Pencarian

Kristal 4

Kristal Karya Wina Natalia Bagian 4


menepuk bahunya pelan, lalu pergi meninggalkan Alex.
"Sampai jumpa," sahut Kristal lalu berjalan mengikuti Steve.
Mereka berdua berjalan menuju tempat parkir dan langsung
pergi meninggalkan hotel, meninggalkan Alex yang masih berdiri
mematung di tempatnya. Pikirannya terbagi antara tetap menunggu
di sini atau membuntuti mereka. Ia memilih untuk tetap tinggal.
Bagaimanapun juga ia sadar bahwa mereka pergi untuk urusan
kerja dan ia juga tahu bahwa Kristal sendirilah yang menginginkan
pekerjaan ini. Ia hanya akan menganggu bila mengikuti mereka.
Lagi pula apa haknya melarang mereka pergi berdua. Toh, ia bukan
siapa-siapa bagi Kristal.
Alex kembali duduk di sofa lobi dan meraih selembar koran
yang disediakan di atas meja. Ia perlu mengalihkan perhatiannya dari
rasa kesal yang ia rasakan sekarang. Ia membolak-balikkan halaman
demi halaman tanpa bisa fokus terhadap apa yang dibacanya. Ia
terus-menerus memikirkan Kristal. Sabar, sabar, sabar, pikirnya.
Huh! Bila dipikir-pikir, keterlaluan sekali si Steve itu. Ini baru
pukul delapan pagi. Tidakkah seharusnya ia membiarkan Kristal
makan pagi dulu di hotel sebelum pergi. Ia mengetik pesan singkat
"Jangan lupa makan yah" untuk Kristal. Balasannya tiba dengan cepat.
"Iya, kamu juga yah?" Alex merasa sedikit lebih tenang sekarang.
Sudahlah, ia yakin Kristal pasti baik-baik saja. Alex menutup koran
dan meletakkannya kembali di atas meja, lalu ia pun berdiri dan
berjalan memasuki lift, kembali ke kamarnya untuk beristirahat
170 Kristal Ok Rev.indd 170 sebentar sambil menunggu kedatangan Kristal. Paling tidak, nanti
ia akan berada satu pesawat dengan Kristal, kembali ke Jakarta. Ia
toh sudah memastikan jam penerbangan yang akan dinaiki Kristal
nanti. Alex pun memejamkan matanya sejenak.
171 Kristal Ok Rev.indd 171 Tujuh KRISTAL mengaduk-aduk nasi goreng pesanannya dan
menyendokkannya ke dalam mulutnya dengan penuh semangat.
Ia merasa lapar sekali. Hampir tidak dipedulikannya Steve yang
duduk di hadapannya terus-menerus memandangnya menyantap
hidangannya, meskipun ia merasa risi dipandang seperti itu. Tapi,
terserahlah. Ini adalah makanan pertamanya sejak pagi tadi dan ia
merasa sangat amat kelaparan. Seharian ini ia habiskan dengan
menemani Steve memeriksa keadaan pulau sekali lagi bersama
beberapa klien yang beberapa di antaranya teman-teman Steve yang
dulu pernah ia temui di rumah makan Jepang di Jakarta. Hanya
saja kali ini ia bertugas membantu mereka sebagai penerjemah
bahasa agar mereka dapat berkomunikasi dengan beberapa klien
dan penduduk lokal. Setelah itu barulah mereka kembali ke kota
untuk makan siang bersama sambil berdiskusi membahas materi
proyek hari ini. 172 Kristal Ok Rev.indd 172 Kristal duduk semeja dengan mereka, mendengarkan mereka
berdiskusi selama berjam-jam. Perutnya mulai terasa keroncongan.
Ia melirik ke dalam tasnya. Ada sebungkus roti cokelat dan susu
kotak di dalamnya pemberian dari Steve yang tidak sempat ia
sentuh tadi. Kalau tahu meeting ini akan begini lama, tentunya ia
sudah melahap roti dan susu itu dari tadi. Ia memandang foto-foto
makanan yang terlihat dari sampul buku menu. Air liurnya hampir
menetes karenanya. Sebenarnya ia ingin sekali memesan satu
hidangan, tapi begitu melihat Steve dan para klien asyik berdiskusi
dan lupa memesan makanan, ia mengurungkan niatnya. Terpaksalah
Kristal bersabar menahan rasa lapar hingga meeting selesai.
Klien-klien Steve hanya memesan minuman dan langsung
meninggalkan restoran begitu meeting berakhir. Untungnya Steve
masih tinggal untuk makan siang bersama. Tidak terbayangkan oleh
Kristal kalau ia sampai harus menunggu beberapa saat lagi untuk
bisa makan. Ia melirik arlojinya. Sudah jam dua! Bayangkan saja
betapa laparnya ia sekarang, apalagi tadi malam ia juga tidak sempat
makan apa-apa karena terlalu lelah setelah menghabiskan hari yang
panjang terdampar di pulau terpencil itu seharian.
Ia menunggu sebentar hingga Steve mengambil buku menu
dan memanggil pelayan untuk memesan makanan, lalu ia pun
dengan cepat ikut membuka buku menu dan memesan makanan
yang paling praktis dan paling cepat disajikan. Apalagi kalau bukan
nasi goreng! Dan begitu hidangan itu disajikan di hadapannya,
sepiring nasi goreng dengan asapnya yang panas mengepul dan
aroma gurihnya yang menggoda, ia langsung menyantapnya.Ia
mendengar Steve tertawa geli dan berkata kepadanya. "Sudah lapar
sekali yah Non?" 173 Kristal Ok Rev.indd 173 Kristal tersenyum malu-malu dan menganggukkan kepalanya.
"Mau tambah nasi goreng lagi enggak?" Steve menawarkan.
"Oh, tidak usah Pak. Ini sudah cukup. Terima kasih," jawab
Kristal. "Oke kalau begitu, dan hei! Sudah kubilang panggil nama saja.
Toh hanya ada kita berdua di sini. Tidak perlulah sopan santun di
luar jam kerja." Kristal tertawa kecil. "Oke, Steve," jawabnya riang.
Siang itu mereka menyantap makan siang mereka sambil
mengobrolkan begitu banyak hal. Ternyata setelah mengenal lebih
dekat, Steve orangnya cukup asyik juga yah, pikir Kristal. Tidak
seperti dugaannya sebelumnya. Selama ini ia selalu menganggap
Steve adalah orang yang egois, menyebalkan dan semaunya sendiri.
Tapi, beberapa hari ini ia mulai memiliki pandangan lain terhadap
pria itu. Sudah dua kali Steve membantunya. Yang pertama dengan
menemaninya ke Jogja dan yang kedua dengan memberinya
pekerjaan dan tentu saja tambahan uang dari hasil kerja ini. Setelah
dipikir-pikir, mau tak mau Kristal harus mengakui bahwa ia telah
banyak berutang budi pada pria yang dulu sangat dibencinya itu.
Setelah makan siang yang cukup menyenangkan, Kristal dan
Steve kembali menuju hotel. Mereka bahkan masih mengobrol ke
sana kemari dengan seru sepanjang perjalanan di dalam mobil.
Sesekali ia menanyakan soal Alex pada Steve. Sejujurnya, Kristal
merasa penasaran tentang jati diri Alex yang sebenarnya. Bagaimana
sebenarnya Alex saat masih di Amerika. Bagaimana Alex saat kuliah.
Bagaimana Alex saat masih kecil. Ia baru tahu bahwa ternyata
Alex dulunya anak nakal yang gemar berbuat onar. Tidak bisa
dibayangkan sebetulnya, mengingat betapa dewasa dan bersahajanya
Alex sekarang. Steve juga memberitahunya tentang bibinya yang
174 Kristal Ok Rev.indd 174 juga ibu Alex yang telah meninggalkan Alex saat pria itu masih
sangat kecil. Kristal ingat Alex pernah memberi tahu dirinya soal
itu dulu. "Dulu Alex anak yang ceria sekali. Ia juga manja sekali pada
Bibi. Ia selalu mengikuti ibunya itu ke mana-mana. Lalu kira-kira
waktu Alex berumur sembilan tahun, Bibi terkena kanker dan
meninggal dunia. Alex jadi berubah sejak saat itu. Ia jadi suka
merusak barang, suka berkelahi, mencuri dan sebagainya. Semuanya
itu tentu saja dilakukannya untuk bersenang-senang saja. Apalagi
Paman sering tidak ada di rumah. Ia jadi bisa bersikap semaunya
tanpa ada yang berani melawannya. Benar-benar raja kecil di
rumahnya, dia itu." Steve tertawa kecil.
"Bagus juga sih, tapi. Jadinya kehidupan kami dulu jadi cukup
menarik dan tidak membosankan. Kami berdua adalah pasangan
pembuat onar penakluk malam! Kau pasti tidak bisa membayangkan
betapa seringnya kami keluar masuk kantor polisi atau tertangkap
basah oleh mafia setempat yang kami kerjai. Tapi, coba tebak" Kami
berdua selalu saja berhasil lolos," Steve tertawa terbahak. Kristal
tersenyum kecil sambil mencoba membayangkan kejadian-kejadian
yang mereka alami. Ternyata banyak sekali hal-hal yang tidak ia
sangka-sangka, sisi lain Alex yang tidak ia ketahui sebelumnya.
Kristal berkata dengan semangat. "Ngomong-ngomong, kok
mukamu dan Alex beda banget yah" Memang sih ada kalanya
aku merasa kalian itu mirip. Tapi, maksudku begini. Kamu itu".
Gimana yang ngomongnya" Kamu itu kelihatan sekali seperti bule.
Rambut pirang kecokelatan, mata biru, kulit putih." Kristal berkata
sambil mengamati Steve. "Tapi kalau Alex"." Ia menerawang, mencoba mendeskripsikan. "Rambut Alex hitam dengan kulit kecokelatan seperti habis
175 Kristal Ok Rev.indd 175 berjemur. Meskipun matanya cokelat, tapi tetap saja dia enggak
kelihatan seperti bule. Pertama kali bertemu aku malah mengira dia
itu benar-benar orang Indonesia. Kalau saja aku enggak mendengar
cara bicaranya yang berlogat agak kebarat-baratan, aku pasti enggak
tahu kalau ternyata dia itu asli orang Amerika. Intinya, kalian itu
enggak kelihatan banget deh kayak sepupu."
Steve mengangkat bahu. "Tentu saja beda. Memang ayah
kami berdua sama-sama berdarah Spanyol. Rambut cokelat, mata
cokelat, kulit kecokelatan. Miriplah dengan pria-pria Indonesia pada
umumnya. Tapi, kedua ibu kami beda sekali. Ibunya dia itu orang
Indonesia, sedangkan ibuku orang Paris. Pirang, putih dan bermata
biru." Ia menunjuk matanya yang berwarna biru terang.
Kristal manggut-manggut. Ia sudah tahu bahwa ibu Alex orang
Indonesia. Alex sendiri yang memberitahunya saat mereka berdua
makan siang dulu. "Jadi kalian itu sepupu dari pihak ayah dong?"
Steve mengangguk lalu melanjutkan ceritanya. "Begitulah. Ayah
Alex adalah kakak ayahku. Mereka hanya dua bersaudara. Jadi
sepupuku itu bisa dibilang cuma Alex saja. Sepupu dari pihak ibu
masih kecil-kecil dan tinggal di Eropa semuanya. Beberapa di Paris
dan beberapa di Roma. Jadi aku enggak terlalu mengenal mereka.
Dan berhubung usiaku dan Alex hanya terpaut dua tahun saja,
jadinya aku dekat sekali dengan Alex. Seperti yang kubilang, kami
berdua adalah sepasang pembuat onar sejati. Yeah, setidaknya dulu.
Sudah beberapa tahun ini tidak lagi begitu. Sejak tahun terakhir ia
kuliah, ia jadi super serius. Apalagi sejak ia pindah ke Indonesia,
kami jadi jarang sekali bertemu. Ahhh, aku benar-benar rindu sekali
Alex yang dulu." Steve menggeleng-gelengkan kepala dan menghela
napas panjang. 176 Kristal Ok Rev.indd 176 Kristal jadi penasaran sekali dengan perubahan Alex yang
menurut Steve, "tiba tiba" itu. "Kamu tahu enggak kenapa Alex bisa
berubah seperti itu?"
Steve mengerutkan keningnya sejenak, namun ia tetap
melanjutkan. "Entahlah, aku tidak tahu."
Tentu saja Steve tahu. Ia jelas-jelas tahu alasan Alex berubah
seperti itu. Semenjak dua tahun mendekam dalam penjara,
sepupunya itu jadi berubah total. Ia mengerti betul bahwa Alex masih
merasa bersalah karena telah menjadi penyebab kematian seseorang.
Itulah mengapa selama ini ia selalu berusaha untuk mengajak Alex
bersenang-senang bersamanya agar Alex bisa segera melupakan
kesedihannya. Tapi, Alex tidak lagi bersedia keluar bersamanya. Ia
memutuskan semuanya sendiri. Mulai dari keseriusannya belajar
dan ngebut untuk lulus kuliah dalam waktu luar biasa cepat, hingga
kepergiannya ke Indonesia. Semuanya itu tanpa memberi tahu
dirinya sekalipun. Bukannya ia tidak senang karena sepupunya itu telah menjadi
orang yang serius dan bertanggung jawab dengan pekerjaan dan
masa depannya. Ia sama sekali tidak merasa iri. Oke, mungkin
sedikit. Tapi, bukan berarti ia jadi membenci sepupunya itu.
Bagaimanapun juga, bila mau jujur, ia tahu bahwa dalam hati ia
selalu menyayangi Alex layaknya abang kandungnya sendiri, figur
seorang abang satu-satunya yang ia miliki. Ia hanya merasa agak
ditinggalkan. Padahal selama ini mereka selalu menghabiskan waktu
bersama sama. Tahu-tahu saja kini ia ditinggalkan begitu saja seorang
diri. Entahlah, mungkin ia kesepian. Ia merasa kehilangan sosok
sahabat sejati yang selama ini selalu menemaninya.
Steve masih terhanyut dalam lamunannya itu hingga suara
Kristal menyentaknya kembali ke bumi. "Ya, maaf maaf. Tadi kamu
ngomong apa?" tanyanya.
177 Kristal Ok Rev.indd 177 "Tadi aku nanya Alex itu sukanya makan apa" Aku ingat dulu
dia pesan steik daging sapi dan wine merah. Kalian itu seleranya
mirip sekali yah." Steve menaikkan alisnya. Ternyata Alex sering mengajak Kristal
makan bersama. Ia jadi penasaran sedekat apa hubungan Kristal dan
Alex. "Ya bisa dibilang selera kami itu hampir sama. Entahlah, aku
tidak terlalu memperhatikan. Oh ya, ngomong ngomong, aku jadi
penasaran deh sejak kapan kalian bertemu" Kok kamu bisa enggak
tahu kalau Alex itu adalah pemilik Hotel De Robbins?"
