyata mungkin,
mengganggap Manda hanya seperti adik saja. Dan Manda berusaha untuk menerimanya. Cinta yang
sempat ia rasakan, seperti cinta semusim yang kini hilang dibawa musim lain. Dan itu terjadi di saat
usia Manda tujuhbelas tahun. Manda tidak mau patah hati di usianya yang masih remaja. Jalan
panjang masih terbentang di depannya, meskipun tanpa Praditya, Manda berusaha akan menjadi
orang yang bisa berdiri di kaki sendiri begitu pun saat mendapatkan cintanya nanti.
"Pra, terima kasih atas segalanya," kata Manda.
Pra tersenyum. "Sukses buat kamu," balasnya.
Manda balas tersenyum, puluhan kamera tertuju ke arahnya. Dan Manda malam itu menjadi bintang
di hari ulangtahunnya. "
http://cafenovel.com/ 54 SALAHKAH BILA AKU MERINDU Ombak Pantai Sanur mendebur. Angin semilir melambaikan nyiur. Langit mulai temaram. Nila
menyusuri pantai dengan telanjang kaki. Rambut panjangnya tergerai dimainkan angin nakal.
Ombak yang menerpa langkahnya, menghapus setiap jejak yang ditinggalkan di atas pasir putih.
Gadis itu melangkah di antara gemuruh ombak, desir angin, dan langit yang temaram. Tetapi
langkahnya tak meninggalkan jejak di pasir. Ombak menghapusnya. Dan ombak ibarat harapan,
rindu, cinta dan kasih sayang yang Nila rasakan. Ia tak mengerti, kenapa satu hari ini ia berada di
Pantai Sanur. Padahal pantai inilah yang membuatnya luka, yang membuatnya hampa, dan yang
membuatnya hampir terpuruk dalam kerinduan dan penantian akan seseorang yang tak pernah
berani ia temui saat perjanjian yang sudah ditetapkan.
Ra, nama itu, memang tak terucap dari bibirnya, tetapi bergetar di setiap detak jantungnya. Nama
itu yang sempat menghiasi hari-harinya yang penuh rindu. Rindu yang saat ini masih ia simpan,
meskipun tidak ada kepastian. Karena setahun yang lalu, Ra berjanji akan datang kepada Nila, di
Pantai Sanur ini, mengikat janji yang selama ini hanya terjalin melalui ponsel atau e-mail.
Ah, kenangan.... Nila memandang ke laut lepas. Ombak masih bergulung. Deburnya seperti di dada Nila. Karena
hari ini, tepat satu tahun janji berjumpa di Pantai Sanur dengan kekasih jiwanya, Raga Dewa, yang
entah saat ini ada di mana.
*** Nila Sayang, setelah lulus SMA ini, saya akan ke Bali. Saya memang tak punya siapa-siapa di
Jakarta, tetapi sekarang ada kamu, yang akan menjadi tujuan hidupku. Saya ingin kuliah di
Udayana. Saya mau kuliah seni sesuai dengan kemampuan dan bakat saya. Tetapi yang utama
adalah, saya datangnya ke Bali untuk kamu, agar kita bisa selalu bersama. Nantikan saya di
http://cafenovel.com/ 55 Pantai Sanur seperti yang sering kita katakan. Saya akan datang untuk kamu, untuk kamu
Sayangku.... E-mail itu, masih Nila simpan di folder komputernya. E-mail dari Raga, kekasih jiwanya.
Tetapi, kemana kamu, Ra" Di hari yang kamu janjikan itu, saya memang tak berani menemui
kamu, tetapi saya tetap di pantai ini dari pagi hingga sore hari, bahkan sampai malam menjelang.
Saya ragu sekali untuk memutuskan apakah saya siap bertemu kamu atau tidak. Dan saya memilih
untuk tidak bertemu kamu, dengan harapan, besok atau lusa saya akan mendapatkan suara kamu
lagi, dan bertanya kenapa tak menepati janji. Tetapi nyatanya, sejak saat itu, saya tak temukan lagi
keindahan kata di e-mail ataupun di ponsel. Kamu seperti menghilang ditelan ombak Pantai Sanur
ini. Raga, kamulah yang membuat jiwaku lebih berarti. Kamulah yang membuat hidupku jadi
punya arah. Kamulah yang membuat saya memahami hidup, bahwa ketika kehampaan jiwa ada,
seseorang bisa dijadikan pegangan. Dan itu adalah kamu, Ra, gumam Nila. Ia menahan sesak
nafasnya yang tak pernah berhenti setiap kali ingat Raga.
Tetapi, di mana kamu sekarang kekasihku" Belahan jiwaku" Rinduku" Cintaku" Saya memang
bersalah mengambil keputusan ketika itu untuk tidak menemui kamu, tetapi saya belum lelah
menantimu. Maafkan saya kalau saya bersalah, saya pun tak tahu harus bagaimana dan harus
berbuat apa, karena hingga saat ini, saya tak menemukan lagi jejakmu.
Nila terus melangkah, sekali waktu, gundukan pasir kadang ditendangnya. Butiran putih itu
berhamburan terbawa angin. Namun rindu dan cinta Nila terhadap Ra tidak ingin seperti pasir yang
hilang terbawa angin, atau seperti karang yang perlahan akan hilang terkikis oleh debur ombak
lautan. Raga, saya sudah rela melepaskan apa yang selama ini saya miliki. Untuk kamu, saya rela
meninggalkan apa yang diharapkan oleh orangtua saya. Sehingga pilihan hidup setelah lulus SMA
yang sudah disiapkan oleh orangtua saya, berani saya tinggalkan karena kamu, gumam Nila.
Setiap kalimat tak pernah keluar dari mulutnya. Karena semuanya akan ia katakan ketika akan
bertemu dengan Raga. Pertemuan yang mungkinkah akan terulang" Dan akhirnya, yang ada
hanyalah gumaman dalam hati yang paling dalam, dibalut rindu, cinta dan kasih sayang yang tak
dapat diartikan. Nila adalah gadis Bali yang sering gelisah oleh keadaan. Ia menentang keras ketika dalam
kulturnya, bahwa perempuan harus manut terhadap adat yang ada. Dan ketika duduk di bangku
kelas dua SMA, orangtuanya mengabarkan kepada Nila, kalau sudah lulus sekolah nanti, ia akan
dijodohkan dengan seorang laki-laki Bali yang berkasta.
Nila berontak, bahwa dalam pribadinya, cinta bukanlah paksaan, cinta adalah tunas jiwa yang
tumbuh di dalam hati yang paling dalam. Ia tidak menerima niat orangtuanya untuk
menjodohkannya. Dan konsekuensinya, Nila keluar dari rumah.
Itu tidak baik memang, tetapi pemberontakan Nila bukannya tidak menghormati kedua
orangtuanya. Apalagi kepada sang Bunda, Nila adalah anak pertama dari dua bersaudara yang amat
disayangi. Karena sejak duduk di bangku sekolah dasar, ia selalu menduduki ranking di kelasnya.
Bahkan ia selalu masuk dalam kategori siswa teladan. Ia ingin meraih cita-citanya setinggi bintang.
Karena itulah, ketika kedua orangtuanya mengabarkan bahwa setelah lulus SMA Nila akan
dijodohkan, harapan dan cita-cita itu seakan kandas di tengah jalan.
Dalam kehampaan hatinya, hadirlah Raga, lelaki yang ia kenal lewat sms yang nyasar ke ponselnya.
