Pencarian

Anggukan Sapi Betina 1

Anggukan Sapi Betina Karya Ahmadun Yosi Herfanda Bagian 1


?"Kumpulan Cerpen Ahmadun Yosi Herfanda
www.ac-zzz.tk Anggukan Sapi Betina Cerpen Ahmadun Yosi Herfanda
MULANYA hanyalah seekor sapi betina. Tetapi, lenguhnya yang aneh dan hanya terdengar tiap malam Jumat, membuat orang-orang desa menganggapnya bukan lagi seekor sapi biasa. Anggukan dan goyangan kepalanya pun dipercayai sebagai isyarat atau jawaban atas pertanyaan yang diajukan kepadanya, bahkan kehendak dan tanda-tanda zaman yang tidak dapat dielakkan.
Apakah kau mengerti kata-kataku, hai sapi" tanya seorang lelaki gemuk berbaju safari, sambil membungkuk di depan sang sapi.
Sapi betina itu diam saja. Matanya membelalak, bulat seperti telur mata sapi. Lidahnya yang kemerahan lantas terjulur, meraup rumput hijau yang menumpuk di depannya.
Ah, kau bohong, Pak Mandor. Dia tidak mengerti kata-kataku. Lelaki gemuk itu protes pada pria tambun di sebelahnya.
Bapak harus memanggilnya Ibunda Sapi agar dia mau menjawab pertanyaan Bapak, ujar sang tambun.
Ibunda Sapi& , lelaki gemuk dengan pipa cangklong di tangan itu lebih mendekati sang sapi. Suaranya dilembut-lembutkan, apakah Ibunda setuju saya mencalonkan diri menjadi kepala desa"
Seekor lalat hijau, ketika pertanyaan lelaki gemuk itu meluncur, tiba-tiba mendengung dan hinggap di ujung telinga kanan sang sapi. Dan, demi menolak rasa geli, sapi itu menggeleng-gelengkan kepalanya keras-keras, mengusir lalat itu.
Lihat, dia menggelengkan kepalanya, teriak lelaki tambun yang dipanggil Pak Mandor itu, gembira. Ibunda sapi tidak setuju Bapak mencalonkan diri menjadi kepala desa.
Ah, saya tidak percaya. Dia menggoyangkan kepalanya karena telinganya gatal. Ada lalat hijau hinggap di situ.
Tidak. Ibunda Sapi memang mau menggeleng. Cuma kebetulan lalat hijau ada di situ. Kalau tidak percaya coba bapak ulang.
Ibunda Sapi, apakah Ibunda setuju saya mencalonkan diri menjadi kepala desa" Tanya lelaki gemuk itu lagi, dengan suara lebih nyaring, mulai kehilangan kelembutan, serak seperti suara mikropon retak.
Seekor lalat hijau kembali mendengung dan meluncur masuk ke telinga kanan sang sapi. Dan, spontan sang sapi menggelengkan kepalanya yang tampak besar dan berat seperti kepala dinosaurus, mencoba mengusir sang lalat. Sekali, dua kali, tiga kali, sang lalat pun terloncat kepunggungnya.
Lihat, Ibunda Sapi tidak setuju Bapak mencalonkan diri menjadi kepala desa. Bapak harus percaya. Tidak cuma sekali dia menggeleng, tapi tiga kali, dengan keras sekali.
Lelaki gemuk yang di panggil Pak Carik, lelaki dengan wajah persegi dan rambut lurus lebat seperti rumput Jepang di taman desa itu, kali ini terdiam. Wajahnya memerah, bibirnya mengatup rapat dengan gelembung kemarahan di sekelilingnya, menahan geram. Sapi gila! umpatnya tiba-tiba, sambil membalikkan tubuhnya dan melangkah ke pintu kandang.
Melihat kegusaran Pak Carik, lelaki tambun mandor kebun tebu yang dipercayai memelihara satu-satunya sisa sapi Banpres itu, ikut menjadi gusar. Dengan langkah ragu-ragu ia mendekati Pak Carik yang tiba-tiba menhentikan langkahnya dan berdiri mematung di pintu kandang sapi.
Sudahlah, Pak Carik. Urungkan saja niat bapak untuk mencalonkan diri menjadi kepala desa. Warga toh masih menginginkan Pak Sarkem tetap mejabatnya untuk periode mendatang. Mereka sudah merasakan keberhasilan Pak Sarkem memimpin desa ini. Ibunda Sapi tau benar keinginan warga.
Warga yang mana, Pak Mandor" Kau jangan main hantam kromo. Lihat saja, di mana-mana ada letupan. Mereka menginginkan perubahan. Mereka sudah bosan berpuluh tahun dipimpin Pak Sarkem. Suara Pak Carik mengeras, memekakkan telinga, sekeras teriakan jurkam tanpa mikropon di tengah lapangan.
Pak Carik, hati-hati kalau ngomong! Ingat posisi Bapak. Kalau Pak Sarkem dengar, bisa-bisa Bapak tidak dipakai lagi.
Pak Mandor juga harus hati-hati. Pak Mandor hanya dititipi Pak Lurah untuk memelihara sapi Banpres itu, memberinya makan, mengawinkannya agar beranak pinak. Bukan untuk dijadikan dukun!
Siapa yang menjadikannya dukun, Pak Carik" Sapi itu memang mumpuni. Dia dapat membaca apa yang sedang terjadi dan bakal terjadi di desa ini.
Omong kosong! Terserah Bapak, percaya atau tidak!
Lelaki gemuk berwajah persegi itu terdiam. Sekali ia menarik nafas panjang dan dalam, lalu menghembuskannya dengan kuat, seperti menghembuskan semua kegusaran hatinya ke udara sore yang kering dan penuh aroma telethong sapi. Pipa cangklong hitamnya lantas ia isap, sambil menyandarkan punggung ke kusen pintu kandang sapi. Pak Mandor juga terdiam, dan karena tak membawa pipa cangklong, ia lantas menyalakan sebatang rokok kretek.
Tiba-tiba seperti ada ide baru yang terlintas di kepala Pak Carik. Buru-buru ia melangkah kembali mendekati sang sapi. Pak Mandor mengungtitnya dari jarak tiga langkah.
Ibunda Sapi, kata Pak Carik setelah sampai pada jarak satu langkah dari sapi betina itu, apakah Ibunda setuju kalau Bapak Kepala Desa, Pak Sarkem, diganti"
Lagi-lagi, seekor lalat hijau, dua ekor, tiga ekor, empat ekor, lima ekor, mendengung-dengung di seputar kepala sapi. Seekor hinggap di ujung telinga kanannya, seekor menerobos masuk ke telinga kirinya, tiga ekor merubung luka diatas sudut mata kirinya. Sang sapi pun menggeleng-geleng keras, mengusir lalatlalat itu.
Lihat! Lihat, Pak Carik! Ibunda sapi mengeleng-geleng keras! Ibunda sapi tidak setuju Pak Sarkem diganti. Ibunda Sapi tahu warga masih menhendaki Pak Sarkem dipilih kembali menjadi kepala desa.
Jadi, Ibunda Sapi setuju Pak Sarkem dipilih kembali menjadi kepala desa"
Tanpa menghiraukan ocehan Pak Mandor, lelaki gemuk berbaju safari itu bertanya lagi pada sang sapi. Dan, kali ini seekor semut merah menggigit janggut Ibunda Sapi. Maka, demi mengusir rasa gatal, sang sapi pun mengangguk-anggukkan kepalanya sambil menggosok-gosokkan janggutnya yang gemuk ke tumpkan rumput gajah di depannya.
Lihat! Lihat! Dia setuju! teriak Pak Mandor.
Jadi, Ibunda Sapi setuju masih ada kepala desa seumur hidup di desa kita ini" Tanya Pak Carik lagi dengan penasaran.
Ibunda sapi yang masih merasakan gatal-gatal pada janggutnya, terus menganggukanggukkan kepalanya, bahkan disertai lenguhan panjang.
Lihat! Lihat! Ibunda sapi tidak hanya mengangguk. Dia juga melenguh. Dia sangat setuju Pak Sarkem menjadi kepala desa seumur hidup! teriak Pak Mandor gembira, seperti orang yang baru saja menang taruhan sepak bola.
Edan! umpat Pak Carik sambil ngeloyor pergi, meninggalkan kandang sapi.
*** KEESOKAN harinya tak jelas apa yang terjadi dalam semalam, seolah sistem penyebaran informasi telah sedemikian canggih dan cepat desa itu geger. Tersiar berita penting: Ibunda Sapi menghendaki agar Pak Sarkem dipilih kembali menjadi kepala desa.
Benar! Kata Pak Mandor, sapi itu mengangguk ketika Pak Carik bertanya apakah ia setuju Pak Sarkem dipilih kembali menjadi kepala desa.
Jika begitu, pemilihan kepala desa yang akan kita adakan bulan depan percuma saja! Toh hasilnya sudah kita ketahui, yang terpilih akhirnya Pak Sarkem juga.
Tetap perlu! Siapa tahu banyak warga desa yang memilih calon lain.
Ah, mana berani mereka melawan kehendak Ibunda Sapi.
Saya yakin banyak yang berani. Mereka menginginkan perubahan. Lihat saja, kerusuhan meletup di mana-mana. Mereka bosan pada kemapanan seperti ini.
Kalau ternyata Pak Sarkem juga yang terpilih"
Itu tak masalah. Berarti warga masih ingin mematuhi kehendak Ibunda Sapi. Yang penting demokrasi tetap jalan.
Demokrasi macam apa" Demokrasi sapi betina"
Jangan begitu! Kamu bisa kualat sama Ibunda Sapi!
Debat politik ala warung tegal itu tak hanya terjadi di warung kopi, tapi juga di serambi masjid dan gereja, di atas andong, di pematang sawah, di kantin balai desa dan di teras rumah ibu-ibu PKK. Banyak yang mendukung kehendak Ibunda Sapi. Tapi, tak kurang yang tidak setuju dan menganggap itu sebagai syirik dan cermin kebodohan. Mereka menganggap bukan saatnya lagi percaya pada anggukan seekor sapi betina. Mereka menginginkan ada perubahan. Mereka menginginkan Pak Sarkem diganti. Dan, inilah yang meresahkan para Hansip, Wankamra, Satpam dan hampir semua perangkat desa. Mereka menganggap stabilitas politik dan keamanan desa sedang terancam.
Kita harus melakukan gerakan politik untuk melawan ancaman-ancaman itu. Wibawa Ibunda Sapi harus ditegakkan kembali, kata Kabag Kesra, tokoh yang ditugasi Pak Sarkem untuk memenangkan pemilihannya, dalam sebuah rapat istimewa di balai desa.
Jika begitu, kita buat kebulatan tekad saja, usul Pak Mandor.
Kebulatan tekad macam apa"
Kebulatan tekad untuk menegakkan kembali kehendak Ibunda Sapi dan memilih kembali Pak Sarkem menjadi kepala desa.
Ah, itu sudah kuno, hanya akan menjadi bahan tertawaan warga.
Atau doa politik saja"
Itu juga sudah banyak dilakukan orang. Kurang orisinal.
Lantas apa" Kita buat gerakan untuk mempopulerkan kembali Pak Sarkem. Kita pasang foto kepala desa pada tiap rumah warga dan tiap sudut kampung.
Lalu, bagaimana dengan Ibunda Sapi"
Ya, foto Ibunda Sapi juga perlu kita pasang.
Bagaimana kalau kita sebarkan foto Pak Sarkem sedang menunggang Ibunda Sapi"
Jangan. Itu bisa berbahaya, bisa dianggap menghina Ibunda Sapi. Bisa-bisa warga tidak mau memilih Pak Sarkem lagi.
Bagaimana kalau foto Pak Sarkem sedang mencium Ibunda Sapi"
Itu ide bagus. Itu simbol kemesraan hubungan antara Pak Sarkem dan Ibunda Sapi. Saya setuju!
Maka, pada keesokan harinya, menyebarlah ribuan foto Pak Sarkem sedang mencium pipi sapi betina itu. Pada tiap dinding rumah, sudut kampung, serambi masjid dan gereja, pintu kelenteng dan pura, ruang-ruang sekolah, kantor-kantor lembaga pemerintah desa, warung Tegal, warung Padang, warung sate Madura, warung bakso, kios rokok dan koran, kaos anak-anak dan remaja, terpampang gambar kepala Ibunda Sapi dicium Pak Sarkem.
Jangan pasang foto selain foto Pak Sarkem dan Ibunda Sapi! demikian instruksi Wakil Kepala Desa melalui pidato-pidato, radio-radio dan stasiun televisi lokal. Bahkan, iklan-iklan bikini pun harus memakai model Ibunda Sapi. Sehingga, pada hari berikutnya, di sebelah kanan pintu gerbang masuk desa, terpampang baliho raksasa: sapi betina sedang berdiri mengenakan bikini model terbaru, menggantikan baliho bergambar Tamara Blezinsky yang sedang mengiklankan pakaian dalam bikinan Prancis.
*** HARI pemilihan kepala desa akhirnya tiba juga. Tempat pencoblosan dibangun di halaman balai desa dengan latar belakang spanduk raksasa bergambar Pak Sarkem mencium pipi Ibunda Sapi. Memang ada gambar dua calon lain, Pak Mantri Suntik dan Mantri Kali, tapi dipasang kecil saja di pojok kanan dan kiri spanduk. Semua warga tahu, keduanya hanya calon pelengkap saja, agar pemilihan bisa berjalan sesuai undang-undang.
Saya memutuskan untuk mencalonkan diri sebagai wakil kepala desa saja. Saya mendukung Pak Sarkem terpilih kembali menjadi kepala desa. Ini sesuai dengan kehendak dan restu Ibunda Sapi, kata Pak Mantri Suntik pada kampanye dialogisnya melalui televisi lokal, sehari sebelumnya.
Saya sependapat dengan Pak Mantri Suntik. Melihat pengalaman dan kesuksesan Pak Sarkem memimpin desa ini, beliau paling pantas dipilih kembali menjadi kepala desa, timpal Pak Mantri Kali pada acara yang sama.
