Pencarian

Anggukan Sapi Betina 2

Anggukan Sapi Betina Karya Ahmadun Yosi Herfanda Bagian 2


Pukul delapan pagi ketika ledakan itu terjadi, adik-adikku pasti sudah berada di sekolah masing-masing. Tapi, sekarang sudah sore, dan mereka pasti sudah pulang dan tahu apa yang menimpa Emak. Kenapa mereka tidak meneleponku" Ataukah rumah Emak sudah dikepung tentara sejak pagi buta karena memang ada GAM yang diketahui lari ke sana, sehingga adik-adikku tidak dapat keluar dan ikut tewas dalam ledakan itu" ''Ya Allah, lindungilah mereka!''
Kecemasanku makin menjadi-jadi. Kucoba lagi menghubungi nomor-nomor telepon tetanggaku. Jawaban yang kudengar sama saja, dari mesin penjawab otomatis Telkom. Aku jadi yakin, pasti ada sesuatu yang luar biasa terjadi di kampungku, menimpa keluargaku, menimpa tetangga-tetanggaku. Tapi apa" Pertempuran hebat yang menghancurkan semuanya" Kebakaran" Bencana alam" Aku tidak tahu. Bisa jadi kampungku sengaja dibumihanguskan, entah oleh siapa dan atas perintah siapa. Dalam konflik Aceh yang makin runyam, apapun bisa terjadi, atas nama apa saja dan dengan alasan apa saja. Beberapa hari yang lalu, misalnya, beberapa rumah penduduk dibakar oleh tentara karena diyakini menjadi basis kegiatan GAM. Sementara, pada hari yang lain, seorang warga dibunuh entah oleh siapa setelah beredar isu bahwa dia mata-mata TNI.
Aku harus cepat-cepat sampai rumah untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Tapi, jam berapa akan sampai kalau perjalanan tersendat-sendat begini. Dan, kenapa pula harus ganti bus dan masih harus menunggu lagi" Waktu rasanya berjalan lambat sekali, detik demi detik hanya menggelesot bagai seorang invalid. Makan pun aku sampai tersedak-sedak karena kegelisahan mengetuk-ngetuk seluruh syarafku. Begitu masuk bus lagi, aku langsung menelan pil anti mabuk agak berlebih agar tertidur teman pembunuh kebosananku dalam tiap menempuh perjalanan panjang. Aku menyerah pasrah pada sopir bus untuk membawaku ke Aceh, berapa jam pun dia mau. Karena toh percuma saja aku bercemas-cemas sendiri ingin cepat sampai kalau kemampuan lari bus tua ini hanya rata-rata 50 km perjam. Apalagi, banyak jalan rusak, naik turun dan berliku-liku.
Dan aku tidak tahu, berapa kali lagi bus beristirahat untuk memberi kesempatan makan pada penumpang, tahu-tahu aku dibangunkan oleh kru bus karena sudah sampai di terminal Banda Aceh. Aku langsung mencari taksi, dan yang kudapat mobil omprengan, untuk membawaku langsung ke rumah, tanpa peduli harus membayar berapa.
''Ada peristiwa apa di Blangkejren kemarin, Pak"'' tanyaku pada sopir. Aku tak sabar untuk segera tahu.
''Apa Cut belum dengar, ada banjir dan tanah longsor. Banyak yang tewas.''
Banjir" Tanah longsor" Dan banyak yang tewas"! Ada kecemasan baru yang kini menyeragpku. Jangan-jangan Emak dan adik-adikku ada dalam daftar korban tewas itu. ''Cepat bawa aku ke sana, Pak. Keluargaku ada di sana!''
Mengerikan sekali. Kampungku lenyap tertimbun tanah. Tinggal puing-puing, akarakar pohon tumbang, dan balok-balok kayu yang bercuatan di atas lumpur. Ini lebih gawat dari ledakan granat atau bom rakitan. Bencana alam dapat menghancurkan apa saja dan membunuh siapa saja tanpa ampun, tanpa peringatan dan tanpa pertanyaan-pertanyaan lagi. Ya Allah, apa dosa kami sehingga Engkau mengazab kami dengan cara begitu" Di mana pula Emak dan adik-adikku"
''Cut Elyah, tabahkan hatimu. Rumahmu hancur tertimbun lumpur. Tapi, Emak dan adik-adikmu sudah ditemukan. Sekarang ada di rumah sakit,'' Pak Kepala Desa merangkulku begitu aku keluar dari mobil omprengan di ujung kampung. Rumah Emak memang berada di tepi jalan kabupaten, di lereng bukit yang agak gundul. Kulihat banyak tentara di situ. Orang-orang berseragam loreng itu menggali-gali dan mencari-cari korban yang masih tertimbun.
Aku kembali masuk taksi gelap dan meluncur ke rumah sakit. Kutemukan Emakku terbaring dengan seluruh kaki dibalut perban. Tampak kedua adikku duduk menungguinya. Tapi di mana Cut Khasanah" ''Kak Elyah!'' teriak adik-adikku begitu melihat aku datang.
''Alhamdulillah, kalian selamat!''
''Ya, Kak, kami diungsikan tentara sebelum longsor terjadi.''
''Bagaimana Emak, di mana Adik Cut"''
''Kaki Emak patah, Kak, tertimpa tiang rumah. Emak juga diselamatkan tentara. Tapi, Kak Khasanah....''
''Elyah, syukurlah kau sudah tiba! Emak sengaja tidak meneleponmu. Emak khawatir akan mencemaskanmu dan mengganggu tugasmu di tempat kerja.''
''Lho, bukankah Emak kemarin pagi menelepon Elyah"''
''Bukan Emak yang menelepon.''
''Lalu siapa" Suaranya sangat mirip Emak, dan mengaku Emak. Elyah juga mendengar suara ledakan... dan jeritan Emak.''
''Ah, sudahlah, Elyah. Yang penting kau sudah tiba.''
''Di mana Adik Cut"''
''Dia& dia& tewas, Kak. Kak Khasanah tertimbun bersama Emak,'' kata adikku. Di matanya menggantung butiran air mata.
''Innalillahi...,'' aku tidak kuasa meneruskan ucapanku. Serasa ada yang lepas dari diriku. Tubuhku terasa limbung dan nyaris roboh. Seorang adik yang paling dekat denganku, telah direnggut oleh kekuasaan yang tidak dapat dilawan oleh siapapun. Adik terkecilku, Nur Rahmah, segera mendekapku.
Tabahkan hatimu, Elyah, semuanya sudah kehendak Allah. Emak mencoba menenangkanku!
Betulkah semua sudah kehendak Allah" Benakku masih bertanya-tanya. Enak sekali selama ini orang mengkambinghitamkan Tuhan tiap terjadi bencana. Padahal, sering manusia juga yang menjadi akar penyebabnya. Ya, aku ingat, bukit-bukit di atas kampungku rata-rata sudah gundul karena pohon-pohon besarnya ditebangi. Program penghijauan pun tidak berjalan karena dananya banyak dikorupsi. Ya, lagi-lagi aku harus menuding oknum-oknum penguasa yang tidak becus mengurus negeri ini.
Ketika banjir bandang melanda desa sebelah atas, kata Emak dengan mata berkacakaca, tentara sudah berusaha mengungsikan semua warga kampung, karena khawatir banjir serupa akan menerjang kampung kami. Kedua adik terkecilku ikut mengungsi lebih dulu dengan truk tentara, sedang Emak dan Cut Khasanah bermaksud mengemasi serta menyelamatkan barang-barang yang diperlukan.
Namun, persis pukul delapan pagi ketika telepon di rumah kosku berdering, tanah longsor menerjang rumah kami, mengubur Emak dan Cut Khasanah. Sebuah keajaiban menyelamatkan Emak, tapi Cut Khasanah tidak tertolong.
Satu anggota keluarga kami tewas lagi di Tanah Rencong. Tentu, kali ini aku tidak bisa menuding tantara sebagai penyebabnya. Tapi, siapa yang meneleponku pagi itu dan ledakan apa yang menghentikan suara di telepon itu" Mungkinkah itu suara Cut Khasanah" Dan, mungkinkah itu ledakan bom rakitan yang tersimpan di rumahku" Sampai aku kembali lagi ke Jakarta, sampai hari ini, aku tidak pernah tahu!
Kaliwungu, 17 Nov. 2001 Leher Sejak membeli pesawat tivi, keluarga Barjo terserang penyakit aneh. Leher mereka seperti terganjal besi yang menegang dari pangkal tulang tengkorak sampai ke pangkal dada. Mereka terpaksa selalu mendongakkan kepala ke atas. Kepala mereka tidak bisa lagi ditundukkan ke bawah, ke depan, ke kanan, dan ke kiri. Mereka hanya bisa diam atau menggeleng sambil tetap mendongak ke langit.
Ini gara-gara Bapak memasang tivi di atap rumah, kata Surti, putrinya, sambil terbatuk-batuk sehabis menuangkan minuman ke mulutnya.
Lalu harus di pasang di mana" sahut Pak Barjo di bawah kepulan asap rokoknya dengan mata terpejam-pejam karena pegal. Dulu ketika akan kuletakkan di ruang tamu, kalian menolak. Katanya, belajar kalian terganggu. Lalu ketika akan kutaruh di ruang tengah, kalian juga protes. Katanya, mengganggu tidur. Lantas di mana" Rumah kita kan Cuma terdiri tiga ruangan ini, sambungnya.
Tapi, ya jangan di atap, Pak. Masa tiap hari kita harus mendongak ke atas. Ini akibatnya. Kepala kita tidak bisa dikembalikan seperti semula. Mendongak ke atas terus. Ini lebih mengganggu belajar saya, Pak. Bahkan saya tidak dapat lagi belajar dengan baik, karena tangan saya tidak tahan harus secara terus-menerus mengangkat buku ke atas dan menghadapkannya ke bawah untuk dapat saya baca, lanjut Surti sambil menuang lagi teh hangat ke mulutnya. Akan tetapi, karena kurang hati-hati, teh itu tertuang semua sehingga mbludak masuk ke hidungnya. Surti terbatuk-batuk keras, lalu berdiri dan membungkukkan tubuhnya agar mulutnya bisa menghadap ke bawah dan teh itu tumpah ke lantai.
Sejak sebulan yang lalu Surti memang tidak bisa lagi melihat ke bawah, apalagi melihat kakinya sendiri. Ini juga dialami Sutris, kakaknya. Sehingga, hampir setiap hari dia terbalik memasang sepatu atau sandal di kakinya. Bahkan, dia sering salah pasang. Kaki kiri memakai sandal merah, tetapi kaki kanan memakai sandal hijau. Repotnya lagi, kakinya tidak bisa lagi merasakan mana sandal mana sepatu. Sehingga pernah suatu hari teman-teman sekelasnya tertawa sampai terkencingkencing gara-gara dia memakai sandal jepit dan sepatu secara bersama. Kaki kiri memakai sandal jepit, kaki kanan memakai sepatu.
*** Semula teman-teman Sutris dan Surti heran, kenapa tiba-tiba mereka selalu bergaya seperti Batara Narada, selalu mendongak ke atas. Ada yang menganggap mereka telah berubah menjadi congkak hanya karena ayah mereka telah membeli tv. Ada pula yang menduga, mereka terkena cultural shock gara-gara televisi. Baru setelah Surti dan Sutris mengajak mereka berkunjung ke rumahnya dan menceritakan apa yang sebenarnya telah terjadi, mereka paham bahwa keluarga Pak Barjo sedang terserang penyakit leher yang berat dan sulit disembuhkan.
Perlakuan yang tidak kalah menyedihkan dialami Pak Barjo di lingkungan kantornya dan di dalam bus kota setiap akan berangkat ke kantor. Karena bus sering penuh, dia sering tidak bisa membungkukkan badannya untuk melihat ke depan dari dalam bus. Sehingga dia sering tidak tahu kalau bus yang ditumpangi telah jauh melewati kantornya, sehingga dia harus naik bus lagi berbalik arah menuju kantornya. Bahkan, dia sering kebablasan sampai ke terminal. Akibatnya, selain pengeluaran transportasinya naik tajam, dia juga amat sering terlambat masuk kantor.
Sering pula Pak Barjo tanpa sengaja duduk di tempat duduk bus kota yang sudah ada penumpangnya, sehingga harus menerima dampratan yang menyakitkan. Bahkan, dia pernah dihajar seorang lelaki brewok gara-gara menduduki pangkuan istri lelaki itu tanpa sengaja. Ia langsung turun dari bus walau masih jauh dari kantornya. Akan tetapi, karena tergesa-gesa, begitu turun dari bus dia terjerembab masuk selokan.
Banyak pula komentar miring dari teman-teman sekantornya. Ada yang meledek bahwa Pak Barjo terkena kutukan Tuhan karena terlalu sering menjilat atasannya, ada yang menyindir sebagai korban kecongkakannya sendiri, ada pula yang menilai sebagai korban ambisinya yang berlebihan sehingga tidak bisa lagi melihat ke bawah.
Mana mungkin saya punya ambisi menjadi direktur, wong ijasah saya saja cuma SD, kata Pak Barjo membela diri. Saya dan keluarga saya benar-benar terkena penyakit leher yang aneh ini, tambahnya.
Karena merasa kasihan, teman-teman Pak Barjo pernah membawanya ke bengkel manusia tempat praktik seorang dukun ahli tulang dan syaraf yang juga memiliki ilmu debus. Mula-mula leher barjo dikenteng dan kepalanya diluruskan. Akan tetapi, begitu tangan sang dukun dilepaskan, kepala itu tetap saja membandel dan kembali mendongak ke atas. Walau hal ini berulang kali dilakukan, selalu gagal. Saking jengkelnya, dia melepas kepala Barjo dan menyambung kembali sambil meluruskannya. Namun, kepala itu tetap saja membandel dan kembali mendongak ke atas.