Aku adalah arah mata angin yang selalu berhembus ke setiap lembah di mana ada rumput hijau,
gunung, sungai dan pelangi. Desirku bagaikan dawai yang selalu mendendangkan tentang cinta
dan kerinduan. http://cafenovel.com/ 56 Nila terhenyak, dan terjaga begitu menerima pesan tersebut yang tak diketahui dari siapa. Tetapi
selanjutnya ada perkenalan. Dari perkenalan itulah akhirnya Nila tahu, ternyata Raga mengirim sms
itu asal saja, tidak pernah tahu akan sampai ke mana. Tetapi katanya, ia punya Tuhan, yang akan
membawa pesan itu kepada seseorang yang akan dapat menentukan arah hidupnya. Ah, pribadi
yang menarik, pikir Nila ketika itu. Dan dari perkenalan lewat ponsel itu, akhirnya pun berlanjut ke


Lagi Lagi Uang Karya Karen Angel di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

e-mail dan rasa. Rasa yang sulit Nila artikan.
Selama itulah hubungan itu terjalin. Setiap kata adalah keindahan, setiap waktu adalah kerinduan,
dan cinta terpupuk dari rentang waktu yang berjalan, serta rindu yang berceceran.
Nila memilih semangat hidup dengan menjadi kekasih jiwanya Raga, meskipun ia belum pernah
bertemu dengan pujaan hatinya. Makanya ia amat senang begitu Raga mengabarkan, ketika lulus
SMA nanti, ia akan kuliah di Udayana, dan akan bertemu Nila di Pantai Sanur ini.
Kekasihku, ketika malam menjelang dalam penantian akan pertemuan kita di Pantai Sanur nanti,
kumpulkanlah rindu yang selama ini kita punya. Lalu kita jadikan semangat hidup untuk berkarya.
Bantu saya untuk meraih cita-cita dan saya akan mendukung kamu menjadi wanita yang mandiri,
maju dan berprestasi. Kita akan menjadi sepasang kekasih yang saling mendukung untuk sebuah
cita-cita. Dan kalau dalam hidup orang ingin meraih bahagia, bahagia itu adalah milik kita, bahagia
itu adalah kita berdua Nantikan saya dengan penuh cinta.
Cintamu, Raga Dewa E-mail itu pun, masih Nila simpan di komputernya.
Ra, di manakah kamu, Sayang" Jangan salahkah kekasihmu ketika harus mengambil keputusan
untuk melupakanmu. Satu tahun adalah waktu yang panjang untukku memendam rindu. Tak adakah
maaf atas keputusan yang pernah salah saya lakukan"
Di mana kamu Ragaku"
Na terus melangkah, tetapi langkahnya bukan menyusuri pantai, karena malam sudah datang. Dan
gelap mulai merangkul setiap sisi pojok Bali.
Kesunyian malam memang membawa kerinduan.
Tetapi Nila tak tahu, rindu untuk apa dan untuk siapa yang kini ia rasakan. Karena Raga ternyata
tak pernah hadir lagi di setiap langkahnya. Ra hanya menjadi kekasih dalam jiwa Nila.
Andai saja waktu boleh kembali, saya akan menemui kamu setahun yang lalu di Pantau Sanur ini
sesuai dengan janji kita, Ra. Tapi waktu memang tak pernah bisa kembali.
Ra, di mana kamu" Pelan, kalimat itu Nila katakan, dan gadis itu mulai pergi meninggalkan debur
ombak Pantai Sanur. Tetapi jejaknya tetap meninggalkan rindu, cinta dan harapan kepada Ra, yang
kini entah berada di mana.
Ra, aku rindu kamu. Salahkah bila aku masih merindu...."
http://cafenovel.com/ 57 KATAKANLAH Bandara Soekarno Hatta Pukul 13.00 WIB Saya duduk gelisah menunggu mendaratnya pesawat dari Australia. Kamu akan pulang jam dua
nanti pada hari ini, begitu yang saya tahu lewat surat kamu dua hari yang lalu.
Jam setengah duabelas saya sudah sampai di sini. Khawatir kamu datangnya lebih cepat dari jadwal
semula. Tapi ternyata itu hanya kekhawatiran saya saja yang sudah tidak sabaran lagi ingin cepatcepat
bertemu dengan kamu. Terpaksalah saya menunggu. Meskipun saya tahu, menunggu adalah
pekerjaan yang sangat menyebalkan, tetapi menunggu datangnya kamu adalah pekerjaan yang
menyenangkan. Mendebarkan. Karena saat menunggu datangnya kamu, ada perasaan lain di hati
saya. Perasaan yang tak dapat saya ungkapkan dengan kata-kata. Ah, saya jadi ingat awalnya kita
bertemu dua tahun lalu. Waktu itu, saya suka latihan menari di Gelanggang Remaja Bulungan. Sedangkan kamu pemain
teater di sana. Saya tahu, kalau saya sedang menari, kamu suka memperhatikan saya. Begitu pun
dengan saya. Kalau kamu sedang latihan teater, saya suka curi-curi pandang ke arah kamu. Lewat
seorang teman dekat, kamu menitipkan salam buat saya. Dan lewat sanalah akhirnya kita
berkenalan. "Pra, Prahara Senja nama saya," begitu kata kamu, mengenalkan nama lengkap kamu waktu kita
berkenalan ketika itu. "Lembayung Sutra," saya pun turut memperkenalkan nama.
Setelah kita saling kenal, kita pun jadi akrab. Kamu kelas tiga SMA ketika itu. Sedangkan saya
duduk di kelas dua. Kita sering bercerita setelah menjadi akrab. Bercerita apa saja. Dari mulai
perang yang tak pernah ada habisnya. Tentang remaja-remaja kota yang terecoki oleh narkoba,
sehingga penyakit ajaib yang belum ditemukan obatnya: AIDS!
Ah, begitu asyiknya kalau sudah bercerita sama kamu. Kamu punya banyak wawasan tentang
berbagai hal. Saya masih ingat, waktu kamu mengajak saya nonton pameran lukisan di Pusat
Kebudayaan Jepang. Saya sempat bertanya kepada kamu, tentang sebuah karya salah satu pelukis
yang dipamerkan. Yang mana lukisan itu hanya terdapat beberapa garis dan lingkaran, tapi diberi
judul 'Hutan'. Kamu menjelaskan, bahwa ada beberapa pelukis yang melukis tidak terfokus pada apa yang dapat
menghidupkan sebuah karya. Meskipun pada dasarnya, untuk melahirkan karya perlu perenungan
http://cafenovel.com/ 58 dan imajinasi. Dan kata kamu, sebuah karya lukis yang berhasil adalah bila mana dilihat orang lain
terasa ada jiwa yang hinggap di sana. Ada kalbu di dalam karya itu. Dan juga dapat menggetarkan
perasaan riang atau duka, serta berhasil merangsang kita untuk menciptakan imajinasi sendiri.
Seni, kata kamu lagi, bukanlah sekadar pil penenang yang bikin kita jadi santai, acuh tak acuh dan
berleha-leha. Seni harus menggelinjang, harus menggelegak dalam mencari upaya diri untuk
menyuguhkan makna serta rahasia kehidupan.
Saya tersenyum mendengar kata-kata kamu. Ada rasa bangga yang tak terkira bersahabat dengan
kamu. Saya benar-benar tak percaya, kalau analis sebuah karya, diucapkan oleh seorang remaja
yang masih duduk di kelas tiga SMA seperti kamu. Kamu begitu hebat, Pra. Begitu hebat di mata
saya. *** Mulai dari situlah saya mulai ada rasa sayang sama kamu. Rasa ingin memiliki kamu seutuhnya.
Memberikan perhatian, rasa cinta, dan segalanya buat kamu. Tapi kamu begitu dingin. Acuh tak
acuh saja dengan segala perhatian saya. Seakan semua yang saya berikan buat kamu adalah hal
yang biasa dalam sebuah pertemanan. Sampai saya berpikir, jangan-jangan kamu sudah memiliki
seorang teman yang istimewa. Tapi sejauh saya kenal kamu, tak ada seorang cewek pun yang
menjadi teman akrab kamu selain saya. Saya benar-benar tidak mengerti dengan kamu. Semakin
saya kenal kamu, semakin saya tak tahu bagaimana kamu yang sebenarnya.
