Rahasia Pohon Rahasia 1
Kukila Rahasia Pohon Rahasia Karya M. Aan Mansyur Bagian 1
Kukila (Rahasia Pohon Rahasia) SETELAH berkali-kali membaca dan menulis ulang,
Kukila akhirnya mengirim surat itu kepada anak sulungnya di Mabela. Ditulisnya dalam waktu lama surat itu.
Memilih dan memilah kata tepat membutuhkan waktu
bertahun-tahun. Ada keraguan yang tidak mampu Kukila gambarkan
ketika amplop surat itu jatuh ke dalam bus surat. Ia seperti ingin memotong tangannya karena telah melakukan kesalahan besar yang tidak bisa ia maafkan. Namun
surat itu sudah berada di kotak berwarna senja yang
terlalu menyedihkan. Ia harus pulang menyulam kembali
sepinya di rumah, seperti kemarin, seperti dua hari lalu,
seperti bulan lalu, tahun-tahun lalu"seperti besok, dan
seterusnya. Kukila tidak pernah tahu menyesal. Ia memahami
betul perempuan ditakdirkan menjaga tungku sepi agar
tetap menyala. Takdir, katanya, seperti rahim di tubuhnya yang tabah.
Di jalan menuju rumah, Kukila mengingat-ingat lagi
semua kalimat yang ia tuliskan di suratnya. Apakah
masih ada kalimat yang seharusnya dihapus dari sana"
Apakah masih tersisa kata-kata yang tajam seperti mata
pisau yang pernah melukai tangannya" Ia takut melukai
hati anak-anaknya. ?"" NAK, dua hal aku benci dalam hidup: September dan
pohon mangga. September yang kemarau dan pohon
mangga di depan rumah. Entah sudah berapa September berlalu, aku sendiri.
Sepi. Rusdi tidak mau menemaniku mempertahankan
rumah tangga. Kami pisah. Pohon mangga harus ditebang. Pohon mangga pernikahan. Aku dan Rusdi menanamnya di halaman, sehari setelah pindah ke rumah
ini"rumah yang dibeli dengan peluh kami sendiri. Dua
anak perempuan dan seorang lelaki lahir dari rahimku
di rumah ini. Kalian. Pohon mangga itu telah memberi kami banyak buah,
tidak terhitung angka-angka. Dikupas, dirujak, dan dimakan bersama seperti biasa di beranda. Meskipun
masih kecil, tentu kalian ingat peristiwa itu. Aku menangis waktu pohon mangga itu ditebang Rusdi. Aku
tahu, Rusdi juga menangis dengan bahasanya sendiri.
Namun, pohon mangga harus ditebang sebagai akhir
cerita, sebuah akhir pernikahan. Kami telah sepakat.
Tidak boleh ada yang egois di antara kami membiarkan
pohon itu tetap tumbuh. Aku tidak ingin pohon itu ditebang dan"aku tahu"Rusdi juga. Namun, tidak boleh
ada kata sepakat untuk tidak menebangnya. Pohon itu
tumbang oleh parang yang tidak terlalu tajam, parang
yang jarang kena asah. Kami sesungguhnya diaduk
perasaan ragu. Tetapi semua kisah memiliki penutup.
Waktu itu September, kalian berlari ke kamar sambil
memeluk tangis masing-masing. Rusdi harus pergi dari
rumah ini, hari itu"tidak untuk kembali lagi. Ia pergi
ke kota lain, bukan ke kantor mencari hidup aku dan
kalian. Aku mengantarnya sampai di bibir beranda"
tempat biasa kita duduk makan rujak mangga. Ia membawa tas berisi baju dan celana yang aku hafal betul
warna-warnanya. Kalian tetap di kamar, menangis. Perceraian selalu diberi hadiah air mata, kado kesedihan.
Selalu begitu adanya. Maafkan kami. Maafkan aku.
Sebelum Rusdi pergi, mata lembap kami bersalaman
diam-diam. "Tidak perlu berusaha melupakan pohon mangga itu.
Kau harus tahu lupa adalah lahan subur kenangankenangan. Biarkan ia mengalir seumpama sungai. Saat9
nya akan tiba, kau akan betul-betul lupa, Kukila," katanya.
Rusdi memindahkan tatapannya ke pohon mangga
yang batangnya tinggal selutut, lalu pergi tanpa menoleh
lagi. Aku melihat tubuhnya pelan-pelan mengecil. Sepasang mataku mencium punggungnya hingga ia hilang
ditelan tikungan jalan"dan kesedihanku tumbuh bertambah besar.
Aku berbalik dan masuk. Aku membiarkan pintu terbuka sebagai jawaban. Pintu terbuka itu berkata: Rusdi,
aku sepakat dengan kalimat-kalimatmu. Sangat sepakat.
Aku tidak perlu bersikeras melupakan pohon mangga
itu. Parang telah menumbangkannya.
Dengan ujung lengan daster, aku hapus sisa-sisa air
mata. "Ya, betul. Aku tidak perlu berupaya lupa," aku
berbisik kepada telinga sendiri.
Di depan kamarmu, Rora, aku berdiri persis sebatang
lilin leleh oleh api. Tanganku kaku di jarak sejengkal
sebelum sampai di daun pintu. Pintu kamarmu rapat
terkunci, serupa ribuan "tidak" diteriakkan dengan
benci paling sempurna. Aku masih berdiri di situ saat
tiba-tiba dua lagi pintu dibanting berturut-turut, mengagetkan aku. Setiap prak! adalah tambahan ribuan
"tidak" bagiku. Tanganku jatuh bagai daun-daun kering
pohon mangga. Aku sedih kalian membanting pintu tan10
pa mengerti perasaanku, tetapi aku tak bisa marah pada
kalian. Aku bisa memahami perasaan kalian.
Dalam duduk, aku panjatkan doa-doa. Doa-doa saja,
tanpa air mata. Doa-doa panjang. Aku tidak mampu
menemukan pilihan kata yang baik dan kalimat pendek.
Sebenarnya aku ingin berkata: Tuhan, kokohkan aku,
kokohkan Rora dan adik-adiknya. Lalu berkali-kali kata
"amin" aku letakkan di ujung doa. Rusdi barangkali
berada di kursi sebuah bus waktu itu, kendaraan yang
membawanya menjauh ke entah. Jauh meninggalkan
aku, kalian, dan beranda. Ia pergi dari rumah dan melupakan pohon mangga di halaman yang telah ia tebang.
?"" NAK, dua hal aku benci dalam hidup: September dan
pohon mangga. September tiba selalu dengan kemarau
tajam. Di halaman, bunga-bunga butuh disiram. Pohon
mangga, batangnya tetap selutut. Aku pernah melihat
ada tunas kecil tumbuh di situ, lalu kering dan mati.
Pohon itu butuh bulan hujan, bukan September. Setiap
sore, di beranda, aku duduk melihat taman sekarat,
sementara kenangan tumbuh subur di mana-mana.
Tentang rujak mangga. Tentang Rusdi dan tawa kalian.
Juga tentang rahasia-rahasia.
Rumah sepi serupa surau tua sejak Rusdi pergi. Tawa
kalian kuduga ikut terlipat di koper-koper Rusdi dan
terbawa ke kota lain. Kalian memilih membeli rumah baru, sendiri-sendiri:
jalanan, warung, dan entah di mana lagi. Setelah lelah
di luar rumah, pagi hari kalian kembali beberapa jenak
menitip pejam pada bantal, lalu pergi lagi pada sore
hari. Pagi tanpa sapa selamat pagi. Siang hari aku
sendiri di meja makan. Malam aku sepi sempurna. Aku
sungguh berumah dalam sepi.
Aku ingin mati di bulan September yang kemarau
seperti bunga-bunga di halaman. Tetapi mati tidak bisa
dipesan lalu seseorang mengantarnya serupa pesanan
dari restoran cepat saji yang iklannya ada di televisi.
Aku ingin ditebang serupa pohon mangga. Dibakar di
tempat sampah dan abuku menyuburkan rerumputan
liar di halaman. Tetapi mati yang kuinginkan separuhnya dibawa Rusdi pergi, selebihnya dibagi-bagi di antara
kalian. Aku tubuh semata. Percuma. Tubuh kosong
tanpa apa-apa lagi di dalamnya, kecuali perasaan-perasaan yang berubah kalimat-kalimat ini. Aku telah
mati, rupanya. Aku telah mati jauh malam sebelum semua doa-doaku tiba di alamat Tuhan.
Kenangan terus tumbuh serupa hutan belantara. Di
dapur. Di kamar mandi. Di beranda. Di halaman. Di
tempat tidur. Di dinding. Di langit-langit. Di tangga.
Bahkan pernah suatu sore selepas mandi, aku menemu12
kan kenangan tumbuh di kepalaku"warnanya mirip
warna abu kretek Rusdi. Aku pernah bermimpi kalian bermain petak umpet di
hutan itu. Namun, kalian sudah terlalu besar untuk
permainan petak umpet. Kalian memilih bermain di
udara yang lebih lapang, bukan di hutan kenangan.
Bukan main petak umpet. Kalian punya rumah masingmasing.
?"" NAK, dua hal aku benci dalam hidup: September dan
pohon mangga. September tidak pernah mau beranjak
dari rumah. Betah. Ia sibuk meletakkan neraka di seluruh penjuru. Di ruang tamu. Di ranjang. Di meja makan. Bahkan di dada. Batang pohon mangga tetap selutut persis prasasti batu. Ia berdiri mengekalkan
dosa-dosa"dan dosa adalah pemimpin yang baik bagi
penyesalan-penyesalan. Aku ingin September pergi dari rumah, menyusul dan
memanggil Rusdi kembali. Aku ingin ia mencabut pohon mangga selutut itu agar bisa melupakan seluruh
kenangan. Tetapi tanganku terlalu lemah untuk mencabut akar pohon mangga yang tertanam kuat itu. Aku
ingin Rusdi membantu aku mencabutnya. Setelah itu,
biarlah Rusdi pergi ke mana ia suka, setidaknya aku
sudah bisa tidur kembali.
Aku tidak punya tidur yang bisa dihitung bahkan
dengan sebelah jemari kiriku sendiri. Pohon-pohon
melilit tubuhku setiap rebah di tempat tidur.
Berapa harga sebuah Januari" Aku ingin memiliki
Januari yang basah. Bulan yang menghapus gerah-gerah.
Tapi Januari atau September bukan cincin yang dipajang
di etalase toko, yang bisa kita beli kalau uang cukup
dan kita jual atau kita tukar bila tidak suka. September
adalah utusan Tuhan untuk menemani manusia yang
memanggul dosa-dosa di pundaknya, seperti aku, ibu
kalian. September tinggal bagai di rumah sendiri. Aku tamu
saja. Menumpang istirahat. Aku tidak bisa menolak kemauan tuan rumah. Di ruang tamu, beranda, dan di
kamar tidur aku hanya bisa menangis diam-diam. Padahal, aku pikir air mata telah kemarau seperti September.
Ternyata di mataku ada mata air yang tidak memiliki
usia, yang tidak mengenal mati. Mata air itu menyediakan minum buat hutan-hutan. Pohon-pohon kenangan.
Belantara kenangan itu. Aku sering mengenakan daster yang aku pakai pada
hari saat Rusdi pergi dari rumah. Ujung lengannya pintar menyerap air mata. Sekarang, aku tidak lagi bisa
mengenakannya. Di sana, di lengannya, tumbuh hutan
subur. Di depan cermin setiap hari aku temukan hutanhutan baru tumbuh di tubuhku. Terakhir, aku lihat hu14
tan tumbuh di sepasang kelopak mataku. Akar-akarnya
kekar menghunjam. Tanganku tidak kuat mencabutnya.
Semakin aku menangis, semakin hijaulah hutan-hutan
itu. Dan kalian, aku tidak tahu di mana beradanya.
?"" KALIAN, anak-anakku, semakin susah ditemukan di rumah. Malam itu, apakah kalian ingat" Aku menunggu
di beranda. Aku harus bisa bicara kepada kalian. Besoknya, aku tahu September sudah berangkat digantikan
Oktober. Oktober biasanya datang membawa butir-butir
hujan yang sedih. Seperti bulir-bulir air mata. Hujan sedikit, hujan sakit. Hujan yang tidak pernah sungguhsungguh menghapus dosa-dosa dan debu, apalagi kenangan.
Satu per satu kalian tiba tanpa seucap selamat malam. Aku tahu perasaan yang menumpuk di tubuh kalian semua. Aku tahu kalian tidak ingin punya orangtua
yang berpisah. Namun sebelum kalian lupa siapa nama
ibu kalian, aku harus mengatakan satu hal. Aku mengajak kalian ke meja makan. Dulu, di meja itu kita sekeluarga sering tertawa bersama. Malam itu aku tidak
menemukan satu gema tawa lagi di sana, paling bisik
sekalipun. Di meja itu pula Rusdi memutuskan cerai,
membuat air mata derai. Tidak ada apa-apa di meja makan selain diam. Itu
lebih kejam daripada bantingan pintu. Kalian diam dan
tidak senang dengan suasana semacam itu. Tanpa dikomando, satu per satu kalian meninggalkan aku sendiri
di meja makan"seperti biasa. Kalian bahkan tidak
memberi sedikit waktu untuk aku bicara. Tetapi, sekali
lagi, itu bukan salah kalian.
Andai saja kalian tinggal beberapa menit lagi menemaniku malam itu. Aku akan membuka percakapan
dengan sebuah kalimat yang sudah aku persiapkan, namun susah aku katakan.
"Maaf, aku menunda istirahat kalian. Aku mau bicara. Setelah itu, kalian boleh pergi mencari mimpi paling indah kalian masing-masing."
Waktu itu aku akan bicara seolah aku bukan ibu kalian, harus meletakkan kata "maaf" di awal kalimat.
Setelah itu aku tahu kalian akan mengangkat mata
kalian dan menaruhnya di wajahku, seperti mengempaskan tubuh dan beban berat pikiran kalian di tempat tidur.
Lalu aku akan mulai menjelaskannya.
"Kalian barangkali ingin Ayah kembali ke rumah."
Sengaja aku tegas pada kata "barangkali", sebab aku
tidak lagi tahu apa yang ada di pikiran kalian.
"Jujur, aku juga?"
Setelah itu mungkin aku akan berhenti sesaat. Mungkin Rora atau kalian semua menahan kata-kata di bibir
dengan cibir. Lalu salah satu di antara kalian mungkin
mengucap sebaris sindir yang nyinyir.
"Mengapa Ibu dan Ayah berpisah dan mengorbankan
kami?" Pertanyaan itu aku tahu tersimpan di kepala kalian
sejak hari kepergian Rusdi dari rumah.
"Nak, aku yang salah. Maafkan aku."
Setelah kalimat itu, mungkin aku akan berhenti sekali
lagi, menata napas beberapa menit. Aku akan menangis.
Kalian juga mungkin akan menangis"mungkin juga
malah tertawa. "Ia pergi karena aku. Ia tidak tahan lagi. Rusdi itu
mandul. Kalian adalah anak-anak orang lain, bukan
anak Rusdi." Mungkin suasana akan menjadi hening seperti bumi
sebelum berisi apa pun. Aku akan kesulitan menghirup
kekuatan dari udara sehening itu.
"Awalnya Rusdi sepakat aku tidur dengan lelaki itu.
Tetapi aku mau punya satu anak lagi, seorang anak lelaki. Suatu pagi, ia menemukan aku melakukannya lagi
dengan orang itu. Ia sudah tidak kuat lagi menahan semua yang ada di dadanya."
Semua kalimat itu, jika kalian ada waktu itu, akan
bercampur dengan air mataku. Mungkin seperti sayur
yang terlalu asin. "Ya, Rusdi bukan ayah kalian. Kalian semua adalah?"
Aku pasti akan susah menyebut nama lelaki itu,
nama ayah kalian. Aku akan menghirup kekuatan lagi,
berkali-kali, sebelum bisa menyebutnya. Air mataku
akan semakin deras mengalir. Mata memang hadir seperti sungai, hadir untuk mengalirkan air.
?"anak Pilang."
Mungkin setelah mengetahui semua ini, kalian akan
bertambah marah padaku. Tetapi aku tidak mau lelah
terus mengucapkan berkali-kali: maafkan ibumu ini.
Mungkin kalian akan mengunci rapat, serapat-rapatnya,
pintu kamar kalian masing-masing.
?"" ANDAI saja kalian pernah mendengar sebuah kisah yang
turun-temurun didongengkan kakek-kakek kita tentang
sebatang pohon tua, kalian pasti akan bertambah kaget.
Kakekku mendapatkan kisah itu dari ayahnya, lalu ia
menceritakannya kepada anaknya hingga sampai ke
telingaku. Anehnya, tidak ada yang tahu siapa yang memulai kisah itu sesungguhnya. Dan hingga kini, aku
belum pernah berani menceritakannya kepada kalian.
Karena kalian akan tahu bahwa aku adalah Kukila dan
ayah kalian adalah Pilang.
Aku tidak pernah membayangkan mengapa bisa terjadi begitu banyak perihal yang tidak mampu diterima
akalku di bawah lengkung langit ini. Salah satunya
adalah bahwa kalian anak sepasang manusia yang
namanya sama persis dengan tokoh dari sebuah dongeng.
Namaku, jika kalian belum tahu, menurut kakekmu
diambil dari kisah itu. Syukurnya, ia tidak pernah tahu
bahwa nama ayah kalian sebenarnya juga sama dengan
nama salah satu tokoh kisah itu. Sebagai anak tunggal,
Kukila Rahasia Pohon Rahasia Karya M. Aan Mansyur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
aku selalu tidur bersama kakek kalian hingga beberapa
bulan sebelum aku menikah dengan Rusdi. Justru beberapa saat sebelum aku menikah kakekmu menceritakan dongeng itu kepadaku. Nenek kalian meninggal saat
aku baru berusia satu tahun. Itu pun aku tahu dari cerita kakek kalian. Aku bahkan tidak pernah melihat
wajah ibuku. Tidak ada fotonya yang bisa aku lihat.
Tidak banyak hal diceritakan kakek kalian tentang
nenek kalian padaku, kecuali bahwa ia seorang penari
dan penyanyi bersuara cantik yang punya kenangan
buruk dengan sejumlah tentara. Konon, waktu kecil aku
juga pernah menyebut penari sebagai cita-citaku.
Meskipun ayahku, kakek kalian, selalu mengatakan
ceritanya sungguh-sungguh terjadi, aku tidak pernah
sepenuhnya percaya. Aku selalu merasa semua itu hanya
dongeng ciptaannya sendiri demi membuat kisah hidupnya terdengar menarik. Atau justru kisah itu terinspirasi
oleh namaku, untuk membuatku senang. Untuk membahagiakan aku.
Satu-satunya hal yang aku percayai kini adalah se19
bagian kisah itu sungguh-sungguh telah terjadi dalam
kehidupanku, dan kehidupan kalian. Seperti sebuah ramalan yang telak.
Tentu tidak banyak hal lagi yang bisa aku katakan.
Kecuali bahwa Macawe, kota kecil tempat lahir kalian
ini, sudah bertumbuh semakin dewasa, orang-orang menyebutnya begitu. Tetapi aku punya pendapat lain. Kota
ini tumbuh ke arah lebih mengerikan. Gunung-gunung
yang memagarinya, gunung-gunung yang hijaunya dulu
menyegarkan biji-biji mata, telah berubah lain. Kini,
bagiku, gunung-gunung itu tinggal onggokan tanah raksasa menunggu tumpah ke atas atap-atap rumah, termasuk rumah kita ini. Jika kalian punya waktu, sejenak
saja, kembalilah dan lihatlah semua itu. Siapa tahu kalian
punya komentar sendiri. Anak-anakku semua, awalnya aku takut mengatakan
satu hal ini. Namun, apa pun yang kalian rasakan setelahnya, aku akan tetap mengatakan bahwa aku selalu
merindukan kalian semua. Aurora, Nawa, dan engkau
satu-satunya anak lelakiku, Janu, aku merindukan kalian. Aku merindukan kalian seperti sungai kering di
musim kemarau merindukan air mengaliri tubuhnya.
Seperti akar-akar pohon merindukan hujan. Begitulah
seorang ibu merindukan anak-anaknya.
Jika kalian punya sayap, terbanglah ke sini. Dan, kalian tahu, aku tidak berhenti percaya kalian masing-masing memiliki sepasang sayap. Tuhan pernah me20
nanamnya di punggung kalian masing-masing jauh hari
sebelum kalian mengenal kata "terbang". Ibumu ini,
yang celaka, merindukan kalian tiada kepalang.
BANYAK tahun telah memisahkan hari itu dan hari-hari
saat mereka masih sepasang kekasih. Sebuah reuni yang
tidak terlalu ramai mempertemukan Pilang dan Kukila
kembali sebagai dua orang yang hampir asing satu sama
lain. "Aku dengar kau mau menikah."
Di sela-sela suara musik dan lagu lama dari speaker
yang diletakkan di sudut-sudut ruangan, Pilang memulai
perbincangan. Kalimat itu terdengar kaku seperti otototot seorang atlet yang lama tidak bergerak.
"Kau tahu dari mana?"
"Menurutmu?" Lagu lama yang dinyanyikan dengan cara baru oleh
suara seorang perempuan yang tidak mereka kenal terus
membisingkan ruangan. Kebisingan lagu itu di kemudian hari akan menumbuhkan biji-biji kenangan. Ada
sejumlah hal lama yang jika disentuh dengan cara baru
akan menjadi puisi, sesuatu yang asing dan akrab sekaligus. Kukila tidak menemukan jawaban. Ia kembali bertanya.
"Dari mana?" "Dari ayahnya Rusdi."
"Apa?" "Dari Tumbra. Kita bicara di luar saja. Di sini terlalu
bising." Pilang mendekatkan bibirnya ke kuping Kukila. Ia
tidak ingin Kukila bertanya lagi. Tanpa kata "ya",
Kukila berdiri dan melangkah ke luar. Pilang juga berdiri dan berjalan mengikuti Kukila. Mereka merusak
konsentrasi beberapa orang yang harus mengubah posisi
kaki sejenak agar mereka bisa lewat.
Mereka menemukan sofa di lobi hotel tempat reuni
berlangsung"salah satu dari sedikit hotel di Macawe.
Sofa berwarna cokelat dengan meja kaca bertaplak cokelat sedang kosong tanpa siapa-siapa sedang bercakap
di sana. Tempat yang pas untuk menemukan kembali
diri mereka masing-masing yang telah asing.
"Aku mengenal calon suamimu."
Pilang menatap mata Kukila entah mencari apa di
sana. Sepasang mata yang ditatap itu sedang menatap
sesuatu jauh di depannya, sesuatu yang mungkin tidak
ada. Seperti segala sesuatu di hadapannya sebening kaca
jendela. Jauh sekali mata itu dilempar ke seberang dinding hotel.
"Rusdi itu sahabatku sejak SMP. Kami seperti saudara sendiri."
Kukila tetap diam dan melempar matanya entah ke
mana. Pilang tidak tahu cara mengembalikan sepasang
mata Kukila ke matanya. Ada sesuatu yang ingin Pilang
cari dari sepasang mata bening kelereng-masa-kecil itu.
"Ia lelaki baik. Amat baik. Kau tidak perlu mengkhawatirkannya."
"Tetapi aku khawatir. Seharusnya kau tahu, aku tidak pernah dekat dengan satu lelaki pun sejak kita berpisah."
Akhirnya Kukila kembali dari pengembaraannya
membawa kalimat yang tidak ubahnya semangkuk sup
tertumpah tidak sengaja. Kukila kaget"mengapa ia mengatakannya. Pilang tahu Kukila telah melakukan kesalahan yang indah dengan menyebut kalimat itu. Pilang
menyembunyikan senyum yang seharusnya kembang sebagai timpalan perasaannya yang lagi senang. Ia tidak
mau Kukila menutup kembali jendela kenangan yang
sudah separuh kuak itu. Pilang ingin seluruh jendela dan
bahkan pintu terbuka agar ia bisa masuk ke sana mengunjungi lagi masa lampau.
Masa lalu tidak pernah hilang. Ia ada tetapi tidak
tahu jalan pulang, untuk itu ia menitipkan surat"kadang kepada sesuatu yang tidak kita duga. Kita menyebutnya kenangan.
"Aku tahu. Aku juga tidak pernah dekat dengan perempuan mana pun. Tetapi Rusdi lelaki yang tidak perlu
kauragukan." "Bagaimanapun pernikahan kami akan berlangsung.
Aku tidak tahu bagaimana cara menolaknya."
"Selamat, dan semoga kalian berbahagia. Aku cemburu sebenarnya?" Kukila tiba-tiba berbalik ke arah
Pilang. Ia menangkap sesuatu yang lain dari kalimat
yang baru saja ia dengar. Sesuatu yang datang dari masa
lalu. Sesuatu yang segar, meskipun tidak seharusnya lagi
seperti itu. Hanya udara yang berputar-putar di lobi hotel yang
mengerti apa yang ada di dada dua orang itu, selain masing-masing pemiliknya.
Kukila berbisik, "Cinta monyet kita dulu itu tidak
lagi bisa kita sesali."
"Ya. Mungkin hanya pantas untuk kita kenang. Anggap saja lelucon. Tetapi?"
"Tetapi apa?" "Sudahlah! Apa kesibukanmu sekarang?"
"Kau tidak ingin tahu?"
Mereka berdiri nyaris serempak, lalu berjalan menuju
ruang reuni tanpa bicara apa-apa lagi. Kepala mereka
dipenuhi perihal yang barangkali Tuhan pun tidak tahu.
Langkah-langkah mereka saja yang bicara. Mereka berdua memilih tidak lagi bersapaan. Langkah-langkah
mereka seperti hitungan yang sedang mengira-ngira sesuatu, entah apa.
Mereka memilih diam"justru karena mereka barangkali akan saling memahami dengan cara itu.
SEHARI sebelum pesta pernikahannya, Kukila menerima
kado dari Pilang: buku bersampul hijau daun dan sepucuk amplop berisi catatan.
Pilang tidak pernah lupa Kukila tergila-gila pada
warna hijau, seperti ia menggilai lagu-lagu lama. Warna
hijau yang mendominasi barang-barang itu telah menyejukkan Kukila. Matanya, dadanya, dan ingatannya. Semuanya persis pohon-pohon menemukan hujan yang
telah lama mereka rindudoakan. Seperti debu-debu
beterbangan yang akhirnya menyatu dengan tanah yang
dirindukannya karena hujan.
?"" AKU tidak bisa datang. Besok aku harus melakukan sesuatu yang penting"mungkin juga tidak penting tetapi
menjadi penting karena aku tidak mau melihat kalian di
pelaminan. Sekembalinya dari reuni ada yang mengatakan kepadaku sesungguhnya aku tidak rela melihatmu
menjadi milik orang lain. Ia datang dari dalam, tempat
yang bahkan cahaya matahari tidak pernah mampu
menjangkaunya, tempat kau selalu ada. Aneh dan tidak
bisa diabaikan. Tetapi, baiklah, aku juga ingin mengucapkan hal klise
ini: selamat menempuh hidup baru. Aku tahu, kalian
akan berbahagia"dan aku harus belajar berbahagia dengan cara yang belum aku temukan.
Bersama catatan pendek ini aku melampirkan satu
lagi kado kecil: sedikit catatan harian yang berkisah tentang kau"tentang kita, tepatnya. Semoga bisa melengkapi lucunya cinta kita yang kekanak-kanakan dulu.
Terima kasih, waktu itu mau menemaniku bicara.
Apakah kau memperhatikan musik yang mengalun pelan di ruang lobi waktu itu" Lagu itu, seperti air menyiram bunga yang pernah hampir mati dimakan musim
kering. Lagu yang sering kita nyanyikan bersama dulu
itu kembali tidak bisa berhenti mengalun di ingatanku.
Seperti juga suaramu hari itu...
?"" KUKILA-kukila-kukila-kukila. Namanya sangat indah.
Aku sangat mencintainya. Tetapi aku tidak boleh mencintainya. Ibu marah setiap kali aku menyebut namanya.
Kenapa harus seperti itu" Apakah karena kami berbeda
agama" Agama. Agama. Agama. Agama. Mungkin itu
yang membuat Ibu tidak mau mendengar nama Kukila.
Apakah itu penting" Apakah seorang Pilang tidak boleh memiliki kekasih
seorang Kukila yang berlainan agama" Tetapi, aku mencintainya. Sungguh. Sungguh-sungguh.
Kukila. Tahi lalat di ujung alis kirinya seperti jimat.
Ia meneluhku, membuatku mencintainya tidak kira-kira.
Tetapi ia Islam, kata Ibu. Kaki-kakinya yang lincah
membuatnya seperti seekor burung tidak lelah terbang.
Sungguh membuat aku bahagia. Tetapi ia Islam, kata
Ibu. Maka tadi siang, aku memutuskan pergi darinya.