Waktu pun terus merambat. Detik berganti menit, menit berganti jam, jam berganti hari. Semua aparat desa, sebagai panitia pemilihan, sudah berkumpul di halaman balai desa. Para Hansip, Wankamra dan Satpam, pun bergentayangan disekeliling balai desa, siap mengamankan pemilihan, dengan pentung dan senapan otomatis di tangan. Telepon genggam, walki talki, tabung gas air mata, bergelantungan pada ikat pinggang mereka. Motor-motor trail, jip militer, dan panser, disiagakan di tempat-tempat strategis.
Tetapi, sampai pukul 12 siang tak seorang warga pun datang mencoblos. Pengeras suara terus berteriak-teriak agar para warga segera datang. Bapak-bapak, ibu-ibu, harap segera datang ke tempat pencoblosan. Kita semua wajib menyukseskan pemilihan. Ini demi demokrasi dan masa depan desa kita! Namun, hanya angin siang yang menerobos masuk ke bilik pencoblosan dan menghempas-hempaskan kordennya. Daun-daun kering yang dirontokkan angin ikut menyerbu halaman balai desa.
Yang terjadi selanjutnya adalah kegelisahan yang aneh. Pak Sarkem, yang bertubuh gemuk dan ubanan, gelisah di kursi busanya, sambil mengetuk-ngetukkan sol sepatunya ke lantai marmer dengan irama yang tidak teratur. Para aparat desa, dengan seragam safari abu-abunya, mondar-mandir di halaman balai desa, sambil matanya jelalatan keluar pagar, mengharap-harap ada warga yang datang ke tempat pencoblosan. Hansip, Wankamra dan Satpam, pun mondar-mandir di luar, sambil sesekali menendang-nendang batu atau kaleng minuman yang ditemuinya.
Ketika kegelisahan mereka sampai ke puncaknya, di kejauhanan, di ujung jalan masuk ke balai desa, tampak seorang lelaki berpeci dan bertongkat tertatih-tatih mendekati tempat pencoblosan. Lihat! Warga mulai datang! teriak Pak Mandor gembira.
Ya, warga mulai datang! teriak yang lain, seolah terbebas dari himpitan kegelisahannya. Benar, kan! Mereka memang lebih suka mencoblos pada sore hari, jalanan tidak panas.
Lelaki bertongkat itu, yang ternyata seorang buta, pun memasuki halaman balai desa, sambil meraba-raba jalan dengan tongkatnya.
Bapak mau mencoblos" sambut Komandan Hansip bersemangat.
Ya ya ya, jawab lelaki bertongkat itu sambil mengangguk-angguk mantap. Tapi saya buta. Saya tidak tahu mana gambar yang saya sukai .
Bapak suka apa" Gambar petai, jengkol, atau kerupuk"
Wah, kalau makan saya suka lalap jengkol.
Nah, tusuk saja gambar jengkol.
Di mana nusuknya. Mana kartu kuningnya, biar saya bantu.
Selesai menusuk, lelaki buta itu pun pergi. Halaman balai desa kembali lengang dengan bilik pencoblosan dan kotak suara yang kosong melompong. Kegelisahan kembali menerkam mereka. Aparat desa mulai mondar-mandir dengan mata jelalatan keluar pagar, panitia pendaftar mulai menggebrak-gebrakkan tangannya ke meja dengan irama aneh, para Hansip dan Wankamra menendang-nendang kaleng kosong sesukanya. Suara ketukan sol sepatu Pak Sarkem dari dalam balai desa pun semakin keras saja. Semuanya, tanpa sengaja, menciptakan konser kegelisahan yang aneh di halaman balai desa.
Hai, kalian kenapa" Kalau sudah tak ada yang mencoblos, dihitung saja suaranya! Jangan malah bengong! teriak Pak Sarkem yang tiba-tiba muncul di pintu balai desa.
Bagaimana akan dihitung, Pak. Hanya satu!
Hanya satu" Jadi, yang mendapat suara hanya satu calon" Itu bagus. Menang mutlak namanya!
Hanya satu orang" Orang buta"! Mata Pak Sarkem kini terbelalak. Pada kemana warga yang lain, ha"
Tidak tahu, Pak! Tidak ada yang datang!
Wah, ini namanya pemogokan politik. Ini melawan prinsip-prinsip demokrasi. Pasti ada aktor intelektualnya. Masa depan desa kita bisa gawat!
Lalu, bagaimana enaknya, Pak"
Bagaimana bagaimana! Kalian goblok semua! Paksa mereka ke sini. Kita tegakkan kembali demokrasi! Goblok! Kemarahan Pak Sarkem tiba-tiba memuncak. Ia melangkah cepat ke arah Pak Mandor dan merebut mikropon dari tangannya. Hai para Hansip, para Wankamra, para Satpam, paksa warga datang ke sini! Ayo, cepaaat!!! Ini perintah!
Demi mendengar perintah Bapak Kepala Desa, para Hansip, Wankamra dan Satpam, berhamburan ke seluruh penjuru desa. Mereka menggedor tiap pintu rumah dan memaksa warga untuk datang ke balai desa. Bersamaan dengan itu, pengeras suara di halaman balai desa pun berteriak-teriak keras, Bapak-bapak! Ibu-ibu, harap segera kumpul! Kumpul! Kumpuuul! Kentongan-kentongan di masjid, di musala, di pos ronda, pun dibunyikan ramai-ramai. Tong! Tong! Tong! Kumpul! Kumpuul! Tong! Tong! Tong! Kumpuuul! Desa pun riuh irama musik kentongan. Burungburung beterbangan ketakutan. Ayam-ayam berkokok-kokok berlarian. Kucing-kucing berloncatan masuk kolong. Kambing-kambing mengembik lepas dari kandang. Dan, hanya dalam waktu beberapa menit, ratusan warga desa sudah berkumpul di halaman balai desa.
Bapak-bapak, ibu-ibu, kalian semua kenapa"! Suara Pak Sarkem menggelegar lewat pengeras suara. Tak ada yang menjawab. Ratusan warga hanya berdiri mematung. Bukankah hari ini hari pencoblosan! Kenapa kalian tidak pada datang" Kalian semua mogok ya"! Jangan begitu! Itu namanya merusak jalannya pemilihan! Merusak demokrasi!
Bukan begitu, Pak Kepala Desa, seorang warga, yang berdiri paling depan, memberanikan diri untuk berbicara. Kami semua hanya memenuhi kehendak Ibunda Sapi!
Kehendak Ibunda Sapi"! Kehendak bagaimana"!
Ibunda Sapi menghendaki kami tidak datang ke tempat pencoblosan. Ibunda Sapi menganggap pencoblosan tidak penting lagi, karena yang terpilih toh pasti Pak Sarkem juga!
Pak Mandor, bawa Ibunda Sapi kemari. Kita lihat apa memang benar Ibunda Sapi berkehendak begitu.
Demi mendengar perintah Pak Sarkem dan kegawatan situasi, lelaki tambun mandor kebun tebu itu langsung menerobos kerumunan warga dan berlari menuju kandang sapinya. Semuanya menunggu dengan tegang. Baliho pesan sponsor bergambar Ibunda Sapi dengan pakaian bikini buatan Prancis di belakang bilik pencoblosan bergoyang-goyang keras ditiup angin sore. Tak seberapa lama, Pak Mandor kembali menerobos kerumunan warga, sambil menuntun sapi betina, masuk ke halaman balai desa.
Bawa Ibunda Sapi ke tengah! teriak Pak Sarkem. Ratusan warga langsung menyerbu, mengelilingi Ibunda Sapi. Yang depan jongkok agar yang belakang dapat melihat! Pak Sarkem memelopori jongkok di belakang sapi betina itu. Pak Mandor, Pak Carik, Pak Mantri Kali, Pak Mantri Suntik, para ketua RT dan RW, megikutinya. Mereka berjongkok di sekeliling Ibunda Sapi.
Ibunda Sapi yang mulia, apakah ibunda tidak merestui pemilihan kepala desa ini" Pak Mandor berinisiatif memulai pertanyaan kepada sapi betina itu. Sapi itu diam saja. Tampangnya yang tua malah tampak bengong.
Apakah Ibunda Sapi tidak menghendaki warga desa melakukan pencoblosan" pertanyaan Pak Sarkem menyusul dari belakang pantat sapi. Sang sapi tetap diam. Hanya ekornya yang digoyang-goyangkan ke kanan dan ke kiri.
Menjawablah! Jangan marah kepada kami. Warga membutuhkan anggukan atau gelengan Ibunda Sapi. Pak Mandor mencoba merayu sambil mengelus-eluskan tangan kanannya ke jidat sang sapi.
Sapi betina itu hanya membisu. Dan, tak ada yang tahu, perut sang sapi sedang kurang beres. Suara gemerucuk berputar-putar memenuhi usus besar dan usus dua belas jarinya. Namun, tak ada yang mendengarnya. Maka, ketika orang-orang berada pada puncak ketidaksabaran menunggu anggukan sang sapi, meletuslah dubur sapi itu, melemparkan angin bercampur cairan telethong, persis menimpa wajah dan baju Pak Sarkem.
Tentu saja, Bapak Kepala Desa sangat terkejut mendapat hadiah yang di luar dugaannya itu. Dengan wajah memerah dan belepotan telethong, ia pun berdiri, dan & Kurang ajar! Sapi Gila! Sapi gendeng! umpatnya sambil menendang pantat sapi itu dengan sepatu hitamnya yang terbuat dari kulit sapi.
Mendapat tendangan keras bertubi-tubi, Ibunda Sapi tidak kalah terkejutnya. Dengan setengah melompat sapi itu berlari tunggang langgang, menabrak kerumunan orang-orang di depannya. Sepuluh orang terinjak dada dan kepalanya. Lima orang terpental keluar, terseruduk kepala sapi.
Tangkap dia!!! Cincang sapi gendeng itu !!! teriak Pak Sarkem.
Kerumunan pun bubar seketika. Para Hansip, Wankamra, Satpam, Kepala Desa, Pak Carik, Pak Mandor, Pak Mantri Suntik, Pak Mantri Kali, seluruh aparat desa pun berlari memburu sapi betina itu. Kita sate saja! teriak seseorang.
Kita bikin soto, teriak yang lain.
Kita bikin dendeng dagingnya!
Kita bikin sop buntut! Dan, sapi itu berlari dan terus berlari, diburu ratusan warga desa& .
Tangerang, Juni 1997 Biografi Sebungkus Nasi SEBUNGKUS nasi, yang tersembunyi di dalam kantung plastik hitam, menjerit kecil digencet tubuh para demonstran yang roboh bertindihan di aspal jalanan. Pelurupeluru berdesingan menyusul serentetan suara tembakan yang membelah udara sore kota Jakarta.
Awas nasinya, jangan sampai tergencet! teriak seorang gadis kepada lelaki di depannya. Dalam posisi tiarap, ia sedikit mengangkat kepalanya. Sebutir peluru tiba-tiba mendesing, nyaris menyambar telinganya, dan sang gadis langsung menyembunyikan kepalanya di antara kedua lengannya.
Si lelaki, berjaket kuning kumal, sambil tetap bertiarap, menyelamatkan sebungkus nasi itu dari gencetan tubuh kawan-kawannya, lantas mengangkatnya tinggi-tinggi dengan tangan kanannya. Tapi, sebutir peluru karet menyambar tangannya, sehingga bungkusan itu terpental ke tengah jalan raya. Dan, tragis sekali! Sepatusepatu tentara yang tebal dan berat menginjak bungkusan nasi itu, diikuti ratusan kaki demonstran yang cerai berai dirangsek satu resimen pasukan anti huru hara.
Sang gadis yang tangan kirinya kini diseret oleh seorang tentara sambil menunjuk-nunjuk kantung plastik hitam berisi sebungkus nasi itu pun berteriak keras, ''Nasi saya, Pak! Tolong nasi saya! Ada yang hampir mati kena sakit mag. Harus segera diberi nasi dan obat. Jika tidak, bisa mati!''. Tapi sang tentara tidak peduli dan terus menyeretnya tanpa ampun.
Dalam kepanikan, sang gadis sempat melihat, kawannya yang berjaket kuning kumal tadi, digebuk berkali-kali dengan pentungan karet oleh dua tentara hingga terkapar, lalu dilempar ke dalam truk militer. Khawatir akan bernasib serupa, ia buru-buru berkata, Lepaskan saya, Pak! Saya bukan demonstran! Saya anggota PMI. Lihat, ini di lengan saya ada tanda palang merah!''
''Nggak bilang dari tadi!"! Diseret ikut aja! Memangnya enak ya diseret tentara" Capek nih, menyeret-nyeret kamu! Brengsek!'' tentara itu melepas tangan sang gadis, sambil mengomel dan mendorong gadis itu agak keras, menjauh. ''Ambil tuh nasi kamu, udah jadi bubur diinjak-injak demonstran!''
Gadis itu sempoyongan, hampir terjatuh, menabrak serdadu yang lain, yang langsung memelototinya, dan menodongkan senapan otomatis padanya. Khawatir akan diseret lagi seperti tadi, gadis itu langsung meminta maaf sambil membungkukbungkuk. ''Maaf, maaf, Pak, tidak sengaja. Saya bukan demonstran. Saya anggota PMI, mau menolong yang terluka!''
''Kopral, biarkan monyet jelek itu pergi!'' teriak tentara yang tadi menyeret gadis itu. Tampaknya ia salah seorang komandan lapangan. Sebenarnya, jengkel juga hati sang gadis dikatakan monyet jelek. Tapi, toh takkan ada gunanya kalau ia balik mengata-ngatainya.
Tentara yang tertabrak tadi menghentikan todongan senjatanya, dan terus melangkah lurus ke depan, ke arah para demonstran yang berhasil menjebol barikade aparat keamanan dan berlari ke arah gedung MPR, tanpa mempedulikan gadis itu, bagai robot-robot yang digerakkan oleh mesin otomatis yang dikendalikan dari jauh dengan remote controle.
Sang gadis lantas berjalan tertatih-tatih melawan arus massa. Matanya jelalatan mencari-cari sebungkus nasi dalam kantung plastik hitam tadi. Jalannya agak terpincang-pincang, mungkin telapak kakinya yang terbungkus sepatu cat hitam lecet, atau pergelangan kakinya terseleo. Berkali-kali ia hampir menabrak arus massa, polisi dan tentara. Ia buru-buru menyelamatkan diri ke tepi, dengan mata tetap mencari-cari sebungkus nasi dalam kantung plastik hitam tadi.