Barjo kemudian berobat kepada seorang dokter bersama anak dan istrinya. Dokter itu mengatakan bahwa mereka tidak sakit apa-apa. Ini hanya soal kebiasaan, Pak. Hanya Bapak sendiri yang bisa mengobatinya dengan cara melawan kebiasaan itu, kata dokter.
Kebiasaan bagaimana, Pak Dokter" Berani sumpah, sejak kecil saya tidak punya kebiasaan mendongak ke langit. Apalagi sampai menyuruh anak dan istri saya mengikuti kebiasaan buruk ini. Sejak tiga bulan yang lalu kami memang terpaksa nonton tivi tiap hari dengan mendongakkan kepala, karena tivi kami ditempatkan di atap rumah. Seminggu kemudian tiba-tiba leher kami seperti diganjal besi panjang. Kami tidak bisa lagi menganggukkan kepala. Kepala kami terus mendongak ke atas, cerita Pak Barjo.
Nah, pasti tivi itu menjadi sumber penyebabnya. Sebaiknya dipindahkan saja, Pak. Jangan ditaruh di atas, saran dokter.
Sebelum memiliki tivi, keluarga Barjo memang normal-normal saja. Setidaknya, posisi kepala dan leher mereka. Mereka juga bukan tergolong keluarga yang congkak, karena memang tidak memiliki sesuatupun yang bisa dicongkakkan. Mereka tergolong keluarga miskin, keluarga pegawai rendah yang hanya menempati rumah kontrakan, yang hanya terdiri dari tiga petak kecil. Karena itulah, setelah membeli pesawat tivi hitam putih 12 inci, mereka kerepotan untuk menempatkannya. Petak paling belakang sudah dipergunakan sebagai kamar tidur bersama istrinya, petak tengah untuk tidur kedua anaknya, sedang petak paling depan untuk ruang tamu sekaligus ruang belajar kedua anaknya.
Ketiga petak kamar berukuran masing-masing 2x2 meter persegi itu pun sudah penuh berbagai barang. Teras belakang sudah dimanfaatkan untuk dapur darurat bersama tetangga belakang. Sedang kanan kiri rumahnya berhimpitan dengan rumah lain. Untuk mandi dan buang air, mereka memanfaatkan kamar mandi umum. Mereka memang tinggal di perkampungan yang kumuh dan sangat padat. Ruang yang masih agak kosong barangkali hanya teras depan yang berukuran sekitar 1x2 meter persegi. Namun, untuk menempatkan tivi di teras depan, dia takut kalau dianggap pamer oleh para tetangganya yang rata-rata bermulut usil. Akhirnya, Pak Barjo terpaksa menempatkan tivi itu di atap rumah dengan mengikatnya dan menghadapkan layar kacanya ke bawah. Tapi, akibatnya cukup fatal. Seluruh keluarganya terserang penyakit leher yang aneh itu.
Bu Barjo barangkali yang bernasib paling buruk. Setiap pergi ke pasar hampir selalu dimaki dan diajak berkelahi dengan bakul-bakul pasar atau pengunjung lain, karena hampir selalu menabrak orang yang berpapasan dengannya. Suatu hari ia bahkan pernah menabrak bakul dawet sampai dawetnya tumpah ruah di tengah pasar. Bu Barjo sendiri terjerembab di atas tumpahan dawet itu, bertindihan dengan bakul dawet.
Bu Barjo akhirnya menghindari kekonyolan-kekonyolan di pasar. Ia cukup berbelanja di warung tetangganya untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Teman-teman sekolah Sutris dan Surti akhirnya juga bisa memahami keanehan yang menimpa mereka, begitu juga teman-teman kerja Pak Barjo. Bahkan, kru bus kota yang menjadi langganannya dan semua penumpang yang mengenalnya pun mulai memahami kelainan yang dideritanya. Mereka malah sering membantu Pak Barjo mencarikan tempat duduk yang kosong, menolongnya ketika naik dan turun dari bus, serta memberitahunya begitu bus yang ditumpanginya sampai di dekat kantornya.
Anehnya, yang tidak mau memahami kelainan yang diderita keluarga Barjo justru para tetangga mereka. Hampir setiap hari mereka terlibat konflik serius dengan tetangga sendiri. Mereka juga selalu menjadi bahan pembicaraan yang nadanya selalu buruk. Karena itulah, justru di kampung sendiri mereka merasa seperti hidup di neraka.
Mereka kan cuma pura-pura saja tidak bisa menunduk. Masa hanya gara-gara nonton tivi bisa begitu, Yu Tarmi membuka diskusi tentang keluarga Barjo di warung belanja Bu Parmin.
Barangkali hanya untuk menarik perhatian saja, Yu, agar kita tahu bahwa si Barjo itu telah membeli tivi, sahut Mbok Kasmonah.
Bukan barangkali lagi, Yu. Memang iya! Bu Parmin ikut-ikutan menimpali. Coba saja bayangkan, Yu. Sudah berlagak mendongak begitu, masih suka nabrak-nabrak orang kalau berjalan. Kemarin saya hampir masuk selokan di depan itu gara-gara ditabrak Yu Barjo. Untung saja ada Dik Siyem yang cepat-cepat memegang tangan saya, sambungnya sambil menunjuk selokan di tepi gang masuk ke warungnya.
Itu masih lumayan, Yu. Kepala saya dua hari yang lalu malah tersodok dengkulnya ketika saya sedang membungkuk membetulkan sandal jepit saya yang lepas talinya.
Hampir saja saya tampar mukanya. Untung dia cepat-cepat merengek minta maaf, cerita Mbok Kasmonah berapi-api.
Anak saya yang kecil tadi pagi juga menjadi korban tingkah si Barjo itu. Kakinya diinjak sampai menangis menjerit-jerit kesakitan. Coba bayangkan, Yu. Anak sekecil itu diinjak kakinya oleh orang sebesar Barjo. Sepatunya banyak pakunya lagi. Kaki anak saya sampai berdarah, cerita Bu Parmi, tidak kalah emosionalnya. Hampir saja Bapaknya anak-anak tadi berkelahi dengan si Barjo itu. Untung saja Pak RT segera datang melerai. Kalau tidak, mungkin leher si Barjo sudah dipuntir sama bapaknya anak-anak biar putus sekalian, tambahnya sambil menggerakkan tangan menirukan seolah suaminya benar-benar memuntir leher Pak Barjo.
Wah, payah, ya, punya tetangga seperti itu. Hampir tiap hari bikin perkara.
Bagaimana kalau kita usul saja sama Pak RT agar si Barjo dan keluarganya disuruh pindah ke kampung lain" Mereka di sini toh hanya kontrak. Saya dengar masa kontrak rumahnya juga hampir habis.
Saya setuju itu. Kalau Pak RT tidak mau, kita usir saja ramai-ramai!
Saya setuju! Saya juga setuju! Ketika suhu pembicaraan di warung Bu Parmin semakin memanas, tiba-tiba terdengar jeritan anak kecil, disusul teriakan minta tolong & Tolong! Tolong! Leher anak saya diinjak Pak Barjo! Tolong! Anak saya mau dibunuh! Tolong! Diskusi di warung Bu Parmin pun bubar. Hampir seluruh warga kampung menghambur ke arah datangnya suara itu. Tampak Pak Barjo di tepi jalan sedang membopong anak kecil sambil duduk di tanah. Tangis anak itu telah berhenti. Tubuhnya terkulai, pingsan.
Melihat orang-orang menghambur ke arahnya, Pak Barjo panik. Maaf, maaf, saya tidak sengaja. Tadi anak ini jatuh terpeleset dan secara tidak sengaja saya menginjaknya, kata Pak Barjo pada ibu anak itu juga kepada orang-orang yang berdiri mengelilinginya.
Ibu anak itu tidak menggubris kata-kata Pak Barjo. Ia merebut anaknya. Tiba-tiba anak itu siuman. Tangisnya meledak lagi. Kemarahan ibu itu tidak terbendung. Ia mencopot sandal plastiknya lalu memukulkannya ke kepala Pak Barjo. Ibu-ibu yang lain terpancing dengan kemarahan itu. Mereka menggebuki Pak Barjo beramairamai. Pak Barjo bangkit dan lari menuju rumahnya. Orang-orang pun terus memburunya.
Ampun! Ampun! Jangan bunuh saya! teriak Pak Barjo.
Ayo! Hajar saja! Ampun! Ampun! Injak-injak saja lehernya biar lurus!
Aduh! Tolong! Itu tivinya! Hancurkan saja sekalian!
Orang-orang kampung itu semakin kalap. Tivi 12 inci yang ditempatkan di atap rumah kecil itu ikut menjadi sasaran. Mereka merontokkan tivi itu dan menghancurkannya. Bu Barjo dan kedua anaknya juga ikut menjadi korban. Untung polisi segera datang. Pak Barjo, Bu Barjo, Sutris dan Surti segera dilarikan ke rumah sakit. Semua orang yang terlibat main hakim sendiri itu diperiksa polisi. Lima orang ditahan dengan sangkaan menjadi penyulut peristiwa penganiayaan itu dan dianggap mengobarkan kebencian orang kampung terhadap keluarga Barjo yang malang.
Anehnya, begitu pulang dari rumah sakit, leher mereka kembali normal. Tidak jelas penyebabnya, apakah karena telah diinjak-injak orang kampung, atau karena pesawat tivi penyebab penyakit leher itu sudah tidak ada lagi.
Yogyakarta, Maret 1991 * Cerpen ini memenangkan Suara Merdeka Awards 1992.
Mardok Profesor Mardok kaget. Ketika bangun tidur ia tidak punya kepala lagi. Tangan kanannya meraba lehernya. Leher itu putus. Kepala botaknya lenyap. Ia lebih kaget lagi ketika menyadari dirinya tidak mati walau tanpa kepala lagi. Namun, ia lupa, ketika akan tidur masih memakai kepala atau tidak.
Profesor ahli bioteknologi itu bermaksud mencari kepalanya dengan matanya, barangkali jatuh ke kolong ranjang. Tapi, dia tidak bisa melihat apa-apa lagi. Ia bermaksud memanggil istrinya, tetapi suaranya hanya berhenti di tenggorokan saja. Dengan kedua tangannya dia lantas meraba-raba seluruh sudut kamarnya, tetapi ia tidak menemukan apa-apa.
Tubuh tanpa kepala itu kemudian berjalan ke luar kamar dengan tangan merabaraba ke depan. Pemandangan aneh ini mengagetkan seisi rumah. Mereka mengira ada hantu tanpa kepala. Sambil menjerit, Hantuu! dengan mata terbelalak dan suara gemetar ketakutan, Bu Mardok berlari mundur menuju pintu ke luar. Akan tetapi sial, kaki kanannya menyangkut kaki kursi sehingga dia terjengkang ke lantai. Nasib sial juga dialami Tugiyem, pembantu Bu Mardok. Begitu muncul di ruang tengah dari pintu dapur dia langsung pingsan saking takutnya melihat tubuh tanpa kepala itu.
Pak Mardok terus melangkah mendekati Bu Mardok. Dengan tangannya dia memberi isyarat agar Bu Mardok tidak takut. Akan tetapi, istrinya malah semakin ketakutan. Ia bangkit dan berlari cepat keluar. Akan tetapi, sial lagi, ia menabrak kedua anaknya yang sedang bermain-main di beranda rumahnya. Ketiganya terjerembab ke semak-semak tanaman bunga.
Merasa orang-orang yang didekatinya ketakutan, Profesor Mardok akhirnya membelokkan langkah ke kamar kerjanya. Istrinya berlari lagi sambil menyeret kedua anaknya ke jalan kampung yang sudah mulai ramai. Beberapa tetangga yang melihat ribut-ribut di pagi hari itu segera berdatangan.
Ada apa, Bu" tanya salah seorang tetangganya.
Ada & ada hantu tanpa kepala di rumah saya, jawab Bu Mardok.
Pagi-pagi begini ada hantu"
Ya, saya lihat sendiri. Hantu itu malah mengejar saya.
Jangan-jangan orang iseng.
Jangan-jangan malah maling!
Iya, ya. Coba saya lihat. Saya juga mau lihat. Saya juga. Mereka pun bersama-sama menuju rumah Profesor Mardok. Sampai di depan pintu mereka sangat terkejut. Sosok tanpa kepala itu sudah berdiri di pintu sambil merentangkan selembar kertas karton bertuliskan Jangan takut. Aku bukan hantu. Aku Pak Mardok. Kepalaku hilang. Tolong carikan!
Mereka terpana beberapa saat melihat pemandangan aneh itu. Bu Mardok mengucak-kucak matanya, mencoba meyakinkan apa yang dilihatnya. Masak, kepala bisa hilang" gumamnya.
Itu Bapak, Bu, kata salah seorang anak Bu Mardok.
Kau yakin, dia Bapak" tanya Bu Mardok.
Yakin, Bu. Lihat kaos dan celananya. Itu yang dipakai Bapak ketika akan tidur tadi malam.
Ya ya. Cincin yang dipakai juga cincin Bapak. Benarkah kau Bapak"
Sosok tanpa kepala itu menganggukkan tubuhnya seolah mengiyakan pertanyaan Bu Mardok. Namun, tiba-tiba tubuh tanpa kepala itu roboh di depan mereka. Semuanya terkejut.
Bapaaaak! jerit Bu Mardok sambil menubruk tubuh suaminya. Kenapa Bapak jadi begini"
Kedua anaknya juga menjerit dan menyusul menubruk tubuh sang profesor. Kemudian mereka menggotong tubuh itu serta membaringkannya di atas dipan di kamar kerja Profesor Mardok. Beberapa saat kemudian tubuh itu bangun, turun dari dipan, melangkah sambil meraba ke meja kerjanya dan mengambil kertas serta spidol, lantas menuliskan sesuatu di atas kertas itu: Tolong kepalaku segera dicarikan. Kepalaku harus ditemukan dan dipasang hari ini juga. Jika tidak aku bisa mati!