Aku seperti bajingan, pengecut. Memutuskan untuk berpisah tanpa penjelasan pasti menyakitkan. Aku telah
menyakiti hati Kukila. Kukila. Mungkin ia mengira aku tidak mencintainya
lagi. Kukila pasti tidak tahu sungguh aku tidak menginginkan perpisahan. Tetapi karena berbeda agama, kata
Ibu, maka kami harus berpisah. Catatan harianku, apakah kau sepakat jika aku mengatakan agama itu rupanya sebuah beban mahaberat" Aku yakin telah berjutajuta pasangan kekasih ditimpa beban berat agama,
seperti penduduk kampung tertimpa musibah, bencana.
Mereka harus bercerai, terlerai. Sungguh beban berat.
Bukankah aku dan Kukila masih terlalu muda untuk
menanggung beban berat semacam itu"
Aku ingin menangis. Menurutmu, apakah Pilang, sebagai lelaki, tidak boleh menangis"
Apa pun jawabmu, aku ingin menangis. Tidak dengan tersedu-sedu, tetapi meraung-raung, karena telah
membunuh seorang gadis yang paling aku cintai"tanpa
bisa menjelaskan kenapa ia harus mati di tanganku.
Aku mencintainya. PILANG, suatu waktu nanti kau harus datang ke rumah
kami. Kita makan malam bersama. Maaf, aku baru punya waktu membalas catatan yang engkau kirimkan
tempo hari. Kau betul. Rusdi lelaki baik. Sangat baik. Awalnya
aku cemas harus menerima lelaki pilihan ayahku. Tetapi
kata-katamu di reuni telah memberiku sedikit kekuatan
untuk mencoba menerimanya. Mencobanya.
Membaca catatan harian yang kaukirimkan juga
membuatku sedih dan setelahnya tertawa. Cinta kita
dulu yang kekanak-kanakan itu memang lucu. Tetapi
semua itu tentu tidak layak disesali. Apalagi, seperti
katamu, suamiku lelaki yang betul-betul baik hati.
Agar setimpal, aku juga menyertakan catatan yang
aku tuliskan saat kita berpisah. Sengaja juga aku kirimkan kepadamu, agar kelak tidak menjadi masalah bagi
Rusdi. Aku khawatir ia menemukan dan membacanya.
Aku tidak mau bermasalah dengan lelaki itu.
Sekadar untuk kau tahu, tulisan itu satu-satunya hal
yang mengisi buku catatan harian yang kauhadiahkan
di ulang tahunku. Dan tertawalah, sebab sungguh banyak hal lucu yang pantas ditertawakan dalam tulisan
itu. Satu hal lagi, namaku dan namamu entah mengapa
bisa persis sama dengan nama tokoh dalam cerita yang
sering dikisahkan ayahku. Ini betul-betul menjadi pertanyaan yang tidak pernah mampu aku jawab. Mengapa
bisa begitu" Mungkin kebetulan belaka. Aku baru memikirkannya kembali setelah menerima suratmu tempo
hari. ?"" NAMAKU Kukila. Kau tahu artinya" Kalau kau mencarinya di kamus, mungkin kau akan menemukannya.
Namaku hanyalah sebuah nomina sederhana. Kata itu
sering digunakan dalam kesusastraan klasik, artinya burung. Kata Ayah, aku seekor burung yang cantik dan
lincah. Sejak kanak, kaki-kaki kecilku tidak pernah bisa
tenang. Ia selalu meloncat-loncat dan menari persis sepasang kaki burung. Jika lantai, jalan raya, dan kasur
adalah dahan pepohonan, aku pasti seekor burung yang
suka meloncat dari satu dahan ke dahan lain.
Selain karena Ayah suka memelihara burung, aneka
jenis burung, yang sangkarnya memenuhi cabang-cabang
pohon yang ia tanam memenuhi halaman rumah, karena
sebuah dongenglah akhirnya aku bernama Kukila. Aneh.
Aku susah memercayainya. Ayah kadang memanggilku burung pipit, kadang burung dara, kadang burung hantu. Katanya aku memiliki
sepasang mata burung hantu. Namun, sesungguhnya,
aku lebih senang jika ia menyebutnya mata gadis penari.
Seperti Ayah, Pilang sangat suka namaku. Ia senang
mengulang-ulangnya. Kukila-kukila-kukila-kukila. Ia
menyebutnya seperti seorang dukun sedang merapalkan
mantra-mantra. Jika Pilang bahagia atau meminta sesuatu dariku, ia akan melafalkannya tiga atau empat
kali dengan sangat halus"nyaris seperti bisikan. Jika ia
sedang marah, ia akan meneriakkannya satu kali dengan
sangat singkat"seperti sedang melemparkan sesuatu
yang runcing ke batang pohon pisang"menancap dalam. Tetapi, Pilang jarang marah, nyaris tak pernah.
Kalau ia marah, pasti karena kesalahan yang betul-betul
aku lakukan. Sejak tahu aku bernama Kukila, Pilang jatuh cinta
kepadaku, katanya. Aneh, pikirku, orang jatuh cinta
hanya karena nama. Pilang siswa paling tampan di sekolah"menurutku. Aku hanya seorang adik kelas yang
terlalu sering mencari perhatian untuk mencuri perhatian dengan melintas di depan kelasnya saat menuju
kantin. Selebihnya aku hanya seorang gadis pemegang
juara harapan yang cerewet seperti burung nuri. Pertanyaannya, kenapa Pilang menginginkan aku jadi kekasihnya" Hanya karena namaku kedengaran indah di
telinganya" Tetapi, tetapi sekarang apakah penting aku ketahui
mengapa Pilang jatuh cinta kepadaku" Tidak penting!
Cukuplah aku tahu bahwa ia menyukai namaku"dan
mungkin betul karena itulah ia jatuh cinta. Toh, sekarang ia sudah bukan kekasihku lagi.
Pilang. Namanya aneh. Kau tahu artinya" Diam-diam
aku pernah mencari namanya di kamus"di perpustakaan sekolah, pada suatu hari. Ternyata, kata itu berarti pohon yang tingginya bisa mencapai 25 meter.
Dalam buku pelajaran biologi, ia bernama Acacia leu"
cophloea, pohon akasia. Aku sangat menghafalnya.
Sungguh serasi ya" Aku seekor burung. Ia sebatang pohon. Lucu.
Itu kemarin. Itu dulu. Sudah berlalu. Seminggu lalu
ia memutuskan untuk mengusirku dari dahannya"entah
karena apa. Sialan! Sekarang aku harus merayakan Valentine sendiri saja.
Aku sendiri di sini, di kamar ini"bersama kau, catatan
harianku. Padahal aku tidak suka dan tidak terbiasa
menulis dan seolah-olah bicara kepada lembar-lembar
kertas. Bukankah ini tulisan pertamaku di lembaranmu"
Seyogyanya, malam ini aku sedang duduk bersama Pilang sambil menyeruput teh hangat dan penganan yang
sudah susah payah aku pelajari cara memasaknya"juga
sebatang cokelat yang ia janjikan. Tapi, ia sialan!
Pilang. Pohon itu mungkin kini di dahannya sedang
bertengger seekor burung lain. Atau tidak sekadar ber31
tengger, tetapi membuat sarang di sana. Apakah burung
itu lebih cantik dariku" Kenapa Pilang tidak menunggu
sampai Valentine berlalu saja dulu" Setelah itu ia boleh
Kukila Rahasia Pohon Rahasia Karya M. Aan Mansyur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
saja mematahkan rantingnya, tempatku bergelayut.
Kenapa" Masih aku ingat sebulan lalu, saat merayakan ulang
tahunku bersamanya di kantin sekolah, ia berjanji datang membawa kado untukku, lalu bicara banyak tentang apa saja. Tetapi, tetapi ia tidak menepati janjinya
itu. Catatan harianku, aku tidak mau menangis! Kalau
aku harus memilih, aku lebih suka menyanyi seperti burung pagi daripada menangis seperti burung malam.
Sakit, sakit memang, namun aku tidak mau menjatuhkan setetes pun air mataku untuk hal itu. Percuma! Bukankah ada banyak Pilang, ada banyak pohon" Aku
hanya ingin mengutuk kemalangan diriku sebagai gadis
yang tidak memiliki kekasih di hari Valentine. Itu saja.
Besok, aku putuskan menjadi baru. Untuk itulah aku
menulis, mengatakannya kepadamu. Tetapi, tetapi apa
yang harus menandai kelahiranku sebagai seorang baru"
Apakah kau punya ide" Sekarang sudah larut, aku mulai
mengantuk, tolong katakan kepadaku apa yang harus
aku lakukan. Baiklah, sekarang aku mengerti apa yang harus kita
lakukan. Mengubah nama! Kukila, apakah kau suka
nama itu" Jangan, jangan katakan kau menyukainya se32
perti Pilang! Sebaiknya kau mencarikan nama baru
untukku. Sebelumnya kita sepakati Kukila telah mati"
mati dibunuh Pilang. Haha. Lucu. Nah, sekarang siapa
namaku" Kulai" Nama bagus! Aku memang tidak suka
nomina. Kata benda adalah kata yang pasif, tidak menggambarkan diriku. Aku ingin menjadi kata kerja, verba.
Kulai itu kata kerja, kan" Kulai terkulai. Hahaha. Mulai
besok akan aku perkenalkan namaku sebagai Kulai.
"Kenalkan, namaku Kulai." Mungkin seorang lelaki
akan mengatakan, "Wah, namamu indah dan aneh.
Maukah kau jadi pacarku?"
Kulai, panggil aku Kulai! Malam ini, Kulai terkulai.
Hahaha. Tidak apa-apa. Besok Kulai akan mulai"memulai sesuatu yang baru. Kau tahu kenapa" Karena aku
tidak mau menangis! Sekarang kita juga harus membunuh lelaki pembunuh
itu. Pilang. Ia juga harus mati. Pilang, sebatang pohon
itu, harus mati! Ia sepertinya cocok kita beri nama
adjektiva. Ia cocok menjadi kata sifat, untuk sifatnya
yang buruk. Bagaimana kalau kita beri nama Pilak" Kau
tahu apa itu pilak" Pilak itu artinya b-a-n-g-s-a-t, bangsat. T-e-r-k-u-t-u-k, terkutuk. Hahaha. Sungguh pas untuknya, bukan"
Aku harus tidur sekarang. Besok aku harus tampil
baru dan lebih segar di sekolah, di depan Pilang, maksudku Pilak.
Eh, satu lagi. Sebaiknya kamu juga punya nama
baru. Aku terlalu susah memanggilmu dengan "catatan
harianku" terus-menerus. Kamu mau dipanggil dengan
nama apa" Dulai" Dulai-dulai-dulai-dulai. Hehehe. Lucu
juga. Selamat istirahat, Dulai!
PILANG, kau tahu persis siapa diriku sebenarnya. Semuanya kaupahami bahwa aku menikahi Kukila karena
harus melakukannya. Karena ayahku dan ayahnya. Apa
itu" Aku tidak tahu. Seperti dulu, sampai sekarang,
anak lebih banyak tidak paham kemauan orangtua.
Dua tahun sudah berlalu, tetapi demi Tuhan, aku tidak pernah punya gairah menjamah istriku. Aku tidak
memiliki gairah bahkan untuk sekadar memeluk Kukila.
Aku sudah mencobanya berkali-kali, tetapi aku tidak
mampu. Kukila di mataku terlihat seperti adikku sendiri. Tidak perlu kau memberiku bermacam-macam saran dan tips dan trik atau apa pun namanya tentang
bagaimana hal itu bisa kulakukan. Tidak akan ada
gunanya. Aku sudah mencoba segala cara. Aku gagal.
Baiklah, aku jujur saja. Kau, sekali lagi, mengerti
siapa aku ini. Penisku tidak bisa berdiri untuknya, Pilang. Jangan tertawa!
Selama ini, sesungguhnya hal itu tidak pernah men34
jadi masalah bagiku dan bagi Kukila. Aku bisa menjadi
suami yang baik. Aku menuruti semua kemauannya. Ia
juga tidak memiliki banyak permintaan. Kami saling
menyayangi"seperti sepasang adik-kakak. Namun aku
tidak mampu memenuhi kemauan orangtuanya dan
orangtuaku. Mereka ingin kami memiliki anak. Pernikahan tanpa anak, bagi mereka, tidak menciptakan
keluarga. Kau tahu" Mereka telah menganggap pernikahan
yang tidak dianugerahi anak sebagai pernikahan yang
dikutuk. Kutukan paling celaka. Kau tahu, aku dan
Kukila sama-sama anak tunggal. Orangtua kami meletakkan harapan satu-satunya kepada kami agar generasi mereka berlanjut. Mereka tidak mau punah. Mereka takut tidak memiliki penerus. Pret! Meski aku dan
Kukila tidak terlalu peduli apakah kami memiliki anak
atau tidak. Pilang, aku sudah membicarakannya dengan Kukila.
Hal ini mungkin akan membuatmu berpikir aku gila.
Tetapi, ini pilihan buruk paling baik. Kau harus menolong kami. Aku mohon, tidurlah di ranjang kami, bersama Kukila.
Oke, aku gila. Tetapi, demi aku atau demi Kukila
atau demi apa pun yang membuatmu mau, jangan mengatakan tidak untuk hal ini. Jangan pernah berpikir
kau menyakiti aku. Kukila tidak keberatan. Besok ma35
lam aku menunggumu di rumah. Kukila pandai memasak, kita makan malam bersama.
BERSAMA Nirtri, teman kerjanya, Aurora menunggu
hujan reda di suatu kafe. Senja yang seharusnya jingga
tidak muncul sore itu. Hujan menguasai seluruh udara
di luar jendela. Jalan-jalan basah. Mobil-mobil basah.
Pejalan kaki melangkah gegas atau berlari menghindari
basah. Cuaca mulai jahat, pikir Aurora.
Dengan berbatang-batang rokok, Aurora memikirkan
apa yang seharusnya ia tuliskan dalam surat balasan
kepada ibunya. Nirtri tenggelam dalam iklan-iklan di
halaman majalah wanita di hadapannya. Cangkir-cangkir telah lama ditinggalkan uap larutan kopi. Suasana
beku oleh hujan di luar jendela dan acid jazz samar dari
speaker yang dipasang di langit-langit berwarna kayu
kafe itu. Mereka berdua di meja yang sama, tetapi mereka masing-masing sendiri.
?"" IBU, surat yang kaukirim sudah aku baca. Dengan pertimbanganku sendiri surat itu tidak akan aku perlihatkan kepada Nawa dan Janu. Lebih baik, menurutku,
mereka tidak mengetahuinya. Mungkin kau kecewa,
tetapi sekali lagi, aku punya pertimbangan berbeda.
Kau salah, Ibu. Kau salah menganggap aku akan kaget membaca pengakuanmu. Aku tidak kaget. Sedikit
saja. Aku senang menerima surat itu, Ibu. Teka-teki
yang sejak kecil mengganggu kepalaku telah menemukan jawaban pelengkapnya. Meskipun mungkin tidak
sepenuhnya benar seperti itu. Sejujurnya, sudah lama
aku tidak memercayaimu, Ibu. Dan aku merasa tidak
punya alasan harus meminta maaf.
Sekali lagi, aku tidak terlalu kaget jika ternyata aku
bukan anak Rusdi. Apakah aku harus membiasakan diri
tidak menyebutnya ayah lagi" Aku tidak kaget jika aku
ternyata anak Pilang. Apakah aku harus menyebutnya
ayah" Ibu, bukankah aku pernah bertanya kepadamu tentang bagian mana tubuh Ayah, maksudku Rusdi, yang
mirip denganku, dengan Nawa dan Janu" Kau tidak
menjawab waktu itu. Apakah kau lupa" Waktu itu,
mungkin kau menganggapnya sekadar pertanyaan seorang anak kecil yang tidak perlu ditanggapi. Mungkin
juga kau berpikir aku akan melupakannya. Tetapi aku
serius waktu itu. Aku menyimpan pertanyaan itu sampai
aku menemukan jawabanku sendiri. Sebab aku kecewa
dijawab dengan diam. Aku mau menceritakan rahasia yang sudah lama aku
simpan sendiri. Terima kasih atas pengakuanmu yang
sesungguhnya bukan rahasia bagiku. Hari itu, Kamis,
aku seharusnya masih berada di sekolah. Ayah, maksudku Rusdi, sedang di kantor. Aku pulang lebih cepat,
bahkan lebih cepat daripada Nawa, karena aku berkelahi di sekolah. Seorang anak lelaki menggangguku
dan aku mengajaknya berkelahi. Kepalanya berdarah.
Aku memukulnya dengan batu kali. Aku dimarahi guru
yang tidak mau tahu kenapa aku berkelahi. Aku bolos.
Aku tidak mau lagi belajar.
Hari itu, kau ada di kamar bersama Pilang. Aku
anak kelas lima sekolah dasar yang bingung dan seharusnya tidak melihat kejadian dari balik pintu kamar
yang tidak sepenuhnya tertutup. Aku melihatmu telanjang ditindih tubuh telanjang Pilang. Sangat jelas aku
melihatmu. Kau tidak melihatku, tentu saja. Pilang juga.
Aku menangis di kamarku, dengan suara isak diredam
bantal. Aku heran, kenapa kau tidak sadar. Sejak hari itu
aku berubah menjadi anak perempuan kecil pendiam,
pembangkang, dan nakal. Sejak kejadian pada Kamis itu
aku berubah. Kau menyadarinya, bukan"
Ibu, kau tidak perlu khawatir. Sekarang aku bukan
lagi seorang anak kecil. Rahasia itu tidak pernah aku
keluarkan dari kepalaku. Aku menyimpannya sendiri.
Kau orang pertama yang mengetahui bahwa aku telah
menyimpan rahasia selama bertahun-tahun. Nah, itulah
sebabnya aku tidak kaget mendapatkan pengakuanmu.
Sudah lama aku menunggu engkau membongkarnya
sendiri. Mungkin justru kau yang kaget membaca surat
ini. Tapi sudahlah, lupakan saja semua itu. Kau boleh
memercayaiku, rahasia ini akan aman bersamaku. Sebaiknya, menurutku, rahasia ini biarlah tetap rahasia.
Rahasia kita. Nawa dan Janu lebih baik hidup dalam
ketidaktahuan mereka. Satu-satunya hal menarik dalam suratmu adalah dongeng Kakek. Sayang sekali, kau tidak menceritakannya.
Aku sangat penasaran kisah apakah gerangan yang sebagiannya telah menjadi kisah hidupmu. Suatu waktu
aku akan datang dan memintamu menceritakannya.
Suatu waktu, aku belum tahu kapan. Semoga aku sempat dalam waktu cepat.
Mengenai kota kita yang menyedihkan itu. Aku sungguh sedih mendengar kabarnya. Aku sedih dan khawatir. Menurutku, jika terus dibiarkan, suatu waktu kota
itu akan ditenggelamkan musim hujan. Banjir akan menyusahkan begitu banyak orang jika gunung-gunung
tidak segera berwarna hijau kembali.
Kau tentu sudah mendengar berita tentang begitu banyak kota diporandakan banjir. Kota kelahiran kita
kelak akan mengalami nasib sama, mungkin tidak lama
lagi. ?"" "NONA CEREWET, apakah kau masih hidup?"
Nirtri telah menamatkan majalah di hadapannya. Ia
mulai bosan menatap jendela. Aurora seolah tidak ada
di ruangan itu. Kecuali asap rokok yang tidak henti
menggulung-gulung di udara, tidak ada hal lain yang
menjadi tanda ia masih berada di situ.
"Mau pesan minuman lagi?"
Aurora muncul kembali dari sumur dalam yang menyembunyikannya.
"Tidak. Aku mau bicara."
"Bicaralah dengan lelaki yang sedang kesepian di sudut itu."
"Malas." "Pindahkan tumpukan majalah di dekat meja kasir
itu ke depanmu dan bicaralah kepada mereka."
?"" AURORA kembali mencemplungkan diri ke kedalaman
yang tidak terjangkau Nirtri. Ia kembali pada surat yang
ingin ditulisnya begitu ia tiba di kamar. Kaca jendela
kafe masih dipukul-pukul hujan. Lampu-lampu jalan
telah menyala, membuat warna udara dan malam menjadi lain.
Surat pertama yang ia tulis di kepala, menurutnya,
terlalu kasar"dan sebaiknya lebih diperhalus. Meski
bagaimanapun, Kukila tetap ibunya.
Ia berbalik ke jendela seolah ingin mengabarkan perasaan sedihnya yang berangsur-angsur membesar kepada hujan yang terus ditumpahkan. Ia mulai lagi
menuliskan kalimat-kalimat pertama suratnya di kepalanya. Kalimat-kalimat awal itu haruslah lebih santun,
katanya tanpa suara kepada kepalanya sendiri.
Mungkin aku harus meminta maaf tidak pernah datang menjenguknya, katanya. Tetapi, ah, untuk apa" Ia
mulai berkelahi dengan pikiran-pikirannya sendiri.
PILANG, kemarin aku bertengkar dengan Kukila. Kau
penyebabnya. Ide gilaku dulu memintamu menggauli
istriku adalah bumerang. Telah dimakannya aku, tuannya yang bodoh. Senjata itu ternyata tidak cukup mujarab menyelamatkan kami.
Kau tidak perlu menyembunyikan sesuatu. Aku sudah tahu semuanya. Aku tahu hubunganmu dengan
Kukila sudah menjadi lain. Kau senang melakukannya,
bukan" Tepatnya, kalian sekarang menikmatinya. Kalian
berdua tentu merasa aman melakukan itu. Kalian tahu
aku tidak mungkin marah. Kau tahu, sangat tahu, aku
tidak bisa apa-apa. Aku tidak menyalahkanmu.
Kepada Kukila pernah aku katakan kami sudah memiliki dua orang anak. Sudah cukup. Dengan alasan
yang kedengaran sangat masuk akal, ia menginginkan
anak lelaki, satu saja. Apakah ide itu datang darimu"
Minggu lalu, sekali lagi, aku bertengkar dengan perdebatan yang sama. Aku tahu dua hari lalu kalian melakukannya lagi tanpa sepengetahuanku. Kau tidak
perlu merahasiakannya. Aku tahu kalian sering melakukan itu, diam-diam melakukannya tanpa sepengetahuanku. Saat aku kembali dari kantor, aroma tubuh dan
peluhmu selalu aku temui di kamar. Aku bukan anak
kecil yang mudah ditipu, Pilang.
Kau tidak salah. Kukila tidak salah. Bukankah aku
tahu kalian dulu sepasang kekasih" Sekarang kalian menikmati hubungan itu. Kalian seperti sepasang burung
menemukan hutan yang bisa menyembunyikan mereka
dari moncong senapan angin. Kalian merasa aman. Kalian seperti aliran air sepasang sungai yang lelah mencari
muara untuk bertemu. Kamar tidur kami, saat aku berada di kantor, kuala aman untuk mengobati kelelahan
kalian. Tetapi kau tidak salah.
Aku tahu, sebenar-benarnya tahu, Pilang. Surat yang
kaukirim bersama selembar catatan harian kepada
Kukila sebelum pernikahan kami aku temukan bersembunyi di tumpukan celana dalam Kukila di lemari. Ia
merahasiakannya. Aku menemukannya. Aku, tanpa kausadari, sering pula menemukan aroma napasmu bercampur bau kretek tertinggal di tempat tidur kami. Aku
tahu akhirnya cinta kalian dulu rupanya tidak pernah
betul-betul mati. Tetapi kau tak salah. Kukila tak salah.
Bukan karena perselingkuhan (dulunya aku pikir ini bukan perselingkuhan) kalian yang membuatku ingin bercerai dengan Kukila. Bukan karena itu. Tetapi perihal
lain... Kau tidak salah. Jika aku berada di posisimu, aku
akan melakukan hal yang sama. Pilang, aku yang salah.
Semoga kau tidak jijik mendengarnya, jika jujur aku
katakan yang sebenarnya. Ada satu hal yang tidak pernah kauketahui hingga
hari ini. Aku cemburu kepada Kukila. Bukan cemburu
kepadamu karena tidur dengan istriku, karena telungkup di atas tubuh telanjang telentang Kukila. Aku cemburu kepada Kukila. Kepada Kukila. Kepada perempuan
yang istriku itu. Bukan kepadamu.
Sejak kita SMP, aku menyukaimu. Kau mungkin tidak pernah sadar aku sering diam-diam dengan dada
berdebar mengamatimu dari balik pintu kelas. Bukan
sekadar menyukaimu, aku mencintaimu. Aku yang salah. Aku tidak pernah menyampaikan perasaanku kepadamu. Alasannya sederhana: aku tidak mau kau
menghindariku. Aku memilih menjadi sahabatmu, saudaramu.
Aku katakan yang sebenarnya. Aku menikah dengan
Kukila karenamu. Saat ayahku memaksaku menikahi
Kukila, aku memutar kepala berhari-hari. Ketika aku
menemukan jawabannya, aku akhirnya bersedia. Waktu
itu, rasanya aku ingin memilih bunuh diri daripada harus pergi darimu. Mungkin ini kedengaran memuakkan,
tetapi begitu adanya. Aku menikahi Kukila karena aku mencintaimu. Kau
mungkin tidak menyadari bahwa setiap hal yang kausarankan selalu aku lakukan. Pilang, karena aku mencintamu. Itulah mengapa aku bersedia menikah dengan
Kukila karena itu saranmu. Meskipun sangat bertolak
belakang sesungguhnya, sebab aku menikahi orang yang
dicintai orang yang aku cintai. Bukan bertolak belakang,
tetapi aneh. Aneh. Ini bukan hal yang dibuat-buat,
Pilang. Begitulah. Iya, sejujurnya, begitulah perkaranya.
Saat menyadari ketidakmampuanku memenuhi keinginan orangtua kami yang ingin memiliki cucu, aku
memikirkanmu sebagai penyelesaian dengan perasaan
senang yang tidak bisa aku gambarkan. Jika aku saja
tidak mampu menggambarkannya, aku tahu, kau lebih
tidak mampu menerimanya. Hal itu tidak susah dilakukan. Kau mencintai Kukila, Kukila mencintaimu, dan
aku mencintaimu. Maka jadilah keputusan memintamu
meniduri istriku. Memiliki anak, meski penting bagi
kami, perkara lain penting lainnya, aku senang bisa bertemu denganmu, mencintaimu dengan caraku sendiri"
seaneh apa pun bagimu. Semakin lama, aku semakin sadar telah kehilangan
orang yang aku cintai. Kau. Kau, Pilang. Aku cemburu
Kukila Rahasia Pohon Rahasia Karya M. Aan Mansyur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kepada Kukila yang bisa memilikimu seutuhnya, semen44
tara aku hanya mampu memendam perasaan kepadamu.
Semakin lama perasaan itu tumbuh menjadi perasaan
sakit hati. Kalian menganggap aku tidak ada. Kalian
bebas bercinta dan aku bukan siapa-siapa bagi kalian.
Selain kehilangan dirimu, aku telah kehilangan harga
diri. Aku pernah tidak peduli kepada harga diri, tetapi
entah kenapa hal itu membuatku sakit hati. Sakit hati
yang dalam, Pilang. Pilang, aku sudah memutuskan bercerai dengan
Kukila. Kukila telah sepakat, mungkin dengan terpaksa.
Ia menangis. Tetapi itu karena ia merasa tidak lagi punya dewa pelindung yang akan menyembunyikan perselingkuhan kalian.
Setelah keputusan perceraian itu, aku tidak lagi mau
tahu kalian akan meneruskan perselingkuhan atau tidak.
Tetapi jika kau mau mendengar saranku, sebaiknya kalian menghentikannya. Aku percaya kutukan melimpah
akan menimpa kalian nanti. Aku bukan peramal, bukan
penyihir, bukan paranormal, atau sejenisnya, tetapi aku
mendapatkan keyakinan itu, entah dari mana. Mungkin
dari mimpi atau entah dari mana. Kau boleh percaya,
boleh juga tidak. Tetapi, ah, itu urusan kalian.
Pilang, sebelum aku hilang dari kalian, aku ingin
mengucapkan terima kasih. Terima kasih untuk anakanak kalian yang menyelamatkanku dari cemoohan
orangtua kami. Terima kasih, akhirnya aku bisa mengucapkan perasaan cinta yang dulu pernah menyiksaku
berpuluh-puluh tahun. Kisah kita ini tidak ubahnya dongeng. Aku, Pilang, dan Kukila.
Pilang, kalian memiliki tiga anak. Anakku juga. Mereka memanggilku Ayah. Semoga mereka tidak pernah
tahu seluruh rahasia bobrok ini. Aku mencintai mereka,
sebesar cinta Kukila kepada mereka, sebesar cinta
Kukila kepadamu, sebesar cintaku kepadamu.
IBU, setelah sekian lama pergi, anak bungsumu ini mulai
memikirkan bau payudara dan elusan tanganmu.