Dulu pun, ketika saya baru kenal kamu, saya pikir kamu anak orang biasa-biasa saja. Kendaraan
kamu cuma sepeda motor trail yang kamu modifikasi sehingga jadi sedemikian rupa. Tapi begitu
saya kamu ajak ke rumah kamu, betapa kagetnya saya. Rumah kamu di Pondok Indah. Besar dan
punya halaman luas. Kendaraan roda empat mewah kamu pun, meskipun itu milik orangtua kamu,
berbaris empat di halaman rumah. Tapi kamu tak sombong karenanya. Kamu tetap bersahaja. Ke
mana-mana tetap sederhana. Ke mana-mana tetap mengendarai sepeda motor kamu itu. Padahal
kalau kamu mau, bisa saja kamu menggunakan salah satu mobil orangtua kamu itu.
Pribadi kamu benar-benar membanggakan, Pra. Saya semakin menyukai kamu. Bukan karena kamu
orang berada rasa suka saya ke kamu semakin besar saja. Bukan, bukan karena itu. Saya rela
dicabut nyawa saya terlebih dahulu kalau saya menyukai kamu karena kamu orang berada. Tidak,
saya tidak sematerialistis seperti itu. Keserdehanaan kamu, kecuekan kamu, dan segala keunikan
pada diri kamu yang menciptakan rasa suka di hati saya buat kamu. Seumpamanya kamu benarbenar
diciptakan untuk saya, saya rela tak diberi apa-apa oleh kamu. Asal kamu tetap bersama saya,
memperhatikan saya, dan mengasihi saya dengan segala kebersahajaan kamu. Sebab seperti yang
kamu katakan kepada saya, bahwa kebahagiaan itu harus diperjuangkan. Bukan dengan cara
mengemis minta belas kasih, rendah diri dan pasrah nasib. Hidup adalah perjuangan.
Prahara Senja, nama kamu akhirnya sering saya sebutkan saat malam datang dan ketika mata saya
akan terpejam. Dengan harapan, semoga dalam tidur saya, saya dapat bertemu dengan kamu.
Bercerita tentang langit biru, kicau burung nan merdu, atau debur ombak di lautan.
Setahun saya kenal kamu, kamu tetap Prahara Senja yang dulu. Cuek, acuh tak acuh, dan tak pernah
menyadari akan perhatian saya yang melebihi perhatian seorang teman ke kamu. Saya benar-benar
serba salah. Haruskah saya yang mengungkapkan terlebih dahulu kalau kamu adalah harapan dan
impian saya" Pantaskah seorang cewek mengutarakan isi hatinya kepada seorang cowok yang
dicintai" Ah, Pra. Betapa nelangsanya hati saya menunggu ucapan kata kasihmu ke saya. Saya
begitu kecewa akan kecuekan dan keacuhtakacuhan kamu. Dan kecewa saya mencapai puncaknya
begitu kamu lulus SMA, dan mengatakan akan melanjutkan studi di Australia.
Tak ada harapan lagi, untuk memiliki kamu. Saya menangis saat kamu tinggalkan. Karena saya
yakin, kamu akan melupakan saya. Dekat saja kamu cuek dan acuh tak acuh kepada saya,
bagaimana kalau kamu jauh. Tapi ternyata semua itu tidak benar adanya. Seminggu setelah
kepergian kamu, saya menerima surat dari kamu. Betapa bahagianya saya ketika itu. Berulanghttp://
cafenovel.com/ 59 ulang, saya baca surat kamu. Dan foto kamu yang kamu kirimkan bersama surat itu, saya jadikan
pelepas rindu jika saya lagi ingat kamu.
Persahabatan kita tetap berjalan meskipun hanya lewat surat. Sebulan bisa dua atau tiga kali kamu
mengirimi saya surat. Begitu pun dengan saya. Dan lewat surat-surat kamu, saya merasa kamu tetap
dekat dengan saya. Hampir setahun sudah, kamu meninggalkan saya. Dan dua hari yang lalu, kamu
mengirimi saya surat yang isinya mengabarkan bahwa kamu akan pulang liburan. Saya begitu
bahagia, apalagi kamu meminta saya untuk menjemput kamu di Bandara Soekarno Hatta.
Prahara Senja, saya benar-benar rindu dengan kamu.
Jam dua kurang beberapa detik. Saya dengar pengumuman dari pengeras suara, bahwa pesawat dari
Australia akan mendarat. Dada saya berdegup kencang. Tak sabar menunggu kamu. Suara pesawat yang mendarat membuat
rindu saya semakin meletup-letup. Saya benar-benar gelisah. Tak bisa saya bayangkan, seperti apa
kamu sekarang ini" Beberapa menit kemudian, saya melihat beberapa orang melangkah dari pintu keluar. Beberapa
turis, dan... kamukah itu, Pra"! Mengenakan kemeja lengan panjang, kacamata hitam, dan tas ransel
tanggung yang kamu serongkan di punggung dengan santai" Kamukah itu, Pra"
Saya beranjak dari tempat duduk. Ingin menyambut kamu dengan kerinduan yang dalam. Tapi baru
beberapa tindak, langkah saya terhenti, demi melihat beberapa orang yang sudah lebih dulu
menyambut kamu. Mungkin itu kerabat atau sanak famili kamu. Tapi... siapakah gadis berambut
panjang dengan oblong hitam yang merangkul kamu dengan begitu mesranya, Pra"! Famili
kamukah" Adik kamu" Atau... ah, saya tidak sanggup membayangkan kalau gadis itu adalah
seseorang yang begitu istimewa buat kamu. Saya jadi tak kuat menyambutmu.
Prahara Senja, katakanlah, kalau pulangnya kamu untuk saya. "
http://cafenovel.com/ 60 CINTA YANG SEMPAT TERBAGI Ucapan salam yang disusul oleh ketukan pintu itu membangunkan Ale dari tidurnya. Ia lalu
melangkah, karena suara itu amat dikenalnya.
Pintu terkuak. Seorang gadis manis dengan bola mata indah berdiri di hadapan Ale.
Ada senyum. "Kata Mbak Ratih, kamu tadi ke rumah?"
Ale mengangguk sambil membalas senyum gadis itu.
"Maaf ya, Le. Ada eskul tadi di sekolah, jadinya pulang agak terlambat."
"Sudahlah. Kamu masuk dulu, No. Ceritanya nanti saja di dalam." Ale melebarkan daun pintu.
Retno melangkah masuk tanpa kata.
"Pulang sekolah, kamu langsung kemari?" tanya Ale, setelah mereka duduk.
Retno mengangguk. Ia menarik napas panjang dan mengeluarkannya pelan-pelan. Tampak lelah,
raut wajahnya. Ale memandang gadisnya itu. Saya sayang kamu, No, gumam hatinya.
Ale tersenyum dan menggeleng pelan.
"Selesai eskul tadi, saya disuruh mengawasi anak kelas satu dan kelas dua yang lagi pada latihan
paskibra. Awalnya sih saya menolak, karena saya ada janji dengan kamu. Tapi, Pak Indra mendesak
saya agar mengawasi sekaligus memberi pengarahan kepada anak-anak tersebut. Beliau bilang,
sayalah yang lebih mengerti tentang paskibra. Ya, sudah. Akhirnya saya nggak bisa menolak."
"Saya mengerti, No," kata Ale. "Saya malah bangga kamu banyak kegiatan. Ke toko buku dan
nonton, itu kan masih banyak waktu."
Retno tersenyum. "Makasih, Le, kamu mau ngertiin saya."
