Pencarian

Kumpulan Cerpen 1

Kumpulan Cerpen Karya Kurnia Effendi Bagian 1


TIGA tahun silam aku bertandang ke rumah Aditya untuk pertama kali. Sore itu, mula-mula aku bersepeda ke taman sekolah, seraya mendapatkan Palupi di sana. Aku mulai hafal, dara manis itu setiap hari Senin dan Kamis sore mengambil les Matematika. Rasanya ingin berpurapura tak sengaja memergokinya keluar dari kelas. Berharap ia bersedia kubonceng menuju ke rumahnya. Sejauh apa pun.
Sore itu aku melihat Adit, yang bukan teman sebangku, juga ada di sana. Seketika ada desir cemburu memberangus aliran darahku. Kulihat sepedanya lebih bagus dibanding milikku. Itu membuat perasaanku sedikit sedih.
"Hai!" sapaku. Sambil tersenyum, menduga-duga. "Kris!" Adit membalas, lalu mendekat. "Menunggu siapa?"
"Tidak menunggu siapa pun." Aku tidak ingin tersipu, apalagi gugup. "Iseng saja. Kamu sering ke taman ini?"
"Kadang-kadang saja. Lebih kerap berkeliling ke Balai Kota. "
"Tiap sore?" "Tidak juga." Adit sedikit tersenyum. "Mau menemani" Sekarang?"
Aku bimbang. Sebentar lagi waktu les berakhir. Tapi belum tentu beruntung bisa bercakap-cakap dengan kembang SMP itu. Sebetulnya tak pernah ada janji dengan gadis itu. Serta-merta kuputuskan menemani Adit.
"Ayolah!" Selanjutnya roda sepeda kami menggelinding menyusuri jalan aspal. Di bawah naungan rimbun jajaran pohon asam keranji. Berbincang seperti sahabat lama. Tak terasa aku mengiringi Adit sampai ke halaman rumahnya. Dia mengajakku singgah dan berkenalan dengan orang tuanya.
Saat bertemu dengan ayahnya, aku agak terperanjat. "Krisna, teman Aditya." Aku mengulurkan tangan. "Sentot. Ayah Adit." Senyumnya terkembang. Senyum yang khas. Senyum jenaka yang amat kukenal. "Mari masuk."
"Pak Sentot yang punya& "
"Aha, kamu penggemar Chocky?" Senyum Pak Sentot melebar. Terasa ada kebahagiaan. "Kamu masih ingat rupanya" Bukankah sudah lama berlalu."
Aku mengangguk tanpa melepaskan pandangan kagum. Ternyata Adit anak orang terkenal! Sentot Karyoto itu pemilik boneka Chocky yang bisa bicara . Boneka yang memiliki gerakan indah pada kepala dan rahang saat berbicara . Semula aku terkecoh dengan permainan itu: dialog antara Chocky dan Pak Sentot yang menjalin dongeng atau petuah bagi anak-anak. Akhirnya aku tahu, yang diucapkan Chocky juga suara Pak Sentot, yang dikeluarkan melalui perut tanpa terlihat menggerakkan bibir. Ajaib!
Tanganku ditarik Adit, seolah aku anaknya yang membangkang dan bertahan di depan segugus mainan menarik. Aku diseret gegas menuju ke kamarnya di bagian belakang rumah. Sebelum aku bicara satu-dua hal tentang ayahnya, di meja telah dihamparkan berpuluh komik terbitan Marvel. Mataku berbinar tanpa sadar. Menyenangkan juga terdampar di kamar ini! Mengapa tidak sejak dulu"
Saat pamit, matahari sudah tak tampak lagi. Senja hampir menjadi malam. Di pintu pagar kusempatkan bertanya kepada Adit: "Aku ingin melihat langsung ayahmu memainkan boneka Chocky& "
Adit hanya mendengus tanpa terlihat bangga. Lalu tangannya melambai seperti mengusirku. Aku pun meluncur dengan sepedaku meninggalkan halaman rumah Adit, tanpa merasa tersinggung. Karena hari mulai gelap. Aku ingin segera tiba di rumah, ingin lekas membaca dua buah komik yang kupinjam.***
"TAHUKAH kalian" Ternyata ayah Adit itu pengisi acara& "
"Hus! Jangan banyak omong!" Sebuah tangan membekap mulutku. Tangan Adit. Tangan yang lebarnya sanggup memenuhi wajahku. Teman-teman yang berkerumun di depan kelas tertawa-tawa melihatku megap-megap. "Ayo, aku lihat pekerjaan rumahmu! Nomor delapan!"
Aku diseret ke dalam kelas. Lalu kubongkar tas dan kuberikan buku Matematika. Tapi ternyata ia tak sungguhsungguh hendak menyalin. Ia hanya ingin menjauhkan diriku dari teman-teman, terutama karena terlontar katakataku tentang pekerjaan ayahnya.
"Pulang sekolah kamu mau ke mana?" tanya Adit serius.
"Ke mana" Tentu saja pulang."
"Di belakang sekolah kita, tebu-tebu sedang dipanen. Kita ke ana yuk! Kamu mau menemani?"
Aku mengangguk setuju. Setahuku, jika kita minta tebu dan makan di tempat, para mandor penjaga itu tidak keberatan. Tengah hari itu, kami berlari di atas pematang sambil sesekali jatuh ke tanah retak bekas ditanami tebu. Ada serangkai lori, kereta tebu, yang memanjang di atas rel ukuran mini. Para penebang tebu sedang sibuk mengikat lonjoran-lonjoran yang telah memenuhi beberapa gerobak besi itu.
Tapi ternyata, Adit tidak serakus yang kubayangkan. Kami baru makan sebatang tebu berdua, memeras air manis itu dengan mengunyah batang yang dikupas oleh gigi. Cairan manis beraroma harum itu mengalir dari serat yang menyerpih ke tenggorokan, mengalihkan panas mentari yang menyengat. Lalu Adit mengajakku duduk di atas tumpukan batang tebu di sisi pematang.
"Kamu suka Chocky?" tanyanya tiba-tiba.
"Hm& ya dulu suka. Tapi aku sekarang bukan anak kecil lagi."
"Kalau begitu, Chocy hanya cocok untuk anak kecil?" Aku ragu mau menjawab. Tapi sejak semula aku ingin jujur kepadanya.
"Mestinya begitu. Kalau sudah seusia kita, rasanya sulit memercayai percakapan dua orang yang sebenarnya hanya satu." Kataku. "Menurutmu bagaimana?" Adit menggeleng. Tapi tampak wajahnya keruh. Seperti orang marah.
"Kamu tampaknya tidak menyukai Chocky. Kita cari gelagah saja. Kita bikin mainan dari batang bunga tebu itu. Kamu tahu caranya?"
"Kamu tahu, berapa umur Chocky?" tanyanya tak perduli dengan usulku.
"Wah, mana kutahu" Apakah dia juga tumbuh seperti manusia?" Aku hampir takjub mendengar pertanyaannya. "Dia seumur denganku. Empat belas tahun!" Aku tertawa. "jangan-jangan dia juga disunat seperti kamu."
Kepala Adit tertunduk. Membuat aku menyesal menanggapinya dengan bercanda.
"Begitu aku lahir, ayahku membuat boneka itu." Adit bergumam.
Aku pun memandangnya dengan serius. "Apakah bermaksud membuat mainan untukmu?"
"Tidak. Ia menganggap Chocky sebagai diriku yang lain& "
"Maksudmu?" "Setiap kali ia memainkan Chocky di televisi, ia menganggap sedang bermain denganku. Bercakap-cakap denganku."
"Wah, asyik sekali!" ujarku iri.
"Mulanya demikian. Ibuku menganggapnya lucu. Karena ibu sering keguguran, dan aku dianggap anak kesayangan."
"Siapa lebih dulu pandai bicara" Kamu atau Chocky?" "Tentu saja Chocky lebih dulu bisa ngomong, karena yang bersuara ayahku. Sebelum aku betul-betul mampu diajak bercakap-cakap, ia bercanda dengan Chocky. Dan ia melihat Chocky sebagai aku."
"Luar biasa." Desisku tak sengaja.
"Tidak, bodoh!" Adit menolak. Membuat aku terperanjat. "Karena aku seperti bukan anaknya, tetapi bonekanya. Sedangkan Chocky menjadi anaknya." "Kenapa begitu?"
"Karena Chocky yang cari uang, kata ayahku. Aku harus berterima kasih kepada Chocky."
Aku tak sepenuhnya mengerti waktu itu. Aku tentu tak dapat memahami perasaan Chocky. Maaf, maksudku perasaan Adit.
Tiba-tiba langit berubah mendung. Ada sepercik cahaya petir yang membuat kami gentar dan segera menutup percakapan untuk sepakat bergegas pulang. Kami berlari-lari kembali sepanjang pematang menuju ke jalan raya, lalu masing-masing menyusuri jalan pulang. Sesaat seperti ada perjanjian, kami akan menjadi sahabat. Aku sedikit yakin, bahwa Adit tidak menceritakan hal itu kepada teman lain.***
TETAPI mengapa Adit tidak jujur kepadaku" Sebenarnya itu hanya menyangkut kamar anjing di rumahnya yang tak pernah dijelaskan isi di dalamnya. Atau mungkin aku terlampau bodoh dengan pertanyaan itu. Kamar anjing tentu berisi seekor atau lebih anjing. Seperti juga kamar jenazah untuk menyimpan bekas tubuh yang sudah kehilangan ruh.
Akan tetapi, kamar anjing di rumah Adit agak mengherankan bagiku karena memiliki pintu kayu yang tertutup rapat. Bagaimana makhluk lucu atau mungkin seram itu dapat bernafas jika tinggal di dalamnya" Sudahlah. Tak perlu bertanya lebih jauh. Aku tak ingin memancing pertengkaran melalui urusan sepele.
Hari ini aku singgah ke rumah Adit sepulang sekolah. Saat mengikuti langkahnya menuju kamarnya di belakang, kuperhatikan pintu kamar anjing yang terletak lebih strategis.
"Di kamar ini, aku bisa lebih bebas berkhayal," katanya seperti tahu yang kupikirkan. Ucapannya beralasan karena jendela kamarnya menghadap kebun belakang. peluang itu pula yang digunakannya untuk sesekali pergi keluar malam tanpa melewati pintu depan.***
BEBERAPA kali, atau mungkin sering, aku main ke rumah Adit, bahkan sampai kami sama-sama bersekolah di SMA. Aku singgah untuk meminjam komik-komik barunya. Atau nonton film-film koleksinya. Tak satu pun terdapat film anak-anak, apalagi yang berjudul Pinokio. Ia cukup mendapat kebebasan untuk mengumpulkan film dewasa, meskipun sepanjang yang kutahu, percakapan dengan ayahnya terlampau terbatas.
Tampaknya kisah tentang Chocky telah berlalu. Tiada lagi yang menghangatkan pikiran kami tentang boneka itu. Sejak acara ayahnya di televisi telah dihentikan, aku tidak pernah sekali pun melihatnya memainkan Chocky di rumahnya. Barangkali tak akan membuatku terhibur juga.
Sementara itu, aku sering memergoki Pak Sentot menyendiri di beranda. Banyak suratkabar di meja, tapi dibiarkan tetap terlipat. Pandangan matanya menembus sela-sela tirai ke arah kebun kecil di depan rumah. Setiap kali aku pamit, sedikit membuatnya terperanjat, dan melimpahkan perasaan berdosa kepadaku karena telah mengganggunya.
"Kamu jarang sekali bicara dengan ayahmu," kataku di pintu pagar.
"Ayahku yang jarang bicara denganku," sahut Adit datar.
Aku memandang heran. Tapi seperti biasa, tangannya melambai seolah mengusirku. Dan seperti biasa, sejak dulu kala, aku segera pulang tanpa merasa tersinggung. Tapi malamnya aku bermimpi bercakap-cakap dengan Chocky! Membuatku ingin segera menjumpai pagi.
"Adit, kutunggu kamu sejak tadi. Ayo kita ke kantin." Aku menyerbu kedatangannya di pagar sekolah keesokan harinya.
"Sepagi ini?" "Ya. Aku mau ceritakan mimpiku semalam." Tanpa meletakkan tas terlebih dulu, Adit mengiringi langkahku ke kantin.
"Aku mimpi bercakap-cakap dengan Chocky!" ujarku penuh semangat.
Mendadak muka Adit memerah. "Kamu bercakapcakap dengan anjing itu?"
Mulutku ternganga. "Anjing?"
"Ya!" Rahang Adit tampak mengeras kaku. Kupegang kedua lengannya. Aku tak sepenuhnya tahu dengan yang kulakukan, namun jantungku terasa gemuruh.
Kamar anjing itu& "Maaf, maaf! Aku tak akan membicarakannya lagi." Aku benar-benar berjanji. Akan tetapi Adit justru menggagalkan janjiku.
"Dengar, Kris! Kini kamu tahu, siapa yang menghuni kamar anjing itu. Itu kamar Chocky! Aku muak setiap kali Ayah masuk ke kamar itu, mengunci diri, dan kudengar bercakap-cakap dengan Chocky. Sementara aku, anaknya, tidak pernah diajak bicara seperti itu. Seolah aku tak punya masalah & "
"Ibumu?" "Kamu tahu, kan" Ibu yang bekerja menghidupi kami, sebagai pegawai negeri. Telah hampir lima tahun pekerjaan ayahku hanya duduk-duduk, atau pergi entah ke mana dan pulang menceritakan pengalamannya di kamar anjing."
"Mestinya kamu ceritakan ini kepadaku, agar aku tak salah sangka& "
Kulihat ada air mata menetes ke pipinya. Kami samasama kelas dua SMA. Tetapi aku selalu merasa bodoh untuk melakukan perbuatan yang berguna bagi Adit. Aku tak tahu, sedalam apa luka hatinya"
"Ayo, kita ke kelas. Sekali lagi aku minta maaf," ajakku. Adit mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Lalu berjalan dengan kepala ditundukkan. Sepanjang dua jam pelajaran dia terdiam. Tak sampai akhir jam sekolah, Adit minta ijin untuk pulang. Aku membiarkannya berjalan meninggalkan sekolah, dengan punggung yang tak lagi tegak.***
HARI berikutnya Adit tidak masuk sekolah. Aku tergerak menjenguk ke rumahnya. Ke kamarnya yang menghadap kebun belakang. Ibunya ada di rumah, menawariku makan siang, tetapi aku lebih berminat segera menemui Adit. Lama aku mengetuk kamarnya sampai kemudian dibuka dengan enggan.