Di tengah situasi kacau balau seperti itu sebungkus nasi memang menjadi barang langka. Nasi itu ia beli dengan susah payah, dan itu adalah stok terakhir dari warung tenda di depan stasiun TVRI Pusat. Sementara peluhun penjaja nasi lain sudah kehabisan stok, atau sengaja menutup warungnya karena khawatir akan terjadi kerusuhan. Karena itu, sang gadis berusaha keras untuk menemukan kembali kantung plastik hitam berisi sebungkus nasi tadi.
Setelah berusaha keras sekitar seperempat jam, ia temukan juga kantung plastik hitam itu, persis di bawah jembatan layang Taman Ria Senayan. Bungkusannya sudah gepeng, entah sudah diinjak oleh berapa ratus sepatu. Ia bermaksud mengambilnya, tapi sepeleton tentara bergerak cepat melewati jalan tempat nasi itu tergeletak. ''Ya Ampuuun!'' teriak gadis itu sambil melongo dan mengusap dadanya, ketika melihat puluhan sepatu militer bergedebum menginjak-injak sebungkus nasi di dalam kantung plastik hitam itu.
Selewat tragedi kecil tersebut, gadis yang di dadanya tertempel nama Hesti Marhastuti itu buru-buru berlari kecil ke tengah jalan dan memungut kantung plastik hitam berisi sebungkus nasi itu. Begitu kembali ke pinggir jalan, ia memeriksa isi kantung itu, ingin memastikan apa yang terjadi dengan nasinya. Ia terbelalak, bungkusan nasi itu telah benar-benar gepeng seperti dilindas buldoser. Tapi, ajaibnya, kertas pembungkusnya sama sekali tidak robek. Begitu juga kantung plastik hitam yang melindunginya.
Gadis itu tampak penasaran. Ia ingin tahu apa yang terjadi dengan nasi dan laukpauknya. Ia letakkan bungkusan gepeng itu di bibir pot bunga di tepi jalan. Dan, sambil duduk di bibir pot, pelan-pelan ia melepaskan karet pengikat bungkusan nasi itu. Dengan hati-hati pula ia membukanya, seperti seorang penjinak bom sedang melepas kabel-kabel bom waktu, seakan khawatir bungkusan itu akan meledak. Dan, begitu bungkusan tersebut terbuka, gadis itu lebih terbelalak lagi melihat telur rebusnya remuk, tahunya ringsek, sayur lodehnya lumat bersama sambal dan nasi. Benar kata tentara tadi, nasi itu telah menjadi bubur.
Sambil menyusupkan jari-jari tangan kirinya ke celah-celah rambut pendek di kepalanya, sang gadis memelototi nasi yang telah menjadi bubur itu. Pikirannya pun melayang kepada Dirwan, seorang pengunjuk rasa yang terkapar di salah satu sudut gedung MPR karena digerogoti sakit mag yang parah. ''Dirwan harus segera makan nasi dan obat agar sembuh. Nasi ini harus segera sampai padanya,'' gumamnya.
Ia lantas memeriksa bagian demi bagian nasi yang dibelinya di warung tenda di depan gedung TVRI Pusat itu, barangkali ada kotoran yang masuk. Setelah yakin seratus persen bersih yakin nasi itu belum tercemar kotoran sepatu tentara ia membungkusnya lagi, dan memasukkannya ke dalam kantung plastik hitam.
Gadis itu lantas berlari tertatih-tatih ke arah para tentara pergi memburu para demonstran. Tepatnya ke arah gedung MPR. Tapi, sebuah barikade berlapis, PHH, dan pasukan Kostrad, menghadangnya tidak jauh dari pintu masuk gedung MPR. Tampak pula beberapa Panser, mobil pemadam kebakaran, dan truk-truk militer yang hidungnya dilengkapi perisai berlapis kawat berduri.
Gadis itu tampak keder dan ragu-ragu, bagaimana bisa menembus barikade yang luar biasa ketat tersebut. Pikirannya kembali melayang kepada Dirwan, yang pasti sedang menunggunya dengan cemas sambil sesekali mengerang kesakitan. Tidak hanya obat anti mag yang harus disuapkan ke mulutnya, tapi juga sebungkus nasi, roti, atau apapun, yang dapat mengisi lambungnya yang kosong. Jangan-jangan ia sudah pingsan, pikirnya.
*** SUDAH tiga hari Dirwan menginap di gedung MPR, ikut meneriakkan reformasi untuk menumbangkan rezim otoriter yang korup. Dan, saking bersemangatnya, ia lupa makan dan magnya pun kambuh. Sialnya, saat magnya kumat, perbekalan kelompoknya habis dan suplai makanan dari LSM terlambat. Maka, tergeletaklah ia sambil sesekali mengerang-ngerang kesakitan. ''Tolong, carikan aku nasi dan obat mag. Jika tidak, aku bisa mati,'' rintih Dirwan sambil memegangi perutnya.
Tenanglah, Dirwan. Aku berjanji segera kembali dengan nasi dan obat mag untukmu, kata sang gadis ketika itu, mencoba menenangkan kegelisahan sang demonstran.
Ingat janji dan penderitaan sahabatnya itu, semangat gadis anggota PMI itu berkobar lagi. Ia mencoba mendekati seorang komandan PHH yang tadi ikut menyeretnya, dan minta agar diijinkan masuk ke komplek gedung MPR. ''Saya anggota PMI yang tadi, Pak. Lihat ini tandanya! Ada seseorang yang harus segera ditolong di dalam! Mohon saya diperbolehkan masuk!'' katanya.
''Mau anggota PMI, mau anggota PMA, siapapun tak boleh masuk! Cepat menyingkir dari sini! Atau pengen diseret lagi kayak tadi"!'' jawab sang tentara, ketus.
''Aduh, kasihan kawan saya, Pak! Kalau tidak segera ditolong, dia bisa mati! Boleh ya, Pak, saya masuk"'' gadis itu merajuk lagi.
''Sudah saya katakan, siapapun tak boleh masuk! Cepat menjauh dari sini! Atau mau kutembak"'' kali ini sang tentara menodongkan senapan otomatis ke jidat sang gadis. Ia tidak tahu, isi senapan itu peluru karet atau peluru beneran. Sepintas ia ingat, sering ada demonstran yang terkena peluru beneran. ''Kalaupun isi senapan itu peluru karet, bisa benjol juga jidatku kena tembak dari jarak dekat begini,'' pikirnya.
Sang gadis keder juga mengingat itu. Ia tidak ingin mati konyol terkena peluru tentara, atau pingsan dengan jidat benjol. Ia pun terpaksa mundur, agak menjauh dari barikade itu. Ia mencari akal, menunggu kesempatan, untuk dapat masuk secara paksa. Tiba-tiba muncul arak-arakan mahasiswa dari arah Semanggi, bukan hanya ratusan, tapi ribuan. Naga-naganya mereka akan merangsek masuk ke gedung MPR. Ada kabar beredar, malam itu ribuan mahasiswa akan menguasai gedung wakil rakyat. ''Wah, bakal seru,'' pikir sang gadis. Ia melihat ada kesempatan untuk ikut merangsek masuk.
Betul juga dugaan sang gadis. Meskipun sudah diperingatkan melalui pengeras suara agar tidak mendekat, barisan ribuan demonstran itu terus merangsek barikade tentara. Bentrok antara aparat keamanan dan demonstran pun tak bisa dihindari lagi. Bunyi senapan otomatis berletusan dari aparat, dibalas hujan batu dari para demonstran. Gas air mata berkali-kali ditembakkan. Air dari mobil pemadam kebakaran pun disemprot-semprotkan ke barisan mahasiswa. Mereka kocar-kacir. Ada yang tiarap. Ada yang ambil langkah seribu. Ada yang terjungkal kena peluru. Ada yang kena pentung bertubi-tubi, meskipun sudah berteriak-teriak minta ampun. Tapi, banyak juga yang berhasil lolos masuk ke komplek gedung MPR.
Gadis itu memanfaatkan kesempatan untuk ikut lolos ke dalam. Bersama mahasiswa ia berlari menembus barikade tentara. Tapi, belum sampai melewati pintu gerbang komplek gedung MPR, kaki tentara bersepatu kulit tebal menjegal kakinya, dan pentungan karet bertubi-tubi memukul punggungnya. Ia jatuh terguling dan bungkusan nasi di dalam kantung plastik hitam di tangannya terpental lagi ke jalan raya. Kali ini, giliran tubuhnya yang terinjak-injak sepattu tentara dan ratusan kaki mahasiswa yang berlarian tak tentu arah, dalam kepulan gas air mata dan terpaan air dari mobil pemadam kebakaran.
Berkali-kali ia mencoba bangkit, tapi berkali-kali kembali terguling karena diterjang orang-orang yang berlarian menyelamatkan diri. Akhirnya ia hanya bisa melindungi kepalanya dengan kedua lengannya, kemudian memejamkan matanya. Dan, yang terakhir ia ingat adalah puluhan sepatu tentara menginjan-injak perut dan dadanya yang kerempeng, lalu ribuan kunang-kunang menari di matanya, dan gegelapan total memerangkap kesadarannya.
*** TIDAK jelas, berapa jam gadis itu pingsan. Ketika kesadarannya pulih kembali, hari sudah gelap. Bentrok antara aparat dan demonstran telah reda. Suasana jalan di depan komplek gedung MPR pun sudah agak lengang. Namun, yang pertama-tama ia ingat adalah sebungkus nasi di dalam kantung plastik hitam dan wajah cemas Dirwan yang menunggunya di salah satu sudut gedung MPR. Maka, dengan matanya ia mencoba menemukan kembali nasi bungkusnya itu. Dan, sekitar lima meter dari tempatnya terbaring, dalam terpaan cahaya lampu merkuri, tampak bayang-bayang kantung plastik hitam yang kedua ujungnya melambai-lambai diterpa angin. Itu pasti nasiku, gumamnya.
Saat itulah, di depan sang gadis tersaji pemandangan yang cukup dramatis. Kantung plastik hitam itu tergeletak di tengah jalan raya, persis di depan gerbang masuk ke komplek gedung MPR. Sementara, di latar belakang kantung plastik itu, tepatnya di pintu gerbang tersebut, tampak puluhan tentara berderet dalam dua lapis. Dua panser dan satu mobil pemadam kebakaran juga tampak siaga di kanan kiri gerbang.
Di tengah suasana jalan yang sudah lengang dari hiruk pikuk demonstrasi, sebungkus nasi di dalam kantung plastik hitam itu seperti menjadi aktor yang sangat penting. Seakan, hanya untuk mengawasi sebungkus nasi itulah puluhan tentara bersiaga di pintu gerbang, agar sang nasi tidak dapat menyusup masuk ke komplek gedung MPR. Hesti membayangkan, seandainya ia nekat merangkak untuk mengambil nasi itu, mungkin akan disambut berondongan tembakan, lemparan bom gas air mata, atau semprotan air dari mobil pemadam kebakaran.
Dalam perasaan kecut, hesti tiba-tiba seperti mendengar rintihan parau, Hesti, kenapa kamu lama sekali. Aku sudah sekarat. Rasanya sebentar lagi akan mati. Ia yakin, itu suara Dirwan yang makin cemas menunggunya dengan lambung nyeri, tubuh menggigil, dan keringat dingin bercucuran.
Demi mendengar suara itu sang gadis mencoba untuk bangkit. Tapi, ia merasa tidak punya sisa kekuatan lagi, bahkan hanya untuk mengangkat kepalanya sekalipun. Seluruh tubuhnya yang basah kuyup terkena air dari mobil pemadam kebakaran terasa pegal dan nyeri. Dan, rasa yang paling nyeri ada di bawah dada dan kemaluannya. Mungkin tulang rusuknya patah terinjak sepatu tentara. Tapi, apa penyebab rasa nyeri pada kemaluannya" Ia tidak tahu, dan hanya bisa bergidik memikirkannya.
Dengan sisa-sisa tenaganya, ia meraba rasa nyeri di bawah dadanya. Ia yakin, satu atau dua tulang rusuknya patah akibat terinjak sepatu tentara. Ketika ia menekan rusuknya, rasa nyeri makin menjadi-jadi dan ini membuatnya merintih kesakitan. Ia kemudian memberanikan diri meraba kemaluannya yang masih dibungkus celana panjang putih seragam PMI. Ia terkejut meraba ada cairan kental keluar menembus celananya. Buru-buru ia menarik jari-jari tangannya, memeriksa dengan matanya, dan menciumnya. Kemaluanku berdarah! batinnya.
Gadis itu bergidik. Ia khawatir telah menjadi korban perkosaan. Tapi, oleh siapa dan dilakukan di mana" Mungkinkah ia diperkosa di tengah jalan" Biadab sekali jika begitu. Ia jadi curiga, jangan-jangan, ketika pingsan, ia dinaikkan ke dalam mobil oleh seseorang, entah siapa, lalu dibawa ke suatu tempat yang sepi, diperkosa di sana, lalu dibawa lagi ke jalan di depan gedung MPR dan dilempar begitu saja di tepi jalan. Ia merasa ngeri membayangkan apa yang telah menimpanya. Ia lantas menggerakkan tangannya ke belakang punggungnya, untuk memastikan di mana tepatnya kini tubuhnya terbaring. Begitu telapak tangannya menyentuh tembok berlumut, iapun menyadari bahwa tubuhnya kini terbaring meringkuk persis di tepi jalan, di bawah tembok pembatas jalan tol Gatot Subroto.
Dengan tetap meringkuk, ia mengamati situasi di dalam komplek gedung MPR. Komplek wakil rakyat itu kini sudah dipenuhi pengunjuk rasa. Bahkan banyak di antara mereka yang sudah naik sampai ke atap gedung dan mengibar-kibarkan bendera serta merentangkan beberapa spanduk. Namun, dalam kegelapan malam, tidak jelas spanduk-spanduk itu bertuliskan apa. Mungkin sudah ribuan mahasiswa yang berhasil menduduki komplek gedung bundar itu, pikirnya. Tapi, bagaimana nasib Dirwan" Makin cemas saja ia mengingatnya.