Kristal berpikir sebentar. "Sejak kapan yah. Mungkin beberapa
bulan lalu. Kami selalu bertemu secara kebetulan. Ia pernah
menolongku saat aku pingsan dulu dan membawaku ke rumah
sakit. Ia juga menolongku menemukan dompetku yang hilang.
Lalu ia juga". Ahh, pokoknya sudah banyak sekali ia menolongku
selama ini, dan tepat saat aku benar-benar membutuhkannya. Aku
benar-benar tidak tahu bagaimana harus membalas budi." Kristal
berhenti sejenak. Matanya menerawang sebelum ia melanjutkan
lagi. "Kalau soal mengapa aku sampai enggak tahu bahwa ia adalah
atasanku. Itu karena ia berbohong padaku selama ini. Tapi sudahlah,
itu sudah berlalu dan aku memaafkannya. Toh ia berjanji tidak akan
mengulanginya lagi." Kristal tersenyum tulus.
Steve ikut tersenyum. Ternyata sudah sejauh ini hubungan
mereka berdua. Tapi, ia jadi curiga. Benarkah hanya kebetulan Alex
selalu ada dan menolong Kristal" Rasanya terlalu aneh bila semua
itu hanya suatu kebetulan.
"Oh, yah, kamu tahu enggak Alex ulang tahunnya kapan?"
tanya Kristal lagi. "Tujuh Januari. Kalau aku Dua Februari. Beda sebulan sama
Alex." 178 Kristal Ok Rev.indd 178 "Ohhh." Kristal manggut-manggut.
"Kalau kamu?" tanya Steve penasaran.
"Desember tanggal tiga puluh."
"Wah, dua hari sebelum New Year dong," Steve tertawa.
"Yah, gitu deh." Kristal tersenyum kecil. "Oh iya, ngomong
ngomong, memangnya Alex suka warna pink yah?"
"Setahuku enggak deh. Kok kamu bisa nanya begitu."
"Aku pernah lihat dia beli payung warna pink soalnya. Aneh aja
sih ngelihat cowok suka warna pink," Kristal tersenyum geli.
Kali ini Steve tidak ikut tersenyum. Alex lagi Alex lagi, pikirnya.
Sejak tadi yang ditanyakan oleh Kristal hanya soal Alex saja. Padahal
ia merasa bahwa seharian ini ia sudah memberikan kesan yang
cukup baik pada diri gadis itu. Ia merasa mereka telah mengenal
satu sama lain dengan lebih baik dalam beberapa hari terakhir ini.
Dan tepat saat ia merasa di atas angin, gadis itu mulai membicarakan


Kristal Karya Wina Natalia di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

soal Alex dan Alex dan Alex. Apanya sih, dari sepupunya itu, yang
membuat gadis itu begitu penasaran" Diam-diam Steve cemburu
dalam hati. Ia curiga jangan-jangan Kristal menyimpan rasa pada
sepupunya itu. Apalagi ia memperhatikan bagaimana mata Kristal
selalu tampak berbinar setiap kali gadis itu menemukan fakta baru
soal Alex yang belum pernah ia ketahui. Yang benar saja! Masa ia
sudah kalah sebelum bertanding" Masa Kristal telah memberikan
hatinya pada Alex sebelum ia sempat mengejar gadis itu" Ini tidak
adil namanya. Faktanya, sepupunya itu mengenal Kristal terlebih dahulu.
Tapi, yang paling membuatnya kesal adalah karena bahkan hingga
kini, sepupunya itu belum berani mengungkapkan perasaannya
pada Kristal. Bagaimana bisa Kristal jatuh hati pada Alex yang
dingin itu, yang bahkan takut mengakui perasaannya sendiri"
179 Kristal Ok Rev.indd 179 Kalau begini caranya ia harus bertindak cepat. Toh, ia sudah kalah
set. Ia harus segera menyamakan skor sebelum dirinya benar-benar
kalah total. Ia menunggu hingga mobil mereka berhenti di depan hotel.
Steve mengambil napas dalam-dalam dan mengenggam tangan
Kristal erat-erat, tepat saat gadis itu baru membuka sabuk pengaman
dan bersiap-siap turun. "Ada apa, Steve?" tanya Kristal bingung.
Jantung Steve berdegup kencang. Oh, ayolah. Ia memperingatkan dirinya. Ini bukan pertama kalinya ia menyatakan cinta.
Sudah tidak terhitung betapa banyaknya adegan ini ia lakukan
berulang kali sebelumnya. Dan tentu saja, tidak terhitung pula
berapa banyaknya gadis yang menyerahkan diri mereka dalam
dekapannya. Tentu saja, ia adalah pria seperti itu, yang terkenal
dengan keahliannya menaklukkan gadis-gadis. Tapi, entah mengapa
ia ragu Kristal akan menerimanya. Tapi, oh, sudahlah. Ia bukan
pengecut. Dipandangnya mata Kristal dalam-dalam sambil mencoba
mempraktikkan ilmu menaklukkan wanita yang sudah ia pelajari
dulu. Yang terpenting, tentunya pandangan mata yang lembut dan
menawan tepat pada sasaran. Kristal memandang balik ke dalam
matanya dengan tatapan bingung, polos, seperti anak kecil yang
lugu dan tanpa dosa. Sial pikirnya, mengapa justru ia yang tertawan.
Steve berdeham pelan. "Kristal"." Ia berhenti sejenak untuk memberikan efek
dramatis. "Aku suka padamu," bisiknya pelan tapi cukup jelas untuk
bisa didengar gadis di depannya itu.
Kristal terdiam lama. Matanya melebar dan terlihat jelas bahwa
gadis itu sangatlah terkejut dengan pengakuannya. Steve menunggu
dengan waswas. Inilah momen kepastian yang ia nanti-nantikan.
180 Kristal Ok Rev.indd 180 Ia berusaha membaca wajah Kristal sembari mengingat-ingat ke
belakang apa saja usaha yang sudah ia lakukan untuk mendapatkan
hati gadis itu. Ia berharap semua itu cukup untuk membuat gadis
itu tertarik padanya. Beberapa detik berlalu dalam diam. Kristal akhirnya membuka
mulutnya. "Maaf," sahutnya, dan Steve langsung tahu apa jawaban
gadis itu selanjutnya. "Aku tidak memiliki perasaan yang sama."
"Apa karena Alex?" tanya Steve.
Kristal tidak menjawab pertanyaannya itu.
Steve merasa lunglai. Ia ditolak"untuk pertama kali dalam
hidupnya"oleh gadis pertama yang bisa membuatnya serius.
Ternyata ini rasanya patah hati. Seperti ada yang menusuk di dalam
hati dan membuat perasaan menjadi tidak nyaman. Arrghh. Yang
benar saja. Apanya dari dirinya yang tidak disukai oleh Kristal.
Wajah, oke. Duit, oke. Pekerjaan, oke. Apalagi yang kurang darinya.
Ia benar-benar tidak mengerti. Apa karena Alex" Masa sih ia kalah
dari Alex, si robot yang super dingin, super tidak berperasaan,
yang tidak tahu bagaimana caranya memperlakukan wanita" Tentu
dirinya lebih baik dan lebih tahu cara membahagiakan wanita
berdasarkan pengalamannya selama ini.
Steve menghela napas berusaha menenangkan diri. Ia harus
tetap tenang. Belum saatnya untuk menyerah. Tidak sebelum Alex
berani mengakui perasaannya. Steve menampilkan senyumnya yang
penuh pengertian dan memandang Kristal dalam-dalam. "Aku tidak
memintamu untuk menerimaku sekarang," ucapnya tenang. "Aku
cuma ingin kamu tahu perasaanku. Jadi bersiap-siaplah. Karena
mulai besok aku akan mengejarmu terang-terangan, dan aku tidak
akan menyerah sampai kamu mau menjadi kekasihku." Senyumnya
penuh keyakinan. 181 Kristal Ok Rev.indd 181 Kristal tertegun mendengar kata-kata Steve itu. Ia tidak tahu
harus berkata apa lagi. Tahu-tahu ia sudah membuka pintu mobil
di sebelahnya dan berlari sekencang-kencangnya masuk ke dalam
hotel. Ia merasa takut sekali. Ini adalah pertama kalinya ada pria
yang mengungkapkan perasaan padanya, selain Reygan. Sejak
kecil ia selalu bersama Rey. Ke mana pun ia pergi, Rey selalu
menemaninya, sehingga tak ada seorang pun yang berani mendekati
dirinya. Bahkan setelah Reygan pergi ia tidak pernah membuka
diri kepada siapa pun. Di kampus ia selalu seorang diri, menolak
berbicara ataupun bergaul dengan teman-teman seusianya.
Setelah lulus dan bekerja juga, ia tidak punya waktu untuk
keluar kantor bersama rekan-rekan sekerjanya. Pulang kerja ia
langsung meninggalkan kantor untuk pergi ke Taman Bintang,
bermain bersama anak-anak panti asuhan atau langsung pulang ke
rumah dan beristirahat. Ia memang sering sekali kelelahan. Sebelum
pekerjaannya yang sekarang, ia selalu memiliki paling sedikit dua
pekerjaan setiap harinya termasuk hari Sabtu dan Minggu. Tak
pernah ada hari libur baginya. Setiap hari ia manfaatkan untuk
bekerja dan bekerja. Syukurlah, sejak bekerja di hotel ini ia tidak
perlu lagi kalang kabut bekerja ke sana kemari. Gaji yang ia peroleh
di sini cukup besar untuk membiayai semua kebutuhannya, belum
lagi uang lembur yang cukup besar yang bisa ia terima. Ia bisa
menabung dan ikut membantu membiayai sekolah beberapa anak
panti atau sekadar membelikan barang kebutuhan mereka seharihari. Ia pun jadi memiliki lebih banyak waktu luang sekarang,
meskipun waktu luangnya itu pun ia isi dengan lebih sering
berkunjung ke panti asuhan untuk mengajar anak-anak panti yang
sekarang sering ia lakukan bersama Alex.
Kristal terhenyak. Ia jadi teringat pertanyaan Steve padanya di
mobil tadi. "Apa karena Alex?"
182 Kristal Ok Rev.indd 182 Ya Tuhan, mengapa ia tidak bisa berkata apa-apa tadi. Mengapa
ia tidak menggelengkan kepalanya kuat-kuat saat ditanya seperti
itu. Mengapa ia bisa sampai memikirkan kemungkinan mengenai
apakah ia memang memiliki perasaan terhadap Alex" Kristal benarbenar tidak mengerti. Memang benar ia telah menghabiskan masamasa indah berdua dengan Alex beberapa bulan belakangan ini.
Memang benar ia merasa sangat nyaman saat bersama Alex. Memang
benar ia dikecewakan oleh kebohongan Alex lalu memaafkan
pria itu sepenuhnya setelah melihat banyak sekali bantuan dan
pengorbanan yang diberikan Alex padanya. Memang benar bahwa
pada kenyataannya, pikirannya selalu saja dipenuhi oleh pria itu
bahkan dalam mimpi-mimpinya sekalipun, pria itu perlahan hadir
memberikan kehangatan dan ketenangan. Ya ampun! Masa iya ia
jatuh hati pada Alex" Sungguh tidak pantas dirinya kalau sampai
memendam rasa pada Alex. Siapalah dia ini. Gadis yatim piatu
miskin yang tidak punya apa-apa selain kemalangan hidup yang
bertubi-tubi. Ya Tuhan! Ia tersedak. Bisa-bisanya ia lupa soal kemalangan
hidupnya. Semua orang yang ia sayangi pada akhirnya pergi
meninggalkannya. Tidak terkecuali Reygan. Bagaimana ia bisa
sampai lupa soal Reygan sama sekali. Tidak boleh. Sama sekali
ia tidak boleh mengkhianati rasa seperti ini. Ia telah memutuskan
untuk menjaga hatinya untuk Rey dan mempertahankan kesetiaan
cinta mereka. Ia takut Reygan perlahan tinggal jadi kenangan bila
ada pria lain dalam hidupnya yang akan menggantikan posisi
Rey dalam hatinya. Dan, ia tidak mau itu terjadi. Ia tidak boleh
mengkhianati Rey. Kristal mengusap hatinya yang terasa panas dan
berat, lalu dengan lemah menekan tombol lift di depannya.
183 Kristal Ok Rev.indd 183 Alex baru saja terbangun dari tidur siangnya. Ia merasa segar
sekali. Harus diakuinya bahwa akhir-akhir ini ia kurang tidur.
Masalah yang baru terjadi antara Kristal dan dirinya benar-benar
telah menyita energi dan pikirannya. Sulit sekali untuk memejamkan
mata saat pikirannya masih melayang ke mana-mana. Memikirkan
berbagai kemungkinan buruk yang mungkin terjadi. Bagaimana
kalau Kristal tidak bersedia memaafkannya, bagaimana bila Kristal
akhirnya memilih untuk memberikan hatinya pada Steve. Ia tentu
tidak sanggup menerimanya. Ia bahkan sempat bermimpi buruk
beberapa hari lalu. Dalam mimpinya itu Kristal mengenakan gaun
putih panjang dengan rangkaian bunga di tangannya. Di sebelahnya
Steve tampak tersenyum menyeringai layaknya iblis yang berjalan
mendampingi sang malaikat menuju altar diiringi suara piano dan
tepuk tangan para tamu yang membahana, sementara ia hanya
bisa memandang dari jauh saat mereka berdua mengucapkan janji
pernikahan dan bertukar cincin. Ia ingat ia berteriak sekencang
kencangnya "tidakkkkk" saat terbangun dari mimpinya itu.
Untunglah itu semua hanya mimpi, meskipun setelah itu ia jadi
sulit untuk kembali tertidur.
Dan kemarin, setelah Kristal memaafkannya, kelegaan luar
biasa melingkupi hatinya. Ia pun akhirnya bisa mengistirahatkan
mata dan pikirannya dengan damai. Sekarang setelah ia terjaga dari
tidur siangnya, perutnya mulai terasa keroncongan. Diambilnya
jaketnya lalu berjalan keluar kamar menuju restoran yang terletak
di lobi hotel. Baru sepuluh menit ia duduk di sana menyeruput
minumannya sambil menunggu ayam goreng pesanannya, saat ia
melihat Kristal berlari memasuki lobi. Gadis itu terlihat bingung
dan panik. Tanpa menunggu lagi, Alex segera bangkit dari tempat
duduknya dan berlari keluar restoran untuk mengejar Kristal.