Aku terkejut melihat keadaannya. Matanya bengkak, lebih tampak sebagai akibat pukulan dibanding oleh tangisan. Rambutnya acak-acakan, dan kuduga dia belum menyentuh air sejak pulang sekolah kemarin. Kamarnya lebih berantakan dari biasanya.
"Aku ingin membunuh Ayah& ."
"Sstt!" Kini aku yang membekap mulutnya. Ucapannya sungguh menakutkan bagiku.
"Kubuatkan minum ya?" Aku bergegas ke dapur yang tak jauh dari pintu kamarnya. Mengambil sebotol air dingin dari lemari es dan berharap bisa menenangkan perasaannya. "Minumlah dulu. Jika sudah tenang, katakan apa masalahmu."
Ia menurut, meneguk air yang kuberikan dalam gelas yang kuangsurkan. Aku hanya bisa menunggu. Menemaninya.
"Aku& aku merasa hidupku percuma, Kris." "Adit, tak boleh bicara seperti itu!"
"Semalam aku bertengkar hebat dengan Ayah." Aku mengangguk. Menunggu ceritanya.
"Chocky telah tiada, Kris." Adit kemudian tersedu. Tubuhnya bergetar.
Aku disergap bingung. Ucapannya seperti terdengar keliru di telingaku. Bukankah Chocky adalah musuhnya" Yang telah membuatnya iri dan cemburu selama ini" Seharusnya ia begitu bahagia seandainya benar Chocky telah meninggal .
Kuusap punggungnya yang berguncang.
"Semalam, setelah kami bertengkar, Ayah membakar Chocky& ," ujarnya tersendat.
Aku terperangah. Lalu berkata ragu-ragu. "Bukankah itu yang kamu harapkan?"
"Apa katamu, Kris?" Tiba-tiba Adit memandangku dengan tatapan kasar. "Ayahku telah membunuhku!" Mulutku ternganga tanpa kusadari.
"Jadi, kamu senang jika aku mati" Bukankah Chocky itu aku" Ayah telah membunuh Chocky, sama saja ia membunuhku, Kris!"
"Aku tak mengerti& " Aku mulai dijalari rasa takut. Terutama melihat mata Adit yang aneh.
"Kamu pasti mengerti, Kris. Kamu sahabatku! Tapi kini kamu hanya pura-pura menghiburku, padahal kamu senang aku mati!"
"Adit! Maaf, itu tidak benar & "
"Kamu bohong! Sekarang kamu keluar dari kamarku!" Kini saatnya aku merasa tersinggung dengan lambaian tangannya. Tubuh tak bertenaga itu kini seperti monster yang menakutkan bagiku. Matanya itu! Seperti ingin membakarku.
"Kubilang keluar!" Suaranya mirip guntur.
Aku terhuyung meninggalkan kamar Adit yang kemudian dibanting pintunya. Aku mundur dan menabrak tubuh ibunya yang tegak di sisi dapur.
"Dari semalam dia berkelakuan aneh. Sejak ayahnya membakar Chocky," kata ibunya. Aku mengangguk tapi belum tahu apa yang harus kulakukan. Aku hanya ingin duduk di beranda, meredakan gemuruh dada, sambil mencoba berpikir.
Aku melewati kamar anjing. Aku menatap pintunya sejenak. Kamar Chocky, yang selalu disebut kamar anjing dengan nada marah oleh Adit. Tapi baru saja Adit kehilangan nyala harapan ketika anjing itu, maksudku Chocky, musnah. Masih terngiang dengan dengung yang mencekam di telinga: "Ayah telah membunuhku. Bukankah Chocky itu aku" Ayah telah membunuh Chocky, sama saja ia membunuhku!"
Aku duduk di beranda, di kursi yang biasa menjadi tempat rehat Pak Sentot. Aku memandang ke arah kebun melalui sela-sela tirai bambu. Seperti yang dilakukan oleh Pak Sentot setiap hari. Tanpa tercegah, mataku perlahan basah.
Di balik tirai, di kebun kecil itu, aku melihat anak kecil yang wajahnya mirip Adit sedang bermain sendirian. Kadang-kadang wajahnya berubah serupa boneka kayu Chocky. Alangkah mirip senyum keduanya. Lambat-laun aku semakin tak sanggup membedakan antara wajah Aditya dengan wajah Chocky pada anak kecil yang sedang bermain di kebun itu.
*** Jakarta, 5 Januari 2006 Aku Betina Kau Perempuan Cerpen: Isbedy Stiawan ZS
Sumber: Koran Tempo, Edisi 10/23/2005 di taman ini
kau kelihatan makin indah sayapmu cepat sekali tumbuh untuk membawaku terbang& . *
KAU memang indah, tubuhmu berwarna-warni. Cantik nian. Manisnya aduhai. Tetapi, pada waktu yang lain kau terlihat anggun dan gagah. Di taman ini kau adalah pusat perhatian itu.
Aku memandangmu sangat lama. Ekor mataku berkeliaran sejak dari ujung sepatu sampai ujung rambutmu yang tumbuh di ubun-ubun. Mataku tak berkedip tapi tubuhku beringsut sedikit ke belakang, ketika kusaksikan kedua tanganmu menjelma sayap. Tumbuh menyerupai sayap.
"Sudah waktunya. Kita harus tinggalkan taman ini." "Terbang?" aku tak mengerti.
Kau mengangguk. Tersenyum. Kedua sayapmu, tapi aku masih ragu menyebutnya sayap sebab aku yakin itu adalah tanganmu, mengembang seakan ingin menarik tubuhku lalu melindungiku di dalam selimut sayapmu.
Seperti para burung sewaktu mendekap anaknya dari rasa dingin, lapar, dan kantuk.
"Ke mana kita menuju" Segala tempat yang nyaman sudah tiada. Seluruh gedung sudah penuh karena itu tak ada lagi kamar untuk di isi," aku mengimbuh ketika kau tak berkata.
Sejak kau begitu indah di taman ini, dan kedua tanganmu menjelma jadi sayap sesungguhnya ada pula yang berubah dari kebiasaanmu. Kau amat lain. Kau asing sekali. Hanya beberapa kata yang kaugunakan setiap berucap. Kalau tidak, cuma mengangguk atau tersenyum. Selebihnya adalah gerakan tubuhmu yang penuh rahasia itu.
Maka aku menjadi ragu, ketika kau ingin sekali mengajakku terbang. Untuk menolak ajakanmu-ah tepatnya, rayuanmu-aku ajukan alasan-alasan. Seperti kota ini yang tak lagi punya tempat untuk dua orang yang bercanda, atau setiap gedung yang tak lagi menyediakan ruang pertemuan, dan kamar yang sudah terisi.
"Mau ke mana lagi kita, kalau kamar pun tak menerima kehadiran kita?"
"Apakah pertemuan harus memiliki tempat" Kamar atau ruang pertemuan, misalnya?"
"Lantas kalau tidak di sini, di mana kita bisa mengurai percakapan?"
"Bumi ini begitu luas. Di mana pun kita singgah, di situ tersedia tempat bagi orang-orang yang ingin bercakap. Mungkin juga bercinta& ."
"Bercinta?" aku terpana.
Bercinta. Ini kata yang sudah sangat lama kulupakan dari kamus di kepalaku sehingga aku tak lagi mengenalnya. Tapi sekarang kata itu menggodaku. Ya. Sejak orang yang kucintai habis-habisan, telah pergi entah ke mana dan tanpa tanda pula. Aku juga pernah kecewa lantaran kata itu yang sering dimaknai secara tak beradab. Aku ditinggalkan lalu aku kembali sendiri mengembara di bumi ini. Bertahun-tahun aku tak bersentuhan dengan perempuan dan lelaki.
"Kau sediakan cintamu untukku, walau hanya sekejap" Hanya semalam, meski harus berkurang beberapa jam oleh perjalanan?"
"Akan kusediakan," jawabmu lirih. "Kemarilah, aku memang sudah amat kesepian."
"Benarkah begitu, Sunyi?" "Ya, aku sangat sunyi."
Sekali lagi kaukembangkan sayapmu, menyilakan aku masuk ke dalam dekapan sayapmu yang kuangankan sebagai selimut itu. Ah tidak. Aku seperti kanak-kanak yang membayangkan sebuah kain ayunan jika matanya terasa berat mengantuk. Sang ibu kemudian akan menyanyikan nina bobo hingga ia terlelap.
Aku ingin sekali seperti itu. Di dalam dekapan sayapmu.
di taman ini kau terasa amat lain dari kedua tanganmu tumbuh sayap amat luas hingga dapat menenggelamkan tubuhku dan membawaku terbang& .
MALAM mulai berembun. Di taman ini, kau rasakankah, ada kabut luruh. Tubuhmu memutih di bawah cahaya lampu yang tampak meredup. Tetapi, aku masih dapat melihat senyummu. Anggukanmu. Dan, aku juga masih mampu menciumi aroma tubuhmu.
"Aku hanya singgah sebentar. Kalau engkau mau, pergilah bersamaku. Sekarang juga!"
"Tapi, aku masih ingin menatapmu lama, Sunyi," erangku. "Berilah aku waktu sedikit lagi untuk menikmati indahnya pertemuan ini."
Ingin tanganku memegang kedua sayapmu. Aku mau kau tetap di sini, di taman ini. Jangan cepat berlalu atau pun pergi. Seperti para peri yang melangkah dengan kakinya yang ringan. Datang dan pergi. Seperti para kekasih dan pecinta yang menggandeng sekarung cinta. Menonton film di gedung itu. Memainkan satu reportoar di panggung pertunjukan itu. Seperti para seniman yang menghujankan karya adiluhungnya. Seperti Adam yang setia mengembara mencari Hawa. Seperti Hawa yang harus kehilangan buah cintanya lalu ikut pula melata di padang-padang. Seperti Zulaikha yang membiarkan jarinya terluka di hadapan Yusuf.
KALAU kini aku betina maka kau si perempuan. "Sunyi, bawakan aku sepi paling sunyi dari hari-harimu. Akan kukecap seluruh aromanya," bisikku merapat di telingamu. Tersenyum. Kedip matamu menggoda. "Aku akan mencintainya setuntas malam dan siang."
"Baik, Riuh. Sedari tadi aku sudah siapkan tubuhku untukmu," jawabmu dengan pelan pula. "Ke mana kita cari persinggahan?"
"Kota ini tak lagi menyediakan tempat. Sudah kukatakan sejak tadi, gedung-gedung tak lagi memberi ruang pertemuan, kamar-kamarnya sudah tak ada lagi yang kosong."
"Lalu apakah kita di sini saja" Sayapku sudah ngaceng untuk terbang!" sontakmu. Suaramu mengguntur. Aku merapat di sebatang pohon. Kepalaku terbentur. Tangan kananku mencecap cairan merah yang keluar dari belakang kepalaku.
Aku haus. Maka kuminum cairan darah segar di tanganku ini. Warnanya merah, Sunyi. Dan kautahu, tiada darah berwarna biru di bumi ini" Selumur darah telah mengusir hausku. Aku menjadi segar kembali. Bisakah kau bayangkan, sesungguhnya orang-orang akan merasa segar dan kembali menjadi segar setelah mengeluarkan darah dari dalam tubuh orang lain" Itukah sebabnya, orang menjadi menjadi pembunuh".
"Jangan kau ucapkan itu di depanku, Riuh. Perutku mual setiap kali mendengarnya. Jangan sampai ceritamu menghilangkan seleraku untuk bercengkerama," pesanmu.
"Tapi Sunyi, tidakkah kau mengubah dulu dirimu menjadi jantan" Biar pertemuan kita makin indah." "Kenapa tidak kau saja melepas kebetinaanmu?" Tiada jawaban. Isa, si lelaki yang pandai membuat burung dari tanah, sudah lama sekali menghilang dari taman ini. Padahal orang-orang amat membutuhkan keahliannya: membuat patung-patung burung, burungburung yang bisa terbang, taman yang dipenuhi burungburungan.
"Tak mungkin aku berganti kelamin!"
"Aku pun sudah ditakdirkan bukan jantan," sungutku. Lalu, apakah mungkin betina bertemu betina dalam sebuah pertemuan amat indah" Atau jantan mencari cinta dalam tubuh si jantan" Percakapan purba ketika Adam pertama kali bertatapan dengan Hawa selepas Tuhan meniupkan napas ke dalam tubuh manusia itu, ialah "apakah kau perempuan?" Lalu Hawa berujar, "Tuhan berjanji akan menghadiahiku seorang lelaki."
Sebagaimana kutahu pula dari kitab lama bahwa sejak pertemuan yang pertama dan purba itu, keduanya memilih tempat lain di luar taman penuh pesona itu. Alasannya saru apabila diintip penghuni taman, juga Tuhan yang sangat suci hanya untuk menyaksikan sebuah percintaan. Kalau kini kau menginginkan aku menjadi jantan, adakah aku menyalahi keputusan" Ihwal, bagaimana juga tak berani kutentang dan kutantang.
"Kecuali kau yang berkenan, Sunyi?" Kau menggeleng.
"Aku tak pernah bayangkan sebagai jantan. Jadi, bagaimana mungkin aku meminta ganti kelamin" Aku paling membenci jantan dan kejantanan. Mereka yang berjenis itu seolah segala-galanya dan selalu ingin berkuasa. Tengoklah alam ini rusak oleh tangan-tangan mereka& "
"Betina juga bisa melakukan yang sama, Sunyi. Para perempuan melahirkan bayi-bayi yang hanya akan merusak semesta ini. Memanipulasi, menumpahkan darah, meracik peradaban. Menanam penjahat di mana-mana. Membuka ladang ganja dan membangun pabrik minuman dan obat," aku membantah. "Lalu anak-anak yang dilahirkan dari rahim betina itu, menyebarkan racun ke sembarang makhluk."
