Pencarian

Kumpulan Cerpen 3

Kumpulan Cerpen Karya Kurnia Effendi Bagian 3


Setelah peringatan itu disampaikan, wawancara dipancung oleh iklan buah dada. Seorang perempuan padat tiba-tiba mengembangkan dadanya memenuhi layar dan menawarkan susu kalengan melalui dada yang dikembangkan. Lalu terdengar suara laki-laki, "Pas susunya."
Susu yang mana" Iklan selanjutnya masih iklan buah dada juga. Seorang perempuan lain, lebih padat dari sebelumnya, mengembangkan dada memenuhi layar; kali ini ia menawarkan kacang: "Pas kacangnya." Wawancara dilanjutkan lagi setelah iklan buah dada ketiga yang menawarkan pelembap kulit.
"Pertanyaan terakhir, apa pesan anda kepada pemirsa?"
EFEK kupu-kupu sebenarnya adalah cerita tentang Alit, namun aku malah melantur-lantur pada Ambar. Baiklah akan kukembalikan lagi kisah ini pada arah yang semestinya. Persoalannya, ketika kembali ke Alit, aku juga harus masuk lagi melalui Ambar. Sudah sembilan tahun aku tak berjumpa dengan kawanku itu dan cerita terakhir tentangnya memang kudengar dari Ambar; dua atau tiga kali aku mengunjunginya di rumah besar di jalan Jambu yang dijadikan markas sebuah tarekat. Sekeluar dari penjara, adik Alit ini menjadi anggota tarekat yang menyampaikan pesan melalui foto awan-awan. Jadi, sedikit lagi tentang Ambar: jalan yang ditempuhnya memang sering tak terduga. Kukutipkan potongan sebuah artikel untuk lebih memahami bekas germo itu:
"Kadang kita harus meyakini bahwa memang ada bandot-bandot dengan mukjizat tertentu yang tidak pernah keliru pada setiap tindakannya. Mereka bisa melakukan apa saja dengan seluruh kelenturan gerak dan keramahan nasib yang menyertai mereka dan, di mata orang-orang, apa yang mereka lakukan selalu benar. Tidak akan pernah ada yang mencerca tindakan mereka sebagai sesuatu yang salah, padahal tindakan itu mungkin akan tampak sangat keliru jika orang-orang lain yang melakukannya.
"Di panggung pertunjukan, anda bisa melihat mukjizat tersebut pada orang-orang seperti Marlon Brando, atau Robert De Niro, atau Meryl Streep, misalnya, yang tidak pernah keliru pada setiap gerak tubuh atau liuk lidah mereka. Mereka bisa bertingkah atau berbicara dengan cara apa saja dan para penontonnya suka pada tingkah dan cara bicara mereka. Sebaliknya, selalu ada badutbadut di layar televisi yang anda tonton setiap hari, yang sudah mencoba segala hal dengan gerak tubuh maupun teriakan mereka, namun apa pun yang mereka sampaikan tak pernah bisa benar. Satu-satunya keberhasilan pada lelucon mereka yang mengenaskan itu adalah membuat diri mereka sendiri tertawa." (Dari sebuah penggalan artikel di koran mingguan dengan judul: "Bandot yang Selalu Benar dan Bandot yang Selalu Keliru.")
Ambar kurasa adalah bandot panggung jenis pertama-- yang selalu benar pada segala tindakannya. Ia menjadi germo, ditangkap polisi, dan menjadi sosok yang memukau ketika tampil dalam sebuah wawancara di layar televisi. Setelah itu ia harus meringkuk di penjara. Seorang perempuan yang mengaku sebagai penyampai pesan Jibril datang padanya di penjara sambil menunjukkan foto awan-awan, lalu ia mengikuti ajaran perempuan itu dan menarik banyak pengikut lainnya di sel-sel penjara. Baru dua bulan menginap di penjara, ia diburu lagi oleh wartawan televisi yang ingin mengupas pengalaman rohaninya sebagai bekas germo yang telah menemukan jalan baru dan berhasil membawa banyak orang ke jalan barunya itu.
Kini ia tinggal di markas tarekat itu. Ketika aku datang kepadanya, ia menceritakan pertemuan terakhirnya dengan Alit yang terjadi lima bulan setelah penangkapannya di mal. Ia bilang bahwa Alit menemuinya pada suatu sore di penjara, membawa paras muka yang lebih kusut dari paras muka yang ia bawa pada kedatangan pertama.
Ambar memasukkan tangannya ke saku gaun panjangnya dan beberapa saat kemudian menyodorkan genggaman tangannya yang baru dikeluarkan dari saku.
"Untukmu, dari ayah," kata Ambar. "Ia datang dua minggu lalu, pagi-pagi, dan langsung pulang sorenya. Sebelum pulang ayah bilang, 'Katakan pada Alit, kalau ia datang lagi menjengukmu, bahwa aku sehat sampai sekarang, meskipun setiap hari ada orang yang mengirimkan kepadaku seekor makhluk bersayap yang mencoba merampas nyawaku. Aku bisa merasakan itu dan aku masih kuat menghadapinya.'"
Alit merasa udara dingin sekali. Jadi makhluk mirip unggas yang ia bayangkan pada setiap pagi itu betul-betul mendatangi ayahnya. Telah berapa kalikah"
Diterimanya cincin emas yang disodorkan oleh Ambar. "Udara rasanya dingin sekali," kata Alit.
"Mungkin malaikat penjemput itu sekarang mengincar tengkukmu," kata Ambar. "Kata guru yang datang padaku, kedatangan malaikat akan membuat udara menjadi dingin sekali."
Ambar tertawa setelah kata-katanya itu. Dan, kau tahu, kelakar itu meleset sejauh empat ratus kilometer.
Ketika keluar dari gedung penjara itu, Alit keluar dengan kepala yang makin memberat. Dengan rasa sedih pada dirinya sendiri, untuk kali pertama ia melewatkan waktu malamnya di sebuah tempat minum. Sebab ia merasa susah sekali menjalani hari-hari dengan butir kepala yang memberat. Harus ada cara untuk membuat sebutir kepala tidak menjadi beban: minum sambil mendengar penyanyi-penyanyi yang meratap di panggung.
Setelah empat penyanyi meratap-ratap, Alit merasa ingin ke kamar kecil. Kira-kira pukul satu dinihari ia ke kamar kecil di bagian belakang tempat minum itu. Di sana ia membuat kerajinan tangan karena penyanyi-penyanyi itu begitu menggemaskan. Namun ada satu hal yang berbeda dibanding sebelum-sebelumnya, kali ini ia membayangkan sesuatu yang lain; Alit ingin meminta maaf kepada ayahnya dan membayangkan ribuan malaikat turun dari langit menaburkan bunga-bunga kepada orang tua yang ditinggalkannya itu.
Pagi itu, kau sudah tahu sejak awal kisah ini kututurkan, efek kupu-kupu bekerja. Ayah Alit meninggal di rumah kontrakannya di kampung dekat pelabuhan yang ia tempati sejak lama. Malaikat datang menjemput nyawanya dan tidak membawa bunga-bunga. Baru pada siang hari orangorang yang merawat jenazahnya menaburkan bunga-bunga di gundukan makam.
Perawan Yang Bersemayam Di Mata Loth Cerpen: Ucu Agustin
Sumber: Koran Tempo, Edisi 09/22/2002
Buliran itu selalu terlihat begitu sempurna, kadang umpama tirai, kadang laksana badai. Seumpama kode, penuh rahasia, tak pernah bisa diduga artinya.
Musim itu telah datang lagi kini. Selama 30 hari, 720 jam, 43.200 menit, 2.592.000 detik aku terkurung di sini, hujan membadai di luar. Dan ketika Musim ini telah mulai menyemai, aku kembali berada di tengahnya, terjebak dalam rintiknya, tak menemukan jalan keluar, hingga malam yang benar-benar berhujanpun datanglah&
Aku melihat seorang perawan tanpa pakaian di tengah hujan. Sebuah perasaan aneh menyergap seketika. Rasarasanya aku jatuh cinta. Bukan pada tubuhnya, bukan pada kelam rambutnya, namun pada kesucian yang tak terkoyak meski mungkin ia sudah bukan perawan. Dalam sebulan, itulah untuk pertama kalinya aku mendapat kekuatan, berani menerobos badai.
Perawan cantik, apa yang kau lihat di sana" Tanyaku tanpa membawakannya sebuah baju. Dia menatap, matanya berkejora dan rambutnya beriak ombak, di atasnya, ular-ular menggeliat dengan malas namun menggoda.
Tidakkah kau dingin, wahai perempuan berambut ular" Aku mencoba, sekali lagi berusaha menyapa.
"Aku telah menaklukkan Alpha, aku telah menjadi tiada beromega! Maka dingin bukan ukuran, dan panas tidaklah menjadi sebuah kecelakaan. Karena seharusnya seluruh manusia telanjang! tak perlu pemanas, tak usah membeli air conditioner! Telanjanglah! Maka kau akan tahu seberapa kuat dirimu!" Di angkasa, hujan menggelepar menahan berahi, angin mengeras mempermainkan putingnya yang beliung. Langit demam, dan cuaca terasa panas dingin secara tiba-tiba.
Di tengah hujan, siapa yang berselera melakukan debat terbuka" Tentu saja saat itu aku malas berargumentasi soal mengapa manusia mencipta teknologi, juga malas untuk memberikan uraian tentang kenapa manusia selalu membutuhkan penemuan-penemuan. Di tengah hujan yang rintiknya sangat besar, aku hanya menggigil, kehilangan nafsu untuk menerangkan tentang sejarah serta asal muasal pakaian.
Merasa tak mendapat jawaban, perawan tak berpakaian itupun berucap lagi.
"Di bawah kuku ini, ada sebuah zat yang akan memberi kita rasa hangat! Di dalam kulum lidah bukan hanya rasa manis atau asinnya hidup yang bisa dicicipi, tapi juga pahit dan getir yang bisa memunculkan kekuatan! Maka telusurilah dirimu! Sampai betul-betul telanjang! Sampai benar-benar terhempas dan meregang-regang!" Perawan telanjang itu menjulurkan lidahnya keluar, menjilati air hujan yang iseng menjatuhi pipinya, bergulir dekat bibirnya.
"Aku kebetulan perempuan dan secara kebetulan Kau bukan lelaki! Bila teman lelakimu memiliki penis kecil atau mungkin lebih besar dari kemaluan kuda jantan! Gerakkan!! Dan lihatlah, apakah yang mampu diperbuatnya"!
Lalu bila ia mampu menyemburkan mani pada rahimku atau spermanya ngendap di ovummu, maka tak usah malu! Demikian juga bila ia cuma mampu terkulai lalu melayu dan kau cuma ngos-ngosan menahan orgasme yang tak sampai, maka datanglah padaku! Karena aku akan selalu telanjang tanpa dilapisi pakaian kebohongan. Pada setiap waktu pada semua masa. Pada kemandulan aku tak akan pernah menghina juga tiada akan memberi puja. Segala hal bagiku adalah sama. Semua sesuatu dicipta untuk mulia dan hina. Karena andai Kau bukan lelaki akupun akan selalu tidak tertolak untuk perempuan, selalu terbuka bagi para hawa yang bernaluri sama dengan mereka yang memiliki kecenderungan ketertarikan yang sama dengan mereka yang berselusur dari jenis kelamin Adam" Perawan itu menatap lekat padaku.
Aku tidak tergoda! "Terserah!" Begitu ucapnya. Dia bisa memahami bahasa pikirku, rupanya. Tapi aku tak tercengang, perempuan macam gini memang kadang begini. Sebaiknya aku harus berhati-hati saja, karena setiap berhadapan dengan sesuatu, kita tak tahu sedang menghadapi apa ataukah siapa.
"Siapakah namamu?" Tanyaku
"Kenapa tak kau sebutkan namamu dulu?" sergahnya "Elkana yang lahir pada suatu senja," ucapku "Aku perawan, yang lahir dalam keadaan bugil," ucapnya
"Mengapa mengawetkan sifat orok yang selalu mempesona kala ia bertelungkup atau bertelanjang dada?" Aku menatap pada matanya.
"Karena pakaian hanyalah sarana dan lebih indah dikenakan oleh boneka! Maka aku tak butuh itu, sebab tubuhku indah dan itu sudah cukup rasanya." Jawab perawan telanjang sambil mengibaskan rambutnya yang berular.
"Bagaimana dengan yang lain yang bertubuh tidak sempurna?" Tanyaku tanpa memberinya jeda. Jiwaku dirasuki rasa penasaran meski saat itu tubuhku sudah sangat menggigil karena hujan semakin terasa dingin.
"Apakah ukuran kesempurnaan" Berhakkah bila dinilai hanya lewat pandangan" bisakah kesempurnaan diklaim lewat penglihatan" Perawan tak berpakaian itu menatapku tajam.
Lihat!" Ucap sang perawan sambil mendedahkan perutnya di depanku.
Bekas bisul di tubuhku masih menyala, warnanya merah, tapi lelaki yang bertemu sebelummu menyebut itu suatu anugerah. Dan dia menyedot nanah itu dengan ganas. Ketika kutanya apakah ia masih ingin yang lain lagi" Dengan terpejam Ia menjawab, ini sudah sempurna. Sedikitpun ia tak menampakkan rasa jera. Malah ucapnya, datanglah lagi padanya bila bisulku muncul dan nanahnya telah menggelora. Pada dia, aku kehabisan kata" Perawan telanjang menatapku lekat, pada bola matanya aku melihat sesuatu berkilat-kilat.
Aku mundur, hujan menatapku curiga! Bukan hanya perawan telanjang saja yang bisa membaca bahasa rasa, tapi hujan pun mampu mengeja sesuatu yang masih transparan dalam pikiran.
