Pencarian

Kumpulan Cerpen 2

Kumpulan Cerpen Karya Kurnia Effendi Bagian 2


Bunyi mesin mobil di halaman, menderum sebelum dimatikan, membuat saya sadar harus mengunci pintu kamar. Mama pulang! Apa yang harus saya katakan jika memergoki sepasang mata yang bengkak" Tifa!
Saya terdiam. Apakah sahutan saya akan terdengar serak"
Di mana kamu, Tifa" Baiklah, untuk menghapus kenangan buruk itu saya harus mengubah cara menulis nama. Bukan lagi Latifa, melainkan: La Tifa. Kesucian harus kembali, bukan" ***
Jakarta, 2005 Laut Saga Cerpen: Miranda Sumber: Koran Tempo, Edisi 06/27/2005
IBU bunuh diri. Pagi buta itu, kabar meluas ke seluruh kampung. Sejam kemudian, rumah kami penuh oleh manusia. Jasad Ibu tergantung di dekat sumur. Para tetangga saling berbisik, bergunjing. Beberapa menyebutnyebut Dhe Cokro. Juga Bapakku. Bapakku, lelaki yang penyabar itu, mati empat bulan sebelumnya, ditelan lautan. Kata orang, Bapak pergi mencari kulit kerang terbaik untukku. Kata Ibu, Bapak mati karena aku. Aku tak tahu mana yang benar.
Dan anakku... Arimbi duduk bersandar di tepi jendela, membiarkan angin melekatkan aroma asin di kulit dan rambutnya. Ia nikmati debur ombak yang ditingkah gelak riang seorang gadis kecil di kejauhan. Lamat-lamat terdengar alunan campur sari dari warung kopi, seratusan meter di sebelah rumahnya.
Betapa cepat waktu membesarkanmu. Kau menjelma gadis kecil, sekarang. Rambut halusmu tergeriap ke bahu. Tubuhmu kecil, seperti tubuhku. Tapi matamu besar seperti mata ayahmu. Membuatku hampir lupa berapa sebenarnya usiamu. Ah, Saga. Berapa usiamu kini" Baru lima tahun, kurasa. Lewat berapa bulan, aku tak tahu benar. Maafkan aku, Nak. Aku sudah lupa kapan persisnya kau lahir. Jangan mengutuk Ibumu, Saga.
Gadis kecil itu masih asyik berlarian di sepanjang pantai. Sesekali ia membungkuk, memungut sesuatu dari balik pasir. Sesekali terdengar gial-gial gelaknya. Arimbi tersenyum kecil. Pasti digelitik undur-undur.
"Jangan jauh-jauh, Nak! Sudah sore ini, sebentar lagi gelap," serunya. Gadis kecil itu melambaikan tangan kecilnya.
"Sebentar lagi, Ma!" jeritannya hilang-timbul terbawa angin.
"Belum bosan kau bermain dengan laut, Nak." Arimbi menggeleng-gelengkan kepala. Secercah angin menepuk pipinya lembut. Ia menggeser duduknya. Pegal kakinya. Ia belum beranjak sejak empat puluh lima menit lalu.
Kau pasti mencintai laut. Seperti aku. Sukakah kau pada tempat ini, Saga" Ini rumah kita yang baru. Aku dan ayahmu pindah ke mari tiga tahun lalu. Ah, kami tak sempat memberitahumu waktu itu. Tapi kau selalu bisa menemukan kami. Kau menemukan tempat ini. Aku bisa mencium rindumu pada pantai. Dulu, semasa aku seusiamu, tak bosan aku bertahan di tepi pantai. Berburu kulit kerang dan kepiting. Bermain dengan undur-undur. Aku selalu merajuk ketika Bapak mengajakku pulang. Tapi ia selalu membujukku dengan sebutir kelapa muda segar dan arum manis. Hmmm, itulah yang kutunggu-tunggu. Setelah itu baru aku mau pulang. Duduk membonceng di muka sepeda motor Bapak, menantang angin senja dan sambermata yang menampar-nampar wajah di sepanjang jalan. Di rumah, Ibu sudah menunggu di meja makan. Bersama nasi panas, jangan sop dan tempe garit. Menyuruh kami segera makan. Tapi aku akan terlebih dulu menunjukkan padanya harta karun yang kutemukan di tepi pantai. Ibu lantas mengelus kepalaku. Di hari berikutnya, Bapak menjalin kulit-kulit kerangku jadi kalung dan gelang yang bagus sekali.
Cakram matahari tinggal separuh di cakrawala. Arimbi bertahan di tepi jendela. Anak itu kini duduk bersimpuh. Bermain pasir. Rambutnya yang menggumpal berlari tertiup angin basah yang makin kencang. Alunan campur sari dari warung sebelah sudah berganti dengan kasidahan.
"Saga, sudah hampir magrib, Nak! Sebentar lagi Ayah pulang." Arimbi berseru. Gadis kecil itu lagi-lagi menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Ma, Saga lagi bikin rumah-rumahan pasir. Belum jadi nih!" Ia lalu kembali asyik dengan bangunan pasir basahnya. Arimbi menghela nafas, menelan kembali kalimat yang sudah di ujung lidah. Ah, biarlah.
Perempuan itu beranjak. Meraih gelas berisi air putih dari meja makan, tak jauh dari jendela. Meminum isinya separuh. Jam dinding berbunyi. Setengah enam. Penanda pesan singkat masuk berbunyi. Arimbi melangkah pelan ke dalam kamar, mengambil ponsel.
1 pesan diterima. Baca. Ayah.
Ma, masak apa"Ayah sdh di jln. Bw martabak manis buat kita.
Perempuan itu tersenyum kecil. Memilih opsi balas di ponselnya.
Ayah kok paham mama sdg pengen martabak" Cpt plg Yah, ada kejutan.
Kirim. Pesan terkirim. Ia lalu kembali duduk. Gadis kecilnya masih asyik membuat benteng pasir. Sebentar, lalu runtuh. Terdengar pekiknya.
"Ma, hancur!" serunya kesal.
"Ya sudah. Besok lagi ya, Nak. Ayo, sebentar lagi Ayah sampai. Ada martabak manis untuk Saga," bujuknya. Saga menggeleng. Cemberut.
"Nggak mau besok. Saga mau sekarang."
"Aduh, anak Mama. Kan malu kalau nanti Ayah pulang, Saga belum mandi."
"Biarin. Nanti Mama panggil Saga aja kalau Ayah udah pulang, ya?" Gadis kecil itu kembali bermain dengan pasir. Angin kian kencang. Arimbi menggigil. Menghela nafas. Keras kepala.
Apa yang tengah kaubangun, Anakku" Rumahmu sendiri, rumah keabadian beratap mimpi berjendela dongeng peri, atau rumah kecil kita yang hangat beraroma pasir basah dan ruam air terpanggang matahari" Apa yang ada dalam kepalamu, Saga" Ke mana tempatmu berpulang" Berceritalah pada ibu, Nak. Sudah begitu lama kita kehilangan jejak cerita. Tak ada peluk, tak ada belaian. Tak ada suara kaki mungilmu di lantai selain gema dalam mimpiku, Saga.
Hari sudah gelap. Tinggal selarik cahaya merah jingga di Barat, di antara biru gelap langit. Tapi Saga masih bertahan dengan rumah-rumahan pasirnya.
ARIMBI menghela nafas. Ia ingat masa kecilnya. Dulu ia tak tinggal di pantai Parangkusumo seperti kini. Tapi rumah Bapak tak berapa jauh dari pantai ini, hanya limabelas menit naik motor. Maka sejak kecil ia terbiasa dengan aroma laut. Sesekali Bapak ikut melaut dengan teman-teman nelayannya, jika pesanan kriya sedang sepi.
Ayahnya adalah pengrajin tanah liat. Ia tak punya toko sendiri. Adalah Pakdhe Cokro yang mempekerjakannya.
Kata Ibu, sejak ia belum lahir, Bapak sudah akrab dengan Pakdhe Cokro. Hanya takdir yang kemudian membedakan nasib mereka. Pakdhe Cokro yang ulet menjadi pedagang kriya, sejak Ayah dan Ibu belum lama menikah. Kata Ibu, kenalan Pakdhe Cokro bertebaran di mana-mana. Itu yang membuat kiprahnya melesat cepat. Beberapa kenalannya kemudian memperkenalkan Pakdhe Cokro pada bule-bule. Dari merekalah, toko kriya Pakdhe Cokro mendapat pesanan dalam jumlah besar. Kata Ibu, untuk dikirim ke luar negeri.
Kata Ibu. Kata Ibu. Arimbi melamun. Dulu, sewaktu ia kanak-kanak, Ibu begitu sering menyebut nama Pakdhe Cokro. Hampir di setiap kesempatan, jika Bapak tidak di rumah, Ibu selalu menyebut Pakdhe Cokro. Ada-ada saja yang diceritakan Ibu. Pakdhe Cokro yang baru membelikannya kain baru. Ia yang meminjamkan uangnya untuk belanja sembako. Ia yang membiayai separuh biaya sekolah Arimbi. Arimbi merasa begitu mengenal lelaki itu, tanpa sekali pun ngobrol dengannya.
Arimbi kecil pernah bertemu dengannya. Pakdhe Cokro yang usianya tiga tahun lebih tua dari Bapak memang berbeda. Waktu itu Arimbi masih terlalu kecil untuk paham, tapi di mata Arimbi, Dhe Cokro (begitu ia selalu memanggilnya, dengan raut malu-malu) kelihatan lebih muda dari Bapak. Arimbi selalu bisa menangkap guratgurat keriput di sudut-sudut wajah Bapak. Gurat-gurat yang hampir tak kentara di wajah Dhe Cokro. Dalam hal ini, ia setuju pada apa yang selalu dikatakan Ibu. Pakdhemu itu tangkas dan suka bekerja keras. Itu yang membuat Dhe Cokro kelihatan muda. Tapi Arimbi mencium aroma yang tak ia sukai dari tubuh laki-laki tegap berkumis tebal itu. Itu sebabnya ia selalu menghindar jika Dhe Cokro sedang bertandang ke rumahnya. Ia lebih senang bermain pasaran di luar rumah. Berpanasan dengan teman-teman sebayanya. Atau duduk-duduk di mulut gang, sekadar menunggu motor tua Bapak berbelok masuk gang. Bapak sering membawakan Arimbi oleh-oleh. Kulit kerang warnawarni, atau dua butir kelapa muda segar, atau boneka jerami, atau mangkuk dan gelas kecil yang dibuatkan Ayah di tempat kerjanya. Kulit kerang adalah oleh-oleh kegemaran Arimbi. Sama seperti ayahnya, Arimbi mencintai laut.
Karena itu ia sangat mencintai ayahnya. Tapi Ibu mungkin tidak. Apakah ibu cemburu pada laut"
Hari itu Arimbi bosan duduk menunggu di mulut gang. Sudah lewat ashar, ayahnya tak lewat juga. Barangkali hari ini Bapak pulang agak malam. Kemarin Bapak bilang order Dhe Cokro sedang rame. Arimbi menendang batu yang terserak di pinggir jalan. Kesal. Menggerutu. Kaki kecilnya melangkah pelan menuju rumah. Bibirnya mengerucut. Perutnya lapar. Arimbi ingin minta uang pada Ibu. Buat beli bakso. Kaki kecilnya berjalan tanpa suara. Memasuki bagian depan rumahnya yang tak berdaun pintu. Di depan, Arimbi melihat sandal besar laki-laki di dekat pintu. Seperti sandal Dhe Cokro. Ia ingin menyingkir. Tapi perutnya lapar.
"Bu!" Disingkapkannya kain yang menutup pintu kamar Ayah-Ibu dengan tangan kecilnya. Ia ingin melangkah lebih dalam. Menyerbu Ibu yang mungkin sedang tidur-tiduran di ranjang, menepuk perut empuknya pelan-pelan, membujuknya untuk memberinya uang seribu. Terbayang di matanya bola-bola bakso terampul-ampul dalam kuah mengepul panas. Hmm. Arimbi bergegas tak sabar. Tapi ia terhenti. Terkejut. Matanya menatap nanar. Terdengar desah terperanjat menyusul panggilannya. Arimbi melihat sesuatu yang tak ia mengerti.Kenapa Dhe Cokro ada di dalam kamar" Tidur di atas tubuh Ibu, dengan tangan membelit penuh-penuh. Kenapa Dhe tanpa baju" Kenapa Ibu juga tanpai baju" Apa mereka berdua habis mandi"
Apa baju mereka basah semua, sehingga mesti telanjang" Tapi, kenapa Dhe Cokro mesti memeluk Ibu" Kenapa" Apa Ibu kedinginan"
Arimbi menggigil. Angin laut menampar wajahnya kuatkuat. Mengembalikan angannya ke daratan kesadaran. Ia tersentak. Terlalu jauh angin membawa lamunannya melaut.
Peristiwa itu sudah lama sekali lewat. Tapi Arimbi tak bisa melupakannya begitu saja. Seperti begitu lama waktu yang dibutuhkannya untuk paham. Sejak peristiwa itu, Arimbi jadi pendiam. Pelamun. Ia tak lagi suka pada kalung kerang atau mangkuk tanah liat mungil buatan Bapak. Segala dipendamnya sendiri rapat-rapat. Arimbi tak pernah mau bertanya. Atau ia menjawab sendiri pertanyaannya. Sejak itu, Ibu selalu belaku aneh kepadanya.
Setahun setelah peristiwa itu, ayahnya berangkat ke laut. Lalu tak pernah kembali. Kata nelayan-nelayan teman Bapak, Bapak ditelan Ratu Laut Selatan. Bapak pergi mencari kulit kerang yang terbaik. Terlalu jauh berjalan ke tengah hingga ombak menelan tubuhnya.
Sampai kini jasadnya tak pernah kembali.
"MA, dingin!" Kesadarannya serta-merta menggeliat. Saga, gadis kecilnya yang sedari tadi asyik bermain pasir di pinggir pantai kini berdiri di dekatnya. Tubuhnya kuyup. Gadis kecil itu menggigil. Bibirnya membiru. Arimbi terperanjat.