"Cuma tak separah apa yang dilakukan jantan, Riuh. Para jantan hanya menabung spermanya ke betina, kemudian mereka pergi. Meranalah betina. Melatalah para betina& ."
Melankolis. "Kau terlalu romantis." "Tidak juga, Riuh. Aku hanya bicara fakta."
Hening. Taman ini mulai ditinggalkan cahaya. Satu persatu lampu dimatikan. Hanya lampu yang dianggap vital tetap dihidupkan. Tubuh kita mulai mengelam. Aku mencuri pandang ke wajahmu. Kau juga mencari-cari cahaya di dalam wajahku. Lalu saling meraba. Tanganmu lekat di dadaku. Jariku meremas dadamu.
Sebentar lagi sayapmu terbentang. Kau akan ajakku terbang. Kita akan meninggalkan landasan.
"Ke mana?" tanyamu mengingatkan, ketika kita mulai meninggalkan pucuk pohon di taman ini.
"Entahlah. Kota sudah kehilangan tempat singgah. Gedung-gedung tak lagi menyediakan ruang bagi pertemuan. Dan kamar akan terisi hingga beberapa hari lagi. Apakah kau mempunyai usul?"
Kau kembali menggeleng. "Kita bisa cari benua lain," tiba-tiba kau bersuara, selepas hening beberapa lama.
"Setahuku sudah tak ada lagi benua di semesta ini. Semuanya telah terhapus oleh beberapa kali bah sejak Nuh dulu& "
"Jangan meracau!" kau mengancam. Tanganmu mencengkeram leherku. Gigimu sudah dekat mendarat di leherku. Bertaring dan laksana ulu pisau.
"Gigimu bisa birahi?"
"Bahkan mampu melumatmu," katamu ringkas. "Kau tahu aku sudah bernafsu."
"Aku juga." "Di mana kita singgah?" "Maumu?"
"Kau ganti kelamin dulu," kau kembali tersadar kalau kita sama-sama betina.
"Tak mungkin," sergahku. "Tapi biarlah, betina bercinta dnegan betina."
"Asyikah itu?" Malam yang semakin larut membuat kita malas bercakap. Kau terus membawaku terbang kian meninggi. Entah sudah berapa kota kita lalui. Sungai-sungai memanjang. Waktu yang tak lagi berbilang.
Kau makin rapatkan pelukanmu. Aku semakin masuk ke dalam sayapmu.*
Lampung, 20 September 2005
Noriyu Cerpen: Kurnia Effendi Sumber: Koran Tempo, Edisi 10/02/2005
AKU membuka pintu sebelum ia mendaki tangga teras dan mengetuk bidang kayu warna coklat tua. Ia terpana di tanah berumput, memandangku dengan mata tak berkedip. Celana krem dengan blus-kaus warna putih yang memiliki bordir di bagian belahan dada terlampau kontras dengan langit kelabu yang melatarinya.
Lalu turunlah hujan. Air yang tumpah dari langit tidak membuatnya beranjak dari tempat semula. Tidak tampak mengejutkannya, seperti telah diperkirakan dengan akurasi detik, bahwa mendung di atas kepalanya akan berubah menjadi hujan. Wajahnya sebentar tengadah dan berjuta titik air menyiramnya. Rambutnya seketika basah. Juga pakaiannya.
"Ayo, naiklah!" kataku. Aku berdiri di tengah sepasang pintu yang terbuka lebar. Ada hembusan angin basah yang bertemperasan menempuh tubuhku.
"Kamu ingin aku naik ke beranda?" Ia bertanya seperti tak yakin.
"Salah. Kamu yang ingin naik, dan aku mengingatkanmu."
Kedua alisnya hampir bertaut. Wajahnya yang diguyur hujan tampak lucu. Menggemaskan.
Ia tidak mencoba bertahan dengan berbagai alasan. Kakinya, mulai dari yang kanan, sebagaimana diajarkan oleh orang tuanya sejak masa kanak-kanak, menginjak tangga pertama. (Oh ya, sekarang dia berusia dua puluh tujuh tahun. Tapi buah dadanya cukup memprihatinkan: tak melampui besar buah apel). Kaki kirinya menginjak tangga kedua. Dan seterusnya. Sampai ia berdiri hanya beberapa sentimeter di depanku. Selain aroma hujan, ada wangi yang kuhirup dari parfum yang mungkin tetap lekat di serat pakaiannya.
"Namaku Noriyu," ia memperkenalkan diri. "Aku sudah tahu."
"Maksudmu?" "Aku sudah tahu namamu Noriyu."
Kembali sepasang alisnya hendak bertaut tanda sejumlah pertanyaan terhimpun di keningnya. Tapi kemudian ia tersenyum. Kurasa, ia termasuk perempuan yang tak terlalu memikirkan muslihat lawan bicaranya. Ia bisa saja menganggapku seorang Picasso, yang selalu berucap, "Hai, aku sudah mengenalmu sejak sebelum kamu dilahirkan& " kepada setiap perempuan cantik yang menarik minatnya untuk jatuh cinta.
"Bagaimana kini rupaku?" Dia, Noriyu, mengangkat wajahnya menatapku lurus, memperlihatkan seluruh paras yang kuyup oleh hujan.
"Ternyata kamu tak berhasil menjadi buruk," kataku sejujurnya.
"Maksudmu?" "Ternyata kamu tetap cantik. Bahkan lebih menggemaskan dalam keadaan seperti itu. Jika tidak ingin disebut menggairahkan."
Ia mengumpat perlahan. Seperti seseorang yang kecewa. Tapi aku tidak menyesal telah mengucapkan pendapatku itu. Aku tak pernah berdusta. Bahkan dalam keadaan terpaksa sekalipun.
"Sebaiknya kamu menangis seperti orang lain menangis ketika berduka. Lakukan seperti seseorang yang baru saja kehilangan sesuatu." Saranku. "Kenapa mesti ditahan dalam dadamu yang rapuh?"
"Kenapa kamu mengejekku?" Ia mendorong dadaku dengan tangannya yang juga basah. Lalu ia masuk ke dalam rumah. Lantai ruang tamu segera dihiasi genangan oleh tetes-tetes air dari tubuhnya.
"Kamu tak ingin melepas sepatumu" Kamu pasti merasa sayang jika sepatu itu rusak. Ada kenangan tersimpan di sana, yang akan mengingatkanmu pada Bandung. Dan& "
"Diaaaam!" Noriyu menjerit dan matanya menyorot tajam kepadaku. "Dari mana kamu tahu semua itu?"
Aku diam saja. Dengan cara itu, aku tahu, Noriyu tidak akan melanjutkan kegeramannya. Dan seperti yang kusarankan, ia melangkah ke sebuah sofa. Duduk tanpa perduli pada air yang akan rembes ke bahan berpori yang membungkus busa kualitas tinggi itu. Benar, dia menangis. Kulihat dadanya naik-turun, bagai ada pompa yang bekerja di dalamnya, berusaha meniup sepasang balon yang terbalut blus-kaus itu, tapi tak pernah berhasil membuat mereka menggelembung.
Tumit kirinya mencoba melepas sepatu di kaki kanan, lalu ujung ibu jari kaki kanannya melepaskan sepatu yang kiri. Kini sepasang kakinya telanjang. Bagian bawah setiap jarinya mulai keriput oleh dingin air yang sempat merendamnya beberapa saat.
Hujan masih membuat lukisan garis pada bingkai jendela. Kadang-kadang berhias petir. Tapi tentu ledakan perasaan sedih jauh lebih kuat di dada Noriyu. Yang kini dialirkan melalui air mata. Meski sulit dibedakan, mana yang terbit dari sudut mata, dan mana yang bersumber dari ujung-ujung rambut basahnya di pelipis.
"Sebaiknya kamu tulis seluruh perasaanmu. Selain akan membuatmu menjadi lega, kamu melahirkan satu kisah lagi yang dapat dibagikan kepada temantemanmu& "
Kata-kataku terhenti oleh pandangan matanya yang tajam. Tangannya menyeka pipi dengan kasar. "Kamu ingin aku menulis sebuah kekecewaan yang mendalam?"
Aku menggeleng. "Aku hanya mengingatkan. Sejak kamu berjalan dari plaza itu, sudah tumbuh keinginanmu untuk menulis. Dengan segera melakukannya, gumpalan yang menyesaki rongga dadamu itu akan mencair, bahkan mungkin menguap."
Sepasang tangannya tiba-tiba menutupi wajahnya. Dan aku tahu, dari sela-sela jemari kurus itu mengalir air mata. Aku membiarkan kemarahan yang memadat itu terurai. Dengan cara itu, senyumnya akan lekas kembali.
Beberapa menit kemudian Noriyu berdiri. Ia tahu, dengan membiarkan tidak mengganti pakaian, tentu akan masuk angin. Urusan bakal memanjang dan lebih tidak nyaman. Tapi ia masih cukup perduli dengan daya tahan tubuhnya yang terlukis melalui semua ukuran minimum.
Sebelum ia melangkah, ia memandangku. "Apa lagi yang hendak kamu katakan?"
Aku tersenyum. "Mandilah dengan air hangat. Lalu menyeduh segelas susu. Itu akan& "
"& memulihkan tenaga dan menghindari penyakit yang tidak perlu terjadi." Noriyu melanjutkan. "Itu aku tahu, karena aku dokter!"
Aku tidak membantah. Percuma. Aku hanya ingin menjadi sahabatnya. Yang hadir di saat dia membutuhkan. Untuk melipur perasaannya yang terluka. Menjahit hatinya yang robek. Tapi, entahlah. Apakah kali ini berhasil" Walaupun ia seorang dokter, bukan berarti hatinya terbuat dari aluminium.
Sehabis mandi dan meneguk kopi hangat (ternyata bukan susu hangat) dari cangkir keramik, yang tampak terlalu pekat, Noriyu menyalakan komputer. Ia membiarkan cahaya lampu hanya menyala untuk keyboard yang mulai diraba oleh jari-jari kurusnya. Ah, kenapa ia tidak mencoba sedikit rakus saat makan siang, agar lengannya lebih berisi" Rasanya sangat sulit. Jika kubujuk, tentu akan pecah pertengkaran yang ujungnya justru tidak mau makan sama sekali, kecuali mengunyah mangga muda atau sebutir buah pir.
"Mulailah dengan umpatan, agar perasaanmu puas. Setelah amarahmu reda, kata-kata awal itu boleh kamu ganti& "
"Kenapa kamu mengajariku?" Noriyu meradang. "Aku tahu bagaimana aku harus menulis. Kamu pikir aku siapa?"
"Siapa yang mengajarimu" Aku hanya mengingatkan." Tangan Noriyu terangkat dari keyboard. Merajuk.
"Mungkin sebaiknya kamu saja yang menulis. Bukankah itu lebih meringankan bebanku?"
"Apakah benar kamu setuju" Apakah kamu ingin aku menceritakan semuanya tanpa satu adegan pun terlewatkan?" Aku memancing.
"Terserah apa maumu!"
"Sejak kamu duduk di kafe itu menunggu kedatangannya" Atau langsung dari setiap jalan pikirannya yang mulai tidak kamu pahami dan menerbitkan perdebatan sengit?"
Air mata perlahan-lahan meleleh ke pipinya. Ke pipi Noriyu yang mulai cekung, padahal pagi tadi masih tampak bulat.
"Atau diawali dengan selera makanmu yang hilang" Atau agar lebih menarik, justru dibuka dengan kejadian ketika kamu meletakkan bingkisan yang sedianya kamu serahkan secara manis, tapi berubah dengan bahkan - melepas cincinmu" Ya, persis sebelum kemudian kamu dengan setengah berlari meninggalkan kafe& "
Sepasang tangan Noriyu kini menutup telinganya. Matanya terpejam, seperti yakin pelupuk yang terkatup itu sanggup menahan gempuran luar biasa yang datang dari dalam hatinya. Lalu ia berteriak: "Diaaaaam!"
Aku pun terdiam. Namun suasana tidak sungguhsungguh sepi, karena masih terdengar desis gerimis di luar rumah. Warna langit putih tua. Pada warna serupa itu, waktu tak dapat dibaca dengan cermat: masih siang atau sudah sorekah"
"Siapa sebenarnya kamu?" tanya Noriyu lantang. "Dan apa maumu?"
Aku tersenyum sabar. "Aku hanya ingin menjadi sahabatmu. Aku akan menghalau seluruh temperamenmu yang hanya akan membuatmu putus asa. Aku akan menjaga perasaanmu yang paling rapuh."
Noriyu menggeleng. "Aku tidak mengerti& " "Sesungguhnya kamu mengerti. Kamu tahu. Seperti aku tahu siapa kamu sesungguhnya."
"Siapa namamu?"
"Kamu bisa memberi nama siapa pun untukku." Noriyu terdiam. Ia memandangku demikian cermat. Lalu terdengar suaranya perlahan, pertanda emosinya reda. "Kamu laki-laki atau perempuan?"
Aku tidak menjawab. Karena aku tahu, Noriyu pasti tahu, aku laki-laki atau perempuan. Dia sangat tahu, aku adalah bagian dirinya yang memisahkan diri saat perasaan kecewa, sedih, marah, atau kehilangan sedang meremas hatinya. Aku yakin dia tahu.
*** (untuk Nova Riyanti Yusuf)
Jakarta, 23 September 2005, 22.00 -23.54 Keterangan Sriti.com : Cerpen dikirim melalui surat elektronik dari pengarang bersangkutan
Ziarah Cerpen: Soeprijadi Tomodihardjo Sumber: Koran Tempo, Edisi 08/28/2005
SEPERTIGA dinding rumah Yu Rah tembok biasa, tingginya tak lebih satusetengah meter di atas tanah, selebihnya cuma dinding bambu dilabur kapur yang agaknya kerap kali diulangi hingga jadi tebal menutup tiap celah yang dulunya memang menerawang. Rumah tua itu nampak dirawat dengan cermat hingga kelihatan seperti baru, kecuali tiap keping genting yang lumutan kehitaman namun nampak utuh dan masih kukuh.