184 Kristal Ok Rev.indd 184 Belum sempat ia mendekat, Kristal tiba-tiba berhenti berlari dan
mulai berjalan pelan sambil melamun. Entah apa yang dipikirkan
gadis itu. Raut mukanya terlihat serius berpikir. Sebentar-sebentar ia
menggeleng-gelengkan kepalanya dan memukul kepalanya sendiri.
Sial, pikirnya. Apa yang telah dilakukan Steve pada Kristal" Ia
tidak akan tinggal diam kalau sampai sepupunya itu berbuat yang
tidak-tidak. Alex berjalan perlahan mendekati Kristal. Gadis itu berdiri di
depan lift sekarang. Ia menepuk bahu Kristal pelan dari belakang.
"Hei," sapanya.
Kristal tampak sangat terkejut melihatnya. Entah mengapa
muka gadis itu tampak merah padam. Apakah Kristal demam" Ia
mengangkat tangannya dan menyentuh kening gadis itu. Hangat,
tapi tidak panas. Namun, muka Kristal malah makin bertambah
merah. Ia merasa khawatir karenanya. "Kamu tidak apa apa"
Mukamu merah sekali. Kamu sakit?"
Kristal hanya menggelengkan kepala tanpa memandang
mukanya sedikit pun. Alex merasa heran dibuatnya. "Sudah
makan?" Kristal mengangguk pelan, masih tanpa memandang wajahnya
dan masuk ke dalam lift yang terbuka meninggalkan dirinya seorang
diri di lobi. Alex menjadi kesal dibuatnya. Apa yang dilakukan Steve
sebenarnya" Ia harus mencari tahu. Pas sekali, sepupunya itu terlihat
memasuki lobi dengan langkah gontai. Ia semakin yakin sekarang
bahwa sesuatu telah terjadi antara mereka.
"Ada apa antara kau dan Kristal?"
Steve memandangnya tajam. "Bukan urusanmu," jawabnya.
"Dengar Steve, kalau sampai kau"."
Steve memotong perkataannya. "Jadi sudah kauputuskan?"
185 Kristal Ok Rev.indd 185 Alex memandang sepupunya itu, bingung. "Maksudmu?"
"Sudah kauputuskan bagaimana perasaanmu pada Kristal?"
Alex tidak menjawab apa apa.
"Aku sudah," kata Steve lagi.
"Sudah apa maksudmu?" Alex memandang Steve waswas.
"Aku sudah memberi tahu Kristal tentang perasaanku padanya."
Steve tersenyum sekarang. "Kalau kamu masih belum bisa
memutuskan perasaaanmu, maka bersiap-siaplah untuk merelakan
Kristal untukku." "Kristal tidak suka padamu," Alex berkata tajam.
"Oh ya?" Steve tersenyum jahil. "Sudah lupakah kau dengan
julukanku" Sang Penakluk Wanita. Kau yakin aku tidak mampu
mendapatkan gadis itu" Oke, mungkin sekarang belum. Tapi
percayalah, dengan berbagai trik yang kumiliki, tak lama lagi Kristal
akan jadi milikku." Alex menggeram. Ia mengepalkan tangannya menahan
emosi. "Tentu saja akan lebih seru ceritanya bila aku memiliki rival
dalam permainan cinta ini. Tidak asyik bila aku menang tanpa
perlawanan seperti ini. Jadi bagaimana" Kau berani bersaing
denganku?" tantang Steve.
Alex terdiam. Ia bertarung dalam pikirannya sendiri.
Sebenarnya ia ingin sekali berkata ya dengan sekencang-kencangnya.
Tapi lagi-lagi, bayangan Reygan yang terkapar berdarah dalam
pelukannya menghentikannya. Dan sekali lagi, ia memilih untuk
berlari. Memasuki lift yang terbuka, menolak untuk memberikan
jawaban. Alex berendam dalam bath up lama sekali. Membiarkan
kehangatan uap air yang mengepul menenangkan adrenalinnya
186 Kristal Ok Rev.indd 186 yang terus terpacu sejak tadi. Ia merasa seperti seorang pengecut
sekarang. Paling tidak Steve pasti menganggapnya seperti itu. Mau
bagaimana lagi. Ia tidak bisa menjelaskan alasan mengapa dirinya
menolak mengakui perasaannya pada Kristal. Dan meskipun ia
mengaku, itu tidak akan mengubah fakta bahwa ia dan Kristal
tidak akan bisa bersama. Alex terus berendam tanpa memperhatikan
waktu yang terus berdetak. Hampir saja ia terlambat tiba di bandara
bila bukan karena Kristal yang mengingatkan dirinya lewat pesan
singkat yang dikirim gadis itu untuknya. Ternyata Kristal masih
memedulikannya. Ia langsung bersiap-siap menuju bandara dan
mencari gadis itu begitu ia tiba di sana. Kristal pasti sudah sampai
dari tadi karena gadis itu sudah berangkat terlebih dahulu bersama
rombongan tim. Beberapa saat kemudian akhirnya ia berhasil menemukan
Kristal. Gadis itu sedang berdiri di ruang tunggu pesawat tak
jauh dari rombongan timnya. Steve juga ada di sana berdiri agak
jauh, sepertinya pria itu ingin memberikan Kristal waktu untuk
mempertimbangkan pengakuannya tadi siang. Kristal menoleh ke
arahnya dan tersenyum. Alex lalu berjalan menghampiri Kristal
bermaksud menemani gadis itu, tapi Kristal malah berjalan menjauh
dan mengajak seorang teman perempuannya untuk mengobrol


Kristal Karya Wina Natalia di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengannya. Alex jadi bingung dibuatnya. Ia merasa ada yang aneh.
Sepertinya Kristal sedang tak mengacuhkan dirinya.
Selama di dalam pesawat Alex terus-menerus melirik ke
belakang, mengintip Kristal yang hanya berjarak dua bangku
darinya. Tapi, gadis itu malah menghindari tatapannya. Bahkan
setelah pesawat mereka mendarat pun Kristal masih terus
mengabaikannya. Gadis itu bergabung dengan rombongan tim dan
ikut naik bis bersama mereka. Ia bahkan tidak sempat menawarkan
187 Kristal Ok Rev.indd 187 untuk mengantar Kristal pulang karena gadis itu seakan-akan
mencari cara untuk menjauhkan diri darinya. Yah, meskipun paling
tidak Kristal juga bersikap sama terhadap Steve. Tapi, itu memang
sudah sepatutnya dan bisa dimengerti alasannya. Tapi, kenapa ia
juga ikut-ikutan dijauhi" Alex menggaruk-garuk kepalanya. Ah,
wanita memang sulit dimengerti.
188 Kristal Ok Rev.indd 188 Delapan SATU buket mawar merah yang diikat cantik dengan pita emas
terletak di atas mejanya begitu ia memasuki ruang kantornya.
Sudah dua hari ini begitu terus. Rekan-rekan kerjanya di kantor
tidak henti-hentinya menebak-nebak siapa pengirim tanpa identitas
tersebut. Tapi, tidak demikian dengan Kristal. Ia sudah tahu dengan
jelas siapakah orang misterius itu. Pesan singkat dari Steve yang
dikirimkan padanya tepat setelah ia menerima bunga tersebut
menjawab semuanya. "Apakah kamu suka dengan kiriman bunganya?"
Begitu bunyi pesan tersebut. Fiuuh, Kristal mengembuskan napas. Ia
tidak membalas pesan tersebut. Percuma. Pada kiriman bunga yang
pertama ia sudah menjelaskan maksud dan keinginannya dalam
pesan balasan yang ia kirimkan untuk Steve. Isinya mengenai
betapa ia merasa keberatan bila Steve mengirim bunga untuknya
seperti ini. Kristal merasa risi menjadi bahan omongan orang-orang
sekantor. Tapi, pria bebal itu sepertinya tidak mengerti isi pesan
189 Kristal Ok Rev.indd 189 yang ia kirimkan dan tetap saja tidak henti-hentinya mengirimkan
bunga untuknya. Kristal melirik kantor manajer di depannya. Ruangan kantor
tersebut tampak gelap dan kosong dari luar. Steve tidak tampak
batang hidungnya sejak kemarin. Entah apa yang terjadi pada pria
itu. Desas-desus yang ia dengar, dari siapa lagi kalau bukan para
gadis tukang gosip di kantornya, bahwa Steve telah mengundurkan
diri dari jabatannya. Tidak diketahui benar tidaknya berita tersebut.
Kristal tidak terlalu ambil peduli. Yang jelas ia merasa lega karena
tidak perlu bertemu muka dengan pria itu setiap harinya. Apalagi
mengingat posisinya sebagai asisten manajer. Mau tidak mau, ia
berkewajiban untuk membantu Steve sebagai bagian dari tugasnya.
Sekarang setelah Steve tidak hadir, tentunya semuanya terasa lebih
mudah. Meskipun tentu saja kedatangan mawar-mawar ini masih
membuatnya merasa tidak nyaman.
Ia mencampakkan buket mawar itu di bawah meja lalu
membuka komputer dan mulai mengerjakan tugas-tugas kantornya.
Tak berapa lama ia berhenti mengetik. Wajah Alex muncul tiba-tiba
dalam pikirannya. Ia cepat-cepat menghapus bayangan itu. Toh dua
hari ini ia sudah berhasil menjauhkan diri dari Alex. Setiap kali Alex
mengajaknya keluar ia selalu memberikan segudang alasan untuk
menghindari pertemuan dengan pria itu. Ia harus menjauhi Alex.
Harus. Paling tidak hingga ia berhasil menghilangkan perasaan
aneh yang ia miliki setiap kali berada di dekat Alex. Tapi semakin
ia menjauhi Alex, entah mengapa ia merasa semakin merindukan
sosok pria itu. Alex berdiri menatap pemandangan kota dari jendela kantornya.
Mobil-mobil dan rumah-rumah tampak kecil dan mungil. Bahkan
manusia-manusia terlihat seperti semut bila dilihat dari atas sini.
190 Kristal Ok Rev.indd 190 Wajar saja bila mengingat ia sekarang tengah berada di lantai
paling tinggi. Alex terus berdiri mematung di sana beberapa lama.
Di sampingnya file-file tampak berserakan di atas meja. Laptopnya
pun terbuka dengan layarnya yang kosong. Ah, ia sudah menyerah.
Seharian ini ia berusaha untuk berkonsentrasi menyelesaikan
pekerjaannya. Buku-buku laporan sudah diatur rapi di atas meja
oleh asistennya begitu ia tiba di kantor tadi pagi. Ia pun sudah siap
memeriksa laporan tersebut. Banyak sekali pekerjaan yang sudah
terbengkalai. Dibukanya buku laporan pertama, kedua, ketiga. Beberapa menit
kemudian ia tampak sibuk membolak-balik halaman laporannya
tanpa memahami isinya sedikit pun. Ia menutup mukanya dengan
kedua telapak tangannya lalu bersandar di kursinya. Sial, sulit
sekali rasanya untuk bisa fokus. Dirogohnya ponselnya untuk
yang kesekian kalinya hari ini. Tak ada pesan. Ia menarik napas
panjang. Sudah dua hari ini Kristal tak mengacuhkannya. Sejak
tiba di Jakarta, gadis itu sama sekali tidak bersedia bertemu muka
dengannya. Setiap kali ia mengajak Kristal makan siang atau makan
malam, gadis itu selalu menolak. Ia bahkan menunggu Kristal di
panti asuhan kemarin malam, tapi gadis itu tidak datang. Kenapa
lagi ini" Bukankah Kristal sudah memaafkannya" Kristal bahkan
sempat mengobrol seperti biasa dengannya saat mereka terdampar
berdua di pulau beberapa hari lalu. Ia bingung mengapa Kristal
tiba-tiba berubah tak acuh seperti ini.
Alex beranjak menjauhi jendela dan merebahkan tubuhnya
di atas sofa. Sudahlah, pikirnya. Mungkin Kristal sedang banyak
pikiran. Ia akan memberikan gadis itu waktu untuk menyendiri
sambil berharap mudah-mudahan Kristal mau menghubungi dirinya
pada akhirnya. Paling tidak sekarang ia merasa agak lega karena
191 Kristal Ok Rev.indd 191 Steve tidak lagi berada satu kantor dengan gadis itu. Alex mengingatingat pembicaraannya dengan Steve di bandara dua hari lalu saat
mereka baru tiba di Jakarta.
"Aku berhenti."
Alex awalnya mengira ia salah dengar. Bagaimana mungkin
Steve bersedia berhenti dari pekerjaannya begitu saja. Bukankah
pria itu sudah mengatakan dengan jelas bahwa ia akan mengejar
Kristal" Alex berkata pelan. "Apa?"
"Ya. Aku berhenti," jawab Steve. "Toh, aku yakin cepat atau
lambat kau pasti akan mengeluarkan aku dari pekerjaanku di hotel.
Jadi lebih baik kalau aku mengundurkan diri dulu sebelum kau
sempat memecatku." Benar juga, pikir Alex. Ia memang telah merencanakan
untuk memindahkan Steve ke divisi lain yang jauh letaknya
dari kantor Kristal. Tapi tentu saja, ia tidak akan memecat Steve.
Bisa-bisa ia dibunuh oleh ayah Steve karenanya. "Aku tidak
berniat memecatmu. Yah, paling-paling kamu cuma pindah divisi.
Manajer keuangan misalnya" Atau wakil direktur" Terserah, aku
tidak keberatan." Selama kau jauh dari Kristal, pikirnya dalam hati.
Steve mendengus. "Yang benar saja. Lebih baik aku berhenti
kalau begitu. Kau "kan tahu tujuanku bekerja di hotel adalah demi
mengejar Kristal." "Jadi kau mengaku sekarang kalau kau hanya bersedia
kerja di hotel demi mengejar wanita, huh" Paman pasti pingsan
bila mendengarnya. Ia mengira kau sudah mau serius bekerja
sekarang." "Aku" Serius" Yang benar saja." Steve tertawa kecil. "Kalau aku
serius, kau pasti akan terkaget-kaget oleh kejeniusanku. Ingat proyek
192 Kristal Ok Rev.indd 192 pengembangan Hotel De Robbins yang kuatur di Kendari kemarin"
Aku yakin kau sangat terkesan, bukan?"
"Yeah. Lumayan." Harus diakui Alex, bila Steve mau serius, pria
itu pasti bisa menghasilkan pekerjaan yang menakjubkan.
"Hanya lumayan" Tolong deh. Akui saja kalau kau terkesan!
