Pencarian

Kumpulan Cerpen 4

Kumpulan Cerpen Karya Kurnia Effendi Bagian 4


Tapi sekarang saya sudah berumur 120 tahun dan saya sudah bosan hidup. Kalau pertemuan dengan Badak Kencana membuat saya mati, saya mau saja menemuinya sekali lagi."Rumahnya penuh dengan wartawan media cetak dan media elektronik yang memasuki rumah tanpa membuka sepatu, sampai lantai rumah panggung itu penuh dengan lumpur. Orang tua yang tidak pernah menikah itu bagaikan dipaksa untuk berkisah dengan terbata-bata. Ia tidak bisa berbahasa Indonesia, ia berbicara dengan bahasa Sunda campur Bugis, karena seratus tahun lalu ia tiba di Tamanjaya setelah berlayar bersama orangtuanya dari Bulukumba.Para wartawan menyerbu rumah itu, dan meminta keterangan kepadanya, karena lelaki berusia 120 tahun itu dianggap pernah bertemu dengan Badak Kencana. Empat wartawan media elektronik dari Jakarta telah hilang dalam tugas mencari Badak Kencana. Tim SAR sebegitu jauh hanya menemukan jejak tapak badak keemas-emasan. Bukan empat tapak melainkan satu.Di tengah kegemparan itu aku berpikir tentang soal lain. Jejak yang ditemukan Tim Sensus maupun lelaki itu seratus tahun yang lalu hanya satu. Mungkinkah Badak Kencana itu berdiri dengan satu kaki" Mungkinkah Badak Kencana itu suka berloncatan ke sana ke mari dengan satu kaki" Jejak satu kaki memperlihatkan bahwa badak itu berdiri di atas tapak kanan depan, seperti sedang main akrobat. Tidakkah Badak Kencana yang misterius ini barangkali suka bercanda"Tapi membayangkan semua itu aku merasa bodoh, karena belum terbukti secara meyakinkan bahwa Badak Kencana itu memang ada.MALAM telah turun. Langit cerah. Bintang-bintang terserak menyemarakkan langit. Pada cakrawala kulihat lampulampu pukat harimau dari negeri asing yang menyedot berton-ton ikan tanpa gangguan. Terlihat juga lampu lentera yang jauh lebih muram dari perahu-perahu nelayan, terserak di sana-sini, tidak terlalu banyak jumlahnya, yang semenjak berpuluh-puluh tahun selalu mencari ikan dengan cara yang sama. Memang perahu mereka sekarang bermesin, tetapi cara berpikir mereka tidak berubah, yakni mencari ikan seperlunya untuk dijual dan dimakan. Jika uang penghasilan itu cukup untuk bertahan hidup, maka tidak ada lagi yang masih harus dilakukan.Laut seperti selimut yang lembut tapi terus menerus bergoyang, membuat lentera yang tergantung juga bergoyang-goyang. Kehidupan seolah-olah berhenti, tapi apakah yang betulbetul berhenti" Sejak sore ribuan kalong telah meninggalkan pemukimannya, terbang dalam keremangan memasuki malam, ketika manusia tertidur dan merasa sebaiknya kegelapan segera berlalu.Seorang anak nelayan yang diajak melaut mungkin tetap terjaga dan bertanya-tanya apakah yang berada di balik kegelapan itu. "Bapak, ke mana ribuan kalong menghilang di balik kelam?"Malam memberikan kegelapan, dan kegelapan memberi peluang sejuta dugaan. Terdengar sapuan ombak di bibir perahu. Angin dingin menyibak kelambu. Benarkah tidak ada sesuatu di balik kegelapan malam dan hanya ada dongeng yang dilahirkan angan-angan" Di Ujung Kulon yang terpencil, segala sesuatu telah dihitung secara ilmiah, sehingga badak bercula satu yang tidak pernah terlihat itu pun bisa diketahui jumlahnya.Tapi itu tidak termasuk Badak Kencana...Waktu itu aku belum tahu, empat mayat dihanyutkan arus di muara Sungai Cigenter. Jenazah-jenazah itu hanya berputar-putar, karena tertolak balik oleh gelombang lautan. Hari masih sama gelapnya seperti malam. Mayat-mayat itu kemudian terjerat di antara pohon-pohon bakau, bergoyang-goyang sebentar tapi lantas terdiam ketika ombak surut. Di antara batang, akar, sulur, dahan, dan ranting pohon-pohon bakau, tubuh-tubuh itu tergolek, seperti orang-orang yang bersandar menanti penjemputan.Aku belum melihat mayat-mayat itu, karena mataku melihat ke arah lain. Ketika matahari muncul dari balik bukit, dari tengah laut yang ungu muda kulihat pemandangan itu: Badak Kencana yang berdiri dengan satu kaki, tepatnya kaki kanan depan, berputar seperti penari balet dalam cahaya keemas-emasan yang muram. Gerakannya begitu anggun, tapi matanya memancarkan kesedihan.Kukerjapkan mataku berkali-kali, karena aku masih berharap ini hanya mimpi.Ujung Kulon A102.PVJ- J, Februari 2004
Ajal Sang Bayangan Cerpen: Eka Kurniawan
Sumber: Koran Tempo, Edisi 05/23/2004
DI BAWAH pohon maja, para lelembut melihat kedua petarung saling berhitung. Jauh di suatu tempat, barangkali di sebuah teratak di punggung bukit, seseorang meniup serunai demikian menyayat hati. Para lelembut ikut memandang, mempertaruhkan akhir pertarungan, senyampang kedua pendekar mempersiapkan jurus andalan.Siapa kedua bocah bagus ini, pikir mereka. Dua lajang gagah saling bersitatap, dengan sikap seolah mereka tengah menentang cermin. Bahkan napas mereka, pun lambaian ujung rambut keduanya, tampak seirama. Percayalah, seorang dari pengintip itu berbisik, mereka sama sakti sama ilmu. Pengintip lain menimpali, salah satunya jelas kidal.Tapi apalah artinya kidal, Sayangku, jika tangan kirinya seberdaya tangan kanan musuhnya. Dan apa yang kita pikir sebagai musuhnya itu barangkali tak bukan bayangannya sendiri. Lalu mereka mulai berselisih tentang yang mana wujud sesungguhnya. Lihatlah, Sayangku, itu bukan bayangan. Pendekar ini hendak beradu raga dengan dirinya sendiri.Sebagaimana dikisahkan, para lelembut ini tak lain Bedugul, Bedigil, Menawa, dan Menawi. Mereka terkesiap ketika dua kelebatan kecil mengirimkan desing. Namun sejurus kemudian kedua pendekar kembali mematung, dalam sikap tubuh yang tetap kembar. Para pengintip di bawah pohon maja membisu, menunggu. Bahkan burung-burung belatuk ikut terdiam.Keduanya menggenggam badik: yang satu di tangan kiri, yang lain di tangan kanan. Kedua badik teracung pada sudut yang sama. Juga lipatan-lipatan cindai kain petola mereka serupa betul. Tapi, Sayang, lihatlah wajah keduanya. Mereka bukan dua lelaki kembar, meski sama tinggi sama bobot. Si kidal berhidung lebih bangir, dengan segurat luka di dahinya, dan matanya cokelat cemerlang. Musuhnya memiliki luka pendek di rahang kanan, dengan bibir lebih lebar serta mata hitam gelap. Maka yang tersisa tak terbedakan bahkan oleh setan belang penghuni rimba.Mengapa mereka begitu lama berancang-ancang, bisik satu di antara lelembut. Mereka yang telah ditakdirkan memiliki kibasan-kibasan serupa, jimat-jimat kembar, kesaktian-kesaktian tak terbedakan, cukup saling menatap untuk melihat takdir dalam pertarungan tersebut. Mereka telah meramalkannya, saling mengerti gerakan apa pun yang akan dilakukan sang musuh, sebab gerakan itu pula yang akan dilakukannya sendiri. Bahkan mereka bisa menghitung pada helaan napas keberapa kuda-kuda itu akan berganti.Sekonyong kedua pendekar saling melesat. Mereka beradu di udara, menimbulkan bunyi lesak bersahut-sahutan. Pakaian mereka berkibaran, mengapungkan dedaunan yang ranggas. Burung belatuk kembali menotok batang maja mencari kutu pohon, dan suara serunai terngiang digiring angin. Bebunyian itu serupa pengiring suatu pertarungan yang segera berdarah, saling membalas saling berkait, seolah seorang bidadari dari atas angin mendendangkan seloka pedih.Lihatlah, Sayang, mereka saling bentur. Tendangan kaki kanan menjejak kaki kiri, dan ujung badik bercumbu memercikkan api. Dua tetes darah meluruh jatuh ke segerumbul rumput. Dan lihatlah pula, seolah ada dinding kukuh tak kasat mata di antara keduanya, mengandaikan cermin dua sisi, dan mereka tak pernah sanggup menerobosnya. Bahkan percikan peluh mereka pun berpadu dan melebur di sana.Demikianlah, bersama lenyapnya nyanyian serunai, Bedugul, Bedigil, Menawa, dan Menawi segera memejamkan mata seolah tak sudi menyaksikan akhir pertarungan yang teramalkan itu. Akhir yang bahkan telah dikenali oleh kedua pendekar itu sendiri.BETAPA risau Sang Hyang Guru tak beroleh kabar dari kedua sahabatnya. Apa yang terjadi denganmu, wahai Dora dan Sembada" Sejenis wangsit menyiratkan sesuatu yang mencemaskan, sehingga Sang Hyang Guru bergegas. Ia yang kini beroleh nama Ajisaka dan memerintah negeri Medangkamulan, minta disiapkan seekor bagal. Ia akan pergi ke Majeti, tempat Dora dan Sembada mestinya berada. Duh Sahabat, semoga kalian tak beroleh lawan.Perjalanan itu seperti mendendangkan kidung sedih. Barangkali duka ini, yang bakal dihadapinya di satu padang ilalang, juga telah diramalkan sebagaimana ia beroleh kemuliaan maharaja tiga tahun saja. Hilanglah rasa jumawa dalam dirinya, sekonyong ia menyadari kesementaraan segala bahagia. Apakah ini semilir busuk mayat kalian, wahai Dora dan Sembada" Demikianlah, katanya mengigau, para kesatria pun memiliki ajalnya sendiri.Padahal ia telah mengajari mereka segala ilmu yang terbaik dan terburuk. Segala kemuliaan dan keculasan kaum pendekar, yang lelap dalam sekam api. Ia mendidik mereka seenteng membikin bunting para dewi tanpa sanggama. Dua raga sakti yang malang, kesatria mana berdaya menghentikan kehidupan kalian" Tentu saja, kecuali kalian saling beradu.Ketoplak langkah bagalnya mengisi kesenyapan hutan. Di tengah kerusuhan hati, kembali ia meragukan prasangkanya. Mereka telah dibekalinya segala jurus maut penakluk, sekaligus penangkalnya. "Selalulah berpikir sebagai diri yang lain. Ketika kau menyabet, renungkanlah kau disabet dengan cara yang sama," suatu ketika ia memberi wejangan kepada kedua sahabat tersebut, yang bersama ia berkelana dari tanah Rum, Balhum, dan Selan mengajarkan agama, kekawin, dan kidung hingga tiba di tanah Jawa dan berhelat di Majeti.Diiris-iris derak pelepah dan dedahan yang dihantam semilir angin, ia mengajak bagalnya menerobos belukar, dan sekonyong ia melihat lalat berhamburan serupa percik lelatu. Hatinya terhenyak. Beberapa depa ke depan, matanya nanar memergoki bangkai terkapar yang pias dan berbau busuk. Pakaian yang mereka kenakan telah kuyup oleh ladung. Pun di sekeliling mereka terserak sayatan kain yang rantas. Tibatiba ia merasa sangat penat.Kedua tubuh yang terempas itu telentang dengan ujung jari kaki saling menyentuh. Bahkan dalam kematian, mereka masih memberi pertanda sebagai diri dan bayangan. Lihatlah, Sayangku, dua belas semut merah mengerubuti wajah Dora dan dua belas yang lain di wajah Sembada, jika itu memang nama keduanya sebagaimana si tua lelah yang kini turun dari bagal dan membungkuk memberi hormat itu menyebutnya.Di sekitar mereka teronggok aneka pusaka, perhiasan, dan segala jimat. Percayalah, Sayangku, mereka saling membunuh untuk memperebutkan benda-benda tersebut. Ah, di ujung takdir yang paling niscaya, aku yakin mereka akan bertarung tanpa alasan apa pun. Di bawah pohon maja, para lelembut masih ramai berselisih.Ajisaka melihat serakan benda-benda itu dan segera mengenali asal-usul segala petaka ini. Duh, Sobat, ampunilah titah yang kurang bijak itu, yang membawa kalian pada sabung mematikan ini. Ia kembali bersoja, berurai air mata, dan mengiba diri sendiri. Terseok-seok ia menyorongkan kedua mayat ke atas bagal; ketika tertelungkup di sana pun keduanya masih terjurai berhadapan dalam sikap yang tetap kembar. Bahkan ia yang bisa menghidupkan manusia dari lempung pun tak sanggup menentang kematian syahid serupa itu. Sepanjang hayat Ajisaka menyesali titahnya yang sembrono.SANG kesatria berasma Dora itu melangkah melerengi bukit. Ia merasa lunglai dan tercabik. Salah satu dari kedua murid itu akhirnya mesti mengabaikan titah Sang Hyang Guru.Telah ia tinggalkan dangau tempat mereka menanti berbilang musim. Sembada tetap bersetia kepada titah Sang Hyang Guru dan Dora mengambil peran pengingkar. Sesuatu harus dijalani, katanya. Demikianlah ia pergi dari babakan sunyi bernama Majeti itu, menyaruk mengikuti suara serunai yang telah lama mereka dengar.Seseorang meniup serunai itu di sebalik bukit. Setelah setengah hari mengayun langkah, ia melihat seorang pertapa di sebuah teratak. Barangkali orang saleh itu baru rehat dari semadi, dan mengalunkan dendang dari serunainya yang panjang. Dora memberi salam hormat; sang pertapa membalas dengan menggeser tubuhnya ke arah si anak muda bersila. Selepas kesenyapan sesaat, sang pertapa berucap, apakah kau memeram rasa takut"