Aku menyebutnya rumah Yu Rah karena dulu memang miliknya, tetapi aku tak tahu siapa penghuninya sekarang. Lukita lebih tak tahu lagi, sebab dia sudah puluhan tahun tak menginjakkan kaki ke desa kelahirannya ini. Dulu rumah itu milik Eyangnya, tetapi dihuni Man Wignya dan istrinya orang tua Lukita yang sama-sama menjabat guru sekolah Ongko Loro. Mereka pernah ikut memugar, membangun sekat-sekat kamar, memasang beberapa tiang kayu dan atap bambu yang baru. Tidak jelas apakah itu berarti mereka ikut mewarisi rumah itu. Tetapi Man Wignya dan istrinya sudah lama pindah, diangkat jadi kepala Sekolah Rakyat di Tambakbaya beberapa bulan sebelum tentara Jepang mendarat di desa pantai utara itu. Mereka sudah wafat pada awal tahun 80-an abad silam pada usia senja. Kini tak ada lagi kerabat Lukita yang dapat memberi keterangan tentang Yu Rah. Tetapi Luk berkeras hati: "Belasan ribu kilometer kutempuh hanya untuk melacak jejaknya Mas, bila perlu hingga liang kuburnya!"
Hujan baru saja reda ketika kami mendatangi rumah tua itu. Namun cuaca sudah mulai gelap saat kami meninggalkan rumah Pak Lurah di mana kami menginap.
Luk sudah tak sabar menunggu sampai besok pagi. Dia mengingatkan,
"Besok pagi kita nyekar ke Penataran. Jangan buangbuang waktu Mas, sesudah nyekar kita ngejar kereta-api di Wlingi. Jam tiga siang mesti sampai di Malang."
Aku mengingatkannya, "Acara syukuran kan baru jam setengah tujuh?"
"Iya, tapi kita kan capek, perlu istirahat dan mandi segala."
Di pintu pagar menuju halaman rumah Yu Rah kunyalakan lampu senterku. Sepasang sandal yang sore tadi nampak dari dokar yang kami tumpangi, masih bertengger di atas keset di depan undakan.
"Rumah ini pasti sudah ditempati orang lain, Luk," kataku. Belum tentu mereka tahu di mana kerabat Yu Rah sekarang. Bayangkan, sudah lebih setengah abad keluargamu meninggalkan desa ini."
Lukita keras kepala, "Ada orangnya kok Mas, mungkin Cina pemiliknya, atau penyewanya yang baru. Kita coba dululah."
Luk nekad menguak pintu pagar. Aku sendiri ngeri setelah dengar cerita sebenarnya. Menurut Pak Lurah, rumah itu sama tua dengan bapaknya yang meninggal dalam usia 49 bersamaan datangnya tentara Jepang. Bisa kubayangkan betapa tua rumah itu sekarang. Seratustujuh tahun! Luk masih juga coba memeras apa yang sudah jelas,
"Menjelang jaman Jepang rumah itu dihuni keluarga ayah saya, Pak Lurah. Sekarang siapa tinggal di sana?" "Tidak ada, Pak. Memang pernah ada keluarga yang tinggal di sana tapi berganti-ganti. Sekarang suwung."
"Lho, enggak ah Pak," bantah Luk. "Ada orangnya, kok. Tadi dokar yang kami tumpangi lewat sana. Saya lihat ada keset dan sandal di depan undakan. Barangkali kerabat Yu Rah, andaikan mereka masih ada. Bisa saja anaknya atau cucunya, bukan" Atau sudah dijual dan sekarang ditempati pemiliknya yang baru."
"Saya tahu Pak, pemiliknya orang Cina, pedagang besar di Blitar. Tapi sekarang suwung, belum ada yang nyewa. Kalau ada orangnya kan lapor ke sini Pak, wong saya lurahnya! Lagi pula Yu Rah itu siapa?"
Luk diam, tak mau mengaku. Aku tahu, dia malu membuka rahasia keluarga. Dengan tak sabaran kujawab pertanyaan Pak Lurah,
"Yu Rah itu dulu pewarisnya, Pak Lurah. Tapi barangkali sudah meninggal dunia, kecuali berumur seratus tahun. Mana mungkin?"
Pak Lurah bilang, perempuan tertua di desanya berumur tujupuluhlapan tahun tapi itupun sudah lama meninggal dunia. Lurah desa juga sudah puluhan kali ganti, sekarang kebetulan giliran dia.
"Maafkan saya," desah Pak Lurah. "Saya kenal semua orang di desa ini Pak, tetapi tak penah ada ... siapa tadi nama lengkapnya?"
Tak kuduga Luk mengaku: "Namanya Dirah, Pak. Saya rasa sudah meninggal dunia. Tetapi saya lihat tadi, ada keset dan sandal di sana. Berarti ada orangnya bukan" Mungkin kerabatnya."
Pak Lurah ragu, mata tuanya yang agak belekan mengedip berkali-kali kena asap kreteknya sendiri.
"Mungkin sampeyan salah lihat," ucapnya. "Tapi memang banyak yang bilang ada penjaganya."
Luk kian penasaran: "Tolong katakan Pak, siapa penjaganya. Mungkin dia dapat memberikan keterangan siapa nama pemiliknya dan di mana alamat rumahnya. Saya ingin ketemu penjaganya, Pak Lurah."
"Wah, sampeyan barangkali mesti bakar kemenyan dan menunggu satu malam sembari semedi."
Luk sontak membelalak dengar ucapan Pak Lurah. Sejak 1965 dia langlang buana, beberapa tahun tugas belajar di Moskwa, lalu loncat ke Eropa Barat dan akhirnya suaka di negeri Belanda hingga hari ini. Istrinya Belanda. Nalarnya Belanda. Hatinya Belanda. Luk lupa tradisi nenek-moyangnya yang sejak bebuyutan percaya thuyul dan takhayul.
"Maafkan saya, Pak Lurah," kata Lukita. "Tapi saya tidak percaya yang begituan. Saya cuma ingin ketemu orang yang sekarang ada di sana."
"Jangan nekad, Luk," cegahku.
"Aku ingin tahu Mas, siapa yang jaga. Tadi kan ada sandal di undakan rumah itu" Mungkin orangnya bisa memberi informasi."
"Yang jaga Eyang Panji....," bisik Pak Lurah, seolah khawatir didengar arwah priyayi sepuh itu.
Tentu saja Lukita keheranan, sebab Eyang Panji itu siapa lagi kalau bukan Eyangnya!
"Mustahil Pak!" bantah Luk. "Sudah meninggal kok jaga rumah!"
"Lho...., sampeyan ini! Memang sudah lama wafat, saya sendiri tidak menangi. Tetapi saya tahu makamnya di dekat Penataran. Banyak orang ziarah ke sana, lebih-lebih menjelang Lebaran. Terkadang beliau datang waktu malam, menyalakan lampu, tetapi selalu menutup pintu."
Aku sendiri sukar menghindar dari ihwal supranatural nenek moyang orang Jawa. Lampu senter kunyalakan ketika kami melangkah di halaman rumah Yu Rah. Aku sangat cemas mendengar suara kemerasak sepatu kami sendiri ketika menginjak kerikil yang terhampar di halaman. Dalam bayangan sinar lampu senterku Luk menotok pintu kayu bercat coklat yang nampak masih mengkilat. Beberapa kali Luk mengulang tetapi tak ada jawaban. Keset dan sandal kulit kulihat masih ada di undakan. Aku heran Luk nekad melangkah ke belakang rumah setelah gagal menunggu sahutan.


Kumpulan Cerpen Karya Kurnia Effendi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sini Mas, senternya!" seru Luk.
Aku menyusulnya dengan langkah sangat hati-hati. Luk menatapku, seperti ingin mengucapkan sesuatu. Kusilangkan telunjuk jari di bibir, kuatir dia berbicara terlalu keras. Kami mengitari dinding belakang yang agak menjorok ke kanan, tentunya bagian dapur. Di belakang rumah kulihat ada jemuran kawat. Cuma segumpal gombal bekas ngepel tersampir di situ, tanda pernah ada orangnya. Sebatang pohon rambutan sedang berbuah kuning dan merah dalam sorotan lampu senterku. Kami terkejut, entah burung apa tiba-tiba beterbangan menggoyang rumpun daun rambutan. Ternyata beberapa ekor keluang dengan rentang sayap-sayap yang panjang.
"Gelap di belakang sini," gerutu Luk. "Sudah kuketok beberapa kali. Memang tak ada orang."
"Sandal itu Luk!" bisikku.
"Oya, mungkin orangnya ketiduran, tak mau diganggu." Kulihat ada beberapa celah kecil di dinding belakang, tetapi tak tertembus sinar lampu senter. Aku ingin segera terbang dari rumah penuh misteri ini.
"Sudahlah Luk," bisikku. "Percuma, tak ada orangnya." Kami melangkah kembali menuju halaman depan. Kuarahkan sinar senter ke sekitar sana. Di sebelah kanan nampak sebatang kelapa gading digayuti rumpun buahnya yang kuning. Lalu di sebelah kiri ada sebatang pohon jambu dersana yang sudah berbuah, lagi-lagi beberapa ekor keluang menggelepar di sela-sela rerantingnya. Kesanku, rumah dan pekarangan ini jelas dirawat dengan cermat, mustahil tak ada yang jaga. Kucengkam lengan Lukita, mengajaknya meninggalkan halaman ketika kurasakan sesuatu yang aneh seperti gelas pecah di dalam rumah itu. Luk tak bereaksi. Kukira dia tak mendengarnya dan aku membiarkannya, kuatir dia kembali coba menotok pintu. Kami menutup pintu pagar lalu turun ke jalan. Luk mengajakku bergegas menuju gardu, ingin tanya penjaganya.
"Kaulihat sandal itu, Mas?" tanya Luk. "Ya. Di atas keset."
"Lihatlah, sekarang sudah tak ada," katanya sembari mengarahkan senternya.
Mulutku terkunci. Tiba-tiba kulihat lampu senterku sudah berada di tangan Luk, entah kapan benda itu pindah tangan. Sepatuku terasa berat bak melekat di jalan batu, seolah tak sejangkah bisa melangkah. Luk menggandengku dengan menggumam,
"Jangan cemas, Mas. Setan cuma ada di benak kita." Tetapi kudukku dingin dan tegang, seperti ada tangan menggerayang. Ketika kupegang ternyata tangan Lukita. Di belakang kami kudengar langkah sepatu, mungkin dua atau tiga orang, di antara mereka suara wanita. Kami tak berurusan dengan mereka. Suara itu lenyap dalam gelap ketika kami melangkah menuju gardu.
"Sugeng dalu!" suara penjaga gardu. "Malem Minggu Pak, mesti sabar nunggu giliran."
Lukita hanya tanya, apakah dia jaga malam sendirian, siapa penghuni rumah itu sekarang. Lelaki itu bilang teman satunya belum datang dan rumah itu hanya dijaga pemiliknya, orang Cina yang datang hanya waktu malam untuk menyalakan lampu tetapi selalu menutup pintu. Luk kehilangan selera untuk terus bertanya. Kamipun melangkah balik menuju kelurahan. Luk berjalan cepat dan aku tersaruk-saruk mengejarnya. Sampai di muka pagar rumah Yu Rah Luk mengarahkan lampu senternya sekali lagi. Langkahku seperti lari.
"Kurang ajar! Dia kira kita cari sundal." Serapah Lukita. "Pak Lurah curang, tak mau terus terang," umpatku. "Kaulihat tadi, Mas?" tanya Luk, lagi-lagi bikin aku ngeri dengan pertanyaannya.
"Lihat apa ah!" sergahku.
"Sandal itu masih ada, sekarang malah dua pasang!" "Jangan nakut-nakuti, Luk! Kaukira sandal siapa?" "Sandal siapa" Jelas bukan sandal yang tadi! Siapa pemiliknya bukan urusan kita. Tetapi setan cuma ada di benak manusia, Mas!"
Sungguh gila, pikirku, diam-diam rumah Yu Rah sudah disulap jadi sarang pelacuran. Kami terus melangkah di belakang sinar lampu senter yang berulang-ulang menyorot dari tangan Lukita ke arah semua arah. Listrik belum sampai di desa ini. Malam hari dicemari para pelanggar susila. Penjaga gardu malah mambantu. Kami dikejutkan bunyi kenthongan. Sembilan kali pukulan.
PAGI sekali kami meninggalkan kelurahan dengan dokar yang kemarin kami tumpangi, kami sudah memesannya. Luk menyuruh Pak Kusir berhenti sebentar untuk mengambil potret rumah Yu Rah dari beberapa posisi di luar pagar. Tak ada lagi sandal yang kelihatan. Tinggal keset di atas undakan. Kami cepat-cepat meninggalkan jalan desa.
"Seingatku sejak dulu gardu ini sudah ada," kata Luk ketika dokar melewati gardu.
"Cuma kenthongannya Pak, yang sudah beberapa kali ganti," celetuk Pak Kusir.
Kenthongan kayu itu nampak bergantung dengan perut runyam kena hantam selama masa dinasnya.
Dari Wlingi sebenarnya Lukita bisa kuantar naik taksi langsung ke Penataran, tetapi kemarin kami turun di Talun karena Luk berkeras mau singgah di desa itu mencari rumah Yu Rah yang ternyata masih ada.
Hingga Man Wignya dipindah menjelang jaman Jepang, Luk jarang pulang ke rumah itu kecuali waktu liburan, karena dia ikut Bude Biskal di Kediri, istri pensiunan kepala Dinas Fiskal. Tentu saja Luk lebih suka tinggal di kota besar ketimbang ikut orangtuanya di desa kecil yang mencil ini: sebuah desa senyap dan gelap, tak ada listriknya tak ada kereta-apinya. Alangkah bahagia baginya bila Yu Rah juga ikut Bude Biskal di Kediri, sebab sekian lama dia pernah di-emongnya. Namun Bulik Wignya melarang: "Yu Rah harus tetap di desa ini, Luk. Sewaktuwaktu Eyang datang Yu Rah ada di rumah."