Kertas itu langsung disodorkan kepada istrinya. Dengan tersengguk-sengguk Bu Mardok membacanya. Yang lain berebutan ikut membaca.
Lho! Kepalanya hilang kok masih hidup, ya" komentar seorang tetangganya.
Pasti punya ilmu armagedon, komentar yang lain.
Ah, tidak. Pasti ilmu leak. Ia kan pernah berguru di Bali.
Ilmu leak bukan seperti gitu. Ia pasti menggunakan ilmu debus. Bukankah dia kelahiran Banten.
Mereka makin terheran-heran. Dalam keadaan tanpa kepala, Pak Mardok masih segar bugar. Juga tidak ada darah yang mengalir dari lehernya yang putus. Potongan leher itu cuma tampak agak kemerahan.
Tolong carikan kepala Bapak! teriak Bu Mardok tiba-tiba setengah histeris.
Kerumunan orang-orang di sekeliling Bu Mardok langsung bubar. Mereka pergi ke berbagai penjuru kampung untuk ikut mencari kepala professor itu. Semua sudut dan kolong di rumah Bu Mardok juga mereka periksa. Mereka juga memeriksa kandang kambing, kandang sapi, kandang ayam, kandang kerbau sampai kandang bebek. Akan tetapi tidak ditemukan apa-apa. Karena itu, salah seorang tetangga Bu Mardok segera menghubungi polisi untuk meminta bantuan.
Beberapa petugas polisi segera tiba di rumah Profesor Mardok. Mereka bingung ketika akan memeriksa ilmuwan yang terkenal dengan penemuan-penemuannya yang kontroversial di bidang bioteknologi itu. Polisi bingung bagaimana harus mengorek keterangan darinya dan bagaimana harus menanyakannya karena professor itu sudah tidak punya telinga dan mulut lagi. Pancainderanya sudah lenyap bersama kepalanya.
Polisi ingat penemuan kontroversial professor itu. Dengan teknik bioteknologi yang dipadu dengan ilmu pijat syaraf, dia mampu memindahkan fungsi otak ke hati. Dengan penemuannya itu makhluk hidup yang terpenggal kepalanya masih bisa bertahan hidup sampai kepalanya ditemukan dan disambung lagi. Hasil penemuannya itu sekaligus mampu mengendalikan aliran darah dan syaraf, sehingga rasa sakit bisa hilang dan darah tidak keluar dari bagian tubuh yang terpenggal. Sementara orang di media massa menyebut penemuan itu sebagai hasil perkawinan yang paling kontroversial antara ilmu kedokteran dan ilmu debus. Namun, sejauh ini penemuan itu baru berhasil dicobakan pada tikus dan monyet.
Apakah Pak Mardok masih bisa mendengar, Bu" tanya polisi pada Bu Mardok.
Saya kurang yakin, Pak. Namun, tadi ketika saya tanya dia bisa bereaksi, jawab Bu Mardok.
Menurut kesaksian Ibu sendiri bagaimana"
Ya, seperti yang saya ceritakan tadi. Bapak keluar dari kamar sudah tanpa kepala.
Polisi itu mendekati Profesor Mardok untuk mencoba menanyakannya. Namun tibatiba professor itu menyodorkan secarik kertas berisi tulisan dengan spidol hitam berbunyi, Aku bisa mendengar suara kalian. Aku tidak ingat kapan kepalaku hilang dan dicuri oleh siapa. Aku minta tolong agar segera dicarikan. Jika dalam waktu 24 jam kepalaku belum dipasang, aku bisa mati.
Kasus hilangnya kepala Profesor Mardok segera menggemparkan hampir seluruh warga kota. Bahkan, Walikota menganggap kasus tersebut sebagai kasus besar dan penting untuk segera diselesaikan mengingat hasil penemuannya yang luar biasa dan belum diwariskan kepada siapa pun. Walikota sangat berharap, keahlian professor tersebut bisa ikut mengatasi korban-korban kecelakaan yang serius dan makin sering terjadi di kotanya. Puluhan anggota polisi pagi itu pun dikerahkan untuk mencari kepala professor botak itu. Akan tetapi, sampai pukul 12 siang polisi belum berhasil menemukannya.
Saya yakin kepala itu dicuri oleh suatu sindikat perdagangan kepala yang sudah lama mengincarnya. Seingat saya sudah tiga kali Profesor Mardok luput dari percobaan pembunuhan dan penculikan. Sudah sebulan kunci rahasia penemuannya hilang dicuri orang. Dengan formula rahasia itu orang dengan gampang bisa memasang kepala professor di tubuh orang lain, bahkan ditubuh binatang sekalipun tanpa kehilangan pengetahuan dan kecerdasannya, kata Dokter Rusmin, kepala proyek penelitian yang dilakukan oleh Profesor Mardok, kepada polisi.
Lantas motif pencurian itu sendiri kira-kira apa, ya" tanya polisi.
Itulah yang masih perlu kita selidiki. Namun, sebelum itu tubuh Profesor Mardok harus cepat-cepat diselamatkan dulu. Jika tidak, dia bisa mati.
Bagaimana caranya" Kita bawa saja ke kamar bedah rumah sakit terdekat. Kita transplantasikan dulu kepala sementara pada lehernya. Mudah-mudahan ada kepala yang nganggur.
Tubuh tanpa kepala Profesor Mardok akhirnya dilarikan ke rumah sakit. Para petugas medis dan polisi segera sibuk mencarikan kepala sementara bagi tubuh professor itu. Sementara itu, pencarian kepala aslinya yang hilang terus digencarkan. Akan tetapi, sampai sore mereka belum berhasil mendapatkan kepala yang cocok bagi professor. Kepala professor sendiri juga belum berhasil ditemukan. Stok kepala tua di bank organ tubuh manusia rumah sakit itu habis. Yang tinggal hanya kepala seorang gadis kecil korban kecelakaan.
Aduh, bagaimana ini Pak Rusmin" Nasib Bapak bagaimana" kata Bu Mardok resah.
Sebaiknya bagaimana, Dokter" Apa tidak ada alternatif lain" Apa tubuh Pak Mardok tidak bisa diawetkan lagi" tanya Pak Rusmin pada dokter bedah yang menangani professor itu.
Wah, kami tidak berani menjamin, Pak. Kami selama ini hanya mengawetkan organ-organ tubuh saja, sepotong-sepotong. Kami tidak pernah mengawetkan tubuh tanpa kepala seutuhnya. Apalagi yang masih bernyawa. Kasus ini baru pertama kali terjadi. Jalan terbaik saya kira dipasang saja kepala seadanya. Kepala anak gadis itu atau kita carikan kepala monyet, kata dokter itu.
Jangan! Masak kepala Bapak mau diganti kepala gadis, apalagi kepala monyet. Saya sangat tidak setuju! kata Bu Mardok.
Ini darurat, Bu. Lagi pula untuk sementara. Jika kepalanya sudah ditemukan bisa diganti, kata Pak Rusmin.
Kalau tidak ketemu bagaimana" tanya Bu Mardok.
Itulah masalahnya. Ibu harus merelakan Pak Mardok berganti kepala, kata Pak Rusmin.
Dokter Rusmin kemudian menarik lengan dokter bedah itu ke ruang bedah. Mereka melakukan perundingan empat mata. Beberapa saat kemudian mereka muncul kembali dan mendekati Bu Mardok.
Usia tubuh Pak Mardok tinggal satu jam, Bu, kata dokter itu pada Bu Mardok. Jika tubuhnya tidak diselamatkan dengan kepala orang lain, Beliau bisa mati. Kami sudah memutuskan untuk memasang kepala gadis itu pada tubuhnya. Kami harap Ibu setuju!
Bu Mardok diam saja. Dokter itu masuk kembali ke kamar bedah. Tiba-tiba datang seorang tetangga Bu Mardok, seorang janda muda. Ia berjalan tergesa-gesa sambil menjinjing sebuah kotak kardus cukup besar.
Maaf, Bu Mardok. Ini kepala Pak Mardok. Tadi malam tertinggal di kamar saya, kata janda itu. Maaf, Bu, akhir-akhir ini dia memang sering tidur di kamar saya.
Bu Mardok terkejut, bukan kerena telah ditemukannya kepala itu, tetapi karena berita memalukan yang dibawa janda itu. Dengan nada marah, akhirnya dia menyuruh janda itu untuk membawa kembali kepala itu ke kamarnya. Ia memutuskan untuk mengganti kepala Pak Mardok, suaminya, dengan kepala monyet saja.
Pintu Cerpen Ahmadun Yosi Herfanda
ARYATI mendandani tubuhnya secara istimewa. Angin berdesir masuk lewat jendela mempermainkan rambutnya. Bulan tertawa di atas ubun-ubunnya. Ia kenakan rok panjang sampai menutup ujung kedua kakinya. Ia tutup rambutnya dengan jilbab yang baru ia beli di kaki lima. Aroma bunga cempaka menebar di sekujur tubuhnya. ''Aku ingin tuhan mengawiniku sekarang juga," katanya.
Aryati mengolesi bibirnya dengan lipstik merah delima di depan kaca, lantas membalikkan tubuhnya dan melangkah gairah menuju masjid. "Kapan lagi wanita bisa masuk masjid sendirian malam-malam kalau tidak sekarang juga. Tuhan toh bukan hanya milik lelaki. Tuhan juga milik wanita. Juga milik pelacur seperti aku," katanya pada angin, tembok bisu dan pohon-pohon di pinggir jalan.
Bulan terus tertawa di ubun-ubunnya, cekakaan, seperti Tuhan da-lam bayangannya yang terus tertawa cekakaan sejak bapak tirinya gagal memperkosanya, sebulan setelah ibunya meninggal dunia karena kolera. "Kamu jangan sok suci! Kamu anak jadah, tahu?" bentak bapaknya. Sebu-ah bentakan yang kemudian seperti terekam oleh tape recorder di dalam kepalanya dan diputar berulang-ulang sepanjang hidupnya, bahkan tiap detik diucapkan oleh benda-benda di sekelilingnya: tembok retak, jam din-ding mati, kalender robek, korden jendela, sol sepatu, sprei, bantal, kursi, tatapan mata anjing, kucing, orang-orang dan pohon-pohonan. Sebuah bentakan yang dengan kekuatan aneh menyeretnya ke kamar-kamar hotel, panti pijat dan kelab malam kota Jakarta.
Bulan terus tertawa di ubun-ubunnya. Angin makin keras menerjang tubuhnya. Aryati tidak peduli. Ia telah bertekad bulat menemui Tuhan di masjid malam itu juga setelah berkali-kali gagal menemui-Nya di kamarnya sendiri. "Aku sungguh rindu pada-Mu. Tapi kenapa Engkau selalu menolakku. Kenapa Engkau buat seluruh tubuhku menolak bersujud pada-Mu," keluh Aryati sambil mengutuk kentut kecil yang membuyarkan sembahyangnya.
Sudah berhari-hari Aryati berusaha keras menundukkan seluruh dirinya, jiwa dan raganya, sejak suatu kekuatan aneh tiba-tiba membang-kitkan kerinduannya yang dalam pada Sang Maha Gaib yang tiba-tiba tanpa ia ketahui secara persis apa sebabnya hidup dalam dirinya. Tapi selalu ada bagian dari dirinya yang menolak untuk menyerah total pada-Nya. Diambilnya air wudlu, diangkatnya kedua telapak tangannya dalam takbiratul ikhram. Tapi tak sepatah katapun dari niat salatnya bergetar dalam hatinya. Ushalli-nya seperti hanya tergetar di kedua katup bibirnya.
Aryati mengulang lagi takbirnya sampai lima kali, kemudian ia baca doa iftitah seperti diajarkan guru mengajinya ketika kecil di kampungnya. Tapi hatinya tetap tidak mau diajak menggetarkan doa itu. Ia lantas ragu-ragu, termangu di tengah doa iftitah: meneruskan sembahyang-nya atau membatalkannya. Tiba-tiba kedua tangannya yang sudah bersedekap terkulai lurus dan terjuntai ke bawah seperti pelepah daun pisang yang patah pada pangkalnya. Ia pun membatalkan salatnya, mengulang takbiratul ikhram sampai berkali-kali. Kemudian dengan suara keras demi melawan rasa was-was hatinya ia mencoba mengucapkan doa iftitah lagi: Allahu akbar kabiiro walhamdulillaahi katsiiro& .
Tapi, tiba-tiba lagu dangdut menerobos masuk dari kamar tetangganya, menyerbu kedua telinganya dan membanjiri kolam hatinya, yang ayo goyang yang& pinggul digoyang yang& Hati Aryati pun bergoyang, seluruh jerohannya bergoyang, tulangtulangnya bergoyang, sumsum-sumsumnya bergoyang, otot-ototnya bergoyang, seluruh syarafnya bergo-yang. Aryati menari-nari di atas sajadahnya. Keringat mengucur di seluruh tubuhnya. Lagu-lagu pop dangdut terus mengalir, berganti rock dangdut yang lebih panas. Aryati pun terus menari& .
Dan& . klik, tiba-tiba suara radio tetangganya mati. Aryati terpuruk kelelahan di atas lantai. "Ya, Allah, kenapa Engkau menolak sembahyangku" Harus bagaimana aku menyembah-Mu" Tak ada lagikah tempat bagi sujudku di hadapan-Mu. Aku memang pelacur. Seluruh tubuhku penuh dosa. Tapi apa aku tak boleh bertobat pada-Mu?" Aryati memelototi tembok kosong di depannya, kesal dan marah pada dirinya sendiri.
Aryati berwudlu lagi, sembahyang lagi, gagal lagi, berwudlu lagi, salat lagi, gagal lagi, sampai luluh lantak seluruh kekuatan jiwa dan ra-ganya, sampai tubuhnya lunglai menggelosor tertidur di lantai. Dan & tiba-tiba, entah dari mana, seorang lelaki berwajah hitam merengkuh tubuhnya yang tak berdaya, melepas mukenanya, menelanjanginya dan menjadikannya permainan birahinya.