Ah, tidak, Eyang. Jangan berdusta, rasa takut itu tersurat di wajahmu.Demikianlah Dora kemudian mengaku, telah lama ia memeram rasa takut kepada bayangannya sendiri. Jika bayangan itu mengiris jarinya sendiri, aku akan merasakan pula sakitnya. Adakah yang lebih menakutkan dari itu, Eyang?"Kau mesti percaya bayangan tak bakal ditaklukkan," kata sang pertapa. "Namun ia pun tak bakal menaklukkanmu."Tapi wejangan itu tak juga membuat cemasnya hilang. Ia pamit dan kembali menggelandang dan tetap risau. Bagaimana tak risau jika kau cukup memandang bayanganmu untuk mengetahui keberadaan diri, serupa satu penelanjangan" Serasa baginya melihat kitab takdir dan ia tahu segala yang buruk dan tak tertahankan tengah menunggunya.Sepanjang perjalanan, penuh rendah hati ia menemui para cerdik-pandai di setiap dusun, memohon nasihat dari mereka yang berilmu itu. Kepada mereka ia selalu bertanya bagaimana mesti menaklukkan bayangan. Sosok yang sama ilmu sama tipu. Tak satu pun memberi ujaran gamblang perihal itu, malah bertambahlah rasa takutnya: Jagalah bayanganmu, sebab jika ia celaka, demikian pula dirimu. Dan suatu masa ia ingat, sosok bayangan itu tenggelam dan jauh di atas bukit ia sendiri merasa tercekik. Betapa mengerikan memberikan nasib pada sosok lain, pikirnya. Dan ia merisaukannya dari musim ke musim.Ketika didengarnya Sang Hyang Guru telah mulia sebagai maharaja bernama Ajisaka, sekonyong ia tahu ia mesti ingkar dan menyusul ke Medangkamulan. "Barangkali ia lupa perihal kita," katanya beralasan. Tak peduli ia bahwa Sang Hyang Guru telah berpesan kepada mereka untuk menanti di Majeti, menunggu pusaka miliknya, dan tak akan pernah pergi, pun memberikan harta itu, kecuali atas titah yang didengar dari mulutnya sendiri.Dan inilah kerajaan Medangkamulan: makmur mengalahkan segala kota dan desa. Raja yang terdahulu, Dewatacengkar, sangatlah bengis kelakuannya. Alih-alih membuat girang rakyatnya, ia menyantap mereka setiap fajar. Ajisaka telah mengalahkannya, dengan segala tipu, dan mengusirnya ke laut sebagai buaya putih. Kepada negeri ini diberikannya segala girang, kemakmuran duniawi, dan dihidupkannya manusia-manusia dari lempung, sebagai pengganti yang telah hilang disantap Dewatacengkar.Sang pendekar bergegas ke istana. Ajisaka menyambutnya riang, dan mereka memanjakannya dalam anjangsana penuh suka itu, sebelum Sang Hyang Guru bertanya, "Dan di manakah saudaramu, Dora?""Sembada tak sudi beranjak," kata Dora menghaturkan hormat, "Maka kutinggalkan bayanganku itu di Majeti, Guru."IA TAHU para lelembut hanya ternganga menyaksikan mereka bertarung. Kadang mereka terbang saling menyabet dengan pakaian berkibaran serupa sayap burung enggang sebelum segera meredam serangan dan lebih banyak diam penuh rasa duka. Ia sungguh tak suka sosok di hadapannya itu. Sosok yang tahu kapan aku berputar ke kiri, melompat ke belakang, mengedutkan alis, dan kapan aku bakal terempas, pikirnya.Telah berapa lama mereka hidup serupa itu" Saling meniru dan membangkitkan rasa sebal" Suatu diri yang lain, namun sepenggal dirinya sendiri ada di sana, dan segala rahasia tersembunyi dikenalinya. Ia tak pernah sanggup menghadapi sosok dengan pengetahuan serupa itu, dan selama kebersamaan mereka, satu hal yang ingin diketahuinya hanyalah bagaimana mesti menanggalkan bayangan tersebut. Ia tahu pikiran itu bersemayam pula di sosok yang membayang tersebut. Penuh rasa cemas, ia dan bayangannya saling menanti untuk saling melenyapkan.Alasan untuk sebuah sabung mesti disuratkan. Maka dibiarkannya Dora hengkang menyusul Sang Hyang Guru ke Medangkamulan. Alasan itu mulai menjadi gambaran yang semakin kasat mata. Syahdan, Ajisaka kemudian menitahkan Dora kembali ke Majeti, menyuruhnya menjemput Sembada dan pusaka yang dijaganya.Dora meninggalkan kotaraja dengan sukma serasa tanggal darinya. Akhir pilu itu mulai dikenalinya. Mengarungi jalan, ia menguat-nguatkan hati. Takdir ini mesti disambutnya, sebab mereka sendiri telah mengharapkannya. Tak peduli ia apa bakal jadinya. Lampahannya terseok, hingga dicerabutnya sebatang bambu tempat kacang merambat di sepetak ladang, dijadikannya tongkat penopang tubuhnya yang limbung.Dan di sinilah ia menanti Dora, sejarak dari dangau tempat mereka pernah lama berhelat. Kembara ini bakal berakhir, Sobat, katanya pada yang baru tiba. Lalu Dora menyampaikan titah Sang Hyang Guru kepadanya. Tidak, katanya. Bukankah mereka telah berjanji tak akan pergi dan menyerahkan segala pusaka ini kecuali Sang Hyang Guru sendiri yang menjemput" Tapi aku diutusnya demikian, dan jika kau abai, aku bakal menghentikan hayatmu. Aku tak akan hengkang. Dan aku tak bakal pergi tanpa membawa segala jimat itu.Jelaslah sudah, semua itu hanya alasan bagi mereka untuk bertarung. Dora mengancam Sembada, dan Sembada balas menatap mata Dora. Dora segera menanggalkan tudungnya serta memberi hormat, begitu juga dirinya; sekonyong ia melihat kembali bayangan penyebal itu. Sembada membuat gerakan menipu, begitu pun bayangannya. Para lelembut pengintip itu tak tahu bagaimana membedakan keduanya. Lama ia terdiam merenungi pertarungan tersebut, dan bayangannya bergeming pula. Pertarungan itu berkelebat di dalam tempurung kepalanya, menanjak dari jurus-jurus pengecoh hingga tipuan-tipuan licik mematikan, tapi ia tahu bayangannya pun memikirkan itu semua. Sekali-dua ia mengirimkan gerak, dan bayangannya berlaku serupa. Maka mereka beradu, saling melengos, dan jatuh-bangun, menumpahkan peluh.Ketika luka mulai melelehkan darah, ilham itu kemudian datang begitu terang, serupa mimpi buruk yang muncul kala siang.Ah, lihatlah, Sayangku. Mereka terpaku kembali begitu khusyuk. Bahkan padi yang rontok dari paruh seekor emprit pun terdengar nyaring jatuh ke pasir. Suara burung hantu pada senyampang jarak menyiratkan kedatangan roh para leluhur kedua pendekar yang bersiap menjemput ajal. Cahaya membencar dari barat mengabarkan senja perpisahan. Ah, Sayangku, tamasya ini begitu duka. Sabung imbang ini akhirnya beroleh penutup.Selamat panjang umur, Sobat, di dunia kekal. Kecut hati Sembada berujar, begitu pun bayangannya. Kini tak ada lagi sosok yang selalu menenteng nasibnya. Sebab kini ia tahu bagaimana mesti menanggalkannya, namun dengan cara itu pula ia mesti mati:Untuk membunuh bayangan, kau mesti membunuh diri sendiri.2004Eka Kurniawan, kelahiran Tasikmalaya, 1975. Dua novelnya Cantik itu Luka (2002) dan Lelaki Harimau (2004). Bergiat di Serikat Pembaca Dunia. Kini tinggal di Jakarta.
Imago Cerpen: Dinar Rahayu Sumber: Koran Tempo, Edisi 05/16/2004
PERNAH aku menyukai si jantan. Bagiku lengkungan sepanjang punggung, pinggang, dan pantatnya mirip bukit pasir yang berdenyut. Aku takut lengkungan itu akan hilang ketika badai datang memindahkan pasir-pasir itu ke tempat jauh.Atau kupikirkan, betapa indahnya bila butiran pasir dituang di sepanjang lengkung tubuh itu. Pastilah pasir-pasir itu seperti gelombang yang turun-naik ketika si jantan bernafas.Sering kulukis pemandangan lengkung pasir demikian dalam angan atau pada kertas.Kini aku tak menyukai lagi kaum jantan. Aku tak menyesali kehilangan rasa ini. Tujuanku hanya satu sekarang: melindungi koloniku, menjaga kelangsungan rasku. Birahiku pada kaum jantan hanya berlangsung ketika aku masih larva.Selepas masa larva, aku memasuki masa kepompong. Tidur panjang tanpa mimpi. Lalu aku terbangun dalam keadaan seperti ini. Aku memasuki tahap dewasa: tahap imago. Tak ada nama bagiku karena watak, rupa, dan kemampuanku sama dengan sekian ribu saudariku. Inilah tahap terakhir dalam hidupku. Dan tanpa garis tangan pun aku tahu bahwa takdirku sama dengan saudari-saudariku. Kami kaum prajurit. Penjaga kelangsungan koloni. Pelindung kaum pekerja. Juga pelindung sang ratu. "Kaum paling dungu!" teriaknya, membuat aku tersadar. Apa yang ia katakan sebelumnya" Aku harus memulihkan dulu ingatanku. Kuperhatikan ia yang berdiri terhuyung di sebelahku. Tanganku mencengkeramnya. Barangkali ia punya nama, dan sebentar lagi hanya namanya yang tersisa. Ia jantan yang baru selesai membuahi ratu kami. Hanya kaum jantan seperti ia yang bisa melakukan itu.Dan hanya Sri Ratu yang dapat bertelur. Meski kami betina, kami hanya bisa menjadi prajurit dan pekerja, sebab indung telur dan rahim kami terus menciut, sampai akhirnya organ itu tak lebih dari sekadar usus buntu. Organ yang sekadar ada, tapi tak berfungsi.Satu-satunya tugas kaum jantan adalah mengawini Sri Ratu, hanya satu kali dalam hidup masingmasing. Setelah itu tubuh mereka akan kering seperti gurun. Tugasku adalah membuang mereka agar ras kami lestari. Koloni kami menetap pada sebuah kubah berlapislapis yang berinti pada singgasana sang ratu. Bagian koloni yang terbesar adalah kaum pekerja yang bersaudari satu sama lain. Sirkulasi di dalam kubah harus kami jaga baik-baik. Tak pernah kami tinggalkan sampah atau mayat dalam kubah. Pekerja yang lemah dan prajurit yang lelah segera kami bawa jauh-jauh keluar dan kami suntik dengan sejenis racun dari tumbuhan. Kami tak ingin merusak kubah dengan aroma kematian. Sebenarnya tugasku yang utama adalah berkeliling di lapisan paling luar, di mana para pekerja bolak-balik memperbaiki tata kubah yang lemah atau rusak diterpa cuaca. Selalu saja ada yang harus dibetulkan kalau kami tak ingin punah diterkam iklim yang berubah tajam. Aku harus memperhatikan jalan keluar-masuk para pekerja yang mengangkut makanan yang akan kami simpan, berjaga-jaga agar musuh tak menyelinap ke dalam.Ya, aku ingat tadi aku berdiri di pintu kubah bersamanya. Aku mengacungkan jempol ke arah prajurit lain di balik sekat, mengatakan bahwa semua baikbaik saja. Lantas pintu kubah dibuka. Angin dingin menderu menghembus tubuh kami. Lalu pintu kubah di belakang kami segera berdesir ditutup, agar angin tak masuk lagi. Kami tak ingin membuang-buang kehangatan udara kubah.Pembuangan kaum jantan selalu terjadi ketika musim dingin, sementara Sri Ratu di dalam sana mulai bertelur. Telur-telur itu akan menetas menjadi larva-larva yang diberi makan dari persediaan yang kami kumpulkan di musim sebelumnya. Aku tahu karena aku pun mengalami hal itu sebelumnya.Aku ingat benar akan kabinku yang hangat dan makanan yang melimpah menyehatkan. Aku juga ingat bahwa di masa larva itu aku harus belajar. Aku juga mulai memperhatikan sebuah larva dari kaum lain ketika mereka dimandikan, disuapi, dan dibesarkan dengan tekun. Ia belajar sesuatu yang tak kupelajari dari kaumku. Aku bertanya ia dari kaum apa dan mengapa ia berbeda."Ia larva dari kaum jantan," kata salah satu pengasuh."Dapatkah ia yang dari kaum lain itu kudekati?" tanyaku. Pengasuh yang memberiku makanan itu tak menjawab. Ketika kudesak barulah ia berkata, "Tidak. Tak mungkin kau dekati karena ia bukan milikmu. Ia milik Sri Ratu. Kau tak akan mengenalnya sekarang. Tapi di masa depan kau akan mengenalnya, mungkin sebagai pemberi makan atau penjaganya." "Dan apa yang dilakukan kaumnya" Bagaimana ia mengenal Sri Ratu?"Tanyaku tak berjawab.IA mengerang ketika tersadar bahwa pintu di belakangnya tak akan pernah lagi terbuka untuknya, sehingga tujuannya hanya hamparan putih di luar kubah nun di sana. Tapi kemudian justru udara dingin menyadarkannya bahwa ia telah menemui takdirnya. Harga dirinya pulih. Angin berhembus kencang merontokkan butiran salju dari batang pohon yang hitam kering beku ke hamparan putih salju lain di dekat kakinya. Ia merunduk, mengambil sekepal gumpalan putih itu, lalu menggenggamnya keras-keras. Ia tempelkan salju itu ke pipinya. Mulutnya terbuka. Dari hidung dan mulut itu uap putih tipis nafasnya yang hangat keluar. Lalu ia berkata:"Kalian bodoh! Dungu! Kaum pekerja adalah budak. Dan kalian, para prajurit, betapa kalian dungu. Kalian dibodohi oleh Sri Ratu. Katanya, kalian adalah kaum yang melindungi ras kalian. Sesungguhnya kalian hanya melindungi ia dari bahaya. Kalian korbankan diri kalian untuk dia, hai kaum dungu!"Aku tak menjawab apaapa. Aku sudah diberi tahu bahwa ia akan menceracau semacam ini hanya supaya ia tak dibunuh. Bahkan nasibnya sudah ditentukan jauh-jauh sebelum ia hidup. Ia adalah satu dari jutaan telur dalam indung sang ratu. Dan sang ratu mampu menentukan jalan hidup telur-telurnya.