"Tuh kan, tadi mama bilang apa. Makanya jangan main sampe gelap. Saga main air, ya" Nanti kalo masuk angin gimana?" gerutunya tak habis-habis. Gadis kecilnya cuma meringis nakal. Tak sedikit pun raut bersalah membayang di wajahnya. Arimbi menghela nafas. Gadis ini memang keras kepala. "Di luar sana kalo sudah gelap banyak hantu, Saga." Ia mencoba menakut-nakuti gadisnya. "Dulu Eyang Kakung hilang ditelan lautan. Apa Saga mau bikin sedih Mama dengan hilang di laut juga?"
Mata gadis mungil itu membola. Rambut lurusnya yang menggimbal oleh uap asin air laut bergoyang pelan. Arimbi meremas lengan Saga.
"Ya sudah, cepat mandi. Sebentar lagi Papa pulang. Mama siapin airnya, Saga mandi sendiri ya" Atau mau dimandiin Mama?" Digamitnya lengan kecil Saga dengan cepat. Duh, lengan ini... Aku kehilangan waktu-waktu ia tumbuh sampai jadi sebesar ini. Pelan-pelan, dibimbingnya gadis kecilnya ke kamar mandi.
Sudah berapa lama aku menunggu saat-saat ini" Menyiapkan air mandi untuk anakku. Seperti Ibu yang selalu menimba air untukku, menggosoki tubuhku keraskeras, bermain buih sabun denganku... Ibu, lihat. Anakmu kini menyiapkan air mandi untuk cucumu. Saga namanya. Mukanya bulat terang, matanya bercahaya. Seribu peri keluar dari bibirnya jika ia bicara. Saga anak cerdas, Ibu. Kadang-kadang, aku takut bicara padanya. Bukankah aku tak tahu bagaimana mesti mengasuh anak" Jika saja Ibu ada di sini. Ah, Ibu pergi terlalu cepat. Tak sempat melihatnya. Aku merindukanmu. Aku rindu kelembutanmu. Kenapa dulu Ibu berubah" Kenapa setelah Bapak tak ada, Ibu jadi pemurung dan pemarah" Kenapa Ibu selalu bilang Bapak mati karena aku" Ibu, benarkah aku bersalah" Dulu Ibu selalu bilang, akulah yang sudah mengatakan peristiwa itu pada Bapak. Kata Ibu, Bapak marah pada Ibu karena aku. Bapak lalu memilih laut. Laut yang selalu dicemburui Ibu. Aku tak pernah bilang apa-apa pada Bapak, Bu. Apa salahku" Karena aku pulakah Ibu gantung diri"
"Ayo mandi, Nak." Arimbi meraih gayung. Disiramkannya air yang sudah ditampungnya dalam ember kecil ke tubuh kecil Saga. Dadanya sesak. Ia tak tahu kenapa.
Air meluncur dari gayung, menimpa kulit pucat Saga dan jatuh bertebaran jadi titik-titik air di lantai kamar mandi. Berlarian menuju lubang pembuangan air. Angin membersit dari sela kusen, menerpa jurai rambut Arimbi yang lepas dari ikatannya. Membawa angannya pergi ke masa lampau.
Ibu bunuh diri. Pagi buta itu, kabar meluas ke seluruh kampung, menyebar cepat seperti wabah. Dalam satu jam, rumah mereka penuh oleh manusia. Para tetangga saling berbisik. Kengerian melingkupi rumah. Jasad Ibu tergantung di dekat sumur. Arimbi terdiam. Ia ingin bertanya, tapi tak tahu tentang apa dan pada siapa. Ia tak tahu sudah berapa lama ia berdiri di situ, dekat pintu, menatap Ibu. Sampai seseorang mendekap tubuhnya dari belakang. Tubuh tegap itu. Dhe Cokro.
Sejak saat itu, Arimbi tinggal di rumah suami-istri Cokrosumarto.
TIBA-TIBA terdengar suara gerit pintu dikuakkan. Arimbi terlonjak. Suaminya sudah pulang! Ia tak sabar hendak menunjukkan kejutan ini padanya. Arimbi menatap mata Saga baik-baik. Ditegakkannya telunjuk di bibirnya.
"Saga mandi sendiri dulu, ya. Mama mau kasih tau Papa kalo Saga pulang." Di matanya, gadis kecil itu mengangguk. Dan tersenyum. Ditepuknya pipi Saga lembut. Perempuan itu mengusap tangannya yang basah ke baju. Menghela nafas. Lalu berjalan keluar kamar mandi. Menyongsong suaminya. Pasti kaget. Ayah pasti kaget. Ada Saga di sini! Ia sungguh bahagia. Seperti pagi tadi, ketika dilihatnya Saga pulang. Ia merasa begitu lengkap.
"Ma," Laki-laki itu menyongsongnya. Mereka berhenti di dekat meja makan. Laki-laki itu menariknya ke dalam rengkuh tubuhnya yang liat. Tegap, seperti tubuh Dhe Cokro. Tubuh pekerja keras.
"Jadi bawa martabak, Yah" Berapa banyak?" "Cuma beli satu. Kan cuma buat berdua. Aku tadi juga pinjam DVD. Tiba-tiba kangen, sudah lama kita tidak nonton bersama." Suaminya merogoh tas. Mengeluarkan beberapa buah DVD. Mengacungkan salah satu. Beautiful Mind. "Ingat?" Laki-lakinya tersenyum. Tapi Arimbi kesal. Ia tak suka film itu. Membuang muka, ia merebut bungkus martabak dari tangan suaminya.
"Cuma bawa satu" Malam ini kita tidak cuma berdua. Aku sudah bilang ada kejutan buat Ayah. Seharusnya Ayah siap-siap," ia merajuk sambil menggelar martabak di meja. Laki-laki itu mengerutkan kening.
"Tak hanya berdua?" ulang lelakinya, menghela nafas. Menyentuh wajahnya. "Arimbi, kenapa marah?" Mereka bertatapan. "Apa yang ingin kauperlihatkan padaku, Bi?" ujarnya pelan. Arimbi merasa mulutnya lumpuh. Hanya telinganya yang menangkap suara kecipak pelan dari kamar mandi. Sebentar hatinya ragu. Tapi sesuatu lagi-lagi meloncat di dadanya. Harus, aku harus memberi tahu suamiku. Ia pasti senang. Saga merindukan ayahnya. Begitu juga sebaliknya. Mereka akan saling memeluk. Mereka akan berbagi cerita. Sampai jauh malam. Sampai Saga jatuh tertidur. Bibir Arimbi bergerak pelan. Mata beningnya menyusur wajah, menyelam jauh ke kedalaman mata lelakinya.
"Bi?" Suara lelakinya terdengar jauh. Berselingan dengan gelak Saga.
"Ada Saga, Yah." "Saga?"
"Ya. Tadi pagi dia pulang." "Arimbi, kita sudah berjanji..."
"Dengar dulu, Yah. Ayah harus percaya. Saga benarbenar pulang. Aku mengusap kepalanya, mencium pipinya, mendengarnya bicara...."
"Bi..." "Sekarang Saga sedang mandi. Dia mau peluk ayahnya kalau sudah wangi, katanya."
"Dengar, Bi." "Kamu yang harus dengar. Ayah ini keterlaluan benar sih" Saga ingin bertemu denganmu. Atau kamu tak percaya padaku?"
"Arimbi, dengar! Saga sudah tidak ada. Saga sudah wafat. Ingat, kita pindah ke pantai bukan untuk mengenangnya. Tapi untuk membuatmu sembuh. Saga sudah pergi bersama ombak yang menggulungnya waktu ia masih dua tahun. Itu juga bukan salahmu. Kamu tahu tak ada yang menyalahkanmu. Kita pindah kemari karena kamu cinta laut, Arimbi. Karena aku mencintaimu. Kalau kamu mencintaiku, berhentilah mengkhayal yang tidaktidak! Itu waham, Arimbi. Kamu paham, kan?"
Arimbi terdiam. Wajahnya pucat-datar seperti kafan. Arimbi masih larut dalam diam. Waktu beranjak begitu pelan.
Terengah-engah, laki-laki itu menariknya ke dalam pelukan. Arimbi merasakan detak jantungnya tak terkendali.
"Arimbi, kamu mesti sembuh. Kamu sudah berjanji. Kamu mesti sembuh..." racau lelaki itu tak jelas, barangkali menahan sesak di dadanya. Istrinya masih diam. Matanya menatap nanap ke kamar mandi. Masih didengarnya suara kecipak pelan air mandi membentur tubuh mungil itu. Juga lahu pelan Saga. Lagu kanak-kanak yang asing di telinganya. Barangkali lagu peri yang dipelajarinya dari dunia lain. Tapi, Saga"
Pelan, Arimbi menatap pintu kamar mandi yang tak sepenuhnya tertutup. Dilihatnya wajah Saga mengintip dari balik pintu. Tertawa kecil. Tangan mungilnya melambai. Lalu lenyap.
Vacuum Cleaner Cerpen: Ucu Agustin Sumber: Koran Tempo, Edisi 05/29/2005
TERBANGUN tengah malam, kulihat vacuum cleaner itu. Kuambil ia dan
kudekati Ibu dan Ayah yang sedang bertengkar di ruang makan. Suara piring
pecah yang entah dilempar siapa, itulah yang membangunkanku rupanya.
Muka Ibu merah. Muka Ayah lebih tua dari merah cabai muka Ibu. Mereka
biasa begitu. Aku cuma mengerti kalau sesuatu telah terjadi. Ibu tak
kaget melihatku terbangun dan membawa vacuum cleaner. Ayah hanya melirik
sekilas saja. Ibu kini melempar gelas kristal. Ayah berteriak lantang. Malas mendengar suara ribut mereka, kunyalakan vacuum cleaner. Suara
mendengung lembut langsung memenuhi telingaku. Terdengar jelek, tapi
lebih baik dari pertengkaran orangtuaku. Kudekatkan corong penghisap debu.
Pecahan piring kecil-kecil yang terserak di lantai mulai masuk ke dalam
tabung penyimpan. Ayah dan Ibu sama sekali tak terganggu. Semakin seru
mereka bertengkar. Aku suka vacuum cleaner sebab ia bisa menghisap debu dan benda-benda
kotor. Aku pikir Ibuku tomat: bibirnya merah dan bisa menerbitkan rasa
manis atau asam dari sana. Ayahku adalah lada bubuk yang membuat
tenggorokanku terbakar dan hidungku bersin-bersin. Tomat dan Lada harusnya
berguna. Tapi aku malas membersihkan keduanya. Wastafel di dapur tinggi
tempatnya. Jadi bagaimana kalau tomat dan lada di dapurku berdebu" Kubersihkan
dengan vacuum cleaner itu juga.
Bubuk lada itu terhisap begitu mudah. Biji, air dan kulitnya terburai
keluar. Sudah kubilang kalau aku juga tak suka hal-hal basah yang bisa
mengotorkan lantai, bukan"
AKU tidak tahu bagaimana semuanya terjadi. Ketika itu aku masih bayi.
Ibulah yang menceritakannya padaku.
Aku pernah terjatuh dari pangkuan Ibu pada umur sebelas bulan. Bibi
Anna lupa membersihkan lantai setelah kuah baksonya terjatuh. Dan Ibu yang
terburu-buru mencari asbak untuk tamu Ayah pun tergelincir. Aku dalam
gendongannya. Ibu berhasil meraih ujung meja makan dan meraih
keseimbangan. Tapi aku terlepas dari gendongan. Ada sebuah memar sebesar telapak tangan bayi membekas di belakang kepala.
Dan sebuah kantung darah di belakang telinga sebelah kananku. Baru
setelah beberapa minggu aku dirawat di rumah sakit, kantung aneh itu
berhasil dikempiskan. Bila aku berbicara sekarang, orang perlu memintaku mengucap
berkali-kali supaya mereka paham. Hanya kalau mau, aku sudi melakukannya. Tapi
bila lagi enggan, aku biarkan saja mereka tidak paham. Mengapa harus
membuat mereka mengerti" Mereka pun tak pernah jelas bagiku.
Apa bedanya perkakas dan pajangan" Aku tahu jawabnya. Perkakas dipakai,
tapi pajangan hanya diperlihatkan. Perkakas ditaruh di dalam laci
supaya ruangan terlihat rapi. Tapi ada lemari khusus untuk menyimpan
benda-benda pajangan. Aku tak suka jadi pajangan. Aku tak ingin berada di balik lemari kaca.
Aku ingin jadi perkakas, tapi yang tak harus disembunyikan di laci-laci
penyimpanan. Meski Ibu punya kehendak lain. Ia ingin aku jadi lampu
kamar. Ditempatkan di suatu sudut. Dibersihkan bila berdebu. Dan hanya
dinyalakan pada waktu gelap saja.
Bila kami berada di udara terbuka, Ibu sangat berlebihan menjagaiku.
Menyuruhku untuk selalu tetap di sudut suatu tempat. Tak boleh bergabung
dengan teman-teman lain. Aku sangat ingin bisa ikut bermain. Tapi bila
di rumah cuma kami berdua saja, Ibu kerap menatapku dengan perasaan tak
nyaman. Kau bikin aku lelah saja. Begitu berkali-kali ucapnya.
Padahal aku tak pernah ingin melelahkan Ibu. Untuk menyenangkannya,
kuikuti saja semua yang diperintahkannya. Aku ingin membuat Ibu sayang
padaku. Ibu tak suka melihatku bicara dengan orang asing. Maka aku diam saja.