Lukita sangat jarang ketemu Eyangnya. Kata Yu Rah, beliau tinggal jauh di dusun, menanam ketimun dan palawija, ladangnya perlu dijaga. Lelaki itu ternyata pengelana, sejak lama hidupnya selalu pindah dari desa ke desa, dari rumah ke rumah, akhirnya ketemu Yu Rah. Mendiang Pakde Biskal pernah cerita, lelaki itu benggol kecu, buron yang lari dari jeron kraton di Surakarta garagara Rust en Orde: program tata-tentrem Gubernur Jendral. Beliau punya simpanan di mana-mana, maksudnya gendak, mungkin gundik. Tetapi Bude Biskal bilang, jangan sampai Lukita dengar dari mulutku tentang lelaki itu.
Sekali waktu saat liburan aku ikut Lukita pulang, menginap di rumah Man Wignya. Kebetulan waktu malam Eyangnya datang. Man Wignya dan istrinya bersujud di lutut beliau. Luk digendongnya, diciuminya. Luk dan aku tidur sekamar. Aku tak tahu malam itu Eyangnya tidur di kamar mana. Jauh malam kudengar beliau menotok pintu kamar Bulik Wignya:
"Nok, Denok!" Man Wignya dan istrinya keluar kamar. Kudengar beliau pamitan:
"Aku berangkat Ngg"rr, jam empat mereka menunggu di gardu. Titip Lukita, biar tetap sekolah di Kediri agar kelak jadi priayi, jangan buron seperti ayahnya."
Bulik Wignya terhisak memohon restu. Sebuah perpisahan yang mengharukan. Lalu kudengar lelaki itu melangkah ke kamar Yu Rah. Tentulah untuk berpisah.
Lukita pasti sudah mengecewakan lelaki itu, sebab sejak jaman Jepang HIS sudah dirubah jadi Sekolah Rakyat biasa, bukan lagi sekolah putra-putri priayi yang mendidik calon priayi. Luk masih bisa mengingatnya,
"Yu Rah nampak terhisak Mas, waktu melepasku meninggalkan desa ini bersama orangtuaku. Seharusnya dia ikut pindah bersama kami. Dia gati sekali sejak aku bayi."
Tetapi cerita itu sudah lewat setengah abad. Aku nasehatkan, "Lupakan saja Luk, tugas kita kan cuma melaksanakan kehendak Yang Maha Kuasa!"
"Iyalah Mas, Yu Rah pun pasrah. Aku cuma teringat dia meratap. Ibu menarik lenganku, memaksaku agar ikut naik dokar menuju Wlingi, dari sana naik kereta-api. Dan itulah hari terakhir aku meninggalkan desa ini, berpisah dengan Yu Rah."
DOKAR menunggu di luar. Kami memasuki halaman pekuburan. Tak ada penjaga. Hanya seorang perempuan penjual kembang doprok dengan anak balitanya di luar gerbang. Luk membayar untuk seraup kembang yang dibungkusnya dengan daun pisang.
Beberapa orang nampak mengelilingi sebuah makam. Kami mendapat firasat, lalu buru-buru beranjak ke sana. Terdengar mereka merapal doa-doa, mungkin Surat Yasin. Kami yakin itulah makam yang selalu dikunjungi para peziarah menurut Pak Lurah. Tetapi hari itu bukan Lebaran. Ada yang menggerakkan tangan, mengajak kami ikut berdoa.
Sampai mereka meninggalkan kuburan, kami masih berdiri di sisi makam. Ternyata ada dua makam di depan kami, terkurung pagar besi.
"Yang ini terang Eyang, Mas," kata Luk, tangannya meraba batu nisan yang satu. Tulisan itu berbunyi RP Danudiningrat. "Dan yang ini ...."
"Siapa, Luk?" Luk terduduk, kepala merunduk. Mata Luk kulihat sembab, butir-butir air menggulir. Tangannya mengusap huruf-huruf pada nisan satunya lagi. Aku menatap sepatah kata berbunyi .... Dirah. Luk menegurku,
"Kenapa kau pura-pura tanya, Mas" Padahal...." "Sudahlah, Luk." Kugenggam lengan Lukita, terasa lempir menggelambir. Sudah setua itu dia sekarang. Enampuluhdelapan.
"Biarkan aku, Mas. Aku puas. Aku berbahagia menemukannya. Tapi kaulihat sendiri, ini kuburan Yu Rah. Apa pendapatmu, jika makam laki-laki dan perempuan jejer jadi satu seperti ini?"
"Suami-istri, Luk." "Oallah Maaas...."
"Sudahlah, Luk. Maafkan aku. Kau tahu, mereka ayahibumu."
Lukita sontak tersedu. Kurangkul adik misanku ini. Mesti kupanggil apa dia sekarang" Paman, barangkali"** Paran, September 2004
____________Soeprijadi Tomodihardjo tinggal di Jerman, pensiunan pegawai sekertariat Rumahsakit Universitas K"ln.
1) Man Paman 2) Sugeng dalu selamat malam
3) RP Raden Panji Catatan Sriti.com : Cerpen ini dikirim melalui surat elektronik dari pengarang bersangkutan. Cerpen yang dipublikasikan di media yang memuatnya dapat berbeda.
Film Noir Cerpen: M. Iksaka Banu Sumber: Koran Tempo, Edisi 08/07/2005
Keterangan : Cerpen ini adalah cerpen sebelum dimuat (versi pengarang)
Raung sirine terdengar lagi. Kadang menjauh, kadang begitu dekat. Apakah polisi telah mencium kehadiranku di sini, dan sedang menyisir kota"
Tanpa kesadaran penuh, kususupkan tubuh ke pintu bangunan temaram di sisi kiri, untuk kemudian terkesiap. Ini Blue Saxophone. Satu-satunya pub dengan nuansa jazz di wilayah ini. Sebuah pub kecil. Tempat seluruh kisah ini bermula. Apakah aku harus percaya teori yang mengatakan bahwa pembunuh punya kecenderungan berziarah ke tempat di mana ia memulai sejarah kelamnya"
Tapi ini memang Blue Saxophone. Musik live saban Jumat, seperti malam ini. Dengan panggung sempit, pampat asap rokok. Dikelilingi dinding kayu, tempat bergantung tiga buah neon sign merek bir yang tidak pernah berfungsi sempurna sejak dulu. Sama seperti penyejuk ruangannya yang melulu menyemburkan angin, bukan hawa dingin. Membuat udara menjadi berair dan apek.
Lucunya, dulu aku tak keberatan dengan semua ini. Mungkinkah suasana hatiku yang telah berkhianat" Khianat. Berkhianat. Pengkhianat. Astaga. Belakangan ini kata-kata itu demikian akrab menyapa.
Kuperbaiki letak kacamata dan kumis palsuku. Kemudian, setengah menunduk, kulempar pandangan ke panggung. Seorang pemusik tambun memejamkan mata saat menapak ulang bait-bait terompet milik Dizzy Gillespie. Permainannya tidak begitu buruk. Meski demikian, beberapa pengunjung mabuk lebih tertarik mengikuti siaran olah raga dari televisi yang digantung dekat bar.
Ke tempat itulah langkah kuayun.
Ya, di meja bar ini, di sudut yang paling miskin cahaya, dekat deretan gelas high ball, lima tahun yang lalu, kujumpai wanitaku. Perempuan kecil dengan dagu kelewat tirus untuk dahinya yang lebar. Bentuk wajah yang ketika itu cocok sekali dengan angan-anganku.
Pertama terlihat, ia hanyalah sepotong siluet ganjil di depan lampu kulkas besar yang menyala lantaran pintunya terbuka lebar. Sementara aku adalah seorang pengunjung yang baru saja menemukan tempat duduk nyaman di hadapannya.
Di sini. Persis di bangku bundar yang sedang kududuki saat ini.
"Maaf, wanita apa?" Sambil mengangsurkan minuman pesananku, ia mencondongkan badannya untuk memperoleh pendengaran lebih baik.
"Wanita Sebelum Malam. Judul film yang akan kubuat." Kusulut sebatang rokok. "Dan sekali lagi, kutawarkan kepadamu sebuah peran di situ."
"Anda orang film?"
Kusodorkan kartu nama. "Aku sedang memeriksa lokasi syuting dekat sini, sambil membantu departemen talent mencari pemeran utama wanita."
"Arya Panji Diwangkara" Astaga. Benar!" Ia mundur setelah melirik kartu namaku. "Seribu Nyawa Untuk Romeo" Kekasih Bunga Besi?"
"Suka film-filmku" Bagus sekali."
"Ya ampun, Arya Pe De! Cult movie! Film Noir!" Wanita itu tak berusaha menyembunyikan pendar gembira di matanya. Pada kejernihan pendar itu, sekaligus kutangkap isyarat kecerdasan.
"Aku Anggi. Anggraeni Barati. Aku buta soal akting, meski gemar nonton film. Tapi aku tertarik."
Kuberi ia gambaran singkat tentang seni peran dalam dunia layar lebar. Tampaknya ia sangat serius. Sayang, hasil audisi keesokan harinya tak terlalu istimewa. Johari, kameraman yang sering membantuku meraih penghargaan, juga tidak terlalu optimis. Tapi aku bergeming. Peran Maizura tetap kuberikan kepada Anggi.
Apabila kukenang kembali keputusan itu, bulu kudukku meremang. Telah kupertaruhkan jutaan rupiah dari investor berikut nasib seluruh awak filmku semata kepada suatu zat ajaib bernama Naluri.
Mungkin waktu itu pertimbanganku sederhana: Dalam empat minggu ke depan, toh kami belum akan mengambil adegan yang melibatkan Anggi. Masih ada sedikit waktu untuk belajar. Jadi, kuminta gadis itu duduk di sebelahku, menyimak akting para pemain. Meresapi teks seraya menyuarakannya kembali tanpa terdengar seperti hafalan. Selain itu, kuminta ia berlatih mengolah kelenturan tubuh kepada Miss Tasya Rayanti, pebalet legendaris yang kuikutsertakan dalam film ini.
Anggi melahap semua pengetahuan tadi seperti singa kelaparan berjumpa mangsa. Sampai tiba saat itu. Pengambilan adegan nomor 40 sampai 48. Dialog di atas tempat tidur antara Karma dengan kekasih gelapnya, Maizura. Istri Jakobus Van Eyk, juragan teh Priangan.
Analisa sudut kamera, penataan lampu serta properti dimulai dini hari dan baru siap enam jam kemudian. Hawa letih terungkap dari segala sudut. Hampir semua orang berharap agar pemain baru itu tidak membuat jam tidur malam semakin tipis. Aku ingat, rasanya dapat kudengar detak jantung orang-orang ini saat kuteriakkan aba-aba: "Action!"
Anggi memulai kalimatnya dengan gugup. Tapi berikutnya, jagat raya seolah tercipta untuknya: Bahasa tubuh yang lentur. Tarikan wajah yang sangat cair. Kalimatkalimat sulit yang berhasil meluncur tuntas dari bibirnya. Maizura Van Eyk hadir utuh di hadapan kami.
Kami jabat tangan Anggi. Kami beri ia ciuman. Seorang bintang telah lahir. Dan cahayanya terus bersinar, sampai seluruh adegan selesai tiga minggu berikutnya.
Hasil syuting dibawa ke Australia untuk diproses. Lusa, tentu aku menyusul. Namun petang itu, ketika seluruh kru telah bubar, kuajak Anggi keBlue Saxophone. Tak ada salahnya sedikit hiburan setelah kerja keras berbulanbulan, bukan"
Hari itu hari Jumat. Sama seperti malam ini. Terekam jelas di benak. Serasa kemarin. Anggi berpamitan kepada rekan-rekannya di pub, dan sempat berperan sebagai bartendris untuk terakhir kalinya sebelum duduk menemaniku.
Sambil meniti malam, melalui beberapa shot tequila kucoba menghapus peran guru-murid yang terlanjur terbentuk selama syuting.
"Berhentilah berterimakasih," kataku. "Semua sudah ada dalam dirimu. Aku sekadar memanggil. Yang penting, mulai sekarang lupakan sosok Maizura. Jangan mengulang bahasa tubuh dan air muka serupa di film berikutnya."
Anggi tertawa. "Lihatlah. Kurasa aku masih butuh banyak bimbingan. Kau tetap guruku."
Kami saling tatap. Musik live dengan terbata menirukan alunan terompet Miles Davis dalam Summertime. Kuikuti dorongan hati untuk merengkuh pinggang Anggi, lantas menuntunnya ke panggung.
Kami masuk ke tengah lingkaran lampu sorot yang redup. Mendengarkan riwayat hidup Miles Davis yang melayang di udara lewat moncong terompet. Perjalanannya menyusuri luka malam. Juga episode kebosanannya akan pekerjaan yang sangat dicintainya.
Aku bersyukur, belum bosan dengan pekerjaanku. Hidup yang sesungguhnya bahkan baru saja kumulai. Dan lelatu penyulut semangat itu ada dalam pelukanku malam ini. Bergerak lambat bersamaku. Mengekor tiupan terompet yang magis. Seperti sepasang tikus Hamelin yang patuh kepada seruling ajaib.
"Mengapa tak menikah lagi?" Bisik Anggi.
Aku tersenyum. Memang ada padaku sepotong cerita tentang cinta yang berkarat setelah lewat dua puluh tahun. Dan betapa karat itu nyaris tak menyisakan ruang lagi. Tapi alangkah sayang, menukar malam penuh gelora dengan hikayat purba.
Harus kuakui, irama blues, wangi parfum bercampur keringat ketiak wanita, dan barangkali juga alkohol, telah membangkitkan ilusi romantik yang agak berlebih. Kubawa bibirku hinggap ke bibir Anggi. Sedikit ragu pada awalnya, namun ternyata aku tidak sendirian dengan segala perasaan tadi.
Kami berdekapan. Saling melumat. Dan pada klimaksnya, menemukan diri kami terdampar di ranjang sebuah motel dalam bulir keringat serta sisa uap erotik yang mengendap di sana-sini.