"Ke manakah tujuanmu?" Tanyaku lagi.
"Suatu tempat di mana perempuan bisa bertelanjang, dan laki-laki secara tak gila memandangnya sebagai hal biasa."
"Kenapa harus kesana?" Tanyaku ingin tahu. "Karena disini perempuan harus banyak berkorban. Karena di sini perempuan akan masuk penjara bila berjalan santai sambil telanjang. karena di sini keterbukaan adalah subversi. Karena di sini orang bisa dikenai pasal melakukan ketidak-patutan padahal bukan ia yang melakukan tindak tak bermoral." Ucapnya tandas. "Ke manakah tujuanmu?" Tanyaku sekali lagi. "Suatu tempat, ketika manusia tidak lagi dilahirkan lewat vagina dan bayi bisa langsung tertawa ketika melihat dunia."
"Apakah itu dunia Mahabarata?" tanyaku sambil sambil merapatkan kedua tangan pada badan. Gigiku telah bergemelatukan.
"Ya! Akan lebih banyak perempuan seperti Kunti di sana, yang melahirkan dari telinga dan tidak merusak selaput dara! Tapi tujuanku tidak Mahabharata!" Pada bibirnya sekelabat senyum dia ulas. Di antara rinai hujan, aku melihatnya dengan jelas.
"Lalu K emana?" Tanyaku lebih ingin tahu.
"Jangan terlalu banyak bertanya, tunggulah aku selalu kala senja basah tiba! Itu pun bila kau memang sangat ingin bertemu dan betul-betul merindukanku! Dan perawan telanjang itu tiba-tiba bergelinjang, hujan memperkosanya dengan kasar. Sebelum menunduk, sempat aku saksikan mata perawan itu terbeliak, entah sengsara, entah bahagia! Dan ketika ku dongakkan kepala, perawan itu telah tiada! * * *
Aku selalu berada di sana! Menunggu senja yang basah, berharap bertemu lagi dengan perawan telanjang yang entah berada di mana sekarang. Namun bahkan ketika beribu senja telah berlalu, semuanya hanya abu-abu. Tak ada senja yang sebenarnya, apalagi senja yang basah.
Harapanku semakin tipis, tapi keinginanku tak pernah pudar. Aku masih selalu bermimpi untuk pergi ke alam Mahabharata, di mana yang tinggal adalah perempuanperempuan telanjang dan bayi-bayi langsung bisa mencari makan sendiri tanpa membuat kendur payudara bunda yang telah cukup dibuat melendur, demi melayani nafsu lelaki yang tak ada kendur.
Namun yang mampir adalah senja yang semu. Yang kutemui bukan perawan telanjang melainkan seorang lelaki yang tentunya tak akan bisa mengajakku pergi ke alam yang aku inginkan. Namanya Loth, dan ia berkesah tentang Ruth Istrinya yang tak mau meninggalkan kota Sodom dan Gomorah.
Kecintaannya pada harta membuatnya membatu, terpancang di kota itu sampai sekarang, ia dikutuk menjadi tiang garam Begitu ucapnya saat pertama kali kami bertatap muka, saling memandang setelah sekian lama terdiam.
Lalu Bagaimana dengan kecintaan warga lelaki kota Sodom pada penduduk pria kaum Gomorah" Tanyaku ingin tahu. Kulihat lelaki itu terperanjat, ia menatapku mengamat-amat.
Ketika kota bertumbuh, selalu muncul menyubur pedang bermata dua di dalam taman kotanya. Persis& ., ya! Persis seumpama sisi gelap rembulan ketika pada sisi lainnya ia tengah bersinar Lelaki itu tampak sekali membuat apologi, tapi jauh di lubuk hatinya aku melihat dia menatapku sejak ribuan tahun yang lalu. Aku paham, lelaki ini pastinya memang telah mengawasiku sejak jauh hari sebelum kami harus bertemu.
Tidakkah kau percaya juga akan cinta" Tanyaku masih ingin tahu
Namun kesukaan yang demikian adalah hanya masalah orientasi, tidak ada kaitannya dengan cinta sama sekali. Ucapnya acuh. Namun meski demikian, sekelebat aku menangkap, entah kenapa mata lelaki bernama Loth itu berkilat-kilat. Dari pancar wajahnya, terlihat benar sekuat tenaga ia mencoba berusaha untuk ingkar, tak bersetia pada apa yang dirasa. Aku tahu, lelaki itu juga telah mengerti bahwa bukan hanya kaum Nabi Luth saja yang terperangkap pada bayang-bayang cinta sejenis yang demikian.
Kudekati Loth dan lelaki itu bersemu merah mukanya. Ku tatap pada matanya dan lelaki itu tertunduk menatap tanah.
Kamu tidak sedang menunggu aku. Maka pergilah! Jauhkan aku dari godamu! Ucapnya seolah berusaha menghardikku.
Seperti perempuan-perempuan penyihir di zaman kegelapan, bila kau anggap aku menyimpang, mengapa tak kau bakar saja aku di tiang gantungan" Atau bila kau memang peduli, bawakan saja kejutan listrik padaku! Lakukan lobotomy dengan memtong bagian depan otakku, atau beri aku aneka pil, bila memang segala hasrat yang ku pendam adalah hal yang terlarang! Aku menantang. Tapi aku tak peduli padamu, ucapnya pelan. Lalu mengapa kau mengawasiku" Tanyaku tak kalah tajam.
Aku hanya mampir, sama sekali tak berniat mengusik tunggumu. Lelaki itu sendu menatapku.
Tapi sungguh, pada tatapan mata Loth aku melihat ratusan pelajar putri sedang berbondong menuju sebuah gerbong. Baju yang mereka kenakan berwarna vanilla, seluruhnya membawa tas yang berisi senja. Dan aku terbeliak tiba-tiba!
Di antara murid-murid Desa Mytelene Kepulauan Lesbos itu aku melihat dia! Bukan dalam deretan panjang pelajar perempuan yang semuanya memakai baju tipis hingga tampak seperti telanjang, tapi ia memang di sana. Berdiri bersisian dengan penyair wanita Shappo yang sedang membelai-belai punggungnya.
Aku berteriak. Tapi perawan telanjangku tak mendengar. Sekali lagi aku memanggil namanya, menyebut pada matanya. Berhasil! Ia tersenyum! Tapi ternyata lemparan senyumnya membentur wanita penyair itu, aku kecewa.
Sadar bahwa semua akan sia-sia, tanpa izin aku terobos mata Loth, berharap semua tungguku akan tuntas dengan menemuinya. Ada sebuah rahasia besar, ya! Sangat besar. Dan semua itu ingin aku ungkapkan padanya, ingin kuadukan dalam dekap perawan telanjang.
Kulambaikan tanganku sambil berseru-seru. Perawan telanjang itu tetap tak berpaling padaku. Retina Loth telah berlalu dan kini rupanya aku masih harus menembus manik hitam mata lelaki dari zaman Nabi ketujuh itu, perjalanan menuju perawan telanjang sepertinya masih panjang. Untung saja, dalam manik mata itu aku menemukan seratserat halus berwarna coklat keemasan.
Inikah tali yang akan membawaku pada dunia perawan telanjang" Aku bertanya, tak seorangpun membalas. Aku tahu, masih ada selarik pembatas lagi yang terbentang antara dunia di mana kini aku berada dengan dunia perawan telanjang serta para pelajar Lesbos yang semuanya terlihat begitu menantang.
Tanpa ragu kuraih serat coklat itu untuk kemudian menjejak sekuat tenaga pada kakiku, lantas melemparkan tubuhku. Aku berayun. Sungguh! Udara menerpaku dan aku seperti Tarzan yang bergelantungan, bertaruh pada batang-batang akar yang berselusur keluar dari pohonan.
Suara tawa terdengar riuh dari arah bawah, nadanya menyenangkan dan penuh keramahan.
Hei lihat! Hei, lihat! Begitu seru kalimat di antara nada tawa yang mengimbuh sangat riuh.
Kuluruhkan pandangku ke arah bawah, perempuanperempuan itu sedang menertawakanku rupanya. Tapi yang mana perawanku" Mengapa kini semua perempuan itu tampaknya sama saja"
Turunlah! Turunlah! Itu suaranya!
Tapi bukankah semua perempuan di bawah itu berseru kepadaku" Membuka mulutnya memanggil-manggil aku untuk turun ke bawah" Mana perawanku" Yang mana perawan telanjangku"
Akulah perawanmu! Akulah perawanmu! Mereka mendengar suara cemas hatiku, rupanya. Lalu entah dari mana datangnya angin menderu menampar tali dan mengombang-ambing badanku. Aku merasakan air keluar dari serat retina yang aku pegang. Sangat licin, melorotkan pegangan tangan yang tadinya sangat kuat kukuh menancap pada batang coklat keemasan. Aku mencoba bertahan. Sekuat mungkin aku mengeratkan pegangan pada batang itu, tapi cairan yang keluar semakin licin dan mengental. Setelah tiga puluh menit bertahan, tubuhku terjungkal, meluruh jatuh, takluk pada gravitasi dan hukum alam.
Seperti terpidana yang baru terbebaskan setelah beratus abad, perempuan-perempuan itu menyambut tubuhku. Menciumi apa saja yang dapat diciumnya dari bagian badanku. Sangat liar dan tak beraturan, di kulit dan dekat bibirku, napas mereka terasa benar menahan nafsu. Entah berapa lama mereka berbuat begitu padaku. Sejauh itu, sedetikpun tak kubuka kelopak mataku. Sampai tangan itu satu persatu tak menggerayang dan ciuman bertubi-tubi itu hilang.
Ketika senyap yang panjang bergentayangan, kubuka kedua kelopak mataku perlahan. Dalam remang, di pojok ruangan, aku lihat Loth sedang sembahyang. Ia telanjang, Badannya keringatan.***
Kanakar Cerpen: Ucu Agustin Sumber: Koran Tempo, Edisi 12/28/2003
Kanakar adalah bisik lirih seumpama bujuk pagi yang menyelusup lembut di hitam malam untuk pelan-pelan menguasai dan mengambil alih tahta dengan bantuan sinar fajar. Kanakar adalah saat bening embun di pagi bulan Januari yang berseri kehilangan pamor dan menjadi malu saat melihat cara kerja benih yang tumbuh begitu ajaib. Mulanya tidur dalam kerahasiaan tanah, lalu salah satu dari mereka tiba-tiba memutuskan untuk bangun. Menggeliat dan malu-malu menjulurkan tunas kecil indahnya ke arah matahari lantas mereka menjadi begitu bergairah untuk tumbuh, memasak khorofil dengan sibuk dan memekarkan bunga-bunga indah sebelum akhirnya menggelembungkan buah yang beraroma manis di tiap sela batang di antara daun-daunnya.
Kanakar adalah saat semua kejadian yang pertama kali dilihat Dmitri dua tahun silam akan tampak kembali sebagai mimpi nyata yang menjelma. Hutan bersinar, bintang kerdipnya lembut, malam seperti diperkosa malaikat. Heningnya sangat pekat tapi terangnya lebih pijar ketimbang ratusan lampu bohlam.
Pada dini hari pembuka di bulan pertama setiap pergantian tahun itulah, saat orang-orang di kota ramai merayakan berlalunya waktu dan menyambut datangnya satu fase putaran baru dengan kemeriahan kerlip kembang api dan keriaan sumbat-sumbat minuman yang dibuka dengan paksa, lelaki itu cukup mengenang saat yang seperti itu sebagai saat Kanakar saja.
Kanakar" Dmitri melihat mereka dari sela-sela antara akar-akar. Tujuh puteri bersaudara& Seven sisters, begitu orangorang berkulit putih menyebut mereka dalam bahasanya. Bagai laluby panjang yang menyobek malam hening di suatu kampung. Seperti kisah dalam cerita kanak-kanak tentang seseorang yang dikejar mahluk raksasa hijau. Seperti fabel-fabel yang dituturkan lewat lisan tapi kini menjelma dengan nyata di depan mata. Itulah yang terjadi pada saat itu. Waktu kanakar&
Gelap menggelayuti hutan. Pohon-pohon seperti raksasa berbulu kaki lebat yang siap membuat siapa saja tersasar di antara bulu kakinya. Angin seperti meniupkan nafas salju yang bisa menyumbat laju peredaran darah. Lelaki itu memeluk tubuhnya. Hanya sebuah jaket kain biasa yang melapisi baju denimnya. Ia sendirian. Dua orang temannya akan segera kembali begitu mendapatkan cigaret dan minuman hangat dari kampung terdekat. Begitu kata mereka. Padahal itu alasan pembungkusnya saja. Dmitri tahu hal itu. Alasan sebenarnya mereka ingin menyapa kekasih-kekasihnya meski sebentar saja.
Tak ada sinyal yang bisa diterima telepon selular di dalam hutan lebat tersebut. Salah seorang dari mereka pernah bercanda, hutan ini pasti banyak perinya, bahkan sinyal saja tak diizinkan untuk menyentuh daerah kekuasannya. Dan Dmitri tertawa. Dari buku cerita anak yang pernah dibacanya, ia masih ingat salah satu keterangan yang tertera di salah satu halaman dalamnya. Begitulah biasanya cara kerja para peri hutan atau mahluk apapun yang sifatnya supranatural. Begitu seorang manusia memasuki kawasannya, maka manusia tersebut tidak akan bisa melakukan komunikasi dengan sesuatu atau seseorangpun dalam jarak jangkau yang jauh. Mereka akan mengurung daerahnya dengan kekuatan, memisahkan semakin jauh manusia-manusia yang tersesat dari lingkungan yang ditinggali manusia kebanyakan. Para mahluk itu akan menggiring orang tersebut untuk sampai di jantung kerajaannya dan tanpa disadari membuat orang itu putus asa. Dan saat putus asa, para mahluk itu akan menampakkan diri mereka. Entah sebagai gadis jelita yang muncul begitu saja dari balik semak-semak seperti dalam film-film klasik silat mandarin saat sang jagoan tersesat di daerah tak dikenal, atau seperti cerita tentang seorang anak yang bertemu kakek berjanggut pada malam di saat ia mencuri kubis dan berputar-putar terus di sebuah kebun tepi hutan tanpa menemukan jalan pulang.