Mencari klien, survei lokasi dan lain lain, semuanya aku atur
sendiri tanpa bantuanmu sama sekali. Yah, aku sendiri heran dengan
kehebatanku." Steve mengibaskan rambutnya.
Alex hanya tertawa mendengarnya.
"Okelah, aku cuma mau mengabarkan padamu kalau aku
berhenti kerja. Tapi, jangan kira aku menyerah soal Kristal. Dan,
harusnya kamu mulai waspada sekarang. Aku punya lebih banyak
waktu luang sekarang. Siapa yang tahu apa yang bisa kulakukan
dengan waktu sebanyak itu, hmm?"
"Ya ya terserah saja. Kristal tidak akan tertarik padamu," sahut
Alex. "Yakin?" Steve bertanya dengan nada menantang, dan saat
Alex tidak bisa berkata apa-apa, pria itu berlalu meninggalkan Alex
tawa lebar. Bulan bersinar tepat di atas kepala saat Kristal berjalan
menyusuri jalanan gelap menuju Panti Asuhan Bunda Maria. Angin
yang bertiup kencang terasa dingin di kulitnya hingga membuat
bulu kuduk lehernya berdiri. Kristal berjalan dengan terhuyung.
Sebenarnya ia merasa agak tidak enak badan hari ini, mungkin efek
dari stres yang ia rasakan beberapa hari ini. Untunglah semua rasa
tidak enak itu hilang saat ia disambut senyuman anak-anak panti
yang tampak jelas menanti-nanti kedatangannya. Ia menggelengkan
kepala dan tersenyum. Bocah-bocah ini selalu memiliki cara untuk
dapat membuat dirinya bersemangat kembali. Ia membuka tas
193 Kristal Ok Rev.indd 193 kerjanya dan mengeluarkan beberapa buku cerita bergambar dari
dalamnya. "Siapa mau dibacain ceritanya Timun Mas?" teriaknya yang
disambut teriakan heboh bocah-bocah yang mengerubutinya. Kristal
membacakan dongeng pada anak-anak itu di teras depan. Berhubung
hari sudah malam, ia juga mengantar mereka masuk ke dalam
kamar dan menemani anak-anak itu sebentar hingga mereka tertidur.
Setelahnya, Kristal mengobrol sebentar dengan Suster Albertha di
ruang kerjanya. Kristal diberi tahu bahwa Alex datang berkunjung
dan bermain bola bersama anak-anak kemarin sore. Pastinya
raut mukanya berubah saat mendengar berita ini, sebab Suster
Albertha langsung menodongnya dengan pertanyaan seperti "Ada
apa antara kamu dengan Alex" Semua baik-baik saja?" Dan, Kristal
berusaha mengelak dari pertanyaan itu dengan membicarakan hal
lain untuk mengalihkan topik. Ia tidak tahu harus menjawab apa,
sebab bila dipikir-pikir alasan ia menghindari Alex sangat tidak
masuk akal dan jelas tidak adil bagi pria itu. Semuanya berasal
dari perasaannya. Dari hatinya yang mengkhianati dirinya, menolak
untuk dikendalikan. Itulah sebabnya ia datang kemari malam ini.
Ia harus berkunjung ke Taman Bintang dan menemukan kembali
rasa cintanya yang perlahan memudar.
Tak lama kemudian Kristal sudah berbaring di hamparan
rumput yang halus bak permadani itu sambil memandang taburan
bintang yang berkerlip di atasnya. Ia membayangkan masa-masa
dahulu, saat Reygan masih hidup, saat semuanya masih lebih
mudah baginya dengan adanya Reygan yang selalu ada untuk
melindunginya. Ia beranjak duduk dan bergerak menghampiri pohon
besar di sebelahnya. Lumut menutupi hampir sekujur batang pohon
itu. Kristal mengusap permukaan bagian sudut batang pohon itu
194 Kristal Ok Rev.indd 194 hingga tampak goresan yang sengaja diukir di sana. K & R Selamanya.
Dan, Kristal pun menangis tertahan. Ya Tuhan, pikirnya. Bisa-bisanya
ia melupakan rasa cinta Reygan yang begitu besar untuknya. Ia
terisak tertahan sambil berulang-ulang mengucapkan kata-kata
maaf tiada henti, berharap Reygan di atas sana bisa mendengar
penyesalannya. Beberapa saat kemudian ia bangkit berdiri dan menghapus
airmatanya yang masih tersisa di sana. Ditepuk-tepuknya pipinya
untuk menyemangati diri seperti yang sering ia lakukan. Ia lalu
berjalan meninggalkan Taman Bintang.
Lampu gereja masih menyala. Terdengar suara saat ia melewati
gereja tua itu. Aneh sekali. Tidak seharusnya ada orang yang masih
berada di sini pada jam segini. Mungkin Suster Albertha atau
Margareth sedang berdoa di dalam. Sebaiknya ia juga ikut berdoa
bersama mereka, pikirnya. Kristal pun berjalan pelan memasuki
aula gereja. Ternyata bukan Suster Albertha ataupun Suster Margareth yang
ada di dalam, melainkan seorang pria yang tampak sedang berlutut
sambil mengaitkan jemari tangannya dan menunduk berdoa. Kristal
berjalan mendekat. Pria itu mengangkat kepalanya dan menoleh ke
arahnya. Seketika itu juga ia terbelalak.
"Kristal?" sahut suara yang sudah sangat dikenalnya itu.
Mengapa pria itu ada di sini?""!!!
Gadis itu tampak terkejut melihatnya. "Sedang apa kamu di
sini?" Alex merasakan kakinya goyah saat ia mencoba untuk berdiri
dari bangkunya. Ia telah berada di gereja ini, berlutut dan berdoa
berjam-jam lamanya hingga tanpa sadar kakinya mati rasa. Kristal
bergerak mendekatinya dan membantunya berdiri.
195 Kristal Ok Rev.indd 195 "Terima kasih. Aku rasa aku terlalu lama berlutut," ucapnya
setelah akhirnya ia mampu berdiri sendiri. Kristal langsung
melepaskan genggamannya dan berjalan menjauh.
"Tunggu Kristal. Aku perlu bicara padamu."
Kristal memandangnya bimbang. "Maaf, aku sudah terlalu lelah
untuk berbicara malam ini."
Alex berjalan mendekat. "Kamu masih marah padaku?"
Kristal menggelengkan kepalanya kuat-kuat.
"Jadi" Kenapa kamu menjauhi aku?" tanyanya bingung.
Kristal menundukkan kepalanya tak bersuara.
"Kristal?" Alex bergerak mendekat. Ia melihat sesuatu berkilau
di pipi gadis itu. Mungkinkah Kristal menangis" Tapi, mengapa"
"Kamu menangis?" tanyanya cemas.
"Maaf"," jawab Kristal singkat lalu berlari meninggalkanya.
Alex tidak tahu apa yang terjadi. Tahu-tahu saja kakinya sudah
bergerak cepat mengejar Kristal dan tangannya memeluk tubuh
gadis itu dari belakang. "Lepaskan aku, Alex." Gadis itu meronta sejenak, dan saat ia
tidak bersedia melepaskannya, gadis itu berbisik pelan. "Kumohon,"
isaknya, lalu Kristal pun menangis dalam pelukannya. "Aku tidak
bisa menemuimu lagi."
Suara Kristal yang pelan dan jernih itu seakan menghantam
rongga dadanya. Perlahan Alex membuka tangannya. "Kenapa?"
tanyanya pelan. Ia benar-benar tidak mengerti.
"Sejak bersamamu aku jadi aneh." Kristal bersura pelan dari
balik punggungnya. Alex tidak bisa melihat wajah gadis itu. Aneh"
Aneh seperti apa yang dimaksud"
"Bila kamu di dekatku, hatiku terasa sesak. Bila kita tidak
bertemu pikiranku selalu dipenuhi oleh dirimu. Aku tidak menjadi
diriku yang biasanya. Aku benci!"


Kristal Karya Wina Natalia di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

196 Kristal Ok Rev.indd 196 Alex mematung mendengar kata-kata Kristal. Tunggu dulu,
pikirnya. Semua hal yang dikatakan gadis itu adalah hal-hal yang
selama ini ia rasakan dan alami. Bukankah itu berarti Kristal
juga menyukai dirinya" Alex merasa pipinya bersemu merah. Ia
tidak mau salah sangka karena berharap terlalu tinggi. Ia harus
memastikan bahwa semua ini bukan hanya dugaannya saja.
Alex menarik napas panjang. Jantungnya terasa berdegup
kencang. Ia merasakan bibirnya gemetar saat ia bersuara. "Kamu
suka padaku?" Kristal tidak bersuara. Jantung Alex berdebar lebih kencang sekarang. "Aku suka
padamu," bisiknya. Akhirnya ia mengatakannya.
Ia melihat Kristal terpekik dan langsung membalikkan badan.
Gadis itu menutup mulutnya saat melihat wajahnya yang memerah
di bawah sinar bulan. Kristal memandangnya dengan tatapan seperti
campuran antara rasa takut dan tidak percaya. "Aku tidak bisa,"
jawab gadis itu sambil terisak. "Aku tidak boleh"
Alex melangkahkan satu kakinya dan langsung berhenti saat
gadis itu mundur ketakutan. "Kenapa Kristal" Kenapa tidak bisa?"
sahutnya putus asa. Gadis itu terisak lebih kencang sekarang. "Ada seorang pemuda
yang selalu aku cintai lebih dari apa pun dan aku sudah berjanji akan
memberikan hatiku selamanya padanya. Meskipun ia sudah tidak
ada lagi di dunia ini, perasaanku tidak boleh berubah. Aku tidak
boleh mengkhianati Rey!" jawabnya histeris dan wajah Alex menjadi
pucat mendengarnya. Tentu saja, pikirnya. Bodoh sekali dirinya. Bisabisanya ia lupa dan dibutakan oleh emosi sesaat. Berani-beraninya
ia mengakui perasaanya yang sekian lama terpendam. Memangnya
kenapa kalau dia cinta" Sudah lupakah dia bahwa dirinyalah yang
197 Kristal Ok Rev.indd 197 telah membunuh Reygan" Jangankan mengharapkan Kristal menjadi
miliknya, mencintai gadis itu saja ia tidak layak.
Kristal jatuh berlutut sambil menangis tersedu. Alex melangkahkan kakinya mendekat, bermaksud menghibur gadis itu, membelai rambutnya, atau membisikkan kata-kata yang menenangkan.
Apa saja untuk membuat Kristal merasa lebih baik. Tapi, gadis itu
tidak membiarkannya mendekat. "Pergilah. Kumohon," bisik Kristal.
Dan, Alex tidak memiliki pilihan selain meninggalkan gadis itu
sendiri dalam kesedihannya.
Ia berlari menyusuri jalanan panjang yang gelap itu, menyusuri
pepohonan rimbun yang tumbuh menjulang bagaikan makhluk
malam yang mengintai mangsanya. Dirinya. Namun, tidak sedikit
pun hal itu memengaruhi pikirannya. Tak ada makhluk mana pun
yang bisa lebih kejam, lebih mengerikan, lebih hina daripadanya.
Ia terus berlari dan berlari, meninggalkan Bukit Bintang dan gadis
yang terluka di dalamnya. Gadis yang terluka karena dosa yang
ia perbuat. Awan gelap menyembunyikan bintang-bintang dan cahaya
bulan hingga kegelapan pekat menyelimuti malam, membuat
suasana hati terasa suram karena hilangnya cahaya yang biasanya
menenangkan. Alex turun dari dalam mobilnya, berjalan selangkah
demi selangkah menuju apartemennya yang sudah sunyi. Ia
menengadahkan kepalanya mencoba melihat teras kamar gadis
pujaannya yang terlihat gelap, tanpa cahaya lampu, pertanda sang
empunya belum juga kembali, kemungkinan masih meratapi diri
jauh di Taman Bintang. Alex memegang dadanya. Perih itu kembali
lagi menyiksanya. Ah, seandainya saja ia mampu menghentikan
tangisan Kristal. Ia rela melakukan apa saja. Apa saja agar ia tidak
perlu lagi melihat air mata itu tertumpah. Tapi, ia tahu ia tidak
sanggup. Malah, sebenarnya dirinyalah sumber semua tangisan itu.
198 Kristal Ok Rev.indd 198 Dipaksanya kakinya untuk melangkah lagi. Secangkir kopi
mungkin dapat menenangkan hati dan pikirannya yang kini buntu
sehingga ia mampu memutuskan langkah apa yang selanjutnya
akan ia perbuat. Mungkin ia bisa menemukan cara untuk dapat
menjaga gadis itu tanpa melukainya. Ia meneruskan langkahnya
yang langsung terhenti oleh kehadiran sosok pemuda di hadapannya.
Steve tampak berdiri di depan pintu gerbang masuk apartemennya,
menanti kedatangannya. "Aku perlu bicara," Steve berkata padanya. Matanya tampak
serius, entah apa keperluan mendesak yang membuat pria itu
menunggunya hingga larut malam.
Alex menunggunya melanjutkan kata-katanya.
"Aku sudah tahu siapa sebenarnya Kristal dan arti gadis itu
bagimu," sahut Steve lantang.
Alis Alex mengerut. "Maksudmu?" tanyanya tak mengerti.
"Reygan Saputra. Kenal nama itu?"
Hati Alex mencelos. Wajahnya pucat pasi. Dari mana sepupunya
bisa tahu soal itu" Ia merasakan jantungnya berdetak kencang.
"Demi Tuhan Alex. Mengapa kau menutupinya dariku" Apakah
sedemikian tidak percayanya kau padaku" Bukankah aku ini
saudara sekaligus sahabat terbaikmu" Kau tahu, seandainya kau
memberitahuku, aku pasti akan membantumu, Lex. Selama ini aku
selalu mendukung segala perbuatanmu, bukan begitu?"
Alex masih tidak bersuara. Ia merebahkan dirinya di tangga
depan gerbang. Seluruh energinya terasa lenyap begitu saja dari
tubuhnya. Ia terlalu lelah akan semua ini. Lelah akan semua rasa
bersalah yang terus menghantuinya bertahun-tahun lamanya.
"Aku enggak sanggup," bisiknya.
"Karena?" desak Steve.
199 Kristal Ok Rev.indd 199 "Karena". Aku sendiri juga tidak mengerti. Aku ini pembunuh
dan aku terima kenyataan itu. Aku bahkan sempat berpikir untuk
lari dari semua ini. Kau mengenal diriku yang dulu, Steve. Apa
mungkin aku bisa merasa begitu berdosa karena suatu hal" Apa
mungkin aku bisa merasa begini hina atas kesalahan yang telah aku
lakukan" Kau pernah melihat segala macam masalah dan kerugian
yang menimpa orang lain karena perbuatanku. Apa aku pernah
merasa bersalah sebelumnya" Tidak! Tak sekalipun! Persetan dengan
semuanya. Toh, aku memang ahli dalam melemparkan tanggung
jawab. Orang berengsek sepertiku! Tapi kenyataannya, aku di sini
sekarang. Aku di sini berusaha mati-matian menebus dosaku. Tapi,
lihat hasilnya! Semuanya percuma! Kristal masih berduka atas
kematian pria itu. Aku tidak tahu lagi apa yang harus kulakukan
untuk membuatnya bahagia!"