Ketika telur itu menggelinding melewati saluran menuju rahim, Sri Ratu dapat memilih apakah si telur akan menjadi golongan jantan, atau golongan prajurit dan pekerja, seperti kami, yang mandul; Sri Ratu memiliki zat yang ia semprotkan ke seluruh kubah untuk mencegah kami menjadi subur. Telah kukatakan, hanya ketika masih larva, aku memiliki birahi, sebab barangkali saat itu zat semprotan sang ratu belum banyak terkumpul dalam tubuhku.Setelah ia, pengasuhku itu, melepas makian panjang yang tak terjawab, ia diam dan dengan dagu terangkat ia kembali berjalan di sebelahku."Tunggu sebentar," katanya menghela nafas ketika kami melewati bukit salju kedua. Ia memandang ke belakang, ke kubah yang seperti menjanjikan kehangatan dan makanan. Ia memperhatikan dua pasang jejak kaki di belakangnya. Jejak kami.Ia akan kubunuh di bukit salju ketiga yang menghadap ke ngarai yang curam. Kami tak pernah tahu berapa dalamnya. Apa saja yang terlempar ke ngarai itu tak pernah terdengar suara jatuhnya. Mungkin ngarai itu tanpa dasar. Kami tak tahu."Ketika kau masih larva, aku ingat betul kaulah yang mencintaiku. Kau yang menggambarkan lengkung punggung, pinggang, dan pantatku di atas kertas," ia mengeluarkan sebuah lipatan kertas dari balik bajunya dan membukanya di hadapanku. Dua buah gambar yang dibuat dengan ujung arang hitam. Yang pertama adalah garis lengkung tak terputus berarsir tipis tebal, yang kedua adalah lengkung yang sama tapi dengan titik-titik seperti tumpukan pasir. Ya, aku ingat itulah gambarku. Setelah pengasuhku dahulu mengatakan bahwa kaum jantan tak dapat kudekati, kugambar salah satu dari mereka. Tapi siapa" Jantan yang mana" Ada begitu banyak jantan dalam kubah. Sekian banyak wajah yang sama bagiku kini.AKU ingat, aku memasukkan gambar itu ke salah satu kabin kaum jantan, lalu aku pulang. Sesaat kemudian aku mulai merasa malas bergerak, dan para pekerja pengasuh kami pun tampaknya memberi makan dalam porsi yang lebih banyak. Lalu aku masuk ke kabinku dan merasa mengantuk sekali, mungkin juga aku tertidur sambil mengunyah makanan. Rupanya aku memasuki masa kepompong."Lantas mengapa kau berikan gambar ini padaku?" aku bertanya"Kau lupa aku?"Aku mengangguk. Kutatap lagi wajahnya. Sia-sia. Wajah itu bisa wajah siapa saja. Satu dalam kerumunan wajah yang sama. Aku menggeleng. Ia tak tahu, tak ada hormon lain yang memicu reaksi berantai di benakku kecuali yang membuat aku mencium bau musuh yang menyelip di antara para pekerja. Aku siap bertarung dengan mereka. Aku hanya bernafsu pada kehancuran musuh kami."Aku tak ingat siapa yang kugambar ini dan ke kabin siapa kumasukkan gambarku. Kini kalian serba sama. Aku hanya tahu bahwa kalian tak berguna lagi setelah kalian keluar dari kabin Sri Ratu. Tugasku hanya melindunginya," kataku.Ia berkata, "Kami menjadi kepompong lebih lambat dari kaum prajurit dan pekerja. Ketika aku kembali ke kabinku kutemukan gambar ini dan aku bertanya kepada sesosok pengasuh dan ia menunjukkan sebuah kabin kaum prajurit yang sedang ditutup karena mereka akan memasuki masa kepompong. Aku sempat melihat sejenak sebelum mereka benar-benar menutup semua dinding. Aku melihat wajahmu sedang terlelap dalam remang. Kemudian gelap gulita.?"Kau ingat wajahku saat itu?"Ia mengangguk. "Ingatanku tak ada yang terhapus, juga rasa yang mengikuti ingatan itu. Semuanya utuh. Karena itu pula kuingat wajahmu."Tapi itu tak berarti untukku. Aku menyeret tangannya lagi. Ia sudah mulai letih dan menggigil. Kami berjalan lagi tanpa bicara sebelum ia mulai lagi."Kau tahu bagaimana sang ratu dipilih?" tanyanya.Aku menggeleng. "Sri Ratu terpilih secara acak. Ia menjadi ratu karena para pekerja memberinya makanan yang tak diberikan kepada kalian di masa larva dan awal tahap imago," sambungnya."Dari mana kau tahu?""Sri Ratu sendiri yang bercerita. Kau pernah melihatnya?"Aku menggeleng lagi."Aku pernah melihatnya. Ia masa lalu yang menelurkan masa depan, umurnya barangkali seribu tahun. Ia berbeda jauh dengan pekerja dan prajurit, tapi nafasnya dingin di tengkukku dan lidahnya dingin di pipiku, sedingin salju. Ketika aku masuk ia hanya bertanya: apa sudah kau tanggalkan semuanya di luar. Ketika aku tak menjawab, ia hanya berdecak, ah, maksudku sudahkah kau tanggalkan harapan dan mimpimu di luar. Aku tinggal di tempat tidurnya. Barangkali aku bermimpi juga. Mimpi buruk. Lalu aku harus mati. Beruntunglah kau tak pernah melihat Sri Ratu. Barangkali jika kau melihatnya, kau harus mati pula. Hidupku pendek. Semenjak telur, larva, kepompong, sampai keluar dari kabin, kami disuapi, dirawat seperti raja. Bagi koloni kita, aku hanya kantung sperma besar.?"Kau sedang menyesali nasib?" tanyaku"Aku tak tahu.?"Jantan pertama yang kubunuh di musim ini juga berkata-kata seperti itu."Ia tertawa. "Tapi paling tidak, anak-anak Sri Ratu nanti adalah anakanakku...?"Ya, tapi jelas bukan anak-anakku," kataku. "Kita sampai..."Ngarai itu seperti garis hitam di atas permukaan telur putih dari salju."Aku tak tahu mana yang lebih beruntung. Aku yang menangis karena masih bisa mengingat dan merasa akan kehilangan semua yang sudah kuingat ketika harus mati" Atau kau yang tak bisa merasa kehilangan apapun dan harus hidup" Selamat tinggal," katanya.IA membuka baju pelindungnya lalu duduk menekuk lututnya. Rahangnya mengeras menahan gigil. Aku ikut duduk menekuk lutut di depannya.Aku mengambil tali. Ia menyodorkan lengannya. Ia mengepal. Kuikat tali itu pada lengan atasnya. Pembuluh darah mencuat di balik kulitnya. Kusiapkan suntikan. Sebuah dosis yang tepat, sebuah jarum suntik. Sempurna. Tak lama. Tak selama waktu yang dibutuhkan untuk membaca kalimat ini. Sebuah tubuh telanjang terbaring telungkup di dekat ngarai. Salju mulai turun membuat bercak putih di permukaan tubuhnya. Bila aku menunggu cukup lama tentulah salju akan menutup tubuh itu mengikuti lengkung sepanjang punggung, pinggang, dan pantatnya sehingga mirip bukit pasir. Pasir putih yang dingin. Tapi aku tak bisa menunggu. Kudorong tubuh itu dengan kedua tanganku ke bibir ngarai. Bibir itu seperti merekah memasukkan sesuatu ke dalamnya. Lalu tubuh itu jatuh, melayang, entah ke mana. Ngarai itu begitu dalam dan gelap. Kulemparkan juga kertas yang bergambar itu mengikutinya.Aku berbalik, berjalan kembali ke kubah. Badai mulai datang. Naluriku berkata bahwa kubah itulah yang harus kupertahankan.Di pintu kubah, kuperhatikan di belakangku dua pasang jejak kaki menuju ngarai yang sebagian telah terhapus salju turun. Kini hanya ada satu pasang jejak dari ngarai ke kubah. Jejak kakiku. Aman. Berarti tak ada musuh yang menyelinap.Dinar Rahayu, alumnus Jurusan Kimia ITB. Novelnya adalah Ode untuk Leopold von Sacher-Masoch (Pustaka Jaya, 2002). Ia lahir 9 Oktober 1971.