Sungguh, aku malu kepada diri sendiri juga kepadamu. Aku tidak menemukan hangat rengkuh tangan Ibu
setelah jarak begitu panjang terentang antara tubuhku
dan jari-jarimu. Aku telah mencoba mencarinya pada
perempuan-perempuan yang aku temui di sini dan di
tempat-tempat yang pernah menampung tubuhku, tetapi
aku tidak menemukan apa pun.
Bukan. Aku bukan tidak menemukannya. Ada sesuatu yang lain dalam diriku, kenyataan yang menjadikan aku berbeda.
Aku jatuh cinta, Ibu. Kau mungkin senang mendengarnya. Anak lelakimu satu-satunya telah bertumbuh
dewasa. Tetapi hal sebenarnya tidak seperti yang kau46
pikirkan, Ibu. Aku jatuh cinta bukan kepada seorang
perempuan. Seorang lelaki telah membuatku rela jadi rumput kering di bawah sol sepatunya. Aku mencintainya, Ibu.
Aku mencintainya, seperti burung kepada angin yang
membantunya terbang. Seperti penulis kepada hurufhuruf yang membuatnya dibaca. Seperti sungai kepada
laut yang menampung lelah perjalanannya. Seperti laut
kepada langit yang menjatuhkan dan mengisapnya berkali-kali.
Apakah kau marah mendengarnya, Ibu" Satu-satunya
anak lelaki yang lahir dari rahimmu kini mengecewakanmu. Maka, aku sungguh merindukan hangat payudara dan elusan tanganmu. Aku ingin menangis, Ibu.
Seperti anak kecil yang menginginkan air susu. Seperti
pohon yang ditumbangkan badai. Seperti ranting kering
tersangkut di akar-akar pohon yang tidak dikenalnya.
Ibu, hanya kepadamu aku mampu berkata seperti ini.
Seharusnya aku malu dengan pengakuan ini. Kau adalah
ibuku. Sungguh, itulah sebabnya.
Cinta, Ibu, pernahkah bisa diterima tanpa menyiksa"
Aku bertanya kepadamu, Ibu, kepada perempuan
yang dikeringkan kesendirian bertahun-tahun, tanpa
suami, tanpa anak-anak. Aku telah keliru, Ibu, meninggalkanmu ke jarak yang terlalu panjang untuk rentang
lenganmu. Kini, aku ingin menempuh lagi jarak itu, pulang ke pahamu yang pernah memangkuku. Ke dadamu
yang pernah menjadi tempat bersandar seluruh yang
membuatku sedih. Ibu, aku telah salah memilih hadiah untuk perceraianmu dengan Ayah. Aku kini mampu membayangkan bagaimana sepi bisa membunuhmu tanpa seorang
pun anakmu tahu. Ibu, kini aku datang dengan beban yang menambah
berat ringkih pundakmu. Maafkan aku, Ibu. Ke mana
lagi seorang anak menumpahkan air matanya selain kepada sungai yang mengalir di pangkuan ibunya" Aku
tidak pernah sekali pun meragukan sungai di pangkuanmu itu, Ibu. Kali itu selalu jernih mengalir dan setia
menunggu air mata kami datang mengeruhkannya berkali-kali. Aku tahu air matamu telah jadi mata air sungai itu"juga untukku. Hujan sering kali meluapkan
sungai, bukan" Aku tahu selalu ada banjir di sana, siap
menghanyutkan banyak hal"kecuali kasihmu kepada
kami, anak-anakmu. Aku salah seorang penebang pohon
yang membuat banjir selalu tiba di sungai itu.
Ibu, aku salah. Aku melupakan sepasang sayap yang
dulu kautanam di tubuhku. Kini sebagai bayaran, aku
akan mengenakannya dan terbang menuju rentang
tanganmu yang menunggu setiap waktu.
Aku tidak tahu diri. Setelah menyadari kekalahan
hadir di ujung hidung, justru kembali mengemis-ngemis
kepada sosok yang pernah ia tinggalkan. Tetapi, aku
tidak pernah putus menyadari Ibu tidak akan mengang48
gap anaknya bajingan. Bagaimanapun bajingannya ia.
Kasih Ibu lebih banyak daripada udara yang bisa dihirup. Kesalahan seperti apa pun mampu dicucinya bersih. Sejauh-jauhnya pergi, satu-satunya rumah bagiku
adalah tempat Ibu berada. Dan pulang, kata itu tidak
akan ada tanpa Ibu. Apakah kau sedang duduk di beranda, Ibu" Sedang
menunggu pintu pagar besi di depan rumah dibuka tangan salah satu anakmu" Ini janji anak bungsu. Aku
akan datang menemuimu dan membenamkan seluruh
kerinduan yang pernah kuingkari setengah mati. Tidak
lama lagi. Aku akan datang dengan oleh-oleh sederhana:
diriku yang cuma berisi penyesalan-penyesalan.
NAWA baru saja selesai menulis surat untuk ibunya. Ia
ke halaman depan membujuk anaknya untuk masuk ke
rumah. Gelap akan segara tiba seperti pasukan penyebar
penyakit. "Ayolah, Nak." "Ibu, jangan ganggu. Kami belum selesai."
"Lima menit lagi kau sudah harus mencuci tanganmu
ya?" Anaknya diam. Nawa masuk sambil menggelenggeleng.
?"" IBU, tanah kering dan musim kemarau yang menyambut
kepindahanku di kota ini telah lama aku sembuhkan
dengan menanam sebatang pohon di halaman depan.
Beberapa hari setelah pindah ke sini bersama menantumu, kami menanam pohon. Sebatang pohon aku beli
dari seorang lelaki tua yang berjalan dari satu tempat ke
tempat lain menjajakannya. Aku tidak tahu nama pohon
itu, seperti pula ketidaktahuan tetangga-tetanggaku.
Kami sepakat menyebutnya Pohon Rahasia. Aku tidak
tahu dari mana nama itu kami temukan. Begitulah, selalu saja arah datang tidak bisa dikira-kira, bukan"
Tahun-tahun telah mengubah pohon itu menjadi raksasa baik hati yang rambutnya melindungi rumah kami
dari jahatnya matahari bulan kemarau. Ia bertumbuh
dengan laju tidak kami sangka. Ia seperti orang yang
pernah meninggalkan kita, dan ketika bertemu beberapa
tahun kemudian, kita kaget karena perubahan yang telah terjadi. Mungkin seperti itu. Aku tidak punya cara
lebih baik untuk menjelaskannya. Aku yakin Ibu memahami maksudku. Mungkin seperti kekagetan Ibu jika
tiba-tiba aku pulang. Kaget melihat semua perubahanku.
Pohon itu betul-betul telah menyediakan surga bagi
kami pada musim-musim kering yang datang terlalu sering di kota ini. Dahan-dahannya yang kokoh ditum50
buhi lembar-lembar daun hijau untuk menyegarkan
mata kami selalu. Batangnya kekar dan selalu kami percaya bisa melindungi keluarga kami.
Ibu, akhir-akhir ini ada yang aneh terjadi di sini.
Cucumu, Tumbra, selalu berada di bawah Pohon Rahasia dan mengajaknya bicara. Ia dan pohon itu bagai
sepasang sahabat yang punya bahasa sendiri untuk saling berkomunikasi. Tumbra selalu tertawa sendiri di
bawah pohon itu. Terpingkal-pingkal seperti mendengarkan lelucon paling lucu di dunia. Di lain waktu, ia bisa
menangis tersedu-sedu seperti mengalami kejadian paling menyedihkan.
Setiap hari, sepulang sekolah, Tumbra selalu berada
di sana, di bawah pohon itu. Aku sudah coba membelikannya begitu banyak mainan, tetapi pohon itu tidak
bisa dikalahkan. Ia rela berada di sana berjam-jam. Aku
sama sekali tidak paham apa yang sedang ia lakukan.
Pernah terpikir olehku membawanya ke psikolog, tetapi ayahnya menganggap itu belum perlu dilakukan.
Anak-anak memang punya fantasi yang berlebih sehingga apa saja bisa mereka lakukan, katanya. Ibu, bagaimana menurutmu" Aku tahu, Ibu punya kebijaksanaan
sendiri yang mungkin tidak sempat aku pelajari.
Aku malu sesungguhnya, kembali kepadamu dengan
jalan seperti ini. Setelah pergi menjauh beribu-ribu kilometer dari pintu rumahmu, kini aku datang membawa
masalah untukmu. Ibu, setiap anak di dunia ini me51
yakini satu hal dalam dirinya: apa pun yang terjadi,
seorang ibu selalu memiliki gudang yang menyimpan
persediaan maaf. Aku salah seorang anak yang meyakini
hal itu. Mengenai cucumu itu, tolonglah aku, Ibu. Adakah
sesuatu yang kau mau katakan" Aku selalu khawatir.
Kini aku tahu, pasti kau menyimpan kekhawatiran yang
sama terhadap anak-anakmu. Tumbra tumbuh menjadi
lain. Sudah berbulan-bulan ia selalu berada di sana
seperti bocah gila, berbicara dengan sebatang pohon.
Sebatang pohon, Ibu. Dua malam lalu di meja makan, ayahnya berpikir
untuk menebang pohon itu. Sebelum sempat menghabiskan makanannya, cucumu berlari ke kamarnya dan
menangis. Ia tidak mau bicara kepada kami. Aku tidak
sepakat menebang pohon itu. Bagiku, meski hanya
dugaan, pohon itu telah menginspirasi banyak orang di
kota ini untuk menanam pohon di halaman rumah mereka. Apalagi pada bulan September seperti sekarang.
Bukankah pohon-pohon seharusnya menjadi sesuatu
yang berharga" Ya, ini bulan September, bulan yang
mengingatkanku kepada keringnya udara di kota yang
merawatmu, kota yang melahirkanku.
Apakah menurutmu, pohon memang menyimpan
rahasia-rahasianya sendiri dan akan memilih anak tertentu untuk diajaknya bicara" Ibu, pertanyaan itu hal
paling tidak logis yang pernah aku pikirkan. Namun,
aku betul-betul mulai tidak tahu harus melakukan apa.
Ibu, kumohon bicaralah sesuatu tentang ini...
10. SEPERTI biasa Kukila tidur sendiri. Rumah sepi. Tidak
ada anak-anak sejak lama. Tidak ada suami. Tidak ada
siapa-siapa kecuali bayang diri sendiri saat berada di
sekitar cahaya. Tetapi ia selalu menghindari cahaya. Ia
lebih memilih gelap dan pengap kamarnya.
Hujan berhari-hari seperti tamu menjemukan. Tamu
itu bicara tanpa mengenal tanda baca"juga tidak mengenal adab berkata-kata. Ia pembicara yang tidak memiliki telinga, tidak pernah membiarkan lawan bicaranya ikut bersuara. Ia terus saja bicara. Bicara dan bicara
dengan suara menjengkelkan seperti dosa-dosa.
Sesungguhnya bukanlah hal tiba-tiba tanpa sebab
saat pukul dua malam itu ada gemuruh air datang dari
puncak-puncak gunung menenggelamkan kota, rumahnya, dan dirinya sekaligus. Kota kecil itu, Macawe, yang
selalu ia khawatirkan akan karam, kini sungguh-sungguh tenggelam. Kota itu tenggelam seperti kaleng-kaleng
susu berisi lumpur di satu sumur tua. Sudah sejak lama
ia khawatir, kehilangan hijau pohon-pohon akan menyebabkan hal itu.
Sesaat sebelum tubuh Kukila pergi terbawa arus air,
entah ke muara mana, ia terbangun dari mimpinya yang
tidak biasa. Ia melihat semua anaknya, yang ia rindukan, datang menemuinya. Satu per satu menangis, bergantian memeluknya. Tubuh ringkihnya habis dalam
rengkuh anak-anaknya. Mimpi aneh.
Ia ingin sekali menangis dan membalas pelukan mereka. Ia ingin sekali mengucapkan terima kasih. Namun,
sebelum sempat melakukan dan mengatakan apa-apa,
bah datang menghapus huruf-huruf yang ingin tumbuh
jadi kalimat di ujung lidahnya.
11. R USDI telah lama berusaha mengubur kenangan.
Beratus-ratus pohon ia tanam di satu desa bernama
Maccobbu. Pohon-pohon, pikirnya, akan merimbun jadi
hutan dan menyembunyikan dirinya"termasuk semua
yang ada di balik ingatannya.
Kenangan dan ingatan yang menghidupkannya adalah perang paling hebat bagi manusia, atau setidaknya
bagi Rusdi sendiri. Semua yang ia cintai telah menjelma masa lalu yang
berkali-kali kembali bagai bencana di malam buta.
Batang-batang pohon kini menjadi sahabat yang menyediakan diri mereka mendengar seluruh kenangan itu
habis dikisahkan. Kenangan-kenangan itu seperti daun
kering yang jatuh, menjadi tanah, lalu menyerap ke akar
ke batang dan menjadi daun hijau lalu kuning lalu cokelat lalu kering dan jatuh lagi. Berulang-ulang kenangan itu telah jadi daun kering, lalu menghijau kembali.
Pohon-pohon terus tumbuh beranak-pinak menjadi
hutan. Kini, di sanalah Rusdi berada, di satu rumah sederhana. Ia menyembunyikan masa lalunya. Ia sembunyi
dari masa lalu, tepatnya. Rahasia, katanya, akan aman
di batang-batang pohon. Tetapi, nama-nama itu, Kukila, Pilang, dan anakanak mereka, selalu datang bagai musuh meminta diadakan perundingan. Setiap malam, selalu saja ada setidaknya seorang dari mereka tiba menyusup dan
mengajaknya berdamai"atau berperang.
Sebelum tidur, Rusdi selalu ingat dongeng yang
pernah Kukila ceritakan kepadanya.
12. PILANG hidup dan tua di antara penyesalan dan kerinduan. Setiap hari, ia menulis surat: untuk Kukila,
untuk tiga anaknya. Sesekali dia menulis surat untuk
Rusdi. Alangkah menyiksa berusia tua dengan masa lalu
sedemikian berat. Tidak ada perbandingan yang cocok
baginya untuk menjelaskan bagaimana perihnya tikaman kenangan.
Surat-suratnya bertumpuk, berdesak-desak di setiap
laci di kamarnya. Di laci meja dan lemari. Masa tua telah jadi kutukan. Suatu waktu, katanya, ia akan membakar helai-helai surat itu. Namun, ia belum pernah
mampu melakukannya. Jika ia membakarnya, abu suratsurat itu akan meresap ke tanah dan direguk akar-akar
pohon. Rimbun pohon akan menyimpan atau mengisahkannya kepada angin, burung, malam, atau kepada apa
pun yang mereka pilih. Kenangan, katanya, barangkali seperti perasaan sehelai kertas ketika seseorang menulis atau menggambar
pohon di atasnya. Ia tidak ubahnya sehelai kertas dengan gambar penuh pohon.
Selain menulis surat, Pilang juga menulis satu novel
fantasi"semacam dongeng. Dia baru mampu menyelesaikan satu bab"dan tidak tahu bagaimana melanjutkannya.
?"" POHON di tengah padang rumput tumbuh bersama rahasianya. Pohon itu menceritakannya kepadaku suatu
siang saat aku istirahat selepas memandikan sapi-sapiku.
Sebelumnya aku tak pernah berani berteduh di bawah
pohon itu. Orang-orang kampung mengatakan pohon
itu angker, namun panas matahari betul-betul tak membuatku takut kepada apa pun siang itu.
Pada sebuah batu di kaki pohon itu, aku berbaring.
Angin padang seperti belaian lembut tangan Ibu. Aku
tertidur. "Akan aku ceritakan kepadamu sebuah kisah cinta.
Sebuah rahasia," kata pohon itu mengagetkanku sesaat
setelah aku memasuki celah sempit mimpi yang terbuka
seolah hanya untukku. "Sebuah rahasia?" aku bertanya heran.
"Sebentar lagi kemarau datang menggugurkan daundaunku, juga mengeringkan batang dan cabang-cabangku. Kemarau itu akan membunuhku dan aku tak ingin
mati sebelum rahasia ini aku ceritakan kepada seseorang. Aku sudah tua. Sangat tua. Sudah berusia ratusan tahun."
Aku tak berkata apa-apa demi mendengar suara haru
pohon itu. Mungkin pohon itu melihatnya sebagai isyarat bahwa aku setuju mendengarkan ceritanya.
?"" DULU, seorang lelaki, namanya Pilang, setiap malam
duduk di sini, di tempatmu berbaring sekarang. Ia selalu
datang dan duduk sendiri tak mengatakan apa-apa. Ia
hanya memandang ke arah barat, ke seberang padang
rumput. Di sana, ada sebuah rumah panggung berdiri
menghadap ke utara. Rumah panggung itu dihuni sepasang suami-istri. Mereka hidup bertahun-tahun tetapi
tak memiliki seorang anak pun.
Dengan sebungkus tembakau Pilang selalu tiba di
kakiku. Selalu seperti itu, setiap malam. Pada musim
penghujan ia tak pernah lupa membawa selembar daun
Kukila Rahasia Pohon Rahasia Karya M. Aan Mansyur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pisang sebagai payung. Ia duduk dan memandang sisi
kiri rumah panggung itu dengan sepasang mata cokelatnya. Asap tebal tembakau tak pernah henti mengepul
dari sela bibirnya yang hitam dan sedikit bergetar.
Sisi kiri rumah panggung itulah yang dipandangnya
nyaris tanpa kedip. Rumah itu memiliki dua jendela di
sisi kirinya, aku tak pernah melihat sisi kanan rumah
itu"dari sini sisi kanan rumah itu tak bisa terlihat. Jika
malam, dua jendela itu terlihat seperti dua buah bulan
persegi empat. Atau kadang-kadang terlihat seperti
kapal yang berlayar ke utara dengan cahaya lampu dari
jendela-jendelanya. Jendela yang di belakang bercahaya lebih redup dibanding yang di depan. Barangkali karena yang di depan itu ruang tamu, sementara yang di belakang ruang
tengah. Atau mungkin juga disengaja dengan alasan tertentu yang aku tak ketahui. Di jendela yang tak begitu
terang itulah setiap malam seorang perempuan dengan
rambut terurai duduk memandang ke arah sini. Di jendela depan duduk seorang lelaki, juga memandang ke
sini. Setiap malam seperti itu, hingga larut.
Pilang akan beranjak dari sini setelah malam larut,
setelah gulungan tembakau terakhirnya ia nyalakan"
saat dua bulan persegi empat itu padam. Ia akan beranjak dari tempat duduknya sambil menggumamkan sebuah lagu yang tak pernah kutahu liriknya. Aku hanya
mendengarnya sebagai nada-nada sedih. Sangat sedih.
?"" SETIAP petang, setelah lampu-lampu dinyalakan, Kukila
akan duduk di ambang jendela menatapku. Tidak, ia
tidak menatapku. Ia menatap lelaki yang duduk di kakiku, di tempatmu berbaring sekarang. Bayangannya setengah menutup jendela itu, membuatnya seperti lukisan
perempuan hitam dengan latar kuning keemasan. Kukila
akan duduk di sana sampai malam larut, sampai minyak
tanah tak terjangkau lagi sumbu obor.
Aku tahu kenapa perempuan itu duduk di sana.
Pilang dan Kukila dulu selalu datang ke sini saat
masa remaja masih milik mereka. Setiap sore duduk berdekatan di tempatmu berbaring sekarang. Sesungguhnya
mereka itu dulunya adalah sepasang kekasih tak terpisahkan. Mereka akan berkasih-kasihan sampai matahari tenggelam. Bertahun-tahun mereka rutin datang ke
sini, saling mengucap janji, berbagi bahagia dengan saling mengecup.
Tetapi suatu sore, tiba-tiba Kukila datang sambil me59
nangis. Ia menjatuhkan dirinya ke pelukan Pilang. Aku
dengar mereka sempat bersitegang sejenak. Kukila akan
dinikahkan dengan anak pemangku adat, Tumbra namanya. Orangtuanya menerima lamaranTumbra. Kukila
tak bisa menolak kemauan orangtuanya. Aku sempat
mendengar Pilang dan Kukila merencanakan pelarian.
Aku pikir orangtuamu pernah bercerita tentang hukuman seperti apa yang akan menimpa orang-orang
yang berani melarikan diri dari kampung ini. Di sini, di
cabangku, pernah sepasang kekasih digantung karena
melanggar hukum adat"mereka mencoba lari, namun
tertangkap di tengah jalan. Mereka diseret seperti binatang untuk dibawa ke tengah padang ini, dan di cabangku akhirnya mereka mati, dibiarkan tergantung berharihari seperti orang-orangan sawah.
Aku dengar Pilang mengingatkan kisah tragis itu
pada Kukila. "Kalau begitu, aku terpaksa menikah dengan
Tumbra. Tetapi maukah kau tetap menjadi kekasihku?"
"Bagaimana mungkin itu terjadi, Kukila?"
"Begini saja, aku akan meminta Tumbra membangun
rumah di sana menghadap ke utara. Di jendela rumah
itu setiap malam aku akan duduk memandangmu. Setiap malam."
"Tumbra akan membunuhmu karena hal itu."
"Kalau Tumbra benar-benar mencintaiku, ia akan
mengizinkan aku melakukannya. Percayalah!"
"Mungkin aku akan percaya. Tetapi jika semalam
saja kau tidak duduk di sana, aku akan gantung diri di
pohon ini." "Aku berjanji!"
Itulah terakhir kalinya mereka datang berdua ke sini.
Setelah pernikahan Kukila dengan Tumbra yang dirayakan dengan meriah"pernikahan dengan mahar sebuah rumah panggung"Kukila setiap malam duduk di
jendela rumah panggungnya memandangi Pilang yang
duduk di tempatmu berbaring sekarang mengisap gulungan tembakau. Setiap malam selama bertahun-tahun
seperti itu. ?"" LELAKI yang setiap malam duduk di jendela depan rumah itu sesungguhnya adalah Tumbra, suami Kukila. Ia
juga duduk di sana memandang ke sini setiap malam
hingga larut, hingga sumbu obor tak mampu menjangkau minyak tanah.
Dari sini, jendela depan itu terlihat setengahnya ditutup siluet Tumbra. Rumah panggung itu seperti dinding dengan dua buah lukisan manusia hitam berlatar
kuning keemasan. Melihat dua jendela dengan siluetnya
masing-masing setiap malam, bisa dipastikan rumah
tangga mereka sungguh tawar"mereka mungkin tak
pernah bercinta. Tetapi, kamu tahu apa hukuman bagi
orang-orang yang bercerai di kampung ini, bukan" Apakah kau pernah mendengar, dulu jika ada orang bercerai, mereka akan diikat bersama dan diberi pemberat
batu, kemudian ditenggelamkan di perigi"
Tumbra anak pemangku adat, ia tak mungkin melanggar hukum adat. Tumbra tak menceraikan Kukila.
Maka setiap malam terlihatlah pemandangan aneh itu:
tiga orang diam saling memandang dari jarak jauh.
Aneh. Setiap malam seperti itu hingga larut.
Namun, sesungguhnya hal itu tidak aneh sekiranya
kau tahu bahwa dulu, sebelum menikahi Kukila, Tumbra
juga sering datang ke sini, duduk sendiri di tempatmu
berbaring sekarang. Setelah Pilang dan Kukila pulang ke rumah masingmasing, Tumbra akan duduk sendiri di sini menghadap
ke barat, memain-mainkan daun-daun keringku yang
jatuh. Tumbra akan menggumamkan lagu sedih entah apa.
Seperti seseorang yang memendam perasaan tak tersampaikan. Dan seperti itulah, bertahun-tahun Tumbra memendam perasaan cintanya dan tak pernah berani mengatakannya. Ia hanya bisa memandang sepasang
kekasih itu bercumbu di tempatmu berbaring sekarang,
dari jauh, dari balik pohon"dulu selain aku ada beberapa pohon lain di sekitar sini. Ia tak mampu mengatakannya, meskipun sesungguhnya di kampung ini,
waktu itu, Tumbra adalah pemuda paling tampan, kaya,
dan anak pemangku adat. Setelah Pilang dan Kukila pulang, Sultan Tumbra
akan datang ke sini mengungkapkan segala bentuk kekesalannya karena tak pernah bisa mengungkapkan perasaannya itu"hingga larut, hingga suara-suara malam
terdengar semakin seram. Suatu malam, seperti biasa, Tumbra datang lagi ke
sini. Ia sangat cemburu melihat sepasang kekasih itu
berciuman lama di bawah pohon ini, di tempatmu berbaring sekarang. Lalu ia datang menangis, menangis
seperti seorang anak kecil. Setelah menangis ia terdengar
menyusun-nyusun rencana. Mungkin kemudian ia menyadari bahwa sebagai anak pemangku adat, ia bisa
melakukan apa saja yang ia inginkan. Maka kemudian
ia berteriak: "Aku akan menikahinya!"
Setelah itu, dengan suara yang dipelankan ia kemudian berkata:
"Dengan menikahi Kukila, Pilang yang aku cintai tak
akan menjadi milik siapa-siapa lagi. Sebab aku tahu pasti, Pilang tak akan mengingkari janjinya yang tak mau
menikah kecuali dengan Kukila. Aku akan menikahi
Kukila. Aku akan menikahi Kukila."
Sesungguhnya Tumbra mencintai Pilang dan bukan
mencintai Kukila. Dan meskipun dalam hukum adat belum diatur kasus seperti itu, karena belum pernah ter63
jadi, Tumbra sangat yakin akan mendapatkan hukuman
yang jauh lebih berat jika hal itu diketahui oleh orang
lain. Lelaki mencintai sesama lelaki adalah aib besar,
tentu saja. Dan ayahnya yang pemangku adat itu tentu
akan sangat berang. Masalahnya lagi, dulu hukum adat
tak mengenal anak atau keluarga. Siapa pun yang bersalah harus dihukum.
Begitulah akhirnya, hingga Tumbra mengambil
sebuah keputusan yang aneh: menikahi Kukila agar
tetap bisa mencintai Pilang meskipun dari jauh"dari
jendela rumahnya setiap malam. Perasaan cinta Tumbra
kepada Pilang disimpannya bertahun-tahun dalam dada.
Selain ia sendiri, hanya akulah yang tahu perasaannya.
?"" SETELAH bertahun-tahun mereka menjalani kisah cinta
aneh itu, suatu malam, saat alam dipenuhi cahaya bulan
purnama, mungkin perasaan cinta sama-sama tak mampu mereka tahankan lagi. Entah siapa yang mulai melangkah lebih dulu, dua orang di jendela itu turun dan
berjalan ke sini, ke tempat Pilang duduk mengisap tembakau.
Di sini, di tempatmu berbaring sekarang, kemudian
terjadilah sesuatu yang luar biasa itu. Kukila, Tumbra,
dan Pilang mengakui perasaan masing-masing dengan
jujur. Dan kau tahu apa yang mereka lakukan selanjut64
nya" Mereka sepakat mati bersama-sama dengan menggantung diri di cabang pohonku. Itulah sebabnya tak
ada orang yang berani datang ke sini, sebab katanya
mereka selalu melihat hantu: dua orang lelaki dan seorang perempuan. Bahkan burung-burung pun tak ada
yang berani hinggap di rerantingku, apalagi membuat
sarang. Malam itu, mereka bertiga berpelukan sambil mengucapkan perasaan masing-masing sebelum satu per satu
memanjatku lalu melompat dengan tali di lehernya. Aku
menangis menyaksikan mereka melakukannya, bukan
karena mereka bunuh diri. Di sini, di cabang-cabangku,
sudah banyak orang bunuh diri disebabkan bermacammacam hal. Aku tak pernah menangis karena itu, aku
tahu cabang-cabang pohon memang ditakdirkan sebagai
tempat menggantung diri. Bukan, bukan itu yang membuatku menangis. Tetapi, ketiganya dengan jujur saling
mengakui cinta masing-masing tanpa berselisih satu
sama lain. Itulah yang membuatku menangis.
Aku lihat Pilang mencium Kukila, kemudian membagi juga bibirnya untuk dicium Tumbra, dan terakhir
Kukila mencium suaminya sebelum ketiganya saling erat
berpelukan. Sungguh adegan yang indah dan mengharukan. Sekali lagi aku katakan, alam dipenuhi cahaya bulan purnama saat adegan indah dan mengharukan itu
terjadi"dan aku menangis sepenuh haru. Aku menja65
tuhkan hampir seluruh daun-daunku sebagai bentuk
kesedihan. Itulah sebabnya, sebelum kemarau yang ditugaskan
membunuh pohon-pohon datang, aku ceritakan rahasia
ini kepadamu agar kau tahu bahwa di tempatmu berbaring sekarang pernah terjadi sesuatu yang sangat, sangat, sangat"
?"" AKU tiba-tiba terbangun oleh sesuatu yang jatuh menyentuh pipiku, sesuatu yang hangat seperti air mata.
Mungkin pohon itu bercerita lama sekali dalam
mimpiku, sebab saat membuka sepasang mataku, aku
lihat matahari di barat sudah berwarna oranye. Aku
bangun dan menemukan sapi-sapiku merumput tenang
tak jauh dari pohon itu. Aku bangkit melihat tempatku
tertidur"sebuah batu panjang berwarna hitam"kemudian melangkah meninggalkan pohon itu.