Menjelang orgasme tiba-tiba tubuh Aryati meledak, pecah berkeping-keping, berserpih-serpih. Kepingan-kepingan dan serpihan-serpihannya menebar memenuhi seluruh sudut kamar: seluruh lantai, sajadah, kolong meja, kolong ranjang, kolong almari, seluruh dinding, di atas ranjang, jendela, meja, kursi, korden, kalender, radio, tape recorder, televisi, almari es, rak buku, kaos kaki, sandal jepit, lubang sepatu. Tiap kepingan dan serpihan menjelma menjadi dirinya yang lain, telanjang, bergumul dengan lelaki kekar berwajah hitam.
Nafas Aryati tiba-tiba sesak, ia menjerit, mendengus-dengus, menggeliat, bergulingguling, berontak dengan seluruh daya, dan "ngeooouuung!" seekor kucing jantan, yang memburu seekor cicak di atas dinding penyekat kamarnya, tiba-tiba terpelanting jatuh menimpa kepalanya. Aryati terkejut, mukenanya masih utuh menempel pada tubuhnya. Kucing pun lari, bersembunyi di kolong ranjang. "Ya, Allah, ampunilah hamba yang telah melumuri diri sendiri dengan segala kotoran dunia yang Engkau benci. Hamba kapok, ya Allah. Hamba bertobat pada-Mu, ya Allah.
Dengan semangat baru Aryati berwudu lagi, mencoba bersembah-yang lagi dengan khusuk. Tapi gagal lagi. Berkali-kali, kentut kecil yang tak jelas sebabnya, terpompa dari perutnya. Ia mencoba lagi, gagal lagi, mencoba lagi, gagal lagi, sampai tiba-tiba wajah bapak tirinya, wajah laki-laki yang menyekap dan memperkosanya, wajah lelaki yang menyeretnya ke Kramat Tunggak, berganti-ganti muncul pada dinding di depannya, meruntuhkan seluruh konsentrasi jiwanya. "Ya ,Allah, barangkali kamar ini memang sudah penuh setan sehingga Kau tak mau hadir di sini, walau kusebut nama-Mu berjuta kali!" Aryati seperti melampiaskan kemarahan pada dirinya sendiri.
*** Aryati terus melangkah, tak peduli pada tukang-tukang becak lang-ganannya yang terkejut melihat keanehannya. Dalam hatinya kini tidak saja ia ingin menjumpai Tuhan di masjid untuk bertobat pada-Nya, tapi ia bertekad akan memohon pada Tuhan agar "mengawini"-nya saja. Dalam pikirannya, dalam keremukredamannya kini, tak ada lagi yang sanggup mencintainya kecuali Sang Maha Gaib yang tiba-tiba merebut seluruh rin-du-dendamnya. Ia akan memohon pada-Nya agar menjadikannya sebagai Maryam yang tanpa berhubungan seks dengan siapa pun bisa mengandung Isa. "Tuhan, tumbuhkanlah di rahimku seorang lelaki penyelamat dunia yang makin gila ini," katanya pada bulan yang terus tertawa di ubun-ubunnya.
Sampai di gerbang halaman masjid, Aryati terkejut, seorang Sat-pam mencegatnya. "Lho, masjid kok dijaga Satpam?" katanya pada diri-nya sendiri. Ia baru tahu, ada masjid yang dijaga Satpam. Sejak terdampar menjadi pelacur di kota ini ia memang tak pernah ke masjid. Ia hanya ingat, masjid di kampungnya dulu tidak pernah dijaga Satpam. Hanya ada seorang takmir yang merawat masjid dan tiap malam tidur di serambinya, yang tidak pernah menegur siapa pun yang keluar masuk masjid, siang atau malam, untuk sembahyang.
"Malam-malam begini, mau apa, Mbak?" tanya Satpam. Aryati tidak menjawab. Ia hanya melongo menatap Satpam itu.
"Lho, orang ke masjid ya mau sembahyang. Memangnya mau ma-ling," katanya dalam hati.
"Bawa KTP tidak" Mana KTP-nya?" tanya Satpam lagi.
"Lho, orang mau sembahyang kok ditanya KTP segala. Ya, tidak bawa."
"Oh, mau sembahyang, toh. Saya kira mau nginap di masjid."
''Memangnya masjidnya merangkap jadi hotel, ya?"
"Bukan begitu. Kami cuma menolong orang kampung yang kema-laman saja dan tidak punya duit untuk menginap di hotel. Lha, kalau mau menginap harus meninggalkan KTP di pos keamanan."
"Saya cuma mau sembahyang kok, Pak."
"Tapi pintu masjid sudah ditutup, Mbak. Hanya bisa sembahyang di serambi."
"Tidak apa-apa. Tuhan pasti mau membukakan pintu untukku."
''Aryati melangkahkan kakinya melewati halaman masjid yang sa-ngat luas seperti lapangan golf, berwudu di sudut kanan serambi masjid, melewati serambi yang berlantai mengkilap, menuju ke pintu utama masjid dan mencoba membukanya. Tapi pintu itu sudah dikunci rapat. "Tuhan, bukakan pintu untukku!" teriaknya.
Pintu tidak bergerak sedikitpun. Aryati mengetuk-ngetuknya berkali-kali dan mengoglek-oglek gagang gerendelnya. "Assalamu'alaikum. Tuhan, bukalah pintu. Aku rindu pada-Mu!" teriaknya.
Pintu tetap menutup diri dengan angkuhnya.
"Tuhan, apakah Kau tak mendengarku" Apakah Kau terkunci di dalam masjid" Ah, pasti Satpam itu yang mengunci-Mu di dalam masjid. Kurang ajar benar dia. Beraniberaninya dia memisahkan Engkau dari hamba-Mu yang setiap saat ingin berjumpa dengan-Mu," kata Aryati sambil memelototi pintu masjid yang tetap tertutup dengan kukuhnya.
Aryati mundur beberapa langkah. Dipandanginya pintu itu dari ujung atas sampai ujung bawah, dari tapi kanan sampai tepi kiri. Tiba-tiba ia ingat dongeng Alibaba yang pernah ia tonton di televisi. Ia pun meng-gosok-gosokkan telapak tangan kanannya ke telapak tangan kirinya. "Sesame & Sim Sallabiiim!" teriaknya tiba-tiba.
Ia ulang teriakannya sampai tiga kali. Tapi Sang Pintu tetap tertu-tup baginya. "Ya, Tuhan, kenapa Engkau juga menolakku di rumah-Mu yang megah ini. Apakah diriku terlalu kotor untuk berhadapan dengan Engkau" Aku yakin, soal membuka pintu amatlah sepele bagi-Mu. Tapi kenapa Engkau tak mau membukakannya untukku"
Apakah Engkau tak mau menerima tobatku" Sia-sialah kerinduanku pada-Mu jika begitu!"
Aryati mengoglek-oglek lagi pintu tertutup itu. Satpam yang sese-kali mengawasinya dan samar-samar mendengar teriakannya mulai curiga pada tingkah lakunya. Aryati mundur lagi beberapa langkah. Ia merogoh saku roknya, mengambil lipatan kertas dan membukanya sambil bersim-puh di depan pintu. "Maafkan hamba, Tuhan. Barangkali Engkau suka mendengarkan aku membaca puisi. Bukankah sekarang orang-orang suka merayu-Mu dengan puisi, puisi religius, puisi sufistik, dan entah apa lagi, seperti pernah kubaca di koran itu. Tapi tolonglah bukakan pintu untukku. Aku sungguh rindu pada-Mu!"
Aryati pun membaca puisi, rupanya puisi Chairil Anwar, yang ia sobek dari sisa-sisa buku pelajaran sekolahnya:
Tuhanku Dalam termangu Aku masih menyebut nama-Mu
Biar susah sungguh Mengingat Kau penuh seluruh
CayaMu panas suci Tinggal kerdip lilin di kelam sunyi
Tuhanku Aku hilang bentuk Remuk Tuhanku Aku mengembara di negeri asing Tuhanku
Di pintu-Mu aku mengetuk Aku tak bisa berpaling
"Tuhaaan, bukalah pintu untukku!" Aryati berteriak lagi sambil bangkit dan mengoglek-oglek gagang pintu lagi. "Ya Tuhan, kenapa Engkau masih saja menolakku. Apa yang harus kulakukan agar Engkau mau menerimaku di rumah-Mu yang megah ini"!"
Pintu tetap menutup diri dengan angkuhnya. Tak bergeming sedi-kitpun. Aryati tibatiba merasa sangat lemas. Bulan terus terbahak-bahak di ubun-ubunnya. Seluruh tulang-belulangnya seperti dilolosi. Ia terpuruk lemas di depan pintu. Tiba-tiba tiap helai benang pakaian yang membung-kus tubuhnya dirasakannya berubah menjadi jarum-jarum panas yang menusuk-nusuk seluruh dirinya. Aryati menggeliat kesakitan. "Oh ya, pakaian ini!" Tiba-tiba ia seperti menemukan sesuatu yang di luar du-gaannya. "Pasti karena pakaian ini Engkau menolakku! Engkau pasti tak suka aku mengenakan pakaian yang kubeli dengan hasil pelacuran diri ini!"
Aryati tiba-tiba menarik lepas jilbabnya hingga seluruh helai ram-butnya yang hitam mengkilat, lurus dan panjang, tersentak ke atas ke-mudian jatuh berjuntaian di kedua pundak, bahu dan dahinya: mencip-takan pesona kecantikan yang aneh dan luar biasa. "Kalau Engkau tak suka pakaianku ini, baiklah, akan kulapas semua. Aku akan telanjang murni di hadapan-Mu!"
Dengan kekuatannya yang tiba-tiba bangkit kembali Aryati menyentakkan bagian dada roknya dengan kedua tangannya ke kanan dan ke kiri hingga terbelah sampai ke perutnya. Dengan kekuatan sama ia pun membelah bagian perut roknya, merobek kedua lengannya, kakinya dan semuanya. Biji-biji kancing baju berjatuhan ke lantai serambi masjid. Aryati benar-benar telanjang bulat di depan pintu utama masjid megah itu. "Tuhan, kini aku sudah benar-benar polos di depan-Mu! Bukalah pintu untukku!"
Pintu tetap tidak bergetar sedikitpun. Justru tubuh Aryati yang tiba-tiba bergetar hebat menahan perasaan dahsyat yang sulit dilukiskan. "Ke-napa Engkau masih menolakku"! Apakah juga karena tubuhku ini Engkau menolakku"!'' Tak ada jawaban dari siapapun, kecuali bulan yang terus terbahak-bahak diubun-ubunnya. Entah apa yang sedang dilakukan dua malaikat di pundak kanan dan pundak kirinya.
"Tuhan, bukaaa pintuuu!!!" Teriakan Aryati makin keras dan his-teris. Suaranya menghantam dinding-dinding masjid, meruntuhkan keheningan malam. Getaran tubuhnya pun makin menghebat. Dan tiba-tiba mata Aryati terbelalak: tangantangan hitam muncul dari ujung-ujung daun pintu, dari atap masjid, dari bawah lantai, dari sela-sela jendela dan dari segala sudut kegelapan, menjulur bersamasama menarik tubuh Aryati ke segala penjuru.
Bersamaan dengan itu, Aryati, sambil menjerit-jerit keras, menca-kar-cakar tubuhnya sendiri sambil menari-nari aneh di atas robekan-robekan pakaiannya. "Akan kurobek-robek tubuhku agar tinggal jiwaku yang polos menghadap-Mu!" teriaknya.
Tarian aneh yang dahsyat terhidang beberapa saat persis di depan pintu utama masjid. Luar biasa! Tarian itu baru berakhir ketika tubuh Ar-yati benar-benar tercerai berai dan terpuruk lemas ke lantai, melepas jiwanya menembus Pintu.*
Jakarta, September 1993 *Cerpen ini pernah dimuat di Jurnal Kebudayaan Ulumul Qur an, Nomor 3, Vol. 5, tahun 1994.
Sebutir Kepala Dan Seekor Kucing
Sidang darurat yang dihadiri para seniman, sastrawan dan budayawan telah memutuskan agar semua peserta sidang menanggalkan kepala masing-masing. Masalahnya, bersidang memakai kepala menyebabkan persoalan yang diperdebatkan tidak kunjung menemukan titik terang, bahkan, semakin jauh dari titik pengambilan keputusan. Masing-masing bertahan pada pendirian yang kuat dengan argumentasi yang tidak terbantah.
Sidang semakin panas dan berbelit-belit. Keringat mengucur di dahi semua peserta. Padahal keputusan harus segera diambil dan disampaikan kepada kepala desa. Jika tidak, makam seorang penyair besar yang terlanjur dimitoskan akan segera dibongkar dan diganti dengan mayat seorang anggota keluarga kepala desa.
"Saudara-saudara, bagaimana kalau kita bersidang tanpa kepala saja?" usul ketua sidang jengkel. "Saya kira ini jalan satu-satunya yang terbaik, agar dapat segera mengambil keputusan. Waktu yang diberikan Pak Kades hanya tinggal satu jam."
"Maksud Saudara Ketua bagaimana?" tanya seorang penyair yang duduk di deretan paling depan dan paling ngotot mempertahankan kuburan penyair yang akan digusur itu.
"Ya, kita copot kepala kita masing-masing. Kita bersidang tanpa kepala," jawab ketua sidang sambil menjepit dan menggoyang-goyangkan kepalanya dengan kedua tangannya.
Peserta sidang kaget mendengar usul ketua yang aneh itu. Sebagian besar tidak paham, yang lain menganggapnya sebagai usul gila. Tapi, ada juga yang mengganggap itu sebagai usul yang sangat jenius dan kreatif.