Seiring pola nafas yang kembali teratur, kuteliti keadaan kami saat itu. Seorang pria Setengah baya. Setengah mabuk. Berbaring telanjang bersama sekuntum mawar belia. Terlalu gilakah bila kisah ini dikekalkan"
"Menikahlah denganku." Kusibak rambut di atas telinga Anggi. "Kita ciptakan dunia yang lebih berwarna."
Aku lupa jawaban Anggi. Mungkin ia tak menjawab. Yang jelas, pernikahan kami setahun kemudian nyaris bersamaan waktu dengan datangnya kabar gembira lainnya: Wanita Sebelum Malam menyabet lima penghargaan tertinggi dalam Festival Film Indonesia. Di antaranya: Penyutradaaran Terbaik, serta Pemeran Utama Wanita Terbaik.
"Dan juga kado pernikahan terbaik," kata Anggi sewaktu diwawancarai Media Infotainment di Ubud, Bali, pada hari kedua bulan madu kami.
"Tidak menyesal menikahi duda tua?" Kudengar seorang wartawan berteriak.
Aku maju. Bersiap memaki seperlunya. Tapi Anggi menahan.
"Duda tua ini adalah Arya Diwangkara. Satu dari sedikit sutradara terhormat di negeri ini. Apa yang harus disesali?"
Waktu itu, aku bangga setengah mati. Wanitaku, singa betinaku, ternyata perempuan berbudi yang tahu bagaimana harus bersikap. Tahu bagaimana meletakkan pondasi sebuah perkawinan. Tapi aku lupa, ketenaran dan rumah tangga bukanlah dua kata yang selalu cocok dipersandingkan.
Ketenaran adalah telepon selular yang berdering pada jam-jam mustahil, berisi perintah agar bersiap untuk dijemput syuting, mengisi kuis TV,talkshow, atau memenuhi jadwal pemotretan. Ketenaran juga berarti masuknya orang-orang asing ke pekarangan rumah untuk wawancara, syuting reality show atau sekadar foto bersama. Dan pemilik kebisingan di atas adalah istriku.
Rumah tangga, sementara itu, berarti jam-jam makan yang ngungun di ruang tengah yang terlalu besar untuk satu orang. Rumah tangga juga berarti percakapan tentang masa depan yang semakin kabur, serta perdebatan tak berujung tentang hal-hal remeh. Kesepian, kejenuhan, kejengkelan. Semua sepenuhnya milikku.
Sebelum menikah, aku sudah lama hidup sebagai pesohor dengan sebagian hak-hak pribadi yang juga terampas. Tapi setidaknya, aku kenal betul diriku, sehingga tahu bagaimana bertahan hidup sebagai manusia biasa, dan mematahkan setiap kabar miring dengan cerdik.
Setelah menikah, aku memang tak selalu siap bicara apabila pertanyaan wartawan berkaitan dengan perilaku istriku. Misalnya: "Siapa pria di kamar 301 Grand Duchess Hotel bersama Anggi pekan lalu?" atau "Benarkah pria muda yang berjalan bersama Anggi di pantai Marina itu pacar gelapnya?"
Aku bukan pencemburu. Bukan pula orang asing dalam hal manipulasi fotografi, sehingga tak pernah risau dengan gambar-gambar bodoh hasil rekayasa para amatir di koran gosip maupun internet. Apalagi sekadar kabar murahan semacam tadi.
Meski demikian, kuakui, perjumpaanku dengan Anggi semakin tak kerap. Apalagi saat ini aku juga tengah sibuk dengan filmku berikutnya. Berkirim kabar lewat telepon, meski cukup teratur, tentu tak bisa menyeberangkan kecupan atau belaian.
Sejauh ini, kulihat Anggi sanggup membuktikan bahwa semua isu buruk menyangkut namanya hanyalah berita tak berwujud. Namun suatu pagi, agak tergopoh, Johari masuk ruang kerjaku. Dikeluarkannya sekeping DVD lalu diputarnya di komputer yang terletak di atas mejaku.
"Aku menemukannya di sebuah rumah pasca produksi," katanya. "Editornya adik kelasku di bangku kuliah. Ia telah menerima uang bungkam dari Anggi. Tapi ia sangat hormat kepadamu. Jadi, ia menelponku kemarin malam. Maaf, Bung. Aku harus mengatakan sendiri kepadamu. Semua ini asli."
Kupandang layar komputer. Sejak remaja, tak terhitung banyaknya film biru yang kusaksikan. Aku juga sudah hafal seluruh lekuk tubuh istriku tanpa busana. Namun menyaksikannya telanjang sambil melonjak-lonjak gaduh dalam dekapan lelaki lain, rasanya demikian menyesakkan dada. Kubuka jendela. Kuhirup udara sebanyakbanyaknya.
"Perhatikan setting dan propertinya." Johari menunjuk. "Ruang tidur, ranjang Victoria, boneka beruang di depan pintu masuk. Ingat sesuatu?" tanyanya.
"Wanita Sebelum Malam," gumamku.
"Tepatnya, ini adalah versi biru dari film kita, dengan pemeran utama wanita yang sesungguhnya. Beri ijinmu, akan kuhancurkan master-nya sebelum film buruk ini beredar ke mancanegara."
Mendadak aku terpingkal-pingkal. Membuat Johari melongo.
"Bung," kupegang tangannya sambil masih terpingkal. "Kalau tujuannya murni komersil, aku tak keberatan. Darahku mendidih justru lantaran memikirkan kemungkinan lainnya." Aku berhenti tertawa. "Kurasa jalang ini ingin menyimpannya sebagai koleksi pribadi. Semacam suvenir melankolis bagi kekasihnya, si bedebah pria ini. Kau kenal orang ini?"
"Tidak. Tapi mudah diusut. Termasuk produser dan kameramannya." Desah Johari. "Aku hanya tak habis pikir. Dari seluruh filmnya, mengapa Anggi memilih Wanita Sebelum Malam?"
"Siapa bisa menebak pikiran pelacur?" Tiba-tiba mulutku menjadi sangat kotor. "Pulanglah, Har. Biarkan aku menyelesaikan ini."
Johari melotot. "Jangan gila, Arya. Aku tak mau terseret."
"Ini tak ada hubungannya denganmu. Pulanglah." Kutatap sosok Johari sampai lenyap dari bingkai jendela. Lalu kuambil sebotol bir dari lemari pendingin. Kureguk perlahan sambil memutar film itu sekali lagi.
Anggraeni Barati. Bintang tenar. Delapan film layar lebar yang selalu sesak penonton. Wanitaku. Singa betina. Pelacur murah. Menggeliat penuh gairah di atas otot-otot kelamin lelaki yang lebih ranum dari suaminya. Seperti Maizura Van Eyk!
Kurasa istriku telah melupakan nasehatku. Ia tak bisa lepas dari sosok Maizura. Alangkah malang. Tapi aku seorang suami yang baik. Selama tiga tahun menikah, selalu kupenuhi keinginannya dengan senang hati. Aku terlalu cinta kepadanya. Kurasa aku juga wajib mengabulkan permintaannya kali ini. Kuraih telepon selularku.
"Hai, Old Man." Kudengar sapa merdu dari ujung telepon seperti biasa. Suara Anggi. Tak seperti hari-hari kemarin, sebutan Old Man kini terasa harafiah. Menusuk hati.
"Hai, Sayang. Kubaca fotokopi callsheet-mu kemarin. Esok pagi, lokasi syuting terakhir tetap di Bandung, bukan?" tanyaku.
"Betul, kenapa" Kangen?"
"Blue Saxophone," kataku. "Bagaimana kalau kita mampir ke sana" Aku sudah selesai dengan syutingku, dan tiba-tiba ingin sekali ke sana."
Anggi tertawa. "Apa kataku dulu" Kau terlalu romantis, Old Man. Sinta mengajak ke Cihampelas besok malam. Tapi, ayolah. Blue Saxophone. Setengah delapan malam" "
"Setengah delapan malam. Tequila dan Live Music." "Oke, Old Man. Sampai teler ya?" Anggi menyudahi pembicaraan.
Aku suami yang baik. Selalu kupenuhi permintaan istriku tercinta. Ia ingin menjadi Maizura Van Eyk. Ia ingin teler.
Kuturuni tangga menuju ruang koleksi kerisku. Kuraih botol kecil berisi cairan bening. Cairan yang selalu kuoleskan pada bilah keris setiap selesai menjamasinya tiap tahun. Lalu aku mulai menelepon biro perjalanan untuk memesan tiket kereta api terpagi ke Bandung. Itu peristiwa sepekan yang lalu.
Dua ratus jam sebelum seluruh stasiun televisi menayangkan wajah Anggi dan wajahku berulang kali seraya membubuhkan judul Tragedi pada rentetan berita yang menyertainya. Itu sepekan lalu.
Sementara malam ini, di meja bar Blue Saxophone, potongan adegan akhir Wanita Sebelum Malam kembali menari-nari dalam pikiran: Pesta tahun baru 1938. Maizura Van Eyk yang setengah mabuk selesai berdansa, lalu pergi sebentar mengambil mantelnya. Ia baru saja memberi tahu suaminya bahwa ia memiliki kekasih lain, seorang pribumi, dan ingin bercerai.
Jakobus Van Eyk menerima berita itu dengan senyum terkembang. Lalu menuang arsenik ke dalam gelas anggur Maizura. Kematian datang lima jam kemudian. Waktu yang cukup untuk pergi jauh atau menyusun alibi.
Tapi aku bukan Jakobus. Aku tidak lari. Aku memilih berkunjung kembali ke Blue Saxophone malam ini. Mencoba berkawan dengan rasa sakit dan kenangan. Belajar menyadari, bahwa seluruh hidupku ibarat ramuan Film Noir yang nyaris usang: Getir, gelap, berdarah. Dan kurasa aku berhak membuat ending sekehendakku. Aku sutradara.
Kubuka kacamata dan kumis palsu. Seorang tamu di seberang mengangkat telepon sambil terus menatap. Mungkin ia sedang menghubungi polisi. Tapi mungkin juga hanya ingin mengucap rindu kepada kekasihnya di kota lain. Entahlah. Irama jazz membuat semua hal menjadi mungkin.
Kulirik sekali lagi pemusik tambun di atas panggung. Menurutku, lengking terompet Miles Davis agak berbeda dengan Dizzy Gillespie. Lebih pahit. Lebih nyeri. Dan aku sangat mencintai istriku. Di mana pun ia berada. Jakarta, akhir Mei 2005
Kepada Seno Gumira Pagi yang Indah Cerpen: Badui U. Subhan Sumber: Koran Tempo, Edisi 07/31/2005 Pagi.
Kenapa begitu banyak pagi untuk perumpamaan mengawali sesuatu"
Aku tak bisa menjawabnya di sini.
Dering alarm telepon seluler itu yang membangunkan tidurku. Jam dinding sudah lama rusak speakernya. Tirai jendela masih menghadang jarak pandang, tapi cahaya dari luar telah sanggup menembus setiap sela jalinan benang tebalnya. Kamarku tak bisa lagi bertahan dari kekapan gelap meski semua cat dinding berwarna hitam. Hari apa sekarang" Pada layar telepon seluler hanya ada tanggal, bulan dan tahun.
Mungkin tak ada mimpi tadi malam. Aku tak ingat apaapa. O, pukul tujuh lebih beberapa menit.
Ah, berapa jam, menit, dan detik lagi menuju kematian" Entahlah, pagi ini aku sudah terseret pada pertanyaan tentang kematian. Betulkah kematian tak kenal waktu" Yang jelas ia pasti datang menjemput. Demikian pernah kubaca dalam kitab suci dan kata-kata yang sempat dikutip orang dari mulut para filusuf.
Tirai kusingkap. Di luar, orang-orang masih nampak bergegas. Sekolah, kantor, dan pasar adalah sebagian medan laga dalam menghadapi tantangan dan pertarungan hari. Alangkah akan menjadi sejarah dari sebuah peradaban yang statis bagi kaum yang tak mau berkembang. Dunia begitu terbentang. Berkabut atau tak berkabut. Lalu panas. Lalu hujan. Lalu musim berbicara pada mereka yang peka pada tanda-tanda. Ah, siapa aku di hadapan semesta"
Pintu depan terdengar diketuk. Lunak. Tukang pos tersenyum di balik kaca.
"Untuk anda, surat perdana di tahun ini," katanya. "Terima kasih."
Pagi yang indah. Kenapa aku harus mengatakan ini pagi yang indah, sedang saat kematian belum juga kudapat jawabannya. Harus kukatakan kata mungkin. Banyak kemungkinan dalam hidup. Bukan. Bukan karena datangnya sepucuk surat. Bukan karena matahari mucul lagi. Bukan karena sehimpun tangkal bunga di halaman masih terlihat segar. Kemungkinanku lebih karena sebenarnya harapan tak bisa kuringkus dan kubuang dari relung-relung jiwa.
Surat dari siapakah" Tak tertera pengirim dan alamatnya. Tapi harus kubuka dan kubaca. Bukankah tak ada yang tak penting dari setiap peristiwa" Sekecil apapun. Adalah surat, adalah tulisan, tak lain untuk dibaca. Baiklah, rupanya kau si fulan yang ingin jadi misteri. Biar kuhadapi.
"Aku datang akan terlambat."
Sependek atau sepanjang itulah yang dapat kubaca. Selebihnya hanya garis-garis hitam yang tak tegas. Prolog yang manis. Aku merasa telah ditantang hari ini. Hanya beberapa saat usai bangun tidur.
Bayangan untuk menjawab selalu ada. Tapi betulkah akan terjawab dengan pasti" Kukira jawabnya akan kembali pada kemungkinan. Telah kuyakini, betapa banyak dan tak perlu takut pada kemungkinan. Sangat melelahkan hati, memang, bila kebetulan hidup dalam cuaca hati yang redup.