Segalanya Terbakar di Matamu Cerpen: Zen Hae
Sumber: Koran Tempo, Edisi 05/09/2004
PADA mulanya adalah nomor telepon seluler, Saudara. Nomor itu diberikan oleh seorang teman saya, seorang juru bisik, setelah saya mengeluhkan keadaan saya. "Kau kelewat banyak mengarang. Kau perlu hiburan," katanya serupa tukang obat. Lewat nomor itu, katanya, saya bisa menghubungi seorang perempuan kapan saja. (Tetapi, maaf, saya tidak akan menyebutkan namanya di sini.) Katanya lagi, ia cantik, menggairahkan, sekaligus cerdas.Ternyata benar. Setelah satu-dua kali menghubunginya saya jadi ketagihan. Suaranya jadi khas di telinga saya. Seperti suara orang yang baru bangun tidur. Dari suaranya saya coba mengkhayalkan sosoknya. Perempuan muda bertubuh sintal-putih-berkeringat, menggeliat dengan rambut acak-acakan dan mata redup, di atas hamparan seprei kusut. Seperti ikan tawes yang menggelepar-gelepar di atas rumput. Agh, tidakkah itu khayalan paling sehat dari seekor kucing lapar macam saya" Berkali-kali saya mengajaknya ketemu, tapi selalu ia menolak. "Nanti kamu kecewa," katanya. Akhirnya ia tidak bisa menolak ketika saya berjanji akan membawakannya sebuah cerita. Tentang seorang gadis yang jatuh cinta pada manekin. Aku sangat mengukai cerita, katanya. Apa pun jenisnya. "Aku memakai bandana," katanya sebelum menutup telepon.Saya menunggu perempuan bandana itu di sebuah restoran Cina. Restoran ini terletak di tepi Kali Besar yang bermuara di Pelabuhan Sunda Kelapa. Di akhir pekan suasananya sangat ramai. Semua pengunjungnya berpasangan. Dua, empat, enam, delapan... dua belas. Cuma saya yang masih sendirian. Sudah hampir satu jam saya di sini. Tapi belum ada seorang perempuan pun yang berciri seperti dalam telepon tadi malam. Perempuan itu pasti hanya bermain-main. Saya menyesal mengapa terlalu gampang percaya pada orang yang baru saya kenal, apalagi hanya lewat telepon. Huahh. Mata saya perih dan berair. Saya memejamkan mata dan merebahkan tubuh di meja. Tidak berapa lama sepotong suara khas mengejutkan saya. "Aku mencari seorang lelaki yang menghidupkan manekin dalam cerita." Seorang perempuan berdiri tiga depa di depan meja saya. Perawakannya tidak terlalu tinggi. Wajahnya bundar, dingin, licin, mengilat. Separuh kepalanya terbungkus oleh bandana biru bermotif ikan merah. Rambutnya terjuntai lurus sebahu. Tubuhnya yang berisi dibalut celana jins biru pudar, ketat, dan kemeja katun putih. Tangan panjang yang digulung hingga siku. Tangan kanannya menenteng tas hitam, seperti pengadu ayam membawa kisa. Paling bawah, sepatu hitam berhak setinggi kelilingking saya. Agh, benar-benar ikan tawes yang gemuk lagi segar."Kamu pasti ikan tawes. Maaf, maksudku, perempuan yang baru bangun tidur."Perempuan itu tersenyum dan berjalan ke arah saya. Menarik kursi dan duduk di depan saya. Matanya tajam menyelidik. "Tampangmu benar-benar seperti kucing garong.?"Aku kucing garong yang lapar.?"Ya sudah, pilih menu ikan saja.?"Ikannya mati semua. Aku mau ikan segar.?"Cari di sungai, jangan di sini.?"Tapi kau membawanya di kepalamu.?"Ini bukan ikan tawes. Ini ikan sembilang.?"Ikan tawes ikan sembilang, lompat empat ke gorong-gorong. Daripada dipancing orang, mending ditangkap si kucing garong.?"Kucing garong dilempar batu. Mampus lu!" Kami sama tertawa. Saya sodorkan buku menu. Perempuan itu memilih nasi goreng sea food dan segelas jus melon. Saya memilih nasi cap cay goreng dan es lemon tea.Di sela-sela makan saya mencuri pandang. Ternyata ia melakukan hal serupa. Kami bersitatap. Ia tersenyum. Saya geragapan. Sepotong brokoli tersangkut di tenggorokan saya. Saya terbatuk-batuk hingga mata saya berair. Ia tetap tersenyum begitu melihat saya minum dengan bunyi tegukan berkalikali. Ikan tawes sialan! Ia membuat kucing garong yang biasanya penakluk tulen menjadi kucing kudis yang tak berdaya. Kalau saja restoran ini menjelma dapur ia sudah menjadi bulan-bulanan saya. Saya jadi tak bersemangat menghabiskan makanan. Sambil menunggu ia selesai makan saya buka tas punggung yang sedari tadi saya letakkan di kursi kosong dan mengambil karangan saya. Membaca sekenanya. Lewat tepi kertas HVS saya lihat tangan kirinya, dengan kuku-kuku runcing bercat hitam, menggenggam gelas. Suara tegukan, kecipak mulut, sendawa kecil."Mana cerita yang kaujanjikan?" ia bertanya seraya menggeser piring kosong ke sebelah kiri meja.Saya menyerahkan tiga lembar kertas itu. "Belum rampung." Ia mengambilnya dengan senyum yang membuat geragapan itu tak juga hilang. Saya kembali minum. Kali ini sebutir biji lemon tersangkut di tenggorokan saya. Hoek! Ia tersenyum lagi dan mulai membaca. Ia mengeraskan suaranya pada bagian-bagian berikut ini.Gadis itu melepaskan belaiannya pada sebuah manekin. Dengan sigap ia bangkit dan membereskan beberapa potongan kain yang acak-acakan. Ia memang pelayan toko yang gesit. Tangannya sangat lihai menyusun lipatan kain, memilihkan warna dan motif yang cocok untuk calon pembeli, mengukur dan memotongnya bila telah cocok harga. Kadang ia menggendong anak kecil yang kebetulan menangis karena menunggu ibunya memilih bahan. Saat sepi pembeli ia lebih banyak duduk di pojok, bersandar pada manekin yang mengenakan setelan jas abu-abu tua dengan kemeja putih dan dasi merah marun. Tapi lihat, ia tidak sekadar bersandar. Kadang-kadang tangannya yang halus itu membelai-belai jemari manekin yang runcing lagi keras. Dan manekin itu seperti tahu keletihan sang gadis. Tubuhnya yang licin lagi keras seperti berdaging. Kenyal. Manekin itu membungkuk dan berusaha merengkuh tubuh gadisnya. Bila sudah begitu si gadis membenamkan wajahnya ke tubuh manekin itu. Suaranya mulai berat dan gemetar. "Saya mencintaimu.?"Kenapa cuma menyatakan cinta" Kenapa tidak main seks dengan manekin itu?" tanya si perempuan, menyelidik."Seks adalah tema yang bermasalah. Suatu ketika dalam sastra kita ia pernah hadir dengan cara yang samar-samar, penuh perlambang. Tetapi kini sangat terang-terangan. Vulgar, malah. Aku pengarang yang menyukai simbolisme." Ahai, saya mulai berteori sekenanya."Jangan terlalu banyak kilah, Bung. Simbolisme sudah ketinggalan zaman. Mending terang-terangan saja. Bikin pembaca terhanyut dalam air bah hasrat purba itu.?"Aku tidak suka air bah. Banjir setinggi lutut, bolehlah." Tiba-tiba saya menyesal sebab telah bertemu perempuan yang begitu giat menyerang saya ketika pertama kali bertemu. "Maaf, sudah bikin kamu tersinggung," katanya sembari mengusap dahinya dengan tisu."Nggak apaapa."Ia mendekatkan wajahnya ke wajah saya. "Aku akan ke Pulau Putri nanti sore. Jangan hubungi aku dalam satudua hari ini," katanya. Nafasnya terasa hangat di hidung saya. Aroma tajam Eternity meruap. Darah saya berdesir. Saya meneguk liur sendiri. Mulut saya perlahan menganga. Lidah saya bergetar dan bergoyang, tapi saya segera mengatupkan mulut. "Tapi kita masih bisa ketemu lagi, kan?" "Boleh dong." Ia menepuk lembut pipi saya. Hangat. "Terima kasih sudah neraktir aku."Saya mengangguk bagai pelatuk. Tapi, agh, saya meginginkan sesuatu yang lebih dari sekadar tepukan lembut. LANTARAN itu saya mulai membikin jebakan. Di pertemuan berikutnya saya harus bisa menerkam ikan tawes itu. Dalam sekali terkaman ia harus sudah menggelepar. Akhirnya saya mengarang cerita: Saya berulang tahun yang ke-40 pada akhir April. Saya ingin meneraktirnya candle light dinner dan ia setuju. Kami memilih sebuah restoran Eropa di bilangan Menteng. Sembari makan saya umbar kata-kata pujian yang membuatnya kikuk campur senang. Seusai makan kami memesan sebotol Martini. Saya tahu ia sangat menyukai minuman itu. "Warnanya seperti api," katanya. Begitulah, sambil mengobrol dan terus memujinya saya mencekokinya dengan bercawan-cawan anggur, sedang saya hanya minum sekadarnya. Ia mulai menjadi peracau yang lancar dan penuh semangat ketika botol itu hampir kosong. Setelah itu ia ambruk bagai gubuk dihantam angin puyuh. Hanya ikan yang mabuk dan dungu, Saudara, yang membiarkan dirinya jatuh ke pelukan seekor kucing. Dan ikan mabuk itu tak bisa lagi menolak saya untuk mengantarnya pulang ke apartemennya di bilangan Grogol. Bukan hanya sampai di pintu gerbang, tetapi hingga ke dalam kamarnya di lantai 19. Satpam penjaga apartemen hanya tersenyum begitu melihat saya memapah perempuan itu menuju lift. Di dalam lift berkalikali ia melontarkan kata "anjing," "api," "hangus, mampus," "moralisme absurd," "hidung bengkok sialan," "fuck you," "mother, how are you today?" Entah apa lagi... Begitu pintu kamarnya saya buka ia langsung nyelonong ke kamar mandi. Bunyi hoek berkali-kali terdengar saat saya merebahkan tubuh di kasurnya yang empuk lagi wangi. Ia keluar dengan wajah, bandana, rambut, dan blus basah.
Seperti orang yang barusan tenggelam. Dengan langkah oleng ia menuju kasur dan menjatuhkan tubuhnya ke tubuh saya. "Naik perahu ke laut api, Abang. Perahunya si kertas ubi," suaranya berayun-ayun. Saya tarik tubuhnya dan saya rebahkan kepalanya ke dada saya. Rambutnya yang bagai sapu ijuk diguyur hujan bertebaran di perut saya. Dingin di perut, panas di kepala. Saya mencoba merapikannya dan membuka bandananya. Tapi ia menepiskan tangan saya. "Kenapa kamu selalu pakai bandana?" "Ah, mau tahu aja kamu," katanya dengan suara yang masih berayun-ayun. Tiba-tiba wajahnya mendongak. Bintang-bintang berpijaran di matanya. Ai ai, lidahnya terjulur dan perlahan-lahan merambat dari dada terus ke leher saya. Seperti keong racun di batang pisang. Dingin-dingin-geli. Ia berhenti ketika bibirnya menyentuh bibir saya. Agh, nafas hangatnya berembus, menerpa kumis dan bulu hidung saya. Darah saya kembali berdesir. Bulu kuduk saya serentak berdiri. Suaranya yang khas itu meluncur. Bergetar. "Tahu nggak, kalau aku lagi horny puluhan ikan cakalang berlompatan dari balik bandana ini. Nenek moyangku kan orang pelaut." Dalam keadaan mabuk dan berahi ia masih punya selera humor. Boleh juga. Nah, Saudara, inilah saat yang saya tunggu-tunggu. Tanpa buang waktu saya pagut bibirnya. Saya cengkeram pinggulnya. Ia balik memagut dan mencengkeram saya. Kuku-kukunya yang runcing merobek kulit pungggung saya. Agh, rupanya perempuan itu telah menjelma seekor kucing anggora betina. Gemuk lagi gesit. Kami bertarung. Seakan-akan bertarung. Saling mencakar, menggigit, menjilat, menjerit. Ngeoooonnngg... Memang, saat itu ada yang berlompatan dan beterbangan di seantero kamar. Entah dari kepala si anggora betina atau dari kap lampu atau dari kamar mandi. Saya juga tidak tahu persis apakah itu cakalang atau bukan. Bisa jadi itu memang cakalang, tapi bisa juga sembilang, lumba-lumba, hiu, todak. Bukan tidak mungkin itu belalang kayu, laron, merpati, celepuk, burung gereja. Atau gabungan dari semuanya. Suara mereka gaduh sekali, bertubrukan dengan erangan kami. Entah berapa lama tubrukan itu berlangsung. Tiba-tiba semuanya hening. Hanya dengkur nafas. Satu-satu. Jam berapa ini" Saya beringsut meraih jam tangan di meja. Tapi perempuan itu menarik tangan saya. "Ceritakan lagi padaku gadis manekin itu."JIKA aku tak bisa menerkam mangsaku dalam sekali serangan, maka aku akan mengintainya lebih dulu. Tanpa dia tahu aku akan mengikuti ke mana saja ia pergi. Tapi jika ketahuan aku akan berpura-pura baik, sopan, dan tidak berbahaya di depannya. Aku hanya akan menunduk sambil menggaruk-garuk kepala, menguap, atau menjilat-jilat bibirku sendiri. Dengan begitu ia akan merasa aman. Dan calon mangsaku yang dungu akan menyangka aku hanyalah kucing garong yang acuh tak acuh. Tetapi gadis penjaga toko bahan pakaian itu bukanlah calon mangsa yang dungu. Ia cerdik lagi awas: si ikan tenggiri yang gesit dan tak mudah ditangkap. Karena itu aku tertantang untuk terus mengejarnya. Dan sejak pertama kali melihatku ia sudah curiga. Ia selalu melengos, bahkan meludah, setiap kali beradu pandang denganku. Apalagi kalau kupandangi payudaranya yang mirip moncong pesawat tempur F-16.