Dalam kecemasan dan ketidakberdayaan, gadis itu mulai bertanya-tanya, kenapa tidak ada yang menemukannya, menolongnya, atau mengangkatnya ke mobil tentara. Apakah semua orang sudah tidak peduli lagi pada nasib orang lain" Di mana pula tentara yang tadi menendang dan memukulnya" Apakah tentara-tentara yang siaga di pintu gerbang itu juga tidak melihatnya" Apakah semua orang telah menganggapnya sebagai sampah yang pantas dibiarkan teronggok begitu saja di tepi jalan raya, dan cukup menyerahkannya pada petugas kebersihan untuk melemparnya ke truk sampah"
Gadis itu mencoba mengumpulkan kembali sisa-sisa tenaganya. Dengan itulah dia ingin menolong dirinya sendiri. Jika orang lain sudah tidak peduli lagi padamu, maka kamulah yang harus menolong dirimu sendiri, batinnya. Hidup ini keras, Hesti. Karena itu, kamu harus kuat, dan jangan sekali-kali bergantung pada orang lain. Hanya kamulah yang dapat menolong hidupmu sendiri, kata ayahnya, dua tahun lalu, ketika ia pamit untuk berangkat kuliah di Jakarta.
Apakah Dirwan juga sedang menghadapi ketidakpedulian yang sama" Jika begitu, siapa yang bisa menolongnya kalau ia benar-benar dalam keadaan sekarat" Ia makin cemas saja. Ia tahu, kata-kata ayahnya memang benar. Tapi ia sadar, tidak tiap saat seseorang dapat menolong dirinya sendiri. Dalam keadaan tertentu nasib seseorang sering tergantung pada pertolongan orang lain. Dan, itulah nasib Dirwan saat ini, juga nasib dirinya, dan itu pula alasannya masuk PMI, agar tiap saat siap menolong orang lain yang membutuhkannya. Tapi, siapa kini yang bakal menolongnya"
Menyadari dirinya lebih tampak sebagai seonggok sampah dalam gelap malam, maka satu-satunya harapan gadis itu adalah datangnya para petugas kebersihan, seragam kuning yang biasa membersihkan kota Jakarta di tengah malam. Tapi, berapa jam lagi mereka akan datang" Ia tidak tahu, sebab di pergelangan tangannya kini tidak ada jam lagi. Dan, karena itu, ia hanya bisa menunggu sambil menggigil kedinginan, dengan seluruh tubuh pegal dan nyeri. Ia berharap belum pingsan ketika ditemukan, sehingga masih sempat memenuhi janjinya, membawakan sebungkus nasi dan satu kaplet obat mag untuk Dirwan, bagaimanapun keadaan sahabatnya itu kini.
Begitu ditemukan oleh petugas kebersihan, gadis itu langsung minta dipapah masuk ke dalam gedung MPR sambil membawa sebungkus nasi yang tadi tergeletak di tengah jalan. Ia betul-betul ingin membuktikan janjinya kepada sahabatnya itu. Maka, begitu berhasil menerobos masuk ke komplek gedung wakil rakyat itu, ia langsung menuju ruangan tempat Dirwan tadi tergeletak dengan sakit magnya. Tapi, tidak ada lagi Dirwan di sana. Yang ada hanya beberapa mahasiswa yang sedang sibuk membuat spanduk dan poster.
Hesti ingin sekali bertanya pada mereka di mana Dirwan. Tapi ia keburu pingsan sebelum pertanyaan itu sempat diucapkan. Dan, sebungkus nasi di dalam kantung plastik hitam, yang telah menempuh perjalanan panjang dan berliku, itu akhirnya cuma tergeletak basi di pojok salah satu ruangan gedung wakil rakyat!
Jakarta, Desember 2001 Buntut Lek Parto kaget. Buntut sepuluh ekor sapinya lenyap tanpa diketahui sebabnya. Darah mengucur dari pangkal-pangkal buntut di pantat sapi-sapi perahnya. Saking kagetnya, ember yang dia cangking untuk menampung susu sapi perahnya jatuh terguling ke tanah. Ia mengamati pantat demi pantat sapinya. Semuanya menunjukkan tanda-tanda seperti baru saja dipotong buntutnya dengan pisau tajam.
"Wong edan! Tega-teganya nyolong semua buntut sapiku," gumam Lek Parto sambil berjongkok di belakang pantat seekor sapi dan memelototi pangkal buntutnya. Ia kemudian memeriksa sekeliling kandang. Ia menemukan banyak tetesan darah di tanah. Jejak darah itu menuju pintu dapur rumahnya. "Mbokne! Sini sebentar!" Ia langsung memanggil istrinya. Ia langsung curiga, jangan-jangan istrinya yang punya hobi makan sop buntut itu yang menyikat semua buntut sapinya.
Tanpa ba bi bu, istrinya yang dikenal penurut, langsung datang. Di tangannya tergenggam sebilah pisau berlumur darah segar. Lek Parto langsung menghardiknya.
"Mbokne! Kamu ini waras apa tidak, toh" Masak buntut sapi dipotongi semua!"
"Buntut sapi apa, Pakne?"
"Jangan pura-pura tidak tahu, Mbokne! Ini yang motong buntut-buntut sapiku kamu, toh" Kamu bikin sop buntut, ya?"
Mbok Parto mengamati pantat-pantat sapi yang ditunjuk Lek Parto. Ia juga sangat terkejut melihat sapi-sapi perah itu tidak punya buntut lagi. "Lho, buntutnya dimakan apa, Pakne?"
Lho, wong kamu sendiri yang motongi kok malah balik bertanya. Mbok jangan ngawur. Kalau pingin buntut, ya beli di pasar. Jangan motongi buntut sapi yang masih hidup. Kalau sapi kita mati semua, bagaimana?"
"Kamu ya jangan ngawur, Pakne. Wong saya tidak tahu apa-apa kok dituduh."
"Lah itu, pisaumu belepotan darah. Kalau tidak untuk motong buntut sapi, lantas untuk apa?"
"Oh ini toh, Pakne. Saya baru memotong ayam. Itu ayamnya masih kelojotan di dapur. Kalau tidak percaya, lihat sendiri!"
Lek Parto buru-buru menuju dapur. Benar juga kata istrinya. Seekor ayam jago yang baru saja dipotong masih menggelepar-gelepar di lantai. Lek Parto kembali bertanya-tanya, siapa gerangan orang gila yang menyikat semua buntut sapinya.
"Kalau begitu, cepat pergi ke rumah Pak Mantri Hewan. Minta tolong agar buntutbuntut sapi kita segera dibalut. Cepat, Mbokne! Nanti keburu pada mati. Saya akan mencari siapa pencurinya!"
Mbok Parto buru-buru pergi menemui Pak Mantri Hewan yang ditempatkan pemerintah di daerah pengembangan sapi perah itu. Sementara itu, Lek Parto melacak kembali arah bercak-bercak darah dari kandang sapinya. Arah bercakbercak darah itu semula memang menuju dapur rumahnya. Akan tetapi, sampai di depan pintu bercak itu berbelok ke arah pekarangan di samping rumahnya. Ia terus merunutnya melewati kebun belakang dua rumah tetangganya. Ia sangat kaget karena bercak-bercak darah itu menuju pintu dapur ketua RT-nya.
"Sontoloyo! Apa toh maunya ini, Ketua RT" Buntut sapi orang disikat semua. Slompret!" Lek Parto langsung mengumpat-umpat.
Karena pintu dapur rumah Pak RT dikunci rapat, Lek Parto lantas menuju pintu depan rumah pengurus kampung itu. Ia terheran-heran karena di halaman depan rumah Pak RT sudah berkerumun puluhan tetangganya. Beberapa orang di antaranya, Pak Salim, Pak Amat dan Pak Sastro, tampak sedang marah-marah sambil menuding-nuding Pak RT. Rupanya mereka juga kehilangan buntut sapi dan menuduh Pak RT sebagai pencurinya. Ia tampak kebingungan menghadapi tuduhan warganya.
"Buntut-buntut sapiku juga hilang. Pak RT pasti yang mengambilnya!" Lek Parto langsung nimbrung ikut memarahi ketua RT-nya. "Pak RT ini maunya bagaimana toh" Wong buntut sapi kok dicolongi semua" Mau jadi juragan buntut tanpa modal ya,Pak "Apa jualan buntutnya tidak laku, Pak"!"
"Tenang dulu, Bapak-bapak. Jangan menuduh sembarangan! Kalau saya tidak terima bisa saya adukan ke pengadilan, lho. Demi Allah, saya tidak mencuri buntut-buntut sapi Bapak!"
"Lalu siapa yang nyolong, Pak" Kok bercak-bercak darahnya menuju pintu dapur Bapak!"
"Pasti ada yang mencoba menfitnahku. Demi Allah, saya benar-benar tidak mencuri buntut-buntut sapi Bapak. Kalau tidak percaya, silakan periksa seluruh isi rumahku. Kalau Bapak-bapak menemukan buntut sapi, nanti sapi-sapi Bapak saya ganti dua kali lipat!"
Mereka beramai-ramai memasuki rumah Pak RT, lalu memeriksa seluruh bagian dan isinya, termasuk kandang ayam, kandang bebek dan kandang marmutnya. Mereka tidak menemukan secuil pun buntut-buntut yang mereka cari. Mereka juga meneliti bercak-bercak tetesan darah yang menuju pintu dapur rumah Pak RT. Bercak-bercak itu ternyata hanya berhenti di depan pintu. Tidak ada yang masuk ke dapur.
"Lantas, siapa ya, Pak, yang memotong buntut-buntut sapi kami?" Tanya Pak Salim.
"Itulah yang harus segera kita selidiki. Yang jelas, pasti ada orang yang mau menfitnah saya. Siapa tahu ada orang yang diam-diam ingin menggantikan kedudukan saya sebagai ketua RT."
"Ah, masak ingin jadi ketua RT saja pakai menfitnah-fitnah segala. Rasanya kok berlebihan, Pak," ujar Lek Parto.
"Itu kan baru dugaan saja. Oh ya, jangan-jangan yang berceceran itu bukan darah sapi. Rasanya kok ada yang aneh. Masak darah buntut sapi bisa berceceran sebegitu banyaknya. Ayo kita periksa saja!"
Orang-orang kampung beramai-ramai menuju halaman belakang rumah Pak RT. Mereka memeriksa bercak-bercak darah itu.
"Saya curiga, jangan-jangan ini hanya ceceran kecap. Lihat, sudah mulai dirubung semut!" kata Pak RT. Ia lantas berjongkok dan mendulit bercak darah itu dengan ujung jari telunjuk tangan kanannya, kemudian menjilat dan menciumnya. "Benar dugaanku" Ini kecap. Bukan darah. Coba Bapak-bapak cium dan rasakan!"
Orang-orang ikut berjongkok, mendulit, mencium dan menjilat bercak-bercak darah itu. "Wah, benar juga, ya. Ini kecap," guman mereka hampir bersamaan. "Benarbenar kurang ajar! Ulah siapa ya ini?"
"Lalu, siapa ya, Pak, yang nyolongi buntut sapi kami?"
"Saya tidak tahu. Yang jelas dia mau menfitnahku."
"Jangan-jangan penjual sop buntut di ujung jalan itu?"
"Ah, masak, jualan sop buntut kok sampai nyolongi buntut sapi?"
"Bisa juga. Siapa tahu, dia kehabisan buntut dan terpaksa nyolong karena persediaan di pasar juga habis. Warungnya kan sangat laris."
"Iya, ya. Bagaimana kalau kita selidiki saja ke sana, Pak RT?"
"Ayo kita ke sana. Tetapi ingat, jangan main hakim sendiri!"
"Ayo ke sana!" Orang-orang serentak menuju warung sop buntut di ujung jalan kampung mereka. Pak Madi, penjual sop buntut itu kaget digeruduk puluhan orang. Dengan terheranheran dia keluar dan berdiri bingung di depan pintu warungnya. Jumlah kerumunan orang juga semakin banyak. Mereka ingin tahu apa yang terjadi.
"Pak Madi nyolong buntut sapi kami, ya"!" Pak Parto langsung menyerang.
"Buntut sapi apa, Pak?" bakul sop buntut itu balik bertanya. Tidak tahu apa yang dimaksud Lek Parto.
"Sabar. Sabar! Jangan keburu menuduh dulu. Kita jelaskan dulu perkaranya," sela Pak RT mencoba menenangkan keadaan. "Begini, Pak Madi, para tetangga kita ini kehilangan buntut sapi. Mereka ramai-ramai datang ke rumah saya. Saya kan tidak tahu. Kami kini mencari siapa pencurinya. Lha kebetulan Pak Madi kan jualan sop buntut sapi. Barangkali Pak Madi tahu siapa pencurinya."
"Lho, buntut sapi kok bisa hilang. Diletakkan dimana toh, Pak?" Pak Madi malah makin heran.
Lha ya di pantat sapi, kok dimana!"
"Kok bisa hilang" Gimana toh?"
"Wah, Pak Madi kok tidak mudeng. Sapi-sapi mereka yang masih hidup di kandang dipotongi buntutnya oleh maling. Lha kita ini sedang mencari malingnya," jalas Pak RT.
"Lho, buntut sapi masih hidup kok dicolong. Malingnya pasti maling edan itu, Pak!" Pak Madi makin keheranan.
"Singkat sajalah, Pak. Pak Madi nyolongi buntut sapi kami tidak?" Lek Parto menyela.
"Lha ya tidak toh, Pak. Edan apa" Masak jualan sop buntut saja sampai nyolongi buntut sapi yang masih hidup. Saya tadi beli empat buntut sapi di pasar. Itu baru dipotong-potong di dapur. Silakan dicek, Pak RT!"
Pak RT bersama beberapa warga kampung mengecek ke dapur Pak Madi. Mereka menemukan empat buntut sapi yang sedang dipotong-potong pembantu bakul sop buntut itu. Mereka mengecek seluruh sudut warungnya. Tidak ditemukan buntutbuntut yang lain.