Meski banyak Ibu dari teman-teman sekolahku yang kadang menawariku
berbagai kembang gula atau makanan ringan. Aku tak pernah memilih sendiri pakaian yang hendak kupakai. Kubiarkan
Ibu berbelanja untuk dirinya, meski yang dia lakukan adalah membeli
pakaianku. Dan kadang setelah ia memandikanku, terjadilah hal kecil antara Ayah
dan Ibu. Tak cukup satu jam mereka menyelesaikan hal Itu. Dan aku tetap
di sudut itu. Kedinginan sambil telanjang. Menunggu Ibu yang lupa datang
dan mengenakan pakaian ke tubuhku. Aku hanya tak ingin membuat Ibu
lelah. Dan aku kadang juga lelah. Badanku akan lemas dan menggigil. Tapi yang
paling berat adalah kepalaku. Bila aku lelah, kepalaku seperti hendak
pecah. Aku tak suka mendengar keributan. Sebab keributan membuatku panik
dan tegang. Itulah pembuat lelah yang terbesar. TAPI kini ruang makan itu telah sepi. Dengung vacuum cleanerku juga
sudah tak terdengar lagi. Pecahan kaca gelas dan piring telah mengungsi ke
suatu tempat di belakang tabung plastik keras vacuum cleaner. Tapi
kemanakah Ibu dan Ayah" Rasanya tadi mereka berada di sana.
Ah, mungkin mereka telah menyelesaikan urusan dan kini telah tidur
kembali. Tak terdengar lagi suara pertengkaran mereka yang hampir terjadi
setiap hari. Kalau mereka bangun besok pagi, mereka pasti bangga dengan
apa yang telah kulakukan. Malam ini aku berhasil membersihkan ruang
makan. Menghilangkan pecahan kaca piring dan gelas yang bikin ruang makan
berantakan. Menyedot taburan lada dan tomat terburai yang mengotori
lantai. Jarum jam pendek di dinding menunjuk angka dua. Jarum panjangnya
menunjuk angka empat. Tapi kenapa tabung penyimpan debu dan kotoran vacuum
cleaner-ku terlihat bergerak-gerak" Ah, pasti cuma aku yang salah lihat.
Tapi sudahlah. Jam enam pagi besok, Ibu akan menjambak leher baju
tidurku dan menyeretku ke kamar mandi. Menyiram kepala dan badanku.
Menggosok Perutku. Jangan kencang-kencang menggosok bagian belakang telingaku,
Ibu... Perutku kerap mual kalau kepala dan telingaku kesakitan. Aku
sering lupa pada banyak hal. Dan tentu saja, seperti yang sudah kubilang
pada kalian, aku selalu kesulitan mengucap dengan jelas apa yang ingin
kukatakan. Ah, kalau begitu, baiknya aku tak boleh lama-lama di ruang makan ini.
Aku harus segera tidur lagi.
BELUM ada tangan yang menarik kerah leher baju tidurku. Sinar matahari
terlihat sudah menembus tirai kamar jendela, padahal. Ah, aku pasti
lupa lagi. Mungkin hari ini tanggal merah.. Ibu kadang membiarkanku terus
tidur bila hari libur. Dan aku meneruskan tidurku. Mimpi itu melintas
lagi. Aku di sana. Reno di sana. Teman-temanku di sana. Sebuah taman yang
luas dengan rumput hijau tinggi-tinggi. Aku suka Reno. Dia suka membawa
harmonika kecil ke sekolah. Kalau waktu istirahat datang, ia memainkannya
dan membiarkan aku mendengarkannya.
Reno sedang memainkan harmonikanya di taman itu. Sebagian anak-anak
bersama ibu guru melihat-lihat aneka tanaman. Sebagian lagi berlari-lari
saling kejar. Terguling-guling di antara rerumputan. Tapi tiba-tiba
suara itu datang. Teramat gaduh. Membuat telingaku sakit.
Seseorang dari kejauhan terlihat membawa mesin pemotong rumput. Ia
memakai topeng. Masker, tepatnya. Pakaiannya berwarna oranye seperti para
pekerja pembersih jalan. Di tangannya, alat pemotong bergerigi tajam itu
bergerak, berdenging tak henti. Dan orang bermasker itu tak juga
menyapukan ujung geirigi pemotongnya ke permukaan rumput. Ia mendekat. Suara
mesin pemotong semakin keras. Anak-anak menutup kupingnya.
Aku menekankan kedua tanganku di telinga rapatrapat. Tapi suara itu
seperti lintah yang bisa menipiskan bentuknya dan menyusup terus ke
telingaku. Kepalaku sakit. Sangat sakit. Aku berteriak memanggil nama Bu
guru. Tapi kulihat ia juga menutup kupingnya, tak bisa mendengarku. Dan
ketika suara itu makin menyakitkan telingaku, aku menjerit keras! Sangat
keras! Dan sekonyong kulihat bentuk lengking suaraku sendiri. Putih
memanjang seperti asap berbentuk ular. Terus membumbung. Menembus udara
dan menggapai langit. "Sssh. Wellin! Wellin!" Sebuah suara lain terdengar. Tapi tetap saja
bunyi mesin pemotong rumput itu yang makin kentara. "Wellin! Wellin!" Aku mendengar kembali namaku dipanggil di antara
denging mesin pemotong rumput. Tepatnya, teriakan itu memanggilku. Aku
ingin bertanya siapa tapi tak bisa. Pandanganku terpaku pada si pembawa
mesin pemotong rumput yang kini telah berdiri di dekatku. Gerigi mata baja
pada mesin itu kini diayun-ayunkan si pemotong rumput tepat di depanku.
Aku ingin berteriak dan memintanya untuk menghentikan semua itu. Tapi
teriakanku tertahan di tenggorokan.
Si pemotong rumput aneh itu membuka maskernya dan tersenyum ke arahku.
Bibirnya merah dan menerbitkan rasa pahit-asam yang menakutkan.
"Ibbh...," akhirnya teriakanku keluar. Tapi ia, Ibuku, tak peduli. Ia semakin
mendekatkan gerigi mata baja itu ke arah leherku. "Wellin! Wellin!" suara itu kini terdengar berteriak lagi. Dan,
"Plaaak!" Dua buah tamparan mengenai pipiku. Lalu mataku terbuka.
"Ibhh... Ibbh." Maksudku, Ibu... Ibu... Tapi perempuan bermata sipit
yang menatapku itu malah menangis dan kemudian merangkulku. Membenamkan
wajahnya di leherku. "Ibhh... Ibhh," Aku tetap memanggil Ibu. Sekonyong aku merasa begitu
ngeri sekaligus juga sangat merindukan perempuan yang selama ini selalu
ada bersamaku itu. "Kamu baik-baik saja, kan?" Perempuan itu mengangkat mukanya dari
leherku. Dengan tisu di kanan tangan Ia menghapus airmatanya. "Aku Hermin,
Bibimu. Kamu ingat?" Perempuan itu bertanya. "Ibhh... mannya?" aku bertanya pada perempuan itu, tak peduli pada apa
yang dikatakannya. Tapi ia tak menjawab. Hanya airmatanya saja yang
mengalir lagi. Aku heran mengapa dia menangis, padahal aku tak melakukan
kesalahan. Ibu biasanya akan menangis kalau aku melakukan hal yang
seharusnya tak boleh kulakukan. Tangan kananku menggapai mencari-cari Don,
tas kecil dari kain kumal yang selalu ada di tempat tidurku, yang berisi
mainan-mainan kecilku. Tapi Don tak ada. Dan sekilas aku melihat sprei
itu. Selimut yang kupakai. Baju yang kukenakan. Aku kaget. Aku langsung
berdiri dan menjerit. Ini bukan bajuku! Aku tidak berada di tempat
tidurku! Ini bukan tempat tidurku!
"Wellin, Wellin, tenang...," perempuan itu dengan gugup mencoba
meraihku. Aku menjerit. "Ibbbh... Ibbh...," Tapi yang muncul dari balik pintu
adalah seorang perempuan berbaju putih-putih dan mengenakan topi putih.
"Wellin, Wellin tenang, ya," perempuan berbaju putihputih itu
mengucapkan kalimat yang sama dengan perempuan bermata sipit. Mereka tak
mengerti, aku begitu panik. Ini bukan tempat tidurku. Ibu akan marah kalau ia
tahu. Ini bukan kamarku. Tak ada gambar ikan di tembok, tak ada lapis
warna biru, hijau dan bintik-bintik kuning. Dinding kamarku kini
berwarna krem semua. "Ibbh... ak maw Ibbhh..." Aku memang hanya menginginkan Ibu.
"Hhm, sebentar ya. Suster tahu Wellin mau apa," kata perempuan berbaju
putih-putih itu tersenyum. Rasanya senyum itu kukenal. Aku jadi tenang.
Perempuan bermata sipit itu meraihku lagi. Kali ini aku mendekat dan
mengikuti arahannya. Aku duduk lagi di atas kasur. Suster itu
mengeluarkan sesuatu dari lemari di samping tempat tidur. Benda itu berwarna biru,
berbentuk lonjong gemuk terbuat dari alumunium dan plastik. Aku kenal
benda itu dan aku tersenyum.
"Wellin suka sekali vacuum cleaner ini, Tante Hermin." Suster itu
tersenyum padaku. Dan aku pun beringsut. "Iyya..." ucapku sambil tertawa.
Perempuan sipit itu membantuku turun dari tempat tidur.
"Saya ambilkan susu buat Wellin dulu," suster itu bicara pada perempuan
yang tadi disebut Tante Hermin. Aku tak peduli pada apa yang mereka
perbincangkan. Aku hanya senang, aku melihat vacuum cleaner itu lagi. Aku


Kumpulan Cerpen Karya Kurnia Effendi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memeluk benda biru itu. Dan aku mendekatkan telingaku ke sana. Aku
tertawa girang. "Wellin suka vacuum cleaner itu ya?" Perempuan itu bertanya padaku.
Tapi aku tak peduli. Aku sedang senang sekarang. Jadi aku tak peduli pada
sekitar. Dan aku tahu kenapa aku merasa senang. Aku mendengar suara itu kembali. Suara orangtuaku. Masih sama seperti
dulu. Mereka sedang bertengkar. Bertengkar di dalam sana. Di dalam
tempat penyimpan debu vacuum cleaner itu. Tapi kini aku tak harus mendengar
pertengkaran itu setiap hari. Aku hanya mendengarnya kalau aku mau atau
tengah rindu saja. Rindu pada salah satu dari mereka.
Seperti saat ini. Aku rindu akan Ibu. Si Marong Cerpen: Zen Hae Sumber: Koran Tempo, Edisi 05/22/2005
KATA orang, tubuh yang tadi siang dimasukkan ke liang lahat adalah tubuh Nenek. Sedangkan kuda berkulit coklat kemerahan yang dengan setia menjaga makamnya tidak diketahui apa namanya dan siapa pemiliknya. Seorang pengantar jenazah mengatakan bahwa kuda itu datang begitu saja setelah ia dan kawan-kawannya meninggalkan permakaman selepas zuhur. Di permakaman itu memang biasa terjadi binatang-binatang kesayangan menjaga makam tuan atau puannya yang barusan mati hingga berhari-hari lamanya. Tetapi, seingatku, Nenek tidak pernah memiliki binatang kesayangan berupa kuda, kecuali seekor kucing belang tiga.
Nenek hanya pernah melarikan seekor kuda dan itu terjadi pada suatu malam sekitar sepuluh tahun silam.
Aku mesti menceritakan kisah ini meski kalian tidak bisa mendapatkan seluruh kebenarannya dariku. Kalian harus mencari sisanya pada lain orang. Semua ini penting sebelum kalian memperebutkan kuda di makam perempuan itu. Sebelum kalian terkutuk sebagai segerombolan lelaki dungu dan menjadi bahan tertawaan orang seluruh kampung. Bila nafsu serakah kalian nekat mengabaikan peringatanku ini, kumohon tunggulah hingga aku selesai berkisah. Setelah itu, silakan....
Kata Nenek, kuda yang ia larikan bernama si Marong. Sebenarnya, kuda jantan berkulit coklat kemerahan itu kuda kesayangan Kakek. Selain pemiliknya, tidak ada orang yang boleh menaiki Si Marong. Tapi malam itu, setelah bertengkar hebat dengan Kakek, Nenek melarikan si Marong tanpa diketahui empunya. Nenek mencongklangnya di bawah sinar bulan purnama, di antara rindang rumpun bambu, menerobos malam yang membuat tubuhnya seperti kelebat hantu. Sejak itu Nenek dinyatakan hilang.
Kakek tidak berusaha mencari Nenek dan Si Marong. Anak-anaknya--yang dikenal dengan sebutan "Lelaki Lima Jari"--juga tidak. Tentang Si Marong, Kakek menjamin bahwa pada suatu ketika kuda kesayangannya itu akan kembali. Sedangkan tentang Nenek, Kakek memberi penjelasan lebih panjang. Bahwa ia tidak pernah mengusir Nenek, apalagi menalaknya. Jadi, ia tidak perlu mencari Nenek dan memintanya kembali. Kalau Nenek mau kembali, toh ia tahu jalan pulang dan pintu rumah tak pernah dikunci untuknya. Tapi Nenek tidak pernah kembali hingga Kakek meninggal lima tahun kemudian.
Kakek mati dengan wajah yang tidak terlampau bahagia. Tujuh hari setelah itu seorang perempuan memasuki permakaman dengan menunggang kuda jantan berkulit coklat kemerahan. Apakah perempuan itu Nenek dan kuda itu Si Marong" Tiga dari empat anak muda yang sedang main kartu di pojok permakaman mengakui kalau itu memang Nenek. Hanya satu yang menyangkal. "Gigi depan Nenek tidak gompal dan pipinya tidak codet," begitu kilahnya. Empat anak muda itu juga membenarkan kalau kuda itu Si Marong, meski mereka sama bertanya tentang satu hal. "Kenapa ringkiknya jadi sember dan mirip suara keledai?"
Empat anak muda itu kemudian mengucapkan selarik kalimat, "Burung gelatik si ikan betok."
Dengan tatapan yang tetap lurus ke makam Kakek, perempuan itu langsung menyambut, "Nenek cantik teteknya montok."
"Tidak salah lagi, itu Nenek kita," anak-anak muda itu berteriak kegirangan. Setelah itu mereka saling menelan ludah yang serasa susu sapi segar. Kembali membantingbanting kartu sambil bersiul-siul. Riang dan penuh nafsu.