Adalah sebuah kebiasaan yang seolah telah menjadi hal ritual. Tiga orang lelaki. Dmitri, Elias dan Firdaus. Bersahabat sejak pertama kali bertemu di kantin SMP mereka yang berdebu. Sejak saat itu tak pernah berpisah. Melakukan perjalanan merambah kaki-kaki hutan yang belum dijamah. Menyusur pinggir-pinggir pantai yang sepi dan tak biasa disinggahi para peselancar pecandu gulungan ombak. Mengenali aneka tumbuhan dan berpisah saat mereka mulai memasuki bangku kuliahan. Tapi ada satu janji: saat waktu berada pada pertengahan antara yang lalu dan yang akan datang. Pada setiap pergantian tahun, mereka akan selalu pergi bersama untuk mengenang masa remaja dan mempersiapkan banyak rencana di tahun-tahun mendatang. Mencoret beberapa daftar rencana yang telah dibuat tahun lalu bila rencana itu berhasil dan menulis ulang yang harus dilakukan bila ada beberapa target yang belum tercapai.
Tapi itu lima tahun yang lampau. Saat mereka masih mahasiswa dan tertawa-tawa membicarakan perempuan yang mereka kejar, di sela merah api unggun kecil yang dibakar dari kumpulan kayu-kayuan yang ditemukan bergeletakan di tanah hutan. Dua teman Dmitri kini telah punya kekasih tetap. Dari catatan tahun depan yang sempat diintip Dmitri sebelum mereka berangkat ke Gunung Salak, Elias bahkan menuliskan pernikahan sebagai salah satu target yang akan dilakukannya di tahun depan. Begitulah& Jadi andai pada saat tahun baru kali itu, dua temannya lebih serius mengurusi perempuanperempuannya dari pada berembuk tentang rencanarencana masa depannya, Dmitri bisa maklum.
Dan pada malam pergantian tahun ketika kedua temannya pergi ke kampung terdekat itulah, Dmitri menemukan waktu yang hilang. Saat yang kemudian dikenang Dmitri sebagai saat Kanakar& * * *
Dua tahun yang lalu, di tengah kelebatan hutan, saat gigil mulai menggigit, ketika satu persatu Dmitri mengumpulkan dahan-dahan pohon tua untuk tambahan kayu bakar, ia melihat mereka dari antara gelantungan akar-akar yang bersuluran dari badan pepohonan. Mereka melayang, terbang. Mengambang dan berkeliaran dengan udara sebagai pijakan, mungkin itu kalimat yang paling tepat untuk menggambarkan cara berjalan tujuh perempuan yang dilihatnya dari antara akar-akar. Tubuh mereka bersinar seperti kunang-kunang. Rambut mereka tergerai berwarna emas dan api. Mereka tak bersuara tapi tampak mereka tertawa-tawa. Roman muka bahagia terpancar dari wajah mereka yang seterang siang.
Dmitri membeku. Dia hanya bisa menatapi gadis-gadis cahaya itu dari jauh tanpa bisa melakukan apa-apa. Gigil dingin tak lagi dirasakannya. Ia begitu terpesona. Dari antara akar-akar ia melihat perempuan-perempuan seumpama peri itu mengambil tanah dan lantas meniupinya dengan nafasnya. Saat tanah-tanah itu ditabur kembali dari tempat mereka berdiri mengambang, tanahtanah itu tampak seperti debu yang berpijar. Itukah debu sihir yang ditaburkan Peter Pan dan membuat temantemannya manusia biasa jadi pada bisa terbang"
Lelaki itu ingin berlari menuju hujan debu yang berpijar, tapi keadaan saat itu terasa begitu misterius dan menakjubkan. Dan saat suatu peristiwa berjalan begitu misterius dan menakjubkan, seseorang biasanya tidak bisa berbuat apa-apa selain membiarkannya terjadi saja. Dan Dmitri, lelaki itu, hanya bisa berdiri mematung saat ketujuh perempuan tersebut melayang kembali ke langit setelah menjumput setumpuk kecil tanah yang berpijar. Tanah yang sebelumnya mereka hembusi dengan nafas mereka sendiri.
Sejak kejadian yang dilihatnya di tengah hutan dua tahun lalu itu, Dmitri mengalami imsomnia. Serangan bayangan ketujuh puteri yang mengambang itu terus menari di matanya. Membuatnya selalu kembali ke hutan itu setiap tahun baru datang, saat waktu yang lama dan yang baru hendak berpagut mengalami pertukaran yang saling bertaut.
Di kepala Dmitri, bayangan itu terus mengambang. Bayang tubuh ketujuh perempuan berambut emas dan api yang semakin jauh membumbung ke angkasa, membuatnya tak bisa menutup mata. Dmitri ingat benar, saat rambut para puteri yang berkilauan seterang fajar menembus angkasa malam dan bersentuhan dengan cahaya bintang, sesuatu terjadi. Mereka tampak berubah menjadi merpati. Terbang berpencar membumbung ke langit dan saat jejaknya hilang, di atas masing-masing tempat di mana ketujuh burung dara itu lenyap, tampak dengan sangat terang tujuh bintang yang tertawan di awanawan. * * *
Hanya hujan yang bisa menidurkanku. Ketik Dmitri pada keypad Handphone-nya. Ia membaca sekilas pesan yang telah dibuatnya. Jam digital di atas meja kerjanya menunjukkan angka dua tiga dua. Suara riuh jalanan yang tadi pecah dengan bunyi terompet dan aneka bunyi petasan kini tak lagi ia dengar. Para pemakai jalan itu pasti sedang bermimpi sekarang. Ia mengirimkan smsnya.
Tentu saja, karena mungkin seperti yang kerap kau ceritakan, saat purnama bintang-bintang selalu memanggilimu. Pasti itu yang membuat kau tak bisa menutup matamu. Maia.
Dmitri baru mengenalnya satu bulan yang lalu. Kejadian tak sengaja; berebut sebuah buku yang sama di sebuah toko buku. Sebuah sore di akhir November. Entah kenapa Dmitri merasa seolah perempuan itu bisa memahaminya. Balasan sms itu adalah jawaban paling masuk akal yang pernah diterimanya sejak ia mengalami masalah sulit tidur. Sejak ia menemukan saat Kanakar.
Dmitri memang merasa selalu dikerdipi bintangbintang. Mungkin benar, itulah kenapa ia jarang sekali menutup matanya bila datang waktu malam. Ia hapal dengan pasti letak rasi-rasi; Lira, Lepus, Taurus. Juga bintang-bintang besar Casiopea, Al Nath, Borea, dan yang paling sering membuatnya gemetar adalah Pleiades. Posisi bintang itu dan cara mereka mengerdipinya.
Adalah seorang putri cantik yang sangat suka berlayar, Pleione. Menikah dengan Atlas dan dikarunia tujuh puteri cantik yang rupawan. Dan tersebutlah seorang dewa, Orion sang pemburu. Jatuh hati kepada pleione dan ketujuh puterinya. Waktu berlalu dan sang pemburu semakin marah karena penolakan Isteri dan puteri-puteri Atlas. Dan ketika mereka tak bisa lagi menghindar, Penguasa Olympus turut campur. Zeus mengubah ketujuh bersaudari itu menjadi burung merpati dan mereka pun bisa lari dari kejaran Orion yang tak kenal henti. Pleione menjadi sebuah kluster bintang, kini dikenal dengan Pleiades. Tempat sekumpulan bintang bertahta di antara ribuan galaksi yang tergantung di ruang semesta. Di Pleiades itulah ketujuh puteri Pleione bermukim. Menjadi tujuh bintang paling terang yang pernah ada di semsta. Di kluster itulah pula, terdapat sebuah sungai cahaya yang mengalir abadi tiada berujung pun tak berpangkal. Yang bila manusia beruntung bisa menatapnya, akan bisa menatap salah satu puteri tercantik dari tujuh puteri Atlas&
Dmitri selalu tersenyum bila kebetulan membaca cerita tentang asal-mula munculnya kluster itu di angkasa. Mitos! Siapa juga yang sudi percaya" Terlebih mitologi Yunani untuk pengantar tidur bocah-bocah yang perlu terus digiring para orangtua untuk terus berimajinasi, supaya daya kreatif mereka tidak mati. Tapi entah kenapa, semua itu begitu tepatnya. Ketujuh puteri di dalam hutan, meniupi tanah hingga menjadi debu pijar. Melayang ke awan-awan, berubah menjadi merpati dan saat semuanya hilang yang tinggal adalah pleaides yang maha terang&
Dmitri menarik nafas panjang. Tahun telah berganti lagi dini hari tadi. Tapi sayang, saat waktu bertautan, saat tahun baru datang dan tahun lama undur pergi bergantian, saat seharusnya ia berada lagi di tengah hutan melihat ketujuh puteri itu lagi dari antara akar-akar, ia tak bisa berada di sana. Radang usus menghambat kepergiannya. Lagi pula kali ini tak ada lagi yang bisa menemaninya untuk membuat daftar rencana di tahun depan, menjelajah hutan itu lagi dan menemui ketujuh puteri yang selalu menghilang tepat jam dua malam. Elias dan Firdaus telah menikah. Elias tengah menunggu kelahiran anak pertamanya, Firdaus sedang di Lombok menikmati bulan madunya. Dan Dmitri hanya sendiri, menahan sakit di perutnya, teronggok di kamarnya dengan hanya ditemani Maia melalui Smssmsnya.
Jam digital menampakkan angka dua empat lima. Hipnos dewa tidur mulai melemparkan jaring kantuknya. Lelaki itu terperangkap, ia menguap, perlahan kedua pelupuk matanya mulai mengatup&
"Tapi kau telah melihat sungai itu& Dan di sanalah kau akan menikmati segarnya, bersamaku." Sebuah suara muncul dari antara ambang tidurnya. Sangat dekat dan begitu dikenalnya. Maia berdiri tepat di hadapannya. Di antara pijar bohlam dua watt warna hijau pekat, Maia tampak seperti salah satu dari mereka. Ini pasti mimpi. Ucap Dmitri dalam hati.
"Tapi semuanya begitu nyata, dan kita telah sangat terlambat. Dmitri& Bersegeralah!" Begitu saja Maia menggapai tangan Dmitri. Dan keadaan menjadi demikian menakjubkan. Ketika sesuatu berjalan begitu menakjubkan, biasanya orang hanya bisa membiarkannya terjadi begitu saja, tanpa mempertanyakan. Pun ketika perempuan serupa salah satu dari puteri yang dilihat Dmitri pada saat kanakar di tengah hutan itu menggapai tangannya, mengusapkan debu pijar pada setiap garis tangan yang bertebar di telapak sebelah dalam. "Maia," Dmitri memanggil nama perempuan itu. "Ya aku Maia, " Perempuan itu menjawab.
Dan Maia" Dmitri teringat cerita kanak-kanak itu. Bukankah ia memang salah seorang dari tujuh puteri yang tak henti di kejar Sang Pemburu" Electra, Taygete, Alkyone, Asterope, Merope, Celeone, Maia& .
Malam seperti diperkosa malaikat. Heningnya sangat pekat tapi terangnya lebih pijar ketimbang ratusan lampu bohlam. Bila saja ada yang tidak terlelap setelah pesta tahun baru itu usai, pasti mereka akan menganggap yang di lihatnya sebagai ilusi pada sebuah dini hari. Dua manusia, lelaki dan perempuan. Bercahaya dan penuh keanggunan, melayang menorobos langit dini hari yang hangat dan rimbun dengan kerdip bintang yang lembut. Saat keduanya menghilang, sebuah sungai tampak terbentang di langit. Sekejap mengalir mengeriap, menabur cahaya perak yang mengkilap untuk kemudian menghilang dan lenyap.
Yah, lenyap untuk muncul kembali suatu saat. Saat yang dinamai Seseorang bernama Dmitri sebagai saat Kanakar***
Silsilah Ayah, Anjing, dan Kepinding
Cerpen: Veven Sp Wardhana
Sumber: Koran Tempo, Edisi 02/06/2005
MENDADAK saja di rumah kami ada seekor anjing, terutama sejak Ayah mulai jarang pulang. Aku sendiri tak pernah melihat sosok anjing itu. Bahkan suaranya aku tak pernah sekalipun mendengarnya. Kalau saja Adik Bungsu tak mengatakan keberadaan anjing itu, aku tak akan pernah berusaha mendengarkan kemungkinan kehadiran anjing itu pada malam-malam berikutnya.
Kalau aku pernah mendengar lolongan anjing, itu adalah anjing yang lain, yakni anjing tetangga di ujung jalan yang memang suka melolong jika dinihari.
Lolongan karena ada makhluk halus lewat, kata Ayah suatu kali. Waktu itu, Ayah masih meruahkan berlimpah waktu agar senantiasa bersama-sama kami: Ibu, Kakak Sulung, aku, dan Adik bungsu.
Bukan. Bukan setan lewat. Tapi ada anjing betina yang melintas depan rumah di ujung jalan, tambah Ibu.
Waktu itu, Ayah dan Ibu menengok kamar kami, satu kamar yang dihuni tiga orang: aku, kakak, dan adik. Aku tahu, Ayah dan Ibu sedang menenteramkan hati kami, terutama hati Kakak Sulung, yang sangat benci pada anjing.