"Dasar kucing garong," katanya. Suatu ketika aku memergoki gadis itu di pelataran Museum Fatahilah. Kepalanya diperban. Entah karena luka apa. Tapi kelihatannya ia tidak terganggu oleh luka itu. Ia berselonjor di bangku semen, berdampingan dengan dengan seorang lelaki berwajah plastik. Aku memperhatikannya dari jarak yang cukup dekat sambil minum es cincau. Agar tidak terlihat oleh mereka aku bersembunyi di balik bak sampah. "Seharusnya kamu nggak menemui saya di sini. Saya takut kamu ikut-ikutan susah karena saya," kata gadis itu. "Aku cuma pingin tahu kenapa kamu tega membiarkan aku saat api menjalar hebat dan menjilati dadaku. Seperti ini." Lelaki berwajah plastik itu membuka kancing bajunya. Gadis itu menjerit begitu melihat perban di dada lelaki itu yang mirip karung goni basah. Hoek! Gumpalan cincau hijau loncat dari mulutku. Dua orang itu menoleh ke arahku. Aku pura-pura tidak melihat mereka dan asyik menjilati sisa-sisa sirup beraroma pandan di bibirku. Merasa aman gadis itu kembali bicara. "Saya minta maaf. Semuanya terjadi begitu cepat dan di luar dugaan saya. Tiba-tiba saja api menyala dari tempat sampah dekat meja kasir. Api menjalar ke gulungan-gulungan kain. Segulungan kain yang terbakar kemudian menimpa kepala saya. Saya lari keluar dan berteriak-teriak minta tolong. Semuanya minta tolong. Saya baru siuman setelah di rumah sakit. Besoknya polisi datang dan menanyai saya. Tanya soal yang itu-itu saja, soal asal-muasal kebakaran. Saya takut banget. Pingin pulang kampung saja." "Kenapa harus kabur kalau tidak bersalah?" "Soalnya majikan saya mengancam akan membunuh saya bila saya cerita pada polisi." "Cerita apa?" Gadis itu menengok ke kanan dan ke kiri. "Sebenarnya," suaranya mulai merendah, "toko itu tidak dibakar oleh perusuh, tetapi sengaja dibakar oleh majikan saya. Dia mengharapkan klaim asuransi untuk menutupi kerugian bisnis tambak udangnya di Tanjung Burung." "Dari mana kamu tahu?" "Panjang ceritanya." Aku makin tertarik pada omongan mereka. Tapi aku kelewat bernafsu hingga bak sampah itu terdorong dan jatuh berkelontangan. "Orang itu..." jerit si gadis. Lelaki berwajah plastik itu menatapku. "Dia selalu membuntuti saya. Jangan-jangan, dia orang suruhan majikan saya. Saya pernah lihat dia bercakap-cakap dengan majikan saya." "Hei, Bung, nyawamu bisa melayang dalam hitungan menit," lelaki itu menjambak kerah bajuku. Kepalan tangan kanannya terasa panas di tenggorokan. "Tttttenang... Kalian berdua salah paham. Saya... saya... cuma mau memastikan." "Alah, banyak alasan lu!" Lelaki itu mendorongku hingga aku jatuh terjengkang. Mereka kemudian berjalan ke salah satu sudut halaman museum. Berhenti di bawah rindang pohon ketapang dan duduk di sebuah bangku kayu. Petang yang temaram menyulap sosok mereka menjadi patung sepasang kekasih. Astaga, demi bintang-bintang yang berpijaran di matamu, Sayangku, aku melihat sekelompok kelelawar beterbangan dari kepala gadis itu. Makin lama makin banyak. Bukan lagi puluhan tetapi ratusan. Gerombolan kelelawar yang serupa asap hitam itu kemudian terbang ke arahku. Binatang-binatang tengik itu mencakari dan menggigiti jidatku, hidungku, pipiku, jemari tanganku, lenganku, tengkukku, batok kepalaku. Kampreeeeett... Aku bertarung. Sungguh-sungguh bertarung. Kubunuh beberapa dari mereka. Tapi aku tak memangsa korban-korbanku itu. Aku tidak suka kelelawar. Baunya apek. "KAMU telah menyeretku dalam ceritamu.?"Ini cuma cerita. Tidak sungguh-sungguh nyata.?"Enam tahun lalu aku seperti gadis itu. Bekerja di toko pakaian yang hangus saat kerusuhan. Sempat masuk rumah sakit karena luka bakar. Setelah itu aku menganggur. Mantan bosku kemudian menawariku untuk menemani rekan-rekan bisnisnya. Aku menikmati pekerjaan itu karena aku jadi tahu apa yang ada di dalam batok kepala setiap lelaki." "Aku juga tahu apa yang ada di balik bandanamu." "Ikan cakalang?" "Bukan, ikan kue bulan." "Hahaha. Kalau otakku sebentuk ikan, mungkin aku selalu berpikir tentang lautan, empang, atau akuarium. Ternyata tidak. Aku selalu berpikir tentang api. Api yang melahap apa saja.?"Segalanya terbakar di matamu." "Ya. Segala yang bernyawa dan mati, yang suci dan berdosa.?"Jangan-jangan, nenek moyangmu bukan pelaut, tetapi ahli neraka." "Hahaha. Sebangsa iblis yang bengis?" "Bukan, iblis yang baik hati. Yang membuat kucing-kucing tertawa. Menjerit-jerit. Menggelepar minta dicakar." "Sebab itu kucing tak bisa masuk sorga. Ada darah iblis di tubuhnya." "Sebab di sorga ia akan memonopoli sungai susu." "Kalau begitu kita harus berdoa agar Tuhan membikin sorga khusus untuk binatang seperti kucing. Agar penghuni sorga selain kucing tidak memusuhi binatang itu." "Kamu saja. Doaku sudah tak manjur.?"Ayolah, Sayang, demi anggora betinamu." Saya tertawa. Anggora betina itu tertawa lebih gelak lagi. Batukbatuk. Ia bangkit dan mengambil botol air di kulkas. Minum langsung dari botolnya. Berjalan ke jendela dengan sebatang rokok dan korek api di tangan kanan. Tangan kirinya menyibak gordin dan membuka kaca. Lama ia menatap ke luar sana. Asap rokok mengepul. Angin kencang membawa asap itu ke dalam kamar. Bau tembakau terbakar menyergap hidung saya. Tiba-tiba, anggora betina itu melambaikan tangan kanannya. Saya bangkit dan berjalan ke arahnya. Berdiri bersisian. Sama telanjang, sama memandang ke luar. "Segalanya terbakar di bawah sana," katanya. "Ah, itu kan cuma cahaya neon dan asap dari cerobong pabrik.?"Sejak kapan cahaya neon berkobar dan cerobong pabrik bentuknya seperti rumah?"Bisa jadi anggora betina itu benar. Segalanya terbakar di bawah sana. Orang-orang kalap telah menjarah dan meluluh-lantakkan kota ini. Tapi apa yang bisa dilakukan binatang macam kami di tengah kobaran api, Saudara" Hanya mengeong sepanjang malam.Kembangan Selatan, 1998-2004Zen Hae menyebut dirinya tukang syair dan tukang cerita. Sebelum ini ia memakai nama Nur Zain Hae. Buku puisinya Syair Orang Tenggelam akan segera diterbitkan Pustaka Jaya.
Perkamen Cerpen: Yanto le Honzo Sumber: Koran Tempo, Edisi 04/25/2004
DARI lembah yang lembab ini, tembok Yerusalem terlihat kelabu menyembunyikan kota, meliuk bagai ular di punggung bukit. Putri Sion itu tak lagi jelita sebab ia menanggung derita, seperti juga jiwaku yang harus menyelesaikan semuanya. Matahari mulai luruh di belakang kota. Langit pun lembayung tua di atas bukit-bukit Yudea. Musim semi kali ini lebih dingin dan beku, tak ada wangi bunga bakung dan kelepak burung di udara.Tak ada yang kuinginkan lagi saat ini. Tak ada lagi yang berarti setelah semuanya terjadi. Takdir sudah menarikku jauh ke dalam palung gelap dan sempit, di mana mimpi-mimpi berkepingan dan sunyi berjejalan menggores batu-batu hingga suaraku pun tak mampu keluar. Mungkin memang harus ada pertanyaan yang tinggal pertanyaan, agar hidup tampak lebih berarti, meski mungkin tak ada lagi yang bisa dinikmati.Guru, aku tahu engkau lebih mengetahui semuanya, bahkan ketika harus kujual nyawamu pada mereka. Engkau tahu, semuanya memang harus terjadi dan digenapi.Tapi memahami kebenaran saja begitu sulit bagiku; aku hanya tahu sebatas mata dan telinga. Bagaimana aku harus memahami takdir dan ramalan" Aku, sepotong ranting keturunan Hezron; dalam diriku mengalir darah Yehuda, seperti juga Guru memiliki keagungan Daud. Apa yang terjadi dengan masa laluku yang terlupa itu"Wahai, Bukit Hebron! Apa yang kau sembunyikan tentang diriku...Dengan satu kepastian, kutinggalkan Keriot-Hezron tanah leluhurku; harus kutinggalkan hamparan padang gurun yang sudah meranggaskan masa-masa sejak aku dilahirkan di antara nyanyian gurun dan suara angin yang bersuling-suling menghidupi kami, ketika kudengar dia, Anak Manusia itu, berada di Galilea. Dongeng-dongeng yang kerap didengungkan padaku sejak kecil tentang sejarah leluhur, kisah para nabi yang memesona itu, menggerakkan hatiku untuk menjadi seorang nazir. Itulah sebabnya aku datang padanya untuk ditahirkan sebagai jiwa yang baru. Mengikut ke mana pun dia pergi. Sejak itulah kami--aku dan sebelas "saudara"-ku itu--mengunjungi berbagai tempat hampir di seluruh Palestina, dari ujung Yudea sampai ujung Galilea. Berkeliling ke semua kota dan desa. Banyak mukjizat tercipta, banyak jiwa menemukan pencerahan. Berduyunduyun orang datang dari Dekapolis, Yerusalem, bahkan dari seberang jauh Sungai Yordan. Dari balik bukit-bukit yang jauh. Mereka mendengarkan bagaimana kata-kata Guru mengeluarkan cahaya yang mengilaukan riak air Danau Tiberias. Menebarkan wangi mekar bunga zaitun. Tiga kali musim semi hadir sejak aku mengikuti dia, tapi sangat sedikit persemian batin yang kubutuhkan. Jiwaku tidak merasa semakin kuat dan berkembang. Rasa sepi dan gundah mulai jadi benalu yang menjalar merambati hati dan hari. Waktu terasa begitu lamban menggulir. Pemahamanku sebagai orang nazir tentang kebenaran dan Kerajaan Sorga tidak lebih besar dari pada kepicikan kaum Farisi yang membuta teguh pada isi Taurat dan hukum adat. Untuk pelepasan, diam-diam aku sesekali menenggak anggur. Daerah Hezron yang dingin bila malam itu telah melatihku selama bertahun-tahun untuk akrab dengan minuman memabukkan itu. Dengan irama rebana dan kecapi, kami berputar, menari; berpelukan laki dan perempuan, melingkari api unggun yang menciptakan bayang-bayang ganjil di sekitar kami. Apakah ini tanda jiwa yang renta, aku tidak tahu.Kadang aku iri melihat Petrus yang kuat seperti batu karang, Matius yang berani meninggalkan semua jabatannya, atau Simon yang pernah melawan penjajah Romawi dari bawah tanah. Aku tidak mempunyai kelebihan seperti mereka. Aku merasa lelah dan ingin beristirahat.Dengan malu kukatakan, sangat berat jalan yang ditawarkan Guru untuk kami lalui. Dan aku hanya sebatas diri.Sungguh, ada sesuatu yang beda kurasakan, yang aku sendiri tidak tahu apa. Semua tampak berjalan wajar seperti pergantian musim. Kami jelajahi seluruh negeri--Tirus yang penuh angin laut atau Samaria yang sejuk. Kami menyusuri Sungai Yordan yang tak pernah kering menerima kiriman dari Gunung Hermon. Di tanahnya, kami menjala banyak manusia. Banyak yang terpanggil. Banyak juga yang berpaling.Aku tidak bermaksud mencari pembenaran, karena hal ini juga dialami oleh banyak orang: mencari diri sendiri. Aku mencarinya sampai jauh ke Sidon, melintasi pohon-pohon aras di ketinggian Pegunungan Libanon. Hanya resah kudapat. Aku mulai merasakan sesuatu yang lain itu sejak Guru menyatakan penderitaannya. Dadaku berdetak keras. Sebuah getaran mengoyak otak kesadaranku. Sungguh, ini sangat menyakitkan.Tiba-tiba aku mulai memikirkan rahasia penjadian. Sebuah rencana besar yang akan mengenai lebih banyak manusia dalam rentangan masa yang akan datang. Sejak Adam, kemudian bapa Abraham, sampai Ishak dan Yakub; dalam ratusan tahun pembuangan sebelum akhirnya semua menempati Tanah Terjanji ini. Itu adalah rencana rahasia kehidupan. Semua sudah tertulis dalam buku besar berupa tanda-tanda. Tidak ada yang mampu mengelak. Tidak juga Musa atau Yunus. Semua sudah tertulis sejak di dalam kandungan.WAKTU itu bulan Syebat, di mana-mana pohon badam mencapai puncak kemekarannya. Angin utara masih mengguyurkan dinginnya di atas Galilea. Udara sedikit berat ketika kami menyeberangi Danau Tiberias, lalu singgah di daerah Kaisaria-Filipi. Guru mengatakan bahwa sesegera mungkin dia akan ke Yerusalem. Lalu dia menceritakan tentang kematiannya yang sudah dekat. Dia tahu apa yang akan terjadi.Memang, semua tentang dia sudah dinubuatkan para nabi. Sudah didongengkan para leluhur kepada kami, pewaris