"Wah itu usul edan, Saudara Ketua. Bagaimana mungkin" Kita ini bicara dengan mulut, mendengar dengan telinga, memandang dengan mata, berpikir dengan otak, dan semua itu terletak di sini! Di kepala!" Seorang kritikus sastra menyanggah usul sang ketua. Ia berbicara berapi-api sambil menunjuk ke kepalanya sendiri. "Bagaimana mungkin kita bersidang tanpa kepala" Tidak masuk akal!"
"Saudara keliru dalam memandang usul saya. Saudara terlalu terikat oleh sosok dan bentuk. Saudara tidak melihat hakikatnya. Yang saudara khawatirkan sesungguhnya hanya persoalan alat. Alat itu, kepala kita ini, bisa diganti yang lain," tangkis sang ketua.
"Coba terangkan, Saudara Ketua. Bagaimana kita mesti mendengar dan berbicara tanpa kepala serta berpikir tanpa kepala. Padahal, itu pekerjaan utama kita di sini!" kritikus itu belum bisa menerima maksud sang ketua.
"Itu mudah. Kita bicara tanpa mulut, mendengar tanpa telinga, memandang tanpa mata, berpikir tanpa kepala, dan akhirnya kita pasti akan dapat mengangguk tanpa kepala. Jelas, bukan! Jadi, marilah kita sekali-kali berlaku seolah kita tidak membutuhkan kepala kita lagi. Kasihan kepala kita, selalu dipaksa bekerja, tidak pernah punya kesempatan istirahat sedikitpun. Bahkan, dalam tidurpun kepala kita tetap bekerja menyusun mimpi-mimpi bagi kita."
Peserta sidang tercengang mendengar penjelasan ketua mereka. Bisik-bisik pun segera terdengar di antara mereka. "Edan. Ini betul-betul gagasan edan & . Wah, ketuane kumat sintinge & Wah mosok endas kon nyopot & Nek ngene carane gawat rek & Aku arep bali wae ah, timbang kelangan endas & Kalau gini caranya, gua mundur aja deh & nggak jadi panitia juga nggak apa & Kepala lu sendiri aja copot & Wah ya lucu, mosok endas mung siji kon nyopot & "
"Tapi itu usul jenius lho! Itu sangat kreatif!" tiba-tiba seseorang bersuara keras.
"Kreatif ndasmu!" balas yang lain.
"Bagaimana" Apakah Saudara-saudara masih merasa keberatan" Jangan takut. Tidak apa-apa. Kita harus segera mengambil keputusan. Waktu kita tinggal beberapa menit saja!" Ketua sidang berdiri dan menggebrak meja, membungkam gemeremang suara para peserta. "Kebulatan tekad kita untuk melepas kepala kita selama sidang berlangsung akan sangat membantu terwujudnya keputusan bersama yang bulat. Keputusan kita itu akan sangat menentukan nasib Penyair Besar yang kita puja itu. Oleh sebab itu, relakanlah kepala Saudara untuk dicopot sementara."
Peserta sidang ragu-ragu dan tidak tahu apa yang harus dilakukan. Mereka hanya saling memandang.
"Bagaimana, ini! Mengapa kalian hanya bengong saja!" Ketua sidang kembali menggebrak meja. Kali ini lebih keras. Dua spidol yang tergeletak di atas meja terpental ke lantai. "Waktu kita tinggal sedikit. Kita bubar saja, atau terus bersidang tanpa kepala?"
Peserta sidang tetap diam dan bengong.
"Kalau kalian belum percaya pada kata-kata saya, saya akan mulai dulu mencopot kepala saya!" Ketua sidang memegang kepala dengan kedua tangannya. Ia kemudian menjepitnya kuat-kuat, menggoyang-goyangkan, memuntir, menggoyang-goyangkan lagi dan menghentakkannya ke atas. Plas! Kepala sang ketua pun lepas dari lehernya dan diletakkannya di atas meja.
Peserta sidang tercengang-cengang melihat apa yang dilakukan sang ketua. Mereka hampir tidak berkedip menatap sebutir kepala di atas meja itu. Kepala itu tersenyum dan mengerdip-kerdipkan mata, mirip pertunjukan sihir di pasar malam rakyat. Seorang aktris teater yang duduk di deretan depan menjerit melihat kejadian itu. Ia hampir berlari ke luar melihat kepala tanpa tubuh itu nyengir dan mengerdipkan mata kanannya padanya.
"Nah, sekarang Saudara lihat sendiri. Saya bisa bicara dengan enak tanpa kepala." Suara parau tiba-tiba keluar dari tubuh tanpa kepala sang ketua.
Peserta sidang semakin tercengang.
"Sekarang giliran kalian melepas kepala masing-masing. Ayo bersama-sama!" tubuh tanpa kepala itu bersuara lagi lebih menggetarkan.
Bagai terkena pengaruh sihir, semua peserta sidang menjepit kepala masing-masing dengan telapak tangan. Mereka kemudian menggoyang-goyangkan, memuntir kuatkuat dan menghentakkan kepala masing-masing ke atas. Plas! Secara bersamaan kepala mereka pun lepas. Secara bersamaan pula mereka meletakkan kepala masing-masing di atas meja. Kepala-kepala itu tersenyum, meringis, mengedip, dan saling melirik satu sama lain. Suara gemeremang pun muncul dari tubuh-tubuh tanpa kepala itu.
"Wah, ternyata enak ya, tanpa kepala & Ya, pusingnya hilang & Kalau kita tanpa kepala begini, kreatif nggak ya" & Nggak tauk! & Wah, rasanya enteng ya, ora nganggo endas. Beban pikiran hilang & Ya ya, nggak perlu mikir apa-apa & . Hiii, endasmu medeni kuwi, pringas-pringis kaya glundung pringis & . Ndasmu dewe kaya Cakil, ngono & . He endasku lucu ki, bisa melet-melet & . Ha, kepala gua bisa ketawa sendiri, lihat nih! & . Lho kepala gua kok benjol" & . Lha kepala saya botak tuh! & . Wah, nek ngguyu jebul untuku prongos & . Lha, hidungku kok jadi pesek& !
Tiba-tiba, tubuh si aktris berdiri sambil menenteng kepalanya. "Hore! Kepalaku paling hebat! Lihat, bisa menyanyi sendiri!" katanya sambil memperlihatkan kepalanya pada teman-temannya sambil berjalan kesana kemari.
"Wah, njijiki, Mbak. Digletakke wae!" komentar yang lain.
"Sak enake, wong endas-endasku dewe kok urusan!" jawab aktris itu sekenanya.
"Kepala saya mau saya gadaikan saja, ah. Enak kok tanpa kepala."
"Lho, jangan. Itu namanya komersialisasi kepala sendiri."
"Yo ben, toh." "Wah, kepala kita mengganggu konsentrasi ya. Enaknya disimpan dulu."
"Usul saja sama ketua!"
"Saudara Ketua, bagaimana kalau kepala-kepala ini kita simpan saja dulu. Soalnya mengganggu konsentrasi!" usul seorang dramawan yang sejak tadi memain-mainkan kepalanya sendiri.
"Sebaiknya memang begitu. Kepala-kepala ini kita simpan dulu, agar kita bisa benarbenar bersidang tanpa kepala," jawab sang ketua.
"Bagaimana kalau kita taruh di bawah meja saja?"
"Hus, jangan! Apa kamu mau menginjak-injak kepalamu sendiri?"
"Kalau disimpan di lemari saja bagaimana?"
"Wah, jangan. Banyak kecoaknya."
"Lha mau ditaruh di mana?"
"Wah, ngletakke endas wae kok susah."
"Lho lho, kepalaku malah berjalan sendiri mencari tempat."
"Wah, kalian ini bagaimana" Menaruh kepala sendiri saja pada nggak bisa!" bentak sang ketua. "Sudah! Kita masukkan gudang saja, di belakang ada gudang kosong. Pasti aman."
Para peserta sidang itu pun beramai-ramai menenteng kepala masing-masing menuju gudang. Manusia-manusia tanpa kepala itu kemudian kembali ke tempat sidang.
Sang ketua membuka kembali sidang yang tertunda gara-gara urusan kepala. "Jadi singkatnya, kita diminta Pak Kepala Desa agar merelakan kuburan penyair besar itu untuk ditempati mayat keponakan Pak Kades. Kalian kan tahu, tanah pekuburan desa kita telah habis. Hanya itu satu-satunya cara agar Pak Kades bisa menguburkan keponakannya secara layak."
Tubuh-tubuh tanpa kepala itu mengangguk serentak. Entah karena setuju, atau karena tidak paham saja.
"Sekali lagi, perlu kalian ketahui. Waktu yang diberikan kepada kita untuk berembug hampir habis. Karena itu, kita tidak punya banyak waktu berdebat. Sekarang tegas saja, kalau setuju dengan penggusuran makam itu, katakan setuju. Kalau tidak, katakan tidak. Bagaimana!" lanjut sang ketua.
Tubuh-tubuh tanpa kepala itu kembali mengangguk serentak. Tidak jelas apa maksudnya.
Sang ketua bermaksud membuka pembicaraan kembali. Tangannya digerakkan ke atas. Tapi, tiba-tiba seekor kucing hitam melompat dari atas almari ke meja sang ketua. Kucing itu menggondol sebutir kepala. Entah kepala siapa. Semuanya terkejut. Suasana pun jadi ribut. Kucing itu dengan sigap melarikan kepala itu keluar ruang sidang.
"Ha! Kepala siapa itu digondol kucing?" teriak sang ketua.
"Jangan-jangan kepalaku!" penyair mengejar kucing itu.
"Itu pasti kepala si pelukis. Rambutnya gondrong."
"Ah, rambut penyair kita juga gondrong!"
"Cepat tangkap kucing itu!"
Tubuh-tubuh tanpa kepala itu pun berhamburan keluar ruang sidang, memburu sang kucing. Namun, kucing itu, entah kucing siapa, dengan sigap meloncat ke atas tembok pagar halaman, dan meloncat lagi ke atas atap rumah sebelah.
"Ayo kita kepung kucing itu!"
Tubuh-tubuh tanpa kepala itu menyebar, bermaksud mengepung kucing itu. Tapi, perumahan di kampung itu sangat padat dan berhimpitan. Mereka tidak dapat masuk lorong untuk mengepung sang kucing dari belakang rumah. Sementara itu, sang kucing dengan santai terus menggondol kepala itu dan meloncat dari atap rumah yang satu ke atap rumah berikutnya.
"Wah, mati aku. Itu kepalaku, sungguh!" teriak seorang penyair setengah histeris. "Ini gara-gara ketua sinting itu. Kepalaku satu-satunya disikat kucing. Bagaimana ini Saudara Ketua"!" Tubuh penyair tanpa kepala itu benar-benar marah. Kedua tangannya mengepal geram.


Anggukan Sapi Betina Karya Ahmadun Yosi Herfanda di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sudah. Jangan marah. Nanti diganti kepala boneka saja. Di toko banyak!" ledek seorang temannya.
"Ngomong seenaknya! Kutonjok kau!" Penyair itu benar-benar menonjok perut temannya.
"Sudah. Jangan berantem. Nanti dipesankan kepala robot saja. Pasti lebih kreatif," sang ketua melerai mereka.
"Jangan ngawur! Ini kecelakaan serius!" peyair itu makin berang.
"Sudah. Tenang dulu. Sekarang begini saja, sementara kau pakai kepalaku dulu. Nanti kalau kucing itu tertangkap, bisa ditukar lagi," usul sang ketua.
"Apa" Kepala botak gitu suruh makai!"
"Lho, daripada kamu nggak pakai kepala!"
"Ya, kita terima saja usul ketua. Ia sudah mau mengorbankan kepalanya untuk kamu. Kepala Pak Ketua lebih hebat. Siapa tahu kamu bisa jadi penyair besar."
"Ya, ya, sudah. Aku pakai kepalamu dulu. Tetapi awas, kalau tidak kreatif, kulempar kepalamu ke sungai!"
"Jangan-jangan kepala kita yang lain juga dimakan kucing!"
"Jangan-jangan kepalaku juga."
Tubuh-tubuh tanpa kepala itu kembali berlarian berserabutan masuk gudang. Mereka berebut mengambil kepala masing-masing. Suasana menjadi ribut "Ngawur! Kepalaku dipakai & . Hus. Ini kepalaku! & . Lho, kamu keliru pakai kepala perempuan! & . Sialan! Endasku ngendi"!& . Minggir! Kepalaku jangan diinjak! & . E, ngawur aja, nginjak-injak kepala orang seenaknya& . Wah, ndasku ketendangtendang nganti untune protol & . Lho, kamu salah pakai. Masak lehernya di atas. Lho, kamu terbalik pakainya. Hidungnya kok di belakang & ."
Tubuh-tubuh tanpa kepala itu akhirnya menemukan kepala masing-masing. Akan tetapi, ada juga beberapa orang yang enggan memakai kepalanya kembali, termasuk sang ketua yang terlanjur memberikan kepalanya kepada sang penyair. Mereka menenteng kepala-kepala itu pulang. Entah akan disimpan di mana.
Yogyakarta, Juli 1985 * Pernah dimuat di Horison dalam tahun 1987
Tarian Ombak Liquica Ombak berdansa di Liquisa. Deburnya menari dalam gemuruh hujan yang mengguyur pepohonan di sepanjang pesisir. Dan, dalam cuaca dingin malam Minggu berkabut, di dalam sebuah gedung sederhana di tepi pantai, orang-orang berdansa dalam kehangatan bir dan hentakan musik disko.
Ayo! Kalau tidak berdansa kau belum ke Liquisa, seorang lelaki berkata sambil menarik tangan perempuan yang duduk di depan bar.
Bangsat kau, Jao! Ketika kawan-kawanmu sedang kelaparan di hutan, kau malah mau berhura-hura. Perempuan itu bergeming di tempat duduknya.
Bersenang-senang sedikit apa tak boleh. Sudah berbulan-bulan aku di hutan. Tak ada roti, tak ada bir, tak ada musik, tak ada dansa.