Steve memandang Alex iba. Ia berkata pelan. "Apakah kau
cinta padanya?" Alex tersentak. Ia tidak berkata-kata selama beberapa saat.
"Mengapa kau bertanya begitu?"
"Jawab saja pertanyaanku."
"Cinta" Ya. Selalu. Selamanya."
"Akhirnya kau mengaku juga." Steve tersenyum kecil.
"Sebenarnya aku sudah tahu. Aku malah merasa curiga ada sesuatu
yang membuatmu tidak bisa mengatakannya padaku." Steve
menggelengkan kepalanya frustasi. "Harusnya dari awal kau jujur
padaku. Jadinya aku tidak perlu repot-repot menyewa detektif untuk
menyelidiki soal ini."
"Dasar tukang ikut campur." Alex memutar bola matanya.
"Kau tahu bagaimana aku. Mana ada sih rahasiamu yang tidak
aku ketahui?" 200 Kristal Ok Rev.indd 200 Alex hanya tersenyum kecut.
"Jadi, bagaimana dengan Kristal?"
"Aku tidak tahu," sahutnya pelan. "Mungkin gadis itu bahkan
tidak mau lagi bicara padaku selamanya. Mungkin aku akan tetap
menjaga Kristal dari jauh, seperti yang selalu aku lakukan."
"Dasar bodoh. Kau mau menyerah begitu saja?" Steve berseru
tajam. "Aku ini pembunuh, Steve. Apa yang bisa aku harapkan" Bahwa
gadis itu akan menerimaku" Bagaimana nantinya kalau ia sampai
tahu semuanya" Bahwa pria yang dicintainya mati di tanganku"
Aku tidak mau menghancurkan hatinya untuk kedua kalinya,"
sahut Alex tegas. "Kalau begitu jangan sampai Kristal tahu. Aku akan tutup
mulut soal ini. Kau juga begitu. Maka tidak akan ada yang tahu.
Rahasia ini perlahan akan memudar seiring berjalannya waktu."
Steve berhenti sejenak lalu berkata lagi. "Aku ingin kau bahagia,
Lex. Aku bisa merasakan seberapa besar rasa cintamu pada Kristal.
Dengan cinta sedalam itu, aku yakin seumur hidup pun kau tak
akan pernah bisa melupakannya. Percayalah padaku kali ini. Jangan
menghindar lagi. Hadapilah hatimu. Setidaknya kau sudah berusaha
memperjuangkan cintamu."
Alex menghela napas panjang. "Aku tidak layak, Steve."
"Omong kosong! Kalau ada satu orang yang dapat
membahagiakan Kristal, itu adalah dirimu! Aku bahkan tidak akan
sanggup bersaing denganmu. Kaulah pria yang paling mencintai
gadis itu lebih dari siapa pun di dunia ini. Tentu saja kau layak
mendapatkan Kristal!"
Alex tidak bersuara. Benarkah, pikirnya. Benarkah ia layak"
201 Kristal Ok Rev.indd 201 Sembilan AKU berjalan di atas sebuah jembatan panjang. Kabut yang sangat
tebal melingkupiku. Begitu tebalnya hingga aku hampir tak dapat
memandang kedua tanganku sendiri. Aku terus berjalan dan
berjalan hingga langkahku mulai goyah. Kurasakan perihnya darah
menggores kakiku yang telanjang dan bulu kudukku meremang
oleh embusan angin yang terasa janggal. Aku bertanya-tanya
sampai kapan aku harus terus berjalan. Jembatan itu seakan tak
berujung. Lalu tiba-tiba saja kabut itu memudar sedikit demi sedikit.
Seberkas sinar yang menyilaukan tampak dari depan. Dari arah
sinar tersebut, seseorang tampak berdiri di sana. Menungguku.
Aku tak dapat melihat wajahnya dari jauh, maka aku mendekat
selangkah demi selangkah. Aku dapat melihatnya tersenyum
sekarang. Ia memandangku, sepasang mata yang rasanya pernah
kulihat sebelumnya, dan aku tersadar siapa dia.
Reygan! 202 Kristal Ok Rev.indd 202 Aku selalu berpikir, seandainya kami bisa bertemu, begitu
banyak yang ingin aku katakan padanya. Segala rasa bersalah,
penyesalan, dan terutama karena mencintai gadis yang tidak layak
aku dambakan. Namun aku hanya terpaku di sana, menggigil dan
terisak. Lidahku terasa kelu dan tubuhku gemetar hebat. Satusatunya kata yang mampu kuucapkan adalah maaf, maaf, dan maaf.
Maaf yang tak berkesudahan.
Reygan masih memandangku untuk beberapa saat. Ia terlihat
begitu lembut, damai dan bercahaya, membuatku berpikir bahwa janganjangan yang ada di hadapanku ini adalah seorang malaikat. Mata pria
itu terlihat begitu tulus hingga aku merasa sangat tak layak berada
di hadapannya, lalu ia berkata, "Kristal tak perlu memilih. Dia bisa
memiliki kita berdua. Mencintai kita berdua. Aku bisa memiliki masa
lalunya dan kau bisa memiliki masa depannya."
Aku masih terisak, hampir tidak percaya dengan apa yang baru
saja kudengar. Ia berjalan mendekat dan menyentuh bahuku. "Aku
memaafkanmu," katanya. Lalu dengan embusan angin pria itu pun
menghilang". Alex terbangun dengan tubuh gemetar. Ia menyentuh pipinya
yang panas dan basah oleh air mata. Apakah arti mimpinya itu"
Mimpi itu terasa nyata sekali. Seakan-akan Reygan benar-benar
datang menemuinya. Entah mengapa ia merasa lega sekali, seakanakan bebannya telah diangkat dari pundaknya dalam sekejap.
Benarkah ini pertanda bahwa ia sudah dimaafkan" Bahwa sekarang
ia layak mengejar cintanya"
Kristal bangun lebih cepat dari biasanya pagi ini. Ia baru tiba
di apartemennya saat subuh sekembalinya dari Bukit Bintang dan
bisa dibilang hampir terjaga semalaman setelahnya. Ia baru terlelap
kurang dari dua jam saja dan tahu-tahu sudah terbangun sebelum
203 Kristal Ok Rev.indd 203 wekernya sempat berbunyi. Masih pukul lima lewat sepuluh dini
hari. Kristal bergelung di dalam selimutnya meskipun sudah tidak
mengantuk, semata-mata untuk mendapatkan kehangatan. Ia
memang paling tidak tahan udara dingin. Kristal malas-malasan di
kasurnya untuk beberapa saat sebelum akhirnya rasa kantuknya
memudar sama sekali. Ia beranjak ke kamar mandi, membasuh
mukanya dan berganti pakaian lalu tanpa suara ia berjalan ke ruang
depan untuk mengambil tas kerjanya, menuruni lift dan keluar
dari apartemennnya. Udara pagi ini terasa segar dan bersih. Ia mencoba menikmati
semilir angin yang meniup anak-anak rambutnya dan merdunya
nyanyian burung gereja yang bertengger di dedaunan. Ia
mendongakkan kepalanya ke arah langit biru cerah dan menarik
napas dalam-dalam. Udara bersih memenuhi paru-parunya membuat
perasaannya menjadi jauh lebih baik, paling tidak dibandingkan
kemarin. Kejadian kemarin malam muncul lagi dalam pikirannya.
Wajah Alex terus terbayang-bayang dalam benaknya. Pria itu
mencintainya. Mencintainya. Mencintainya. Ia meraba pipinya yang
terasa panas. Ia hampir tidak dapat memercayainya. Dan, ia memang
tak akan pernah menyangka bila bukan karena mendengar langsung
dari mulut pria itu. Bagaimana mungkin gadis miskin seperti dirinya
bisa mendapatkan hati pria yang hampir sempurna itu"
Ia membayangkan wajah Alex yang tampan bak lukisan dewadewa Yunani, kulitnya yang halus dan agak gelap, dan tubuhnya.
Oh, tubuhnya yang tegap dan maskulin itu, penuh dengan aroma
pria sejati. Ia bertanya-tanya bagaimana rasanya bila tubuh itu
mendekapnya, merengkuhnya ke dalam pelukan. Tidak, tidak,
tidak! Kristal menggelengkan kepalanya, merasa malu atas fantasi
liarnya itu. Ia milik Reygan dan hanya Reygan seoranglah yang boleh
204 Kristal Ok Rev.indd 204 memiliki hatinya, selamanya akan seperti itu. Ia berjalan cepat ke
terminal bus sambil berusaha mengenyahkan segala perasaan yang
tidak boleh ia miliki terhadap pria itu.
Kristal sedang mengambil berkas di meja resepsionis yang
terletak di lobi utama hotel, ketika ia melihat siluet seorang pria yang
paling tidak ingin ia temui tengah berjalan melewatinya menuju
lift. Di sampingnya tampak seorang wanita yang luar biasa cantik
bergelayut mesra di pundak pria itu. Kristal segera menyembunyikan
diri di balik sofa sambil diam-diam mengintip mereka dari jauh. Alex
tampak akrab sekali dengan gadis itu. Ia bisa mendengar gadis cantik
itu berbicara dengan suaranya yang terkesan manja dan dibuat-buat,
sementara Alex sepertinya santai-santai saja digelayuti wanita itu.
Kristal merasakan adanya dorongan untuk menarik gadis itu agar
menjauh dari sisi Alex secepatnya. Ia benci melihat ada wanita yang
sok menempel-nempel pada pria itu. Ia juga kesal sebab Alex sama
sekali tidak menunjukkan adanya penolakan. Dasar pria! Semua
sama saja! Genit! Mata keranjang! Mesum! Kristal bersungut-sungut
dalam hati. Ia tahu ia tidak berhak merasa cemburu seperti ini. Toh
ia sendiri yang telah menolak cinta Alex. Tapi tetap saja, ia tidak
mampu menghentikan perasaannya ini. Perasaan kesal, marah dan


Kristal Karya Wina Natalia di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cemburu yang bercampur menjadi satu. Masa iya Alex semudah itu
berpindah hati dalam satu malam saja" Atau jangan-jangan selama
ini pria itu memang memiliki banyak pelabuhan hati" Bahwa bukan
ia satu-satunya yang menerima pengakuan perasaan pria itu" Kristal
menggeram sendiri. Entah mengapa ia merasa dipermainkan.
Alex berdiri di depan lift, bosan. Lama sekali lift ini terbuka.
Seharusnya ia memiliki lift pribadi sendiri yang langsung
membawanya menuju kantor, pikirnya. Ia melirik Tracey yang
bergelayut manja di lengannya dan memutar bola mata. Ia kehabisan
205 Kristal Ok Rev.indd 205 energi untuk menyingkirkan gadis satu ini. Toh percuma saja. Tracey
ibarat lintah. Seperti apa pun mengusirnya, gadis itu dengan gigih
terus-terusan menempel padanya.
Alex menoleh ke belakang. Ada sesuatu yang janggal di sana.
Entah mengapa ia merasa ada yang mengawasinya diam-diam.
Alex memang memiliki kemampuan ini. Ia peka sekali dengan
keadaan di sekitarnya. Selama ini tidak pernah ada orang yang
berhasil mengikutinya diam-diam, maupun mencoba menguntitnya.
Ia telah berhasil mengembangkan indra tambahan yang terbentuk
setelah bertahun-tahun hidup dalam pengawasan detektif sewaan
ayahnya yang mencoba mengikutinya dan melaporkan setiap tindaktanduknya pada ayahnya.
Dari kaca lift di depannya ia bisa melihat wajah sang penguntit
yang secara diam-diam mengawasinya dan ia langsung tersenyum.
Kristal terlihat di sana, tidak menyadari bayangannya tampak jelas
di kaca. Wajahnya dipenuhi rasa ingin tahu. Apa yang dipikirkan
gadis itu sebenarnya" Mau tak mau ia merasa geli. Alex berusaha
menahan tawanya dan berdeham pelan. Entah mengapa ia
merasakan dorongan untuk berbuat iseng. Pelan-pelan diangkatnya
satu tangannya dan meletakkannya di pinggang Tracey. Sepupunya
itu menoleh sejenak padanya karena terkejut, namun lalu tersenyum
lebar dan merapatkan gelayutannya pada lengan Alex. Pemandangan
yang bagus sekali. Ia bisa merasakan aura membunuh dari arah
belakangnya. Kristal pasti merasa cemburu sekarang. Ia yakin
sebenarnya gadis itu juga menyukainya walau enggan mengakui,
dan sekaranglah saatnya ia menyadarkan Kristal pada perasaannya
yang sebenarnya. Lift terbuka dan Alex melangkah ke dalam, merasa
geli meskipun tetap memasang wajah tenang. Barulah setelah lift
menutup ia tertawa terpingkal-pingkal.
206 Kristal Ok Rev.indd 206 "Jadi, kamu tidak bisa keluar makan siang?"
Kristal mengabaikan pertanyaan itu. Di hatinya masih tersisa
perasaan kesal atas kejadian tadi pagi. Pria ini penggoda wanita.
Pria ini playboy. Pria ini berengsek. Ucapnya berulang-ulang dalam
hati, dan ia makin bertambah kesal saat Alex masih tersenyum
dengan polosnya meskipun jelas-jelas ia menunjukan sikap tidak
bersahabat. "Bagaimana kalau malam?"
Alex menatapnya, mengamati raut mukanya yang tanpa
senyum. Kristal menyusun bunga-bunga di meja tamu, berpurapura sibuk.
"Sebagai teman?" tanya Alex lagi.
Sialannya, pria ini tampak tidak terpengaruh oleh aksi cueknya
itu. Ia merasa lemas berada di dekat pria ini, berada dekat dengan
wajah lembutnya itu. Tidak, ia memang tidak akan pernah sekuat
itu. Pria ini memiliki sihir yang hebat dalam menghipnotis dirinya.
Dan wanita-wanita lain tentunya, pikirnya muram.
"Maaf, saya sedang sibuk sekali hari ini. Lagi pula saya
tidak mau membuat kekasih Anda berpikir yang bukan-bukan
tentang kita," ujarnya sengit, sengaja mengubah gaya bahasanya
menjadi sangat formal untuk mengingatkan adanya jarak di antara
mereka. Pria itu malah tertawa. Yang benar saja!