Ale balas tersenyum. Cinta memang butuh pengertian, No! batinnya. Tapi, kenapa kamu harus
berduspa kepada saya" Tadi saya ke sekolah kamu, No. Hendak menjemput kamu. Nggak ada
http://cafenovel.com/ 61 eskul, dan nggak ada latihan paskibra di sana. Kenapa kamu harus berbohong pada saya, No"
Ayolah, cerita kepada saya, ada apa dengan kamu" Karena saya amat mencintai kamu.
"Kapan naik gunung lagi, Le?" Pertanyaan Retno membuyarkan lamunan Ale.
Ale menoleh. "Mungkin liburan semester. Kuliah dan kegiatan amat menyita waktu saya,"
jawabnya. "Nanti saya ikut lagi ya, Le," pinta Retno. "Saya sangat suka dengan suasana pegunungan. Alam
hijau, sungai, dan ternak-ternak tani. Jakarta sumpek ya, Le. Polusinya sangat berbahaya."
Ale tersenyum mendengar kata-kata Retno yang agak puitis itu. Ia jadi teringat kembali awal
pertemuan dengan Retno. Waktu itu, Ale sedang melihat pesta seni pelajar se-DKI Jakarta di Bulungan. Ia yang sebagai
wartawan lepas di sebuah majalah remaja, tertarik dengan seorang gadis yang telah memenangkan
lomba baca puisi. Retno nama gadis itu.
Lewat situlah akhirnya mereka jadi akrab. Ale suka main ke rumah Retno, sementara Retno sering
main ke kosnya Ale. Mereka sering bertemu, sering jalan sama-sma. Akhirnya, timbul rasa suka di
hati mereka masing-masing. Mereka berpacaran.
"Kamu masih menulis cerpen, Le?" tanya Retno.
"Masih." Ale tersenyum.
"Tapi kok sekarang saya jarang lihat. Setiap saya baca tulisan kamu, paling wawancara profil, atau
liputan remaja. Kenapa, Le?"
Ale kembali tersenyum. Ia amat suka dengan pertanyaan Retno itu. "Saya menulis cerpen kalau lagi
ada ide. Kalau lagi suntuk, mumet, atau pusing, saja jarang bisa nulis cerpen," kata Ale.
"Berarti, saat ini kamu lagi suntuk, Le" Suntuk karena apa?"
Ale agak gugup ditanya seperti itu. "Saya rasa, setiap penulis pasti pernah merasakan kesuntukan,
No. Itu biasa. Begitu pun yang terjadi dengan saya," jawabnya, setelah diam beberapa detik.
Retno memandang Ale dalam, seperti minta kebenaran dalam perkataannya.
Ale cuma mengembuskan napasnya. Sebenarnya, saya suntuk karena memikirkan kamu, No.
Sekarang, sepertinya kamu berubah. Kita jarang ketemu lagi. Kamu terlalu banyak alasan untuk
menghindar dari saya. Bahkan tadi, kamu sudah berani berbohong kepada saya. Kenapa ini, No"!
Apakah kamu sudah nggak menyukai saya lagi"! Atau kamu sudah bosan pacaran dengan saya"!
*** Diam-diam, Retno menyalahkan dirinya atas perbuatannya selama ini. Maafkan saya, Le. Akhirakhir
ini, saya sering mendustai kamu. Seharusnya, hal itu nggak pantas saya lakukan. Karena kamu
begitu baik sama saya, kamu begitu mencintai dan menyayangi saya. Dan itu saya rasakan selama
ini. Tapi... pantaskah saya untuk kamu cintai lagi, Le" Saya telah mendustai kamu, batin Retno.
Tadi, sebenarnya Retno pergi dengan Roni. Padahal sebelumnya, ia sudah janjian dengan Ale mau
nonton dan ke toko buku. Tapi pesona Roni telah membuat Retno lebih baik mengingkari janjinya
dengan Ale. Apalagi Roni, sang Ketua OSIS itu begitu banyak dikagumi oleh cewek-cewek di
sekolahnya. Kebanggaan"! Dapat menjadi pacar Roni memang suatu kebanggan. Tapi mendustai cinta tulus Ale,
apakah suatu kebanggaan" Oh, ada sesak di dada Retno.
"No...," suara Ale memecah kebisuan.
Retno menoleh. "Kamu agak kurusan."
"Benarkah?" Mata Retno begitu indah.
Ale mengangguk. "Mama juga bilang begitu. Saya sekarang agak kurusan. Mungkin karena saya terlalu memforsir
diri dengan kegiatan sekolah ya, Le" Entahlah. Saya hanya mengikuti saran kamu, bahwa jadi
remaja tuh harus kreatif. Harus dapat menggunakan waktu luang dengan berkegiatan, jangan hanya
http://cafenovel.com/ 62 berpangku tangan." "Kamu tambah dewasa, No." Ale tersenyum. "Tapi kamu juga harus ingat, harus membatasi
kegiatan kamu itu. Jangan terlalu diforsir. Nanti kamu malah jadi sakit."
Retno tersenyum. "Makasih, Le. Akan saya usahakan," katanya. "O, iya, Le. Sudah sore. Saya
pamit dulu, ya?" Retno bangkit.
Ale melihat jam di dinding ruangan itu. "Oke, deh," balasnya.
"Nonton dan ke toko bukunya nanti saja ya, Le. Kamu nggak marah, kan?"
"Dengan datangnya kamu kemari, itu pun kamu sudah membayar janji kamu, No. Saya bahagia,
karena kamu begitu memperhatikan saya."
Retno tersenyum mendengar kata-kata Ale. Senyum yang menutupi sesak dadanya. Karena ia ke
kosnya Ale juga hanya untuk menutupi kebohongan janjinya kepada Ale.
*** "Retno-nya pergi, Le!" Kata-kata Ratih berkelebat lagi, waktu Ale main ke rumahnya, tadi.
Ale sempat tidak percaya. Karena setiap ia ingin bertemu dengan Retno, dibilangnya selalu tak ada,
pergi. Apakah kebetulan, setiap kali Ale ingin bertemu dengan gadisnya itu, ditanya selalu pergi"
"Suer, saya nggak bohong. Cuma saya nggak tahu, ditanya pergi ke mana," Ratih menyakinkan,
waktu melihat wajah Ale yang tak percaya.
"Serius, Tih?" Ale tersenyum kecut.
Tak menjawab, tapi Ratih mengangguk, pasti.
Ada kecewa, dan tak mengerti, Ale pulang kembali.
"Le...," suara Ratih menghentikan langkah Ale.
Ale menoleh. "Saya lihat, akhir-akhir ini kamu jarang bersama Retno. Kenapa" Marahan, ya?"
Ale tersenyum. "Nggak, Tih. Kebetulan saja, saya banyak kegiatan. Retno juga."
Ratih cuma turut tersenyum, dan kembali memandang Ale yang pergi bersama motor trailnya.
Saya rindu kamu, No. Saya kangen kamu. Adakah di hati kamu merasakan perasaan yang sama
dengan saya" Ale memarkir sepeda motornya di samping swalayan.
Hari Minggu yang cerah itu toko buku Gramedia Blok M begitu ramai. Ale naik eskalator ke lantai
dua. Ia memang ingin mencari buku Pengantar Ilmu Komunikasi.
Ale menuju rak majalah dan koran. Melihat beberapa majalah remaja. Setelah itu, ia mencari buku
yang dicarinya. Tapi tiba-tiba, mata Ale milhat sosok gadis di rak buku, novel-novel remaja. Ada
senyum, begitu Ale mengetahui siapa gadis itu. Ia lalu melangkah mendekati gadis itu.
"Retno," sapa Ale.
Gadis yang disapa menoleh. "Eh, A-Ale...!"
Retno tampaknya gugup begitu mengetahui yang menyapanya ternyata Ale.
"Saya tadi dari rumah mencari kamu. Kata Ratih, kamu pergi. Ya, sudah. Akhirnya saya kembali.