Sebentar lagi kemarau datang membunuh pohon tua
itu, dan aku sedih membayangkannya. Perasaan sedih
itu membuatku berjanji dalam hati, besok dan seterusnya aku akan datang lagi berbaring dan tidur di batu
hitam, mendengarkan rahasia lain pohon itu.
?"" 13. SETIAP kali Kukila sendiri, semua orang yang pergi dari
hidupnya kembali. Dia selalu sendiri. Pilang dan Rusdi,
juga ketiga anak mereka, selalu datang. Itulah kenangan.
Demi menghibur diri dan berdamai dengan kenangan, selama bertahun-tahun Kukila membayang-bayangkan hidupnya semata dongeng. Hasilnya: dia mudah menuliskan satu kisah untuk dia baca setiap hari
selama sisa hidupnya. Sayang sekali, dia susah meyakinkan diri bahwa sebagian dari cerita itu bukanlah fantasinya sendiri.
?"" KUKILA. Dia menuliskan namanya di tengah-tengah sehelai kertas"tebal dan besar semacam judul. Dia menjadikan kertas itu sampul kisah yang ditulisnya.
Dia duduk di depan jendela dan membaca tulisannya,
sekali lagi. Di kaki sebatang pohon yang tidak dia tahu namanya, di halaman belakang, telah menunggu seliang lubang yang tidak terlalu dalam. Di sana, dia akan menguburkan cerita yang telah gagal dia gunakan untuk
menghibur dan mendustai diri.
Pohon, kata Kukila kepada diri sendiri, akan mema67
kan kertas-kertas ini dan menyimpan ceritanya"menjadikannya rahasia. Atau, mungkin dengan caranya
sendiri, pohon akan menceritakannya kepada seseorang
yang dia pilih. Kelak. "
Kebun Kelapa di Kepalaku HARI itu aku harus memotong rambut. Ibu memberi
dua pilihan. Hanya dua pilihan. Memotong rambutku
atau memotong lehernya. Kau tidak akan pernah tahu bagaimana rasanya menjadi seorang lelaki berambut panjang. Kau perempuan.
Sejak kecil aku selalu membayangkan diriku jadi seorang lelaki dewasa berambut panjang, seperti Yesus
Kristus, Sawerigading dan anaknya, Lagaligo"ibuku
bilang, mereka itu laki-laki hebat dengan rambut panjang"atau para pahlawan dalam ilm-ilm. Keinginan
raksasa, melebihi keinginan menjadi dokter, pilot, atau
guru seperti keinginan anak kecil lainnya.
Aku ingin menjadi lelaki dewasa berambut panjang.
Hanya itu. Kau heran" Itulah alasannya kenapa saat
menjadi mahasiswa aku memanjangkan rambut.
Menjadi mahasiswa berarti mendapatkan banyak ke69
sempatan, termasuk kesempatan memanjangkan rambut.
Gelar mahasiswa, barangkali, memang anugerah. Banyak hal bisa dilakukan seorang mahasiswa. Bisa mengenakan jas almamater berwarna cerah, lalu ngebut
mengacaukan jalan raya dan selamat dari razia SIM
atau STNK. Mahasiswa bisa punya uang banyak hanya
dengan mengumpulkan beberapa orang teman, lalu berteriak memaki seseorang atau satu kelompok di depan
kantor dewan. Mereka bisa melempar atau membakar
tempat ibadah agama lain. Mereka bahkan bisa melakukan razia KTP, menangkap, menganiaya, dan membunuh orang-orang yang berbeda agama. Enak betul menjadi mahasiswa, seperti Tuhan. Menyebalkan!
Sayang sekali, satu kebanggaanku sebagai mahasiswa
harus hilang. Rambut panjangku.
Gara-garanya sungguh sepele. Aku mendapat panggilan pulang ke Bone. Ibu meneleponku, mendadak.
Anak Pak Imam ditangkap karena memerkosa tetangganya. Awalnya, aku pikir Ibu memintaku menolong membebaskannya dari polisi karena aku mahasiswa fakultas
hukum. Ternyata bukan itu yang diinginkan Ibu.
"Ibu ingin kaupotong rambutmu, Nak."
"Apa hubungannya dengan pemerkosa itu, Bu?"
"Ia juga berambut gondrong."
"Lalu?" "Ibu kan selalu bilang, gondrong itu, menurut orang,
identik dengan penjahat."
"Ya Tuhan, jadi ibuku sudah berpikir anaknya seorang penjahat?"
"Tidak. Tentu saja tidak, Nak. Tetapi orang lain bisa
berpikir seperti itu. Ibu tidak mau orang menyebut
anakku penjahat, pemerkosa, pencuri, atau perampok.
Itu mencoreng nama baik keluarga."
"Rambut bisa merusak nama baik keluarga" Luar
biasa!" "Kau sudah pintar. Kau kuliah, sebentar lagi sarjana.
Karena itu kau sudah bisa melawan orangtua."
"Tidak seperti itu?"
"Kalau begitu, Ibu minta kaupotong rambutmu, atau
potong saja leher Ibu."
?"" MEMOTONG rambut membuatku ingat seorang perempuan nyaris seumuran Ibu. Aku memanggilnya Tante
Mare. Nama sebenarnya Maryam. Di kampungku, orang
punya cara unik dalam memberi nama panggilan. Sesungguhnya sangat mudah. Ambil suku kata awal, lalu
tambahkan dengan huruf "e". Aturan itu dipakai untuk
suku kata dengan huruf akhir konsonan seperti il", hal",
ham", has", dan seterusnya. Ada banyak perempuan
bernama Mare di kampungku. Mare bisa Marwah, bisa
Mardani, bisa Marliah, bisa Marhumah, bisa juga berarti
Mardiah. Bisa sangat banyak. Mare bahkan bisa jadi
seorang lelaki bernama Marwan atau Mardan. Jika kau
mendengar seorang dipanggil Hale, nama yang tertera di
KTP pemilik nama itu bisa Halwiah, Halmiah, atau
Halma. Huruf "e" di akhir nama panggilan itu dibaca
seperti "e" pada kata "gelas", "kelas", atau "jelas".
Untuk membedakan seseorang dari yang lainnya, aku
harus mengingat suatu kegiatan yang sering ia lakukan
atau benda yang sering ia pergunakan atau kenakan,
atau hal-hal yang bisa mengingatkanku kepada orang
itu. Misalnya, untuk Tante Mare yang Maryam, aku
harus mengingat rambut, cukur, gunting, atau apa saja
yang berhubungan dengan kegiatan memotong rambut.
Sewaktu kecil, aku dan tiga saudara laki-lakiku rutin
Kukila Rahasia Pohon Rahasia Karya M. Aan Mansyur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memotong rambut di rumah Tante Mare. Tante Mare
tinggal di salah satu kebun kakao Ibu, tidak terlalu jauh
dari rumah. Kata Ibu, Tante Mare masih keluarga, meskipun aku tak pernah bisa percaya. Keluarga kami dan
keluarga Tante Mare sangat berbeda, sangat kontras.
Keluarga kami kaya, keluarga Tante Mare miskin. Kami
bangsawan, mereka bukan. Ada gelar Andi di depan
namaku, di depan nama kakakku, di depan nama adikku, dan di depan nama orangtuaku. Tidak seorang pun
dari keluarga Tante Mare yang memilikinya.
Nyaris setiap bulan rambutku harus dipotong Tante
Mare. Aku sering jengkel karena di antara semua saudaraku, rambutkulah yang paling cepat pertumbuhannya. Dalam satu semester aku bisa memotong rambut
empat kali, sementara saudara-saudaraku hanya dua
atau tiga kali. Sangat menyebalkan! Mungkin kau pernah merasakan bagaimana rasanya gunting yang tidak
begitu tajam memotong rambutmu. Sungguh tidak enak
dan sakit. Satu-satunya gaya rambut yang bisa dibuat Tante
Mare di kepala kami adalah model kuas. Model itu
istilah kami bersaudara untuk potongan plontos nyaris
di seluruh bagian kepala, kecuali persegi empat panjang
berukuran kira-kira 10 x 6 cm menutupi jidat kami.
Persegi empat itu selalu mengingatkan kami pada kuas,
sehingga kami sepakat menyebutnya model kuas. Ibu
punya istilah lain untuk itu, model kelapa. Katanya, seperti sebuah kelapa yang dibuang sabutnya dan menyisakannya empat jari. Di empat jari yang tersisa itulah
diambil sedikit sabuk untuk disambungkan dengan
kelapa lainnya agar bisa dijinjing berpasangan.
Aku"juga saudara-saudaraku"sering heran dan bertanya-tanya kenapa Ibu selalu memercayakan rambut
kami dipotong Tante Mare, padahal hasilnya"sumpah
mati"selalu jelek. Bagi kami, Tante Mare tidak
berbakat sama sekali menjadi tukang cukur. Tetapi kami
harus menuruti kata Ibu. Anak bangsawan harus selalu
begitu, demi nama baik keluarga.
Memotong rambut adalah kegiatan yang paling aku
benci. Kau tahu" Kegiatan itu harus aku lakukan rutin
setiap rambutku berukuran 3 cm, hingga kelas 3 SMA.
Bisakah kau membayangkan bagaimana rasanya menanggung malu ditertawai teman-teman satu sekolah
karena ada kuas di jidatmu" Kalau kau tidak pernah
merasakannya, aku katakan kepadamu, sungguh memalukan menjadi badut satu setengah bulan sekali. Kuas
itu nongkrong di jidatku hingga kelas 2 SMP. Setelah itu
Tante Mare memotong rambutku seperti tentara. Sangat
laki-laki, katanya. Karena aku tak mungkin membenci Ibu, maka aku
membenci Tante Mare. Setiap Tante Mare "memainkan"
gunting dan sisirnya di kepalaku, aku selalu menangis.
Ya, menangis, hanya itu yang aku bisa. Air mataku
membuat potongan-potongan rambut menempel di pipi.
Aku juga ingin mengatakan kepadamu, jangan menangis
selagi dicukur. Rasanya gatal.
Jika aku bercita-cita ingin berambut panjang sejak kecil, kau tak heran lagi, bukan" Itulah sebabnya aku melampiaskan segala bentuk rasa jengkelku kepada Tante
Mare, Ibu, dan ketidakberdayaan masa kecilku dengan
memanjangkan rambut saat menjadi mahasiswa.
?"" "BAIKLAH. Tetapi Ibu harus janji, bukan Tante Mare
yang memotongnya." "Bagaimana mungkin Maryam bisa memotong rambutmu. Ia sudah meninggal."
"Kapan, Bu?" "Dua bulan lalu. Seminggu setelah lebaran."
"Ia sakit?" "Siapa mampu melawan kehendak Tuhan. Ia sehatsehat saja. Seusai makan siang ia masih sempat memotong rambut suaminya. Sore hari, ia ditemukan telungkup kaku di bawah pohon kakao."
"Bu, aku mau tanya satu hal. Mengapa dulu Ibu selalu menyuruh agar rambut kami dipotong Tante
Mare?" Lama Ibu terdiam sebelum akhirnya bicara. Ia bercerita panjang tentang Tante Mare. Tante Mare, oleh
Ibu, dianggap saudara sendiri. Ibu anak tunggal. Ayah
dan ibu Tante Mare dulunya ata, budak di keluarga Ibu.
Ibu dan Tante Mare menyusu di payudara yang sama,
payudara ibu Tante Mare. Setelah bersuami, Ibu juga
menikahkan Tante Mare dengan seorang lelaki pemetik
cengkeh yang datang dari gunung.
Meskipun miskin, Tante Mare tidak suka menjadi
pengemis dan menyusahkan orang lain. Oleh Ibu, diberinya Tante Mare pekerjaan, bukan sebagai ata atau
pembantu, tetapi sebagai tukang cukur anak-anaknya
dan penjaga kebun kakao. "Setiap satu kepala kalian dihargai sepuluh ribu rupiah. Aku membayarnya. Uang itu aku sarankan ia tabung untuk biaya sekolah anak-anaknya. Apakah kau
tahu tahun depan anak sulungnya, Male, tamat SMU"
Ia juga akan lanjut kuliah. Barangkali Fakultas Pertanian."
Ibu menjadikan kepalaku, dan kepala saudaraku, sebagai kebun Tante Mare. Lucu sekali, ada kebun di
kepalaku"kebun kelapa. Dari sana Tante Mare mendapatkan uang untuk tabungan pendidikan anaknya.
?"" "IBUMU perempuan cerdas dan baik hati. Aku pikir
semua bangsawan sombong, kikir, tidak ramah, kejam,
dan kasar. Ternyata tidak."
"Kapan-kapan aku mengajakmu ke Bone bertemu
Ibu. Atau setelah ujian meja saja, sekalian memperkenalkan calon menantunya."
"Malu ah?" "Kenapa harus malu" Kau serius mau jadi istriku,
kan?" "Iya, tetapi aku belum siap."
"Kapan kau siap?"
"Setelah rambutmu sedikit panjang."
"Apakah aku kelihatan aneh dengan rambut seperti
ini?" "Aku pernah bilang kepadamu, berkali-kali, aku
tidak mau menikah dengan militer atau yang mirip militer. Apakah semua lelaki pelupa?" "
Setengah Lusin Ciuman Pertama at the irst kiss I felt something melt inside me
that hurt in an exquisite way all my longings, all my
dreams and sweet anguish, all the secrets that slept
deep within me came awake, everything was
transformed and enchanted and made sense.
" Herman Hesse "Dengan Cecep BUKAN. Cecep bukan cowok. Dia cewek"cantik. Namanya terdengar sangat cowok. Rada tomboi memang
orangnya. Dia teman satu kelas saya di Madrasah
Tsanawiyah dulu. Dia sudah punya anak. Tiga. Pertama
melahirkan, anaknya kembar emas. Dua tahun lalu, dia
melahirkan anak ketiganya. Cecep pacar teman saya.
Dulu. Saya tidak ingat betul tanggal-hari-bulannya, waktu
itu kami sama terlambat tiba di sekolah. Guru tidak
memperbolehkan kami ikut belajar. Menunggu pelajaran
selanjutnya, kami nongkrong di kantin sekolah. Di sebelah kiri kantin ada kandang kelinci. Saya sering main
ke situ"memberi makan kelinci-kelinci atau sekadar
melihat-lihat. Bosan menunggu jam pelajaran pertama kelar, saya
iseng main ke kandang kelinci. Cecep ikut. Anak pemilik kantin juga, dia digendong Cecep. Namanya
Randi. Masih kecil. Kira-kira dua tahun.
Jika ada yang harus disalahkan kenapa saya dan
Cecep tiba-tiba berciuman di dekat kandang kelinci, tentu saja seekor kecoak dan Randi yang akan kami tunjuk. Nyaris bersamaan saya mau mencium Randi, kecoak itu tiba-tiba hinggap di jilbab Cecep. Kebetulan
yang indah. Cecep takut sama kecoak. Heran, kenapa
banyak cewek takut sama kecoak!
Cecep kaget, tetapi saking kagetnya dia malah tidak
bisa berteriak. Bibir saya jatuh menimpa pipinya, kirakira dua jari dari bibirnya. Satu detik. Dua detik. Tiga
detik. Senyap. Saya geser bibir saya menyentuh bibirnya.
Kemudian kami tiba-tiba kaget, dia tepatnya, dan kami
menarik wajah masing-masing. Cecep menunduk, lalu
masuk membawa Randi ke kantin.
Kejadian singkat itu terjadi saat teman-teman kelas
saya sedang belajar Aqidah Akhlak. Membekas" Tentu
saja. Ada ciuman kedua saya dengan Cecep" Ada. Di
Perkemahan Sabtu-Minggu, lima hari setelah dia putus
dengan pacarnya, teman saya.
"Dengan Riana DIA adik kelas dan pacar pertama saya. Di rumahnya
dia tidak dipanggil dengan nama itu. Teman-temanya
juga tidak memanggilnya seperti itu. Itu nama panggilan
dari saya. Riana adalah tiga suku kata terakhir nama
depannya. Dia lahir 1 Januari. Ciuman pertama saya dengannya
terjadi beberapa menit sebelum 31 Desember 1996 berakhir, beberapa menit sebelum ulang tahunnya.
Di rumahnya, dia hanya tinggal bertiga dengan kakek
dan neneknya. Ibu dan ayahnya tinggal di rumah lain,
di kota lain. Kamar Riana terletak di bagian depan rumahnya. Ada jendela di sisi kiri kamarnya. Di situ, di
jendela itu saya menciumnya. Jendela itu tidak tinggi"
saya bisa sekalian memeluk Riana saat menciumnya.
Saya mengantar kado ulang tahun untuknya malam
itu. Dua album berisi koleksi prangko yang saya kum79
pulkan selama bertahun-tahun. Kami berdua suka saling
berkirim surat. Setiap hari, kecuali hari libur dan Minggu, kami bertukar surat di depan perpustakaan sekolah.
Setelah menyodorkan hadiah, dia balas menyodorkan
keningnya. Saya meletakkan bibir saya di keningnya cukup lama. Tidak puas, saya mencium pipinya. Lalu bibirnya.
Ciuman kedua saya dengan Riana terjadi di perpustakaan sekolah. Ibu penjaga perpustakaan menangkap
basah. Tapi, dia tersenyum dan geleng-geleng kepala
saja. Penjaga perpustakaan itu yang jadi tukang pos pertama saya ketika mengirim surat cinta kepada Riana.
"Dengan Doyok DOYOK nama panggilan saya untuknya. Bagus juga saya
memanggilnya begitu, sehingga dalam tulisan ini saya
tidak perlu menyebut nama aslinya. Dia teman saya.
Tentu saja, cowok. Suatu malam, beberapa malam sebelum perpisahan
sekolah, saya dan beberapa teman, termasuk Doyok,
pergi ke gunung beberapa puluh kilometer dari sekolah.
Kami berkemah. Semacam perpisahan kecil-kecilan sebelum perpisahan besar-besaran di sekolah.
Dingin. Tentu saja, di gunung. Kami berenam tidur
dalam tenda yang tidak seberapa besar. Saya pikir wajar
jika kami saling memeluk untuk saling menghangatkan.
Kemudian menjadi aneh, bagi saya, saat tiba-tiba Doyok
yang tidur di sebelah kanan saya mencium bibir saya.
Damn! Saya kaget dan mendorong badannya"dan menimpa badan teman saya di sebelahnya.
Doyok malu dan meminta maaf. Saya marah. Belakangan saya menganggap itu kisah yang lucu saja. Setahun setelah kejadian itu, Doyok menceritakan beberapa hal tentang kecenderungan seksualnya kepada
saya. Dia jatuh cinta kepada cowok tetangganya, yang
menurutnya mirip saya. Tahun 2005, delapan tahun setelah kejadian di gunung itu, Doyok meninggal dunia. Motor yang dia kendarai ditabrak mobil truk.
"Dengan Kukila DIA juga mantan pacar saya. Itu bukan nama aslinya.
Dulu kami punya sepasang tokoh khayalan. Kedua tokoh itu saling berkirim surat di sebuah buku tebal.
Kukila dan Pilang. Jika malam ini buku itu ada di kamar saya, saya se81
bagai Pilang akan mengirim surat dan menyerahkan
buku itu kepadanya esok harinya. Dia akan membalas
surat itu sebagai Kukila. Begitu terus-menerus hingga
buku itu penuh dengan surat antara Kukila dan Pilang.
Menjelang kami putus, karena dia dijodohkan orangtuanya dengan lelaki lain, dia sepakat saya mengenangnya sebagai Kukila, dan sebaliknya. Begitulah sehingga
saya terus menyebut dan mengenangnya sebagai Kukila.
Ciuman pertama saya dengan Kukila terjadi di ruang
tamu rumahnya. Saya mengenang ciuman itu dalam sebuah puisi berjudul Hujan Rintih"Rintih yang kemudian
menjadi judul kumpulan puisi pertama saya. Iya, waktu
itu hujan. Di rumahnya cuma ada saya, kakaknya, dan
dia. Kedua adiknya dan orangtuanya sedang di Jakarta.
Saya mengantarnya pulang dari kampus, seperti
biasa. Di perjalanan, kami basah. Dia meminjamkan
salah satu T"shirt miliknya dan membuatkan segelas teh
untuk saya. Kakaknya sedang menonton di ruang tengah. Dia duduk di dekat saya. Saya memegang tangannya, cukup lama, saling menghangatkan telapak tangan.
Dia menunduk saja. Saya menarik dan mengecup keningnya, setelah sebelumnya mengecup punggung tangannya. Dia mendongak dan saya mengecup bibirnya.
Saya tidak mau menceritakannya lebih detail lagi. Saya
kira, malam itu saya membuat hujan di luar jendela rumahnya menggigil karena cemburu.
Oh, iya, Kukila itu berarti burung dan Pilang berarti
pohon. Keduanya bahasa Melayu klasik. Kami menemukannya di Kamus Besar Bahasa Indonesia.
"Dengan Sebut"Saja"Dia
SAYA berciuman dengan tunangan orang! Begitu ekspresi
kesal saya waktu itu, beberapa saat setelah dengan senang hati menciumnya. Dia yang memulai. Sumpah,
sebelum dia mengatakannya, beberapa menit setelah
berciuman, saya tidak tahu dia sudah memiliki tunangan.
Seminggu setelah ciuman itu, ibunya membatalkan
pertunangan mereka. Sebulan setelah itu, kami pacaran.
Saya dan dia menelepon ibunya. Kami sama-sama merasa bersalah. Setahun setelah itu, kami putus. Sebulan
setelah putus, dia menikah dengan lelaki lain. Seminggu
lalu, dia melahirkan anak pertamanya.
Ciuman itu terjadi di balkon tempat saya tinggal
waktu itu. Ini ciuman pertama paling "panas" yang pernah saya lakukan. Tetapi, saya tidak ingin bercerita
kenapa saya menyebutnya panas. Malam itu, sesungguhnya, cuaca cukup dingin.
Lucu juga, semua mantan pacar saya sudah menikah,
yang sebelum dan termasuk Sebut-Saja-Dia. Tiba-tiba
saya berpikir, kayaknya bibir saya ini cukup ampuh
buat menjadi pembuka jodoh orang lain"tapi tidak
buat diri saya sendiri. "Dengan Mansyur IYA. Dia laki-laki. Ciuman saya dengannya terjadi saat
saya masih berusia kira-kira sembilan tahun. Dia berkumis dan saya tidak suka dicium lelaki berkumis.
Ciuman itu terjadi suatu sore di belakang bus berwarna putih. Dia mencium saya setelah memberi saya
selembar uang seribu rupiah. Saya meronta. Saya tidak
suka dicium pria dewasa. Ciuman sore itu adalah satu-satunya ciumannya yang
saya ingat. Bagi saya, itulah ciuman pertama dan terakhirnya. Ciuman itu terjadi saat dia mau berangkat
dari rumah. Dia tidak pernah pulang sejak saat itu.
Tahun 2010 lalu, saya tahu dia sudah meninggal di
sana, entah di mana tepatnya, dua tahun sebelum kabar
itu sampai di telinga saya.
Mansyur ayah saya. "
Perahu Kertas dengan Huruf-Huruf Kanji SETAHUN lalu ia bertemu Akiko di Taman Ueno. Waktu
itu musim semi. Lalu ia berpisah dengan nama, nomor
telepon, dan cinta yang semi di dada serupa bungabunga sakura. Ia kembali ke negerinya dengan kertaskertas origami bermotif huruf-huruf kanji. Ada mimpi
yang berlipat-lipat di kertas-kertas origami itu. Tentang
bertemu kembali dengan Akiko. Tentang menikah dan
berumah di pulau. ?"" SABAN hari, ia melipat-lipat kertas. Membuat perahu.
Akiko hampir setiap malam tiba lewat kabel telepon
bersama sejumlah pertanyaan"dan kadang-kadang pernyataan yang membuatnya khawatir. "Bagaimana perahumu" Aku menunggu di Taman Ueno. Sakura mekar
di mana-mana. Maukah kau tiba lebih lekas?" Ia"dengan senang hati"mengabarkan telah membuat perahu
sembilan puluh atau seratus satu, juga menceritakan
rindu yang mengetuk-ngetuk dadanya tiada henti. Perempuan Jepang itu, lewat telepon juga, kadang hanya
datang dengan pertanyaan yang dia kutip entah dari
puisi siapa. Apa kabar ombak" Ia mengirim suara
ombak yang semakin hari semakin besar. "Jangan khawatir! Perahu-perahu itu akan membawaku ke Taman
Ueno tepat waktu." Ia seorang lelaki dengan gelombang laut di dada,
gelombang yang tidak pernah surut. Ia telah membaca
Sawerigading mencari We Cudai, berkali-kali. Ia adalah
Sawerigading yang hidup dari halaman-halaman kitab
Kukila Rahasia Pohon Rahasia Karya M. Aan Mansyur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lagaligo1. Di Taman Ueno, seorang We Cudai menunggu setia, We Cudai bernama Akiko Tsuru. Ia harus
tiba sebelum bunga-bunga sakura ditelan musim gugur.
Itulah sebabnya, setiap saat, pagi-sore-malam, ia membuat perahu. Perahu kertas dengan huruf-huruf kanji.
Matanya tidak terpejam bermalam-malam membuat
perahu. Setiap saat Akiko datang membawa kabar tentang bunga-bunga sakura dan musim semi yang menua.
Ia merasa musim gugur telah berdiri di depan pintu,
menggedor-gedor ingin masuk segera. Ia ingin mengatakan "sabar". Tetapi bukan musim gugur yang tidak sabar. Musim semi yang barangkali jenuh menunggu. Ia terus melipat kertas, berpacu dengan musim
gugur di depan pintu. Kamarnya menjelma lautan perahu kertas dengan huruf-huruf kanji.
Ombak semakin sering datang menjilat-jilat tangga,
membawa kabar tentang perempuan yang gelisah di
Taman Ueno. Separuh kertas bermotif huruf-huruf kanji
itu belum jadi perahu. Ia harus selesai sebelum musim
gugur tiba di Taman Ueno. Akiko menunggu di bangku
taman itu. Ia harus menyelesaikan perahu secepat mungkin sebelum musim semi berangkat dari Taman Ueno.
Dengan perahu kertas bermotif huruf-huruf kanji ia
akan datang membayar janji. Ia akan menyelipkan satu
atau dua bunga sakura yang jatuh, di rambut Akiko,
lalu meletakkan bibir di kening perempuan itu beberapa
detik. Ia akan mengajak Akiko duduk di bangku taman.
Ia akan bercerita tentang ombak lautan yang ia taklukkan sambil menyaksikan bunga-bunga sakura jatuh dan
musim semi pamit ke langit. Atau tentang kenangan setahun silam di bangku itu, atau tentang masa depan,
berumah di pulau. ?"" BEBERAPA jenak, ia mengangkat tangannya dari lembarlembar kertas origami. Angin tiba di rambutnya membawa ingatan-ingatan atau barangkali harapan-harapan;
tentang Taman Ueno dan bunga-bunga sakura. Ia tersenyum membayangkan Akiko menunggu di Taman
Ueno. Ia harus menyelesaikan seribu perahu kertas dengan huruf-huruf kanji. Perahu yang akan membawanya
melayari lautan. Ia mengenang kembali detail-detail pertemuannya dengan Akiko. Ia duduk di sebuah bangku taman, sendiri.
Seorang perempuan datang membawa sedih di wajah
dan sepi dalam balutan sweater. Perempuan dengan
sweater berwarna cokelat itu melipat kedua tangan eraterat seperti ada sakit yang menusuk-nusuk dadanya.
Perempuan itu tiba-tiba bertanya, "Kono seki wa
fusagatte imasu ka?"2 Ia ingat adegan dua lelaki di
drama Edward Albee, Zoo Story3. Ia tidak merasa memiliki hak penuh atas bangku itu"seperti lelaki dalam
drama absurd itu. Perempuan itu terlalu sedih untuk
diajak berkelahi. Apa salahnya berbagi tempat duduk.
Ia bilang "tidak ada".
Mereka bercerita banyak, diawali dengan basa-basi
"samui desu ne",4 tentang nama, sampai tentang kenapa
mereka ada di taman itu. Setiap musim semi tiba, Akiko
datang ke taman itu, berharap bertemu kekasihnya. Taman itu tempat ia selalu bertemu kekasihnya. Suatu hari
di musim semi, ia dan kekasihnya, seperti biasa, berjanji
untuk bertemu, tetapi kekasih yang dinanti tidak datang. Itulah sebabnya ia selalu datang ke taman itu dengan sedih, sepi, dan nanti di sekujur tubuh"berharap
di suatu musim semi ia temukan kekasihnya kembali.