Perempuan yang dengan suara bulat diakui sebagai Nenek itu kemudian jongkok di samping pusara Kakek. Ia tidak berdoa apalagi menabur bunga sebagaimana umumnya peziarah. "Lima tahun lalu aku hampir mati di tanganmu," katanya, "lima tahun kemudian kau benarbenar mati bukan di tanganku. Tapi aku datang ke sini tidak dengan ketololan dan kesedihan seorang perempuan yang pernah kausiksa."
Cukup lama Nenek terdiam. Tiba-tiba ia merasa ada seekor ulat bulu menjalari ujung lidahnya. Seluruh lidahnya menjadi teramat gatal dan ia benar-benar ingin mengatakan apa saja tentang Kakek. Tanpa kehilangan girang hati yang serupa rasa mangga muda, Nenek kemudian memaki-maki Kakek, bahkan dengan menyebut sejumlah nama binatang dan perabotan dapur rusak. Sebenarnya, Nenek hanya mengulang apa yang pernah dikatakan Kakek semasa hidup. Nenek mengganti sejumlah kata sehingga kalimat-kalimat itu kedengaran sebagai miliknya sendiri. Setelah menggaruk-garuk pantat Nenek bangkit dan menghampiri Si Marong yang ditambatkan di sebatang kemboja. "Jaga dia baik-baik," kata Nenek.
Jika kuda itu manusia, maka ia akan menjawab, "Baiklah, Nenek Bertetek Montok. Tapi kenapa kau memeluk leherku keras sekali sehingga membuatku tercekik."
Bila Nenek seekor kuda betina, mungkin ia akan mengendus-endus moncong si Marong. Meringkik beberapa kali sebelum pergi.
DARI makam, Nenek tidak langsung ke rumah yang pernah ditempatinya bersama Kakek. Ia lebih dulu mendatangi seorang lelaki yang bertugas memandikan jenazah Kakek. Lelaki dengan wajah separuh terang separuh gelap dan sesekali nyengir seperti Si Marong. Saat pertama kali menatap Nenek lelaki itu langsung menelan ludah.
"Apa yang sebenarnya membikin si tua bangka itu mati?" tanya Nenek.
"Di malam kelahiran Nabi kita, tiga lelaki hitam bersepatu putih menerobos kamar suamimu," Si Pemandi Jenazah membuka cerita. "Tiga lelaki hitam bersepatu putih itu tidak mengambil satu pun harta benda suamimu, kecuali menanyakan ke mana kau membawa lari Si Marong. Tetangga-tetangga kemudian mendengar suamimu meneriakkan sesuatu dan tiga lelaki hitam bersepatu putih itu kalap. Tiga lelaki hitam bersepatu putih itu kemudian menyeret suamimu ke altar batu merah di belakang rumah dan menyembelihnya di sana. Tenggorokannya seperti selang putus."
"Di malam kematian Nabi kita, aku bermimpi si tua bangka itu memakai jubah merah dan sepatu putih. Ia menari di atas altar batu hitam, entah di mana. Si Marong meringkik terus-menerus dan menjentil-jentilkan kakinya hingga aku terbangun menjelang fajar. Mungkin ia melihat arwah tuannya lewat."
"Sekarang di mana kausembunyikan Si Marong?" "Sudah kukembalikan kepada tuannya." "Orang mati tidak lagi butuh kuda."
"Siapa bilang" Orang mati justru lebih membutuhkan kuda ketimbang kita yang masih hidup. Terutama untuk melintasi jembatan yang katanya seperti rambut dibelah tujuh. Atau untuk lari dari malaikat penjaga kubur jika mereka marah-marah."
"Jangan mengolok-olok orang mati. Berdosa mempermainkan malaikat."
"Di masa hidupnya si tua bangka itu mengolok-olok orang mati dan orang hidup. Bahkan, dia pernah menyiksa kucing kesayanganku hingga mampus."
"Kalian tidak pernah bosan menjadi anak kecil. Berhentilah saling bermusuhan. Maafkan dia dan doakan agar arwahnya tenang di alam baka."
"Aku selalu berusaha memaafkannya meski tidak pernah bisa. Sejak dia melewati pertarungan terakhirnya dengan susah payah. Namun, setelah bertarung semalaman dia berhasil menghabisi musuh utamanya, ayahku sendiri, dan membawa lari aku. Di malam ulang tahunku yang ke-19 dia merenggut keperawananku." "Oohh..."
Si Pemandi Jenazah kembali menelan ludah. Ia ingin mengenang masa-masa paling nikmat dalam hidupnya. Tapi mata Nenek yang serupa bara kayu asam jawa mengurungkan niatnya. Sebagai gantinya, lelaki itu bercerita tentang anak-anak Kakek yang bertengkar hebat soal harta warisan. Mereka sudah bertengkar sebelum darah dari luka Kakek mengering. "Tidak seperti Nabi kita, mereka kelewat bernafsu pada harta dan dunia," kata lelaki itu.
"Sudah kuduga," balas Nenek. "Mereka gerombolan semut api yang mengepung bangkai seekor ayam jago."
"Kau harus menyiram gerombolan semut itu dengan minyak tanah sebelum mereka menggasak habis bangkai ayam jago dan merajalela ke seluruh kampung."
"Semut-semut api memang selalu menyusahkan yang mati dan yang hidup, tetapi aku tidak akan menumpas mereka. Toh ada pemangsa lain yang bakal menghabisi mereka. Kata orang, itu semacam rantai makanan." "Aku sungguh tidak mengerti jalan pikiranmu." "Aku sungguh sangat mengerti jalan pikiranmu," kata Nenek setelah lelaki itu menelan ludah untuk ketiga kalinya. "Sekali waktu kau harus memandikan mayat seorang perempuan."
Sebelum Nenek benar-benar pergi Si Pemandi Jenazah sempat pula mengucap kalau jalan ke rumah Kakek sudah berubah. Tidak lagi dengan lima tikungan, dua ke kiri tiga ke kanan, tetapi lurus beraspal dengan tiang-tiang listrik dari beton. Ada gardu ronda berwarna merah di depan rumahnya. Lengkap dengan gambar kepalan tangan kanan mengacung di dindingnya. "Anakanak suamimu mulai suka menyanyikan lagu-lagu perjuangan," tambah lelaki itu.
RUMAH Kakek memang sudah ditongkrongi oleh Lelaki Lima Jari. Ketika Nenek tiba mereka sedang berkumpul di ruang tengah. Wajah mereka mengambang di antara genangan asap rokok. Kata Nenek, tak ada yang lebih membikin perut mual selain menyaksikan mereka berdebat. Lidah mereka yang setajam paku karat akan saling menusuk dan membelit--karena itu aksi mereka kemudian disebut "bersilat lidah". Suara mereka melebihi kaing anjing, bergema hingga ke tebing-tebing batu di ujung kampung. Mulut mereka tak henti-henti membikin gerimis. "Jika lima jari bersatu, sebuah kepalan lahir. Tembok mercusuar sekalipun bakal hancur," kata si Jempol dengan gaya seorang pemimpin partai gurem.
Namun, di mata Nenek, mereka tak ubahnya kaum gerombolan yang sedang merancang aksi penggarongan. Dalam kisah-kisah petualangan yang pernah dituturkan ayahnya, Nenek mengakui begitulah keyakinan setiap anggota gerombolan. Seakan-akan mereka adalah orangorang pilihan yang dilahirkan di malam keramat dan bertugas membangun sorga di bumi. Lantas mereka akan melakukan tindakan-tindakan nekat, bahkan tidak masuk akal, dan akan selalu dikenang oleh anak-cucu mereka dengan rasa bangga yang senantiasa berlebih-lebihan.
"Aku tahu kehadiranku mengganggu kalian. Tapi izinkan aku unjuk omong dalam pertemuan ini. Walau tidak pernah melahirkan kalian, aku pernah selama 19 tahun menjadi istri almarhum. Meski aku juga punya hak atas warisannya, aku tidak akan menagih sepeser pun. Biarlah kalian saja yang berbagi. Aku kemari hanya untuk berpamitan dan tidak akan kembali lagi ke rumah ini. Terimakasih untuk tahun-tahun yang membuatku tabah, untuk seekor kuda yang baik hati. Cepat ambil Si Marong di kuburan jika kalian tidak ingin kehilangan warisan terpenting," kata Nenek.
"Oh, sebagaimana kata ayah kita, akhirnya kembali juga warisan yang kita cari-cari selama ini," kata Si Telunjuk.
"Kita tidak perlu lagi memaksa...," tambah Si Kelingking.
"Ya, kita tidak perlu lagi menyatroni kampung-kampung untuk mencarinya," Si Jempol memotong.
"Tapi si Marong hanya seekor, sedangkan kita berlima?" kata Si Jari Manis.
"Sebagai saudara tertua, akulah yang paling berhak atas Si Marong," kata Si Jempol.
"Bukankah kau mendapat bagian warisan paling banyak" Kenapa pula masih menginginkan Si Marong," sergah Si Jari Tengah.
"Aku bukan hanya paling tua tetapi juga pemimpin kalian, pengganti ayah," suara Si Jempol menggetarkan piring dan gelas di atas meja.
Mulut empat lelaki itu kontan terkunci. Nenek menyeringai, menampakkan gigi depannya yang gompal. Si Jempol menyeruput sisa kopi.
Diam-diam Nenek menyingkir dengan alasan ingin kencing di kamar mandi di belakang rumah. Sebenarnya, Nenek ingin segera sampai ke altar batu merah yang terletak empat langkah dari lubang sumur. Tumpahan darah di altar yang disebut-sebut sebagai tempat penyembelihan suaminya itu sudah dibersihkan dan bunga warna-warni di atasnya mulai berwarna seragam: kecoklatan. Tetapi Nenek masih bisa mencium aroma kematian yang penuh tanda tanya di situ. Bagaimana mungkin seorang petarung tangguh semacam Kakek bisa tidak berdaya menghadapi tiga lelaki hitam bersepatu putih" Bukankah di pertarungan pamungkasnya dulu ia menghabisi puluhan petarung sebelum akhirnya melarikan Nenek yang masih belia di atas punggung Si Marong" Apakah memang malam kelahiran dan kematian Nabi adalah saat apes seorang jawara seperti Kakek" Sejak kapan jalan setapak di bawah rimbun rumpun bambu itu penuh tahi kuda"
Nenek membiarkan pertanyaan itu berputar-putar di kepalanya seperti angin puyuh. Langkahnya ikut-ikutan sempoyongan. Arah mata angin di sekelilingnya seperti bertukar-tukar tempat. Matahari seperti akan terbenam di pangkal pohon jamblang dan sungai kecil yang dilewatinya seakan-akan bermuara di comberan dan sekawanan burung pipit yang terbang rendah terlihat meledak di kandang kambing. Lantas kembang api warna-warni meletus di antara pepucuk pohon pisang. Namun, ia sampai juga di sebuah warung kopi.
SEMENTARA di ruang tengah rumah Kakek perdebatan masih berlangsung dan Lelaki Lima Jari belum sepakat tentang siapa yang berhak menunggangi Si Marong. Akhirnya mereka berangkat ke permakaman. Mereka ingin sekali melihat kuda yang sudah lima tahun mereka cari-cari dan membuat mereka saling memaki tanpa belas kasihan. Namun, di permakaman kini sudah ada lima ekor kuda jantan dengan kulit coklat kemerahan. Bentuk tubuh mereka sama persis. Ringkikan mereka sulit dibedakan satu sama lain.
Apakah semua itu Si Marong"
Empat anak muda di pojok permakaman itu sudah tidak ambil peduli. Mereka sedang mabuk oleh sejerigen minuman keras oplosan. "Burung gelatik si ikan betoookkk...ooooohhhh...."
Mengapa ada lima ekor kuda yang sama persis di makam Kakek"
Teka-teki ini belum pernah terjawab hingga kukisahkan cerita ini. Di kampung itu memang ada orang yang bisa menggandakan uang dan barang perhiasan dan kehebatannya tersebar ke seluruh kampung. Tetapi belum pernah terbukti kalau ia bisa menggandakan binatang ternak, atau hewan kesayangan seperti Si Marong. Memang pernah ada beberapa orang yang menjadi babi untuk mendapatkan kekayaan. Atau menjadi seekor tikus got hanya untuk mengintip seorang perempuan mandi. Tetapi belum pernah ada yang mau menjadi kuda hanya untuk diperebutkan oleh lima lelaki sinting. Hampir semua orang di kampung itu percaya pada sebuah kisah kitab suci bahwa dahulu kala pernah hidup sekelompok umat yang dikutuk menjadi monyet lantaran melanggar larangan Tuhan. Tetapi untuk apa Tuhan mengutuk manusia menjadi kuda" Mungkin kalian akan menduga Neneklah yang menggandakan Si Marong" Kalian akan kecewa. Alih-alih menjawab pertanyaan ini, Nenek malah memberikan tekateki baru.
"Yang asli akan abadi. Yang palsu bakal hancur seperti debu. Ada kuda bawa bendera." Hanya itu yang dikatakan Nenek kepada orang-orang di warung kopi sebelum ia pergi.
HINGGA aku pergi ke kota dan tidak pernah lagi bertemu dengannya, bahkan dengan ketika ia mati sekalipun, Nenek tidak pernah mau beterus terang kenapa ia meninggalkan sepenggal teka-teki di makam Kakek dan di warung kopi. Yang jelas, kalimat Nenek itu membuat para penjudi bergairah dan mereka tak henti-hentinya berdebat untuk membuat tafsiran yang paling jitu.
"Ini bukan syair para penjudi," kata satu di antara mereka.
"Hanya omongan orang sinting," ujar yang lain. "Kosong."
"Kau jangan salah. Orang seperti itu banyak menolong kita," kata penjudi yang sejak awal diam. "Kita tidak boleh menghinanya."
"Berkali-kali aku pasang kuda dan tesyen-nya, tapi tidak pernah keluar," bantah yang lain lagi.