Salahmu. Sudah kubilang apa" Tak ada gunanya lagi bergerak di hutan. Letusan geranatmu sekalipun hanya didengar batu-batu.
Heh! Jangan keras-keras! Peduli apa" Kalau mau tangkap, tangkaplah! Perempuan itu malah mengeraskan suaranya.
Armila! Kamu jangan ngaco begitu!
Lelaki itu melotot. Matanya menyala dalam remang cahaya lampu. Rambutnya yang berrombak seperti berdirian tiba-tiba. Perempuan yang dipanggil Armila itu balas melotot. Matanya juga menyala. Dan& , tiba-tiba terdengar suara tembakan, berkalikali.
Jao! Ada kontak! Armila terkejut.
Ya. Aku dengar. Dekat sekali. Jao juga terkejut.
Jangan-jangan Alves dan kawan-kawan kena sergap.
Kubilang apa. Tinggalkan rumah Victor sekarang juga. Mereka masih tak percaya.
Kau benar, Jao. Tapi mereka harus menunggu kiriman logistik dari Dili. Kawankawan kita di hutan sudah berhari-hari kelaparan.
Kiriman dari siapa" Dari Armando" Aku malah curiga. Jangan-jangan ia malah berkhianat.
Jangan curiga dulu. Dia yang selama ini mengumpulkan dana dan mengirim perbekelan untuk kita.
Itu Victor! Seorang lelaki, tinggi kurus, dengan tubuh basah kuyup air hujan, tibatiba menyelinap masuk ke ruang dansa. Armila langsung memberi isyarat dengan tangan padanya.
Victor menangkap isyarat itu dan tergopoh-gopoh menuju depan bar. Rumahku disergap. Alves dan kawan-kawan masih di sana, kata lelaki kurus itu. Cepat kita lari. Dua tentara memburuku. Itu mereka di pintu.
Dua sosok bayangan berkelebat menerobos pintu. Jao langsung melompat dari tempat duduknya, dan menerobos keluar lewat pintu belakang. Tapi, dua letusan pistol menyongsongnya. Armila tak jadi ikut menerobos keluar. Ia menyusup ke tengah orang-orang yang berubah panik oleh keributan itu. Mereka berlarian kesana kemari. Victor mencoba memanfaatkan situasi untuk kabur keluar. Tapi, tentara agaknya sudah mengincarnya. Ia ditangkap persis di mulut pintu.
Tenang, saudara-saudara! Tenaaang! Kami hanya mau menangkap pengacau ini! Silahkan berdansa lagi! seorang tentara mencoba menenangkan suasana sambil mencengkeram lengan Victor yang telah diborgol kedua tangannya.
Pelan-pelan suasana kembali tenang. Orang-orang kembali berdansa. Armila purapura ikut larut ke dalamnya. Tapi, ketika semua orang telah menemukan pasangan masing-masing, ia jadi merasa aneh, berjoget sendiri di tengah orang-orang yang tak dikenalnya. Akhirnya ia memutuskan kembali duduk di depan bar, dengan dada yang masih bergemuruh.
Armila! Suara perempuan tiba-tiba mengejutkannya. Ia menoleh ke arah suara itu. Matanya memandang penuh selidik pada perempuan muda yang tiba-tiba muncul di depannya.
Lupa, ya" Aku Mariana. Dulu kita pernah berkenalan di rumah Victor.
Oh ya. Kami tadi menunggumu di sini.
Maaf, aku agak terlambat. Pas ada keributan tadi aku datang. Aku sempat melihat Jao melompat lari ke belakang.
Bagaimana nasibnya" Mariana hanya menggeleng. Armila merasa menemukan kawan senasib. Gemuruh dadanya sedikit reda. Tapi hujan tetap menggemuruh di luar, mengguyur ombak yang terus berdansa dengan angin dan pasir pantai.
Kau ikut ke hutan" Tanya Mariana.
Tidak. Aku masih kuliah di Dili.
Jao cerita apa saja tentang aku" Mariana bertanya lagi.
Tidak banyak. Cuma bilang kau kawan sekelasnya di SMA.
Mariana menarik nafas panjang, seperti tiba-tiba ada sesuatu yang membebani perasaannya. Kau nginap di rumahku saja. Malam-malam begini tidak mungkin balik ke Dili, katanya sambil mencoba menekan gejolak perasaannya.
Kupikir begitu. Aku tadi sempat bingung, mau nginap di mana. Rencananya tadi mau di losmen sebelah. Tapi aku tak bawa duit. Jao yang janji membayariku.
Jangan kuatir. Aku akan menanggungmu sampai kau bisa balik ke Dili. Sebentar lagi kita pulang jalan kaki. Aku Cuma bertugas sampai pukul dua belas. Lewat pukul 12.00 hujan reda. Armila dan Mariana melangkah setengah menggigil, menyusur jalan beraspal yang mendaki bukit. Udara malam Liquisa dingin sekali karena hujan. Awan hitam di langit bergerak cepat. Sesekali cahaya bulan menerobos dari celah-celah mendung tebal, mengusap pohon-pohonan. Butir-butir air hujan di ujung dedaunan gemerlapan beberapa saat tertimpa cahaya itu, seperti butir-butir kaca kristal, lalu padam setelah jatuh ke bumi.
Mereka nyaris sampai ke rumah Mariana ketika tiba-tiba hujan mengguyur bumi Liquisa kembali. Dengan setengah berlari, mereka pun tiba di depan pintu sebuah rumah sederhana separuh tembok. Baju dan rambut mereka agak kuyup.
Kau tinggal dengan siapa"
Dengan mami dan anakku. Mariana langsung membawa Armila masuk kamar, lantas membuka almari kayu, mengambil sepotong daster dan menyodorkannya pada perempuan itu. Pakailah ini untuk tidur.
Mana anakmu" Tanya Armila sambil melepas kaos oblongnya.
Di kamar sebelah bersama ibu.
Suamimu" Mariana tidak langsung menjawab. Ia pura-pura suntuk merapikan rambutnya. Aku tak punya suami, katanya lirih.
Oh, maaf& . Lalu& . anak itu& .."
Anak itu bagian dari masa laluku. Juga masa lalu Jao.
Masa lalu Jao" Armila tampak terkejut.
Ah, sudahlah. Besok saja kita bicarakan. Kau pasti lelah dan ngantuk. Tidurlah. Dipannya cuma cukup untuk satu orang. Aku akan tidur di kamar sebelah bersama anakku. Selamat tidur.
Armila ditinggalkan begitu saja di sebuah kamar sempit yang hanya diterangi listrik 10 watt. Ia hanya sempat melongo ketika Mariana melangkah pergi. Ia sempat menangkap sesuatu yang berat untuk diucapkan oleh perempuan penjaga bar itu tentang anaknya dan Joa. Sesuatu yang mungkin panjang untuk diceritakan sehingga harus ditunda.
Dada Armila yang tinggal bergemuruh sendiri oleh pertanyaan-pertanyaan dan dugaannya sendiri. Apa hubungan anak itu dengan Jao" Apa hubungan Mariana dengan Jao" Apakah Jao pernah menikahi Mariana"
Ingat Jao, Armila ingat janji dan impian-impian lelaki jangkung itu, Percayalah, Armila. Kalau Timor merdeka aku akan langsung melamarmu jadi istriku. Dan, aku akan jadi pejabat tinggi, dan kita bisa hidup damai dan bahagia. Ha ha ha & .. Tawa lelaki itu mengoyak udara sore, suatu hari, ketika mereka berjalan menyusuri sungai yang berisi pasir dan batu-batu, di tepi hutan di kawasan Ermera.
*** Armila tak dapat memejamkan matanya. Dadanya tetap bergemuruh. Kepalanya kacau oleh pertanyaan-pertanyaan dan pikiran-pikiran aneh. Kadang-kadang ia teringat kuliahnya yang kacau akibat pergerakan clandestine yang diikuti dan menyeretnya cukup jauh ke masalah-masalah politik yang tak sepenuhnya ia pahami. Apalagi setelah Jao sering mengajaknya keluar masuk hutan, atau mengunjungi desa-desa di malam gelap tempat para forsa bertemu. Bayang-bayang lelaki jangkung berambut keriting itu pun muncul dibenaknya, menyeringai, tertawa, lalu lenyap begitu saja begai ditelan rimba gelap.
Armila kadang-kadang merasa amat benci pada lelaki itu, lelaki yang sering berbuat sesukanya: jarang mandi, tidur mendengkur seenaknya di mana saja, minum anggur sesukanya sampai tubuhnya oleng, suka mencaci maki dan menempeleng anak buahnya bahkan pernah menembak seorang anak buahnya tanpa sebab yang jelas, melahap apa saja sesukanya termasuk daging ular, kadal dan tikus hutan yang hanya dibakar tanpa garam.
Namun, ada kekuatan aneh yang tak dapat dibendung oleh Armila, getaran yang juga tak sepenuhnya ia pahami : cinta. Kekuatan ini, seperti gerakan subversif, terus merong-rong hatinya.
Engkaulah satu-satunya wanita yang berhasil menundukkan hatiku, Armila. Aku mencintaimu, kata Jao dengan bibir bergetar dalam sorot cahaya api unggun di dalam gua tersembunyi di balik bukit, pada suatu malam.
Armila hanya menunduk. Perasaan aneh tiba-tiba menyergap hatinya. Dan, seperti api unggun yang membakar kayu-kayu kering, cinta pun lantas membakar birahi mereka sampai hangus, sebelum perempuan itu benar-benar menyadari arti cinta dan kehadirannya.
Jao& . Armila menitikkan air mata bagitu menyadari sesuatu yang berharga telah hilang dari dalam dirinya di dalam gua itu, direnggut Jao.
Maafkan aku, Armila. Kau menyesal" Tanya lelaki itu sambil mengusap rambut Armila.
Perempuan itu tidak menjawab. Air mata meleleh di kedua pipinya.
Sudahlah, Armila. Jangan menangis. Aku berjanji, kaulah wanita pertama dan terakhir bagi hidupku. Aku pasti menikahimu setelah perjuangan kita selesai. Setelah Timor merdeka!
Hanya mereka berdua di dalam gua itu. Sebagian forsa yang lain sedang turun ke Liquisa untuk menjemput kiriman dari Dili. Udara malam tiba-tiba mati. Hening sekali. Hanya suara jengkerik dan burung hantu di kejauhan, serta kemeretek kayukayu kering yang terus terbakar api unggun. Armila tertidur setelah merebahkan kepalanya, seperti kapal menemukan pelabuhan, di pangkuan Jao.
*** Armila tidak ingat benar sejak pukul berapa ia tertidur di kamar sempit rumah Mariana. Ketika membuka mata, hari sudah agak siang. Berkas-berkas cahaya matahari menerobos masuk lewat celah-celah atap genteng. Kepalanya terasa agak berat.
Mandilah biar segar. Kamar mandi di belakang. Sudah ada handuk di sana. Mariana melongokkan kepalanya lewat mulut pintu kamar yang setengah terbuka, sambil tersenyum pada Armila yang masih terbaring di balik selimut bergaris-garis hitam.
Thank s. Armila bangkit dan melompat turun, melangkah agak gontai ke kamar mandi. Selesai mandi dan merapikan diri, ia langsung ke ruang tamu. Ada ganjalan pertanyaan yang mesti dipuaskan oleh jawaban Mariana.
Ini anakku. Yasso, ayo berkenalan dengan tante Mila. Mariana sudah menunggu di ruang tamu bersama anaknya seorang bocah lelaki berusia sekitar enam tahun.
Anak itu berdiri menyongsong Armila sambil mengulurkan tangannya. Ia menyambut tangan itu dengan hangat. Ada getaran aneh ketika ia menatap wajah anak itu. Wajah itu mirip sekali dengan wajah lelaki yang sangat dikenalnya: Jao Alvino. Armila terlongong beberapa saat sampai suara Mariana menyadarkannya.
Yasso, sana makan dulu bersama nenek di belakang.
Anak itu menurut saja. Wajahnya mirip Jao, kan" Mariana agaknya menangkap apa yang sedang bergejolak di hati Armila.
Jadi& itu anak Jao"
Ya. Wajah Armila mendadak berubah kemerahan. Ada arus listrik yang tiba-tiba menyengat hatinya. Jadi & kau istri Jao"
Bukan. Kami tak pernah menikah. Ceritanya panjang. Kami bergaul intim cukup lama, ketika sama-sama di SMA. Menjelang ujian kelas tiga, aku hamil. Dia mau menikahiku selesai ujian, tapi dengan syarat aku mau ikut dia ke Lisabon. Aku tidak keberatan, asal boleh membawa mamiku. Kau tahu, aku anak satu-satunya. Papiku sudah lama meninggal. Sedang mamiku tak punya saudara dan sering sakit-sakitan. Tentu aku tak tega meninggalkannya dalam keadaan begitu. Lalu Jao nekad berangkat sendiri. Katanya, masa depannya ada di sana. Empat bulan setelah kepergiannya, Yasso lahir. Tahu-tahu, tiga tahun yang lalu dia muncul lagi. Katanya, ada yang harus dia perjuangkan di sini.
Mendengar cerita itu hati Armila seperti diberangus api. Bumi dirasakannya seperti jungkir balik tiba-tiba. Tapi ia berusaha keras menguatkan diri, mencoba mendengarkan cerita itu dengan dingin. Namun, pertahanannya jebol juga. Bajingan! Lelaki itu telah membohongiku! teriaknya setengah histeris.
Maafkan aku, Mila, aku telah mengganggu perasaanmu. Aku tahu kau mencintai dia. Tapi, kurasa, kau perlu tahu ini semua, agar tak ikut menjadi korbannya.