Ia tidak pernah menyangka tiba-tiba ada sesuatu
Matahari Esok Pagi 18 Pendekar Gagak Rimang 7 Siasat Yang Biadab Pembalasan Nyoman Dwipa 1
Kukila (Rahasia Pohon Rahasia) SETELAH berkali-kali membaca dan menulis ulang,
Kukila akhirnya mengirim surat itu kepada anak sulungnya di Mabela. Ditulisnya dalam waktu lama surat itu.
Memilih dan memilah kata tepat membutuhkan waktu
bertahun-tahun. Ada keraguan yang tidak mampu Kukila gambarkan
ketika amplop surat itu jatuh ke dalam bus surat. Ia seperti ingin memotong tangannya karena telah melakukan kesalahan besar yang tidak bisa ia maafkan. Namun
surat itu sudah berada di kotak berwarna senja yang
terlalu menyedihkan. Ia harus pulang menyulam kembali
sepinya di rumah, seperti kemarin, seperti dua hari lalu,
seperti bulan lalu, tahun-tahun lalu"seperti besok, dan
seterusnya. Kukila tidak pernah tahu menyesal. Ia memahami
betul perempuan ditakdirkan menjaga tungku sepi agar
tetap menyala. Takdir, katanya, seperti rahim di tubuhnya yang tabah.
Di jalan menuju rumah, Kukila mengingat-ingat lagi
semua kalimat yang ia tuliskan di suratnya. Apakah
masih ada kalimat yang seharusnya dihapus dari sana"
Apakah masih tersisa kata-kata yang tajam seperti mata
pisau yang pernah melukai tangannya" Ia takut melukai
hati anak-anaknya. ?"" NAK, dua hal aku benci dalam hidup: September dan
pohon mangga. September yang kemarau dan pohon
mangga di depan rumah. Entah sudah berapa September berlalu, aku sendiri.
Sepi. Rusdi tidak mau menemaniku mempertahankan
rumah tangga. Kami pisah. Pohon mangga harus ditebang. Pohon mangga pernikahan. Aku dan Rusdi menanamnya di halaman, sehari setelah pindah ke rumah
ini"rumah yang dibeli dengan peluh kami sendiri. Dua
anak perempuan dan seorang lelaki lahir dari rahimku
di rumah ini. Kalian. Pohon mangga itu telah memberi kami banyak buah,
tidak terhitung angka-angka. Dikupas, dirujak, dan dimakan bersama seperti biasa di beranda. Meskipun
masih kecil, tentu kalian ingat peristiwa itu. Aku menangis waktu pohon mangga itu ditebang Rusdi. Aku
tahu, Rusdi juga menangis dengan bahasanya sendiri.
Namun, pohon mangga harus ditebang sebagai akhir
cerita, sebuah akhir pernikahan. Kami telah sepakat.
Tidak boleh ada yang egois di antara kami membiarkan
pohon itu tetap tumbuh. Aku tidak ingin pohon itu ditebang dan"aku tahu"Rusdi juga. Namun, tidak boleh
ada kata sepakat untuk tidak menebangnya. Pohon itu
tumbang oleh parang yang tidak terlalu tajam, parang
yang jarang kena asah. Kami sesungguhnya diaduk
perasaan ragu. Tetapi semua kisah memiliki penutup.
Waktu itu September, kalian berlari ke kamar sambil
memeluk tangis masing-masing. Rusdi harus pergi dari
rumah ini, hari itu"tidak untuk kembali lagi. Ia pergi
ke kota lain, bukan ke kantor mencari hidup aku dan
kalian. Aku mengantarnya sampai di bibir beranda"
tempat biasa kita duduk makan rujak mangga. Ia membawa tas berisi baju dan celana yang aku hafal betul
warna-warnanya. Kalian tetap di kamar, menangis. Perceraian selalu diberi hadiah air mata, kado kesedihan.
Selalu begitu adanya. Maafkan kami. Maafkan aku.
Sebelum Rusdi pergi, mata lembap kami bersalaman
diam-diam. "Tidak perlu berusaha melupakan pohon mangga itu.
Kau harus tahu lupa adalah lahan subur kenangankenangan. Biarkan ia mengalir seumpama sungai. Saat9
nya akan tiba, kau akan betul-betul lupa, Kukila," katanya.
Rusdi memindahkan tatapannya ke pohon mangga
yang batangnya tinggal selutut, lalu pergi tanpa menoleh
lagi. Aku melihat tubuhnya pelan-pelan mengecil. Sepasang mataku mencium punggungnya hingga ia hilang
ditelan tikungan jalan"dan kesedihanku tumbuh bertambah besar.
Aku berbalik dan masuk. Aku membiarkan pintu terbuka sebagai jawaban. Pintu terbuka itu berkata: Rusdi,
aku sepakat dengan kalimat-kalimatmu. Sangat sepakat.
Aku tidak perlu bersikeras melupakan pohon mangga
itu. Parang telah menumbangkannya.
Dengan ujung lengan daster, aku hapus sisa-sisa air
mata. "Ya, betul. Aku tidak perlu berupaya lupa," aku
berbisik kepada telinga sendiri.
Di depan kamarmu, Rora, aku berdiri persis sebatang
lilin leleh oleh api. Tanganku kaku di jarak sejengkal
sebelum sampai di daun pintu. Pintu kamarmu rapat
terkunci, serupa ribuan "tidak" diteriakkan dengan
benci paling sempurna. Aku masih berdiri di situ saat
tiba-tiba dua lagi pintu dibanting berturut-turut, mengagetkan aku. Setiap prak! adalah tambahan ribuan
"tidak" bagiku. Tanganku jatuh bagai daun-daun kering
pohon mangga. Aku sedih kalian membanting pintu tan10
pa mengerti perasaanku, tetapi aku tak bisa marah pada
kalian. Aku bisa memahami perasaan kalian.
Dalam duduk, aku panjatkan doa-doa. Doa-doa saja,
tanpa air mata. Doa-doa panjang. Aku tidak mampu
menemukan pilihan kata yang baik dan kalimat pendek.
Sebenarnya aku ingin berkata: Tuhan, kokohkan aku,
kokohkan Rora dan adik-adiknya. Lalu berkali-kali kata
"amin" aku letakkan di ujung doa. Rusdi barangkali
berada di kursi sebuah bus waktu itu, kendaraan yang
membawanya menjauh ke entah. Jauh meninggalkan
aku, kalian, dan beranda. Ia pergi dari rumah dan melupakan pohon mangga di halaman yang telah ia tebang.
?"" NAK, dua hal aku benci dalam hidup: September dan
pohon mangga. September tiba selalu dengan kemarau
tajam. Di halaman, bunga-bunga butuh disiram. Pohon
mangga, batangnya tetap selutut. Aku pernah melihat
ada tunas kecil tumbuh di situ, lalu kering dan mati.
Pohon itu butuh bulan hujan, bukan September. Setiap
sore, di beranda, aku duduk melihat taman sekarat,
sementara kenangan tumbuh subur di mana-mana.
Tentang rujak mangga. Tentang Rusdi dan tawa kalian.
Juga tentang rahasia-rahasia.
Rumah sepi serupa surau tua sejak Rusdi pergi. Tawa
kalian kuduga ikut terlipat di koper-koper Rusdi dan
terbawa ke kota lain. Kalian memilih membeli rumah baru, sendiri-sendiri:
jalanan, warung, dan entah di mana lagi. Setelah lelah
di luar rumah, pagi hari kalian kembali beberapa jenak
menitip pejam pada bantal, lalu pergi lagi pada sore
hari. Pagi tanpa sapa selamat pagi. Siang hari aku
sendiri di meja makan. Malam aku sepi sempurna. Aku
sungguh berumah dalam sepi.
Aku ingin mati di bulan September yang kemarau
seperti bunga-bunga di halaman. Tetapi mati tidak bisa
dipesan lalu seseorang mengantarnya serupa pesanan
dari restoran cepat saji yang iklannya ada di televisi.
Aku ingin ditebang serupa pohon mangga. Dibakar di
tempat sampah dan abuku menyuburkan rerumputan
liar di halaman. Tetapi mati yang kuinginkan separuhnya dibawa Rusdi pergi, selebihnya dibagi-bagi di antara
kalian. Aku tubuh semata. Percuma. Tubuh kosong
tanpa apa-apa lagi di dalamnya, kecuali perasaan-perasaan yang berubah kalimat-kalimat ini. Aku telah
mati, rupanya. Aku telah mati jauh malam sebelum semua doa-doaku tiba di alamat Tuhan.
Kenangan terus tumbuh serupa hutan belantara. Di
dapur. Di kamar mandi. Di beranda. Di halaman. Di
tempat tidur. Di dinding. Di langit-langit. Di tangga.
Bahkan pernah suatu sore selepas mandi, aku menemu12
kan kenangan tumbuh di kepalaku"warnanya mirip
warna abu kretek Rusdi. Aku pernah bermimpi kalian bermain petak umpet di
hutan itu. Namun, kalian sudah terlalu besar untuk
permainan petak umpet. Kalian memilih bermain di
udara yang lebih lapang, bukan di hutan kenangan.
Bukan main petak umpet. Kalian punya rumah masingmasing.
?"" NAK, dua hal aku benci dalam hidup: September dan
pohon mangga. September tidak pernah mau beranjak
dari rumah. Betah. Ia sibuk meletakkan neraka di seluruh penjuru. Di ruang tamu. Di ranjang. Di meja makan. Bahkan di dada. Batang pohon mangga tetap selutut persis prasasti batu. Ia berdiri mengekalkan
dosa-dosa"dan dosa adalah pemimpin yang baik bagi
penyesalan-penyesalan. Aku ingin September pergi dari rumah, menyusul dan
memanggil Rusdi kembali. Aku ingin ia mencabut pohon mangga selutut itu agar bisa melupakan seluruh
kenangan. Tetapi tanganku terlalu lemah untuk mencabut akar pohon mangga yang tertanam kuat itu. Aku
ingin Rusdi membantu aku mencabutnya. Setelah itu,
biarlah Rusdi pergi ke mana ia suka, setidaknya aku
sudah bisa tidur kembali.
Aku tidak punya tidur yang bisa dihitung bahkan
dengan sebelah jemari kiriku sendiri. Pohon-pohon
melilit tubuhku setiap rebah di tempat tidur.
Berapa harga sebuah Januari" Aku ingin memiliki
Januari yang basah. Bulan yang menghapus gerah-gerah.
Tapi Januari atau September bukan cincin yang dipajang
di etalase toko, yang bisa kita beli kalau uang cukup
dan kita jual atau kita tukar bila tidak suka. September
adalah utusan Tuhan untuk menemani manusia yang
memanggul dosa-dosa di pundaknya, seperti aku, ibu
kalian. September tinggal bagai di rumah sendiri. Aku tamu
saja. Menumpang istirahat. Aku tidak bisa menolak kemauan tuan rumah. Di ruang tamu, beranda, dan di
kamar tidur aku hanya bisa menangis diam-diam. Padahal, aku pikir air mata telah kemarau seperti September.
Ternyata di mataku ada mata air yang tidak memiliki
usia, yang tidak mengenal mati. Mata air itu menyediakan minum buat hutan-hutan. Pohon-pohon kenangan.
Belantara kenangan itu. Aku sering mengenakan daster yang aku pakai pada
hari saat Rusdi pergi dari rumah. Ujung lengannya pintar menyerap air mata. Sekarang, aku tidak lagi bisa
mengenakannya. Di sana, di lengannya, tumbuh hutan
subur. Di depan cermin setiap hari aku temukan hutanhutan baru tumbuh di tubuhku. Terakhir, aku lihat hu14
tan tumbuh di sepasang kelopak mataku. Akar-akarnya
kekar menghunjam. Tanganku tidak kuat mencabutnya.
Semakin aku menangis, semakin hijaulah hutan-hutan
itu. Dan kalian, aku tidak tahu di mana beradanya.
?"" KALIAN, anak-anakku, semakin susah ditemukan di rumah. Malam itu, apakah kalian ingat" Aku menunggu
di beranda. Aku harus bisa bicara kepada kalian. Besoknya, aku tahu September sudah berangkat digantikan
Oktober. Oktober biasanya datang membawa butir-butir
hujan yang sedih. Seperti bulir-bulir air mata. Hujan sedikit, hujan sakit. Hujan yang tidak pernah sungguhsungguh menghapus dosa-dosa dan debu, apalagi kenangan.
Satu per satu kalian tiba tanpa seucap selamat malam. Aku tahu perasaan yang menumpuk di tubuh kalian semua. Aku tahu kalian tidak ingin punya orangtua
yang berpisah. Namun sebelum kalian lupa siapa nama
ibu kalian, aku harus mengatakan satu hal. Aku mengajak kalian ke meja makan. Dulu, di meja itu kita sekeluarga sering tertawa bersama. Malam itu aku tidak
menemukan satu gema tawa lagi di sana, paling bisik
sekalipun. Di meja itu pula Rusdi memutuskan cerai,
membuat air mata derai. Tidak ada apa-apa di meja makan selain diam. Itu
lebih kejam daripada bantingan pintu. Kalian diam dan
tidak senang dengan suasana semacam itu. Tanpa dikomando, satu per satu kalian meninggalkan aku sendiri
di meja makan"seperti biasa. Kalian bahkan tidak
memberi sedikit waktu untuk aku bicara. Tetapi, sekali
lagi, itu bukan salah kalian.
Andai saja kalian tinggal beberapa menit lagi menemaniku malam itu. Aku akan membuka percakapan
dengan sebuah kalimat yang sudah aku persiapkan, namun susah aku katakan.
"Maaf, aku menunda istirahat kalian. Aku mau bicara. Setelah itu, kalian boleh pergi mencari mimpi paling indah kalian masing-masing."
Waktu itu aku akan bicara seolah aku bukan ibu kalian, harus meletakkan kata "maaf" di awal kalimat.
Setelah itu aku tahu kalian akan mengangkat mata
kalian dan menaruhnya di wajahku, seperti mengempaskan tubuh dan beban berat pikiran kalian di tempat tidur.
Lalu aku akan mulai menjelaskannya.
"Kalian barangkali ingin Ayah kembali ke rumah."
Sengaja aku tegas pada kata "barangkali", sebab aku
tidak lagi tahu apa yang ada di pikiran kalian.
"Jujur, aku juga?"
Setelah itu mungkin aku akan berhenti sesaat. Mungkin Rora atau kalian semua menahan kata-kata di bibir
dengan cibir. Lalu salah satu di antara kalian mungkin
mengucap sebaris sindir yang nyinyir.
"Mengapa Ibu dan Ayah berpisah dan mengorbankan
kami?" Pertanyaan itu aku tahu tersimpan di kepala kalian
sejak hari kepergian Rusdi dari rumah.
"Nak, aku yang salah. Maafkan aku."
Setelah kalimat itu, mungkin aku akan berhenti sekali
lagi, menata napas beberapa menit. Aku akan menangis.
Kalian juga mungkin akan menangis"mungkin juga
malah tertawa. "Ia pergi karena aku. Ia tidak tahan lagi. Rusdi itu
mandul. Kalian adalah anak-anak orang lain, bukan
anak Rusdi." Mungkin suasana akan menjadi hening seperti bumi
sebelum berisi apa pun. Aku akan kesulitan menghirup
kekuatan dari udara sehening itu.
"Awalnya Rusdi sepakat aku tidur dengan lelaki itu.
Tetapi aku mau punya satu anak lagi, seorang anak lelaki. Suatu pagi, ia menemukan aku melakukannya lagi
dengan orang itu. Ia sudah tidak kuat lagi menahan semua yang ada di dadanya."
Semua kalimat itu, jika kalian ada waktu itu, akan
bercampur dengan air mataku. Mungkin seperti sayur
yang terlalu asin. "Ya, Rusdi bukan ayah kalian. Kalian semua adalah?"
Aku pasti akan susah menyebut nama lelaki itu,
nama ayah kalian. Aku akan menghirup kekuatan lagi,
berkali-kali, sebelum bisa menyebutnya. Air mataku
akan semakin deras mengalir. Mata memang hadir seperti sungai, hadir untuk mengalirkan air.
?"anak Pilang."
Mungkin setelah mengetahui semua ini, kalian akan
bertambah marah padaku. Tetapi aku tidak mau lelah
terus mengucapkan berkali-kali: maafkan ibumu ini.
Mungkin kalian akan mengunci rapat, serapat-rapatnya,
pintu kamar kalian masing-masing.
?"" ANDAI saja kalian pernah mendengar sebuah kisah yang
turun-temurun didongengkan kakek-kakek kita tentang
sebatang pohon tua, kalian pasti akan bertambah kaget.
Kakekku mendapatkan kisah itu dari ayahnya, lalu ia
menceritakannya kepada anaknya hingga sampai ke
telingaku. Anehnya, tidak ada yang tahu siapa yang memulai kisah itu sesungguhnya. Dan hingga kini, aku
belum pernah berani menceritakannya kepada kalian.
Karena kalian akan tahu bahwa aku adalah Kukila dan
ayah kalian adalah Pilang.
Aku tidak pernah membayangkan mengapa bisa terjadi begitu banyak perihal yang tidak mampu diterima
akalku di bawah lengkung langit ini. Salah satunya
adalah bahwa kalian anak sepasang manusia yang
namanya sama persis dengan tokoh dari sebuah dongeng.
Namaku, jika kalian belum tahu, menurut kakekmu
diambil dari kisah itu. Syukurnya, ia tidak pernah tahu
bahwa nama ayah kalian sebenarnya juga sama dengan
nama salah satu tokoh kisah itu. Sebagai anak tunggal,
Kukila Rahasia Pohon Rahasia Karya M. Aan Mansyur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
aku selalu tidur bersama kakek kalian hingga beberapa
bulan sebelum aku menikah dengan Rusdi. Justru beberapa saat sebelum aku menikah kakekmu menceritakan dongeng itu kepadaku. Nenek kalian meninggal saat
aku baru berusia satu tahun. Itu pun aku tahu dari cerita kakek kalian. Aku bahkan tidak pernah melihat
wajah ibuku. Tidak ada fotonya yang bisa aku lihat.
Tidak banyak hal diceritakan kakek kalian tentang
nenek kalian padaku, kecuali bahwa ia seorang penari
dan penyanyi bersuara cantik yang punya kenangan
buruk dengan sejumlah tentara. Konon, waktu kecil aku
juga pernah menyebut penari sebagai cita-citaku.
Meskipun ayahku, kakek kalian, selalu mengatakan
ceritanya sungguh-sungguh terjadi, aku tidak pernah
sepenuhnya percaya. Aku selalu merasa semua itu hanya
dongeng ciptaannya sendiri demi membuat kisah hidupnya terdengar menarik. Atau justru kisah itu terinspirasi
oleh namaku, untuk membuatku senang. Untuk membahagiakan aku.
Satu-satunya hal yang aku percayai kini adalah se19
bagian kisah itu sungguh-sungguh telah terjadi dalam
kehidupanku, dan kehidupan kalian. Seperti sebuah ramalan yang telak.
Tentu tidak banyak hal lagi yang bisa aku katakan.
Kecuali bahwa Macawe, kota kecil tempat lahir kalian
ini, sudah bertumbuh semakin dewasa, orang-orang menyebutnya begitu. Tetapi aku punya pendapat lain. Kota
ini tumbuh ke arah lebih mengerikan. Gunung-gunung
yang memagarinya, gunung-gunung yang hijaunya dulu
menyegarkan biji-biji mata, telah berubah lain. Kini,
bagiku, gunung-gunung itu tinggal onggokan tanah raksasa menunggu tumpah ke atas atap-atap rumah, termasuk rumah kita ini. Jika kalian punya waktu, sejenak
saja, kembalilah dan lihatlah semua itu. Siapa tahu kalian
punya komentar sendiri. Anak-anakku semua, awalnya aku takut mengatakan
satu hal ini. Namun, apa pun yang kalian rasakan setelahnya, aku akan tetap mengatakan bahwa aku selalu
merindukan kalian semua. Aurora, Nawa, dan engkau
satu-satunya anak lelakiku, Janu, aku merindukan kalian. Aku merindukan kalian seperti sungai kering di
musim kemarau merindukan air mengaliri tubuhnya.
Seperti akar-akar pohon merindukan hujan. Begitulah
seorang ibu merindukan anak-anaknya.
Jika kalian punya sayap, terbanglah ke sini. Dan, kalian tahu, aku tidak berhenti percaya kalian masing-masing memiliki sepasang sayap. Tuhan pernah me20
nanamnya di punggung kalian masing-masing jauh hari
sebelum kalian mengenal kata "terbang". Ibumu ini,
yang celaka, merindukan kalian tiada kepalang.
BANYAK tahun telah memisahkan hari itu dan hari-hari
saat mereka masih sepasang kekasih. Sebuah reuni yang
tidak terlalu ramai mempertemukan Pilang dan Kukila
kembali sebagai dua orang yang hampir asing satu sama
lain. "Aku dengar kau mau menikah."
Di sela-sela suara musik dan lagu lama dari speaker
yang diletakkan di sudut-sudut ruangan, Pilang memulai
perbincangan. Kalimat itu terdengar kaku seperti otototot seorang atlet yang lama tidak bergerak.
"Kau tahu dari mana?"
"Menurutmu?" Lagu lama yang dinyanyikan dengan cara baru oleh
suara seorang perempuan yang tidak mereka kenal terus
membisingkan ruangan. Kebisingan lagu itu di kemudian hari akan menumbuhkan biji-biji kenangan. Ada
sejumlah hal lama yang jika disentuh dengan cara baru
akan menjadi puisi, sesuatu yang asing dan akrab sekaligus. Kukila tidak menemukan jawaban. Ia kembali bertanya.
"Dari mana?" "Dari ayahnya Rusdi."
"Apa?" "Dari Tumbra. Kita bicara di luar saja. Di sini terlalu
bising." Pilang mendekatkan bibirnya ke kuping Kukila. Ia
tidak ingin Kukila bertanya lagi. Tanpa kata "ya",
Kukila berdiri dan melangkah ke luar. Pilang juga berdiri dan berjalan mengikuti Kukila. Mereka merusak
konsentrasi beberapa orang yang harus mengubah posisi
kaki sejenak agar mereka bisa lewat.
Mereka menemukan sofa di lobi hotel tempat reuni
berlangsung"salah satu dari sedikit hotel di Macawe.
Sofa berwarna cokelat dengan meja kaca bertaplak cokelat sedang kosong tanpa siapa-siapa sedang bercakap
di sana. Tempat yang pas untuk menemukan kembali
diri mereka masing-masing yang telah asing.
"Aku mengenal calon suamimu."
Pilang menatap mata Kukila entah mencari apa di
sana. Sepasang mata yang ditatap itu sedang menatap
sesuatu jauh di depannya, sesuatu yang mungkin tidak
ada. Seperti segala sesuatu di hadapannya sebening kaca
jendela. Jauh sekali mata itu dilempar ke seberang dinding hotel.
"Rusdi itu sahabatku sejak SMP. Kami seperti saudara sendiri."
Kukila tetap diam dan melempar matanya entah ke
mana. Pilang tidak tahu cara mengembalikan sepasang
mata Kukila ke matanya. Ada sesuatu yang ingin Pilang
cari dari sepasang mata bening kelereng-masa-kecil itu.
"Ia lelaki baik. Amat baik. Kau tidak perlu mengkhawatirkannya."
"Tetapi aku khawatir. Seharusnya kau tahu, aku tidak pernah dekat dengan satu lelaki pun sejak kita berpisah."
Akhirnya Kukila kembali dari pengembaraannya
membawa kalimat yang tidak ubahnya semangkuk sup
tertumpah tidak sengaja. Kukila kaget"mengapa ia mengatakannya. Pilang tahu Kukila telah melakukan kesalahan yang indah dengan menyebut kalimat itu. Pilang
menyembunyikan senyum yang seharusnya kembang sebagai timpalan perasaannya yang lagi senang. Ia tidak
mau Kukila menutup kembali jendela kenangan yang
sudah separuh kuak itu. Pilang ingin seluruh jendela dan
bahkan pintu terbuka agar ia bisa masuk ke sana mengunjungi lagi masa lampau.
Masa lalu tidak pernah hilang. Ia ada tetapi tidak
tahu jalan pulang, untuk itu ia menitipkan surat"kadang kepada sesuatu yang tidak kita duga. Kita menyebutnya kenangan.
"Aku tahu. Aku juga tidak pernah dekat dengan perempuan mana pun. Tetapi Rusdi lelaki yang tidak perlu
kauragukan." "Bagaimanapun pernikahan kami akan berlangsung.
Aku tidak tahu bagaimana cara menolaknya."
"Selamat, dan semoga kalian berbahagia. Aku cemburu sebenarnya?" Kukila tiba-tiba berbalik ke arah
Pilang. Ia menangkap sesuatu yang lain dari kalimat
yang baru saja ia dengar. Sesuatu yang datang dari masa
lalu. Sesuatu yang segar, meskipun tidak seharusnya lagi
seperti itu. Hanya udara yang berputar-putar di lobi hotel yang
mengerti apa yang ada di dada dua orang itu, selain masing-masing pemiliknya.
Kukila berbisik, "Cinta monyet kita dulu itu tidak
lagi bisa kita sesali."
"Ya. Mungkin hanya pantas untuk kita kenang. Anggap saja lelucon. Tetapi?"
"Tetapi apa?" "Sudahlah! Apa kesibukanmu sekarang?"
"Kau tidak ingin tahu?"
Mereka berdiri nyaris serempak, lalu berjalan menuju
ruang reuni tanpa bicara apa-apa lagi. Kepala mereka
dipenuhi perihal yang barangkali Tuhan pun tidak tahu.
Langkah-langkah mereka saja yang bicara. Mereka berdua memilih tidak lagi bersapaan. Langkah-langkah
mereka seperti hitungan yang sedang mengira-ngira sesuatu, entah apa.
Mereka memilih diam"justru karena mereka barangkali akan saling memahami dengan cara itu.
SEHARI sebelum pesta pernikahannya, Kukila menerima
kado dari Pilang: buku bersampul hijau daun dan sepucuk amplop berisi catatan.
Pilang tidak pernah lupa Kukila tergila-gila pada
warna hijau, seperti ia menggilai lagu-lagu lama. Warna
hijau yang mendominasi barang-barang itu telah menyejukkan Kukila. Matanya, dadanya, dan ingatannya. Semuanya persis pohon-pohon menemukan hujan yang
telah lama mereka rindudoakan. Seperti debu-debu
beterbangan yang akhirnya menyatu dengan tanah yang
dirindukannya karena hujan.
?"" AKU tidak bisa datang. Besok aku harus melakukan sesuatu yang penting"mungkin juga tidak penting tetapi
menjadi penting karena aku tidak mau melihat kalian di
pelaminan. Sekembalinya dari reuni ada yang mengatakan kepadaku sesungguhnya aku tidak rela melihatmu
menjadi milik orang lain. Ia datang dari dalam, tempat
yang bahkan cahaya matahari tidak pernah mampu
menjangkaunya, tempat kau selalu ada. Aneh dan tidak
bisa diabaikan. Tetapi, baiklah, aku juga ingin mengucapkan hal klise
ini: selamat menempuh hidup baru. Aku tahu, kalian
akan berbahagia"dan aku harus belajar berbahagia dengan cara yang belum aku temukan.
Bersama catatan pendek ini aku melampirkan satu
lagi kado kecil: sedikit catatan harian yang berkisah tentang kau"tentang kita, tepatnya. Semoga bisa melengkapi lucunya cinta kita yang kekanak-kanakan dulu.
Terima kasih, waktu itu mau menemaniku bicara.
Apakah kau memperhatikan musik yang mengalun pelan di ruang lobi waktu itu" Lagu itu, seperti air menyiram bunga yang pernah hampir mati dimakan musim
kering. Lagu yang sering kita nyanyikan bersama dulu
itu kembali tidak bisa berhenti mengalun di ingatanku.
Seperti juga suaramu hari itu...
?"" KUKILA-kukila-kukila-kukila. Namanya sangat indah.
Aku sangat mencintainya. Tetapi aku tidak boleh mencintainya. Ibu marah setiap kali aku menyebut namanya.
Kenapa harus seperti itu" Apakah karena kami berbeda
agama" Agama. Agama. Agama. Agama. Mungkin itu
yang membuat Ibu tidak mau mendengar nama Kukila.
Apakah itu penting" Apakah seorang Pilang tidak boleh memiliki kekasih
seorang Kukila yang berlainan agama" Tetapi, aku mencintainya. Sungguh. Sungguh-sungguh.
Kukila. Tahi lalat di ujung alis kirinya seperti jimat.
Ia meneluhku, membuatku mencintainya tidak kira-kira.
Tetapi ia Islam, kata Ibu. Kaki-kakinya yang lincah
membuatnya seperti seekor burung tidak lelah terbang.
Sungguh membuat aku bahagia. Tetapi ia Islam, kata
Ibu. Maka tadi siang, aku memutuskan pergi darinya.