"Jadi penjudi mesti sabar. Aku yakin ada sesuatu di balik kalimat itu, tapi hingga kini aku memang belum bisa menyibakkan maknanya."
Sementara di tengah permakaman, anak-anak Kakek juga tak henti-hentinya berdebat. Terutama soal asal-usul lima ekor kuda itu dan manakah Si Marong yang asli mana pula yang palsu. Mereka ingin bertanya pada Nenek, tetapi yang dimaksud sudah pergi entah ke mana.
"Perempuan itu sudah mengerjai kita," kata Si Kelingking sambil meludah berkali-kali.
"Aku sendiri sangsi apakah dia memang benar-benar istri ayah kita. Jangan-jangan, dia orang lain yang dikirim musuh-musuh kita dan menyamar sebagai istri ayah kita," tambah Si Jari Tengah.
"Kalau dia kiriman musuh kita kenapa dia tidak langsung membunuh kita saja?" sergah Si Jari Manis.
"Bisa jadi dia tidak mau membunuh kita dan hanya kepingin mempermalukan kita," balas Si Jari Tengah.
"Kita harus waspada terhadap berbagai kemungkinan. Semangat, semangat...," kata Si Jempol.
"Kita tetap harus mencari Si Marong yang asli, sebab itulah warisan terpenting ayah kita," kata Si Kelingking.
"Kita sudah mengobrak-abrik seluruh kampung dan menyatroni setiap pemilik kuda, tetapi hasilnya nihil," kata Si Jari Manis.
"Kita harus mewaspadai semua perempuan berusia sekitar 40 tahun. Terutama yang gigi depannya gompal dan pipinya codet," kata Si Jempol.
"Kita harus meringkus istri ayah yang asli dan memberinya pelajaran berharga sebab sudah mempermainkan lima kesatria sejati," tambah Si Telunjuk.
"Ya, inilah akibatnya kalau kita tidak dekat dengan ayah dan istri barunya," kata Si Jari Manis. "Kita tidak benarbenar mengenal paras dan tingkahnya."
"Bagaimana kita mau dekat dengan ayah, jika sejak mengawini perempuan itu dia meninggalkan kita dan membiarkan ibu mati tanpa kasih sayang," kata Si Telunjuk.
"Sudah, sudah," kata Si Jempol. "Jangan ungkit-ungkit lagi masa sulit itu. Untuk sementara cukuplah kuda-kuda ini. Mencari Si Marong yang asli tetap penting. Tetapi yang jauh lebih penting adalah perjuangan kita. Ingat..."
"Jika lima jari bersatu, sebuah kepalan lahir. Tembok mercusuar sekalipun bakal hancur," sambut Si Kelingking.
"Yuhuuuu!" balas yang lain sambil mengepalkan tangan ke udara.
"Senantiasa kuda-kuda adalah sahabat sejati para kesatria," kata si Jempol.
"Yuhuuuu!" Sejak itu kelima anak Kakek kerap kali menunggangi lima kuda berwarna coklat kemerahan. Mereka sama menyebutnya Si Marong. Setiap menjelang senja mereka berkeliling kampung sambil menyanyikan larik-larik berikut ini: "Jika lima jari bersatu, sebuah kepalan lahir. Tembok mercusuar sekalipun bakal hancur. Yuhuuuu..." Si Jempol berjalan paling depan dan memegang sebatang tongkat dengan bendera besar di ujungnya. Merah dan ada gambar kepalan tangan kanan mengacung berwarna keemasan. Yang lain mengacung-acungkan pedang dan golok ke udara. Sementara anak-anak kecil mengikuti mereka dari belakang. Ikut bernyanyi dan mengacungacungkan pedang-pedangan dari bambu.
Yuhuuuu... Meruya Utara, April 2005 Penjaga Bioskop Cerpen: Ugoran Prasad Sumber: Koran Tempo, Edisi 05/15/2005
INI malam yang istimewa bagi Rusdi. Begitu istimewa sehingga ia membersihkan dirinya. Baginya, ada sesuatu yang akan segera berakhir, dan mungkin tidak akan ada lagi yang bermula. Sudah terlalu tua baginya untuk memulai sesuatu yang lain.
Ketika film diputar, Rusdi menyelinap ke kamarnya di belakang gedung bioskop. Setelah mandi dan menggosok tubuhnya dengan batu kali sehingga kulit kakinya yang tua terluka, Rusdi mengenakan pakaiannya yang terbaik, mematut dirinya di depan cermin, menyemprotkan wewangian, dan menyisir rambutnya yang mulai putihmenipis, berulang kali.
Rusdi mengambil selembar foto yang terselip di ujung cerminnya. Foto itu dipotongnya dari sebuah majalah, puluhan tahun yang lalu, setelah mendapati wajah itu serupa benar dengan Maria. Malam ini Rusdi mengecup potongan majalah itu dengan sepenuh kasih sayang. Sambil menatap sepasang mata Maria, ia berbisik. Suaranya serak, hampir seperti tercekik. Ia merasa sepi. Besok, gedung bioskop ini tidak ada lagi. Lalu, beberapa hari lagi, traktor-traktor besar akan meruntuhkannya. Ia menyisir rambutnya sekali lagi.
Rusdi keluar dari kamarnya dengan perasaan tak menentu. Ia pikir upacara kecil tadi bisa membuat hatinya lebih tenang. Di dalam gedung, pemutaran film belum selesai. Belasan orang duduk tanpa suara, sebagian terpaku, sebagian lain jatuh tertidur. Rusdi, menatap ke arah layar yang memantulkan sinar kebiruan, merasa sesuatu menggembung di pipinya. Seekor burung gereja yang melintas di atas kepalanya membuatnya urung menangis.
Menahan resah, Rusdi duduk di salah satu kursi paling pinggir. Tidak ada penonton di deret itu. Mungkin karena terlalu rendah, lima atau enam baris dari kursi paling depan. Gedung ini punya 478 kursi, pada 22 deret yang masing-masing berkisar antara 19-25 kursi. Seharusnya bisa lebih. Lima belas tahun yang lalu jumlahnya tepat 500. Kursi-kursi yang rusak itu menurut majikan Rusdi tidak perlu diganti. Percuma. Penonton tidak akan pernah memenuhi bioskop ini. Tidak seperti dulu.
SEKALIPUN bukan tak pernah ia mencoba menerima keadaan yang sesungguhnya, Rusdi akan selalu ingat malam pembukaan bioskop itu. Kadang hal itu seperti baru saja terjadi kemarin. Itulah malam ketika ia ditakdirkan bertemu Maria. Malam ketika orang-orang mengenakan pakaian terbaik. Para suami berbatik atau berbeskap, para istri berkebaya lengkap. Para lelaki muda mengenakan jas atau kemeja tersetrika rapi. Para perempuan muda memolesi bibir dengan lipstik. Bupati dan seluruh pejabat kota datang. Juga seluruh camat dan lurah, lengkap dengan para istri. Sebelumnya, penduduk kota itu harus menempuh tiga jam perjalanan ke ibu kota propinsi sekedar untuk menonton bioskop. Mulai malam itu, di sisi alun-alun kota, bioskop baru sudah dibuka.
Umur Rusdi 24 saat itu dan ia tak bisa mengingat bagaimana hidup sebelumnya. Samar-samar ia ingat, ia pernah tertangkap-basah mencuri di toko kelontong. Ia ingat, ia menunduk melindungi tubuhnya ketika dipukuli beramai-ramai oleh beberapa anak muda berandalan. Ia tidak bisa membedakan wajah pemukulnya: semua anak muda itu punya tato tahi lalat di dagu, seperti Rano Karno. Begitu samarnya sehingga kini ia terlanjur curiga bahwa kenangan itu dikutipnya dari sebuah film entah berjudul apa.
Lalu ia bekerja dengan upah secukupnya ketika gedung itu di bangun. Tak tahu gedung apa itu, ia hanya bertugas jaga malam. Tugas yang tidak dimaui seorang pun. Di tanah itu semula berdiri sebuah rumah tua sepasang suami-istri Belanda-Jawa dan tiga orang anak mereka. Keluarga itu tewas terbakar di situ dan dikuburkan di halaman belakang. Kabarnya pada saat makam dibongkar dan dipindahkan ke pekuburan umum, tulang-belulang keluarga itu tidak diperlakukan sebagaimana mestinya. Harta benda mereka yang tersisa di rumah tua itu pun raib entah ke mana. Seluruh orang yang terlibat membongkar rumah dan kuburan itu mati hampir secara berurutan.
Namun Rusdi muda merasa tidak takut. Guru mengajinya dulu berkata bahwa ia tidak perlu takut. Ia tinggal di dekat gudang semen dan alat-alat pertukangan. Di antara para buruh bangunan ia disegani karena dianggap orang berisi. Rusdi tidak membantahnya, sekalipun setiap malam sesungguhnya tidurnya nyenyak sekali. Orang-orang sudah terlanjur termakan cerita hantu, siapa pula yang berani mencuri.
Majikannya saat itu orang baik. Ketika pembangunan rampung, Rusdi tetap diminta tinggal dan bekerja untuknya. Sekalipun Rusdi tak tahu apa-apa mengenai bioskop, ia tak bertanya apapun. Suatu malam, ketika gedung itu dicoba, Rusdi merasa menemukan keajaiban. Tidak hentihentinya ia mengagumi proyektor yang mengilat dan bersih. Mesin itu mengeluarkan suara putaran yang menyenangkan hatinya dan memancarkan sinar yang begitu terang. Rusdi tidak percaya dengan apa yang dilihatnya: ada orang sungguhan yang bergerak di layar, bersuara, menari. Kalau tidak menahan diri, Rusdi mungkin sudah berlari ke arah layar dan menyentuh sosok-sosok itu.
Petugas proyektor lalu menerangkan padanya tentang film. Ia seperti mendengar dunia ajaib. Seseorang pernah bercerita padanya tentang pesawat terbang, tapi yang ini lebih dari sekedar cerita. Ia benar-benar menyaksikannya.
PEMUTARAN baru saja selesai. Di layar muncul tulisan "sampai berjumpa lagi". Lampu di dalam gedung dihidupkan petugas proyektor. Rusdi tersentak, lalu bergegas ke arah pintu keluar, membukanya, lalu berdiri di tepi dan menunggu. Belasan penonton berjalan perlahan keluar, tidak menunjukkan wajah gembira atau sedih seperti dulu. Mungkin juga tidak ada seorang pun tahu bahwa inilah malam terakhir bioskop. Tidak ada yang menegurnya, memberikan simpati atau semacamnya. Imran, yang dua tahun terakhir bekerja sebagai petugas proyektor, turun dengan wajah kusam. Mengusung karung dan tas tangan, ia menyalami Rusdi dan tak mengatakan apapun. Keduanya hanya saling mengenal nama, tak lebih. Rusdi melihat laki-laki itu menjauh. Ia dengar dari si penjaga kedai, Imran berencana pindah kota.
Di kedai depan orang-orang masih duduk berkumpul. Sebentar lagi akan lebih banyak botol-botol minuman berserakan dan beberapa orang akan mulai beradu-mulut. Perjudian kecil akan semakin ramai dan perkelahian bisa setiap saat terjadi. Lebih baik Rusdi menghindar, menghadapi kegagalan hidupnya dengan berani, seorang diri. Ia memandang sekeliling sekali lagi. Puluhan tahun ini, Maria tidak datang lagi.
Ia mengenal Maria di malam pembukaan. Perempuan itu datang sendiri dan tampak kebingungan mencari tempat duduk. Rusdi semula mengira ada seseorang yang sedang ditunggunya. Tak mungkin orang secantik dia datang sendiri. Rusdi mengantarnya ke salah satu tempat duduk yang belum terisi dan kalimat terimakasih dari mulut kecil Maria terdengar sungguh-sungguh. Sepanjang pemutaran ada sesuatu yang membuat Rusdi tergerak untuk melintas di dekat perempuan itu. Kalau-kalau perempuan itu membutuhkan sesuatu.
Pada waktu jeda 10 menit, penonton keluar dari gedung. Sebagian berkerumun di kedai, sebagian yang lain ke kamar kecil. Rusdi menemukan Maria di tempat duduknya. Wajahnya tampak bingung dan Rusdi bertanya apa yang bisa dibantunya. Agak terbata-bata perempuan itu menjawabnya, mengatakan bahwa baru saja seekor burung gereja menabraknya. Mendengar jawaban yang mengada-ada itu, Rusdi mengira perempuan itu sebenarnya hanya sedang takut sendirian. Sesudah itu mereka saling bertukar nama. Maria mengaku film membuat hatinya sangat senang dan besok-besok ia berjanji datang lagi.
Sejak malam itu Maria selalu terbayang-bayang di kepalanya. Setiap malam Rusdi pasti menunggu, berdiri di depan pintu masuk, menyobek karcis penonton sambil berharap penonton berikut yang menyodorkan tangannya adalah Maria. Jika Maria tidak datang, ia membesarbesarkan hatinya; besok masih ada dan gedung bisokop itu tidak ke mana-mana. Malam-malam di kamarnya yang dingin, Rusdi berangkat tidur sambil berharap memimpikannya.
Hanya film yang bisa meredakan kegundahannya. Ia tak seperti Marni dan suaminya, penjaga kedai di depan bioskop, yang mengaku sudah bosan. Atau seperti Usman, tukang parkir yang yakin benar dengan gunjing orangorang bahwa bioskop itu berhantu. Bagi Rusdi, film tak mungkin dikalahkan hantu atau rasa bosan. Ia tak pernah habis pikir bagaimana beberapa tahun bisa berlangsung dalam dua jam, dan bagaimana bocah bisa tumbuh menjadi tua dalam sepuluh menit. Bagaimana pula tokoh jahat, Farouk Afero, bisa mati berkali-kali dan hidup lagi dan lagi. Ia tahu itu semua itu trik kamera, begitu istilahnya. Seseorang bisa saja pura-pura mati dengan mencipratkan obat merah di kemeja. Tapi si Farouk Afero sungguh pernah mati terlempar ke jurang. Padahal sungguh ia berharap, lelaki itu benar-benar mati agar tidak lagi menyakiti Yati Octavia atau Lenny Marlina.