tanah ini. Setiap malam purnama kami tembangkan mazmur-mazmur Daud di padangpadang terbuka; kami resapi kata demi kata Yesaya tentang kami, bangsa ini. Sungguh, kami adalah bangsa pilihan, seperti yang sudah dijanjikan Allah pada bapa leluhur kami. Itulah sebabnya dia bersama kami sekarang.Sudah empat kali Guru menyatakan bahwa kematiannya segera datang. Itu membuat kami gelisah dan sedih. Pada setiap kesempatan, ketika Guru sedang istirahat, kami membicarakan hal itu diam-diam. Adalah Petrus yang paling bernafsu mencari jawaban. Menurut dia, yang menyakitkan adalah bahwa yang akan menyerahkan Guru adalah orang dekat, yang setiap hari mengikuti dia. "Biarlah hukum Allah menimpa diriku asal kutemukan pengkhianat itu," kata Petrus dalam luapan amarah dan kesedihan.Benar ucapan Guru bahwa celakalah orang yang olehnya Anak Manusia itu diserahkan. Lebih baik bagi orang itu sekiranya ia tidak dilahirkan. Sebab siapakah yang mampu menanggung takdir yang berat ini" Pengetahuan manusia terlalu pendek untuk memahami rencana rahasia Allah. Tapi kehidupan harus berjalan. Bumi yang tua ini masih terlalu muda untuk berakhir, dan nubuat harus digenapkan. Sebab semua membawa arti. Setan pun diberi hak oleh Allah karena ia memiliki arti.Tapi, sejak aku berpikir tentang rahasia yang telah lama tertulis dalam kitab-kitab itu, aku tahu haruslah ada yang berperan sebagai pengkhianat, entah ia sadar atau tidak. Agar sempurna apa yang dinyanyikan Daud dan apa yang ditulis Yesaya, dan agar genap nubuat yang disampaikan Zakharia. Itu semua adalah suara Allah. Dan Guru, Roh Allah yang hidup, sudah mengetahui semuanya. Dia tahu siapa yang akan berkhianat. Dan dia membiarkannya sebagai rahasia yang tersembunyi di balik kerahasiaan waktu. Lalu siapakah pengkhianat itu" Adakah Petrus sendiri" Atau Yakobus, saudaranya" Atau Zebedeus" Tadeus" Bartolomeus" Atau Tomas, murid terkasih" Atau siapa" Aku tak melihat alasan yang sungguh-sungguh kuat. Mereka orang-orang yang setia dan taat. Lalu bagaimana dengan aku" Aku menggigil memikirkannya.Seluruh urat nadiku bergetar.Sejak kecil yang kutahu hanyalah keluasan padang. Hezron mewariskan pada kami sebuah negeri di mana pedang dan pisau adalah jawaban dari setiap masalah.Kisah tentang embun-embun yang menjelma roti atau burung puyuh, cuma sekedar dongeng penghantar tidur, yang kian membosankan bagi telinga kami.Kami tetaplah bangsa-- aku tahu kemudian--yang terlalu bebal dan pesungut pada kehidupan selatan yang keras itu.Kami tumbuh antara mezbah persembahan dengan harum damar mur dan mazmur Daud, tapi kami juga sesekali mendaki bukit pengorbanan untuk memohon dewa Baal mengaruniakan kesuburan bagi negeri berpasir itu.Gemuruh bukit gurun begitu melekat hingga ke dalam darah kami. Dimatangkan oleh matahari, ditempa oleh keangkuhan bebatuan Sinai, aku terbentuk sebelum semua kusadari. BULAN Nisan sudah datang. Langit terang dalam kehangatan awal musim semi. Di mana-mana terhampar jelai dan rami yang siap dipanen. Beberapa hari lagi Paskah, Hari Raya Roti Tak Beragi. Kami menyertai Guru memasuki Yerusalem. Dia anggun tenang di punggung keledai betina muda sejak kami keluar dari Betfage menuruni Bukit Zaitun. Terbawa angin, awan bergerak lembut dalam gumpalan-gumpalan kecil di atas kepala. Orang-orang berjejalan dalam sorak nyanyian. Kami melangkah dengan debar kegelisahan dalam dada. Kakiku berjalan gemetar menyaruk daun-daun palem dan pakaian yang dihamparkan orang-orang menutupi jalan.Tak ada keindahan pada musim yang hangat dan berbunga itu. Semua melebur dalam pandangan. Aku belum lupa: ketika kami berkumpul di rumah Simon di Betania, seorang wanita muda jelita, dengan kerudung satin putih, datang menghampiri Guru dan mengucurkan minyak wangi narwastu dari buli-buli pualam yang dibawanya, ke atas kepala Guru yang sedang menikmati miju di meja. Kami terkejut menyaksikan peristiwa tak terduga itu. Semua hanya mampu memandang perempuan itu. Minyak itu. Dan Guru.Lalu aku menegur perempuan itu. Tapi Guru justru membenarkan perbuatan si perempuan. Aku terkejut! Sesaat kutatap mata yang seakan berpijar bagai bintang timur itu, yang kilaunya langsung menghujam jantung. Darahku keras mendesir. Tiba-tiba ada yang bergerak... Gemuruh padang gurun Yehuda kembali memenuhi diri. Tidak ada kata-kata yang mampu aku wujudkan saat itu. Mataku berkunangkunang, Gunung Tabor seakan runtuh menimpa diriku. Aku dipenuhi rasa malu. Naluri purbaku mulai membadai lagi. Jiwa angin gurun yang berdebu, kering tak berwarna. Sungguh! Aku tidak tahu apa yang terjadi dengan diriku. Aku tidak tahu mengapa diam-diam aku pergi kepada imam-imam kepala. Berita tentang keinginan para imam kepala dan tua-tua negeri sudah tersebar ke seluruh Yerusalem. O, Keriot-Hezron! Di mana kau sembunyikan rahim ibu, untuk kutukar dengan darah ini sebelum memerciki tubuh Anak Manusia"O, Hebron! Kota yang melindungi para pembunuh, terkutuklah engkau sebab kau timpakan padaku darah Nazaret. Kekuatan apa yang kumiliki untuk melawan Anak Manusia"Dan malam itu, hari Kamis tanggal empat belas bulan Nisan, nubuat para nabi itu, takdir yang membelenggu diriku, tergenapi sudah. Di antara tatapan para saudaraku dan hunusan pedang para prajurit yang dikirim Sanhedrin, kujamah tangan Guru yang hangat-lembut itu. Kucium ia dengan segala gemetar tubuh dan jiwaku.Ramalan itu telah menjadi kenyataan. Aku tak akan lupa kata-kata terakhir yang dia ucapkan padaku, "Untuk itukah engkau datang?"Ya, di Taman Getsemani aku jual takdirku seharga 30 keping perak setelah kucium Guru di bawah bayang-bayang malam Bukit Zaitun.Wahai Yerusalem! Wahai Putri Sion yang tidur, di tanahmu kutetakkan bintang timur. Kini remuk-redamkan tulangtulangku. Makanlah dagingku yang tercampak kini. Minumlah darah hitam yang tercurah ini. Agar sempurna semua sejarah.Aku berlari dan berlari, menerjang malam yang pekat membungkus Yerusalem. Melintasi tanggatangga jalanan kota dan tembok-tembok rumah yang diamkusam. Melewati pintu gerbang yang sudah ribuan waktu menyembunyikan sejarah.Di bibir Lembah Hinom, kutumpahkan seluruh air mata, entah untuk apa. Bulan temaram menyinari pohon-pohon di punggung lembah. Di kejauhan sana, Sinai yang purba samar-samar tampak diam dalam kerentaannya. Menghembuskan angin gurun ke wajahku. Tulang-tulangku terasa ngilu, tak tahu berpijak pada bumi apa ini.Benarkah 30 keping perak adalah hargamu tertinggi, Tuhan" Seperti yang pernah dituliskan Zakharia untuk diserahkan kepada penuang logam. Hai, Yesyurun! Kaulah pemilik Tanah Janjian ini. Ke mana aku harus sembunyi"Siapa yang dapat membenarkan bahwa aku, pewaris darah Yehuda, harus lahir dengan membawa tugas sebagai pelengkap agar genaplah nubuat darah penebusan itu. Wahai Daud raja Israel! Kalau memang aku penggenap nubuat seperti yang kau tulis itu, mana tanganmu... Kini, dalam kesunyian Lembah Kidron ini, di antara kelebatan pohon kertan dan gemericik bening Sungai Gihon, kutuliskan semua yang kurasakan dan kualami. Sekali lagi, tidak untuk mencari pembenaran, tapi agar kalian--siapa pun yang membaca perkamen ini-- mengerti bahwa semua yang terjadi adalah bagian dari rencana rahasia Allah. Penyaliban Guru memang harus terjadi seperti yang sudah tertulis sejak dahulu kala. Agar dia bisa bangkit pada hari ketiga sebagaimana yang dikatakannya sendiri.Aku tahu, di mata kalian aku tidak lebih dari seorang pengkhianat. Tapi kalian pun tahu, itu sudah dinubuatkan. Aku dipilih Allah untuk memerankannya. Itu bisa terjadi pada siapa saja, tanpa ada yang mampu menolak.Akhirnya aku sadar. Aku terima apa yang terjadi. Betapapun perihnya, jalanku memang sudah ditegaskan. Bangsa ini lahir dengan begitu banyak korban, agar kehidupan menjadi lebih baik. Abraham harus mengorbankan anaknya. Yakub membohongi Ishak, bapaknya, demi lahirnya bangsa ini. Dan Guru harus disalibkan. Itu semua adalah rencana Allah.Begitupun tempatku sebagai pengkhianat. Tidakkah kalian baca itu di kitab-kitab yang kita miliki"Oh, andai kalian tahu, betapa aku ingin menghindar dari tugas tak terperi ini, agar sejarah tidak mengekalkan aku sebagai pengkhianat Anak Manusia.Tetapi aku memang harus ada demi rencana rahasia penyelamatan. Seperti halnya juga Guru lahir karena harus menyelamatkan.Aku tidak tahu apakah aku harus bersyukur atau meradang kepada Allah. Tapi aku tahu, tidak ada yang mustahil dalam rancangan-Nya. Ketika kalian temukan perkamen ini, itu berarti aku sudah menyelesaikan takdirku yang lain: aku harus mati.Shalom,Yudas Iskariot. Jakarta, 2002-2003Yanto le Honzo, lahir di Surabaya, kini giat berteater di Jakarta.
Singgah di Sirkus Cerpen: Nukila Amal
Sumber: Koran Tempo, Edisi 05/02/2004
IA melangkah keluar dari bayangan pohon randu. Dan tiba di pintu gerbang sirkus itu. Betapa mustahil keadaan awal ini dapat menjadi yang selainnya. Ia telah mesti ada di situ, pada saat itu. Dari kejauhan dapat didengarnya suara riuh-rendah manusia dan musik. Dilihatnya warna-warna. Seorang penjaga bersandar di samping gardu kayu. Lelaki itu mengamatinya, seperti menyangsikannya. Dari bentuk batok kepalamu, aku tahu kamu penari. Atau detektif. Ambillah ini.Sobekan selembar karcis tiba di tangannya. Atau rahib"Ia tak menjawab, sebab ia bukan sesiapa. Jarijarinya meraba sejenak kayu terkelupas di pintu gerbang. Ia merasa tempat itu menyimpan semacam rahasia, keajaiban. Begitu banyak pilihan. Ia belum pernah ke sirkus, dan tak tahu mesti memulai dari mana. Ia berjalan menuju kerumunan. Terdengar lagu akordion mekanis dari mesin permainan membaur dengan deru mesin diesel. Ia mengamati tempelan poster pertunjukan dan bendera berkibaran, mendengarkan para peneriak di luar tenda atau bangunan kayu. Ia menuju tenda pesulap. Membayar karcis sambil menatap poster bergambar siluet hitam misterius berselubung awan putih. Ada tulisan nama pesulap, bertebar bintang-bintang di sekitarnya. Kalimat di bawahnya dicetak dalam huruf lebih kecil. Pesulap, hampir penyihir. Setengah jam kemudian terkagum ia keluar dari tenda pesulap. Ia masuk ke tenda sebelahnya yang tampak lebih megah. Sang peneriak di luar tenda mengulangi seruan yang telah didengarnya tadi. Ayo, berduyunduyunlah! Saksikanlah! Empat badut spektakuler abad ini!Kuartet badut yang ternyata biasa-biasa saja. Ia heran mengapa antrian karcis untuk badut lebih panjang dari pesulap. Ia pergi mengamati komidi putar dan dremolen, masuk ke pertunjukan seorang peniti tali dan penelan api, lalu keluar menuju deretan adu ketangkasan. Ia menghampiri sebuah mesin pencapit. Ia menempelkan mukanya pada kaca kotak capitan, menatap dengan mata besar segala yang bertaburan sedap di dasar. Sesaat ia tergoda. Jika koin dimasukkan, capit besi itu akan terbuka seperti cakar monster jahat, turun menuju serakan cokelat, biskuit, dan permen di dasar. Mungkin beberapa akan terangkat cakar, mungkin jatuh kembali ke dasar. Ia mengurungkan niat, meniupkan nafasnya pada muka kaca, menggambar spiral, dan berlalu. Ia berada di sana bukan untuk hadiah.Ia pergi membeli gulali. Berlama-lama di depan gerai, sambil minum soda ia menonton pembuat gulali memutar benang-benang halus merah muda, hingga menjelma gunungan kapas yang tampak empuk. Ia terpukau. Ia memesan gulali berkali-kali. Setiap kali wajahnya mendekat, matanya mencoba mengikuti gerak untaian gulali. Sia-sia. Setiap kali pula, ia menatap pupil mata pembuat gulali dan tangannya yang bergerak seolah punya mata pada tiap ujung jemari. Ia ragu, mana yang lebih memukau, perempuan pembuat gulali atau gulalinya.