"Kekasih yang mana maksudmu?" tanya Alex dengan
polosnya. Kristal akhirnya memandangnya tepat di kedua mata pria
itu. Kali ini dengan tatapan tidak percaya. Meskipun ia langsung
menyesal dan segera mengalihkan tatapannya. Mata Alex terlihat
jujur, seolah-olah ia memang tidak mengerti apa yang Kristal
207 Kristal Ok Rev.indd 207 maksud. Benar-benar pelakon sejati. Bila dirinya yang dulu akan
terkecoh, tapi tidak sekarang. Tidak lagi.
"Tolong tidak usah menyangkal. Aku melihat Anda dan kekasih
Anda tadi pagi." Ia teringat lagi peristiwa tadi pagi dan rasa kesalnya
muncul. "Tadi pagi" Tracey maksudmu?" Alex kembali tertawa. "Tolong
deh. Dia itu sepupuku. Kau kenal kakak laki-lakinya. Ingat, Steve"
Manajermu yang terkenal itu."
Kristal menatapnya bingung tanpa suara. Menimbang-nimbang
apakah pria ini berkata jujur.
"Aku tidak berbohong. Tanya saja pada Steve." Ia tersenyum
kecil. "Jangan-jangan kamu cemburu ya?"
Mata Kristal dan pipinya bersemburat merah saat mencerna
kata-kata pria itu. Benarkah ia cemburu" "Tidak! Untuk apa saya
cemburu?" jawabnya cepat dan tegas. Meskipun ia merasakan
adanya penyangkalan dalam ucapannya itu dan ia cemas bila Alex
mengetahuinya. Pria itu tetap tersenyum. Senyuman lembut yang seakan-akan
penuh pengertian, lalu ia mengangguk-angguk. Meskipun entah
mengapa Kristal merasa Alex hanya berpura-pura mengerti dan
tengah menikmati sikap salah tingkahnya.
"Jadi, bagaimana dengan ajakan makan malam nanti?" pria
itu kembali bertanya. Gigih dengan tekadnya untuk mengajaknya
makan bersama. "Jawabannya tetap tidak," jawab Kristal cepat, lalu cepat-cepat
berjalan meninggalkan Alex tanpa menoleh sedikit pun.
Dan, ia menyesal. Sangat menyesal. Sepanjang siang itu ia
tidak bisa mengalihkan pikirannya dari Alex. Mungkin sebaiknya
ia turuti saja ajakan pria itu tadi, dari pada terus-menerus dihantui
208 Kristal Ok Rev.indd 208 bayang-bayang Alex dalam benaknya. Kristal menghela napas
panjang. Ia harus menghentikan perasaan ini. Sebelum semuanya
terlambat dan ia terjatuh semakin dalam.
Beberapa jam kemudian, akhirnya ia berhasil berkonsentrasi
dan memfokuskan pikiran dan energinya terhadap tumpukan tugas
kantor yang harus ia kerjakan. Ia hampir tidak memikirkan pria itu
lagi, terima kasih Tuhan. Segalanya baik-baik saja hingga jam pulang
kantor tiba. Ia telah menyelesaikan pekerjaannya tanpa gangguan
bayang-bayang Alex. Mungkin ini bisa berhasil, pikirnya. Mungkin
bila ia bisa terus menyibukkan diri seperti ini, pada akhirnya ia
akan bisa menyingkirkan pria itu jauh-jauh dari benaknya. Ya, ia
pasti bisa! ujarnya dalam hati, lalu melangkah keluar kantornya
dengan perasaan teguh. Yang Kristal inginkan sekarang hanyalah segelas besar susu
hangat, air hangat, dan tidur yang cukup. Ia perlu mengistirahatkan
hati dan pikirannya. Ia berjalan cepat menaiki lift menuju lantai
apartemennya. Namun sepertinya keinginan itu harus ditunda
dulu, sebab Alex tengah berdiri persis di depan pintu apartemen,
menunggunya. "Ada apa lagi?" tanyanya ketus.
"Ini," jawabnya ringan sambil menyerahkan selembar surat
di tangannya. "Apa ini?" jawab Kristal bingung.
Pria itu hanya tersenyum lalu berjalan meninggalkan Kristal
dalam kebingungannya. "Tunggu!" seru Kristal, namun Alex berlagak tidak mendengar
panggilannya dan berjalan memasuki lift yang terbuka.
Kristal memandang surat di tangannya dengan heran. Surat
itu berwarna merah muda berenda dengan pita perak di ujungnya.
209 Kristal Ok Rev.indd 209 Dibukanya surat itu pelan-pelan, khawatir akan merusak amplopnya
yang indah. Ia berniat menyimpannya setelahnya.
Kutunggu dirimu di Taman Bintang, jam tujuh malam besok.
ps: aku akan terus menunggumu di sini sampai kamu datang.
Kristal terperangah setelah membaca isinya. Entah apa maksud pria
itu. Tapi yang jelas, tidak! Ia tidak akan datang. Ia berjanji pada
dirinya sendiri. Pagi datang dengan cepat. Dan, malam tiba lebih cepat lagi.
Kristal tidak bisa tenang seharian itu. Ia terus-menerus menggontaganti saluran televisi tanpa mengerti sedikit pun apa yang ia tonton.
Berkali-kali diliriknya jam di dinding. Sudah jam tujuh sekarang.
Alex pasti sudah menunggunya di Taman Bintang. Cepat-cepat
dihapusnya wajah pria itu dari benaknya. Ia tidak bersalah. Ia
toh tidak pernah mengiyakan ajakan pria itu. Waktu berlalu lagi.
Sejam, dua jam, tiga jam. Sudah pukul sepuluh sekarang. Kristal
berjalan ke dalam kamarnya, mencoba untuk tidur dan melupakan
kegalauannya. Ia mendengar bunyi rintik hujan di luar. Ditutupnya
kepalanya dengan bantal. Ia tidak mau mendengar bunyi apa pun
yang dapat menggoyahkan tekadnya. Beberapa saat kemudian, rintik
hujan berubah menjadi hujan deras. Diliriknya jam wekernya. Sudah
pukul sebelas malam. Masa iya pria itu masih menunggu dirinya
di sana hujan-hujan begini"
Bunyi kilat yang menyambar mengguncang dadanya menembus
masuk ke dalam hatinya. Ia tidak tahan lagi. Paling tidak ia harus ke
sana dan memastikan pria itu tidak lagi menunggunya. Ia menelepon
taksi untuk menjemput dan mengantarnya ke Bukit Bintang, lalu
berjalan cepat melewati jalan setapak menuju tempat itu. Payung
di tangannya terasa semakin berat seiring langkahnya.
210 Kristal Ok Rev.indd 210 Bukit Bintang tampak sepi seperti biasa. Tidak ada bunyian
apa pun di sana selain tetesan air hujan yang sekarang telah
kembali menjadi rintik-rintik kecil. Ia berjalan mendekat perlahan,
setapak demi setapak sambil berharap pria itu tidak ada di sana.
Tapi, harapannya tidak terkabul. Malah, ia tidak menduga apa
yang menunggunya di sana. Lampu kecil berwarna-warni tampak
memutari pepohonan dan tanaman yang tumbuh di sana. Dan
di tengah-tengah taman, tampak sebuah meja bertaplak putih
dengan sebotol anggur, dua gelas kaca, dan beraneka hidangan
yang semuanya telah basah terendam oleh air hujan. Ratusan
bunga mawar putih kesukaannya sengaja dibentuk menyerupai
karpet yang mengelilingi meja tersebut. Alex berdiri di sana basah
kuyup. Matanya tampak bersinar melihat kedatangannya. Pria itu
tersenyum saat Kristal berjalan mendekat.
"Kenapa kamu masih di sini?" tanyanya,menyesali kebodohan
Alex karena telah menunggu semalaman di sini.
"Menunggumu," jawab Alex santai.
"Aku tidak pernah berkata aku akan datang. Seharusnya kamu
tidak menungguku selama ini!"
"Tapi akhirnya kamu datang, "kan?" Alex tetap tenang dan
tersenyum. "Ya. Sekarang aku baru datang. Setelah kamu menungguku
semalaman. Setelah kamu basah kuyup. Untuk apa semuanya
ini?" Kristal berkata dengan histeris dikarenakan rasa khawatirnya
padaAlex tak bisa ia sembunyikan.
"Ini penting buatku," jawab Alex sungguh-sungguh. "Lagi pula
kamu belum terlalu terlambat." Ia melirik arlojinya. "Masih pukul
dua belas kurang. Hari belum berganti."
211 Kristal Ok Rev.indd 211 Kristal merasa frustasi sekarang. Mengapa ada pria sebodoh
ini, pikirnya. "Sebenarnya aku ingin menawarkan padamu makan malam
romantis, tapi yah"." Ia menggaruk kepalanya. "Hujan merusak
semua hidangannya." Ia meraih botol anggur dari atas meja.
"Untungnya, anggur ini masih bisa diminum," katanya sambil
tersenyum. Kristal tidak berkata apa-apa. Ia menatap pria itu dengan mata
berkaca-kaca saking frustasinya. Alex meletakkan botol anggur itu
ke tempatnya dan berjalan mendekati Kristal.
"Aku mencintaimu, Kristal." Ia berkata dengan pelan dan
tegas, penuh kesungguhan. "Aku tahu hatimu masih dipenuhi
oleh kenangan akan kekasih lamamu dan bahwa kamu masih
mencintainya. Namun, aku yakin cintaku tidak kalah besar dari
pria itu." Alex meraih tangan Kristal, mencoba meyakinkan gadis
itu."Kristal, izinkan aku menjagamu. Izinkanlah aku menjadi orang
yang dapat membuatmu menjadi gadis yang paling bahagia di dunia
ini." Kristal tak bisa berkata apa-apa lagi. Ia memeluk pria itu erat.
Cukup sudah. Ia tidak bisa menipu hatinya lagi. Ia mencintai Alex.
Dan tidak ada apa pun yang dapat mengubah perasaannya itu,
sekeras apa pun ia berusaha menghapus semua itu dari hatinya.
Rasa cinta itu selalu ada di sana, terukir dengan tinta yang tak bisa
dihapuskan. "Iya," bisiknya pelan.
Alex tertegun mendengar suara gadis yang sekarang
memeluknya erat ini. Ia tidak memercayai apa yang barusan
didengarnya. Benarkah gadis ini baru saja berkata iya" Apakah itu
artinya Kristal sudah menerima cintanya" Ia terlalu terkejut untuk
212 Kristal Ok Rev.indd 212 dapat bergerak. Ia mematung beberapa saat di sana, merasakan
dekapan gadis itu di dadanya. Tubuh kecilnya, harum rambutnya
dan kehangatannya yang seolah menerbangkan dirinya ke langit
ketujuh. Bila ada yang dinamakan rasa bahagia di dunia ini, suatu
rasa yang hampir tidak pernah ia miliki dalam hidupnya, maka saat
ini ia tengah merasakannya. Perasaan itu. Bahagia.
Kristal masuk ke dalam kamarnya. Pening, dan merasa kebas.
Alex baru saja mengantarnya pulang dan ia berusaha setengah mati
menahan dorongan untuk keluar dari apartemennya dan memeluk
pria itu lagi. Dibukanya jendela kamarnya. Langit mulai terang. Ia
tidak tidur semalaman dan beberapa saat lagi ia sudah harus bersiapsiap berangkat ke kantor. Tapi, ia tidak peduli. Tak ada apa pun di
dunia ini yang ia pedulikan sekarang. Ia bahkan tidak mengantuk
sedikit pun meskipun kurang tidur. Herannya, ia malah merasa segar
sekali. Mungkin beginilah kekuatan cinta, ia tersenyum geli.
Pacar. Pacar. Pacar. Benarkah sekarang ia telah memiliki seorang
pacar" Dalam dua puluh tiga tahun hidupnya, baru kali ini ia
memiliki seorang pacar. Bahkan hubungannya dengan Reygan pun
belum sampai ke titik ini. Perasaan memiliki dan dimiliki. Betapa
janggalnya. Ia tidak tahu apa-apa soal berpacaran sama sekali. Ia
sama sekali tidak memiliki pengalaman tentang itu sebelumnya. Apa
yang akan terjadi sekarang" Apakah ada yang akan berubah setelah
mereka resmi berpacaran" Ia yakin Alex tentunya sudah memiliki
beberapa kekasih dalam hidupnya selama ini. Melakukan apa saja
dengan gadis-gadis yang datang dan pergi dalam hidup pria itu.
Memikirkannya saja sudah membuatnya kesal. Tapi sudahlah, ia
tidak mau hal itu mengganggu perasaan bahagianya sekarang. Yang
213

Kristal Karya Wina Natalia di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kristal Ok Rev.indd 213 penting dan yang pasti, pria itu adalah miliknya sekarang. Masa
lalu pria itu, apa pun itu, tidak lagi penting baginya.
Ponselnya berbunyi tidak sampai lima menit sesudahnya.
Pesan singkat dari Alex. Selamat malam. Semoga kamu bermimpi
indah. Begitu bunyinya. Kristal bingung harus membalas bagaimana.
Selama ini pesan antara dirinya dan Alex hanyalah sebatas ajakan
makan siang ataupun makan malam. Tidak pernah ada obrolan
seperti ini sebelumnya. Ia lalu mengetik pesan singkat, "kamu
juga". Ia langsung menyesalinya. Kamu juga" Balasan macam apa
itu. Kristal tahu dirinya tidak terbiasa dengan hal-hal yang berbau
romantisme. Predikat d" ingin" sudah menempel padanya sejak zaman
dahulu kala. Namun sekarang ini ia ingin sekali mengubah dirinya
walau hanya sedikit, meskipun ia ragu bisa melakukannya. Ia tidak
terbiasa menunjukkan perasaannya pada orang lain sebelumnya,
selain kepada Reygan, Kristal tersenyum getir. Sesuatu terasa seperti
menonjok ulu hatinya. Benarkah keputusannya ini" Menerima Alex
dalam hidupnya bisa mengakibatkan kenangan antara dirinya dan
Reygan memudar perlahan demi perlahan. Dan, ia tidak mau itu
terjadi. Alex tersenyum membaca pesan singkat dari Kristal. Kamu
juga. Balas gadis itu. Benar-benar pesan yang sangat amat singkat,
bila dibandingkan dengan pesan-pesan yang selalu dikirimkan oleh
banyak gadis padanya. Gadis-gadis yang melemparkan diri padanya
dengan sukarela. Gadis-gadis yang dulu pernah ia permainkan
pada waktu luang untuk membunuh kebosanannya. Namun,
ia tidak mengeluh. Tentu saja sejak awal ia tahu, Kristal berbeda
dengan semua gadis yang pernah ia kenal sebelumnya. Gadis itu
istimewa. Gadis itu adalah orang yang paling ia cintai di dunia ini.