Tak jarang jika ia melihat bintang-bintang film perempuan yang sengsara, ia ingat Maria. Sebab perempuan itu juga menampakkan wajah cemas memelas. Begitu rapuh ia sehingga setiap laki-laki baik-baik pasti ingin melindunginya. Ia curiga jangan-jangan hidup Maria juga dikelilingi orang-orang seperti Farouk Afero yang tega menyiksa dan memperkosa.
Ia sebenarnya menyesal mengapa ia tidak segera bertanya pada malam itu di mana Maria tinggal. Berkenalan dengannya sudah lebih dari sekedar menyenangkan, sehingga pikiran Rusdi berhenti bekerja. Ia tidak pernah membayangkan bahwa Maria akan begitu sulit untuk datang ke bioskop ini lagi.
Penting bagi Rusdi bahwa Lenny Marlina akan mengalahkan Farouk Afero, agar ia tetap dapat berharap. Setiap derita harus berakhir, demikian juga halnya yang menimpa Maria. Tahun-tahun berlalu, dan harapan yang terus dipeliharanya membuat ia selalu melihat Maria di setiap film yang berakhir bahagia.
Ia bahkan tidak lagi melihat Lenny Marlina, Yati Octavia, Jenny Rahman, atau Christine Hakim. Ia melihat Maria dan hanya Maria, seorang diri berhadapan dengan Farouk dan kaumnya, para lelaki bangsat. Sementara pada laki-laki semacam Rano Karno, Rhoma Irama, dan Roy Marten, diam-diam Rusdi melihat dirinya. Ia tahu ia tidak setampan itu tapi ia sama baiknya dengan mereka. Dan seperti mereka, namanya juga diawali huruf R. Seperti juga Ratno Timur sebagai Si Buta, atau bahkan Slamet Raharjo, sekalipun tidak tepat di awal namanya. Semua tokoh lakilaki baik memiliki nama yang diawali huruf R, seperti Romeo.
Rusdi mengunci pintu depan bioskop dari dalam, memejamkan mata tuanya dan berharap ia menghilang. Bertahun-tahun mereka yang tinggal di gedung ini bersaksi bahwa hantu-hantu bersarang di sini. Sekalipun Rusdi sering membantahnya, mengatakan berulang-ulang bahwa tidak sekalipun ia melihat hantu atau merasa dihantui, kabar ini tersebar lebih kuat dari apa yang dikiranya. Apalagi karena beberapa tahun terakhir bioskop ini sepi, bahkan di akhir pekan. Orang-orang lebih suka percaya pada apa yang tidak bisa mereka buktikan, keluh Rusdi pada majikannya. Si majikan tersinggung karena sebelumnya ia meminta Rusdi mencari dukun pengusir hantu.
Satu-satunya yang mungkin diusir dari gedung ini adalah burung-burung. Mereka bersarang di gedung ini. Rusdi sering mengeluh, mengatakan bahwa setiap hari kotoran burung gereja begitu banyaknya sehingga perlu setengah-siang untuk membersikannya.
Pada suatu hari satu atau dua tahun yang lalu seorang perempuan asing, entah dari Cina atau Jepang yang mengaku sebagai pengamat burung, pernah datang ke bioskop. Dalam bahasa yang terbata-bata ia menyatakan keheranannya: ia bercerita bahwa ia telah mengamati seluruh kota ini dan menyimpulkan bahwa habitat burung gereja sudah rusak karena polusi, kecuali di gedung ini. Bagi Rusdi, perempuan itu pun tak bisa mengusir burungburung. Beberapa hari ia hanya menyodor-nyodorkan mikrofon perekamnya ke seluruh sudut gedung. Ia tidak pernah membantu Rusdi membersihkan kotoran burung.
Selain perempuan Cina itu, tidak ada yang peduli. Marni atau suaminya hanya sesekali menyinggung perkara burung-burung ini. Itupun lebih sering dalam bentuk sindiran. Mereka baru tampak bersungguh-sungguh jika membicarakan perihal hantu. Marni selalu membuat Rusdi merasa berada dalam sebuah adegan di mana tokohtokoh utama bertemu dengan tokoh-tokoh jahat perempuan. Ada yang culas pada senyumnya, tatapan matanya, cara bicaranya. Ada yang selalu bisa tidak dipercaya. Sementara suaminya selalu berperan sebagai laki-laki bodoh suruhan penjahat yang tak perlu diingat namanya, bahkan sampai kisah berakhir.
Sepasang suami istri inilah yang menyebar cerita tak sedap tentang Rusdi, beberapa tahun yang lalu. Setiap pedagang di ruas jalan tempat bioskop itu berada akan menjauh setiap kali Rusdi lewat dan menyapa. Ia mendapati dirinya dicurigai sebagai pawang hantu di bioskop itu dari suatu percakapan yang kebetulan didengarnya dari sepasang bocah yang sedang bertengkar berebut layangan. Salah satu bocah mengancam akan menjadikan bocah yang lain bahan sesajen hantu-hantu Dukun Rusdi jika ia tidak memberikan layangannya. Rusdi terkesiap, namun waktu membuatnya kehilangan alasan untuk peduli. Selama bioskop ini masih dipercayakan padanya, ia tetap mengabaikan gunjing semacam itu.
Rusdi mematikan lampu. Dalam gelap ia merasa pernah mendengar kepak sayap burung-burung yang riuh itu dari suatu tempat. Ia melangkah sedikit lebih tenang. Sudah lama ia berpikir bahwa Maria sangat mungkin adalah seorang tokoh di sebuah film, entah berjudul apa. Malam ini ia memutuskan untuk percaya sepenuhnya bahwa di film itu Lenny Marlina berperan sebagai Maria.
ESOK harinya Marni menyumpahi segala-galanya. Laki-laki tua penjaga bioskop itu memang harus mati pada akhirnya, tapi bukan dengan cara yang tidak wajar semacam ini. Kematian yang membuat orang datang berduyun-duyun ke bioskop ini. Siang menjadi lebih panas dan gerah dari biasanya.
Di kamar Rusdi, polisi menemukan poster Farouk Afero dicoret dengan darah membentuk tanda silang. Siang itu juga, atas saran suami Marni, beberapa dukun dipanggil si pemilik bioskop untuk berjaga-jaga kalaukalau Rusdi melepaskan ilmu hitamnya. Adapun polisi belum bisa memutuskan apakah kasus ini bunuh diri atau pembunuhan. Guratan di tangan Rusdi seperti tidak datang dari pisau yang disayatkan memanjang, melainkan seperti tikaman-tikaman pisau kecil yang runcing. Pisau seukuran jari bocah kecil. Seukuran paruh burung gereja, kata Marni menggigil. Kecurigaan polisi tidak mempengaruhi pandangan orang-orang. Bagi mereka, Rusdi tak kuat menanggung kenyataan bahwa bioskop ini hendak dibubarkan. Bunuh diri karena putus asa, kata si tukang parkir.
Entah dari film apa Rusdi mendapat gagasan memotong urat nadi di tangannya. Selembar foto di tangannya bersimbah darah. Orang-orang semula mengira foto itu adalah seorang bintang film tempo dulu. Tapi pemilik bioskop bersumpah bahwa foto itu persis sama dengan lukisan Maria Sutirah yang digantung di ruang tengah rumah keluarganya. Ia tidak bisa menerangkan siapa Maria Sutirah, nama yang ditemukan di bagian belakang lukisan, yang diambil selama proses pembongkaran rumah Belanda di tanah tempat bioskop itu kemudian berdiri. Ayahnya, pemilik bioskop sebelum dia, memasangnya di ruang tengah karena lukisan itu terlihat antik.
Sorenya Marni bertambah geram lagi. Kepada seorang perempuan asing, mungkin dari Cina, Marni berteriakteriak dengan suara nyaring dan tinggi. Jika perempuan itu tidak menyodorkan uang puluhan ribu, pastilah Marni akan mengusirnya. Uang itu juga meluluhkan hati suami Marni. Sore itu di dalam gedung bioskop, di antara burung-burung gereja, laki-laki yang sepintas garang itu mengikuti ke mana pun perempuan Cina itu menyodorkan mikrofon perekamnya.
DI ruang kerjanya, Takeshi Ito terperangah tak percaya. Ia menatap kertas fax itu, membaca kanji di atasnya berulang-ulang seolah huruf-huruf itu menyusun kalimat yang berbeda setiap kalinya. Ia mendapatkan kiriman CD berisi file suara dari seorang kawan lamanya. Perempuan Jepang keturunan Cina itu mendapatkan suatu keganjilan di balik rekaman gelombang penelitian burungnya. Kepada Takeshi, ia ingin memastikan apakah file itu suara manusia sebagaimana yang dikiranya. Hanya kurang dari satu jam, Takeshi berhasil memisah frekuensi di file berekstensi wav. itu dan menemukan apa yang dimaksudkan rekannya. Ia meningkatkan decibel keseluruhan dan mendapatkan suatu percakapan dalam bahasa asing yang diselingi suara distorsi pendek dan dalam yang tidak mungkin diatasi lagi.
Rasa penasaran mendorongnya bertanya arti percakapan itu.
Fax pendek yang diterimanya dari sahabatnya, si peneliti burung, diawali dengan kesaksian bahwa tidak ada seorang pun yang bersuara selama perekaman. Ia menduga, beberapa sudut anomali di ruang bioskop itu mampu menyimpan percakapan pada frekuensi tertentu yang keluar dari spiker bioskop. Takeshi tidak bisa menjelaskan mengapa gedung itu, secara harfiah, benarbenar bisa menyimpan kenangan.
Di lembar fax, rekannya sempat khawatir dengan penerjemahan bebas yang dilakukannya, sebab ia tidak terlalu mahir menggunakan bahasa pasar orang Indonesia. Namun ia yakin bahwa terjemahan ini tak meleset artinya.
Terjemahan dari percakapan sepasang lelaki dan perempuan itu berbunyi demikian.
"Kenapa kamu tak datang?"
"Aku datang. Aku di sini terus. Aku menemanimu terus." "Kamu tidak datang. Aku menunggumu terus. Sampai putus asa."
"Aku sudah mengirimkan burung-burung untukmu." (Diam. Lama)
"Kamu mengirimnya untukku?" "Ya."
"Tanganku sakit. Aku tidak suka burung-burung itu." "Aku juga, aku sudah tidak membutuhkannya." "Pernah kubilang bahwa kamu lebih cantik dari Lenny Marlina?"
Takeshi Ito merasa melihat seekor burung gereja sepintas hinggap di jendelanya.
Galigi Cerpen: Gunawan Maryanto Sumber: Koran Tempo, Edisi 04/17/2005
SELURUH cerita saya ini berdasar pada penuturan Galigi, lelaki bertubuh kecil bermata aneh dan bergigi besar tak beraturan yang saya temukan tergeletak sekarat di tepi jalan setapak yang menghubungkan kampung saya dengan kampung sebelah, di sebuah sore beberapa minggu yang lalu. Saya menceritakan ulang kepada Anda bukan karena cerita ini bagus dan Anda perlu mengetahuinya, tapi lantaran rasa hormat saya yang tak terperi kepada Galigi.
Maafkan saya yang telah berani mengganggu waktu Anda dengan sebuah cerita panjang yang tak menghibur sama sekali. Meski demikian saya berharap ada beberapa bagian kecil yang menarik hati Anda sehingga saya tak perlu terlalu merasa bersalah kepada Anda. Sungguh, saya melakukan semua ini karena saya merasa harus melakukannya. Kalau tidak, cerita yang hanya berputar dalam kepala saya ini suatu saat--saya yakin-- akan berhenti. Saya akan merasa telah membunuh Galigi dengan sebuah cara yang tak pantas dan memalukan. Dan menghilangkan kemungkinan bahwa Anda akan mencintai Galigi seperti saya mencintainya.
Sesungguhnya ada beberapa bagian dalam cerita ini yang menurut hemat saya terlalu berlebihan dan sulit dipercaya. Tapi jika Anda melihat bagaimana ia menahan sakit yang amat sangat untuk menamatkan cerita ini, mungkin Anda akan sependapat dengan saya bahwa seluruh cerita ini, sampai hal yang sekecil-kecilnya, demikian menyentuh dan benar-benar pernah terjadi. Sayang Anda tak sempat bertemu dengan Galigi dan tak mendengar betapa suaranya yang nyaris habis itu mampu menggetarkan bukan hanya jiwa tapi juga tubuh saya--bulubulu tubuh saya meremang sekarang. Maka jika Anda menemukan beberapa bagian yang memang sukar dinalar dan Anda rasa tak mungkin terjadi di bumi ini, anggap saja itu hanya bualan saya sebagai si tukang cerita. Omong kosong saya, bukan Galigi. Dan ini tidak akan mengurangi rasa hormat Anda--jika ada--kepadanya.
Saya pikir tidaklah tepat jika saya berpanjang-panjang mengantar cerita ini. Biarlah cerita ini hadir begitu saja di hadapan Anda, sebagaimana Galigi di hadapan saya.
Cerita ini adalah cara saya yang paling sederhana untuk menghormati Galigi yang, meski hanya sebentar, pernah singgah di hati saya, membuka mata saya bahwa derita yang saya alami belumlah seberapa.
SAYA memiliki sepasang mata yang menakutkan. Ki Sanak bisa melihatnya sendiri tanpa saya harus berpanjang lebar menceritakan betapa mengerikannya mata saya. Seluruh orang yang telah bertatapan--sengaja maupun tidak--dengan saya, tak terkecuali ibu saya yang di kemudian hari saya tahu bukan ibu saya yang sebenarnya, mengatakan bahwa di dalam sepasang mata saya tersimpan gambar kematian mereka. Kematian dalam wujudnya yang paling menakutkan. Sepasang mata saya adalah mimpi paling buruk yang tak mau mereka ulangi sekali lagi. Setelah menatap mata saya untuk pertama kalinya, mereka akan menghindar sejauh-jauhnya sambil mengajak orang-orang yang bahkan belum pernah bertemu dengan saya. Hanya ibu saya--satu-satunya orang yang tetap bertahan di dekat saya--yang tidak takut pada kematian.