Ketika Adik Bungsu menceritakan pada kami saat sarapan pagi, kukira itu disebabkan halusinasinya karena belakangan dia memang sangat ingin memelihara seekor anjing, terutama setelah dia main ke tempat teman sekolahnya yang rumahnya dihuni banyak anjing karena orangtua kawan adikku itu memang memeliharanya.
Hari keempat sarapan pagi, kali ini ditemani Ibu beda dengan hari pertama, kedua, dan ketiga karena Ibu masih tidur di kamarnya Adik Bungsu bahkan meyakin-yakinkan bahwa dia melihat sendiri sosok anjing itu.
Aku melihatnya, Kak. Ekornya mengibas-ngibas. Persis kayak Gawon, kata Adik Bungsu. Gawon adalah nama anjing milik keluarga kawannya sesekolah yang kerap dia ceritakan.
Alah, paling-paling kamu mimpi, sergah Kakak Sulung sambil mencolek mentega untuk dioles pada selembar roti yang hendak dia jepitkan di toaster.
Enggak, Kak. Bener deh. Kalau malam-malam sebelumnya sih aku cuma dengar anjing itu menggarukgaruk pintu kamarku. Semalam aku bener-benar lihat, Adik Bungsu tak mau surut. Dia kilas balik peristiwa semalam. Karena kebelet pipis, dia harus keluar kamarnya menuju kamar mandi yang terletak dekat kamar Kakak Sulung. Untuk itu, dia harus melintas kamar Ibu. Kamar orangtua kami, tepatnya: kamar Ayah dan Ibu. Sejak Ayah jarang pulang, kami begitu saja menyebutnya kamar Ibu.
Anjing itu malah memandangiku, kok. Dia ada di depan kamar Ibu. Betul kan, Bu" ujar Adik Bungsu sambil menatap Ibu.
Ibu tak jadi mengoleskan selai ke lembar rotinya. Ibu malah terkesan melemparkan roti dan pisau roti yang sudah kadung tercelup ke selai nanas kesukaannya. Wajah Ibu begitu beku.
Bapak kalian memang anjing..., kudengar Ibu mendesis menahan geram.
Kami aku dan saudara-saudaraku tak sempat saling pandang, karena tatapan kelam mata Ibu jauh lebih membetot perhatian kami. Tatapan yang tak ditujukan pada sesiapa juga. Tatapan yang penuh sekam.
Bu..., Adik Bungsu memanggil Ibu yang buru-buru masuk kamarnya dan mengunci pintu. Adik Bungsu merasa bersalah dengan pertanyaan yang sesungguhnya pernyataan itu.
Aku gagal mengeja pikiran Kakak Sulung. Raut mukanya tampak santai. Kurasa dia sudah menyimpan dan menyembunyikan jawaban atas peristiwa sarapan pagi itu. Sesungguhnya aku ingin bertanya bisa pada Kakak Sulung, bisa pada Ibu kenapa Ayah memanggil Ibu Yayang dan para karib Ibu menyebutnya Sum ; adakah Ibu bernama asli Dayang Sumbi" Adik Bungsu memang lelaki, tapi namanya sama sekali tak ada yang bisa ditalitemalikan dengan Sangkuriang. Nama Ayah kami, aku tahu pasti, bukan Umang.***
AKU benci anjing. Apa alasannya, tak begitu penting. Aku sendiri tak pernah tahu pasti kenapa begitu membenci anjing. Belakangan, aku juga benci Ayah. Apa alasannya, kurasa itu penting karena aku tak ingin dianggap mengada-ada membenci seseorang yang seharusnya kukagumi, kubanggakan, kusayangi, dan dalam hidupku kuanggap penting.
Ayah berkhianat! Ayah mengkhianati kami, terutama Ibu. Ibu yang kutahu dalam sepanjang hidupnya sangat menyayangi Ayah ternyata tak berbalas sebagaimana Ibu mencintai dan bahkan melayaninya.
Ayah mengkhianati kita; kalian dan aku, kata Ibu suatu kali, malam-malam; malam-malam ketika Ayah mulai jarang pulang. Waktu itu, Ibu mengendap kamarku, dan pelahan membangunkan aku. Kami, anak-anak Ibu, bersamaan dengan usia kami yang kian bertambah, sudah dibikinkan kamar sendiri-sendiri. Aku, anak sulung, dibuatkan kamar agak di depan. Mestinya, Adik Tengah dan Adik Bungsu masih bisa sekamar, tapi karena Adik Bungsu kami lelaki, dia pun dibuatkan kamar tersendiri pula.
Ayah kawin lagi" tanyaku menegaskan.
Ibu cepat-cepat membekap mulutku dengan telunjuknya. Aku tafsirkan, aku harus bicara perlahan dan tak usah terkejut. Itu tafsir pertama. Tafsir kedua, Ibu hendak menegaskan: tidak begitu penting bentuk pengkhianatan Ayah. Tafsir ketiga: Ibu ingin hanya aku saja anaknya yang tahu rahasia ini. Mungkin karena aku anak sulung. Mungkin karena aku sudah dianggap dewasa. Tak ada yang harus kupilih salah satu dari tafsir-tafsir itu. Semuanya kucoba kupahami. Dan aku percaya pada katakata Ibu, karena kenyataannya belakangan hari Ayah semakin jarang pulang, apalagi bersama-sama pergi keluar kota jika akhir pekan.
Kurasa, aku bisa menahan diri untuk tak menceritakan rahasia Ibu tentang Ayah pada adik-adikku. Tapi aku tak pernah berhasil menyimpan kebencianku pada Ayah. Juga pada anjing. Tapi, ketika sarapan pagi itu Ibu menggeram dan menggumamkan bapak kalian memang anjing , kurasa Ibu tak lagi bisa menahan rahasia Ibu sebagai rahasia kami berdua. Ibu memaklumatkan bahwa pengkhianatan Ayah sudah harus juga diketahui adikadikku.
Toh, aku tak hendak membuka pengkhianatan itu pada saudara-saudaraku. Biar Ibu sendirilah yang membongkarnya.
Sejak itu, saban malam, aku senantiasa menunda kantukku. Aku menunda tidurku agar aku bisa mendengar suara anjing yang masuk rumah kami sebagaimana dikisahkan Adik Bungsu.
Jika benar ada anjing dalam rumah kami yang jadi kerap muncul (setidaknya dalam benak Adik Bungsu) bersamaan dengan kian jarangnya Ayah pulang ke rumah aku akan mendadak membuka pintu kamar, lalu menggusah anjing itu dengan galah atau malah dengan tombak tajam terasah. Aku harap rasa muakku pada Ayah bisa terlunaskan dengan menendang anjing yang sama kubencinya dengan Ayah.
Hingga selama sepekan aku menunda tidur dan kantukku, bahkan sampai subuh, tak sekalipun pernah kudengar tanda-tanda adanya seekor anjing masuk rumah kami pada malam hari. Saat sarapan, ketika kutanyakan pada Adik Bungsu, dia juga mengatakan tak lagi pernah mendengar dan melihat keberadaan anjing dalam rumah. Bahkan lolongan anjing tetangga di ujung jalan pun tak pernah dia dengar lagi sejak peristiwa sarapan pagi bersama Ibu sepekan lampau itu.
Yang kemudian masuk ke rumah kami malah seekor kalong. Itu kata Adik Tengah.
Baunya sangit. Sangat menusuk-nusuk hidung, Adik Tengah menjelaskan dalam pertemuan makan malam. Sejak aku menahan kantuk dan menunda tidur malam, aku jadi kerap bangun agak siang, sehingga tak sempat sarapan pagi bersama-sama mereka. Yang kumaksud dengan mereka: dua adikku minus Ibu. Ibu semakin jarang semeja bersama kami. Tak hanya sarapan, tapi juga makan siang, bahkan makan malam.
Kalau tak bisa dan tak sempat bersama makan siang, itu kami bisa paham, karena terkadang Ibu harus keluar rumah untuk menemui seseorang atau mengerjakan entah apa yang menurutnya bisa membuat melupakan rasa getir sehingga terasa hidup lancar mengalir . Namun jika Ibu sudah pula tak bisa makan malam bersama kami, jadinya tiada lagi kesempatan bagi kami untuk bisa saling berbagi pengalaman yang kami lewati sepanjang hari. Padahal, Ibu ada di rumah; hanya saja Ibu cenderung memasung diri dalam kamarnya.
Tapi, aku tahu, justru Ibu sedang merendam dan meredam dendam dan dendam itu tak hendak dia bagikan pada kami. Buktinya, sampai hari ini dua adikku tak menunjukkan gelagat mengetahui rahasia Ibu dan rahasiaku perihal pengkhianatan Ayah.
Apa bedanya dengan bau kepinding" tanya Adik Bungsu.
Persis! Bau kepinding, kutu busuk yang nyelip di jahitan kasur; bau kepik yang suka menclok di rambatan tumbuhan manisa, labu siam itu, ya kayak begitu itu baunya. Apek. Hidung yang pilek saja bisa sembuh karena ditembus bau itu, suka cita Adik Tengah menimpali Adik Bungsu.
Apa Kakak suka kelelawar" Kalong itu" tiba-tiba Adik Bungsu memotong.
Kenapa" tanya Adik Tengah berbarengan dengan pertanyaanku yang menggantung dalam batin.
Kan Kakak bilang, aku berhalusinasi mendengar dan melihat anjing karena aku sedang pengen punya anjing. Apa halusinasi Kakak soal kalong itu karena Kakak pengen memelihara kalong"
Kalong itu induk kepik dan kepinding. Itu sebabnya baunya sama. Suara Ayah tiba-tiba terngiang. Entah suara dari masa lampau yang manakah itu. Aku ingat Ayah pernah mendongeng perihal kalong saat Adik Bungsu masih dalam perut Ibu. Waktu itu, Adik Kedua begitu ketakutan melihat kelelawar yang menggelepar-gelepar di atas genting setelah menabrak kawat listrik di depan rumah kami. Bias cahaya matahari pagi mungkin telah membuatnya silau. Rupanya, diam-diam, semalam Adik Tengah sendirian menyaksikan film di televisi tentang vampire.
Kalong itu dulunya wangi lho, wong makannya saja hanya buah-buahan serba segar. Hanya karena dia digelendoti kepik, kepinding, dan sebangsanya kalong jadi ikut bau apek.
Aku tidak berhalusianasi, Dik. Aku benar-benar melihatnya. Beda dengan kamu, aku justru benci kelelawar, ucap Adik Kedua. Aku tahu, hingga sekarang, Adik Kedua menganggap kelelawar merupakan jelmaan iblis. Bahkan Batman pun dia anggap sebagai siluman.
Tidak hanya aku, bahkan Ibu juga melihatnya, sambung Adik Kedua.
Ibu" tanyaku begitu saja terlontar. Aku membayangkan, pastilah Ibu sedang keluar kamar. Padahal, setahuku, sejak Ibu masuk kamar dan mengunci pintu, tak pernah lagi Ibu keluar kamar entah untuk sekadar ambil air minum atau ke kamar kecil; sebab bersamaan dengan Ibu masuk kamar, Ibu senantiasa mencangking segelas air minum.
Ya. Ibu bahkan menghalau kalong itu waktu kalong itu mengitar-ngitar di kepala Ibu, sahut Adik Tengah.
Jam berapa Ibu keluar kamar" Bukankah aku menunda kantuk dan tidurku dan hingga subuh tak ada suara apa pun, termasuk suara Ibu atau Adik Tengah yang membuka kamarnya"
Tanya Ibu deh, celetuk Adik Tengah bersamaan dengan kamar Ibu yang membuka.
Muka Ibu tampak kuyu. Pengkhianatan Ayah benarbenar telah menohok hati Ibu tepat di ulu.
Benar kan, Bu, ada kalong malam-malam itu" Adik Tengah tampak memohon pada Ibu.
Ibu tak segera menjawab karena handphone-nya mendadak bergeletar. Ibu segera membuka katup telepon genggam itu. Wajah Ibu mendadak menegang.
Kamu memang bangsat! Kampret! Ibu berteriak kepada penelepon di seberang. Rupanya Ayah yang menelepon.
*** MALAM itu, ada anjing masuk ke dalam rumah keluarga yang ayahnya semakin jarang datang dan bertandang pulang. Kakak Sulung merasakan itu. Hanya Kakak Sulung yang tahu itu. Adik Bungsu sama sekali tak mengetahui bahwa anjing yang pernah dia lihat mengibasngibaskan ekornya ke pintu kamar Ibu itu mondar-mandir dari ruang tamu ke ruang tengah. Dia justru mendengar suara gaduh dari erangan dan auman yang dia telisik sebagai suara setan. Dia tahu itu suara setan karena begitu itulah suara setan sebagaimana yang dia saksikan di televisi yang dipasang di kamarnya.
Adik Tengah juga tak mendengar suara anjing apalagi melihat sosoknya. Dia hanya mendengar suara gaduh yang ditimbulkan oleh kepak sayap kelelawar yang terbang menabrak-nabrak lampu gantung, plafon, dan kaca jendela yang kelambunya lupa dikatupkan.
Saat tombak Kakak Sulung menembus urat nadi leher anjing dan anjing itu melengkingkan lolongan panjang, Adik Bungsu juga mendengar lolongan setan yang dia yakin juga tewas setelah dia lemparkan kalung salib dan tasbih ke luar kamarnya ke arah setan sedang mengaum dan mengerang. Adik Tengah mengguratkan senyumnya dari balik kamar karena dia merasa yakin telah berhasil membunuh kelelawar berkepinding jelmaan iblis-siluman yang terperangkap lampu insektisida yang dia modifikasi sehingga bukan hanya nyamuk dan lalat yang tersedot mendekat dan terlekat oleh setrum listrik yang berpijar-pijar seperti kilat.