Mereka lantas berbondong-bondong menemui juragan daging sapi di pasar yang terletak cukup jauh di seberang kampung. Mereka tidak menemukan bukti-bukti bahwa Pak Madi maupun juragan daging sapi itu mencuri buntut-buntut sapi mereka. Hari itu dia memang memotong empat ekor sapi dan keempat buntutnya diborong oleh Pak Madi. Dengan tangan hampa mereka bermaksud balik ke kampung. Akan tetapi di tengah jalan berpapasan dengan orang gila yang menenteng dua buntut sapi.
"Hai, orang gila itu membawa buntut sapi," kata Pak RT.
"Itu pasti buntut sapiku," kata Pak Parto.
"Dia pasti yang mencuri buntut sapiku juga," kata yang lain.
"Ayo ditangkap saja!" kata yang lain.
"Dihajar saja!"
"Ganti dipotong saja buntutnya!"
Orang-orang kampung pun mencegat orang gila itu, mengeroyok, dan menggebukinya beramai-ramai. Setelah babak belur, orang gila itu mereka serahkan ke kantor polisi. Malam harinya, warga sekampung, terutama yang sapi-sapinya masih punya buntut, bisa tidur tenang. Mereka menganggap maling edan yang suka mencuri buntut sudah tertangkap. Namun, keesokan harinya, orang-orang kembali geger. Sapi sekandang milik KUD setempat hilang buntutnya. Kali ini malingnya tidak meninggalkan jejak apapun.
"Benar-benar edan maling itu. Masak buntut sapi sekandang disikat semua!" gerutu ketua KUD.
"Kalau begitu malingnya bukan orang gila itu," kata Pak Sastro.
"Kasihan dia, sudah terlanjur kita gebuki," kata yang lain.
"Karena itu malam nanti siskamling harus kita hidupkan lagi. Siapa tahu nanti malam malingnya beraksi lagi," saran Pak RT.
Malam itu penjagaan keamanan kampung benar-benar ditingkatkan. Siskamling yang sudah berbulan-bulan mati dihidupkan lagi. Orang-orang yang masih punya sapi berbuntut pun terpaksa tidur di kandang sapi demi keamanan buntut-buntut sapinya. Ditunggu sampai pagi tidak ada kejadian apa-apa. Tidak ada maling buntut sapi. Kampung mereka aman-aman saja. Begitu juga pada hari berikutnya. Sampailah pada hari ketiga. Ketika orang-orang sedang asyik bermain gaple di gardu ronda, tiba-tiba terdengar jeritan.
"Tolong! Tolong! Maling buntut! Maling buntut! Maling! Maling!!!"
Orang-orang langsung menyerbu ke arah datangnya suara tersebut. Setelah dikepung dan diuber-uber, tertangkaplah Said Gundul, mantan penjual buntut SDSB yang bangkrut karena kalah bersaing dengan Pak RT.
"Mengapa kamu jadi maling buntut, Ndul?" Tanya orang-orang.
"Saya sedang nglakoni!" jawab Gundul sambil meringis karena digebuki.
"Nglakoni kok pakai maling buntut" Nglakoni apa toh"!"
"Saya mau jadi peramal buntut jitu. Mbah dukun menyuruh saya memakan seratus buntut sapi dalam seminggu!"
"Kok nggak beli saja" Kok maling"!"
"Mana bisa aku beli, wong kios buntutanku bangkrut! Lagi pula mana ada orang menjual seratus buntut sapi dalam seminggu."
"Pantesan buntut sapiku kamu gasak semua!"
"Diamput kamu, Ndul!"
"Wong edan!" "Gebuki lagi saja!"
"Telanjangi saja!"
"Potong buntutnya saja! Biar tahu rasa!"
Meski sudah menyembah-nyembah minta ampun, Said Gundul digebuki lagi, lalu ditelanjangi, dan diarak ke kantor polisi. Untung, tidak ada yang sampai hati memotong buntutnya!
Yogyakarta, Juni 1992 " Dimuat di Kompas, Minggu 23 Agustus 1992
Kampret Pemandangan di kantor PT Serba Ngutang menjadi sangat aneh. Sejak kebijaksanaan kampret diberlakukan, orang-orang enggan berpakaian lengkap lagi. Ada yang bekerja hanya dengan bercelana kolor dan berkaos singlet. Ada yang hanya memakai sarung dan bersandal jepit, bertelanjang dada, nobra, bahkan, ada beberapa karyawati yang nekad berbikini setiap hari. Namun, ada satu benda yang tampak selalu menempel pada leher mereka, dasi berbentuk kampret.
"Jadikanlah kampret sebagai satu-satunya ciri khas kita, identitas keluarga besar perusahaan kita," kata direktur PT yang kebetulan bernama Edi Sukampret itu setiap mendapat kesempatan berbicara di depan para karyawannya.
"Mengapa dasi kita harus berbentuk kampret, Pak, bukan kupu-kupu atau dasi panjang biasa saja," tanya seorang karyawannya pada suatu kesempatan.
"Dasi panjang dan dasi kupu-kupu sudah menjadi milik umum, dipakai di mana-mana dan oleh siapa saja. Itu tidak bisa lagi kita jadikan sebagai identitas khas kita," jawab Pak Kampret. "Kau harus ingat, saya memilih dasi berbentuk kampret bukan karena kebetulan nama saya Kampret. Itu saya pilih berdasarkan petunjuk para normal paling ampuh di negeri ini. Dengan dasi kampret perusahaan kita akan terbang mencapai puncak prestasi tertinggi," tambahnya.
Mulanya kebijaksanaan Kampret hanyalah sebuah peraturan baru yang mengharuskan seluruh karyawan perusahaan itu, dari bagian pembersih WC sampai para kepala bagian, memakai dasi berbentuk kampret selama jam kerja. Akan tetapi, kemudian muncul suasana yang sangat aneh ketika sang direktur memutuskan agar seluruh karyawannya memakai dasi kampret sepanjang waktu, bukan hanya ketika menjalankan tugas perusahaan, juga dalam kegiatan apa pun.
Bayangkan saja, dalam berolah raga pun mereka diwajibkan memakai dasi kampret. Begitu pula ketika senam pagi, bersepeda gembira, tennis, sepak bola, mandi, bahkan ketika bersanggamapun harus memakai dasi kampret.
Lebih gila lagi, ketika bermain cinta mereka juga diharuskan mengucapkan, "Oh kampret, aku mencintaimu."
"Sejarah hanya bisa diukir dengan perbuatan-perbuatan besar seperti yang kita lakukan sekarang ini. Kita harus yakin dengan satu kata, bahwa dengan gerakan dasi kampret ini sejarah akan mencatat kita, " kata sang direktur dalam suatu rapat pleno di perusahaannya. "Siapa saja yang tidak menaati kebijaksanaan kampret ini akan dicap sebagai pembangkang. Bisa dipecat," tegasnya.
"Wah, masak, hanya karena dasi saja kita bisa dipecat. Ini terlalu berlebihan," komentar seorang karyawan yang duduk di deretan paling belakang.


Anggukan Sapi Betina Karya Ahmadun Yosi Herfanda di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mengapa kita tidak protes saja?" kata yang lain.
"Ya, kita harus protes." Peraturan ini sudah terlalu gila. Masak mandi saja harus memakai dasi. Coba kau bayangkan, ketika kita akan mencumbu pacar atau istri kita harus mengucapkan dulu Oh kampret aku mencintaimu. Kita bisa jadi ribut dengan pasangan kita. Ini sudah terlalu gila!"
"Direktur kita tampaknya memang sudah gila!"
"Kita bisa ikut gila kalau begitu."
"Kita semua memamg sudah gila. Lihat saja tingkah laku teman-teman kita, semakin aneh-aneh."
"Kita protes sekarang saja!"
Tiba-tiba seorang karyawan yang duduk di deretan paling depan berdiri seraya menarik dasinya dari lehernya, membantingnya ke lantai persis di depan sang direktur dan meludahinya tiga kali, cuh! cuh! cuh !
Semua peserta rapat terkejut melihat ulah karyawan itu, lebih-lebih sang direktur. Wajahnya seketika berubah menjadi merah padam. Ia langsung berdiri dan matanya melotot ke arah pemuda pembanting dasi itu.
"Kermit!" bentak sang direktur sangat keras. Pemuda itu kaget dan duduk kembali dengan muka pucat. "Kurang ajar! Kamu ini bagaimana"! Seenaknya saja meludahi kebijaksanaanku di depan mataku!"
"Maaf, maaf, Pak. Napasku sangat sesak. Saya tidak tahan terus-terusan memakai dasi!" Kermit minta maaf sambil menyembah-nyembah.
"Akan tetapi, caramu jangan begitu. Kamu sama saja meludahi mukaku, tahu! Aku tahu, kau selama ini secara diam-diam sering melepas dasi kampretmu. Aku tahu itu. Kau sengaja kubiarkan. Sekarang kau berani meludahinya di depan hidungku. Ini sudah keterlaluan. Kau memang pembangkang! Ayo keluar!"
Kemarahan Pak Kampret benar-benar tidak terbendung. Kermit akhirnya keluar ruang rapat dengan muka pucat setelah memungut kembali dasi kampret yang telah diludahinya itu.
Keesokan harinya Kermit tidak masuk kerja. Hari berikutnya surat panggilan datang. Kermit diminta menghadap sang direktur hari itu juga. Di hadapan Pak Kampret ia mengaku tidak bermaksud membangkang kebijaksanaan, apalagi menghina atau meludahinya.
"Sejak masih kanak-kanak leher saya memang alergi terhadap dasi. Saya tidak tahan memakai dasi, dasi apa saja, lebih dari satu jam. Itulah sebabnya secara diam-diam saya selalu melepas dasi saya tiap Bapak tidak ada," katanya.
"Namun, caramu kemarin sangat menyinggung perasaanku."
"Karena itulah, Pak, sekali lagi saya minta maaf. Saya sungguh-sungguh tidak bermaksud menyinggung perasaan Bapak. Itulah yang selalu terjadi pada diri saya setiap memakai dasi lebih dari satu jam. Saya selalu merasakan dicekik pelan-pelan, makin lama makin kencang. Lalu, tanpa sadar saya akan menarik dasi itu, membantingnya dan meludahinya tiga kali. Itulah penyakit yang menyusahkan saya, Pak, dan telah menyinggung perasaan Bapak," Kermit menjelaskan.
"Baiklah. Aku paham penyakitmu itu. Namun, sudah terlanjur kuputuskan bahwa kau akan ku-PHK. Keputusan ini hanya bisa kucabut jika kau menggantinya dengan hukuman lain."
"Hukuman apa, Pak?"
"Setiap pagi kau berjalan mengelilingi kompleks perkantoran kita sepuluh kali selama sebulan sambil meneriakkan Oh Kampret, aku mencintaimu! sambil mencium dasi kampret. Bagaimana?"
Karena tidak ingin dipecat, Kermit akhirnya menerima hukuman aneh itu. Kermit harus latihan vokal dulu untuk dapat menerikkan kata-kata indah, "Oh Kampret, aku mencintaimu", dengan gagah dan penuh perasaan.
Maka, persis pada hari Jumat Kliwon bertambahlah pemandangan aneh di kompleks perkantoran PT Serba Ngutang. Sepuluh orang berjalan keliling kompleks tersebut sambil koor keras, "Oh Kampret, aku mencintaimu!" Rupanya bukan hanya Kermit yang terkena hukuman aneh tersebut.
Pemandangan aneh itu segera menjadi tontonan menarik para karyawan lain dan warga sekitar kompleks perkantoran perusahaan pengekspor TKI tersebut. Bahkan, banyak orang yang sedang lewat, yang berjalan kaki, naik sepeda, naik motor dan mobil, berhenti sejenak untuk menyaksikan pemandangan yang cukup teateral tersebut. Tak pelak, lalu lintas di depan kompleks PT Serba Ngutang menjadi terganggu dan nyaris macet total.
"Wah, ini sudah benar-benar keterlaluan!" komentar seorang karyawan.
"Barangkali kita sengaja dipaksa untuk mempertuhan kampret," kata yang lain.
"Masak, dasi kampret saja harus dianggap sebagai segalanya. Bayangkan saja, aku tadi sengaja membawa pacar ke kantor dan sengaja kucumbu di depan Pak Kampret. Eh, dia cuma senyum-senyum saja karena aku tetap memakai dasi kampret. Bahkan teman kita, si Badrun, kemarin membawa seorang waria ke ruang Pak Direktur. Ia juga hanya ketawa, dan hanya bilang agar waria itu disuruh ikut memakai dasi kampret," cerita yang lain.
Adegan teateral keliling kompleks perkantoran itu terus berlangsung setiap hari. Anehnya, jumlah terhukum yang mengikuti upacara dasi kampret itu semakin banyak. Teriakan koor "Oh, kampret, aku mencintaimu" pun semakin membahana di kompleks PT Serba Ngutang. Bahkan, pada hari ketujuh, separuh lebih karyawan PT tersebut terkena hukuman. Enam puluh tujuh karyawan dan karyawati dengan gayanya masing-masing yang serba kocak melalukan upacara dasi kampret itu.
Adegan teateral yang kocak itu pun semakin menarik perhatian umum. Hampir setiap pagi selama sekitar satu jam jam lalu lintas di depan kompleks perkantoran itu macet. Polisi terpaksa turun tangan untuk mengaturnya.
Pada hari kesepuluh hampir seluruh karyawan PT tersebut mengikuti upacara aneh itu. Para terhukum tidak lagi merasakannya sebagai hukuman lagi, tapi sebagai hiburan dan permainan bersama yang kocak dan menyenangkan. Bahkan, yang tidak terkena hukuman pun ikut-ikutan keliling sambil nimbrung koor "Oh Kampret ,aku mencintaimu!" Mereka menganggap sekedar ikut berolah raga jalan kaki sambil latihan vokal. Langkah-langkah gembira dan suara koor mereka yang begitu keras pun semakin menggetarkan kaca-kaca pintu dan jendela perkantoran itu.
Tepat ketika koor dan langkah-langkah kaki mereka mencapai puncak semangat dan greget tertinggi, mobil Pak Kampret memasuki pintu gerbang perkantoran itu. Tibatiba, seperti tersedot kekuatan magnet besar, rombangan koor kolosal itu menyerbu mobil Pak Kampret sambil terus berteriak-teriak "Oh Kampret, aku mencintaimu!"