Sejak lama sudah timbul niat dalam diri saya untuk mencongkel keluar kedua mata terkutuk ini. Mungkin lebih baik saya menjadi buta daripada memiliki sepasang mata yang diasingkan oleh mata-mata yang lain. Mata yang tak bisa memancarkan kemuraman apalagi kecerahan hati saya. Mata yang hanya bisa menyimpan gambar-gambar kematian yang bukan milik saya. Saya mengutuk siapa pun yang telah menaruh gambar-gambar itu di sana! Tapi tiap kali niat mencongkel mata itu muncul, tiap kali tangan kanan saya menggenggam belati dan mengarahkannya ke salah satu mata saya, saya pun tahu bahwa saya tak punya nyali sebesar itu. Akhirnya, karena tak akan mengubah apa pun sampai kapan pun, saya buang belati dan keinginan itu sebagaimana membuang tahi ke kali. Saya baru memungutnya kembali ribuan minggu kemudian ketika saya bertemu dengan Khima, gadis buta yang pandai memainkan sitar.
Mata saya hanya bisa menyimpan kematian orang lain, kata ibu. Lalu saya bertanya kepada ibu bagaimana gambar kematiannya. Ibu diam dan mulai menangis. Ia memeluk saya erat-erat dan baru melepaskannya ketika saya mulai terbatuk-batuk dan sulit bernapas beberapa lama kemudian.
Kematian yang dijanjikan itu akhirnya datang ketika saya mulai beranjak remaja. Hari itu hujan lebat, hujan tanpa henti yang telah mengguyur kampung kami sejak empat puluh hari sebelumnya, yang seperti tak akan pernah berhenti sampai kapan pun. Mungkin dewa-dewa-- jika mereka ada--sedang menangis. Beberapa rumah sudah hancur dan hanyut, tak sanggup menahan derasnya air hujan. Beberapa bayi dan kanak-kanak mati, tak kuasa menahan dingin yang menyusup sampai ke tulang-tulang. Semua orang bertahan di rumah masing-masing sambil terus memperkuat bangunan rumahnya agar tak hanyut atau rubuh ke tanah. Hanya beberapa lelaki yang terlihat bergiliran keliling kampung--dan semakin hari jumlah mereka semakin berkurang--memeriksa keadaan, terutama pintu tanggul kedung di selatan kampung. Tanda bahaya dipukul tanpa henti dari berbagai sudut, terdengar seperti peringatan yang terlambat datang dan tak diperlukan lagi kehadirannya. Tanda yang hanya mempertajam kecemasan ketimbang menumbuhkan rasa aman.
Ibu saya, dengan sapu lidi di tangan dan tubuh yang menggigil, berjaga di pintu depan, menghalau air yang meluap masuk ke dalam rumah. Ia sudah berada di sana sejak hujan hari pertama dan seperti akan selamanya di sana. Ia terus mengayunkan sapu lidi seolah pusaka yang sanggup mengusir air yang sudah menenggelamkan separuh tubuhnya. Saya sudah berusaha menariknya, bahkan sejak hari pertama, untuk berlindung di atas parapara yang telah saya buat. Tapi ia menolak. Kematianku sudah dekat, Nak, katanya. Hingga saya putus asa di hari kelima dan melilitkan seutas tali tambang di pinggangnya dan menalikan ujung tali pada tiang rumah yang terlihat paling kokoh agar jika tubuhnya tak kuasa lagi mengayunkan sapu lidi--itu pasti, tapi entah pada hari yang ke berapa--ia tak hanyut.
Jangan bertanya di mana ayah saya pada saat itu, Ki Sanak, karena lelaki itu tak pernah ada, bahkan di saat paling membahagiakan sekali pun. Sudah lama saya berhenti menanyakannya kepada ibu. Tepatnya ketika ia dengan marah menggambar sebuah wajah di atas tanah lalu meludahinya: ia pergi lalu pulang sekali membawa bayi lalu pergi lagi! Sejak saat itu saya berhenti bertanya perihal ayah saya. Tapi saya masih menyimpan wajah berikut ludah itu hingga sekarang.
Sebagaimana datangnya, hujan berhenti begitu saja tanpa alasan. Ibu saya juga telah berhenti. Ia terapung seperti batang kayu di sungai. Tangan kanannya masih menggenggam sapu lidi kuat-kuat. Sapu lidi yang sudah lemah seperti seikat kalanjana kering. Tali tambang yang saya ikatkan di pinggangnya membuatnya tak bisa pergi ke mana-mana. Ia ingin pergi, saya tahu, tapi tak bisa. Ia ingin meninggalkan saya sejauh-jauhnya, satu hal yang sudah lama dipendamnya. Seandainya nyawa bisa terikat, ia akan terikat sore itu.
Tiga hari saya menunggu air surut agar saya bisa menguburnya dengan layak. Saya tak membakarnya. Sebab masih lama lagi kayu-kayu mengering. Keluargakeluarga yang lain juga melakukan hal yang sama untuk sanak saudaranya. Di sebuah sore, di kebun kosong yang berubah menjadi pekuburan, kami mengadakan upacara sederhana untuk sekadar mengenang mereka sejenak. Tak ada yang menangis. Mungkin karena udara masih terlalu dingin. Dan hujan empat puluh hari adalah alasan yang bisa diterima untuk sejumlah kematian. Juga karena mereka, yang mati, telah melihat kematian itu dengan jelas, sejelas matahari, pada mata saya. Mereka, yang hidup, menyampaikan rasa terima kasih kepada saya dengan mengusir saya dari kampung itu. Mungkin mereka inginkan kematian tetap sebuah rahasia yang tidak sedingin sore itu.
Mengapa tak sekilas pun mereka mengira telah mengambil semua yang seharusnya saya miliki, misalnya kebahagiaan--atau apapun namanya--sebagai seorang yang hidup sebagaimana mereka" Betapa mereka tak menyisakan apapun, bahkan udara kampung di mana saya dibesarkan. Mendadak saya ingin berak di atas kepala mereka.
SAYA memiliki sepasang tangan yang sanggup meremukkan sebutir kelapa dalam satu kali tepukan. Saya tidak sedang menyombongkan kekuatan saya, Ki Sanak. Sebaliknya, saya sedang menyesali kelemahan saya. Sepasang tangan itulah yang telah menghancurkan rumah saya menjadi debu dan serpihan kayu. Inilah perbuatan yang paling saya sesali sepanjang hidup saya. Sejak saat itu saya tak memiliki tempat buat dikenang dan menaruh kenangan, tidak memiliki tempat yang mengingatkan saya pada kata "pulang". Seharusnya--dan sungguh terlambat pikiran ini datang--saya biarkan rumah itu tetap tegak ketika saya tinggalkan, maka rumah itu akan tetap tinggal tegak dalam kepala saya selamanya. Kalaupun ia harus hancur, biarlah karena alam dan umur. Tapi sepasang tangan yang dulu pernah memecah kepala kerbau yang mengamuk di tengah kampung ini telah bertindak keterlaluan. Ia seperti hendak menghapus seluruh masa lalu saya. Saya sendiri tak bisa mencegahnya. Ingin, tapi tak kuasa. Karena memang tak ada bayangan akan pulang saat peristiwa pengusiran itu.
Saya tak sempat berpikir panjang, bahwa kelak suatu hari, di saat yang menyedihkan, saya akan merindukan kata itu. Paling tidak, atau seharusnya, di saat-saat seperti itu, saya bisa mengenang satu-dua hal yang manis tentang rumah dan itu akan sedikit menenangkan. Tapi sekarang satu-satunya hal yang bisa saya kenang tentang rumah adalah sepasang tangan yang memukul hancur seluruh tiang dan melantakkan dinding-dinding kayu dan pagar. Sepasang tangan yang sekarang terkulai tanpa daya ini telah merenggut jalan pulang saya dari tempatnya semula dan tak pernah bisa mengembalikannya. Ia malah menuntun saya--dengan paksa, tentu saja--ke jalan-jalan lain yang tak pernah sekali pun saya inginkan. Hingga saya harus berpikir bahwa tangan saya bermaksud membunuh saya dengan cara yang menyakitkan. Tapi saya tak punya keberanian sedikit pun untuk melawannya. Padahal dengan mudah saya dapat membuntungkannya dengan pedang atau membakarnya di perapian terdekat.
Sepasang tangan ini memang telah kelewatan, Ki Sanak, percayalah. Ia telah merobohkan lebih dari seratus lelaki di sepanjang perjalanan saya. Dan dari sekian banyak itu hanya satu dua orang yang selamat, itu pun dengan luka yang tak pernah bisa disembuhkan. Sepasang tangan yang tak pernah sekali pun bisa membelai dengan lembut tubuh perempuan. Sekali lagi saya tidak sedang membanggakannya. Bahkan ketika pada akhirnya ia berjabat tangan dengan seorang lelaki yang paling saya kagumi sekaligus paling saya benci: Lubdaka, gembong perampok yang paling disegani di seluruh negeri. Lelaki yang sanggup membuat saya menerima kenyataan dengan tangan terbuka dan mengolahnya, dengan cara yang paling jahat sekali pun, menjadi kenyataan yang saya inginkan. Satu-satunya orang yang bisa menatap mata saya dengan tenang.
SAYA memiliki sepasang kaki yang dapat berlari secepat kilat di atas permukaan air, meloncati pohonpohon besar dan menapaki daun-daun gugur yang melayang-layang di udara. Anda tentu akan mengira saya bisa terbang. Sepasang kaki yang bisa menemukan dan menentukan jalannya sendiri tanpa saya harus bersusahsusah memerintahnya. Kelebihan--atau kelemahan ini-- membuat saya tidak sepenuhnya sadar, mulanya, atas jalan yang saya tempuh. Biasanya saya baru sadar ketika saya sudah sampai di sebuah tempat atau ketika saya, tiba-tiba, harus menanggung sebentuk risiko dari pilihan arah kaki saya. Saya selalu merasa harus bertanggung jawab untuk perbuatan yang tak pernah saya lakukan. Dan ia, Ki Sanak, terus-menerus melemparkan saya tanpa kenal lelah ke daerah-daerah rawan. Saya tak tahu apaapa. Sungguh mati. Saya hanya tahu, kaki saya pernah memilih jalan mudah.
JIKA Anda berpikir bahwa hidup saya menjadi lebih tenang lantaran bertemu dengan Lubdaka, Anda keliru besar. Ia bukan dewa penolong seperti dalam dongengdongeng rombeng yang mengentaskan seorang terkutuk dari nasib buruk atau mengembalikan seseorang yang sesat ke jalan yang benar. Ia justru--bagaimana saya harus membahasakannya"--memperburuk nasib buruk atau mempersesat jalan sesat yang saya miliki. Ia seperti mengingatkan saya bahwa saya belum terlalu banyak membunuh orang atau masih terlalu sedikit merampas harta benda mereka. Pendek kata, saya masih terlalu baik sebagai seseorang yang telah dirampas hidupnya oleh orang lain.
Berikan kepada mereka apa yang telah mereka berikan kepadamu, mintalah kepada mereka apa yang tak bakal mereka berikan kepadamu. Begitulah pelajaran pertama yang diberikan Lubdaka. Saya pun mengikuti jalannya.
Membakar sebuah kampung bersama seluruh isinya adalah peristiwa pertama yang tak mungkin bisa saya lupakan. Mereka telah membunuh bapak dan ibuku dan membakar rumahku, kata Lubdaka memberi alasan. Saya meradang, menghunus pedang, dan membunuh lebih banyak orang ketimbang Lubdaka. Kampung itu habis terbakar, itulah kebakaran paling mengerikan yang pernah saya saksikan, yang bahkan dengan mengingatnya saja saya dapat kembali merasakan udara panas yang menyengat wajah saya. Kami berlari ke puncak bukit dan menyaksikannya seperti seorang ibu yang menyaksikan api membakar sampah yang baru saja dikumpulkannya di halaman. Mata Lubdaka bersinar, lebih terang dan mengerikan daripada nyala api yang membakar di bawah sana. Kau ingat gadis cantik yang kukalungi kepala ayah dan ibunya sebelum kuceburkan ke dalam sumur, tanya Lubdaka. Saya mengangguk, tak mau mengingatnya. Namanya Umang. Pacar kecilku dulu. Ayahnya memimpin orang-orang kampung yang membunuh ayahku dan membakar ibu dan rumahku. Begitulah kata Lubdaka seperti memesan segelas arak di kedai tuak. Apakah kau tak ingin membakar kampung halamanmu" Saya menggeleng, tak sanggup membayangkannya. Kudengar kampungku sudah menjadi rawa-rawa. Jawab saya menghindar. Api tak akan dapat menyala di sana. Saya mencoba berkelakar. Lubdaka tertawa sambil menepuk-nepuk pundak saya. Sayang sekali, Galigi. Aku tak bisa memberikan apa yang telah kauberikan kepadaku.
LUBDAKA. Saya tak tahu setan macam apa yang telah merasuki tubuhnya. Mungkin setan yang sama dengan yang menggerakkan tubuh saya. Dan suatu hari setan itu mempertemukan kami dengan Khima. Jika Ki Sanak ingat, saya telah menyinggung namanya di bagian awal kisah ini, Khima, gadis buta yang pandai memainkan sitar. Saya tak tahu siapa dia dan kenapa kami harus membunuhnya. Kejadian itu begitu cepat hingga saya tak sempat bertanya apa-apa lagi.