Suara gaduh itu sama sekali tak membuat Ibu terbangun karena tenggakan minuman beralkohol telah menyenyakkan tidurnya setelah sebelumnya dengan suara serak dia mengumpat suaminya lewat telepon: Kamu benar-benar kampret, anjing, ular beludak, setan& .
Esok pagi, tak ada yang tahu Ibu bangun dan keluar kamar terlebih dulu. Juga tak ada yang tahu Ibu yang kemudian meraung-raung sesaat setelah melihat ada tiga sosok makhluk tergelimpang persis di depan pintu kamarnya: kelelawar yang mengisut dikerubuti abu kepinding, anjing yang melengkung garing kehabisan darah, dan setan yang hangus menyisakan tulang kerangka.***
SURGA di telapak kaki Ibu. Neraka tumpah dari mulutku juga Ibu lain. Aku lupa namanya, pernah kusaksikan seorang Ibu yang mengutuk putranya menjadi karang dan karang itu hingga kini teronggok di pesisir pantai dan saban malam dihantami gelombang. Aku tak hendak mengutuk anak-anakku karena mereka berada di pihakku. Justru suamiku yang bermimikri menjadi anjing, atau kelelawar, juga setan setelah kusumpahserapahkan kesumatku. Sebelumnya, kusumpah dia agar kembali menjadi gembel, karena dia melupakan kami setelah dia sukses menjadi eksekutif di sebuah perusahaan multinasional. Makin dia naik ke puncak jabatan makin dia abai pada kami. Alasan kesibukan selalu dia jadikan argumentasi.
Untuk apa sih prestasi itu" tanyaku kala itu. Untuk keluarga, katamu! sambungku mencecar karena suamiku tampak tak hendak menjawab pertanyaanku.
Kalau untuk keluarga, kamu toh sekarang melupakan aku, istrimu, juga anak-anakmu. Kamu melupakan keluargamu justru saat kamu hendak menggapai yang kaukatakan untuk keluarga....
Kuanggap dia telah lupa tanah berpijak, lupa dan abai bahwa akulah yang menghantar dan memicunya sehingga dia menjadi orang penting.
Aku resign dari tempat kerjaku, suamiku menelepon. Dua malam sebelumnya aku merutuk dan mengutuknya kembali menjadi gembel sebagaimana saat sebelum kami berkenalan dan bercinta.
Pensiun dini" kataku sekenanya.
Nggak ada uang pensiun. Hanya pesangon seadanya. Hmmm. Kenapa"
Kantorku lebih menghargai pantatku ketimbang kepalaku.
Aku menunggu kalimat berikutnya.
Kantor lebih menilai berapa lama pantatku duduk di kursi di depan meja. Manajemen tak begitu peduli dengan isi kepalaku yang selalu memikirkan perusahaan di mana pun aku berada dan kapan pun saatnya. Bahkan saat tidur, bermimpi, dan mengigau.
Aku tak menunggu kalimat berikutnya, karena kalimatkalimat itu sudah pernah kudengar berulang kali darinya. Aku tak menunggu kalimat-kalimatnya karena dia kemudian datang ke rumah pada dinihari sebagaimana dinihari-dinihari sebelumnya.
Aku menunggu pernyataannya bahwa dia akan kembali pada kami.
Aku tak punya apa-apa lagi sekarang. Aku menunggu pernyataannya.
Aku jadi seperti dulu saat sebelum ketemu kamu. Aku menunggu.
Sekarang, aku jadi bambungan; gelandangan& . Gembel yang tak ada artinya apa-apa buat kamu. Aku& .
Biar sajalah aku sendiri. Kamu berhak meninggalkan aku. Kamu berhak melupakan aku& .
Aku tahu, suamiku tak akan pernah kembali pada kami. Aku tahu. Aku tahu tapi tak bisa mengendalikan serapahku. Suamiku benar-benar kampret, anjing, ular beludak, setan& .
*** AKU harus memohon maaf pada Ibu karena ternyata Ibu kurang suka pada anjing. Sama persis dengan kakakku yang sulung. Aku berjanji tak akan lagi merengek pada Ibu dan kakak-kakak agar aku diperbolehkan memelihara anjing. Aku bisa memahami kebencian Kakak Sulung pada anjing terutama setelah mendengar Ibu murka pada pagipagi itu dengan nada penuh kebencian dan rasa jijik. Diam-diam aku ingin berterimakasih pada Kakak Sulung yang setiap saat kulihat mengasah ujung tombaknya yang katanya hendak dia pakai untuk menikam anjing yang pernah kudengar dan kulihat dalam rumah kami kalaukalau anjing itu kembali lagi masuk rumah kami. Bahkan aku rela dan ikhlas kalau saja Kakak Sulung menikam anjing itu jika saja anjing itu hadir dalam mimpi dan khayalanku& . ***
legian, juli 2004 ciputat, 18 januari 2005; 21.11
Hikayat Asam Pedas Cerpen: Azhari
Sumber: Koran Tempo, Edisi 06/20/2004
PERCAYAKAH Tuan bahwa setumpuk bumbu masak -- asam sunti, ketumbar, lada, bawang putih, serbuk kunyit, cabe rawit, belimbing wuluh, dan garam yang ada di hadapan Ibuku itu memiliki riwayat" Ibu telah berkali-kali menyampaikan kepadaku tentang riwayat itu sekaligus mengajariku cara membuat masakan asam pedas, sambil menunggu bapak pulang. Kecuali garam, serbuk kunyit, dan belimbing wuluh, gilinglah semua bumbu itu, kata ibu. Hancurkan sempurna, sehingga menyerupai sekepal lempung lunak berwarna coklat. Kepalan yang kalau kaulempar ke udara dan kembali kautangkap dengan tangkas akan berbunyi phaak! Begitu ibu selalu melakukannya sebelum memipih-mipihkan kembali kepalan bumbu itu di pinggir batu giling dan menaruhnya di kesunyian belanga. Di belanga telah menunggu krimen, ikan laut dengan tulang-belulang tak kepalang banyaknya. Kau harus hati-hati memakan ikan itu. Belulangnya bahkan bersembunyi di lapisan teratas tubuhnya, bersiap mengintai kerongkongan siapapun yang memakannya dengan tergesa. Tentu, sepadan dengan rasa ikan itu: manis tak terpermanai. Di belanga yang sehitam abesy itulah bumbu yang kata ibu mempunyai riwayat bercampurbaur dengan krimen. Bumbu itu mesti meresap hingga ke dasar tulang krimen. Agar belulang itu sedikit lunak dan tak menyakitkan jika tersangkut di kerongkonganmu.Bapak, kata ibu mulai menghamparkan cerita, tak peduli benar ikan apa yang dimasak sebagai asampedas. Yang penting baginya adalah kuah asampedas. Bapak tak pernah bisa menunggu belanga diangkat dari perapian. Tak pernah bisa menunggu asam pedas itu ditaruh dulu di dalam mangkuk agar dia nyaman memakannya Bapak akan menciduknya langsung dari belanga dan menuangnya ke atas nasi. Seolah-olah takut ada yang menghabiskannya. Bagi bapak, bersantap dengan lauk asam pedas itu cukup sekali saja. Tak akan ia mengulang pada waktu makan berikutnya. Pun jika kau paksa. Padahal biar berkali-kali dipanaskan, asam pedas tetap tak berkurang lezatnya. Apalagi jika kuahnya sampai mengendap dan lengket ke pantat belanga, sungguh tak terbayangkan rasanya. Kenapa bapak berlaku demikian" Itu karena bumbu masak asam pedas ada riwayatnya. Mari dengarkan riwayat bumbu-bumbu itu langsung dari mulut ibuku, sambil menunggu bapakku pulang. Agar kalian tak menyesal dan menyalahkanku di akhir cerita.BERHARI-HARI lamanya Nek Sani berkeliling kampung, menghampiri tiap rumah, mencari-cari siapa tahu di sana tertanam sebatang pohon belimbing wuluh. Begitu melihat pohon itu, segera dia meminta izin kepada pemilik pohon untuk mengutip buahbuah yang jatuh. Kepada si pemilik tak lupa Nek Sani mengatakan ia ingin membuat asam sunti untuk bumbu asampedas. Sudah bertahun-tahun dia tak memakan kuah asampedas. Betapa coklatnya asam sunti. Muasalnya dari belimbing wuluh setengah tua yang dijemur di panas matahari hingga berhari-hari lamanya. Hingga buahnya yang gemuk menyusut dan perseginya tak berupa lagi. Nek Sani memasukkan belimbing wuluh itu ke dalam buntalan sarung dan memberkahi sang pemilik pohon agar dimudahkan rezekinya oleh Tuhan. Tak lupa ia bergunjing tentang sulitnya hidup di zaman perang, bahkan untuk sekedar membuat asam pedas pun harus menahan-nahan diri. Gunjing itu diterima orang kampung dengan sukacita. Karena memang begitulah kenyataannya. Cara Nek Sani bergunjing sungguh khas: ia mendesis-desiskan mulutnya, dan tangannya berkali-kali menunjuk ke langit, seolah itu kabar penting dari jauh, dan cukup seorang saja yang mendengarnya. Di ujung gunjing, mulutnya yang hitam oleh sirih dan pinang akan didekatkannya ke dagu orang yang mendengarnya, lalu ia bungkam sendiri mulutnya dengan kuat, seolah menahan sesuatu yang akan jatuh dari dalam kuluman. Berhari-hari lamanya Nek Sani mencari belimbing wuluh. Berkali-kali pula asam sunti itu habis tandas dibuatnya sambal dengan garam dan cabe rawit sebagai teman makan nasi. Bukan karena Nek Sani telah kehilangan hasratnya untuk membuat asampedas. Tapi ia tak mampu menyediakan bumbu yang lain: serbuk kunyit, ketumbar, bawang putih, dan lada. Lagi pula, betapa sulitnya mendapatkan ikan segar di masa perang. Dan pohon belimbing wuluh pun berbunga menurut musim, bukan" Tak setiap saat pohon itu berbuah. Maka Nek Sani harus membuat asam sunti sedikit demi sedikit. Paling tidak disimpannya sebuah asam sunti ke dalam kaleng setiap kali dia menjemur setumpuk belimbing wuluh. Kelak siapa tahu ada yang bermurah hati memberinya segenggam lada dan ketumbar, juga beberapa siung bawang putih. Dan Nek Sani akan menemui Pawang Lemplok, meminta beberapa ekor ikan. Saudagar kapal itu pasti akan memberikannya. Pula ada hal yang ingin disampaikannya kepada Lemplok. Kalau dia menyampaikan hal itu sekarang saat dia belum beroleh lada, ketumbar, dan bawang putih dia yakin ikan pemberian itu cuma akan menjadi ikan asin. Nek Sani yakin Lemplok akan senang mendengar kabar darinya. Musim Haji tiba. Nek Sani girang bukan kepalang. Bukan karena dia akan pergi ke Mekkah menunaikan rukun kelima. Mana punya uang dia. Bukan pula dia menunggu setumpuk daging kurban dari para dermawan. Tak ada yang berkurban di saat musim perang seperti ini. Nek Sani menunggu handai tolan yang pulang berhaji. Dia akan meminta sesuatu kepada mereka. Bukan air zamzam bukan kurma. Hatinya sudah cukup terang tanpa meminum zamzam, hidupnya pun sudah terbekahi tanpa mencicipi kurma. Begitulah pikirnya. Ia cuma ingin mencicipi semangkuk asam pedas sebelum mati. Asam sunti sudah ditabungnya. Tentang ikan segar, dia berharap pada kemurahan hati Lemplok, tentu imbalannya adalah sebuah perkabaran. Tentang lada, ketumbar dan bawang putih, dia tahu orang-orang yang pulang berhaji pasti membawanya. Dia tahu, selain pergi berhaji menunaikan perintah Tuhan, orang-orang kaya di mukim pasti membawa pulang berkilo-kilo lada, ketumbar, dan bawang putih. Rempahrempah tersebut, kabarnya, banyak dijual di sana, dibawa oleh para peziarah Kleng. Dia akan menjumpai orangorang kaya yang pulang berhaji, meminta barang segenggam rempah-rempah. Tentu, imbalan untuk masingmasing adalah sebuah perkabaran.Nek Sani mendapatkan sepuluh siung bawang putih yang hampir membusuk dari Haji Rahim. Lebih dari cukup untuk membuat asampedas, pikirnya. Sebelum mendapatkan rempah itu dia harus menunggu enam jam lamanya. Menunggu haji tersebut membereskan urusannya dengan toke-toke. Sungguh banyak yang mengambil rempah untuk toko-toko mereka di Kutaraja. Haji Rahim sesungguhnya ke Mekkah tidak untuk menunaikan rukun haji. Dia cuma mengambil kesempatan pada musim haji untuk berjual-beli. Kata sahibul kabar, Haji Rahim menukar rempah-rempah dengan candu yang dia dapat dari para toke. Orang Cina tak diperbolehkan masuk ke Mekkah. Pihak syahbandar menetapkan aturan itu, kecuali bagi Cina yang muslim. Jadi Haji Rahim hanyalah perantara pertukaran barang-barang itu. Sebagai rasa terima kasih Nek Sani mengatakan suatu hal kepada Haji Rahim. Hal yang membuat haji itu mengangguk-anggukkan kepalanya.