Dada Armila bergemuruh keras, seperti mau meledak. Ia ingin menjerit keras-keras, atau mengumpat Jao sambil berteriak kuat-kuat. Tapi ini tak ia lakukan. Lelaki itu toh tak ada di depannya. Bahkan nasibnyapun tidak jelas, tertembak mati, ditangkap tentara, atau lolos kembali ke hutan. Yang dapat dia lakukan hanyalah menangis sambil mendekap Mariana. Maafkan aku, Mariana. Aku sungguh tak bermaksud merebut Jao dari tanganmu. Dia yang telah membohongi aku, katanya dengan agak terbata, setelah tangisnya reda.
Kau tidak bersalah, Armila. Itulah Jao, kalau kau mau tahu. Dan, jangan kaget, ada korban lain yang bernasib lebih malang daripada kita. Kira-kira tiga bulan setelah muncul kembali, Jao mengajak seorang gadis ke barku. Isabela namanya. Ia bilang gadis itu keponakannya. Kira-kira lima bulan kemudian, gadis itu datang sendiri sambil menangis. Ia bilang, telah mengandung anak Jao. Kulihat perutnya memang sedikit membuncit. Ia minta tolong agar aku mendesak Jao untuk menikahinya. Ia bahkan mengancam, kalau Jao tidak menikahinya, ia akan melaporkan persembunyiannya pada tentara. Malamnya Jao datang ke barku. Maka, semua keinginan gadis itu kusampaikan kepadanya. Seminggu setelah itu, gadis itu ditemukan mati terbunuh di tepi hutan.
Ya, ampun& Armila terperangah. Apa Jao yang membunuhnya"
Tidak ada bukti yang jelas. Tapi, ada yang melihat, sehari sebelumnya gadis itu pergi bersama Jao.
*** Pulang dari Likuisa naik bus umum bukan kenangan manis yang dibawa Armila seperti dijanjikan Jao. Tapi, adalah kenangan teramat pahit, bahkan teramat menyakitkan: serangkaian tragedi yang menimpa kaumnya akibat kebiadaban seorang lelaki yang selama ini menghadirkan dirinya sebagai sesosok pahlawan, sesosok pejuang, di depan matanya. Lelaki itu benar-benar pembohong! umpatnya berkali-kali, di dalam hati, di dalam bus yang meliuk-liuk menyusur lereng pebukitan menuju Dili.
Maka, begitu menginjakkan kaki di kota Dili, yang pertama-tama dicarinya adalah kabar tentang nasib Jao dan dimana ia sekarang berada. Ada dendam baru yang mesti ia tumpahkan kepada lelaki jangkung itu. Ia seperti tak sabar lagi. Hatinya terasa hangus terbakar. Ia ingin menemui lelaki itu hari itu juga, entah hidup atau mati. Kalau lolos dari sergapan tentara, ia ingin memburunya ke hutan. Kalau tertangkap, ia ingin melunaskan sakit hatinya di penjara. Kalau mati, ia ingin menyumpahi mayat atau kuburannya.
Armila menemui beberapa clandestine yang biasa berhubungan dengan Jao. Tapi mereka bilang belum ada kabar. Mereka hanya mendengar tentang Alves dan kawankawannya yang tertangkap di Liquisa. Armila pun memberanikan diri mendatangi markas tentara.
Anda mahasiswi yang baik. Anda pasti mau menunjukkan di mana Jao bersembunyi, kata seorang tentara setelah Armila membeberkan jati dirinya. Agaknya Jao lolos ke hutan dan tentara kehilangan jejaknya.
Itu yang akan saya sampaikan pada Bapak, asal Bapak mau menjamin keselamatan saya.
Jangan khawaitr, kami akan tugaskan beberapa tentara untuk menjaga Anda.
Setelah menunjukkan tempat persembunyian Jao, di sebuah gua di balik bukit, di tenggara Liquisa, Armila pun tinggal menunggu kapan lelaki itu muncul dengan tangan diborgol atau sudah jadi mayat karena tertembak. Tapi, ia sangat berharap dapat bertemu lelaki itu dalam keadaan masih hidup agar dapat melunaskan sakit hatinya.
Ditunggu sehari, dua hari, tiga hari, empat hari, lima hari, enam hari, akhirnya Jao tertangkap juga. Hidup-hidup, dengan paha kiri terserempet peluru. Armila langsung memburunya ke penjara. Lelaki itu menyunggingkan senyum begitu melihat Armila datang. Tapi gadis ini malah mencibir. Mariana sudah bercerita banyak tentang kau, katanya dengan mata yang memancarkan kebencian.
Cerita apa saja dia" Jao langsung curiga.
Kau pasti sudah dapat menebaknya. Aku berkenalan dengan anakmu di rumahnya. Juga tentang Isabela yang kau bunuh di tepi hutan setelah kau hamili. Kau pembohong besar, Jao.
Bangsat dia! Mata lelaki itu makin merah menyala.
Kupikir, ini ganjaran yang setimpal untuk lelaki macam kau. Akulah yang menunjukkan tempat persembunyianmu pada tentara. Suara Armila datar, tapi kata-katanya menghantamkan pukulan telak.
Jadi, kau mengkhianati aku, Armila" Bangsat kau!
Tidak, Jao. Aku tetap setia pada cita-cita perjuangan clandestine. Tapi, bangsa Timor tidak membutuhkan orang seperti kau. Kami membutuhkan para pejuang yang dapat melindungi kaum perempuan, bukan perusak perempuan seperti kamu. Kau tak ada artinya bagi masa depan kami. Selamat tinggal, Jao!
Dengan wajah tetap membara, Jao terperangah mendengar kata-kata Armila. Pada saat itulah perempuan itu membalikkan tubuhnya dan melangkah meninggalkan lalaki yang tangannya sedang bergetar geram mencengkeram terali besi itu.
Bangsaaat! Awas, kubunuh kau, perempuan busuuuuk!!! suara Jao keras sekali, seperti mau meledakkan penjara.
Tapi, Armila terus melangkah pergi, pura-pura tak mendengar umpatan itu. Hatinya, yang terasa amat pedih, hancur berkeping-keping, lalu menyerpih bagi serpihan ombak yang terus berdansa di Liquisa.
*** Dili, Juli 1994/2001 Tragedi Para Kepala Sejak grup dangdut keliling itu mangkal di lapangan ujung selatan Desa Bokongrejo, hampir tiap malam ada warga desa yang kehilangan kepala. Pada malam pertama saja ada sepuluh warga, semua lelaki, yang keluar dari lapangan itu tanpa kepala. Kepala mereka baru ditemukan oleh para Hansip setelah pertunjukan selesai. Tiga kepala ditemukan di atas panggung, tiga kepala di kamar ganti pakaian, dua di kolong panggung, dan dua lainnya terinjak-injak di tengah lapangan. Tubuh-tubuh pemilik kepala itu langsung digiring ke kantor LKMD dan dipaksa untuk memakai kepalanya kembali.
Pertunjukan dangdut itu memang sangat luar biasa dan mampu membuat tiap penonton mabuk kepayang dan lupa pada kepalanya. Goyangan pinggul para penyanyinya benar-benar sangat dahsyat. Inilah tampaknya yang membuat penonton dangdut itu semakin padat saja dan semakin banyak yang kehilangan kepalanya. Bahkan, pada tiap puncak acara menjelang berakhirnya pertunjukan, dua penyanyi dangdut tanpa malu-malu melakukan gerakan-gerakan senggama di atas panggung. Penonton pun selalu bersorak gegap gempita menyambut adegan puncak itu.
Pada saat adegan puncak berlangsung itulah banyak penonton yang sudah lupa pada kepalanya dan tanpa sadar melepas kepala masing-masing. Ada yang kemudian melemparkannya tinggi-tinggi sambil menjerit histeris. Ada yang melemparkannya ke panggung. Ada yang meletakkannya di ujung kaki penyanyi yang sedang bergoyang. Ada yang menggelindingkannya ke kolong panggung. Ada pula yang menyusupkannya ke kamar ganti pakaian penyanyi.
Setelah melewati puncak gegap gempita itulah kemudian pertunjukan dangdut diakhiri tiap malamnya. Begitu pertunjukan berakhir, orang-orang yang melepas kepalanya pun segera berdesakan mencari kepala masing-masing. Banyak yang berhasil menemukan dan memasangnya kembali. Akan tetapi makin banyak pula yang tidak berhasil menemukannya, atau lupa bahwa mereka telah melepas kepalanya sendiri. Jumlah mereka terus meningkat dan membuat para Hansip semakin kewalahan menanganinya. Komandan Hansip itu sangat khawatir, janganjangan banyak di antara tubuh-tubuh yang kehilangan kepala itu lolos dari penjagaan dan keluyuran di kampung-kampung pada siang hari.
"Kita harus memperketat penjagaan!" kata komandan Hansip itu di depan para anak buahnya setelah berhasil menangkap dua puluh lima tubuh tanpa kepala dan mengumpulkan mereka di kantor LKMD. "Tiap pintu masuk lapangan harus dijaga lima Hansip. Jangan sampai ada satu pun tubuh tanpa kepala yang lepas pulang ke rumahnya, apalagi sampai keluyuran pada siang hari. Kita bisa celaka. Pak Lurah pasti marah. Pertunjukan dangdut itu pasti dibubarkan," tambahnya.
"Pak Komandan, apakah tidak sebaiknya kasus ini kita laporkan saja pada Pak Lurah?" tanya seorang Hansip.
"Apa kau ingin pertunjukan dangdut itu dibubarkan, dan kita kehilangan upeti yang kita terima tiap malam dari manajer dangdut itu?" Komandan hansip itu malah balik bertanya.
Dan, tiba-tiba pintu kantor terbuka dan sejumlah anggota Hansip memasuki ruangan itu dengan menenteng sejumlah kepala. Mereka langsung meletakkan kepala-kepala itu di atas meja. Melihat kepala-kepala tersebut, beberapa tubuh tanpa kepala di ruangan itu tampak bergetar hebat, seolah sangat ketakutan pada kepalanya sendiri.
"Nah, sekarang kepala-kepala kalian sudah kami temukan. Silakan ambil kepala masing-masing. Jangan sampai ada yang keliru. Kalian harus memasang kepala kalian di sini juga," kata komandan Hansip itu sembari mengisyaratkan tangannya ke arah tumpukan kepala di atas meja.
Serentak tubuh-tubuh tanpa kepala itu berdiri dan berebutan mengambil kepala masing-masing. Yang sudah menemukan kepalanya dan berhasil memasangnya langsung ngeloyor pergi. Akan tetapi ada sembilan orang yang tidak kebagian kepala.
"Kepalaku mana, Pak Hansip?"
"Kepalaku juga tidak ada!"
"Kepalaku juga!"
"Pasti ada yang ndobel kepala saya!"
"Pasti ada yang memakai dua kepala!"
"Ayo, cepat! Kejar mereka. Yang memakai dua kepala suruh kembali ke sini!" perintah sang komandan Hansip pada anak buahnya.
Para Hansip itu langsung memburu keluar. Mereka semua berhasil dikumpulkan kembali. Ada tiga orang yang memakai dua kepala secara sekaligus; satu kepala menghadap ke depan, satunya lagi menghadap ke belakang. Dua orang lagi ketahuan menenteng kepalanya sendiri, sementara yang dipakai justru kepala orang lain. Mereka diperintahkan untuk mengembalikan kepala-kepala itu kepada pemiliknya. Tinggal empat tubuh yang tidak kebagian kepala.
"Lho, kalian tadi menaruh kepala di mana. Kami tidak menemukannya," kata komandan.
"Kepala saya tadi saya taruh di kolong panggung, Pak, agar bisa mengintip goyangan penyanyi dangdut dari bawah."
"Kalau kepala saya tadi, terus terang, saya taruh di ujung kaki penyanyi dangdut itu ketika sedang bergoyang."
"Kepala saya tadi saya taruh di pojok kamar ganti pakaian. Ketika pulang saya lupa mengambilnya."
"Kepala saya juga!"
"Pantas! Otak kalian ternyata mesum semua. Sudah sepantasnya kalian tidak usah memakai kepala lagi. Sekarang kalian tidak boleh pergi. Kalian terpaksa kami tahan di sini sampai kepala kalian ditemukan. Kami akan mencari kepala kalian sampai ketemu."
Belum lagi berhasil menemukan empat kepala yang hilang itu, tiba-tiba para Hansip Desa Bokongrejo dikejutkan oleh suara wanita menjerit-jerit minta tolong. "Tolong! Tolooong! Ada hantu! Tolooong!" Tampaknya bukan hanya suara seorang wanita saja, tetapi dua atau tiga orang.
"Ada apa itu" Ayo kita ke sana!"
"Kalian di sini saja. Jangan ada yang berani keluar sebelum kepala kalian ditemukan!"
"Kunci pintunya, agar tubuh-tubuh tanpa kepala itu tidak keluyuran keluar!"
Komandan hansip itu diikuti semua anak buahnya segera berlari ke arah datangnya suara. Tampak tiga wanita berlari terbirit-birit di jalan kampung seperti diburu setan.
"Tenang, tenang, Bu. Ada apa" Mana hantunya?"
"Di rumah saya, Pak!"
"Kamar saya juga dimasuki hantu."
"Kamar saya juga!"
Rupanya tiga wanita yang rumahnya saling berdekatan dan terpencil di tengah persawahan itu sama-sama didatangi hantu. Hansip-hansip itu segera memburu ke dalam rumah ketiganya. Mereka sangat terkejut, menemukan tubuh-tubuh tanpa kepala di dalam rumah mereka. Mereka segera menangkap tiga sosok tubuh tanpa kepala itu.
"Sekarang tenang saja, Bu. Hantu-hantu itu sudah kami tangkap. Akan kami bawa ke kantor kelurahan," kata komandan Hansip. "Sekarang tidurlah dengan tenang. Rumah ibu-ibu akan dijaga tiga orang Hansip. Tidak perlu takut lagi."
Tiga tubuh tanpa kepala itu langsung digiring ke kantor LKMD, dijadikan satu dengan tubuh-tubuh lain yang bernasib sama.