Hari itu saya tak bisa mengenali Lubdaka lagi. Lubdaka yang telah saya kenal dengan baik selama lebih dari dua ribu minggu telah pergi. Yang tinggal di hadapan saya pagi itu adalah seorang lelaki yang tampak jauh lebih tua dari usianya yang sebenarnya. Seorang lelaki lemah yang baru saja bangun dari mimpi buruknya. Entah mimpi buruk macam apa yang mampu membuatnya jadi serapuh itu. Sepanjang hari itu ia berlari seperti orang gila. Melintasi tiga bukit tanpa mengeluarkan kata sepatah pun. Saya tak berani mengganggunya. Saya hanya berlari agak jauh di belakangnya, menjaga seluruh kemungkinan yang bisa mencelakainya. Seandainya ia adalah Lubdaka yang saya kenal maka saya tak akan mengkhawatirkannya sedikit pun. Tapi yang tengah berlari dan melayang dari satu pohon ke pohon lain itu, ia lebih mirip hewan yang terluka yang berlari kesakitan mencari tempat perlindungan. Akhirnya ia bertengger di pucuk pohon randu. Hari sudah beranjak sore dan saya tetap tak tahu apa yang sedang tumbuh dalam kepalanya.
Tak jauh di depan kami terbentang sebuah padang alang-alang yang melingkungi sebuah telaga. Dan agak sedikit jauh di belakangnya, atap-atap rumah sebuah perkampungan kecil. Lalu sebuah lagu yang mengingatkan saya pada kampung halaman terdengar seperti merambat di sesela alang-alang. Lubdaka menunjuk ke arah telaga. Saya mengikuti telunjuknya dan menemukan seorang gadis tengah duduk di sebuah batu di pinggir telaga. Kepalanya menunduk, sepasang tangannya seperti memainkan sesuatu. Gadis itu, Lubdaka bergumam hampir-hampir tak terdengar, menjatuhkan daun-daun dengan lagunya. Mata saya beredar dan mendapati daundaun yang melayang jatuh ke tanah dengan sebuah irama tertentu, yang entah kenapa, membuat saya berdebar, mungkin terharu.
Ayo, Galigi, kita selesaikan hari ini. Kami melayang menapaki daun-daun yang terbang. Dalam sekerjapan mata kami telah berdiri di hadapan gadis itu. Ia tampak tak peduli dengan kehadiran kami meski tatapan matanya mengarah ke tempat kami berdiri. Ia terus memainkan sitarnya. Saya tetap berdiri, tak tahu harus berbuat apa. Lubdaka pun tampak demikian. Saya seperti tersihir oleh lagu dan kecantikan gadis yang melahirkan lagu itu. Ingatan saya melayang ke minggu-minggu terjauh yang bisa saya rengkuh. Dan ketika saya kembali, gadis itu telah tergeletak dengan leher koyak. Maaf, Ki Sanak, saya tak bisa menceritakan lebih dari itu. Semuanya berlangsung begitu cepat. Lubdaka sudah pergi entah ke mana. Sitar di pangkuan gadis itu tak ada. Mungkin dibawa Lubdaka. Saya masih tak bisa bergerak, Ki Sanak. Kedua kaki saya serasa terkunci. Dan saya tahu kunci itu ada di dasar telaga, entah di sebelah mana.
SEHABIS peristiwa itu saya berpisah dengan Lubdaka. Ia mengusir saya pergi. Saya tak tahu kenapa. Ia hanya bilang: pergilah ke mana saja kau suka. Biarkan aku di sini dan begini saja. Aku sudah habis, jangan menangis. Jangan sekali-kali bersedih untukku. Sudah saatnya kau pergi. Kita sudah terlalu lama bersama. Menempuh bahaya dan menancapkan pedang di dada yang sama. Apalagi yang lebih menggetarkan ketimbang itu semua"
Lubdaka mungkin tak tahu bahwa kalimat itu bukan hanya menghabisi dirinya. Ia juga menghabisi saya. Saya melangkah pergi dan mendapati tubuh
saya yang telah hancur dan tinggal sisa-sisa. Ki Sanak bisa melihatnya sendiri.
Jogjakarta, 2005 Efek Sayap Kupu-kupu Cerpen: AS Laksana
Sumber: Koran Tempo, Edisi 04/10/2005
MINGGU ini aku tertarik sekali pada berita-berita politik dan menemukan pertanyaan gila dari sebuah buku yang kubeli di tukang loak. "Apakah kepak sebelah sayap kupukupu di Brazil menyebabkan badai tornado di Texas?" Pertanyaan ini meloncat dari pikiran Edward Lopez, si peramal cuaca yang tekun melakukan percobaan, pada tahun 1960. Setelah itu orang-orang bicara tentang efek kupu-kupu.
Karena gairahku sedang menyala pada kegaduhan politik, batok kepalaku memoles pertanyaan tahun 1960 itu menjadi, "Apakah kepak sebelah bibir di Senayan menyebabkan banjir besar di Semarang, membawa kelaparan di Kupang, dan melongsorkan gunung sampah di Jawa Barat?" Dan, karena perkawananku dekat sekali dengan Alit, aku jadi teringat juga pada sebuah peristiwa lima tahun lalu. Ketika itu, pukul dua dinihari, Alit sempoyongan keluar dari tempat minum yang baru pertama kali dikunjunginya. Dua jam kemudian, ayahnya meninggal di sebuah rumah kontrakan empat ratus kilometer jauhnya dari kamar kontrakan Alit. Kurasa efek kupu-kupu bekerja juga pada peristiwa dinihari itu. Dan itu pulalah akhir sebuah cerita yang bermula pada hari Rabu malam, lima bulan sebelumnya.
Pada hari Rabu malam itu polisi meringkus seorang germo di sebuah mal di daerah selatan Jakarta. Alit membaca beritanya Kamis pagi dengan kepala lunglai di sandaran kursi bambu di teras kamar kost; mulutnya menguap berkali-kali. Kau tahu, Alit masih senormal bertahun-tahun sebelumnya, dengan perangkat yang menegang di pagi hari, dan tetap melakukan kerajinan tangan setiap pagi sembari membayangkan ayahnya merengek-rengek didatangi malaikat serupa unggas yang siap mencabut nyawa dengan cara sesakit-sakitnya. Itu sebuah siasat agar ia bisa menikmati pekerjaan tangannya lebih lama dan karena ayahnya pantas diperlakukan seperti itu.
Germo yang dibacanya itu--wartawan menyebutnya AMB--mengelola dan memasarkan sembilan bunga seruni di mal tempat dia ditangkap. Semuanya harum. Semuanya segar. Semuanya "pas susunya" seperti bunyi sebuah iklan. Dan semua masih SMA: si germo dan sembilan bunga seruninya.
Berita tersebut dicongkel dari mulut seorang polisi dan dirakit dengan beberapa penyesalan oleh si wartawan: "Sayang sampai berita ini diturunkan, AMB tidak berhasil ditemui." Kalimat penyesalan lainnya: "Sayang perwira polisi yang memimpin penggerebekan tidak berhasil ditemui."
Namun wartawan kriminal itu tetap bisa menulis berita dengan baik sekalipun tak berhasil menemui kunci-kunci peristiwa. Sebab ia punya kunci cadangan: seorang polisi yang kelelahan di samping terminal. Polisi itu sedang beristirahat di sebuah warung makan; di sebelahnya duduk wartawan tersebut, yang juga kelelahan. Polisi dilayani lebih dulu karena ia polisi dan karena datang lebih dulu; si wartawan, sambil menunggu nasi pesanannya, merekareka pertanyaan yang bisa ia ajukan untuk membuka percakapan dengan polisi itu.
"Ada yang bisa saya tulis, Pak?" itulah pertanyaan terbaik yang diajukan oleh si wartawan. "Saya wartawan." "Coba tunjukkan kartu wartawanmu."
Si wartawan melolos kartu dari dompet dan menyodorkannya ke polisi. Si polisi, dengan kepekaannya pada detail, menerima kartu wartawan yang disodorkan dan membolak-baliknya beberapa kali seperti sedang menggangsir sebuah rahasia yang disembunyikan. Tak ada apa pun yang bisa dipersoalkan. Polisi mengembalikan kartu pada pemiliknya. Setelah itu wawancara dilangsungkan di tengah denting sendok dan piring dan keletuk geraham. Sebuah tanya-jawab antara dua orang yang naluri masing-masing sama kuat dan kondisi mereka sama lelah.
Peristiwa pertemuan polisi dan wartawan di warung makan ini bisa kuceritakan lengkap karena wartawan kriminal itu, dengan gairah untuk menjadi perintis bagi teknik pemberitaan gaya baru, menggambarkan sampai ke hal-hal terkecil proses bagaimana ia mencongkel semua fakta dan mengeluarkannya dari mulut polisi yang kelelahan itu. Ia bahkan membuat perumpamaan tentang reportase tak sengaja itu sebagai "semacam emas murni yang ditemukan di sebuah selokan". Sebuah perumpamaan yang bisa mengundang kekeruhan, sebab sumber berita bisa saja menyangka bahwa si wartawan sengaja menghinanya melalui sebuah peribahasa: apakah informasi itu yang disebutnya emas murni, sedangkan mulut polisi itu disamakan dengan selokan"
Aku sempat mampir ke warung tersebut karena namanya ditulis beberapa kali dalam pemberitaan. Pemilik warung membingkai potongan berita dengan pigura warna emas dan menggantungkannya di antara gambar-gambar artis yang berasal dari kalender usang.
MASIH di hari Kamis yang sama, masih terkulai di kursi yang sama namun sudah dibawa masuk ke kamar, Alit merasakan sendiri bahwa dunia kadang sempit sekali. Sore hari ia menghidupkan pesawat televisi dan, setelah berpindah-pindah stasiun lebih dari dua jam, melintasi beberapa gosip dan telenovela, dan melahap berjenisjenis iklan, pada pukul delapan malam ia menemukan AMB diwawancarai oleh wartawan dari salah satu stasiun televisi. Pemasar bunga-bunga seruni itu bernama lengkap Ambarwati, masih duduk di kelas dua SMA, dan Alit kenal sekali dengannya.
Dunia yang sempit, kau tahu, hanya akan membawa seseorang berkisar di antara orang-orang yang itu-itu juga. Dan itu membuat kehidupan kadang terasa sebagai sebuah telenovela, dengan persoalan yang silang susup di situ-situ juga, atau seperti film-film India. Germo bernama AMB itu adik Alit. Satu-satunya adik yang tetap hidup; dua adiknya yang lain meninggal pada tahun terjadi gerhana.
Ia merasakan kangen yang tiba-tiba, merasa ingin sekali meminta maaf kepada Ambar karena dulu ia sering memukul kepala adiknya itu. Sampai mereka berpisah, Alit masih melihat bekas luka di bawah rambut tipis adiknya karena pukulan entong nasi, seperti bekas luka di kepala Sangkuriang. Luka yang membuat gelisah Dayang Sumbi, si ibu yang tak terjamah waktu, sebab ternyata ia tengah bercinta dengan anak kandungnya.
Saat itu juga bangkit rasa sesal kenapa ia tidak dekat dengan adiknya ketika mereka sama-sama kecil. "Kenapa kau menjadi germo?" tanya si pewawancara. "Karena aku tidak cantik," jawab Ambar, tenang. "Maksudmu?"
"Orang harus mengerjakan yang ia bisa lakukan. Dan aku sudah
mengerjakan yang aku bisa."
"Ya, tapi kenapa harus menjadi germo?" "Karena aku tidak cantik."
"Maksud saya..."
"Rasanya aku tidak berbelit-belit."
Alit senang sekali mendengar jawaban-jawaban adiknya. Kecerdasannya tidak rontok sekalipun kepalanya dulu sering mendapatkan pukulan.
Di depan pesawat televisi, Alit merasa pelupuk matanya panas. Rasa kangen membuatnya tiba-tiba menjadi cengeng. Sudah lama mereka tak saling jumpa. Ambar baru lulus SD ketika bibinya membawa adiknya itu ke Jakarta dan menjadikannya anak angkat. Waktu itu Alit baru masuk SMA dan sejak itu tak pernah lagi ia ketemu dengan adiknya. Ketika ia sendiri kemudian memutuskan berangkat ke Jakarta, belum pernah sekali pun Alit bertandang ke rumah bibinya.
Melihat Ambar di televisi, menjawab dengan tangkas pertanyaan-pertanyaan yang ditujukan kepadanya, ia bangga sekali sebagai kakaknya.
"Apa kau tak malu menjalani pekerjaan sebagai germo?" tanya si wartawan.
Ambar mengerutkan kening agak lama. "Aku tak mengerti maksud pertanyaanmu."
"Maksud saya, apakah kau tidak malu menjalani profesi itu?"
Kening Ambar tetap berkerut.
"Aku benar-benar tak mengerti maksudmu," jawabnya. "Aku menjalankan bisnisku secara benar, kuberikan layanan sebaik mungkin kepada orang-orang yang membutuhkan jasaku, kuberi yang terbaik jika mereka membayar untuk mendapatkan barang yang terbaik. Pelangganku banyak dan kau bisa tanyakan kepada mereka satu per satu apakah kerjaku mengecewakan. Jadi apa maksud pertanyaanmu?"
"Bisa disebutkan nama-nama pelangganmu" "Lanjutkan ke pertanyaan berikutnya." "Jadi kau tidak malu dengan profesimu?"
"Jika seseorang bekerja dengan benar, apakah dia harus malu?"
"Tapi kau ditangkap polisi..."
"Polisi, sejauh ia bekerja benar, juga tidak perlu merasa malu menangkapku."
Alit ingin tahu apa lagi yang akan dikatakan oleh adiknya, namun si pewawancara mengatakan, "Saudara pemirsa, jangan ke mana-mana. Kita akan melanjutkan lagi perbincangan menarik dengan tamu kita... setelah yang satu ini."
Baiklah, saudara penyiar. Jangan khawatir, hari itu Alit memang tidak punya rencana pergi ke Wonosobo atau mendaki gunung Slamet atau mencari jimat ke Klaten, karena itu ia pasti tak akan ke mana-mana dan akan tetap di kamarnya.
Manusia Pemuja Bulan 1 Sherlock Holmes - Kisah Penutup Neraka Hitam 12