Aku seperti bajingan, pengecut. Memutuskan untuk berpisah tanpa penjelasan pasti menyakitkan. Aku telah
menyakiti hati Kukila. Kukila. Mungkin ia mengira aku tidak mencintainya
lagi. Kukila pasti tidak tahu sungguh aku tidak menginginkan perpisahan. Tetapi karena berbeda agama, kata
Ibu, maka kami harus berpisah. Catatan harianku, apakah kau sepakat jika aku mengatakan agama itu rupanya sebuah beban mahaberat" Aku yakin telah berjutajuta pasangan kekasih ditimpa beban berat agama,
seperti penduduk kampung tertimpa musibah, bencana.
Mereka harus bercerai, terlerai. Sungguh beban berat.
Bukankah aku dan Kukila masih terlalu muda untuk
menanggung beban berat semacam itu"
Aku ingin menangis. Menurutmu, apakah Pilang, sebagai lelaki, tidak boleh menangis"
Apa pun jawabmu, aku ingin menangis. Tidak dengan tersedu-sedu, tetapi meraung-raung, karena telah
membunuh seorang gadis yang paling aku cintai"tanpa
bisa menjelaskan kenapa ia harus mati di tanganku.
Aku mencintainya. PILANG, suatu waktu nanti kau harus datang ke rumah
kami. Kita makan malam bersama. Maaf, aku baru punya waktu membalas catatan yang engkau kirimkan
tempo hari. Kau betul. Rusdi lelaki baik. Sangat baik. Awalnya
aku cemas harus menerima lelaki pilihan ayahku. Tetapi
kata-katamu di reuni telah memberiku sedikit kekuatan
untuk mencoba menerimanya. Mencobanya.
Membaca catatan harian yang kaukirimkan juga
membuatku sedih dan setelahnya tertawa. Cinta kita
dulu yang kekanak-kanakan itu memang lucu. Tetapi
semua itu tentu tidak layak disesali. Apalagi, seperti
katamu, suamiku lelaki yang betul-betul baik hati.
Agar setimpal, aku juga menyertakan catatan yang
aku tuliskan saat kita berpisah. Sengaja juga aku kirimkan kepadamu, agar kelak tidak menjadi masalah bagi
Rusdi. Aku khawatir ia menemukan dan membacanya.
Aku tidak mau bermasalah dengan lelaki itu.
Sekadar untuk kau tahu, tulisan itu satu-satunya hal
yang mengisi buku catatan harian yang kauhadiahkan
di ulang tahunku. Dan tertawalah, sebab sungguh banyak hal lucu yang pantas ditertawakan dalam tulisan
itu. Satu hal lagi, namaku dan namamu entah mengapa
bisa persis sama dengan nama tokoh dalam cerita yang
sering dikisahkan ayahku. Ini betul-betul menjadi pertanyaan yang tidak pernah mampu aku jawab. Mengapa
bisa begitu" Mungkin kebetulan belaka. Aku baru memikirkannya kembali setelah menerima suratmu tempo
hari. ?"" NAMAKU Kukila. Kau tahu artinya" Kalau kau mencarinya di kamus, mungkin kau akan menemukannya.
Namaku hanyalah sebuah nomina sederhana. Kata itu
sering digunakan dalam kesusastraan klasik, artinya burung. Kata Ayah, aku seekor burung yang cantik dan
lincah. Sejak kanak, kaki-kaki kecilku tidak pernah bisa
tenang. Ia selalu meloncat-loncat dan menari persis sepasang kaki burung. Jika lantai, jalan raya, dan kasur
adalah dahan pepohonan, aku pasti seekor burung yang
suka meloncat dari satu dahan ke dahan lain.
Selain karena Ayah suka memelihara burung, aneka
jenis burung, yang sangkarnya memenuhi cabang-cabang
pohon yang ia tanam memenuhi halaman rumah, karena
sebuah dongenglah akhirnya aku bernama Kukila. Aneh.
Aku susah memercayainya. Ayah kadang memanggilku burung pipit, kadang burung dara, kadang burung hantu. Katanya aku memiliki
sepasang mata burung hantu. Namun, sesungguhnya,
aku lebih senang jika ia menyebutnya mata gadis penari.
Seperti Ayah, Pilang sangat suka namaku. Ia senang
mengulang-ulangnya. Kukila-kukila-kukila-kukila. Ia
menyebutnya seperti seorang dukun sedang merapalkan
mantra-mantra. Jika Pilang bahagia atau meminta sesuatu dariku, ia akan melafalkannya tiga atau empat
kali dengan sangat halus"nyaris seperti bisikan. Jika ia
sedang marah, ia akan meneriakkannya satu kali dengan
sangat singkat"seperti sedang melemparkan sesuatu
yang runcing ke batang pohon pisang"menancap dalam. Tetapi, Pilang jarang marah, nyaris tak pernah.
Kalau ia marah, pasti karena kesalahan yang betul-betul
aku lakukan. Sejak tahu aku bernama Kukila, Pilang jatuh cinta
kepadaku, katanya. Aneh, pikirku, orang jatuh cinta
hanya karena nama. Pilang siswa paling tampan di sekolah"menurutku. Aku hanya seorang adik kelas yang
terlalu sering mencari perhatian untuk mencuri perhatian dengan melintas di depan kelasnya saat menuju
kantin. Selebihnya aku hanya seorang gadis pemegang
juara harapan yang cerewet seperti burung nuri. Pertanyaannya, kenapa Pilang menginginkan aku jadi kekasihnya" Hanya karena namaku kedengaran indah di
telinganya" Tetapi, tetapi sekarang apakah penting aku ketahui
mengapa Pilang jatuh cinta kepadaku" Tidak penting!
Cukuplah aku tahu bahwa ia menyukai namaku"dan
mungkin betul karena itulah ia jatuh cinta. Toh, sekarang ia sudah bukan kekasihku lagi.
Pilang. Namanya aneh. Kau tahu artinya" Diam-diam
aku pernah mencari namanya di kamus"di perpustakaan sekolah, pada suatu hari. Ternyata, kata itu berarti pohon yang tingginya bisa mencapai 25 meter.
Dalam buku pelajaran biologi, ia bernama Acacia leu"
cophloea, pohon akasia. Aku sangat menghafalnya.
Sungguh serasi ya" Aku seekor burung. Ia sebatang pohon. Lucu.
Itu kemarin. Itu dulu. Sudah berlalu. Seminggu lalu
ia memutuskan untuk mengusirku dari dahannya"entah
karena apa. Sialan! Sekarang aku harus merayakan Valentine sendiri saja.
Aku sendiri di sini, di kamar ini"bersama kau, catatan
harianku. Padahal aku tidak suka dan tidak terbiasa
menulis dan seolah-olah bicara kepada lembar-lembar
kertas. Bukankah ini tulisan pertamaku di lembaranmu"
Seyogyanya, malam ini aku sedang duduk bersama Pilang sambil menyeruput teh hangat dan penganan yang
sudah susah payah aku pelajari cara memasaknya"juga
sebatang cokelat yang ia janjikan. Tapi, ia sialan!
Pilang. Pohon itu mungkin kini di dahannya sedang
bertengger seekor burung lain. Atau tidak sekadar ber31
tengger, tetapi membuat sarang di sana. Apakah burung
itu lebih cantik dariku" Kenapa Pilang tidak menunggu
sampai Valentine berlalu saja dulu" Setelah itu ia boleh
Kukila Rahasia Pohon Rahasia Karya M. Aan Mansyur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
saja mematahkan rantingnya, tempatku bergelayut.
Kenapa" Masih aku ingat sebulan lalu, saat merayakan ulang
tahunku bersamanya di kantin sekolah, ia berjanji datang membawa kado untukku, lalu bicara banyak tentang apa saja. Tetapi, tetapi ia tidak menepati janjinya
itu. Catatan harianku, aku tidak mau menangis! Kalau
aku harus memilih, aku lebih suka menyanyi seperti burung pagi daripada menangis seperti burung malam.
Sakit, sakit memang, namun aku tidak mau menjatuhkan setetes pun air mataku untuk hal itu. Percuma! Bukankah ada banyak Pilang, ada banyak pohon" Aku
hanya ingin mengutuk kemalangan diriku sebagai gadis
yang tidak memiliki kekasih di hari Valentine. Itu saja.
Besok, aku putuskan menjadi baru. Untuk itulah aku
menulis, mengatakannya kepadamu. Tetapi, tetapi apa
yang harus menandai kelahiranku sebagai seorang baru"
Apakah kau punya ide" Sekarang sudah larut, aku mulai
mengantuk, tolong katakan kepadaku apa yang harus
aku lakukan. Baiklah, sekarang aku mengerti apa yang harus kita
lakukan. Mengubah nama! Kukila, apakah kau suka
nama itu" Jangan, jangan katakan kau menyukainya se32
perti Pilang! Sebaiknya kau mencarikan nama baru
untukku. Sebelumnya kita sepakati Kukila telah mati"
mati dibunuh Pilang. Haha. Lucu. Nah, sekarang siapa
namaku" Kulai" Nama bagus! Aku memang tidak suka
nomina. Kata benda adalah kata yang pasif, tidak menggambarkan diriku. Aku ingin menjadi kata kerja, verba.
Kulai itu kata kerja, kan" Kulai terkulai. Hahaha. Mulai
besok akan aku perkenalkan namaku sebagai Kulai.
"Kenalkan, namaku Kulai." Mungkin seorang lelaki
akan mengatakan, "Wah, namamu indah dan aneh.
Maukah kau jadi pacarku?"
Kulai, panggil aku Kulai! Malam ini, Kulai terkulai.
Hahaha. Tidak apa-apa. Besok Kulai akan mulai"memulai sesuatu yang baru. Kau tahu kenapa" Karena aku
tidak mau menangis! Sekarang kita juga harus membunuh lelaki pembunuh
itu. Pilang. Ia juga harus mati. Pilang, sebatang pohon
itu, harus mati! Ia sepertinya cocok kita beri nama
adjektiva. Ia cocok menjadi kata sifat, untuk sifatnya
yang buruk. Bagaimana kalau kita beri nama Pilak" Kau
tahu apa itu pilak" Pilak itu artinya b-a-n-g-s-a-t, bangsat. T-e-r-k-u-t-u-k, terkutuk. Hahaha. Sungguh pas untuknya, bukan"
Aku harus tidur sekarang. Besok aku harus tampil
baru dan lebih segar di sekolah, di depan Pilang, maksudku Pilak.
Eh, satu lagi. Sebaiknya kamu juga punya nama
baru. Aku terlalu susah memanggilmu dengan "catatan
harianku" terus-menerus. Kamu mau dipanggil dengan
nama apa" Dulai" Dulai-dulai-dulai-dulai. Hehehe. Lucu
juga. Selamat istirahat, Dulai!
PILANG, kau tahu persis siapa diriku sebenarnya. Semuanya kaupahami bahwa aku menikahi Kukila karena
harus melakukannya. Karena ayahku dan ayahnya. Apa
itu" Aku tidak tahu. Seperti dulu, sampai sekarang,
anak lebih banyak tidak paham kemauan orangtua.
Dua tahun sudah berlalu, tetapi demi Tuhan, aku tidak pernah punya gairah menjamah istriku. Aku tidak
memiliki gairah bahkan untuk sekadar memeluk Kukila.
Aku sudah mencobanya berkali-kali, tetapi aku tidak
mampu. Kukila di mataku terlihat seperti adikku sendiri. Tidak perlu kau memberiku bermacam-macam saran dan tips dan trik atau apa pun namanya tentang
bagaimana hal itu bisa kulakukan. Tidak akan ada
gunanya. Aku sudah mencoba segala cara. Aku gagal.
Baiklah, aku jujur saja. Kau, sekali lagi, mengerti
siapa aku ini. Penisku tidak bisa berdiri untuknya, Pilang. Jangan tertawa!
Selama ini, sesungguhnya hal itu tidak pernah men34
jadi masalah bagiku dan bagi Kukila. Aku bisa menjadi
suami yang baik. Aku menuruti semua kemauannya. Ia
juga tidak memiliki banyak permintaan. Kami saling
menyayangi"seperti sepasang adik-kakak. Namun aku
tidak mampu memenuhi kemauan orangtuanya dan
orangtuaku. Mereka ingin kami memiliki anak. Pernikahan tanpa anak, bagi mereka, tidak menciptakan
keluarga. Kau tahu" Mereka telah menganggap pernikahan
yang tidak dianugerahi anak sebagai pernikahan yang
dikutuk. Kutukan paling celaka. Kau tahu, aku dan
Kukila sama-sama anak tunggal. Orangtua kami meletakkan harapan satu-satunya kepada kami agar generasi mereka berlanjut. Mereka tidak mau punah. Mereka takut tidak memiliki penerus. Pret! Meski aku dan
Kukila tidak terlalu peduli apakah kami memiliki anak
atau tidak. Pilang, aku sudah membicarakannya dengan Kukila.
Hal ini mungkin akan membuatmu berpikir aku gila.
Tetapi, ini pilihan buruk paling baik. Kau harus menolong kami. Aku mohon, tidurlah di ranjang kami, bersama Kukila.
Oke, aku gila. Tetapi, demi aku atau demi Kukila
atau demi apa pun yang membuatmu mau, jangan mengatakan tidak untuk hal ini. Jangan pernah berpikir
kau menyakiti aku. Kukila tidak keberatan. Besok ma35
lam aku menunggumu di rumah. Kukila pandai memasak, kita makan malam bersama.
BERSAMA Nirtri, teman kerjanya, Aurora menunggu
hujan reda di suatu kafe. Senja yang seharusnya jingga
tidak muncul sore itu. Hujan menguasai seluruh udara
di luar jendela. Jalan-jalan basah. Mobil-mobil basah.
Pejalan kaki melangkah gegas atau berlari menghindari
basah. Cuaca mulai jahat, pikir Aurora.
Dengan berbatang-batang rokok, Aurora memikirkan
apa yang seharusnya ia tuliskan dalam surat balasan
kepada ibunya. Nirtri tenggelam dalam iklan-iklan di
halaman majalah wanita di hadapannya. Cangkir-cangkir telah lama ditinggalkan uap larutan kopi. Suasana
beku oleh hujan di luar jendela dan acid jazz samar dari
speaker yang dipasang di langit-langit berwarna kayu
kafe itu. Mereka berdua di meja yang sama, tetapi mereka masing-masing sendiri.
?"" IBU, surat yang kaukirim sudah aku baca. Dengan pertimbanganku sendiri surat itu tidak akan aku perlihatkan kepada Nawa dan Janu. Lebih baik, menurutku,
mereka tidak mengetahuinya. Mungkin kau kecewa,
tetapi sekali lagi, aku punya pertimbangan berbeda.
Kau salah, Ibu. Kau salah menganggap aku akan kaget membaca pengakuanmu. Aku tidak kaget. Sedikit
saja. Aku senang menerima surat itu, Ibu. Teka-teki
yang sejak kecil mengganggu kepalaku telah menemukan jawaban pelengkapnya. Meskipun mungkin tidak
sepenuhnya benar seperti itu. Sejujurnya, sudah lama
aku tidak memercayaimu, Ibu. Dan aku merasa tidak
punya alasan harus meminta maaf.
Sekali lagi, aku tidak terlalu kaget jika ternyata aku
bukan anak Rusdi. Apakah aku harus membiasakan diri
tidak menyebutnya ayah lagi" Aku tidak kaget jika aku
ternyata anak Pilang. Apakah aku harus menyebutnya
ayah" Ibu, bukankah aku pernah bertanya kepadamu tentang bagian mana tubuh Ayah, maksudku Rusdi, yang
mirip denganku, dengan Nawa dan Janu" Kau tidak
menjawab waktu itu. Apakah kau lupa" Waktu itu,
mungkin kau menganggapnya sekadar pertanyaan seorang anak kecil yang tidak perlu ditanggapi. Mungkin
juga kau berpikir aku akan melupakannya. Tetapi aku
serius waktu itu. Aku menyimpan pertanyaan itu sampai
aku menemukan jawabanku sendiri. Sebab aku kecewa
dijawab dengan diam. Aku mau menceritakan rahasia yang sudah lama aku
simpan sendiri. Terima kasih atas pengakuanmu yang
sesungguhnya bukan rahasia bagiku. Hari itu, Kamis,
aku seharusnya masih berada di sekolah. Ayah, maksudku Rusdi, sedang di kantor. Aku pulang lebih cepat,
bahkan lebih cepat daripada Nawa, karena aku berkelahi di sekolah. Seorang anak lelaki menggangguku
dan aku mengajaknya berkelahi. Kepalanya berdarah.
Aku memukulnya dengan batu kali. Aku dimarahi guru
yang tidak mau tahu kenapa aku berkelahi. Aku bolos.
Aku tidak mau lagi belajar.
Hari itu, kau ada di kamar bersama Pilang. Aku
anak kelas lima sekolah dasar yang bingung dan seharusnya tidak melihat kejadian dari balik pintu kamar
yang tidak sepenuhnya tertutup. Aku melihatmu telanjang ditindih tubuh telanjang Pilang. Sangat jelas aku
melihatmu. Kau tidak melihatku, tentu saja. Pilang juga.
Aku menangis di kamarku, dengan suara isak diredam
bantal. Aku heran, kenapa kau tidak sadar. Sejak hari itu
aku berubah menjadi anak perempuan kecil pendiam,
pembangkang, dan nakal. Sejak kejadian pada Kamis itu
aku berubah. Kau menyadarinya, bukan"
Ibu, kau tidak perlu khawatir. Sekarang aku bukan
lagi seorang anak kecil. Rahasia itu tidak pernah aku
keluarkan dari kepalaku. Aku menyimpannya sendiri.
Kau orang pertama yang mengetahui bahwa aku telah
menyimpan rahasia selama bertahun-tahun. Nah, itulah
sebabnya aku tidak kaget mendapatkan pengakuanmu.
Sudah lama aku menunggu engkau membongkarnya
sendiri. Mungkin justru kau yang kaget membaca surat
ini. Tapi sudahlah, lupakan saja semua itu. Kau boleh
memercayaiku, rahasia ini akan aman bersamaku. Sebaiknya, menurutku, rahasia ini biarlah tetap rahasia.
Rahasia kita. Nawa dan Janu lebih baik hidup dalam
ketidaktahuan mereka. Satu-satunya hal menarik dalam suratmu adalah dongeng Kakek. Sayang sekali, kau tidak menceritakannya.
Aku sangat penasaran kisah apakah gerangan yang sebagiannya telah menjadi kisah hidupmu. Suatu waktu
aku akan datang dan memintamu menceritakannya.
Suatu waktu, aku belum tahu kapan. Semoga aku sempat dalam waktu cepat.
Mengenai kota kita yang menyedihkan itu. Aku sungguh sedih mendengar kabarnya. Aku sedih dan khawatir. Menurutku, jika terus dibiarkan, suatu waktu kota
itu akan ditenggelamkan musim hujan. Banjir akan menyusahkan begitu banyak orang jika gunung-gunung
tidak segera berwarna hijau kembali.
Kau tentu sudah mendengar berita tentang begitu banyak kota diporandakan banjir. Kota kelahiran kita
kelak akan mengalami nasib sama, mungkin tidak lama
lagi. ?"" "NONA CEREWET, apakah kau masih hidup?"
Nirtri telah menamatkan majalah di hadapannya. Ia
mulai bosan menatap jendela. Aurora seolah tidak ada
di ruangan itu. Kecuali asap rokok yang tidak henti
menggulung-gulung di udara, tidak ada hal lain yang
menjadi tanda ia masih berada di situ.
"Mau pesan minuman lagi?"
Aurora muncul kembali dari sumur dalam yang menyembunyikannya.
"Tidak. Aku mau bicara."
"Bicaralah dengan lelaki yang sedang kesepian di sudut itu."
"Malas." "Pindahkan tumpukan majalah di dekat meja kasir
itu ke depanmu dan bicaralah kepada mereka."
?"" AURORA kembali mencemplungkan diri ke kedalaman
yang tidak terjangkau Nirtri. Ia kembali pada surat yang
ingin ditulisnya begitu ia tiba di kamar. Kaca jendela
kafe masih dipukul-pukul hujan. Lampu-lampu jalan
telah menyala, membuat warna udara dan malam menjadi lain.
Surat pertama yang ia tulis di kepala, menurutnya,
terlalu kasar"dan sebaiknya lebih diperhalus. Meski
bagaimanapun, Kukila tetap ibunya.
Ia berbalik ke jendela seolah ingin mengabarkan perasaan sedihnya yang berangsur-angsur membesar kepada hujan yang terus ditumpahkan. Ia mulai lagi
menuliskan kalimat-kalimat pertama suratnya di kepalanya. Kalimat-kalimat awal itu haruslah lebih santun,
katanya tanpa suara kepada kepalanya sendiri.
Mungkin aku harus meminta maaf tidak pernah datang menjenguknya, katanya. Tetapi, ah, untuk apa" Ia
mulai berkelahi dengan pikiran-pikirannya sendiri.
PILANG, kemarin aku bertengkar dengan Kukila. Kau
penyebabnya. Ide gilaku dulu memintamu menggauli
istriku adalah bumerang. Telah dimakannya aku, tuannya yang bodoh. Senjata itu ternyata tidak cukup mujarab menyelamatkan kami.
Kau tidak perlu menyembunyikan sesuatu. Aku sudah tahu semuanya. Aku tahu hubunganmu dengan
Kukila sudah menjadi lain. Kau senang melakukannya,
bukan" Tepatnya, kalian sekarang menikmatinya. Kalian
berdua tentu merasa aman melakukan itu. Kalian tahu
aku tidak mungkin marah. Kau tahu, sangat tahu, aku
tidak bisa apa-apa. Aku tidak menyalahkanmu.
Kepada Kukila pernah aku katakan kami sudah memiliki dua orang anak. Sudah cukup. Dengan alasan
yang kedengaran sangat masuk akal, ia menginginkan
anak lelaki, satu saja. Apakah ide itu datang darimu"
Minggu lalu, sekali lagi, aku bertengkar dengan perdebatan yang sama. Aku tahu dua hari lalu kalian melakukannya lagi tanpa sepengetahuanku. Kau tidak
perlu merahasiakannya. Aku tahu kalian sering melakukan itu, diam-diam melakukannya tanpa sepengetahuanku. Saat aku kembali dari kantor, aroma tubuh dan
peluhmu selalu aku temui di kamar. Aku bukan anak
kecil yang mudah ditipu, Pilang.
Kau tidak salah. Kukila tidak salah. Bukankah aku
tahu kalian dulu sepasang kekasih" Sekarang kalian menikmati hubungan itu. Kalian seperti sepasang burung
menemukan hutan yang bisa menyembunyikan mereka
dari moncong senapan angin. Kalian merasa aman. Kalian seperti aliran air sepasang sungai yang lelah mencari
muara untuk bertemu. Kamar tidur kami, saat aku berada di kantor, kuala aman untuk mengobati kelelahan
kalian. Tetapi kau tidak salah.
Aku tahu, sebenar-benarnya tahu, Pilang. Surat yang
kaukirim bersama selembar catatan harian kepada
Kukila sebelum pernikahan kami aku temukan bersembunyi di tumpukan celana dalam Kukila di lemari. Ia
merahasiakannya. Aku menemukannya. Aku, tanpa kausadari, sering pula menemukan aroma napasmu bercampur bau kretek tertinggal di tempat tidur kami. Aku
tahu akhirnya cinta kalian dulu rupanya tidak pernah
betul-betul mati. Tetapi kau tak salah. Kukila tak salah.
Bukan karena perselingkuhan (dulunya aku pikir ini bukan perselingkuhan) kalian yang membuatku ingin bercerai dengan Kukila. Bukan karena itu. Tetapi perihal
lain... Kau tidak salah. Jika aku berada di posisimu, aku
akan melakukan hal yang sama. Pilang, aku yang salah.
Semoga kau tidak jijik mendengarnya, jika jujur aku
katakan yang sebenarnya. Ada satu hal yang tidak pernah kauketahui hingga
hari ini. Aku cemburu kepada Kukila. Bukan cemburu
kepadamu karena tidur dengan istriku, karena telungkup di atas tubuh telanjang telentang Kukila. Aku cemburu kepada Kukila. Kepada Kukila. Kepada perempuan
yang istriku itu. Bukan kepadamu.
Sejak kita SMP, aku menyukaimu. Kau mungkin tidak pernah sadar aku sering diam-diam dengan dada
berdebar mengamatimu dari balik pintu kelas. Bukan
sekadar menyukaimu, aku mencintaimu. Aku yang salah. Aku tidak pernah menyampaikan perasaanku kepadamu. Alasannya sederhana: aku tidak mau kau
menghindariku. Aku memilih menjadi sahabatmu, saudaramu.
Aku katakan yang sebenarnya. Aku menikah dengan
Kukila karenamu. Saat ayahku memaksaku menikahi
Kukila, aku memutar kepala berhari-hari. Ketika aku
menemukan jawabannya, aku akhirnya bersedia. Waktu
itu, rasanya aku ingin memilih bunuh diri daripada harus pergi darimu. Mungkin ini kedengaran memuakkan,
tetapi begitu adanya. Aku menikahi Kukila karena aku mencintaimu. Kau
mungkin tidak menyadari bahwa setiap hal yang kausarankan selalu aku lakukan. Pilang, karena aku mencintamu. Itulah mengapa aku bersedia menikah dengan
Kukila karena itu saranmu. Meskipun sangat bertolak
belakang sesungguhnya, sebab aku menikahi orang yang
dicintai orang yang aku cintai. Bukan bertolak belakang,
tetapi aneh. Aneh. Ini bukan hal yang dibuat-buat,
Pilang. Begitulah. Iya, sejujurnya, begitulah perkaranya.
Saat menyadari ketidakmampuanku memenuhi keinginan orangtua kami yang ingin memiliki cucu, aku
memikirkanmu sebagai penyelesaian dengan perasaan
senang yang tidak bisa aku gambarkan. Jika aku saja
tidak mampu menggambarkannya, aku tahu, kau lebih
tidak mampu menerimanya. Hal itu tidak susah dilakukan. Kau mencintai Kukila, Kukila mencintaimu, dan
aku mencintaimu. Maka jadilah keputusan memintamu
meniduri istriku. Memiliki anak, meski penting bagi
kami, perkara lain penting lainnya, aku senang bisa bertemu denganmu, mencintaimu dengan caraku sendiri"
seaneh apa pun bagimu. Semakin lama, aku semakin sadar telah kehilangan
orang yang aku cintai. Kau. Kau, Pilang. Aku cemburu
Kukila Rahasia Pohon Rahasia Karya M. Aan Mansyur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kepada Kukila yang bisa memilikimu seutuhnya, semen44
tara aku hanya mampu memendam perasaan kepadamu.
Semakin lama perasaan itu tumbuh menjadi perasaan
sakit hati. Kalian menganggap aku tidak ada. Kalian
bebas bercinta dan aku bukan siapa-siapa bagi kalian.
Selain kehilangan dirimu, aku telah kehilangan harga
diri. Aku pernah tidak peduli kepada harga diri, tetapi
entah kenapa hal itu membuatku sakit hati. Sakit hati
yang dalam, Pilang. Pilang, aku sudah memutuskan bercerai dengan
Kukila. Kukila telah sepakat, mungkin dengan terpaksa.
Ia menangis. Tetapi itu karena ia merasa tidak lagi punya dewa pelindung yang akan menyembunyikan perselingkuhan kalian.
Setelah keputusan perceraian itu, aku tidak lagi mau
tahu kalian akan meneruskan perselingkuhan atau tidak.
Tetapi jika kau mau mendengar saranku, sebaiknya kalian menghentikannya. Aku percaya kutukan melimpah
akan menimpa kalian nanti. Aku bukan peramal, bukan
penyihir, bukan paranormal, atau sejenisnya, tetapi aku
mendapatkan keyakinan itu, entah dari mana. Mungkin
dari mimpi atau entah dari mana. Kau boleh percaya,
boleh juga tidak. Tetapi, ah, itu urusan kalian.
Pilang, sebelum aku hilang dari kalian, aku ingin
mengucapkan terima kasih. Terima kasih untuk anakanak kalian yang menyelamatkanku dari cemoohan
orangtua kami. Terima kasih, akhirnya aku bisa mengucapkan perasaan cinta yang dulu pernah menyiksaku
berpuluh-puluh tahun. Kisah kita ini tidak ubahnya dongeng. Aku, Pilang, dan Kukila.
Pilang, kalian memiliki tiga anak. Anakku juga. Mereka memanggilku Ayah. Semoga mereka tidak pernah
tahu seluruh rahasia bobrok ini. Aku mencintai mereka,
sebesar cinta Kukila kepada mereka, sebesar cinta
Kukila kepadamu, sebesar cintaku kepadamu.
IBU, setelah sekian lama pergi, anak bungsumu ini mulai
memikirkan bau payudara dan elusan tanganmu.