"Kalian juga kehilangan kepala ketika nonton dangdut, ya" Di mana kalian letakkan kepala kalian?" tanya komandan Hansip pada tiga tubuh yang dikira hantu itu.
"Tidak, Pak. Demi Tuhan, saya tidak pernah nonton pertunjukan dangdut itu."
"Saya juga tidak!"
"Saya juga." "Lalu, di mana kepala kalian?"
"Kami buang ke sungai bersama-sama."
"Lho, kenapa dibuang?"
"Terus terang, kami merasa percuma punya kepala. Karena otak kami tidak dihargai lagi. Pendapat kami tidak pernah didengar lagi oleh bapak-bapak aparat kelurahan."
"Memangnya kalian ini kenapa" Pendapat yang mana?"
"Tentu Bapak masih ingat. Kami bertiga merupakan warga yang paling menentang diadakannya pertunjukan dangdut itu di lapangan desa. Karena saya pernah melihat, pertunjukan grup dangdut itu sangat jorok. Tidak pantas untuk dibawa ke kampung kita. Warga kita bisa sakit kepala kalau menyaksikannya. Apalagi, pertunjukan dangdut itu untuk mengumpulkan dana pembangunan tempat-tempat ibadah. Sangat memalukan, Pak."
Salah satu tubuh tanpa kepala itu bersuara panjang lebar seperti ada tape recorder yang diputar di dalam dadanya. Suara itu keluar melalui lubang lehernya, sementara dua tubuh lainnya mengangguk-angguk seperti mengiyakan kata-kata temannya.
"Terus terang, Pak. Kami sangat prihatin dan tidak tahan lagi menyaksikan dampak tontonan jorok yang melanda hampir seluruh warga desa kita. Yang terjadi tidak hanya demam dangdut saja. Akan tetapi, para remaja kita, penonton terbesar pertunjukan itu, sudah benar-benar mempraktekkan apa yang dilihatnya di panggung dangdut itu. Kalau bapak mau tahu, tiap malam saya melihat anak-anak remaja desa kita dengan begitu bebasnya bermain asmara di balik tanggul sungai di ujung lapangan itu. Mereka benar-benar mempraktekkan apa yang dipertontonkan para penyanyi dangdut itu di atas panggung. Bukan hanya main-main. Bapak tentu juga sudah tahu, makin banyak wanita desa kita, bahkan diantaranya masih anakanak, menjadi korban perkosaan. Kami tidak tahan melihat itu semua. Kami ingin mengeritik. Kami ingin usul, kami ingin protes. Akan tetapi, aparat desa pasti tidak akan mau mendengar suara kami, karena mereka sudah tidak bisa lagi menghargai kepala kami. Jawaban Bapak pasti akan sama: kita membutuhkan banyak dana pembangunan melalui pertunjukan itu. Kalau penampilan penyanyinya tidak begitu, tidak akan ditonton orang. Yah, daripada makin pusing dan stress, kami buang saja kepala kami ke sungai.
Tubuh-tubuh tanpa kepala itu sudah kembali memakai kapala. Agat tidak kebobolan lagi, kesiagaan anak buahnya pun ditingkatkan. Penjagaan di mana-mana diperketat. Tidak hanya personel Hansip penjaga pintu masuk lapangan yang ditambah. Komandan Hansip juga menyebar anak buahnya ke hotel-hotel, pantipanti pijat, kamar ganti pakaian penyanyi dangdut, dan sepanjang tanggul sungai dekat lapangan desa itu. Selain itu, mereka juga mengawasi semua tempat yang diduga bisa membuat orang melupakan kepalanya.
Rupanya ketenangan itu hanya berlangsung beberapa jam saja. Karena keesokan harinya mereka digegerkan oleh munculnya siswa-siswa tanpa kepala di sebuah ruang kelas SMU yang terletak di sebelah selatan kantor LKMD. Tanpa diketahui asal usulnya, puluhan siswa tanpa kepala itu tiba-tiba saja sudah memenuhi satu ruang kelas yang terletak di sebelah kantor kepala sekolah. Seorang guru wanita yang akan mengajar di kelas itu hampir shock begitu membuka pintu kelas tersebut. Ia langsung lari terbirit-birit masuk ruang kepala sekolah. Kepala sekolah itu juga hampir pingsan ketika melongok ke dalam ruang kelas untuk mengecek kebenaran cerita guru tersebut. Aparat keamanan desa segera dipanggil. Kepala sekolah juga menugaskan seorang guru untuk melaporkan kasus tersebut kepada lurah desa.
Lurah Desa Bokongrejo beserta seluruh aparatnya segera tiba di kompleks sekolah menengah atas itu. Mereka bersama pimpinan SMU itu segera memasuki kelas yang aneh tersebut. Tubuh-tubuh tanpa kepala yang duduk rapi di kursi-kursi kelas itu mengangguk-angguk seolah menyambut kedatangan mereka.
"Kalian ini siapa?" tanya kepala sekolah pada tubuh-tubuh tanpa kepala itu.
"Lho, kami semua siswa Bapak. Kenapa Bapak pangling?" sesosok tubuh tanpa kepala yang duduk di deretan paling depan mengeluarkan suara.
"Akan tetapi, kenapa kalian hari ini datang ke sekolah tanpa kepala" Dimana kepala kalian?"
"Kepala kami sebagian ada yang hilang di arena dangdut, Pak."
"Kalau kepala saya cuma saya tinggal di rumah, Pak. Lagi bosan pakai kepala."
"Mau tahu di mana kepala saya, Pak" Saya simpan di gudang. Soalnya malu. Gigi saya prongos!"
"Saya juga." "Kepala bapak-bapak dicopot sekalian saja. Enak, kok, tidak pakai kepala!"
"Diam!! Kalian ini bagaimana"! Kepala di buat main-main!" Kepala sekolah tiba-tiba membentak mereka sambil menggebrak meja. Tubuh-tubuh tanpa kepala itu pun serentak diam. "Apa kalian anggap, kalian bisa hidup terus tanpa kepala. Apa kalian bisa sukses tanpa kepala" Kalian ini calon-calon penerus perjuangan bangsa, tahu! Bagaimana nasib bangsa kita ini kalau diurus oleh orang-orang tanpa kepala seperti kalian!"
"Benar kata Bapak Kepala Sekolah. Kalian sangat dibutuhkan untuk meneruskan citacita perjuangan kami, cita-cita luhur generasi tua seperti saya ini," Lurah Desa itu ikut menimpali. "Untuk itu kalian harus tetap punya kepala. Kalian tidak bisa membuang kepala begitu saja, apalagi dengan alasan yang sepele atau tidak masuk akal."
"Kalian ini memang ada-ada saja. Ayo cepat, cari dan pasang kembali kepala kalian!" Kepala sekolah membentak lagi. Tampaknya ia sangat marah. "Kalian menyusahkan saja!"
"Jangan cepat marah dulu, Pak. Dijamin, kami masih punya kepala yang sehat," sosok tubuh yang duduk di deretan paling depan kembali mengeluarkan suara. Tampaknya sosok inilah yang mengatur ulah teman-temannya. "Ayo, teman-teman, sekarang kita tunjukkan kepala kita masing-masing!"
Secara serentak mereka meletakkan telapak tangan di ujung leher mereka masingmasing, lalu menariknya ke atas," Plass!" kepala siswa itu pun menyembul bersamasama. Tampaknya mereka hanya memakai kerudung yang di buat persis seperti bagian atas tubuh manusia yang terpenggal kepalanya. Para siswa itu lantas nyengir pada para tamunya.
"Diamput! Kalian ini macam-macam saja. Masak, orang-orang tua dipermainkan!" komandan Hansip yang sejak tadi diam saja tiba-tiba saja meledak setelah merasa dikerjai oleh anak-anak itu.
"Apa sebenarnya mau kalian?" tanya kepala sekolah kemudian.
"Kami memang bermaksud protes, Pak, protes kepada Bapak Kepala Sekolah, juga Pak Lurah," jawab ketua kelas yang rupanya memang telah mengatur ulah temantemannya. "Kepada Bapak Kepala Sekolah kami memprotes cara mengajar yang diterapkan para guru di sekolah ini. Kami tidak mau kalau terus-terusan dipaksa untuk selalu menerima apa saja yang dikatakan oleh guru-guru kami, karena sebenarnya banyak yang tidak sesuai dengan pendapat kami. Kami tidak mau lagi kalau kepala kami hanya dianggap sebagai tong sampah bagi semua ilmu yang diberikan para guru. Kami ingin diberi kesempatan untuk mengembangkan dan mengemukakan pendapat kami sendiri. Kami ingin diberi kebebasan untuk berpikir kreatif sesuai dengan aspirasi kami sebagai anak muda. Sedangkan kepada Pak Lurah, kami protes agar pertunjukan dangdut di lapangan desa kita itu dibubarkan saja. Itu sama sekali tidak ada gunanya, bahkan cenderung merusak moral temanteman kami, karena goyang penyanyinya terlalu jorok. Dua tetangga saya bahkan diketahui telah hamil sebelum nikah gara-gara sering nonton dangdut itu bersama pacarnya. Di samping itu, makin banyak pula warga desa kita yang kehilangan kepalanya gara-gara nonton pertunjukan dangdut itu."
"Cerita anak-anak memang benar, Pak Lurah. Bahkan, tetangga sebelah rumah saya sampai sekarang belum berhasil menemukan kepalanya," kata kepala sekolah mendukung usulan siswa-siswanya.
"Kalau begitu, baiklah anak-anakku. Soal cara mengajar guru-guru kalian, selesaikanlah secara baik-baik dengan Bapak Kepala Sekolah. Sedangkan kami bersama semua aparat desa akan segera menyelesaikan kasus pertunjukan dangdut itu," kata Pak Lurah setelah berpikir sesaat.
Lurah Desa Bokongrejo segera mengadakan sidang darurat. Semua aparat desa dipanggil, termasuk komandan Hansip, manajer dangdut, para penyanyi, dan pemainnya. Pertama kali yang menjadi sasaran kemarahan lurah desa adalah komandan Hansip. Lurah desa mempersalahkannya karena tidak pernah melaporkan kejadian-kejadian aneh yang menjadi dampak pertunjukan dangdut itu. Padahal, dialah yang ditugaskan untuk mengawasi dan mengamankan pertunjukan dangdut yang dimaksudkan untuk mengumpulkan dana pembangunan sejumlah tempat ibadah itu.
"Soalnya, kami pikir kasus kehilangan kepala itu hanya persoalan sepele, Pak. Kasus itu sudah muncul sejak malam pertama pertunjukan dangdut di lapangan itu. Kami pikir belum perlu melaporkan kasus itu pada Pak Lurah, karena kami masih bisa mengatasinya sendiri," jawab komandan Hansip dengan nada tidak berdosa.
"Apa" Kamu ini komandan Hansip macam apa" Banyak warga kehilangan kepala kok dianggap sepele!" Lurah itu tampaknya tetap marah, tidak mau menerima pembelaan komandan Hansip.
"Nyatanya memang begitu, Pak. Mereka yang kehilangan kepala tidak pernah mengeluh, tidak pernah protes. Dengan enak mereka ngeloyor pergi atau pulang tanpa kepala. Bahkan, banyak yang kemudian tidur pulas di panti pijat dan hotel. Mereka yang tidak kehilangan kepala yang selama ini malah suka ribut."
"Apa kau tega kalau semua warga desa kita kehilangan kepala" Kalau itu benar-benar terjadi, apa kamu berani nanggung" Siapa yang bakal mengurus desa kita kelak kalau semua warga sudah kehilangan kepala?"
"Pak Lurah ini bagaimana" Desa kita selama ini kan sudah diurus oleh orang-orang yang tidak punya kepala lagi. Apa Bapak kira kita-kita ini yang mengurus desa ini masih punya kepala" Kepala yang kita pakai ini palsu. Wajah-wajah kita ini juga hanya topeng-topeng belaka. Kalau Pak Lurah tidak percaya, mari kita copot kepala kita masing-masing, kita buka topeng kita masing-masing."
Dan& komandan Hansip itu benar-benar melepas kepalanya sendiri, meletakkannya di atas meja dan membuka topengnya. Pak Lurah dan sejumlah perangkat desa sangat terkejut, ternyata kepala yang dipakai komandan Hansip itu kepala buaya. Mereka semakin terperangah ketika manajer dangdut dan empat penyanyinya ikut mencopot kepala masing-masing dan membuka topengnya. Ternyata kepala yang dipakai manajer dangdut itu adalah kepala badak, sementara dua penyanyinya memakai kepala kelinci dan dua lagi memakai kepala mainan dari plastik yang biasa dijual di toko-toko mainan anak-anak.
Giliran Pak Lurah yang kemudian mencopot kepalanya sendiri. Pelan-pelan dia menjepit kepalanya dengan kedua telapak tangannya, memuntir dan menariknya ke atas. "Plass!" Seperti seorang pemain debus dari Banten, kepala Pak Lurah pun lepas dan diletakkannya di atas meja. Kemudian, dengan perlahan-lahan dia mengelotok kulit wajahnya. Pak Lurah dan semua aparat desa sangat kaget, ternyata kepala yang selama ini dipakainya adalah kepala harimau. Kepala itu menyeringai padanya memperlihatkan taring-taringnya yang tajam.
Lurah itu tampak tidak tahan melihat kepalanya sendiri. Tubuhnya bergetar keras seperti sangat ketakutan, lalu lemas dan menggelosor jatuh ke lantai. Pak Lurah mengalami shock berat dan pingsan seketika.
Yogyakarta, Juli 1991 * Dimuat di kumpulan cerita pendek pilihan Sarinah, Burung Putih, bonus majalah Sarinah No. 222 Th. 1991.
Tusuk Kondai Pusaka 2 Raja Naga 08 Ratu Tanah Terbuang Ilmu Ulat Sutera 19
^