Sambil terus berteriak-teriak mereka memecahkan kaca-kaca mobil Pak Kampret, membuka pintunya, dan menyeret Pak Kampret keluar. Mereka berebut mencium Pak Kampret, berebut mendekap dan berebut menggigit bibir Pak Kampret sambil berteriak-teriak histeris, "Oh Kampret, aku mencintaimu!".
Karena kewalahan, Pak Kampret jatuh terjerembab di sisi mobilnya. Mereka pun beramai-ramai menubruknya, berebut menggigit bibirnya, menggigit hidungnya, menggigit pipinya, menggigit tangannya, menggigit perutnya, menggigit pantatnya, dan menggigit telapak kakinya. Pak Kampret ditindih beramai-ramai sampai tidak bisa bernafas.
Polisi segera turun tangan. Akan tetapi, Pak Kampret sudah tewas di tempat karena tidak kuasa menahan luapan cinta para karyawannya yang sangat dahsyat.
Yogyakarta, September 1991
* Dimuat di Majalah Humor, Desember 1991, dengan judul Dasi Kampret.
Kolusi GRIMIS kecil senja hari membangun dunia aneh di jalan itu, di atas genangangenangan kecil sisa air hujan. Angin menghempas-hempas, merontokkan daun-daun akasia dan kelopak-kelopak kembang semboja. Tiba-tiba, seorang gadis dengan rok terusan kuning menyala dan rambut tergerai-gerai di udara berlari-lari kecil menyebrangi jalan itu.
Seorang lelaki gendut, yang tampaknya sedang menunggu seseorang di balik kaca jendela, terkesima melihat pemandangan menakjubkan itu. Apalagi ketika gadis itu berlari kecil kearahnya dan menguak pintu kantornya, mengantarkan bau parfum yang aneh. Ah, barangkali sales parfum merek baru, atau lulusan akademi sekretaris yang akan melamar kerja, pikirnya. "Mau ketemu siapa?"
"Pak Saliman." "Oh, saya sendiri. Silakan duduk."
Gadis itu melangkah ringan ke kursi, meletakkan pantatnya di sana.
"Saya ditugaskan Mbah Sastro untuk menemui Bapak sore ini." Bibir gadis itu, yang merekah kemerahan seperti irisan buah semangka, meletup-letupkan kata-kata lugas tapi terasa lunak.
"Jadi, Adik mengantarkan tuyul dari Mbah Sastro?"
"Tidak." "Lho, katanya Mbah Sastro mau mengirim tuyul sore ini."
"Benar." "Mana tuyulnya?"
"Saya sendiri."
"Ah, yang bener" Masak ada tuyul secantik Anda. Yang saya tahu, tuyul itu kecil, jelek dan gundul."
"Itu sih tuyul kuno, tuyul masa lalu. Tuyul sekarang banyak yang cantik. Namanya saja tuyul kontemporer, Pak. Tuyul posmo." Kelopak mata gadis itu mulai mengerjab-ngerjab, menggoda.
"Apa" Tuyul posmo?" mata Pak Saliman terbelalak.
"Ya, tuyul posmo, posmodern."
"Jadi, wabah posmo juga merambah dunia tuyul?"
"Benar. Terjadi semacam pluralisasi budaya permalingan di kalangan para tuyul. Tiap tuyul dibebaskan mengembangkan seni malingnya sendiri-sendiri, mau langsung sikat, pakai katebelece pejabat tinggi, me-mark up nilai proyek, atau ramai-ramai membobol bank seperti yang sekarang sedang trendi. Mereka juga bebas mengembangkan bentuk dirinya masing-masing. Ada yang memilih jadi perempuan cantik seperti saya, jadi lelaki gendut berdasi seperti konglomerat, atau tetap gundul jelek seperti aslinya."
"Jadi , ada semacam diversifikasi teknik permalingan, begitu?"
"Ya, begitulah."
Lelaki gendut itu mengangguk-angguk sambil menepuk-nepukkan telapak tangan kanannya ke atas pahanya dengan irama yang monoton, sementara matanya mengusap semili demi semili tiap lekuk keindahan wajah dan tubuh gadis itu -- layaknya seorang pelukis pemula yang sedang berlatih menangkap detail anatomi tubuh wanita untuk dipindahkan ke kanvasnya. Gadis itu pura-pura tersipu malu dan segera menundukkan kepalanya. Keheningan lantas menyergap mereka. Titik-titik air hujan terdengar makin keras memukul-mukul atap gedung dan daun-daunan di luar.
"Oh ya, siapa nama adik?" suara lelaki gendut itu memecah kebekuan.
"Mbah Sastro memanggil saya Monika."
"Kamu pasti bukan tuyul. Kamu cucu Mbah Sastro, bukan."
"Swear, saya tuyul asli."
"Okelah. Kalau kamu memang tuyul, apa yang bisa kamu lakukan untuk mendongkrak perusahaan saya yang hampir bangkrut ini?"
"Itu tergantung imbalan dan jabatan yang bapak berikan kepada saya. Jika nasib perusahaan Bapak ingin cepat terdongkrak, angkat saya menjadi wakil direktur." Gadis itu mengangkat wajahnya dan matanya kembali menantang.
''Jadi, tuyul butuh jabatan juga."
"Ya, sebagai sarana penyaluran bakat permalingannya."
''Butuh katebelece?"
"Kadang-kadang, bilamana perlu."
"Wah itu terlalu bertele-tele. Saya ingin yang praktis saja, yang tan-pa prosedur birokrasi segala. Jelasnya, nyolong> saja kamu sekarang. Entah pakai cara bagaimana, terserah kamu. Terserah, mau nyolong di bank atau menyikat habis uang saingan saya."
"Wah, sorry saja, Pak. Saya bukan jenis tuyul yang diprogram un-tuk keahlian model sikat langsung begitu. Itu sih bagian tuyul-tuyul berkepala gundul. Sorry aja. Itu bukan level saya.
"Ya tuyul macam begitu yang saya minta dari Mbah Sastra. Yang dikirimnya kok malah yang kece macam kamu."
"Bapak ini maunya main langsung sikat saja. Bapak benar-benar tak punya jiwa wirausaha. Belajar entrepreneurship dikit dong, Pak Orang kayak Bapak mestinya jadi garong saja. Bukan jadi pengusaha.''
Gadis itu tersenyum setengah mencibir. Muka Pak Saliman jadi masam. Seumurumur dia tidak pernah dinasehati orang. Apalagi oleh yang lebih muda atau anak buahnya. Eh, kini tiba-tiba diceramahi oleh perem-puan kece yang mengaku tuyul.
''Jangan macem-macem kamu! Kalau kau memang tuyul yang diki-rim Mbah Sastro, nyolonglah sekarang juga."
''Kalau saya tidak mau?"
"Lebih baik saya batalkan kolusi saya dengan Mbah Sastro."
''Baiklah kalau begitu."
Gadis itu bangkit dari duduknya, menyibakkan rambutnya yang hitam mengkilap seperti model iklan sampo, lantas melangkah pergi, mene-robos pintu dan menyusup hujan rintik-rintik di luar. Leleki gendut itu ha-nya terpana melihat punggungnya.
Begitu gadis itu lenyap di kejauhan, telepon disudut ruangan itu berdering. Si gendut bangkit dari kursi, melenggang beberapa langkah, dan mengangkat gagang telepon.
''Ini Pak Saliman, ya?" suara dari seberang.
''Betul." "Bapak ini bagaimana" Katanya minta tuyul" Sudah dikirim kok malah disuruh balik."
"Oh ini Mbah Sastro, ya?"
"Betul." "Ya, Mbah. Saya memang minta tuyul. Tapi yang Mbah kirim kan bukan tuyul."
"Siapa bilang " Itu si Monika, tuyulku yang paling istimewa."
"Jadi, gadis itu benar-benar tuyul Mbah Sastro?"
"La iya. Memangnya tuyul siapa?"
"Tapi, kenapa dia menolak ketika saya suruh nyolong?"
"Wah, Pak Saliman ini maunya main sikat saja. Kalau mau kaya, pakai seni sedikit dong. Jangan asal main sikat. Norak, Pak!"
"Lantas bagaimana, Mbah?"
"Terserah Bapak saja. Kalau memang tidak mau gulung tikar, turuti saja apa maunya si Monika.''
*** AGAKNYA, si gendut Saliman tidak menemukan pilihan selain memenuhi permintaan si cantik Monika menjadi wakil direkturnya. Tapi, ternyata bukan hanya jabatan itu yang dimintanya. Ia juga minta dikon-trakkan sebuah villa di Puncak dan sebuah kamar di hotel mewah.
Si gendut tak tahu persis apa yang direncanakan dan dilakukan ga-dis itu. Lebihlebih di luar kantor. Ia minta diberi kebebasan penuh untuk melakukan terobosanterobosan rahasia tanpa harus menuruti mekanisme birokrasi perusahaannya. Si gendut hanya melihat, gadis itu amat sibuk keluar masuk kantor tiap hari, bahkan tiap jam. Teleponpun berdering-dering terus hampir tiap menit, mencari Monika.
Dalam tiga minggu pertama masa kerjanya, gadis itu memang tidak mau diganggu oleh siapapun. Langkah-langkah rahasianya pun tidak mau diketahui oleh siapapun. Tak terkecuali oleh si gendut Saliman. Si gendut pun hanya sempat menangkap kelebatan tubuh gadis itu datang dan pergi, atau mengamatinya beberapa detik ketika gadis itu meletakkan pantat di kursinya, menyisir rambut, meratakan bedak dan lipstiknya, membuka-bu-ka sejenak mapnya, lantas pergi lagi.
''Gila! Apa saja yang dilakukan si Monika. Benar-benar tuyul edan!" gerutu si gendut sembari membuka-buka komik Dora Emon. Sejak ada Monika, praktis si gendut setengah menganggur. Sebagian besar tugas dan wewenangnya sebagai direktur harus diserahkan kepada gadis itu. Ia hanya kebagian mengawasi disiplin kerja beberapa staf kantornya, yang bisa ia lakukan sambil membaca komik anak-anak.
"Kamu ini sopir apaan, sih"!" tiba-tiba terdengar ribut-ribut di luar.
"Sopir mana yang kuat, Mbak. Dua hari dua malam jalan terus tanpa istirahat. Sopir bus kota saja ada istirahatnya."
"Tapi ini acara sangat penting. Apa saya harus pergi sendiri?"
Si gendut Saliman meletakkan komiknya di atas meja dan memburu suara ribut-ribut itu. Ternyata Monika sedang bersitegang dengan sopirnya.
"Ada apa, Monika?"
"Ini lho, Pak, si Pardi disuruh mengantar tidak mau."
"Habis saya sudah tidak kuat lagi, Pak. Tobat dah!"
"Kan memang tugasmu mengantar Monika, Di."
"Tugas ya tugas. Tapi kalau terus-terusan begini bisa hancur tubuhku. Masak, dua hari dua malam jalan terus ke sana ke mari tanpa istirahat."
"Apa sih sebenarnya yang sedang kamu lakukan, Monika" Kok sibuk amat."
"Bapak tak perlu tahu. Kan Bapak sudah janji untuk tidak bertanya dulu tentang apa yang saya lakukan."
"Tapi saya kan atasanmu. Saya harus tahu semua yang kamu lakukan."
"Okelah. Sekarang terserah Bapak, mau melanggar janji dan semuanya berantakan sampai di sini, atau jalan terus dan Bapak tetap memegang janji."
Ditantang begitu oleh Monika, si gendut terdiam dan mengerutkan keningnya. Agaknya ia harus berpikir keras untuk menjawab tantangan itu.
''Kamu minta diantar ke mena sih, Monika"''
''Ke Puncak. Ada janji penting.''
''Sore-sore begini mau ke Puncak"''
''Ya.'' ''Pantas, si Pardi tak mau mengantarmu.''
''Tapi ini amat penting, Pak. Kalau saya tidak datang, semuanya bisa gagal total.''
''Kalau begitu, biar aku saja yang mengantarmu.
''Bapak mau mengantar saya"''
''Ya apa boleh buat.'' ''Tapi Bapak harus janji hanya sampai jalan besar. Masuknya biar aku sendiri jalan kaki. Dan, Bapak tak perlu tahu apa yang saya lakukan di villa saya.'' ''Tak apa kalau memang maumu begitu.''
Agaknya posisi memang harus dibalik untuk sementara. Si gendut tidak hanya harus kehilangan hampir semua wewenangnya selaku direktur, tapi kini ia juga harus menjadi sopir bawahannya, mengantar Monika jauh ke Puncak. ''Benar-benar tuyul edan!'' gerutunya.
Untunglah, berkat jalan tol Jagorawi yang mulus, jarak Jakarta-Ciawi ia sikat tidak lebih dari satu jam. Tak seberapa lama sampailah BMW-nya di jalan masuk menuju sebuah villa cukup mewah di lereng bu-kit. Hujan turun agak deras. Namun Monika bersikeras tidak mau diantar sampai ke pintu villa. Ini membuat si gendut Saliman makin curiga dan ingin tahu apa sebenarnya yang akan dilakukan gadis itu. Ia purapura memutar mobilnya balik ke arah Jakarta, tapi kemudian memutarnya kem-bali dan merakirnya di jalan masuk menuju villa yang dikontraknya untuk tuyul itu.
Hujan belum reda dan si gendut nekat keluar dari mobilnya, berja-lan kaki mengendap-endap menuju villa itu. Ia amat terkejut ketika melihat sebuah Baby Benz hitam diparkir persis di depan pintu villa. Ia pun terus mengendap-endap ke samping villa itu.
Si gendut mengintip ke dalam lewat celah jendela. Tapi tak ada sia-pa-siapa. Hanya pakaian basah Monika tampak terpuruk di kursi kamarnya. Kemudian terdengar suara semprotan air cukup keras dari shower di kamar mandi. Agaknya si Monika tidak sendiri di kamar mandi itu.
''Kau memang benar-benar dahsyat, Monika,'' terdengar suara lelaki, berat dan agak serak.
"Ah, masak?" sahut suara Monika, genit.