Eh, nggak tahunya bakal ketemu di sini." Ale tersenyum.
Retno semakin gugup, dan agak kikuk.
Ale merasakan itu. "Kenapa, No?" tanyanya, heran.


Lagi Lagi Uang Karya Karen Angel di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Retno berusaha untuk menenangkan dirinya. Ia gelisah karena di sampingnya ada Roni.
"Eh, i-ini. Kenalkan, teman sekolah saya." Retno memaksakan senyumnya.
Roni mengulurkan tangan, dan menyebutkan namanya.
Ale membalasnya. "Kita, pulang, No," ajak Roni. Ada sorot mata tak suka di matanya kepada Ale.
Retno semakin bingung saja mendengar ajakan Roni.
Ale terpaku. Pikirannya langsung sadar dengan kegugupan Retno, sorot mata tak sukanya Roni.
Inikah sebabnya kenapa kamu akhir-akhir ini selalu menghindar dari saya, No" Cowok inikah yang
membuat kamu selalu mendustai saya"
http://cafenovel.com/ 63 "Le...." Retno menjadi sangat serba salah.
"Pulanglah, No. Kamu pergi sama dia, pulangnya pun harus sama dia." Ale berusaha mengerti
sambil memaksakan senyumnya. Meskipun hatinya saat itu terluka.
Dengan rasa tak enak hati, Retno berjalan mengekor langkah Roni. Matanya tak sanggup lagi
menatap atau menoleh ke arah Ale.
*** Pulang sekolah, Retno tampaknya kusut sekali.
"Ada apa, No?" tanya Mama.
Retno memaksakan senyum. "Pusing, Ma. Habis ulangan," urainya sambil masuk kamar.
Di dalam, Retno merebahkan tubuhnya. Kekesalannya yang dibawa dari sekolah langsung
ditumpahkannya. Matanya memerah dan berkaca-kaca. Dadanya jadi sesak.
Kamu hancurkan harapan dan hidup saya, Roni! Retno menangis. Ia kesal dengan Roni.
Di sekolah tadi, waktu Retno ingin ke kantin, ia melihat Roni sedang bersama Elisa, bidadari kelas
dua, adik kelasnya. Roni terlihat begitu akrab dan mesra dengan Elisa. Retno dibakar cemburu
melihat itu semua. Tapi Roni tampaknya malah sengaja. Dia mencubit manja dan tertawa bersama
Elisa sambil bercanda. Pulang sekolah, Retno mempertanyakan tentang itu semua.
"Saya nggak menyukai kamu, No. Kamu membohongi saya. Waktu kamu saya dekati, katanya
kamu mengaku belum punya pacar. Seminggu yang lalu, waktu kita ke toko buku, kita bertemu
dengan seseorang yang tampaknya begitu akrab dengan kamu. Saya tahu, itu pacar kamu. Teganya
kamu mendustai dia. Saya berpikir, bahwa kamu nggak pantas jadi pacar saya, karena kamu amat
pandai berdusta tentang cinta. Asal kamu tahu saja, No. Saya tak mau mengobral cinta saya. Saya
merasa bersalah sekali dengan pacar kamu yang bertemu di toko buku itu, karena seakan merebut
kamu dari sisinya. Sekarang, lupakanlah tentang kita," kata-kata Roni yang panjang itu amat
menyayat di hati Retno. Sampai sekarang pun masih tersisa.
Retno bangkit dari tidurnya. Memandang sebingkai foto yang ada di atas meja belajarnya. Foto
berukuran kartu pos itu adalah foto Ale sewaktu di Rinjani. Retno mengusap permukaan foto itu.
Maafkan saya, Le. Saya baru tahu, bahwa kamu begitu berarti dalam hidup saya. Saya ngaku salah.
Sekarang, saya amat merindukan kamu. Maafkan saya, Le. Retno mengusap butiran bening di
wajahnya. "Retno...! No! Ada Ale," panggilan Mama mengagetkan Retno.
Ale" Dada Retno berdegup kencang. Oh, kamu selalu datang saat saya rindu dan membutuhkan
kamu, Le. Retno cepat-cepat membersihkan airmatanya. Ia keluar.
Di ruang tamu, Retno mendapati Ale tersenyum ke arahnya.
"Apa kabar, No?" sapa Ale.
Retno tersipu. Lalu memandang Ale dengan kerut di dahi. Pakaian yang Ale kenakan tidak seperti
biasanya. "Mau ke mana kamu, Le?" tanyanya dengan gelora di dada.
Ale kembali tersenyum. "Bukankah kamu pernah bilang, kalau saya naik gunung lagi, kamu akan
ikut" Tadi pagi anak-anak pencinta alam di kampus saya ngajakin naik Gunung Salak di Bogor.
Kamu mau ikut, No" Sekarang hari Sabtu. Naik Gunung Salak paling cuma satu hari. Hari Minggu
sore kita sudah pulang. Tapi sebelumnya, kita ke perkampungan setempat dulu, karena anak-anak
ada rencana bakti sosial di sana. Kalau kamu mau ikut, bawalah beberapa potong pakaian kamu
yang agak lama, kemungkinan bisa dibagi-bagikan di sana. Pakaian kamu itu bisa berguna," jelas
Ale. Retno tersenyum lebar. Kegembiraan di wajahnya tidak dapat ia sembunyikan. "Saya akan ikut, Le.
Saya akan minta izin sama Mama. Mama pasti mengizinkan, karena ini juga masalah bakti sosial.
Sebentar ya, Le. Saya salin dulu," kata Retno bersemangat.
Ale memandang Retno yang masuk ke kamar dengan sejuta kebahagiaan, karena ia melihat Retno
begitu ceria, tidak seperti sebulan yang lalu, yang kalau bertemu Ale tampaknya kikuk dan diam
http://cafenovel.com/ 64 selalu. Apakah keceriaan kamu adalah kembalinya kamu untuk saya, No" Ale bertanya dalam
hatinya. Beberapa saat kemudian, setelah Retno salin, mengepak ransel dan pamit kepada Mama, mereka
pergi dengan motor trail Ale.
"Kita taruh motor dulu, No. Teman-teman menunggu di kampus." Ale melajukan sepeda motornya.
"Naik kereta, dong?" Retno mengencangkan pegangannya di perut Ale.
"He-eh." Ale mengangguk, lalu tersenyum.
Motor terus melaju. "Le, maafkan saya, ya" Saya telah...."
"Sudahlah," potong Ale. "Dengan maunya kamu ikut saya pun suatu bukti, bahwa kamu memang
tetap milik saya. Setiap orang pasti pernah berbuat salah, No. Saya telah memaafkan kekhilafan
kamu. Asal jangan berbuat salah kedua kalinya saja. Karena kamu pun tahu, saya amat mencintai
kamu," kata Ale. Retno menggigit bibirnya. Ale begitu bijaksana, pikirnya. Ia amat menyesal, kenapa sempat
membagi cintanya kepada cowok lain. Apa yang kurang pada Ale" Mandiri, berprestasi, sederhana,
dan... ah, semua yang ada pada diri Ale adalah tipe cowok yang Retno suka, meskipun Ale tidak
begitu tampan. Toh ketampanan belum tentu menjanjikan kebahagiaan. Sebab yang Retno tahu
lewat baca, kebahagiaan itu ada karena diciptakan. Dan Retno ingin menciptakan segala
kebahagiaannya bersama Ale.
Mulai sekarang. " http://cafenovel.com/ 65 BIODATA PENULIS Putra Gara, lahir di Jakarta 2 Februari 1976. Pria berkacamata minus ini getol menulis puisi, juga menulis
cerpen. Karyanya sudah banyak dipublikasikan di berbagai media cetak daerah dan ibukota. Aktif menulis sejak di bangku SMP.