Datang terlambat" Siapa" Adakah ia salah alamat" Inilah persoalannya. Aku terlanjur membaca kalimatnya. Kenapa tadi tak kutanyakan lebih dulu pada tukang pos: yakinkah surat ini untukku" Padahal bisa jadi untuk orang lain, semisal lelaki tua yang tetap memilih hidup sendirian itu, yang tepat menghuni rumah di gigir kanan rumahku. Ah, tukang pos itu betapa yakin. Adakah disebabkan nama tujuan pada sampul surat ini tak diawali dengan kata "Bapak?" Harus kukatakan, nama lelaki tua itu sama persis dengan namaku. Dan sebatas kecermatan mataku, dua digit angka sebagai nomor rumah yang tertera di alamat ini telah sedikit memudar. Jadi, kenapa tukang pos itu begitu yakin" Enam belas ataukah sebenarnya delapan belas.
Sampai di sini, berlebihankah jika kuseret peristiwa ini pada wilayah yang sering orang sebut sebagai takdir" Kawan-kawanku sering memelesetkan kata ini sebagai singkatan dari otak berlendir. Maksudnya lebih kurang begini: sampai kapan pun, otak manusia tak akan bisa menjangkau lebih tepat apa makna rahasia dari sekian peristiwa yang ditibankan Tuhan kepada manusia. Nah, jika demikian, di manakah letak kesalahan atau ruang untuk membantahnya. Ini peristiwa yang agak rumit dipecahkan nalar, tetapi diam-diam seperti menuntut untuk dijawab dengan pasti, dengan segera.
Pagi ini aku telah dipaksa mengawali hidup dengan beberapa pertanyaan. Berapa jam, menit dan detik lagi menuju kematian" Surat dari siapa" Untuk siapa" Siapa akan datang terlambat" Kenapa terlambat" Dan kenapa aku tak bisa begitu saja mengesampingkan persoalan ini" Betapa absurd.
Tapi ini pagi yang indah.
Langit betapa cerah. Sepasang mataku masih bisa terbuka, memandang raya semesta. Penuh warna. Jantung tetap berdetak. Tubuh ajeg berdiri, bertopang di dua kaki. Menggerakkan sepasang tangan, berjalan, dan berpikir. Aku mendapatkan diri terbangun seperti sedia kala; tak menjelma babi hutan, tikus got, anjing liar, kalajengking, atau kecoa.
Hmm, lengkap sudah bersama secangkir Nescafe panas. Sedikit manis.
Ini pagi pada pertengahan bulan kedelapan. Keindahannya tak lantas rontok sebab dikejutkan sepucuk surat misterius. Sejatinya malah mengingatkanku pada seorang kawan perempuan di masa remaja. Setiap hari ia mesti dikejutkan oleh hadirnya sepucuk surat tanpa nama pengirim dan alamatnya. Surat dengan sedikit kalimat yang menuntut jawaban: siapa kau sebenarnya" Persis kejadian ini.
Hilda, ah, di manakah kau sekarang" Kawan remajaku yang manis, polos, tetapi jenial. Bagaimana tidak, nilai-nilai ujian matematika, fisika, dan ilmu alamnya tak pernah sekalipun terseret pada arus tinta berwarna merah. Hanya saja ia tak cukup pandai bergaul. Akulah satu di antara sedikit kawannya. Termasuk kucing sehat bernama Egnon yang ia pelihara sedari kecil. Ibunya telah menjanda sejak sang ayah meninggal dunia ketika ia menginjak kelas dua sekolah menengah pertama.
Surat-surat itu datang untuknya. Setiap hari. Dan menerornya. Masa remaja yang masih rapuh. Dan ia tak mampu membendung, apalagi menyibakkan kemurungan. Kepadaku ia kerap mencurah kesah.
"Tiada cara lain kecuali melupakannya," saranku. "Tapi tak semudah itu melakukannya!"
Sedikit keceriaan yang ia miliki kian hari kian terkikis. Jangan tanya soal tangis. Air matanya akan selalu menetes manakala bubaran sekolah. Ia tak habis mengerti pada maksud isi surat itu. Kenapa si fulan misterius itu menanyakan siapa dirinya yang sesungguhnya. Ia tak bisa menjawab dengan pasti.
"Aku bisa saja menjawab dengan mudah," katanya, suatu kali, "almarhum ayahku mantan anggota tentara yang telah banyak dianugerahi bintang jasa oleh negara. Ibuku penggemar berbagai jenis anggrek, sekaligus berbisnis di bidangnya. Kekekku seorang anu, nenekku punya anu.... dan sebagainya dan seterusnya. Tetapi aneh, semakin kujawab dengan cara demikian, rasanya semakin kabur saja jawaban yang diinginkan pertanyaan itu. Aku merasa kian tak berarti di hadapan pertanyaan sesederhana itu."
Hilda yang manis, meski tak serupa benar, kini aku tengah merasakan apa yang sempat kau rasakan. Tetapi aku bersumpah tak akan meneteskan air mata. Separuh besar dari semua kemisteriusan ini seolah mengajakku berlomba untuk bertahan selama mungkin diombangambingkan dan dikejutkan permainan halilintar. Mencemaskan tetapi mengasyikkan.
Inilah yang kunamai dengan hari yang indah. Sebuah pengalaman yang paling mengesankan selama hidupku.
Andai pun benar surat ini untukku, lantas siapa yang akan datang terlambat" Sungguh tak kuingat siapa pernah berjanji akan datang kemari. Dan kurasa, aku tak sedang menunggu seseorang. Pada buku agendaku tak tercatat akan adanya peristiwa ini.
O, permainankah" Apakah ini permainan yang didalangi seseorang" Dan permainan, bukankah bersumber dari mahaluasnya imajinasi" Ya, si fulan misterius itu tengah menjajal kehebatan imajinasinya demi maqosid tertentu. Bisa jadi untuk kesenangan semata, mungkin pula bermotif dendam. Siapa tahu" Tiba-tiba aku merasa menjadi seekor kelinci percobaan.
Baiklah, tak mengapa. Aku layani permainan ini. Aku percaya dunia ini penuh permainan. Siapa punya kiat-kiat jitu dan mampu memainkannya, dialah pemenangnya. Dan aku juga percaya, tak selamanya permainan sesuai rencana. Maka dapat sedikit kusimpulkan bahwa proseslah yang mesti kuhargai. Tak melulu hasil. Ini seperti mengisi kolom-kolom teka-teki silang.
Telepon selulerku berdering. Sangat nyaring. Siapa gerangan" Detak jantungku sedikit lebih berpacu. Berdebar.
"Tak biasanya," bisik hati.
Ketika hendak kuangkat, deringnya mati. Hmm, kian kental kecurigaanku pada sebuah permainan seseorang. Dan anehnya, pada layar telepon seluler tak tertinggal sebuah tulisan lazim sebentuk pemberitahuan. Bukankah biasanya tertulis kalimat 1 missed call bilamana tak sempat terpencet tombol ok-nya" Ini benar-benar tak ada, tak tertera. Adakah telepon selulerku tengah mengalami kerusakan" Ah, semalam baik-baik saja.
Atau ini sebuah pertanda" Tetapi apa" Tak ada yang dapat kuyakini. Entahlah, tiba-tiba aku teringat lagi pada sebuah tanya. Berapa jam, menit, atau detik lagi menuju kematian" Sulit kujelaskan kenapa tiba-tiba yang terlintas dalam otak ini hadirnya pertanyaan itu. Tuhan, aku tak pandai berpura-pura: aku gemetar! Rasa takutkah ini" Takut apa" Pada kematiankah"
Tak ada lagi dering telepon kedua! Tak ada! Pagi. Pagi yang indah.
Jangan tanya lebih lanjut kenapa aku bersikeras menamai pagi ini sebagai pagi yang indah. Surat tanpa nama pengirim dan alamatnya, kecurigaan pada sebuah permainan yang banyak sisi kemungkinannya, dan satu dering telepon tanpa bekas pemberitahuan di layar telepon seluler. Bukankah itu cukup bukti untuk mestinya kukatakan bahwa pagi ini adalah pagi yang buruk"
Aku tak bisa menjawabnya.
Sungguh, aku benar-benar berat menolak keindahan pagi ini.
Jangan tanya kenapa. Duk!
Sebuah suara dari arah luar pintu depan terdengar. Suara itu telah sangat kuhafal. Pasti sebuah koran pagi yang dilemparkan seorang loper cilik langgananku. Aha, sebuah solusi. Setidaknya, demi mengistirahatkan pikiran barang sebentar dari rumitnya mengungkap rahasia peristiwa ini, alangkah baiknya kubaca koran dulu. Berapa hasil pertandingan sepak bola tadi malam yang tak jadi disiarkan salah satu stasiun teve, antara kesebelasan favoritku melawan musuh bebuyutannya.
Kubuka simpul benang gulungan koran. Sebuah kertas putih jatuh ke lantai setelah melayang begitu pelan. Seperti kapas.
"Sesaat lagi tiba. Bersiaplah menyambutku dengan suka cita."
Demikianlah. Sependek atau sepanjang itulah yang nyata kubaca. O, Tuhan, aku mohon kembalikan, naikkan lagi suhu tubuhku ini... Hhhmmmrrrr...
Betapa dingin, Tuhan... Jatinangor, 2005 La Tifa Cerpen: Kurnia Effendi Sumber: Koran Tempo, Edisi 07/10/2005 NAMA saya Latifa.
Di depan cermin, saya sengaja menggerakkan bibir ketika menyebut nama Latifa. Saya tak ingin keliru menyebut nama yang berbeda, sehingga seolah-olah saya bermaksud menghindar dari kesalahan, dan mengalihkannya kepada orang lain. Saya hanya ingin menghukum diri sendiri.
Lihatlah, alangkah buruknya wajah saya. Wajah seorang perempuan yang berdosa. Yang tak pantas duduk dalam sebuah kelas bersama-sama dengan perempuan lain yang masih bersih. Orang-orang pasti akan membuang muka jika mengetahui sesuatu yang telah saya perbuat.
Di depan cermin besar dalam kamar ini, saya berdiri telanjang. Sekali lagi saya ingin menghukum diri sendiri. Bahkan saya tidak hendak menyalahkan pakaian yang tadi saya kenakan. Tidak kepada siapa pun, juga kepada apa pun. Saya ingin mengenal lebih dalam tentang saya, melalui tubuh sendiri.
Ada warisan mata yang indah dari Mama untuk wajah saya. Hidung saya tidak semancung hidung Mama, karena ada hasrat Papa yang telah mencampuri komposisi raut muka saya. Saat ini rambut saya terurai agak berantakan. Seandainya tersisir rapi dan membiarkan seluruh kening terbuka, tentu tampak lebih cantik. Tapi, sesungguhnya wajah pada cermin itu sungguh buruk oleh perbuatan yang tak pantas, akibat bujuk rayu setan. Entah kenapa, dengan menangis tak akan selesai rasa jijik saya terhadap diri sendiri.
Saya memiliki leher yang umum dimiliki perempuan lain. Tulang bahu yang mungkin cukup kuat untuk memikul beban. Di atas payudara ada setitik tahi-lalat yang terlanjur diketahui oleh Ray. Seharusnya saya malu. Tapi beberapa jam yang lalu saya membiarkan mata Ray melihatnya, mengamatinya, dan sempat menciumnya.
Mengingat kejadian itu, dada saya terasa sesak. Seperti menahan buncah ombak. Sesungguhnya ada waktu dan kesempatan untuk mencegahnya. Untuk segera menyadari bahwa perilaku yang tak pantas itu tak perlu berlangsung. Tapi saya justru terlena. Saya menganggap ini hak semua orang yang sedang demam asmara. Karena itu saya tidak menyingkirkan tangan Ray yang merayap ke pinggang. Bahkan ada semacam upaya bantuan dari saya agar tangan itu segera mencapai tempat yang dicarinya. Mulanya saya terkejut, namun kemudian kembali terlena ketika bibir saya tersumbat mulut Ray.
Terdengar bunyi decap ketika lidahnya bermain. Mata saya terpejam. Saya seperti seorang pingsan yang diletakkan di atas sebuah ranjang. Saya membayangkan sebuah sekte yang melakukan ritual dengan persembahan seorang perawan di atas altar. Segala yang saya lihat tidak terlampau terang. Mungkin karena sebagian lampu sengaja dipadamkan. Mungkin karena mata saya tak sepenuhnya terbuka. Mungkin karena hari telah mencapai senja, dan hujan baru saja selesai.
Saya merasa sangat takut ketika ada benda yang hanya beberapa kali saya lihat melalui film biru, tiba-tiba saya rasakan terletak di bawah pusar saya. Mata saya seketika terbelalak. Tubuh saya mengejang. Kedua tangan saya mendadak tegang oleh tenaga untuk menolak tubuh Ray. Sedikit terlambat. Karena permukaan perut saya terlanjur basah dan lengket.
Saya meraup selimut untuk menutupi tubuh. Tangis saya pecah lebih karena benci terhadap diri sendiri. Saya lupa awalnya. Yang pertama kali teringat adalah titik-titik hujan yang membuat kami berlari dari taman menuju beranda bungalow. Kami tertawa karena berkejaran dengan air hujan, menyebabkan napas tak beraturan, sementara berpuluh bunga rumput serupa jarum menisik celana panjang kami.
Duduklah, saya akan cari kopi. Jika hujan berlangsung lama, setidaknya ada yang sanggup menghangatkan badan, ujarnya. Saya mengangguk setuju.
Saya tertawa melihat Ray hampir jatuh di tangga teras. Di bawah rintik gerimis ia melompat-lompat. Saya ingat, di tikungan ada tenda warung kopi. Letaknya seratus meter dari kompleks bungalow ini. Dan bangunan ini berada pada urutan kedua, dekat dengan jalan raya.
Saya kembali membuka buku yang tadi saya baca di taman. Bahkan beberapa bab di dalamnya sempat kami diskusikan. Setidaknya, tugas-tugas kuliah saya menjadi lebih ringan sejak Ray campur tangan, menjadi teman berdebat. Banyak hal darinya yang saya suka. Banyak hal dari dia yang membuat saya selalu membutuhkan kehadirannya. Saya rasa, mungkin, karena dia pintar. Boleh jadi pergaulannya cukup luas. Dibanding dengan teman-teman lelaki yang pernah menjadi kawan satu kelompok dalam tugas, wawasannya lebih kaya.