*1 Besoknya Nek Sani dijamu oleh Tengku Meusapat, di ruang utama rumah panggungnya. Dia dipanggil meusapat karena piawai mengumpulkan orang untuk mendengar hujah dan syiar keagamaan. Kepiawaian yang dia dapatkan sejak kecil, ketika dia meudagang berpuluh-puluh tahun lampau di Labuhan Haji, Aceh Selatan, pada seorang keturunan mufti kesultanan Aceh Darussalam. Mufti itu dituduh sesat karena menyiarkan ajaran guru besarnya bahwa Tuhan menjelma di manamana pada tiap makhluk yang berwujud. Sebagaimana gurunya, Tengku Meusapat juga dianggap sesat oleh penguasa kini. Kata sahibul kabar, dia banyak membantu tentara gunung. Setiap musim haji, dia pergi ke Mekkah menunaikan rukun kelima seraya menjalin hubungan dengan para pemuka agama dari Arab. Hubungan yang perlahan-lahan akan membantu Orang Gunung memperoleh kemerdekaannya. Tapi penguasa sulit untuk menangkap Tengku. Sebab tak ada bukti. Juga pun karena pengaruhnya yang besar: beratus-ratus dayah berdiri di belakangnya. Tapi Nek Sani tak ada urusan dengan segala tetek bengek itu. Tujuannya hanya mendapatkan segenggam ketumbar atau lada. Dia tahu Tengku pasti membawa pulang beberapa kwintal rempah-rempah untuk kebutuhan satu tahun. Kurma dan air zamzam pun ditolaknya dengan halus. Dia tak ingin beroleh banyak hal dari orang yang sama. Barangkali juga buntalan sarungnya tak bisa memuat banyak jenis pemberian. Maka Nek Sani mendapatkan lada dan ketumbar masing-masing segenggam, dari Tengku. Dan tak lupa dikatakannya satu ihwal untuk membalas jasa Tengku.*2Tentang bubuk kunyit, Nek Sani tahu bahwa Manyak pasti menyimpannya. Dia tahu karena Manyak pada meugang haji beberapa waktu yang lalu memberinya semangkuk kari kambing. Manyak pasti menyimpan bubuk kunyit sisa bumbu kari. Kini dia akan meminta barang sesendok kepada tetangganya itu. Sebagai imbalan akan diajaknya Banta, anak Manyak, untuk makan malam di rumahnya. Nek Sani mengulum tawa, membayangkan anak itu pasti akan kepedasan nanti merasakan kuah asampedasnya. Pagi-pagi buta keesokan harinya Nek Sani mengunjungi Pawang Lemplok di tanjung. Dia berharap menjelang siang dia sudah kembali ke rumah untuk mempesiang ikan dan meramu bumbu masak. Menjelang magrib asam pedas sudah di atas tungku. Dia akan menyantapnya sebagai menu makan malam. Di tanjung yang sempit itu kalau kauperhatikan, bentuknya serupa kemaluan perempuan ada dermaga tempat merapat kapal. Ke sana dia menjumpai Pawang. Dermaga itu miliknya, kecuali kapalnya tak boleh ada kapal lain yang merapat di sana. Tentang Lemplok dia punya riwayat. Alangkah jahil Lemplok semasa muda. Dia ingat tentang suatu malam. Malam Selasa, saat beberapa orang sedang menyelenggarakan ceramah agama. Saat mereka sedang menganjurkan sejumlah larangan baru: melarang jemaah makan-minum saat berkunjung ke rumah orang yang ditimpa musibah, melarang dalae di kampung, melarang kenduri yang kata mereka mendekati kemusyrikan. Nah, beberapa anak muda seperti Lemplok tak suka penganjuran itu. Maka mereka kerap mengganggu ceramah. Puncaknya malam Selasa itu. Lemplok dan kawan-kawan membungkus sebatang pohon kelapa dengan daun kelapa kering dari bawah hingga ke puncak. Pohon itu berada di sebuah tanah kosong yang jaraknya setatapan mata dari meunasah tempat ceramah berlangsung. Maka dibakarlah pohon kelapa itu dan mereka berteriak tentang kebakaran bersahut-sahutan. Ada jerit seorang perempuan dari sebuah rumah di tanah kosong itu yang terkejut menyangka benar telah terjadi kebakaran. Seluruh kampung terkecoh. Para penganjur hilang semangat untuk melanjutkan ceramah.Nek Sani menyampaikan kembali kisah itu kepada Lemplok, seraya menyatakan bahwa perempuan yang berteriak malam itu adalah dirinya. Terbahak-bahak Lemplok mendengarnya. Sebagai imbalan Lemplok memberi Nek Sani beberapa ekor krimen yang masih segar. Nek Sani berjanji dalam hati, cukup sekali ini saja dia mendatangi Lemplok. Dia mendengar desas-desus bahwa Lemplok dimusuhi banyak orang karena keserakahannya: membangun dermaga di tanjung hanya untuk kapal-kapal miliknya saja. Juga Lemplok tak disukai Orang Gunung karena menjadi kaki tangan penguasa. Kapal-kapalnya sering memergoki jungjung Orang Gunung yang membawa masuk senjata ke tanjung. Dan Lemplok tak jarang mengabarkan itu kepada tentara penguasa. Dia tak bergunjing apapun dengan Lemplok, kecuali tentang riwayat lama itu saja. Tak terlihat tangannya menunjuk-nunjuk langit. Tak pula ia mendekap mulutnya dengan kuat seolah hendak menahan sesuatu yang akan jatuh dari dalam kuluman. Dengan menyampirkan buntalan sarungnya ke kepala Nek Sani pulang, bersiap memasak asampedas.Kini semua bumbu itu sudah berada di hadapan Nek Sani. Dipetiknya cabe rawit dari kebun belakang. Masih tersisa segenggam garam di dalam kaleng. Juga beberapa belimbing wuluh muda yang akan dirajangnya, untuk membuat asam pedas bertambah asam.Kecuali garam, serbuk kunyit, dan belimbing wuluh, bumbu-bumbu itu harus digiling semua, kata Nek Sani kepada Banta. Anak itu dengan tekun memperhatikan Nek Sani menyiapkan bumbu Tubuh Nek Sani bergoyang karenanya. Persis orang yang sedang berzikir. Jelas terdengar bunyi lada yang pecah dan ketumbar yang letup, mengingatkan Banta akan sejenis kacang-kacangan yang, kalau terkena air, pecah menyemburkan biji-bijinya ke segala penjuru. Hancurkan hingga urai, hingga menyerupai sekepalan lempung lunak berwarna coklat, kata Nek Sani. Banta takjub melihat bagaimana Nek Sani melempar kepalan itu ke udara lalu menangkap ulang kepalan itu dengan tangkas. Phaak! Banta bertepuk tangan. Lalu Nek Sani memipih-mipihkan kembali kepalan bumbu itu di pinggir batu giling lantas menaruhnya di kesunyian belanga. Di belanga telah menunggu krimen pemberian Pawang Lemplok. Aduklah bumbu dan ikan hingga baur, kata Nek Sani, hingga bumbu meresap ke dalam ikan. Dan sunguh asam sungguh pedas nanti rasa kuahnya.Perapian disiapkan. Lalu Nek Sani menaruh belanga di tungku. Tak abai Nek Sani meniupniup api di situ. Tak lama kemudian berguncangguncanglah kuah itu di dalam belanga. Kalau kau lihat, kuah kekuningan itu menciptakan gelembung yang memecah silih berganti. Berleleran liur Nek Sani saat mengaduk-aduk asampedas. Baunya itu tak tertahankan.
Bahkan asap yang menyembur dari belanga mengantarkan aroma ke sekitar.Saat kuah tiba di puncak didih, ada yang mengetuk-ngetuk pintu. Memanggil-manggil Nek Sani. Tanpa memalingkan wajah dari belanga, dari arah dapur dia menyahut, menyuruh masuk siapapun itu. Tak lupa dia menggerutu, menyatakan kepada Banta, betapa bau kuah asam pedas telah mengantarkan orang ke rumahnya, barangkali mereka ingin memintanya barang semangkuk.Tiga lelaki tiba di dapur. Nek Sani menyuruh mereka duduk. Mengajak serta mereka ikut makan asampedas. Kuahnya sudah mendidih, kata Nek Sani. Sebentar lagi akan diangkat dari tungku. Salah seorang dari tiga lelaki menolak. Dia berkata, ingin membawa Nek Sani sebelum isya. Nek Sani mengangguk seraya menyatakan, sila tunggu hingga aku selesai menyantap asampedas. Mereka menolak seraya mengatakan Nek Sani harus dibawa segera. Tunggu, aku ingin meminum barang seteguk asam pedas kalau begitu, kata Nek Sani. Tangannya memegang irus, bersiap menciduk kuah asampedas. Masakan itu meletup-letup karena didih. Sebuah gelembung yang pecah mengenai pipinya. Tiga lelaki kembali menolak seraya mengatakan bahwa Nek Sani harus segera menjelaskan kenapa tadi pagi dia berjumpa Pawang Lemplok di tanjung. Maka tiga lelaki itu mengangkat Nek Sani dengan tergesa-gesa. Seperti mengangkat belanga dari tungku. Seolah tubuh Nek Sani sepanas belanga yang membuat tangan mereka melepuh. NEK Sani diambil tepat ketika kuah asam pedas tak hentihenti meletup membuat belanga berguncang-guncang. Itu tanda belanga harus diangkat dari tungku, demikian ibu menutup riwayat. Dan aku akan terus memasak asampedas, menunggu bapakmu pulang, lanjut ibu. Karena bapak tak pernah bisa menunggu belanga diangkat dari perapian, tak pernah bisa menunggu asam pedas itu ditaruh dulu di dalam mangkuk agar dia nyaman memakannya. Bapak akan menciduknya langsung dari belanga dan menuangnya ke nasi, seolah-olah takut ada yang menghabiskannya. Kalau perlu dia akan menghirup asam pedas langsung dari irus, saat asam pedas masih mendidih. Tiap hari ibu menyampaikan riwayat tentang setumpuk bumbu, mengajariku cara memasak asampedas, sambil menanti bapak pulang. Tapi percayakah Tuan bahwa aku tak dapat mengingat kembali riwayat itu" Dan hingga riwayat ini diceritakan ibu, aku bahkan belum bisa memasak ikan asampedas. KuharapTuan tak menyalahkan aku. Banda Aceh, 8 Juni 2004Kosa kata AcehAbesy: sebutan untuk kaum kulit hitam. Mukim: kumpulan beberapa kampung. Kleng: sebutan untuk orang India. Meusapat: berkumpul. Meudagang: merantau untuk mempelajari ilmu agama. Dayah: pesantren/ tempat belajar agama. Meugang: menjelang puasa atau lebaran dengan kegiatan memasak daging. Dalae: tradisi zikir di kampung. Meunasah: surau.Catatan1. Dikabarkan bahwa candu Haji rahim sering dijarah. Nek Sani menyampaikan kepada Haji Rahim bahwa dia mesti mengubah jalur pengiriman candunya. Menurut Nek Sani, selama ini candu itu banyak diambil paksa oleh tentara gunung yang kemudian menukarnya dengan senjata dan mesiu. Memang, pada akhirnya Haji Rahim menjelaskan panjang lebar jalur penyebaran candunya sebelum menyeludupkannya ke Mekkah; candu itu kemudian dibawa ke Tanjung Harapan, tempat para pedagang dari Eropa menunggu. Sungguh, kalau engkau tahu, Nek Sani tak mengerti apapun tentang jalur candu dan sebagainya itu.2. Nek Sani mengabarkan tentang jalur candu (yang telah didengarnya dari Haji Rahim) kepada Tengku Meusapat. Sudah lama Tengku mencemaskan perdagangan candu. Dia kerap ditanya oleh pemuka agama dari Arab, betapa sering lolos bertonton candu dari Aceh setiap musim haji tiba. Dalam riwayat lain dikabarkan pula, ternyata para toke berlaku tak jujur: mereka berlaku seolah-olah candu itu dijarah, padahal mereka simpan untuk kebutuhan tahun berikutnya, agar harga tak jatuh.Azhari, lahir di pinggir Banda Aceh, 1981. Ketua redaksi jurnal kebudayaan Titik Tolak yang diterbitkan oleh Komunitas Tikar Pandan, Banda Aceh. Kumpulan cerita pendeknya Perempuan Pala akan segera terbit.