"Tubuhmu benar-benar sempurna," suara laki-laki itu.
"Hi hi hi& ."
"Coba lihat ini& ."
"Hi hi hi hi& ."
Monika makin cekikikan. Si gendut bisa membayangkan apa yang sedang dilakukan lelaki itu entah konglomerat mana, entah pejabat penting apa terhadap Monika di kamar mandi. Ingin sekali ia memanjat tembok dan mengintip mereka dari lubang angin. Tapi tubuhnya yang agak basah kehujanan makin menggigil saja. Sambil mengumpat-umpat ia pun melangkah cepat balik ke mobilnya.
*** LANGIT sudah gelap ketika si gendut sampai di kantornya. Kantor kontraktor itu sudah sepi. Pardi, sopir Monika, mendengkur di kursi ruang tamu. Si gendut langsung membangunkannya. "Di, kamu tahu apa yang dilakukan Monika selama ini?" "Nggak tahu, Pak."
"Kamu mengantar ke mana saja tiap hari?"
"Ke sana ke mari, Pak. Ke kantor pejabat ini itu, menemui konglomerat ini itu, ke bank, belanja di supermarket, ke kamar hotelnya, ke Puncak, yah ke mana ajalah. Pokoknya macam-macamlah acaranya, sampai saya tidak bisa istirahat."
"Apa yang dia lakukan di Puncak dan di kamar hotelnya?"
"Nggak tahu, Pak. Saya hanya boleh menunggu di mobil atau di warung terdekat."
"Jangan-jangan pelacur kelas kakap dia."
"Kok Bapak berkata begitu?"
Tiba-tiba telepon berdering keras menghentikan pembicaraan mereka. Si gendut segera mengangkatnya. Begitu ujung gagang telepon menem-pel di telinganya, wajahnya berubah kemerahan. Agaknya ada suara yang tak enak dari si penelpon. Beberapa detik kemudian ia meletakkan gagang itu dengan setengah membantingnya.
"Wah, gawat, Di. Nyonya Besar marah-marah. Saya pulang dulu."
"Hati-hati, Pak."
Pasti ada yang tidak beres, pikir si gendut. Baru pukul 20.15 istrinya sudah marahmarah. Dalam keadaan normal, dengan alasan sedang rapat, istrinya maklum saja dia pulang sampai pukul 22.00. Istrinya pasti mengira, dia punya skandal lagi. Tapi dengan siapa, dan siapa yang mem-fitnahnya"
Ia memang sudah dua kali terlibat skandal cinta dengan bawahan-nya. Pertama dengan sekretarisnya yang genit dan gampangan. Kedua de-ngan bendaharanya yang cantik tapi perawan tua. Keduanya sudah ia pecat atas desakan istrinya , yang sempat marah besar begitu mengetahui skandal itu. Bagaimana pun, ia memang tidak berani melakukan "perang habis-habisan" melawan istrinya yang memang kurang cantik dan bertubuh agak gembrot. Selain demi kedamaian hati ketiga anaknya, juga karena perusahaan yang memberinya jabatan direktur memang peninggalan almar-hum mertuanya.
"Belum kapok ya, Pa?" sambut istrinya begitu si gendut duduk di depan meja makan.
"Kapok bagaimana, Ma?"
"Papa sudah berani memelihara perempuan lagi, kan?"
"Ah, jangan mengada-ada, Ma. Siapa bilang saya memelihara pe-rempuan?"
"Jangan bohong, Pa. Tadi ada perempuan cantik mencari Papa ke sini."
"Perempuan cantik, siapa?"
"Masih mau mungkir juga" Papa punya peliharaan baru yang nama-nya Monika, bukan! Tadi dia ke sini pakai rok kuning menyala."
"Monika?" kepala si Gendut bagai di sambar geledek. "Benar-benar edan, anak itu. Bukanlah dia baru saja saya antar ke puncak?"
"Jadi kau baru saja main cinta di puncak dengan perempuan itu" Kurang ajar! Kau tega, ya!"
"Pacaran apa" Dia itu pelacur!"
"Jadi, papa membawa pelacur ke puncak" Dasar hidung belang! Menjijikkan!"
Bu Saliman berlari masuk ke kamar, membanting pintunya dan menguncinya dari dalam. Tampaknya ia marah besar. Si gendut terperangah sesaat. Kepalanya makin pusing, bagaimana ia harus menjelaskan tentang si Monika pada istrinya. Dalam gelisah ia melangkah ke kamar kerjanya, mengangkat gagang telepon dan memutar nomor telepon kantornya.
"Pardi?" "Ya, Pak." "Untunglah kamu masih ada di situ."
"Ada apa, Pak?"
"Gawat, Di. Nyonya marah besar soal Monika. Ia mengira simpa-nan saya. Tadi dia ke sini mencari saya. Salahnya, saya tak pernah cerita soal Monika pada Nyonya. Tolong, jemput dia sekarang juga di kamar hotelnya dan bawa kemari. Kau harus ikut menjelaskan tentang dia pada Nyonya.
"Baik, Pak." Begitu meletakkan gagang telepon, si gendut lantas menuju pintu kamar istrinya. Terdengar tangis sesenggukan dari dalam kamar. "Buka pintu, Ma. Berilah Papa kesempatan untuk menjelaskannya."
"Semuanya sudah jelas. Papa memang bajingan!"
"Dengar dulu, Ma. Saya tadi memang mengantar dia ke Puncak. Tapi, percayalah, saya tak berbuat apa-apa dengan dia. Saya mengantarnya karena dia melakukan transaksi penting yang berkaitan dengan perusahaan kita. Dia itu staf baru bagian marketing. Hanya dugaan saya saja dia me-rangkap menjadi pelacur."
"Dia merangkap jadi peliharaan Papa, kan!"
"Jangan begitu, Ma."
"Tadi dia mengaku begitu."
"Ya peliharaan, maksudnya pegawai baru. Dia memang suka melucu begitu."
Gerimis masih memukul-mukul genteng dan daun-daunan di luar, ketika tiba-tiba terdengar derum mobil masuk pekarangan rumah Pak Saliman. "Nah, itu dia datang bersama Pardi, Ma. Mereka sengaja saya panggil untuk menjelaskan semuanya pada Mama."
*** SANG Nyonya Besar pada akhirnya memang bisa dijinakkan. Ia bisa memahami kehadiran Monika di perusahaan peninggalan almarhum ayahnya yang kini dikelola suaminya. Apalagi, di hadapannya, gadis itu bersumpah tidak akan mengganggu Pak Saliman. Ia juga berjanji untuk memajukan perusahaannya dengan memanfaatkan jaringan koneksi yang telah ia bangun dengan sejumlah pejabat dan konglomerat.
Namun, tidak berarti persoalan Monika selesai sampai di situ. Pada akhir bulan, ketika si gendut harus membayar gaji para karyawannya, Monika memberikan kejutan baru:
"Cadangan uang kita di bank habis, Pak. Besok kita tidak bisa membayar gaji para karyawan," kata kepala bagian keuangan, menghadap si Gendut dengan wajah pucat dan suara gemetar.
"Lho! Bukankah dua minggu lalu masih ada cadangan satu setengah milyar?"
"Ya. Kini sudah habis dipergunakan Monika. Katanya sudah disetujui Bapak."
"Tuyul edan!" "Lho, kok tuyul?"
"Memang dia tuyul! Siapa lagi yang berani nekad menghabiskan uang segitu banyak kalau bukan tuyul edan!"
"Salah Bapak juga, terlalu cepat memberi kepercayaan pada dia."
"Pardiiii!" "Yaaa, Pak!" yang dipanggil tergopoh-gopoh masuk.
"Ke mana kau antar Monika hari ini"!"
"Belum saya antar ke mana-mana, Pak. Sejak pagi belum kelihatan. Saya jemput di kamar hotelnya juga kosong."
"Wah, celaka kalau begitu. Uang kita di bank dia sikat habis. Benar-benar tuyul edan dia! Cepat kamu cari dia sampai ketemu. Kalau tidak, bisa tak gajian kamu besok."
Pardi, sopir gadis itu, berlari kecil keluar untuk mencari Monika.
Tapi tiba-tiba telepon di meja si gendut berdering. Ia langsung mengangkatnya, ternyata dari si tuyul.
"Monika, gila kamu! Kamu kemanakan uang saya satu setengah milyar di bank"!" si gendut langsung menghardik gadis itu.
"Tenang, Pak. Bapak kan ingin mendapatkan kakap besar. Umpannya juga harus besar!" jawab Monika dari seberang.
"Omong apa lagi kamu"! Kakap kakap! Mana buktinya"! Kamu ini memang tuyul edan! Tuyul rusak! Kamu tidak mendapatkan duit, tapi malah menghabiskan duit!!"
"Aduh, jangan teriak-teriak begitu, Pak! Nanti didengar orang, rahasia kita bisa bocor."
"Biarin! Kamu memang tuyul edan! Tuyul rusak! Tuyul gendeng!!"
"Dengar dulu, Pak. Saya sedang mengincar beberapa proyek besar, dan hampir berhasil. Percayalah, Pak. Dalam satu dua hari ini pasti sudah ada hasilnya. Uang satu setengah milyar tidak ada artinya dibanding keuntungan yang bakal kita dapatkan. Perusahaan Bapak saya jamin segera menggelembung jadi raksasa. Kalau saya gagal, Bapak boleh bakar padepokan saya di tepi hutan itu."
"Tapi, gaji karyawan kita bagaimana" Besok mereka harus gajian. Kalaupun tidak, mereka hanya bisa mentolerir keterlambatan satu hari. Labih dari itu mereka pasti akan ribut. Aku tak mau kalau di perusahaan kita sampai ada unjuk rasa segala."
"Jangan khawatir, Pak. Saya sudah mengajukan kredit 100 trilyun ke bank. Hari ini direksi bank sedang merapatkannya. Kalau di-acc, besok sebagian dana sudah dapat dicairkan."
"Gila! Kredit 100 trilyun"!"
"Ya." "Untuk apa uang sebanyak itu?"
"Lho, kita kan bakal menangani proyek-proyek dan pabrik-pabrik besar. Mana bisa jalan kalau hanya dengan modal recehan."
"Aku tak mau ikut pusing-pusing memimpikan yang tidak-tidak begitu. Pokoknya besok karyawan harus gajian. Kau harus mengusahakan uang gaji mereka. Saya tunggu hasilnya hari ini juga."
"Beres, Pak!" *** MATAHARI sudah jauh melintasi titik ubun-ubun langit, bahkan sudah condong jauh ke barat. Si gendut gelisah menunggu kabar dari Monika. Sekali-sekali ia mondarmandir di ruang kerjanya. Sekali-sekali berteriak memanggil Pardi, menanyakan apakah gadis itu sudah menampakkan batang lehernya. Sekali-sekali pula ia meminta pada bendaharanya untuk mengecek rekening banknya lewat telepon, apakah sudah ada uang masuk dari Monika. Semuanya masih nihil. Selebihnya, si gendut menghempaskan tubuhnya ke kursi kebesarannya, mencoba meredakan kegelisahannya dengan membaca komik Satria Baja Hitam.
Sore sudah mengambang ketika gadis centil itu muncul dengan senyum khasnya. Si gendut langsung menyambarnya: "Bagaimana, Monika, hasilnya?"
"Beres, Pak." "Beres-beres, bagaimana"!"
"Lihat ini." Monika menyerahkan berkas-berkas yang dibawanya.
"Gila! Kita mendapat kredit 100 trilyun?" Mata si gendut terbelalak melihat angka yang tercantum pada berkas dari bank itu.
"Ya," "Bagaimana kamu bisa membuat bank percaya untuk memberikan kredit sebesar itu pada kita?"
"Saya kan punya katebelece."
"Katebelece" Apa kamu mau mengulang kasus Eddy Tansil, Sinivasan, Sofian Wanandi..... ?"
"Jangan khawatir, Pak. Monika lebih lihai daripada Eddy Tansil, Sinivasan, atau Sofian Wanandi. Semuanya sudah saya atur rapi."
"Kamu memang benar-benar tuyul hebat!" Serta merta si gendut menyalami dan memeluk gadis itu. Monika menyerah saja.
"Bapak mau lihat daftar proyek yang telah kita menangkan tendernya."
Si gendut melepaskan pelukannya. Monika mengeluarkan setumpuk map dari tasnya. "Ini proyek pengurugan Rawa Pening untuk disulap menjadi lapangan golf, ini proyek penggundulan sebagian hutan Irian Jaya untuk diekspor ke Jepang, ini proyek penggusuran seluruh kawasan kumuh Tanjung Priok untuk disulap jadi kondominium, dan ini proyek terowongan bawah laut lintas Selat Sunda. Semuanya bernilai 90 trilyun."
"Gila kamu. Bagaimana kita bisa mengerjakan proyek edan-edanan seperti itu?"
"Jangan khawatir, Pak. Saya bisa mengerahkan seribu jin untuk ikut menyelesaikan proyek-proyek itu tepat pada waktunya."
"Jadi kita juga harus berkolusi dengan para jin?"
"Betul. Itulah cara yang telah saya rancang agar perusahaan kita bisa tumbuh jadi raksasa."
"Seperti Bandung Bandawasa ketika membangun Candi Seribu itu?"
"Ya, begitulah kira-kira. Tapi tentu, proyek-proyek itu tidak harus kita selesaikan dalam semalam. Ya, agar orang percaya bahwa proyek-proyek itu memang murni karya kita, berkat kehebatan teknologi canggih yang telah kita kuasai."
"Memang benar-benar edan kamu, Monika."
"Bapak setuju, kan!"
"Tentu saja, Monika. Lelaki mana yang mau berlaku bodoh dengan menolak kesempatan untuk menjadi besar."
"Ha ha ha." Monika tertawa.
"Ha ha ha.. ." Si gendut juga tertawa.
"Tapi tunggu dulu, Pak." Kali ini wajah Monika berubah serius. Ia mundur selangkah dan duduk di atas meja, persis di depan si gendut yang masih berdiri setengah bersandar pada sandaran kursinya.
"Tunggu apa lagi?"
"Agar kredit itu benar-benar bisa mengucur dan proyek-proyek itu bisa berjalan lancar, ada satu syarat yang harus Bapak penuhi."