214 Kristal Ok Rev.indd 214 Dan sekarang, ia tersenyum lebar, gadis itu adalah kekasihnya.
Miliknya seorang. Alex menghabiskan berjam-jam memandang teras apartemen
Kristal dari bawah. Bertanya-tanya, apa yang sedang gadis itu
lakukan sekarang. Apakah Kristal tengah memikirkannya" Merasa
berbunga-bunga seperti yang sekarang tengah ia rasakan" Dan di atas
semua perasaan bahagia ini, ia diam-diam merasa cemas bila Kristal
mengubah pikirannya untuk menerima dirinya sebagai kekasih.
Bagaimana bila ia terbangun esok hari dan mendapati semua ini
hanya mimpi" Ia tidak berani tidur lagi, takut bila saja ini semua
berakhir begitu ia membuka mata.
Alex menunggu cahaya matahari pertama menyapanya. Ia
lalu berjalan masuk ke dalam apartemennya sendiri dan bersiap
untuk berangkat ke kantor, tanpa sedikit pun beristirahat ataupun
memejamkan mata. Ia tidak ingin tidur lagi. Ia terlalu bahagia
untuk dapat tertidur. Begitu jam di dinding menunjukan pukul
tujuh pagi, ia segera keluar dari apartemennya dan berjalan menuju
gedung apartemen Kristal lalu berdiri di depan pintu apartemen
gadis itu. Menunggu. Ini adalah saat untuk memastikan semua
ini bukan sekadar mimpi. Memastikan bahwa Kristal telah benarbenar menerimanya. Beberapa saat kemudian Kristal keluar dari
dalam apartemennya. Gadis itu terkejut melihatnya namun bukan
ekspresi terkejut karena kesal, melainkan lebih kepada terkejut
karena senang. Tidak menyangka dirinya akan berada di depan
apartemen gadis itu pagi-pagi. Dan saat Kristal tersenyum padanya,
ia tahu dengan pasti semua ini bukanlah mimpi belaka.
"Selamat pagi." Itulah kata pertama yang terlontar dari mulut
pria itu. Sementara Kristal masih tidak tahu harus berkata apa.Ini
adalah hari pertama mereka sebagai sepasang kekasih.
215 Kristal Ok Rev.indd 215 "Ayo berangkat ke kantor sama-sama," ucap pria itu lagi.
Kristal mengangguk bimbang. Ia berpikir, mungkin memang
sewajarnya seorang pria menjemput kekasihnya untuk berangkat
ke kantor bersama. Namun masalahnya, pria di hadapannya ini
adalah atasannya. Dulu, saat Alex masih berpura-pura sebagai pria
biasa dan bukannya pemilik Hotel De Robbins tempatnya bekerja,
ia tidak perlu merasa bingung seperti ini. Tapi, masalahnya sekarang,
ia tidak mau menimbulkan gosip apa pun di tempat kerjanya nanti.
Ia lalu menggeleng perlahan.
"Aku rasa lebih baik kita tidak pergi ke kantor bareng deh,"
ucapnya pelan. Kening Alex berkerut. "Kenapa?" tanya pria itu tidak mengerti.
"Aku takut kalau kita digosipin, Lex."
"Ah, jangan pedulikan omongan orang. "Kan kita yang
menjalani ini," ujar Alex tenang, membuat Kristal salah tingkah.
"Masalahnya, nanti bisa ketahuan kalau kita"." Kristal terdiam,
bingung bagaimana mengungkapkannya dengan kata-kata.
"Pacaran maksudmu?" Alex melengkapi kalimatnya yang
terhenti. Pipi Kristal bersemu merah. Pacaran. Ia masih tidak terbiasa
dengan satu kata itu. Kristal lalu mengangguk pelan. Ia melirik
Alex dan mendapati rona merah juga merekah di wajah pria itu. Ia
menunduk malu dan mereka berdua terdiam beberapa saat.
"Intinya"," lanjutnya pelan mengusir kesunyian di antara
mereka. "Aku berharap jangan sampai ada yang tahu soal hubungan
kita. Aku enggak akan merasa nyaman nantinya bekerja di kantor."
Kristal terdiam sebentar. Bila dipikir-pikir, mungkin ia agak egois
meminta hal itu dari Alex. Tapi, pria itu hanya tersenyum dan
mengangguk penuh pengertian.
216 Kristal Ok Rev.indd 216 "Oke, kalau itu yang kamu mau. Aku tidak masalah," jawab
Alex tenang. Diraihnya tangan Kristal. "Tapi paling tidak, biarkan
aku mengantarmu ke halte bis, oke?"
Kristal mengangguk dan tersenyum. Ah, betapa beruntungnya
dia memiliki kekasih yang pengertian seperti ini. Bahkan setelah
ia berada di dalam bis pun, ia bisa melihat mobil Alex mengikuti
mobilnya dari belakang bis yang ia tumpangi. Mau tak mau
Kristal merasa terharu dengan perhatian yang diberikan Alex
padanya. Benarkah ia seberuntung itu memiliki pria ini sebagai
kekasihnya" Orang-orang bilang dunia akan terasa lebih indah apabila
kita jatuh cinta. Bagi Alex, pernyataan tersebut terkesan terlalu
dilebih-lebihkan. Bagaimana mungkin dunia menjadi lebih indah
hanya karena seseorang dilamun cinta. Setelah dipikir-pikir, Alex
baru menyadari bahwa dirinya tidak pernah merasakan manisnya
asmara. Dan sekarang, saat cinta itu datang tanpa diduga, barulah ia
merasakan kebenaran kata-kata tersebut. Cinta memang membuat
dunianya menjadi berbeda, menjadi lebih indah. Benda-benda dan
orang-orang yang dulunya hanyalah pemandangan semu yang
kasat mata, kini terlihat bagaikan lukisan yang berwarna dengan
bias warna pelangi. Seharian ini Alex banyak tersenyum. Ia tidak bisa menahan
mulutnya untuk tidak tersenyum. Meskipun ia sadar hal itu bisa
membuat orang-orang heran mengingat dirinya yang selalu terkesan
serius, bahkan lebih parah lagi bila ia sampai dikira tidak waras. Tapi
sejujurnya ia tidak peduli, biar citranya rusak sekalian. Ia terlalu
bahagia untuk peduli. Orang pertama yang menyadari perbedaan dalam dirinya adalah
sepupunya yang sok tahu itu. Steve ada di kantornya pagi itu, tanpa
217 Kristal Ok Rev.indd 217 diundang seperti biasa, dan langsung memberondongnya dengan
pertanyaan begitu melihat ekspresi tak biasa di wajahnya.
"Oke, ada cerita baru apa ini" Ehhm, biar kutebak, sesuatu
terjadi antara kau dan gadis itu?"
"Gadisku, maksudmu?" ujarnya bangga.
"Gadismu" Wowowowo. Aku tak percaya ini. Akhirnya kamu
bertindak juga! Wow! Aku salut padamu Alex!" rentet Steve takjub
sekaligus ikut senang atas berita gembira yang dialami sepupunya
tersebut. Alex tersipu malu. "Selamat! Bagaimana kejadiannya" Beri tahu aku, semua"nya!"
Steve menatapnya dengan binar mata ingin tahu.
Alex hanya tertawa. Tentu saja ia tidak berniat memberitahukan
kronologi kejadian membahagiakan itu pada sepupunya. Ia ingin
menyimpannya untuk dirinya sendiri.
"Dasar pelit, kau lelaki beruntung!" Steve menggeleng-gelengkan
kepalanya. "Oh ya, aku hampir lupa tujuanku menunggumu di sini."
"Bukannya kau ke sini untuk menginterogasiku soal
hubunganku dan Kristal?"
"Yang benar saja, aku tidak sekurang kerjaan itu."
Alex mengangkat alisnya tak percaya.
"Oke, oke, aku mengaku! Itu memang salah satunya. Aku "kan
ingin segala sesuatunya lancar sebelum aku kembali ke Amerika.
Yah, itu juga sih yang mau aku beritahukan padamu. Bahwa aku
akan pulang secepatnya. "
Alex terkejut mendengarnya. Setelah berminggu-minggu
menghabiskan waktu bersama sepupunya ini, ia akan merasa
kehilangan bila sepupunya itu pergi. "Apakah karena aku dan
Kristal?" tanyanya. 218 Kristal Ok Rev.indd 218 "Tolong deh!" Steve memutar bola matanya. "Memang benar
aku menyukai gadis itu, tapi sejujurnya, dan aku hanya akan
mengatakan ini sekali saja dalam hidupku. Sepertinya" aku lebih
menyukai dirimu." Alex pura-pura terkejut dan memandangnya takjub. "Kamu
jadi homo sekarang ?""!!!" Ia lalu tersenyum jahil.
Steve tersenyum sinis memandangnya. "Ha-ha-ha. Lucu sekali!
Sejak kapan kau jadi pandai melawak, huh?"
Alex tersenyum dan mengangkat bahu. "Jadi kapan kau berniat
kembali ke Amerika?"
"Lusa," ujar Steve santai.
"Lusa" Cepat sekali. Tak bisakah ditunda?"
"Dan, melihatmu bermesraan dengan Kristal" Maaf saja, aku
tidak suka menyiksa diri."
Alex tersentak. "Maafkan aku. Aku tidak pernah memedulikan
perasaanmu selama ini."
"Dan sejak kapan kau jadi orang yang peduli pada perasaaan
orang, hah?" Steve memutar bola matanya. "Jangan bodoh! Aku
berbahagia untukmu. Lagi pula, cepat atau lambat aku akan
menemukan gadis yang tepat untukku. Tunggu saja, kau akan dibuat
terkaget-kaget dengan kecantikan gadisku kelak. Oh, dan soal Tracey,
kau tidak usah khawatir. Aku akan menyeretnya pulang meskipun
ia mati-matian menolak."
Alex tersenyum memandang ketulusan sepupunya. Sejak
dulu, memang seperti itulah Steve. Tidak peduli seperti apa mereka
bersaing, pada akhirnya pria itu selalu mengalah padanya. Seperti
sekarang, Steve mundur dari persaingan cinta ini. Dan bila bukan
atas dukungan Steve, ia tidak yakin dirinya dan Kristal akan bisa
bersatu. 219 Kristal Ok Rev.indd 219 "Trims," ujarnya penuh rasa terima kasih. "Untuk semuanya."
Steve meninju bahunya pelan. "Jangan dipikirkan."
Dan dua hari kemudian, Steve pun kembali ke Amerika. Ia
dan Kristal yang mengantar kepergian Steve di Bandara Soekarno
Hatta. Tracey tak henti-hentinya merengek-rengek di pelukannya.
"Aku enggak mau pulang," ujarnya terus-menerus.
"Kau harus pulang, sekolahmu menunggu. Dasar manja!" sahut
Steve pada adiknya itu. "Uuuh, Steve bodoh. Alex kasih tahu Steve, aku enggak
mau pulang," rengek gadis itu lagi. Tracey tidak mau melepaskan
pelukannya. Alex melirik Kristal di sampingnya, cemas kalau gadis itu
cemburu. Syukurlah, itu tidak terjadi. Kristal sepertinya mengerti
bahwa Tracey itu hanya seorang adik perempuan kecil yang manja
padanya. "Tracey, kau "kan bisa datang lagi saat liburan sekolahmu
berikutnya," ujarnya menenangkan.
Tracey akhirnya melepaskan pelukannya meskipun bibirnya
masih manyun. "Alex, kemari sebentar." Steve mengajaknya berjalan menjauh.
"Aku percayakan Kristal padamu, oke?" Ia berkata pelan setelah
yakin pembicaraannya tidak dapat didengar oleh orang lain selain
mereka berdua. "Jangan kaukecewakan dia, atau aku akan datang
kemari dan merebut gadis itu dari tanganmu," ujar Steve sungguhsungguh.
Alex menganggukkan kepalanya. "Pasti," jawabnya penuh
keyakinan. Mereka lalu berjalan menghampiri dua gadis yang mereka
tinggalkan berduaan. Kristal dan Tracey tampak saling membisu.
220 Kristal Ok Rev.indd 220 Tracey malah sama sekali tidak menunjukkan sikap bersahabat
pada Kristal. Sepertinya gadis itu masih sulit menerima kenyataan
bahwa Kristal adalah kekasihnya.
"Ngomongin apa sih, pakai bisik-bisik segala," tanya Tracey
ingin tahu. "Rahasia pria," ujar Steve cepat.
Tracey hanya mencibir. "Sudah waktunya kita pergi, ayo." Steve berkata pada
adiknya. Tracey mengangguk ogah-ogahan.
"Aku berangkat sekarang kalau begitu. Sampai jumpa lagi Alex.
Dan Kristal, jaga dirimu baik-baik." Steve menatap Kristal lama
sebelum akhirnya berlalu dari hadapan mereka.
Alex menatap kepergian sepupunya itu. Perasaan kehilangan
menyeruak di dadanya. Diraihnya tangan Kristal dan digenggamnya
erat. Ia tahu mereka berdua akan merindukan sosok pria itu.
221 Kristal Ok Rev.indd 221 Sepuluh ALEX duduk di sofa kantornya sambil memandang foto berbingkai
putih di atas meja kerjanya. Wajah seorang gadis manis yang balik
memandangnya dengan matanya yang cemerlang. Ia jadi tersenyumsenyum sendiri. Tidak terasa seminggu sudah berlalu sejak terakhir
kali Alex meminta Kristal menjadi kekasihnya. Seminggu ini telah
berlalu dengan menyenangkan. Mereka berdua sering menghabiskan
waktu bersama, meskipun memang ia agak sedikit keberatan
dengan persyaratan yang diberikan Kristal soal pura-pura tidak
saling mengenal selama jam kantor. Membayangkan menghabiskan
waktu dari pagi hingga sore"terkadang malam bila Kristal harus
lembur"jauh dari gadis itu, agak sedikit membuatnya kesepian.