Ketika duduk di bangku SMA dan bangku kuliah, ia sudah menjadi wartawan di majalah-majalah remaja dan koran mingguan
ibukota. Pernah menerbitkan beberapa novel remaja. Sekarang, mendirikan GR. Production, yang bergerak dibidang recording,
cinema dan publishing. Ia pernah menjabat sebagai redaktur pelaksana di majalah Planet Pop (1999-2000).
http://cafenovel.com/ 66 30 Years, It's Just Too Early " Sara Nindya "Diperkirakan 30 tahun dari sekarang, bumi dikhawatirkan akan mengalami kehancuran."
Begitulah kutipan kalimat dalam sebuah artikel suratkabar yang dibaca Kania. Ditutupnya koran
yang ia pegang kemudian ia mengkalkulasikan umurnya saat ini dengan perkiraan waktu bumi akan
hancur. "Berarti waktu aku umur 47 tahun dong! Haaaaaaaaahhh"!" jerit Kania histeris, membuat Bunda
yang melintas di depannya terkejut melihat putrinya menjerit heboh.
"Ada apa, Ka?" tanya Bunda bingung.
Kania teringat langkah pencegahan global warming dari artikel yang baru dibacanya. "Mulai besok
aku mau ke sekolah naik sepeda aja, Bun," kata Kania.
"Kan sepedanya dibawa Mas Bima ke Bandung," timpal Bunda.
"Bukan sepeda motor, Bun. Tapi sepeda pancal yang udah lama nggak pernah dipake itu," terang
Kania. "Hah?" Bunda terkejut dengan penjelasan Kania yang terdengar agak nyeleneh itu. "Sekolahmu kan
lumayan jauh, Ka. Apa nanti kamu nggak terlambat datangnya?" tanya Bunda, masih tidak mengerti
maksud di balik rencana putrinya itu.
"Aku kan bisa berangkat lebih pagi, sekalian olahraga, Bun. Lagipula, aku pernah baca di koran,
Pemkot aja udah mencanangkan Bike to Work. Kenapa aku nggak Bike to School" Demi
kelangsungan bumi kita tercinta, Bunda." Kania mengakhiri perkataannya sambil tersenyum, Bunda
pun dibuat amazed akan jawaban Kania. Beliau kagum putrinya concern juga masalah kondisi bumi
yang semakin gawat ini. *** Esoknya di sekolah. Kania sudah menjadi pusat perhatian sejak ia mulai mengayuh sepedanya melewati pintu gerbang
sekolahnya, bahkan satpam penjaga gerbang saja sampai tercengang.
http://cafenovel.com/ 67 "Kania?" sebuah suara menyapa Kania yang sedang mengunci sepeda pancalnya di tempat parkir
motor. "Hai, Lintang," sapa Kania, degup jantungnya mendadak semakin cepat. Diam-diam ia naksir sang
Ketua Kelas di hadapannya ini.
"Kamu naik sepeda ke sekolah?" tanya Lintang sambil melirik sepeda yang masih tampak mulus di
samping Kania. Kania mengangguk. "Aku nggak mau mati muda soalnya," jawab Kania sambil berlalu,
meninggalkan Lintang yang masih belum menangkap maksud jawaban Kania.
Lintang pun mengejar Kania yang melenggang masuk ke dalam sekolah. "Maksud kamu" Kamu
nggak sedang mengidap penyakit parah, kan?" tanya Lintang setengah khawatir.
"Nggak kok, Lintang. Ini cuma supaya bumi kita nggak cepat hancur, aku baca di koran prediksinya
30 tahun dari sekarang. Masih banyak yang mau aku lakukan, masih pengen keliling dunia. Duh,
pokoknya mati umur 47 masih terlalu muda!" Kania berseru histeris.
Lintang pun dibuat terdiam akan jawaban Kania yang polos itu. Selama ini ia tidak pernah notice
hal-hal tentang global warming meski media juga tengah gencar menyiarkan. Tapi, penjelesan
sederhana dari cewek yang selama ini ia kagumi ini ternyata mampu menyadarkannya tentang
seberapa gawat keadaan bumi sekarang.
30 tahun" Gue juga masih pengen hidup di umur 47, batin Lintang.
"Ka, kamu kan Ketua Osis. Kenapa nggak bikin program aja buat menyelamatkan bumi" Kalau
nggak salah kan Pemkot bikin Bike to Work, kita bikin aja Bike to School." Lintang mengusulkan.
Gosh, Lintang. Kenapa kita bisa berpikiran sama sih" batin Kania.
"Boleh. I've been thinking about that actually. Makasih ya usulnya," kata Kania sambil tersenyum
manis. Membuat jantung Lintang berdebar kencang saat melihatnya.
"Ka, aku denger kamu naik sepeda ke sekolah," todong Bonie, salah satu sahabat Kania.
Bel istirahat berdering, para siswa SMA Perwira Nasional berhamburan menuju kantin sekolah
yang mungil tapi punya tempat makan favorit siswa yang nyaman karena outdoor di area taman.
Tidak terkecuali Kania dan ketiga sahabatnya.
"Iya, emang kenapa?" tanya Kania sambil menyeruput es jeruk nipis kesukaannya kala matahari
sedang terik-teriknya seperti sekarang.
"Apa kata anak-anak entar, Ka. Masa Ketua Osis naik sepeda" Emang bokap udah nggak mau
nganter lagi?" tanya Prita yang selalu mementingkan image di depan orang lain.
"Kalo gue sih cuek aja, Ka. Bodo amat apa kata orang! Di Jakarta, orang yang nekat kayak elo
jarang banget. Terusin aja, Ka. Besok gue juga naik sepeda deh ke sekolah." Berbeda dengan
pendapat kedua temannya yang lain, Hera yang asli Jakarta malah mendukung Kania.
Kania pun menceritakan tentang artikel yang dibacanya kemarin. "Kalian nggak harus ngikutin
caraku kok, kalian boleh ke sekolah naik apa aja sesuka kalian. Tapi usahain jangan bikin polusi
semakin meningkat," lanjut Kania.
"Oh gitu ya, Ka. Kemarin aku juga baca artikel kayak gitu juga sih. Ngeri emang ngebayangin kalo
bumi kita hancur dalam waktu dekat," sahut Bonie.
"Berarti kita mati muda dong"! NO...!" seru Prita heboh. "Aku kan masih pengen jadi bintang film
di Hollywood. Kalo 30 tahun lagi bumi udah hancur, aku nggak bisa ke Hollywood dong!"
"Ya udah, besok lu berangkat ke sekolah naik bemo aja, Prit," kata Hera asal, membuahkan tawa
yang mendengarnya. Naik angkutan umum adalah hal yang paling nggak mungkin Prita lakukan.
Pikiran-pikiran parno mengenai bemo pun langsung menyergapnya. Prita pun memandang Kania,
minta pertolongan. "Kalo nggak mau naik bemo ya naik sepeda aja, Prit," usul Kania yang malah membuahkan tawa
yang semakin keras dari teman-temannya. Membayangkan Prita mengayuh sepeda bakal sama
seperti membayangkan betapa lucunya seorang putri manja yang naik sepeda pancal ke sekolah.
"Atau kamu bisa bareng sama aku ke sekolah, Prit. Emang sih mobilku nggak senyaman Mercedezhttp://
cafenovel.com/ 68 mu. Apalagi aku barengan sama dua adikku yang masih SD, tapi masih ada tempat kosong kalau
kamu mau nebeng. Gimana?" Bonie memberi usul yang kali ini masih agak masuk akal.
"Iya, Prit. Rumah kalian kan sekomplek, barengan aja kan lebih efisien," timpal Kania.
Prita pun mengiyakan. "Ini semua demi mimpiku ke Hollywood," kata Prita menerawang. Kania,
Bonie dan Hera pun tertawa terbahak melihat tingkah temannya ini.