Sebab perempuan itu buta.Ia ingin berputar seperti gulali.Dengan lidah kelu hampir mati rasa oleh manis dan bibir dan ujung jari berubah merah, ia menyeruak di antara para pengunjung. Baginya, dari semua tempat di sirkus, yang paling menyenangkan adalah gerai gulali. TAPI ia keliru. Itu disadarinya kemudian. Ketika ia menatap rumah cermin untuk pertama kali. Di tepi lapangan, di sebuah sudut sepi. Di antara terang matahari panas, rumah cermin itu seakan mengumpulkan gelap di dalam dirinya sendiri dengan dingin. Ada beberapa pintu di situ, ia mengelilingi bangunan itu untuk menghitung jumlahnya. Delapan pintu berbeda. Ia masuk lewat salah satu pintu, tiba di sebuah lorong selebar rentang tangan, berdinding cermin di kanan kirinya. Ia membanyak tak berhingga. Lorong itu berbelok bercabangan ke sana-ke mari. Beberapa kali ia menjumpai dirinya ada dalam kubus cermin. Entah ada berapa, semuanya tampak sama. Di sana, empat sisi dinding memantulkan dirinya, kiri kanan depan belakang. Begitu banyak dirinya, ia tak lagi tahu yang mana dirinya sesungguhnya. Bagai berada dalam ulu hati sebuah berlian cemerlang, tersasar dalam labirin sejuta cahaya berpantulan. Ia pun menari. Berputar seperti gulali.Telah senja hari, ketika ia keluar. Kepalanya sedang berputar menatap lampu-lampu yang mulai dinyalakan, ketika sang penjaga menghampirinya dan berkata ia boleh tinggal di sirkus itu, tanpa bilang mengapa. Ia menduga, penjaga itu telah melihatnya menari dalam salah satu kubus rumah kaca. Ia ingat telah berpapasan dengannya pada sebuah kelokan. Ia menengadah ke langit, melihat bulan berbentuk huruf c.Penjaga sirkus memang telah melihatnya menari. Hanya beberapa gerakan, tapi itu telah cukup baginya. Sebab gerak-gerik itu mungkin memang bisa disebut menari.MAKA ia sering mengunjungi rumah cermin. Tak banyak orang yang ke sana. Ia mempelajari skema dan berbagai rutenya. Kadang bereksperimen dengan gerakan musykil dalam salah satu kubus cermin. Kadang ia berputar-putar saja sesukanya, hingga ia pening dan jatuh terhuyung. Jika capek, ia mencoba menghitung jumlah pantulannya pada cermin. Kadang dijumpainya sang penjaga sirkus di salah satu lorongnya. Halo.Hai.Lalu mereka berbelok ke lorong berbeda arah.Sesekali mereka keluar dari pintu yang berbeda, lalu ke kedai kopi tak jauh dari rumah cermin itu. Kedai itu menjual macam-macam minuman yang diurut secara alfabet dari a sampai z pada daftar menunya kecuali kopi. Pemiliknya seorang pensiunan penyair yang bercita-cita menjadi saddhu di jalanan Kalkuta, tapi istrinya melempar piring-piring ke arahnya ketika tahu. Di kedai kopi tanpa kopi itu, ia dan si penjaga akan duduk satu-dua jam bercakap tentang menari sebab lelaki itu juga seorang penari, meski jarang tampil. Atau tentang kota, setrika, spontanitas terjadwal, jarak. Atau mengetawai kelucuan orang-orang di sirkus. Lelaki itu selalu punya satu ringkasan cerita dari negerinegeri jauh. Dan istilah-istilah yang belum pernah didengarnya. Ignoranus, demikian ia mengumpat pengunjung yang membuang sampah sembarangan. Ikonofilia, begitulah ia merujuk pada penonton panggung penari. Siklofrenik, katanya menunjuk dengan dagu pada para pengunjung yang menjerit-jerit histeris pada mobilmobilan rel yang meluncur turun dengan laju. Lalu ia mesti bertanya, dengan kenaifan yang mungkin menggelikan bagi si penjaga sirkus, bertanya untuk ke sekian kali, apa itu" Sesekali mereka bercakap bersama para badut, pesulap, nona bajang albino, pemilik kedai kopi, penelan api, pemain akrobat, atau pengunjung sirkus yang ikut nimbrung. Sesekali ia mendengarkan beberapa nasihat dari mereka.Ini rahasianya, kata pemilik kedai kopi, bukan soal apa yang kamu lakukan, tapi seberapa pintar kamu pertunjukkan apa yang kamu lakukan. Ini bisnis pertunjukan dengan ideologi agung: kemasan lebih penting daripada produk. Kandungan gizi biskuit, saus tomat, atau shampo tak penting, tapi tunjukkan mimpi seperti di tivi. Anakanak masa depan yang cerdas, keluarga harmonis bersantap malam, pacar bertambah sayang. Imaji, bukan substansi.Pembuat gulali yang janda itu pasti tersinggung mendengar ini, ketua badut menambahkan. Kamu pikir kenapa manusia menemukan gulali" Karena tak ada orang yang mau makan gula murni, itu tak menarik. Tapi penghalusan, pewarnaan, penggelembungan, menjadikannya menarik. Isi gulali itu melulu angin! Kenapa badut harus berpakaian norak bermuka putih berhidung merah begitu" Pakaian kami, bahan-bahan halus bermotif meriah itu, khusus diimpor dari kota. Imaji, teman baruku!Selamat datang di dunia imaji, resolusi tinggi, penjaga sirkus berkata sambil bertopang dagu.Ia diam, gulali yang menarik versi ketua badut itu justru terdengar tak menarik, keluar dari bibirnya yang siang itu tanpa merah gincu. Pentasnya pun bahkan tak lucu. PANGGUNG pertunjukan penari hanya ada di malam hari. Ia pernah ke sana menonton, betapa megah dan meriah. Ia menyukai semua penari, perempuan dan lelaki. Mestilah sulit untuk bisa menari seperti mereka. Ada yang mengenakan mahkota berbulu panjang di kepala, ada yang seperti balerina angsa, ada yang berjas dan berdasi, atau yang menyerupai burung merak yang ekornya mengambang sempurna. Gemerlap di bawah sorot cahaya, meliuk mengikuti bunyi terompet dan tamborin. Beberapa mereka bisa menari begitu seksi, hingga para lelaki ereksi. Di akhir pertunjukan, konfeti perak turun bertaburan seperti hujan. Bersambung besok malam.Para penonton senang menggolong-golongkan para penari: yang kakinya panjang seperti novel; yang kakinya pendek seperti haiku; yang menyenggol benda-benda jika sedang menari; yang ramah pada cahaya; yang hanya muncul sekali; yang ketiaknya basah beberapa menit setelah menari; yang bergigi tak rapi atau bercelah di tengah. Mengapa mereka lebih mencermati penari daripada tarian" Ia tak memahami mengapa mereka begitu.SIRKUS itu memberinya sebuah nama. Meneriakkan namanya pada pengeras suara. Memasang poster dengan kertas mengilap. Ada siluet gambarnya, sewujud merah yang tak berbentuk. Penari Gasing --Berputar lebih cepat daripada bayangannya.Menjelang malam pertama pertunjukannya, ada yang memberikannya ronce gelang untuk kakinya, yang menimbulkan desing dan gema pada gerakan tertentu. Ada yang menyematkan bunga di rambutnya. Ia naik panggung. Berputar tanpa henti, menyusuri sebuah lingkaran tak kentara, bermula dan berakhir di satu titik entah di mana. Awalnya ia berputar perlahan, di saat-saat itu wajah, pelipis, rambut dan pinggang dan kakinya masih dapat terlihat. Kian cepat, sangat cepat, hingga bayangannya yang jatuh di lantai tak mampu mengikuti geraknya. Dan berhenti tiba-tiba.Ia membuka mata, sejenak bekerjapan oleh silau lampu. Dilihatnya wajahwajah. Ia ringan meninggalkan panggung, ingin melihat lampu-lampu kecil yang lebih rendah hati. Sejenak ia menimbang, pergi ke rumah cermin, atau mungkin belajar dua-tiga sulapan, belajar menyemburkan api, atau pergi ke tenda yang menyimpan janin makhluk-makhluk aneh yang diawetkan dalam toples-toples besar.Ia pergi ke tenda perempuan pembuat gulali. Dari sana, lampu-lampu dremolen tampak indah, berpijar melintasi sumbu bundar. Perempuan itu menemaninya duduk di bangku kayu. Mereka duduk menatap langit malam di luar tenda tua yang jadi rumahnya.Tarianmu seperti gerak bintang.Gulali.Bintang. Pembuat gulali mengangkat jari, menamai bintang-bintang di atas kepala mereka, menunjuk dengan tepat letaknya. Jarinya menggambar di udara, bercerita ke mana bintang itu akan melintas dan menghilang. Ia takjub.Bajang putih.Apa itu"Sebuah bintang mati, runtuh oleh beratnya sendiri, tak lagi bersinar.BANYAK yang tak bisa dipahami, kita hanya bisa akrab dan terbiasa dengan hal-hal itu, kata perempuan pembuat gulali di suatu pagi, sesaat sebelum ikut menari dengannya di bawah pohon beringin. Ada beberapa orang yang ikut menonton, baru disadarinya di saat akhir tarian. Ia jatuh terhuyung di atas rumput, rebah dengan kaki dan tangan mengembang menatap langit bermatahari terbit dan awan mangambang, tergelak senang, sebab semesta tampak berputar-putar. Orang-orang mulai bubar di sekitarnya. Ia senang mereka telah pergi, sebab ia sering merasa terganggu oleh mereka. Ia jemu dengan pertanyaan mereka yang selalu sama. Tawanya kian tergelak, hingga keluar air mata. Awan-awan itu seperti gulali, katanya kepada perempuan pembuat gulali. Ia melanjutkan bercerita tentang warna-warna langit pagi dan bentuk-bentuk awan, meski tahu perempuan itu sudah tahu, tapi ia terus bercerita, hingga suatu saat perempuan itu menyela bicaranya.Bajang putih. Ia tediam. Matanya mencari-cari pada lengkung langit, membayangkan semacam bintang tak kelihatan, membayangkan nona bajang albino, menelusuri kemiripan yang mungkin. Ia menoleh, mencoba mencari bajang putih di dalam hitam mata perempuan itu.Aku berduka untukmu, anakku.Bajang... putih... Bajang putih... BajangputihbajangputihIa mulai bergumam. Ada kata-kata, yang jika diucapkan terus-menerus, panjang dan lama seperti mantra, akan hilang makna. Aku akan bercerita padamu tentang gema dari jauh itu, katanya sambil bangkit berdiri.Aku akan bercerita padamu tentang lubang hitam, kata perempuan pembuat gulali, dan gema itu bukan dari jauh. Telah kudengar sejak pertama kau datang membeli gulali. SESEKALI ia duduk menemani pembuat gulali berjualan, lalu iseng berkeliling sirkus. Ia bertemu dengan wajah-wajah yang sama di sudut dan belokan. Ia berpapasan dengan para penari. Mereka cukup berjalan dengan lengan dan bahu wangi, beberapa perkataan, atau sekadar duduk di bangku kayu, dan orang-orang akan berkerumun. Tanpa pengeras suara mengumumkan pertunjukan mereka, para pengunjung akan berduyun menonton. Ia membalas lambaian, mencium pipi mereka, dan beranjak pergi.Ia melewati sebuah tenda di mana orang menembak dengan katapel. Hadiah berderet-deret di sebuah rel berputar. Boneka beruang, pistol-pistolan, bantal kecil, bola karet dan banyak lagi. Para pengadu untung mesti menembak hadiah yang ditaksir. Suara si peneriak memenuhi udara di sekitarnya, raihlah hadiah terbesar! Siapa saja bisa menang!Ia melewatinya, tapi si peneriak sekaligus pemilik tenda mencegatnya. Ia diberi hadiah, begitu saja. Bantal bentuk kelereng, dan permen keras warna merah biru ungu sebesar kuku ibu jari. Ia senang, sebab ia suka permen keras, bisa dikunyah hingga hancur, dan bunyinya sering menjengkelkan orang lain. Ia ingin tahu berapa lama bisa menghancurkan satu permen. Permen-permen merah dikunyahnya dalam waktu tiga menit, biru hampir dua menit, ungu semenit. Ia kehabisan permen, sedang bantal itu masih saja mengelereng.MENARILAH untukku, pinta perempuan pembuat gulali suatu malam. Ia tak perlu bercerita padanya, bahwa ia lebih senang menari sendirian di dalam rumah cermin dalam lampu temaram, dan sekali naik panggung sudah cukup baginya. Ia tak tega memberitahunya bagaimana ia kini berduka menatap gulali. Wujud merah muda halus-manis itu memahit, tak lagi memikatnya. Ia pun membatalkan niatnya untuk menangis selama setengah jam, dan bangkit menari dekat pohon beringin besar, sambil perempuan itu duduk bersila di atas rumput seperti menonton. Dukanya terlupa, berganti dengan senyuman. Lalu gelak tawa. Ia tak perlu memahami, bagaimana perempuan itu bisa mengenali duka, dan selalu tahu kapan untuk memintanya menari. Jadi ia tertawa saja.DI sirkus ini ada beberapa duka yang dikenalinya. Ia berduka saat mendengar anak kecil menangis; saat berurusan dengan administrasi kepegawaian; saat menatap perahu kertas yang tertinggal di tengah kolam; saat pijar lampu-lampu dremolen yang berputar di langit; saat wajah seorang lelaki yang berpendar lampu dremolen duduk di seberangnya; saat teriakan bising itu... Ia hanya semakin terbiasa. Kedukaan, jika daftarnya kian memanjang, kian terakrabi, akan menjelma menjadi kejemuan. Dan kejemuan, yang kian biasa, akan berujung menjadi semacam kejemuan terhadap kejemuan. Itu tak baik bagi kesehatannya. MENARILAH untukku, pinta perempuan gulali keesokan hari. Ia menggelengkan kepala. Ia tak perlu bercerita padanya bahwa ia sudah tak kepingin menari. Perempuan itu menggenggam jarinya dan bergumam, mengapa, aku tak lagi bisa menunda dukamu, apalagi menghentikanmu. Aku bukan ibu, bukan pula kekasih yang dapat berlari mengejarmu dan berbisik jangan pergi. Ia melepaskan tangannya. Berlalu dengan menggigit kuku sambil agak sibuk berpikir. Perempuan itu seorang peneropong bintang amatiran, tapi matanya buta, pun tak punya teleskop yang dapat diandalkan, dari mana dia tahu segala macam planet bintang bajang kabut yang ada di langit"Bagi ia, penujum sungguhan adalah perempuan itu, bukan sang penujum di sirkus itu, seorang lelaki tua kurus yang suka memainkan kecapi jika tak sedang menujum.Beberapa kali ia mendengar nujuman si lelaki tua. Para sri panggung akan berkuasa. Neraka ada di bawah telapak kaki ibu, surga ada di dalam benak bapak.Ia tak peduli nujuman. Sebab nujuman, seperti halnya impian, hanyalah kemungkinan, bahkan kemusykilan. Sebab nujuman bukan kedukaan. SEJAK kemarin senja, ia sering menepikan rambutnya ke belakang telinga. Sebab gema itu kian lama kian dekat. Seperti memanggil, memanggil. Malam itu terdengar sangat dekat. Ia duduk menanti di tepi tanah lapang. Menghentakkan sebelah kakinya untuk mendengar desing ronce, sambil menatap panggung penari di kejauhan. Berlampu terlalu terang, lagi pula ajaib, pikirnya. Pernah dikiranya ia akan semata bersuka-ria di sirkus ini, menari seperti gulali seperti gasing sampai mati. Ia melepas gelang kaki. Dengan sekeping mata ronce ia mengguratkan huruf-huruf namanya di atas tanah kering. Ia lalu bangkit. Suara suling menyaring. Dilihatnya siluet seorang lelaki di pagar. Tengah menari. Ia menikmati gerakan-gerakan anehnya, melintaskan dalam benaknya sebaris istilah semacam eksplorasi vektor probabilitas anatomis yang terkalkulasi sesuatu yang hanya bisa diucapkan oleh lelaki itu. Lelaki yang sesekali didengarnya bersiul sendirian. Lelaki yang menepi untuknya. Mungkin wajah lelaki itu akan berbayang jika ia sesekali menatap langit. Ia akan selalu bisa menepikan wajah bulan untuknya. Di jalan setapak, dapat dilihatnya wujud gema itu berasal. Sang peniup suling Hamlin, di belakangnya tampak ularularan panjang anak-anak. Mereka berjalan dengan melompat menandak menari hampir melayang. Ke mana mereka pergi. Mungkin ke hutan, tebing terjal, sungai bening, samudera jauh ke mana saja, ia bisa menari bersama mereka.Ia berjalan lurus menuju ke gerbang sirkus. Jemarinya meraba sejenak kayu yang terkelupas. Ia akhirnya memahami rahasia tempat itu. Sirkus itu memang mestilah ajaib, sebab berada di sebuah negeri yang ajaib.Ia menengadah ke langit. Bulan telah berbentuk huruf o.Angin kencang tiba-tiba bertiup. Meriapkan rambut dan bajunya, meliukkan dedaunan mengibaskan bendera. Ia tak perlu menoleh untuk tahu bahwa angin itu akan menghamburkan goresan namanya di atas tanah. Menjadi debu.Nukila Amal lahir di Ternate, Maluku Utara. Novelnya Cala Ibi terbit tahun lalu. Kini tinggal di Jakarta.