Sungguh, aku malu kepada diri sendiri juga kepadamu. Aku tidak menemukan hangat rengkuh tangan Ibu
setelah jarak begitu panjang terentang antara tubuhku
dan jari-jarimu. Aku telah mencoba mencarinya pada
perempuan-perempuan yang aku temui di sini dan di
tempat-tempat yang pernah menampung tubuhku, tetapi
aku tidak menemukan apa pun.
Bukan. Aku bukan tidak menemukannya. Ada sesuatu yang lain dalam diriku, kenyataan yang menjadikan aku berbeda.
Aku jatuh cinta, Ibu. Kau mungkin senang mendengarnya. Anak lelakimu satu-satunya telah bertumbuh
dewasa. Tetapi hal sebenarnya tidak seperti yang kau46
pikirkan, Ibu. Aku jatuh cinta bukan kepada seorang
perempuan. Seorang lelaki telah membuatku rela jadi rumput kering di bawah sol sepatunya. Aku mencintainya, Ibu.
Aku mencintainya, seperti burung kepada angin yang
membantunya terbang. Seperti penulis kepada hurufhuruf yang membuatnya dibaca. Seperti sungai kepada
laut yang menampung lelah perjalanannya. Seperti laut
kepada langit yang menjatuhkan dan mengisapnya berkali-kali.
Apakah kau marah mendengarnya, Ibu" Satu-satunya
anak lelaki yang lahir dari rahimmu kini mengecewakanmu. Maka, aku sungguh merindukan hangat payudara dan elusan tanganmu. Aku ingin menangis, Ibu.
Seperti anak kecil yang menginginkan air susu. Seperti
pohon yang ditumbangkan badai. Seperti ranting kering
tersangkut di akar-akar pohon yang tidak dikenalnya.
Ibu, hanya kepadamu aku mampu berkata seperti ini.
Seharusnya aku malu dengan pengakuan ini. Kau adalah
ibuku. Sungguh, itulah sebabnya.
Cinta, Ibu, pernahkah bisa diterima tanpa menyiksa"
Aku bertanya kepadamu, Ibu, kepada perempuan
yang dikeringkan kesendirian bertahun-tahun, tanpa
suami, tanpa anak-anak. Aku telah keliru, Ibu, meninggalkanmu ke jarak yang terlalu panjang untuk rentang
lenganmu. Kini, aku ingin menempuh lagi jarak itu, pulang ke pahamu yang pernah memangkuku. Ke dadamu
yang pernah menjadi tempat bersandar seluruh yang
membuatku sedih. Ibu, aku telah salah memilih hadiah untuk perceraianmu dengan Ayah. Aku kini mampu membayangkan bagaimana sepi bisa membunuhmu tanpa seorang
pun anakmu tahu. Ibu, kini aku datang dengan beban yang menambah
berat ringkih pundakmu. Maafkan aku, Ibu. Ke mana
lagi seorang anak menumpahkan air matanya selain kepada sungai yang mengalir di pangkuan ibunya" Aku
tidak pernah sekali pun meragukan sungai di pangkuanmu itu, Ibu. Kali itu selalu jernih mengalir dan setia
menunggu air mata kami datang mengeruhkannya berkali-kali. Aku tahu air matamu telah jadi mata air sungai itu"juga untukku. Hujan sering kali meluapkan
sungai, bukan" Aku tahu selalu ada banjir di sana, siap
menghanyutkan banyak hal"kecuali kasihmu kepada
kami, anak-anakmu. Aku salah seorang penebang pohon
yang membuat banjir selalu tiba di sungai itu.
Ibu, aku salah. Aku melupakan sepasang sayap yang
dulu kautanam di tubuhku. Kini sebagai bayaran, aku
akan mengenakannya dan terbang menuju rentang
tanganmu yang menunggu setiap waktu.
Aku tidak tahu diri. Setelah menyadari kekalahan
hadir di ujung hidung, justru kembali mengemis-ngemis
kepada sosok yang pernah ia tinggalkan. Tetapi, aku
tidak pernah putus menyadari Ibu tidak akan mengang48
gap anaknya bajingan. Bagaimanapun bajingannya ia.
Kasih Ibu lebih banyak daripada udara yang bisa dihirup. Kesalahan seperti apa pun mampu dicucinya bersih. Sejauh-jauhnya pergi, satu-satunya rumah bagiku
adalah tempat Ibu berada. Dan pulang, kata itu tidak
akan ada tanpa Ibu. Apakah kau sedang duduk di beranda, Ibu" Sedang
menunggu pintu pagar besi di depan rumah dibuka tangan salah satu anakmu" Ini janji anak bungsu. Aku
akan datang menemuimu dan membenamkan seluruh
kerinduan yang pernah kuingkari setengah mati. Tidak
lama lagi. Aku akan datang dengan oleh-oleh sederhana:
diriku yang cuma berisi penyesalan-penyesalan.
NAWA baru saja selesai menulis surat untuk ibunya. Ia
ke halaman depan membujuk anaknya untuk masuk ke
rumah. Gelap akan segara tiba seperti pasukan penyebar
penyakit. "Ayolah, Nak." "Ibu, jangan ganggu. Kami belum selesai."
"Lima menit lagi kau sudah harus mencuci tanganmu
ya?" Anaknya diam. Nawa masuk sambil menggelenggeleng.
?"" IBU, tanah kering dan musim kemarau yang menyambut
kepindahanku di kota ini telah lama aku sembuhkan
dengan menanam sebatang pohon di halaman depan.
Beberapa hari setelah pindah ke sini bersama menantumu, kami menanam pohon. Sebatang pohon aku beli
dari seorang lelaki tua yang berjalan dari satu tempat ke
tempat lain menjajakannya. Aku tidak tahu nama pohon
itu, seperti pula ketidaktahuan tetangga-tetanggaku.
Kami sepakat menyebutnya Pohon Rahasia. Aku tidak
tahu dari mana nama itu kami temukan. Begitulah, selalu saja arah datang tidak bisa dikira-kira, bukan"
Tahun-tahun telah mengubah pohon itu menjadi raksasa baik hati yang rambutnya melindungi rumah kami
dari jahatnya matahari bulan kemarau. Ia bertumbuh
dengan laju tidak kami sangka. Ia seperti orang yang
pernah meninggalkan kita, dan ketika bertemu beberapa
tahun kemudian, kita kaget karena perubahan yang telah terjadi. Mungkin seperti itu. Aku tidak punya cara
lebih baik untuk menjelaskannya. Aku yakin Ibu memahami maksudku. Mungkin seperti kekagetan Ibu jika
tiba-tiba aku pulang. Kaget melihat semua perubahanku.
Pohon itu betul-betul telah menyediakan surga bagi
kami pada musim-musim kering yang datang terlalu sering di kota ini. Dahan-dahannya yang kokoh ditum50
buhi lembar-lembar daun hijau untuk menyegarkan
mata kami selalu. Batangnya kekar dan selalu kami percaya bisa melindungi keluarga kami.
Ibu, akhir-akhir ini ada yang aneh terjadi di sini.
Cucumu, Tumbra, selalu berada di bawah Pohon Rahasia dan mengajaknya bicara. Ia dan pohon itu bagai
sepasang sahabat yang punya bahasa sendiri untuk saling berkomunikasi. Tumbra selalu tertawa sendiri di
bawah pohon itu. Terpingkal-pingkal seperti mendengarkan lelucon paling lucu di dunia. Di lain waktu, ia bisa
menangis tersedu-sedu seperti mengalami kejadian paling menyedihkan.
Setiap hari, sepulang sekolah, Tumbra selalu berada
di sana, di bawah pohon itu. Aku sudah coba membelikannya begitu banyak mainan, tetapi pohon itu tidak
bisa dikalahkan. Ia rela berada di sana berjam-jam. Aku
sama sekali tidak paham apa yang sedang ia lakukan.
Pernah terpikir olehku membawanya ke psikolog, tetapi ayahnya menganggap itu belum perlu dilakukan.
Anak-anak memang punya fantasi yang berlebih sehingga apa saja bisa mereka lakukan, katanya. Ibu, bagaimana menurutmu" Aku tahu, Ibu punya kebijaksanaan
sendiri yang mungkin tidak sempat aku pelajari.
Aku malu sesungguhnya, kembali kepadamu dengan
jalan seperti ini. Setelah pergi menjauh beribu-ribu kilometer dari pintu rumahmu, kini aku datang membawa
masalah untukmu. Ibu, setiap anak di dunia ini me51
yakini satu hal dalam dirinya: apa pun yang terjadi,
seorang ibu selalu memiliki gudang yang menyimpan
persediaan maaf. Aku salah seorang anak yang meyakini
hal itu. Mengenai cucumu itu, tolonglah aku, Ibu. Adakah
sesuatu yang kau mau katakan" Aku selalu khawatir.
Kini aku tahu, pasti kau menyimpan kekhawatiran yang
sama terhadap anak-anakmu. Tumbra tumbuh menjadi
lain. Sudah berbulan-bulan ia selalu berada di sana
seperti bocah gila, berbicara dengan sebatang pohon.
Sebatang pohon, Ibu. Dua malam lalu di meja makan, ayahnya berpikir
untuk menebang pohon itu. Sebelum sempat menghabiskan makanannya, cucumu berlari ke kamarnya dan
menangis. Ia tidak mau bicara kepada kami. Aku tidak
sepakat menebang pohon itu. Bagiku, meski hanya
dugaan, pohon itu telah menginspirasi banyak orang di
kota ini untuk menanam pohon di halaman rumah mereka. Apalagi pada bulan September seperti sekarang.
Bukankah pohon-pohon seharusnya menjadi sesuatu
yang berharga" Ya, ini bulan September, bulan yang
mengingatkanku kepada keringnya udara di kota yang
merawatmu, kota yang melahirkanku.
Apakah menurutmu, pohon memang menyimpan
rahasia-rahasianya sendiri dan akan memilih anak tertentu untuk diajaknya bicara" Ibu, pertanyaan itu hal
paling tidak logis yang pernah aku pikirkan. Namun,
aku betul-betul mulai tidak tahu harus melakukan apa.
Ibu, kumohon bicaralah sesuatu tentang ini...
10. SEPERTI biasa Kukila tidur sendiri. Rumah sepi. Tidak
ada anak-anak sejak lama. Tidak ada suami. Tidak ada
siapa-siapa kecuali bayang diri sendiri saat berada di
sekitar cahaya. Tetapi ia selalu menghindari cahaya. Ia
lebih memilih gelap dan pengap kamarnya.
Hujan berhari-hari seperti tamu menjemukan. Tamu
itu bicara tanpa mengenal tanda baca"juga tidak mengenal adab berkata-kata. Ia pembicara yang tidak memiliki telinga, tidak pernah membiarkan lawan bicaranya ikut bersuara. Ia terus saja bicara. Bicara dan bicara
dengan suara menjengkelkan seperti dosa-dosa.
Sesungguhnya bukanlah hal tiba-tiba tanpa sebab
saat pukul dua malam itu ada gemuruh air datang dari
puncak-puncak gunung menenggelamkan kota, rumahnya, dan dirinya sekaligus. Kota kecil itu, Macawe, yang
selalu ia khawatirkan akan karam, kini sungguh-sungguh tenggelam. Kota itu tenggelam seperti kaleng-kaleng
susu berisi lumpur di satu sumur tua. Sudah sejak lama
ia khawatir, kehilangan hijau pohon-pohon akan menyebabkan hal itu.
Sesaat sebelum tubuh Kukila pergi terbawa arus air,
entah ke muara mana, ia terbangun dari mimpinya yang
tidak biasa. Ia melihat semua anaknya, yang ia rindukan, datang menemuinya. Satu per satu menangis, bergantian memeluknya. Tubuh ringkihnya habis dalam
rengkuh anak-anaknya. Mimpi aneh.
Ia ingin sekali menangis dan membalas pelukan mereka. Ia ingin sekali mengucapkan terima kasih. Namun,
sebelum sempat melakukan dan mengatakan apa-apa,
bah datang menghapus huruf-huruf yang ingin tumbuh
jadi kalimat di ujung lidahnya.
11. R USDI telah lama berusaha mengubur kenangan.
Beratus-ratus pohon ia tanam di satu desa bernama
Maccobbu. Pohon-pohon, pikirnya, akan merimbun jadi
hutan dan menyembunyikan dirinya"termasuk semua
yang ada di balik ingatannya.
Kenangan dan ingatan yang menghidupkannya adalah perang paling hebat bagi manusia, atau setidaknya
bagi Rusdi sendiri. Semua yang ia cintai telah menjelma masa lalu yang
berkali-kali kembali bagai bencana di malam buta.
Batang-batang pohon kini menjadi sahabat yang menyediakan diri mereka mendengar seluruh kenangan itu
habis dikisahkan. Kenangan-kenangan itu seperti daun
kering yang jatuh, menjadi tanah, lalu menyerap ke akar
ke batang dan menjadi daun hijau lalu kuning lalu cokelat lalu kering dan jatuh lagi. Berulang-ulang kenangan itu telah jadi daun kering, lalu menghijau kembali.
Pohon-pohon terus tumbuh beranak-pinak menjadi
hutan. Kini, di sanalah Rusdi berada, di satu rumah sederhana. Ia menyembunyikan masa lalunya. Ia sembunyi
dari masa lalu, tepatnya. Rahasia, katanya, akan aman
di batang-batang pohon. Tetapi, nama-nama itu, Kukila, Pilang, dan anakanak mereka, selalu datang bagai musuh meminta diadakan perundingan. Setiap malam, selalu saja ada setidaknya seorang dari mereka tiba menyusup dan
mengajaknya berdamai"atau berperang.
Sebelum tidur, Rusdi selalu ingat dongeng yang
pernah Kukila ceritakan kepadanya.
12. PILANG hidup dan tua di antara penyesalan dan kerinduan. Setiap hari, ia menulis surat: untuk Kukila,
untuk tiga anaknya. Sesekali dia menulis surat untuk
Rusdi. Alangkah menyiksa berusia tua dengan masa lalu
sedemikian berat. Tidak ada perbandingan yang cocok
baginya untuk menjelaskan bagaimana perihnya tikaman kenangan.
Surat-suratnya bertumpuk, berdesak-desak di setiap
laci di kamarnya. Di laci meja dan lemari. Masa tua telah jadi kutukan. Suatu waktu, katanya, ia akan membakar helai-helai surat itu. Namun, ia belum pernah
mampu melakukannya. Jika ia membakarnya, abu suratsurat itu akan meresap ke tanah dan direguk akar-akar
pohon. Rimbun pohon akan menyimpan atau mengisahkannya kepada angin, burung, malam, atau kepada apa
pun yang mereka pilih. Kenangan, katanya, barangkali seperti perasaan sehelai kertas ketika seseorang menulis atau menggambar
pohon di atasnya. Ia tidak ubahnya sehelai kertas dengan gambar penuh pohon.
Selain menulis surat, Pilang juga menulis satu novel
fantasi"semacam dongeng. Dia baru mampu menyelesaikan satu bab"dan tidak tahu bagaimana melanjutkannya.
?"" POHON di tengah padang rumput tumbuh bersama rahasianya. Pohon itu menceritakannya kepadaku suatu
siang saat aku istirahat selepas memandikan sapi-sapiku.
Sebelumnya aku tak pernah berani berteduh di bawah
pohon itu. Orang-orang kampung mengatakan pohon
itu angker, namun panas matahari betul-betul tak membuatku takut kepada apa pun siang itu.
Pada sebuah batu di kaki pohon itu, aku berbaring.
Angin padang seperti belaian lembut tangan Ibu. Aku
tertidur. "Akan aku ceritakan kepadamu sebuah kisah cinta.
Sebuah rahasia," kata pohon itu mengagetkanku sesaat
setelah aku memasuki celah sempit mimpi yang terbuka
seolah hanya untukku. "Sebuah rahasia?" aku bertanya heran.
"Sebentar lagi kemarau datang menggugurkan daundaunku, juga mengeringkan batang dan cabang-cabangku. Kemarau itu akan membunuhku dan aku tak ingin
mati sebelum rahasia ini aku ceritakan kepada seseorang. Aku sudah tua. Sangat tua. Sudah berusia ratusan tahun."
Aku tak berkata apa-apa demi mendengar suara haru
pohon itu. Mungkin pohon itu melihatnya sebagai isyarat bahwa aku setuju mendengarkan ceritanya.
?"" DULU, seorang lelaki, namanya Pilang, setiap malam
duduk di sini, di tempatmu berbaring sekarang. Ia selalu
datang dan duduk sendiri tak mengatakan apa-apa. Ia
hanya memandang ke arah barat, ke seberang padang
rumput. Di sana, ada sebuah rumah panggung berdiri
menghadap ke utara. Rumah panggung itu dihuni sepasang suami-istri. Mereka hidup bertahun-tahun tetapi
tak memiliki seorang anak pun.
Dengan sebungkus tembakau Pilang selalu tiba di
kakiku. Selalu seperti itu, setiap malam. Pada musim
penghujan ia tak pernah lupa membawa selembar daun
Kukila Rahasia Pohon Rahasia Karya M. Aan Mansyur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pisang sebagai payung. Ia duduk dan memandang sisi
kiri rumah panggung itu dengan sepasang mata cokelatnya. Asap tebal tembakau tak pernah henti mengepul
dari sela bibirnya yang hitam dan sedikit bergetar.
Sisi kiri rumah panggung itulah yang dipandangnya
nyaris tanpa kedip. Rumah itu memiliki dua jendela di
sisi kirinya, aku tak pernah melihat sisi kanan rumah
itu"dari sini sisi kanan rumah itu tak bisa terlihat. Jika
malam, dua jendela itu terlihat seperti dua buah bulan
persegi empat. Atau kadang-kadang terlihat seperti
kapal yang berlayar ke utara dengan cahaya lampu dari
jendela-jendelanya. Jendela yang di belakang bercahaya lebih redup dibanding yang di depan. Barangkali karena yang di depan itu ruang tamu, sementara yang di belakang ruang
tengah. Atau mungkin juga disengaja dengan alasan tertentu yang aku tak ketahui. Di jendela yang tak begitu
terang itulah setiap malam seorang perempuan dengan
rambut terurai duduk memandang ke arah sini. Di jendela depan duduk seorang lelaki, juga memandang ke
sini. Setiap malam seperti itu, hingga larut.
Pilang akan beranjak dari sini setelah malam larut,
setelah gulungan tembakau terakhirnya ia nyalakan"
saat dua bulan persegi empat itu padam. Ia akan beranjak dari tempat duduknya sambil menggumamkan sebuah lagu yang tak pernah kutahu liriknya. Aku hanya
mendengarnya sebagai nada-nada sedih. Sangat sedih.
?"" SETIAP petang, setelah lampu-lampu dinyalakan, Kukila
akan duduk di ambang jendela menatapku. Tidak, ia
tidak menatapku. Ia menatap lelaki yang duduk di kakiku, di tempatmu berbaring sekarang. Bayangannya setengah menutup jendela itu, membuatnya seperti lukisan
perempuan hitam dengan latar kuning keemasan. Kukila
akan duduk di sana sampai malam larut, sampai minyak
tanah tak terjangkau lagi sumbu obor.
Aku tahu kenapa perempuan itu duduk di sana.
Pilang dan Kukila dulu selalu datang ke sini saat
masa remaja masih milik mereka. Setiap sore duduk berdekatan di tempatmu berbaring sekarang. Sesungguhnya
mereka itu dulunya adalah sepasang kekasih tak terpisahkan. Mereka akan berkasih-kasihan sampai matahari tenggelam. Bertahun-tahun mereka rutin datang ke
sini, saling mengucap janji, berbagi bahagia dengan saling mengecup.
Tetapi suatu sore, tiba-tiba Kukila datang sambil me59
nangis. Ia menjatuhkan dirinya ke pelukan Pilang. Aku
dengar mereka sempat bersitegang sejenak. Kukila akan
dinikahkan dengan anak pemangku adat, Tumbra namanya. Orangtuanya menerima lamaranTumbra. Kukila
tak bisa menolak kemauan orangtuanya. Aku sempat
mendengar Pilang dan Kukila merencanakan pelarian.
Aku pikir orangtuamu pernah bercerita tentang hukuman seperti apa yang akan menimpa orang-orang
yang berani melarikan diri dari kampung ini. Di sini, di
cabangku, pernah sepasang kekasih digantung karena
melanggar hukum adat"mereka mencoba lari, namun
tertangkap di tengah jalan. Mereka diseret seperti binatang untuk dibawa ke tengah padang ini, dan di cabangku akhirnya mereka mati, dibiarkan tergantung berharihari seperti orang-orangan sawah.
Aku dengar Pilang mengingatkan kisah tragis itu
pada Kukila. "Kalau begitu, aku terpaksa menikah dengan
Tumbra. Tetapi maukah kau tetap menjadi kekasihku?"
"Bagaimana mungkin itu terjadi, Kukila?"
"Begini saja, aku akan meminta Tumbra membangun
rumah di sana menghadap ke utara. Di jendela rumah
itu setiap malam aku akan duduk memandangmu. Setiap malam."
"Tumbra akan membunuhmu karena hal itu."
"Kalau Tumbra benar-benar mencintaiku, ia akan
mengizinkan aku melakukannya. Percayalah!"
"Mungkin aku akan percaya. Tetapi jika semalam
saja kau tidak duduk di sana, aku akan gantung diri di
pohon ini." "Aku berjanji!"
Itulah terakhir kalinya mereka datang berdua ke sini.
Setelah pernikahan Kukila dengan Tumbra yang dirayakan dengan meriah"pernikahan dengan mahar sebuah rumah panggung"Kukila setiap malam duduk di
jendela rumah panggungnya memandangi Pilang yang
duduk di tempatmu berbaring sekarang mengisap gulungan tembakau. Setiap malam selama bertahun-tahun
seperti itu. ?"" LELAKI yang setiap malam duduk di jendela depan rumah itu sesungguhnya adalah Tumbra, suami Kukila. Ia
juga duduk di sana memandang ke sini setiap malam
hingga larut, hingga sumbu obor tak mampu menjangkau minyak tanah.
Dari sini, jendela depan itu terlihat setengahnya ditutup siluet Tumbra. Rumah panggung itu seperti dinding dengan dua buah lukisan manusia hitam berlatar
kuning keemasan. Melihat dua jendela dengan siluetnya
masing-masing setiap malam, bisa dipastikan rumah
tangga mereka sungguh tawar"mereka mungkin tak
pernah bercinta. Tetapi, kamu tahu apa hukuman bagi
orang-orang yang bercerai di kampung ini, bukan" Apakah kau pernah mendengar, dulu jika ada orang bercerai, mereka akan diikat bersama dan diberi pemberat
batu, kemudian ditenggelamkan di perigi"
Tumbra anak pemangku adat, ia tak mungkin melanggar hukum adat. Tumbra tak menceraikan Kukila.
Maka setiap malam terlihatlah pemandangan aneh itu:
tiga orang diam saling memandang dari jarak jauh.
Aneh. Setiap malam seperti itu hingga larut.
Namun, sesungguhnya hal itu tidak aneh sekiranya
kau tahu bahwa dulu, sebelum menikahi Kukila, Tumbra
juga sering datang ke sini, duduk sendiri di tempatmu
berbaring sekarang. Setelah Pilang dan Kukila pulang ke rumah masingmasing, Tumbra akan duduk sendiri di sini menghadap
ke barat, memain-mainkan daun-daun keringku yang
jatuh. Tumbra akan menggumamkan lagu sedih entah apa.
Seperti seseorang yang memendam perasaan tak tersampaikan. Dan seperti itulah, bertahun-tahun Tumbra memendam perasaan cintanya dan tak pernah berani mengatakannya. Ia hanya bisa memandang sepasang
kekasih itu bercumbu di tempatmu berbaring sekarang,
dari jauh, dari balik pohon"dulu selain aku ada beberapa pohon lain di sekitar sini. Ia tak mampu mengatakannya, meskipun sesungguhnya di kampung ini,
waktu itu, Tumbra adalah pemuda paling tampan, kaya,
dan anak pemangku adat. Setelah Pilang dan Kukila pulang, Sultan Tumbra
akan datang ke sini mengungkapkan segala bentuk kekesalannya karena tak pernah bisa mengungkapkan perasaannya itu"hingga larut, hingga suara-suara malam
terdengar semakin seram. Suatu malam, seperti biasa, Tumbra datang lagi ke
sini. Ia sangat cemburu melihat sepasang kekasih itu
berciuman lama di bawah pohon ini, di tempatmu berbaring sekarang. Lalu ia datang menangis, menangis
seperti seorang anak kecil. Setelah menangis ia terdengar
menyusun-nyusun rencana. Mungkin kemudian ia menyadari bahwa sebagai anak pemangku adat, ia bisa
melakukan apa saja yang ia inginkan. Maka kemudian
ia berteriak: "Aku akan menikahinya!"
Setelah itu, dengan suara yang dipelankan ia kemudian berkata:
"Dengan menikahi Kukila, Pilang yang aku cintai tak
akan menjadi milik siapa-siapa lagi. Sebab aku tahu pasti, Pilang tak akan mengingkari janjinya yang tak mau
menikah kecuali dengan Kukila. Aku akan menikahi
Kukila. Aku akan menikahi Kukila."
Sesungguhnya Tumbra mencintai Pilang dan bukan
mencintai Kukila. Dan meskipun dalam hukum adat belum diatur kasus seperti itu, karena belum pernah ter63
jadi, Tumbra sangat yakin akan mendapatkan hukuman
yang jauh lebih berat jika hal itu diketahui oleh orang
lain. Lelaki mencintai sesama lelaki adalah aib besar,
tentu saja. Dan ayahnya yang pemangku adat itu tentu
akan sangat berang. Masalahnya lagi, dulu hukum adat
tak mengenal anak atau keluarga. Siapa pun yang bersalah harus dihukum.
Begitulah akhirnya, hingga Tumbra mengambil
sebuah keputusan yang aneh: menikahi Kukila agar
tetap bisa mencintai Pilang meskipun dari jauh"dari
jendela rumahnya setiap malam. Perasaan cinta Tumbra
kepada Pilang disimpannya bertahun-tahun dalam dada.
Selain ia sendiri, hanya akulah yang tahu perasaannya.
?"" SETELAH bertahun-tahun mereka menjalani kisah cinta
aneh itu, suatu malam, saat alam dipenuhi cahaya bulan
purnama, mungkin perasaan cinta sama-sama tak mampu mereka tahankan lagi. Entah siapa yang mulai melangkah lebih dulu, dua orang di jendela itu turun dan
berjalan ke sini, ke tempat Pilang duduk mengisap tembakau.
Di sini, di tempatmu berbaring sekarang, kemudian
terjadilah sesuatu yang luar biasa itu. Kukila, Tumbra,
dan Pilang mengakui perasaan masing-masing dengan
jujur. Dan kau tahu apa yang mereka lakukan selanjut64
nya" Mereka sepakat mati bersama-sama dengan menggantung diri di cabang pohonku. Itulah sebabnya tak
ada orang yang berani datang ke sini, sebab katanya
mereka selalu melihat hantu: dua orang lelaki dan seorang perempuan. Bahkan burung-burung pun tak ada
yang berani hinggap di rerantingku, apalagi membuat
sarang. Malam itu, mereka bertiga berpelukan sambil mengucapkan perasaan masing-masing sebelum satu per satu
memanjatku lalu melompat dengan tali di lehernya. Aku
menangis menyaksikan mereka melakukannya, bukan
karena mereka bunuh diri. Di sini, di cabang-cabangku,
sudah banyak orang bunuh diri disebabkan bermacammacam hal. Aku tak pernah menangis karena itu, aku
tahu cabang-cabang pohon memang ditakdirkan sebagai
tempat menggantung diri. Bukan, bukan itu yang membuatku menangis. Tetapi, ketiganya dengan jujur saling
mengakui cinta masing-masing tanpa berselisih satu
sama lain. Itulah yang membuatku menangis.
Aku lihat Pilang mencium Kukila, kemudian membagi juga bibirnya untuk dicium Tumbra, dan terakhir
Kukila mencium suaminya sebelum ketiganya saling erat
berpelukan. Sungguh adegan yang indah dan mengharukan. Sekali lagi aku katakan, alam dipenuhi cahaya bulan purnama saat adegan indah dan mengharukan itu
terjadi"dan aku menangis sepenuh haru. Aku menja65
tuhkan hampir seluruh daun-daunku sebagai bentuk
kesedihan. Itulah sebabnya, sebelum kemarau yang ditugaskan
membunuh pohon-pohon datang, aku ceritakan rahasia
ini kepadamu agar kau tahu bahwa di tempatmu berbaring sekarang pernah terjadi sesuatu yang sangat, sangat, sangat"
?"" AKU tiba-tiba terbangun oleh sesuatu yang jatuh menyentuh pipiku, sesuatu yang hangat seperti air mata.
Mungkin pohon itu bercerita lama sekali dalam
mimpiku, sebab saat membuka sepasang mataku, aku
lihat matahari di barat sudah berwarna oranye. Aku
bangun dan menemukan sapi-sapiku merumput tenang
tak jauh dari pohon itu. Aku bangkit melihat tempatku
tertidur"sebuah batu panjang berwarna hitam"kemudian melangkah meninggalkan pohon itu.