Sang Penari Cerpen: Kurnia Effendi Sumber: Koran Tempo, Edisi 06/13/2004
KARENA dia seorang penari, tungkai dan betisnya panjang dan langsing. Manakala sepasang pahanya terentang menjadi mirip belalang, seketika aliran darah dalam tubuhku berpacu lebih deras. Kubayangkan kelopak perempuannya mekar dengan indah, otot-ototnya mengencang. Atau sebaliknya, karena tungkai dan betisnya panjang dan langsing, dia menjadi seorang penari. Ketika sepasang pahanya membentang seperti lengan-lengan jembatan layang, darah dalam tubuhku berpacu lebih lekas. Terbayang kelopak perempuannya rekah seperti teratai jingga di tengah kolam kehijauan.Kini aku meluncur di atas ruas jalan tol menuju arah bandara. Aku tidak akan terbang ke mana-mana. Aku hanya akan singgah di sebuah hotel yang terletak dua kilometer dari landasan pacu pesawat terbang, dan menuju sebuah kamar. Di sana Parastuti menunggu. Di sana, semalam, Parastuti menginap. Sebenarnya belum tentu menungguku, karena di telepon tadi dia hanya mengabarkan bahwa dia akan tiga hari berada di Jakarta. Hari yang terakhir adalah malam pementasannya di Gedung Kesenian.Parastuti akan menari!Berita itu telah menjadi pesona tersendiri bagiku. Entah mengapa.Aku akan menontonnya tentu dengan rasa terhisap bukan main. Tak hanya wajahku yang bakal tersipu memerah-dadu, melainkan setiap sekat dalam rongga jantungku sibuk berdegup mengendalikan adrenalin yang berselancar. Biasanya, diam-diam, di tempat duduk, aku akan merapatkan pahaku kuat-kuat. Menyembunyikan gelinjang yang hadir seperti angin puyuh tanpa permisi. Tentu saja Ferina tak tahu. Sepasang mata Ferina, sebagaimana sepasang mataku, akan terteguntegun mengeja gerakan tubuh Parastuti. Gerakan yang membuat Ferina bermimpi menjadi penari seindah Parastuti. Gerakan yang membuatku bermimpi dan memanggil-manggil namanya... lalu terkejut saat terbangun, mendapatkan Ferina dalam pelukan.AKU memutar musik yang beberapa kali sengaja diputar ketika Parastuti menari sendiri. Musik yang seharusnya dapat dibeli di setiap toko kaset, tetapi ternyata tidak setiap kedai musik menjualnya. Tot Licht! Musik yang tidak digemari banyak orang, kata pramuniaganya. Cobalah mencari di Duta Suara atau Aquarius, begitu sarannya. Ah, sesulit itukah memiliki musik dengan permainan biola Eko Partitur" Untunglah, sebelum akhirnya kumiliki sekeping CD langka itu, aku pernah menyimpan beberapa album Jean-Luc Ponty. Barangkali ada sebagian impresi yang sama di antara mereka, setidaknya menurut rongga telingaku.Ketika aku parkir di halaman hotel, matahari mulai merendah. Hampir akhir jam kantor. Belum benar-benar berakhir jika ada sebuah rapat yang memanjang. Dan itu biasa terjadi, sehingga sesekali aku harus pulang agak larut. Hari ini tidak ada rapat yang berkepanjangan tapi aku memastikan bakal pulang lebih larut. Karena Parastuti menunggu di kamar. Mungkin di lobi. Atau bahkan, boleh jadi, di tepi kolam renang dengan swimsuit yang kuyup. Aku gemetar sewaktu menutup pintu mobil. Sehingga keliru menekan tombol remote control pengunci dan alarem pun sebentar bercuit-cuit."Bisa dihubungkan ke kamar 117?" tanyaku kepada resepsionis. "Parastuti."Penari itu menggemari kamar di lantai satu. Mudah mencapai ke segala tempat (karena dia paling takut terhadap bahaya kebakaran, dan konon lantai pertama itu menjadi syarat utama ketika dia menginap di mana-mana). Juga mudah dicapai. Mudah kucapai, tepatnya."Maaf, tidak diangkat." Petugas itu meletakkan telepon internal. Memandangku, meminta kemungkinan lain.Dan aku tahu cara yang lain. Aku menghubungi melalui telepon selulernya. Tidak diangkat juga. Apakah sedang di kamar mandi" Oh ya, Parastuti suka mandi berlama-lama. Setiap inci tubuhnya digosok, dicermati. Dia mengatakan, seorang penari harus memiliki kulit tubuh yang indah. Aku tak melihat ada hubungan erat, karena yang dipertunjukkan adalah gerakan tubuhnya, bukan kehalusan kulitnya. Namun demikian aku juga suka ikut melakukan pekerjaan itu: menggosok dan mencermati setiap inci tubuhnya. Saban melewati bagian dadanya, aku merasa lupa dengan bentuknya, sehingga perlu kuulang beberapa kali. Berkali-kali.Aku masih tertegun, berpikir, ketika telepon selulerku bergetar. "Raka" Aku di kolam renang. Ada wawancara.?"Oke, jika tak mengganggu, aku ke situ."Kepada resepsionis, aku minta seseorang mengantarku ke kolam renang. Meskipun aku tahu letaknya. Meskipun tentu lebih nyaman jika aku menghampirinya sendiri. Aku tidak ingin terlihat terlampau istimewa oleh wartawan yang mungkin sedang duduk agak rapat dengan Parastuti.Dugaanku keliru. Wartawan itu justru sedang mengambil jarak tertentu untuk memotret tubuh Parastuti. Perasaan cemburuku semburat berdenyar. Aku yakin mata kamera itu sebagian besar melahap sudutsudut paling inderawi. Foto yang akan mereka simpan sebagai koleksi pribadi, sementara yang tampil di halaman majalah adalah gambar-gambar yang lebih sopan. Seperti yang sudah-sudah. Dan Ferina kerap menempatkan majalah-majalah itu pada tumpukan tertentu. Ketika dia tidur, aku suka mengambilnya dari tumpukan itu, membuka lembaran yang memasang wajah dan tubuh Parastuti. Kadang-kadang jika kangen, kemudian, aku menelponnya...Parastuti melambai ke arahku. Bibirnya mengisyaratkan bahwa wawancara sudah selesai, tinggal pemotretan. Aku pun tersenyum kepada fotografer itu. Sejenak masing-masing merasa sedikit terganggu. Namun selanjutnya tanya-jawab mengalir kembali sampai akhirnya Parastuti mengambil handuk lalu menjabat tangan pemotret dan wartawan itu, sebagai tanda akhir pertemuan."Mau ke kamar" Aku ganti baju dulu." Parastuti bicara tanpa canggung. Bahkan sebelum kedua wartawan itu benar-benar pergi. Udara kamar jauh lebih sejuk. Aroma rempah berlimpah dekat meja rias. Aku menemukan seprei yang tidak terlalu kusut, tak ada rerontok rambut. Dalam tidurnya, aku tahu, Parastuti tidak banyak bergerak. Padahal ia seorang penari yang cekatan. Tubuhnya ringan dan lentur. Kelenturannya tampak dari lengkung punggungnya saat meringkuk di balik selimut. Adakah ia semalam menginap sendiri?"Aku tiba hampir tengah malam. Tak sempat menelepon siapa pun karena aku perlu segera tidur." Oh! Kecurigaanku terbaca. Lihatlah aku jengah sendiri dengan ucapannya sebelum ia menghilang ke kamar mandi. Tak sepenuhnya menghilang, karena ada cermin yang dibiarkan tampak dari setengah lubang pintu. Ia melolos jubah mandinya seperti mengupas kulit bawang. Selalu ada yang tampak lebih muda dan ranum. Perbedaannya dengan tubuh..."Apakah tubuh Ferina masih seindah tubuhku?" gema suara Parastuti mengagetkan. Aku mencoba mengingat sepenuh hati. Terutama ketika Ferina sedang menyusui dengan daster yang mudah dibuka di bagian dada. "Dia berhenti menari semenjak Dimas lahir.?"Dan kaubiarkan dia hanya mengurus anakmu?"Aku menghela nafas. "Anak kami.?"Aku tahu. Bukan anak kita..." ucapannya diakhiri dengan tawa yang halus.Hampir setengah jam kemudian Parastuti keluar dengan pakaian yang tak sempurna. Seperti biasa, ia membiarkan busa tumpah ke mana-mana. Harum sabun menguap dari tubuhnya. Dia melangkah dan membuka lemari kayu yang membatasi ruang tidur dengan kamar mandi. Aku memandang kakinya yang meruncing. Kaki seorang penari. Ferina juga seorang penari yang ingin menyamai kelenturan gurunya. Bagi Ferina, Parastuti adalah sang idola yang bersedia mengalirkan segenap ilmu dan teknik tari kepadanya. Segala yang telah dipelajari Ferina di sanggar tari waktu kecil dan remaja tak sepantasnya dipamerkan. Ia terpesona dengan gerakan tubuh Parastuti yang mirip tanah liat muda, putaran tubuhnya yang seperti gasing, dan langkah kucingnya. Tapi harapannya tak sungguh-sungguh sampai. Kesalahannya: dia terlampau mengagumi Parastuti, sehingga aku harus selalu mengantarnya untuk bertemu ketika singgah beberapa hari di Jakarta. Atau sengaja mengejar pementasannya di Bandung. Ketika akhirnya Ferina hamil, tinggal aku yang tak tahan untuk selalu mencoba bertemu dengan Parastuti.Karena betis dan pahanya langsing memanjang, maka ia menjadi penari! Ketika sepasang tumitnya terangkat, jinjit, seluruh berat tubuh dibebankan ke ujung jemari kaki. Lalu pinggangnya merendah, sehingga sepasang pahanya terentang, dan aku membayangkan kelopak perempuannya merebak..."Kamu ingin aku mengenakan gaun yang mana?""Eh," aku tergagap. "Mau ke mana?"Parastuti berbalik membelakangi lemari yang terbuka, menatapku dengan ujung rambut masih basah. Tatapan yang membuatku runtuh. Dan dia sangat tahu, sejak pertama kali terjadi di Bogor, di sebuah kamar yang hampir seluruh dindingnya terbuat dari kayu. Jauh dari jalan raya."Aku lapar. Ingin makan sesuatu yang berkuah. Tenggorokanku mulai perih. Untung aku bukan penyanyi." Memang bukan penyanyi. Dia seorang penari. Aku sering membayangkan dia menari di atas perutku, dengan sepasang paha yang kadang-kadang terentang, ujung jemari kaki bertumpu di tulang pinggangku. Aku hampir tersipu memergoki tatapan matanya.Dia membiarkan aku mendekat, membiarkan aku memilihkan beberapa busana yang telah dikeluarkan dari kopor dan digantung dalam lemari. Aku mencium harum yang berbeda dengan aroma lemari Ferina. Tapi ada gaun yang hampir sama modelnya. Aku membelinya di tempat yang sama untuk mereka berdua. Warna hijau untuk Ferina, hitam untuk Parastuti. Aku yang membiarkan sepasang tangannya memeluk pinggangku dari belakang dan seruap nafasnya mampir ke tengkuk. "Raka, aku ingin menari..."Aku mencium mulutnya sebelum dia menyelesaikan ucapannya. Dua kancing bajuku lepas oleh hentakan tangannya. Kudengar detasnya meluncur ke bawah meja televisi. Rambutnya yang basah hinggap ke wajahku. Entah siapa yang lebih dulu tersengal, tapi sebagaimana kuinginkan, Parastuti menari di atas tubuhku. Sepuluh menit kemudian pipinya direbahkan ke dadaku, telinganya mencoba mendengar proses degup jantung yang mereda.Kuraba punggungnya yang hangat, agak berkeringat. "Jadi aku pakai baju yang mana?" bisiknya.LANGIT mulai gelap. Seharusnya sebentar lagi aku tiba di depan rumah, kecuali jika ada rapat kantor yang memanjang. Hari ini tak ada rapat, tapi aku bakal pulang lebih larut dari biasa. Aku akan menemani Parastuti makan malam setelah dia menolak ajakan beberapa teman melalui telepon. Sesungguhnya aku tak melarangnya pergi dengan siapa pun malam ini. Karena aku belum pamit Ferina. Semula aku hanya ingin memandangnya dari dekat, merasakan semburan nafasnya.Dia selalu lebih dulu membuka pintu mobil. Dan kami meluncur dalam diam. Menikmati musik yang sangat disukainya. Tangannya iseng melepas mainan pengharum kayu cendana yang tergantung di sudut kaca depan. Aku tak memindahkan sejak dia menempelkannya enam bulan yang lalu. Seorang penggemar di Denpasar memberikan benda itu di balik panggung. Ferina percaya aku memperolehnya dari The Body Shop. Dan Ferina, di lain waktu, tidak mencoba mencari benda yang sama di toko itu.Tiba-tiba Parastuti menyalakan telepon dan memijit delapan digit angka. Menunggu. Lalu: "Ferina?"Astaga! Aku segera memadamkan Partial Formlessness dari Music for 5 Players yang sedang mengalun."Siapa?" Kudengar suara Ferina. Parastuti sengaja memasang mikrofon."Parastuti." "Hei, di mana kamu" Aku kangen!?"Di Jakarta, Sayang. Maukah menemani aku makan malam?""Tentu. Tapi Raka belum pulang. Mau makan di mana?""Banyak pilihan di Plaza Senayan. Kamu yang telepon Raka, ya."Aku semakin menahan nafas. Dia seorang penari. Kini sedang menyuguhkan sebuah tarian yang berbahaya."Oke! Atau, biar kuminta Raka menjemputmu dari kantornya. Kusuruh dia meneleponmu," kudengar usul Ferina. "Aku bisa langsung naik taksi dari rumah. Kita ketemu di sana.?"Thanks, Fer!" ucap Parastuti tulus.Ia pun menutup pembicaraan. Seperti ketika dia menutup sebuah tarian: selalu disertai kejutan. Dan tak sampai jeda dua menit, teleponku bergetar. Dari rumah. Kuangkat, dan terdengar suara Ferina di telingaku. Aku tahu yang hendak dikatakannya. Aku juga tahu ke mana arah tangan Parastuti jemari lentik sang penari bergerak. Aku hanya berharap kancing yang tadi dijahit di hotel dengan benang berbeda, tidak copot lagi. Kami masih melata di depan Taman Anggrek, tentu masih banyak waktu.Tapi Parastuti tidak ingin membuat gaduh. Ia tidak hendak menari lagi. Ia hanya mengatakan perutku tidak selangsing pada pertemuan sebelumnya. Ditandai dengan betapa sulit tangannya mencapai sesuatu yang diharapkan. Lalu ia mencium, juga mengulum, telingaku dengan hati-hati. Seperti khawatir meninggalkan jejak wangi pada leherku.Jakarta, 6 Juni 2004Keterangan* Tot Licht! adalah judul album rekaman musik kelompok Discus* Partial Formlessness adalah subjudul dari nomor Music for 5 Players dalam album Tot Licht! yang menampilkan biola Eko Partitur Kurnia Effendi menulis sejak 1978. Lulusan Desain Interior ITB, kini bekerja di sebuah perusahaan otomotif. Dua kumpulan cerita pendeknya Senapan Cinta (KataKita, April 2004) dan Bercinta di Bawah Bulan (Metafor, Mei 2004).