"Syarat apa?" "Bapak harus mengawini saya dan menjadi bapak anak yang akan saya lahirkan."
"Kenapa harus begitu?"
"Ya, karena anak yang akan segera saya lahirkan harus punya bapak yang jelas."
"Lho! Memangnya kamu hamil?" wajah si gendut tampak terperangah.
"Ya." "Aduh, Monika. Kenapa tidak kamu gugurkan saja?"
"Tak ada dokter maupun dukun yang sanggup menggugurkan kandungan tuyul. Sekarang terserah Bapak, mau menjadi Bapak anak saya, atau semuanya gagal dan selesai sampai di sini." Monika mulai menantang.
"Kalau memang harus begitu, ya apa boleh buat, Monika. Aku akan menjadi Bapak anak yang kau kandung. Aku tak perlu tahu, itu anak siapa. Tapi, tolong sementara dirahasiakan dulu. Jangan sampai istriku tahu."
Mendengar jawaban itu, Monika langsung melompat turun dari meja dan menghambur ke dada Pak Saliman. Si gendut terkejut sesaat, tapi lantas menyongsong gadis itu dengan pelukan.
*** KREDIT 100 trilyun rupiah itu mengucur juga. Bahkan keesokan harinya sebagian sudah bisa dicairkan. Pada malam harinya si gendut langsung mengadakan pesta bersama seluruh staf dan karyawannya. Kesibukan terus meningkat pada hari-hari berikutnya. Lowongan kerja pun dia buka untuk merekrut para insinyur dan karyawan baru. Sejumlah insinyur asing segera didatangkan untuk menyiapkan pelaksanaan proyek-proyek besar itu.
Monika pun tetap hilir mudik seperti biasa. Namun pada hari keenam tiba-tiba ia menghilang dan pada hari ketujuh datang kejutan dari Mbah Sastro untuk si gendut lewat telepon.
"Kau harus datang kepadepokanku sekarang juga. Sangat penting!" suara pawang tuyul itu dari jauh.
"Memangnya ada apa, Mbah?"
"Monika melahirkan hari ini."
"Lho, bukannya usia kandungannya baru tiga Minggu."
"Ya, usia kandungan tuyul memang hanya duapuluh satu hari."
"Baiklah, Mbah."
Sampai di padepokan, si gendut langsung menuju kamar Monika. Ia penasaran, ingin tahu bagaimana wajah anak tuyul cantik itu. Begitu membuka pintu, si gendut terperangah. Pemandangan menakjubkan terpampang di depannya. Monika berbaring miring setengah telanjang, dikelilingi puluhan orok gundul sebesar lengan bayi. Beberapa diantaranya sedang berebutan menetek pada tuyul cantik itu.
"Ini semua anak-anak kita," kata Monika sambil tersenyum. "Jumlah mereka ada tujuh puluh sembilan, sesuai dengan jumlah pendekatan khusus yang saya lakukan untuk mendapatkan kredit bank dan proyek-proyek besar itu."


Anggukan Sapi Betina Karya Ahmadun Yosi Herfanda di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tujuh puluh sembilan"!" sahut si gendut dengan mulut menganga dan mata terbelalak.
Untuk beberapa saat si gendut berdiri terpaku dengan ekspresi terperangah. Kemudian tubuhnya terhuyung-huyung dan ambruk ke lantai. Kali ini Monika tidak hanya memberikan kejutan bagi si gendut, tapi sekaligus membuatnya tewas akibat serangan jantung!*
Jakarta, Akhir Juni 1994 * Cerpen ini pernah dimuat di Percakapan Senja, bonus kumpulan cerpen Majalah Sarinah, No. 309, 22 Agustus-4September 1994.
Ledakan Cerpen Ahmadun Yosi Herfanda
Telepon bedering ketika aku sudah akan mengunci pintu untuk berlari ke jalan raya mencari taksi. Rumah kosku sudah kosong, dan suara di telepon itu benar-benar membuatku panik& .
''Elyah, ini Emak. Pulanglah sekarang juga! Ada yang....'' suara Emak di seberang, tapi tiba-tiba terputus oleh suara ledakan, ''blaaarrr!'' keras sekali hingga gagang teleponku terasa ikut bergetar, kemudian terdengar jeritan Emak, ''Allahu Akbar!'' dan telepon terputus.
''Emak, Emaaaak! Apa yang terjadi"! Emaaak!'' teriakku. ''Emak! Emaaak!'' tak ada jawaban, kecuali suara ''tut tut tut....'' Aku buru-buru meletakkan gagang telepon, lalu kuangkat lagi, dan kuputar nomor rumah Emak, 0651-773679, tak ada jawaban, kecuali suara mesin otomatis dari Telkom, ''Nomor yang Anda hubungi sedang dalam perbaikan, untuk sementara tidak dapat dihubungi.''
Kuletakkan lagi gagang telepon, kuangkat lagi, kuputar lagi nomor itu, berulangulang, tapi yang terdengar tetap jawaban mesin yang sama. Aku menjadi sangat panik. Apa yang terjadi dengan Emak" Apakah rumah Emak terkena mortir, atau lemparan granat tentara" Atau bom rakitan GAM" Dan Emak jadi korban" Ya Allah, apa yang menimpa Emak sepagi ini" Ya Allah, selamatkanlah Emak!
Aku benar-benar merasa sangat cemas. Aku ingat, dua hari yang lalu terjadi kontak senjata antara GAM dan TNI di ujung kampung, tak jauh dari rumah Emak. Tiga hari sebelumnya, rumah Emak juga sempat digeledah oleh tentara karena dicurigai menjadi tempat persembunyian anggota GAM. ''Semua kamar diobrak-abrik sama anggota. Juga kamar Kakak. Emak dibawa ke markas tentara, diinterogasi selama tiga jam, tapi dilepaskan lagi,'' cerita adikku lewat telepon dua malam yang lalu.
Apakah Emak akan senasib dengan Ayah yang tewas secara misterius sebulan lalu" Jasad Ayah, juga kata adikku lewat telepon, ditemukan di pinggir jembatan dengan luka-luka bekas tusukan senjata tajam di leher, dan dadanya robek. ''Ngeri sekali, Kak, kami semua jadi takut!'' kata Cut Khasanah, adikku itu.
Keesokan harinya kubaca di koran Jakarta, ayahku tewas akibat penganiayaan berat. Jelasnya, ayahku menjadi korban pembunuhan salah satu korban dari tujuh korban 'pembunuhan misterius' yang ditemukan pada pekan itu. Emakku, juga aku, sangat terpukul atas kejadian itu. Emakku kini harus menjanda dengan empat anak, dan mengalami tekanan psikologis yang cukup berat. Tapi, siapa pembunuh ayahku" Polisi belum dapat menyingkapnya dengan jelas. Apalagi menangkap pelakunya.
Berlarutnya konflik di Serambi Mekah memang membuat 'negeri Fansuri' tempat kami lahir dan dibesarkan seperti menjadi rimba tak bertuan dan tanpa hukum yang pasti. Orang seakan dengan gampang dapat membunuh siapa saja atas nama apa saja. Tentara dengan gampang dapat melenyapkan seseorang atau sekelompok orang atas nama tugas negara, sementara mereka yang mengaku GAM dan dicap sebagai GPK oleh tentara tiap saat juga dapat mencabut nyawa siapa saja atas nama cita-cita dan kebebasan.
Dan, dua tahun terakhir ini ayahku terjepit di antara dua tudingan yang memojokkan sekaligus membingungkan di tengah pertarungan dua kepentingan itu. Pihak tentara mencurigai ayahku sebagai aktivis GAM, tapi pihak GAM menuding ayahku sebagai mata-mata tentara. Kami sendiri, sekeluarga, tidak tahu mana yang benar. Yang kami tahu, ayah adalah seorang ustad yang saleh sekaligus petani yang sukses. Tiap hari ayah pergi mengontrol ladang, menyetor hasil panen ke pasar, atau mencari bibit unggul di dinas pertanian. Sebelum Magrib Ayah biasanya sudah berada di rumah, mengimami mushalla di sebelah rumah kami, mengajar mengaji sampai waktu Isya tiba, dan selebihnya Ayah lebih banyak di rumah bersama kami.
Tapi siapa pembunuh ayahku" Dari pihak mana pembunuh itu, TNI atau GAM" Atau, Ayah hanya menjadi korban fitnah dan salah sasaran" Tidak ada jawaban yang jelas sampai sekarang. Lalu, apa yang terjadi dengan Emak pagi ini" Jangan-jangan Emak juga senasib dengan Ayah, menjadi korban pertikaian yang berlarut-larut itu"
Aku benar-benar merasa sangat cemas. ''Elyah, pulanglah sekarang juga!'' kembali terngiang suara Emak. Tidak biasanya Emak memintaku pulang dengan cara begitu. Pasti ada apa-apa dengan Emak. Kuputar lagi nomor telepon Emak, 0651-773679, kembali terdengar suara, ''Nomor yang Anda hubungi sedang dalam perbaikan....'' Kuputar nomor telepon tetangga, terdengar suara yang sama. Kuputar nomor tetangga yang lain, suara yang sama terdengar juga. Ya Allah, apa yang terjadi dengan rumah Emak, apa yang terjadi dengan rumah para tetangga, apa yang terjadi dengan kampungku. ''Elyah, pulanglah sekarang juga!''
Ya, aku harus pulang sekarang juga. Itu keputusanku. Tapi, apa yang harus kukatakan pada kepala bagianku di kantor. Bagaimana alasan pamitku" Aku pasti tidak akan diijinkan pulang oleh atasanku, yang cerewet, jika tidak ada alasan jelas untuk mudik mendadak. Apalagi pekerjaanku sedang menumpuk. Apa aku harus mengatakan Emak tewas, atau sakit keras" Tapi, apa benar itu yang menimpa Emak, dan apa ia percaya" Ah, tak peduli. Aku akan pamit lewat telepon saja. Aku harus pulang sekarang juga. Aku harus tahu apa yang terjadi dengan Emak.
*** Pagi itu aku jadi melangkah tergesa ke tepi jalan raya. Kusetop taksi dan kuminta agak ngebut, namun bukan ke kantorku tapi ke terminal bus antarkota. Ya, hanya cara ini yang bisa kulakukan untuk pulang kampung dari Jakarta, mengingat gajiku yang masih pas-pasan untuk hidup membujang saja. Berarti aku masih harus memperpanjang kecemasanku sampai hampir dua hari lagi, sekitar tiga puluh lima jam lagi. Perasaanku pasti sangat tersiksa, tapi apa boleh buat!
Di terminal kubeli beberapa koran ibukota. Aku ingin tahu pergolakan macam apa lagi yang terjadi di dekat kampungku, dan berapa korban yang jatuh akibat pergolakan itu. Aku ingin mendapat jawaban sementara, apa sebenarnya yang menimpa Emak dan kampungku, dan apakah Emak menjadi korban peristiwa itu. Tapi, ah semoga tidak. Kalaupun ledakan tadi suara granat atau mortir, semoga Emak selamat, dan hanya sambungan teleponnya yang terputus. Kalaupun Emak akhirnya ditangkap oleh GAM atau tentara, semoga sebuah keajaiban melindunginya dan cepat dilepaskan kembali. Kami sangat mencintai Emak. Adik-adikku masih butuh dampingan Emak.
Kubuka lembar demi lembar koran yang kubeli, kubaca semua judul pada tiap halamannya. Aku ingin membaca Aceh. Ya, Aceh, ada berita apa lagi tentang Aceh hari ini. Benar. Beberapa peristiwa tentang konflik di Serambi Mekkah terpampang dengan judul-judul yang cukup mencolok, ''Tentara Serbu Markas GPK, 12 Tewas'', ''Tentara Lakukan Sweeping, 56 Warga Ditangkap'', ''Tentara Tembak Mati Tujuh GPK, Dua di Antaranya Perempuan''.
Ya Allah, tentara lagi, tentara lagi. Kenapa para anggota masih main tangkap dan main tembak. Katanya mereka takkan menggunakan kekuatan militer sesudah DOM dicabut" Sudah tiga bulan status DOM untuk Aceh dicabut, tapi anggota TNI masih main tangkap dan tembak. Apa tidak ada cara lain, yang lebih beradab, untuk menyelesaikan konflik di tanah kelahiranku itu" Kadang-kadang aku jadi benci dan muak pada TNI, bahkan pada penguasa negeri ini, penguasa yang telah menguras kekayaan Aceh, tapi tidak mampu menciptakan suasana damai di sana, apalagi mensejahterakan rakyatnya! Aku kecewa berat pada TNI yang tidak kunjung berhasil meredam kekerasan di tanah kelahiranku. Aku kecewa berat pada pemerintah yang tidak pernah becus mengurus negeri ini. Aku kecewa berat pada GAM yang hanya menambah persoalan makin runyam. Ayahku tewas. Keluargaku terus-menerus diteror. Dan, kini Emak.... Apa yang terjadi dengan Emak"! ''Ya Allah, lindungilah Emak. Lindungilah keluarga kami!''
Entah sudah berapa ratus kalimat tanya, berapa ribu ungkapan kecewa, dan berapa juta suku kata kecemasan, yang berputar-putar di benakku, berkecamuk antara tidur dan jaga, antara kantuk dan doa, antara harapan dan keputusasaan, tahu-tahu bus sudah masuk sebuah garasi di Jambi dan semua penumpang diminta turun. Kami harus ganti bus. Bus ini harus masuk garasi untuk diservis dan ganti ban. ''Bus pengganti baru datang sekitar satu jam lagi,'' kata seorang kru bus.
Aku buru-buru turun dan langsung mencari Wartel. Kucoba lagi menelepon rumah. Masih tetap jawaban mesin otomatis dari Telkom. Kutelepon rumah kosku, barangkali ada telepon dan pesan dari Emak, atau dari adikku. Tidak ada telepon dari siapa-siapa, kata ibu kosku. Aku jadi makin khawatir dan cemas. Apa yang sebenarnya menimpa Emak" Di mana pula adik-adikku" Apa pula yang menimpa mereka"
Makam Asmara 3 Wiro Sableng 025 Cinta Orang-orang Gagah Kisah Pedang Bersatu Padu 20
^