Boyon Cerpen: Akmal Nasery Basral
Sumber: Koran Tempo, Edisi 05/28/2006
NAMAKU Boyon. Jems Boyon. Nama ini diberikan ayah setelah menonton film yang dibintangi Sean Connery di bioskop lusuh Pasar Atas, Bukittinggi, Sumatera Barat. Atau lebih tepatnya, setelah ayah dan ibuku yang hamil tua menonton film itu. Mereka tidak tinggal di Bukittinggi melainkan sekitar 14 kilometer ke arah Payakumbuh, di desa Kapau yang terkenal dengan kelezatan nasinya. Mungkin karena perjalanan yang cukup jauh, kontraksi perut ibu berlangsung lebih cepat tiga pekan dari perkiraan. Malam harinya ibu melahirkan dengan bantuan bidan.
Aku ingin namanya Hatta, agar sikapnya harum wangi seperti proklamator kita, kata ibu sembari berulang kali menciumi pipiku. Tentu saja aku tak ingat kejadian itu kalau tidak diceritakan lagi oleh ibu.
Nama yang bagus, tapi ... Ayah jelas tak setuju. Setelah beberapa detik gagal menemukan kata-kata yang pantas, sikap ayahku yang gadang ota, alias omong besar, tak bisa disembunyikan lagi. Pak Hatta hidupnya terlalu sederhana. Aku tak mau anakku hidup menderita di jamannya.
Kalau begitu...Hamka"
Itu lebih berat lagi. Nama ulama besar jangan sembarang diberikan. Kalau tidak kuat, anak kita bisa gila.
Bagaimana kalau Navis, katanya itu nama penulis. Ibu pantang menyerah.
Ah tidak. Penulis hidupnya miskin. Kita toh sudah melarat.
Karena itu jangan ditambah-tambah lagi. Lidah ayahku seperti pesilat lincah. Setelah beberapa menit yang hingar oleh dengung nyamuk di rumah kami yang sumuk, ayah menjentikkan jarinya seperti mendapatkan ilham.
Kita namakan saja Jems Boyon seperti film yang kita lihat tadi. Itu nama modern. Pintar, tampan, dan disenangi padusi.
Ibuku seorang yang santun. Dia hanya berkata pendek. Uda yakin itu nama yang benar"
Yakin. Saya pernah berdagang di Negeri Sembilan. Di sana, begitulah mereka mengucapkannya. Lidah warisan Inggris mereka tentu tak keliru seperti milik urang awak.
Begitulah. Pendidikan ayahku yang kandas setingkat kelas 4 ibtidaiyah, bergabung sempurna dengan sifat gadang ota-nya yang selalu membanggakan diri pernah ke luar negeri, meskipun hanya sebagai penjual bubur kampiun di Malaysia. Dua bulan kemudian beliau pulang kampung saat mendengar Polis Diraja Malaysia akan melancarkan razia terhadap pendatang haram. Seperti halnya para gadang ota sejati, ayah tak punya cukup nyali untuk kembali mengejar mimpinya. Semua terhenti sebatas kata-kata.*
SEWAKTU bersekolah di SD dekat rumah, temanteman memanggilku Boyon. Aku merasa biasa saja, mungkin karena belum punya konsep tentang keren tidaknya sebuah nama. Menginjak SMP aku baru tahu yang dimaksud ayah dengan Jems Boyon tak lain dari James Bond. Maka di sekolah, aku menulis namaku sebagai James. Kalaupun harus dipanjangkan, ya James B saja. Nama Boyon terdengar seperti bloon, istilah yang dipakai seorang teman kelasku dari Jakarta untuk memanggil orang dungu. Tapi seorang guru mengaji di surau dekat rumahku satu kali menasehati. James itu nama orang kafir. Tidak pantas orang Minang yang menjunjung adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah memakai nama seperti itu.
Aku diam saja, meski hatiku panas. Shalatku memang seperti saringan teh yang bolong-bolong. Tapi kalau disamakan dengan orang kafir aku tersinggung juga. Bukankah kata seorang pujangga Inggris, apalah artinya sebuah nama" Masalahnya, kendati tubuhku semontok karung beras, guru ngaji itu juga mengajar silat. Jadi apa yang bisa kuperbuat"
Sepulang dari surau, aku langsung ke sawah. Menjelang pucuk malam, aku mengendap-endap mendekati surau dengan karung di pundak. Di Minang ada kebiasaan anak-anak lelaki yang mulai dewasa tidak tidur lagi di rumah orang tuanya, tapi di surau. Malam itu ternyata hanya sedikit murid tidur di sana. Sedangkan guru mengaji yang rajin berkhalwat kepada Allah Ta'ala itu kuintip tengah mengerjakan shalat malam. Saat yang pas untuk melepaskan 15 katak dan 23 belut tangkapan malam itu ke dalam surau.
Lalu aku menjauh, menunggu. Tak lama kemudian, terdengar kehebohan luar biasa dari surau gelap itu. Hampir semuanya memekik histeris. Lalu pintu terbuka, guru mengajiku keluar seperti hendak mencari si pelaku. Untungnya bulan malas bercahaya. Aku melangkah pulang dengan hati puas. Baru sebulan kemudian aku berani mengaji lagi, setelah yakin guru itu lupa dengan serangan katak dan belut.
Lalu aku melanjutkan sekolah di SMA 1 Bukittinggi. Saat itu film Catatan Si Boy yang meledak di Jakarta bergaung juga gemanya sampai ke ruang kelas kami.
Maka aku lupakan nama James. Namaku menjadi Boy. Aku bergaya seperti Onky Alexander dengan kerah baju diluruskan ke atas, meskipun kalau mau setia pada tokoh di film, wajahku terlihat lebih mirip Emon karena rambut ikalku serta postur dengan berat 82 kilogram dan tinggi 164 sentimeter. Terlalu berat" Tidak juga. Jangan lupa aku berasal dari Kapau. Kalau baru menyantap sepiring nasi, rasanya seperti baru makan sehelai roti.
Jumlah kehadiranku di dalam kelas sebanding dengan jumlah ketidakhadiranku. Aku lebih suka nongkrong bersama beberapa teman di jembatan Limpapeh yang menghubungkan Kebun Binatang dan Benteng Fort de Kock. Jembatan itu terbentang di atas Jalan Achmad Yani, jalan utama di Bukittinggi. Jembatan ini tempat paling nyaman untuk melihat turis asing lalu lalang. Terutama turis wanita yang sering malas berpakaian lengkap seperti perempuan kita. Tak ada turis yang berbaju kurung, apalagi berkerudung. Jika mereka tersenyum, aku merasa melayang seperti balon gas.
Bosan di Limpapeh, aku menyelinap ke bioskop yang pernah diceritakan ibu, meski aku harus hati-hati karena warung bubur kampiun ayahku ada di dekat situ. Pertama agar tidak tertangkap basah sedang bolos. Kedua, aku tak mau ada teman yang tahu bahwa ayahku tukang bubur kampiun. Sekali kenyataan ini tersebar, duniaku kiamat selamanya. Maka semua film di bioskop itu kutonton tanpa peduli. Aku lebur dalam segala peran. Ketika menonton Rambo, aku melihat wajahku di tubuh kekar Sylvester Stallone. Tampan sekali. Aku bahkan menirukan gaya bicaranya yang terdengar seperti sapi mengunyah kelereng.
Betapa pun seringnya aku bolos, aku tak pernah tinggal kelas. Bahkan aku selalu bisa masuk tiga besar. Beruntunglah otakmu encer, Buyung, kata guru sejarah yang selalu menolak memanggilku Boy. Menurut teorinya, Buyung itu justru versi lokal Minang terhadap boy dan young. Aku tak tahu apakah ia serius atau bergurau. Yang jelas terhadap pendapat ini, aku bercita-cita ingin membuat sebuah film dokumenter tentang legenda Minang yang syahdan pernah disinggahi Iskandar Zulkarnain Yang Agung ketika dunia masih sebesar telur ayam . Saat pengumuman kelulusan SMA diumumkan, aku menjadi juara umum kedua. Hampir tak ada yang percaya. Tapi inilah hidup, tak semua fakta bisa kita percaya, bukan" Tekadku sebulat tubuhku: masuk Institut Kesenian Jakarta. Aku ingin menjadi aktor.
Di Jakarta nama Boy ternyata banyak sekali. Aku ingin berbeda, modern sekaligus khas. Maka kupilih nama Jems Boy Chaniago. Panggilan: Jembi. Ketika teman-teman mendengar ini mereka tertawa terbahak-bahak. Para mahasiswa beramai-ramai menyiramku dengan es cendol di depan Kafe Alex. Mendadak rambutku seperti Bob Marley. Mahasiswi terkekeh-kekeh geli. Idih, jorok sekali sih namamu, teriak salah seorang. Aku jadi malu setelah seseorang membisiki betapa mengerikannya bila mereka harus memanggil namaku di tengah keramaian. Setelah mengutak-atik beberapa pilihan, hatiku berkata: Jaby Chan. Ya, ini pilihan terbaik. Jaby tentu saja dari James Boy. Yang penting terdengar mirip Jacky Chan, idolaku saat itu setelah tahu Jacky hampir tak pernah menggunakan stunt man dalam film-filmnya.
Aku pun mulai serius membentuk tubuh biar terlihat mirip Jacky. Lumayan juga hasilnya. Beratku turun dari 82 menjadi 74 kilo. Otot-otot perutku mulai terlihat six-pack. Aku pun ikut kursus tertulis ortopedi. Tinggi tubuhku terdongkrak 2 senti dari 164 menjadi 166 cm. Aku juga berterima kasih kepada para penemu matematika, sehingga jika angka itu dibulatkan, maka tinggiku sekarang 1,7 meter. Lumayan. Tinggi dan berat badan baru inilah yang kupasang di curriculum vitae sebelum kusebar ke beberapa artist management. *
MEMASUKI kuliah tahun kedua, ayahku wafat. Aku tak sempat menghadiri pemakamannya karena terikat kontrak dengan sebuah produksi film laga. Jika aku nekad pulang, bukan saja kontrak diputus, aku malah harus bayar ganti rugi. Sialan!
Di dunia film aku mulai merasakan ritme kehidupan Jacky Chan meski cuma urusan stunt man. Soalnya peran utama tetap jatah bintang film ganteng meski berotak bodoh. Aku hanya pemeran pengganti. Ada di film, tapi tak dikenali penonton. Yang mengenaliku justru dukun urut patah ulang di Jakarta Selatan. Itupun setelah beberapa kali aku ke sana.
Hari kelima setelah pemakaman aku bisa pulang melihat tanah pusara yang masih merah. Ibu bertanya apakah aku tak ingin melanjutkan usaha bubur kampiun. Aku menggeleng tegas. Ia mengangguk lemah seraya mengangsurkan sepucuk surat. Dari ayahmu.
Kapan ayah memberikan"
Dia menulisnya sudah lama sekali. Pesannya tolong diberikan kepadamu jika dia meninggal.
Aku masuk kamar, membuka surat itu. Tanggalnya menjelang aku lulus SMA. Isinya singkat:
Anakku, maafkan jika selama ini ayah membuatmu malu di hadapan teman-temanmu. Ayah memberimu nama yang salah. Kebodohan dan sifat besar kepala ayah yang menyebabkan itu, bukan niat hati. Karena itu jangan kau ulangi lagi kebodohan ini pada anakmu kelak. Jika ajal menjemput ayah lebih cepat, semoga kau bisa memaafkan kesalahan tukang bubur tua ini yang membuatmu menanggung malu seumur hidup.
Ayahmu.* SURAT itu kini tersimpan rapi meski sudah kubaca ratusan kali selama 10 tahun terakhir. Aku tak bermimpi lagi menjadi aktor. Aku beralih profesi menjadi sutradara. Bulan depan aku berangkat ke Sundance Film Festival. Film pertamaku berhasil menembus seleksi resmi mereka. Di situs mereka tertulis sebaris informasi tentang judul filmku: Ode to My Father (Jems Boyon Indonesia). Kalimat itu terlihat kabur di mataku yang basah.
Bayangan Maut 1 Pendekar Kelana Sakti 13 Alap Alap Liang Kubur Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun 9
^