Badak Kencana Cerpen: Seno Gumira Ajidarma
Sumber: Koran Tempo, Edisi 05/30/2004
BAGIKU tidak ada yang terlalu menarik di Ujung Kulon, sampai kudengar perbincangan tentang Badak Kencana. Perbincangan itu mulai kudengar di antara para nelayan. Semula aku tidak berpikir tentang Badak Kencana, melainkan tentang ikan-ikan yang kena kibul para nelayan: mereka mendekati lampu yang menyala untuk segera terperangkap dalam jala dan segera masuk ke perut manusia. Apakah ikan-ikan melihat sorga di balik cahaya, dan jika mereka mati demi kelanjutan hidup manusia, yang selalu diandaikan lebih mulia, mereka akan mendapatkan sorga" Jika memang demikian, ketika orang baik-baik mati dan masuk sorga, maka mereka akan berjumpa dengan ikan-ikan yang pernah mereka makan. Tuhan Maha Adil, orang baik-baik masuk sorga, dengan ikan-ikan yang membuat orang baik-baik hidup lebih lama juga masuk sorga. Berbahagialah mereka yang lahir kembali sebagai ikan, karena jika mereka mati akibat kibul cahaya lampu yang mereka kira cahaya sorga dan dimakan manusia, setelah mati mereka akan masuk sorga juga.Tapi selanjutnya kulupakan ikan-ikan, ketika para nelayan sambil mengangkat jala masih terus berbincang tentang Badak Kencana, dewa badak yang melindungi badakbadak bercula satu dari kepunahan. Di antara amis ikan di tengah lautan dalam kegelapan malam, dari perahu nelayan kadang terlihat secercah cahaya di tengah hutan, yang sesekali tampak dan sesekali menghilang -- pemandangan yang membuat aku bertanya-tanya: benarkah di balik kelam itu terdapat Badak Kencana berkeliaran"Sampai sekarang pun Ujung Kulon terpencil. Kukira para pemukim pertama datang melalui laut. Tentu merekalah yang mewariskan sebuah cerita turun-temurun tentang Badak Kencana, yang konon selalu akan muncul setiap kali jumlah badak-badak bercula satu di Ujung Kulon mencapai titik nadir. Demikianlah diceritakan betapa Badak Kencana itu akan mengencani badak-badak betina dan meninggalkan mereka dalam keadaan bunting, sehingga jumlah badak yang makin menipis itu bisa bertahan, bahkan tidak jarang malah bertambah. Namun Badak Kencana itu bukanlah badak jantan. Ia disebutkan tidak mempunyai kelamin, karena ia memang bukan sembarang badak: ia tidak beranak dan ia tidak diperanakkan. Bahwa yang diberkahinya dengan keturunan adalah badak-badak betina, tak lebih dan tak kurang karena badak-badak jantan tidak mungkin bunting.Lewat tengah malam para nelayan makan. Mereka merebus mie instan bersama bungkusnya. Bungkus itu dibuka, dan ke dalam bungkus itu bumbu-bumbunya dituang, agar jangan sampai tersebar keluar bungkus. Mereka juga memasukkan telur-telur bebek ke dalam air yang merebus mie instan dan itulah yang kami makan sebagai lauk nasi.Para nelayan tidak pernah melihat Badak Kencana, tetapi mereka percaya kisah nenek moyang bahwa setiap kali jumlah badak bercula satu menipis, Badak Kencana akan muncul menyelamatkan mereka dari kepunahan. Namun bukan hanya para nelayan yang mempercayai sesuatu tanpa melihatnya. Badak bercula satu diperkirakan tinggal 50 ekor, tetapi angka ini tidak bisa dipastikan, karena mungkin saja jumlahnya 60 ekor. Tim Sensus yang dikirim dari Jakarta menghitung jumlah badak bukan berdasarkan penglihatan atas badak-badak dengan mata kepala sendiri, melainkan, antara lain, berdasarkan jejak tapak kaki yang mereka tinggalkan.Badak Kencana maupun badak-badak biasa sama-sama tidak pernah terlihat, namun keduanya kini berada di dalam kepalaku dan sulit kukeluarkan lagi seumur hidupku. Jejak tapak itulah yang memberi petunjuk kemunculan kembali Badak Kencana dan menjadi perbincangan para nelayan. Ketika melacak jejak badak, Tim Sensus menemukan jejak tapak badak yang keemas-emasan. Suatu jejak tapak di tanah yang membuat butir-butir tanah yang terinjak itu seperti serbuk emas, yang bercahaya suram dalam keremangan hutan di antara gerimis. Tapak kaki Badak Kencana itu hanya satu, bukan empat, namun itu sudah cukup untuk menunjukkan kehadirannya."Badak Kencana..." desis salah seorang penunjuk jalan.Bagi penduduk Tamanjaya, kampung nelayan dari mana perahu biasa berangkat menuju Pulau Peucang, Pulau Handeuleum, atau Pulau Panaitan, kehadiran Badak Kencana sebagai dongeng telah melekat bagaikan kenyataan, sehingga jejak tapak badak keemas-emasan itu seperti bagian dari sebuah dunia yang telah mereka kenal.Tim Sensus, yang selalu bekerja secara ilmiah, tentu bukan tergolong orang-orang yang percaya bahwa di dunia ini badak-badak bercula satu mempunyai dewa mereka sendiri yang bernama Badak Kencana, namun mereka mengakui bahwa jejak tapak yang mereka saksikan memang jejak kaki yang keemasemasan. Setelah diselidiki, serbuk-serbuk emas itu bukan emas yang disebut logam mulia, tapi lebih mirip serbukserbuk cahaya. Di laboratorium, tak bisa dijelaskan serbuk-serbuk cahaya tersebut terdiri dari bahan apa.Penemuan jejak yang keemasan-emasan itu mengingatkan kembali para nelayan betapa Badak Kencana itu belakangan ini sering muncul kembali dalam mimpi-mimpi mereka. Perbincangan tentang Badak Kencana itu sempat lama hilang, terutama ketika radio dan televisi memasuki desa. Hampir tiga puluh tahun lebih ingatan kepada Badak Kencana seperti terhapus dan menguap bersama udara.Para nelayan di Tamanjaya berangkat jam empat sore ke laut untuk mencari ikan dan tiba kembali di pelabuhan jam delapan pagi keesokan harinya. Dalam perjalanan pulang itulah, dalam keadaan terkantuk-kantuk oleh buaian ombak dan angin pagi, para nelayan yang tergolek-golek akhirnya akan tertidur dan bermimpi. Dan dalam salah satu mimpi itulah beberapa di antara mereka menyaksikan Badak Kencana, yang memandang dengan tajam, sebelum akhirnya menghilang.Pada abad ke-19, jauh sebelum pemerintah Hindia Belanda memperlakukan Ujung Kulon sebagai cagar alam, para nelayan tidak asing dengan pemunculan Badak Kencana dalam mimpi. Saat itu badak-badak bercula satu sudah terancam punah, bukan terutama karena terdesak pemukiman manusia yang merajalela, atau karena Pulau Jawa sebagian besar masih hutan, melainkan oleh semangat berburu. Para pemburu andal dibayar mahal untuk mengikuti jejak tapak badak ke dalam hutan selama berminggu-minggu hanya untuk mengambil cula. Badak-badak bergelimpangan dalam hutan tanpa cula, atas nama kepercayaan tak masuk akal perihal keampuhan cula itu sebagai pembangkit syahwat, obat kecantikan, maupun obat panjang umur. Kenyataannya, cula itu memang mendatangkan uang. Para pemburu badak, yang secara turun temurun mewarisi keahlian memburu badak, terus menerus menerima pesanan cula dari Batavia maupun Singapura, yang membuat mereka bisa masuk hutan setiap bulan untuk memenuhi pesanan itu. Tak ada sebuah cula pun yang bisa diambil tanpa membunuh badaknya terlebih dahulu.Kemudian Badak Kencana muncul ke dalam mimpi orang-orang di sekitar Ujung Kulon, bukan hanya di Tamanjaya atau Tanjung Alang-alang, melainkan juga sampai Sumur dan Badur. Seolah-olah mimpi itu mempunyai suatu daya jangkau. Penampakan Badak Kencana, meskipun hanya dalam mimpi, sering diterima sebagai suatu isyarat, tetapi arti isyarat itu tidak pernah disepakati. Ada yang menafsirkannya sebagai keberuntungan, ada juga yang menangkapnya sebagai perkabungan.Badak Kencana tidak hanya menampakkan diri di dalam mimpi. Badak Kencana dihubungkan dengan kematian sejumlah pemburu ketika badak-badak mulai sangat berkurang jumlahnya. Sayang sekali para pemburu ini tidak bisa bercerita banyak, karena setiap kali ditemukan oleh pemburu lain mereka memang sudah mati. Di sekitar tempat mereka ditemukan terdapat serbuk-serbuk cahaya keemasan yang ajaib itu, maupun jejak tapak badak yang juga bercahaya. Bahkan tak jarang serbuk-serbuk cahaya itu menempel di lambung para pemburu yang tewas, seperti telah disodok oleh cula Badak Kencana.Ada sekali peristiwa seorang pemburu masih hidup ketika berhasil mencapai muara Sungai Cigenter dan bertemu para pemburu rusa. Sebelum tewas ia sempat berkata, "Badak Kencana..." Seluruh tubuhnya penuh dengan serbuk cahaya keemasan itu, bagaikan telah diinjak-injak oleh Badak Kencana.Demikianlah setiap nenek di Ujung Kulon bercerita kepada cucunya di tepi pantai sambil memandang cakrawala di mana matahari akan terbenam."Nun di sana, di balik keremangan dan kekelaman itu, dalam kegelapan Tanjung Jawa yang sungguh-sungguh muram, terdapatlah Badak Kencana. Dalam dunia yang gelap, ia memiliki suatu kerajaan cahaya yang terlindung di balik tabir kehitaman di mana hanya Sang Badak Kencana bisa keluar masuk menembusnya. Dialah dewa badak, pelindung dan penjaga kesejahteraan badak-badak bercula satu sehingga mereka terselamatkan dari kepunahan. Janganlah mencoba memburu badak-badak itu atas nama apapun, karena barang siapa..."Tidak usah dipungkiri betapa di antara pemburu badak itu ada juga yang ingin menaklukkan Badak Kencana itu sendiri. Mereka adalah manusia yang tidak bisa ditundukkan oleh dongeng, atau mereka tertantang oleh mitos, atau menyimpan dendam dan rasa penasaran atas tewasnya para sejawat, sesama pemburu badak yang tubuhnya bergelimang serbuk cahaya keemasan.Namun siapapun yang berangkat dan menghilang di balik cakrawala itu tidak pernah kembali lagi. Siapapun. Sampai waktu berlalu. AKU tidak tahu apa yang akan kulakukan dengan Badak Kencana itu. Ia maupun badak-badak bercula satu biasa belum pernah kulihat. Adakah seseorang, satu saja, yang terbukti pernah melihat Badak Kencana" Para pemburu yang mati memang sempat berdesis mengucapkan kata, "Badak Kencana..." Namun ini belum membuktikan apa-apa. Bukankah bisa saja seseorang merasa seolah-olah melihat Badak Kencana padahal yang dilihatnya hanyalah bayangannya sendiri" Aku yang tidak pernah melihat badak bercula satu selalu merasa seolah-olah pernah melihatnya, padahal aku hanya selalu membayangkannya. Begitu pula yang terjadi dengan Badak Kencana.Di kampung nelayan itu memang ada seorang tua berusia 120 tahun yang dianggap pernah melihat Badak Kencana. Namun sebetulnya bukan Badak Kencana itu sendiri yang pernah dilihatnya ketika masih berusia 20 tahun, melainkan kilau keemasan yang berkelebat di balik semak. "Peristiwa itu sudah seratus tahun lalu, tapi saya masih selalu teringat, seperti baru terjadi kemarin. Banyak sudah yang saya alami, tetapi tidak ada yang tetap tinggal dalam kepala saya seperti peristiwa itu. "Waktu itu saya mencari ular. Orang Belanda suka membeli kulit ular dengan harga mahal, dan menjualnya lagi ke Eropa. Meskipun pemerintah Hindia Belanda sudah melarang kami berburu di dalam hutan, tapi tidak ada tenaga untuk menjaga hutan itu seperti sekarang. Kami bisa keluar masuk dengan bebas, dengan risiko disergap macan tutul atau diseruduk badak. "Saat itu gelap, dan tak satu ular pun saya jumpai hari itu, padahal saya telah memelajari mantra pemanggil agar ular-ular itu mendekat. Mungkin memang belum nasib saya. Saya siap menempuh jalan kembali ketika terdengar bunyi berkerosak di balik semak. Saya menoleh dan melihat kilau cahaya keemasan, seperti kilau cahaya matahari senja, tetapi yang jauh lebih lemah dan lebih suram seperti kesedihan. Cahaya ini bergerak menjauh dan menghilang. Jadi saya tidak melihat badak itu, yang saya lihat hanyalah jejaknya, itu pun hanya satu. Kami para pemburu biasa melihat jejak badak di hutan, dan jejak-jejak itu tidak pernah hanya satu. Jejak keemas-emasan ini memang jejak badak, tapi saya tidak mengerti, bagaimana badak bisa berdiri dengan satu kaki. "Ketika saya kembali ke kampung dan menceritakannya, mereka mendesah pelahan sembari menyebut kata 'Badak Kencana...' Karena saya orang perantauan, saya baru mendengar cerita tentang Badak Kencana itu kemudian. Menurut mereka, saya telah bertemu dengan Badak Kencana yang mereka kenal dari cerita nenek moyang. Disebutkan betapa saya harus merasa bersyukur karena masih hidup.
Blind Date 3 Goosebumps - Jangan Sembarangan Mengucapkan Keinginan Matahari Esok Pagi 16
^