Sebentar lagi kemarau datang membunuh pohon tua
itu, dan aku sedih membayangkannya. Perasaan sedih
itu membuatku berjanji dalam hati, besok dan seterusnya aku akan datang lagi berbaring dan tidur di batu
hitam, mendengarkan rahasia lain pohon itu.
?"" 13. SETIAP kali Kukila sendiri, semua orang yang pergi dari
hidupnya kembali. Dia selalu sendiri. Pilang dan Rusdi,
juga ketiga anak mereka, selalu datang. Itulah kenangan.
Demi menghibur diri dan berdamai dengan kenangan, selama bertahun-tahun Kukila membayang-bayangkan hidupnya semata dongeng. Hasilnya: dia mudah menuliskan satu kisah untuk dia baca setiap hari
selama sisa hidupnya. Sayang sekali, dia susah meyakinkan diri bahwa sebagian dari cerita itu bukanlah fantasinya sendiri.
?"" KUKILA. Dia menuliskan namanya di tengah-tengah sehelai kertas"tebal dan besar semacam judul. Dia menjadikan kertas itu sampul kisah yang ditulisnya.
Dia duduk di depan jendela dan membaca tulisannya,
sekali lagi. Di kaki sebatang pohon yang tidak dia tahu namanya, di halaman belakang, telah menunggu seliang lubang yang tidak terlalu dalam. Di sana, dia akan menguburkan cerita yang telah gagal dia gunakan untuk
menghibur dan mendustai diri.
Pohon, kata Kukila kepada diri sendiri, akan mema67
kan kertas-kertas ini dan menyimpan ceritanya"menjadikannya rahasia. Atau, mungkin dengan caranya
sendiri, pohon akan menceritakannya kepada seseorang
yang dia pilih. Kelak. "
Kebun Kelapa di Kepalaku HARI itu aku harus memotong rambut. Ibu memberi
dua pilihan. Hanya dua pilihan. Memotong rambutku
atau memotong lehernya. Kau tidak akan pernah tahu bagaimana rasanya menjadi seorang lelaki berambut panjang. Kau perempuan.
Sejak kecil aku selalu membayangkan diriku jadi seorang lelaki dewasa berambut panjang, seperti Yesus
Kristus, Sawerigading dan anaknya, Lagaligo"ibuku
bilang, mereka itu laki-laki hebat dengan rambut panjang"atau para pahlawan dalam ilm-ilm. Keinginan
raksasa, melebihi keinginan menjadi dokter, pilot, atau
guru seperti keinginan anak kecil lainnya.
Aku ingin menjadi lelaki dewasa berambut panjang.
Hanya itu. Kau heran" Itulah alasannya kenapa saat
menjadi mahasiswa aku memanjangkan rambut.
Menjadi mahasiswa berarti mendapatkan banyak ke69
sempatan, termasuk kesempatan memanjangkan rambut.
Gelar mahasiswa, barangkali, memang anugerah. Banyak hal bisa dilakukan seorang mahasiswa. Bisa mengenakan jas almamater berwarna cerah, lalu ngebut
mengacaukan jalan raya dan selamat dari razia SIM
atau STNK. Mahasiswa bisa punya uang banyak hanya
dengan mengumpulkan beberapa orang teman, lalu berteriak memaki seseorang atau satu kelompok di depan
kantor dewan. Mereka bisa melempar atau membakar
tempat ibadah agama lain. Mereka bahkan bisa melakukan razia KTP, menangkap, menganiaya, dan membunuh orang-orang yang berbeda agama. Enak betul menjadi mahasiswa, seperti Tuhan. Menyebalkan!
Sayang sekali, satu kebanggaanku sebagai mahasiswa
harus hilang. Rambut panjangku.
Gara-garanya sungguh sepele. Aku mendapat panggilan pulang ke Bone. Ibu meneleponku, mendadak.
Anak Pak Imam ditangkap karena memerkosa tetangganya. Awalnya, aku pikir Ibu memintaku menolong membebaskannya dari polisi karena aku mahasiswa fakultas
hukum. Ternyata bukan itu yang diinginkan Ibu.
"Ibu ingin kaupotong rambutmu, Nak."
"Apa hubungannya dengan pemerkosa itu, Bu?"
"Ia juga berambut gondrong."
"Lalu?" "Ibu kan selalu bilang, gondrong itu, menurut orang,
identik dengan penjahat."
"Ya Tuhan, jadi ibuku sudah berpikir anaknya seorang penjahat?"
"Tidak. Tentu saja tidak, Nak. Tetapi orang lain bisa
berpikir seperti itu. Ibu tidak mau orang menyebut
anakku penjahat, pemerkosa, pencuri, atau perampok.
Itu mencoreng nama baik keluarga."
"Rambut bisa merusak nama baik keluarga" Luar
biasa!" "Kau sudah pintar. Kau kuliah, sebentar lagi sarjana.
Karena itu kau sudah bisa melawan orangtua."
"Tidak seperti itu?"
"Kalau begitu, Ibu minta kaupotong rambutmu, atau
potong saja leher Ibu."
?"" MEMOTONG rambut membuatku ingat seorang perempuan nyaris seumuran Ibu. Aku memanggilnya Tante
Mare. Nama sebenarnya Maryam. Di kampungku, orang
punya cara unik dalam memberi nama panggilan. Sesungguhnya sangat mudah. Ambil suku kata awal, lalu
tambahkan dengan huruf "e". Aturan itu dipakai untuk
suku kata dengan huruf akhir konsonan seperti il", hal",
ham", has", dan seterusnya. Ada banyak perempuan
bernama Mare di kampungku. Mare bisa Marwah, bisa
Mardani, bisa Marliah, bisa Marhumah, bisa juga berarti
Mardiah. Bisa sangat banyak. Mare bahkan bisa jadi
seorang lelaki bernama Marwan atau Mardan. Jika kau
mendengar seorang dipanggil Hale, nama yang tertera di
KTP pemilik nama itu bisa Halwiah, Halmiah, atau
Halma. Huruf "e" di akhir nama panggilan itu dibaca
seperti "e" pada kata "gelas", "kelas", atau "jelas".
Untuk membedakan seseorang dari yang lainnya, aku
harus mengingat suatu kegiatan yang sering ia lakukan
atau benda yang sering ia pergunakan atau kenakan,
atau hal-hal yang bisa mengingatkanku kepada orang
itu. Misalnya, untuk Tante Mare yang Maryam, aku
harus mengingat rambut, cukur, gunting, atau apa saja
yang berhubungan dengan kegiatan memotong rambut.
Sewaktu kecil, aku dan tiga saudara laki-lakiku rutin
Kukila Rahasia Pohon Rahasia Karya M. Aan Mansyur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memotong rambut di rumah Tante Mare. Tante Mare
tinggal di salah satu kebun kakao Ibu, tidak terlalu jauh
dari rumah. Kata Ibu, Tante Mare masih keluarga, meskipun aku tak pernah bisa percaya. Keluarga kami dan
keluarga Tante Mare sangat berbeda, sangat kontras.
Keluarga kami kaya, keluarga Tante Mare miskin. Kami
bangsawan, mereka bukan. Ada gelar Andi di depan
namaku, di depan nama kakakku, di depan nama adikku, dan di depan nama orangtuaku. Tidak seorang pun
dari keluarga Tante Mare yang memilikinya.
Nyaris setiap bulan rambutku harus dipotong Tante
Mare. Aku sering jengkel karena di antara semua saudaraku, rambutkulah yang paling cepat pertumbuhannya. Dalam satu semester aku bisa memotong rambut
empat kali, sementara saudara-saudaraku hanya dua
atau tiga kali. Sangat menyebalkan! Mungkin kau pernah merasakan bagaimana rasanya gunting yang tidak
begitu tajam memotong rambutmu. Sungguh tidak enak
dan sakit. Satu-satunya gaya rambut yang bisa dibuat Tante
Mare di kepala kami adalah model kuas. Model itu
istilah kami bersaudara untuk potongan plontos nyaris
di seluruh bagian kepala, kecuali persegi empat panjang
berukuran kira-kira 10 x 6 cm menutupi jidat kami.
Persegi empat itu selalu mengingatkan kami pada kuas,
sehingga kami sepakat menyebutnya model kuas. Ibu
punya istilah lain untuk itu, model kelapa. Katanya, seperti sebuah kelapa yang dibuang sabutnya dan menyisakannya empat jari. Di empat jari yang tersisa itulah
diambil sedikit sabuk untuk disambungkan dengan
kelapa lainnya agar bisa dijinjing berpasangan.
Aku"juga saudara-saudaraku"sering heran dan bertanya-tanya kenapa Ibu selalu memercayakan rambut
kami dipotong Tante Mare, padahal hasilnya"sumpah
mati"selalu jelek. Bagi kami, Tante Mare tidak
berbakat sama sekali menjadi tukang cukur. Tetapi kami
harus menuruti kata Ibu. Anak bangsawan harus selalu
begitu, demi nama baik keluarga.
Memotong rambut adalah kegiatan yang paling aku
benci. Kau tahu" Kegiatan itu harus aku lakukan rutin
setiap rambutku berukuran 3 cm, hingga kelas 3 SMA.
Bisakah kau membayangkan bagaimana rasanya menanggung malu ditertawai teman-teman satu sekolah
karena ada kuas di jidatmu" Kalau kau tidak pernah
merasakannya, aku katakan kepadamu, sungguh memalukan menjadi badut satu setengah bulan sekali. Kuas
itu nongkrong di jidatku hingga kelas 2 SMP. Setelah itu
Tante Mare memotong rambutku seperti tentara. Sangat
laki-laki, katanya. Karena aku tak mungkin membenci Ibu, maka aku
membenci Tante Mare. Setiap Tante Mare "memainkan"
gunting dan sisirnya di kepalaku, aku selalu menangis.
Ya, menangis, hanya itu yang aku bisa. Air mataku
membuat potongan-potongan rambut menempel di pipi.
Aku juga ingin mengatakan kepadamu, jangan menangis
selagi dicukur. Rasanya gatal.
Jika aku bercita-cita ingin berambut panjang sejak kecil, kau tak heran lagi, bukan" Itulah sebabnya aku melampiaskan segala bentuk rasa jengkelku kepada Tante
Mare, Ibu, dan ketidakberdayaan masa kecilku dengan
memanjangkan rambut saat menjadi mahasiswa.
?"" "BAIKLAH. Tetapi Ibu harus janji, bukan Tante Mare
yang memotongnya." "Bagaimana mungkin Maryam bisa memotong rambutmu. Ia sudah meninggal."
"Kapan, Bu?" "Dua bulan lalu. Seminggu setelah lebaran."
"Ia sakit?" "Siapa mampu melawan kehendak Tuhan. Ia sehatsehat saja. Seusai makan siang ia masih sempat memotong rambut suaminya. Sore hari, ia ditemukan telungkup kaku di bawah pohon kakao."
"Bu, aku mau tanya satu hal. Mengapa dulu Ibu selalu menyuruh agar rambut kami dipotong Tante
Mare?" Lama Ibu terdiam sebelum akhirnya bicara. Ia bercerita panjang tentang Tante Mare. Tante Mare, oleh
Ibu, dianggap saudara sendiri. Ibu anak tunggal. Ayah
dan ibu Tante Mare dulunya ata, budak di keluarga Ibu.
Ibu dan Tante Mare menyusu di payudara yang sama,
payudara ibu Tante Mare. Setelah bersuami, Ibu juga
menikahkan Tante Mare dengan seorang lelaki pemetik
cengkeh yang datang dari gunung.
Meskipun miskin, Tante Mare tidak suka menjadi
pengemis dan menyusahkan orang lain. Oleh Ibu, diberinya Tante Mare pekerjaan, bukan sebagai ata atau
pembantu, tetapi sebagai tukang cukur anak-anaknya
dan penjaga kebun kakao. "Setiap satu kepala kalian dihargai sepuluh ribu rupiah. Aku membayarnya. Uang itu aku sarankan ia tabung untuk biaya sekolah anak-anaknya. Apakah kau
tahu tahun depan anak sulungnya, Male, tamat SMU"
Ia juga akan lanjut kuliah. Barangkali Fakultas Pertanian."
Ibu menjadikan kepalaku, dan kepala saudaraku, sebagai kebun Tante Mare. Lucu sekali, ada kebun di
kepalaku"kebun kelapa. Dari sana Tante Mare mendapatkan uang untuk tabungan pendidikan anaknya.
?"" "IBUMU perempuan cerdas dan baik hati. Aku pikir
semua bangsawan sombong, kikir, tidak ramah, kejam,
dan kasar. Ternyata tidak."
"Kapan-kapan aku mengajakmu ke Bone bertemu
Ibu. Atau setelah ujian meja saja, sekalian memperkenalkan calon menantunya."
"Malu ah?" "Kenapa harus malu" Kau serius mau jadi istriku,
kan?" "Iya, tetapi aku belum siap."
"Kapan kau siap?"
"Setelah rambutmu sedikit panjang."
"Apakah aku kelihatan aneh dengan rambut seperti
ini?" "Aku pernah bilang kepadamu, berkali-kali, aku
tidak mau menikah dengan militer atau yang mirip militer. Apakah semua lelaki pelupa?" "
Setengah Lusin Ciuman Pertama at the irst kiss I felt something melt inside me
that hurt in an exquisite way all my longings, all my
dreams and sweet anguish, all the secrets that slept
deep within me came awake, everything was
transformed and enchanted and made sense.
" Herman Hesse "Dengan Cecep BUKAN. Cecep bukan cowok. Dia cewek"cantik. Namanya terdengar sangat cowok. Rada tomboi memang
orangnya. Dia teman satu kelas saya di Madrasah
Tsanawiyah dulu. Dia sudah punya anak. Tiga. Pertama
melahirkan, anaknya kembar emas. Dua tahun lalu, dia
melahirkan anak ketiganya. Cecep pacar teman saya.
Dulu. Saya tidak ingat betul tanggal-hari-bulannya, waktu
itu kami sama terlambat tiba di sekolah. Guru tidak
memperbolehkan kami ikut belajar. Menunggu pelajaran
selanjutnya, kami nongkrong di kantin sekolah. Di sebelah kiri kantin ada kandang kelinci. Saya sering main
ke situ"memberi makan kelinci-kelinci atau sekadar
melihat-lihat. Bosan menunggu jam pelajaran pertama kelar, saya
iseng main ke kandang kelinci. Cecep ikut. Anak pemilik kantin juga, dia digendong Cecep. Namanya
Randi. Masih kecil. Kira-kira dua tahun.
Jika ada yang harus disalahkan kenapa saya dan
Cecep tiba-tiba berciuman di dekat kandang kelinci, tentu saja seekor kecoak dan Randi yang akan kami tunjuk. Nyaris bersamaan saya mau mencium Randi, kecoak itu tiba-tiba hinggap di jilbab Cecep. Kebetulan
yang indah. Cecep takut sama kecoak. Heran, kenapa
banyak cewek takut sama kecoak!
Cecep kaget, tetapi saking kagetnya dia malah tidak
bisa berteriak. Bibir saya jatuh menimpa pipinya, kirakira dua jari dari bibirnya. Satu detik. Dua detik. Tiga
detik. Senyap. Saya geser bibir saya menyentuh bibirnya.
Kemudian kami tiba-tiba kaget, dia tepatnya, dan kami
menarik wajah masing-masing. Cecep menunduk, lalu
masuk membawa Randi ke kantin.
Kejadian singkat itu terjadi saat teman-teman kelas
saya sedang belajar Aqidah Akhlak. Membekas" Tentu
saja. Ada ciuman kedua saya dengan Cecep" Ada. Di
Perkemahan Sabtu-Minggu, lima hari setelah dia putus
dengan pacarnya, teman saya.
"Dengan Riana DIA adik kelas dan pacar pertama saya. Di rumahnya
dia tidak dipanggil dengan nama itu. Teman-temanya
juga tidak memanggilnya seperti itu. Itu nama panggilan
dari saya. Riana adalah tiga suku kata terakhir nama
depannya. Dia lahir 1 Januari. Ciuman pertama saya dengannya
terjadi beberapa menit sebelum 31 Desember 1996 berakhir, beberapa menit sebelum ulang tahunnya.
Di rumahnya, dia hanya tinggal bertiga dengan kakek
dan neneknya. Ibu dan ayahnya tinggal di rumah lain,
di kota lain. Kamar Riana terletak di bagian depan rumahnya. Ada jendela di sisi kiri kamarnya. Di situ, di
jendela itu saya menciumnya. Jendela itu tidak tinggi"
saya bisa sekalian memeluk Riana saat menciumnya.
Saya mengantar kado ulang tahun untuknya malam
itu. Dua album berisi koleksi prangko yang saya kum79
pulkan selama bertahun-tahun. Kami berdua suka saling
berkirim surat. Setiap hari, kecuali hari libur dan Minggu, kami bertukar surat di depan perpustakaan sekolah.
Setelah menyodorkan hadiah, dia balas menyodorkan
keningnya. Saya meletakkan bibir saya di keningnya cukup lama. Tidak puas, saya mencium pipinya. Lalu bibirnya.
Ciuman kedua saya dengan Riana terjadi di perpustakaan sekolah. Ibu penjaga perpustakaan menangkap
basah. Tapi, dia tersenyum dan geleng-geleng kepala
saja. Penjaga perpustakaan itu yang jadi tukang pos pertama saya ketika mengirim surat cinta kepada Riana.
"Dengan Doyok DOYOK nama panggilan saya untuknya. Bagus juga saya
memanggilnya begitu, sehingga dalam tulisan ini saya
tidak perlu menyebut nama aslinya. Dia teman saya.
Tentu saja, cowok. Suatu malam, beberapa malam sebelum perpisahan
sekolah, saya dan beberapa teman, termasuk Doyok,
pergi ke gunung beberapa puluh kilometer dari sekolah.
Kami berkemah. Semacam perpisahan kecil-kecilan sebelum perpisahan besar-besaran di sekolah.
Dingin. Tentu saja, di gunung. Kami berenam tidur
dalam tenda yang tidak seberapa besar. Saya pikir wajar
jika kami saling memeluk untuk saling menghangatkan.
Kemudian menjadi aneh, bagi saya, saat tiba-tiba Doyok
yang tidur di sebelah kanan saya mencium bibir saya.
Damn! Saya kaget dan mendorong badannya"dan menimpa badan teman saya di sebelahnya.
Doyok malu dan meminta maaf. Saya marah. Belakangan saya menganggap itu kisah yang lucu saja. Setahun setelah kejadian itu, Doyok menceritakan beberapa hal tentang kecenderungan seksualnya kepada
saya. Dia jatuh cinta kepada cowok tetangganya, yang
menurutnya mirip saya. Tahun 2005, delapan tahun setelah kejadian di gunung itu, Doyok meninggal dunia. Motor yang dia kendarai ditabrak mobil truk.
"Dengan Kukila DIA juga mantan pacar saya. Itu bukan nama aslinya.
Dulu kami punya sepasang tokoh khayalan. Kedua tokoh itu saling berkirim surat di sebuah buku tebal.
Kukila dan Pilang. Jika malam ini buku itu ada di kamar saya, saya se81
bagai Pilang akan mengirim surat dan menyerahkan
buku itu kepadanya esok harinya. Dia akan membalas
surat itu sebagai Kukila. Begitu terus-menerus hingga
buku itu penuh dengan surat antara Kukila dan Pilang.
Menjelang kami putus, karena dia dijodohkan orangtuanya dengan lelaki lain, dia sepakat saya mengenangnya sebagai Kukila, dan sebaliknya. Begitulah sehingga
saya terus menyebut dan mengenangnya sebagai Kukila.
Ciuman pertama saya dengan Kukila terjadi di ruang
tamu rumahnya. Saya mengenang ciuman itu dalam sebuah puisi berjudul Hujan Rintih"Rintih yang kemudian
menjadi judul kumpulan puisi pertama saya. Iya, waktu
itu hujan. Di rumahnya cuma ada saya, kakaknya, dan
dia. Kedua adiknya dan orangtuanya sedang di Jakarta.
Saya mengantarnya pulang dari kampus, seperti
biasa. Di perjalanan, kami basah. Dia meminjamkan
salah satu T"shirt miliknya dan membuatkan segelas teh
untuk saya. Kakaknya sedang menonton di ruang tengah. Dia duduk di dekat saya. Saya memegang tangannya, cukup lama, saling menghangatkan telapak tangan.
Dia menunduk saja. Saya menarik dan mengecup keningnya, setelah sebelumnya mengecup punggung tangannya. Dia mendongak dan saya mengecup bibirnya.
Saya tidak mau menceritakannya lebih detail lagi. Saya
kira, malam itu saya membuat hujan di luar jendela rumahnya menggigil karena cemburu.
Oh, iya, Kukila itu berarti burung dan Pilang berarti
pohon. Keduanya bahasa Melayu klasik. Kami menemukannya di Kamus Besar Bahasa Indonesia.
"Dengan Sebut"Saja"Dia
SAYA berciuman dengan tunangan orang! Begitu ekspresi
kesal saya waktu itu, beberapa saat setelah dengan senang hati menciumnya. Dia yang memulai. Sumpah,
sebelum dia mengatakannya, beberapa menit setelah
berciuman, saya tidak tahu dia sudah memiliki tunangan.
Seminggu setelah ciuman itu, ibunya membatalkan
pertunangan mereka. Sebulan setelah itu, kami pacaran.
Saya dan dia menelepon ibunya. Kami sama-sama merasa bersalah. Setahun setelah itu, kami putus. Sebulan
setelah putus, dia menikah dengan lelaki lain. Seminggu
lalu, dia melahirkan anak pertamanya.
Ciuman itu terjadi di balkon tempat saya tinggal
waktu itu. Ini ciuman pertama paling "panas" yang pernah saya lakukan. Tetapi, saya tidak ingin bercerita
kenapa saya menyebutnya panas. Malam itu, sesungguhnya, cuaca cukup dingin.
Lucu juga, semua mantan pacar saya sudah menikah,
yang sebelum dan termasuk Sebut-Saja-Dia. Tiba-tiba
saya berpikir, kayaknya bibir saya ini cukup ampuh
buat menjadi pembuka jodoh orang lain"tapi tidak
buat diri saya sendiri. "Dengan Mansyur IYA. Dia laki-laki. Ciuman saya dengannya terjadi saat
saya masih berusia kira-kira sembilan tahun. Dia berkumis dan saya tidak suka dicium lelaki berkumis.
Ciuman itu terjadi suatu sore di belakang bus berwarna putih. Dia mencium saya setelah memberi saya
selembar uang seribu rupiah. Saya meronta. Saya tidak
suka dicium pria dewasa. Ciuman sore itu adalah satu-satunya ciumannya yang
saya ingat. Bagi saya, itulah ciuman pertama dan terakhirnya. Ciuman itu terjadi saat dia mau berangkat
dari rumah. Dia tidak pernah pulang sejak saat itu.
Tahun 2010 lalu, saya tahu dia sudah meninggal di
sana, entah di mana tepatnya, dua tahun sebelum kabar
itu sampai di telinga saya.
Mansyur ayah saya. "
Perahu Kertas dengan Huruf-Huruf Kanji SETAHUN lalu ia bertemu Akiko di Taman Ueno. Waktu
itu musim semi. Lalu ia berpisah dengan nama, nomor
telepon, dan cinta yang semi di dada serupa bungabunga sakura. Ia kembali ke negerinya dengan kertaskertas origami bermotif huruf-huruf kanji. Ada mimpi
yang berlipat-lipat di kertas-kertas origami itu. Tentang
bertemu kembali dengan Akiko. Tentang menikah dan
berumah di pulau. ?"" SABAN hari, ia melipat-lipat kertas. Membuat perahu.
Akiko hampir setiap malam tiba lewat kabel telepon
bersama sejumlah pertanyaan"dan kadang-kadang pernyataan yang membuatnya khawatir. "Bagaimana perahumu" Aku menunggu di Taman Ueno. Sakura mekar
di mana-mana. Maukah kau tiba lebih lekas?" Ia"dengan senang hati"mengabarkan telah membuat perahu
sembilan puluh atau seratus satu, juga menceritakan
rindu yang mengetuk-ngetuk dadanya tiada henti. Perempuan Jepang itu, lewat telepon juga, kadang hanya
datang dengan pertanyaan yang dia kutip entah dari
puisi siapa. Apa kabar ombak" Ia mengirim suara
ombak yang semakin hari semakin besar. "Jangan khawatir! Perahu-perahu itu akan membawaku ke Taman
Ueno tepat waktu." Ia seorang lelaki dengan gelombang laut di dada,
gelombang yang tidak pernah surut. Ia telah membaca
Sawerigading mencari We Cudai, berkali-kali. Ia adalah
Sawerigading yang hidup dari halaman-halaman kitab
Kukila Rahasia Pohon Rahasia Karya M. Aan Mansyur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lagaligo1. Di Taman Ueno, seorang We Cudai menunggu setia, We Cudai bernama Akiko Tsuru. Ia harus
tiba sebelum bunga-bunga sakura ditelan musim gugur.
Itulah sebabnya, setiap saat, pagi-sore-malam, ia membuat perahu. Perahu kertas dengan huruf-huruf kanji.
Matanya tidak terpejam bermalam-malam membuat
perahu. Setiap saat Akiko datang membawa kabar tentang bunga-bunga sakura dan musim semi yang menua.
Ia merasa musim gugur telah berdiri di depan pintu,
menggedor-gedor ingin masuk segera. Ia ingin mengatakan "sabar". Tetapi bukan musim gugur yang tidak sabar. Musim semi yang barangkali jenuh menunggu. Ia terus melipat kertas, berpacu dengan musim
gugur di depan pintu. Kamarnya menjelma lautan perahu kertas dengan huruf-huruf kanji.
Ombak semakin sering datang menjilat-jilat tangga,
membawa kabar tentang perempuan yang gelisah di
Taman Ueno. Separuh kertas bermotif huruf-huruf kanji
itu belum jadi perahu. Ia harus selesai sebelum musim
gugur tiba di Taman Ueno. Akiko menunggu di bangku
taman itu. Ia harus menyelesaikan perahu secepat mungkin sebelum musim semi berangkat dari Taman Ueno.
Dengan perahu kertas bermotif huruf-huruf kanji ia
akan datang membayar janji. Ia akan menyelipkan satu
atau dua bunga sakura yang jatuh, di rambut Akiko,
lalu meletakkan bibir di kening perempuan itu beberapa
detik. Ia akan mengajak Akiko duduk di bangku taman.
Ia akan bercerita tentang ombak lautan yang ia taklukkan sambil menyaksikan bunga-bunga sakura jatuh dan
musim semi pamit ke langit. Atau tentang kenangan setahun silam di bangku itu, atau tentang masa depan,
berumah di pulau. ?"" BEBERAPA jenak, ia mengangkat tangannya dari lembarlembar kertas origami. Angin tiba di rambutnya membawa ingatan-ingatan atau barangkali harapan-harapan;
tentang Taman Ueno dan bunga-bunga sakura. Ia tersenyum membayangkan Akiko menunggu di Taman
Ueno. Ia harus menyelesaikan seribu perahu kertas dengan huruf-huruf kanji. Perahu yang akan membawanya
melayari lautan. Ia mengenang kembali detail-detail pertemuannya dengan Akiko. Ia duduk di sebuah bangku taman, sendiri.
Seorang perempuan datang membawa sedih di wajah
dan sepi dalam balutan sweater. Perempuan dengan
sweater berwarna cokelat itu melipat kedua tangan eraterat seperti ada sakit yang menusuk-nusuk dadanya.
Perempuan itu tiba-tiba bertanya, "Kono seki wa
fusagatte imasu ka?"2 Ia ingat adegan dua lelaki di
drama Edward Albee, Zoo Story3. Ia tidak merasa memiliki hak penuh atas bangku itu"seperti lelaki dalam
drama absurd itu. Perempuan itu terlalu sedih untuk
diajak berkelahi. Apa salahnya berbagi tempat duduk.
Ia bilang "tidak ada".
Mereka bercerita banyak, diawali dengan basa-basi
"samui desu ne",4 tentang nama, sampai tentang kenapa
mereka ada di taman itu. Setiap musim semi tiba, Akiko
datang ke taman itu, berharap bertemu kekasihnya. Taman itu tempat ia selalu bertemu kekasihnya. Suatu hari
di musim semi, ia dan kekasihnya, seperti biasa, berjanji
untuk bertemu, tetapi kekasih yang dinanti tidak datang. Itulah sebabnya ia selalu datang ke taman itu dengan sedih, sepi, dan nanti di sekujur tubuh"berharap
di suatu musim semi ia temukan kekasihnya kembali.
Ia tidak pernah menyangka tiba-tiba ada sesuatu
Matahari Esok Pagi 18 Pendekar Gagak Rimang 7 Siasat Yang Biadab Pembalasan Nyoman Dwipa 1