*** Esok paginya di sekolah. Ketika sedang antri untuk memarkirkan sepedanya, Kania dibarengi seorang cowok yang juga naik
sepeda pancal ke sekolah. Saat menoleh ke samping, ternyata cowok itu adalah Lintang.
"Lintang" Kamu...." tanya Kania takjub, tak menyangka Lintang yang tampak berwibawa ini akan
mengikuti jejaknya. "Aku juga nggak mau mati muda. Still have lots of things to do," jawab Lintang sembari tersenyum.
Kania dan Lintang pun memarkirkan sepedanya bersebelahan, hal itu tanpa mereka sadari menarik
perhatian Hera yang tengah melintas usai memarkirkan sepedanya tepat di depan mereka.
"Duh, romatis bener! Sepedanya sampe diparkir sebelahan gitu," goda Hera sambil melenggang
pergi. Kania pun jadi blushing mendengarnya, ia lihat Lintang juga tampak bingung menyembunyikan
wajahnya yang merona. 30 years is just too early for God's sake! "
http://cafenovel.com/ 69 Love for Mother Earth " Sara Nindya Sudah seminggu ini SMA Perwira Nasional mengadakan aksi hijau di lingkungan sekolah. Banyak
juga yang mendukung, namun yang tampak cuek dan ogah-ogahan juga tidak kalah jumlahnya.
"Kurang kerjaan." Iitulah pendapat yang keluar dari mulut Wira, ia termasuk ke kelompok yang
terkesan tidak peduli dengan aksi go green di sekolahnya.
Ketika jam istirahat dimulai, Litha memilih berkeliling mengingatkan teman-temannya untuk
membuang bungkus makanan mereka ke tempat sampah yang sudah disediakan. Ia bahkan
menjelaskan untuk membuang sampah ke tong sesuai jenis sampahnya.
Wira sedang asyik mengunyah kripik kentangnya ketika melihat Litha sibuk wira-wiri
mengingatkan orang-orang.
"Kenapa sih dia" Sok peduli banget!" cibir Wira di hadapan teman-teman segengnya.
"Tau tuh! Katanya, dia yang ngusulin aksi hijau di sekolah kita," sahut Nando, teman Wira yang
juga apatis akan aksi cinta bumi di SMA Perwira Nasional ini.
"Oh ya?" tanya Wira sambil memandang sosok di seberangnya dengan sinis.
"Gue denger dia jomblo lho, Wir. Aneh ya" Padahal Litha cantik banget, kan?" sahut Nando, yang
kedengaran nggak nyambung.
"Maksud lo apa nih, Nan?" tanya Wira kesal. Ia merasa tersindir, karena sudah hampir lulus SMA
masih belum juga mendapatkan seseorang yang spesial di hatinya. Seseorang yang nggak cuma
cantik fisiknya tapi juga cantik hatinya. Padahal dia sudah dikenal sebagai cowok yang paling
banyak fansnya, sayangnya dari fans yang berjibun itu dia belum juga menemukan yang dicarinya.
Cewek-cewek yang mengejarnya kebanyakan hanya tertarik dengan harta dan tampilan fisiknya
saja. Ia ingin seseorang yang tidak melihat itu semua dari dirinya, ia ingin seseorang yang bisa
membuatnya lebih baik. Wira nggak pernah mengutarakan kriteria cewek idamannya ini ke siapapun, termasuk Nando
sahabatnya sejak kelas satu. Somehow, ia merasa sulit mendapatkan cewek dengan kriteria itu
dengan reputasinya sekarang"tukang bikin onar, sering skip pelajaran, hobi nongkrong di kantin,
http://cafenovel.com/ 70 dan selalu skeptis terhadap semua kegiatan sekolah. Sehingga ia memutuskan untuk menyimpan
impiannya itu rapat-rapat, entah kapan harus dibuka. Mungkin bila sudah menemukan yang tepat.
Tanpa terasa bel masuk berbunyi. Wira dan teman-temannya memutuskan untuk kembali ke kelas.
"Yuk ah, balik. Pelajarannya Pak Rahmat nih. Gue nggak mau kena skorsing lagi," ajak Wira pada
Nando sambil meninggalkan bungkusan bekas kripik kentang dan kaleng Cola-nya di atas meja
kantin. Ketika berbalik, ada yang menepuk bahunya dari belakang. Refleks ia berbalik kembali dan
menemukan sosok yang membuat mood-nya nggak enak akhir-akhir ini.
"Kalo udah selesai makan dan minum, bungkus plastik sama kalengnya tolong dibuang ke tong
sampah ya," ujar Litha ramah sembari menyodorkan bungkus kripik kentang dan kaleng Cola yang
tadi ditinggalkan begitu saja oleh Wira.
Merasa disulut amarahnya, Wira mengambil bungkus plastik dan kaleng di tangan Litha dengan
kasar lalu membuangnya ke tong sampah di dekat kantin.
"Puas?" kata Wira jutek sambil menatap Litha penuh amarah. Berikutnya ia pergi menyusul temanteman
segengnya yang sudah lebih dulu masuk ke kelas.
Litha memiringkan kepalanya tidak mengerti. She's wondering, apa yang sudah diperbuatnya
sampai membuat Wira sedemikian marah kepadanya. Seingatnya, Wira memang terkenal sebagai
tukang pembuat onar meski anehnya teman-teman ceweknya banyak yang ngefans gara-gara
tampang Wira yang good looking. Namun, dia dan Wira tidak pernah bermasalah sebelumnya.
Sang mentari perlahan beranjak ke sisi lain bumi, membuat pemandangan menjadi bersemu jingga
dan meninggalkan kesan hangat. Usai main squash bersama ayahnya, Wira yang sedang menikmati
segarnya jus jeruk dingin dari kulkas menyambar majalah Bunda yang tergeletak di ruang tengah,
majalah yang memuat tentang pola hidup sehat, penyakit populer, info-info kesehatan sampai
kondisi bumi saat ini. Entah kenapa Wira tertarik untuk membaca sebuah artikel mengenai Global
Warming. Judul artikel itu "Bumi sedang Koma", Wira penasaran mengenai isinya. Menurutnya,
mana ada benda mati yang bisa mengalami koma. Jadi ia memutuskan untuk mencari tahu sendiri
apa yang dimaksud penulis dengan mencantumkan judul yang tidak rasional menurutnya itu.
*** Sementara itu, sore-sore begini sudah menjadi hobi Litha untuk menyirami tanaman-tanaman
kesayangannya di belakang rumahnya. Kebetulan ibunya juga hobi merawat tanaman, terutama
bunga Anggrek. Sehingga terkadang Litha pun berkebun berdua bersama ibunya, seperti sore hari
ini. Sambil menyirami pot-pot euphorbia, Litha bercerita tentang kejadian di sekolah hari ini. Mengenai
temannya yang diperingatkan untuk membuang sampah malah marah-marah dan membuatnya
sedikit ketakutan karena tatapan matanya yang tajam.
"Apa kamu yakin nggak pernah membuat temen kamu itu marah sebelumnya?" tanya Ibu sambil


Lagi Lagi Uang Karya Karen Angel di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyemprot air ke koleksi Anggreknya yang digantung-gantung di bawah net khusus green house.
"Duh, Ibu. Aku selalu berusaha menghindari konflik dari dia. Dia itu terkenal bad boy di sekolah,
Ibu kan tahu aku paling benci bikin masalah. Sebisa mungkin aku menghidari masalah," terang
Litha. "Iya, Ibu ngerti. Tapi usul kamu tentang program go green itu, apa semua setuju" Kamu yakin tidak
ada yang merasa kontra dengan usul kamu itu, Lit" Biasanya, setelah sebuah pendapat muncul, pro
dan kontra pasti akan mengikuti berikutnya."