Sebenarnya, bila diperbolehkan, ia ingin sekali mengumumkan
soal hubungannya dengan Kristal terang-terangan agar semua
orang di kantor tahu bahwa gadis itu miliknya. Sehingga tidak ada
yang berani menyentuh gadis itu, terutama para pria yang bekerja
222

Kristal Karya Wina Natalia di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kristal Ok Rev.indd 222 di hotelnya ini. Tapi, sudahlah. Toh, seminggu ini semua berjalan
dengan indah bagaikan mimpi manis baginya. Setiap malam setelah
jam pulang kantor, ia menunggu Kristal di sebuah kafe di dalam mal
yang terletak di sebelah hotel. Lalu mereka bersama-sama menuju
mobil yang diparkir di mal untuk kemudian menghabiskan beberapa
saat berdua. Entah itu makan malam romantis di restoran terkenal,
bermain bersama anak-anak panti, menonton bioskop, atau sekadar
duduk-duduk di pinggiran jalan makan sate sambil mengobrol. Ia
tidak terlalu pemilih. Asal bisa bersama Kristal, ia sudah merasa
cukup puas. Ah, tiba tiba ia merasa rindu sekali pada gadis itu. Ia melirik
jam dinding, pukul dua siang. Masih beberapa jam lagi hingga jam
pulang kantor tiba. Ia mengumpat kesal. Betapa ia berharap bisa
melihat wajah gadis itu sesaat untuk mengobati kerinduannya. Hei,
kenapa tidak" pikirnya. Toh ia bukannya menemui Kristal. Ia hanya
akan melihat gadis itu dari jauh. Dan tentu saja, mereka bisa tetap
berpura-pura tidak saling mengenal satu sama lain. Beres. Alex
segera berjalan keluar kantornya dan menaiki lift menuju lantai
satu. Menurut informan pribadinya, Kristal tengah berada di kafe
bawah menemani seorang klien untuk membicarakan detail acara
seminar yang akan ditangani gadis itu. Bagus sekali, pikirnya.
Kristal tidak akan curiga kalau tiba-tiba bertemu dirinya di restoran.
Ia bisa mengatakan bahwa hanya kebetulan ia juga berada di sana
untuk memesan segelas cappuccino.
Kristal memandang pria asing berumur sekitar tiga puluhan
yang duduk di hadapannya ini. Sedari tadi pria ini terus berbicara
tanpa berhenti sedikit pun dan sebagian besar yang pria itu ucapkan,
sama sekali tidak berhubungan dengan pekerjaan.
"Aku suka kucing lho, bla bla bla"."
223 Kristal Ok Rev.indd 223 Kucing" Penting yah membahas soal kucing" pikir Kristal
dalam hati. "Jadi, kucing di rumahku itu baru saja beranak lima ekor.
Kamu boleh melihatnya kapan-kapan kalau mau." Pria itu terus
berbicara tidak memedulikan raut Kristal yang tidak menunjukkan
ketertarikan sedikit pun pada apa yang pria itu bicarakan.
"Wah pasti lucu sekali yah Pak," ujar Kristal berbasa-basi. "Oh
ya, lalu bagaimana dengan daftar acaranya, Pak" Apakah MC-nya
perlu disediakan oleh hotel kami?" tanyanya berusaha kembali
kepada pembahasan soal pekerjaan.
"Hmm, boleh boleh." Pria itu mengangguk-angguk sebentar.
"Atau kalau perlu kamu saja yang jadi MC-nya. Sepertinya kamu
punya bakat berbicara."
"Ah, Bapak terlalu memuji. Saya tidak bisa bicara di depan
panggung, Pak." "Oh, begitu" Sayang sekali yah. Jadi keahlian kamu apa dong
kalau bukan MC" Kalau saya hobi sekali dengan fotografi. Kamu
suka dunia fotografi" Ah, atau mungkin kapan-kapan kamu
berminat jadi model saya" Saya jago sekali lho memotret orang.
Ini foto beberapa model yang telah saya abadikan," kata pria itu
sambil menggeser kursinya lebih dekat dan menunjukan beberapa
foto model di ponselnya. Kristal tersenyum manyun sambil berpura-pura tertarik
melihat-lihat foto di ponsel yang disodorkan pria itu kepadanya.
Aduh, lagi-lagi pembicaraan ini kembali melenceng dari topik semula.
Bisa-bisa ia kehilangan waktu lebih banyak lagi kalau begini. Kristal
mendengar pria itu kembali berbicara panjang lebar soal hobinya
itu, membuat Kristal bertambah kesal, meskipun ia tetap tersenyum
sambil berusaha menyabarkan dirinya. Ia bisa mendengar tawa pria
224 Kristal Ok Rev.indd 224 itu di telinganya dan menyadari betapa dekat jarak antara mereka
setelah pria itu menggeser kursinya tadi. Kristal bergerak menjauh.
Pria itu menarik tangannya dan berusaha mendapatkan perhatian
Kristal kembali pada foto-foto"kali ini foto-foto binatang yang
tidak penting bagi Kristal"yang ia jepret. Kristal melepaskan
tangannya dan berpura-pura akan memesan minuman. Ia lelah
sekali dengan pertemuan ini. Kapan pekerjaannya bisa selesai kalau
mereka tidak juga membicarakan hal-hal penting sehubungan acara
besok. Ia menghela napas sambil berpura-pura melihat buku menu
di atas meja. Ia baru akan berdiri memesan minuman ketika melihat
siluet seorang pria di hadapannya. Ia terhenyak. Alex berjalan ke
arahnya. Memandangnya dengan tatapan tajam.
Sudah hampir satu jam Alex duduk di kafe itu memandang
Kristal diam-diam. Awalnya ia bermaksud untuk mampir sebentar,
sekadar melihat wajah gadis itu. Tapi, "sebentar" berubah menjadi satu
jam. Kristal tengah duduk berdua"catat: berdua"dengan seorang
pria kerempeng bertampang hidung belang yang cerewetnya minta
ampun. Tolonglah! Ia baru tahu ada seorang pria yang sanggup
berbicara non-stop seperti ini. Ia bisa melihat betapa Kristal merasa
tidak nyaman bersama pria itu dan Alex berusaha sabar untuk tidak
menghampiri mereka dan menarik gadis itu menjauh. Bagaimanapun
juga, mereka bersama untuk suatu alasan pekerjaan, dan ia tidak
mau Kristal marah padanya bila ia ketahuan tengah memata-matai,
apalagi ikut campur dalam urusan gadis itu.
Ia terus duduk mematung di sana beberapa saat lamanya.
Capuccino di atas meja sama sekali tidak disentuhnya. Ia melihat
pria itu menggeser kursinya mendekat dan menggenggam tangan
gadis itu"gadisnya. Dan, ia merasakan darahnya mendidih. Cukup
sudah! Ini sudah keterlaluan. Berani-beraninya!
225 Kristal Ok Rev.indd 225 Ia segera bangkit dari tempat duduknya. Entah kekuatan apa
yang menggerakannya, ia tak tahu pasti. Yang ia tahu, ia merasa
sangat emosi dan tahu-tahu kakinya sudah melangkah menghampiri
mereka. Ia melihat wajah terkejut Kristal, namun ia tidak berniat
untuk menjelaskan apa pun. Diraihnya tangan Kristal erat dan
digandengnya gadis itu berjalan menjauhi kafe.
"Alex! Alex!" Ia mendengar gadis itu memanggil namanya,
berusaha melepaskan tangannya, namun Alex tidak memperlambat
langkah dan baru berhenti setelah mereka memasuki lift. Ditekannya
angka tertinggi di hotel menuju lantai tempat kantornya berada.
"Kamu kenapa sih?" Kristal bertanya padanya.
Ia tidak menjawab dan mereka pun berdiri dalam diam
sementara lift bergerak ke atas.
Alex menarik tangan Kristal begitu lift terbuka, bermaksud
mengajak gadis itu keluar dari lift. Kristal melepaskan genggamannya
dengan paksa. Gadis itu terlihat marah sekarang.
"Aku mau turun." Kristal berkata tajam.
Alex terhenyak mendengarnya. Sekarang setelah hatinya
mulai terasa lebih tenang dan emosinya sudah stabil ia menyadari
buruknya sikap yang baru saja ia perlihatkan pada gadis itu.
"Maaf," sahutnya.
"Kamu kenapa?" tanya Kristal bingung. Gadis itu akhirnya
keluar dari dalam lift. Alex terdiam beberapa saat. "Aku cemburu," sahut Alex malu,
tidak berani memandang wajah Kristal.
"Pada siapa" Pria tadi" Yang benar saja!"
Alex tidak menjawab. Ia merasa malu sekali.
"Alex, kamu tahu "kan kalau pria tadi itu cuma klien?"
Alex mengangguk pelan. 226 Kristal Ok Rev.indd 226 "Lalu, kenapa juga kamu jadi cemburu?"
"Soalnya, dia pegang-pegang tanganmu!" sentak Alex. Suaranya
meninggi. Emosinya muncul mengingat kejadian tadi.
Kristal tidak berkata apa-apa dan hanya memandangnya tak
percaya. "Maaf," sahut Alex lagi. "Aku tahu tidak seharusnya aku berlaku
seperti tadi." Kristal menghela napas kesal. "Lain kali, aku enggak mau
kamu seperti ini lagi."
Alex mengangguk cepat. "Janji"
"Oke kalau begitu." Kristal mengedarkan pandangannya ke
sekeliling mereka. "Jadi, ini kantormu?"
Kristal memandang pria di hadapannya dengan geli. Rasa marah
yang tadinya ia rasakan menguap begitu saja saat mendengar alasan
konyol Alex barusan. "Karena pria tadi pegang-pegang tanganmu."
Alasan macam apa itu" Alasan yang sangat kekanak-kanakan.
Ia baru tahu Alex ternyata seorang pencemburu seperti ini. Dan,
entah mengapa hal tersebut membuatnya merasa sangat geli. Pria
itu bahkan tidak berani memandangnya saat meminta maaf. Dan,
tentu saja ia memaafkan Alex! Ia tidak bisa marah terlalu lama
pada pria ini. Kristal memandang sekelilingnya, merasa penasaran. Seperti
apa sih ruang kerja Alex" Pria itu membuka pintu kantor untuknya.
Sebuah ruangan yang luas dengan desain minimalis. Satu meja
besar, sofa, rak-rak buku, lemari kaca yang menyimpan berbagai
jenis anggur, serta jendela besar yang memperlihatkan pemandangan
kota dari atas. Sederhana namun mewah. Benar-benar sangat
menggambarkan seorang Alex.
227 Kristal Ok Rev.indd 227 Di atas meja kerja Alex yang penuh dengan tumpukan
kertas dan file yang ditata rapi, tampaklah foto berbingkai kecil
bergambarkan dirinya sendiri. Kristal buru-buru mengalihkan
pandangan, merasa malu. Pria ini benar-benar mencintainya,
pikirnya tersipu. Ia buru-buru berjalan menuju sofa. Sebuah nampan
berisi sepiring steik daging, roti dan segelas jus jeruk terletak manis
di atas meja di depan sofa, tak tersentuh sama sekali.
"Kok ini enggak dimakan?" tanyanya sambil menunjuk nampan
tersebut. "Kamu mau?" Kristal menggeleng cepat. "Tadi pagi kamu udah makan?"
"Udah kok. Udah minum susu," jawab Alex tersenyum.
Kristal melirik jam di dinding, sudah pukul empat seperempat.
"Seharian ini cuma minum susu" Nanti lambungnya sakit lagi lho."
Kristal teringat kejadian beberapa hari lalu saat maag Alex kambuh
sewaktu mereka tengah mengajar anak-anak panti.
"Udah minum obat maag kok tadi pagi," ujar pria itu santai.
"Tetap saja kamu harus makan biar pun sedikit," sahutnya
penuh rasa khawatir. "Aku lagi enggak selera makan."
Kristal berpikir sebentar. Ia teringat saat Alex lahap memakan
masakannya di panti asuhan dulu. "Kalau besok aku bikinin bekal
makan siang buat kamu, bakal kamu habisin enggak?"
Alex tidak perlu berpikir lagi, ia spontan mengangguk penuh
semangat. Matanya berbinar ceria.
Keesokan harinya bekal yang dijanjikan itu benar-benar tiba,
terbungkus dalam kotak makan kuning bercorak hati merah.
Sebuah botol berisi jus lemon terletak manis berdampingan
dengan kotak bekal tersebut. Alex membuka kotak itu pelan-pelan
228 Kristal Ok Rev.indd 228 takut menumpahkan isinya. Bau harum langsung tercium dari
dalamnya. Sushi berisi telur, abon dan tuna buatan tangan gadis yang
dicintainya itu menyambut dari balik kotak itu. Lengkap dengan
tumis sayur dan ikan kering bumbu kecap. Ia menggenggam erat
kotak itu merasa bersyukur.
"Kamu suka sushi enggak?" tanya gadis itu lirih, khawatir
dirinya tidak menyukai hidangan buatannya.
Kristal, Kristal. Seandainya kamu tahu. Bahkan nasi dengan lauk
sesederhana apa pun, asalkan itu adalah buatanmu, akan kunikmati
dengan senang hati, bisiknya dalam hati. Tapi, tentu saja ia terlalu
malu untuk mengatakannya seperti itu. Sebagai gantinya, ia hanya
menjawab, "Suka sekali. Terima kasih yah."
Gadis itu mengangguk. "Kalau begitu aku pergi dulu, kamu
makan pelan-pelan yah. Jangan lupa diminum jus lemonnya."
Kening Alex berkerut. "Kamu enggak makan sama aku di sini?"
"Enggak." Kristal menggelengkan kepalanya. "Aku makan di
kantin hotel aja sama yang lain. Aku naik ke lantai ini aja udah
aneh. Nanti bakal dicurigain kalau aku kelamaan di sini."
Alex tersenyum dan mengangguk. "Ya udah, tapi nanti malam
aku jemput kamu yah. Kita makan malam sama-sama."
Kristal mendesah. "Nanti aku enggak bisa."
"Kenapa?" "Lembur sama Pak Rudi buat ngurusin acara besok."
Alex manggut-manggut memaklumi, meskipun ia merasa
kecewa. "Ya sudah, tapi jaga kesehatan yah, jangan sampai kecapaian
kamunya. Oh ya, satu lagi. Jangan dekat-dekat pria kemarin,
oke?" Kristal mengangguk. "Tenang saja. Aku turun dulu yah."
229 Kristal Ok Rev.indd 229 "Sebentar-sebentar," cegah Alex, lalu beranjak berdiri dan
memeluk Kristal erat sekali. Memenuhi napasnya dengan aroma
manis gadis itu. "Kamu enggak apa-apa, Lex?" Kristal mengusap-usap
punggungnya lembut. "Mengisi energi," candanya.
"Yee, dasar. Kirain kenapa-kenapa," sahut Kristal lalu bergerak
melepaskan diri dari pelukan Alex.
Alex hanya tertawa. "Selamat makan. Jangan kangen aku yah," kata gadis itu jahil
sebelum berjalan memasuki lift yang terbuka.
Pedang Angin Berbisik 9 Pendekar Slebor 52 Pulau Seribu Setan Lovhobia 2
^