Kadang-kadang saya merasa amat kehilangan saat tiba hari Sabtu atau Minggu. Dua hari yang menyulitkan kami bertemu. Tapi tak sepantasnya saya menuntut. Toh sejak berkenalan dan menjadi akrab, dia adalah teman diskusi. Kawan berbagi pikiran, bukan untuk berbagi hati. Meskipun bagi saya terlampau sulit untuk tidak mengharapkannya hadir, walau sekadar dalam mimpi.
Astaga. Saya kerap tersipu karena mimpi-mimpi saya sangat berani. Dalam mimpi, saya sering terlalu terus terang dan kelihatan lebih binal dari seekor kuda liar. Sewaktu terbangun, entah kenapa, saya tidak merasa lega. Justru kecewa. Ketika saya mencoba bermaksud melanjutkan mimpi, sekalipun saya tahu ini mustahil, ternyata tak ada yang benar-benar tersambung. Luput sudah. Bahkan yang muncul mimpi lain, yang tak saya harapkan.
Lihat, apa yang saya bawa" Jagung bakar! Kamu suka" Dengan rambut basah, saya melihat wajahnya begitu riang. Tampaknya, warung kopi itu juga menyediakan tempat pembakaran jagung. Seseorang di sana pasti sibuk mengipas arang agar tetap membara, meletikkan lelatu ke udara, dan biji-biji jagung sebaris demi sebaris matang dan meletup. Wanginya memburai dan hinggap di hidung Ray, sehingga ia tertarik membelinya.
Entah apa yang dia katakan di kantornya, hingga bisa meluangkan waktu ke tempat sejuk ini. Padahal ketika telepon tadi pagi, saya hanya bilang: Jika ada acara ke luar kantor, singgahlah ke Plaza Semanggi. Saya akan cari buku.
Begitu spontan dia menjawab. Sekitar jam dua saya ada rapat di Automall. Tak sulit untuk menyeberang menemuimu.
Dari tempat kuliah, toko buku terdekat memang di Plaza Semanggi. Tidak perlu naik kendaraan. Cukup melintasi pagar kampus dan saya akan mencapai lift dari lobi gedung dalam tujuh menit. Di tempat itu pula saya pertama kali bertemu Ray.
Hai, buku yang kita baca sama. Katanya waktu itu, hampir satu semester yang lalu.
Dia duduk di depan saya. Kami satu meja di kafe toko buku itu. Saya memandang sepasang matanya yang teduh. Lalu tatapan saya turun ke buku yang dibacanya. Big Fish. Judul yang sama dengan buku yang saya pegang. Lalu saya pun tersenyum, ketika memastikan tidak ada maksud nakal di wajahnya.
Saya sudah nonton filmnya, tapi penasaran ingin membaca bukunya.
Lho, saya juga demikian. Ia seperti kaget, karena beruntun mengalami kebetulan.
Bapak suka sastra juga ya" tanya saya. Nama saya Rayadi, ia mengulurkan tangan. Latifa.
Panggil saya Ray. Senyumnya sempat membuat saya berdebar. Tapi sekali lagi saya memastikan bahwa dia tidak nakal. Seperti teman-teman kantor memanggil saya.
Sebenarnya saya agak heran. Saat itu belum jam pulang kantor, tapi sikapnya menunjukkan begitu senggang waktu yang dimiliki.
Sekarang sedang cuti" Saya kaget sendiri dengan pertanyaan itu.
Tidak. Kebetulan tadi mengambil rapor anak saya. Karena mendapat ranking, dia minta hadiah, maka saya ajak ke sini. Saya biarkan dia memilih sendiri buku yang diinginkannya.
Oo, mata saya berkelebat, mencari sosok yang pantas menjadi anaknya.
Dia tertutup rak di ujung sana. Banyak komik impor yang gambarnya bagus-bagus. Oh ya, anak saya ini suka menggambar.
Saya tersenyum. Kemudian terlintas dalam pikiran, seandainya Papa masih hidup, mungkin usia mereka hampir sama. Oh, tidak. Papa sedikit lebih tua. Mungkin terpaut tiga atau empat tahun. Ah, kenapa memikirkannya" Saya pun kembali membaca buku.
Kuliah di mana" Tak jauh dari sini. Jurusan"
Ilmu Komunikasi. Bukan sastra, Saya melihat dia tersenyum. Dan saya berdebar lagi. Bapak berkantor di mana"
Di Cawang. Perusahaan otomotif. Dia memberikan sebuah kartunama. Saya menerimanya tanpa pikiran untuk menjalin pertemuan lebih lanjut. Tanpa harus diceritakan, saya tahu dia telah berkeluarga. Bahkan anaknya, dari awal percakapan, berada di toko buku ini. Pembicaraan itu bermula dari sebuah kebetulan yang mungkin mengusik perasaannya untuk bertanya. Seandainya saya yang melihat lebih dulu bahwa buku yang kami baca sama, belum tentu saya berani menyapa lebih dulu.
Sudah ada beberapa uban bertebar di kepalanya. Tapi wajahnya tidak kelihatan tua. Ada energi yang membuatnya lebih tampak matang dibanding istilah renta. Memandang wajahnya, mendengar suaranya, saya teringat mendiang Papa. Apakah perlu saya ceritakan pertemuan ini kepada Mama"
PINGGANG saya ramping. Dada saya hampir tiga puluh empat. Pinggul saya penuh. Oleh karena itu, tampak indah bentuk tubuh saya.
Saya menggigil ketika pandangan mata saya ke dalam cermin tiba pada bagian bawah pusar. Saya ingin ada seseorang yang mengulurkan seutas cambuk dan segera saya dera tubuh itu dengan lecutan. Tubuh indah yang telah berhasil menggoda seseorang. Dengan api yang meliuk di matanya, berhasrat membakar saya dalam tungku birahi yang menyala-nyala. Lihatlah, alangkah buruk wajah saya. Wajah seorang perempuan yang berdosa. Yang tak pantas duduk dalam sebuah kelas bersama-sama dengan perempuan lain yang masih bersih. Orang-orang pasti akan membuang muka jika mengetahui sesuatu yang telah saya perbuat.
Sambil menutup wajah, saya duduk di tepi ranjang. Seharusnya tetap setia pada kata-kata Ray, bahwa sepanjang hujan turun, secangkir kopi akan menghangatkan badan kami. Ya. Secangkir kopi saja. Bukan dengan cara lain. Entah mengapa, saya terlampau lama menatap mata teduhnya. Saya telah berlama-lama memandang manja kepadanya.
Boleh jadi, saya melihat Papa di sana. Sehingga ada rasa kangen untuk mendapatkan pelukannya. Memang kemudian saya merebahkan kepala di dada Ray. Dada yang kemudian basah oleh air mata saya. Selanjutnya kepala saya diusapnya. Perasaan saya begitu tenteram. Lebih merasa tenteram sewaktu bibirnya menyentuh kening dan pelupuk mata saya.
Boleh jadi, saya tidak lagi melihat Papa di sana. Yang saya ingat adalah mimpi-mimpi yang saya rencanakan setiap menjelang tidur. Yang kadang-kadang dikabulkan entah oleh setan atau malaikat, dan kadang-kadang nihil. Ketika mulut saya diciumnya, saya merasa sedang menempuh mimpi yang kadang-kadang terputus di ujung malam. Yang tidak membuat saya lega di saat terjaga, namun justru menerbitkan perasaan kecewa.
Saya tidak mendengar napasnya terengah. Karena itu saya tidak merasa takut sejak awal. Dan mata saya terpejam. Tak ada kata-kata lagi.
Padahal, pada setiap pertemuan yang kami lakukan, selalu riuh dipenuhi kata-kata. Saya akan membawa tugas kuliah, dan Ray akan menjadi seorang mentor yang telaten. Ia akan dengan senang hati turut mencari referensi. Membawakan buku-buku yang saya perlukan. Kadangkadang, ketika saya belum mendapat tugas baru, ada saja caranya untuk membuat saya singgah ke sebuah tempat sebelum pulang ke rumah. Menikmarti semangkuk bakso Malang, misalnya. Atau sekadar memenuhi perut dengan sepiring salad diguyur thousand island yang berlimpah. Saya akan mengusap lelehan yang tak sengaja hinggap di ujung bibirnya.
Kenapa kamu sering terlambat pulang, Tifa" tanya Mama suatu hari.
Saya semakin banyak tugas. Hampir setiap tugas harus dikerjakan secara kelompok. Saya mencium pipi Mama.
Teleponlah ke rumah, agar Mama tidak cemas. Bukan justru hp-mu dimatikan.
Aduh, maaf Mama. Pasti saya tidak sengaja. Ah, kenapa mesti berdusta" Saya pikir, saya tak perlu merahasiakan persahabatan ini. Dengan demikian Mama tidak perlu merasa khawatir lagi. Tapi saya akan memilih waktu yang tepat untuk bicara mengenai Ray. Waktu yang tepat adalah ketika Mama sedang menyanyi. Di kamar atau di ruang keluarga.
Mama memang seorang penyanyi. Bukan profesional tentu. Karena ia seorang sekretaris senior, dan setiap ada acara pesta perusahaannya selalu diminta menyanyi. Tentu tidak sekonyong-konyong, melainkan melalui beberapa peristiwa. Sekali-dua Mama memberanikan diri menyanyi, bersama-sama dengan karyawati lainnya. Akhirnya seluruh kantor mengakui, bahwa suara Mama bagus. Lambat-laun, sebelum nama-nama lain diminta menyanyi, biasanya nama Mama yang lebih dulu diteriakkan.
Saya suka dengan cara bergaul Mama. Sebagai sekretaris direksi, apalagi cantik dengan hidung bangir dan pandai menyanyi, akan menjadi primadona pada setiap acara pesta kantor. Ia membantu seorang Managing Director yang cukup dandy pada sebuah advertising. Banyak peluang untuk terjatuh ke dalam pelukan laki-laki berprestasi internasional itu. Apalagi Mama seorang janda. Tapi, entah mengapa, Mama sanggup meletakkan batas dan tak seorang pun di kantornya mencoba melanggar.
Sementara saya" Hanya dalam waktu hampir enam bulan, seorang laki-laki mengenal kulit tubuh saya yang paling tersembunyi. Ray telah mencium tahi-lalat di atas payudara saya. Tangannya telah saya antarkan ke tempat yang seharusnya paling saya lindungi. Dengan menangis, tak akan selesai rasa jijik saya terhadap diri sendiri.
Seandainya cambuk telah saya pegang, saya tak akan ragu-ragu membuat bilur-bilur di dada dan paha. Bagian tubuh yang paling mudah menjatuhkan iman seorang lakilaki. Itulah hukuman yang pantas untuk perempuan seperti saya. Yang telah mengubah persahabatan intelektual menjadi hubungan asmara yang tak senonoh. Boleh jadi saya jatuh cinta pada Ray. Atau sebaliknya. Tapi bukan dengan cara seperti itu. Setidaknya saya harus mempertimbangkan istri dan anak-anaknya. Setidaknya saya harus berpikir panjang perihal masa depan yang mungkin tak secemerlang jika saya jatuh cinta dengan lelaki yang belum berkeluarga. Tapi, saya melihat Papa di sana. Pada kelopak senyum dan sejumlah kata-kata Ray yang sejuk.
Mana disketnya" Biar saya yang cetak dan fotokopi di kantor. Besok saya mampir ke kampusmu. Beberapa kali Ray menawarkan pertolongan. Meski sebenarnya pekerjaan itu bisa saya lakukan dengan mudah, tapi tawarannya sangat menyenangkan. Mengandung kasih sayang.
Dalam suatu perjalanan dari kafe menuju rumah, suatu ketika, Ray mengingatkan janji saya. Beberapa minggu sebelum senja bergerimis di bungalow. Kapan saya berkenalan dengan ibumu"
Boleh kapan saja. Tapi jam empat biasanya belum pulang. Apalagi jika kantornya sedang menyiapkan konsep untuk pitching. Mama harus mendampingi Mr. White untuk rapat pengarahan kepada Art Director dan para Copywriter.
Malamnya saya sampaikan kepada Mama, bahwa saya memiliki seorang teman diskusi yang mengasyikkan. Waktu itu Mama hanya tersenyum. Mama tidak menanyakan apakah itu kawan dari kampus, atau dari kegiatan lain. Tapi agak terkejut sewaktu saya sampaikan: Ia mirip Papa.
SAYA hampir tidak ingin memandangnya saat menutup tubuh dengan selimut. Saya meringkuk dengan sejumlah rasa takut yang tak terungkapkan. Tangis saya pecah lebih karena benci terhadap diri sendiri. Saya lupa yang terjadi kemudian. Yang saya lihat serba remang: Ray menjauh. Mungkin selanjutnya masuk kamar mandi. Lama sekali.
Saya terkejut sewaktu Ray berlutut di kaki saya yang gemetar. Ia meminta maaf dengan sungguh-sungguh. Tapi saya sadar, ini tidak sepenuhnya salah Ray. Saya merasakan wajah saya hangus menghitam, dibakar dosa.
Dalam perjalanan pulang, saya membisu. Sebenarnya saya berhasrat membuka pintu dan melompat ke luar mobil, saat posisi jalan menurun dan meliuk, dengan kecepatan cukup tinggi. Tapi itu bukan cara mati yang baik. Bahkan seandainya saya sengaja membuat mobil ini celaka dan menyebabkan kami tewas berdua. Tidak! Saya harus sanggup mencuci kesalahan terlebih dulu.
Sekali lagi saya menatap tubuh telanjang dalam cermin. Memandang sepasang mata yang sembab. Wajah perempuan yang berdosa. Yang dengan keindahan bentuk tubuhnya telah berhasil menggoda seorang laki-laki. Saya tidak akan menyalahkan siapa pun, bahkan terhadap pakaian yang tadi saya kenakan di bungalow. Seharusnya, ketika kepala saya rebah ke dada Ray, saya sampaikan bahwa dia mirip Papa. Tapi, saya terlampau dihantui mimpi-mimpi liar yang kerap membuat saya tersipu malu. Jadi, semua memang salah saya.
Pesanggrahan Goa Larangan 2 Pendekar Rajawali Sakti 47 Buronan Singo Wulung Tiga Naga Sakti 17
^