Litha pun seperti tersadarkan, selama ini ia mengira usulnya untuk mencanangkan program go
green di sekolah bakal mulus-mulus saja. Apalagi ia mendapat persetujuan langsung dari Kepala
Sekolah, tanpa mengajukan proposal lewat OSIS terlebih dahulu. Ia menganggap, ini kan program
untuk kebaikan, bukan program hura-hura yang cuma menghabiskan duit, pasti banyak yang
mendukungnya. Ibu seolah baru saja menunjukkan bahwa beberapa pihak, sekecil apapun
http://cafenovel.com/ 71 jumlahnya, pasti ada yang kontra.
"Tapi... Wira kan paling cuek sama kegiatan sekolah," gumam Litha sambil menerawang.
"Namanya Wira" Cowok ya, Lit?" tanya Ibu dengan raut excited. Litha mengangguk menjawab
pertanyaan ibu. "Mungkin dia naksir kamu, Lit. Cowok kan suka usil kalo lagi naksir cewek," goda Ibu yang
langsung membuat pipi Litha bersemu kemerahan.
*** Esoknya di sekolah, Sang Ketua OSIS, Fahri, tengah sibuk menata pot tanaman yang kini
menghiasi teras depan ruang OSIS. Litha yang sedang melintas pun tertarik untuk menikmati
pemandangan baru di sekolahnya ini.
"Wah, pemandangan di sini jadi segar nih!" ujar Litha sambil membantu memindahkan pot-pot
kecil berisi bunga. "Iya, saya juga meletakkannya hampir di teras semua ruangan. Masih baru sebagian sih, sisanya
datang nanti siang. Kamu mau membantu?" Fahri membetulkan letak kacamatanya yang agak
melorot usai membungkuk menata pot-pot tadi.
"Ya, tentu saja!" ujar Litha bersemangat. Ini kesempatan bisa memandang sang Ketua OSIS dari
dekat, diam-diam dia naksir teman sekelasnya ini.
Wira yang baru saja datang, melintas di depan ruang OSIS, di mana Fahri dan Litha sibuk
membawa pot-pot tanaman ke depan ruang guru yang ada di sebelah ruang OSIS.
Tak sengaja lengan Wira menyenggol bahu Litha sampai pot bunga yang ada di tangannya terjatuh
dan pecah. "Oops... sori." Spontan Wira minta maaf.
Begitu mendapati Wira yang berdiri di sebelahnya, raut wajahnya langsung berubah menjadi keras.
"Mau kamu sebenarnya apa sih" Saya tau kamu nggak mendukung aksi go green di sekolah ini, tapi
nggak perlu bikin kacau dong!" semprot Litha.
Wira bingung harus menjawab apa, karena ia benar-benar tidak sengaja melakukannya. "Gue nggak
sengaja tau! Lo jangan asal tuduh ya!" seru Wira akhirnya dan menghambur pergi meninggalkan
Litha yang masih kesal akan perbuatannya barusan.
"Udah ngejatuhin, nggak bantuin pula!" Litha ngomel-ngomel sambil membersihkan pecahan pot.
"Sudah, nggak apa-apa, Litha,." kata Fahri sembari membantu Litha.
"Maaf ya, Fahri," balas Litha dengan nada tidak enak hati.
Fahri tersenyum memaklumi.
"Saya dengar pot-pot ini dananya dari kamu pribadi ya?" tanya Litha ketika pot yang pecah selesai
dibersihkan. Fahri agak terkejut mendengar pertanyaan Litha.
"Kamu dengar dari mana, Lit?" tanya Fahri tanpa menatap lawan bicaranya. Ia pura-pura merapikan
pot di samping kakinya. "Ya... dari anak-anak. Tapi emang bener ya?" Litha menatap Fahri intense.
Fahri tidak langsung menjawab, ia memutuskan untuk meletakkan pot terakhirnya dulu. "Cuma
sedikit rasa terima kasih kepada bumi kok, Lit. Nggak ada apa-apanya dibandingkan kamu yang
udah berani mempelopori aksi go green ini. Kamu hebat banget!"
Pipi Litha bersemu merah dipuji begitu. Dalam hati ia membatin, Fahri nggak cuma cakep, pintar
dan populer, ia juga berhati emas. Kalo dibandingin sama Wira sih, bagaikan bumi dan langit. Yah
meskipun sama-sama cakep dan populer, tapi Fahri jelas punya nilai plus.
*** Hari ini akan diadakan Green Day, dimana semua warga sekolah diwajibkan untuk ikut kerja bakti
membersihkan sekolah dan menanam beberapa pohon di halaman sekolah yang sebelumnya
http://cafenovel.com/ 72 gersang. Litha tampak lebih bersemangat hari ini, mata bulatnya berbinar-binar indah, memancarkan
kecantikannya. Ia tampak sibuk menanam tanaman hias di pot besar di teras depan kelasnya
bersama beberapa teman sekelasnya.
"Litha," tiba-tiba ada yang memanggilnya.
"Ya?" ujar Litha sembari berdiri dari posisi jongkoknya. Ketika melihat sosok yang berdiri di
depannya, her face's turning into a frown. Ia mengira yang memanggilnya tadi adalah Fahri. Namun
nyatanya yang ada di hadapannya saat ini adalah orang yang paling tidak ingin ia temui saat ini.
"Gue emang nggak bisa beli pot-pot tanaman buat menghias sekolah kayak Fahri," ujar Wira
dengan raut serius. Litha yang tadinya pengen langsung nyemprot, berpikir dua kali untuk benar-benar melakukannya.
"Tapi gue punya ini buat elo, Lit. Maafin gue ya?" Wira menyodorkan sebuah pot bunga kepada
Litha. "Ini sebagai ganti pot yang udah gue pecahin kemarin."
Litha menerima pot bunga itu ragu, ia masih tidak percaya Wira berubah 180 derajat begini.
"Well, thanks." kata Litha sambil tersenyum, menimbulkan gejolak aneh di perut lawan bicaranya.
"Tapi ini bukan buat saya, ini buat bumi. Kamu cinta bumi kan?" tanya Litha di luar dugaan. Wira
sempat nggak ngeh dengan maksud perkataan Litha, namun kemudian ia tersenyum penuh arti.
"Iya, gue cinta bumi," kata Wira akhirnya, di mana ada elo di dalamnya.
Tiba-tiba Litha menarik tangan Wira untuk mengikutinya mengambil pot-pot berukuran agak besar
di suatu sudut di depan kelasnya. Ia minta Wira membantunya mengangkat pot-pot itu bersamanya,
karena ia tak kuat mengangkatnya sendirian. Wira pun menyanggupi permintaan Litha.
Somehow Wira merasa inilah saatnya membuka kembali impiannya yang sudah ia pendam rapatrapat
itu. I think I found her, batin Wira. "
http://cafenovel.com/ 73 Sara Nindya | Berdomisili di Surabaya, Jawa Timur, penulis yang terbilang sangat
belia ini telah mampu menghasilkan karya monumental bertema 'Go Green'. Dua karyanya, 30 Years, It's Just Too Early dan Love
for Mother Earth mampu mewakili suara dunia dalam masalah krisis pemanasan global atau Global Warming. Tema yang
diusungnya sangat berkarakter, hidup, dan penuh permenungan yang dirangkai dalam alur sederhana dan natural remaja. Penulis
berparas ayu yang kerap memakai nama Sara Rocks ini memiliki hobi membaca novel sedari kecil. Dan selayaknya remaja putri
lainnya, ia gemar mendengarkan musik, JJS, menonton film, dan browsing internet serta aktif sebagai salah satu member
Friendster.com. Ia kini tercatat sebagai salah satu anggota CafeNovel Sastra Populer di Friendster.com.
http://cafenovel.com/ 74 Irama Seruling Menggemparkan Rimba Persilatan 14 Dua Menara The Two Towers The Lord Of The Rings Buku Dua Karya J.r Tolkien Kisah Si Bangau Putih 14
^